Anda di halaman 1dari 57

RISIKO DALAM USAHA PERTANIAN

Sektor pertanian, yang mencakup tanaman bahan makanan,


peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan, pada
tahun 2003 menyerap 46,3 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja,
menyumbang 6,9 persen dari total nilai ekspor non migas, dan memberikan
kontribusi sebesar 15 persen dari PDB nasional. Sektor pertanian juga
berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan
pangan dalam rangka memenuhi hak atas pangan.
Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan peran tersebut,
sektor pertanian menghadapi berbagai perubahan sebagai akibat dari
globalisasi yaitu: (i) semakin terbukanya pasar dan meningkatnya
persaingan; (ii) meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang
berlandaskan mekanisme pasar (market oriented policy) dan (iii) semakin
berperannya selera konsumen (demand driven) dalam menentukan
aktivitas di sektor pertanian.
Sektor pertanian masih memiliki potensi untuk ditingkatkan apabila
berhasil menangani kendala-kendala yang meliputi: produktivitas, efisiensi
usaha, konversi lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana
pertanian, serta terbatasnya kredit dan infrastruktur pertanian. Secara
khusus sarana dan prasarana perikanan di wilayah timur Indonesia masih
sangat kurang sehingga sumber daya perikanan di wilayah ini dengan
potensi yang cukup besar belum dimanfaatkan secara optimal. Selain itu,
pembangunan di sektor pertanian juga rentan terhadap perubahan dan
dampak-dampak lingkungan yang telah terjadi, seperti hujan asam (acid
deposition) akibat pencemaran udara, serta penurunan kualitas tanah
akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.
Beberapa kendala dan masalah lain yang dihadapi adalah:
(i) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat
kemiskinan petani dan nelayan;
(ii) lahan pertanian yang semakin menyempit;
(iii) terbatasnya akses ke sumberdaya produktif, terutama akses
terhadap sumber permodalan yang diiringi dengan rendahnya
kualitas SDM;
(iv) penguasaan teknologi masih rendah;
(v) belum optimalnya pengelolaan sumberdaya perikanan,
(vi) terjadinya penurunan hasil hutan alam sementara hasil hutan
tanaman dan hasil non kayu belum dimanfaatkan secara
optimal, serta
(vii) lemahnya infrastruktur (fisik dan non fisik) di sektor pertanian
pada khususnya dan perdesaan pada umumnya.
Sektor pertanian, khususnya usaha tani lahan sawah, memiliki nilai
multifungsi yang besar dalam peningkatan ketahanan pangan,
kesejahteraan petani, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Keberlanjutan pertanian dengan program lahan pertanian abadi akan dapat
diwujudkan jika sektor pertanian dengan nilai multifungsinya dapat
berperan dalam pengentasan kemiskinan. Tingkat kemiskinan absolut
tahun 2004 mencapai 36,10 juta orang, sebagian besar tinggal di pedesaan
(68,70%) dengan kegiatan utama (60%) di sektor pertanian (Tahlim
Sudaryanto dan I Wayan Rusastra, 2006). Kemampuan sektor pertanian
dalam peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan akan ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu 1) kemampuan mengatasi kendala pengembangan
produksi, 2) kapasitas dalam melakukan reorientasi dan implementasi arah
dan tujuan pengembangan agribisnis padi, dan 3) keberhasilan
pelaksanaan program diversifikasi usaha tani di lahan sawah dengan
mempertimbangkan komoditas alternatif nonpadi seperti palawija dan
hortikultura.

Hujan Jarang Turun, Padi Terancam Gagal Panen


Aceh Tengah Wed, Feb 24th 2010, 09:39

www.serambinews.com/news/view/24...al-panen
Kemarau
Seorang pemilik sawah warga Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan,
Aceh Tengah mengamati tanaman padi miliknya yang kekurangan pasokan
air, Selasa (23/2). Cuaca panas yang terjadi sejak dua bulan terakhir
menyebabkan sejumlah areal persawahan warga menjadi kering sehingga
dipastikan hasil panen akan menurun.SERAMBI/MAHYADI.

Hasil panen padi di sejumlah daerah di Kabupaten Aceh Tengah,


terancam berkurang. Prediksi akan berkurangnya hasil panen padi di
daerah itu, disebabkan oleh karena sebagian lahan sawah tidak dialiri
air disebabkan sedikitnya hujan sejak dua bulan terakhir. Selain itu,
cuaca panas telah menyebabkan berkurangnya debit air dari daerah
pegunungan yang mengalir ke lahan sawah selama musim kemarau.
Bukan hanya tanaman padi yang terancam berkurang hasil panennya
karena musim kemarau tahun ini, sebagian tanaman kopi juga menjadi
kering karena kekurangan air.
Areal persawahan warga yang kering karena tidak dialiri air terjadi di
sebagian daerah Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, yang
menyebabkan puluhan hektar areal tanaman padi milik warga menjadi
terhambat perkembangannya karena kurangnya pasokan air. Namun,
kurangnya pasokan air ke areal persawahan warga itu, menurut para
petani tidak berdampak pada gagal panen namun dapat dipastikan
hasil panen padi tahun ini terancam berkurang.

Hampir dua bulan ini, cuaca panas sehingga debit air dari daerah hulu
air berkurang cukup drastis sehingga sebagian sawah warga menjadi
kering, kata Aman Khairul Saleh, pemilik areal persawahan warga
Kampung Mendale. Lahan persawahan di kampung itu tidak memiliki
irigasi secara khusus namun para petani padi hanya mengharapkan
aliran air yang bersumber dari kawasan Ulung Gajah. Namun, sejak
memasuki tahun 2010 ini, debit airnya mulai berkurang sehingga tidak
mampu lagi mengaliri semua areal persawahan milik warga.
Debit aliran airnya kecil sehingga harus kita bagi-bagi, tetapi malah
sebagian kering total. Dan kami berharap hujan dapat segera
mengguyur sehingga tanaman padi kami bisa kembali pulih. Menurut
Aman Khairul Saleh, tanaman padi yang ada di daerah itu, sebagian
telah berumur sekitar dua bulan setengah dan padi yang ditanam
petani di daerah itu, rata-rata dalam waktu enam bulan hingga tujuh
bulan baru masuk masa panen. Perkembangan tanaman padi milik
mereka terhambat karena kurangnya pasokan air. Jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya kondisi saat ini lebih parah karena
hujan sampai dengan saat ini belum turun.
Di sini tidak ada tanaman padi unggul, sehingga masa panennya lebih
lama tapi tanaman padi masih berumur dua bulan sudah tidak ada lagi
air sehingga bisa jadi hasil panen tahun ini akan berkurang.
Keringnya areal persawahan warga bukan hanya terjadi di Kampung
Mendale, namun di sejumlah lokasi areal persawahan warga di daerah
Kecamatan Bintang, juga mengalami kejadian yang sama namun di
daerah itu, masih dapat ditanggulangi.

Kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah: 1)


memfasilitasi pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan,
perbaikan sistem insentif usaha tani, dan mendorong pengembangan
agroindustri padat tenaga kerja di pedesaan, 2) reorientasi arah dan tujuan
pengembangan agribisnis padi dengan sasaran peningkatan pendapatan
dan ketahanan pangan rumah tangga petani padi, serta sebagai wahana
dinamisasi perekonomian desa, dan 3) pengembangan infrastruktur (fisik
dan kelembagaan), teknologi, permodalan, kebijakan stabilisasi, dan
penyuluhan untuk komoditas alternatif non-padi yang bernilai ekonomi
tinggi tetapi memiliki risiko yang besar.

70 Ha Sawah Gagal Panen


Akibat Diserang Hama Tikus
Selasa, Oktober 27th, 2009
Empat Lawang Expres (0813-73316333)

Hama tikus semakin ganas menyerang tanaman padi warga di Desa


Pagar Jati, Kecamatan Pasemah Air Keruh (Paiker), Kabupaten Empat
Lawang. Sedikitnya 70 hektar (ha) areal persawahan di daerah ini
terpaksa gagal panen. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun
Empat Lawang Expres, tujuh hektar persawahan terserang hama
dengan intensitas sedang, 10 hektar dengan intensitas ringan, 10
hektar dengan intensitas tertimbang, delapan hektar dengan intensitas
berat serta 34 hektar persawahan terancam gagal panen.

4lawang.wordpress.com/2009/10/27/
Puluhan hektar padi sawah warga yang gagal panen akibat diserang
hama tikus.

Beberapa petani yang sempat dibincangi mengatakan, hama tikus


yang menyerang persawahan mereka kali ini, lebih dahsyat dari
sebelumnya. Beberapa hektar lahan persawahan milik petani, bahkan
tidak bisa panen sama sekali karena habis akibat terserang hama tikus
yang terjadi sejak dua bulan terakhir ini.
Menurut Jemaan, petani di Desa Pagar Jati, Kecamatan Paiker sekitar
satu hektar tanaman padi di sawahnya tidak bisa panen sama sekali.
Padahal, ia sudah merencanakan melakukan panen beberapa pekan
kedepannya. Apa mau dikata, padi saya tidak bisa panen karena
habis terserang hama tikus, meratapi nasibnya sambil memandang
sawahnya yang gagal panen.
Kejadian serupa juga pernah ia alami periode sebelumnya. Namun
saat itu, ia masih bisa menikmati jerih payahnya meskipun hasilnya
tidak sebanding dengan modal yang sudah ia keluarkan. Tahun
kemarin juga terserang hama tikus, tapi tidak sedahsyat kali ini dan
saya masih bisa panen meskipun hasilnya sedikit.
Hal serupa juga dialami Zainal, petani di Desa Pagar Jati, Kecamatan
Paiker. Dari sekian banyak padi yang ia tanam, hanya bisa
menghasilkan dua karung gabah kering. Padahal, jika tidak terserang
hama tikus atau hama lainnya, ia bisa mendapatkan puluhan gabah
kering dari sawah yang ia miliki. Saya mengalami kerugian jutaan
rupiah, akibat tidak maksimalnya hasil panen yang saya dapatkan. Hal
ini juga terjadi pada petani lainnya, yang mempunyai persawahan di
Desa Pagar Jati.
Jemaan dan Zainal merupakan contoh dari sebagian kecil petani yang
meresahkan kehadiran hama tikus, khususnya di Desa Pagar Jati,
Kecamatan Paiker. Lebih dari itu, puluhan petani yang ada di desa
tersebut, juga mengalami hal serupa serta terancam gagal panen
apabila hama tikus di areal persawahan mereka tidak segera
diberantas.
Menurut Kepala UPTD Pertanian Kecamatan Paiker (Darsono ), hama
tikus yang terjadi kali ini memang lebih banyak dibandingkan dengan
beberapa waktu sebelumnya. Pihaknya juga sudah melakukan survei
ke lapangan dan memberikan sosialisasi kepada petani yang ada serta
memberikan bantuan racun tikus sebanyak 30 Kg. Kita sudah
melakukan survei, dan memberikan bantuan racun hama tikus
sebanyak 30 Kg untuk petani. Mudah-mudahan, bisa mencegah
meluasnya hama tikus di areal persawahan.
Hama tikus merupakan salah satu hama yang sangat berbahaya bagi
petani, khususnya untuk tanaman padi di persawahan. Namun, bukan
berarti hama tersebut tidak bisa ditanggulangi. Tikus itu selalu ada di
setiap tanaman padi persawahan, namun keberadaannya yang terlalu
banyak bisa membahayakan tanaman padi.
Petani yang mengalami serangan hama tikus, hendaknya bisa
memberikan laporan ke UPTD Kecamatan. Dari laporan petani
tersebut, pihaknya bisa melakukan survei dan memberikan sosialisasi
serta bisa memberikan bantuan racun hama yang sedang
mengganggu tanaman petani. Kita selalu siap memberikan bantuan
kepada petani, jika ada laporan dari mereka terkait hama yang
menyerang tanaman mereka. Selain itu, tim kita juga selalu melakukan
survei ke lapangan, sesuai dengan jadwal dan kebutuhan yang ada.
Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek
produksi atau ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani atau
pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bagi
Indonesia, nilai fungsi pertanian tersebut perlu dipertimbangkan dalam
penetapan kebijakan struktur insentif sektor pertanian. Komitmen dukungan
insentif melalui pemahaman peran multifungsi pertanian perlu didefinisikan
secara luas, bukan saja insentif ekonomi (subsidi dan proteksi), tetapi juga
dukungan pengembangan sistem dan usaha agribisnis dalam arti luas.
Pengembangan lahan pertanian abadi akan dapat diwujudkan jika sektor
pertanian dengan nilai multifungsinya dapat memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan.
Hasil kajian di DAS Citarum Jawa Barat menunjukkan bahwa
konversi lahan sawah yang diprediksi sekitar 15%, di samping berdampak
langsung terhadap nilai ekonomi lahan dan produksi padi, juga memiliki
dampak eksternal positif yang perlu dipertimbangkan (Agus et al. 2002).
Nilai multifungsi pertanian berdasarkan metode Replacement Cost Method
(RCM) menunjukkan bahwa kehilangan nilai riil pendapatan karena
konversi lahan sawah (15%) mencapai US$ 27,20 juta. Jika diperhitungkan
total nilai eksternal yang besarnya US$ 12,25 juta maka total kehilangan
manfaat (keuntungan), termasuk nilai riil alih fungsi lahan sawah mencapai
US$ 39,45 juta. Jadi proporsi nilai eksternal terhadap total nilai kehilangan
relative besar, yaitu 31%. Nilai ini perlu diperhitungkan dalam penentuan
nilai dan struktur insentif bagi sektor pertanian. Dalam konteks ini,
menciptakan lahan pertanian abadi dan peningkatan kesejahteraan petani
atau pengentasan kemiskinan merupakan tujuan ganda yang bersifat
inklusif. Pencapaiannya akan menghadapi berbagai tantangan, antara lain
mencakup pengembangan aspek penawaran sektor pertanian,
pengembangan agribisnis padi dan diversifikasi usaha tani di lahan sawah.
Agribisnis padi dan pengembangan diversifikasi lahan sawah perlu
mendapat penekanan karena peran lahan sawah dalam multifungsi
pertanian sangat vital. Urgensi mempertahankan lahan sawah menjadi
penting karena memiliki eksternality yang besar, yaitu mencakup fungsi
mitigasi banjir, konservasi sumber daya air, pencegahan erosi tanah dan
longsor, penampungan limbah organik, pembersihan udara, mitigasi suhu
udara, dan fungsi pemeliharaan lingkungan.

Karakteristik Kemiskinan

Menurut Sajogyo (2002), tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan


disebabkan kebijakan pembangunan cenderung bias perkotaan dan sektor
industri, sementara alokasi anggaran sektor pertanian menurun drastis.
Kebijakan ini dinilai keliru karena memarginalkan hak masyarakat dan
menumbuhkan kantong-kantong kemakmuran masyarakat perkotaan di
tengah kemiskinan masyarakat pedesaan.
Penanganan masalah kemiskinan dapat diarahkan pada
kemiskinan absolute dan juga kemiskinan relatif. Tujuan utama program
pengentasan kemiskinan adalah mengembangkan kesetaraan posisi dan
kemampuan masyarakat. Fokus penanganan masalah perlu didasarkan
pada permasalahan pokok yang dihadapi masyarakat melalui
pengembangan instrumen kebijakan yang relevan.
Dimensi kemiskinan secara intertemporal mengalami perubahan
dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin.
Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
1) Ketidak-mampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan,
sandang, dan perumahan),
2) Aksesibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar
lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih,
dan transportasi),
3) Lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital,
4) Rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat
individual maupun massal,
5) Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan
sumber daya alam,
6) Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan,
7) Terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara
berkelanjutan,
8) Ketidak-mampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun
mental, dan
9) Ketidak-mampuan dan ketidakberuntungan secara sosial.

Karakteristik penduduk miskin secara spesifik antara lain adalah (Pasaribu


2006):
1) Sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian
dominant berusaha sendiri di sektor pertanian (60%),
2) Sebagian besar (60%) berpenghasilan rendah dan
mengonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/hari,
3) Berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (>
60%) dan kecukupan gizi (energi < 80%), proporsi rumah
tangga rawan pangan nasional mencapai sekitar 30%, dan
4) Penduduk miskin dengan tingkat sumber daya manusia yang
rendah umumnya tinggal di wilayah marginal, dukungan
infrastruktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah.

Dalam konteks karakteristik kemiskinan masyarakat petani di pedesaan,


menarik untuk dikemukakan keterkaitan antara penguasaan lahan dan
tingkat kemiskinan. Terdapat korelasi yang kuat antara skala penguasaan
lahan dengan indeks kemiskinan dan indeks rumpang kemiskinan (proverty
gap). Makin luas penguasaan lahan, makin rendah tingkat kemiskinan
(LPEM-FEUI 2004). Bagi tunakisma (petani tanpa lahan), tingkat
kemiskinan mendekati 31%, dan bagi petani dengan penguasaan lahan
kurang dari 0,10 ha, tingkat kemiskinan mencapai 28,30%. Tingkat
kemiskinan menurun secara konsisten menjadi 5,60% bagi rumah tangga
petani yang menguasai lahan 25 ha.

