Anda di halaman 1dari 54

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN KARDIOVASKULAR : GAGAL GINJAL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik

Disusun oleh :

Kelompok 1
1. Gilda Sharasati
2. Grissly Isnaini
3. Hani Nur Alia
4. Herdinanisa
5. Karina Febianti

Tingkat III C

AKADEMI KEPERAWATAN JAYAKARTA


DINAS KESEHATAN PROVINSI DKI JAKARTA
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung merupakan struktur kompleks yang terdiri dari jaringan fibrosa, otot jantung dan
jantung konduksi listrik. Jantung mempunyai fungsi utama untuk memompakan darah.
Hal ini dapat dilakukan dengan baik bila kemampuan otot jantung untuk memompakan
cukup baik, serta irama pemompaan yang baik. Bila ditemukan kenormalan pada salah
satu diatas maka akan mempengaruhi efisiensi pemompaan dan kemungkinan dapat
menyebabkan kegagalan memompaan (Ethel, 2004).
Gagal jantung secara progresif akan menyebabkan curah jantung (Cardiac output)
menurun dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi badan ini akan bermanifestasi sebagai
keluhan dan tanda-tanda (symptoms and signs) gagal jantung dan dikenal sebagai
sindrom gagal jantung.
Penderita penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar
10% dari penduduk di Nusantara. Hasil analisa survey kesehatan rumah tangga
Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan, penyakit kardiovaskuler kini
menduduki jenjang tertinggi penyebab kematian. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda
dengan di negara-negara maju. Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan rasio penderita
gagal jantung di dunia satu sampai lima orang setiap 1.000 penduduk.
Penyakit Congestive Heart Failure (CHF) apabila tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan komplikasi serius seperti syok kardiogenik, episode tromboemboli, efusi
pericardium dan tampon deperikardium. Meskipun berbagai macam penyakit jantung
seperti gangguan katup telah menurun akibat teknologi penatalaksanaan yang canggih,
namun Congestive Heart Failure CHF masih tetap merupakan ancaman kesehatan yang
dapat menimbulkan kematian (Brunner danSuddarth, 2002).
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peran dalam melakukan
asuhan keperawatan Pada Klien Dengan Congestive Heart Failure atau gagal jantung
yang meliputi peran promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam upaya promotif
perawat berperan dengan memberikan pendidikan kesehatan meliputi pengertian,
penyebab, tanda dan gejala dari penyakit sehingga dapat mencegah bertambahnya jumlah
penderita. Dalam upaya preventif, perawat memberi pendidikan kesehatan mengenai
caracara pencegahan agar klien tidak terkena penyakit dengan membiasakan pola hidup
sehat. Peran perawat dalam upaya kuratif yaitu memberikan tindakan keperawatan sesuai
dengan masalah dan respon klien terhadap penyakit yang diderita, seperti: memberikan
klien istirahat fisik dan psikologis, mengelola pemberian terapi Oksigen. Sedangkan
peran perawat dalam upaya rehabilitative yaitu memberikan pendidikan kesehatan kepada
klien yang sudah terkena penyakit agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan.

B. Tujuan
Agar mahasiswa mampu membahas dan memahami mengenai gagal jantung secara
asuhan keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Menurut Doengoes (2000) pengertian gagal jantung kongestif adalah kegagalan ventrikel
kiri dan atau kanan dari jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
memberikan cardiac output yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan,
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik. Sedangkan menurut Brunner
dan Suddarth (2001) gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat
disfungsi miokardium. Sedangkan pengertian menurut Mansjoer, Arif dkk. (2001)
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung gagal untuk mengeluarkan
isinya secara adekuat. Selain pengertian diatas ada juga yang mendefisinikan gagal
jantung kongestif sebagai suatu keadaan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
pada kecepatan yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, yang bermetabolisme dan atau
hanya dapat melakukannya dari volume diastolik, ventrikel yang meningkat secara
abnormal (Asdie, AH, 2000).
Congestive Heart Failure(CHF) atau gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah secara adekuat ke seluruh tubuh.
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient
dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Smeltzer & Bare, 2001)

B. Etiologi
Penyebab gagal jantung digolongkan berdasarkan sisi dominan jantung yang mengalami
gagal jantung. Dominan sisi kiri, seperti penyakit jantung iskemik, penyakit jantung
hipertensif, penyakit katup aorta,penyakit katup mitral, miokardisis, kardiomiopati,
amiloidisis jantung, keadaan curah tinggi( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa).
Dominan sisi kanan seperti gagal jantung kiri penyakit paru kronis, stenosis katup
pulmonal, penyakit jantung kongenital, hipertensi, pulmonal, emboli pulmonal pasif.
(Reny yuli,2014).
Penyebab gagal jantung kongestif meliputi :
1. Disritmia
Gangguan irama jantung dapat menghasilkan atau mempengaruhi kegagalan.
2. Malfungsi katup
Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban
tekanan atau dengan kelebihan beban volume. Abnormalitas otot jantung
Abnormalitas jantung menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark miokard,
aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari aterosklerosis koroner
jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer
(kardiomiopati), hipertensi pulmonal, stenosis aortic atau hipertensi sistemik.

C. Tanda dan gejala


1. Aktivitas atau istirahat
a. Gejala
1) Keletihan / kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia
2) Nyeri dada dengan aktivitas
3) Dispnea pada istirahat atau pada pengerahan tenaga
b. Tanda
Gelisah, perubahan status mental, misal : letargi, tanda vital berubah pada
aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala
Riwayat hipertensi. Im baru / akut, episode gagal jantung kongestif (GJK)
sebelumnya, penyakit katup jantung, bedah jantung endokarditis, SLE, anemia,
syok septik. Bengkak pada kaki, telapak kakai, abdomen sabuk terlalu kuat /
ketat (pada gagal bagian kanan).
b. Tanda
1) TD : mungkin rendah (gagal pemompaan); normal (GJK ringan atau kronis);
atau tinggi (kelebihan beban cairan / peningkatan tekanan vena)
2) Tekanan darah : mungkin sempit, menunjukkan penurunan volume sekuncup
3) Frekuensi jantung : takikardia (gagal jantung kiri)
4) Irama jantung : Disritmia, misal fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel
prematur / takikardia, blok jantung
5) Bunyi jantung S3 (gallop) adalah diagnostik : S4 terjadi : S1 dan S2 melemah
6) Murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya stenosis katup atau
insufisiensi
7) Nadi : nadi perifer berkurang : perubahan dalam kekuatan denyutan dapat
terjadi; nadi sentral mungkin kuat misal : nadi jugularis, karotis, abdominal
terlihat
8) Warna : kebiruan, pucat, abu-abu, sianotik
9) Punggung kuku : pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat
10) Hepar : pembesaran dapat teraba, refleks hepato jugularis
11) Bunyi nafas : Krekels, ronchi
12) Edema : mungkin dependen, umum atau pitting, khususnya pada ekstremitas
3. Integritas Ego
a. Gejala
1) Ansietas, kuatir, takut
2) Stress yang berhubungan dengan penyakit / keprihatinan (pekerjaan /
biaya perawatan medik)
b. Tanda
Berbagai manifestasi perilaku, misal : ansietas, marah, tekanan, mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala :
1) Penurunan berkemih, urine berwarna gelap
2) Berkemih malam hari (nokturia), diare / konstipasi
5. Makanan / cairan
a. Gejala
1) Kehilangan nafsu makan, mual / muntah
2) Penambahan berat badan signifikan, pembengkakan pada
3) ekstremitas bawah
4) Pakaian / sepatu terasa sesak
5) Diet tinggi garam / makanan yang telah diproses, lemak, gula dan kafein
6) Penggunaan diuretic
b. Tanda
1) Penambahan berat badan cepat
2) Distensi abdomen (asites) : Edema (umum, dependen, tekanan, pitting)
6. Hygiene
a.Gejala : keletihan / kelelahan, kelelahan selama aktivitas perawatan diri
b. Tanda : Penampilan menandakan kelelahan perawatan personal
7. Neurosensori
a. Gejala
Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda
1)Leragi, kusut pikir, disorientasi
2)Perubahan perilaku, mudah tersinggung
8. Nyeri / kenyamanan
a. Gejala
1) Nyeri dada, angina akut atau kronis
2) Nyeri abdomen kanan atas (Aka A), sakit pada otot
b. Tanda
1) Tidak tenang, gelisah
2) Fokus menyempit (menarik diri). Perilaku melindungi diri
9. Pernafasan
a. Gejala
1) Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
2) Batuk dengan / tanpa pembentukan sputum
3) Riwayat penyakit paru kronis
4) Pengunaan bantuan pernafasan misal : oksigen atau medikasi
b. Tanda
1) Pernafasan : takipnea, nafas dangkal pernafasan labored; penggunaan otot
aksesori pernafasan, nafas flaring
2) Batuk : kering / nyeri / non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan /
tanpa pembentukan sputum
3) Sputum : mungkin bersemu darah, merah muda / berbuih (edema pulmonal).
4) Bunyi nafas : mungkin tidak terdengar, mengi
5) Warna kulit : Pucat atau sianosis
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kulit lecet.
11. Interaksi Sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan
12. Pembelajaran / pengajaran
1) Gejala : Menggunakan / lupa menggunakan obat-obat jantung
2) Tanda : Bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkatkan Pertimbangan
rencana, Pemulangan bantuan untuk berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan
diri, perubahan dalam tatanan fisik rumah. (Doenges, 2000)

D. Patofisiologi
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Tetapi kongesti tergantung dari ventrikel yang terlibat. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantung kiri, menimbulkan kongesti pada vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel
kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada
kedua ventrikel dinamakan gagal biventrikular. Infark miokardium mengganggu fungsi
miokardium karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan
dinding yang abnormal, dan mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan
berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar curah
jantung sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya
tekanan jantung sebelah kiri meningkat. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru
melebihi tekanan osmotik vaskuler maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang
interstisial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat
perembesan cairan ke dalam alveoli.
Penurunan curah sekuncup akan menimbulkan respon kompensasi simpatis, kecepatan
denyut jantung dan daya kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah jantung.
Terjadi vasokontriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistrubusi aliran
darah dari organ-organ vital. Venokontriksi akan mengakibatkan aliran balik vena ke
jantung kanan, sehingga sesuai dengan hukum jantung dari starling, akan meningkatkan
kekuatan kontraksi. Pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akan
mengakibatkan pengaktifan sistem rennin angiotensin aldosteron dimana terjadi retensi
natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan meningkatkan aliran balik vena. Gagal jantung
kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya tekanan
vaskuler paru-paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain tak langsung melalui
pembuluh paru-paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga mempunyai pengaruh langsung
terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimianya. Berkurangnya
cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan luka ventrikel.
Infark ventrikel kanan jelas merupakan predisposisi gagal jantung kanan. Kongesti vena
sistemik akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher,
hepatomegali, dan edema perifer (Hudack & Gallo, 1997).

E. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. CHF Kronik
Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi
oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas.
1) Diet pembatasan natrium
2) Menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti NSAID
karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan
natrium
3) Pembatasan cairan (kurang lebih 1200-1500 cc/hari)
4) Olah raga secara teratur
b. CHF Akut
1) Oksigenasi (ventilasi mekanik)
2) Pembatasan cairan
3) Farmakologis

Tujuan: untuk mengurangi afterload dan preload


a) First line drugs; diuretic
Tujuan: mengurangi afterload pada disfungsi sistolik dan
mengurangi kongesti pulmonal pada disfungsi diastolic. Obatnya
adalah: thiazide diuretics untuk CHF sedang, loop diuretic,
metolazon (kombinasi dari loop diuretic untuk meningkatkan
pengeluaran cairan), Kalium-Sparing diuretic
b) Second Line drugs; ACE inhibitor
Tujuan: membantu meningkatkan COP dan menurunkan kerja
jantung. Obatnya adalah:
(1) Digoxin; meningkatkan kontraktilitas. Obat ini tidak digunakan
untuk kegagalan diastolik yang mana dibutuhkan
pengembangan ventrikel untuk relaksasi
(2) Hidralazin; menurunkan afterload pada disfungsi sistolik.
(3) Isobarbide dinitrat; mengurangi preload dan afterload untuk
disfungsi sistolik, hindari vasodilator pada disfungsi sistolik.
(4) Calsium Channel Blocker; untuk kegagalan diastolic,
meningkatkan relaksasi dan pengisian dan pengisian ventrikel
(jangan dipakai pada CHF kronik).
(5) Beta Blocker; sering dikontraindikasikan karena menekan
respon miokard. Digunakan pada disfungsi diastolik untuk
mengurangi HR, mencegah iskemi miocard, menurunkan TD,
hipertrofi, ventrikel kiri.

c. Pendidikan Kesehatan
1) Informasikan pada klien, keluarga dan pemberi perawatan tentang penyakit dan
penanganannya.
2) Informasi difokuskan pada: monitoring BB setiap hari dan intake natrium.
3) Diet yang sesuai untuk lansia CHF: pemberian makanan tambahan yang banyak
mengandung kalium seperti; pisang, jeruk, dll.
4) Teknik konservasi energi dan latihan aktivitas yang dapat ditoleransi dengan
bantuan terapis.

