T
IDAK ada kekuatan yang mengakhiri
sekaligus memulai, menjungkirbalikan
sekaligus menata kembali, menghancurkan
sekaligus menghidupkan, selain Revolusi. Karena
itu Revolusi menjadi kekuatan yang menakutkan
bagi satu kelompok, tetapi merupakan daya
yang membebaskan bagi kelompok lainnya. Bagi
kelompok penguasa yang membangun kejayaannya
di atas dominasi dan penindasan, revolusi adalah
tabu; sesuatu yang diharamkan dan ditindas
bahkan ketika masih ada dalam tekad dan pikiran.
Revolusi Indonesia
Revolusi itulah yang telah menghantar Indonesia
menjadi Bangsa Merdeka. Para pendiri bangsa tidak
saja menolak tunduk-takluk kepada penjajah, tetapi
menegaskan diri sebagai bangsa yang berdaulat, dan
bertekad membangunnya lebih lanjut menjadi bangsa
yang adil dan makmur. Pun ketika kemerdekaan itu
telah diproklamasikan, kaum revolusioner itu sadar
betul: revolusi belum selesai. Yang dituju adalah
kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan
ketangguhan budaya bagi seluruh rakyatnya tanpa
kecuali. Dan rintangan serta ancaman untuk kedaulatan
politik, kemandirian ekonomi, dan ketangguhan
Pergumulan Bersama
Sejarah sudah mengantar sosok seperti Jokowi untuk
menjadi salah satu dari pemimpin nasional. Namun,
Jokowi tidak sendiri. Faktanya, bersamanya ada jutaan
anak bangsa yang terus merawat api revolusi itu dalam
sanubari dan pikiran mereka, dan mewujudkannya
dalam kata dan tindakan.
Kami sepenuhnya sadar bahwa ketika berkuasa,
salalu ada bahaya bagi Jokowi untuk menjadi kekuatan
anti-revolusi, menjadi bagian dari status quo. Setiap
pemimpin dapat saja menjadi bagian dan terpenjara
dalam relasi kuasa hegemonik dari sistem dominan
yang sudah dibentuk. Karena itu buku ini sekaligus
menjaga berjarak, mengambil posisi kritis. Lantaran
itu, kami menyambut pemikiran Jokowi bukan sebagai
pengagum atau komentator, tetapi sebagai sesama anak
bangsa yang menggumuli persoalan yang sama dan
mencari solusi atasnya. Kami, para penulis buku ini,
adalah bagian dari gerakan revolusioner itu. Dalam
I
NDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks
pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin
nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi,
kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya
tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang
semakin galau?
Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara
1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo
Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat
sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik.
Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang
didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat
melalui proses yang demokratis.
Sebatas Kelembagaan
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak
tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998
baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya
institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset,
atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan
bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar
bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan
makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar
mengandalkan perombakan institusional tanpa
melakukan perombakan manusianya atau sifat
mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun
kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani
oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan
membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka
penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan
(mismanagement) negara telah membawa bencana besar
nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita
membentuk sejumlah komisi independen (termasuk
KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita
telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang
Kuasa Revolusioner
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
revolusi kesadaran terkait langsung dengan praktik
kuasa dan pembangunan. Secara analitik, baiklah
kita ikuti teori sosial kritis yang membuat pembedaan
tegas antara kuasa koersif atau kuasa hegemonik
dan kuasa revolusioner. Kuasa koersif-hegemonik
merupakan penguasaan atas kelompok lain dan atas
kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber
daya (power over). Sedangkan kuasa revolusioner
adalah kuasa untuk bersama berbagai elemen bangsa
lainnya melakukan hal-hal positif untuk merawat
hidup bersama (power for). Kuasa hegemonik bersifat
ekslusif, dalam arti ekslusif digenggam dan dikuasai
oleh penguasa dan mengekslusi kelompok-kelompok
yang dikuasai. Kuasa inilah yang dipraktikkan
Demokrasi Revolusioner
Demokrasi sejatinya merupakan pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam
rumusan bersahaja Joko Widodo, demokrasi itu usaha
mendengarkan rakyat dan melaksanakannya. Dan
kalau yang didengarkan seluruh rakyat, termasuk
dan terutama rakyat yang miskin dan tertindas (yaitu
mereka yang menjadi korban praktik kuasa hegemonik,
pembangunan eksploitatif, dan proses pemiskinan
sistemik), dan kalau mereka sungguh-sungguh
diberi ruang dan didukung untuk menjalankan self-
determinasi politik, ekonomi, dan budaya mereka,
maka demokrasi itulah jalan menuju keadilan sosial
K
ITA adalah pronomina persona pertama jamak
yang berbicara bersama dengan orang lain
termasuk yang diajak bicara. Sebuah bentukan
orang pribadi saya dan Anda, berpilar identitas aku
dan kau. Namun bukan kita sekedar sebagai kita dalam
arti itu yang akan didedah lebih jauh dalam tulisan ini.
Tetapi perihal ke-kita-an. Suatu bentukan karakter,
semangat dan sifat yang mementingkan kebersamaan
dalam menanggung suka duka, mengalami pergulatan,
pun sampai pada secara bersama merumuskan solusi,
menemukan jalan alternatif menuju perubahan.
Terdapat tiga poin yang akan didalami dalam
tulisan ini. Pertama adalah perihal landasan ke-
d. Pemimpin Kemanusiaan
Ke-kita-an berwawasan kemanusiaan Pancasila
adalah ke-kita-an yang dipahami sebagai pemaknaan
atas pergumulan atau pergulatan kita sebagai suatu
bangsa. Pemimpin-pemimpin kita hendaknya
tumbuh dan muncul, dipilih dan diberi legitimasi
kepemimpinannya dalam konteks itu.
Karena yang diidealkan adalah seorang pemimpin
yang peka membaca ke-ada-an dan suluk dalam ber-
ke-ada-an. Dia harus memiliki mata yang sanggup
untuk melihat segala kelebihan dan keterbatasan
dengan tulus dan jujur. Dia harus memiliki telinga yang
R
ealitas politik bangsa ini menghadirkan
fenomena yang tidak lazim dua tahun
belakangan. Fenomena itu adalah kehadiran
sosok Joko Widodo, yang lebih populer sebagai Jokowi,
di pentas politik nasional. Kalau kebanyakan politisi
hanya hadir secara biasa-biasa saja, Jokowi berbeda.
Ia membawa serta Jokowi effect beserta kehadirannya
dalam dan bagi politik demokratik Indonesia.
Sementara efek ini diperkirakan tetap ada hingga
beberapa waktu ke depan, kini sejarah republik berada
dalam genggamannya. Hanya dalam waktu hampir
dua tahun, politik demokratik Indonesia yang sudah
dipengaruhinya tersebut, balas menghadirkannya
S
ALAH satu faktor penting untuk mengurai
krisis multidimensi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara saat ini adalah kebutuhan akan
kepemimpinan politik-pemerintahan yang kuat di
semua level dengan kemauan politik yang tinggi untuk
mengatasi krisis yang sistemik itu.
Kendatipun tulisan ini hanya menyasar ke soal
kepemimpinan dalam bidang politik-pemerintahan,
tetapi ikhtiar yang sama juga ditujukan kepada
kepemimpinan-kepemimpinan sosial di berbagai
bidang, seperti di bidang keagamaan, masyarakat
adat, atau gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan
lainnya.
Pemimpin Bandit
Praktik demokrasi kita saat ini belum melahirkan
pemimpin politik-pemerintahan yang bekerja melayani
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam
negara demokratis. Pemilihan umum sebagai sebuah
mekanisme demokrasi tidak lebih dari sekedar
sebuah prosedur pemilihan pemimpin yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan kedaulatan rakyat.