Kendala Produksi Pertanian

Kendala utama pengembangan pertanian ke depan adalah


ketersediaan lahan pertanian. Pengembangan lahan pertanian tidak dapat
dipisahkan dari pengembangan infrastruktur irigasi. Keterbatasan
pengembangan lahan pertanian di Indonesia diindikasikan oleh penurunan
luas lahan pertanian sebesar 0,40%/tahun dalam dua dasawarsa terakhir
(19802000). Perluasan lahan sawah beririgasi sangat lambat, hanya
0,20%/tahun, dan proporsinya relatif kecil, yaitu 27% (2,59 juta ha) pada
tahun 2000 (Pasandaran et al. 2004).
Berdasarkan kesesuaian lahan dan ketersediaan air, areal yang
potensial untuk pengembangan irigasi sangat terbatas. Kecenderungan
tersebut mengindikasikan kuatnya tantangan peningkatan produksi dan
kesejahteraan petani di pedesaan. Luas penguasaan lahan per rumah
tangga petani terus menurun karena meningkatnya jumlah penduduk dan
jumlah rumah tangga petani.
Dinamika fakta empiris yang terkait dengan Growth Domestic
Product (GDP) dan produksi agregat pertanian memberikan beberapa
informasi menarik sebagai berikut (Arifin 2003; Simatupang et al. 2004):
1) GDP dan produksi agregat pertanian mengalami pertumbuhan
yang relatif tinggi dalam periode 19671986 karena adanya
dukungan pengembangan lahan pertanian dan infrastruktur,
kelembagaan penyuluhan, kelembagaan koperasi pedesaan,
kredit bersubsidi, dan insentif harga,
2) Kontradiksi kebijakan pada periode berikutnya, yang ditunjukkan
oleh penurunan alokasi anggaran dan insentif sektor pertanian,
berdampak pada makin meningkatnya kendala pengembangan
produksi pertanian,
3) Sumber utama pertumbuhan produksi dalam periode
19671986 adalah produktivitas lahan, yang kemudian menurun
drastis dalam periode 19972001 dan bahkan mengalami
pertumbuhan negatif pada tahun 1997 2001 karena
menurunnya produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian.
Pertumbuhan produksi komoditas pertanian utama (padi, jagung, kedelai)
menunjukkan kecenderungan yang sama dengan GDP dan produksi
agregat sektor pertanian. Ke tiga komoditas tersebut mengalami
pertumbuhan yang relatif tinggi selama periode 19761980, dan
selanjutnya menurun secara konsisten sejak tahun 1986, dan sangat
drastis sejak 1996, bahkan untuk kedelai pertumbuhannya negatif sejak
19962003. Penurunan produksi ini disebabkan oleh penurunan areal
panen dan/ atau stagnasi produktivitas. Produktivitas potensial varietas
unggul baru (kecuali jagung) juga tidak mengalami perubahan berarti sejak
pertengahan tahun 1990-an.

Sawah di Sumba Barat Kering


Sumba Island, Sunday, February 21, 2010

Di Sumba Barat, sawah tadah hujan terancam kering karena hujan


yang tidak menentu. Menurut Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan
dan Hortikultura Kabupaten Sumba Barat, apabila benar ramalan
Badan Meteorogi dan Geofisika (BMG) Kupang bahwa musim
kemarau akan terjadi awal Maret 2010, maka tanaman padi sawah di
daerah ini terancam kekeringan.

sumbaisland.com/sawah-di-sumba-b...-kering/

Dapat dibayangkan betapa sulitnya para petani jika gagal panen. Para
petani tidak memiliki benih tambahan. Pemerintah setempat juga tidak
menganggarkan dana untuk pengadaan benih bagi petani. Secara
teknis Dinas Pertanian Perkebunan dan Hortikultura mengajukan
rencana anggaran pengadaan benih bagi petani, baik benih padi,
jagung maupun kacang-kacangan senilai Rp 1 miliar lebih, namun
penganggarannya belum memungkinkan.
Pada saat ini belum semua petani menanam padi karena terlambat
menyiapkan lahan. Hal itu dapat dijumpai di areal persawahan Kota
Waikabubak dan sekitarnya dimana sebagian petani baru mulai
mengolah lahan, meski sebagian sudah menanam, bahkan padi sudah
mulai tumbuh besar.

Di samping permasalahan yang terkait dengan ketersediaan dan


pengembangan lahan beririgasi, ketersediaan, akses, dan penerapan
varietas unggul baru serta teknologi spesifik lokasi, pengembangan
produksi pertanian juga menghadapi permasalahan yang terkait dengan
ketersediaan anggaran pembangunan dan penyediaan sistem insentif
untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Keragaan
dinamika investasi pemerintah di sektor pertanian menunjukkan bahwa
(Rusastra et al. 2005) proporsi pengeluaran untuk pengembangan irigasi,
penelitian dan pengembangan, serta penyuluhan tahun 2002 hanya
48,20% (Rp 418 juta) dari pengeluaran tahun 1985/96 (Rp867 juta). Pupuk
yang bersifat komplemen dengan pengembangan infrastruktur pertanian
juga mengalami penurunan subsidi secara signifikan sejak pertengahan
1980-an. Penurunan anggaran pemerintah dalam pengembangan
infrastruktur (irigasi, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan) dan
subsidi pupuk berdampak terhadap stagnasi atau penurunan produktivitas
dan produksi komoditas pertanian.
Insentif yang diterima petani terdiri atas dua komponen utama, yaitu subsidi
sarana produksi (pupuk, benih, kredit dan mekanisasi pertanian) dan
proteksi harga hasil produksi. Sejak pertengahan 1980-an, total insentif
pemerintah secara bertahap menurun. Penurunan subsidi sarana produksi
berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan penurunan
pendapatan petani. Dalam periode 19812002, rasio harga padi terhadap
pupuk secara konsisten menurun dari 1,80 menjadi 1,20 untuk urea dan
dari 1,80 menjadi 0,90 untuk TSP (Rusastra et al. 2005). Bersamaan
dengan penurunan kinerja proteksi output, kesejahteraan petani pun
menurun yang ditunjukkan oleh penurunan nilai tukar petani dari 106,40
menjadi 103,10 selama periode 1986/ 901991/95.
Sejak 2001, nilai tukar petani meningkat secara signifikan karena adanya
perubahan kebijakan pemerintah (Simatupang et al. 2004). Sejak 3 tahun
terakhir, pemerintah menerapkan kembali kebijakan proteksi dan promosi
sektor pertanian, seperti tarif impor untuk melindungi harga padi dan gula
dari distorsi harga pasar dunia, serta kebijakan subsidi pupuk.
Kebijakan ini diharapkan dapat berlanjut dan efektif untuk mendorong
peningkatan produksi dan pendapatan petani.
Antisipasi Diversifikasi Usaha Tani

Dalam rangka memahami kinerja dan prospek diversifikasi di


lapangan, analisis diversifikasi di tingkat regional perlu dikomplemen
dengan analisis mikro dan diversfikasi di tingkat rumah tangga petani atau
di tingkat usaha tani. Tidak ada fakta yang jelas bahwa lahan sawah irigasi
teknis dan semiteknis memiliki tingkat diversifikasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan lahan sawah irigasi sederhana. Fakta ini
menunjukkan bahwa ketersediaan air tidak secara otomatis mendorong
petani menanam padi sepanjang tahun. Pilihan untuk melakukan
diversifikasi di lahan sawah ditentukan oleh kombinasi faktor teknis,
ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Menurut Saliem dan Supriyati
(2006), tingkat diversifikasi usaha tani lahan sawah, yang direfleksikan
dalam keragaan pola tanam dan ragam komoditas penyusunnya,
menunjukkan bahwa tingkat diversifikasi usaha tani di lahan sawah
bervariasi menurut lokasi dan tipe irigasi.
Pemilihan jenis komoditas dan pola tanam oleh petani dipengaruhi
oleh faktor teknis, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Tingginya tingkat
pendapatan bukan merupakan satu-satunya penentu pengambilan
keputusan. Secara umum usaha tani lahan sawah di desa-desa sentra
produksi padi di Jawa pada musim hujan didominasi oleh padi. Diversifikasi
usaha tani umumnya dilakukan pada musim kemarau pertama dan/atau
kedua. Tingkat pendapatan usaha tani petani yang melakukan diversifikasi
lebih tinggi dari petani nondiversifikasi. Pengusahaan komoditas
hortikultura memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari-pada
palawija, namun pengusahaan tanaman hortikultura membutuhkan modal
yang besar dan risiko usahanya lebih tinggi.
Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
petani dalam menerapkan pola tanam diversifikasi, Sumaryanto (2006)
menyimpulkan bahwa di lahan sawah irigasi teknis, diversifikasi usaha tani
mempunyai prospek pengembangan yang cukup baik. Secara umum
peluang petani untuk memilih pola tanam monokultur padi lebih rendah
daripada berdiversifikasi. Dalam berdiversifikasi, kecenderungan untuk
memilih komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi lebih tinggi
daripada komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.
Faktor-faktor yang kondusif untuk penerapan pola tanam
diversifikasi adalah jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usaha
tani, kemampuan permodalan, peran usaha tani lahan sawah dalam
ekonomi rumah tangga, tingkat kelangkaan air irigasi, dan kepemilikan
pompa irigasi. Faktor yang tidak kondusif adalah fragmentasi lahan
garapan. Pengembangan diversifikasi usaha tani di wilayah persawahan
sebaiknya diarahkan pada lokasi-lokasi yang ketersediaan air irigasinya
rendah, ketersediaan tenaga kerja pertanian cukup, peran usaha tani
sebagai sumber pendapatan rumah tangga cukup signifikan, dan struktur
penguasaan lahan garapan relatif terkonsolidasi.
Akselerasi pengembangan diversifikasi usaha tani membutuhkan
kebijakan yang dapat meningkatkan akses petani terhadap sumber
permodalan.
Kebijakan strategis dan langkah operasional yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan diversifikasi di lahan sawah adalah
(Simatupang et al. 2003):
1) memperbaiki ketersediaan dan aksesibilitas terhadap teknologi
usaha tani nonberas,
2) Meningkatkan kapasitas manajemen petani melalui perbaikan
pelayanan penyuluhan, khususnya dalam pengembangan
komoditas nonberas,
3) Memperbaiki ketersediaan dan akses terhadap permodalan
untuk mendukung pengembangan komoditas bernilai ekonomi
tinggi seperti hortikultura,
4) Pembangunan infrastruktur irigasi pompa untuk mempercepat
perkembangan diversifikasi usaha tani,
5) Peningkatan produktivitas usaha tani atau
mengimplementasikan program stabilisasi harga untuk
komoditas yang memiliki risiko tinggi tetapi tingkat
profitabilitasnya tinggi,
6) Penguatan kelembagaan kelompok tani dan membangun
jaringan kerja dengan investor dalam rangka mengatasi
masalah permodalan dan pemasaran komoditas alternatif, dan
7) Pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan) di tingkat
usaha tani, pengolahan dan pemasaran, dan kerja sama
dengan pihak terkait dalam rangka peningkatan efisiensi
pemasaran dan stabilisasi harga khususnya untuk komoditas
palawija dan hortikultura.

Keberlanjutan pertanian dengan program lahan pertanian abadi


dapat diwujudkan jika sektor pertanian (dengan nilai multifungsinya) dapat
berperan dalam pengentasan kemiskinan. Setelah krisis ekonomi,
kemiskinan relatif tahun 2004 menurun drastis menjadi 16,70%, tetapi
secara absolut angkanya tetap tinggi, yaitu 36,10 juta orang. Sebagian
besar dari mereka (68,70%) tinggal di pedesaan dengan kegiatan utama
(60%) di sekor pertanian, dengan ciri utama infrastruktur wilayah marginal,
penguasaan dan akses sumber daya rendah, serta kemampuan sumber
daya manusia dan adopsi teknologi rendah.
Kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan produksi dan
pengentasan kemiskinan sangat bergantung pada kemampuannya dalam
mengatasi kendala pengembangan yang dihadapi saat ini, yang mencakup
keterbatasan pengembangan lahan beririgasi, teknologi varietas unggul,
ketersediaan anggaran pembangunan, dan penyediaan sistem insentif
untuk mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani. Kebijakan
strategis yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah: 1) peningkatan
investasi pemerintah dalam pengembangan infrastruktur utama seperti
irigasi, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan, 2) mendorong dan
memfasilitasi keterlibatan swasta dalam pembangunan pertanian, 3)
peningkatan insentif usaha tani (input, output, kapital) dalam spirit koreksi
kegagalan pasar, dan 4) memfasilitasi perkembangan agroindustri padat
tenaga kerja di pedesaan.
Usaha tani tanaman pangan (padi) memiliki peranan multifungsi
yang besar, dan keberhasilan pengembangannya akan memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pencapaian ketahanan pangan dan
kesejahteraan petani. Berdasarkan konteks kebijakan dan tantangan serta
hambatan internal pembangunan agribisnis padi, reorientasi kebijakan
pengembangannya hendaknya diarahkan untuk meningkatkan pendapatan
dan ketahanan pangan petani padi, memantapkan ketahanan pangan
nasional, dan mendinamisasi perekonomian desa. Dalam merumuskan
instrumen kebijakan peningkatan produksi padi, di samping reorientasi arah
dan tujuan tersebut, juga perlu dipertimbangkan konteks kebijakan pangan
global dan kebijakan di negara kompetitor utama di Asia.
Upaya mempertahankan eksistensi lahan sawah dan peningkatan
pendapatan petani (serta pengentasan kemiskinan) akan sangat ditentukan
oleh keberhasilan program diversifikasi usaha tani. Kinerja diversifikasi di
lahan sawah memiliki prospek yang baik, tetapi dihadapkan kepada
sejumlah kendala teknis, ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya.

Kebijakan strategis yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah:


1) Peningkatan ketersediaan dan akses teknologi, permodalan,
dan penyuluhan komoditas alternatif non-padi,
2) Pengembangan infrastruktur irigasi pompa, peningkatan
produktivitas, dan program stabilisasi harga untuk komoditas
alternatif bernilai ekonomi dan risiko tinggi, dan
3) Pemberdayaan kelembagaan kelompok tani dan membangun
keterkaitan fungsional dan institusional dengan elemen
agribisnis lainnya dalam rangka mendorong peningkatan
produksi, pendapatan petani, dan keberlanjutan diversifikasi
usaha tani.
Puluhan Hektar Sawah di Kampung Bengle 'Bapuk'
Kamis, 08 Oktober 2009, Radar Krawang

Puluhan hektar sawah di Kampung Bengle, Desa Pancakarya,


Kecamatan Tempuran, mengalami gagal panen setelah hama
menyerang area pesawahan tersebut. Akibat hama tersebut, petani
mengalami kerugian yang cukup besar. Hama wereng tersebut
menyerang padi dengan sangat cepat, petani kewalahan untuk
mengendalikan hama tersebut. Sehingga tanaman padi tidak dapat
diselamatkan.

radarkarawang.blogspot.com/2009_...ive.html
GAGAL PANEN: Sawah yang sedianya tak lama lagi panen diserang hama.

Salah seorang pemilik sawah (H. Idris) menyatakan, dia telah


mengetahui dari awal jika ada hama yang menyerang tanaman padinya.
Karena itu dirinya gencar melakukan penyemprotan. Sayangnya,
penyebaran hama tersebut begitu cepat dan sulit dikendalikan. Sehingga
dia tidak dapat menyelamatkan sawahnya tersebut. Hama wereng
menyerang padi mulai dari pangkalnya, setelah itu langsung menyerang
kebagian padi lainnya. "Hama begitu cepat menyerangnya, walaupun
gencar disemprot bahkan sampai setiap hari, tapi tetap saja hama
menyerang.
Pada awalnya padi yang terkena hama wereng hanya putih. Tak lama
kemudian, padi tersebut langsung gosong dan bijinya tidak berisi. Sekitar
dua hektar sawah miliknya, habis diserang hama tersebut. Diperkirakan
kerugian yang dialaminya mencapai Rp 15 juta. "Hampir setiap hari saya
nyemprot dan banyak biaya yang dikeluarkan. Diperkirakan dari mulai
tanam padi hingga terserang ham sudah habis Rp 15 jutaan. Padi tidak
bisa dipanen, karena tidak berisi akibat hama wereng. Ini merupakan
yang pertama kali mengalami gagal panen, setelah 2007 lalu mengalami
hal yang serupa akibat hama sundep.
Idris menambahkan, dinas pertanian sudah melihat kondisi di lapangan
dan membagikan satu botol obat untuk penangkal hama. Tapi dia menilai
pembagian tersebut terlambat, karena padinya sudah tidak bisa
terselamatkan. Dia berharap, pemerintah bisa lebih proaktif lagi dalam
melakukan pemantauan terhadap perkembangan hama, karena secara
pengetahuan bertani petani kurang mengerti, petani hanya
mengandalkan pengalaman. "Saya berharap ke depan penyuluhan
terhadap petani bisa diintensifkan, minimal satu bulan sekali dan
bantuan obat bisa diperbanyak.
Kepala UPTD Pertanian Tempuran membenarkan bahwa padi tersebut
terserang hama wereng. Pihaknya telah melakukan pengendalian,
bahkan pihaknya telah memberikan obat kepada petani agar hama
tersebut tidak terus meluas. Pihaknya beserta pemerintah kecamatan
dan desa yang ada di Tempuran, sudah melakukan gerakan
penyemprotan padi untuk mengendalikan hama tersebut.
"Pengendalian ini sudah dilakukan sejak beberapa hari yang lalu hingga
hari ini dengan melakukan gerakan penyemprotan di desa yang ada di
Tempuran". Mengenai masalah pembinaan terhadap petani, lanjutnya,
pihaknya sering melakukan pembinaan maupun penyuluhan terhadap
petani melalui kelompok tani. Bahkan beberapa hari yang lalu
penyuluhan telah dilakukan. "Mungkin petani tersebut tidak ikut
penyuluhan, sehingga mengira kami jarang melakukan penyuluhan".

