Anda di halaman 1dari 4

Teknologi Pertanian di Indonesia

Terlintas mendengar kata “teknologi” pasti dikaitkan dengan aplikasi, gawai, maupun perangkat
lunak. Meskipun hal tersebut sudah ada di sekitar kita namun, kita tidak boleh menutup mata
bahwa teknologi tidak hanya seputar itu. Dalam bidang pertanian teknologi erat kaitannya
dengan modernisasi.

Sama seperti dengan perkembangan teknologi pada umumnya, di bidang pertanian teknologi tak
kalah canggih. Saat ini penemuan-penemuan tentang teknologi pertanian di Indonesia semakin
berkembang dan makin hari makin canggih. Dengan mengeluarkan terobosan baru dalam hal
teknologi pertanian mampu meningkatkan kualitas pertanian di Indonesia.

Apalagi Indonesia merupakan negara agraris yang potensi pertaniannya sangat besar dan
memerlukan penanganan yang baik. Didukung dengan teknologi pertanian terbaru, produk yang
dihasilkan memiliki kualitas yang baik.

Pada sektor petanian, selalu dibutuhkan oleh siapapun karena pangan merupakan kebutuhan
pokok manusia. Sebelum dunia ini akan runtuh pangan akan selalu dibutuhkan. Lalu seperti apa
sih perkembangan teknologi dalam dunia pertanian ini? Teknologi adalah ilmu yang
berhubungan dengan peningkatan keterampilan dalam industri. Jika diterapkan di dalam dunia
pertanian, pengertiannya adalah sebuah trik atau cara untuk meningkatkan usaha tani. Misalnya
saja dalam proses pemilihan benih yang terbaik, bagaimana menyebarkan dan meletakkan benih
diporos yang tepat, proses pemeliharannya, hingga ketika memanennya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan juga, tidak hanya teknologi pertanian saja yang berperan.
Ada beberapa komponen yang disisi lain mendukung pada sektor ini. Seperti halnya obat-obatan
dan pupuk. Tentu saja hal ini dengan teknologi sangat erat kaitannya.

Banyak orang berasumsi bahwa teknologi merampas posisi petani tradisional, karena degan
teknologi pekeejaan dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat tanpa menggunakan SDM.
Namun, faktnya teknologi tidak bisa bekerja sendiri tanpa digerakkan oleh manusia. Dengan
mengedukasi petani tentang teknologi pertanian, petani akan semakin cerdas dan tahu bahwa
menggunakan teknologi dalam pertanian akan mendatangkan keuntungan dan pekerjaan cepat
selesai.

Pertanian, khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahu 1975. Pertanian tersebut
terbagi ke dalam tiga generasi.Generasi I yaitu generasi pertanian yang menghasilkan
bibit.Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian. Generasi III yaitu generasi yang
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi
tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung. Generasi I
pertanian menghasilkan bibit bagi pertanian melalui pertanian bibit yang merupakan input bagi
generasi II pertanian sehingga menghasilkan suatu komoditi. Kemudian komoditi yang
dihasilkan generasi II pertanian yang meliputi hewan, tumbuhan, dan mikroba dijadikan input
bagi generasi III pertanian yaitu agroindustri untuk diolah menjadi produk yang mempunyai nilai
yang lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya baik dari segi fungsionalnya maupun nilai
ekonomisnya.

Pada generasi I, menghasilkan bibit pertanian dapat dilakukan dengan berbagai metode dalam
ilmu dan teknologi pertanian seperti penyeleksian, persilangan, dan rekayasa genetika.Pertanian
generasi II menghasilkan komoditas pertanian dengan melakukan budidaya yang menerapkan
segenap ilmu dan teknologi mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan.Untuk generasi
agroindustri, teknologi yang diterapkan lebih banyak lagi dan teknologi tersebut saling
terintegrasi untuk membangun suatu agroindustri yang baik. Teknologi yang digunakan pada
pertanian generasi III ini antara lain, bioteknologi, kimia pangan, teknologi rekayasa proses,
teknik dan sistem industri, pengemasan, penyimpanan, distribusi dan transportasi, dan bahkan
nanoteknologi.

Bukti kaitan ketiganya saling tidak dapat terlepas yaitu apabila salah satu generasi tidak ada atau
tidak berjalan akan ‘mengkerdilkan’ fungsi generasi lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri
yang sangat buruk di suatu negara yang tidak dapat mengangkat potensi komoditas-komoditas
pertaniannya ke dalam produk bernilai tinggi akan mematisurikan potensi komoditas yang
dihasilkan pertanian generasi II dan kegunaan pertanian generasi I tidak maksimal, dalam arti
hanya sebatas penggunaan bibit untuk menghasilkan komoditas, tidak menghasilkan produk,
padahal bibit yang dihasilkan (pada generasi I) juga dapat dijadikan input untuk generasi
agroindustri yaitu industri bibit yang tentunya disandarkan pada teknologi pertanian bibit dalam
pengembangannya. Begitu pula apabila generasi II tidak menghasilkan komoditas pertanian yang
berkualitas dan berkuantitas baik, maka generasi agroindustri akan kesulitan mendapat bahan
baku industrinya. Hal ini bisa saja dikarenakan generasi I penghasil bibit menghasilkan bibit
yang kurang dalam segi kualitas.Terbukti bahwa ketiga generasi tersebut saling mendukung.
Ketiga generasi tersebut akan tetap berjalan sejak dan selama pertanian dan ilmu pengetahuan
dan teknologi ada di bumi ini.

Sejarah adanya teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia itu
sendiri.Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial Belanda menjadi ‘tempat’
pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka.Untuk
melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga
ahli pertanian, karena adanya peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim
tenaga ahli dari Belanda.Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun
sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang pertanian.Mulai dari
sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di Indonesia.

Sebelum mendirikan sekolah pertanian, pemerintah Hindia Belanda telah memprogramkan


program culturstelseels di Jawa dan Sumatra, barulah sekolah-sekolah pertanian dan teknik
muncul satu per satu mendukung program tersebut. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya
Middelbare Landboouw Scholl, Middelbare Bosboouw Scholl, dan Nederlandssch Indische
Veerleen Scholl.Untuk sekolah teknik, Hindia Belanda juga mendirikan perguruan tinggi teknik
bernama Technische Hoogeshool de Bandoeng pada tahun 1920.Mulai dari situlah
berkembangnya ilmu teknik dan teknologi pertanian Indonesia. Selain itu, jauh sebelum banyak
dibentuknya sekolah pertanian dan teknik, telah dibentuk terlebih dahulu lembaga dinas
penyuluhan (Lanbouw Voorlichting Dients) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian
(BPLPP, 1978; Iskandar, 1969).

Setelah merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak
terkecuali teknologi pertanian.Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun 1970.Penyuluhan
pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian.Pada saat itu juga telah ada lembaga yang
bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknik seperti lembaga
penelitian pemerintah non-departemen dibawah koordinasi kemenristek. Namun pada saat itu,
yang menjadi kendala dalam pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya
penelitian, kurangnya dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada
penelitian tersebut. Padahal menurut Mangunwidjaja (2009) terdapat empat gatra yang saling
berkaitan dalam kebijakan penerapan dan pengembangan teknologi, yaitu a) pentingnya
pengetahuan dan teknik dasar bagi teknologi, b) pengembangan sumberdaya manusia untuk
pengembangan teknologi, c) percepatan pengalihan hasil penelitian dan pengembangan untuk
diterapkan secara komersial, d) diperolehnya keuntungan dari penerapan teknologi tersebut.
Apabila keempat gatra tersebut tidak terlaksana, berarti kebijakan Pelita I dalam hal ilmu
pengetahuan dan teknologi belum dapat dikatakan berhasil menggapai tujuan yang dicita-
citakan.

Pada tahun 60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras dikenalkan
dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras, Intensifikasi Khusus,
Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut dikenalkan beberapa teknologi modern
seperti benih unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia, irigasi dan lain-lain.Selain itu
ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok
tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim
Faperta IPB, 1992).

Seiring pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat cepat, penyuluhan tidak lagi mengajak
petani bagaimana menanam yang baik, tetapi menuntut petani menerapkan teknologi melalui alih
teknologi untuk mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka.Pada era inilah Revolusi
Hijau dilakukan di Indonesia. Revolusi Hijau sendiri mendasarkan diri pada empat pilar penting
yaitu penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan
pestisida yang sesuai dengan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai
bahan tanam berkualitas. Di samping itu, kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui
kredit perbankan.
Revolusi Hijau yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya
ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya mampu menjadi
negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari 1984 sampai 1989. Selain itu,
kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi dampaknya.Kesenjangan terjadi di antara petani
kaya dengan petani miskin, serta penyelenggara negara tingkat pedesaan.Sistem ini dinilai hanya
menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa saja
sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun terjadi. Kerusakan
ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian pestisida yang terlampau sering dan
banyak yang menjadikan hama kebal terhadap pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak
produksi pertanian. Produksi pertanian pun perlahan-lahan anjlok.

Dari kejadian tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan
produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa. Bagaimanapun juga
Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia pada swasembada
pangan.Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan pemahaman yang lebih para
pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang dialihteknologikan dan diterapkan sehingga
berdampak yang kurang baik bagi ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi
Hijau tersebut.

Sekarang seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan
bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan mengeliminasi
sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya.Terlebih lagi sekarang ini pertanian tidak hanya
dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu seperti buah-buahan dan sayur-mayur.
Teknologi green house, kultur jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan
alternatif. Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui
bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian dan serealia
menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.

Itulah sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan bagi
pertanian Indonesia.Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya Revolusi Hijau dan
swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu.Teknologi terus berkembang, pertanian
terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus selalu disinkronisasikan agar pertanian
yang kita perjuangkan ini dapat meraih cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta
menyejahterakan bangsa Indonesia.(AP/F3_45).

Anda mungkin juga menyukai