Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Gilda Sharasati
2. Grissly Isnaini
3. Hani Nur Alia
4. Herdinanisa
5. Karina Febianti
Tingkat III C
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jantung merupakan struktur kompleks yang terdiri dari jaringan fibrosa, otot jantung dan
jantung konduksi listrik. Jantung mempunyai fungsi utama untuk memompakan darah.
Hal ini dapat dilakukan dengan baik bila kemampuan otot jantung untuk memompakan
cukup baik, serta irama pemompaan yang baik. Bila ditemukan kenormalan pada salah
satu diatas maka akan mempengaruhi efisiensi pemompaan dan kemungkinan dapat
menyebabkan kegagalan memompaan (Ethel, 2004).
Gagal jantung secara progresif akan menyebabkan curah jantung (Cardiac output)
menurun dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi badan ini akan bermanifestasi sebagai
keluhan dan tanda-tanda (symptoms and signs) gagal jantung dan dikenal sebagai
sindrom gagal jantung.
Penderita penyakit jantung di Indonesia kini diperkirakan mencapai 20 juta atau sekitar
10% dari penduduk di Nusantara. Hasil analisa survey kesehatan rumah tangga
Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan, penyakit kardiovaskuler kini
menduduki jenjang tertinggi penyebab kematian. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda
dengan di negara-negara maju. Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan rasio penderita
gagal jantung di dunia satu sampai lima orang setiap 1.000 penduduk.
Penyakit Congestive Heart Failure (CHF) apabila tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan komplikasi serius seperti syok kardiogenik, episode tromboemboli, efusi
pericardium dan tampon deperikardium. Meskipun berbagai macam penyakit jantung
seperti gangguan katup telah menurun akibat teknologi penatalaksanaan yang canggih,
namun Congestive Heart Failure CHF masih tetap merupakan ancaman kesehatan yang
dapat menimbulkan kematian (Brunner danSuddarth, 2002).
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peran dalam melakukan
asuhan keperawatan Pada Klien Dengan Congestive Heart Failure atau gagal jantung
yang meliputi peran promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam upaya promotif
perawat berperan dengan memberikan pendidikan kesehatan meliputi pengertian,
penyebab, tanda dan gejala dari penyakit sehingga dapat mencegah bertambahnya jumlah
penderita. Dalam upaya preventif, perawat memberi pendidikan kesehatan mengenai
caracara pencegahan agar klien tidak terkena penyakit dengan membiasakan pola hidup
sehat. Peran perawat dalam upaya kuratif yaitu memberikan tindakan keperawatan sesuai
dengan masalah dan respon klien terhadap penyakit yang diderita, seperti: memberikan
klien istirahat fisik dan psikologis, mengelola pemberian terapi Oksigen. Sedangkan
peran perawat dalam upaya rehabilitative yaitu memberikan pendidikan kesehatan kepada
klien yang sudah terkena penyakit agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan.
B. Tujuan
Agar mahasiswa mampu membahas dan memahami mengenai gagal jantung secara
asuhan keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Menurut Doengoes (2000) pengertian gagal jantung kongestif adalah kegagalan ventrikel
kiri dan atau kanan dari jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
memberikan cardiac output yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan,
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik. Sedangkan menurut Brunner
dan Suddarth (2001) gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat
disfungsi miokardium. Sedangkan pengertian menurut Mansjoer, Arif dkk. (2001)
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung gagal untuk mengeluarkan
isinya secara adekuat. Selain pengertian diatas ada juga yang mendefisinikan gagal
jantung kongestif sebagai suatu keadaan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
pada kecepatan yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, yang bermetabolisme dan atau
hanya dapat melakukannya dari volume diastolik, ventrikel yang meningkat secara
abnormal (Asdie, AH, 2000).
Congestive Heart Failure(CHF) atau gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah secara adekuat ke seluruh tubuh.
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient
dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Smeltzer & Bare, 2001)
B. Etiologi
Penyebab gagal jantung digolongkan berdasarkan sisi dominan jantung yang mengalami
gagal jantung. Dominan sisi kiri, seperti penyakit jantung iskemik, penyakit jantung
hipertensif, penyakit katup aorta,penyakit katup mitral, miokardisis, kardiomiopati,
amiloidisis jantung, keadaan curah tinggi( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa).
Dominan sisi kanan seperti gagal jantung kiri penyakit paru kronis, stenosis katup
pulmonal, penyakit jantung kongenital, hipertensi, pulmonal, emboli pulmonal pasif.
(Reny yuli,2014).
Penyebab gagal jantung kongestif meliputi :
1. Disritmia
Gangguan irama jantung dapat menghasilkan atau mempengaruhi kegagalan.
2. Malfungsi katup
Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban
tekanan atau dengan kelebihan beban volume. Abnormalitas otot jantung
Abnormalitas jantung menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark miokard,
aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari aterosklerosis koroner
jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer
(kardiomiopati), hipertensi pulmonal, stenosis aortic atau hipertensi sistemik.
D. Patofisiologi
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Tetapi kongesti tergantung dari ventrikel yang terlibat. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantung kiri, menimbulkan kongesti pada vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel
kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kegagalan pada
kedua ventrikel dinamakan gagal biventrikular. Infark miokardium mengganggu fungsi
miokardium karena menyebabkan pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan
dinding yang abnormal, dan mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan
berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar curah
jantung sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya
tekanan jantung sebelah kiri meningkat. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru
melebihi tekanan osmotik vaskuler maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang
interstisial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat
perembesan cairan ke dalam alveoli.
Penurunan curah sekuncup akan menimbulkan respon kompensasi simpatis, kecepatan
denyut jantung dan daya kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah jantung.
