Anda di halaman 1dari 39

1

SKRIPSI

PENGARUH DISTRAKSI AUDIO VISUAL TERHADAP


PENURUNAN NYERI PADA ANAK PRASEKOLAH PADA
SAAT PEMASANGAN INFUS DI RUMAH SAKIT
MITRA KELUARGA CIKARANG

Oleh:
Nama :
NIM :

PROGRAM STUDI S1 ILMU KESEHATAN


CIKARANG
2021
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah aset bangsa dan generasi penerus bangsa maupun
keluarga (Supartini, 2012). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 1 ayat 1,
menjelaskan anak adalah seseorang yang belum delapan belas tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Anak akan mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai dengan usianya
(Supartini, 2012).
Anak sebagai individu dalam masa pertumbuhan dan perkembangan,
maka mudah sekali terkena penyakit dan terkadang harus dirawat dirumah
sakit (Wong, 2008). Anak usia prasekolah adalah anak usia 3-6 tahun. Anak-
anak dibawah usia 6 tahun kurang mampu berpikir tentang suatu peristiwa
secara keseluruhan, belum bisa menentukan perilaku yang dapat mengatasi
suatu masalah yang baru dihadapi dan kurang memahami suatu peristiwa yang
dialami (Supartini, 2004).
Anak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari delapan
belas tahun dalam masa tumbuh kembang dan kebutuhan khusus baik
kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2005). Anak dengan
berbagai karakteristiknya memiliki respon imun dan kekuatan pertahanan diri
yang belum optimal, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk
mengalami sakit (Wong, 2009). Nyeri adalah suatu keadaan individu
mengalami dan melaporkan adanya rasa tidak nyaman yang berat atau
perasaan tidak menyenangkan (Carpenito, 2009).
Rumah sakit merupakan tempat dimana anak sering mengalami
prosedur medis yang menyakitkan dan tak terduga seperti pemasangan infus
sehingga menimbulkan stress situasional dan kecemasan yang mengarahkan
pada pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Reaksi yang
ditunjukkan juga bermacam-macam sesuai dengan usia mereka. Reaksi anak
2

pra usia sekolah terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan
ekspresi, baik secara verbal maupun non verbal karena anak sudah mampu
mengkomunikasikannya. Anak-anak cenderung bertindak agresif yaitu sebagai
pertahanan diri, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal yaitu dengan
mengeluarkan kata-kata mendesis, membentak dan sebagainya, serta dapat
bersikap dependent yaitu menutup diri, tidak kooperatif. (Supartini, 2004;
Wong, 2008).
Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan
tindakan yang sering dilakukan dirumah sakit yang merupakan prosedur yang
beresiko tinggi terjadinya infeksi yang akan menambah tingginya biaya
perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas
apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah
ditetapkan, sehingga kejadian infeksi atau berbagai permasalahan akibat
pemasangan infus dapat dikurangi bahkan tidak terjadi (Priharjo, 2008).
Reaksi fisik maupun psikologis dapat terjadi pada anak diantaranya
kecemasan, merasa asing akan lingkungan yang baru, berhadapan dengan
sejumlah individu yang belum dikenal, perubahan gaya hidup serta harus
menerima tindakan medik atau perawatan yang menyakitkan ketika dirawat di
rumah sakit. Ketika anak sakit dan harus menjalani rawat inap dirumah sakit,
berbagai reaksi yang komplek dan bervariasi akan muncul diantaranya regresi
(rasa tergantung atau tidak mau ditinggalkan), rasa takut dan cemas, merasa
dipisahkan dari keluarga, putus asa dan protes (Wong, 2009).
Gejala yang tidak normal seperti nyeri tiba-tiba yang ditunjukkan
anak-anak dapat membuat orangtua cemas bahkan ketakutan. Pencapaian
tujuan serta upaya proses pengobatan pada anak yang terindikasi pemasangan
infus, sangat dibutuhkan kerjasama perawat, tim kesehatan dan orangtua yang
ikut serta menjelaskan dan berusaha mendukung anak dalam proses
penatalaksanaan dan proses hospitalisasi. Dukungan yang diberikan oleh
orangtua berupa dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan informatif. Asuhan pada anak baik sehat maupun
sakit paling baik dilakukan oleh orangtua dengan bantuan tenaga kesehatan
yang kompeten sesuai kebutuhannya (Supartini,2004).
3

Mengurangi intensitas nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak dari


setiap anak. Profesional kesehatan sebaiknya memiliki kemampuan untuk
mencoba berbagai intervensi untuk mengontrol intensitas nyeri. Dalam
penatalaksanaan nyeri biasa digunakan manajemen nyeri baik secara
farmakologik dengan menggunakan analgetik dan narkotik maupun non
farmakologik seperti teknik distraksi, teknik relaksasi dan teknik stimulasi
kulit. Namun sebaiknya tindakan nonfarmakologis harus di dahulukan
daripada tindakan farmakologis. Karena tindakan nonfarmakologis lebih
ekonomis, lebih adekuat dalam mengontrol nyeri dan tidak ada efek samping.
Hal ini dilakukan dengan harapan anak tidak mengalami trauma psikologis
dan melakukan penolakan terhadap tindakan invasif pemasangan infus
(Priharjo, 1993).
Intervensi nonfarmakologis dalam mengatasi nyeri pada anak paling
efektif bila disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Teknik distraksi
sangat efektif digunakan untuk mengalihkan nyeri, hal ini disebabkan karena
distraksi merupakan metode dalam upaya menurunkan nyeri pada anak, dan
sering membuat pasien lebih banyak menahan nyeri.( Hasanpour dikutip
dalam Tufecki et al, 2009).
Kombinasi antara distraksi pendengaran (audio) dan distraksi
penglihatan (visual) disebut distraksi audiovisual, yang digunakan untuk
mengalihkan perhatian pasien terhadap hal-hal yang membuatnya tidak
nyaman, cemas atau takut dengan cara menampilkan tayangan favorit berupa
gambar – gambar bergerak dan bersuara ataupun animasi dengan harapan
pasien asik terhadap tontonannya sehingga mengabaikan rasa tidak nyaman
dan menunjukkan respons penerimaan yang baik (Rusman, 2012).
Dari hasil wawancara ke beberapa perawat dan dokter di instalasi
gawat darurat dalam penanganan nyeri saat pemasangan infus pada anak
dengan pemberian audivisual belum pernah dilakukan, hanya melakukan
komunikasi terapeutik saat pemasangan infus pada anak. Diharapkan hasil
penelitian ini menjadi dasar bagi instalasi gawat darurat untuk menyediakan
media distraksi audiovisual sebagai upaya mengurangi respons buruk anak
selama dilakukan injeksi intravena pada saat pemasangan infus dan untuk
4

memenuhi kebutuhan bermain/hiburan bagi anak selama menjalani perawatan


di Rumah Sakit. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh distraksi audio visual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus di rumah
sakit mitra keluarga Cikarang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: “Bagaimanakah pengaruh distraksi audio visual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus di Rumah
Sakit Mitra Keluarga Cikarang?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat nyeri yang dirasakan anak usia prasekolah
pada pemasangan infus dengan teknik distraksi audiovisual.
2. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi tingkat nyeri yang dirasakan anak usia pra sekolah pada
pemasangan infus dengan teknik distraksi audiovisual.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kajian pustaka
untuk menambah kasanah keilmuan dalam bidang keperawatan anak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Bidang Ilmu Keperawatan dan Institusi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur di keperawatan dan menjadi
tambahan informasi tentang pengaruh distraksi audio visual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus.
b. Bagi Perawat dan Rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan fasilitas ruangan
UGD untuk anak-anak khususnya di ruang Unit Gawat Darurat sebagai
gerbang pertama masuknya pasien, khususnya anak-anak pra sekolah
5

agar memberikan terapi yang dapat mengurangi hospitalisasi pada anak


selama berada di ruang UGD.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan oleh peneliti
selanjutnya terkait dengan memodifikasi konten audio visual, variabel
bebas dan dapat mengendalikan variabel pengganggu.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Anak
1. Pengertian Anak
Anak adalah individu yang berada dalam satu rentang
perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak
yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1
tahun) usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah
(5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun) (Wong, 2009). Anak satu dengan
anak lainnya memiliki rentang yang berbeda mengingat latar belakang anak
berbeda. Anak memiliki rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan
yaitu rentangcepat dan lambat. Anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep
diri, pola koping dan perilaku sosial dalam proses perkembangannya (Winarno,
2012).
Anak merupakan individu yang rentan karena perkembangan
kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Anak
juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa serta memiliki
pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi
mereka mengenai dunia (Supartini, 2012). Penyakit awal yang menyerang anak
seringkali mendadak dan penurunan status kesehatan dapat berlangsung dengan
cepat. Faktor yang mempengaruhi adalah sistem pernapasan dan
kardiovaskular yang belum matang, memiliki tingkat metabolisme yang lebih
cepat, pertukaran gas yang lebih besar dan asupan cairan serta asupan kalori
yang lebih tinggi per kilogram berat badan dibandingkan orang dewasa.
Kerentanan terhadap ketidakseimbangan cairan pada anak adalah akibat
jumlah dan distribusi cairan di dalam tubuh (Wong, 2009).
Tubuh anak terdiri dari 70 –75% cairan, dibandingkan dengan 57 –
60% cairan pada orang dewasa. Sebagian besar cairan pada anak –anak
berada di kompartemen cairan ekstrasel , sehingga cairan ini lebih dapat
diakses. Oleh karena itu apabila anak kehilangan cairan yang relatif sedang
7

dapat mengurangi volume darah, menyebabkansyok, asidosis dan kematian


(Slavin, 2006)
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
a. Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan anak yaitu bertambahnya ukuran fisik dan struktur
tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multifikasi sel-sel
tubuh serta bertambah besarnya ukuran sel (Wong, 2009). Adanya
multifikasi dan pertambahan ukuran sel berarti terdapat pertambahan secara
kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak dimu/lai proses konsepsi, yaitu
bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000). Pertumbuhan
lebih ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi
lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti bertambahnya ukuran berat
badan, tinggi badan dan lingkar kepala.Pertumbuhan pada masa anak-anak
bervariasi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Pertumbuhan fisik dimulai
dari arah kepala ke kaki.Kematangan pertumbuhan pada bagian kepala
berlangsung lebih dahulu, lalu secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh
bagian bawah. Pertumbuhan kepala pada masa fetal lebih cepat dibandingkan
dengan masa setelah lahir, yaitu 50 % dari total panjang badan. Pertumbuhan
bagian bawah akan bertambah secara teratur. Besar kepala pada usia dua tahun
kurang dari seperempat panjang badan keseluruhan, sedangkan ukuran
ekstremitas bawah lebih dari seperempatnya.
b. Perkembangan Anak
Perkembangan yaitu bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan,
dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh,
organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000). Aspek
perkembangan bersifat kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari
masing-masing bagian tubuh. Perkembangan diawali dengan berfungsinya
jantung untuk memompakan darah, kemampuan untuk bernafas, sampai
kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, memungut benda-benda
di sekelilingnya serta kematangan emosi dan sosial anak. Perkembangan
anak menurut Winarno (2012) meliputi :
8

c. Perkembangan Kognitif
Piaget (Winarno, 2012) mengemukakan ada empat tahap
perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara
kronologis, yaitu :
1) Tahap Sensori Motorik 0 –2 tahun (Sensory Motoric Stage)
Anak yang berada di tahap ini memperoleh pengalaman melalui fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada tahap ini,
bayi lahir dengan reflek bawaan, skema dimodifikasi dan
digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Anak
belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Anak hanya dapat
mengetahui hal –hal yang ditangkap dengan indranya (Winarno, 2012).
2) Tahap Pre Operasi 2 –7 tahun (Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian tindakan
kognitif yang konkret, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek,
menata letak benda –benda menurut urutantertentu, dan membilang. Anak
mulai timbul pertumbuhan kognitifnya tetapi masih terbatas pada hal –hal
yang dapat dijumpai dilingkungannya saja (Winarno, 2012).
3) Tahap operasi konkret 7–11 tahun (Concrete Operational Stage)
Anak –anak yang berada padatahap ini umumnya sudah berada di Sekolah
Dasar dan telah memahami operasi logis dengan bantuan benda–benda
konkret. Anak telah dapat mengetahuii simbol –simbol sistematis tetapi
belum dapat menghadapi hal –hal yang abstrak (tak berwujud) (Winarno,
2012).
4) Tahap operasi formal 11 tahun keatas (Formal Operational Stage)
Anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh
isi argumen. Pada tahap ini, anak telah memasuk tahap baru dalam logika
orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalran abstrak. Operasi
formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal serta
pemahaman untuk masalah filosofis (Winarno, 2012).
9