P
ilihan sistem berpolitik dan usaha
membangun tata kelola kekuasaan yang
efektif dan konstruktif terhadap kemajuan
sosial merupakan salah satu kebutuhan mendasar era
reformasi satu dekade ini. Secara teoritik, ini tidak
hanya berhubungan dengan formalisme politik dan
kekuasaan melainkan bersentuhan dengan konkretisasi
keberpihakan politik demokratis yang mendorong
tumbuhnya lingkup kehidupan sosial politik yang
semakin bermartabat dan berkeadilan.1
Tidak terhindarkan juga bahwa reformasi ini
telah dimaknai sebagai arus perubahan radikal yang
2 Bdk. HU Kompas, Pasti akan ada yang menentang, berkaitan dengan seruan
reformasi birokrasi di Departemen Keuangan Indonesia (9 Juni 2008)
3 Jerrold M. Post, The Psychological Assessment of Political Leaders, Ann Arbor, MI:
The University of Michigan Press, 2003
6 Jon Piere and Peter B. Guy, Governing Complex Societies. Trajectories and
Scenarios, Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2005, pp. 116-130
Ekonomi Koruptor
Sejarah mencatat sejumlah tokoh yang menjadi
terkenal bukan karena prestasi dan kontribusi pada
kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi karena
membangun kekayaannya dengan korupsi. Yang
paling fenomenal di antaranya adalah Joko Susilo,
Gayus Tambunan, dan Andi Malaranggeng. Joko
Revolusi Ekonomi
Gema revolusi mental muncul terkait suskesi
kepemimpinan nasional Indonesia lantaran salah
satu kadidat presiden untuk lima tahun mendatang
menghembuskan ide revolusi mental dalam gaya
kepemimpinannya, kelak apabila terpilih sebagai
presiden. Ide revolusi mental tersebut nampaknya
menemukan titik berangkatnya dalam situasi Indonesia
di masa lalu dan sekarang dan bagaimana membangun
Indonesia di masa mendatang.
Terlepas dari apakah pasangan Jokowi yang
menuturkannya dan JK yang mendampinginya
terpilih sebagai presiden 5 tahun ke depan, tawaran
Ekonomi Berdikari
Dalam debat calon presiden, Jokowi mengedepankan
ekonomi berdikari yang berfokus pada pertumbuhan
ekonomi rakyat kecil. Dalam visi ekonomi tersebut
yang mau di hidupkan adalah pasar-pasar tradisional
dan para pelaku ekonomi lokal untuk mendukung visi
ekonomi, perlu pembangunan infrastruktur di laut,
di darat, maupun di udara yang layak dan gerakan
pembangunan tersebut mulai dari desa ke kota sehingga
terjadi pemerataan. Apa yang ditawarkan Capres
Jokowi-JK merupakan revolusi pembangunan dan
revolusi ekonomi. Karena selama ini sepanjang sejarah
Indonesia pmbangunan terus menerus di lakukan dari
kota ke Desa. Oleh karena itu ada kesenjangan antara
kota dan Desa. Ada perbedaan yang besar antara
D
esa adalah miniatur negara. Dalam struktur
dan tata kelola pemerintahan negarakita,desa
merupakankomunitas masyarakat paling
dasar yang membentuk sebuah komunitas masyarakat
yang lebih besar, negara. Dalam cara pikir demikian,
membangun negara adalah semestinya membangun
desa. Dan sebaliknya, membangun desa sama dengan
dengan membangun negara.
S
EJARAH perjalanan bangsa tidak luput
menuturkan cerita-cerita tentang orang muda.
Persisnya tentang bagaimana mereka selalu
terlibat dan mengambil peran besar dalam proses-
proses penting hidup dan setengah matinya negara ini.
Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Revolusi
1998 akan menuntun kita menuju cerita-cerita itu.