Terjadi vasokontriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistrubusi aliran
darah dari organ-organ vital. Venokontriksi akan mengakibatkan aliran balik vena ke
jantung kanan, sehingga sesuai dengan hukum jantung dari starling, akan meningkatkan
kekuatan kontraksi. Pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akan
mengakibatkan pengaktifan sistem rennin angiotensin aldosteron dimana terjadi retensi
natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan meningkatkan aliran balik vena. Gagal jantung
kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya tekanan
vaskuler paru-paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain tak langsung melalui
pembuluh paru-paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga mempunyai pengaruh langsung
terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimianya. Berkurangnya
cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan luka ventrikel.
Infark ventrikel kanan jelas merupakan predisposisi gagal jantung kanan. Kongesti vena
sistemik akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher,
hepatomegali, dan edema perifer (Hudack & Gallo, 1997).
E. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
a. CHF Kronik
Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi
oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas.
1) Diet pembatasan natrium
2) Menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti NSAID
karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan
natrium
3) Pembatasan cairan (kurang lebih 1200-1500 cc/hari)
4) Olah raga secara teratur
b. CHF Akut
1) Oksigenasi (ventilasi mekanik)
2) Pembatasan cairan
3) Farmakologis
c. Pendidikan Kesehatan
1) Informasikan pada klien, keluarga dan pemberi perawatan tentang penyakit dan
penanganannya.
2) Informasi difokuskan pada: monitoring BB setiap hari dan intake natrium.
3) Diet yang sesuai untuk lansia CHF: pemberian makanan tambahan yang banyak
mengandung kalium seperti; pisang, jeruk, dll.
4) Teknik konservasi energi dan latihan aktivitas yang dapat ditoleransi dengan
bantuan terapis.
F. Manifestasi Klinis
Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena
meningkat akibat penurunan curah jantung manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung
pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi .
1. Gagal jantung kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri krn ventrikel kiri tak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
a) Dispneu
b) Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran
gas.Dapat terjadi ortopnu.Bebrapa pasien dapat mengalami ortopnu pda malam
hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea ( PND)
c) Batuk
d) Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
e) Kegelisahan dan kecemasan
f) Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan
pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
2. Gagal jantung kanan
a) Kongestif jaringan perifer dan viseral.
b) Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting,
penambahan berat badan,
c) Hepatomegali. Dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar.
d) Anoreksia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen.
e) Nokturia
f) Kelemahan.
G. Pemeriksaan diagnostic
a. Pemeriksaan diagnostik menurut Doenges, Moorhouse, Geisster (1999), yaitu:
1) EKG : hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia dan
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia misal : takikardi, fibrilasi atrial,
kenaikan segmen ST/T.`+
2) Scan jantung (Multigated Alquistion/MUGA) : memperkirakan gerakan dinding.
3) Katerisasi jantung : tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan versus sisi kiri dan stenosis katup atau
insufisiensi. Juga mengkaji potensi arteri kororer.
4) Rontgen dada : dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, perubahan pembuluh darah
mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal, bulging pada perbatasan jantung
kiri dapat menunjukkan aneurisma ventrikel.
5) Enzim hepar : meningkat dalam gagal kongesti hepar.
6) Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi
ginjal, terapi diuretik.
7) Oksimetri nadi : saturasi oksigen mugkin rendah terutama jika gagal jantung
kanan akut memperburuk penyakit paru abstruksi menahun atau gagal jantung
kronis.
8) Blood Urea Nitrogen, Kreatinin : peningkatan blood nitrogen menandakan
penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik blood urea nitrogen dan kreatin
merupakan indikasi gagal ginjal.
9) Albumin : mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau
penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.
10) Hitung sel darah merah : mungkin terjadi anemia, polisitemia atau perubahan
kepekatan menandakan retensi urine. Sel darah putih mungkin meningkat
mencerminkan miokard infark akut, perikarditas atau status infeksi lain.
11) Pemeriksaan tiroid : peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas
tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kanan.
12) ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium,
ventrikel hipertrofi, disfungsi penyakit katub jantung.
13) AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia
dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
14) Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,
misal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan
Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).(Maman, 2009)
H. Komplikasi
1. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
2. Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata
3. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.
Anamnesa
Dalam melakukan anamnesa harus secara akurat dan up to date (baru), termasuk
pula mengenai bagaimana persepsi lansia tentang kesehatan dirinya sendiri.
Anamnesis harus menjadi dasar bagi rencana menejemen keperawatannya. Format
bagi keperluan anamnesis ini disajikan pada lampiran 1. Evaluasi kesehatan lansia
komprehensif (Comprehensive older person evaluation-COPE). Kebanyakan para
lansia dapat menyuguhkan anamnesa yang baik, tetapi tidak sedikit pula yang
mengalami hambatan untuk berkomunikasi (misal akibat tuli, menurunnya fungsi
intelektual -/- pikun, menurunnya penglihatan) dimana dalam keadaan seperti itu
diperlukan bantuan kerabat untuk memperoleh anamnesis yang akurat. Sebaliknya, tak
jarang pula keluhan mereka yang beraneka ragam bisa membuat si perawat frustasi,
atau malah mengaburkan, bahkan tak terlaporkan.
Riwayat penyait masa lalu juga penting untuk membantu menempatkan masalah
kesehatan saat ini dalam perspektif yang tepat. Penting pula diperhatikan tentang
riwayat pemakaian obat-obatan, karena lansia bila diberikan resep bermacam obat
jarang memprotes, bahkan juga sering mengobati dirinya sendiri. Dalam kaitan ini
dinyatakan pula mengenai adanya reaksi obat. Uraian tentang penyalahgunaan
senyawa obat dan aspek farmakologi yang terkait dengan isu kultur akan dibahas
tersendiri. Anamnesis dilakukan secara sistematis (dilakukan menurut sistem tubuh)
dengan tetap folus pada keluhan utamanya.
