Anda di halaman 1dari 15

mplementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu

Dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan


Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu
dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan

Banyak jalan menuju Roma. Supaya tidak bingung, bacalah peta!

drg. Puti Aulia Rahma, MPH


(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi Januari-Februari 2013)

Ada yang bilang bahwa proses perawatan pasien adalah proses yang sarat seni
"bernilai tinggi". Kalimat di atas tidak melulu salah melihat kenyataan bahwa
dalam merawat pasien, dokter kadang memberikan pelayanan yang bervariasi
sesuai denga ilmu pengetahuan dan "rasa" yang dimilikinya. Ada kalanya, variasi
ini memang diperlukan, mengingat masing-masing pasien juga memiliki variasi
kondisi tubuh saat bereaksi terhadap obat dan penyakit yang dideritanya.
Namun tidak jarang, variasi yang diberikan malah tidak perlu dan bahkan
beresiko membebani pasien. Beban yang paling "mudah" dirasakan adalah
beban biaya. Agar kondisi seperti ini bisa dikendalikan, implementasi clinical
pathway bisa menjadi jawaban.

Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap


penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan. Secara
sederhana dapat dibilang bahwa clinical pathway adalah sebuah alur yang
menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga pemulangan
pasien. Clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan
memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat
waktu. Clinical pathway memiliki banyak nama lain seperti: Critical care
pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, Caremaps®,
atauAnticipated recovery pathway.

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, konsultan dari PMPK FK UGM, terdapat sekitar
tujuh tujuan utama implementasi clinical pathway: (1) memilih pola praktek
terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek, (2) menetapkan standar yang
diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan prosedur klinik yang
seharusnya, (3) menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang
berbeda dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar
dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang lebih
sedikit, (4) memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai
tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka
dalam proses tersebut, (5) menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan
dan menganalisa data proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat
mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan standar, (6) mengurangi beban dokumentasi klinik, (7)
meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien
(misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana
pelayanan).

Secara konvensional, clinical pathway ditulis dalam bentuk fomulir matrix


dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu pelayanan disisi yang lain
(gambar 1). Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi
klinik harian, namun hal ini dapat berbeda tergantung dari perjalanan dan
perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical pathway
untuk penyakit kronis mungkin memilik interval waktu perminggu atau bulan).
Umumnya clinical pathway dikembangkan untuk diagnosa atau tindakan yang
sifatnya "high-volume", "high-risk" dan "high-cost". Clinical pathwaybanyak
dikembangkan di rumah sakit, namun saat ini secara bertahap sudah mulai
diperkenalkan ke sarana pelayanan kesehatan lain seperti nursing
home dan home healthcare.
Gambar 1. Formulir Clinical Pathway Konvensional

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, berbagai proses dapat dilakukan untuk
menyusun clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai
berikut:

1. Pembentukan tim penyusun clinical pathway.


Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua tingkat
dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari
konsultan atau institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber.
Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah
penyusunan clinical pathway.
2. Identifikasi key players.
Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat
dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan dan
untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan
pelanggan internal dan eksternal
3. Pelaksanaan site visit di rumah sakit.Pelaksanaan site visit di rumah sakit
bertujuan untuk mengenal praktik yang sekarang berlangsung, menilai sistem
pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu
disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit
eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner benchmarking. Hal
ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
4. Studi literatur.
Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab
dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan
bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.
5. Diskusi kelompok terarah.
Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk
mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan
dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta
untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang
diterima. Lebih lanjut, diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk
memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan
kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.
6. Penyusunan pedoman klinik.
Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site
visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok
terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk
diketahui juga oleh pasien.
7. Analisis bauran kasus.Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan
informasi penting baik pada saat sebelum dan setelah penerapan clinical
pathway. Meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan,
tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang
terlibat dan komplikasi.
8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.
Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan
mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala
kesehatan pasien (wellness indicator).
9. Mendisain dokumentasi clinical pathway.
Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format clinical
pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan
bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi
Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.

Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya
diimplementasikan di rumah sakit. Saat uji coba dilakukan penilaian secara
periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para
staf untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga
dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa praktek dilapangan
berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.

Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan,


memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien yang tidak mencapai
perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan
menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti
lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi yang dapat
dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi
variasi yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari
penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi
seorang individu).

Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien benar-benar


mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga biaya yang
dikeluarkan pun dapat sesuai dengan perawatan yang diterima dan hasil yang
diharapkan. Adanya clinical pathway juga dapat membantu dokter saat
melakukan perawatan. Rincian tahapan-tahapan perawatan pasien yang tertera
dalam clinical pathway dapat menjadi panduan dokter saat "beraksi". Memang,
banyak cara untuk menangani sesuatu, seperti banyaknya jalan menuju Roma.
Tetapi bila sering nyasar, maka akan memakan waktu yang panjang untuk
mencapai tujuan dan berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
Oleh karena itu... bacalah peta sebagai panduan.
CLINICAL PATHWAY
18 NOVEMBER 2015 EKAWAHYUPH TINGGALKAN KOMENTAR

Latar belakang penerapan Clinical Pathway adalah semakin meningkatnya tuntutan


pelayanan kesehatan bermutu, bebas dari kesalahan medik, malpraktek, dan terhindar
dari bahaya, tuntutan patient safety, masih tingginya angka disebabkan infeksi,
timbulnya penyakit degeneratif dan penyakit-penyakit baru, serta biaya tinggi dalam
pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia.
Banyak rumah sakit telah memiliki format perencanaan tindakan medis harian, format
ini disusun untuk tujuan rencana tindakan medis kepada pasien secara periodik harian,
pengisiannya dilakukan oleh dokter residen dengan supervisi dokter spesialis.

