Anda di halaman 1dari 7

(IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .

HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler GDQ


3UDVHNRODK 6DDW 7LQGDNDQ .HSHUDZDWDQ

1LGDD¶ $¶GLLODK1 ,UPDQ 6RPDQWUL2


1
Staff Paramedis Waskita Karya, 2Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
Email: nidaaadiilah@gmail.com

$EVWUDN
Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa hospitalisasi menjadi saat yang memberikan perasaan tidak nyaman bagi
anak yang dapat mengakibatkan kecemasan. Hasil studi pendahuluan pada Ruang Anak RS X ditemukan 6 pasien
kategori toddler-prasekolah menunjukkan reaksi cemas ketika akan dilakukan tindakan keperawatan, sedangkan
4 pasien sebaliknya. Peran perawat dalam hal ini adalah mendukung perilaku koping anak, menstimulasi
perkembangannya, dan mengurangi ketidaknyamanan, salah satu caranya dengan terapi mendongeng. Tujuan
penelitian untuk mengetahui pengaruh terapi mendongeng terhadap tingkat kecemasan anak usia toddler
dan prasekolah selama tindakan keperawatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain
eksperimen semu ini menggunakan pendekatan posttest design with a comparison group. Variabel yang digunakan
adalah terapi mendongeng dan tingkat kecemasan. Sampel penelitian menggunakan teknik quota purposive
sampling, yaitu 15 sampel untuk tiap kelompok. Hasil penelitian menunjukkan mean skor kecemasan toddler
4.40, sedangkan prasekolah 1.80, artinya skor kecemasan prasekolah lebih rendah dibandingkan toddler setelah
terapi mendongeng. Simpulan penelitian menunjukkan terdapat perbedaan skor kecemasan pada usia toddler
dan prasekolah setelah pemberian terapi mendongeng. Namun, terapi lebih efektif diberikan kepada prasekolah.

.DWD NXQFL Anak, kecemasan, terapi mendongeng.

(IIHFWLYHQHVV RI 6WRU\ 7HOOLQJ 7KHUDS\ WRZDUGV WKH $Q[LHW\ RI 7RGGOHU DQG


3UH VFKRRO &KLOGUHQ GXULQJ 1XUVLQJ ,QWHUYHQWLRQ

$EVWUDFW

The background of this study was that children experience anxiety during hospitalization. The initial study in
Children Ward Hospital X showed that 6 toddler and pre-school children were experiencing anxiety during nursing
intervention, while 4 patients did not show this. Nurses’ roles are to support the coping mechanisms of the children,
stimulate their development, and reduce their uncomfortableness through story-telling therapy as one of strategies.
This study aimed to identify the effectiveness of story-telling therapy to reduce the anxiety of toddler and pre-school
children. This study used quasi experimental using posttest design with a comparison group. The variables are story-
telling therapy and the anxiety level. Samples were recruited using a quota purposive sampling, which consists of 15
children for every group. The results showed that the mean score of toddler’s anxiety was 4.40, while the pre-school
children score was 1.80. This means that the anxiety of pre-school school children were lower than toddler after
story-telling therapy. In conclusion, this study showed that there were differences of anxiety scores after story-telling
therapy among toddler and pre-school children; however, this therapy is more effective for pre-school children.

.H\ZRUGV Anxiety, children, story-telling therapy.