Tata cara pemeriksaan fisik dilakukan sebagaimana halnya prosedur yang ditempuh
pada kelompok usia lainnya. Namun, dalam melakukan pengkajian fisik pada klien
lansia secara efektif memerlukan penilaian terhadap status kesehatannya secara tepat.
Seperti biasa, pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Dalam uraian berikut ini tidak dimaksudkan untuk mendalami teknik pemeriksaan
fisik secara menyeluruh, namun hanya dititikberatkan pada butir-butir yang perlu
untuk pasien lansia. Pemeriksaan fisik terdiri atas pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan fisik menurut masing-masing sistem tubuh.
Pemeriksaan fisik umum pada lansia ditujukan untuk dapat mengidentifikasi keadaan
umumnya dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan gizi, aktivitas tubuh,
baik dalam keadaan berbaring atau berjalan. Juga pemeriksaan fisik umum mencakup
berbagai hal antara lain penilaian status mental, kesadaran, bahkan termasuk pula
kondisi kulit dan kelenjar getah bening. Tanda-tanda vital diatas meliputi: pemeriksaan
nadi, suhu, dan tekanan darah (kadang-kadang disertai pengukuran tekanan vena
jugularis).
Pemeriksaan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dilakukan sesuai
yang diperlukan.
Inspeksi dilakukan menyeluruh, namun dengan cara terfokus, serta dilakukan dnegan
tidak mengabaikan sikap perawat yang mneghargai lansia. Observasi yang menyeluruh
diarahkan pada hal-hal berikut.
Pemeriksaan fisik sering kali perlu dilengkapi dengan pemeriksaan laboraturium, agar
dapat memberikan gambaran yang tepat tentang status kesehatan atau
penyakit/gangguan yang diderita saat ini.
Temuannya bisa berupa gambaran patologis yang multiple beserta perubahan-
perubahan akibat proses menua.
Adapun pemeriksaan fisik menurut sistem tubuh dapat menggunakan pola head to toe,
yaitu pemeriksaan dari kepala hingga ke ujung jari, namun teknik pemeriksaan fisik
per sistem yang menyeluruh seperti itu adalah di luar lingkup pembahasan ini. Akan
tetapi, untuk dapat mengarah pada berbagai gangguan yang sering terdapat pada lansia
dapat dianjurkan untuk mempedomani pemeriksaan terfokus pada beberapa sistem
tubuh seperti yang tertera pada tabel.
Untuk lengkapnya, berikut ini dirinci pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik
sebagai berikut.
Kesadaran
Dalam kaitan ini klien/pasien dapat menunjukkan tingkat kesadaran baik (tak ada
kelainan/gangguan kesadaran), dengan kata lain keadaan umum paisen baik. Keadaan
umum tampak sakit (bisa ringan, sedang, atau berat). Klien bereaksi terhadap rangsang
(stimulasi) tertentu, misalnya rangsang nyeri pada tubuh dengan dicubit kemudian
amatilah reaksi yang muncul.
Bila reaksinya wajar, berarti baik. Bila reaksinya lamban/lemah atau tidak ontinu,
berarti kesadarannya tingkat sedang. Dan bila tak ada reaksi sama sekali berarti
kesadaran menurun.
Gangguan kesadaran tingkat ringan dan tingkat sedang harus dibedakan dari kondisi
klien lansia yangs edang tidur. Bila tidur, bisanya dapat terbangun pada perangsangan
ringan/sedang. Lansia yang koma tak ada reaksi terhadap berbagai bentuk rangsangan.
Tingkat kesadaran dibagi menjadi beberapa bagian sebagian berikut.
Tanda vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi pemeriksaan nadi (kecepatan nadi per menit)
juga pemeriksaan tekanan darah (yang terdiri ata tekanan sistolik dan diastolic).
Pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan secara papatoir auskutatoir.
Sistem integument
Selain yang tertera pada tabel 2, dapat diperhatikan pula tentang ada tidaknya anemia,
ikterus, sianosis, serta lesi primer dan lesi sekunder. Lesi primer pada kulit antara lain
berupa: skuama, ekskorasi, fisura, krusta, sikatriks. Dan ulkus.
Perubahan lainnya berupa perubahan kulit lokal: angioma, nevi, striae, kebotakan pada
rambut, edema, turgor, berkeringat, dan atrofi.
Pada lansia perlu mewaspadai status gizi yang menurun, mengingat prevelansi
malnutrisi yang tinggi dikalangan mereka, yaitu sebesar 10-50%. Padahal malnutrisi
ini merupakan faktor risiko utama bagi timbulnya kesakitan dan kematian, khususnya
bagi mereka yang tinggal dip anti. Selain itu, sering kali status gizi dikalangan lansia
ini diabaikan orang. Malnutrisi sendiri merupakan masalah yang bersifat multifactor,
yaitu meliputi faktr fisik, sosial, dan ekonomi. Bagi lansia yang tinggal sendiri, sering
kali mengalami kurang makan, khususnya pada golongan pria.
Selanjutnya gangguan kognitif dan suasana hati (mood) juga jarang mengubah
kebiasaan makan dan intake gizi secara normal. Di negara maju, terdapat sekitar 10%
lansia yang memiliki kebiasaan mengosumsi alcohol dimana kenyataan ini sering tidak
dihiraukan oleh perawatnya. Padahal alcohol sendiri berakibat kurangnya nafsu
makan.