Dalam lintasan itu, orang muda mengambil bagian
dengan caranya sendiri-bahkan dengan nyawa sebagai
taruhannya-untuk sebuah cita-cita kebaikan bersama,
lepas dari segala macam dominasi.
Panggilan Revolusi
Dalam perjalanan kebangsaan yang belum juga
K
etika Karl Marx menyebut agama adalah
candu, kritiknya diarahkan pada praktik-
praktik religiositas dan spiritualitas yang
membelokkan kaum tertindas dari kesadaran kelas
akan bahaya ketidakadilan sosial, dan melemahkan
kehendak untuk melakukan perlawanan demi
perubahan radikal. Kaum revolusioner menghendaki
agama-agama untuk terlibat dalam realitas sosial,
politik, ekonomi, dan kultural, namun terlibat
bukan sebagai candu, tetapi sebagai agen perubahan
radikal.
- Tamara Soukotta - 1
S
udahkah1 Indonesia merdeka?2 Apabila
kemerdekaan kita pahami sebagai bebas dari
segala bentuk penindasan dan penjajahan, maka
dapat dikatakan Indonesia masih jauh dari merdeka.
***
8 Ibid
***
B
ERBAGAI pandangan yang dipaparkan oleh para
penulis buku ini menunjukkan dengan terang
benderang bahwa (1) tanpa revolusi mental dan
revolusi sistemik, praktik kuasa dan pembangunan,
oleh pemerintah atau aparat Negara yang dipilih
dengan mekanisme demokratis sekalipun, tetap
merupakan praktik kuasa hegemonic-koersif dan praktik
pembangunan eksploitatif; dan (2) hanya dengan revolusi
mental dan revolusi sistemik itu mentalitas, cara kerja,
dan sistem hegemonik-eksploitatif dapat digantikan
alternatif-alternatif emansipatoris dan memerdekakan.
Bab ini berusaha memetakan kerangka besar revolusi
kita itu sekaligus agenda-agenda perwujudannya.
Agenda 1.
Melampaui Paradigma Proyek Dan Bantuan:
Keadilan Sosial Dan Hak Asasi Manusia
Sudah kita lihat bagaimana kuasa hegemonik dan
pembangunan eksploitatif bekerja lewat proyek-proyek
pembangunan dan bantuan kemiskinan, dengan
seluruh perangkat legitimasi dan implementasinya,
yang dirancang oleh pemerintah dan agen swasta
yang mengatas-namakan rakyat dan diklaim demi
kesejahteraan mereka. Proyek-proyek itu, kendati
dibungkus dengan berbagai asumsi dan klaim
kesuksesan dan klaim, kebenaran, menyembunyikan
baik secara samar maupun terang-terangan,
sebuah praktik penindasan dan keterjajahan dalam
wujud eksploitasi, marginalisasi, ketakberdayaan,
imperialisme kultural, dan kekerasan dalam berbagai
bentuk.
Alternatif kontra-hegemonik mengatasi praktik
pembangunan dan proyek kemiskinan seperti itu,
dengan mencari bentuk baru dari pembangunan
sebagai proses-proses politik, ekonomi, dan budaya
Agenda 2.
Melampaui Ekonomi Kapitalistik Dan Pasar
Bebas: Tata Ekonomi Baku Peduli
Tidak hanya investasi yang bermasalah, namun
seluruh tata ekonomi kapitalistik memiliki kelemahan
sistemiknya sendiri. Kapitalisme bertumpuh pada
eksploitasi dalam satu sistem persaingan bebas sehingga
secara inheren dia menempatkan segelintir elit yang
dominan berada di puncak, dan mencampakkan yang
lemah di dasar piramida. Karena itu keadilan sosial
hanya dapat ditegakkan di luar kerangka hegemonik
kapitalisme pasar bebas.
Revolusi mental mengadvokasi tata ekonomi
baku peduli, yaitu ekonomi berbasis solidaritas yang
melampaui logika tunggal persaingan bebas. Berbeda
dengan ekonomi pasar, apalagi pasar bebas, ekonomi
baku peduli bertumpuh pada prinsip non-eksploitasi,
demokrasi, solidaritas, dan kelestarian alam, serta tentu
saja keadilan. Dalam ekonomi baku peduli, seseorang
mendapat keuntungan bukan karena orang lain
menderita kerugian. Keuntungan sebuah usaha besar
bukan karena orang lain dirugikan. Sebaliknya orang
bekerja dalam kemitraan, yang menghidupkan semua,
dengan fairness sebagai panduan etisnya. Makna yang
terkandung dalam baku-peduli ini terasa lebih tepat
Agenda 4.
Melampaui Good Government-Good Governance:
Membangun Pemerintahan Yang Berdaulat Dan
Produktif
Ketika peran pemerintah tereduksi menjadi
fasilitator dan regulator, dan mesin utama
pembangunan ekonomi digerakkan oleh dunia
investasi, maka marginalisasi menjadi semakin
masif. Pembangunan seperti itu menciptakan sebuah
pertarungan yang asimetri, di mana kekuasaan
pemodal jauh melampaui kekuatan masyarakat. Di
sisi lain pemerintah yang tidak punya keberpihakan
khusus pada masyarakatnya sendiri, justru menyerap
anggaran pembangunan sedemikian besar sehingga
alokasi dana untuk sektor produktif
Agar dapat menjalankan peran sebagai penegak
keadilan dan agar memenuhi tanggunjawab hak atas
pembangunan, pemerintah tidak cukup mengandalkan
paradigma good government atau clean government,
dengan fokus pada transparansi dan akuntabilitas saja.
Kendati pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan
bebas korupsi itu penting, keadilan sosial dan hak asasi
Agenda 5.
Melampaui Demokrasi Elektoral: Politik Sebagai
Urusan Publik
Gerakan evolusi dan usaha-usaha emansipasi
menuntut pemaknaan ulang demokrasi melampaui
demokrasi elektoral dan demokrasi representatif, yang
menjadikan masyarakat semata-mata sebagai voters
dan bukan pelaku politik yang berdaulat. Prosedur-
prosedur demokrasi sebagaimana yang dijalankan
dalam tata politik dominan, antara lain lewat
pemilihan umum, hanya menggantikan si A dengan
Agenda 6.
Dari Tipu-Daya Konservasi Dan Pembangunan
Keberlanjutan Menuju Model-Model Pengembangan
Ekologi-Komunitas
Pengalaman pembangunan sejak Orde Baru
hingga kini menunjukkan bahwa konservasi yang
dibungkus dengan tujuan mulia keberlanjutan ekologi
tidak lepas dari praktik kuasa hegemonik. Dalam
berbagai variannya seperti taman nasional, eco-
tourism, proyek-proyek perkebunan demi green energy,
perdagangan karbon, dan lain lain, konservasi menjadi
kedok yang samar untuk pengambil-alihan sumber
daya dan eksploitasi atasnya, disertai dengan produksi
perangkat-perangkat govermentalitas/kepengaturannya.
Konservasi macam itu tidak berbeda dengan konsep
dan praktik pembangunan berkelanjutan secara umum,
yang kendati mengedepankan sustainability untuk
menegaskan corak ekologisnya, tetap saja terbentuk oleh
konstruksi dominasi terhadap penduduk setempat dan
alam.
Ketika sumber daya alam ekstraktif seperti tambang
menjadi eksploitasi kontroversial karena dampak
Agenda 7.
Melampaui Pengetahuan Hegemonik Barat:
Ekologi Pengetahuan Dan Perjuangan Epistemik
Agenda-agenda ini tampak aneh di mata rasionalitas
hegemonik yang merasuki ilmu pengetahuan