Anda di halaman 1dari 18

Bahagia dan Sengsara

cisaat | July 19, 2005

Walaupun begitu dalam zaman sekarang pendekatan esoterik tidak lagi dapat
dipertahankan sepenuhnya sebagai kerahasiaan,karena berbagai hal.

Pertama, karena akses pada bahan bacaan,termasuk di bidang kesufian atau mistisisme,
yang tumbuh pesat tidak mungkin lagi dibendung. Bahkan kiranya memang tidak perlu
dan tidak dibenarkan untuk dibendung.

Kedua, tingkat kecerdasan anggota masyarakat yang semakin tinggi menuntut


pengertian-pengertian agama yang tidak konvensional atau, apalagi, stereotipikal. Ketiga
pergaulan kemanusiaan sejagad makin tidak terhindarkan, berkat kemajuan teknologi
informasi dan transportasi.

Sebagaimana telah diisyaratkan dalam pembahasan di atas, pandangan kefilsafatan dan


kesufian tentang bahagia dan sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian
yang lebih rohani daripada jasmani atau, barangkali lebih psikologis daripada fisiologis.
Selain berdasarkan isyarat
tentang banyaknya kandungan al-Qur'an yang disebut sebagai tamsil-ibarat di atas, kaum
sufi dan para filsuf juga mendapatkan banyaknya penegasan bahwa kebahagiaan tertinggi
jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud dalam ridla Allah. Sebuah firman
mengatakan,

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun wanita, surga-
surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana selama-lamanya;
(dijanjikan pula) tempat-tempat tinggal yang indah, dalam surga-surga
kebahagiaan abadi. Dan keridlaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya
kebahagiaan yang agung. (QS. al-Tawbah/9:72)

Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub mengatakan,

.. Kebahagiaan di surga menanti kaum beriman, Surga-surga yang di bawahnya mengalir


sungai-sungai, kekal di sana selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang indah,
dalam surga-surga kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang tenang tenteram.
Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dan lebih
agung lagi; Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan segala kenikmatan
yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi tidak seberapa di depan
hebatnya keridlaan Allah yang Maha Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang
akbar...

Saat perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya, saat pembebasan diri
dari kungkungan jasad yang campur aduk ini serta dari beban bumi dan iming-iming
jangka pendeknya, saat dari lubuk hati manusia yang mendalam terpancar sinar dari
Cahaya yang mata tidak mampu memandangNya, saat pencerahan ketika relung-relung
sukma benderang dengan berkas Ruh Allah... semuanya adalah satu momen dari momen-
momen yang bertumpu pada kelangkaan amat sedikit bagi manusia dalam suasana
kesucian total; sungguh dihadapan itu semua tidaklah bermakna lagi setiap kesenangan,
juga tidak setiap harapan...

Apalagi keridlaan Allah meliputi seluruh sukma, dan sukma-sukma itu tercekam di
dalamnya tanpa kesudahan! "ltulah kebahagiaan sejati yang agung". (Sayyid Quthub, Fi
Zhilal al-Qur'an, jilid 10, hal. 254-5)

Dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan filosofis dan sufi pada
masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung,
sebagai keridlaan Allah --sebagai pengalaman kesaksian rohani akan Wujud Maha Benar
itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak
bermakna apa-apa adalah sebuah tafsiran kasyafi (theophanic, epiphanic, yakni, bersifat
penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran Kebenaran Ilahi). Metodologi
seperti itu dikembangkan dalam tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk
dalam hidup sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah-rohani (riyadlah) dan
perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang diajarkan kaum sufi.
Renungan 2004 115 Comments/Trackbacks

Wajah Yang Jujur


cisaat | July 19, 2005

Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur?

Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak
adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang. Seorang artis yang ketika di
panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda
jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia tidur sudah tak akan tampakl
wajah bengisnya Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur.

Sad! arilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih,
betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai
terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita,
anak-anaknya. Orang inlah rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan
pendidikan kita lancar.

Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm.. kulitnya mulai keriput dan tangan yang
dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena terpaan hidup yang keras.
Oang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin
mengingatkan dan mengomelini kita semata-mata karena rasa kasih dan sayangnya itu
sering kita salah artikan.

Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu : Ayah, Ibu , suami , istri, kakak, adik,
anak, sahabat, semuanya. Rasakan sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakan energi cinta
yang mengalir pelan-pelan s! aat menatap wajah lugu yang terlelap itu. Rasakan getaran
cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang talah
dilakukan orang-orang itu untuk kebagaiaan anda. Pengorbanan yang kadang tertutupi
oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selalu saja nampak besar.

Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah
jujur mereka saat sedang tidur. Pengorbanan yang kadang melelahkan namaun enggan
merka ungkapkan. dan Ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkapkan segalanya. Tanpa
kata, tanpa suara dia berkata : " betapa lelahnya aku hari ini." dan penyebab lelah itu ?
Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah suami yang bekerja keras mencari nafkah
dan istri yang bekerja mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan
sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.
Renungan 2004 98 Comments/Trackbacks

Kepasrahan
cisaat | July 19, 2005

Engkau berdiri dengan sendiri


Engkau mutlak
tiada yang lain mampu mempengaruhi-Mu.

Engkau Maha Perkasa


Engkau kembangkan payung keperkasaan-Mu
melindungi yang lemah dan tidak berdaya
akulah yang lemah dan tidak berdaya itu
di bawah paying keperkasaan-Mu daku bernaung
Engkau sekali-kali tidak akan menolak
para hamba yang menyerah diri kepada-Mu.

Alangkah mudahnya
bila segala sesuatu diserahkan kepada-Mu
dan yakin Engkau menerimanya
Engkau tidak pernah letih atau lalai
tidak mengantuk tidak tidur
tidak bosan menguruskan hal hamba-hamba-Mu.

Wahai Pelindung diriku


penyerahan adalah kelapangan
penyerahan adalah kedamaian
penyerahan adalah Kesejahteraan.

Wahai Pelindung diriku


penuhilah hatiku dengan yakin
agar sekaliannya kembali kepada-Mu
tanpa sebarang sisa pada diriku.
Engkau gemar mendengar tutur-kata hamba-hamba-Mu
Engkau tidak jemu mendengar daku membebel
tiap ucapanku Engkau jawab
dengan kelembutan-Mu
wahai al-Latiff
kami para hamba sangat Engkau manjai
dengan kemaha-lembutan-Mu.
Renungan 2004 94 Comments/Trackbacks

Ragam Para Wali


cisaat | July 19, 2005

Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat
masing-masing di hadapan Allah Taala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Maatsir
asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin
Katilah Rahimahullaahu Taala menceritakan: Saya sedang duduk di hadapan guruku,
lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. Apa makna Quthub itu wahai
tuanku?? Lalu beliau menjawab, Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka
sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami itu hanya satu. Artinya bahwa Wali
Nuqaba itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka
memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat
bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:

1) Ibadah yang banyak,


2) Melakukan zuhud hakiki,
3) Menekan hasrat diri,
4) Mujahadah dengan maksimal.

Sedangkan lelaku batinnya:

1) Taubat,
2) Inabat,
3) Muhasabah,
4) Tafakkur,
5) Merakit dalam Allah,
6) Riyadlah.

Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan Wali Nujaba jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas
mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan
adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat
bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah:

Yang bersifat lahiriyah adalah


1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain),
2) Tawadlu,
3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan
4) Ibadah secara maksimal.

Sedangkan secara Batiniyah,


1) Sabar,
2) Ridla,
3) Syukur,
4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna,
istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi
dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin.

Yang bersifat lahiriyah:


1) Diam,
2) Terjaga dari tidur,
3) Lapar dan
4) Uzlah.

Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula:
Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:

Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah
Taala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan
berita-berita batin.

Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah.

Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan
menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan
anugerah sukacita Ilahiyah (uns).

Keempat, uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah
meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama
Allah.

Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal:

1) Tajrid (hanya semata bersama Allah),


2) Tafrid (yang ada hanya Allah),
3) Al-Jamu (berada dalam Kesatuan Allah,
3) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua
pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di
sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur
ketimbang kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa
memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari
Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah
Lahir.

Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara, Amar Maruf dan Nahi Munkar.
Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan
Muraqabah.

Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana
seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk
menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-
Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi
sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa
disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

Al-Umana, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang
menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya.
Biasanya kaum Umana memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat
peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul
Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul Ala), dengan Kesucian yang sangat indah
(Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul Adzam), dengan Kibritul Ahmar
(ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan
Asma-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya
matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan
pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam
tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan
pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily
Renungan 2004 113 Comments/Trackbacks

Bertengkar itu indah


cisaat | July 19, 2005

Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga.
Kalau seseorang berkata, "Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!"
kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristri, dan atau ia tengah berdusta. Yang
jelas kita perlu menikmati saat-saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi
saat-saat tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja
diantarkan dalam muatan emosi.

Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa mereguk hikmah. Betapa tidak,
justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang
sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan-pesannya terasa
kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi.

Ketika akan menikah, cobalah untuk memikirkan dan merancang masa depan kehidupan
berumah tangga. Satu hal yang jangan sampai terlupa adalah, merumuskan apa yang
harus dilakukan jika bertengkar. Beberapa poin di bawah ini barangkali bisa menjadi
"ikatan pengertian" di saat bertengkar.

