Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Singkat Perkembangan Teknologi Pertanian di Indonesia

Teknologi pertanian pada dasarnya adalah penerapan dari ilmu-ilmu teknik pada
kegiatan pertanian atau dalam pengertian lain dan lebih luas yaitu suatu penerapan prinsip-
prinsip matematika dan sains dalam rangka pendayagunaan sumber daya pertanian dan
sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia.

Pertanian dan pertanian sangatlah tidak dapat dipisahkan untuk zaman sekarang ini.
Keduanya jalan bersamaan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan
kesejahtareaan manusia melalui ketahanan pangan dan produk-produk sandang dan papan.
Ilmu dan teknoogi pertanian secara luas mencakup berbagai penerapan ilmu yang terfokus
pada budidaya, pemeliharaan, pemanenan, peningkatan mutu hasil panen, penanganan,
pengelolaan dan pengamanan hasil, dan pemasaran hasil sebagai objek formal ilmu pertanian
tersebut.

Sebelum membahas masalah dan perkembangan teknologi pertanian di Indonesia,


perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan pertanian di Indonesia yang di dalamnya
diterapkan teknologi pertanian baik teknologi sederhana maupun sudah sampai teknologi
mutakhir.

Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian


tersebut terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang
menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III
yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain
agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya
saling mendukung. Generasi I pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian
bibit yang merupakan input bagi generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi.
Kemudian komoditi yang dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan,
dan mikroba dijadikan input bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah
menjadi produk yang mempunyai nilai yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya
baik dari segi fungsionalnya maupun nilai ekonomisnya.
Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai
metode dalam ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa
genetika. Pertanian generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan
budidaya yang menerapkan segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga
pemanenan. Untuk generasi agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan
teknologi tersebut saling terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik.
Teknologi yang digunakan pada pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia
pangan, teknologi rekayasa proses, teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan,
distribusi dan transportasi, dan bahkan nanoteknologi.

Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi
tidak ada atau tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya,
kegiatan agroindustri yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi
komoditas-komoditas pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan
potensi komoditas yang dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I
tidak maksimal, dalam arti hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas,
tidak menghasilkan produk, padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat
dijadikan input untuk generasi agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan
pada teknologi pertanian bibit dalam pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak
menghasilkan komoditas pertanian yang berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi
agroindustri akan kesulitan mendapat bahan baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan
generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit yang kurang dalam segi kualitas. Terbukti
bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung. Ketiga generasi tersebut akan tetap
berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan dan teknologi ada di bumi ini.

Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah
Indonesia itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda
menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan
kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang
sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka
mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari Belanda. Untuk mengatasi
masalah tersebut, kemudian mereka membangun sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk
mencetak tenaga ahli di bidang pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan
dapat berkembang di Indonesia.
Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah
memprogramkan program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah
pertanian dan teknik muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah
tersebut diantaranya Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, dan
Nederlandssch Indische Veerleen Scholl. Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga
mendirikan perguruan tinggi teknik bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada
tahun 1920. Mulai dari situlah berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian
Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah
dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada
tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP, 1978; Iskandar, 1969).

Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi


tak terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970.
Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian. Pada saat itu juga telah ada
lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti
lembaga penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek. Namun
pada saat itu, yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang
terfokusnya penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh
konsentrasi pada penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat
gatra yang saling berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu a)
pentingnya pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi, b) pengembangan sumberdaya
manusia untuk pengembangan teknologi, c) percepatan pengalihan hasil penelitian dan
pengembangan untuk diterapkan secara komersial, d) diperolehnya keuntungan dari
penerapan teknologi tersebut. Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti
kebijakan Pelita I dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil
menggapai tujuan yang dicita-citakan.

Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras
dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras,
Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan
beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan
lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan
bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan
pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta IPB, 1992).
Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi
mengajak petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan
teknologi melalui alih teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian
mereka. Pada era inilah Revolusi Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri
mendasarkan diri pada empat pilar penting yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi,
pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida yang sesuai dengan organisme
pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Di samping
itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.

Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi


tercapainya ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya
mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984
sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya.
Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara
tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan
petinggi pemerintahan tingkat desa saja sedangkan petani miskin tidak merasakan
keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan
karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal
terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi
pertanian pun perlahan-lahan anjlok.

Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam
meningkatkan produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa.
Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada
swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman
yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan
diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek
sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut.
Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup
kemungkinan bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan
mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang ini
pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-
buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam
gantung dapat dijadikan alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan
mutu padi atau beras melalui bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan
mengolah umbi-umbian dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.

Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan


berperan bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi
Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi terus
berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu
disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan
pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia. (AP/F3_45).

Anda mungkin juga menyukai