PERTANIAN mempunyai RESIKO USAHA yang tinggi


Salah satu fungsi utama bank adalah menyalurkan dana kepada
pihak yang membutuhkan, misalnya petani. Namun sebagian pihak
perbankan melihat pertanian sebagai sektor yang memiliki resiko usaha
yang cukup tinggi. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi petani yang ingin
mendapatkan kredit dari bank.
Salah satu resiko usaha pertanian adalah jangka waktu
pertumbuhan tanaman pertanian memerlukan waktu yang lama, bahkan
sampai lebih dari 5 tahun. Selain itu, harga hasil pertanian yang fluktuasi di
pasaran dunia juga merupakan masalah yang serius yang dilihat oleh
kalangan perbankan.
Stakeholder usaha pertanian juga mengakui bahwa masalah utama
dihadapi usaha di sektor pertanian adalah rumitnya prosedur untuk
memperoleh dukungan dari bank. Hal ini mengakibatkan banyak petani
kecil dan menengah memilih menggunakan jasa para tengkulak.
Kendala Sosialisasi KREDIT Usahatani

Permasalahan akses pembiayaan pertanian yang dialami petani


bukan saja diakibatkan rumitnya administrasi yang harus dilakukan,
melainkan juga diakibatkan kesenjangan informasi, yakni minimnya
informasi yang diperoleh petani akan berbagai kredit yang tersedia. Masih
banyak petani yang belum mengetahui kredit pembiayaan yang dapat
diakses seperti Kredit Ketahanan Pangan Energi (KKP-E) dan Skim
Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP-3). Kedua kredit tersebut
dikhususkan pada sektor pertanian. Selain itu, ada juga kredit umum yang
ditujukan ke Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) seperti, Kredit Usaha
Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Mikro dan Kecil yang biasa disebut KUMK
SUP-005. Penyebaran informasi yang tidak merata ini juga dialami oleh
para stakeholder pertanian lainnya. Penyebaran info tentang kredit ini
belum ada di kampung tempat para petani berusahatani, mungkin
dibutuhkan waktu lebih untuk mensosialisasikannya.
Potensi sektor pertanian sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
belum didukung secara optimal oleh sektor perbankan. Padahal
berdasarkan Hasil Survei Ekonomi, sektor pertanian memiliki kontribusi
yang cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan
atas kerja sama Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Sumatera Utara
ini menunjukkan sampai dengan triwulan III 2008, sektor pertanian
tanaman bahan makanan menyumbang 6,74 persen PDRB sektor
pertanian Sumut.

Gambaran Pelaksanaan Program Kredit Ketahanan


Pangan (KKP)
di Kab. Karawang, Kab. Cirebon, dan kab. lampung Tengah
PPNSI, Tonny F. Kurniawan, Surono, Ahmad Misbah Minggu, 31 Mei
2009

Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) di Kabupaten Karawang


hampir seluruhnya digunakan untuk membiayai komoditas tanaman
padi, karena Kabupaten Karawang sebagian besar petaninya
mengusahakan bercocok tanam padi dan terkenal sebagai lumbung
padi di Jawa Barat bahkan Nasional. Meskipun dalam siklus padi yang
dianjurkan oleh dinas pemerintah daerah setempat juga perlu diselingi
dengan menamami lahan dengan palawija, namun produk palawija
tidak mendapat pinjaman dalam skim program KKP.
www.ppnsi.org/index.php%3Foption...mid%3D46

Program KKP dikoordinasikan oleh Setda Kabupaten Karawang


Bagian Perekonomian Seksi Ketahanan Pangan, pelaksanaan
lapangannya dilakukan oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan
Kehutanan (Distanbunhut) Kabupaten Karawang, khususnya bagian
Bina Usaha. Dinas berperan dalam melakukan sosialisasi,
memberikan rekomendasi teknis dalam seleksi, pembinaan, dan
evaluasi Kelompok Tani (KT) peserta Program KKP. Dalam fungsi
kedinasannya di lapangan Petugas Penyuluh Lapang (PPL) menjadi
ujung tombak berkomunikasi dan berinteraksi dengan petani, termasuk
membimbing petani dalam penyusunan Rencana Definitif Kebutuhan
Kelompok (RDKK), yang menjadi salah satu syarat dalam pengajuan
skim KKP.
Di Kabupaten Karawang, besaran dana KKP untuk tanaman padi
adalah Rp. 3.000.000,-/ha. Sedangkan luasan rata-rata lahan para
petani yang dibiayai dengan menggunakan dana KKP sebesar 0,3
ha/petani. Petani yang berminat menjadi peserta Program KKP harus
memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Adapun
persyaratan administratif untuk mengajukan skim Program KKP di
Kabupaten Karawang antara lain:
1. Membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang
ditandatangani oleh PPL dan kepala desa setempat.
2. Surat Pembayaran Pajak Tanah (SPPT) atau sertifikat lahan yang
akan ditanami sebagai agunan.

Persayaratan seperti ituy dianggap oleh sebagian petani masih


memberatkan, terutama bagi para petani kecil. Persayaratan utama
yang masih memberatkan petani adalah adanya keharusan memiliki
SPPT atau sertifikat lahan yang dijadikan sebagai jaminan atas dana
KKP yang dipinjam. Nilai jaminan yang diminta dapat lebih besar dari
nilai pinjamannya. Bagi petani kecil tentunya hal ini masih menjadi
kendala mengingat masih banyak lahan-lahan petani yang belum
dilengkapi dengan kelengkapan administratif tersebut. Setelah petani
memenuhi persyaratan administratif tersebut, para petani berhimpun
dan mengajukan pinjaman skim KKP atas nama kelompok tani kepada
bank. Pemegang keputusan yang menentukan diterima atau tidaknya
petani atau kelompok tani untuk menjadi peserta Program KKP adalah
pihak bank, dalam hal ini Bank Rakyat Indonesia sebagai bank
pelaksana penyaluran Program KKP di Kabupaten Karawang.
Setelah pengajuan kredit disetujui oleh BRI, dana KKP dicairkan dalam
bentuk uang tunai ke rekening petani. Sebagai bahan laporan dan
evaluasi, BRI secara rutin memberikan tembusan kepada dinas
mengenai kondisi pengembalian Program KKP dari petani. Petani yang
mengembalikan dana KKP secara sekaligus setelah padi yang
diusahakan dipanen atau sistem yang poluper di petani disebut
yarnen dibayar setelah panen. Untuk modal musim tanam padi
berikutnya petani kembali mengajukan skim KKP seperti halnya
sebelumnya, sehingga petani harus mengajukan skim KKP setiap
musim tanam. Menurut keterangan petani dan dinas, KKP juga
bermanfaat membantu petani dan program pemerintah untuk
menerapkan teknologi sesuai anjuran secara optimal sehingga dapat
meningkatkan hasil.

Program KKP di Kabupaten Cirebon digunakan untuk membiayai


komoditas tanaman tebu, karena Kabupaten Cirebon khususnya
Kabupaten Cirebon bagian timur lahan didominasi oleh tanaman tebu.
Hal ini cukup beralasan mengingat keberadaan tiga pabrik gula (PG)
milik RNI di kota ini. Kebiasaan turun-temurun para petani dalam
bercocok tanam tebu juga menjadi faktor yang mendorong luasnya
usahatani tebu hingga saat ini. Dalam pelaksanaan program KKP,
Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon tidak terlibat secara langsung.
Dinas berperan dalam melakukan sosialisasi, memberikan
rekomendasi teknis dalam seleksi, pembinaan, dan evaluasi Kelompok
Tani (KT) peserta KKP. Pemegang keputusan yang menentukan
diterima atau tidaknya petani dalam kelompok tani atau koperasi untuk
menjadi peserta KKP adalah pihak bank, dalam hal ini BRI dan
Bukopin sebagai bank pelaksana penyaluran KKP di Cirebon, atas
pertimbangan dan rekomendasi PG sebagai pihak penjamin pinjaman
(avalis). Sebagai bahan laporan dan evaluasi, pihak bank secara rutin
memberikan tembusan kepada dinas mengenai kondisi pengembalian
KKP dari petani.
Petani yang berminat menjadi peserta KKP harus memenuhi beberapa
persyaratan yang telah ditentukan. Bagi pihak bank pada prinsipnya
ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh petani yang akan
mengajukan KKP-TR, yaitu:
Luasan lahan yang dapat diajukan untuk dibiayai dengan KKP
maksimal 2 ha/petani,
Mendapat rekomendasi dan jaminan dari PG yang bertindak sebagai
penjamin kredit (avalis). Untuk itu petani yang bersangkutan harus
bergabung dalam kelompok tani dan koperasi mitra binaan salah satu
Pabrik Gula (PG) yang terdapat di Cirebon sesuai dengan wilayah
kerja masing-masing.
Penerapan kedua syarat di atas mungkin terdapat beberapa
perbedaan dan banyak mengalami penyesuaian di lapangan. Ukuran
luas lahan yang dibatasi 2 ha/petani pada kenyataannya dapat
disiasati oleh petani. Seorang petani yang menggarap lahan lebih dari
2 ha dapat mencantumkan namanya atas lahan seluas 2 ha, dan
kelebihan lahan dibagi atas nama para pekerjanya. Untuk
mendapatkan rekomendasi dari PG, petani harus mengikuti ketentuan
dari PG yang bersangkutan. Setiap PG memiliki batas wilayah kerja
masing-masing. Oleh karena itu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
petani agar mendapat rekomendasi dapat berbeda jika para petani
tersebut berada dalam wilayah kerja PG yang berbeda.
Rekomendasi PG dalam posisinya sebagai avalis sangat menentukan
bagi diterima atau ditolaknya petani yang mengajukan kredit.
Rekomendasi PG berarti juga pernyataan kesediaan PG untuk menjadi
penjamin bagi kredit yang diajukan oleh petani kepada pihak bank.

Besaran dana KKP yang diberikan kepada petani untuk setiap hektar
tanaman tebu berbeda untuk setiap tipe, secara rata-rata sebagai
berikut: TRIS I (11,05 juta/ha), TRIS II (7,8 juta/ha), TRIT I (8,55
juta/ha), TRIT II IV (6,25 juta/ha). Besaran dana maksimal yang
dapat diajukan oleh petani ini tidak mutlak, tetapi didasarkan juga pada
kesepakatan yang dibuat diantara pihak-pihak yang terkait dalam
program KKP sebelum keputusan tersebut ditetapkan. Hal ini
mengingat kebutuhan masing-masing petani dapat berbeda pada
kondisi areal lahan usaha yang berbeda.

Petani menerima KKP dalam bentuk tunai dan berupa sarana


produksi. Dalam bentuk tunai, penerima dana KKP dapat
menggunakan dana untuk kepentingan pribadinya di luar
usahataninya. Oleh karena itu sebagai antisipasi pihak PG
menyalurkan dana kepada petani secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan dan tahapan kerja yang dilakukan di lahan usaha. Tetapi di
sisi lain metode seperti ini menjadi tidak efektif jika proses pencairan
dana mengalami keterlambatan, sehingga mengorbankan petani dan
tanamannya. Di lapangan, petani sering mengalami keterlambatan
pengerjaan lahannya karena keterlambatan pencairan dana ini. Jika
hal ini tidak diperbaiki maka akan berdampak pada penyimpangan
teknik budidaya yang dapat menurunkan produktifitas.
Dana yang digunakan pada program KKP-TR sampai saat ini dalam
kondisi aman, dalam arti setiap pinjaman oleh petani selalu dibayar
lunas kepada pihak bank. Hal ini dapat dilakukan karena yang
membayar adalah pihak PG sebagai penjamin petani, meskipun petani
tersebut mengalami kerugian. Adapun perhitungan untung dan rugi
dilakukan antara petani dengan pihak PG. Dengan demikian dalam hal
ini ketepatan jumlah dan waktu pengembalian dana KKP dari petani
(yang difasilitasi Koperasi dan PG) kepada pihak bank tidak dapat
dijadikan ukuran bahwa kesejahteraan petani tebu meningkat. Pada
kondisi tertentu, petani sering mengalami kerugian dari hasil bertanam
tebu. Pada saat itu pihak PG biasanya menangguhkan pengembalian
pinjaman sampai musim giling berikutnya.

Petani menerima Program KKP dalam bentuk tunai dan sarana


produksi. Dalam bentuk tunai, penerima dana Program KKP dapat saja
menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadinya di luar
usahataninya. Oleh karena itu sebagai antisipasi pihak PG
menyalurkan dana kepada petani secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan dan tahapan kerja yang dilakukan di kebun. Tetapi di sisi
lain metode seperti ini menjadi tidak efektif jika proses pencairan dana
mengalami keterlambatan, sehingga mengorbankan petani dan
kebunnya. Di lapangan, petani sering mengalami keterlambatan
pengerjaan kebunnya karena keterlambatan pencairan dana ini. Jika
hal ini tidak diperbaiki maka akan berdampak pada penyimpangan
teknik budidaya yang dapat menurunkan produktifitas.

Dana yang digunakan pada program KKP-TR sampai saat ini dalam
kondisi aman, dalam arti setiap pinjaman oleh petani selalu dibayar
lunas kepada pihak bank. Hal ini dapat dilakukan karena yang
membayar adalah pihak PG sebagai penjamin petani, meskipun petani
tersebut mengalami kerugian. Adapun perhitungan untung dan rugi
dilakukan antara petani dengan pihak PG. Dengan demikian dalam hal
ini ketepatan jumlah dan waktu pengembalian dana Program KKP dari
petani (yang difasilitasi Koperasi dan PG) kepada pihak bank tidak
dapat dijadikan ukuran bahwa kesejahteraan petani tebu meningkat.
Pada kondisi tertentu, petani sering mengalami kerugian dari hasil
bertanam tebu. Pada saat itu pihak PG biasanya menangguhkan
pengembalian pinjaman sampai musim giling berikutnya.
Risiko Usahatani Komoditas Bawang

Bawang merah dapat kita tanam dengan baik di daerah dataran


rendah dan dataran tinggi. Pertumbuhanya lebih baik di daerah dataran
rendah sampai ketinggian 30 meter di atas permukaan laut karena suhunya
lebih tinggi, yaitu rata-rata 30oC. Bawang merah termaksud tanaman
sayuran yang tidak tahan terhadap air hujan. Kita juga dapat menanam
bawang merah dalam musim penghujan asal saja pembuangan airnya baik
dan pemberantasan penyakit di lakukan secara teratur.

distan.kalselprov.go.id/index2.p...26id%3D6

SALAH satu risiko yang bisa dibilang utama dalam usaha pertanian
adalah hama dan penyakit. Hampir semua jenis usaha pertanian demikian,
begitu juga dengan usaha bawang merah dan bawang putih. Beragam
gangguan hama, penyakit, dan perubahan cuaca dapat datang secara tiba-
tiba. Risiko produksi yang paling banyak menimbulkan kerugian bagi petani
adalah serangan hama dan penyakit yang tidak dapat diprediksikan
sebelumnya. Serangan hama dan penyakit dapat muncul karena dipicu
perubahan cuaca, gulma, dan pengelolaan tanaman yang tidak optimal.
Usaha tani dapat dikatakan efisien jika gross margin potensial lebih
dari 75%. Ketidakmampuan petani untuk mencapai pendapatan potensial
karena pengaruh risiko usaha tani.
Besarnya pendapatan dan risiko usaha tani bawang putih dan
bawang merah sangat memengaruhi perilaku petani dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam memilih usahanya, petani memiliki alasan
tertentu tergantung dari preferensi petani terhadap risiko ataupun faktor
sosial ekonominya.
Efisiensi relatif dan perilaku petani terhadap risiko usahatani
bawang putih dan merah merupakan dua hal yang sangat menentukan
keberhasilan usahatani kedua tanaman ini.
Selain itu juga perlu diungkapkan faktor-faktor yang memengaruhi
perilaku petani terhadap risiko usahatani, penggunaan faktor-faktor
produksi yang efisien dengan mempertimbangkan risiko produksi, tingkat
efisiensi relatif usahatani serta pengaruh perilaku petani terhadap efisiensi
relatif usahatani. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko
pendapatan yang dihadapi petani dalam berusaha tani bawang merah lebih
tinggi dibandingkan dengan bawang putih. Usaha tani bawang putih
pendapatan terendahnya berkisar Rp 14.540.000/ha dan tertinggi Rp
77.945.000/ha. Pada usaha bawang merah bervariasi antara Rp
200.000/ha hingga Rp 70.161.111/ha (Sriyadi, 2007).
Sebagian besar petani mempunyai perilaku enggan terhadap risiko
usaha tani bawang putih dan merah. Perilaku petani terhadap risiko usaha
tersebut dipengaruhi oleh luas lahan, umur, pendidikan, pengalaman
berusaha tani, jumlah anggota keluarga, frekuensi kegagalan berusahatani
bawang putih dan merah selama lima tahun terakhir serta pendapatan
petani dari usahanya.
Penggunaan faktor-faktor produksi luas lahan dan tenaga kerja
pada fungsi produksi bawang putih belum efisien. Penggunaan bibit, pupuk
organik, urea, TSP, NPK, POSKA dan pestisida Curacron EC, Score,
Sellestol, Dithane M-45 juga tidak efisien. Petani disarankan menggunakan
pupuk organik yang layak pakai dan pestisida organik.

PETANI BAWANG MERAH DI KOTA BATU


mengeluhkan anjloknya harga saat panen

Harga bawang merah turun drastis dari Rp 12 ribu per kilogram


menjadi Rp 6 ribu per kilogram. Meskipun tidak sampai merugi, petani tetap
kecewa dengan hasil panen yang tidak sesuai harapan. Ketua gabungan
kelompok tani (Gapoktan) padi dan bawang merah Kota Batu, Junimoyo
(2008) menilai hal itu akibat sikap petani yang latah menanam komoditas
pertanian yang sedang mahal saat itu. Jika harga bawang merah tinggi,
banyak petani menanam tanpa mempertimbangkan masa panennya.

Kebiasaan latah seperti ini seharusnya mulai dirubah secara


bertahap. Pola tanam petani menanam satu komoditas harus
diperhitungkan dengan baik. Jangan latah. Kalau satu komoditas harga
pasarnya naik, semuanya menanam komoditas yang sama (Junimoyo,
Malang Post, 2008).
malangraya.web.id/2008/08/09/pet...t-panen/

Banyak petani yang menjual bawangnya sebelum panen (system


tebasan ijon), meskipun keuntungan yang diperoleh tidak banyak.
Banyak petani yang menjual bawangnya ke pengepul saat masih
sentiran berumur sekitar 35 hari. Sentiran biasanya hanya diambil
daunnya, bukan umbi bawangnya. Harga sentiran lebih mahal dari
harga umbi bawang saat panen Rp 7000 per kilogram. Waktu
budidayanya lebih singkat dan hasilnya lebih banyak. Biasanya
pengepul langsung menebas satu hamparan lahan budidaya.
Harga bawang merah merosot-jatuh karena bersamaan dengan panen
raya di beberapa negara penghasil bawang merah seperti Filipina,
Vietnam, dan Thailand. Di negara itu panen bawang biasanya terjadi
pada bulan Juli dan Agustus. Karena di negara itu termasuk negara
sub tropis yang hanya panen satu kali dalam setahun. Hasil panen
raya bawang itu akan masuk ke Indonesia dengan harga murah.
Sehingga berdampak pada turunnya harga bawang local di pasar
domestik. Panen bawang di daerah Batu harusnya sebelum bulan Juli,
agar harganya layak.

Petani Bawang Merah Terancam Gagal Panen


(Suara Merdeka, Rabu, 23 April 2003, Berita Utama )
Terserang Hama "Inul"

Ratusan hektar tanaman bawang merah berumur antara 30 - 40 hari yang


ada di beberapa lokasi di Kota dan Kabupaten Tegal sejak beberapa pekan
terakhir terserang hama kosek. Akibat serangan hama ini tanaman bawang
merah terancam gagal panen. Serangan hama yang bentuknya seperti ulat
kecil warna merah ini menyebabkan tanaman bawang yang semula
nampak hijau dalam waktu kurang dari tiga hari berubah menjadi cokelat
kemudian mengering. Hama ini secara bertahap merambat ke petak lain
sehingga dalam waktu tiga hari saja tanaman yang terserang hama ini
semakin luas. Akibat serangan hama ini diperkirakan petani akan
mengalami kerugian yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan
juta rupiah. Kerugian itu terdiri atas sewa lahan, benih, pupuk, obat-obatan
dan upah tenaga kerja.

Lahan pertanian bawang merah yang sudah terserang hama kosek ini
berada di Desa Sidakaton, Sidapurna, Kepandean dan Kupu Kecamatan
Dukuhturi Kabupaten Tegal, Kelurahan Kalinyamat Kulon, Cabawan,
Margadana Kecamatan Margadana, Kelurahan Keturen, Tunon Kecamatan
Tegal Selatan, Kota Tegal.
Gangguan hama ini sangat parah menimpa petani di Desa Sidakaton dan
Sidapurna mencapai sekitar 150 hektare, dan sebagian besar lainnya di
Kalinyamat Kulon sekitar 120 hektare. Serangan hama sejenis ulat yang
kian hari kian meluas membentuk seperti lingkaran itu menjadikan hama
yang selama ini oleh petani bawang setempat semula dikenal dengan
sebutan hama kosek tapi belakangan petani menyebut hama "inul",
menyamakan nama biduan Inul Darasista yang kini lagi ngetop.
Benih utama bawang merah yang sudah terserang tembus ke tanah hingga
akar seperti lagi ngebor hingga sulit diobati. Serangannya sampai ke akar
di bawah tanah seperti sedang ngebor, petani menyebutnya hama inul
(menurut Abdul Kornen dan A. Nur Fatoni, petani asal Kecamatan
Margadana, 2003).

Lebih Ganas
Hama ini lebih ganas dibanding dengan hama Kosek. "Kalau kosek yang
diserang cuma satu dua batang daun, tapi kalau "inul" menyerang semua
daun bawang hingga tumbang. Dengan kata lain, kalau ada satu daun
bawang diserang hama "inul" maka jangan harap daun yang lain bisa
selamat (menurut Abdul Kornen dan A. Nur Fatoni, petani asal Kecamatan
Margadana, 2003).
Cara pencegahan hama kosek dulu termasuk mudah, cukup sekali semprot
hama hilang. Tapi kalau hama yang kini disebut hama inul meski berulang
kali disemprot pun tetap membandel tidak juga berhenti, atau malah
tambah parah.
Serangan hama yang sulit diatasi itu membuat petani setempat terpaksa
memanen bawangnya lebih awal meski belum masanya dipanen. Untuk
usia panen usia bawang merah adalah sekitar 55 hari. Daripada habis
diserang hama, lebih baik dipanen saja meski belum cukup umurnya.
www.suaramerdeka.com/harian/0304...as21.htm
SERANGAN HAMA: Seorang petani bawang merah di Kalinyamat
Kulon, Kecamatan Margadana tengah melihat tanamannya yang
terserang hama kosek. (Foto : Suara Merdeka/so).

HARGA BAWANG MERAH DI BREBES ANJLOK


(Laporan wartawan KOMPAS Siwi Nurbiajanti, Jumat, 4 Desember 2009)

Harga bawang merah di Brebes anjlok, dalam satu pekan terakhir. Hal
tersebut diperkirakan akibat pengaruh panen raya, serta masuknya
bawang impor. Para petani di wilayah tersebut mengeluh rugi, karena
harga jual bawang merah tidak mampu menutup biaya produksi yang
mereka keluarkan. Menurut Subekhan, petani di Desa Tegalglagah,
Kecamatan Bulakamba- Brebes, pada saat ini harga bawang merah di
tingkat petani hanya sekitar Rp 3.000 per kilogram. Padahal pekan
lalu, harga bawang merah masih sekitar Rp 6.000 per kilogram.
Kondisi seperti ini sangat merugikan petani. Ia mengaku menanam
bawang pada lahan seluas 1.700 meter persegi, dengan biaya sekitar
Rp 4 juta. Dari lahan tersebut dihasilkan sekitar delapan kwintal
bawang merah. Dengan harga bawang Rp 3.000 per kilogram, ia
mengaku hanya mendapatkan hasil jual sekitar Rp 2,4 juta.
Menurut Mukri, petani di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari,
turunnya harga bawang merah karena melimpahnya pasokan hasil
panen umbi. Selain karena panen raya, saat ini bawang impor juga
mulai masuk ke Brebes. Musim panen kali ini, hampir semua petani
mengalami kerugian.
Padahal, selama ini, petani terbebani mahalnya harga obat-obatan,
pupuk, dan biaya pengairan. Petani yang panen saat ini merupakan
petani yang memulai tanam pada Oktober lalu, atau saat masih
berlangsung musim kemarau.
Menurut Sukari, pedagang bawang merah di Pasar Induk Klampok,
Kecamatan Wanasari, pada saat ini harga bawang di tingkat pedagang
turun dari kisaran Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kilogram, menjadi Rp
5.000 hingga Rp 5.500 per kilogram. Penurunan harga bawang ini
diperkirakan masih akan terjadi terus. Hal ini ada hubungannya
dengan volume impor bawang, pada saat ini volume impor masih
sedikit; nanti kalau volume impor bawang sudah banyak, harga
bawang di pasaran pasti akan turun lagi.

Menurut Ketua Koperasi Bawang Merah Indonesia (Kobamindo


Brebes), (Sukaemi, 2009), penurunan harga bawang di pasraan juga
dipengaruhi cuaca. Pada musim penghujan, kualitas bawang
cenderung turun, karena bawang tidak bisa kering. Untuk mengatasi
persoalan ini, perlu adanya keterlibatan pemerintah, terutama dalam
memberikan kemudahan modal usaha kepada petani. Salah satu
kendala petani, mereka tidak mampu menyimpan sebagian hasil
panen bawang, karena tidak memiliki biaya untuk mengeringkannya.
Selain itu, petani juga harus segera menjual hasil panen, untuk
membayar hutangnya. Akibatnya, mereka tidak memiliki kekuatan
tawar dalam mekanisme pasar bawang merah.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
regional.kompas.com/read/2009/12...s.anjlok
Revitalisasi Pertanian untuk meminimumkan Risiko

Revitalisasi pertanian ditempuh dengan empat langkah pokok yaitu


peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga pendukungnya,
pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktivitas, produksi, daya
saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan serta pemanfaatan
hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan
tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan
berkelanjutan.
Kebijakan dalam peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta
pelaku pertanian dan perikanan lain serta penguatan lembaga
pendukungnya, diarahkan untuk:
1. Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan petani, termasuk
peternak, nelayan, dan pembudidaya ikan.
2. Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dan
perdesaan untuk meningkatkan akses petani dan nelayan
terhadap sarana produktif, membangun delivery system
dukungan pemerintah untuk sektor pertanian, dan
meningkatkan skala pengusahaan yang dapat meningkatkan
posisi tawar petani dan nelayan.
3. Peningkatan kemampuan/kualitas SDM pertanian.

Kebijakan dalam pengamanan ketahanan pangan diarahkan untuk:


1. Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan
ketersediaan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar
kemandirian pangan nasional dapat diamankan.
2. Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam
negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk
meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari
produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan
pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung
peningkatan kualitas SDM.
3. Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan keter-
gantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial
terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan
industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan
konsumsi pangan alternatif.

Kebijakan dalam peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai


tambah produk pertanian dan perikanan diarahkan untuk:
1. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam mendukung
ekonomi dan tetap menjaga kelestariannya, melalui:
(1) Penataan dan perbaikan lingkungan perikanan budidaya;
(2) Penataan industri perikanan dan kegiatan ekonomi masyarakat
di wilayah pesisir;
(3) Perbaikan dan peningkatan pengelolaan sumberdaya perikanan
tangkap, terutama di wilayah ZEEI;
(4) Pengembangan perikanan samudera dan bioteknologi
perikanan;
(5) Peningkatan peran aktif masyarakat dan swasta dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan;
(6) Peningkatan kualitas pengolahan dan nilai tambah produk
perikanan melalui pengembangan teknologi pasca
tangkap/panen;
(7) Percepatan peningkatan produk perikanan budidaya;
(8) Peningkatan kemampuan SDM, penyuluh, dan pendamping
perikanan; dan
(9) Perkuatan system kelembagaan, koordinasi dan pengembangan
peraturan perundangan sebagai instrumen penting untuk
mempertegas pengelolaan sumber daya perikanan yang ada.

2. Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan


terpadu dengan konsep pengembangan agribisnis. Pendekatan ini akan
meningkatkan kelayakan dalam pengembangan/skala ekonomi,
sehingga akan lebih meningkatkan efisiensi dan nilai tambah serta
mendukung pembangunan pedesaan dan perekonomian daerah.
3. Penyusunan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing produk
pertanian dan perikanan, misalnya dorongan dan insentif untuk
peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian dan
perikanan, peningkatan standar mutu komoditas pertanian dan
keamanan pangan, melindungi petani dan nelayan dari persaingan
yang tidak sehat.
4. Penguataan sistem pemasaran dan manajemen usaha untuk
mengelola resiko usaha pertanian serta untuk mendukung
pengembangan agroindustri.

Pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi


pangan dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan hutan alam dan
pengembangan hutan tanaman dan hasil hutan non kayu secara
berkelanjutan dengan kebijakan yang diarahkan pada:
1. Peningkatan nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu;
2. Pemberian insentif pengembangan hutan tanaman industri
(HTI);
3. Peningkatan partisipasi kepada masyarakat luas dalam
pengembangan hutan tanaman;
4. Peningkatan produksi hasil hutan non kayu untuk kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan.
PETANI DAN RISIKO USAHATANINYA

Salah satu faktor kunci keberhasilan wirausahawan dalam


memimpin sebuah usaha adalah kemampuan yang dimiliki dalam
berinovasi dan menciptakan gagasan brilian agar usahanya dianggap
sebagai usaha yang sukses. Inovasi merupakan factor pendukung
keberhasilannya selaku wirausahawan yang handal. Seorang
wirausahawan menjadi sukses karena mampu menciptakan gagasan baru
dalam membangun image suatu usaha. Upaya yang perlu dilakukan oleh
wirausahawan adalah menunjukkan tingkat keefektifan usahanya
berdasarkan pendekatan atau model efektivitas yang beragam dengan
standar kualitas produk yang tinggi.
Pertanyaannya ialah bagaimana mensiasati keunggulan yang
dimiliki dibandingkan dengan usaha-usaha lain. Di sini diperlukan sebuah
inovasi dari seorang wirausahawan bersama staf atau karyawannya
dengan cara menerapkan berbagai jenis strategi agar usahanya bukan saja
dapat dicitrakan (positioning) dan dibedakan (strategi diferensiasi) dengan
usaha lain yang setingkat, melainkan pula diminati oleh pelanggan.
Untuk menjadi seorang yang berjiwa wirausaha harus menerapkan
beberapa hal berikut: (1) Berpikir kreatif inovatif, (2) Mampu membaca arah
perkembangan produk, (3) Dapat menunjukkan nilai lebih dari beberapa
atau seluruh elemen sistem yang dimiliki, (4) Perlu menumbuhkan
kerjasama tim, sikap kepemimpinan, kebersamaan dan hubungan yang
solid dengan segenap karyawan, (5) Mampu membangun pendekatan
personal yang baik dengan lingkungan sekitar dan tidak cepat berpuas diri
dengan apa yang telah diraih, (6) Selalu meng-upgrade ilmu pengetahuan
yang dimiliki dan teknologi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
produknya, (7) Bisa menjawab tantangan masa depan dengan bercermin
pada masa lalu dan masa kini agar mampu mengamalkan konsep
manajemen dan teknologi informasi.
Semua orang menyadari bahwa dunia penuh dengan
ketidakpastian, kecuali kematian, namun itupun tetap mengandung
ketidakpastian yang akan mengakibatkan adanya risiko bagi pihak-pihak
yang berkepentingan. Apalagi dalam dunia bisnis, ketidakpastian dan
risikonya adalah sesuatu yang tidak dapat diabaikan begitu saja, malahan
harus diperhatikan secara serius.
Sehubungan dengan kenyataan tersebut, semua orang (khususnya
pengusaha) selalu harus berusaha untuk menanggulanginya, artinya
berupaya untuk meminimumkan ketidakpastian agar kerugian yang
ditimbulkan dapat dihilangkan. Para wirausaha menyukai tindakan
pengambilan risiko nyata karena mereka ingin berhasil. Maksudnya mereka
ingin mendapatkan kepuasan besar dalam melaksanakan tugas yang sukar
tetapi nyata dengan menerapkan keterampilan mereka.
Wirausaha menghindari situasi risiko rendah karena tidak ada
tantangan, akan tetapi mereka juga tidak menyukai situasi dengan risiko
tinggi karena para wirausaha cenderung selalu ingin berhasil. Ringkasnya,
para wirausaha menyukai tantangan , namun dapat dicapai.

Pengertian Risiko
Hasil yang dicapai dari suatu kegiatan jarang sekali yang dapat
diramalkan dengan hasil yang sempurna, pada umumnya terjadi
penyimpangan, biarpun kecil. Risiko selalu terjadi bila keputusan yang
diambil dengan memakai kriteria peluang (decision under risk) atau kriteria
ketidakpastian (decision under uncertainty). Untuk menghitung risiko pada
umumnya dipakai nilai yang diperkirakan (expected value) atau angka
penyimpangan (variance).
Risiko perlu dianalisis, yaitu dengan memakai tolok ukur untuk
mengukur besarnya risiko atas suatu alternatif, dengan tujuan untuk
memperoleh alternatif dengan risiko yang masih dapat ditanggung. Analisis
ini sangat penting untuk menentukan modal yang dianggarkan dalam
kegiatan usaha. Bermacam-macam risiko yang mungkin terjadi dalam
suatu kegiatan usaha, yaitu risiko teknis (kerugian), risiko pasar, risiko
kredit serta risiko di luar kemampuan manusia. Semua risiko dapat dicegah
atau diperkecil, kecuali risiko alam yang probabilitasnya sangat kecil dan
dapat diabaikan. Bagi seorang Wirausaha, menghadapi risiko adalah
tantangan karena mengambil risiko berkaitan dengan kreativitas dan
inovasi serta merupakan bagian penting dalam mengubah ide menjadi
kenyataan.
Demikian pula pengambilan risiko bagi Wirausaha berkaitan dengan
kepercayaan pada dirinya. Semakin besar pula keyakinan pada
kemampuan dirinya, semakin besar pada kesanggupan untuk menelurkan
hasil dari keputusan yang diambil. Bagi orang yang bukan Wirausaha
(misalnya pegawai negeri) kegiatan tersebut merupakan risiko, tetapi bagi
Wirausaha adalah tantangan dan peluang untuk memperoleh hasil.
Wirausaha berprinsip biar mundur satu langkah, tetapi nanti harus maju
dua langkah.
Majalah Wirausaha yang berjudul Executive pada lembaran
khusus ditulis huruf besar dengan warna yang berbeda seperti di bawah ini:
Jangan tinggal diam di tempat (digambar dengan kura-kura
terbalik), tetapi berbuatlah yang pasti dan mantap biarpun lambat
(digambarkan dengan kura-kura yang berjalan merayap).

Berikut beberapa pendapat tentang pengertian risiko :


Risiko adalah suatu variasi dari hasil-hasil yang dapat terjadi
selama periode tertentu (Arthur Williams dan Richard, M. H)
Risiko adalah ketidaktentuan (uncertainty) yang mungkin
melahirkan peristiwa kerugian (loss), (A.Abas Salim)
Risiko adalah ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa
(Soekarto)
Risiko merupakan penyebaran/penyimpangan hasil aktual dari
hasil yang diharapkan (Herman Darmawi)
Risiko adalah probabilitas suatu hasil yang berbeda dengan
yang diharapkan(Herman Darmawi).

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa resiko


adalah sesuatu yang selalu dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya
sesuatu yang merugikan yang tidak diduga atau tidak diinginkan.
Sedangkan karakteristik risiko itu sendiri adalah:
Risiko adalah suatu ketidakpastian atas terjadinya suatu
peristiwa.
Risiko adalah ketidakpastian yang bila terjadi akan
menimbulkan kerugian

3. Risiko Wirausaha

Pada saat memulai bisnis, Wirausaha biasanya menghadapi risiko


bisnis yang besar. Di Amerika Serikat lebih dari 3 juta bisnis baru dimulai
tiap tahunnya, dan dua pertiga dari bisnis tersebut bergerak sebagai
bisnis/usaha kecil. Rata-rata kegagalan diantara bisnis baru ini cukup
mengganggu. Berdasarkan penelitian, 25 sampai 33 persen usaha kecil
mengalami kegagalan selama dua tahun pertama masa operasinya.
Di samping mempertimbangkan risiko bisnis, Wirausaha juga
menghadapi risiko finansial, selama mereka menginvestasikan sebagian
besar atau semua kekayaannya dalam bisnis. Mereka mengambil risiko
karir dengan meninggalkan pekerjaan yang aman untuk suatu pekerjaan
yang mengandung risiko dengan masa depan yang penuh ketidakpastian.
Mereka juga mebuat risiko keluarga dan sosial karena kebutuhan
untuk memulai dan mengelola bisnis yang baru hanya menyisakan sedikit
waktu untuk memperhatikan keluarga dan teman.
Ciri seorang wirausaha harus berani mengambil dan menanggung
risiko dalam ketidakpastian, karenanya ia akan memilih dan
mengembangkan banyak usaha. Dari sekian usaha yang dijalankannya
pasti ada yang berhasil (bertelur emas).
Ada tiga penyebab yang menjadi alasan kegagalan bisnis, yaitu
a. Mereka masuk ke dalam bisnis terlalu cepat. Mereka terjun ke
dalam suatu pekerjaan baru yang mengandung risiko terlalu
tergesa-gesa, tanpa melakukan perencanaan yang mendalam.
Mereka tidak menganalisis kekuatan dan kelemahannya. Siapa
saya ?, Apa yang saya inginkan ? Apa tujuan saya ?
b. Mereka kehabisan uang. Jika Anda tidak dapat menyelaraskan
daftar gaji/upah atau membayar rekening-rekening Anda, Anda
akan ke luar dari bisnis. Perencanaan kebutuhan uang yang
realistik merupakan hal yang sangat penting. Perkiraan
kebutuhan kas merupakan prioritas utama sebelum memulai
bisnis ini.
c. Kegagalan perencanaan jelas merupakan suatu kesalahan.
Rencana bisnis yang terperinci mendorong Wirausaha untuk
berpikir ke depan, merefleksikan, dan memutuskan bagaimana
agar maju. Rencana bisnis ini harus secara tertulis.

Alasan-alasan kegagalan di atas haruslah dipertimbangkan


sebelum memulai operasi suatu bisnis. Empat kategori utama (kesalahan
perencanaan, rendahnya kualitas manajeman, metode bisnis yang tidak
mencukupi, dan kurang dana) dapat merusak kerja keras, kreativitas yang
brilian, pengambilan risiko dan kejelasan masa depan.

4. Macam-Macam Risiko

a. Menurut sifatnya dibedakan ke dalam :


1) Risiko murni, risiko yang terjadi pasti akan menimbulkan
kerugian dan terjadinya tanpa sengaja. Misal : kebakaran,
bencana alam, pencurian, penggelapan, dan sebagainya.
2) Risiko spekulatif, risiko yang sengaja ditimbulkan oleh yang
bersangkutan agar memberikan keuntungan bagi pihak tertentu.
Misal: utang piutang, perdagangan berjangka, dan sebagainya.
3) Risiko fundamental, risiko yang penyebabnya tidak dapat
dilimpahkan kepada seseorang dan yang menderita cukup
banyak. Misal : banjir, angin topan, dan sebagainya. Risiko
khusus, risiko yang bersumber pada peristiwa yang mandiri dan
umumnya mudah diketahui penyebabnya, seperti kapal kandas,
pesawat jatuh, dan sebagainya.
4) Risiko dinamis, risiko yang timbul karena perkembangan dan
kemajuan masyarakat di bidang ekonomi, ilmu, dan teknologi,
seperti risiko penerbangan luar angkasa.

Dapat tidaknya risiko dialihkan kepada pihak lain, sbb:


1) Risiko yang dapat dialihkan pada pihak lain, dengan
mempertanggungkan suatu objek yang akan terkena risiko pada
perusahaan asuransi.
2) Risiko yang tidak dialihkan pada pihak lain
b. Menurut sumber/penyebab timbulnya :
1) Risiko intern, risiko yang berasal dari dalam perusahaan itu
sendiri, seperti kerusakan aktiva karena kesalahan karyawan,
kecelakaan kerja.
2) Risiko ekstern, risiko yang berasal dari luar perusahaan, seperti
pencurian, persaingan dalam bisnis, fluktuasi harga, dan
sebagainya.

Upaya penanggulangan risiko berdasar pada sifat dan objek yang


terkena risiko ada beberapa cara untuk menanggulangi atau
meminimumkan risiko, sebagai berikut:
a. Mengadakan pencegahan dan pengurangan terhadap
kemungkinan terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian.
b. Melakukan retensi, yakni mentolerir terjadinya kerugian.
c. Melakukan pengendalian terhadap risiko
d. Mengalihkan risiko kepada pihak lain (asuransi)

Untuk garis besarnya ada bermacam-macam risiko dalam berusaha dan


upaya untuk menghindari atau memperkecil risiko, yaitu

a. Risiko Teknis
Risiko ini terjadi akibat kekurangmampuan manajer atau Wirausaha
dalam mengambil keputusan. Risiko yang sering terjadi:
Biaya produksi yang tinggi (inefisien),
Pemakaian sumber sumber daya yang tidak seimbang (tenaga
kerja terlalu banyak),
Terjadi pencurian, akibat pengawasan yang kurang baik,
Terjadi kebakaran, akibat keteledoran dan kurang kecermatan,
Terus menerus rugi karena biaya yang terus membengkak serta
harga jual tak berubah,
Penempatan tenaga kerja yang kurang tepat sehingga
produktivitas kerja menurun,
Perencanaan dan desain yang salah, sehingga sulit
dioperasionalkan, serta hal-hal yang berhubungan dengan
ketatalaksanaan perusahaan.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dapat ditempuh upayaupaya


sebagai berikut:
1. Manajer atau Wirausaha menambah pengetahuan tentang:
Keterampilan teknis (technological skill), terutama yang
berkaitandengan proses produksi yang dihasilkan.
Diupayakan dengan memakai metode yang dapat
menurunkan biaya produksi (efisien).
Misalnya yang semula dengan teknologi tradisional diganti
dengan teknologi tepat guna atau teknologi modern.
Keterampilan mengorganisasi (organizational skiil),
yaitukemampuan meramu yang tepat dari factor produksi
dalam usaha, mencakup sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya modal. Ibarat membuat kue,
bagaimana agar rasanya enak, murah, dan disenangi
pembeli.
Keterampilan memimpin (managerial skill), yaitu
kemampuan untuk mencapai tujuan usaha dan dapat
dikerjakan dengan baik dan serasi oleh semua orang yang
ada pada organisasi. Untuk ini, setiap pimpinan dituntut
membuat konsep kerja yang baik (conceptional skill).

2. Membuat strategi usaha yang terarah untuk masa depan, yang meliputi
strategi produksi, strategi keuangan, strategi sumber daya manusia,
strategi operasional, strategi pemasaran, dan strategi penelitian dan
pengembangan. Tujuan strategi ada tiga, yaitu tetap memperoleh
keuntungan, hari depan lebih baik dari sekarang (usaha berkembang)
dan tetap bertahan (survive). Upaya yang dilakukan ialah kepAndaian
menganalisis dan memprognosa keadaan di dalam dan di luar lingkup
organisasi.
3. Mengalihkan kerugian pada perusahaan asuransi, dengan konsekuensi
setiap saat harus membayar premi asuransi yang merupakan
pengeluaran tetap.

b. Risiko Pasar

Risiko ini terjadi akibat produk yang dihasilkan kurang laku atau tidak
laku di pasar. Produk telah menjadi kuno (absolensence) yang diperoleh
terus menurun dan terjadi kerugian. Akibatnya penerimaan (revenue) yang
diperoleh terus menurun dan terjadi kerugian. Hal ini akan menjadi
bencana usaha yang berakibat usahanya sampai di terminal alias gulung
tikar.
Upaya yang dapat ditempuh pengusaha adalah sebagai berikut :
1) Mengadakan inovasi (product innovation), yaitu membuat
desain baru dari produk yang disenangi calon pembeli. Dalam
usaha pertanian terlihat pada budidaya kelinci, lele dumbo,
asparagus, dan sebagainya. Memang relatif sulit bagi usaha
pertanian mengadakan inovasi, tetapi hal ini akan dipermudah
bila ada upaya ke arah argo industri.
2) Mengadakan penelitian pasar (market research) dan
memperoleh informasi pasar secara berkesinambungan. Cara
ini memerlukan dana yang besar dan hanya layak untuk
perusahaan besar. Contohnya pabrik mobil, tekstil, alat rumah
tangga, dan hiburan. Dalam bidang pertanian antara lain
ukuran berat dalam setiap komoditi yang dihasilkan yang
diinginkan konsumen (ikan, udang, kubis, ternak, dan
sebagainya).

c. Risiko Kredit

Adalah risiko yang ditanggung kreditor akibat debitor tidak


membayar pinjaman sesuai waktu yang telah disepakati. Sering terjadi
produsen menaruh produknya lebih dulu dan dibayar kemudian. Atau
debitor meminjam uang untuk usaha tetapi usahanya gagal, akibatnya
timbul kredit macet. Upaya untuk mengatasi hal tersebut diantaranya
sebagai berikut:
1. Berikan kredit pada seseorang yang minimal memenuhi syarat
sebagai berikut:
Dapat dipercaya (character), yaitu watak dan reputasi yang
telah diketahui.
Kemampuan untuk membayar (capacity). Hal ini dapat
dilihat dari kemampuan/hasil yang diperoleh dari usahanya.
Kemampuan modal sendiri yang ditempatkan dalam usaha
(capital) sehingga merupakan net personal assets.
Keadaan usahanya selama ini (conditions) apakah
menunjukkan trend naik mendatar atau menurun.
2. Jangan memberikan pinjaman yang terlalu besar sambil
mengevaluasi kredibilitas debitor.
3. Memperhatikan pengelolaan dana debitor bila yang bersangkutan
memiliki perusahaan. Yang perlu diperhatikan adalah lembaran
neraca, laporan laba-rugi tahunan dan aliran dana setiap tahun.

d. Risiko alam
Risiko ini terjadi di luar pengetahuan manusia, misalnya gempa bumi,
banjir, angin puyuh, dan kemarau panjang. Karena kemungkinan terjadi
sangat kecil risiko ini dapat dianggap tidak ada. Tetapi, bila takut
menghadapi risiko tersebut, ada perusahaan asuransi yang berani
menanggung risiko tersebut.

5. Situasi Berisiko
Situasi yang mengandung risiko adalah situasi dimana kita dihadapkan
pada dua pilihan atau lebih dan kita tidak dapat mengetahui hasil yang
akan diperoleh dari setiap alternatif pilihan yang ada. Situasi risiko juga
mengandung dua potensi bagi perusahaan, yaitu potensi kegagalan dan
potensi sukses.
Seorang Wirausaha yang harus selalu mengambil keputusan dalam
berbagai situasi walaupun situasi tersebut penuh ketidakpastian.
Keputusan yang harus dipilih tersebut dapat berupa alternatif yang
mengandung risiko atau alternatif yang konservatif, tergantung pada daya
tarik setiap alternatif, sejauh mana seorang pengusaha bersedia untuk
mengalami kerugian, prediksi atas kesuksesan dan kegagalan yang akan
dialami, dan seberapa jauh seorang Wirausaha dapat meningkatkan
kemungkinan untuk sukses dan mengurangi kemungkinan untuk gagal.
Dalam pelaksanaan pengambilan keputusan ada yang berani, ada juga
yang tidak berani dalam mengambil risiko atas keputusan yang dibuatnya
walaupun ada kemungkinan potensi sukses atas keputusan yang
dibuatnya. Ada pula yang sangat berani dalam mengambil keputusan tanpa
melakukan pertimbangan terlebih dahulu, secara cepat mengambil
keputusan yang dianggapnya peluang emas. Pengusaha seperti ini adalah
pengusaha yang dipengaruhi oleh besarnya jumlah imbalan yang
ditawarkan, dan sangat tertarik oleh harapan muluk tentang hasil yang
tinggi dengan sedikit usaha.
Seorang Wirausaha sejati adalah yang tidak takut dalam mengambil risiko
akan tetapi juga tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Keputusan
yang diambil selalu berdasarkan pertimbangan terlebih dahulu.
Unsur penting lainnya dari situasi yang mengandung risiko adalah
kesediaan dalam menerima tanggung jawab pribadi atas akibat-akibat
keputusan, baik yang menguntungkan maupun tidak. Kebanyakan ciri-ciri
Wirausaha saling berkaitan, terutama mengenai sikap pengambilan risiko,
ciri-ciri tersebut yaitu :
a. Pengambilan risiko berkaitan dengan kreativitas dan inovasi
serta merupakan bagian penting dalam mengubah ide menjadi
realitas.
b. Pengambilan risiko berkaitan dengan kepercayaan pada diri
sendiri. Semakin besar keyakinan atas kemampuan yang
dimiliki, semakin besar pula keyakinan yang dimiliki atas
kesanggupan untuk mempengaruhi hasil dari keputusan-
keputusan yang akan diambil serta semakin besar kesediaan
untuk mengambil risiko.
c. Pengetahuan realistik mengenai kemampuan sendiri akan
membatasi kegiatan yang akan diambil sehingga tidak akan
mengahsilkan suatu putusan yang tidak sanggup untuk
dilaksanakan.

Sekali lagi bahwa situasi risiko terjadi apabila seorang Wirausaha diminta
membuat pilihan diantara dua alternatif atau lebih yang hasilnya tidak dapat
diprediksi sebelumnya dan harus dinilai secara objektif. Sebagai pengambil
risiko Anda harus mengambil keputusan dalam situasi penuh
ketidakpastian, sambil mempertimbangkan kemungkinan sukses dan
ruginya. Apakah akan memilih alternatif yang mengambil risiko atau
alternatif konservatif tergantung kepada :
a. daya tarik dari setiap alternatif,
b. sejauhmana Anda bersedia rugi,
c. kemungkinan relatif sukses dan gagal,
d. seberapa jauh Anda dapat/mampu meningkatkan kemungkinan
sukses dan mengurangi kemungkinan gagal.

Ada beberapa ciri dari seorang wirausaha yang saling berkaitan, hal ini
cenderung berlaku pada perilaku dalam pengambilan risiko. Kaitan tersebut
antara lain :
a. Pengambilan risiko berkaitan dengan kreativitas dan inovasi
yang merupakan bagian penting dalam mengubah ide menjadi
realitas.
b. Pengambilan risiko berkaitan dengan kepercayaan terhadap diri
sendiri.
c. Pengetahuan realistik mengenai kemampuan-kemampuan Anda
sendiri juga penting.

6. Pengambilan Risiko
Para Wirausaha merupakan pengambil keputusan risiko yang sudah
diperhitungkan. Mereka bergairah menghadapi tantangan. Wirausaha
menghindari situasi risiko rendah, tidak ada tantangannya dan menjauhi
situasi risiko yang tinggi, karena mereka ingin berhasil. Mereka menyukai
tantangan yang dapat dicapai.
Para Wirausaha menyukai mengambil risiko yang realistik
karena mereka ingin berhasil.
Mereka mendapat kepuasan besar dalam melaksanaan tugas-
tugas yang sukar, namun realistic.
Wirausaha menyukai tantangan yang sukar namun dapat
dicapai.
Bertambah besarnya perusahaan Anda akan bertambah banyak
dan ruwetlah persoalan Anda.

Para wirausaha menyukai mengambil risiko yang realistik karena mereka


ingin berhasil. Mereka mendapat kepuasan besar dalam melaksanakan
tugas-tugas yang sukar namun realistik. Wirausaha menyukai tantangan
yang sukar namun dapat dicapai. Kebanyakan orang takut mengambil
risiko karena mereka ingin aman dan mengelakkan kegagalan.
Namun, semua tahap pekerjaan pasti akan ada risikonya. Pengambilan
risiko merupakan bagian hakiki dari seorang Wirausaha. Apabila kita telah
mengambil suatu keputusan dari salah satu alternatif yang ada, maka ini
berarti kita telah memutuskan untuk menyisihkan alternatif-alternatif lainnya
untuk tidak digunakan dalam pelaksanaan. Dalam pengambilan keputusan
dari alternatif terpilih didasarkan atas pertimbangan agar dalam
pelaksanaannya nanti diharapkan ini erat hubungannya dengan keinginan
yang harus diderita atau risiko.
7. Pengambilan Risiko Pribadi
Pengambilan risiko adalah hal yang hakiki dalam merealisasikan potensi
sebagai Wirausaha. Seorang Wirausaha harus sadar bahwa pertumbuhan
datang dari pengambilan peluang-peluang masa sekarang dan
pengambilan risiko untuk mencapai tujuan. Beberapa risiko yang terpenting
adalah risiko yang membawa kita sebagai seorang Wirausaha untuk
belajar mengenai sesuatu yang baru tentang diri sendiri dan perusahaan
Anda. Situasi-situasi yang mengandung risiko pribadi haruslah menantang
kemampuan dan kapasitas Anda dengan sungguh-sungguh. Merupakan
suatu hal yang sulit bagi seorang Wirausaha dalam membedakan tujuan
pribadi dan tujuan bisnis karena perusahaan merupakan bagian hidupnya.
Pengambilan keputusan merupakan bagian yang penting dalam
pertumbuhan pribadi juga berguna dalam menjalankan kegiatan-kegiatan
bisnis. Memikul tanggung jawab pribadi atas tindakan yang dilakukan akan
mengurangi ketergantungan Anda pada pihak lain. Wirausaha adalah
orang yang bertanggung jawab karena mereka mempunyai kekuatan dan
kemampuan untuk menentyukan masa depan mereka sendiri. Risiko akan
timbul ketika seorang Wirausaha menerima tanggung jawab atas
keputusan dan tindakannya.
Sebagai seorang Wirausaha kita tidak boleh mengambil risiko yang tidak
perlu dan harus dapat menguasai emosi dalam mengambil risiko jika
keuntungannya diperkirakan sama atau bahkan lebih besar daripada risiko
yang terkandung. Dalam beberapa hal, kita harus menggunakan intuisi
dalam menilai tindakan apa saja yang mengandung risiko karena intuisi
akan dapat turut menentukan sampai sejauh mana risikonya dan hasil apa
saja yang mungkin diperoleh.

Dalam pengambilan risiko pribadi perlu diperhatikan hal-hal sebagai


berikut:
Pengalaman pribadi selama ini dalam mengambil risiko yang
terkait dengan orang-orang terdekat
Dalam beberapa hal, juga perlu menggunakan intuisi dalam
menilai tindakan apa saja yang mengandung risiko. Intuisi Anda
akan ikut menentukan sampai sejauh mana risikonya dan hasil-
hasil yang mungkin akan diperoleh.
Anda bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup
Anda, termasuk sukses dan kegagalan Anda sendiri. Namun
sukses akan dapat diperoleh dengan lebih mudah jika Anda
bersedia dan mampu mengambil risiko yang perlu dengan
penuh perhitungan.
8. Tipologi Pengambilan Risiko
Pada tingkat-tingkat bawah perusahaan dibutuhkan pekerja-pekerja yang
terampil dalam melaksanakan hal-hal yang rutin, yang mempunyai sedikit
risiko. Agar perusahaan kita berkembang, kita maka harus mempunyai
sumber daya yang termasuk dalam pengambil risiko tipe ini karena perilaku
mereka akan dapat diramalkan dan membawa kestabilan perusahaan.
Pada tingkat manajemen menengah terdapat lebih banyak kemungkinan
untuk pengambilan risiko. Manajer-manager tingkat menengah harus
mendapat lebih banyak kebebasan untuk berinovasi dan membuat
perubahan-perubahan kecil dalam prosedur-prosedur dan fungsi-fungsi.

Orang-orang yang berada di sini dianggap sebagai pengambil risiko.


Sedangkan para Wirausaha berada pada tingkat atas dalam struktur
perusahaan, dimana harus mempunyai kemampuan untuk me-rumuskan
dan menerapkan ide-ide kreatif agar berhasil dalam bisnis dan
mewujudkan ide-ide mereka menjadi kenyataan.
Beberapa Wirausaha dapat disebut praktisi karena perusahaan tumbuh
berdasarkan pengendalian dan pengarahan dari diri para Wirausaha
sendiri.
Para Wirausaha yang mengembangkan usahanya dengan praktis karena
berorientasi kepada hasil dan cukup yakin akan ide-ide mereka hingga
berani menerima risiko demi terlaksananya ide itu.
Namun mereka juga cukup praktis untuk menyadari keterbatasan dirinya
dan akan membatasi kegiatan. Wirausaha yang sangat kreatif dan inovatif
biasanya adalah pengambil risiko yang sedang-sedang saja. Mereka
bersedia menerima perubahan, mencoba berbagai alternatif dan
mengembangkan inovasi untuk barang dan jasa dalam bidangbidang
bisnis baru. Para Wirausaha yang sangat inovatif biasanya menjadi tokoh
dalam bisnis, mereka mempunyai ide-ide dan mampu mencari kombinasi-
kombinasi orang dan sumber daya lain untuk mewujudkan idenya.

9. Mengevaluasi Risiko
Terdapat beberapa pertanyaan bagi Wirausaha sebelum memutuskan
untuk mengambil risiko, yaitu:
a. Apakah risiko yang mungkin terjadi sepadan dengan hasil
usaha tersebut ?
Bila usaha yang bersifat judi (gambling) keluaran (outcome)
yang keluar pasti lebih besar ruginya dari pada untungnya.
Untuk memulai usaha harus melalui studi kelayakan untuk
memperhitungkan risiko tersebut.

b. Bagaimana risiko dapat dikurangi ?


Wirausaha harus bertindak efisien dengan mengurangi
pengeluaran dana yang tidak ada kaitannya langsung dengan
produksi. Dalam usaha yang masih kecil tidak perlu membuat
lapangan tenis dan kolam renang. Bertindak yang efektif
sehingga sasaran yang dituju akan mudah dicapai.
c. Personalia yang bagaimana yang dapat mengurangi risiko ?
Setiap kegiatan memerlukan sumber daya manusia. Setiap
orang dituntut memberikan produktivitas kerja sebaik mungkin.
Hal ini hanya mungkin bila the right man on the right place.
Untuk meningkatkan produtivitas kerja setiap karyawan perlu
dididik, dilatih, ditatar baik formal, informal maupun nonformal.
d. Apakah Anda takut dalam mengambil risiko ?
Orang yang pesimis masih takut. Tapi, bagi Wirausaha yang
berpikir positif (optimis), risiko justru menjadi tantangan. Ibarat
nelayan yang ingin menangkap ikan besar, ia harus berani
menghadapi gelombang di laut terbuka. Meskipun demikian,
keberanian tersebut harus diperhitungkan.
Bila risiko telah melampaui 50% maka kita telah memasuki
gelanggang judi.
e. Persiapan apa yang Anda lakukan sebelum mengambil risiko ?
Yang utama ialah kesiapan sebagai pemimpin yang harus
memiliki berbagai keterampilan (lihat risiko teknis). Selanjutnya
harus memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi untuk
seterusnya mengambil strategi yang tepat. Setelah
kemungkinan risiko yang terjadi diperhitungkan, itu harus kita
ikuti dengan semangat tidak mengenal menyerah (ausdauer),
ibarat kuda menarik pedati yang menempuh jarak puluhan
kilometer.

Semua dengan perhitungan kuantitatif serta mempertimbangkan


keterbatasan sebagai seorang Wirausaha, yaitu kesehatan, waktu,
keterampilan, kelelahan, usia, dan sebagainya itulah sebabnya jiwa
Wirausaha hanya dimiliki oleh sebagian kecil dari kelompok nelayan.
Mereka berani berumah di pinggir pantai meskipun tahu suatu saat
gelombang besar akan menghempaskan. Tetapi, mereka tahu bahwa ikan
besar tidak ada di darat.
Evaluasilah kebutuhan-kebutuhan sendiri sebelum memutuskan untuk
mengambil risiko. Ada beberapa pertanyaan sebelum mengambil
keputusan yang mengandung risiko, yaitu:
Apakah risiko tersebut sepadan dengan hasilnya ?
Bagaimana risiko dapat dikurangi ?
Informasi apakah yang diperlukan sebelum risiko diambil ?
Orang-oarng dan sumber-sumber daya manakah yang dapat
membantu mengurangi risiko dan mencapai tujuan ?
Mengapa risiko ini penting ?
Apakah ketakutan Anda dalam mengambil risiko ini ?
Apakah Anda bersedia berusaha sekuat tenaga untuk mencapai
tujuan ini ?
Apakah yang akan dapat Anda capai dengan mengambil risiko
itu ?
Persiapan-persiapan apa yang perlu Anda buat sebelum
mengambil risiko itu ?
Bagaimana Anda dapat mengetahui secara kuantitatif bahwa
tujuan Anda telah tercapai ?
Apakah halangan-halangan terbesar dalam mencapai tujuan
tersebut ?

Dalam setiap usaha bisnis tidak mungkin mengelakkan risiko. Jika Anda
mengambil risiko, Anda akan lebih yakin pada diri sendiri dan pandangan
Anda terhadap pengambilan risiko akan lebih positif, karena Anda percaya
pada kemampuan-kemampuan Anda, dan Anda menerima risiko yang
terbaik dalam mencapai tujuan akhir.
Data kuantitatif (angka-angka) akan membantu dalam mengevaluasi setiap
risiko dan menetapkan tujuan-tujuan dan juga memungkinkan untuk
menggariskan kemajuan secara sistematik. Akhirnya melalui data
kuantitatif dapat diukur hasil-hasil yang dicapai dalam hubungan dengan
ide-ide semula. Perlu diketahui kecermatan dan makna angka-angka
tersebut. Data kuantitatif akan mendukung pengetahuan, latar belakang,
dan pengalaman dalam mengambil keputusan.
Proses pemeriksaan diri ini penting dalam proses pengambilan risiko.
Daftar pertanyaan di atas merupakan contoh dari serangkaian pertanyaan
yang harus dijawab sebelum memikul suatu situasi risiko. Mengambil risiko
sebelum mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan berakibat
kegagalan.

Peluang Usaha dan Risiko Budidaya Ikan Mas

Karakteristik Ikan
Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) merupakan ikan yang paling
banyak dipelihara para petani di Indonesia. Ikan ini tidak saja disenangi
konsumen, tetapi juga oleh para petani, mengingat ikan memiliki beberapa
sifat yang baik sebagai ikan budidaya. Ikan ini tumbuhnya tergolong cepat,
dalam usia setengah tahun sudah dikonsumsi dan laku di pasaran; makan
makanan yang berupa tanaman maupun hewan, bahkan dapat mencerna
karbohidrat dengan baik; serta masa reproduksinya tergolong cepat dan
bertelur banyak, yakni sekitar 100.000-200.000 butir per kg.
Ciri-ciri ikan mas secara umum antara lain sebagai berikut :
Bentuk badan agak panjang dan agak pipih, bibir lunak dan
dapat disembulkan
Memiliki dua pasang sungut/barbell di bibir atas, kadang-kadang
satu pasang rudimentir.
Jari-jari punggung yang kedua bergigi seperti gergaji
Tidak memiliki lambung, tidak bergigi dan sebagai
penggarusnya adalah pharing yang mengeras.

Ikan mas memiliki beberapa ras/strain.


Masing-masing strain dapat dicirikan dari bentuk tubuh, sisik,
bentuk mata atau gerakan. Ras yang telah dikenal diantaranya Majalaya,
Sinyonya, Taiwan, Punten, Kumpay, Karper Kaca dan Kancra Domas.
Disamping itu di beberapa daerah masih terdapat strain lokal. Diantara
strain di atas yang tergolong unggul dan direkomendasikan oleh
pemerintah untuk dikembangkan di seluruh Indonesia adalah strain
Majalaya dan Sinyonya, dengan tanda-tanda sebagai berikut.
Ikan mas Majalaya : warna sisik hijau keabu-abuan dengan tepi
sisik lebih gelap, badan relatif pendek, punggung tinggi
membungkuk dan tipis. Kuduk bagian atas antara kepala dan
punggung nyata melekuk. Penampang melintang badan semaikn
tipis kearah punggung dan lebih tipis dari ras lain, moncong lebih
memipih dari ras lain. Gerakan lamban, suka berenang pada
permukaan air apabila diberi pakan. Perbandingan panjang
terhadap tinggi badan berkisar 3,2 : 1.
Ikan Mas Sinyonya : warna sisik kuning muda, badan relatif
panjang, mata tidak menonjol dan normal pada yang lebih muda,
tetapi ikan yang sudah dewasa bermata sipit, gerakan lamban dan
suka berenang di permukaan air. Perbandingan panjang terhadap
tinggi badan berkisar 3,66 : 1.

Prospek dan Risiko Usaha Budidaya Ikan Mas


Ikan mas merupakan ikan utama air tawar yang memiliki konsumen
tetap yang besar, terutama di Jawa, Sumatera Utara, Barat dan Selatan
serta Sulawesi Utara. Peningkatan penduduk Indonesia yang cukup besar
setiap tahunnya berarti penambahan konsumen tradisional ikan mas yang
cukup besar pula. Berapapun produksi yang dihasilkan, masih akan dapat
diserap oleh permintaan pasar yang sangat besar. Dengan kata lain, ceruk
pasar ikan mas masih sangat terbuka bagi para pemain baru yang ingin
berusaha dalam pembesaran ikan mas.
Ikan mas merupakan menu yang khas untuk restoran yang
bernuansa etnis tertentu (Sunda) yang penyebarannya sudah menjangkau
kota-kota besar di seluruh tanah air. Demikian pula dalam pemancingan,
ikan mas merupakan ikan utama. Perkembangan kedua jenis usaha ini
akhir-akhir ini secara langsung atau tidak akan menambah jumlah
konsumen baru.

Risiko-risiko Usaha
Risiko fatal yang selama ini terjadi dalam usaha di jaring apung
adalah kematian massal yang menumpuknya kotoran di dasar perairan.
Pada proses pembusukan kotoran, lapisan dasar menjadi kekurangan
oksigen dan banyak mengandung bahan-bahan toksik, terutama gas
amoniak dan metan. Pada musim-musim tertentu lapisan dasar waduk
teraduk dan muncul ke permukaan merubah kualitas perairan yang tidak
dapat ditolerir ikan mas. Dewasa ini pemerintah sudah mengeluarkan
peraturan yang menyangkut perijinan usaha serta memberikan penyuluhan
masa tanam, yang walaupun tidak sepenuhnya menghindari risiko diatas,
tapi mengurangi tingkat kematian/kerugian.
Dari segi ekonomi, fluktuasi harga, terutama harga pakan dan harga
jual ikan, seringkali tidak terkontrol dengan baik. Penurunan nilai tukar
rupiah, seringkali segera diikuti dengan peningkatan harga pakan tetapi
ketika nilai tukar kembali normal harga pakan ini sulit untuk kembali turun.
Keadaan ini sewaktu-waktu menurunkan marjin usaha bahkan
menimbulkan kerugian.
Dari segi pengelolaan budidaya resiko-resiko dalam usaha
pembesaran ikan mas dengan jaring apung adalah sebagai berikut. :
1. Dewasa ini belum ada standarisasi benih. Masih didapatkan
benih berkualitas rendah yang menyebabkan pertumbuhan dan
efisiensi pakan rendah,
2. Kematian ikan akibat penanganan benih yang kurang baik yang
menyebabkan kondisi di mana benih menjadi stres dan mati,
3. Masih ada kejadian wabah penyakit.
Pada tahun 1980 pernah terjadi wabah penyakit bakterial dan berulang
pada tahun 2002 dengan penyakit viral. Dua kejadian ini walaupun terjadi
pada sebagian kecil usaha di jaring apung, tetapi sempat menimbulkan
kerugian besar pada budidaya di kolam air tenang.

Menyiasati KHV, Meminimalkan Kerugian usaha budidaya ikan


mas
Sebagaimana penyakit virus lainnya, KHV hingga kini belum
ditemukan obatnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengendalikannya, sehingga kerugian dapat diminimumkan.
Pada saat KHV (Koi Herpes Viruses),
penyakit yang paling ditakuti para pembudidaya
ikan mas dan koi mewabah dapat memusnahkan
ribuan ton ikan mas baik di waduk maupun
sungai. Hingga kini, kematian masal ikan mas
akibat virus ini masih terus terjadi, terutama di
kolam air deras. Serangan virus ini juga
berakibat menimbulkan infeksi sekunder yang
disebabkan oleh mikroba lainnya dengan
memanfaatkan turunnya daya tahan tubuh ikan.
Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan pada
akhir 2006 menetapkan KHV sebagai satu dari
lima penyakit utama pada perikanan budidaya.
Menurut Syamsuddin HA, Direktur
Penyakit dan Kesehatan Ikan DKP, kelima penyakit utama pada perikanan
budidaya tersebut adalah Ichthyophtirius multifiliis (penyakit bercak putih
pada ikan air tawar), Aeromonas hydrophila (penyakit Motile Aeromonas
Septicemia / MAS), Koi Herpes Virus (KHV pada ikan mas dan koi), White
Spot Syndrome Virus (WSSF pada udang) dan Viral Nervous Necrosis
(VNN pada ikan kerapu).
Sampai saat ini, sebagaimana penyakit yang disebabkan virus
lainnya, masih belum ada obatnya. Vaksin pun masih dalam proses uji
lapang. Meski demikian, penyakit ini dapat dikendalikan sehingga
meminimalisir dampak kerugian. Ada beberapa tips untuk mengendalikan
penyakit KHV dan juga mengatasi infeksi sekunder (secondary infection)
yang diakibatkan oleh serangan virus ini, terutama bagi para pembudidaya
Keramba Jaring apung (KJA).

Waspadai Penurunan Suhu


KHV dapat muncul saat suhu perairan berada di kisaran 22o-26oC,
suhu tersebut merupakan suhu optimum bagi berkembangnya virus KHV.
Pada kondisi optimum, virus akan bermultiplikasi dan bersifat patogen.
Selanjutnya virus akan menekan kekebalan tubuh ikan, dan secondary
infection dapat muncul.
Penurunan suhu 20oC akan menyebabkan ikan mulai kehilangan
nafsu makan dan mengurangi aktivitas metabolisme, akibatnya virus akan
mudah mendominasi dalam tubuh ikan. Tak urung, mewaspadai tanda-
tanda perubahan cuaca menjadi suatu keharusan, terutama pada saat
pancaroba (perubahan musim) yang biasanya terjadi pada bulan Juni-
Oktober. Saat pancaroba biasanya terjadi perubahan kualitas air dan
cuaca, sebagai dampak perubahan suhu yang sangat mencolok (>50oC)
antara pagi dan sore hari yang menyebabkan ikan-ikan mudah stres.

Pola Kematian Ikan


Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah pola kematian ikan
apabila terjadi serangan penyakit. Menurut Heny, apabila ikan mati 1-2 ekor
per hari dengan disertai spot putih di tubuhnya, dan terjadi pada musim
hujan, biasanya itu lebih disebabkan oleh faktor perubahan cuaca dan
jamur. Kemudian jika ikan mati 2-5 ekor per hari dan disertai luka-luka, ini
biasanya disebabkan oleh parasit.
Berbeda jika ikan yang mati sudah mencapai 5 ekor per hari dan
disertai luka berdarah dan borok, biasanya ini tanda bahwa ikan telah
terserang oleh bakteri. Yang paling membahayakan adalah jika ikan telah
terserang virus KHV. Bisanya akan ditemukan kematian ikan yang tinggi
secara mendadak disertai luka-luka disekitar tubuh dan juga ditemukan
adanya kerusakan insang. Tidak hanya itu, pola kematian akan terus
meningkat dari rendah ke tinggi hingga mencapai puncak lalu turun lagi
dalam waktu 2-7 hari.

Pemberian Vitamin dan Imunostimulan


Sebagai langkah pencegahan, disarankan agar para pembudidaya
KJA mengurangi kepadatan ikan. Biasanya dapat mencapai 7.000-8.000/
keramba (7x7x2,5 m3) menjadi 5.000/ keramba. Hal ini bertujuan untuk
meminimalisir penyebaran penyakit.
Pemberian vitamin C atau multivitamin juga dirasa perlu pada saat
ikan terlihat stres. Tujuannya, meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Heny
menyarankan pemberian vitamin C sebanyak 2-5 gr/ kg pakan/ hari bila
ikan dalam kondisi stres, hingga stres berkurang. Yang tak kalah penting,
pencampuran pakan dengan vitamin ini sebaiknya dilakukan tidak lebih dari
30 menit sebelum pakan diberikan ke ikan. Selain itu juga harus dilakukan
di tempat teduh yang tidak terkena sinar matahari, agar vitamin tidak
mudah teroksidasi.
Pencegahan penyakit dapat juga dilakukan dengan memberikan
pakan yang mengandung imunostimulan pada ikan. Ini penting untuk
meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap serangan virus KHV.
Pemberian sebaiknya dilakukan sejak ikan mulai ditebar ke KJA selama 2
minggu. Lalu dihentikan selama 2-3 minggu dan diberikan kembali selama
2 minggu. Hal ini terus dilakukan hingga ikan tersebut dipanen.
Mencegah Infeksi Bakteri
Untuk menghindari infeksi sekunder yang diakibatkan oleh bakteri,
pembudidaya dapat menggunakan antibiotik Oxytetracyclin dengan dosis
30 mg/kg bobot ikan. Pemberian dilakukan dengan cara mencampur
antibiotik dalam pakan dan diberikan ke ikan setiap hari sebanyak satu kali
pada jam pemberian pakan terbanyak (jam 11.00 atau jam 14.00) selama 5
hari berturut-turut.
Pencegahan infeksi oleh bakteri ini juga dapat dilakukan dengan
disinfeksi ikan sebelum ditebar di KJA menggunakan larutan formalin 10-15
ml/m3 (10-15 ppm). Caranya dengan merendam ikan pada larutan formalin
dengan kandungan formaldehid 37%.
Perendaman dengan larutan formalin ini dapat diulangi secara rutin
setiap 1-2 minggu sekali pada masa pemeliharaan sambil diikuti dengan
penggaraman untuk merangsang keluarnya lendir yang merupakan cara
fisik dan kimia ikan dalam menjaga ketahanan tubuhnya dari mikro-
organisme penyebab penyakit dan mengatur tekanan cairan tubuhnya
dengan lingkungan.
Perendaman ikan dilakukan dengan cara menyiapkan terpal ukuran
2x7x0,5 m3 di bawah jaring, kemudian diberikan larutan formalin 175 ml.
Lama perendaman antara 20 menit hingga 1 jam. Sedangkan langkah yang
dapat ditempuh apabila ikan telah terserang bakteri adalah dengan
memberikan antibiotik. Pemberian antibiotik hendaknya dilakukan melalui
uji sensitifitas di laboraturium, terutama untuk menentukan jenis dan
dosisnya. Hal ini bertujuan agar ikan tidak resisten di kemudian hari.
Pemberian antibiotik dihentikan 2 minggu sebelum ikan dipanen, agar tidak
ditemukan tresidu antibiotik dalam tubuh ikan. Sebagai langkah terakhir
apabila serangan penyakit sangat dasyat, Heny menyarankan untuk
memanen ikan-ikan mas yang sudah cukup besar (minimal ukuran 3-4
ekor/kg) apabila semua usaha pencegahan sudah tidak mungkin dilakukan.

www.trobos.com/show_article.php%...d%3D2122

Menyiasati Kematian Massal


Peluang yang besar dari bisnis ikan mas masih menyisakan
ancaman risiko yang sangat serius. Pembudidaya ikan belum dapat tenang
karena kematian ikan secara massal masih sering dialami. Penyebab
utama kematian diduga ada dua, karena upwelling (proses pengadukan
dasar perairan) atau karena serangan virus KHV.
Menurut Penyuluh Perikanan Bandung Barat (Nafis M., 2010),
Budidaya ikan mas masih menjadi daya tarik para pembudidaya KJA,
selama kendala kematian dan penyakit bisa di atasi. Proses upwelling
tidak berhubungan langsung terhadap serangan penyakit KHV.
Berbagai upaya telah dilakukan pembudidaya guna menyiasati
kendala kematian ini. Salah satunya dengan mengurangi kepadatan tebar
benih. Langkah ini sudah ditempuh sejak 2004. Ukuran satu petak KJA
yang tadinya 7 x 7 m2, kini diperbesar jadi 7 x 14 m2. Kalau dulu satu
petak (7 x 7 m2) biasa tebar benih 60 kg, sekarang 1 petak (7 x 14 m2)
hanya tebar benih 80 kg. Otomatis dari jumlah benih yang ditebar produksi
ikan mas menurun sekitar 40%. Namun demijkian, kasus kematian terus
saja terjadi setiap tahun.
Selama terjadi serangan penyakit, para pembudidaya juga
memuasakan ikan. Puasa dilakukan supaya ikan lebih banyak bergerak di
dasar jaring. Diindikasi, virus banyak terdapat di permukaan air (Ade,
2010). Pembudidaya ada yang memindahkan ikan mas di jaring lapis
kedua yang lebih dalam, supaya ikan tidak muncul ke permukan. Tetapi
dua cara ini hanya efektif ketika ikan belum terinfeksi virus.
Upaya pengaturan musim tebar pun dilakukan untuk menghindari
dampak negatif upwelling. Belajar dari pengalaman (Agus Hidayat , 2010),
pembudidaya ikan mas di Saguling asal Desa Tanjung Jaya, Kecamatan
Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, mulai Oktober sampai Desember
atau masa pergantian musim kemarau ke hujan, para pembudidaya tidak
menebar ikan mas. Masa pancaroba ini riskan terjadi upwelling.
Pembudidaya biasanya tebar lagi antara Februari sampai Agustus. Pola
pengaturan musim tebar mulai diterapkan 2004. Dengan pola seperti itu,
kematian ikan mas akibat upwelling budidaya ikan mas bisa ditekan.
Sementara untuk serangan KHV sudah jarang terjadi. Agus (2010)
menduga hal ini karena ada program penebaran berbagai jenis ikan
pemakan bakteri dan plankton merugikan yang ada di dasar perairan,
sehingga kondisi lingkungan perairan lebih sehat dan bersih.
Kecenderungan budidaya ikan mas 2 tahun belakangan di Saguling mulai
berkembang kembali, meskipun belum sebanyak dulu. Beberapa lokasi
perairan Saguling relatif aman dari serangan upwelling, seperti Kecamatan
Cipongkor, Cihampelas, dan Cililin. Sumber air dari sungai Citarum yang
terkadang mambawa limbah, bisa dinetralisir sumber air dari Gunung
wayang relatif lebih bersih.
Menurut Nafis (2010), jumlah pembudidaya KJA di Saguling sekitar
7 ribu orang. Secara total produksi budidaya ikan mas untuk Kabupaten
Bandung Barat masih yang paling besar dibandingkan dengan jenis ikan
lainnya. Produksi ikan mas nasional pada 2008 sekitar 243 ribu ton, hampir
setengahnya dipasok dari Jabar (sekitar 110 ton), sentranya ada di waduk
Cirata dan Saguling.

www.nofasonic.co.cc/2009/10/budi...o-l.html

Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan


memanjang pipih kesamping dan lunak. Ikan mas sudah
dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia
ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang
terdapat di Indonesia merupakan merupakan ikan mas yang
dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang. Ikan mas Punten
dan Majalaya merupakan hasil seleksi di Indonesia. Sampai saat
ini sudah terdapat 10 ikan mas yang dapat diidentifikasi
berdasarkan karakteristik morfologisnya.
Resiko dan Prospek Usaha dalam Bisnis Bandeng

Prospek Usaha : Ikan bandeng sudah dikenal masyarakat, tidak


saja masyarakat pantai tetapi juga masyarakat pedalaman. Peluang usaha
budidaya ikan bandeng berkaitan dengan jumlah konsumen yang
meningkat, sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Dewasa ini
peluang meningkatkan daya jual terbuka dengan adanya penjualan ikan
yang telah diolah dalam bentuk pindang presto dan ikan asap, yang
ternyata disukai oleh masyarakat.
Indonesia merupakan negara produsen tertinggi untuk ikan
bandeng, akan tetapi saat ini hasil produksi baru mencukupi kebutuhan
sendiri. Sebenarnya Indonesia Indonesia memiliki kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan ekspor dengan cara meningkatkan produksi, karena
seperti telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, Indonesia memiliki
potensi sumberdaya alam yang luas yang saat ini baru sebagian kecil
dimanfaatkan.Risiko-risiko Usaha
Dari segi ekonomi, fluktuasi harga, terutama harga pakan dan harga
jual ikan, seringkali tidak terkontrol dengan baik. Penurunan nilai tukar
rupiah, seringkali segera diikuti dengan peningkatan harga pakan. Di lain
pihak harga jual ikan tidak dapat segera disesuaikan dengan peningkatan
harga pakan. Harga jual juga berisiko rendah manakala terjadi pemanenan
serentak di beberapa sentra produksi bandeng atau ketika ikan laut hasil
tangkapan melimpah di pasaran. Keadaan ini sewaktu-waktu menurunkan
margin usaha bahkan menimbulkan kerugian.
Risiko lain yang selama ini terjadi berkaitan dengan teknis
budidaya, yaitu :
Pada budidaya di tambak :
i. Terjadi pencemaran, terutama di pantai utara P. Jawa,
ii. Peningkatan salinitas disebabkan kemarau berkepanjangan,
iii. Banjir

Pada budidaya di jaring apung :


i. Adaptasi gelondongan terhadap air tawar kurang sempurna
ii. Terjadi umbalan
iii. Terjadi penyimpangan penggunaan sarana produksi (pencurian)
iv. Pegawai tidak disiplin dalam pengelolaan rutin budidaya,
terutama dalam pemberian pakan.