Untuk menentukan status nutrisi dianjurkan pula mengkaji riwayat diet lansia. Pada
umumnya masalah gizi kurang pada lansia berupa kurang energy kronis (KEK),
anemia, dan kekurangan zat gizi mikro yang lain.
Dapat dikatakan baha masalah gizi pada lansia untuk sebagian besar merupakan
rangkaian masalah gizi yang telah ada sebelumnya dan manifestasinya timbul setelah
klien menjadi tua. Selain itu, dari banyak penelitian yang dilakukan ternyata
ditemukan bahwa kebanyakan masalah gizi pada gilirannya memacu timbulnya
penyakit-penyakit degenerative seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes,
batu empedu, Gout (rematik), penyakit ginjal, sirosis hati, dan penyakit-penyakit
keganasan (kanker).
Lansia yang mengalami obesitas ditemukan lebih sering pada wanita disbanding pria,
yaitu sebesar 26,1% : 15,6% (Survei IMT, Depkes 1997).
Menurut para pakar ilmu gizi, dikatakan bahwa selain kegemukan secara menyeluruh,
kegemukan di daerah perut lebih berisiko. Kelebihan lemak diperut dihubngkan
dengan meningkatnya risiko menderita penyakit jantung koroner. Khusus mengenai
hal ini dikenal ukuran rasio pinggang/oinggul, yaitu merupakan hasil bagi antara
lingkar perut (melalui pusar) dengan lingkar pinggul (lingkaran terbesar). Rasio yang
jauh di bawah 1 (pada pria) atau 0,8 (pada wanita) merupakan faktor risiko menderita
PJK sebesar 1-3 kali; penyakit hipertensi sebesar 1,5 kai; penyakit diabetes sebesar 2,9
kali; dan penyakit empedu sebesar 1-6 kali.
Perlu ditegaskan bahwa status gizi penting bagi lansia. Berikut ini adalah kegunaan
status gizi.
Faktor sosial ekonomi juga secara langsung berdampak pada malnutrisi. Kadang-
kadang keperluan-keperluan hidup lainnya seperti sewa rumah dan obat-obatan
melebihi alokasi untuk makanan.
Lansia yang tinggal sendiri juga berhubungan dengan status gizi rendah, karena
mereka cenderung kurang termotivasi untuk menyiapkan makanan seimbang bagi
dirinya sendiri.
Secara psikologis, depresi, dan stress dapat berpengaruh pada status gizi. Bisa dalam
bentuk kurang makan atau makan berlebihan. Konsumsi obat-obatan tertentu dapat
berakibat efek samping berupa gangguan nafsu makan, kosntipasi, mual, serta
berkurangnya absorbsi.
Selain itu, obat-obatan diuretic jelas dapat mengganggu keseimbangan cairan dan
elektrolit yang dapat berakibat dehidrasi atau konstipasi.
Faktor risiko untuk malnutrisi disebutkan meliputi beragam kondisi atau kelainan
berupa: sering sakit-sakitan, asupan gizi yang kurang, sakit gigi/gigi tanggal, kesulitan
ekonomi, sosialisasi berkurang, faktor obat-obatan, penurunan berat badan yang tidak
disadari, adanya ketergantungan, serta lansia diatas 80 tahun.
Secara fisiologis, mengingat basal metabolisme rate (BMR) yang rendah seiring
dengan bertambahnay usia, makan kebutuhan nutrisinya menurun (disamping
berkurangnya aktivitas fisik). RDA untuk kalori=2.300 untuk lansia kurang dari 75
tahun dan 2.050 kalori untuk usia lebih dari 75 tahun, dimana 58% dari karbohidrat,
30% dari lemak, dan 12% dari protein. Lansia juga memerlukan ekstra vitamin D, B6,
dan kalsium untuk terhindar dari osteoporosis. Kebutuhan akan serat kira-kira 35
gram/hari.
Pengkajian berat badan, tinggi badan, dan struktur tubuh penting, mengingat pola
pertambahan dan pengurangan berat badan dapat memengaruhi kondisi kesehatan
lansia secara keseluruhan. Pada kelembagaan (panti jompo dan sejenisnya), perawat
perlu melakukan pengamatan tentang pola defekasi dari para jompo, tertama bila
mereka sendiri tidak dapat menginformasikannya.
Pada lansia tidak jarang terjadi anemia, namun masih dalam batas normal. Dalam hal
ini, perlu mempertimbangkan kondisi kesehatan lansia secara umum. Penjelasan
tentang hal ini antara lain bahwa laboratorium darah bisa meningkat secara semu pada
keadaan dehidrasi.
Proses penuaan pada ginjal, kandung kemih, uretra, dan sistem pernapasan
memengaruhi fisiologi pengeluaran urin. Proses penuaan dapat mengarah pada
terjadinya inkontinensia. Faktor risiko untuk timbulnya inkontinensia meliputi obat-
obatan, kondisi patologis, psikologis, serta kelainan kognitif dan fungsional. Pada
bagian ini hanya akan dibahas mengenai beberapa obat-obatan serta mekanisme
kerjanya terhadap inkontinensia, seperti yang tertera pada tabel 4.
1. Bisakah menahan kemih sebelum mencapai toilet? (berapa lama), bagaimana bila
batuk/dan sejenisnya?
2. Apakah perlu selalu bangun berkemih malam hari?
3. Setelah berkemih apakah merasa tidak lampias?
4. (pria): sulit mulai berkemih?
Pengkajian inkontinensia.
1. Kapan mulainya?
2. Apa tindakan anda untuk mengatasinya? (dengan cara membatasi minum/sering
berkemih)
3. Adakah sesuatu hal tertentu yang memperburuk atau dapat menguranginya?
4. Apakah sakit waktu berkemih?
5. (wanita): adakah merasa tekanan di daerah panggul?
Pengkajian tentang rasa takut, sikap, konsekuensi psikososial.
Adapun faktor risiko yang ditemukan antara lain berupa merokok, polusi udara, atau
polusi akibat keterpaparan (exposure) dari lingkungan pekerjaan, seperti asbestosis.
Pengkajian mobilitas
Pengkajian mobilitas dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yang
terjadi pada mobilitas. Hal ini mencakup (1) berkurangnya massa otot, (2) jaringan
ikat mengalami perubahan degenerative, (3) osteoporosis, dan (4) perubahan pada
susunan saraf.
Bentuk faktor risiko yang dikaji meliputi adanya penurunan kekuatan, daya tahan,
koordinasi gerak otot, adanya hambatan gerak sendi, rawan jatuh, dan rawan fraktur.
Adapun faktor risiko yang ditemukan antara lain berupa osteoporosis, terutama pada
wanita, mereka yang kurang bergerak, serta lansia dengan kelainan kekurangan
kalsium. Gangguan ini sering menyerang tulang-tulang kecil terutama ditemukan pada
mereka yang bertubuh kurus. Faktor risiko lainnya berupa perubahan sendorik dan
susunan saraf, penggunaan obat, depresi, demensia, dan faktor lingkungan.
Adapun faktor risiko yang ditemukan antara lain berupa: terkena sinar ultraviolet,
frekuensi kebiasaan mandi, serta keterbatasan aktivitas.
Pengkajian ini dilakukan atas dasar pemahaman terhadap proses penuaan yang terjadi
pada pengkajian pola tidur. Hal ini mencakup perubahan siklus tidur seiring penuaan.
Bentuk kelainan yang dikaji meliputi adanya berbagai konsekuensi fungsional berupa:
susah tidur pulas, sering terbangun, serta kualitas tidur yang rendah. Selain itu dikaji
pula tentang lansia berada lama ditempat tidur serta jumlah total waktu tidur per hari
yang berkurang.
Pengkajian ini sangat penting, terutama ketika terjadi hambatan pada kemampuan
lansia dalam melaksanakan fungsi kehidupan sehari-harinya. Kemampuan fungsional
ini harus dipertahankan semandiri mungkin.
Untuk menetapkan apakah salah satu fungsi tersebut mandiri atau dependen (yaitu
memperlihatkan tingkat ketergantungan) diterapkan standar sebagai berikut.
Observasi dilakukan secara biasa (natural) tidak bersifat mengancam, serta dengan
mempertimbangkan aspek etnik (adat istiadat). Rinci tentangan item-tem yang
dilakukan dalam pengkajian secara menyeluruh pada klien lansia, meliputi hal-hal
sebagai berikut :
1. Apakah pasien dapat bermanuver secara aman dan bertujuan, dengan pengertian tidak
ragu-ragu, maju mundur, serta tidak memperlihatkan postur atau gerakan-gerakan yang
agresif.
2. Apakah pasien menunjukkan kontak mata, menampilkan ekspresi wajah secara tepat.
3. Apakah ekspresi menunjukkan ansietas, nyeri, apatis, bermusuhan, takut, dan mudah
beralih perhatian.
4. Observasi mengenai ekspresi wajah, antara lain ditunjukan pada eye contact, klien
tampak arif dimana menampilkan ekpresi yang tepat sesuai dengan materi percakapan.
Kadang-kadang tampak seperti bayangan gelap di sekitar mata.
5. Klien kadang-kadang menyembunyikan mulut dengan tangan, takut, merintih/nyeri,
pucat, berkeringat.
6. Ada tindaknya gambaran asimetis akibat paralisi, kontraktur, atrofi otot.
7. Dalam hal bicara, apakah terdapat kesulitan dalam merespons pertanyaan/instruksi-
instruksi yang diajukan oleh perawat. Kadang-kadang klien terlalu banyak bicara atau
bila mengelak dilakukan berulang-ulang. Artikulasi terdapat bunyi khusus pada saat
berbicara. Amati apakah variasi topik berbicara tepat apakah ada keraguan-keraguan
atau gagap atau bicarama menonton.
Pada pemeriksaan MMSE selain ditunjukkan pada orientasi personal, ruang dan waktu
juga antara lain diperhatikan misalnya lansia tidak mampu memberi data biografi
terbaru secara tepat. Selain identitas , orientasi waktu misalnya mengetahui tentang
tahun, musim dan lain-lain.
Pengkajian Aspek Spiritual.
Terdapat indeks yang dirancang untuk mengukur upaya yang dilakukan secara
individual dalam pencarian arti dan makna kehidupan. Hal ini mencagkup segi
apersepsi terhadap makna kehidupan yang lebih mendalam, serta bagaimana seseorang
menempatkan diri dalam lingkungan alam inderks tersebut meliputi :
1. Perasaan individu tentang kehidupan keagamaannya seperti berdoa dan sholat.
2. Melakukan kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang makna kehidupan
menurut agama dan kepercayaannya.
3. Bagaiman seseorang mereflesikan arti kehidupan yang dijalaninya.
4. Apakah nilai keberagamaannya dapat menuntun menjawab tantangan-tantangan dalam
kehidupan.
5. Mengetahui bahwa kehidupan spiritualnya merupakan suatu prose yang berlangsung
terus selama hayat.
6. Apakah seseorang itu peduli tentang isu-isu kemanusiaan?
7. Apakah seseorang masih mendalami pengetahuan keagamaan?
3. Diagnosis keperawatan pada gangguan pencernaan, nutrisi atau higiene rongga mulut
berupa :
a. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan reaksi
obat, anoreksia, depresi, ganggua mengunyah, isolasi sosial, tak mampu memasak/
menyiapkan hidangan.
b. Perubahan eliminasi defekasi berupa konstipasi yang berhubungan dengan
xerostomi, efek obat, gangguan mengunyah, penyakit priodontal, penurunan selera
pengecapan, serta higien mulut.
c. Perubahan mukosa rongga mulut berhubungan dengan faktor-faktor diatas.