248 JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016


1LGDD¶ $¶GLLODK (IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler dan Prasekolah

3HQGDKXOXDQ dan emosional anak (Purwandari, Mulyono, &


Sucipto, 2010).
Hospitalisasi, baik itu hospitalisasi jangka Bermain dapat dijadikan sebagai suatu
pendek, pembedahan, ataupun hospitalisasi terapi karena berfokus pada kebutuhan anak
jangka panjang dari suatu penyakit yang untuk mengekspresikan diri mereka melalui
kronik sering kali menjadi krisis pertama penggunaan mainan dalam aktivitas bermain
yang harus dihadapi anak, terutama selama dan dapat digunakan untuk membantu anak
tahun-tahun awal. Hal ini sering menimbulkan mengerti tentang penyakitnya. Bermain
stres karena anak akan mengalami ketakutan WHUDSHXWLN VXGDK GLLGHQWL¿NDVL VHEDJDL
terhadap orang asing yang tidak dikenalnya intervensi yang efektif untuk persiapan
dan pekerja rumah sakit, perpisahan dengan anak hospitalisasi, koping, pemahaman,
orang terdekat, kehilangan kendali, ketakutan dan prosedur untuk mengurangi nyeri, dan
tentang tubuh byang disakiti, dan nyeri (Potter, stres karena hospitalisasi. Prosesnya dapat
2013). Reaksi-reaksi tersebut dipengaruhi dilakukan dengan cara melibatkan penggunaan
oleh usia perkembangan; pengalaman ¿OP YLGHR DWDX EXNX EXNX $O¿\DQWL +DUWDWL
sebelumnya dengan penyakit, perpisahan, & Samiasih, 2007).
atau hospitalisasi; keterampilan koping yang Penelitian menemukan adanya pengaruh
dimiliki; keparahan diagnosis; dan sistem terapi bermain terhadap tingkat kekooperatifan
pendukung yang ada (Hockenberry & Wilson, pada anak usia 3–5 tahun (Handayani &
2013). Puspitasari, 2009). Begitu pun dengan
Cemas akibat perpisahan atau yang biasa penelitian Purwandari, dkk. (2010) yang
disebut depresi analitik, merupakan stres menyatakan bahwa terapi bermain berdampak
utama pada bayi usia pertengahan sampai terhadap penurunan kecemasan perpisahan
usia prasekolah. Pada rentang usia tersebut pada anak prasekolah yang mengalami
kecemasan dimanifestasikan dalam tiga fase, hospitalisasi. Pada penelitian lain, terapi
yaitu fase protes, putus asa, dan pelepasan. bermain menggunakan alat bantu puzzle
Selama fase protes, anak-anak bereaksi secara dan musik berpengaruh pada penurunan
agresif, menolak perhatian dari orang lain, dan tingkat kecemasan anak yang dihospitalisasi.
kedukaan mereka tidak dapat ditenangkan. Selain itu terapi membacakan dongeng pun
Selama fase putus asa, anak-anak cenderung dapat memengaruhi kecemasan anak yang
tidak aktif, tidak tertarik, dan menarik diri dihospitalisasi (Done, 2008).
dari orang lain. Sedangkan fase pelepasan, Kegiatan mendongeng dapat dilakukan
anak akan tampak menyesuaikan diri terhadap dengan menggunakan alat bantu replika
lingkungan, akan tetapi hal ini merupakan peralatan rumah sakit atau boneka tangan.
hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan Boneka tangan biasanya efektif untuk
tanda-tanda kesenangan (Hockenberry & berkomunikasi dengan anak-anak, dan
Wilson, 2013). membantu mereka (Hockenberry & Wilson,
Tujuan utama asuhan keperawatan anak 2013). Sehingga hal ini dapat menjadi sebuah
yang dihospitalisasi adalah meminimalkan terapi, yaitu terapi mendongeng.
munculnya masalah pada perkembangan anak. Mendongeng dapat meningkatkan rasa
Perawat yang melibatkan anak dalam aktivitas percaya (trust), menjalin hubungan, dan
yang sesuai dengan tingkat perkembangan menyampaikan pengetahuan. Ide terapi
akan lebih menormalkan lingkungan anak mendongeng bukanlah konsep baru.
dan membantu mengurangi gangguan Mendongeng sudah digunakan pada proyek
perkembangan anak (Wong, 2008). komunitas, promosi kesehatan dan pencegahan
Bermain merupakan pekerjaan pada penyakit, koping terhadap kesedihan, dan
masa kanak-kanak. Ahli pekembangan anak sebagainya (Parker & Wampler, 2010).
mengakui bahwa bermain sebagai strategi Terapi ini dapat diaplikasikan pada rentang
koping yang penting bagi anak, hal tersebut toddler dan prasekolah. Banyak orang tua
merupakan aspek terpenting dalam kehidupan meyakini bahwa pentingnya kemampuan
anak serta merupakan salah satu cara yang berbahasa di masa depan (de Vris, 2008),
paling efektif menurunkan stres pada anak sehingga secara tidak langsung terapi
dan penting untuk menyejahterakan mental mendongeng ini dapat mengembangkan

JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016 249


1LGDD¶ $¶GLLODK (IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler dan Prasekolah

kemampuan berbahasanya. Selain itu responden untuk tiap kategori dengan kriteria
pada tingkat perkembangan, sangat sulit inklusi: anak dirawat pada hari ke 1–3 di rumah
bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk sakit, tidak mengalami gangguan mental,
memberikan tindakan pada mereka (Dillon, berada pada rentang skor kecemasan 7–9,
2007). Pada usia toddler dan prasekolah, dan belum pernah mempunyai pengalaman
mereka mulai tumbuh rasa untuk bersosialisasi,
dirawat di rumah sakit (baru pertama kali
keingin tahuan yang tinggi, dan memiliki self-
dirawat di rumah sakit).
control dan will power (Sue, 2010). Namun, Instrumen yang digunakan di buat
toddler memiliki rentang perhatian yang berdasarkan ciri-ciri kecemasan berdasarkan
pendek (Adriana, 2011) sehingga kemungkinan teori kecemasan hospitalisasi pada anak dari
untuk menerima terapi mendongeng cukup Wong (2008) dan The Assesment of Anxiety
rendah dibandingkan dengan prasekolah yang States by Rating dari Hamilton (de Vries,
cenderung memiliki imajinasi yang tinggi. 2008).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan Peneliti mengambil data primer melalui
di Ruang Anak RS X melalui observasi pada mengobservasi secara langsung kepada
10 pasien kategori toddler-prasekolah (1–6 responden sebanyak dua kali kunjungan.
tahun) ditemukan 4 pasien toddler dan 2 pasien
Kunjungan pertama merupakan observasi
prasekolah menunjukkan reaksi cemas ketika awal untuk menentukan kesesuaian klien
akan dilakukan tindakan pemberian obat dan dengan kriteria inklusi. Jika klien layak, maka
pemeriksaan tanda-tanda vital. Sedangkan 4 langkah selanjutnya adalah mengeksplorasi
pasien menunjukkan sikap yang tenang. minat responden dari orang tua/ wali sebagai
Berdasarkan hasil wawancara dengan bahan materi untuk dongeng.
perawat, perlakuan perawat dalam menghadapi Kunjungan kedua adalah pemberian terapi
pasien yang mengalami kecemasan bermacam- mendongeng selama tiga menit menggunakan
macam. Dua orang perawat mengatakan bahwa alat bantu berupa boneka tangan berbentuk
mereka biasanya menggendong pasien, dua binatang. Setelah itu, perawat memberikan
orang perawat akan lebih melibatkan keluargatindakan (dalam hal ini pemberian obat melalui
pasien, dan tiga orang mengatakan biasanya selang infus) kepada responden dan peneliti
akan membuat mainan balon dari sarung mengobservasi skor kecemasan responden
tangan. Respon pasien setelah mendapatkan dan mencatatnya pada lembar observasi.
perlakuan perawat tersebut adalah sebagian Data dianalisis dengan menggunakan
besar pasien tetap menangis, dan sebagian nilai-niai numeriknya terutama pada variable
kecilnya akan berhenti menangis terutama jika
kecemasan, dimana data yang muncul adalah
sudah kenal dekat dengan perawat. nilai tengah (rata-rata skor kecemasan), dan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk niai penyimpangan (standar deviasi, rentang,
PHQJHWDKXL HIHNWL¿WDV WHUDSL PHQGRQJHQJ 95% FRQ¿GHQFH LQWHUYDO).
terhadap tingkat kecemasan antara anak Analisis data untuk melihat perbedaan
usia toddler dan prasekolah saat tindakan HIHNWL¿WDV WHUDSL PHQGRQJHQJ WHUKDGDS
keperawatan. kecemasan anak menggunakan analisis
parametrik dikarenakan data yang digunakan
adalah data dengan skala numeriknya, untuk
0HWRGH 3HQHOLWLDQ melihat perbedaan kecemasan diantara kedua
kelompok sampel maka dilakukan dengan uji
Penelitian kuantitatif ini menggunakan t tidak berpasangan.
rancangan penelitian eksperimen semu dengan
menggunakan pendekatan posttest design with
a comparison group (Burns & Grove, 2007). +DVLO 3HQHOLWLDQ
Variabel penelitian yang digunakan adalah
terapi mendongeng dan tingkat kecemasan. Karakteristik responden dalam penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh anak ini meliputi jenis kelamin dan hari dirawat.
yang dirawat di Ruang Anak RS X. Teknik Berdasarkan Tabel 1, karakteristik responden
sampel yang digunakan adalah purposive toddler dan prasekolah di Ruang Anak RS X
sampling (Notoatmodjo, 2010) didapatkan 15 memiliki frekuensi jenis kelamin yang sama,

