Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bendungan atau dam adalah konstruksi yang dibangun untuk menahan laju
air menjadi waduk, danau, atau tempat rekreasi. Seringkali bendungan juga
digunakan untuk mengalirkan air ke sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air.
Kebanyakan dam juga memiliki bagian yang disebut pintu air untuk membuang
air yang tidak diinginkan secara bertahap atau berkelanjutan. Kementrian
Pekerjaan Umum Indonesia mendefinisikan bendungan sebagai bangunan yang
berupa tanah, batu, beton, ata pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan
dan menampung air, dapat juga dibangun untuk menamung limbah tambang atau
lumpur). Kebanyakan bangunan bendungan yang dibangun sebelum abad 20
dirancang tanpa pengkajian geologi karena dibangun pada pondasi yang bagus.
Pada awal abad 20 terjadi kehancuran beberapa bendungan. Setelah tahun 1933
tidak ada bendungan besar yang dibangun tanpa penilaian geologis pada tapak
bendungan (Varshney, 1978).

Seiring dengan kebutuhan akan bendungan besar pada lokasi yang kurang
baik, teknik perbaikan pondasi (foundation treatment) menjadi andalan
diregistrasi/dibakukan sejak tahun1930. Teknologi pemboran (drilling) dan
penyuntikan semen bertekanan (pressure grouting) terbukti dapat mereduksi
rembesan dan memperbaiki daya dukung batuan. Metode grouting yang semula
banyak dipakai untuk teknologi pemboran minyak bumi, kemudian banyak
diterapkan untuk teknik sipil. Grouting adalah penyuntikan bahan semi kental
(slurry material) ke dalam material tanah/batuan dengan bertekanan dan melalui
lubang-lubang pada lapisan/strata yang dituju. Istilah grouting (cementation)
sebenarnya semula dipakai untuk bahan Portland cement, apakah semen Portland
saja atau dicampur pasir. Namun perkembangan lebih lanjut dengan penambahan

1
lempung, benoit, aspal dan bahan kimia lainnya, istilah grouting menjadi lebih
tepat (Legget, 1988). Grouting adalah suatu proses, dimana suatu cairan campuran
antara semen dan air diinjeksikan dengan tekanan kedalam rongga, pori, rekahan
dan retakan batuan yang selanjutnya cairan tersebut dalam waktu tertentu akan
menjadi padat secara fisika maupun kimiawi. Grouting modern dimulai pada
industri pertambangan, terutama berkaitan dengan dengan rembesan besar dan
pengendalian kekuatan dalam terowong dan sumur tambang. Kemudian

dipergunakan di teknik sipil pada konstruksi dan pemeliharaan jalan bawah tanah
(subway), pondasi bangunan dalam dan bendungan besar. Tata cara pelaksanaan
grouting semen pada batuan busur semen (PC) atau Portland Cement Grouting
telah dibakukan di dalam SNI 03 2393 1991.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini untuk melakukan suatu analisa terhadap metode
grouting dalam peninjauan mengidentifikasi suatu daerah dalam rangka
pembangunan bendungan dengan aspek-aspek geologi teknik yang akan memberi
rekomendasi pada pembuatan Bendungan Karian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perencanaan, pelaksanaan,


dan teknik metode grouting, serta fungsi dan guna nya pada pembangunan
Bendungan Karian dalam aspek geologi teknik.

1.3 Judul, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Skripsi ini berjudul METODE GROUTING DAN APLIKASINYA PADA


PEMBANGUNAN BENDUNGAN KARIAN yang berlokasi di Bendungan

2
Karian, Kecamatan Cisimeut, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dengan waktu
penelitian diharapkan 1 bulan dari bulan maret sampai bulan mei 2017.