4. Diagnosa keperawatan pada gangguan eliminasi urine adalah perubahan eliminasi urine
yang berhubungan dengan urgensi, frekuensi, dribbling, nokturia, hestansi, serta
inkontinensia.
Khusus dalam hal inkontinensia berhubungan dengan fecal lith, defisiensi hormon
estrogen, hipertrofi prostat, infeksi traktus urinaria, reaksi obat, gangguan
kognitif. Diagnosa lainnya adalah resiko tinggi pembatasan intake cairan,
diagnosa ini terkait dengan konsekuensi seksualitas, serta gangguan body image.
Perabotan Dapur
Tinggi kursi dan meja Peralatan ditempatkan
Kursi tanpa pegangan Serampangan
Kekokohan kursi/meja Kompor atau alat lain berisiko
Letak perabotan yang Kecelakaan
terhalang
Tangga
Pecahayaan pada tangga
Tombol lampu dekat tangga
Kedudukan anak tangga
Yang tidak seragam
11. Diagnosa keperawatan pada gangguan fungsi seksualitas berbunyi gangguan pola
seksualitas berhubungan bengan efek obat misalya obat hipertensi, penyakit edokrin DM,
penyakit jantung kongestif, gangguan genitor urinaria seperti vaginitis, prostatitis,
inkontinensia. Biasa juga sebagai akibat dari kondisi menahun seperti arthritis.
Majemen stres
Stres adalah kejadian eksternal serta situasi lingkungan yang mebebani
kemampuan adaptasi individu terutama berupa beban emosional dan kewajiban
sedangkan koping adalah cara berpikir dan bereaksi yang ditunjukan untuk mengatasi
beban atau transaksi yang menyakitkan itu. Pembacaan dapat merujuk pada teori-teori
tentang stres antara lain sindrom adaptasi umum menurut selye (1956).
Faktor faktor yang mempengaruhi koping lansia :
Dalam penunjang usia, seseorang tentu saja telah mengalami kejadian dengan resiko stres
tinggi misalnya penyakit akut kronis, pensiun, kematian kerabat, kesulitan keuangan atau
perpindahan tempat domisili serta masih banyak lagi. Walaupun aneka penyebab stres
cukup beragam, namun dampak fisiologis pada umunya seroa yaitu dalam bentuk
rangsangan saraf simpatis yang ditimbulkan. Untuk bahan acuhan yang lebih mendetail di
bawah ini disajikan urut-urutan jenis stresor menurut tingkat dan pembobotannya sesuai
sekala stres dari stroke dan gordon.
Stres yang berlangsung secara berkepanjangan bisa berakibat serius, termasuk
kemungkinan munculnya penyakit jantung, hipertensi, stroke, penyakit kanker, penyakit
maag. Cara sesesorang lansia beradaptasi terhadap stres sangat dipengaruhi oleh tipe
kepribadian serta strategi penyesuaian yang telah digunakan sepanjang hidupnya.
Penyalahgunaan senyawa obat
Di sini termasuk gangguan yang timbul akibat klien mengonsumsi suatu senyawa obat
tertentu dalam jumlah yang membahayakan kesehatnya. Termasuk pula konsumsi
alkohol, nikotin,kafein, obat bebas, dan obat obat paten lainya. Di negara-negara maju
problematika alkohol cukup menojol tidak seperti halnya di negri kita. Keadaan tersebut
berakibat pada tingginya risiko taruma, kecelakan, juga hal-hal berikut: kemunduran
intelektual, gangguan pencernaan, malnutrisi, maag , gangguan jantung juga pada hati,
dan perederan darah otak. Dalamhal penyalgunaan senyawa obat secara umum tidak
terlepas dari obat resep yang seolah menimbulkan semacam ketagihan. Sering kali resep
berasal dari dokter yang berbeda-beda. Lansia hidup di institusi menggunakan 4-7 macam
obat ( di AS). Sepertikata pamen bila dipakai sesuai aturan,obat akan mendatangkan
manfaat, bila tidak, malapetaka. Proses penuaan juga memengaruhi reaksi obat dalam
tubuh ( absorpsi,perederan, dan metabolismenya). Dengan absorpsi, dimaksdukan waktu
yang diperlukan dibagi suatu obat ( baik yang diminum, disuntik, atau rektal )
untukmasuk keperedaran darah. Padahal proses penuaan mengubah kecepatan
pengosongan lambung, mengubah pH lambung, serta kecepatan distribusi obat.
Juga volume cairan tubuh yang menurun akibat penunaan akan menghambat dstribusi
obat-obat yang bersifat larut dalam air. Sehingga kadar obat-obatan seperti itu akan
meningkat dalam darah. Jaringan lemak dan bertambah juga dapat berakibat
meningkatnya penyimpnan ( tertahanyan) obat-obat yang larut dalam lemak.
Metabolisme obat berlangsung di hati yang fungsinya pada lansia sudah jauh menurun,
sehingga memperlambat metabolisme obat. Akibatnya,obat akan berada lama dalam
tubuh. Sama halnya dengan menurnnya kondisi ginjal akan meningkatkan efek toksik dari
obat. Reaksi obat penurun tekanan darah sering merupakan akibat dari meningkatnya
kepekaan sistem saraf pusat. Faktor- faktor risiko penyalahagunaan senyawa obat di
kalangan lansia, yaitu :motivasi, pemahaman tentang kerja obat, kemampuan mengambil
dan menyimpan obat pada tempatnya ( lemari obat ), serta kemampuan menelan terutama
untuk bentuk obat tertentu.
Didalam literatur,terdapat banyak penelitian tentang isu farmakologi pada lintas kultur,
yaitu perbedaan-perbedaan dikalangan rasa Asia. Kulit hitam. Hispanik, dan indian
dibanding dengan ras kulit putih ( Black,1990)
Dalam kaitanya dengan dosis obat, jelas dipengaruhi oleh ukuran tubuh pada masing
masing kultur. Ras asia relatif lebih pendek,lebih rendah berat badanya ( BB ), serta
lebih kecil ukuran tubuhnya dibanding dengan ras lain. Pada usia 65 tahun, wanita
kulit hitam rata-rata memiliki BB 9,1 Kg lebih berat dari ras kulit putih. Dalam hal
efek samping obat, dikatakan bahwa ras asia lebih peka terhadap obat-obat untuk
gangguan saraf dan jiwa,juga berlaku pada ras hispanik. Sementara bagi ras kulit
hitam lebih peka terhadap antidepersi. Di Asia Tenggara, salah satu masalah berupa
ketidakpatuhan minum obat yang mengakibatkan kadar obat dalam plasma rendah.
Banyak suku bangsa yang berpandangan bahwa efek meminum obat harus segera
tampak ( berkerja dalam jangka pendek). Sehingga berpadangan bahwa tidak kndusif
untuk memberi obat yang tidak mendatangkan segera. Selain itu, pada banyak suku
bangsa menolak diberi obat pada kondisi di mana tak ada keluhan yang jelas.
1. Faktor- faktor risiki seperti keturunan dan penyakit-penyakit tertentu akan sulit
diatasi, namun perawat dapat berupaya untuk menangani faktor risiko berupa:
a. Terpapar pada kebisingan
b. Obat-obat yang bersifat ototoksik,
Mengenai obat-obatan ototksik, perawat dapat memberi penyuluhan pada
lansia/ kerabat/ penjaganya tentang jenis-jenis obat-obatan seperti itu
Faktor risiko pada gangguan penglihatan adalah terpapar pada sinar UV. Untuk itu,
dapat dicegah dengan menggunakan pelindungan kepala ( topi) dan kecamata
pelindung. Perawat perlu mengajari lansia/kerabat tentang pentingnya mendeteksi
glaukoma dan katarak. Bila katarak telah menyebabkan gangguan penglihatan berat,
perlu dipertimbangkan tindakan bedah. Pemebedahan katarak dewasa ini semakin
berhasil dilakukan lansia dinasehati untuk melakukan pemeriksaan mata selaku
tindakan kolabortif.
Bila keluhan lainya seperti kekeringan mata menonjol,maka dapat digunakan obat
tetes mata sesuai resep dokter. Lansia dengan keluhan tersebut terakhir ini, perlu
menghindari asap rokok dan yang sejenis ( sprai) maupun terhadap angin kencang.
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan kekeringan mata seperti diueretik,
antihistamin, antikolinergik, dan adrenergik. Lansia dengan gangguan visus dapat
memanfaatkan alat bantu ( kacamata) selain itu, termasuk pula alat bantu seperti
Loupe,kontras, serta iluminasi. Suaru cara yang sederhana adalah dengan bantuan
fotokopi dapat memperbesar bahan bacaan yang diperlukan lapisan.
Seperti halnya pada gangguan pendengaran, maka dengan melakukan upaya untuk
meningkatkan kemampuan penglihatan secra tak langsung dapat memperbaiki kulaitas
hidup lansia. Contoh sederhana adalah dengan memakai ukuran kacamata yang cocok
memungkinkan lansia dapat membaca buku,koran,majalah, serta sekaligus dapat
menigkatkan kepuasan dan interaksi sosial serta stimulasi intelektual.
Penyuluhan sehubungan dengan nutrisi dan pencernaan meliputi 3 ( tiga) hal yang
penting yaitu:
1. Kondisi rongga mulut dan gigi:
a. Kebersihan mulut dan gigi
b. Menggunakan sikat yang lunak serta pasta gigi yang mengandung fluor.
c. Hindari pemakaian obat kusia,karena dapat menyebabkan kekeringan mulut.
d. Hindari makanan manis seperti permen atau yang sejenis.
e. Sehabis memakan makanan yang manis harus berkusia dan menyikat gigi.
f. Minta pelayanan dokter gigi secara teratur,misalnya dua kali setahun.
g. Bila mengunakan gigi palsu, copot di malam hari, rendam dalam air, dan
bersihkan sebelum dipakai lagi.
a. Hal ini mungkin timbul akibat gangguan/ penyakit pada mulut atau oleh
pengaruh obat yang memerlukan dilakukanya pengkajian yang seksama
b. Merangasang produksi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen yang
tak mengandung gula serta banyak minum air, hindari alkohol, dan minuman
asam
c. Hindari pemakaian obat kusta, hindari rokok, serta tingkatkan higine mulut dan
gigi
Akhirnya mengenai konsumsi gizi, secar ringkas di sini diberi anjuran tentang
pentingnya memerhatikan pedoman untuk gizi seimabng bagi lansia ( PUGS)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK
Tn.IS berumur 70 tahun saat ini tinggal di panti wredha lembayaung senja. Pada saat dilakukan
pemeriksaan kesehatan oleh perawat di dapatkan TD : 100/70 mmHg N: 88 x/menit RR: 24x/mnt
CRT: >3. Teraba oedema pada ekstremitas lengan dan kaki. Tn. IS mengatakan merasa pusing,
sesak sejak 2 hari yang lalu, sering merasa cepat lelah bila beraktifitas.