F. Manifestasi Klinis
Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena
meningkat akibat penurunan curah jantung manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung
pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi .
1. Gagal jantung kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri krn ventrikel kiri tak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
a) Dispneu
b) Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran
gas.Dapat terjadi ortopnu.Bebrapa pasien dapat mengalami ortopnu pda malam
hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea ( PND)
c) Batuk
d) Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
e) Kegelisahan dan kecemasan
f) Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
2. Gagal jantung kanan
a) Kongestif jaringan perifer dan viseral.
b) Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting,
penambahan berat badan,
c) Hepatomegali. Dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar.
d) Anoreksia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen.
e) Nokturia
f) Kelemahan.

G. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan diagnostik menurut Doenges, Moorhouse, Geisster (1999), yaitu:
1) EKG : hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia dan
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia misal : takikardi, fibrilasi atrial,
kenaikan segmen ST/T.`+
2) Scan jantung (Multigated Alquistion/MUGA) : memperkirakan gerakan dinding.
3) Katerisasi jantung : tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan versus sisi kiri dan stenosis katup atau
insufisiensi. Juga mengkaji potensi arteri kororer.
4) Rontgen dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, perubahan pembuluh darah
mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal, bulging pada perbatasan jantung
kiri dapat menunjukkan aneurisma ventrikel.
5) Enzim hepar : meningkat dalam gagal kongesti hepar.
6) Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi
ginjal, terapi diuretik.
7) Oksimetri nadi : saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal jantung
kanan akut memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau gagal jantung
kronis.
8) Blood Urea Nitrogen, Kreatinin : peningkatan blood nitrogen menandakan
penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik blood urea nitrogen dan kreatin
merupakan indikasi gagal ginjal.
9) Albumin : mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau
penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.
10) Hitung sel darah merah : mungkin terjadi anemia, polisitemia atau perubahan
kepekatan menandakan retensi urine. Sel darah putih mungkin meningkat
mencerminkan miokard infark akut, perikarditas atau status infeksi lain.
11) Pemeriksaan tiroid : peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas
tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kanan.
12) ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium,
ventrikel hipertrofi, disfungsi penyakit katub jantung.
13) AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia
dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
14) Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,
misal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan
Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).(Maman, 2009)
H. Komplikasi
1. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
2. Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata
3. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.

I. Asuhan Keperawatan Teori


Pengkajian keperawatan
Tujuan perawatan pada lansia adalah untuk mengoptimalkan kesehatan mereka
secara umum, serta memperbaiki atau mempertahankan kapasitas fungsionalnya.
Keduanya bertujuan agar (1) lansia dapat tetap dipertahankan dirumahnya untuk
mengurangi biaya perawatan; (2) meningkatkan kualitas hidupnya sehari-hhari; dan
(3) mengoptimalkan kapasitas fungsionalnya.
Pengkajian yang menyeluruh pada lansia yang dilakukan oleh perawat meliputi:
1. Mengidentifikasi status kesehatannya (anamnesa dan pemeriksaan fisik).
2. Status gizi.
3. Kapasitas fungsional.
4. Status psikososial.
5. Masalah khusus lainnya yang dihadapi serta individual.
6. Masalah khusus lainnya yang dihadapi secara individual.

Anamnesa
Dalam melakukan anamnesa harus secara akurat dan up to date (baru), termasuk
pula mengenai bagaimana persepsi lansia tentang kesehatan dirinya sendiri.
Anamnesis harus menjadi dasar bagi rencana menejemen keperawatannya. Format
bagi keperluan anamnesis ini disajikan pada lampiran 1. Evaluasi kesehatan lansia
komprehensif (Comprehensive older person evaluation-COPE). Kebanyakan para
lansia dapat menyuguhkan anamnesa yang baik, tetapi tidak sedikit pula yang
mengalami hambatan untuk berkomunikasi (misal akibat tuli, menurunnya fungsi
intelektual -/- pikun, menurunnya penglihatan) dimana dalam keadaan seperti itu
diperlukan bantuan kerabat untuk memperoleh anamnesis yang akurat. Sebaliknya, tak
jarang pula keluhan mereka yang beraneka ragam bisa membuat si perawat frustasi,
atau malah mengaburkan, bahkan tak terlaporkan.

Riwayat penyait masa lalu juga penting untuk membantu menempatkan masalah
kesehatan saat ini dalam perspektif yang tepat. Penting pula diperhatikan tentang
riwayat pemakaian obat-obatan, karena lansia bila diberikan resep bermacam obat
jarang memprotes, bahkan juga sering mengobati dirinya sendiri. Dalam kaitan ini
dinyatakan pula mengenai adanya reaksi obat. Uraian tentang penyalahgunaan
senyawa obat dan aspek farmakologi yang terkait dengan isu kultur akan dibahas
tersendiri. Anamnesis dilakukan secara sistematis (dilakukan menurut sistem tubuh)
dengan tetap folus pada keluhan utamanya.

Tabel 1. Jenis keluhan pada lansia menurut pendekatan sistemik.

Sistem Keluhan yang khas


Respirasi Sesak napas yang progresif, batuk yang menetap.
Kardiovaskular Ortopnea, edema, angina, klaudikasio, palpitasi,
pusing, sinkop.
Sulit mengunyah, sulit menelan, nyyeri perut,
Gastrointestinal
perubahan defekasi.
Poliuri, urgensi, nokturia tak lampias, intermitten,
Genitourinaria
perlu usaha untuk pengosongan, inkontinensia,
hematuri, perdarahan per vaginam.
Nyeri lokasi/difus, lumpuh/lemah lokal/difus,
Musculoskeleta gangguan sensitivitas.
l Gangguan penglihatan (sementara/progresif).
Depresi, ansietas, agitasi, paranoid, pikun,
kebingungan.
Neurologis
Psikologis
Sumber: kane, Essential Of Clinical Geriatrics, New York: Mc.grawHill, 1994.

Pemeriksaan fisik pada lansia

Tata cara pemeriksaan fisik dilakukan sebagaimana halnya prosedur yang ditempuh
pada kelompok usia lainnya. Namun, dalam melakukan pengkajian fisik pada klien
lansia secara efektif memerlukan penilaian terhadap status kesehatannya secara tepat.
Seperti biasa, pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Dalam uraian berikut ini tidak dimaksudkan untuk mendalami teknik pemeriksaan
fisik secara menyeluruh, namun hanya dititikberatkan pada butir-butir yang perlu
untuk pasien lansia. Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan fisik menurut masing-masing sistem tubuh.

Pemeriksaan fisik umum pada lansia ditujukan untuk dapat mengidentifikasi keadaan
umumnya dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan gizi, aktivitas tubuh,
baik dalam keadaan berbaring atau berjalan. Juga pemeriksaan fisik umum mencakup
berbagai hal antara lain penilaian status mental, kesadaran, bahkan termasuk pula
kondisi kulit dan kelenjar getah bening. Tanda-tanda vital diatas meliputi: pemeriksaan
nadi, suhu, dan tekanan darah (kadang-kadang disertai pengukuran tekanan vena
jugularis).

Pemeriksaan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dilakukan sesuai
yang diperlukan.

Inspeksi dilakukan menyeluruh, namun dengan cara terfokus, serta dilakukan dnegan
tidak mengabaikan sikap perawat yang mneghargai lansia. Observasi yang menyeluruh
diarahkan pada hal-hal berikut.

1. Membandingkan usia kronologi terhadap usia sekarang.


2. Aspek gender, suku.
3. Perkembangan perawatan.
4. Kebersihan (cara berdandan).
5. Ekspresi wajah, cara berbicara.
6. Pengamatan pada daerah kulit, dilihat keriput/kerut-kerut, warna kulit keabu-
abuan, kering, dan rambut rapuh.
7. Gerakan melambat, menggunakan alat bantu ambulasi, dan memperhatikan
langkah-langkah yang kaku.
8. Diamati pula perihal berat dan tiggi badan, apakah sesuai. Bentuk dan bagian-
bagian tubuh apakan simetris.
9. Gejala seperti tremor, kontraktur, gerakan-gerakan asimetris, postur kaki,
pergelangan, dan jari-jari tangan.
10. Inspeksi di daerah leher, apakah terdapat otot-otot/tendon yang menonjol, juga
adanya redistribusi lemak.
11. Kesan umum tentang perkembangan badan, apakah tampak terlalu tinggi/terlalu
pendek, terdapat penurunan massa otak, ataupun kegemukan.
12. Pengamatan terhadap kebersihan/kerapian antara lain: rambut, kuku, atau bau
badan.

Pemeriksaan fisik sering kali perlu dilengkapi dengan pemeriksaan laboraturium, agar
dapat memberikan gambaran yang tepat tentang status kesehatan atau
penyakit/gangguan yang diderita saat ini.
Temuannya bisa berupa gambaran patologis yang multiple beserta perubahan-
perubahan akibat proses menua.

Adapun pemeriksaan fisik menurut sistem tubuh dapat menggunakan pola head to toe,
yaitu pemeriksaan dari kepala hingga ke ujung jari, namun teknik pemeriksaan fisik
per sistem yang menyeluruh seperti itu adalah di luar lingkup pembahasan ini. Akan
tetapi, untuk dapat mengarah pada berbagai gangguan yang sering terdapat pada lansia
dapat dianjurkan untuk mempedomani pemeriksaan terfokus pada beberapa sistem
tubuh seperti yang tertera pada tabel.

Tabel 2. Temuan fisik pada pengkajian head to toe

Sistem Temuan pemeriksaan fisik


Integument Lemak subkutan menyusut
Kulit kering dan tipis, rentan terhadap trauma dan
iritasi, serta lambat sembuh
Mata Arcus senilis, penurunan visus.

Telinga Pendengaran berkurang yang selanjutnya dapat


berakibat gangguan bicara.

Kardiopulmona Curah janjung berkurang serta elastisitas jantung dan


l pembuluh darah berkurang. Terdengar bunyi jantung
IV (S4) dan bising sistolik. Kapasitas viral paru,
volume ekspirasi, serta elastisitas paru-paru
berkurang. Walaupun tak ada paru namun dapat
terdengar ronki basal.

Massa tulang berkurang, lebih jelas pada wanita.


Maskuloskeleta Jumlah dan ukuran otot berkurang.
l Massa tubuh banyak yang tergantikan oleh jaringan
lemak yang disertai pula oleh kehilangan cairan.
Mobilitas dan absorbs saluran cerna berkurang, daya
pengecap, serta produksi saliva menurun.
Gastrointestinal
Rasa raba juga berkurang, arm-swing, langkah
menyempit, dan pada pria agak melebar. Selain itu,
terdapat potensi perubahan pada status mental.
neurologikal

Untuk lengkapnya, berikut ini dirinci pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik
sebagai berikut.

Pemeriksaan fisik umum

Kesadaran

Dalam kaitan ini klien/pasien dapat menunjukkan tingkat kesadaran baik (tak ada
kelainan/gangguan kesadaran), dengan kata lain keadaan umum paisen baik. Keadaan
umum tampak sakit (bisa ringan, sedang, atau berat). Klien bereaksi terhadap rangsang
(stimulasi) tertentu, misalnya rangsang nyeri pada tubuh dengan dicubit kemudian
amatilah reaksi yang muncul.

Bila reaksinya wajar, berarti baik. Bila reaksinya lamban/lemah atau tidak ontinu,
berarti kesadarannya tingkat sedang. Dan bila tak ada reaksi sama sekali berarti
kesadaran menurun.

