Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa neonatus sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologik

agar diluar kandungan dapat hidup dengan sebaik-baiknya. Apabila neonatus

tersebut menderita penyakit atau cacat lahir yang berat, hal ini merupakan suatu

kesedihan bagi orangtua dan juga tantangan bagi para profesional World Health

Organization (WHO, 2013). Keadaan yang menyebabkan neonatus harus

menjalani hospitalisasi diantaranya karena lahir tidak segera menangis (asfiksia),

bayi berat badan lahir rendah (BBLR), air ketuban yang bercampur dengan

mekonium serta kelainan bawaan (Bard, Abdallah, Hawari et al., 2012). Salah satu

prosedur invasif yang sering dilakukan pada neonatus yang menjalani

hospitalisasi adalah pemasangan infus. Komplikasi yang dapat terjadi dalam

pemasangan infus serta pemberian cairan melalui infus adalah rasa perih atau

nyeri (Bard, Abdallah, Hawari et al., 2012). Nyeri pada neonatus dapat

mengakibatkan perilaku fisiologi dan respon metabolik yang negatif. Perubahan

fisiologis yang ekstrim bisa menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian

hipoksia, hiperkarbia, asidosis, ventilator asinkron, pneumothorak, trauma

reperfusi, kongesti vena, dan intraventrikular hemoragik (Hockenberry & Wilson,

2009). Paparan nyeri merupakan suatu stimulus yang dapat merusak

perkembangan otak bayi dan berkontribusi terhadap gangguan belajar dan

1
perilaku di masa anak-anak (Anand & Carr, 1989 dalam Sahoo, Rao, Nesargi et

al., 2013).

Tingginya angka kesakitan dan kematian neonatus merupakan sebuah

fenomena yang bermakna, diperkirakan 2/3 kematian dibawah usia 1 tahun

terjadi pada 28 hari pertama. Data di seluruh dunia 2,6 juta bayi lahir meninggal

pada tahun 2009. Pada tahun 2010 dari 7200 kematian bayi 98% di antaranya

terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah sedangkan 2% terjadi di

negara yang berpenghasilan tinggi, seperempat sampai setengahnya terjadi dalam

24 jam pertama kelahiran dan disebabkan lahir terlalu dini dan kecil, infeksi,

sesak napas (WHO, 2013). Angka kesakitan anak di Indonesia berdasarkan

Survei Kesehatan Nasional (Susenas) tahun 2012 di daerah perkotaan menurut

kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak 14,91%, usia

13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar 8,13 %.

Belum sempurnanya sistem organ neonatus saat dilahirkan mengakibatkan

neonatus membutuhan pengobatan dan perawatan yang intensif agar dapat

bertahan dan melanjutkan kehidupannya. Neonatus sering terpapar dengan

prosedur tindakan invasif yang dapat menyebabkan nyeri selama masa perawatan,

salah satu tindakan invasif yaitu pemasangan infus (vena line). Sulitnya

pemasangan infus pada neonatus oleh karena ukuran vena yang masih kecil dan

terbatasnya perawat profesional dalam hal pemasangan infus pada bayi

menyebabkan seringnya terjadi penusukan berulang kali. Belum ada angka yang

pasti tentang prevalensi kegagalan pemasangan infus pada neonatus di Indonesia.

Ini disebabkan karena penelitian yang berkaitan dengan terapi intravena dan

2
publikasinya masih jarang (Indriya, 2011). Melihat tingginya angka kesakitan

neonatus diperlukan adanya kemajuan di bidang pelayanan kesehatan untuk

meningkatkan prospek dan daya tahan hidup bayi terutama yang sangat kurang

bulan melalui perawatan intensif.

Neonatus selalu mencoba mengendalikan lingkungannya melalui

ungkapan emosional seperti menangis atau tersenyum. Pada saat di rumah sakit,

tanda-tanda semacam itu sering disalahartikan, sehingga perawatan yang

diberikan bersifat rutinitas tanpa memperhatikan kebutuhan secara individual.

Meskipun tidak memiliki fungsi kortikal yang memadai untuk menginterpretasi

atau mengingat pengalaman nyeri namun sejak bayi baru lahir sudah bisa

mengenali dan berespon terhadap rangsang nyeri. Pengkajian nyeri merupakan

komponen penting dari proses keperawatan. Profesional kesehatan termasuk

perawat, kurang menyadari akan pentingnya pengkajian nyeri pada neonatus.

Dampak nyeri pada bayi dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang.

Pemecahan cadangan lemak dan karbohidrat, peningkatan morbiditas merupakan

dampak jangka pendek sedangkan jangka panjangnya berupa penolakan terhadap

kontak manusia, keterlambatan perkembangan, gangguan neurobehavioral,

gangguan belajar, kinerja motorik buruk, defisit perhatian, tingkah laku adaptif

buruk, ketidakmampuan mengahadapi situasi baru, peningkatan respon stres

hormonal dikehidupan dewasa kelak (Wong, 2008). Tujuan keseluruhan dari

pengobatan nyeri adalah mengurangi sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek

samping paling kecil.

3
Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu farmakologik dan

non farmakologik (Price & Wilson, 2007). Upaya non farmakologik yang

digunakan untuk mengurangi nyeri diruang intensif bayi diantaranya pemberian

non nutritive sucking (NNS), yaitu dengan memberikan dot dari silikon

(kempeng) ke mulut bayi untuk merangsang penghisapan tanpa pemberian ASI

ataupun susu formula. Bagi bayi mulut merupakan instrumen primer untuk

menerima rangsang dan kenikmatan, oleh karenanya intervensi untuk

meminimalisir nyeri dilakukan sesuai kebutuhan guna memperkuat

perkembangan fisik, psikososial, dan neurologis yang optimal. Sri Kumala Devi

(2012) yang meneliti efektifitas pemberian kombinasi non nutritive sucking

(NNS) dan sukrosa terhadap respon nyeri bayi setelah dilakukan pemasangan

infus di rumah sakit umum daerah (RSUD) kota Padang Panjang. Hasil yang

didapatkan yaitu p value = 0,000, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

respon nyeri yang signifikan pada bayi setelah pemasangan infus antara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol. Arwismasari (2015) meneliti tentang aplikasi

tindakan pemberian kombinasi NNS dan sukrosa terhadap respon nyeri

pemasangan infus pada asuhan keperawatan Bayi. A dengan berat bada lahir

rendah di ruang High Care Unit (HCU) neonatus RSUD Dr.Moewardi Surakarta.

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini NNS dan sukrosa (33%) efektif dalam

mengurangi nyeri selama prosedur pemasangan infus.

Sherwood (2009) menjelaskan bahwa nyeri merupakan mekanisme

proteksi untuk menimbulkan kesadaran akan kenyataan bahwa sedang atau akan

terjadi kerusakan jaringan. Persepsi nyeri berada pada area kortek (fungsi

4
evaluatif kognitif) yang muncul akibat stimulus menuju saraf spinotalamikus dan

talamiko kortikalis. Neonatus mempunyai komponen anatomis, neurofisiologis,

dan hormonal untuk mempersepsi nyeri. Kontrol inhibitorik desendens pusat pada

neonatus kurang berkembang sehingga respons terhadap stimulus nyeri lebih

hebat dibandingkan anak yang lebih tua dan orang dewasa. Serabut saraf yang

tidak bermielin mampu mentransmisikan nyeri, efek analgesik NNS diduga

diaktifkan melalui jalur non opioid oleh stimulasi mekanisme orotactile dan

mechanoreceptor sehingga nyeri dapat dialihkan. Meskipun ada ketidakpastian

apakah efek dari NNS yang sinergis atau aditif, ada bukti yang cukup untuk

mendukung kemanjuran intervensi ini mengalihkan rasa sakit.

Studi pendahuluan ini dilakukan di Rumah Sakit Prima Medika ruang

Neonatal Intensive Care Unit (NICU) didapatkan data angka kelahiran bayi pada

bulan Oktober 2016 sampai Desember 2016 sebanyak 298 kelahiran hidup.

Neonatus yang dirawat di NICU sebanyak 52 neonatus. Dari data yang diperoleh

sebanyak 30 neonatus menggunakan infus untuk memenuhi kebutuhan nutrisi atau

obat melalui jalur parentral serta mempertahankan keseimbangan cairan dan

elektrolit. Prosedur yang diterapkan di rumah sakit mewajibkan perawat

melakukan tindakan penusukan untuk pemasangan infus maksimal sebanyak 2

kali tusukan. Apabila melakukan penusukan lebih dari 2 kali perawat diwajibkan

membuat kronologis penyebab kegagalan. Data yang diperoleh dari bulan Oktober

2016 sampai bulan Desember 2016 ditemukan 24 kasus kegagalan dalam

pemasangan infus. Salah satu penyebab kegagalan karena bayi yang terus

menangis dan meronta saat dipasang infus. Dari latar belakang tersebutlah peneliti

5
ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh non-nutritive sucking (facifier)

terhadap respon nyeri pada neonatus yang dilakukan pemasangan infus.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana Pengaruh Non Nutritive Sucking

(Facifier) Terhadap Respon Nyeri Neonatus Yang Dilakukan Pemasangan Infus

Di Ruang NICU RS Prima Medika Tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh non nutritive sucking

(NSS) terhadap respon nyeri neonatus yang dilakukan pemasangan infus di ruang

NICU RS Prima Medika.

1.3.2 Tujuan khusus


1. Mengidentifikasi gambaran nyeri neonatus yang dilakukan pemasangan infus

pada kelompok yang menggunakan NNS.


2. Mengidentifikasi gambaran nyeri neonatus yang dilakukan pemasangan infus

pada kelompok yang tidak menggunakan NNS.


3. Menganalisis perbedaan respon nyeri pada neonatus yang dilakukan pemasangan

infus pada kelompok yang menggunakan NNS dan kelompok yang tidak

menggunakan NNS.

6
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya perkembangan ilmu

keperawatan di Indonesia, sehingga wawasan dan pengetahuan perawat khususnya

perawat ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) semakin berkembang dalam

menangani nyeri pada neonatus selama perawatan. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat dijadikan data dasar untuk pengembangan ilmu keperawatan terutama

keperawatan anak, dalam mengembangkan intervensi untuk penatalaksanaan

manajemen nyeri non farmakologi

1.4.2 Manfaat Praktis

Peneitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat dan

keluarga terkait penanganan nyeri pada bayi yang dilakukan pemasangan infus.

Rekomendasi hasil penelitian ini selanjutnya dapat dikembangkan menjadi suatu

kebijakan rumah sakit untuk menggunakan Non Nutritive Sucking sebagai salah

satu prosedur dalam mangurangi nyeri pada neonatus.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan yaitu:

7
1. Sri Kumala Devi (2012) yang meneliti efektifitas pemberian kombinasi non

nutritive sucking (NNS) dan sukrosa terhadap respon nyeri neonatus setelah

dilakukan pemasangan infus di rumah sakit umum daerah (RSUD) kota Padang

Panjang. Disain penelitian yang digunakan yaitu quasi eksperimental post test

only control group design jumlah sampel yang digunakan 10 subjek untuk tiap

kelompok. Hasil uji statistik Mann Whitney U didapatkan nilai Z=-3,90 dengan p

value = 0,000, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon nyeri yang

signifikan pada bayi setelah pemasangan infus antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Skala pengukuran nyeri yang digunakan yaitu Neonatal Infant

Pain Scale (NIPS) Persamaan dengan penelitian ini sama-sama melihat

menggunakan NNS untuk melihat respon nyeri. Perbedaannya skala pengukuran

nyeri yang digunakan peneliti berbeda yaitu menggunakan Premature Infant Pain

Profile (PIPP)
2 Ratna Sari Dewi (2012) melakukan penelitian dengan judul efektifitas sukrosa

oral terhadap respon nyeri akut pada neonatus yang dilakukan tindakan

pemasangan infus di rumah sakit Ibnu Sina Pekan Baru. Penelitian ini

menggunakan desain penelitian praexpererimental design dengan rancangan one

group pretest posttest. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik

nonprobability sampling dengan jenis purposive sampling. Penelitian ini

menggunakan 10 orang neonatus yang telah memenuhi kriteria inklusi Hasil uji

wilcoxon disimpulkan bahwa sukrosa oral 24% efektif terhadap respon nyeri akut

pada neonatus yang dilakukan tindakan tindakan pemasangan infus dengan nilai p

value 0,020 (p < 0,05). Persamaan dengan penelitian ini adalah masalah yang

diteliti sama yaitu sama-sama melihat respon nyeri saat pemasangan infus

8
sedangkan perbedaannya variabel bebas pada penelitian ini menggunakan sukrosa

oral.

Anda mungkin juga menyukai