d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak menurut Kohlberg didasarkan dari
perkembangan kognitif anak dan terdiri atas tiga tahapan utama , yaitu : 1. Pre
Conventional 2.Conventional 3.Post Conventional (Supartini, 2012).
1) Fase Pre Conventional
Anak belajar baik dan buruk, benar dan salah melalui budaya sebagai dasar
dari peletakan nilai moral. Fase ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap satu
didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak. Tahap dua yaitu orientasi
hukumandanketaatan. Tahap selanjutnya yaitu anak berfokus pada motif
yang menyenangkan sebagai suatu kebaikan.
10

2) Fase Conventional
Anak berorentasi pada mutualitas hubungan interpersonal dengan
kelompok. Anak sudah mampu bekerjasama dengan kelompok dan
mempelajari serta mengadpsi norma –norma yang ada di dalam kelompok
selain norma yang ada di keluarganya. Anak mempersepsikan
perilakunya sebagai suatu kebaikan ketika perilaku anak menyebabkan
mereka diterima oleh keluarga atau teman sekelompoknya. Anak
akan mempersepsikan perilakunya sebagai suatu keburukan ketika
tindakannya mengganggu hubungannya dengan keluarga, temannya atau
kelompoknya. Anak melihat keadilan sebagai suatu yang saling
menguntungkan antar individu
3) Fase Post Conventional
Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip yang
dimiliki dan yang diyakini. Segala tindakan yang diyakininya
dipersepsikan sebagai suatu kebaikan. Ada dua fase pada tahapan ini, yaitu
orientasi pada hukum dan orientasi pada prinsip etik yang umum. Pada
fase pertama , anak mendapatkan nilai budaya, hukum dan perilaku yang
tepat yang menguntungkan bagi masyarakat sebagai sesuatu yang baik. Fase
kedua adalah dapat menilai perilaku baik dan buruk pada dirinya sendiri.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Aspek tumbuh kembang pada anak merupakan aspek yang
menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik
maupun psikososial. Winarno (2012) menyebutkan beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu:
a. Faktor Herediter
Supartini (2004) menjelaskan bahwa faktor herediter merupakan faktor
pertumbuhan yang dapat diturunkan, yaitusuku, ras dan jenis kelamin.
b. Faktor Lingkungan
(Hidayat, 2008), Faktor lingkungan merupakan faktor yang berperan penting
dalam menentukan tercapai dan tidak suatu potensi yang sudah dimiliki.
Faktor lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu:
11

1) Faktor Pranatal
Faktor pranatal merupakan lingkungan dalam kandungan, mulai dari
konsepsi sampai lahir yang meliputi gizi ibu hamil, lingkungan
mekanis, toksin/zat kimia, hormon, radiasi, infeksi, kelainan
imunologis dan kondisi psikologis ibu.
2) Faktor Paskanatal
Faktor paskanatal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi
anak setelah lahir. Secara umum dapat digolongkan menjadi
lingkungan biologis, faktor fisik, faktor psikososial, dan faktor
keluarga.

B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan baik yang aktual maupun potensial.
Dari defenisi ini, pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan bahwa nyeri
adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri
menitikberatkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa nyeri (Tamsuri,
2007).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut yaitu nyeri yang biasanya
berlangsung singkat (waktu atau durasinya dari 1 detik sampai kurang dari 6
bulan) dan nyeri kronik yaitu nyeri yang berkembang lebih lambat dan terjadi
dalam waktu yang lebih lama sehingga terkadang pasien sulit untuk mengingat
sejak kapan nyeri tersebut dirasakan. Nyeri juga dapat dibedakan menjadi nyeri
somatogenik yaitu nyeri secara fisik dan nyeri psikogenik yaitu nyeri secara psikis
atau mental. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan atau
akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu
dalam hal pengkajian dan penatalaksanaannya tidak hanya akan menitikberatkan
pada faktor fisik semata tapi juga faktor mental dan emosional yang
mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri.
12

Pokok penting yang harus diingat adalah, apa yang “dikatakan” tentang
nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal. Beberapa pasien tidak dapat atau tidak
akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Karenanya,
perawat juga bertanggung jawab terhadap perilaku non verbal yang dapat terjadi
bersamaan dengan nyeri (Brunner & Suddarth, 2002).

2. Psikologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis,
nosiseptor ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf
perifer .
Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit dan subkutan (kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya berbedabeda maka nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nyeri yang berasal dari kutaneus
biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefenisikan. Reseptor kutaneus terbagi
dalam 2 komponen :
a. Serabut A Delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi
reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan
jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi
organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
13

yang timbul biasanya terus-menerus dan tidak sensitif terhadap pemotongan


organ tetapi sangat sensitive terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
(Tamsuri,2007).
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul,
namun teori gate control yang dianggap paling relevan (Tamsuri,2007).
Teori gate control dari Melzack & Wall (1978) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan
disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini menyatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut control
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi C untuk mentransmisi impuls melaui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron delta-A yang lebih
tebal yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A maka akan menutup
mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat
perawat mengusap punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan
akan menstimuli mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke
otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan
dinorfin, suatu pembunuh alami nyeri dari dalam tubuh. Neuromodulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
Teknik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin ( Potter,2005 ).
14

Anas Tamsuri tahun 2007 menyatakan bahwa ada beberapa respon


tubuh terhadap nyeri, antara lain :
1) Respon Fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, system saraf otonom
terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon
tubuh terhadap nyeri. Respon fisiologis terhadap nyeri dibedakan menjadi
reaksi simpatis dan parasimpatis.Adapun reaksi simpatis tubuh terhadap
nyeri antara lain
a) Dilatasi saluran pernapasan dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokontriksi perifer sehingga meningkatkan tekanan darah
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaporesis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas gastro intestinal
Respon fisik timbul karena Sedangkan reaksi parasimpatis tubuh terhadap
nyeri antara lain:
a) Muka pucat
b) Kelelahan otot
c) Peburuban tekanan darah dan nadi
d) Napas cepat dan tidak teratur
e) Mual dan muntah
f) Kelelahan.
2) Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi. Arti nyeri bagi individu berbeda-beda antara lain :
a) Bahaya atau merusak
b) Komplikasi seperti infeksi
c) Penyakit baru
d) Penyakit yang berulang
15

e) Penyakit yang fatal


f) Peningkatan ketidakmampuan
g) Kehilangan mobilitas
h) Menjadi tua
i) Sembuh
j) Perlu untuk penyembuhan
k) Hukuman karena berdosa
l) Tantangan
m) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
n) Sesuatu yang harus ditoleransi
o) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.
Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan factor sosial budaya.
3) Respon Perilaku
Respon perilaku yang ditampilkan oleh individu jika mengalami nyeri
bermacam-macam. Meinhart & Mc.Caffery (1983) dalam Anas Tamsuri
(2007) menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri antara lain :
a) Fase antisipasi
Fase ini merupakan fase yang paling penting karena fase ini
menentukan dua fase berikutnya. Fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri
tersebut.Peran perwat sangat penting dalam fase ini terutama dalam
memberikan informasi terhadap klien.
b) Fase sensasi
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri bersifat
subyektif maka tiap orang menyikapinya dengan cara yang berbeda.
Toleransinya pun berbeda antara orang yang satu dengan yang lain.
Orang yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil dan mampu menahan
stimulus nyeri tanpa bantuan. Berbeda dengan orang yang memiliki
tingkat toleransi yang rendah terhadap nyeri akan mudah merasakan
16

nyeri pada stimulus kecil dan sudah berupaya mencegah nyeri sebelum
nyeri itu datang.
Keberadaan enkafalin dan endorphin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus
yang sama. Kadar endorphin berbeda pada tiap individu dimana
individu dengan kadar endorphin tinggi sedikit merasakan nyeri
sedangkan individu dengan kadar endorphin yang rendah merasakan
nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan
berbagai cara, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukkan itulah yang digunakan perawat untuk
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya. Karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri tidak mengalami nyeri. Kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (pasca nyeri)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrool dari perawat. Karena nyeri bersifat
krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri.
Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat
(aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Peran
perawat dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa
takut akan kemunkinan berulang.

3. Mengkaji Persepsi Nyeri


Brunner & Suddart tahun 2002 menyatakan bahwa alat-alat pengukuran
nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat
pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus mmenuhi kriteria berikut :
a. Mudah dimengerti dan digunakan
17

b. Memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien


c. Mudah dinilai
d. Sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri.
Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mendokumentasikan
kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas intervensi dan untuk
mengidentifikasi kebutuhan akan intervensi alternatif dan tambahan jika
intervensi sebelumnya tidak efektif dalam meredakan nyeri individu.Nyeri sukar
digambarkan, saat pasien mengeluh nyeri, dengarrkan (lakukan sesuatu) karena
nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun ia mungkin kesulitan
menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa ditemui yakni :
a. Kulit – menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama.
b. Ekspresi wajah – kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat; pasien
mungkin meringis.
c. Mata – tertutup rapat atau terbuka; pupil mungkin dilatasi.
d. Nadi – nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam intensitas.
e. Respirasi – frekwensinya meningkat dan berubah karakternya.
f. Tekanan darah – bisa berubah jika terjadi nyeri.
g. Muskuloskeletal – menegang atau kaku.
h. Distres gastric – bisa terjadi mual, dengan atau tanpa muntah; anorexia atau
menolak makan bisa terjadi.
i. Aktivitas fisik dan reaksi – pasien mungkin sangat tenang, hanya bergerak saat
disuruh atau perlu; mungkin tidak pernah istirahat dan tidak dapat tidur.
j. Aktivitas mental dan emosional – pasien mungkin menangis, bicara terlalu
banyak atau terlalu banyak meminta.
k. Observasi mengenai asuhan keperawatan – apakah pasien puas dengan efek
pengobatannya, lebih tenang, dapat tidur atau istirahat.
Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas
nyeri pada anak menurut Wong (1996) adalah:
a. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10
cm. Biasanya berbentuk horizontal, tetapi mungkin saja ditampilkannya secara
vertikal. Garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri, misalnya: “no
18

hurt”, sampai “worst hurt”. Baik skala vertical maupun horizontal merupakan
pengukuran yang sama valid, tetapi VAS yang vertical lebih sensitive
menghasilkan score yang lebih besar dan lebih mudah digunakan dari pada
skala horizontal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami
perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong,
1996).
Skala Visual Analog

b. Numerical Rating Scale (NRS)


Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale,
tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya. Angka 0-10 atau 0-100 dan
anak diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya. Skala
Numerik ini dapat digunakan pada anak yang lebih muda seperti 3-4 tahun
atau lebih.

Dari skala diatas, tingkatan nyeri yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Skala 1 : tidak ada nyeri
2) Skala 2-4 : nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau masih
dapat ditolerir karena masih dibawah ambang rangsang.
3) Skala 5-6 : nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan mengeluh, ada
yang sambil menekan pada bagian yang nyeri
19

4) Skala 7-9 : termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit sekali dan
klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa
5) Skala 10 : termasuk nyeri yang sangat, pada tingkat ini klien tidak dapat
lagi mengenal dirinya.
c. Faces Rating Scale dari Wong Baker
Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar
skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk “no pain”
sampai wajah yang berlinang air mata. Penjelasan Faces Rating Sacle yaitu:
1) Nilai 0; nyeri tidak dirasakan oleh anak
2) Nilai 1: nyeri dirasakan sedikit saja
3) Nilai 2: nyeri agak dirasakan oleh anak
4) Nilai 3: nyeri yang dirasakan anak lebih banyak
5) Nilai 4: nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan
6) Nilai 5; nyeri sekali dan anak menjadi menangis
Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri
rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan
skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah

d. FLACC Paint Assesment Tools


FLACC scala adalah instrumen pengkajian nyeri yang baik digunakan pada
anak usia 2-7 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total 10, 0
20

(tidak nyeri) 10 (nyeri hebat). Hasil skor perilakunya adalah 0 (rileks dan
nyaman), 1-3 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri sedang), dan 7-10 (nyeri
hebat/ketidaknyamanan berat)

Tabel 2.2. FLACC scala


Kategori Skor
0 1 2
Face (wajah) Tidak ada Terkadang Sering
ekspresi khusus meringis/menarik menggetarkan
diri dagu dan
mengatupkan
rahang
Leg (kaki) Normal, rileks Gelisah, tegang Menendang kaki
tertekuk,
melengkungkan
punggung
Activity (aktivitas) Berbaring, tenang Menggeliat, tidak Kaku atau
bisa diam, kaku menghentak
mengerang
Cry (menangis) Tidak menangis Merintih, Terus menangis ,
merengek, berteriak, serung
kadang-kadang mengeluh
mengeluh
Consability Rilek Dapat Terus menangis,
(konstability) ditenangkan berteriak, sering
dengan sentuhan, mengeluh, sulit
pelukan, bujukan, dibujuk
dapat dialihkan
Interpretasi:
Skor total dari lima parameter di atas menentukan tingkat keparahan nyeri
dengan skala 0-10. Nilai 10 menunjukan tingkat nyeri yang hebat.

4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Nyeri


Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi respon nyeri pada seseorang
antara lain :
a. Budaya
21

Orang belajar dari budayanya tentang bagaimana mereka berespon terhadap


nyeri misalnya suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat
yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan sehingga mereka
tidak mengeluh jika mengalami nyeri.
b. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat , sedangkan upaya distraksi diupayakan dengan respon
nyeri yang menurun (Gill, 1990).
c. Pengalaman Nyeri yang Lalu
Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan
peningkatan nyeri dan pengobatannya tidak adekuat. Sekali individu
mengalam nyeri berat, individu tersebut mengetahui hanya seberapa berat
nyeri ini dapat terjadi. Sebaliknya, individu yang tidak pernah mengalami
nyeri hebat tidak mempunyai rasa takut terhadap nyeri itu. Cara seseorang
berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyaknya kejadian nyeri selama
rentang kehidupan.bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap
dan tidak
terselesaikan,seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten
(Brunner & Suddarth,2002).
d. Usia dan Nyeri
Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara
luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan fisiologis
dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal
yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau
meninggal jika nyeri diperiksakan (Brunner & Suddarth,2002).
e. Kecemasan dan Stressor lain
Pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, tetapi ada
pula riset yang tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara
ansietas dan nyeri. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan
22

nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhaap nyeri (Brunner &


Suddart,2002).
f. Efek Plasebo
Efek placebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut
akan memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-
benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan
efek positif. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan
dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding
pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai
efek apapun (Brunner & Suddarth,2002).

5. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan
nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan
pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila dilakukan
sebelum nyeri menjadi parah, dan keberhasilan terbesar sering dicapai jika
beberapa intervensi diterapkan secara simultan. (Brunner & Suddarth,2002)
a. Intervensi Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis
dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama
lainnya dan pasien. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri seperti
analgesia, opoid atau obat anti inflamasi nonsteroid mungkin diresepkan atau
kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Untuk
pemberian analgesia, perawat perlu mempertahankan analgesia, mengkaji
keefektifannya dan melaporkannya jika intervensi tersebut tidak efektif atau
menimbulkan efek samping.oleh karena itu, penatalaksanaan nyeri
memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara pemberi
perawatan kesehatan.
b. Intervensi Nonfarmakologis
23

Banyak aktivitas keperawatan yang menggunakan pendekatan


nonfarmakologis dalam menghilangkan nyeri. Meskipun demikian masih
banyak pasien maupun tim kesehatan yang cenderung memandang obat
sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri
nonfarmakologis biasanya memiliki resiko yang sangat rendah karena
tindakan ini diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung
hanya beberapa detik atau menit. Dalam hal ini, pada saat nyeri hebat
berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik
nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk
menghilangkan nyeri.
Brunner & Suddarth (2002) mengemukakan bahwa adapun tindakan
nonfarmakologis yang biasa dilakukan antara lain :
1) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase ini membuat pasien lebih nyaman
karena membuat relaksasi otot
2) Kompres es dan panas
Penggunaan kompres panas dingin meliputi penggunaan kantong es,
masase mandi air dingin atau panas, penggunaan selimut atau bantal
panas.Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat
meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
3) Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS)
Stimulasi saraf elektris transkutan menggunakan satu unit peralatan yang
dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan
sensasi kesemutan, getaran atau mendengung pada area kulit tertentu.
4) Teknik Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain nyeri. Teknik distraksi antara lain : distraksi visual, distraksi audio
visual, distraksi pendengaran, distraksi pernapasan, distraksi intelektual,
distraksi taktil kinetic dan imajinasi terbimbing.
5) Teknik relaksasi
24

Teknik relaksasi dapat merilekskan ketegangan otot yang menunjang


nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekwensi lambat, berirama.
6) Imajinasi Terbimbing
Adalah kegiatan membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan
mengkonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur
membebaskan diri dari perhatian terhadap nyeri
7) Hipnotis
Hipnotis mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama
dalam situasi sulit misalnya luka bakar.Keefektifan hipnotis juga
tergantung pada kemudahan hipnotik individu.

