Baca
Baca
Hacked By Pelitabangsa
Hacked By Pelitabangsa
IHNOFMOER M A S I K E S E H ATAN
o UNTUK NON-MEDIS
NUTRISI & KEDOKTERAN OLAHRAGA
P E N YAK I T U M U M
o UNTUK TENAGA MEDIS
GUIDELINE
N E U R O S U R G E RY
D E R M ATO L O G Y
NEUROLOGY
INTERNAL MEDICINE
P S Y C H I ATRY
O RTH O P E D I C S
S U R G E RY
OBSTETRICS & GYNECOLOGY
P E D I ATR I C S
THT / ENT
M U LTI M E D I A
GUIDELINE
FAQ S
TAN YA D R . I A N H U A N G
T E N TAN G P E N U L I S & E D I T O R
K E B I J A K A N P R I VAS I
HOME > INFORMASI KESEHATAN > UNTUK TENAGA
MEDIS > SPINAL CORD INJURY (SCI) / CEDERA MEDULLA SPINALIS
Published January 8, 2015 by Ian Huang
BAB 2
ANATOMI TULANG BELAKANG DAN MEDULLA
SPINALIS
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang menjadi jalur
informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan struktur
neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk
mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh cedera medulla
spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula mengenai anatomi tulang
belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla spinalis karena cedera pada
medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan struktur-struktur yang ada di
sekitarnya.
segmen tersebut, namun secara umum terdapat pola anatomi yang mirip (Gambar
2). Vertebra umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di
posterior, dan diantaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen
vertebralis yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebra
terdiri dari sepasang pedikel dan laminae. Arkus vertebralis membentuk 7 prosesus,
antara lain satu prosesus spinosus, dua prosesus tranversus, dan 4 prosesus
artikularis. Prosesus spinosus merupakan sambungan dari kedua laminae,
sedangkan prosesus transversus terletak diantara laminae dan pedikel. Kedua
prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas pengungkit dan menjadi tempat
perlekatan otot dan ligamen. Prosesus artikularis terbagi menjadi dua prosesus
superior dan dua prosesus inferior, kedua prosesus tersebut membentuk sendi
sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan superior notch yang membentuk
foramen intervertebralis (dari dua vertebra). Sendi dari kolumna vertebralis terbagi
menjadi 2, antara lain sendi antara dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous
joint dari diskus intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebralis yaitu sendi
sinovial antara prosesus artikularis.4 Terdapat 6 ligamen di sekitar kolumna
vertebralis (Gambar 3), antara lain ligamen anterior longitudinal dan posterior
longitudinal (ligamen di sekitar korpus) dan ligamen supraspinatus, interspinatus,
intertraversum, dan flavum (ligamen diantara arkus vertebralis). Pada daerah
servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus bergabung membentuk
ligamentum nuchae.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot
leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. 5 Beberapa
dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus
spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah
areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6
(ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial
antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas
bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2 (bagian anterior dari
femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-
5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).5
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal.4,5 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang
tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron
(Gambar 4 dan 5).5
Gambar 4. Anatomi Medulla Spinalis
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 5. Gambar penampang melintang dari medulla spinalis setinggi
midservikal
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke pusat
sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 6. Traktus sensorik
(ascending tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus spinotalamik
lateral yang membawa sensorik untuk nyeri dan temperatur (Gambar 7), anterior
spinotalamik untuk perabaan (kasar/ crude touch) dan tekanan (Gambar 8), traktus
kolumna dorsalis (posterior white column) untuk raba halus (two-point
discrimination), fungsi proprioseptif dan getaran (Gambar 9), dan traktus-traktus
lainnya seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinotectal,
spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.4
Gambar 6. Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem saraf
perifer sampai pusat sensorik di korteks serebral (First-order
neuron sampai third-order neuron).
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 7. Traktus spinotalamik lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 8. Traktus spinotalamik anterior
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 9. Traktus kolumna dorsalis (posterior white column)
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan
dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-L3
(torakolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4. 6 Lesi medulla
spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf
otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi saraf
simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic
shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri, 7 sedangkan
gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis. 5
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis
posterior.6 Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari
medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan
disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom
(paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri
spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis
dan substansia kelabu bagian posterior. 8 Kedua arteri tersebut muncul dari arteri
vertebralis.6,8 Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis
memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis. 6
Gambar 12 dan 13. Gambar penampang melintang medulla spinalis dengan
arteri spinalis anterior dan gambar perfusi medulla spinalis.
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and
Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol
2008;14(3):11 dan Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures
Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New
York: McGraw-Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
Accessed October 1, 2013.
BAB 3
CEDERA MEDULA SPINALIS
3.1 Definisi
Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cedera
atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional,
baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau
otonom.6,9Beberapa literatur membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury
(TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada literatur lainnya menggunakan istilah SCI
sebagai TSCI.
3.2 Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun.2Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat. 10
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata
28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). 2,10 Hampir seluruh pasien cedera medulla
spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1) karena resiko
yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang
berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).2,10 Tingkat mortalitas yang tinggi
(50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan
awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan
dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. 1 Tingkat harapan hidup pada pasien dengan
cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan pada
populasi normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila
dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.2
3.3 Etiologi
Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS (Gambar 14), antara lain kecelakaan lalu lintas
(39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving,
8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. 2 Beberapa literatur mendokumentasikan
etiologi yang serupa, namun dengan sedikit variasi pada proporsinya. 6,10,11 Etiologi
nontraumatik, antara lain gangguan vaskular, autoimun, degeneratif, infeksi,
iatrogenik, dan lesi onkogenik.6,7,11
Gambar 14. Etiologi Cedera Medula Spinalis
3.4. Patofisiologi
3.4.1 Mekanisme Cedera
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level
C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis (Tabel 1). 11Mekanisme
cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla
spinalis,11 contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas
umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi),
jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjatuh
menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan
daerah thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga
dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal),
jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar). 7
kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular. 13
Gambar 15. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan
pada interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus
intervertebralis posterior.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 ndedition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
Gambar 16. Mekanisme cedera anterofleksi
Gambar dikutip dari: Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology.
Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi
(retrofleksi).12 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari
vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan dari ligamen anterior. 12 Cedera hiperekstensi dari medulla
spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra
atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang
terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat
penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena
robekan ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal).
Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan
untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari
leher), adanya robekan dan penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra dapat dilihat
dengan menggunakan MRI.12 Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat
diakibatkan oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini
umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.
Gambar 17. Mekanisme cedera hiperekstensi.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 ndedition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71 dan Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and
Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.
disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan
retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada medulla spinalis
(tear drop fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua yaitu
benturan dengan kompresi sementara yang contohnya terjadi pada cedera
hiperekstensi di individu dengan penyakit degenerasi servikal. Distraksi yaitu
regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi
atau dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan gangguan perfusi)
merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya cedera medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada
pencitraan radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan
oleh cedera karena roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang
yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total
sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan
pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (bagian
perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu
dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya
pembuluh darah yang lebih banyak.9 Cedera tersebut menyebabkan kerusakan
pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pascatrauma
sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia
medulla spinalis.9,10 Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang
tinggi dari medulla spinalis.9 Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami
kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu
akibat adanya edema pada daerah cedera. 9,10 Edema hebat medulla spinalis terjadi
dalam hitungan menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera
sekunder.10 Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam
pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera. 9
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder (Gambar 19), meliputi shok neurogenik,
gangguan vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas,
kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis,
apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 9
Gambar 19. Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury
Gambar dikutip dari: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla spinalis komplit
didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla
spinalis yaitu S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali),
sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi
S4-S5 masih ada antara fungsi motorik dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam
salah satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis (Anterior cord syndrome, posterior
cord syndrome, central cord syndrome, dan Brown-Sequard syndrome) ataupun
gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.7,11
Gambar 21. Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b)
anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior cord
syndrome
Gambar dikutip dari: Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery. 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33
Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior
dan lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord
transection, terdapat dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase
hyperrefleksia.12 Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi
komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau
sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya kerusakan
elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat
ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi
motorik dan atau sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral (tetapi tidak
servikal) akibat dari kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana
didefinisikan oleh International Standards for Neurological Classification of Spinal
Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada
level dibawah lesi, shok neurogenik (hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia
kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal atas), hilangnya tonus rektum dan
buli-buli, retensio urin dan usus menyebabkan ileus, dan priapism.12,14 Pada fase
hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali dan meningkat tonusnya. Babinski
sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks achilles, patellar, bulbocavernous, dan refleks
lainnya akan kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat
dan tidak dapat dikendalikan.12
Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu sindrom
lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat cedera
hiperekstensi pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh
osteophyte secara anterior dan ligamentum flavum secara posterior. 12,13,15,16Sindrom
ini merupakan akibat dari proses patologi yang terjadi di dalam dan sekitar kanal
sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang
mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat (Gambar 22).
Seiring dengan meluasnya lesi ke lateral, 15 traktus kortikospinal akan terlibat dan
menyebabkan kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas
dibandingkan ekstremitas bawah (tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat
pada traktus yang lebih medial yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas
atas).7Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal, berbentuk shawl-like (seperti
syal) atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi. 13,15,16 Disfungsi buli-buli yang
menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.
Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis
yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point
discrimination.15,16 Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi
dengan multiple sclerosis. Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik
(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari
sindrom ini.15
Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat cedera
pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus mengkompresi
daerah medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-type
anesthesia, kelemahan flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri minimal (bila
dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina syndrome) membedakan
sindrom ini dengan cauda equina syndrome.
3.5 Diagnosis
3.5.1 Evaluasi klinis
Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis
lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan
observasi primer. Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai
terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status
neurologis baru dilaksanakan (Disability).
Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan
fungsi sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik
yang umum dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai dengan International
standards for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh
ASIA (Gambar 24).12,14 Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-
turut, antara lain menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key
sensory points, menentukan level motorik dengan key motor muscles,
menentukan single neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau
inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir menentukan ASIA
impairment scale.14 Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling
kaudal untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi
sensorik pada level dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan
kiri mungkin memiliki perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level
motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan
kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada segmen
diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan
dengan level neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang ditemukan
(level sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).
Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya
cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian
cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmers view atau traksi
lengan. 18Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat dilakukan dengan
ABCs, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.18 Alignment ditelusuri
menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25 (perbedaan >3,5 mm antara
vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral
facet dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau
tidak (tipe fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan
pelebaran diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior
dari tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas
adalah ? 1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah ?100% lebarnya).
Gambar 25. Garis Alignment dari gambaran lateral
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological
Investigations. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 11-6
3.6 Tatalaksana
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat
diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya
kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi dari
cedera tersebut.13 Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah
kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan
ligamen), mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan
rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi
13
dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit.
Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah trauma terjadi,
baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam penanganan awal (4%
diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi yang adekuat). 19,20 Mobilisasi
dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada
pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral
(anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir
(sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board, penggunaan
metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan minimum 4
penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi tulang belakang agar tidak
mengalami cedera lebih lanjut.20 Tindakan imobilisasi terus dipertahankan sampai
pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya apabila MRI sudah
menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka penggunaan
collar sudah dapat dilepas.1,18
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang
ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan
pasien trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk
melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
pasien dengan CMS dapat mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi CMS
yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan
hipotensi sehingga tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan
adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya untuk
memberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk mempertahankan patensi
jalan napas. Pada pasien CMS yang tidak stabil membutuhkan dokter atau
paramedis yang berpengalaman dalam teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan
tindakan hiperekstensi dari leher karena tindakan tersebut dapat memperparah
CMS dan menyebabkan kematian.19Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah
90 mmHg dan bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya
syok neurogenik (hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan
pemasangan dua IV line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis,
penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi. 19
Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan sekunder.
Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi
tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan
imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit adalah pada
pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila tanda-tanda vital
ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan
sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi
2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis awal dapat
ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada-tidaknya fase
shok spinal.11,13,14 Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan untuk melihat atau
menyingkirkan kemungkinan terjadinya CMS.
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah syok
neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada
lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok.
Syok pada CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena apabila
pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema
paru.20,22 Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan
IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari
hipotermia akibat vasodilasi.22 Mean Arterial Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas
70 mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan MAP > 85 mmHg memberikan
prognosis yang lebih baik.
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS.20 Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada
kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan
selama 2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan dimulai
dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low molecular weight
heparin lebih baik daripada warfarin).20,21,22
Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara
spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio
urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal. 20,21 Segera setibanya pasien di
RS harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada literatur yang
mengatakan bisa tidak kembali).11
Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK).21ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai
dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik
tidak perlu diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk
pencegahan ISK.
Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48
jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat. 20 Pada kondisi
tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai
bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan.11 Apabila
ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat menyebabkan
gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi dengan
perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi ini
berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump
inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah
trauma.20,21
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai
secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal.
Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12
menyebabkan hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi
dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut. 11 Metode
pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal,
merangsang pola evakuasi pada kolon distal.21
3.6.2.2.5 Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini.21 Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus
tetap diubah tiap 2 jam.
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis. 13 Setiap CMS yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat
pergerakan dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis. 23 Pasien dengan CMS
daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk
mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst
fracture, dan splint tulang belakang.23 Skeletal traction untuk mengembalikan atau
mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan
efektif.13 Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia (Gambar 26 dan Gambar 27).
Beban yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa
dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada dislokasi
digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg) dalam posisi
leher dalam keadaan fleksi.23 Pasien harus diperiksa status neurologis nya setiap
peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi
perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai alat
alternatif dari skeletal traction (Gambar 28).
Cedera Medulla spinalis pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya
fleksi-rotasi.23 Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu
dengan postural reduction di ranjang (Gambar 29).13,23 Pada kondisi tertentu
dibutuhkan fiksasi internal pada fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk mencegah
kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.
Gambar 29. Penanganan konservatif pada CMS daerah torakolumbal
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4 th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4
trauma sehingga tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi
neurologis yang bermakna terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut
dari tulang belakang. Indikasi umum dilakukan intervensi operatif, antara lain
perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut) yang ditunjukan dari adanya
lesi kompresi dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien dengan CMS
inkomplit yang tidak mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan
adanya lesi kompresi (dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau
tusuk untuk mengeluarkan benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi
(terutama karena instabilitas hebat dengan lesi inkomplit, tidak bisa
dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring tidak terlalu lama).13
BAB 4
RINGKASAN
Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan
salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan
manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas
sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan
masyarakat. Pengetahuan akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah
kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang
dapat ditimbulkan oleh cedera medulla spinalis. Cedera ini umumnya melibatkan
pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30
tahun) dengan perbandingan rasio pria : wanita yaitu 4:1. Etiologi CMS antara lain
kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah
raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. Lokasi SCI berturut-
turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera, antara lain
cedera fleksi, hiperekstensi, dan kompresi. Diagnosis dari CMS dilakukan secara
pemeriksaan klinis dan evaluasi radiologis. Penanganan CMS sesuai dengan prinsip
ATLS dan meliputi penanganan pra-rumah sakit dan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1.Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. p.562-71
Ian Huang
dr. Ian Huang merupakan seorang dokter umum di
Rumah Sakit Siloam Hospitals Buton, Kota Bau-bau,
Sulawesi Tenggara. Ia adalah seorang dokter lulusan
terbaik dari Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan di angkatannya, menerima beasiswa penuh
pada saat pendidikannya dan berhasil meraih predikat
cum laude pada saat kelulusannya.
Be First to Comment
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Your Comment
Your Name
Your Email
Post Comment
Primary Sidebar
JADWAL PRAKTIK
CARI ARTIKEL
Go
Search for:
CATEGORIES
Dermatology
Guideline
Informasi Kesehatan
Internal Medicine
Kesehatan Anak
Neurology
Neurosurgery
Nutrisi & Kedokteran Olahraga
Obstetrics & Gynecology
Orthopedics
Pediatrics
Penyakit Umum
Psychiatry
Surgery
THT / ENT
Untuk Non-Medis