PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Walaupun sudah banyak hal positif yang telah dicapai di bidang pendidikan
keperawatan, tetapi gambaran pengelolaan layanan keperawatan belum memuaskan.
Layanan keperawatan masih sering mendapat keluhan masyarakat, terutama tentang sikap
dan kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien atau
keluarga. (Sitorus, 2006).
Layanan keperawatan yang ada di Rumah Sakit masih bersifat okupasi. Artinya,
tindakan keperawatan yang dilakukan hanya pada pelaksanaan prosedur, pelaksanaan
tugas berdasarkan instruksi dokter. Pelaksanaan tugas tidak didasarkan pada tanggung
jawab moral serta tidak adanya analisis dan sintesis yang mandiri tentang asuhan
keperawatan. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan restrakturing, reengineering,
dan redesigning system pemberian asuhan keperawatan melalui pengembangan Model
Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) yang diperbaharui dengan SP2KP. (Sitorus,
2006).
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
20. Untuk mengetahui fungsi perawat melakukan konferen
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian MPKP
Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) adalah suatu sistem (struktur, proses dan
nilai-nilai profesional) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian
asuhan keperawatan termasuk lingkungan, yang dapat menopang pemberian asuhan
tersebut (Hoffart & Woods, 1996).
3
B. Tujuan dari MPKP
1. Metode Kasus
Setelah perang dunia II, jumlah pendidikan keperawatan dari berbagai jenis
program meningkat dan banyak lulusan bekerja di rumah sakit. Agar pemanfaatan
tenaga yang bervariasi tersebut dapat maksimal dan juga tuntutan peran yang
diharapkan dari perawat sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran, kemudian
dikembangkan metode fungsional. (Sitorus, 2006).
2. Metode Fungsional
Pada metode ini, kepala ruang menentukan tugas setiap perawat dalam satu
ruangan. Perawat akan melaporkan tugas yang dikerjakannya kepada kepala ruangan
dan kepala ruangan tersebut bertanggung jawab dalam pembuatan laporan klien.
Metode fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas apabila jumlah
4
perawat sedikit, tetapi klien tidak mendapatkan kepuasan asuhan yang diterimanya.
(Sitorus, 2006).
a. Proritas utama yang dikerjakan adalah kebutuhan fisik dan kurang menekankan pada
pemenuhan kebutuhan holistik
b. Mutu asuhan keperawatan sering terabaikan karena pemberian asuhan keperawatan
terfragmentasi
c. Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu perawat yang
mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala
ruangan.
d. Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang puas terhadap pelayanan
atau asuhan yang diberikan karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang
tepat tentang hal-hal yang ditanyakan.
e. Klien kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat.
f. Selama beberapa tahun menggunakan metode fungsional beberapa perawat
pemimpin (nurse leader) mulai mempertanyakan keefektifan metode tersebut dalam
memberikan asuhan keperawatan profesional kemudian pada tahun 1950 metode tim
digunakan untuk menjawab hal tersebut. (Sitorus, 2006).
3. Metode tim
a. Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai teknik
kepemimpinan. Ketua tim harus dapat membuat keputusan tentang prioritas
perencanaan, supervisi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Tanggung jawab ketua tim
adalah :
1. Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra
2. Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis
5
3. Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok dan
memberikan bimbingan melalui konferensi
4. Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta
mendokumentasikannya
b. Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin. Komunikasi yang
terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara, terutama melalui renpra tertulis yang
merupakan pedoman pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi.
c. Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.
d. Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan berhasil baik
apabila didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang diharapkan telah :
1. Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf
2. Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan
3. Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan kepemimpinan
4. Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim keperawatan
5. Menjadi narasumber bagi ketua tim
6. Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan
7. Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka
Hasil penelitian Lambertson dalam Douglas (1992) menunjukkan bahwa metode tim
jika dilakukan dengan benar adalah metode pemberian asuhan yang tepat untuk
meningkatkan kemanfaatan tenaga keperawatan yang bervariasi kemampuannya.
(Sitorus, 2006).
Pada metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap pemberian
asuhan keperawatan disebut perawat primer (primary nurse) disingkat dengan PP.
(Sitorus, 2006).
6
Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas, otonomi, otoritas,
advokasi, ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas, komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan
komitmen. (Sitorus, 2006).
Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai sebagai manusia
karena terpenuhi kebutuhannya secara individu, asuhan keperawatan yang bermutu
tinggi dan tercapainya layanan yang efektif terhadap pengobatan, dukungan,
proteksi, informasi, dan advokasi. Metode itu dapat meningkatkan mutu asuhan
keperawatan karena (Sitorus, 2006) :
a. Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan koordinasi
asuhan keperawatan
b. Jangkauan observasi setiap perawat hanya 4-6 klien
c. PP bertanggung jawab selama 24 jam
d. Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal
e. Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan paralel.