C. Teknik Distraksi
Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke
stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori
bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang menerima
input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke
otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien), Stimulus yang
menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga
stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Peredaan nyeri
secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya
modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh
karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih
efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri,
2007).
1. Tujuan dan Manfaat Teknik Distraksi
Teknik distraksi dalam intervensi keperawatan bertujuan untuk pengalihan
atau menjauhkan perhatian klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya
rasa nyeri. Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini yaitu agar seseorang
25

yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai dan merasa berada pada
situasi yang menyenangkan. (Asmadi, 2012).
2. Prosedur Teknik Distraksi
Menurut Asmadi (2012), teknik distraksi dapat bekerja secara efektif
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Komunikasi antar perawat dan klien
b. Media distraksi yang dipakai
c. Jangka waktu yang digunakan
d. Tingkat stres, cemas maupun depresi yang dialami klien

Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain (Asmadi, 2012):


a. Distraksi visual
Distraksi visual merupakan jenis distraksi yang menggunakan indra melihat.
Contoh distraksi visual adalah dengan melihat majalan, melihat pemandangan,
dan gambar (Prasetyo, 2010).

b. Distraksi pendengaran (audio)


Distraksi audio merupakan jenis distraksi yang menggunakan indra
pendengaran. Contoh distraksi pendengaran berupa mendengarkan musik yang
disukai, suara burung, atau gemercik air. Klien diminta untuk memilih musik
yang disukai. Klien diarahkan untuk berkonsentrasi pada lirik dan lagu. Klien
juga dianjurkan menggerakan tubuh mengikuti irama lagu, seperti bergoyang,
mengetukan jari atau kaki (Tamsuri, 2007)
c. Distraksi pernafasan
Distraksi pernafasan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pertama,
yaitu bernafas ritmik. Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang
fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi
perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian
menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu
sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi
pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik
ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.
26

Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk melakukan


pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada
bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan
memutar di area nyeri. Pernapasan dalam adalah teknik yang termudah yang
digunakan untuk anak kecil. Anak di instruksikan mengambil napas melalui
hidung dan meniup keluar melalui mulut. Sambil menghitung respirasi anak,
perhatian dapat dipusatkan pada pernapasannya. Bagi anak usia sekolah,
dengan meminta mereka menahan napas sewaktu prosedur yang menyakitkan
akan memindahkan perhatian mereka pada pernapasannya bukan pada
prosedurnya. Meminta anak “meniup keluar nyeri” telah didiskusikan sebagai
alat distraksi yang efektif (French, Painterand Coury, 1994)
d. Distraksi Intelektual
Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di
tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita. Pada anak
dapat digunakan teknik menghitung benda atau barang yang ada di sekeliling
anak.
e. Distraksi sentuhan
Distraksi sentuhan merupakan distraksi dengan memberi sentuhan pada
lengan, mengusap, dan menepuk nepuk tubuh klien. Tindakan ini dapat
digunakan untuk mengaktifkan saraf lainnya guna menerima respons atau
teknik gateway control.
f. Distraksi audiovisual
Distraksi audiovisual merupakan jenis distraksi gabungan dari distraksi audio
dan visual. Contoh distraksi audiovisual adalah meononton animasi kartun
yang menggunakan media animasi kartun dalam pelaksanannya. Media
animasi adalah media berupa gambar yang bergerak disertai dengan suara
(Utami, 2007). Kartun biasa disebut animasi 2 dimensi. Kartun berasal dari
kata Cartoon yang berarti gambar lucu. Contohnya Looney Tounes, Pink
Panther, Tom and Jerry, Scooby Doo, Doraemon. Teknik ini dapat
menggunakan bantuan media elektornik, seperti TV, tablet, smarphone, dan
lainnya tergantung usia anak, misalnya untuk anak usia dini dapat
27

menggunakan media yang sesusai dengan ukuran tubuhnya agar anak dapat
menikmati animasi kartun yang diberikan. Anak anak menyukai unsur-unsur
gambar, warna cerita, dan emosi (sedih, senang, seru, bersemangat) yang
terdapat dalam film kartun merupakan unsur otak kanan dan suara yang timbul
dari film tersebut.

D. Pemasangan Infus
1. Pengertian
Pemasangan infus adalah prosedur tindakan invasif yang dilakukan dengan
cara memasukkan kateter intravena dengan tujuan pengobatan atau rehidrasi
(Weinstein,2001)
2. Tujuan
Terapi intravena diberikan pada bayi dan anak dengan alasan sebagai berikut :
a. Penggantian cairan
b. Pemeliharaan cairan
c. Rute pemberian obat atau substansi terapeutik lain (misalnya darah,
produk darah, immunoglobulin).

3. Pemilihan Vena
Pada umumnya, vena yang harus digunakan padaa terapi IV adalah venavena
distal pada tangan dan lengan seperti vena basilica, vena sefalika dan vena
metakarpal. Sebelum vena dipilih, ekstremitas harus diobservasi dan dipalpasi
untuk melihat kekenyalan dan lokasi. Sebaiknya vena yang digunakan adalah
vena yang belum digunakan dan lurus. Adapun pedoman untuk pemilihan
vena yaitu :
a. Gunakan vena-vena distal terlebih dahulu
b. Gunakan lengan pasien yang tidak dominan jika mungkin
c. Pilih vena-vena diatas area fleksi
d. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang
adekuat ke dalam kateter
e. Palpasi vena untuk menentukan kondisinya. Selalu pilih vena yang lunak,
penuh dan yang tidak tersumbat, jika ada
28

f. Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak mengganggu aktivitas pasien


sehari-hari
g. Pilih lokasi yang tidak akan mempengaruhi posedur-prosedur yang
direncanakan.
Pertimbangan pediatrik :
a. Vena dorsal kaki memungkinkan anak mempunyai mobilitas yang paling
besar
b. Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan
yang minimal
c. Tempat penusukan pada kaki, kulit kepala dan antekubiti adalah yang
paling umum digunakan pada kelompok umur bayi sampai pada anak usia
bermain (toodler)
4. Peralatan
a. Larutan IV yang tepat
b. Jarum/kateter untuk pungsi vena yang sesuai
c. Untuk infus cairan IV
d. Tourniquet
1) Perangkat pemberian (pilihan tergantung pada tipe larutan dan
kecepatan pemberian, bayi dan anak kecil memerlukan selang
mikrodrip, yang memberikan 60 tetes/ml)
2) Filter 0,22 μm 9bila diperlukan oleh kebijakan institusi atau bila
bahan berpartikel akan diberikan)
3) Tambahan selang (digunakan bila jalur IV lebih panjang perlu)
e. Sarung tangan sekali pakai
f. Papan tangan
g. Kasa 2x2 dan salep pavidon iodine; atau, untuk balutan transparan, larutan
pavidon iodine
h. Plaster yang telah dipotong dan siap digunakan
i. Handuk untuk diletakkan dibawah tangan klien
j. Pakaian khusus dengan kancing dilapisan bahu, bila tersedia.
k. Tiang infuse
5. Pelaksanaan
29

a. Cuci tangan
b. Atur peralatan di samping atau di atas meja tempat tidur
c. Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptic
d. Periksa larutan terhadap warna, kejernihan dan tanggal kadaluarsa
e. Bila menggunakan larutan IV dalam botol, lepaskan penutup logam dan
lempeng karet dan logam di bawah penutup
f. Buka set infus, mempertahankan sterilitas pada kedua ujung
g. Pasang klem rol sekitar 2 sampai 4 cm di bawah balik drip dan pindahkan
klem rol pada posisi “off”
h. Tusukkan set infus ke dalam botol cairan
i. Isi selang infus
1) Tekan bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi
2) Lepaskan pelindung jarum dan klem rol uuntuk memungkinkan cairan
memenuhi bilik drip melalui selang ke adapter jarum. Kembalikan
klem rol ke posisi off setelah selang terisi
3) Pastikan selang bersih dari udara dan gelembung udara
j. Pilih jarum IV yang tepat
k. Pilih tempat distal vena yang digunakan, bila mungkin letakkan
ekstremitas pada posisis dependen
l. Letakkan torniket 10 sampai 12 cm di atas tempat penususkan
m. Kenakan sarung tangan sekali pakai
n. Pilih vena berdilatasi baik, bersihkan tempat insersi dengan gerakan
sirkuler menggunnakan larutan pavidon iodine atau alcohol 70 %
o. Lakukan pungsi vena. Tahan vena dengan menggunakan ibu jari di
atasvena dengan meregangkan kulit berlawanan arah dengan arah
penusukan 5 sampai 7,5 cm kearah distal tempat penusukan. Tusuk dengan
bevel menghadap ke atas pada sudut 20 sampai 30 derajat sedikit kea rah
distal terhadap tempat actual pungsi vena
p. Perhatikan keluarnya darah melalui bilik flashback over the needle
catheter (ONC), yang menandakan jarum telah masuk ke vena. Turunkan
jarum sampai hamper menyentuhh kulit. Dorong kateter ONC 0,6 cm ke
30

dalam vena lalu lepaskan stiletnya. Dorong kateter ke dalam vena sampai
hubungan menempel dengan tempat pungsi vena.
q. Tahan kateter dengan satu tangan, lepaskan torniket dan lepaskan stilet
dari ONC. Dengan cepat hubungkan adapter jarum dan perangkat pemberi
ke hubungan dari ONC
r. Lepaskan klem roler untuk memulai infus pada kecepaatan untuk
mempertahankan aliran IV
s. Amankan kateter dan jarum IV (prosedur dapat saja berbeda tergantung
kebijakan institusi)
t. Atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tepat per menit
u. Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta ukuran jrum pada
balutan
v. Lepaskan sarung tangan, singkirkan alat-alat dan cuci tangan
w. Catat pada catatan perawat jenis larutan, letak insersi, kecepatan aliran,
ukuran dan tipe kateter atau jarum, kapan infuse dimulai dan bagaimana
toleransi klien terhadap prosedur ( Perry, Anne griffin, 1999).
31

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual

Tingkat nyeri anak


saat pemasangan
Faktor yang Distraksi infus
1. Ringan
mempengaruhi teknik audiovisual
2. Sedang
distraksi: 3. Berat
1. Komunikasi antar 4. Sangat berat
perawat dan klien
2. Media distraksi yang
dipakai
3. Jangka waktu yang
digunakan Dapat Tidak dapat
4. Tingkat stres, cemas menurunkan menurunkan
maupun depresi yang rasa nyeri rasa nyeri
dialami klien

1. Anak dapat bersikap 1. Anak tidak dapat


kooperatif bersikap kooperatif
2. Waktu penyembuhan 2. Waktu penyembuhan
yang dibutuhkan lebih yang dibutuhkan
singkat lebih lamat

Keterangan

Diteliti

Tidak diteliti

Pengaruh

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual


32

B. Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan sementara dari jawaban rumusan masalah


(Sujarweni, 2014). Hipotesis sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis
diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam pernyataan yang dapat
diuji (Noor, 2013). Hipotesis penelitian ini adalah:

H1 : Ada Pengaruh Distraksi Audio Visual Terhadap Penurunan Nyeri Pada


Anak Prasekolah Pada Saat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Mitra
Keluarga Cikarang
33

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah pre
eksperiment design : post test only design yaitu penelitian yang dilakukan dengan
memberikan intervensi / perlakuan kemudian dilihat hasilnya (Notoatmodjo,
2010). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan perlakuan berupa teknik
distraksi audiovisual pada saat pemasangan infus. Setelah itu di ukur tingkat nyeri
yang dirasakan oleh anak dengan menggunakan skala nyeri “FLACC”.

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien anak usia pra
sekolah (3-6 tahun).
2. Sampel
Sampel diambil dengan menggunakan teknik Quota
Sampling, jumlah sampel sebanyak 30 anak (usia 3-6 tahun).
Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala FLACC.
Sampel tersebut kemudian dipilih berdasarkan karakteristik dan kriteria
sampel berdasarkan :
1. Kriteria Inklusi :a.Anak yang berusia 3-6 tahun. b.Anak yang dirawat
inap. c.Anak yang akan menerima tindakan pemasangan infus.
d.Bersedia menjadi responden.
2. Kriteria Eksklusi : a.Anak yang berusia 3-6 tahun. b.Anak yang
dirawat inap c.Anak yang akan menerima tindakan pemasangan
infus. d.Bersedia menjadi responden.

C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu hal yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
34

tentang hal tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2009


dalam Sujarweni, 2014).
1. Variabel independent (bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi penyebab munculnya maupun perubahan pada variabel
dependent (Sujarweni, 2014). Variabel independent pada penelitian
ini adalah distraksi audiovisual.
2. Variabel Dependent(terikat)
Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat karena variable bebas (Sujarweni, 2014). Variabel
dependent dalam penelitian ini adalah tingkat nyeri pada anak saat
pemasangan infus.

D. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Cikarang yang berlokasi
Jalan Raya Industri No.100, Mekarmukti, Cikarang Utara, Bekasi, Jawa Barat.

E. Prosedur Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a. Data Primer
Pengumpulan data primer diperoleh menggunakan lembar observasi
yang telah disediakan oleh peneliti.
b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari Rekam Medik RS
Mitra Keluarga Cikarang Bekasi.
2. Sumber Data
a. Data tentang teknik distraksi audiovisual
Data tentang teknik distraksi audiovisual berupa informasi tentang
definisi dan pendapat para ahli yang diperoleh dari sumber buku dan
internet.
b. Data tentang penurunan rasa nyeri, datanya diperoleh dari hasil
kuesioner yang diberikan kepada pasien setelah diberikan perlakuan
35

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan lembar prosedur pelaksanaan teknik distraksi,
skala nyeri dengan skala peringkat nyeri “FLACC” dan lembar observasi yang
berisi catatan tentang intensitas nyeri yang dirasakan anak setelah dilakukan
teknik distraksi audiovisual pada saat pemasangan infus.

1. Uji validitas dan reliabilias instrument


Salah satu ciri tes yang baik adalah apabila tes itu dapat tepat
mengukur apa yang hendak diukur atau istilahnya valid atau sahih.
Pengujian validitas ini menggunakan rumus Produk Momen Person.
Reliabilitas instrumen diukur menggunakan rumus alpha cronbach.
Perhitungan dilakukan dengan bantuan SPSS 22.
Kreteria koefisien reliabilitas mengacu pada pendapat Guilford
(dalam Jihad dan Haris 2013:181) sebagai berikut :
0,90 < r 11 1,00 reliabilitas sangat tinggi
0,70 < r 11 0,90reliabilitas tinggi
0,40 < r 11 0,70reliabilitas sedang
0,20 < r 11 0,40reliabilitas rendah
r 11 ≤ 0,20 reliabilitas sangat rendah

2. Uji Normalitas
Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya
suatu distribusi data. Untuk menguji apakah data-data penelitian
berdistribusi normal maka dapat digunakan uji Kolmogrov-Smirnov
(Supardi,2018). Uji Kolmogrov-Smirnov Z dihitung dari perbedaan paling
besar diantara fungsi distribusi kumulatif data penelitian dengan hipotesis :
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data berdistribusi tidak normal
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
 Jika sig. > 0,05 maka terima Ho sehingga data berdistribusi normal
 Jika sig. < 0,05 maka tolaK Ho sehingga data berdistribusi tidak
normal
36

G. Pengolahan data
Proses pengolahan data yang dilakukan adalah :
1. Editing,
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data
yangdiperoleh atau dikumpulkan. Editingdapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding,
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric
(angka)terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian
kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data
menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga
daftar kode dan artinya dalam satu buku (code book) untuk
memudahkan kembali melihat dan arti suatu kode dari suatu variabel.
3. Data Entry,
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel
computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana.
4. Analisa Data, melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistic (Hidayat A, 2017).

H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat pada umumnya dalam analisis ini menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan (Hidayat A, 2017).

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan uji


wilcoxonyaitu dengan mencari perbedaan mean pretestdan posttest.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat stres hospitalisasi
pada anak saat dilakukan injeksi bolussebelum diberikan terapi dan
37

sesudah diberikan terapi. Setelah data terkumpul dan telah diskoring


kemudian dilakukan uji wilcoxon untuk mengetahui perbandingan
pengamatan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap variabel independent
dan variabel dependent.

Untuk mengetahui perbedaan antara dua variabel apakah


signifikansi atau tidak dengan menggunakan tingkat signifikansi atau
kebenaran (α) 0,05 dipergunakan software SPSS versi 22, dimana nilai
p (p value) lebih kecil dari nilai alpha (α) (p < α = 0,05) maka ada
perbedaan yang signifikan, sehingga akan diketahui pengaruh
perlakuan distraksi audiovisual terhadap penurunan nyeri pada anak pra
sekolah saat pemasangan infus dengan membandingkan nilaiposttest
dengan pretest. Sedangkan apabila p > α = 0,05 maka tidak ada
perbedaan yang signifikan, sehingga diketahui tidak ada pengaruh
distraksi audiovisual terhadap penurunan nyeri pada anak pra sekolah saat
pemasangan infus.
38

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih.


Bahasa : Agung Waluyo, et al, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J. 2009. Buku saku diagnosa keperawatan. : EGC, Jakarta.
Hidayat, A. A. A. 2005. Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep &
proses keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.
Hidayat, Aziz. 2017. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa
Data Edisi I. Jakarta : Salemba Medika.
IDAI, 2000. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri, Volume 2, pp.
43-7.
Jihad, Asep., & Abdul, Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi
Pressindo
Piaget, Jean, 1996. Antara Tindakan Dan Pikiran, disunting oleh Agus Cremers.
PT.Gramedia, Jakarta
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan.
Praktik. Edisi 4 volume 1.EGC. Jakarta
Priharjo, R. 2008. Teknik dasar pemberian obat bagi perawat. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi Cetakan ke
2, Jakarta : Rineka Cipta
Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Alfabeta, Bandung
Slavin. R., E. 2006. Educational Psychology; Theory and Practice (8th Edition).
Pearson Edcation Inc, Boston
Sudjana. 2012. Metode Statistik. Bandung: Tarsito
Supartini, Y. 2004. Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC.
Supartini,Yupi.2012. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. EGC , Jakarta.
Tamsuri, 2007. Konsep Penatalaksanaan Nyeri. EGC, Jakarta
Tufecki, F.G ., Celebioglu, A & Kucukoglu, S. 2009. Turkish Children
Loved Distraction, Using Kaleidoscope to Reduce Perceived Pain
DuringVenipuncture, Jurnal of Clinical Nursing, p 1-5
Weinstein. 2001. Terapi intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC. 
Winarno. 2012. Psikologi Perkembangan Anak. Platinum, Jakarta
Wong, L. Donna. 2009. Pedoman Klinis Keerawatan Pediatrik. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai