Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TERAPI BERMAIN ANAK USIA PRA SEKOLAH


DI RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI

Edi Septiwibowo (SN201117)


Fatah Kholison (SN201246)
Ferryda Leyla Mariana W (SN201129)
Jumiran (SN201153)
Dahru Bunyainah (SN201104)
Makmur Sri Setyaningrum (SN201163)
Niken Prima Astuti (SN201179)
Ratnawati Kusumaningsih (SN201191)
Sri Daryati (SN201211)
Sri Wahyuni (SN201213)
Susilowati (SN201214)
Susilowati (SN201215)
Triyatmini (SN201258)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2020/2021
BAB I

PEBDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh manusia rentan dari penyakit. Penyakit bisa datang kepada siapa saja
yakni dari lansia, dewasa, remaja hingga anak-anak. Menurut Badan Pusat Statistik
Kesejahteraan Rakyat tahun 2017 mengemukakan bahwa penduduk Indonesia yang jatuh sakit
berkisar 41,81%. Di Provinsi Banten riwayat penduduk yang sakit berkisar 13,87% sedangkan
penduduk Banten
yang dirawat inap berkisar 3,25% (BPS, 2017). Hospitalisasi dapat menimbulkan reaksi pada
anak yang berdampak pada anak yang berdampak pada perawatan anak di rumah sakit, yaitu
reaksi dalam bentuk kecemasan ringan sampai dengan berat yang akan mempengaruhi proses
penyembuhan anak selama perawatan di rumah sakit (Marni, dkk, 2018).
Hospitalisasi ini merupakan suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di
rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan
asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi stresor baik terhadap anak
maupun orang tua dan keluarga, perubahan kondisi ini merupakan masalah besar yang
menimbulkan ketakutan, kecemasan bagi anak yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis
dan psikologis pada anak jika anak tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan tersebut.
Dampak jangka panjang dari anak sakit dan dirawat yang tidak segera ditangani akan
menyebabkan kesulitan dan kemampuan membaca yang buruk memiliki gangguan bahasa dan
perkembangan kognitif, menurunnya kemampuan intelektual dan sosial serta fungsi imun
(Saputro, 2017). Dampak jangka pendek dari kecemasan dan ketakutan yang tidak segera
ditangani akan membuat anak melakukan penolakan terhadap tindakan perawatan dan
pengobatan yang diberikan sehingga berpengaruh terhadap lamanya hari dirawat,
memperberat kondisi anak dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan kecemasan hospitalisasi yaitu dengan
menggunakan terapi bermain. Terapi bermain adalah suatu aktivitas bermain yang dijadikan
sarana untuk menstimulasi perkembangan anak, mendukung proses penyembuhan dan
membantu anak lebih kooperatif dalam program pengobatan serta perawatan (Sari, 2018).
Bermain merupakan kegiatan yang sering dilakukan anak-anak, karena bermain media yang
baik bagi anak untuk belajar berkomunikasi, mengenal dunia sekitarnya dan dapat
meningkatkan kesejahteraan mental serta sosial anak (Marni, dkk, 2018).
Prinsip bermain di rumah sakit yakni tidak membutuhkan banyak energi, waktunya
singkat, mudah dilakukan, aman, tidak bertentangan dengan terapi dan melibatkan keluarga.
Bermain berfungsi sebagai aktifitas sensorik-motorik, perkembangan kognitif, sosialisasi,
kreatifitas, perkembangan moral terapeutik dan komunikasi. Memberikan terapi bermain
pada anak perlu diperhatikan jenis permainan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada. Macam-macam alat permainan yang dapat dilakukan untuk teknik distraksi dalam
pengalihan nyeri yaitu radio, tape recorder, CD player atau permainan komputer, handphone
gunakan humor seperti menonton kartun atau cerita lucu (Wong, 2008).