7
Staf medis juga merasakan kepuasannya dengan metode ini karena senantiasa mendapat
informasi tentang kondisi klien yang mutakhir dan komprehensif. (Sitorus, 2006).
Informasi dapat diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan
klien. Keuntungan yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak harus
memperkerjakan terlalu banyak tenaga keperawatan, tetapi harus merupakan perawat
yang bermutu tinggi. (Sitorus, 2006).
Huber (1996) menjelaskan bahwa pada keperawatan primer dengan asuhan berfoukus
pada kebutuhan klien, terdapat otonomi perawat dan kesinambungan asuhan yang
tinggi. Hasil penelitian Gardner (1991) dan Lee (1993) dalam Huber (1996)
mengatakan bahwa mutu asuhan keperawatan lebih tinggi dengan keperawatan primer
daripada dengan metode tim. Dalam menetapkan seseorang menjadi PP perlu berhati-
hati karena memerlukan beberapa kriteria, yaitu perawat yang menunjukkan
kemampuan asertif, perawat yang mandiri, kemampuan menmgambil keputusan yang
tepat, menguasai keperawatan klini, akuntabel, bertanggung jawab serta mampu
berkolaborasi dengan baik dengan berbagai disiplin. Di negara maju pada umumnya
perawat yang ditunjuk sebagai PP adalah seorang spesialis perawat klinis (clinical nurse
specialist) dengan kualifikasi master keperawatan. Menurut Ellis dan Hartley (1995),
Kozier et al (1997) seorang PP bertanggung jawab untuk membuat keputusan yang
terkait dengan asuhan keperawatan klien oleh karena itu kualifikasi kemampuan PP
minimal adalah sarjana keperawatan/Ners. (Sitorus, 2006).
5. Differentiated practice
National League for Nursing (NLN) dalam kozier et al (1995) menjelaskan baha
differentiated practice adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjamin mutu asuhan
melalui pemanfaatan sumber-sumber keperawatan yang tepat. Terdapat dua model yaitu
model kompetensi dan model pendidikan. Pada model kompetensi, perawat terdaftar
(registered nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan struktur peran yang
sesuai dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas keperawatan
didasarkan pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan, perawat akan ditetapkan
apa yang menjadi tnggung jawab setiap perawat dan bagaimana hubungan antar tenaga
tersebut diatur (Sitorus, 2006).
6. Manajemen kasus
8
Manajemen kasus merupakan system pemberian asuhan kesehatan secara multi disiplin
yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan fungsi berbagai anggota tim kesehatan dan
sumber-sumber yang ada sehingga dapat dicapai hasil akhir asuhan kesehatan yang
optimal. ANA dalam Marquis dan Hutson (2000) mengatakan bahwa manajemen kasus
merupakan proses pemberian asuhan kesehatan yang bertujuan mengurangi
fragmentasi, meningkatkan kualitas hidup, dan efisiensi pembiayaan. Focus pertama
manajemen kasus adalah integrasi, koordinasi dan advokasi klien, keluarga serta
masyarakat yang memerlukan pelayanan yang ektensif. Metode manajemen kasus
meliputi beberapa elemen utama yaitu, pendekatan berfokus pada klien, koordinasi
asuhan dan pelayanan antar institusi, berorientasi pada hasil, efisiensi sumber dan
kolaborasi (Sitorus, 2006).
Berdasarkan MPKP ysng sudah dikembangkan diberbagai rumah sakit Hoffart dan Woods
menyimpulkan bahwa MPKP terdiri dari lima komponen, yakni:
a. Nilai-nilai profesional
b. Pendekatan manajemen
9
c. Metode pemberian asuhan keperawatan
d. Hubungan profesional
Pemberian asuhan kesehatan kepada klien diberikan oleh beberapa anggota tim
kesehatan. Namun, fokus pemberian asuhan kesehatan adalah klien. Karena banyaknya
anggota tim kesehatan yang terlibat, maka dari itu perlu kesepakatan tentang cara
melakukan hubungan kolaborasi tersebut.
Pada suatu layanan profesional, seorang profesional mempunyai hak atas kompensasi
dan penghargaan. Pada suatu profesi, kompensasi yang didapat merupakan imbalan dan
kewajiban profesi yang terlebih dahulu dipenuhi. Kompensasi dan penghargaan yang
diberikan pada MPKP dapat disepakati di setiap institusi dengan mengacu pada
kesepakatan bahwa layanan keperawatan adalah pelayanan profesional.