Gangguan kesadaran tingkat ringan dan tingkat sedang harus dibedakan dari kondisi
klien lansia yangs edang tidur. Bila tidur, bisanya dapat terbangun pada perangsangan
ringan/sedang. Lansia yang koma tak ada reaksi terhadap berbagai bentuk rangsangan.
Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa bagian sebagian berikut.

1. Compos mentis (normal)


2. Somnolen
3. Spoor
4. Spoor koma
5. Koma
Bila lansia menunjukkan gangguan tingkat kesadaran (pada umumnya dijumpai pada
penderita gawat darurat) cara yang lazim digunakan untuk mengevaluasi tingkat
kesadaran dengan kata lain cara penentuan tingkat kelainan neurologis adalah dengan
menggunakan skala Glasgow, yaitu GCS (Glasgow coma scale). Disini kondisi
neurologis dinilai berdasarkan 3 faktor. Reaksi untuk membuka mata, respons verbal,
dan respons motorik.

Tanda vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi pemeriksaan nadi (kecepatan nadi per menit)
juga pemeriksaan tekanan darah (yang terdiri ata tekanan sistolik dan diastolic).
Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan secara papatoir auskutatoir.

Sistem integument

Selain yang tertera pada tabel 2, dapat diperhatikan pula tentang ada tidaknya anemia,
ikterus, sianosis, serta lesi primer dan lesi sekunder. Lesi primer pada kulit antara lain
berupa: skuama, ekskorasi, fisura, krusta, sikatriks. Dan ulkus.

Perubahan lainnya berupa perubahan kulit lokal: angioma, nevi, striae, kebotakan pada
rambut, edema, turgor, berkeringat, dan atrofi.

Pengkajian status gizi

Pada lansia perlu mewaspadai status gizi yang menurun, mengingat prevelansi
malnutrisi yang tinggi dikalangan mereka, yaitu sebesar 10-50%. Padahal malnutrisi
ini merupakan faktor risiko utama bagi timbulnya kesakitan dan kematian, khususnya
bagi mereka yang tinggal dip anti. Selain itu, sering kali status gizi dikalangan lansia
ini diabaikan orang. Malnutrisi sendiri merupakan masalah yang bersifat multifactor,
yaitu meliputi faktr fisik, sosial, dan ekonomi. Bagi lansia yang tinggal sendiri, sering
kali mengalami kurang makan, khususnya pada golongan pria.

Selanjutnya gangguan kognitif dan suasana hati (mood) juga jarang mengubah
kebiasaan makan dan intake gizi secara normal. Di negara maju, terdapat sekitar 10%
lansia yang memiliki kebiasaan mengosumsi alcohol dimana kenyataan ini sering tidak
dihiraukan oleh perawatnya. Padahal alcohol sendiri berakibat kurangnya nafsu
makan.

Untuk menentukan status nutrisi dianjurkan pula mengkaji riwayat diet lansia. Pada
umumnya masalah gizi kurang pada lansia berupa kurang energy kronis (KEK),
anemia, dan kekurangan zat gizi mikro yang lain.

Dapat dikatakan baha masalah gizi pada lansia untuk sebagian besar merupakan
rangkaian masalah gizi yang telah ada sebelumnya dan manifestasinya timbul setelah
klien menjadi tua. Selain itu, dari banyak penelitian yang dilakukan ternyata
ditemukan bahwa kebanyakan masalah gizi pada gilirannya memacu timbulnya
penyakit-penyakit degenerative seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes,
batu empedu, Gout (rematik), penyakit ginjal, sirosis hati, dan penyakit-penyakit
keganasan (kanker).

Lansia yang mengalami obesitas ditemukan lebih sering pada wanita disbanding pria,
yaitu sebesar 26,1% : 15,6% (Survei IMT, Depkes 1997).

Menurut para pakar ilmu gizi, dikatakan bahwa selain kegemukan secara menyeluruh,
kegemukan di daerah perut lebih berisiko. Kelebihan lemak diperut dihubngkan
dengan meningkatnya risiko menderita penyakit jantung koroner. Khusus mengenai
hal ini dikenal ukuran rasio pinggang/oinggul, yaitu merupakan hasil bagi antara
lingkar perut (melalui pusar) dengan lingkar pinggul (lingkaran terbesar). Rasio yang
jauh di bawah 1 (pada pria) atau 0,8 (pada wanita) merupakan faktor risiko menderita
PJK sebesar 1-3 kali; penyakit hipertensi sebesar 1,5 kai; penyakit diabetes sebesar 2,9
kali; dan penyakit empedu sebesar 1-6 kali.

Perlu ditegaskan bahwa status gizi penting bagi lansia. Berikut ini adalah kegunaan
status gizi.

1. Untuk memperoleh respons umum terhadap masuknya antigen asing.


2. Untuk dapat mempertahankan struktur dan anatomi.
3. Untuk dapat berpikir jernih.
4. Untuk dapat memperoleh energy cadangan bagi keperluan sosialisasi serta
aktivitas jasmani.
Beberapa perubahan fisiologis yang terkait dengan penuaan dan dapat memengaruhi
status gizi adalah sebagai berikut.

1. Penurunan penciuman dan pengecapan.


2. Ganggian gigi geliga.
3. Berkurangnya produksi saliva sampai sebesar 1/3 kali produksi pada usia muda.
4. Gangguan reflex menelan (lemah)
5. Kurang toleran terhadap lemak.
6. Peristaltic menurun.
7. Rendahnya produksi asal lambung yang khususnya terkait dengan menurunnya
pencernaan dan absorbs vitamin, zat besi, zink, dan kalsium.

Faktor sosial ekonomi juga secara langsung berdampak pada malnutrisi. Kadang-
kadang keperluan-keperluan hidup lainnya seperti sewa rumah dan obat-obatan
melebihi alokasi untuk makanan.

Mahalnya bahan makanan segar, hambatan transportasi, dan berkurangnya


kemampuan membawa barang belanjaan tak jarang membatasi para lansia
memperoleh persediaan bahan makanan.

Lansia yang tinggal sendiri juga berhubungan dengan status gizi rendah, karena
mereka cenderung kurang termotivasi untuk menyiapkan makanan seimbang bagi
dirinya sendiri.

Secara psikologis, depresi, dan stress dapat berpengaruh pada status gizi. Bisa dalam
bentuk kurang makan atau makan berlebihan. Konsumsi obat-obatan tertentu dapat
berakibat efek samping berupa gangguan nafsu makan, kosntipasi, mual, serta
berkurangnya absorbsi.

Selain itu, obat-obatan diuretic jelas dapat mengganggu keseimbangan cairan dan
elektrolit yang dapat berakibat dehidrasi atau konstipasi.

Faktor risiko untuk malnutrisi disebutkan meliputi beragam kondisi atau kelainan
berupa: sering sakit-sakitan, asupan gizi yang kurang, sakit gigi/gigi tanggal, kesulitan
ekonomi, sosialisasi berkurang, faktor obat-obatan, penurunan berat badan yang tidak
disadari, adanya ketergantungan, serta lansia diatas 80 tahun.
Secara fisiologis, mengingat basal metabolisme rate (BMR) yang rendah seiring
dengan bertambahnay usia, makan kebutuhan nutrisinya menurun (disamping
berkurangnya aktivitas fisik). RDA untuk kalori=2.300 untuk lansia kurang dari 75
tahun dan 2.050 kalori untuk usia lebih dari 75 tahun, dimana 58% dari karbohidrat,
30% dari lemak, dan 12% dari protein. Lansia juga memerlukan ekstra vitamin D, B6,
dan kalsium untuk terhindar dari osteoporosis. Kebutuhan akan serat kira-kira 35
gram/hari.

Pengkajian berat badan, tinggi badan, dan struktur tubuh penting, mengingat pola
pertambahan dan pengurangan berat badan dapat memengaruhi kondisi kesehatan
lansia secara keseluruhan. Pada kelembagaan (panti jompo dan sejenisnya), perawat
perlu melakukan pengamatan tentang pola defekasi dari para jompo, tertama bila
mereka sendiri tidak dapat menginformasikannya.

Pada lansia tidak jarang terjadi anemia, namun masih dalam batas normal. Dalam hal
ini, perlu mempertimbangkan kondisi kesehatan lansia secara umum. Penjelasan
tentang hal ini antara lain bahwa laboratorium darah bisa meningkat secara semu pada
keadaan dehidrasi.

Tabel 3. Pedoman pengkajian perencanaan dan nutrisi

Kajian tentang kenyamanan rongga mulut dan mengunyah


1. Apakah terdapat sariawan atau perdarahan mulut?
2. Apakah sakit gigi? Ngilu pada rangsang panas atau dingin?
3. Apakah gusi berdarah?
4. Apakah sulit mengunyah atau menelan, dan adakah jebis makanan yang dihindari
karena hal ini?
5. Adakah mulut/lidah merasa kering?

Kajian tentang perawatan gigi


1. Seringkah mengunjungi dokter gigi? Kapan terakhir kalinya? Dimana?
2. Bila tidak pernah dalam setahun, tanyakan sebabnya.
3. Bagaimana ia merawat giginya?

Kajian kebutuhan nutrisi


1. Adakah menderota penyakit yang memerlukan modifikasi diet? (DM, jantung)
2. Adakah alergi terhadap makanan tertentu?
3. Obat-obatan apa yang digunakan sekarang?

Kajian belanja kebutuhan pangan


1. Bagaimana melakukannya?
2. Adakah yang membantu belanja?
3. Apakah ada masalah dnegan kegiatan ini? (akibat penglihatan, berjalan, trasportasi)

Kajian tentang persiapan hidangan dan pola konsumsi


1. Dimana anda makan, dengan siapa?
2. Apakah ada yang membantu masak?
3. Adakah kesulitan menyiapkan hidangan? (misalnya membuka makan kalengan)
4. Adakah kesulitan berlalu-lalang di dapur, menggunakan peralatan dapur?
5. Adakah perubahan pola makan dan masak?

Perilaku terhadap nutrisi dan pencernaan


1. Apakah lansia tampak menikmati makanannya bersama yang lain, atau merasa
diganggu oleh yang lain?
2. Bila memakai gigi palsu, apakah dicopot waktu makan? Kenapa?
3. Adakah mengemil di antara waktu-waktu makan dan bagaimana pola minumnya?
4. Adakah tersedia minuman rindan tanpa kafein?
5. Adakah petunjuk mengenai pengaruh budaya dalam memilih/memasak makanan?

Amati situasi makan


1. Adakah pengaruh lingkungan/sosial terhadap kenyamanan diwaktu makan? (ruang
makan berisik, terganggu oleh pihak lain)?
2. Apakah lansia makan sendiri atau memerlukan interaksi sosial?

Pemeriksaan Fisik Khusus


Pemeriksaan fisik per sistem secara berurutan mulai dari kepala, leher, mata, THT,
mulut/tenggorokan, torak (pernapasan dan paru), kardiovaskular (jantung dan
pembuluh darah), abdomen, serta ekstremitas atas dan bawah.

Pengkajian Sistem Perkemihan

Proses penuaan pada ginjal, kandung kemih, uretra, dan sistem pernapasan
memengaruhi fisiologi pengeluaran urin. Proses penuaan dapat mengarah pada
terjadinya inkontinensia. Faktor risiko untuk timbulnya inkontinensia meliputi obat-
obatan, kondisi patologis, psikologis, serta kelainan kognitif dan fungsional. Pada
bagian ini hanya akan dibahas mengenai beberapa obat-obatan serta mekanisme
kerjanya terhadap inkontinensia, seperti yang tertera pada tabel 4.

Tabel 4. Mekanisme kerja obat inkontinensia

Jebis obat Mekanisme kerja


Diuretika Memperlancar berkemih, menyebabkan
urgensi, frekuensi, dan poliuria.
Menurunkan kontraksi kandung kemih,
Obat anti kholinergik
mengakibatkan retensi urin, inkotinensia
(antihistamin, antipsikotik,
dan sebagainya.
antidepresan,
antispasmodic,
antiparkinson)
Mengurangi kontraksi kandung kemih,
dalam jangka lama juga berakibat
Andrenergic inkontinensia.
(dekongestan)
Inkontinensia, delirium.

Obat hiptonik dan


antiansietas
Dieresis, delirium, gangguan kognitif, dan
Alcohol
inkontinensia.
Selanjutnya dibawah ini disajikan pula tentang pedoman pengkajian eliminasi urin.
Adapun pedoman pengkajian eliminasi urin mencakup pengkajian faktor risiko yang
mempengaruhi eliminasi urin, baik langsung maupun tidak langsung; serta pengkajian
tentang rasa takut, sikap, dan konsekuensi psikososial.

Pengkajian faktor risiko yang memengaruhi eliminasi urin.

1. (pria): apakah pernah operasi prostat/kandung kemih?


2. (pria): apakah riwayat masalah prostat?
3. (wanita): apakah lansia punya anak? (bila Ya, berapa dan adakah masalah pada
waktu partus dahulu).
4. (wanita): pernahkah dioperasi panggul, kandung kemih/uterus?
5. (wanita): adakah infeksi pada traktus genital?
6. Adakah nyeri/rasa tak nyaman waktu berkemih?
7. Adakah infeksi urinaria?
8. Adakah penyakit kronis, obat apakah yang dipakai?
9. Berapa banyak minum sehari? (tanyakan jumlah dan jenis)

Pengkajian faktor risiko tidak langsung

1. Adakah kesulitan untuk berjalan/gangguan keseimbangan?


2. Bila berada di tempat umum adakah mengalami kesulitan ke toilet?

Pengkajian gejala dam keluhan disfungsi urine.

1. Bisakah menahan kemih sebelum mencapai toilet? (berapa lama), bagaimana bila
batuk/dan sejenisnya?
2. Apakah perlu selalu bangun berkemih malam hari?
3. Setelah berkemih apakah merasa tidak lampias?
4. (pria): sulit mulai berkemih?

Pengkajian inkontinensia.

1. Kapan mulainya?
2. Apa tindakan anda untuk mengatasinya? (dengan cara membatasi minum/sering
berkemih)
3. Adakah sesuatu hal tertentu yang memperburuk atau dapat menguranginya?
4. Apakah sakit waktu berkemih?
5. (wanita): adakah merasa tekanan di daerah panggul?
Pengkajian tentang rasa takut, sikap, konsekuensi psikososial.

1. Sudahkan mencari pengobatan?


2. Apakah merasa selalu perlu berada dekat dengan toilet?
3. Apakah menghindari bepergian karena hal itu?

Pengkajian sistem pernapasan

Pengkajian sistem pernapasan dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses


penuaan yang terjadi pada sistem pernapasan. Hal ini mencakup: (1) perubahan pada
saluran pernapasan atas, (2) diameter dinding, dan (3) dinding dada kaku. Bentuk
kelainan yang dikaji meliputi adanya pernapasan dengan menggunakan otot napas
tambahan, pernapasan yang memerlukan tenaga, pernapasan yang kurang efisien,
menurunnya reflex batuk, serta lansia menjadi lebih rentan terhadap infeksi saluran
napas bagian bawah (ISPB).

Adapun faktor risiko yang ditemukan antara lain berupa merokok, polusi udara, atau
polusi akibat keterpaparan (exposure) dari lingkungan pekerjaan, seperti asbestosis.

Pengkajian mobilitas

Pengkajian mobilitas dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yang
terjadi pada mobilitas. Hal ini mencakup (1) berkurangnya massa otot, (2) jaringan
ikat mengalami perubahan degenerative, (3) osteoporosis, dan (4) perubahan pada
susunan saraf.

Bentuk faktor risiko yang dikaji meliputi adanya penurunan kekuatan, daya tahan,
koordinasi gerak otot, adanya hambatan gerak sendi, rawan jatuh, dan rawan fraktur.

Adapun faktor risiko yang ditemukan antara lain berupa osteoporosis, terutama pada
wanita, mereka yang kurang bergerak, serta lansia dengan kelainan kekurangan
kalsium. Gangguan ini sering menyerang tulang-tulang kecil terutama ditemukan pada
mereka yang bertubuh kurus. Faktor risiko lainnya berupa perubahan sendorik dan
susunan saraf, penggunaan obat, depresi, demensia, dan faktor lingkungan.

Pengkajian sistem kulit/integument


Pengkajian ini dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yang terjadi
pada sisitem kulit/integument. Hal ini mencakup (1) pertumbuhan epidermis
melambat, kulit kering, epidermis menipis; (2) berkurangnya vaskularisasi; (3) juga
melasolit dan kelenjar-kelenjar pada kulit.

Adapun faktor risiko yang ditemukan antara lain berupa: terkena sinar ultraviolet,
frekuensi kebiasaan mandi, serta keterbatasan aktivitas.

Pengkajian pola tidur

Pengkajian ini dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yang terjadi
pada pengkajian pola tidur. Hal ini mencakup perubahan siklus tidur seiring penuaan.
Bentuk kelainan yang dikaji meliputi adanya berbagai konsekuensi fungsional berupa:
susah tidur pulas, sering terbangun, serta kualitas tidur yang rendah. Selain itu dikaji
pula tentang lansia berada lama ditempat tidur serta jumlah total waktu tidur per hari
yang berkurang.

Pengkajian status fungsional

Pengkajian ini sangat penting, terutama ketika terjadi hambatan pada kemampuan
lansia dalam melaksanakan fungsi kehidupan sehari-harinya. Kemampuan fungsional
ini harus dipertahankan semandiri mungkin.

Tabel 6. Indeks tingkat kemandirian/ketergantungan pada lansia

Tingkat A. mandiri pada ke-7 jenis aktivitas.


Tingkat B. mandiri pada 6 jenis aktivitas.
Tingkat C. ketergantungan dalam hal mandi plus salah satu yang lain.
Tingkat D. ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian, plus salah satu lainnya.
Tingkat E. ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian, ke toilet, plus salah satu
lainnya.
Tingkat F. ketergantungan dalam hal mandi, berpakaian, ke toilet, dan transferring,
plus salah satu lainnya.
Tingkat G. ketergantungan pada ke-7 fungsi.
Lain-lain: bila terdapat ketergantungan pada 2 fungsi atau lebih yang tidak termasuk
C, D, E, atau F
Sumber: katzs Index dalam Stanhope: Community Health Nursing

Adapun kemampuan ini dihubungkan dengan kemampuan klien dalam melakukan


fungsi tanpa memerlukan supervise, petunjuk, maupun bantuan aktif dengan
pengecualian seperti dicantumkan dalam definisi di atas.

Untuk menetapkan apakah salah satu fungsi tersebut mandiri atau dependen (yaitu
memperlihatkan tingkat ketergantungan) diterapkan standar sebagai berikut.

1. Tentang mandi, dinilai kemampuan klien untuk menggosok/membersihkan sendiri


seluruh bagian badannya. Atau dalam hal mandi dengan cara pancuran (shower)
atau dengan cara masuk dan keluar sendiri dari bath tub. Dikatakan independen
(mandiri), bila dalam melakukan aktivitas ini, klien hanya memerlukan bantuan
untuk misalnya menggosok/membersihkan sebagain tertentu dari anggota
badannya. Lansia mampu mandi sendiri tapi tak lengkap seluruhnya. Dikatakan
dependen bila klien memerlukan bantuan untuk lebih dari satu bagian badannya.
Juga klien tak mampu masuk/keluar bath tub sendiri.
2. Dalam hal berpakaina, dikatakan independen bila tak mampu mengambil sendiri
pakaian dalam lemari atau laci, misalnya mengenakan sendiri bajunya, memasang
kancing atau resleting (mengikat tali sepatu, dikecualikan).

Pengkajian status psikososial


Adapun pengkajian fungsi psikososial dilakukan melalui observasi.
Wawancara, dan pemeriksaan status mental (menurut folstein). Informasi yang
dihimpun meliputi fungsi kognitif, psikomotor, pandangan dan penalaran, serta kontak
dengan realita (black,1990).
Pengkajian status psikososial meliputi pengkajian fungsi kognitif dan
pengkajian psikososial (mental, emosional). Bagian yang populer dan sederhana
adalah yang disebut mini mental state examination-MMSE.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk dapat menentukan pikiran serta proses
mental, apakah lansia dapat memperlihatkan fungsi optimal. Bila lansia mengalami
sesuatu serangan penyakit atau gangguan tertentu, maka perlu diidentifikasi hal-hal
sebagai berikut.
1. Evaluasi kesadaran dan orientasi.
2. Aspek kognitif, alam perasaan, dan afek. Termasuk pula observasi terhadap perilaku dan
respon terhadap pertanyaan yang di ajukan.

Observasi dilakukan secara biasa (natural) tidak bersifat mengancam, serta dengan
mempertimbangkan aspek etnik (adat istiadat). Rinci tentangan item-tem yang
dilakukan dalam pengkajian secara menyeluruh pada klien lansia, meliputi hal-hal
sebagai berikut :
1. Apakah pasien dapat bermanuver secara aman dan bertujuan, dengan pengertian tidak
ragu-ragu, maju mundur, serta tidak memperlihatkan postur atau gerakan-gerakan yang
agresif.
2. Apakah pasien menunjukkan kontak mata, menampilkan ekspresi wajah secara tepat.
3. Apakah ekspresi menunjukkan ansietas, nyeri, apatis, bermusuhan, takut, dan mudah
beralih perhatian.
4. Observasi mengenai ekspresi wajah, antara lain ditunjukan pada eye contact, klien
tampak arif dimana menampilkan ekpresi yang tepat sesuai dengan materi percakapan.
Kadang-kadang tampak seperti bayangan gelap di sekitar mata.
5. Klien kadang-kadang menyembunyikan mulut dengan tangan, takut, merintih/nyeri,
pucat, berkeringat.
6. Ada tindaknya gambaran asimetis akibat paralisi, kontraktur, atrofi otot.
7. Dalam hal bicara, apakah terdapat kesulitan dalam merespons pertanyaan/instruksi-
instruksi yang diajukan oleh perawat. Kadang-kadang klien terlalu banyak bicara atau
bila mengelak dilakukan berulang-ulang. Artikulasi terdapat bunyi khusus pada saat
berbicara. Amati apakah variasi topik berbicara tepat apakah ada keraguan-keraguan
atau gagap atau bicarama menonton.
Pada pemeriksaan MMSE selain ditunjukkan pada orientasi personal, ruang dan waktu
juga antara lain diperhatikan misalnya lansia tidak mampu memberi data biografi
terbaru secara tepat. Selain identitas , orientasi waktu misalnya mengetahui tentang
tahun, musim dan lain-lain.
Pengkajian Aspek Spiritual.
Terdapat indeks yang dirancang untuk mengukur upaya yang dilakukan secara
individual dalam pencarian arti dan makna kehidupan. Hal ini mencagkup segi
apersepsi terhadap makna kehidupan yang lebih mendalam, serta bagaimana seseorang
menempatkan diri dalam lingkungan alam inderks tersebut meliputi :
1. Perasaan individu tentang kehidupan keagamaannya seperti berdoa dan sholat.
2. Melakukan kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang makna kehidupan
menurut agama dan kepercayaannya.
3. Bagaiman seseorang mereflesikan arti kehidupan yang dijalaninya.
4. Apakah nilai keberagamaannya dapat menuntun menjawab tantangan-tantangan dalam
kehidupan.
5. Mengetahui bahwa kehidupan spiritualnya merupakan suatu prose yang berlangsung
terus selama hayat.
6. Apakah seseorang itu peduli tentang isu-isu kemanusiaan?
7. Apakah seseorang masih mendalami pengetahuan keagamaan?

Diagnosa keperawatan pada lansia


Adapun uraian ini selain berpatokan pada NANDA juga disarikan dari Miler,C.A
(1995) sebagai berikut :
1. Diagnosa keperawatan pada gangguan pendengaran seperti diketahui bahwa gangguan
pendengaran bisa diagnosis keperawatan dapat disebutkan sebagai ganggua komunikasi.
Adapun gangguan ini berhubungan dengan kondisi-kondisi pada lansia seperti :
penurunan pendengaran, gangguan nervus auditorius, obat-obatan ototoksik, dan suara
gaduh dari lingkungan. Diagnosi keperawatan dalam bentuk konsekuensi antara lain
berupa :
Ansietas, gangguan penyesuaian diri dan intraksi sosial, serta tidak efektfnya
koping individu. Bila keadaan ini berat maka diagnosis keperawatan bisa berbunyi
resiko tinggi cidera bahkan bisa berupa konsekuensi paranoia atau gangguan
perseptual sensorik.

