Anda di halaman 1dari 17

BAB I

DEFINISI

A. Definisi Clinical Pathway


Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan
pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan
kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan
yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu
selama di rumah sakit
Clinical Pathway adalah alat untuk melaksanakan pelayanan medis yang
terpadu untuk mencapai hasil pelayanan yang diharapkan dengan mempertimbangkan
lama waktu perawatan. Sebagai blue print dalam melaksanakan pelayanan medis.
Clinical Pathway adalah gambaran algoritma perawatan pasien dan tujuan
mengurangi variasi dan biaya perawatan, meningkatkan efisiensi dan memperbaiki
kualitas perawatan pasien.
Clinical Pathway adalah pelayanan medis yang berpihak pada pasien dan
menguntungkan bagi pasien, keluarga bahkan kepada Team Work, memberi peluang
untuk melaksanakan evaluasi serta proses perbaikan pelayanan medis yang terus-
menerus.
Clinical Pathway merupakan penentuan waktu, kategori pelayanan,
pengendalian variasi pelayanan dan sudah tentu luaran dari pelayanan itu sendiri.
Dengan konsep pelayanan ini maka diharapkan bahwa pelayanan benar-benar
berpihak kepada pasien, dengan berbagai kepastian, yaitu kepastian aktivitas
kegiatan pelayanan yang diberikan, kepastian hari rawat dan yang terpenting adalah
kepastian biaya. Tujuan penentuan Clinical Pathway adalah untuk lebih
mengefesiensikan pelayanan medis, dan mengurangi sebanyak mungkin variasi dan
tentu berdampak pada pengendalian biaya.
Dapat disimpulkan bahwa clinical pathway adalah suatu alur proses kegiatan
pelayanan pasien yang spesifik untuk satu penyakit atau tindakan tertentu, mulai dari
pasien masuk sampai pasien pulang yang merupakan integrasi dari pelayanan medis,
pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya, tanpa
clinical pathway maka sistem INA-CBG tidak akan berjalan sesuai yang diinginkan.
Pedoman ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk menetapkan biaya yang
dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah
1
sakit sehingga masyarakat mendapatkan kepastian biaya yang harus dibayarkan dan
menghindari tindakanyang berlebihan yang akhirnya akan berdampak pada
peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
B. Tujuan Kegiatan
Penyelenggaraan Clinical Pathway bertujuan untuk melaksanakan perubahan
medical technology dalam pelayanan medis yang berdampak pada penghematan
biaya, mengurangi variasi pelayanan dan peningkatan kualitas pelayanan (kendali
biaya dan kendali mutu pada pelayanan medis, UU No. 29 tahun 2004 pasal 49).

Tujuan implementasi Clinical Pathway sebagai berikut :


1. Memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek
2. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan
penggunaan prosedur klinik yang seharusnya
3. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu
proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar dapat menghasilkan
pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit,
4. Memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai tujuan umum
yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses
tersebut
5. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses
pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui seberapa sering dan
mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar
6. Mengurangi beban dokumentasi klinik
7. Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien
(misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana
pelayanan).

C. Prinsip menyusun Clinical Pathway


Berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun clinical pathway, salah
satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
1. Pembentukan tim penyusun Clinical Pathway.
Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua
tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari
konsultan atau institusi diluar Rumah Sakit seperti organisasi profesi sebagai
narasumber. Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah
penyusunan Clinical Pathway.

2
2. Identifikasi key players.
Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat
dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan dan untuk
merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan
internal dan eksternal.
3. Pelaksanaan site visit di Rumah Sakit.
Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik
yang sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat
alasan mengapa clinical pathway perlu disusun. Jika diperlukan, site visit internal
perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan
identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan
ide.

4. Studi literatur.
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu
dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan
kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi
tertulis.

5. Diskusi kelompok terarah.


Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan
untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan
dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk
mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima.
Lebih lanjut, diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi
masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan
pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.

6. Penyusunan pedoman klinik.


Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil
site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok
terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk
diketahui juga oleh pasien.

7. Analisis bauran kasus.


3
Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik
pada saat sebelum dan setelah penerapan clinical pathway. Meliputi: length of
stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes diagnosis yang dilakukan,
intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.

8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.


Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan
mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala
kesehatan pasien (wellness indicator).

9. Mendisain dokumentasi Clinical Pathway.


Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format
clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan
bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi
Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.
Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya
diimplementasikan di rumah sakit. Saat uji coba dilakukan penilaian secara
periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para
staf untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga
dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa praktek dilapangan berbeda
dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.
Hasil analisis digunakan untuk : mengidentifikasi variasi umum dalam
pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien yang tidak mencapai
perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan
menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti lebih
lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah
dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi
yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit
penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).
Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien benar-benar mendapat
pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga biaya yang dikeluarkan
pun dapat sesuai dengan perawatan yang diterima dan hasil yang diharapkan.
Adanya clinical pathway juga dapat membantu dokter saat melakukan perawatan.
Rincian tahapan-tahapan perawatan pasien yang tertera dalam clinical pathway
dapat menjadi panduan dokter saat "beraksi". Memang, banyak cara untuk
4
menangani sesuatu, seperti banyaknya jalan menuju Roma. Tetapi bila sering
nyasar, maka akan memakan waktu yang panjang untuk mencapai tujuan dan
berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

BAB II
RUANG LINGKUP

A. Tinjauan Klinis Penetapan 5 Area Prioritas.


Yang merupakan kegiatan pokok dalam lima area klinis prioritas adalah
pemantauan terhadap kasus- kasus klinik yang berpedoman pada penerapan standar
pelayanan medis (SPM) dan standar pelayanan operasional (SPO). Adapun tinjauan
klinis dari 5 Area Prioritas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kardiologi
Kasus Acute Myocardial Infarction (AMI)

5
Alasan dan Acute Myocardial Infarction (AMI) adalah suatu kematian
Implikasi (latar jaringan Miokard akibat oklusi akut pembuluh darah koroner.
belakang AMI terbagi atas ST Elevasi Myocard Acute (STEMI) dan Non
masalah) ST Elevasi Myocard Acute (NSTEMI).
Laporan badan kesehatan dunia (WHO), September 2009, AMI
merupakan penyebab kematian pertama sampai saat ini. Pada
tahun 2004 diperkirakan 17,1 juta orang meninggal karena AMI,
angka ini merupakan 29 % dari penyebab kematian global.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 kematian
akibat AMI sebesar 9,3 % dan akibat Stroke sebesar 25,9 % dan
apabila keduanya digabung sebagai penyakit Kardiovaskular,
maka tetap sebagi penyebab kematian utama di Indonesia
sebesar 35,2 %.
CPW Ada (terlampir)
SPM Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data 1. WHO : 2004, terdapat kematian akibat AMI 17,1 juta orang
dasar) di Dunia
2. RISKESDAS : 2007, terdapat kematian akibat AMI sekitar
9,3 % di Indonesia

Ukuran Kinerja Penatalaksanaan AMI sesuai dengan guideline


Klinis

2. Neurologi
Kasus Stroke Haemorragic dan Stroke Non Hemoragik (Tanpa
Komplikasi)
Alasan dan Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan utama.
Implikasi (latar Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah

belakang masalah) penyakit jantung dan kanker. Stroke menjadi penyebab kecacatan
nomor satu di seluruh dunia. Laporan WHO (2011) memperlihatkan
bahwa penyakit tidak menular saat ini merupakan penyebab
kematian utama di seluruh dunia. Penyakit pembuluh darah (stroke
dan penyakit kardiovaskuler), kanker, dan penyakit paru kronik
merupakan penyebab kematian utama, dan bertanggung jawab
pada 53% dari seluruh kematian. Stroke menjadi penyebab
kematian peringkat ketiga setelah penyakit jantung dan
kanker, bahkan di Indonesia menjadi penyebab kematian
6
peringkat pertama dirumah sakit sejak tahun 1995 hingga
1999.
Peningkatan kejadian kematian akibat penyakit pembuluh
darah
dijumpai di negara maju dan negara berkembang (WHO,
2011). Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007
menyebutkan bahwa angka kematian akibat infark serebral
adalah 11,2% pada pasien yang dirawat di RS.
Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien yang
dirawat di RS (5,24% dari seluruh kematian) (Depkes, 2008).
Meningkatnya usia harapan hidup didorong oleh keberhasilan
pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi
menyebabkan usia lanjut bertambah dan terjadi perubahan
pola hidup yang berpotensi meningkatkan resiko stroke.
Penatalaksanaan stroke menjadi masalah yang sangat
penting karena memerlukan pengorbanan baik dari aspek
moril maupun materiil, dan akhirnya mengakibatkan biaya
yang sangat besar, maka diperlukan penatalaksanaan
komprehensif stroke yang lebih efektif dan efisien sehingga
mendapatkan perbaikan kualitas hidup, mencegah kematian
dan kecacatan.
CPW Ada (terlampir)
SPM Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data
dasar)
Ukuran Kinerja Penatalaksanaan stroke sesuai dengan guideline
Klinis
Sumber

