Anda di halaman 1dari 27

RENCANA PENGEMBANGAN TATA RUANG KOTA MALANG

(Studi Kasus pada Revitalisasi Hutan Kota Malabar di BAPPEDA


Kota Malang)

Disusun untuk memenuhi tugas takehome Ujian Akhir Semester mata kuliah
Perencanaan Tata Kota yang dibimbing oleh Bapak Mochamad Rozikin, MAP

Oleh :

Hanna Syabrina

125030607111005

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2016

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Pembangunan Berkelanjutan 5

2.2 Tata Ruang 7

2.3 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 8

2.4 Hutan Kota 9

2.5 Ruang Terbuka Hijau (RTH) 10

BAB III GAMBARAN UMUM 13

3.1 Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Malang 13

3.2 Revitalisasi Hutan Kota Malabar 16

BAB IV PEMBAHASAN 21

4.1 Gap antara Teori dan Praktek 21

BAB V PENUTUP 24

5.1 Kesimpulan 24

5.2 Rekomendasi 25

DAFTAR PUSTAKA 26

2
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 3.1 Design Hutan Kota Malabar 18

GAMBAR 3.2 Design Perencanaan Manajemen Drainase 18

GAMBAR 3.3 Design Pintu Masuk Utama 19

GAMBAR 3.4 Design Display Area 19

GAMBAR 3.5 Design Tempat Makan Burung 19

GAMBAR 3.6 Design Edukasi Flora 20

GAMBAR 3.7 Arboretum 20

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penataan ruang di negara Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No.26


tahun 2007 tentang penataan ruang. Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia meliputi ruang darat, ruang udara, dan ruang laut termasuk ruang di dalam
bumi, maupun sebagai sumber daya yang harus disyukuri, dilindungi dan dikelola
secara berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat yang
terkandung dalam pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalimat
tersebut mempunyai makna bahwa Negara mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengelolaan,mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna
terlaksananya kesejahteraan yang dikehendai.

Kewenangan tersebut diwujudkan dalam peran serta pemerintah dari pusat


sampai daerah untuk mengatasi berbagai masalah tata ruang wilayah di Indonesia.
Permasalahan yang terlihat di Indonesia dan mempunyai implikasi besar adalah
urbanisasi yang sangat besar dan tidak terkendali, serta dicirikan dengan
pertambahan populasi secara konstan. Jumlah penduduk yang sangat besar itulah
yang menyebabkan berbagai permasalahan kompleks lainnya seperti kemiskinan dan
kesenjangan antar wilayah. Hal tersebut berdampak pada manajemen ruang kota
yang ada di Indonesia. Selain itu permasalahan bencana alam yang tinggi yang
memerlukan suatu manajemen bencana melalui instrumen penataan ruang.
Permasalahan lainnya adalah krisis pangan, energi, air dan perubahan iklim.

Untuk mengatasi permasalahan diatas, pemerintah telah melakukan berbagai hal


untuk mengatasinya. Contohnya dampak kemiskinan dan kesenjangan pada ruang

4
tata wilayah diatasi dengan menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN) yang memuat 112 kawasan dengan menetapkan pertimbangan utama yaitu
regionalisasi dan pemerataan. Untuk permasalahan rawan bencana, hal yang
dilakukan pemerintah adalah membuat manajemen bencana dalam tata ruang yang
bertujuan menghapus secara keseluruan risiko bencana, mengurangi kerentanan serta
meminimalisasi dampak dan kerugian. Sedangkan untuk menangani krisis pangan
dilakukan dengan kebijakan pelestarian sawah abadi utnuk melindungi lahan-lahan
sawah beririgrasi. Untuk mengatasi perubahan iklim diadakan upaya mitigasi dan
adaptasi yang memberikan kontribusi nyata dalam reduksi emisi karbon. Selain
berbagai permasalahan diatas, isu yang paling utama dalam tata ruang adalah
pelaksanaan dan pengembangan dari pembangunan berkelanjutan.

Negara Indonesia yang masih merupakan negara berkembang dituntut untuk


melaksanakan dan mengembangkan pembangunan berkelanjutan dalam
ketataruangan wilayahnya. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu tantangan
yang sangat besar bagi negara Indonesia karena pada dasarnya pembangunan
berkelanjutan berangkat dari satu tujuan yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih
baik bagi semua, untuk saat ini, esok dan generasi yang akan datang. Kualitas hidup
yang lebih baik tersebut diimplementasikan dalam bentuk peningkatan kualitas
lingkungan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian maupun
dalam proses pemeliharaan. Selain itu infrastruktur pekerjaan umum harus
memenuhi karakteristik keseimbangan dan kesetaraan, berpandangan jangka panjang
dan sistemik. Konsep pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan dalam berbagai
kebijakan penataan ruang wilayah di Indonesia. Diantarannya adalah
mempertahankan dan mendorong peningkatan presentase Ruang Terbuka Hijau
(RTH) terhadap kawasan budidaya lainnya; mempertahankan kawasan konservasi
terutama di kawasan perkotaan; mewujudkan eco city, serta meningkatkan
pengawasan dan pengendalian lingkungan setiap aspek penyelenggaraan kosntruksi.

Untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan, salah satu program


pemerintah adalah menerapkan P2KH atau Program Pengembangan Kota Hijau)
dengan pengembangan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan

5
(RTHKP). Pembangunan RTHKP berupa hutan kota, jalur hijau kota, taman kota,
taman wisata, tempat pemakaman, pekarangan, pertanian, dan perkebunan. Program
tersebut tidak jauh beda dengan program yang diterapkan di masing-masing daerah
di negara Indonesia. Komposisi RTH daerah yang baik adalah 30 persen dari wilayah
daerah tersebut yang sebesar 20 persen merupakan RTH publik dan 10 persen
merupakan RTH privat. Seperti yang diterapkan pada RTH Kota Malang. Ruang
Terbuka Hijau (RTH) publik Kota Malang sampai saat ini masih sebesar 11,08% dan
dituntut untuk mencapai 20% (sumber: wawancara dengan Bapak Dhonni Wahyu
Wijaya,ST selaku pegawai di subidang Tata Ruang Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Kota Malang).

Kota Malang termasuk salah satu kota terbesar di negara Indonesia dari segi
faktor ekonomi, demografi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
penyediaan infrastruktur, bertambahnya jumlah kendaraan dan lain-lain. Berbagai
faktor tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan kota Malang dan membawa
perubahan yang signifikan terhadap bentuk ketataruangan kota baik fisik dan non
fisik. Saat ini, Kota Malang berkembang dengan pesat terbukti dengan berdirinya
bangunan-bangunan dari beton di sepanjang kota Malang. Akan tetapi, seiring
dengan berkembangnya infrastruktur kota tersebut tidak diimbangi dengan Ruang
Terbuka Hijau (RTH). Akibatnya, lingkungan kota Malang menjadi rusak yaitu
dengan bertambahnya polusi udara dan jumlah kendaraan yang tidak terkendali.
Kemudian minimnya daerah resapan air, sehingga mengakibatkan kota Malang
mengalami banjir ketika hujan lebat.

Untuk memenuhi kebutuhan 20% Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik,


pemerintah Kota Malang gencar-gencarnya melakukan pembangunan dan revitalisasi
taman-taman kota. Selain taman kota, pemerintah kota Malang juga berfokus pada
revitalisasi hutan kota. Salah satu proyek hutan kota yang akan di revitalisasi pada
tahun ini adalah Hutan Malabar. Hutan Malabar merupakan salah satu hutan kota
yang terdapat di Kota Malang. Hutan kota Malabar dengan luas 16.812m2
merupakan wahana yang penting bagi ekosistem disekitarnya. Tidak hanya
menurunkan suhu antara 2 sampai dengan 4 derajat sehingga lingkungan sekitar lebih

6
sejuk dan segar. Sebuah penelitian dari mahasiswa Brawijaya yang menemukan
bahwa kerapatan pohon di Hutan Kota menunjang kemampuannya meresapkan air.
Bagaimana jika suatu hutan kota dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH)? Tulisan ini
membahas mengenai bagaimana kondisi real dari rencana revitalisasi Hutan Kota
Malabar serta gap antara teori dan praktek dari hal tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana rencana tata ruang pemerintah daerah Kota Malang mengenai
revitalisasi taman kota Malabar di Kota Malang?
b. Bagaimana gap antara teori dari rencana tata ruang pemerintah daerah Kota
Malang dengan kondisi nyatanya atau prakteknya?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui rencana tata ruang pemerintah daerah Kota Malang mengenai
revitalisasi taman kota Malabar di Kota Malang?
b. Untuk mengetahui gap antara teori dan rencana tata ruang pemerintah Kota
Malang dengan kondisi nyatanya atau prakteknya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1 Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan (dalam laporan Our
Common Future, 1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu
strategi pemanfaatan ekosistem alamiah serta segenap sumber daya yang ada di
dalamnya sedemikian rupa,sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia tidak terancam atau rusak. Dalam UU No.32 tahun
2009 dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan (berwawasan lingkungan) adalah
upaya sadar dan terencana yang memadukan yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial, dan ekonomi kedalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup sertakeselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
Sedangkan menurut Emil Salim (dalam buku Ekologi Industri, karangan Ir.
Philip Kristanto hal: 60) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan merupakan
upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam
secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambunganuntuk meningkatkan
kualitas hidup. Dengan berbagai pengertian diatas, maka bisa disimpulkan bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Konsep pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari konsep ekonomi,
ekologi/lingkungan, sosial, politik, dan budaya. Sejalan dengan pemikiran tersebut,
Djajadiningrat (2005) dalam buku Suistanable Future: Menggagas Warisan
Peradaban bagi Anak Cucu, Seputar Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat,
menyatakan bahwa dalam pembangunan yang berkelanjutan terdapat aspek
keberlanjutan yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Keberlanjutan Ekologis

2. Keberlanjutan di Bidang Ekonomi

3. Keberlanjutan Sosial dan Budaya

4. Keberlanjutan Politik

5. Keberlanjutan Pertahanan Keamanan

8
Pada dasarnya Pembangunan Berkelanjutan memiliki tiga aspek utama dalam
pemahamannya, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan ekonomi dan pendakatan
sosial. Ketiganya dapat dikatakan konsep utama Pembangunan Berkelanjutan.
Pendekatan yang berhubungan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah
pendekatan ekologis. Aspek ekologis menjadi sorotan karena keberlanjutan ekologis
menjadi prasyarat untuk pembangunan dan keberlanjutan kehidupan. Berubahnya
iklim dunia sejak 50 tahun terakhir akibat efek rumah kaca ditambah menurunnya
kualitas tanah lahan untuk bercocok tanam karena Revolusi Hijau menjadi alasan
utama mengapa aspek ekologis menjadi bagian utama dari pembangunan yang
berkelanjutan. Adapun langkah-langkah berikut sebagai upaya menjamin
keberlanjutan ekologis, yaitu:

a. Memelihara integritas tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan


dibumi tetap terjamin dan sistem produktivitas, adaptabilitas, dan pemulihan
tanah, air, udara dan seluruh kehidupan berkelanjutan. Hal itu dapat
dilakukan apabila 3 aspek berikut diperhatiakan, antara lain: daya dukung,
daya asimilatif dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya terpulihkan.
b. Hindari konversi alam dan modifikasi ekosistem, kurangi konversi lahan
subur dan kelola dengan buku mutu ekologis yang tinggi, dan limbah yang
dibuang tidak melampaui daya asimilatifnya lingkungan.
c. Memelihara keanekaragaman hayati pada keanekaragaman kehidupan yang
menentukan keberlanjutan proses ekologis. Terdapat tiga aspek
keanekaragaman hayati yaitu keanekaragaman genetika, spesies, dan tatanan
lingkungan.
d. Menjaga ekosistem alam dan area yang representatif tentang kekhasan
sumberdaya hayati agar tidak dimodifikasikan.
e. Memelihara seluas mungkin area ekosistem yang dimodifikasikan untuk
keanekaragaman dan keberlanjutan keanekaragaman spesies, konservatif
terhadap konversi lahan pertanian.

2.2 Tata Ruang


Menurut Pasal 1 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pengertian ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia

9
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memellihara kelangsungan
hidupnya. Menurut D.A. Tisnaamidjaja (1985), ruang dimaknai sebagai wujud fisik
wilayah dalam dimensi geografis dan geomatris yang merupakan wadah bagi
manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup
yang layak. Tata ruang atau dalam bahasa inggris land use adalah wujud dari
struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Sedangkan Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya (Undang-Undang No. 26 Tahun 2007).
Tata ruang yang dalam wujud struktur ruang dan pola ruang di Indonesia disusun
secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRW Nasional) yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRW Propinsi) dan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK). Rencana tata ruang tersebut termasuk dari proses penataan ruang yang
merupakan sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.

2.3 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)


Terdapat dua dokumen perencanaan yang wajib menjadi acuan yaitu dokumen
perencanaan pembangunan dan rencana tata ruang diantaranya dokumen
perencanaan merupakan bagian dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN), dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) baik tingkat nasional dan daerah
yang merupakan amanah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Sebagaimana arahan 2005-2025, RTR menjadi matra keruangan dari rencana
pembangunan. Dengan demikian, rencana pembangunan dan RTRW harus serasi satu
dengan lainnya. Selain harus menjadi pusat kesepakatan lintas sektor, rencana tata
ruang harus disusun dengan memperhatikan, dan atau menjadi acuan bagi, rencana
pembangunan.

10
RTRW merupakan rencana tata ruang yang bersifat umum yang berisi tujuan,
kebijakan, strategi penataan ruang wilayah, rencana struktur ruang, rencana pola
ruang, penetapan kawasan strategis, arahan pemanfaatan ruang, dan ketentuan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah baik tingkat nasional (RTRWN), provinsi
(RTRWP) maupun RTRW kab/kota. Tujuan RTRW merupakan arahan perwujudan
visi dan misi pembangunan jangka panjang pada aspek keruangan, yang pada
dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional. Dan yang terpenting adalah, RTRW menjadi dasar dalam memberikan
rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Adapun fungsi dari RTRW itu sendiri
diantaranya:
1. Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD)
2. Acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah
3. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah
4. Acuan lokasi investasi dalam wilayah yang dilakukan pemerintah,
masyarakat, dan swasta
5. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah
6. Dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan
wilayah yang meliputi penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; dan
7. Acuan dalam administrasi pertanahan.

2.4 Hutan Kota


Menurut PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota,pengertian hutan kota
adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan
rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang
ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan menurut para
ahli, Odum (dalam Irwan, 2005: 21) menyebutkan bahwa hutan kota merupakan
jaringan dari komponen komponen dan proses yang terjadi pada lingkungan
merupakan sebuah ekosistem. Sistem lingkungan hidup ini biasanya meliputi hutan,
danau, lautan, lokasi pertanian, perkotaan, regional, desa dan biosfer.
Ekosistem hutan kota tumbuh secara ekologis sesuai dengan lingkungan
perkotaan, tetapi fungsinya meniru hutan alami. Hutan kota haruslah mampu

11
mencapai kondisi optimum seperti hutan yang terbentuk dari peristiwa alam. Jadi,
jika hanya terdiri dari kumpulan pohon yang berjejer atau tanaman yang ada di dalam
pot, tidak dapat dikatakan sebagai hutan kota. Hutan kota harus berinteraksi langsung
dengan lingkungannya (tanah dan air). Tumbuhan yang ada di dalamnya membentuk
suatu asosiasi yang saling berinteraksi langsung dalam mencapai suatu
keseimbangan. Menurut Fakuara et. al. (dalam Irwan, 2005: 59), hutan kota
merupakan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai tempat tumbuhnya berbagai
macam vegetasi berkayu di kawasan perkotaan, dan dapat memberi manfaat kepada
lingkungan dan penduduk kota dalam proteksi, estetika, rekreasi, dan sebagainya.
Bentuk hutan kota dapat dibagi menjadi tiga diantaranya adalah :
a) Berbentuk bergerombol atau menumpuk adalah hutan kota dengan
komunitas tumbuh-tumbuhannya terkonsentrasi pada suatu areal dengan
jumlah tumbuh-tumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam
rapat tidak beraturan.
b) Berbentuk menyebar yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola
tertentu, dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh menyebar
terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.
c) Berbentuk jalur yaitu komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh pada
lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan
sungai, jalan, pantai, saluran dan lainnya.
Hutan kota juga mempunyai berbagai fungsi yang sangat tergantung kepada
bentuk dan struktur hutan kota serta tujuan perancangannya. Secara garis besar
fungsi hutan kota dapat dikelompokkan menjadi:
a. Fungsi lansekap. Fungsi lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial.
b. Fungsi Pelestarian Lingkungan (ekologi)
c. Fungsi Estetika.

2.5 Ruang Terbuka Hijau (RTH)


Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Ruang Terbuka Hijau (RTH)
adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun
yang sengaja ditanam. Menurut Roger Trancik (1986), Ruang Terbuka Hijau adalah
ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun di dalam kota, dalam
bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau. Ruang Terbuka Hijau

12
merupakan komponen utama dalam ekosistem suatu wilayah. Keberadaannya
bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian, dan keseimbangan ekosistem.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan kawasan yang didominasi oleh
tumbuhan yang berfungsi sebagai perlindungan habitat tertentu, dan merupakan
sarana lingkungan atau budidaya pertanian. Fungsi lainnya adalah untuk
meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, serta
meningkatkan kualitas landscape kota. Pemanfaatan ruang terbuka hijau berdasarkan
fungsinya berupa pemanfaatan langsung, yaitu membentuk keindahan dan
kenyamanan (teduh, segar,sejuk) dan pembersih udara yang sangat efektif,
pemeliharaan kelangsungan ketersediaan air dan tanah, pelestarian fungsi lingkungan
beserta segala isi flora dna fauna yang ada. Penataan ruang terbuka hijau juga
mempunyai tujuan, diantaranya 1) mencapai tata ruang kawasan perkotaan yang
optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kehidupan manusia; 2)
meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara
perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat; dan 3) mengatur
pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan
lingkungan sosial (UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
Macam-macam RTH menurut Gallion (1994, h.38) meliputi ruang bagi taman
bermain yang aktif untuk anak-anak, pemuda dan orang dewasa. Konservasi alamiah
baik di dalam maupun di luar kota. Konservasi ini dapat berbentuk jalur hijau, kebun
binatang dan kebun botani. Taman ini untuk mengembalikan lingkungan alamiah
kota, dan apabila lokasinya sesuai maka akan dipertahankan keberadaan hewan liar
sejauh mungkin. Pelaku-pelaku pengelolaaan RTH menurut Sugandhi (2008, h.104)
meliputi:
1. Pemerintah mengadakan pembangunan.
2. Swasta, sebagai pelaku ekonomi tidak berkewajiban melakasanakan
RTH
3. Masyarakat pengembangan & pemeliharaan.
4. Media, membentuk opini publik dan pengawasan

Dalam pengembangan RTH terdapat program P2KH (Program Pengembangan


Kota Hijau) yakni langkah nyata pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah

13
provinsi, kota, kabupaten dalam memenuhi ketetapan Undang-Undang Penataan
Ruang, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan dan perubahan iklim.
P2KH merupakan inovasi program RTH berbasis komunitas.

1. Ruang terbuka hijau dengan skala kota; bersifat pasif (tidak dipakai
untuk kegiatan) maupun aktif (untuk kegiatan wisata/rekreasi); bentuk
memanjang (jalur) maupun mengelompok; dimanfaatkan untuk taman
kota; kebun bibit; hutan kota; rekreasi; pasar bunga; jalur jalan; bantaran
sungai; jalur sepanjang rel KA.
2. Ruang terbuka hijau dengan skala kota: bersifat pasif berfungsi khusus
sebagai monumen; gerbang kota; penanda/identitas kawasan (landmark).
3. Ruang terbuka hijau dengan skala lingkungan: lingkungan perumahan
(perumahan kampung maupun pengembang); dimanfaatkan untuk
interaksi sosial antar warga; keindahan lingkungan.
4. Ruang terbuka hijau dengan skala bangunan/tapak; halaman bangunan
umum (perkantoran, hotel, restauran, pertokoan, dsb.) dan halaman
rumah dengn tapak besar/sedang/kecil
5. Lapangan/ ruang terbuka sebagai pendukung/ penyangga fungsi ruang
terbuka hijau seperti lapangan olahraga, lapangan parkir, makam,
pekarangan, pertanian, dll.

14
BAB III
GAMBARAN UMUM

3.1 Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Malang


Ekosistem Kota Malang terdiri dari perumahan, kawasan perkantoran dan
perdagangan, industri, hutan kota, ruang terbuka hijau, kebun, sawah, situ, dan
sungai. Luasan total Kota Malang adalah 110,06 km2. Ekosistem kota Malang
berdasarkan hasil analisis city green terkait dengan statistika tapak (site statistic),
diketahui bahwa area penutupan lahan kota (urban land use) memiliki persentase
luasan 51% atau 5609,9 ha dari luasan total kota; area pertanian 22% atau 2420,9 ha;
ruang terbuka 4% atau 439,9 ha; semak 1% atau 110 ha; kanopi pohon 4% atau 440
ha; dan badan air 1%. Lahan kota tersebut meliputi, kawasan permukiman,
perdagangan (CBD) dan komersil, industri, serta lahan kedap air berupa jaringan
jalan. Keberadaan pepohonan dan ruang terbuka hijau di Kota Malang berpengaruh
terhadap iklim dan kenyamanan penduduknya. Kondisi iklim kota Malang dari data
terakhir BPS (2004) tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,0C- 24,8C.
Sedangkan suhu maksimum mencapai 31,4c dan suhu minimum 17,2C. Untuk
kelembaban udara berkisar 66%-83% dengan kelembaban maksimum 98% dan
minimum mencapai 19%. Luasan ruang terbuka hijau Kota Malang berdasarkan
hasil analisis city green 28 % yang terdiri atas ruang terbuka produktif (sawah,
tegalan, semak) dan badan air berupa area bantaran sungai.
Wilayah Kota Malang data tahun terakhir 2014, tercatat memiliki hutan kota
sebesar 0.65% dari keseluruhan total luas Kota Malang yang mencapai 110,06 km2.
Luas areal ruang terbuka hijau Kota Malang juga tercatat tahun 2014 tersisa 2,89%
dari keseluruhan luas Kota Malang. Ruang terbuka itu terinci 12 Ha, sempadan
sungai 80 ha, tanah pekarangan dan kebun 150 ha, dan sawah 2.940 Ha. Sebaliknya
luas lahan yang terbangun pada tahun 2014 meningkat menjadi 60% dari luas
wilayah kota. Kenyataan ini telah menyalahi aturan pemerintah PP No. 63 tahun
2002 yang menggariskan bahwa luas ruang terbuka hijau daerah perkotaan minimal
10% dari luas wilayah kota. Pembangunan yang terjadi menyebabkan berkurangnya
luas areal bervegatasi yang secara langsung menyebabkan berkurangnya vegetasi.

15
Vegetasi dalam ekosistim berperan sebagai produsen pertama yang mengubah energi
surya menjadi energi potensial untuk mahluk lainnya, perubah terbesar lingkungan
dan sebagai sumber hara mineral.
Sesuai kondisi geografisnya, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
direncanakan dengan memperhatikan ruang terbuka hijau yang menyatu dengan alam
pegunungan disekitar kota, perencanaan ruang terbuka hijau ini didukung oleh aneka
ragam tumbuhan yang tumbuh subur serta udara yang sejuk sepanjang tahun. Salah
satu ciri khas penataan ruang Kota Malang adalah keberadaan ruang terbuka/taman
kota, dimulai dari perencanaan Thomas Karsten (1933); tata taman/ruang terbuka
yang representatif di Jln. Trunojoyo; Kertanegara; Tugu; Gajahmada, Merbabu, Ijen,
dan Jl. Suropati. Disamping sebagai ruang terbuka untuk mendukung keberadaan
bangunan pemerintahan, taman-taman tersebut diperuntukkan bagi kepentingan
orang-orang Belanda yang tinggal di daerah perumahan elit Jalan Ijen dan sekitarnya.
Kawasan pusat pemerintahan dan kawasan perumahan tersebut, sampai sekarang
tetap dipertahankan sebagai kawasan yang dilestarikan karena dapat menjadi salah
satu monumen sejarah awal berdirinya Kota Malang.
Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Malang dilakukan dengan
pendekatan sesuai ketentuan dalam pedoman teknis pembangunan perumahan dan
sarana lingkungan, dimana perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah penduduk
yang dilayani dan diperhitungkan dengan prakiraan proyeksi jumlah penduduk 20
(dua puluh) tahun kedepan, sampai dengan tahun 2029. Adapun rencana penyediaan
dan pemanfaatan RTH di Kota Malang adalah sebagai berikut:
Pemeliharaan dan pelestarian kawasan RTH yang masih tersisa, seperti
yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang kota.
Pengembangan Taman Anggrek di Kedungkandang yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana.
Pengembangan Taman Teknologi diarahkan di alun-alun kota, alun-alun
tugu, velodrom yang dilengkapi dengan fasilitas gazebo dan shelter.
Selain itu di setiap perumahan diarahkan untuk menyediakan taman
teknologi.
Pengembangan lapangan Rampal sebagai taman teknologi, lapangan
pertunjukan, dan pameran.
Peningkatan GOR Ken Arok sebagai taman olahraga di Kota Malang

16
Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah ada, sebaik-
baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi pokok RTH (identifikasi dan
keindahan) masing-masing lokasi.
Pengembangan RTH halaman rumah dan bangunan umum, serta di
puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman aerofonik atau
hidrofonik, dan semacamnya oleh pemilik bangunan
Pengembangan RTH sebagai zone pengaman pada jalur KA; sempadan
sungai; sempadan SUTT, kawasan industri.
Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau alami, seperti di
sepanjang tepian jalan raya, jalan tol, bawah jalan layang (flyover),
tempat pemakaman umum (TPU), dan lapangan olahraga, dari okupasi
permukiman liar.
Penyediaan jalur hijau dan taman kota diarahkan di Kecamatan Buring
dan Kecamatan Kedungkandang, selain itu di setiap jalan lingkar.
Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat strategis, seperti batas-
batas kota dan alun-alun kota.
Peremajaan dan peningkatan kualitas tanaman pada jalur jalan utama
kota, sesuai klasifikasinya.
Pengembangan hutan kota dan kebun bibit pada kawasan Malang Timur
(Kecamatan Kedungkandang) yang relatif masih banyak lahan belum
terbangun.
Pembangunan taman lingkungan; lapangan olahraga di tiap unit
lingkungan.
Rehabilitasi kawasan taman sebagai pendukung monumen kota.
Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH.
Pengembangan RTH pada kawasan perbatasan wilayah kota.
Penetapan kawasan konservasi sesuai karakteristik kawasan sebagai
pendukung ikon kota
Peningkatan pendanaan baik dari pemerintah, swasta, dan swadaya
masyarakat yang memadai untuk program RTH kota
Mengikut sertakan peran serta masyarakat untuk meningkatkan apresiasi
dan kepedulian terhadap kualitas lingkungan alami perkotaan.

3.2 Revitalisasi RTH Hutan Kota Malabar

17
Hutan Kota Malabar merupakan satu-satunya hutan kota di Malang. Hutan yang
dibentuk sejak tahun 1998 tersebut memiliki luas 16.728 meter persegi. Berada di
sebelah barat pasar Oro-Oro Dowo atau di jalan Malabar, sebelah timur Gereja Ijen
Kota Malang. Hutan Malabar ini awalnya sebuah lapangan sepak bola yang dijadikan
tempat bermain bola oleh anak-anak kampung sekitar. Kemudian muncullah gagasan
untuk merubah kawasan tersebut menjadi hutan kota hingga sekarang. Beberapa
penelitian lain juga menunjukkan bahwa Hutan Kota Malabar sekarang adalah rumah
bagi banyak fauna, mulai dari beragam serangga, katak emas yang langka, hingga
lima belas jenis burung, diantaranya: Cucak Kutilang, Sirpu, Kolibri, Cabai Jawa,
Trocok, Derkuku, Tengkek Buto, Perci, Pare-pare dan Cimblek Kemplir.

Kebijakan baru pemerintah tahun 2015 yaitu melakukan revitalisasi keberadaan


hutan kota malabar tersebut. Revitalisasi tersebut dalam upaya memperindah dan
menambah fungsi hutan agar lebih kontekstual, yang proses pembangunannya sudah
dilakukan. Pembangunan revitalisasi hutan Malabar dilakukan oleh PT Amerta Indah
Otsuka dengan menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebesar
2,5 miliar. Kebijakan tersebut menuai sikap kontroversi dari berbagai elemen
masyarakat Malang. Hal ini bisa dilihat dari aksi penolakan yang dilakukan oleh
masyarakat dan beberapa aktivis peduli lingkungan di Kota Malang, para seniman
maupun gerakan mahasiswa. Wujud sikap ini sebagai bukti bahwa keberadaan hutan
kota teramat sangat penting keberadaannya. Menurut mereka, pembangunan taman
modern ini dari gambar2 perencanaan yg dipasang di pintu masuk proyek terlihat
bahwa konsep perencanaan taman ini tidaklah memiliki mempertimbangan fungsi-
fungsi ekologis hutan kota Malabar yang hanya dibangun berdasarkan nilai estetika
saja

Rencanannya PT Amerta Indah Otsuka akan membangun setiap fasilitas


menyatu dengan tapak yang ada, sebagian ada diantara pepohonan, menghormati
habitat fauna yang ada, serta menggunakan material ramah lingkungan. Termasuk
ribuan botol bekas Pocari Sweat yang akan disusun menjadi dinding artwork yang
cantik. Selain itu akan dibangun arena playzone , rumah pohon, jembatan dan area
observasi. Semua proses desain tersebut penting untuk memastikan bahwa

18
revitalisasi Hutan Kota Malabar tidak hanya mampu meningkatkan nilai edukatif dan
rekreatif bagi setiap masyarakat, termasuk kaum difabel, namun juga mampu
mempertahankan fungsi ekologis utamanya dan tetap memiliki kekhasan hutan kota.

Dalam perspektif teoritis akademis, upaya revitalisasi hutan maupun


penambahan fungsi ketika sudah merubah atau membangun infrastruktur di area
hutan akan berdampak signifikan pada keberlangsungan ekologis hutan.
Pembangunan infrastrukur di area hutan akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan ekologi dan mempercepat pemanasan global. Mengacu pada
revitalisasi keberadaan hutan Malabar, secara pelan-pelan namun pasti akan
berdampak luar biasa terhadap lingkungan. Pemasangan paving, pembuatan kolam
dan tempat bermain sudah bisa dipastikan akan mengurangi jumlah lubang serapan
air, semakin berkurangnya ketersediaan udara bersih serta berbagai kerusakan
ekologis lainnya. Hal tersebut adalah rantai mematikan yang akan mengikis
keberadaan satu-satunya RTH di Malang. Dampak yang akan terjadi adalah
terjadinya banjir dan udara yang semakin panas.

Setelah melalui berbagai musyawarah dengan masyarakat setempat dan berbagai


aliansi publik yang menolak kebijakan revitalisasi hutan kota Malabar, maka telah
ditemukan suatu keputusan. Bahwa revitalisasi hutan Kota Malabar tetap dilakukan
tetapi dengan memperhatikan poin penting yaitu ekologis. Diantarannya tidak boleh
terdapat penebangan pohon, pembangunan play zone, rumah pohon dan yang
berpotensi merusak keaslian alam dari hutan kota Malabar. Dibawah ini merupakan
desain yang telah disepakati oleh berbagai stakeholder :

19
Gambar 3.1 Design Hutan Kota
Malabar

Gambar 3.2 Design Perencanaan Manajemen


Drainase

Gambar 3.3 Design Pintu Masuk


Utama

20
Gambar 3.4 Design Display Area

Gambar 3.5 Design Tempat Makan


Burung

21
Gambar 3.6 Design Edukasi Flora

Gambar 3.7 Design Arboretum

BAB IV

PEMBAHASAN

22
4.1 Gap antara Teori dan Praktek
Kebijakan revitalisasi hutan kota malabar menurut penulis mempunyai banyak
gap antara teori dengan prakteknya. Sehingga kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Malang.
Diantaranya bisa dilihat dari Perda Nomor 4 tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang
pasal 41 ayat (1) dan (2) bahwa RTH Kota termasuk dalam kawasan lindung.
Rencana kawasan lindung di Kota Malang dititikberatkan pada penetapan fungsi
kawasan agar wilayah yang dilindungi dan memiliki fungsi perlindungan dapat
dipertahankan. Selain kawasan RTH Kota, kawasan lindung kota Malang meliputi
kawasan lindung setempat, kawasan rawan bencana dan kawasan cagar bencana.
Sedangkan hutan kota termasuk dalam RTH Publik di Kota Malang bisa dilihat pada
pasal 45 ayat (2) huruf d. Dari peraturan yang ada dapat diketahui bahwa hutan kota
Malabar termasuk dalam suatu kawasan yang dilindungi. Dilindungi disini
maksutnya adalah mencegah dari adanya pihak-pihak yang mengalihfungsikan lahan
dari hutan kota Malabar.Dari kondisi nyata diatas pada bab gambaran umum,
pemerintah kota Malang ingin menjadikan hutan kota Malabar sebagai taman
rekreasi yang sangat bertentangan dengan peraturan daerah yang ada.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
pasal 3 bahwa fungsi utama dari hutan kota adalah fungsi ekologis. Fungsi ekologis
adalah dipertahankannya sistem-sistem penunjang kehidupan dan terpeliharannya
keanekaragaman hayati, misalnya dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim. Sama dengan hutan kota
Malabar yang mempunyai fungsi utama yaitu fungsi ekologis. Jika pemerintah Kota
Malang ingin menjadikan hutan kota Malabar sebagai taman bermain, maka hal itu
termasuk dalam penyalahgunaan fungsi lahan atau alih fungsi lahan. Seharusnya hal
yang dilakukan pemerintah Kota Malang seperti yang terdapat pada Peraturan
Daerah Nomor 4 tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang pasal 14 ayat (2) dan pasal
16 ayat (2) yaitu melaksanakan konservasi kawasan lindung dan sumber daya air,
serta mengembangkan RTH untuk keseimbangan ekologi kota. Peningkatan luas
RTH juga diperlukan sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan kota.

23
Upaya revitalisasi hutan kota Malabar oleh Pemerintah Kota Malang dalam
prakteknya dinilai kurang memperhatikan aspek ekologis dan lebih mementingkan
aspek estetika. Hal yang paling menonjol adalah rencana penambahan beberapa
fasilitas misalnya rumah pohon, arena bermain, dan amplitheater. Penambahan
tersebut menunjukkan pemerintah Kota Malang ingin mengarahkan hutan kota
menjadi tempat rekreasi. Sedangkan dalam teori, upaya revitalisasi seharusnya
mementingkan fungsi ekologis, sosial-ekonomis dan arsitektural. Kemudian tidak
mengalihfungsikan RTH yang ada dan memantapkan kualitas RTH yang sekarang.
Seperti mengadakan program yang dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara dan mengatur iklim di kota Malang.
Dapat dilihat juga pada peraturan daerah Nomor 3 tahun 2003 tentang
Pengelolaan Pertamanan Kota dan Dekorasi Kota pasal 5 bahwa Hutan Kota Malabar
dibebani fungsi sosial ekonomi. Fungsi sosial ekonomi ini dalam bentuk rekreasi.
Namun, bila mengacu pada poin 3 maka rekreasi yang dimaksud adalah rekreasi
yang menopang fungsi ekologis bukan tempat/zona bermain (play zone). Pendidikan
lingkungan merupakan kegiatan rekreasi yang paling relevan di hutan kota Malabar.
Untuk kegiatan rekreasi sendiri diluar pendidikan lingkungan berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang pasal 45 ayat 4 huruf b,
justru harus disediakan atau diadakan oleh Pemerintak Kota Malang dalam bentuk
suatu RTH Taman Rekreasi seluas 10 Ha. Jadi bukan termasuk di dalam hutan kota.
Kemudian jika kita melihat dari CSR (perusahaan yang melakukan supply dana
yang digunakan untuk membangun RTH), masih dinilai kurang mempunyai payung
hukum untuk mengatur CSR tersebut. Pada Undang-Undang Nomor 25 taub 2007
tentang penanaman modal, dalam pasal 15 (b) bahwa wajib bagi penanaman modal
asing melakukan tanggung jawab perusahaan. Tanggung jawab dalam hal ini harus
steril dari kepentingan marketing. Sehingga dalam revitalisasi Hutan Kota Malabar
tidak boleh ada simbolisasi branding di dalamnya dan ditumpangi kepentingan
marketing.
Kota Malang masih belum memiliki Peraturan Daerah maupun Perwali yang
mengatur mengenai CSR. Selain itu mengenai pemberian kepastian dan perlindungan
hukum terkait tanggung jawab sosial di perusahaan. Kota Malang juga belum
memiliki perda mengenai kepastian sinergitas pembangunan daerah antara

24
pemerintah daerah, pelaku dunia usaha dan masyarakat. Selama ini yang digunakan
adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.04 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 52 tahun 2012.
Jika sampai saat ini kota Malang tidak mempunyai payung hukum seperti itu, maka
akan mudah sekali terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan dan
penyaluran CSR. Seperti CSR bisa dijadikan modus gratifikasi, pelaku dunia usaha
menjadi korban pungutan liar, tidak ada mekanisme kontrol dan partisipasi dari
publik dan lain sebagainya.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kebijakan revitalisasi hutan kota Malabar di Kota Malang dinilai lebih
mementingkan nilai estetika daripada fungsi utamanya sebagai fungsi ekologis.
Penilaian tersebut bisa dilihat dari kenyataan hutan kota Malabar yang sekarang.
Hutan kota Malabar dengan luas 16.728 meter persegi sekarang sedang dibangun
sebuah tower yang dinilai tidak mempunyai fungsi ekologis di dalamnya. Selain itu,

25
rencanannya akan dibangun rumah pohon, tempat bermain anak (play zone) yang
dinilai merupakan upaya pemerintah kota Malang untuk menjadikannya tempat
rekreasi. Sedangkan dalam teori, hutan kota merupakan kawasan RTH publik yang
dilindungi dan bukan sebagai tempat rekreasi melainkan tempat ekologis.
Sebelumnya telah diadakan berbagai pertemuan atau musyawarah dari berbagai
aliansi atau pihak yang menolak atas pengalihan fungsi hutan kota Malabar menjadi
taman rekreasi. Penolakan tersebut datang dari mahasiswa, aktivis lingkungan di
Malang dan berbagai pihak lainnya. Pertemuan tersebut membahas desain dari hutan
kota Malabar yang akan dilakukan revitalisasi. Selain itu bentuk transparansi kepada
masyarakat atas penggunaan lahan RTH publik khususnya kawasan yang dilindungi.
Berbagai pertemuan tersebut akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan yang
disepakati oleh semua pihak. Kesepakatan tersebut adalah tetap dilakukan revitalisasi
hutan kota Malabar tetapi dengan syarat mengutamakan fungsi utama sebagai fungsi
ekologis. Dengan cara menghapuskan rencana membangun rumah pohon, play zone,
dan lain sebagainya yang dapat menghambat penyerapan air tanah dan merusak alam
dari hutan kota Malabar. Selain itu dilarang untuk menebang satu pun pohon dari
hutan kota Malabar.
Dalam prakteknya, kota Malang masih belum mempunyai payung hukum dalam
bentuk peraturan daerah maupun Perwali mengenai pengaturan CSR di Kota Malang.
Sehingga akan mudah sekali terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan
dan penyaluran CSR. Seperti CSR bisa dijadikan modus gratifikasi, pelaku dunia
usaha menjadi korban pungutan liar dan lain sebagainya.
5.2 Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat penulis sarankan adalah pelibatan masyarakat dalam
proses perencanaan revitalisasi hutan kota Malabar dengan cara pelaksanaan proses
perencanaan yang transparan dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Dalam
pengawasan pembangunan, juga harus melibatkan pihak masyarakat karena fungsi
utama pembangunan RTH adalah untuk masyarakat. Selain itu,menghapus hal-hal
yang tidak berhubungan dengan fungsi ekologis seperti branding marketing dari
pihak CSR PT. Otsuka di hutan kota Malabar. Seharusnya pemerintah kota Malang
lebih bisa menjaga dan melestarikan hutan kota di kota Malang. Seperti membangun
bangunan yang dapat membuat peresapan air lebih banyak, melindungi satwa-satwa

26
yang ada pada hutan kota Malabar dan lain sebagainya. Terakhir adalah diharapkan
segera membentuk peraturan daerah yang mengatur CSR di kota Malang khususnya.

27

Anda mungkin juga menyukai