Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup


bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan
penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma
vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak
terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien,
atau bila terjadi iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan
kegagalan organ multipel.
Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka
iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti
syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada
ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau transeksi komplit.
Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang inkomplit, sedangkan pada
pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan konstriksi pembuluh darah
sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan.

1
BAB II
TRAUMA VASKULAR

2.1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit
setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44
tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka
sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko kematian
yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada
populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya adalah
kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda tajam.
Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan
kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasus-
kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi
(70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%).

2.2. Mekanisme Trauma


Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul.
Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi
dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran
dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan
memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan
dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan
mekanisme trauma.
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE)
yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan

2
(V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V /2. Rumus ini berlaku baik
untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih
siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi
titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab
trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang
disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik

2
fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi
baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal
(teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur
jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang
diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang
bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan
oleh pemindahan jaringan.
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.
Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit.
Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal
dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi
parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma.
Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat
berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat
tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak
terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari
angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh
secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan dapat menyebabkan
terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis


Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan

Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia

Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal


Dapat progresif menjadi thrombosis

Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur
diluruskan

3
2.3. Diagnosis
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah yang
secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka
tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan dengan
fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya
trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,
hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis
paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia
adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan
fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk
mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada
ekstremitas dapat diketahui denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda
dan gejala tersebut berupa hard sign dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign


Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal

4
Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang

Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama

Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis

Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas

Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan gejala
soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis adalah
dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya
trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada
kasus trauma penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit
atau thrill.
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi
harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk
mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah
tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit
neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan
motoris pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia
sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler
tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun
penting untuk menentukan viabilitas jaringan.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler
ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum
memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang
berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi
vaskular yang tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga
akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila
terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga
dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi
kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan

5
perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama
berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan
karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi
di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan
dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada
ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah
dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya
tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang 1, tidak memerlukan
pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara
yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk
diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.
Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun
tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan
tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur
pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut
dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih
murah.
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

6
2.4. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada
perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya
pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif
dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas
daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak
sistem kolateral yang ikut terbendung.
Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas
terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan terhadap
adanya iskemia.

2.4.1. Penatalaksanaan Non Operatif


Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.
Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus
diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria
klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal (<
5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan
sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki
kolateral dan terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan,

7
disarankan untuk melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau
stabilisasi.

2.4.2. Penatalaksanaan Endovascular


Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi
beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi
anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.
Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan
teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan
endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.

2.4.3. Penatalaksanaan Operasi


Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh
ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral
yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena.
Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang
cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.
Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera.
Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau
bila perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.
Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent
plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi
fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru.
Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun
pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat
mencegah terbentuknya trombus.
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi
cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-to-
end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft
berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada
anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya
graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena
pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.

8
Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan
prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih
tahan terhadap infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency
yang lebih tinggi ketika digunakan pada posisi di atas lutut.
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan
rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya
dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi
terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat
menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada
penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta
membantu memperbaiki aliran arteri.
Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini diharapkan terjadinya
perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total
(ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat
menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila sirkulasi kolateral tidak
adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot menyebabkan meningginya
tekanan kompartemen.
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan
waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih
dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama
pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai
kerusakan jaringan lunak.
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas
pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang
terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi
kerusakan jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan
kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan
fraktur tibia sebelah proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat
ditangani, maka hasilnya akan jauh lebih memuaskan.
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft
(35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko
independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri

9
adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi
arteri.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan
angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.

2.5. Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi
pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena,
dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat
terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu
merupakan komplikasi lama.
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti
sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan
pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup
ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi emboli paru.

a. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang
paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang
akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis
segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh
arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral
ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa
kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis:
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding
arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya
dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus

10
balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah
distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir
ini sering dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada anastomosis
yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan perbandingan 1:500
dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa
bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah
distal agar arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada
thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon
Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus
keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk
menghancurkan thrombus yang masih tersisa.
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding
pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi
bila pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke
ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk
melakukan graft dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai
terlampau panjang memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan
(kinking) yang dapat mengganggu aliran darah laminar.
5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft sintesis
biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai
pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini
dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu
dilapiskan adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau
tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada,
karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu
panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera
melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila timbul
tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun
ada trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai

11
keadaan umum mengizinkan karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering
menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk system
kolateral baru.pemeriksaan Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong
menentukan ada tidaknya aliran kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari
sumbatan.
Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan adanya
trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah keragu-raguan
dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau
robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi memang
spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang biasanya dapat diatasi
dengan pemberian Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%.
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan
menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga
terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.

b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma
vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk
membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat
ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat,
kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian
nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang
ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka
semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan
larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja
karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga
berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi.
Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah
infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah
debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic secara
teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah

12
penyebab kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.

c. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):
1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat
atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak
cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila
lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot
yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.
2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau
bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.

d. Fistula arteri vena


Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan
bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus yang
mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari
arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri
yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.
Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan mengalir
melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini
menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan
menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik,
sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu.
Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga
akan melebar menyebabkan volume darah yang melalui pintasan ini akan bertambah
besar. Pembuluh vena melebar demikian rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini
bila berlangsung lama dapat menyebabkan payah jantung karena curahnya yang
bertambah.
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam,
adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi terdengar
bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh

13
arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal dari fistula
adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan
disertai warna kulit yang agak kebiruan.
Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan
lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan operasi
adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah vaskular juga
berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada proksimal dan distal
dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi. Bila mungkin pembuluh
arterinya direkonstruksidengan jahitan langsung atau graft dengan vena autogen,
sedangkan lesi pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit lateral langsung. Kelainan
struktur dan hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic biasanya
pasca operasi menjadi normal kembali.
e. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan
dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan
oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang
disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus
pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma
tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik
mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan tamponade
terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru yang berasal dari
pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.
Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini
terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada
seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi
bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau
bila letak lesinya sukar dicapai pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat
pula menolong untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini.
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini,
maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan
beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara

14
spontan sangat kecil.

f. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi
menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis
otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor,
dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:
1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia
Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan
kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera
remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah
sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi
lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan
sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada
tekanan darah lebih tinggi.

2. Kerusakan akibat reperfusi


Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung
lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang
ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan
akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu
dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.

15
BAB III
KESIMPULAN

1. Trauma vaskular lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.
2. Trauma vaskular berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi
trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.
3. Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,
hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok.
4. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan penanganan yang cepat untuk
menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma pada pembuluh darah juga
menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup bagian tubuh yang
diperdarahinya

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008. H:50-65.
nd
2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2 Ed. USA: Elsevier
Saunders. 2004.

16
17

Anda mungkin juga menyukai