3. Penyakit Dalam
Kasus DHF ( Dengue Haemorragic Fever )
Alasan dan Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut
Implikasi (latar dengan manifestasi perdarahan dalam berbagai stadia yang
belakang masalah) disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sesuai kriteria
WHO untuk Demam Berdarah Dengue (DBD).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah
7
satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di
Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar
Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim
penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan
Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relative menurun
sebagaimana tampak pada grafik di bawah. DBD pertama
kali dilaporkan pada tahun 1958 di Jakarta dan Surabaya,
dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar
41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di
Indonesia ( Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis Dit
PPBB -Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI ).
WHO melaporkan lebih dari 2,5 milyar orang dari 2/5 populasi
dunia saat ini beresiko terinveksi virus dengue.
CPW Ada (terlampir)
SPM Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data
dasar) .
Ukuran Kinerja Penatalaksanaan DHF sesuai dengan guideline (terlampir )
Klinis Non formakologis : tirah baring, makanan lunak.
Farmakologis :
a. Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam.
b. Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protokol
tatalaksana DBD.
1) Cairan intravena: Ringer laktat atau ringer asetat 4-5
jam/kolf; koloid / plasma ekspander pada DBD stadium
III dan IV bila diperlukan.
2) Transfusi trombosit dan komponen darah (optional).
3) Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III dan
IV dengan koagulasi intravaskular diseminata (KID).
4) Kortikosteroid (optional).
5) Antibiotik bila diperlukan.

4. Bedah
Kasus Appendictomy

8
Alasan dan Appendiksitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis
Implikasi (latar dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
belakang masalah) Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia antara 10 sampai 30 tahun.
Penatalaksanaan appendiksitis dilakukan dengan
appendictomy yaitu suatu tindakan pembedahan dengan
mengangkat appendiks. Hal ini harus segera dilakukan
tindakan bedah karena setiap keterlambatan akan berakibat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, yaitu dapat
menyebabkan terjadinya perforasi atau ruptur pada dinding
appendiks. Bedah appendiks juga memiliki dampak yang
dapat membahayakan bagi pasien pasca operasi khususnya
pada appendisitis yang sudah perforasi dan menyebabkan
sepsis rongga abdomen. Pada appendisitis yang sudah
perforasi dapat menimbulkan komplikasi infeksi luka operasi,
bocornya (leakage) jahitan appendiks dan kematian karena
sepsinya yang berat. Namun demikian, bahaya tersebut
dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang cepat dan
menggunakan antibiotik profilaksis spektrum luas.
CPW Ada (terlampir)
SPM Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data
dasar)
Ukuran Kinerja Apendisitis kronis: direncanakan apendektomi elektif,
Klinis disesuaikan jadwal elektif
Apendisitis akut: direncanakan apendektomi segera (cito
emergency)
Periapendikuler abses: insisi, drainase
Periapendikuler infiltrate: pertama dirawat konservatif,
medikamentosa yang adekwat, bila massa mengecil ukuran
< 3cm atau menghilang, dilakukan apendektomi dengan
insisi paramedian
Apendisitis perforata disertai tanda-tanda peritonitis local:
dilakukan apendektomi dengan insisi gradiron atau

