Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam metode penambangan bawah tanah (underground mining) segala kegiatan
atau aktivitas penambangannya dilakukan di bawah permukaan bumi dan tidak
langsung berhubungan dengan udara luar. Permasalahan berkaitan dengan
karakteristik batuan merupakan masalah utama pada metode penambangan ini.
Sehingga diperlukan suatu jaminan bahwa lubang bawah tanah yang dibuat tetap
dalam keadaan stabil. Potensi ketidakstabilan yang terjadi pada batuan di sekitar
lubang bukaan tambang bawah tanah biasanya akan selalu membutuhkan
penanganan khusus terutama atas dua hal, yaitu keselamatan pekerja dan
keselamatan peralatan yang terdapat di dalam tambang. Disamping itu, akibat dari
kondisi yang lemah pada badan bijih sehingga menyebabkan batuan samping
berpotensi jatuh yang dapat mengakibatkan keuntungan dari operasi penambangan
mungkin akan berkurang jika terjadi failure pada batuan di sekitar stope pada saat
proses penambangan. Untuk menjamin lubang bawah tanah tetap dalam keadaan
stabil, diperlukan suatu analisis yang dapat menangani hal ini. Analisis ini
berfungsi untuk menganalisis karakteristik dari massa batuan baik itu dinding
maupun atap dari lubang bawah tanah. Selain itu analisis ini juga berfungsi untuk
mengetahui bidang-bidang lemah yang ada di massa batuan.

Analisis geomekanika merupakan salah satu analisis yang dapat digunakan untuk
menganalisis kestabilan lubang bawah tanah. Melalui berbagai uji laboratorium
yang dilakukan terhadap sampel batuan dengan berbagai metode serta prosedur,
kestabilan dari lubang bawah tanah dapat dianalisis. Selain untuk menganalisis
kestabilan lubang bawah tanah, analisis geomekanika juga dapat digunakan untuk
menetukan perlakuan penyanggaan terhadap lubang bawah tanah. Penyanggaan
sendiri didefinisikan sebagai sistem yang membantu batuan agar dapat menopang
dirinya sendiri sehingga mencapai keseimbangan setelah padanya diberikan

1
gangguan berupa lubang bukaan. pembahasan mengenai sistem penyanggaan
batuan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pembahasan
mengenai metode penambangan bawah tanah. Pembahasan ini menjadi sangat
penting mengingat karakteristik batuan yang berbeda-beda dan memungkinkan
munculnya bidang lemah batuan yang menyebabkan terjadinya runtuhan,
menghambat kerja perusahaan dan berakibat pada terhambatnya pencapaian
tingkat produksi yang diinginkan pula.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan dibahas pada
penelitian ini antara lain:
a. Kondisi massa batuan bijih, dinding, dan atap dari lombong.
b. Kestabilan dari massa batuan tersebut berdasarkan kondisi aktual dengan
model penyanggaan yang telah dipakai saat ini.
c. Model pemasangan baut batuan dan shotcrete yang tepat untuk digunakan
sebagai penyangga dari lombong yang diteliti.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah untuk :
a. Menganalisis hubungan karakteristik batuan dengan kestabilan lubang bawah
tanah melalui analisis geomekanika.
b. Mengidentifikasi perpindahan massa batuan yang terjadi di sekitar lubang
bukaan bawah tanah.
c. Menganalisis perpindahan yang dihasilkan tersebut untuk mengevaluasi
kebutuhan dan model baut batuan dan shotcrete yang tepat sebagai
penyanggaan.

1.4. Batasan Masalah


Adapun batasan pada penelitian ini adalah :
a. Penelitian ini menggunakan klasifikasi massa batuan Modified Rock Mass
Rating (Laubscher, 1977).

2
b. Penelitian ini menggunakan klasifikasi massa batuan Q System sebagai
(Barton et al, 1974)
c. Penelitian ini hanya mengevaluasi efektivitas penyangga yang digunakan dan
memberikan rekomendasi penyanggan yang sesuai namun faktor
keekonomiannya tidak dipertimbangkan.

3
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Dasar Teori


Massa batuan adalah batuan in-situ yang mempunyai kecacatan struktural berupa
bidang diskontinuitas yaitu bidang atau celah yang menyebabkan batuan bersifat
tidak menerus antara lain berupa perlapisan, kekar, dan sesar. Kekuatan pada
massa batuan (jointed rock masses) dipengaruhi oleh faktor berikut :
1. Orientasi dan jarak kerapatan bidang diskontinu
2. Kondisi bidang diskontinu seperti ;
Kemenerusan (persistence)
Koefisien kekasaran kekar (JRC)
Kekuatan bidang diskontinu (JCS)
Lebar isian pada bidang diskontinu
Kegelombangan atau kekasaran (roughness)
Pelapukan pada batuan (weathering)

Pengaruh orientasi bidang diskontinu terhadap kekuatan massa batuan sangat


penting untuk diketahui, sebab dengan cara tersebut dapat dinilai kemampuan
massa batuan untuk menahan beban atau tegangan pada arah-arah tertentu yang
sesuai dengan kondisi dilapangan dan juga sebagai informasi perancangan lubnag
bukaan tambang. Selain orientasi, jarak kerapatan kekar juga berpengaruh
terhadap kekuatan massa batuan. Apabila suatu batuan mempunyai kekuatan
tinggi tetapi jarak spasi antar kekar sangat dekat maka massa batuan tersebut
lemah.

Jarak kerapatan kekar dipengaruhi oleh luasan yang mempengaruhinya, pada


batuan di alam untuk luasan yang kecil jarang terdapat adanya kekar sehingga
batuan tersebut tidak mempunyai kerapatan kekar dan disebut dengan batuan
utuh. Akan tetapi bila cakupannya di perluas lagi maka dalam batuan tersebut

4
mulai didapati adanya kekar, dari yang kerapatan kekarnya jauh hingga kerapatan
kekar yang sangat dekat.

Struktur ini terdapat pada batuan yang dekat dengan permukaan maupun pada
tempat yang dalam (lihat Gambar 2.1). Efek ukuran pada batuan yang terkekarkan
dengan kuat akan lebih jelas daripada batuan dengan kekar sedikit, karena efek
tersebut lebih dominan pada tarikan yang rekahannya terbuka dibandingkan
dengan rekahan yang tertutup. Faktor penting lain yang mempengaruhi massa
batuan adalah kemenerusan kekar. Semua faktor tersebut terdapat dalam bidang
diskontinu dan hal tersebut dapat mempengaruhi kekuatan dari massa batuan yang
terdapat di alam dan juga dibidang pertambangan, adanya bidang diskontinu
berpengaruh sekali terhadap stabilitas lereng pada tambang terbuka maupun
stabilitas terowongan pada tambang dalam.

Kekuatan dan kondisi suatu massa batuan yang terdapat di alam dapat diketahui
dan dikelompokkan kedalam kelas-kelas massa batuan dari lemah hingga sangat
kuat. Kelas massa batuan tersebut didapatkan dari hasil pengklasifikasian massa
batuan dengan beberapa metode klasifikasi seperti RMR dan GSI.

2.1.1. Klasifikasi Massa Batuan


Klasifikasi massa batuan merupakan salah satu metode pendekatan yang dapat
digunakan untuk desain awal lubang bukaan bawah tanah. Klasifikasi ini
merupakan awal mula dari pendekatan rancangan empirik dan digunakan secara
luas dalam rekayasa batuan. Dalam kenyataannya, pendekatan klasifikasi massa
batuan digunakan sebagai dasar praktis untuk merancang struktur di bawah tanah
yang kompleks. Hal tersebut merupakan tindakan yang kurang tepat. Klasifikasi
massa batuan yang meupakan salah satu metode empirik harus digunakan
bersama-sama dengan metode observasi dan metode analitik untuk
menformulasikan secara menyeluruh rancangan yang rasional. Oleh karena itu,
klasifikasi massa batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat menggantikan
pekerjaan desain rinci, karena untuk desain rinci diperlukan informasi yang lebih
lengkap mengenai tegangan insitu, sifat massa batuan, dan arah penggalian yang
biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk, 1995).

5
Secara sederhana klasifikasi massa batuan dapat digunakan sebagai check list
untuk memastikan apakah seluruh informasi penting mengenai massa batuan
sudah dimasukkan kedalam desain. Jika semua informasi telah tersedia, maka
klasifikasi massa batuan dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi
spesifik lapangan.

Tujuan dari klasifikasi massa batuan (Bieniawski, 1989) adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi parameter terpenting yang mempengaruhi perilaku dari setiap
massa batuan.
2. Membagi berbagai massa batuan ke dalam kelompok yang memiliki perilaku
yang sama.
3. Memberikan pengertian dasar tentang karakteristik dari setiap kelas massa
batuan.
4. Menghubungkan pengalaman-pengalaman tentang kondisi batuan pada suatu
lokasi kepada kondisi dan pengalaman yang ditemukan di lokasi lain.
5. Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
(engineering design).
6. Menyediakan sebuah dasar umum dalam komunikasi di antara engineer dan
geologis.

Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, disarankan untuk menggunakan


lebih dari satu jenis klasifikasi massa batuan. Terdapat enam klasifikasi massa
batuan yang biasa digunakan untuk keperluan desain rekayasa batuan. Klasifikasi
beban batuan atau Rock Load Classification merupakan sistem klasifikasi praktis
pertama yang dikenalkan dan secara dominan digunakan di Amerika Serikat lebih
dari 35 tahun. Klasifikasi Stand Up Time Classification yang diusulkan oleh
Lauffer (1958) berdasarkan pada hasil kerja Stini (1950) dan merupakan langkah
sangat maju dalam seni penerowongan karena konsep yang diperkenalkan lebih
relevan dalam penentuan tipe dan jumlah penyangga terowongan. Klasifikasi
Rock Quality Designation (RQD) yang diusulkan oleh Deere (1967), merupakan
metode sederhana dan praktis untuk mendeskripsikan kualitas inti batuan dari
lubang bor. Konsep Rock Structure Rating (RSR) yang dikembangkan di Amerika
Serikat oleh Wickham, Tiedemann, dan Skinner (1972, 1974), merupakan sistem

6
pertama yang mengutamakan rating klasifikasi untuk pembobotan yang relatif
penting dari klasifikasi. Klasifikasi Geomekanika (RMR-sistem) yang diusulkan
oleh Bieniawski (1973) dan Q-sistem yang diusulkan oleh Barton, Lien, dan
Lunde (1974), telah dikembangkan secara independen dan keduanya menyediakan
data kuantitatif untuk memilih tindakan perkuatan terowongan yang modern,
misalnya dengan menggunakan rockbolt, shotcrete, dan steel shets.

Q-sistem dikembangkan secara khusus untuk terowongan dan ruang bawah tanah.
Sedangkan klasifikasi geomekanika (RMR-sistem), walaupun pada awalnya
dikembangkan untuk terowongan, juga dapat diaplikasikan untuk lereng batuan
dan pondasi, penilaian ground rippability, dan masalah pertambangan lainnya.
RMR-sitem pada awalnya dikembangkan dari masalah pada teknik sipil, oleh
karena itu untuk penerapannya pada industri pertambangan harus dilakukan
modifikasi agar lebih relevan. Laubscher (1977) melakukan modifikasi dengan
menambahkan faktor penyesuaian terhadap peledakan, kondisi tegangan insitu,
dan keberadaan bidang diskontinu. Aplikasi lebih lanjut dari klasifikasi massa
batuan diusulkan oleh Bieniawski (1978) yang dihubungkan dengan
deformabilitas massa batuan yang diperlukan untuk studi numeric tegangan dan
distribusi perpindahan di sekitar bukaan bawah tanah (Hoek dan Brown, 1980).

Agar dapat digunakan secara baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan harus
mempunyai beberapa sifat antara lain:
1. Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.
2. Sifat sifat massa batuan yang penting harus disertakan.
3. Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah.
4. Pembobotan dilakukan secara relatif.
5. Menyediakan data-data kuantitatif.

Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh beberapa


keuntungan antara lain:
1. Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan
minimum sebagai parameter klasifikasi.
2. Memberikan informasi atau data kuantitatif untuk tujuan perancangan.

7
3. Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu
proyek.

2.1.2. Rock Mass Rating (RMR) System


Rock Mass Rating System atau juga dikenal dengan Geomechanichs
Classification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973. Metode ini
dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan berkembangnya studi kasus
yang tersedia dan disesuaikan dengan standard an prosedur yang berlaku secara
internasional (Bieniawski, 1979). Metode klasifikasi RMR merupakan metode
yang sederhana dalam penggunaannya dan parameter-parameter yang digunakan
dapat diperoleh baik dari data lubang bormaupun dari pemetaan geoteknik
struktur bawah tanah.

Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi seksi-seksi menurut
struktur geologi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah. Batas-
batasnya umumnya berupa struktur geologi mayor seperti patahan atau perubahan
jenis batuan. Massa batuan dengan jenis yang sama terkadang harus dibagi
menjadi seksi-seksi karena perubahan yang signifikan dalam spasi atau
karakteristik bidang discontinue.

Selama bertahun-tahun (1974, 1975, 1976 dan 1989) sistem ini telah diperbaiki
dengan semakin banyaknya studi kasus yang dikumpulkan. Bieniawski
melakukan perbaikan signifikan untuk rating bagi parameter-parameternya.
Berikut ada lima parameter utama dan 1 parameter pengontrol yang digunakan
untuk mengklasifikasikan massa batuan dengan sistem RMR :
1. Kuat tekan uniaksial batuan utuh
2. Rock quality designation (RQD)
3. Spasi bidang diskontinu
4. Kondisi bidang diskontinu
5. Kondisi air tanah
6. Koreksi dapat dilakukan bila diperlukan untuk orientasi diskontinuitas

Masing-masing parameter di atas memiliki nilai pembobotan yang dibuat


berdasarkan pengalaman di berbagai lokasi tambang. Bobot-bobot dari setiap

8
parameter nantinya akan dijumlahkan untuk memperoleh bobot total massa
batuan. Melalui total bobot kelima parameter tersebut massa batuan nantinya akan
dibagi menjadi lima kelas.

Dalam menerapkan sistem RMR, massa batuan dibagi menjadi bagian-bagian


berdasarkan sturuktur geologi dan setiap bagian akan diklasifikasikan secara
terpisah. Batas antara bagian pada umumnya berupa struktur geologi mayor atau
perubahan jenis batuan (Wattimena, 2006).

Mengenai kelima parameter yang digunakan dalam klasifikasi geomekanika


dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuat Tekan batuan Utuh (UCS)


Kekuatan batuan utuh merupakan kekuatan dari batuan utuh (intack rock) yang
diperoleh dari hasil uji UCS di laboratorium dan pengujian di lapangan dengan
point load test.

a) Point Load Test


Point Load Test dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan batuan
secara tidak langsung di lapangan. Dari uji ini nantinya akan didapatkan indeks
point load (Is) dan kuat tekan c. Misalnya batuan yang digunakan adalah batuan
berbentuk silinder dengan diameter 50 mm (NX = 54 m) dan tidak beraturan.
Is = F/D2
Is(50)= k (F/D2)
k = (D/50)0.45
Keterangan :
Is = Point load strength index (index franklin)
F = Beban maksimum sampai perconto pecah
D = Jarak antara dua konus penekan

Hubungan antara kuat tekan dengan index Franklin menurut Bieniawski (1975)
untuk diameter 50 mm adalah
c = 18 23 Is
sedangkan untuk diameter lainnya:
c = (14 + 0.175 D) x Is

9
Jika Is = 1 MPa maka indeks tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan
kekuatan batuan. Selain Bieniawski, beberapa penelitian juga menyebutkan
hunbungan antara kuat tekan dengan point load strength index (index franklin).
Hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel (tabel 2.1) berikut:
Tabel 2.1
Hubungan Kuat Tekan dengan Indeks Franklin

(Sumber : Kramadibrata, 2014)

b) Uniaxial Compressive Strength Test


Dalam menguji UCS batuan digunakan mesin tekan untuk menekan sampel
batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar tekanan yang harus
diberikan sehingga membuat batuan pecah. Contoh batuan uji berupa silinder
dengan ukuran 2 < (L/D) < 2.5. Dari uji kuat tekan ini nantinya dapat
digambarkan kurva tegangan-regangan untuk setiap contoh seperti yang
ditunjukkan pada gambar (lihat gambar 2.1).

Gambar 2.1
Kurva Tegangan- Regangan
(Sumber : Kramadibrata, 2014)

10
2. Rock Quality Designation (RQD)
Pada tahun 1964, Deere mengusulkan penggunaan istilah Rock Quality
Designation (RQD) untuk memperoleh perkiraan secara kuantitatif terhadap
massa batuan berdasar hasil inti pengeboran. RQD sendiri merupakan presentase
dari bagian inti yang utuh dengan panjang lebih dari 10 cm terhadap total
kedalaman lubang bor (core run).

panjang setiap > 10


= x 100%
total panjang

Deere (1989) memberikan ilustrasi untuk mengukur dan menghitung RQD. Hal
tersebut dapat dilihat pada gambar (lihat gambar 2.2).

Gambar 2.2
Prosedur Pengukuran dan Perhitungan RQD
(Sumber : After Deer, 1989)

Pada tahun 1976, Priest dan Hudson memberikan hubungan antara nilai RQD
dengan jarak antar bidang diskontinu yang ada di dalam massa batuan (joint
spacing /Js) dengan persamaan sebagai berikut

= 100 0,1 (0,1 + 1)


1
=

11
Keterangan:
Js = jarak antar diskontinu, meter
= frekuensi diskontinu per meter

Jarak antar diskontinu merupakan parameter penting dalam menilai struktur massa
batuan. Semakin banyak kehadiran diskontinu akan berakibat mengurangi
kekuatan massa batuan. Kualitas batuan berdasarkan pada nilai RQD ini telah
diusulkan oleh Deere (1964) dengan klasifikasi pada tabel (lihat tabel 2.2) berikut:
Tabel 2.2
Kualitas Batuan Berdasarkan RQD

(Sumber : After Deere, 1964)

3. Spasi Diskontinuitas
Adanya kekar pada massa batuan cenderung akan memperburuk karakteristik
mekanik massa batuan bergantung pada frekuensi atau jarak serta orentasinya.
Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidang-bidang
diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga) yang berurutan
sepanjang garis pengukuran (scanline) yang dibuat sembarang. Ilustrasi dari
pengukuran kekar dapat dilihat pada gambar (lihat gambar 2.3 dan gambar 2.4).

Gambar 2.3
Pengukuran Bidang Diskontinuitas dengan metode Scanline
(Sumber : Kramadibrata, 2014)

12
Gambar 2.4
Prosedur Pengukuran Kekar
(Sumber : Kramadibrata, 2014)
Priest (1985) memberikan persamaan untuk menghitung spasi rata-rata antar
bidang diskontinu:
+ +1
++1 = ++1 cos( )
2
cos = cos( ) cos n cos s + sin n sin x
< 180 = + 180
> 180 = 180
= 90

Keterangan:
++1 = jarak sebenarnya antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (meter)
++1 = jarak semu antara dua kekar yang berurutan dalam satu set (meter)
= sudut normal (...)
= arah dip dari garis normal (N...E)
n = dip dari garis normal (...)
= arah dip dari kekar (N...E)
= dip dari kekar (...)
= arah dip scanline (N...E)
s = dip dari scanline(...)

Faktor bobot ( W= 1/ cos ) diberikan untuk mengurangi bias pada saat


pengukuran. Hal tersebut dapat terjadi karena ada kekar yang landai berimpit
dengan bentangan garis. Klasifikasi spasi kekar menurut Deere dapat dilihat pada
tabel (lihat tabel 2.3) berikut:

13
Tabel 2.3
Pemerian Spasi Kekar

(Sumber : ISRM Suggested Methods)

4. Kondisi Bidang Diskontinu


Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam memperkirakan
kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter diskontinu tersebut antara lain:
a. Roughness
Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan parameter
yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu. Suatu permukaan
yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan
bidang diskontinu. Pembobotan kekasaran dapat ditentukan melalui tabel (lihat
tabel 2.4).
Tabel 2.4
Penggolongan dan Pembobotan Kekasaran

(Sumber: Bieniawski, 1976)

14
Selain tabel di atas kekasaran juga dapat ditentukan seperti dalam tabel (lihat tabel
2.5) berikut:
Tabel 2.5
Kekasaran Permukaan Bidang Geser

(Sumber : Barton dan Brandis, 1990)

b. Separation
Merupakan jarak antara kedua kekar permukaan bidang diskontinu. Jarak ini
biasanya diisi oleh material lainnya (filling material) atau bias juga diisi oleh air.
Semakin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut. Pembobotan
pemisahan dapat ditentukan melalui tabel (lihat tabel 2.6).

Tabel 2.6
Pemerian pemisahan Kekar

( Sumber : ISRM Suggested Method )

15
c. Continuity
Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu atau panjang
dari suatu bidang diskontinu. Kemenerusan bidang diskontinu dapat diukur secara
kasar dengan mengamati panjang kemenerusan bidang pada batuan yang
tersingkap. Deskripsi mengenai kemenerusan dapat dilihat pada tabel (lihat tabel
2.7) berikut:
Tabel 2.7
Klasifikasi Kemenerusan

(Sumber : ISRM, 1978)

d. Weathering
Seberapa besar tingkat pelapukan yang dialami oleh batuan dapat ditentukan
dengan melihat perubahan warna pada butir batuan dengan bantuan alat palu
geologi. Deskripsi tingkat pelapukan dapat dilihat pada tabel (lihat tabel 2.8)
berikut
Tabel 2.8
Pemerian Tingkat Pelapukan Batuan

(Sumber : ISRM Suggested Methods)

16
e. Infilling (gouge)
Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu
mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dikarenakan oleh faktor ketebalannya,
konsisten atau tidaknya dan sifat mengembang bila terkena air dan berbutir sangat
halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.

5. Kondisi Air Tanah


Kondisi air tanah atau debit aliran air tanah akan mempengaruhi kekuatan massa
batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa batuan.
Kondisi air tanah ditentukan dengan mengamati atap dan dinding terowongan
secara visual, kemudian dapat dinyatakan dengan keadaan umum seperti kering,
lembab, air menetes atau air mengalir.

6. Orentasi Bidang Diskontinu


Koreksi RMR dasar selanjutnya dilakukan berdasarkan arah penggalian
terowongan dan orentasi bidang diskontinu yang ada pada lokasi tersebut. Arah
umum bidang diskontinu merupakan kedudukan relatif dari bidang diskontinu
terhadap sumbu lintasan terowongan. disebut arah yang paling optimum ketika
memberikan volume terkecil yang menyebabkan ketidakstabilan terowongan.
Orentasi bidang diskontinu dianggap menguntungkan jika berarah tegak lurus
terhadap sumbu terowongan dan akan merugikan jika searah sumbu terowongan.

Data arah kekar didapat dari pengukuran kekar di lapangan dengan kompas
geologi. Data yang didapat diolah dengan metode stereograifs untuk menetukan
arah umum kekar. Arah umum biasa dinyatakan dengan strike/dip atau dip/dip
direction.

RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga terowongan. Panduan


ini tergantung pada beberapa faktor seperti kedalaman lubang bukaan dari
permukaan, ukuran dan bentuk terowongan serta metode penggalian yang dipakai
(lihat tabel 2.9).

Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat ditentukan melalui


stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik span terhadap stand-up time
(lihat gambar 2.5).

17
Gambar 2.5
Grafik Hubungan Antara Span, Stand-up Time, dan RMR
(Sumber : Bieniawski, 1989)

Bieniawski (1976) mengembangkan grafik tersebut berdasarkan konsep dasar


stand-up time Lauffer (1958). Keakuratan dari stand-up time ini menjadi
diragukan karena nilai stand-up time sangat dipengaruhi oleh penggalian,
ketahanan terhadap pelapukan, dan kondisi tegangan in situ yang merupakan
parameter-parameter penting yang tidak tercakup dalam metode klasifikasi RMR.
Oleh karena itu grafik ini digunakan hanya untuk tujuan perbandingan semata.
Tabel 2.9
Rekomendasi Penyangga berdasarkan RMR

(Sumber : Bieniawski, 1989)

18
2.1.3. Modified Rock Mass Rating (MRMR)
Sistem RMR pada dasarnya dibuat dari kasus pada pekerjaan teknik sipil. Oleh
karena itu, perlu dilakukan beberapa modifikasi untuk dapat diterapkan secara
tepat. Laubscher (1977) telah membuat sistem klasifikasi Modified Rock Mas
Rating (MRMR). MRMR menggunakan dasar dari nilai RMR dan melakukan
penyesuaian terhadap peledakan, kondisi tegangan insitu, dan keberadaan bidang
diskontinu. Nilai MRMR lebih sesuai digunakan untuk menentukan penyanggaan.

2.1.4. Prosedur Klasifikasi


Langkah-langkah untuk menentukan kondisi massa batuan dengan Klasifikasi
MRMR adalah sebagai berikut (lihat gambar :
a) Menghitung nilai bobot total batuan dari 5 parameter yang terdapat dalam
sehingga diperoleh nilai RMR dasar (lihat tabel 2.10).
b) Memberikan penilaian dan pembobotan dari kedudukan sumbu terowongan
terhadap jurus dan kemiringan dari bidang-bidang diskontinu (lihat tabel 2.10).
c) Menentukan nilai RMR terkoreksi dengan cara menjumlahkan bobot RMR
dari langkah pertama dan bobot dari langkah kedua.
d) Memasukkan pengaruh peledakan, keberadaan sesar mayor, tegangan insitu
serta perubahan tegangan untuk mendapatkan nilai RMR termodifikasi (lihat
tabel 2.11, 2.12 dan 2.13).
e) Menentukan rekomendasi penyangga dari nilai RMR termodifikasi.

Gambar 2.6
Prosedur Klasifikasi MRMR

19
(Sumber : Laubscher, 1977)

Tabel 2.10
Rock Mass Rating Parameters

(Sumber : Bieniawski, 1989)

20
Tabel 2.11
Blasting Adjustment Factors

(Sumber : Laubscher, 1977)

Tabel 2.12
Joint Adjustment Factors

(Sumber : Laubscher, 1977)

Tabel 2.13
Shear Zones Adjustment Factors
Orientation Of Shear Zones At An Adjustment
Angle To The Development
0-15 76%
16-45 84%
46-75 92%

21
2.1.5. Q System Classification
Klasifikasi batuan Q-System dikenal juga dengan istilah Rock Tunneling Quality
Index untuk keperluan perancangan penyangga penggalian bawah tanah. Q-
System digunakan dalam klasifikasi massa batuan sejak tahun 1980 di Iceland.
Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Barton, dkk di 1974 berdasarkan
pengalaman pembuatan terowongan terutama di Norwegia dan Finlandia.

Pembobotan Q-System didasarkan atas penaksiran numerik kualitas massa batuan


berdasarkan 6 parameter berikut;
1. RQD (Rock Quality Designation)
2. Jumlah Kekar/Joint Set Number (Jn)
3. Kekasaran Kekar atau Kekar Utama/Joint Roughness Number (Jr)
4. Derajat Alterasi atau pengisian sepanjang kekar yang paling lemah/Joint
Alteration Number (Ja)
5. Aliran Air/Joint Water Reduction Number (Jw)
6. Faktor Reduksi Tegangan /Stress Reduction Factor (SRF)

Dalam sistem ini, diperhatikan diskontinuitas dan joints. Angka dari Q bervariasi
dari 0.001-1000

2.2. Metode Pengambilan Sampel Data

Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yang diambil berupa data kekuatan batuan (UCS dan Is), data kekar
(spasi, arah umum, kondisi), RQD, dan kondisi air tanah. Data sekunder yang
diperoleh dari perusahaan berupa data profil perusahaan, peta lokasi penelitian,
peta geologi regional, dimensi lubang bukaan, karakteristik penyanggan yang
digunakan, metode pembongkaran, tegangan in situ di daerah penelitian.

2.3 Diagram Alir Penelitian


Melalui diagram alir berikut dijelaskan tahapan-tahapan yang akan ditempuh
dalam melakukan penelitian ini (lihat gambar 2.7).

22
JUDUL
PERBANDINGAN METODE KLASIFIKASI MRM DAN
Q SISTEM UNTUK MENGEVALUASI SISTEM PENYANGGAAN PADA
PENAMBANGAN EMAS DOZ
DI PT. FREEPORT INDONESIA

TUJUAN
a. Menganalisis hubungan karakteristik batuan dengan kestabilan lubang bawah tanah
melalui analisis geomekanika.
b. Mengidentifikasi perpindahan massa batuan yang terjadi di sekitar lubang bukaan
bawah tanah.
c. Menganalisis perpindahan yang dihasilkan tersebut untuk mengevaluasi kebutuhan dan
model baut batuan dan shotcrete yang tepat sebagai penyanggaan.

DATA PRIMER DATA SEKUNDER


a. Data kekuatan batuan (UCS dan Is) a. Profil perusahaan
b. Data kekar (spasi, arah umum, kondisi) b. Peta lokasi penelitian
c. RQD c. Peta geologi regional
d. Kondisi air tanah d. Dimensi lubang bukaan
e. Karakteristik penyanggan yang digunakan
v f. Metode pembongkaran
g. Tegangan in situ di daerah penelitian

Hasil Penelitian
a. Tabel pemerian paremeter klasifikasi massa bautan
b. Nilai dan kelas massa batuan
c. Stand up time lubang bukaan
d. Rekomendasi penyanggaan

Pembahasan
a. Membandingkan hasil dari klasifikasi massa batuan terhadap klasifikasi yang digunakan
sebelumnya.
b. Memberikan rekomendasi penyanggaan agar penyanggan yang dipakai lebih efektif
terhadap kondisi batuan.

Kesimpulan
a. Batuan yang ada di daerah penelitian termasuk kelas batuan sesuai dengan klasifikasi
MRMR dan Q Sistem.
b. Penyangga yang dipakai sebaiknya menggunakan rekomendasi berdasarkan klasifikasi
MRMR dan Q - Sistem

Gambar 2.7
Diagram Alir Penelitian

23
BAB III
RENCANA PENYELESAIAN PENELITIAN

3.1. Pengolahan Data


Data-data yang didapatkan dari lokasi penelitian selanjutnya akan diolah dan
dianalisis. Adapun pengolahan dan analisis data yang dilakukan adalah sebagai
berikut:

a. Melakukan pengujian Point Load Index dan pengujian Kuat Tekan Uniaksial
untuk mengetahui nilai kekuatan batuan.

b. Menghitung spasi kekar rata-rata sebenarnya dan menetukan arah umum kekar.

c. Menghitung RQD.

d. Memberikan pembobotan pada msing-masing parameter kondisi kekar.

e. Menentukan koreksi dari arah penggalian dan orientasi kekar.

f. Menentukan pemerian parameter MRMR dan Q-Sistem.

g. Menentukan kelas batuan yang diteliti.

h. Menentukan Stand Up Time dari lubang bukaan yang diteliti.

i. Menentukan sistem penyanggan yang tepat digunakan pada lubang bukaan


yang diteliti.

3.2. Pembahasan Masalah


Pembahasan masalah dengan menentukan nilai dan kelas massa batuan
berdasarkan klasifikasi MRMR (Laubscher, 1977) dan Q Sistem (Barton et el,
1974). Berdasarkan data tersebut kemudian menetukan Stand Up Tme dan
rekomendasi penyanggan dari lubang bukaan yang diteliti.

24
3.3. Waktu Penelitian
Penelitian direncanakan dapat dilaksanakan pada 2 Mei 2015 hingga 2 Juni 2016.
Secara garis besar jadwal penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Jadwal Penelitian
No. Waktu (Minggu)
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Registrasi
2 Safety Induction
3 Observasi Lapangan
4 Studi Literatur
5 Pengumpulan Data
6 Pengolahan dan analisis data
7 Penyusunan laporan
8 Evaluasi

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Hustrulid, William A. And Bullock, Richard L. 2001. Underground mining


methods : engineering fundamentals and international case studies. SME,
Inc. : Colorado, USA.

2. Hoek, E., Kaiser, P.K., and Bawden, W.F., 1993, Support of Underground
Excavations in Hard Rock, Queens University, Canada.

3. S., Koesnaryo, 2010. Pelatihan Penyanggaan Alternatif Dalam Mendukung


Operasional Operasional Penambangan. Program Studi Teknik
Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta.

4. Made, Astawa Rai., Suseno, Kramadibrata., dan Ridho, Kresna Wattimena.


dkk. 2014. Mekanika Batuan. Penerbit ITB : Bandung.

5. Marinos, P., and Hoek, E., 2000. GSI: A Geologically Friendly Tool For
Rock Mass Strength Estimation. Journal, 1-5.

6. Tatiya, Ratan Raj. 2005. Surface and Underground Excavations Methods,


Techniques and Equipment. Taylor & Francis Group plc : London, UK.

26

Anda mungkin juga menyukai