Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperplasia endometrium merupakan prekursor terjadinya kanker endometrium


yang terkait dengan stimulasi estrogen yang tidak terlawan (unopposed estrogen) pada
endometrium uterus. Stimulasi estrogen yang tidak terlawan dari siklus anovulatory dan
penggunaan dari bahan eksogen pada wanita postmenopause menunjukkan peningkatan
kasus hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium. Kelainan ini biasanya
muncul dengan perdarahan uterus abnormal. Resiko terjadinya progresifitas sangat
terkait dengan ada atau tidak adanya sel atipik. 1

The American Cancer Society (ACS) memperkirakan ada 40.100 kasus baru dari
kanker rahim yang didiagnosis pada tahun 2003, dimana 95 % berasal dari
endometrium. Sistem klasifikasi dari hiperplasia endometrium sudah dibuat berdasarkan
kompleksitas dari kalenjar endometrium dan sel-sel atipik pada pemeriksaan sitologi.
Hiperplasia atipikal sangat terkait dengan progresifitas menjadi karsinoma
endometrium. Progresifitas dari hiperplasia endometrium, menjadi kondisi patologis
yang lebih agresif sangat terkait dengan diagnosis awal pada endometrium. 1

Hiperplasia sederhana (simple hyperplasia) lebih sering mengalami regresi jika


sumber estrogen eksogen dihilangkan. Bagaimanapun, hiperplasia atipikal seringkali
berkembang menjadi adenokarsinoma kecuali diintervensi dengan terapi medis. Terapi
dengan penggantian hormon sedang dalam penelitian untuk menentukan dosis dan tipe
dari progestin untuk melawan efek stimulasi berlebihan estrogen pada endometrium.
Hiperplasia endometrium biasanya didiagnosis dengan biopsy endometrium atau
kuretase endometrium setelah seorang wanita menemui dokter kandungan dengan
perdarahan uterus abnormal.1,2
Modalitas terapi tergantung dengan usia pasien, keinginan untuk memiliki anak,
dan keberadaan dari sel atipik pada bahan endometrium. Progestin telah sukses
digunakan pada wanita dengan hiperplasia endometrium yang memilih untuk tidak
dilakukan pembedahan.berikut ini di sajikan sebuah refleksi kasus dengan perbandingan
teori.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari
kelenjar, dan stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit
pada endometrium. Bersifat noninvasif, yang memberikan gambaran
morfologi berupa bentuk kelenjar yang irreguler dengan ukuran yang
bervariasi. Pertumbuhan ini dapat mengenai sebagian maupun seluruh bagian
endometrium.3,7
Hiperplasia endometrium juga didefinisikan sebagai lesi praganas
yang disebabkan oleh stimulasi estrogen yang tanpa lawan. Hal ini biasanya
terjadi sekitar atau setelah menopause dan terkait dengan perdarahan uterus
berlebihan dan ireguler.1 Menurut referensi lain, hiperplasia endometrium
adalah suatu masalah dimana terjadi penebalan/pertumbuhan berlebihan dari
lapisan dinding dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada
saat menstruasi.3
Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi
hormon estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja
dan beberapa tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak
berovulasi sehingga pada masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron
dan terjadilah hiperplasia. Kejadian ini juga sering terjadi pada ovarium
polikistik yang ditandai dengan kurangnya kesuburan (sulit hamil).4
2.2 Klasifikasi
Sistem klasifikasi yang digunakan WHO dan International Society of
Gynecological Pathologists membedakan 3 tipe dengan potensial maligna
yang bervariasi. Hiperplasia diklasifikasikan sebagai simple atau complex
berdasarkan ada tidaknya abnormalitas struktur seperti kompleksitas
glandular dan crowding. Hiperplasia ditetapkan sebagai atipikal bila
menunjukkan atipia sitologik (nuclear). Hanya hiperplasia endometrium
atipikal yang jelas berhubungan dengan perkembangan berikutnya ke arah
adenocarcinoma. Hiperplasia atipikal simple adalah diagnosis yang jarang
ada. Umumnya hiperplasia atipikal mempunyai struktur yang kompleks.3
a. Hiperplasia sederhana (hiperplasia ringan). Dicirikan dengan peningkatan
jumlah kelenjar proliferatif tanpa atipia sitologik. Kelenjar tersebut,
meskipun berdesakan dipisahkan oleh stroma selular padat dan memiliki
berbagai ukuran. Pada beberapa kasus, pembesaran kelenjar secara kistik
mendominasi (hiperplasia kistik). Risiko karsinoma endometrium sangat
rendah.

Gambar 2.1 Simple hyperplasia tanpa atypia


b. Hiperplasia kompleks tanpa atipia (hiperplasia sedang/hiperplasia
adenomatosa). Menunjukkan peningkatan jumlah kelenjar dengan posisi
berdesakan. Epitel pelapis berlapis dan memperlihatkan banyak
gambaran mitotic. Sel-sel pelapis mempertahankan polaritas normal dan
tidak menunjukkan pleomorfisme atau atipia sitologik. Stroma selular
padat masih terdapat di antara kelenjar. 5
Gambar 2.2 Complex hyperpasia tanpa atypia
c. Hiperplasia kompleks dengan atipia (hiperplasia berat/hiperplasia
adenomatosa atipikal). Dicirikan dengan berdesakannya kelenjar dengan
kelenjar yang saling membelakangi dan nyatanya atipia sitologik yang
ditandai dengan pleomorfisme, hiperkromatisme dan pola kromatin inti
abnormal. Hiperplasia kompleks dengan atipia menyatu dengan
adenokarsinoma in situ pada endometrium dan menimbulkan risiko
karsinoma endometrium yang tinggi.6,

Gambar 2.3 Complex atypical hyperplasia


Baru-baru ini, istilah endometrium intraepithelial neoplasia (EIN) telah
diperkenalkan untuk membedakan lebih akurat dua kategori hiperplasia
klinis yang sangat berbeda:
 Endometrium poliklonal yang normal secara difus berespon
terhadap lingkungan hormonal yang abnormal, dan
 Lesi monoklonal intrinsik proliferatif yang muncul secara fokal
dan memberi peningkatan risiko adenocarcinoma. Nomenklatur
ini menekankan potensi ganas prekanker endometrium, sesuai
dengan preseden serupa di leher rahim, vagina, dan vulva. 7
Dengan sistem ini, anovulasi nonatypical atau endometrium yang
terpajan estrogen berkepanjangan umumnya ditetapkan sebagai
hiperplasia endometrium. Sebaliknya, endometrium neoplasia
intraepithelial digunakan untuk endometrium yang premalignant dengan
kombinasi tiga fitur morfometrik, yaitu volume yang glandular,
kompleksitas arsitektur, dan kelainan sitologi. Ssistem klasifikasi EIN
adalah cara yang lebih akurat dan dapat memprediksi perkembangan
kanker, tetapi belum dilaksanakan secara universal.7
2.3 Epidemiologi
Hiperplasia endometrium ialah lesi yang dapat menjadi prekursor
kanker endometrium. Sementara kanker endometrium adalah keganasan
ginekologi yang sering ditemukan. Sebanyak 40.000 kasus terdiagnosis di
Amerika pada tahun 2005. Hiperplasia endometrium sering ditemukan pada
wanita pascamenopause. Kelainan ini sering dihubungkan dengan perdarahan
pervaginam yang banyak atau ireguler. Meski banyak pada pascamenopause,
namun wanita pada usia berapa pun dapat berisiko jika terpapar dengan
estrogen eksogen. Kelainan ini cukup sering ditemukan pada wanita muda
dengan anovulasi kronik.2,6
2.4 Etiologi
Hiperplasia endometrium adalah hasil dari stimulasi estrogen secara
kontinyu tanpa dihambat oleh progesteron.Sumber estrogen dapat berasal dari
endogen maupun eksogen. Estrogen endogen dapat menyebabkan anovulasi
kronik yang berhubungan dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) atau
perimenopause. Obesitas juga tidak menghambat paparan estrogen berkaitan
dengan kadar estradiol yang tinggi secara kronis, hasil dari aromatisasi
androgen dalam jaringan lemak dan konversi androstenedione ke estrone.
Hiperplasia endometrium dan kanker endometrium juga dapat berasal dari
tumor ovarium yang mensekresikan estradiol seperti tumor sel granulosa.8
Eksogen estrogen tanpa progesteron juga berhubungan dengan
peningkatan resiko hiperplasia endometrium dan adenocarcinoma.Tamoxifen,
dengan efek estrogeniknya pada endometrium, meningkatan resiko
hiperplasia endometrium dan kanker endometrium. Resiko progresi ke arah
kanker berhubungan dengan peningkatan durasi pemakaian.8
Mekanisme pasti bagaimana peran estrogen dalam transformasi dari
endometrium normal ke hiperplasia dan kanker tidak diketahui.Perubahan
genetik diketahui berhubungan dengan hiperplasia dan tipe I kanker
endometrium. Lesi dengan hiperplasia berhubungan dengan instabilitas
mikrosatelit dan defek pada gen DNA perbaikan. Mutasi PTEN tumor
suppressor gene juga ditemukan pada 55% kasus hiperplasia dan 83% kasus
hiperplasia yang berprogresi ke arah kanker endometrium.8
2.5 Patogenesis
Siklus menstruasi normal ditandai dengan meningkatnya ekspresi dari
onkogen bcl-2 sepanjang fase proliferasi. Bcl-2 merupakan onkogen yang
terletak pada kromosom 18 yang pertama kali dikenali pada limfoma
folikuler, tetapi telah dilaporkan juga terdapat pada neoplasma lainnya.
Apoptosis seluler secara parsial dihambat oleh ekspresi gen bcl-2
yangmenyebabkan sel bertahan lebih lama. Ekspresi dari gen bcl-2
tampaknya sebagian diregulasi oleh faktor hormonal dan ekspresinya
menurun dengan signifikan pada fase sekresi siklus menstruasi. Kemunduran
ekspresi dari gen bcl-2 berkorelasi dengan gambaran sel apoptosis pada
endometrium yang dilihat dengan mikroskop elektron selama fase sekresi
siklus menstruasi. Identifikasi dari gen bcl-2 pada proliferasi normal
endometrium sedang dalam penelitian tentang bagaimana perannya dalam
terjadinya hiperplasia endometrium. Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada
hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada tipe simpleks. Secara
mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan
karsinoma endometrium.9
Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang
kaitannya dengan pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan
anggota dari keluarga tumor necrosisfactor (TNF)/Nerve Growth Factor
(NGF) yang berikatan dengan FasL (Fas Ligand) dan menginisisasi
apoptosis. Ekpresi gen Fas dan FasL meningkat pada sampel endometrium
setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat
memberikan kontribusi pembentukan dari hiperplasia endometrium. Ekspresi
gen bcl-2 menurun saat terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi
gen Fas justru meningkat. 9
Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan
molekuler yang kemudian berkembang secara klinis menjadi hyperplasia
endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran
bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya
hiperplasiaendometrium dan karsinoma endometrium.1,7,10
2.6 Gambaran Klinis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul
pada hiperplasia endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari
penggunaan eksogen atau siklus anovulatori menghasilkan hyperplasia
endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien yang lebih muda pada
usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat
PolycysticOvarian Syndrome (POCS). POCS menghasilkan stimulasi
estrogen yang tidak terlawan secara sekunder ke siklus anovulatori.3,6
Pada pasien yang lebih muda dapat juga terdapat peningkatan estrogen secara
sekunder dari konversi perifer dari androstenedione pada jaringan adipose
(pasien yang obesitas) atau tumor ovarium yang mensekresikan estrogen
(padagranulosa cell tumors dan ovarianthecomas). Konversi perifer dari
androgen menjadi estrogen pada tumor yang mensekresikan androgen pada
cotexadrenalis merupakan etiologi yang jarang dari hiperplasia endometrium.
Pada pasien menopause dengan hiperplasia endometrium hampir selaludatang
dengan perdarahan pervaginam. Meskipun karsinoma harus dipertimbangkan
pada usia ini, atropi endometrium merupakan penyebab yang sering dari
perdarahan pada wanita menopause. Dalam penelitian dengan 226 wanita
dengan perdarahan post menopause, 7 % ditemukan dengan karsinoma, 56 %
dengan atrofi dan 15 % dengan beberapa bentuk hiperplasia. Hiperplasia dan
karsinoma secara khusus memiliki gejala perdarahan pervaginam yang berat
sedangkan pasien dengan atrofi biasanya hanya muncul bercak bercak
perdarahan. 4
Pap Smear yang spesifik menemukan peningkatan kemungkinan deteksi
kelainan pada endometrium. Resiko dari karsinoma endometrium pada wanita
post menopause dengan perdarahan uterus abnormal meningkat 3-4 lipat saat
Pap Smear menunjukkan histiosit yang mengaandung sel inflamasi akut yang
difagosit atau sel endometrium yang normal. Biarpun begitu, penemuan yang
tidak sengaja dari histiosit pada wanita post menopause tanpa gejala tidak
memiliki kaitan dengan peningkatan resiko hiperplasia endometrium ataupun
karsinoma endometrium.2,8
2.7 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
Hiperplasia endometrium dengan cara USG, kuretase, melakukan
pemeriksaan Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk
pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.
A. Ultrasonografi
USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan gambaran dari
lapisan rahim. Hal ini membantu untuk menentukan ketebalan rahim.
USG transvaginal merupakan prosedur diagnosis yang non invasif dan
relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada endometrium. Walaupun
begitu, pada wanita postmenopause, efikasi alat ini sebagai pendeteksi
hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak diketahui. Pada
percobaan PEPI (PostmenopausalEstrogen/Progestin Intervensions),
dengan batas ketebalan endometrium 5 mm didaptkan positive predictive
value (PPV), negative predictive value (NPV),sensitifitas, dan spesifisitas
untuk hiperplasia endometrium atau karsinoma adalah 9%, 99%, 90%,
48%.4,7
USG dapat digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika wanita
mengalami perdarahan post menopause (PMB) membutuhkan tes
diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle EMB atau kuret) untuk
menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium. Pada 339
wanita dengan PMB, tidak ada wanita dengan ketebalan endometrium ≤
4 mm yang berkembang menjadi karsinoma endometrium selama 10
tahun. Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada
pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat
melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat
dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan
kedalam uterus.8

Gambar 2. 7 USG transvaginal


B. Pipelle endometrial biopsy
Pengambilan sampel endometrium dengan pipelle merupakan cara yang
ektif dan relatif tidak mahal untuk mengambil jaringan untuk diagnosis
histologi pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Pada
penelitian prospektif, acak untuk membandingkan antara pipelle (n =
149) dan kuret(n = 126) pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal,
sampel jaringan yang kurang hanya 12,8% dan 9,5%. Perbedaan ini tidak
30 signifikan (P<0,05). Pada kedua kelompok pasien, memiliki kesamaan
diagnosis dengan diagnosis histerektomi sebesar 96%. Studi sebelumnya
menjelaskan wanita dengan banyak penyebab perdarahan uterus
abnormal, bagaimanapun sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan
pipelle EMB untuk membuat diagnosis yang benar. Pada penelitian meta
analisis pada 7914 pasien, pipelle memiliki sensitifitas 99% untuk
mendeteksi kanker endometrium pada wanita post menopause, tetapi
pada wanita dengan hiperplasia endometrium, sensitivitas menurun
hingga 75%.3,5

Gambar 2.8 sediaan histopatologi


C. Histeroskopi dan/atau Dilatasi dan Kuretase
Histeroskopi secara umum telah disepakati sebagai “goldstandard” untuk
mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma submukosa
dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan sensitivitas 92% dan
82%.Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk mendeteksi hiperplasia
dan atau karsinoma endometrium meghasilkan angka false-positive yang
tinggi dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret untuk diagnosis.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas 95%, PPV
96%dan NPV 98% bila dibandingkan dengan diagnosis hasil
pemeriksaan jaringaan setelah histerektomi.1,2,6
D. Sonohisterografi
Sonohisterografi merupakan pendekatan yang relatif baru untuk
mendiagnosis penyebab dari perdarahan uterus abnormal. Keuntungan
dari sonohisterografi yang melebihi dari USG transvaginal adalah
kemampuannya yang lebih baik untuk mengevaluasi kelainan intrauterin
seperti polip dan mioma submukosa. Walaupun begitu, sonohisterografi
sendiri memiliki nilai terbatas untuk mendiagnosis hiperplasia dan
karsinoma endometrium. 1,2,6
EMB dengan pipelle merupakan pembuktian yang efektif untuk
mendiagnosis hiperplasia dan karsinoma namun memiliki sensitifitas
yang rendah untuk mendiagnosa lesi yang jinak didalam uterus. Beberapa
penelitian telah mengkombinasikan transvaginal,sonohisterografi dan
EMB dengan pipelle untuk mengidentifikasi penyebab dari perdarahan
uterus abnormal dan secara spesifik perdarahan post menopause. Bila
dibandingkan dengan DChisteroskopi sebagai standar utama,
transvaginal, sonohisterografi, dan EMB dengan pipelle memiliki
sensitivitas lebih dari 94%.Wanita dengan perdarahan post menopause
harus menjalani pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk menentukan
sumber perdarahan. Jika pemeriksaan fisik tidak dapat menjelaskan
penyebab perdarahan, USG transvaginal dapat digunakan sebagai
panduan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Wanita post menopause dengan
penebalan dinding uterus (>5mm) atau wanita dengan perdarahan
persisten yang tidak bisa dijelaskan membutuhkan biopsi endometrium.
Diagnosis hiperplasia atau karsinoma endometrium pada pemeriksaan
biopsi endometrium harus dievaluasi dengan DC untuk memperoleh
spesimen yang lebih luas.1,2,6
2.8 Terapi
A. Medikamentosa
Terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh.
Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di
antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan
hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa
diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial
tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi
cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari
setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari)
merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial
tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari)
kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk
pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks Terapi dilanjutkan
selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah
terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.3,10
Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan
perbaikan, biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain. Tanda
kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali
normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan
diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika
terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan
bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik, apakah
memiliki sel telur dan sebagainya.2
B. Terapi invasive
Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai
terapi untuk menghentikan perdarahan.
Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi
ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi
pengangkatan rahim. Histerektomi adalah terapi yang terbaik untuk
penderita hiperplasia endometrium kategori atipik.
Histerektomi. Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi
perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori
atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya
adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan
angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup
memiliki anak dan sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang
tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik. Penyakit
hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi,
maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang
efektif.4,9
2.9 Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti :
1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara
rutin, untuk deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya
penebalan dinding rahim.
2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar
menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang
banyak ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama.
3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai
dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma
endometrium.
4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan.
Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
5. Mengubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.3,8
2.10 Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan
terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi
ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa
atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien
dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga
mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan
pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya
5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial.5,8
BAB III

LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 20Januari 2018


Jam : 13.00 WITA
Ruangan : cendrawasih RS wirabuana

I. IDENTITAS
Nama : Ny. M Nama suami : Tn. A
Umur : 41 tahun Umur : 43 Tahun
Alamat : Jl. lagarutu Alamat : Jl. lagarutu
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

II ANAMNESIS

P1A0
Menarche : ± 13 tahun
Perkawinan : 16 tahun

A. Keluhan Utama :
Keluar darah dari jalan lahir

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien masuk IGD Kebidanan diantar oleh keluarganya dengan keluhan
keluar darah dari jalan lahir yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk RS,
bergumpal (+), warna merah kecoklatan (+). Keluhan disertai pusing (+),
perasaan mudah lelah, sakit kepala (-), mual (-), muntah, (-) demam (-),
penurunan selera makan (-).BAB biasa dan BAK lancar.
Selama sakit, pasien mengganti pembalut sebanyak ± 8 pembalut setiap
harinya dan menetap selama 1 bulan tersebut. Darah yang keluar berwarna
merah kehitaman seperti darah haid, terkadang terdapat darah yang
menggumpal.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada 6 bulan yang lalu,
tepatnya bulan Juni 2017, berobat ke praktek Sp. OG dan dikatakan terjadi
penebalan dinding rahim dan harus di kuret serta sebagian hasil kuret harus di
PA. Pasien melakukan kuret di RS. wirabuana. Setelah di kuret, keluhan hilang
dan timbul kembali pada pertengahan bulan desember hingga sekarang.

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa, riwayat asma (-),
diabetes melitus (-), penyakit jantung (-), hipertensi (-), hepatitis (-)

E. Riwayat Menstruasi :
 Menarche : 15 tahun
 Siklus : tidak menentu
 Lama haid : 7-10 hari
 Banyak : 2-4 x ganti pembalut

F. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, usia pernikahan dengan suami sekarang ± 16 tahun.

G. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:


P3A1

Anak pertama lahir secara normal di Rumah sakit tahun 2002, jenis kelamin
perempuan, BBL 3400 gr PBL 47 cm, hidup

Anak kedua lahir secara normal di Rumah sakit tahun 2004jenis kelamin laki-
laki, BBL 2900 gr, PB 50 cm, hidup
Anak ketiga keguguran pada usia kehamilan 8-9 minggu

Anak ke empat lahir secara normal di Rumah sakit tahun 2007 jenis kelamin
laki-laki, BBL 3500 gr, PBL 48 cm, hidup

H. Riwayat Kontrasepsi (Keluarga Berencana)


(-) Pil KB (-) Suntik KB 3 bulanan (-) IUD
(-) Susuk KB (-) Lain-lain

I. Riwayat Operasi : Ya, kuretase sekitar 6 bulan yang lalu

J. Kebiasaan Hidup :
Merokok (-), Alkohol (-), minum obat & jamu (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

KU :sedang

Kesadaran :Kompos mentis

BB :63 Kg

TB :155 cm

Tek. Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 37,0ºC

Kepala – Leher :

Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-), pembesaran
KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-). Mata cekung (-)
Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, retraksi (-), sikatrik (-)
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada jantung, batas paru-hepar SIC
VII linea mid-clavicula dextra, batas jantung dalam batas normal.
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi jantung I/II
murni reguler

Abdomen :

I : Tampak datar, massa (-)

A : Peristaltik (+) kesan normal

P : Timpani

P : Nyeri tekan (+) regio suprapubik, tidak teraba masa

Status Obstetri dan Ginekologi :

Pemeriksaan Luar

- Inspeksi : sikatrik (-), tanda radang (-), dinding perut datar, linea nigra (-)
striae gravidarum (-) perdarahan flek-flek (+)
- Palpasi : TFU tidak teraba
- Inspekulo : vulva uretra dan vagina tidak ada kelainanpermukaan portio
licin, erosi (-), massa (-), ostium uteri externa tertutup,
Pemeriksaan Dalam

- Flour albus : (-)


- Vulva uretra vagina : tidak ada kelainan, dinding vagina licin
- Portio : lunak, ostium uteri externa tertutup, nyeri tekan (-) penipisan (-)
- Corpus uteri : teraba massa (-)
- Cavum douglas : tidak menonjol
- Adneksa parametrium :
kanan : tidak teraba massa
kiri : tidak teraba massa

Ekstremitas :

Edema ekstremitas bawah -/-, turgor < 2 detik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap :

 WBC : 13,2 x 103/mm3


 HGB : 8,6 gr/dL
 HCT : 18,8 %
 PLT : 822x 103/mm3
 RBC :2,80x 106/mm3
 HbSAg: non reaktif

V. RESUME
Pasien masuk IGD Kebidanan diantar oleh keluarganya dengan keluhan keluar
darah dari jalan lahir yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk RS,
bergumpal (+), warna merah kecoklatan (+). Keluhan disertai pusing (+), perasaan
mudah lelah, sakit kepala (-), mual (-), muntah, (-) demam (-), penurunan selera
makan (-).BAB biasa dan BAK lancar.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan TD :100/70 mmHg,Nadi: 88


x/menit, suhu 37,0 oC dan respirasi 20 x/menit. Pemeriksaan abdomen ditemukan
nyeri tekan. Pemeriksaan ginekologi didapatkan masih dalam batas normal dan tidak
ditemukan kelainan.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC 13,2 x 103/mm3, HB8,6


gr/dL, HCT 18,8 %, PLT 822x 103/mm3, RBC 2,80x 106/mm3, HbSAg non
reaktif
VI. DIAGNOSIS
Pre operatif : Hyperplasia Endometrium + anemia

Post operatif : Hyperplasia Endometrium + kista coklat + adenomiosis

VII. PENATALAKSANAAN
 Pasang IVFD RL 28 TPM
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Inj. Asam traneksamat 1amp/8 jam/IV
 Transfuse darah WB 1 kantong
 Rencanakan histerektomi total

Laporan Operasi:

1) Pasien dibaringkan dalam posisi supinasi dalam pengaruh anatesi spinal


2) Desinfeksi area operasi dan sekitarnya, pasang duk steril
3) Insisi abdomen dengan metode pfannanstiel secara lapis demi lapis menembus
rongga perut secara tajam dan tumpul, kontrol perdarahan
4) Eksplorasi rongga perut, control perdarahan
5) Identifikasi uterus, tuba falopii dextra dan sinistra, tampak adenomiosis kista
coklat bilateral lalu dilakukan histerektomi total
6) Ligamentum rotundum kanan di klem dan di gunting kemudian di double
ligase begitu juga ligamentum rotundum kiri kemudian buat jendela pada
ligamentum ictum
7) Tuba, ligamentum, ovaripropium dan mesosalping kiri di klem, di gunting dan
dijahit double ligase demikian juga pada ligamentum kanan
8) Identifikasi a. plica vesica uterine plica di gunting kecil di perluas secara
tumpul
9) Identifikasi a. uterine kiri, di klem, di gunting dijahit ligase demikian juga
kanan, control perdarahan
10) Ligamentum cardinal kiri dan ligamentum sacrouterina di klem, di gunting,
jahit ligase
11) Identifikasi puncak vagina, di klem, di masukkan khas povidine pada vagina
12) Vagina di jahit 2 lapis, control perdarahan
13) Bersihkan dan eksplorasi cavum abdomen
14) Jahit abdomen lapis demi lapis control perdarahan
15) Bersihkan area operasi dengan kassa steril dan betadine
16) Operasi selesai

Gambar 2.1 tampakan uterus yang telah di histerektomi total

VIII. PENATALAKSANAAN POST OPERATIF


 IVFD RL 28 TPM
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Drips. Metronidazole /12 jam/IV
 Inj. Ondansentron 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Inj. Asam traneksamat 1amp/8 jam/IV
 Cek Hb 2 jam post op. Jika Hb < 8 gr/dl lakukan transfusi 2 WB
 Obs. KU dan TTV, Produksi Urin, balance cairan
FOLLOW UP

(pre operatif)

21Januari 2018

S : sakit perut (+), Perdarahan Per Vaginam (+), mual (-), muntah (-), pusing (-), sakit
kepala (-), flatus (+), BAB (-), BAK (+)

O : Keadaan Umum : lemah

Konjungtiva : anemis (+/+)

TD : 100/80 mmHg

N :114x/menit

R :19 x/menit

S : 36,6ºC

Darah lengkap (post transfuse) :

 WBC : 11,2 x 103/mm3


 HGB : 9,4 gr/dL
 HCT : 18,8 %
 PLT : 822x 103/mm3
 RBC :2,80x 106/mm3

A : P1A0hiperplasia endometrium + anemia

P :

 Pasang IVFD RL 28 TPM


 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Inj. Asam traneksamat 1amp/8 jam/IV
 Konsul interna untuk kelayakan operasi
 Rencanakan histerektomi total

22Januari 2018

S : sakit perut (+), Perdarahan Per Vaginam (+) minimal, mual (-), muntah (-), pusing (-),
sakit kepala (-), flatus (+), BAB (-), BAK (+)

O : Keadaan Umum :sedang

Konjungtiva : anemis (-/-)

TD : 100/80 mmHg

N :94x/menit

R :19 x/menit

S : 36,6ºC

A : P1A0 hiperplasia endometrium + anemia

P :

 Pasang IVFD RL 28 TPM


 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Inj. Asam traneksamat 1amp/8 jam/IV
 Konsul interna untuk kelayakan operasi
 Rencanakan histerektomi total
23Januari 2018
S : sakit perut (+), Perdarahan Per Vaginam (+) minimal, mual (-), muntah (-), pusing (-),
sakit kepala (-), flatus (+), BAB (-), BAK (+)

O : Keadaan Umum :sedang

Konjungtiva : anemis (+/+)

TD : 120/80 mmHg

N :88 x/menit

R :19 x/menit

S : 36,6ºC

Darah lengkap (post transfuse) :

 WBC : 11,2 x 103/mm3


 HGB : 10,2 gr/dL
 HCT : 18,8 %
 PLT : 822x 103/mm3
 RBC :2,80x 106/mm3

A : P1A0 hiperplasia endometrium

P :

 Pasang IVFD RL 28 TPM


 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Inj. Asam traneksamat 1amp/8 jam/IV
 Rencanakan histerektomi total
(post operatif)
24Januari 2018

S : nyeri luka post op (+), Perdarahan Per Vaginam (-)mual (-), muntah (-), pusing (-),
sakit kepala (-), flatus (+), BAB (-), BAK (+) via kateter

O : Keadaan Umum :sedang

Konjungtiva : anemis (-/-)

TD : 110/80 mmHg

N :84x/menit

R :19 x/menit

S : 36,6ºC

A : Hyperplasia Endometrium + kista coklat + adenomiosis, post histerektomi H1

P :

 IVFD RL 28 TPM
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Drips. Metronidazole /12 jam/IV
 Inj. Ondansentron 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Inj. Asam traneksamat 1amp/8 jam/IV
 Cek Hb 2 jam post op. Jika Hb < 8 gr/dl lakukan transfusi 2 WB
 Obs. KU dan TTV, Produksi Urin, balance cairan
25Januari 2018
S : nyeri luka post op (+), Perdarahan Per Vaginam (-)mual (-), muntah (-), pusing (-),
sakit kepala (-), flatus (+), BAB (+), BAK (+) via kateter

O : Keadaan Umum :sedang

Konjungtiva : anemis (-/-)

TD : 100/70 mmHg

N :84x/menit

R :19 x/menit

S : 36,6ºC

Darah lengkap (post operatif) :

 WBC : 10,1 x 103/mm3


 HGB : 9,6 gr/dL
 HCT : 18,8 %
 PLT : 822x 103/mm3
 RBC :2,80x 106/mm3

A : Hyperplasia Endometrium + kista coklat + adenomiosis, post histerektomi H2

P :

 IVFD RL 28 TPM
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
 Aff kateter
26Januari 2018

S : nyeri luka post op (+), Perdarahan Per Vaginam (-)mual (-), muntah (-), pusing (-),
sakit kepala (-), flatus (+), BAB (+), BAK (+)

O : Keadaan Umum :sedang

Konjungtiva : anemis (-/-)

TD : 110/70 mmHg

N :84x/menit

R :19 x/menit

S : 36,6ºC

A : Hyperplasia Endometrium + kista coklat + adenomiosis, post histerektomi total H3

P :

 IVFD RL 28 TPM
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
 Inj. Ranitidin 1amp/8 jam/IV
 Inj. Ketorolac 1amp/8 jam /IV
AFF infus, pasien di bolehkan pulang

Terapi oral :

Cefadroxil tab 2x1

Asam mefenamat 3x1

Control poli KIA tanggal 29 januari 2018


BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis hyperplasia endometrium dapat di tegakkan dengan anamnesis pemeriksaan


fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pemeriksa dapat meninjau hal-hal yang
menjadi factor resiko terjadinya hyperplasia endometrium yang diperoleh pada riwayat penyakit
sekarang atau riwayat penyakit terdahulu. Dari anamnesis didapatkan pasien dating
dengankeluhan keluar darah dari jalan lahir yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk RS,
bergumpal (+), warna merah kecoklatan (+). Keluhan disertai pusing (+), perasaan mudah lelah,
sakit kepala (-), mual (-), muntah, (-) demam (-), penurunan selera makan (-).BAB biasa dan
BAK lancar.

Selama sakit, pasien mengganti pembalut sebanyak ± 8 pembalut setiap harinya dan menetap
selama 1 bulan tersebut. Darah yang keluar berwarna merah kehitaman seperti darah haid,
terkadang terdapat darah yang menggumpal. Riwayat haaid pasien menunjukkan Menarche
mengalami keterlambatan yaitu 15 tahun, Siklustidak menentu

Lama haid 7-10 hari, 2-4 x ganti pembalut.

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul pada hiperplasia
endometrium. Efek estrogen yang tidak terlawan dari penggunaan eksogen atau siklus
anovulatori menghasilkan hyperplasia endometrium dengan perdarahan yang banyak. Pasien
yang lebih muda pada usia produktif biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat
PolycysticOvarian Syndrome (POCS).

Pada pemeriksaan fisik secara generalisata dan ginekologi pada pasien didapatkan masih dalam
batas normal karena telah dilakukan kuretase dan kondisi ibu stabil. Dari anamnesis gejala ini
sesuai dengan tinjauan pustaka yang mengarah pada suatu hiperplasia endometrium diperkuat
dengan telah dilakukannya kuretase atas indikasi hiperplasia endometrium.Hasil USG pada
pasien ini ditemukan massa hipoechoic diameter 2,25 cm.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis Hiperplasia


endometrium dengan cara USG, kuretase, melakukan pemeriksaan Hysteroscopy dan dilakukan
juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. pada pasien ini dilakukan pengambilan sampel
untuk pemeriksaan PA untuk memastikan suatu keganasan.

Melalui pemeriksaan PA dapat diarahkan apakah hyperplasia merupakan bentuk


keganasan atau tumor jinak biasa. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese
patterns.

Tidakan yang di lakukan pada pasien ini adalah histerektomi total. Tindakan ini dipilih
karena Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus abnormal. Khusus
bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-
satunya adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan angka kepuasan
pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan sudah mencoba terapi
konservatif dengan hasil yang tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.
Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum perempuan dan kasus
seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa
dilakukan pencegahan yang efektif.
Di tinjau dari kondisi pasien yaitu dengan multipara dan te, tindakan ini juga bermanfaat agar
pasien tidak memiliki anak lagi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hammond, R., & Johnson, J. (2001). Endometrial Hyperplasia. Curr Obstet


Gynecol.Jing Wang Chiang, M., & Warner K Huh, M. (2013, March 13).
Diakses tanggal 28 januari 2018, from
http://emedicine.medscape.com/article/269919-overview#showall

2. John O. Schorge, M. J. (2015). Williams Gynecology. The McGraw-Hill


Companies, Inc.

3. Lurain, J. R. (2014). Uterine Cancer. In J. S. Berek, Berek & Novak's


Gynecology (14th Edition ed., pp. 1343-1403). Lippincott Williams &
Wilkins.

4. Montgomery, B., Daum, G., & Dunton, C. (2004). Obstetrical and


Gynecological Survey. Endometrial Hyperplasia: A Review , 368-378.

5. Ronald S. Gibbs MD, B. Y. (2008). Danforth's Obstetrics and Gynecology


Tenth Edition. Lippincott Williams & Wilkins.

6. Wildemeersch, D., & Dhont, M. (n.d.). American Journal of Obstretics and


Gynecologics. Treatment of Non Atypical and Atypical Endometrial
Hyperplasia With a LevonorgestrelReleasing Intra Uterine System , 1-4.
7. Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : EGC.
2006.
8. Ara, S., & Roohi, M. (2011). Abnormal Uterine Bleeding;
HistopathologicalDiagnosis by Conventional Dilatation and Curretage. The
Professional MedicalJournal , 587-591.

9. Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2016).


AbnormalUterine Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-602.

10. Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO
Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine
Bleedingin Non Gravid Women of Reproductive Age. International Journal
of Gynecologyand Obstetrics , 3-12.

Anda mungkin juga menyukai