9
transversal pada appendsitis anak
Bila ditemukan tanda-tanda peritonitis umum, dilakukan
laparatomi dengan insisi median.
Sumber

5. Obsgyn
Kasus Seksio Caesarea-Hamil Aterm-KTG Patologis.
Alasan dan Seksio sesarea adalah tindakan operasi untuk melahirkan
Implikasi (latar janin melalui insisi dinding perut dan uterus. Seksio sesarea
belakang masalah) dapat dilakukan secara primer (berencana) ataupun darurat.
Terdapat sejumlah indikasi untuk melakukan seksio sesarea,
yaitu indikasi Ibu (CPD, kemacetan persalinan), bekas seksio
>2 kali, perdarahan antepartum, kegagalan induksi, atau
bekas operasi lain pada uterus) dan indikasi janin (gawat
janin, malpresentasi, pertumbuhan janin terhambat,
makrosomia).
Gawat janin dalam persalinan adalah keadaan yang
menunjukkan hipoksia (kurang oksigen) pada janin. Tanpa
oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan
variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi
(perlambatan) lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia
menetap, glikolisis (pemecahan glukosa) anaerob
menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.
Pada keadaan gawat janin yang menetap diperlukan tindakan
segera untuk melahirkan janin.
Seksio sesaria yang dilakukan di Instalasi Kamar Operasi
umumnya adalah seksio sesarea darurat, dan indikasi gawat
janin merupakan 3 besar penyebab dilakukannya seksio
sesaria.
CPW Ada (terlampir)
SPM Ada (terlampir)
SPO Ada (terlampir)
Evidence (data
dasar)
Ukuran Kinerja Hasil yang diharapkan adalah :
Klinis - Pasien didorong ke OK dalam waktu 8 menit.
- Operasi selesai dalam 1 jam

10
- Perdarahan kurang dari 1000 cc
- Tidak ada komplikasi tindakan.

B. Peran dan Tanggung Jawab dalam Kegiatan


Adapun pelaksana penyelenggaraan Clinical Pathway serta peran dan
tanggung jawab dari masing-masing unit adalah sebagai berikut :

No Pelaksana Peran dan Tanggung Jawab

Kepala Sebagai Pelindung dan Penanggung Jawab


RS.DR.Bratan Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di RS. DR.
ata Bratanata
2 Direktur Sebagai Koordinator Penyelenggaraan Pelayanan
Pembinaan Kesehatan di RS.DR.Bratanata yang bertanggung jawab
Pelayanan untuk memastikan pelayanan agar berjalan baik dan
Medik terkoordinir
3 Komite Medik Sebagai Pengawas Kegiatan Pelayanan Kesehatan di
RS.DR.Bratanata dalam hal pelayanan Medis dengan
bertanggung jawab untuk melaksanakan monitoring, audit
dan review penyelenggaraan Clinical Pathway
4 Dokter DPJP Memberikan pelayanan secara langsung kepada pasien
dengan prinsip pelayanan berbasis pasien (Patient
Centered Care) melalui penyelenggaraan Clinical Pathway,
bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan melengkapi
format Clinical Pathway sesuai dengan kasus yang telah
ditentukan dalam buku Pedoman Clinical Pathway.
5 Perawat Berpartisipasi memantau kinerja Dokter DPJP dalam hal
(Kepala penyelenggaraan Clinical Pathway, bertanggung jawab
Ruangan) mengumpulkan hasil format Clinical Pathway yang telah
terisi dan meneruskannya kepada Komite Medik.

C. Pelaksanaan Kegiatan

11
Adapun pelaksanaan Clinical Pathway dengan jelas dibebankan kepada
dokter DPJP yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan melengkapi format
Clinical Pathway sesuai dengan kasus yang telah ditentukan dalam buku Pedoman
Clinical Pathway. Kasus yang dibuatkan Clinical Pathway-nya adalah kasus utama
tanpa ada kasus penyerta. Kemudian format yang telah terisi akan dikumpulkan oleh
Perawat (Kepala Ruangan) dengan rekapitulasi bulanan yang akan diteruskan
kepada Komite Medik. Komite Medik akan melaksanakan monitoring, audit dan
review penyelenggaraan Clinical Pathway tersebut dengan membuat sasaran mutu.

