Anda di halaman 1dari 2

Edema Pada Gagal Jantung Kongestif: Terapi

Rasional Diuretik

Pada kasus gagal jantung kongestif terjadi kegagalan fungsi pompa jantung. Ketika
jantung mulai gagal memompa darah, darah akan terbendung pada sistem vena dan saat
yang
bersamaan volume darah pada arteri mulai berkurang.

Pengurangan pengisian arteri ini akan direspons oleh reseptor volume pada pembuluh
darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
vasokontriksi. Hal tersebut dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan curah
jantung yang adekuat.

Efek vasokontriksi pembuluh darah adalah suplai darah akan diutamakan ke pembuluh
darah otak, jantung dan paru. Sementara ginjal dan organ lain akan mengalami
penurunan aliran darah.

Akibatnya ginjal akan menahan natrium dan air dalam tubuh. Namun pada kondisi
gagal jantung yang sangat berat, tubuh cenderung mengalami hiponatremia. Hal ini
terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan
ini, ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin.

Kondisi ini dapat diperberat oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium
secara berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang. Di samping itu, ADH
yang meningkat juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan input air.

Resultan dari berbagai mekanisme di atas akan menyebabkan edema pada pasien gagal
jantung kongestif. Sehingga, pemberian duretik sebagai terapi simptomatis edema pada
gagal jantung kongestif rasional untuk diberikan.

Artikel ini sebagian besar merujuk pada buku Ajar PAPDI Edisi VI (Referensi Tes
Ujian Masuk PPDS Interna dan Ujian Board Interna)
Terapi Rasional Diuretik Pada Gagal Jantung
Kongestif
Tatalaksana edema pada gagal jantung kongestif diberikan terapi farmakologis dan non-
farmakologis. Restriksi natrium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air.
Salah satu pendekatan non-farmakologis yang efetik adalah merubah posisi tubuh untuk
mengurangi edema, misalnya menaikkan kaki di atas level atrium kiri.

Pada kondisi tertentu diuretik sebaiknya diberikan bersamaan dengan terapi non
farmakologis. Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, berat ringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek
diuretik berbeda berdasarkan farmakodinamiknya di ginjal.

Pada pemberian furosemid oral, jumlah yang diabsorbsi


berkisar l0-80% (rata-rata 50%), sementara bumetanid dan
torsemid diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80-
100%.

Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid diekskresikan ke urin dalam bentuk tidak
berubah. Pemberian diuretik juga harus mempertimbangkan waktu paruh diuretik
tersebut.

Golongan tiazid memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan satu kali
atau dua kali sehari, sementara diuretik loop seperti furosemide (lasix) mempunyai
waktu paruh 1-2 jam, bumetanid 1 jam dan torsemid 3-4 jam sehingga pemberiannya
harus lebih sering.

Efek diuretik loop dapat menghilang dengan segera, kemudian ginjal mulai
mereabsorbsi natrium dan meniadakan efek diuretik. Proses ini disebut post diuretic
sodium chloride retention,sehingga restriksi natrium sangat penting bagi pasien yang
mendapat diuretik loop.

Dosis Furosemide yang dapat diberikan 1x20-80 mg. Dapat ditingkatkan 4x20-40
mg/hari. Dosis furosemide dapat diberikan maksimal 600 mg/hari. Wasapadai efek
resistensi furosedmide. Konsultasikan ke dokter SpPD jika pasien tidak menunjukkan
efek perbaikan setelah terapi furosemide diberikan.

Anda mungkin juga menyukai