Format perencanaan tindakan medis harian akan lebih mengandung nilai informatif,
apabila selain mengandung perencanaan tindakan medis, juga terkandung unsur
perencanaan biaya pelayanan medis, dan format ini dapat digunakan sebagai dasar
penyusunan format clinical pathway yang merupakan kesepakatan bersama dari
komite medik.
Dengan adanya Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), mulai berlaku sejak hari
Senin, tanggal 01 Januari 2014, maka tugas Komite Medik, diperkuat oleh jajaran staf
medik dan staf koders menjadi tulang punggung keberhasilan institusi Rumah Sakit,
berpartisipasi dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini.
Seperti diungkapkan oleh Kayun Kusmidi dari tim koding INA CBGs, dalam acara
workshop INA CBGs sebagai Cara Pembayaran Prospektif di Era Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), dalam kerangka Jaminan Kesehatan Nasional di Jakarta, pada
tanggal 2 Januari 2014, dan workshop ini diikuti sedikitnya oleh 103 peserta dari
berbagai Rumah Sakit di Indonesia, sebagian besar adalah dari Rumah Sakit Swasta.
Menurutnya Komite Medik bertugas menyusun clinical pathway, dan standar
pelayanan medik serta melakukan audit medik, sementara staf medik merawat pasien
sesuai clinical pathway, mengisi rekam medis dan resume medis dengan lengkap dan
tepat waktu, sedangkan staf koders, melakukan pengkodean semua diagnosa atau
tindakan dokter, dan melakukan audit kelengkapan pengisian kode.
Mutu pelayanan kesehatan memang sulit diukur, namun dengan penerapan clinical
pathway dengan mengacu pada pembiayaan INA CBGs, maka dengan mudah dapat
diketahui kualitas pelayanan kesehatan, apabila pelayanan kesehatan pada sebuah
Rumah Sakit berkualitas baik, maka dengan sendirinya Rumah Sakit akan untung, dan
begitu pula sebaliknya.
Beragam artikel memiliki pemahaman tentang pengertian Clinical Pathway, dan
semuanya mengarah terhadap dokumen dengan perincian metode tercapainya tujuan
peningkatan standar mutu pelayanan kesehatan yang terukur, diantaranya :
Clinical Pathway adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu, merangkum
setiap langkah yang diberikan kepada pasien, berdasarkan standar pelayanan medis
dan asuhan keperawatan berbasis bukti, dengan hasil terukur, dan dalam jangka waktu
tertentu di Rumah Sakit. (Dody Firmanda).
Clinical Pathway adalah suatu cara atau metode untuk menggambarkan suatu aktivitas
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Clinical Pathway adalah pedoman kolaboratif untuk merawat pasien berfokus pada
diagnosis, masalah klinis dan tahapan pelayanan atau dapat diartikan sebagai suatu alur
menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk
hasil diharapkan, secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical pathway adalah
sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga
pemulangan pasien, dimana dalam pelaksanaannya menggabungkan standar asuhan
setiap tenaga kesehatan secara sistematik, tindakan diberikan diseragamkan dalam
suatu standar asuhan, namun tetap memperhatikan aspek individu dari pasien.
Clinical Pathway adalah dokumen perencanaan pelayanan kesehatan terpadu
merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien mulai masuk rumah sakit,
sampai keluar rumah sakit, berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan
keperawatan, dan standar pelayanan kesehatan lainnya berbasis bukti yang dapat
diukur. (Tim Casemix).
Clinical Pathway adalah istilah yang digunakan untuk mempermudah dalam
pendokumentasian perjalanan kegiatan suatu tindakan klinis baik medis, keperawatan
maupun penunjang medis lainnya, secara ringkas dan komunikatif.
Clinical Pathway adalah merupakan rencana kolaboratif pelayanan kesehatan yang
terdiri dari multidisiplin yaitu dokter, perawat, ahli gizi, laboratorium, farmasi yang
terdokumentasi dalam formulir yang telah ditetapkan oleh Rumah Sakit.
Clinical Pathway adalah merupakan metode dokumentasi klinis yang merefleksikan
standar praktik dan pelayanan klinis baik dokter, perawat dan tim kesehatan lainnya.
Clinical Pathway adalah merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat pasien
berfokus pada diagnosis, masalah klinis dan tahapan pelayanan kesehatan, Clinical
Pathway menggabungkan standar asuhan tenaga kesehatan secara sistematik, tindakan
yang diberikan diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap
memperhatikan aspek individu dari pasien. (Mareli, 2000).
Clinical Pathway adalah panduan penatalaksanaan pelayanan pasien sesuai standar
terapi sehingga terjadi efisiensi biaya dan mutu pelayanan terjamin.
Clinical Pathway juga memiliki banyak nama lain, diantaranya Critical Care
Pathway, Integrated Care Pathway, Coordinated Care Pathway, Caremaps,
atau Anticipated Recovery Pathway.
Menurut Hill, 1998 dalam Feuth and Claes, 2007, terdapat empat komponen
utama Clinical Pathway meliputi :
* Kerangka Waktu, menggambarkan tahapan berdasarkan pada hari perawatan atau
berdasarkan tahapan pelayanan, sep : fase pre, intra dan pasca operasi.
* Kerangka Asuhan, berisi aktivitas asuhan seluruh tim kesehatan yang diberikan
kepada pasien, dan aktivitas tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis tindakan, sep :
tindakan medik, pemberian obat, pemeriksaan penunjang medik, nutrisi dan aktivitas
pada jangka waktu tertentu.
* Kriteria Hasil, memuat hasil dari standar asuhan yang diberikan, meliputi kriteria
jangka panjang (menggambarkan kriteria hasil dari keseluruhan asuhan), dan kriteria
jangka pendek (menggambarkan kriteria hasil pada setiap tahapan pelayanan).
* Lembar Pencatatan Varian, mencatat dan menganalisis deviasi dari standar
ditetapkan dalam Clinical Pathway, kondisi pasien tidak sesuai dengan standar asuhan
atau standar tidak bisa dilakukan, kesemuanya dicatat dalam lembar varian ini.
Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, konsultan dari PMPK FK UGM, tujuan utama
implementasi Clinical Pathway, adalah menjamin tidak ada aspek-aspek penting dari
pelayanan kesehatan yang dilupakan, Clinical Pathway memastikan semua intervensi
dilakukan secara tepat waktu, dengan mendorong staf klinik untuk bersikap proaktif
dalam perencanaan pelayanan, Clinical Pathway diharapkan dapat mengurangi biaya
dengan menurunkan length of stay, dan tetap memelihara mutu pelayanan, dan secara
rinci dapat digambarkan sebagai berikut :
* Memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek.
* Menetapkan standar mengenai lama perawatan dan penggunaan prosedur klinik
yang seharusnya.
* Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi berbeda dalam suatu proses
dan menyusun strategi untuk melakukan koordinasi agar dapat menghasilkan
pelayanan lebih cepat dengan tahap lebih sedikit.
* Memberikan informasi kepada seluruh staf mengenai tujuan dari sebuah pelayanan
dan apa peran mereka dalam proses tersebut.
* Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses
pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa
seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar.
* Mengurangi beban dokumentasi klinik.
* Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien (sep.
misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan
kesehatannya).
Proses tahapan penyusunan Clinical Pathway
Pembentukan Tim Penyusun Clinical Pathway
Tim Penyusun terdiri dari staf multi disiplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan,
bila diperlukan, Tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar
Rumah Sakit seperti organisasi profesi sebagai nara sumber, yang bertugas untuk
menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan Clinical Pathway.
Identifikasi Key Players
Bertujuan untuk mengetahui siapa saja terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok
pasien untuk merencanakan fokus group dengan key players bersama dengan pelanggan
internal dan eksternal.