Peluang usaha dan Risiko Budidaya Gurami


Karakteristik Ikan
Ikan gurame (Osphronemous gouramy) telah dipublikasikan sejak
tahun 1802 sebagai ikan konsumsi dan ikan hias. Tekstur daging yang
kompak dengan rasa yang gurih dan lezat membuat ikan ini menjadi salah
satu ikan konsumsi air tawar yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Ikan Gurame memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut
labirin, yaitu selaput berlekuk-lekuk yang merupakan penonjolan dari tepi
atas insang pertama. Labirin memiliki pembuluh darah kapiler yang dapat
mengambil zat asam pada waktu ikan ini muncul di permukaan. Dengan
alat ini ikan gurame mampu menyerap oksigen dari udara bebas untuk
pernapasan, sehingga ikan ini mampu hidup di air yang kandungan
oksigennya rendah, seperti air yang tidak mengalir dan berwarna hijau
karena ledakan populasi plankton. Namun di balik keunggulan tersebut,
ikan gurame mempunyai kelemahan yaitu pertumbuhannya sangat lambat.
Beberapa jenis induk gurame dengan berbagai sifatnya telah
dikenal di lingkungan petani ikan. Di Bogor, dikenal tiga jenis induk gurame,
yaitu jenis porselin dengan ukuran sedang namun produksi telurnya tinggi
(10.000 butir/sarang), jenis blusafir yang ukurannya lebih besar namun
produksi telurnya rendah (5.000-7.000 butir/sarang), dan jenis bastar yang
tumbuh cepat dengan sisik besar dan produksi telur rendah (2.000-3.000
butir/sarang) (Sudarto, 1989). Untuk daerah lain dikenal dua jenis ikan
gurame, yaitu angsa dan jepun (Soim, 1992). Gurame angsa berwarna
putih abu-abu dengan sisik dan tubuh besar. Gurame jepun memiliki sisik
tidak terlalu besar dan tubuhnya pendek dengan warna putih abu-abu dan
kemerahan. Jenis lain dikenal dengan gurame merah.

TEKNIK BUDIDAYA IKAN GURAMI


(Sumber: CAEPON SAE R A B U , 1 9 A G U S T U S 2 0 0 9 )

Gurame merupakan jenis ikan konsumsi air tawar yang mempunyai


tali panjang, bentuk badan pipih lebar, bagian punggung berwarna merah
sawo dan bagian perut berwarna kekuning-kuningan / keperak-perakan.
Ikan gurame merupakan keluarga Anabantidae, keturunan Helostoma dan
bangsa Labyrinthici. Ikan gurami berasal dari perairan daerah Sunda (Jawa
Barat, Indonesia), dan menyebar ke Malaysia, Thailands, Ceylon dan
Australia. Pertumbuhan ikan gurame agak lambat dibanding ikan air tawar
jenis lain.
Di Indonesia, orang Jawa menyebutnya gurami, Gurameh, orang
Sumatra ikan kalau, kala, kalui, sedangkan di Kalimantan disebut Kalui.
Orang Inggris menyebutnya Giant Gouramy, karena ukurannya yang
besar sampai mencapai berat 5 kg.
Pemanenan hasil pembesaran ikan gurame sangat tersantung dari
ukuran yang diminta konsumen. Umumnya pemanenan dilakukan setelah
ikan berumur 2-3 tahun, ikan yang berumur 2 tahun mempunyai panjang
sekitar 25 cm dan berat 0,3 kg/ekor, sedangkan untuk ikan yang berumur 3
tahun panjangnya sekitar 35 cm dan berat badan 0,7 kg/ekor. Untuk ikan
berumur 4 tahun panjangnya dapat mencapai 40 cm dan berat 1.5 kg/ekor.

ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA Gurami

Perkiraan analisis budidaya ikan gurame untuk 6 empang selama 1 bulan


di daerah Jawa Barat pada tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1. Biaya produksi 1) Sewa lahan 6 empang @ Rp. 80.000,-/bulan Rp. 480.000,-


2. Benih per empang 4000 ekor @Rp 150,- Rp. 3.600.000,-
3. Pakan
- Postal per empang 7 karung @ Rp 10.000,- Rp. 420.000,-
- Rambo per empang 5 karung @ Rp 2.500,- Rp. 75.000,-

4) Obat
Super tetra per empang 2 tablet @ Rp 1.000,- Rp 12.000,-
5) Tenaga kerja 2 OH @ Rp 20.000,- Rp. 40.000,-
6) Lain-lain (pemeliharaan) Rp. 460.700,-
Jumlah biaya produksi Rp. 5.089.700,-

2. Penerimaan per empang 4000 ekor @ Rp. 400,- Rp. 9.600.000,-


3. Keuntungan Rp. 4.510.300,-
4. Parameter kelayakan usaha B/C Rasio = 1,89

Gambaran Peluang Agribisnis

Budidaya ikan gurame, mempunyai nilai ekonomis yang sangat


tinggi. disamping rasanya yang lezat dan empuk, ikan ini pun digemari
banyak orang. Sudah menjadi tradisi dalam setiap kendurian, ikan gurame
selalu menjadi syarat utama hidangan. Disamping rasanya itu,
perawatannya pun tidak terlalu sulit dan tidak memakan banyak biaya,
sehingga banyak petani ikan yang mulai menggemari, membudidayakan
ikan ini, karena harga dari setiap bibitnya yang murah dapat menghasilkan
keuntungan 3 kali lipat dari harga bibit. Harga dari ikan gurame di pasaran
sangat bervariasi tergantung dari bobot ikan tersebut. Ikan gurame dengan
berat 1,5 kg dapat mencapai harga Rp 6.000-Rp 8.000 tergantung keadaan
pada saat itu.

Risiko Gangguan Hama dan Penyakit


1. Penyakit

Gangguan yang dapat menyebabkan matinya ikan adalah penyakit


yang disebut penyakit non parasiter dan penyakit yang disebabkan parasit.
Gangguan-gangguan non parasiter bisa berupa pencemaran air seperti
adanya gas-gas beracun berupa asam belerang atau amoniak; kerusakan
akibat penangkapan atau kelainan tubuh karena keturunan.
Penanggulangannya adalah dengan mendeteksi keadaan kolam dan
perilaku ikan-ikan tersebut.
Memang diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup
untuk mengetahuinya. ikan-ikan yang sakit biasanya menjadi kurus dan
lamban gerakannya. Gangguan lain yang berupa penyakit parasiter, yang
diakibatkan oleh bakteri, virus, jamur dan berbagai mikroorganisme lainnya.
Bila ikan terkena penyakit yang disebabkan parasit, dapat dikenali sebagai
berikut:

1). Penyakit pada kulit; pada bagian-bagian tertentu berwarna


merah terutama di bagian dada, perut dan pangkal sirip.
2) Penyakit pada insang; tutup insang mengembang. Lembaran
insang menjadi pucat, kadang-kadang tampak semburat merah
dan kelabu
3) Penyakit pada organ dalam; perut ikan membengkak, sisik
berdiri.

Pencegahan timbulnya penyakit ini dapat dilakukan dengan


mengangkat ikan dan melakukan penjemuran kolam beberapa hari agar
parasit pada segala stadium mati. Parasit yang menempel pada tubuh ikan
dapat disiangi dengan pinset.
Pengobatan bagi ikan-ikan yang sudah cukup memprihatikan
keadaannya, dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia
diantaranya:

1) Pengobatan dengan Kalium Permanganat (PK).


a. Sediakan air sumur atau sumber air lainnya yang bersih dalam
bak penampungan sesuai dengan berat ikan yang akan diobati.
b. Buat larutan PK sebanyak 2 gram/10 liter atau 1,5 sdt/100 l air.
c. Rendam ikan yang akan diobati dalam larutan tersebut selama
30-60 menit dengan diawasi terus menerus.
d. Bila belum sembuh betul, pengobatan ulang dapat dilakukan 3
atau 4 hari kemudian.

2). Pengobatan dengan Neguvon. Ikan direndam pada larutan


neguvon dengan 2-3,5% selama 3 mernit. Untuk pembe-rantasan parasit di
kolam, bahan tersebut dilarutkan dalam air hingga konsentrasi 0,1%
Neguvon lalu disiramkan ke dalam kolam yang telah dikeringkan. Biarkan
selama 2 hari.

3). Pengobatan dengan garam dapur. Hal ini dilakukan di pedesaan


yang sulit mendapatkan bahan-bahan kimia. Caranya:
(1) Disiapkan wadah yang diisi air bersih. setiap 100 cc air bersih
dicampurkan 1-2 gram (NaCl), diaduk sampai rata;
(2) Ikan yang sakit direndam dalam larutan tersebut. Tetapi karena
obat ini berbahaya, lamanya perendaman cukup 5-10 menit
saja.
(3) Setelah itu segera ikan dipindahkan ke wadah yang berisi air
bersih untuk selanjutnya dipindahkan kembali ke dalam kolam;
(4) Pengobatan ulang dapat dilakukan 3-4 hari kemudian dengan
cara yang sama.

2. Hama
Bagi benih gurame musuh yang paling utama adalah gangguan dari
ikan liar / pemangsa dan beberapa jenis ikan peliharaan seperti tawes,
gurame dan sepat. Musuh lainnya adalah biawak, katak, ular dan
bermacam-macam burung pemangsa.

pantas58s.blogspot.com/2009_08_0...ive.html

Jenis kolam yang umum dipergunakan dalam budidaya ikan gurame antara
lain:

a) Kolam penyimpanan induk.


Kolam ini berfungsi untuk menyimpan induk dalam mempersiapkan
kematangan telur dan memelihara kesehatan induk, kolam berupa
kolam tanah yang luasnya sekitar 10 meter persegi, kedalamam
minimal 50 cm dan kepadatan kolam induk 20 ekor betina dan 10 ekor
jantan.
b) Kolam pemijahan
Kolam berupa kolam tanah yang luasnya 200/300 meter persegi dan
kepadatan kolam induk 1 ekor memerlukan 2-10 meter persegi
(tergantung dari sistim pemijahan). Adapun syarat kolam pemijahan
adalah suhu air berkisar antara 24-28 derajat C; kedalaman air 75-100
cm; dasar kolam sebaiknya berpasir. Tempatkan sarana penempel
telur berupa injuk atau ranting-ranting.
c) Kolam pemeliharaan benih/kolam pendederan
Luas kolam tidak lebih dari 50-100 meter persegi. Kedalaman air
kolam antara 30-50 cm. Kepadatan sebaiknya 5-50 ekor/meter
persegi. Lama pemeliharaan di dalam kolam pendederan/ipukan
antara 3-4 minggu, pada saat benih ikan berukuran 3-5 cm.
d) Kolam pembesaran
Kolam pembesaran berfungsi sebagai tempat untuk memelihara dan
membesarkan benih selepas dari kolam pendederan. Adakalanya
dalam pemeliharaan ini diperlukan beberapa kolam jaring 1,251,5
cm. Jumlah penebaran bibit sebaiknya tidak lebih dari 10 ekor/meter
persegi.
e) Kolam / tempat pemberokan
Merupakan tempat pembersihan ikan sebelum dipasarkan.

Adapun cara pembuatan kolam adalah sebagai berikut:


a) Ukurlah tanah 10 x 10 m (100 m2).
b) Buatlah pematangnya dengan ukuran; bagian atas lebarnya 0,5 m, bagian
bawahnya 1 m dan tingginya 1 m.
c) Pasanglah pipa/bambu besar untuk pemasukan dan pengeluaran air. Aturlah
tinggi rendahnya, agar mudah memasukkan dan mengeluarkan air.
d) Cangkullah tanah dasar kolam induk agar gembur, lalu diratakan lagi. Tanah
akan jadi lembut setelah diairi, sehingga lobang-lobang tanah akan tertutup,
dan air tidak keluar akibat bocor dari pori-pori itu. Dasar kolam dibuat miring ke
arah pintu keluar air.
e) Buatlah saluran ditengah-tengah kolam induk, memanjang dari pintu masuk air
ke pintu keluar. Lebar saluran itu 0,5 m dan dalamnya 15 cm.
f) Keringkanlah kolam induk dengan 2 karung pupuk kandang yang disebarkan
merata, kemudian air dimasukkan. Biarkan selama 1 minggu, agar pupuk
hancur dan meresap ke tanah dan membentuk lumut, serta menguji agar
kolam tidask bocor. Tinggi air 0,75-1 m.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., R.L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala'ohu, Wahyunto, S. Sutanto,


A. Setiyanto, H. Mayrowani, A.R. Nurmanaf, and M. Kundarto. 2002.
Multifunctionality and sustainability of paddy field in Citarum River
Basin, West Java. Soil Research Institute, ICASERD, Bogor, and
UPN Veteran, Yogyakarta.
Anorogo, Panji. Sudantoko, Djoko. 2002, Koperasi,Kewirausahaan, dan
Usaha Kecil, Rineka Cipta, Jakarta.
Apriyantono, A. 2006. Kinerja dan kebijakan strategis pembangunan
pangan nasional. Makalah pada Silaturahmi Nasional Anggota
Legislatif Partai Keadilan Sejahtera, Auditorium BPPT, Jakarta, 30
April 2006.
Arifin, B. 2003. Dekomposisi pertumbuhan pertanian Indonesia. Makalah
pada Seminar Khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor, 14 November 2004.
Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Danuhadimedjo, R Djatmiko, 1998. Kewiraswastaan Dan Pembangunan,
Alfabet, Bandung.
Davis, Ralph C. 1988. Fundamental Of Top Management, Kogakusha
Compay Limited, Tokyo.
Geoffrey G. Meredith, et al. 2000, Kewirausahaan Teori dan Praktek.
Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Hakim, Rusman, 1998, Dengan Wirausaha Menepis Krisis (Konsep
Membangun Masyarakat Entrepreneur Indonesia), PT Elex Media
Komputindo Gramedia Jakarta.
Hasibuan, H. Malayu. 2004. Manajemen (Dasar, Pengertian, Dan Masalah)
Bumi Aksara, Jakarta.
Khomsan, A. 1999. Fenomena kemiskinan. Harian Suara Pembaharuan, 1
November 1999 (http://www.indo-news.com/), Jakarta. strategies for
Indonesia: Enhancing the contribution of agriculture to poverty
reduction an food security. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23(2):
84101.
LPEM-FEUI. 2004. Finding Sources of Poor Growth in Indonesia. Lembaga
Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Pasandaran, E., G. Irianto, dan N. Zuliasri. 2004. Pendayagunaan dan
peluang pengembangan irigasi bagi peningkatan produksi padi.
hlm. 277294. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi
(Ed.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Pasaribu, B. 2006. Poverty profile and the alleviation programs in
Indonesia. Paper presented in Asian Regional Seminar on Poverty
Allevation, held by AFPPD and IFAD, 56 April 2006, Hanoi,
Vietnam.
Purnomo, 2001. Kewirausahaan (materi Pokok), Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka, Jakarta.
Rusastra, I W., Sumaryanto, and P. Simatupang. 2005. Agricultural
development policy Lesson and Future Direction, 1718 February
1999. ICASERD, Bogor.
RUSDI, Taufiq. 1987. Usaha budidaya Ikan Gurame. Jakarta : CV. simplek,.
Sajogyo. 2002. Pertanian dan kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat 1(1):
115.
Saliem, H.P. and Supriyati. 2006. Farm diversification and farmer income in
rice field area. In-Country Seminar on Poverty Allevation Through
Development of Secondary Crops, Bogor, 23 March 2006.
ICASEPS dan UNESCAP-CAPSA, Bogor.
Sawit, M.H. dan I W. Rusastra. 2005. Globalisasi dan Ketahanan Pangan di
Indonesia. Road Map Memperkuat Kembali Ketahanan Pangan.
Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Simatupang, P. 1999. Toward sustainable food security: The need for a new
paradigm. International Seminar on Agricultural Sector During the
Turbulence of Economic Crisis: Kustia, A.A. 2002. Kebijakan
perberasan di Republik Rakyat Cina. Hasil Pertemuan Regional di
Bangkok, Thailand, Oktober 2002.
Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan pembangunan sistem
agribisnis padi. hlm. 3152 Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan
A.M. Fagi (Ed.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Simatupang, P., I W. Rusastra, and M. Maulana. 2004. How to solve supply
bottleneck in agricultural sector. Agricultural Policy Analysis 2(4):
369392.
Simatupang, P., I W. Rusastra, H.P. Saliem, Supriyati, dan Saptana. 2003.
Prospek Diversifikasi Usaha Tani di Lahan Sawah: Kasus Empat
Kabupaten di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor dan Bappenas/USAID/ DAI, Jakarta.
SITANGGANG, M. 1999. Budidaya Gurame. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Soemanto, Wasty, 1984, Pendidikan Wirausaha (Sekuncup Ide Profesional)
, Bina Aksara, Malang.
Sumahamijaya, Suparman, 1980. Membina Sikap Mental Wiraswasta,
Gunung Jati, Jakarta.
Sumaryanto. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
menerapkan pola tanam diversifikasi: Kasus di wilayah persawahan
irigasi teknis di DAS Brantas. In-Country Seminar on Poverty
Allevation Through Development of Secondary Crops, Bogor, 23
March 2006. ICASEPS dan UNESCAP-CAPSA, Bogor.
Sumintaatmadja, Z. 2002. Kebijakan Perberasan di India. Hasil Pertemuan
Regional di Bangkok, Thailand, Oktober 2002.
Tahlim Sudaryanto dan I Wayan Rusastra. 2006. KEBIJAKAN STRATEGIS
USAHA PERTANIAN DALAM RANGKA PENINGKATAN
PRODUKSI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No.70,
Bogor 16161. Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006.

Anda mungkin juga menyukai