Media audio visual merupakan media perantara atau penggunaan materi dan penyerapan
melalui pandangan dan pendengaran sehingga membangun kondisi yang dapat memeproleh
keterampilan, pengetahuan, dan sikap. Audiovisual yang digemari oleh anak-anak usia pre-
school adalah kartun atau gambar bergerak, merupakan media yang sangat menarik bagi anak-
anak terutama anak usia pre-school yang memiliki daya imajinasi tinggi. Audio visual dapat
memudahkan anak untuk medapatkan pembelajaran dengan basis menyenangkan. Anak juga
dapat mengeksplorasi perasaan, emosi, dan daya ingat melalui audio visual, audio visual juga
dapat membantu perawat dalam melaksanakan prosedur infus dan injeksi, memudahkan
perawat dalam mendistraksi agar anak kooperatif dalam pelaksanaan prosedur terapi (Taufik,
20012). Terapi bermain efektif untuk menurunkan kecemasan akibat hospitalisasi pada anak
usia prasekolah (Marni,dkk, 2018).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi hospitalisasi anak pada saat berada dirumah sakit?
2. Bagaimana terapi bermain audio visual dapat menurunkan ketakutan dan kecemasan akibat
hospitalisasi anak?

C. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Setelah mendapatkan terapi bermain selama 40 menit, diharapkan kreativitas anak-anak
berkembang baik anak merasa tenang dan senang selama berada di bangsal Cempaka
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso dapat bersosialisasi dengan lingkungan rumah sakit
dan dapat membantu mengurangi tingkat kecemasan atau ketakutan yang dirasakan oleh
anak-anak akibat hospitalisasi
2. Tujuan Khusus
Setelah mendapatkan terapi bermain diharapkan :
a. Bisa merasa tenang dan senang selama berada di instalasi keperawatan anak
b. Anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan rumah sakit
c. Anak tidak cemas dan takut akibat hospitalisasi
d. Anak menjadi lebih percaya dan tidak takut dengan perawat
e. Anak dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus meskipun masih
menjalani perawatan di rumah sakit
D. Manfaat Kegiatan
1. Kepada Keluarga
Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi strees keluarga akibat mengetahui kondisi anak
yang sedang sakit dan mengalami kecemasan.
2. Anak
Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi kecemasan pada anak akibat hospitalisasi, anak
masih tetap melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus serta membantu anak
lebih kooperatif, dan mendukung proses penyembuhan.
3. Perawat
Kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu intervensi kepada anak yang mengalami
kecemasan akibat hospitaslisasi sehingga terapi medis dan keperawatan dapat bekerja
secara maksimal
BAB II

TARGET DAN LUARAN KEGIATAN

A. Target
Terapi bermain dengan audio visual , tentunya mempunyai tujuan agar anak mampu
mempresentasikan simbol masalah, perasaan, dan tema, yang terkait dengan kisah mereka
atau bagian kisah mereka. Oleh karena itu, akan dapat mengembangkan gambaran lingkungan
mereka yang bermasalah dan mengenali posisi mereka dalam lingkungan tersebut. Target
yang hendak dicapai dengan menggunakan audio visual sebagai berikut:
1. Anak dapat menceritakan kisah mereka.
2. Anak dapat mengekspresikan perasaan emosional yang tertekan atau kuat.
3. Membantu anak mengendalikan kejadian yang telah atau sedang dialami
Menurut Suparto dalam wowlink dkk (2019) audio visual merupakan salah satu permainan
yang memberikan kesempatan anak untuk bebas berekspresi dan sangat terapeutik (sebagai
permainan penyembuhan. Terapi bermain audio visual adalah terapi yang dapat memberikan
efek rileks pada anak yang mengalami kecemasan (Marni, dkk, 2018). Audio visual juga dapat
memberikan rasa senang karena pada dasarnya anak usia prasekolah sudah sangat aktif dan
imajinatif selain itu anak masih tetap dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik
halus dengan melihat dan mendengarkan gambar katun dan menebak warna pada video
meskipun masih menjalani perawatan di rumah sakit.

B. Luaran yang diharapkan


Diharapkan dapat menurunkan kecemasan pada anak akibat hospitalisasi yang dialami,
sehingga terapi yang diberikan kepada anak dapat membantu proses penyembuhan. Dengan
audio visual dapat memberikan rasa senang karena pada dasarnya anak usia prasekolah sudah
sangat aktif dan imajinatif. Selain itu, diharapkan dapat membantu anak lebih kooperatif,
mendukung proses penyembuhan, dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik
halus.

BAB III

METODOLOGI PELAKSANAAN

A. Lokasi dan Waktu Kegiatan


1. Lokasi
Di bangsal Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
2. Waktu Kegiatan
Hari/tanggal : Rabu, 17 Desember 2020
Waktu : 10.00-11.00

B. Metode, Alat Dan Bahan


1. Media (Alat dan Bahan)
a. Laptop
b. LCD
c. Karpet
d. Daftar hadir
Tema video yang tersedia : Film Tayo dan teman - teman

C. Tahapan Kegiatan
Disamping memperhatikan keterampilan dasar dalam melakukan konseling dengan klien
anak, perlu diperhatikan prosesnya. Proses ini menandakan hubungan yang terjadi sepanjang
kegiatan konseling berjalan yang didalamnya mencakup upaya konselor dalam menyarankan
berbagai perubahan, juga berkaitan dengan cara konselor dalam membangun hubungan yang
penuh dengan kepercayaan dari anak. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
memperoleh kepercayaan dari anak adalah melalui acticve listening dan unconditional
acceptance. Fokus yang hendak yang dicapai dalam hal ini adalah terjadinya perubahan atas
tingkah laku anak yang menyimpang, yang dapat membantu konselor dalam melihat
pergerakan dan kemajuan yang dicapai. Melalui media bermain seperti cat, tanah liat dan air,
anak-anak menyatakan dirinya secara kiasan dan simbolik. Oleh karenanya dengan
mengetahui langkah-langkah dan tema dalam konseling anak, dapat membantu konselor
dalam proses konseling yang dilakukannya. Langkah- langkah yang perlu diketahui dan
dilaksanakan dalam kegiatan ini meliputi : 1. Mengenal langkah-langkah konseling anak. Hal
pokok yang harus disadari oleh para konselor, yaitu setting, struktur sesi atau pertemuan yang
disesuaikan dengan dunia anak-anak. Terdapat 3 (tiga) fase yang perlu diperhatikan ketika
konselor akan berinteraksi dengan anak-anak, yaitu:
1. Langkah Awal
Dalam tahap awal ini, kegiatan utamanya adalah bagaimana membangun hubungan
anak-konselor. Konselor harus mampu membangun hubungan yang hangat, yang
didalamnya ada kepercayaan anak terhadap konselor. Untuk mencapai tujuan tersebut,
konselor harus berusaha masuk secara total pada dunia anak, sehingga anak betul-betul
merasa aman dan menganggapnya sebagai sahabat. Langkah ini bisa dilakukan oleh
konselor denganmenyediakan berbagai permainan yang digemari anak. Melalui fasilitas
permainan ini konselor bisa mengajar anak-anak bermain dengan tujuan agar anak merasa
aman. Ketika anak sudah merasa aman, konselor bisa menyiapkan berbagai perangkat
konseling dalam menggali berbagai gejala dan informasi yang ia butuhkan, yang
ditunjukkan anak melalui berbagai aktifitas komunikasi dan interaksi termasuk didalamnya
aktifitas bermain mereka.
2. Langkah Pertengahan
Langkah pertengahan dimulai ketika anak sudah asyik dengan permainan dan perhatian
mereka. Konselor dapat memfasilitasi kegiatan ini dengan menyediakan berbagai sarana
bermain agar anak dapat mengekspresikan berbagai perasaan baik sesuatu yang pernah
dialaminya di masa lampau atau keinginan yang ia harapkan pada masa yang akan datang.
Pada kondisi ini konselor bisa melibatkan diri pada aktifitas yang sedang dilakukan anak,
misalnya anak yang sedang memperhatikan video, konselor bisa melakukan eksplorasi
berbagai informasi yang dibutuhkan melalui upaya terlibat langsung dengan aktifitas yang
sedang dilakukan anak. Melalui audio visual anak akan mengekspresikan suasana emosinya
misalnya dengan menebak warna yang terdapat dalam video yang sedang diputar. Konselor
bisa juga menggunakan cerita dengan karakter pelaku cerita orang-orang yang ada dalam
kehidupan anak, dengan permasalahan yang serupa dengan apa yang dialami anak. Melalui
teknik ini, konselor dapat membantu anak untuk mengembangkan kreatifitasnya secara
lebih luas, seperti kemampuan bahasa, seni, gerak, drama dan dapat mengembangkan
kemampuan emosi anak dalam menjalin hubungan dengan alam sekitarnya.
3. Langkah Akhir
Pada tahap ini konselor dapat mengakhiri proses konseling bila pada diri anak telah
menunjukkan kemajuan dalam berbagai bentuk perilaku positif. Bila anak telah mampu
menunjukkan kebutuhan minimalnya, secara simbolik mampu mengekspresikan emosinya
dan secara lisan mampu mendiskusikan berbagai isu. Konseling dapat dihentikan bila anak
telah mampu menunjukkan kreatifitasnya dalam seni, mampu bermain peran, melakukan
permainan yang melibatkan kerjasama dengan teman sebayanya, atau menampilkan
perubahan perilaku yang positif lainnya
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Terapi bermain dilakukan di bangsal Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri. Terapi bermain dilakukan dengan menggunakan audio visual yaitu melihat dan
mendengarkan suatu video / film kartun yang diputar. Jumlah pasien anak yang
mendapatkan terapi bermain adalah 5 pasien anak dan dengan pendampingan orang tua
masing - masing. Waktu yang digunakan dalam terapi bermain selama 40 menit. Pada
saat kegiatan dilakukan pasien anak tampak antusias dan sangat senang. Mereka dapat
menyebutkan warna – warna yang ada dalam video. Mereka juga menyimak cerita Tayo
pada video yang diputar.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak Usia
Prasekolah yang Dilakukan terapi bermain (N=5)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)


Usia
3 tahun 3 60
4 tahun 1 20
5 tahun 1 20
Jenis Kelamin
Laki-laki 2 40
Perempuan 3 60
Pengalaman dirawat
Pernah 1 20
Belum pernah 4 80

Jumlah pasien anak dengan tingkat kecemasan atau ketakutan ringan sebelum
dilakukan terapi bermain adalah 1 anak, jumlah pasien anak dengan tingkat kecemasan
atau ketakutan sedang sebelum dilakukan terapi bermain adalah 2 anak, sedangkan
jumlah pasien anak dengan tingkat kecemasan atau ketakutan berat sebelum dilakukan
terapi bermain adalah 2 anak.
Distribusi Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah
Sebelum Dilakukan Terapi Audio Visual (N=5)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)


Cemas ringan 1 20
Cemas Sedang 2 40
Cemas Berat 2 40
Setelah dilakukan terapi bermain audio visual didapatkan hasil jumlah pasien anak
dengan tingkat kecemasan atau ketakutan ringan adalah 3 anak, jumlah pasien anak
dengan tingkat kecemasan atau ketakutan sedang adalah 2 anak.

Distribusi Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah


Setelah Dilakukan Terapi Audio Visual (N=5)

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)


Cemas ringan 3 60
Cemas Sedang 2 40

B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik pasien

Berdasarkan hasil kegiatan mengenai terapi bermain audio visual terhadap anak
usia prasekolah yang dirawat di bangsal Cempaka RSUD dr. Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri diketahui bahwa usia responden terbanyak adalah anak usia 3
tahun yaitu sebesar 2 anak (40%). Berdasarkan usia responden, peneliti
mengklasifikasikan usia berdasarkan perkembangan kognitif menurut Piaget yang
menyebutkan pada anak usia prasekolah (3 sampai 6 tahun) berada pada fase
peralihan antara prakonseptual (3sampai 4 tahun) dan intuitif (5 sampai 6 tahun)
(Muscari, 2005). Semakin muda usia anak, maka akan semakin sulit bagi anak untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal ini juga berhubungan dengan sistem imun
anak akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia anak (Sacharin,
1996), semakin muda usia anak akan lebih berisiko untuk mengalami hositalisasi
disebabkan oleh pertahanan sistem imun anak yang masih berkembang sehingga
sangat rentan terhadap paparan penyakit.

Pada penelitian karakteristik pada jenis kelamin menunjukan anak laki-laki


sebesar 2 anak (40%) sedangkan anak perempuan sebesar 3 anak (60%). Menurut
Soetjiningsih (1995) dalam Samiasih, Amin (2007), anak laki-laki lebih sering sakit
dibandingkan anak perempuan, tetapi belum diketahui secara pasti mengapa
demikian. Meskipun jenis kelamin bukan faktor dominan terhadap munculnya
kecemasan, tetapi ada penelitian yang mengatakan bahwa tingkat kecemasan yang
tinggi terjadi pada wanita dibanding laki-laki yaitu 2:1 (Hawari, 2004). Menurut
Monks,Knoers, dan Rahayu (2006), anak usia
sekolah mengalami kecemasan dan kecakapan verbal lebih banyak pada anak
perempuan; sedangkan agresi, aktifitas, dominasi, impulsifitas, kecakapan
pengamatan ruang dan kecakapan kuantitatif lebih banyak pada laki-laki.

Data pengalaman rawat inap terbanyak yaitu pengalaman yang pertama kali
sebanyak 4 anak (80%), sedangkan yang memiliki pengalaman berulang atau sudah
pernah dirawat sebelumnya sebanyak 1 anak (20%). Menurut Supartini (2004),
reaksi anak terhadap sakit berbeda- beda sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Semakin muda usia anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri
dengan pengalaman di rawat di rumah sakit (Elfira, Eqlima, 2011). Anak yang baru
mengalami perawatan di rumah sakit akan berisiko menimbulkan perasaan cemas
yang ditimbulkan baik oleh anak maupun orang tua (Supartini, 2008). Berbagai
kejadian dapat menimbulkan dampak atraumatik terutama pada anak yang baru
pertama kali mengalami perawatan di rumah sakit, salah satunya karena adanya
interaksi yang tidak baik dengan petugas kesehatan (Potter & Perry, 2006). Menurut
Pelander & Leino-Kilpi (2010) dalam Utami (2014), semakin sering anak
berhubungan dengan rumah sakit maka semakin kecil bentuk kecemasan atau
sebaliknya
2. Tingkat Kecemasan
a. Tingkat kecemasan sebelum dilakukan terapi bermain audio visual
Pada kegiatan ini tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah yang dirawat
inap sebelum dilakukan terapi audio visual terbagi menjadi 3 yaitu cemas ringan
sebanyak 1 anak (20%) , cemas sedang sebanyak 2 anak (40%) dan cemas berat
sebanyak 2 anak (40%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya mengenai
pengaruh terapi audio visual terhadap penurunan tingkat kecemasan sebanyak
77,3% mengalami kecemasan sedang dan 4,5% mengalami kecemasan ringan
saat sebelum dilakukan terapi audio visual(Wahyuningrum,2015).
Kecemasan adalah respon otonom dari perasaan gelisah yang tidak jelas
akibat ketidaknyamanan atau ketakutan, sumber sering tidak spesifik atau tidak
diketahui individu, perasaan takut terhadap sesuatu karena merasa
bahaya(Townsend, 2009). Lingkungan rumah sakit, petugas kesehatan dan alat-
alat yang berada di rumah sakit yang baru dilihat oleh anak menyebabkan anak
menjadi takut dan cemas. Penyebab stres dan kecemasan pada anak dipengaruhi
oleh banyak faktor, diantaranya perilaku yang ditunjukkan petugas kesehatan
(dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya), pengalaman hospitalisasi anak,
support system atau dukungan keluarga yang mendampingi selama perawatan.
Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan anak menjadi semakin stres dan hal ini
dapat berpengaruh terhadap proses penyembuhan (Nursalam,Susilaningrum &
Utami, 2008).
Menurut Utami (2014), anak merupakan populasi yang sangat rentan
terutama saat menghadapi situasi yang membuat stres. Hali ini dikarenakan
kondisi koping yang di gunakan oleh orang dewasa belum berkembang sempurna
pada anak-anak. anak usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit
dengan rasa ketakutan. Jika anak sangat ketakutan, ia dapat menampilkan
perilaku agresif, dari menggigit, menendang-nendang, bahkan berlari keluar
ruangan. Selain itu ada sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman
sehingga timbul perasaan malu dan bersalah, dipisahkan, merasa tidak aman dan
kemandiriannya terhambat (Wong,2008).
Pada penelitian ini respon subjek yang merupakan anak usia 3-5 tahun ketika
pertama kali bertemu dengan perawat dan dilakukan pemeriksaan awal menujukan
cemas ringan dan berat ditandai dengan: pada anak-anak yang mengalami cemas
ringan anak anak menangis ketika bertemu petugas kesehatan sepeti dokter dan
perawat, tidak mau berpisah dengan orangtuanya atau ingin selalu digendong atau
di peluk orangtuanya, tidak menjawab pertanyaan yang diajukan perawat dan tidak
menatap perawat. Sedangkan pada anak yang mengalami kecemasan berat anak
respon yang ditunjukan adalah berteriak-teriak, meronta-ronta, tidak ingin lepas
dari gendongan orangtuanya sehingga terdapat responden yang harus dilakukan
pemasangan infus dua kali karena responden tidak kooperatif. Pada responden
yang sudah pernah dirawat di rumah sakit lebih dari satu kali respon dominan
yang muncul yaitu menangis dan tidak mau lepas dari gendongan orangtuanya.
b. Tingkat kecemasan setelah dilakukan terapi bermain audio visual
Hasil kegiatan ini menunjukan tingkat kecemasan anak usia prasekolah yang
dirawat inap setelah dilakukan terapi bermain audio visual sebanyak 3 anak (60%)
mengalami cemas ringan dan 2 anak (40%) mengalami cemas sedang. Hal ini
sesuai dengan penelitian Wahyuningrum (2015), dimana pemberian tayangan
audio visual efektif dalam menurunkan kecemasan selama hospitalisasi.
Koller dan Goldman (2012) dalam studinya menyatakan bahwa pemberian
cerita melalui audiovisual guna menurunkan kecemasan termasuk teknik distraksi
kecemasan dengan teknik audio visual. Perhatian anak yang terfokus kepada cerita
audio visual yang disimaknya mendistraksikan atau mengalihkan persepsi
kecemasan anak dalam korteks serebral. Teknik distraksi kecemasan anak pada
penelitian ini dilakukan dengan memberikan rangsangan distraksi berupa visual
dan audio dalam film lagu anak-anak. Otak yang semula mempersepsikan
kecemasan dan mengatur respon-respon fisiologis berhenti mempersepsikan
kecemasan karena memproses rangsangan baru yang diterima sehingga respon-
respon fisiologis otomatis menurun.
Teknik distraksi Audio Visual dapat mengatasi cemas berdasarkan teori
aktivasi retikuler, yaitu menghambat stimulus nyeri ketika menerima masukan
sensori yang cukup atau berlebihan, sehingga menyebabkan terhambatnya impuls
cemas ke otak (cemas berkurangatau tidak dirasakan). Stimulus sensori yang
menyenangkan akan merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus cemas yang
dirasakan oleh klien menjadi berkurang. Sedangkan ketika mendapatkan teknik
distraksi audio visual yaitu pengalihan ke stimulus yang lain, akan mengakibatkan
lebih sedikit stimulus cemas yang ditransmisikan ke otak sehingga dapat
mempengaruhi respon tubuh seperti : tekanan darah menurun atau kembali
normal, nadi dalam batas normal, dan nafas menjadi teratur (Suliswati, 2007).
Respon subjek dengan kecemasan ringan dan sedang saat diberi tayangan
audio visual yaitu anak terlihat fokus pada audio visual yang disajikan, walaupun
anak masih harus didampingi oleh orangtuanya, dan tidak menangis saat dilakukan
pemasangan infus, beberapa responden mau bertanya mengenai tayangan yang
disajikan oleh peneliti, namun ada juga yang tidak merespon ketika peneliti
bertanya. Pada kecemasan berat anak akan tetap menangis, tidak mau di pegang
oleh perawat yang akan melalukan infus dan meminta pulang kepada orangtuanya.
Terapi audio visual merupakan teknik distraksi yang sesuai dengan tingkat
usia dan perkembangan pada anak usia prasekolah yang dirawat inap
menyebabkan anak mengalami hospitalisasi selama perawatan dirumah sakit.
Teknik audio visual pada penelitian ini terbukti dapat menurunkan tingkat
kecemasan pada anak usia prasekolah yang mengalami kecemasan pada saat
dirawat inap yaitu dengan cara distraksi untuk melepas hormon endorphine yang
dapat mentrasmisikan nyeri tidak sampai ke otak.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah mendapatkan terapi bermain audio visual :


a. Mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien anak saat dirawat di bangsal Cempaka
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri
b. Pasien bisa merasa tenang dan senang selama berada di instalasi keperawatan anak
c. Anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan rumah sakit
d. Anak tidak cemas dan takut akibat hospitalisasi
e. Anak menjadi lebih percaya dan tidak takut dengan perawat
f. Anak dapat melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus meskipun masih
menjalani perawatan di rumah sakit
B. Saran

1. Kepada Keluarga
Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi strees keluarga akibat mengetahui kondisi
anak yang sedang sakit dan mengalami kecemasan serta keluaga lebih kooperatif
dalam membantu anak melakukan kegiatan lain untuk mengurangi tingkat kecemasan
saat hospitalisasi.
2. Anak
Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi kecemasan pada anak akibat hospitalisasi,
anak masih tetap melanjutkan perkembangan kemampuan motorik halus serta
membantu anak lebih kooperatif, dan mendukung proses penyembuhan.
3. Perawat
Kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu intervensi kepada anak yang mengalami
kecemasan akibat hospitaslisasi sehingga terapi medis dan keperawatan dapat bekerja
secara maksimal
DAFTAR PUSTAKA

Fricilia, Amanatus, Abraham. (2013). Pengaruh terapi bermain terhadap tingkat


kecemasan pada anak usia pra sekolah akibat hospitalisasi di ruangan irina
E. Blu RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Ganda, N. P. S. (2017). Pengaruh terapi audio visual terhadap penurunan tingkat


kecemasan pada anak usia preschool yang dilakukan pemasangan infus di
UGD RSUD Wates : STIKES Jenderal Achmat Yani Yogyakarta. diakses
pada tanggal 19 desember 2020 pukul 12.05
https://drive.google.com/file/d/
1YeKvUxF0K4_Lf8O3nqWRfTNYNS3ME3HL/view?usp=drivesdk

Impiati, W. (2015). Pengaruh cerita audio visual terhadap tingkat kecemasan


pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisai di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul : STIKES Aisyiah Yogyakarta. diakses pada
tanggal 19 desember 2020 pukul 12.06
https://s.docworkspace.com/d/AI7x7Xjv2IdNgtSYup2nFA

Marni, dkk. (2018). Pengaruh terapi bermain mewarnai terhadap penurunan


kecemasan pada anak usia prasekolah. Jurnal Keperawatan GSH. Vol. 7.
No. 1. 24-29.

Saputro, Heri & Fazrin, Intan. (2017). Anak sakit wajib Bermain di Rumah Sakit.
Sukorejo: Forikes.

Sari, F. S.,& Batubara, I. M. (2017). Kecemasan Anak Hospitalisasi. Jurnal


Kesehatan Kusuma Husada . 8. (2): 144-149.

Anda mungkin juga menyukai