Kalau bertengkar tidak boleh berjamaah. Cukup seorang saja yang marah marah, yang
terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk
urusan marah pantang berjamaah. Seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah.
Ketika Anda marah dan dia mau menyela, segera Anda katakan, "STOP! ini giliran saya!"

Begitupun jika giliran dia yang marah, jangan ikut ambil bagian. Katakan dalam hati,
"Guh kekasih, bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka divpadang
kelegaan perasaanmu itu aku menunggu...."

Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah usang. Siapa pun kalau
diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari
sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapa pun tidak akan suka dinilai dengan masa
lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun
kita perlu menjaga harapan dan bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara
orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang Pertengkaran
dua hati yang patah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal
dibangun.

Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu
sekeras apa pun kecamannya, adalah "ungkapan rindu yang keras". Tapi bila itu dikaitkan
dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu,
maka itu membuat saya terpuruk jatuh.

Bila teh yang disajinya tidak manis, sepedas apa pun saya marah, maka itu adalah
"harapan ingin disayangi lebih tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dengan kesalahannya
kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan "Sudah tidak suka lagi ya dengan saya," maka
saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu,
ups! saya telah membunuhnya, membunuh cintanya.

Padahal kalau cintanya mati, siapa yang sudah?

Kalau marah jangan bawa-bawa keluarga! Saya dengan isteri saya terikat baru
beberapa waktu, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih
panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran,
seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).

Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dia marahi. Tapi kalau ibu saya
diajak serta, jangan coba-coba. Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah
belajar mengabaikan siapa pun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa
bawa barang lain ke kancah "awal cinta yang panas ini".

Kata ayah saya, "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak." Memarahi
orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari maafnya dari pada ngambek pada yang
tidak mengenal hati dan diri saya..." Dunia sudah
diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!

Kalau marah jangan di depan anak anak! Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah
kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita. Karena itu, mengapa
mereka harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orang tua nya
bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya? Membela
ibu, tapi itu kan bapak saya.

Misal, ketika anak mendengar ayah-ibunya bertengkar:

Ibu : "Saya ini capek, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh
begitu, memang saya ini babu?!"

Bapak : "Saya juga capek, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari
lebih banyak untuk itu. Saya datang hormatmu tak ada, memang saya ini kuda?!"

* Anak : "Yaaa ... Ibu saya babu, Bapak saya kuda ....terus saya ini apa?"

Kita harus berani berkata : "Hentikan pertengkaran!" ketika anak datang, lihat mata
mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama
kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata bahasa hati kita?

Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat! Pada setiap tahiyyat kita berkata,
"Assalaa-mu 'alaynaa wa 'alaa'ibaadilahissholiihiin," Ya Allah damai atas kami, demikian
juga atas hamba hambamu yg sholeh.

Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan
amarah, maka kita telah mendustai-Nya, padahal nyawamu di tangan-Nya.

OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis Maghrib harus terbukti lho itu janji
dengan Ilahi. Marahlah habis Subuh, tapi jangan lewat waktu Zuhur, Atau maghrib
sebatas Isya... Atau habis Isya sebatas..? Nnngg... Ah kayaknya kita sepakat kalau habis
Isya sebaiknya memang tidak bertengkar...
Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah "proses belajar
untuk mencintai lebih intens" ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita
maki-maki.
Renungan 2004 118 Comments/Trackbacks

Jangan Tangisi Apa Yang Bukan Milikmu


cisaat | July 19, 2005

Dalam perjalanan hidup ini seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali.

Sesuatu yang luput dari genggaman, keinginan yang tidak tercapai, kenyataan yang tidak
sesuai harapan. Akhirnya angan ini lelah berandai-andai ria.Pffhh.sungguh semua itu tlah
hadirkan nelangsa yang begitu menggelora dalam jiwa.

Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa masih ada
setitik cahaya dalam kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih ada kekuatan untuk
melangkahkan kaki menuju majlis-majlis ilmu, majelis-majelis dzikir yang akan
mengantarkan pada ketentraman jiwa.

Hidup ini ibarat belantara.Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan memang
manusia diciptakan mempunyai kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap
yang kita inginkan bisa terbukti, tidak setiap yang kita mau bisa tercapai. Dan tidak
mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak perlu kita tangisi. Banyak
orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya satu hukum: harus sukses, harus
bahagia atau harus-harus yang lain.

Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah
hingga membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan
sering tidak dihadapi dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak
tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak
terengkuhnya apa yang memang bukan hak kita.

Apa yang memang menjadi jatah kita di dunia, entah itu Rizki, jabatan, kedudukan pasti
akan Allah sampaikan.Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan kita bisa
miliki, meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya.