1.4 Rumusan Masalah

Dalam penelitian Tugas Akhir ini penulis akan memaparkan teknik dan
metode grouting secara umum yang kemudian akan mengaplikasikanya pada
rancangan pembangunan bendungan yang berkaitan dengan gelogi teknik yang
meliputi studi literatur daerah penelitian, struktur geologi daerah penelitian,
mekanika batuan dan analisa mekanika tanah. Bidang tersebut akan menghasilkan
hasil akhir berupa angka faktor keamanan bendungan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Stratigrafi Regional

Daerah penelitian ini terletak di Desa Pasir, Kecamatan Cisimeut, Kabupaten


Lebak, Provinsi Banten. Secara regional daerah Banten dan sekitarnya sudah
dipetakan oleh beberapa peneliti terdahulu yaitu; Sujatmiko, dan S.Santosa
(1992). Berikut penjelasan dari tiap formasi, mulai dari yang tertua sampai yang
termuda:

Formasi Bojongmanik terdiri atas batupasir, batulempung bitumen, napal


berfosil, batupasir tufan, tuf batuapung dan sisipan lignit. Formasi Bojongmanik
(Tmb) menjemari dengan Tuf Cikasungka (Tmkt), tertindih tidak selaras oleh
Formasi Genteng (Tpg) atau Formasi Cipacar (Tpc), dan diterobos oleh Andesit
(Tma) atau Dasit (Tmda).

Formasi Cimanceuri terdiri atas konglomerat, batupasir gampingan, tufa dasit,


breksi dan batugamping, berumur Pliosen Awal dan bercirikan sedimen klastik
dengan serakan fosil moluska, diendapkan pada lingkungan laut dangkal - iitoral.
Hubungan formasi ini dengan formasi/satuan batuan di atasnya tidak jelas, diduga
tertindih selaras oleh Tuf Citorek (Tpv).

Formasi Genteng terdiri atas tufa batuapung, batupasir tufan, breksi


konglomerat, napal dan kayu terkersikan, berumur Pliosen Awal dan bercirikan
sedimen epiklastik tufan dengan kayu terkersikkan, terendapkan pada lingkungan

4
darat. Formasi Genteng (Tpg) dapat dikorelasikan dengan Formasi Cimanceuri
(Tpm), menjemari dengan Tuf Malingping (Tpmt), dan tertindih tidak selaras oleh
Formasi Cipacar (Tpc).

Formasi Cipacar terdiri atas batupasir tufaan, batulempung tufaan, tufa breksi,
konglomerat, tufa dan napal, berumur Pliosen Akhir bercirikan sedimen klastik
yang kaya akan fosil moluska dan bersisipan dengan sedimen laut, dan diendapkan
pada lingkungan laut dangkal - darat. Formasi Cipacar tertindih selaras oleh
Formasi Bojong (Qpb) atau tertindih tidak selaras oleh formasi/satuan batuan lain
yang lebih muda, serta menindih tidak selaras Tuf Malingping (Tpmt) clan
Formasi Genteng (Tpg).

Formasi Bojong, Batuan Gunung Api Kuarter, Endapan Pantai dan Endapan
Aluvium yang hadir pada sungai Ciberam terbentang sampai sungai Cisimeut

2.1.2 Struktur Regional

Kontrol struktur di Pulau Jawa sangat dipengaruhi aktivitas tektonik


lempeng yang aktif, yaitu Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.
Akibat dari aktivitas lempeng tektonik tersebut di Pulau Jawa berkembang tiga
pola struktur geologi yang dominan (Gambar 2.1), yaitu Pola Meratus yang
berarah timurlaut-baratdaya, Pola Sunda yang berarah utara-selatan, dan Pola
Jawa yang berarah timur-barat (Pulonggono dan Martodjojo, 1994).

5
Daerah Penelitian

Gambar 2.1 Pola Struktur Jawa Barat (Pulonggono dan Martodjo, 1994)

Pola Meratus memiliki arah timurlaut-baratdaya dan berumur Kapur Akhir


hingga Paleosen (80-52 juta tahun yang lalu). Rezim tektonik kompresi
Lempeng Indo-Australia yang tersubduksi ke bawah Lempeng Eurasia
menyebabkan terbentuknya pola Meratus ini.Salah satu sesar yang
mencerminkan pola Meratus di Pulau Jawa adalah Sesar Cimandiri yang
terbentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga ke Subang, yang berada di
sisi barat dari daerah penelitian.Sesar tersebut tergolong sesar mendatar dengan
arah timurlaut-baratdaya. Di Jawa Tengah, singkapan batuan Pra-Tersier di Lok
Ulo juga menunjukkan arah ini.