BAB III
TATA LAKSANA

Untuk melaksanakan monitoring terhadap lima area klinis prioritas dilakukan


kegiatan-kegiatan seperti dalam tabel di bawah ini.

A. Tabel Kegiatan Pemantauan Lima Area Klinis Oktober 2014 Juni 2015
2014 2015
No Kegiatan
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
1 Proses Penyusunan
dengan
Pembentukan tim
penyusun Clinical
Pathway
2 Pemilihan 6 area
prioritas Clinical
pathway
3 Penyusunan
panduan praktik
klinis Clinical
pathway
4 Audit pra
implementasi untuk
base line data
5 Sosialisasi PPK dan
Clinical Pathway ke
staf yang terkait
6 Uji coba

12
implementasi

7 Implementasi PPK
dan Clinical Pathway
8 Audit Paska Clinical
Patway ke RM

B. Pencatatan.
Pencatatan adalah pengumpulan data data yang diperlukan untuk melakukan
evaluasi terhadap lima area klinis prioritas. Pencatatan dilakukan dengan
menggunakan formulir clinical pathway (CPW) selanjutnya dilakukan rekapitulasi
terhadap kelengkapan pengisian dan kepatuhan terhadap pengisian seperti misalnya
kepatuhan terhadap lama hari perawatan yang telah ditetapkan dalam CPW,
kepatuhan terhadap pelaksanaan pemberian obat- obatan dan lain lain. Pencatatan
dilakukan oleh kepala instalasi di mana pasien tersebut dirawat selanjutnya dilaporkan
kepada Komite Medik setiap bulan sekali. Komite Medik selanjutnya melakukan
rekapitulasi terhadap semua CPW dari semua instalasi disertai kajian dan selanjutnya
dilaporkan kepada bidang pelayanan medis (alur pencatatan, evaluasi dan pelaporan
seperti dibawah ini).

C. Evaluasi Dan Pelaporan


Untuk memudahkan memonitor alur pencatatan, evaluasi dan pelaporan terhadap
monitoring lima area klinis prioritas ini maka dilbuat alur sebagai berikut :

KEPALA RUMAH SAKIT.


DR. BRATANATA

DIREKTUR PEMBINAAN KOMITE MUTU DAN


PELAYANAN MEDIK MANAJEMEN RISIKO

13
KEPALA
DEPARTEMEN / INSTALASI
BAB IV
DOKUMENTASI

A. Tujuan Dokumentasi
Rumah Sakit dr. Bratanata merancang sistem dan proses, dari hasil modifikasi
berdasarkan prinsip perbaikan mutu yang berhubungan dengan standar QPS 2.1
tentang penyusunan Clinical practice guidelines (pedoman praktik klinis/ Standar
Pelayanan Medis (SPM) Standar Pelayanan Keperawatan (SPK)), clinical pathways
(CPW) alur klinis, dan atau protokol klinis digunakan untuk memandu perawatan klinis
Standar Prosedur Operasional (SPO).
Pemantauan clinical pathway yang baik bertujuan :
1. Standarisasi Proses Perawatan Klinis;
2. Mengurangi Risiko Yang Muncul Dalam Proses Perawatan, Khususnya Yang
Berhubungan Dengan Langkah-Langkah Keputusan Kritis;
3. Menyediakan Perawatan Klinis Secara Tepat Waktu Dan Efektif Dengan Sumber
Daya Yang Ada Secara Efisien;
4. Secara Konsisten Menyediakan Perawatan Bermutu Tinggi Dengan Menggunakan
Praktik-Praktik Yang Sudah Terbukti.

B. Sistem Pelaporan
Hasil monitoring, audit dan review penyelenggaraan Clinical Pathway akan
dilaporkan oleh Komite Medik melalui Direktur Pembinaan Pelayanan Medik
(Dirbinyanmed) kepada Kepala RS. DR. Bratanata. Pelaporan mengenai keberhasilan
pencapaian sasaran mutu penyelenggaraan Clinical Pathway setiap tahun.

