Anda di halaman 1dari 5

PENANGANAN RAWAN PANGAN

Penanganan Daerah Rawan Pangan


Saat ini Indonesia menghadapi permasalahan dibidang sosial, ekonomi, dan politik.
Jumlah penduduk miskin terus meningkat, dengan demikia
semakin banyak orang yang
menghadapi rawan pangan. Secara umum, Indonesia mempunyai permasalahan serius
yang berkaitan dengan ketahanan pangan rumah tangga untuk 10 tahun terakhir seperti
halnya prevalensi anak-anak kurang gizi.
Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan
bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana dan dapat diatasi sesaat
saja, melainkan merupakan masalah yang cukup kompleks karena tidak hanya
memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan
juga harus memperhatikan program-program yang terkait dengan fasilitasi peningkatan
akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota
rumah tangga itu sendiri.
Masalah ketahanan pangan memiliki dimensi tersendiri dilihat dari keamanan
pangan, keanekaragaman pangan dan kualitas pangan. Pangan sebagai kebutuhan pokok
terpenting, memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan kondisi kesehatan,
kecerdasan dan produktivitas sumberdaya manusia. Di samping itu pemenuhan
kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia merupakan fondasi kuat untuk
pembentukan kualitas manusia bangsa Indonesia, merupakan pilar bagi pembangunan
ekonomi dan sektor lainnya, serta merupakan wahana untuk memenuhi hak azasi setiap
insan atas pangan.
Oleh karena itu berbagai program pembangunan ketahanan pangan dan gizi pada
tingkat kabupaten/kota perlu lebih diarahkan pada dukungan fasilitasi peningkatan
produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan aksesibilitas pangan dan perbaikan
konsumsi pangan antara lain: (1) pemanfaatan potensi dan keragaman sumberdaya lokal
secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi; (2) pengembangan sarana
prasarana yang mendukung produksi pangan; (3) peningkatan pelayanan penyuluhan dan
pendampingan ketahanan pangan masyarakat (4) pengembangan perdagangan pangan
regional dan antar daerah; (5) pengembangan lumbung pangan dan cadangan pangan (6)
peningkatan kualitas konsumsi pangan melalui upaya diversifikasi konsumsi pangan (7)
revitalisasi Kewaspadaan Pangan dan Gizi sebagai sistem pemantauan secara dini rawan

pangan serta (8) serta fasilitasi terhadap permasalahan lain yang terkait dengan
penanganan kelompok rawan pangan diatas.
Dalam upaya penanganan kerawanan pangan, Pemerintah Indonesia bekerjasama
dengan World Food Programe (WFP) telah menyusun peta kerawanan pangan/Food
Insecurity Atlas (FIA) yaitu suatu alat untuk mengetahui daerah rawan pangan dengan
permasalahan yang melatarbelakangi kejadian rawan pangan tersebut untuk dijadikan
sebagai bahan kebijakan bagi penanggulangan kerawanan pangan.
Analisis yang dilakukan pada pemetaan FIA tidak mengikutsertakan daerah
perkotaan, tetapi hanya dilakukan pada 265 kabupaten di 30 propinsi, karena kerawanan
pangan di daerah perkotaan harus dianalisis secara terpisah sebab mempunyai
karakteristik tersendiri.
Penyusunan peta FIA dilakukan pada daerah rawan pangan kronis dan rawan
pangan transien. Rawan Pangan Kronis adalah keadaan rawan pangan yang
berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang dapat disebabkan karena keterbatasan
SDA dan keterbatasan kemampuan SDM sehingga menyebabkan kondisi masyarakat
menjadi miskin. Rawan Pangan Transien adalah keadaan kerawanan pangan yang
disebabkan oleh kondisi yang tidak terduga antara lain berbagai musibah, bencana alam,
kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak.
Indikator kerawanan pangan kronis tercakup dalam 3 aspek/dimensi rawan pangan
yaitu: Masalah Kesehatan, Masalah Ketersediaan Pangan, Masalah Kemiskinan.