2. Diagnosa keperawatan pada gangguan penglihatan adalah gangguan peresepsi sensori


yang berhubungan dengan adanya presbiopi, glukoma , faktor ekstermal. Apa pun
perawatannya perlu disesuaikan dengan faktor-faktor penyebab.
Diagnosa keperawatan lainnya berupa resiko tinggi untuk terjadinnya ansietas,
intoleransi aktivitas, gangguan perawatan diri. Kesemuannya erat hubungannya
dengan gangguan intraksi sosial, gangguan mobilitas fisik, serta resiko tinggi bagi
terjadinya trauma.

3. Diagnosis keperawatan pada gangguan pencernaan, nutrisi atau higiene rongga mulut
berupa :
a. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan reaksi
obat, anoreksia, depresi, ganggua mengunyah, isolasi sosial, tak mampu memasak/
menyiapkan hidangan.
b. Perubahan eliminasi defekasi berupa konstipasi yang berhubungan dengan
xerostomi, efek obat, gangguan mengunyah, penyakit priodontal, penurunan selera
pengecapan, serta higien mulut.
c. Perubahan mukosa rongga mulut berhubungan dengan faktor-faktor diatas.

4. Diagnosa keperawatan pada gangguan eliminasi urine adalah perubahan eliminasi urine
yang berhubungan dengan urgensi, frekuensi, dribbling, nokturia, hestansi, serta
inkontinensia.
Khusus dalam hal inkontinensia berhubungan dengan fecal lith, defisiensi hormon
estrogen, hipertrofi prostat, infeksi traktus urinaria, reaksi obat, gangguan
kognitif. Diagnosa lainnya adalah resiko tinggi pembatasan intake cairan,
diagnosa ini terkait dengan konsekuensi seksualitas, serta gangguan body image.

5. Diagnosis keperawatan pada kelainan kardiovaskular.


Apa bila terdapat gangguan fungsi kardiovaskualar maka bunyi diagnosis
keperawatan adalah :
a. Perubahan pemeliharaan status kesehatan tubuh yang berhubungan dengan ketidak
mampuan exercise/aerobic. Pola intake tinggi garam, pola intake tinggi kolestrol,
dan pola komsumsi tembakau.Adapun rincian diagnosa ini yaitu perubahan
pemeliharaan status kesehatan tubuh antara lain berupa intoleransi aktivitas,
penurunan curah jantung, serta gangguan perfusi jaringan. Kesemuannya ini
berpotensi terjadinya komplikasi kardiovaskular.
b. Risiko tinggi trauma akibat hipotensi pos-prandial dan risiko tinggi jatuh/fraktur
berhubungan dengan osteoporosis, gangguan neurologis, atau efek samping obat.

6. Diagnosa keperawatan pada gangguan fungsi respiratorius.


Berupa resiko tinggi gangguan fungsi paru yang berhubungan dengan merokok,
kifosis, inflamasi, infeksi, penyakit berat atau menahun/ keterbatasan gerak. Bila
hanya terbatas pada salah satu gangguan fungsi paru maka diagnosa bersihan jalan
nafas tidak efektif . Sedangkan bila penurunan fungsi paru mengganggu ADL
maka diagnosa keperawatannya intoleransi aktivitas.

7. Diagnosa keperawatan pada gangguan mobilitas /keselamatan


Diagnosa yang dapat di angkat adalah resiko tinggi osteoporosis yaitu pada lansia
wanita yang berada pada fase post-menopose diagnosis berbunyi health seeking
behavior. Adapun kegunaanya untuk mencegah osteoporosis karena terdapat
hubungan erat dengan penurunan kadar esterogen. Keadaan osteoporosis tersebut
selanjutnya akan berupa resiko tinggi terjadinya fraktur. Diagnosis keperawatan
lain yaitu resiko tinggi jatuh/ trauma akibat gangguan keselamatan / mobilitas
berhubungan dengan faktor penyebab jatuh sebagian tertera di bawah ini :

Faktor penyebab jatuh pada lansia :


Pencahayaan Toilet
Gelap / menyilaukan Tanpa pegangan
Lokasi tombol lampu Ketinggian kloset tidak sesuai
Potensi kecelakaan Kamar Tidur
Lantai licin Ketinggian tempat tidur
Kesetan Letak kasur yang tidak kokoh
Tempat tidur beroda tidak
dikunci

Perabotan Dapur
Tinggi kursi dan meja Peralatan ditempatkan
Kursi tanpa pegangan Serampangan
Kekokohan kursi/meja Kompor atau alat lain berisiko
Letak perabotan yang Kecelakaan
terhalang

Tangga
Pecahayaan pada tangga
Tombol lampu dekat tangga
Kedudukan anak tangga
Yang tidak seragam

8. Diagnosa keperawatan pada kelainan kulit dan integrumen yaitu :


a. Ketidaknyamanan : pada kulit (gatal/kulit kring) yang berhubungan dengan dehidrasi,
penuaan kulit, dan kelembapan udara sangat rendah.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan inkontinensia, malnutrisi, dehidrasi,
keterbatasan gerak, tirah baring dan paparan langsung terhadap sinar matahari.

9. Diagnosa keperawatan pada gangguan tidur / istirahat


Yaitu gangguan tidur (fase awal) atau sering terjaga (selama tidur) keduanya ini
termasuk gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri misalnya artitis atau
klien lansia pascabedah. Ansietas, depresi, nokturia, inkontinensia, efek obat,
perubahan hormonal selama menopouse, perubahan cuaca lingkungan atau demensia.

10. Gangguan pengaturan suhu


Diagnosis keperawatan berbunyi risiko tinggi hipotermia (Suhu rektal 35,5c ) atau
hipertermia (suhu rektal >37,8c) berhubungan dengan imobilisasi, usia jompo, efek
obat, atau penyakit kronis. Kedua kondisi ini (hipo atau hipertermia) pada lansia
sangatlah riskan, terutama bila lansia tinggal sendiri karena akan menimbulkan
konsekuensi yang serius.

11. Diagnosa keperawatan pada gangguan fungsi seksualitas berbunyi gangguan pola
seksualitas berhubungan bengan efek obat misalya obat hipertensi, penyakit edokrin DM,
penyakit jantung kongestif, gangguan genitor urinaria seperti vaginitis, prostatitis,
inkontinensia. Biasa juga sebagai akibat dari kondisi menahun seperti arthritis.

12. Pemakaian obat pada lansia


Diagnosa keperawatan yang muncul ketidakpatuhan minum obat berhubungan dengan
gangguan status fungsional, regimen obat yang serba rumit, rendahnya dukungan
sosial, reaksi obat, miskin/kesukitan perekonomian, dan atau tidak memahami
petunjuk obat. Diagnosi untuk reaksi obat bisa langsung mengarah pada akibat yang
ditimbulkan antara lain berupa konstipasi, inkontinensia urine, perubahan nutrisi,
gangguan kongestif, gangguan mobilitas fisik, dan risiko tinggi trauma akibat reaksi
obat/hipotensi postural.

Rencana Asuhan Keperawatan


Telah disinggung sebelumnya bahwa sifat-sifat penyakit pada golongan lansia
secara umum dikatakan berciri patologi multiple, gejala dan tanda-tandanya sering kali
tersembunyi, serta tidak bersifat khas, dan bervariasi.
Sebaliknya tidak jarang pula tanda-tanda bahkan tidak muncul sama sekali,
tetapi ada pula yang berciri progresif menjadi kronis. Bila keadaan berlangsung kronis
seperti itu, tak jarang akan menimbulkan invaliditas yang berlangsung cukup lama
sebelum akhirnya penderita meninggal.
1. Evaluasi per sistem tubuh utama
2. Evaluasi status sosial dan mental
3. Evaluasi kapasitas fungsional (ADL)
Rencana keperawatan yang di susun sepenuhnya bergantung pada kompilasi
temuan objektif dan subjektif pada tahapan pengkajian seperti yang telah diuraikan
sebelumnya.
Setelah melewati tahapan pengkajian dan diagnosis keperawatan, maka setiap
asuhan keperawatan pada lansia dilanjutkan dengan melakukan analisis dan
pengelompokan secara iskemik terhadap data subjektif dan objektif yang akan terfokus
pada dua hal yaitu status kesehatan pasien, dan kekuatan badan pasien yang
menggambarkan respons tubuh, mengarah pada ciri-ciri aktual, risiko, atau potensial.
Rencana asuhan keperawatan juga akan mengarah pada penggunaan jenis
fasilitas perawatan oleh lansia yang akan dirawat. Berbagai jenis (UGD), fasilitas
ruang bedah, unit perawatan kritis, serta unit keperawatan medikal bedah. Bagi lansia
yang memiliki fasititas perawatan akut, kualitas asuhan keperawatan diupayakan agar
dapat dikembalikan pada kondisi kemandirian dalam aktivitas keseharian,
sebagaimana sebelum ia sakit.
Asuhan keperawatan secara bekualitas akan dapat mencegah terjadinya
kesalahan penanganan maupun problem nosokomial. Asuhan keperawatan pada UGD,
keperawatan di ruang bedah kesemua ruang rawat inap. Terdapat pula jenis perawatan
sub-akut yang akhir-akhir ini baru dikembangkan. Jenis ini sering kali ditunjukkan
bagi lansia yang juga memiliki kondisi kronik tertentu atau yang mengalami
punundaan pemulangan dari hasil perawatan tahap akut.
Dari uraian di atas, tercemin pentingnya pendekatan kepewatan secara
kolaboratif atau pendekatan multidisiplin, keterlibatan klien dan keluarga ke semuanya
difokuskan pada penyembuhan lansia, serta peningkatan kemandirian dan pencegahan
komplikasi.
Selanjutnya, terdapat pula rencana asuhan keperawatan yang di arahkan
kepada kontinuitas perawatan, penggunaan fasilitas rehabilitasi, hingga kepada
fasilitas perawatan jangka panjang.
Akhirnya perlu disebutkan tentang sarana perawatan komunitas untuk lansia
diberbagai lingkungan , termasuk rumah, juga berbagai lingkungan rawatan komunitas
lainnya sejauh ini berkembang di negara-negara maju.

Strategi intervensi Keperawatan


Strategi intervensi yang di tunjukan bagi lansia disesuaikan dengan hasil
pengkajian dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tahap awal seperti yang
diuraikan sebelumnya. Bagi lansia yang telah didiagnosa secara medis perlu
menjalankan program pengobatan (terapi medis) sebagaimana mestinya dengan tetap
memerhatikan aspek asuhan keperawatan, baik bagi lansia yang mengalami perawatan
dirumah maupun di institusi.
Stategi intervensi dalam uraian berikut ini terutama difokuskan pada asuhan
keperawatan bagi lansia sebagimana tujuan instruksional dalam pokok bahasa.
Intervensi yang berbentuk pelatihan keperawatan dasar bagi lansia dilakukan asuhan
keperawatan dirumah atau panti werda pemberian asuhan keperawatan dasar bagi
lansia dapat dibedakan atas dua golongan sasaran lansia yaitu bagi lansia yang masih
aktif dan lansia besar berpatokan pada kapasitas fungsionalnya. Lansia aktif adalah
mereka yang kondisi fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain
sedemikian sehingga taraf aktivitas sehari-harinya masih tergolong mandiri
sebaliknya, dengan lansia pasif dimaksudkan golongan lansia yang kondisi fisiknya
menyebabkan mereka memerlukan banyak perolongan orang lain seperti kelumpuhan
atau penyakit yang dideritanya. Dimana untuk sebagian besar mereka dirawat ditempat
tidur. Adapun strategi intervensi bagi kedua golongan itu meliputi hal-hal berikut ini.

1. Intervensi kepada lansia yang tergolong masih aktif


Bentuk intervensi meliputi aspek perawatan diri, aspek kebersihan lingkungan,
askpek gizi, pencegahan kecelakaan atau keselamatan, pemenuhan kebutuhan
istirahat, serta aspek psikososial lansia.
2. Intervensi kepada lansia yang tergolong pasif
Stategi intervensi bagi kelompok pasif ini terutama mereka yang dirawat ditempat
tidur adalah mencangkup aspek pencegahan dekubitus, serta aspek perawatan
lansia di intitusi.

Majemen stres
Stres adalah kejadian eksternal serta situasi lingkungan yang mebebani
kemampuan adaptasi individu terutama berupa beban emosional dan kewajiban
sedangkan koping adalah cara berpikir dan bereaksi yang ditunjukan untuk mengatasi
beban atau transaksi yang menyakitkan itu. Pembacaan dapat merujuk pada teori-teori
tentang stres antara lain sindrom adaptasi umum menurut selye (1956).
Faktor faktor yang mempengaruhi koping lansia :
Dalam penunjang usia, seseorang tentu saja telah mengalami kejadian dengan resiko stres
tinggi misalnya penyakit akut kronis, pensiun, kematian kerabat, kesulitan keuangan atau
perpindahan tempat domisili serta masih banyak lagi. Walaupun aneka penyebab stres
cukup beragam, namun dampak fisiologis pada umunya seroa yaitu dalam bentuk
rangsangan saraf simpatis yang ditimbulkan. Untuk bahan acuhan yang lebih mendetail di
bawah ini disajikan urut-urutan jenis stresor menurut tingkat dan pembobotannya sesuai
sekala stres dari stroke dan gordon.
Stres yang berlangsung secara berkepanjangan bisa berakibat serius, termasuk
kemungkinan munculnya penyakit jantung, hipertensi, stroke, penyakit kanker, penyakit
maag. Cara sesesorang lansia beradaptasi terhadap stres sangat dipengaruhi oleh tipe
kepribadian serta strategi penyesuaian yang telah digunakan sepanjang hidupnya.
Penyalahgunaan senyawa obat

Di sini termasuk gangguan yang timbul akibat klien mengonsumsi suatu senyawa obat
tertentu dalam jumlah yang membahayakan kesehatnya. Termasuk pula konsumsi
alkohol, nikotin,kafein, obat bebas, dan obat obat paten lainya. Di negara-negara maju
problematika alkohol cukup menojol tidak seperti halnya di negri kita. Keadaan tersebut
berakibat pada tingginya risiko taruma, kecelakan, juga hal-hal berikut: kemunduran
intelektual, gangguan pencernaan, malnutrisi, maag , gangguan jantung juga pada hati,
dan perederan darah otak. Dalamhal penyalgunaan senyawa obat secara umum tidak
terlepas dari obat resep yang seolah menimbulkan semacam ketagihan. Sering kali resep
berasal dari dokter yang berbeda-beda. Lansia hidup di institusi menggunakan 4-7 macam
obat ( di AS). Sepertikata pamen bila dipakai sesuai aturan,obat akan mendatangkan
manfaat, bila tidak, malapetaka. Proses penuaan juga memengaruhi reaksi obat dalam
tubuh ( absorpsi,perederan, dan metabolismenya). Dengan absorpsi, dimaksdukan waktu
yang diperlukan dibagi suatu obat ( baik yang diminum, disuntik, atau rektal )
untukmasuk keperedaran darah. Padahal proses penuaan mengubah kecepatan
pengosongan lambung, mengubah pH lambung, serta kecepatan distribusi obat.

Juga volume cairan tubuh yang menurun akibat penunaan akan menghambat dstribusi
obat-obat yang bersifat larut dalam air. Sehingga kadar obat-obatan seperti itu akan
meningkat dalam darah. Jaringan lemak dan bertambah juga dapat berakibat
meningkatnya penyimpnan ( tertahanyan) obat-obat yang larut dalam lemak.
Metabolisme obat berlangsung di hati yang fungsinya pada lansia sudah jauh menurun,
sehingga memperlambat metabolisme obat. Akibatnya,obat akan berada lama dalam
tubuh. Sama halnya dengan menurnnya kondisi ginjal akan meningkatkan efek toksik dari
obat. Reaksi obat penurun tekanan darah sering merupakan akibat dari meningkatnya
kepekaan sistem saraf pusat. Faktor- faktor risiko penyalahagunaan senyawa obat di
kalangan lansia, yaitu :motivasi, pemahaman tentang kerja obat, kemampuan mengambil
dan menyimpan obat pada tempatnya ( lemari obat ), serta kemampuan menelan terutama
untuk bentuk obat tertentu.

Di samping hal-hal tersebut,lansia juga harus memerhatikan hal-hal berikut :

1. Menggunakan obat-obat dalam jumlah yang benar.


2. Menyimpan pada tempat obat masing-masing.
3. Membaca etiket
4. Mendengar dan mengingat instruksi lisan yang diberikan
5. Memahami waktu yang tapat untuk penggunaanya.
6. Mengikuti jadwal dosis obat

Adapun obat-obat yang paling sering diresepkan adalah obat-obat. Kardiovaskuler,


antiinfeksi, antipsikotik, antidepersei, dan uretik. Sedang obat bebas yang sering adalah:
analgeltik, pencahar dan antasida,diikuti dengan obat batuk,obat goso,obat mata, serta
vitamin. Reaksi obat terjadi akibat digunakannya dua atau lebih macam obat serentak
atau berturut dalam jangka singkat. Dalam istilah medis,keadaan ini disebut polifarmasi.

Beberapa faktor penyebab timbulnya reaksi obat adalah :

1. Digunakannya bermacam obat


2. Digunakanya obat bebas tanpa sepentahuan dokter
3. Saling mendapatkan obat dari tetangga, kerabat, atau teman
4. Penyalahgunaan obat, meliputi ; memakai obat lebih, kurang, salah atau memakai
obat dalam kedaan kontrakdikasi

Farmakologi terkait isu budaya

Didalam literatur,terdapat banyak penelitian tentang isu farmakologi pada lintas kultur,
yaitu perbedaan-perbedaan dikalangan rasa Asia. Kulit hitam. Hispanik, dan indian
dibanding dengan ras kulit putih ( Black,1990)

Sinylamen yang ada memberi kemungiknan pengaruh gentikatau faktor lingkungan.


Pada kebanyakan ras asia,kecepatan metabolisme rendah,juga mengaruh kebiasaan
merokok dan alkhol yang meningkatkan metabolisme rendah, juga pengaruh kebiasaan
merokok dan alkohol yang meningkatkan metabolisme obat. Diet rendah protein dan
tinggi kalori dikatakan memperlambat metabolisme.

Dalam kaitanya dengan dosis obat, jelas dipengaruhi oleh ukuran tubuh pada masing
masing kultur. Ras asia relatif lebih pendek,lebih rendah berat badanya ( BB ), serta
lebih kecil ukuran tubuhnya dibanding dengan ras lain. Pada usia 65 tahun, wanita
kulit hitam rata-rata memiliki BB 9,1 Kg lebih berat dari ras kulit putih. Dalam hal
efek samping obat, dikatakan bahwa ras asia lebih peka terhadap obat-obat untuk
gangguan saraf dan jiwa,juga berlaku pada ras hispanik. Sementara bagi ras kulit
hitam lebih peka terhadap antidepersi. Di Asia Tenggara, salah satu masalah berupa
ketidakpatuhan minum obat yang mengakibatkan kadar obat dalam plasma rendah.
Banyak suku bangsa yang berpandangan bahwa efek meminum obat harus segera
tampak ( berkerja dalam jangka pendek). Sehingga berpadangan bahwa tidak kndusif
untuk memberi obat yang tidak mendatangkan segera. Selain itu, pada banyak suku
bangsa menolak diberi obat pada kondisi di mana tak ada keluhan yang jelas.

Intervensi keperawatan pada gangguan psikososial

1. Penerapan komunikasi untuk meningkatkan rasa percaya diri ( self esteem )


a. Perawat perlu secara sengaja mengomunikasikan hal-hal positif tentang apa
yang dilakukan lansia,misalnya sengaja menyapa sewaktu berpapasan.
Menyapa sebaiknya dengan nama kecil ( nama panggilan). Selain itu,hati-
hati mengomentari sikap/ kebiasaan para lansia pada umumnya ( yang
sifatnya negatif) jika berada bersama lansia. Hindari menggunakan sebutan
sebutan yang merendahkan para lansia.
b. Perawat dalam berbicaramenggunakan nada suara yang digunakan pada
kologo lain
c. Hindari menggunkan istilah perlengkapan bayi bagi lansia, walupun
perelengkapan tersebut memang untuk ( seperti popok, makanan bayi )
d. Hindari istilah-istilah seperti jompo
e. Kemukan hal-hal yang baik dan positif. Jangan mengungkat faktor-faktor
kelemahan/kemunduran lansia.
f. Hargai hubungan kekeluargaan mereka serta hal-hal yang positif, misalnya
tentnag potret keluarga dan sejenisnya.
g. Bila tampak adanya kemunduran fisik yang diderita, tawarkan bila ada jalan
keluar untuk mengatasinya jika hal itu dapat dilakukan. Temukan pern-peran
baru serta hargai peran-peran positif yang terdapat saat ini.
h. Bagi lansia yang cacat fisik, perawat perlu memfokuskan perhatian pada
ciri-ciri nonfisik ( kepribadian serta hubungan interpersonal)
i. Terapakan teknik kounikasi khusus bagi lansia,agar komunkasinya efektif.
2. Berikan bantuan ke arah kemandirian optimal
a. Perhatikan agar lansia tidak sulit mengakses alat bantu yang digunkan
seperti tongkat , alat bantu dengar ( ABD), gigi palsu, atau kacamata.
b. Sediakan cukup waktu bial lansia ingin mengerjakan sesuatu sendiri. Jangan
karena inginburu-buru, perawat serta merta mengambil alih mengerjakan hal
itu.
c. Sesuaikan kondisi lingkunganya, sehingga dapat memudahkan lansia yang
telah mengalami kemunduran fungsional dan sensorik.
3. Upaya dapat meningkatkan rasa percaya diri
a. Selaku perawat, tanyakan tentang hal-hal yang disukai dan yang tidak agar
dapat menawarkan pilihan yang disukai.
b. Biasakan untuk meminta lansia menetukan pilihan terhadap sesuatu hal
lebih dari satu opsi/pilihan. Bila terpaksa,minta lansia memilih di antara dua
pilihan walaupun kedaunya hampir mirip satu sama lain.
c. Pastikan sedapat mungkin agar lansia dapat memenuhi segi privasi.
Misalnya mengetuk dahulu pintu dan minta izin untuk masuk ke kamarnya
meskipun itu kamar rumah sakit.
d. Bila lansia tinggal di panti, upayakan untu melengkapi barang barang/benda
pribadi seperti foto keluarga dan lain-lain
e. Pastikan bahwa lansia yang akan dirawat penuh di tempat tidur memiliki
akses seperti bel untuk memanggil
f. Libatkan lansia dalam mengambil keputusan, terutama yang langsung
memengaruhi perawatan dirinya.
g. Hindari sedapat mungkin memindahkan lansia ke pantai wreda, kecuali bila
merujuk ke rumah sakit , serta libatkan lansia dalam mengambil keputusan
bila hal itu terpaksa dilakukan.
4. Dukungan sosial ( pengasuhan)
a. Lakukan tindakan untuk mengatasi gangguan pendengaran dan hambatan
komunikasi lainya.
b. Beranikan lansia untuk berpartipasi dalam kegiatan kelompok.
c. Bagi yang menggunakan kursi roda dan semacamnya tempatkan mereka
sedemikian sehingga bisa berinteraksi
d. Bagi penyelenggara panti agar menyusun tata ruang sedemikian rupa,
sehingga memungkinkan interaksi.

Intervensi keperawatan pada gangguan fungsi kognitif

Cara-cara meningkatkan kemampuan mengingat dapat diuraikan berikut ini.


Peningkatakan memori ( daya ingat) dapat dilakukan dengan cara seperti mencatat
sesuatu pada daftar,klender atau buku catatan, serta memakai alarm sebagai pengingat
selain menggunakan cara-cara tradsional seperti senantiasa meletakkan sesuatu selalu
di tempat tertentu. Terdapat pula cara atau teknik pelatihan yang ditunjukan khusus
untuk meningkatkan day ingat dan aspek kognitif secara umum, yang tergolong
ketermpilan khusus.

Intervensi keperawatan pada gangguan pendengaran

1. Faktor- faktor risiki seperti keturunan dan penyakit-penyakit tertentu akan sulit
diatasi, namun perawat dapat berupaya untuk menangani faktor risiko berupa:
a. Terpapar pada kebisingan
b. Obat-obat yang bersifat ototoksik,
Mengenai obat-obatan ototksik, perawat dapat memberi penyuluhan pada
lansia/ kerabat/ penjaganya tentang jenis-jenis obat-obatan seperti itu

2. Penggunaan Alat Bantu Dengar ( ABD)


Alat ini berfungsi untuk memperkuat bunyi tertentu seperti suara radio, televisi,
atau telpon. Namun, diperlukan edukasi kepada pemakai mengenai segi
pemeliharaan dan pemakaiannya.
3. Terapkan teknik komunikasi yang baik untuk membantu lansia dengan gangguan
pendengaran. Seperti diketahui bahwa pada presbikusis terutama terganggua
untuk nada frekuensi tinggi. Keadaan ini dapat diperburuk oleh pembicaraan
yang cepat serta adanya gangguan suara latar belakang ( backgroud ).
Pengucapan kata-kata harus jelas dan lambat serta menghindari adanya
kegaduhan lingkungan. Teknik lainya adalah memakai adanya kegaduhan
lingkungan. Tekniknya lainya adalah memakai komunikasi nonverbal dan
komunikasi tertulis.
Adapun tindakan intervensi untuk memperbaiki komunikasi seperti dijelaskan di
atas, pada gilirannya akan dapat meningktaknya kualitas hidup lansia. Perlu
ditekankan bahwa dampak negatif pada gangguan pendenngaran adalah lansia
tersebut dapat mengalami isolasi sosial, terutama pada saat berada di tengah
komunikasi kelompok di mana lansia akan sulit berpartispasi dalam percakapan.

Intervensi keperawatan pada gangguan penglihatan

Faktor risiko pada gangguan penglihatan adalah terpapar pada sinar UV. Untuk itu,
dapat dicegah dengan menggunakan pelindungan kepala ( topi) dan kecamata
pelindung. Perawat perlu mengajari lansia/kerabat tentang pentingnya mendeteksi
glaukoma dan katarak. Bila katarak telah menyebabkan gangguan penglihatan berat,
perlu dipertimbangkan tindakan bedah. Pemebedahan katarak dewasa ini semakin
berhasil dilakukan lansia dinasehati untuk melakukan pemeriksaan mata selaku
tindakan kolabortif.

Bila keluhan lainya seperti kekeringan mata menonjol,maka dapat digunakan obat
tetes mata sesuai resep dokter. Lansia dengan keluhan tersebut terakhir ini, perlu
menghindari asap rokok dan yang sejenis ( sprai) maupun terhadap angin kencang.
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan kekeringan mata seperti diueretik,
antihistamin, antikolinergik, dan adrenergik. Lansia dengan gangguan visus dapat
memanfaatkan alat bantu ( kacamata) selain itu, termasuk pula alat bantu seperti
Loupe,kontras, serta iluminasi. Suaru cara yang sederhana adalah dengan bantuan
fotokopi dapat memperbesar bahan bacaan yang diperlukan lapisan.

Seperti halnya pada gangguan pendengaran, maka dengan melakukan upaya untuk
meningkatkan kemampuan penglihatan secra tak langsung dapat memperbaiki kulaitas
hidup lansia. Contoh sederhana adalah dengan memakai ukuran kacamata yang cocok
memungkinkan lansia dapat membaca buku,koran,majalah, serta sekaligus dapat
menigkatkan kepuasan dan interaksi sosial serta stimulasi intelektual.

Intervensi keperawatan pada gangguan pencernaan dan nutrisi

Penyuluhan sehubungan dengan nutrisi dan pencernaan meliputi 3 ( tiga) hal yang
penting yaitu:
1. Kondisi rongga mulut dan gigi:
a. Kebersihan mulut dan gigi
b. Menggunakan sikat yang lunak serta pasta gigi yang mengandung fluor.
c. Hindari pemakaian obat kusia,karena dapat menyebabkan kekeringan mulut.
d. Hindari makanan manis seperti permen atau yang sejenis.
e. Sehabis memakan makanan yang manis harus berkusia dan menyikat gigi.
f. Minta pelayanan dokter gigi secara teratur,misalnya dua kali setahun.
g. Bila mengunakan gigi palsu, copot di malam hari, rendam dalam air, dan
bersihkan sebelum dipakai lagi.

2. Penyuluhan tentang konstipasi :

a. Defakasi setiap hari bukanlah suatu norma, karena masing-masing lansia


memiliki pola sendiri-sendiri yang berkaisar antara 3 kali sehari sampai 3 kali
seminggu.
b. Perlu memerhatikan diet tinggi serta berupa sayuran segar serta beberapa jenis
sayuran mentah, kacang-kacangan, serta makanan sereal dari zat tepung.
c. Minum air yang cukup sebaiknya disertai jus buah setiap hari
d. Hindari menggunakan obat pencahar, anjurkan lansia agar jangan menunda bila
merasa hendak buang air besar.
e. Lakukan exercise serta teratur.

3. Penyuluhan tentang kekeringan rongga mulut :

a. Hal ini mungkin timbul akibat gangguan/ penyakit pada mulut atau oleh
pengaruh obat yang memerlukan dilakukanya pengkajian yang seksama
b. Merangasang produksi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen yang
tak mengandung gula serta banyak minum air, hindari alkohol, dan minuman
asam
c. Hindari pemakaian obat kusta, hindari rokok, serta tingkatkan higine mulut dan
gigi

Akhirnya mengenai konsumsi gizi, secar ringkas di sini diberi anjuran tentang
pentingnya memerhatikan pedoman untuk gizi seimabng bagi lansia ( PUGS)

Intervensi keperawatan pada gangguan elimanasi urine

1. Askep penyuluhan terhadaph mitos atau pandangan yang keliru


a. Ikontenensia bukanlah suatu proses penuaan yang tidak tertangani
b. Adapun kemunduran akibat penuaan akan mempengaruhi selang waktu antara
keinginan atau merasa perkemihan dengan waktu berkemih sesungguhnya.
Termasuk pula frekuensi bangun di malam hari untuk berkemih
c. Terhadap dampak akibat gangguan perkemihan dapat diupayakan tindakan
tertentu
d. Nokturia urgensi dan berfungsi selalu berakibat ikontensia total
e. Jangan membatasi minum, hanyan karena hal-hal tersebut di atas,karena
kandung kemih yang penuh perlu selaku sinyal saraf
f. Bila kurang minum, akan mengakibatkan urin menjadi sangat pekat dan
seterusnya berupa simulasi kontraksi kandung kemih yang tak di sadari dan
menjurus pada ikontensia
g. Bila dibiasakan mengosongkan kantong kemih setiap selang satu sampai dua
jam tak akan
mengatasi masalah, malah dapat menjurus pada inkontinensia.

2. Aktivitas penyuluhan kesehatan


a. Minta bantuan kolaboratif dari pihak yang berkompeten
b. Minum air 8-10 gelas perhari, tapikurangi dimalam hari
c. Jangan berpatokan pada rasa haus, minumlah sesuai anjuran diatas
d. Hindari meminum yang mengandung alkohol dan kafein apalagi dimalam
hari
e. Cegah hal-hal yang dapat berakibat konstipasi
f. Minum lah 1-2 gelas air sebelum atau selama melakukan kegiatan yang
menguras keringat
3. Penyesuaian faktor lingkungan selaku tindakan pencegahan bagi klien
inkontenensia
a. Perhatikan pencahayaan dan faktor serupa mengenai akses ke toilet
b. Lengkapi toilet dengan pegangan dan semacamnya
4. Obat-obatan untuk klien dengan inkontenensia
a. Bila penyebab inkonetenensia adalah stress, maka beri obat
phenylpropanolamine, estrogen/progestin.
b. Bila penyebab inkontenensianya akibat urgensi,maka beri obat
propantheline, imipramie, dan diclyclomine
c. Bila penyebab akibat retensi, maka diberi Bethanecol.
d. Dan bila akibat dari obstruksi, maka diberi obat phenoxybenzamine
e. Melatih otot dasar panggul sesuai dengan anjuran hasil konsultasi
kolaboratif
Intervensi keperawatan pada gangguan kardiovaskular
1. Pedoman keperawatan pada klien hipertensi
a. Tujuan pengobatannya adalah untuk mengontrol tekanan darah dengan cara
minimal serta untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
jantung
b. Pengobatan ditunjukkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolis dibawah
140 dan diastolik dibawah 90
c. Tindakan juga diarahkan pada penyesuaian gaya hidup, yaitu : stop rokok,
pantangan/pengurangan garam, kurangi berat badan hingan maksimal 110
persen dari ideal, exercise teratur, misalnya berjalan, hindari alkohol
d. Bagi lansia dengan tekanan sitolik sudah biasa tinggi agar dikurangi jadi 160
mmHg
2. Penyuluhan untuk mengurangi resiko sakit kardiovaskular
a. Pantau tekanan darah berkala , kadar kolesterol agar tetap melampaui 200 mg,
juga pemantauan berat badan.
b. Exercise , merokok , dan pntangan garam seperti diuraikan diatas
c. Diet kurang lemak, terutama lemak jenuh.
d. Lemak tak jenuh adalah lebih sesuai dan banyak dikandung dalam jagung ,
olife kacang-kacangan yang pada nya umumnya tergolong dalam asam linoleat
dan oleh leat. Sedangkan golongan plamitat termasuk lemak jenuh. Lemak
yang berasal dari daging-dagingan dan minyak kelapa tergolongan minyak
jenuh
e. Pilih susus skim , hindari susu full cream
f. Yogurt , cream keju termasuk bahan rendah lemak
g. Pilih mentega/margarine yang rendah lemak, kurangi konsumsi kuning telor
h. Pilih daging-dagingan yang tak berlemak
i. Kurangi menu gorengan
j. Diet tinggi serat
3. Penyuluhan bagi klien dengan hipotensi
a. Mencegah hipotensi postural dan prostagrandial dengan cara :
1) Intake cariran yang cukup, hindari alcohol
2) Hindari obat-obatan dengan efek samping hipotensi (anti hipertensif, anti
glukolinergi, fenotiasi anti depresi, fase dilator, bartiturat)
3) Pertahankan kondisi badan yang fit, khususunya tonus otak
4) Hindari panas matahari yang berlebih
5) Bila mengkonsumsi nitrogluterin jangan sambil posisi tegak.
b. Tindakan terhadap klien yang mengalami hipotensi postural
1) Mengubah posisi harus secara berlahan.
2) Dalam posisi berbaring, bila hendak berdiri sebaikanya didudukan dahulu
disamping tempat tidur selama beberapa menit
3) Jangan berdiri terlalu lama bila dapat melakukan kegiatan sambil duduk,
maka hindari berdiri.
4) Pertahankan intake cairan adekuat, tapi hindari minuman mempermudah
kencing
5) Tidur menggunakan tempat tidur dengan posis kepala ditinggikan
c. Hindari dampak lain yang merupakan akibat dari hipotensi berupa :
1) Potensi jatuh
2) Memakai alarm
3) Penyesuaian faktor lingkungan

Intervensi Keperawatan Pada Gangguan Respirasi


1. Bagi lansia yang masih merokonk perlu mendiskusikan bersama klien tentang
segenap hal negatifnya yang mencakup berbagai kelainan pada paru dan jantung,
hipertensi bahkan serangan jantung. Juga mengenai ancaman keganasan pada
rongga mulut serta saluran nafas bagian atas.
2. Menghindari faktor resiko lainnya seperti yang disajikan dalam pokok bahasan
pengkajian keperawatan.
3. Upaya untuk mencegah serangan pneumonia , terutama pada musim flu antara
lain dengan cara vaksinasi
4. Penekanan kembali tentang pentingnya memelihara status gizi yang baik,
program exercise , serta intake cairan yang cukup

Intervensi Keperawatan Pada Gangguan Mobilitas dan Keselamatan


1. Upaya pencegahan terhada Osteoporosis , baik melalui secara intervensi secara
medis , nutrisim, maupun secara penyesuaian gaya hidup ada pihak yang
menganjurkan peningkan intake kalsium perhari hingga seribu mg (oleh FDA)
dan ditunjukkan pada wanita maupun pria walupun kini tersedia suplemen
kalsium namun ini tak dianjurkan bila lansia menderita gangguan fungsi ginjal
atau terdapat tendensi pembentukkan ginjal
2. Upaya pencegahan terhadap jatuh sesuai dengan hasil pengkajian mengenai
faktor resiko, serta dilakukannya pembenahan terhadap faktor resiko lingkungan.
Selalu diingatkan hal ini melalui potur atau brosur selain pada lansia dan
kerabatnya juga (panti).