Pola struktur yang berkembang setelah pola Meratus adalah pola Sunda.
Pola struktur ini berarah utara-selatan dan berumur Eosen Awal hingga

6
Oligosen Akhir (53-32 juta tahun yang lalu).Setelah rezim kompresi pada pola
Meratus terjadi penurunan kecepatan gerak dari lempeng Indo-Australia
sehingga terjadi rezim tektonik regangan pada masa ini yang membentuk
struktur dengan pola Sunda. Purnomo dan Purwoko (1994) menyebut periode
ini sebagai Paleogene extensional Rifting.Struktur sesar yang termasuk ke
dalam Pola Sunda umumnya berkembang di utara Jawa (Laut Jawa).

Pola Jawa merupakan pola struktur dengan arah timur-barat yang


berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal (32 juta tahun yang lalu).Pola
struktur ini terbentuk akibat rezim kompresi yaitu subduksi Lempeng
IndoAustralia yang berada di selatan Jawa hingga ke arah Sumatera. Purnomo
dan Purwoko (1994) menyebut periode ini sebagai Neogene compressional
wrenching hingga Plio-Pleistocene compressional thrust folding. Di Jawa
Tengah hampir semua sesar di jalur SerayuUtara dan Selatan mempunyai arah
yang sama, yaitu barat-timur. Salah satu sesar yang mencerminkan pola Jawa
adalah Sesar Baribis yang membentang mulai dari Purwakarta hingga ke Jawa

Tengah di daerah Baribis Kadipaten Majalengka dengan arah barat-timur.

2.2 Grouting Secara Umum

Sedangkan grouting pondasi adalah proses grouting bubur semen atau bubur
grouting yang terdiri dari campuran semen plus aditif dan lempung yang
dimasukkan kedalam batuan pondasi bawah permukaan melaui lubang bor untuk
menyumbat atau mengisi kekar, retakan, rekahan atau lubang lubang bawah tanah
(goa) atau void. Teknologi grouting seperti metode perbaikan pondasi lainnya
bukanlah barang baru namun perkembangannya tergolong tetap. Metode grouting
ada bermacam-macam yang umum digunakan antara lain contact grouting,
blanket grouting, compaction grouting, curtain grouting, displacement grouting,

7
electro grouting, envelope grouting, hydrofracture grouting, jet grouting,
penetration grouting, squeeze grouting, slush grouting, permeation grouting.

2.2.1 Tipe-Tipe Groting

Menurut Warner (2005), grouting dapat dibedakan menjadi 6 tipe, yaitu:

a. Sementasi Penembusan (Permeation Grouting)

Grouting penembusan (permeation grouting) disebut

juga grouting penetrasi (penetration grouting), yang meliputi pengisian


retakan, rekahan atau kerusakan pada batuan, rongga pada sistem pori-pori
tanah serta media porous lainnya. Tujuan grouting penembusan adalah
untuk mengisi ruang pori (rongga), tanpa merubah formasi serta konfigurasi
maupun volume rongga. Grouting jenis ini dapat dilakukan untuk tujuan
penguatan formasi, menghentikan aliran air yang melaluinya, maupun
kombinasi keduanya. Grouting penembusan dapat meningkatkan kohesi
tanah.

b. Sementasi Pemadatan (Compaction Grouting)

Grouting pemadatan dilakukan dengan cara menginjeksi material


grouting sangat kaku (stiff) pada tekanan tinggi ke dalam tanah. Grouting
pemadatan merupakan mekanisme perbaikan yang bertujuan untuk
meningkatkan daya dukung tanah. Karena volume struktur pori tanah
berkurang, maka permeabilitasnya juga akan berkurang. Meskipun begitu,
grouting pemadatan tidak dapat sepenuhnya mencegah terjadinya rembesan.
Grouting pemadatan mampu meningkatkan beban tanah untuk
mengompakkan atau memadatkannya.

8
c. Sementasi Rekahan (Fracture Grouting)

Grouting rekahan dilakukan pada rekahan hidrolik yang terdapat pada


tanah dengan fluida suspensi atau material grouting slurry, untuk
menghasilkan hubungan antar lensa grouting dan memberikan penguatan
kembali (reinforcement). Umumnya grouting rekahan digunakan pada
tanah dengan permeabilitas rendah. Grouting rekahan dapat dilakukan pada
beberapa jenis tanah dan kedalam, terutama sangat baik pada material
lempung.

d. Sementasi Campuran/ Jet (Mixing/ Jet Grouting)

Grouting jet dilakukan dengan cara mengikis tanah menggunakan jet


bertekanan tinggi dan injeksi serentak ke dalam tanah yang terganggu
dengan jet monitor. Grouting tipe ini juga dapat digunakan untuk melakukan
penyemenan di sekeliling tiang atau pondasi.

e. Sementasi Isi (Fill Grouting)

Semua rongga yang dihasilkan secara alami maupun buatan,


kadangkadang membutuhkan suatu pengisian atau penutupan. Pada jaman
dahulu, pengisian dilakukan menggunakan peralatan yang sama dengan alat
grouting tipe lainnya. Saat ini, grouting isi dilakukan menggunakan
peralatan khusus dengan campuran concrete atau mortar.

f. Sementasi Vakum (Vacuum Grouting)

Umumnya pekerjaan grouting dilakukan dengan cara mendorong material


grouting ke dalam formasi dengan tekanan tinggi. Akan tetapi, pada kondisi
tertentu hasilnya tidak memuaskan. Oleh karena itu, vakum digunakan
untuk menyedot material grouting masuk ke dalam bagian yang mengalami
kerusakan. Kerusakan tersebut harus diisolasi dari tekanan barometrik

9
terlebih dahulu, sehingga dengan kondisi yang vakum, material grouting
akan tersedot dan tertarik ke dalam kerusakan tersebut.

(GV).

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap
interpretasi data, dan tahap penulisan laporan. Pada tahap persiapan dilakukan
studi pustaka dan literatur. Pada tahap interpretasi data dilakukan pengolahan data
yang tersedia, dan pada tahap penulisan laporan merupakan tahap akhir dari
penelitian ini. Uraian dari masing-masing tahapan adalah sebagai berikut:

3.1 Tahap Persiapan

Tahap ini merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum penelitian agar
memperlancar dalam pelaksanaanya. Tahap persiapan meliputi: Penyusunan
proposal penelitian, kelengkapan administrasi serta studi pustaka, yakni
mempelajari literatur-literatur peneliti terdahulu khususnya yang berhubungan erat
dengan topic dan daerah penelitian dimaksudkan, dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran umum tentang daerah penelitian, dan penyusunan
diagram alir.

3.2 Interpretasi Data

Setelah dilakukan tahap persiapan yang meliputi studi literatur (Teknik


Grouting, Mekanika Batuan, Mekanika Tanah) ,tahapan selanjutnya adalah
intepretasi data. Pada tahapan ini dilakukan 2 kegiatan analisis melitputi analisis

10
mekanika tanah, analisis mekanika batuan. Selanjutnya akan diuraikan sebagai
berikut:

3.2.1 Klasifikasi Batuan dan Tanah

Tahap klasifikasi batuan merupakan salah satu parameter yang penting


dalam penentuan metode grouting pada bendungan. Klasifikasi dapat dilakukan
dengan adanya data-data penunjang yaitu; geomorfologi dan geologi. Data
geomorfologi merupakan data pendukung yang penting dalam menentukan
tingkat pelapukan di daerah bendungan tersebut.

Data geologi merupakan data pendukung yang penting, dari hasil


penelitian geologi di lapangan dengan dilakukan pengukuran kekar yang
berkembang di daerah penelitianlah data kekar yang didapat kemudian dapat
dianalisis dengan diproyeksikan kedalam diagram stereogram dan rossnet. Dari
analisis tersebutlah dapat disimpula secara apakah kekar di daerah penelitian
berkembang dan apabila polanya berbeda-beda di setiap lokasi pengamatan.
Pada akhir penelitian dapat disimpulkan arah gaya yang mempengaruhi daerah
bendungan.

