I. Pendahuluan
Memasuki era revolusi industri 4.0, berbagai aktivitas selalu dikaitkan dengan
penggunaan mesin-mesin melalui otomatisasi dalam skala kecil hingga besar mulai dari sosial,
pendidikan, ekonomi, bahkan pertanian. Kecanggihan teknologi yang pesat setiap tahunnya
membuat kita harus terus beradaptasi agar tidak ketinggalan dalam menghadapi era industri
dalam berbagai aspek. Pertanian menjadi salah satu sektor yang tidak luput dari dampak era
industri 4.0, bahkan menjadi salah satu yang paling besar dampaknya karena pengaruh pertanian
konvensional dan modern sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil dari pertanian itu
sendiri.
Kontribusi sektor pertanian yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional
kini menurun secara signifikan, dilansir dari LINE Jobs. Indonesia yang dikenal sebagai negara
agraris, ternyata tidak semerta-merta menjadikan sektor pertanian sebagai sumber perekonomian
terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang terus
bertambah, dunia pertanian kemudian mengadopsi istilah Revolusi Pertanian 4.0, dimana
pertanian diharapkan melibatkan teknologi digital dalam proses pengembangannya.
Konsep pengembangan pertanian yang banyak dikembangkan pada saat ini adalah konsep
pertanian cerdas, yang biasa juga disebut smart farming atau precision agriculture. Tujuan utama
penerapan teknologi tersebut adalah untuk melakukan optimasi berupa peningkatan hasil
(kualitas dan kuantitas) dan efisiensi penggunaan sumber daya yang ada. Tetapi disamping
segala perkembangan yang ada, ternyata ada beberapa hal yang menyebabkan revolusi industri
pertanian 4.0 belum berhasil diterapkan di Indonesia, dibahas di chapter selanjutnya.
II. Barrier Revolusi Industri Pertanian 4.0 di Indonesia
Revolusi industri pertanian 4.0 ternyata sampai saat ini belum dapat dikatakan berhasil di
Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Sumber Daya Manusia
Faktanya, sebagian besar petani berusia lebih dari 40 tahun dan lebih dari 70 persen
petani di Indonesia hanya berpendidikan setara SD bahkan dibawahnya. Pendidikan formal yang
rendah tersebut menyebabkan pengetahuan dalam pengolahan pertanian tidak berkembang serta
monoton. Petani hanya mengolah pertanian seperti biasanya tanpa menciptakan inovasi-inovasi
terbaru demi peningkatan hasil pangan yang berlimpah.
Nah, beberapa karakteristik generasi milenial di atas apabila disalurkan ke jalan yang
sesuai, tentu menjadi potensi sangat besar bagi kemajuan Indonesia mengingat bonus
demografinya cukup banyak.
Dari hasil Susenas antara BPS dan Kemenpppa tahun 2017, diketahui bahwa generasi
milenial itu jumlahnya cukup banyak yaitu sebesar 33,75% atau sekitar 88 juta jiwa. Dari 88 juta
jiwa tersebut, sebanyak 55,01% generasi milenial ini tinggal diperkotaan yang memiliki
karakteristik confidence, creative, dan connected. Sementara sisanya sebanyak 44,99% ini
tinggal di pedesaan. Mereka tetap terkoneksi dengan internet namun tidak terpapar terlalu besar
karena sibuk dengan aktivitas ekonomi konvensional pertanian.
Nah di antara para generasi milenial tersebut, terutama yang ada di pedesaan tentu ada
sosok penyuluh pertanian. Bagaimanakah sebaiknya penyuluh pertanian milenial menghadapi
insutri 4.0 yang sudah ada di depan mata?
IV. Penyuluh Pertanian Milenial
Pada tanggal 10 September 2019, terdapat acara Focus Group Discussion (FGD) Sistem
Penyuluhan Pertanian Menghadapi Era Industri 4.0 “Penyuluhan Pertanian Menghadapi Era
Industri 4.0 Mendukung Program Pembangunan Pertanian”.
Beliau memberikan pesan agar di dalam FGD tersebut mampu membahas beberapa hal
sebagai berikut ini:
1. Apakah definisi penyuluhan yang dulu dengan penyuluhan kekinian yang menyambung
dengan era industri 4.0 masih nyambung ataukah tidak? Ini perlu dicermati bersama.
2. Ada empat variable yang perlu ditajamkan dalam pembahasan FGD, yaitu:
Wadah atau kelembagaan penyuluhan yang bervariasi di beberapa daerah, termasuk
kelembagaan penyuluhan di tingkat kecamatan tidak boleh structural
Ketenagaan, salah satunya bagaimana perkembangan dari P3K penyuluh pertanian serta
objek penyuluhannya sendiri yang menuntut agar diperkuat database pelaku utama
Penyelenggaraan, apakah metode lakususi masih tepat dengan zaman kekinian saat ini
Perkembangan iptek dan alsintan, di mana demplot demfarm tidak terdengar lagi padahal
penyuluhan efektif melalui metode tersebut. Penyuluh harus berorientasi daya saing dan
menyesuaikan perkembangan IT.
Jadi, dapat saya katakan bahwa di era penyuluhan milenial ini, bukan berarti metode
penyuluhan yang dulu tidak dilaksanakan. Anjangsana baik perorangan, kelompok, massa,
maupun penggunaan metode lainnya seperti sekolah lapang, demplot, dll masih tetap dilakukan.
Hanya saja saat di era milenial ini, juga harus memanfaatkan teknologi, bukan dimanfaatkan
teknologi sehingga yang Namanya penyuluhan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Para penyuluh bisa memanfaatkan media social untuk mensyiarkan dunia pertanian. Bisa
juga menggunakan messenger, video call, teleconference, blog, hingga media audio visual untuk
mensosialisasikan pertanian seluas-luasnya. Sebab saat ini tanggung jawab memajukan pertanian
tidak terbatas di wilayah binaan saja.
“Petani milenial harus cerdas, melek teknologi, melek ICT tahan banting dan yang tidak
kalah penting memiliki entrepreneurship yang tinggi," tutur Kepala Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Prof. Dedi Nursyamsi ketika berkunjung ke Kebun
Percobaan Sungai Kakap, Pontianak, Kamis (8/8) adalah salah satu contoh tempat pengelolaan
dari para petani milenial.
Prof Dedi juga mengingatkan pentingnya Penyuluh ibarat ujung tombak. "Ibarat perang
yang paling terdepan itu infantri itulah penyuluh. Pernah lihat ujung tombak?," ujar Prof Dedi
kepada para penyuluh yang hadir. Prof Dedi menceritakan ujung tombak terbuat dari besi,
logam, tonggaknya terbuat dari kayu. Dari warna logam mengkilat artinya penyuluh itu harus
seperti logam. "Keras nya harus lebih keras dari kayu, Mengkilatnya harus lebih mengkilat juga
dari kayu. Ujung tombak harus lebih tajam dari gagang kayu yang terbuat dari tombak," tuturnya
menggambarkan penyuluh seperti tombak.
3. Gadget Minded
Ini bukan berarti main gadget terus setiap saat (meski ada yang saya lihat begitu). Tetapi
lebih kepada pengoptimalan penggunaan gadget.
VII. Kesimpulan
Sebenarnya menjadi penyuluh pertanian milenial itu tidaklah sulit. Karena secara tidak
langsung penyuluh milenial tersebut menurut saya sudah mampu beradaptasi dengan pesatnya
perubahan teknologi dan lingkungan yang ada. Nah, apabila beberapa hal diatas sudah dilakukan,
Insya Allah Penyuluh Pertanian siap menghadapi Era Industri 4.0 yang sudah ada di depan mata.
DAFTAR PUSTAKA
https://economy.okezone.com/read/2018/09/28/320/1956769/revolusi-industri-4-0-sektor-
pertanian-petani-gunakan-remote-control-saat-panen
https://evrinasp.com/penyuluh-pertanian-milenial/
https://www.wartaekonomi.co.id/read215598/begini-revolusi-industri-40-di-sektor-
pertanian.html
https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/agri-penyuluhan/9411-Jadikan-Indonesia-Kuat-di-
Tangan-Petani-dan-Penyuluh-Milenial