Pelaksanaan Site Visit di Rumah Sakit


Bertujuan untuk mengenal praktek yang berlangsung, menilai sistem pelayanan dan
memperkuat alasan mengapa Clinical Pathway perlu disusun, jika perlu dilanjutkan
dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner
benchmarking, guna mengembangkan ide.

Studi Literatur
Diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan
keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah, dan diharapkan
menghasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.

Diskusi Kelompok Terarah


Hal ini dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal), dan
menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut,
serta untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan, lebih
lanjut diperlukan untuk memberikan masukan dalam pengembangan indikator mutu
pelayanan klinis dan pengukuran tingkat kepuasan pelanggan.

Penyusunan Pedoman Klinik


Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur
berbasis bukti ilmiah dan hasil diskusi kelompok daerah atau Focus Group Discussion,
pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga
oleh pasien.

Analisis Bauran Kasus


Dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat, sebelum, dan setelah
penerapan Clinical Pathway, meliputi : LOS (length of stay), biaya per kasus, obat-
obatan, tes diagnosis, intervensi, praktek klinis dan komplikasinya.
Menetapkan Sistem Pengukuran Proses dan Outcome
Contoh ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat
kesadaran, temperatur tubuh, tekanan darah, fungsi dan skala kesehatan pasien
(wellness indicator).
Mendisain dokumentasi Clinical Pathway
Penyusunan dokumentasi Clinical Pathway perlu memperhatikan format Clinical
Pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filling, dan agar diperhatikan bahwa
penyusunan dokumentasi perlu mendapatkan ratifikasi oleh instalasi Rekam
Medik untuk melihat kesesuian dengan dokumentasi lain.
Setelah Clinical Pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum penerapan
implementasi pada Rumah Sakit bersangkutan, dan saat uji coba, agar dilakukan
penilaian secara periodik, tentang kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan
pelatihan kepada para staf untuk menggunakan Clinical Pathway tersebut, sebagai
tindak lanjut berikutnya perlu dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa
praktek di lapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam Clinical Pathway.
Dari hasil analisis, diharapkan menghasilkan identifikasi variasi umum dalam
pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien tidak mencapai
perkembangan yang diharapkan, memperbaiki format Clinical Pathway dengan
menyetujui perubahan dan perlu dilakukan identifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti
lebih lanjut.
Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi dapat dicegah dan tidak dapat
dicegah, untuk selanjutnya menetapkan solusi bagi variasi dapat dicegah (variasi tidak
dapat dicegah, dapat berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan
menjadi kompleks bagi seorang individu).

Manfaat penerapan atau implementasi Clinical Pathway, diharapkan pasien benar-


benar mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisi penyakitnya, sehingga
biaya yang dikeluarkan dapat sesuai dengan hasil perawatan yang diharapkan
diterimanya, dan sebagai panduan dokter dalam melakukan detail tahapan perawatan
terhadap pasiennya.

Pentingnya Clinical Pathway Bagi


Fasilitas Kesehatan
Oleh dr. Nathania S.
Clinical pathway atau jalur klinis adalah sebuah pedoman yang digunakan untuk
melakukan tindakan klinis berbasis bukti pada fasilitas layanan kesehatan [1]. Clinical
pathway dikenal juga dengan istilah lain seperti critical care pathway, integrated care
pathway, coordinated care pathway atau anticipated recovery pathway dan dibuat
dengan cara membaurkan pedoman klinik umum ke protokol lokal yang dapat
diaplikasikan di fasilitas pelayanan kesehatan setempat[2].
Amanat dari pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan clinical
pathway ditetapkan pada undang-undang no. 29 tahun 2004 pasal 44 pada ayat:
1. Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti
standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.

2. Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis
dan strata sarana pelayanan kesehatan.
3. Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pada UU no. 29 tahun 2004 pasal 49 disebutkan juga bahwa “setiap dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib
menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya”. Pada pasal ini dijelaskan juga
audit medis dapat dilakukan untuk tercapainya kendali mutu dan kendali biaya oleh
organisasi profesi[3].
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari clinical pathways selain adanya peningkatan mutu
pelayanan yang standar berdasarkan studi kedokteran berbasis bukti, adalah
efektivitas biaya. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional yang menggunkan sistem
DRG-Casemix (dengan kode penyakit berdasarkan ICD 10 dan ICD 9-CM dan
prosedur tindakan dan biaya), clinical pathway dapat digunakan sebagai salah satu
alat untuk melakukan audit medis yang tujuannya berujung pada peningkatan mutu
pelayanan. Pemberian vitamin K pada bayi yang baru saja lahir merupakan contoh
bahwa clinical pathwaydapat berdampak pada adanya revisi Standar Pelayanan
Medis (SPM) atau Standar Prosedur Operasional (SPO)[2,4].
Penyusunannya yang berbasis bukti dan terstandar, implementasi clinical
pathway diharapkan dapat mengurangi biaya perawatan dan fasilitas, menurunkan
durasi perawatan (length of stay dan early discharge), meningkatkan indeks kualitas
hidup, peningkatan keluaran klinis (clinical outcome) dan mengurangi tindakan yang
tidak perlu[2].
Secara khusus, tujuan dari implementasi clinical pathwayadalah:
 Membuat “best practice”yang dapat diimplementasikan di fasilitas pelayanan
kesehatan setempat
 Pembuatan standar lama perawatan, pemeriksaan dan prosedur klinis

 Penyusunan strategi untuk mencapai efektivitas pelayanan

 Pemaparan tujuan umum pelayanan dan peran kepada seluruh staf yang terlibat

 Sebagai bahan untuk dokumentasi, analisis dan evaluasi

 Sebagai bahan untuk edukasi kepada pasien tentang perkiraan prosedur-prosedur


apa saja yang akan dilakukan[2]
Implementasi
Standar pelayanan pada tingkat nasional dibuat dengan adanya Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan kemudian diadaptasi menjadi Panduan Praktis
Klinis (PPK) yang menyesuaikan dengan keadaan setempat. Clinical pathway yang
merupakan pelaksanaan langkah demi langkah ini dapat dimasukkan ke dalam
PPK[5].
Clinical pathway harus dimiliki oleh Rumah Sakit dalam memenuhi Standar
Akreditasi Rumah Sakit versi KARS 2012. Tidak hanya dokumen clinical
pathway saja, implementasinya dalam pengendalian mutu dan biaya menjadi faktor
yang penting[6]. Proses pembuatan clinical pathway memerlukan kerja sama antar
departemen yang baik seperti dari tim medis (dokter), keperawatan dan farmasi.
Perpaduan ini kemudian disesuaikan dengan algoritma atau panduan berbasis bukti
dari organisasi profesi dan literatur, Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur
Operasional dan Daftar Standar Formularium untuk tindakan dan pengobatan [4].
Salah satu contoh Rumah Sakit yang telah menetapkan clinical pathway adalah
RSUP Prof Dr R. D. Kandou, Manado. Prioritas pembuatan clinical pathwaypada RS
ini dilakukan berdasarkan jumlah kasus yang banyak (high volume), risiko tinggi
(high risk), dan biaya tinggi atau perlu sumber daya yang banyak (high cost).
Berdasarkan hal tersebut, RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado telah menetapkan
5 clinical pathway, yaitu Dengue Shock Syndrome (anak), Penyakit Ginjal Kronik
(penyakit dalam), Preeklampsia Berat (obstetri dan ginekologi), Benign Prostate
Hypertrophy (bedah) dan Miokard Infark Akut (kardiologi). Pengawasan clinical
pathway dilakukan setiap 3 bulan sekali secara berkala dan berkelanjutan[7].
Dalam hubungannya dengan pembiayaan melalui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, RSUP Sanglah, Denpasar menggunakan clinical
pathwaydan mengimplementasikannya sehingga tindakan-tindakan yang diperlukan
telah tercantum biayanya untuk setiap jenis penyakit yang ada dalam clinical
pathway. Dokter yang menangani pasien yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan
harus mengikuti clinical pathway ini. Biaya untuk tindakan-tindakan tersebut sudah
“dianggarkan” sehingga tidak melebihi biaya yang ditanggung oleh BPJS kesehatan
dan tidak menimbulkan kerugian bagi Rumah Sakit dalam segi biaya[8].
Contoh Clinical Pathway
Perbedaan Pedoman Praktik Klinis (PPK) dengan clinical pathway adalah pada PPK
berisi tentang informasi klinis dari suatu penyakit seperti definisi, anamnesis,
pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, diagnosis kerja, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi, prognosis dan indikator kesembuhan,
sementara clinical pathway berisi tentang aplikasi dari PPK tersebut dan
diintegritasikan dengan kode ICD 10 dan ICD 9-CM dan biayanya.
Berikut ini adalah salah satu contoh dari clinical pathwayyang dibuat oleh penulis
dan diadaptasi dari panduan yang dikeluarkan oleh organisasi profesi Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia untuk Infark Miokard Akut tanpa ST
elevasi / NSTEMI akut[9].
Gambar: contoh Clinical Pathway halaman 1. Sumber: karya pribadi penulis
Gambar: contoh Clinical Pathway halaman 2. Sumber: karya pribadi penulis
Kesimpulan
Clinical pathway diperlukan untuk menjalankan amanat pemerintah untuk dokter dan
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokterannya mengikuti standar pelayanan
kedokteran dan kedokteran gigi dengan kendali mutu dan kendali biaya. Tujuan dan
manfaat dari clinical pathway diharapkan dapat dirasakan oleh pihak pasien dan
fasilitas kesehatan setempat yaitu sebagai standar pelayanan, peningkatan mutu
pelayanan, pengurangan lama rawat, sebagai bahan edukasi untuk pasien,
efektivitas biaya, pengurangan proseedur yang tidak perlu dan sebagai bahan
analisis untuk evaluasi.
Clinical pathway dibuat dengan mengintegrasikan panduan klinis terhadap suatu
penyakit tertentu yang dibuat oleh organisasi profesi dan literatur berdasarkan studi
berbasis bukti. Hal ini kemudian disesuaikan dengan keadaan setempat dan
dibutuhkan kolaborasi berbagai bidang (dokter, keperawatan dan farmasi). Salah
satu contoh di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado, pemilihan penyakit yang akan
dibuat clinical pathway diprioritaskan berdasarkan high volume, high risk dan high
outcome.
Dalam kaitannya dengan BPJS Kesehatan di era JKN, di RSUP Sanglah, Denpasar
telah dibuat clinical pathway yang disesuaikan dengan anggaran BPJS sehingga
dokter yang menangani pasien BPJS Kesehatan bekerja dengan clinical
pathway tersebut. Sehingga, biaya tindakan dan prosedur klinis yang dilakukan tidak
melebihi anggaran dari BPJS kesehatan dan tidak menimbulkan kerugian bagi
Rumah Sakit dalam segi biaya

Anda mungkin juga menyukai