Anda di halaman 1dari 39

I.

JUDUL
PENERAPAN ANALISIS GEOMEKANIK UNTUK WELL BORE
STABILITY PADA OPERASI PEMBORAN MIGAS
II. LATAR BELAKANG
Dalam industri perminyakan diketahui bahwa hidrokarbon terakumulasi di dalam
batuan reservoir yang letaknya berada jauh di bawah permukaan tanah. Untuk
memproduksikan hidrokarbon tersebut ke atas permukaan tanah, perlu dilakukan suatu
operasi pemboran.
Setiap operasi pemboran menginginkan pemboran yang optimum dimana
diusahakan untuk mendapatkan hasil pemboran sesuai dengan yang diinginkan dengan
mengeluarkan biaya yang terkecil dan waktu pemboran yang seminimal mungkin dan
mendukung operasi pemboran selanjutnya. Namun dalam suatu operasi pemboran
kerap ditemui kendala/masalah yang menyebabkan berkurangnya waktu produktif
yang nantinya akan sangat berpengaruh terhadap lama waktu pemboran dan dana yang
harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk operasi pemboran itu sendiri. Masalah yang
dijumpai dapat berupa pipe sticking, lost circulation, shale problem, kick dan blow out.
Untuk menghindari terjadilah masalah-masalah tersebut digunakanlah aplikasi
geomekanik.
Pendekatan geomekanik sendiri sangat erat kaitannya dengan mekanika batuan dan
perhitungan tekanan bawah permukaan. Dalam mekanika batuan dilakukan kajian yang
intinya adalah pada tekanan berapa batuan tersebut akan hancur apabila kita berikan
tekanan. Sedangkan perhitungan tekanan bawah permukaan terdiri dari perhitungan
tekanan formasi yang terdiri dari tekanan hidrostatis, tekanan pori, tekanan dan
overburden serta gradient rekah formasi.
Pendekatan geomekanik dengan pengkajian mekanika batuan dan perhitungan
tekanan bawah permukaan ini nantinya akan sangat menentukan dalam penanganan
ketidakstabilan lubang bor (wellbore instability) yang berujung pada optimasi
pemboran untuk pengurangan non productive time (NPT).
Non Productive Time (NPT) adalah waktu tertundanya operasi pemboran. Non
productive time yang terjadi dalam operasi ekplorasi sumur minyak rata-rata adalah
16% dari operasi dilling. Apabila dibuka penyebab NPT yang saat operasi pemboran
antara lain terakumulasi problem pemboran, yaitu sekitar 76% berhubungan dengan
stuck pipe, apakah itu akibat dari hole collapse atau apakah karena itu over pressure,
apakah itu karena drilling directional well di arah yang tidak menjamin bahwa
stabilitas wellbore itu stabil.
III. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan penyusunan komprehensif ini adalah untuk mengetahui
peranan geomekanik pada hole bore stability. Pendekatan geomekanik ini, bertujuan
untuk meminimalisir Non Productive Time (NPT) atau tertundanya waktu operasi
pemboran. Jika Non Productive Time tidak dapat berkurang maka optimasi pemboran
tidak dapat dicapai sedangkan, jika Non Productive Time berkurang maka optimasi
pemboran dapat dicapai.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
BAB IV. HOLE BORE INSTABILITY
4.1. Ketidakstabilan dan Pengeboran
4.1.1. Deskripsi Model Pengeboran
Dua model pengeboran dapat digunakan untuk Hole Bore Stability adalah OBD
(Over Balanced Drilling) dan UBD (Under Balanced Drilling). OBD adalah prosedur
yang digunakan untuk mengebor sumur di mana tekanan lumpur lebih besar dari
tekanan pori. Sebagian besar sumur dibor menggunakan metode OBD. Sedangkan
UBD merupakan procedure pemboran yang digunakan untuk mengebor sumur dimana
tekanan lumpur kurang dari tekanan pori dan produksi terjadi saat pengeboran.
4.1.2. Jenis Hole Bore Stability
4.1.2.1. Mechanical-Inducec Hole Bore Stability
Mechanical-Induced Borehole Instability adalah ketidakstabilan lubang bor
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor mekanis seperti tekanan, stress, failure, dan
sebagainya. Beberapa karakteristik reservoir yang mempunyai kontribusi dan pengaruh
dalam hal ini adalah :
1. Tekanan Pori.
Tekanan pori secara ideal dalam prakteknya tidak bisa ditemukan dan selalu
berubah-ubah selama pemboran berlangsung. Tekanan ini akan berfluktuasi khususnya
pada pematian sirkulasi untuk membuat sambungan atau dalam tripping drillstring.
Pada semua jenis pemboran baik underbalance maupun overbalance tekanan pori
merupakan elemen pengontrol sirkulasi. Tekanan pori mempunyai kontribusi dalam
pemilihan teknik pemboran underbalance. Tekanan pori jika versus total vertical depth
akan memberikan pemilihan metode yang tepat dalam pemilihan metode
underbalance.
2. Kegagalan Tensile Strength Formasi.
Hal ini terjadi jika maksimum tensile stress yang bekerja di sekitar lubang bor
lebih besar daripada tensile string formasi maka dapat terjadi dua jenis kegagalan
tensile. Kegagalan tensile yang pertama diikuti dengan peningkatan tekanan sumur dan
mulainya perekahan hidrolik. Jenis yang kedua adalah dimana permukaan konsenrtrik
dapat berkembang seputar lubang bor jika terjadi rekahan menuju aliran air formasi ke
lubang sumur. Hal ini dapat mengakibatkan material dapat masuk bahkan dipaksa
masuk oleh aliran fluida formasi.
3. Kegagalan Shear Failure Formasi
Kegagalan shear dapat terjadi pada model aktif dan pasif. Model pertama
diakibatkan oleh tekanan bawah permukaan yang bisa ditoleransi dan pergerakan yield
material menuju ke arah lubang bor. Sedangkan model yang kedua terjadi jika
pergerakan yield material menuju ke ke formasi.
4. Matrix/Pore Collapse Batuan.
Kerusakan pori-pori/matriks batuan diakibatkan oleh stress dan compressive
strength yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi pada batuan chalk, pasir yang tersemen
lemah dan beberapa material lain yang mempunyai porositas tinggi.
4.1.2.2. Chemical-Induced Borehole Instability
Chemical-induced Borehole Instability adalah ketidakstabilan lubang bor yang
diakibatkan karena adanya reaksi kimia material penyusun lubang bor dengan fluida
pemboran. Dalam hal ini material penyusun lubang bor didominasi oleh shale.
Konsentrasi permasalahan chemical instability pada penembusan formasi shale sama
dengan pada pemboran overbalance hanya saja adanya kerumitan pada dehidrasi akibat
fluida underbalance. Permasalahan yang terjadi adalah pada penembusan formasi
shale yang mengandung smectite shale dan illitic shale seperti diterangkan dibawah
ini:
1. Smectite Shale
Smectite Shale mempunyai sensitivitas terhadap kekuatan ionik dari filtrat.
Kondisi underbalanced yang sebenarnya dapat mengurangi degradasi ion dan swelling.
Mekanisme terjadinya adalah pergerakan ion disebabkan oleh gradien konsentrasi
filtrat dan fluida dengan dasar cairan mempunyai kontak dengan permukaan lubang
sumur tanpa menghiraukan regim aliran. Aktivitas ion dapat terjadi karena adanya
kontak antara fluida pemboran dengan permukaan lubang sumur. Apabila aktivitas ion
pada fluida lebih rendah daripada aktivitas ion pada fluida pemboran menjadikan air
mengimhibisi shale yang terkandung dalam filtrat. Shale dapat mengembang dan
diikuti dengan degradasi dari kekuatan penyangga (srength) batuan. Fragmen shale
dapat menggugurkan (slough off) lubang bor dan akhirnya jatuh ke dasar lubang sumur.
Pecahan-pecahan fragmen tersebut dapat lebih besar daripada cutting dan sering tidak
bisa diangkat dengan fluida underbalance. Hal tersebut dapat mengakibatkan
akumulasi fragmen dan cutting di sekitar Bottom Hole Assembly (BHA) dan menjepit
pipa pemboran dan dapat juga menghsailkan loss yang besar.
2. Illitic Shale
Pada formasi yang mengandung banyak illitic shale, biasanya juga terdapat
kadar quartz yang mempunyai chemically inert, creep dan swelling bukan menjadi
masalah utama. Jika terjadi migrasi karena tekanan drawdown dan terlalu besar dapat
mengakibatkan massive instability yang tidak sebahaya smectite shale.
4.2. Ketidakstabilan Berdasarkan Jenis Formasi
4.2.1. Shale Formatioan
Shale adalah batuan sedimen yang sangat kompresibel, terdiri dari mineral
lempung (Kaolinit, ilit, klorit, montmorillonit) yang dapat menyerap air melalui
struktur jaringannya. Kapasitas pertukaran kationik merupakan estimasi yang baik dari
batuan shale.
Shale mewakili 75% dari formasi yang dibor dan bertanggung jawab atas lebih
dari 90% sumur masalah stabilitas [Steiger & Leung, 1992].
Masalah stabilitas yang terjadi yaitu ketidakseimbangan komposisi air lumpur,
serta migrasi ionic yang terjadi seperti halnya migrasi air. Karena itu dapat
mempertimbangkan penyebaran antara tekanan, air dan ion yang dapat memodifikasi
tegangan efektif dan kekuatan mekanis serpih [Fam dan Dusseault, 1998; Chen et al.,
2003a].
Komposisi lumpur sangat penting untuk crystalline swelling, konsentrasi
elektrolit yang tinggi dapat mengurangi crystalline swelling tetapi disarankan untuk
menggunakan polimer dan menutup fraktur yang sempit dengan gilsonite.

Gambar 4.1.
Pembesaran Lubang terhadap Waktu dalam Formasi Shale
[Hawkes and McLellan, 1997]
4.2.2. Unconsolidated Formation
Formasi ini kurang stabil dari formation shale. Banyak insiden dapat terjadi
pada saat pengeboran, seperti:
 Caving yang disebabkan oleh hydraulic erosion
 Mud cake akibat tekanan diferensial
 Mud loss akibat overpressure pada annulus
Masalah tersebut juga ditemui di daerah Arcitic pada saat pengeboran di
permafrost. Pemanasan yang disebabkan oleh sirkulasi lumpur sangat mengurangi
kekuatan lapisan.
4.2.3. Fractured Formation
Limestones, dolomites, dan brittle formation lainnya dapat secara alami retak
atau menjadi retak saat pengeboran. Invasi jaringan fraktur dapat menyebabkan
melonggarnya blok dan erosi (Gambar 4.2.). Blok dari semua ukuran kemudian dapat
terlepas dari dinding dan jatuh ke anulus. Kerusakan meningkat seiring waktu dan
dapat menyebabkan well collapse.

Gamba 4.2.
Ultrasonik Borehole dalam Bahan yang Retak
[McLellan dan Cormier, 1996]
Dalam jenis formasi ini, perubahan dari water-based mud menjadi oil-based
mud tidak ada efek dan meningkatkan kepadatan lumpur mendukung invasi lumpur
dari jaringan fraktur [Santarelli et al., 1992]. Masalah ini diselesaikan dengan
mengadaptasi reologi lumpur.

Gambar 4.3.
Perpindahan Lateral Sumbu Lubang Bor yang Diinduksi oleh Relaksasi Geser
Sepanjang Kesalahan atau Patah udah Ada Sebelumnya
[Maury, 1994]
Dalam beberapa kasus ekstrim, invasi kesalahan akan mengurangi tekanan
efektif lokal dan tegangan geser dapat menyebabkan perpindahan lateral sumbu lubang
bor [Maury, 1994] dengan konsekuensi yang bisa kita bayangkan adalah drillstring
sticking, atau bahkan breaking (Gambar 4.3.)
4.2.4. Creeping Formation (salt or plastic shales)
Sifat-sifat batuan penguapan (garam) bervariasi tergantung pada komponen
mineral (halite, carnallite, sylvinite, kieserite dan bischofite). Komponen tersebut dapat
larut dalam air (bischofite dapat 10 kali lebih larut dalam air panas daripada halit (NaCl
- table salt). [Williamson et al., 1997].
Perilaku garam di bawah tekanan serupa dengan perilaku cairan yang sangat
kental. Ketegangan tingkat tergantung pada stres (kedalaman), suhu, komposisi
mineralogi, kadar air dan adanya impuritis seperti clay. Tingkat 2 cm / jam telah dicatat.
Beberapa formasi mungkin sangat retak, mengakibatkan kehilangan lumpur.
Masalah operasional telah diidentifikasi: kick (air asin, minyak, gas, garam),
losses (filtrasi, fraktur), drill string sticking, casing collapse (Gambar 4.4.)

Gambar 4.4.
Kestabilan dalam Garam
[Williamson et al., 1997]
4.3. Faktor yang Mempengaruhi Hole Bore Stability
4.3.1. In Situ Stress Field
Secara umum, formasi digolongkan dalam bentuk tekanan in situ stress baik
sebagai tekanan normal atau stres tektonik. Di daerah normal stress, maksimum stres
in situ (σv) adalah vertikal dan sama dengan overburden stress. Kemudian terdapat situ
stress yang terletak di bidang horizontal (σH, σk). Untuk dipadatkan dengan baik dan
formasi semen, overburden stress bervariasi linier dengan kedalaman.
Gambar 4.5.
Stresses and Pressures (Dusseault, 1994)
Stres tektonik mencakup semua kondisi stres yang tidak dianggap normal stres.
Daerah aktif tektonik sering dikaitkan dengan daerah yang aktif faults, kubah garam.
Di daerah aktif tektonik, in situ stress tidak selalu berorientasi pada arah vertikal dan
horisontal, tetapi mungkin diputar melalui sudut yang signifikan. Selain itu, besarnya
tiga prinsipal di in situ stress biasanya berbeda. Sebagai contoh, bukti kubah garam
dekat menunjukkan stress in situ secara signifikan diubah dari keadaan normally
stressed. Sebagai hasil dari perubahan ini stres in situ, masalah stabilitas lubang bor
yang terkait dengan pengeboran di daerah aktif tektonik meningkat secara signifikan.
Selain tekanan in situ yang dibahas di atas, stres pembentukan tambahan harus
dipertimbangkan, yaitu tekanan pori. Untuk normal pressure formation, pori gradien
tekanan konstan pada sekitar 10,4 KPa / m. Dalam geopressured formasi, gradien
tekanan pori dapat melebihi 20,4 KPa / m. Gambar 4.5 menunjukkan tekanan dan
tekanan yang berbeda dengan kedalaman.
4.3.2. Wellbore Pressure
Selama pengeboran, lubang bor sementara didukung oleh tekanan lubang bor.
Strategi untuk tekanan sumur adalah menjaga tekanan yang diberikannya sedikit di atas
tekanan pori formasi untuk mencegah kick. Di sisi lain, tinggi tekanan lumpur dapat
menyebabkan masalah pelekatan tekanan diferensial dan dapat menyebabkan besar
washouts di batuan yang retak. Tekanan overbalance yang diberikan pada formasi akan
bervariasi tergantung pada apakah lumpur pengeboran dapat tersikulasi atau tidak. Saat
pengeboran fluida statis, overbalance dapat ditentukan dari perbedaan antara tekanan
lumpur hidrostatik dan tekanan fluida pori terbentuk, tetapi selama pengeboran lumpur
tersirkulasi dan tekanan lubang bawah akan lebih besar dari lumpur tekanan hidrostatik
untuk mengatasi lumpur yang terlalu viscous. Terjadinya ketidakstabilan lubang bor
dapat dipengaruhi oleh variasi-variasi ini dalam tekanan sumur. Secara umum, mud
weight window yang aman diperkecil dan perlu ditentukan oleh model yang akurat
(McLean, 1987; Fjaer, 1992; Charlez, 1997; Fam, et al., 2003).
4.3.3. Fractures and Damages in the Formations
Ketidakstabilan lubang sumur juga dapat dipicu oleh diskontinuitas, seperti
bedding planes, patah dan rusak, dalam massa batuan. Selanjutnya, massa batuan akan
menjadi lebih banyak rentan terhadap ketidakstabilan lubang sumur di sepanjang
fraktur yang ditembus oleh filtrat lumpur pengurangan sudut gesekan fraktur dan
melonggarnya blok. Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa zona masalah
utama bukanlah zona kepadatan rendah seperti yang diantisipasi. Saya t menjadi zona
keretakan dan kepadatan normal-kepadatan yang akhirnya ditemukan sumber utama
ketidakstabilan lubang bor (Stjern, et al., 2003).
Gambar 4.6.
Mengurangi stres efektif radial karena kerusakan formasi
(McLean, 1987; Fjaer, 1992; Charlez, 1997; Fam, et al., 2003)
Pengaruh fraktur pada homogenitas material terkait dengan skala batuan. Pada
skala terkecil batu yang sempurna dapat dianggap sebagai homogen. Sebagai ukuran
masalah meningkatkan batu yang sedang dipertimbangkan akan mengandung
diskontinuitas diskrit dan massa batuan tidak bisa lagi dianggap homogen. Sedangkan
meningkatkan ukuran individu dari batu yang sempurna dan diskontinuitas dapat
digabungkan menjadi respons massa batuan homogen, tetapi dalam kasus ini akan ada
masalah dalam menguji sampel yang cukup besar untuk respons massa batuan. Dengan
demikian, penerapan homogenitas tergantung pada lubang sumur ukuran relatif
terhadap frekuensi facture alami (McLean, 1987; Fjaer, 1992; Charlez, 1997; Fain, et
al., 2003).
Kerusakan formasi adalah istilah untuk menggambarkan yang merugikan efek
operasi pengeboran dan penyelesaian dapat memiliki pada aliran hidrokarbon ke dalam
sumur. Kejadian umum kerusakan formasi adalah pengurangan permeabilitas batuan
yang mengelilingi lubang sumur karena invasi filtrat lumpur ke dalam formasi. Selain
masalah produksi yang ini mungkin menyebabkan, pengurangan permeabilitas dapat
mengurangi stabilitas lubang bor. Contoh dari jenis masalah yang mungkin terjadi
dalam pengujian lubang bor ditunjukkan pada (Gambar 4.6.) pada tegangan radial yang
efektif di dekat lubang sumur telah berkurang karena tingginya gradien tekanan pori
diatur di zona yang rusak.
4.3.4. Thermal Effect
Meskipun gradien suhu dengan kedalaman dapat bervariasi dari satu daerah ke
daerah lain wilayah, secara umum pada kedalaman yang menarik bagi Industri Minyak
bumi formasi adalah lebih panas dari cairan pengeboran normal. Lumpur yang lebih
dingin dari pada formasi akan mengurangi tekanan pori dan tegangan melingkar.
Secara umum, pendinginan lumpur harus memiliki efek menguntungkan pada stabilitas
lubang sumur (McLean, 1987; Fjaer, 1992; Charlez, 1997; Fam, et al., 2003).
4.4. Hole Problem
Dalam kenyataanya tidak selalu berjalan lancar, bermacam-macam
hambatan yang sering terjadi, yang biasanya disebut sebagai “Hole Problem”. Hole
problem terjadi sebagai akibat dari terganggunya kestabilan lubang bor.
Masalah yang berhubungan dengan pemboran biasanya disebabkan karena
ganggauan terhadap tegangan tanah (earth stress) di sekitar lubang bor yang
disebabkan oleh pembuatan lubang itu sendiri dan adanya interaksi antara lumpur
pemboran dengan formasi yang ditembus. Tegangan tanah bersama tekanan formasi
berusaha mengembalikan keseimbangan yang telah ada sebelumnya dengan cara
mendorong lapisan batuan ke arah lubang bor.
Masalah-masalah pemboran dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian,
yaitu :
1. Problem shale (Sloughing shale)
2. Pipa terjepit (Pipe sticking)
3. Hilang lumpur (Lost circulation)
4. Kick dan semburan liar
4.4.1. Problem Shale
Shale (serpih) adalah batuan sedimen yang terbentuk oleh deposisi dan
kompaksi sedimen untuk jangka waktu yang sangat lama. Serpih ini komposisi
utamanya adalah lempung (clay), lanau (silt), air dan sejumlah kecil quartz dan
feldspar. Berdasarkan kandungan airnya, serpih dapat berupa batuan yang kompak atau
batuan yang lunak dan tidak kompak, yang biasanya disebut serpih lempung atau serpih
lumpur. Serpih ini juga dapat berada dalam bentuk metamorphic seperti slate, phylite,
mica schist.
Dalam pemboran, ada dua jenis serpih yang biasa dijumpai, yaitu serpih yang
tidak kompak (sering disebut lempung) dan serpih yang kompak. Pemboran yang
menembus formasi shale tidak kompak akan menemui permasalahan, terutama
pemboran yang menembus formasi yang tidak kompak. Problem tersebut adalah
runtuhnya formasi shale ke dalam lubang bor. Formasi yang runtuh dapat
menyebabkan : lubang bor membesar, pipa bor terjepit, penyemenan yang kurang
sempurna, bertambahnya kebutuhan lumpur dan kesulitan logging.
Ketidakstabilan lubang bor pada formasi umumnya disebabkan oleh dua hal,
yaitu imbibisi dengan swelling dan penutupan lubang bor, sedangkan penyebab kedua
adalah faktor mekanisme yang disebabkan oleh rotasi drillstring dan aliran fluida
pemboran di annulus yang akan menggerus dinding lubang bor, sehingga akan
mengganggu kestabilan lubang bor.
Imbibisi air adalah hal yang paling umum, dan hal ini terjadi akibat adanya
Crystalin Hydrational Force dan Osmotic Hydrational Force. Crystalin Hydrational
Force adalah gaya-gaya yang berasal dari substitusi elemen dilapisan tengah clay, gaya
ini sangat sulit diatasi, karena air diekstrasikan dimuka plate yang sama besarnya
dengan yang diekstrasikan disisi plate. Osmotic Hydrational Force terjadi bila terdapat
perbedaan konsentrasi ion antara formasi denagan fluida pemboran, dimana air akan
tertarik dari lumpur ke formasi
Gejala yang timbul yang sering tampak bila sedang mengalami masalah
shale:
1. Tekanan pompa naik
2. Serbuk bor bertambah
3. Air filtrasi bertambah banyak
4. Ada banyak endapan serbuk bor di dalam lubang bor
5. Terjadi gumpalan pada pahat (bit balling)
6. Terjadi perubahan sifat-sifat lumpur, antara lain:
 Berat lumpur bertambah
 Viscositas lumpur naik, dan
 Bertambahnya air tapisan

4.4.1.1.Jenis-Jenis Shale
Shale biasanya merupakan hasil endapan marine basin, terutama dari lumpur,
silts dan clays. Dalam bentuknya yang lunak, biasanya disebut clay, bila makin dalam,
karena tekanan dan temperatur yang tinggi endapan ini akan mengalami perubahan
bentuk (consolidation), dan disebut sebagai shale, karena perubahan bentuk proses
metamorfosis disebut slate, phylite atau mica schist. Shale banyak mengandung pasir
disebut arenaceous shale, sedang yang banyak mengandung organik material disebut
carbonaceous shale. Adapun jenis-jenis shale adalah sebagai berikut :

1. Pressured Shale

Lapisan shale yang mengandung lensa pasir, mempunyai tekanan gas yang
tinggi. Lapisan ini bila dibor dengan lumpur yang tekanan hidrostatisnya lebih kecil
dari tekanan formasi, maka akan terjadi longsor (sloughing) dan runtuhan (caving).
Penanggulangan terhadap problem ini adalah dengan menaikkan berat jenis lumpur,
sehingga tekanan hidrostatisnya meningkat, dengan meningkatnya tekanan hidrostatis
maka kemungkinan terjadi longsor (sloughing) dan runtuhan (caving) akan dapat
dihindari.
2. Bentonic Shale
Shale jenis ini mengandung colloidal clay yang kemampuan hidrasinya
menyerupai bentonite. Hidrasi ini akan menyebabkan bentonic shale memuai ke dalam
lubang bor, sehingga menimbulkan bagian yang sempit (tight spot). Hal ini ditandai
dengan kenaikan torsi dan drag serta terjadi bit-bailing. Untuk mengurangi hidrasi dari
bentonic shale ini, dapat dilakukan dengan menurunkan water loss.

3. Fractured Brittle Shale

Shale jenis ini sangat rapuh, serta mempunyai rekahan (fracture) yang
miring. Lapisan ini mudah runtuh ke dalam lubang bor. Penanggulangan problem ini
dengan cara menurunkan water loss dan dengan menaikkan hidrostatis lumpur
pemboran
4.4.1.2. Penyebab Shale Problem
Penyebab masalah shale ini dapat dikelompokan dari segi lumpur maupun
dari segi drilling practice atau mekanis. Beberapa penyebab dari kelompok mekanis
antara lain :
 Erosi, karena kecepatan lumpur di annulus yang terlalu tinggi.
 Gesekan pipa bor terhadap dinding lubang bor.
 Adanya penekanan (pressure surge) atau penyedotan (swabbing) pada waktu
cabut dan masuk pahat (tripping).
 Adanya tekanan dari dalam formasi.
 Adanya air filtrasi atau lumpur yang masuk ke dalam formasi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembesaran lubang bor dan masalah
shale berkaitan dengan dua masalah pokok, ialah tekanan formasi dan kepekaan
terhadap lumpur atau air filtrasi.
Lapisan shale tufa mempunyai sifat sangat komplek dan mudah runtuh jika
keseimbangannya (konsentrasinya) terganggu oleh air tapisan lumpur bor yang masuk
kedalam lapisan shale tersebut, sehingga hal ini menyebabkan yield strength-nya (gaya
tarik menarik) menjadi berkurang.
Kecenderungan lapisan shale untuk runtuh tergantung pada beberapa faktor,
antara lain :
 Kadar clay dalam lapisan shale cukup tinggi (clay mudah mengembang bila
kena air tapisan).
 Kemiringan lapisan shale, semakin besar kemiringannya maka cenderung
untuk runtuh semakin besar pula.
 Tekanan kompaksi shale, dimana tekanan kompaksi shale lebih besar dari
tekanan hidrostatik lumpur pemboran.
 Pola aliran turbulen di annulus dapat membantu mengerosi lapisan shale.
Reaksi clay pada cairan terutama tergantung dari jenis clay, ion-ion yang ada
dan keadaan fisik yang bersangkutan. Karena clay merupakan material yang reaktif,
maka ion-ion yang ditambahkan pada reaksi kimia clay dan air sangat berpengaruh
terhadap sifat reaktifnya. Ion yang berubah dapat berupa ion positif maupun negatif.
Dalam hal ini dispertion clay karena thinner, adalah tambahan anion pada permukaan
clay (partikel clay). Misal Na+ dan Ca++, kedua ion ini saling tukar tempat dan
penukarannya tergantung dari jenis kation yang ada dan konsentrasi relatif kationnya.
Misalnya kation-kation akan menggantikan tempat satu dengan yang lainnya dalam
konsentrasi yang sama sebagai berikut :
Al+++ > Ba++ > Mg++ > Ca++ > H+ > K+ > Na+

Yang berarti bahwa Ca lebih mudah mengambil tempat Na daripada sebaliknya.


Penukaran ion-ion tergantug dari pH, temperatur dan kapasitas materialnya. Dalam hal
ini montmorillonite, makin cepat penukarannya, tetapi makin tinggi pH-nya, kelarutan
Ca++ mengecil, maka demikian pula penukarannya diperlambat, dalam hal ini :

Ca++ + NaOH ------- Ca(OH)2 + Na+ + OH-


Terlihat bahwa penambahan NaOH menaikkan pH dan sebagaian Ca++ akan
mengendap karenanya.
Muatan listrik pada permukaan clay sangat penting sekali. Suatu sistem
dispersi adalah dimana permukaan-permukaan clay menjadi muatan-muatan negatif
yang dominan, sehingga masing-masing partikel saling tolak menolak.
Pada flokulasi, gaya tolak menolak ini dinetralisir dan clay akan
menggumpal dan menjebak air bebas di dalamnya sebagai tambahan dari mengikat air,
sehingga sistem kekurangan air dan viscositasnya naik, demikian pula gel strengthnya.
Tendensi dari clay untuk terbentuk kembali jika gaya tolak menolak telah
dinetralkan merupakan sifat clay dan terutama terjadi karena pecahnya valensi
pengikat, atau muatan-muatan permukaan yang terbentuk karena grinding
(pengahancuran) dan sirkulasi. Gaya-gaya ini dapat mengakibatkan flokulasi lumpur
bila tidak dilawan. Untuk menghilangkan material-material tertentu pada pengendapan,
misalnya pada pemboran melalui formasi gypsum atau anhydrite (CaSO4) akan terjadi
kontaminasi lumpur oleh ion calcium, maka direncanakan pembuangan ion Ca++
dengan zat kimia. Zat kimia ditambahkan sehingga bila berdisosiasi, ion negatif akan
berkombinasi dengan Ca++ untuk membentuk senyawa calcium yang tidak terlarut,
maka Ca++ akan hilang dari larutan. Misalnya pada kontaminasi dengan CaSO4 tadi,
umumnya ditambahkan soda abu (Na2CO3). Dengan mengabaikan reaksi lain

Na2CO3 + CaSO4 ------- CaCO3 + Na2SO4

Tetapi karena Na2SO4 juga merupakan kontaminan yang akan tinggal dalam
larutan, maka bila formasi anhydrite yang dibor tebal, maka ion sulfat juga perlu
dihilangkan, dalam hal ini ditambahkan BaCO3.

BaCO3 + CaSO4 ------ CaCO3 + BaSO4

Bila kontaminasi Ca dikarenakan oleh semen, maka senyawa utamanya adalah


Ca(OH)2 , maka dipakai soda abu,

Na2CO3 + Ca(OH)2 ------- CaCO3 + 2 NaOH


Selain mendapat gambaran tentag problem shale diatas, kita juga harus
megetahui bahwa problem shale yang berkaitan dengan studi dan pendekatan
geomekanik sangat berhubungan erat dengan komposisi mineral dari shale itu sendiri.
Komposisi mierl dalam shale ini dapat menentukan shale tersebut masuk kedalam
golongan shale yang brittle atau yang bersifat swelling.
Metode penentuan mineral apa saja yang terkandung dalam shale tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan metode XRD (X-Ray Diffraction). X-Ray
Diffraction (XRD) digunakan untuk menentukan struktur kristal dan komposisi mineral
shale dengan menentukan sudut di mana sinar x-Ray terdifraksi (Breeden dan
Shipman, 2004). Panjang gelombang untuk x-Ray adalah kisaran 01-100 Ǻ (1 Ǻ = 10-
10m). Karena jarak dari bidang atom dalam kristal bahan berada di urutan sekitar 1 Ǻ,
ini membuat x-Rays alat yang berguna dalam menganalisis kristal struktur dan
komposisi mineralogi shale (Osisanya, 1991).
Untuk mengetahui jenis mineral yang terkandung dalam sampel batuan
dilakukan dengan dua metode, yaitu: bulk sample dan parallel oriented clay sample.
Untuk metode pertama yatu bulk sample dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
mineral-mineral yang terkandung dalam sampel (cutting). Adapun metode parallel
oriented clay sample ditujukan untuk mengetahui jenis-jenis mineral yang terkandung
dalam fraksi lempung dari cutting.
Hukum Bragg merupakan perumusan matematik tentang persyaratan yang
harus dipenuhi agar berkas sinar-X yang dihamburkan merupakan berkas difraksi yang
secara umum, difraksi orde n dari bidang (h k l) dengan jarak antar bidang d’, dapat
dianggap sebagai difraksi orde 1 dari bidang (nh nk nl) yang berjarak d=d’/n, sehingga
n adalah sama dengan satu.

Rumus Bragg adalah sebagai berikut:

𝜆 = 2 𝑑 𝑠𝑖𝑛 θ ................................................................................ (4-1)

𝜆
𝑑 = (2 𝑠𝑖𝑛 θ) ................................................................................... (4-2)
Dimana:
λ = panjang gelombang sinar-X yang dalam hal ini adalah 1,54060
Å (sumber unsur target adalah Cu), dan θ adalah sudut difraksi
sinar X.
Sehingga,

1,54060 Å
d= ................................................................................. (4-3)
(2 sin θ)

Tujuan dari analisis semikuantifikasi ini adalah untuk mengetahui persentase


masing-masing mineral yang teridentifikasi dalam setiap sampel. Kemudian hasilnya
digunakan untuk mendiskripsikan karakteristika batuan yang mendasarkan kombinasi
sifat mineral-mineral penyusun batuan, terutama sifat kerapuhan (brittleness) batuan.
Mineral kuarsa (quartz) mempunyai sifat brittle, sedang carbonates dan clay
tidak mempunyai sifat brittle. Sehingga sifat brittle dari batuan dideskripsikan secara
persentasi dari mineral quartz terhadap jumlah persen dari quartz carbonates dan clay,
sehingga dikuantifikasikan kedalam persamaan:

𝑄
𝐵𝑟𝑖𝑡𝑡𝑙𝑒𝑛𝑒𝑠𝑠 = 𝑥100% ................................................. (4-4)
(𝑄+𝐶𝑎+𝐶)

Dimana:
Q = quartz
Ca = Kalsium
C = clay.
Dalam hubungannya dengan mekanika batuan dalam pemboran, sifat brittle
dari batuan menunjukkan sifat kemudahan ditembus oleh mata bor. Sehingga nilai
brittleness yang tinggi dari batuan menyebabkan batuan lebih mudah dalam proses
penembusan mata bor, dan sebaliknya untuk nilai brittleness yang rendah. Namun
permasalahan yang terjadi untuk dinding lubang hasil pemboran sebaliknya. Dinding
lubang bor dengan batuan yang tersusun oleh mineral yang brittle mudah mengalami
runtuh. Sehingga material runtuhan ini dalam volume yang banyak dapat
menyebabkan rangkaian bor terjepit (stuck).
Selain untuk perhitungan brittleness dalam kajian ini diperlukan untuk
menetapkan tipe mineral yang swelling atau nonswelling. Mineral smectite termasuk
mineral lempung tipe 2:1, terdiri atas dua lapisan tetrahedral yang mengapit satu
lapisan oktahedral. Adanya substitusi isomorfik yang terjadi di dalam struktur
lembaran, kedua lapisan oktahedral dan tetrahedral, menyebabkan ruang antar lapisan
unit mineral dapat ditempati oleh unsur, seperti kation basa, Al, Si, dll. Perbedaan
dengan vermikulit adalah mineral smektit dapat mengembang dan mengerut. Kedua
jenis mineral mempunyai kesamaan yaitu mempunyai ruang interlayer dari mineral.
Perilaku mineral smektit dapat dengan mudah dikenali dengan analisis X-Ray
Diffraction (XRD). Pemberian ethylene glycol diperlukan terutama untuk
membedakan mineral tipe 2:1 yang merupakan mineral smectite atau nonsmectite.
Solvasi ethylene glycol menyebabkan bergesernya mineral smectite menjadi puncak
dengan basal spacing yang lebih besar.
Dari dasar teori diketahui apabila shale yang terindiksi mempunyai sifat
swelling dapat terdapat indikasi mineral Smectite yang besar. Dengan kata lain semakin
banyak mineral Smectite yang terindikasi di shale maka hamper dapat dipastikan
bahwa shale tersebut termasuk golongan shale yang swelling.
Dalam studi geomekanik yang melibatkan XRD tersebut dimaksutkan agar
selama melaksanakan proses pemboran apabila trayek pemboran kita menemui zona
shale yang terindiksai dapat mengakibatkan shale problem, kita dapat mengetahui jenis
permasalahan apa yang kemungkinan bisa terjadi baik yang melibatkan shale yang
brittle ataukah shale yang swelling. Setelah mengetahui hal tersebut barulah kita bisa
mengambil tindakan yang sesuai dengan sifat shale yang ditembus. Apakah menaikkan
berat lumpur atau menjaga ROP tetap stabil dan sebagainya. Dan perlu diingat bahwa
tudi geomekanik yang melibatkan XRD ini idealnya harus dilakukan hampir
bersamaan dengan program pemboran agar bisa dilakukan prediksi sesegera mungkin
bisa terjadinya problem-problem pemboran bahkan sebelum masalah itu terjadi.
4.4.2. Pipa Terjepit (Pipe Sticking)
Definisi pipa terjepit adalah keadaan dimana bagian dari pipa bor atau setang
bor (drill collar) terjepit (stuck) di dalam lubang bor. Dalam kenyataannya operasi
pemboran tidak selalu berjalan dengan lancar, seringkali pipa bor terjepit. Penyebab
terjepitnya rangkaian pipa bor pada sumur pemboran adalah karena adanya differential
sticking maupun mechanical sticking, jika hal ini terjadi, maka gerakan pipa akan
terhambat dan pada gilirannya dapat mengganggu kelancaran operasi pemboran.
Adapun penyebab terjadinya pipe sticking antara lain, partikel padatan pada lubang bor
yang meliputi serbuk bor dan runtuhan/caving, differential pressure, dan key-seat.

Gambar 4.7.
Gambaran Rangkaian Drill String Ketika Menembus Formasi yang
Lunak dan Keras
4.4.2.1. Jenis-Jenis Pipe Sticking
Umumnya, drillpipe mengalami masalah terjepit pada lubang diakibatkan
oleh bermacam-macam alasan, diantaranya adalah:
1. Keyseating
2. Perbedaan tekanan antara formasi dengan lubang bor
3. Balling yang terjadi pada bit dan drill collar
4. Benda asing atau junk di lubang bor
5. Sloughing formation (terdapat shale)
6. Pembersihan cutting di atas bit atau drill collar
4.4.2.2.1. Differential Pipe Sticking
Differential pipe sticking adalah rangkaian terjepit, dimana rangkaian tidak bisa
diputar, diangkat, tetapi lumpur dapat disirkulasikan, akibat dari tekanan kolom lumpur
yang lebih besar dari tekanan formasi (Ph > Pf), sehingga mengakibatkan terdapatnya
mud cake yang terlalu tebal pada dinding lubang bor.

Terjepitnya pipa disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan hidrostatis lumpur


dengan tekanan formasi yang cukup besar. Tekanan hidrostatis lumpur menekan
rangkaian pipa ke salah satu sisi dari dinding lubang. Pada formasi yang permeable,
filtrat lumpur akan masuk kedalam dinding lubang dan membentuk mudcake yang
tebal. Bila rangkaian pemboran terbenam di dalam mud cake, maka terjadilah
differential pipe sticking.

Differential pipe sticking ini terjadi pada lubang miring. Karena lubang miring,
rangkaian bor dapat menempel kedinding lubang. Rangkaian bor terbenam sebagian
dalam mud cake memegang rangkaian bor. Differential pipe sticking ini juga sering
terjadi pada saat lumpur tidak bersikulasi dan saat rangkaian sedang diam. Bagian
rangkaian bor yang terjepit umumnya adalah pada drill collar.

Gambar 4.8.
Terjadinya Differential Pipe Sticking
Persamaan untuk menghitung differential force, yaitu :

DF = (Hs - Pf) x kontak area x faktor gesekan ................................................ (4-5)

dimana :
DF = Differential Force
Hs = tekanan hidrostatik lumpur pemboran
Pf = tekanan formasi

Kontak area (area of contact) merupakan hasil perkalian antara ketebalan zona
permeable dengan ketebalan mud cake, atau seringkali dinyatakan sebagai :

Kontak area = h x t .............................................................................. (4-6)

Faktor gesekan (friction faktor) dinotasikan f, besarnya bervariasi dimana salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah komposisi mud cake, dengan mensubstitusikan
persamaan (3-5) ke dalam persamaan (3-6) didapatkan :

DF = (Hs – Ps) x (h x t) x f ................................................................... (4-7)

Dalam satuan lapangan persamaan (3-7) menjadi :

DF = (Hs – Pf) psi x h(ft x 12 in/ft) x t (in) x f .................................... (4-8)


DF = 12 (Hs – Pf) x h x t x f ................................................................ (4-9)

Besarnya gaya diferensial sangat sensitif untuk berubah terutama pada nilai kontak area
dan faktor gesekan, yang keduanya (kontak area dan faktor gesekan) merupakan fungsi
waktu. Semakin lama pipa dibiarkan berada dalam keadaan statis, tebal mud cake akan
meningkat. Demikian halnya dengan faktor gesekan yang akan meningkat dengan
semakin banyaknya air yang ditapiskan dari mud cake.
Gaya diferensial ini juga sangat sensitif untuk berubah dalam hal besarnya
perbedaan tekanan (Hs – Pf). Dalam operasi pemboran yang normal diusahakan
terdapat overbalance pressure antara 100 sampai dengan 200 psi (6.8 – 13.6 bar).
Kenaikan overbalance pressure yang tinggi dapat ditimbulkan oleh hal-hal berikut :
a) Kenaikan tiba-tiba dari berat lumpur pemboran yang akan meningkatkan
tekanan hidrostatik lumpur dan pada akhirnya akan meningkatkan besarnya
overbalance pressure.
b) Pemboran yang melalui reservoir yang akan terdeplesi dan adanya regresi
tekanan.
Regresi tekanan terjadi pada operasi pemboran pada saat gradien tekanan formasi
menurun sementara gradien tekanan lumpur pemboran tetap untuk menahan tekanan
formasi pada formasi batuan yang ada diatasnya.

4.4.2.2.2. Mechanical Pipe Sticking


Mechanical pipe sticking merupakan salah satu jenis pipe sticking yang
disebabkan karena operasional pemboran kurang baik atau karena sebab mekanis pada
saat pemboran sedang berlangsung. Mechanical pipe sticking lebih disebabkan driller
yang kurang berhati-hati dalam melakukan pemboran dan karena peralatan yang
kurang baik. Pipa dapat terjepit secara mekanis bila :
1. Keratan bor atau formasi yang mengalami Sloughing menyumbat annulus
disekitar rangkaian bor.
2. Rangkaian bor diturunkan terlalu cepat sehingga menghantam bridge atau tight
spot atau dasar lubang.
3. Ditarik masuk ke dalam lubang kunci (key seat).
Cutting yang tidak terangkat dengan baik oleh lumpur pemboran dapat
menumpuk atau terakumulasi didasar lubang, sehingga dengan berjalannya waktu
maka semakin lama akan menjepit rangkaian drill string. Pengangkatan cutting
efektifitasnya terletak pada lumpur pemboran dan kecepatan di annulus.
Lumpur yang mempunyai viscositas dan gel strenght tinggi akan baik dalam
pengangkatan cutting, sebaliknya lumpur yang terlalu encer dan mempunyai gel
strenght kecil akan sulit untuk mengangkat cutting karena tidak baik dalam
pengangkatan cutting yang pada akhirnya akan menjepit rangkaian drill string.
Pengontrolan sifat fisik dan rheologi lumpur pemboran sangat perlu untuk
mengimbangi jumlah cutting yang ada, sehingga dalam lumpur pemboran pasti harus
ditambah bermacam-macam additif yang mempunyai fungsi tertentu. Kecepatan di
annulus juga mempengaruhi pengangkatan cutting dimana kecepatan pengangkatan
cutting harus lebih besar dari kecepatan pengendapan cutting sehingga cutting akan
terangkat ke atas dengan baik.

4.4.2.2.3. Key Seat


Pipa terjepit karena key seat disebabkan oleh karena adanya dog leg. Dog leg adalah
lubang bor membelok secara mendadak atau dengan kata lain terjadi perubahan sudut
kemiringan lubang dan sudut arah lubang secara mendadak. Drill pipe dapat mengikis
dinding lubang yang bengkok mendadak tersebut, sehingga terbentuk lubang yang
penampangnya seperti lubang kunci (key seat). Waktu sedang melakukan pemboran
terlihat ada kenaikkan torsi, karena drill pipe mengikis dinding lubang yang bengkok.
Diwaktu mencabut rangkaian terjadi sangkutan saat drill collar sampai di daerah key
seat. Ada pula tanda-tanda dari key seat adalah rangkaian tidak bias diangkat/dicabut,
tekanan pemompaan lumpur normal dan rangkaian bias diputar. Sebagai penyebab
terjadinya dog leg adalah sebagai berikut :
 WOB yang terlalu tinggi
 Faktor formasi. Faktor formasi ini antara lain :
- perubahan kekerasan
- kemiringan lapisan yang ditembus
- formasi bergoa-goa
 Diameter drill collar yang terlalu kecil
Gambar 4.9.
Pipa Terjepit Karena Key Seat
Pada gambar 4.9. bahwa pipa belum terjepit. Tapi tool joint drill pipe dapat
tersangkut nantinya di daerah key seat disaat mencabut rangkaian. Kalau tool joint bisa
lewat biasanya drill collar dapat tersangkut.
Mencegah terjadi masalah key seat pada suatu sumur, sebelum melakukan
pemboran dipelajari terlebih dahulu sifat-sifat dan data pemboran pada sumur terdekat
yang pernah mengalami masalah key seat. Jika sumur yang akan mulai di bor
berpotensi terjadi masalah key seat, maka harus tersedia string reamer atau key seat
wiper. Jika terjadi kenaikan torsi disaat pemboran berlangsung, karena gesekan-
gesekan drill pipe ke dinding lubang, hentikanlah segera pemboran. Angkat string dan
pasang string reamer atau key seat wiper. Kemudian lakukan reaming pada kedalaman
yang mengalami dog leg. String reamer atau key seat wiper dipasang pada drill pipe.
Ukuran string reamer atau key seat wiper harus lebih besar dari tool joint drill pipe
dan lebih kecil dari diameter drill collar. Dan jika pipa sudah terjepit karena masalah
key seat, rangkaian diputar perlahan dengan tension yang minimum. Hal tersebut
dilakukan secara terus-menerus hingga rangkaian dapat dicabut.
4.4.2. Hilang Lumpur (Loss)
Hilang lumpur adalah peristiwa hilangnya lumpur pemboran masuk kedalam
formasi. Hilang lumpur ini merupakan problem lama di dalam pemboran, yang
meskipun telah banyak penelitian, tetapi masih banyak terjadi dimana-mana. Serta
kedalaman yang berbeda-beda.

Gambar 4.10.
Hilang Lumpur (Loss)
4.4.3.1. Penyebab Hilang Lumpur
Penyebab hilang lumpur adalah sebagai berikut :
a) Formasi pecah
b) Formasi bergoa
c) Formasi kasar
d) Formasi rekah alamiah
4.4.3.1.1. Formasi Pecah
Dalam operasi pemboran formasi bisa pecah (breakdown formation). Secara
umum formasi pecah apabila tekanan lumpur ke formasi melebihi tekanan rekah
formasi itu sendiri. Penyebab dari formasi pecah ini adalah sebagai berikut :
a) Viscositas lumpur yang terlalu tinggi Viskositas lumpur yang tinggi dapat
menyebabkan pressure loss juga akan tinggi, tekanan sirkulasi yang diperlukan
juga akan tinggi. Bila tekanan sirkulasi melebihi tekanan rekah formasi, maka
formasi dapat pecah, dan lumpur dapat masuk kedalam formasi. Selain itu
disaat melakukan penurunan rangkaian pemboran kedalam lubang sering
terjadi Squeeze effect. Karena viskositas yang tinggi tahanan terhadap aliran
juga besar. Lumpur yang berada dibawah bit terlambat naik keatas bit. Sehingga
lumpur tersebut tertekan oleh bit. Tekanan ini diteruskan lumpur ke formasi.
Bila melebihi tekanan rekah formasi, maka formasi akan pecah, dan lumpur
akan masuk kedalam formasi.

Gambar 4.11.
Formasi Pecah Karena Sqieeze Effect
b) Berat jenis lumpur yang tinggi
Berat jenis lumpur yang tinggi dapat menyebabkan tekanan hidrostatis lumpur
menjadi tinggi juga. Tekanan sirkulasi merupakan tekanan hidrostatis ditambah
dengan pressure loss. Bila tekanan sirkulasi melebihi tekanan rekah formasi,
maka formasi dapat pecah, dan lumpur dapat masuk kedalam formasi.
c) Gelstrength lumpur yang tinggi.
Gelstrength lumpur yang tinggi dapat menyebabkan tekanan awal yang
diperlukan untuk mersirkulasikan lumpur yang tinggi. Hal ini untuk memecah
gel yang terjadi. Kalau hal ini dipaksakan dan tekanan melebihi tekanan rekah
formasi, maka formasi dapat pecah, dan lumpur dapat masuk kedalam formasi.

d) Penggumpalan cutting pada bit.


Bila cutting menggumpal pada bit maka aliran lumpur naik di annulus
terhalang, sehingga tekanan dapat naik. Bila tekanan lumpur melebihi tekanan
rekah formasi, maka formasi dapat pecah, dan lumpur dapat masuk kedalam
formasi.
4.4.3.1.2. Formasi Bergoa
Formasi yang bergoa sering dijumpai pada batu gamping atau karbonat
(limestone) dan dolomite. Goa-goa ini terbentuk karena adanya bagian yang larut dalam
batuan gamping. Jika bit menembus formasi bergoa maka lumpur dapat masuk
kedalam formasi tersebut, sehingga terjadi hilang lumpur. Besar kecilnya hilang
lumpur tergantung kepada ukuran goa-goanya. Formasi bergoa ini sering disebut juga
dengan Cavernouse Formation.
Gambar 4.12.
Mud Loss Disaat Bit Menembus Formasi Bergoa
4.4.3.1.3. Formasi Kasar
Formasi dengan butiran yang kasar umumnya mempunyai tingkat sementasi
yang rendah. Formasi ini sangat porous dan permeable. Formasi ini mempunyai
permeabilitas yang lebih besar dari 14 darcy. Contoh dari batuan ini adalah gravel.
Kalau bit menembus formasi kasar maka lumpur dapat masuk kedalam formasi
tersebut, sehingga terjadi hilang lumpur.

Gambar 4.13.
Gambaran Formasi Kasar
4.4.3.1.4. Formasi Rekah Secara Alamiah
Formasi yang mempunyai rekahan secara alamiah disebabkan oleh gerakan-
gerakan tektonik di dalam bumi. Gerakan-gerakan yang terjadi disebabkan karena tidak
seimbangnya gaya-gaya yang bekerja didalam bumi. Rekahan alamiah yang kecil dapat
berupa retak-retak. Kalau bit menembus formasi yang rekah secara alamiah maka
lumpur dapat masuk kedalam formasi tersebut, sehingga terjadi hilang lumpur.

Gambar 4.14.
Formasi yang Mempunyai Rekahan
4.4.3.2. Jenis – Jenis Loss Circulation
4.4.3.2.1. Seepage Loss
Seepage losses adalah hilang lumpur yang sama volume lumpur yang masuk ke
dalam formasi lebih kecil dari 15 bbl/jam. Lumpur masih dapat bersirkulasi, artinya
lumpur masih kembali dari dalam lubang ke permukaan.
4.4.3.2.2. Partial Loss
Partial losses adalah hilang lumpur yang mana volume lumpur yang masuk ke
dalam formasi lebih besar dari 15 bbl/jam. Lumpur masih dapat bersirkulasi, artinya
lumpur masih kembali dari dalam lubang ke permukaan. Untuk mengetahui volume
lumpur yang masuk ke formasi ini dapat dilihat pada tangki lumpur. Berapa penurunan
permukaan lumpur per-jam
4.4.3.2.3. Complete Loss of Return
Complete losses adalah hilang lumpur dimana lumpur masuk ke dalam formasi
cukup banyak, dan lumpur tidak dapat bersirkulasi. Artinya lumpur tidak kembali dari
dalam lubang kepermukaan. Complete loss disebut juga dengan total loss atau lost
circulation. Complete loss dapat dibagi dua yaitu:
a) Complete loss, dimana lumpur tidak kembali dari dalam lubang kepermukaan,
tapi annulus tetap penuh.
b) Complete loss, dimana lumpur tidak kembali dari dalam lubang kepermukaan,
tapi permukaan lumpur diannulus turun. Complete loss yang begini yang
berbahaya, karena tinggi kolom lumpur di annulus turun.
4.4.3. Kick dan Blow Out
Kick adalah masuknya fluida formasi kedalam lubang sumur. Hal ini
dikarenakan lumpur pemboran tidak dapat mengontrol tekanan formasi. Lumpur
pemboran memberikan tekanan hidrostatis kepada tekanan formasi. Bila tekanan
hidrostatis lebih kecil dari pada tekanan formasi maka terjadilah kick. Fluida formasi
(air, minyak, gas) yang sudah masuk kedalam lubang sumur ini mempunyai tekanan
yang besar, sehingga fluida ini mengalir ke permukaan jika tidak dapat dikontrol
dengan cepat, maka menyemburlah fluida formasi tersebut ke permukaan. Hal ini
disebut blow out. Bila yang menyembur minyak dan maka gas sangat berbahaya sekali,
karena kalau ada sepercik api saja maka akan menimbulkan ledakan

4.4.4.1. Penyebab Wellkick


Well kick adalah suatu kejadian dimana fluida formasi masuk ke dalam
lubang bor. Bila Well kick tidak segera ditangani maka dapat mengakibatkan terjadinya
semburan liar. Sebab-sebab terjadinya kick, secara garis besar adalah bila tekanan
hidrostatik lumpur lebih kecil daripada tekanan formasi. Adapun sebab-sebab tekanan
hidrostatik lumpur tidak dapat megimbangi tekanan formasi adalah:
1. Berat jenis lumpur pemboran turun.
Dalam hal ini tekanan hidrostatis lumpur lebih kecil daripada tekanan
formasi.
Ph = 0.052 x D x w…………………………………………………(4-10)
Dimana :
Ph = tekanan hidrostatis lumpur, psi.
D = kedalaman lubang bor, ft.
W = berat jenis Lumpur, lbs/gal.
Berat jenis lumpur turun diakibatkan bercampurnya fluida formasi dengan
lumpur bor. Dengan kata lain masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor akan
menyebabkan berat lumpur turun. Masuknya fluida lumpur pemboran dapat
disebabkan oleh :
2. Swabbing effect.
Swab effect terjadi apabila pemcabutan rangkaian peralatan pemboran terlalu
cepat, sehingga antara rangkaian peralatan pemboran dan dinding lubang bor laksana
piston. Ruang bawah pahat yang ditinggalkan oleh drill string menjadi kosong dan
fluida formasi dapat terhisap ke dalam lubang sumur.
Ditambah lagi dengan viskositas lumpur yang besar (lumpur kental), maka
gerakan lumpur yang ada di atas pahat terlambat mengisi ruang yang ada di bawah
pahat. Akibatnya masuknya fluida formasi masuk ke dalam lubang dan bercampur
dengan lumpur bor, menyebabkan berat jenis lumpur dapat turun hil ini dapat
menurunkan tekanan hidrostatik lumpur bor.
3. Menembus formasi gas.
Pada waktu menembus formasi gas, serbuk bor yang dihasilkan mengandung
gas, walaupun pada mulanya tekanan hidrostatik lumpur dapat membendung gas
supaya tidak masuk ke dalam lubang sumur, tetapi gas dapat masuk kedalam lubang
bor. Kalu hal ini terjadi, maka tekanan hidrostatik lumpur tidak dapat lagi membendung
masuknya gas ke dalam sumur secara lebih besar.
4. Tinggi kolom lumpur turun.
Bila formasi pecah atau ada celah-celah pada lapisan di dalam lubang, maka
lumpur bor dapat masuk ke dalam lapisan yang pecah atau bercalah tersebut. Akibat
turunnya tinggi kolom di annulus tersebut, maka tekanan hidrostatik lumpur juga dapat
turun.
5. Hilang lumpur.
Hilang lumpur adakalanya terlalu besar sehingga permukaan dalam lubang
bor dapat turun, dan tekanan hidrostatik lumpur dapat menjadi kecil daripada tekanan
formasi. Hilang lumpur ini dapat terjadi karena porositas formasi terlalu besar, formasi
yang bergua, mungkin pula karena ada celah-celah atau rekahan di dalam formasi.
6. Abnormal Pressure.
Adakalanya pemboran menembus formasi dengan tekanan sangat tinggi, dan
melebihi tekanan hidrostatik lumpur.
4.4.4.2. Peralatan Deteksi Wellkick
Peralatan standard yang biasa digunakan untuk mendeteksi terjadinya
wellkick adalah:

1. Pit level indicator, dipakai level-measuring tranduscer pada setiap tangki


lumpur, sehingga volume lumpur di tangki selalu dapat dicatat.
2. Pump stroke counter, alat penghitung jumlah langkah pompa ini sangat perlu
untuk pengendalian kick atau semburan liar.
3. Flow indicator, pada flowline untuk mengamati adanya atau besarnya aliran
pada flowline.
4. Trip tank, untuk mengamati jumlah lumpur yang keluar atau masuk lubang bor
pada waktu operasi cabut atau masuk pahat.
5. Gas chromatograph, untuk menganalisa gas.

Dalam hal ini peralatan sembuaran liar akan berfungsi untuk mengatasi kick
dan semburan liar. Untuk itu diperlukan peralatan yang baik dan mempunyai tekanan
kerja yang sesuai.
V. RENCANA DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. KARAKTERISTIK BATUAN FORMASI
2.1. Litologi Formasi
2.1.1. Jenis Batuan Berdassarkan Genesa
2.1.1.1. Batuan Beku
2.1.1.1.1. Struktur Batuan Beku
2.1.1.1.2. Tekstur Batuan Beku
2.1.1.1.3. Komposisi Mineral Batuan Beku
2.1.1.2. Batuan Sedimen
2.1.1.2.1. Struktur Batuan Sedimen
2.1.1.2.2. Tekstur Batuan Sedimen
2.1.1.2.3. Pembagian Batuan Sedimen
2.1.1.3. Batuan Metamorf
2.1.1.3.1. Struktur Batuan Metamorf
2.1.1.3.2. Tekstur Batuan Metamorf
2.1.1.3.3. Pembagian Batuan Metamorf
2.1.2. Jenis Batuan Berdasarkan Kandungan Mineral
2.1.2.1. Batu Pasir
2.1.2.2. Batuan Karbonat
2.1.2.3. Batuan Shale
2.1.3. Stratigrafi
2.1.3.1. Prinsip - Prinsip Stratigrafi
2.1.3.2. Ketidakselarasan
2.1.4. Struktur Geologi
2.1.4.1. Kekar/Rekahan
2.1.4.2. Sesar (Fault)
2.1.4.3. Lipatan
2.2. Sifat Mekanik Batuan Formasi
2.2.1. Compressive Strength
2.2.2. Rock Drillibility
2.2.3. Hardness
2.2.4. Abrasiveness
2.2.5. Elastisity
2.2.6.Bailing Tendency
2.2.7. Fracturing
2.3. Sifat Fisik Batuan Reservoir
2.3.1. Porositas
2.3.2. Permeabilitas
2.3.3. Wetabilitas
2.3.4. Saturasi Fulida
2.3.5. Tekanan Kapiler
BAB III. GEOMEKANIK
3.1. Geomekanika Batuan
3.1.1. Stress dan Strain
3.1.1.1. Stress
3.1.1.2. Strain
3.1.2. Poisson’s Ratio
3.1.3. Young’s Modulus
3.1.4. Compressive Strength
3.1.5. Friction Angle
3.1.6. Cohesive Strength
3.2. Mekanika Kegagalan (Failure Mechanics)
3.2.1. Tensile Failure
3.2.2. Shear Failure
3.2.3. Compaction Failure

BAB IV. HOLE BORE STABILITY


4.1.Ketidakstabilan dan Pengeboran
4.1.1. Deskripsi Model Pengeboran
4.1.2. Jenis Hole Bore Stability
4.1.2.1. Mechanical-Inducec Hole Bore Stability
4.1.2.2. Chemical-Induced Borehole Instability
4.3. Ketidakstabilan Berdasarkan Jenis Formasi
4.3.1. Shale Formatioan
4.3.2. Unconsolidated Formation
4.3.3. Fractured Formation
4.3.4. Creeping Formations
4.3. Faktor yang Mempengaruhi Hole Bore Stability
4.3.1. In situ Stress Field
4.3.2. Wellbore Pressure
4.3.3. Fractures and Damages in the Formations
4.3.4. Thermal Effect
4.4. Hole Problem
4.4.1. Problem Shale
4.4.1.1. Jenis-Jenis Shale
4.4.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Shale Problem
4.4.1.3. Penyebab Shale Problem
4.4.2. Pipa Terjepit (Pipe Sticking)
4.4.2.1. Jenis-Jenis Pipe Sticking
4.4.2.2.1. Differential Pipe Sticking
4.4.2.2.2. Mechanical Pipe Sticking
4.4.2.2.3. Key Seat
4.4.3. Hilang Lumpur (Loss)
4.4.3.1. Penyebab Hilang lumpur
4.4.3.1.1. Formasi Pecah
4.4.3.1.2. Formasi Bergoa
4.4.3.1.3. Formasi Kasar
4.4.3.1.4. Formasi Rekah Secara Alamiah
4.4.3.2. Jenis – Jenis Loss Circulation
4.4.3.2.1. Seepage Loss
4.4.3.2.2. Partial Loss
4.4.3.2.3. Complete Loss of Returns
4.4.4. Kick dan Blow Out
4.4.4.1. Penyebab Wellkick
4.4.4.2. Peralatan Deteksi Wellkick
RENCANA DAFTAR PUSTAKA
1. Amyx, J. 1960. “Petroleum Reservoir Engineering”. McGraw-Hill Book
Company, Inc., USA.
2. Kristanto, Deddy. 2010. “Reservoir Engineering: Teori dan Aplikasi”. Jurusan
Teknik Perminyakan UPN “Veteran” Yogyakarta
3. Tiab, D and Donaldson E.E. 2004 “Petrophysic Theory an Practise of
Measuring Reservoir Rock”. Gulf Profesional Publishing
4. Mc Cain and William D. Jr. 1979. “The Properties of Petroleum Fluids” Penn
Well Publishing Company. Tulsa, Oklahoma.
5. Adams, N.J. 1985. “Drilling Engineering”. A Complete Well Planning
Approach Penn Well Publishing Co. Tulsa Oklahoma
6. Rubi Rubiandini. 2012. “Teknik Operasi Pemboran” Institut Teknologi
Bandung
7. Zobac, Mark D. 2007. “Reservoir Geomechanics”. Cambridge University
Press. IK.
8. Guangquan Xu, B. Eng., M. Sc. 2007. “WELLBORE STABILITY IN
GEOMECHANICS”. GEORGE GREEN LIBRARY OF SCIENCE AND
ENGINEERING The University of Nottingham
9. Jean-François. 2011. “GEOMECHANICS APPLIED TO THE PETROLEUM
INDUSTRY”. NAUROY IFP Energies TECHNIP 25 rue Ginoux, 75015
PARIS FRANCE
10. Ir. Kaswir Badu. 2000. “Pipe Sticlking”Jilid. PEM, AKAMIGAS CEPU
11. Ir. Kaswir Badu. 1999. “Mud Loss” PEM, AKAMIGAS CEPU
12. Harisson, J.P. Hudson J.A. 2000. “Engineering Rocks Mechanics.”
Technology and Medicine University of London, UK

Anda mungkin juga menyukai