Anda di halaman 1dari 75

Bab 5.

Hole Problem

5.1. Ketidakstabilan Dinding Sumur Pemboran


Usaha memelihara kestabilan lubang bor sewaktu pemboran menembus formasi shale, akan dipersulit dengan
adanya masalah yang ditimbulkan oleh sifat-sifat shale tersebut (shale problem), dalam hal ini terutama masalah clay
swelling didalamnya. Clay swelling bersama dengan sifat-sifat shale yang lainnya (dispersi dan lain- lainnya) menimbulkan
masalah yang bervariasi yang dilukiskan sebagai sloughing shale, heaving shale, running shale, gas bearing shale dan
pressure shale, pada umumnya secara geografis terbatas pada daerah geologi yang berumur lebih tua dari Recent. Mud
making shale atau shale yang dapat menghidrate adalah jenis yang dapat menimbulkan pembesaran lubang bor bila terjadi
interaksi secara kimia dengan fluida pemboran, ini terjadi bila didalamnya terkandung bentonitic shale yang sedikit atau
dapat menghidrat seperti seperti illiti, chlorit atau caolinitic secara kimiawi hanya sedikit dipengaruhi oleh lumpur pemboran.
Semua masalah shale yang dapat menimbulkan ketidakstabilan lubang bor di atas adalah disebabkan oleh faktor
fisika, kimia atau mekanis atau gabungan dari faktor-faktor tersebut. Yang sering terjadi adalah gabungan dari dua atau tiga
faktor bersama-sama. Dalam hubungannya dengan swelling (interaksi antara fluida pemboran dalam hal ini adalah filtrat air
dengan clay yang swelling ), faktor kimia sangat menonjol, dan yang paling umum terjadi pada formasi shale yang
mengandung kimia clay yang menghidrat (mineral non morillonite misalnya bentonit), dimana formasi akan menghidrat filtrat
lumpur sehingga terjadi swelling diikuti gugurnya formasi ke dalam lubang bor. Keadaan ini membahayakan karena akan
menaikkan jumlah padatan dalam lumpur, menimbulkan penyumbatan lubang bor, dan lebih jauh lagi akan menyebabkan
terjepitnya drill pipe (drill pipe sticking). Gugurnya formasi setelah terjadinya swelling akan dipercepat oleh adanya aksi
mekanis alat-alat bor seperti perputaran drill string. Kejadian ini terutama disebabkan oleh perputarannya yang akan
konsentris.
Seperti telah kita ketahui pada bab sebelumnya, bahwa clay yang mengalami swelling, pada batas tertentu akan
mengalami dispersi. Terdispersinya clay (yang terdistribusi dalam formasi shale) dalam lumpur pemboran, secara tidak
terkendali akan menaikkan kadar padatan dalam lumpur dengan densitas yang rendah, sedangkan viscositasnya
meningkatkan, sehingga akan memperbesar kehilangan tekanan (pressure loss), dan ini akan mengakibatkan turunnya laju
pemboran. Keadaannya akan lebih buruk lagi apabila rangkaian pipa bor terjepit (drill pipe sticking) dikarenakan terlalu
banyaknya partikel clay terdispersi dalam lumpur yang pemboran tidak terangkat oleh sirkulasi lumpur ke permukaan.
Pada saat sedimentasi air terjebak dalam formasi shale akan mengalami hidrasi, dengan demikian proses kompaksi
tidak berlangsung secara normal, tidak semua air yang terperas dialirkan melalui media yang porous, melainkan sebagian
masih terjebak diantara butiran-butiran dalam tubuh formasi, sehingga tekanan pori-pori dalam tubuh formasi shale tersebut
masih tetap tinggi, bahkan bila ada gas terlarut masih tetap tinggi, bahkan bila gas terlarut dalam pori-pori tersebut maka
tekanannya akan mendekati tekanan overburden.
5.5. Formation Damage
Terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif yang mengandung clay (formasi shale atau formasi dirty sands
dengan kandungan claynya lebih tinggi) akan mengakibatkan terjadinya hidrasi air filtrat oleh clay sehingga terjadi
pembengkakan (swelling) dari partikel-partikel clay tersebut. Keadaan tersebut mengakibatkan well bore damage (formation
damage), yaitu pengurangan permeabilitas dari formasi produktif disebabkan berubahnya sifat-sifat fisik batuan reservoir
karena swelling tadi di daerah formasi produktif.

5.5.1. Perubahan Pada Sifat-sifat Fisik Batuan Reservoir


Pembentukan mud cake yang tipis dan kuat dengan permeabilitas yang rendah pada dinding lubang bor, adalah
merupakan salah satu fungsi lumpur pemboran yang penting. Pembentukan mud cake yang terlalu tebal pada dinding
lubang bor akan mempersempit ruang gerak bahkan terjepitnya drill string. Mud cake yang terlalu tebal ini tergantung dari
keberesan fungsi lumpur terutama dipengaruhi kondisi sifat-sifat dari batuan reservoir. Tetapi dalam hal ini akan ditekankan
pada pengaruh invasi mud filtratnya terhadap sifat-sifat (batuan) reservoir terutama :
a. Porositas batuan
Seperti telah kita ketahui bahwa formasi mempunyai permeabilitas dan lumpur pemboran memiliki sifat filtration loss,
maka terjadi invasi mud filtrat, dimana fasa cair dari lumpur akan tersaring masuk ke dalam formasi yang permeabel
di sekitar lubang bor tadi, sedangkan padatan lumpur (mud solids) tertinggal dan akan membentuk mud cake pada
dinding lubang sumur bor. Sketsa dari invasi mud filtrat ke dalam formasi permeabel ini dapat kita lihat pada
(Gambar 5.1).

17)
Gambar 5.1. Invasi Mud Filtrat Ke Dalam Formasi Melalui Dinding Sumur Yang Permeabel.
Apabila mud filtratnya adalah air (dari water base mud) dan formasinya mengandung clay yang menghidrate
(formasi shale atau formasi dirty sands), maka akan terjadi hidrasi dan swelling (pembengkakan) dari partikel clay
tadi sehingga menyebabkan berkurangnya ruang pori-pori mula-mula dari batuan reservoir, seperti yang kita lihat
pada (Gambar 5.2), dimana didalam formasi yang bersangkutan terdistribusi material clay yang dapat mengembang
(material expandable clays).
Gambar 5.5. Pengecilan ruang pori-pori batuan akibat swelling clay.17)
Dengan mengecilnya pori-pori batuan tadi maka akan mengakibatkan mengecilnya porositas batuan tersebut.
b. Saturasi permeabilitas, tekanan kapiler dan sifat kebasahan batuan.
Seperti telah dibicarakan diatas, bahwa dengan terjadinya swelling clay di dalam formasi, maka akan terjadi
penyumbatan ruang pori-pori batuan dalam formasi tersebut, sehingga akan menyebabkan terhambatnya aliran
fluida melalui media berpori tadi. Sebagaimana diketahui bahwa permeabilitas suatu batuan reservoir adalah
merupakan ukuran kemampuan batuan tersebut untuk mengalirkan fluida melalui media berpori yang saling
berhubungan di dalamnya.
Pengaruh porositas terhadap aliran fluida di dalam media berpori tidak langsung, tetapi porositas akan
mempengaruhi harga permeabilitas. Pada umumnya untuk suatu lapangan dengan formasi sand stone dalam suatu
lapisan, sering didapatkan hubungan yang linier antara log permeabilitas dan porositas seperti, pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3. Hubungan permeabilitas dengan Porositas Batuan. 17)


Adanya material clay yang expandable dalam batuan reservoir dapat memperkecil porositas batuan tersebut. Dari
hubungan di atas dapat dilihat bahwa dengan mengecilnya porositas maka permeabilitas akan turun, dan ini tidak
dikehendaki, sebab dengan mengecilnya permeabilitas efektif minyak maka produktivitasnya akan turun.
Saturasi fluida dalam media berpori adalah persentase volume fluida tersebut terhadap volume ruang pori-pori.
Adanya material clay yang menghidrat "irreducible water saturation". Saturasi air yang terikat oleh
material clay ini merupakan karakteristik formasi shaly sands. Keadaan tersebut dapat ditunjukkan dalam (Gambar 5.4).
Persentase air yang terikat tadi sebesar dari ruang pori-pori sehingga bila dijumlahkan dengan Swi (ireducible water
saturation) mula-mula menjadi total non movable water saturation (Swnm) sebesar :
S wnm
S wi h
clean sand

Gambar 5.4. Hidrasi air oleh partikel clay pada formasi shaly sands 17).
Dengan terpengaruhnya harga saturasi oleh adanya hidrasi clay, maka "Performance" saturasi terhadap aliran fluida
juga akan berubah. Terjadinya clay swelling juga akan mempengaruhi tekanan kapiler, dimana pembengkakan partikel clay
yang memperkecil jari-jari ruang pori-pori mengakibatkan turunnya permeabilitas. Dengan demikian tekanan kapiler akan
meningkat, karena hubungannya berbanding terbalik dengan jari-jari ruang pori-pori sehingga akan menghambat
pergerakan fluida yang terkandung di dalam media berpori tersebut.
Secara tidak langsung, terjadinya clay swelling di dalam formasi juga akan mempengaruhi sifat kebasahan
(wettability) batuan, karena hubungannya merupakan fungsi dari tekanan kapiler dan permeabilitas batuan tadi.
Tentang perubahan harga saturasi dan permeabilitas batuan akibat adanya invasi mud filtrat ke dalam formasi
produktif, dapat kita lihat
dari data testing pengaruh lumpur pemboran terhadap kerusakan formasi (formation damage) pada formasi "Steven sand
Paloma Field USA", seperti yang ditunjukan pada (Tabel 5.1).
Dari Tabel 5.1.dapat kita lihat :
1. Efek invasi filtrat dari lumpur fresh water, starch menimbulkan kerusakan yang cukup besar terhadap formasi,
dimana interstitial water naik dari 34,6 % menjadi 45,3 %, sedangkan permeabilitas minyak turun dari 100 %
menjadi 30 %.
5. Pemakaian calcium chlorida mud memberikan efek perbaikan formasi, dimana interstitial turun dari 32,3% menjadi
25,7 %, sedangkan permeabilitas minyak naik dari 100 % menjadi 110 %.
3. Efek dari invasi oil base mud menurunkan interstitial water dari 25,2% menjadi 24,9 %, sedangkan permeabilitas
minyak tetap; jadi tidak menimbulkan kerusakan formasi.
4. Penggunaan jenis lumpur lainnya ternyata menimbulkan kerusakan formasi, ini dapat dilihat dari penurunan
permeabilitas minyak.
Tabel 5.1. Efek invasi filtrat terhadap permeabilitas minyak pada lapangan Paloma USA12)

Kedalaman invasi mud filtrat ke dalam formasi telah dibicarakan dalam bab sebelumnya (mengenai filtration dinamik),
tetapi selain itu jarak invasi mud filtrat dapat diketahui secara kualitatif dari porositas formasi. Porositas yang kecil pada
suatu tempat menunjukkan jarak invasi mud filtrat ke dalam formasi tersebut. Gambar 5.5 menunjukan distribusi fluida
secara kualitatif setelah terjadi invasi mud filtrat di sekitar lubang bor.

Gambar 5.5. Distribusi Radial Fluida Di Sekitar Lubang Bor Sesudah Invasi Mud Filtrat (kualitatif) 17)
Luas daerah invasi mud filtrat di sekitar lubang bor tergantung dari karakteristik filtrasi lumpur, tekanan differensial
antara formasi dengan lubang bor (tekanan hidrostatik), lama kontak lumpur pemboran dengan dinding lubang bor serta
karakteristik batuan dalam formasi. Gambar 5.6 menunjukan kondisi di sekitar lubang bor sesudah terjadinya invasi mud
filtrat ke dalam formasi.

Gambar 5. 6. Penampang horizontal melalui lapisan (oil bearing) permeabel, (Sw 60%) 17)
5.5.5. Skin Effect
Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa akibat adanya invasi mud filtrat ke dalam formasi dapat
menimbulkan kerusakan dalam formasi tersebut. Kedalam invasi tersebut akan menentukan luas daerah formasi yang
mengalami damage ini relatif tipis (hanya di sekitar lubang bor) dibandingkan dengan luas keseluruhan formasi (sehingga
dengan alasan ini maka formation damage disebut juga sebagai skin effect), tetapi ia cukup berpengaruh terhadap
kelancaran operasi teknik reservoir, yaitu terhadap recovery.
Hidrasi filtrat lumpur (air) oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam formasi (sehingga terjadi swelling) adalah salah
satu sebab terjadinya skin effect. Sebab lain adalah karena adanya invasi mud solids ke dalam formasi. Tetapi pada
hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh adanya invasi liquid sendiri ke dalam formasi, selain dapat menimbulkan
terjadinya swelling akibat lain yang erat hubungannya dengan terjadinya skin effect adalah :
1. Terbentuknya endapan garam, parafin (wax) yang menimbulkan akibat yang sama dengan akibat adanya invasi
solids ke dalam formasi.
5. Terbentuknya emulsi dengan fluida formasi yang ada sehingga mengakibatkan kenaikan viskositas sistem fluida
keseluruhan, dan ini dapat menimbulkan "Capillary blocking".
Invasi keseluruhan filtrat juga dapat mempengaruhi (mengubah) resistivity formasi sesuai dengan jarak invasinya
(mempengaruhi kurva electric logging).
Besar kecilnya skin effect pada zona damage tersebut dinyatakan dengan skin effect factor, dimana ini dinyatakan
dengan notasi "S". Untuk pembahasan selanjutnya mengenai skin effect ini, kita lihat Gambar 5.7 yang menunjukkan
penampang horizontal sekitar lubang bor yang mengalami pengubahan akibat invasi mud filtrat ke dalam formasi.
dimana :
ke = Permeabilitas undamage reservoir
ka = Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra = Jari-jari zonal damage
Pe = Tekanan pada batas pengurasan
Pw = Tekanan pada batas sumur
q = Rate aliran ke lubang sumur

Gambar 5.7. Sketsa ideal sekitar daerah pengurasan sumur17)


Menurut Everdingen dan Hurst besarnya harga skin factor "S" adalah :
ke ra
S 1 ln
ka rb
...............................................................................(5-1)
Dimana harga "S" menunjukkan kondisi (kerusakan) sekitar lubang bor yang dipe-ngaruhi langsung oleh harga
permeabilitas sesudah dan sebelum ada gangguan.
Persamaan standar untuk menentukan besar skin factor "S" ini dapat ditentukan dari hasil Pressure Build Up Test , yaitu
sebagai berikut:
P1 jam Pwf ko
S 1.151 log
m Crw 3.23
2

.........................(5-2)
dimana :
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test

= Porositas, fraksi
k
= Permeabilitas, md

= Viscositas, cp
C = Compressibilitas batuan ,psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
Dari persamaan itu juga dapat kita mengetahui, bila harga :
S > 0 berarti ada kerusakan Ka < Ke
S = 0 berarti tidak ada kerusakan Ka = Ke
S < 0 berarti ada perbaikan Ka > Ke
P
Kurva pressure build up test menetukan skin dapat kita lihat pada (Gambar 5.8) sedangkan (Gambar 5.9)
menunjukan pola aliran radial fliuda dalam reservoir.

Gambar 5.8. Kurva dari PBU test untuk menentukan harga skin

Gambar 5.9. Pola aliran radial fluida reservoir.17)


P
Harga dari skin dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Pskin = 0.87( S )( m )
.......................................................................(5-3)
Dimana m adalah kemiringan kurva build up test, ditentukan dari persamaan berikut :
162.5q o o Bo
m
ko h
...............................................................................(5-4)
dimana
qo
= Laju produksi minyak, BPD

= Viskositas minyak, cp
Bo
= Formation volume factor, BPD/STB
ko
= Permeabiltas minyak, mD
h
= Ketebalan formasi produktif, ft
sedangkan P skin sendiri didefinisikan sebagai pressure drop pada zona damage, psi. Sebagai fungsi langsung dari harga
skin effect tadi maka harga Pskin dapat ditentukan dengan persamaan :
q
Pskin S
2kh
................................................................................(5-5)
Dimana semua satuan dinyatakan dalam Darcy unit, dengan K adalah permeabilitas rata-rata. Dengan demikian maka
distribusi tekanan dalam reservoir setelah terjadinya skin effect dapat ditunjukkan oleh Gambar 5.10.

Gambar 5.10. Distribusi tekanan dalam resevoir setelah terjadinya skin effect.17)
Dengan adanya skin effect, juga akan menyebabkan turunnya productivity ratio. Productivity ratio merupakan
perbandingan antara rate aliran sesudah dan sebelum adanya skin effect. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Productivity index adalah perbandingan antara rate aliran produksi dengan draw-down pressure (tekanan differensial
Ps Pwf
antara tekanan statik dan tekanan alir sumur, draw-down = ), PI. Productivity indeks sebelumnya adalah :
q
PI actual
Ps Pwf
............................................................................(5-6)
Sedangkan productivity indeks setelah adanya skin effect adalah :
q
PI ideal
Ps Pwf Pskin
.............................................................(5-7)
Dengan demikian maka productivity ratio adalah :
PI actual Ps Pwf Ps
PR
PI ideal Ps Pwf
.......................................................(5-8)
Turunnya harga productivity indeks ini dapat pula dihitung dengan persamaan :
PI k o / o Bo

PI mula mula ln re / ra k e / k a ln ra / rw
......................................(5-9)
dengan demikian maka productivity ratio dapat dihitung dengan persamaan:
k avg ln re / rw
PR
ko ln re / ra k e / k a ln ra / rw
......................................(5-10)
dimana
k avg
= Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke
= Permeabilitas mula-mula
ra
= Jari-jari zone damage
rw
= Jari-jari sumur
5.3. Penyebab Lost Circulation Dan Cara Penanggulangannya
Sebagaimana diketahui lost circulation adalah hilangnya semua atau sebagian lumpur dalam sirkulasinya dan masuk
ke formasi. Berdasarkan keadaan ini lost circulation dapat dibagi dua, yaitu:
Partial Lost
Total Lost
Partial Lost adalah bila lumpur yang hilang hanya sebagian saja, dan masih ada lumpur yang mengalir ke permukaan.
Sedangkan total lost adalah hilangnya seluruh lumpur dan masuk kedalam formasi. Adanya lost dapat diketahui dari flow
sensor, dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit.
5.3.1. Penyebab Lost Circulation
Penyebab lost circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup besar di dalam lubang bor, yang memungkinkan
lumpur untuk mengalir kedalam formasi, dan tekanan didalam lubang lebih besar dari tekanan formasi. Celah tersebut dapat
terjadi secara alami dalam formasi yang cavernous, fracture, fissure, unconsolidate, atau tekanan yang terlalu besar.
5.3.1.1. Formasi Natural Yang Dapat Menyebabkan Lost
Walau formasi yang menyebabkan lost ciculation tidak diketahui secara nyata, namun dapat dipastikan bahwa
formasi tersebut mesti berisi lubang pori yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur. Hal ini ditunjukkan dalam banyak
kasus bahwa phase solid dari lumpur tidak akan masuk ke pori dari formasi yang terdiri dari clay, shale, dan sand dengan
permeabilitas normal.
Formasi yang mempunyai formasi alami cukup besar untuk mengalirkan lumpur adalah:
a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi permeabilitas
Studi menunjukkan bahwa formasi memerlukan permeabilitas yang tinggi untuk dimasuki lumpur. Permeabilitas
yang tinggi ini dapat terjadi pada shallow sand dan lapisan gravel. Formasi yang tidak berkonsolidasi dengan baik,
dapat menyebabkan keguguran dinding sumur yang membentuk gua-gua.
Hal ini dapat terjadi karena tekanan overburden atau berat rig (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Coarse dan Gravel Sebagai Zona Lost17)
b. Breksiasi
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan rekahan. Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan
lost circulation. Gambar 5.12 menunjukkan rekahan yang ditimbulkan oleh breksiasi.

Gambar 5.15. Dimensi Rekahan Akibat Breksiasi17)


c . Cavernous atau vugular formation
Pada prinsipnya zone cavernous atau vugular terjadi pada formasi limestone. Pada formasi limestone, vugs
dihasilkan oleh aliran yang kontinu dari air alami, yang menghancurkan bagian dari matriks batuan menjadi encer
dan larut. Ketika formasi ini ditembus, lumpur akan hilang ke formasi dengan cepat. Volume lumpur yang hilang
tergantung pada derajat vug yang saling berhubungan. Sedangkan cavernous dapat terjadi karena pendinginan
magma (Gambar 5.13)

Gambar 5.13. Cavernous dan Vugs Sebagai Zona Lost17)


d. Cracked dan fracture
Lost Circulation dapat juga terjadi pada sumur yang tidak mengandung zona coarse yang permeabel atau formasi
yang cavernous. Loss seperti ini mungkin terjadi karena adanya cracked atau fracture yang dapat terjadi secara
alami, atau adanya tekanan hidrostatik lumpur yang terlalu besar (Gambar 5.14).

Gambar 5.14.Fracture Horizontal Sebagai Zona Lost


Selain itu, lost circulation dapat terjadi pada depleted zone. Depleted sand sangat potensial untuk terjadinya lost.
Formasi produksi dalam lapangan yang sama dapat menyebabkan tekanan subnormal akibat produksi dari fluida formasi.
Dalam kasus ini, berat lumpur yang diperlukan untuk mengontrol tekanan formasi yang lebih dangkal, mungkin terlalu tinggi
untuk lapisan sand dibawahnya. Akibatnya lapisan sand menjadi rekah dan akan dimasuki lumpur. Kasus seperti ini sering
dijumpai pada pemboran sumur pengembangan, dimana tekanan formasi telah turun akibat sumur-sumur yang telah ada
sudah lama berproduksi (Gambar 5.15).

Gambar 5.15. Depleted Zones


5.3.1.5. Lost Circulation Karena Tekanan
Selain karena adanya formasi natural yang dapat menyebabkan lost, lost circulation dapat juga terjadi karena
kesalahan yang dilakukan pada saat opersi pemboran yang berkaitan dengan tekanan, misalnya:
a. Memasang intermediate casing pada tempat yang salah
Jika casing dipasang di atas zona transisi antara zona yang bertekanan normal dengan zona yang bertekanan tidak
normal, maka diperlukan lumpur yang berat untuk mengimbangi tekanan yang abnormal. Lumpur yang berat ini
dapat memecahkan formasi.
b. Pelanggaran downhole pressure
Pelanggaran downhole pressure yang sering dilakukan adalah:
Mengangkat atau menurunkan pipa yang terlalu cepat.
Pipe whipping
Sloughing shale
Peningkatan tekanan pompa yang terlalu cepat.
Lumpur yang terlalu berat.
5.3.5. Penanggulangan Lost Circulation
Lost circulation dapat menimbulkan beberapa masalah dan kerugian, misalnya:
Hilangnya lumpur.
Bahaya terjepitnya pipa.
Formation demage.
Kehilangan waktu.
Tidak diperolehnya cutting untuk sample log.
Penurunan permukaan lumpur dapat menyebabkan blowout pada formasi berikutnya.
Untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya lost circulation, maka lost circulation harus
dicegah atau ditanggulangi bila sudah terjadi. Beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi lost
circulation adalah:
5.3.5.1. Mengurangi tekanan pompa
Terjadinya lost circulation dapat diketahui dari flow sensor, atau berkurangnya lumpur di mud pit. Bila berat lumpur
normal dan tekanan abnormal bukanlah faktor penyebab, langkah pertama dan paling mudah dilakukan adalah mengatur
tekanan pompa dan berat lumpur.
Tekanan sirkulasi lumpur berkisar antara 900 psi sampai 3000 psi. Fungsi dari tekanan ini adalah untuk
menanggulangi kehilangan tekanan selama pengaliran lumpur. Tekanan total pada dasar lubang adalah besarnya tekanan
permukaan ditambah dengan tekanan tekanan kolom lumpur, dan dikurangi dengan kehilangan tekanan untuk
mensirkulasikan lumpur dalam pipa bor dari permukaan sampai dasar. Misalnya tekanan permukaan sebesar 1500 psi. Bila
70% kehilangan tekanan untuk sirkulasi lumpur dari atas sampai dasar pipa bor termasuk pahat, dan tekanan kolom lumpur
seimbang dengan tekanan formasi, maka perbedaaan tekanan antara lumpur dengan fluida formasi adalah 450 psi (30% x
1500 psi), sehingga tekanan dasar lubang adalah tekanan hidrostatik lumpur 450 psi. Pada saat lost circulation terjadi,
semakin besar perbedaan tekanan, semakin banyak lumpur yang hilang. Untuk itu bila lost circulation terjadi, tekanan
pompa harus dikurangi sebesar mungkin tanpa mengurangi laju sirkulasi lumpur. Karena pengurangan tekanan ini akan
mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida formasi.
Misalnya pada contoh diatas, bila tekanan permukaan dikurangi sampai 700 psi, maka perbedaan tekanan yang
terjadi antara lumpur dan fluida formasi hanya 210 psi. Penurunan ini tentunya akan mengurangi banyaknya lumpur yang
hilang ke formasi. Keuntungan dari metode ini adalah dapat dilakukan dengan cepat.
5.3.5.5. Mengurangi berat lumpur
Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah untuk mengimbangi tekanan formasi. Semakin besar berat lumpur,
semakin besar differensial pressure antara kolom lumpur dan formasi. Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan
pecahnya formasi. Jika lost circulation terjadi pada zona yang normal, laju aliran yang hilang adalah fungsi differensial
pressure. Pengurangan berat lumpur akan mengurangi differensial pressure antara lumpur dan fluida formasi, sehingga
aliran lumpur yang hilang akan menurun.
5.3.5.3. Menaikkan Viskositas dan Gel Strength
Pada shallow depth, lost circulation umumnya disebabkan oleh formasi yang porous yang terdiri dari coarse, gravel
atau cavernous. Peningkatan viskositas dan gel strength akan membantu memecahkan masalah ini. Ketika lost terjadi, pola
aliran fluida pada lubang bor tidak diketahui. Jika formasi yang porous terdiri dari lapisan sand, gravel, cavernous dalam
sebuah permukaan horizontal yang datar sebagai hasil pengangkatan dari tekanan overburden, pola alirannya adalah radial.
Jika porositas berupa fissures atau fractures, atau formasi dipecahkan pada bidang vertikal, pola alirannya adalah numerous
channels. Dalam kasus ini pola aliran adalah antara aliran radial dan tubular.
Untuk aliran radial Muskat telah merumuskan:
2kh Pw Pf
Q
ln Rw / R f
.............................................................................(5-11)
dimana :
Q
= Laju Volume, bbl/dt
h
= Tinggi lapisan, ft
k
= Permeabilitas, md
Pw
= Tekanan lubang bor, psi
Pf
= Tekanan radius efektif, psi
Rw
= Radius lubang bor, pft
Rf
= Radius efektif lubang bor

= Viskositas fluida, cp
Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan viskositas fluida pemboran akan menurunkan volume
lumpur yang hilang ke formasi.
5.3.5.4. Mengurangi Tekanan Surge Lubang Bor
Tekanan surge dihasilkan dari penurunan pipa kedalam lubang bor yang terlalu cepat. Kondisi ini dapat memecahkan
formasi. Untuk itu drill string mesti diturunkan dengan lambat untuk mengurangi tekanan surge yang dapat memecahkan
formasi.
5.3.5.5. Sealing Agent
Bila beberapa metode yang diuraikan sebelumnya gagal untuk me-ngatasi lost, biasanya ditambahkan Lost
Circulation Material (LCM), bahan pengurang kehilangan lumpur.
Ada tiga cara additive LCM untuk mengatasi masalah lost circulation, yaitu :
1. Menjaga agar tidak terjadi rekahan akibat penyemenan. Dalam hal ini tekanan hidrostatik harus kecil. LCM jenis
ini antara lain adalah extenders.
2. Mengatasi lost circulation dengan menempatkan material yang mampu menahan hilangnya semen/sumur.
Material ini antara lain granular, flake dan fibrous.
Kombinasi dari kedua cara diatas.
Menurut CHILINGARIAN, 1983, tipe granular adalah jenis LCM yang sangat baik digunakan. Namun demikian, untuk
lebar rekahan yang lebih dari 0,22 inch material ini tidak berguna lagi. Penggunaan bahan plug yang dapat terhidrasi
dengan cepat jika bercampur dengan air atau water base mud, seperti bentonit + diesel oil (BDO) akan memberikan
efektivitas penyumbatan yang baik.
Bentonit Diesel Oil (BDO) termasuk penyumbatan jenis lunak dan biasanya digunakan untuk mengatasi hilangnya
lumpur yang disebabkan rusaknya formasi akibat fluida pemboran. Lumpur (water base mud) + BDO dicampur dengan
perbandingan 1:3 sebelum dipompakan dalam zone hilang lumpur melalui rangkaian pipa bor.
Gambar 5.16 menunjukkan pengaruh jumlah lumpur (persen volume) yang digunakan terhadap yield strength
mempunyai harga yang maksimum.
Polymer plug digunakan baik untuk menyumbat zona lumpur pada rekahan yang disebabkan operasi pemboran
maupun rekahan alami. Campuran polymer bentonit 10:90 dapat mengembang, baik menggunakan air tawar maupun air
asin, membentuk suatu jaringan yang dapat menyumbat zona hilang lumpur.

Gambar 5.16. Pengaruh persentase lumpur pada M+BDO terhadap Yield strength
5.3.5.6. Cement plug
Penggunaan semen untuk mengatasi hilang lumpur terutama didaerah yang banyak mengandung gerowong (vuggy)
sebagaimana terdapat pada formasi karbonat merupakan langkah terakhir dimana hilang lumpur yang terjadi sudah tidak
dapat diatasi dengan lumpur.
Cement plug adalah material (semen) yang dipompa ke dalam zone yang porous, dengan harapan bahwa material
akan menutup pori dengan membentuk plastik yang kuat atau solid. Cement plug biasanya tidak cukup hanya dilakukan
sekali, tetapi harus berkali-kali. Sebenarnya Cement plug sangat efektif untuk menutup ruang pori. Hanya saja penggunaan
cement plug ini menimbulkan kendala karena semen lebih keras dari formasi, yang tentunya akan menurunkan laju
penembusan.
Semen yang akan digunakan pada sumur-sumur minyak biasanya ditambahkan suatu aditif untuk mendapatkan
karakteristik semen yang sesuai de ngan kebutuhan. Berikut ini adalah jenis-jenis aditif yang biasanya digunakan:
a. Accelerator
Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung pada temperatur dan tekanan, sesuai dengan
kekuatan tekanan (compressive strength) dari semen tersebut, yang juga tergantung pada temperatur dan tekanan.
Suatu saat additive accelerator dapat ditambahkan untuk mempercepat tercapainya thickening time sehingga semen
mempunyai kekuatan tekan yang mampu menahan beban uji sebesar 500 psi.
Mekanisme acceleration didalam bubur semen sehingga saat ini belum dipahami secara seluruhnya. Akan tetapi suatu
studi telah menemukan pengaruh dari CaCl 2 terhadap laju hidrasi dan pengembangan kekuatan tekan yang lebih dini.
Kesimpulan umum dari studi ini adalah bahwa acceleration seperti CaCl 2 tidak menyatu dengan produk hidrasi baru
tetapi hanya mempengaruhi laju hidrasi dimana semen tersebut ditempatkan. Dengan kata lain CaCl 2 mempercepat
pembentukan Ca(OH)5. Kondo et all, telah menemukan mekanisme tersebut berdasarkan laju difusi dari Alkalikhlorida
melalui selaput tipis semen portland ke dalam larutan kalsium hidroksida. Hasil studi menunjukkan bahwa laju difusi ion-
ion Cl- adalah empat kali lebih cepat daripada kation alkali. Hal ini berarti bahwa pada dasarnya penetralan elektrik dijaga
oleh difusi ion OH- dari larutan Ca(OH)5.
b. Retarder
Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk memperlambat setting semen (kebalikan dari accelerator), yang
diperlukan untuk mendapatkan waktu yang cukup dalam penempatan semen. Retarder yang tersedia dipasaran antar
lain : salt (D44), lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan sellulosa (D8), dan polyhydroxy
organik acid dan sugar additive (D25, D109).
c. Dispersant
Dispersant biasanya digunakan untuk mengontrol rheologi bubur semen agar pada pemompaan yang rendah
menghasilkan aliran turbulen. Hal ini diperlukan untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang masih terdapat dalam kolom
annulus. Selain itu dispersant juga dapat menurunkan kadar air dalam semen, sehingga akan menaikkan kekuatan
semen tersebut.
d. Extenders
Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen, sehingga tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih
kecil selama penyemenan. Selain itu, extanders dapat menaikkan yield bubur semen. Material yang termasuk extenders
antara lain bentonit, D-75, silicates, litepi D-124 dan lain-lain.
e. Zat Pemberat
Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar tekanan pori yang tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi
demikian biasanya berat lumpur yang digunakan berkisar antara 18 - 18,5 lb/gal. Material yang termasuk zat pemberat
antara lain ilmenite, hematite, dan barite.
5.3.5.6.1. Penyemenan Multi Stage
Penyemenan banyak tahap diperlukan untuk menghindari hilangnya semen ke dalam formasi Karbonate yang banyak
mengandung rekahan. Gambar 3.17 menunjukkan skema kedudukan semen untuk mengurangi hilangnya semen ke dalam
rekahan. Tahap awal dari penyemenen dengan teknik ini biasanya dirancang sebagaimana pada penyemenan satu tahap.
Semen dipompa dibawah melalui tubing dan naik melalui annulus. Tahap selanjutnya semen dipompa melalui suatu special
port collar yang akan membuka jika tahap pertama telah selesai.
Semen jenis ringan ini diperlukan terutama pada zona- zona lunak untuk mengurangi kerusakan formasi lebih lanjut
akibat tekanan hidrostatik semen. Selain itu, jenis semen ini juga sangat baik untuk zona yang banyak mengandung
rekahan atau gerowong.
Semen busa menggunakan gas N2 (Nitrogen) sebagai extender yang berfungsi menurunkan densitas. Gelombang
Nitrogen di dalam bubur semen tidak akan pecah jika tekanan hidrostatik naik. Gelembung-gelembung tersebut akan
menyusut, sehingga memerlukan tambahan konsentrasi nitrogen untuk menjaga tekanan hirostatik.

Gambar 5.17. Skema Kedudukan Penyemenan Multi Stage Untuk Mengatasi Lost Circulation.
Ada beberapa kelebihan penggunaan semen busa ini antara lain :
a). Penyemenan formasi lunak
Densitas semen bisa mencapai 7 lb/gal. Gambar 5.18 menunjukkan perubahan tekanan hidrostatik semen pada semen
busa. Hal ini sangat cocok untuk penyemenan casing pada formasi lunak.
b). Mengatasi hilang sirkulasi
Gambar 5.19 menunjukan sifat thixotropic semen busa. Sifat ini dapat mencegah hilangnya lumpur ke zona gerowong
karena semen mampu membentuk gel dalam keadaan statik. Sifat thixotropic ini disebabkan adanya campuran CaSO 4
hemihydrate dan CaCl2 dengan semen portland.

Gambar 5.18. Tekanan hidrostatik semen dengan dan tanpa busa


Gambar 5.19. Sifat thixotropic semen busa.
c. Quick Setting Cement
Quick setting cement adalah jenis semen yang mempunyai tingkat pengerasan yang sangat cepat. Semen ini umumnya
terdiri dari campuran semen portland dan gypsum dengan perbandingan 5:95 sampai 15:85. Semen gypsum ini adalah
jenis semen dengan kekuatan yang tinggi dan setting semen yang sangat cepat. Hal ini sangat berguna untuk
menanggulangi masalah hilang lumpur pada kedalaman yang relatif dangkal. Semen ini mempunyai waktu setting sekitar
20-40 menit.
d. High-filter-loss slurry squeeze (HFLSS)
Semen HFLSS sangat efektif untuk mengatasi masalah hilang lumpur, baik partial lost atau total lost. Bahan- bahan
seperti attapulgite, serbuk gamping, LCM jenis granular (coarsa, walnut), LCM fiber (kertas, nylon), dan LCM flake
(cellophone) ditambahkan kedalam bubur semen untuk kemudian dipompakan ke dalam zona hilang melalui rangkaian
pipa bor.
e. Down hole-mixed soft/hard pug (M+BDO2C)
Lumpur + minyak diesel, bentonit, dan semen (M+BDO2C) digunakan untuk menanggulangi lost circulation total. Jenis
lumpur yang digunakan adalah water base mud. Sedangkan komponen BDO2C terdiri dari 100 lb sak bentonit, 2x94 lb
sak semen portland dicampur dengan 26,5 gal minyak diesel. Penambahan minyak diesel ditujukan agar bubur semen
lebih mudah untuk dipompa, mengingat bubur semen terdiri dari padatan-padatan yang tersuspensi.

Pemilihan perbandingan bentonit terhadap semen didasarkan pada karakeristik bubur semen yang mempunyai
kemampuan untuk membentuk gel jika bercampur dengan lumpur, yang diperlukan untuk menutup daerah hilang lumpur.
Dalam keadaan statik, kekuatan tekan akan berkembang sa-ngat cepat. Berdasarkan hal ini, ditentukan suatu komposisi
bentonit dan semen yang optimum, yaitu pada perbandingan 1:5.
Gambar 5.20 menunjukkan pengaruh persentase lumpur yang digunakan terhadap shear strength maksimum yang
dapat dicapai akan lebih besar. Sedangkan penambahan Q-Broxin pada BDOC akan menurunkan viskositas campuran
yang mengakibatkan kecilnya shear strength maksimum yang dapat dicapai.

Gambar 5.20. Pengaruh Persentase Lumpur Pada M+BDO2C Terhadap Shear Strength.
5.3.5.7. Drilling blind
Drilling blind adalah pemboran yang dilakukan secara membabi buta, dimana sirkulasi lumpur tidak ada karena
semua lumpur hilang ke formasi. Fluida umumnya membawa cutting masuk ke dalam zona loss, sehingga cutting ini dapat
menutup formasi. Drilling blind sangat bahaya karena cutting yang tidak terangkat kepermukaan dapat menjepit pipa/stuck.
Disamping itu , tidak diperolehnya cutting di permukaan menyebabkan log sample batuan tidak bisa dilakukan. Setelah zona
lost dilalui, perlu dipasang casing untuk menghindari terjadinya lost lebih lanjut. Metode drilling blind biasanya dilakukan bila
tekanan normal, dan air tersedia dalam jumlah yang banyak.
5.3.5.8. Aerated drilling
Aerated drilling mud dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan densitas lumpur. Metoda ini sangat cocok diterapkan
untuk mengatasi lost circulation yang dijumpai pada formasi yang cavernous, vug yang besar, khususnya pada bagian atas
lubang bor. Bila lumpur yang digunakan mempunyai kadar solid yang rendah, dan tekanan formasi normal, mungkin tekanan
formasi telah cukup untuk menempatkan fluida formasi masuk kedalam zona loss. Penanggulangan dengan semen sering
kali mengalami kegagalan karena ukuran pori yang terbuka cukup besar dan adanya pengenceran dari campuran semen
yang terjadi. Dalam hal ini penambahan udara ke dalam fluida pemboran biasanya dapat memecahkan masalah.
Metoda ini dilakukan dengan memompa campuran air dan udara kedalam lubang. Jumlah air yang dipompa ke dalam
lubang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Setelah daerah vugular dilewati, pipa dapat diset atau aerated water drilling
dapat diteruskan.
5.4 Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah
5.4.1. Pendahuluan
5.4.1.1. Deteksi Tekanan Pori Formasi
Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendeteksi tekanan formasi yang lebih besar daripada gradien
hidrostatik formasi normal (0,465 psi/ft atau 9 ppg berat lumpur). Metoda yang paling banyak digunakan adalah metoda
Drilling Rate, dimana metoda ini didasarkan pada perhitungan d-exponent.
Perbedaan tekanan yang besar antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi dapat menurunkan laju
pemboran. Untuk meningkatkan laju pemboran, densitas lumpur harus diturunkan. Dari sisi tekanan formasi, adanya
kenaikan tekanan formasi juga akan meningkatkan laju pemboran.Perlu diingat juga bahwa laju penembusan dipengaruhi
oleh parameter lain seperti WOB, RPM, pembersihan lubang sumur, litologi, sifat-sifat fluida, serta jenis dan keadaan pahat.
Sehingga perlu kiranya diperhitungkan parameter-parameter tersebut bersama-sama agar perubahan-perubahan yang
terjadi terhadap laju penembusan benar-benar dapat menunjukkan adanya tekanan formasi abnormal.
Jordan dan Shirley memberikan suatu hubungan persamaan antara beberapa parameter pemboran di atas yang di
sebut dengan d'Eksponen. Dengan mengamati perubahan harga d'Eksponen ini terhadap kedalaman maka dapat
diperkirakan adanya tekanan abnormal. Kenyataan ini dapat digunakan untuk mendeteksi zona over-pressured, dengan
menentukan nilai d-exponent pada tiap kedalaman.
Jorden dan Shirley telah membuat suatu hubungan matematis antara laju penembusan R, kecepatan putar rotary
table N, berat pahat W, dan diameter pahat D untuk digunakan dalam memperkirakan tekanan pori formasi. Persamaan
tersebut ialah :
d
WOB
ROP k x RPM e

D
.............................................................(5-12)
dimana,
e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju
penembusan,
k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju
penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr
Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik memberikan hubungan :
ROP
log e

d k x RPM
WOB
log
D
...........................................................................(5-13)
Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :
ROP
log e

d 60 x k x RPM
12 x WOB
log 6

10 x D
...................................................................(5-14)
d. Persamaan
dalam persamaan di atas dikenal sebagai d'eksponen yang tidak berdimensi. Baik harga suku ROP/60kRPMe dan
suku 12WOB/106D pada persamaan di atas selalu lebih kecil dari satu, sehingga harga logaritma dari masing-
masing adalah negatif. Kemudian Jordan dan Shirley menyederhanakan pesamaan di atas dengan mengasumsikan
k sama dengan 1 dan e juga sama dengan 1.
Persamaan di atas kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan pe-ngaruh densitas lumpur, menjadi:
mn
d corr d
mc
.....................................................................(5-15)
dimana:
dcorr = d-exponent terkoreksi
mn
= densitas lumpur pada tekanan formasi normal ( 9 ppg)
mc
= densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg

Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan pe-ningkatan secara linier jika tekanan pori formasi
normal, akan tetapi akan berkurang secara tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan tekanan pori formasi.
Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman menyebabkan laju penembusan berkurang
karena batuan semakin kompak akibat bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga d'eksponen bertambah.
Pertambahan d'eksponen ini mengikuti suatu kecenderungan yang disebut trend d'eksponen normal.
Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan abnormal maka laju penembusan akan naik dengan
tiba-tiba, meninggalkan trend laju penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang sumur
dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan mengakibatkan batuan yang sedang dibor semakin mudah terlepas,
sehingga laju penembusan bertambah. Disamping itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki porositas yang lebih
tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama lainnya, sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika dikaitkan dengan
persamaan d'eksponen, maka naiknya harga laju penembusan ROP akan mengakibatkan turunnya harga d'eksponen.
Jika dibuat hubungan antara d'eksponen terhadap kedalaman, maka perubahan harga d'eksponen yang
mengindikasikan zona bertekanan abnormal ini akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend d'eksponen
normal (d'eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data d'eksponen yang menunjukkan penyimpangan ke kanan
(membesar) maka hal ini mengindikasikan adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan normal (subnormal) dan
berpotensi pada terjadinya lost circulation.
Sebagai contoh, dapat digunakan data-data yang terdapat pada Tabel 1.
Gambar 21. Laju Pemboran vs Kedalaman 7)
Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 1 di atas , dimana terdapat penurunan laju
pemboran dari 100 ft/hr pada kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800 ft.
Tabel 5-5. Data Tekanan Formasi dan d-exponent 7)
Depth, Drilling Weight on Rotary Speed, It Size, Mud Density,
feet Rate, ft/hr Bit, 1000 lbs RPM Inch lb/gal
6000 106.0 35 120 8.5 90
6500 103.0 35 120 8.5 90
7000 76.9 35 110 8.5 90
7500 66.0 35 110 8.5 90
8000 44.5 30 110 8.5 94
8500 46.0 30 110 7.875 94
9000 39.4 30 110 7.875 94
9500 35.0 30 110 7.875 94
10000 30.8 30 110 7.875 10.1
10200 26.3 30 100 7.875 10.1
10400 24.7 30 100 7.875 10.1
10600 23.2 30 100 7.875 10.5
10800 21.8 30 90 7.875 11.1
11000 19.1 30 90 7.875 11.1
11200 17.9 30 90 7.875 11.3
11400 16.8 30 90 7.875 11.6
11600 21.9 35 90 7.875 11.6
11800 20.6 35 90 7.875 11.8
12000 20.6 35 90 7.875 13.1
12200 20.0 35 90 7.875 13.4
12400 18.0 35 90 7.875 13.6
12600 18.0 35 90 7.875 14.2
12800 17.0 35 90 7.875 14.5

Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya d-exponent pada tiap kedalaman
dengan menggunakan persamaan (3). Dengan memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa
densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil
perhitungan d-exponent terkoreksi kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 25.
Pada Gambar 22 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian
menurun secara tajam. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr sebelum
kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah
0,000038, sehingga garis tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut:
dnormal = 0.000038 x depth + 1.23
Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan persamaan berikut:
d normal
P Gn
d corr
..................................................................................(5-16)
dimana:
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW
Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg
Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 25. D-Exponent Terkoreksi vs Kedalaman 7)

Gambar 23. Tekanan Pori vs Kedalaman 7)


5.5. D-Exponen Terkoreksi
Seperti telah dijelaskan di atas, d'eksponen merupakan suatu parameter yang diturunkan dari persamaan laju
penembusan pemboran, di mana trend nilai d'eksponen terhadap kedalaman dapat mencerminkan perubahan tekanan
formasi batuan.
D'eksponen dihitung dengan menggunakan persamaan (5-14). Dengan memplot d'eksponen terkoreksi terhadap
kedalaman (Gambar 24), dan menarik garis trend tekanan normal, maka dapat ditentukan tekanan formasi dalam satuan
EMW, seperti telihat pada Gambar 25.

Gambar 24. Plot d-exponen terkoreksi terhadap kedalaman


Gambar 25. Plot EMW dan berat lumpur terhadap kedalaman
Dari Gambar 24 dapat dilihat pada kedalaman 2100 m nilai d'eksponen mulai menyimpang ke arah kiri, yang
menandakan adanya formasi bertekanan abnormal. Hal ini juga dapat dilihat pada plot EMW, yaitu pada kedalaman 2111 m
EMW mulai bertambah. Namun kemudian terlihat bahwa tekanan ekuivalen formasi terus naik hingga mencapai puncaknya
pada kedalaman 2350 m, yaitu sekitar 35 ppg. Hal ini tidak realistis, sebab seharusnya tekanan abnormal formasi tidak
mencapai harga ini. Biasanya tekanan abnormal hanya berkisar antara 11 hingga 17 ppg. Selain itu dapat dilihat juga bahwa
lumpur yang digunakan saat pemboran tidak pernah mencapai nilai EMW dari d'eksponen tadi. Berat lumpur maksimum
hanya mencapai 15.2 ppg pada kedalaman 2500 m.
Kejadian yang menarik di sini ialah pada interval kedalaman zona abnormal (kurang lebih 2200 hingga 2700 meter)
pemboran menggunakan bit jenis PDC, berbeda dengan zona di atasnya, yaitu bit jenis three cone bit. Seperti kita ketahui,
pemboran dengan menggunakan PDC bit akan mempunyai laju penetrasi yang sangat tinggi, bisa mencapai 6 hingga 30
kali pemboran dengan three cone bit untuk kondisi yang sama.2) Dengan demikian, perkiraan tekanan formasi dengan
menggunakan d'eksponen koreksi ini akan mengalami kesalahan karena perbedaan sifat-sifat dari bit yang digunakan. Laju
penetrasi yang tinggi akibat penggunaan PDC Bit ini akan mengakibatkan nilai d'eksponen koreksi bergeser lebih ke kiri
(semakin kecil) (Gambar 24) walaupun seandainya tidak terdapat perubahan tekanan formasi, sesuai persamaan (3).
Pergeseran akibat penggunaan PDC bit ini dapat dilihat dengan jelas pada plot EMW terhadap kedalaman (Gambar 25),
yaitu pada kedalaman 2215 m terdapat pergeseran/peningkatan EMW secara drastis, dari sekitar 15 ppg menjadi sekitar 25
ppg.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada operasi pemboran yang menggunakan dua jenis bit, yaitu
three cone bit dan PDC bit, perhitungan d'eksponen pada interval kedalaman yang menggunakan PDC Bit harus dikoreksi,
yaitu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi. Untuk melakukan ini penulis menggunakan data dari dua buah sumur
pada reservoar yang sama, di mana pada zona abnormal masing-masing sumur menggunakan bit PDC. Penulis berusaha
menyelaraskan perkiraan tekanan pori formasi (EMW) dengan berat lumpur yang dipakai pada saat itu dan juga dengan
membandingkannya dengan hasil perkiraan tekanan pori batuan di lapangan, sehingga dapat ditentukan suatu koreksi
terhadap harga d'eksponen terkoreksi.
Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di bawah zona tekanan abnormal (di bawah 2760 m),
terdapat juga kesalahan perhitungan EMW formasi, di mana EMW formasi pada zona ini lebih besar dari berat lumpur yang
digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar 5), suatu hal yang tidak mungkin, karena pemboran pada sumur ini bukan
merupakan pemboran under balanced. Kesimpulan yang dapat ditarik di sini ialah akibat perubahan ukuran bit (pada
interval ini ukuran bit ialah 8.5", sedangkan ukuran bit pada interval di atas formasi bertekanan normal ialah 17.5"). Jadi
pada interval kedalaman di bawah formasi tekanan abnormal tadi juga perlu dilakukan koreksi terhadap d'eksponen
terkoreksi akibat perubahan ukuran bit.
Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error maka diperoleh dua konstanta koreksi, yaitu masing-
masing konstanta koreksi terhadap penggunaan bit PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit (dari 17.5" menjadi
15.5"). Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC ialah sebesar 0.225. Artinya, pada interval kedalaman yang
menggunakan bit PDC, nilai d'eksponen terkoreksi perlu ditambahkan dengan 0.225. Angka ini ternyata berlaku juga untuk
sumur kedua, walaupun keduanya menggunakan bit PDC dengan seri yang berbeda.
Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap penggunaan PDC menjadi:
9
D' corr x d 0.225
MW
................................................................... (5-17)
Hal yang sama juga dilakukan terhadap d'eksponen normal pada kedalaman di bawah zona bertekanan abnormal
(seksi 8.5"), yaitu dengan menambahkan faktor koreksi sebesar 0.35 pada d'eksponen terkoreksi, akibat perubahan ukuran
bit dari 17.5" menjadi 8.5". Selain itu, pada kedalaman bit PDC juga perlu ditambahkan faktor koreksi (sebesar 0.2) karena
pada kedalaman ini juga terjadi perubahan ukuran bit (17.5" menjadi 15.5"). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk
sumur kedua. Untuk penggunaan yang lebih umum dibuat persamaan yang dapat mendekati hubungan antara besarnya
faktor koreksi terhadap perubahan diameter bit, dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi dan perubahan diameter bit
ialah linier.
f c 0.04 x d1 d 2
..............................................................................(5-18)
Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit menjadi:
9
D' corr x d v 0.04 x d1 d 2
MW
................................................. (5-19)
Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami perubahan ukuran bit dan juga menggunakan PDC maka
kedua koreksi di atas harus dilakukan. Plot d'eksponen koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan tipe dan ukuran bit
dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap type bit PDC dan ukuran Bit
Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 27 dan 27a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat
bahwa koreksi yang telah dilakukan terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran yang menggunakan
PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5" memberikan harga EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang
digunakan pada saat pemboran.

Gambar 27. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.

Gambar 27a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap tipe Bit PDC dan ukuran bit.
Dari hasil penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa koreksi sebagai berikut:
D eksponen koreksi untuk PDC bit:
9
D' corr x d 0.225
MW
D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 8.5" :
9
D' corr x d 0.36
MW
D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 15.5" :
9
D' corr x d 0.2
MW

5.5.1 Gradien Rekah


5.5.1.1. Tekanan
Tekanan adalah suatu gejala alam yang terjadi pada setiap benda di permukaan bumi ini, yang merupakan besarnya
gaya yang bekerja dalam setiap satuan luas. Secara empiris dapat dituliskan sbb:
F
P
A
................................................................................................... (5-10)
dimana :
P = Tekanan, ML-1T-2
F = Gaya yang bekerja pada daerah luas ybs, MLT-2
A = Luas permukaan yang menerima gaya, L2
Di lapangan biasanya gaya memakai satuan pounds, luas dengan satuan inch2 (square inch) maka tekanan dalam
pounds per square inch (psi).
Sedangkan tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh beban fluida yang ada diatasnya, secara
empiris dapat dituliskan sebagai berikut : (lihat Gambar 28).
P x g xh
g xh
.........................................................................................(5-21)
dimana :
r = berat jenis, ML-3
g = percepatan gravitasi, LT-2

= gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2
h = ketinggian, L

Gambar 28. Tekanan Hidrostatik8)


5.5.1.5. Tekanan Overburden
Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh berat seluruh beban yang berada diatas suatu
kedalaman tertentu tiap satuan luas.
Berat material se dim en berat cairan
Pob
Luas
Gradien tekanan overburden adalah menyatakan tekanan overburden tiap satuan kedalaman.
Pob
Gob
D
............................................................................................. (5-22)
Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain dari analisa log juga dapat ditentukan sbb:
(lihat Gambar 29)
Gambar 29. Penentuan Gradien Tekanan Overburden8)
n

l i, i
Gob i 1

Dn
...............................................................................(5-23)
dimana :
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
Menurut Christman gradien tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai berikut :
0,433
Gob w . Dwt b . Db
D
........................................................(5-24)
dimana :
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
w
= berat jenis cairan, gr/cc
b
= berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan
menganggap berat jenis batuan rata-rata sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah
0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433psi/ft = 1,0 psi/ft.
5.5.1.3. Tekanan Formasi Normal
Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi rongga formasi, secara hidrostatis
untuk keadaan normal sama dengan tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan.
Bila isi dari kolom yang terisi berbeda cairannya, maka besarnya tekanan hidrostatiknya pun berbeda, untuk kolom air
tawar diberikan gradien tekanan hidrostatik sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin gradien hidrostatiknya sebesar
0,465 psi/ft.
Penentuan dari tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa log atau dari data Drill Stem Test (DST).

5.5.1.4. Tekanan Rekah


Tekanan Rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang dapat ditahan tanpa menyebabkan terjadinya
pecah. Besarnya gradien tekanan rekah dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan formasi dan kondisi
kekuatan batuan.
Mengetahui gradien tekanan rekah sangat berguna ketika meneliti kekuatan dasar selubung (casing), sedangkan bila
gradien tekanan rekah tidak diketahui maka akan mendapat kesukaran dalam pekerjaan penyemenan dan penyelubungan
sumur.
Selain dari hasil log, gradien tekanan rekah dapat ditentukan dengan memakai prinsip leak-off test, yaitu memberikan
tekanan sedikit-sedikit sedemikian rupa sampai terlihat tanda-tanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan dengan kenaikan
tekanan terus menerus kemudian tiba-tiba turun. Penentuan gradien tekanan rekah ini juga bisa dari perhitungan, antara
lain :
Hubbert and Willis, yang menganggap tekanan overburden berpe-ngaruh efektif terhadap tekanan rekah.
Pt 1 Pob 2 P

D 3 D D
...............................................................................(5-25)
dimana :
Pf = tekanan rekah, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft
bila dianggap gradien tekanan overburden (Pob/D) adalah 1 psi/ft, maka persamaan (10) menjadi :
Pf 1 D
1 2
D 3 Df

................................................................................(5-26)
Mathews and Kelley, memberikan persamaan :
P Pob P
Fr Ki
D D
....................................................................(5-27)
dimana,
Fr = gradien tekanan rekah, psi/ft

Gambar 30. Matrix Stress Coefficient 6)


Kedua persamaan di atas menganggap gradien tekanan overburden tetap untuk setiap kedalaman. Karena pada
kenyataanny tidak demikian maka timbul persamaan-persamaan lain yang lebih memperhitungkan masalah kondisi batuan.
Pennebaker, menuliskan persamaan :
P Pob P
Fr K
D D
......................................................................(5-28)
dimana :
tekanan mendatar
K
tekanantegak

= perbandingan tekanan efektif (lihat Gambar 10)


Eaton, menulis persamaan :
P Pob P
Fr
D D 1
...............................................................(5-29)
dimana,

= poisson's ratio (lihat Gambar 31)

6)
Gambar 31. Perbandingan Tekanan Efektif
Gambar 35. Poisson's Ratio 6)
Selanjutnya dari persamaan Eaton ini dibuat suatu nomograph untuk menentukan gradien tekanan rekah.
Harga faktor-faktor perbandingan yang mengindahkan kekuatan batuan di atas bermacam-macam, maka W. L. Brister
mendapatkan harga rata-ratanya (Ka) sbb :
Pob P
K a 3,9 2,88 jika ob 0,94
D D
..........................................(5-30)
Pob P
K a 3,2 2,224 jika ob 0,94
D D
........................................(5-31)
atau dari grafik pada Gambar 12, sehingga kita mendapatkan rumus akhir :
P Pob P
Fr Ka
D D
....................................................................(5-32)
Sedangkan bila kejadiannya berada di bawah permukaan laut maka harga-harga tersebut di atas perlu dikoreksi, hal
ini dapat diterangkan oleh Zamora sbb :
f D Dw 8,5 Dw
Fc
D
..................................................................(5-33)
dimana :
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut

Gambar 33. Perbandingan Tekanan Rata-Rata6)


5.6. Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah
Dari informasi offset well, termasuk resistivity, sonic dan radioaktif log, informasi pemboran dan lumpur, bersamaan
dengan interpretasi geologi, dapat dipersiapkan suatu evaluasi tekanan formasi terhadap kedalaman. Dengan informasi
tekanan formasi terhadap kedalaman tersebut, gradien rekah dapat ditentukan. Dual plot antara tekanan formasi dan
gradien rekah terhadap kedalaman dapat dibuat dalam skala linier untuk memudahkan memperoleh interpolasi yang akurat.
Gambar 34. Contoh Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah Terhadap Kedalaman

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Hole Problem)

ke
= Permeabilitas undamage reservoir
ka
= Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra
= Jari-jari zonal damage
Pe
= Tekanan pada batas pengurasan
Pw
= Tekanan pada batas sumur
q
= Rate aliran ke lubang sumur
P1 jam
= Tekanan setelah satu jam test, psi
m
= Kemiringan kurva build up test

= Porositas, fraksi
k
= Permeabilitas, md

= Viscositas, Cp
C
= Compressibillitas batuan ,psi-1
rw
= Jari-jari lubang sumur, ft
qo
= Laju produksi minyak, BPD
o
= Viskositas minyak, cp
Bo
= Formation volume factor, BPD/STB
ko
= Permeabiltas minyak, md
h
= Ketebalan formasi produktif, ft
k avg
= Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke
= Permeabilitas mula-mula
ra
= Jari-jari zone damage
rw
= Jari-jari sumur

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN


(Penentuan Tekanan Formasi Gradie Rekah)

e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan


k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr
dcorr = d-exponent terkoreksi
rmn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal ( 9 ppg)
rmc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg
EMWGn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg
r = berat jenis, ML-3
g = percepatan gravitasi, LT-2
g = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2
h = ketinggian, L
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
rw = berat jenis cairan, gr/cc
rb = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Pf = tekanan rekah, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut

Bab 6.
Lumpur Pemboran

6.1. Pendahuluan
Pada mulanya orang hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih pemboran (cutting). Lalu dengan
berkembangnya pemboran, lumpur mulai digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia ditambahkan dan
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun lumpur tetap bertahan. Dalam bab ini tak akan dibahas
fluida pemboran yang berupa udara dan gas.
Secara umum lumpur pemboran dapat dipandang mempunyai empat komponen atau fasa :
a. Fasa cair (air atau minyak)
b. Reactive solids, yaitu padatan yang bereaksi dengan air membentuk koloid (clay)
c. Inert solids (zat padat yang tak bereaksi)
d. Fasa kimia

a. Fasa cair.
Ini dapat berupa minyak atau air. Air dapat pula dibagi dua, tawar dan asin. Tujuh puluh lima persen lumpur pemboran
menggunakan air. Sedang pada air dapat pula dibagi menjadi air asin tak jenuh dan jenuh. Istilah oil-base digunakan bila
minyaknya lebih dari 95% . Invert emulsions mempunyai komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa kontinu) dan air 30 -
50% (sebagai fasa terdispersi).

b. Reactive solids.
Padatan ini bereaksi dengan sekelilingnya untuk membentuk koloidal. Dalam hal ini clay air tawar seperti bentonite
mengisap (absorp) air tawar dan membentuk lumpur. Istilah "yield" digunakan untuk menyatakan jumlah barrel lumpur
yang dapat dihasilkan dari satu to clay agar viskositas lumpurnya 15 cp.
Untuk bentonite, yieldnya kira-kira 100 bbl/ton. Dalam hal ini bentonite mengabsorp air tawar pada permukaan partikel-
partikelnya, hingga kenaikan volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut "swelling" atau "hidrasi".
Untuk salt water clay (attapulgite), swelling akan terjadi baik diair tawar atau di air asin dan karenanya digunakan untuk
pemboran dengan "salt water muds". Baik bentonite ataupun attapulgite akan memberi kenaikan viskositas pada lumpur.
Untuk oil base mud, viskositas dinaikkan dengan penaikan kadar air dan penggunaan asphalt.

c. Inert solids.
Biasanya berupa barite (BaSO4) yang digunakan untuk menaikkan densitas lumpur, ataupun galena atau bijih besi. Inert
solids dapat pula berasal dari formasi-formasi yang dibor dan terbawa lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay non
swelling, dan padatan-padatan seperti ini bukan disengaja untuk menaikkan densitas lumpur dan perlu dibuang secepat
mungkin (bisa menyebabkan abrasi, kerusakan pompa dll).

d. Fasa kimia.
Zat kimia merupakan bagian dari sistem yang digunakan untuk mengontrol sifat-sifat lumpur, misalnya dalam dispersion
(menyebarnya paritkel-partikel clay) atau flocculation (berkumpulnya partikel-partikel clay). Efeknya terutama tertuju pada
peng"koloid"an clay yang bersangkutan. Banyak sekali zat kimia yang digunakan untuk menurunkan viskositas,
mengurangi water loss , dan mengontrol fasa koloid (disebut surface active agent). Zat-zat kimia yang mendisperse
(dengan ini disebut thinner = menurunkan viskositas, mengencerkan ) misalnya :
Quebracho (dispersant)
Phosphate
Sodium Tannate (kombinasi caustic soda dan tannium)
Lignosulfonates (bermacam-macam kayu pulp)
Lignites
Surfactant (surface active agents)
Sedang zat-zat kimia untuk menaikkan viskositas misalnya adalah :
C.M.C
Starch
Beberapa senyawa polimer
Zat-zat kimia bereaksi dan mempengaruhi lingkungan sistem lumpur tersebut misalnya dengan menetralisir muatan-
muatan listrik clay, menyebabkan dispersion dan lain-lain.

6.2. Fungsi Lumpur Pemboran


Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam pemboran. Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan
biaya pemboran sangat tergantung pada lumpur ini.
Fungsi lumpur antara lain adalah :
1. Pengangkatan cutting ke permukaan.
Pengangkatan Cutting ke permukaan tergantung dari :
a. Kecepatan fluida di annulus
b. Kapasitas untuk menahan fluida yang merupakan fungsi dari densitas, aliran (laminer atau turbulen), viskositas.
Umumnya kecepatan 100 - 120 fpm telah cukup (kadang-kadang perlu 200 fpm tetapi jarang).

2. Mendinginkan dan melumas bit dan drill string.


Panas dapat timbul karena gesekan bit dan drill string yang kontak dengan formasi. Konduksi formasi umumnya kecil,
sehingga sukar menghilangkan panas ini. Tetapi umumnya dengan adanya aliran lumpur volume maupun specific heat
lumpur telah cukup untuk mendinginkan sistem serta melumasi.

3. Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake


Lumpur akan membuat mud cake atau lapisan zat padat tipis di permukaan formasi yang permeable (lulus air).
Pembentukan mud cake ini akan menyebabkan tertahannya aliran fluida masuk ke formasi untuk selanjutnya. Adanya
aliran yang masuk yaitu cairan plus padatan menyebabkan padatan tertinggal/tersaring. Cairan yang masuk ke formasi
disebut filtrat.
Sifat wall building ini dapat diperbaiki dengan penambahan :
a. Sifat koloid drilling mud dengan bentonite.
b. Memberi zat kimia untuk memperbaiki distribusi zat padat dalam lumpur, misalnya starch, CMC dan cypan, yang dapat
mengurangi filter loss dan memperkuat mud cake.

4. Mengontrol tekanan formasi.


Tekanan fluida formasi umumnya adalah di sekitar 0.465 psi/ft kedalaman. Pada tekanan yang normal air dan padatan
dipemboran telah cukup untuk menahan tekanan formasi ini. Untuk tekanan yang lebih kecil dari normal (subnormal),

densitas lumpur harus diperkecil agar lumpur tidak hilang ke formasi. Sebaliknya untuk tekanan yang lebih besar dari
normal (lebih dari 0.465 psi/ft) atau abnormal pressure, maka barite kadang-kadang perlu ditambahkan untuk
memperberat lumpur.

Tekanan yang diakibatkan oleh kolom lumpur pada kedalaman D ft dapat dihitung dengan rumus :
Pm 0.052d m D

P Ph Ploss

dimana
Pm
= Tekanan statik lumpur, psi
P
= P dinamis
dm
= Densitas lumpur, ppg
Ph
= P hidrostatik
D
= Kedalaman, ft.
Ploss
= Kehilangan tekanan selama sirkulasi

Perlu diketahui, bahwa tekanan pada formasi yang diakibatkan oleh fluida pada saat mengalir (rumus di atas untuk
keadaan statik) adalah tekanan yang dihitung dengan rumus diatas ditambah dengan pressure loss (kehilangan tekanan)
pada annulus di atas formasi yang bersangkutan.

5. Membawa cutting dan material-material pemberat pada suspensi bila sirkulasi lumpur dihentikan sementara.

6. Melepaskan pasir dan cutting di permukaan


Kemampuan lumpur untuk menahan cutting selama sirkulasi dihentikan terutama tergantung dari gel strength. Dengan
cairan menjadi gel, tekanan terhadap gerakan cutting ke bawah dapat dipertinggi. Cutting perlu ditahan agar tidak turun
kebawah, karena bila ia mengendap di bawah bisa menyebabkan akumulasi cutting dan pipa akan terjepit (pipe sticking).
Selain itu ini akan memperberat rotasi permulaan dan juga memperberat kerja pompa untuk memulai sirkulasi kembali.
Tetapi gel yang terlalu besar akan berakibat buruk juga, karena akan menahan pembuangan cutting dipermukaan (selain
pasir). Penggunaan alat-alat seperti desander atau shale shaker dapat membantu pengambilan cutting/pasir dari lumpur
dipermukaan. Perlu ditambahkan, bahwa pasir harus dibuang dari aliran lumpur, karena sifatnya yang sangat abrasive
(mengikis) pada pompa, fitting (sambungan- sambungan) dan bit. Untuk ini biasanya kadar pasir maksimal yang boleh
adalah 2%.

7. Menahan sebagian berat drill pipe dan casing (Bouyancy effect).


8. Mengurangi efek negatif pada formasi.
9. Mendapatkan informasi (mud log, sample log).
Dalam pemboran, lumpur kadang kadang dianalisa untuk diketahui apakah mengandung hidrokarbon atau tidak (mud
log). Sedangkan selain itu dilakukan pula sample log, yaitu dengan menganalisa cutting yang naik kepermukaan, untuk
menentukan formasi yang sedang dibor.
10. Media logging
Pada penentuan adanya minyak atau gas serta juga zone- zone air dan juga untuk korelasi dan maksud-maksud lain,
diadakan logging (pemasukan sejenis alat antara lain alat listrik atau gamma ray / neutron) seperti misalnya electric
logging, yang mana memerlukan media penghantar arus listrik di lubang bor.

6.3. Sifat-Sifat Lumpur.


Komposisi dan sifat-sifat lumpur sangat berpengaruh pada pemboran. Perencanaan casing, drilling rate dan
completion dipengaruhi oleh lumpur yang digunakan saat itu. Misalnya pada daerah batuan lunak pengontrolan sifat-sifat
lumpur sangat diperlukan tetapi di daerah batuan keras sifat-sifat ini tidak terlalu kritis sehingga air biasapun kadang-kadang
dapat digunakan. Dengan ini dapat dikatakan bahwa sifat-sifat geologi suatu daerah menentukan pula jenis lumpur yang
harus digunakan.
6.3.1 Densitas dan Sand Content
Densitas Lumpur
Lumpur sangat besar peranannya dalam menentukan berhasil tidaknya suatu operasi pemboran, sehingga perlu
diperhatikan sifat-sifat dari lumpur tersebut, seperti densitas, viskositas, gel strength, atau filtration loss.
Densitas lumpur bor merupakan salah satu sifat lumpur yang sangat penting, karena peranannya berhubungan langsung
dengan fungsi lumpur bor sebagai penahan tekanan formasi. Adanya densitas lumpur bor yang terlalu besar akan
menyebabkan lumpur hilang ke formasi (lost circulation), sedang apabila terlalu kecil akan menyebabkan "kick". Maka
densitas lumpur harus disesuaikan dengan keadaan formasi yang akan dibor.
Densitas lumpur dapat mengGambarkan gradien hidrostatik dari lumpur bor dalam psi/ft. Tetapi di lapangan biasanya
dipakai satuan ppg (pound per gallon) yang diukur dengan menggunakan alat yag disebut dengan mud balance (Gambar
6.1).
Dalam perhitungan asumsi-asumsi yang digunakan :
1. Volume setiap material adalah additive :
Vs Vml Vmb
......................................................................................(6-1)
2. Jumlah berat adalah additive, maka :
s Vs ml Vml mb Vmb
.....................................................(6-2)
Keterangan :
Vs
= Volume solid, bbl
Vml
= Volume lumpur lama, bbl
Vmb
= Volume lumpur baru, bbl
s
= Berat jenis solid, ppg
ml
= Berat jenis lumpur lama, ppg
mb
= Berat jenis lumpur baru, ppg

Gambar 6.1. Mud Balance32)


dari persamaan (6-1) dan (6-2) didapat :
mb ml Vml
Vs
s mb
........................................................................( 6-3 )
karena zat pemberat (solid) beratnya adalah :
Ws Vs s
........................................................................................( 6-4)
dimasukkan ke dalam persamaan (6-3) :
mb ml
Ws s Vml
s mb
(6-4 )
% Volume solid :
Vs ml
100 mb 100
Vmb s ml
...........................................................( 6-5 )
% Berat solid :
s Vs ml
100 s mb 100
mb Vmb mb s ml
............................................( 6-6 )
Maka bila yang digunakan sebagai solid adalah barite dengan SG = 4.3 , untuk menaikkan densitas dari lumpur
mb
lama seberat dml ke lumpur baru sebesar setiap bbl lumpur lama memerlukan berat solid, Ws sebanyak:
mb ml
Ws 684
35.8 mb
.....................................................................( 6-7 )
Keterangan :
Ws
= Berat solid/zat pemberat, kg barite/bbl lumpur.
Sedangkan jika yang digunakan sebagai zat pemberat adalah bentonit dengan SG = 2.5 , maka untuk tiap barrel
lumpur diperlukan :
mb ml
Ws 398
20.8 mb
.....................................................................( 6-8 )
Ws
dimana = kg bentonite/bbl lumpur lama.
Sand Content
Tercampurnya serpihan-serpihan formasi (cutting) ke dalam lumpur pemboran akan dapat membawa pengaruh pada
operasi pemboran. Serpihan-serpihan pemboran yang biasanya berupa pasir akan dapat mempengaruhi karakteristik
lumpur yang disirkulasikan, dalam hal ini akan menambah densitas lumpur yang telah mengalami sirkulasi.
Bertambahnya densitas lumpur yang tersirkulasi ke permukaan akan menambah beban pompa sirkulasi lumpur. Oleh
karena itu setelah lumpur disirkulasikan harus mengalami proses pembersihan terutama menghilangkan partikel-partikel
yang masuk ke dalam lumpur selama sirkulasi. Alat - alat ini, yang biasanya disebut " Conditioning Equipment ", adalah :
Shale Saker
Fungsinya membersihkan lumpur dari serpihan-serpihan atau cutting yang berukuran besar.
Degasser
Untuk membersihkan lumpur dari gas yang masuk.
Desander
Untuk membersihkan lumpur dari partikel-partikel padatan yang berukuran kecil yang bisa lolos dari shale shaker.
Desilter
Fungsinya sama dengan desander, tetapi desilter dapat membersihkan lumpur dari partikel-partikel yang berukuran lebih
kecil.
Penggambaran sand content dari lumpur pemboran adalah merupakan persen volume dari partikel-partikel yang
diameternya lebih besar dari 74 mikron. Hal ini dilakukan melalui pengukuran dengan saringan tertentu. Jadi rumus
untuk menentukan kandungan pasir (sand content) pada lumpur pemboran adalah :
Vs
n 100
Vm
.......................................................................................( 6-9 )
di mana :
n
= Kandungan pasir, %
Vs
= Volume pasir dalam lumpur, bbl
Vm
= Volume lumpur, bbl
6.3.2. Viskositas dan Gel Strength
Viskositas dan gel strength merupakan bagian yang pokok dalam sifat-sifat rheology fluida pemboran. Pengukuran
sifat-sifat rheology fluida pemboran penting mengingat efektivitas pengangkatan cutting merupakan fungsi langsung dari
viskositas. Sifat gel pada lumpur juga penting pada saat round trip sehingga viskositas dan gel strength merupakan
sebagian dari indikator baik tidaknya suatu lumpur.
Fluida pemboran dalam percobaan ini adalah lumpur pemboran. Lumpur pemboran ini mengikuti model-model
rheology Bingham Plastic, Power Law dan Modified Power Law. Diantara ketiga model ini, Bingham Plastic merupakan
model yang sederhana untuk fluida Non-Newtonian.
Yang dimaksud dengan fluida Non-Newtonian adalah fluida yang mempunyai viskositas tidak konstan, bergantung
pada besarnya geseran (shear rate) yang terjadi. Gambar 6.2 adalah suatu plot pada kertas koordinat rectangular dari
viskositas vs shear rate untuk fluida ini. Pada setiap shear rate tertentu fluida mempunyai viskositas yang disebut apparent
viscosity dari fluida pada shear rate tersebut.

Gambar 6.2. Plot Koordinat Rectangular Dari Viskositas vs Shear Rate


Berbeda dengan fluida Newtonian yang mempunyai viskositas konstan, fluida Non-Newtonian memperlihatkan suatu
yield stress - suatu jumlah tertentu dari tahanan dalam yang harus diberikan agar fluida mengalir seluruhnya. Perhatikan
(Gambar 6.3).
Gambar 6.3. Plot Koordinat Shear Stress Vs Shear Rate16)
Pengukuran viskositas yang sederhana dilakukan dengan menggunakan alat Marsh Funnel (Gambar 6.4). Viskositas
ini adalah jumlah detik yang dibutuhkan lumpur sebanyak 0.9463 liter (1 quart) untuk mengalir keluar dari corong Marsh
Funnel. Bertambahnya viskositas ini direfleksikan dalam bertambahnya apparent viscosity. Untuk fluida Non-Newtonian,
informasi yang didapat dengan Marsh Funnel memberikan suatu Gambaran rheology fluida yang tidak lengkap sehingga
biasa digunakan untuk membandingkan fluida yang baru (awal) dengan kondisi sekarang.

Gambar 6.4. Marsh Funnel32)


Berikut ini adalah beberapa istilah yang selalu diperhatikan dalam penentuan rheology suatu lumpur pemboran :
Viskositas plastik (plastic viscosity) seringkali diGambarkan sebagai bagian dari resistensi untuk mengalir
yang disebabkan oleh friksi mekanik.
Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik-menarik antar partikel. Gaya tarik-
menarik ini disebabkan oleh muatan-muatan pada permukaan partikel yang di dispersi dalam fasa fluida.
Gel strength dan yield point keduanya merupakan ukuran dari gaya tarik menarik dalam suatu sistem
lumpur. Bedanya, gel strength merupakan ukuran gaya tarik- menarik yang statik sedangkan yield point
merupakan ukuran gaya tarik-menarik yang dinamik.
Penentuan harga shear stress dan shear rate yang masing-masing dinyatakan dalam bentuk penyimpangan skala
penunjuk (dial reading) dan RPM motor pada Fann VG viscometer (lGambar 6.5), harus diubah menjadi harga shear stress
dan shear rate dalam satuan dyne/cm2 dan detik-1 agar diperoleh harga viskositas dalam satuan cp (centipoise).
Adapun persamaan tersebut sebagai berikut :
5.077 C
.......................................................................................(6-10)
1.704 N
......................................................................................(6-11)
dimana :

= Shear stress, dyne/cm2

= Shear rate, detik-1
C
= Dial reading, derajat
N
= Rotation per minute RPM dari rotor
a
Penentuan viskositas nyata ( ) untuk setiap harga shear rate dihitung berdasarkan hubungan :
Gambar 6.5. Skema Gambar Fann VG Viscometer

a 100

........................................................................................(6-12)

a
300 C
N
....................................................................................(6-13)
p
Untuk menentukan plastic viscosity ( ) dan yield point (Yp) dalam field unit digunakan persamaan Bingham Plastic
(Gambar 6.6) berikut :

Gambar 6.6. Persamaan Bingham Plastic16)

600 300
p
600 300
..................................................................................(6-14)
Dengan memasukkan persaman (6-10) dan (6-11) ke dalam persamaan (6-14) didapat:
p C 600 C300
..................................................................................(6-15)
Yb C300 p
.....................................................................................(6-16)
dimana :
p
= Plastic viscosity, cp
Yb
= Yield point Bingham, lb/100 ft2
C 600
= Dial reading pada 600 RPM, derajat
C 300
= Dial reading pada 300 RPM, derajat
Harga gel strength dalam 100 lb/ft2 diperoleh secara langsung dari pengukuran dengan alat Fann VG. Simpangan
skala penunjuk akibat digerakkannya rotor pada kecepatan 3 RPM, langsung menunjukkan harga gel strength 10 detik atau
10 menit dalam 100 lb/ft2.
6.3.3. Filtrasi Dan Mud Cake
Ketika terjadi kontak antara lumpur pemboran dengan batuan porous, batuan tersebut akan bertindak sebagai
saringan yang memungkinkan fluida dan partikel-partikel kecil melewatinya. Fluida yang hilang ke dalam batuan tersebut
disebut "filtrate". Sedangkan lapisan partikel-partikel besar tertahan dipermukaan batuan disebut "filter cake". Proses filtrasi
diatas hanya terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan positif ke arah batuan. Pada dasarnya ada dua jenis filtration yang
terjadi selama operasi pemboran yaitu static filtration dan dynamic filtration. Static filtration terjadi jika lumpur berada dalam
keadaan diam dan dynamic filtration terjadi ketika lumpur disirkulasikan.
Apabila filtration loss dan pembentukan mud cake tidak dikontrol maka ia akan menimbulkan berbagai masalah, baik
selama operasi pemboran maupun dalam evaluasi formasi dan tahap produksi. Mud cake yang tipis akan merupakan
bantalan yang baik antara pipa pemboran dan permukaan lubang bor. Mud cake yang tebal akan menjepit pipa pemboran
sehingga sulit diangkat dan diputar sedangkan filtrat yang masuk ke formasi dapat menimbulkan damage pada formasi.
Standar prosedur yang digunakan dalam pengukuran volume filtration loss dan tebal mud cake untuk static filtration
adalah API RP 13B untuk LPLT (low pressure - low temperature) lihat Gambar 5.7. Lumpur ditempatkan dalam silinder
standar yang bagian dasarnya dilengkapi kertas saring dan diberi tekanan sebesar 100 psi dengan lama waktu pengukuran
30 menit. Volume filtrat ditampung dengan gelas ukur dengan satuan cubic centimeter (cc).

Gambar 6.7. Rangkaian Peralatan Pengukuran Filtration Loss LPLT32)


Persamaan untuk volume filtrat yang dihasilkan dapat diturunkan dari persamaan Darcy, persamaannya adalah
sebagai berikut :
1
f sc 2

2k 1 tP
V f A f sm



................................................................(6-17)
dimana :
A
= Filtration area, cm2
k
= Permeabilitas cake, darcy
f sc
= Volume fraksi solid dalam mud cake
f sm
= Volume fraksi solid dalam lumpur
P
=Tekanan Filtrasi, atm
t
=Waktu filtrasi, menit

= Viscositas filtrat, cp
Pembentukan mud cake dan filtration loss adalah dua kejadian dalam pemboran yang berhubungan erat, baik waktu
maupun kejadiannya maupun sebab dan akibatnya. Oleh sebab itu maka pengukurannya dilakukan secara bersamaan.
Persamaan yang umum digunakan untuk static filtration loss adalah:
0.5
t
Q2 Q1 2
t1
.................................................................................(6-18)
dimana :
Q1
= Fluid loss pada waktu t1, cm3
Q2
= Fluid loss pada waktu t2, cm3
t
= waktu filtrasi, min
6.3.4. Sifat-Sifat Lumpur pada Tekanan dan Temperatur Tinggi.
Effisiensi operasi pemboran sangat dipengaruhi oleh sifat- sifat lumpur. Oleh sebab itu pemeliharaan dan mempelajari
sifat-sifat lumpur menjadi sangat penting.
Kondisi lingkungan pemboran, dalam hal ini adalah tekanan dan temperatur, dapat mempengaruhi sifat-sifat lumpur
tersebut. Dimana pada umumnya temperatur yang tinggi dapat mengurangi efektivitas aditif yang ditambahkan kedalam
lumpur sebagai pembentuk sifat-sifat lumpur. Jika pada kondisi tersebut sifat-sifat lumpur tidak dapat dikontrol, maka dapat
menimbulkan masalah terhadap kecepatan pemboran, bit dan hole cleaning, kestabilan lubang bor dan masalah-masalah
lainnya yang cukup serius.
Salah satu sifat lumpur yang akan dipelajari dalam percobaan ini adalah filtration/water loss pada tekanan dan
temperatur tinggi. Pengukuran fluid loss tersebut menggunakan High -Pressure dan High-Temperature (HPHT) filter press
yang mempunyai prinsip yang sama dengan standart filter press (Gambar 6.8). Untuk mengindikasikan kecepatan filtrasi
pada formasi permeable yang ditutupi oleh mud cake yang terbentuk setelah pemboran , maka digunakan filter-paper
standar, selain itu pembentukan mud cake harus dibawah kondisi standar test. Dari penurunan persamaan Darcy, maka
didapat hubungan antara volume filtat yang terkumpul terhadap waktu, yaitu :
0.5 0.5
f t
V f 2kP sc 1
A
f sm
.....................................................(6-19)
Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai :
V f c t 0.5
..........................................................................................(6-20)
dengan :
Vf
= volume filtrat lumpur yang terkumpul, cm3
k
= Permeabilitas mud cake, darcy
P
= Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
f sc
= Fraksi volume solid pada mud cake
f sm
= Fraksi volume solid pada Lumpur

= Viskositas filtrat, cp
A
= Luas filter paper, cm2
t
= Waktu, (menit)
c
= Konstanta

Gambar 6.8. Skema Alat HP-HT Filter Pres


Sifat filtration loss lumpur, dinyatakan dalam API water loss, yaitu volume filtrat yang dikumpulkan selama 30 menit
pada kondisi standar test. Untuk pengukuran water loss dengan menggunakan HPHT filter press, maka :
APIwaterloss 2 V30

dimana :
V30 2V7.5 V sp V sp

V30
= volume filtrat yang dihasilkan selama 30 menit, cm 3
V7.5
= volume filtrat yang dihasilkan selama 7.5 menit, cm 3
Vsp
= volume spurt loss, cm3
Selain sifat water loss dari lumpur, percobaan ini juga mempelajari pengaruh temperatur terhadap sifat rheology
lumpur. Pada umumnya kenaikan temperatur menyebabkan lumpur menjadi lebih encer, tetapi hal ini tergantung dari tipe
dan total solid di dalam lumpur tersebut. Hal ini mengakibatkan plastic viscositas lumpur akan berkurang. Jika dibandingkan
dengan fasa liquidnya, dalam hal ini adalah air, maka penurunan PV tersebut menunjukan trend yang sama sampai harga
temperatur tertentu. Di atas harga tersebut, PV tidak mengalami penurunan terhadap naiknya temperatur. Keadaan ini
diakibatkan oleh meningkatnya efek friksi/gesekan dari fasa solid jika dibandingkan dengan kecepatan pengenceran dari
fasa liquidnya.
Alat yang digunakan untuk mengetahui sifat rheology adalah fann VG Viscometer yang dilengkapi cup heater untuk
menaikkan temperatur lumpur. Lumpur yang akan di tes ditempatkan sedemikian rupa sehingga mengisi ruangan antara
Bob dan Rotor sleeve. Pada saat rotor berputar, maka lumpur akan menghasilkan torque pada Bob sebanding dengan
besarnya viskositas lumpur. Dari skala pembacaan yang dihasilkan,maka dapat dihitung sifat rheology lumpur sebagai
berikut :
p 600 300
a.
Y p 300 p
b.
P 0.5 600
c.
GS 3
d.
dimana :
p
= Plastik Viscosity, cp
a
= Apparent Viscosity, cp
YP
= Yield Point, lb/100 ft2
300
= Dial Reading pada 300 RPM, derajat
600
= Dial Reading pada 600 RPM, derajat
GS
= Gel Strength, lb/100 ft2
3
= Dial Reading pada 3 RPM, derajat

6.3.5. Analisa Kimia Lumpur Bor


Seperti telah diketahui lumpur bor sangat menentukan keberhasilan suatu operasi pemboran. Oleh sebab itu
penanganan sifat-sifat fisik maupun kimia lumpur bor harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan cara menganalisis perubahan
pada sifat-sifatnya.
Dalam percobaan akan dilakukan analisis kimia lumpur bor dan filtratnya, yaitu: analisis kimia alkalinitas, analisis
kesadahan total, analisis kandungan ion klor (Cl), ion kalsium (Ca), ion besi (Fe), serta pH lumpur bor (dalam hal ini
filtratnya).
Alkalinitas atau keasaman lumpur, ditunjukkan dengan harga pH-nya, tetapi karakteristik lumpur dapat berfluktuasi
meskipun harga pH-nya tetap. Hal ini berhubungan dengan bervariasinya jenis dan jumlah ion-ion yang terdapat di dalam
lumpur bor (filtrat lumpur), dalam percobaan ini yang akan dianalisis adalah alkalinitas filtratnya.
Kesadahan total dari lumpur (filtrat lumpur) pemboran dilakukan dengan menyelidiki kandungan ion Mg +2 dan Ca+2 di
dalam lumpur bor (filtrat lumpur).
Analisis ion klor merupakan hal yang penting untuk dilakukan, terutama jika pemboran dilakukan di daerah yang
kemungkinan terkontaminasi oleh ion garam NaCl sangat besar. Caranya adalah dengan mentitrasi suatu filtrat lumpur
dengan larutan standar perak nitrat.
Adanya ion kalsium dalam jumlah yang banyak dalam lumpur bor juga perlu untuk dianalisis, hal ini berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya kontaminasi lumpur oleh gypsum, yang akan merubah sifat-sifat fisik lumpur, seperti besar water
loss dan gel strength-nya. Begitu pula dengan analisis kandungan ion besi di dalam lumpur bor, karena ion besi yang
terdapat dalam lumpur dapat mengindikasikan terjadinya korosi pada peralatan.
6.3.6. Kontaminasi Lumpur Pemboran
Sejak digunakannya teknik rotary drilling dalam operasi pemboran lapangan minyak, lumpur pemboran menjadi faktor
yang penting. Bahkan lumpur pemboran menjadi salah satu pertimbangan dalam mengoptimasikan operasi pemboran. Oleh
sebab itu perlu dikontrol sifat-sifat fisik lumpur pemboran agar sesuai dengan yang diinginkan.
Salah satu penyebab berubahnya sifat fisik lumpur adalah adanya material-material yang tidak dinginkan (kontaminan) yang
masuk kedalam lumpur pada saat operasi pemboran sedang berjalan. Kontaminasi yang sering sekali terjadi adalah
sebagai berikut :
1. Kontaminasi Sodium Chlorida (NaCl)
Kontaminasi ini terjadi saat pemboran menembus kubah garam (salt dome), lapisan garam, lapisan batuan yang
mengandung konsentrasi garam cukup tinggi atau akibat air formasi yang berkadar garam tinggi dan masuk ke dalam
sistem lumpur. Akibat adanya kontaminasi ini, akan mengakibatkan berubahnya sifat lumpur seperti viskositas, yield
point, gel strength dan filtration loss. Kadang-kadang penurunan pH dapat pula terjadi bersamaan dengan kehadiran
garam pada sistem lumpur.

2. Kontaminasi Gypsum.
Gypsum dapat masuk ke dalam lumpur saat pemboran menembus formasi gypsum, lapisan gypsum yang terdapat pada
formasi shale atau limestone. Akibat adanya gypsum dalam jumlah yang cukup banyak dalam lumpur pemboran, maka
akan merubah sifat-sifat fisik lumpur tersebut seperti viskositas plastik, yield point, gel strength dan fluid loss.

3. Kontaminasi Semen
Kontaminasi semen dapat terjadi akibat operasi penyemenan yang kurang sempurna atau setelah pengeboran lapisan
semen dalam casing, float collar dan casing shoe. Kontaminasi semen akan merubah viskositas, yield point, gel strength,
fluid loss dan pH lumpur.
Selain dari ketiga kontaminasi di atas, bentuk kontaminasi lain yang dapat terjadi selama operasi pemboran adalah :
a. Kontaminasi " hard water ", atau kontaminasi oleh air yang mengandung ion kalsium dan magnesium cukup tinggi.
b. Kontaminasi Karbon Dioksida
c. Kontaminasi Hidrogen Sulfida
d. Kontaminasi Oksigen.
6.3.7. Sifat Pelumasan Lumpur dengan Metode Multi-Torsi
Sifat pelumasan lumpur adalah kemampuan lumpur untuk melumasi bagian alat-alat pemboran yang saling
bersinggungan atau bergesekan pada saat pemboran berlangsung. Gesekan -gesekan yang mungkin terjadi pada saat
operasi pemboran adapun seperti berikut :
Metal to metal : antara drillstring dan casing (cased hole).
Metal to mineral : antara drillstring dengan borehole wall, borehole solid atau dengan filter cake (open hole).
Mineral to mineral : cutting dengan borehole wall.
Sifat pelumasan yang baik terutama diperlukan untuk memperpanjang umur peralatan (misalnya bit, casing, dll).
Selain itu berguna pula untuk melawan efek side wall sticking, menurunkan efek drillpipe torque (momen puntir) dan drillpipe
drag (seretan).
Dengan berkembangnya teknologi di bidang pemboran maka sifat pelumasan lumpur semakin penting artinya. Pada
pemboran bersudut / miring, torque dan drag dari drillstring serta keausan (wear) casing sangat tinggi. Hal ini menyebabkan
timbulnya masalah-masalah operasional yang tidak diperkirakan sebelumnya dan akan meningkatkan biaya pemboran.
Masalah yang sama juga dijumpai pada pemboran sumur - sumur horizontal. Lumpur yang biasa dipakai pada
pemboran vertikal perlu diperbaiki untuk menghasilkan sifat pelumasan yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk
keperluan pemboran sumur horizontal.
Prinsip untuk melakukan pengujian terhadap sifat pelumasan lumpur pemboran, digunakan alat Extreme Pressure
Lubricity Tester (Gambar 6.9) yang prosedurnya telah dimodifikasi. Dengan menganggap bahwa dasar yang dipakai untuk
membuat modifikasi fungsi dasar alat tersebut, sebagaimana tidak lepas dari pengaruh pelumas di antara dua bidang yang
saling bergesekan, maka secara tidak langsung dengan prosedur yang dibuat kemudian, pengujian dapat dilakukan untuk
mengetahui sifat pelumasan lumpur secara relatif.
Pada prinsipnya Extreme Pressure Lubricity Tester terdiri atas sebuah ring baja berputar yang disentuhkan pada
sebuah blok yang dapat ditekan pada berbagai besar harga beban dengan menggunakan pengatur torsi. Ring, dan blok
dibenamkan dalam lumpur pada saar pengujian dan gaya gesek yang terjadi antara dua benda tersebut dapat diukur /
dibaca pada skala. Dalam pengukuran yang sebenarnya, harga gaya gesek yang diperoleh (pada beban dan RPM tertentu)
dapat dikorelasikan dengan menggunakan grafik untuk mengetahui koefisien gesek yang terjadi pada suatu jenis fluida
pemboran.
Gambar 6.9. Extreme Pressure Lubricity Tester
Dengan pengujian ini, dapat diketahui sifat pelumasan lumpur, relatif terhadap lumpur lainnya dan kecenderungan
perubahan sifat pelumasan lumpur yang terjadi akibat perubahan harga beban dan jumlah zat aditif. Pada setiap jenis
lumpur dilakukan pengukuran pada berbagai harga beban torsi dan kemudian direpresentasikan dalam bentuk grafik antara
gaya friksi dengan beban torsi. Gambaran yang dapat dilihat secara tidak langsung adalah bahwa terjadinya gaya friksi yang
lebih besar diakibatkan oleh sifat pelumasan lumpur yang rendah.

6.4. Hidrasi Bentonite


Telah diketahui bahwa bentonite menghidrasi dalam air dengan ukuran yang bervariasi. Hidrasi bentonite terbentuk
dalam lembaran-lembaran silica dan alumina, dengan aturan yang berbeda-beda untuk membentuk lapisan dari masing-
masing mineral clay, lihat (Gambar 6.10).

Gambar 6.10. Hidrasi Bentonite16)


Partikel clay ini bisa terdiri dari satu macam lapisan atau sampai tak terhingga, yang saling tumpuk menyerupai
sebuah deck kartu-kartu yang diikat bersama-sama dalam suatu gaya residual. Ketika tersuspensi dalam air, clay akan
memperlihatkan bermacam-macam derajat swelling-nya. Molekul bentonite terdiri dari tiga layer yaitu : sebuah layer alumina
dan layer silika yang berada di atas dan di bawah layer alumina.
Plate (lempengan) bentonite bermuatan negatif dan mempunyai kation-kation yang berlawanan dan bergabung
dengannya. Jika kation-kation ini adalah sodium (Na), maka clay tersebut disebut sodium Montmorillonite, jika kalsium (Ca)
maka disebut Calcium Montmorillonite.
Bila suspensi clay dan air dari hasil pengadukan yang sempurna, maka akan terdapat tiga model ikatan lempeng yaitu
:
Tepi terhadap tepi (edge to egde)
Tepi terhadap muka (edge to face)
Muka terhadap muka (face to face)
Mata rantai dari partikel-partikel ini akan terbentuk secara serentak atau hanya terdapat satu jenis mata rantai yang
akan menguasai proses tersebut.
Berdasarkan cara penggabungan lempeng (Gambar 6.11), terdapat empat cara yang berbeda :
Dispersi
Aggregasi
Flokulasi
Deflokulasi

Gambar 6.11. Ikatan Lempeng16)


6.4.1. Dispersi
Lempengan-lempengan yang tersuspensi di dalam larutan dalam keadaan tersebar merata dan tidak terdapat ikatan
antara permukaan maupun tepi dari lempengan-lempengan.
Karena jumlah dari partikel yang tersuspensi besar, maka akan menghasilkan kenaikan pada viskositas dan gel
strength. Biasanya lempengan-lempengan clay teraggregasi sebelum terhidrasi dan setelah terjadi hidrasi dan diaduk,
keadaan ini berubah menjadi terdispersi.
Derajat terdispersinya tergantung pada kandungan elektrolit dalam fasa cair, waktu, temperatur, ion-ion yang dapat
saling dipertukarkan serta konsentrasi clay.
6.4.2. Flokulasi
Bila lempengan-lempengan clay bergabung satu dengan yang lainnya dimana didalam sistem akan terdapat ikatan
muka dengan tepi lempeng, tepi dengan tepi lempeng yang tidak tersebar secara merata di dalam fasa cairnya. Flokulasi
akan menghasilkan clay yang menggumpal sehingga akan menghasilkan gel yang berlebihan.
6.4.3. Aggregasi
Aggregasi terjadi bila muka antar muka atau tepi dengan tepi lempeng clay saling berikatan satu sama lainnya dan
tersebar di dalam fasa cairnya.
6.4.4. Deflokulasi
Deflokulasi terjadi bila dalam larutan yang terflokulasi terjadi pemutusan ikatan antara tepi dengan muka, yaitu
dengan penambahan thinner ke dalam sistem, sehingga sistem kembali ke dalam fasa terdispersi.
6.5. Jenis-Jenis Lumpur Bor.
ZABA dan DOHERTY ( 1970 ) mengklasifikasikan lumpur bor terutama berdasarkan fasa fluidanya : air (water base),
minyak ( oil base ) atau gas, sebagai berikut :
I. Fresh Water Muds (lumpur air tawar)
a. Spud
b. Natural atau Native (alamiah).
c. Bentonite treated
d. Phosphate treated
e. Organic coloid treated
f. "Red" atau alkaline - tannate treated
g. Calcium muds.
1. Lime treated
2. Gypsum treated
3. Calcium - (selain 1 & 2 ) - treated.
II. Salt Water Muds (air asin)
a. Unsaturated salt water
b. Saturated salt water
c. Sodium silicate
III. Oil in Water Emulsion
a. Fresh Water (air tawar)
b. Salt water (air asin)
IV. Oil Base dan Oil Base Emulsion Muds
V. Gaseous Drilling Fluids
a. Udara atau Natural gas
b. Aerated Muds.
6.5.1. Fresh Water Muds
Adalah lumpur yang fasa cairnya adalah air tawar dengan (kalau ada) kadar garam yang kecil (kurang dari 10000
ppm = 1% berat garam).
A. Spud Mud.
Spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi conductor casing. Fungsi utamanya mengangkat cutting
dan membuka lubang dipermukaan (formasi atas). Volume yang diperlukan biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air
dan bentonite (yield 100 bbl/ton) atau clay air tawar yang lain (yield 35 - 50 bbl/ton). Tambahan bentonite atau clay perlu
dilakukan untuk menaikkan viskositas dan gel strength bila membor pada zone-zone loss. Kadang- kadang perlu lost
circulation material. Densitas harus kecil saja.
B. Natural Mud.
Natural mud dibentuk dari pecahan-pecahan cutting dalam fasa air. Sifat-sifatnya bervariasi tergantung dari formasi yang
dibor. Umumnya type lumpur ini digunakan untuk pemboran yang cepat seperti pemboran pada surface casing
(permukaan). Dengan bertambahnya kedalaman pemboran sifat- sifat lumpur yang lebih baik diperlukan dan natural mud
ini ditreated dengan zat-zat kimia dan aditif-aditif koloidal. Beratnya sekitar 9.1 - 10.2 ppg, dan viskositasnya 35 - 45
detik.
C. Bentonite - treated Mud.
Mencakup sebagian besar dari tipe-tipe lumpur air tawar. Bentonite adalah material yang paling umum digunakan untuk
membuat koloid inorganis untuk mengurangi filter loss dan mengurangi tebal mud cake (ketebalan mud cake). Bentonite
juga menaikan viskositas dan gel yang mana dapat dikontrol dengan thinner.
D. Phosphate treated Mud.
Mengandung polyphosphate untuk mengontrol viskositas dan gel strength. Penambahan zat ini akan berakibat pada
terdispersinya fraksi-fraksi clay colloid padat sehingga densitas lumpur dapat cukup besar tetapi viskositas dan gel
strengthnya rendah. Ia mengurangi filter loss serta mud cake dapat tipis. Tannin sering ditambahkan bersama-sama
dengan polyphosphate untuk pengontrolan lumpur.Polyphosphat tidak stabil pada temperatur tinggi (sumur-sumur
dalam) dan akan kehilangan efeknya sebagai thinner (poliphosphat akan rusak pada kedalaman 10.000 ft atau
temperatur 160 - 180 oF, karena berubah ke- orthophosphate yang malah menyebabkan terjadinya flokulasi). Juga
phosphate mud sukar dikontrol pada densitas lumpur tinggi (yang sering berhubungan dengan pemboran dalam).
Dengan penambahan zat-zat kimia dan air, densitas lumpur dapat dijadikan 9 -11 ppg. Polyphosphate mud juga
menggumpal bila terkena kontaminasi NaCl, calcium sulfate atau kontaminasi semen dalam jumlah banyak.
E. Organic Colloid treated Mud.
Terdiri dari penambahan pregelatinized starch atau carboxymethylcellulose pada lumpur. Karena organic colloid tidak
terlalu sensitif terhadap flokulasi seperti clay, maka pengendalian filtrasinya pada lumpur yang terkontaminasi dapat
dilakukan dengan organic colloid ini baik untuk mengurangi filtration loss pada fresh water mud. Dalam kebanyakan
lumpur pengurangan filter loss lebih banyak dilakukan dengan koloid organic daripada dengan inorganic.
F. "Red " Mud.
Red Mud mendapatkan warnanya dari warna yang dihasilkan oleh treatment dengan caustic soda dan quabracho (merah
tua). Istilah ini akan tetap digunakan walaupun nama-nama koloid yang dipakai sekarang ini mungkin menyebabkan
warna-warna abu-abu kehitaman. Umumnya istilah ini digunakan untuk lignin-lignin tertentu dan humic thinner selain
untuk tannin diatas. Suatu jenis lain lumpur ini adalah alkaline tannate treatment dengan penambahan polyphosphate
untuk lumpur dengan pH dibawah 10. Perbandingan alkaline, organic dan polyphosphate dapat diatur sesuai dengan
kebutuhan setempat. Alkaline-tannate treated mud mempunyai range pH 8 - 13.Alkaline tannate dengan pH kurang dari
10 sangat sensitif terhadap flokulasi karena kontaminasi garam. Dengan naiknya pH maka lebih sukar untuk flokulasi.
Untuk pH lebih dari 11.5, pregelatinized starch dapat digunakan tanpa bahaya fermentasi. Dibawah pH ini, preservative
harus digunakan untuk mencegah fermentasi (meragi) pada fresh water mud. Jika diperlukan densitas lumpur yang tinggi
lebih murah bila digunakan treatment yang menghasilkan calcium treated mud dengan pH yang tingginya 12 atau lebih.
G. Calcium Mud.
Lumpur ini mengandung larutan calcium (disengaja). Calcium bisa ditambah dalam bentuk slaked lime (kapur mati),
semen, plaster (CaSO4) dipasaran atau CaCl2, tetapi dapat pula karena pemboran semen, anhydrite dan gypsum.
Lime treated Mud.
Lumpur ini ditreated dengan caustic soda atau organic thinner, hydrated lime dan untuk mendapat filter loss
rendah, suatu koloid organik. Treatment ini menghasilkan lumpur dengan pH 11.8 atau lebih, dan 60 - 100 (3 - 20
epm) ppm ion Ca dalam filtrat. Lumpur ini menghasilkan viskositas dan gel strength rendah, memberi suspensi
yang baik bagi material-material pemberat, mudah dikontrol pada densitas sampai 20 ppg, toleran terhadap
konsentrasi garam (penyebab flokulasi) yang relatif besar dan mudah dibuat dengan filter loss rendah.
Keuntungannya terutama pada kemampuannya untuk membawa konsentrasi padatan clay dalam jumlah besar
pada viskositas lebih rendah daripada dengan type-type lumpur lainnya. Kecuali tendensinya untuk memadat pada
temperatur tinggi, lumpur ini cocok untuk pemboran dalam dan untuk mendapatkan densitas tinggi. Pilot test dapat
dibuat untuk menentukan tendensinya untuk memadat, dan dengan penambahan zat kimia pemadatan ini dapat
dihalangi sementara waktu untuk memberi kesempatan pemboran berlangsung beserta test-test sumurnya. Suatu
Lumpur lime treated yang bertendensi memadat tidak boleh tertinggal pada casing-tubing annulus pada waktu well
completion dilangsungkan. Penggunaan/penyelidikan yang extensif pada lumpur type lime treated ini
menghasilkan variasi-variasi lumpur yang ditujukan pada lumpur yang sukar memadat. Dengan ini timbul dua jenis
lain, yaitu "lime mud" dan "Low lime mud" yang bedanya hanya pada jumlah excess limenya. "Lime Mud"
umumnya mengandung konsentrasi caustic soda dengan lime yang tinggi, dengan excess lime bervariasi antara 5
- 8 lb/bbl, sedangkan "Low lime mud" mengandung caustic soda dan lime lebih sedikit, dengan excess lime 2 - 4
lb/bbl.Jenis calcium treated mud yang lain adalah "shale control mud". Pada lumpur ini dianjurkan agar kadar ion
Ca-nya pada filtrat dibuat minimal 400 ppm, dengan excess lime bervariasi antar 1 - 2 lb/bbl. Sifat kimia lumpur
dan filtrat memberikan suatu tahanan terhadap hidrasi/swelling shale dan clay formation. Pada temperatur tinggi
(yang cukup lama waktunya) lumpur ini tidak sesuai untuk ditempatkan pada casing tubing annulus waktu
completion (dimana lumpur ini akan memadat). Resistivitas listriknya yang umumnya rendah (0.5 - 1.0 ohm-meter)
merugikan SP-logging, sebaliknya toleransinya pada kontaminan memberi kemungkinan untuk penambahan
garam agar resistivitasnya sesuai untuk laterolog dan focused electrode log.
Gypsum treated mud.
Lumpur ini berguna untuk membor formasi anhydrite dan gypsum, terutama bila formasinya interbedded (selang-
seling) dengan garam dan shale. Treatmentnya adalah dengan mencampur base mud (lumpur dasar) dengan
plaster (CaSO4 dipasaran) sebelum formasi anhydrite dan gypsum dibor. Dengan penambahan plastre tersebut
pada rate yang terkontrol, maka viskositas dan gel strength yang berhubungan dengan kontaminan ini dapat
dibatasi. Setelah clay dilumpur bereaksi dengan ion Ca, tidak akan terjadi pengentalan lebih lanjut dalam
pemboran formasi gypsum atau garam. Gypsum treated mud dapat dikontrol filtrate lossnya dengan organic
colloid dan karena pH-nya rendah, maka preservative harus ditambahkan untuk mencegah fermentasi. Preservasi
ini boleh dihentikan penambahannya bila garam yang dibor cukup untuk memberikan saturated salt water
mud.Suatu modifikasi dari gypsum treated mud adalah dengan penggunaan chrome lignosulfonate deflocculant
yang memberikan kontrol pada karakteristik flat gels pada lumpur tersebut. Lumpur gypsum chrom lignosulfonate
inimempunyai sifat yang sama baiknya de- ngan lime treated mud, karena itu ia digunakan pada daerah-daerah
yang sama seperti penggunaan lime treated mud.Penggunaan non-ionic surfactant dalam gypsum chroms
lignosulfonate mud menghasilkan pengontrolan yang lebih baik pada filtrate loss dan flow propertiesnya, selain
toleransinya yang besar terhadap kontaminasi garam.
Calcium salt
Selain hydrated lime dan gypsum telah digunakan tetapi tidak meluas. Juda zat-zat kimia yang memberi supply
cation multivalent untuk base exchange clay (pertukaran ion-ion pada clay) seperti Ba(OH) 2 telah digunakan.

6.5.2 Salt Water Mud.


Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam)
dan kadang-kadang bila ada aliran air garam yang terbor. Filtrate lossnya besar dan mud-cakenya tebal bila tidak ditambah
organic colloid, pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu preservative untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mudnya
mempu-nyai pH yang lebih tinggi, fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan
attapulgite sebagai pengganti bentonite.
A. Unsaturated Salt water mud.
Air laut dari laut lepas atau teluk sering digunakan untuk lumpur yang yang tak jenuh kegaramannya ini.

Kegaraman ( salinity ) lumpur ini ditandai oleh:


1. Filtrate loss besar kecuali ditreated dengan organic colloid.
2. Medium sampai tinggi pada gel strength kecuali ditreated dengan thinner.
3. Suspensi yang tinggi kecuali ditreated dengan attapulgite atau organic colloid.
Lumpur ini biasa mengalami "foaming", yaitu berbusa (gas menggelembung) yang bisa direduksi dengan :
1. Menambah soluble surface active agents
2. Menambah zat kimia untuk menurunkan gel strength.
Lumpur yang terkena kontaminasi garam juga ditreatment seperti pada sea water mud ini.

B. Saturated salt-water mud.


Fasa cair lumpur ini dijenuhkan dengan NaCl. Garam-garam lain dapat pula berada disitu dalam jumlah yang berlain-
lainan. Saturated salt water mud dapat digunakanuntuk membor formasi-formasi garam dimana rongga-rongga yang
terjadinya karena pelarutan garam dapat menyebabkan hilangnya lumpur, dan ini dicegah oleh penjenuhan garam
terlebih dahulu pada lumpurnya.
Lumpur ini juga dibuat dengan menambahkan air garam yang jenuh untuk pengenceran dan pengaturan volume.
Filtrate loss yang rendah pada saturated salt organik colloid mud menyebabkan tidak perlunya memasang casing diatas
salt beds (formasi garam). Filtrate loss-nya bisa dikontrol sampai 1 cc API dengan organic colloids. Saturated salt water
muds bisa dibuat berdensitas lebih dari 19 ppg. Dengan menambahkan organic colloid agar filtration lossnya kecil,
lumpur ini bisa untuk membor formasi dibawah salt beds, walaupun resistivitynya yang rendah buruk bagi electric logs.
Gabungan dari ion-ion surfactant menyebabkan pengontrolan filtrasi dan flow properties yang lebih mudah dan murah,
terutama pada densitas tinggi.
Saturated salt muds ini dapat pula dibuat dari fresh water atau brine mud. Jika dibuat dari fresh water mud maka paling
tidak sebagian dari lumpur semula harus dibuang. Ini diperlukan untuk pengenceran dengan air tawar dan penambahan
lebih kurang 125 lb garam/bbl lumpur. Jika dikehendaki pengontrolan filtration loss, suatu organic colloid dan
preservative dapat ditambahkan.
Jika lumpurnya dibuat dari saturated brine (air garam yang jenuh) sekitar 20 lb/bbl attapulgite ditambahkan bersama
dengan organic colloid dan mungkin preservative. Lumpur ini densitasnya 10.3 ppg dan akan naik sampai sekitar 11 ppg
selama pemboran berlangsung. Pemeliharaannya termasuk penambahan air asin untuk mengurangi viscositas,
attapulgite untuk menambah viskositas dan organic colloids untuk mengontrol filtrasi. Jika saturated salt water muds
digunakan untuk membor shale maka kontrol viskositas, gel dan filtrasi dapat diperoleh dengan penambahan alkaline-
tannate solution, atau sedikit lime.
Emulsified salt water muds telah umum digunakan di Kansas dan Dakota. Ini mempunyai sifat-sifat baik dari conventional
emulsion muds. Lumpur ini menunjukkan tendensy foaming (berbusa) yang bisa dicegah dengan penambahan
surfactant.

C. Sodium-Silicate Muds.
Fasa cair Na-silicate mud mengandung sekitar 65% volume larutan Na-sillicate dan 35% larutan garam jenuh. Lumpur ini
dikembangkan untuk digunakan bagi pemboran heaving shale, tetapi telah terdesak penggunaannya oleh lime treated
gypsum lignosulfonate, shale control, dan surfactant muds (lumpur yang diberi DAS dan DME) yang lebih baik, murah
dan mudah dikontrol sifat-sifatnya.

6.5.3. Oil-in-Water Emultion Muds (Emulsion Mud).


Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai fasa kontinu. Jika pembuatannya baik,
filtratnya hanya air. Sebagai dasar dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisik yang dipengaruhi
emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebal mud cake dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi, filtrate loss
berkurang. Keuntungannya adalah bit yang lebih tahan lama, penetration rate naik, pengurangan korosi pada drill string,
perbaikan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan pompa boleh/dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun,
mud cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string. Viskositas dan gel lebih
mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner.
Umumnya oil-in-water emulsion mud dapat bereaksi dengan penambahan zat dan adanya kontaminasi seperti juga
lumpur asalnya.
Semua minyak (crude) dapat digunakan tetapi lebih baik bila digunakan minyak refinery(refinery oil) yang mempunyai
sifat-sifat sbb:
1. Uncracked (tidak terpecah-pecah molekulnya), supaya stabil.
2. Flash point tinggi, untuk mencegah bahaya api.
3. Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusakkan karet-karet di pompa/circulation system.
4. Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam-macam temperatur.
Suatu keuntungan lainnya adalah bahwa karena bau serta fluorescene-nya lain dengan crude oil (mungkin yang
berasal dari formasi), maka ini berguna untuk pengamatan cutting oleh geologist dalam menentukan adanya minyak di
pemboran tersebut. Adanya karet-karet yang rusak dapat juga dicegah dengan penggunaan karet sintetis.
Fresh water oil-in-water emulsion muds adalah lumpur yang mengandung NaCl sampai sekitar 60,000 ppm. Lumpur
emulsi ini dibuat dengan menambahkan emulsifier (pembuat emulsi) ke water base mud diikuti dengan sejumlah minyak
yang biasanya 5 - 25% volume. Jenis emulsifier bukan sabun lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam lumpur yang
mengandung larutan Ca tanpa memperkecil emulsifiernya dalam hal efisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan
agitasi (diaduk).
Pemeliharaannya terdiri dari penambahan minyak dan emulsifier secara periodik. Jika sebelum emulsifikasi
lumpurnya mengandung persentase clay yang tinggi, pengenceran dengan sejumlah air perlu dilakukan untuk mencegah
kenaikan viskositas. Karena keuntungan dalam pemboran dan mudahnya pengontrolan maka lumpur ini disukai orang.
Salt water oil-in water absorbtion mud mengandung paling sedikit 60,000 ppm NaCl dalam fasa airnya. Emulsifikasi
dilakukan dengan emulsifier agent-organik. Lumpur ini biasanya mempunyai pH dibawah 9, dan cocok digunakan untuk
daerah-daerah dimana perlu dibor garam massive atau lapisan-lapisan garam, seperti di Kansas, Rocky Mountain, Dakota
dan Canada Barat. Emulsi ini mempunyai keuntungan-keuntungan seperti juga pada fresh water emulsion,yaitu :
1). densitasnya kecil
2). filtrate loss sedikit, mud cake tipis dan lubrikasi lebih baik.
Lumpur demikian mempunyai tendensi untuk foaming yang bisa dipecahkan dengan penambahan surface active
agent tertentu. Pemeliharaan lumpur ini sama seperti pada salt mud biasa kecuali perlunya menambah emulsifier, minyak
dan surface active defoamer (anti foam).
6.5.4. Oil Base dan Oil Base Emulsion Mud
Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinunya. Komposisinya diatur agar kadar airnya rendah (3 - 5%
volume). Relatif lumpur ini tidak sensitif terhadap kontaminan. Tetapi airnya adalah kontaminan karena memberi efek negatif
bagi kestabilan lumpur ini. Untuk mengontrol viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi efek kontaminasi air dan
mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan zat-zat kimia.
Manfaat oil base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak karena itu tidak akan
menghidratkan shale atau clay yang sensitif baik terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (jadi ia juga untuk
completion mud). Kegunaan terbesar adalah pada completion dan workover sumur. Kegunaan lain adalah untuk
melepaskan drill pipe yang terjepit, mempermudah pemasangan casing dan liner.
Oil base mud ini harus ditempatkan pada suatu tanki besi untuk menghindarkan kontaminasi air. Rig harus
dipersiapkan agar tidak kotor dan bahaya api berkurang.
Oil base emulsion dan lumpur oil base mempunyai minyak sebagai fasa kontinu dan air sebagai fasa tersebar.
Umumnya oil base emulsion mud mempunyai manfaat yang sama seperti oil base-mud, yaitu filtratnya minyak dan karena
itu tidak menghidratkan shale/clay yang sensitif. Perbedaan utamanya dengan oil base mud adalah bahwa air ditambahkan
sebagai tambahan yang berguna (bukan kontaminan). Air yang teremulsi dapat antara 15 - 50% volume, tergantung
densitas dan temperatur yang di inginkan (dihadapi dalam pemboran). Karena air merupakan bagian dari lumpur ini, maka
lumpur ini mempunyai sifat-sifat lain dari oil base mud yaitu ia dapat mengurangi bahaya api, toleran pada air, dan
pengontrolan flow propertisnya dapat seperti pada water base mud.
6.5.5. Gaseous Drilling Fluid
Digunakan untuk daerah-daerah dengan formasi keras dan kering. Dengan gas atau udara dipompakan pada
annulus, salurannya tidak boleh bocor.
Keuntungan cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi adanya formasi air dapat menyebabkan bit balling (bit
dilapisi cutting/padatan-padatan) yang merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan digunakannya cara
ini. Penggunaan natural gas membutuhkan pengawasan yang ketat pada bahaya api. Lumpur ini juga baik untuk completion
pada zone-zone dengan tekanan rendah.
Suatu cara pertengahan antara lumpur cair dengan gas adalah aerated mud drilling dimana sejumlah besar udara
(lebih dari 95%) ditekan pada sirkulasi lumpur untuk memperendah tekanan hidrostatik (untuk lost circulation zone),
mempercepat pemboran dan mengurangi biaya pemboran.

6.7. Aditif Lumpur Pemboran


6.7.1. Aditif Lumpur Pemboran Water-base
6.7.1.1. Fluid Loss Control
Fluid Loss Control digunakan untuk :
a. Menjaga integritas lubang
1. Melindungi shale yang sensitif terhadap air
2. Meminimalkan hole washout untuk mencapai casing-cement job yang lebih baik
b. Mengurangi fluid loss dalam formasi produktif
1. Mengurangi problem analisa log
2. Meminimalkan kerusakan formasi yang dapat menurunkan produksi
Secara umum, filtrat loss dalam formasi permeabel adalah tergantung pada distribusi ukuran partikel dan kandungan
koloid yang relatif tinggi dalam range 60% kandungan padatan lumpur dalam ukuran diameter 0 - 1 mikron. Sebagai contoh,
dispersi lumpur bentonite pada suatu sumur akan mempengaruhi filtrate loss lebih rendah karena konsentrasinya lebih
besar dari ukuran partikel-partikel koloid dibanding dengan lumpur kaolinite atau attapulgite clay. Akan tetapi, clay tidak
dapat digunakan semata-mata untuk mengontrol fluid loss karena merusak lumpur, dimana viskositas flluida akan naik
dengan naiknya kandungan clay.
Ada beberapa aditif lumpur yang digunakan untuk mengontrol fluid loss. Pada umumnya aditif ini digunakan bersama-
sama dengan bentonite, sementara sebagian kecil dapat digunakan secara terpisah pada setiap kandungan clay dalam
lumpur. Pada umumnya aditif-aditif tersebut mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian.
Sifat-Sifat Fisik
Appearance powder
Warna Coklat Tua
Moisture 6%
Kelarutan Air 99 %
pH, kaandungan 10 % 8.5
Rekomendasi penggunaan
Additive pengontrol filtrasi pada temperatur tinggi
Penstabil rheologi
Dapat Digunakan pada setiap lumpur berdasar air dengan pH system mendekati netral
Dapat digunakan pada lumpur dengan densitas tinggi
Keuntungan Utama
Dapat mengontrol sampai dengan temperatur 400 oF (205 oC)
Relatif stabil dengan kehadiran kontaminasi dari kalsium, magnesium, solids dan chloride.
Compatible dengan berbagai type fluida pemboran yang lain larut sempurna dalam air.
Harga relatif Murah
Mempunyai sifat racun yang rendah

(a). Wyoming Bentonite


Keuntungan :
1. Merupakan aditif multiguna yang membantu dalam mengontrol fluid loss, suspensi barite, dan viskositas untuk
kemampuan pembersihan lubang bor.
2. Dalam penambahan yang sedikit, pada range 6% berat cocok untuk mengurangi fluid loss sampai 10 - 12 cc.
Kerugian :
1. Bentonite tidak cocok digunakan pada konsentrasi ion sodium, kalsium, atau potassium yang tinggi tanpa prehidrasi.
2. Bentonite rentan terhadap kontaminasi pada saat pemboran formasi-formasi, seperti garam atau anhydrite (CaSO 4)
3. Lumpur clay rentan terhadap panas dalam bentuk flokulasi clay yang meningkatkan fluid loss

(b). Starch (Pregelantized)


Keuntungan :
1. Strarch dapat berfungsi dengan baik sebagai fluid loss control agent dengan hadirnya ion kalsium atau sodium. Oleh
karena itu, aditif ini cocok digunakan untuk lumpur saltwater atau lumpur lime.
2. Jika digunakan pre-treated non-fermenting starch, maka tidak perlu digunakan bactericide
Kerugian :
1. Kenaikan viskositas sering terjadi jika menggunakan starch
2. Harus digunakan bactericide untuk mencegah degradasi jika starch bukan pre-treated
3. Starch rentan terhadap panas diatas 250oF

(c). Sodium Carboxymethylcellulose - CMC


CMC paling terkenal, adalah merupakan produk dari tumbuhan gum yang digunakan sebagai fluid loss control dan
sebagai viscosifier.
Keuntungan :
1. CMC sangat aktif meskipun terkontaminasi oleh konsentrasi ion tinggi, yang membuat CMC ini sangat cocok digunakan
pada inhibited muds.
2. Technical grade dan high viscosity grade dapat digunakan tergantung dari besarnya kenaikan viskositas yang
diinginkan. Technical grade biasanya lebih banyak digunakan karena pengaruh kenaikan viskositasnya lebih rendah
3. Aditif ini stabil sampai temperatur diatas 350oF.
Kerugian :
CMC perlu menggunakan thinner untuk mengatasi pengaruh viskositas aditif

(d). Acrylonitrite (Cypan)


Keuntungan :
Cypan stabil pada temperatur sampai 400oF.
Kerugian :
Cypan sangat sensitif terhadap kontaminasi ion kalsium.

(e). X-C Polymer


Bacterially produced polysaccaride gum. Stabil terhadap kehadiran larutan garam.
1. Membangun viskositas
2. Struktur gel
3. Viskositas rendah pada shear rate yang tinggi

(f). Ben-Ex
Suatu rantai panjang polimer yang dirancang penggunaannya untuk low solid muds. Ben-Ex mengikat partikel clay
bersama-sama pada shear rate rendah.

(g). Lignins, Tannins, dan Lignosulfonates


Semuanya memberikan sifat fluid loss control karena sifat kimia alamiahnya, ukuran, dan dengan peranannya sebagai
dispersant untuk partikel-partikel koloid clay. Kemampuan pendispersian setiap aditif dibahas pada bagian terpisah.
Keuntungan :
1. Produk-produk ini mempunyai stabilitas yanng baik pada range temperatur antara 350 oF - 400 oF. Formulasi khusus
lignite akan menghasilkan stabilitas sampai temperatur 450 oF.
2. Lignins mempunyai struktur koloid yang membantu dalam mengontrol fluid loss.
3. Aksi ganda sebagai fluid loss control dan pendispersian cenderung menyebabkan produk-produk ini cocok digunakan
dalam banyak kasus.
Kerugian :
Lignins rentan terhadap kontaminasi ion kalsium dan berikutnya terjadi flokulasi. Lignins cenderung menangkap ion
kalsium yang dapat mengurangi keefektifan lignite sebagai fluid loss agent.

(h). Diesel Oil


Telah sering digunakan untuk mengurangi API filter loss lumpur pemboran. Akan tetapi, diesel oil ini telah terbukti bahwa
meskipun prinsipnya dapat mengurangi water loss, tetapi pada temperatur dan tekanan tinggi water loss tidak
terpengaruh oleh minyak.

(I). Thermex
Thermex syntetic resin additive digunakan secara luas untuk menstabilkan rheologi dan filtrasi dari lumpur pemboran
berdasar air pada berbagai elevate temperatur. Thermex merupakan chrome bebas, non viscosifying solution polymer
yang mengurangi fluida loss dan mengontrol kestabilan lumpur tanpa menambah viskositas dari fasa air serta relatif
stabil pada temperatur di atas 400 oF (204 oC). Thermex dapat digunakan pada semua jenis lumpur berdasar air.
Type Sifat-Sifat Fisik Additive :
Appearance : Burgundy Liquid
Specific gravity : 1.13 @ o F (21 o C)
Kelarutan dalam air tawar : 100 %
Flash Joint : > 200oF (93oC) PMCC
pH : 10.7
pour point : 25 oF ( -4 oC)

Applikasi
Thermex merupakan non viscosifying, high temperatur rheology stabilizer dan additive pengontrol fluid loss yang
digunakan untuk lumpur jenis fresh water, sea water, salt water atau calsium based muds.
Thermex merupakan komponen essensial dalam high temperatur chrome free fluida pemboran yang didesain untuk
kondisi yang merugikan di area yang di lingkungan yang sensitif. Dengan catatan effektif pada densitas yang tinggi
untuk mengontrol terjadinya gel pada temperatur tinggi dimana fluid loss dapat diterima tanpa menambah
viskositasnya. Karakter tidak memviscous merupakan kelebihan dibandingkan additive lain.
Normal treatment yang disarankan berkisar 4-12 lbm/bbl (11.4 - 34.2 kg/m3) tergantung kebutuhan untuk mengurangi
fluid loss lumpur, fasa kimia lumpur serta aplikasi pada lingkungan sekitarnya. Thermex compatible untuk berbagai jenis
lumpur anionic dan non anionic.

Keuntungan
Thermex mengurangi terjadinya penggumpalan lumpur dan pembentukan gel akibat beban temperatur.
Mengurangi fluid loss tanpa menambah viskositas dari fasa cairan.
Membentuk filter cake serta mengurangi permeabilitasnya.
menjaga fluid loss lumpur pada temperatur di atas 400 oF (204 oC)
Relatif solid untuk kondisi yang sensitif.
Mengurangi filtrat fluida di bawah kondisi yang tidak menguntungkan.
Merupakan Chrome free (Material logam berat tidak digunakan dalam produk ini.

Limitasi Penggunaan
Konsentrasi elektrolit tinggi (>dari 100000 mg/l) memerlukan penambahan konsentrasi additive ini.
Konsentrasi yang optimum disarankan untuk pemakaian produk ini.
(j). Resinex
Resinex merupakan non viscosifying fluid loss dan mengontrol rheology yang effektif untuk temperatur tinggi serta
kompatible dengan adanya konsentrasi tinggi dari elektrolit. Diaplikasikan secara luas pada berbagai type dari water
base muds. Pada aplikasi di lapangan hasil yang excelent untuk lebih fresh water, brackish water, sea water, salty
water, lime, gyp, lignosulfonate, polymer, non dispersed dan berbagai sistem lain. Relatif stabil pada temperatur di atas
400oF. Non viscousifying dari resinex dipromosikan untuk menambah keuntukan dari operasi pengeboran terutama
pada lumpur dengan densitas yang tinggi dimana penambahan viskositas akan berakibat merugikan.
Aplikasi
Minimum pemakaian sekitar 2 lbs/bbl. Penambahan konsentrasi dilakukan tergantung dari sifat-sifat lumpur yang
diinginkan. Konsentrasi optimum sekitar 1-6 lbs/bbl.
Konsentrasi calsium sekitar 200 ppm atau lebih diperlukan resinex untuk mengontrol fluid loss dan rheologi dari lumpur.

Keuntungan
Non viscousifying. Penambahan viskositas air hanya sebanding dengan kandungan lignosulfonat. Penggunaan normal
dilakukan dalam konsentrasi kecil dari pada lignosulfonate.
Mengurangi permeabilitas filter cake. Kebanyakan dari additive pengontrolan fluid loss mengentalkan air atau
menyebabkan bentonit mempunyai daya kontrol yang lebih baik dengan jalan deflokulasi atau dengan meremove
kandungan kesadahan dari air.
Resinex secara independen mengurangi permeabilitas dari filter cake, mengeliminir high solid, meninggikan viskositas
filtrat serta mengontrol sifat kimia air.
Mengurangi pembentukan gel akibat beban temperatur. Menstabilkan sifat rheologi dari lumpur berdasar air.
Stabil pada temperatur tinggi. Relatif mempunyai filtrat yang stabil diatas temperatur 400 oF.
Resistan terhadap salinitas garam. Dalam lumpur dengan kadar chloride diatas 110000 ppm mengurangi permeabilitas
dari filter cake dan mendekati jenis fresh water muds.
Resistant terhadap calsium dan magnesium. Karakteristik dari pengontrolan fluid loss secara aktual meningkat dengan
kandungan konsentrasi calsium atau magnesium di atas 2000 ppm. Menyimpulkan bahwa resinex relatif kompatible
dengan sea water muds, gyp muds, serta lime muds.
Lebih ekonomis, dibanding lignite, lignosulfonate, dan sea water muds.
Secara general dengan bertambahnya salinity, kesadahan serta temperatur yang semakin tinggi, pemakaian resinex
sangat dipertimbangkan.

Sodium Carboxyl Methyl Cellulose


CMC merupakan organic kolloid yang digunakan untuk mengontrol laju filtrasi. Struktur dari CMC mempunyai rantai
molekul yang panjang yang dipolymerkan ke dalam berbagai panjang yang berbeda. Terdiri dari tiga bagian,
merupakan variasi dari viskositas, suspensi dan pengontrol fluid loss. Dibedakan dalam berbagai tingkatan, CMC HV,
CMC LV, serta medium CMC.
CMC merupakan additive fluid loss yang efektif pada berbagai lumpur berdasar air, terutama untuk lumpur jenis Calsium
treated muds. Menstabilkan Calsium dan Sodium yang terkandung dalam lumpur. Memberikan hasil yang baik pada
semua range alkaline pH. Keefektifan berkurang dengan konsentrasi garam di atas 50000 ppm. CMC. Tejadi degradasi
dengan adanya pembebanan temperatur ketika mencapai 250 oF. Penggunaan CMC tergantung dari sifat yang
dikehendaki. Untuk mengurangi sifat fluid loss dari lumpur digunakan CMC-HV dan medium CMC. Bila dikehendaki
pengurangan sifat viscous dan fluid loss ditambahkan CMC-LV.
Polyonic Cellulose (Drispac).
Drisprac merupakan organic fluid loss agent. Material ini merupakan polymer polyanionic rantai panjang yang
mempunyai berat molekul yang besar.
Aplikasi
Didesain terutama untuk aplikasi lumpur yang mengandung konsentrasi garam yang tinggi untuk jenis low solids drilling
fluids. Drispac memberikan sifat viscositas dan fluid loss untuk mengontrol lumpur jenis fresh dan salt.
Drisprac yang diperlukan dalam konsentrasi kecil.
Drisprac efektif untuk meningkatkan serta memelihara low solids muds (jenis attapulgite clay).

(k). Baranex
Barabex merupakan modifikasi dari lignin polymer berfungsi sebagai additive pengontrol filtrat dari lumpur berdasar air.
Sifat powder polymernya effektif untuk mengurangi fluid loss yang terjadi akibat pembebanan temperatur di atas 400 oF
(205 oC) dalam berbagai jenis fluida. Penambahan Baranex tidak mengakibatkan terjadinya kenaikan viscositas lumpur
dan secara aktual menstabilkan rheologi lumpur.
Dalam fungsinya sebagai pengontrol laju filtrasi pada temperatur tinggi, Baranex merupakan anionic polymer yang
mempunyai reaksi hubungan sulfonat yang radikal yang merupakan bagian dari polymer, selain itu dapat menghandel
kontaminasi yang terjadi terutama Calsium chloride. Baranex tidak memerlukan penambahan caustic untuk solubilize,
lumpur dapat dipelihara mendekati pH netral, dapat digunakan untuk lumpur berdasar air serta lumpur dengan densitas
yang tinggi.
Aplikasi
Variasi yang dipakai dari 1 - 10 lbs/bbl (2.9 - 28.6 kb/m3. Baranex merupakan polymer yang compatible dengan
lignosulfonate dan lignit. Kandungan additive ini mempunyai mineral besi yang rendah serta mempunyai kadar racun
yang rendah.
6.7.1.2. Thinner (Pengencer)
(a). Thinner (dispersant)
Adalah merupakan senyawa (agent) yang menurunkan viskositas fluida pemboran. Viskositas, seperti yang dibahas
dimuka, dapat dihubungkan dengan semua konsentrasi padatan atau interaksi antar partikel padatan. Setiap senyawa
yang efektif dapat mengurangi viskositas fluida.

(b). Air
Telah lama digunakan sebagai pengencer yang efektif pada lumpur pemboran. Efek pengenceran diperoleh dengan
mengurangi total konsentrasi padatan lumpur pemboran. Karena penambahan drilled solid pada sistem lumpur sudah
menjadi sifat yang umum, maka diperlukan pencairan dengan air atau mengambil padatan-padatan tersebut secara
mekanis.
Perlu dicatat bahwa air biasanya ditambahkan pada lumpur water-base untuk menggantikan air yang hilang kedalam
formasi. Jika air yang hilang tersebut tidak digantikan dengan penambahan air, maka akan menaikan viskositas karena
konsentrasi padatan bertambah dan treatment kimia akan membuktikan tidak efektifannya menurunkan viskositas dalam
situasi ini.

(c). Phosphates
Phosphate bekerja dengan pengabsorbsian pada valensi tepi partikel clay yang terputus, sehingga menghasilkan
keseimbangan listrik dan memungkinkan partikel-partikel mengambang dengan bebas dalam larutan. Pengaruh
pendispersian phosphate ini adalah karena muatan negatif plat-plat clay, yang memungkinkan plat-plat menolak satu
dengan yang lain setelah semua valensi tepi putus. Phosphate penggunaannya terbatas dalam lingkungan kontaminasi
ion. Jika terdapat ion kalsium atau magnesium, bentuk kompleks polyphosphate atau terbentuk suatu ion metal
orthophosphate yang tidak larut.
Phosphate yang umum digunakan dalam aplikasi praktis pada lumpur pemboran ditunjukkan pada Tabel berikut :
Nama Kimia Nama Umum pH Aditif Batasan temperatur

Sodium Acid Pyrophosphat SAAP 4.8 130oF


o
Sodium Hexametaphosphate Calgon 6.8 130 F

Sodium Tetraphosphat Barafos 7.5 130oF

Tetra Sodium Pyrophosphat TSPP 10 130oF

Keuntungan :
1. Phosphate sangat berguna karena merupakan thinner yang efektif untuk gel mud pada pemboran dangkal.
2. Sedikit saja thinner sudah efektif.
Kerugian :
1. SAPP mempunyai pH 4.8. Oleh karena itu, perlu ditambahkan caustic soda,NaOh, atau beberapa aditif hidroksil
untuk menjaga pH lumpur diatas 7.0
2. Pada umumnya Phosphate hanya dapat stabil pada temperatur rendah
3. Phosphate tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol fluid loss, seperti halnya thinner yang lain

(d) Lignins
Merupakan thinner dan fluid loss control agent yang efektif. Produk Lignin dapat diperoleh dari humic acid extract, tetapi
biasanya berbentuk kepingan lignite coal.
Keuntugan :
1. Lignite stabil pada temperatur 4000F, dan dapat stabil pada temperatur 4500F dengan menggunakan aditif-aditif
khusus.
2. Lignites (lignins) berfungsi sebagai dispersant dengan memenuhi valensi tepi yang terputus dan sebagai fluid loss
control agent karena struktur koloidal-nya.
3. Walaupun lignins mempunyai pH asam, produk pre-causticized dapat diperoleh yang mempunyai 1 - 6, caustic-
lignin ratio, yang dapat digunakan tanpa pH adjuster.
Kerugian :
Lignin tidak cocok untuk fluida dengan kandungan garam yang tinggi karena lignite tidak larut dalam garam.

(e). Tannin
Diperoleh dari ekstrak tumbuhan. Tannin yang paling banyak dijumpai adalah quebracho, yang diperoleh dari pohon
quebracho di Argentina.
Keuntungan :
1. Tannin merupakan bahan dengan fungsi ganda sebagai dispersant dan fluid loss control agent.
2. Tannins, terutama quebracho efektif untuk pengencer lumpur lime dan lumpur yang terkontaminasi semen.

(f). Lignosulfonates
Adalah campuran lignin sulfonate yang diperoleh dari sulfite liquor. Berbagai macam jenis dan sejumlah ion-ion metal
ditambahkan dalam campuran tersebut untuk meningkatkan kemampuannya dalam menetralisir valensi tepi yang
terputus. Ion-ion yang ditambahkan adalah kalsium, besi, dan chrome.
Keuntungan :
1. Calsium lignosulfonate adalah thinner yang efektif untuk lumpur lime.
2. Ferrochrome lignosulfonate, dengan berbagai jumlah besi dan chrome, merupakan thinner yang efektif untuk tujuan
umum karena adanya ion-ion metal berat.
3. Lignosulfonates mempunyai stabilitas sampai temperatur 400 oF.
4. Lignosulfonate merupakan aditif fungsi ganda baik sebagai dispersant maupun fluid loss control agent.
Kerugian :
Ada beberapa spekulasi bahwa dibawah kondisi temperatur tekanan yang sangat tinggi, lignosulfonate dapat
terdegradasi dan mengembangkan racun gas H2S.

(g). XP-20/Spersence System


Jenis Calsium treated muds mempunyai limitasi pemakaian, terutama pada temperatur di atas 275 oF. Jenis Calcium
tretated muds tidak selalu membuat lubang bor yang stabil sama seperti pada temperatur rendah. Jenis lumpur surfactan
dibuat untuk menanggulangi limitasi dari calsium muds pada temperatur tinggi. Jenis surfaktan mud baik kelemahan
dikarenakan cost yang tinggi sifat kimia yang kompleks serta filtrat lossnya.
Jenis lignosulfonate (XP-20/Spersence) system menanggulangi banyak limitasi yang terdapat pada system calsium
treated muds serta surfaktan muds. Demonstrasi dari lignosulfonate muds mempunyai sifat yang lain yang tidak terdapat
pada jenis calsium treated muds. Inhibition merupakan mud yang mempunyai sifat kimia simple, stabil terhadap
pembebanan temperatur, exelent flitrat loss, resistance terhadap kontaminasi. Pada masa sekarang jenis lignosulfonate
muds dipergunakan secara luas pada inhibitive water based muds, dan dapat menggantikan jenis calsium treated muds
dan jenis surfaktan muds.
Karakteristik XP-20/Spersene
(h). XP-20
XP-20 mempunyai pH 10, merupakan prereacted chrome lignit yang digunakan terutama dengan Spersene (Chrome
Lignosulfonate). Selain sebagai penstabil dan pengemulsi, juga menurunkan fluid loss dan mengkontribusi sifat inhibitive
lumpur. Pada penggunaannya tidak hanya terbatas pada system XP-20/Spersene tetapi dapat juga digunakan untuk
lumpur berdasar air dengan pH rendah.

(I) Spersene
Spersene merupakan deflokulasi dan protektive koloid
Aplikasi
Konsentrasi minimum yang dipakai untuk system XP-20/Spersene sekitar 12 lbs/bbl dengan ratio pemakaian 1-2 lbs/bbl.
XP-20/Spersene dapat digunakan untuk berbagai jenis densitas dan berbagai variasi pembebanan temperatur, problem
shale serta kontaminasi yang eksestif lainnya.
Limitasi
Jenis material lignit tidak efektif untuk kandungan konsentrasi garam calsium tinggi dan relatif moderat untuk kandungan
salt tinggi.

(J). CC-16
CC-16 merupakan dispersant jenis garam sodium larut dari material asam. Effisient untuk mengontrol viskositas dan gel
strength lumpur. CC-16 exelent untuk mengemulsi oil dalam lumpur pemboran.
Sifat Fisik
Wet screen analysis (325 mesh) 10 - 20 %
Bulk Density (lb/ft3), Compacted/Uncompacted 62/52
Appearance Blck Powder
pH, 10% dalam air 9 - 10
Treatment yang Direkomendasikan
CC-16 dispersant dapat ditambahkan langsung ke dalam lumpur, dan relatif larut dengan cepat dalam air.

Berfungsi Sebagai
Mengurangi viskositas dan gel dari banyak lumpur berat
Mengurangi laju filtrasi dari lumpur pada kondisi tekanan dan temperatur tinggi dengan membentuk mud cake yang
tipis dan liat.
Mengurangi effek kontaminasi yang terjadi pada lumpur dengan jalan deflokulasi
Mengentalkan dan mengemulsi minyak yang terdapat pada lumpur berdasar air
Memelihara karakteristik lumpur akibat kondisi HTHP
Aplikasi
CC-16 dispersant dapat digunakan untuk mentreatment lumpur dari pH normal sampai pH tinggi termasuk lime muds.
CC-16 dispersant dapat emnghandel kontaminasi akibat garam dan cement.
Keuntungan Utama
Larut cepat dalam air
Harga relatif murah (penggunaan dalam jumlah kecil)
Tidak memerlukan pengemulsi tambahan serta relatif bagus untuk mengemulsi minyak dalam lumpur
Mempunyai total mud cost yang rendah, effektif dalam menghandel berbagai kontaminan
Overtreatment tidak mempengaruhi kondisi lumpur
6.7.1.3. Bahan-bahan Pemberat (Weighting Material)
Material pemberat adalah bahan-bahan yang mempunyai specific gravity tinggi yang ditambahkan kedalam cairan untuk
menaikkan densitas fluida. Biasanya, material pemberat ditambahkan kedalam lumpur pemboran untuk mengontrol
tekanan formasi.

(a). Barite (Barium Sulfate)


Barite adalah merupakan bahan pemberat yang paling umum digunakan dalam fluida pemboran. Barite mempunyai
specific gravity 4.2, yang mampu menaikkan densitas sampai 22 ppg. Barite merupakan padatan inert, sehingga tidak
mempengaruhi aktivitas aditif dalam sistem lumpur.
Keuntungan :
Barite akan menaikkan densitas lumpur sehingga cukup untuk mengontrol tekanan formasi.
Butiran-butiran yang kasar dapat diperoleh untuk tujuan penyumbatan. Butiran-butiran khusus tidak dapat melalui
80 mesh screen, sehingga akan terekstraksi pada awal sirkulasi.
Kerugian :
Pada umumnya suspensi barite memerlukan viskositas yang lebih tinggi. Barite, dalam packer fluid yang tinggi akan
menyebabkan pengendapan, sehingga menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan workover.
(b) Galena
Galena mempunyai specific gravity 6.8 dan digunakan dalam pengontrolan problem-problem sumur khusus. Galena
mampu menaikkan densitas lumpur sampai 32 ppb. Galena umumnya tidak cocok dalam operasi pemboran karena
adanya problem suspensi.
(c) Calsium Carbonate
Adalah merupakan aditif yang digunakan dalam fluida workover dan packer fluids utuk menaikkan densitas fluida.
Calsium carbonate mempunyai specific gravity 2.7 dan dapat menghasilkan densitas lumpur 12.0 ppg.
Keuntungan :
1. Calcium carbonate lebih ekonomis dari pada agent-agent lainnya.
2. Lebih mudah tersuspensi daripada barite.
3. Calcium carbonate lebih mudah diambil dari formasi untuk mengurangi kerusakan formasi.
Kerugian :
Densitas maksimum yanng diperoleh hanya 12.0 ppg.
(d) Brine Solution
Diperoleh dengan menggunakan berbagai macam garam. Tabel berikut menyajikan densitas maksimum yang dapat
dicapai dari setiap jenis garam :

Keuntungan :
1. Sodium Chloride dapat digunakan secara ekonomis karena densitas agent tanpa perlu penambahan bentonite
untuk kemampuan suspensinya. Lumpur ini efektif digunakan pada pemboran atau packer fluid.
2. Calcium Chloride umumnya digunakan sebagai density material dalam packer fluids.
Kerugian :
1. Larutan sodium chloride jenuh pada 10.8 ppg.
2. Calcium chloride menndatangkan problem ketika digunakan sebagai lumpur pemboran karena laju korosinya
cukup menyolok jika berhubungan dengan udara.
3. Zinc Chloride mahal
4. Zinc chloride sangat korosif terhadap tubing dan casing.
6.7.1.4. Pengatur pH (pH Adjuster)
Karena beberapa aditif lumpur pH-nya rendah dan karena pengoperasian optimum range pH sistem lumpur, sehingga
pada suatu saat perlu menambahkan bahan-bahan yang akan merubah pH sistem lumpur. Karena pada umumnya aditif
secara alamiah bersifat asam, maka jarang bahwa pH-nya tinggi. Sebaliknya, biasanya pH yang terlalu rendah harus
dinaikkan.
pH adjuster harus ditangani dengan hati-hati, dengan menggunaan suatu chemical barrel. Tidak menggunakan
hopper atau dump secara langsung kedalam sistem.
Secara umum, ada tiga macam pH adjuster, yaitu Sodium Hydroxide (Caustic soda), Potassium Hydroxide, dan
Calcium Hydroxide. Sodium Hydroxide adalah merupakan pH adjuster yang umum digunakan, sedangkan lainnya biasanya
digunakan untuk tujuan khusus.
Keuntungan :
1. Ketiga macam aditif tersebut dapat menaikan pH.
2. Sodium Hydroxide, karena tingginya tingkat aktivitas ion sodium, cenderung menyebabkan jumlah terkecil clay
inhibition.
Kerugian :
1. Semuanya dapat menyebabkan kulit terbakar.
2. Semuanya sangat korosif terhadap peralatan.
3. Potassium Hydroxide dan Calcium Hydroxide mempunyai karakteristik ihibitive (menghalangi) yang kuat karena
adanya ion-ion potassium dan calcium. Kedua produk ini biasanya digunakan dalam lumpur untuk clay hidration
inhibition.
6.7.2.2. Penggunaan Aditif-aditif Khusus
Lost Circulation Materials
Adalah merupakan material yang ditambahkan baik untuk mencegah lost circultation atau untuk mendapatkan
kembali sirkulasi setelah terjadi hilang sirkulasi. Pada umumnya material-material ini digunakan tanpa pandang bulu dan
tanpa pemikiran-pemikiran sebelumnya.
Problem lost circulation secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
Pertama, adalah problem hilang lumpur kedalam rongga-rongga, seperti zona porous, vuggy limestone, shell reefs,
gravel beds, atau gua-gua alami.
Kedua, adalah lost circulation yang terjadi karena terlampauinya compressive strength formasi. Kemungkinan
penanganan untuk kategori pertama akan tidak menyelesaikan problem rekah formasi. Maka, aditif lumpur harus
dibagi menjadi kelompok-kelompok yang dapat diterapkan pada setiap jenis lost circulation tersebut.
Secara umum, tidak ada aditif lumpur yang dapat diaplikasikan dalam rongga-rongga yang besar seperti gua-gua
dibawah tanah. Drilling blind dan setting casing string sering digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akan
tetapi, dalam rongga-rongga yang kecil, material penyumbat dapat secara efektif menutup zona-zona tersebut.
Fibrous Materials - seperti ground leather atau ground sugar dari batang rotan palaing efektif pada rongga-rongga
yang besar karena serat kasar tersebut dapat memberikan kemampuan membungkus dengan baik. Problem lain yang
mungkin terjadi adalah penyumbatan bit jet dengan material ini.
Walnut Shells dan Ground Mica - dapat diperoleh dalam ukuran yang halus, medium dan kasar dan biasanya cocok
untuk menutup zona porous.
Cellophane Flakes - juga bekerja dalam cara yang sama dalam zona-zona porous.
Barite dan Bentonite - biasanya sangat efektif untuk penutupan formasi yang porous.
Squeeze Techniques - mungkin efektif untuk menyelesaikan problem-problem lost circulation ini. Squeeze adalah
setiap material yang didesak masuk kedalam formasi sebagai usaha untuk menutup formasi dari dalam. Setiap bahan yang
disebutkan diatas dapat digunakan dalam squeeze dan biasanya dalam jumlah yang cukup banyak per barrel-nya.
Squeeze khusus menggunakan diesel-oil sebagai carrying agent yang dicampur dengan bentonite atau semen sangat
efektif. Semen atau bentonite tidak bereaksi dengan minyak, tetapi akan bereaksi dengan lumpur atau air formasi.
Spotting Fluids - Fluida harus mempunyai sifat basah minyak (oil wetting). Hal ini akan merusak water base filter
cake.
Bahan-bahan :
Minyak - biasanya diesel oil
Surfactant - oil wetting purposes
Suspension material to support barite.

6.7.3. Bahan-bahan Aditif Lumpur Minyak (oil Mud)


(a).Oil Base
1. Biasanya berupa diesel oil
2. Dapat juga menggunakan minyak mentah (crude oil)
(b). Water in Emulsified Phase 5 - 50%
1. Surfactant menyebabkan tegangan permukaan
2. Berlaku sebagai material padat
(c). Emulsifiers
1. Heavy molecular weight soap
2. Menaikkan tegangnan permukaan
3. Menghasilkan emulsi yang stabil
4. Cairan emulsifier bekerja lebih cepat, tetapi tidak membentuk emulsi yang ketat.
5. Harus mempunyai stabilitas listrik 350 - 400 volt.
(d). Filtration Control Agent
1. Blown Asphalt - biasanya pada oil base muds
2. Organophillic atau hydrophobic clays (amine-treated clay).
(e). Suspension Agent dan Gelling Agent
(f). Clays-organophillic
(g). Calcium Chloride
Sebagai dehidrator formasi dan menjaga ukuran lubang.
6.7.4. Pengaruh Elektrolit terhadap Karateristik dan Sifat Fisik
Lumpur Pemboran
Kontaminasi oleh NaCl ( Sodium Chlorida ) akan merubah sifat fisik Lumpur. Kontaminasi jenis ini terjadi jika terdapat
air laut/garam atau pemboran lapisan garam atau karena tekanan air garam yang lubang sumur selama operasi pemboran
berlangsung. Konsentrasi garam yang tinggi akan menimbulkan fluid loss yang tinggi akibat pencegahan dehidrasi dan
dispersi dari bentonit. Jika konsentrasi sangat besar maka lumpur akan berubah menjadi lumpur jenis air asin ( Salt Water
Type ).
Elektrolit NaCl merupakan material yang terdiri dari ionion positip dan negatip. Jika Elektrolit NaCl ini dimasukkan ke
dalam air maka ion positip dan ion negatip akan tersebar.
Dengan adanya Elektrolit NaCl dalam sistem lumpur air tawar, keadaan ini akan mempengaruhi Karakteristik dan
Sifat-sifat Fisik dari Lumpur tersebut.
6.7.5. Pengaruh Temperatur terhadap Karakteristik dan
Sifat Fisik Lumpur.
Temperatur pengaruhnya sangat kuat terhadap kekentalan lumpur bor. Lumpur bor menjadi encer dengan kenaikkan
temperatur. Pengaruh temperatur ini ditentukan oleh jenis dan kandungan padatan di dalam lumpur bor. Beberapa
komponen dari lumpur pemboran stabil pada temperatur permukaan, tetapi pada temperatur tinggi akan bereaksi secara
cepat satu terhadap yang lain. Apabila terjadi kontaminasi pada lumpur pemboran, maka reaksi kontaminant pada sistem
lumpur akan menjadi lebih cepat jika temperatur meningkat. Fluid loss akan menjadi masalah jika temperatur lubang tinggi,
dan ini akan menimbulkan masalah lain seperti terjepitnya pipa bor serta problem shale. Temperatur tinggi dijumpai pada
pemboran sumur-sumur dalam, sehingga untuk mengontrol terhadap sifat-sifat lumpur menjadi sulit. Ada beberapa
dispersant dan fluid loss additive akan terurai dan menjadi tidak efektif pada temperatur tinggi. Pengontrolan pada
karakteristik dan sifat-sifat lumpur pada temperatur tinggi adalah dengan menjaga harga viskositas dan Gel Strengthnya
agar tetap mampu menahan material pemberat serta membersihkan lubang.
Pengaruh temperatur terhadap kekentalan lumpur dapat dilihat pada Gambar 6.12, kurva 1 menunjukkan konsentrasi
padatan berada pada titik B dan selanjutnya dengan kenaikkan temperatur dispersi dari clay akan menghasilkan flokulasi
dan lumpur yang kental. Jika dibandingkan dengan kurva 2 kenaikkan temperatur akan menghasilkan lumpur yang encer.
Beberapa peneliti telah menyelidiki hasil test-test laboratorium yang mengGambarkan kelakuan lumpur bor pada
temperaturtemperatur yang tinggi. Keadaan ini diselidiki oleh Barlett sebagai yang ditunjukkan pada Tabel 6-1. Dari Tabel
dapat dicatat Viskositas Plastik turun secara drastis dengan kenaikkan temperatur. Pada Tabel 6-1 dapat juga menunjukkan
kelakuan Yield Point sebagai fungsi dari kenaikkan temperatur yang tidak teratur.

Tabel 6-1. Data Fann Yang Tersimulasi

Gambar 6.12. Viscositas Tehadap Kandungan Padatan


Penurunan Viskositas Plastik dengan naiknya temperatur akan menyebabkan makin encernya lumpur bor. Prinsip ini dikuat
pada Gambar 6.13 yang Viskositas air yang telah ternormalisasi sebagai bandingan terhadap Viskositas Plastik dari lumpur
terhadap temperatur, pada Gambar ini juga memperlihatkan kekentalan dari air dan lumpur akan mengalami penurunan
yang sama dengan kenaikkan temperatur sampai temperatur 220 oF dicapai. Mulai titik ini dan seterusnya Viskositas Plastik
dari lumpur bor tidak turun terhadap Kenaikkan temperatur. Dan akan tergantung pada jenis dari lumpur itu. Pada Tabel
(6.1) Viskositas Plastik lumpur bor sebesar 10 cp

Gambar 6.13. Pengaruh Temperatur Pada Viskositas Plastik dari Water Base Mud pada 320 oF dan 50 cp pada 220oF
Temperatur mempunyai akibat yang kuat pada sifat-sifat aliran dari lumpur bor.
Tabel (6.1) dapat digunakan untuk memperkirakan pengaruh temperatur pada kekentalan lumpur bor jika tidak terjadi
flokulasi pada lumpur bor. Data dari Tabel (6.1) didasarkan secara lengkap pada pengaruh temperatur pada keenceran air
yang ditunjukkan pada Gambar (6.13).
Temperatur akan mempengaruhi besarnya viskositas lumpur pemboran. Besarnya temperatur mempengaruhi jarak
intermolekul. Untuk cairan, jarak antara molekul-molekul naik dengan naiknya temperatur, yang akan menurunkan gayagaya
kohesi sehingga viskositas fluida akan turun.
Untuk gas, temperatur naik menyebabkan gaya-gaya getaran dari molekul-molekul naik dan gaya kohesi turun. Pada
prakteknya gaya-gaya vibrasi (getaran) dari gas melampaui gaya kohesi, sehingga menghasilkan kenaikkan viskositas
dengan naiknya temperatur.

6.7.6.6. Perhitungan Additive lumpur


1. Hukum Konsentrasi Massa :
M3 = M1 + M2........................................................................................(6-21)
V3 = V1 + V2.......................................................................................... (6-22)
M 3 M1 M 2
3
V3 V1 V 2
........................................................................(6-23)
2. Untuk meningkatkan densitas dari ke per 1 bbl volume lumpur awal:
a. Masa barite yang dibutuhkan, M:
( 3 1) barite
M 1491 lb / bbl lumpur
(35.5 3)
...........................................(6-24)
dimana densitas dalam ppg, 1 ppg = 1/7.48 pcf.
b. Jumlah Stack barite, S:
3 1
S 15.9 sk / bbl / bbl lumpur
35.5 3
.................................................(6-25)
(c). Penambahan volume pit dalam satuan barrel, V:
(rh 3 1)
bbl

V / bbl lumpur
(35.5 3)
..........................................................(6-26)
3. Untuk Menurunkan desitas dari
a. Volume liquid (air atau diesel oil) V2 dalam bbl yang dibutuhkan :
( 3 1)
V 2 V1
( 2 3)
..............................................................................(6-27)
dimana :
V1 = Volume lumpur awal, bbl
V3 = Volume lumpur akhir, bbl
1
= densitas lumpur awal
2
= densitas dari penambahan liquid
3
= densitas akhir campuran
( 3 1)
V1 V 3
( 2 3)
..............................................................................(6-28)
( 1 3)
V2 V3
( 1 2)
..............................................................................(6-29)
b. Densitas akhir lumpur
V2
3 1 ( 1 2)
V3
.....................................................................(6-30)
V2
3 ( 1 2)
V1 V 2
.....................................................................(6-31)

Menaikan Densitas Lumpur


Contoh 1.
Hitung Jumlah penambahan barite (sk/100 bbl) untuk menambah densitas dari 100 bbl lumpur dengan densitas 12.0 ppg
(W1) menjadi 14.0 ppg (W2)
Rumus :
1470(W 2 W 1)
35 W 2
Barite, sk/100 bbl =
Contoh 2.
Hitung pertambahan volume, ketika menaikan densitas dari 12.0 ppg (W1) menjadi 14.0 ppg (W2) dengan
menambahkan barite (SG=4.2).
100(W 2 W 1
35 W 2

Pertambahan volume/100 bbl =


Contoh 3.
Hitung volume awal (bbl) dari 12 ppg (W1) lumpur, apabila diketahui 100 bbl (VF), 14.0 ppg (W2) lumpur dengan barite
(SG=4.2).
Rumus :
VF (35 W 2)
35 W 1
Volume awal, bbl =
Menurunkan Densitas
Contoh 1.
Hitung Jumlah air yang diperlukan (bbl), untuk menurunkan 100 bbl (V1) lumpur dari 14.0 ppg (W1) menjadi 12.0 ppg
(W2) diketahui densitas air 8.33 ppg (DW).
Rumus :
V 1(W 1 W 2)
W 2 DW
Air, bbl =
Contoh 2.
Hitung jumlah diesel yang diperlukan untuk mengurangi densitas 100 bbl (V1), 14.0 ppg (W1) lumpur menjadi 12.0 ppg
(W2), diketahui densitas diesel 7.0 ppg (DW).
Rumus :
V 1(W 1 W 2)
W 2 DW
Diesel, bbl =
Contoh 6.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg menjadi 13 ppg diperlukan penambahan barite. Jika
volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl, hitung jumlah lumpur lama yang harus dibuang dan barite (SG=4.20) yang
harus ditambahkan.
Volume lumpur lama yang diperlukan
(4.20 x8.33) 13
1000 x 880
4.20 x8.33) 10
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 880 = 120 bbl
Massa barite yang diperlukan = (4.20 x 8.33) x (42 x 120 ) = 176400 lbm

Contoh 7.
Untuk menaikan densitas sejumlah 1000 bbl lumpur dari 10 ppg dengan kadar solid 6% menjadi 13 ppg dengan kadar
solid 3.5% diperlukan penambahan air dan barite. Jika volume total lumpur dibatasi hingga 1000 bbl, hitung jumlah
lumpur lama yang harus dibuang serta air dan barite (SG=4.20) yang harus ditambahkan.
Volume lumpur yang diperlukan
Volume lumpur lama yang harus dibuang = 1000 - 583 = 417 bbl
Jumlah air yang ditambahkan

(4.20 x8.33) 13) x1000 left ( 4.20 x8.33) 10 x583
(4.20 x8.33) 8.33

Massa barite yang diperlukan = (4.20 x8.33) x [42 x (1000 - 583 - 278)]
= 204330 lbm

6.8 Teknik Pemboran AERASI (Lumpur+ Udara)


6.8.1. Pendahuluan
Pemboran aerasi adalah pemboran yang menggunakan lumpur aerasi sebagai fluida pemboran. Pemboran aerasi
merupakan salah satu metoda pemboran underbalanced dengan tujuan utama mencegah masalah hilang sirkulasi. Metoda
ini pertama kali dilakukan oleh Philip Petroleum Company pada tahun 1953 di Emory County, Utah8).
6.8.2. Pengertian Lumpur Aerasi
Lumpur aerasi adalah lumpur pemboran yang terdiri dari dua fasa yaitu lumpur biasa sebagai fasa kontinu dan udara
sebagai fasa diskontinu. Penambahan udara ke dalam lumpur akan memperbesar volume cairan sehingga densitas lumpur
aerasi lebih kecil dari lumpur biasa.
Penurunan densitas tergantung dari perbandingan udara dan cairan dalam lumpur aerasi, semakin besar volume udara
maka densitas lumpur aerasi makin rendah. Menurut Zhou11), densitas lumpur aerasi berkisar 0,45 - 1,2 gr/cc atau 28,1 -
74,9 pcf.
Lumpur aerasi digunakan pada pemboran di daerah yang mempunyai masalah hilang sirkulasi. Lumpur aerasi lebih
diharapkan sebagai pencegah terjadinya hilang sirkulasi untuk menekan biaya pemboran daripada sebagai
penanggulangan masalah tersebut. Penanggulangan hilang sirkulasi lebih mudah pelaksanaannya dengan menggunakan
LCM, blind drilling, dan cement plug.
3. Komponen Lumpur Aerasi
Komponen lumpur aerasi terdiri dari dua bagian utama yaitu udara dan lumpur biasa. Dalam lumpur aerasi, kedua
komponen ini bercampur dengan perbandi-ngan tertentu sehingga lumpur aerasi mempunyai sifat-sifat turunan dari kedua
komponen tersebut.
6.8.3.1. Udara
Udara di alam terbentuk dari campuran gas-gas dengan komposisi tertentu, yaitu 78% nitrogen, 21% oksigen, dan 1% gas-
gas lain seperti argon, neon, dan lain-lain. Karena udara tersedia di bumi dalam jumlah banyak, maka biaya penyediaan
udara sangat murah. Udara juga tidak beracun sehingga setelah digunakan sebagai campuran lumpur aerasi dapat dibuang
langsung ke alam tanpa merusak lingkungan.
Keuntungan menggunakan udara sebagai fluida sirkulasi dalam pemboran antara lain:
meningkatkan laju penetrasi karena udara mengurangi tekanan hidrostatis pada formasi yang sedang dibor,
sehingga batuan lebih mudah terlepas untuk menyeimbangkan perbedaan tekanan. Laju penetrasi di kebanyakan
formasi dapat meningkat 100% dibandingkan menggunakan fluida pemboran yang lain.
tidak menyebabkan kerusakan formasi, karena udara memiliki berat yang sangat ringan dibandingkan fluida
pemboran lain.
fluida formasi dapat diketahui seketika karena udara membentuk sistem underbalanced di depan formasi sehingga
fluida formasi masuk ke dalam sumur.
udara dapat digunakan untuk pemboran formasi batuan kering atau formasi batuan basah. Penginjeksian udara ke
dalam lumpur bertujuan mengimbangi tekanan formasi sehingga tidak terjadi masalah hilang sirkulasi atau masalah
kick.
Udara merupakan fluida kompresibel yang volumenya dipengaruhi tekanan dan temperatur. Karena densitas lumpur aerasi
dipengaruhi oleh volume udara maka densitas lumpur aerasi berbeda disetiap kedalaman.

6.8.3.2. Lumpur Biasa


Lumpur biasa digunakan dalam pemboran overbalanced, dimana komponen utamanya adalah air (water-base mud),
atau minyak (oil-base mud). Komponen lain adalah aditif yang membentuk sifat-sifat lumpur seperti densitas, viskositas, gel
strength, dan lain-lain.
Kebanyakan pemboran menggunakan air sebagai bahan dasar utama lumpur, karena lebih mudah diperoleh dan murah
dibandingkan dengan minyak. Lumpur berbahan dasar minyak, khusus dipakai untuk membatasi pengembangan shale.
Pada beberapa daerah operasi pemboran, terdapat formasi-formasi bertekanan rendah, memiliki permeabilitas tinggi,
atau rekahan dan patahan, dimana lumpur biasa tidak efisien digunakan sebagai fluida pemboran. Ketidakefisienan lumpur
biasa karena tekanan hidrostatis yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hilang sirkulasi. Udara merupakan fluida yang
memiliki densitas jauh lebih ringan dari air, dan ditinjau dari segi biaya, penggunaan udara sangat ekonomis. Tapi karena
formasi yang hendak ditembus memiliki fluida formasi yang banyak, maka penerapan udara sebagai fluida pemboran hanya
pada daerah-daerah tertentu.
Minyak memiliki densitas lebih rendah dari air, sehingga bisa digunakan sebagai komponen utama lumpur
menggantikan air. Karena dalam pemboran memerlukan jumlah lumpur yang banyak maka dari segi biaya pemboran,
penggunaan minyak tidak ekonomis.
Lumpur aerasi merupakan pilihan terbaik pada daerah-daerah yang memiliki masalah hilang sirkulasi. Lumpur aerasi
terdiri dari lumpur pemboran biasa ditambah penginjeksian udara kedalamnya. Ditinjau dari segi biaya, lumpur aerasi
menghemat biaya karena tidak membutuhkan pembuatan lumpur baru menggantikan lumpur pemboran yang sedang
dipakai, dan hanya membutuhkan beberapa peralatan tambahan untuk proses penginjeksian udara.

6.8.4. Kelebihan dan Kekurangan Lumpur Aerasi


Lumpur aerasi mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan fluida pemboran yang lain seperti udara, gas,
busa, atau cairan (lumpur biasa).
Setelah bersirkulasi sebagai lumpur pemboran, lumpur aerasi melalui separator udara-lumpur untuk proses pemisahan
udara dan lumpur biasa. Kemudian lumpur aerasi dibersihkan dari cutting, dan lumpur aerasi kembali menjadi lumpur biasa.
Lumpur biasa akan membentuk kembali menjadi lumpur aerasi dengan menginjeksikan udara. Kelebihan ini tidak dimiliki
oleh pemboran busa yang menggunakan busa sebagai fluida pemboran, dimana setelah bersirkulasi busa tidak bisa
digunakan lagi.
Lumpur aerasi dapat digunakan untuk pemboran di formasi-formasi bertekanan rendah dimana masalah hilang
sirkulasi terjadi jika menggunakan lumpur biasa walau hanya menggunakan air ditambah viscosifier. Lumpur aerasi juga
dapat digunakan pada formasi yang mengandung fluida formasi yang banyak dimana pemboran air/gas tidak dapat
berfungsi dengan efisien.
Kemampuan udara/gas dalam meningkatkan laju penetrasi pada pemboran air/gas juga dimiliki oleh lumpur aerasi
dibandingkan laju penetrasi pada pemboran konvensional yang menggunakan lumpur biasa.
Kemudahan dan kecepatan menembus suatu formasi ketika pemboran merupakan fungsi dari tekanan hidrostatis
terhadap formasi seperti ditunjukkan Gambar 6.14. Fenomena ini ditunjukkan oleh Murray dan Cunningham8).
Kerusakan formasi produktif lebih kecil jika tekanan hidrostatis sirkulasi lumpur lebih besar sedikit daripada tekanan
formasi. Jadi lumpur aerasi dapat berfungsi sebagai fluida pemboran pada pemboran overbalanced atau pemboran
underbalanced, hanya dengan mengatur perbandingan udara dan lumpur biasa.

Gambar 6.14. Hubungan Laju Penetrasi dan Tekanan Hidrostatis8)

Ukuran cutting yang diperoleh dari pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi hampir sama dengan ukuran
cutting dari pemboran yang menggunakan lumpur biasa, dibandingkan ukuran cutting pemboran air/gas yang berbentuk
serbuk. Ukuran cutting ini memudahkan untuk dianalisa dan dijadikan petunjuk formasi yang sedang ditembus.
Pemboran aerasi tidak menyebabkan terjadinya pembesaran lubang (washout) dibandingkan dengan pemboran yang
menggunakan lumpur biasa. Hambatan pada dinding lubang sumur akan diperkecil dengan adanya udara dalam lumpur
aerasi.
Masalah korosi yang terjadi pada pemboran lumpur aerasi merupakan masalah korosi paling besar dalam pemboran
underbalanced, karena adanya udara dan cairan dalam lumpur aerasi.
Dengan penanganan yang memadai seperti pemilihan dan penggunaan air, pengaturan pH > 8, dan penggunaan
korosi inhibitor maka masalah korosi dapat dikurangi, sehingga pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi dapat
dijadikan alternatif pemilihan teknik pemboran yang baik.
Masalah keselamatan juga perlu menjadi perhatian karena penggunaan udara yang mengandung oksigen jika
bertemu dengan hidrokarbon dan panas yang cukup akan mengakibatkan bahaya kebakaran dan ledakan, walaupun
masalah ini lebih kecil daripada pemboran udara/gas karena adanya lumpur biasa.
Pemboran aerasi membutuhkan peralatan tambahan seperti kompresor penginjeksi udara, penyekat drillstring, pipa
udara, dan separator udara-lumpur. Tetapi biaya pengadaan peralatan tambahan ini bisa ditekan karena penggunaan udara
dan ketersediannya di alam, membuat lumpur aerasi lebih ekonomis dibandingkan jika penggunaan gas-gas pada
pemboran udara/gas.
Pemboran aerasi tidak menjamin proses penyemenan biasa berjalan lancar tanpa terjadi hilang semen. Hal ini karena
lumpur aerasi tidak membentuk penyekat pada zona loss. Penggunaan Lost Circulating Material (LCM), penyemenan
dengan foam cement, dan mengatur densitas lumpur aerasi agar lebih tinggi dari tekanan formasi tanpa menyebabkan
hilang sirkulasi akan mengatasi masalah ini.
6.8.5. Distribusi Gelembung dalam Lumpur Aerasi
Penginjeksian udara kedalam lumpur akan membentuk distribusi gelembung udara yang berukuran makin kecil jika
berada semakin dalam karena pengaruh tekanan dan temperatur.
Distribusi gelembung dalam lumpur aerasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ketika lumpur aerasi bersirkulasi
2. Ketika lumpur aerasi tidak bersirkulasi
6.8.5.1. Lumpur Aerasi ketika Bersirkulasi
a. Di dalam drillstring.
Distribusi gelembung dalam drillstring terjadi ketika udara pertama kali diinjeksikan ke dalam lumpur di permukaan
hingga ke dasar sumur. Gelembung udara cenderung bergerak ke atas karena densitas yang lebih kecil daripada
densitas lumpur. Kecepatan slip gelembung udara dalam pipa adalah selisih kecepatan lumpur menuju ke dasar sumur
terhadap kecepatan gelembung untuk bergerak ke permukaan. Perubahan tekanan dan temperatur yang semakin tinggi
ke arah bawah, menyebabkan volume gelembung akan semakin kecil, sehingga kecepatan slip masing-masing
gelembung akan berbeda. Kecepatan slip harus lebih besar dari nol pada gelembung berukuran paling besar, sehingga
gelembung akan mengikuti aliran lumpur ke bawah.
b. Di anulus
Ketika lumpur aerasi keluar dari bit, terjadi penurunan tekanan yang besar sehingga menimbulkan efek pengembangan
gelembung udara yang terkompresi. Setelah mengembang, gelembung udara akan terkompresi kembali menjadi
gelembung udara berukuran kecil dan bergerak ke permukaan bersama dengan aliran lumpur dan cutting.
Gelembung udara bergerak menuju ke permukaan bersama dengan aliran lumpur sehingga kecepatan gelembung
bergerak ke atas merupakan penjumlahan dari kecepatan slip gelembung terhadap aliran lumpur dan kecepatan aliran
lumpur. Kecepatan gelembung ini akan makin besar bila ukuran gelembung makin besar. Jika pola aliran slug terbentuk,
maka kecepatan gelembung udara akan makin besar dan memberikan efek piston terhadap lumpur di atasnya sehingga
dapat membahayakan keselamatan disamping terbatasnya kemampuan BOP dalam menahan tekanan dari dasar sumur.
Cutting bergerak ke bawah dengan kecepatan terminalnya melawan arus pergerakan gelembung udara dan aliran
lumpur. Kecepatan aliran lumpur aerasi harus lebih besar dari kecepatan slip dan terminal cutting.
6.8.5.2. Lumpur Aerasi dalam Keadaan Tidak Bersirkulasi
a. Di dalam drillstring
Lumpur tidak bersirkulasi ketika pemboran sedang melakukan penyambu-ngan atau pelepasan drillstring (proses
tripping). Gelembung udara yang berdensitas ringan cenderung bergerak ke atas dan menimbulkan pergerakan
permukaan lumpur ke bawah sementara gelembung udara terus keluar dari lumpur.
Keluarnya gelembung udara dari lumpur tidak diinginkan, karena menyebabkan densitas lumpur di bagian bawah makin
berat dan tekanan udara yang besar dari gelembung yang keluar dapat membahayakan proses tripping tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi bahaya adalah dengan memompakan lumpur biasa saja (tanpa
injeksi udara) hingga minimal mencapai satu joint atau mencapai check valve. Tujuan pemasukan lumpur biasa adalah
untuk memberikan tekanan terhadap lumpur sehingga gelembung akan bergerak lambat ketika menuju permukaan.
b. Dianulus
Berhentinya sirkulasi lumpur aerasi dapat menyebabkan cutting turun ke dasar sumur. Kecepatan cutting untuk turun
(kecepatan terminal) diperkecil karena sifat gel strength dari lumpur dan gerakan gelembung udara ke permukaan yang
menabrak cutting.
6.8.5.3. Pengaruh Tekanan Permukaan terhadap Distribusi Gelembung
Distribusi gelembung dan pola aliran dalam drillstring berbeda daripada di anulus seperti ditunjukkan dalam Gambar
6.15.
Perbedaan distribusi gelembung dan pola aliran tersebut disebabkan:
Perbedaan arah aliran di dalam drillstring dan anulus
Perbedaan tekanan di permukaan, dimana tekanan di dalam drillstring dipengaruhi tekanan lumpur sedangkan
tekanan di permukaan anulus (blooie line) dipengaruhi tekanan udara.
Adanya cutting dalam aliran lumpur di anulus yang mempe-ngaruhi densitas lumpur aerasi.

Gambar 6.15. Pengaruh Tekanan terhadap Distribusi Gelembung Udara14)


Perhitungan parameter-parameter di anulus tergantung pada hasil perhitu-ngan parameter-parameter di dalam
drillstring. Di dalam drillstring, perhitu-ngan dilakukan dengan menggunakan metoda White15) untuk mengetahui densitas
lumpur aerasi di setiap kedalaman. Tekanan hidrostatis dalam drillstring di setiap kedalaman, volume udara, dan temperatur
dapat diketahui. Perhitungan di anulus, menggunakan data-data dari dalam drillstring dan dengan menggunakan hubungan
PV/T = konstan, dapat diketahui densitas lumpur aerasi dan pola aliran di anulus.

6.8.6. Pola Aliran Dua Fasa


Aliran lumpur aerasi ketika bersirkulasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam drillstring dan di dalam anulus. Pola
aliran dua fasa terjadi di dalam drillstring sedangkan di anulus akan terbentuk aliran tiga fasa, karena adanya cutting yang
ikut mengalir bersama lumpur aerasi.
Karena konsentrasi cutting dalam lumpur aerasi sangat kecil (kurang dari 4%) maka pola aliran dua fasa dapat juga
berlaku di dalam anulus.
Ada empat pola aliran dua fasa, yaitu :
1. Pola aliran Bubble,
dimana perbandingan gas dan cairan rendah dan gradien tekanan alir mula-mula adalah tekanan statis ditambah
hambatan cairan. Besar hambatan tergantung pada kecepatan. Pada pola ini, densitas lumpur sudah berkurang,
namun sifat-sifat cairan masih mendominasi. Pola aliran bubble adalah pola aliran yang diinginkan. Ciri-ciri pola aliran
bubble adalah distribusi gelembung merata untuk kedalaman yang sama, aliran lumpur ketika keluar dari anulus tidak
terputus-putus (kontinu), densitas lumpur aerasi yang keluar lebih rendah dari yang masuk.
2. Pola aliran Slug,
berlaku untuk kecepatan cairan kurang dari 79 ft/min dan kecepatan gas lebih cepat sehingga gelembung bergabung
dan membentuk pola aliran slug yang berukuran mendekati diameter pipa. Kecepatan cairan tidak konstan, kerena slug
selalu bergerak ke atas; pada kecepatan tinggi cairan ikut bergerak ke atas, tetapi pada kecepatan rendah, cairan
bergerak ke bawah. Ciri pola aliran slug antara lain: distribusi gelembung pada pola aliran ini tidak merata, aliran
lumpur yang keluar dari anulus terputus-putus dan menyebar. Karena terjadi pemisahan antara udara dan lumpur pada
pola aliran ini, maka densitas lumpur yang keluar dari anulus lebih besar diban-dingkan jika pola aliran lumpur adalah
bubble.
3. Pola aliran Transisi Slug-Anular,
ketika kecepatan alir udara makin cepat, maka pola aliran slug akan pecah dan membentuk pola aliran transisi slug-
anular. Pada pola aliran slug dan transisi slug-anular, hambatan dinding pipa diabaikan. Volume udara yang terkandung
dalam slug atau transisi slug-anular jauh lebih besar dari pada volume udara pada gelembung, hal ini akan
mempertinggi kecepatan gelembung untuk bergerak ke atas sehingga terjadi perbedaan densitas lumpur aerasi pada
bagian slug atau transisi slug-anular dan bagian bawah slug. Pada pipa vertikal, makin dalam terbentuknya pola aliran
slug atau transisi slug-anular, maka kecepatan slip makin tinggi, dan mendorong lumpur di atasnya sehingga tekanan
lumpur di permukaan akan lebih tinggi. Hal ini dapat membahayakan operasi pemboran.
4. Pola aliran Mist,
jika aliran cairan masih kurang dari 79 ft/min, tetapi kecepatan aliran udara lebih dari 2953 ft/min, maka pola aliran slug
akan berubah menjadi pola aliran mist. Pada pola aliran ini, fasa gas akan menjadi fasa kontinu dan cairan akan
berbentuk butiran halus (droplet) dan menempel di dinding membentuk film, pada pola aliran ini hambatan dinding
merupakan faktor terbesar penyebab kehilangan tekanan.

Kecepatan gelembung berukuran kecil untuk bergerak ke atas lebih kecil daripada gelembung yang berukuran lebih
besar. Berdasarkan persamaan Stoke15) di bawah ini dapat diketahui hubungan diameter gelembung (dianggap berbentuk
bola) dan kecepatan slip gelembung terhadap cairan dalam keadaan statis (tidak bersirkulasi).
138 x ( a m) xdb2
Vslip
m
..........................................................(6-32)
dimana :
vslip = kecepatan slip (ft/s)
a
= densitas udara (ppg)
m
= densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
m
= viskositas lumpur (cp)
Harga vslip akan negatif yang menunjukkan gelembung bergerak menuju ke atas. Ketika bersirkulasi harus
diperhitungkan juga kecepatan aliran lumpur dan pe-ngaruh dari putaran drillstring.

Gambar 6.16. Pola Aliran Dua Fasa dalam Pipa Vertikal21)


Untuk mengetahui pola aliran yang terjadi dalam pipa, dapat menggunakan bilangan Froude sebagai berikut :


Qa Qm
Fr
Aa

g c xd av
................................................................................(6-33)
dimana :
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
Perbandingan laju aliran udara di dalam lumpur aerasi diketahui dengan persamaan :
Qa
Xa
Qa Qm
....................................................................................(6-34)
Bilangan Froude dan fraksi udara kemudian diplotkan pada Gambar 6.17. di bawah ini untuk mengetahui pola
alirannya.

Gambar 6.17. Chart Froude Untuk Pola Aliran Dua Fasa dalam
Pipa Vertikal 22)
6.8.7. Sifat-sifat Lumpur Aerasi
Pada dasarnya penginjeksian udara ke dalam lumpur tidak mengubah sifat-sifat kimia dari lumpur, tetapi hanya sifat
fisika. Setelah bersirkulasi, lumpur aerasi kembali menjadi lumpur biasa. Sifat-sifat fisika yang perlu dibahas antara lain :
densitas, viskositas, dan gel strength.
6.8.7.1. Densitas
Densitas lumpur aerasi tergantung dari densitas lumpur awal, volume lumpur, densitas udara, volume udara, tekanan,
dan temperatur. Densitas terendah dicapai ketika lumpur aerasi terbentuk pertama kali di permukaan, ketika bersirkulasi ke
bawah, densitas lumpur akan semakin besar. Hal ini disebabkan distribusi gelembung yang tidak merata dalam lumpur
aerasi. Karena gelembung udara berdensitas lebih kecil dari densitas lumpur, maka gelembung cenderung bergerak ke
atas.
Berdasarkan persamaan White15) jika Qa, Qm, dan densitas lumpur awal tetap, maka terdapat hubungan antara
densitas lumpur aerasi terhadap kedalaman, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.18.

Gambar 6.18. Perubahan Densitas Lumpur Aerasi terhadap Kedalaman 51)


Udara merupakan fluida kompresibel, sedangkan lumpur merupakan fluida yang inkompresibel. Kompresibilitas
berhubungan dengan perubahan tekanan dan volume seperti yang ditunjukkan persamaan kompresibilitas di bawah ini 21) :
1 dV
cx x
V dP
....................................................................................(6-35)
Ketika lumpur aerasi bergerak ke bawah, tekanan sirkulasi lumpur aerasi akan semakin besar, sehingga ukuran
gelembung akan mengecil. Ukuran gelembung yang mengecil dalam lumpur aerasi menyebabkan volume lumpur akan
bertambah besar dibandingkan volume udara yang semakin kecil, sehingga densitas lumpur aerasi akan semakin besar bila
tekanan dinaikkan.
Setelah melewati bit, lumpur aerasi mengalir melalui anulus dengan densitas lumpur aerasi yang lebih besar karena
adanya cutting dalam lumpur. Penurunan tekanan sirkulasi lumpur aerasi ketika menuju permukaan menyebabkan
gelembung udara berekspansi memperbesar volume lumpur aerasi sehingga densitas lumpur aerasi akan turun kembali
dan setelah melalui separator udara-lumpur dan peralatan pembersih cutting, densitas lumpur akan kembali seperti semula
(densitas lumpur biasa).
6.8.7.2. Viskositas
Viskositas lumpur aerasi didefinisikan sebagai ketahanan lumpur aerasi terhadap aliran, dengan menggunakan
satuan centipoise. Adanya gelembung udara dalam lumpur mempengaruhi viskositas lumpur aerasi. Hal ini karena
gelembung udara akan memperkecil gesekan. Besarnya perubahan viskositas ini tergantung pada fraksi udara dalam
lumpur aerasi. Asumsi yang digunakan adalah viskositas udara dan lumpur biasa bersifat konstan.
Karena fraksi udara aliran lumpur aerasi berbeda-beda tergantung ke dalamannya, maka viskositas lumpur aerasi
memiliki sifat yang sama dengan sifat densitas lumpur aerasi, dimana semakin dalam letak satu bagian lumpur aerasi, maka
viskositas lumpur akan semakin mendekati viskositas lumpur biasa, dan viskositas terkecil terjadi ketika lumpur aerasi
berada di permukaan.
f X udara x udara (1 X udara ) x lumpurbiasa
.......................................(6-36)
dimana :

f = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi

udara= viskositas udara (cp)

lumpur biasa= viskositas lumpur awal (cp)
Viskositas berpengaruh terhadap kecepatan slip lumpur untuk mengangkat cutting ke permukaan, seperti yang
ditunjukkan persamaan Stoke (1). Makin besar viskositas maka kecepatan slip makin kecil sehingga cutting lebih mudah
terbawa aliran lumpur ke permukaan.
Karena viskositas lumpur aerasi makin kecil ketika mengalir ke permukaan, dan berpengaruh terhadap kemampuan
lumpur membawa cutting, maka viskositas lumpur awal perlu menjadi perhatian dalam pemboran aerasi ini.
6.8.7.3. Gel Strength
Sifat gel strength lumpur adalah suatu kemampuan lumpur untuk tetap menahan cutting ketika sirkulasi dihentikan.
Kestabilan gelembung dan kecepatan lumpur aerasi membentuk gel, tergantung pada gel strength lumpur awal. Gel
strength lumpur aerasi tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan gel strength lumpur awal, karena ketika berhenti
sirkulasi dan gelembung bergerak ke atas, maka komponen lumpur awal lebih mendominasi sifat-sifat gel strength lumpur
aerasi ini.
6.8.8. Kapasitas Pengangkatan Cutting
Kapasitas pengangkatan cutting tergantung dari laju alir fasa cair/lumpur. Penurunan jumlah cairan dalam aliran
lumpur akan meningkatkan kecepatan slip cairan terhadap aliran udara. Karena cairan merupakan media pembawa cutting,
penurunan laju injeksi cairan akan berpengaruh pada kemampuan pengangkatan cutting oleh lumpur aerasi.
Ketika bersirkulasi aliran lumpur di anulus berfungsi membawa cutting, sehingga diperlukan perhitungan kecepatan
minimum yang diperlukan untuk membawa cutting ke permukaan. Kecepatan slip adalah kecepatan cutting melawan aliran
lumpur ke arah dasar sumur.
Perhitungan kecepatan slip dapat menggunakan persamaan Rittenger12) dimana drag koefisien diasumsikan = 0,94 ,
yaitu :
Dc ( c f )
Vs 7.3 x
f
....................................................................(6-37)
dimana :
Vs = kecepatan slip (ft/s)
Dc = ekivalen diameter cutting (ft)

c = densitas cutting (pcf)

f = densitas lumpur campuran (pcf).
Selain persamaan Rittenger di atas, kecepatan slip bisa dihitung berdasarkan persamaan Stoke (1), dengan kondisi
ekstrim dan memperhitungkan pengaruh viskositas lumpur pemboran.
Ukuran maksimum cutting dapat diketahui dari laju penetrasi (ft/jam), dan kecepatan putaran (RPM), sehingga 10):
ROPP
Dc
RPMX 60
...................................................................................(6-38)
Kecepatan cutting tergantung pada laju penetrasi dan konsentrasi cutting dalam lumpur, seperti yang ditunjukkan
persamaan di bawah ini 10):
ROP
vt
Ccx3600
......................................................................................(6-39)
dimana :
vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)
Kecepatan lumpur di anulus merupakan kecepatan fluida 3 fasa dan dapat dihitung denan menggunakan persamaan
10):
M
vf
FxAa
........................................................................................(6-40)
Qm
Qa Qc
vf 7 . 48
Aa
..........................................................................(6-41)
dimana :
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
Cutting akan terbawa ke permukaan, jika kecepatan lumpur di anulus lebih besar dari kecepatan slip ditambah
kecepatan cutting atau vf > vs + vt. Kecepatan aliran lumpur di anulus ini harus pula didukung dengan viskositas lumpur
yang tinggi. Dengan meningkatnya viskositas lumpur maka efek pembersihan lubang sumur dapat lebih baik. Menurut
Williams18), rotasi drillstring dapat memperbesar efek pembersihan cutting.
Kecepatan lumpur di anulus harus dibatasi agar tidak membentuk pola aliran turbulen. Aliran turbulen di anulus dapat
mengikis mud-cake pada dinding sumur yang belum diberi casing. Pencegahan aliran turbulen dapat diindikasikan dengan
bilangan Reynolds dengan tidak lebih dari 2000. Batas ini dijadikan pegangan untuk menentukan kecepatan maksimum
aliran lumpur di anulus yang disebut kecepatan kritik 18).
8000 xf
Vca
fxx(dh 2 dp 2 )
...................................................................(16-42)
dimana :
vca = kecepatan kritik (ft/s)
mf = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)

6.8.9. Volume Udara Injeksi


Penentuan volume udara yang harus diinjeksikan sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan pemboran aerasi,
dimana jika terlalu sedikit maka densitas lumpur aerasi tidak serendah yang diharapkan, dan masalah hilang sirkulasi tidak
dapat dicegah. Jika volume udara terlalu banyak, maka densitas dan viskositas lumpur aerasi akan terlalu rendah,
disamping dapat membahayakan peralatan permukaan, juga dapat merusak dinding sumur karena aliran yang terjadi makin
cepat.
Makin besar volume udara, maka lumpur aerasi akan kehilangan kapasitas pengangkatan cutting, karena viskositas
lumpur akan makin kecil dan kecepatan slip cutting terhadap aliran lumpur makin besar.
Metoda yang digunakan untuk menentukan jumlah udara yang diinjeksikan, antara lain :
1. Metoda Poettmann & Begman
2. Metoda White
3. Metoda PV = konstan
4. Metoda PV/T = konstan

6.8.9.1. Metoda Poettmann & Begman


Penentuan jumlah udara yang diinjeksikan berdasarkan kedalaman sumur, densitas lumpur sebelum dijadikan lumpur
aerasi, dan selisih dari densitas lumpur aerasi dan densitas lumpur biasa. Metoda ini menggunakan grafik yang dibuat oleh
Poettmann dan Begman, dan sudah umum digunakan dalam pemboran aerasi. Menurut Rovig17), hasil perhitungan dari
grafik Poetmann & Begman ini harus dikurangi 10 - 15% ketika diterapkan di lapangan. Kelemahan grafik ini adalah tidak
ada grafik untuk kedalaman dibawah 3000 ft, sehingga tidak cocok diterapkan di lapangan Duri.
Cara menggunakan grafik Poettmann & Begman :
1. Tentukan kedalaman pemboran dalam satuan feet pada skala bagian bawah
2. Tentukan densitas lumpur aerasi yang diinginkan (Wd)
3. Tentukan selisih densitas lumpur biasa dan densitas lumpur aerasi (Wa - Wd)
4. Tentukan jumlah udara yang dibutuhkan kubik kaki perbarel lumpur pada skala bagian atas.

Gambar 6.19. Grafik Poettmann & Begman17)


6.8.9.2. Metoda White
Tekanan dasar sumur atau tekanan di depan zona loss harus diturunkan dengan menginjeksikan udara dalam jumlah
tertentu. R.J. White15) telah membuat suatu hubungan kedalaman (H, ft), densitas lumpur mula-mula (ri, pcf), dan densitas
lumpur di kedalaman tersebut (rf, pcf). Persamaan itu adalah :
n
4.72 x10 4 x ( i f ) x log( 4.72 x10 4.h.f 1)
100 n
..............(6-43)
n adalah fraksi udara dalam lumpur, dari fraksi ini dapat diketahui volume udara yang harus diinjeksikan dalam
volume lumpur tertentu.
n Qm
Qa x
100 n 7.48
............................................................................(6-44)
dimana :
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Persamaan (6-43) digabungkan dengan persamaan (6-44) sehingga persamaan White menjadi:
6.31x10 5.H .( i pf )
Qa xQm
(2.30.lo (4.72 x10 4.h.f 1)
...........................................(6-45)
Volume udara yang diinjeksikan akan menurunkan densitas lumpur, tetapi jumlah yang diinjeksikan harus
memperhatikan kemampuan aliran lumpur di anulus untuk membawa cutting. Jika laju aliran lumpur lebih besar dari dari
kecepatan kritik akan membuat aliran turbulen dalam anulus, sementara jika lebih kecil dari kecepatan slip dan kecepatan
cutting, maka cutting tidak terbawa ke permukaan dan mengendap di dasar sumur.

6.8.9.3. Metoda PV = konstan


Karena menggunakan gas (udara) untuk membentuk lumpur aerasi dan gas adalah fluida kompresibel, maka hukum-
hukum gas dapat digunakan untuk menentukan jumlah udara yang diinjeksikan. Metoda ini dibahas oleh Fatah14).
Hukum gas ideal :
PxV ZxRxT
.....................................................................................(6-46)
dimana :
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.o
RT = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap
untuk sumur dangkal.
Persamaan diatas dapat ditulis menjadi :
PxV Kons tan
..................................................................................(6-47)
Konstanta ditentukan dari harga tekanan dan volume udara di permukaan, dan digunakan untuk memperhitungkan
distribusi tekanan, volume, densitas udara, dan densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman sumur.
mxVm axVa
f
Vm Va
.......................................................................(6-48)
dimana :

f = densitas lumpur aerasi (pcf)

m = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)

a = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).
Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan densitas, sehingga bisa diketahui tekanan
hidrostatik pada kedalaman tertentu, seperti ditunjukkan pada persamaan :
f (i 1)
Pf i Pf (i 1) Di Di 1
144
..................................(6-49)
dimana :
Di = kedalaman i (feet).
Volume udara pada kedalaman i ditentukan berdasarkan sifat persamaan (6-46) yang berharga konstan.
Psurf Vsurf
Vai
Pf (i )
..........................................................................(6-50)
Laju alir massa udara ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
Wa ( surf ) a ( surf ) xQa( surf )
.......................................................(6-51)
dimana :
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf) = laju alir volume udara di permukaan (scfm).
Laju alir ini bersifat konstan dan berlaku dalam penentuan densitas udara di setiap kedalaman.
Kecepatan lumpur aerasi di anulus ditentukan berdasarkan persamaan berikut.
Qm
Qa
Vta 7.48
Aa
.............................................................................(6-52)
dimana :
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
Aa = luas anulus (sqft).
6.8.9.4. Metoda PV/T = konstan
Metoda ini tidak jauh berbeda dengan metoda PV = konstan, hanya terdapat perbedaan variabel temperatur yang
dianggap tidak konstan untuk setiap kedalaman.
Persamaan (6-46) dapat ditulis menjadi :
PxT
T
..................................................................................................... (6-53)
Konstanta ditentukan dari harga tekanan, volume, dan temperatur udara di permukaan, dan digunakan untuk
memperhitungkan distribusi tekanan, volume, temperatur, densitas udara, dan densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman
sumur.
Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan densitas, sehingga bisa diketahui tekanan
hidrostatik pada kedalaman tertentu, seperti ditunjukkan pada persamaan (6-49).
Ketika sumur di bor makin dalam, maka terjadi perubahan tekanan dan temperatur untuk setiap kedalaman. Pada
metoda ini diasumsikan gradien perubahan temperatur (GT) bersifat tetap dalam satuan oF/100 ft.
Ti Ti 1GT xDi
.................................................................................(6-54)
konstan.
PsurfxVsurfxTf (i )
Va (i )
P (i ) xTsurf
...............................................................(6-55)
Kecepatan lumpur aerasi di anulus ditentukan berdasarkan persamaan (6-52).
Metoda penentuan volume injeksi yang biasa dilakukan di dunia internasional adalah metoda Poettmann & Begman,
tetapi karena keterbatasan metoda ini untuk Lapangan Duri (dengan kedalaman reservoir kurang dari 3000 ft), maka
metoda White digunakan untuk penentuan volume udara injeksi yang dibutuhkan pada pemboran aerasi di Lapangan Duri
ini.
Perbedaan volume udara injeksi yang dibutuhkan, berdasarkan keempat metoda tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Jumlah udara yang dibutuhkan diperoleh dari data-data berikut :
Qm = 350 GPM ;
ri = 8,6 ppg = 64,3 pcf;
rf = 8,09 ppg = 60,5 pcf;
D = 8500 ft.
Tabel 6-2. Perbandingan Metoda Penentuan Volume Udara Injeksi

Menurut Rovig17), ketika melakukan pemboran aerasi, lebih baik kekurangan jumlah udara daripada kelebihan udara yang
diinjeksikan, untuk menjaga agar tekanan hidrostatis tidak terlalu rendah sehingga terlalu banyak fluida formasi yang masuk
dan dinding sumur lebih mudah runtuh.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dan pendapat Rovig, maka metoda White lebih baik digunakan daripada metoda PV
= konstan atau PV/T = konstan. Penerapan metoda White dapat dilakukan di Lapangan Duri dimana formasi produktif
terletak pada kedalaman kurang dari 1000 ft.
6.8.10. Metoda Pembuatan Lumpur Aerasi
Pembuatan lumpur aerasi terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan cara menginjeksikan udara kedalam lumpur, yaitu :
1. Penginjeksian melalui standpipeMetoda yang paling umum dilakukan pada pemboran aerasi yaitu dengan
menginjeksikan udara melalui standpipe.
Gambar 7. Penginjeksian Udara Melalui Standpipe13)
Faktor pembatas metoda ini adalah kemampuan memampatkan udara pada peralatan permukaan dimana tekanan
injeksi operasional terbatas pada tekanan 1250 psi. Tekanan injeksi ini dapat mencapai kedalaman sumur bor 8000
- 9000 ft. Dibawah tekanan operasional ini, tekanan injeksi pada standpipe akan terlalu tinggi untuk diatasi tekanan
udara dari kompresor.
2. Penginjeksian melalui parasite stringParasite string adalah pipa tambahan yang menempel pada casing
intermediate dan berfungsi menginjeksikan udara kedalam anulus diantara casing dan drillpipe.

Gambar 6-21. Penginjeksian Udara Melalui Parasite String13)


Penentuan kedalaman titik injeksi parasite string berdasarkan antisipasi penurunan tekanan maksimum untuk
mencegah terjadinya hilang sirkulasi. Total penurunan tekanan adalah fungsi dari kedalaman tubing, perbandingan
udara dan lumpur, dan densitas lumpur.
3. Penginjeksian melalui jet subsMetoda penginjeksian melalui jet subs merupakan kombinasi dua cara penginjeksian
di atas. Penginjeksian dilakukan melalui beberapa jet sub pada drillstring. Penempatan jet sub berdasarkan
perbedaan densitas lumpur dan kedalaman sumur total dan pada posisi drillstring masih berada di dalam casing
intermediate. Menempatkan jet sub ketika drillstring berada di anulus terbuka (tanpa casing) akan menyebabkan
wash out.

Gambar 6.22. Penginjeksian Udara Melalui Jet Subs17)


Untuk sumur yang dalam (10000 feet atau lebih) memerlukan dua atau lebih subs, tergantung berapa tekanan dasar
sumur yang diinginkan.
6.8.11. Peralatan Pemboran
Sebagai fluida pemboran, lumpur aerasi berbeda dengan lumpur biasa. Peralatan-peralatan yang digunakan pada
pemboran aerasi hampir sama dengan peralatan pada pemboran konvensional. Penambahan peralatan terutama pada
proses penginjeksian udara dan penanganan lumpur aerasi setelah bersirkulasi, seperti kompresor udara bertekanan tinggi,
rotating head, dan separator udara-lumpur.
Peralatan tambahan tersebut antara lain :
a. Kompresor UdaraVolume udara yang dikeluarkan kompresor dapat diketahui dengan menggunakan
persamaan Moss, S.A.16):
axCxP1
W 0.5303 x
T1
..........................................................................(6-46)
dimana :
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)
untuk orifice berbentuk bulat C = 0,95 sedangkan jika berbentuk sudut tajam (sharp edge) C = 0,65 . P1 = tekanan alat ukur
(psig) + 14,7 psia. Harga W dikonversi menjadi satuan cu. ft per menit dengan menggunakan densitas udara kering pada
kondisi standar (14,7 psi dan 70oF) = 0,07494 lbs/cu. ft. Sehingga keluaran dari kompresor adalah :
axCxP1
Qak 424.58 x
T1
......................................................................(6-47)
Volume udara yang dihasilkan kompresor berdasarkan batas keluaran pada kondisi ideal di permukaan laut, sehingga
volume udara yang keluar dari kompresor perlu dikoreksi karena adanya efek dari temperatur, tekanan, dan kelembaban
udara.
Tekanan, temperatur dan kelembaban udara di lapangan tergantung pada ketinggian tempat dari permukaan laut, dan
iklim. Ketika menghitung volume udara maksimum yang dihasilkan kompresor, tekanan, temperatur, dan kelembaban udara
ditentukan pada harga maksimum yang ada di lapangan.
Penentuan koreksi :
1. Koreksi tekanan, Pkor = (Pudara - 0,1) : 14,7 psia ...........................(6-48)
tekanan udara di lapangan dapat diketahui dengan menggunakan barometer.
2. Koreksi temperatur, Tkor = (460o + 60o) : (460o + Tudara, oF)............(6-49)
3. Koreksi kelembaban, Kkor = (Pudara - Kudara x 0, 5068) :
Pudara................................................................................................... .(6-50)
sehingga laju volume maksimum yang bisa dihasilkan kompresor adalah :
Qak max Qak Pkor TkorKkor
.................................................(6-51)
b. BoosterBerfungsi sebagai penguat aliran udara yang dikeluarkan oleh kompresor, sehingga tekanan udara
yang terkompres mampu memasuki aliran lumpur. Bila volume udara dari kompresor sebesar 650 scfm dan
tekanan 250 psi, maka booster dapat memperbesar tekanan menjadi 1000 psi dengan volume udara 650 scfm.
c. Pipa Saluran UdaraUdara dari kompresor disalurkan ke standpipe melalui sebuah pipa yang berukuran
cukup besar (biasanya 2") untuk mengurangi masalah friksi. Pada pipa ini terdapat cek valve untuk mencegah
aliran balik udara dan lumpur ke kompresor. Pipa ini juga harus mempunyai pressure gauge untuk mengetahui
tekanan udara yang masuk, dan mempunyai release valve untuk mengeluarkan udara yang termampatkan ketika
proses penyambungan pipa sedang dilakukan. Manifold juga harus ada sehingga pompa lumpur dapat
digunakan terus jika udara dari kompresor tidak digunakan.

Gambar 6.23. Posisi Pipa Saluran Udara di Standpipe7)

d. Rotating HeadDipasang di atas BOP. Berfungsi menyekat anulus dan melindungi seluruh komponen yang
berputar di drillstring kecuali bit dan reamer yang berukuran besar. Lumpur keluar dari anulus, langsung menuju
separator udara-lumpur melalui blooie line.

Gambar 6.24. Rotating Head7)


e. Blooie LineBlooie line adalah pipa yang terletak di bawah rotating head berfungsi menyalurkan lumpur
aerasi yang keluar dari anulus menuju separator udara-lumpur atau langsung menuju kolam lumpur jika lumpur
aerasi yang keluar tidak dibutuhkan lagi. Panjang blooie line harus cukup jauh dari sumur, mencegah bahaya
kebakaran yang disebabkan kandungan hidrokarbon dalam lumpur.
f. Separator Udara-LumpurBerfungsi memisahkan udara dan lumpur dari lumpur aerasi yang keluar dari
anulus. Peralatan ini menggunakan prinsip gaya sentrifugal yang memisahkan udara dan lumpur berdasarkan
perbedaan densitas. Setelah lumpur bebas dari udara, lumpur mengalir ke shale shaker untuk memisahkan
cutting, dan selanjutnya ke tangki lumpur.

Gambar 6.25. Separator Udara-Lumpur14)


g. Unit AerasiUnit aerasi adalah kendaraan yang mengangkut peralatan tambahan seperti kompresor dan
booster, sehingga peralatan ini dapat dipindah-pindahkan dengan cepat.

Gambar 6.26. Skema Unit Aerasi 23)


Gambar 6.27. Skema Pemboran Aerasi 17)
6.8.12. Prosedur Pemboran
Prosedur pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi berbeda sedikit dari pemboran biasa. Perbedaan tersebut
antara lain adanya sambungan pipa udara pada stand pipe. Ketika proses tripping, aliran udara ke stand pipe dihentikan
dan lumpur dipompakan hingga mencapai string check valve yang berada dibagian bawah sambungan pertama drillpipe
dibawah kelly atau untuk lebih aman, lumpur disirkulasikan hingga mencapai bit. Standpipe harus mempunyai bleed valve
yang dapat dibuka untuk memastikan tidak adanya udara bertekanan tinggi yang tersekat dalam hose hingga kelly,
kemudian proses penyambungan atau pelepasan pipa dilakukan seperti biasa.
6.8.13. Operator
Keberhasilan pemboran aerasi ditentukan dari kerjasama tiga pihak yaitu operator pemboran, operator unit aerasi,
dan operator lumpur. Operator pemboran bertindak melakukan pemboran, dan memerlukan bantuan dari operator lumpur
untuk kebutuhan sirkulasi lumpur seperti laju volume lumpur (GPM) dan tekanan pompa lumpur. Operator pemboran juga
membutuhkan bantuan operator unit aerasi, ketika proses pelepasan dan penyambungan pipa sedang dilakukan, dimana
operator unit aerasi harus menghentikan injeksi udara, dan ketika pemboran berlangsung, operator unit aerasi harus
mengatur jumlah udara injeksi yang dibutuhkan.
Operator unit aerasi memerlukan informasi tekanan lumpur dari operator lumpur, selama pemboran berlangsung.
Informasi tekanan lumpur ini penting karena pengaturan jumlah udara yang perlu diinjeksikan bergantung pada tekanan
udara yang harus diberikan agar valve standpipe (check valve) terbuka dan udara dapat masuk ke dalam lumpur. Ketika
proses triping hendak berlangsung, operator unit aerasi harus menghentikan aliran udara injeksi.
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf)= laju alir volume udara di permukaan (scfm).
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)

6.9.Lumpur Inhibitif
6.9.1. Pendahuluan
Untuk pengelompokan lumpur, pembagian garis antara lumpur freshwater dan saltwater ditentukan oleh kadar garam.
Jika konsentrasi garam sebesar 10.000 ppm atau kurang, maka lumpur tersebut disebut sistem freshwater, sedangkan
diatas 10.000 ppm sistem lumpur tersebut diformulasikan dan dirawat sebagai salt mud (lumpur garam). Ada beberapa jenis
salt mud, yaitu : brackish-water mud dengan konsentrasi garam dari 10.000 sampai 20.000 ppm; seawater mud
mengandung garam 20.000 sampai 40.000 ppm; cut-brine mud dibuat dari oilfield brines dan berbagai konsentrasi garam
dari 40.000 ppm sampai mendekati batas saturasi (jenuh); saturated salt muds dengan kadar garam maksimum 315.000
ppm. Lumpur pemboran yang mengandung garam lebih dari 10.000 ppm biasanya diklasifikasikan secara salah sebagai
freshwater mud. Sebagai contoh, lime mud yang mengandung garam 40.000 ppm masih disebut sebagai lime mud, atau
gyp mud yang mempunyai kadar garam 50.000 ppm tetapi disebut gyp mud, bukan sebagai gyp-salt mud. Tetapi pada
kenyataannya, berdasarkan klasifikasi diatas lumpur tersebut adalah merupakan salt mud.
Salt mud digunakan jika memperbaiki air yang mengadung konsentrasi garam tinggi, jika aliran air garam menghambat
penggunaan freshwater system, jika menembus salt stringer atau formasi garam masif, dan untuk menghambat hidrasi
formasi yang sensitif terhadap air. Beberapa atau semua faktor diatas terlibat dalam pemilihan salt mud yang dapat
digunakan pada pemboran ditempat tertentu.
Chapter ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis-jenis salt mud, penggunaan salt mud secara
efektif untuk pemboran pada lingkungan tertentu, dan perawatan salt mud secara umum.

6.9.2. Seawater Mud


Penggunaan seawater mud semakin meningkat pada beberapa tahun terakhir, disebabkan karena dapat diperolehnya
organic polymer untuk memperbaiki formulasi dan perawatan lumpur tersebut. Semula seawater mud dipersiapkan dan
dirawat dengan attapulgite dan asbestos untuk membangun kekuatan struktur untuk mengangkat cutting dan starch untuk
mengontrol fluid loss. Lumpur ini mempunyai viskositas rendah, sukar mengangkat cutting, dan laju penembusannya
rendah. Sebagian besar seawater mud saat ini menggunakan bahan polimer seperti xanthan gum dan polyanionic cellulose
atau prehydrated bentonite untuk membangun viskositas dan mengurangi fluid loss. Lumpur ini lebih efisien dibandingkan
dengan lumpur attapulgite-asbestos-starch yang pada awalnya digunakan karena komposisinya memberikan stabilitas
formasi yang lebih baik melalui proses pembungkusan polimer. Potassium chloride sering ditambahkan dalam sistem
lumpur ini untuk menghambat hidrasi bentonit yang terkandung didalam formasi secara efektif. Kunci sukses dari lumpur
polymer seawater untuk menjaga kadar padatan tetap minimum dengan menggunakan high-speed shaker dengan saringan
halus, desilter, dan desander.

6.9.3. Lumpur Prehydrated Bentonite-polyanionic Cellulose (CMC)


Lumpur prehydrated bentonite seawater relatif mudah perawatannya, dan menghasilkan laju penembusan yang lebih tinggi
dari sistem lumpur awal attapulgite-starch. Cutting lebih mudah dipisahkan dengan peralatan pemisah padatan karena
viskositasnya lebih rendah. Lumpur seawater memerlukan tangki tambahan untuk prehydrating bentonite yang dapat
merugikan untuk lokasi pemboran di lepas pantai karena lokasinya yang terbatas.

6.9.3.1 Formulasi Lapangan


1. Tentukan volume dengan air laut
2. Prehydrate bentonite sebagai berikut :
(a) Test perbaikan air untuk total hardness (Ca++ dan Mg++). Pada umumnya hardness akan berasal dari
magnesium. Treatment dengan caustic soda untuk menekan kelarutan.
(b) Tambahkan 20 sampai 30 lb/bbl bentonit untuk memperbaiki air; campurkan semuanya, dan jika mungkin aduk
slurry tersebut selama 16 jam.
(c) Tambahkan 1 - 2 lb/bbl lignosulfonate, campur semuanya, dan pH diatur sikitar 9,5.
3. Tambahkan prehydrated bentonite slurry untuk memperbaiki air dengan menggunakan volume ratio dari 1 : 3
sampai 1 : 2 prehydrated slurry sampai 2 : 3 sampai 1 : 2 air yang diperbaiki (Ratio tergantung pada kualitas
bentonit dan waktu hidrasi)
4. Tambahkan dari 0,25 - 0,5 lb/bbl polyanionic cellulose pada sistem untuk mengurangi fluid loss dan untuk
membungkus cutting dan formasi yang terbuka.
5.
6.9.3.2 Perawatan
1. Jika viskositas terlalu rendah, tambahkan prehydrated bentonite, polyanionic cellulose, atau CMC.
2. Jika viskositas naik diatas range yang diinginkan, encerkan dengan air laut dan tambahkan lignosulfonate
3. Menjaga kadar padatan tetap rendah (total low-density solids content, lb/bbl bentonite-eqivalent content, MBT)
dengan pemrosesan lumpur melalui peralatan pemisahan padatan
4. Menjaga total hardness level (Ca++ dan Mg++) dibawah 200 ppm
5. Menaikkan densitas lumpur dengan barite jika diperlukan.
6.
6.9.3.3. Mengantisipasi Sifat-sifat Lumpur
Karena banyaknya variabel yang terlibat, maka sangat sukar untuk menentukan sifat-sifat lumpur secara pasti. Jika
formulasi dan prosedur perawatan dilakukan secara memadai, maka dapat diperoleh range sifat-sifat berikut :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
10-mnt gel strength 5 - 6 lb/100sqft
API fluid loss 15 - 30 ml
pH 9,5
API MBT (CEC) bentonite 10 - 15 lb/bbl
6.9.4. Lumpur Xanthan Gum Polymer
Lumpur xanthan gum polymer banyak digunakan pada operasi pemboran di lepas pantai, karena dapat memberikan
hidrolika yang baik yang dihasilkan dari sifat viscoelastic dari gum tersebut. Dapat menghasilkan laju penembusan yang
cukup tinggi jika kadar padatan tetap terjaga rendah.
6.9.4.1 Formulasi Lapangan
1. Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2. Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum melalui hopper
3. Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 5 lb/100sqft
10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
API fluid loss 20 - 30 ml
pH 7-9
4. Jika diperlukan, harga yield point dan gel strength dapat dinaikkan dengan menambahkan xanthan gum dengan
kenaikan 0,25 lb/bbl sampai diperoleh harga yang diinginkan 5. Fluid loss xanthan gum dapat diperbaiki dengan
menambahkan bentonit kering dari 2 - 5 lb/bbl melalui hopper atau dengan menambahkan prehydrated bentonite
slurry
1. Mengatur pH antara 7 dan 9 dengan caustic soda
2. Menambahakan 0,25 sampai 0,50 lb/bbl paraformaldehyde untuk menghambat fermentasi xanthan gum.
6.9.4.2 Perawatan
Tambahkan air laut kedalam sistem untuk menjaga volume
Gunakan high-speed shaker dengan ukuran saringan yang halus, desander, dan desilter untuk membersihkan sistem
lumpur dari padatan yang terikut.
Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash dan caustic soda
Jika sifat aliran tidak dapat dikontrol dengan pengenceran, flokulasi, atau secara mekanis, tambahkan 2 sampai 4
lb/bbl lignosulfonate
Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite
6.9.5. Lumpur Jenuh Garam (salt-saturated Mud)
Lumpur jenuh garam digunakan untuk membor formasi garam atau stringer, shale inhibition, dan sebagai fluida
workover. Lumpur ini disiapkan dengan menambahkan garam kedalam air tawar atau air asin atau dari saturated brine yang
diperoleh dari lokasi setempat. Tabel 6.3 menunjukkan banyaknya garam dalam pound per barrel (lb/bbl) yang diperlukan
untuk densitas sampai 9,97 lb/gal. Air tawar memerlukan 123 lb.bbl garam untuk mencapai saturasi, yang setara dengan
311.300 ppm garam. Ada beberapa kerancuan dalam laporan kadar garam terlarut dibandingkan dengan larutan jenuh.
Pada konsentrasi rendah - 10.000 ppm sebagai contoh, dengan 1 wt%, tetapi larutan jenuh garam dilaporkan sebagai
311.300 ppm bukan 31,13 wt%, yang kenyataannya 31,13 1,1972 (sp gr) atau 26 wt%.
Ada banyak jenis lumpur jenuh garam yang digunakan secara rutin. Dalam pembahasan ini hanya dibatasi untuk jenis
sistem lumpur paling baru yang ditekankan pada konsep low-solid. Lumpur lama, yaitu lumpur attapulgite-starch saturated-
salt telah digunakan lebih dari 50 tahun. Formulasi dan perawatannya telah banyak ditulis dalam berbagai literatur tidak
akan diulang disini.
Tabel 6.3 Data kelarutan garam

6.9.5.1. Formulasi Lapangan


1. Siapkan volume yang diinginkan dengan air yang dijenuhi garam atau saturated brine
2. Prehydrate bentonite menggunakan prosedur seperti yang dijelaskan pada bagian seawater
3. Tambahkan prehydrate bentonite slurry kedalam air jenuh garam, campurkan semuanya, dan selanjutnya cek sifat-
sifat fisiknya. Campuran 50 : 50 prehydrates bentonite dan air jenuh garam harus menghasilkan sifat-sifat sebagai
berikut :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 3 lb/100sqft
10-mnt gel strength 3 - 5 lb/100sqft
API fluid loss 40 - 50 ml
pH 8 - 10
4. Tambahkan dari 0,25 sampai 0,50 lb/bbl polyanionic cellulose untuk menurunkan fluid loss dan sebagai pelindung
koloid.
6.9.5.2. Perawatan
1. Untuk menaikkan viskositas, tambahkan prehydrated bentonite
2. Tambahkan hanya dengan saturated brine kedalam sistem untuk menjaga volume
3. Menjaga total hardness kurang dari 100 ppm dengan menggunakan caustic soda dan soda ash
4. Gunakan selective flocculant, desander, dan desilter untuk menjaga kadar padatan minimum
5. Menjaga fluid loss dalam range yang diinginkan dengan menambahkan prehydrated bentonite dan polyanionic
cellulose
6. Jika viskositas naik sampai diatas batas yang ditentukan akibat terakumulasinya padatan, maka tambahkan
lignosulfonate barite untuk menaikkan densitas.
6.9.6. Xanthan Gum Dan Hydroxypropyl Guar
Xanthan gum dan campuran xanthan gum dengan hydroxypropyl guar (HPG) gum digunakan untuk menyiapkan
lumpur jenuh garam dimasukkan sebagai salah satu jenis lumpur karena formulasi dan prosedur perawatannya sama.
6.9.6.1. Formulasi Lapangan
1. Siapkan volume yang diinginkan dengan air laut
2. Tambahkan 1 lb/bbl xanthan gum atau dari 1 sampai 1,5 lb/bbl xanthan gum HPG saturated salt water melalui
hopper
3. Setelah semuanya tercampur, harus mempunyai sifat-sifat dengan range :
Yield point 6 - 10 lb/100sqft
10-det gel strength 2 - 4 lb/100sqft
10-mnt gel strength 3 - 6 lb/100sqft
API fluid loss 20 - 40 ml
pH 7 - 9 (diatur dengan caustic soda)
4. Untuk menaikkan viskositas dan mengurangi fluid loss, tambahkan xanthan gum atau xanthan gum-HPG dengan
kenaikan 25 lb/bbl sampai diperoleh sifat-sifat yang diinginkan
5. Untuk menurunkan fluid loss yang diperoleh dari polimer, maka tambahkan bentonit kering dari 2 - 5 lb/bbl untuk
memberikan range ukuran partikel koloid yang lebih besar.
6.9.6.2. Perawatan
1. Air jenuh garam digunakan untuk menjaga volume sistem lumpur
2. Karena kunci keefektifan kinerja lumpur ini adalah solids control, maka rig harus dilengkapi dengan high-speed
shale shaker, desander, dan desilter. Tambahkan selective flocculant dalam flowline untuk mempermudah
pemisahan padatan yang terikut dalam lumpur
3. Jika viskositas yang dihasilkan dari akumulasi padatan tidak dapat dirawat dalam range yang diinginkan dengan
peralatan pemisah padatan dan bahan kimia flokulan, maka tambahkan lignosulfonate antara 2 sampai 4 lb/bbl
4. Menjaga total hardness (Ca++ dan Mg++) kurang dari 100 ppm dengan soda ash dan caustic soda
5. Untuk menaikkan densitas, tambahkan barite.
6.9.7. Lumpur Potassium-base
Potassium chloride digunakan untuk mensuplai kation potassium, yang menghasilkan cation exchange capacity
paling efektif untuk mencegah swelling (pengembangan) dan hidrasi clay. Potassium chloride digunakan dalam konsentrasi
yang bervariasi dari 3 wt% sampai 15 wt% (11 - 53 lb/bbl). Salah satu keuntungan lumpur potassium adalah bahwa densitas
rendah dapat dijaga sementara clay swelling dapat dicegah. Konsentrasi potassium chloride diselaraskan dengan tingkat
pengembangan dan hidrasi clay. Dengan rumus jempol, jika cutting yang keluar dari shaker screen adalah bulat-bulat, maka
konsentrasi potassium chloride harus dinaikkan. Jika cutting tersebut brittle, maka konsentrasi potassium chloride harus
diturunkan.
Ammonium sulfate dengan konsentrasi yang sama dengan potassium chloride adalah efektif untuk mengurangi clay
swelling. Ammonium sulfate mudah didapat tetapi dapat menimbulkan problem yang serius karena dengan penambahan
sodium hydroxide akan melepaskan uap ammonia.
Pemilihan lumpur inhibitive salt berdasarkan pada tingkat pengembangan clay. Dengan mempertimbangkan berbagai
aspek tersebut, maka potassium chloride adalah merupakan pilihan terbaik untuk mencegah clay swelling. API MBT (CEC)
test dapat digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat pengembangan clay. Harga MBT 6 - 10 menunjukkan ketidak-stabilan
formasi yang kecil, MBT dari 10 - 20 menunjukkan ketidak-stabilan menengah, sedangkan MBT dari 20 - 40 menunjukkan
ketidak-stabilan yang sangat berbahaya.
Ada berbagai macam lumpur potassium di pasaran yang diproduksikan oleh berbagai mud company. Semua sistem
lumpur yang menggunakan potassium chloride sebagai inhibiting salt dan polimer atau gum untuk membungkus padatan.
Gilsonite juga direkomendasikan sebagai komponen ketiga untuk menyekat microfracture dalam formasi shale. Berikut
adalah sistem lumpur gabungan dari ketiga komponen tersebut.
6.9.7.1. Kebutuhan Sistem Lumpur
1. Polimer - dari 0,5 sampai 1,5 lb/bbl xanthan gum akan menghasilkan sifat-sifat yang diperlukan untuk
membersihkan lubang dan menahan cutting pada saat lumpur diam.
2. Potassium chloride - jumlahnya bervariasi, tergantung dari hasil MBT formasi shale.
3. Gilsonite - penggunaannya berdasarkan asumsi adanya microfracture dalam formasi shale. Konsentrasi yang
direkomendasikan adalah dari 2 sampai 4 lb/bbl.
4. FL-1 - adalah merupakan getah (gum) alami yang dihasilkan dari tepung rami (flax meal), berfungsi sebagai
encapsulating agent (senyawa pembungkus). Jumlah yang diperlukan bervariasi dari 3 sampai 6 lb/bbl, tergantung
dari shale MBT. Konsentrasi tinggi (6 lb/bbl) digunakan untuk MBT rendah (6 - 10), sedangkan konsentrasi rendah
digunakan untuk MBT yang tinggi (20 - 40).
6.9.7.2. Menaikkan Densitas
Barite dapat digunakan untuk menaikkan densitas lumpur sesuai dengan keperluan. Penambahan polyanionic
cellulose, baik reguler (jika viskositas terlalu rendah) maupun super low (jika viskositas naik), diperlukan untuk memberikan
filtration control dalam lumpur yang diperberat. Secara rumus jempol, 0,25 - 1,0 lb/bbl akan menghasilkan API fluid loss
dalam range 10 - 20 ml.
6.9.7.3. Perawatan
Penambahan harian bahan-bahan xanthan gum, KCl, FL-1, dan gilsonite berdasarkan kedalaman lubang bor karena
bahan-bahan tersebut mengisap atau menempel pada cutting dan menutupi formasi. Oleh karena itu, penting sekali adanya
pemantauan kandungan ion potassium seperti metoda yang distandarkan dalam API-RP-13.
6.9.7.4. Calcium-Treated Mud
Ada 2 kelompok dasar calcium-treated system, yaitu lime mud dan gyp mud. Penamaan tersebut menunjukkan
sumber dari ion kalsium yang terlarut. Lumpur kalsium berguna pada daerah yang mengalami problem sloughing dan aliran
air garam yang ditandai dengan berat lumpur yang tinggi. Lumpur kalsium tidak dapat mencapai harga viskositas dan gel
strength yang memadai ketika terkontaminasi dengan garam yang konsentrasinya sampai 50.000 ppm. Cutting kurang
berpengaruh karena tidak mudah terdispersi dalam lumpur kalsium seperti pada lumpur sodium-base.
Lime-treated mud semula adalah merupakan lumpur kalsium, dan telah digunakan dalam sumur-sumur dalam di Gulf
Coast. Lumpur lime dapat terjadi ketika membor semen, yang ditandai adanya sejumlah lime yang dapat menghambat
kenaikan viskositas dan gel strength. Dengan menjaga pH 11,5 atau lebih besar sebelum membor semen, maka kelarutan
ion kalsium dapat ditekan, sehingga sifat-sifat lumpur tetap relatif baik. Aditif yang digunakan pembuatan lumpur lime-treated
adalah caustic soda, organic dispersant, lime dan fluid loss control agent.
Ada tiga jenis lumpur lime yang dikembangkan selama 30 tahun terakhir, yaitu low-lime/low-alkalinity mud,
conventional atau medium-lime mud, and high-lime/high-lime alkalinity mud. Ketiga jenis lumpur tersebut pada prinsipnya
sama, perbedaannya hanya pada kadar lime dan alkalinitasnya. High-lime mud dan conventional-lime mud digunakan
terutama pada daerah yang mengalami problem aliran air garam dan terbentuknya lumpur dari formasi. Sedangkan low-lime
mud dikembangkan terutama untuk menghindari problem gelasi pada temperatur tinggi yang berasosiasi dengan high-lime
mud.
Dari segi optimasi pemboran , ada beberapa kerugian dari penggunaan lumpur lime, yaitu :
(1) bersifat shear thickening, yang dapat menghalangi optimasi hidrolika,
(2) mempunyai kecenderungan memadat pada temperatur tinggi diatas 250 oF,
(3) menampung low-density solid pada konsentarsi yang tinggi, sehingga dapat menurunkan laju penembusan.
Gyp-treated mud digunakan untuk pemboran di daerah yang dijumpai formasi anhydrite dan gypsum. Aditif yang
digunakan untuk pembuatan dan perawatan gyp-mud adalah caustic soda, ferrochrome lignosulfonate dan fluid loss
reducer.
6.10. Deskripsi Material Clay
6.10.1. Deskripsi Material Clay
Clay (lempung) adalah batuan sedimen klasik artinya berasal dari pelapukan batuan beku atau metamorf. Clay
berbutir baik, dengan ukuran butir lebih kecil dari l/256 mm menurut skala Wenworth, karena itu clay sukar dideskripsi.
Material clay hadir di dalam batuan sebagai campuran martiks dan semen, bahkan kadang-kadang mendominasi batuan
sebagai claystone (batu lempung). Proses geologisnya menyangkut sedimentasi, sementasi, kompaksi dan distribusinya di
dalam batuan khususnya batuan reservoir minyak.
6.10.1.1 Genesa Mineral Clay
Mineral clay berasal dari penghancuran, pelapukan batuan induk (batuan beku dan metamorf), mengalami
transportasi (oleh air dan angin) dan diendapkan. Material hancuran tadi disebut "rock flour", dan biasanya terdiri dari
mineral-mineral: kuarsa, felspar, muskovit dan biotit. Adanya air memungkinkan terjadinya reaksi kimia dan pertukaran
katioan di dalam material hancuran tadi dan ia juga diperkaya oleh Hydroxides Aluminium dan Ferric Iron serta beberapa
mineral tambahan (accessory) seperti gamping magnesium dan alkali tergantung dari lingkungannya. Jadi mineral clay
berasal dari penghancuran mekanis yang kemudian diperkaya oleh proses kimiawi dan material tersebut mengalami
dekomposisi.
a). Sedimentasi
Ukuran butir clay yang kecil (fraksi halus) menyebabkan ia ditransport tersuspensi dalam media air, sehingga
membentuk koloid mengstabil yang sangat tergantung dari muatan listrik partikel, sehingga diperlukan elektrolit
untuk menstabilkannya, tetapi bila konsentrasi elektrolit tidak berlebihan maka koloid yang tadi akan diendapkan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap sedimentasi clay adalah reaksi kimia dan kuat lemahnya arus transport. Arus
yang terlalu kecil akan mengakibatkan terendapkannya koloid tadi sedangkan untuk beberapa koloid misalnya koloid
humus hanya stabil oleh adanya zat-zat kimia.

b). Sementasi
Ukuran butir clay yang halus dan kemampuannya membentuk koloid menyebabkan ia bertindak sebagai semen
pada batuan sedimen. Proses ini terjadi dimana koloid, fragmen batuan dalam air setelah ditrasport lalu diendapkan
dan diakumulasi pada suatu tempat dan terkompaksi sehingga air terperas keluar. Pengaruh dan penyesuaian
dengan lingkungan, membentuk diri sebagai bahan perekat fragmen-fragmen batuan sedimen.
c). Kompaksi
Proses kompaksi ini menyebabkan air terperas keluar, makin besar tekanan overburder kompaksi akan semakin
kuat sehingga porositas dari batuan yang terbentuk akan makin berkurang demikian pula permeabilitasnya.
Kecepatan sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan air terjebak didalam material clay sehingga seolah-olah
butiran-butirannya terapung di dalam air (air formasi). Proses kompaksi juga mungkin akan menyebabkan
perubahan mineralogi clay. Dari proses kompaksi ini dapat diketahui terjadinya tekanan abnormal pada formasi
shale yaitu dengan melihat bahwa tekanan geostatik sebagian besar didukung oleh air formasi (formasi shale),
sedangkan air tersebut sebagian terjebak di dalam material clay sehingga perhitungan tekanan formasi berdasarkan
tekanan hidrostatik akan lebih kecil dari tekanan yang sebenarnya.

d). Distribusi Mineral Clay Dalam Batuan Reservior


Kehadiran mineral clay akan memengaruhi sifat batuan seperti: porositas, permeabilitas, saturasi dan dalam
interpretasi electric logging. Distribusi dalam batuan reservoir teutama dalam batu pasir (sandstone) dan tig
keadaan:
1. Continuous (laminasi), diman clay terdistribusi dal bentuk lapisan-lapisan yang kontinu diantara lapisan pasir
secara selang-seling. Lapisan clay yang tidak terlalu tebal tidak mempengaruhi Porositas dan permebilitas
batuan.
2. Dispersed (menyebar), material clay menyebar tak beraturan diseluruh badan batuan dan bentuk distribusi
inilah yang paling mempengaruhi porositas dan permeabilitas batuan.
3. Structural, Yaitu bentuk distribusi penyebaran teratur hampir mendekati distribusi continuous.
Ketiga bentuk distribusi diatas ditunjukan oleh Gambar 6.28 dibawah ini.

Gambar 6.28. Distribusi material clay dalam batu pasir.


Tubuh batuan dengan distribusi continuous dan structural clay akan mengalami tekanan overburden yang sama
seperti pada lapisan clay diatasnya dengan kadar air yang sama pula. Sedangkan tubuh batuan dengan distribusi dispersed
clay akan mengalami tekanan hidrostatik yang lebih dominan dibandingkan disebabkan banyak air yang akan bereaksi
dengan material clay membentuk semacam koloid sehingga disebut juga sebagai distribusi colloidal clay sand.
6.10.1.2 Klasifikasi Material Clay
Material clay merupakan bongkahan yang terdiri dari beberapa material dan zat pembentuk koloid. Ukuran clay yang
lebih kecil dari 1/256 mm me-ngakibatkan sulitnya dideskripsi. Untuk melakukan determinasi mineral clay dipergunakan
sinar X, tetapi ada beberapa mineral clay yang hanya dapat diselidiki secara mendetail dengan menggunakan mikroskop
elektron de-ngan pembesaran sampai 5000 kali. Namun demikian karena sulitnya menyelidiki karakteristik material clay
menimbulkan perbedaan dalam melakukan klasifikasi mineral clay tersebut. Berikut adalah salah satu cara klasifikasi
mineral clay yang dilakukan oleh R.E. Grimm (Tabel 6.3), klasifikasi yang berdasarkan atas :
Bentuk (morfologi) mineral clay
Sistem lapisan unit silika dan Aluminium
Sifat mengembang (swelling) dari mineral clay
Mengenai morfologi mineral clay dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Morfologi Mineral Clay


Untuk dapat melihat morfologi mineral clay digunakan alat yang disebut scanning electron microscop.
Berikut adalah morfologi beberapa mineral clay:
Mineral Allophone berbentuk bulatan dan seperti bulu halus pada permukaannya, kadang-kadang berbentuk serpih
atau fibrous. Dapat dilihat pada Gambar 6.29.
Halloyite mempunyai bentuk memanjang dan seperti tabular (Gambar 6.30), tetapi ada juga yang berbentuk serabut
dan kristal memanjang, merupakan transisi dari Alophane ke Halloyite.
Tabel 6.3 Klasifikasi Mineral Clay Menurut RE. Grimm

Gambar 6.29 Electron Micrograph Minerla Allophone

Gambar 6.30. Electron Micrograph Mineral Haloysite

Gambar 6.31. Electron Micrograph Minerla Kaolinite

Gambar 6.32. Electron Micrograph Mineral Dickite

Gambar 6.33. Elektron Micrograph Mineral Attapulgite

Gambar 6.34. Electron Micrograph Mineral Nacrite

Gambar 6.35. Electron Micrograph Mineral Sauconite

Gambar 6.36. Electron Micrograph Mineral Illite

Gambar 6.37. Electron Micrograph Mineral Anaucite

Gambar 6.38. Electron Micrograph Mineral Montmorillonite

Gambar 6.39. Electron Micrograph Mineral Kaolinite

Kaolinite memiliki kristal dan sudut sisi yang baik (Gambar 6.31), namun ada juga yang berbentuk kristal tidak
sempurna dengan tepi yang bergigi.
Mineral dickite berbentuk hexagonal yang memanjang pada arah tertentu. Morfologi mineral lainnya dapat dilihat
pada Gambar berikutnya.
b. Struktur Kristal Mineral Clay.
Ada dua unit yang termasuk pada struktur atom pada kebanyakan mineral-mineral clay. Unit yang pertama terdiri
dari dua muatan tertutup oksigen atau gugusan hidroksil dimana atom-atom Aluminium, besi atau magnesium
terkungkung pada sistem karbonat octrahedral, sedemikian rupa sehingga atom-atom logam tersebut terletak pada
jarak yang sama terhadap enam atom oksigen atau gugus hidroksil; Hal tersebut dapat kita lihat pada Gambar 6.40
dibawah ini.

Gambar 6.40. Struktur Kristal Mineral Clay


Keseimbangan struktur ditentukan oleh penempatan posisi oleh atom logam. Sebagai contoh gibsite dengan rumus
molekul AL2(OH)6 memungkinkan pengisian 2/3 dari jumlah posisi agar struktur atomnya seimbang.
Ketebalan unit octahedral untuk meneral clay adalah 5.05 A (Angstrom) denganjarak normal antara atom oksigen
2.6 A dan jarak antara gugus hidroksil umumnya 3.0 A,. Tetapi pada struktur ini jarak antara gugus hidroksil adalah
2.94 A dan jarak atom yang dapat ditempati 0.61 A.
Unit yang kledua adalah silika tetrahedron, dimana atom silika terletak dipusat struktur dengan jarak yang sama
terhadap keempat atom oksigen atau gugus hidroksil sehingga struktur ini seimbang. Group silika tetrahedral ini
membentuk jaringan hexsagonal serta membentuk mineral dengan komposisi Si 4O6(OH)4 seperti terlihat pada
Gambar 6.41 dibawah ini.

Gambar 6.41 Group Silika Tetrahedral


Bila tidak mengalami invasi maka struktur tetrahedral dapat dilukiskan sebagai bidang oksigen yang dilubangi
dengan bidang dasr yang terdiri dari atom silikon dengan tiap atom silikon terpadat pada tempat yang kosong di
antara sambungan tiga atom oksigen sehingga akan membentuk jaringan hexagonal.
Sedangkan bidang gugus hidroksil terdapat di ujung tetrahedral dimana tiap gugusan tepat berada diatas atom
silikon. Ketebalan tiap unit ini untuk mineral clay adalah 4.93 A. Sedangkan jaringan hexagonal itu dilukiskan sendiri
sebagai gabungan tiap untai atom oksigen yang saling berpotongan dengan sudut 120o. Jarak antara atom oksigen
adalah 2.55A, sedangkan antara gugus hidroksil merupakan ruangan yang dapat dipakai antar susunan dengan
jarak kira-kira 0.55 A.
Selain memiliki struktur seperti diatas, ada beberapa mineral clay yang memiliki gabungan dua struktur di atas.
Mineral-mineral tersebut menyerupai amphibole pada karakteristik srtukturnya dengan dasar unit strukturnya adalah
gabungan dari silica tetrahedral yang disusun dua rantai dengan komposisinya Si 4O11 seperti terlihat pada Gambar
6.42. Kedua rantai terikat bersama dengan atom alumunium atau magnesium, sehingga tiap-tiap bentuk itu dikelilngi
oleh enam atom Oksigen yang aktif.

Gambar 6.42. Diagram double rantai silica tetrahedral.


Berikut ini uraian mengenai beberapa minerlal clay.
(1). Mineral AllophaneStruktur mineral allophane amorp seperti gelas, sehingga sulit untuk mengetahui kehadiran dan
jumlah kandungannya di dalam materail clay. Pada deskripsi komposisi material clay, bila tidak 100 % kristalin, maka
sisanya dianggap mineral allophane. Struktur kristalnya terdiri dari silica pada struktur tetrahedral dan metalic ion
pada struktur octahedral, misalnya pada phosphate tetrahedron.
(2). Mineral KaoliniteStrukturnye merpakan gabungan dari satu sheat silica tetrahedral dan satu sheet alumina octahedral
dalam satu unit sehingga ujung dari sheet tetrahedral dan octahedral membentuk struktur seperti yang terlihat pada
Gambar 6.43.
Gambar 6.43. Diagram Struktur Mineral Kaolinite

Formula dari struktur ini adalah Al 2S12O5(OH)4 dan dari perhitungan teoritis struktur ini memiliki komposisi 46.54 %
SiO2, 39,50 % Al2O3 dan 26,96 % H2O. Sedangkan ketebal;annya adalah kira-kira 7 Angstrom.Dikarenakan adanya
superposisi dari atom-atom oxigen dengan gugus hidroksil pada batas unit, maka masing- masing unit akan saling
berikatan, sedangkan atom hidrogen berada diantara laipsan-lapisan, dengan ini mineral tersebut tidak cepat larut dalam
air.Anggota dari group kaolinite ini antara lain adalah dickite dan nacrite. Keduanya memiliki bentuk dan struktur kristak yang
mirip dengan struktur kristal yang diterangkan di atas. Perbedaannya terletak pada posisi dan aturan unit silicate. Kedua
mineral tersebut di atas (dickite dan nacrite) jarang atau sukar sekali ditemukan didalam material clay. Electron micrograph
mineral kaolinite (Gambar 4) menunjukan unit-unit pelapisan yang agak memanjang dan berbentuk baik. Sering pula
ditemukan sisi-sisi yang agak melengkung. Dimensi memanjang tadi besarnya kira-kira 0,35 micron dengan tebal 0,5-2
micron.
(3). Mineral HalloysiteStruktur dari mineral ini menyerupai kaolinite, hanya perbedaannya pada mineral halloysite terdapat
kelebihan air. Kelebihan ini disebabkan ikatan pada tiap-tiap lapisan mineral halloysite lebih lemah dibandingkan ikatan
pada kaolinite. Dengan demikian struktur dari mineral halloysite terbentuk dari urutan-urutan lapisan yang disisipi
lapisan air. Diagram strukturnya dapat kita lihat pada Gambar 6.44.

Gambar 6.44. Diagram Struktur Mineral Halloysite


(4). Mineral MontmorilloniteKonsep mengenai struktur montmorillonite dikemukakan oleh Maacgdefrau dan Hormann (1937),
Marshal (1935) dan Hendricks (1942) yang menyatakan bahwa struktur kristal montmorillonite terdiri dari dua unit silica
tetrahedral sheet dengan pusatnya adalah alumina octahedral sheet, dimana semua ujung dari unit tetrahedral menuji
ke pusat unit sehingga masing-masing bertemu dengan satu gugusan hidroksil dari unit octahedral, dengan demikian
tetrahedral bergabung dengan octahedral dan membentuk satu lapisan. Diagram struktur kristalnya dapat kita lihat pada
Gambar 6.45.Analisa mineralogi memberikan hasil bahwa montmorillonite terdiri dari : 66,7% SiO 2, 28,3 % Al2O3, dan
5% H2O. Pergantian kation terjadi di antara bidang pelapisan silica yang mengalami hidrasi denga sempurna. Di dalam
air montmorillonite akan menyebar rata dalam bentuk partikel-partikel yang sangat kecil terutama bila ion natrium yang
diganti. Ketebalan dari bidang pelapisan air diatara unit-unit silica juga tergantung dari sifat-sifat kation yang diganti
pada harga tekanan uap air tertentu.
(5). Mineral IlliteStruktur dasar dari mineral ini dari satu unit bidang pelapisan berupa octahedral sheet sebagai pusat serta
dua unit silica tetrahedral menuju ke pusat unit dan bergabung dengan octahedral sheet pada suatu bidang pelapisan
dimana terjadi pergantian hidroksil dengan oksigen. Secara keseluruhan sifat-sifat kristalnya mirip dengan struktur
kristal mica, diagram dapat kita lihat pada Gambar 6.46.

Gambar 6.45. Diagram Struktur mineral montmorillonite

Gambar 6.46. Diagram Gambar Struktur Mineral Illite


(6). Mineral ChloriteMineral ini tidak kompak dan memiliki butiran-butiran yang halus, akibatnya bentuk kristalnya sukar
diamati. Kebanyakan mineral clay chlorite memiliki struktur kristal trioctahedral, tetapi ada juga yang mempunyai struktur
dioctahedral. Secara keseluruhan mirip dengan struktur kristal (trioctahedral) mica dengan komposisi umumnya
(OH)4(SiAl)8(MgFe) 6020, dan untuk yang berstruktur mirip brucite mempunyai komposisi umum (MgAl)6(OH)12.
Diagram struktur mineral chlorite tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.47.
(7). Mineral VelmiculiteMineral ini mempunyai struktur yang dibentuk oleh selang-seling lapisan air dengan struktur mica
dengan jarak 4.98A. (tebal dua molekul air), dimana struktur mika tadi berupa lapisan-lapisan trioctahedral. Mineral
vermiculite dengan komposisi (OH)4 (MgAl)x(Si5-xALx) (Mg.Fe)6020.yH2O dengan x=1 sampai 1.4 dan y=8,
mempunyai kapasitas pergantian kation yang cukup besar. Diagram dari struktur kristalnya dapat dilihat pada Gambar
6.48.

Gambar 6.47. Diagram Struktur Mineral Chlorite

Gambar 6.48. Diagram Struktur Mineral Vermiculite


(8). Mineral Clay LainnyaMineral clay lainnya adalah mineral attapulgite, palygorskite, sepiolite dan beberapa mineral
lainnya yang tercampur dalam satu mineral clay secara biasa (diskrite) yang tidak menunjukan orientasi tertentu serta
tercampur secara interstratitifikasi membentuk perlapisan yang uniform, tetapi ada juga yang tidak uniform dimana satu
lapisan terdiri dari berbagai jenis mineral clay.Struktur mineral attapulgite pertamakali dipelajari oleh De Lapparent
(1938) dan dilanjutkan oleh Bradley (1940) yang menyatakan bahwa attapulgite terdiri dari double rantai silica yang
terikat bersama atom oksigen membentuk struktur octahedral yang mirip dengan mineral clay lainnya. Diagram
strukturnya dapat kita lihat pada Gambar 6.49.

Gambar 6.49. Diagram Struktur Mineral Attapulgite


Mineral sepiolite mempunyai struktur kristal yang memiliki sifat-sifat umum yang sama dengan struktur attapulgite.
Perbedaannya terutama pada jumlah pergantian atom-atom magnesium atau silica yang lebih kecil, tetapi
mempunyai ukuran bentuk bijih yang lebih besar dari pada attapulgite. Hal ini berlaku pula untuk mineral
palygorskite. Hal ini berlaku pula untuk mineral palygorskite yang tercampur dengan mineral-mineral clay lainnya.
c. Jenis-jenis Mineral Clay dan Komposisinya
Telah diuraikan bahwa mineral clay pada umumnya terdiri dari pelapisan-pelapisan yang dibentuk oleh unit-unit silica
dan alumina. Tiap-tiap susunan unit tersebut akan specific untuk jenis mineral clay tertentu. Selain itu mineral clay
juga mengandung magnesium, besi, alkali dalam jumlah yang cukup besar, serta beberapa unsur tambahan yang
berupa mineral non-clay seperti kwarsa, calcite, felspar, pyrite dan beberapa bahan organik. Susunan unit untuk tiap
jenis mineral clay ini dapat kita lihat pada Gambar 6.50. Jenis-jenis mineral clay yang berbeda serta komposisinya
ini dimasukan ke dalam group seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 6.4.
Gambar 6.50. Susunan Unit Silica Alumina Untuk Beberapa
Jenis Mineral Clay.
Tabel 6.4 Jenis-jenis Mineral Clay dan Komposisinya

6.10.1.3 Sfat-sifat Kimia Mineral Clay


Sfat kimia mineral clay yang penting adalah kemampuan menyerap anion-anion dan kation tertentu dan merubahnya
ke lain anion dan kation dengan pereaksi dengan suatu ion dalam air (ionic exchange). Reaksi pertukaran ini berlangsung
secara stoichiometric, dan terjadi di sekitar sisi luar dari unit srtuktur silica-alumina clay. Reaksi pertukaran ini biasanya tidak
mempengaruhi struktur mineral clay yang tersebut.
Kapasitas penggantian ion dari mineral clay ini diukur dalam satuan milliequivalent per-gram atau perseratus gram
pada kondisi PH = 7.0 . Dibawah ini akan dijelaskan mengenai pergantian kation dan anion (Cation and anion exchange)
dan kapasitasnya.
a). Cation Exchange (pergantian kation)
Mineral-mineral clay bukan satu-satunya jenis komponen material clay yang tidak memiliki kapasitas pergantian kation,
melainkan ada material organic didalannya yang memiliki sifat tersebut meskipun sangat kecil sebagai akibat dari
terlepasnya ikatan atom disekeliling material tersebut. Kapasitas pergantian ini bertambah dengan berkurangnya ukuran
partikel, tetapi untuk material-material n0n-clay yang memiliki ukuran partikel yang kecil kapasitas pergantian kationnya
tidak berarti, kecuali pada mineral zeolite yang sering ditemukan dalam material-material clay mempunyai kapasitas
pergantian kation antara 100 - 300 milliequivalent/100 gram. Berikut Tabel 3 yang meperlihatkan kapasitas pergantian
kation beberapa mineral clay.
Berdasarkan atas kemampuan menggantikan, kation-kation dapat diurutkan dalam suatu deret yang tergantung pada
jenis mineral dan ion yang akan digantikan. Deret kation berdasarkan makin bertambahnya kemampuan menggantikan
(replacing power) tersebut dapat dilihat dibawah ini.
Li+ < Na+ < H+ < K+ < NH4+ < Mg2+ < Ca2+ << Al3+
Jumlah dari pergantian kation ternyata tergantung kada konsentrasi ion dalam larutan. Beberapa persamaan telah
dikembangkan, tetapi yang paling sederhana dan paling umum digunakan pertama kali dikemukan oleh Gapon, yaitu :
Me n1 n1
Mo n1
K
Ne n 2 n2
Mo n 2
.........................................................................(6-56)
Dimana M dan N adalah kation masing-masing bervalensi n1 dan n2, subskrip "e" menunjukan kation yang dapat diganti
(exchangeeable) dan "o" untuk ion bukan di dalam larutan, K adalah konstanta yang tergantung pada spesifik efek
absorbsi kation. Untuk pergantian ion-ion monovalent sodium dan divalent calcium persamaan menjadi:
Nae Nsa o
K
Cae Cao
..............................................................................(6-57)
Harga kapasitas pergantian kation pada range yang rendah biasanya dimiliki oleh mineral-mineral authigenic, yakni
mineral clay yang terbentuk dari proses kimiawi. Sedangkan harga yang tinggi pada sutu range biasanya dimiliki oleh
mineral-mineral allogenic, yakni mineral yang berasal dari pecahan batuan induk. Tetapi ini sulit ditentukan, sebab selain
pada kedua sebab di atas, kapasitas pergantian kation juga tergantung pada :
Jenis dan kristallinitas mineral clay. Mineral clay yang berukuran kecil biasanya memiliki kapasitas pergantian kation
akan makin kecil bila kristallinitas suatu mineral makin baik.
PH pelarut.
Makin besar PH larutan, makin besar kapasitas pergantian kationnya.
Jenis kation yang dipertukarkan.
Kadar atau konsentrasi mineral clay.
Sedangkan laju reksi pergantian kation tergantung pada jenis kation yang dipertukarkan dan jenis serta kadar mineral
clay (konsentrasi kation).
Adapun hal yang menyebabkan mineral clay memiliki kapasitas pergantian kation adalah :
Adanya ikatan yang putus disekeliling sisi unit silica-alummina, akan menimbulkan mutanyang tidak seimbang sehingga
agar seimbang kembali harus bervalensi rendah terutama magnesium di dalam menyerap kation.
Adanya substitusi alumunium bervalensi 3 di dalam kristal untuk silicon quadrivalent, serta ion-ion bervalensi rendah
terutama magnesium didalam struktur tetrahedral.
Pergantian hydrogen yang muncul dari gugusan hydroksil yang muncul oleh kation-kation yang dapat ditukar-tukarkan
(exchangeable). Namun untuk faktor yang ketiga ini ada keraguan karena pada kondisi pertukaran ini hidrogen tidak
akan dapat diganti oleh kation secara normal.
Reaksi pergantian kation kadang-kadang bersamaan dengan swelling. Bila permukaan clay kontak dengan air dan
dengan menganggap bahwa satu plat clay terpisah dari matriknya, maka ion-ion yang bermuatan positif (kation) akan
meninggalkan plat clay tersebut. Karena molekul air adalah polar maka molekul air akan ditarik balik oleh kation yang
terlepas maupun oleh plat clay, dan molekul air yang bermuatan positif akan ditarik oleh plat claynya sendiri, sehingga
keseluruhan clay akan mengembang.
Masalah lain dari pergantian kation ini adalah pengaruhnya terhadap permeabilitas clay, sebagaimana dapat ditunjukan
sebagai contoh pada Gambar 24 dibawah ini. Jumlah kation yang diabsorbsi tergantung pada jenis mineral clay,
konsentrasi air, jenis kation dan konsentrasi relatif dari kation. Namun menurut Marshal sebagian dari kation yang
diabsorbsi mengalami ionisasi.
b). Anion Exchange (pergantian anion)
Reaksi pergantian anion sangat sulit diselidiki dikarenakan adanya kemungkinan mineral clay akan mengurai salama
reaksi berlangsung. Kasus ini ditemukan pada absorbsi phospate olek kaolinite, dimana terjadi pengrusakan struktur
kaolinite yang disebabkan bereaksinya ion phosphate dengan alumina pada struktur kristalnya disamping pergantian
gugusan hidroksil dephosphate.

Berikut adalah beberapa kemungkinan penyebab terjadinya pergantian anioan.


1. Adanya rantai ikatan yang putusditepi partikel mineral clay. Rantai yang putus tadi diperkirakan akanmenyediakan
tempat (muatan) negatif sebanyak tempat (muatan) positif sekeliling sisi mineral clay, sehingga diharapkan kapasitas
pergantian anion sama dengan kapasitas pergantian kation.
2. Perpindahan ion hidroksil pada permukaan partikel mineral clay.
3. Geometri dari anion-anion dalam hubungannya dengan geometri struktur mineral clay. Anion-anion seperti
phosphate, arsenate, borate yang mempunyai ukuran dan geomerti yang sama seperti pada silica dengan struktur
tetrahedral, mungkin terserap secara sempurna pada pinggir silica tersebut.

Gambar 6.51 Pengaruh kation-kation yang dapat diganti terhadap permeabelitas beberapa jenis clay yang berbeda.
Pada kenyataannya kapasitas pergantian anion tidak sama besar dengan kapasitas pergantian kation. pada mineral
kaolinite dimana pergantian kation disebabkan oleh putusnya ikatan, maka kapasitas pergantian anionnya.
sedangkan pada smectite dan vermiculite dimana pergantian kation disebabkan oleh substitusi, maka kapasitas
pergantian anionnya jauh lebih kecil dibandingkan kapasitas pergantian kationnya; Begitu juga halnya pada mineral
Illite, Chlorite, sepiolite dan palygorskite. Kapasitas pergantian anion beberapa mineraldapat dilihat pada Tabel 6.5 di
bawah ini :

Tabel 6.5. Kapasitas pergantian anion mineral clay.


(milliequivalent/100 gram)
Mineral (mec/100 gr)
Monmorillonite, Geisenhein 31
Monmorillonite, Wyoming 23
Beidellite, Unterrupsroth 21
Nontronite, Untergriesbach 20
Nontronite, Pfreindtal 12
Saponite 21
Vermiculite 4
Kaolinite 20

c). Sistem air-clay


Sifat menghidrate mineral clay memungkinkan mineral tersebut menarik ion-ion melalui permukaannya,
menyebabkan terserapnya air dalam beberapa cara,yakni:
1). Bersifat mengikat untuk menahan partikel clay bersama atau membatasi jarak sejauh masih dapat dipisahkan.
2). Menyerap kation dan menghidratenya, yaitu menyelimutinya dengan molekul-molekul air yang mungkin akan
mempengaruhi konfigurasi molekul air yang diserap di dekatnya.
3). Ukuran dan geometri ion yang terserap akan mempengaruhi bagaimana terbentuknya konfigurasi molekul air yang
terserap serta sifat-sifatnya.
Suatu bentuk konfigurasi molekul-molekul air yang diserap oleh mineral clay dikemukan oleh Hendricks dan Jefferson
(1938) yang didasarkan pada orientasi srtuktur dan konfigurasi molekul yang mengikat oksigen atau gugusan hidroksil pada
permukaan lapisan basalt dalam satuan cell mineral clay. Konfigurasi molekul air tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.52
dan Gambar 6.53. Pada Gambar 6.52 ditunjukan bahwa lapisan air tersusun atas molekul air yang berhubungan dengan
jaringan struktur hexagonal. Struktur ini sebagian adalah akibat dari distribusi muatan dari molekul air yang berbentuk
tetrahedral, dimana dua sudut dari struktur ini diisi oleh kelebihan electron.

Gambar 6.52. Susunan Oxigen dan Hidrogen pada jaringan molekul air.
Tiap sisi dari jaringan hexagonal harus dihubungkan dengan ikatan dari molekul air yang langsung menuju muatan
negatif dari molekul disampingnya.

Gambar 6.53. Konfigurasi jaringan molekul air yang terikat pada permukaan mineral clay.
Gambar 6.53 menunjukan bahwa pengikatan terjadi karena gaya tarik antar atom-atom hidrogen yang tidak termasuk
dalam jaringan ikatan molekul air dan permukaan lapisan oksigen dari mineral clay. Disini dianggap bahwa atom- atom
oksigen terletak sebidang, dan konfigurasi ini relatif terbuka pada molekul-molekul air. Kemantapan dari bidang lapisan
molekul air dapat dilihat dari hubungan geometris dari atom-atom oksigen atau gugusan hidroksil terhadap kerangka silica.
Air yang diserap oleh mineral clay tersebut akan bertahan pada temperatur yang relatif rendah, karena dengan
pemanasan pada temperatur 100o sampai 150o air tersebut akan dilepaskan. Kondisi air yang terikat ini dibagi tiga kategori,
yaitu :
1). Air yang berada dipori-pori, dipermukaan dan disekeliling partikel-partikel mineral clay.
2). Air yang berupa sisipan-sisipan diantara bidang pelapisan unit silicate yang dapat menyebabkan
pengembangannya (swelling) mineral clay tersebut. Hal tersebut terjadi pada mineral montmorillonite,
Vermiculite dan halloysite.
3). Air terdapat dalam tabung-tabung terbuka diantara perpanjangan unit-unit strukturnya, yang mana hal ini terjadi
pada mineral sepolite dan attapulgite. Energi untuk pemindahan air pada kategori 1sangat kecil dan temperatur
peneringannya sedikit diatas temperatur ruangan. Sedangkan air pada kategori 2 dan 3 memerlukan energi
tertentu untuk memindahkannya yang sempurna.
Kecepatan pemindahan lapisan-lapisan air bertambah sebanding dengan naiknya temperatur. Untuk halloysite reaksi
tidak reversible, dan mineral yang mengalami hidrasi biasanya tidak dapat mengembalikan sifat semulanya. Vermiculite dan
montmorillonite akan mengalami hidrasi kembali dengan susah-payah, apabila proses dehidrasinya berlangsung dengan
sempurna, tetapi ini akan mudah apabila masih ada bekas-bekas air yng tinggal diantara unit-unit pelapisan mineral
tersebut.
6.10.1.4. Sifat-sifat Listrik Mineral Clay
Sifat mengabsorbsi kation-kation dan pertukarannya dari mineral clay, menyebabkan ia memiliki sifat kelistrikan. Sifat
tersebut dapat ditunjukan dengan adanya membrane potensial yaitu perbedaan potensial antara suspensi clay dengan
larutan. Sifat lainnya dari mineral clay adalah sifat konduktifnya.
a). Membrane Potensial
Membrane potensial timbil deangan adanya arus listrikyang disebabkan oleh adanya gerakan ion bermuatan listrik
positif (kation) dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Hal ini dapt kita lihat bila mineral
clay ditempatkan pada larutan elektrolit NaCl. Mineral clay mengabsorbsi Na+, sebaliknya mineral clay menolak ion
Cl-. Bila mineral clay dimisalkan larutan NaCl pada konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah, dengan demikian akan
timbul arus listrik. Dengan demikian maka membrane potensial yang ada merupakan perbedaan potensial antara
suspensi clay yang mengabsorbsi kation Na+ dengan larutannya.
Pada formasi dilapangan, membrane potensial berupa lapisan shale yang bertindak sebagai membrane pemisah
ion-ion. Membrane ini berfungsi untuk melewatkan kation yang bergerak dari air formasi dapat lapisan pasir sebagai
lingkungan konsentrasi tinggi ke fresh-water dalam lumpur pemboran sebagai lingkungan konsentrasi rendah.
Keadaan tersebut menyebabkan adanya perbedaan potensial, beda potensial inilah yang dicatat atau dideteki pada
spontaeous-potensial log (SP-log).
b. Sifat Konduktif Mineral Clay
Sifat konduktif mineral clay juga disebabkan oleh adanya penarikan kation-kation serta mepertukarkannya oleh
mineral clay tersebut.
Permukaan koloid mineral clay mempunyai muatan atau sifat negatif sehingga ia menarik kation-kation membentuk
lapisan atau membrane difusi ion yang juga diffuse ion-layers. Interaksi diffuse ion-layers pada partikel yang
berdekatan memberikan petunjuk mengenai sifat-sifat swelling, plasticity dan kandungan air dari clay.
Konduktifitas layer dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, dimana konduktivitas merupakan fungsi dari kation dan
anion, atau z1-z2, dimana z1 adalah jumlah kation dan z2 adalah jumlah anion. Selain itu juga dipengaruhi oleh
mobilitas anion.
Pada konsentrasi rendah, kenaikan akan menyebabkan penurunan yang besar pada obilitas. Dengan demikian
pada konsentrasi rendah, kation lebih bersifat monil dan mudah menghantarkan arus listrik, berarti konduktivitasnya
menjadi tinggi.
Selain konsentrasi larutan, ternyata konsentrasi clay juga mempengaruhi konduktivitas diffuse ion layers.
Konsentrasi clay yang tinggi akan memperbesar mobilitas pertukaran kation sehingga konduktivitas diffuse ion
layers akan meningkat pula.
Dari uraian di atas dapat dirangkumkan bahwa sifat konduktif mineral clay dipengaruhi oleh konsentrasi larutan,
jenis serta konsentrasi mineral clay yang bersangkutan.
6.10.2. Terjadinya Swelling
Adanya fasa cair dari lumpur pemboran (mud-filtrate) serta mineral clay yang bisa mengembang (exspandable),
adalah merupakan faktor utama penyebab terjadinya swelling clay. Masalah ini terjadi disebabkan oleh adanya invasi mud
filtrate yang kemudian dihidrasi oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam formasi.
6.10.2.1. Invasi Mud Filtrate
Invasi mud filtrate atau filtration rate, didefinisikan sebagai kecepatan masuknya sebagian fasa cair ke dalam formasi
sebagai akibat dari filtrasi lumpur pemboran. Filtrasi tersebut terutama disebabkan oleh terlalu besarnya tekanan kolom
hidrostatik lumpur dibandingkan dengan tekanan formasi. Rate dari filtrasi atau water loss tergantung pada lumpur yang
digunakan, temperatur serta besarnya tekanan differensial.
Selama pemboran berlangsung, lumpur pemboran dapat bersentuhan langsung dengan dinding lubang sumur yang
berlangsung selama beberapa hari bahkan lebih lama lagi, dan selama itu mud filtrate dapat terinvasikan ke dalam formasi.
Invasi mud filtrate tersebut dapat menimbulkan beberapa masalah yang tidak diinginkan dalam teknik pemboran dan
produksi, dalam hal ini terutama terjadinya pengembangan clay (clay Swelling).
Invasi mud filtrate ke dalam formasi produktif berlangsung dengan aliran radial. Invasi tersebut melalui suatu lapisan
yang disebut mud-cake. Mud cake ini mempunyai permeabilitas dan berfungsi sebagai filter untuk mengurangi invasi yang
terjadi (dengan permeabilitas yang kecil) serta untuk mencegah terjadinya keguguran formasi.
Rate dari filtration loss tergantung dari komposisi lumpur pemboran yang digunakan, temperatur, dan tekanan
differensial. Pengukuran filtration loss di laboratorium dilakukan dengan menggunakan standard filter pressure, dimana
lumpur ditempatkan pada sebuah silinder yang pada dasarnya dipasang kertas filter, sedangkan diatasnya dikenakan
tekanan udara atau gas. Hasil dari percobaan ini adalah dapat dilaporkan volume filtrate dan tebal mud cake yanmg
terbentuk. API filtration rate (statik) adalah cc filtrate/30 menit pada tekanan differensial 100 psig. Sedangkan mud cake
diukur tebalnya dalam satuan per tigapuluh dua inchi. Pengukuran tersebut mempunyai sifat kondisi yang statik yaitu bila
pemboran berhenti, yang sudah tentu akan berbeda bila dalam kondisi dinamik yaitu bila terjadi sirkulasi dan penghancuran
mud cake atau filter cake yang terbentuk oleh bit.
a. Filtrasi Statik
Fluida loss melalui filter cake dapat dirumuskan sebagai berikut :
2 LP 1b t
V
b ro W
.....................................................................................(6-58)
V Konst. t
.......................................................................................(6-59)
Persamaan di atas menyatakan bahwa volume filtrate sebanding dengan akar pangkat dua dari waktu filtrasinya.
Diamana :
L = konsentrasi yang sebanding dengan filtration area
P = Tekanan pendorong (driving pressure)
= viskositas liquid filtrate
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tahanan pengaliran filtrate
per-unit berat solid dalam filter cake
b = Konstanta kompressible
t = waktu filtrasi
w = berat dari bahan padat per-unit volume dari filtrasi yang dihasilkan
V = volume dari filtrate yang dihasilkan
Dari prakteknya ternyata untuk filtrasi statik berlaku hubungan :
t2
V2 V1
t1

dimana :
V1, V2 = filtration loss pada waktu
t1 dan t2 (cc).t1, t2 = waktu filtration test, menit.
Rumus diatas berlaku bila spurt atau semprotanf filtrate sebelum terbentuk mud cake tidak diperhitungkan, dan
temperatur kedua test sama. Bila temperatur kedus test tidak sama, maka perlu koreksi sebagai berikut :
1
V2 V1
2

dimana :
2 , 1
= viscositas cairan pada temperatur T1 dan T2.
Hubungan antara volume filtrate dengan waktu filtrasinya dapat dilihat pada Gambar 6.55, sedangkan Gambar 6.54
menunjukkan hubungan antara fluid loss dengan tekanan filtrasinya.
Pada filtrasi statik dimana filtrasi berlangsung sewaktu tidak ada sirkulasi lumpur pemboran dan rotasi drill string,
mud cake terbentuk secara sempurna sehingga invasi mud filtrate-nya kecil, dengan perkataan lain volume
filtratenya kecil, dengan perkataan lain volume filtratenya akan lebih kecil dibandingkan volume filtrate dinamik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi statik lain adalah :
Jenis lumpur pemboran yang digunakan
Tekanan Filtrasi
Viscositas dan Temperatur

Gambar 6.54. Pengaruh tekanan Pada Filtratiom Loss.

Gambar 6.55. Hubungan volume Filtrat dengan Waktu Filtrasi (metoda standar API water loss).

b. Filtrasi Dinamik
Filtrasi dinamik adalah filtrasi yang berlangsung sewaktu adanya sirkulasi lumpur dan rotasi drill string. Filtrasi
dinamik merupakan hasil yang paling besar, yang mana akan tercapai sewaktu adanya aktivitas pemboran. Pada
saat itu terjadi penggabungan filtrasi dinamik dan filtrasi di bawah bit.
Suatu persamaan mengenai filtrasi dinamik sehubungan dengan lossfluida setelah mud cake mencapai ketebalan
tertentu (keseimbangan ketebalan) telah diturunkan oleh Outman's sebagai berikut :
dimana :
V = Rate aliran fluida
kf = permeabilitas filter cake (diukur dari statik filtration loss).
b
= viskositas filtrate cairan)
f = koefisien internal friction antara partikel padat dengan filter
cake, empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai
keseimbangan dengan erosi yang dideritanya, empiris.
-v+1 = Compaction coeficient, angka yang menunjukkan kesen
sitifan tekanan pada kompresibilitas filter cake (antara 0.10 - 0.15)
.F = shear force; Harga ini dapat diperoleh dengan rumus :
Dimana :
D = diameter saluran
Y = Yield point, lb/100 ft2
v = Kecepatan fluida mengalir, ft/sec

= Viscositas plastik, cp
Pada filtrasi dinamis mud cake yang terbentuk sangat mungkin untuk rusak akibat gesekan denganm drill string,
atau kena erosi oleh fluida pemboran. Hal tersebut akan menambah filtrate yang masuk ke dalam filtrasi yang
masuk ke dalam formasi. Apabila pemboran menembus formasi shale dimana di dalamnya terdistribusi mineral clay
yang swelling maka akan terjadi hidrasi mud filtrate tadi oleh clay sehingga terjadi pembengkakan lempung (clay
swelling) di dalam formasi, dan ini tidak dikehendaki, karena dapat menyebabkan tidak stabilnya formasi (sumur
pemboran) tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi filtrasi dinamik antara lain adalah:
kecepatan sirkulasi lumpur pemboran
jenis lumpur pemboran yang digunakan
ekanan filtrasi
Viskositas dan temperatur
Hubungan antara rate filtrasi dinamik dengan waktu filtrasi untuk beberapa jenis lumpur pemboran dapat dilihat pada
Gambar berikut ini :

Gambar 6.56 Filtrasi dinamik dari lumpur bentonite

Gambar 6.57 Filtrasi dinamik dari oil base mud


Gambar 6.58 Filtrasi dari Emulsion Mud
c. Filtasi dari bawah bit
Yang dimaksud dengan filtrasi dari bawah bit adalah sejenis filtrasi dinamik yang bervariasi melalui bagian bawah
bit, dimana disana tidak terdapat filter cake karena dihancurkan oleh putaran bit dan sirkulasi lumpur pemboran,
fluida yang terinvasi dari bagian bawah bit terdiri dari mud filtrate dan fluida dari dalam formasi. Aliran pada invasi ini
adalah aliran radial dan vertikal terhadap lubang bor, seperti ditunjukkan oleh Gambar 6.59 .

Gambar 6.59. Jalur aliran Filtrate dari Bagian2 bawah Bit.


Penentuan volume filtrate yang melalui bagian didapat dengan persamaan berikut :
Q f Q Ah Vd

dimana :
Qf = rate aliran filtrate melalui dasar sumur, cc/menit.
Q = Rate aliran fluida yang melaui dinding formasi yang tegak
lurus terhadap sumur yang dianggap berbentuk
silinder,cc/menit.
Ah = Luas dasar lubang sumur, inch2
Ud = Drilling rate, ft/jam

= Porositas, fraksi
Kedalaman invasi mud filtrate dapat ditentukan berdasarkan persamaan :
J X Q/E
1
rw E Ah U d

dimana:
J = dalamnya invasi mud filtrate terhadap formasi
produktif, inch.
rw = jari-jari sumur, inch
X = Fraksi connate water atau fluida yang terdesak ke bawah
permukaan dasar sumur dan tidak masuk ke dalam arus
lumpur.
E = Effisiensi, fraksi daro connate water yang didesak oleh
fluida di depannya.
Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa :
Harga J/rw akan maximum pada harga X=0, artinya seluruh connate water terdesak
merembes ke dalam formasi produktif.
Harga J/rw akan minimum pada harga X=1. artinya seluruh connite water masuk ke
dalam aliran lumpur.
Ketergantungan jarak invasi mud filtrate ke dalam formasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Jika cutting yang terjadim besar-besar maka hampir seluruh liquid yang berada dalam pori-pori cutting akan
tercampur dengan lumpur dan tidak terdesak masuk ke dalam lubang sumur, sehingga harga X akan kecil.
Sebaliknya bila cutting yang dihasilkan berukuran kecil, maka liquid dan pori-pori antara butiran dapat didesak
masuk ke dasar lubang sumur, sehingga harga X akan mendekati satu. Harga tersebut dapat ditunjukkan oleh
Gambar 33.

Gambar 6.60. Aliran filtrate dan connate water.


Sebagai contoh data experimen untuk perbandingan invasi mud filtrate dapat dilihat pada Gambar 6.61, sedangkan
pada Gambar 6.62 ditunjukkan hubungan antara volume filtrasi dengan waktu untuk beberapa jenis lumpur.

Gambar 34. Invasi mud filtrate karena filtrasi dari bawah bit.

Gambar 6.62. Filtrasi dari bawah bit dari jenis lumpur yang berbeda.
6.10.2.2. Hidrasi Clay
Proses hidrasi air (air filtrat lumpur pemboran dan air formasi) oleh clay yang mengakibatkan clay tersebut
mengembang (swelling), tergantung dari jenis air yang terhidrasi (asin atau tawar) serta struktur mineral clay yang dapat
mengembang (clay swelling) dan clay yang dapat mengembang (clay non-swelling). Sedangkan proses hidrasinya
berlangsung dengan dua mekanisme, yaitu hidrasi osmosis dan hidrasi permukaan.
a. Clay Swelling
Clay yang dapat mengembang ini (expandable clays) terdiri dari kelompok mineral smectites (monmorillonite) dan
mineral vermiculite.
1. Mineral-mineral smectites terdiri dari :
Montmorrilonite
Saponite
orite
Beidellite
2. Mineral Vermiculite
Mineral-mineral di atas mampu menyerap air (terutama air tawar) dalam jumlah yang besar sehingga volumenya
akan membesar secara keseluruhan (swelling). Pada prosesnya ia akan membagi diri menjadi partikel-partikel clay
yang berukuran lebih kecil selama proses hidrasi.
Sebagai contoh kasus diambil sodium montmorrilonite(bentonite) yang strukturnya terdiri dari dua silica tetrahedral
dan satu alumina octahedral, dapat dilihat pada Gambar 6.63.

Gambar 6.63. Struktur plat mineral bentonite

Gamabar 6.64. Struktur plat mineral bentonite yang telah diubah


Mengingat muatan listrik yang sama akan saling tolak menolak dan sebaliknya, dan dengan ikatan oleh ion Na+,
maka ikatan antar platnya akan lemah, sehingga bila dimasukan ke dalam air, ia akan mengurangi dan air akan
terhisap ke permukaan clay sebagai proses hidrasi, sehingga akan menyebabkan mineral tersebut membengkak
(swelling).
b. Clay Non-Swelling
Clay non-swelling (unexpandable clays), pada pokoknya ia menyerap air hanya saja dalam jumlah yang sangat
kecil. Kelompok mineral ini terdiri dari:
mineral Illite
mineral Chlorite
mineral Kaolinite
Sebagai contoh jenis mineral yang sering dijumpai dalam operasi pemboran adalah mineral kaolinite. Struktut
mineral ini terdiri dari satu perlapisan silica octahedral dan diagramnya (sengle kaolinite plate) dapat dilihat pada
Gambar 6.65.

Gambar 6.65. Struktur plate mineral kaolinite

Gambar 6.66. Struktur plate mineral kaolinite yang telah diubah.

Pada mineral kaolinite kationnya adalah + yang daya ikatnya sangat kuat seperti kation yang divalent, disamping
plate yang di seberangnya yang mengandung ion hidroksil menambah kekuatan tarinknya. Dengan demikian ia
sukar terdispersi dalam air.
c. Hidrasi Permukaan dan Hidrasi Osmosis
Telah kita ketahui bahwa proses pada mineral-mineral clay dapat berlangsung dengan dua mekanisme yaitu hidrasi
permukaan dan hidrasi osmosis.
Hidrasi permukaan dicirikan oleh penyerapan air dalam jumlah kecil, yang secara normal menyerap empat lapisan
molekul air. Bila permukaan clay kontak dengan air dan dengan menganggap bahwa satu plat clay terpisah dari
matriknya, maka ion-ion yang bermuatan positif (kation) akan meninggalkan plat clay tersebut. Karena molekul air
adalah polar, maka ia akan ditarik baik oleh kation yang terlepas maupun oleh plete claynya sendiri. Kombinasi dari
dua plate clay ini disebut sebagai "Diffuse double layer". Proses hidrasi permukaan plate clay dalam air untuk
berbagai konsentrasi garam ditunjukan oleh gamabar 40. Pada higrasi permukaan ini meskipun penyerapan airnya
kecil dan tidak mengembang, namun memiliki energi hidrasi yang cukup tinggi, yeitu sebesar :
He = G - Pp
Harga diatas sama besarnya dengan gaya kompaksi effektif dari serpih yang bersangkuran dimana :
He = Tekanan hidrasi, psi
G = Tekanan overburden (umumnya diambil 1 psi/ft)
Pp = Tekanan pori-pori batuan, psi
Dapat dilihat bahwa energi hidrasi permukaan dipengaruhi oleh sejarah terbentuknya clay melalui proses
sedimentasi.

Gambar 6.67. Sifat clay di dalam air dengan konsentrasi garam yang berbeda-beda.

Hydrasi osmosis terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi ion yang ada pada permukaan plat clay dengan
konsentrasi ion dalam lumpur. Karena itu hidrasi clay tergantung pada konsentrasi electrolit dalam cairan pemboran. Hidrasi
osmosis ini dapat menyerap air dalam jumlah yang besar, yang akan menyebabkan lemahnya ikatan-ikatan ion yang ada
pada kisi-kisi mineral yang bersangkutan, sehingga volumenya dapat membengkak (swelling). Berdasarkan konsep
kelembaban relatif dalam termodinamika, Chevenet telah menurunkan persamaan untuk menentukan tekanan osmosis dari
dua larutan sebagai berikut:
Po RT 1 C1 V1 2 C 2 V2

Dimana :
Po = Tekanan osmosis, atm
R = Konstanta gas
T = Temperatur Absolut, oK

= Koefisien dari larutan
c = Konsentrasi garam dalam larutan, molal
v = Jumlah ion dalam larutan per-mol
Energi hidrasi berbeda-beda untuk ion-ion yang berbeda pula, baik untuk clay yang swelling maupun yang non
swelling.
Terjadinya swelling sampai pada batas tertentu akan menyebabkan terdispersinya clay yang bersangkutan. Dispersi
adalah peristiwa terlepasnya plate-plate (partikel-partikel) clay dari permukaannya secara kontinyu disebabkan
berkurangnya daya ikat antar plate pada permukaan clay tersebut. Meskipun masalah dispersi clay sangat erat
hubungannya dengan clay yang swelling (Expandable clays) tetapi harus ditinjau secara terpisah, sebab pada kenyataanya
beberapa clay yang menunjukan sifat swelling (expandable clay) tetapi harus ditinjau secara terpisah, sebab pada
kenyataannya sifat swelling yang tinggi dapat disertai oleh sifat dispersi yang rendah saja. Sebaliknya pada beberapa clay
yang keras, meskipun sifat swellingnya rendah, ternyata sifat dispersinya menunjukan derajat yang tinggi. Peristiwa dispersi
kadang-kadang berlangsung sangat cepat bila terjadi kontak antara clay dengan fluida pemboran yang fasa utamanya
adalah air (water base drilling fluids).
Agregasi adalah bertambahnya daya ikat antar plet pada permukaan clay yang menyebakan clay bersangkutan
memiliki kecenderungan untuk lebih menyatu. Agregasi (Aggregation) merupakan kebalikan dari sifat dispesi yang dimiliki
oleh clay yang swelling (Expandable clays). Pada Gambar 6.67 ditunjukan sifat dispersi dan agregasi dari bentonite dalam
air. Sifat lain dari clay yang swelling dalam air adalah flokulasi dan deflokulasi (flocculation dan deflocculation). Floculation
berarti bertambahnya sifat mengikat antar tepi dari plate-plate clay. Gambar 6.67 juga dapat menunjukkan sifat-ifat tersebut.
Dalam dunia perminyakan khususnya dalam teknik pemboran, jenis clay yang dapat mengembang atau menghidrat
(swelling clay) yang paling umum ditemui adalah montmorrilonite, sehingga seringkali nama montmorrilonite digunakan
untuk mewakili semua jenis clay yang mengembang (swelling). Semakin dalam penguburan batu serpih(siltstone), semakin
sedikit jumlah mineral clay yang montmorrilonite di dalamnya, sebalinya akan bertambah clay yang kaolitik. Karena
kedalaman berhubungan dengan usia geologi, maka jumlah fraksi clay dalam batu serpih (formasi shale) juga bervariasi
terhadap perioda geologi, seperti ditunjukan oleh Gambar 6.68. Pada Gambar tersebut ditunjukan bahwa pada perioda
Tersier mineral montmorrilonite mempunyai distribusi terbesar, sedangkan pada periode pre-Upper Mississippian jumlah
terbesar dimiliki oleh gabungan (mix-layer) mineral montmorrilonite-Illite.

Gambar 6.67. Sodium dan Calciou bentonite dalam air.

Gambar 6.68. Distribusi relatif dari empat jenis mineral clay dalam formasi-formasi shale pada perioda geologi.
6.10.3. Prinsip Pengukuran
Ada dua macam yang biasa dipakai untuk mengukur swelling clay dilaboratorium yaitu Geonor swelling atest dan
CBR Test. Pada prinsipnya pengukuran swelling dengan dua alat tersebut adalah sama, dimana pengembangan sample
(clay) setelah terjadi hidrasi (clay mengabsorbsi air) menimbulkan menyimpangan "dial swell" sedangkan besarnya tekanan
swelling dari suatu sample adalah tekanan yang dihasilkan dari gaya persatuan lias plate untuk mengembalikan sample ke
keadaan/ketinggian awal (elevasi awal, dial swell = ho) dan ini diwakili oleh gaya yang maximum, yaitu ketika swelling
mencapai maximum pada akhir percobaan.
Gaya untuk mengembalikan sample evaluasi awal pada Geonor Swelling Test dimobilisasikan dengan kedua alat
tersebut adalah harga "dial swell" yang menunjukkan besarnya swelling sample dan tekanan swelling yaitu tekanan untuk
melawan agar sample tidak mengembang (swelling).
6.10.3.1. Pengukuran dengan Alat Geonor Swelling Test
Parameter yang diukur dengan alat ini adalah : dial swell, tekanan swelling dan waktu.
a. Dial Swell
Dial swell dalam posisi awal adalah ketika sample mempunyai ketinggia ho, yang diperoleh melalui proses kompaksi
dan expansi berdasarkan prinsip sedimentasi.
Dial swell akan bekerja beberapa saat setelah sample kontak dengan air (mengabsorbsi air) skala yang terbaca
pada dial swell ini adalah besarnya swelling sample yang perbandingannya terhadap ho memberikan persentase
swelling sample.
b. Tekanan Swelling
Tekanan swelling adalah besarnya tekanan untuk menjaga agar sample tidak mengembang (swelling).
Pada prakteknya tekanan swelling merupakan gaya persatuan luas plate (diatas sampl untuk mengembalikan
sample ke evaluasi awal yaitu ho. Jadi tekanan swelling disini adalah gaya persatuan luas untuk melawan
pengembangan atau desakan swelling. Gaya ini dimobilisasikan melalui alat yang disebut "warm gear" dan besarnya
terbaca pada "dial swell" tekanan swelling yang representatif untuk suatu sample adalah tekanan swelling maximum
yaitu pada akhir percobaan.
c. Waktu
Pengukuran kedua parameter di atas dilakukan untuk interval waktu yang umum yaitu pada tiap :
(15,30) detik, (1,2,4,8,15 dan 30 ) menit, (1,2,4 dan 24) jam untuk tiap sample.
6.10.3.2. Peralatan
Gambar alat Geonor Swelling Test dapat dilihat pada Gambar 6.69. Bagian-bagian terpentingnya adalah :
1. Lucite Cylinder yang di dalamnya terdiri dari :
silinder sample
filter paper
filter keramik
filter stone
2. Dial Swell
3. Dial Gouge
4. Warm Gear
5. Pengontrol Dial Reading

Gambar 6.69 Geonor Swelling Test Apparatus


6.10.3.3 Cara dan Hasil Pengukuran
a. Cara Pengukuran
1. Menempatkan silinder sample di atas filter keramik bagian bawah, gunakan filter paper di bagian atasnya untuk
menjaga peralatan tetap bersih
Mengisi silinder sample dengan sample kering sebanyak 20 gram. Pengambilan
dilakukan dengan metoda sedimentasi sampai setinggi silinder sample.
Mengangkat sample dengan "Clamping ring" ke dalam lucite cylinder. Pasang filter
paper, keramik, stone dan tutup diatas sample.
2. Preconsolidation, yaitu :
Mengatur dial gouge dan mengenakan gaya sebesar 200 t/m2 melalui "warm gear"
untuk konsolidasi sample. Keseimbangan pada sample akan dicapai selama 4 sampai 10 jam.
Lepaskan gaya (dial gouge = 0) dan biarkan mengembang sampai pada ketinggian
konstan (ho). Pengembangan akan berkisar antara 0.5 sampai 1 mm untuk montmorrilonite dan berlangsung
selama 8 sampai 16 jam. Catat ho = h silinder - h comp + hexpansi
3. Absorbsi, yaitu :
Air yang telah disaring dimasukan ke dalam lucite cylinder setinggi sample. Absorbsi
akan berlangsung melalui filter. Waktu mulai dicatat.
4. Tekanan Swelling
Pengembangan (swelling) akan terjadi setelah sample kontak dengan air (absorbsi).
Dial swell serempak bekerja.
Gaya akan bekerja melalui warm gear untuk mengembalikan ke evaluasi awal ho.
Gaya ini yang terbaca pada dial gouge dan menggambarkan 1.10 tekanan swelling sample.
5. Pengukuran :
Pembacaan dilakukan setelah :
Sesuai dengan waktu pengukuran yang dibaca, diperoleh hasil secara tabulasi sebagai
berikut
Tabel 6.6. Hasil pengukuran Swelling dengan Alat Geonor Swelling Test
Waktu Dial Gauge Dial Swell Tekanan Swelling
Swelling (%)

Tekanan Swelling = 10 x (dial gouge)


Presentase Swelling =
Hubungan antara tekanan swelling sample dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 6.70. Sedangkan untuk
hubungan antara swelling sample dengan waktu dapat dilihat pada Gambar 6.69. Secara keselurhan prinsip pengukuran
swelling sample dengan menggunakan alat Geonor Swelling Test, dapat diGambarkan secara grafis pada Gambar 6.70.

Gambar 6.70. Kurva Tekanan Swelling Sample Terhadap Waktu


Gambar 6.71 Kurva Swelling Sample Terhadap Waktu
Gambar 6.72 Prinsip Pengukuran Swelling Dengan alat Geonor Swelling Test.

4. Pengukuran dari Alat CBR


6.10.4.1. Parameter Yang Diukur
Parameter yang diukur melalui alat ini adalah dial swell untuk beban kerja tertentu dan waktu tertentu pula. Prinsipnya
sama dengan pengukuran Geonor Swelling Test, hanya berbeda pada hal beban kerja pada periode pengukuran tertentu
adalah tetap. Periode waktu pengukuran untuk alat ini lebih panjang (berhari-hari). Sedangkan hasil pengukurannya kurang
teliti dibandingkan dengan hasilo pengukuran pada alat Geonor Swelling Test.
6.10.4.2. Peralatan
Bagian-bagian penting alat dapat dilihat pada Gambar 6.31- 6.32. Bagian-bagian tersebut yaitu :
1. Silinder
2. Ring logam
3. Batu porous
4. Plat logam (besi atau kuningan)
5. Beban kerja/rencana
6. Dial-swell
6.10.4.3. Cara dan Hasil Pengukuran
a. Cara Pengukuran
1. Persipan bahan :
Sample didapatkan dengan metoda sedimentasi di dalam mold silinder atas beberapa lapisan. Dipotong setinggi mold,
lalu dipasang diatasnya.
2. Pengukuran :
Beban kerja/rencana dikenakan di atas alat tadi. Dial Swell diatur de keadaan awal, kemudian semua sistem alat tadi
dimasukan ke dalam silinder berisi air sampai terendam.
Dial swell akan mulai bekerja karena swelling, pengukuran/pembacaan dimulai sesuai interval waktu tertentu.

Gambar 6.73 Mold Silinder dari CBR Test Appartue


Gambar 6.74 Swelling Sample Terhadap Waktu Untuk Satu Jenis Sample Pada Tiap beban Kerja.

Hasil pengukuran dengan alat inisecara tabulasi adalah sebagai berikut :


Tabel 6.7. Hasil Pengukuran Swelling Dengan Alat CBR Test.
Tekanan swelling sample (Pss) diperoleh dari beban kerja maksimum (Bms), yaitu dimana pada beban kerja tersebut
sample tidak mengembang lagi.
Bms
Pss
As

dimana
As = Luas permukaan plat di atas sample
Dial Swell H
Swelling Sample S s
Tinggi Awal Tinggi mold
dimana
Ho = Tinggi awal sample (tinggi mold CBR).
H
Ss x 100%
Ho

6.11.Lumpur Dasar Minyak (Oil Base Mud)


6.11.1. Oil Base Mud
Pengembangan oil-base mud dimulai pada awal tahun 1920 ketika para engineer menyadari bahwa dengan
terbukanya formasi tertentu maka filtrat yang dihasilkan dari water-base mud hilang dalam formasi produktif. Oil-base mud
pertama kali digunakan sebagai fluida komplesi dan workover. Para peneliti mencatat bahwa produksi sumur dapat
diperbaiki jika dibandingkan dengan sumur yang dibor dengan water-base mud. Kemudian, dari hasil uji laboratorium dapat
dikonfirmasikan apa yang terjadi. Jika formasi produktif mengandung clay yang dapat menghidrat berhubungan dengan air
akan menyebabkan clay mengembang dan terdispersi. Ketika terdispersi clay berpindah dengan fluida kedalam ruang pori
sampai mencapai menyumbat pori dan membentuk suatu penutup (bridge), sehingga dapat menghentikan atau
menghalangi aliran. Mekanisme ini disebut clay blocking. Tetesan air dan padatan yang larut dalam air menyebabkan
naiknya apparent viscosity minyak dan mengurangi kemampuan untuk mengalir, kondisi ini disebut sebagai water blocking
atau solid blocking. Dari hasil studi core telah didokumentasikan bahwa kapasitas produktif dapat berkurang sebanyak 90%
akibat pengaruh intrusi air tawar kedalam formasi yang sensitif.
Crude oil digunakan secara efektif pada awal penggunaan lumpur ini, tetapi dengan penggunaan yang terus-menerus
mempunyai beberapa kerugian yang serius, yaitu :
1. Material pemberat tidak dapat tersuspensi karena kurangnya struktur gel
2. Viskositas bervariasi, tergantung dari tempat diperolehnya crude oil
3. Fluid loss ke dalam formasi berlebihan
4. Dapat terjadi bahaya kebakaran karena terdiri dari unsur-unsur yang volatil dalam crude oil
5. Keefektifan penyekatan formasi jelek karena tidak adanya padatan koloid yang dapat menghasilkan wall
cake.
Untuk mengatasi kerugian-kerugian tersebut, peneliti melakukan pengembangan sistem yang sifat-sifatnya telah
diprediksi sehingga dapat menjaga keefektifan selama operasi pemboran atau komplesi. Penelitian ini dilakukan terhadap
dua front utama. Usaha pertama adalah mentreatment minyak sehingga material pemberat dapat tersuspensi. Kedua
melibatkan sejumlah emulsifying air yang relatif besar kedalam minyak. Penelitian terhadap kedua front tersebut
menghasilkan dua sistem oil-base, yang secara umum disebut sebagai true-oil mud dan invert emulsion. Kedua sistem
tersebut diperoleh dari mud service company. Sistem ini sangat komplek, dan harus diawasi oleh orang-orang yang terlatih
dalam semua tahap operasi termasuk formulasi, pendesakan, perawatan, prosedur test khusus, peralatan yang hanya
digunakan untuk oil-base mud, dan awal pengenalan problem.
Teknologi oil-base mud sangat berbeda dengan water-base mud. Pemantauan terhadap sifat-sifat lumpur bukan
sebagai sesuatu yang dapat diprediksi, terutama jika pengguna lumpur (mud user) tersebut tidak mengerti atau mengetahui
sifat-sifat kimia dari produk yang digunakan atau jika bahan-bahan kimia dari yang digunakan berasal dari berbagai
suplayer. Keaneka-ragaman bahan-bahan kimia yang digunakan untuk oil-base mud tampaknya sedikit, akan tetapi
sebenarnya dapat merusak sistem lumpur jika penggunaannya tidak sesuai. Dalam sistem water-base, pada umumnya
dapat diprediksi pengaruh treatment kimia dan kontaminan terhadap sifat-sifat fisik lumpur, tetapi untuk oil-base mud tidak
selalu mungkin, terutama jika orang yang bertugas sebagai pengawas belum mendapatkan latihan yang memadai.
Meskipun sistem lumpur oil-base relatif mahal dibanding dengan lumpur water-base, penggunaannya telah semakin
meningkat pada dasa warsa yang lalu. Penggunaan sistem lumpur oil-base terutama adalah :
1. Pemboran yang mengalami problem shale
2. Pemboran dalam, dan bertemperatur tinggi
3. Fluida komplesi
4. Fluida workover
5. Fluida packer
6. Fluida perendam untuk pipa terjepit
7. Pemboran zona garam yang masif
8. Fluida coring
9. Pemboran formasi yang mengandung hydrogen sulfide dan karbon dioksida.

6.11.2. Teori Emulsi


Emulsi didefinisikan sebagai dispersi suatu fluida, yang disebut fasa internal dalam fluida yang lain, yang disebut
sebagai fasa eksternal atau fasa kontinyu. Dua macam cairan yang tidak tercampur , tetapi fasa internal tetap terdispersi
dalam fasa kontinyu dalam bentuk butiran-butiran kecil (lihat Gambar 6.75). Jika butir-butir air terdispersi dalam minyak,
maka akan terbentuk water-in-oil emulsion. Jika butir-butir minyak terdispersi dalam air, maka akan menghasilkan oil-in
water emulsion.

Gambar 6.75. Skema Yang Merepresentasikan Suatu Emulsi Dengan butir-butir Yang tidak Seragam
Ada tiga istilah yang sering muncul dalam literatur lumpur pemboran, yaitu : oil-emulsion mud, oil-base mud, dan
invert emulsion mud. Istilah oil-emulsion mud hanya digunakan untuk oil-in-water system. Oil-base mud biasanya
mengandung 3 - 5% air yang teremulsi dalam minyak sebagai fasa kontinyu. Invert-emulsion mud dapat mengandung
sampai 80% air (walaupun secara umum sekitar 50%) teremulsi dalam minyak. Sedangkan dua yang terakhir adalah water-
in-oil emulsion.
Jenis emulsi yang terbentuk ketika dua macam cairan yang tidak tercampur secara mekanis terpotong akibat
penambahan bahan kimia emulsifier. Gambar 6.76 menunjukkan bentuk struktur dari emulsifier strearic acid. Polar head dari
molekul ini larut dalam air, sementara non polar tail larut dalam media organik, seperti diesel oil. Jika strearic acid terlarut,
hidrogen menjadi terpisah dari kelompok hidroksil pada polar head. Jika kation sodium bebas (Na+) hadir, maka terbentuk
oil-in-water emulsion. Jika kation divalen seperti kalsium (Ca++)
hadir, akan menghasilkan suatu struktur yang bercabang dua. Hal ini cenderung membentuk suatu permukaan
minyak yang cembung yang membentuk water-in-oil emulsion.
Pemotongan mekanis dari campuran diesel oil, air, dan emulsifier dengan struktur yang bercabang dua memecah air
menjadi butir-butir yang lebih kecil dari gabungan dengan suatu film molekuler pada setiap butiran tersebut. Film tersebut
adalah merupakan bidang kontak antar permukaan antara minyak dan air dimana emulsifying agent terkonsentrasi. Fungsi
dari emulsifier adalah untuk mengurangi tegangan antar permukaan, yang secara alamiah butir-butir air cenderung akan
bergabung. Dengan mengkonsentrasikan emulsifier pada bidang antar permukaan molekuler antara butir-butir minyak dan
air, maka tegangan permukaan akan berkurang. Butir-butir air yang telah berkurang menjadi kecil oleh adanya energi
mekanis, maka tidak akan membentuk kembali menjadi butir-butir yang lebih besar jika emulsifier yang digunakan sudah
mencukupi.
Ukuran butir-butir air adalah merupakan kunci stabilitas emulsi dan menentukan sifat-sifat viskositas dan gel strength.
Butir-butir ini karena ukurannya menjadi kecil, dan seragam ukurannya akibat pemotongan mekanis dan distabilkan dengan
emulsifier, maka ukurannya mendekati koloid yang memberikan kekuatan struktur untuk mengangkat cutting dari dasar
lubang bor dan menahan cutting tersebut ketika lumpur dalam keadaan diam.
Tiga kriteria dasar untuk pembuatan emulsi, yaitu pemotongan mekanis (mechanical shearing) yang cukup untuk
memperkecil butir-butir air dengan ukuran yang seragam; emulsifying agent dalam jumlah yang memadai untuk
memisahkan butir-butir air dan mencegahnya agar tidak bersatu lagi; dan minyak yang viskositasnya rendah sebagai fasa
eksternal. Jumlah energi atau kerja yang diperlukan untuk mendispersikan air ke dalam minyak berhubungan langsung
dengan viskositas cairan fasa kontinyu. Mobilitas (berapa kecepatan emulsifier sampai ke bidang antar permukaan
molekular) juga tergantung dari viskositas fasa eksternal. Kriteria-kriteria atau faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan
pada saat mencampur oil-base mud, terutama invert emulsion, pada lokasi pemboran (rig site).

Gambar 6.76. Pembentukan emulsi

6.11.3. Komposisi Lumpur Minyak (Oil Mud)


Produk dasar yang diperlukan untuk formulasi baik oil-base mud ataupun invert emulsion system adalah sebagai
berikut :
1. Diesel oil atau nontoxic mineral oil
2. Air
3. Emulsifier
4. Wetting agent
5. Oil-wettable organophillic clay
6. Lime
7. Barite/Hematite
Produk-produk pelengkap meliputi :
1. Calcium chloride/sodium chloride
2. Asphaltenes
3. Oil-wettable lignites
4. Calcium carbonate
5. Thinner
6.11.4. Formulasi Lapangan
Keberhasilan oil-base mud di lapangan memerlukan persiapan yang lama. Dengan alasan ini, maka perlu diadakan
pertemuan dengan mud company untuk mendisusikan peralatan pencampur khusus atau bahan-bahan yang diperlukan,
prosedur pencampuran, prosedur pendesakan, spesifikasi sifat-sifat lumpur, dan tersedianya peralatan test khusus.
Perencanaan harus dikembangkan dalam pertemuan tersebut untuk menangani kemungkinan problem yang akan terjadi,
seperti pipa terjepit, lost circulation, dan gas kick.
Pertemuan juga harus diselenggarakan dengan driiling contractor untuk menyusun peralatan-peralatan khusus atau
modifikasi-modifikasi peralatan yang ada untuk menangani oil-base mud secara memadai.
6.11.4.1 Prosedur Pencampuran Diesel Oil-Base Mud
Berikut adalah prosedur pencampuran berdasarkan asumsi bahwa fasilitas penyimpanan dan pencampuran tersedia
di lokasi pemboran :
1. Larutkan sodium atau calcium chloride secukupnya dalam air pada tangki pencampur terpisah
2. Tambahkan volume diesel oil atau nontoxic sesuai dengan kebutuhan ke dalam tangki pencampur utama
3. Tambahkan sedikit demi sedikit basic emulsifier ke dalam diesel oil atau nontoxic oil pada waktu sirkulasi melalui
hopper
4. Pada waktu sirkulasi, tambahkan sedikit demi sedikit sekitar setengah air sodium atau calcium chloride dalam
campuran diesel oil/nontoxic oil emulsifier
5. Tambahkan lime melalui hopper
6. Tambahkan emulsifier tambahan dan wetting agent
7. Sirkulasikan sistem dengan kuat, menggunakan lumpur gum sampai test terbentuk emulsi yang stabil
8. Tambahkan material pemberat secukupnya.

6.11.4.2. Prosedur Pendesakan


Prosedur pendesakan merupakan tujuan utama untuk meminimalkan kontaminasi oil-base mud dengan lumpur yang
sedang didesak (biasanya berupa lumpur water-base) dan dengan filter cake dari dinding lubang bor. Langkah pertama
adalah mengkondisikan lumpur yang akan didesak agar harga gel strength dan yield point berkurang. Langkah berikutnya
adalah menyiapkan spacer, yaitu berupa gelled diesel oil untuk memisahkan fluida pendesak dan lumpur yang akan
didesak. Beberapa perusahaan telah mengembangkan spacer yang dapat diperperat baik digunakan pada penyemenan
maupun pendesakan oil-base mud. Spacer tersebut kadang-kadang merupakan campuran dari emulsifier dan wetting agent
yang tidak membentuk gel strength yang tinggi pada bidang antar permukaan antara oil dan water-base mud. Metoda
pendesakan yang lainnya adalah menggunakan spearhead dengan highly viscous bentonite dan diikuti oleh diesel oil dan
fluida pendesak. Faktor ketiga dalam proses pendesakan adalah laju pemompaan. Pada umumnya, pendesakan harus
menggunakan aliran turbulen. Disamping itu juga dilakukan dengan memutar dan menaik-turunkan drill string.
6.11.5. Sifat-sifat Fisik Lumpur Minyak
Pemantauan sifat-sifat fisik oil-base mud sangat penting. Meskipun sistem lumpur dipersiapkan secara memadai,
tetapi biasanya menunjukkan adanya perubahan sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, trend sifat-sifat fisik harus dipantau dan
jika perlu dilakukan koreksi-koreksi sebelum terjadi problem yang serius.
6.11.5.1 High-Temperature/High-Pressure (HTHP) Fluid Loss
Pengontrolan fluid loss dari oil-base mud bukan merupakan problem yang umum karena bahan-bahan yang
digunakan formulasi sistem lumpur tersebut dan micellar emulsion sangat efektif untuk menyekat ruang pori yang sangat
kecil. API fluid loss lumpur minyak biasanya mendekati nol. HTHP fluid loss dari oil mud dan invert system bervariasi antara
15 sampai 30 cc/menit
Telah lama disadari bahwa bahan-bahan koloid dalam lumpur mempunyai pengaruh merusak terhadap laju
penembusan. Studi microbit oleh FONENOT dan SIMPSON dan hasil uji lapangan yang dilaporkan oleh O'BRIEN et al.
menunjukkan bahwa pengurangan kadar koloid dari sistem oil-base mud dapat menaikkan laju penembusan. Karena fluid
loss yang sangat rendah dan laju penembusan yang sangat rendah telah menjadi ciri dari lumpur minyak.
HTHP fluid loss test dilakukan di laboratorium dengan menggunakan tekanan 750 psi pada fluida dengan back
pressure 250 psi pada tabung penerima untuk mencegah flashing atau penguapan dari filtrat minyak. Beberapa peralatan uji
lapangan menggunakan 600 psi dan 100 psi back pressure untuk memperoleh perbedaan tekanan 500 psi. Penampang
melintang HTHP cell adalah setengah dari regular API fluid loss cell, sehingga volume filtrat yang terkumpul harus dikalikan
dua. Uji temperatur dan tekanan harus selalu dilaporkan dengan volume filtrat terkoreksi.
6.11.5.2 Sifat-sifat Aliran
Sifat-sifat aliran (plastic viscosity, yield point, gel strength) dipengaruhi oleh banyaknya dan ukuran butir-butir air yang
teremulsi dalam minyak; jumlah, ukuran dan kondisi total padatan yang terkandung didalam sistem lumpur; dan elektrokimia
dan interaksi fisik dari padatan, air, dan hadirnya minyak.

Sifat-sifat aliran lumpur minyak dikembangkan dengan 4 metoda dasar :


Sabun yang tidak larut, jika dibasahi dengan minyak, membentuk struktur rantai
panjang
Bahan-bahan asphaltic yang menghasilkan viskositas melalui interaksi mekanis
Organophillic clay yang menghasilkan dispersi dalam media mi nyak
Butir-butir emulsi yang menyerupai struktur micellar yang sangat kecil.

Pengukuran sifat-sifat aliran sistem oil-base pada permukaan dapat memberikan trend yang baik terhadap perubahan
fluida, tetapi dapat menyesatkan/keliru jika pengaruh kondisi temperatur dan tekanan pada lubang bor tidak diperhitungkan.
Pengukuran sifat-sifat contoh lumpur minyak yang diambil di permukaan juga dapat memberikan informasi penting terhadap
perubahan sistem yang mungkin terjadi, tetapi kondisi lubang bor yang sesungguhnya dapat menyebabkan harga
pengukuran di permukaan terlalu jauh berbeda dengan kondisi di dasar lubang bor. Viskositas baik air maupun minyak
berkurang dengan naiknya temperatur, tetapi kedua fasa fluida tersebut perilakunya sangat berbeda dengan naiknya
tekanan. Viskositas air tetap tidak berubah dengan naiknya tekanan, tetapi viskositas diesel oil, sebagai contoh, naik secara
tajam dengan bertambahnya tekanan.
Gambar 6.77 menunjukkan apparent viscosity diesel oil vs. tekanan pada temperatur 100 oF, 200oF, 300oF, dan 350oF.
Dari Gambar tersebut secara mudah dapat disimpulkan bahwa pada berbagai kombinasi temperatur dan tekanan di dasar
lubang bor apparent viscosity akan bertambah besar. Pada kasus lain, apparent viscosity berkurang. Hal ini merupakan
masalah pokok, mengapa engineer tidak dapat menggantungkan pengukuran di permukaan ketika memperkirakan
kehilangan tekanan, bit hydraulics, kapasitas pengangkatan cutting. Beberapa mud company telah mengembangkan
metoda dan faktor koreksi untuk memperkirakan harga apparent viscosity sistem oil-base, sehingga engineer dapat
mentreatment dan melakukan perhitungan hidrolika. Chart-chart dan Tabel-Tabel yang dikembangkan oleh mud company
berdasarkan pada asumsi bahwa lumpur minyak akan dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan dengan cara yang sama
seperti diesel oil.
6.11.5.3 Oil-Water Ratio
Seperti telah dijelaskan dimuka, bahwa sistem oil-base mempunyai fasa eksternal minyak dan fasa internal air, yang
bervariasi dari 5% vol sampai sekitar 50% vol. Jika campuran dari kedua fasa tersebut diputus secara mekanis dengan
hadirnya emulsifier yang memadai, air akan terdispersi kedalam butir-butir yang sangat kecil, yang disebut sebagai colloidal
micelles. Mereka mempunyai pengaruh yang sama terhadap viskositas yang diperoleh jika koloid ditambahkan kedalam
lumpur water-base. Oleh karena itu, naiknya kadar air atau berkurangnya oil-water ratio akan menyebabkan naiknya
viskositas, sedangkan dengan bertambahnya kadar minyak akan menurunkan viskositas. Meskipun demikian, manipulasi
oil-water ratio untuk mengatur viskositas oil-base mud biasanya tidak dilakukan kecuali untu kondisi khusus.

Gambar 6.77. Pengaruh tekanan dan temperatur terhadap viskositas


Dalam perencanaan oil-base mud, cara terbaik adalah dimulai dengan oil-water ratio minimum dan mencoba menjaga
ratio ini sedekat mungkin selama pemboran berlangsung.

6.11.4.4 Padatan (Solids)


Padatan halus masuk kedalam oil-base mud selama proses pemboran dan menaikkan viskositas, berasal dari 3
sumber, yaitu : (1) organophllic clay, (2) naiknya kadar air yang membentuk colloidal micelles, dam (3) cutting (drilled solids).
Kelompok pertama, organophllic clay dapat dikontrol. Sumber padatan kedua, colloidal micelles, dapat dikontrol kecuali
dalam kasus aliran air yang mengkontaminasi sistem. Kelompok ketiga, cutting, merupakan masalah yang paling besar.
Bahkan dengan sistem solid control yang paling efektifpun, cutting akan tetap bertambah dalam sistem oil-base.
Cutting dalam oil-base mud sering terjadi terutama karena cutting tidak menghidrat dalam sistem eksternal minyak. Hal ini
menunjukkan bahwa padatan tidak menghidrat dalam sistem lumpur minyak. Ketika cutting menjadi koloid, tidak dapat
dipisahkan dengan peralatan pemisah padatan. Jika jumlah padatan terlalu banyak, maka akan menaikkan viskositas, dan
hanya treatment dengan minyak untuk menurunkan viskositas tersebut.
6.11.5.5 Penentuan Kadar Padatan
Prosedur untuk menentukan kadar padatan oil-base mud adalah sama seperti yang digunakan untuk water-base
mud. Prosedur ini ditunjukkan dalam API RP13B. Untuk penentuan kadar padatan dalam lumpur minyak harus diperhatikan
beberapa hal, yaitu :
(1) base oil (diesel, mineral oil, dsb.) menggantikan air atau larutan sabun dalam pembersihan sampel dan
peralatan, dan (2) total %volume padatan yang dilaporkan meliputi kadar garam, bahan pemberat, cutting, dan
kadar bentonit komersial. Menurut
(2), hal ini sangat penting untuk mengetahui low specific gravity kadar padatan sebenarnya untuk menganalisa problem
yang ada dalam lumpur. Low gravity solid disebut LGS dihitung dari data retort seperti ditunjukkan pada Tabel 6.8.
Tabel 6.9 memberikan densitas larutan dan faktor koreksi volume baik untuk sodium chloride maupun calcium
chloride.

Tabel 6.8 Perhitungan padatan dengan specific garvity rendah

Tabel 6.9 Densitas larutan dan faktor koreksi volume

Tabel 6.10 menunjukkan suatu analisa kadar padatan dengan menggunakan harga specific gravity yang memadai
untuk calcium chloride, hematite, dan low-density solids.

Tabel 6.10 Analisa kadar padatan dalam oil-base mud dari sumur

Gambar 6.78 dan 6.79 menunjukkan kadar padatan terkoreksi vs. densitas untuk lumpur minyak yang diperberat
dengan hematite atau barite. Gambar-Gambar tersebut telah dikoreksi untuk water-soluble solids, yaitu : sodium chloride,
calcium chloride, atau campuran dalam oil-base mud. Grafik-grafik tersebut sangat berguna baik di kantor maupun di lokasi
pemboran untuk menentukan keefektifan teknik solid-control yang digunakan dalam menjaga konsentrasi low specific-
gravity solids pada batas yang ditentukan. Tiga garis diplot pada setiap grafik. Garis di dasar adalah hematite atau barite,
minyak, dan 10%, 20%, atau 20% air. Garis kedua pada semua grafik diberi label poor solids above. Garis ketiga dari
dasar diberi label maximum allowable solids. Engineer mempertahankan oil-base mud total jumlah padatan yang tidak
terlarut tetap berada diantara dasar (bottom) dan garis kedua, tetapi tidak melebihi maksimum allowable solids line.

Gambar 4. Kadar padatan terkoreksi vs berat lumpur (lumpur minyak denganmenggunakan hematite
Gambar 6.79.Kadar padatan terkoreksi vs berat lumpur (lumpur minyak dengan menggunakan barite)

6.11.6. Pengontrolan Activitas Oil-base Mud Untuk Mencapai Stablitas Lubang Bor
MONDSHINE mengemukakan bahwa ada dua mekanisme yang diperlukan untuk mengatasi gaya hidrasi yang
dihasilkan oleh formasi shale, yaitu : hidrasi permukaan dan osmotic swelling. Dalam pembahasan hidrasi permukaan, hal
pertama yang harus dipertimbangkan adalah bahwa shale mempunyai afinitas terhadap air sama dengan gaya kompaksi.
Afinitas ini sering disebut sebagai gaya hidrasi permukaan, yaitu sama dengan tekanan overburden dikurangi tekanan
formasi. Gaya kompaksi adalah sama seperti formation matrix stress dan dapat diperkirakan sebagai berikut :
OB = PP + MS
MS = OB - PP
dimana ;
OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
Biasanya, tekanan overburden besarnya 1 psi/ft, sedangkan tekanan formasi dan matrix stress masing-masing
sebesar 0,465 psi/ft dan 0,535 psi/ft. Dapat dilihat dengan mudah bahwa tekanan formasi lebih tinggi, matrix stress lebih
rendah dan gaya hidrasi permukaan lebih rendah.
Perkembangan gaya hidrasi permukaan dalam shale adalah merupakan alasan utama mengapa shale menjadi tidak
stabil jika berhubungan dengan air tawar. Penelitian telah dilakukan baik menggunakan pendekatan fisik maupun kimia
untuk mencegah hidrasi shale dalam sistem air tawar. Mekanisme kedua adalah osmotic swelling merupakan prinsip
ketidak-stabilan shale ketika pemboran menggunakan oil-base mud.
Dengan mendefinisikan bahwa osmosis adalah aliran pelarut dari larutan yang konsentrasinya kurang kedalam
larutan yang kosentrasinya lebih tinggi melalui selaput (membrane) semipermeable. Hal ini dijelaskan dengan Gambar 6.80.
Dalam oil-base mud, interfacial film disekitar setiap butir-butir air teremulsi beraski sebagai film semipermeable. Jika fluida
yang terdiri dari fasa air (internal) dalam fasa minyak (eksternal) mengandung salinitas lebih tinggi dari fluida formasi, maka
akan terjadi transfer fluida dari shale, dan akibatnya akan terjadi dehidrasi pada shale. Sebaliknya jika air bersatu dengan
shale yang mempunyai kadar garam lebih tinggi dari air dalam fasa internal lumpur pemboran, maka akan terjadi transfer
fluida ke dalam shale, sehingga dapat menaikkan gaya hidrasi. Pada saat ini umumnya oil-base mud mempunyai
konsentrasi calcium chloride sebesar 400.000 ppm. Konsentrasi ini dapat menghasilkan tekanan osmotik sebesar 16.100
psi, merupakan gaya yang cukup untuk memdesorb air dari clay yang mengandung montmorilonite dengan konsentrasi
tinggi. Dalam beberapa kasus, tekanan osmotik turun secara drastis antara 5.000 dan 10.000 psi. Tekanan tersebut dapat
dihasilkan oleh 220.000 sampai 310.000 ppm CaCl2. Larutan jenuh sodium chloride akan menembangkan tekanan osmotik
sebesar 5.800 psi. Maka, dapat terbukti bahwa mengapa pada umumnya oil-base mud mengandung calcium chloride.

Gambar 6.80. Pengaruh tekanan osmotik, gerakan air berkadar garam rendah menuju ke kadar garam tinggi

CHENEVERT mengemukakan konsep bahwa tidak ada perpindahan air baik dari atau ke shale, karena potensi kimia
atau aktivitas baik lumpur maupun shale harus sama. Aktivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara fugasitas air
dalam sistem dengan fugasitas air murni. Untuk tujuan praktis, perbandingan fugasitas (fugacity ratio) dapat digantikan
dengan perbandingan tekanan uap (ratio of vapor pressure). Karena tekanan uap pada dasarnya sama seperti kelembaban
relatif, dan karena kelembaban relatif air murni adalah 1,0, maka aktivitas setiap sistem secara relatif dapat ditentukan, yaitu
1,0. Jika aktivitas formasi yang dibor diketahui , maka sistem lumpur dapat dipersiapkan atau diatur agar mencapai aktivitas
yang sama.
MONDSHINE mengemukakan tentang pendekatan secara sederhana untuk memperkirakan aktivitas formasi shale,
dengan asumsi bahwa aktivitas shale dengan kedalaman dan tekanan formasi (kompaksi) dan dapat diperkirakan dari
matrix stress dan salinitas awal. Mondshine selanjutnya mengemukakan bahwa matrix stress plus tekanan osmotik dalam
formasi mendekati aktivitas formasi tersebut. Dengan menggunakan berbagai variasi persamaan potensial kimia untuk
menunjukkan bahwa tekanan osmotik yang ada diantara lumpur minyak dikenal sebagai salinitas dan formasi shale dikenal
sebagai aktivitas. Persamaan dan tekanan osmotik berbagai salinitas lumpur minyak berlawanan dengan shale yang
mengandung air tawar seperti yang disajikan dalam paper-nya. Pada dasarnya, apa yang dikemukakan Mondshine adalah
bahwa jumlah matrix stress dan tekanan osmotik sama terhadap aktivitas formasi. Dari data-data yang diplot pada Gambar
6.81, yang menunjukkan bahwa tekanan osmotik tegantung dari kadar garam air dalam formasi.
Metoda-metoda yang dikemukakan oleh CHENEVERT dan MONDSHINE untuk memperkirakan aktivitas shale hanya
berbeda tingkat ketelitiannya. Hal-hal yang harus diingat adalah :
(1) uji laboratorium untuk menentukan aktivitas langsung tergantung persen berat air dalam shale yang sedang diuji dan
(2) aktivitas shale pada dasarnya merupakan fungsi gaya kompaksi dan tekanan osmotik dalam formasi.

Gambar 6.81. Kadar garam yang diperlukan untuk menyeimbangkan tekanan


Berikut adalah petunjuk praktis yang dapat membantu dalam penyiapan dan perawatan oil-base mud menstabilkan
lubang bor yang bermasalah :
1. Shale biasanya mengandung clay yang dapat menghidrat dengan naiknya kompaksi karena bertambahnya
kedalaman, yang berarti bahwa gaya hidrasi permukaan berkurang.
2. Pada umumnya salinitas yang lebih tinggi diperlukan dengan bertambahnya kedalaman untuk memerangi pengaruh
tekanan osmotik.
3. Pada umumnya shale dapat dikontrol dengan aktivitas antara 0,52 dan 0,53, yang dihasilkan dari 300.000 sampai
350.000 ppm CaCl2.
4. Dengan naiknya temperatur aktivitas lumpur juga bertambah, tetapi aktivitas formasi berkurang.

6.11.7. Low-colloid Oil Mud


Setelah melalui berbagai tahapan pengembangan yang dimulai pada awal tahun 1950, invert emulsion mud yang
mengandung sampai 50% air telah disempurnakan sehingga pada saat ini dapat diandalkan sebagai fluida pemboran.
Kerugian utama dari penggunaan invert emulsion mud, dan juga oil-base mud adalah tingginya biaya pembuatan awal dan
rendahnya laju penembusan. Kerugian lainnya adalah lumpur tersebut membuat kotor lingkungan seperti lantai bor,
pakaian, dsb., dan crew pemboran tidak menyukainya. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan penanganan
yang lebih baik dan benar.
SIMPSON dan FONTENOT melakukan penelitian pada tahun 1974 dan menyimpulkan bahwa oil-base mud
mengandung sedikit material koloid untuk penstabil emulsi dan suspensi cutting. Penelitian ini adalah merupakan pendorong
untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan apa yang sekarang dikenal sebagai low-colloid mud.
Formulasi dari low-colloid oil mud untuk pemboran dalam, bertemperatur tinggi dengan kestabilan emulsi yang baik
dan HTHP loss dibawah 30 cc, adalah sebagai berikut :
Oil-water ratio 80:20
Calcium soap emulsifier, lb/bbl 2-5
Fatty acid polyamide, lb/bbl 3-7
Lime, lb/bbl 2-4
Organophillic caly, lb/bbl 3-7
CaCl2, ppm 350.000
Barite atau hematite sesuai dengan keperluan
Range sifat-sifat fisik yang diharapkan jika densitas lumpur tersebut 16 lb/gal adalah :
Densitas, lb/gal 16
Funnel viscosity, det/qt 4-54
Plastic viscosity, cp 25-34
Yield point, lb/100sqft 10-14
10-det ge strength, lb/100sqft 3-8
API fluid loss, cc 2-4
HTHP fluid loss, cc 15-25
Electical stablity 750-1500
Total salinity, ppm CaCl2 350.000
6.11.8. Logging In Oil-base Mud
Meskipun oil-base mud tidak konduktif terhadap arus listrik biasanya digunakan dalam logging dan karena tidak dapat
menghasilkan self-potensial, maka untuk pengontrolan kedalaman dan evaluasi formasi dapat dilakukan dengan
menggunakan log yang tidak tergantung dari hadirnya fluida konduktif dalam lubang bor. Program logging yang disarankan
utuk oil-mud disajikan pada Tabel 6.11.

Tabel 6.11. Program logging untuk Lumpur Minyak

Hal-hal penting yang harus diingat untuk logging pada oil-base mud meliputi :
1. Resistivitas formasi dapat ditentukan dengan log induksi
2. Log radiasi dapat dikombinasikan dengan log lain untuk tujuan korelasi
3. Porositas ditunjukkan melalui sonic, densitas, atau log neutron, baik secara terpisah maupun kombinasi
4. Sidewall core dan wireline formation test dapat dilakukan pada oil-base mud dengan menggunakan gamma ray tool.
6.11.9. Pemecahan Masalah Dalam Penggunaan Oil-base Mud
Logika yang sama digunakan dalam pendeteksian dan pemecahan masalah treatment water-base mud digunakan
untuk oil-base mud. Data yang diperoleh dianalisa dan diplot untuk melihat trend atau perubahan sifat-sifat fisik lumpur.
Perubahan sifat-sifat fisik yang mendadak dan tajam akibat adanya kontaminasi dapat dideteksi dengan menganalisa trend
pada plot tersebut dan selanjutnya dapat dikoreksi sebelum terjadi problem yang serius. Problem tretment lumpur biasanya
terjadi pada oil-base mud adalah berasal dari cutting, karena citting dan/atau material pemberat menjadi water-wet, atau dari
kontaminasi air. Tabel 6.12 menyajikan problem-problem yang biasanya terjadi pada oil-base mud dan ditunjukkan
bagaimana cara mengenali problem dan mengontrolnya.
Teknologi formulasi dan perawatan oil-base mud sangat berbeda dengan water-base mud. Biasanya lumpur ini
dicampur pada lokasi tertentu dan dikapalkan ke lokasi pemboran dalam kondisi siap untuk didorong (displaced) kedalam
lubang bor. Jika persiapan dilakukan di lokasi pemboran, maka diperlukan peralatan penyimpanan, dan pembersihan yang
memadai.
Tabel 6.12. Pemecahan masalah dalam penggunaan Oil-Base Mud
Contoh 1 :
Jika Oil Water (O/W) rasio adalah 75/25 (75% oil, V1, dan 25%, V2), hitung densitas lumpur tersebut.
Diketahui :
Densitas diesel oil, D1 = 7,0 ppg
Densitas air, D2 = 8,33 ppg
Rumus :
(V1) (D1) + (V2) (D2) = (V1 + V2 ) DF

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Lumpur Pemboran)

A
= Filtration Area, Cm2
C
= Dial Reading, derajat
f sc
= Fraksi volume solid pada mud cake
f sm
= Fraksi volume solid pada Lumpur
GS
= Gel Strength, lb/100 ft2
k
= Permeabilitas, darcy
n
= Kandungan pasir, %
N
= Revolution perminute (RPM)
P
= Perbedaan tekanan yang melalui mud cake, atm
Q
= Fluid loss pada waktu tertentu, Cm3
SG
= Specific gravity
t
= Waktu, menit
Vf
= Volume filtrat lumpur, Cm3
Vm
= Volume lumpur , bbl
Vmb
= Volume lumpur baru, bbl
Vml
= Volume lumpur lama, bbl
Vs
= Volume solid
Yb
= Yield point Bingham, lb/100 ft2
Yp
= Yield point, lb/100 ft2

= Dial reading, derajat

= Viskositas filtrat, cp
a
= Apparent viscosity, cp
p
= Plastic viscosity, cp
= Shear rate, detik
mb = Densitas lumpur baru, ppg
ml
= Densitas lumpur lama, ppg
s = Densitas solid, ppg

= Shear stress, dyne/Cm2

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (ADITIVE LUMPUR PEMBORAN)


V1 = Volume lumpur awal, bbl
V3 = Volume lumpur akhir, bbl
= densitas lumpur awal
= densitas dari penambahan liquid
= densitas akhir campuran

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN


vslip = kecepatan slip (ft/s)
ra = densitas udara (ppg)
rm = densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
mm = viskositas lumpur (cp)
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
Dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
mf = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi
mudara = viskositas udara (cp)
mlumpur biasa= viskositas lumpur awal (cp)
vs = kecepatan slip (ft/s)
Dc = ekivalen diameter cutting (ft)
rc = densitas cutting
(pcf)rf = densitas lumpur campuran
(pcf).vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
vca = kecepatan kritik (ft/s)
mf = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.oR
T = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap untuk sumur dangkal.
rf = densitas lumpur aerasi (pcf)
rm = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)
ra = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).
Di = kedalaman i (feet).
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Deskripsi Material Clay)


L = konsentrasi yang sebanding dengan filtration area
P = Tekanan pendorong (driving pressure)
= viskositas liquid filtrate
ro = konstanta yang dipengaruhi oleh tahanan pengaliran filtrate per-unit berat solid dalam filter cake
b = Konstanta kompressible
t = waktu filtrasi
w = berat dari bahan padat per-unit volume dari filtrasi yang dihasilkan
V = volume dari filtrate yang dihasilkan
V1, V2 = filtration loss pada waktu t1 dan t2 (cc)
.t1, t2 = waktu filtration test, menit.
V = Rate aliran fluidak
f = permeabilitas filter cake (diukur dari statik filtration loss)
. = viskositas filtrate 9cairan)
f = koefisien internal friction antara partikel padat dengan filter cake, empiris.
d = ketebalan lapisan permukaan filter cake setelah tercapai keseimbangan dengan erosi yang dideritanya, empiris.
-v+1 = Compaction coeficient, angka yang menunjukkan kesen
sitifan tekanan pada kompresibilitas filter cake (antara 0.10 - 0.15).
F = shear force;
D = diameter saluran
Y = Yield point, lb/100 ft2
v = Kecepatan fluida mengalir, ft/sec
= Viscositas plastik, cp
Qf = rate aliran filtrate melalui dasar sumur, cc/menit.
Q = Rate aliran fluida yang melaui dinding formasi yang tegak lurus terhadap sumur yang dianggap berbentuk
silinder,cc/menit.
Ah = Luas dasar lubang sumur, inch2
Ud = Drilling rate, ft/jam
= Porositas, fraksi
J = dalamnya invasi mud filtrate terhadap formasi produktif, inch.
rw = jari-jari sumur, inch
X = Fraksi connate water atau fluida yang terdesak ke bawah permukaan dasar sumur dan tidak masuk ke dalam
arus lumpur.
E = Effisiensi, fraksi daro connate water yang didesak oleh
fluida di depannya.
He = Tekanan hidrasi, psi
G = Tekanan overburden (umumnya diambil 1 psi/ft)
Pp = Tekanan pori-pori batuan, psi
Po = Tekanan osmosis, atm
R = Konstanta gas
T = Temperatur Absolut, oK
= Koefisien dari larutan
c = Konsentrasi garam dalam larutan, molal
v = Jumlah ion dalam larutan per-mol

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN


OB = tekanan overburden, psi/ft.
PP = tekanan formasi, psi/ft.
MS = matrix stress, psi/ft.
SV = Volume awal, bbl
W1 = Densitas awal dari campuran oil/water, ppg
W2 = Densitas akhir
Dv = Volume akhir

Anda mungkin juga menyukai