Anda di halaman 1dari 38

HUBUNGAN DERAJAT CEDERA KEPALA

DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN CEDERA KEPALA


USIA 15-45 TAHUN DI RSUD Dr. H CHASAN BOESOIRIE TERNATE

OLEH

JULIA LORENSA LATUMAKULITA

09401611043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2020
i

HUBUNGAN DERAJAT CEDERA KEPALA


DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN CEDERA KEPALA
USIA 15-45 TAHUN DI RSUD Dr. H CHASAN BOESOIRIE TERNATE

SKRIPSI

OLEH

JULIA LORENSA LATUMAKULITA

09401611043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2020
ii

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN DERAJAT CEDERA KEPALA


DENGAN JUMLAH LEUKOSIT PADA PASIEN CEDERA KEPALA
USIA 15-45 TAHUN DI RSUD Dr. H CHASAN BOESOIRIE TERNATE

JULIA LORENSA LATUMAKULITA

09401611043

Telah disetujui :

Pembimbing Utama : Tanda Tangan

dr. Endang Kristanti, Sp.S., M.Kes ………………………..


NIP. 19791112 200803 2 002 Tanggal :

Pembimbing Pendamping:

dr. Prita Aulia M Selomo, Sp.B.,M.Biomed ……………………….


NIP. Tanggal :

Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter

dr. Liasari Armaijn, M.Kes


NIP. 19770710 200212 2 012
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................3
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................3
D. Manfaat Penelitian...................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Kepala .........................................................................................4


1. Defenisi Cedera Kepala.....................................................................4
2. Epidemiologi Cedera Kepala.............................................................4
3. Etiologi Cedera Kepala......................................................................5
4. Patofisiologi Cedera Kepala..............................................................5
5. Patofisiologi Peningkatan Leukosit Terhadap Cedera Kepala...........7
6. Klasifikasi Cedera Kepala..................................................................8
7. Manifestasi Klinis..............................................................................10
8. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis.....................................................12
9. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................14
10. Penatalaksanaan.................................................................................17
B. Kerangka Teori........................................................................................20
C. Kerangka Konsep.....................................................................................21
D. Hipotesis..................................................................................................21
iv

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian.........................................................................................22
B. Lokasi Penelitiandan Waktu Penelitian...................................................22
C. Populasi dan sampel penelitian................................................................22
D. Estimasi Besar Sampel.............................................................................23
E. Teknik Pegumpulan Data.........................................................................23
F. Metode Analisa Data................................................................................23
G. Definisi Operasional................................................................................23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik umum..................................................................................25
B. Karakteristik medis..................................................................................27
C. Hubungan derajat cedera kepala dengan jumlah leukkosit......................28

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan..............................................................................................31
B. Saran........................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................32
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan suatu cedera pada jaringan scalp, tulang
tengkorak atau jaringan otak.1 Cedera kepala dapat berdampak berat bagi
individu yang mengalaminya, dimana cedera kepala dapat menyebabkan
gangguan kognitif, sosial dan perilaku, hal ini menyebabkan cedera kepala
menjadi beban tidak hanya beban kesehatan namun juga ekonomi maupun
sosial di seluruh dunia. Hal ini terutama terjadi pada negara-negara
berkembang.2
Secara global, cedera kepala merupakan penyebab terbesar
kecacatan dan kematian pada populasi dewasa muda pada kasus
kecelakaan. Pusat Pengendalian Penyakit atau The Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat, memperkirakan 1,7
juta orang dengan cedera kepala, sebanyak 52.000 meninggal, 275.000
dirawat di rumah sakit dan 1.365.000 (hampir 80%) dalam keadaan darurat
serta dirawat di Instalasi Gawat Darurat atau IGD. Menurut World Health
Organization (WHO) di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap
tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian
80% meninggal dunia sebelum sampai rumah sakit. 80% cedera kepala
ringan, 10% cedera kepala sedang dan 10% cedera kepala berat dengan
rentang kejadian pada populasi yang berusia 15-44 tahun.3-5
Kasus trauma banyak terjadi di negara berkembang dan atau negara
dengan pendapatan rendah.Survei yang dilakukan menunjukkan sebesar
90% trauma terjadi di negara berkembang. Kematian akibat kecelakaan
lalu lintas diperkirakan meningkat 83% di negara berkembang pada tahun
2000-2020, dan kasus yang paling banyak adalah cedera kepala. Prevalensi
nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2018 adalah 11,9%, dan
Provinsi Maluku Utara menduduki urutan ke sembilan dalam Proporsi
2

cedera kepala dengan angka presentase 15% meningkat 8,5% dibanding


tahun 2013.6
Dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa derajat
cedera kepala berhubungan dengan hitung leukosit. Penlitian Niryana
tahun 2019 pada 56 pasien cedera kepala pada RSUP Sanglah Denpasar
didapatkan jumlah kasus pada cedera kepala ringan sebanyak 20 kasus dari
total 56 kasus (35,71%), cedera kepala sedang sebanyak 19 dari 56 kasus
(33,93%), dan cedera kepala berat sebanyak 17 dari 56 kasus (30,36%),
dengan distribusi laki-laki lebih banyak dari perempuan, yaitu 69,64%.
Umur terendah yaitu 14 tahun dan umur tertinggi 65 tahun. Rerata hitung
leukosit yaitu 15,00 x 106/L pada kelompok cedera kepala ringan, 19,96 x
106/L pada kelompok cedera kepala sedang, dan 28,56 x 106/L pada
kelompok cedera kepala berat. Hasil analisis statistik dengan ANOVA
memunjukkan ada hubungan antara hitung leukosit dengan derajat cedera
kepala hasil (p<0,001).3
Pada Penelitian Al-Gahtany pada tahun 2015 yang dilakukan pada
43 pasien cedera kepala di Arab Saudi. Didapatkan rerata jumlah leukosit
pada kelompok cedera kepala ringan yaitu 11,84 x 106/L, pada kelompok
cedera kepala sedang didapat rerata jumlah leukosit yaitu 14,18 x 10 6/L,
dan pada cedera kepala berat didapatkan rerata jumlah leukosit 16,83 x
106/L. Dari hasil tersebut didapatkan bahwa jumlah leukosit pasien cedera
kepala ringan lebih rendah dibandingkan cedera kepala berat.7
Demikian pula pada penelitian Gurkanlar dkk tentang nilai
prediktif leukositosis pada pasien cedera kepala pada tahun 2009 di Turki.
Didapatkan nilai rata-rata leukosit 11,26 x 106/L pada pasien cedera kepala
ringan, nilai rerata leukosit 16,41 x 106/L pada cedera kepala sedang dan
nilai rerata leukosit 23,74 x 106/L pada cedera kepala berat. Hasil tersebut
menunjukan perbedaan rerata jumlah leukosit yang cukup signifikan pada
setiap derajat.8
3

B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan yaitu apakah terdapat hubungan
antara jumlah leukosit dengan derajat cedera kepala pasien cedera kepala
usia 15-45 tahun yang di rawat di RSUD Dr. H Chasan Boesoirie Ternate?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara derajat cedera kepala dengan
jumlah leukosit pada pasien cedera kepala usia 15-45 tahun yang di
rawat di RSUD Dr. H Chasan Boesoirie Ternate.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah leukosit pada cedera kepala ringan.
b. Mengetahui jumlah leukosit pada cedera kepala sedang.
c. Mengetahui jumlah leukosit pada cedera kepala berat.
d. Mengetahui luaran klinis pasien cedera kepala berdasarkan
gambaran leukosit.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk :
1. Bahan referensi tentang hubungan jumlah leukosit dengan cedera
kepala bagi peneliti selanjutnya.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cedera Kepala
1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala diartikan sebagai suatu bentuk cedera mekanik
terhadap kepala yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung dan menyebabkan gangguan fungsi neurologis seperti
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial yang dapat bersifat
sementara maupun permanen.9 Menurut Brain Injury Association of
America (BIAA), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.10 Kerusakan dapat bersifat fokal, terbatas satu
daerah di otak, atau difus, melibatkan lebih dari satu daerah di otak.
Cedera kepala dapat merupakan hasil dari cedera kepala tertutup atau
cedera kepala tembus. Cedera kepala tertutup terjadi jika kepala secara
tiba-tiba menghantam suatu obyek dengan keras, namun obyek
tersebut tidak menembus tulang tengkorak. Cedera tembus terjadi jika
obyek menembus tulang tengkorak dan masuk jaringan otak.11
2. Epidemiologi Cedera Kepala
Diperkirakan 1.700.000 orang di Amerika Serikat mengalami
cedera kepala setiaptahunnya; 50.000 meninggal dunia, 235.000
dirawat di rumah sakit, dan 1.111.000, atau hampir 80%dirawat dan
dirujukke Departemen Instalasi Gawat Darurat. Menurut laporan
World Health Organization (WHO), setiap tahunnya sekitar 1.200.000
orang meninggal dengan diagnosis cedera kepala yaitu akibat
kecelakaan lalu lintas (KLL) dan jutaan lainnya terluka atau cacat.
Sebagian besar kematian dapat dicegah. Di negara-negara dengan
penghasilan rendah dan menengah, banyak pengguna kendaraan roda
5

dua, terutama pengguna sepeda motor, dan lebih dari 50% terluka atau
meninggal akibat KLL. Persentase jenis kelamin laki-laki lebih tinggi
mengalami cedera kepala dibanding dengan perempuan.12
Prevalensi nasional cedera kepala menurut Riskesdas 2018
adalah 11,9% jumlah ini meningkat dibanding tahun 2013 yaitu
8,2%. Penyebab cedera kepala di Indonesia akibat kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2013
dengan 2018 hanya untuk transportasi darat, tampak ada penurunan
yaitu dari 42,8% menjadi 31,4%. Tahun 2018 penyebab cedera kepala
di Indonesia mayoritas terjadi di rumah dan lingkungannya.
3. Etiologi Cedera Kepala
Hampir semua cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, akibat peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga,
dan akibat tindakan kekerasan. Penyebab yang paling sering dari
cedera kepala tertutup adalah kecelakaan lalu lintas, dimana hal ini
meliputi cedera yang terjadi pada penumpang kendaraan  bermotor,
pejalan kaki, pengendara motor, dan pengendara sepeda. Penyebab
yang lainnya adalah akibat terjatuh. Di Amerika Serikat Cedera akibat
luka tembak merupakan penyebab utama dari cedera kepala penetrasi,
terhitung sebanyak 44% dari semua kasus cedera kepala. Usia dewasa
muda merupakan orang yang paling sering terlibat dalam kecelakaan
lalu lintas (umur 5-64 tahun). Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun
atau lebih) paling sering mengalami cedera akibat terjatuh. Intoksikasi
alkohol dan obat-obatan lainnya merupakan faktor yang signifikan
sebagai penyebab cedera dan tersebar hampir sama pada semua
kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan sangat tua. 12-14
4. Patofisiologi Cedera Kepala
Otak dilindungi oleh lapisan pembungkus (rambut, kulit,
tulang, meninges, dan cairan serebrospinal) yang akan meredam
kekuatan dari suatu benturan fisik. Pada tingkat kekuatan tertentu
(kapasitas absorpsi), lapisan pembungkus otak dapat mencegah energi
6

benturan sehingga tidak mengenai jaringan otak.Derajat cedera kepala


biasanya sebanding dengan besar kekuatan yang mencapai jaringan
cranial. 15
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi
melalui dua cara: (1) efek segera dari trauma pada fungsi otak dan (2)
efek lanjutan dari respons sel-sel otak terhadap trauma. Kerusakan
fungsi saraf yang terjadi segera disebabkan oleh suatu benda atau
serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak, oleh
pengaruh kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak, dan oleh efek
akselerasil deselerasi pada otak, yang terbatas dalam kompartemen
yang kaku. Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal-hal ini
bergantung pada kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan,
makin berat kerusakan.16
Terdapat dua macam kekuatan yang digunakan melalui dua
cara yang mengakibatkan dua efek berbeda. Pertama, cedera setempat
yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan rendah dan sedikit
tenaga.Kerusakan fungsi saraf terjadi pada tempat tertentu dan
disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen tulang yang menembus
dura pada tempat serangan. Kedua, cedera menyeluruh, yang lebih
lazirn dijumpai pada trauma tumpul kepala dan terjadi setelah
kecelakaan mobil. Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan
diteruskan ke otak. Banyak energi yang diserap oleh lapisan pelindung
yaitu rambut, kutit kepala, dan tengkorak.16
Pada cedera yang hebat, penyerapan ini tidak cukup untuk
melindungi otak. Sisa energi diteruskan ke otak, menyebabkan
kerusakan dan gangguan di sepanjang jalan yang dilewati karena
sasaran kekuatan itu adalah jaringan lunak. Bila kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar (seperti pada kecelakaan mobil),
kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera setempat pada jaringan saja
tetapi juga akibat akselerasi dan deselerasi. Kekuatan akselerasi dan
deselerasi menyebabkan bergeraknya isi dalam tengkorak yang keras
7

sehingga memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada


tempat yang berlawanan dengan benturan.Ini juga disebut cedera
contrecoup. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat
beberapa bagian dalam rongga tengkorak yang kasar, dan bila otak
bergerak melewati daerah ini (misal, krista sfenoidalis), bagian ini
akan merobek dan mengoyak jaringan. Kerusakan diperhebat bila
trauma juga menyebabkan rotasi tengkorak. Bagian otak yang paling
besar kemungkinannya menderita cedera terberat adalah bagian
anterior lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior lobus
oksipitalis, dan bagian atas mesensefalon.16
Kerusakan primer terhadap otak terjadi akibat proses deselerasi
dan akselerasi. Setelah terjadinya Cedera primer akan timbul lesi
akibat kontak yang mengakibatkan efek lokal seperti laserasiscalp,
fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, kontusio dan perdarahan
intraserebral. Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh
siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkin timbulnya
efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespons dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya secara berlebihan glutamin, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. 16
5. Mekanisme Peningkatan Leukocyte Terhadap Cedera Kepala
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit
ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
8

untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan


iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak. 16
Beberapa menit dan jam setelah terjadi cedera kepala, sel-sel yang
rusak mengaktifkan contact system (sistem kallikrein-kinin) dan
mengeluarkan komponen intraseluler sebagai reaksi kerusakan sel
yaitu DAMPs ( Danger-Associated Molecular  Patterns) yang terdiri
dari ATP, DNA, RNA, HMGB1 ke kompartemen ekstraseluler.
Aktivasi contact system menghasilkan respon yang sangat cepat (<1
menit) yang akan memproduksi bradikinin dan mengaktivasi kaskade
koagulasi intrinsik melalui faktor XII ( Hageman factor) menyebabkan
vasodilatasi lokal bersamaan dengan meningkatnya  permeabilitas
pembuluh darah dan aktivasi platelet diikuti pembentukan trombus.
Keluarnya DAMPs berikatan dengan PRR ( Pattern Recognition
Receptor) dan memberi sinyal ke sel lain yang akan menghasilkan
produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL 1β, IL6, IL12, IL18, TNF-
alpha dan interferon-gamma dan meningkatkan produksi molekul-
molekul adhesi (selektin dan integrin) yang keduanya menyebabkan
perlengketan leukosit pada sel endotel dan akhirnya menyebabkan
leukosit bermigrasi ke jaringan yang rusak. Keluarnya molekul
DAMPs terjadi langsung setelah trauma, sedangkan keluarnya
mediator inflamasi seperti sitokin terjadi beberapa menit setelahnya,
sementara produksi molekul adhesi dan migrasi leukosit ke jaringan
yang rusak terjadi dalam 3-6 jam setelah cedera. Setelah 3-6 jam
leukosit menuju jaringan yang rusak, dimana hal tersebut merupakan
tahap awal dari perbaikan jaringan. Setelah leukosit menyingkirkan
jaringan yang rusak dan mengembalikan fungsi organ, maka respon
inflamasi akut ini akan menuju perbaikan dengan cepat.17,18
6. Klasifikasi Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan patologi yang dibagi
dalam komosio serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Di samping
patologi yang terjadi pada otak, mungkin terdapat juga fraktur tulang
9

tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di
temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa linear atau
depressed, terbuka atau tertutup.19
Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa
kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak hematoma bisa
ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH), bisa
hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun
perdarahan subaraknoid (SAH). Pembagian cedera kepala ringan,
sedang dan berat berdasarkan atas derajat penurunan tingkat kesadaran
penderita, serta ada tidaknya defisit neurologi fokal dengan Glasgow
Coma Scale (GCS) dan CT scan Otak. Penderita dikelompokkan
menjadi cedera kepala ringan dengan GCS 13-15, cedera kepala
sedang dengan GCS 9-12, serta cedera kepala berat dengan GCS ≤ 8.19
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan derajat kesadaran
Glasgow Coma Scale (GCS)

Tabel 1. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Glasgow Coma


Scale (GCS)

Kriteria Ringan Sedang Berat

Pencitraan Normal Normal atau Normal atau


Abnormal Abnormal

Hilang Kesadaran < 30 menit 30 menit hingga >24 jam


24 jam

Amnesia Pasca Trauma 0 – 1 hari >1 dan <7 hari >7 hari

Glasgow Coma Scale (GCS) 13-15 9-12 3-8


10

Dikutip dari :Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC. Textbook of


traumatic brain injury. 2nd ed. Washington, DC: American Psychiatric
Pub.; 2011

7. Manifestasi Klinis
Masing-masing cedera akan disertai tanda dan gejala klinis yang
spesifik. Berikut tipe cedera kepala beserta tanda dan gejalanya.
a. Komosio serebri
Tanda dan gejala untuk tipe cedera kepala ini adalah kehilangan
kesadaran dalam waktu singkat, yang terjadi sekunder karena
gangguan pada system aktivasi retikuler (reticular activating
system, RAS). Kehilangan kesadaran mungkin disebabkan oleh
perubahan tekanan mendadak di daerah yang mengatur kesadaran,
perubahan pada polaritas neuron, iskemia, atau distorsi structural
pada neuron, muntah akibat cedera dan kompresi setempat,
amnesia anterograd dan retrograde (pasien tidak ingat kejadian
sesudah peristiwa kecelakaan atau cedera atau kejadian yang
menimbulkan kecelakaan atau cedera tersebut) yang memiliki
korelasi dengan intensitas cedera. Semua gejala tersebut berkaitan
dengan gangguan pada system aktivasi retikuler, iritabilitas atau
letargi akibat cedera setempat, perilaku berubah akibat cedera
setempat, keluhan pening, mual, atau sakit kepala hebat akibat
cedera dan kompresi setempat.15
b. Kontusio serebri
Tanda dan gejala untuk tipe cedera kepala ini adalah luka yang
berat pada kulit kepala akibat cedera langsung, pernapasan tampak
berat dan kehilangan kesadaran yang terjadi sekunder karena
kenaikan tekanan intrakranial akibat memar jaringan otak. Gejala
lain yang didapatkan seperti mengantuk, bingung (konfusi),
disorientasi, pasien berontak/menyerang (agitasi) atau mengamuk.
Semua terjadi karena kenaikan tekanan intrakranial akibat cedera
11

kepala. Hemiparesis yang terjadi berkaitan dengan gangguan


aliran darah ke tempat cedera, postur tubuh dekortikasi atau
deserebrasi akibat kerusakan korteks serebri atau disfungsi
hemisfer, reaksi pupil yang tidak sama (anisokor) akibat lesi pada
batang otak.15
c. Hematoma epidural
Epidural hematoma adalah adanya darah di ruang epidural yaitu
ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan
duramater.Epidural hematoma dapat menimbulkan penurunan
kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.15,20
d. Hematoma subdural
Subdural hematoma terjadi akibat robeknya permukaan pembuluh
darah vena. Subdural Hematoma terbagi menjadi dua yaitu fase
akut dan kronik.Tanda dan gejala untuk tipe cedera kepala ini
adalah serupa dengan hematoma epidural. Pada fase akut akan
menibulkan gejala berupa sakit kepala yang memburuk, defisit
neurologis fokal, abnormalitas pupil unilateral dan penurunan
kesadara. Pada fase kronik herniasi serebral dapat terjadi dan
terjadi kebocoran kapiler secara perlahan sehingga menimbulkan
ekspansi massa dan minimbulkan gejala peningkatan tekanan
intrakranial . 15,20
e. Hematoma intraserebral
Tanda dan gejala untuk tipe cedera kepala ini adalah keadaan tidak
bereaksi yang segera terjadi atau lusid intervalsebelum pasien
tidak sadarkan diri (koma). Hal ini diakibatkan oleh kenaikan
tekanan intrakranial dan efek massa yang ditimbulkan oleh
perdarahan. Defisit motorik dan respons dekortikasi atau
12

deserbrasidapat terjadi akibat dari kompresi pada traktus


kortikospinalis serta batang otak. 15

f. Fraktur kranium
Tanda dan gejala untuk tipe cedera kepala ini adalah kemungkinan
asimptomatik.Gejala yang timbul tergantung pada cedera otak
yang ada di balik tulang tengkorak, diskontinuitas dan pergeseran
struktur tulang pada fraktur yang berat, disfungsi sensorik-motorik
dan nervus kranialis bila fraktur tengkorak disertai fraktur tulang
wajah (fraktur fasialis). Penderita fraktur fosa anterior basis kranii
dapat mengalami ekimosis periorbital (raccon eyes), anosmia
(gangguan penciuman akibat lesi pada nervus olfactorius) dan
kelainan pupil, rinore cairan serebrospinal (perembesan/kebocoran
cairan serebrospinal lewat hidung), otore cairan serebrospinal
(kebocoran lewat telinga), hemotimpanium (penumpukan darah
dalam membrane timpani), ekimosis di daerah os mastoideus
(battle sign) dan paralisi fasialis (cedera nervus ketujuh), yang
semua ini dapat menyertai fraktur fosa media basis kranii, tanda-
tanda disfungsi medula oblongata, seperti kegagalan
kardiovaskuler dan respirasi, akan menyertai fraktur fosa posterior
basis kranii. 15
8. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala
sebagai berikut:
a. Bukti eksternal cedera kepala: laserasi dan memar.21
b. Tanda fraktur basis kranii: hematom periorbital bilateral, hematom
pada mastoid (battle sign), hematom subkonjungtiva (darah di
bawah konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang
menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan), keluarnya
cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak
berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.21
13

c. Nilai tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS)


Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale
pada tahun 1974. Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala
untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu
reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal
respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).21
Tabel 2.Glasgow Coma Scale (GCS)
Pemeriksaan Nilai
E. Mata
1. Membuka mata 4
2. Membuka jika dipanggil atau ada suara 3
3. Membuka jika dirangsang nyeri 2
4. Tidak sama sekali 1
M. Motorik
1. Mengikuti perintah 6
2. Dapat menunjuk letak nyeri 5
3. Gerak menarik ekstremitas menjauhi rangsang 4
nyeri 3
4. Fleksi abnormal (dekortikasi) jika dirangsang 2
nyeri 1
5. Ekstensi ekstremitas (deserebasi) jika
dirangsang nyeri 5
6. Tidak ada gerakan 4
V. Verbal 3
1. Pembicaraan terarah 2
2. Kalimat tidak terarah, bingung 1
3. Kata-kata kasar atau tidak jelas
4. Suara atau erangan tidak jelas
5. Tidak ada respon verbal

Dikutip dari : Buku Ajar Ilmu Bedah.Sjamsuhidajat-De Jong.Edisi


4.Jakarta.2017

d. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk


melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial. 21
14

e. Nilai derajat cedera kepala


Pembagian cedera kepala ringan, sedang dan berat berdasarkan atas
derajat penurunan tingkat kesadaran penderita, serta ada tidaknya
defisit neurologi fokal dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT
scan Otak. Penderita dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan
dengan GCS 13-15, cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, serta
cedera kepala berat dengan GCS ≤ 8.19
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
1. Hb, Leukosit, Diferensiasi sel
Penelitian di RSCM/FKUI oleh Syarif menunjukkan bahwa
leukositosis dapat dipakai sebagai salah satu indikator
pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR).Leukosit
>17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan
angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun
secara klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai
GCS 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah
komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di
daerah tanpa fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah
satu acuan prediktor yang sederhana.22
2. Gula darah sewaktu (GDS)
Pada fase akut, tubuh pasien cedera kepala akan beradaptasi
terhadap stress, yang mana keadaan tersebut akan merangsang
peningkatan sekresi hormon dan perangsangan sistem
corticotropin releasing hormone (CRH). Perangsangan
hormon tersebut akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa
darah. Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko
bermakna untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-
220mg/dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/dL22
15

3. Ureum dan Kreatinin


Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena pada pasien cedera
kepala yang mengalami syok akan menurunkan aliran darah ke
ginjal. Pemberian obat manitol yang merupakan zat
hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi
ginjal sehingga perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal
terlebih dahulu. Pada fungsi ginjal yang buruk, pemberian
manitol tidak boleh diberikan.22
4. Analisa gas darah
Dikerjakan pada cedera kepala dengan kesadaran menurun.
pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang
kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mmHg, SaO2 >95%, dan
pCO2 30-35 mmHg.22
5. Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Hiponatremia pasca cedera kepala mengakibatkan gangguan
homeostasis di sistem saraf pusat. Cedera kepala menyebabkan
respons stres dan aktivasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal
yang meningkatkan atrial natriuretic peptide (ANP), brain
natriuretic peptide (BNP), dan arginin vasopressin sehingga
terjadi kondisi hiponatremia. Sekresi hormon antidiuretik
(ADH) berlebihan, restriksi cairan, perdarahan, atau adanya
cedera lain mengakibatkan terjadinya kondsi hipovolemia.
Sekresi ADH berlebih sesuai untuk kondisi hipovolemia tetapi
tidak sesuai untuk kondisi hiponatremia.Restriksi cairan dapat
memperburuk kondisi dengan terus meningkatkan produksi
ADH. Hiponatremia juga dapat terjadi karena kelebihan
penggunaan cairan dekstrosa tanpa pemberian suplementasi
natrium.Pemeriksaan ini juga dilakukan karena apabila kadar
elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.22,23

6. Albumin serum (hari 1)


16

Albumin merupakan 60% dari penyusun protein adalah reaktan


negatif fase akut yang dilaporkan sebagai metabolik cedera
atau infeksi.Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin
rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih
besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.22
7. Trombosit, PT, aPTT, Fbrinogen
Pemeriksaan ini dilakukan bila dicurigai ada kelainan
hematologis.Risiko late hematomas perlu diantisipasi.
Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila trombosit
<40.000/mm3, kadar fibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan
aPTT >50 detik.22
b. Pemeriksaan CT scan kepala
CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-
struktur intrakranial.Densitas serebrum pada CT adalah isodens.
Struktur-struktur hiperdens termasuk tulang tengkorak, kelenjar
pineal dan darah segar; struktur-struktur hipodens termasuk cairan
serebrospinal, lemak dan air. Struktur-struktur yang berdampingan
memiliki densitas yang berbeda agar dapat dengan mudah
diidentifikasi pada CT scan. Pergeseran struktur normal, seperti
kelenjar pineal atau sistem ventrikular, dapat menunjukkan adanya
lesi.Pada hematoma epidural gambaran yang didapatkan berupa
massa hiperdens, ekstraaksial, dan bikonveks. Hematoma subdural
memberikan gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit
(konkaf) yang dapat melewati sutura dan masuk ke dalam fisura
intrahemisfer namun tidak melewati garis tengah.Pada perdarahan
intarserebral didapatkan gamabaran lesi kecil hiperdens multipel,
kecil dengan batas tegas di perenkim otak, dapat dikelilingi oleh
lingkaran hipodens dari edema, dan bisa didapatkan perdarahan
intraventrikel.24

10. Penatalaksanaan
17

Penatalaksanaan cedera kepala dapat dibagi berdasarkan:21


a) Cedera kepala ringan (GCS=13-15)
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak
mengacuhkan perintah, tanpa disertai defsit fokal
serebral.Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto
kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai
dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai
kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat
lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma,
dilakukan CT scan.
Pasien cedera kepala ringan tidak perlu dirawat jika:
 Orientasi (waktu dan tempat) baik
 Tidak ada gejala fokal neurologik
 Tidak ada muntah atau sakit kepala
 Tidak ada fraktur tulang kepala
 Tempat tinggal dalam kota
 Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan
bila dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa
kembali ke rumah sakit
b) Trauma kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan
kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
 Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway),
pernapasan (Breathing), dan sirkulasi (Circulation)
 Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal
serebral, dan cedera organ lain. Jika dicurigai fraktur
tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan
18

fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau


fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
 Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
 CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
 Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit
fokal serebral lainnya
c) Cedera kepala berat (GCS 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera
multipel.Bila didapatkan fraktur servikal, segera pasang
kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk
pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera
kepala sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat
di ICU.
Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan
sistemik. Pasien cedera kepala berat sering berada dalam
keadaan hipoksi, hipotensi, dan hiperkapni akibat
gangguan kardiopulmoner
a. Tindakan
1) Terapi non-operatif
Terapi non-operatif pada pasien cedera kepala ditujukan untuk:
a) Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial.
b) Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar,
diuretik).
c) Minimalisasi kerusakan sekunder.
d) Mengobati simptom akibat cedera otak
e) Mencegah dan mengobati komplikasi cedera otak, misal
kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)

2) Terapi operatif
19

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:


a) Trauma kepala tertutup
 Fraktur impresi (depressed fracture)
 Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan
volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau
pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada
perburukan kondisi pasien
 Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan
pendorongan garis tengah lebih dari 3 mm atau
kompresi/ obliterasi sisterna basalis
 Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan
progresivitas kelainan neurologic atau herniasi
b) Trauma kepala terbuka
 Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka
kulit, fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi
otak.
 Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari.
 Pneumoencephali.
 Corpus alienum.
 Luka tembak

B. Kerangka Teori

Cedera Kepala Kerusakan Jaringan


20

Pelepasan DAMPs ke Aktivasi Contact System


kompartemen ekstraseluler (FXI, FXII, Kallikrein, Bradikinin)

DAMPs berikatan dengan Peningkatan Permeabilitas


PRR (Pattern Recognition Pembuluh Darah dan Aktivasi
Receptor) Platelet dan Pembentukan Trombus

Produksi Sitokin Pro- Perbaikan Jaringan yang Rusak


Inflamasi dan Meningkatkan
Produksi Molekuler Adhesi

Perlengketan Leukosit pada


Sel Endotel

Leukosit Bermigrasi ke
Jaringan yang Rusak

Peningkatan Kadar Leukosit

Perbaikan Jaringan yang


Rusak dan Pengembalian
Fungsi Organ

Gambar 1: Kerangka teori

C. Kerangka Konsep

Nilai Glasgow Coma


Scale (GCS)
Cedera Kepala
21

Nilai hitung leukosit

Gambar 2: Kerangka konsep

D. Hipotesis
Terdapat hubungan derajat cedera kepala dengan jumlah leukosit pada
pasien cedera kepalausia 15-45 tahun di RSUD Dr. H Chasan Boesoirie
Ternate. Semakin berat derajat cedera kepala maka jumlah leukosit akan
terjadi peningkatan. Cedera kepala ringan akan menunjuakan gambaran
jumlah leukosit antara 11x106/L sampai 15x106/L , Cedera kepala sedang
akan menunjukan gamabaran jumlah leukosit antara 14x106/L sampai
19x106/L dan cedera kepala berat akan menunjukan gambaran jumlah
leukosit antara 16x106/L sampai 28x106/L .

BAB III

METODE PENELITIAN
22

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik korelatif dengan
menggunakan pendekatan cross sectional yaitu dimana variabel dependent
dan variabel independent dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan dan
diperiksa secara langsung.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medikRSUD Dr. H Chasan
Boesoirie Ternate
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akandilakukan pada bulan Juni-Juli 2020.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi target adalah semua individu yang telah didiagnosis
cedera kepala. Populasi terjangkau adalah semua individu yang telah
didiagnosis cedera kepala yang datang berobat ke RSUD Dr. H Chasan
Boesoirie Ternate dan masuk dalam kriteria inklusi selama periode
penelitian.Subjek penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria Inklusi
 Pasien cedera kepala yang ditegakan oleh dokter spesialis
 Usia 15 – 45 Tahun
 Memiliki hasil pemeriksaan darah lengkap
b. Kriteria Eksklusi
 Pasien cedera kepala usia 15-45 tahun yang memiliki riwayat
demam sebelumnya
 Pasien dengan riwayat penyakit infeksi yang sedang diderita
saat cedera kepala.

D. Estimasi Besar Sampel


Untuk besarnya sampel dipergunakan rumus berikut :
23

Zα 2 PQ
n=
d2
Rumus Lemeshow Besar Sampel Penelitian (Snedcor GW & Cochran
WG,1967)
n = Jumlah sampel yang diperlukan
Zα = Telah ditetapkan bahwa α bernilai 0,05 sehingga Zα bernilai 1,96
P = Proporsi sampel yang mendapatkan perlakuan khusus (menggunakan
ketetapan maksimal 0,5)
Q = Proporsi sampel yang tidak dapat perlakuan khusus (1─P)
d = Limit dari error atau presisi absolut digunakan15 % atau 0,15
2
1,96 0,5 0,5
n=
0,15 2

n = 42,68
Diperoleh besar sampel yang akan digunakan sebanyak 42,68 yang
dibulatkan menjadi 43 sampel.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder.Data sekunder diperoleh dari data pasien cedera kepala di RSUD
Dr. H Chasan Boesoirie Ternate yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
ekslusi.
F. Metode Analisa Data
Data yang diperoleh dari data sekunder akan ditabulasi serta diuji
kemaknaannya dengan program SPSS dengan ANOVA TEST.

G. Defenisi operasional
24

1. Cedera kepala adalah cedera mekanik terhadap kepala baik secara


langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik yang
temporer maupun permanen.
2. Cedera kepala ringan berdasarkan American Psychiatric adalah pasien
yang berdasarkan derajat kesadaran Glasgow Coma Scaledan
gambaran klinik memiliki kriteria cedera otak ringan yaitu GCS 13-15,
pingsan < 30 menit, tidak terjadi hemiparesis atau kejang atau amnesia,
dan hasil CT scan otak normal
3. Cedera kepala sedang berdasarkan American Psychiatric adalah pasien
yang berdasarkan derajat kesadaran Glasgow Coma Scaledan
gambaran klinik memiliki kriteria cedera otak sedang yaitu GCS 9-12,
terjadi hemiparesis atau kejang atau amnesia, dan hasil CT scan otak
abnormal atau normal
4. Cedera kepala berat berdasarkan American Psychiatric adalah pasien
yang berdasarkan derajat kesadaran Glasgow Coma Scaledan
gambaran klinik memiliki kriteria cedera otak berat yaitu GCS 3-8,
dan hasil CT scan otak abnormal
5. Nilai GCS 9-12, 13-15 adalah nilai total pemeriksaan neurologis pasca
trauma yang meliputi respon motorik, verbal, dan mata saat pasien tiba
di rumah sakit.
6. Nilai normal leukosit atau sel darah putih berdasarkan Pedoman
Interprestasi Data Klinik adalah 3200 – 10.000/mm3
7. Semakin berat derajat cedera kepala maka jumlah leukosit akan terjadi
peningkatan. Cedera kepala ringan akan menunjuakan gambaran
jumlah leukosit antara 11 x 106 / L sampai 15 x 106 / L , Cedera kepala
sedang akan menunjukan gamabaran jumlah leukosit antara 14 x 106 /
L sampai 19 x 106 / L dan cedera kepala berat akan menunjukan
gambaran jumlah leukosit antara 16 x 106 / L sampai 28 x 106 / L.

BAB IV
25

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H Chasan


Boesoirie Ternate di bagian Rekam Medik.Penelitian ini dilakukan dengan
melihat dan mengumpulkan data rekam medik pasien cedera kepala pada tahun
2018 sampai tahun 2019. Berdasarkan data yang diteliti, jumlah pasien cedera
kepala pada penelitian ini berjumlah 89 orang dan yang memenuhi kriteria inklusi
pada penelitian ini berjumlah 68 orang .

A. Karakteristik Umum
Tabel 4.1 Sebaran karakteristik demografi subjek

Karakteristik Demografi Jumlah Persentase

Jenis Kelamin
 Laki-Laki 35 51.5
 Perempuan 33 48.5

Usia

 15-25 Tahun
 26-35 Tahun 41 60.3

 36-45 Tahun 7 10.3


20 29.4

Dari tabel 4.1, dapat dilihat adanya perbedaan sebaran jenis


kelamin dari subjek penelitian, dimana subyek berjenis kelamin laki-laki
berjumlah lebih banyak yaitu 35 orang (51.5%) dibanding dengan
perempuan yang berjumlah 33 orang (48.5%). Hal ini sesuai dengan
penelitian lain. Pada penelitian Chandra SO1 Prevelensi laki-laki 73.7%,
Niryana W dkk3 dikatakan prevelensi laki-laki lebih banyak dari
perempuan yaitu 69.6%, penelitian Algahtany M7 menunjukan prevelensi
26

laki-laki 93%, penelitian VOS PE dkk dengan prevelensi 72% untuk laki-
laki, penelitian Topolovec Vrenic dkk dengan prevelensi sebaran 63%
untuk laki-laki. Tinggi angka kejadian cedera kepala pada laki-laki diduga
karena aktivitas laki-laki lebih banyak diluar rumah dan mobilitas yang
tinggi sehingga meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Dilihat dari sebaran usia, jumlah subyek penelitian antar kelompok
usia 15 – 25 tahun berjumlah 41 orang (60.3%), kelompok usia 26 - 35
tahun berjumlah 7 orang (10.3%) dan kelompok usia 36 – 45 tahun
berjumlah 20 orang (29.4%) berdasarkan hasil tersebut , maka dapat
disimpulkan bahwa cedera kepala paling banyak diderita oleh kelompok
usia antara 15 – 25 tahun dengan jumlah 41 orang (60.3%). Hal ini sesuai
dengan penelitian lain. Pada penelitian Chandra SO 1 bahawa cedera kepala
didominasi oleh kelompok umur 17 – 28 Tahun 39.5%, hal ini disebabkan
oleh remaja yang masih dalam tahap aktif untuk melakukan sesuatu
ataupun untuk mencoba-coba sesuatu hal sehingga biasa menyebabkan
kecelakaan yang menyebabkan cedera kepala.

B. Karakteristik Medis
27

Tabel 4.2 Sebaran cedera kepala berdasarkan derajat

Karakteristik Cedera Kepala Jumlah Persentase

 Cedera Kepala Ringan 35 51.5


(GCS 13 – 15 )

 Cedera Kepala 19 27.9


Sedeang
(GCS 9 – 12 )
14 20.6
 Cedera Kepala Berat
(GCS < 9 )

Total 68 100

Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penderita cedera kepala ringan
berjumlah 35 orang (51.5%), penderita cedera kepala sedang berjumlah 19
orang (27.9%), dan penderita cedera kepala berat berjumlah 14 orang
(20.6%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa penderita cedera kepala
yang paling banyak datang ke rumah sakit adalah cedela kepala ringan
yaitu 35 orang (51.5%) dan cedera kepala yang paling sedikit yang datang
ke rumah sakit adalah cedera kepala berat yaitu 14 orang (14%). Hal ini
3
sesuai dengan penelitian lain seperti pada penelitian Niryana W dkk
bahwa pasien paling banyak pada cedera kepala ringan (35.7%) dan paling
sedikit pada cedera kepala berat (30.3%)

C. Hubungan derajat cedera kepala dengan jumlah leukosit


28

Tabel 4.3 Hubungan derajat cedera kepala dengan jumlah leukosit

Derajat cedera kepala WBC


95 % CI Signifikansi
X 106/L

Cedera Kepala Ringan


11.01 ± 1.89 10.36 - 11.66 .000*
(GCS 13 – 15 )

Cedera Kepala Sedang


15.46 ± 1.90 14.54 - 16.38
(GCS 9 – 12 )

Cedera Kepala Berat


20.83 ± 3.74 18.67 - 22.99
(GCS 3 – 8 )

*Signifikansi p<0,05

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahawa terdapat perbedaan yang


signifikan antar derajat cedera kepala dengan jumlah leukosit (anova test
one way P value 0.000 , 95% confidance interval ) . Hasil yang didapatkan
rerata WBC pada kelompok cedera kepala ringan adalah 11.01 x 10 6/L,
rerata WBC pada kelompok cedera kepala sedang 15.46 x 106/L , rerata
WBC pada kelompok cedera kepala berat 20.83 x 106/L .Dari hasil
tersebut didapatkan bahwa jumlah leukosit pasien cedera kepala ringan
lebih rendah dibandingkan cedera kepala berat yang lebih tinggi.
Pada penelitian ini didapatkan hasil hubungan yang bermakna dan
perbedaan yang signifikan antara derajat cedera kepala dengan jumlah
29

leukosit (p value 0.000). Dimana rerata nilai jumlah leukosit dari masing-
masing derajat cedera kepala terjadi peningkatan dari batas nilai
normalnya yaitu 10 x 106/L , terdapat perdedaan signifikan rerata jumlah
leuoksit dengan derajat keparahan cedera kepala. Hasil yang didapatkan
sesuai dengan penelitian lain sebelumnya .Pada Penelitian Al-Gahtany 7
Didapatkan rerata jumlah leukosit pada kelompok cedera kepala ringan
yaitu 11,84 x 106 / L, pada kelompok cedera kepala sedang didapat rerata
jumlah leukosit yaitu 14,18 x 106 / L, dan pada cedera kepala berat
didapatkan rerata jumlah leukosit 16,83 x 106 / L .dimana terjadi
peningkatan dan perbedaan yang signifikan antar derajat.
Demikian pula pada penelitian Gurkanlar dkk tentang nilai
prediktif leukositosis pada pasien cedera kepala pada tahun 2009 di
Turki.Didapatkan nilai rata-rata leukosit 11,26 x 106/L pada pasien cedera
kepala ringan, nilai rerata leukosit 16,41 x 106 / L pada cedera kepala
sedang dan nilai rerata leukosit 23,74 x 106 / L pada cedera kepala berat.
Hasil tersebut menunjukan perbedaan rerata kadar leukosit yang cukup
signifikan pada setiap derajat
Mekanisme terjadinya peningkatan leukosit adalah peran dari
hormon katekolamin dan kortikosteroid.Katekolamin meningkatkan
jumlah leukosit dengan melepaskan sel-sel leukosit teraktivasi ke
peredaran darah. Kortikosteroid meningkatkan hitung leuksoit dengan
melepaskan sel-sel leukosit dari tempat penyimpanan di sum-sum tulang
ke dalam peredaran darah.Di otak, setelah terjadinya trauma, badan sel
dari mikroglia menjadi hipertrofi dengan proses memanjang, bercabang
pada 60 menit pertama setelah trauma. Sel-sel mikroglia mengekspresikan
antigen MHC kelas I dan II dan antigen-antigen ini dipresentasikan kepada
sel limfosit di kelenjar limfe regional dan memicu aktivasi dari limfosit
yang beredar dalam sistem saraf pusat.Lebih jauh lagi, leukosit baru
meningkat pada cedera kepala berat.Sel-sel leukosit kurang elastis
dibanding dengan eritrosit, sehingga membutuhkan tekanan lebih tinggi
untuk mendorong mereka masuk ke kapiler dengan diameter yang
30

kecil.Dalam keadaan penurunan tekanan perfusi, pembuluh darah kapiler


dapat bertindak seperti jaring dan memperangkap sel-sel leukosit untuk
meningkatkan hitung leukosit. Setelah proses tersebut, sel-sel leukosit
akan menempel pada endotel dan tidak dapat terlepas sekalipun tekanan
perfusi sudah kembali normal.3

BAB V
31

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian terhadap 68 pasien cedera kepala dengan
rincian 35 pasien cedera kepala ringan, 19 pasein cedera kepala sedang dan
14 pasien cedera kepala berat yang datang pada RSUD Dr. H Chasan
Boesoirie Ternate.Penelitian menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan karakteristik demografi, kelompok yang
terbanyak pada pasien cedera kepala di RSUD Dr. H
Chasan Boesoirie Ternate adalah jenis kelamin laki-laki dan
rentang usia 15 - 20 tahun
2. Derajat cedera kepala ringan merupakan kelompok yang
paling banyak datang ke RSUD Dr. H Chasan Boesoirie
Ternate diikuti oleh cedera kepala sedang dan yang paling
sedikit cedera kepala berat
3. Jumlah leukosit merupakan prediktor yang cukup kuat
untuk menetukan derajat cedera kepala dimana semakin
tingginya jumlah leukosit akan menggambarkan buruknya
derajat cedera kepala.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian jumlah leukosit pada pasien cedera kepala
dengan sampel yang lebih besar
2. Dapat digunakannya jumlah leukosit sebagai penentu derajat keparahan
cedera kepala.

DAFTAR PUSTAKA
32

1. Chandra SO . Hubungan derajat trauma kepala terhadap penurunan kadar


trombosit pada pasien berusia 15-44 tahun di RSUD Dr Soedarso
Pontianak periode 2012-2103.Pontianak: FK Universitas Tanjungpura;
2015.
2. Li M, Zhao Z, Yu G, Zhang J. Epidemiology of traumatic brain injury
over the world: A systematic review. General Medicine: Open Access.
2016; 4(5):1–14
3. Niryana W, Wardhan TA, Citra A, Maliawan S. Hubungan antara hitung
leukosit dalam darah dengan derajat cedera kepala adanya fokal lesi dan
perdarahan subaraknoid traumatik di RSUP Sanglah, Denpasar. Medicina.
2019;50(1):96-100
4. Marx, J., Hockbergerm, R. ,& Walls, R. Rosen’s Emergency Medicine;
Concepts and Clinical Practie. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2014.
5. Kastilong M, Tangkudung G, Khosama H, Subrata I. Rasio neutrofil
limfosit dan luaran cedera kepala, JSinaps .2018;1(2):20-28
6. Salim, C. Sistem Penilaian Trauma. Cermin Dunia Kedokteran. 2015;
42(1): 8-14
7. Algahtany M. Serum leukocyte count (WBC) levels as an indicator for
severity of traumatic brain injury in Saudi Arabia patients. Egyptian
Journal of Neurosurgery. 2015;30(2):145-50.
8. Gurkanlar D, Lakadamyali H, Ergun T, Yilmaz C, Yucel E, Altinors N.
Predictive value of leucocytosis in head trauma. Turkish
Neurosurgery.2009;19(3):211-5.
9. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : CV Prikarsa Utama; 2006.
10. Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., Traumatic brain injury in
the United States: emergency department visits, hospitalizations, and
deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention,
National Center for Injury Prevention and Contro; 2006
33

11. Kirismanto M. Hubungan antara kadar protein S100B dengan keluaran


pasien cedera kepala ringan dan sedang. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013.
12. Awaloei AC, Mallo NT, Tomuka D. Gambaran cedera kepala yang
menyebabkan kematian di bagian forensik dan medikolegal RSUP Prof.
Dr. R.D Kandou periode Juni 2015 –  Juli 2016, Jakarta : Jurnal e-Clinic
(eCl).2016;4(2):2-6.
13. Arent AM. Perspectives on molecular biomarkers of oxidative stress and
antioxidant strategies in traumatic brain injury. London : Hindawi
Publishing Corporation BioMed Research International. 2014;10:2-18.
14. Veenith T, Goon S, Burnstein R, et al. Molecular mechanisms of traumatic
brain injury. World Journal of Emergency Surgery. 2009.
15. Mayer W, Kowalak. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC; 2011.
16. Price, Sylvia A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Ed 6.
Jakarta : EGC
;2012.
17. Plesnila N. The immune system in traumatic brain injury. Elsevier ; 2015
18. Balu R. Inflammation and immune system activation after traumatic brain
injury in current neurology and neuroscience. Springer. 2014.
19. Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC. Textbook of traumatic brain
injury. 2nd ed. Washington, DC: American Psychiatric Pub.; 2011
20. Tobing, H.G. Prinsip Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Sagung Seto;2011.
21. Ginsberg L. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga.2007.
22. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral.Counting
medical education. 2012;39(5):327-331.
23. Kusumaningtiyas M, Kahariani F, Setyaningsih I.Hiponatremi sebagai
prediktor prognosis kematian pasien cedera otak akibat trauma di RSUP
DR.SARDJITO Yogyakarta.Callosum Neurology.2018;1(2):71-74
24. Sylvani. Peran neuroimanging dalam diagnosis cedera kepala.Jakarta:
CDK. 2017;44(2):97-101

Anda mungkin juga menyukai