Anda di halaman 1dari 41

1

PENGARUH DISTRAKSI AUDIO VISUAL TERHADAP


PENURUNAN NYERI PADA ANAK PRASEKOLAH PADA
SAAT PEMASANGAN INFUS DI RUMAH SAKIT
MITRA KELUARGA CIKARANG

Oleh:
Nama :
NIM :

PROGRAM STUDI S1 ILMU KESEHATAN


CIKARANG
2021
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak adalah aset bangsa dan generasi penerus bangsa maupun
keluarga (Supartini, 2012). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 1 ayat 1,
menjelaskan anak adalah seseorang yang belum delapan belas tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Anak akan mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai dengan usianya
(Supartini, 2012). Anak sebagai individu dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan, maka mudah sekali terkena penyakit dan terkadang harus
dirawat dirumah sakit (Wong, 2008). Anak usia prasekolah adalah anak usia
3-6 tahun. Anak-anak dibawah usia 6 tahun kurang mampu berpikir tentang
suatu peristiwa secara keseluruhan, belum bisa menentukan perilaku yang
dapat mengatasi suatu masalah yang baru dihadapi dan kurang memahami
suatu peristiwa yang dialami (Supartini, 2004).
Anak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari delapan
belas tahun dalam masa tumbuh kembang dan kebutuhan khusus baik
kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2005). Anak dengan
berbagai karakteristiknya memiliki respon imun dan kekuatan pertahanan diri
yang belum optimal, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk
mengalami sakit (Wong, 2009). Nyeri adalah suatu keadaan individu
mengalami dan melaporkan adanya rasa tidak nyaman yang berat atau
perasaan tidak menyenangkan (Carpenito, 2009).
Rumah sakit merupakan tempat dimana anak sering mengalami
prosedur medis yang menyakitkan dan tak terduga seperti pemasangan infus
sehingga menimbulkan stress situasional dan kecemasan yang mengarahkan
pada pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Reaksi yang
ditunjukkan juga bermacam-macam sesuai dengan usia mereka. Reaksi anak
prasekolah terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan
2

ekspresi, baik secara verbal maupun non verbal karena anak sudah mampu
mengkomunikasikannya. Anak-anak cenderung bertindak agresif yaitu sebagai
pertahanan diri, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal yaitu dengan
mengeluarkan kata-kata mendesis, membentak dan sebagainya, serta dapat
bersikap dependent yaitu menutup diri, tidak kooperatif. (Supartini, 2004;
Wong, 2008).
Pemasangan infus merupakan hal menyakitkan karena menimbulkan
rasa nyeri, sehingga perlu adanya penanganan nyeri yang efektif untuk
mengurangi ketidak nyamanan (Hockkenberry & Wilson, 2015).
Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan
tindakan yang sering dilakukan dirumah sakit yang merupakan prosedur yang
beresiko tinggi terjadinya infeksi yang akan menambah tingginya biaya
perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas
apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang telah
ditetapkan, sehingga kejadian infeksi atau berbagai permasalahan akibat
pemasangan infus dapat dikurangi bahkan tidak terjadi (Priharjo, 2008).
Reaksi fisik maupun psikologis dapat terjadi pada anak diantaranya
kecemasan, merasa asing akan lingkungan yang baru, berhadapan dengan
sejumlah individu yang belum dikenal, perubahan gaya hidup serta harus
menerima tindakan medik atau perawatan yang menyakitkan ketika dirawat di
rumah sakit. Ketika anak sakit dan harus menjalani rawat inap dirumah sakit,
berbagai reaksi yang komplek dan bervariasi akan muncul diantaranya regresi
(rasa tergantung atau tidak mau ditinggalkan), rasa takut dan cemas, merasa
dipisahkan dari keluarga, putus asa dan protes (Wong, 2009).
Gejala yang tidak normal seperti nyeri tiba-tiba yang ditunjukkan
anak-anak dapat membuat orangtua cemas bahkan ketakutan. Pencapaian
tujuan serta upaya proses pengobatan pada anak yang terindikasi pemasangan
infus, sangat dibutuhkan kerjasama perawat, tim kesehatan dan orangtua yang
ikut serta menjelaskan dan berusaha mendukung anak dalam proses
penatalaksanaan dan proses hospitalisasi. Dukungan yang diberikan oleh
orangtua berupa dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan
instrumental, dan dukungan informatif. Asuhan pada anak baik sehat maupun
3

sakit paling baik dilakukan oleh orangtua dengan bantuan tenaga kesehatan
yang kompeten sesuai kebutuhannya (Supartini,2004).
Mengurangi intensitas nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak dari
setiap anak. Profesional kesehatan sebaiknya memiliki kemampuan untuk
mencoba berbagai intervensi untuk mengontrol intensitas nyeri. Dalam
penatalaksanaan nyeri biasa digunakan manajemen nyeri baik secara
farmakologik dengan menggunakan analgetik dan narkotik maupun non
farmakologik seperti teknik distraksi, teknik relaksasi dan teknik stimulasi
kulit. Namun sebaiknya tindakan nonfarmakologis harus di dahulukan
daripada tindakan farmakologis. Karena tindakan nonfarmakologis lebih
ekonomis, lebih adekuat dalam mengontrol nyeri dan tidak ada efek samping.
Hal ini dilakukan dengan harapan anak tidak mengalami trauma psikologis
dan melakukan penolakan terhadap tindakan invasif pemasangan infus
(Priharjo, 1993).
Intervensi nonfarmakologis dalam mengatasi nyeri pada anak paling
efektif bila disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Teknik distraksi
sangat efektif digunakan untuk mengalihkan nyeri, hal ini disebabkan karena
distraksi merupakan metode dalam upaya menurunkan nyeri pada anak, dan
sering membuat pasien lebih banyak menahan nyeri.( Hasanpour dikutip
dalam Tufecki et al, 2009).
Kombinasi antara distraksi pendengaran (audio) dan distraksi
penglihatan (visual) disebut distraksi audiovisual, yang digunakan untuk
mengalihkan perhatian pasien terhadap hal-hal yang membuatnya tidak
nyaman, cemas atau takut dengan cara menampilkan tayangan favorit berupa
gambar – gambar bergerak dan bersuara ataupun animasi dengan harapan
pasien asik terhadap tontonannya sehingga mengabaikan rasa tidak nyaman
dan menunjukkan respons penerimaan yang baik (Rusman, 2012).
Berdasarkan data Perhimpunan Nasional Rumah Sakit Anak di
Amerika, sebanyak 6,5 juta anak/tahun yang menjalani perawatan di rumah
sakit dengan usia kurang dari 17 tahun (Roberts, 2010). Sedangkan berdasar
data WHO (2012) bahwa 3-10% anak dirawat di Amerika Serikat baik anak
usia toddler, prasekolah ataupun anak usia sekolah, sedangkan di Jerman
4

