Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Etika
Bisnis. Selain itu,penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
mengenai perjanjian hukum bangunan yang ada di indonesia. Saya juga mengucapkan
terimakasih kepada Drs. Achmad Zaenuri,MM selaku dosen mata kuliah Etika Bisnis yang
telah membimbing kami agar dapat menyelesaikan makalah ini.

Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu,dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapakan banyak terimakasih
dan semoga makalah ini bermanfaat untuk kami dan untuk pembaca.

Kediri, Maret 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................. 2
BAB I...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN....................................................................................................... 3
A. LATAR BELAKANG......................................................................................... 3
RUMUSAN MASALAH........................................................................................... 4
TUJUAN MASALAH............................................................................................... 4
BAB II..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN......................................................................................................... 5
A. PENGERTIAN BOT (BUILD, OPERATE and TRANSFER)........................................5
B. PENGATURAN BOT......................................................................................... 7
C. Unsur-unsur yang terdapat pada Build, Operate and Transfer (BOT)..............................10
D. JENIS PERJANJIAN APA YANG TERDAPAT PADA BOT.......................................12
E. TATA CARA MELAKUKAN BOT......................................................................13
BAB III.................................................................................................................. 15
PENUTUP........................................................................................................... 15
KESIMPULAN..................................................................................................... 15

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam rangka melaksanakan pembangunan di Indonesia, maka beberapa
puluh tahun yang lampau pemerintah Indonesia telah mengunakan pola Build
Operate and Transfer (BOT) atau bangun, kelola dan serah . Penerapan pola BOT
ini melibatkan pihak asing sebagai investor untuk membangun berbagai
infrastruktur di Indonesia, kemudian mengelolanya selanjutnya menyerahkan
kembali infrastruktur tersebut kepada pemerintah setelah masa akhir konsesi
berakhir.
Alasan pemerintah menggunakan pola BOT ini adalah karena
keterbatasan sumber daya manusia dan biaya. Pertimbangan lain pemerintah
menerapkan pola BOT tersebut, yaitu: (1) tidak membebani neraca pembayaran
pemerintah, (2) mengurangi jumlah pinjaman pemerintah maupun sektor publik
lainnya, (3) merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang
diprioritaskan, (4) tambahan fasilitas baru, (5) mengalihkan resiko bagi
konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada pihak swasta, (6)
mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing,
(7) mendorong proses alih teknologi, (8) diperolehnya fasilitas yang lengkap dan
operasional setelah masa akhir konsesi. (Budi Santoso, 2008)
Sejalan dengan perkembangan dunia bisnis di Indonesia yang semakin
pesat, maka bukan saja pemerintah yang menerapkan pola BOT ini tetapi juga
oleh perusahaan swasta. Alasannya adalah dengan pola BOT ini perusahaan
swasta sebagai investor tetapi tidak memiliki dana yang cukup, tidak perlu membeli
tanah/lahan untuk dijadikan sebagai tempat membangun proyeknya,
tetapi cukup melakukan kerjasama dengan pemilik tanah. Dengan demikian
perusahaan tidak perlu meminjam dana ke bank untuk membeli tanah tersebut,
sehingga hutang lancar perusahaan tidak semakin bertambah. Hal ini tentu saja
akan menjaga likuiditas perusahaan bersangkutan. Selain itu dengan pola BOT ini
perusahaan akan mendapatkan tambahan pendapatan dari proyek yang

3
dibangunnya, sehingga earnings (laba) perusahaan semakin bertambah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa penerapan pola BOT
berkorelasi positif terhadap tingkat likuiditas dan earnings suatu perusahaan. Oleh
karena itu, pola BOT ini sangat cocok diterapkan bagi perusahaan yang
mempunyai dana yang terbatas untuk membangun suatu proyek, tetapi ingin
menjaga likuiditas dan earnings.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari BOT (Build Operate and Transfer) ?
2. Pengaturan apa yang terdapat pada BOT ?
3. Unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam BOT ?
4. Jenis perjanjian apa yang terdapat di BOT ?
5. Bagaimana tata cara melakukan BOT ?

TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui pengertian dari BOT
2. Mengetahui pengaturan apa saja yang terdapat pada BOT
3. Mengerti unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam BOT
4. Mengetahui jenis perjanjian apa yang ada pada BOT
5. Mengetahui tata cara melakukan BOT

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BOT (BUILD, OPERATE and TRANSFER)

BOT, disebut juga sistem bangun guna serah, merupakan suatu konsep dimana proyek
dibangun dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta maupun beberapa perusahaan
swasta atau kerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh kontraktor,
kemudian setelah tahapan pengoperasian selesai dilakukanlah pengalihan proyek pada
pemerintah selaku pemilik proyek sesuai dengan perjanjian BOT.

Pada dasarnya BOT adalah suatu bentuk pembiayaan proyek pembangunan dimana
pelaksana proyek harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta
menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan
proyek. Sebagai gantinya pelaksana proyek diberikan hak untuk mengoperasikan dan
mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk
selama waktu tertentu.

Dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur, maka BOT tidak lain adalah sebuah
kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai
operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini, pemilik proyek memberikan hak pada
operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana dan prasarana (umum) serta
mengoperasikannya selama jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian
keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik
proyek.

Apabila semuanya berjalan sesuai dengan rencana, maka pada akhir masa kontrak
atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah, maka pemilik proyek
dapat mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan sejumlah
keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.
Kontrak BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special
purpose company) dalam membangun infrastruktur publik yang bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan infrastruktur tanpa pengeluaran dana dari pemerintah, dimana
pihak swasta (badan usaha) bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi,

5
operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama
beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Pihak swasta
mendapatkan revenue dari pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut selama periode
konsesi berlangsung.

Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.


Build Operate Transfer contract didesain untuk membawa investasi sektor swasta
membangun infrastruktur baru. Pada BOT, sektor swasta akan membangun, membiayai, dan
mengoperasikan infrastruktur baru dan sistem baru yang sesuai standar pemerintah. Periode
operasinya cukup lama agar sektor swasta dapat menerima kembali biaya-biaya konstruksi
dan mendapatkan keuntungan. Jangka waktu operasi tersebut adalah 10-30 tahun. Setelah
periode operasi selesai, seluruh infrastruktur diserahkan kepada pemerintah. (Bastian, 2001)

Dengan demikian paling tidak ada 3 ciri proyek BOT, yaitu :

1. Pembangunan (Build)

Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya kepada


pemegang hak (pelaksana proyek) untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri
(dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama / participate interest). Desain dan
spesifikasi bangunan merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat
persetujuan dari pemilik proyek.

2. Pengoperasian (Operate)

Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek kepada
pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek
tersebut untuk diambil manfaat ekonominya. Bersamaan dengan itu pemegang hak
berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap proyek tersebut. Pada masa ini, pemilik
proyek dapat juga menikmati hasil sesuai dengan perjanjian jika ada.

3. Penyerahan Kembali (Transfer)

Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek kepada
pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya
penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang
menanggungnya.

6
B. PENGATURAN BOT

Pengadaan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan perjanjian BOT diatur


oleh :

Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan


Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur.
- UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
- UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1991 tentang Keputusan Presiden Tentang
Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah Dan
Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan Atau Pengelolaan Infrastruktur
Keputusan Menteri Keuangan No. 234/KMK-04/1995.
SK Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah Nomor 11 tahun 2001 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 248/KMK.04/1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama
Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer).
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005.

Jadi pada dasarnya negara Indonesia ini amatlah sangat kurang jeli dalam mendirikan
sebuah bangunan perusahaan yang mana kelak akan menjadikan para investor untuk bisa
bergabung pada persuhaan tersebut. Sebagai contoh kasus yang telah saya baca pada
Kompas.com yaitu seperti berikut ini

JAKARTA, KOMPAS.com - Dua bangunan di kawasan Hotel Indonesia dinilai


menyalahi perjanjian kerja sama antara BUMN perhotelan, PT Hotel Indonesia Natour
dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI) dan PT Grand Indonesia.
Hal itu menjadi salah satu penyebab Hotel Indonesia Natour berpotensi menderita rugi

7
sebesar Rp 1,2 triliun.
Dari dokumen yang diperoleh Kompas.com pekan lalu, dua bangunan yang tidak tertera
dalam perjanjian adalah gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski.
Menara BCA saat ini menjadi kantor pusat PT Bank Central Asia Tbk dan menjadi salah satu
lokasi perkantoran dengan sewa termahal di Indonesia.
Sementara itu apartemen Kempinski adalah hunian kelas atas yang berada di kawasan Jakarta
Pusat.
Dua bangunan itu di luar bangunan lain yang disepakati untuk didirikan. Adapun bangunan-
bangunan yang telah disetujui dalam kontrak adalah:
1. Hotel bintang 5 (42.815 meter persegi)
2. Pusat perbelanjaan I (80.000 meter persegi)
3. Pusat perbelanjaan II (90.000 meter persegi)
4. Fasilitas parkir (175.000 meter persegi)
Empat bangunan tersebut sesuai dengan perjanjian Build, Operate Transfer (BOT) yang
ditandatangani 13 Mei 2004 melalui Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Grand
Indonesia.
"Dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2009 ternyata ada
tambahan bangunan yakni gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen (Kempinski)
di mana tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran
kompensasi ke PT HIN," tulis dokumen tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen Grand Indonesia belum bisa dihubungi.
Sementara itu Direktur Utama Hotel Indonesia Natour Iswandi menyatakan tak mau
berkomentar.
"Saya tidak bisa berkomentar soal itu. Ini (permasalahan) manajemen sebelumnya. Sekarang
saya fokus ke pengembangan," ujarnya akhir pekan lalu.
Adapun Deputi Logistik, Pariwisata, dan Energi Kementerian BUMN Edwin Hidayat
Abdullah menyatakan masih mempelajari masalah kontrak antara Hotel Indonesia Natour
dengan CKBI dan Grand Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan ada
potensi kerugian yang dialami oleh BUMN properti, PT Hotel Indonesia Natour (HIN),
menyusul kerja sama yang dijalin dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand
Indonesia.

8
Kerja sama yang dimaksud adalah pengembangan lahan yang berada di kawasan
Hotel Indonesia melalui perjanjian Build, Operate dan Transfer (BOT). Dalam hal ini, CKBI
sebagai penerima hak BOT dari Hotel Indonesia Natour.

Dalam dokumen resume hasil pemeriksaan BPK nomor 02/AUDITAMA VII/01/2016


disebutkan bahwa kerja sama antara Hotel Indonesia Natour dengan CKBI tidak sesuai
dengan proses perencanaan awal.
Beberapa hal yang menyebabkan itu adalah masa kontrak yang melebihi 30 tahun,
kompensasi tidak sesuai dengan persentase pendapatan, serta sertifikat hak guna bangunan
(HGB) dijaminkan oleh CKBI dan Grand Indonesia kepada pihak lain untuk mendapatkan
pendanaan.

Pertama, terkait dengan perpanjangan masa kontrak. Pada awalnya Hotel Indonesia
Natour menggandeng CKBI untuk mengembangkan kawasan Hotel Indonesia selama 30
tahun dengan perhitungan nilai kompensasi Rp 355 miliar atau 25 persen dari NJOP. Kerja
sama tersebut mulai 2004-2033.

Selanjutnya, kontrak tersebut diperpanjang 20 tahun menjadi total 50 tahun.


Perjanjian perpanjangan dilakukan pada 2010 dengan kompensasi sebesar Rp 400 miliar.
Nilai kontrak ini dinilai oleh BPK tidak layak.Hal lainnya yang juga memunculkan
pertanyaan adalah saat opsi perpanjangan ini diteken, diketahui kontrak tak lagi dipegang
oleh CKBI, tetapi dengan PT Grand Indonesia.

Padahal, dalam perjanjian awal, CKBI tidak boleh mengalihkan atau melepas
tanggung jawab pelaksanaan kerja sama kepada pihak lain, yang dalam hal ini adalah PT
Grand Indonesia.Terlebih lagi, sertifikat HGB diagunkan oleh Grand Indonesia kepada salah
satu bank untuk memperoleh pendanaan.

Padahal, dalam ketentuan, mitra kerja sama (CKBI dan Grand Indonesia) tidak boleh
mengagunkan tanah untuk memperoleh pendanaan dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
"Pelaksanaan hak opsi perpanjangan perjanjian BOT antara PT HIN dan PT Grand
Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan, yang mengakibatkan perpanjangan BOT tidak
memiliki dasar perencanaan yang memadai dan hilangnya kesempatan memperoleh
kompensasi yang lebih besar minimal Rp 1.296.970.832.500,00 dari perpanjangan hak opsi,
kompensasi yang lebih besar dari penambahan bangunan yang didirikan di atas obyek BOT
dan kondisi bangunan pada saat diserahkan kembali kepada HIN tidak dapat diperkirakan

9
kelayakannya," tulis resume hasil pemeriksaan tersebut.Direktur Utama Hotel Indonesia
Natour Iswandy saat dikonfirmasi mengenai hal ini menyatakan belum mau berkomentar.

Sementara itu, Deputi Logistik, Pariwisata, dan Energi Kementerian BUMN Edwin
Hidayat Abdullah mengakui ada masalah yang melibatkan Hotel Indonesia Natour dengan
CKBI dan Grand Indonesia.

C. Unsur-unsur yang terdapat pada Build, Operate and Transfer (BOT)


Berdasarkan pengertian sebagaimana dimaksud di atas maka unsur-unsur perjanjian
sistem bangun guna serah (build, operate, and transfer/BOT) atau BOT agreement, adalah:
1. Investor (penyandang dana)
2. Tanah
3. Bangunan komersial
4. Jangka waktu operasional
5. Penyerahan (transfer)

Menurut United Nations Industrial Development Organizations (UNIDO) 1996,


tentang Guidelines For Infrastructure Development Trought BOT (Viena Publication). Ada 3
pihak utama yang berperan dalam proyek BOT yakni :

1. Host GovernmentPemerintah setempat yang mempunyai kepentingan dalam pengadaan


proyek tersebut (legislative, regulatory, administratif) yang mendukung project company dari
awal hingga akhir pengadaan project tersebut. Umumnya didampingi oleh penasehat hukum,
technical, dan financial.

2. Project CompanyKonsorsium dari beberapa perusahaan swasta yang membentuk proyek


baru. Perannya adalah membangun dan mengoperasikan proyek tersebut dalam konsesi
kemudian mentransfer proyek tersebut kepada Host Government. Sebelumnya Project
company mengajukan proposal, menyiapkan studi kelayakan dan menyerahkan penawaran
proyek.

10
3. Sponsor
Yaitu yang berperan dalam hal pembiayaan dalam pengadaan proyek tersebut.

Jeffrey Delmon membagi pihak-pihak dalam BOT :

1. Lenders
Merupakan sebuah badan yang memberikan pinjaman pembiayaan dalam sebuah proyek.
Seperti perjanjian antara bank dengan pihak swasta. Dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan
konstruksi.

2. Grantor dan Host Government


BOT disini adalah kontrak yang diadakan pada ketetapan sebuah konsesi oleh Pemerintah
Daerah atau perwakilan yang ditunjuk Pemerintah atau pihak yang membuat peraturan.
Grantor adalah pihak yang bertanggung jawab kepada hubungan antara proyek dan
Pemerintah setempat. Seperti perlindungan dari nasionalisasi, perubahan hukum dan
perubahan nilai mata uang.

3. Project Company
Bertugas merancang sarana khusus untuk menggunakan kontrak dari grantor untuk
mendesain, mengkonstuksi, mengoperasikan dan mentransfer.

4. Share Holders
Perusahaan yang khusus menangani tugas yang dibutuhkan dalam perjanjian konsesi.

5. Construction Contractor
Kontrak konstruksi akan mengadakan perjanjian dengan project company yaitu untuk
menjalankan proyek.

6. Offtake Purchaser
Dalam rangka pengalihan resiko dari project company dan lenders dapat dibuat sebuah
perjanjian dengan pembeli (purchaser) untuk menggunakan proyek dan segala yang dapat
menghasilkan.

11
7. Input Supplier
Bagian dari project company untuk suplai kebutuhan proyek seperti bahan bangunan.

D. JENIS PERJANJIAN APA YANG TERDAPAT PADA BOT

a. Kontrak konsesi sebagai dasar;


b. Kontrak kontraktor;
c. Share holder agreement;
d. Supply agreement;
e. Operational agreement;
f. Offtake agreement yaitu kontrak antara user dan promotor.

Perjanjian-perjanjian tersebut berkaitan satu sama lain dalam sebuah proyek.


Sehingga dari satu proyek akan terkait beberapa unsur di dalamnya, yang akan
digambarkannya dalam skema berikut:
Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian sistem bangun guna serah (build,
operate, and transfer) maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang
menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana). Pemisahan yang tegas terkait hak dan
kewajiban para pihak. Kontrak tersebut harus tegas menyatakan semua hal yang berkaitan
dengan waktu pembangunan, pengelolaan, pengoperasian dan penyerahan nantinya.

Perjanjian BOT ini terjadi dalam hal, jika :

1. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu
bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada investor
yang bersedia membiayai pembangunan tersebut.
2. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak
mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut, dan ada
pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat berdirinya
bangunan komersial tersebut.
3. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain, dan
setelah pembangunan selesai investor berhak mengoperasionalkannya untuk jangka
waktu tertentu. Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee
tertentu.
4. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan tanah
kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.

Pertimbangan-pertimbangan pokok bagi pembangunan proyek infrastruktur dengan


pola BOT yang didasarkan atas kepentingan Pemerintah Daerah, yaitu :

1. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (offbalance-sheet financing).


2. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya.
3. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan
(additional finance sources for priority projects).
4. Tambahan fasilitas baru.

12
5. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sektor
swasta.
6. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing.
7. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara-negara
berkembang.
8. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir konsesi.

Sebelum menentukan serta untuk keberhasilan pembangunan dan pengoperasian suatu


fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola BOT, maka secara konseptual perlu
dipertimbangakan faktor-faktor :

1. Tipe fasilitas.
2. Manfaat sosialnya.
3. Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor.
4. Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri.
5. Lokasi proyek/fasilitas tersebut.
6. Besar ekuitas yang akan dipakai.
7. Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah.
8. Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari pengoperasian
fasilitas-fasiltas tersebut.
9. Jangka waktu konsesi.
10. Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi, operasi,
pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan.

E. TATA CARA MELAKUKAN BOT


I. Pertimbangan
BOT dilakukan untuk menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
II. Barang Milik Negara yang dapat Dijadikan Objek BOT
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek BOT adalah Barang Milik Negara
yang berupa tanah, baik tanah yang ada pada Pengelola Barang maupun tanah yang
status penggunaannya ada pada Pengguna Barang.
III. Subjek Pelaksanaan BOT
1) Pihak yang dapat melaksanakan BOT Barang Milik Negara adalah Pengelola
Barang.
2) Pihak-pihak yang dapat menjadi mitra BOT adalah:
a. Badan Usaha Milik Negara
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Hukum lainnya.
IV. Ketentuan dalam Pelaksanaan BOT
a. Selama masa pengoperasian BOT, Pengguna Barang harus dapat
menggunakan langsung objek BOT, beserta sarana dan prasarananya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan penetapan dari
Pengelola Barang, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas objek dan
sarana prasarana BOT dimaksud.

13
b. Jangka waktu pengoperasian BOT oleh mitra BOT paling lama 30 (tiga puluh)
tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.
c. Kewajiban mitra BOT selama jangka waktu pengoperasian:
membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan
objek BOT;
memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
Pemilihan mitra BOT dilaksanakan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat.
Penghitungan nilai tanah dalam rangka penentuan nilai limit terendah
besaran kontribusi dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh
Pengelola Barang.
Nilai limit terendah besaran kontribusi atas pelaksanaan BOT Barang
Milik Negara ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil
perhitungan penilai.
Pembayaran kontribusi dari mitra BOT, kecuali untuk pembayaran
pertama yang harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian
BOT, harus dilakukan paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun
sampai dengan berakhirnya perjanjian BOT dimaksud, dengan
penyetoran ke rekening kas umum negara.
Keterlambatan pembayaran kontribusi dari tanggal tersebut pada butir
akan dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 (satu per seribu) per
hari.
Dalam hal mitra tidak melakukan pembayaran kontribusi sebanyak
tiga kali dalam jangka waktu pengoperasian BOT, Pengelola Barang
dapat secara sepihak mengakhiri perjanjian.
Seluruh biaya yang timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan
kerjasama pemanfaatan, antara lain meliputi biaya perizinan,
konsultan pengawas, biaya konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan
objek BOT, dan biaya audit oleh aparat pengawas fungsional menjadi
beban mitra kerjasama pemanfaatan.
Setelah masa pengoperasian BOT berakhir, objek pelaksanaan BOT
harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional sebelum diserahkan
kepada Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang.
Setelah masa pemanfaatan berakhir, bangunan dan fasilitas hasil BOT
ditetapkan status penggunaannya oleh Pengelola Barang.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka BOT harus atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.

14
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Definisi Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer) adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan
bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan
bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.
Bangunan yang didirikan oleh investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat
perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan/atau bangunan lainnya.

15

Anda mungkin juga menyukai