"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu)supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang
luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikaNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri." (QS Al-Hadid ;22-23)

Demikian juga bagi yang sedang galau terhadap jodoh.Kadang kita tak sadar mendikte
Allah tentang jodoh kita,bukanya meminta yang terbaik dalam istikharah kita tetapi
benar-benar mendikte Allah: Pokoknya harus dia Ya Allah. harus dia, karena aku sangat
mencintainya. Seakan kita jadi yang menentukan segalanya, kita meminta dengan
pakasa.Dan akhirnya kalaupun Allah memberikanya maka tak selalu itu yang terbaik.
Bisa jadi Allah tak mengulurkanya tidak dengan kelembutan, tapi melemparkanya dengan
marah karena niat kita yang terkotori.

Maka wahai jiwa yang sedang gundah, dengarkan ini dari Allah :

".. Boleh jadi kalian membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh
jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian.Allah Maha
mengetahui kalian tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah 216)

Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan
terhadap apa-apa yang luput darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-
apa yang kita rasa perlu didunia ini harus benar-benar perlu bila ada relevansinya dengan
harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena seorang mukmin tidak hidup untuk dunia
tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang sesungguhnya: hidup di akhirat kelak!

Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!


Renungan 2004 95 Comments/Trackbacks

Kesabaran Dalam Menahan Gelora Nafsu


cisaat | July 19, 2005

Maksud " SABAR " di dalam konteks amalan hati ialah menahan nafsu daripada
dipengaruhi oleh sebarang gelora atau kegemparan hati atau perasaan atau rangsangan
yang menimbulkan rasa marah atau memberontak, resah gelisah, tidak rela, sugul,
kecewa atau putus asa, akibat daripada pengalaman kesusahan, ketidak selesaan atau
sesuatu keadaan yang tidak disukai atau diingini. Kesabaran itu harus meliputi empat
tindakan iaitu :

1. Tabah dan tekun di dalam melakukan taat


2. Menahan diri daripada melakukan maksiat atau kemungkaran
3. Memelihara diri dari godaan dunia, nafsu dan syaitan.
4. Tenang atau teguh hati menghadapi cobaan musibah

Sabar adalah satu tuntutan agama dan satu perisai untuk menahan diri daripada fitnah
nafsu yang bergelora. Orang yang gagal bersabar akan gagal di dalam hidup dan akan
rugi di dunia dan akhirat. Antara tujuan kita di suruh bersabar itu ialah:

1) Supaya dapat mengerjakan ibadah dengan tenteram dan dapat kesempurnaan dan
seterusnya mencapai matlamatnya.
2) Untuk kita berfikir dengan lebih matang. Apabila nafsu telah menguasai akal, akal
tidak dapat berfikir secara rasional di dalam menghadapi tindakan yang akan dilakukan.
Segala yang dilakukan itu hanya betul mengikut ukuran nafsu. Akibatnya apabila terjadi
kerusakan atau kecelakaan disebabkan tindakan itu, diri manusia sudah tidak dapat
mengelak, jadilah manusia itu terbelenggu disebabkan perbuatannya sendiri. Kerana itu
di dalam menangani nafsu yang bergelora, sabar itu sangat perlu. Di samping kita disuruh
untuk bermujahadah (berperang) dengan nafsu yang jahat. Sabda Rasulullah s.a.w:

"Sejahat-jahat musuh kamu iaitu nafsu yang di antara dua lambungmu." - (HR Tarmidzi)

Selain daripada itu, sifat taqwa perlu diusahakan dengan menanamkan iman di dalam diri.
Untuk mendapatkan sifat taqwa, kelemahan diri perlu diperbaiki. Bagi mereka yang
berusaha memperbaiki dirinya, hati mereka akan sentiasa tenang dan bahagia. Bukan
kerana kaya atau berada, tetapi kerana puas kepada apa yang ada. Bersabda Rasulullah
s.a.w:

"Kamu tidak akan merasakan kemanisan iman sehingga kamu menyintai Allah dan Rasul
lebih dari segalanya, Tidak menyintai seseorang melainkan karena Allah. Dan benci
kembali kepada kekufuran seperti benci berpaling pada neraka."

Di samping itu apabila orang yang memiliki iman, sembahyangnya akan kusyu', mereka
menyempurnakan puasa dan menunaikan pembayaran zakat dengan segala adab dan
tuntutannya, menunaikan Haji dengan memahami segala tujuan dan tuntutannya,
menjauhkan diri dari maksiat dan dosa, menjauhi perbuatan zina dan perkara yang
menghampirinya, tidak mengumpat, mengadu domba, menfitnah, tidak hasad sesama
sendiri, tidak sombong, tidak ujub dan sum'ah (mencari nama dan pangkat), tidak
pendendam dan lain-lain.

Bila dapat kemanisan iman. penderitaan menjadi kecil dan dunia tiada ruang di dalam
hatinya. Hatinya akan asyik dengan Allah. Ini berlaku pada sahabat-sahabat Rasulullah
s.a.w . Bilal apabila dijemur di tengah panas serta diazab untuk dipaksa kembali kepada
kekufuran, dengan tenang dia menjawab, "Ahad, Ahad." Azab sengsara, tidak terasa. Ini
juga berlaku kepada seorang sahabat Nabi s.a.w yang dicuri untanya ketika sedang
bersembahyang, dia tidak menghentikan sembahyangnya itu. Kerana terasa kemanisan
sembahyang dan tidak sedar apa yang berlaku di sekelilingnya. Banyak lagi hal-hal yang
sedemikian yang boleh kita baca di dalam sejarah kehidupan para sahabat Rasulullah
s.a.w.

Karena itu kita perlu melakukan Mujahadatun Nafs (melawan hawa nafsu) dan
membersihkan diri kita daripada sifat-sifat mazmumah ( yang tercela ) seperti iri dengki,
dendam, buruk sangka, mementingkan diri, gila pangkat, gila puji, gila dunia, bakhil,
sombong dan sebagainya.

Langkah pertama untuk mendapatkan iman ini, maka seseorang itu perlu mempunyai :

a) Ilmu yang Islam yang sempurna dan tepat agar segala tindakan dapat diselaraskan
dengan syariat dan kehendak Allah melalui hukum-hukum yang telah ditetapkannya.

b) Yakin. Keyakinan adalah perlu dan penting. Oleh itu wajiblah kita belajar dan berusaha
menyuburkan keyakinan kita. Jangan biarkan keyakinan dicelahi oleh keraguan walaupun
sedikit. Keraguan mesti dilawan dengan ilmu pengetahuan, bukan dengan akal semata-
mata. Syaitan dan nafsu sentiasa menyuruh dan mempengaruhi akal untuk ragu-ragu dan
mewas-waskan kita. Tanpa ilmu yang benar dan menyeluruh, kita akan terperangkap di
dalam perangkap syaitan. Jikalau kita terperangkap di dalam jerat syaitan bagi soal-soal
keyakinan, maka hapuslah segala pahala amal dan hapuslah iman. Jikalau terjadi
demikian, maka matilah kita sebagai orang yang tidak beriman dan kekal di dalam
neraka.

c) Beramal dengan ilmu yang telah difahami dan diyakini.

d) Bermujahadah. Iaitu melawan nafsu yang mendorong ke arah kejahatan dan


menghalang diri dari melakukan maksiat lahir dan batin.

e) Istiqamah beramal. Iaitu melakukan amalan ketaatan dan ibadah serta menjauhi
kemungkaran secara berterusan.

f) Mempunyai guru yang Mursyid yang dapat memimpin dan mendidik diri agar sentiasa
taat kepada Allah.

g) Selalu berdoa kepada Allah. Karena jikalau hanya usaha lahir saja dilakukan tanpa
mengharapkan bantuan dari Allah, maka ia amat mustahil untuk membuang nafsu yang
jahat di dalam jiwa manusia.

3. Kita disuruh bersabar adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman
Allah :

" Dan Allah amat menyukai orang yang sabar." - (Ali Imran: 146)

" Sesungguhnya orang yang beriman itu dicukupkan ganjaran mereka tanpa batas
" - (az Zumat: 10)

" Hai orang yang beriman, bersabarlah kamu (melakukan taat dan menghadapi
musibah), teguhkanlah kesabaran kamu, tetapkanlah kewaspadaan serta siap siaga
dan bertawakkallah kepada Allah agar kamu beruntung (merebut syurga dan bebas
dari neraka )." - (al Baqarah: 200)

Demikianlah kesabaran itu merupakan obat yang pahit tetapi mujarab di dalam menahan
diri daripada nafsu dan godaan dunia. Yakinlah, keberkatan daripada kesabaran itu
membawa manfaat kepada kita, sekaligus menolak kemudaratan kepada kita. Sebagai
obat 'kepahitan' hanya sesaat, akan tetapi 'kemanisannya' akan berpanjangan. Wallahu
A'lam.
Renungan 2004 121 Comments/Trackbacks
Shalat Mi'raj nya Orang Mukmin
cisaat | July 19, 2005

Mahluk-mahluk metafisika sajalah yang mampu bergerak sama atau lebih cepat dari
cahaya. Apakah pernyataan ini benar? Hal ini hanya dapat dijawab dengan tuntunan yang
Maha Benar, yaitu Allah dan Rasul-Nya. Akal dan fikiran manusia sudah berhenti sampai
batas ini.

