SKRIPSI
Oleh:
Nama :
NIM :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah aset bangsa dan generasi penerus bangsa maupun
keluarga (Supartini, 2012). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 1 ayat 1,
menjelaskan anak adalah seseorang yang belum delapan belas tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Anak akan mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai dengan usianya
(Supartini, 2012).
Anak sebagai individu dalam masa pertumbuhan dan perkembangan,
maka mudah sekali terkena penyakit dan terkadang harus dirawat dirumah
sakit (Wong, 2008). Anak usia prasekolah adalah anak usia 3-6 tahun. Anak-
anak dibawah usia 6 tahun kurang mampu berpikir tentang suatu peristiwa
secara keseluruhan, belum bisa menentukan perilaku yang dapat mengatasi
suatu masalah yang baru dihadapi dan kurang memahami suatu peristiwa yang
dialami (Supartini, 2004).
Anak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari delapan
belas tahun dalam masa tumbuh kembang dan kebutuhan khusus baik
kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2005). Anak dengan
berbagai karakteristiknya memiliki respon imun dan kekuatan pertahanan diri
yang belum optimal, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk
mengalami sakit (Wong, 2009). Nyeri adalah suatu keadaan individu
mengalami dan melaporkan adanya rasa tidak nyaman yang berat atau
perasaan tidak menyenangkan (Carpenito, 2009).
Rumah sakit merupakan tempat dimana anak sering mengalami
prosedur medis yang menyakitkan dan tak terduga seperti pemasangan infus
sehingga menimbulkan stress situasional dan kecemasan yang mengarahkan
pada pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Reaksi yang
ditunjukkan juga bermacam-macam sesuai dengan usia mereka. Reaksi anak
2
pra usia sekolah terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan
ekspresi, baik secara verbal maupun non verbal karena anak sudah mampu
mengkomunikasikannya. Anak-anak cenderung bertindak agresif yaitu sebagai
pertahanan diri, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal yaitu dengan
mengeluarkan kata-kata mendesis, membentak dan sebagainya, serta dapat
bersikap dependent yaitu menutup diri, tidak kooperatif. (Supartini, 2004;
Wong, 2008).
Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan
tindakan yang sering dilakukan dirumah sakit yang merupakan prosedur yang
beresiko tinggi terjadinya infeksi yang akan menambah tingginya biaya
perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas
apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah
ditetapkan, sehingga kejadian infeksi atau berbagai permasalahan akibat
pemasangan infus dapat dikurangi bahkan tidak terjadi (Priharjo, 2008).
Reaksi fisik maupun psikologis dapat terjadi pada anak diantaranya
kecemasan, merasa asing akan lingkungan yang baru, berhadapan dengan
sejumlah individu yang belum dikenal, perubahan gaya hidup serta harus
menerima tindakan medik atau perawatan yang menyakitkan ketika dirawat di
rumah sakit. Ketika anak sakit dan harus menjalani rawat inap dirumah sakit,
berbagai reaksi yang komplek dan bervariasi akan muncul diantaranya regresi
(rasa tergantung atau tidak mau ditinggalkan), rasa takut dan cemas, merasa
dipisahkan dari keluarga, putus asa dan protes (Wong, 2009).
Gejala yang tidak normal seperti nyeri tiba-tiba yang ditunjukkan
anak-anak dapat membuat orangtua cemas bahkan ketakutan. Pencapaian
tujuan serta upaya proses pengobatan pada anak yang terindikasi pemasangan
infus, sangat dibutuhkan kerjasama perawat, tim kesehatan dan orangtua yang
ikut serta menjelaskan dan berusaha mendukung anak dalam proses
penatalaksanaan dan proses hospitalisasi. Dukungan yang diberikan oleh
orangtua berupa dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan informatif. Asuhan pada anak baik sehat maupun
sakit paling baik dilakukan oleh orangtua dengan bantuan tenaga kesehatan
yang kompeten sesuai kebutuhannya (Supartini,2004).
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: “Bagaimanakah pengaruh distraksi audio visual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus di Rumah
Sakit Mitra Keluarga Cikarang?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat nyeri yang dirasakan anak usia prasekolah
pada pemasangan infus dengan teknik distraksi audiovisual.
2. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi tingkat nyeri yang dirasakan anak usia pra sekolah pada
pemasangan infus dengan teknik distraksi audiovisual.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kajian pustaka
untuk menambah kasanah keilmuan dalam bidang keperawatan anak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Bidang Ilmu Keperawatan dan Institusi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur di keperawatan dan menjadi
tambahan informasi tentang pengaruh distraksi audio visual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus.
b. Bagi Perawat dan Rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan fasilitas ruangan
UGD untuk anak-anak khususnya di ruang Unit Gawat Darurat sebagai
gerbang pertama masuknya pasien, khususnya anak-anak pra sekolah
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Anak
1. Pengertian Anak
Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang
perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak
yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1
tahun) usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah
(5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun) (Wong, 2009). Anak satu dengan
anak lainnya memiliki rentang yang berbeda mengingat latar belakang anak
berbeda. Anak memiliki rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan
yaitu rentangcepat dan lambat. Anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep
diri, pola koping dan perilaku sosial dalam proses perkembangannya (Winarno,
2012).
Anak merupakan individu yang rentan karena perkembangan
kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Anak
juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa serta memiliki
pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi
mereka mengenai dunia (Supartini, 2012). Penyakit awal yang menyerang anak
seringkali mendadak dan penurunan status kesehatan dapat berlangsung dengan
cepat. Faktor yang mempengaruhi adalah sistem pernapasan dan
kardiovaskular yang belum matang, memiliki tingkat metabolisme yang lebih
cepat, pertukaran gas yang lebih besar dan asupan cairan serta asupan kalori
yang lebih tinggi per kilogram berat badan dibandingkan orang dewasa.
Kerentanan terhadap ketidakseimbangan cairan pada anak adalah akibat
jumlah dan distribusi cairan di dalam tubuh (Wong, 2009).
Tubuh anak terdiri dari 70 –75% cairan, dibandingkan dengan 57 –
60% cairan pada orang dewasa. Sebagian besar cairan pada anak –anak
berada di kompartemen cairan ekstrasel , sehingga cairan ini lebih dapat
diakses. Oleh karena itu apabila anak kehilangan cairan yang relatif sedang
7
c. Perkembangan Kognitif
Piaget (Winarno, 2012) mengemukakan ada empat tahap
perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara
kronologis, yaitu :
1) Tahap Sensori Motorik 0 –2 tahun (Sensory Motoric Stage)
Anak yang berada di tahap ini memperoleh pengalaman melalui fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada tahap ini,
bayi lahir dengan reflek bawaan, skema dimodifikasi dan
digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Anak
belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Anak hanya dapat
mengetahui hal –hal yang ditangkap dengan indranya (Winarno, 2012).
2) Tahap Pre Operasi 2 –7 tahun (Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian tindakan
kognitif yang konkret, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek,
menata letak benda –benda menurut urutantertentu, dan membilang. Anak
mulai timbul pertumbuhan kognitifnya tetapi masih terbatas pada hal –hal
yang dapat dijumpai dilingkungannya saja (Winarno, 2012).
3) Tahap operasi konkret 7–11 tahun (Concrete Operational Stage)
Anak –anak yang berada padatahap ini umumnya sudah berada di Sekolah
Dasar dan telah memahami operasi logis dengan bantuan benda–benda
konkret. Anak telah dapat mengetahuii simbol –simbol sistematis tetapi
belum dapat menghadapi hal –hal yang abstrak (tak berwujud) (Winarno,
2012).
4) Tahap operasi formal 11 tahun keatas (Formal Operational Stage)
Anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh
isi argumen. Pada tahap ini, anak telah memasuk tahap baru dalam logika
orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalran abstrak. Operasi
formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal serta
pemahaman untuk masalah filosofis (Winarno, 2012).
9
d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak menurut Kohlberg didasarkan dari
perkembangan kognitif anak dan terdiri atas tiga tahapan utama , yaitu : 1. Pre
Conventional 2.Conventional 3.Post Conventional (Supartini, 2012).
1) Fase Pre Conventional
Anak belajar baik dan buruk, benar dan salah melalui budaya sebagai dasar
dari peletakan nilai moral. Fase ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap satu
didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak. Tahap dua yaitu orientasi
hukumandanketaatan. Tahap selanjutnya yaitu anak berfokus pada motif
yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan.
10
2) Fase Conventional
Anak berorentasi pada mutualitas hubungan interpersonal dengan
kelompok. Anak sudah mampu bekerjasama dengan kelompok dan
mempelajari serta mengadpsi norma –norma yang ada di dalam kelompok
selain norma yang ada di keluarganya. Anak mempersepsikan
perilakunya sebagai suatu kebaikan ketika perilaku anak menyebabkan
mereka diterima oleh keluarga atau teman sekelompoknya. Anak
akan mempersepsikan perilakunya sebagai suatu keburukan ketika
tindakannya mengganggu hubungannya dengan keluarga, temannya atau
kelompoknya. Anak melihat keadilan sebagai suatu yang saling
menguntungkan antar individu
3) Fase Post Conventional
Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip yang
dimiliki dan yang diyakini. Segala tindakan yang diyakininya
dipersepsikan sebagai suatu kebaikan. Ada dua fase pada tahapan ini, yaitu
orientasi pada hukum dan orientasi pada prinsip etik yang umum. Pada
fase pertama , anak mendapatkan nilai budaya, hukum dan perilaku yang
tepat yang menguntungkan bagi masyarakat sebagai sesuatu yang baik. Fase
kedua adalah dapat menilai perilaku baik dan buruk pada dirinya sendiri.
1) Faktor Pranatal
Faktor pranatal merupakan lingkungan dalam kandungan, mulai dari
konsepsi sampai lahir yang meliputi gizi ibu hamil, lingkungan
mekanis, toksin/zat kimia, hormon, radiasi, infeksi, kelainan
imunologis dan kondisi psikologis ibu.
2) Faktor Paskanatal
Faktor paskanatal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi
anak setelah lahir. Secara umum dapat digolongkan menjadi
lingkungan biologis, faktor fisik, faktor psikososial, dan faktor
keluarga.
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan baik yang aktual maupun potensial.
Dari defenisi ini, pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan bahwa nyeri
adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri
menitikberatkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa nyeri (Tamsuri,
2007).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut yaitu nyeri yang biasanya
berlangsung singkat (waktu atau durasinya dari 1 detik sampai kurang dari 6
bulan) dan nyeri kronik yaitu nyeri yang berkembang lebih lambat dan terjadi
dalam waktu yang lebih lama sehingga terkadang pasien sulit untuk mengingat
sejak kapan nyeri tersebut dirasakan. Nyeri juga dapat dibedakan menjadi nyeri
somatogenik yaitu nyeri secara fisik dan nyeri psikogenik yaitu nyeri secara psikis
atau mental. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan atau
akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu
dalam hal pengkajian dan penatalaksanaannya tidak hanya akan menitikberatkan
pada faktor fisik semata tapi juga faktor mental dan emosional yang
mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri.
12
Pokok penting yang harus diingat adalah, apa yang “dikatakan” tentang
nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal. Beberapa pasien tidak dapat atau tidak
akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Karenanya,
perawat juga bertanggung jawab terhadap perilaku non verbal yang dapat terjadi
bersamaan dengan nyeri (Brunner & Suddarth, 2002).
2. Psikologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis,
nosiseptor ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf
perifer .
Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit dan subkutan (kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya berbedabeda maka nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nyeri yang berasal dari kutaneus
biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefenisikan. Reseptor kutaneus terbagi
dalam 2 komponen :
a. Serabut A Delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi
reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi
organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
13
nyeri pada stimulus kecil dan sudah berupaya mencegah nyeri sebelum
nyeri itu datang.
Keberadaan enkafalin dan endorphin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus
yang sama. Kadar endorphin berbeda pada tiap individu dimana
individu dengan kadar endorphin tinggi sedikit merasakan nyeri
sedangkan individu dengan kadar endorphin yang rendah merasakan
nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan
berbagai cara, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukkan itulah yang digunakan perawat untuk
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya. Karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri tidak mengalami nyeri. Kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (pasca nyeri)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrool dari perawat. Karena nyeri bersifat
krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri.
Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat
(aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Peran
perawat dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa
takut akan kemunkinan berulang.
hurt”, sampai “worst hurt”. Baik skala vertical maupun horizontal merupakan
pengukuran yang sama valid, tetapi VAS yang vertical lebih sensitive
menghasilkan score yang lebih besar dan lebih mudah digunakan dari pada
skala horizontal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami
perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong,
1996).
Skala Visual Analog
Dari skala diatas, tingkatan nyeri yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Skala 1 : tidak ada nyeri
2) Skala 2-4 : nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau masih
dapat ditolerir karena masih dibawah ambang rangsang.
3) Skala 5-6 : nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan mengeluh, ada
yang sambil menekan pada bagian yang nyeri
19
4) Skala 7-9 : termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit sekali dan
klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa
5) Skala 10 : termasuk nyeri yang sangat, pada tingkat ini klien tidak dapat
lagi mengenal dirinya.
c. Faces Rating Scale dari Wong Baker
Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar
skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk “no pain”
sampai wajah yang berlinang air mata. Penjelasan Faces Rating Sacle yaitu:
1) Nilai 0; nyeri tidak dirasakan oleh anak
2) Nilai 1: nyeri dirasakan sedikit saja
3) Nilai 2: nyeri agak dirasakan oleh anak
4) Nilai 3: nyeri yang dirasakan anak lebih banyak
5) Nilai 4: nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan
6) Nilai 5; nyeri sekali dan anak menjadi menangis
Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri
rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan
skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah
(tidak nyeri) 10 (nyeri hebat). Hasil skor perilakunya adalah 0 (rileks dan
nyaman), 1-3 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri sedang), dan 7-10 (nyeri
hebat/ketidaknyamanan berat)
5. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan
nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan
pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila dilakukan
sebelum nyeri menjadi parah, dan keberhasilan terbesar sering dicapai jika
beberapa intervensi diterapkan secara simultan. (Brunner & Suddarth,2002)
a. Intervensi Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis
dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama
lainnya dan pasien. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri seperti
analgesia, opoid atau obat anti inflamasi nonsteroid mungkin diresepkan atau
kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Untuk
pemberian analgesia, perawat perlu mempertahankan analgesia, mengkaji
keefektifannya dan melaporkannya jika intervensi tersebut tidak efektif atau
menimbulkan efek samping.oleh karena itu, penatalaksanaan nyeri
memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara pemberi
perawatan kesehatan.
b. Intervensi Nonfarmakologis
23
C. Teknik Distraksi
Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke
stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori
bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang menerima
input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke
otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien), Stimulus yang
menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga
stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Peredaan nyeri
secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya
modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh
karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih
efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri,
2007).
1. Tujuan dan Manfaat Teknik Distraksi
Teknik distraksi dalam intervensi keperawatan bertujuan untuk pengalihan
atau menjauhkan perhatian klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya
rasa nyeri. Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini yaitu agar seseorang
25
yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai dan merasa berada pada
situasi yang menyenangkan. (Asmadi, 2012).
2. Prosedur Teknik Distraksi
Menurut Asmadi (2012), teknik distraksi dapat bekerja secara efektif
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Komunikasi antar perawat dan klien
b. Media distraksi yang dipakai
c. Jangka waktu yang digunakan
d. Tingkat stres, cemas maupun depresi yang dialami klien
menggunakan media yang sesusai dengan ukuran tubuhnya agar anak dapat
menikmati animasi kartun yang diberikan. Anak anak menyukai unsur-unsur
gambar, warna cerita, dan emosi (sedih, senang, seru, bersemangat) yang
terdapat dalam film kartun merupakan unsur otak kanan dan suara yang timbul
dari film tersebut.
D. Pemasangan Infus
1. Pengertian
Pemasangan infus adalah prosedur tindakan invasif yang dilakukan dengan
cara memasukkan kateter intravena dengan tujuan pengobatan atau rehidrasi
(Weinstein,2001)
2. Tujuan
Terapi intravena diberikan pada bayi dan anak dengan alasan sebagai berikut :
a. Penggantian cairan
b. Pemeliharaan cairan
c. Rute pemberian obat atau substansi terapeutik lain (misalnya darah,
produk darah, immunoglobulin).
3. Pemilihan Vena
Pada umumnya, vena yang harus digunakan padaa terapi IV adalah venavena
distal pada tangan dan lengan seperti vena basilica, vena sefalika dan vena
metakarpal. Sebelum vena dipilih, ekstremitas harus diobservasi dan dipalpasi
untuk melihat kekenyalan dan lokasi. Sebaiknya vena yang digunakan adalah
vena yang belum digunakan dan lurus. Adapun pedoman untuk pemilihan
vena yaitu :
a. Gunakan vena-vena distal terlebih dahulu
b. Gunakan lengan pasien yang tidak dominan jika mungkin
c. Pilih vena-vena diatas area fleksi
d. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang
adekuat ke dalam kateter
e. Palpasi vena untuk menentukan kondisinya. Selalu pilih vena yang lunak,
penuh dan yang tidak tersumbat, jika ada
28
a. Cuci tangan
b. Atur peralatan di samping atau di atas meja tempat tidur
c. Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptic
d. Periksa larutan terhadap warna, kejernihan dan tanggal kadaluarsa
e. Bila menggunakan larutan IV dalam botol, lepaskan penutup logam dan
lempeng karet dan logam di bawah penutup
f. Buka set infus, mempertahankan sterilitas pada kedua ujung
g. Pasang klem rol sekitar 2 sampai 4 cm di bawah balik drip dan pindahkan
klem rol pada posisi “off”
h. Tusukkan set infus ke dalam botol cairan
i. Isi selang infus
1) Tekan bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi
2) Lepaskan pelindung jarum dan klem rol uuntuk memungkinkan cairan
memenuhi bilik drip melalui selang ke adapter jarum. Kembalikan
klem rol ke posisi off setelah selang terisi
3) Pastikan selang bersih dari udara dan gelembung udara
j. Pilih jarum IV yang tepat
k. Pilih tempat distal vena yang digunakan, bila mungkin letakkan
ekstremitas pada posisis dependen
l. Letakkan torniket 10 sampai 12 cm di atas tempat penususkan
m. Kenakan sarung tangan sekali pakai
n. Pilih vena berdilatasi baik, bersihkan tempat insersi dengan gerakan
sirkuler menggunnakan larutan pavidon iodine atau alcohol 70 %
o. Lakukan pungsi vena. Tahan vena dengan menggunakan ibu jari di
atasvena dengan meregangkan kulit berlawanan arah dengan arah
penusukan 5 sampai 7,5 cm kearah distal tempat penusukan. Tusuk dengan
bevel menghadap ke atas pada sudut 20 sampai 30 derajat sedikit kea rah
distal terhadap tempat actual pungsi vena
p. Perhatikan keluarnya darah melalui bilik flashback over the needle
catheter (ONC), yang menandakan jarum telah masuk ke vena. Turunkan
jarum sampai hamper menyentuhh kulit. Dorong kateter ONC 0,6 cm ke
30
dalam vena lalu lepaskan stiletnya. Dorong kateter ke dalam vena sampai
hubungan menempel dengan tempat pungsi vena.
q. Tahan kateter dengan satu tangan, lepaskan torniket dan lepaskan stilet
dari ONC. Dengan cepat hubungkan adapter jarum dan perangkat pemberi
ke hubungan dari ONC
r. Lepaskan klem roler untuk memulai infus pada kecepaatan untuk
mempertahankan aliran IV
s. Amankan kateter dan jarum IV (prosedur dapat saja berbeda tergantung
kebijakan institusi)
t. Atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tepat per menit
u. Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta ukuran jrum pada
balutan
v. Lepaskan sarung tangan, singkirkan alat-alat dan cuci tangan
w. Catat pada catatan perawat jenis larutan, letak insersi, kecepatan aliran,
ukuran dan tipe kateter atau jarum, kapan infuse dimulai dan bagaimana
toleransi klien terhadap prosedur ( Perry, Anne griffin, 1999).
31
BAB III
A. Kerangka Konseptual
Keterangan
Diteliti
Tidak diteliti
Pengaruh
B. Hipotesis
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah pre
eksperiment design : post test only design yaitu penelitian yang dilakukan dengan
memberikan intervensi / perlakuan kemudian dilihat hasilnya (Notoatmodjo,
2010). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan perlakuan berupa teknik
distraksi audiovisual pada saat pemasangan infus. Setelah itu di ukur tingkat nyeri
yang dirasakan oleh anak dengan menggunakan skala nyeri “FLACC”.
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu hal yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
34
D. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Cikarang yang berlokasi
Jalan Raya Industri No.100, Mekarmukti, Cikarang Utara, Bekasi, Jawa Barat.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan lembar prosedur pelaksanaan teknik distraksi,
skala nyeri dengan skala peringkat nyeri “FLACC” dan lembar observasi yang
berisi catatan tentang intensitas nyeri yang dirasakan anak setelah dilakukan
teknik distraksi audiovisual pada saat pemasangan infus.
2. Uji Normalitas
Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya
suatu distribusi data. Untuk menguji apakah data-data penelitian
berdistribusi normal maka dapat digunakan uji Kolmogrov-Smirnov
(Supardi,2018). Uji Kolmogrov-Smirnov Z dihitung dari perbedaan paling
besar diantara fungsi distribusi kumulatif data penelitian dengan hipotesis :
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data berdistribusi tidak normal
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
Jika sig. > 0,05 maka terima Ho sehingga data berdistribusi normal
Jika sig. < 0,05 maka tolaK Ho sehingga data berdistribusi tidak
normal
36
G. Pengolahan data
Proses pengolahan data yang dilakukan adalah :
1. Editing,
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data
yangdiperoleh atau dikumpulkan. Editingdapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding,
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric
(angka)terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian
kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data
menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga
daftar kode dan artinya dalam satu buku (code book) untuk
memudahkan kembali melihat dan arti suatu kode dari suatu variabel.
3. Data Entry,
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel
computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana.
4. Analisa Data, melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistic (Hidayat A, 2017).
H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat pada umumnya dalam analisis ini menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan (Hidayat A, 2017).
DAFTAR PUSTAKA