Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS GADJAH MADA ACTIVITY

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


ASSESSMENTFORM #9
BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

Group assignment CASE WRITING SUMMARY TTD Persetujuan


Fasilitator

Kelompok : 3
Fasilitator : drg. Sri Budiarti Wongsohardjono M.S.
Reporting Anggota:

1. Faiz Rahma Mumpuni 14/362559/KG/9861


2. Ratih Sukmanaputri 14/362567/KG/9869
3. Isnaeni Sal Mah H. 14/362569/KG/9871
4. Astiti Wahyu Murti 14/362572/KG/9873
5. Lely Sintya 14/362574/KG/9875
6. Azizah Nurul Husna 14/362576/KG/9877
7. Rachel Karimah 14/362578/KG/9879
8. Lianika Witri K.K 14/362580/KG/9881
9. Nadya Kurnia Putri 14/362582/KG/9883
10. Aldissa Yova Elmanda 14/362585/KG/9885
11. Krisna Devara P. 14/362587/KG/9887
12. Caroline Manuela H. 14/362589/KG/9889
13. Melinda Priskila H. 14/362591/KG/9891
14. Satria Ridwan Ariefandi 14/362593/KG/9893

INTISARI
Ilmu peyakit gigi dan mulut atau oral patologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit-penyakit dan
kelainan yang terjadi pada rongga mulut, tanda-tanda atau gejalanya, penyebabnya serta perawatannya.
Diagnosis dalam kedoktern gigi dapat diartikan sebagai penentuan jenis penyakit yang diderita
pasien. Pengertian lainnya adalah cara-cara pemeriksaan untuk menentukan suatu diagnose. Mengidentifikasi
kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gigi dan jaringan sekitarnya dengan jalan menanyakan,
memeriksa, dan menyatukan gambaran penyakit yang terlihat dengan faktor-faktor yang diperoleh dari
wawancara tersebut yang dapat membedakan dari penyakit yang lain.
Primary Herpetic Gingivostomatitis adalah bentuk tersering dari infeksi HSV tipe 1 pada rongga
mulut yang ditandai dengan lesi ulserasi pada lidah, bibir, mukosa gingiva, palatum durum dan molle. Gejala
khasnya berupa demam yang muncul tiba-tiba, anoreksia, nyeri iritasi dan nyeri yang intenns pada rongga
mulut. Selanjutnya, akan disertai timbulnya lesi di dalam rongga mulut baik pada permukaan mukosa
bergerak maupun tidak bergerak. Lesi awal berupa vesikula yang dengan cepat akan pecah, menyatu
sehingga membentuk ulserasi besar yang sangat perih. Selanjutnya, gingiva menjadi eritema dan lunak.
Oral candidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida di dalam rongga mulut. Jamur
Candida yang merupakan flora normal dalam rongga mulut dapat menjadi patogen apabila terdapat faktor-
faktor yang memicu seperti gangguan sistem imun ataupun penggunaan obat-obatan. Penyakit ini memilliki
gambaran klinis berupa plak berwarna putih multifokal dengan latar eritema. Tempat predileksinya yaitu
pada lidah, palatum, dan mukosa buccal.
Granuloma piogenik merupakan respons jaringan yang relatif umum, mirip tumor, rentan terhadap
iritasi atau trauma lokal. Proses peradangan pada epulis adalah reaktif yang penuh dengan saluran vaskular
yang berkembang biak, jaringan ikat fibroblastik yang belum matang, dan sel-sel inflamasi yang tersebar.
Sedangkan parulis merupakan lesi umum yang berkembang secara eksklusif pada gingiva. Lesi ini
merupakan suatu reaksi lanjutan akibat infeksi pada apeks.
Sialadenitis adalah peradangan kelenjar saliva. Sering disebabkan oleh penyumbatan dan infeksi
bakter (sialadenitis bacterial) yang muncul ketika aliran saliva menurun akibat dehidrasi atau penyakit.
Keadaan ini memungkinkan pathogen (Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus
pneumonia) berjalan ke system duktus dan melakukan replikasi.

1
Kata kunci : penyakit mulut, Primary Herpetic Gingivostomatitis, Oral Candidiasis, Epulis Granulomatosa,
Parulis, Sialadenitis

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga mulut dan komponen sel, jaringan dan strukturnya merupakan sistem organ dan lingkungan
yang kompleks. Fungsi dan kesehatan komponen rongga mulut saling mempengaruhi satu sama lain. Fungsi-
fungsi yang dimiliki rongga mulut menyebabkan rongga mulut memiliki resiko yang besar untuk menjadi
pintu masuk berbagai agen berbahaya seperti mikroorganisme, agen karsinogenik, serta rentan mengalami
trauma fisik, mekanis, maupun kimiawi (Hand dan Frank, 2014; Christmawaty, 2006).
Status kesehatan rongga mulut dapat mencerminkan kondisi sistemik tubuh seseorang. Sebagai pintu
masuk berbagai bahan dari luar, besar kemungkinan di dalam rongga mulut muncul suatu penyakit yang
disebut dengan penyakit mulut (oral diseases). Penyakit-penyakit yang muncul pada rongga mulut juga dapat
merupakan manifestasi dari kondisi sistemik yang dialami seseorang (R Jhon dan John, 2014). Penyakit
mulut biasanya tersembunyi dan tidak terlihat, atau dapat juga merupakan konsekuensi yang tidak
terhindarkan dari proses hidup dan penuaan. Pemeriksaaan pada mulut dapat mengungkapkan defisiensi gizi,
serta kebiasaan yang tidak sehat seperti konsumsi tembakau dan alkohol. Kebanyakan penyakit mulut juga
berhubungan dengan faktor resiko penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, dan
penyakit saluran pernapasaan (World Dental Federation, 2015).
Semakin berkembangnya jaman, temuan penyakit-penyakit mulut semakin bervariasi. Tenaga medis
harus segera beradaptasi dengan perkembangan tersebut. Ilmu penyakit mulut kemudian muncul pada bidang
kedokteran gigi yang fokus pada penegakan diagnosis meliputi pemeriksaan fisik dan investigasi, manajemen
dari diagnosis, serta kelainan-kelainan medis yang dapat mempengaruhi rahang dan gigi (Burket,et al., 2008;
R Jhon & John, 2014). Seorang dokter gigi harus mampu menerapkan suatu metode diagnostik dengan benar
supaya dapat menentukan diagnosis kerja yang tepat dari suatu penyakit (Burket, et al., 2008).

Pendekatan yang efektif terhadap pasien yang membutuhkan perawatan dapat melalui tahap-tahap : 1)
membentuk hubungan dengan pasien, 2) mempelajari keluhan utama pasien, 3) menanyakan kondisi sakit
sekarang, 4) menggali riwayat kesehatan pasien, 5) melakukan serangkaian pemeriksaan fisik (Silverman, et
al., 2001). Setelah melakukan pemeriksaan fisik, data dan informasi yang didapat digunakan untuk menyusun
kemungkinan diferensial diagnosis, penentuan diagnosis kerja dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang
seperi uji laboratorium. Rencana perawatan disusun berdasarkan diagnosis kerja dan sesuai dengan kondisi
medis atau riwayat kesehatan pasien (Burket, et al., 2008).

B. Tujuan
1. Memahami definisi dan klasifikasi penyakit dan abnormalitas pada jaringan lunak rongga mulut.
2. Memahami cara identifikasi kelainan dalam mulut berdasar anamnesis dan pemeriksaan klinis.
3. Memahami etiologi, patogenesis, gambaran klinis, dan histopatologis penyakit dan abnormalitas

2
rongga mulut, serta hubungan klinis antar temuan baik oral maupun sistemik.
4. Mahasiswa mampu memahami cara menentukkan diagnosis dari penyakit atau abnormalitas pada
jaringan lunak rongga mulut.
5. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar perawatan, gold standar pemeriksaan dan perawatan
pada penyakit atau abnormalitas pada jaringan lunak rongga mulut.
6. Mahasiswa mampu menangani pasien berdasarkan kasus yang ada secara holistik.

C. Manfaat
1. Bagi mahasiswa, agar mahasiswa mampu. menerapkan semua ilmu yang sudah dipelajari dalam
menangani berbagaimacam kasus penyakit mulut secara holistik. Dengan ini, dapat menjadi bekal
setiap mahasiswa ketika melakukan penanganan langsung pada pasien dengan penyakit mulut.
2. Bagi masyarakat umum, agar setiap masyarakat mampu memahami berbagaimacam penyakit yang
dapat terjadi di dalam rongga mulut. Masyarakat menjadi tau apabila penyakit mulut yang terjadi
tidak hanya berdasarkan faktor lokal, tetapi juga karena faktor sistemik.

KASUS # 1
Seorang anak perempuan 13 tahun mengeluhkan mulut terasa sakit saat makan. Tiga hari yang lalu
mengalami demam ringan, dan badan terasa lemah. Ibunya tidak yakin apakah keluhan yang sama pernah
dialami, kondisi kesehatan anaknya tidak baik sejak kecil namun belum pernah menjalani rawat inap di
rumah sakit dan belum menerima medikasi jangka panjang. Selain susah makan sayur dan buah-buahan, juga
tidak menerima suplemen makanan. Tinggi badan 145 cm, berat badan 32 kg dan tanda vital dalam batas
normal, dan tidak ada kelainan pada wajah. Pemeriksaan klinis intraoral tampak ulkus multipel pada mukosa
mulut dan lidah tampak eritematus.

Important Point/s: Questions/ Main ideas/ Vocabulary/ Terminology/Key Concepts/Notes/ Answers/


Details/ Explanations/ Examples/ Pictures/ Diagrams/ Definitions/ Steps/ Info from scenario.

Terminologi :
Lesi: suatu area pada organ atau jaringan yang mengalami kerusakan akibat penyakit atau trauma.
Ulkus: Lesi luka pada jaringan kutaneus atau mukosa yang terbuka, yang menunjukkan jaringan
secara perlahan-lahan disertai nekrosis. Tepi seringkali bulat tapi terkadang tidak teratur. Meluas dari
lapisan basal hingga dermis. Dapat berasal dri trauma, stomatitis aptosa, infeksi virus, kanker.
Eritematus: Merupakan suatu makula, yaitu perubahan jaringan dengan batas tegas, permukaan datar
sesuai denan jaringan yang normal, yang berasal dari jaringan vaskuler sehingga tampakan klinisnya
berwarna merah.
Mukosa bibir: jaringan bibir yang berupa lapisan basah yang melindungi struktur internal bibir
Halo eritematus: tepi lesi yang berwarna merah menyala

3
Info dari skenario pasien :
Perempuan berusia 13 tahun
Keluhan uatama (CC): Mulut sakit saat makan
3 hari yang lalu mengalami demam ringan, malaise.
Kondisi kesehatan tidak baik sejak kecil.
Belum pernah menjalani rawat inap di rumah sakit dan belum menerima medikasi jangka panjang
Susah makan sayur dan buah serta tidak menerima suplemen makanan.
Terdapat ulkus multipel di mukosa mulut.
Lidah eritem.
SOLUSI
Menggunakan langkah metode diagnostic oral
Penyusunan solusi (diagnosis diferensial) mengacu pada permasalahan
KASUS UTAMA atau ASESMEN KASUS : Lesi Vesikobulosa
1. Pengumpulan Informasi Diagnostik
o Pasien seorang wanita berusia 13 tahun.
o Terdapat keluhan mulut sakit ketika makan.
o Gejala (Symptom) : Mulut terasa sakit saat makan, demam, malaise
o Tanda (Sign) : ulkus multiple pada mukosa dan lidah eritematus

Pemeriksaan EkstraOral :
o Tidak ada kelainan pada wajah
Pemeriksaan IntraOral :
o Ulkus multiple pada mukosa mulut
o Lidah eritematus

2. Evaluasi abnormalitas dan klasifikasi


Klasifikasi abnormalitas berdasarkan loksasi dan jaringan yang terlibat
Oral soft tissue lesion : Lesi Vesikobulosa
Lesi primer : Ulkus multiple pada mukosa mulut dan lidah eritematous

3. Penentuan ciri sekunder


Lokasi : mukosa mulut dan lidah
:2 Durasi : sejak 3 hari
Onset : Akut
Jumlah : Multipel
Local symptoms : terasa sakit saat makan

4. Daftar causa menifestasi primer

4
Berdasarkan skenario kasus pasien 1, etiologi yang mungkin adalah:
o Infeksi virus
o Kurang asupan vitamin serta tidak menerima suplemen makanan
5. Eliminasi causa yang tidak mungkin menjadi penyebab
Pasien susah makan sayur dan buah serta tidak menerima suplemen makanan tidak mungkin menjadi
penyebab utama karena infeksi virus merupakan penyebab utamanya.

6. Menyusun etiologi berdasar probabilitas


- Primary Herpetic Gingivostomatitis
- Herpangina
- Recurrent Intraoral Herpes
7. Penetapan diagnosis kerja
Primary Herpetic Gingivostomatitis
Merupakan penyakit akibat infeksi virus herpes simplex tipe 1 maupun 2 yang infeksinya diawali
dengan kondisi demam dan malaise, kemudian bermanifestasi di mukosa mulut berupa vesikel yang
berubah menjadi ulkus multipel yang dikelilingi oleh haloeritema. Biasanya pada bibir, gingiva,
palatum durum dan lidah.
Herpangina
Disebabkan oleh virus coxsackie. Biasanya menyerang anak-anak kurang dari 10 tahun dan biasanya
menyerang saat musim panas atau gugur. Gejala umum berupa pusing, demam, myalgia 1-3 hari.
Manifestasi berupa sakit tenggorokan, (sakit saat menelan), eritem pada palatum mole, tonsila
palatina, dan orofaring. Penyakit ini disertai vesikel kecil multipel ulser 2-4 mm, serta terjadi
limfadenopati.
Recurrent Intraoral Herpes
Merupakan reaktivasi dari virus HSV karena adanya pemicu stress, trauma, menstruasi, radiasi UV.
Manifestasi oral berupa lesi multipel berupa vesikel yang dapat ruptur menjadi ulser. Regio yang
paling sering terkena adalah bibir, palatum, attached gingiva.

8. Diagnosis banding :
- Herpangina
- Recurrent Intraoral Herpes
- Primary Herpetic Gingivostomatitis

TEMUAN LESI LAIN :

Tidak ditemukan adanya lesi lain.

RENCANA PERAWATAN:
- Meredakan gejala

5
- Supportive treatment
- Pemberian anti-virus

MANAJEMEN KASUS :
Acyclovir 5% 15 g digunakan 4x sehari selama 4 hari sebagai anti-virus
Multivitamin syrup 1 sendok teh 1x sehari untuk meningkat daya tahan tubuh
Antiseptik obat kumur chlorhexidine glukonat 0,2 % 3x sehari untuk mempercepat penyembuhan
Triamcinolone acetonide 0,1 % untuk mengurangi rasa sakit

PEMBAHASAN
Argument ilmiah tepat mengurai dan mencari solusi

Gingivostomatitis herpetika primer adalah bentuk tersering dari infeksi HSV tipe 1 pada rongga
mulut yang ditandai dengan lesi ulserasi pada lidah, bibir, mukosa gingiva, palatum durum dan molle. Gejala
khasnya berupa demam yang muncul tiba-tiba, anoreksia, nyeri iritasi dan nyeri yang intenns pada rongga
mulut. Selanjutnya, akan disertai timbulnya lesi di dalam rongga mulut baik pada permukaan mukosa
bergerak maupun tidak bergerak. Lesi awal berupa vesikula yang dengan cepat akan pecah, menyatu
sehingga membentuk ulserasi besar yang sangat perih. Selanjutnya, gingiva menjadi eritema dan lunak (Jaya,
2009; Marlina, 2011).
Gingivostomatitis herpetika primer umumnya terjadi pada anak kecil dan jarang pada orang dewasa.
Dokter gigi seringkali merupakan dokter pertama yang menerima keluhan karena gejala klinisnya, sehingga
penting bagi dokter gigi dapat mengenali kondisi ini. Onset gingivostomatitis herpetika primer dilaporkan
memiliki 2 puncak. Terutama terjadi pada masa anak, biasanya pada usia 6 bulan sampai 5 tahun, puncak
kedua terjadi pada usia awal 20 tahun. Kebanyakan infeksi HSV tipe 1 pada anak bersifat asimtomatik atau
ringan sehingga anak dan orang tua tidak menyadarinya. Beberapa penelitian menyatakan hanya 10-20%
anak yang terinfeksi memiliki gejala dan tanda klinis yang cukup berat (Jaya, 2009).
Saat virus pertama kali menginfeksi tubuh manusia akan timbul infeksi primer. Infeksi sekunder
timbul saat terjadi rekurensi. Periode inkubasinya adalah 2 hari sampai 2 minggu dan insidensi tersering
adalah pada umur 6 bulan sampai 5 tahun. HSV 1 biasanya ditransmisikan melalui lesi atau saliva dari
penderita. Tanda klinis infeksi tersebut akan muncul pada mucosa gingiva dan anterior orofaring. Tampakan
klinis dari penyakit ini adalah berupa vesicle multiple yang muncul pertama kali pada lidah, hingga kemudian
menjalar pada bagian lain di rongga mulut. Vesicle tersebut berisi cairan berwarna kuning dengan basis
eritematous yang kemudian akan ruptur membentuk ulser berukuran 2-3 mm yang terasa nyeri hingga pasien
kesultan makan dan minum (DeLong dan Burkhart, 2008 ; Greenberg, 2005).
Fase prodromal penyakit ini ditandai dengan malaise dan kelelahan, sakit otot dan kadang sakit
tenggorokan. Pada tahap awal nodus limfe submandibular sering membesar dan sakit. Fase prodromal ini
berlangsung 1-2 hari dan diikuti dengan timbulnya lesi oral dan kadang sirkumoral. Vesikula kecil berdinding
tipis dikelilingi dasar eritematous yang cenderung berkelompok timbul pada mukosa oral. Vesikula kemudian

6
pecah dengan cepat dan menimbulkan ulser bulat dangkal. Ulser dapat terjadi pada semua bagian mukosa
mulut. Dengan berkembangnya penyakit, beberapa lesi bersatu membentuk lesi ireguler yang lebih besar.
Lesi ini disertai simptom demam, anoreksia, limfadenopati dan sakit kepala. Pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan leukositosis atau neutropenia yang berhubungan dengan infeksi virus. Faktor predisposisi ialah
sistem imun yang buruk, seringkali menyertai kondisi infeksi akut seperti pneumonia, meningitis, influenza,
tifus, infeksi mononukleusis dan kondisi stress. Cara penularan melalui dropplet infection dan kontak
langsung (Jaya, 2009).
Apabila diamati secara histologis, pada sel epitel primary herpetic gingivostomatitis terdapat
degenerasi balon yang terdiri dari akantolisis, nuclear clearing, dan nuclear enlargement. Kemudian, sel-sel
tersebut akan berfusi membentuk sel yang multinukleus. Selain itu, terdapat interseluler edema yang
membentuk vesikel intraepitel yang nantinya akan pecah dengan eksudat fibropurulen (Bathla, 2017).
Penegakan diagnosis dari penyakit ini biasanya didapatkan berdasar riwayat dari pasien dan gambaran
klinis pada pasien. Kemudian, untuk mengkonfirmasi diagnosis, dilakuan beberapa uji laboratorium yaitu
inokulasi virus dari area yang skit untuk di kultur (teknik ini membutuhkan waktu 3-6 hari dan dapat
membedakan tipe HSV 1 atau 2), uji antibody monoclonal fluorescent (membutuhkan waktu 15-20 menit),
serta uji serologi. Selain itu, pemeriksaan penunjang primary herpetic gingivostomatitis dapat dilakukan
dengan cara sitologi yaitu vesikel baru dibuka dan potongan dibuat dari dasar lesi, diletakkan pada slide
mikroskop lalu diberi pewarnaan giemsa. Dilihat apakah terdapat multinucleat giant cell synsyntium dan
ballooning degeneration of nucleus (Bathla, 2017).
Pengobatan spesifik yang efektif untuk penyakit ini belum diketahui. Terapi anti virus sistemik
diberikan pada pasien imunokompeten. Pengobatan profilaksis acyclovir diberikan untuk pencegahan dan
kekambuhan infeksi pada pasien imunokompeten. Pengobatan suportif berupa istirahat, rehidrasi, antipiretik
dan analgesik. Untuk infeksi oral, penggunaan antiseptik misalnya chlorhexidine gluconate atau obat kumur
tetrasiklin dapat menurunkan infeksi sekunder. Obat kumur analgesic akan mengurangi rasa sakit terutama
saat pasien makan. Mencegah kekambuhan dengan cara menghindari faktor pencetus, mencegah infeksi
melalui penyuluhan. Infeksi HSV dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari (Jaya, 2009).

PERMASALAHAN # 2
Seorang pasien perempuan tengah baya mengeluh mulut terasa seperti terbakar, terutama ketika makan
makanan berbumbu atau pedas. Sudah dirasakan semenjak remaja, namun saat ini kondisi tersebut semakin
memburuk dan mengganggu kenyamanan. Berdasar anamnesis tidak ada riwayat hospitalisasi, alergi maupun
medikasi jangka panjang. Semenjak lulus kuliah, tidak mengkonsumsi daging merah. Pemeriksaan klinis
intraoral tampak bercak putih dengan latar eritematus pada mukosa pipi. Pada dorsal lidah tampak
area depapilasi, meninggi sebagian tertutup bercak putih. Bercak putih hilang dengan usapan kecuali
pada mukosa pipi.
Important Point/s: Questions/ Main ideas/ Vocabulary/ Terminology/Key Concepts/Notes/ Answers/
Details/ Explanations/ Examples/ Pictures/ Diagrams/ Definitions/ Steps/ Info from scenario.

7
Terminologi
- Eritematus : kemerahan yang abnormal pada kulit karena kongesti kapiler
- Depapilasi : penurunan papila lidah disertai dengan peninggian dan ditandai bercak putih disekitarnya

Info dari skenario pasien


Perempuan tengah baya :
- Mulut terasa terbakar sejak usia remaja
- Kondisi sekarang memburuk dan mengganggu kenyamanan
- Mukosa pipi : bercak putih latar eritem (diusap tidak hilang)
- Dorsal lidah : depapilasi, meninggi sebagian tertutup bercak putih (diusap hilang)
- Riwayat medis : tidak pernah hospitalisasi dan tidak ada alergi
- Riwayat sosial : tidak mengkonsumsi daging merah sejak lulus kuliah

SOLUSI
Menggunakan langkah metode diagnostic oral
Penyusunan solusi (diagnosis diferensial) mengacu pada permasalahan
KASUS UTAMA atau ASESMEN KASUS : ORAL CANDIDIASIS
1. Pengumpulan informasi diagnostik
Perempuan tengah baya :
Mulut terasa terbakar sejak usia remaja
Kondisi sekarang memburuk dan mengganggu kenyamanan
Mukosa pipi : bercak putih latar eritem (diusap tidak hilang)
Dorsal lidah : depapilasi, meninggi sebagian tertutup bercak putih (diusap hilang)
Riwayat medis : tidak pernah hospitalisasi dan tidak ada alergi
Riwayat sosial : tidak mengkonsumsi daging merah sejak lulus kuliah

2. Evaluasi abnormalitas dan klasifikasi


a. Unusual finding pada rongga mulut
Oral soft tissue lesion (white mucosal lesion, loss of mucosal integrity), clinical syndrome.
b. Lokasi dan jaringan yang terlibat
Dorsal lidah dan mukosa bukal bilateral.
c. Lesi primer
Mukosa pipi : bercak putih latar eritem (diusap tidak hilang)
Dorsal lidah : depapilasi, meninggi sebagian tertutup bercak putih (diusap hilang)

3. Penentuan ciri sekunder


- Karakteristik : bercak putih dengan latar eritematus
- Lokasi : dorsal lidah dan mukosa pipi bilateral

8
- Local symptoms : burning mouth saat makan makanan berbumbu atau pedas
- Durasi : sejak remaja
- Onset : kronis

4. Daftar causa manifestasi primer


Berdasarkan skenario kasus 2, etiologi yang mungkin adalah:
a. Tidak mengkonsumsi daging merah semenjak lulus kuliah (malnutrisi)
b. Hiperkeratosis
c. Tidak keseimbangan mikroflora
d. Kualitas dan kuantitas saliva

5. Eliminasi causa yang tidak mungkin menjadi penyebab


- Hiperkeratosis

6. Menyusun etiologi berdasar probabilitas


- Malnutrisi
- Tidak keseimbangan mikroflora
- Kualitas dan kuantitas saliva

7. Penetapan diagnosis kerja


Ddx : Geographic Tongue, Oral Lichen Planus, Morsicatio Buccarum
Perbedaan tiap lesi

Morsicatio
Geographic Tongue Oral Lichen Planus
Buccarum

Klasifikasi White and red lesion Lesi vesikulo-ulseratif Lesi frictional


lesi Lesi putih keratotik keratotic
Epidemiologi Wanita : pria = 1 : 2 Wanita : pria = 3 : 2 Wanita : pria = 2 : 1
Terjadi 1-3% dalam Sering mengenai Preavalensi tinggi
suatu populasi orang berusia tengah pada usia > 35 tahun
baya
Etiologi Tidak diketahui Tidak diketahui pasti Kebiasaan menggigit-
gigit kronis pada
mukosa buccal
Site Dorsal/lateral lidah Mukosa pipi, lidah, Mukosa pipi
dan gingiva
Characte- Perubahan pattern secara Papula putih yang Lesi putih disertai
ristic konstan dari ulserasi biasanya menyatu, penebalan seperti

9
yang dikelilingi oleh membentuk garis robekan pada mukosa,
area halus berwarna saling menganyam disertai eritema atau
putih (stria Wickham) ulserasi, dikerok
merupakan ciri khas hilang
oral lichen planus
Histopatologi Lapisan keratin yang Hiperkeratosis, Hiperplasi epitel
lesi tebal berinfiltrasi dengan penebalan stratum menunjukkan
neutrofil, hiperkeratosis, granulosum, rete ridge acanthosis,
spongiosis, akantolisis, epidermis yang hiperkeratosis
elongasi rigi epitel runcing (saw tooth
appearance)

Diagnosis banding :
Geographic Tongue, Oral Lichen Planus, Morsicatio Buccarum

TEMUAN LESI LAIN :


Tidak ditemukan adanya lesi lain
RENCANA PERAWATAN:
Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor penyebab
Medikasi dengan pemberian antifungal dan pemakaian mouthwash
Edukasi kesehatan gigi dan mulut untuk upaya peningkatan oral hygiene

MANAJEMEN KASUS :
Komunikasi Informasi Edukasi kepada pasien untuk menjaga oral hygiene dengan baik, pasien dihimbau
untuk menyikat gigi setiap 4 jam dan sebelum tidur serta menggunakan obat kumur antiseptik yang bersifat
anticandidal seperti triclosan, chlorhexidine gluconate. Pasien dihimbau untuk manjaga nutrisi dan hidrasi
agar kesehatan umum baik dan penyakit dapat cepat sembuh serta diwajibkan untuk kontrol ke dokter secara
teratur. Medikasi dengan topikal nystatin (100.000 U) dan Triamsinolon asetonid 0,1 % dioleskan dalam
jumlah banyak pada daerah yang terkena 3-4 kali sehari.
PEMBAHASAN
Argument ilmiah tepat mengurai dan mencari solusi
1. Teori Kasus
a. Terminologi
Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi oportunistik umum pada
rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari spesies Candida.
(Akpan dan Morgan, 2002)
b. Definisi
Candida albicans merupakan flora normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina,
10
jamur ini dapat berubah menjadi patogen jika terjadi perubahaan dalam diri pejamu.
Perubahan yang terjadi pada pejamu tersebut dapat bersifat lokal maupun sistemik. Lesi
kandidiasis ini dapat berkembang di setiap rongga mulut, tetapi lokasi yang paling sering
adalah mukosa bukal, lipatan mukosa bukal, orofaring dan lidah. Kandidiasis kronis yang
tidak segera dirawat dapat berkembang menjadi kandidiasis leukoplakia yang bersifat pra
ganas, dan kemudian mengakibatkan karsinoma sel skuamosa. Selain itu, kandidiasis dapat
berkembang menjadi infeksi sistemik melalui aliran getah bening yang menyerang organ vital
seperti ginjal, paru-paru, otak dan dinding pembuluh darah yang bersifat fatal.
Penatalaksanaan kandidiasis yaitu berdasarkan penyebab yang mendasarinya yaitu
penatalaksanaan dalam bentuk lokal maupun sistemik.
Kandidiasis oral adalah salah satu infeksi fungal yang mengenai mukosa oral. Lesi ini
disebabkan oleh jamur Candida albicans. Candida albicans adalah salah satu komponen dari
mikroflora oral dan sekitar 30-50% orang sebagai karier organisme ini. Tedapat lima tipe
spesies kandida yang terdapat di kavitas oral, diantaranya adalah:
1. Candida albicans
2. Candida tropicalis
3. Candida krusei
4. Candida parapsilosis
5. Candida guilliermondi
Dari kelima tipe tersebut, Candida albicans adalah yang paling sering terdapat pada kavitas
oral. Candida albicans merupakan fungi yang menyebabkan infeksi opurtunistik pada
manusia. Salah satu kemampuan yang dari Candida albicans adalah kemampuan untuk
tumbuh dalam dua cara, reproduksi dengan tunas, membentuk tunas elipsoid, dan bentuk hifa,
yang dapat meningkatkan misela baru atau bentuk seperti jamur.
(Hakim dan Ramadhian, 2015)
c. Epidemiologi
Oral candidiasis merupakan infeksi mulut yang paling sering terjadi. Penyakit ini biasa
menginfeksi pasien yang sangat lemah, bayi, orang tua, dan pasien yang mengalami
penurunan kerja sistem imun dengan prevalensi persebaran 10% - 15% dan 25% - 75% dari
populasi keseluruhan adalah carrier atau pembawa. (Rossie dkk, 1997)
Terdapat sekitar 30-40% Kandida albikan pada rongga mulut orang dewasa sehat, 45% pada
neonatus, 45-65% pada anak-anak sehat, 50-65% pada pasien yang memakai gigi palsu
lepasan, 65-88% pada orang yang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, 90% pada
pasien leukemia akut yang menjalani kemoterapi, dan 95% pada pasien HIV/AIDS (Akpan
dan Morgan, 2002)
d. Etiologi
Oral candidiasis disebabkan oleh jamur bersel tunggal dari keluarga Cryptokokeae. Terdapat

11
tiga bentuk yaitu bentuk vegetatif yang merupakan blastospore (sel jamur) berdiameter 1,5-
5m dengan bentuk oval, bentuk hype, dan clamydospore yang terdiri atas sel-sel tubuh
berdinding refraktil yang tebal dengan diameter keseluruhan 7-17m. Bentuk vegetatif
merupakan bentuk yang sering dijumpai di mulut dan tidak bersifat patogen. Tetapi jika
terdapat bentuk hype (patogen) maka jamur berhubungan erat dengan lesi yang terjadi. Oral
candidiasis tidak dapat langsung muncul. Hal ini disebabkan karena jamur Candida albicans
merupakan jamur yang kurang patogen sehingga untuk terjadinya infeksi diperlukan faktor
predisposing baik sistemik maupun lokal. (Gayford dan Harskell, 1979)
Kandidiasis oral merupakan suatu infeksi jamur yang umumnya disebabkan oleh jamur
Kandida albikan. Faktor predisposisi terjadinya kandidiasis oral terdiri atas faktor lokal dan
sistemik. Beberapa faktor lokal tersebut seperti penggunaan gigi tiruan, xerostomia, dan
kebiasaan merokok. Penggunaan gigi tiruan dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi
pertumbuhan jamur Kandida yaitu lingkungan dengan pH yang rendah, sedikit oksigen, dan
keadaan anaerob. (Akpan dan Morgan, 2002).
Faktor predisposisi lokal untuk oral candidiasis dan lesi lain yang berhubungan dengan
Candida :
Pemakaian gigi tiruan.
Merokok.
Berhubungan dengan atopik.
Inhalasi steroid.
Steroid topical.
Hyperkeratosis.
Tidak seimbangnya mikroflora mulut.
Kualitas dan kuantitas saliva.

Faktor predisposisi umum untuk oral candidiasis :


Penyakit yang menekan sistem imun.
Status kesehatan yang terganggu.
Obat yang menekan sistem imun.
Kemoterapi.
Kelainan endokrin.
Kekurangan hematin.
(Burket dkk., 2008)

e. Patogenesis
Jamur C. albicans merupakan mikroorganisme endogen pada rongga mulut, traktus
gastrointestinal, traktus genitalia wanita dan kadang-kadang pada kulit. Secara mikroskopis

12
ciri-ciri C. albicans adalah yeast dimorfik yang dapat tmbuh sebagai sel yeast, sel hifa atau
pseudohyphae. C. albicans dapat ditemukan 40- 80 % pada manusia normal, yang dapat
sebagai mikroorganisme komensal atau patogen.
Infeksi C. albicans pada umumnya merupakan infeksi opportunistik, dimana penyebab
infeksinya dari flora normal host atau dari mikroorganisme penghuni sementara ketika host
mengalami kondisi immunocompromised. Dua faktor penting pada infeksi opportunistik
adalah adanya paparan agent penyebab dan kesempatan terjadinya infeksi. Faktor predisposisi
meliputi penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel, perubahan membran mukosa dan kulit
serta adanya benda asing.
Selain host mengalami kondisi immunocompromised, C. albicans juga mengandung faktor
virulensi yang dapat berkontribusi terhadap kemampuannya untuk menyebabkan
infeksi.Faktor virulensi utama meliputi; permukaan molekul yang memungkinkan adheren
organisme pada permukaan sel host, asam protease dan fosfolipase yang terlibat dalam
penetrasi dan kerusakan dinding sel, serta kemampuan untuk berubah bentuk antara sel yeast
dengan sel hifa.
Infeksi Candida dapat dikelompokkan menjadi tiga meliputi; candidiasis superfisial,
candidiasis mukokutan dan candidiasis sistemik. Infeksi candidiasis superfisial dapat
mengenai mukosa, kulit dan kuku. Candidiasis mukokutan melibatkan kulit dan mukosa
rongga mulut atau mukosa vagina. Pada candidiasis sistemik dapat melibatkan traktus
respirasi bawah dan traktus urinary dengan menyebabkan candidaemia. Lokasi yang sering
pada endokardium, meninges, tulang, ginjal dan mata. Penyebaran penyakit yang tidak
diterapi dapat berakibat fatal (Lestari, 2010).

2. Landasan Teori
a. Kandidiasis Oral
1) Pengertian
Kandidasis oral merupakan salah satu penyakit pada rongga mulut berupa lesi merah dan lesi
putih yang disebabkan oleh jamur jenis Kandida sp. Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik
pada rongga mulut yang disebabka oleh pertumbuhan berlebihan dari jamur Kandida terutama
Kandida albikan. Kandida merupakan organisme komensal normal yang banyak ditemukan dalam
rongga mulut dan membran mukosa vagina. Dalam rongga mulut, Kandida albikan dapat melekat
pada mukosa labial, mukosa buka, dorsum lidah, dan daerah palatum (Akpan, dkk., 2002; Siar, dkk.,
2003)
Selain Kandida albikan, ada 10 spesies Kandida yang juga dapat ditemukan yaitu C.tropicalis,
C.parapsilosis, C.krusei, C.kefyr, C.glabrata, dan C.gluillermondii, C.pseudatropicalis, C.lusitaniae,
C.stellatoidea, dan C.dubliniensis, dengan C.albikan yang paling dominan dijumpai dan aping
berperan dalam menimbulkan kandidiasis oral (Siar CH, dkk ) (McCullough MJ, Savage NW. Oral

13
candidosis and the therapeutic of antifungal agent in dentistry. Aust Dent J 2005; 50(2): S36-9).
Kandidiasis oral dapat menyerang semua usia baik usia muda, usia tua dan para penderita defisiensi
imun seperti AIDS (Cannon, dkk., 1995) . Pada pasien HIV/AIDS, kandida albikan paling banyak
ditemukan yaitu sebesar 95%
2) Faktor Resiko
Pada orang yang sehat, Kandida albikan umumnya tidak menyebabkan masalah apapun dalam
rongga mulut, namun karena berbagai faktor, jamur tersebut dapat tumbuh secara berlebihan dan
menginfeksi rongga mulut. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu:
1. Patogenesis jamur
Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenesis dan proses infeksi Kandida adalah adhesi,
perubahan dari bentuk ragi ke bentuk hifa, dan produksi enzim ekstaseluler. Adhesi merupakan
proses melekatnya sel Kandida ke dinding sel epitel host. Perubahan bentuk dari ragi ke hifa
diketahui berhubungan dengan patogenesis dan proses penyerangan Kandida terhadap sel host.
Produksi enzim hidrolitik ekstraseluler seperti aspartyc proteinase juga sering dihubungkan
dengan patogenitas Kandida albikan.
2. Faktor Host
Dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Termasuk faktor lokal
adalah adanya gangguan fungsi kelenjar ludah yang dapat menurunkan jumlah saliva. Saliva
penting dalam mencegah timbulnya kandidiasis oral karena efek pembilasan dan antimikrobial
protein yang terkandung dalam saliva dapat mencegah pertumbuhan berlebihan dari Kandda, itu
sebabnya kandidiasis oral dapat terjadi pada kondisi Sjogren syndrome , radioterapu kepala dan
leher, dan obat-obatan yang dapat mengurangi sekresi saliva. Pemakaian gigi tiruan lepasan juga
dapat menjadi faktor resiko timbulnya kandidiasis oral. Sebanyak 65% orang tua yang
menggunakan gigi tiruan penuh rahang atas menderita infeksi Kandida, hal ini dikarenakan pH
yang rendah, lingkungan anaerob dan oksigen yang sedikit mengakibatkan Kandida tumbuh pesat.
Selain dikarenakan faktor lokal, kandidiasis juga dapat dihubungkan dengan keadaan sistemik,
yaitu usia, penyakit sistemik seperti diabetes, kondisi imunodefisiensi seperti HIV, keganasan
seperti leukimia,defisiensi nutrisi, dan pemakaian obat-obatan seperti antibiotik spektrum luas
dalam jangka waktu lama, kortikosteroid, dan kemoterapi.
(Akpan, dkk., 2002; Akpan, dkk., 1995; Kusumaningtyas, 2003; Greenberg, 2003; Siar, dkk.,
2003; Basson, 2000; Katzung, 2002; Scully, 2004)
3) Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Gambaran klinis kandidiasis oral tergantung pada keterlibatan lingkungan dan interaksi organisme
dengan jaringan pada host. Adapun kandidiasis oral dikelompokkan atas tiga, yaitu:
1. Akut, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
Kandidiasis Pseudomembranous Akut
Kandidiasis seudomembranosus akut yang disebut juga sebagai thrush, pertama sekali

14
dijelaskan kandidiasis ini tampak sebagai plak mukosa yang putih, difus, bergumpal atau
seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasim fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus
meninggalkan permukaan merah dan kasar. Pada umumnya kandidiasi ini dapat mengeluh
rasa terbakar pada mulut. Kandidiasis seperti ini sering diderita oleh pasien dengan sistem
imun rendah, seperti HIV/AIDS, pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan
menerima kemoterapi. Diagnosa dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis, kulutus
jamur, atau pemeriksaan mikroskopis secara langsung dari kerokan jaringan (Akpan, dkk.,
2002; McCullough dan Savage, 2005; Anonim, 2005)

Kandidiasis Pseudomembranosus Akut pada lidah dan mukosa bukal


Kandidiasis Atropik Akut
Kandidiasis jenis ini membuat daerah permukaan mukosa oral mengeluas dan tampak
sebagai bercak-bercak merah difus yang rata. Infeksi ini terjadi karena pemakaian
antibiotik spektrum luas, terutama Tetrasiklin, yang mana obat tersebut dapat mengganggu
keseimbangan ekosistem oral santara Lactobacilus acidophilus dan Kandida albikan.
Antibiotik yang dikonsumsi oleh asien mengurangi populasi Lactobacillus acidophilus dan
memungkinkan Kandida tumbuh subur. Pasien menderita Kandidiasis ini akan
mengeluhkan sakit seperti terbakar (Greenberg, 2003; Akpan, dkk., 2002; Allen, 1992)

Kandidiasi Atropik Akut


2. Kronik, dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
Kandidiasis Atropik Kronik
Disebut juga denture stomatitis atau alergi gigi tiruan. Mukosa palatum maupun
mandibuka yang tertutup basis gigi tiruan akan menjadi merah, kondisi ini dikategorikan
sebagai bentuk dari infeksi Kandida. Kandidiasis ini hampir 60% diderita oleh pemakai
gigi tiruan terutama pada wanita tua yang sering memakai gigi tiruan selagi tidur
(Greenberg, 2003; Akpan, dkk., 2002; Allen, 1992).

15
Kandidiasis Atropik Kronik
Kandidiasis Hiperplastik Kronik
Infeksi jamur timbul pada mukosa bukal atau tepi lateral lidah berupa bintik-bintik putih
yang tepinya menimbul tegas dengan beberapa daerah merah. Kondidi ini dapat
berkembang menjadi displasia berat atau keganasan, dan kadang disebut sebagai
Kandidiasis luekoplakia. Bintik-bintik putih tersebut tidak dapat dihapus, sehingga
diagnosa harus ditentukan dengan biopsi. Kandidiasis ini paling sering diderita oleh
perokok (Akpan, dkk., 2002; Gravina, dkk., 2007)

Kandidiasis Hiperplastik Kronik


Median Rhomboid Glositis
Median rhomboid glositis adalah daerah simetris kronis di anterior lidah ke papila
sirkumvalata, tepatnya terletak pada duapertiga anterior dan sepertiga posterior lidah.
Gejala penyakit ini asimptomatis dengan daerah tidak berpapila (Greenberg, 2003; Akpan,
dkk., 2002; Allen, 1992).

Median Rhomboid Glositis


3. Keilitis Angularis
Keilitis angularis merupakan infeksi Kandida albikan pada sudut mulut, dapat bilateral maupun
unilateral. Sudut mulut yang terkena infeksi tampak merah dan pecah-pecah, dan terasa sakit
ketika membuka mulut. Keilitis angularis ini dapat terjadi pada penderita defisiensi vitamin B12
dan anemia defisiensi besi (Greenberg, 2003; Akpan, dkk., 2002; Allen, 1992).

16
Keilitis angularis
4) Test dan Diagnosis
1. Inspeksi visual pada mukosa oral untuk identifikasi adanya lesi
2. Pemeriksaan hapusan pada lesi dengan mikroskop untuk mengidentifikasi adanya candida
albicans
3. Pengkajian tentang riwayat penyakit dan kesehatan dapat sangat membantu
4. Jika diduga infeksi telah menyebar ke esofagus dan lambung dapat dilakukan pemeriksaan
endoskopi.

Dalam menegakkan diagnosis kandidiasis, maka dapat dibantu dengan adanya pemeriksaan
penunjang, antara lain :
1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10 % atau dengan
pewarnaan gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat pula agar
ini dibubuhi antibiotik (kloramfenikol ) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan
disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 derajat Celcius, koloni tumbuh setelah 24-48
jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida albicans dilakukan dengan membiakkan
tumbuhan tersebut pada corn meal agar.

Beberapa penunjang lain :


1. Laboratorium : ditemukan adanya jamur candida albicans pada swab mukosa
2. Pemeriksaan endoskopi : hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan dengan
pemberian flukonazol.
3. Dilakukan pengolesan lesi dengan toluidin biru 1% topikal dengan swab atau kumur.
4. Diagnosa pasti dengan biopsy (Simatupang, 2009)

b. Terapetik

Penatalaksanaan untuk kandidiasis antara lain :

1. Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi


2. Pemberian Obat Topikal

17
Obat topical untuk kandidiasis meliputi:
- Larutan ungu gentian -1% untuk selaput lendir, 1-2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali
selama 3 hari,
- Nistatin: berupa krim, salap, emulsi,
- Amfoterisin B,
- Grup azol antara lain:
Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
Tiokonazol, bufonazol, isokonazol
Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
Antimikotik yang lain yang berspektrum luas.
3. Sistemik
- Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini tidak
diserap oleh usus.
- Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidosis sistemik
- Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500 mg per vaginam dosis tunggal,
sistemik dapat diberikan ketokonazol 2 x 200 mg selama 5 hari atau dengan itrakonazol 2 x
200 mg dosis tunggal atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal.
- Itrakonazol bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginalis dosis untuk orang dewasa 2 x 100
mg sehari selama 3 hari.

c. Prognosis

Prognosis penyakit ini umumnya baik tergantung pada faktor predisposisi. Prognosis tergantung pada
tingkat keparahan infeksi dan status dari sistem kekebalan tubuh pasien. Kasus-kasus kandidiasis ringan yang
disebabkan oleh beberapa faktor risiko reversibel umumnya mudah diobati, dan prognosis yang baik. Setelah
memulai pengobatan untuk oral thrush, gejala umumnya hilang dalam waktu sekitar dua minggu. Dalam
beberapa kasus, kandidiaos akan berlangsung selama berminggu-minggu bahkan dengan perawatan.

Kandidiasis pada bayi dan anak-anak jarang serius atau mengancam jiwa dan sering hilang sendiri
tanpa memerlukan perawatan medis. Jika kandidiasis anak tidak membaik dalam waktu dua minggu,
berkonsultasi dengan dokter anak.

Pasien dengan sistem kekebalan yang lemah beresiko untuk komplikasi berat dan mengancam jiwa.
Pasien-pasien ini dapat menjadi sakit kritis atau meninggal karena infeksi Candida parah. Candida dapat
menyebar ke seluruh tubuh ke organ lain dan dapat menyebabkan disfungsi yang parah. Pengobatan sistemik
rawat inap jangka panjang mungkin diperlukan

Kandidiasis dapat dengan mudah dicegah pada orang dewasa sehat dengan memodifikasi faktor risiko
yang berkontribusi terhadap pertumbuhan jamur Candida yang berlebih. Modifikasi faktor risiko untuk
18
pencegahan kandidiasis adalah sebagai berikut:

Sikat gigi dan gunakan dental floss secara teratur, dan menjaga kebersihan mulut yang tepat.
Kontrol ke dokter gigi secara teratur.
Pastikan gigi palsu bersih, dipelihara, dan pas.
Menjaga diabetes di bawah kontrol.
Berhenti merokok.
Makan yang seimbang, diet sehat rendah gula dan ragi.
Batasi penggunaan antibiotik. Hanya menggunakannya seperti yang ditentukan oleh dokter.

Klorheksidin (Peridex, Hibiclens) obat kumur dapat direkomendasikan mencegah sariawan pada orang yang
mengambil obat immunosuppressant.

PERMASALAHAN # 3
Laki-laki usia 25 tahun mengeluhkan adanya benjolan pada gusi depan atas. Delapan tahun lalu salah satu
gigi depan patah separuh akibat kecelakaan motor, dan oleh dokter gigi di Puskesmas dirawat dan
dikembalikan ke bentuk semula. Lima tahun lalu, muncul benjolan pada gusi diantara gigi depan, mudah
berdarah terutama saat menyikat gigi. Berdasar anamnesa, tidak ada riwayat hospitalisasi maupun alergi.
Pemeriksaan klinis intraoral, tampak lesi eksopitik pedunculated menutupi sebagian gigi 11 dan 21. gigi 21
dengan mahkota jaket, luksaso derajat 2 disertai pustula fluktuatif ukuran 3 mm berwarna kekuningan
setinggi apeks.
Important Point/s: Questions/ Main ideas/ Vocabulary/ Terminology/Key Concepts/Notes/ Answers/
Details/ Explanations/ Examples/ Pictures/ Diagrams/ Definitions/ Steps/ Info from scenario.

Important Point #3

Benjolan gusi terletak di gusi depan atas


Gusi mudah berdarah saat sikat gigi
Lesi eksopitik pedunculated menutupi 11 dan 21 les bertangkai yang menonjol ke arah luar
Pustula fluktuatif (3mm) apeks 21 benjolan berisi pus apabila ditekan terasa ada cairan
Identitas : laki-laki 25 tahun. Lesi muncul 5 tahun lalu.
Mahkota jaket 21 kemungkinan sumber infeksi karena ada mahkota jaket yang inadekuat dan
kemungkinan gigi 21 sudah nekrosis.

19
Contoh lesi pedunculated

Contoh pustule fluktuatif


SOLUSI
Menggunakan langkah metode diagnostic oral
Penyusunan solusi (diagnosis diferensial) mengacu pada permasalahan
Kasus Utama atau Assesment Kasus : Epulis Granulomatosa atau Pyogenic Granuloma of Gingiva

1. Pengumpulan Informasi Diagnostik


Laki-laki berusia 25 tahun
Terdapat benjolan pada gusi depan atas
Delapan tahun lalu gigi 21 patah separuh akibat kecelakaan motor
Oleh dokter gigi puskesmas gigi 21 dibuatkan mahkota jaket
Lima tahun lalu, muncul benjolan pada gusi diantara gigi depan
Tidak terdapat riwat alergi ataupun hospitalisasi
Symptom : Nyeri dan ketidaknyamanan
Sign : Mudah berdarah saat menyikat gigi
Pemeriksaan intraoral : Terdapat Lesi eksopitik pedunculated menutupi sebagian gigi 11 dan
21, gigi dengan mahkota jaket luksasi derajat dua disertai pustula fluktuatif ukuran kurang
lebih 3 mm berwarna kekuningan setinggi apeks gigi.
Pemeriksaan ekstraoral : Tidak ada asimetri wajah

2. Evaluasi Abnormalitas dan Klasifikasi


Unsual finding pada gusi dengan adanya perubahan bentuk dan warna menjadi kekuningan
lokasi dan jaringan yang terlibat: daerah ginginya bagian labial
Lesi primer : Perubahan warna merah (nyeri, meluas, berdarah saat di sikat)

3. Penentuan Ciri Sekunder


Perubahan warna
o Lokasi : gingiva bagian labial
o Jumlah : single
20
o Karakteristik : Lokal, eritematous, warna kekuningan dan setinggi apeks
o Saverity : Nyeri
o Additional :-

4. Daftar Kausa Manifestasi Primer


Berdasarkan skenario 3, etiologi yang mungkin adalah:
Adanya trauma akibat mahkota jaket
Infeksi pada daerah trauma akibat mahkota jaket yang tidak ade kuat

5. Menyusun Etiologi berdasarkan Probabilitas


Etiologi yang paling mungkin adalah:
Trauma yang terus-manenerus menyebabkan peradangan pada daerah gingiva

6. Menetapkan Diagnosis Kerja


Ddx
Epulis Granulomatosa
Parulis
Abses Periapikal
Ddx Epulis Parulis Abses Periapikal
Granulomatosa
Sign Fistula, Benjolan Benjolan, halus,
lunak berdiameter berwarna merah
kurang dari 5 mm,
berwarna
kekuningan dengan
eritem
Prevalence Pada saat gigi Pada waktu gigi
mengalami nekrosis permanen erupsi dan
pulpa maupun foramen apikal
terdapat poket sudah menutup
periodontal yang sempurana
sangat dalam
Site Setinggi apeks gigi Setinggi apeks gigi
Number Single Single
Margin Batas tegas
Characteristic Berisi pus Eritematous
Severity Nyeri Nyeri
Limfadenopati

21
CLINICAL MAPING

Delapan Tahun lalu pasien mengalami trauma pada gigi depannya yang menyebabkan patahnya gigi 21.
Telah dilakukan restorasi pada gigi tersebut agar bentuknya kembali seperti semula. Karena kurang
adekuatnya restorasi tersebut, dapat menyebabkan trauma pada gusi dan menimbulkan benjolan yang
menutupi sebagian gigi 11 dan 21 (Epulis Granulomatosa). Karena tidak adekuatnya restorasi tersebut juga
dapat mengakibatkan masuknya bakteri kedalam gigi (terdapat karies sekunder yang mencapai pulpa) dan
mengiritasi apeks gigi. Adanya infeksi bakteri pada daerah tersebut mengakibatkan adanya pustula fluktuatif
yang berukuran 3mm. Adanya pustula ini menandakan terjadinya kerusakan jaringan periodontal pula karena
akan meresorbsi tulang alveolarnya. Dampaknya adalah terjadi kegoyahan gigi, yang pada kasus ini terdapat
luksasi gigi 21 derajat 2.
Jadi terdapat 2 assesment pada kasus ini:
1. Pada gusi bagian margin Epulis Granulomatosa
2. Pada gusi setinggi apeks Parulis

RENCANA PERAWATAN:
1. Komunikasi, Informasi, Edukasi
2. Pelepasan mahkota jaket
3. Drainase
4. Pembuatan mahkota jaket inti pasak
5. Medikasi dengan antibiotik, analgesik, antiinflamasi, dan ruboransia

MANAJEMEN KASUS :
1. Mengganti mahkota jaket pasien yang tidak adekuat dengan penggantian mahkota jaket dengan inti
pasak yang adekuat. Setelah dipakaikan, pasien diminta untuk selalu menjaga kebersihan rongga
mulut.
2. Perawatan Epulis Granulomatosa
Pengobatan infeksi dengan medikasi, dan di drainase

22
PEMBAHASAN
Argument ilmiah tepat mengurai dan mencari solusi
1. EPULIS GRANULOMATOSA atau PYOGENIC GRANULOMA OF GINGIVA
Granuloma piogenik merupakan respons jaringan yang relatif umum, mirip tumor, rentan terhadap
iritasi atau trauma lokal. Proses peradangan pada epulis adalah reaktif yang penuh dengan saluran vaskular
yang berkembang biak, jaringan ikat fibroblastik yang belum matang, dan sel-sel inflamasi yang tersebar.
(Jafarzadeh, 2006)
Granuloma pirogenik paling sering berkembang pada gingiva bukal atau labial di jaringan
interproksimal antara gigi. Biasanya granuloma pyogenic oral terjadi pada gingiva, bibir, lidah (terutama
permukaan dorsal), dan mukosa bukal. Riwayat trauma sering terjadi pada daerah ekstragingival, sedangkan
sebagian besar lesi gingiva merupakan respons terhadap iritasi (Leyden, 1973). Lesi ini memiliki kode ICD-
X K06.8.
Faktor predisposisi epulis adalah individu dengan kebersihan mulut yang buruk, trauma lokal, dan
iritasi oral kronis (misalnya restorasi yang overhanging) paling sering terpengaruh. Kehamilan memperburuk
kecenderungan untuk mengembangkan granuloma pyogenic. (Leyden, 1973)
Penampakan klinis epulis atau granuloma pyogenic biasanya hadir sebagai massa merah-ke-ungu
halus atau lobulated yang mungkin bersifat pedunculated atau sessile. Saat lesi matang, vaskularitas menurun
dan tampilan klinis lebih kolagen dan pink. Granuloma pirogenik bervariasi dalam ukuran dari beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter dan tidak menimbulkan rasa sakit. Tumor ini lembut untuk palpasi
(Svirsky, 2007). Lesi ini berdarah dengan mudah karena vaskularitas yang ekstrem. Granuloma pirogenik
dapat memiliki pola pertumbuhan yang cepat. Jika dibiarkan saja, sejumlah granuloma piogenik mengalami
pematangan berserat dan menyerupai atau menjadi fibroma (Leyden, 1973). Lesi khas didapatkan pada
gingiva interproksimal dan meningkat dalam ukuran untuk menutupi sebagian gigi yang berdekatan. Gingiva
rahang atas (terutama di daerah anterior) lebih sering terlibat daripada gingiva mandibula. (Kartika, 2006)
Epidemiologi epulis ini memiliki frekuensi yang sama di seluruh dunia. Tidak ada predileksi rasial
yang dilaporkan. Pada wanita jauh lebih rentan dibanding laki-laki karena perubahan hormonal yang terjadi
pada wanita saat pubertas, kehamilan, dan menopause. Granuloma pirogenik telah disebut "tumor kehamilan"
dan terjadi pada 1% wanita hamil. Bila memungkinkan, tunggu sampai setelah melahirkan untuk
menghilangkan lesi pada wanita hamil karena kecenderungan kambuhnya yang lebih besar selama
kehamilan. Dalam sejumlah kasus, saat mastikasi lesi dapat mengalami perdarahan dan nyeri dan
memerlukan intervensi bedah sebelum melahirkan. Beberapa granuloma pyogenic mengalami kemunduran
setelah melahirkan tanpa intervensi bedah. Granuloma pirogenik dapat terjadi pada usia berapapun, tapi
paling sering menyerang orang dewasa muda. (Patrice, 1991)
Pada kasus didapati pasien laki-laki berusia 25 tahun dan pernah mengalami trauma pada gigi
anteriornya akibat kecelakaan motor. Pasien mengeluhkan terdapat benjolan di antara gigi 11 dan 21 dan
mudah berdarah saat menggosok gigi. Akibat trauma yang terjadi, jaringan memberikan respons inflamasi
yang disertai dengan vaskularisasi yang ektrem. Lesi menutupi sebagian gigi 11 dan 21 dan bersifat
pedunculated sehingga dicurigai mengarah kepada epulis granulomatosa.

23
Untuk menegakkan diagnosis epulis, dilakukan pemeriksaan radiograf periapikal gigi dan
didapatkan temuan radiografi negatif apabila lesi positif epulis. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
histologis yang akan menunjukkan jaringan lunak yang terbagi menjadi lesi yang terdiri dari mukosa ulserasi
yang menutupi inti jaringan ikat fibrosa seluler dengan saluran vaskular yang berkembang biak dan infiltrasi
inflamasi. Lesi ini adalah proses reaktif / inflamasi. (Sudiono, dkk, 2001)
Perlakuan yang dapat menjadi pilihan adalah eksisi bedah konservatif. Tujuan perlakuan ini adalah
untuk menghilangkan etiologi serta mengurangi gejala dan tanda klinis. Untuk lesi gingiva, lesi dikeluarkan
ke periosteum dan dilakukan scalling gigi yang berdekatan untuk menghilangkan kalkulus dan plak yang
mungkin menjadi sumber iritasi berlanjut. Rawat jalan setelah proses eksisi adalah pengamatan penyembuhan
bedah dalam 1 minggu setelah pengangkatan. (Svirsky, 2007)
Prognosisnya sangat baik, dan lesi biasanya tidak kambuh kecuali jika tidak diangkat sepenuhnya.
Lesi yang dikeluarkan selama kehamilan mungkin memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Epulis
merupakan proliferasi reaktif / inflamasi jinak yang tidak kambuh setelah operasi pengangkatan. Namun,
iritan potensial seperti plak dan kalkulus harus dibersihkan untuk mencegah kekambuhan. (Svirsky, 2007)

2. PARULIS
Parulis merupakan lesi umum yang berkembang secara eksklusif pada gingiva. Lesi ini merupakan
suatu reaksi lanjutan akibat infeksi pada apeks (Regezi, dkk., 2017). Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi
gingiva terlokalisasi dengan kode ICD-X K04.7.
Parulis dapat terjadi akibat nekrosis gigi dengan pulpa non vital yang menghasilkan debris nekrosis
yang dapat masuk kedalam saluran akar dan menyebar ke jaringan periodontal. Pus akan terlokalisasi pada
jaringan lunak gingiva karena adanya nekrosis pulpa non vital tersebut. Infeksi mencari jalan keluar dan
terlokalisasi pada periapikal gigi non vital. (Regezi, dkk., 2017)
Tampakan klinis parulis dapat berupa benjolan kecil lunak pada gingiva biasanya berdiameter
kurang dari 5 mm, dapat berisi pus, berwarna kekuningan dengan eritema, saat dipalpasi lesi akan mengalami
fluktuasi, jika di tekan pus akan keluar dari tengah lesi (Philipone dan Yoon, 2016). Pembentukan abses pada
tampakan histopatologis dari jaringan ikat longgar terdapat eksudat eosinofilik dan neutrophil, dapat pula
disertai dengan debris jaringan nekrotik yang tersebar. (Regezi, 2017)
Epidemiologi parulis ini memiliki frekuensi yang sama di seluruh dunia. Tidak ada predileksi rasial
yang dilaporkan. Parulis dapat terjadi pada siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun
orang dewasa. (Regezi, 2017)
Pada kasus pasien laki-laki berumur 25 tahun mengeluhkan adanya benjolan pada gusi berwarna
kekuningan dan bersifat fluktuatif diatas gigi 21 yang telah dirawat dengan menggunakan mahkota jaket.
Kemungkinan gigi 21 telah mengalami kegagalan perawatan mahkota jaket sehingga gigi menjadi non vital
akibat mengalami nekrosis pulpa. Karena gigi non vital tersebut, debris nekrosis masuk kedalam saluran akar
dan mencari jalan keluar menuju periapikal dan terlokalisasi didaerah tersebut membentuk pus. Lesi tersebut
dicurigai adalah parulis karena merupakan lesi dengan warna kekuningan dan berisi pus yang terlokalisasi di

24
periapikal.
Untuk menegakkan diagnosis parulis, maka dapat dilakukan radiografi periapikal dengan insersi
gutta percha pasif ke dalam saluran fistula, tes vitalitas pulpa apabila tidak terasa nyeri maka pulpa memang
sudah nekrosis, serta probing jaringan periodontal apabila lesi tersebut bukan berasal dari odontogenik
melainkan berasal dari jaringan periodontal. (Everiole, 2011)
Perlakuan yang dapat dilakukan bertujuan untuk mengeliminasi sumber inflamasi. Perlakuan
tersebut dapat berupa root canal therapy apabila sumber inflamasi berasal dari jaringan pulpa yang nekrotik
ataupun pencabutan (jika diperlukan). Apabila sumber inflamasi berasal dari poket periodontal, maka dapat
dilakukan kuretase atau pembedahan dengan penghilangan kalkulus dan jaringan granulasi. (Everiole, 2011)

PERMASALAHAN # 4
Seorang perempuan 55 tahun mengeluhkan bengkak pada pipi kanan sejak dua minggu lalu yang diikuti nyeri
3 hari kemudian. Ukuran bertambah besar disertai peningkatan nyeri saat makan. Kondisi yang sama pernah
dikeluhkan saat masih kuliah, dan muncul lagi lima tahun yang lalu. Klinis ekstraoral tampak asimetri wajah
dan limfadenopati. Pada region submandibular kanan, taampak pembengkakan oval eritematus dengan batas
tepi jelas. Pada palpasi fluktuan, konsistensi kenyal, dan nyeri tekan. Klinis intraoral, 46 fraktur mahkoa
tertutup karang gigi dan pada dasar mulut sebelah kanan tampak pembengkakan difus, eritematus serta orifis
ductus whartonius meradang.
Important Point/s: Questions/ Main ideas/ Vocabulary/ Terminology/Key Concepts/Notes/ Answers/
Details/ Explanations/ Examples/ Pictures/ Diagrams/ Definitions/ Steps/ Info from scenario.

Terminologi :
- Limfadenopati: Tanda dari infeksi berat dan terlokalisasi. Limfadenopati terjadi apabila materi
terinfeksi dialirkan dan terperangkap di dalam jaringan folikular nodus. (Tambayong, 1999)
- Eritematus: Ditandai oleh kemerahan jaringan karena tersumbatnya kapiler pada region tersebut
(Langlais, 2009)
- Duktus Whartonius: Saluran kelenjar submandibular)is yang terletak di dasar mulut di bawah lidah
pada papilla di puncak lipatan membrane mukosa (Sumawinata, 2004)

Info dari skenario pasien :


- Wanita, 55 tahun
- Pasien mengeluhkan bengkak pada pipi kanan sejak 2 minggu yang lalau, nyeri 3 hari yang lalu
- Pernah terjadi sebelumnya (rekuren)
- Pemeriksaan ekstraoral
Asimetri wajah
Limfadenopati
Pada region submandibular kanan, taampak pembengkakan oval eritematus dengan batas tepi
jelas. Pada palpasi fluktuan, konsistensi kenyal, dan nyeri tekan
- Pemeriksaan intraoral :

25
46 fraktur mahkoa tertutup karang gigi
Dasar mulut sebelah kanan tampak pembengkakan difus, eritematus serta orifis ductus
whartonius meradang.
SOLUSI
Menggunakan langkah metode diagnostic oral
Penyusunan solusi (diagnosis diferensial) mengacu pada permasalahan
KASUS UTAMA atau ASESMEN KASUS : Bacterial Sialadenitis
1.Pengumpulan informasi diagnostik
Wanita 55 tahun
Bengkak pada pipi kanan sejak 2 minggu yang lalu, 3 hari kemudian terasa nyeri
Sudah pernah terjadi ketika kuliah dan 5 tahun yang lalu
Symptom : nyeri, nyeri saat makan
Sign : Bengkak region submandibular kanan, dengan orifis ductus whartonius meradang
Pemeriksaan ekstraoral : Asimetri wajah, Limfadenopati, Pada region submandibular kanan, tampak
pembengkakan oval eritematus dengan batas tepi jelas, palpasi fluktuan, konsistensi kenyal, dan nyeri
tekan
Pemeriksaan intraoral : 46 fraktur mahkoa tertutup karang gigi, dasar mulut sebelah kanan tampak
pembengkakan difus, eritematus serta orifis ductus whartonius meradang.

2.Evaluasi abnormalitas dan klasifikasi


Unusual finding di rongga mulut: pembengkakan dasar mulut, ductus whartonius meradang.
Lokasi dan jaringan yang terlibat: dasar mulut, region submandibular kanan
Lesi primer: bengkak difus

3.Penentuan ciri sekunder

Perubahan bentuk site: region submandibular kanan


Jumlah: unilateral
Karakteristik: oval eritematus batas tepi jelas, fluktuan, konsistensi kenyal

Severity: sakit (nyeri)


Additional: limfadenopati +

4.Daftar causa manifestasi primer


Berdasarkan skenario kasus pasien 4, etiologi yang mungkin adalah:
a. Infeksi bakteri yang berasal dari kalkulus pada gigi 46
b. Autoimun karena kejadian yang berulang atau rekuren
Epidemiologi yang mendukung:
Usia lanjut, mengingat usia pasien adalah 55 tahun.
26
5.Menyusun etiologi berdasar probabilitas
etiologi yang paling mungkin adalah:
c. Infeksi bakteri : Bacterial Sialadenitis, Selulitis
d. Penyakit Autoimun: Sjogren Syndrome

6.Menetapkan diagnosis kerja.


Ddx:
Bacterial Sialadenitis
Selulitis
Sjogren Syndrome
Perbedaan tiap lesi

Ddx Sialadenitis Selulitis Sjogren Syndrome

Sign Pembengkakan pada


daerah kelenjar
saliva mayor yang
disertai dengan rasa
Pembesaran pada
nyeri. Bisa Pembengkakan
kelenjar parotis dan
didapatkan adanya berbatas tegas pada
submandibular, dan
saliva yang purulen pemeriksaan ekstra
lacrimal,
pada orifis duktus oral didekat sumber
linfadenopati,
saliva, yang mudah infeksi
purpura
didapatkan dengan
sedikit pemijatan di
sekitar kelenjar.
Dapat berulang

Prevalence mengenai sekitar 1-


2% populasi, lebih Berkisar 2,6 %
banyak pada wanita populasi dengan Wanita usia 40-60
dengan umur rata- umur diatas 50 tahun
rata 55 tahun tahun
Dapat berulang

Site Pembengkakan Daerah ekstra


ekstra oral pada oral dekat
regio parotid atau dengan Wajah, mata
regio glandula saliva sumber
yang mengalami infeksi

27
obturasi duktus Regio Masseter

Number unilateral Multiple

Margin irregular Berbatas tegas Ireguler

Characteristic Karakteristiknya Disertai kondisi


adalah terdapat inflamasi mirip
obsturasi duktus dengan reaksi alergi Inflmasi dari
kelenjar saliva yang dan infeksi gigi- glandula salivarius
menyebabkan spatium dan lakrimal
penumpukan bakteri Abses berada di
penyebab infeksi daerah subkutan.

Severity Gatal pada mata,


mata sensitive, sulit
menelan, berbicara,
karies gigi

Limfadenopati ada ada

Berdasarkan kasus, diagnosis paling mungkin pada pasien adalah sialadenitis.

Diagnosis Banding :
Pembesaran Limfonodi, Selulitis, Limfoma, Tuberculosis, Sarcoidosis, Sjogren Syndrome (Laskaris, 2006)

TEMUAN LESI LAIN :


Tidak ditemukan adanya lesi lain

RENCANA PERAWATAN:
1. Komunikasi, Informasi, Edukasi
2. Perawatan Bacterial Sialadenitis
- Pemberian antibiotic
3. Upaya peningkatan aliran saliva

MANAJEMEN KASUS :
1. Komunikasikan mengenai penyakit yang diderita pasien
2. Perawatan Bacterial Sialadenitis :
Beri antibiotic, nafcilin secara intravena < 1 gram, setiap 4-6 jam
3. Meningkatkan aliran saliva dengan hidrasi, atau dengan sialologue, pilokarpin 5mg, 1 tablet 3
kali sehari.

28
PEMBAHASAN
Argument ilmiah tepat mengurai dan mencari solusi
Sialadenitis adalah peradangan kelenjar saliva. Sering disebabkan oleh penyumbatan dan infeksi
bakter (sialadenitis bacterial) yang muncul ketika aliran saliva menurun akibat dehidrasi atau penyakit.
Keadaan ini memungkinkan pathogen (Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus
pneumonia) berjalan ke system duktus dan melakukan replikasi (Langlais, 2013).

Terdapat beberapa etiologi yang dapat menyebabkan sialadenitis menurut Witt (2011) yaitu, (1)
dehidrasi, dan malnutrisi serta sejumlah terapi obat (misalnya: diuretik, antihistamin, antidepresan, dan
antihipertensi) dapat mengakibatkan penurunan fungsi dari kelenjar liur sehingga dapat menurunkan produksi
saliva. (2) Obstruksi mekanik karena sialolithiasis atau abnormalitas duktus kelenjar liur dapat mengurangi
produksi saliva. Keadaan ini dapat menyebabkan seseorang menderita sialadenitis yang disebabkan oleh
bakteri. Bakteri aerobik khas yang sering menginfeksi pada sialadenitis adalah Staphylococcus aureus dan
Haemophilus influenzae. Basil Gram-negatif termasuk Prevotella berpigmen, Porphyromonas, dan
Fusobacterium juga dapat menjadi penyebab pada sialadenitis. (3) Prosedur tindakan pembedahan pada
pasien merupakan salah satu faktor predisposisi yang paling umum yang dapat menyebabkan sialadenitis akut
di rumah sakit. Anestesi umum dapat mengakibatkan pertumbuhan yang berlebihan dari flora mulut.

Sialadenitis diklasifikasikan menjadi sialadenitis akut dan sialadenitis kronis. Sialadenitis akut
disebabkan karena adanya stasis saliva, akibat adanya obstruksi atau berkurangnya produksi saliva. Faktor
predisposisi lain terjadinya penyakit ini adalah striktur duktus atau kalkuli. Berkurangnya produksi kelenjar
saliva bisa disebabkan karena konsumsi beberapa obat. Secara klinis, pada sialadenitis akut akan terlihat
adanya pembengkakan atau pembesaran kelenjar dan salurannya dengan disertai nyeri tekan dan rasa tidak
nyaman serta sering juga diikuti dengan demam dan lesu. Sialadenitis kronis lebih sering terjadi pada orang
dewasa (hanya 10% dari pasien adalah anak-anak). Keadaan ini merupakan episode berulang sialadenitis akut
yang berjalan dalam waktu yang lama dengan tipe unilateral pada kelenjar liur mayor dan bersifat episodik.
Sialadenitis kronis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, penyakit autoimun, atau obstruksi dari duktus
kelenjar liur oleh batu liur atau karena penyakit lain. Hal ini juga bisa disebabkan oleh infeksi pada periode
akut tidak diobati secara tuntas dan bisa juga karena kelainan bawaan dari duktus kelenjar liur. (Gordon,
1996).
Tampakan klinis dari sialadenitis meliputi nyeri pada wajah, wajah bengkak, rasa sakit yang berasal
dari seluruh sudut rahang, kemerahan pada leher atas dan sisi samping wajah, kesulitan membuka mulut,
penurunan rasa saat makan, mulut kering.
Pasien adalah seorang perempuan berumur 55 tahun mengeluhkan bengkak pada pipi kanan sejak dua
minggu lalu yang diikuti nyeri 3 hari kemudian. Ukuran bertambah besar disertai peningkatan nyeri saat
makan. Pada kasus ini mengindikasikan bahwa pasien menderita sialadenitis karena terasa nyeri dan terdapat
pembengkakan.
Patofisisogis sialadenitis meliputi, tahap awal sialadenitis ditandai dengan akumulasi bakteri/virus,
29
neutrofil, dan cairan inspissated dalam lumen struktur duktal. Kerusakan epitel duktal menimbulkan
sialodochitis (peradangan periductal), akumulasi neutrofil dalam stroma kelenjar, dan selanjutnya nekrosis
asinus dan pembentukan mikro abses. Tahap kronis dimulai saat terjadi episode berulang dan ditandai oleh
kerusakan lebih lanjut asinus liur dan pembentukan folikel getah bening periductal.

Penentuan diagnosis sialadenitis dapat dilakukan dengan melihat riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan radiografi menggunakan radiografi panoramik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan dengan
biopsy menggunakan fine needle yang akan dikonfirmasi dengan CT-Scan. (Webb, 2015)
Manajemen kasus sialadenitis adalah bertujuan menghilangkan etiologi dan mengurangi gejala dan
tanda klinis. Medikasi dapat dilakukan dengan pemberian antibiotic intravena seperti nafcilin < 1g IV setiap
4-6 jam dan langkah-langkah meningkatkan aliran salivanya, yaitu dengan hidrasi, kompres hangat,
sialagogue, dan pijat kelenjar.

KESIMPULAN

Berdasarkan penyusunan solusi permasalahan pada pasien dengan menggunakan metode diagnostik oral,
didapatkan kesimpulan diagnosis :
1. Pasien 1
Umur 13 tahun
Pasien mengalami Primary Herpetic Gingivostomatitis yang disebabkan oleh infeksi virus HSV tipe
1. Perawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit ini hanya dengan cara meredakan
gejala, perawatan supportive, pemberian obat antivirus, multivitamin, serta antiseptic obat kumur.
2. Pasien 2
Pasien mengalami oral kandidiasis yang disebabkan oleh pasien malnutrisi, hyperkeratosis,
ketidakseimbangan mikroflora, serta pengaruh kualitas dan kuantitias dari saliva.
3. Pasien 3
Umur 25 tahun
Pasien mengalami epulis granulomatosa pada gingiva margin serta parulis pada gingiva setingga
apeks yang disebabkan oleh trauma terus-menerus sehingga menyebabkan peradangan pada gingiva.
Perawatan yang dapat dilakukan adalah mengganti mahkota jaket, serta pengobatan infeksi dengan
pemberian antibiotic, antiinflamasi, analgesik, serta roburansia.
4. Pasien 4
Umur 55 tahun
Pasien mengalami sialadenitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri akibat kalkulus serta keadaan
autoimun yang menyebabkan rekuren. Perawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit ini
adalah dengan pemberian antibiotic serta meningkatkan aliran saliva dengan hidrasi atau

30
menggunakan beberapa obat.

DAFTAR PUSTAKA
Akpan A,Morgan R, 2002, Oral Candidiasis, Postgrad Med ,78:455
Bathla, S., 2017, Textbook of Periodontics, Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd, India.
Burket, L W., Greenberg, M S., Glick, M.,Ship, J A., 2008, Burket's Oral Medicine, BC Decker, UK.
Chrismawaty E., 2006, Peran Struktur Mukosa Rongga Mulut Dalam Mekanisme Blockade Fisik Terhadap
Iritan, MIKGI, V:244.
DeLong, L., dan Burkhart, N. W, 2008, General and Oral Pathology for the Dental Hygienist, Wolters
Kluwer, Philadelphia.
Everiole, L.R., 2011, Clincal Outline of Oral Pathology: Diagnosis & Treatment, 4thEd., PMPH-USA,
Connecticut.
Greenberg, M. I., 2005, Greenberg's Text-Atlas of Emergency Medicine, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.
Hakim, L., dan Ramadhian, R., 2015, Kandidiasis Oral, Jurnal Majority, Vol. 4(9): 53-57.
Jafarzadeh, H., Sanatkhani, M., Mohtasham, N., 2006, Oral Pyogenic Granuloma: A Review, Journal of
Oral Science, 48(4):167-175.
Jaya, P., dan Harijanti, K., 2009, Gingivostomatitis Herpetika Primer (Laporan Kasus), Oral Medicine
Dental Journal, 1(2): 6-9.
Kartika, F., 2006, Granuloma Pyogenikum Pada Rongga Mulut Anak Usia 11 Tahun, Majalah Kedokteran
Gigi, 13(2):178-181.
Langlais, R.P., dkk., 2009, Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang Sering Ditemukan, EGC, Jakarta.
Leyden, J.J., Master, G.H., 1973, Oral Cavity Pyogenic Granuloma, Arch Dermatol, 108(2):226-228.
Marlina, E., dan Soenartyo, H., 2012, Primary Herpetic Gingivostomatitis Pada Individu Dewasa Muda,
Dentofasial, 11(2):111-114.
Patrice, S.J., Wiss, K., Mulliken, J.B., 1991, Pyogenic Granuloma (Lobular Capillary Hemangioma): A
Clinicopathologic Study of 178 Cases, Pediatric Dermatology, 8(4):267-276.
Pedersen, Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
Philipone, E., Yoon, A.J., 2016, Oral Pathology in The Pediatric Patient, Springer, Switzerland.
R John, P., John, P., 2014, Textbook of Oral Medicine, Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd, India.
Regezi, J.A., Sciubba, J.J., Jordan, R.C.K., 2017, Oral Pathology : Clinical Pathologic Correlations, 7thEd.,
Elsevier, Missouri.
Scully, C., dan Cawson, R. A., 1995, Atlas Bantu Kedokteran Gigi: Peyakit Mulut, Hipokrates, Jakarta.
Siar CH, Ng KH, Rasool S, Ram S, Jalil AA, Ng KP., 2003, Oral Candidosis in Non Hodgkins Lymphoma:
A Case Report, J Oral Sci ,45(3): 161-4
Sudiono, J., dkk., 2001, Penuntun Praktikum Patologi Anatomi, EGC, Jakarta.
Sumawinata, N., 2004, Senarai Istilah Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.
Svirsky, J., 2007, Oral Pyogenic Granuloma, (10 Pages), web med Accessed Apr 23, 2017,
[http://emedicine.medscape.com/article/1077040-overview]
Tambayong, J., 1999, Patofisiologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.
Wallace, D.J., 2005, The New Sjogren Syndrome Handbook, Oxford University Press, Oxford.
Witt, Robert L. 2011. Salivary Gland Diseases: Surgical and Medical Management. New York : Thieme
Medical Publishers Inc.
Webb, David E, 2015, Atlas of the Oral and Maxillofacial Surgery Clinics of north America, Volume 23 Number 1,
Philadephia: Elsevier Inc

31

Anda mungkin juga menyukai