E. Karakteristik MPKP
10
karena fenomena keperawatan mencakup 14 kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry,
1997).
4. Penggunaan metode modifikasi keperwatan primer. Pada MPKP digunakan metode
modifikasi keperawatn primer, sehingga terdapat satu orang perawat profesional yang
disebut perawat primer yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan
keperawatan yang diberikan. Disamping itu, terdapat Clinical Care Manager (CCM)
yang mengarahkan dan membimbing PP dalam memberikan asuhan keperawatan. CCM
diharapkan akan menjadi peran ners spesialis pada masa yang akan datang.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penerapan MPKP ini ada beberapa hal yang harus dilakukan,
yaitu (Sitorus, 2006).:
a. Pembentukan Tim
Jika MPKP akan diimplementasikan di rumah sakit yang digunakan sebagai tempat
proses belajar bagi mahasiswa keperawatan, sebaiknya kelompok kerja ini
melibatkan staf dari institusi yang berkaitan. Sehingga kegiatan ini merupakan
kegiatan kolaborasi antara pelayanan/rumah saklit dan institusi pendidikan. Tim ini
bisa terdiri dari seorang koordinator departemen, seorang penyelia, dan kepala ruang
rawat serta tenaga dari institusi pendidikan. (Sitorus, 2006).
c. Presentasi MPKP
Selanjutnya dilakukan presentasi tentang MPKP dan hasil penilaian mutu asuhan
kepada pimpinan rumah sakit, departemen,staf keperawtan, dan staf lain yang
terlibat. Pada presentasi ini juga, sudah dapat ditetapkan ruang rawat tempat
implementasi MPKP akan dilaksanakan. (Sitorus, 2006).
11
d. Penempatan Tempat Implementasi MPKP
1. Mayoritas tenaga perawat merupakan staf baru di ruang tersebut. Hal ini
diperlukan sehingga dari awal tenaga perawat tersebut akan mendapat pembinaan
tentang kerangka kerja MPKP
2. Bila terdapat ruang rawat, sebaiknya ruang rawat tersebut terdiri dari 1 swasta
dan 1 ruang rawat yang nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelatihan bagi
perawat dari ruang rawat lain.
Pada MPKP, jumlah tenaga keperawatan di suatu ruang rawat ditetapkan dari
klasifikasi klien berdasarkan derajat ketergantungan. Untuk menetapkan jumlah
tenaga keperawtan di suatu ruangrawat didahului dengan menghitung jumlah klien
derdasarkan derajat ketergantungan dalam waktu tertentu, minimal selama 7 hari
berturut-turut. (Sitorus, 2006).
Pada MPKP metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah metode
modifikasi keperawatan primer. Dengan demikian, dalam suatu ruang rawat terdapat
beberapa jenis tenaga, meliputi (Sitorus, 2006).:
12
keperawatan dan data penunjang, tujuan, tindakan keperawatan dan kolom
keterangan. (Sitorus, 2006).
Selain standar renpra, format dokumentasi keperawatan lain yang diperlukan adalah
(Sitorus, 2006) :
i. Identifikasi Fasilitas
Fasilitas minimal yang dibutuhkan pada suatu ruang MPKP sama dengan fasilitas
yang dibutuhkan pada suatu ruang rawat. Adapun fasilitas tambahan yang di perlukan
adalah (Sitorus, 2006) :
Badge atau kartu nama tim merupakan kartu identitas tim yang berisi nama PP dan
PA dalam tim tersebut. Kartu ini digunakan pertama kali sat melakukan kontrak
dengan klien/keluarga.
2) Papan MPKP
Papan MPKP berisi darfat nama-nama klien, PP, PA, dan timnya serta dokter yang
merawat klien.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan MPKP dilakukan langkah-langkah berikut ini (Sitorus, 2006) :
13
dinas PP. Konferensi sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri sehingga dapat
mengurangi gangguan dari luar. (Sitorus, 2006).
c. Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan ronde dengan
porawat asosiet (PA).
Ronde keperawatan bersama dengan PA sebaiknya juga dilakukan setiap hari. Ronde
ini penting selain untuk supervisi kegiatan PA, juga sarana bagi PP untuk
memperoleh tambahan data tentang kondisi klien. (Sitorus, 2006).
14
h. Memberi bimbingan kepada tim tentang dokumentasi keperawatan.
3. Tahap Evaluasi
Evaluasi proses dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen evsluasi MPKP oleh
CCM. Evaluasi prses dilakukan oleh CCM dua kali dalam seminggu. Evaluasi ini
bertujuan untuk mengidentifikasi secara dini maslah-masalah yang ditemukan dan
dapat segera diberi umpan balik atau bimbingan. Evluasi hasil (outcome) dapat
dilakukan dengan (Sitorus, 2006) :
4. Tahap Lanjut
a. MPKP pemula ditingkatkan menjadi MPKP tingkat I. Pada tingkat ini, PP pemula
diberi kesempatan meningkatkan pendidikan sehingga mempunyai kemampuan
sebagai SKp/Ners. Setelah mendapatkan pendidikan tambahan tersebut berperan
sebagai PP (bukan PP pemula). (Sitorus, 2006).
b. MPKP tingkat I ditingkatkan menjadi MPKP tingkat II. Pada MPKP tingkat I, PP
adalah SKp/Ners. Agar PP dapat memberikan asuhan keperawatan berdasarkan ilmu
dan teknologi mutakhir, diperlukan kemampuan seorang Ners sepeialis yang akan
berperan sebagai CCM. Oleh karena itu, kemampuan perawat SKp/ Ners
ditingkatkan menjadi ners spesialis. (Sitorus, 2006).
c. MPKP tingkat II ditingkatkan menjadi MPKP tingkat III. Pada tingkat ini perawat
denga kemampuan sebagai ners spesialis ditingkatkan menjadi doktor keperawatan.
Perawat diharapkan lebih banyak melakukan penelitian keperawatan eksperimen
15
yang dapat meningkatkan asuhan keperwatan sekaligus mengembangkan ilmu
keperawatan. (Sitorus, 2006).
G. Tingkatan MPKP
Pada model ini perawat mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat I
dan untuk itu diperlukan penataan 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan,
metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan pada model ini adalah kombinasi
metode keperawatan primer dan metode tim disebut tim primer. d. Model Praktek
16
Keperawatan Profesional Pemula Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula
(MPKPP) merupakan tahap awal untuk menuju model PKP. Model ini mampu
memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat pemula. Pada model ini terdapat 3
komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan
dan dokumentasi asuhan keperawatan.
I. Pilar-pilar MPKP
Manajemen sumber daya manusia diruang MPKP berfokus pada proses rekruitmen,
seleksi kerja orientasi, penilaian kerja, staf perawat. Proses ini selalu dilakukan sebelum
membuka ruang MPKP dan setiap ada penambahan perawatan baru.
17
SP2KP (Sistem Pemberian Pelayanan Keperawtan Professional)
A. Pengertian SP2KP
B. Kelebihan SP2KP
Kelebihan dari SP2KP adalah pelayanan keperawatan kepada pasien lebih terstruktur
dan kinerja perawat lebih professional.
Dalam model MPKP tidak terdapat PP (perawat primer), jika di SP2KP mengenal
mengenai PP dan PA (perawat associate)
18
E. Hambatan dalam penerapan SP2KP dan MPKP
Adapun hambatan dalam penerapan MPKP dan SP2KP adalah kurangnya sumber daya
manusia yang kompeten
Lebih bertanggung jawab kepada klien, lebih profesional dari pada sebelumnya.
Menurut sumber yang kami dapatkan bahwa Rumah Sakit di sekitar Semarang yang sudah
berhasil menerapkan MPKP dan SP2KP adalah Rumah Sakit Kariadi. Karena RS Kariadi
19
merupakan Rumah Sakit Pusat di Semarang dan mempunyai banyak sumber daya manusia
yang unggul.
Setelah diterapkannya SP2KP di rumah sakit memberikan dampak tersendiri bagi pasien.
Pasien di rumah sakit menjadi merasa lebih diperhatikan karena rumah sakit tekah
menggunakan metode yang lebih professional yakni metode moduler.
K. Renpra
20
akan dibicarakan dalam konferensi. Konferensi ini lebih bersifat 2 arah dalam diskusi
antara PPPA tentang rencana asuhan keperawatan dari dan klarifikasi pada PA dan hal
lain yang terkait. Ketika PP melakukan konferensi, biasanya melalui tahap pre konferen,
konferen, dan post konferen. Pada saat konferen PP akan menjelaskan mengenai renpra
yang telah dibuat, dan untuk menyatukan pendapat antara perawat PP dan PA.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Sebagai seorang perawat nantinya, kita diharapkan mampu memahami konsep MPKP dan
SP2KP sehingga nantinya kita dapat menerapkan konsep tersebut ketika kita sudah
bekerja.
21
Daftar Pustaka
22