sekitar 3 sampai dengan 7% dari anak toddler dan 5 sampai dengan 10% anak
prasekolah yang menjalani hospitalisasi (Purwandari, 2013).
Sementara di Indonesia jumlah anak yang dirawat pada tahun 2014 sebayak
15,26% (Sunsenas, 2014). Mitra Keluarga Cikarang memiliki data rekam
medis bahwa pasien usia prasekolah yang dilakukan pemasangan infus sejak
oktober sampai desember 2020 sebanyak ... pasien.
Dari hasil wawancara ke beberapa perawat di instalasi gawat darurat
dan unit keperawatan anak dalam penanganan nyeri saat pemasangan infus
pada anak dengan pemberian audivisual belum pernah dilakukan, hanya
melakukan komunikasi terapeutik saat pemasangan infus pada anak.
Diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar bagi instalasi gawat darurat dan
unit keperawatan anak untuk menyediakan media distraksi audiovisual sebagai
upaya mengurangi respons buruk anak selama dilakukan injeksi intravena
pada saat pemasangan infus dan untuk memenuhi kebutuhan bermain/hiburan
bagi anak selama menjalani perawatan di Rumah Sakit. Berdasarkan uraian
diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh
distraksi audio visual terhadap penurunan nyeri pada anak prasekolah pada
saat pemasangan infus di Mitra Keluarga Cikarang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: “Bagaimanakah pengaruh distraksi audio visual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus di Mitra
Keluarga Cikarang?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tingkat nyeri yang
dirasakan anak usia prasekolah pada pemasangan infus dengan teknik
distraksi audiovisual di Mitra Keluarga Cikarang.
5

2. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi tingkat nyeri yang dirasakan anak usia prasekolah pada
pemasangan infus dengan teknik distraksi audiovisual.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kajian pustaka
untuk menambah kasanah keilmuan dalam bidang keperawatan anak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Bidang Ilmu Keperawatan dan Institusi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan literatur di keperawatan dan menjadi
tambahan informasi tentang pengaruh distraksi audiovisual terhadap
penurunan nyeri pada anak prasekolah pada saat pemasangan infus.
b. Bagi Perawat dan Rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar
pengetahuan tambahan dikeperawatan, keterampilan baru bagi pelayanan
terhadap penanganan nyeri saat melakukan pemasangan infus dengan
teknik distraksi audio visual khususnya pada anak-anak prasekolah.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan oleh peneliti
selanjutnya terkait dengan memodifikasi konten audiovisual, variabel
bebas dan dapat mengendalikan variabel pengganggu.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Anak
1. Pengertian Anak
Menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas
tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Word Health
Organization (WHO) Batasan usia anak adalah sejak anak berada dalam
kandungan sampai anak berusia 19 tahun (Depkes, 2014). Masa anak yaitu masa
pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari periode prenatal
(konsepsi sampai lahir) masa bayi (0-1 tahun) masa kanak-kanak awal toddler (1-
3 tahun), masa kanak-kanak awal prasekolah (3-6 tahun), masa kanak-kanak
pertengahan/usia sekolah (6-12 tahun) masa kanak-kanak akhir prapubertas (10-
13 tahun) hingga masa kanak-kanak akhir remaja (13-18 tahun) (Hockenberry &
Wilson, 2015). Anak satu dengan anak lainnya memiliki rentang yang
berbeda mengingat latar belakang anak berbeda. Anak memiliki rentang
perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentangcepat dan lambat.
Anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku
sosial dalam proses perkembangannya (Winarno, 2012).
Anak merupakan individu yang rentan karena perkembangan
kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Anak
juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa serta memiliki
pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi
mereka mengenai dunia (Supartini, 2012). Penyakit awal yang menyerang anak
seringkali mendadak dan penurunan status kesehatan dapat berlangsung dengan
cepat. Faktor yang mempengaruhi adalah sistem pernapasan dan
kardiovaskular yang belum matang, memiliki tingkat metabolisme yang lebih
cepat, pertukaran gas yang lebih besar dan asupan cairan serta asupan kalori
yang lebih tinggi per kilogram berat badan dibandingkan orang dewasa.
7

Kerentanan terhadap ketidakseimbangan cairan pada anak adalah akibat


jumlah dan distribusi cairan di dalam tubuh (Wong, 2009).
Tubuh anak terdiri dari 70 –75% cairan, dibandingkan dengan 57 –
60% cairan pada orang dewasa. Sebagian besar cairan pada anak –anak
berada di kompartemen cairan ekstrasel , sehingga cairan ini lebih dapat
diakses. Oleh karena itu apabila anak kehilangan cairan yang relatif sedang
dapat mengurangi volume darah, menyebabkansyok, asidosis dan kematian
(Slavin, 2006)
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
a. Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan anak yaitu bertambahnya ukuran fisik dan struktur
tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multifikasi sel-sel
tubuh serta bertambah besarnya ukuran sel (Wong, 2009). Adanya
multifikasi dan pertambahan ukuran sel berarti terdapat pertambahan secara
kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak dimu/lai proses konsepsi, yaitu
bertemunya sel telur dan sperma hingga dewasa (IDAI, 2000). Pertumbuhan
lebih ditekankan pada bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi
lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti bertambahnya ukuran berat
badan, tinggi badan dan lingkar kepala.Pertumbuhan pada masa anak-anak
bervariasi sesuai dengan bertambahnya usia anak. Pertumbuhan fisik dimulai
dari arah kepala ke kaki. Kematangan pertumbuhan pada bagian kepala
berlangsung lebih dahulu, lalu secara berangsur-angsur diikuti oleh tubuh
bagian bawah. Pertumbuhan kepala pada masa fetal lebih cepat dibandingkan
dengan masa setelah lahir, yaitu 50 % dari total panjang badan. Pertumbuhan
bagian bawah akan bertambah secara teratur. Besar kepala pada usia dua tahun
kurang dari seperempat panjang badan keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas
bawah lebih dari seperempatnya.
b. Perkembangan Anak
Perkembangan yaitu bertambahnya kemampuan dan struktur fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan,
dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh,
organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2000). Aspek
8

perkembangan bersifat kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari


masing-masing bagian tubuh. Perkembangan diawali dengan berfungsinya
jantung untuk memompakan darah, kemampuan untuk bernafas, sampai
kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, memungut benda-benda di
sekelilingnya serta kematangan emosi dan sosial anak. Perkembangan anak
menurut Winarno (2012) meliputi :
c. Perkembangan Kognitif
Piaget (Winarno, 2012) mengemukakan ada empat tahap perkembangan
kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis, yaitu :
1) Tahap Sensori Motorik 0 –2 tahun (Sensory Motoric Stage)
Anak yang berada di tahap ini memperoleh pengalaman melalui fisik
(gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada tahap ini,
bayi lahir dengan reflek bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk
membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Anak belum mempunyai
konsepsi tentang objek yang tetap. Anak hanya dapat mengetahui hal –
hal yang ditangkap dengan indranya (Winarno, 2012).
2) Tahap Pre Operasi 2 –7 tahun (Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian tindakan kognitif
yang konkret, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak
benda–benda menurut urutan tertentu, dan membilang. Anak mulai timbul
pertumbuhan kognitifnya tetapi masih terbatas pada hal–hal yang dapat
dijumpai dilingkungannya saja (Winarno, 2012).
3) Tahap operasi konkret 7–11 tahun (Concrete Operational Stage)
Anak–anak yang berada padatahap ini umumnya sudah berada di Sekolah
Dasar dan telah memahami operasi logis dengan bantuan benda–benda
konkret. Anak telah dapat mengetahui simbol–simbol sistematis tetapi belum
dapat menghadapi hal–hal yang abstrak (tak berwujud) (Winarno, 2012).
9

4) Tahap operasi formal 11 tahun keatas (Formal Operational Stage)


Anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh
isi argumen. Pada tahap ini anak telah memasuk tahap baru dalam logika
orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalran abstrak. Operasi formal
memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal serta pemahaman
untuk masalah filosofis (Winarno, 2012).

Tabel 2.1 Tahap Perkembangan Menurut Piaget


Tahap Perkiraan Pencapaian Utama
Usia (thn)
Sensorimotor 0-2 Pembentukan konsep objek dan kemajuan
bertahap dari prilaku refleks ke prilaku yang
diarahkan oleh tujuan.
Preoperasi 2-7 Perkembangan kemampuan menggunakan
simbol untuk melambangkan objek dunia ini.
Pemikiran masih terus bersifat egosentris dan
terpusat.
Operasi 7-11 Perbaikan kemampuan berfikir logis.
Konkret Kemampuan baru meliputi penggunaan
pengoperasian yang dapat dibalik. Pemikiran
tidak terpusat dan pemecahan masalah kurang
dibatasi oleh egosentrisme. Pemikiran abstrak
tidak mungkin.
Operasi 11 ke atas Pemikiran abstrak dan semata-mata simbolik
Formal dimungkinkan. Masalah dapat dipecahkan
melalui penggunaan eksperimentasi sistemik.

d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak menurut Kohlberg didasarkan dari
perkembangan kognitif anak dan terdiri atas tiga tahapan utama , yaitu : 1. Pre
Conventional 2.Conventional 3.Post Conventional (Supartini, 2012).
10

1) Fase Pre Conventional


Anak belajar baik dan buruk, benar dan salah melalui budaya sebagai dasar
dari peletakan nilai moral. Fase ini terdiri dari tiga tahapan. Tahap satu
didasari oleh adanya rasa egosentris pada anak. Tahap dua yaitu orientasi
hukumandanketaatan. Tahap selanjutnya yaitu anak berfokus pada motif yang
menyenangkan sebagai suatu kebaikan.
2) Fase Conventional
Anak berorentasi pada mutualitas hubungan interpersonal dengan kelompok.
Anak sudah mampu bekerjasama dengan kelompok dan mempelajari serta
mengadopsi norma–norma yang ada di dalam kelompok selain norma yang
ada di keluarganya. Anak mempersepsikan perilakunya sebagai suatu
kebaikan ketika perilaku anak menyebabkan mereka diterima oleh keluarga
atau teman sekelompoknya. Anak akan mempersepsikan perilakunya
sebagai suatu keburukan ketika tindakannya mengganggu hubungannya
dengan keluarga, temannya atau kelompoknya. Anak melihat keadilan
sebagai suatu yang saling menguntungkan antar individu.
3) Fase Post Conventional
Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip yang
dimiliki dan yang diyakini. Segala tindakan yang diyakininya dipersepsikan
sebagai suatu kebaikan. Ada dua fase pada tahapan ini, yaitu orientasi pada
hukum dan orientasi pada prinsip etik yang umum. Pada fase pertama, anak
mendapatkan nilai budaya, hukum dan perilaku yang tepat yang
menguntungkan bagi masyarakat sebagai sesuatu yang baik. Fase kedua
adalah dapat menilai perilaku baik dan buruk pada dirinya sendiri.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Aspek tumbuh kembang pada anak merupakan aspek yang menjelaskan
mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial.
Winarno (2012) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu:
11

a. Faktor Herediter
Supartini (2004) menjelaskan bahwa faktor herediter merupakan faktor
pertumbuhan yang dapat diturunkan, yaitu suku, ras dan jenis kelamin.
b. Faktor Lingkungan
(Hidayat, 2008), Faktor lingkungan merupakan faktor yang berperan penting
dalam menentukan tercapai dan tidak suatu potensi yang sudah dimiliki.
Faktor lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Faktor Pranatal
Faktor pranatal merupakan lingkungan dalam kandungan, mulai dari
konsepsi sampai lahir yang meliputi gizi ibu hamil, lingkungan mekanis,
toksin/zat kimia, hormon, radiasi, infeksi, kelainan imunologis dan kondisi
psikologis ibu.
2) Faktor Paskanatal
Faktor paskanatal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi anak
setelah lahir. Secara umum dapat digolongkan menjadi lingkungan
biologis, faktor fisik, faktor psikososial, dan faktor keluarga.
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan baik yang aktual maupun potensial.
Dari defenisi ini, pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan bahwa nyeri
adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri
menitikberatkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa nyeri (Tamsuri,
2007).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut yaitu nyeri yang biasanya
berlangsung singkat (waktu atau durasinya dari 1 detik sampai kurang dari 6
bulan) dan nyeri kronik yaitu nyeri yang berkembang lebih lambat dan terjadi
dalam waktu yang lebih lama sehingga terkadang pasien sulit untuk mengingat
sejak kapan nyeri tersebut dirasakan. Nyeri juga dapat dibedakan menjadi nyeri
somatogenik yaitu nyeri secara fisik dan nyeri psikogenik yaitu nyeri secara psikis
atau mental. Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan atau
akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu
12

dalam hal pengkajian dan penatalaksanaannya tidak hanya akan menitikberatkan


pada faktor fisik semata tapi juga faktor mental dan emosional yang
mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri.
Pokok penting yang harus diingat adalah, apa yang “dikatakan” tentang
nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal. Beberapa pasien tidak dapat atau tidak
akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami nyeri. Karenanya,
perawat juga bertanggung jawab terhadap perilaku non verbal yang dapat terjadi
bersamaan dengan nyeri (Brunner & Suddarth, 2002).
2. Psikologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis,
nosiseptor ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit dan subkutan (kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya berbedabeda maka nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nyeri yang berasal dari kutaneus
biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefenisikan. Reseptor kutaneus terbagi
dalam 2 komponen :
a. Serabut A Delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor nyeri
yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
13

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi


organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul biasanya terus-menerus dan tidak sensitif terhadap pemotongan
organ tetapi sangat sensitive terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
(Tamsuri,2007).
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul,
namun teori gate control yang dianggap paling relevan (Tamsuri,2007).
Teori gate control dari Melzack & Wall (1978) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan
disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini menyatakan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut control
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi C untuk mentransmisi impuls melaui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron delta-A yang lebih
tebal yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila
masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A maka akan menutup
mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat
perawat mengusap punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan
akan menstimuli mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke
otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan
dinorfin, suatu pembunuh alami nyeri dari dalam tubuh. Neuromodulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
Teknik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorfin ( Potter,2005 ).
14

Anas Tamsuri tahun 2007 menyatakan bahwa ada beberapa respon


tubuh terhadap nyeri, antara lain :
1) Respon Fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, system saraf otonom
terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon
tubuh terhadap nyeri. Respon fisiologis terhadap nyeri dibedakan menjadi
reaksi simpatis dan parasimpatis.Adapun reaksi simpatis tubuh terhadap
nyeri antara lain
a) Dilatasi saluran pernapasan dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokontriksi perifer sehingga meningkatkan tekanan darah
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaporesis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas gastro intestinal
Respon fisik timbul karena Sedangkan reaksi parasimpatis tubuh terhadap
nyeri antara lain:
a) Muka pucat
b) Kelelahan otot
c) Peburuban tekanan darah dan nadi
d) Napas cepat dan tidak teratur
e) Mual dan muntah
f) Kelelahan.
2) Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi. Arti nyeri bagi individu berbeda-beda antara lain :
a) Bahaya atau merusak
b) Komplikasi seperti infeksi
c) Penyakit baru
d) Penyakit yang berulang
15

e) Penyakit yang fatal


f) Peningkatan ketidakmampuan
g) Kehilangan mobilitas
h) Menjadi tua
i) Sembuh
j) Perlu untuk penyembuhan
k) Hukuman karena berdosa
l) Tantangan
m) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
n) Sesuatu yang harus ditoleransi
o) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.
Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan factor sosial budaya.
3) Respon Perilaku
Respon perilaku yang ditampilkan oleh individu jika mengalami nyeri
bermacam-macam. Meinhart & Mc.Caffery (1983) dalam Anas Tamsuri
(2007) menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri antara lain :
a) Fase antisipasi
Fase ini merupakan fase yang paling penting karena fase ini
menentukan dua fase berikutnya. Fase ini memungkinkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri
tersebut.Peran perwat sangat penting dalam fase ini terutama dalam
memberikan informasi terhadap klien.
b) Fase sensasi
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri bersifat
subyektif maka tiap orang menyikapinya dengan cara yang berbeda.
Toleransinya pun berbeda antara orang yang satu dengan yang lain.
Orang yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil dan mampu menahan
stimulus nyeri tanpa bantuan. Berbeda dengan orang yang memiliki
tingkat toleransi yang rendah terhadap nyeri akan mudah merasakan
16

nyeri pada stimulus kecil dan sudah berupaya mencegah nyeri sebelum
nyeri itu datang.
Keberadaan enkafalin dan endorphin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus
yang sama. Kadar endorphin berbeda pada tiap individu dimana
individu dengan kadar endorphin tinggi sedikit merasakan nyeri
sedangkan individu dengan kadar endorphin yang rendah merasakan
nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan
berbagai cara, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.
Ekspresi yang ditunjukkan itulah yang digunakan perawat untuk
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus
melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya. Karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri tidak mengalami nyeri. Kasus seperti itu
tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c) Fase akibat (pasca nyeri)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrool dari perawat. Karena nyeri bersifat
krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca
nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Peran
perawat dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk
meminimalkan rasa
takut akan kemunkinan berulang.
3. Mengkaji Persepsi Nyeri
Brunner & Suddart tahun 2002 menyatakan bahwa alat-alat pengukuran
nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat
pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus mmenuhi kriteria berikut :
a. Mudah dimengerti dan digunakan
b. Memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien
c. Mudah dinilai
17

d. Sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri.


Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mendokumentasikan
kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas intervensi dan untuk
mengidentifikasi kebutuhan akan intervensi alternatif dan tambahan jika
intervensi sebelumnya tidak efektif dalam meredakan nyeri individu.Nyeri sukar
digambarkan, saat pasien mengeluh nyeri, dengarrkan (lakukan sesuatu) karena
nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun ia mungkin kesulitan
menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa ditemui yakni :
a. Kulit – menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama.
b. Ekspresi wajah – kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat; pasien
mungkin meringis.
c. Mata – tertutup rapat atau terbuka; pupil mungkin dilatasi.
d. Nadi – nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam intensitas.
e. Respirasi – frekwensinya meningkat dan berubah karakternya.
f. Tekanan darah – bisa berubah jika terjadi nyeri.
g. Muskuloskeletal – menegang atau kaku.
h. Distres gastric – bisa terjadi mual, dengan atau tanpa muntah; anorexia atau
menolak makan bisa terjadi.
i. Aktivitas fisik dan reaksi – pasien mungkin sangat tenang, hanya bergerak saat
disuruh atau perlu; mungkin tidak pernah istirahat dan tidak dapat tidur.
j. Aktivitas mental dan emosional – pasien mungkin menangis, bicara terlalu
banyak atau terlalu banyak meminta.
k. Observasi mengenai asuhan keperawatan – apakah pasien puas dengan efek
pengobatannya, lebih tenang, dapat tidur atau istirahat.
Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas
nyeri pada anak menurut Wong (1996) adalah:
a. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10
cm. Biasanya berbentuk horizontal, tetapi mungkin saja ditampilkannya secara
vertikal. Garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri, misalnya: “no
hurt”, sampai “worst hurt”. Baik skala vertical maupun horizontal merupakan
pengukuran yang sama valid, tetapi VAS yang vertical lebih sensitive
18

menghasilkan score yang lebih besar dan lebih mudah digunakan dari pada
skala horizontal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami
perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong,
1996).
Skala Visual Analog

b. Numerical Rating Scale (NRS)


Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale,
tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya. Angka 0-10 atau 0-100 dan
anak diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya. Skala
Numerik ini dapat digunakan pada anak yang lebih muda seperti 3-4 tahun
atau lebih.

Dari skala diatas, tingkatan nyeri yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Skala 1 : tidak ada nyeri
2) Skala 2-4 : nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau masih
dapat ditolerir karena masih dibawah ambang rangsang.
3) Skala 5-6 : nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan mengeluh, ada
yang sambil menekan pada bagian yang nyeri
4) Skala 7-9 : termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit sekali dan
klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa
19

5) Skala 10 : termasuk nyeri yang sangat, pada tingkat ini klien tidak dapat
lagi mengenal dirinya.
c. Faces Rating Scale dari Wong Baker
Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar
skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk “no pain”
sampai wajah yang berlinang air mata. Penjelasan Faces Rating Sacle yaitu:
1) Nilai 0; nyeri tidak dirasakan oleh anak
2) Nilai 1: nyeri dirasakan sedikit saja
3) Nilai 2: nyeri agak dirasakan oleh anak
4) Nilai 3: nyeri yang dirasakan anak lebih banyak
5) Nilai 4: nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan
6) Nilai 5; nyeri sekali dan anak menjadi menangis
Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri
rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan
skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah

d. FLACC Paint Assesment Tools


FLACC scala adalah instrumen pengkajian nyeri yang baik digunakan pada
anak usia 2-7 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penilaian dengan skor total 10, 0
(tidak nyeri) 10 (nyeri hebat). Hasil skor perilakunya adalah 0 (rileks dan
20

nyaman), 1-3 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri sedang), dan 7-10 (nyeri
hebat/ketidaknyamanan berat)

Tabel 2.2. FLACC scala


Kategori Skor
0 1 2
Face (wajah) Tidak ada Terkadang Sering
ekspresi khusus meringis/menarik menggetarkan
diri dagu dan
mengatupkan
rahang
Leg (kaki) Normal, rileks Gelisah, tegang Menendang kaki
tertekuk,
melengkungkan
punggung
Activity (aktivitas) Berbaring, tenang Menggeliat, tidak Kaku atau
bisa diam, kaku menghentak
mengerang
Cry (menangis) Tidak menangis Merintih, Terus menangis ,
merengek, berteriak, serung
kadang-kadang mengeluh
mengeluh
Consability Rilek Dapat Terus menangis,
(konstability) ditenangkan berteriak, sering
dengan sentuhan, mengeluh, sulit
pelukan, bujukan, dibujuk
dapat dialihkan
Interpretasi:
Skor total dari lima parameter di atas menentukan tingkat keparahan nyeri
dengan skala 0-10. Nilai 10 menunjukan tingkat nyeri yang hebat.

4. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Menurut Wahyudi dan Wahid (2016) faktor yang mempengaruhi nyeri
adalah sebagai berikut.
a. Usia
21

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada


anak-anak. Anak mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang
akan dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami
kesulitan secara verbal dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.
(Wahyudi dan Wahid, 2016)
b. Jenis Kelamin
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya orang
menganggap bahwa seorang anak lakil-aki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan dalam situasi yang sama. Namun secara
umum, pria dan wanita tidak boleh berbeda dalam berespon terhadap nyeri
(Wahyudi dan Wahid, 2016).
c. Pengalaman sebelumnya
Seorang anak mengidentifikasi nyeri berdasarkan pada pengalamnya dengan
nyeri di masa lalu. Pengalaman nyeri sebelumnya dengan pengendalian nyeri
yang tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan distress selama prosedur
yang menimbulkan nyeri di masa yang akan datang (Kyle dan Charman,
2015).
d. Dukungan
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap
pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri memerlukan
dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan namun
kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan
(Wahyudi dan Wahid, 2016).

5. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan
nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan
pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila dilakukan
sebelum nyeri menjadi parah, dan keberhasilan terbesar sering dicapai jika
beberapa intervensi diterapkan secara simultan. (Brunner & Suddarth,2002)
a. Intervensi Farmakologis
22

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis


dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama
lainnya dan pasien. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri seperti
analgesia, opoid atau obat anti inflamasi nonsteroid mungkin diresepkan atau
kateter epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Untuk
pemberian analgesia, perawat perlu mempertahankan analgesia, mengkaji
keefektifannya dan melaporkannya jika intervensi tersebut tidak efektif atau
menimbulkan efek samping.oleh karena itu, penatalaksanaan nyeri
memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara pemberi
perawatan kesehatan.
b. Intervensi Nonfarmakologis
Banyak aktivitas keperawatan yang menggunakan pendekatan
nonfarmakologis dalam menghilangkan nyeri. Meskipun demikian masih
banyak pasien maupun tim kesehatan yang cenderung memandang obat
sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri
nonfarmakologis biasanya memiliki resiko yang sangat rendah karena
tindakan ini diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung
hanya beberapa detik atau menit. Dalam hal ini, pada saat nyeri hebat
berlangsung selama berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik
nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk
menghilangkan nyeri.
Brunner & Suddarth (2002) mengemukakan bahwa adapun tindakan
nonfarmakologis yang biasa dilakukan antara lain :
1) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase ini membuat pasien lebih nyaman
karena membuat relaksasi otot
2) Kompres es dan panas
Penggunaan kompres panas dingin meliputi penggunaan kantong es,
masase mandi air dingin atau panas, penggunaan selimut atau bantal
panas.Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat
meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
23

3) Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS)


Stimulasi saraf elektris transkutan menggunakan satu unit peralatan yang
dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan
sensasi kesemutan, getaran atau mendengung pada area kulit tertentu.

4) Teknik Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain nyeri. Teknik distraksi antara lain : distraksi visual, distraksi audio
visual, distraksi pendengaran, distraksi pernapasan, distraksi intelektual,
distraksi taktil kinetic dan imajinasi terbimbing.
5) Teknik relaksasi
Teknik relaksasi dapat merilekskan ketegangan otot yang menunjang
nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekwensi lambat, berirama.
6) Imajinasi Terbimbing
Adalah kegiatan membuat suatu bayangan yang menyenangkan dan
mengkonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur
membebaskan diri dari perhatian terhadap nyeri
7) Hipnotis
Hipnotis mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama
dalam situasi sulit misalnya luka bakar.Keefektifan hipnotis juga
tergantung pada kemudahan hipnotik individu.
C. Teknik Distraksi
Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke
stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori
bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang menerima
input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke
otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien), Stimulus yang
menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga
stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Peredaan nyeri
secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya
modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh
24

karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih
efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri,
2007).
1. Tujuan dan Manfaat Teknik Distraksi
Teknik distraksi dalam intervensi keperawatan bertujuan untuk pengalihan
atau menjauhkan perhatian klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya
rasa nyeri. Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini yaitu agar seseorang
yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai dan merasa berada pada
situasi yang menyenangkan. (Asmadi, 2012).

2. Prosedur Teknik Distraksi


Menurut Asmadi (2012), teknik distraksi dapat bekerja secara efektif
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Komunikasi antar perawat dan klien
b. Media distraksi yang dipakai
c. Jangka waktu yang digunakan
d. Tingkat stres, cemas maupun depresi yang dialami klien
Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain (Asmadi, 2012):
a. Distraksi visual
Distraksi visual merupakan jenis distraksi yang menggunakan indra melihat.
Contoh distraksi visual adalah dengan melihat majalan, melihat pemandangan,
dan gambar (Prasetyo, 2010).
b. Distraksi pendengaran (audio)
Distraksi audio merupakan jenis distraksi yang menggunakan indra
pendengaran. Contoh distraksi pendengaran berupa mendengarkan musik yang
disukai, suara burung, atau gemercik air. Klien diminta untuk memilih musik
yang disukai. Klien diarahkan untuk berkonsentrasi pada lirik dan lagu. Klien
juga dianjurkan menggerakan tubuh mengikuti irama lagu, seperti bergoyang,
mengetukan jari atau kaki (Tamsuri, 2007)
c. Distraksi pernafasan
Distraksi pernafasan dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pertama,
yaitu bernafas ritmik. Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang
25

fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi
perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian
menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu
sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi
pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan tehnik
ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.
Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk melakukan
pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada
bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan
memutar di area nyeri. Pernapasan dalam adalah teknik yang termudah yang
digunakan untuk anak kecil. Anak di instruksikan mengambil napas melalui
hidung dan meniup keluar melalui mulut. Sambil menghitung respirasi anak,
perhatian dapat dipusatkan pada pernapasannya. Bagi anak usia sekolah,
dengan meminta mereka menahan napas sewaktu prosedur yang menyakitkan
akan memindahkan perhatian mereka pada pernapasannya bukan pada
prosedurnya. Meminta anak “meniup keluar nyeri” telah didiskusikan sebagai
alat distraksi yang efektif (French, Painterand Coury, 1994)
d. Distraksi Intelektual
Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di
tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita. Pada anak
dapat digunakan teknik menghitung benda atau barang yang ada di sekeliling
anak.
e. Distraksi sentuhan
Distraksi sentuhan merupakan distraksi dengan memberi sentuhan pada
lengan, mengusap, dan menepuk nepuk tubuh klien. Tindakan ini dapat
digunakan untuk mengaktifkan saraf lainnya guna menerima respons atau
teknik gateway control.
f. Distraksi audiovisual
Distraksi audiovisual merupakan jenis distraksi gabungan dari distraksi audio
dan visual. Contoh distraksi audiovisual adalah meononton animasi kartun
yang menggunakan media animasi kartun dalam pelaksanannya. Media
26