Intervensi Keperawatan pada Gangguan Kulit dan Integumen


1. Upaya pencegahan terhadap pengeringan kulit (xerosis) dengan cara
mempertahankan kesehatan kulit antara lain melalui kecukupan cairan juga
vitamin A dan C dalam diet sehari-hari.
2. Menjaga kebersihan diri melalui mandi secukupnya (tak berlebihan), memakain
sabun yang lembut dan mengeringkan berhari-hari
3. Hindari lecet atau perlukan lainnya didaerah kulit , perhatikan serius perlu
diarahkan pada pencegahan luka decubitus seperti yang telah disinggung dalam
pokok bahasan sindrom geriatik.

Intervensi Keperawatan Pada Gangguan Pola Tidur


Tindakan penyuluhan perihal pola tidur ditunjukkan, baik bagi lansia yang masih
tergolong mandiri maupun yang sudah independen (ketergantungan) juga tidak saja
bagi lansianya tetapi juga bagi kerabat (menjaganya) mengingat bahwa umumnya
gangguan pola tidur yang dialami berupa kesulitan untuk dapat tertidur pulas.
1. Biasakan dan patuhi jam tidur (bedtime) setiap malam. Bagi klien dengan
insomnia, perlu mempraktikan upaya ekstra seperti berikut dapat dianjurkan
minum segelas sus sebelum tidur. Metode relaksasi juga dilaporkan bermanfaan
antara alin meditasi, bernafas dalam disertai relaksasi, latihan pasif, masease
kaki atau badan, mendengarkan music lembut, atau menonton acara tv yang
mestumulasi
2. Bial terpaksa menggunakan obat tidur, maka yang penting diperhatiakn adalah
karakteristik obat berupa waktu perusia (halflife) seperti tertera pada table
berikut (miller, 1995).

Jenis Obat Waktu Paruh Waktu


Usia bagi Paruh Usia
Dewasa bagi Lansia
(Jam) (Jam)
Flurazepam 47-100 120-160
20-50 36-98
(Dalmane)
5-20 15-30
Diazepam
(Valium)
Clordiazepoksid
(Librum)
3. Upaya modifikasi faktor lingkungan, posisinya bagi lansia yang tinggal di
institusi. Hindari kegaduhan dan berbagai upaya penunjang seperti yang
disinggung dalam pembahasan pengkajian keperawatan

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK
Tn.IS berumur 70 tahun saat ini tinggal di panti wredha lembayaung senja. Pada saat dilakukan
pemeriksaan kesehatan oleh perawat di dapatkan TD : 100/70 mmHg N: 88 x/menit RR: 24x/mnt
CRT: >3. Teraba oedema pada ekstremitas lengan dan kaki. Tn. IS mengatakan merasa pusing,
sesak sejak 2 hari yang lalu, sering merasa cepat lelah bila beraktifitas.
A. Pengkajian
1. Riwayat
a. Kondisi:
1) Menurunnya kontraktilitas miokard, MCI, kardiomiopati, gangguan konduksi,
obat seperti penyakit beta.
2) Meningkatnya beban miokard, penyakit katup jantung, anemia, hipertermia.
b. Keluhan
1) Sesak sejak dua hari yang lalu
2) Pusing
3) Edema pada tangan dan kaki
4) Lelah saat beraktivitas
2. Pemeriksaan fisisk
Inspeksi
a. Respirasi meningkat, dispnea
b. Edema tangan dan kaki

Palpasi
a. Denyut jantung meningkat indikasi tekanan vena porta sistemik meningkat
b. Edema menyebabkan pitting

Auskultasi
a. Suara paru menurun, basilar rates mengakibatkan cairan pada jaringan paru
b. Suara jantung dengan S1, S2 menurun.kontraksi miokard menurun. S3 meningka,
murmur terkadang juga terjadi.
3. Pengkajian data
Aktivitas dan istirahat:
a. Adanya kelelahan
b. Respirasi meningkat, dispnea
c.

Sirkulasi:
a. Adanya bengkak pada kaki dan tangan
b. Takikardi

Makanan dan cairan


a. Hilang nafsu makan, mual dan muntah
b. Edema di ekstremitas bawah dan atas

Neurologi
a. Pusing,kesakitan
b. Bingung

Rasa nyaman
a. Dispnea pada waktu aktivitas

Rasa aman
a. Perubahan status mental
b. Gangguan pada kulit

B. Analisa Data
Data Subjektif Data Objektif

1. Pasien mengatakan pusing TD 100/70


2. Pasien mengatakan sesak sejak 2 N 88 x/menit
hari lalu RR 24 x/menit
3. Pasien mengatakan sering cepat CRT > 3
lelah Teraba oedema/pembengkakan di bagian
4. Pasien mengatakan ada keluarga lengan dan kaki
yang memiliki riwayat penyakit
jantung dan hipertensi

C. Diagnosa Keperawatan
1. Volume cairan berlebihan berhubungan dengan menurunnya curah jantung/retensi
natrium dan air ditandai dengan edema.
DS:
Pasien mengatakan ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung dan
hipertensi
Tambahan : data peningkatan berat badan, produksi urin (oliguria sedikitnya
produksi urin sedikit(biasanya kurang dari 400 ml/hari)).
DO:
Oedema pada ekstremitas lengan dan kaki.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolus


ditandai dengan sesak napas
DS:
Pasien mengatakan sesak sejak 2 hari lalu
Pasien mengatakan sering cepat lelah
Data tambahan :
Nyeri dada
Batuk
Adanya bunyi nafas yang tidak normal
DO:
TD 100/70
N 88 x/menit
RR 24 x/menit

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan


oksigen ditandai dengan kelemahan, kelelahan, perubahan tanda-tanda vital
DS:
Pasien mengatakan pusing
Pasien mengatakan sering cepat lelah
DO:
TD 100/70
N 88 x/menit
RR 24 x/menit

D. RencanaIntervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


1 Volume cairan berlebihan Setelah dilakukan asuhan Manajemen cairan
berhubungan dengan keperawatan selama ....x 24 a. Observasi lokasi dan
menurunnya curah jam kliendapat perluasan edema
jantung/retensi natrium mempertahankan b. Observasi peningkatan
dan air ditandai dengan keseimbangan cairan dalam berat badan tiba-tiba
edema tubuh dengan kriteria: c. Observasi hasil
a. Klien bebas dari laboraturium yang sesuai
edema dengan keseimbangan
b. Berat badan stabil cairan (hematokrit, BUN,
c. Turgor kulit normal albumin, dan berat jenis
urine
d. Observasi tanda dan gejala
retensi cairan
e. Observasi tanda-tanda
vital sesuai kebutuhan
Observasi cairan
a. Observasi asupan dan
haluaran
b. Observasi albumin serum
dan protein total
c. Observasi membran
mukosa dan turgor kulit
d. Kelola cairan sesuai
kebutuhan
e. Pertahankan kecepatan
pemberian cairan
intravena
f. Observasi berat badan
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan nafas
berhubungan dengan keperawatan selama ....x 24 a. Atur posisi pasien untuk
perubahan membran jam klien menunjukkan memaksimalkan ventilasi
kapiler alveolus ditandai pertukaran gas adekuat b. Anjurkan pasien untuk
dengan sesak napas dengnan kriteria: bernapas pelan dandalam
a. Status mental dalam c. Auskultasi bunyi napas,
rentang normal area penurunan ventilasi
b. Klien bernapas atau tidak adanya ventilasi
dengan mudah dan adanya bunyi nafas
c. Tidak ada dispnea tambahan
d. Tidak ada d. Atur posisi klien, berikan
kegelisahan posisi fowler/semifowler
e. Tidak ada sianoi Terapi oksigen
a. Pertahankan kepatenan
jalan napas
b. Observasi aliran oksigen
c. Berikan oksigen sesuai
kebutuhan

Observasi respirasi
a. Observasi kecepatan
irama, kedalaman
respirasii
b. Catat pergerakan dada,
penggunaan otot napas
tambahan dan adanya
retraksi otot interkosta
c. Observasi pola napas
d. Auskultasi bunyi paru
e. Observasi peningkatan
kegelisahan dan
kecemasan
f. Observasi kemampuan
klien untuk batuk efektif
3 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan Manjemen energi
berhubungan dengan keperawatan selama ....x 24 a. Tentukan keterbatasan
ketidakseimbangan suplai jam klien dapat menunjukan klien terhadapaktivitas
dan kebutuhan oksigen toleransi terhadap aktivitas b. Tentukan penyebab lain
ditandai dengan dengan kriteria: kelelahan
kelemahan, kelelahan, a. Klien dapat c. Dorong klien untuk
perubahan tanda-tanda menentukan mengungkapkan perasaan
vital aktivitas yang sesuai tentang keterbatasannya
dengan peningkatan d. Observasi asupan nutrisi
nadi, tekanan darah, sebagai sumber energi
dan frekuensi napas, yang adekuat
mempertahankan e. Observasi respon jantung
irama dalam batas paru terhadap aktivitas
normal f. Batasi stimulus
b. Mempertahankan lingkungan
warna dan g. Dorong untuk melakukan
kehangatan kulit periode istirahat dan
dengan aktivitas aktivitas
c. EKG dalam batas h. Rencanakan periode
normal istirahat dan aktivitas
d. Melaporkan i. Hindari aktivitas selama
peningkatan periode istirahat
akttivitas harian j. Bantu klien atau keluarga
untuk menemukan
aktivitas yang realistis
k. Dorong klien untuk
memilih aktivitas yang
sesuai
l. Evaluasi program
peningkatan tingkat
aktivitas

Terapi aktivitas
a. Tentukan komitmen klien
untuk peningkatan
frekuensi atau rentang
untuk aktivitas
b. Bantu klien untuk
mengungkapkan kebiasaan
aktivitas, memilih
aktivitas, memfokuskan
aktivitas, mengidentifikasi
aktivitas, menjadwalkan
aktivitas
c. Berikan motivasi dan
tujuan untuk klien
d. Observasi respon emosi,
fisik,sosial dan spiritual
terhadap aktivitas
BAB IV

PENUTUP

A. Evaluasi

Chronik Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah ke seluruh jaringan. Penyebab CHF pada lansia adalah
peningkatan kolagen miokard akibat proses penuaan. Gagal jantung diklasifikasikan
menjadi gagal jantung kronik dan akut, gagal jantung kiri dan kanan, gagal jantung
sistolik-diastolik. Manifestasi klinis dari gagal jantung dikelompokkan menjadi gagal
jantung akut dan kronik yang meliputi:anoreksia, asites. Nokturia, intoleransi aktivitas
peningkatan BB, fatigue, takikardi, penurunan urin output, dan lain-lain.

Masalah-masalah Keperawatan yang biasanya muncul pada pasien CHF meliputi:


penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan, intoleransi aktivitas, cemas, risiko
kerusakan pertukaran gas, dan lain-lain.
Sebagai perawat professional hendaknya mampu melakukan asuhan Keperawatan baik
secara mandiri maupun kolaborasi dengan petugas kesehatan lain.

B. Saran
1. Institusi
Penulis berharap makalah ini dapat menjadi referensi tambahan untuk memahami
materi tentang kelainan kardiovaskuler yaitu gagal jantung pada khususnya dan
semua pembaca pada umumnya.
2. Mahasiswa
Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan dapat di terapkan
oleh mahasiswa tentang asuhan keperawatan gerontik kelainan pada sistem
kardiovaskuler yaitu Gagal Jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta : EGC

Doengoes, E.M. (2000).Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan


Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

S. Tamher.(2011). Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.

Yuli, Renny.(2014). Asuhan keperawatan dengan gangguan sistim kardiovaskular. Jakarta: EGC.
GAGAL
JANTUNG

GAGAL VENTRIKEL GAGAL VENTRIKEL

Masalah keperawatan :
Penurunan curah Penurunan curah
penurunan curah jantung
jantung jantung

Peningkatan tekanan Peningkatan tekanan atrium


atrium kiri kanan

Peningkatan Masalah Tekanan vena sistemik


tekanan vena keperawatan : meningkat:
pulmonalis Gangguan
Asites
pertukaran gas
Hepatomegali
Edema paru terjadi
karena tekanan arteri Masalah keperawatan :
pulmonal meningkat
Gangguan perfusi
jaringan
Intoleransi aktivitas Gejala klinis:
Kelebihan volume
Sistolik overload pada Edema dikedua
cairan
ventrikel kanan. Gejala tungkai
Resiko kerusakan
klinis: Asites
Hepatosplenome
Takikardi
gali
Dispnea atau sesak
Peningkatan
napas
tekanan vena
Sianosis
jugular
Penurunan perfusi
Penurunan
jaringan

Anda mungkin juga menyukai