Anda di halaman 1dari 48

Skip to content

Hacked By Pelitabangsa
Hacked By Pelitabangsa

IHNOFMOER M A S I K E S E H ATAN
o UNTUK NON-MEDIS
NUTRISI & KEDOKTERAN OLAHRAGA
P E N YAK I T U M U M
o UNTUK TENAGA MEDIS
GUIDELINE
N E U R O S U R G E RY
D E R M ATO L O G Y
NEUROLOGY
INTERNAL MEDICINE
P S Y C H I ATRY
O RTH O P E D I C S
S U R G E RY
OBSTETRICS & GYNECOLOGY
P E D I ATR I C S
THT / ENT
M U LTI M E D I A
GUIDELINE
FAQ S
TAN YA D R . I A N H U A N G
T E N TAN G P E N U L I S & E D I T O R
K E B I J A K A N P R I VAS I
HOME > INFORMASI KESEHATAN > UNTUK TENAGA
MEDIS > SPINAL CORD INJURY (SCI) / CEDERA MEDULLA SPINALIS
Published January 8, 2015 by Ian Huang

Spinal Cord Injury (SCI) /


Cedera Medulla Spinalis
BAB 1
PENDAHULUAN
Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan
salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan
manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas
sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan
masyarakat.1Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru
per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru
per tahun.2Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis
umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas
bagi pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.
Pasien dengan cedera medulla spinalis memerlukan penyesuaian terhadap
berbagai aspek, antara lain masalah mobilitas yang terbatas, psikologis, urologis,
pernafasan, kulit, disfungsi seksual, dan ketidakmampuan untuk bekerja. Selain itu,
biaya yang dikeluarkan untuk pasien dengan cedera tersebut diestimasikan
mencapai 4 milliar dolar Amerika Serikat per tahunnya untuk pelayanan kesehatan
(akut dan kronis) dan harga yang harus dibayar oleh pasien dan keluarganya tidak
terhitung karena masalah yang ditimbulkan sifatnya seumur hidup. 1

BAB 2
ANATOMI TULANG BELAKANG DAN MEDULLA
SPINALIS
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang menjadi jalur
informasi antara otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan struktur
neuroanatomi medulla spinalis adalah kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk
mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan oleh cedera medulla
spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula mengenai anatomi tulang
belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla spinalis karena cedera pada
medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan struktur-struktur yang ada di
sekitarnya.

2.1 Anatomi kolumna vertebralis


Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong utama tubuh. 3,4 Vertebra
tidak hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga toraks, ekstremitas atas,
pelvis, dan menyalurkan berat tubuh ke ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini
memberikan perlindungan yang bermakna bagi struktur-struktur yang ada
didalamnya, antara lain medulla spinalis, nervus spinalis, dan meninges. 4 Kolumna
vertebralis terdiri dari 33 vertebrae (Gambar 1), antara lain 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbar, 5 sakral (bergabung menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan
bantalan fibrocartilage diantara tiap segmen yang disebut diskus
intervertebralis. Walaupun terdapat perbedaan secara regional pada segmen-
3

segmen tersebut, namun secara umum terdapat pola anatomi yang mirip (Gambar
2). Vertebra umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan arkus vertebra di
posterior, dan diantaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen
vertebralis yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebra
terdiri dari sepasang pedikel dan laminae. Arkus vertebralis membentuk 7 prosesus,
antara lain satu prosesus spinosus, dua prosesus tranversus, dan 4 prosesus
artikularis. Prosesus spinosus merupakan sambungan dari kedua laminae,
sedangkan prosesus transversus terletak diantara laminae dan pedikel. Kedua
prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas pengungkit dan menjadi tempat
perlekatan otot dan ligamen. Prosesus artikularis terbagi menjadi dua prosesus
superior dan dua prosesus inferior, kedua prosesus tersebut membentuk sendi
sinovial. Pedikel terdiri dari inferior notch dan superior notch yang membentuk
foramen intervertebralis (dari dua vertebra). Sendi dari kolumna vertebralis terbagi
menjadi 2, antara lain sendi antara dua korpus vertebra yaitu fibrocartilaginous
joint dari diskus intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebralis yaitu sendi
sinovial antara prosesus artikularis.4 Terdapat 6 ligamen di sekitar kolumna
vertebralis (Gambar 3), antara lain ligamen anterior longitudinal dan posterior
longitudinal (ligamen di sekitar korpus) dan ligamen supraspinatus, interspinatus,
intertraversum, dan flavum (ligamen diantara arkus vertebralis). Pada daerah
servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus bergabung membentuk
ligamentum nuchae.

Gambar 1. Gambaran secara posterior dari kolumna vertebralis.


Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 2. A. Gambaran kolumna vertebralis dari lateral. B. Fitur umum dari
tiap vertebra
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 3. Ligamen pada kolumna vertebralis
Gambar dikutip dari: Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine
and Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK,
Meckler GD, eds. Tintinallis Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed.
New York: McGraw-Hill; 2011. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=6389092. Accessed September 30, 2013

2.2 Anatomi Medulla Spinalis


Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal
vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan
medulla oblongata di otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di
batas bawah vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah
vertebra lumbar ketiga pada anak-anak. 4 Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan
meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor
cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan
perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar
4).4Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah
31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots
(radiks) dan sensory atau posterior root.4,5 Penamaan nervus spinalis dilakukan
berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus
spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8
diantara kolumna vertebralis C7-T1. 5 Nervus spinalis lainnya muncul dari bawah
kolumna vertebralis yang bersangkutan.

Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot
leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1
mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. 5 Beberapa
dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik dari nervus
spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah
areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6
(ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial
antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas
bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2 (bagian anterior dari
femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-
5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).5

Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara
eksternal.4,5 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang
tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron
(Gambar 4 dan 5).5
Gambar 4. Anatomi Medulla Spinalis
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 5. Gambar penampang melintang dari medulla spinalis setinggi
midservikal
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke pusat
sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 6. Traktus sensorik
(ascending tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus spinotalamik
lateral yang membawa sensorik untuk nyeri dan temperatur (Gambar 7), anterior
spinotalamik untuk perabaan (kasar/ crude touch) dan tekanan (Gambar 8), traktus
kolumna dorsalis (posterior white column) untuk raba halus (two-point
discrimination), fungsi proprioseptif dan getaran (Gambar 9), dan traktus-traktus
lainnya seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinotectal,
spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.4
Gambar 6. Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem saraf
perifer sampai pusat sensorik di korteks serebral (First-order
neuron sampai third-order neuron).
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 7. Traktus spinotalamik lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 8. Traktus spinotalamik anterior
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 9. Traktus kolumna dorsalis (posterior white column)
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending


tract) dari pusat motor di girus presentral ke efektor (otot) dapat dilihat pada
Gambar 10. Traktus motorik dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus
kortikospinal (anterior dan lateral) untuk gerakan otot volunter dan yang
membutuhkan ketepatan (Gambar 11), rubrospinal untuk fasilitasi aktivitas otot-
otot fleksor dan menghambat otot ekstensor (atau otot antigravitasi),
vestibulospinal untuk fasilitasi otot-otot ekstensor dan menghambat otot fleksor
terutama untuk tujuan menjaga postur dan keseimbangan, dan olivospinal (fungsi
belum diketahui).4
Gambar 11. Traktus kortikospinal anterior dan lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Pengetahuan akan perjalanan traktus-traktus (terutama mengenai pada level mana


terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla spinalis akan
memberikan pengertian yang komprehensif mengenai manifestasi klinis pasien-
pasien dengan trauma medulla spinalis. Persepsi raba halus, proprioseptif, dan
getaran (dari traktus kolumna dorsalis) tidak mengalami penyilangan
(decusatio) sebelum rangsang tersebut mencapai medulla oblongata, sedangkan
traktus spinotalamik lateral dan anterior menyilang dalam 3 level segmen tempat
rangsang tersebut masuk.6 Di sisi lain, traktus motorik utama (kortikospinal)
mengalami decusatio pada level medulla oblongata. Hal ini menyebabkan adanya
lesi pada traktus kortikospinal atau kolumna dorsalis menyebabkan paralisis motor
ipsilateral (untuk kortikospinal) dan hilangnya persepsi raba halus, proprioseptif,
dan getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut. Sebaliknya, lesi pada traktus yang
membawa persepsi nyeri, suhu, tekanan, dan raba kasar menyebabkan hilangnya
persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi. 6

Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan
dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-L3
(torakolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4. 6 Lesi medulla
spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf
otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi saraf
simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic
shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri, 7 sedangkan
gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis. 5

Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis
posterior.6 Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari
medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan
disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom
(paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri
spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk kolumna dorsalis
dan substansia kelabu bagian posterior. 8 Kedua arteri tersebut muncul dari arteri
vertebralis.6,8 Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis
memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis. 6
Gambar 12 dan 13. Gambar penampang melintang medulla spinalis dengan
arteri spinalis anterior dan gambar perfusi medulla spinalis.
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and
Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol
2008;14(3):11 dan Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures
Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New
York: McGraw-Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198.
Accessed October 1, 2013.

BAB 3
CEDERA MEDULA SPINALIS
3.1 Definisi
Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cedera
atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional,
baik secara sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau
otonom.6,9Beberapa literatur membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury
(TSCI) dan nontraumatic, sedangkan pada literatur lainnya menggunakan istilah SCI
sebagai TSCI.

3.2 Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per
tahun.2Sekarang ini, diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan
cedera medulla spinalis yang masih bertahan hidup di Amerika Serikat. 10

Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata
28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). 2,10 Hampir seluruh pasien cedera medulla
spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1) karena resiko
yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang
berhubungan dengan rekreasi (seperti diving).2,10 Tingkat mortalitas yang tinggi
(50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan
awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan hidup dan
dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. 1 Tingkat harapan hidup pada pasien dengan
cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan pada
populasi normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila
dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.2

3.3 Etiologi
Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS (Gambar 14), antara lain kecelakaan lalu lintas
(39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving,
8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. 2 Beberapa literatur mendokumentasikan
etiologi yang serupa, namun dengan sedikit variasi pada proporsinya. 6,10,11 Etiologi
nontraumatik, antara lain gangguan vaskular, autoimun, degeneratif, infeksi,
iatrogenik, dan lesi onkogenik.6,7,11
Gambar 14. Etiologi Cedera Medula Spinalis

3.4. Patofisiologi
3.4.1 Mekanisme Cedera
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level
C5-C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis (Tabel 1). 11Mekanisme
cedera umumnya merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla
spinalis,11 contohnya motor vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas
umumnya melibatkan cedera daerah servikal (akibat hiperekstensi dan hiperfleksi),
jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian yang terjatuh
menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan
daerah thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga
dimana leher menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal),
jatuh dengan bokong menumpu tanah melibatkan daerah lumbar). 7

Tabel 1. Frekuensi Traumatic Spinal Cord Injury (TSCI) berdasarkan tingkat


cederaTabel dikutip dari: Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and
Related Diseases. In: Suarez JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey.
Humana Press. 2004. p.417-32
Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun seringkali tulang
belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang
dialami.12 Hal penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat kerusakan
kolumna vertebralis yang parah umumnya menyebabkan cedera medulla spinalis
yang serius, namun hubungan tersebut tidak selalu terjadi. Kerusakan minor dari
kolumna vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit neurologis, namun tetap
mungkin menyebabkan defisit neurologis yang serius. 13 Seperti telah disinggung
pada paragraf sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat
cedera medulla spinalis, juga menentukan jenis cedera pada kolumna vertebralis.
Trauma dapat menyebabkan cedera pada medulla spinalis melalui kompresi
langsung dari tulang, ligamen atau diskus, hematoma, gangguan perfusi dan atau
traksi.13

Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan


menjadi fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi
relatif 3:1:1).12Ketiga tipe dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang
serupa, antara lain kompresi vertikal dengan anterofleksi (cedera fleksi) atau
dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk
secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan
mengalami stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang
berada diatas akan terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen
posterior dari korpus vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang
dan memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme
cedera ini merupakan jenis yang paling sering pada daerah servikal dan umumnya
melibatkan daerah C5/C6 (terjadi subluksasi/dislokasi). 13 Seringkali, terdapat
robekan dari interspinous dan posterior longitudinal ligaments sehingga
menyebabkan cedera ini tidak stabil. 12,13
Cedera yang lebih ringan dari mekanisme
fleksi hanya menyebabkan dislokasi. Cedera medulla spinalis terjadi akibat
12

kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular. 13
Gambar 15. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan
pada interspinous dan posterior longitudinal ligaments, kapsul facet, dan diskus
intervertebralis posterior.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 ndedition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
Gambar 16. Mekanisme cedera anterofleksi
Gambar dikutip dari: Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology.
Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38

Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi
(retrofleksi).12 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari
vertebra servikalis bagian tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan dari ligamen anterior. 12 Cedera hiperekstensi dari medulla
spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra
atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang
terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat
penonjolan ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena
robekan ligamen (ketika di-xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal).
Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray tulang belakang lateral dapat digunakan
untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari
leher), adanya robekan dan penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra dapat dilihat
dengan menggunakan MRI.12 Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat
diakibatkan oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini
umumnya melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.
Gambar 17. Mekanisme cedera hiperekstensi.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 ndedition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71 dan Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and
Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.

Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. 13 Pada cedera dengan


mekanisme ini, korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin
terjadi wedge compression fracture atau burst fracture dengan aspek posterior dari
korpus masuk ke dalam kanal spinalis.1,7,13 Wedge fracture umumnya stabil karena
ligamentum intak, namun apabila terdapat fragmen yang masuk kedalam kanal
spinalis dan biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong tidak stabil.
Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (digolongkan
tidak stabil).
Gambar 18. Cedera kompresi.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 ndedition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71 dan Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and
Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.

3.4.2 Patofisiologi molekuler


Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan tanda
klinis akibat dari cedera primer dan sekunder. 6,7,9,10 Terdapat 4 jenis mekanisme
cedera primer pada medulla spinalis, antara lain benturan dengan kompresi
persisten, benturan dengan kompresi sementara, distraksi, dan
laserasi/transection. Mekanisme cedera primer yang paling umum adalah benturan
9

disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan
retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada medulla spinalis
(tear drop fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua yaitu
benturan dengan kompresi sementara yang contohnya terjadi pada cedera
hiperekstensi di individu dengan penyakit degenerasi servikal. Distraksi yaitu
regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi
atau dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan gangguan perfusi)
merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya cedera medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada
pencitraan radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan
oleh cedera karena roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang
yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan transection total
sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera primer menyebabkan kerusakan
pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba (bagian
perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu
dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya
pembuluh darah yang lebih banyak.9 Cedera tersebut menyebabkan kerusakan
pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan menit awal pascatrauma
sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia
medulla spinalis.9,10 Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang
tinggi dari medulla spinalis.9 Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami
kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu
akibat adanya edema pada daerah cedera. 9,10 Edema hebat medulla spinalis terjadi
dalam hitungan menit awal dan nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera
sekunder.10 Substansia kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam
pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera. 9

Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder (Gambar 19), meliputi shok neurogenik,
gangguan vaskular berupa perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas,
kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis,
apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses lainnya. 9
Gambar 19. Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury
Gambar dikutip dari: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik (Gambar 20).


Terdapat beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur
umumnya didefinisikan sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese
serius pada vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasodilasi dan
vasokontriksi pada arteriole dan venules). Neurogenik shok merupakan akibat dari
shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera medulla spinalis. Cedera
primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga ekstraselular
sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan autonomik
dibawah level kerusakan tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya
tonus simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan penurunan
resistensi perifer dan cardiac output.7 Shok ini umumnya bermanifestasi antara 4-6
jam setelah cedera diatas level T6 terjadi. Shok spinal dan neurogenik merupakan
kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48 jam sampai 6 minggu
pascacedera (sangat bervariasi).
Gambar 20. Patofisiologi dari shok neurogenik.
Gambar dikutip dari: Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology.
Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.

3.4.3 Defisit neurologis pada cedera medulla


spinalis
Seperti yang telah disinggung pada sub-bab sebelumnya, shok spinal atau fase tidak
adanya aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik, refleks dan
otonom) terjadi pasca-cedera hebat pada medulla spinalis. 12,13 Durasi shok spinal
bervariasi dari periode 48 jam sampai 6-8 minggu.13 Pada fase shok spinal, tidak
mungkin seorang tenaga kesehatan dapat menilai status neurologis sesungguhnya
(akibat cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis hanya dapat dinilai setelah
fase tersebut selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau inkomplit dari
medulla spinalis dapat ditegakkan.7

Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla spinalis komplit
didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla
spinalis yaitu S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali),
sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi
S4-S5 masih ada antara fungsi motorik dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam
salah satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis (Anterior cord syndrome, posterior
cord syndrome, central cord syndrome, dan Brown-Sequard syndrome) ataupun
gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.7,11

Gambar 21. Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b)
anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior cord
syndrome
Gambar dikutip dari: Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery. 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33

Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior
dan lateral), dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord
transection, terdapat dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase
hyperrefleksia.12 Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi
komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau
sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya kerusakan
elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat
ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi
motorik dan atau sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral (tetapi tidak
servikal) akibat dari kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana
didefinisikan oleh International Standards for Neurological Classification of Spinal
Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada
level dibawah lesi, shok neurogenik (hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia
kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal atas), hilangnya tonus rektum dan
buli-buli, retensio urin dan usus menyebabkan ileus, dan priapism.12,14 Pada fase
hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali dan meningkat tonusnya. Babinski
sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks achilles, patellar, bulbocavernous, dan refleks
lainnya akan kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat
dan tidak dapat dikendalikan.12

Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu sindrom
lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat cedera
hiperekstensi pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh
osteophyte secara anterior dan ligamentum flavum secara posterior. 12,13,15,16Sindrom
ini merupakan akibat dari proses patologi yang terjadi di dalam dan sekitar kanal
sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang
mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat (Gambar 22).
Seiring dengan meluasnya lesi ke lateral, 15 traktus kortikospinal akan terlibat dan
menyebabkan kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas
dibandingkan ekstremitas bawah (tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat
pada traktus yang lebih medial yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas
atas).7Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal, berbentuk shawl-like (seperti
syal) atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi. 13,15,16 Disfungsi buli-buli yang
menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.

Gambar 22. Central Cord Syndrome


Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and
Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan sindroma
klinis pada cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang
mengakibatkan kompresi dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior
(anterior spinal artery).11,13 Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus
kortikospinal dan spinotalamik, tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi
utama berasal dari posterior spinal artery). 13 Sindrom ini umumnya terjadi setelah
cedera fleksi atau kompresi (axial loading). Adanya kelemahan motorik, dan sensorik
pada beberapa level dibawah level motorik tanpa adanya gangguan bermakna pada
fungsi proprioseptif, raba halus, dan getaran sugestif mengarahkan diagnosis
pada anterior cord syndrome.

Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis
yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point
discrimination.15,16 Sindrom ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi
dengan multiple sclerosis. Adanya tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik
(atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari
sindrom ini.15

Brown-Squards syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari medulla spinalis


akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak) atau fraktur tulang
belakang.7,13,15 Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan presentasi
berupa parase motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk
nyeri, temperatur, dan raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi
proprioseptif ipsilateral dari lesi. 11,13

Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat cedera
pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus mengkompresi
daerah medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-type
anesthesia, kelemahan flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri minimal (bila
dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina syndrome) membedakan
sindrom ini dengan cauda equina syndrome.

Spinal cord concussion mengakibatkan adanya hilangnya atau penurunan fungsi


medulla spinalis secara sementara.13 Patofisiologi terjadinya masih belum jelas,
namun dianggap menyerupai cerebral concussion. Penyembuhan terjadi dalam 6
jam sampai 48 jam.13

3.5 Diagnosis
3.5.1 Evaluasi klinis
Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis
lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan
observasi primer. Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai
terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status
neurologis baru dilaksanakan (Disability).

Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh


baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma
pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau
sensorik.6 Selain itu, CMS akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala
otonom (retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit
motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia,
hemihipestesia).5,6 Penggunaan Kriteria NEXUS (the National Emergency X-
Radiography Utilization Study) Low-Risk Criteria atau CCR (The Canadian C-Spine
Rule) digunakan untuk mengidentifikasikan resiko rendah kemungkinan terjadinya
cedera servikal pada pasien trauma.17 NEXUS Low-Risk Criteria meliputi, tidak
adanya nyeri tekan pada daerah garis tengah posterior (posterior midline cervical-
spine tenderness), tidak adanya tanda-tanda intoksikasi (alkohol), kesadaran normal
(GCS 14 kebawah dianggap tidak normal), tidak ada defisit neurologis fokal (setelah
pemeriksaan neurologis lengkap), dan tidak ada cedera yang nyeri dan mendistraksi
(fraktur, nyeri visceral, crush injury, luka bakar, dan nyeri lainnya), sedangkan
kriteria CCR dapat dilihat pada Gambar 23. 17
Gambar 23. The Canadian C-Spine Rule
Gambar dikutip dari: Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS Low-Risk
Criteria in Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8

Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan
fungsi sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik
yang umum dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai dengan International
standards for neurological classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh
ASIA (Gambar 24).12,14 Langkah-langkah dalam penilaian status neurologis berturut-
turut, antara lain menentukan level sensorik untuk sisi kanan dan kiri dengan key
sensory points, menentukan level motorik dengan key motor muscles,
menentukan single neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau
inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir menentukan ASIA
impairment scale.14 Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling
kaudal untuk fungsi nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi
sensorik pada level dibawahnya tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan
kiri mungkin memiliki perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level
motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan
kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada segmen
diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan
dengan level neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang ditemukan
(level sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).

Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan pemeriksaan


refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode dari shok
spinal. Reflex ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya BCR tanpa
adanya CMS pada bagian sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan
umumnya refleks ini akan kembali pertama kali setelah periode shok spinal
berakhir. Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali mengindikasikan bahwa
cedera komplit dari CMS. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan dimana diduga
tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus
medullaris atau cauda equina.
Gambar 24. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan CMS
Gambar dikutip dari: Kirshblum et al. International standards for neurological
classification of spinal cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46

3.5.2 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal.18 Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior
merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal,
sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan plain x-ray karena dapat
melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan
keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI yang
normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal ini
dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah servikal
dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada
ligamen dan jaringan lunak.1,18

Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak teridentifikasinya
cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian
cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmers view atau traksi
lengan. 18Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat dilakukan dengan
ABCs, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.18 Alignment ditelusuri
menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25 (perbedaan >3,5 mm antara
vertebra satu dengan yang lainnya dianggap abnormal, dibawah <5mm unilateral
facet dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau
tidak (tipe fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan
pelebaran diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior
dari tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas
adalah ? 1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah ?100% lebarnya).
Gambar 25. Garis Alignment dari gambaran lateral
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological
Investigations. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 11-6

3.6 Tatalaksana
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat
diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya
kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi dari
cedera tersebut.13 Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah
kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan
ligamen), mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan
rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi
13

dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit.

3.6.1 Penanganan pra-rumah sakit


Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di
rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan survei
primer ABCD (Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-
tanda vital dan survei sekunder. 13,19,20 Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya
fokus terhadap gejala dan tanda klinis CMS (nyeri di leher atau punggung, nyeri
tekan pada tulang belakang, paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia,
priapism, peningkatan temperatur dari kulit atau eritema). 19 Titik utama yang
membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah sakit adalah tindakan
imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat darurat
(UGD) rumah sakit.19,20

Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah trauma terjadi,
baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam penanganan awal (4%
diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi yang adekuat). 19,20 Mobilisasi
dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada
pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral
(anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung pasir
(sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board, penggunaan
metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan minimum 4
penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi tulang belakang agar tidak
mengalami cedera lebih lanjut.20 Tindakan imobilisasi terus dipertahankan sampai
pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya apabila MRI sudah
menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang belakang maka penggunaan
collar sudah dapat dilepas.1,18

Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang
ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan
pasien trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk
melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
pasien dengan CMS dapat mengalami respiratory insufficiency akibat dari lesi CMS
yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok neurogenik yang menyebabkan
hipotensi sehingga tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan sekunder akibat
hipoksia dan hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan
adekuat. Intubasi harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya untuk
memberikan oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk mempertahankan patensi
jalan napas. Pada pasien CMS yang tidak stabil membutuhkan dokter atau
paramedis yang berpengalaman dalam teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan
tindakan hiperekstensi dari leher karena tindakan tersebut dapat memperparah
CMS dan menyebabkan kematian.19Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah
90 mmHg dan bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya
syok neurogenik (hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan
pemasangan dua IV line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis,
penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi. 19

3.6.2 Penanganan di rumah sakit


Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami
komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular, urologi,
gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik non-operatif maupun operatif.

3.6.2.1 Penanganan awal

Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan sekunder.
Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi
tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan
imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit adalah pada
pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila tanda-tanda vital
ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan
sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi
2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis awal dapat
ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada-tidaknya fase
shok spinal.11,13,14 Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan untuk melihat atau
menyingkirkan kemungkinan terjadinya CMS.

3.6.2.2 Penanganan spesifik untuk komplikasi-komplikasi CMS

3.6.2.2.1 Sistem respiratorik

Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas dan mortailitas


utama pada pasien CMS.21 Lesi yang berkatian langsung dengan fungsi pernapasan
adalah lesi setingkat C5 keatas, sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya
mengganggu fungsi batuk dan lesi di lumbal tidak mempengaruhi sama sekali.
Pasien dengan lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi
mekanik karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi
respirasi harus dimonitor secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen,
kapasitas vital (vital capacity/VC) paru, dan analisa gas darah berkala. 20 Retensi
sputum umumnya terjadi dalam beberapa hari setelah cedera diakibatkan
gangguan pada fungsi batuk yang efektif, hal ini akan menyebabkan atelectasis dan
pneumonia.20,21 Chest physiotherapy, assisted cough dan latihan nafas secara reguler
dapat mencegah atelektasis dan infeksi paru.20

3.6.2.2.2 Sistem kardiovaskuler

Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah syok
neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada
lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok.
Syok pada CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena apabila
pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi edema
paru.20,22 Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan
IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari
hipotermia akibat vasodilasi.22 Mean Arterial Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas
70 mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan MAP > 85 mmHg memberikan
prognosis yang lebih baik.

Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS.20 Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada
kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking antiembolism digunakan
selama 2 minggu pertama setelah trauma dan penggunaan antikoagulan dimulai
dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low molecular weight
heparin lebih baik daripada warfarin).20,21,22

3.6.2.2.3 Sistem urologi

Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara
spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio
urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal. 20,21 Segera setibanya pasien di
RS harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada literatur yang
mengatakan bisa tidak kembali).11

Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut,


ketika intake dan output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih. Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat
terjadi kerusakan otot detrusor dan refluks karena tekanan pengisian buli-buli yang
tinggi.

Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK).21ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai
dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik
tidak perlu diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk
pencegahan ISK.

3.6.2.2.4 Sistem gastrointestinal

Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48
jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat. 20 Pada kondisi
tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai
bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan.11 Apabila
ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat menyebabkan
gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi dengan
perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi ini
berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump
inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah
trauma.20,21

Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai
secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal.
Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12
menyebabkan hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi
dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut. 11 Metode
pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal,
merangsang pola evakuasi pada kolon distal.21

3.6.2.2.5 Kulit

Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini.21 Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus
tetap diubah tiap 2 jam.

3.6.2.2.6 Penggunaan kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini


mengalami kontroversi.11 Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute
Spinal Cord Injury Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi
(bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23
jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah CMS tertutup meningkatkan prognosis
neurologis pasien.11,20 Studi NASCIS 3 kemudian menambahkan bahwa terapi
metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus dilanjutkan
selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus
dilanjutkan selama 48 jam.11,20 Consortium for Spinal Cord Medicine tidak
merekomendasikan penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside
GM-1, gacyclidine, tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis
akhir belum didapatkan secara definit.22

3.6.2.3 Terapi reduksi non-operatif dan operatif

Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis. 13 Setiap CMS yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat
pergerakan dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis. 23 Pasien dengan CMS
daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk
mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst
fracture, dan splint tulang belakang.23 Skeletal traction untuk mengembalikan atau
mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan
efektif.13 Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia (Gambar 26 dan Gambar 27).
Beban yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa
dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada dislokasi
digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg) dalam posisi
leher dalam keadaan fleksi.23 Pasien harus diperiksa status neurologis nya setiap
peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi
perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai alat
alternatif dari skeletal traction (Gambar 28).

Gambar 26. Macam-macam Skeletal traction Cone (kiri), Gardner-Wells (kanan


atas), dan University of Virginia (kanan bawah).
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4 th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4
Gambar 27. Gardner-Wells tongs
Gambar dikutip dari: Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma
to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters
Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71

Gambar 28. Halo traction


Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and
Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 ndedition.
Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71

Cedera Medulla spinalis pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya
fleksi-rotasi.23 Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu
dengan postural reduction di ranjang (Gambar 29).13,23 Pada kondisi tertentu
dibutuhkan fiksasi internal pada fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk mencegah
kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.
Gambar 29. Penanganan konservatif pada CMS daerah torakolumbal
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4 th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien


CMS. Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya
13

trauma sehingga tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi
neurologis yang bermakna terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut
dari tulang belakang. Indikasi umum dilakukan intervensi operatif, antara lain
perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut) yang ditunjukan dari adanya
lesi kompresi dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien dengan CMS
inkomplit yang tidak mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan
adanya lesi kompresi (dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau
tusuk untuk mengeluarkan benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi
(terutama karena instabilitas hebat dengan lesi inkomplit, tidak bisa
dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring tidak terlalu lama).13

BAB 4
RINGKASAN
Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan
salah satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan
manusia, yakni dalam hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas
sehari-hari, dan biaya yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, dan
masyarakat. Pengetahuan akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah
kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang
dapat ditimbulkan oleh cedera medulla spinalis. Cedera ini umumnya melibatkan
pria dewasa muda dengan rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30
tahun) dengan perbandingan rasio pria : wanita yaitu 4:1. Etiologi CMS antara lain
kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh (28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah
raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari mencakup 9,7%. Lokasi SCI berturut-
turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis. Mekanisme cedera, antara lain
cedera fleksi, hiperekstensi, dan kompresi. Diagnosis dari CMS dilakukan secara
pemeriksaan klinis dan evaluasi radiologis. Penanganan CMS sesuai dengan prinsip
ATLS dan meliputi penanganan pra-rumah sakit dan di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA
1.Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In:
Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2 nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. p.562-71

2. National Spinal Cord Injury Statistical Center.


Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance.
Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded
from: https://www.nsisc.uab.edu
3. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM.
Chapter 255. Spine and Spinal Cord Trauma. In:
Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ,
Cydulka RK, Meckler GD, eds.Tintinallis
Emergency Medicine: A Comprehensive Study
Guide. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=6389092. Accessed September 30, 2013

4. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the


Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS.
Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional


Anatomy of the Spinal Cord. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape/article/1148570
-overview#showall

6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine


Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/793
582-overview#showall

7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and


Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38

8. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column


and Other Structures Surrounding the Spinal
Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy.
26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=5272198. Accessed October 1, 2013.

9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I:


Pathophysiologic Mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

10. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related


Diseases. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/114
9070-overview#a0199

11. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal


Cord Injury and Related Diseases. In: Suarez JI.
Critical Care Neurology and Neurosurgery. New
Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32

12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases


of the Spinal Cord. In: Ropper AH, Samuels MA,
eds.Adams and Victors Principles of Neurology.
9th ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?
aID=3640625. Accessed October 3, 2013.

13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye


AH. Essential Neurosurgery. 3rdEdition. Victoria,
Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33

14. Kirshblum et al. International standards for


neurological classification of spinal cord injury
(Revised 2011). J Spinal Cord
Med 2011;34(6):535-46

15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy,


Localization, and Overview of Spinal Cord
Syndromes. Continuum: Lifelong Learning
Neurol 2008;14(3):11

16. Bill II CH, Harkins VL. Chapter 29. Spinal Cord


Injuries. In:Shah SM, Kelly KM. Principles and
Practice of Emergency Neurology. Cambridge
University Press, New York. 2003 p.286-303

17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus


the NEXUS Low-Risk Criteria in Patients with
Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8

18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3.


Radiological Investigations. In: Grundy D, Swain
A. ABC of Spinal Cord Injury. 4 th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 11-6
19. Castellano JM. Prehospital Management of
Spinal Cord Injuries. Emergencias 2007; 19:25-31

20. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early


Management and Complications I In: Grundy D,
Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4 th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 17-20

21. Wahjoepramono EJ. Medula Spinalis dan Tulang


Belakang. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan, Lippo Karawaci. 2007. p. 131-56

22. Consortium for Spinal Cord Medicine. Early


Acute Management in Adults with Spinal Cord
Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-
Care Providers. J Spinal Cord Med 2008;31(4):408-
79

23. Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early


Management and Complications II. In: Grundy D,
Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4 th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

Previous PostAnkle Fracture

Next PostDiagnosis dan Penatalaksanaan Penurunan Kesadaran pada Penderita


Diabetes Mellitus

Ian Huang
dr. Ian Huang merupakan seorang dokter umum di
Rumah Sakit Siloam Hospitals Buton, Kota Bau-bau,
Sulawesi Tenggara. Ia adalah seorang dokter lulusan
terbaik dari Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan di angkatannya, menerima beasiswa penuh
pada saat pendidikannya dan berhasil meraih predikat
cum laude pada saat kelulusannya.

NEUROSURGERY UNTUK TENAGA MEDIS

CEDERA MEDULLA SPINALIS DEFISIT NEUROLOGIS PADA CEDERA MEDULLA


SPINALIS DIAGNOSIS CEDERA MEDULLA SPINALIS DR IAN HUANG ETIOLOGI
CEDERA MEDULLA SPINALIS EVALUASI KLINIS CEDERA MEDULLA
SPINALIS KOMPLIKASI CEDERA MEDULLA SPINALIS MANIFESTASI KLINIS CEDERA
MEDULLA SPINALIS PATOFISIOLOGI CEDERA MEDULLA SPINALIS PATOFISIOLOGI
MOLEKULER CEDERA MEDULLA SPINALIS PEMERIKSAAN RADIOLOGI CEDERA
MEDULLA SPINALIS PENANGANAN CEDERA MEDULLA SPINALIS PENANGANAN DI
PRARUMAH SAKIT CEDERA MEDULLA SPINALIS PENANGANAN SPESIFIK CEDERA
MEDULLA SPINALIS SPINAL CORD INJURY TATALAKSANA CEDERA MEDULLA
SPINALIS

Be First to Comment
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *

Your Comment

Your Name

Your Email

Your Website URL

Post Comment

Primary Sidebar
JADWAL PRAKTIK

Siloam Hospitals Buton, Kota Bau-Bau


Senin-Sabtu
Pukul 08.00-16.00

CARI ARTIKEL

Go
Search for:
CATEGORIES

Dermatology
Guideline
Informasi Kesehatan
Internal Medicine
Kesehatan Anak
Neurology
Neurosurgery
Nutrisi & Kedokteran Olahraga
Obstetrics & Gynecology
Orthopedics
Pediatrics
Penyakit Umum
Psychiatry
Surgery
THT / ENT
Untuk Non-Medis

Untuk Tenaga Medis


Hacked By Pelitabangsa
Hacked By Pelitabangsa
DEDICATED TO UNRAVEL THE COMPLEXITIES OF MEDICINE

Anda mungkin juga menyukai