animasi adalah media berupa gambar yang bergerak disertai dengan suara
(Utami, 2007). Kartun biasa disebut animasi 2 dimensi. Kartun berasal dari
kata Cartoon yang berarti gambar lucu. Contohnya Upin dan Ipin, Tom and
Jerry, Scooby Doo, Doraemon. Teknik ini dapat menggunakan bantuan media
elektornik, seperti TV, tablet, smarphone, dan lainnya tergantung usia anak,
misalnya untuk anak usia dini dapat menggunakan media yang sesusai dengan
ukuran tubuhnya agar anak dapat menikmati animasi kartun yang diberikan.
Anak anak menyukai unsur-unsur gambar, warna cerita, dan emosi (sedih,
senang, seru, bersemangat) yang terdapat dalam film kartun merupakan unsur
otak kanan dan suara yang timbul dari film tersebut.
D. Pemasangan Infus
1. Pengertian
Memasang infus merupakan suatu tindakan yang dilakukan pada
pasien dengan cara memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan
infus set, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
(Hidayat & Uliyah,2016).
Pemasangan infus adalah suatu tindakan keperawatan yang dilakukan
kepada pasien yang memerlukan masukan cairan melalui intravena (infus).
Untuk melakukan tindakan pemasangan infus, perawat sebaiknya memahami
tentang teknik sterilisasi karena tindakan ini berhubungan langsung dengan
pembuluh darah (Suytanto & Fitriana, 2017).
2. Tujuan
Terapi intravena diberikan pada bayi dan anak dengan alasan sebagai berikut :
a. Penggantian cairan
b. Pemeliharaan cairan
c. Rute pemberian obat atau substansi terapeutik lain (misalnya darah,
produk darah, immunoglobulin).
3. Pemilihan Vena
Pada umumnya, vena yang harus digunakan padaa terapi IV adalah venavena
distal pada tangan dan lengan seperti vena basilica, vena sefalika dan vena
metakarpal. Sebelum vena dipilih, ekstremitas harus diobservasi dan dipalpasi
untuk melihat kekenyalan dan lokasi. Sebaiknya vena yang digunakan adalah
27

vena yang belum digunakan dan lurus. Adapun pedoman untuk pemilihan
vena yaitu :
a. Gunakan vena-vena distal terlebih dahulu
b. Gunakan lengan pasien yang tidak dominan jika mungkin
c. Pilih vena-vena diatas area fleksi
d. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang
adekuat ke dalam kateter
e. Palpasi vena untuk menentukan kondisinya. Selalu pilih vena yang lunak,
penuh dan yang tidak tersumbat, jika ada
f. Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak mengganggu aktivitas pasien
sehari-hari
g. Pilih lokasi yang tidak akan mempengaruhi posedur-prosedur yang
direncanakan.
Pertimbangan pediatrik :
a. Vena dorsal kaki memungkinkan anak mempunyai mobilitas yang paling
besar
b. Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan pembatasan
yang minimal
c. Tempat penusukan pada kaki, kulit kepala dan antekubiti adalah yang
paling umum digunakan pada kelompok umur bayi sampai pada anak usia
bermain (toodler)
4. Peralatan
a. Larutan IV yang tepat
b. Jarum/kateter untuk pungsi vena yang sesuai
c. Untuk infus cairan IV
d. Tourniquet
1) Perangkat pemberian (pilihan tergantung pada tipe larutan dan
kecepatan pemberian, bayi dan anak kecil memerlukan selang
mikrodrip, yang memberikan 60 tetes/ml)
2) Filter 0,22 μm 9bila diperlukan oleh kebijakan institusi atau bila
bahan berpartikel akan diberikan)
3) Tambahan selang (digunakan bila jalur IV lebih panjang perlu)
28

e. Sarung tangan sekali pakai


f. Papan tangan
g. Kasa 2x2 dan salep pavidon iodine; atau, untuk balutan transparan, larutan
pavidon iodine
h. Plaster yang telah dipotong dan siap digunakan
i. Handuk untuk diletakkan dibawah tangan klien
j. Pakaian khusus dengan kancing dilapisan bahu, bila tersedia.
k. Tiang infuse

5. Pelaksanaan
a. Cuci tangan
b. Atur peralatan di samping atau di atas meja tempat tidur
c. Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptic
d. Periksa larutan terhadap warna, kejernihan dan tanggal kadaluarsa
e. Bila menggunakan larutan IV dalam botol, lepaskan penutup logam dan
lempeng karet dan logam di bawah penutup
f. Buka set infus, mempertahankan sterilitas pada kedua ujung
g. Pasang klem rol sekitar 2 sampai 4 cm di bawah balik drip dan pindahkan
klem rol pada posisi “off”
h. Tusukkan set infus ke dalam botol cairan
i. Isi selang infus
1) Tekan bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi
2) Lepaskan pelindung jarum dan klem rol uuntuk memungkinkan cairan
memenuhi bilik drip melalui selang ke adapter jarum. Kembalikan
klem rol ke posisi off setelah selang terisi
3) Pastikan selang bersih dari udara dan gelembung udara
j. Pilih jarum IV yang tepat
k. Pilih tempat distal vena yang digunakan, bila mungkin letakkan
ekstremitas pada posisis dependen
l. Letakkan torniket 10 sampai 12 cm di atas tempat penususkan
m. Kenakan sarung tangan sekali pakai
29

n. Pilih vena berdilatasi baik, bersihkan tempat insersi dengan gerakan


sirkuler menggunnakan larutan pavidon iodine atau alcohol 70 %
o. Lakukan pungsi vena. Tahan vena dengan menggunakan ibu jari di
atasvena dengan meregangkan kulit berlawanan arah dengan arah
penusukan 5 sampai 7,5 cm kearah distal tempat penusukan. Tusuk dengan
bevel menghadap ke atas pada sudut 20 sampai 30 derajat sedikit kea rah
distal terhadap tempat actual pungsi vena
p. Perhatikan keluarnya darah melalui bilik flashback over the needle
catheter (ONC), yang menandakan jarum telah masuk ke vena. Turunkan
jarum sampai hamper menyentuhh kulit. Dorong kateter ONC 0,6 cm ke
dalam vena lalu lepaskan stiletnya. Dorong kateter ke dalam vena sampai
hubungan menempel dengan tempat pungsi vena.
q. Tahan kateter dengan satu tangan, lepaskan torniket dan lepaskan stilet
dari ONC. Dengan cepat hubungkan adapter jarum dan perangkat pemberi
ke hubungan dari ONC
r. Lepaskan klem roler untuk memulai infus pada kecepaatan untuk
mempertahankan aliran IV
s. Amankan kateter dan jarum IV (prosedur dapat saja berbeda tergantung
kebijakan institusi)
t. Atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tepat per menit
u. Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta ukuran jrum pada
balutan
v. Lepaskan sarung tangan, singkirkan alat-alat dan cuci tangan
w. Catat pada catatan perawat jenis larutan, letak insersi, kecepatan aliran,
ukuran dan tipe kateter atau jarum, kapan infuse dimulai dan bagaimana
toleransi klien terhadap prosedur ( Perry, Anne griffin, 1999).

