Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN AKHIR

PENGABDIAN MASYARAKAT

PEMERIKSAAN DAN PENDATAAN MALOKLUSI DI SD INPRES


KARUWISI 2
OLEH

Ketua : drg. Baharuddin M. Ranggang, Sp. Ort


Anggota : Selistiani, S.KG
Risnanda Thamrin, S.KG

DEPARTEMEN ORTODONTI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul : Pemeriksaan dan pendataan Maloklusi di SD
Inpres Karuwisi 2
2. Nama Mitra Program : Dinas Pendidikan Kota Makassar
3. Tim
a. Ketua : drg. Baharuddin M Ranggang, Sp. Ort
b. NIP :19691231 200501 1 014
c. Pangkat/Golongan : Penata muda Tk.I/ III b
d. Program Studi : Kedokteran gigi
e. Bidang keahlian : Ortodonsia
f. Alamat institusi : Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea
g. Telepon/E-mail : 08124218606/baharfkguh@gmail.com
4. Anggota Tim : Selistiani, S.KG
Risnanda Thamrin, S.KG
5. Lokasi Kegiatan/Mitra
a. Wilayah Mitra : Sekolah Dasar
b. Kabupaten/ kota/provinsi : Makassar/ Sulawesi Selatan
6. Luaran yang dihasilakan : Peningkatan pengetahuan kesehatan gigi di
bidang maloklusi
7. Jangka waktu pelaksanaan : 1 minggu
Makassar, 26 November 2017
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Kepala Departemen Ortodonsi
Universitas Hasanuddin

Dr. drg. Bahruddin Thalib M.Kes, Sp. Pros Dr. drg. Eka Erwansyah, M.kes, Sp. Ort
NIP. 19640814 199103 1 002 NIP. 19701228 200012 1 001

Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)
Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Ir. Laode Asrul, MP


NIP. 19630307198812 1 001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 1

1.3 Manfaat Kegiatan.................................................................................... 3

1.4 Tujuan Kegiatan...................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5

2.1 Maloklusi ................................................................................................. 5

2.1.1 Gambaran umum Maloklusi ........................................................... 5

2.1.2 Penyebab Maloklusi Maloklusi ...................................................... 13

2.2 Perawatan Ortodontik ............................................................................. 17

2.3 Edukasi Kesehatan Gigi .......................................................................... 18

BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN ............................................................. 20

3.1 Bentuk Kegiatan ..................................................................................... 20

3.2 Lokasi Pelaksanaan Kegiatan ................................................................. 20

3.3 Waktu dan Jumlah Siswa ........................................................................ 20

3.4 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan .............................................................. 21

BAB IV EVALUASI PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN ....................... 22

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 26

iii
5.1 Simpulan ................................................................................................. 26

5.2 Saran ....................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 27

LAMPIRAN ........................................................................................................... 29

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan manusia, gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan sepanjang

hidup. Gigi berperan pada proses pengunyahan, berbicara dan penampilan. Berbagai

penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat memengaruhi berbagai fungsi rongga

mulut. Salah satunya adalah kelainan susunan gigi atau disebut maloklusi. Maloklusi

adalah suatu bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk standar yang diterima

sebagai bentuk normal. Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi dalam lengkung

teratur baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dan gigi bawah.

Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat

menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, dan keserasian


2
wajah, yang berakibat pada ganguan fisik maupun mental.

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013,
3
sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi

maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan

merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar, hal ini

ditambah dengan tingkat kesadaran perawatan gigi yang masih rendah dan kebiasaan

buruk seperti mengisap ibu jari atau benda-benda lain, karena jumlah dan keparahan

maloklusi akan terus meningkat maka maloklusi seharusnya dicegah ataupun

ditangani.

1
Penelitian di spesialisasi Ortodonti FKG-UI (1999) di Jakarta yang melaporkan dari

270 sampel pada anak usia 12-14 tahun diperoleh gigi berjejal (crowded) sebesar

44,9%, gigi renggang (diastema) 16,7%, gigi mendongos (protrusi) 6,3%, tumpang

gigit dalam (deep bite) 6,3%, gigitan silang (scissor bite) 12,3%, dan gigitan terbuka

(open bite) 13,2%. Survei dari Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat

(1960) melaporkan dari 8.000 sampel, 40% anak-anak yang berumur 6-11 tahun dan

85% remaja yang berumur 12-17 tahun mempunyai masalah gigi berjejal. 23,4%.5

Selain itu, Al-Balkhi dan Al-Zahrani (1994) melaporkan dari 614 pasien Saudi Arabia

ditemukan kasus gigi berjejal sebesar 49,5% pada regio anterior Al-Emran dkk (1990)

melaporkan penelitian pada anak sekolah laki-laki di Saudi Arabia yang berumur

sekitar 13-14 tahun mempunyai masalah gigi berjejal anterior sebesar 42,8%, pada

rahang atas sebesar 19,4% dan rahang bawah sebesar 23,4%.5 Selain itu, Al-Balkhi

dan Al-Zahrani (1994) melaporkan dari 614 pasien Saudi Arabia ditemukan kasus gigi

berjejal sebesar 49,5% pada regio anterior.

Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidak sesuaian dari hubungan gigi

atau hubungan rahang yang menyimpang dari normal. Derajat keparahan maloklusi

berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan variasibiologi individu.

Maloklusi dapat terjadi dalam arah sagital, transversal, vertical, dapat diidentifikasi

berdasarkan hubungan rahang yaitu hubungan rahang bawah terhadap rahang atas.

Maloklusi dapat menyebabkan tampilanwajah yang buruk, resiko karies dan penyakit

periodontal, sampai gangguan pada sendi temporo mandibula bila tidak

dikoreksi.Terjadinya maloklusi sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan yang diwarisi

2
dari orang tua dan faktor lingkungan seperti kebiasaan buruk. Biasanya kedua faktor

tersebut bermanifestasi sebagai ketidakseimbangan tumbuh kembang struktur

dentofasial sehingga terjadi maloklusi.

Pengaruh faktor tersebut dapat langsung atau tidak langsung menyebabkan

maloklusi. Faktor keturunanmemiliki pengaruh utama terhadap maloklusimisalnya

ukuran, bentuk dan jumlah gigi yangtumbuh tidak sesuai dengan lengkung

rahangsehingga menyebabkan gigi berjejal.Anak masih mempunyai keterbatasan

secara fisikdan psikis, sesuai dengan pertumbuhan danperkembangan yang sedang

berlangsung. Tidakjarang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan,memiliki

masalah dengan gigi geliginya.Gigi berjejaldan maloklusi banyak terjadi pada usia 10-

12 tahun.Pada usia tersebut merupakan fase kedua dari periodegigi bercampur.

Kebanyakan anak juga memiliki kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari,

bernafaslewat mulut dan lain sebagainya.Pada periode initerjadi perubahan dimensi

dari gigi sulung menjadigigi tetap yang banyak menimbulkan masalah.Oklusi

terkadang menjadi tidak sesuai sehinggadapat terjadi keadaan gigi berjejal, gigitan

silang,gigitan terbuka, gigitan dalam, dan hilangnya gigipermanen karena

karies.Maloklusi yang sudah tampak pada periode gigibercampur bila tidak dilakukan

perawatan sejak diniakan berakibat semakin parah pada periode gigitetapnya. Sebagai

upaya untuk mencegah hal tersebut diperlukan perawatan ortodonti, berupapencegahan

atau penanggulangan sejak dini padaanak.Menurut penelitian Kazem dan Andrew

diInggris, anak pada usia 9-11 tahun adalah usia tepatuntuk dilakukan perawatan

interseptif. Usia 9 sampai11 merupakan waktu gigi kaninus dan premolarkedua erupsi,

3
yang dilaporkan banyak menyebabkan masalah pada ketidakteraturan gigi geligi

yangakhirnya akan menyebabkan maloklusi.

1.2 Rumusan masalah

a. Bagaimana menentukan pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk

menentukan maloklusi?

b. Bagaimana prevalensi maloklusi anak di SD Inpres Karuwisi 2?

c. Bagaimana perbedaan prevalensi maloklusi terhadap jenis kelamin pada siswa di

SD Inpres Karuwisi 2?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk menentukan

maloklusi.

b. Mengetahui prevalensi maloklusi anak SD Inpres Karuwisi 2.

c. Mengetahui perbedaan prevalensi maloklusi terhadap jenis kelamin pada siswa di

SD Inpres Karuwisi 2.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Maloklusi

Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal, hal ini dapat

terjadi karena ketidaksesuaian antara lengkung gigi dan lengkung rahang. Keadaan ini

terjadi baik pada rahang atas maupun rahang bawah. Gambaran klinisnya berupa

crowding, protrusi, crossbite baik anterior maupun posterior.2

Maloklusi, khususnya kelainan dentofasial, merupakan salah satu penyakit yang

perlu ditanggulangi dengan kesungguhan.3 Selain itu, luasnya pengaruh maloklusi

terhadap kesehatan juga akan menimbulkan gangguan terhadap keserasian dan estetika

muka.4 Maloklusi tidak dapat diberantas, jadi akan senantiasa ada, karena penyebab

kelainan tersebut tidak hanya karena faktor lingkungan, tetapi juga faktor keturunan

yang tidak dapat dihindari. Namun demikian maloklusi dapat dicegah agar tidak

bertambah parah.5

Lama perawatan pada satu maloklusi tidaklah sama dengan lama perawatan pada

maloklusi jenis yang lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhi lama perawatan

ortodontik, diantaranya: usia pasien, tipe maloklusi, ada atau tidaknya ekstraksi,

penggunaan perangkat yang digunakan cekat atau lepasan, keparahan maloklusi awal,

kooperatif pasien, dll. Beberapa hal tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

lama perawatan ortodontik.1

Menurut Moyers yang dikutip oleh Suminy, maloklusi dapat disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya : 11

5
1. Faktor keturunan, seperti sistem neuromuskuler, tulang, gigi dan bagian lain di

luar otot dan saraf.

2. Gangguan pertumbuhan.

3. Trauma, yaitu trauma sebelum lahir dan trauma saat dilahirkan serta trauma

setelah dilahirkan.

4. Keadaan fisik, seperti prematur ekstraksi.

5. Kebiasaan buruk seperti menghisap jari yang dapat menyebabkan insisivus rahang

atas lebih ke labial sedangkan insisivus rahang bawah ke lingual, menjulurkan

lidah, menggigit kuku, menghisap dan menggigit bibir.

6. Penyakit yang terdiri dari penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit lokal

(gangguan saluran pernapasan, penyakit gusi, jaringan penyangga gigi, tumor, dan

gigi berlubang).

7. Malnutrisi.

2.1.1 Gambaran umum Maloklusi

Untuk mengenali sebuah maloklusi, seorang dokter gigi harus mengetahui oklusi

ideal dan oklusi normal. Ada enam kunci oklusi normal pada gigi dewasa menurut

Andrew yang dikutip oleh Bishara, yaitu:

1) Hubungan molar: Cusp mesiobukal dari gigi molar pertama rahang atas beroklusi

dengan groove antara cusp mesiobukal dengan bagian tengah bukal dari molar

pertama rahang bawah. Cusp distobukal dari molar pertama rahang atas berkontak

dengan cusp mesiobukal dari molar kedua rahang bawah.

2) Angulasi mahkota: Seluruh mahkota gigi berangulasi ke arah mesial.

6
3) Inklinasi mahkota: Inklinasi mengarah pada inklinasi labiolingual atau bukolingual

dari mahkota gigi.

a. Gigi insisivus berinklinasi ke arah labial atau bukal.

b. Gigi posterior rahang atas berinklinasi ke arah lingual, inklinasi caninus hingga

premolar hamper sama. Mahkota molar rahang atas berinklinasi sedikit lebih ke

dalam dibandingkan caninus dan premolar.

c. Gigi posterior rahang bawah berinklinasi ke arah lingual.

4) Rotasi: adanya rotasi.

5) Jarak: Tidak ada jarak antar gigi

6) Adanya curve of spee yang datar terhadap dataran oklusal

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional pada tahun

2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi

maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan

salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar. Penelitian yang

dilakukan oleh Rosani pada pasien di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin (RSGM Unhas) menunjukkan 40% yang

mengalami maloklusi. Karena jumlah dan keparahan maloklusi akan terus meningkat,

maka maloklusi seharusnya dicegah ataupun ditangani.

Klasifikasi Maloklusi

7
Klasifikasi maloklusi adalah deskripsi penyimpangan dentofasial menurut karakteristik

umum atau normal. Bergantung pada bagian mana dari unit mulut dan rahang yang

bersalah, maloklusi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga jenis:

a. Malposisi gigi individual

b. Hubungan yang tidak harmonis dari lengkung gigi atau segmen dentoalveolar.

c. Hubungan yang tidak harmonis pada skeletal

Ketiga jenis maloklusi ini dapat muncul secara individual pada pasien atau dalam

kombinasi yang melibatkan satu sama lain, tergantung pada di mana kesalahan terletak

pada lengkung gigi individu atau segmen dentoalveolar atau struktur rangka yang

mendasari.

Klasifikasi maloklusi Angle didasarkan pada hubungan anteroposterior dari gigi pada

tahun 1898. Dia menggunakan numerik Roman I, II, III untuk menentukan kelas utama,

sedangkan numerik Arab 1, 2 untuk menjelaskan divisi dari tiap klasifikasi. Deviasi

unilateral disebut sebagai subdivisi.

A. Klasifikasi Angle adalah sebagai berikut:

1. Maloklusi Angle Kelas I

Gambar 1. Maloklusi Kelas I Klasifikasi Angle


Sumber: Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 146

8
2. Maloklusi Angle Kelas II

a. Maloklusi Angle Kelas II divisi 1

Gambar 2. Maloklusi Kelas II Divisi 1 Klasifikasi Angle


Sumber: Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 146
b. Maloklusi Angle Kelas II divisi 2

Seperti dengan ciri khas hubungan molar kelas II, insisivus rahang atas hampir

mendekati normal secara anteroposterior atau sedikit linguoversi sedangkan insisivus

lateralis mengarah ke labial atau mesial.

Gambar 3. Maloklusi Kelas II Divisi 2 Klasifikasi Angle


Sumber: Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 146

9
Angle kelas II diklasifikasikan sebagai berikut, berdasarkan subdivisi, yaitu maloklusi

Angle Kelas II subdivisi. Jika hubungan molar kelas II hanya muncul pada satu

lengkung gigi, maloklusi disebagai subdivisi dari divisinya.

Gambar 4. Maloklusi Kelas II Subdivisi Klasifikasi Angle


Sumber: Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 146

3. Maloklusi Angle Kelas III

Lengkung gigi rahang bawah dalam hubungan mesial dengan lengkung rahang atas

dengan puncak cusp mesiobuccal molar pertama beroklusi dalam ruang interdental

antara aspek distal dari puncak cusp distal pertama molar rahang bawah dan aspek

mesial puncak cusp mesial molar kedua rahang bawah.

a. True maloklusi kelas III

b. Pseudo maloklusi kelas III

Jenis maloklusi ini bukan jenis maloklusi kelas III yang sesungguhnya melainkan

hanya mirip dengan kelas III. Pada jenis ini, rahang bawah bergeser ke anterior di fossa

glenoid karena kontak premature dari gigi atau penyebab lain saat rahang berada pada

oklusi sentrik. Angle kelas III diklasifikasikan berdasarkan subdivisi, yaitu maloklusi

Angle kelas III subdivisi.

10
Gambar 5. Maloklusi Kelas III Klasifikasi Angle
Sumber: Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 147

Ada beberapa klasifikasi maloklusi lainnya yang dijelaskan menurut Dewey dan

Bennette. Klasifikasi Dewey merupakan modifikasi dari klasifikasi maloklusi menurut

Angle. Dewey memodifikasi klasifikasi Angle kelas I dan kelas III pada tahun 1915

dengan cara memisahkan malposisi segmen anterior dan posterior. Klasifikasi

maloklusi menurut Bennette didasarkan pada etiologi dari maloklusi.

B. Modifikasi Dewey

1. Modifikasi Dewey kelas I Angle:

1) Tipe 1: Angle kelas I dengan crowded pada gigi anterior rahang atas.

Gambar 6 A-C. Klasifikasi Dewey kelas I tipe 1 – crowded pada segmen anterior

11
Sumber: Phulari BS. Orthodontics principles and practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 105

2) Tipe 2: Angle kelas I dengan gigi insisivus rahang atas mengalami labioversi

(proclined).

Gambar 7 A-C. Klasifikasi Dewey kelas I tipe 2 – proklinasi gigi anterior


Sumber: Phulari BS. Orthodontics principles and practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 105

3) Tipe 3: Angle kelas I dengan gigi insisivus rahang atas mengalami linguoversi dari

gigi insisivus rahang bawah (gigitan silang anterior).

Gambar 8 A-C. Klasifikasi Dewey kelas I tipe 3 – gigitan silang anterior


Sumber: Phulari BS. Orthodontics principles and practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 105

4) Tipe 4: Molar dan/atau premolar mengalami bucco atau linguoversi, tapi gigi

insisivus dan kaninus berada pada garis normal (gigitan silang posterior).

12
Gambar 9 A-C. Klasifikasi Dewey kelas I tipe 4 – gigitan silang posterior
Sumber: Phulari BS. Orthodontics principles and practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 105
5) Tipe 5: Molar mengalami mesioversi karena kehilangan secara dini dari gigi yang

berada di sebelah mesialnya (tanggal dini pada gigi molar decidui atau premolar kedua)

Gambar 10. Klasifikasi Dewey kelas I tipe 5 – mesial drifting dari gigi molar
Sumber: Phulari BS. Orthodontics principles and practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2011, p. 106

2. Modifikasi Dewey kelas III Angle

i. Tipe 1: lengkung individu bila dilihat secara individual berada dalam keselarasan

yang normal, namun pada saat beroklusi, gigi anterior berada pada posisi edge to

edge.

ii. Tipe 2: Gigi insisivus rahang bawah mengalami crowded dan linguan dari insisivus

maksila.

iii. Tipe 3: Lengkung rahang atas kurang maju, terjadi gigitan silang dengan insisivus

rahang atas berjejal dan lengkung rahang bawah normal.

13
C. Klasifikasi Bennette

Klasifikasi maloklusi menurut Bennette, yaitu:

1. Kelas I: Lokasi abnormal dari satu atau lebih gigi yang disebabkan karena faktor

lokal.

2. Kelas II: Formasi abnormal dari sebagian atau seluruh baik lengkung rahang yang

disebabkan oleh kecacatan pada pertumbuhan tulang.

3. Kelas III: Hubungan abnormal antara lengkung rahang atas dan lengkung rahang

bawah dan/atau antara kedua lengkung dan kontur fasial, disebabkan oleh

kecacatan pada pertumbuhan tulang.

2.1.2 Penyebab Maloklusi Maloklusi

Perawatan ortodontik berkaitan dengan berbagai macam kelainan oklusi. Etiologi

maloklusi adalah studi tentang penyebab maloklusi. Maloklusi dapat terjadi karena

beberapa faktor. Pada umumnya maloklusi disebabkan oleh faktor genetik dan / atau faktor

lingkungan.Kesulitan untuk membedakan kedua faktor sangat jelas, karena melakukan

eksperimen pada manusia tidak mungkin dilakukan. Beberapa ortodontis meyakini bahwa

faktor genetik adalah yang paling utama sehinggat melakukan tindakan preventif tidak

mungkin dilakukan.

1. Keturunan atau genetik

Keturunan atau genetik telah lama dikemukakan sebagai penyebab maloklusi. Faktor

keturunan atau genetik adalah sifat genetik yang diturunkan dari orang tuanya atau

generasi sebelumnya. Peran hereditas dalam pertumbuhan kraniofasial dan etiologi

kelainan dentofacial telah menjadi subyek dari banyak penelitian. Sebagai contoh

adalah ciri-ciri khusus suatu ras atau bangsa misalnya bentuk kepala atau profil muka

14
sangat dipengaruhi oleh ras atau suku induk dari individu tersebut yang diturunkan dari

kedua orang tuanya. Bangsa yang merupakan prcampuran dari bermacam-macam ras

atau suku akan dijumpai banyak maloklusi.

2. Kelainan bawaan

a. Kelainan bawaan kebanyakan sangat erat hubungannya dengan faktor keturunan

misalnya sumbing atau cleft: bibir sumbing atau cleft lip, celah langit-langit (cleft

palate).

b. Tortikolis: adanya kelainan dari otot-otot daerah leher sehingga tidak dapat

tegakmengkibatkan asimetri muka.

c. Kleidokranial disostosis adalah tidak adanya tulang klavikula baik sebagian

atauseluruhnya, unilateral atau bilateral, keadaan ini diikuti dengan

terlambatnyapenutupan sutura kepala, rahang atas retrusi dan rahang bawah

protrusi.

d. Serebral palsi adalah adanya kelumpuhan atau gangguan koordinasi otot

yangdisebabkan karena luka didalam kepala yang pada umumnya sebagai

akibatkecelakaan pada waktu kelahiran. Adanya gangguan fungsi pada otot-

ototpengunyahan, penelanan, pernafasan dan bicara akan mengakibatkan oklusi gigi

tidak normal.

e. Sifilis: akibat penyakit sifilis yang diderita orang tua akan menyebabkan terjadinya

kelainan bentuk dan malposisi gigi dari bayi yang dilahirkan

3. Gangguan keseimbangan endokrine

15
Gangguan keseimbangan endokrin misalanya gangguan parathyroid, adanya

hipothiroid akan menyebabkan kritinisme dan resorpsi yang tidak normal sehingga

menyebabkan erupsi lambat dari gigi tetap.

4. Trauma

a) Prenatal Trauma dan Cedera Lahir

- Hipoplasia mandibular: dapat disebabkan oleh intrauterine tekanan atau trauma saat

melahirkan.

- Asimetri: Sebuah lutut atau kaki bisa menekan terhadap wajah dalam sedemikian

rupa untuk mempromosikan pertumbuhan asimetri wajah atau keterbelakangan

pembangunan mandibular.

b) Postnatal Trauma seperti Fraktur rahang dan gigi.

5. Kelainan jumlah gigi

a) Super numerary gigi (gigi kelebihan)

Lebih banyak terjadi pada rahang atas, kedudukan dekat midline (garis mediana)

sebelah palatival gigi seri rahang atas disebut mesiodens. Bentuknya biasanya konus

kadang-kadang bersatu (fused) dengan gigi pertama kanan atau kiri, jumlahnya pada

umumnya sebuah tapi kadang-kadang sepasang. Gigi supernumery kadang-kadang

tidak tumbuh (terpendam atau impected) sehingga menghalangi tumbuhnya gigi tetap

didekatnya atau terjadi kesalahan letak (malposisi). Oleh karena itu pada penderita

yang mengalami kelambatan atau kelainan tumbuh dari gigi seri rahang atas perlu

dilakukan Ro photo.

b) Agenesi

16
Agenesi dapat terjadi bilateral atau unilateral atau kadang-kadang unilateral dengan

partial agenesi pada sisi yang lain. Lebih banyak terjadi dari pada gigi supernumerari.

Dapat terjadi pada rahang atas maupun rahang bawah tetapi lebih sering pada rahang

bawah. Urutan kemungkinan terjadi kekurangan gigi adalah sebagai berikut: Gigi seri

II rahang atas (I2), Gigi geraham kecil II rahang bawah (P2), Gigi geraham III rahang

atas dan rahang bawah, Gigi geraham kecil II (P2) rahang bawah, pada kelainan jumlah

gigi kadang diikuti dengan adanya kelainan bentuk atau ukuran gigi. Misalnya bentuk

pasak dari gigi seri II (peg shaped tooth).

6. Kelainan ukuran gigi

Salah satu penyebab utama terjadinya malposisi adalah gigi sendiri yaitu ukuran gigi

tidak sesuai dengan ukuran rahang, ukuran gigi lebih lebar atau sempit dibandingkan

dengan lebara lengkung rahang sehingga meyebabkan crowded atau spacing.

7. Kelainan bentuk gigi

Kelainan bentuk gigi yang banyak dijumpai adalah adanya peg shaped teeth (bentuk

pasak) atau gigi bersatu (fused). Juga perubahan bentuk gigi akibat proses atrisi (karena

fungsi) besar pengaruhnya terhadap terjadinya maloklusi, terutama pada gigi sulung

(desidui).

8. Kelainan frenulum labii

9. Premature loss

Fungsi gigi sulung (desidui) adalah: pengunyahan, bicara, estetis. Juga yang terutama

adalah menyediakan ruang untuk gigi tetap, membantu mempertahankan tinggi oklusal

gigi-gigi lawan (antagonis), membimbing erupsi gigi tetap dengan proses

17
resopsi. Akibat premature los fungsi tersebut akan terganggu atau hilang sehingga

dapat mengkibatkan terjadinya malposisi atau maloklusi.

10. Kelambatan tumbuh gigi tetap (delayed eruption)

Dapat disebabkan karena adanya gigi supernumerary, sisa akar gigi sulung atau karena

jaringan mucosa yang terlalu kuat atau keras sehingga perlu dilakukan eksisi. Kadang-

kadang hilang terlalu awal (premature loss) gigi sulung akan mempercepat erupsinya

gigi tetap penggantinya, tetapi dapat pula menyebabkan terjadinya penulangan yang

berlebihan sehingga perlu pembukaan pada waktu gigipermanen akan erupsi, sehingga

gigi tetap penggantinya dapat dicegah.

11. Kelainan jalannya erupsi gigi

Merupakan akibat lebih lanjut dari gangguan lain. Misalnya adanya pola herediter dari

gigi berjejal yang parah akibat tidak seimbangnya lebar dan panjang lengkung rahang

dengan elemen gigi yaitu adanya: persistensi atau retensi, Supernumerary, pengerasan

tulang, tekanan-tekanan mekanis: pencabutan, habit atau tekanan ortodonsi, faktor-

faktor idiopatik (tidak diketahui)

12. Karies gigi

Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat mengakibatkan terjadinya

pemendekan lengkung gigi sedang karies beroklusal mempengaruhi vertikal dimensi.

Adanya keries gigi pada gigi sulung mengakibatkan berkurangnya tekanan

pengunyahan yang dilanjutkan ke tulang rahang, dapat mengakibatkan rangsangan

pertumbuhan rahang berkurang sehingga pertumbuhan rahang kurang sempurna.

2.2 Perawatan Ortodontik

18
Perawatan ortodonti adalah salah satu jenis perawatan yang dilakukan di bidang

kedokteran gigi yang bertujuan mendapatkan penampilan dentofasial yang

menyenangkan secara estetika yaitu dengan menghilangkan susunan gigi yang berjejal,

mengoreksi penyimpangan rotasional dan apikal dari gigi-geligi, mengoreksi

hubungan antar insisal serta menciptakan hubungan oklusi yang baik. Perawatan

Orthodontik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Perawatan Pencegahan,

Perawatan Interseptif, dan perawatan Kuratif.

Pada usia gigi geligi bercampur, perawatan orthodontik yang paling sering

dilakukan adalah perawatan preventif dan intersif. Perawatan preventif dilakukan

untuk mempertahakan oklusi normal. Sedangkan Perawatan ortodonti interseptif

adalah dilakukan pada maloklusi yang baru atau sedang dalam proses terjadi dengan

tujuan memperbaiki ke arah oklusi normal.

Beda antara ortodonti preventif dengan ortodonti interseptif adalah pada waktu

tindakan dilakukan. Ortodonti preventif dilakukan apabila diperkirakan ada keadaan

yang akan menyebabkan terjadinya suatu maloklusi sedang ortodonti Interseptif adalah

suatu tindakan yang harus segera dilakukan karena terdapat suatu gejala atau proses

terjadi maloklusi walau dalam tingkatan yang ringan sehingga maloklusi dapat

dihindari atau tidak berkembang.Macam-macam perawatan ortodonti interseptif :

a. Penyesuaian atau koreksi disharmoni oklusal

b. Perawatan crossbite anterior pada mixed dentition

c. Perawatan diastema anterior

d. Perawatan kebiasaan jelek (bad habbit)

19
e. Latihan otot (myofunctional therapic)

f. Pencabutan serial (serial extraction)

2.3 Edukasi Kesehatan Gigi

Pendidikan kesehatan gigi adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menyampaikan

pesan mengenai kesehatan gigi kepada anak sekolah kelompok/individu dengan

harapan mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan gigi yang lebih

baik, dan akhimya diharapkan pengetahuan tersebut, dapat mempengaruhi perubahan

perilaku mereka.

Untuk meningkatkan pengetahuan ini dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan

atau penyuluhan. Dilihat dari segi usia rentannya anak yang terkena penyakit, maka

penyuluhan terutama ditujukan pada golongan yang rawan terhadap gangguan

kesehatan gigi dan mulut yaitu anak usia sekolah dasar. Oleh karena usia sekolah dasar

yaitu usia 6-12 tahun merupakan usia transisi atau pergantian gigi desidui dengan gigi

permanen (masa gigi bercampur). Di samping itu, anak usia sekolah dasar masih

kurang dapat menjaga kebersihan gigi dan mulutnya. Menurut Wahyuningrum, upaya

pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut serta pembinaan kesehatan gigi pada anak usia

sekolahdasar perlu mendapat perhatian khusus sebab pada usia ini anak sedang

menjalani proses tumbuh kembang. Keadaan gigi sebelumnya akan berpengaruh

terhadap perkembangan kesehatan gigi pada usia dewasa nanti.

Edukasi Kesehatan gigi ini biasanya dilakukan dengan menggunakan metode

ceramah dan demonstrasi. Metode Ceramah adalah salah satu cara pendidikan

kesehatan yang didalamnya kita menerangkan atau menjelaskan sesuatu secara lisan

20
disertai dengan tanya jawab, diskusi dengan sekelompok pendengar serta dibantu

dengan beberapa alat peraga yang dianggap perlu. Metode Demonstrasi adalah suatu

cara penyajian pengertian atau ide yang dipersiapkan dengan teliti untuk

memperlihatkan bagaimana cara melaksanakan suatu tindakan, adegan, atau

menggunakan suatu prosedur. Alat bantu adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik

dalam menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran.

21
BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan adalah bakti sosial dimana kegiatan terdiri atas penyuluhan,

pendataan dan pencabutan.

3.2 Lokasi Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan dilakukan di SD Inpres Karuwisi 2 dimana penyuluhan dan

pemeriksaan dilakukan di masing-masing ruangan kelas.

3.3 Waktu dan Jumlah Siswa

Kegiatan dilaksanakan pada hari Sabtu Tanggal 18 November 2017 pukul 08.00

hingga pukul 12.00 WITA dengan jumlah siswa keseluruhan adalah 36 orang.

3.4 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan dibagi menjadi tiga tahap yaitu: Edukasi, Pemeriksaan dan

Penanganan (pencabutan). Pada Tahap pertama, dilakukan penyuluhan kepada seluruh

siswa tentang pentingnya menjaga kesehatan dini sejak dini menggunakan metode

ceramah yang dibantu dengan menggunakan poster dan alat peraga. Kemudian, pada

sesi kedua dilukan pendataan dan pemeriksaan kondisi gigi geligi. Siswa yang

diindikasi untuk dilakukan pencabutan kemudian akan diberikan surat keterangan

untuk dilakukan pencabutan di ruangan terpisah.

22
Penyuluhan

Pendataan dan
pemeriksaan

Pencabutan

Gambar 11. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

23
BAB IV

EVALUASI PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

Jumlah siswa yang mengikuti pendataan sebanyak 36 orang terdiri dari 20 siswa

perempuan dan 16 siswa laki-laki. Usia siswa berkisar antara 8-12 tahun (pendataan

dilakukan pada siswa kelas IV hingga kelas VI). Pada pendataan diperoleh maloklusi

Angle kelas I sebanyak 30 orang (83,3%), maloklusi Angle kelas II sebanyak 3 orang

(8.3%) dan maloklusi Angle kelas III sebanyak 3 orang (8.3%).

Tabel 1. Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada siswa SD Inpres


Karuwisi 2
Maloklusi Angle Maloklusi Angle Maloklusi Angle
Kelas I Kelas II Kelas III
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Normal 8 8 - 1 - -

Tipe/ 4 6 - 2 1 -

Divisi I

Tipe/ 1 2 1 - 1 -

Divisi II

Tipe III/ - 1 4 - - 1

Subdivisi

Tipe IV - - - - -

Tipe V - - - - -

24
*Maloklusi Angle Kelas I dibagi menjadi Tipe I, II, III, IV dan V
*Maloklusi Angle Kelas II dibagi menjadi Divi I, Divisi II dan Subdivisi

*Maloklusi Angle Kelas III dibagi menjadi Tipe I, II dan III

Berdasarkan hasil pendataan juga didapatkan sebanyak 1 dari 36 (2.78%) siswa

yang mengalami gigi persistensi. Penentuan persistensi gigi dibagi menjadi 2 yaitu

persistensi A dan B. Persistensi A adalah gigi yang persistensi dan diindikasikan untuk

langsung dilakukan pencabutan dilokasi bakti sosial sementara persistensi B adalah

persistensi yang diindikasi untuk dilakukan konsul ke RSGM Kandea. Dari 76 siswa

yang memiliki gigi persistensi, diperoleh persistensi B sebanyak 1 (2.78%)

Tabel 2. Distribusi Persistensi pada siswa SD Inpres Karuwisi 2 serta jumlah


tindakan pencabutan yang dilakukan pada bakti sosial.
Persistensi A Persistensi B

Dilakukan Tidak dilakukan Dilakukan Tidak dilakukan


Pencabutan Pencabutan Pencabutan Pencabutan

- - - 1

Usia 6-12 tahun dari subjek pada penelitian ini merupakan usia dimana periode gigi

yang ada adalah gigi bercampur (mixed dentition} bersamaan dengan periode

prepubertal yang diketahui terjadi percepatan laju tumbuh kembang. Percepatan

pertumbuhan berbeda pada setiap jenis kelamin, perempuan biasanya ditandai dengan

menstruasi diusia 10-12 tahun dan laki-laki di usia lebih dari 12 tahun. Pemeriksaan

dini terhadap maloklusi perlu dilakukan pada masa prepubertal sehingga bila ditemui

adanya maloklusi dapat dilakukanperawatan dini. Bila diabaikan maka bertambahnya

keparahan maloklusi dapat menimbulkan masalah emosi dan kepercayaan diri seorang

anak.

25
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa jenis maloklusi tertinggi yang terjadi adalah

crowded anterior (Maloklusi Angle Kelas I Tipe 1). Salah satu penyebab gigi crowding

pada populasi siswa kemungkinan adalah adanya gigi susu yang mengalami persistensi.

Kemungkinan penyebab lainnya dari prevalensi crowding yang tinggi adalah terjadinya

lesi karies dan ekstraksi gigi molar sulung yang mendukung migrasi dari geraham

permanen pertama serta kecenderungan dan rotasi, sementara berdasarkan penelitian

yang dilakukan di Brasil ankilosis gigi sulung adalah penyebab paling umum terjadinya

maloklusi tersebut.

Tabel 1 memperlihatkan data bahwa penderita maloklusi pada anak laki-laki sedikit

lebih rendah dibanding dengan anak laki-laki. Perbedaan jenis kelamin dalam beberapa

maloklusi prevalensi ditunjukkan pada tahap gigi geligi yang berbeda. Hal ini dapat

terjadi mengingat bahwa ada perbedaan perkembangan dalam hal waktu erupsi gigi

antara anak laki-laki dan perempuan, serta antara masing-masing anak; beberapa ada

yang 'awal' dan beberapa ada yang 'akhir' selama perkembangan oklusal. Karena

adanya variasi individu yang besar, maka pengelompokan berdasar tahap gigi lebih

tepat dibandingkan dengan usia kronologis. Hal ini kemungkinan bisa menambah

probabilitas deteksi perbedaan jenis kelamin pada prevalensi maloklusi selama

perkembangan gigi geligi.

26
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Maloklusi adalah suatu keadaan ketidaksesuaian dari hubungan gigi atau hubungan

rahang yang menyimpang dari normal. Derajat keparahan maloklusi berbeda-beda dari

rendah ke tinggi yang menggambarkan variasi biologi individu. Maloklusi dapat

menyebabkan tampilan wajah yang buruk, risiko karies dan penyakit periodontal,

sampai gangguan pada sendi temporomandibula bila tidak dikoreksi.

Berdasarkan hasil pendataan dan pemeriksaan tentang prevalensi maloklusi pada

siswa SD Inpres Karuwisi 2, disimpulkan bahwa maloklusi Angle kelas I sebanyak 30

orang (83,3%), maloklusi Angle kelas II sebanyak 3 orang (8.3%) dan maloklusi Angle

kelas III sebanyak 3 orang (8.3%). Selain itu, prevalensi maloklusi tertinggi adalah

crowded anterior yaitu sebesar 27.78%.

5.2 Saran
Memperhatikan hasil penelitian, perlu dilakukan penyuluhan tentang kesehatan

gigi pada umumnya dan ortodontik khususnya, pencabutan gigi susu yang mengalami

persistensi, penelitian lebih lanjut dengan menggunakan indeks-endeks untuk

mengetahui kebutuhan perawatan ortodontik dan pengukuran derajat maloklusinya.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Susanto C. Need dan demand serta akibat dari maloklusi pada siswa smu Inpres i

binjai. Available from http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18207

Diakses pada 22 juli 2017

2. Susilowati. Prevalensi maloklusi gigi anterior pada siswa Sekolah Dasar

(Penelitian pendahuluan di SD 6 Maccora Walihe, Sidrap). Makassar Dent J 2016;

5(3): 97-101

3. Staley RN, Reske NT. Essential of orthodontics: Diagnosis and treatment. United

Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011. Pp 3

4. Bishara SE. Textbook of orthodontics. In: Penny Rudolph, editor. USA: WB

Saunders Company; 2001, pp. 101, 104

5. Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers; 2011, p. 144

6. Phulari BS. Orthodontics principles and practice. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers; 2011, p. 100

7. Alam MK. A to z orthodontics. Malaysia: PPSP Publication; 2012, p. 3

8. Foster TD. Textbook of orthodontics 3rd Ed. London : Blackwell

ScientificPublications. 1990. p.35-9.

9. Mc Donald RE, Avery. Dentistry for child and adolescent. 7thed. St Louis: Mosby;

1994.

10. Sumntri D, Lestari Y, Arini M. Pengaruh perubahan Tingkat pengetahuan

kesehatan gigi dan mulut pada Pelajar usia 7-8 tahun di 2 sekolah dasar kecamatan

28
Mandiangin koto selayan Kota bukittinggi Melalui permainan edukasi kedokteran

gigi. Andalas Dental Journal 2015; 7(3): 39-48

11. Hastuti S, Andriyani A. Perbedaan pengaruh pedidikan kesehatan gigi dalam

meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan gigi pada anak di sd Inpres 2 sambi

kecamatan sambi kabupaten boyolali. GASTER 2010; 7(2): 624 – 632

29
ANGGARAN KEGIATAN

Pemeriksaan dan Pendataan Maloklusi

No Material Unit Satuan Harga (Rp) Jumlah (Rp)

1 Betadine 60 ml 3 Buah 35.000 105.000

2 Air mineral 5 Dos 17.000 85.000

3 Kasa steril 1 Roll 100.000 100.000

4 Kapas steril 1 Roll 25.000 25.000

5 Kertas status 150 Sheet 200 30.000

6 Kertas print laporan 3 Sheet 35.000 105.000

7 Jilid laporan 3 Buah 5.000 15.000

Penggandaan
8 Laporan 3 Buah 40.000 120.000

Tinta Print canon


9 hitam 1 Buah 50.000 50.000

Tinta Print Canon


10 warna 1 Buah 100.000 100.000

Total 741.000

Biaya Transportasi dan Konsumsi

No Komponen Biaya Unit Satuan Harga (Rp) Jumlah(Rp)

1 Survei I 1 PP Mobil 50.000 50.000

2 Survei II 1 PP Mobil 50.000 50.000

3 Konsumsi panitia 10 Dos 20.000 200.000

Total 300.000

30
LAMPIRAN

DOKUMENTASI PEMERIKSAAN DAN


PENYULUHAN

31
32
33
34
DAFTAR HADIR

SEMINAR KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT

DEPARTEMEN ORTHODONTI

35

Anda mungkin juga menyukai