C. Sosialisasi
Segala bentuk sosialisasi mengenai penyelenggaraan Clinical Pathway
dilakukan oleh Direktur Pembinaan Pelayanan Medik. Sosialisasi dilaksanakan
kepada unit-unit pelaksana teknis dengan melibatkan Kepala Para Kepala

14
Departemen, Kepala Instalasi, SMF, Kepala Bagian Keperawatan dan Kepala
Ruangan Perawatan.

D. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan yang dicapai dituangkan dengan pelaporan pencapain
sasaran mutu mengenai penyelenggaraan Clinical Pathway. Adapun sasaran mutu
mengenai penyelenggaraan Clinical Pathway ini adalah sebagai berikut :
1. Format Clinical Pathway dilengkapi oleh dokter DPJP sesuai dengan kasus yang
telah ditentukan dalam buku Pedoman Clinical Pathway dengan target 80%.
Sasaran mutu ini diaudit dengan melihat kelengkapan pengisian format Clinical
Pathway oleh Komite Medik setiap bulan dengan menghitung jumlah Format
Clinical Pathway yang dinyatakan terisi lengkap dibagi dengan jumlah seluruh
pasien dengan kasus utama sesuai kasus dalam buku Pedoman Clinical Pathway
setiap bulannya dikali dengan 100%.
Target Bulanan :

Jumlah Format CPW Lengkap(1 bulan)


x 100
Jumlah Seluruh Kasus UtamaSesuai Pedoman CPW (1bulan)

2. Format Rekap Hasil Pemantauan.

E. Monitoring, Audit Dan Review

Fungsi monitoring lapangan pengisian format CPW akan dilakukan oleh


Perawat (Kepala Ruangan) di setiap unit pelayanan. Monitoring, Audit dan Review
secara umum penyelenggaraan CPW akan dilakukan oleh Komite Medik. Untuk
rapat tinjauan manajemen akan dilaksanakan setiap 3 bulan sekali.

15
BAB V
PENUTUP

RS.Dr.Bratanata menetapkan enam bidang prioritas sebagai fokus yang


diintegrasikan berdasarkan diagnosis pasien, prosedur, populasi, atau penyakit.
Di bidang-bidang tersebut guidelines (pedoman), pathway (alur), dan protokol berdampak
terhadap aspek mutu dan keselamatan perawatan pasien ; juga dapat mengurangi
terjadinya variasi hasil yang tidak diinginkan. Diharapkan dengan Kerangka Acuan
Program ini akan dapat memberikan penjelasan kepada unit unit terkait dalam
menyelenggarakan kegiatan ini.

Ditetapkan, Jambi 20 Oktober 2014


Kepala Rumah Sakit TK. IV
dr. Bratanata Jambi

dr. Nirwan Arief, Sp.M, MARS


Mayor Ckm Nrp. 11000010390473

16
CLINICAL PATHWAY DIARE AKUT DEHIDRASI SEDANG
DAN GAGAL U.R.O TANPA PENYERTA PADA ANAK

Nama Pasien : DPJP :

RUMAH SAKIT No. RM : Perkiraan Lama Rawat : hari

Usia : Perkiraan biaya : Rp.

Jenis Kelamin :
Hari Masuk Hari II Hari III Hari IV
Penanggung
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal Paraf Keterangan
Jawab
(....) (....) (....) (....)
1 Anamnesis
2 Pemeriksaan fisik

(Tanda Vital, status fisik)


3 Penentuan Derajat Dehidrasi

Tanda Utama

1. Keadaan
umum gelisah/ letargi
2. Rasa haus
3. Turgor
abdomen menurun

Tanda Tambahan :

1. Ubun-ubun cekung
2. Kelopak mata cekung
3. Air mata kering
4. Mukosa mulut dan lidah kering

4 Rehidrasi Cairan

5 Pemeriksaan Penunjang

(Darah rutin, elektrolit, feses rutin)


5 Pemberian Suplementasi Zinc
7 Nutrisi
8 Pemberian Probiotik
9 Th/Medikamentosa lain
Antibiotik
Antiemetik
10 Antipiretik
11 Edukasi Pasien
12 Varians
Catatan Tambahan

17

Anda mungkin juga menyukai