Marilah kita lihat Firman-firman Allah dan Hadits-hadits Rasulullah sehubungan dengan
Peristiwa Akbar perjalanan ISRA & MI'RAJ Rasulullah SAW, dimana beliau didampingi
oleh Malaikat Jibril A.S melaksanakan perjalanan tersebut.

Untuk dapat melihat betapa besar kecepatan gerak Malaikat Jibril, marilah kita lihat surat
Al Ma'arij ayat 4 :

Malaikat-malaikat dan Ruh naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang
kadarnya limapuluh ribu tahun. (Q.S Al Ma'aaru:4)

1 hari malaikat dan ruh = 50.000 tahun manusia bumi


1 hari = 2 phi R , R = jarak bumi matahari = 144 juta KM
1 hari = 904.320.000 x 50.000
Vm = 1744.4 C (1.750 kali kecepatan cahaya)

Jadi Al Quran secara tegas menjawab pernyataan dan pertanyaan di atas.

Dalam kisah suci perjalanan Isra Miraj tersebut sesampainya di pos perjalanan Sidratul
Muntaha, Malaikat Jibril tidak sanggup lagi mendampingi Rasulullah untuk terus naik
menghadap kehadirat Allah SWT; beliau berkata :

Aku sama sekali tidak mampu mendekati Allah, perlu 60.000 tahun lagi aku harus
terbang. Itulah jarak antara aku dan Allah yang dapat aku capai. Jika aku terus juga ke
atas, aku pasti hancur luluh.

Maha Suci Allah, ternyata Malaikat Mulia Jibril AS pun tidak sampai kepada Allah SWT.

Kalau kita terjemahkan jarak terdekat Malaikat Jibril terhadap Allah tersebut (S) :

S = 60.000 x 1.750 tahun cahaya

= 105.000.000 tahun cahaya

Hal ini berarti bahwa hanya faktor ~ (tak terhingga) saja yang bisa mencapai Allah
(WASILAH).
Rasulullah pernah bersabda :

Shalat itu adalah mi'rajnya orang-orang beriman.

Ini berarti bahwa di dalam shalat kita harus mampu berhubungan dan mencapai Allah
SWT. Kalau tidak, sia-sialah shalat kita, shalat yang sia-sia (lalai) ini bahkan diancam
Allah dengan neraka Wail.

Allah beriman dalam Q.S Al Ma'un : 4-5 :

Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam
shalatnya.

Karena itu salah satu tugas utama kita adalah menemukan unsur ~ dalam shalat kita;
disiplin ilmu yang mempelajari ini hanya ada dalam TEKNOLOGI/TASAWUF ISLAM.
Dalam hal ini kita wajib mencari MURSYID yang dapat memberi petunjuk.

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk, dan barang siapa yang di sesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapat
seorang pemimpinpun (Wali) yang dapat memberi petunjuk (Mursyid) kepadanya.
(Q.S Al Kahfi:17).
Renungan 2004 124 Comments/Trackbacks

Tujuan Hidup Manusia


cisaat | July 19, 2005

Tujuan hidup manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akherat, sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa :

"Rabbana aatina fiddun-yaa hasanah wafil akhirati hasanah, waqinaa


adzabannar".

Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia telah diuraikan di depan, adalah berusaha untuk
menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi, namun untuk kebahagiaan akherat perlu
kita teliti lebih jauh.

Batas kehidupan akherat adalah kematian, sebagaimana firman Allah SWT :

"Setiap yang berjiwa pasti merasakan mati." (Q.S Ali Imran : 185)

Kalau kita bicara tentang suatu kepastian maka mati adalah suatu hal yang pasti kita
alami semua, namun pertanyaan berikutnya adalah sesudah mati, kita akan kemana?

Kembali lagi Al Quran memberi petunjuk sesunguhnya kita berasal dari Allah dan akan
kembali kepada Allah.
"Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali." (Q.S
Al Baqarah:156)

Pertanyaan berikutnya, apa benar kita akan kembali ke sana, bagi para pemikir yang kritis
akan bertanya bagaimana caranya (metodenya). Kita sadari bahwa diri kita bisa
dibedakan atas dua bagian utama yaitu unsur fisik dan metafisik (jasad dan ruhani).

Jasad yang dikubur itu akan mengalami pembusukan/pelapukan dan tentu saja akan
terurai menjadi unsur-unsur benda mati kembali.

