Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Angka kesakitan anak di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasional

(Susenas) tahun 2010, di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun sebesar

25,8%, usia 5-12 tahun sebanyak 14,91%, umur 13-15 tahun sebesar 9,1%, usia 16-21

tahun sebesar 8,13%. Angka kesakitan anak usia 0-21 tahun apabila dihitung dari

keseluruhan jumlah penduduk adalah 14,44% (Apriany, 2013). Angka ini didapat

dari jumlah kunjungan anak pada pelayanan kesehatan seperti klinik, puskesmas, atau

rumah sakit.Bila dilihat dari status rawat yaitu rawat jalan atau rawat inap. Anak yang

dirawat inap akan melalui fase yang dinamakan hospitalisasi.

Hospitalisasi pada anak merupakan suatu keadaan dimana anak harus tinggal

di rumah sakit untuk mendapatkan terapi atau perawatan tertentu selama beberapa

waktu dikarenakan suatu perencanaan atau keadaan darurat (Supartini, 2004). Selama

proses inilah anak sering mendapatkan pengalaman yang traumatik dan penuh stress.

Penyebab stres yang utama pada hospitalisasi adalah perpisahan dengan orang tua,

tidak bisa mengendalikan diri, adanya cedera pada tubuh, serta nyeri (Wong 2009).

Keadaan tersebut dapat meningkatkan status kecemasan anak seperti lingkungan yang

tidak familiar, prosedur perawatan kesehatan, terutama penggunaan jarum suntik atau

nyeri sehubungan dengan istilah-istilah asing, perlengkapan yang tidak biasa, suara

bising, dan bau familiar (Kyle & Carman, 2014). Selain itu pengalaman yang terbatas

dari penyakit juga dapat meningkatkan kecemasan. Ketakutan selama masa kanak-

1
kanak normal terjadi mencakup ketakutan berpisah dari orang tua, ketakutan

kehilangan kontrol, dan ketakutan akan mengalami cidera tubuh atau bahaya (Kyle &

Carman, 2014).

Tindakan invasif juga akan menimbulkan trauma pada anak prasekolah.

Sebuah penelitian menemukan bahwa anak usia prasekolah rentan untuk terjadinya

neddlephobia dan trauma berkepanjangan, selain itu bisa menimbulkan kecemasan,

ketakutan, dan juga nyeri (Noel et al, 2010).Pada prosedur berikutnya, anak akan

lebih mengembangkan pengalaman negatifnya sehingga nyeri yang dirasakan akan

meningkat.

Nyeri adalah pengalaman subyektif yang meliputi komponen sensorik

maupun emosional (Wong, 2009). Nyeri tidak akan dirasakan sama persis antara satu

orang dengan yang lainnya karena etiologi pemicu terjadinya nyeri pada setiap orang

berbeda. Faktor-faktor mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyeri

diantaranya usia, jenis kelamin, kebudayaan, perhatian, dukungan keluarga (Potter &

Perry, 2005).

Respon yang ditunjukkan anak prasekolah saat disuntik menunjukkan respon

gelisah terutama saat jarum suntik dicabut.Penolakan secara fisik dan verbal

terkadang juga terjadi seperti anak lari atau mengurung diri dan anak mengatakan

benci bahkan membujuk petugas untuk tidak melakukannya (Wong, 2011). Reaksi

terhadap nyeri anak prasekolah cenderung sama dengan usia balita. Walaupun

demikian anak prasekolah lebih mudah diberi penjelasan dan mudah mengalihkan

perhatiannya dibandingkan usia yang lebih kecil (Hockenbberry & Wilson, 2007).
Nyeri dan perlukaan pada tubuh, pemikiran tentang penyakit dimulai pada

periode prasekolah yang diikuti oleh kemampuan kognitif dari tahap preoperasional.

Anak pada usia tersebut mengartikan penyakit yang diderita karena akibat dari

perbuatan mereka sebelumnya atau juga mengartikannya bahwa penyakit yang

diderita merupakan kontaminasi dari orang lain (Potter & Perry, 2005). Penelitian

yang dilakukan oleh Mediani et al (2005) tentang respon nyeri infant dan anak saat

prosedur pemasangan infus menemukan bahwa infant, balita, dan usia sekolah

menunjukkan respon nyeri yang beragam seperti menangis, verbal dan pergerakan

badan. Sedangkan pada remaja hanya menunjukkan respon fasial saja seperti

mengerutkan bibir, mengatupkan gigi, dan menyeringai.

