Anda di halaman 1dari 6

Sistem Alih Teknologi Lemah Dengan mekanisasi pertanian diharapkan efisiensi dan produktivitas penggunaan sumber daya dapat

ditingkatkan. Melalui mekanisasi pertanian ketepatan waktu dalam aktivitas pertanian dapat lebih ditingkatkan. Pertanian merupakan kegiatan yang tergantung pada musim. Pada saat musim tanam dan musim panen tenaga kerja yang dibutuhkan sangat besar. Tetapi pada waktu lain tenaga kerja kurang dibutuhkan dan ini mengakibatkan terjadinya pengangguran tak kentara. Dengan mekanisasi pertanian semua aktivitas pertanian dapat diselesaikan dengan lebih tepat waktu sehingga memberikan hasil yang lebih baik, di samping itu penggunaan alat dan mesin pertanian dapat juga mengurangi kejenuhan dalam pekerjaan petani dan tenaga kerja dapat dialokasikan untuk melakukan usaha tani lain atau kegiatan di sektor lain yang sifatnya lebih kontinyu. Namun tidak semua teknologi dapat diadopsi dan diterapkan begitu saja karena pertanian di negara sumber teknologi mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara kita, bahkan kondisi lahan pertanian di tiap daerah juga berbeda-beda. Teknologi tersebut harus dipelajari, dimodifikasi, dikembangkan, dan selanjutnya baru diterapkan ke dalam sistem pertanian kita. Dalam hal ini peran kelembagaan sangatlah penting, baik dalam inovasi alat dan mesin pertanian yang memenuhi kebutuhan petani maupun dalam pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga dibutuhkan untuk menilai respon sosial, ekonomi masyarakat terhadap inovasi teknologi, dan melakukan penyesuaian dalam pengambilan kebijakan mekanisasi pertanian.

ALIH TEKNOLOGI MEKANISASI PERTANIAN DI INDONESIA

2.1. Material Transfer Mekanisasi pertanian pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi lahan dan tenaga kerja, meningkatkan luas lahan yang dapat ditanami, menghemat energi dan sumber daya (benih, pupuk, dan air), meningkatkan efektivitas, produktivitas dan kualitas hasil pertanian, mengurangi beban kerja petani, menjaga kelestarian lingkungan dan produksi pertanian yang

berkelanjutan, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Salokhe dan Ramalingam, 1998). Awal perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia ditandai dengan pemanfaatan alat dan mesin pertanian peninggalan Belanda di Sekon. Alat dan mesin pertanian peninggalan Belanda ini kemudian dipindahkan ke Jawa dan digunakan untuk pengenalan serta pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia. Pada tahun 1950- an mulai didirikan pool-pool traktor di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan bantuan pool traktor dan alat-alat pertanian ini, dilakukan pembukaan lahan di berbagai daerah. Pada awal-awal perkembangan mekanisasi pertanian ini, kita masih mengadopsi langsung teknologi dari negara maju. Padahal kondisi lahan pertanian kita dan sistem usaha taninya jauh berbeda dengan negara asal teknologi. Akibatnya berbagai masalah timbul, seperti batas sawah menjadi hilang dan lapisan bawah yang kedap air rusak. Harapan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan juga tidak tercapai. Proses alih teknologi seperti ini sering disebut sebagai material transfer.

2.2. Design Transfer Belajar dari pengalaman tersebut, maka pada dekade 1960-1980 terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam pemilihan teknologi dengan kondisi Indonesia. Tahun 1966 impor alat dan mesin pertanian semakin banyak masuk sehinggga membantu dalam pengembangan alat dan mesin pertanian dalam negeri. Pihak swasta semakin berperan dalam pengembangan dan penyediaan alat dan mesin pertanian, hal ini terlihat dengan mulai diproduksinya rice huller, rice polisher, dan rice milling. Tetapi pengembangan teknologi pada periode ini masih bersifat meniru. Pada dekade ini juga terjadi pergeseran pemilikan alat dan mesin pertanian dari pemerintah ke petani. Pada awal perkembangan mekanisasi pertanian, alat dan mesin pertanian yang dipakai pada umumnya berasal dari negara industri ; setelah terjadi pergeseran pemakaian alat dan mesin pertanian dari yang besar ke yang lebih kecil buatan Jepang, petani mulai tertarik untuk membelinya karena harga yang lebih murah dan aplikasi yang lebih sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia. Konsep mekanisasi pertanian selektif juga mulai diperhatikan. Dalam konsep ini mekanisasi pertanian harus dilakukan dengan selektif (tidak full mechanized) dari

mulai tanam sampai panen. Konsep ini juga memperhatikan daerah kerja, tanah dan keadaan sosial ekonomi petani dalam menerapkan mekanisasi pertanian. Dengan demikian diharapkan mekanisasi pertanian tidak menyebabkan terjadinya pengangguran. Dari berbagai studi dihasilkan formula pengembangan introduksi secara bertahap mulai dari (a) survei, (b) pilot proyek, (c) evaluasi, dan (d) pengembangan. Proses Alih Teknologi seperti tersebut sering disebut sebagai Design Transfer. Dalam proses ini ada kecenderungan untuk mengadopsi design dari luar kemudian dilakukan penyesuaian dengan konsisi yang ada di Indoneisa. Kemampuan yang baru dicapai adalah mengadop design dari luar dan kemudian melakukan pabrikasi di dalam negeri. Disamping ada faktor knowledge yang harus dikuasai, diperlukan juga investasi untuk membangun industri teknologi tersebut. Bukan hanya design perangkat keras yang ditransfer namun juga yang menyangkut kelembagaan, setelah makin banyak sumber daya manusia yang dikirim untuk belajar ke luar negeri, baik dalam program bergelar maupun dalam pelatihan pelatihan.

2.3. Capacity Transfer Dari tahun ke tahun kemampuan untuk melakukan alih teknologi di bidang alat dan mesin pertanian semakin meningkat. Jika kemampuan ini diukur dengan jumlah produsen dan industri alat dan mesin pertanian, hal ini dapat dijadikan acuan dalam Capacity trasfer. Alih teknologi dalam memproduksi teknologi mekanisasi pertanian. Pada tahun 2000 terdapat kurang lebih 30 industri menengah dan besar penghasil alsintan. Jumlah dan kapasitas perusahaan alsintan skala menengah dan besar di Indonesia pada tahun 2000 ditunjukkan pada Tabel 1. Sedangkan perkembangan produksi industri alsintan Indonesia selama kurun waktu 1988 hingga 1997 dapat dilihat pada Tabel 9 (Anon, 2000). Lambatnya pertumbuhan industri alsintan Indonesia disebabkan karena riset yang masih kurang. Walaupun lembaga riset pemerintah maupun swasta sudah berdiri sejak lama, tetapi interaksi antara lembaga riset dengan industri alsintan masih kurang. Akibatnya industri alsintan dalam negeri memiliki keterbatasan dalam kemampuan mendesain alsintan yang sesuai dengan kondisi lahan setempat. Kelemahan tersebut diperparah oleh rendahnya daya beli petani

sebagai konsumen alsintan sementara pemberian kredit pertanian oleh pemerintah masih sangat rendah. Masuknya alsintan impor dari China dengan harga yang sangat murah (cenderung dumping) juga menjadi tantangan nyata terhadap industri alsintan Indonesia. Namun alsintan China tersebut sudah mulai dirasakan merugikan oleh petani karena mutunya yang sangat rendah (PSP-IPB dan Deptan, 2003).

Solusi
Untuk mengembangkan kelembagaan mekanisasi pertanian, strategi yang dapat dilakukan antara lain : 1. Lembaga/Asosiasi Petani Lembaga petani perlu dibangun dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada petani-petani yang merupakan anggotanya, serta melobi pemerintah dalam hal kepentingan usahatani. Melalui lembaga pertanian ini diharapkan dapat tercipta komunikasi antara pemerintah dengan petani sehingga petani dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya dengan lebih baik. Lembaga seperti ini hendaknya dibangun atas inisiatif petani, bukan dari pemerintah.

2. Kebijakan Perdagangan Alsintan Pengadaan, distribusi dan penggunaan alat dan mesin pertanian dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan. Pemerintah perlu menciptakan iklim yang perdagangan yang kondusif dengan menaikkan proteksi terhadap impor alsintan, terutama terhadap negara yang melakukan dumping. Kebijakan proteksi ini selain dapat mendorong perkembangan industri alsintan dalam negeri juga dapat memberikan proteksi terhadap petani sebagai konsumen. Alsintan produksi luar seringkali tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia karena kondisi lahan dan ergonomis yang berbeda. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk memeratakan distribusi alsintan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu caranya yaitu dengan tidak memberikan bantuan alsintan hanya pada satu jenis alsintan tertentu atau di daerah tertentu saja. Distribusi alsintan harusnya disesuaikan dengan kebutuhan alsintan di tiap wilayah.

3. Riset dan Pengembangan Riset dan pengembangan yang dilakukan oleh pihak swasta saja tidak cukup. Pemerintah harus meningkatkan riset dan pengembangan yang dilakukan melalui 16 lembaga pemerintah yang ada seperti BBP Mektan dan LIPI serta membina

kerjasama antara lembaga riset pemerintah, swasta, universitas dan asing. Dengan demikian inovasi teknologi dapat lebih ditingkatkan dan menguntungkan semua pihak. Dalam riset dan pengembangan yang dilakukan, perlu juga diciptakan penghubung antara peneliti dengan petani. Penghubung ini selain bertugas untuk mendemonstrasikan teknologi baru kepada petani dan meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya teknologi, juga berfungsi sebagai sarana bagi petani untuk menyampaikan mengenai jenis alsintan apa yang dibutuhkan dan tingkat mekanisasi seperti apa yang diharapkan. Jadi melalui penghubung ini dapat tercipta feed back bagi penelitian selanjutnya.

4. Kredit Selama ini kesulitan perolehan kredit selalu menjadi kendala bagi petani dalam usaha pengembangan usahatani. Menurut Nuswantara (2003), Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah perlu mempersiapkan upaya pembentukan bank pertanian. Bank pertanian hendaknya terletak di daerah-daerah sentra produksi pertanian, terutama di pedesaan dan kota-kota kecil yang mudah dijangkau petani. Melalui bank pertanian diharapkan dapat memberi kemudahan bagi petani dalam memperoleh kredit, baik itu sebagai modal usaha maupun untuk pembiayaan aktivitas pertanian. Kredit yang diberikan jangan dibatasi pada jenis alsintan tertentu karena ini akan mempengaruhi pilihan petani terhadap alsintan yang akan digunakan. Petani harus diberikan kebebasan dalam memilih alsintan apa yang diinginkan dan yang sesuai dengan kebutuhannya.

5 Lembaga Pelatihan dan Pendidikan Petani Indonesia pada umumnya berpendidikan rendah. Untuk

mengintroduksi teknologi baru maka diperlukan pelatihan dan pendidikan agar petani mampu mengoperasikan alsintan dengan baik dan aman. Pelatihan dan pendidikan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani sehingga dapat mengembangkan diri di sub sektor lain maupun di bidang agroindusri, serta memajukan cara berpikir petani. 6. Produsen Alat dan Mesin Pertanian Suplai alat dan Mesin berasal dari industri lokal dan impor. Kebijakan untuk mengembangkan industri dan perdagangan alsintan perlu memperhatikan

kemampuan industri dalam negeri, sehingga tidak merupakan suatu kebijakan yang merugikan bagi pertumbuhan industri itu sendiri. Infant industrial concept dalam

pengembangan mekanisasi pertanian mungkin menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan agar industri2 pemula dapat tetap bertahan dalam persaingan dengan industri besar dan canggih serta masuknya teknologi impor. 7. Fasilitas Produksi dan Perbaikan Lokal Kondisi lahan di tiap daerah berbeda-beda. Dengan melakukan produksi lokal maka produksi dapat dilakukan secara spesifik sesuai dengan kondisi lahan setempat dan mengurangi biaya transportasi ke petani. Selain itu, penyerapan tenaga kerja di desa juga dapat ditingkatkan

8. Penyediaan Jasa Penyewaan Mesin Dengan penyediaan jasa penyewaan mesin, petani kecil yang tidak sanggup membeli alsintan dapat tertolong. Mereka dapat menggunakan mesin dan mendapatkan manfaat dari mesin tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk membelinya. Selain itu, petani yang berfungsi sebagai kontraktor dapat

mendapatkan manfaat ganda. Mereka dapat memperoleh keuntungan dari pemanfaatan mesin maupun dari penyewaan mesin. Usaha jasa penyewaan alsintan oleh kelompok tani dan KUD kurang menguntungkan karena rendahnya profesionalisme dan pengelolaan yang kurang baik. Karena itu, kemampuan manajemen kelompok tani atau KUD perlu ditingkatkan agar mampu mendapatkan keuntungan dari usaha sewa jasa yang dilakukan. Untuk mendukung perkembangan lembaga-lembaga tersebut di atas, maka peran pemerintah sangatlah penting. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik itu di bidang mekanisasi pertanian, pertanian secara umum, perdagangan, perindustrian, keuangan,

keagrariaan, maupun ketenagakerjaan dan 18 pendidikan diharapkan dapat diselaraskan dalam mendukung perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Salokhe, V. M. and N. Ramalingam. 1998. Agricultural Mechanization in South and South-East Asia. Paper at the Plenary session of the International Conference ofthe Philippines. Society of Agricultural Engineers. Las Banos, Philippines. PSP dan Departemen Pertanian (2003). Evaluasi Dampak Deregulasi Agroinput. Kerjasama PSP-IPB dan Departemen Pertanian, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai