Hole Problem
17)
Gambar 5.1. Invasi Mud Filtrat Ke Dalam Formasi Melalui Dinding Sumur Yang Permeabel.
Apabila mud filtratnya adalah air (dari water base mud) dan formasinya mengandung clay yang menghidrate
(formasi shale atau formasi dirty sands), maka akan terjadi hidrasi dan swelling (pembengkakan) dari partikel clay
tadi sehingga menyebabkan berkurangnya ruang pori-pori mula-mula dari batuan reservoir, seperti yang kita lihat
pada (Gambar 5.2), dimana didalam formasi yang bersangkutan terdistribusi material clay yang dapat mengembang
(material expandable clays).
Gambar 5.5. Pengecilan ruang pori-pori batuan akibat swelling clay.17)
Dengan mengecilnya pori-pori batuan tadi maka akan mengakibatkan mengecilnya porositas batuan tersebut.
b. Saturasi permeabilitas, tekanan kapiler dan sifat kebasahan batuan.
Seperti telah dibicarakan diatas, bahwa dengan terjadinya swelling clay di dalam formasi, maka akan terjadi
penyumbatan ruang pori-pori batuan dalam formasi tersebut, sehingga akan menyebabkan terhambatnya aliran
fluida melalui media berpori tadi. Sebagaimana diketahui bahwa permeabilitas suatu batuan reservoir adalah
merupakan ukuran kemampuan batuan tersebut untuk mengalirkan fluida melalui media berpori yang saling
berhubungan di dalamnya.
Pengaruh porositas terhadap aliran fluida di dalam media berpori tidak langsung, tetapi porositas akan
mempengaruhi harga permeabilitas. Pada umumnya untuk suatu lapangan dengan formasi sand stone dalam suatu
lapisan, sering didapatkan hubungan yang linier antara log permeabilitas dan porositas seperti, pada Gambar 5.3.
Gambar 5.4. Hidrasi air oleh partikel clay pada formasi shaly sands 17).
Dengan terpengaruhnya harga saturasi oleh adanya hidrasi clay, maka "Performance" saturasi terhadap aliran fluida
juga akan berubah. Terjadinya clay swelling juga akan mempengaruhi tekanan kapiler, dimana pembengkakan partikel clay
yang memperkecil jari-jari ruang pori-pori mengakibatkan turunnya permeabilitas. Dengan demikian tekanan kapiler akan
meningkat, karena hubungannya berbanding terbalik dengan jari-jari ruang pori-pori sehingga akan menghambat
pergerakan fluida yang terkandung di dalam media berpori tersebut.
Secara tidak langsung, terjadinya clay swelling di dalam formasi juga akan mempengaruhi sifat kebasahan
(wettability) batuan, karena hubungannya merupakan fungsi dari tekanan kapiler dan permeabilitas batuan tadi.
Tentang perubahan harga saturasi dan permeabilitas batuan akibat adanya invasi mud filtrat ke dalam formasi
produktif, dapat kita lihat
dari data testing pengaruh lumpur pemboran terhadap kerusakan formasi (formation damage) pada formasi "Steven sand
Paloma Field USA", seperti yang ditunjukan pada (Tabel 5.1).
Dari Tabel 5.1.dapat kita lihat :
1. Efek invasi filtrat dari lumpur fresh water, starch menimbulkan kerusakan yang cukup besar terhadap formasi,
dimana interstitial water naik dari 34,6 % menjadi 45,3 %, sedangkan permeabilitas minyak turun dari 100 %
menjadi 30 %.
5. Pemakaian calcium chlorida mud memberikan efek perbaikan formasi, dimana interstitial turun dari 32,3% menjadi
25,7 %, sedangkan permeabilitas minyak naik dari 100 % menjadi 110 %.
3. Efek dari invasi oil base mud menurunkan interstitial water dari 25,2% menjadi 24,9 %, sedangkan permeabilitas
minyak tetap; jadi tidak menimbulkan kerusakan formasi.
4. Penggunaan jenis lumpur lainnya ternyata menimbulkan kerusakan formasi, ini dapat dilihat dari penurunan
permeabilitas minyak.
Tabel 5.1. Efek invasi filtrat terhadap permeabilitas minyak pada lapangan Paloma USA12)
Kedalaman invasi mud filtrat ke dalam formasi telah dibicarakan dalam bab sebelumnya (mengenai filtration dinamik),
tetapi selain itu jarak invasi mud filtrat dapat diketahui secara kualitatif dari porositas formasi. Porositas yang kecil pada
suatu tempat menunjukkan jarak invasi mud filtrat ke dalam formasi tersebut. Gambar 5.5 menunjukan distribusi fluida
secara kualitatif setelah terjadi invasi mud filtrat di sekitar lubang bor.
Gambar 5.5. Distribusi Radial Fluida Di Sekitar Lubang Bor Sesudah Invasi Mud Filtrat (kualitatif) 17)
Luas daerah invasi mud filtrat di sekitar lubang bor tergantung dari karakteristik filtrasi lumpur, tekanan differensial
antara formasi dengan lubang bor (tekanan hidrostatik), lama kontak lumpur pemboran dengan dinding lubang bor serta
karakteristik batuan dalam formasi. Gambar 5.6 menunjukan kondisi di sekitar lubang bor sesudah terjadinya invasi mud
filtrat ke dalam formasi.
Gambar 5. 6. Penampang horizontal melalui lapisan (oil bearing) permeabel, (Sw 60%) 17)
5.5.5. Skin Effect
Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa akibat adanya invasi mud filtrat ke dalam formasi dapat
menimbulkan kerusakan dalam formasi tersebut. Kedalam invasi tersebut akan menentukan luas daerah formasi yang
mengalami damage ini relatif tipis (hanya di sekitar lubang bor) dibandingkan dengan luas keseluruhan formasi (sehingga
dengan alasan ini maka formation damage disebut juga sebagai skin effect), tetapi ia cukup berpengaruh terhadap
kelancaran operasi teknik reservoir, yaitu terhadap recovery.
Hidrasi filtrat lumpur (air) oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam formasi (sehingga terjadi swelling) adalah salah
satu sebab terjadinya skin effect. Sebab lain adalah karena adanya invasi mud solids ke dalam formasi. Tetapi pada
hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh adanya invasi liquid sendiri ke dalam formasi, selain dapat menimbulkan
terjadinya swelling akibat lain yang erat hubungannya dengan terjadinya skin effect adalah :
1. Terbentuknya endapan garam, parafin (wax) yang menimbulkan akibat yang sama dengan akibat adanya invasi
solids ke dalam formasi.
5. Terbentuknya emulsi dengan fluida formasi yang ada sehingga mengakibatkan kenaikan viskositas sistem fluida
keseluruhan, dan ini dapat menimbulkan "Capillary blocking".
Invasi keseluruhan filtrat juga dapat mempengaruhi (mengubah) resistivity formasi sesuai dengan jarak invasinya
(mempengaruhi kurva electric logging).
Besar kecilnya skin effect pada zona damage tersebut dinyatakan dengan skin effect factor, dimana ini dinyatakan
dengan notasi "S". Untuk pembahasan selanjutnya mengenai skin effect ini, kita lihat Gambar 5.7 yang menunjukkan
penampang horizontal sekitar lubang bor yang mengalami pengubahan akibat invasi mud filtrat ke dalam formasi.
dimana :
ke = Permeabilitas undamage reservoir
ka = Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra = Jari-jari zonal damage
Pe = Tekanan pada batas pengurasan
Pw = Tekanan pada batas sumur
q = Rate aliran ke lubang sumur
.........................(5-2)
dimana :
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test
= Porositas, fraksi
k
= Permeabilitas, md
= Viscositas, cp
C = Compressibilitas batuan ,psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
Dari persamaan itu juga dapat kita mengetahui, bila harga :
S > 0 berarti ada kerusakan Ka < Ke
S = 0 berarti tidak ada kerusakan Ka = Ke
S < 0 berarti ada perbaikan Ka > Ke
P
Kurva pressure build up test menetukan skin dapat kita lihat pada (Gambar 5.8) sedangkan (Gambar 5.9)
menunjukan pola aliran radial fliuda dalam reservoir.
Gambar 5.8. Kurva dari PBU test untuk menentukan harga skin
Gambar 5.10. Distribusi tekanan dalam resevoir setelah terjadinya skin effect.17)
Dengan adanya skin effect, juga akan menyebabkan turunnya productivity ratio. Productivity ratio merupakan
perbandingan antara rate aliran sesudah dan sebelum adanya skin effect. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Productivity index adalah perbandingan antara rate aliran produksi dengan draw-down pressure (tekanan differensial
Ps Pwf
antara tekanan statik dan tekanan alir sumur, draw-down = ), PI. Productivity indeks sebelumnya adalah :
q
PI actual
Ps Pwf
............................................................................(5-6)
Sedangkan productivity indeks setelah adanya skin effect adalah :
q
PI ideal
Ps Pwf Pskin
.............................................................(5-7)
Dengan demikian maka productivity ratio adalah :
PI actual Ps Pwf Ps
PR
PI ideal Ps Pwf
.......................................................(5-8)
Turunnya harga productivity indeks ini dapat pula dihitung dengan persamaan :
PI k o / o Bo
PI mula mula ln re / ra k e / k a ln ra / rw
......................................(5-9)
dengan demikian maka productivity ratio dapat dihitung dengan persamaan:
k avg ln re / rw
PR
ko ln re / ra k e / k a ln ra / rw
......................................(5-10)
dimana
k avg
= Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke
= Permeabilitas mula-mula
ra
= Jari-jari zone damage
rw
= Jari-jari sumur
5.3. Penyebab Lost Circulation Dan Cara Penanggulangannya
Sebagaimana diketahui lost circulation adalah hilangnya semua atau sebagian lumpur dalam sirkulasinya dan masuk
ke formasi. Berdasarkan keadaan ini lost circulation dapat dibagi dua, yaitu:
Partial Lost
Total Lost
Partial Lost adalah bila lumpur yang hilang hanya sebagian saja, dan masih ada lumpur yang mengalir ke permukaan.
Sedangkan total lost adalah hilangnya seluruh lumpur dan masuk kedalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari flow
sensor, dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit.
5.3.1. Penyebab Lost Circulation
Penyebab lost circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup besar di dalam lubang bor, yang memungkinkan
lumpur untuk mengalir kedalam formasi, dan tekanan didalam lubang lebih besar dari tekanan formasi. Celah tersebut dapat
terjadi secara alami dalam formasi yang cavernous, fracture, fissure, unconsolidate, atau tekanan yang terlalu besar.
5.3.1.1. Formasi Natural Yang Dapat Menyebabkan Lost
Walau formasi yang menyebabkan lost ciculation tidak diketahui secara nyata, namun dapat dipastikan bahwa
formasi tersebut mesti berisi lubang pori yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur. Hal ini ditunjukkan dalam banyak
kasus bahwa phase solid dari lumpur tidak akan masuk ke pori dari formasi yang terdiri dari clay, shale, dan sand dengan
permeabilitas normal.
Formasi yang mempunyai formasi alami cukup besar untuk mengalirkan lumpur adalah:
a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi permeabilitas
Studi menunjukkan bahwa formasi memerlukan permeabilitas yang tinggi untuk dimasuki lumpur. Permeabilitas
yang tinggi ini dapat terjadi pada shallow sand dan lapisan gravel. Formasi yang tidak berkonsolidasi dengan baik,
dapat menyebabkan keguguran dinding sumur yang membentuk gua-gua.
Hal ini dapat terjadi karena tekanan overburden atau berat rig (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Coarse dan Gravel Sebagai Zona Lost17)
b. Breksiasi
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan. Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan
lost circulation. Gambar 5.12 menunjukkan rekahan yang ditimbulkan oleh breksiasi.
Gambar 5.16. Pengaruh persentase lumpur pada M+BDO terhadap Yield strength
5.3.5.6. Cement plug
Penggunaan semen untuk mengatasi hilang lumpur terutama didaerah yang banyak mengandung gerowong (vuggy)
sebagaimana terdapat pada formasi karbonat merupakan langkah terakhir dimana hilang lumpur yang terjadi sudah tidak
dapat diatasi dengan lumpur.
Cement plug adalah material (semen) yang dipompa ke dalam zone yang porous, dengan harapan bahwa material
akan menutup pori dengan membentuk plastik yang kuat atau solid. Cement plug biasanya tidak cukup hanya dilakukan
sekali, tetapi harus berkali-kali. Sebenarnya Cement plug sangat efektif untuk menutup ruang pori. Hanya saja penggunaan
cement plug ini menimbulkan kendala karena semen lebih keras dari formasi, yang tentunya akan menurunkan laju
penembusan.
Semen yang akan digunakan pada sumur-sumur minyak biasanya ditambahkan suatu aditif untuk mendapatkan
karakteristik semen yang sesuai de ngan kebutuhan. Berikut ini adalah jenis-jenis aditif yang biasanya digunakan:
a. Accelerator
Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung pada temperatur dan tekanan, sesuai dengan
kekuatan tekanan (compressive strength) dari semen tersebut, yang juga tergantung pada temperatur dan tekanan.
Suatu saat additive accelerator dapat ditambahkan untuk mempercepat tercapainya thickening time sehingga semen
mempunyai kekuatan tekan yang mampu menahan beban uji sebesar 500 psi.
Mekanisme acceleration didalam bubur semen sehingga saat ini belum dipahami secara seluruhnya. Akan tetapi suatu
studi telah menemukan pengaruh dari CaCl 2 terhadap laju hidrasi dan pengembangan kekuatan tekan yang lebih dini.
Kesimpulan umum dari studi ini adalah bahwa acceleration seperti CaCl 2 tidak menyatu dengan produk hidrasi baru
tetapi hanya mempengaruhi laju hidrasi dimana semen tersebut ditempatkan. Dengan kata lain CaCl 2 mempercepat
pembentukan Ca(OH)5. Kondo et all, telah menemukan mekanisme tersebut berdasarkan laju difusi dari Alkalikhlorida
melalui selaput tipis semen portland ke dalam larutan kalsium hidroksida. Hasil studi menunjukkan bahwa laju difusi ion-
ion Cl- adalah empat kali lebih cepat daripada kation alkali. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya penetralan elektrik dijaga
oleh difusi ion OH- dari larutan Ca(OH)5.
b. Retarder
Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk memperlambat setting semen (kebalikan dari accelerator), yang
diperlukan untuk mendapatkan waktu yang cukup dalam penempatan semen. Retarder yang tersedia dipasaran antar
lain : salt (D44), lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan sellulosa (D8), dan polyhydroxy
organik acid dan sugar additive (D25, D109).
c. Dispersant
Dispersant biasanya digunakan untuk mengontrol rheologi bubur semen agar pada pemompaan yang rendah
menghasilkan aliran turbulen. Hal ini diperlukan untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang masih terdapat dalam kolom
annulus. Selain itu dispersant juga dapat menurunkan kadar air dalam semen, sehingga akan menaikkan kekuatan
semen tersebut.
d. Extenders
Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen, sehingga tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih
kecil selama penyemenan. Selain itu, extanders dapat menaikkan yield bubur semen. Material yang termasuk extenders
antara lain bentonit, D-75, silicates, litepi D-124 dan lain-lain.
e. Zat Pemberat
Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar tekanan pori yang tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi
demikian biasanya berat lumpur yang digunakan berkisar antara 18 - 18,5 lb/gal. Material yang termasuk zat pemberat
antara lain ilmenite, hematite, dan barite.
5.3.5.6.1. Penyemenan Multi Stage
Penyemenan banyak tahap diperlukan untuk menghindari hilangnya semen ke dalam formasi Karbonate yang banyak
mengandung rekahan. Gambar 3.17 menunjukkan skema kedudukan semen untuk mengurangi hilangnya semen ke dalam
rekahan. Tahap awal dari penyemenen dengan teknik ini biasanya dirancang sebagaimana pada penyemenan satu tahap.
Semen dipompa dibawah melalui tubing dan naik melalui annulus. Tahap selanjutnya semen dipompa melalui suatu special
port collar yang akan membuka jika tahap pertama telah selesai.
Semen jenis ringan ini diperlukan terutama pada zona- zona lunak untuk mengurangi kerusakan formasi lebih lanjut
akibat tekanan hidrostatik semen. Selain itu, jenis semen ini juga sangat baik untuk zona yang banyak mengandung
rekahan atau gerowong.
Semen busa menggunakan gas N2 (Nitrogen) sebagai extender yang berfungsi menurunkan densitas. Gelombang
Nitrogen di dalam bubur semen tidak akan pecah jika tekanan hidrostatik naik. Gelembung-gelembung tersebut akan
menyusut, sehingga memerlukan tambahan konsentrasi nitrogen untuk menjaga tekanan hirostatik.
Gambar 5.17. Skema Kedudukan Penyemenan Multi Stage Untuk Mengatasi Lost Circulation.
Ada beberapa kelebihan penggunaan semen busa ini antara lain :
a). Penyemenan formasi lunak
Densitas semen bisa mencapai 7 lb/gal. Gambar 5.18 menunjukkan perubahan tekanan hidrostatik semen pada semen
busa. Hal ini sangat cocok untuk penyemenan casing pada formasi lunak.
b). Mengatasi hilang sirkulasi
Gambar 5.19 menunjukan sifat thixotropic semen busa. Sifat ini dapat mencegah hilangnya lumpur ke zona gerowong
karena semen mampu membentuk gel dalam keadaan statik. Sifat thixotropic ini disebabkan adanya campuran CaSO 4
hemihydrate dan CaCl2 dengan semen portland.
Pemilihan perbandingan bentonit terhadap semen didasarkan pada karakeristik bubur semen yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk gel jika bercampur dengan lumpur, yang diperlukan untuk menutup daerah hilang lumpur.
Dalam keadaan statik, kekuatan tekan akan berkembang sa-ngat cepat. Berdasarkan hal ini, ditentukan suatu komposisi
bentonit dan semen yang optimum, yaitu pada perbandingan 1:5.
Gambar 5.20 menunjukkan pengaruh persentase lumpur yang digunakan terhadap shear strength maksimum yang
dapat dicapai akan lebih besar. Sedangkan penambahan Q-Broxin pada BDOC akan menurunkan viskositas campuran
yang mengakibatkan kecilnya shear strength maksimum yang dapat dicapai.
Gambar 5.20. Pengaruh Persentase Lumpur Pada M+BDO2C Terhadap Shear Strength.
5.3.5.7. Drilling blind
Drilling blind adalah pemboran yang dilakukan secara membabi buta, dimana sirkulasi lumpur tidak ada karena
semua lumpur hilang ke formasi. Fluida umumnya membawa cutting masuk ke dalam zona loss, sehingga cutting ini dapat
menutup formasi. Drilling blind sangat bahaya karena cutting yang tidak terangkat kepermukaan dapat menjepit pipa/stuck.
Disamping itu , tidak diperolehnya cutting di permukaan menyebabkan log sample batuan tidak bisa dilakukan. Setelah zona
lost dilalui, perlu dipasang casing untuk menghindari terjadinya lost lebih lanjut. Metode drilling blind biasanya dilakukan bila
tekanan normal, dan air tersedia dalam jumlah yang banyak.
5.3.5.8. Aerated drilling
Aerated drilling mud dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan densitas lumpur. Metoda ini sangat cocok diterapkan
untuk mengatasi lost circulation yang dijumpai pada formasi yang cavernous, vug yang besar, khususnya pada bagian atas
lubang bor. Bila lumpur yang digunakan mempunyai kadar solid yang rendah, dan tekanan formasi normal, mungkin tekanan
formasi telah cukup untuk menempatkan fluida formasi masuk kedalam zona loss. Penanggulangan dengan semen sering
kali mengalami kegagalan karena ukuran pori yang terbuka cukup besar dan adanya pengenceran dari campuran semen
yang terjadi. Dalam hal ini penambahan udara ke dalam fluida pemboran biasanya dapat memecahkan masalah.
Metoda ini dilakukan dengan memompa campuran air dan udara kedalam lubang. Jumlah air yang dipompa ke dalam
lubang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Setelah daerah vugular dilewati, pipa dapat diset atau aerated water drilling
dapat diteruskan.
5.4 Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah
5.4.1. Pendahuluan
5.4.1.1. Deteksi Tekanan Pori Formasi
Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendeteksi tekanan formasi yang lebih besar daripada gradien
hidrostatik formasi normal (0,465 psi/ft atau 9 ppg berat lumpur). Metoda yang paling banyak digunakan adalah metoda
Drilling Rate, dimana metoda ini didasarkan pada perhitungan d-exponent.
Perbedaan tekanan yang besar antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi dapat menurunkan laju
pemboran. Untuk meningkatkan laju pemboran, densitas lumpur harus diturunkan. Dari sisi tekanan formasi, adanya
kenaikan tekanan formasi juga akan meningkatkan laju pemboran.Perlu diingat juga bahwa laju penembusan dipengaruhi
oleh parameter lain seperti WOB, RPM, pembersihan lubang sumur, litologi, sifat-sifat fluida, serta jenis dan keadaan pahat.
Sehingga perlu kiranya diperhitungkan parameter-parameter tersebut bersama-sama agar perubahan-perubahan yang
terjadi terhadap laju penembusan benar-benar dapat menunjukkan adanya tekanan formasi abnormal.
Jordan dan Shirley memberikan suatu hubungan persamaan antara beberapa parameter pemboran di atas yang di
sebut dengan d'Eksponen. Dengan mengamati perubahan harga d'Eksponen ini terhadap kedalaman maka dapat
diperkirakan adanya tekanan abnormal. Kenyataan ini dapat digunakan untuk mendeteksi zona over-pressured, dengan
menentukan nilai d-exponent pada tiap kedalaman.
Jorden dan Shirley telah membuat suatu hubungan matematis antara laju penembusan R, kecepatan putar rotary
table N, berat pahat W, dan diameter pahat D untuk digunakan dalam memperkirakan tekanan pori formasi. Persamaan
tersebut ialah :
d
WOB
ROP k x RPM e
D
.............................................................(5-12)
dimana,
e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju
penembusan,
k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju
penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr
Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik memberikan hubungan :
ROP
log e
d k x RPM
WOB
log
D
...........................................................................(5-13)
Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :
ROP
log e
d 60 x k x RPM
12 x WOB
log 6
10 x D
...................................................................(5-14)
d. Persamaan
dalam persamaan di atas dikenal sebagai d'eksponen yang tidak berdimensi. Baik harga suku ROP/60kRPMe dan
suku 12WOB/106D pada persamaan di atas selalu lebih kecil dari satu, sehingga harga logaritma dari masing-
masing adalah negatif. Kemudian Jordan dan Shirley menyederhanakan pesamaan di atas dengan mengasumsikan
k sama dengan 1 dan e juga sama dengan 1.
Persamaan di atas kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan pe-ngaruh densitas lumpur, menjadi:
mn
d corr d
mc
.....................................................................(5-15)
dimana:
dcorr = d-exponent terkoreksi
mn
= densitas lumpur pada tekanan formasi normal ( 9 ppg)
mc
= densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg
Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan pe-ningkatan secara linier jika tekanan pori formasi
normal, akan tetapi akan berkurang secara tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan tekanan pori formasi.
Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman menyebabkan laju penembusan berkurang
karena batuan semakin kompak akibat bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga d'eksponen bertambah.
Pertambahan d'eksponen ini mengikuti suatu kecenderungan yang disebut trend d'eksponen normal.
Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan abnormal maka laju penembusan akan naik dengan
tiba-tiba, meninggalkan trend laju penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang sumur
dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan mengakibatkan batuan yang sedang dibor semakin mudah terlepas,
sehingga laju penembusan bertambah. Disamping itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki porositas yang lebih
tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama lainnya, sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika dikaitkan dengan
persamaan d'eksponen, maka naiknya harga laju penembusan ROP akan mengakibatkan turunnya harga d'eksponen.
Jika dibuat hubungan antara d'eksponen terhadap kedalaman, maka perubahan harga d'eksponen yang
mengindikasikan zona bertekanan abnormal ini akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend d'eksponen
normal (d'eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data d'eksponen yang menunjukkan penyimpangan ke kanan
(membesar) maka hal ini mengindikasikan adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan normal (subnormal) dan
berpotensi pada terjadinya lost circulation.
Sebagai contoh, dapat digunakan data-data yang terdapat pada Tabel 1.
Gambar 21. Laju Pemboran vs Kedalaman 7)
Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 1 di atas , dimana terdapat penurunan laju
pemboran dari 100 ft/hr pada kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800 ft.
Tabel 5-5. Data Tekanan Formasi dan d-exponent 7)
Depth, Drilling Weight on Rotary Speed, It Size, Mud Density,
feet Rate, ft/hr Bit, 1000 lbs RPM Inch lb/gal
6000 106.0 35 120 8.5 90
6500 103.0 35 120 8.5 90
7000 76.9 35 110 8.5 90
7500 66.0 35 110 8.5 90
8000 44.5 30 110 8.5 94
8500 46.0 30 110 7.875 94
9000 39.4 30 110 7.875 94
9500 35.0 30 110 7.875 94
10000 30.8 30 110 7.875 10.1
10200 26.3 30 100 7.875 10.1
10400 24.7 30 100 7.875 10.1
10600 23.2 30 100 7.875 10.5
10800 21.8 30 90 7.875 11.1
11000 19.1 30 90 7.875 11.1
11200 17.9 30 90 7.875 11.3
11400 16.8 30 90 7.875 11.6
11600 21.9 35 90 7.875 11.6
11800 20.6 35 90 7.875 11.8
12000 20.6 35 90 7.875 13.1
12200 20.0 35 90 7.875 13.4
12400 18.0 35 90 7.875 13.6
12600 18.0 35 90 7.875 14.2
12800 17.0 35 90 7.875 14.5
Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya d-exponent pada tiap kedalaman
dengan menggunakan persamaan (3). Dengan memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa
densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil
perhitungan d-exponent terkoreksi kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 25.
Pada Gambar 22 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian
menurun secara tajam. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr sebelum
kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah
0,000038, sehingga garis tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut:
dnormal = 0.000038 x depth + 1.23
Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan persamaan berikut:
d normal
P Gn
d corr
..................................................................................(5-16)
dimana:
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW
Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg
Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 25. D-Exponent Terkoreksi vs Kedalaman 7)
Gambar 26. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap type bit PDC dan ukuran Bit
Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 27 dan 27a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat
bahwa koreksi yang telah dilakukan terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran yang menggunakan
PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5" memberikan harga EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang
digunakan pada saat pemboran.
Gambar 27. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.
Gambar 27a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.
Dari hasil penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa koreksi sebagai berikut:
D eksponen koreksi untuk PDC bit:
9
D' corr x d 0.225
MW
D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 8.5" :
9
D' corr x d 0.36
MW
D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 15.5" :
9
D' corr x d 0.2
MW
l i, i
Gob i 1
Dn
...............................................................................(5-23)
dimana :
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
Menurut Christman gradien tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai berikut :
0,433
Gob w . Dwt b . Db
D
........................................................(5-24)
dimana :
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
w
= berat jenis cairan, gr/cc
b
= berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan
menganggap berat jenis batuan rata-rata sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah
0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433psi/ft = 1,0 psi/ft.
5.5.1.3. Tekanan Formasi Normal
Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi rongga formasi, secara hidrostatis
untuk keadaan normal sama dengan tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan.
Bila isi dari kolom yang terisi berbeda cairannya, maka besarnya tekanan hidrostatiknya pun berbeda, untuk kolom air
tawar diberikan gradien tekanan hidrostatik sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya sebesar
0,465 psi/ft.
Penentuan dari tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa log atau dari data Drill Stem Test (DST).
6)
Gambar 31. Perbandingan Tekanan Efektif
Gambar 35. Poisson's Ratio 6)
Selanjutnya dari persamaan Eaton ini dibuat suatu nomograph untuk menentukan gradien tekanan rekah.
Harga faktor-faktor perbandingan yang mengindahkan kekuatan batuan di atas bermacam-macam, maka W. L. Brister
mendapatkan harga rata-ratanya (Ka) sbb :
Pob P
K a 3,9 2,88 jika ob 0,94
D D
..........................................(5-30)
Pob P
K a 3,2 2,224 jika ob 0,94
D D
........................................(5-31)
atau dari grafik pada Gambar 12, sehingga kita mendapatkan rumus akhir :
P Pob P
Fr Ka
D D
....................................................................(5-32)
Sedangkan bila kejadiannya berada di bawah permukaan laut maka harga-harga tersebut di atas perlu dikoreksi, hal
ini dapat diterangkan oleh Zamora sbb :
f D Dw 8,5 Dw
Fc
D
..................................................................(5-33)
dimana :
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut
ke
= Permeabilitas undamage reservoir
ka
= Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra
= Jari-jari zonal damage
Pe
= Tekanan pada batas pengurasan
Pw
= Tekanan pada batas sumur
q
= Rate aliran ke lubang sumur
P1 jam
= Tekanan setelah satu jam test, psi
m
= Kemiringan kurva build up test
= Porositas, fraksi
k
= Permeabilitas, md
= Viscositas, Cp
C
= Compressibillitas batuan ,psi-1
rw
= Jari-jari lubang sumur, ft
qo
= Laju produksi minyak, BPD
o
= Viskositas minyak, cp
Bo
= Formation volume factor, BPD/STB
ko
= Permeabiltas minyak, md
h
= Ketebalan formasi produktif, ft
k avg
= Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke
= Permeabilitas mula-mula
ra
= Jari-jari zone damage
rw
= Jari-jari sumur
Bab 6.
Lumpur Pemboran
6.1. Pendahuluan
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih pemboran (cutting). Lalu dengan
berkembangnya pemboran, lumpur mulai digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia ditambahkan dan
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap bertahan. Dalam bab ini tak akan dibahas
fluida pemboran yang berupa udara dan gas.
Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang mempunyai empat komponen atau fasa :
a. Fasa cair (air atau minyak)
b. Reactive solids, yaitu padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid (clay)
c. Inert solids (zat padat yang tak bereaksi)
d. Fasa kimia
a. Fasa cair.
Ini dapat berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi dua, tawar dan asin. Tujuh puluh lima persen lumpur pemboran
menggunakan air. Sedang pada air dapat pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil-base digunakan bila
minyaknya lebih dari 95% . Invert emulsions mempunyai komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa kontinu) dan air 30 -
50% (sebagai fasa terdispersi).
b. Reactive solids.
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal. Dalam hal ini clay air tawar seperti bentonite
mengisap (absorp) air tawar dan membentuk lumpur. Istilah "yield" digunakan untuk menyatakan jumlah barrel lumpur
yang dapat dihasilkan dari satu to clay agar viskositas lumpurnya 15 cp.
Untuk bentonite, yieldnya kira-kira 100 bbl/ton. Dalam hal ini bentonite mengabsorp air tawar pada permukaan partikel-
partikelnya, hingga kenaikan volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut "swelling" atau "hidrasi".
Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik diair tawar atau di air asin dan karenanya digunakan untuk
pemboran dengan "salt water muds". Baik bentonite ataupun attapulgite akan memberi kenaikan viskositas pada lumpur.
Untuk oil base mud, viskositas dinaikkan dengan penaikan kadar air dan penggunaan asphalt.
c. Inert solids.
Biasanya berupa barite (BaSO4) yang digunakan untuk menaikkan densitas lumpur, ataupun galena atau bijih besi. Inert
solids dapat pula berasal dari formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay non
swelling, dan padatan-padatan seperti ini bukan disengaja untuk menaikkan densitas lumpur dan perlu dibuang secepat
mungkin (bisa menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll).
d. Fasa kimia.
Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion
(menyebarnya paritkel-partikel clay) atau flocculation (berkumpulnya partikel-partikel clay). Efeknya terutama tertuju pada
peng"koloid"an clay yang bersangkutan. Banyak sekali zat kimia yang digunakan untuk menurunkan viskositas,
mengurangi water loss , dan mengontrol fasa koloid (disebut surface active agent). Zat-zat kimia yang mendisperse
(dengan ini disebut thinner = menurunkan viskositas, mengencerkan ) misalnya :
Quebracho (dispersant)
Phosphate
Sodium Tannate (kombinasi caustic soda dan tannium)
Lignosulfonates (bermacam-macam kayu pulp)
Lignites
Surfactant (surface active agents)
Sedang zat-zat kimia untuk menaikkan viskositas misalnya adalah :
C.M.C
Starch
Beberapa senyawa polimer
Zat-zat kimia bereaksi dan mempengaruhi lingkungan sistem lumpur tersebut misalnya dengan menetralisir muatan-
muatan listrik clay, menyebabkan dispersion dan lain-lain.
densitas lumpur harus diperkecil agar lumpur tidak hilang ke formasi. Sebaliknya untuk tekanan yang lebih besar dari
normal (lebih dari 0.465 psi/ft) atau abnormal pressure, maka barite kadang-kadang perlu ditambahkan untuk
memperberat lumpur.
Tekanan yang diakibatkan oleh kolom lumpur pada kedalaman D ft dapat dihitung dengan rumus :
Pm 0.052d m D
P Ph Ploss
dimana
Pm
= Tekanan statik lumpur, psi
P
= P dinamis
dm
= Densitas lumpur, ppg
Ph
= P hidrostatik
D
= Kedalaman, ft.
Ploss
= Kehilangan tekanan selama sirkulasi
Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida pada saat mengalir (rumus di atas untuk
keadaan statik) adalah tekanan yang dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss (kehilangan tekanan)
pada annulus di atas formasi yang bersangkutan.
5. Membawa cutting dan material-material pemberat pada suspensi bila sirkulasi lumpur dihentikan sementara.
a
300 C
N
....................................................................................(6-13)
p
Untuk menentukan plastic viscosity ( ) dan yield point (Yp) dalam field unit digunakan persamaan Bingham Plastic
(Gambar 6.6) berikut :
600 300
p
600 300
..................................................................................(6-14)
Dengan memasukkan persaman (6-10) dan (6-11) ke dalam persamaan (6-14) didapat:
p C 600 C300
..................................................................................(6-15)
Yb C300 p
.....................................................................................(6-16)
dimana :
p
= Plastic viscosity, cp
Yb
= Yield point Bingham, lb/100 ft2
C 600
= Dial reading pada 600 RPM, derajat
C 300
= Dial reading pada 300 RPM, derajat
Harga gel strength dalam 100 lb/ft2 diperoleh secara langsung dari pengukuran dengan alat Fann VG. Simpangan
skala penunjuk akibat digerakkannya rotor pada kecepatan 3 RPM, langsung menunjukkan harga gel strength 10 detik atau
10 menit dalam 100 lb/ft2.
6.3.3. Filtrasi Dan Mud Cake
Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous, batuan tersebut akan bertindak sebagai
saringan yang memungkinkan fluida dan partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan tersebut
disebut "filtrate". Sedangkan lapisan partikel-partikel besar tertahan dipermukaan batuan disebut "filter cake". Proses filtrasi
diatas hanya terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan positif ke arah batuan. Pada dasarnya ada dua jenis filtration yang
terjadi selama operasi pemboran yaitu static filtration dan dynamic filtration. Static filtration terjadi jika lumpur berada dalam
keadaan diam dan dynamic filtration terjadi ketika lumpur disirkulasikan.
Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia akan menimbulkan berbagai masalah, baik
selama operasi pemboran maupun dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan merupakan
bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran
sehingga sulit diangkat dan diputar sedangkan filtrat yang masuk ke formasi dapat menimbulkan damage pada formasi.
Standar prosedur yang digunakan dalam pengukuran volume filtration loss dan tebal mud cake untuk static filtration
adalah API RP 13B untuk LPLT (low pressure - low temperature) lihat Gambar 5.7. Lumpur ditempatkan dalam silinder
standar yang bagian dasarnya dilengkapi kertas saring dan diberi tekanan sebesar 100 psi dengan lama waktu pengukuran
30 menit. Volume filtrat ditampung dengan gelas ukur dengan satuan cubic centimeter (cc).
2k 1 tP
V f A f sm
................................................................(6-17)
dimana :
A
= Filtration area, cm2
k
= Permeabilitas cake, darcy
f sc
= Volume fraksi solid dalam mud cake
f sm
= Volume fraksi solid dalam lumpur
P
=Tekanan Filtrasi, atm
t
=Waktu filtrasi, menit
= Viscositas filtrat, cp
Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam pemboran yang berhubungan erat, baik waktu
maupun kejadiannya maupun sebab dan akibatnya. Oleh sebab itu maka pengukurannya dilakukan secara bersamaan.
Persamaan yang umum digunakan untuk static filtration loss adalah:
0.5
t
Q2 Q1 2
t1
.................................................................................(6-18)
dimana :
Q1
= Fluid loss pada waktu t1, cm3
Q2
= Fluid loss pada waktu t2, cm3
t
= waktu filtrasi, min
6.3.4. Sifat-Sifat Lumpur pada Tekanan dan Temperatur Tinggi.
Effisiensi operasi pemboran sangat dipengaruhi oleh sifat- sifat lumpur. Oleh sebab itu pemeliharaan dan mempelajari
sifat-sifat lumpur menjadi sangat penting.
Kondisi lingkungan pemboran, dalam hal ini adalah tekanan dan temperatur, dapat mempengaruhi sifat-sifat lumpur
tersebut. Dimana pada umumnya temperatur yang tinggi dapat mengurangi efektivitas aditif yang ditambahkan kedalam
lumpur sebagai pembentuk sifat-sifat lumpur. Jika pada kondisi tersebut sifat-sifat lumpur tidak dapat dikontrol, maka dapat
menimbulkan masalah terhadap kecepatan pemboran, bit dan hole cleaning, kestabilan lubang bor dan masalah-masalah
lainnya yang cukup serius.
Salah satu sifat lumpur yang akan dipelajari dalam percobaan ini adalah filtration/water loss pada tekanan dan
temperatur tinggi. Pengukuran fluid loss tersebut menggunakan High -Pressure dan High-Temperature (HPHT) filter press
yang mempunyai prinsip yang sama dengan standart filter press (Gambar 6.8). Untuk mengindikasikan kecepatan filtrasi
pada formasi permeable yang ditutupi oleh mud cake yang terbentuk setelah pemboran , maka digunakan filter-paper
standar, selain itu pembentukan mud cake harus dibawah kondisi standar test. Dari penurunan persamaan Darcy, maka
didapat hubungan antara volume filtat yang terkumpul terhadap waktu, yaitu :
0.5 0.5
f t
V f 2kP sc 1
A
f sm
.....................................................(6-19)
Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai :
V f c t 0.5
..........................................................................................(6-20)
dengan :
Vf
= volume filtrat lumpur yang terkumpul, cm3
k
= Permeabilitas mud cake, darcy
P
= Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
f sc
= Fraksi volume solid pada mud cake
f sm
= Fraksi volume solid pada Lumpur
= Viskositas filtrat, cp
A
= Luas filter paper, cm2
t
= Waktu, (menit)
c
= Konstanta
dimana :
V30 2V7.5 V sp V sp
V30
= volume filtrat yang dihasilkan selama 30 menit, cm 3
V7.5
= volume filtrat yang dihasilkan selama 7.5 menit, cm 3
Vsp
= volume spurt loss, cm3
Selain sifat water loss dari lumpur, percobaan ini juga mempelajari pengaruh temperatur terhadap sifat rheology
lumpur. Pada umumnya kenaikan temperatur menyebabkan lumpur menjadi lebih encer, tetapi hal ini tergantung dari tipe
dan total solid di dalam lumpur tersebut. Hal ini mengakibatkan plastic viscositas lumpur akan berkurang. Jika dibandingkan
dengan fasa liquidnya, dalam hal ini adalah air, maka penurunan PV tersebut menunjukan trend yang sama sampai harga
temperatur tertentu. Di atas harga tersebut, PV tidak mengalami penurunan terhadap naiknya temperatur. Keadaan ini
diakibatkan oleh meningkatnya efek friksi/gesekan dari fasa solid jika dibandingkan dengan kecepatan pengenceran dari
fasa liquidnya.
Alat yang digunakan untuk mengetahui sifat rheology adalah fann VG Viscometer yang dilengkapi cup heater untuk
menaikkan temperatur lumpur. Lumpur yang akan di tes ditempatkan sedemikian rupa sehingga mengisi ruangan antara
Bob dan Rotor sleeve. Pada saat rotor berputar, maka lumpur akan menghasilkan torque pada Bob sebanding dengan
besarnya viskositas lumpur. Dari skala pembacaan yang dihasilkan,maka dapat dihitung sifat rheology lumpur sebagai
berikut :
p 600 300
a.
Y p 300 p
b.
P 0.5 600
c.
GS 3
d.
dimana :
p
= Plastik Viscosity, cp
a
= Apparent Viscosity, cp
YP
= Yield Point, lb/100 ft2
300
= Dial Reading pada 300 RPM, derajat
600
= Dial Reading pada 600 RPM, derajat
GS
= Gel Strength, lb/100 ft2
3
= Dial Reading pada 3 RPM, derajat
2. Kontaminasi Gypsum.
Gypsum dapat masuk ke dalam lumpur saat pemboran menembus formasi gypsum, lapisan gypsum yang terdapat pada
formasi shale atau limestone. Akibat adanya gypsum dalam jumlah yang cukup banyak dalam lumpur pemboran, maka
akan merubah sifat-sifat fisik lumpur tersebut seperti viskositas plastik, yield point, gel strength dan fluid loss.
3. Kontaminasi Semen
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemenan yang kurang sempurna atau setelah pengeboran lapisan
semen dalam casing, float collar dan casing shoe. Kontaminasi semen akan merubah viskositas, yield point, gel strength,
fluid loss dan pH lumpur.
Selain dari ketiga kontaminasi di atas, bentuk kontaminasi lain yang dapat terjadi selama operasi pemboran adalah :
a. Kontaminasi " hard water ", atau kontaminasi oleh air yang mengandung ion kalsium dan magnesium cukup tinggi.
b. Kontaminasi Karbon Dioksida
c. Kontaminasi Hidrogen Sulfida
d. Kontaminasi Oksigen.
6.3.7. Sifat Pelumasan Lumpur dengan Metode Multi-Torsi
Sifat pelumasan lumpur adalah kemampuan lumpur untuk melumasi bagian alat-alat pemboran yang saling
bersinggungan atau bergesekan pada saat pemboran berlangsung. Gesekan -gesekan yang mungkin terjadi pada saat
operasi pemboran adapun seperti berikut :
Metal to metal : antara drillstring dan casing (cased hole).
Metal to mineral : antara drillstring dengan borehole wall, borehole solid atau dengan filter cake (open hole).
Mineral to mineral : cutting dengan borehole wall.
Sifat pelumasan yang baik terutama diperlukan untuk memperpanjang umur peralatan (misalnya bit, casing, dll).
Selain itu berguna pula untuk melawan efek side wall sticking, menurunkan efek drillpipe torque (momen puntir) dan drillpipe
drag (seretan).
Dengan berkembangnya teknologi di bidang pemboran maka sifat pelumasan lumpur semakin penting artinya. Pada
pemboran bersudut / miring, torque dan drag dari drillstring serta keausan (wear) casing sangat tinggi. Hal ini menyebabkan
timbulnya masalah-masalah operasional yang tidak diperkirakan sebelumnya dan akan meningkatkan biaya pemboran.
Masalah yang sama juga dijumpai pada pemboran sumur - sumur horizontal. Lumpur yang biasa dipakai pada
pemboran vertikal perlu diperbaiki untuk menghasilkan sifat pelumasan yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk
keperluan pemboran sumur horizontal.
Prinsip untuk melakukan pengujian terhadap sifat pelumasan lumpur pemboran, digunakan alat Extreme Pressure
Lubricity Tester (Gambar 6.9) yang prosedurnya telah dimodifikasi. Dengan menganggap bahwa dasar yang dipakai untuk
membuat modifikasi fungsi dasar alat tersebut, sebagaimana tidak lepas dari pengaruh pelumas di antara dua bidang yang
saling bergesekan, maka secara tidak langsung dengan prosedur yang dibuat kemudian, pengujian dapat dilakukan untuk
mengetahui sifat pelumasan lumpur secara relatif.
Pada prinsipnya Extreme Pressure Lubricity Tester terdiri atas sebuah ring baja berputar yang disentuhkan pada
sebuah blok yang dapat ditekan pada berbagai besar harga beban dengan menggunakan pengatur torsi. Ring, dan blok
dibenamkan dalam lumpur pada saar pengujian dan gaya gesek yang terjadi antara dua benda tersebut dapat diukur /
dibaca pada skala. Dalam pengukuran yang sebenarnya, harga gaya gesek yang diperoleh (pada beban dan RPM tertentu)
dapat dikorelasikan dengan menggunakan grafik untuk mengetahui koefisien gesek yang terjadi pada suatu jenis fluida
pemboran.
Gambar 6.9. Extreme Pressure Lubricity Tester
Dengan pengujian ini, dapat diketahui sifat pelumasan lumpur, relatif terhadap lumpur lainnya dan kecenderungan
perubahan sifat pelumasan lumpur yang terjadi akibat perubahan harga beban dan jumlah zat aditif. Pada setiap jenis
lumpur dilakukan pengukuran pada berbagai harga beban torsi dan kemudian direpresentasikan dalam bentuk grafik antara
gaya friksi dengan beban torsi. Gambaran yang dapat dilihat secara tidak langsung adalah bahwa terjadinya gaya friksi yang
lebih besar diakibatkan oleh sifat pelumasan lumpur yang rendah.
C. Sodium-Silicate Muds.
Fasa cair Na-silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na-sillicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini
dikembangkan untuk digunakan bagi pemboran heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime treated
gypsum lignosulfonate, shale control, dan surfactant muds (lumpur yang diberi DAS dan DME) yang lebih baik, murah
dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.
(f). Ben-Ex
Suatu rantai panjang polimer yang dirancang penggunaannya untuk low solid muds. Ben-Ex mengikat partikel clay
bersama-sama pada shear rate rendah.
(I). Thermex
Thermex syntetic resin additive digunakan secara luas untuk menstabilkan rheologi dan filtrasi dari lumpur pemboran
berdasar air pada berbagai elevate temperatur. Thermex merupakan chrome bebas, non viscosifying solution polymer
yang mengurangi fluida loss dan mengontrol kestabilan lumpur tanpa menambah viskositas dari fasa air serta relatif
stabil pada temperatur di atas 400 oF (204 oC). Thermex dapat digunakan pada semua jenis lumpur berdasar air.
Type Sifat-Sifat Fisik Additive :
Appearance : Burgundy Liquid
Specific gravity : 1.13 @ o F (21 o C)
Kelarutan dalam air tawar : 100 %
Flash Joint : > 200oF (93oC) PMCC
pH : 10.7
pour point : 25 oF ( -4 oC)
Applikasi
Thermex merupakan non viscosifying, high temperatur rheology stabilizer dan additive pengontrol fluid loss yang
digunakan untuk lumpur jenis fresh water, sea water, salt water atau calsium based muds.
Thermex merupakan komponen essensial dalam high temperatur chrome free fluida pemboran yang didesain untuk
kondisi yang merugikan di area yang di lingkungan yang sensitif. Dengan catatan effektif pada densitas yang tinggi
untuk mengontrol terjadinya gel pada temperatur tinggi dimana fluid loss dapat diterima tanpa menambah
viskositasnya. Karakter tidak memviscous merupakan kelebihan dibandingkan additive lain.
Normal treatment yang disarankan berkisar 4-12 lbm/bbl (11.4 - 34.2 kg/m3) tergantung kebutuhan untuk mengurangi
fluid loss lumpur, fasa kimia lumpur serta aplikasi pada lingkungan sekitarnya. Thermex compatible untuk berbagai jenis
lumpur anionic dan non anionic.
Keuntungan
Thermex mengurangi terjadinya penggumpalan lumpur dan pembentukan gel akibat beban temperatur.
Mengurangi fluid loss tanpa menambah viskositas dari fasa cairan.
Membentuk filter cake serta mengurangi permeabilitasnya.
menjaga fluid loss lumpur pada temperatur di atas 400 oF (204 oC)
Relatif solid untuk kondisi yang sensitif.
Mengurangi filtrat fluida di bawah kondisi yang tidak menguntungkan.
Merupakan Chrome free (Material logam berat tidak digunakan dalam produk ini.
Limitasi Penggunaan
Konsentrasi elektrolit tinggi (>dari 100000 mg/l) memerlukan penambahan konsentrasi additive ini.
Konsentrasi yang optimum disarankan untuk pemakaian produk ini.
(j). Resinex
Resinex merupakan non viscosifying fluid loss dan mengontrol rheology yang effektif untuk temperatur tinggi serta
kompatible dengan adanya konsentrasi tinggi dari elektrolit. Diaplikasikan secara luas pada berbagai type dari water
base muds. Pada aplikasi di lapangan hasil yang excelent untuk lebih fresh water, brackish water, sea water, salty
water, lime, gyp, lignosulfonate, polymer, non dispersed dan berbagai sistem lain. Relatif stabil pada temperatur di atas
400oF. Non viscousifying dari resinex dipromosikan untuk menambah keuntukan dari operasi pengeboran terutama
pada lumpur dengan densitas yang tinggi dimana penambahan viskositas akan berakibat merugikan.
Aplikasi
Minimum pemakaian sekitar 2 lbs/bbl. Penambahan konsentrasi dilakukan tergantung dari sifat-sifat lumpur yang
diinginkan. Konsentrasi optimum sekitar 1-6 lbs/bbl.
Konsentrasi calsium sekitar 200 ppm atau lebih diperlukan resinex untuk mengontrol fluid loss dan rheologi dari lumpur.
Keuntungan
Non viscousifying. Penambahan viskositas air hanya sebanding dengan kandungan lignosulfonat. Penggunaan normal
dilakukan dalam konsentrasi kecil dari pada lignosulfonate.
Mengurangi permeabilitas filter cake. Kebanyakan dari additive pengontrolan fluid loss mengentalkan air atau
menyebabkan bentonit mempunyai daya kontrol yang lebih baik dengan jalan deflokulasi atau dengan meremove
kandungan kesadahan dari air.
Resinex secara independen mengurangi permeabilitas dari filter cake, mengeliminir high solid, meninggikan viskositas
filtrat serta mengontrol sifat kimia air.
Mengurangi pembentukan gel akibat beban temperatur. Menstabilkan sifat rheologi dari lumpur berdasar air.
Stabil pada temperatur tinggi. Relatif mempunyai filtrat yang stabil diatas temperatur 400 oF.
Resistan terhadap salinitas garam. Dalam lumpur dengan kadar chloride diatas 110000 ppm mengurangi permeabilitas
dari filter cake dan mendekati jenis fresh water muds.
Resistant terhadap calsium dan magnesium. Karakteristik dari pengontrolan fluid loss secara aktual meningkat dengan
kandungan konsentrasi calsium atau magnesium di atas 2000 ppm. Menyimpulkan bahwa resinex relatif kompatible
dengan sea water muds, gyp muds, serta lime muds.
Lebih ekonomis, dibanding lignite, lignosulfonate, dan sea water muds.
Secara general dengan bertambahnya salinity, kesadahan serta temperatur yang semakin tinggi, pemakaian resinex
sangat dipertimbangkan.
(k). Baranex
Barabex merupakan modifikasi dari lignin polymer berfungsi sebagai additive pengontrol filtrat dari lumpur berdasar air.
Sifat powder polymernya effektif untuk mengurangi fluid loss yang terjadi akibat pembebanan temperatur di atas 400 oF
(205 oC) dalam berbagai jenis fluida. Penambahan Baranex tidak mengakibatkan terjadinya kenaikan viscositas lumpur
dan secara aktual menstabilkan rheologi lumpur.
Dalam fungsinya sebagai pengontrol laju filtrasi pada temperatur tinggi, Baranex merupakan anionic polymer yang
mempunyai reaksi hubungan sulfonat yang radikal yang merupakan bagian dari polymer, selain itu dapat menghandel
kontaminasi yang terjadi terutama Calsium chloride. Baranex tidak memerlukan penambahan caustic untuk solubilize,
lumpur dapat dipelihara mendekati pH netral, dapat digunakan untuk lumpur berdasar air serta lumpur dengan densitas
yang tinggi.
Aplikasi
Variasi yang dipakai dari 1 - 10 lbs/bbl (2.9 - 28.6 kb/m3. Baranex merupakan polymer yang compatible dengan
lignosulfonate dan lignit. Kandungan additive ini mempunyai mineral besi yang rendah serta mempunyai kadar racun
yang rendah.
6.7.1.2. Thinner (Pengencer)
(a). Thinner (dispersant)
Adalah merupakan senyawa (agent) yang menurunkan viskositas fluida pemboran. Viskositas, seperti yang dibahas
dimuka, dapat dihubungkan dengan semua konsentrasi padatan atau interaksi antar partikel padatan. Setiap senyawa
yang efektif dapat mengurangi viskositas fluida.
(b). Air
Telah lama digunakan sebagai pengencer yang efektif pada lumpur pemboran. Efek pengenceran diperoleh dengan
mengurangi total konsentrasi padatan lumpur pemboran. Karena penambahan drilled solid pada sistem lumpur sudah
menjadi sifat yang umum, maka diperlukan pencairan dengan air atau mengambil padatan-padatan tersebut secara
mekanis.
Perlu dicatat bahwa air biasanya ditambahkan pada lumpur water-base untuk menggantikan air yang hilang kedalam
formasi. Jika air yang hilang tersebut tidak digantikan dengan penambahan air, maka akan menaikan viskositas karena
konsentrasi padatan bertambah dan treatment kimia akan membuktikan tidak efektifannya menurunkan viskositas dalam
situasi ini.
(c). Phosphates
Phosphate bekerja dengan pengabsorbsian pada valensi tepi partikel clay yang terputus, sehingga menghasilkan
keseimbangan listrik dan memungkinkan partikel-partikel mengambang dengan bebas dalam larutan. Pengaruh
pendispersian phosphate ini adalah karena muatan negatif plat-plat clay, yang memungkinkan plat-plat menolak satu
dengan yang lain setelah semua valensi tepi putus. Phosphate penggunaannya terbatas dalam lingkungan kontaminasi
ion. Jika terdapat ion kalsium atau magnesium, bentuk kompleks polyphosphate atau terbentuk suatu ion metal
orthophosphate yang tidak larut.
Phosphate yang umum digunakan dalam aplikasi praktis pada lumpur pemboran ditunjukkan pada Tabel berikut :
Nama Kimia Nama Umum pH Aditif Batasan temperatur
Keuntungan :
1. Phosphate sangat berguna karena merupakan thinner yang efektif untuk gel mud pada pemboran dangkal.
2. Sedikit saja thinner sudah efektif.
Kerugian :
1. SAPP mempunyai pH 4.8. Oleh karena itu, perlu ditambahkan caustic soda,NaOh, atau beberapa aditif hidroksil
untuk menjaga pH lumpur diatas 7.0
2. Pada umumnya Phosphate hanya dapat stabil pada temperatur rendah
3. Phosphate tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol fluid loss, seperti halnya thinner yang lain
(d) Lignins
Merupakan thinner dan fluid loss control agent yang efektif. Produk Lignin dapat diperoleh dari humic acid extract, tetapi
biasanya berbentuk kepingan lignite coal.
Keuntugan :
1. Lignite stabil pada temperatur 4000F, dan dapat stabil pada temperatur 4500F dengan menggunakan aditif-aditif
khusus.
2. Lignites (lignins) berfungsi sebagai dispersant dengan memenuhi valensi tepi yang terputus dan sebagai fluid loss
control agent karena struktur koloidal-nya.
3. Walaupun lignins mempunyai pH asam, produk pre-causticized dapat diperoleh yang mempunyai 1 - 6, caustic-
lignin ratio, yang dapat digunakan tanpa pH adjuster.
Kerugian :
Lignin tidak cocok untuk fluida dengan kandungan garam yang tinggi karena lignite tidak larut dalam garam.
(e). Tannin
Diperoleh dari ekstrak tumbuhan. Tannin yang paling banyak dijumpai adalah quebracho, yang diperoleh dari pohon
quebracho di Argentina.
Keuntungan :
1. Tannin merupakan bahan dengan fungsi ganda sebagai dispersant dan fluid loss control agent.
2. Tannins, terutama quebracho efektif untuk pengencer lumpur lime dan lumpur yang terkontaminasi semen.
(f). Lignosulfonates
Adalah campuran lignin sulfonate yang diperoleh dari sulfite liquor. Berbagai macam jenis dan sejumlah ion-ion metal
ditambahkan dalam campuran tersebut untuk meningkatkan kemampuannya dalam menetralisir valensi tepi yang
terputus. Ion-ion yang ditambahkan adalah kalsium, besi, dan chrome.
Keuntungan :
1. Calsium lignosulfonate adalah thinner yang efektif untuk lumpur lime.
2. Ferrochrome lignosulfonate, dengan berbagai jumlah besi dan chrome, merupakan thinner yang efektif untuk tujuan
umum karena adanya ion-ion metal berat.
3. Lignosulfonates mempunyai stabilitas sampai temperatur 400 oF.
4. Lignosulfonate merupakan aditif fungsi ganda baik sebagai dispersant maupun fluid loss control agent.
Kerugian :
Ada beberapa spekulasi bahwa dibawah kondisi temperatur tekanan yang sangat tinggi, lignosulfonate dapat
terdegradasi dan mengembangkan racun gas H2S.
(I) Spersene
Spersene merupakan deflokulasi dan protektive koloid
Aplikasi
Konsentrasi minimum yang dipakai untuk system XP-20/Spersene sekitar 12 lbs/bbl dengan ratio pemakaian 1-2 lbs/bbl.
XP-20/Spersene dapat digunakan untuk berbagai jenis densitas dan berbagai variasi pembebanan temperatur, problem
shale serta kontaminasi yang eksestif lainnya.
Limitasi
Jenis material lignit tidak efektif untuk kandungan konsentrasi garam calsium tinggi dan relatif moderat untuk kandungan
salt tinggi.
(J). CC-16
CC-16 merupakan dispersant jenis garam sodium larut dari material asam. Effisient untuk mengontrol viskositas dan gel
strength lumpur. CC-16 exelent untuk mengemulsi oil dalam lumpur pemboran.
Sifat Fisik
Wet screen analysis (325 mesh) 10 - 20 %
Bulk Density (lb/ft3), Compacted/Uncompacted 62/52
Appearance Blck Powder
pH, 10% dalam air 9 - 10
Treatment yang Direkomendasikan
CC-16 dispersant dapat ditambahkan langsung ke dalam lumpur, dan relatif larut dengan cepat dalam air.
Berfungsi Sebagai
Mengurangi viskositas dan gel dari banyak lumpur berat
Mengurangi laju filtrasi dari lumpur pada kondisi tekanan dan temperatur tinggi dengan membentuk mud cake yang
tipis dan liat.
Mengurangi effek kontaminasi yang terjadi pada lumpur dengan jalan deflokulasi
Mengentalkan dan mengemulsi minyak yang terdapat pada lumpur berdasar air
Memelihara karakteristik lumpur akibat kondisi HTHP
Aplikasi
CC-16 dispersant dapat digunakan untuk mentreatment lumpur dari pH normal sampai pH tinggi termasuk lime muds.
CC-16 dispersant dapat emnghandel kontaminasi akibat garam dan cement.
Keuntungan Utama
Larut cepat dalam air
Harga relatif murah (penggunaan dalam jumlah kecil)
Tidak memerlukan pengemulsi tambahan serta relatif bagus untuk mengemulsi minyak dalam lumpur
Mempunyai total mud cost yang rendah, effektif dalam menghandel berbagai kontaminan
Overtreatment tidak mempengaruhi kondisi lumpur
6.7.1.3. Bahan-bahan Pemberat (Weighting Material)
Material pemberat adalah bahan-bahan yang mempunyai specific gravity tinggi yang ditambahkan kedalam cairan untuk
menaikkan densitas fluida. Biasanya, material pemberat ditambahkan kedalam lumpur pemboran untuk mengontrol
tekanan formasi.
Keuntungan :
1. Sodium Chloride dapat digunakan secara ekonomis karena densitas agent tanpa perlu penambahan bentonite
untuk kemampuan suspensinya. Lumpur ini efektif digunakan pada pemboran atau packer fluid.
2. Calcium Chloride umumnya digunakan sebagai density material dalam packer fluids.
Kerugian :
1. Larutan sodium chloride jenuh pada 10.8 ppg.
2. Calcium chloride menndatangkan problem ketika digunakan sebagai lumpur pemboran karena laju korosinya
cukup menyolok jika berhubungan dengan udara.
3. Zinc Chloride mahal
4. Zinc chloride sangat korosif terhadap tubing dan casing.
6.7.1.4. Pengatur pH (pH Adjuster)
Karena beberapa aditif lumpur pH-nya rendah dan karena pengoperasian optimum range pH sistem lumpur, sehingga
pada suatu saat perlu menambahkan bahan-bahan yang akan merubah pH sistem lumpur. Karena pada umumnya aditif
secara alamiah bersifat asam, maka jarang bahwa pH-nya tinggi. Sebaliknya, biasanya pH yang terlalu rendah harus
dinaikkan.
pH adjuster harus ditangani dengan hati-hati, dengan menggunaan suatu chemical barrel. Tidak menggunakan
hopper atau dump secara langsung kedalam sistem.
Secara umum, ada tiga macam pH adjuster, yaitu Sodium Hydroxide (Caustic soda), Potassium Hydroxide, dan
Calcium Hydroxide. Sodium Hydroxide adalah merupakan pH adjuster yang umum digunakan, sedangkan lainnya biasanya
digunakan untuk tujuan khusus.
Keuntungan :
1. Ketiga macam aditif tersebut dapat menaikan pH.
2. Sodium Hydroxide, karena tingginya tingkat aktivitas ion sodium, cenderung menyebabkan jumlah terkecil clay
inhibition.
Kerugian :
1. Semuanya dapat menyebabkan kulit terbakar.
2. Semuanya sangat korosif terhadap peralatan.
3. Potassium Hydroxide dan Calcium Hydroxide mempunyai karakteristik ihibitive (menghalangi) yang kuat karena
adanya ion-ion potassium dan calcium. Kedua produk ini biasanya digunakan dalam lumpur untuk clay hidration
inhibition.
6.7.2.2. Penggunaan Aditif-aditif Khusus
Lost Circulation Materials
Adalah merupakan material yang ditambahkan baik untuk mencegah lost circultation atau untuk mendapatkan
kembali sirkulasi setelah terjadi hilang sirkulasi. Pada umumnya material-material ini digunakan tanpa pandang bulu dan
tanpa pemikiran-pemikiran sebelumnya.
Problem lost circulation secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
Pertama, adalah problem hilang lumpur kedalam rongga-rongga, seperti zona porous, vuggy limestone, shell reefs,
gravel beds, atau gua-gua alami.
Kedua, adalah lost circulation yang terjadi karena terlampauinya compressive strength formasi. Kemungkinan
penanganan untuk kategori pertama akan tidak menyelesaikan problem rekah formasi. Maka, aditif lumpur harus
dibagi menjadi kelompok-kelompok yang dapat diterapkan pada setiap jenis lost circulation tersebut.
Secara umum, tidak ada aditif lumpur yang dapat diaplikasikan dalam rongga-rongga yang besar seperti gua-gua
dibawah tanah. Drilling blind dan setting casing string sering digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akan
tetapi, dalam rongga-rongga yang kecil, material penyumbat dapat secara efektif menutup zona-zona tersebut.
Fibrous Materials - seperti ground leather atau ground sugar dari batang rotan palaing efektif pada rongga-rongga
yang besar karena serat kasar tersebut dapat memberikan kemampuan membungkus dengan baik. Problem lain yang
mungkin terjadi adalah penyumbatan bit jet dengan material ini.
Walnut Shells dan Ground Mica - dapat diperoleh dalam ukuran yang halus, medium dan kasar dan biasanya cocok
untuk menutup zona porous.
Cellophane Flakes - juga bekerja dalam cara yang sama dalam zona-zona porous.
Barite dan Bentonite - biasanya sangat efektif untuk penutupan formasi yang porous.
Squeeze Techniques - mungkin efektif untuk menyelesaikan problem-problem lost circulation ini. Squeeze adalah
setiap material yang didesak masuk kedalam formasi sebagai usaha untuk menutup formasi dari dalam. Setiap bahan yang
disebutkan diatas dapat digunakan dalam squeeze dan biasanya dalam jumlah yang cukup banyak per barrel-nya.
Squeeze khusus menggunakan diesel-oil sebagai carrying agent yang dicampur dengan bentonite atau semen sangat
efektif. Semen atau bentonite tidak bereaksi dengan minyak, tetapi akan bereaksi dengan lumpur atau air formasi.
Spotting Fluids - Fluida harus mempunyai sifat basah minyak (oil wetting). Hal ini akan merusak water base filter
cake.
Bahan-bahan :
Minyak - biasanya diesel oil
Surfactant - oil wetting purposes
Suspension material to support barite.
Gambar 6.13. Pengaruh Temperatur Pada Viskositas Plastik dari Water Base Mud pada 320 oF dan 50 cp pada 220oF
Temperatur mempunyai akibat yang kuat pada sifat-sifat aliran dari lumpur bor.
Tabel (6.1) dapat digunakan untuk memperkirakan pengaruh temperatur pada kekentalan lumpur bor jika tidak terjadi
flokulasi pada lumpur bor. Data dari Tabel (6.1) didasarkan secara lengkap pada pengaruh temperatur pada keenceran air
yang ditunjukkan pada Gambar (6.13).
Temperatur akan mempengaruhi besarnya viskositas lumpur pemboran. Besarnya temperatur mempengaruhi jarak
intermolekul. Untuk cairan, jarak antara molekul-molekul naik dengan naiknya temperatur, yang akan menurunkan gayagaya
kohesi sehingga viskositas fluida akan turun.
Untuk gas, temperatur naik menyebabkan gaya-gaya getaran dari molekul-molekul naik dan gaya kohesi turun. Pada
prakteknya gaya-gaya vibrasi (getaran) dari gas melampaui gaya kohesi, sehingga menghasilkan kenaikkan viskositas
dengan naiknya temperatur.
V / bbl lumpur
(35.5 3)
..........................................................(6-26)
3. Untuk Menurunkan desitas dari
a. Volume liquid (air atau diesel oil) V2 dalam bbl yang dibutuhkan :
( 3 1)
V 2 V1
( 2 3)
..............................................................................(6-27)
dimana :
V1 = Volume lumpur awal, bbl
V3 = Volume lumpur akhir, bbl
1
= densitas lumpur awal
2
= densitas dari penambahan liquid
3
= densitas akhir campuran
( 3 1)
V1 V 3
( 2 3)
..............................................................................(6-28)
( 1 3)
V2 V3
( 1 2)
..............................................................................(6-29)
b. Densitas akhir lumpur
V2
3 1 ( 1 2)
V3
.....................................................................(6-30)
V2
3 ( 1 2)
V1 V 2
.....................................................................(6-31)
Contoh 7.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg dengan kadar solid 6% menjadi 13 ppg dengan kadar
solid 3.5% diperlukan penambahan air dan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl, hitung jumlah
lumpur lama yang harus dibuang serta air dan barite (SG=4.20) yang harus ditambahkan.
Volume lumpur yang diperlukan
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 583 = 417 bbl
Jumlah air yang ditambahkan
(4.20 x8.33) 13) x1000 left ( 4.20 x8.33) 10 x583
(4.20 x8.33) 8.33
Massa barite yang diperlukan = (4.20 x8.33) x [42 x (1000 - 583 - 278)]
= 204330 lbm
Ukuran cutting yang diperoleh dari pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi hampir sama dengan ukuran
cutting dari pemboran yang menggunakan lumpur biasa, dibandingkan ukuran cutting pemboran air/gas yang berbentuk
serbuk. Ukuran cutting ini memudahkan untuk dianalisa dan dijadikan petunjuk formasi yang sedang ditembus.
Pemboran aerasi tidak menyebabkan terjadinya pembesaran lubang (washout) dibandingkan dengan pemboran yang
menggunakan lumpur biasa. Hambatan pada dinding lubang sumur akan diperkecil dengan adanya udara dalam lumpur
aerasi.
Masalah korosi yang terjadi pada pemboran lumpur aerasi merupakan masalah korosi paling besar dalam pemboran
underbalanced, karena adanya udara dan cairan dalam lumpur aerasi.
Dengan penanganan yang memadai seperti pemilihan dan penggunaan air, pengaturan pH > 8, dan penggunaan
korosi inhibitor maka masalah korosi dapat dikurangi, sehingga pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi dapat
dijadikan alternatif pemilihan teknik pemboran yang baik.
Masalah keselamatan juga perlu menjadi perhatian karena penggunaan udara yang mengandung oksigen jika
bertemu dengan hidrokarbon dan panas yang cukup akan mengakibatkan bahaya kebakaran dan ledakan, walaupun
masalah ini lebih kecil daripada pemboran udara/gas karena adanya lumpur biasa.
Pemboran aerasi membutuhkan peralatan tambahan seperti kompresor penginjeksi udara, penyekat drillstring, pipa
udara, dan separator udara-lumpur. Tetapi biaya pengadaan peralatan tambahan ini bisa ditekan karena penggunaan udara
dan ketersediannya di alam, membuat lumpur aerasi lebih ekonomis dibandingkan jika penggunaan gas-gas pada
pemboran udara/gas.
Pemboran aerasi tidak menjamin proses penyemenan biasa berjalan lancar tanpa terjadi hilang semen. Hal ini karena
lumpur aerasi tidak membentuk penyekat pada zona loss. Penggunaan Lost Circulating Material (LCM), penyemenan
dengan foam cement, dan mengatur densitas lumpur aerasi agar lebih tinggi dari tekanan formasi tanpa menyebabkan
hilang sirkulasi akan mengatasi masalah ini.
6.8.5. Distribusi Gelembung dalam Lumpur Aerasi
Penginjeksian udara kedalam lumpur akan membentuk distribusi gelembung udara yang berukuran makin kecil jika
berada semakin dalam karena pengaruh tekanan dan temperatur.
Distribusi gelembung dalam lumpur aerasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ketika lumpur aerasi bersirkulasi
2. Ketika lumpur aerasi tidak bersirkulasi
6.8.5.1. Lumpur Aerasi ketika Bersirkulasi
a. Di dalam drillstring.
Distribusi gelembung dalam drillstring terjadi ketika udara pertama kali diinjeksikan ke dalam lumpur di permukaan
hingga ke dasar sumur. Gelembung udara cenderung bergerak ke atas karena densitas yang lebih kecil daripada
densitas lumpur. Kecepatan slip gelembung udara dalam pipa adalah selisih kecepatan lumpur menuju ke dasar sumur
terhadap kecepatan gelembung untuk bergerak ke permukaan. Perubahan tekanan dan temperatur yang semakin tinggi
ke arah bawah, menyebabkan volume gelembung akan semakin kecil, sehingga kecepatan slip masing-masing
gelembung akan berbeda. Kecepatan slip harus lebih besar dari nol pada gelembung berukuran paling besar, sehingga
gelembung akan mengikuti aliran lumpur ke bawah.
b. Di anulus
Ketika lumpur aerasi keluar dari bit, terjadi penurunan tekanan yang besar sehingga menimbulkan efek pengembangan
gelembung udara yang terkompresi. Setelah mengembang, gelembung udara akan terkompresi kembali menjadi
gelembung udara berukuran kecil dan bergerak ke permukaan bersama dengan aliran lumpur dan cutting.
Gelembung udara bergerak menuju ke permukaan bersama dengan aliran lumpur sehingga kecepatan gelembung
bergerak ke atas merupakan penjumlahan dari kecepatan slip gelembung terhadap aliran lumpur dan kecepatan aliran
lumpur. Kecepatan gelembung ini akan makin besar bila ukuran gelembung makin besar. Jika pola aliran slug terbentuk,
maka kecepatan gelembung udara akan makin besar dan memberikan efek piston terhadap lumpur di atasnya sehingga
dapat membahayakan keselamatan disamping terbatasnya kemampuan BOP dalam menahan tekanan dari dasar sumur.
Cutting bergerak ke bawah dengan kecepatan terminalnya melawan arus pergerakan gelembung udara dan aliran
lumpur. Kecepatan aliran lumpur aerasi harus lebih besar dari kecepatan slip dan terminal cutting.
6.8.5.2. Lumpur Aerasi dalam Keadaan Tidak Bersirkulasi
a. Di dalam drillstring
Lumpur tidak bersirkulasi ketika pemboran sedang melakukan penyambu-ngan atau pelepasan drillstring (proses
tripping). Gelembung udara yang berdensitas ringan cenderung bergerak ke atas dan menimbulkan pergerakan
permukaan lumpur ke bawah sementara gelembung udara terus keluar dari lumpur.
Keluarnya gelembung udara dari lumpur tidak diinginkan, karena menyebabkan densitas lumpur di bagian bawah makin
berat dan tekanan udara yang besar dari gelembung yang keluar dapat membahayakan proses tripping tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi bahaya adalah dengan memompakan lumpur biasa saja (tanpa
injeksi udara) hingga minimal mencapai satu joint atau mencapai check valve. Tujuan pemasukan lumpur biasa adalah
untuk memberikan tekanan terhadap lumpur sehingga gelembung akan bergerak lambat ketika menuju permukaan.
b. Dianulus
Berhentinya sirkulasi lumpur aerasi dapat menyebabkan cutting turun ke dasar sumur. Kecepatan cutting untuk turun
(kecepatan terminal) diperkecil karena sifat gel strength dari lumpur dan gerakan gelembung udara ke permukaan yang
menabrak cutting.
6.8.5.3. Pengaruh Tekanan Permukaan terhadap Distribusi Gelembung
Distribusi gelembung dan pola aliran dalam drillstring berbeda daripada di anulus seperti ditunjukkan dalam Gambar
6.15.
Perbedaan distribusi gelembung dan pola aliran tersebut disebabkan:
Perbedaan arah aliran di dalam drillstring dan anulus
Perbedaan tekanan di permukaan, dimana tekanan di dalam drillstring dipengaruhi tekanan lumpur sedangkan
tekanan di permukaan anulus (blooie line) dipengaruhi tekanan udara.
Adanya cutting dalam aliran lumpur di anulus yang mempe-ngaruhi densitas lumpur aerasi.
Kecepatan gelembung berukuran kecil untuk bergerak ke atas lebih kecil daripada gelembung yang berukuran lebih
besar. Berdasarkan persamaan Stoke15) di bawah ini dapat diketahui hubungan diameter gelembung (dianggap berbentuk
bola) dan kecepatan slip gelembung terhadap cairan dalam keadaan statis (tidak bersirkulasi).
138 x ( a m) xdb2
Vslip
m
..........................................................(6-32)
dimana :
vslip = kecepatan slip (ft/s)
a
= densitas udara (ppg)
m
= densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
m
= viskositas lumpur (cp)
Harga vslip akan negatif yang menunjukkan gelembung bergerak menuju ke atas. Ketika bersirkulasi harus
diperhitungkan juga kecepatan aliran lumpur dan pe-ngaruh dari putaran drillstring.
Gambar 6.17. Chart Froude Untuk Pola Aliran Dua Fasa dalam
Pipa Vertikal 22)
6.8.7. Sifat-sifat Lumpur Aerasi
Pada dasarnya penginjeksian udara ke dalam lumpur tidak mengubah sifat-sifat kimia dari lumpur, tetapi hanya sifat
fisika. Setelah bersirkulasi, lumpur aerasi kembali menjadi lumpur biasa. Sifat-sifat fisika yang perlu dibahas antara lain :
densitas, viskositas, dan gel strength.
6.8.7.1. Densitas
Densitas lumpur aerasi tergantung dari densitas lumpur awal, volume lumpur, densitas udara, volume udara, tekanan,
dan temperatur. Densitas terendah dicapai ketika lumpur aerasi terbentuk pertama kali di permukaan, ketika bersirkulasi ke
bawah, densitas lumpur akan semakin besar. Hal ini disebabkan distribusi gelembung yang tidak merata dalam lumpur
aerasi. Karena gelembung udara berdensitas lebih kecil dari densitas lumpur, maka gelembung cenderung bergerak ke
atas.
Berdasarkan persamaan White15) jika Qa, Qm, dan densitas lumpur awal tetap, maka terdapat hubungan antara
densitas lumpur aerasi terhadap kedalaman, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.18.
Menurut Rovig17), ketika melakukan pemboran aerasi, lebih baik kekurangan jumlah udara daripada kelebihan udara yang
diinjeksikan, untuk menjaga agar tekanan hidrostatis tidak terlalu rendah sehingga terlalu banyak fluida formasi yang masuk
dan dinding sumur lebih mudah runtuh.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dan pendapat Rovig, maka metoda White lebih baik digunakan daripada metoda PV
= konstan atau PV/T = konstan. Penerapan metoda White dapat dilakukan di Lapangan Duri dimana formasi produktif
terletak pada kedalaman kurang dari 1000 ft.
6.8.10. Metoda Pembuatan Lumpur Aerasi
Pembuatan lumpur aerasi terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan cara menginjeksikan udara kedalam lumpur, yaitu :
1. Penginjeksian melalui standpipeMetoda yang paling umum dilakukan pada pemboran aerasi yaitu dengan
menginjeksikan udara melalui standpipe.
Gambar 7. Penginjeksian Udara Melalui Standpipe13)
Faktor pembatas metoda ini adalah kemampuan memampatkan udara pada peralatan permukaan dimana tekanan
injeksi operasional terbatas pada tekanan 1250 psi. Tekanan injeksi ini dapat mencapai kedalaman sumur bor 8000
- 9000 ft. Dibawah tekanan operasional ini, tekanan injeksi pada standpipe akan terlalu tinggi untuk diatasi tekanan
udara dari kompresor.
2. Penginjeksian melalui parasite stringParasite string adalah pipa tambahan yang menempel pada casing
intermediate dan berfungsi menginjeksikan udara kedalam anulus diantara casing dan drillpipe.
d. Rotating HeadDipasang di atas BOP. Berfungsi menyekat anulus dan melindungi seluruh komponen yang
berputar di drillstring kecuali bit dan reamer yang berukuran besar. Lumpur keluar dari anulus, langsung menuju
separator udara-lumpur melalui blooie line.
6.9.Lumpur Inhibitif
6.9.1. Pendahuluan
Untuk pengelompokan lumpur, pembagian garis antara lumpur freshwater dan saltwater ditentukan oleh kadar garam.
Jika konsentrasi garam sebesar 10.000 ppm atau kurang, maka lumpur tersebut disebut sistem freshwater, sedangkan
diatas 10.000 ppm sistem lumpur tersebut diformulasikan dan dirawat sebagai salt mud (lumpur garam). Ada beberapa jenis
salt mud, yaitu : brackish-water mud dengan konsentrasi garam dari 10.000 sampai 20.000 ppm; seawater mud
mengandung garam 20.000 sampai 40.000 ppm; cut-brine mud dibuat dari oilfield brines dan berbagai konsentrasi garam
dari 40.000 ppm sampai mendekati batas saturasi (jenuh); saturated salt muds dengan kadar garam maksimum 315.000
ppm. Lumpur pemboran yang mengandung garam lebih dari 10.000 ppm biasanya diklasifikasikan secara salah sebagai
freshwater mud. Sebagai contoh, lime mud yang mengandung garam 40.000 ppm masih disebut sebagai lime mud, atau
gyp mud yang mempunyai kadar garam 50.000 ppm tetapi disebut gyp mud, bukan sebagai gyp-salt mud. Tetapi pada
kenyataannya, berdasarkan klasifikasi diatas lumpur tersebut adalah merupakan salt mud.
Salt mud digunakan jika memperbaiki air yang mengadung konsentrasi garam tinggi, jika aliran air garam menghambat
penggunaan freshwater system, jika menembus salt stringer atau formasi garam masif, dan untuk menghambat hidrasi
formasi yang sensitif terhadap air. Beberapa atau semua faktor diatas terlibat dalam pemilihan salt mud yang dapat
digunakan pada pemboran ditempat tertentu.
Chapter ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis-jenis salt mud, penggunaan salt mud secara
efektif untuk pemboran pada lingkungan tertentu, dan perawatan salt mud secara umum.
b). Sementasi
Ukuran butir clay yang halus dan kemampuannya membentuk koloid menyebabkan ia bertindak sebagai semen
pada batuan sedimen. Proses ini terjadi dimana koloid, fragmen batuan dalam air setelah ditrasport lalu diendapkan
dan diakumulasi pada suatu tempat dan terkompaksi sehingga air terperas keluar. Pengaruh dan penyesuaian
dengan lingkungan, membentuk diri sebagai bahan perekat fragmen-fragmen batuan sedimen.
c). Kompaksi
Proses kompaksi ini menyebabkan air terperas keluar, makin besar tekanan overburder kompaksi akan semakin
kuat sehingga porositas dari batuan yang terbentuk akan makin berkurang demikian pula permeabilitasnya.
Kecepatan sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan air terjebak didalam material clay sehingga seolah-olah
butiran-butirannya terapung di dalam air (air formasi). Proses kompaksi juga mungkin akan menyebabkan
perubahan mineralogi clay. Dari proses kompaksi ini dapat diketahui terjadinya tekanan abnormal pada formasi
shale yaitu dengan melihat bahwa tekanan geostatik sebagian besar didukung oleh air formasi (formasi shale),
sedangkan air tersebut sebagian terjebak di dalam material clay sehingga perhitungan tekanan formasi berdasarkan
tekanan hidrostatik akan lebih kecil dari tekanan yang sebenarnya.
Kaolinite memiliki kristal dan sudut sisi yang baik (Gambar 6.31), namun ada juga yang berbentuk kristal tidak
sempurna dengan tepi yang bergigi.
Mineral dickite berbentuk hexagonal yang memanjang pada arah tertentu. Morfologi mineral lainnya dapat dilihat
pada Gambar berikutnya.
b. Struktur Kristal Mineral Clay.
Ada dua unit yang termasuk pada struktur atom pada kebanyakan mineral-mineral clay. Unit yang pertama terdiri
dari dua muatan tertutup oksigen atau gugusan hidroksil dimana atom-atom Aluminium, besi atau magnesium
terkungkung pada sistem karbonat octrahedral, sedemikian rupa sehingga atom-atom logam tersebut terletak pada
jarak yang sama terhadap enam atom oksigen atau gugus hidroksil; Hal tersebut dapat kita lihat pada Gambar 6.40
dibawah ini.
Formula dari struktur ini adalah Al 2S12O5(OH)4 dan dari perhitungan teoritis struktur ini memiliki komposisi 46.54 %
SiO2, 39,50 % Al2O3 dan 26,96 % H2O. Sedangkan ketebal;annya adalah kira-kira 7 Angstrom.Dikarenakan adanya
superposisi dari atom-atom oxigen dengan gugus hidroksil pada batas unit, maka masing- masing unit akan saling
berikatan, sedangkan atom hidrogen berada diantara laipsan-lapisan, dengan ini mineral tersebut tidak cepat larut dalam
air.Anggota dari group kaolinite ini antara lain adalah dickite dan nacrite. Keduanya memiliki bentuk dan struktur kristak yang
mirip dengan struktur kristal yang diterangkan di atas. Perbedaannya terletak pada posisi dan aturan unit silicate. Kedua
mineral tersebut di atas (dickite dan nacrite) jarang atau sukar sekali ditemukan didalam material clay. Electron micrograph
mineral kaolinite (Gambar 4) menunjukan unit-unit pelapisan yang agak memanjang dan berbentuk baik. Sering pula
ditemukan sisi-sisi yang agak melengkung. Dimensi memanjang tadi besarnya kira-kira 0,35 micron dengan tebal 0,5-2
micron.
(3). Mineral HalloysiteStruktur dari mineral ini menyerupai kaolinite, hanya perbedaannya pada mineral halloysite terdapat
kelebihan air. Kelebihan ini disebabkan ikatan pada tiap-tiap lapisan mineral halloysite lebih lemah dibandingkan ikatan
pada kaolinite. Dengan demikian struktur dari mineral halloysite terbentuk dari urutan-urutan lapisan yang disisipi
lapisan air. Diagram strukturnya dapat kita lihat pada Gambar 6.44.
Gambar 6.51 Pengaruh kation-kation yang dapat diganti terhadap permeabelitas beberapa jenis clay yang berbeda.
Pada kenyataannya kapasitas pergantian anion tidak sama besar dengan kapasitas pergantian kation. pada mineral
kaolinite dimana pergantian kation disebabkan oleh putusnya ikatan, maka kapasitas pergantian anionnya.
sedangkan pada smectite dan vermiculite dimana pergantian kation disebabkan oleh substitusi, maka kapasitas
pergantian anionnya jauh lebih kecil dibandingkan kapasitas pergantian kationnya; Begitu juga halnya pada mineral
Illite, Chlorite, sepiolite dan palygorskite. Kapasitas pergantian anion beberapa mineraldapat dilihat pada Tabel 6.5 di
bawah ini :
Gambar 6.52. Susunan Oxigen dan Hidrogen pada jaringan molekul air.
Tiap sisi dari jaringan hexagonal harus dihubungkan dengan ikatan dari molekul air yang langsung menuju muatan
negatif dari molekul disampingnya.
Gambar 6.53. Konfigurasi jaringan molekul air yang terikat pada permukaan mineral clay.
Gambar 6.53 menunjukan bahwa pengikatan terjadi karena gaya tarik antar atom-atom hidrogen yang tidak termasuk
dalam jaringan ikatan molekul air dan permukaan lapisan oksigen dari mineral clay. Disini dianggap bahwa atom- atom
oksigen terletak sebidang, dan konfigurasi ini relatif terbuka pada molekul-molekul air. Kemantapan dari bidang lapisan
molekul air dapat dilihat dari hubungan geometris dari atom-atom oksigen atau gugusan hidroksil terhadap kerangka silica.
Air yang diserap oleh mineral clay tersebut akan bertahan pada temperatur yang relatif rendah, karena dengan
pemanasan pada temperatur 100o sampai 150o air tersebut akan dilepaskan. Kondisi air yang terikat ini dibagi tiga kategori,
yaitu :
1). Air yang berada dipori-pori, dipermukaan dan disekeliling partikel-partikel mineral clay.
2). Air yang berupa sisipan-sisipan diantara bidang pelapisan unit silicate yang dapat menyebabkan
pengembangannya (swelling) mineral clay tersebut. Hal tersebut terjadi pada mineral montmorillonite,
Vermiculite dan halloysite.
3). Air terdapat dalam tabung-tabung terbuka diantara perpanjangan unit-unit strukturnya, yang mana hal ini terjadi
pada mineral sepolite dan attapulgite. Energi untuk pemindahan air pada kategori 1sangat kecil dan temperatur
peneringannya sedikit diatas temperatur ruangan. Sedangkan air pada kategori 2 dan 3 memerlukan energi
tertentu untuk memindahkannya yang sempurna.
Kecepatan pemindahan lapisan-lapisan air bertambah sebanding dengan naiknya temperatur. Untuk halloysite reaksi
tidak reversible, dan mineral yang mengalami hidrasi biasanya tidak dapat mengembalikan sifat semulanya. Vermiculite dan
montmorillonite akan mengalami hidrasi kembali dengan susah-payah, apabila proses dehidrasinya berlangsung dengan
sempurna, tetapi ini akan mudah apabila masih ada bekas-bekas air yng tinggal diantara unit-unit pelapisan mineral
tersebut.
6.10.1.4. Sifat-sifat Listrik Mineral Clay
Sifat mengabsorbsi kation-kation dan pertukarannya dari mineral clay, menyebabkan ia memiliki sifat kelistrikan. Sifat
tersebut dapat ditunjukan dengan adanya membrane potensial yaitu perbedaan potensial antara suspensi clay dengan
larutan. Sifat lainnya dari mineral clay adalah sifat konduktifnya.
a). Membrane Potensial
Membrane potensial timbil deangan adanya arus listrikyang disebabkan oleh adanya gerakan ion bermuatan listrik
positif (kation) dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Hal ini dapt kita lihat bila mineral
clay ditempatkan pada larutan elektrolit NaCl. Mineral clay mengabsorbsi Na+, sebaliknya mineral clay menolak ion
Cl-. Bila mineral clay dimisalkan larutan NaCl pada konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, dengan demikian akan
timbul arus listrik. Dengan demikian maka membrane potensial yang ada merupakan perbedaan potensial antara
suspensi clay yang mengabsorbsi kation Na+ dengan larutannya.
Pada formasi dilapangan, membrane potensial berupa lapisan shale yang bertindak sebagai membrane pemisah
ion-ion. Membrane ini berfungsi untuk melewatkan kation yang bergerak dari air formasi dapat lapisan pasir sebagai
lingkungan konsentrasi tinggi ke fresh-water dalam lumpur pemboran sebagai lingkungan konsentrasi rendah.
Keadaan tersebut menyebabkan adanya perbedaan potensial, beda potensial inilah yang dicatat atau dideteki pada
spontaeous-potensial log (SP-log).
b. Sifat Konduktif Mineral Clay
Sifat konduktif mineral clay juga disebabkan oleh adanya penarikan kation-kation serta mepertukarkannya oleh
mineral clay tersebut.
Permukaan koloid mineral clay mempunyai muatan atau sifat negatif sehingga ia menarik kation-kation membentuk
lapisan atau membrane difusi ion yang juga diffuse ion-layers. Interaksi diffuse ion-layers pada partikel yang
berdekatan memberikan petunjuk mengenai sifat-sifat swelling, plasticity dan kandungan air dari clay.
Konduktifitas layer dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, dimana konduktivitas merupakan fungsi dari kation dan
anion, atau z1-z2, dimana z1 adalah jumlah kation dan z2 adalah jumlah anion. Selain itu juga dipengaruhi oleh
mobilitas anion.
Pada konsentrasi rendah, kenaikan akan menyebabkan penurunan yang besar pada obilitas. Dengan demikian
pada konsentrasi rendah, kation lebih bersifat monil dan mudah menghantarkan arus listrik, berarti konduktivitasnya
menjadi tinggi.
Selain konsentrasi larutan, ternyata konsentrasi clay juga mempengaruhi konduktivitas diffuse ion layers.
Konsentrasi clay yang tinggi akan memperbesar mobilitas pertukaran kation sehingga konduktivitas diffuse ion
layers akan meningkat pula.
Dari uraian di atas dapat dirangkumkan bahwa sifat konduktif mineral clay dipengaruhi oleh konsentrasi larutan,
jenis serta konsentrasi mineral clay yang bersangkutan.
6.10.2. Terjadinya Swelling
Adanya fasa cair dari lumpur pemboran (mud-filtrate) serta mineral clay yang bisa mengembang (exspandable),
adalah merupakan faktor utama penyebab terjadinya swelling clay. Masalah ini terjadi disebabkan oleh adanya invasi mud
filtrate yang kemudian dihidrasi oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam formasi.
6.10.2.1. Invasi Mud Filtrate
Invasi mud filtrate atau filtration rate, didefinisikan sebagai kecepatan masuknya sebagian fasa cair ke dalam formasi
sebagai akibat dari filtrasi lumpur pemboran. Filtrasi tersebut terutama disebabkan oleh terlalu besarnya tekanan kolom
hidrostatik lumpur dibandingkan dengan tekanan formasi. Rate dari filtrasi atau water loss tergantung pada lumpur yang
digunakan, temperatur serta besarnya tekanan differensial.
Selama pemboran berlangsung, lumpur pemboran dapat bersentuhan langsung dengan dinding lubang sumur yang
berlangsung selama beberapa hari bahkan lebih lama lagi, dan selama itu mud filtrate dapat terinvasikan ke dalam formasi.
Invasi mud filtrate tersebut dapat menimbulkan beberapa masalah yang tidak diinginkan dalam teknik pemboran dan
produksi, dalam hal ini terutama terjadinya pengembangan clay (clay Swelling).
Invasi mud filtrate ke dalam formasi produktif berlangsung dengan aliran radial. Invasi tersebut melalui suatu lapisan
yang disebut mud-cake. Mud cake ini mempunyai permeabilitas dan berfungsi sebagai filter untuk mengurangi invasi yang
terjadi (dengan permeabilitas yang kecil) serta untuk mencegah terjadinya keguguran formasi.
Rate dari filtration loss tergantung dari komposisi lumpur pemboran yang digunakan, temperatur, dan tekanan
differensial. Pengukuran filtration loss di laboratorium dilakukan dengan menggunakan standard filter pressure, dimana
lumpur ditempatkan pada sebuah silinder yang pada dasarnya dipasang kertas filter, sedangkan diatasnya dikenakan
tekanan udara atau gas. Hasil dari percobaan ini adalah dapat dilaporkan volume filtrate dan tebal mud cake yanmg
terbentuk. API filtration rate (statik) adalah cc filtrate/30 menit pada tekanan differensial 100 psig. Sedangkan mud cake
diukur tebalnya dalam satuan per tigapuluh dua inchi. Pengukuran tersebut mempunyai sifat kondisi yang statik yaitu bila
pemboran berhenti, yang sudah tentu akan berbeda bila dalam kondisi dinamik yaitu bila terjadi sirkulasi dan penghancuran
mud cake atau filter cake yang terbentuk oleh bit.
a. Filtrasi Statik
Fluida loss melalui filter cake dapat dirumuskan sebagai berikut :
2 LP 1b t
V
b ro W
.....................................................................................(6-58)
V Konst. t
.......................................................................................(6-59)
Persamaan di atas menyatakan bahwa volume filtrate sebanding dengan akar pangkat dua dari waktu filtrasinya.
Diamana :
L = konsentrasi yang sebanding dengan filtration area
P = Tekanan pendorong (driving pressure)
= viskositas liquid filtrate
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tahanan pengaliran filtrate
per-unit berat solid dalam filter cake
b = Konstanta kompressible
t = waktu filtrasi
w = berat dari bahan padat per-unit volume dari filtrasi yang dihasilkan
V = volume dari filtrate yang dihasilkan
Dari prakteknya ternyata untuk filtrasi statik berlaku hubungan :
t2
V2 V1
t1
dimana :
V1, V2 = filtration loss pada waktu
t1 dan t2 (cc).t1, t2 = waktu filtration test, menit.
Rumus diatas berlaku bila spurt atau semprotanf filtrate sebelum terbentuk mud cake tidak diperhitungkan, dan
temperatur kedua test sama. Bila temperatur kedus test tidak sama, maka perlu koreksi sebagai berikut :
1
V2 V1
2
dimana :
2 , 1
= viscositas cairan pada temperatur T1 dan T2.
Hubungan antara volume filtrate dengan waktu filtrasinya dapat dilihat pada Gambar 6.55, sedangkan Gambar 6.54
menunjukkan hubungan antara fluid loss dengan tekanan filtrasinya.
Pada filtrasi statik dimana filtrasi berlangsung sewaktu tidak ada sirkulasi lumpur pemboran dan rotasi drill string,
mud cake terbentuk secara sempurna sehingga invasi mud filtrate-nya kecil, dengan perkataan lain volume
filtratenya kecil, dengan perkataan lain volume filtratenya akan lebih kecil dibandingkan volume filtrate dinamik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi statik lain adalah :
Jenis lumpur pemboran yang digunakan
Tekanan Filtrasi
Viscositas dan Temperatur
Gambar 6.55. Hubungan volume Filtrat dengan Waktu Filtrasi (metoda standar API water loss).
b. Filtrasi Dinamik
Filtrasi dinamik adalah filtrasi yang berlangsung sewaktu adanya sirkulasi lumpur dan rotasi drill string. Filtrasi
dinamik merupakan hasil yang paling besar, yang mana akan tercapai sewaktu adanya aktivitas pemboran. Pada
saat itu terjadi penggabungan filtrasi dinamik dan filtrasi di bawah bit.
Suatu persamaan mengenai filtrasi dinamik sehubungan dengan lossfluida setelah mud cake mencapai ketebalan
tertentu (keseimbangan ketebalan) telah diturunkan oleh Outman's sebagai berikut :
dimana :
V = Rate aliran fluida
kf = permeabilitas filter cake (diukur dari statik filtration loss).
b
= viskositas filtrate cairan)
f = koefisien internal friction antara partikel padat dengan filter
cake, empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai
keseimbangan dengan erosi yang dideritanya, empiris.
-v+1 = Compaction coeficient, angka yang menunjukkan kesen
sitifan tekanan pada kompresibilitas filter cake (antara 0.10 - 0.15)
.F = shear force; Harga ini dapat diperoleh dengan rumus :
Dimana :
D = diameter saluran
Y = Yield point, lb/100 ft2
v = Kecepatan fluida mengalir, ft/sec
= Viscositas plastik, cp
Pada filtrasi dinamis mud cake yang terbentuk sangat mungkin untuk rusak akibat gesekan denganm drill string,
atau kena erosi oleh fluida pemboran. Hal tersebut akan menambah filtrate yang masuk ke dalam filtrasi yang
masuk ke dalam formasi. Apabila pemboran menembus formasi shale dimana di dalamnya terdistribusi mineral clay
yang swelling maka akan terjadi hidrasi mud filtrate tadi oleh clay sehingga terjadi pembengkakan lempung (clay
swelling) di dalam formasi, dan ini tidak dikehendaki, karena dapat menyebabkan tidak stabilnya formasi (sumur
pemboran) tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi dinamik antara lain adalah:
kecepatan sirkulasi lumpur pemboran
jenis lumpur pemboran yang digunakan
ekanan filtrasi
Viskositas dan temperatur
Hubungan antara rate filtrasi dinamik dengan waktu filtrasi untuk beberapa jenis lumpur pemboran dapat dilihat pada
Gambar berikut ini :
dimana :
Qf = rate aliran filtrate melalui dasar sumur, cc/menit.
Q = Rate aliran fluida yang melaui dinding formasi yang tegak
lurus terhadap sumur yang dianggap berbentuk
silinder,cc/menit.
Ah = Luas dasar lubang sumur, inch2
Ud = Drilling rate, ft/jam
= Porositas, fraksi
Kedalaman invasi mud filtrate dapat ditentukan berdasarkan persamaan :
J X Q/E
1
rw E Ah U d
dimana:
J = dalamnya invasi mud filtrate terhadap formasi
produktif, inch.
rw = jari-jari sumur, inch
X = Fraksi connate water atau fluida yang terdesak ke bawah
permukaan dasar sumur dan tidak masuk ke dalam arus
lumpur.
E = Effisiensi, fraksi daro connate water yang didesak oleh
fluida di depannya.
Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa :
Harga J/rw akan maximum pada harga X=0, artinya seluruh connate water terdesak
merembes ke dalam formasi produktif.
Harga J/rw akan minimum pada harga X=1. artinya seluruh connite water masuk ke
dalam aliran lumpur.
Ketergantungan jarak invasi mud filtrate ke dalam formasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Jika cutting yang terjadim besar-besar maka hampir seluruh liquid yang berada dalam pori-pori cutting akan
tercampur dengan lumpur dan tidak terdesak masuk ke dalam lubang sumur, sehingga harga X akan kecil.
Sebaliknya bila cutting yang dihasilkan berukuran kecil, maka liquid dan pori-pori antara butiran dapat didesak
masuk ke dasar lubang sumur, sehingga harga X akan mendekati satu. Harga tersebut dapat ditunjukkan oleh
Gambar 33.
Gambar 34. Invasi mud filtrate karena filtrasi dari bawah bit.
Gambar 6.62. Filtrasi dari bawah bit dari jenis lumpur yang berbeda.
6.10.2.2. Hidrasi Clay
Proses hidrasi air (air filtrat lumpur pemboran dan air formasi) oleh clay yang mengakibatkan clay tersebut
mengembang (swelling), tergantung dari jenis air yang terhidrasi (asin atau tawar) serta struktur mineral clay yang dapat
mengembang (clay swelling) dan clay yang dapat mengembang (clay non-swelling). Sedangkan proses hidrasinya
berlangsung dengan dua mekanisme, yaitu hidrasi osmosis dan hidrasi permukaan.
a. Clay Swelling
Clay yang dapat mengembang ini (expandable clays) terdiri dari kelompok mineral smectites (monmorillonite) dan
mineral vermiculite.
1. Mineral-mineral smectites terdiri dari :
Montmorrilonite
Saponite
orite
Beidellite
2. Mineral Vermiculite
Mineral-mineral di atas mampu menyerap air (terutama air tawar) dalam jumlah yang besar sehingga volumenya
akan membesar secara keseluruhan (swelling). Pada prosesnya ia akan membagi diri menjadi partikel-partikel clay
yang berukuran lebih kecil selama proses hidrasi.
Sebagai contoh kasus diambil sodium montmorrilonite(bentonite) yang strukturnya terdiri dari dua silica tetrahedral
dan satu alumina octahedral, dapat dilihat pada Gambar 6.63.
Pada mineral kaolinite kationnya adalah + yang daya ikatnya sangat kuat seperti kation yang divalent, disamping
plate yang di seberangnya yang mengandung ion hidroksil menambah kekuatan tarinknya. Dengan demikian ia
sukar terdispersi dalam air.
c. Hidrasi Permukaan dan Hidrasi Osmosis
Telah kita ketahui bahwa proses pada mineral-mineral clay dapat berlangsung dengan dua mekanisme yaitu hidrasi
permukaan dan hidrasi osmosis.
Hidrasi permukaan dicirikan oleh penyerapan air dalam jumlah kecil, yang secara normal menyerap empat lapisan
molekul air. Bila permukaan clay kontak dengan air dan dengan menganggap bahwa satu plat clay terpisah dari
matriknya, maka ion-ion yang bermuatan positif (kation) akan meninggalkan plat clay tersebut. Karena molekul air
adalah polar, maka ia akan ditarik baik oleh kation yang terlepas maupun oleh plete claynya sendiri. Kombinasi dari
dua plate clay ini disebut sebagai "Diffuse double layer". Proses hidrasi permukaan plate clay dalam air untuk
berbagai konsentrasi garam ditunjukan oleh gamabar 40. Pada higrasi permukaan ini meskipun penyerapan airnya
kecil dan tidak mengembang, namun memiliki energi hidrasi yang cukup tinggi, yeitu sebesar :
He = G - Pp
Harga diatas sama besarnya dengan gaya kompaksi effektif dari serpih yang bersangkuran dimana :
He = Tekanan hidrasi, psi
G = Tekanan overburden (umumnya diambil 1 psi/ft)
Pp = Tekanan pori-pori batuan, psi
Dapat dilihat bahwa energi hidrasi permukaan dipengaruhi oleh sejarah terbentuknya clay melalui proses
sedimentasi.
Gambar 6.67. Sifat clay di dalam air dengan konsentrasi garam yang berbeda-beda.
Hydrasi osmosis terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi ion yang ada pada permukaan plat clay dengan
konsentrasi ion dalam lumpur. Karena itu hidrasi clay tergantung pada konsentrasi electrolit dalam cairan pemboran. Hidrasi
osmosis ini dapat menyerap air dalam jumlah yang besar, yang akan menyebabkan lemahnya ikatan-ikatan ion yang ada
pada kisi-kisi mineral yang bersangkutan, sehingga volumenya dapat membengkak (swelling). Berdasarkan konsep
kelembaban relatif dalam termodinamika, Chevenet telah menurunkan persamaan untuk menentukan tekanan osmosis dari
dua larutan sebagai berikut:
Po RT 1 C1 V1 2 C 2 V2
Dimana :
Po = Tekanan osmosis, atm
R = Konstanta gas
T = Temperatur Absolut, oK
= Koefisien dari larutan
c = Konsentrasi garam dalam larutan, molal
v = Jumlah ion dalam larutan per-mol
Energi hidrasi berbeda-beda untuk ion-ion yang berbeda pula, baik untuk clay yang swelling maupun yang non
swelling.
Terjadinya swelling sampai pada batas tertentu akan menyebabkan terdispersinya clay yang bersangkutan. Dispersi
adalah peristiwa terlepasnya plate-plate (partikel-partikel) clay dari permukaannya secara kontinyu disebabkan
berkurangnya daya ikat antar plate pada permukaan clay tersebut. Meskipun masalah dispersi clay sangat erat
hubungannya dengan clay yang swelling (Expandable clays) tetapi harus ditinjau secara terpisah, sebab pada kenyataanya
beberapa clay yang menunjukan sifat swelling (expandable clay) tetapi harus ditinjau secara terpisah, sebab pada
kenyataannya sifat swelling yang tinggi dapat disertai oleh sifat dispersi yang rendah saja. Sebaliknya pada beberapa clay
yang keras, meskipun sifat swellingnya rendah, ternyata sifat dispersinya menunjukan derajat yang tinggi. Peristiwa dispersi
kadang-kadang berlangsung sangat cepat bila terjadi kontak antara clay dengan fluida pemboran yang fasa utamanya
adalah air (water base drilling fluids).
Agregasi adalah bertambahnya daya ikat antar plet pada permukaan clay yang menyebakan clay bersangkutan
memiliki kecenderungan untuk lebih menyatu. Agregasi (Aggregation) merupakan kebalikan dari sifat dispesi yang dimiliki
oleh clay yang swelling (Expandable clays). Pada Gambar 6.67 ditunjukan sifat dispersi dan agregasi dari bentonite dalam
air. Sifat lain dari clay yang swelling dalam air adalah flokulasi dan deflokulasi (flocculation dan deflocculation). Floculation
berarti bertambahnya sifat mengikat antar tepi dari plate-plate clay. Gambar 6.67 juga dapat menunjukkan sifat-ifat tersebut.
Dalam dunia perminyakan khususnya dalam teknik pemboran, jenis clay yang dapat mengembang atau menghidrat
(swelling clay) yang paling umum ditemui adalah montmorrilonite, sehingga seringkali nama montmorrilonite digunakan
untuk mewakili semua jenis clay yang mengembang (swelling). Semakin dalam penguburan batu serpih(siltstone), semakin
sedikit jumlah mineral clay yang montmorrilonite di dalamnya, sebalinya akan bertambah clay yang kaolitik. Karena
kedalaman berhubungan dengan usia geologi, maka jumlah fraksi clay dalam batu serpih (formasi shale) juga bervariasi
terhadap perioda geologi, seperti ditunjukan oleh Gambar 6.68. Pada Gambar tersebut ditunjukan bahwa pada perioda
Tersier mineral montmorrilonite mempunyai distribusi terbesar, sedangkan pada periode pre-Upper Mississippian jumlah
terbesar dimiliki oleh gabungan (mix-layer) mineral montmorrilonite-Illite.
Gambar 6.68. Distribusi relatif dari empat jenis mineral clay dalam formasi-formasi shale pada perioda geologi.
6.10.3. Prinsip Pengukuran
Ada dua macam yang biasa dipakai untuk mengukur swelling clay dilaboratorium yaitu Geonor swelling atest dan
CBR Test. Pada prinsipnya pengukuran swelling dengan dua alat tersebut adalah sama, dimana pengembangan sample
(clay) setelah terjadi hidrasi (clay mengabsorbsi air) menimbulkan menyimpangan "dial swell" sedangkan besarnya tekanan
swelling dari suatu sample adalah tekanan yang dihasilkan dari gaya persatuan lias plate untuk mengembalikan sample ke
keadaan/ketinggian awal (elevasi awal, dial swell = ho) dan ini diwakili oleh gaya yang maximum, yaitu ketika swelling
mencapai maximum pada akhir percobaan.
Gaya untuk mengembalikan sample evaluasi awal pada Geonor Swelling Test dimobilisasikan dengan kedua alat
tersebut adalah harga "dial swell" yang menunjukkan besarnya swelling sample dan tekanan swelling yaitu tekanan untuk
melawan agar sample tidak mengembang (swelling).
6.10.3.1. Pengukuran dengan Alat Geonor Swelling Test
Parameter yang diukur dengan alat ini adalah : dial swell, tekanan swelling dan waktu.
a. Dial Swell
Dial swell dalam posisi awal adalah ketika sample mempunyai ketinggia ho, yang diperoleh melalui proses kompaksi
dan expansi berdasarkan prinsip sedimentasi.
Dial swell akan bekerja beberapa saat setelah sample kontak dengan air (mengabsorbsi air) skala yang terbaca
pada dial swell ini adalah besarnya swelling sample yang perbandingannya terhadap ho memberikan persentase
swelling sample.
b. Tekanan Swelling
Tekanan swelling adalah besarnya tekanan untuk menjaga agar sample tidak mengembang (swelling).
Pada prakteknya tekanan swelling merupakan gaya persatuan luas plate (diatas sampl untuk mengembalikan
sample ke evaluasi awal yaitu ho. Jadi tekanan swelling disini adalah gaya persatuan luas untuk melawan
pengembangan atau desakan swelling. Gaya ini dimobilisasikan melalui alat yang disebut "warm gear" dan besarnya
terbaca pada "dial swell" tekanan swelling yang representatif untuk suatu sample adalah tekanan swelling maximum
yaitu pada akhir percobaan.
c. Waktu
Pengukuran kedua parameter di atas dilakukan untuk interval waktu yang umum yaitu pada tiap :
(15,30) detik, (1,2,4,8,15 dan 30 ) menit, (1,2,4 dan 24) jam untuk tiap sample.
6.10.3.2. Peralatan
Gambar alat Geonor Swelling Test dapat dilihat pada Gambar 6.69. Bagian-bagian terpentingnya adalah :
1. Lucite Cylinder yang di dalamnya terdiri dari :
silinder sample
filter paper
filter keramik
filter stone
2. Dial Swell
3. Dial Gouge
4. Warm Gear
5. Pengontrol Dial Reading
dimana
As = Luas permukaan plat di atas sample
Dial Swell H
Swelling Sample S s
Tinggi Awal Tinggi mold
dimana
Ho = Tinggi awal sample (tinggi mold CBR).
H
Ss x 100%
Ho
Gambar 6.75. Skema Yang Merepresentasikan Suatu Emulsi Dengan butir-butir Yang tidak Seragam
Ada tiga istilah yang sering muncul dalam literatur lumpur pemboran, yaitu : oil-emulsion mud, oil-base mud, dan
invert emulsion mud. Istilah oil-emulsion mud hanya digunakan untuk oil-in-water system. Oil-base mud biasanya
mengandung 3 - 5% air yang teremulsi dalam minyak sebagai fasa kontinyu. Invert-emulsion mud dapat mengandung
sampai 80% air (walaupun secara umum sekitar 50%) teremulsi dalam minyak. Sedangkan dua yang terakhir adalah water-
in-oil emulsion.
Jenis emulsi yang terbentuk ketika dua macam cairan yang tidak tercampur secara mekanis terpotong akibat
penambahan bahan kimia emulsifier. Gambar 6.76 menunjukkan bentuk struktur dari emulsifier strearic acid. Polar head dari
molekul ini larut dalam air, sementara non polar tail larut dalam media organik, seperti diesel oil. Jika strearic acid terlarut,
hidrogen menjadi terpisah dari kelompok hidroksil pada polar head. Jika kation sodium bebas (Na+) hadir, maka terbentuk
oil-in-water emulsion. Jika kation divalen seperti kalsium (Ca++)
hadir, akan menghasilkan suatu struktur yang bercabang dua. Hal ini cenderung membentuk suatu permukaan
minyak yang cembung yang membentuk water-in-oil emulsion.
Pemotongan mekanis dari campuran diesel oil, air, dan emulsifier dengan struktur yang bercabang dua memecah air
menjadi butir-butir yang lebih kecil dari gabungan dengan suatu film molekuler pada setiap butiran tersebut. Film tersebut
adalah merupakan bidang kontak antar permukaan antara minyak dan air dimana emulsifying agent terkonsentrasi. Fungsi
dari emulsifier adalah untuk mengurangi tegangan antar permukaan, yang secara alamiah butir-butir air cenderung akan
bergabung. Dengan mengkonsentrasikan emulsifier pada bidang antar permukaan molekuler antara butir-butir minyak dan
air, maka tegangan permukaan akan berkurang. Butir-butir air yang telah berkurang menjadi kecil oleh adanya energi
mekanis, maka tidak akan membentuk kembali menjadi butir-butir yang lebih besar jika emulsifier yang digunakan sudah
mencukupi.
Ukuran butir-butir air adalah merupakan kunci stabilitas emulsi dan menentukan sifat-sifat viskositas dan gel strength.
Butir-butir ini karena ukurannya menjadi kecil, dan seragam ukurannya akibat pemotongan mekanis dan distabilkan dengan
emulsifier, maka ukurannya mendekati koloid yang memberikan kekuatan struktur untuk mengangkat cutting dari dasar
lubang bor dan menahan cutting tersebut ketika lumpur dalam keadaan diam.
Tiga kriteria dasar untuk pembuatan emulsi, yaitu pemotongan mekanis (mechanical shearing) yang cukup untuk
memperkecil butir-butir air dengan ukuran yang seragam; emulsifying agent dalam jumlah yang memadai untuk
memisahkan butir-butir air dan mencegahnya agar tidak bersatu lagi; dan minyak yang viskositasnya rendah sebagai fasa
eksternal. Jumlah energi atau kerja yang diperlukan untuk mendispersikan air ke dalam minyak berhubungan langsung
dengan viskositas cairan fasa kontinyu. Mobilitas (berapa kecepatan emulsifier sampai ke bidang antar permukaan
molekular) juga tergantung dari viskositas fasa eksternal. Kriteria-kriteria atau faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan
pada saat mencampur oil-base mud, terutama invert emulsion, pada lokasi pemboran (rig site).
Pengukuran sifat-sifat aliran sistem oil-base pada permukaan dapat memberikan trend yang baik terhadap perubahan
fluida, tetapi dapat menyesatkan/keliru jika pengaruh kondisi temperatur dan tekanan pada lubang bor tidak diperhitungkan.
Pengukuran sifat-sifat contoh lumpur minyak yang diambil di permukaan juga dapat memberikan informasi penting terhadap
perubahan sistem yang mungkin terjadi, tetapi kondisi lubang bor yang sesungguhnya dapat menyebabkan harga
pengukuran di permukaan terlalu jauh berbeda dengan kondisi di dasar lubang bor. Viskositas baik air maupun minyak
berkurang dengan naiknya temperatur, tetapi kedua fasa fluida tersebut perilakunya sangat berbeda dengan naiknya
tekanan. Viskositas air tetap tidak berubah dengan naiknya tekanan, tetapi viskositas diesel oil, sebagai contoh, naik secara
tajam dengan bertambahnya tekanan.
Gambar 6.77 menunjukkan apparent viscosity diesel oil vs. tekanan pada temperatur 100 oF, 200oF, 300oF, dan 350oF.
Dari Gambar tersebut secara mudah dapat disimpulkan bahwa pada berbagai kombinasi temperatur dan tekanan di dasar
lubang bor apparent viscosity akan bertambah besar. Pada kasus lain, apparent viscosity berkurang. Hal ini merupakan
masalah pokok, mengapa engineer tidak dapat menggantungkan pengukuran di permukaan ketika memperkirakan
kehilangan tekanan, bit hydraulics, kapasitas pengangkatan cutting. Beberapa mud company telah mengembangkan
metoda dan faktor koreksi untuk memperkirakan harga apparent viscosity sistem oil-base, sehingga engineer dapat
mentreatment dan melakukan perhitungan hidrolika. Chart-chart dan Tabel-Tabel yang dikembangkan oleh mud company
berdasarkan pada asumsi bahwa lumpur minyak akan dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan dengan cara yang sama
seperti diesel oil.
6.11.5.3 Oil-Water Ratio
Seperti telah dijelaskan dimuka, bahwa sistem oil-base mempunyai fasa eksternal minyak dan fasa internal air, yang
bervariasi dari 5% vol sampai sekitar 50% vol. Jika campuran dari kedua fasa tersebut diputus secara mekanis dengan
hadirnya emulsifier yang memadai, air akan terdispersi kedalam butir-butir yang sangat kecil, yang disebut sebagai colloidal
micelles. Mereka mempunyai pengaruh yang sama terhadap viskositas yang diperoleh jika koloid ditambahkan kedalam
lumpur water-base. Oleh karena itu, naiknya kadar air atau berkurangnya oil-water ratio akan menyebabkan naiknya
viskositas, sedangkan dengan bertambahnya kadar minyak akan menurunkan viskositas. Meskipun demikian, manipulasi
oil-water ratio untuk mengatur viskositas oil-base mud biasanya tidak dilakukan kecuali untu kondisi khusus.
Tabel 6.10 menunjukkan suatu analisa kadar padatan dengan menggunakan harga specific gravity yang memadai
untuk calcium chloride, hematite, dan low-density solids.
Tabel 6.10 Analisa kadar padatan dalam oil-base mud dari sumur
Gambar 6.78 dan 6.79 menunjukkan kadar padatan terkoreksi vs. densitas untuk lumpur minyak yang diperberat
dengan hematite atau barite. Gambar-Gambar tersebut telah dikoreksi untuk water-soluble solids, yaitu : sodium chloride,
calcium chloride, atau campuran dalam oil-base mud. Grafik-grafik tersebut sangat berguna baik di kantor maupun di lokasi
pemboran untuk menentukan keefektifan teknik solid-control yang digunakan dalam menjaga konsentrasi low specific-
gravity solids pada batas yang ditentukan. Tiga garis diplot pada setiap grafik. Garis di dasar adalah hematite atau barite,
minyak, dan 10%, 20%, atau 20% air. Garis kedua pada semua grafik diberi label poor solids above. Garis ketiga dari
dasar diberi label maximum allowable solids. Engineer mempertahankan oil-base mud total jumlah padatan yang tidak
terlarut tetap berada diantara dasar (bottom) dan garis kedua, tetapi tidak melebihi maksimum allowable solids line.
Gambar 4. Kadar padatan terkoreksi vs berat lumpur (lumpur minyak denganmenggunakan hematite
Gambar 6.79.Kadar padatan terkoreksi vs berat lumpur (lumpur minyak dengan menggunakan barite)
6.11.6. Pengontrolan Activitas Oil-base Mud Untuk Mencapai Stablitas Lubang Bor
MONDSHINE mengemukakan bahwa ada dua mekanisme yang diperlukan untuk mengatasi gaya hidrasi yang
dihasilkan oleh formasi shale, yaitu : hidrasi permukaan dan osmotic swelling. Dalam pembahasan hidrasi permukaan, hal
pertama yang harus dipertimbangkan adalah bahwa shale mempunyai afinitas terhadap air sama dengan gaya kompaksi.
Afinitas ini sering disebut sebagai gaya hidrasi permukaan, yaitu sama dengan tekanan overburden dikurangi tekanan
formasi. Gaya kompaksi adalah sama seperti formation matrix stress dan dapat diperkirakan sebagai berikut :
OB = PP + MS
MS = OB - PP
dimana ;
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
Biasanya, tekanan overburden besarnya 1 psi/ft, sedangkan tekanan formasi dan matrix stress masing-masing
sebesar 0,465 psi/ft dan 0,535 psi/ft. Dapat dilihat dengan mudah bahwa tekanan formasi lebih tinggi, matrix stress lebih
rendah dan gaya hidrasi permukaan lebih rendah.
Perkembangan gaya hidrasi permukaan dalam shale adalah merupakan alasan utama mengapa shale menjadi tidak
stabil jika berhubungan dengan air tawar. Penelitian telah dilakukan baik menggunakan pendekatan fisik maupun kimia
untuk mencegah hidrasi shale dalam sistem air tawar. Mekanisme kedua adalah osmotic swelling merupakan prinsip
ketidak-stabilan shale ketika pemboran menggunakan oil-base mud.
Dengan mendefinisikan bahwa osmosis adalah aliran pelarut dari larutan yang konsentrasinya kurang kedalam
larutan yang kosentrasinya lebih tinggi melalui selaput (membrane) semipermeable. Hal ini dijelaskan dengan Gambar 6.80.
Dalam oil-base mud, interfacial film disekitar setiap butir-butir air teremulsi beraski sebagai film semipermeable. Jika fluida
yang terdiri dari fasa air (internal) dalam fasa minyak (eksternal) mengandung salinitas lebih tinggi dari fluida formasi, maka
akan terjadi transfer fluida dari shale, dan akibatnya akan terjadi dehidrasi pada shale. Sebaliknya jika air bersatu dengan
shale yang mempunyai kadar garam lebih tinggi dari air dalam fasa internal lumpur pemboran, maka akan terjadi transfer
fluida ke dalam shale, sehingga dapat menaikkan gaya hidrasi. Pada saat ini umumnya oil-base mud mempunyai
konsentrasi calcium chloride sebesar 400.000 ppm. Konsentrasi ini dapat menghasilkan tekanan osmotik sebesar 16.100
psi, merupakan gaya yang cukup untuk memdesorb air dari clay yang mengandung montmorilonite dengan konsentrasi
tinggi. Dalam beberapa kasus, tekanan osmotik turun secara drastis antara 5.000 dan 10.000 psi. Tekanan tersebut dapat
dihasilkan oleh 220.000 sampai 310.000 ppm CaCl2. Larutan jenuh sodium chloride akan menembangkan tekanan osmotik
sebesar 5.800 psi. Maka, dapat terbukti bahwa mengapa pada umumnya oil-base mud mengandung calcium chloride.
Gambar 6.80. Pengaruh tekanan osmotik, gerakan air berkadar garam rendah menuju ke kadar garam tinggi
CHENEVERT mengemukakan konsep bahwa tidak ada perpindahan air baik dari atau ke shale, karena potensi kimia
atau aktivitas baik lumpur maupun shale harus sama. Aktivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas air
dalam sistem dengan fugasitas air murni. Untuk tujuan praktis, perbandingan fugasitas (fugacity ratio) dapat digantikan
dengan perbandingan tekanan uap (ratio of vapor pressure). Karena tekanan uap pada dasarnya sama seperti kelembaban
relatif, dan karena kelembaban relatif air murni adalah 1,0, maka aktivitas setiap sistem secara relatif dapat ditentukan, yaitu
1,0. Jika aktivitas formasi yang dibor diketahui , maka sistem lumpur dapat dipersiapkan atau diatur agar mencapai aktivitas
yang sama.
MONDSHINE mengemukakan tentang pendekatan secara sederhana untuk memperkirakan aktivitas formasi shale,
dengan asumsi bahwa aktivitas shale dengan kedalaman dan tekanan formasi (kompaksi) dan dapat diperkirakan dari
matrix stress dan salinitas awal. Mondshine selanjutnya mengemukakan bahwa matrix stress plus tekanan osmotik dalam
formasi mendekati aktivitas formasi tersebut. Dengan menggunakan berbagai variasi persamaan potensial kimia untuk
menunjukkan bahwa tekanan osmotik yang ada diantara lumpur minyak dikenal sebagai salinitas dan formasi shale dikenal
sebagai aktivitas. Persamaan dan tekanan osmotik berbagai salinitas lumpur minyak berlawanan dengan shale yang
mengandung air tawar seperti yang disajikan dalam paper-nya. Pada dasarnya, apa yang dikemukakan Mondshine adalah
bahwa jumlah matrix stress dan tekanan osmotik sama terhadap aktivitas formasi. Dari data-data yang diplot pada Gambar
6.81, yang menunjukkan bahwa tekanan osmotik tegantung dari kadar garam air dalam formasi.
Metoda-metoda yang dikemukakan oleh CHENEVERT dan MONDSHINE untuk memperkirakan aktivitas shale hanya
berbeda tingkat ketelitiannya. Hal-hal yang harus diingat adalah :
(1) uji laboratorium untuk menentukan aktivitas langsung tergantung persen berat air dalam shale yang sedang diuji dan
(2) aktivitas shale pada dasarnya merupakan fungsi gaya kompaksi dan tekanan osmotik dalam formasi.
Hal-hal penting yang harus diingat untuk logging pada oil-base mud meliputi :
1. Resistivitas formasi dapat ditentukan dengan log induksi
2. Log radiasi dapat dikombinasikan dengan log lain untuk tujuan korelasi
3. Porositas ditunjukkan melalui sonic, densitas, atau log neutron, baik secara terpisah maupun kombinasi
4. Sidewall core dan wireline formation test dapat dilakukan pada oil-base mud dengan menggunakan gamma ray tool.
6.11.9. Pemecahan Masalah Dalam Penggunaan Oil-base Mud
Logika yang sama digunakan dalam pendeteksian dan pemecahan masalah treatment water-base mud digunakan
untuk oil-base mud. Data yang diperoleh dianalisa dan diplot untuk melihat trend atau perubahan sifat-sifat fisik lumpur.
Perubahan sifat-sifat fisik yang mendadak dan tajam akibat adanya kontaminasi dapat dideteksi dengan menganalisa trend
pada plot tersebut dan selanjutnya dapat dikoreksi sebelum terjadi problem yang serius. Problem tretment lumpur biasanya
terjadi pada oil-base mud adalah berasal dari cutting, karena citting dan/atau material pemberat menjadi water-wet, atau dari
kontaminasi air. Tabel 6.12 menyajikan problem-problem yang biasanya terjadi pada oil-base mud dan ditunjukkan
bagaimana cara mengenali problem dan mengontrolnya.
Teknologi formulasi dan perawatan oil-base mud sangat berbeda dengan water-base mud. Biasanya lumpur ini
dicampur pada lokasi tertentu dan dikapalkan ke lokasi pemboran dalam kondisi siap untuk didorong (displaced) kedalam
lubang bor. Jika persiapan dilakukan di lokasi pemboran, maka diperlukan peralatan penyimpanan, dan pembersihan yang
memadai.
Tabel 6.12. Pemecahan masalah dalam penggunaan Oil-Base Mud
Contoh 1 :
Jika Oil Water (O/W) rasio adalah 75/25 (75% oil, V1, dan 25%, V2), hitung densitas lumpur tersebut.
Diketahui :
Densitas diesel oil, D1 = 7,0 ppg
Densitas air, D2 = 8,33 ppg
Rumus :
(V1) (D1) + (V2) (D2) = (V1 + V2 ) DF
A
= Filtration Area, Cm2
C
= Dial Reading, derajat
f sc
= Fraksi volume solid pada mud cake
f sm
= Fraksi volume solid pada Lumpur
GS
= Gel Strength, lb/100 ft2
k
= Permeabilitas, darcy
n
= Kandungan pasir, %
N
= Revolution perminute (RPM)
P
= Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
Q
= Fluid loss pada waktu tertentu, Cm3
SG
= Specific gravity
t
= Waktu, menit
Vf
= Volume filtrat lumpur, Cm3
Vm
= Volume lumpur , bbl
Vmb
= Volume lumpur baru, bbl
Vml
= Volume lumpur lama, bbl
Vs
= Volume solid
Yb
= Yield point Bingham, lb/100 ft2
Yp
= Yield point, lb/100 ft2
= Viskositas filtrat, cp
a
= Apparent viscosity, cp
p
= Plastic viscosity, cp
= Shear rate, detik
mb = Densitas lumpur baru, ppg
ml
= Densitas lumpur lama, ppg
s = Densitas solid, ppg