Kerjasama
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Dengan
DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN
HORTIKULTURA ACEH
Tahun 2016
KATA PENGANTAR
Aceh telah ditetapkan sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional pada
Pemerintah Jokowi-Jusuf Kala untuk memenuhi dan menjaga ketahanan pangan
nasional dan lokal. Pemerintah Aceh memiliki komitmen untuk meningkatkan
produksi padi di wilayahnya sehingga sasaran pemenuhan pangan ke depan bisa
tercapai.
Pengelolaan air irigasi dari hulu (upstream) sampai dengan hilir (downstream)
memerlukan sarana dan prasarana irigasi yang memadai. Rusaknya atau tidak
tersedianya salah satu bangunan-bangunan irigasi akan mempengaruhi kinerja sistem
yang ada, sehingga mengakibatkan efisiensi dan efektifitas irigasi menurun serta
menurunnya produktivitas lahan usahatani.
Permasalahan utama dalam pengelolaan irigasi di Aceh berkaitan dengan
jaringan tersier (jaringan yang mensuplai air ke lahan sawah) masih terkendala dan
belum mencukupi. Jaringan tersier ini menjadi suatu faktor yang menentukan
keberhasilan produksi padi karena keberadaan jaringan ini berhubungan langsung
dengan petak sawah para petani.
Respon Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura untuk mengatasi permasalahan kondisi jaringan irigasi tersier sangat
penting. Oleh karena itu, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Aceh
melakukan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM)
Universitas Syiah Kuala untuk Mengalisis Kebutuhan dan Kondisi Eksisting Jaringan
Irigasi Tersier.
Laporan pendahuluan ini memuat Pendahuluan, Ruang Lingkup Pekerjaan,
Tinjauan Pustaka, Metodologi dan Progres Kegiatan. Diharapkan laporan pendahuluan
dapat menyediakan laporan awal tentang Kebutuhan dan Kondisi Eksisting Jaringan
Irigasi Tersier. Saran dan masukan yang konstruktif dari semua pihak sangat
diharafkan untuk penyempurnaan laporan pendahuluan ini.
TIM PENELITI
DAFTAR ISI
Daftar Isi ii
DAFTAR TABEL
Daftar Gambar iv
Laporan
Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi mengamanatkan bahwa tanggung jawab
pengelolaan jaringan irigasi tersier sampai ke tingkat usahatani dan jaringan irigasi
desa menjadi hak dan tanggung jawab petani, yang terhimpun dalam wadah
perkumpulan petani pemakai air (P3A) sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah daerah
Kabupaten/Kota disebutkan bahwa kewenangan pengembangan/ rehabilitasi jaringan
irigasi tingkat usahatani menjadi kewenangan dan tanggung jawab instansi tingkat
Kabupaten/Kota yang menangani urusan pertanian.
Luas Daerah irigasi di Provinsi Aceh adalah 390.518 Ha yang terdiri dari 1.499
Daerah Irigasi (DI) yang terdiri dari Lintas Kabupaten/Kota dan Utuh Kabupaten/Kota
berdasarkan kewenangannya (Dinas Pengairan Aceh, 2016). Kondisi saluran irigasi di
Aceh berdasarkan kewenangan dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kewenangan yaitu: 1)
Kewenangan pusat dengan luas baku 101.622 Ha dan luas fungsional 87.903 Ha, 2)
Kewenangan provnsi dengan luas baku 65.409 Ha dan luas fungsional 28.975 Ha, dan
3) Kewenangan Kabupaten/Kota denga luas baku 196.261 Ha dan luas fungsional
104.018 Ha. Selanjutnya kondisi saluran irigasi berdasarkan kewenangan yaitu: 1)
Kewenangan pusat dalam kondisi baik 785 km (65,67 %), rusak sedang 322 km (26,92
%), dan rusak berat 89 km (7,42 %), 2) Kewenangan provinsi dalam kondisi baik 418
km (99,26 %), rusak sedang 178 km (25,2 %) dan rusak berat 110 km (15,54 %)., dan
3) Kewenangan kabupaten/kota dalam kondisi baik 908 km (51,59 %), rusak sedang
440 km (25,03 %) dan rusak berat 411 km (23,38 %).
Bangunan irigasi berdasarkan kewenangan di Aceh terdiri dari: 1) Kewenangan
pusat dengan luas baku 101.622 Ha dan luas fungsional 87.903 Ha, 2) Kewenangan
provinsi dengan luas baku 65.409 Ha dan luas fungsional 28.975 Ha. Selanjutnya
kondisi bangunan irigasi dapat dikelompokkan yaitu: 1) Kewenangan pusat dengan
kondisi baik 2.316 buah (69,20 %) dan kondisi rusak 1.031 buah (30,80 %), 2)
Kewenangan provinsi dengan kondisi baik 894 buah (65,30 %) dan kondisi rusak 475
buah (34,70 %), dan (3) Kewenangan kabupaten/kota dengan kondisi baik 2.508
buah(50,48 %) dan kondisi rusak 2.460 buah (49,52 %).
Uraian sebelumnya memberikan informasi bahwa ketersediaan irigasi di Aceh
sudah cukup luas dan panjang, namun dilihat dari rasio jaringan irigasi relatif masih
rendah, yaitu 61,32% tahun 2014 dan meningkat menjadi 65,23% tahun 2015. Tahun
2016 Pemerintah Aceh menargetkan meningkat ratio jaringan irigasi menjadi 70,45
persen (Dinas Pengairan Aceh, 2016). Rasio rasio jaringan irigasi adalah perbandingan
antara panjang saluran irigasi dengan luas lahan budidaya pertanian.
Maksud dari kajian ini adalah untuk mengevaluasi jaringan irigasi tersier dalam
rangka meningkatkan produksi dan produktivitas lahan sawah di Aceh sehingga
mencapai sasaran Aceh sebagai salah satu lumbung padi nasional. Tujuan dari kajian
ini adalah (1) mengidentifikasi jumlah dan kondisi (eksisting) salurah irigasi tersier di
Wilayah Timur Aceh, dan (2) menghitung dan menganalisis jumlah kebutuhan irigasi
tersier di Wilayah Timur Aceh.
Sasaran dari kegiatan ini adalah teridentifikasinya jumlah dan kondisi saluran
irigasi tersier saat ini di Wilayah Timur Aceh dan diketahui kebutuhan saluran irigasi
tersier di wilayah tersebut. Manfaat kajian ini adalah dapat menjadi informasi
mendasar bagi dinas teknis (SKPA/SKPK) dan petani (kelompok tani) serta stakeholder
lainnya dalam menyusun program/kegiatan untuk merehabilitasi dan atau membuat
baru saluran irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh sesuai kebutuhannya. Jika
kebutuhan irigasi tersier sudah tercukupi maka diharapkan produksi dan produktivitas
usahatani sawah di Wilayah Timur Aceh dapat meningkat sehingga berdampak pada
peningkatan supplai padi Aceh.
BAB II
Ruang Lingkup Pekerjaan
Ruang lingkup analisis kebutuhan dan kondisi eksisting jaringan irigasi tersier
Aceh meliputi:
1. Mengumpulkan data sekunder tentang luasan sawah, jumlah jaringan irigasi
primer, sekunder, dan tersier serta kondisinya (eksisting) di Wilayah Timur Aceh.
2. Mengumpulkan dan menganalisis data primer melalui survei lapang tentang
kondisi eksisting jaringan irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh.
3. Menghitung dan menganalisis kebutuhan jaringan irigasi tersier di Wilayah Timur
Aceh.
4. Membuat laporan hasil kajian analisis kebutuhan dan kondisi eksisting jaringan
irigasi tersier di Wilayah Timur Aceh.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14. Penggunaan air irigasi adalah kegiatan memanfaatkan air dari petak tersier
untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan.
15. Pembuangan air irigasi selanjutnya disebut drainase adalah pengaliran
kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi
tertentu.
16. Perkumpulan petani pemakai air yang selanjutnya disebut P3A adalah
kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air
dalam suatu daerah layanan/petak tersier atau desa yang dibentuk secara
demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga lokal pengelola irigasi.
17. Gabungan petani pemakai air yang selanjutnya disebut GP3A adalah
kelembagaan sejumlah P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air
irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan
beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.
18. Induk perkumpulan petani pemakai air yang selanjutnya disebut IP3A adalah
kelembagaan sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk
memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok primer,
gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi.
19. Komisi irigasi kabupaten/kota adalah lembaga koordinasi dan komunikasi
antara wakil pemerintah kabupaten/kota, wakil perkumpulan petani pemakai
air tingkat daerah irigasi, dan wakil pengguna jaringan irigasi pada
kabupaten/kota.
20. Komisi irigasi provinsi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara
wakil pemerintah provinsi, wakil perkumpulan petani pemakai air tingkat
daerah irigasi, wakil pengguna jaringan irigasi pada provinsi, dan wakil
komisi irigasi kabupaten/kota yang terkait.
21. Komisi irigasi antarprovinsi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi
antara wakil pemerintah kabupaten/kota yang terkait, wakil komisi irigasi
provinsi yang terkait, wakil perkumpulan petani pemakai air, dan wakil
pengguna jaringan irigasi di suatu daerah irigasi lintas provinsi.
22. Pengelolaan jaringan irigasi adalah kegiatan yang meliputi operasi,
pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi.
23. Operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan
pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan
irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun
rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan,
mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.
24. Hak guna air untuk irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau
mengusahakan air dari sumber air untuk kepentingan pertanian.
25. Rencana tata tanam detail yang selanjutnya disebut dengan RTTD adalah
rencana tata tanam yang menggambarkan rencana luas tanam pada suatu
daerah irigasi dan terperinci per petak tersier.
26. Rencana tata tanam golongan yang selanjutnya disebut RTTG adalah rencana
tata tanam yang menggambarkan rencana luas tanam pada suatu daerah
irigasi, belum terperinci per petak tersier sehingga yang terlihat hanya total
rencana luas tanam per daerah irigasi.
27. Debit andalan adalah debit perhitungan ketersediaan air berdasarkan
probabilitas 80 persen terjadinya debit sungai.
28. Golongan vertikal adalah cara penentuan waktu awal pemberian air (awal
tanam) secara bersamaan pada petak tersier dari hulu ke hilir dalam suatu
saluran sekunder dengan tenggang waktu pemberian air antargolongan,
biasanya antara 10 sampai dengan 15 hari.
29. Golongan horisontal adalah cara penentuan waktu pemberian air (awal
tanam) secara bersamaan pada petak tersier yang berada di bagian hulu dari
saluran sekunder yang berlainan dan diteruskan pada periode berikutnya ke
petak tersier yang berada di bagian hilirnya dengan tenggang waktu
pemberian air antargolongan, biasanya antara 10 sampai dengan 15 hari.
30. Golongan tersebar adalah cara penentuan waktu awal pemberian air (awal
tanam) secara bersamaan pada petak tersier yang telah ditentukan dan tersebar
pada satu daerah irigasi dengan tenggang waktu pemberian air antargolongan,
biasanya antara 10 sampai dengan 15 hari.
31. Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan
jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar
pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya.
32. Pengamanan jaringan irigasi adalah upaya menjaga kondisi dan fungsi jaringan
irigasi serta mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan terhadap jaringan
dan fasilitas jaringan, baik yang diakibatkan oleh ulah manusia, hewan,
maupun proses alami.
33. Pemeliharaan rutin adalah usaha untuk mempertahankan kondisi dan fungsi
jaringan yang dilaksanakan setiap waktu.
34. Pemeliharaan berkala adalah usaha untuk mempertahankan kondisi dan fungsi
jaringan yang dilaksanakan secara berkala.
35. Perbaikan adalah usaha untuk mengembalikan kondisi dan fungsi saluran
dan/atau bangunan irigasi secara parsial.
36. Perbaikan darurat adalah kegiatan penanggulangan yang berupa perbaikan
dan bersifat darurat akibat suatu bencana agar saluran dan/atau bangunan
dapat segera berfungsi.
37. Penggantian adalah usaha untuk mengganti seluruh atau sebagian komponen
prasarana fisik, fasilitas, dan peralatan jaringan irigasi.
38. Inventarisasi jaringan irigasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data jumlah,
dimensi, jenis, kondisi, dan fungsi seluruh aset irigasi serta data ketersediaan
air, nilai aset jaringan irigasi, dan areal pelayanan pada setiap daerah irigasi.
39. Perencanaan pemeliharaan adalah suatu proses perancangan pemeliharaan
jaringan irigasi sebelum pelaksanaan pemeliharaan dimulai yang meliputi
inspeksi, survei, desain, dan penyusunan program.
40. Inspeksi rutin adalah pemeriksaan jaringan irigasi yang dilakukan secara rutin
setiap periode tertentu (10 atau 15 hari sekali) untuk mengetahui kondisi
jaringan irigasi.
41. Penelusuran jaringan adalah kegiatan pemeriksaan bersama dengan P3A dari
hulu sampai ke hilir untuk mengamati kondisi dan fungsi jaringan irigasi
dengan periode 6 bulanan pada saat pengeringan dan awal musim hujan atau
sesuai dengan kebutuhan.
Kemampuan bangunan
2 dalam mengukur dan Baik Sedang Jelek
mengatur debit
Dalam konteks Standarisasi Irigasi ini, hanya irigasi teknis saja yang ditinjau.
Bentuk irigasi yang lebih maju ini cocok untuk dipraktekkan di sebagian besar
pembangunan irigasi di Indonesia.
Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan adanya empat unsur fungsional
pokok, yaitu:
a. Bangunan-bangunan utama (headworks) di mana air diambil dari sumbernya,
umumnya sungai atau waduk,
b. Jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak
tersier,
c. Petak-petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan
kolektif, air irigasi dibagi-bagi dan dialirkan kesawah- sawahdan kelebihan air
ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier;
d. Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang
kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran-saluran alamiah.
2. Pemeliharaan rutin.
Pemeliharaan rutin merupakan kegiatan perawatan dalam rangka
mempertahankan kondisi jaringan irigasi yang dilaksanakan secara terus menerus
tanpa ada bagian konstruksi yang diubah atau diganti.
3. Pemeliharaan berkala
Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan yang
dilaksanakan secara berkala yang direncanakan dan dilaksanakan oleh dinas yang
membidangi irigasi dan dapat bekerja sama dengan P3A/GP3A/IP3A secara
swakelola berdasarkan kemampuan lembaga tersebut dan dapat pula
dilaksanakan dengan kontraktual.
4. Perbaikan darurat.
Perbaikan darurat dilakukan akibat bencana alam dan atau kerusakan berat akibat
terjadinya kejadian luar biasa (seperti pengrusakan/ penjebolan tanggul, longsoran
tebing yang menutup jaringan, tanggul putus dan lain-lain) dan penanggulangan segera
dengan konstruksi tidak permanen agar jaringan irigasi tetap berfungsi.
BAB IV
METODOLOGI
Kewenangan 705 km
2 65.409 28.975 418 59,26 178 25,2 110 15,54
Provinsi 1.369 bh
Kewenangan 1.760 km
3 196.261 104.018 908 51,59 440 25,03 411 23,38
kab/kota 4.968 bh
Sumber : Dinas Pengairan Aceh, 2016
BAB V
PROGRES PEKERJAAN
Selain itu juga dapat dipergunakan indikator yang didasarkan atas deskripsi
kerusakan, hal ini bisa dilihat seperti Tabel 5.2, 5.3 dan 5.4.
Dinas Pengairan Aceh, 2016. Rencana Kerja Dinas Sumberdaya Air, Aceh.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2010. Standar Perencanaan Irigasi Kriteria
Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP - 01.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 06/PRT/M/2015 tentang
Eksploitasi dan Pemeliharaan Sumber Air dan Bangunan Pengairan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 10/PRT/M/2015 tentang
Rencana dan Rencana Teknis Tata Pengaturan dan Tata Pengairan.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 12/PRT/M/2015 tentang
Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2015 tentang
Kriteria Penetapan Status Daerah Irigasi.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/PRT/M/2015 tentang
Komisi Irigasi.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/PRT/M/2015 tentang
Iuran Eksploitasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengairan.
Priyonugroho, A., 2014. Analisis Kebutuhan Air Irigasi (Studi Kasus Pada Daerah Irigasi
Sungai Air Keban Daerah Kabupaten Empat Lawang), Jurnal Teknik Sipil dan
Lingkungan Vol.2.No.3, Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang.
Sosrodarsono, S dan Takeda, K. 2003. Hidrologi untuk Pengairan. Pradna Paramita, Jakarta.