Apa benar ruhani kita kembali kepada Tuhan, ternyata ada syaratnya, Jiwa yang diterima
atau dipanggil Allah ada kriteria dan batasannya seperti yang diungkapkan ayat Al Quran
berikut :

"Hai jiwa yang tenang (suci). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla
lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hmaba-Ku, dan
masuklah ke dalam syurgaku." (Q.S Al fajr:27-30)

Bagaimana caranya mendidik jiwa agar dapat naik tingkat ke arah yang lebih tingi,
caranya tidak lain adalah sebagaimana dalam Firman Allah yaitu :

"Beruntunglah manusia yang membersihkan jiwa dengan berdzikir (mengingat)


nama Tuhannya dan mendirikan shalat." (Q.S Al A'la :14-15)

Dengan kata lain manusia bisa membersihkan/mensucikan jiwanya yaitu dengan cara
MENGUNDANG YANG MAHA SUCI KE DALAM JIWA/HATINYA dengan cara
menyebut nama-Nya (BERDZIKIR) dengan METODE/teknologi Al Quran /THARIQAT,
sebagaimana diperintahkan Allah SWT :

"Dan bahwasannya jikalau mereka berjalan lurus di atas jalan (metode) yang
benar, niscaya akan Kami turunkan hujan (Rahmat) yang lebat
kemenangan/nikmat yang banyak)" (Q.S Al Jin : 16)
Renungan 2004 101 Comments/Trackbacks

Menggapai Ketenangan Jiwa yang Islami


cisaat | July 19, 2005

Dalam perkembangan hidupnya, manusia seringkali berhadapan dengan berbagai


masalah yang mengatasinya berat. Akibatnya timbul kecemasan, ketakutan dan
ketidaktenangan, bahkan tidak sedikit manusia yang akhirnya kalap sehingga melakukan
tindakan-tindakan yang semula dianggap tidak mungkin dilakukannya, baik melakukan
kejahatan terhadap orang lain seperti banyak terjadi kasus pembunuhan termasuk
pembunuhan terhadap anggota keluarga sendiri maupun melakukan kejahatan terhadap
diri sendiri seperti meminum minuman keras dan obat-obat terlarang hingga tindakan
bunuh diri.

Oleh karena itu, ketenangan dan kedamaian jiwa sangat diperlukan dalam hidup ini yang
terasa kian berat dihadapinya. Itu sebabnya, setiap orang ingin memiliki ketenangan jiwa.
Dengan jiwa yang tenang kehidupan ini dapat dijalani secara teratur dan benar
sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa menggapai ketenangan
jiwa, banyak orang yang mencapainya dengan cara-cara yang tidak Islami, sehingga
bukan ketengan jiwa yang didapat tapi malah membawa kesemrautan dalam jiwanya itu.
Untuk itu, secara tersurat, Al-Qur'an menyebutkan beberapa kiat praktis.

1. Dzikrullah

Dzikir kepada Allah Swt merupakan kiat untuk menggapai ketenangan jiwa, yakni dzikir
dalam arti selalu ingat kepada Allah dengan menghadirkan nama-Nya di dalam hati dan
menyebut nama-Nya dalam berbagai kesempatan. Bila seseorang menyebut nama Allah,
memang ketenangan jiwa akan diperolehnya. Ketika berada dalam ketakutan lalu
berdzikir dalam bentuk menyebut ta'awudz (mohon perlindungan Allah), dia menjadi
tenang. Ketika berbuat dosa lalu berdzikir dalam bentuk menyebut kalimat istighfar atau
taubat, dia menjadi tenang kembali karena merasa telah diampuni dosa-dosanya itu.
Ketika mendapatkan kenikmatan yang berlimpah lalu dia berdzikir dengan menyebut
hamdalah, maka dia akan meraih ketenangan karena dapat memanfaatkannya dengan
baik dan begitulah seterusnya sehingga dengan dzikir, ketenangan jiwa akan diperoleh
seorang muslim, Allah berfirman yang artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan
mengingat Allahlah hati menjadi tentram". (13:28).

Untuk mencapai ketenangan jiwa, dzikir tidak hanya dilakukan dalam bentuk menyebut
nama Allah, tapi juga dzikir dengan hati dan perbuatan. Karena itu, seorang mu'min
selalu berdzikir kepada Allah dalam berbagai kesempatan, baik duduk, berdiri maupun
berbaring.

2. Yakin Akan Pertolongan Allah

Dalam hidup dan perjuangan, seringkali banyak kendala, tantangan dan hambatan yang
harus dihadapi, adanya hal-hal itu seringkali membuat manusia menjadi tidak tenang
yang membawa pada perasaan takut yang selalu menghantuinya. Ketidaktenangan seperti
ini seringkali membuat orang yang menjalani kehidupan menjadi berputus asa dan bagi
yang berjuang menjadi takluk bahkan berkhianat.

Oleh karena itu, agar hati tetap tenang dalam perjuangan menegakkan agama Allah dan
dalam menjalani kehidupan yang sesulit apapun, seorang muslim harus yakin dengan
adanya pertolongan Allah dan dia juga harus yakin bahwa pertolongan Allah itu tidak
hanya diberikan kepada orang-orang yang terdahulu, tapi juga untuk orang sekarang dan
pada masa mendatang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah tidak menjadikan
pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu,
dan agar tentram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana". (3:126, lihat juga QS 8:10).

Dengan memperhatikan betapa banyak bentuk pertolongan yang diberikan Allah kepada
para Nabi dan generasi sahabat dimasa Rasulullah Saw, maka sekarangpun kita harus
yakin akan kemungkinan memperoleh pertolongan Allah itu dan ini membuat kita
menjadi tenang dalam hidup ini. Namun harus kita ingat bahwa pertolongan Allah itu
seringkali baru datang apabila seorang muslim telah mencapai kesulitan yang sangat atau
dipuncak kesulitan sehingga kalau diumpamakan seperti jalan, maka jalan itu sudah
buntu dan mentok. Dengan keyakinan seperti ini, seorang muslim tidak akan pernah
cemas dalam menghadapi kesulitan karena memang pada hakikatnya pertolongan Allah
itu dekat, Allah berfirman yang artinya: "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-
orang yang beriman: "bilakah datangnya pertolongan Allah?". Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat". (QS 2:214).

3. Memperhatikan Bukti Kekuasaan Allah

Kecemasan dan ketidaktenangan jiwa adalah karena manusia seringkali terlalu merasa
yakin dengan kemampuan dirinya, akibatnya kalau ternyata dia merasakan kelemahan
pada dirinya, dia menjadi takut dan tidak tenang, tapi kalau dia selalu memperhatikan
bukti-bukti kekuasaan Allah dia akan menjadi yakin sehingga membuat hatinya menjadi
tentram, hal ini karena dia sadari akan besarnya kekuasaan Allah yang tidak perlu
dicemasi, tapi malah untuk dikagumi. Allah berfirman yang artinya: "Dan ingatlah ketika
Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan
orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (tetap mantap dengan imanku)". Allah
berfirman: ("kalau begitu) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah, kemudian
letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu satu bagian dari bagian-bagian itu,
kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera".
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS 2:260).

4. Bersyukur

Allah Swt memberikan kenikmatan kepada kita dalam jumlah yang amat banyak.
Kenikmatan itu harus kita syukuri karena dengan bersyukur kepada Allah akan membuat
hati menjadi tenang, hal ini karena dengan bersyukur, kenikmatan itu akan bertambah
banyak, baik banyak dari segi jumlah ataupun minimal terasa banyaknya. Tapi kalau
tidak bersyukur, kenikmatan yang Allah berikan itu kita anggap sebagai sesuatu yang
tidak ada artinya dan meskipun jumlahnya banyak kita merasakan sebagai sesuatu yang
sedikit.

Apabila manusia tidak bersyukur, maka Allah memberikan azab yang membuat mereka
menjadi tidak tenang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah telah membuat suatu
perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rizkinya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-
nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (QS 16:112).

5. Tilawah, Tasmi' dan tadabbur Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah kitab yang berisi sebaik-baik perkataan, diturunkan pada bulan suci
Ramadhan yang penuh dengan keberkahan, karenanya orang yang membaca (tilawah),
mendengar bacaan (tasmi') dan mengkaji (tadabbur) ayat-ayat suci Al-Qur'an niscaya
menjadi tenang hatinya, manakala dia betul-betul beriman kepada Allah Swt, Allah
berfirman yang artinya: "Allah telah menurunkan perkataan yang baik (yaitu) Al-
Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya
kulit orang-orang yang takut kepada Tuhanya, kemudian menjadi tenang kulit dan
hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya". (QS 39:23).

Oleh karena itu, sebagai mu'min, interaksi kita dengan al-Qur'an haruslah sebaik
mungkin, baik dalam bentuk membaca, mendengar bacaan, mengkaji dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Manakala interaksi kita terhadap Al-
Qur'an sudah baik, maka mendengar bacaan Al-Qur'an saja sudah membuat keimanan
kita bertambah kuat yang berarti lebih dari sekedar ketenangan jiwa, Allah berfirman
yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang
apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal". (QS 8:2).

Dengan berbekal jiwa yang tenang itulah, seorang muslim akan mampu menjalani
kehidupannya secara baik, sebab baik dan tidak sesuatu seringkali berpangkal dari
persoalan mental atau jiwa. Karena itu, Allah Swt memanggil orang yang jiwanya tenang
untuk masuk ke dalam syurga-Nya, Allah berfirman yang artinya: "Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam
syurga-Ku". (QS 89:27-30).

Akhirnya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memantapkan ketenangan dalam
jiwa kita masing-masing sehingga kehidupan ini dapat kita jalani dengan sebaik-baiknya.

Anda mungkin juga menyukai