3.2.2 Uji Permeabilitas atau Test Lugeon

Uji permeabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Lugeon pada tahun 1933,
yang bertujuan untuk mengetahui nilai lugeon (Lu) dari deformasi batuan. Nilai
lugeon adalah suatu angka yang menunjukkan berapa liter air yang bisa
merembes ke dalam formasi batuan sepanjang satu meter selama periode satu
menit, dengan menggunakan tekanan standar 10 Bars atau sekitar 10 kg/cm2.
Angka ini hampir sama dengan koefisien kelulusan air sebesar 1 x 10 -5
cm/detik. Nilai lugeon dapat memberikan informasi mengenai sifat aliran
dalam batuan dan sifat batuan itu sendiri terhadap aliran air yang melaluinya.

Metode pengujiannya adalah dengan cara memasukkan air bertekanan ke dalam


lubang bor, menggunakan peralatan yang disebut rubber packer, yang

11
digunakan untuk menyumbat lubang bor. Peralatan lain yang digunakan dalam
uji permeabilitas antara lain:
Waterflow Meter untuk mengetahui debit air

Stop Watch untuk menentukan waktu rembesan

Pressure Gauge untuk mengetahui tekanan air

Water Pump untuk memompa air

Untuk pengujian dengan tekanan kurang dari 10 kg/cm2, dibuat

ekstrapolasi sehingga bentuk persamaannya menjadi:

Perhitungan nilai Lugeon menggunakan rumus:

Lu = 10 .Q/ p.L atau Lu = 10.V/ p.L.t

Keterangan:

Lu = Lugeon unit (l/mnt/m)

Q = debit aliran yang masuk (l/mnt)

P = tekanan total (pm+ps) dengan pm adalah tekanan manometer dan ps adalah


h tinggi tekanan air yang telah dikonversikan ke dalam satuan kg/cm2

L = panjang lubang yang di uji (m)

V = volume air yang diinjeksikan, (liter) ke dalam lubang bor berukuran Q

12
3.2.3 Analisa Grouting

Grafik aliran air yang dibuat berdasarkan data hasil uji kelulusan air
bertekanan yang merupakan hubungan tekanan p dan debit aliran air Q/L
dimaksudkan antara lain untuk mengetahui: a) Perilaku tanah atau batuan yang
diuji dengan cara injeksi air pada tekanan tertentu. b) Kondisi aliran air yang
terjadi dalam tanah atau batuan tersebut dapat berupa kondisi laminer, turbulen,
dilasi, pengikisan dan penyumbatan. Perhitungan uji kelulusan air dengan
menggunakan tekanan yang bervariasi dapat menghasilkan nilai Lugeon yang
berbeda, tergantung pada kondisi aliran air yang terjadi dalam tanah atau
batuan yang diuji. Dalam hal ini aliran air berupa aliran laminer bila nilai
Lugeon dari setiap tahapan memberikan nilai yang mendekati sama. Aliran
turbulen terjadi bila nilai Lugeon yang diperoleh pada tekanan puncak lebih
kecil dari pada nilai Lugeon yang diperoleh dari kedua tahapan tekanan yang
lebih rendah dan juga nilai Lugeon yang diperoleh pada setiap tahapan yang
lebih rendah dari tekanan puncak baik tahapan peningkatan dan pada tahapan
penurunan memperoleh nilai Lugeon yang hampir sama. Bila nilai Lugeon
yang dilakukan pada tekanan puncak lebih tinggi dari nilai Lugeon pada kedua
tekanan lebih rendah dan nilai Lugeon pada kedua tekanan yang lebih rendah
ini memiliki nilai yang hampir sama, aliran ini disebut aliran dilasi. Nilai
Lugeon yang dilakukan pada setiap tekanan dari kelima tahapan tekanan baik
saat peningkatan tekanan maupun penurunan tekanan memberikan nilai Lugeon
yang terus meningkat, pada tahap tekanan terakhir dengan tekanan yang
terendah diperoleh nilai Lugeon yang terbesar, aliran ini disebut aliran
pengikisan. Aliran penyumbatan terjadi pada suatu aliran dengan nilai Lugeon
memberikan nilai yang bertambah kecil pada tahapan tekanan baik tahapan
peningkatan maupun tahapan penurunan, sehingga nilai Lugeon diakhir
pengujian diperoleh nilai Lugeon yang terkecil. Penentuan nilai Lugeon
dilakukan dengan menafsirkan pola grafik aliran p-Q/L. (SNI

2411:2008)

13
a) Kondisi laminer, grafik aliran p-Q/L untuk kondisi ini berbentuk seperti pada
Gambar 3.1 Nilai Lugeon ditentukan dari nilai rata-rata hasil perhitungan.

Gambar 3.1 Grafik aliran p-Q/L untuk kondisi laminar (SNI 2411:2008)

b) Kondisi turbulen, grafik aliran p-Q/L untuk kondisi ini berbentuk seperti pada
Gambar 3.2. Nilai Lugeon yang digunakan adalah hasil perhitungan dari nilai
Lugeon terkecil pada tekanan tertinggi.

Gambar 3.2 Grafik aliran p-Q/L untuk kondisi turbulen (SNI 2411:2008)

14
c) Kondisi dilasi, grafik aliran p-Q/L untuk kondisi ini berbentuk seperti pada
Gambar 3.3. Nilai Lugeon yang digunakan adalah hasil perhitungan nilai yang
terkecil pada tekanan rendah, atau pada tekanan menengah apabila hasilnya
lebih kecil dari pada hasil uji pada tekanan rendah.

Gambar 3.3 Grafik aliran p-Q/L untuk dilasi (SNI 2411:2008)

d) Kondisi pengikisan, grafik aliran p-Q/L untuk kondisi ini berbentuk seperti
pada Gambar 3.4. Nilai Lugeon yang digunakan adalah hasil perhitungan nilai
Lugeon yang tertinggi dari hasil uji pada tekanan rendah yang terakhir.

Gambar 3.4 Grafik aliran p-Q/L untuk pengikisan (SNI 2411:2008)

15
3.2.4 Desain Grouting

Pada tahap ini barulah dapat disimpulkan model desain grouting yang tepat
untuk area bendungan. Tes analisa grouting yang didapat kemudian dapat
dipergunakan untuk menentukan jenis desain yang paling tepat untuk keadaan
bendungan. Ada beberapa jenis desain yang dapat dipergunakan antara lain;
sementasi vakum, sementasi isi, sementasi campuran/ Jet, sementasi rekahan,
sementasi pemadatan dan, sementasi penembusan.

3.3 Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan laporan dari penelitian ini terdiri dari 5 bab, yaitu:

a) Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan penelitian,
waktu dan lokasi daerah penelitian, dan metodologi penelitian.

b) Bab II Tinjauan Geologi, berisi tentang kerangka tektonik regional daerah

penelitian.

c) Bab III Landasan Teori, berisi tentang teori-teori yang digunakan dalam

penelitian.

d) Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi tentang hasil dari penelitian
dan pembahasannya secara terperinci.

e) Bab V Kesimpulan

16
17
STUDI LITERATUR

GEOLOGI

STRATIGAFI STRUKTUR GEOMORFOLOGI

Klasifikasi Pemetaan Deskripsi Pola Sesar Topografi Kelerengan Tingkat


Batuan Geologi Batuan Kekar Pelapukan

Analisis Permeabilitas
(Nilai Lu)

Uji grouting

( N ilai Lu Grouting)

D esain grouting

P enyusunanaporan
L

18
DAFTAR PUSAKA

Aulia, Harizona. 2012. Pengenalan Grouting. Semarang: Teknik Geologi UNDIP.

Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNI) 2411:2008.

Cara Uji Kelulusan Air Bertekanan di Lapangan. Dewan Standarisasi Indonesia.


Jakarta.

Budiono, R.H dan Handaja M. Studi Tentang Pemakaian Grouting pada Rekayasa

Geoteknik. 1996. Universitas Kristen Petra: Surabaya.

Legget, Robert F. 1988. Geologi dan Teknik. McGray-Hill Book Company, inc.:

New York.

Pulunggono dan Martodjojo, S. 1994. Perubahan Tektonik Paleogene Neogene


Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa, Proceeding Geologi dan
Geotektonik Pulau Jawa, Percetakan NAFIRI, Yogya.

Sujatmiko dan S. Santoso. 1992. Peta geologi Lembar Leuwidamar, Jawa Skala
1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Anda mungkin juga menyukai