250 JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016


1LGDD¶ $¶GLLODK (IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler dan Prasekolah

terdiri dari laki-laki sebanyak 46,7% dan nilai mean dibawah 7 (skor kecemasan awal
perempuan 53,3%. responden 7–9). Hal ini menunjukkan bahwa
Hal ini menyatakan bahwa jenis kelamin telah terjadi penurunan skor kecemasan
tidak berpengaruh besar dalam hasil penelitian dari keadaan sebelum diberikan terapi
ini. Pada karakteristik hari dirawat, kelompok mendongeng. Toddler memiliki nilai tendensi
toddler lebih banyak dilakukan pengambilan sentral lebih tinggi dibandingkan prasekolah
data pada hari ke-2 yaitu sebesar 53,3%, (M = 4,4; SD = 1,72). Hal ini menyatakan
sedangkan pada kelompok prasekolah adalah bahwa prasekolah memiliki skor kecemasan
anak yang dirawat pada hari ke-3 sebesar yang lebih rendah dibandingkan prasekolah
66,7%. Hari ke- dirawat berpengaruh pada setelah pemberian terapi mendongeng.
skor kecemasan anak. Semakin lama dia
dirawat, maka skor kecemasan akan semakin 3HQJDUXK 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS
rendah. .HFHPDVDQ $QDN
.HFHPDVDQ $QDN Pengaruh terapi mendongeng terhadap
kecemasan anak dapat dilihat pada tabel 3.
Skor kecemasan dalam rentang 0–18. Skor Tabel 3 diketahui nilai p adalah < 0,05 dengan
0 berarti anak tidak mengalami kecemasan, mean difference sebesar 2,53. Karena p value
sedangkan skor 18 memiliki arti bahwa anak < 0,05 maka diambil kesimpulan hipotesis
megalami kecemasan yang sangat. diterima yang artinya ada beda skor kecemasan
Pada Tabel 2, kedua kelompok memiliki pada anak usia toddler dan prasekolah setelah

7DEHO .DUDNWHULVLWLN 5HVSRQGHQ


.DUDNWHULVWLN 7RGGOHU Q 3UDVHNRODK Q
)UHNXHQVL % )UHNXHQVL %
Jenis Kelamin
Laki-laki 7 46,7 7 46,7
Perempuan 8 53,3 8 53,3
Hari rawat Ke-
1 0 0,0 2 13,3
2 8 53,3 3 20,0
3 7 46,7 10 66,7

7DEHO 'HVNULSVL 6NRU .HFHPDVDQ Toddler 'DQ 3UDVHNRODK


Toddler 3UDVHNRODK
Mean 4,40 1,87
Std. Deviation 1,72 1,30
Minimum 1,00 0,00
Maximum 7,00 5,00
Range 6,00 5,00
&RQ¿GHQFH ,QWHUYDO IRU 0HDQ Lower Bound 3,44 1,15
Upper Bound 5,35 2,59

7DEHO +DVLO 8ML W 7LGDN %HUSDVDQJDQ


N Mean ± SD MD CI P
Toddler 15 4,40 ±1.72
2,53 (3,67–1,39) 0,000
Prasekolah 15 1,87 ±

1.30

JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016 251


1LGDD¶ $¶GLLODK (IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler dan Prasekolah

pemberian terapi mendongeng. belum melewati fase adaptasi untuk mencapai


tahap penerimaan, karena tahap penerimaan
ini biasanya terjadi setelah anak dirawat di
3HPEDKDVDQ rumah sakit selama beberapa hari atau dalam
jangka waktu lebih dari tiga hari dan tiap anak
Proses hospitalisasi anak akan sering memiliki waktu adaptasi yang berbeda-beda
menimbulkan kecemasan karena adanya (Hockenberry & Wilson, 2013).
stresor berupa perpisahan dengan keluarga, Fase kecemasan ini dapat diminimalisasi
kehilangan kontrol, dan ketakutan akan injuri dengan cara memberikan permainan
terhadap anggota tubuh (Potter, 2013). Selama terapeutik kepada anak. Permainan terapeutik
dirawat di rumah sakit ini, anak mengalami ini merupakan koping bagi mereka untuk
perpisahan dengan keluarga, berada di menghadapi hal-hal yang baru dan membuat
lingkungan yang asing, dan harus menjalani stres. Perawat dapat membantu anak untuk
beberapa prosedur keperawatan/medis. beradaptasi dengan kecemasan mereka
Banyak reaksi yang muncul akibat keadaan akan tindakan keperawatan ataupun medis
tersebut. Namun, secara garis besar reaksi yang lainnya dan meluruskan kesalahpahaman
muncul dipengaruhi oleh usia perkembangan; yang dimiliki anak-anak tentang hospitalisasi.
pengalaman sebelumnya dengan penyakit, Dalam aktivitas permainan terapeutik ini,
perpisahan, atau hospitalisasi; keterampilan anak diajarkan untuk mengontrol kesehatan
koping yang dimiliki; keparahan diagnosis; emosional dan dipahamkan tentang
dan sistem pendukung yang ada (Hockenberry penyakitnya.
& Wilson, 2013). Permainan terapeutik memiliki beberapa
Kecemasan yang dialami anak selama tujuan, yaitu aktivitas pembelajaran, aktivitas
dilakukan tindakan keperawatan dipengaruhi pengalihan, dan aktivitas ekspresif. Permainan
oleh kecemasan hospitalisasi, yang terdiri dari terapeutik sebagai aktivitas pengalihan
tiga fase. Pertama fase protes, ditunjukkan atau diversional membantu anak dalam
dengan reaksi anak yaitu menangis, berteriak, mengalihkan perhatian pada aktivitas yang
mencari dan memegang erat orang tua, disukainya (Hockenberry & Wilson, 2013).
menolak bertemu dan menyerang orang yang Mendongeng merupakan salah satu aktivitas
WLGDN GLNHQDO EDLN VHFDUD YHUEDO PDXSXQ ¿VLN yang dapat digunakan dan sesuai dengan
Kedua adalah fase putus asa yang ditandai perkembangan umur mereka (Andriana,
dengan anak tidak aktif, menarik diri dari 2011).
orang lain, sedih, tidak tertarik terhadap Mendongeng merupakan suatu kegiatan
lingkungan, tidak komunikatif, dan menolak menyampaikan dongeng secara lisan pada
makan atau minum. Pada fase ketiga, yaitu pendengar dengan menggunakan gaya
fase penerimaan, anak mulai menunjukkan tertentu yang menarik perhatian (Bimo, 2011).
ketertarikan pada lingkungan dan berinteraksi Selain merupakan aktivitas pengalihan dari
dangkal dengan orang lain atau perawat kecemasan, pada mendongeng pun terjadi
(Hockenberry & Wilson, 2013). proses reframing yang merupakan teknik
Pada hari pertama anak dirawat di rumah lain untuk menurunkan kecemasan. Teknik
sakit, anak berada pada fase pertama yaitu fase reframing mengajarkan klien untuk mengontrol
protes. Anak masih belum merasa nyaman pikiran negatif mereka dengan cara mengubah
berada di rumah sakit. Mereka menolak pandangan mereka ke arah yang lebih positif
kenyataan bahwa mereka harus berada di (Sue, 2010). Cara mengubah pandangan
rumah sakit dengan menerima berbagai yang dilakukan pada proses mendongeng
macam terapi. Belum lagi, mereka harus dilakukan melalui alur cerita yang telah di atur
beradaptasi dengan lingkungan, rutinitas, dan sedemikian rupa. Alur cerita akan menjelaskan
orang-orang yang baru. Bukan lagi teman bahwa persepsi yang selama ini anak miliki
yang ada untuk mengajak bermain, akan mengenai hospitalisasi tidak sepenuhnya
tetapi perawat dan tim medis lain yang sering benar. Dalam prosesnya, perawat seakan-akan
datang mengunjungi mereka dan memberikan menasehati tanpa anak merasa dinasehati atau
berbagai macam prosedur yang membuat bahkan dimarahi (Nur'aini, 2010). Akhirnya,
stres. Hal ini mengindikasikan bahwa anak anak merasa nyaman mendengar dan ikut aktif

252 JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016


1LGDD¶ $¶GLLODK (IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler dan Prasekolah

mengambil bagian atau peran dalam alur cerita semua prosedur baik yang menimbulkan
tersebut. Terlebih lagi, terapi mendongeng ini nyeri atau tidak sebagai sesuatu yang akan
melibatkan boneka peraga sebagai alat bantu melukai tubuhnya. Selain itu pengetahuan
visual sehingga secara tidak sadar anak-anak anak prasekolah tentang dunia tetap terhubung
tertarik dan larut dalam alur cerita. secara erat pada pengalaman konkret, bahkan
Hasil penelitian mendapatkan hasil p-value kehidupan mereka yang kaya fantasi dan
< 0,001 dengan nilai mean dibawah 7 (toddler magis didasarkan pada persepsi tentang
4,40; prasekolah 1,87) dari skor awal 7–9 yang realitas (Potter, 2013). Fantasi mereka
berarti bahwa terapi mendongeng berpengaruh mampu melakukan reframing dengan cepat
dalam menurunkan skor kecemasan terhadap terhadap pesan-pesan yang tersurat dalam
tindakan keperawatan, baik pada anak usia dongeng. Mereka tidak lagi menganggap
toddler maupun prasekolah. Kedua kelompok bahwa perawat yang akan memasukan obat
ini dapat menerima terapi dongeng sebagai ke dalam tubuh mereka itu adalah sosok yang
aktivitas yang mampu mengalihkan perasaan menakutkan, akan tetapi mereka mencoba
cemas mereka terhadap tindakan keperawatan menerima bahwa perawat adalah sosok yang
yang bersifat invasive misalnya memasukan akan menyembuhkan dan membuat mereka
obat melalui selang infus. cepat keluar dari rumah sakit. Sehingga terapi
Anak-anak sangat mudah terkena krisis mendongeng yang bersifat distraksi atau
akibat kesakitan dan rawat inap dikarenakan aktivitas yang bersifat mengalihkan perhatian
mereka memiliki mekanisme adaptif yang dari hal yang ingin dihindari (Sue, 2002)
terbatas untuk memecahkan faktor stres. dapat secara efektif diaplikasikan kepada anak
Mendongeng dapat mengurangi semua usia prasekolah. Terapi bermain dalam hal
GLPHQVL NHFHPDVDQ ¿VLRORJLV GDQ VRVLDO 2OHK ini dalam bentuk terapi mendongeng dapat
karena itu, penggunaan kegiatan mendongeng berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pada
sebagai intervensi non-farmakologis, mudah, XVLD DQDN SUD VHNRODK $O¿\DQWL +DUWDWL
tidak mahal, disarankan untuk digunakan Samiasih, 2007).
kepada anak-anak. (Zarei, Motlagh, Anak usia toddler, tingkat kognitif mereka
Seyedfatem, Khoshbakh, Haghan, & Zarei, masih di bawah prasekolah. Walaupun sama-