E. Pengaruh Distraksi Audio Visual Terhadap Penurunan Nyeri Pada Anak


Prasekolah Pada Saat Pemasangan Infus

Salah satu teknik distraksi audio visual yang dapat dilakukan pada
anak dalam penatalaksanaan nyeri adalah menonton film kartun. Pada
flim kartun animasi terdapat unsur gambar, suara, warna dan cerita
30

sehingga anak-anak menyukai menonton film kartun animasi. Ketika anak


lebih fokus ada kegiatan menonton film kartun, hal tersebut membuat
impuls nyeri akibat adanya cidera tidak mengalir melalui tulang belakang,
pesan tidak mencapai otak sehingga anak tidak merasakan nyeri
(Sarfika, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Sarfika (2015),
menunjukkan adanya perbedaan skala nyeri anak yang diberikan teknik
distraksi menonton kartun animasi yaitu 2,64 dengan anak yang
tidak diberikan teknik distraksi menonton kartun animasi yaitu 6,36
(menggunakan rentang skor FLACC).
Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf M (2018) bahwa distraksi
visual kartu berpengaruh terhadap penurunan tingkat nyeri pada anak
selama dilakukan tindakan pemasangan infus.
Penelitian yang dilakukan oleh Indung Susilo Sekti Kirono (2019)
bahwa terdapat pengaruh ditraksi audiovisual terhadap nyeri saat pemasangan
infus pada pasien anak di IGD RSUD Bangil.
Penelitian yang dilakukan oleh Ganda Nur Patma Suprobo (2017)
bawah ada pengaruh terapi audio visual terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada anak usia preschool yang dilakukan pemasangan infus di
UGD RSUD Wates.
Sebuah studi yang dilakukan Olveirra et.al. (2016) juga meneliti
tentang distraksi audio visual dengan judul “Audiovisual distraction for pain
relief in paediatric inpatients” Penelitian tersebut menggunakan kelompok
kasus dan kelompok kontrol dengan sampel sebanyak 40 responden. Hasil
penelitian memberikan perbedaan yang sangat signifikan antara kelompok
kasus yang diberi perlakuan distraksi audio visual berupa menonton film
animasi dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan distraksi
menonton film animasi. Hasil tersebut membuktikan bahwa distraksi
mononton animasi dapat sangat efektif digunakan untuk meredakan nyeri akut
pada hospitalisasi.
31

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep ialah suatu hubungan antara konsep satu dengan
dengan yang lainnya terhadap masalah yang diteliti oleh peneliti (Kartika,
2017). Kerangka konsep didapatkan dari konsepteori atau ilmu yang
digunakan sebagai landasan penelitian yang ada ditinjauan pustaka,
yangdihubungkan dengan garis sesuai dengan variabel yang akan diteliti
(Kartika, 2017).

Tingkat nyeri anak


saat pemasangan
infus
Faktor yang mempengaruhi Distraksi 1. Ringan
teknik distraksi: audiovisual 2. Sedang
1. Komunikasi antar 3. Berat
perawat dan klien 4. Sangat berat
2. Media distraksi yang
dipakai
3. Jangka waktu yang
digunakan
4. Tingkat stres, cemas
maupun depresi yang Dapat Tidak dapat
dialami klien menurunkan menurunkan
rasa nyeri rasa nyeri

1. Anak dapat bersikap 1. Anak tidak dapat


kooperatif bersikap kooperatif
2. Waktu penyembuhan 2. Waktu penyembuhan
yang dibutuhkan lebih yang dibutuhkan lebih
singkat lambat

Keterangan
Diteliti
Tidak diteliti
Pengaruh
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual
32

B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah teori atau konsep yang telah dijabarkan
dalam bentuk variabel penelitian agar variabel tersebut mudah dipahami,
diukur atau diamati (Suyanto,2011)

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Parameter Instrumen Skala Skor


Operasional Kriteria
Independent Suatu teknik untuk - Jenis film Smartphone - -
fokus anak dari yang disukai atau Tab
Teknik rasa sakit yang anak pra
distraksi akan dihadapi dari sekolah
audiovisual tindakan
pemasangan infus
melalui obyek
audio visual yang
menyenangkan
Dependent Tingkatan nyeri Respon Lembar ordinal Skor:
yang dirasakan fisiologis dan observasi 0 = aman
Penurunan oleh anak setelah respon perilaku FLACC 1-3 = nyeri ringan
rasa nyeri dilakukan teknik 4-6 = nyeri sedang
distraksi 7-10 = nyeri hebat
audiovisual pada Kriteria:
saat pemasangan - tabel FLACC
infus

C. Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan sementara dari jawaban rumusan masalah
(Sujarweni, 2014). Hipotesis sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis
diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam pernyataan yang
dapat diuji (Noor, 2013). Hipotesis penelitian ini adalah:

H1 : Ada Pengaruh Distraksi Audio Visual Terhadap Penurunan Nyeri Pada


Anak Prasekolah Pada Saat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Mitra
Keluarga Cikarang
33

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah pre
eksperiment design : post test only design yaitu penelitian yang dilakukan dengan
memberikan intervensi / perlakuan kemudian dilihat hasilnya (Notoatmodjo,
2010). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan perlakuan berupa teknik
distraksi audiovisual pada saat pemasangan infus. Setelah itu di ukur tingkat nyeri
yang dirasakan oleh anak dengan menggunakan skala nyeri “FLACC”.

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien anak usia prasekolah
(3-6 tahun) dengan rata-rata kunjungan 30 pasien per bulan
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia pra sekolah (3-6
tahun) yang dirawat inap di RS Mitra Keluarga Cikarang dengan teknik
non probability sampling dengan cara consecutive sampling yaitu
pengambilan sampel yang dilakukan dengan memilih kriteria penelitian
sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Sugiyono
dalam Hidayat 2009).
Bungin (2010) jumlah sampel dapat diperoleh dengan
menggunakan rumus perhitungan besaran sampel:

N
n=
N (d 2 )+1
Keterangan:
n : Jumlah sampel yang dicari
N : Jumlah populasi
d : Nilai presisi (ditentukan sebesar a=0,1)
34

Maka diperoleh jumlah sampel dalam penelitian ini 23 pasien, dengan


perhitungan sebagai berikut.
30
n= =
30(0,12 )+1 23 pasien.
Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala FLACC.
Sampel tersebut kemudian dipilih berdasarkan karakteristik dan kriteria
sampel berdasarkan :
1. Kriteria inklusi yaitu karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target atau terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2016),
yaitu:
a. Anak yang berusia 3-6 tahun.
b. Anak yang dirawat inap.
c. Anak yang akan menerima tindakan pemasangan infus.
d. Orangtuanya mengizinkan menjadi responden.
2. Kriteria eksklusi yaitu menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi (Nursalam, 2016), yaitu
a. Anak yang menderita sakit berat yang mengharuskan pemasangan
infus segera
b. Orangtuanya tidak mengizinkan menjadi responden.

C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu hal yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2009
dalam Sujarweni, 2014).
1. Variabel independent (bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi penyebab munculnya maupun perubahan pada variabel
dependent (Sujarweni, 2014). Variabel independent pada penelitian
ini adalah distraksi audiovisual.
2. Variabel Dependent (terikat)
35

Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat


karena variable bebas (Sujarweni, 2014). Variabel dependent dalam
penelitian ini adalah tingkat nyeri pada anak saat pemasangan infus.

D. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Cikarang yang berlokasi
Jalan Raya Industri No.100, Mekarmukti, Cikarang Utara, Bekasi, Jawa Barat.

E. Prosedur Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a. Data Primer
Pengumpulan data primer diperoleh menggunakan lembar observasi
yang telah disediakan oleh peneliti.
b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari Rekam Medik Mitra
Keluarga Cikarang Bekasi.
3. Sumber Data
a. Data tentang teknik distraksi audiovisual
Data tentang teknik distraksi audiovisual berupa informasi tentang
definisi dan pendapat para ahli yang diperoleh dari sumber buku dan
internet.
b. Data tentang penurunan rasa nyeri, datanya diperoleh dari hasil
observasi yang diberikan kepada pasien setelah diberikan perlakuan.

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan lembar prosedur pelaksanaan teknik distraksi,
skala nyeri dengan skala peringkat nyeri “FLACC” dan lembar observasi yang
berisi catatan tentang intensitas nyeri yang dirasakan anak setelah dilakukan
teknik distraksi audiovisual pada saat pemasangan infus.
36

1. Uji validitas dan reliabilias instrument


Salah satu ciri tes yang baik adalah apabila tes itu dapat tepat
mengukur apa yang hendak diukur atau istilahnya valid atau sahih.
Pengujian validitas ini menggunakan rumus Produk Momen Person.
Reliabilitas instrumen diukur menggunakan rumus alpha cronbach.
Perhitungan dilakukan dengan bantuan SPSS 23.
Kreteria koefisien reliabilitas mengacu pada pendapat Guilford
(dalam Jihad dan Haris 2013:181) sebagai berikut :
0,90 < r 11 1,00 reliabilitas sangat tinggi
0,70 < r 11 0,90reliabilitas tinggi
0,40 < r 11 0,70reliabilitas sedang
0,20 < r 11 0,40reliabilitas rendah
r 11 ≤ 0,20 reliabilitas sangat rendah
2. Uji Normalitas
Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya
suatu distribusi data. Untuk menguji apakah data-data penelitian
berdistribusi normal maka dapat digunakan uji Kolmogrov-Smirnov
(Supardi,2016). Uji Kolmogrov-Smirnov Z dihitung dari perbedaan paling
besar diantara fungsi distribusi kumulatif data penelitian dengan hipotesis :
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data berdistribusi tidak normal
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
 Jika sig. > 0,05 maka terima Ho sehingga data berdistribusi normal
 Jika sig. < 0,05 maka tolaK Ho sehingga data berdistribusi tidak
normal

G. Pengolahan data
Proses pengolahan data yang dilakukan adalah :
1. Editing,
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data
yangdiperoleh atau dikumpulkan. Editingdapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
37

2. Coding,
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numeric
(angka)terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian
kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis data
menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga
daftar kode dan artinya dalam satu buku (code book) untuk
memudahkan kembali melihat dan arti suatu kode dari suatu variabel.
3. Data Entry,
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel
computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana.
4. Analisa Data, melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistic (Hidayat A, 2017).

H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat pada umumnya dalam analisis ini menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisis Bivariat
Analisa bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan (Hidayat A, 2017).

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan uji


wilcoxon yaitu dengan mencari perbedaan mean pretestdan posttest.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat stres hospitalisasi pada
anak saat dilakukan injeksi bolussebelum diberikan terapi dan sesudah
diberikan terapi. Setelah data terkumpul dan telah diskoring kemudian
dilakukan uji wilcoxon untuk mengetahui perbandingan pengamatan
sebelum dan sesudah perlakuan terhadap variabel independent dan
variabel dependent.

Untuk mengetahui perbedaan antara dua variabel apakah


signifikansi atau tidak dengan menggunakan tingkat signifikansi atau
38

kebenaran (α) 0,05 dipergunakan software SPSS versi 23, dimana nilai
p (p value) lebih kecil dari nilai alpha (α) (p < α = 0,05) maka ada
perbedaan yang signifikan, sehingga akan diketahui pengaruh perlakuan
distraksi audiovisual terhadap penurunan nyeri pada anak prasekolah saat
pemasangan infus dengan membandingkan nilai posttest dengan pretest.
Sedangkan apabila p > α = 0,05 maka tidak ada perbedaan yang
signifikan, sehingga diketahui tidak ada pengaruh distraksi audiovisual
terhadap penurunan nyeri pada anak pra sekolah saat pemasangan infus.
39

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Alih.


Bahasa : Agung Waluyo, et al, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J. 2009. Buku saku diagnosa keperawatan. : EGC, Jakarta.
Hidayat, A. A. A. 2005. Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep &
proses keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.
Hidayat, Aziz. 2017. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa
Data Edisi I. Jakarta : Salemba Medika.
IDAI, 2000. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri, Volume 2, pp.
43-7.
Jihad, Asep., & Abdul, Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi
Pressindo
Piaget, Jean, 1996. Antara Tindakan Dan Pikiran, disunting oleh Agus Cremers.
PT.Gramedia, Jakarta
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan.
Praktik. Edisi 4 volume 1.EGC. Jakarta
Priharjo, R. 2008. Teknik dasar pemberian obat bagi perawat. Jakarta: EGC
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi Cetakan ke
2, Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis.
Edisi.4. Jakarta : Salemba Medika
Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer. Alfabeta, Bandung
Slavin. R., E. 2006. Educational Psychology; Theory and Practice (8th Edition).
Pearson Edcation Inc, Boston
Sudjana. 2012. Metode Statistik. Bandung: Tarsito
Sujarweni, Wiratna. 2014. Metodologi penelitian: Lengkap, praktis, dan
mudah dipahami. Yogyakarta: PT Pustaka Baru
Supardi US. 2015. Aplikasi Statistik Dalam Penelitian. Jakarta: Ufuk Press
Supartini, Y. 2004. Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC.
Supartini,Yupi.2012. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. EGC , Jakarta.
Suyanto, Sunyoto. 2011. Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Yogyakarta: Caps
Tamsuri, 2007. Konsep Penatalaksanaan Nyeri. EGC, Jakarta
40

Tufecki, F.G ., Celebioglu, A & Kucukoglu, S. 2009. Turkish Children


Loved Distraction, Using Kaleidoscope to Reduce Perceived Pain
DuringVenipuncture, Jurnal of Clinical Nursing, p 1-5
Weinstein. 2001. Terapi intravena. Edisi 2. Jakarta: EGC. 
Winarno. 2012. Psikologi Perkembangan Anak. Platinum, Jakarta
Wong, L. Donna. 2009. Pedoman Klinis Keerawatan Pediatrik. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai