Anda di halaman 1dari 43

Bab 5.

Hole Problem

5.1. Ketidakstabilan Dinding Sumur Pemboran


Usaha memelihara kestabilan lubang bor sewaktu pemboran
menembus formasi shale, akan dipersulit dengan adanya masalah yang
ditimbulkan oleh sifat-sifat shale tersebut (shale problem), dalam hal ini
terutama masalah clay swelling didalamnya. Clay swelling bersama dengan
sifat-sifat shale yang lainnya (dispersi dan lain- lainnya) menimbulkan
masalah yang bervariasi yang dilukiskan sebagai sloughing shale, heaving
shale, running shale, gas bearing shale dan pressure shale, pada umumnya
secara geografis terbatas pada daerah geologi yang berumur lebih tua dari
Recent. Mud making shale atau shale yang dapat menghidrate adalah jenis
yang dapat menimbulkan pembesaran lubang bor bila terjadi interaksi secara
kimia dengan fluida pemboran, ini terjadi bila didalamnya terkandung
bentonitic shale yang sedikit atau dapat menghidrat seperti seperti illiti, chlorit
atau caolinitic secara kimiawi hanya sedikit dipengaruhi oleh lumpur
pemboran.
Semua masalah shale yang dapat menimbulkan ketidakstabilan
lubang bor di atas adalah disebabkan oleh faktor fisika, kimia atau mekanis
atau gabungan dari faktor-faktor tersebut. Yang sering terjadi adalah
gabungan dari dua atau tiga faktor bersama-sama. Dalam hubungannya
dengan swelling (interaksi antara fluida pemboran dalam hal ini adalah filtrat
air dengan clay yang swelling ), faktor kimia sangat menonjol, dan yang
paling umum terjadi pada formasi shale yang mengandung kimia clay yang
menghidrat (mineral non morillonite misalnya bentonit), dimana formasi akan
menghidrat filtrat lumpur sehingga terjadi swelling diikuti gugurnya formasi ke
dalam lubang bor. Keadaan ini membahayakan karena akan menaikkan
jumlah padatan dalam lumpur, menimbulkan penyumbatan lubang bor, dan
lebih jauh lagi akan menyebabkan terjepitnya drill pipe (drill pipe sticking).
Gugurnya formasi setelah terjadinya swelling akan dipercepat oleh adanya
aksi mekanis alat-alat bor seperti perputaran drill string. Kejadian ini terutama
disebabkan oleh perputarannya yang akan konsentris.
Seperti telah kita ketahui pada bab sebelumnya, bahwa clay yang
mengalami swelling, pada batas tertentu akan mengalami dispersi.
Terdispersinya clay (yang terdistribusi dalam formasi shale) dalam lumpur
pemboran, secara tidak terkendali akan menaikkan kadar padatan dalam
lumpur dengan densitas yang rendah, sedangkan viscositasnya
meningkatkan, sehingga akan memperbesar kehilangan tekanan (pressure
loss), dan ini akan mengakibatkan turunnya laju pemboran. Keadaannya
akan lebih buruk lagi apabila rangkaian pipa bor terjepit (drill pipe sticking)
dikarenakan terlalu banyaknya partikel clay terdispersi dalam lumpur yang
pemboran tidak terangkat oleh sirkulasi lumpur ke permukaan.
Pada saat sedimentasi air terjebak dalam formasi shale akan
mengalami hidrasi, dengan demikian proses kompaksi tidak berlangsung
secara normal, tidak semua air yang terperas dialirkan melalui media yang

Hole Problem 1
porous, melainkan sebagian masih terjebak diantara butiran-butiran dalam
tubuh formasi, sehingga tekanan pori-pori dalam tubuh formasi shale
tersebut masih tetap tinggi, bahkan bila ada gas terlarut masih tetap tinggi,
bahkan bila gas terlarut dalam pori-pori tersebut maka tekanannya akan
mendekati tekanan overburden.
5.5. Formation Damage
Terjadinya invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif yang
mengandung clay (formasi shale atau formasi dirty sands dengan kandungan
claynya lebih tinggi) akan mengakibatkan terjadinya hidrasi air filtrat oleh clay
sehingga terjadi pembengkakan (swelling) dari partikel-partikel clay tersebut.
Keadaan tersebut mengakibatkan well bore damage (formation damage),
yaitu pengurangan permeabilitas dari formasi produktif disebabkan
berubahnya sifat-sifat fisik batuan reservoir karena swelling tadi di daerah
formasi produktif.
5.5.1. Perubahan Pada Sifat-sifat Fisik Batuan Reservoir
Pembentukan mud cake yang tipis dan kuat dengan permeabilitas
yang rendah pada dinding lubang bor, adalah merupakan salah satu fungsi
lumpur pemboran yang penting. Pembentukan mud cake yang terlalu tebal
pada dinding lubang bor akan mempersempit ruang gerak bahkan terjepitnya
drill string. Mud cake yang terlalu tebal ini tergantung dari keberesan fungsi
lumpur terutama dipengaruhi kondisi sifat-sifat dari batuan reservoir. Tetapi
dalam hal ini akan ditekankan pada pengaruh invasi mud filtratnya terhadap
sifat-sifat (batuan) reservoir terutama :
a. Porositas batuan
Seperti telah kita ketahui bahwa formasi mempunyai permeabilitas
dan lumpur pemboran memiliki sifat filtration loss, maka terjadi invasi
mud filtrat, dimana fasa cair dari lumpur akan tersaring masuk ke
dalam formasi yang permeabel di sekitar lubang bor tadi, sedangkan
padatan lumpur (mud solids) tertinggal dan akan membentuk mud
cake pada dinding lubang sumur bor. Sketsa dari invasi mud filtrat ke
dalam formasi permeabel ini dapat kita lihat pada (Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Invasi Mud Filtrat Ke Dalam Formasi Melalui Dinding


Sumur Yang Permeabel. 17)

Hole Problem 2
Apabila mud filtratnya adalah air (dari water base mud) dan
formasinya mengandung clay yang menghidrate (formasi shale atau
formasi dirty sands), maka akan terjadi hidrasi dan swelling
(pembengkakan) dari partikel clay tadi sehingga menyebabkan
berkurangnya ruang pori-pori mula-mula dari batuan reservoir, seperti
yang kita lihat pada (Gambar 5.2), dimana didalam formasi yang
bersangkutan terdistribusi material clay yang dapat mengembang
(material expandable clays).

Gambar 5.5. Pengecilan ruang pori-pori batuan akibat swelling clay. 17)
Dengan mengecilnya pori-pori batuan tadi maka akan mengakibatkan
mengecilnya porositas batuan tersebut.
b. Saturasi permeabilitas, tekanan kapiler dan sifat kebasahan
batuan.
Seperti telah dibicarakan diatas, bahwa dengan terjadinya swelling
clay di dalam formasi, maka akan terjadi penyumbatan ruang pori-
pori batuan dalam formasi tersebut, sehingga akan menyebabkan
terhambatnya aliran fluida melalui media berpori tadi. Sebagaimana
diketahui bahwa permeabilitas suatu batuan reservoir adalah
merupakan ukuran kemampuan batuan tersebut untuk mengalirkan
fluida melalui media berpori yang saling berhubungan di dalamnya.
Pengaruh porositas terhadap aliran fluida di dalam media berpori
tidak langsung, tetapi porositas akan mempengaruhi harga
permeabilitas. Pada umumnya untuk suatu lapangan dengan formasi
sand stone dalam suatu lapisan, sering didapatkan hubungan yang
linier antara log permeabilitas dan porositas seperti, pada Gambar
5.3.

Hole Problem 3
Gambar 5.3. Hubungan permeabilitas dengan Porositas Batuan. 17)
Adanya material clay yang expandable dalam batuan reservoir dapat
memperkecil porositas batuan tersebut. Dari hubungan di atas dapat dilihat
bahwa dengan mengecilnya porositas maka permeabilitas akan turun, dan ini
tidak dikehendaki, sebab dengan mengecilnya permeabilitas efektif minyak
maka produktivitasnya akan turun.
Saturasi fluida dalam media berpori adalah persentase volume fluida
tersebut terhadap volume ruang pori-pori. Adanya material clay yang
menghidrat "irreducible water saturation". Saturasi air yang terikat oleh
material clay ini merupakan karakteristik formasi shaly sands. Keadaan
tersebut dapat ditunjukkan dalam (Gambar 5.4).
Persentase air yang terikat tadi sebesar dari ruang pori-pori sehingga
bila dijumlahkan dengan Swi (ireducible water saturation) mula-mula menjadi
total non movable water saturation (Swnm) sebesar :

S wnm
 S wi  h clean sand

Gambar 5.4. Hidrasi air oleh partikel clay pada formasi shaly sands 17).

Hole Problem 4
Dengan terpengaruhnya harga saturasi oleh adanya hidrasi clay, maka
"Performance" saturasi terhadap aliran fluida juga akan berubah. Terjadinya
clay swelling juga akan mempengaruhi tekanan kapiler, dimana
pembengkakan partikel clay yang memperkecil jari-jari ruang pori-pori
mengakibatkan turunnya permeabilitas. Dengan demikian tekanan kapiler
akan meningkat, karena hubungannya berbanding terbalik dengan jari-jari
ruang pori-pori sehingga akan menghambat pergerakan fluida yang
terkandung di dalam media berpori tersebut.
Secara tidak langsung, terjadinya clay swelling di dalam formasi juga
akan mempengaruhi sifat kebasahan (wettability) batuan, karena
hubungannya merupakan fungsi dari tekanan kapiler dan permeabilitas
batuan tadi.
Tentang perubahan harga saturasi dan permeabilitas batuan akibat
adanya invasi mud filtrat ke dalam formasi produktif, dapat kita lihat
dari data testing pengaruh lumpur pemboran terhadap kerusakan formasi
(formation damage) pada formasi "Steven sand Paloma Field USA", seperti
yang ditunjukan pada (Tabel 5.1).
Dari Tabel 5.1.dapat kita lihat :
1. Efek invasi filtrat dari lumpur fresh water, starch menimbulkan
kerusakan yang cukup besar terhadap formasi, dimana interstitial
water naik dari 34,6 % menjadi 45,3 %, sedangkan permeabilitas
minyak turun dari 100 % menjadi 30 %.
5. Pemakaian calcium chlorida mud memberikan efek perbaikan
formasi, dimana interstitial turun dari 32,3% menjadi 25,7 %,
sedangkan permeabilitas minyak naik dari 100 % menjadi 110 %.
3. Efek dari invasi oil base mud menurunkan interstitial water dari
25,2% menjadi 24,9 %, sedangkan permeabilitas minyak tetap; jadi
tidak menimbulkan kerusakan formasi.
4. Penggunaan jenis lumpur lainnya ternyata menimbulkan kerusakan
formasi, ini dapat dilihat dari penurunan permeabilitas minyak.
Tabel 5.1. Efek invasi filtrat terhadap permeabilitas minyak pada
lapangan Paloma USA12)

Hole Problem 5
Kedalaman invasi mud filtrat ke dalam formasi telah dibicarakan dalam
bab sebelumnya (mengenai filtration dinamik), tetapi selain itu jarak invasi
mud filtrat dapat diketahui secara kualitatif dari porositas formasi. Porositas
yang kecil pada suatu tempat menunjukkan jarak invasi mud filtrat ke dalam
formasi tersebut. Gambar 5.5 menunjukan distribusi fluida secara kualitatif
setelah terjadi invasi mud filtrat di sekitar lubang bor.

Gambar 5.5. Distribusi Radial Fluida Di Sekitar Lubang Bor Sesudah


Invasi Mud Filtrat (kualitatif)17)
Luas daerah invasi mud filtrat di sekitar lubang bor tergantung dari
karakteristik filtrasi lumpur, tekanan differensial antara formasi dengan lubang
bor (tekanan hidrostatik), lama kontak lumpur pemboran dengan dinding
lubang bor serta karakteristik batuan dalam formasi. Gambar 5.6 menunjukan
kondisi di sekitar lubang bor sesudah terjadinya invasi mud filtrat ke dalam
formasi.

Gambar 5. 6. Penampang horizontal melalui lapisan (oil bearing)


permeabel, (Sw 60%)17)
5.5.5. Skin Effect
Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa akibat
adanya invasi mud filtrat ke dalam formasi dapat menimbulkan kerusakan
dalam formasi tersebut. Kedalam invasi tersebut akan menentukan luas
daerah formasi yang mengalami damage ini relatif tipis (hanya di sekitar
lubang bor) dibandingkan dengan luas keseluruhan formasi (sehingga
dengan alasan ini maka formation damage disebut juga sebagai skin effect),
tetapi ia cukup berpengaruh terhadap kelancaran operasi teknik reservoir,
yaitu terhadap recovery.

Hole Problem 6
Hidrasi filtrat lumpur (air) oleh mineral clay yang terdistribusi di dalam
formasi (sehingga terjadi swelling) adalah salah satu sebab terjadinya skin
effect. Sebab lain adalah karena adanya invasi mud solids ke dalam formasi.
Tetapi pada hakekatnya skin effect ini disebabkan oleh adanya invasi liquid
sendiri ke dalam formasi, selain dapat menimbulkan terjadinya swelling
akibat lain yang erat hubungannya dengan terjadinya skin effect adalah :
1. Terbentuknya endapan garam, parafin (wax) yang menimbulkan
akibat yang sama dengan akibat adanya invasi solids ke dalam
formasi.
5. Terbentuknya emulsi dengan fluida formasi yang ada sehingga
mengakibatkan kenaikan viskositas sistem fluida keseluruhan, dan
ini dapat menimbulkan "Capillary blocking".
Invasi keseluruhan filtrat juga dapat mempengaruhi (mengubah)
resistivity formasi sesuai dengan jarak invasinya (mempengaruhi kurva
electric logging).
Besar kecilnya skin effect pada zona damage tersebut dinyatakan
dengan skin effect factor, dimana ini dinyatakan dengan notasi "S". Untuk
pembahasan selanjutnya mengenai skin effect ini, kita lihat Gambar 5.7 yang
menunjukkan penampang horizontal sekitar lubang bor yang mengalami
pengubahan akibat invasi mud filtrat ke dalam formasi.
dimana :
ke = Permeabilitas undamage reservoir
ka = Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra = Jari-jari zonal damage
Pe = Tekanan pada batas pengurasan
Pw = Tekanan pada batas sumur
q = Rate aliran ke lubang sumur

Gambar 5.7. Sketsa ideal sekitar daerah pengurasan sumur17)


Menurut Everdingen dan Hurst besarnya harga skin factor "S" adalah :
 ke  ra
S   1 ln ...............................................................................(5-1)
 ka  rb
Dimana harga "S" menunjukkan kondisi (kerusakan) sekitar lubang bor
yang dipe-ngaruhi langsung oleh harga permeabilitas sesudah dan sebelum
ada gangguan.

Hole Problem 7
Persamaan standar untuk menentukan besar skin factor "S" ini dapat
ditentukan dari hasil Pressure Build Up Test , yaitu sebagai berikut:
  P1 jam  Pwf  ko 
S  1.151    log  ........................(5-2)
 m  Crw  3.23 
2

dimana :
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test
 = Porositas, fraksi
k = Permeabilitas, md
 = Viscositas, cp
C = Compressibilitas batuan ,psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
Dari persamaan itu juga dapat kita mengetahui, bila harga :
S > 0 berarti ada kerusakan Ka < Ke
S = 0 berarti tidak ada kerusakan Ka = Ke
S < 0 berarti ada perbaikan Ka > Ke
Kurva pressure build up test menetukan P skin dapat kita lihat
pada (Gambar 5.8) sedangkan (Gambar 5.9) menunjukan pola aliran radial
fliuda dalam reservoir.

Gambar 5.8. Kurva dari PBU test untuk menentukan harga skin

Hole Problem 8
Gambar 5.9. Pola aliran radial fluida reservoir.17)
Harga dari P skin dapat dihitung dengan persamaan berikut :
ΔPskin = 0.87( S )( m ) ......................................................................(5-3)
Dimana m adalah kemiringan kurva build up test, ditentukan dari
persamaan berikut :
162.5q o  o Bo
m .............................................................................(5-4)
ko h
dimana
q o = Laju produksi minyak, BPD
 = Viskositas minyak, cp
Bo = Formation volume factor, BPD/STB
ko = Permeabiltas minyak, mD
h = Ketebalan formasi produktif, ft
sedangkan P skin sendiri didefinisikan sebagai pressure drop pada zona
damage, psi. Sebagai fungsi langsung dari harga skin effect tadi maka harga
Pskin dapat ditentukan dengan persamaan :
q
Pskin  S ..............................................................................(5-5)
2kh
Dimana semua satuan dinyatakan dalam Darcy unit, dengan K adalah
permeabilitas rata-rata. Dengan demikian maka distribusi tekanan dalam
reservoir setelah terjadinya skin effect dapat ditunjukkan oleh Gambar 5.10.

Hole Problem 9
Gambar 5.10. Distribusi tekanan dalam resevoir setelah terjadinya skin
effect.17)
Dengan adanya skin effect, juga akan menyebabkan turunnya
productivity ratio. Productivity ratio merupakan perbandingan antara rate
aliran sesudah dan sebelum adanya skin effect. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Productivity index adalah perbandingan antara rate aliran produksi
dengan draw-down pressure (tekanan differensial antara tekanan statik dan
tekanan alir sumur, draw-down = Ps  Pwf ), PI. Productivity indeks
sebelumnya adalah :
q
PI actual  ............................................................................(5-6)
Ps  Pwf
Sedangkan productivity indeks setelah adanya skin effect adalah :
q
PI ideal  .............................................................(5-7)
Ps  Pwf  Pskin
Dengan demikian maka productivity ratio adalah :
PI actual Ps  Pwf  Ps
PR   .......................................................(5-8)
PI ideal Ps  Pwf
Turunnya harga productivity indeks ini dapat pula dihitung dengan
persamaan :
PI  k o /  o Bo 
 .......................................(5-9)
PI mula  mula ln re / ra    k e / k a  ln  ra / rw 
dengan demikian maka productivity ratio dapat dihitung dengan
persamaan:
k avg ln re / rw 
PR   ..........................................(5-10)
ko ln re / ra    k e / k a  ln  ra / rw 
dimana

Hole Problem 10
k avg = Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
k e = Permeabilitas mula-mula
ra = Jari-jari zone damage
rw = Jari-jari sumur
5.3. Penyebab Lost Circulation Dan Cara Penanggulangannya
Sebagaimana diketahui lost circulation adalah hilangnya semua atau
sebagian lumpur dalam sirkulasinya dan masuk ke formasi. Berdasarkan
keadaan ini lost circulation dapat dibagi dua, yaitu:
 Partial Lost
 Total Lost
Partial Lost adalah bila lumpur yang hilang hanya sebagian saja, dan
masih ada lumpur yang mengalir ke permukaan. Sedangkan total lost adalah
hilangnya seluruh lumpur dan masuk kedalam formasi. Adanya lost dapat
diketahui dari flow sensor, dan berkurangnya jumlah lumpur dalam mud pit.
5.3.1. Penyebab Lost Circulation
Penyebab lost circulation adalah adanya celah terbuka yang cukup
besar di dalam lubang bor, yang memungkinkan lumpur untuk mengalir
kedalam formasi, dan tekanan didalam lubang lebih besar dari tekanan
formasi. Celah tersebut dapat terjadi secara alami dalam formasi yang
cavernous, fracture, fissure, unconsolidate, atau tekanan yang terlalu besar.
5.3.1.1. Formasi Natural Yang Dapat Menyebabkan Lost
Walau formasi yang menyebabkan lost ciculation tidak diketahui
secara nyata, namun dapat dipastikan bahwa formasi tersebut mesti berisi
lubang pori yang lebih besar dari ukuran partikel lumpur. Hal ini ditunjukkan
dalam banyak kasus bahwa phase solid dari lumpur tidak akan masuk ke pori
dari formasi yang terdiri dari clay, shale, dan sand dengan permeabilitas
normal.
Formasi yang mempunyai formasi alami cukup besar untuk
mengalirkan lumpur adalah:
a. Coarse dan Gravel yang mempunyai variasi permeabilitas
Studi menunjukkan bahwa formasi memerlukan permeabilitas yang
tinggi untuk dimasuki lumpur. Permeabilitas yang tinggi ini dapat
terjadi pada shallow sand dan lapisan gravel. Formasi yang tidak
berkonsolidasi dengan baik, dapat menyebabkan keguguran dinding
sumur yang membentuk gua-gua.
Hal ini dapat terjadi karena tekanan overburden atau berat rig
(Gambar 5.11).

Hole Problem 11
Gambar 5.11. Coarse dan Gravel Sebagai Zona Lost17)
b. Breksiasi
Breksiasi terjadi karena adanya earth stress yang menghasilkan
rekahan. Rekahan yang terjadi dapat menyebabkan lost circulation.
Gambar 5.12 menunjukkan rekahan yang ditimbulkan oleh breksiasi.

Gambar 5.15. Dimensi Rekahan Akibat Breksiasi17)


c . Cavernous atau vugular formation
Pada prinsipnya zone cavernous atau vugular terjadi pada formasi
limestone. Pada formasi limestone, vugs dihasilkan oleh aliran yang
kontinu dari air alami, yang menghancurkan bagian dari matriks
batuan menjadi encer dan larut. Ketika formasi ini ditembus, lumpur
akan hilang ke formasi dengan cepat. Volume lumpur yang hilang
tergantung pada derajat vug yang saling berhubungan. Sedangkan
cavernous dapat terjadi karena pendinginan magma (Gambar 5.13)

Hole Problem 12
Gambar 5.13. Cavernous dan Vugs Sebagai Zona Lost17)
d. Cracked dan fracture
Lost Circulation dapat juga terjadi pada sumur yang tidak
mengandung zona coarse yang permeabel atau formasi yang
cavernous. Loss seperti ini mungkin terjadi karena adanya cracked
atau fracture yang dapat terjadi secara alami, atau adanya tekanan
hidrostatik lumpur yang terlalu besar (Gambar 5.14).

Gambar 5.14.Fracture Horizontal Sebagai Zona Lost


Selain itu, lost circulation dapat terjadi pada depleted zone. Depleted
sand sangat potensial untuk terjadinya lost. Formasi produksi dalam
lapangan yang sama dapat menyebabkan tekanan subnormal akibat

Hole Problem 13
produksi dari fluida formasi. Dalam kasus ini, berat lumpur yang diperlukan
untuk mengontrol tekanan formasi yang lebih dangkal, mungkin terlalu tinggi
untuk lapisan sand dibawahnya. Akibatnya lapisan sand menjadi rekah dan
akan dimasuki lumpur. Kasus seperti ini sering dijumpai pada pemboran
sumur pengembangan, dimana tekanan formasi telah turun akibat sumur-
sumur yang telah ada sudah lama berproduksi (Gambar 5.15).

Gambar 5.15. Depleted Zones


5.3.1.5. Lost Circulation Karena Tekanan
Selain karena adanya formasi natural yang dapat menyebabkan lost,
lost circulation dapat juga terjadi karena kesalahan yang dilakukan pada saat
opersi pemboran yang berkaitan dengan tekanan, misalnya:
a. Memasang intermediate casing pada tempat yang salah
Jika casing dipasang di atas zona transisi antara zona yang
bertekanan normal dengan zona yang bertekanan tidak normal, maka
diperlukan lumpur yang berat untuk mengimbangi tekanan yang
abnormal. Lumpur yang berat ini dapat memecahkan formasi.
b. Pelanggaran downhole pressure
Pelanggaran downhole pressure yang sering dilakukan adalah:
 Mengangkat atau menurunkan pipa yang terlalu cepat.
 Pipe whipping
 Sloughing shale
 Peningkatan tekanan pompa yang terlalu cepat.
 Lumpur yang terlalu berat.

5.3.5. Penanggulangan Lost Circulation


Lost circulation dapat menimbulkan beberapa masalah dan kerugian,
misalnya:
 Hilangnya lumpur.
 Bahaya terjepitnya pipa.
 Formation demage.
 Kehilangan waktu.
 Tidak diperolehnya cutting untuk sample log.

Hole Problem 14
 Penurunan permukaan lumpur dapat menyebabkan blowout pada
formasi berikutnya.
Untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat terjadinya lost
circulation, maka lost circulation harus dicegah atau ditanggulangi bila sudah
terjadi. Beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menanggulangi
lost circulation adalah:
5.3.5.1. Mengurangi tekanan pompa
Terjadinya lost circulation dapat diketahui dari flow sensor, atau
berkurangnya lumpur di mud pit. Bila berat lumpur normal dan tekanan
abnormal bukanlah faktor penyebab, langkah pertama dan paling mudah
dilakukan adalah mengatur tekanan pompa dan berat lumpur.
Tekanan sirkulasi lumpur berkisar antara 900 psi sampai 3000 psi.
Fungsi dari tekanan ini adalah untuk menanggulangi kehilangan tekanan
selama pengaliran lumpur. Tekanan total pada dasar lubang adalah besarnya
tekanan permukaan ditambah dengan tekanan tekanan kolom lumpur, dan
dikurangi dengan kehilangan tekanan untuk mensirkulasikan lumpur dalam
pipa bor dari permukaan sampai dasar. Misalnya tekanan permukaan
sebesar 1500 psi. Bila 70% kehilangan tekanan untuk sirkulasi lumpur dari
atas sampai dasar pipa bor termasuk pahat, dan tekanan kolom lumpur
seimbang dengan tekanan formasi, maka perbedaaan tekanan antara lumpur
dengan fluida formasi adalah 450 psi (30% x 1500 psi), sehingga tekanan
dasar lubang adalah tekanan hidrostatik lumpur 450 psi. Pada saat lost
circulation terjadi, semakin besar perbedaan tekanan, semakin banyak
lumpur yang hilang. Untuk itu bila lost circulation terjadi, tekanan pompa
harus dikurangi sebesar mungkin tanpa mengurangi laju sirkulasi lumpur.
Karena pengurangan tekanan ini akan mengurangi differensial pressure
antara lumpur dan fluida formasi.
Misalnya pada contoh diatas, bila tekanan permukaan dikurangi
sampai 700 psi, maka perbedaan tekanan yang terjadi antara lumpur dan
fluida formasi hanya 210 psi. Penurunan ini tentunya akan mengurangi
banyaknya lumpur yang hilang ke formasi. Keuntungan dari metode ini
adalah dapat dilakukan dengan cepat.
5.3.5.5. Mengurangi berat lumpur
Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah untuk mengimbangi
tekanan formasi. Semakin besar berat lumpur, semakin besar differensial
pressure antara kolom lumpur dan formasi. Lumpur yang terlalu berat dapat
menyebabkan pecahnya formasi. Jika lost circulation terjadi pada zona yang
normal, laju aliran yang hilang adalah fungsi differensial pressure.
Pengurangan berat lumpur akan mengurangi differensial pressure antara
lumpur dan fluida formasi, sehingga aliran lumpur yang hilang akan menurun.
5.3.5.3. Menaikkan Viskositas dan Gel Strength
Pada shallow depth, lost circulation umumnya disebabkan oleh formasi
yang porous yang terdiri dari coarse, gravel atau cavernous. Peningkatan
viskositas dan gel strength akan membantu memecahkan masalah ini. Ketika
lost terjadi, pola aliran fluida pada lubang bor tidak diketahui. Jika formasi
yang porous terdiri dari lapisan sand, gravel, cavernous dalam sebuah
permukaan horizontal yang datar sebagai hasil pengangkatan dari tekanan

Hole Problem 15
overburden, pola alirannya adalah radial. Jika porositas berupa fissures atau
fractures, atau formasi dipecahkan pada bidang vertikal, pola alirannya
adalah numerous channels. Dalam kasus ini pola aliran adalah antara aliran
radial dan tubular.
Untuk aliran radial Muskat telah merumuskan:
2kh Pw  Pf 
Q
 ln  Rw / R f  ...........................................................................(5-11)

dimana :
Q = Laju Volume, bbl/dt
h = Tinggi lapisan, ft
k = Permeabilitas, md
Pw = Tekanan lubang bor, psi
Pf = Tekanan radius efektif, psi
Rw = Radius lubang bor, pft
R f = Radius efektif lubang bor
 = Viskositas fluida, cp
Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan viskositas
fluida pemboran akan menurunkan volume lumpur yang hilang ke formasi.
5.3.5.4. Mengurangi Tekanan Surge Lubang Bor
Tekanan surge dihasilkan dari penurunan pipa kedalam lubang bor
yang terlalu cepat. Kondisi ini dapat memecahkan formasi. Untuk itu drill
string mesti diturunkan dengan lambat untuk mengurangi tekanan surge yang
dapat memecahkan formasi.
5.3.5.5. Sealing Agent
Bila beberapa metode yang diuraikan sebelumnya gagal untuk me-
ngatasi lost, biasanya ditambahkan Lost Circulation Material (LCM), bahan
pengurang kehilangan lumpur.
Ada tiga cara additive LCM untuk mengatasi masalah lost circulation, yaitu :
1. Menjaga agar tidak terjadi rekahan akibat penyemenan. Dalam
hal ini tekanan hidrostatik harus kecil. LCM jenis ini antara lain
adalah extenders.
2. Mengatasi lost circulation dengan menempatkan material yang
mampu menahan hilangnya semen/sumur. Material ini antara
lain granular, flake dan fibrous.
Kombinasi dari kedua cara diatas.
Menurut CHILINGARIAN, 1983, tipe granular adalah jenis LCM yang
sangat baik digunakan. Namun demikian, untuk lebar rekahan yang lebih dari
0,22 inch material ini tidak berguna lagi. Penggunaan bahan plug yang dapat
terhidrasi dengan cepat jika bercampur dengan air atau water base mud,
seperti bentonit + diesel oil (BDO) akan memberikan efektivitas penyumbatan
yang baik.
Bentonit Diesel Oil (BDO) termasuk penyumbatan jenis lunak dan
biasanya digunakan untuk mengatasi hilangnya lumpur yang disebabkan
rusaknya formasi akibat fluida pemboran. Lumpur (water base mud) + BDO

Hole Problem 16
dicampur dengan perbandingan 1:3 sebelum dipompakan dalam zone hilang
lumpur melalui rangkaian pipa bor.
Gambar 5.16 menunjukkan pengaruh jumlah lumpur (persen volume)
yang digunakan terhadap yield strength mempunyai harga yang maksimum.
Polymer plug digunakan baik untuk menyumbat zona lumpur pada
rekahan yang disebabkan operasi pemboran maupun rekahan alami.
Campuran polymer bentonit 10:90 dapat mengembang, baik menggunakan
air tawar maupun air asin, membentuk suatu jaringan yang dapat menyumbat
zona hilang lumpur.

Gambar 5.16. Pengaruh persentase lumpur pada M+BDO terhadap Yield


strength
5.3.5.6. Cement plug
Penggunaan semen untuk mengatasi hilang lumpur terutama didaerah
yang banyak mengandung gerowong (vuggy) sebagaimana terdapat pada
formasi karbonat merupakan langkah terakhir dimana hilang lumpur yang
terjadi sudah tidak dapat diatasi dengan lumpur.
Cement plug adalah material (semen) yang dipompa ke dalam zone
yang porous, dengan harapan bahwa material akan menutup pori dengan
membentuk plastik yang kuat atau solid. Cement plug biasanya tidak cukup
hanya dilakukan sekali, tetapi harus berkali-kali. Sebenarnya Cement plug
sangat efektif untuk menutup ruang pori. Hanya saja penggunaan cement
plug ini menimbulkan kendala karena semen lebih keras dari formasi, yang
tentunya akan menurunkan laju penembusan.
Semen yang akan digunakan pada sumur-sumur minyak biasanya
ditambahkan suatu aditif untuk mendapatkan karakteristik semen yang
sesuai de ngan kebutuhan. Berikut ini adalah jenis-jenis aditif yang biasanya
digunakan:
a. Accelerator
Thickening time bubur semen (cement slurry) portland tergantung
pada temperatur dan tekanan, sesuai dengan kekuatan tekanan
(compressive strength) dari semen tersebut, yang juga tergantung
pada temperatur dan tekanan. Suatu saat additive accelerator dapat

Hole Problem 17
ditambahkan untuk mempercepat tercapainya thickening time
sehingga semen mempunyai kekuatan tekan yang mampu menahan
beban uji sebesar 500 psi.
Mekanisme acceleration didalam bubur semen sehingga saat ini
belum dipahami secara seluruhnya. Akan tetapi suatu studi telah
menemukan pengaruh dari CaCl2 terhadap laju hidrasi dan
pengembangan kekuatan tekan yang lebih dini. Kesimpulan umum
dari studi ini adalah bahwa acceleration seperti CaCl 2 tidak menyatu
dengan produk hidrasi baru tetapi hanya mempengaruhi laju hidrasi
dimana semen tersebut ditempatkan. Dengan kata lain CaCl 2
mempercepat pembentukan Ca(OH)5. Kondo et all, telah menemukan
mekanisme tersebut berdasarkan laju difusi dari Alkalikhlorida melalui
selaput tipis semen portland ke dalam larutan kalsium hidroksida.
Hasil studi menunjukkan bahwa laju difusi ion-ion Cl - adalah empat
kali lebih cepat daripada kation alkali. Hal ini berarti bahwa pada
dasarnya penetralan elektrik dijaga oleh difusi ion OH - dari larutan
Ca(OH)5.
b. Retarder
Retarder adalah zat kimia yang digunakan untuk memperlambat
setting semen (kebalikan dari accelerator), yang diperlukan untuk
mendapatkan waktu yang cukup dalam penempatan semen.
Retarder yang tersedia dipasaran antar lain : salt (D44),
lignosulfonate dan turunannya (D13, D81, D800, dan D801, turunan
sellulosa (D8), dan polyhydroxy organik acid dan sugar additive (D25,
D109).
c. Dispersant
Dispersant biasanya digunakan untuk mengontrol rheologi bubur
semen agar pada pemompaan yang rendah menghasilkan aliran
turbulen. Hal ini diperlukan untuk mengangkat sisa-sisa lumpur yang
masih terdapat dalam kolom annulus. Selain itu dispersant juga dapat
menurunkan kadar air dalam semen, sehingga akan menaikkan
kekuatan semen tersebut.
d. Extenders
Extenders digunakan untuk menurunkan densitas bubur semen,
sehingga tekanan hidrostatik dasar sumur relatif lebih kecil selama
penyemenan. Selain itu, extanders dapat menaikkan yield bubur
semen. Material yang termasuk extenders antara lain bentonit, D-75,
silicates, litepi D-124 dan lain-lain.
e. Zat Pemberat
Zat pemberat digunakan untuk menjaga tekanan hidrostatik, agar
tekanan pori yang tinggi dapat diimbangi. Pada kondisi demikian
biasanya berat lumpur yang digunakan berkisar antara 18 - 18,5
lb/gal. Material yang termasuk zat pemberat antara lain ilmenite,
hematite, dan barite.
5.3.5.6.1. Penyemenan Multi Stage
Penyemenan banyak tahap diperlukan untuk menghindari hilangnya
semen ke dalam formasi Karbonate yang banyak mengandung rekahan.
Gambar 3.17 menunjukkan skema kedudukan semen untuk mengurangi

Hole Problem 18
hilangnya semen ke dalam rekahan. Tahap awal dari penyemenen dengan
teknik ini biasanya dirancang sebagaimana pada penyemenan satu tahap.
Semen dipompa dibawah melalui tubing dan naik melalui annulus. Tahap
selanjutnya semen dipompa melalui suatu special port collar yang akan
membuka jika tahap pertama telah selesai.
5.3.5.6.1. Penyemenan Multi Stage
Semen jenis ringan ini diperlukan terutama pada zona- zona lunak
untuk mengurangi kerusakan formasi lebih lanjut akibat tekanan hidrostatik
semen. Selain itu, jenis semen ini juga sangat baik untuk zona yang banyak
mengandung rekahan atau gerowong.
Semen busa menggunakan gas N2 (Nitrogen) sebagai extender yang
berfungsi menurunkan densitas. Gelombang Nitrogen di dalam bubur semen
tidak akan pecah jika tekanan hidrostatik naik. Gelembung-gelembung
tersebut akan menyusut, sehingga memerlukan tambahan konsentrasi
nitrogen untuk menjaga tekanan hirostatik.

Gambar 5.17. Skema Kedudukan Penyemenan Multi Stage Untuk


Mengatasi Lost Circulation.
Ada beberapa kelebihan penggunaan semen busa ini antara lain :
a). Penyemenan formasi lunak
Densitas semen bisa mencapai 7 lb/gal. Gambar 5.18 menunjukkan
perubahan tekanan hidrostatik semen pada semen busa. Hal ini
sangat cocok untuk penyemenan casing pada formasi lunak.
b). Mengatasi hilang sirkulasi
Gambar 5.19 menunjukan sifat thixotropic semen busa. Sifat ini dapat
mencegah hilangnya lumpur ke zona gerowong karena semen
mampu membentuk gel dalam keadaan statik. Sifat thixotropic ini

Hole Problem 19
disebabkan adanya campuran CaSO4 hemihydrate dan CaCl2 dengan
semen portland.

Gambar 5.18. Tekanan hidrostatik semen dengan dan tanpa busa

Gambar 5.19. Sifat thixotropic semen busa.


c. Quick Setting Cement
Quick setting cement adalah jenis semen yang mempunyai tingkat
pengerasan yang sangat cepat. Semen ini umumnya terdiri dari
campuran semen portland dan gypsum dengan perbandingan 5:95

Hole Problem 20
sampai 15:85. Semen gypsum ini adalah jenis semen dengan
kekuatan yang tinggi dan setting semen yang sangat cepat. Hal ini
sangat berguna untuk menanggulangi masalah hilang lumpur pada
kedalaman yang relatif dangkal. Semen ini mempunyai waktu setting
sekitar 20-40 menit.
d. High-filter-loss slurry squeeze (HFLSS)
Semen HFLSS sangat efektif untuk mengatasi masalah hilang
lumpur, baik partial lost atau total lost. Bahan- bahan seperti
attapulgite, serbuk gamping, LCM jenis granular (coarsa, walnut),
LCM fiber (kertas, nylon), dan LCM flake (cellophone) ditambahkan
kedalam bubur semen untuk kemudian dipompakan ke dalam zona
hilang melalui rangkaian pipa bor.
e. Down hole-mixed soft/hard pug (M+BDO2C)
Lumpur + minyak diesel, bentonit, dan semen (M+BDO2C)
digunakan untuk menanggulangi lost circulation total. Jenis lumpur
yang digunakan adalah water base mud. Sedangkan komponen
BDO2C terdiri dari 100 lb sak bentonit, 2x94 lb sak semen portland
dicampur dengan 26,5 gal minyak diesel. Penambahan minyak diesel
ditujukan agar bubur semen lebih mudah untuk dipompa, mengingat
bubur semen terdiri dari padatan-padatan yang tersuspensi.
Pemilihan perbandingan bentonit terhadap semen didasarkan pada
karakeristik bubur semen yang mempunyai kemampuan untuk membentuk
gel jika bercampur dengan lumpur, yang diperlukan untuk menutup daerah
hilang lumpur. Dalam keadaan statik, kekuatan tekan akan berkembang sa-
ngat cepat. Berdasarkan hal ini, ditentukan suatu komposisi bentonit dan
semen yang optimum, yaitu pada perbandingan 1:5.
Gambar 5.20 menunjukkan pengaruh persentase lumpur yang
digunakan terhadap shear strength maksimum yang dapat dicapai akan lebih
besar. Sedangkan penambahan Q-Broxin pada BDOC akan menurunkan
viskositas campuran yang mengakibatkan kecilnya shear strength maksimum
yang dapat dicapai.

Hole Problem 21
Gambar 5.20. Pengaruh Persentase Lumpur Pada M+BDO2C Terhadap
Shear Strength.
5.3.5.7. Drilling blind
Drilling blind adalah pemboran yang dilakukan secara membabi buta,
dimana sirkulasi lumpur tidak ada karena semua lumpur hilang ke formasi.
Fluida umumnya membawa cutting masuk ke dalam zona loss, sehingga
cutting ini dapat menutup formasi. Drilling blind sangat bahaya karena cutting
yang tidak terangkat kepermukaan dapat menjepit pipa/stuck. Disamping itu ,
tidak diperolehnya cutting di permukaan menyebabkan log sample batuan
tidak bisa dilakukan. Setelah zona lost dilalui, perlu dipasang casing untuk
menghindari terjadinya lost lebih lanjut. Metode drilling blind biasanya
dilakukan bila tekanan normal, dan air tersedia dalam jumlah yang banyak.
5.3.5.8. Aerated drilling
Aerated drilling mud dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan
densitas lumpur. Metoda ini sangat cocok diterapkan untuk mengatasi lost
circulation yang dijumpai pada formasi yang cavernous, vug yang besar,
khususnya pada bagian atas lubang bor. Bila lumpur yang digunakan
mempunyai kadar solid yang rendah, dan tekanan formasi normal, mungkin
tekanan formasi telah cukup untuk menempatkan fluida formasi masuk
kedalam zona loss. Penanggulangan dengan semen sering kali mengalami
kegagalan karena ukuran pori yang terbuka cukup besar dan adanya
pengenceran dari campuran semen yang terjadi. Dalam hal ini penambahan
udara ke dalam fluida pemboran biasanya dapat memecahkan masalah.
Metoda ini dilakukan dengan memompa campuran air dan udara
kedalam lubang. Jumlah air yang dipompa ke dalam lubang dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan. Setelah daerah vugular dilewati, pipa dapat diset
atau aerated water drilling dapat diteruskan.
5.4 Penentuan Tekanan Formasi dan Gradien Rekah
5.4.1. Pendahuluan
5.4.1.1. Deteksi Tekanan Pori Formasi
Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mendeteksi tekanan
formasi yang lebih besar daripada gradien hidrostatik formasi normal (0,465
psi/ft atau 9 ppg berat lumpur). Metoda yang paling banyak digunakan adalah
metoda Drilling Rate, dimana metoda ini didasarkan pada perhitungan d-
exponent.
Perbedaan tekanan yang besar antara tekanan hidrostatik lumpur
dengan tekanan formasi dapat menurunkan laju pemboran. Untuk
meningkatkan laju pemboran, densitas lumpur harus diturunkan. Dari sisi
tekanan formasi, adanya kenaikan tekanan formasi juga akan meningkatkan
laju pemboran.Perlu diingat juga bahwa laju penembusan dipengaruhi oleh
parameter lain seperti WOB, RPM, pembersihan lubang sumur, litologi, sifat-
sifat fluida, serta jenis dan keadaan pahat. Sehingga perlu kiranya
diperhitungkan parameter-parameter tersebut bersama-sama agar
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap laju penembusan benar-benar
dapat menunjukkan adanya tekanan formasi abnormal.

Hole Problem 22
Jordan dan Shirley memberikan suatu hubungan persamaan antara
beberapa parameter pemboran di atas yang di sebut dengan d'Eksponen.
Dengan mengamati perubahan harga d'Eksponen ini terhadap kedalaman
maka dapat diperkirakan adanya tekanan abnormal. Kenyataan ini dapat
digunakan untuk mendeteksi zona over-pressured, dengan menentukan nilai
d-exponent pada tiap kedalaman.
Jorden dan Shirley telah membuat suatu hubungan matematis antara
laju penembusan R, kecepatan putar rotary table N, berat pahat W, dan
diameter pahat D untuk digunakan dalam memperkirakan tekanan pori
formasi. Persamaan tersebut ialah :
d
 WOB 
ROP  k x RPM e    ........................................................(5-12)
 D 
dimana,
e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju
penembusan,
k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap laju
penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr
Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik
memberikan hubungan :
 ROP 
log  
 k x RPM e  .......................................................................(5-13)
d
 WOB 
log  
 D 
Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :
 ROP 
log  e

d  60 x k x RPM 
..............................................................(5-14)
 12 x WOB 
log  6

 10 x D 
d. Persamaan
dalam persamaan di atas dikenal sebagai d'eksponen yang tidak
berdimensi. Baik harga suku ROP/60kRPMe dan suku 12WOB/106D
pada persamaan di atas selalu lebih kecil dari satu, sehingga harga
logaritma dari masing-masing adalah negatif. Kemudian Jordan dan
Shirley menyederhanakan pesamaan di atas dengan
mengasumsikan k sama dengan 1 dan e juga sama dengan 1.
Persamaan di atas kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan
pe-ngaruh densitas lumpur, menjadi:
  mn
d corr  d 
  mc  ..............................................................................(5-15)
 

Hole Problem 23
dimana:
dcorr = d-exponent terkoreksi
mn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg)
mc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg
Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan pe-
ningkatan secara linier jika tekanan pori formasi normal, akan tetapi akan
berkurang secara tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan
tekanan pori formasi.
Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya kedalaman
menyebabkan laju penembusan berkurang karena batuan semakin kompak
akibat bertambahnya tekanan overburden. Dengan demikian harga
d'eksponen bertambah. Pertambahan d'eksponen ini mengikuti suatu
kecenderungan yang disebut trend d'eksponen normal.
Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi bertekanan
abnormal maka laju penembusan akan naik dengan tiba-tiba, meninggalkan
trend laju penembusan pada kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan
antara lubang sumur dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan
mengakibatkan batuan yang sedang dibor semakin mudah terlepas,
sehingga laju penembusan bertambah. Disamping itu, pada zona bertekanan
tinggi batuannya memiliki porositas yang lebih tinggi, butiran batuan kurang
rapat satu sama lainnya, sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika
dikaitkan dengan persamaan d'eksponen, maka naiknya harga laju
penembusan ROP akan mengakibatkan turunnya harga d'eksponen.
Jika dibuat hubungan antara d'eksponen terhadap kedalaman, maka
perubahan harga d'eksponen yang mengindikasikan zona bertekanan
abnormal ini akan menunjukkan terjadinya penyimpangan ke kiri dari trend
d'eksponen normal (d'eksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data
d'eksponen yang menunjukkan penyimpangan ke kanan (membesar) maka
hal ini mengindikasikan adanya zona bertekanan lebih rendah dari tekanan
normal (subnormal) dan berpotensi pada terjadinya lost circulation.
Sebagai contoh, dapat digunakan data-data yang terdapat pada Tabel
1.

Hole Problem 24
Gambar 21. Laju Pemboran vs Kedalaman 7)
Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada
Gambar 1 di atas , dimana terdapat penurunan laju pemboran dari 100 ft/hr
pada kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800
ft.
Tabel 5-5. Data Tekanan Formasi dan d-exponent 7)
Depth, Drilling Weight Rotary It Size, Mud
feet Rate, on Bit, Speed, Inch Density,
ft/hr 1000 RPM lb/gal
lbs
6000 106.0 35 120 8.5 90
6500 103.0 35 120 8.5 90
7000 76.9 35 110 8.5 90
7500 66.0 35 110 8.5 90
8000 44.5 30 110 8.5 94
8500 46.0 30 110 7.875 94
9000 39.4 30 110 7.875 94
9500 35.0 30 110 7.875 94
10000 30.8 30 110 7.875 10.1
10200 26.3 30 100 7.875 10.1
10400 24.7 30 100 7.875 10.1
10600 23.2 30 100 7.875 10.5
10800 21.8 30 90 7.875 11.1
11000 19.1 30 90 7.875 11.1
11200 17.9 30 90 7.875 11.3
11400 16.8 30 90 7.875 11.6
11600 21.9 35 90 7.875 11.6
11800 20.6 35 90 7.875 11.8
12000 20.6 35 90 7.875 13.1
12200 20.0 35 90 7.875 13.4
12400 18.0 35 90 7.875 13.6
12600 18.0 35 90 7.875 14.2
12800 17.0 35 90 7.875 14.5

Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung
besarnya d-exponent pada tiap kedalaman dengan menggunakan
persamaan (3). Dengan memasukkan data densitas lumpur yang digunakan,
diasumsikan bahwa densitas lumpur normal (rmn) adalah 9 ppg, dilakukan
perhitungan d-exponent terkoreksi menggunakan persamaan 4. Hasil
perhitungan d-exponent terkoreksi kemudian diplot terhadap kedalaman,
seperti yang terlihat pada Gambar 25.
Pada Gambar 22 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier
hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian menurun secara tajam. Dari
kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik
dcorr sebelum kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-

Hole Problem 25
exponent normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah 0,000038,
sehingga garis tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut:
dnormal = 0.000038 x depth + 1.23
Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan
persamaan berikut:
d 
P  Gn  normal  ...............................................................................(5-16)
 d corr 
dimana:
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW
Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg
Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat
pada Gambar 23.

Gambar 25. D-Exponent Terkoreksi vs Kedalaman 7)

Hole Problem 26
Gambar 23. Tekanan Pori vs Kedalaman 7)
5.5. D-Exponen Terkoreksi
Seperti telah dijelaskan di atas, d'eksponen merupakan suatu
parameter yang diturunkan dari persamaan laju penembusan pemboran, di
mana trend nilai d'eksponen terhadap kedalaman dapat mencerminkan
perubahan tekanan formasi batuan.
D'eksponen dihitung dengan menggunakan persamaan (5-14).
Dengan memplot d'eksponen terkoreksi terhadap kedalaman (Gambar 24),
dan menarik garis trend tekanan normal, maka dapat ditentukan tekanan
formasi dalam satuan EMW, seperti telihat pada Gambar 25.

Hole Problem 27
Gambar 24. Plot d-exponen terkoreksi terhadap kedalaman

Hole Problem 28
Gambar 25. Plot EMW dan berat lumpur terhadap kedalaman
Dari Gambar 24 dapat dilihat pada kedalaman 2100 m nilai
d'eksponen mulai menyimpang ke arah kiri, yang menandakan adanya
formasi bertekanan abnormal. Hal ini juga dapat dilihat pada plot EMW, yaitu
pada kedalaman 2111 m EMW mulai bertambah. Namun kemudian terlihat
bahwa tekanan ekuivalen formasi terus naik hingga mencapai puncaknya
pada kedalaman 2350 m, yaitu sekitar 35 ppg. Hal ini tidak realistis, sebab
seharusnya tekanan abnormal formasi tidak mencapai harga ini. Biasanya
tekanan abnormal hanya berkisar antara 11 hingga 17 ppg. Selain itu dapat
dilihat juga bahwa lumpur yang digunakan saat pemboran tidak pernah
mencapai nilai EMW dari d'eksponen tadi. Berat lumpur maksimum hanya
mencapai 15.2 ppg pada kedalaman 2500 m.
Kejadian yang menarik di sini ialah pada interval kedalaman zona
abnormal (kurang lebih 2200 hingga 2700 meter) pemboran menggunakan
bit jenis PDC, berbeda dengan zona di atasnya, yaitu bit jenis three cone bit.
Seperti kita ketahui, pemboran dengan menggunakan PDC bit akan
mempunyai laju penetrasi yang sangat tinggi, bisa mencapai 6 hingga 30 kali
pemboran dengan three cone bit untuk kondisi yang sama.2) Dengan
demikian, perkiraan tekanan formasi dengan menggunakan d'eksponen
koreksi ini akan mengalami kesalahan karena perbedaan sifat-sifat dari bit

Hole Problem 29
yang digunakan. Laju penetrasi yang tinggi akibat penggunaan PDC Bit ini
akan mengakibatkan nilai d'eksponen koreksi bergeser lebih ke kiri (semakin
kecil) (Gambar 24) walaupun seandainya tidak terdapat perubahan tekanan
formasi, sesuai persamaan (3). Pergeseran akibat penggunaan PDC bit ini
dapat dilihat dengan jelas pada plot EMW terhadap kedalaman (Gambar 25),
yaitu pada kedalaman 2215 m terdapat pergeseran/peningkatan EMW
secara drastis, dari sekitar 15 ppg menjadi sekitar 25 ppg.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada operasi
pemboran yang menggunakan dua jenis bit, yaitu three cone bit dan PDC bit,
perhitungan d'eksponen pada interval kedalaman yang menggunakan PDC
Bit harus dikoreksi, yaitu koreksi terhadap harga d'eksponen terkoreksi.
Untuk melakukan ini penulis menggunakan data dari dua buah sumur pada
reservoar yang sama, di mana pada zona abnormal masing-masing sumur
menggunakan bit PDC. Penulis berusaha menyelaraskan perkiraan tekanan
pori formasi (EMW) dengan berat lumpur yang dipakai pada saat itu dan juga
dengan membandingkannya dengan hasil perkiraan tekanan pori batuan di
lapangan, sehingga dapat ditentukan suatu koreksi terhadap harga
d'eksponen terkoreksi.
Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di bawah
zona tekanan abnormal (di bawah 2760 m), terdapat juga kesalahan
perhitungan EMW formasi, di mana EMW formasi pada zona ini lebih besar
dari berat lumpur yang digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar 5),
suatu hal yang tidak mungkin, karena pemboran pada sumur ini bukan
merupakan pemboran under balanced. Kesimpulan yang dapat ditarik di sini
ialah akibat perubahan ukuran bit (pada interval ini ukuran bit ialah 8.5",
sedangkan ukuran bit pada interval di atas formasi bertekanan normal ialah
17.5"). Jadi pada interval kedalaman di bawah formasi tekanan abnormal tadi
juga perlu dilakukan koreksi terhadap d'eksponen terkoreksi akibat
perubahan ukuran bit.
Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error maka
diperoleh dua konstanta koreksi, yaitu masing-masing konstanta koreksi
terhadap penggunaan bit PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit
(dari 17.5" menjadi 15.5"). Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC ialah
sebesar 0.225. Artinya, pada interval kedalaman yang menggunakan bit
PDC, nilai d'eksponen terkoreksi perlu ditambahkan dengan 0.225. Angka ini
ternyata berlaku juga untuk sumur kedua, walaupun keduanya menggunakan
bit PDC dengan seri yang berbeda.
Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap
penggunaan PDC menjadi:
9
D ' corr  x d  0.225 .......................................................... (5-17)
MW
Hal yang sama juga dilakukan terhadap d'eksponen normal pada
kedalaman di bawah zona bertekanan abnormal (seksi 8.5"), yaitu dengan
menambahkan faktor koreksi sebesar 0.35 pada d'eksponen terkoreksi,
akibat perubahan ukuran bit dari 17.5" menjadi 8.5". Selain itu, pada
kedalaman bit PDC juga perlu ditambahkan faktor koreksi (sebesar 0.2)
karena pada kedalaman ini juga terjadi perubahan ukuran bit (17.5" menjadi
15.5"). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk sumur kedua. Untuk

Hole Problem 30
penggunaan yang lebih umum dibuat persamaan yang dapat mendekati
hubungan antara besarnya faktor koreksi terhadap perubahan diameter bit,
dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi dan perubahan diameter bit
ialah linier.
 
f c  0.04 x d 1  d 2 ........................................................................(5-18)
Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami
perubahan ukuran bit menjadi:
9
D ' corr  x d  v 0.04 x  d1  d 2  ..................................... (5-19)
MW
Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami perubahan
ukuran bit dan juga menggunakan PDC maka kedua koreksi di atas harus
dilakukan. Plot d'eksponen koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan
tipe dan ukuran bit dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Plot d-exponen terkoreksi yang telah dikoreksi terhadap


type bit PDC dan ukuran Bit
Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada Gambar 27
dan 27a. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa koreksi yang telah
dilakukan terhadap d'eksponen normal pada interval kedalaman pemboran
yang menggunakan PDC Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5"
memberikan harga EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang
digunakan pada saat pemboran.

Hole Problem 31
Gambar 27. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap
tipe Bit PDC dan ukuran bit.

Gambar 27a. Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi terhadap
tipe Bit PDC dan ukuran bit.

Hole Problem 32
Dari hasil penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa
koreksi sebagai berikut:
D eksponen koreksi untuk PDC bit:
9
D ' corr  x d  0.225
MW
D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 8.5" :
9
D ' corr  x d  0.36
MW
D eksponen koreksi untuk pergantian bit dari diameter 17.5" ke 15.5" :
9
D ' corr  x d  0.2
MW
5.5.1 Gradien Rekah
5.5.1.1. Tekanan
Tekanan adalah suatu gejala alam yang terjadi pada setiap benda di
permukaan bumi ini, yang merupakan besarnya gaya yang bekerja dalam
setiap satuan luas. Secara empiris dapat dituliskan sbb:
F
P ................................................................................................ (5-10)
A
dimana :
P = Tekanan, ML-1T-2
F = Gaya yang bekerja pada daerah luas ybs, MLT -2
A = Luas permukaan yang menerima gaya, L2
Di lapangan biasanya gaya memakai satuan pounds, luas dengan
satuan inch2 (square inch) maka tekanan dalam pounds per square inch
(psi).
Sedangkan tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh
beban fluida yang ada diatasnya, secara empiris dapat dituliskan sebagai
berikut : (lihat Gambar 28).
P x g xh
...................................................................................(5-21)
g xh
dimana :
r = berat jenis, ML-3
g = percepatan gravitasi, LT-2
 = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2
h = ketinggian, L

Hole Problem 33
Gambar 28. Tekanan Hidrostatik8)
5.5.1.5. Tekanan Overburden
Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh
berat seluruh beban yang berada diatas suatu kedalaman tertentu tiap
satuan luas.
Berat material se dim en  berat cairan
Pob 
Luas
Gradien tekanan overburden adalah menyatakan tekanan overburden
tiap satuan kedalaman.
Pob
Gob  ........................................................................................... (5-22)
D
Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain
dari analisa log juga dapat ditentukan sbb: (lihat Gambar 29)

Gambar 29. Penentuan Gradien Tekanan Overburden8)

Hole Problem 34
n

  l i,  i  ............................................................................(5-23)
Gob  i 1

Dn
dimana :
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
Menurut Christman gradien tekanan overburden dapat dinyatakan
sebagai berikut :
0,433
Gob    w . Dwt   b . Db  ...............................................(5-24)
D
dimana :
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
 w = berat jenis cairan, gr/cc
 b = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap
sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-
rata sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air
adalah 0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x
0,433psi/ft = 1,0 psi/ft.
5.5.1.3. Tekanan Formasi Normal
Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang
mengisi rongga formasi, secara hidrostatis untuk keadaan normal sama
dengan tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke
permukaan.
Bila isi dari kolom yang terisi berbeda cairannya, maka besarnya
tekanan hidrostatiknya pun berbeda, untuk kolom air tawar diberikan gradien
tekanan hidrostatik sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin gradien
hidrostatiknya sebesar 0,465 psi/ft.
Penentuan dari tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa log atau dari data
Drill Stem Test (DST).
5.5.1.4. Tekanan Rekah
Tekanan Rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang
dapat ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah. Besarnya gradien
tekanan rekah dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan
formasi dan kondisi kekuatan batuan.
Mengetahui gradien tekanan rekah sangat berguna ketika meneliti
kekuatan dasar selubung (casing), sedangkan bila gradien tekanan rekah
tidak diketahui maka akan mendapat kesukaran dalam pekerjaan
penyemenan dan penyelubungan sumur.
Selain dari hasil log, gradien tekanan rekah dapat ditentukan dengan
memakai prinsip leak-off test, yaitu memberikan tekanan sedikit-sedikit

Hole Problem 35
sedemikian rupa sampai terlihat tanda-tanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan
dengan kenaikan tekanan terus menerus kemudian tiba-tiba turun.
Penentuan gradien tekanan rekah ini juga bisa dari perhitungan, antara lain :
Hubbert and Willis, yang menganggap tekanan overburden berpe-ngaruh
efektif terhadap tekanan rekah.
Pt 1  Pob 2 P 
    .........................................................................(5-25)
D 3 D D 
dimana :
Pf = tekanan rekah, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft
bila dianggap gradien tekanan overburden (Pob/D) adalah 1 psi/ft,
maka persamaan (10) menjadi :
Pf 1 
1  2 D  ...........................................................................(5-26)

D 3
 Df 

Mathews and Kelley, memberikan persamaan :
P  Pob  P 
Fr     K i  .................................................................(5-27)
D  D 
dimana,
Fr = gradien tekanan rekah, psi/ft

6)
Gambar 30. Matrix Stress Coefficient
Kedua persamaan di atas menganggap gradien tekanan overburden
tetap untuk setiap kedalaman. Karena pada kenyataanny tidak demikian

Hole Problem 36
maka timbul persamaan-persamaan lain yang lebih memperhitungkan
masalah kondisi batuan.
Pennebaker, menuliskan persamaan :
P  Pob  P 
Fr     K  ..................................................................(5-28)
D  D 
dimana :
tekanan mendatar
K
tekanan tegak
= perbandingan tekanan efektif (lihat Gambar 10)
Eaton, menulis persamaan :
P  Pob  P    
Fr      ..........................................................(5-29)
D  D   1  
dimana,
 = poisson's ratio (lihat Gambar 31)

6)
Gambar 31. Perbandingan Tekanan Efektif

Hole Problem 37
Gambar 35. Poisson's Ratio 6)
Selanjutnya dari persamaan Eaton ini dibuat suatu nomograph untuk
menentukan gradien tekanan rekah.
Harga faktor-faktor perbandingan yang mengindahkan kekuatan
batuan di atas bermacam-macam, maka W. L. Brister mendapatkan harga
rata-ratanya (Ka) sbb :
P  P 
K a  3,9  ob   2,88 jika  ob  0,94  .................................(5-30)
 D   D 
P  P 
K a  3,2  ob   2,224 jika  ob  0,94  .................................(5-31)
 D   D 
atau dari grafik pada Gambar 12, sehingga kita mendapatkan rumus akhir :
P  Pob  P 
Fr     K a  ................................................................(5-32)
D  D 
Sedangkan bila kejadiannya berada di bawah permukaan laut maka
harga-harga tersebut di atas perlu dikoreksi, hal ini dapat diterangkan oleh
Zamora sbb :
f  D  Dw   8,5  Dw 
Fc  ..........................................................(5-33)
D
dimana :
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut

Hole Problem 38
Gambar 33. Perbandingan Tekanan Rata-Rata6)
5.6. Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah
Dari informasi offset well, termasuk resistivity, sonic dan radioaktif log,
informasi pemboran dan lumpur, bersamaan dengan interpretasi geologi,
dapat dipersiapkan suatu evaluasi tekanan formasi terhadap kedalaman.
Dengan informasi tekanan formasi terhadap kedalaman tersebut, gradien
rekah dapat ditentukan. Dual plot antara tekanan formasi dan gradien rekah
terhadap kedalaman dapat dibuat dalam skala linier untuk memudahkan
memperoleh interpolasi yang akurat.

Hole Problem 39
Gambar 34. Contoh Proyeksi Tekanan Formasi dan Gradien Rekah
Terhadap Kedalaman

Hole Problem 40
Latihan 1

No Depth ROP WOB RPM Densitas Bit. Fracture


(ft) (ft/h) (1000 (ppg) Dia Grad
lb) (in) (ppg)
1 5000 110.1 25 120 9 8.5 13
2 6000 93.2 25 120 9 8.5 13.5
3 6500 90.9 30 100 9 8.5 13.8
4 7000 84 30 90 9 8.5 14.5
5 7200 73.3 30 90 9 8.5 14.8
6 7400 40.7 20 110 9 8.5 14.9
7 7600 48 20 120 9 8.5 15.3
8 7800 50.6 20 130 9 8.5 15.6
9 8000 54.2 19 150 10.3 8.5 15.7
10 8200 55.8 18 140 10.7 8.5 15.9
11 8400 57.9 20 140 11.3 8.5 16.4
12 8600 65.4 20 120 11.9 8.5 16.5
13 9000 57.1 21 120 15.8 8.5 16.7
14 9500 48 21 100 14 8.5 16.9
15 10000 24.8 20 100 12 8.5 16.5
16 10500 27.1 22 100 10.2 8.5 16
17 11000 17.3 22 100 10 8.5 15.7

Berdasarkan data tabel di atas tentukanlah :


1. Buatlah Plot EMW terhadap Kedalaman.
5. Tentukan selang kedalaman formasi bertekanan abnormal
3. Buatlah overlay untuk tekanan formasi dengan selang 1 ppg
4. Tentukan tekanan formasi maksimum
5. Tentukan pada kedalaman berapa formasi rekah

(Bab 5)

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN (Hole Problem)

ke = Permeabilitas undamage reservoir


ka = Permeabilitas zonal damage (altered zone)
ra = Jari-jari zonal damage
Pe = Tekanan pada batas pengurasan
Pw = Tekanan pada batas sumur
q = Rate aliran ke lubang sumur
P1 jam = Tekanan setelah satu jam test, psi
m = Kemiringan kurva build up test
 = Porositas, fraksi

Hole Problem 41
k = Permeabilitas, md
 = Viscositas, Cp
C = Compressibillitas batuan ,psi-1
rw = Jari-jari lubang sumur, ft
qo = Laju produksi minyak, BPD
o = Viskositas minyak, cp
Bo = Formation volume factor, BPD/STB
ko = Permeabiltas minyak, md
h = Ketebalan formasi produktif, ft
k avg = Permeabilitas formasi dengan adanya skin effects.
ke = Permeabilitas mula-mula
ra = Jari-jari zone damage
rw = Jari-jari sumur

DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN


(Penentuan Tekanan Formasi Gradie Rekah)

e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap laju penembusan


k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
RPM = kecepatan putar rotary table, rpm
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat terhadap
laju penembusan
WOB = weight on bit, lbs
D = diameter bit, in
ROP = laju penembusan, ft/hr
dcorr = d-exponent terkoreksi
rmn = densitas lumpur pada tekanan formasi normal (» 9 ppg)
rmc = densitas lumpur pada saat sirkulasi, ppg
P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg
EMWGn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg
r = berat jenis, ML-3
g = percepatan gravitasi, LT-2
g = gradien tekanan hidrostatis, ML-2T-2
h = ketinggian, L
Gob = gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = ketebalan ke-i, ft
ri = berat jenis rata-rata ke-i, gr/cc
Dn = kedalaman, ft
D = kedalaman, ft
Dwt = ketebalan cairan, ft
Db = ketebalan batuan (D-Dw), ft
rw = berat jenis cairan, gr/cc
rb = berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Pf = tekanan rekah, psi

Hole Problem 42
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = kedalaman, ft
Fc = gradien tekanan rekah yang telah dikoreksi
Dw = Ketinggian air laut

DAFTAR PUSTAKA
1. Alliquander, "Das Moderne Rotarybohren", VEB Deutscher Verlag Fuer
Grundstoffindustrie,Clausthal-Zellerfeld, Germany, 1986
5. Bradley H.B., "Petroleum Engineering Handbook", Third Printing, Society
of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1987.
3. Azar J.J., "Drilling in Petroleum Engineering", Magcobar Drilling Fluid
Manual.
4. Moore P.L., "Drilling Practices Manual", Penn Well Publishing Company,
Tulsa-Oklahoma, 1974.
5. McCray A.W., Cole F.W., "Oil Well Drilling Technology", The University of
Oklahoma Press,1979.
6. nn., "Drilling", SPE Reprint Series no. 6a., SPE of AIME, Dallas-Texas,
1973.
7. Klozt, "Drilling Optimization", halaman 6-9.
8. Rubiandini, Rudi, "Perhitungan Berbagai Metoda Pressure Control Dalam
Penanggulangan Well Kick", Kolokium, Jurusan Teknik Perminyakan
Institut Teknologi Bandung, 1984.

Hole Problem 43

Anda mungkin juga menyukai