Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MEKANIKA BATUAN

PERILAKU BATUAN

MUHAMMAD RISWAN

09320190113

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS
MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
Rahmat dan Karunia-Nya, maka penyusunan makalah tentang perilaku batuan ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. .

Meskipun telah berusaha dengan segenap kemampuan, namun kami menyadari


bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik yang bersifat
membangun sangat kami butuhkan guna perbaikan di masa depan.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pengertian “perilaku” batuan Batuan pada saat menerima beban


atau gaya dari luar mempunyai respons/reaksi yang berbeda-beda,
dengan kata lain mempunyai “perilaku” berbeda-beda. Perilaku batuan
dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik dan mekaniknya. Karena sifat-sifat fisik
dan mekanik dapat diketahui di laboratorium, maka salah satu cara
mengetahui perilaku batuan ialah dengan melakukan pengujian, yaitu uji
kuat tekan uniaksial. Dari hasil pengujian diketahui E, σc, ν dan dapat
dibuat (1) kurva Tegangan-Regangan, (2) kurva creep dari pengujian dng
tegangan tetap, dan (3) kurva relaxation regangan konstan.
Dengan mengamati kurva-kurva tsb, dapat diperkirakan perilaku dari
batuan beberapa istilah yang berhubungan dengan Perilaku Batuan
Deformasi : berubahnya bentuk atau volume benda padat karena gaya
dari luar Dilatansi : bertambahnya volume benda padat karena gaya dari
luar. Perilaku batuan (rock behavior) : ialah sifat batuan untuk
berdeformasi pada saat dan setelah dikenai gaya dari lua
Deformasi dan Perilaku Batuan Deformasi batuan yang terkena beban
tergantung pada Perilaku material Intensitas (besar dan lamanya)
pembebanan Perilaku batuan dapat diamati melalui : Kurva Tegangan-
Regangan (σ−ε) Kurva Regangan-Waktu (ε-t) pada σ konstan Creep
Kurva relaksasi (σ-t) pada ε konstan.
1.2 Rumus Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, tulisan ini secara khusus akan membahas.
1. Perilaku batuan
BAB II
DASAR TEORI

Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan yang


terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer (Sounders dan Fookes,
1970 op. cit. Beavis dkk., 1992). Proses perubahan dicapai melalui dua proses
utama, yaitu pelapukan fisik dan pelapukan kimia, yang berada dalam sebuah
keseimbangan fisika-kimia baru. Berlangsungnya kedua proses tersebut dapat
dikatakan relatif lambat, tetapi keberadaannya dalam batuan menjadi hal yang
cukup penting dari sudut pandang keteknikan.

Adanya pelapukan pada massa dan material batuan sering mengakibatkan


rencana desain suatu struktur bangunan menjadi khas, karena pelapukan umumnya
mengakibatkan pula perubahan sifat keteknikannya (Sadisun dkk., 1998; Karpuz
dan Pasamehmetoglu, 1997; Krank dan Watters, 1983; Dearman dkk., 1978).
Mempelajari pengaruh pelapukan batuan terhadap kondisi batuan dan karakteristik
sifat keteknikannya merupakan bagian yang sangat penting dalam investigasi
geologi teknik. Maka, dalam upaya mengetahui secara rinci karakteristik sifat
keteknikan batuan, studi pengaruh pelapukan batuan terhadap beberapa sifat
keteknikannya dapat menjadi parameter masukan yang penting guna menunjang
kegiatan perencanaan pembuatan desain perkuatan lereng.
KEJADIAN LONGSORAN DI WILAYAH PERTAMBANGAN

Bentuk topografi permukaan bumi yang bervariasi secara dominan


disebabkan oleh proses gerakan tanah, dengan kata lain hanya dimungkinkan
karena adanya kuat geser (shear strength) dari tanah atau batuan yang melampaui
tegangan geser (shear stress) oleh beban gravitasi atau beban lainnya. Biasanya
terlihat bahwa lereng-lereng yang paling curam adalah yang paling tidak stabil,
tetapi terdapat pula contoh-contoh keruntuhan yang juga terjadi pada lereng yang
landai. Suatu lereng dinyatakan stabil atau tidak stabil adalah dengan menggunakan
parameter-parameter sebagai beikut :

 Material
 Kekuatan tanah dan batuan
 Sudut lereng (slope angle)
 Iklim
 Vegetasi
 Waktu

Pada prinsipnya suatu lereng dikatakan stabil atau akan stabil apabila
tegangan geser tanah (D) yang menyebabkan lereng tersebut longsor ( driving
forces )sama besar dengan tegangan geser tanah (N) yang menahan lereng longsor
( resisting forces ). Kestabilan suatu lereng dinyatakan dengan suatu nilai yang
disebut nilai faktor keamanan atau lebih dikenal dengan safety factor (SF).
Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut :

SF = Resisting Forces / Driving Forces

Keterangan : SF > 1 = aman, SF < 1 = tidak aman / longsor

Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakstabilan lereng secara umum


dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Faktor – faktor yang menyebabkan naiknya tegangan; meliputi naiknya berat
unit tanah karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal
(bangunan), bertambahnya kecuraman lereng karena erosi alami atau
penggalian, dan bekerjanya beban goncangan.
b. Faktor – faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan; meliputi adsorpsi
air, kenaikan tekanan pori, beban goncangan atau beban berulang,
pengaruh pembekuan dan pencairan, hilangnya sementasi material, proses
pelapukan, dan regangan berlebihan pada lempung yang sensitif.

Secara umum kehadiran air adalah faktor dari kebanyakan keruntuhan lereng,
karena hadirnya air menyebabkan naiknya tegangan maupun turunnya kekuatan.

Tipe-tipe gerakan tanah secara umum adalah sebagai berikut :

 Jatuhan (Falls)
 Longsoran (Slides)
 Aliran (Flows)
 Kombinasi (Complex)

Pembukaan kawasan pertambangan pada daerah dengan morfologi


curam/terjal perlu ditunjang oleh beberapa kegiatan geologi teknik dan
hidrogeologi, seperti pemeliharaan stabilitas lereng (slope stability) dan penirisan
(dewatering), dengan maksud untuk menghindari terjadinya longsoran / runtuhan
batuan akibat dibukanya jalan (road cuts) dan sistem penambangan yang
diterapkan. Sistem penambangan terbuka U+ U70? (>140%) dengan(open pit
mining) umumnya memiliki kemiringan lereng pit kedalaman mencapai
puluhan/ratusan meter, yang sangat rentan terhadap bencana longsor/runtuhan
dinding pit.

Dalam pemeliharaan stabilitas lereng yang baik, terutama pada area


penambangan, perlu dilakukan monitoring secara cermat dan teratur, melalui
pemasangan alat-alat pemantau tinggi permukaan airtanah (piezometer), kecepatan
gerakan tanah (extensometer) dan arah gerakan tanah ( inclinometer). Kemudian
dilanjutkan dengan program penirisan pada dinding pit, termasuk overburden atau
biasa juga disebut sisa bahan galian (waste dump), yang umumnya dilakukan
dengan cara pemboran dan pemasangan pipa-pipa secara horisontal. Program
penirisan ini menjadi sangat penting, karena air mempunyai kontribusi yang sangat
besar dalam proses terjadinya longsor dan ketidakmungkinan dibuatnya suatu
dinding penahan yang permanen dalam area penambangan, sementara dinding-
dinding pit biasanya dibuat sedemikian curam untuk mendapatkan cadangan
mineral bijih yang sebesar-besarnya.

Kelongsoran lereng suatu lubang bukaan tambang dapat mengganggu


kelancaran kegiatan penambangan, oleh karena itu diperlukan kajian untuk
mengetahui aspek geoteknik lereng tersebut dan juga kimia mineral batuan, supaya
dapat diketahui cara penanggulan yang baik dan cepat. Sehingga secara
keseluruhan kondisi lereng dengan factor keamanan = 2,0 cukup stabil walaupun
sering terjadian jatuhan material batuan, terutama pada muka lereng yang tersusun
oleh batu lempung hal ini disebabkan oleh kandungan kimia dan mineral batu
lempung yang kurang resisten terhadap pelapukan .
BAB III
PEMBAHASAN

Banyak peneliti terdahulu telah mencoba mengklasifikasikan pelapukan pada


batuan menjadi beberapa (kelas) derajat pelapukan semenjak disepakati bahwa
pelapukan akan sangat berpengaruh terhadap beberapa sifat keteknikan batuan.
Sistem klasifikasi ini pada intinya merupakan urutan (sikuen) perubahan pelapukan
batuan sebagai akibat proses pelapukan fisik (disintegrasi) dan pelapukan kimia
(dekomposisi) yang berperan secara individu ataupun merupakan proses yang terjadi
secara kombinasi, bersamaan dengan perubahan beberapa sifat keteknikannya
(Dearman, 1976 op. cit Dearman dkk., 1978).

Pada awalnya, usulan sistem klasifikasi tidak dapat langsung diterapkan begitu
saja untuk semua jenis batuan. Beberapa sistem klasifikasi hanyalah merupakan
pengungkapan fenomena pelapukan batuan pada kondisi lingkungan batuan tertentu
dan untuk tujuan tertentu pula, seperti usulan sistem klasifikasi yang diaplikasikan
untuk batuan beku oleh Moye (1955 op. cit. Dearman dkk., 1978), Ruxton dan Berry
(1957), dan Little (1969), serta sistem klasifikasi yang hanya berlaku untuk batuan
metamorf dan sedimen tertentu saja oleh Knil dan Jones (1965) dan Skempton dan
Davis (1966 op. cit. Karpuz dan Pasamehmetoglu, 1997). Dengan alasan ini, setelah
meninjau kembali sistem klasifikasi derajat pelapukan batuan yang ada dan
mengaplikasikannya untuk berbagai lapangan geologi, Dearman dkk. (1978)
membuat skema klasifikasi tersendiri dan mengemukakan bahwa sistem klasifikasi.
PERILAKU BATUAN

STATIK (Time Independent)

1. Elastik (linier, Non linier)


2. Plastik
3. Elastoplastik

DIMANIK (Time Dependent)

1. Viskous (Newtonian)
2. Visko-elastik (Maxwell)
3. Firmo viscous (Kelvin)
4. Komplek (Burger)

Kohesi dan sudut geser dalam didapatkan melalui uji geser langsung, dengan
contoh benda uji ditempatkan pada sebuah kotak logam dengan penampang
berbentuk lingkaran dan dibaca pada kondisi kekuatan puncak. Karena batulempung
Formasi Subang cenderung tergolong dalam batuan lunak, tidak dilakukan perlakuan
khusus dalam pengujiannya. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa semakin lapuk
batuan (semakin tinggi derajat pelapukannya), nilai kohesi cenderung semakin kecil.
Secara umum, perubahan kohesi batuan turun linear terhadap kenaikan derajat
pelapukannya, dengan model regresi y = -9,7911x + 69,015 (R2 = 0,8606; n = 52).
Demikian halnya dengan perubahan sudut geser dalam yang secara umum juga
menunjukkan penurunan nilai terhadap kenaikan derajat pelapukannya dan
membentuk pola perubahan yang juga linear (y = -4,7845x + 39,82; R2 = 0,8775; n =
52).
Tabel 1 Sistem klasifikasi derajat pelapukan batulempung

Istilah Derajat Penciri Utama

Tanah Residu VI Seluruh batuan telah mengalami perubahan warna


menjadi coklat kekuningan hingga coklat kehitaman.
Tekstur dan struktur batuan asal umumnya telah
mengalami perubahan atau dapat dikatakan telah
hancur, jejak-jejak bidang rekahan pun sudah tidak
tampak lagi.

Lapuk V Hampir seluruh batuan telah mengalami perubahan


Sempurna warna menjadi coklat keabuan hingga coklat
kekuningan. Akan tetapi, kenampakan tekstur dan
struktur batuan asal masih dapat diamati. Hal ini
ditandai oleh hadirnya (kemenerusan) jejak-jejak
bidang rekahan batuan, namun determinasi batuan asal
sudah sulit dilakukan.

Perubahan warna terjadi hampir pada seluruh


Lapuk Kuat IV permukaan bidang rekahan, sehingga pada muka
galian dan inti bor tampak berwarna coklat keabuan.
Apabila pecahan pipih batuan dipotong dengan pisau
atau dipatahkan dengan tangan, warna asli batuannya
agak sulit dilihat karena perubahan warna yang terjadi
umumnya telah lebih dari setengah tebal pecahan pipih
batuan, sehingga determinasi batuan asal juga agak
sulit dilakukan.
Perubahan warna batuan mulai tampak jelas, terjadi
Lapuk Sedang III pada hampir sebagian besar permukaan bidang
rekahan (menjadi berwarna coklat keabuan hingga
coklat). Apabila pecahan pipih batuan dipotong dengan
pisau atau dipatahkan dengan tangan, masih terlihat
warna asli batuannya dan perubahan warna yang
terjadi secara umum masih kurang dari setengah tebal
pecahan pipih tersebut, sehingga determinasi batuan
asal masih dapat dilakukan dengan baik.

Batuan pada derajat pelapukan ini umumnya ditandai


Lapuk Ringan II oleh adanya gejala hancuran retak-retak memipih
dalam demensi dan spasi yang masih cukup besar.
Warna batuannya umumnya telah memudar menjadi
tidak mengkilap/kusam; perubahan warna (menjadi
abu-abu kecoklatan hingga coklat keabuan) masih
sedikit sekali terjadi, hanya pada permukaan atau pada
bagian tepi bidang rekahan yang terbuka.

Efek proses pelapukan belum atau sedikit sekali


dijumpai pada beberapa bagian batuan. Dalam kondisi
Batuan Segar I
segar, batuan ini berwarna abu-abu kehijauan hingga
abu-abu kehitaman dan secara umum tidak terlihat
perubahan warna batuan, baik pada permukaan
singkapan atau muka galian maupun pada permukaan
bidang rekahan batuan.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Proses perilaku batuan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan
batuan yang terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer Tingkat
pelapukan mempengaruhi sifat-sifat asli dari batuan, misalnya angka kohesi,
besarnya sudut geser dalam, bobot isi, dll. Semakin tinggi tingkat pelapukan,
maka kekuatan batuan akan menurun.
DAFTAR PUSTAKA

Hemawan, Sifat fisik dan keteknikan lempung Formasi Subang (Msc) dan
endapan volkanik tua (Qob dan Qos) di daerah Kalijati, Pros. Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) ke-22 Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), 407-415, (1992).

Irsyam, M., Hutapea, B. M., Tatang, A. H., dan Tami, D., Penanggulangan
kelongsoran pada galian di batuan shale di lokasi Valve Chamber PLTA Tulis,
Pros. Sem. Geoteknik di Indonesia Menjelang Milenium ke-3, Jurusan Teknik
Sipil, Institut Teknologi Bandung, IV.43-IV.53, (1998).

LPM - ITB, Studi geologi teknik dan lingkungan di daerah P. T. Pertiwi Lestari
pada Kawasan Industri Bukit Indah Barat. Laporan Akhir - Lembaga Pengabdian
kepada Masyarakat - Institut Teknologi Bandung, 94 hal., (1995), tidak
dipublikasikan.

Martodjojo, S., Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat, Disertasi Program Doktor
Institut Teknologi Bandung, 396 hal., (1984), tidak dipublikasikan.

Sadisun, I. A., Rochaddi, B., dan Abidin, D. Z., Pengaruh perubahan derajat
pelapukan batuan terhadap beberapa karakter perubahan sifat keteknikan batuan;
Sebuah studi kasus pada batulempung Formasi Subang, Pros. Sem. Geoteknik di
Indonesia Menjelang Milenium ke-3, Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi
Bandung, IV.33-IV.40, (1998).

Anda mungkin juga menyukai