A. Pengkajian
1. Riwayat
a. Kondisi:
1) Menurunnya kontraktilitas miokard, MCI, kardiomiopati, gangguan konduksi,
obat seperti penyakit beta.
2) Meningkatnya beban miokard, penyakit katup jantung, anemia, hipertermia.
b. Keluhan
1) Sesak sejak dua hari yang lalu
2) Pusing
3) Edema pada tangan dan kaki
4) Lelah saat beraktivitas
2. Pemeriksaan fisisk
Inspeksi
a. Respirasi meningkat, dispnea
b. Edema tangan dan kaki
Palpasi
a. Denyut jantung meningkat indikasi tekanan vena porta sistemik meningkat
b. Edema menyebabkan pitting
Auskultasi
a. Suara paru menurun, basilar rates mengakibatkan cairan pada jaringan paru
b. Suara jantung dengan S1, S2 menurun.kontraksi miokard menurun. S3 meningka,
murmur terkadang juga terjadi.
3. Pengkajian data
Aktivitas dan istirahat:
a. Adanya kelelahan
b. Respirasi meningkat, dispnea
c.
Sirkulasi:
a. Adanya bengkak pada kaki dan tangan
b. Takikardi
Neurologi
a. Pusing,kesakitan
b. Bingung
Rasa nyaman
a. Dispnea pada waktu aktivitas
Rasa aman
a. Perubahan status mental
b. Gangguan pada kulit
B. Analisa Data
Data Subjektif Data Objektif
C. Diagnosa Keperawatan
1. Volume cairan berlebihan berhubungan dengan menurunnya curah jantung/retensi
natrium dan air ditandai dengan edema.
DS:
Pasien mengatakan ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit jantung dan
hipertensi
Tambahan : data peningkatan berat badan, produksi urin (oliguria sedikitnya
produksi urin sedikit(biasanya kurang dari 400 ml/hari)).
DO:
Oedema pada ekstremitas lengan dan kaki.
D. RencanaIntervensi
Observasi respirasi
a. Observasi kecepatan
irama, kedalaman
respirasii
b. Catat pergerakan dada,
penggunaan otot napas
tambahan dan adanya
retraksi otot interkosta
c. Observasi pola napas
d. Auskultasi bunyi paru
e. Observasi peningkatan
kegelisahan dan
kecemasan
f. Observasi kemampuan
klien untuk batuk efektif
3 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan Manjemen energi
berhubungan dengan keperawatan selama ....x 24 a. Tentukan keterbatasan
ketidakseimbangan suplai jam klien dapat menunjukan klien terhadapaktivitas
dan kebutuhan oksigen toleransi terhadap aktivitas b. Tentukan penyebab lain
ditandai dengan dengan kriteria: kelelahan
kelemahan, kelelahan, a. Klien dapat c. Dorong klien untuk
perubahan tanda-tanda menentukan mengungkapkan perasaan
vital aktivitas yang sesuai tentang keterbatasannya
dengan peningkatan d. Observasi asupan nutrisi
nadi, tekanan darah, sebagai sumber energi
dan frekuensi napas, yang adekuat
mempertahankan e. Observasi respon jantung
irama dalam batas paru terhadap aktivitas
normal f. Batasi stimulus
b. Mempertahankan lingkungan
warna dan g. Dorong untuk melakukan
kehangatan kulit periode istirahat dan
dengan aktivitas aktivitas
c. EKG dalam batas h. Rencanakan periode
normal istirahat dan aktivitas
d. Melaporkan i. Hindari aktivitas selama
peningkatan periode istirahat
akttivitas harian j. Bantu klien atau keluarga
untuk menemukan
aktivitas yang realistis
k. Dorong klien untuk
memilih aktivitas yang
sesuai
l. Evaluasi program
peningkatan tingkat
aktivitas
Terapi aktivitas
a. Tentukan komitmen klien
untuk peningkatan
frekuensi atau rentang
untuk aktivitas
b. Bantu klien untuk
mengungkapkan kebiasaan
aktivitas, memilih
aktivitas, memfokuskan
aktivitas, mengidentifikasi
aktivitas, menjadwalkan
aktivitas
c. Berikan motivasi dan
tujuan untuk klien
d. Observasi respon emosi,
fisik,sosial dan spiritual
terhadap aktivitas
BAB IV
PENUTUP
A. Evaluasi
Chronik Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah ke seluruh jaringan. Penyebab CHF pada lansia adalah
peningkatan kolagen miokard akibat proses penuaan. Gagal jantung diklasifikasikan
menjadi gagal jantung kronik dan akut, gagal jantung kiri dan kanan, gagal jantung
sistolik-diastolik. Manifestasi klinis dari gagal jantung dikelompokkan menjadi gagal
jantung akut dan kronik yang meliputi:anoreksia, asites. Nokturia, intoleransi aktivitas
peningkatan BB, fatigue, takikardi, penurunan urin output, dan lain-lain.
B. Saran
1. Institusi
Penulis berharap makalah ini dapat menjadi referensi tambahan untuk memahami
materi tentang kelainan kardiovaskuler yaitu gagal jantung pada khususnya dan
semua pembaca pada umumnya.
2. Mahasiswa
Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan dapat di terapkan
oleh mahasiswa tentang asuhan keperawatan gerontik kelainan pada sistem
kardiovaskuler yaitu Gagal Jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta : EGC
S. Tamher.(2011). Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Yuli, Renny.(2014). Asuhan keperawatan dengan gangguan sistim kardiovaskular. Jakarta: EGC.
GAGAL
JANTUNG
Masalah keperawatan :
Penurunan curah Penurunan curah
penurunan curah jantung
jantung jantung