Anda di halaman 1dari 17

BAB II

2.1 Pengertian nyamuk

Nyamuk adalah serangga tergolong dalam order Diptera; genera


termasuk Anopheles, Culex, Psorophora, Ochlerotatus, Aedes, Sabethes,
Wyeomyia, Culiseta, dan Haemagoggus untuk jumlah keseluruhan sekitar 35
genera yang merangkum 2700 spesies. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik,
tubuh yang langsing, dan enam kaki panjang; antarspesies berbeda-beda tetapi
jarang sekali melebihi 15 mm.1

2.2 Jenis-jenis nyamuk

1. Anopheles

Jenis nyamuk ini banyak macamnya dan hidup di beberapa tempat yang
berbeda-beda. Anopheles biasa kita kenal dengan sebutan sebagai nyamuk yang
menyebabkan malaria. Nyamuk ini membentuk kemiringan atau sudut-sudut
tertentu dan biasanya memiliki kaki-kaki yang berwarna hitam putih. Seperti
nyamuk anopheles sundaicus yang biasa hidup diatas air payau,anopheles
maculatus dan balabacensis yang biasa hidup di lereng-lereng bukit atau
gunung,anopheles aconitus yang biasa hidup di daerah persawahan.Gigitan
nyamuk ini juga bisa menyebabkan kaki gajah
2. Aedes Aegypti

Ini adalah nyamuk yang bisa dikatakan paling sukses dalam membuat
penyakit endemik terutama di indonesia. Akibatnya banyak sekali orang yang
menderita Demam Berdarah Dengu (DBD).Nyamuk ini biasa menggigit diwaktu
pagi dan siang hari antara jam 08.00 sampai jam 12.00,sore hari antara jam 15.00
sampai jam 17.00 WIB.Nyamuk ini senang hinggap di dinding-dinding rumah dan
bangunan kosong yang tidak dijamah lagi,dan juga di baju-baju yang
digantung.Mereka bertelur di air bersih seperti vas bunga,tempayan,bak
mandi,kaleng-kaleng kosong berair, dan tempat berair lainnya.Telur yang sudah
ada dua hari akan menetas membentuk jentik-jentik,setelah 8 hari,akan berubah
menjadi nyamuk..

3. Culex

Nyamuk ini biasa tinggal di selokan-selokan atau genangan air yang


keruh.Jika berdiri,mereka memiliki tubuh yang mendatar.Gigitan nyamuk ini bisa
menyebabkan kaki gajah karena mengandung cacing wuchereria bancrofti.
Cacing ini terdapat didalam darah orang yang menderita kaki gajah,cacing ini bisa
berpindah melalui gigitan nyamuk ini.Menurut penelitian, orang yang terkena
gigitan dari nyamuk ini,akan berisiko besar terkena penyakit kaki gajah.2
2.3 Perbedaan morfologi nyamuk Aedes aegypti, Anopheles, Culex

Genus spesies
Stadiu Aedes aegypti Anopheles Culex
m
Telur Sendiri-sendiri, Berkumpul, Berbentuk
tidak sendiri-sendiri, rakit,
berpelampung dan berkumpul dan
Lonjong seperti berpelampung beroperkulum
telur Lonjong seperti Lonjong
Tahan kering perahu seperti peluru
Kedua ujung Ujungnya
lancip tumpul
Tidak tahan Tidak tahan
kering kering
Larva Tidak berambut Berambut palma Tidak
palma pada segmen berambut
Bernafas melalui abdomen palma
siphon Bernafas dengan Bernafas
Comb scale satu stigmaplate melalui siphon
baris Tidak mempunyai Comb scale
Rambut antena comb scale ada beberapa
sedikit Rambut antena baris
Satu kelompok banyak Rambut
Pekten ada Rambut siphon antena banyak
Mouth brush tidak tidak ada Lebih satu
ada atau sedikit Pekten tidak ada kelompok
Istirahat Mouth brush Pekten ada
membentuk sudut lebat Mouth brush
dengan Istirahat sejajar tidak ada atau
permukaan air permukaan air sedikit
Istirahat
membentuk
sudut dengan
permukaan air
Pupa Air tube Air tube Air tube
berbentuk tabung berbentuk corong berbentuk
dengan lubang Pasa paddle tabung
memanjang berduri Pasa paddle
Pasa paddle tak tak berduri
berduri
Dewas Palpa tanpa Palpa mempunyai Palpa tanpa
a pelebaran pada pelebaran seperti pelebaran
(janta ujungnya dan sendokpada pada ujungnya
n) sama panjang ujungnya dan dan lebih
dengan proboskis sama panjang panjang dari
Antena berbulu dengan proboskis proboskis
lebat Antena berbulu Antena
Skutelum lebat berbulu lebat
berlobus satu Skutelum Skutelum
(dari dorsal) berlobus satu berlobus satu
Hinggap sejajar (dari dorsal) (dari dorsal)
dengan dinding Hinggap Hinggap
membentuk sejajar dengan
sudut dengan dinding
dinding
Dewas Palpa lebih Palpa sama Palpa lebih
a pendek dari panjang dengan pendek dari
(betin proboskis proboskis proboskis
a) Spermateka tiga Spermateka Spermateka
buah sebuah tiga buah
Sersi panjang Sersi pendek Sersi pendek
Skutelum Skutelum Skutelum
berlobus tiga (dari berlobus satu berlobus tiga
dorsal) (dari dorsal) (dari dorsal)
Kuku bertaju, Kuku lurus Kuku tidak
bengkok Hinggap bertaju,
Hinggap sejajar membentuk bengkok
dengan dinding sudut dengan Hinggap
dinding sejajar dengan
dinding
Gambar 2.. Perbedaan morfologi nyamuk Aedes aegypti, Anopheles,
Culex

2.4 Morfologi dan siklus hidup Aedes aegypti

Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu mengalami


perubahan bentuk morfologi selama hidupnya dari stadium telur berubah
menjadi stadium larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi stadium
dewasa. Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur
setiap kali bertelur dan biasanya telur di letakan pada suhu 20- 30 o C . telur
akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam
air dan rata -rata telur yang menetas sebanyak 80% pada har kedua dan 95%
pada hari kedua. Telur Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit
tampak garis-garis yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80 mm, berat
0,0010-0,015 mg. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama
pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup
spesies selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan.
Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya mengalami 4 kali
pergantian kulit larva instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan,
siphon masih transparan, tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva
intar II memiliki panjang 2,5 3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh
menjadi larva instar III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5
mm, siphon sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2
hari. Larva instar IV berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan
sepasang antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata
pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva
ini adalah membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air.
Pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk tubuh bengkok, dengan
bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan
bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca koma. Tahap pupa pada
nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Saat nyamuk
dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa, pupa akan
naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk
persiapan munculnya nyamuk dewasa
Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) disebut black-white mosquito,
karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas
dasar hitam. Panjang badan nyamuk ini sekitar 3-4 mm dengan bintik hitam
dan putih pada badan dan kepalanya, dan juga terdapat ring putih pada bagian
kakinya. Di bagian dorsal dari toraks terdapat bentuk bercak yang khas berupa
dua garis sejajar di bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya. Bentuk
abdomen nyamuk betinanya lancip pada ujungnya dan memiliki cerci yang
lebih panjang dari cerci pada nyamuk-nyamuk lainnya. Ukuran tubuh nyamuk
betinanya lebih besar dibandingkan nyamuk jantan.
2.10 Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan

distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan


waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut
akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan
pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya.
Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua
tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya
jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada
tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik


Aedes aegypti adalah :

a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau
pupa.

HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%

Jumlah Rumah yang Diperiksa

b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau
pupa.

CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%

Jumlah Container Yang Diperiksa


c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah
yang diperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah

Jumlah Rumah Yang Diperiksa

Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik


(ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah
yang diperiksa.

ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%

Jumlah Rumah Yang Diperiksa


Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil
kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis
pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling).
Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

Langkah-langkah survey jentik meliputi :

1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan


nyamuk aedes aegypti diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya jentik.

2. Untuk memeriksa tempat penampungan air, yang berukuran besar seperti


bak mandi, tempayan, drum, ataupun bak penampungan air lainnya, maka
diperlukan pengamatan selama 1-2 menit untuk memastikan bahwa ada atau
tidak ada jentik.

3. Untuk memeriksa tempat perkembangbiakan kecil seperti vas bunga/pot


tanaman air, botol yang airnya keruh, seringkali airnya dipindahkan ke tempat
lain.

4. Untuk memeriksa jentik ditempat yang agak gelap atau airnya keruh
digunakan senter. 3

2.5 Aedes aegypti sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti
yang menjadi vektor utama serta Ae. albopictus yang menjadi
vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di
seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas
1000 di atas permukaan laut, tapi dari beberapa laporan dapat
ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500
meter, bahkan di India dilaporkan dapat ditemukan pada ketinggian
2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian 2.200 meter.
Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa
berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk
lainnya. Kedua spesies nyamuk tersebut termasuk ke dalam Genus
Aedes dari Famili Culicidae.
2.6 Patogenesis Demam Berdarah
Patogenesis DBD Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus
dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus
menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag
mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan
masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel
dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus.
Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.
Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap
serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap
serotipe virus lainnya. Secara invitro, antobodi terhadap virus
dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis
komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC)
dan ADE.33 Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi
atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang
dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising
serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan
DSS.
Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan
DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary
heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE).
Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila
seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe
virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika
orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus
dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi
karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe
baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat
oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan
memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan
platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan
kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh
darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan
jelas. Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk
akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan
pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan.Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang
terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam
tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus
dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses
enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan
teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik
terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang
diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila
antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat.7 Kinetik immunoglobulin
spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS,
didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang
pathogenesis DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang
mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1,
DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat ditemukan pada
kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan
lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan
pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas
sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5.
Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada
trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan
mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain. Selain
itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang
terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama
endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam
dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya
dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi
derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan
tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus;
kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.
2.7Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena
membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau
melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin
terjadinya KLB.40 Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang
mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan
pembuangan sampah yang benar.11 Tetapi di lain pihak, DBD juga
bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa
bepergian.41 Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan
dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat
penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta
mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan
jentik tidak menjadi faktor risiko.42 Faktor risiko yang menyebabkan
munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan reaksi
infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon
Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi.
Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang
menyebabkan DBD adalah jenis kelamin lakilaki, riwayat pernah
terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke daerah
perkotaan.
2.8Manifestasi Klinis
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik)
berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala
klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh,
sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)
berlangsung sekitar 8-10 hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi
tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD, ditandai
dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan
diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan
jumlah trombosit 100 x 109 /L dan kebocoran plasma akibat
peningkatan permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam,
beracun dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48
jam, adalah masa paling kritis, dengan kebocoran plasma cepat
yang mengarah ke gangguan peredaran darah. Terdapat 4 tahapan
derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat
demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat
II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain, derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi
yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20
mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg),sianosis di
sekitar mulut, akral dingin, kulitlembab dan pasen tampak gelisah;
serta derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound shock)
yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

2.9 Pengendalian dan Pemberantasan Nyamuk Aedes aegypti


2.9.1 Manajemen Lingkungan
A. Modifikasi Lingkungan Modifikasi lingkungan yaitu pengubahan
kondisi lingkungan yang permanen (tahan lama) untuk menurunkan
populasi vektor tanpa mengakibatkan kerugian pada manusia (WHO,
2001). Ada beberapa cara pengendalian vektor secara modifikasi
lingkungan yaitu :
a). Perbaikan Wadah Persediaan Air Tempat penyimpanan persediaan
air dianjurkan dalam berbagai jenis wadah yang kecil, karena wadah
ukuran besar dan berat (misal: gentong air) tidak mudah untuk
dibuang atau dibersihkan, wadah-wadah ini akan memperbanyak
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti (WHO, 2001).

b). Tanki atau Reservoir di Atas atau Bawah Tanah Anti Nyamuk Tanki
dan sumur yang dibawah harus memiliki struktur yang antinyamuk.
Bangunan pelindung pintu air dan meteran air harus dilengkapi dengan
perembesan sebagai tindakan dari pencegahan (WHO, 2001).
B. Manipulasi Lingkungan Manipulasi lingkungan yaitu suatu kondisi
lingkungan yang bersifat sementara sehingga tidak menguntungkan
bagi perkembang biakan vektor (WHO, 2001). Ada beberapa cara
pengendalian vektor secara manipulasi lingkungan yaitu :

a. Drainase Instalasi Persediaan Air Air yang tumpah dalam bangunan


pelindung, dari pipa distribusi, katup air, pintu air, hidran kebakaran,
meteran air, menyebabkan air menggenang dan dapat menjadi habitat
yang penting untuk larva Aedes aegypti jika tindakan pencegahan
tidak dilakukan (WHO, 2001).

b. Bagian Luar Bangunan Desain bangunan penting untuk mencegah


perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Pipa aliran dari talang atap
sering tersumbat dan menjadi lokasi perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti. Pemeriksaan berkala perlu dilakukan terhadap bangunan
selama musim hujan untuk menemukan lokasi potensial
perkembangbiakan (WHO, 2001).

c. Penyimpanan Air untuk Memadamkan Kebakaran Tanki tempat


penyimpanan air untuk pencegahan kebakaran harus bersifat
antinyamuk. Drum tersebut harus memiliki tutup yang rapat. Selain itu,
drum logam yang digunakan untuk penyimpanan air di lokasi
pembangunan juga arus bersifat anti nyamuk (WHO, 2001).

d. Manajemen Ban Ban bekas kenderaan merupakan lokasi utama


perkembangbiakan nyamuk Aedes di daerah perkotaan sehingga
menimbulkan satu masalah kesehatan masyarakat yang penting. Ban
bekas diisi tanah atau beton dan digunakan untuk wadah tanaman
atau pembatas jalan. Ban bekas juga bisa digunakan untuk
mengurangi erosi pantai akibat gelombang ombak. Ban bekas juga
dapat didaur ulang menjadi sandal, karet, sikat industri, gasket, ember,
tempat sampah, dan alas karpet (WHO, 2001).

e. Penyimpanan Air Rumah Tangga Sumber utama perkembangbiakan


Aedes aegypti adalah wadah penyimpanan air untuk kebutuhan rumah
tangga yang mencakup gentong air dari tanah liat, keramik serta teko
semen. Wadah penyimpanan air harus ditutup dengan tutup yang pas
dan rapat (WHO, 2001).

f. Pot/vas Bunga, Jebakan Semut dan Tempat Air Minum Hewan


Peliharaan Pot bunga, vas bunga, jebakan semut dan tempat minum
hewan peliharaan merupakan tempat utama perkembangbiakan Aedes
aegypti. Benda-benda tersebut harus dilubangi untuk saluran air
keluar. Tindakan lainnya, bunga hidup dapat ditempatkan di atas
wadah yang beirisi air. Bunga tersebut harus diganti dan dibuang
setiap minggu. Jebakan semut untuk melindungi rak penyimpan
makanan dapat ditambahkan garam dapur atau minyak (WHO, 2001).

g. Perkembang Biakan Aedes di Genangan Air Incidental Wadah


penampungan hasil kondensasi di bawah lemari es, dan air conditioner
(AC) harus diperiksa, dan sisa air dispenser dikeringkan dan
dibersihkan secara teratur (WHO, 2001).

h. Pembuangan Sampah Padat Sampah padat, seperti kaleng, botol,


ember, atau benda tak terpakai lainnya yang berserakan di sekeliling
rumah harus dibuang dan dikubur di tempat penimbunan sampah.
Botol kaca, kaleng, dan wadah lainnya harus ditimbun di tempat
penimbunan sampah atau dihancurkan dan didaur ulang untuk industri
(WHO, 2001).

i. Pengisian Rongga pada Pagar dan Pohon Pagar yang terbuat dari
kayu berongga seperti bambu harus dipotong di bagian ruasnya, dan
rongga yang tampak harus diisi dengan pasir, pecahan kaca, atau
beton agar tidak menjadi habitat larva Aedes, begitu juga dengan
lubang-lubang pada pohon disekitar rumah penduduk (WHO, 2001).

2.9.2 Pengendalian Secara Fisik

Pengendalian secara fisik adalah pengendalian untuk menghilangkan


perindukan vektor (Aggraeni, 2010). Ada beberapa cara pengendalian
secara fisik yaitu :
A. Pakaian Pelindung Pakaian mengurangi risiko tergigit nyamuk jika
pakaian itu cukup tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana
panjang dan kaos kaki dapat melindungi tangan dan kaki, yang
merupakan tempat yang paling sering terkena gigitan nyamuk
(WHO,2001).

B. Perlindungan Diri Masyarakat menggunakan raket beralirkan listrik


untuk perlindungan diri dari nyamuk. Bahan penolak serangga yang
alami banyak juga digunakan untuk perlindungan diri seperti minyak
essensial (sitronela, lemongrass dan neem), yang kimiawi seperti DEET
(N,N-Diethyl-m-toluamide) dan permetrin adalah penolak serangga
yang efektif ditambahkan pada pakaian (WHO, 2001).

C. Kelambu dan Gorden Penggunaan kelambu banyak digunakan


masyarakat untuk menghindari dari gigitan nyamuk. Kelambu ini
sangat efektif bagi bayi dan pekerja yang bekerja pada malam hari,
dan tidur pada pagi harinya. Gorden digunakan untuk memperindah
rumah sekaligus menghindari nyamuk masuk ke rumah melalui jendela
rumah.

2.9.3 Pengendalian Secara Kimiawi

Pemberantasan secara kimia yaitu pengendalian DBD dengan


menggunakan bahan kimia, menurut Depkes RI (2007) dapat ditempuh
dengan 2 teknik untuk pengendalian secara kimiawi, yaitu:

A. Pengasapan (fogging), yaitu suatu teknik yang digunakan untuk


mengendalikan DBD dengan menggunakan senyawa kimia malathion
dan fenthion, yang berguna untuk mengurangi penularan sampai batas
waktu tertentu.

B. Pemberantasan Larva Nyamuk dengan Zat Kimia. Tempat


perkembangbiakan larva vektor DBD banyak terdapat pada
penampungan air yang airnya digunakan bagi kebutuhan sehari-hari
terutama untuk minum dan masak, maka larvasida (kimia
pemberantas larva) yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat,
efektif pada dosis rendah, tidak bersifat racun bagi manusia/mamalia,
tidak menyebabkan perubahan rasa, warna dan bau, dan
efektivitasnya lama Larvasidasi dengan kriteria seperti tersebut di atas
di antaranya adalah temephos yang lebih dikenal dengan sebutan
abate. Larvasida ini terbukti efektif terhadap larva Aedes aegypti dan
daya racunnya rendah terhadap mamalia. Beberapa contoh bahan
larvarisasi : Menggunakan bubuk Abate 1 G (bahan aktif : Temephos 1),
Altosid 1,3 G (bahan aktif: Metopren 1,3%), dan Sumilary 0,5
(Anggraeni, 2010). C. Pemberantasan Secara Kimia yang Berupa Bahan
Insektisida yang digunakan oleh masyarakat seperti obat nyamuk
bakar, semprotan piretrum, aerosol, dan obat nyamuk yang dioleskan
ke bagian tubuh, merupakan cara pengendalian nyamuk.

2.9.3 Pengendalian Secara Biologi/ Hayati

Pengendalian larva Aedes aegypti secara biologi atau hayati


menggunakan organisme yang dalam pengendalian secara hayati
umumnya bersifat predator, parasitik atau patogenik. Beberapa agen
hayati yang digunakan untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti
seperti :

A. Ikan, ikan kepala timah (Aplocheilus panchax), ikan nila (Oreochronis


nilocitus), ikan guppy (Poecilia reticulata), ikan mujair (Oreochronis
mossambicus), ikan cupang (Betta splendens), yang mangsanya
adalah larva nyamuk (Wikipedia, 2012).

B. Toxorhynchites sp. Toxorhynchites, juga dikenal sebagai elang


nyamuk atau pemakan nyamuk, adalah genus cosmopolitan dan salah
satu dari beberapa jenis nyamuk yang tidak mengisap darah mamalia.
Larva/jentik nyamuk ini memangsa larva nyamuk yang berukuran lebih
kecil, seperti larva nyamuk Aedes sp (Anggraeni, 2010).

Anda mungkin juga menyukai