Abstrak
Penggunaan teknologi sudah seharusnya guna meringankan kehidupan manusia.
Salah satunya dapat diterapkan dalam usahatani, terkususnya pada sector on farm
dan pengolahan. Kelebihan produk pada saat panen yang tidak terserap oleh pasar
dapat disiasati dengan beberapa pendekatan salah satunya ialah dengan aplikasi
dari salah satu bentuk teknologi tepat guna seperti mesin mesin agroindustri.
Selain guna mengubah bentuk demi meningkatkan nilai tambah dari produk
pertanian, penggunaan teknologi tepat guna dalam kegiatan budidaya juga akan
sangat menentukan, seperti penggunaan bibit unggul dan pupuk, teristimewa pupuk
organik yang ramah lingkungan. Sejalan dengan program pemerintah Propinsi
Nusa Tenggara Timur dalam tajuk Anggur Merah yang bertujuan menjadikan
NTT Propinsi Jagung, Koperasi, dan Lumbung Ternak, maka model penyuluhan
seperti pendampingan perlu ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih
sederhana dan menguntungkan seperti kemitraan. Seperti koperasi dan penyuluh
dapat menjadi agent of change bagi masyarakat di sekitarnya dalam proses
adopsi terhadap inovasi inovasi di bidang pertanian. Hal ini akan sejalan dengan
proses pendidikan kepada petani agar menjadi petani modern yang berorientasi
kepada pasar. Melalui tulisan inipun ingin direkomendasikan kepada para
stakeholder dalam bidang Pertanian tentang manfaat yang dapat diperoleh lewat
aplikasi Teknologi Tepat Guna bagi pembangunan pertanian di Indonesia secara
umum dan Propinsi Nusa Tenggara Timur kususnya.
Kata kata kunci : teknologi tepat guna, pembangunan pertanian,orientasi pasar,
Anggur Merah
Abstract Technology function is has helping humans life. In which, one for
applied in forming system is specially on farm sector and processing. The over
stuck at harvest sector, which market cant receive has been with strategy with
some apporoach, wich one is with applied the appropriate technology. Either
change the form/ shape or increasing the use value from agriculture product,
appropriate technology at farming engginering is ascertain too. For example the
superior beens and fertilizer, especially organic fertilizer wich nature kind. Based
the East Nusa Tenggara Government policy program titled Anggur Merah, in
which the aim is NTT the province of corn, cooperation, and cattle ranch, so the
great model of illumination like accompanion need to transform as simple benefit
form called partnership. The cooperation and illumination can be agent of change
for farmers in adopted procces cattle inovations on farming. That statement will
support with education to farmers citizen for be modern farmer with market
oriented. From this paper, want to recomendate to all stakeholders on farming
system about the benefit of applied the appropriate technology for farming
development in Indonesia, especially at East Nusa Tenggara Province. Key words :
appropriate technology, farming development , market oriented, Anggur Merah
PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat dalam kehidupannya pasti
mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah
kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Terkadang perubahan-
perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan
menimbulkan kejutan budaya bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di
berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata
pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta
religi / keyakinan. Hal inipun berlaku kepada masyarakat tani, yang umumnya
berdomisili di daerah pedesaan. Pembangunan nasional yang sementara kita
galakkan ini terkadang hanya dilihat dari sudut pandang ekonomi yang berakibat
pada upaya peningkatan kapasitas usaha, hanya dalam beberapa hal kita sering
kecolongan dalam upaya penyetaraan dampak dari pembagunan nasional,
kesenjangan cukup nampak antara perkembangan masyarakat urban atau perkotaan
dengan masyarakat pedesaan, padahal menurut kenyataan penduduk kota boleh
dikatakan bergantung penuh pada usaha usahatani penduduk pedesaan guna
mencukupi kebutuhan hidup, terutama menyangkut ketersediaan pangan. Ketika
saatnya panen tiba, para petani menyambutnya dengan rasa suka cita. Apalagi
kalau tanaman pertanian yang mereka tanam memberikan hasil yang tinggi dengan
kualitas yang memuaskan. Namun kegembiraan para petani itu seringkali
dibayangi kesedihan dan kekecewaan, karena biasanya pada saat musim panen
raya harga berbagai produk pertanian merosot tajam. Penyebabnya tidak lain
adalah mekanisme pasar khususnya menyangkut kekuatan pasokan (supply) dan
permintaan (demand). Pada saat musim panen raya pasokan produk pertanian
sudah pasti mengalami kenaikan sedangkan permintaannya relatif tetap. Kondisi
tersebut seringkali mengakibatkan petani tidak berdaya dan hanya pasrah terhadap
mekanisme pasar yang terjadi. Petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menjual
hasil panennya walaupun dengan harga yang sangat murah. Padahal untuk
menghasilkan panen yang baik itu diperlukan biaya produksi yang tidak sedikit
dengan kecenderungan yang terus meningkat. Kejadian tersebut selalu berulang
setiap musim panen tiba dan petani selalu tidak berdaya menghadapi mekanisme
pasar yang terjadi. Hal ini, akan semakin parah karena banyak petani di Nusa
Tenggara Timur seakan terlena dengan sistem warisan sakit hati yang bernama
ijon. Akibatnya, usaha tani yang digelutinya pun tidak lagi mendatangkan
keuntungan, malah sebaliknya sering menimbulkan kerugian. Kondisi yang terus-
menerus berlangsung setiap musim panen itu telah mendorong para petani jatuh ke
dalam jurang kemiskinan yang permanen. Modernisasi tidak hanya milik
masyarakat yang bermukim di daerah perkotaan saja, sekarang ini sentuhan
sentuhan modernisasi telah menjalar ke berbagai pelosok daerah, hal ini
dimungkinkan dengan adanya sarana dan prasarana dibidang telekomunikasi yang
amat memudahkan kehidupan manusia. Begitupun dengan masyarakat pertanian,
yang umumnya identik dengan daerah pedesaan tidak luput dari euphoria akan
modernisasi, masyarakat pertanian yang dulunya dianggap terbelakang dalam
penyerapan dan penguasaan akan teknologi dalam berbagai bentuk kini mau tidak
mau sangat membuthkan sentuhan teknologi dalam aktivitas pertanian. Jika
dulunya masyarakat pertanian cenderung kolot akan hal hal yang bersifat
inovatif, lain halnya dengan sekarang ketergantungan akan hal- hal yang
berhubungan dengan teknologi seakan menjadi bagian hidup mereka. Sebagai
contoh, untuk membeli bibit saja mereka rela dating jauh jauh dari tempat tinggal
ke toko toko atau pusat penjualan sarana produksi (input) pertanian seperti bibit,
benih, dan input lainnya seperti pupuk dan pestisida. Hal ini mengindikasikan
masyarakat pertanian telah sepenuhnya dapat menerima sentuhan teknologi dalam
kehidupan mereka. Hal seperti di atas, sebenarnya telah lama dibaca oleh
pemerintah. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan hadirnya Badan
Litbang Pertanian sebagai lembaga yang melakukan penelitian untuk
pengembangan telah banyak menghasilkan inovasi pertanian, dan beberapa di
antaranya telah digunakan secara luas dan terbukti menjadi tenaga pendorong
utama pertumbuhan dan perkembangan agribisnis berbagai komoditas pertanian.
Salah satu contoh yang tergolong fenomenal ialah Revolusi Hijau pada agribisnis
padi dan jagung, hasil dari penemuan varietas unggul dengan berbagai komponen
teknologi penunjangnya. Dukungan teknologi perbenihan unggul juga telah
mampu mendorong perkembangan agribisnis dan beberapa komoditi unggulan
lainnya antara lain mendorong agribisnis perkebunan kelapa sawit dengan sangat
pesat. Namun demikian, evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa
kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Masalah (bottle neck) utamanya
adalah pada segmen rantai pasok terutama pada subsistem penyampaian (delivery
subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem). Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, diperlukan suatu jembatan penghubung antara Badan Litbang
Pertanian sebagai pemasok teknologi (generating system) dengan pengguna, agar
inovasi pertanian spesifik lokasi yang telah dihasilkan dapat segera diterapkan
dengan cepat dan tepat. Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian
telah melaksanakan Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan
Inovasi Teknologi Pertanian) yang berfungsi sebagai jembatan penghubung
langsung ke pengguna, antara Badan Litbang Pertanian (generating system) dengan
lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving
system) dan secara langsung merupakan wahana pengkajian partisipatif. Prima
Tani adalah model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat
mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang
dihasilkan Badan Litbang Pertanian Beberapa hal diatas menjadi indikasi bahwa
pertanian di Indonesia meskipun secara perlahan lahan telah berhasil melangkah
ke arah sistem usahatani semi modern yang mengupayakan posisi petani sebagi
seorang manjer tani yang sesungguhnya dan orientasinya adalah pasar demi
kepentingan komersil tentunya. Hal ini menjadi menarik karena akan sangat
berkaitan erat dengan kemampuan adopsi dari seorang petani terhadap adopsi
beberapa bentuk teknologi tepat guna yang cukup efektif dan efisien guna
meningkatkan keunggulan kompetitif usaha tani di NTT.
Tujuan Dan Kegunaan Tujuan penyusunan makalah ini agar pembaca dapat
mengetahui Pengaruh penggunaan teknologi tepat guna terhadap peningkatan nilai
guna produk pertanian ,sedangkan kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah
guna melengkapi salah satu syarat dalam mengikuti Seminar Sabtu Mahasiswa
Pertanian Universitas Nusa Cendanana (SESMAWA PERTANDA). Metode Dalam
penyusunan makalah ini digunakan metode studi pustaka dengan mengambil data
dari buku, jurnal peneltian dan beberapa sumber dari internet.
Kasus Kopi di Bali Kopi arabika merupakan satu dari tujuh komoditas unggulan
Provinsi Bali. Daerah sentra kopi arabika berada di Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli. Untuk membangun subsektor perkebunan, termasuk kopi
arabika, pemerintah memperkenalkan konsep Kawasan Industri Masyarakat
Perkebunan (Kimbun). Kini telah ada empat Kimbun di Bali, salah satunya
Kimbun kopi arabika. Kimbun ini dirintis melalui agroindustri skala kelompok.
Sebagian besar kopi arabika di Bali diusahakan oleh perkebunan rakyat. Kualitas
kopi tergolong rendah karena umumnya petani memetik buah secara asalan dan
mengolahnya secara kering. Dinas Perkebunan setempat bekerja sama dengan
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PPKK) terus membina dan menyosialisasikan
petik merah dan pengolahan secara basah. Melalui upaya ini, mutu kopi arabika
makin baik. Mutu kopi harus terus ditingkatkan mengingat makin ketatnya
persaingan pasar. Agroindustri kopi arabika bertujuan meningkatkan nilai tambah
produk sehingga petani memperoleh harga jual kopi lebih tinggi. Kegiatan yang
tercakup meliputi penyediaan bahan baku, pengolahan, penyediaan produk akhir,
dan pemasaran. Setiap mata rantai tersebut saling terkait dan mempengaruhi.
Agroindustri melibatkan petani, pedagang, subak pengolah, koperasi, eksportir,
mediator (Dinas Perkebunan dan PPKK), dan lembaga permodalan. Dengan
menerapkan inovasi petik merah, harga kopi meningkat 30% dibanding kopi petik
asalan. Pengolahan basah memberikan nilai tambah Rp10.000/kg, dan pengolahan
kopi bubuk dari kopi ose memberikan nilai tambah Rp15.000/ kg. Nilai tambah
yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan
dan keterampilan SDM, akses informasi harga, dan aset subak, terutama peralatan
untuk mengolah kopi.
Kasus Pisang di Jawa Timur Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi
pisang di Indonesia. Kabupaten Lumajang populer sebagai sentra produksi pisang
agung. Untuk meningkatkan nilai tambah, pemerintah mengembangkan
agroindustri keripik pisang. Pengembangan industri dilakukan secara terpadu dan
berorientasi pada upaya peningkatan nilai tambah dan pemerataan pendapatan.
Meskipun industri pengolahan keripik pisang telah berkembang, petani masih
menanam pisang sebagai tanaman sampingan di pekarangan atau ditanam campur
dengan kopi, palawija atau hortikultura. Teknologi yang diterapkan masih
sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Petani belum mengatur jadwal tanam
atau panen sehingga pasokan dan harga belum stabil. Agroindustri keripik pisang
umumnya berskala kecil atau rumah tangga, dengan pengelolaan usaha dari
mengolah bahan baku hingga pemasaran. Belum ada usaha yang berspesialisasi
pada salah satu kegiatan, misalnya bahan baku saja, bahan setengah jadi saja,
pengolahan lanjutan dan pengemasan atau pemasaran. Hal ini menyulitkan dalam
mengembangkan industry dengan sistem kluster dan menghambat pemerataan
perolehan nilai tambah. Agroindustri keripik pisang di Lumajang memberikan nilai
tambah relatif kecil, hanya Rp6.684/kg keripik. Ini pun terpusat pada industry
besar. Spesialisasi industri rumah tangga sebagai pengolah keripik setengah jadi
dan finalisasi oleh industry besar akan membagi keuntungan lebih proporsional
dan usaha skala besar menjadi lebih optimal. Nilai tambah yang tidak dapat
dihitung adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, pasar, serta aspek sosial
ekonomi. Pada jejaring usaha belum terbentuk kemitraan yang formal, tetapi lebih
berdasarkan kepercayaan.
Kasus Ubi Kayu di Lampung Lampung merupakan salah satu sentra produksi ubi
kayu di Indonesia. Industri tapioka skala besar telah berkembang dan cenderung
bersifat oligopsoni. Produktivitas ubi kayu belum optimal, karena peningkatan
produksi lebih disebabkan oleh perluasan areal tanam. Untuk meningkatkan
produktivitas, pemerintah memberikan bantuan modal kepada petani. Pemerintah
juga mengembangkan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) pada akhir
1990-an untuk mengurangi dominasi perusahaan besar dalam menentukan harga
beli ke petani. Dalam program ITTARA, pengelolaan diserahkan ke kelompok tani.
Produk ITTARA mempunyai pangsa pasar tersendiri dan kualitasnya lebih baik.
Namun, program ITTARA dengan memberikan unit pengolahan ke kelompok tani
kurang berhasil. Yang masih banyak bertahan adalah ITTARA swadaya. ITTARA
memberikan nilai tambah kuantitatif Rp733-Rp928/kg tapioka. Nilai tambah
lainnya berupa meningkatnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah
tepung tapioka, terbukanya peluang usaha industri makanan olahan berbahan baku
tepung tapioka, meningkatnya akses terhadap informasi di luar desa, dan
tumbuhnya ekonomi wilayah.
Kasus Jagung di NTT, Gorontalo, dan Nasional Jagung mempunyai peran
strategis perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung
dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Dari seluruh
kebutuhan jagung, 50% di antaranya digunakan untuk pakan. Dalam lima tahun
terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan baku industry pakan, makanan, dan
minuman meningkat 10-15% per tahun. Dengan demikian, produksi jagung
mempengaruhi kinerja industri peternakan. Dalam perekonomian nasional, jagung
penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan.
Sumbangan jagung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat setiap
tahun, sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung
dalam perekonomian nasional mencapai Rp 9,4 trilyun dan pada tahun 2003
meningkat menjadi Rp 18,2 trilyun. Kondisi demikian mengindikasikan besarnya
peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsector tanaman pangan dan
perekonomian nasional secara umum. Perluasan areal tanam dan penggunaan benih
hibrida dan komposit unggul telah meningkatkan produksi jagung dari 6,255 juta
ton pada tahun 1991 menjadi 12,523 juta ton pada tahun 2005 (Departemen
Pertanian 2005, 2007), namun belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri,
sehingga impor masih diperlukan. Produksi jagung nasional diproyeksikan tumbuh
4,63% per tahun, pada tahun 2009 mencapai 13,98 juta ton. Pada tahun 2015
produksi jagung diharapkan telah mencapai 17,93 juta ton (Departemen Pertanian
2005). Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih sangat terbuka
baik melalui peningkatan produktivitas yang sekarang masih rendah (3,43 t/ha)
maupun pemanfaatan potensi lahan yang masih luas utamanya di luar Jawa.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), iklimnya cenderung panas, curah hujan
sedikit. Secara fisik daerah ini memiliki 566 pulau, tetapi hanya 43 pulau yang
berpenghuni, dengan tiga pulau besar (pulau Timor, Sumba dan Flores). Sebagian
besar penduduknya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian. Secara
administratif NTT terbagi menjadi 19 kabupaten dan 1 kota madya. Komoditi
unggulan bidang perkebunan adalah: kopi, kelapa, kemiri, kakao, jambu mete,
yang terdapat di hampir semua kabupaten/kota. Komoditi unggulan bidang
pertanian tanaman pangan adalah: padi (sawah, ladang), jagung, kacang kedelai,
kacang hijau, ubi kayu/singkong, ubi jalar, memiliki tingkat produksi naik turun
karena musim tanam yang tidak menentu, tergantung curah hujan, dan komoditi
sektor ini terdapat pada semua kabupaten/kota di NTT. Hasil peternakan adalah
sapi, kerbau dan kuda, hasil perikanan dan kelautan juga merupakan produk
unggulan, bahkan industri pariwisata yang sangat menjanjikan belum dikelola
secara profesional. Untuk upaya jagungnisasi yang sedang gencar digalakan
pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur saat ini masih sedikit terlambat bila
dibandingkan dengan provinsi Gorontalo. Saat ini, produksi jagung di Gorontalo
mencapai 700 ribu ton. Pada 2012 ditargetkan menjadi satu juta ton. Produktivitas
jagung juga mengalami peningkatan hingga mencapai 4 sampai 7 ton per hektare
lahan yang diolah. Meski pertanian telah menjadi program unggulan daerah itu
selama 10 tahun terakhir, namun pemprov masih konsisten untuk memilih sektor
tersebut sebagai penopang utama perekonomian daerah. Pada tahun 2011,
pertumbuhan produksi jagung Gorontalo mencapai 44,15 persen, sedangkan
pertumbuhan produksi tingkat regional Sulawesi 3,49 persen dan nasional sebesar
1,40 persen. Di sisi lain, pertumbuhan produksi padi di Gorontalo mencapai 17,29
persen, sementara untuk tingkat regional 4,10 persen dan pertumbuhan nasional
sebesar 1,40 persen. Untuk mendongkrak minat petani menanam jagung,
pemerintah menerapkan konsep pertanian yang dibangun dari hilir, dimana pasar
telah disiapkan terlebih dahulu. Jagung dibudidayakan pada lingkungan yang
beragam. Hasil studi Mink et al. (1987) menunjukkan bahwa sekitar 79% areal
pertanaman jagung terdapat di lahan kering, 11% terdapat di lahan sawah irigasi,
dan 10% di Tabel 2. Perkembangan areal, produktivitas, dan produksi jagung di
Indonesia, 1990-2005. Sumber : Departemen Pertanian (2007) Khusus untuk
provinsi NTT, lahan sawah ketersediaan lahan Potensial : 262.407 Ha. Fungsional :
127.208 Ha (48,48 %) dengan rincian sekali tanam : 29.288 Ha, 2 kali tanam :
59.832 Ha, Tidak di tanami padi : 5.273 Ha, dan yang sementara Belum
diusahakan : 32.815 Ha. Dan untuk lahan kering Potensi : 1.528,258 Ha dan
Fungsional : 689,112 Ha (45,09 %). Berikut terdapat . Upaya pengembangan dan
peningkatan produksi jagung di NTT tahun 2009-2013 bertujuan : Kecukupan
Pangan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan sasaran : Peningkatan Produksi
dari 699.193 ton pipilan kering (pk) Thn 2009 menjadi 846.693 ton (meningkat 21
%) pada tahun 2010, Penigkatan Pertahun >6% akhir tahun 2013 mencapai > 1 juta
ton. Tabel 3. Sasaran Luas Tanam, Panen, Produksi 2009 - 2013 Tahun Luas Tanam
(Ha) Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton PK) Tambahan Tiap
Tahun Produksi (Ton PK) Presentase 2008 *) 285.780 271.561 24,89 676.044 - -
2009 301.029 272.904 25,62 699.193 23.135 3% 1010 318.450 297.994 28,41
846.693 147.500 21% 1011 323.710 299.848 29,83 894.511 47.818 6% 1012
332.200 300.982 31,73 955.149 60.638 7% 1013 338.700 305.486 33,53 1.024.314
69.165 7% Sumber : website pemprov NTT Gambar 1. Flow chart potensi
pengembangan jagung di NTT Sumber : website pemprov NTT Penggunaan
Teknologi Tepat Guna seperti mempersempit jarak tanam dalam satu satuan lahan
tanam bias menjadi salah satu jalan keluar menaikan produktivitas selain dengan
teknik teknik klasik tumpang sari. Penggunaan Teknologi Tekonologi Tepat
Guna dirasa sangat memberi manfaat dan masih berpotensi untuk membantu
masyarakat tani dalam meningkatkan produksi. Pernyataan ini memberi gambaran
bahwa masyarakat tani sudah mulai menerima sentuhan modernisasi, ini
merupakan salah satu bentuk dari perubahan yang dikehendaki atau yang
direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan
terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di
masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu
atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah
suatu sistem sosial dalam hal ini pihak yang dimaksudkan ialah para petugas
penyuluh pertanian lapang, yang bertugas memberikan rekomendasi bagi
peningkatan produktivitas kerja masyarakat tani, salah satunya dengan penggunaan
Teknologi Tepat Guna. Kita masih perlu menyorot kinerja dari para penyuluh kita,
dari total pegawai yang bekerja di Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan,
Perikanan, dan Peternakan; ada berapa yang berada bersama sama dengan
masyarakat selain bila ada proyek atau tugas kedinasan. Pendampingan yang
selama ini perlu diubah paradigamanya dari sebuah bentuk pendampingan menjadi
bentuk kemitraan, ini akan lebih selaras dengan program ANGGUR MERAH
yang bercita cita mewujudkan Nusa Tenggara Timur sebagai Propinsi Jagung,
Lumbung Ternak, dan Koperasi, melalui Koperasi kemitraan ini seharusnya
berjalan dengan baik karena Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang dekat
dengan rakyat. Selain itu perlu disadari bahwa koordinasi yang tepat dari tingkat
Provinsi ke tingkat Kabupaten dalam implementasi program merupakan jalan
terbaik agar tujuan dapat disampaikan ke masyarakat dan diterima dengan baik,
agar pada berjalannya program tidak ada ketimpangan. Koperasi bisa menjalankan
fungsi sebagai salah satu agent of change terhadap teknologi teknologi tepat
guna yang relevan dengan kebutuhan petani dan peternak di daerah sekitar. Bila
aspek penggunaan Teknologi Tepat Guna mendapat perhatian serius dari
stakeholder atau para pemangku kepentingan dapat membantu menjadi jembatan
meskipun secara evolutif (perubahan secara perlahan lahan) menjadi salah saru
jawaban peningkatan pendapatan masyarakat yang di Propinsi ini pada kuartal
pertama Maret 2009, jumlah penduduk miskin NTT justru mengalami peningkatan
dari sebesar 1013,2 ribu menjadi 1014,1 ribu penduduk pada Maret 2010. Masih
terdapat banyak kasus kasus kecil yang cukup bernilai penting, seperti kelebihan
produksi, sebenarnya hal ini terjadi setiap tahun; karena salah satu karakteristik
produk pertanian adalah diproduksi secara musiman selain volumenous dan bulky.
Hal ini yang akan menyebabkan pada satu periode/musim tertentu akan terjadi
panen masal yang mengakibatkan pasar tidak dapat menyerap sekaligus semuanya
produk tersebut, dengan karakteristik produk pertanian yang cepat rusak maka hal
ini menjadi beban tersendiri bagi petani. Dalam kondisi seperti ini maka sentuhan
teknologi tepat guna menjadi sangat berarti karena produk produk musiman yang
cepat rusak seperti tomat, cabai, pisang, dan produk hortikultura lainnya dapat
diubah bentuknya menggunakan mesin mesin pengolah seperti juice extractor
(mesin yang akan mengekstrak sari buah buahan dan memisahkannya dengan
ampas sehingga dapat menjadi juice), mesin perajang untuk merajang pisang dan
ubi, mesin perontok padi, dan banyak sekali mesin mesin agroindustri yang akan
meningkatkan nilai guna produk pertanian sekaligus merubah bentuk dan
memperpanjang waktu konsumsi, sehingga layak diterima pasar dan selalu
tersedia. Bila memperhatikan ciri-ciri masyarakat Indonesia, yaitu tingkat
pendidikan formal yang kurang merata, kepercayaan yang kurang kuat pada
teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat, banyaknya golongan
profesi di masyarakat, serta kesiapan menerima perubahan-perubahan, khusus
pemanfaatan teknologi baru, dalam meningkatkan kesejahteraannya, menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia sangat lamban untuk disebut sebagai masyarakat
modern, khususnya masyarakat di daerah tertinggal dan daerah terbatas. Pengertian
masyarakat di daerah tertinggal dan terbatas adalah masyarakat di wilayah/provinsi
yang kurang memanfaatkan teknologi tepat guna untuk memajukan daerahnya,
sehingga selalu mengalami krisis pangan dan sulit serta mahalnya layanan
transportasi darat, laut maupun udara, sehingga kurang terjangkau informasi
teknologi. Daerah tertinggal dan terbatas tersebar di seluruh wilayah Indonesia
antara lain; wilayah Indonesia Timur, misalnya provinsi Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur.
KESIMPULAN DAN SARAN