Sedangkan indikator untuk kerawanan pangan transien, menggambarkan aspek dari
pengaruh lingkungan alam dan iklim, meliputi indikator : (1) Persentase daerah tak
berhutan; (2) Persentase Puso, (3) Daerah rawan longsor dan banjir ; (4)
Fluktuasi/penyimpangan curah hujan
Berdasarkan analisis peta FIA yang melatarbelakangi terjadinya kerawanan pangan
pada 100 kabupaten sesuai dengan tingkat prioritasnya, maka permasalahan dominan
yang ditemui pada masing-masing kabupaten antara lain : (1) aspek ketersediaan pangan,
meliputi : konsumsi normatif perkapita terhadap ratio ketersediaan bersih padi, jagung,
ubi jalar, dan ubi kayu; (2) akses terhadap pangan dan matapencaharian, meliputi
indikator : persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meliputi :
persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, Persentase
penduduk tanpa akses listrik ; (3) aspek kesehatan dan gizi, meliputi : angka harapan
hidup pada saat lahir, berat badan balita dibawah standar, angka kematian bayi,
Penduduk tanpa akses ke air bersih, Persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 km
dari Puskesmas ; (4) masalah sarana, meliputi ketiadaan akses jalan, ketiadaan akses
listrik, ketiadaan akses ke air bersih; (5} masalah pendidikan : perempuan buta huruf
Informasi permasalahan hendaknya menjadikan perhatian untuk diwaspadai dan
dipelajari oleh Pemerintah Daerah, mengingat kejadian rawan pangan dapat berkembang
ketingkat yang lebih serius, seperti kelaparan atau gizi buruk jika tidak mendapat
penanganan secara cepat dan tepat.
Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh
pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan ini terjadi
apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80 % kebutuhan pangan dan gizi
hariannya.
Pada dasarnya terjadinya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan masalah
kekurangan pangan akibat antara lain: (1) rendahnya ketersediaan pangan dari produksi
setempat maupun pasokan dari luar; (2) gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan
prasarana serta keamanan distribusi; (3) terjadinya bencana alam menyebabkan suatu
wilayah/daerah terisolasi; (4) kegagalan produksi pangan; (5) gangguan kondisi sosial.
Munculnya kasus rawan pangan dan gizi menunjukkan bahwa ketersediaan bahan
pangan dan akses terhadap pangan serta konsumsi pangan yang bergizi dan seimbang
masih menjadi masalah bagi masyarakat. Terjadinya rawan pangan dikarenakan laju
pertumbuhan produksi pangan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk, serta
adanya faktor alam, seperti bencana alam, anomali iklim, rusaknya sumberdaya alam dan
lingkungan
Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu kerawanan
pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan sementara terjadi
karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup pada suatu waktu karena
sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak seperti bencana alam. Kerawanan
pangan khronis terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup
dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada terjadinya
kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 % dari kebutuhan pangan dan
gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan penurunan berat badan karena
masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan pangan.
Dampak dari kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi pada skala
makro dan skala mikro. Pada skala mikro dampaknya terhadap semua kelompok umur
yaitu para orang tua, orang dewasa, anak-anak, bayi dan para wanita termasuk juga
wanita hamil. Berbagai dampak yang ditimbulkan sebagai berikut:
(1) Malnutrisi pada orang tua disebabkan kekurangan makanan dan penurunan
kesehatan, menyebabkan kesempatan bekerja & pendapatan menurun dan umur
harapan hidup rendah
(2) Penurunan derajat kesehatan dan kemampuan fisik usia produktif. Kesakitan
meningkat, absensi meningkat, pertumbuhan & daya tangkap menurun, kesegaran
fisik menurun, prestasi oleh raga jelek, interaksi sosial kurang, kriminalitas
meningkat
(3) Malnutrisi pada wanita hamil dan meningkatnya angka kematian ibu, perkembangan
otak janin dan pertumbuhan terhambat, berat bayi ahir rendah
(4) Penurunan derajad kesehatan pada anak-anak, keterbelakangan mental, penyapihan
yang tidak cukup waktu sehingga mudah terkena infeksi serta kekurangan makanan.
(5) Penurunan berat badan bayi, meningkatnya angka kematian, terganggunya
perkembangan mental dan meningkatnya resiko terkena penyakit kronis setelah
dewasa.
Sedangkan dampak yang terjadi pada skala makro, adalah timbulnya permasalahan
pada kehidupan masyarakat, dengan ditandai sulitnya mata pencaharian, daya beli
masyarakat menurun tajam yang kemudian dapat menjadi penyebab tingginya tingkat
kriminalitas seperti pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Akibat yang lebih
membahayakan lagi adalah, dimana setiap individu berupaya untuk memperoleh
kebutuhan hidup tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, sehingga dapat
menimbulkan perpecahan di masyarakat
UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KERAWANAN PANGAN
1. Sistem kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dimaksudkan sebagai rangkaian
kegiatan pengamatan situasi pangan dan gizi melalui penyediaan data/informasi,
pengolahan data, dan analisis serta rencana intervensi untuk penanganan masalah
gangguan pangan dan gizi. SKPG merupakan suatu sistem pendeteksian dan pengelolaan
informasi tentang situasi pangan dan gizi, yang berjalan terus menerus. Oleh karena itu
penerapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi diharapkan dapat diandalkan sebagai
alat pemantauan dini, pengolahan dan analisis data, peramalan, pemetaan, maupun
perencanaan penanggulangan/intervensi masalah kerawanan pangan dan gizi dengan
mengoptimalkan koordinasi lintas sektor
Melalui kegiatan analisis situasi pangan dan gizi yang didasarkan pada data laporan
rutin yang tersedia, atau berdasar hasil survei-survei khusus, dapat dijadikan bahan
pengambilan Keputusan ataupun Tindakan Penanganan Masalah Krisis Pangan dan Gizi.
Informasi yang dihasilkan menjadi dasar perencanaan, penentuan kebijakan, koordinasi
program dan kegiatan penanggulangan kerawanan pangan dan gizi serta evaluasi program
jangka panjang maupun program jangka pendek.
Informasi yang dihasilkan dari penerapan SKPG melalui tindakan peramalan secara
berkala dapat dijadikan bahan tindakan prefentif terhadap produksi pangan, dengan
mewaspadai situasi, melakukan pemantauan tanda-tanda secara intensif Selain itu
dipergunakan apabila terjadi ancaman terjadinya krisis pangan, dengan melakukan
analisis Indikator dan, krisis pangan/ kelaparan tingkat rumah tangga, gizi kurang dan
gizi buruk,
Dengan terjadinya krisis pangan akibat kekeringan, banjir, serangan hama dan
penyakit membawa dampak yang memberatkan kehidupan masyarakat, terutama yang
tidak memiliki ketahanan ekonomi termasuk para petani di pedesaan yang ikut dalam
proses produksi. Untuk menanggulangi dampak krisis tersebut dilaksanakan langkah
mendesak melalui intervensi. Jenis intervensi sebagai upaya penanggulangan masalah
pangan ditetapkan berdasarkan jenis masalah dengan memperhatikan keadaan daerah.
Melalui kegiatan SKPG dilakukan identifikasi dan inventarisasi daerah rawan
pangan kronis dan transient secara dini, sehingga dapat diketahui daerah dan kelompok
masyarakat tani (beberapa kelompoktani) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
pangannya dan sebab-sebab terjadinya kerawanan pangan
2. Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan (PDRP)
Kegiatan penanganan daerah rawan pangan telah dimulai sejak tahun 2002 dalam
bentuk kegiatan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Pemberdayaan Daerah Rawan
Pangan (PDRP). Pada tahun berikutnya PDRP tidak lagi dalam bentuk BLM, akan tetapi
merupakan kegiatan bantuan kepada masyarakat yang mengalami rawan pangan karena
terkena dampak bencana.
PDRP tahun 2004 selain sudah diberikan batasan-batasan dalam Pedoman Umum
Program Peningkatan Ketahanan Pangan TA 2004 tentang bentuk bentuk kegiatan yang
dapat dilaksanakan dalam pemanfaatan dana PDRP, masih dipandang perlu untuk
memberikan Pedomam Umum Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan Tahun 2004.
Pada tahun 2006 alokasi dana dikabupaten digabungkan dengan dana kegiatan
Desa Mandiri Pangan yaitu rata-rata sebesar Rp.50 juta. Pemanfaatan dana di kabupaten
adalah Rp.25 juta untuk kegiatan identifikasi melalui penerapan SKPG dan Rp.25 juta
untuk keperluan intervensi.
Bagi kabupaten yang tidak terdapat alokasi dana Tugas Pembantuan, maka
dananya dititipkan di provinsi berupa dana dekonsentrasi yang besarnya bervariasi sesuai
dengan kebutuhan yang ditetapkan. Bagi daerah yang tidak ada alokasi dana Tugas
Pembantuan tugas, apabila terjadi kerawanan pangan maka dana sebesar Rp.25 juta yang
dititipkan di provinsi dapat dipergunakan.
Pada tahun 2006 akan diselenggarakan Workshop Penguatan PDRP dalam
rangka menyempurnakan Pedum PDRP yang sebelumnya dijadikan acuan dalam
pelaksanaan PDRP.
3. Koordinasi Penanganan Kerawanan di Papua, NTB dan NTT
Tiga propinsi yang cukup menonjol masalah kerawanan pangan dan perlu
diupayakan penanganannya melalui koordinasi yang baik dengan melibatkan berbagai
instansi terkait antara lain di propinsi Papua, khususnya di Yahukimo, Nusa Tenggara
Barat dan Nusa Tenggara Timur. Fokus kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk
mengindentifikasi masalah rawan pangan dan gizi buruk, menginventarisasi upaya yang
telah dilakukan, mengindentifikasi kebutuhan akan bantuan yang diperlukan, melakukan
intervensi terbatas sebagai pemicu stakeholder untuk melakukan hal serupa dan sebagai
acuan dalam menghapuskan kerawanan pangan
Penanganan di Nusa Tenggara Barat
Masalah yang timbul di NTB adalah gizi kurang. Sampai dengan Juni 2005 tercatat
1.355 balita mengalami gizi kurang, 1.300 gizi buruk, termasuk 596 balita mengalami
marasmus, 22 balita mengalami kwashiorkor, dan 17 balita mengalami kasus marasmus
kwashiorkor.
Upaya penanganan balita gizi kurang dan gizi buruk memerlukan pendekatan
menyeluruh melalui tahapan pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi konstruksi.
Yang pelaksanaannya harus berkoordinasi antar instansi terkait. Fokus kegiatan yang
jangka menengah dan jangka panjang adalah peningkatan ekonomi dan perbaikan
konsumsi gizi rumah tangga. Dalam jangka menengah fokus kegiatannya adalah
penyediaan sarana produksi dan pengembangan pekarangan, penyebaran ternak ayam dan
kambing, gerakan diversifikasi pangan dan gizi, revitalisasi TPG, replikasi kegiatan
PIDRA, SPFS dan Desa Mandiri Pangan. Fokus pembangunan jangka panjang adalah
perbaikan infrastruktur pedesaan, pengembangan lumbung pangan masyarakat, pangan
olahan dan olahannya, pengembangan tanaman bernilai ekonomi (sukun, nangka, mangga
dan jambu mete), pengembangan warung desa sebagai sarana promosi pangan beragam
dan bergizi seimbang, melanjutkan kegiatan PIDRA, SPFS dan Desa Mandiri Pangan

Anda mungkin juga menyukai