2013). sama dapat menurunkan skor kecemasan
Penelitian lain didapatkan penurunan (mean = 4,40), namun prilaku anak pada usia
skor kecemasan pada pasien anak-anak yang ini semata-mata hanya untuk menghindari hal
menunjukkan bahwa mendongeng merupakan yang tidak menyenangkan dan mencari hal
kegiatan untuk menurunkan tingkat kecemasan yang menyenangkan (Potter, 2013). Mereka
dari anak-anak yang sedang dirawat (Kanchan, menganggap bahwa dongeng dan boneka
Chandra, & Aarti, 2015). peraga adalah hal yang menarik. Mereka
Sejalan dengan yang dipaparkan oleh antusias untuk terlibat aktif dalam alur cerita
Andriana (2011) bahwa kegiatan bermain yang menggunakan nama mereka sebagai
yang dapat diaplikasikan kepada anak usia nama salah satu tokoh cerita. Namun, hal
toddler dan prasekolah adalah kegiatan ini mereka lakukan hanyalah sebagai bentuk
bermain yang bersifat asosiatif (interaktif dan pengalihan dari rasa cemas mereka.
kooperatif) ataupun parallel, salah satunya Sedikit hal positif dari proses reframing
adalah mendongeng. yang dapat mereka ambil jika dibandingkan
Adapun nilai mean kelompok prasekolah dengan kelompok prasekolah. Karena, pada
menunjukkan lebih rendah dibandingkan saat toddler dihadapkan kembali dengan
dengan toddler. Hal tersebut berarti terapi tindakan keperawatan yang harus mereka
mendongeng lebih efektif diberikan pada terima, banyak dari mereka yang kembali
kelompok prasekolah. Sebagaimana studi pada kecemasannya dan hanya sebagian yang
Piaget bahwa anak usia prasekolah cenderung fokus pada dongeng. Hal tersebut dipengaruh
memiliki pemikiran perseptual yang terbatas, oleh faktor kognitif usia 18 bulan yang baru
dimana anak-anak menilai orang, benda, dan menggunakan hampir 100 kata dan 24 bulan
kejadian dari penampilan luar atau apa yang yang baru memiliki kosakata sampai 300
tampaknya terjadi (Potter, 2013). kata dan secara umum mampu berbicara
Anak usia pra-sekolah menganggap bahwa dalam kalimat yang pendek (Andriana, 2011).

JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016 253


1LGDD¶ $¶GLLODK (IHNWL¿WDV 7HUDSL 0HQGRQJHQJ WHUKDGDS .HFHPDVDQ $QDN 8VLD Toddler dan Prasekolah

Sehingga proses reframing tidak dapat secara Library. Early Childhood Educ J., 473–478.
optimal dimengerti oleh toddler.
Dillon, P.M. (2007). Nursing health
assessment: A critical thinking, case studies
6LPSXODQ approach. Philadelphia: F. A. Davis Company.

Terapi mendongeng efektif terhadap Done, A. (2001). The therapeutic use of story-
penurunan skor kecemasan baik pada anak telling. Paediatric Nursing, 17–20.
usia toddler maupun anak usia pra-sekolah,
namun berdasar analisis uji beda didapatkan Handayani, R., & Puspitasari. (2009). Pengaruh
perbedaan skor kecemasan pda anak usia terapi bermain terhadap tingkat kooperatif
toddler dan prasekolah setelah pemberian selama menjalani perawatan pada anak usia
terapi mendongeng selama tindakan prasekolah (3–5 tahun) di Rumah Sakit Panti
keperawatan di RS X. Jadi meskipun terapi Rapih Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Surya
ini dapat memberikan efek menurunkan Medika.
kecemasan, tetapi terapi mendongeng akan
lebih efektif diberikan kepada kelompok usia Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2013).
praskolah dibandingkan dengan usia toddler, Wong’s essentials of pediatric nursing (9th
hal ini berhubungan dengan proses tumbuh Ed.). St. Louis: Mosby).
kembang pada anak usia prasekolah yang
sudah mampu melakukan reframing pesan- Kanchan, L., Chandra, S. M., & Aarti, S.
pesan lebih baik dibandingkan dengan usia 2NWREHU $ 5DQGRPL]HG &OLQLFDO 7ULDO
toddler. Anak pada usia prasekolah akan lebih to Evaluate the Effectiveness of Storytelling
cepat untuk memberikan makna bagi dongen by Researcher on the Hospitalization Anxiety
yang diberikan oleh perawat. of Children Admitted in Pediatric Ward of
Berdasarkan hasil diatas maka terapi Selected Hospitals of District Patiala, Punjab.
mendongeng dapat dijadikan sebagai alternatif ,QWHUQDWLRQDO -RXUQDO RI 6FLHQFH DQG 5HVHDUFK
tindakan keperawatan untuk mengatasi ,-65 (10), 706–709.
masalah keperawatan kecemasan terutama
bagi anak usia prasekolah, begitu pula dengan Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian
anak usia toddler. Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Parker, T.S., & Wampler, K.S. (2010).


'DIWDU 3XVWDND Changing emotion: The use of therapeutic
storytelling. Journal of Marital and Family
$O¿\DQWL ' +DUWLWL 7 6DPLDVLK $ Therapy, 32, 155–166.
(2007). Pengaruh terapi bermain terhadap
tingkat kecemasan anak usia prasekolah Potter, P.A. (2005). Buku ajar fundamental
selama tindakan keperawatan di Ruang keperawatan: Konsep, proses, dan praktik.
Lukman Rumah Sakit Roemani Semarang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jurnal Keperawatan, 35–44.
Purwandari, H., Mulyono, W.A., & Sucipto,
Andriana, D. (2011). Tumbuh kembang & A. (2010). Terapi bermain untuk menurunkan
terapi bermain pada anak. Jakarta: Salemba kecemasan perpisahan pada anak prasekolah
Medika. yang mengalami hospitalisasi. Jurnal
.HSHUDZDWDQ 3URIHVLRQDO ,QGRQHVLD, 52–59.
Burns, N., & Grove, S.K. (2007).
Understanding nursing research "Building an Sue, D.C. (2010). Fundamentals of nursing:
evidence based practicce" (4th Ed.). Missouri: Standards & practice, (2nd Ed.). New York:
Saunders Elseviers. Delmar.

de Vries, P. A. (2008). Parental perception Wong, D.L. (2008). Wong, buku ajar
of music in storytelling session in a Public keperawatan pediatrik (Vol 2). Jakarta: EGC.

254 JKP-Volume 4 Nomor 3 Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai