Mud cake tidak ada karena sebelum dilakukan cementing, mud cake
terhilangkan
Viskositas semen
Beberapa mekanisme penyebab kerusakan formasi selama aktivitas
meningkatkan
saturasi
fluida
di
sekitar
lubang
bor
dan
6. Fluid loss (biasanya air) selama squezee cementing yang umumnya kotor,
dapat mengurangi permeabilitas formasi, baik secara fisika maupun
kimiawi.
Partikel-partikel semen yang berukuran 20-100 mikron terlalu besar untuk dapat
masuk ke dalam sebagian besar ukuran pori atau rekahan alami. Oleh karenanya
semen sendiri biasanya tidak menyebabkan kerusakan formasi, tetapi filtrat yang
masuk ke dalam formasi selama penyemenan yang merupakan sumber kerusakan.
fluida stimulasi atau oleh fluida terproduksi. Hal ini semakin mungkin terjadi pada
sumur dengan kemiringan tinggi karena kesulitan untuk menempatkan pipa agar
berada tepat di tengah. Evaluasi terhadap beberapa sistem pre-flush dan spacer
menghasilkan berbagai rekomendasi mengenai campuran adonan semen yang
dapat meningkatkan keberhasilan pekerjaan penyemenan. Desain centralizers,
scratchers, rotasi pipa, gerakan naik turun pipa dan aliran turbulen yang baik akan
memperbaiki pendesakan lumpur dan ikatan semen.
4.3.2.2. Kerusakan Formasi Selama Perforasi
Tujuan pengerjaan perforasi adalah menghubungkan zona produktif
dengan lubang sumur agar terjadi aliran fluida formasi. Hal ini baru efektif bila
perforasi dapat menembus zona terinvasi (zona dimana terdapat kerusakan
formasi). Dalam hal tertentu, upaya perforasi justru menambah kerusakan
meskipun secara teoritis perforasi didesain agar selalu dapat menembus zona
terinvasi. Masalahnya terletak pada jumlah perforasi yang efektif (berhasil) dan
jumlah kegagalan (tidak sempurna/berhasil baik) atau bahkan menghambat aliran.
Setiap analisis tingkat keefektifan perforasi harus dilatarbelakangi oleh analisis
pengaruh dari kerusakan formasi sebelumnya (pre-analysis) terhadap kinerja
perforasi.
Pengujian terhadap Core Flow Efficiency (CFE) memperlihatkan bahwa
dengan menggunakan fluida perforasi yang bersih, tidak merusak dan beda
tekanan negatif maka akan didapatkan kerusakan formasi minimum akibat
pekerjaan perforasi. Contoh teoritis efektivitas pengamatan di atas ditunjukkan
dalam Tabel 4.5.
Tabel 4.5
Pengaruh Kondisi Perforasi pada Produktivitas Sumur
(OH-Potential 800 BOPD)
(S.Sudomo; Mitigasi Kerusakan Formasi)
Perforating Conditions
CFE
0.3
Fluid
Hi solids, mud in hole
Pressure
Overbalanc
Well Productivity
BPD, Perforation
Depth
4 in
8 in
115 0.1 154 0.19
0.5
0.7
0.8
0.9
e
Overbalanc
e
Overbalanc
e
Underbalan
ce
Underbalan
ce
253
429
538
653
8
0.3
9
0.6
6
0.8
2
1.0
0
330
0.42
569
0.71
689
0.87
792
1.00
Gambar 4.19
Hasil Pelubangan Pada Berea Cores [Dia. 4 in. (10 cm)]
Dengan (A) Bullet Perforator, (B) Jet Perforator
(Krueger, Ronald F.; An Overview of Formation Damage
and Well Production in Oilfield Operations)
Gambar 4.20
Zonasi Perforasi
(S.Sudomo; Mitigasi Kerusakan Formasi)
terbesar.
Kenampakan clay tidak berarti bahwa akan terjadi masalah selama
produksi berlangsung. Clay akan menjadi masalah apabila dalam reservoir
terdapat dalam jumlah yang besar dan bereaksi terhadap aliran fluida yang melalui
pori-pori batuan. Tabel 4.6 menunjukkan komponen penyusun utama clay yang
umum terjadi pada sumur produksi. Luas permukaan clay per unit berat
menggambarkan pentingnya analisa clay terhadap sumbatan yang ditimbulkan
pada sumur.
Gambar 4.21
Cara Pengisian pada Pori Batuan Sedimen
(S.Sudomo; Mitigasi Kerusakan Formasi)
Tabel 4.6
Komposisi Penyusun Utama Clay pada Masing-masing Tipe Clay
Major Components
Quartz
Kaolinite
Chlorite
Illite
(Smectile or
Montmorillonite)
Si,O
Al,Si,O,H
Mg,Fe,Al,Si,O,H
K,Al,Si,O,H
Na,Mg,Ca,Al,Si,O,H
Common Surface
Area, m2/gm
0.000015
22
60
113
82
Perbandingan antara massa dan luas permukaan dari clay membuat clay
menjadi sangat penting. Clay dapat dilibatkan dalam penyerapan dan reaksi kimia.
Perbedaan tipe-tipe clay digolongkan menurut penyusun utama dari clay tersebut.
1. Tipe Clay
Ada empat macam tipe clay yang umum, yaitu:
a. Kaolinite [(OH)8Al4Si4O10]
Kaolonite mempunyai struktur kimia seperti clay yang stabil, karena tidak
dapat bereaksi dengan HCl tetapi dapat larut dalam HF + HCl. Kaolinite tidak
mempunyai sifat swelling seperti pada tipe clay yang lain. Kaolinite dapat
menjadi masalah
Gambar 4.22
Mineral-mineral Clay yang Ada dalam Batupasir
(King, George.; An Introduction to Basic of Well Completion,
Stimulations and Workovers)
d. Chlorite [(Al,Mg,Fe)3(OH)2[(Al,Si)4O10]Mg3(OH)6]
Chlorite mempunyai hubungan yang sangat erat hubungan dengan butiran
batuan dan tidak ada hubungan dengan perpindahan clay. Chlorite dapat larut
dalam HCl secara lambat. Chlorite dapat menyebabkan masalah dengan cara
bereaksi secara kimia pada reservoir yang mengandung unsur besi yang tinggi.
Seandainya asam klorit tidak dipisahkan maka besi dapat berikatan membentuk
hidroksida yang berupa padatan yang akan menutupi pori batuan. Gambar 4.22
menunjukkan macam-macam clay di dalam batupasir
Gambar 4.23
Contoh Mineral Clay
(King, George.; An Introduction to Basic of Well Completion,
Stimulations and Workovers)
2. Klasifikasi Clay
Klasifikasi mineral clay didasarkan pada sifat menyerap air dibagi
menjadi:
a. Expandable (swelling) Clay
Pada jenis ini clay dibedakan antara smectite dan vermiculte. Perbedaan antara
keduanya adalah bahwa smectite terus mengembang selama menyerap air.
Pada golongan ini mineralnya adalah montmorillonite saponite, bentonite dan
beidelite. Sedangkan vermiculite tingkat pengembangannya terbatas dan
contoh mineralnya adalah illite dan kaolinite.
b. Nonexpandable Clay
Pada jenis ini pada dasarnya adalah dapat menyerap air tetapi karena dalam
jumlah yang sedikit sekali sehingga dianggap tidak menyebabkan swelling.
Mineral yang termasuk jenis ini adalah illite chlorite dan kaolinite chlorite.
3. Mineralogi Clay
Kebanyakan clay mempunyai struktur jenis mika, serpih-serpihnya
tersusun dari plat-plat kristal tipis yang tersusun berhadapan. Satu plat disebut
sebagai satu unit lapisan yang terdiri dari:
Satu lembar octahedral
Kationnya terdiri dari atom Al atau Mg dalam koordinasi octahedral dengan
atom oksigen seperti pada Gambar 4.24. Jika atom logamnya adalah Al,
strukturnya akan sama dengan mineral gibsite [Al 2(OH)6]. Dalam hal ini
hanya dua dari tiga kemungkinan terdapat pada struktur yang diisi oleh atom
Gambar 4.24
Lempeng Octahedral Brucite
(R. E. Grim; Clay Mineralogy)
Gambar 4.25
Ikatan Antara Lempeng Octahedral dengan Lempeng Tetrahedral
Pada Pemakaian Bersama Atom O
(R. E. Grim; Clay Mineralogy)
b. Illite
Illite adalah hydrous mica, prototype dari muscovite (dioctahedral mica)
dan biotite (trioctahedral mica). Illite merupakan clay tiga lapisan dengan struktur
sama dengan montmorillonite kecuali pergantian Al untuk Si di lempeng
tetrahedral. Biasanya pertukaran selalu terjadi di lempeng octahedral, khususnya
Mg dan Fe sedangkan untuk Al kation penyeimbangnya adalah potassium.
Pertukaran ionnya hanya terjadi di bagian luarnya saja sehingga pertambahan
volume (karena swelling) yang terjadi akan lebih kecil daripada hidrasi pada
montmorillonite. Illite menyebar dalam air membentuk partikel dengan jari-jari
sekitar 0.7 mikron serta ketebalan 720 A.
c. Kaolinite
Kaolinite merupakan mineral clay dua lapis dengan struktur yang sama
seperti pada Gambar 4.26. Satu lempeng octahedral diikat dengan satu lempeng
tetrahedral dengan cara yang biasa, sehingga hydroxide octahedral yang berada di
depan lempeng yang bersejajaran dengan oksigen tetrahedral di permukaan
lapisan selanjutnya, sehingga akan terdapat kenaikan hidrogen yang kuat antar
lapisannya, yang mana dapat menahan membengkaknya pola geometris molekulmolekulnya.
Gambar 4.26
Susunan Atom Pada Satu Unit Sel Dari Dua Lapisan Mineral
(R. E. Grim; Clay Mineralogy)
Gambar 4.27
Diagram Keberadan Chlorite
(R. E. Grim; Clay Mineralogy)
4.4.3.2. Kepasiran
Kepasiran adalah peristiwa ikut terproduksinya pasir bersama-sama
dengan fluida produksi dari formasi yang mengandung pasir itu sendiri ke dalam
lubang sumur. Problem kepasiran terjadi akibat rusaknya kestabilan ikatan antar
butir-butir pasir. Hal ini disebabkan karena adanya gaya gesekan serta tumbukan
yang ditimbulkan oleh suatu aliran fluida, dimana laju alir yang terjadi melampaui
batas maksimum dari laju alir kritis yang diperbolehkan, sehingga butiran-butiran
pasir akan ikut terproduksi ke permukaan.
2. Kandungan Lempung
Lempung (clay) merupakan mineral yang biasanya mengendap bersama
batupasir. Pada batuan sedimen, lempung berfungsi sebagai semen. Menurut
Allen, apabila kadar kandungan clay dalam batuan sebesar 1-5 % batuan
dikatakan baik (clean), sedangkan bila kadar clay antara 5-20 %, batuan
tersebut dikatakan mengandung clay yang tinggi. Kadar clay dapat dihitung
dengan Spontaneous Potential Log atau Gamma Ray Log.
Gambar 4.28
Hubungan Faktor Formasi (F) dengan Porositas ()
(S.J. Pirson; Oil Reservoir Engineering)
Vclay 1
SP log
SSP
................................................................ (4-48)
dimana:
Vclay
Kadar lempung yang diperoleh dari data SP Log akan memberikan harga yang
cukup baik selama batuan formasi tidak mengalami kompaksi, dimana batuan
formasi yang bersih yang terkompaksi akan mempengaruhi tinggi rendahnya
harga defleksi kurva SP, sehingga kadar lempung yang diperoleh dari data SP
Log pada batuan formasi yang mengalami kompaksi akan memberikan hasil
yang lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya.
Untuk data yang diperoleh dari Gamma Ray Log digunakan persamaan:
Vclay
GRlog GRmin
GRmaks GRmin
........................................................ (4-49)
dimana:
GR maks = Gamma Ray unit maksimum, API unit
GR min
GR log
Dalam menentukan kadar lempung yang terkandung pada batuan formasi, data
yang diperoleh dari gama ray log merupakan hasil yang mendekati jumlah
yang sebenarnya. Hal ini disebebkan defleksi kurva yang dihasilkan dari
gamma ray log tidak dipengaruhi jenis kandungan fluida maupun komposisi
dari batuan formasinya.
Log NGT yang termasuk dalam Log Gamma Ray dapat berfungsi sebagai
salah satu alat untuk membedakan jenis lempung yaitu illite, montmorillonite
dan kaolinite di samping beberapa mineral lain. Hasil dari log NGT disebut
log NGS. Metode interpretasi mineral yang sering digunakan adalah gambar
silang, misalnya gambar silang Potasium dan Thorium seperti yang terlihat
pada Gambar 4.29.
Gambar 4.29
Gambar Silang Thorium-Potasium dari alat NGT
(Adi Harsono; Evaluasi Formasi)
3. Kestabilan Formasi
1.34 x 1010 1 2V ( b )
2 1 V t
1.34 x 1010 1 V ( b )
3 1 V t
....................................... (4-51)
.......................................... (4-52)
sehingga:
Cb = 1/K .............................................................................. (4-53)
dimana:
Vclay
1/Cb
= poissons ratio
Untuk menentukan apakah suatu formasi bersifat labil atau stabil, menurut
Tixier sebagai berikut:
kata
lain
bahwa
apabila
produksi
menyebabkan
tekanan
kelengkungan pasir lebih besar dari kekuatan formasinya, maka butiran pasir
formasi akan mulai bergerak atau ikut terproduksi.
Untuk menentukan laju produksi maksimum yang diperkenankan atau
maximum sand free flow rate dari suatu formasi batuan, Stein memberikan
persamaan untuk laju aliran kritis sebagai berikut:
Qz
0.025 x 10
K z N z G z Az
B z z At
.................................................. (4-46)
dimana:
Qz
Kz
= permeabilitas batuan, md
Nz
Bz
= viskositas fluida, cp
Gz
= shear modulus
At
Az
Gambar 4.30
Lengkungan Stabil Beban Tegangan Butiran ke Butiran
(DR. Jude O. Amaefule; Advances in Formation Damage Assessment
and Control Strategies)
2. Penurunan kekuatan formasi akibat kenaikan saturasi air, hal ini sering
dihubungkan dengan produksi air karena akan melarutkan material penyemen
atau pengurangan gaya kapiler dengan meningkatnya saturasi air.
3. Penurunan
tekanan
reservoir
akibat
penurunan
permeabilitas
relatif
oleh
mikroorganisme
hidup
dapat
terjadi
karena
menghasilkan
bioproduk
yang
mungkin
dapat
menyebabkan
Gambar 4.31
Penyumbatan Berdasarkan Ratio Diameter Porethroat
Dengan Mikroorganisme
(Huntoro; Studi Laboratorium Pengaruh Mikroorganisme
Pada Kualitas Material Reservoir, Dalam MEOR)
Gambar 4.32
Desulfovibrio Vulgaris
(Widdel, F. Cord-Ruwisch,R.; SRB and Their Activities in Oil Production)
Gambar 4.33
Spesies Desulfobacter
(Widdel, F. Cord-Ruwisch,R.; SRB and Their Activities in Oil Production)
Tabel 4.8
Karakteristik Sulfate Reducing Bacteria (SRB)
(Widdel, F. Cord-Ruwisch,R.; SRB and Their Activities in Oil Production)
Terbentuknya emulsi
Dirty Fluids
Fluida kerja ulang yang dibuat dengan fluida kotor (tidak bersih) atau
dengan garam berkualitas rendah cenderung mengandung padatan yang dapat
menyumbat
formasi
produktif,
sehingga
akan menurunkan
kemampuan
dalam pori karena kecepatannya menurun akibat pola aliran radial di sekitar
lubang bor. Oleh karenanya sebagian lubang perforasi dapat tersumbat oleh
padatan ini. Kotoran-kotoran ini dapat sangat sulit untuk dihilangkan dari lubang
perforasi dan lubang porethroat. Penggunaan fluida kerja ulang yang bersih dan
bekualitas tinggi merupakan keharusan untuk meminimasi dampak negatifnya
terhadap kemampuan alir alaminya.