Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Porifera atau biasa disebut sebagai hewan berpori berasal dari
kata pori yang berarti lubang kecil dan fero yang berarti membawa
atau mengandung. Porifera (Latin: Porus = Pori, fer = membawa),
tubuhnya berpori, diploblastik, simetri radial, tersusun atas sel-sel
yang bekerja secara mandiri (belum ada koordinasi antar sel yang
satu dengan sel-sel lainnya). Fase dewasa bersifat sesil (menetap
pada suatu tempat tanpa mengadakan perpindahan), dan
berkoloni.Habitat umumnya air laut dan ada yang di air tawar
(Famili Spongilidae). Bentuk tubuh: kipas, jambangan bunga,
batang, globular, genta, terompet, dan lain-lain. Warna tubuh: kelabu,
kuning, merah, biru, hitam, putih keruh, coklat, jingga (sering
berubah tergantung tempat sinar). Mempunyai rongga
sentral (spongoscoel).Jika disentuh terasa kenyal seperti sepon.
Porifera merupakan hewan multiseluler yang paling sederhana.
Porifera sudah terdapat pembagian tugas kehidupan (diferensiasi),
hal ini mencirikan organisme tersebut mempunyai tingkat yang lebih
tinggi dari Filum Protozoa. Porifera hidup secara heterotrof.
Makanannya adalah bakteri dan plankton. Makanan yang masuk ke
tubuhnya dalam bentuk cairan sehingga porifera disebut juga sebagai
pemakan cairan.
Contoh dari porivera adalah sponsa. Sponsa merupakan hawan
yang hidup menempel pada suatu substrat di laut. Telah diketahui
kira-kira 2500 spesies, ada beberapa yang hidup di air tawar, tetapi
sebagian besar hidup di laut. Porifera mempunyai sistem saluran air,
ada yang kompleks tetapi ada pula yang sederhana. Sistem saluran
air dimulai dari pori dan diakhiri pada lubang keluar utama yang
disebut oskulum. Berdasarkan bahan pembentuk kerangka tubuhnya
serta spikula, porifera terdiri atas 3 kelas dan 12 ordo, meliputi kelas
Calcarea atau Calcispongia, kelas Hexactinellida atau Hyalospongiae
dan kelas Demospongiae.
Jumlah spesies yang banyak dari echinodermata memiliki bentuk
yang berbagai macam dan species yang beragam oleh karena itu
adapun yang melatarbelakangi diadakannya praktikum ini yaitu
untuk mengamati struktur morfologi dan anatomi organisme yang
tergolong porifera dan mengklasifikasikannya.

1.2 Tujuan
1. Mempelajari dan mengetahui struktur morfologi Porifera
sehingga dapat dibedakan dari anggota phyla lain yang
mempunyai ciri-ciri mirip morfologi Porifera. Misalnya
anggota Filum Cnidaria, Tunicata.
2. Mempelajari dan menjelaskan anatomi Porifera.
3. Melakukan identifikasi terhadap Porifera.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Avertebrata Laut
Invertebrata atau avertebrata adalah hewan yang tidak berdarah
merah dan tidak memiliki tulang belakang. Hewan yang termasuk
invertebrata sangat banyak jumlahnya baik secara kualitas maupun
kuantitas. Diperkirakan dari seluruh spesies yang hidup,
merupakan hewan invertebrata. Di laut, Mollusca (hewan lunak)
merupakan kelompok yang terbesar dalam keanekaragaman spesies.
Adapun perincian kerajaan binatang invertebrata adalah sebagai
berikut: Protozoa, Porifera, Coelenterata, Plantyhelminthes,
Nematelminthes, Annelida, Arthropoda, dan Mollusca. Avertebrata
berasal dari bahasa latin (A = tanpa, vertebrae = tulang belakang).
Avertebrata air dapat di definisikan sebagai hewan - hewan tak
bertulang belakang, yang sebagian atau seluruh daur hidupnya berada
didalam air. Habitat hidup avertebrata air tersebar dari ekosistem air
laut, ekosistem payau, air tawar dan bahkan pada ekosistem ekstrim
seperti danau garam. Invertebrata mencakup 95% dari seluruh jenis
hewan. Diantara kelompok invertebrata ini juga terdapat perbedaan -
perbedaan (Kuncoro, 2004).
Invertebrata atau Avertebrata adalah sebuah istilah yang
diungkapkan oleh Chevalier de Lamarck untuk menunjuk hewan
yang tidak memiliki tulang belakang serta memiliki struktur
morfologi dan anatomi yang lebih sederhana di bandingkan dengan
kelompok hewan bertulang punggung belakang. Dan sistem
pencernaan, pernapasan, dan peredaran darah lebih sederhana
dibandingkan hewan vertebrata. Invertebrata mencakup semua
hewan kecuali hewan vertebrata (pisces, reptil, amfibia, burung, dan
mammalian). Lamarck membagi invertebrata ke dalam dua
kelompok yaitu Insecta (serangga) dan Vermes (cacing). Tapi
sekarang, invertebrata di klasifikasikan ke dalam lebih dari 30 sub-
fila mulai dari organisme yang simpel seperti porifera dan cacing
pipih hingga organisme yang lebih kompleks seperti mollusca,
echinodermata, dan arthropoda (Campbell et al, 2003).
Menurut Burnie (2007), hewan avertebrata dapat hidup pada
semua perairan baik perairan tawar, perairan payau maupun perairan
laut. Tetapi antara yang hidup di air tawar dan air laut memiliki
beberapa perbedaan seperti alat ekskresi. Avertebrata air tawar lebih
berkembang dan kompleks dibandingkan avertebrata air laut. Cairan
tubuh hewan avertebrata air laut lebih kurang isotonik terhadap air
laut. Sedangkan cairan tubuh avertebrata air tawar bersifat hipertonik
terhadap lingkungannya. Jumlah telur yang dihasilkan avertebrata air
laut lebih banyak daripada avertebrata air tawar, tetapi ukurannya
lebih kecil daripada ukuran telur avertebrata air tawar. Umumnya
tidak dilengkapi dengan pelindung (beda dengan telur avertebrata air
tawar yang dilengkapi agar dan cangkang). Pada hewan yang serupa,
umumnya avertebrata air laut memiliki ukuran yang lebih besar
daripada avertebrata air tawar. Warna avertebrata air laut lebih
bervariasi dan berwarna warni dibandingkan avertebrata air tawar
yang cenderung suram, kelabu, coklat dan hitam. Umumnya
avertebrata air laut memiliki bioluminescence (bagian organ yang
dapat memproduksi emisi cahaya), sedangkan avertebrata air tawar
tidak.
2.2 Porifera
Porifera merupakan salah satu hewan primitif yang hidup
menetap (sedentaire) dan bersifat non selective filter feeder
(menyaring apa yang ada). Spons tampak sebagai hewan sederhana,
tidak memiliki jaringan, sedikit otot maupun jaringan saraf serta
organ dalam. Hewan tersebut memberikan sumbangan yang penting
terhadap komunitas benthik laut dan sangat umum dijumpai di
perairan tropik dan sub tropik. Persebaran mulai dari zona intertidal
hingga zona subtidal suatu perairan. Bentuk tubuh hewan ini tidak
hanya kotak, tapi bermacam macam. Ada yang seperti piala,
terompet, dan ada yang bercabang menyerupai tumbuhan. Struktur
tubuhnya radial simetris (Subagio dan Aunorohim, 2013).
Spons atau porifera merupakan hewan laut yang dapat
menghasilkan senyawa bioaktif yang bermanfaat sebagai antibiotik.
Spons juga merupakan salah satu komponen biota penyusun terumbu
karang yang mempunyai potensi bioaktif yang belum banyak
dimanfaatkan. Hewan laut ini mengandung senyawa aktif yang
persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa -
senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat. Jumlah struktur
senyawa yang telah didapatkan dari spons laut sampai Mei 1998
adalah 3500 jenis senyawa, yang diambil dari 475 jenis dari dua
kelas, yaitu Calcarea dan Demospongiae. Senyawa tersebut
kebanyakan diambil dari Kelas Demospongiae terutama dari ordo
Dictyoceratida dan Dendroceratida (1250 senyawa dari 145 jenis),
Haplosclerida (665 senyawa dari 85 jenis), Halichondrida (650
senyawa dari 100 jenis), sedangkan ordo Astroporida, Lithistida,
Hadromerida dan Poecilosclerida, senyawa yang didapatkan adalah
sedang dan kelas Calcarea ditemukan sangat sedikit (Suparno et al,
2009).
Sponge merupakan salah satu penyusun pada ekosistem pesisir
dan laut, terutama pada ekosistem terumbu karang dan padang
lamun. Perubahan iklim dan kondisi lingkungan dapat
mempengaruhi kehidupan dari sponge. Maka dilakukan penelitian
untuk mengetahui sebaran komposisi dan kepadatan sponge dengan
menggunakan metode transek belt (transek kuadran) dengan ukuran
5x5 m, kemudian menghitung jumlah dari setiap jenis sponge yang
terdapat dalam transek. Lokasi penelitian terbagi atas 3 (tiga) zona
eutrofikasi yang menunjukkan kondisi eutrofikasi yang berbeda
berbeda. Sebanyak 49 spesies yang teridentifikasi berasal dari 16
famili 8 ordo. Komposisi dan Kepadatan sponge pada zona dalam
sebanyak 11 family dengan kepadatan 0,96 ind/m2, lebih rendah
dibandingkan dengan komposisi dan kepadatan pada zona tengah dan
zona luar. Hal tersebut terkait dengan adanya perbedaan kondisi
lingkungan dari ketiga zona yang terbagi berdasarkan kondisi
eutrofikasi tersebut. Terdapat sekitar 5.500 spesies Porifera yang
hidup yang telah digambarkan, hampir semuanya tidak berada pada
zona bentik. Porifera berada pada kedalaman, tetapi pada daerah
yang tidak berpolusi tinggi dan daerah tropis. Kebanyakan porifera
litoral tumbuh sebagai lapisan tipis pada permukaan kasar. Sponge
(Porifera) Bentik tumbuh pada permukaan substrat lembut biasanya
berdiri tinggi dan lurus, itu untuk menghindari penimbunan oleh
sediment pada lingkungan sekitar (Haris et al, 2013).
2.2.1 Calcarea
Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di
laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang
lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk
calcite. Calcarea merupakan anggota dari kelas porifera yang
memiliki susunan tubuh dari zat kapur. Zat kapur yang dalam bahasa
ilmiahnya kalsium karbonat ini memiliki tiga tipe, yaitu tipe
monoakson, trikson dan tetrakson. Sponge Calcarea pertama kali
dikenalkan pada masa Cambrian. Dan Calcarea sendiri merupakan
organisme mahluk hidup yang memiliki perbedaan keanekaragaman
yang sangat tinggi ketika pada masanya Cretaceous. Sementara pada
analisis molekuler terbaru menunjukkan bahwa, seharusnya kelas
Calcarea dibuat sebagai filum, bukan kelas seperti yang kita ketahui.
Hal ini merujuk dan menghususkan pada kelas Calcarea yang terlihat
menyimpang atau dalam hidupnya tidak memiliki cara yang sama
dengan filum animalia lainnya. Keanekaragaman Calcarea ini
terdapat kisaran antara 400 spesies jenis sponge. Dan atas jumlah
tersebut, kelas ini adalah termasuk memiliki banyak spesies
(Suparno, 2005).
Perkembangan Calcarea, sponge ini memiliki sel amoeboid
yang berbeda di dalam mesohil (lapisan gelatin yang tersusun atas
sel-sel amoebosit yang dapat bergerak mengambil makanan dari sel
koanosit dan mendistribusikan keseluruh bagian tubuh porifera). Di
dalam mesohil sponge memiliki bentuk sel seperti amoeba yang
berbeda-beda. Acheohytes adalah sel berukuran besar 7 dengan
ukuran inti sel yang besar. Sel-sel ini bersifat totipoten, mampu
mengakumulasi kalsium di dalam mesohil untuk memproduksi
spikula, tiga sklerosit akan melebur menjadi satu untuk membentuk
spikula pada ruang antar sel. Semua spesies dari kelas Calcarea hidup
di lautan. Subkelas Calcinea: Larva hidup bebas dan berupa
coeblastula berlubang, berflagella, dan dapat menjadi seperti
struktur parenchymula padat melalui ingresi seluler. Koanosit
nukleus terletak pada daerah basal (Pratama, 2014).
Anggota kelas ini mempunyai rangka yang tersusun dari zat
kapur (kalsium karbonat) dengan tipe monoakson, triakson, atau
tetrakson. Koanositnya besar dan biasa hidup di lautan dangkal. Tipe
saluran airnya bermacam - macam. Anggota kelas ini hidup soliter
atau berkoloni. Mereka memiliki ciri khusus berupa spikula yang
terbuat dari kalsium karbonat dalam bentuk kalsit atau aragonit.
Beberapa spesies memiliki tiga ujung spikula, sedangkan pada
beberapa spesies lainnya memiliki 2 atau empat spikula. Sponge
Calcarea pertama kali muncul pada masa Cambrian dan memiliki
keanekaragaman paling tinggi pada periode Cretaceous. Analisis
molekuler terbaru menunjukkan bahwa, kelas Calcarea seharusnya
dimasukkan sebagai filum, khususnya untuk kelas calcacea yang
pertama kali menyimpang dari kingdom Animalia. Jenis sponge
lainnya termasuk dalam filum Silicarea (Haris et al, 2013).
2.2.2 Hexactinellida
Kelas Hexactinellida atau Hyalospongiae merupakan sponge
yang hidup di daerah dalam dengan kedalaman 50 meter bahkan ada
yang dapat tumbuh hingga 1 meter. Disebut juga sponge gelas.
Spikula terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin.
Spikulanya berbentuk bidang triaxon, dimana masing masing bidang
terdapat dua jari-jari (Hexactinal). Sponge dari kelas ini belum
banyak dikenal, karena sulit mendapatkan. Contoh sponge ini adalah
Euplectella sp dan Aspergullum sp. Terdiri dari 2 ordo yaitu : Ordo
Hexastorophora dan Ordo Amphidiscophora. Hexactinellida (dalam
bahasa yunani, hexa = enam) atau Hyalospongiae (dalam bahasa
yunani, hyalo = kaca/transparan, spongia = spons) Golongan ini
spikulanya tersusun dari zat kersik dan hidup di laut yang dalam.
Hewan ini juga disebut spons gelas. Ujung spikula berjumlah enam
seperti bintang. Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan
bentuk vas bunga atau mangkuk (Pratama, 2014).
Menurut Suparno (2005), Bahwa kelas Hexactinellida
merupakan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan
tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung
spongin. Mereka mempunyai sifat khas, yakni memiliki spikula dari
silicon berbentuk triakson, yakni dengan enam jari atau perbanyakan
dari enam jari. Badannya sering berbentuk tabung atau keranjang dan
spikulanya dapat membentuk kerangka bersambung seperti kaca
pintalan. Perkembangbiakan dilakukan baik secara aseksual maupun
seksual. Secara aseksual dengan menghasilkan tunas yang disebut
gemulle.
Menurut Haris et al (2013), tinggi tubuhnya rata-rata 10-30 cm
dengan saluran tipe sikonoid. Hewan ini hidup soliter di laut pada
kedalaman 200 1.000 m. Ciri-ciri Spesies pada kelas Hexactinellida
adalah berbentuk seperti gelas atau kaca, Spikula tersusun atas silikat
dan bercorak 6 spikula (hexactinal), Megascleres dan microscleres
selalu ada, dinding tubuh berbentuk cekung, dengan jaringan
trabekular, lapisan koanosit dapat bersifat syncytial, berada pada
perairan laut, terutama pada lautan dalam. Reproduksi dari jenis
kelas ini belum diketahui secara pasti, oleh karena itu kita hanya
dapat menjelaskan reproduksi pada porifera secara umumnya.
2.2.3 Demospongia
Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang terdominan
di antara Porifera masa kini. Mereka tersebar luas di alam, serta
jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka sering
berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang
rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang
bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa
(Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya hanya
terdiri serat spongin, serat kollagen atau spikulanya tidak ada.
Demospongiae ( dalam bahasa yunani, demo = tebal, spongia =
spons) memiliki rangka yang tersusun dari serabut spongin.
Tubuhnya berwarna cerah karena mengandung pigmen yang terdapat
pada amoebosit.Fungsi warna diduga untuk melindungi tubuhnya
dari sinar matahari.Bentuk tubuhnya tidak beraturan dan
bercabang.Tinggi dan diameternya ada yang mencapai lebih dari 1
meter.Seluruh Demospongiae memiliki saluran air tipe Leukonoid
(Suparno, 2005).
Hampir 75 % jenis sponge yang dijumpai di laut adalah kelas
Demospongia. Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula triaxon
(spikula kelas Hexactinellida), tetapi spikulanya berbentuk
monoaxon, teraxon yang mengandung silikat. Beberapa jenis
sponge kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya
mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja. Contohnya
Cliona sp. dan Spongia sp. Demospongiae bersifat sessile atau
menetap dan merupakan organisme bentik. Namun, larvanya
memiliki flagela dan mampu berenang bebas. Semua sponge dari
kelas ini adalah filter feeder, hidup dari bakteri dan organisme kecil 9
lainnya. Air mengantar partikel-partikel makanan masuk melalui
pori-pori luar koanosit menangkap sebagia besar makanan yang
masuk namun pinocytes dan amoebocytes juga dapat mencerna
makanan (Pratama, 2014).
Kelas ini memiliki tubuh yang terdiri atas serabut atau
benangbenang spongin tanpa skeleton. Kadang-kadang dengan
spikula dari bahan zat kersik. Tipe aliran airnya adalah leukon.
Demospongia merupakan kelas dari Porifera yang memiliki jumlah
anggota terbesar. Sebagian besar anggota Desmospongia berwarna
cerah, karena mengandung banyak pigmen granula dibagian sel
amoebositnya. Kelas Demospongiae memiliki sekitar 4.750 spesies
yang berada di dalam 10 ordo. Distribusi geografis mereka berada di
lingkungan laut dari daerah intertidal ke zona abyssal, dan beberapa
spesies menghuni air tawar. Demospongians tumbuh pada berbagai
ukuran dari beberapa milimeter sampai lebih dari 2 meter. Mereka
dapat berbentuk krusta tipis, benjolan, pertumbuhan seperti jari, atau
bentuk guci. Butiran pigmen pada sel amoebocytes sering membuat
anggota kelas ini berwarna cerah, seperti warna: kuning terang,
oranye, merah, ungu, atau hijau (Haris et al, 2013).
2.3 Reproduksi Porifera
Pada umumnya hewan sponge berkelamin ganda
(hermaprodit), tetapi memproduksi sel telur dan sel spermanya pada
waktu yang berbeda. Hewan ini dapat juga berkembangbiak
(reproduksi) secara aseksual (fragmentasi). Reproduksi seksual
terjadi dengan cara penyatuan sperma dan ovum. Sebagian besar
Porifera bersifat hermafrodit, yang berarti masing-masing individu
berfungsi sebagai jantan dan betina dalam reproduksi seksual dengan
cara menghasilkan sperma dan sel telur. Reproduksi generatif, yaitu
dengan sel-sel kelamin yang dihasilkan oleh sel amoeboid.
Pembuahan silang terjadi antara dua spons yang berdekatan.
Pembuahan menghasilkan zigot, zigot berkembang menjadi larva
berflagel yang kemudian menyebar dari induknya. Reproduksi secara
aseksual terjadi dengan pembentukan tunas dan gemmule
(Pratama, 2014).
Pada Porifera, ovum dan sperma diproduksi oleh induk yang
sama (hermaprodit). Sel telur tidak dibuahi oleh sperma dari induk
yang sama, tetapi dibuahi oleh sperma dari induk yang berbeda. Di
antara beberapa faktor ekologis yang mempengaruhi reproduksi
sponge, suhu air sering di asumsikan merupakan faktor lingkungan
utama yang mengatur reproduksi sponge diwilayah termperate yaitu
wilayah 4 musim, dimana perubahan musim terjadi secara drastis.
Wilayah tropis, termasuk indonesia dimana perubahan suhu
cenderung kecil atau tidak terjadi secara drastis, sangat sedikit
penelitian yang mengakaji tentang reproduksi sponge dan pengaruh
faktor ekstrnal yaitu suhu, pasang surut dan cahaya. Reproduksi
aseksual umumnya dengan fragmentasi berupa potongan potongan
dari sponge yang patah dapat hidup dengan cadangan makanan yang
ada di tubuhnya kemudian beregenerasi membentuk tunas baru atau
kompleks gemmule untuk menjadi sponge dewasa. Di daerah tropik,
walaupun studi reproduksi sponge masih relatif sedikit, tetapi
beberapa penelitian sudah dapat memberikan gambaran, bahwa
kelihatannya gametogenesis berhubungan juga dengan peningkatan
suhu perairan pada sponge Niphates sp, tetapi dijelaskan bahwa
aktifitas reproduksi di atas musim kemarau dapat juga berhubungan
pada musim tidak kelihatannya alga bentik. Dan juga pengeluaran
gamet sponge jenis Neofibularia nolitangere pada daerah tropik
berhubungan erat dengan fase bulan (Suparno et al, 2009).
Reproduksi seksual pada sponge memperlihatkan ragam yang
sangat besar, tetapi kebanyakan terungkap pada daerah subtropis, dan
hanya sebagian kecil yang terungkap pada daerah tropis. Sponge
Aaptos aaptos adalah salah satu sponge yang bernilai ekonomis
penting (mengandung senyawa antitumor, Aaptamin), yang informasi
reproduksi seksualnya masih relatif sedikit yang terungkap. Seperti
pada karang dan hewan avertebrata laut lainnya, sponge juga tidak
memiliki ciri seksual sekunder yang dapat digunakan untuk
menentukan jenis seksualitasnya. Oleh karena itu, satu-satunya cara
yang dapat dilakukan untuk pengamatan tersebut adalah pengamatan
histologik pada jaringannya. Seksualitas pada sponge dapat
dikelompokkan atas dua, yaitu: 1) Hermaprodit, yaitu jenis sponge
yang menghasilkan baik gamet jantan atau betina selama hidupnya,
tetapi menghasilkan telur dan sperma dalam waktu yang berbeda; (2)
Gonokhorik, yaitu jenis sponge yang memproduksi hanya gamet
jantan atau betina saja selama hidupnya. Suhu diasumsikan sebagai
faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi sponge pada
daerah beriklim empat, di mana perubahan musiman besar terjadi.
Peningkatan suhu umumnya yang terima sebagai suatu faktor
lingkungan utama yang mengatur awal aktivitas reproduksi pada
sponge di daerah yang perubahan musimnya besar (Haris et al,
2012).
III. MATERI METODE

3.1 Waktu dan Tempat


Hari, tanggal : Selasa 6 Maret 2017
Waktu : 16.00 17.30 WIB
Tempat : Laboratorium Biologi Lantai 1 Gedung E,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Praktikum
Tabel 1. Alat Praktikum
No Nama Gambar Fungsi
1. Kertas Digunakan untuk
laminating meletakkan
obyek saat
diidentifikasi.

2. Kamera Digunakan untuk


mendokumentasi.
Objek.

4. Penggaris Digunakan untuk


mengukur objek.

5. Sarung Digunakan untuk


tangan melindungi
latex tangan saat
memegang objek.

6. Masker Digunakan untuk


melindungi
pernafasan dari
zat pengawet
objek.
7. Nampan Digunakan untuk
meletakkan objek
pengamatan.

3.2.2 Bahan Praktikum


Tabel 2. Bahan praktikum
No Nama Gambar Fungsi
3.3 1. Callyspongia Digunakan
sp.
sebagai bahan
yang akan
diidentifikasi.

2. Xestospongia Digunakan
sp.
sebagai bahan
yang akan
diidentifikasi.

Prosedur Kerja
1. Alat dan bahan disiapkan.
2. Kertas laminating di letakan diatas nampan.
3. Spesies Porifera diambil dan diletakkan di nampan.
4. Struktur morfologi (warna dan bentuk) seluruh Filum Porifera
yang tersedia diamati.
5. Anggota Porifera yang tersedia diidentifikasi dan kelas pada
Filum Porifera ditentukan.
6. Anatomi Porifera secara umum diamati serta diidentifikasi
fungsinya.
7. Panjang dan lebar Porifera diukur dengan penggaris,
dilanjutkan pengambilan foto.
8. Informasi spesies dicari di laptop yang tersedia
9. Hasil pengamatan dicatat.
10. Langkah yang sama diulangi untuk spesies
Porifera selanjutnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Foto Spesies


4.1.1 Callyspongia sp.

Tampak Depan Tampak Samping

Gambar 1. Callyspongia sp.

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Porifera
Kelas : Demospongiae
Ordo : Haplosclerida
Famili : Callyspongiadae
Genus : Callyspongia
Spesies : Callyspongia sp.

4.1.2 Xestospongia sp.


Tampak Depan Tampak Samping

Gambar 2. Xestospongia sp.

Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Porifera
Kelas : Demospongia
Ordo : Haplosclerida
Familia : Petrosiidae
Genus : Xestosponga
Spesies : Xestospongia sp.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Callyspongia sp.

Gambar 3. Callyspongia sp.

Pada praktikum yang telah dilakukan, pengamatan pada filum


echinodermata spesies Callyspongia sp. memiliki panjang 16 cm dan
lebar 13 cm. Dari pengamatan dapat di identifikasi bahwa
Callyspongia sp. merupakan jenis sponge yang berasal dari kelas
demospongia yang memiliki tubuh berbentuk tabung dengan
osculum terletak pada atas tabung, warna sponge ini adalah kuning
pucat dengan permukaan tubuh kasar relatif berduri. Sponge jenis ini
mempunyaispikula yang mengandung spongin, atau sejenis protein
yang berbentuk seperti gel sehingga tubuh sponge menjadi empuk.
Sponge ini dapat berkembang biak dengan pertunasan atau
gemule. Tunas akan muncul apabila sponge dalam kondisi darurat
atau dalam kondisi ekstrim. Misalnya pada saat musim dingin atau
perairan dalam kondisi tidak memungkinkan untuk melakukan
reproduksi secara seksual.Reproduksi secara seksual spoonge dengan
melepaskan sel spora. Sel spora ini akan dilepaskan secaraperiodik
ke dalam kolom air. Setelah menemukan habitat yang tepat sponge
ini akan menempel pada substrat dan membentuk individu baru
ataupun koloni baru.
Struktur sponge memiliki 3 lapisan (pinacocytes, choanocytes,
dan mesohyl). Pinacocyte merupakan lapisan sel di bagian luar tubuh
sponge, choanocyte adalah lapisan sel bagian dalam yang merupkan
sel berflagellum (memiliki ekor).Choanocyte inilah yang mengatur
masuknya air ke dalam tubuh sponge.Choanocyte memiliki collar
(semacam rambut/serabut) yang letaknya di sekitar flagellum,
fungsinya adalah untuk menangkap sumber makanan yang diambil
dari air yang dilewatkan.
Hidupnya melekat di karang dan merupakan koloni yang terdiri
dari sekelompok hewan yang mirip tabung-tabung kecil seperti vas
yang bersatu di dasar dengan tabung horizontal memiliki kantong
berdinding tipis, mengelilingi suatu ruang sentral spongosoel dengan
sebuah lubang besar yang disebut osculum.
Faktor ekologis yang mempengaruhi keberadaan spesies ini
dapat dipengaruhi oleh PH perairan, kandungan CO2 , DO, Substrat
dan temperatur pada suatu perairan. Pencemaran air dapat memberi
pengaruh yang besar bagi kehidupan spesies ini, terutama
sedimentasi yang sering terjadi. Terutama spesies ini merupakan
yang hidupnya bergantung pada substrat maka dari itu, kualitas dari
substrat itu sendiri sangat berpengaruh pada sistem pertumbuhan dan
perkembangan dari spesies tersebut.
4.2.2 Xestospongia sp.

Gambar 4. Xestospongia sp.


Pada praktikum yang telah kami lakukan , pengamatan pada
filum echinodermata spesies Ophiotrix fragilisy yang memiliki
panjang 19 cm dan lebar 11 cm. Xestospongia testudinaria adalah
spesies dari famili Petrosiidae yang berbentuk tabung. Species ini
berwarna merah tua ke merah muda , dengan mulut tabung yang
berwarna putih pucat. Di zona intertidal spesies ini memiliki
diameter 10-20 cm dengan tinggi 10-20 cm. Dalam pengamatan
berikut dapat diketahui bahwa seperti spons pada umumnya, spesies
ini memiliki tubuh yang berpori dan permukaan yang keras
seperti batu. Selain itu, Xestospongia sp. juga dapat
menyerap oksigen dari air melalui proses difusi.
Seperti halnya anggota lain, spesies ini memiliki tubuh berpori-
pori. Jika dilihat Xestospongia memiliki permukaan yang keras. Hal
ini sangat berbeda saat menyentuhnya. Spesies ini memiliki tekstur
yang lunak. Xestospongia berwarna cokelat dan bentuk tubuh yang
tidak beraturan. Memiliki ostium sebagai tempat masuknya air dan
oskulum sebagai tempat keluarnya air. Untuk menyerap oksigen,
spesies ini menggunakan cara difusi. Selain itu spesies ini memiliki
bagian (paling bawah) yang disebut dengan holdfast yaitu sebagai
sarana saat mereka menempel. Spesies ini tidak dapat berpindah
tempat dan hidup secara menempel pada substrat.
Xestospongia sp hidup dengan cara melekat pada substratnya
yaitu berupa terumbu karang. Dalam kedalaman 10m-30m spesies ini
dapat ditemukan. Spesies ini dapat ditemukan di pantai tropis. Hal
Ini sangat memungkinankan spesies ini tersebar di seluruh pantai
Indonesia karena mengingat Negara Indonesia adalah negara tropis.
Xestospongia sp memiliki peran dalam kehidupan yaitu dapat
dimanfaatkan sebagai senyawa bioaktif dalam bidang farmasi.
Faktor ekologis yang mempengaruhi keberadaan spesies ini
dapat dipengaruhi oleh PH perairan, kandungan CO2 , DO, Substrat
dan temperatur pada suatu perairan. Pencemaran air dapat memberi
pengaruh yang besar bagi kehidupan spesies ini, terutama
sedimentasi yang sering terjadi.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Struktur morfologi Porifera yang membedakan dengan
anggota phyla lain yang mempunyai ciri-ciri mirip adalah
dilihat dari siklus hidupnya, dimana mengalami pergiliran
bentuk hidup yaitu fase polip dengan fase medusa.
2. Anatomi Porifera meliputi memiliki tiga tipe saluran air, yaitu
askonoid, sikonoid, dan leukonoid, pencernaan secara
intraseluler di dalam koanosit dan amoebosit, belum
mempunyai organ tubuh yang khusus
belum mempunyai sistem saraf, belum mempunyai saluran
pencernaan makanan yangkhusus. Dinding tubuhnya berpori-
pori (maka disebut Porifera).
3. Struktur morfologi anggota - anggota Porifera yaitu Spesies
Callyspongia sp.memiliki tubuh berbentuk tabung dengan
osculum terletak pada atas tabung, warna sponge ini adalah
kuning pucat dengan permukaan tubuh kasar relatif berduri,
mempunyaispikula yang mengandung spongin sehingga tubuh
sponge menjadi empuk.; Spesies Haliclona oculata memiliki
tubuh yang berpori dan permukaan yang keras seperti batu.

5.2 Saran
1. Pada praktikum selanjutnya, praktikan diharapkan lebih
menguasai materi agar lebih mudah untuk melakukan
identifikasi spesies.
2. Praktikan harus lebih hati-hati untuk mengidentifikasi spesies
yang tersedia karena beberapa diantaranya sedikit rapuh.
3. Praktikan hendaknya menjaga alat dan bahan saat praktikum
dengan sebaik-baiknya agar masih dapat digunakan untuk
praktikum selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Burnie. D. 2007. Kehidupan. Jendela IPTEK. Jakarta.


Campbell, Reece dan Mitchell.2003. Biologi Edisi Kelima Jilid
2.Erlangga. Jakarta.
Haris.A., D. Soedharma, N. P. Zamani, J.I. Pariwono, dan
Rachmaniar. 2012. Seksualitas dan Perkembangan Gamet
Sponge Laut Aaptosaaptos Schmidt. Jurnal Natur
Indonesia.Vol 14(3).
Kuncoro. E. B. 2004. Akuarium Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Pratama. F. 2014. Distribusi dan Kelimpahan di Perairan Pulau
Karammasang Kabupaten Polewali Mandar Keterikatan
dengan Terumbu Karang dan Oseanografi Perairan. Makassar.
Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Subagio. I. B dan Aunurohim. 2013. Struktur Komunitas Laut
(Porifera) di Pantai Pasir Putih, Situbondo. Surabaya. Jurnal
Sains dan Seni POMITS. Vol. 2 (2).
Suparno.2005. Kajian Bioaktif Spons Laut (Porifera: Demospongiae)
Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang
Indonesia Dalam Dibidang Farmasi. Bogor. Institut Pertanian
Bogor
Suparno, D. Soedharma, N.P. Zamani, dan R. Rachmat. 2009.
Tranplantasi Spons Laut Petrosia nigricans. Bogor. Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI.
DOKUMENTASI
Gambar 5. Callyspongia sp. Gambar 6. Callyspongia sp.
tampak atas tampak samping

Gambar 7. Haliclona oculata Gambar 8. Haliclona oculata


tampak atas tampak samping

Anda mungkin juga menyukai