Literatur mengenai penanganan nyeri di Indonesia masih sedikit.Hasil studi

didapatkan bahwa tenaga medis tidak melakukan pengkajian nyeri dengan optimal

dan cenderung untuk mengabaikannya saja dengan asumsi bahwa anak tidak

mengutarakan nyeri secara verbal (Zeltzer & Brown, 2007).Padahal upaya

penanggulangan nyeri pada anak menjadi prioritas pertama bagi tindakan

keperawatan.Hal ini menjadi masalah kala anak yang berusia masih kecil belum

memiliki perbendaharaan kata yang cukup.Oleh karena itu perawat harus memilki

keterampilan yang cukup dalam melakukan pengkajian nyeri pada anak dan

menganggap bahwa nyeri pada anak adalah nyata (Potter & Perry, 2005).

Di Negara lain penanganan nyeri lebih maju dibandingkan di Indonesia

walaupun belum efektif dalam penerapannya (Srouji et al, 2010) Prosedural yang

jelas telah menjadi acuan tenaga medis untuk memilih penanganan nyeri yang tepat.
Terutama pada anak yang memiliki keterbatasan dalam menjelaskan tipe, derajat dan

lokasi dari nyeri (Srouji et al, 2010).

Penanganan nyeri harus dilakukan secara optimal, tujuannya agar terjadi

penurunan intensitas nyeri sehingga anak merasa aman dan nyaman.Secara umum

penanganan nyeri dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penanganan farmakologis

dan non farmakologis. Disinilah perawat dapat mengambil peran besar dalam

penanganan non farmakologis.

Penanganan secara farmakologis membutuhkan kolaborasi dengan profesi lain

(Brunner & Suddarth, 2002).Obat yang paling umum untuk menghilangkan nyeri

adalah EMLA (Eutetic Mixture of Local Anasthetics (Weibe, 2015) atau vapocoolant

spray. Tetapi obat ini sangat jarang digunakan pada pengambilan darah karena efek

nyeri yang dihasilkan saat obat ini diberikan terkadang lebih besar daripada proses

pengambilan darah itu sendiri.

Berbagai macam teknik non farmakologi telah banyak digunakan. Beberapa

diantaranya dianggap efektif menurunkan nyeri seperti guided imaginary dan

relaksasi (Weiner, 2001). Walaupun efektif tetapi kedua teknik ini membutuhkan

kooperatif anak dan dalam penatalaksanaannya mengharuskan anak berada dalam

tingkat konsentrasi yang tinggi (Breivik et al, 2008).Guided imaginary dan relakasasi

dilakukan dengan mengikuti instruksi perawat dan dalam keadaan tenang.Anak juga

dianggap belum memahami istilah “rileks” (Breivik et al, 2008).Hal ini dirasa kurang

sesuai dengan status perkembangan anak prasekolah yang aktif dan mudah

terdistraksi (James et al, 2012).Anak prasekolah memiliki imajinasi yang aktif dan

diwujudkan dengan aktifitas yang tinggi (Iyer & Appelbaum, 2003).Guided


imaginary dan relaksai dapat menurunkan persepsi ancaman nyeri, memberikan

kemampuan mengontrol nyeri, meningkatkan rasa nyaman dan meningkatkan

istirahat dan tidur (Greco & Berde, 2005).

Berbagai jenis intervensi telah banyak digunakan untuk menurunkan nyeri

dan kecemasan (Schechter et al, 2007). Salah satu yang efektif adalah penggunanan

teknik distraksi yang beragam ( He et al, 2005). Anak usia prasekolah berespon baik

terhadap distraksi (Iyer & Appelbaum, 2003). Pada distraksi, penurunan nyeri dapat

optimal apabila jumlah sensori yang terlibat semakin banyak dan ketertarikan anak

terhadap stimuli. Oleh karena itu stimuli yang melibatkan penglihatan, pendengaran,

dan sentuhan lebih efektif daripada hanya satu stimuli saja ( Paul& Williams, 2009).

Distraksi adalah salah satu strategi yang digunakan oleh tenaga kesehatan

profesional untuk mengalihkan perhatian anak dari nyeri akibat prosedur klinikal

seperti pengambilan sampel darah kepada hal yang menyenangkan (Yoo et al,

2011).Anak prasekolah rentan untuk merasa takut atau phobia sehingga cocok

digunakannya teknik distraksi.Metode menggunakan cerita favorit anak bisa

mengalihkan perhatian anak dan membuat anak tetap tenang.Mereka juga senang

menikmati musik atau lagu favorit. Selain itu menonton TV juga bisa membuat anak

fokus kepada hal lain disamping pengalaman nyeri ( Iyer& Appelbum, 2003). Anak

yang berumur 4-6 tahun teknik distraksi yang digunakan adalah bernapas, bercerita,

bermain boneka, berbicara tentang tempat favorit, acara TV, dan aktifitas (Coyne, et

al, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Yoo et al (2011) menemukan distraksi video

animasi efektif dalam menurunkan nyeri, serum kortisol dan kadar glukosa pada anak
presekolah di Seoul, Korea. James et al (2012) melakukan penelitian yang serupa

pada anak umur tiga sampai enam tahun untuk mengetahui persepsi nyeri saat

dilakukan pengambilan darah dengan menggunakan strategi distraksi video kartun

dengan media laptop.Hasilnya menunjukkan terjadi penurunan persepsi nyeri

menggunakan kartun “Chhota Bheem” di India. Penurunan nyeri ditemukan pada

penelitian kuasi eksperimen dilakukan oleh Kaur et al (2014) dengan anak umur 4

sampai 12 tahun untuk mengetahui intensitas nyeri dan strees pada anak yang

dilakukan pengambilan darah dengan menggunakan video kartun “Tom and Jerry

Tales”.

Penelitian terkait distraksi menonton kartun telah dilakukan di negara lain,

tetapi ini menjadi kajian menarik perihal latarbelakang budaya yang berbeda antara

Indonesia dan luar negeri. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemandirian anak yang

ujungnya mempengaruhi tingkah laku anak.Di luar negeri, orang tua mendidik

anaknya agar mandiri dan berani bisa dilihat anak sedari kecil telah dibiasakan untuk

tidur sendiri dengan mematikan lampu kamar.Di Indonesia anak dibiasakan untuk

selalu dekat dengan orang tua. Masih banyak anak usia sekolah tidur satu kamar

dengan orang tua akibat takut dan berbagai hal. Kebiasaan ini menjadikan anak

Indonesia mudah untuk takut.Selain itu paparan informasi juga mempengaruhi

tingkah laku. Anak di luar negeri diperbolehkan untuk mengakses informasi seluas-

luasnya dengan pantauan orang tua sedangkan di Indonesia anak-anak dianggap tabu

untuk mengetahui beberapa hal yang semestinya dapat diberikan dengan bimbingan

orang tua.
Distraksi kartun ini sangat membantu tugas perawat dalam memberikan

asuhan, sehingga perawat dapat fokus pada pekerjaannya (Kaur et al,

2014).Menonton kartun dirasa sangat cocok dengan status perkembangan anak

prasekolah karena kartun menayangkan hal yang lucu, ceria sesuai dengan

karakteristik anak yang belum memiliki masalah atau beban.

Penilitian sebelumnya mengemukakan, anak-anak yang menjalani

hospitalisasi di Amerika diketahui takut dengan proses penyuntikan dengan 50-80%

anak mengeluh nyeri. Dari data yang dikumpulkan dari tahun 1992 sampai 2004 dari

American Pain Society Reveals 70% anak yang dihospitaliasasi mengeluh nyeri,

sebanyak 30% mengeluh nyeri sedang, dan 15% mengeluh nyeri sedikit. Injeksi

intravena merupakan prosedur yang paling banyak dialami oleh anak dan sebanyak

50% anak mengalami tingkat nyeri yang cukup signifikan selama proses penyuntikan

IV (Kaur et al, 2014).

Peran perawat memberikan kenyamanan pada anak saat tindakan invasif

dilakukan karena perawat yang sering berada di dekat anak.Dalam setiap asuhan

keperawatannya, perawat harus bisa menciptakan kondisi yang nyaman bagi anak dan

keluarga.Perawat juga harus bisa menjalin hubungan saling percaya antara

keduanya.Terutama pada anak yang telah diberikan tindakan invasif sebelumnya

cenderung tidak mau untuk didekati oleh perawat, hal ini berkaitan dengan

pengalamn nyeri yang pernah dirasakan sebelumnya.Pengetahuan perawat tentang

penilaian nyeri dan intervensi sangat penting guna manajemen nyeri yang efektif dan

berkualitas dalam perawatan pasien (Patricia, 2010).Pengambilan darah merupakan


prosedur yang sering dilakukan pada saat anak dirawat, hal inilah yang membuat

prosedur ini luput dari tanggung jawab perawat yaitu meminimalisir nyeri.

Sebuah studi terhadap anak yang dihospitalisasi, Crole dan Smith (2002)

menemukan asuhan keperawatan untuk anak yang dihospitalisasi terjadi dalam empat

fase yaitu perkenalan, membina hubungan saling percaya, fase pengambilan

keputusan, dan memberikan kenyamanan serta penanganan. Semua fase ini saling

berkaitan, jika fase perkenalan tidak terbentuk maka fase-fase berikutnya tidak akan

terjadi (Kyle & Carman, 2014). Pendekatan perawat sering kali terjadi penolakkan

oleh anak.Ujungnya adalah anak menolak untuk diberikan tindakan. Oleh karena itu

penting bagi perawat untuk mengetahui prinsip atraumatic care yaitu menurunkan

atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga, meningkatkan kemampuan orang

tua dalam mengontrol perawatan anak, mencegah atau mengurangi cedera dan nyeri,

tidak melakukan kekerasan pada anak, modifikasi lingkungan fisik (Hidayat, AA

2005).

RSUD Cibabat merupakan rumah sakit negeri kelas B. Sebagai rumah sakit

rujukan tren rawat inap dan rujukan selalu meningkat. Oleh karena itu RSUD Cibabat

melalui visi “RSUD Cibabat tedepan dan kreatif dalam pelayanan kesehatan” dengan

motto “Prioritas pada kesehatan dan mutu pelayanan” berusaha meningkatkan

kualitas pelayanan baik dari tingkat kenyamanan maupun kepegawaian. Dari hasil

observasi yang telah dilakukan peneliti sebelumnya didapatkan hasil bahwa anak

pada saat dilakukan pengambilan darah oleh tenaga medis terutama perawat

menunjukkan respon penolakkan yang beragam, seperti menangis, berteriak,

menggenggam tangan orang yang berada disampingnya.Anak juga menunjukkan


sikap takut untuk bertemu tenaga medis salah satunya perawat. Anak menjadi was-

was dan susah untuk didekati guna pemberian asuhan keperawatan. Selain itu juga

dari hasil wawancara dengan beberapa anak di ruang anak RSUD Cibabat didapatkan

hasil 4 dari 10 anak prasekolah mengalami nyeri hebat dan 1 orang anak mengalami

nyeri sedang. Pendekatan yang dilakukan perawat adalah dengan menggunakan

teknik sentuhan dalam prosedur pengambilan darah.Selain itu perawat juga meminta

peran orang tua untuk memegangi anak saat prosedur berlangsung.Perawat

mengatakan tidak ada teknik khusus untuk meminimalisir nyeri pada anak.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh teknik distraksi menonton kartun terhadap penurunan

tingkat nyeri pada anak prasekolah saat pengambilan darah?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan penelitian ini adalah Mengetahui pengaruh teknik distraksi

menonton kartun terhadap penurunan nyeri pada anak prasekolah saat pengambilan

darah.
1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

a. Mengetahui tingkat nyeri pada anak prasekolah setelah dilakukan teknik

distraksi menonton kartun pada kelompok kontrol dan intervensi pada saat

pengambilan darah.

b. Membandingkan tingkat nyeri anak prasekoah sesudah dilakukan teknik

distraksi menonton kartun pada kelompok kontrol dan intervensi pada saat

pengambilan darah.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Institusi pendidikan keperawatan

Dapat menambah wawasan dan jumlah referensi bacaan terkait pengaruh

teknik distraksi menonton kartun terhadap penurunan tingkat nyeri pada anak

prasekolah saat pengambilan darah.

b. Pelayanan kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu evidane

based dalam menurunkan tingkat nyeri pada anak prasekolah saat pengambilan darah.

c. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sebagai referensi penelitian tentang

pengaruh teknik distraksi menonton kartun pada anak prasekolah yang dilakukan

pengambilan darah dan dapat menjadi landasan bagi peneliti selanjutnya.


1.5 Kerangka Pemikiran

Nyeri adalah pengalaman subyektif yang meliputi komponen sensorik

maupun emotional (Wong 2009).Nyeri pada anak tidak hanya berupa sensasi yang

menyakitkan tetapi juga membingungkan karena nyeri pada anak tidak dapat diatasi,

tidak dapat menjelaskan mengapa nyeri timbul, atau tidak dapat memahami penyebab

nyeri. Usia anak juga mempengaruhi persepsi nyeri, terutama pada anak kecil yang

belum dapat mengucapkan kata-kata akan mengalami kesulitan untuk

mengekspresikan dan mengungkapkan nyeri secara verbal (Whaley & Wong, 2003).

Faktor-faktor mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyeri

diantaranya usia, jenis kelamin, kebudayaan, perhatian, dukungan keluarga (Potter &

Perry, 2005).

Pengambilan darah merupakan prosedur yang sering dilakukan pada saat anak

dirawat.Anak prasekolah yang dilakukan prosedur pengambilan darah cenderung

menunjukkan respon yang gelisah terutama saat jarum dicabut.Walaupun demikian

anak prasekolah yang telah mengerti apabila diberikan penjelasan lebih mudah untuk

mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri sehingga memungkinkan untuk terciptanya

toleransi nyeri (Hockenbberry & Wilson, 2007).

Perawat harus memperhatikan penanganan nyeri pada anak dan harus

dilakukan secara optimal, tujuannya agar terjadi penurunan intensitas nyeri sehingga

anak merasa aman dan nyaman.Secara umum penanganan nyeri dapat dilakukan

melalui dua cara yaitu penanganan farmakologis dan non farmakologis.

Beberapa jenis tindakan non farmakologis yang dapat menurunkan intensitas

nyeri diantaranya distraksi, relaksasi, guided imaginary, stimulasi kulit memberikan


strategi koping yang membantu menurunkan tingkat nyeri, sehinga nyeri yang

ditimbulkan dapat ditolerir, cemas menurun, dan efektifitas pereda nyeri meningkat

(Wong & Hockenberry, 2003).

Teknik distraksi merupakan bagian dari tindakan mandiri perawat. Teknik

distraksi adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri dengan mengalihkan

perhatian pasien pada hal lain sehingga tingkat toleransi terhadap nyeri meningkat

(Potter & Perry, 2005). Stimuli yang melibatkan penglihatan, suara dan sentuhan

paling efektif untuk diguanakan, salah satu diantaranya adalah distraksi visual yaitu

dengan menonton kartun dibandingkan hanya dengan salah satu stimuli saja (Paul &

William, 2009).Distraksi menonton kartun sangat sederhana untuk dilakukan, tidak

menimbulkan efek samping dan tanpa mengeluarkan biaya.Mekanisme teknik

ditraski mengatasi nyeri yaitu dengan menghambat stimulus sehingga nyeri yang

dirasakan menjadi berkurang.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoo et al (2011) menemukan distraksi

video animasi efektif dalam menurunkan nyeri, serum kortisol dan kadar glukosa

pada anak presekolah di Seoul, Korea. James et al (2012) melakukan penelitian yang

serupa pada anak umur tiga sampai enam tahun untuk mengetahui persepsi nyeri saat

dilakukan pengambilan darah dengan menggunakan strategi distraksi video kartun

dengan media laptop.Hasilnya menunjukkan terjadi penurunan persepsi nyeri

menggunakan kartun “Chhota Bheem” di India. Penurunan nyeri ditemukan pada

penelitian kuasi eksperimen dilakukan oleh Kaur et al (2014) dengan anak umur

empat sampai 12 tahun untuk mengetahui intensitas nyeri dan strees pada anak yang

dilakukan pengambilan darah dengan menggunakan video kartun “Tom and Jerry
Tales”. Penelitian lain dilakukan oleh Downey & Zun (2012) menggunakan video

“Barney” dan “Tarzan” saat pengambilan darah di Emergency Department. Penelitian

ini menemukan bahwa penggunaan video kartun efektif dalam penurunan nyeri.
Gambar1. Kerangka pemikiran pengaruh teknik distraksi menonton kartun terhadap penurunan nyeri anak prasekolah saat
pengambilan darah.
Tindakan invasif
(pengambilan darah)

Relaksasi
Manajemen Nyeri non
Respon nyeri farmakologi
Guided Imaginary
 Psikologis
 Fisiologis
 Perilaku
-Secara vocal: terengah-engah. Kelompok Kelompok
-Ekpresi wajah: meringis, kontrol intervensi
mengatupkan gigi, dll
-Gerakan tubuh: gelisah,
imobilasai, ketegangan otot
Tidak diberikan Distraksi visual serabut saraf besar menghambat
perlakuan (menonton kartun) impuls serabut kecil mencapai otak
Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak


Nyeri Inhibitory aktif oleh serabut sarf besar menghambat
diteliti projection neuron mengirim impuls nyeri ke otak

Sumber:
Potter & Perry, 2009; Murphy, 2009 Nyeri berkurang Gerbang tertutup
14

Anda mungkin juga menyukai