Anda di halaman 1dari 455

COVER DEPAN

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Jilid 2
Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas
Tanaman Perkebunan dan Hortikultura

Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016

Kementerian Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu

Kerjasama dengan
FAPERTA Universitas Bengkulu
FAPERTA Universitas Muhammadyah Bengkulu
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu
Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI)
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Jilid 2
Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas
Tanaman Perkebunan dan Hortikultura

Hotel Santika Bengkulu, 08 November 2016

Tim Penyunting :
Dedi Sugandi
Umi Pudji Astuti
Supanjani
Eva Oktavidiati
Shannora Yuliasari
Ahmad Damiri
Ruswendi
Sri Suryani M Rambe

Redaksi Pelaksana :
Taufik Hidayat
Taupik Rahman

Desain/Tata letak :
Agus Darmadi

ISBN 978-602-9064-37-7

Diterbitkan oleh:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Bengkulu
Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119
Telp: (0736) 23030, Fax: (0736) 345568
E-mail:bptp-bengkulu@litbang.pertanian.go.id

Hak cipta ada pada penulis, tidak diperkenankan memproduksi sebagian atau keseluruhan isi
prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis.
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KATA PENGANTAR

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian kedepan akan semakin beragam
dan komplek, untuk itu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dituntut untuk mampu
melaksankan seluruh program kerjanya untuk mendukung empat suskes kementerian pertanian dengan
melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi,
BUMN/swasta dan petani pengguna. Untuk itu, melalui penyelengggaraan seminar inovasi ini
diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk penyebarluasan hasil-hasil penelitian, pengkajian,
pengembangan dan penerapan (litkajibangrap) BPTP Bengkulu, maupun lembaga-lembaga penelitian
lainya yang ikut serta dalam kegiatan ini.
Seminar Nasional dengan tema Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, yang telah diselenggarakan pada tanggal 8 November 2016
bertujuan untuk menyebarluaskan inovasi hasil penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi
pertanian spesifik lokasi kepada seluruh pemangku kebijakan bidang pertanian dan pengguna di
Provinsi Bengkulu, serta publikasi imiah dalam bentuk prosiding makalah yang disajikan pada saat
seminar. Seminar Nasional ini terselenggara atas kerjasama antara Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bengkulu - Badan Penelitian dan Pengembangangan Pertanian, Universitas Bengkulu,
Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi
Bengkulu dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI).
Makalah yang telah dipresentasikan dan memenuhi syarat, diterbitkan dalam prosiding
seminar. Prosiding dibagi menjadi 3 (tiga) jilid buku yang memuat makalah dalam bidang (1)
Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Tanaman Pangan, (2) Pengkajian Teknologi
Spesifik Lokasi Komoditas Perkebunan dan Hortikultura, (3) Pengkajian Teknologi Spesifik
Lokasi Komoditas Peternakan dan Lainnya. Apresiasi dan ucapan terimakasih kami sampaikan
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktunya selama
penyelenggaraan seminar maupun dalam proses penyelesaian prosiding ini. Semoga buku prosiding ini
bermanfaat bagi pembaca dan pengambil kebijakan.

Bengkulu, 3 Februari 2017


Kepala BPTP Bengkulu,

Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

iii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

LAPORAN KEPALA BPTP


EKSPOSE INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK
DI PROVINSI BENGKULU

Assalammualikum warahmatulahi wabarokatuh....


Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua...

Yang Terhormat Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI


Yang Kami Hormati :
Komandan Korem 041 Garuda Emas
Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu
Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP)
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah
Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, Universitas Ratu
Samban.
Kepala Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) seluruh Indonesia
Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di
wilayah Bengkulu
Narasumber/Pemakalah Utama, Peneliti/Penyuluh/Dosen dan seluruh peserta ekspose
serta hadirin yang berbahagia.

Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan kehadhirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesehatan dan kesempatan sehingga dapat hadir pada acara
Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami mulyakan dan Bapak/Ibu hadirin yang kami hormati,
Pembangunan Pertanian Nasional tidak lepas dari pengaruh global menuju pertanian modern
(modern agriculture). Ketahanan pangan, bioenergi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan
kesejahteraan petani adalah tujuan utama pembangunan pertanian yang perlu terus dilanjutkan.
Pertanian modern merupakan suatu cara optimalisasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan
yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, termasuk inovasi teknologi pertanian agar
berjalan lebih efektif dan efisien. Teknologi pertanian yang inovatif tidak hanya bertujuan untuk
peningkatan produksi, tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap
produk pertanian.
Posisi Balitbangtan akan semakin strategis dalam pembangunan pertanian nasional dengan
adanya koordinasi dan dukungan intensif lintas sektoral. Hasil inovasi teknologi harus didiseminasikan
secara aktif, dimana harus melibatkan peneliti/penyuluh ataupun Perguruan Tinggi sebagai bagian dari
diseminasi aktif yang progresif. Untuk itu Badan Litbang Pertanian melalui BPTP Bengkulu
menyelenggarakan kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi Bengkulu,
bekerjasama dengan Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Badan Penelitian,
Pengembangan dan Statistik Daerah Provinsi Bengkulu, dan Perhimpunan Agronomi Indonesia.
Melalui kegiatan ini diharapkan terbangunnya komunikasi dan umpan balik antara pakar, peneliti,
penyuluh, akademisi, petani, praktisi dan penentu kebijakan lainnya dalam mempercepat pencapaian
diseminasi inovasi teknologi pertanian di Provinsi Bengkulu.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati,


Perlu kami laporkan bahwa kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi
Bengkulu, meliputi 3 (tiga) kegiatan, yaitu (1) Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian

iv
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Modern Menuju Pembangunan Pertanian Berkelanjutan yang dilaksanakan pada hari ini, tanggal 8
November 2016, (2) Pengukuhan Pengurus Komisariat Daerah Bengkulu Perhimpunan Agronomi
Indonesia (PERAGI) Masa Bhakti 2016 - 2019, yang dilaksanakan pada hari ini tanggal 8 November
2016, dan (3) Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian
Bioindustri, yang dilaksanakan pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma.
Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian akan dibuka secara resmi oleh Bapak Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian RI, sekaligus sebagai keynote
speaker dengan materi Inovasi Teknologi Pertanian Modern Menuju Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan.
Pada acara seminar nasional ini akan dipresentasikan 4 makalah utama dengan topik:
1. Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan, dalam hal ini akan
disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian RI)
2. Kesiapan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan Berbasis Teknologi Pertanian Modern di Provinsi Bengkulu (Kepala
Bappeda Provinsi Bengkulu)
3. Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
oleh Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto, M.Sc (Guru Besar Universitas Bengkulu)
4. Peran Peragi dalam Mendukung Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, yang
akan disampaikan oleh Prof. Dr. Alnopri, M.Sc (Ketua Komda PERAGI Bengkulu)

Perlu kami laporkan juga bahwa makalah penunjang yang akan diseminarkan berjumlah 162
makalah. Makalah berupa hasil penelitian/pengkajian, konsep pemikiran/gagasan dalam bentuk review
atau tinjauan, yang terdiri dari beberapa bidang bahasan yaitu bidang tanaman pangan, bidang sosial
ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan, bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan,
serta pascapanen dan pengolahan pangan. Seluruh makalah tersebut akan dipresentasikan baik secara
oral maupun poster. Seluruh makalah yang akan dipresentasikan pada seminar nasional ini telah
melalui dua kali proses evaluasi yang cukup ketat, yaitu evaluasi tahap abstrak dan evaluasi makalah
lengkap. Proses evaluasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas makalah. Pada awalnya, abstrak
yang masuk berjumlah 278 abstrak. Setelah melalui proses evaluasi, sebanyak 225 abstrak dinyatakan
diterima dengan beberapa saran perbaikan. Pada tahap evaluasi makalah lengkap, sebanyak 162
makalah diterima untuk dipresentasikan dari 184 makalah yang masuk ke panitia. Kami mohon maaf
karena berdasarkan hasil evaluasi tim evaluator ada beberapa makalah yang tidak dapat kami
akomodir dalam seminar nasional ini.
Jumlah peserta yang mengikuti seminar pada saat ini adalah 220 orang, berasal dari berbagai
kalangan yang terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian,
Kementerian Ristek, Dosen dan Mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah
Daerah, Perwakilan Petani dan Organisasi Profesi, yang berasal dari berbagai wilayah di seluruh
Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau,
Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Gorontalo, Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Untuk itu kepada para peserta dari luar daerah Bengkulu kami ucapkan Selamat Datang di Kota
Bengkulu.
Pada kesempatan ini juga akan dilaksanakan Pengukuhan Pengurus Komisariat Bengkulu
Perhimpunan Agronomi Indonesia Masa Bhakti 2016 2019 oleh Ketua Umum Perhimpunan
Agronomi Indonesia (PERAGI) Pusat Bapak Dr. Ir. Muhammad Syakir, MS. Pembentukan Komda
Bengkulu PERAGI diinisiasi oleh BPTP Bengkulu bekerjasama dengan Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu dan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu, dan telah ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Pusat PERAGI No. 02/SK/PERAGI/KOMDA/IX/2016, pada
tanggal 6 September 2016. Pengurus Komda PERAGI Bengkulu Masa Bhakti 2016 2019 terdiri dari
34 orang ahli agronomi yang berasal dari berbagai instansi lingkup Provinsi Bengkulu, antara lain
Perguruan Tinggi, Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, dan BPTP Bengkulu. Kepengurusan Komda

v
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Bengkulu BERAGI meliputi 4 (empat) bidang, yaitu Bidang Penelitian dan Pengembangan,
Pengabdian dan Kerjasama, Komunikasi dan Publikasi, serta Bidang Kajian Kebijakan dan Sertifikasi.
Pada kegiatan Gelar Teknologi dan Temu Lapang Inovasi Teknologi Model Sistem Pertanian
Bioindustri, yang akan dilaksanakan esok hari pada tanggal 9 November 2016, di Kabupaten Seluma,
jumlah peserta yang akan hadir adalah 250 orang, berasal dari Jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten
Seluma, Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten/Kota di wilayah
Bengkulu, Penyelia Mitra Tani, Ketua Gabungan Kelompok Tani, dan perwakilan manajemen Hotel
dan Restoran di Kota Bengkulu.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
andil mendukung terselenggaranya kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi
Bengkulu ini, antara lain kepada: Badan Litbang Pertanian, BBP2TP, segenap panitia seminar dari
BPTP Bengkulu, mitra kerjasama Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, BPP
Stada Provinsi Bengkulu, dan PERAGI. Demikian juga kami sampaikan terima kasih kepada Santika
Hotel, dan semua pihak yang telah membantu demi suksesnya Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian
ini.

Bapak Kepala Balitbangtan yang kami hormati,


Pada saatnya nanti mohon kiranya Bapak berkenan memberikan sambutan dan arahan,
sekaligus membuka acara Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian ini secara resmi.
Akhir kata, kepada para peserta saya ucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian kegiatan
dengan harapan semoga kegiatan ekspose ini mampu menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat dan
ada tindak lanjut yang konkret dari seluruh stakeholder sebagai upaya kita untuk mewujudkan
pembangunan pertanian berkelanjutan melalui penerapan inovasi teknologi pertanian modern. Kami
mohon maaf, jika dalam penyelenggaraan acara ini masih ada hal-hal yang kurang berkenan bagi
Bapak/Ibu.
Demikian laporan yang kami sampaikan, lebih dan kurang kami mohon maaf.
Bilahi taufik wal hidayah wassalammualaikum warohmatulahi wabarakatuh.

Bengkulu, 8 November 2016

Kepala BPTP Bengkulu,

Dr. Ir. Dedi Sugandi, MP

vi
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
pada
PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL
INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN MODERN MENDUKUNG PEMBANGUNAN
PERTANIAN BERKELANJUTAN
Bengkulu, 8 November 2016

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Yang saya hormati,
Komandan Korem 041 Garuda Emas atau yang mewakili
Kepala Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu
Kepala Badan Litbang Statistik Daerah Provinsi Bengkulu
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah
Bengkulu, Universitas Dehasen, Universitas Prof. Dr. Ir. Hazairin, dan Universitas
Ratu Samban
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan pejabat struktural dan fungsional
lingkup Balitbangtan
Kepala SKPD di lingkup Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota se-Provinsi
Bengkulu
Ketua dan Anggota Komda Peragi Provinsi Bengkulu
Narasumber, Peneliti, Dosen, Penyuluh dan Perekayasa, peserta seminar serta hadirin
yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu WaTaala,
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari ini kita dapat
bertemu dan bersilaturrahmi dalam keadaan sehat walafiat, pada acara Ekspose dan Seminar dengan
tema Inovasi Teknologi Pertanian Modern untuk Mendukung Pembangunan Pertanian yang
Berkelanjutan.
Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Universitas Bengkulu, Pemprov Bengkulu, khususnya
Badan Perencana dan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu, Badan Litbang Statistik Daerah
Provinsi Bengkulu, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) atas inisiatif kolaborasi dan
prakarsanya dalam menyelenggarakan acara ini.

vii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,


Ekspose dan seminar yang kita laksanakan merupakan salah satu upaya diseminasi hasil
penelitian dan pengembangan yang dihasilkan oleh para peneliti, dosen dan mahasiswa dari
Balitbangtan dan Perguruan Tinggi kepada pembuat kebijakan, pelaksana dan pengguna teknologi di
bidang pertanian. Pada forum ekspose dan seminar ini diharapkan terjadi pertukaran pengetahuan,
pengalaman, dan informasi antara para peneliti maupun dengan praktisi dan pengambil kebijakan.
Kehadiran berbagai pihak yaitu para pakar, pengambil kebijakan dan praktisi, diharapkan
dapat mendorong pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi yang modern dan inovatif
berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal khususnya untuk wilayah Provinsi Bengkulu dan sekitarnya.

Bapak/Ibu dan Hadirin sekalian yang saya hormati,


Pardigma baru Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) mempunyai
makna bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap
pendayagunan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan. Hal ini berarti
inovasi hasil penelitian dan pengkajian pertanian yang telah banyak dihasilkan, perlu dikemas
sedemikian rupa sehingga dapat secepatnya sampai kepada khalayak pengguna. Seminar ini
merupakan salah satu media untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh
Balitbangtan dan penelitian lainnya. Selain menyebarkan hasil-hasil penelitian, melalui forum ini juga
diharapkan adaanyaa umpan balik dari para pengguna teknologi untuk perbaikan program penelitian di
masa depan.
Selain melalui seminar, untuk lebih mempercepat proses diseminasi teknologi ini juga
dilakukan melalui berbagai media dan metode lainnya. Salah satunya adalah melalui gelar lapang
agroinovasi yang merupakan wahana untuk implementasi teknologi hasil penelitian dan pengkajian
pertanian yang dilaksanakan di lahan petani dalam skala yang luas. Kegiatan ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai salah satu media yang dapat mempertemukan langsung antara sumber teknologi
dengan penyuluh sebagai pengguna antara dan petani sebagai pengguna akhir. Balitbangtan juga terus
melakukan pembaharuan inovasi yang telah diluncurkan dan dipublikasikan melalui berbagai media
termasuk menyediakan informasi dalam bentuk yang mudah dipahami calon pengguna atau petani.

Bapak/Ibu, serta hadirin yang saya hormati,


Pada kesempatan yang baik ini, sebagai Kepala Badan yang sekaligus juga sebagai Ketua
Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) periode 2016-2021, menyampaikan apresiasi
yang sebesar-besarnya dengan terbentuknya Komda Peragi wilayah Bengkulu. Oleh karena itu, kami
tetapkan tahun ini sebagai tonggak kebangkitan kembali Komda PERAGI yang diawali dengan
pelantikan KOMDA PERAGI wilayah Kalsel pada Agustus lalu, wilayah Maluku pada 12 Oktober,
Lampung pada 19 Oktober 2016, dan kali ini Bengkulu pada 8 November 2016. Kami berharap
kebangkitan Komda di Kalsel, Maluku, Lampung, dan Bengkulu mampu mendorong kebangkitan
Komda PERAGI di wilayah lain di Indonesia. Amin.
PERAGI dibentuk dengan maksud menghimpun masyarakat profesi Agronomi di Indonesia.
Agronomi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha
penyempurnaan budidaya tanaman. Sedangkan tujuannya adalah: a) Membina dan mengembangkan
ilmu dan profesi Agronomi di Indonesia; b) Menciptakan sarana dan wahana untuk lebih
meningkatakan dan pengamalan ilmu para anggota bagi pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia,
dan c) Lebih mempererat hubungan dan kerjasama antara anggota masyarakat Agronomi di Indonesia.
Ekspose inovasi spesifik lokasi ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan
mulia PERAGI yaitu dengan mempererat kerjasama antara anggota dan antara organisasi dengan

viii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

lembaga dan organisasi lain yang mempunyai sifat dan tujuan yang sama, milik pemerintah ataupun
swasta serta menyelenggarakan pertemuan ilmiah di tingkat daerah, nasional, regional maupun
internasional.

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,


Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan berguna bagi
upaya kita dalam mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan melalui teknologi modern dan
inovatif dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Semoga Allah Subhanahu
Wa Taalla senantiasa memberikan bimbingan dan petunjukNYA kepada kita semua, sehingga apa
yang kita rencanakan dapat terselenggara dengan baik, Amin Ya Robbal Alamin.

Wa Billahi taufiq wal hidayah


Wassalamualaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh

Kepala Badan

Dr. Ir. H. Muhammad Syakir, MS

ix
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

x
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ iii


LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ....................................................................................... iv
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN ............... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... xi

KEYNOTE SPEECH
Inovasi Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Kepala Badan Litbang Pertanian............................................................................................................ 1

MAKALAH UTAMA ................................................................................................................. ......... 5


Arah dan Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan
Prof. Dr. Ir. Pantjar Simatupang (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
Kementerian Pertanian) ......................................................................................................................... 7

MAKALAH PENUNJANG ....................................................................................................... ......... 33


Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Tanaman Perkebunan dan Hortikultura
1. Aplikasi Kalsium dan Boron untuk Mengatasi Cemaran Getah Kuning pada Buah
Manggis Garcinia Mangostana
(Odit F. Kurniadinata, Roedhy Poerwanto, Darda Efendi, Ade Wachjar) ..................................... 35
2. Perkembangan Struktur Torpedo Membentuk Tunas pada Tanaman Jambu Mete
(Rossa Yunita, dan Ika Mariska) .................................................................................................... 45
3. Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Inovasi Teknologi Pengelolaan Terpadu
Tanaman Jeruk di Kabupaten Kepahiang
(Sri Suryani M. Rambe dan Kusmea Dinata) .................................................................................. 50
4. Bioaktivitas Ekstrak Daun Mimba dan Kacang Babi terhadap Kutu Daun Serangga
Vektor Penyebab CMV dan CHIVMV pada Tanaman Cabai
(Djamilah, Agustin Zarkani, dan Tri Sunardi) ................................................................................ 58
5. Upaya Peningkatan Produksi dan Mutu Kopi Rakyat di Kabupaten Rejang Lebong
Provinsi Bengkulu
(Afrizon, Shannora Yuliasari dan Tri Wahyuni).............................................................................. 64
6. Pemanfaatan Berbagai Jenis Mulsa dan Vaerietas Mendukung Budidaya Cabai Luar
Musim di Lahan Kering
(Darman Hary) ................................................................................................................................ 72
7. Tingkat Ketidakmiripan Genotipe-Genotipe Jagung (Zea Mays l.) Generasi S1 dan S2
untuk Pembentukan Tetua
(Umi Salamah, Willy Bayuardi Suwarno, dan Hajrial Aswidinnoor) ............................................. 79
8. Efikasi Pengendalian Penyakit Layu (Fusarium Oxysporum) dengan Agen Antagonis
untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Caisin (Brassica Campestris)
(Sri Swastika dan Rachmiwati Yusuf) .............................................................................................. 87
9. Pengaruh Posisi Bahan Stek terhadap Pertumbuhan Benih Buah Naga ( Hylocereus
Polyrhizus)
(Bambang Hariyanto) ...................................................................................................................... 93
10. Pengaruh Umur Daun terhadap Efektivitas Pengamatan Anatomi Stomata Jambu Biji
(Farihul Ihsan dan Nini Marta)....................................................................................................... 101
11. Aplikasi Beberapa Dekomposer dalam Pengomposan Limbah Kulit Kopi Liberika
Tungkal Komposit
(Rima Purnamayani dan Araz Meilin) ............................................................................................ 107
12. Serangan dan Memastikan Jenis Penggerek Batang Mangga Rhytidodera spp. di Kota
Bengkulu
(Teddy Suparno) .............................................................................................................................. 114

xi
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

13. Pengaruh Jenis Kompos dan Waktu Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tanaman Jagung Manis Secara Organic
(Rahmat Wijaya, Nanik Setyowati dan Masdar) ............................................................................. 123
14. Karakteristik Kentang Merah Spesifik Bengkulu Selama Penyimpanan
(Wilda Mikasari, Lina Ivanti, dan Taufik Hidayat) ......................................................................... 129
15. Penghambatan Pertumbuhan Tanaman Cabai oleh Nematoda Puru Akar Meloidogyne
Sp. dan Jamur Fusarium Sp
(Imelda Riska Andani, Tunjung Pamekas, dan Djamilah) .............................................................. 137
16. Pengaruh Beberapa Dekomposer Didalam Pembuatan Pupuk Organik dan
Pemanfaatannya pada Tanaman Kopi
(Putu Suratmini dan A.a.n. B, dan Sarmudadinata) ........................................................................ 145
17. Identifikasi Penyakit Utama pada Tanaman Buah Naga Super Merah (Hylocereus
Costaricensis) di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu
(Reni Andista, Tunjung Pamekas dan Usman Kris Joko Suharjo) .................................................. 151
18. Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Mendukung Pengembangan Kawasan
Perkebunan di Kabupaten Indragiri Hulu
(Anis Fahri, Taufik Hidayat, Heri Widyanto dan Ida Nur Istina) .................................................. 159
19. Enkapsulasi Acetobacter Xylinum Menggunakan Alginat untuk Memproduksi Nata De
Coco
(Fahroji dan L.T Nguyen) ................................................................................................................ 166
20. Preferensi Petani terhadap Cabai Rawit Eksisting di Gorontalo
(Muhammad Yusuf Antu, Nanang Buri, Ari Widya Handayani dan Hertina Artanti) ..................... 172
21. Pengaruh Aplikasi Kerak Boiler terhadap Produksi dan Kandungan Hara pada Tanaman
Caisim
(Eliartati) ......................................................................................................................................... 177
22. Penampilan Fenotipik 17 Genotip Anyelir Interspesifik dan Tetua Jantan SK 11_1 di
Lahan Terbuka
(Dewanti, M., Neni Rostini, Murdaningsih H. K., dan Anas) .......................................................... 183
23. Dampak Penggunaan Pupuk Kandang terhadap Efisiensi Teknis Usahatani Cabai Rawit
di Kabupaten Buleleng-Bali
(Jemmy Rinaldi, Ida Bagus Gede Suryawan dan Ni Putu Suratmini) ............................................. 190
24. Efisiensi Rantai Pemasaran Bawang Merah di Bali
(Nyoman Ngurah Arya, I Ketut Mahaputra, dan Jemmy Rinaldi)................................................... 197
25. Pertumbuhan Eksplan dan Produksi Umbi Mikro Kentang Lokal Bengkulu Secara In
Vitro pada Suhu yang Berbeda
(Haryuni, Usman Kris Joko Suharjo dan Bambang Gonggo Murcitro) ......................................... 205
26. Aplikasi Beberapa Bioaktivator Mikroorganisme Lokal terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Selada (Lactuca Sativa l.)
(Parwito dan Susi Handayani) ........................................................................................................ 210
27. Evaluasi Keragaan Beberapa Semangka Hibrida Koleksi Balai Penelitian Tanaman Buah
Tropika
(Kuswandi, Makful, Sahlan, dan Mega Andini) .............................................................................. 217
28. Tingkat Kematangan Buah Rambutan terhadap Kualitas Manisan Kering Buah
Rambutan
(Nofiarli, Kuswandi, Andre Sparta, Mega Andini, Yulia Irawati dan Nini Marta) ........................ 222
29. Pengkajian Mutu Lada Hijau Kering Selama Penyimpanan
(Jhon David dan Taufik Hidayat) .................................................................................................... 229
30. Kajian Pemasaran Jagung Manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh
Besar
(Emlan Fauzi, dan M. Ferizal) ........................................................................................................ 235
31. Efektifitas dan Nilai Ekonomi Beberapa Tipe Alat Pengering dalam Meningkatkan
Mutu Biji Kakao di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara
(Yuliani Zainuddin, Yudi Irawan, Sudarmansyah, dan Baharuddin) ............................................... 242
32. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Padat (POP) terhadap Produksi dan Kelayakan
Usaha Tani Kubis di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu

xii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

(Yulie Oktavia dan Umi Puji Astuti) ................................................................................................ 250


33. Peningkatan Pengetahuan Petani dalam Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Hayati
pada Usahatani Cabai di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong
(Herlena Bidi Astuti dan Rudi Hartono) ......................................................................................... 256
34. Keragaan Sepuluh Genotip Krisan Potong Hasil Persilangan
(Kurnia Yuniarto, Rika Meilasari dan Suryawati) .......................................................................... 261
35. Keragaman Genetik 101 Genotip Krisan (Dendranthema Grandiflora Tzvelev)
Berdasarkan Analisis Kluster dan Analisis Komponen Utama
(Rika Meilasari, W. A. Qosim, Murdaningsih, N. Rostini, M. Rachmadi, N. Wicaksana,
K. Yuniarto dan Suryawati) ............................................................................................................. 267
36. Produksi Bawang Merah Generasi Kedua Asal Benih Biji Botani Bawang Merah (True
Seed Of Shallot) pada Varietas Mentes, Pikatan, dan Bima
(Kiki Kusyaeri Hamdani, Agus Nurawan, Liferdi, dan Meksy Dianawati) ..................................... 275
37. Formulasi dan Tingkat Kesukaan Konsumen terhadap Biskuit dengan Fortifikasi Bayam
Hijau
(S. Aminah, M. Yanis, T. Ramdhan, dan W. Mikasari) .................................................................... 280
38. Eksplorasi dan Karakter Morfologi Manggis di Provinsi Bengkulu
(Taupik Rahman, Miswarti, dan W.E. Putra) .................................................................................. 286
39. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai dalam Mendukung Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau
(Oktariani Indri Safitri, Dahono, dan Lutfi Izhar) .......................................................................... 293
40. Eksplorasi dan Konservasi Tanaman Buah di Provinsi Bengkulu
(Miswarti, Taupik Rahman dan W.E. Putra) ................................................................................... 301
41. Hilirisai Penerapan Inovasi Melalui Jejaring Pelaku Inovasi
(Tini Siniati Koesno)........................................................................................................................ 307
42. Pemanfaatan Pupuk Organik Cair (POC) dari Limbah Pertanian Asal Sumber Daya
Alami Lokal pada Budidaya Sayuran Bawang Daun (Allium Fistulosum l.)
(Agustina E. Marpaung, Bina BR Karo, dan Kusmea Dinata)........................................................ 316
43. Pemanfaatan Urine Sapi dan Kelinci Sebagai Pupuk Cair dalam Peningkatan
Pertumbuhan dan Produksi Bawang Daun (Allium Fistulosum l)
(Bina BR Karo, Agustina E. Marpaung, dan Taufiq Hidayat) ........................................................ 323
44. Kajian Adaptasi Cabai Merah Kencana pada Agroekosistem Dataran Tinggi Musim
Kemarau di Kabupaten Rejang Lebong
(Rudi Hartono dan Yahumri) ........................................................................................................... 330
45. Analisis Usahatani Cabai Merah dengan Teknologi Anjuran di Desa Lubuk Saung,
Kecamatan Banyuasin Ilir, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan
(Maya Dhania Sari, Dedeh Hadiyanti, dan Suparwoto) ................................................................. 338
46. Peranan Pendampingan Teknologi terhadap Peningkatan Penegetahuan Petani dan
Produksi Cabe di Bengkulu
(Ruswendi) ....................................................................................................................................... 343
47. Prospek Pengembangan Bawang Merah (Allium Ascolonicum L.) di Provinsi Riau
(Rachmiwati Yusuf dan Sri Swastika) .............................................................................................. 349
48. Efektivitas Urin Kelinci terhadap Pertumbuhan dan Hasil Pakcoy serta Selada Pada
Budidaya dalam Pot
(Ikrarwati, Yudi Sastro dan Susi Sutardi)........................................................................................ 355
49. Keragaman Genetik dan Evaluasi Plasma Nutfah Jambu Biji (Psidium Guajava L)
(Sri Hadiati dan Kuswandi) ............................................................................................................. 362
50. Preferensi Petani terhadap Teknologi Pengolahan dan Sifat Sensori Kopi Petik Merah
Spesifik Bengkulu
(Shannora Yuliasari dan Afrizon).................................................................................................... 371
51. Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis dengan Pemberian Beberapa Jenis, Dosis dan Saat
Aplikasi Kompos pada Ultisol
(Merakati Handajaningsih, Marwanto, Raindra Efendi, dan Jefri Sihombing) .............................. 378
52. Pengaruh Aplikasi Tepung Cangkang terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan
Organoleptik Manisan Labu Siam

xiii
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

(Lina Widawati, Hesti Nuraini, Septi Widiyawati) ........................................................................ 384


53. Aplikasi Pra dan Purna Tumbuh Herbisida Berbahan Aktif Campuran Atrazine dan
Mesotrione untuk Pengendalian Gulma pada Tanaman Jagung Manis
(Marulak Simarmata, Bona Romaston Haloho, dan Yenny Sariasih) ............................................. 392
54. Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada serta Pakcoy pada Tiga Model Akuaponik
Mini yang Disusun Vertikal
(Yudi Sastro, Nofi a. Rokhma, Ikrarwati, dan Lukman Hakim)....................................................... 400
55. Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan (Tithonia Diversifolia) dengan Dosis dan
Konsentrasi yang Berbeda untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Sawi di Tanah
Ultisol
(Edi Susilo) ...................................................................................................................................... 408
56. Karakterisasi dan Identifikasi Sepuluh Genotipe Mentimun (Cucumis Sativus L.) pada
Tanah Ultisol
(Taufik. M, Fahrurrozi, Oktiana Sari) ............................................................................................. 415

Penutup
Daftar Pertanyaan
Rumusan Hasil Seminar Nasional
Daftar Hadir

xiv
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Keynote speech
Kepala Badan Litbang Pertanian
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEPALA BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016
Inovasi Teknologi Pertanian Modern
Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Perkembangan lingkungan strategis untuk mewujudkan kedaulatan pangan adalah
membangun pertanian modern ramah lingkungan. Pertanian modern merupakan suatu cara
optimasilsasi usahatani untuk menghasilkan bahan pangan yang bermutu, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas, termasuk usaha teknologi pertanian agar berjalan lebih efektif dan efisien.
Teknologi pertanian yang modern dan inovatif tidak hanya bertujuan untuk peningkatan produksi,
tetapi juga meningkatkan kualitas dengan melakukan pengolahan terhadap produk pertanian.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern merupakan salah satu unsur penting dalam
mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan. Peran teknologi selain untuk meningkatkan
produktivitas, juga untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan mutu produk yang pada gilirannya
akan meningkatkan daya saing produk pertanian khususnya di pasar global.
Sebagai salah satu lembaga penghasil teknologi pertanian modern, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menunjukkan peranannya yang nyata dengan
menghasilkan berbagai teknologi yang telah dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian, baik berupa
varietas dan benih unggul, pupuk, biopestisida, teknologi pengolahan serta alat dan mesin pertanian.
Potensi Balitbangtan sangat besar karena didukung oleh sumberdaya yang memadai. Balitbangan juga
memiliki kemampuan yang memandai dalam kegiatan diseminasi inovasi, baik secara mandiri maupun
bekerjama dengan pihak lain.
Program Strategis Penelitian dan Pengembangan Pertanian Modern mendukung Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan yang dlaksanakan oleh Balitbangtan difokuskan untuk komoditas padi,
jagung, kedelai, tebu, sapi, bawang merah dan cabai di samping komoditas unggulan lain yang
menjadi priotas program strategis daerah. Sedangkan litbang tematik strategis yang dikembangkan
oleh Balitbangtan sebagai berikut:
1. Litbang produksi benih melalui somatik embryogenesis (SE)
2. Litbang nano teknologi untuk produksi pangan dalam bentuk nano selulosa, nanonutrien,
maupun nanofortifikan.
3. Litbang transgenik yang dikembangkan untuk pengembangan komoditas dengan karakteristik
khusus.
4. Litbang bahan bakar nabati, yang memfokuskan pada penyediaan varietas unggul, teknologi
budidaya, pengolahan dan pengelolaan sumber BBN.
5. Pengembangan model pertanian bioindustri berbasis sumber daya lokal dan agroekologi di 33
provinsi.

Pertanian ke depan harus menjadi leading sector dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan
dan energi. Transformasi energi berbasis fosil perlu dilakukan ke arah bioenergi. Badan Litbang dalam
perspective ke depan harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan
datang melalui risetnya.
Indonesia sebagai negara equator penghasil pangan dan energi harus waspada terhadap remote
penduduk di luar equator (sebagai salah satu strategi jangka panjang dalam memperebutkan negara
equator penghasil pangan dan energi). Paradigma Balitbangtan dalan pengembangan pertanian sudah
mulai bergeser pada lahan suboptimal di samping optimasi sumber daya genetik pangan. Potensi
sumber daya genetik tanaman perludilakukan revolusi melalui peran teknologi bidang agronomi untuk

1
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

menghasilkan pa ngan dan energi yang berkelanjutan. Kita harus dapat memanfaatkan bonus
demografi untuk pengembangan sektor pertanian. Kurikulum dalam pendidikan bidang pertanian perlu
dilakukan sesuai dengab perkembangan lingkungan strategis. Pertumbuhan pangan nasional harus
kuadratik, tidak boleh linier agar dapat mengimbangi cepatnya pertumbuhan penduduk. Pertanian
modern dalam perspektif bioekonomi tidak mengenal limbah, namun biomassa yang dapat diolah
menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang bernilai ekonomi. Implementasi teknologi pertanian
inovatif modern perlu segera dilakukan dalam skala masif (minimal 10 ha). Hilirisasi teknologi
pertanian modern perlu dilakukan dari hulu sampai pada akses pasar dengan berbasis Teknologi
Informasi.
Tantangan sektor pertanian, pada tahun 2050 pendudk dunia mencapai 9,6 Trilyun. Pada tahun
2015 penduduk dunia mencapai 7,3 T (60% Di Asia), indonesia: No 4 setelah tiongkok, india dan
USA). Untuk itu, pada tahun 2050 produksi pangan harus meningkat minimal 70%. Beberapa hal yang
menjadi tantangan, yaitu lahan subur (arable land) terbatas, peningkatan kebutuhan terhadap air bersih
(aktivitas pertanian menghabiskan 70% suplai air dunia), perubahan iklim, terbatasnya pasokan energi,
dan pengelolaan SDM dan pemerataan kesejahteraan.

Kebijakan Pembangunan Pertanian


Kebijakan Kementerian Pertanian, meliputi (1) Peningkatan produksi dan provitas; fokus tujuh
komoditas, regulasi/deregulasi, membangun infrastruktur, mekanisasi, penguatan on-farm, kredit,
asuransi, dan penanganan pascapanen, (2) Hilirisasi produk pertanian; mendorong investasi industri
gula, jagung dan sapi, hilirisasi produk kelapa sawit, kakao, kopi, KUR untuk kopi, kakao, kopi,
pengolahan hasil padi, jagung dan pangan lainnya, integrasi sawit-sapi, pangan-ternak, (3) Tata niaga
domestik; fokus pada 11 Komoditas pangan strategis, regulasi/deregulasi,HPP , memperpendek rantai
tata niaga dan stabilisasi harga, sinergitas dengan Kemendag dan Bulog, tokoh Tani Indonesia (TTI),
dan (4) Kendalikan impor dan dorong ekspor; Fokus pada 11 Komoditas komersial/ekspor,
regulasi/deregulasi pengendalian impor, regulasi/deregulasi mendorong ekspor, peningkatan mutu dan
daya saing produk, dan sinergitas Kemendag dan Kemenperin.
Indikator Kesejahteraan Petani 2014-2015 adalah NTP dan NTUP tahun 2015 meningkat,
kecuali subsektor perkebunan rakyat menurun karena komoditas orientasi ekspor (sawit, karet, kopi,
kakao, dll) akibat harga dan krisis global. NTP : Nilai Tukar Petani, indeks yang diterima petani dibagi
indeks yang dibayarkan untuk seluruh pengeluaran rumah tangga petani. NTUP: Nilai Tukar Usaha
Pertanian, indeks diterima petani dibagi indeks yang dibayarkan untuk usaha pertanian.
Pertanian Modern dalam Perspektif Bioekonomi, meliputi Prospective Bio-economi; Securing
global nutrition, Ensuring sustainable agricultural production, Producing healthy and safe foods,
International cooperation, Technology transfer, Developing biomas-based energy carriers, Using
renewable resource for industry. Dengan landasan strategisnya adalah pertanian modern dam
implementasi bioekonomi yang meliputi Bioscience, Bioengineering, Automatization, Social
engineering, Bioinformatics. Strategi pertanian modern yang inovatif dan berdaya saing di Era MEA,
antara lain :
Produksi pangan berkelanjutan; Lahan dan air, Rekayasa teknologi produksi, Peningkatan nilai
tambah dan daya saing, Global value change and market intelligence, dan Rekayasa sosial
Energi terbarukan; Bioenergi berbasis tanaman pertanian, dan Pengembangan energ terbarukan
berbasis biomassa
Strategi Penelitian dan Pengembangan untuk Implementasi Pertanian Modern yang Inovatif;
yaitu (1) Nilai tambah dan daya saing produk, (2) Rekayasa teknologi produksi, (3) Bio-prospecting,
(4) Keanekaragaman hayati, (5) Lahan dan air, (6) Rekayasa sosial, (7) Global value chain, (8)
Bioenergi, (9) Market intelligence

Lahan dan Air


Identifikasi, pencegahan dan mitigasi ancaman terhadap kualitas sumberdaya lahan dan
biodiversitas dengan pengembangan alert system, serta peningkatan kualitas lahan produktif
dengan memanfaatkan nanoteknologi dan bioteknologi

2
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengembangan sistem informasi land use dan land cover (peta, citra, database, decision support,
atau alert system)
Studi dampak lingkungan terhadap perubahan land use dan land cover.
Networking database monitoring untuk pengembangan regulasi terkait pengelolaan sumberdaya
lahan dan lingkungan.
Rekayasa Teknologi Produksi
Eksplorasi, konservasi dan karakterisasi plasma nutfah tanaman dan hewan.
Perakitan kultivar dan ras unggul berpotensi hasil tinggi.
Pengembangan produk transgenik yang aman dan berpotensi tinggi.
Advanced technology, seperti somatic embryogenesiss (perbanyakan benih), nanocoating
(viabilitas benih), nanofluidics (proses fertilisasi), produksi benih secara in vitro, media tanam &
packaging
Advanced urban farming system; pengembangan controled environmental agriculture (CEA), dan
fully computerized multi-storey plant factory (biosensing, dan nano solar cells)

Peningkatan Nilai tambah dan Daya Saing Produk


Penanganan pascapanen dengan rendeman yang tinggi serta mutu yang seragam: sensing
technology (sortasi & grading), nano-bio-preservative (kesegaran produk pert)
Pengembangan pangan sehat: fortifikasi, modifikasi struktur pangan & nano-delivery system dan
penemuan sumber pangan baru (biota laut)
Pengembangan produk non pangan dengan produk-produk turunan yang bernilai tinggi (teknologi
bioproses, separasi, & isolasi yang efisien).
Pengembangan material maju berbasis komposit biomassa (serat selulosa)

Teknologi Pertanian Modern yang Diimplementasikan dalam Pembangunan Pertanian Terkini


Penelitian dan Pengembangan untuk swasembada beras telah dilakukan pada (1)
pengembangan Varietas Unggul Baru (VUB), yaitu Padi amphibi: 9t/ha dan tahan bias, Padi rawa:
8t/ha toleran Fe dan tahan blas, Hibrida:>12-13 t/ha dan tahan HDB/blas, Inbrida:10-11 t/ha dan tahan
WBC dan HDB, Padi fungsional ;6-7 t/ha, Fe tinggi (>20 ppm), (2) Pendampingan UPSUS di 31
provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (BS, FS, SS):1.194 ton, (4) Teknologi PTT lahan sub optimal,
pascapanen dan Alsin 99 teknologi), (5) Sistem informasi Katam dan Standing crop, dan (6)
Revitalisasi PPK meningkatkan renemen beras 4% (13 provinsi). Penelitian dan Pengembangan untuk
swasembada Jagung 2017 dilakukan dengan (1) pengembangan Varietas unggul baru (VUB) yaitu 3
varietas hibrida genjah umur <100 hari dan potensi hasil 12 t.ha, satu varietas inhibrida toleran
kekeringan, dan satu VUB komposit asam amino tinggi; anti oksidan tinggi, (2) Pendampingan
UPSUS di 8 provinsi, (3) Penyediaan benih sumber (95 ton), (4) Teknologi budidaya, pascapanen dan
alsin, (5) Peta kesesuaian lahan (120 kabupaten), dan (6) Model penanganan pascapanen jagung (4
provinsi).
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bawang merah, antara lain (1)
Varietas unggul baru (VUB) off season, Adaptif musim hujan, dan Provitas >24 t/ha, (2) Diseminasi
dan pengawalan UPSUS bawang merah (6 propinsi), (3) Penyediaan benih sumber (BS: 36 ton), (4)
Teknologi perbenihan, budidaya, dan pascapanen, dan (5) Peta kesesuaian lahan.
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi kedelai, yaitu (1) pengembangan
Varietas unggul baru (VUB) adaptif lahan pasang surut dengan provitas 2,5 t/ha, dan adaptif lahan
kering dengan tahan pecah polong dan provitas 3 t/ha, (2) Pendampingan UPSUS di 12 provinsi, (3)
Penyediaan benih sumber (662 ton), (4) Teknologi budidaya pascapanen dan alsin, dan (5) Model
penanganan pascapanen kedelai
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi cabai, yaitu (1) pengembangan
Varietas unggul baru (VUB) off season, adaptif musim hujan, dan provitas > 18 t/ha, (2) diseminasi
dan pengawalan UPSUS cabai di 4 provinsi, (3) penyediaan benih sumber (36 kg), (4) peta kesesuaian
lahan, dan (5) teknologi budidaya pascapanen dan alsin.

3
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi daging, antara lain (1)
pengembangan galur unggul sapi dengan Bobot lahir 25-27 kg: bobot sapi 125-142 kg dan jarak
beranak < 14 bulan: konsumsi pakan lebih efisien, (2) Variasi tanaman pakan ternak, tahan lahan salin,
lahan masam dan tahan naungan, (3) Model pengembangan integrasi sapi-sawit dan bioindustri
berbasisi ternak (2 model), (4) Penyediaan pejantan unggul sap PO (20 ekor), (5) Pendampingan
UPSUS 26 provinsi, (6) Teknologi pemuliaan, pakan, reproduksi, veteriner, dan pascapanen (14
teknologi), dan (7) Rekomendasi kebijakan peternakan dan veteriner (4 rekomendasi).
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi Gula melalui (1) pengembangan
Varietas unggul baru (VUB) dengan provitas >120 t/ha dan rendemen 14%, (2) Pendampingan
UPSUS, kawasan pengembangan tebu, (3) Penyediaan benih unggul (3 juta budset tebu), (4) Sistem
informasi tebu terpadu: peta kesesuaian lahan 1:50.000, dan (5) Teknologi budidaya pascapanen dan
alsin.
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi bahan bakar nabati, yaitu (1)
pwngembangan Varietas unggul (kemiri sunan, jarak pagar) dengan kadar minyak dan provitas tinggi,
(2) Tanaman BBN potensial: kelapa sawit, tebu, kelapa, shorgum manis, jarak pagar, kemiri sunan, ubi
kayu, sagu, (3) Penyediaan benih unggul dengan teknologi SE, (4) Teknologi pengolahan : Biogas cair
(kriobenikembagan), bioetanol fuel grade, bioavtur, biodiesel (distilasi reaktif), bensin
nabati/biogasoline, dan (5) Penyediaan teknologi on farm (sambung pucuk pada kemiri sunan dan
jarak pagar, teknologi budidaya di lahan bekas tambang)
Penelitian dan Pengembangan untuk peningkatan produksi komoditas strategis lainnya, yaitu
Penciptaan: Varietas/galur unggul, teknologi budidaya/pakan, pengembangan model tanaman pangan :
kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, sorgum, gandum tropika, peternakan: kambing,
domba, ayam, itik, babi, tanaman perkebunan: kakao, jambu mete, lada, nilam, jahe, kapas, kelapa,
kopi, jarak pagar, kemiri sunan, dan hortikultura : jeruk, mangga, kentang, krisan .
Penelitian dan Pengembangan transgenik dilakukan pada tanaman padi untuk menghasilkan
benih golden rice dengan kandungan vitamin A tinggi; efisien pemupukan N; toleran kekeringan,
tanaman kedelai dengan umur genjah dan efisiensi pemupukan N, tebu dengan rendemen tinggi,
kentang yang tahan busuk dan phytoptora, jarak pagar yang toleran kekeringan, gandum yang adaptif
iklim tropis, nilam yang tahan penyakit sclerotium Rolfsii, kapas yang toleran kekeringan, dan jahe
yang tahan terhadap pseudomonas sp.
Penelitian dan Pengembangan Nano Teknologi pada kemasan (nanoselulosa, nanofilm),
pangan (nano selulosa, nanonutrien, nanofortifikan), pupuk (nano zeolit, nano pupuk), pPestisida
(biopestisida). Litbang produksi benih melalui somatik Embriogenesis (SE), tebu, kopi, jahe, jeruk,
bawang merah, nilam, dan kakao.

PENUTUP
Inovasi teknologi pertanian modern yang perlu dikembangkan untuk mendukung
pembangunan pertanian berkelanjutan adalah berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan
Biosciense, Bioengineering, social engineering & bioinformatics
Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi fokus
dalam mendorong produk pertanian untuk tetap menjadi andalan di pasar domestik maupun mampu
berkompetisi di pasar global

4
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

MAKALAH UTAMA

5
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

6
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ARAH DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN


DIRECTION AND STRATEGY OF FUTURE AGRICULTURE DEVELOPMENT
Pantjar Simatupang
Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSKP).
Jl. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111,
Email: pantjar@gmail.com

ABSTRAK
Arah dan strategi dapat dipandang sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan program pembangunan
jangka panjang sebagai salah satu komponen esensial dari tata kelola pembangunan yang baik. Tulisan
ini menguraikan dinamika jangka panjang konteks yang memengaruhi kinerja pertanian global, status
perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi pembangunan pertanian
Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat konstitusi, analisis konteks
dan prospek perkembangan tersebut. Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi
global diperkirakan akan menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air
dan energi pada 2030. Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini
dalam penyusunan arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi
yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi
pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan
mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Selain untuk penyusunan suatu dokumen perencanaan
strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi para peneliti dan
pendidik pertanian.
Kata Kunci : Pertanian Masa depan, Strategi,

ABSTRACT
Directions and strategies can be seen as a reference in long-term policy making development program
as one of the essential components of the development of good governance. This paper outlines the
context of the long-term dynamics that affect the performance of global agriculture, the status of
development of agriculture in Indonesia, and thoughts about the direction and strategy of the future
agricultural development in Indonesia organized by destination according to the constitutional
mandate, the analysis of the context and the development prospects. Climate change, population
growth and advancement of the global economy is expected to lead to a perfect storm scenario
(perfect storm): the food crisis, water and energy by 2030. Although impressed pessimistic, Indonesia
must anticipate these threats in the preparation of policy and strategy of agricultural development in
the future. Due to that reason appropriate strategy is the development of agricultural systems
bioindustry. Therefore national development strategies must necessarily adopt agricultural paradigm
for development and the approach adopted agrobiobussines. In addition to the preparation of a
strategic planning document, this paper is also expected to be useful as reference material for
researchers and educators agriculture.
Keywords : Future agriculture, Strategy,

7
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

I. PENDAHULUAN

Planning without action is futile, action without planning is fatal Cornelius Fichtner1
Adagium rencana tanpa dikerjakan adalah sia-sia, bekerja tanpa perencanaan adalah fatal
merupakan prisip dasar terkenal bagi para perencana dan manajer kebijakan, program atau proyek
pribadi, perusahaan, organisasi masyarakat atau pemertintah. Adagium itu menyatakan bahwa setiap
pekerjaan mestinya direncanakan. Pekerjaan tanpa direncakan tidak saja berpeluang besar gagal tidak
efektif dan tidak efisen, atau tidak berhasil mewujudkan tujuannya tetapi bahkan dapat menimbulkan
bencana atau kerugian tak terduga. Setiap manajer kebijkan, program atau proyek haruslah
direncanakan. Sebaliknya, perencanaan yang tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan implementasi
adalah sia-sia belaka, hanya membuang tenaga, dana dan waktu belaka. Perencanaan dapat dipandang
sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan. Perencanaan berbasis ilmu pengetahuan dan data
faktual mutlak perlu apalagi berkaitan dengan kebijakan dan program yang menyangkut penggunaan
dana besar dan kepentingan orang banyak. Pandangan kerja,kerja dan kerja haruslah dipandang
sebagai amanat untuk melaksanakan sutau kebijakan, program atau proyek yang sudah direncanakan
dengan baik berdasarkan pengetahuan (logis) dan realitas (fakta).
Pada masa Orde Lama, pembangunan pertanian dan pembangunan nasional didasarkan pada
suatu perencanaan sistematis dan berjenjang yang mencakupRencana Pembanghunan Jangka Panjang
(RPJP) untuk selama 25 tahun dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disusun oleh MPR
berdasarkan UUD 1945,selanjutnya oleh Presiden sebagai mandataris MPR dijabarkan kedalam
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Era Reformasi, GBHN ditiadakan
berdasarkan UUD 1945 perubahan, RPJP diganti dengan sebutan Rencana Pembangunan Jangaka
Panja Nasiopnal (RPJPN) untuk selama 20 tahun berdasarkan UU 17/2007, Repelita diganti dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh Presiden terpilih
yang kemudian dijabarkan menjadi Rencana Strategis Kementerian/Lembaga. Masalahnya ialah
RPJPN itu amat umum sehingga dalam praksis RPJMN disusun seolah-olah tidak berkaitan satu sama
lain. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kemungkinan besar tidak konsisten dan
koheren dalam jangka panjang.
Pembangunan pertanian amat penting untuk menjamin ketahanan pangan dan gizi seluruh
rakyat, kesejahteraan ratusan juta rakyat dan fasilitator, dan dinamisator pembangunan nasional,
sementara kinerjanya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat eksternal dan tidak
menentu. Perencanan jangka panjang amat diperlukan dalam tatakelola pembanganan pertanian jangka
panjang. Arah dan strategi adalah landasan perumusan kebijakan dan program dalam suatu dokumen
perencanan strategis. Berikut ini diuraikan analisis tentang konteks yang memengaruhi kinerja
pertanian global, status perkembangan pertanian Indonesia, dan pemikiran tentang arah dan strategi
pembangunan pertanian Indonesia masa depan yang disusun berdasarkan tujuan menurut amanat
konstitusi, analisis konteks dan prospek perkembangan tersebut. Selain untuk penyusunan suatu
dokumen perencanaan strategis, tulisan ini diharapkan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi
para peneliti dan pendidik pertanian.

1
Cornelius Fichtner on Twitter: ":-) Planning without action is futile ...
https://twitter.com/corneliusficht/status/2515541824, diunduh pada 31 Oktober 2016

8
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

II. DINAMIKA LINKUNGAN STRATEGIS GLOBAL

2.1 Kekuatan utama penentu dinamika pertanian global

Perubahan demografis
Penduduk dunia diproyeksikan akan meningkat sekitar 2,3 milyar jiwa, dari 7,0 miliar jiwa
pada 2011 menjadi 9,3 miliar jiwa pada 2050 atau dengan laju pertumbuhan sekitar 0,72 persen per
tahun. Hampir seluruh peningkatan penduduk tersebut terjadi di negara-negara berpendapatan rendah.
Penduduk negara-negara maju sudah mendekati tahapan stasioner, sedangkan penduduk negara-negara
berkembang dan terbelakang berturut-turut meningkat 0.83 %/tahun dan 1,77 %/tahun. Jika dilihat
menurut kawasan, pertambahan pendududuk tersebut sebagian besar (89,24 %) terjadi di Afrika dan
Asia. Pertambahan penduduk di dua benua ini Penduduk Afrika meningkat 1,1 miliar jiwa, dari 1,04
milyar jiwa pada 2011 menjadi 2,2 miulyar jiwa pada 2050 atau 1.85 %/tahun. Penduduk Asia
meningkat 935 juta atau 40,09 % dari pertambahan penduduk dunia namun pertumbuhannya hanya
0,5 %/tahun, jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk Afrika (Tabel 1).

Tabel 1. Proyeksi pertumbuhan penduduk dunia 2011-2050


Wilayah Jumlah (juta Pangsa (%) Pertumbuhan % Usia lanjut
jiwa) (%/tahun) ( >60 tahun)
2011 2050 2011 2050 2011-2050 2011 2050
Dunia 6974 9306 100 100 0.72 11 22
Negara-negara maju 1240 1312 17.8 14.1 0.14 22 32
Negara-negara berkembang 5734 7994 82.2 85.9 0.83 9 20
Negara-negara paling terbelakang 851 1726 12.2 18.6 1.77 5 11
Negara-negara berkembang lain 4883 6268 70.0 67.4 0.62 10 23
Afrika 1046 2192 15.0 23.6 1.85 6 10
Asia 4207 5142 60.3 55.3 0.50 10 24
Eropa 739 719 10.6 7.7 -0.07 22 34
Amerika Latin dan Karibia 597 751 8.6 8.1 0.58 10 25
Amerika Utara 348 447 5.0 4.8 0.63 19 27
Oseania 37 55 0.5 0.6 0.99 15 24
Source: United Nations (2011)

Dimensi kedua perubahan struktur demografi yang dipandang paling berpengaruh terhadap
permintaan pangan ialah urbanisasi yang berlangsung beriringan dengan transformasi struktur
ekonomi. Penduduk perkotaan di negara-negara maju meningkat dengan laju 0.52 %/tahun pada 2011-
2030 dan kemudian melambat menjadi 0.29 %/tahun pada 2030-2050 dengan kecepatan urbanisasi
0.29 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,23 %/tahun pada 2030-2050. Laju pertumbuhan penduduk
perkotaan di negara-negara berkembang meningkat jauh lebih cepat dari pada di negara-negara maju,
yakni dengan laju 2.02 %/tahun pada 2011-2030 dan kemudian melambat menjadi 1,34 %/tahun pada
2030-2050 dengan laju 0.95 %/tahun pada 2011-2030 dan 0,69 %/tahun pada 2030-2050.

Perubahan kesejahteraan ekonomi


Hukum Engel mengatakan bahwa jumlah maupun kualitas konsumsi pangan meningkat
namun pangsa nilai pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan pangan.
Dengan hukum ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi pangan per kapita meningkat seiring dengan
peningkatan pendapatan per kapita namun besaran peningkatannya cenderung menurun. Dengan
perkataan lain, elastisitas permintaan pangan terhadap pendapatan lebih tinggi di negara yang
pendapatan per kapitanya lebih rendah. Hukum kedua yang dapat digunakan untuk menjelaskan
perubahan pola konsumsi pangan seiring dengan perubahan pendapatan ialah hukum Bennet: apabila
pendapatannya meningkat maka rumahtangga akan melakukan substitusi bahan pangan pokoknya
dengan mengurangi sumber karbohidrat bermutu rendah (ubikayu, barley, sorgum, jagung) dan
menambah sumber karbohidrat bermutu tinggi (beras, terigu) dan selanjutnya akan mengurangi
sumber karbohidrat maupun sumber protein nabati dan menambah sumber protein (daging, telur,
susu) maupun sayuran dan buah-buahan. Hukum Bennet dapat dipakai untuk menjelaskan bahwa
diversifikasi pangan akan berjalan seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita (Thomson and
9
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Metz, 1988). Berdasarkan penelitian empiris dengan menggunakan data sejumlah negara Cranfield,
et.al. (1998) menggolongkan tiga pola konsumsi menurut tingkat pendapatan (Tabel 2)

Tabel 2. Komposisi umum bahan pangan menurut tingkat pendapatan


Peringkat nilai Tingkat pendapatan perkapita penduduk
pengeluaran Rendah Menengah Tinggi
1 Biji-bijian Produk ternak Produk ternak
2 Produk ternak Biji-bijian Pangan lainnya
3 Sayur dan buah Sayur dan buah Sayur dan buah
4 Pangan lainnya Pangan lainnya Biji-bijian
Sumber: Cranfield, et.al. (1998)

Globalisasi dan diet westernization


Globalisasi perdagangan dan investasi telah membuat setiap negara terbuka terhadap investasi
asing dalam bidang industri makanan dan minuman, restoran, perdagangan eceran (super markets) dan
pertanian. Globalisasi telah menciptakan gelombang westernization of diet yang dicirikan oleh
transformasi pola pangan dari berbasis diet tradisional menjadi berbasis diet barat (Pingali, 2004).
Gelombang westernization of diet dapat diamati dari pertumbuhkembangan restoran cepat saji
multinasional seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, yang kini sudah ada di hampir
seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Lebih jauh, Kelly, et al (2010) menyatakan bahwa
konvergensi pola pangan ke arah diet barat pada tataran global juga diikuti oleh divergensi menurut
status sosial ekonomi. Pada awalnya, diet barat diadopsi oleh kelompok penduduk berpendapatan
tinggi. Pada tahapan pembangunan yang lebih tinggi, kelompok penduduk berpendapatan tinggi, yang
lebih sadar akan resiko kesehatan diet barat dan lebih berkemampuan dalam mengatur pola
pangannya, akan cenderung menghindari diet barat sedangkan kelompok penduduk berpendapatan
rendah terus meningkatkan adopsinya terhadap diet barat. Fenomena inilah yang disebut divergensi
diet . Berdasarkan hipotesis konvergensi dan divergensi diet yang diajukan oleh Kelly, et al (2010),
substitusi pola pangan tradisional dengan pola pangan barat (konvergensi ke diet barat) terutama
terjadi di negara-negara sedang berkembang. Konvergensi diet yang terjadi menurut status sosial
ekonomi penduduk domestik akan menyebabkan kelompok penduduk miskin terperangkap dalam
pola pangan barat yang beresiko tinggi menimbulkan sindroma obesitas dan penyakit terkait makanan
lainnya.

Kelangkaan lahan dan air


Peningkatan kelangkaan lahan pertanian merupakan fenomena global. Berikut adalah faktor-
faktor utama penyebab penurunan luas lahan pertanian. GiovannuccI, et. al (2012) mengemukakan
bahwa sekitar 20.000-50.000 km2 lahan potensial produktif hilang tiap tahun karena erosi dan
degradasi dan 2.9 km2 dinilai berisiko tinggi berubah menjadi padang pasir, sejumlah besar
diantaranya di negara-negara berkembang. Erosi dan degradasi serta konversi ke penggunaan non
pangan diperkirakan menurunkan ketersediaan lahan untuk pangan sebesar 8-20 % hingga
2050.Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, pertumbuhan lahan pertanian global mengalami
perlambatan dari 0,17 %/tahun pada 1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Lahan
pertanian mengalami pertumbuhan positif dengan laju yang menurun tajam dari 0,65 %/tahun pada
1990-2005 menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-2050. Namun di negara-negara industri dan transisi
ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Lahan pertanian di Afrika Utara juga menurun dengan laju
yang semakin tinggi sejak tahun 1990an. Pertumbuhan lahan tertingi ialah di Sub-Sahara Afrika yang
mencapai 1,07 %/tahun pada 1990-2005 namun menurun tajam menjadi 0,10 %/tahun pada 2015-
2050. Amerika Latin menduduki peringkat laju pertumbuhan tertinggi kedua pada periode 2015-2050
dengan laju 0,55 %/tahun. Laju pertumbuhan di Asia Timur menurun tajam dari 1,12 %/tahun
(peringkat tertinggi pertama) pada 1990-2005 menjadi 0,02 %/tahun pada 2015-2050.

10
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Perluasan lahan pertanian global 1961/63-2050


Area Tanah pertanian yang digunakan (juta ha) Pertumbuhan (%/tahun)
1961/63 1989/91 2005 20015 2030 2050 1961- 1990- 2015-
2005 2005 2050
Sub-sahara Afrika 133 161 193 236 275 300 0.80 1.07 0.55
Amerika latin 105 150 164 203 234 255 1.01 0.64 0.52
Afrika utara 86 96 99 86 84 82 0.34 -0.02 -0.11
Asia selatan 191 204 205 206 211 212 0.15 0.07 0.07
Asia timur 178 225 259 235 236 237 0.99 1.12 0.02
China 73 94 102 105 109 112 0.85 0.71 0.15
Negara 693 837 920 966 1040 1086 0.67 0.65 0.27
berkembang
China dan India 426 536 594 666 740 789 0.75 0.66 0.39
Negara industri 388 401 388 388 375 364 -0.02 -0.21 -0.15
Negara transisi 291 277 247 247 234 223 -0.32 -0.90 -0.23
Dunia 1375 1521 1562 1602 1648 1673 0.30 0.17 0.10
Source: Bruinsma (2011)

Pertanian merupakan pengguna air terbesar. Kedepan, pertanian akan menghadapi masalah
kelangkaan air yang kian ketat sebagai konsekuensi dari perpaduan dua kecenderungan berikut.
Pertama, peningkatan permintaan air untuk non-pertanian sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan
kemajuan ekonomi. Kedua, penurunan pasokan baku air sebagai akibat dari perubahan iklim dan
degradasi alam. Seperti halnya lahan, nilai manfaat (rente) penggunaan air untuk pertanian secara
umum lebih rendah daripada untuk non-pertanian. Oleh karena itu, pertanian akan terus mengalami
tekanan kelangkaan air yang semakin berat. GiovannuccI, et. al (20120) mengemukakan bahwa
kelangkaan air boleh jadi merupakan faktor yang paling kuat dalam menurunkan hasil pertanian.
Kelangkaan air, yang diperburuk oleh tekanan hama dan penyakit tanaman dan hewan, dapat
menurunkan hasil pertanian antara 5-25 %. Insiden kekeringan dalam 30 tahun terakhir telah
membunuh sekitar 20 %-62 % ternak dan memicu kelaparan di 6 negara Afrika.

Perubahan iklim global


Dampak utama perubahan iklim global mencakup (Hoffmann, 2011, Keane, et. al. , 2009):
1. Peningkatan suhu mempengaruhi kesehatan tanaman, hewan dan petani, meningkatkan hama-
penyakit, menurunkan pasokan air meningkatkan resiko perluasan ariditas dan degradasi lahan.
2. Perubahan pola presipitasi akan memperkuat kelangkaan air dan tekanan kekeringan terhadap
tanaman dan mengubah pasokan air.
3. Meningkatkan frekuensi kejadian iklim ekstrim berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman
dan ternak serta merusak infrastruktur pertanian.
4. Meningkatkan konsentrasi C02 atmosfir dalam jangka pendek dapat meningkatkan fertilisasi
karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman (namun dalam jangka panjang dapat
menurunkan produktivitas tanaman).
5. Meningkatkan permukaan air laut yang dapat mengurangi luas lahan dan ketersediaan air tawar
untuk pertanian, mengubah kondisi produksi akuakultur dan mengubah infrastruktur perdagangan
pertanian.
6. Mempersulit perencanaan produksi pertanian.
Tidak dapat dipungkiri, sebagian elemen perubahan iklim dapat berdampak positif terhadap
produksi pertanian. Peningkatan konsentrasi C02 atmosfir sampai kadar tertentu dapat fertilisasi
karbon yang berarti meningkatkan produktivitas tanaman tertentu. Namun secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa perubahan iklim berpengaruh negatif terhadap produksi pangan global. Seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 4, perubahan iklim dapat menurunkan secara nyata produksi pangan
global. Pada periode 2000-2050, perubahan iklim diperkirakan akan dapat menurunkan produk beras -
12.7 %, gandum -25.3 %, jagung -0.1%, millet -7.7% dan sorgum -2.5 %. Secara umum, dampak
negatif perubahan iklim ternyata lebih buruk di negara-negara sedang berkembang daripada di negara-
negara maju. Kiranya dapat diperhatikan bahwa dampak perubahan iklim secara umum lebih parah
terhadap makanan pokok di setiap kawasan. Sebagai contoh, untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik,
dampak negatif terparah ialah untuk beras yang merupakan bahan pangan pokok di kawasan tersebut.

11
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Untuk Asia Selatan, dampak negatif terparah ialah untuk gandum, beras dan jagung sedangkan untuk
kawasan Eropa dan Asia Tengah dampak negatif tertinggi ialah untuk gandum dan jagung yang
kesemuanya adalah pangan pokok di masing-masing kawasan. Persebaran demikian memperparah
dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan global.

Tabel 4. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan 2000-2050 (tanpa penyerbukan karbon) (%)
Wilayah Beras Gandum Jagung Millet Sorghum
Asia Selatan -14.4 -46.2 -13.7 -14.2 -15.9
Asia Timur dan Pasifik -9.7 1.8 -1.9 6.25 4.05
Eropa dan Asia Tengah -0.5 -47.2 -28.6 -4.75 -6.5
Amerika Latin dan Karibia -20.5 14.4 -2.15 8.0 3.3
Timur Tengah dan Afrika Utara -36.3 -6.9 -16.6 -4.1 0.5
SubSahara Afrika -14.8 -34.6 -8.3 -7.2 -2.6
Negara-negara berkembang -11.2 -9.4 6.65 -4.3 -5.2
Negara-negara maju -12.8 -31.3 -6.15 -7.7 -2.0
Dunia -12.7 -25.3 -0.1 -7.7 -2.5
Keterangan: Rata-rata proyeksi model CSIRO dan NCAR Sumber: Nelson, et.al. 2009.

Pada tahap awal ini akan terjadi persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan
pemenuhan kebutuhan bioenergi. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hayati dan
bioenjinering, bioenergi dapat pula dihasilkan dari sampah organik, selulosa (generasi kedua) dan alga
(generasi ketiga), tidak perlu lagi menggunakan bahan pangan sehingga pemenuhan kebutuhan
pangan dan bioenergi tidak lagi bersifat trade-off. Oleh karena itulah penggunaan bahan pangan tidak
berubah atau bahkan menurun pada periode 2030-2050.

2.2 Ancaman badai sempurna (The perfect strorm): Krisis pangan, energi dan air
Perpaduan antara peningkatan kelangkaan dan harga bahan bakar fosil dan kemajuan dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi biorefinery telah mendorong peningkatan pesat produksi bioenergi.
Pada periode 2015-2050, permintaan komoditas pangan untuk bioenergi diproyeksikan akan tumbuh
2,55 %/tahun sedangkan untuk pangan hanya tumbuh 0,79 %/tahun (Deutsche Bank, 2009). Pangsa
permintaan bioenergi meningkat dari 13,36 % pada 2015 menjadi 18,61 % pada 2050. Pada tahap
awal, produksi bioenergi masih menggunakan teknologi generasi pertama dengan feedstock komoditas
pangan utamanya jagung, kedelai, tebu, ubikayu dan tanaman minyak (khususnya kelapa sawit).
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9, penggunaan beberapa komoditas pangan untuk bionergi
meningkat sangat tajam: serealia meningkat dari 65 juta ton pada 2005/2007 menjadi 182 juta ton pada
2050, minyak sayur meningkat dari 7 juta ton pada 2005/2007 menjadi 29juta ton pada 2050, tebu
meningkat dari 28 juta ton pada 2005/2007 menjadi 81 juta ton pada 2050, dan ubikayu meningkat
dari satu juta ton pada 2005/2007 menjadi delapan juta ton pada 2050 (Tabel 5).

Tabel 5. Penggunaan Komoditas Pangan untuk Bioenergi 2005/2007-2050


Komoditas Satuan 2005/ 2007 2030 2050
Serealia Juta ton 65 182 182
Serealia Persentase dalam total penggunaan 3.2 6.7 6.1
Minyak sayur Juta ton 7 29 29
Minyak sayur Persentase dalam total penggunaan 4.8 12.6 10.3
Sugar (equiv. tebu) Juta ton 28 81 81
Sugar (equiv. tebu) Persentase dalam total penggunaan 15.1 27.4 24.3
Ubikayu (segar) Juta ton 1 8 8
Ubikayu (segar) Persentase dalam total penggunaan 0.4 2.3 1.8
FAO (2012)

Proyeksi Idso (2011) menunjukkan bahwa dengan menerapkan Iptek maju total produksi
pangan dapat meningkat 0,84 %/tahun sementara bila penerapan Iptek maju dikombinasikan dengan
fertilisasi C02 maka total produksi pangan dapat meningkat 1,26 %/tahun (Tabel 6). Fertilisasi C02
sangat penting dalam peningkatan produksi pangan. Jelaslah kiranya bawa produksi pangan dunia
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Professor John Beddington(2009) kepala dewan ilmuan
12
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

(Chief Scientist) Kerajaan Inggris bahkan memperkirakan scenario badai sempurna (the perfect storm
scenario) pada 2030 yang pada intinya memperkirakan bahawa permintaan pangan akan meningkat
1,5 %/tahun, energi 1,5 %/tahun dan air 0,9 %/tahun (akibat petumbuhan penduduk, perubahan
struktur demografi, pertumbuhan ekonomi sebagaimana telah dijelaskan di muka), sementara kapasitas
produssi pangan dan air cederung menurun (akibat perubahan iklim) dan cadangan energi fosil kian
menipis shingga pada 2030 akan terjadi krisis pangan, air dan energi pada tataran global.

Tabel 6. Proyeksi Penawaran Pangan Global 2009-2050


Tanaman Pangsa Produksi Produksi 2050 Pertumbuhan 2009- 2050
produks 2009 (juta (%/tahun)
i (%) ton) Iptek maju Iptek maju + fertilisasi Iptek Iptek maju +
(juta ton) C02 (juta ton) maju fertilisasi C02
Tebu 21.24 1.607 1.979 2.243 0,56 0,97
Jagung 10.28 801 1.283 1.366 1,47 1,72
Beras 9.44 667 867 982 0,73 1,15
Gandum 9.37 649 869 970 0,82 1,21
Kentang 4.87 329 416 466 0,64 1,01
Gula bit 3.88 233 440 515 2,17 2,95
Ubikayu 2.98 235 396 412 1,67 1,84
Kedelai 2.84 237 289 342 0,53 1,08
K. sawit 2.25 212 359 404 1,69 2,21
Barley 2.22 144 194 221 0,85 1,30
Ubijalar 1.97 109 42,2 60,0 -1,49 -1,10
Melon 1.22 106 192 203 1,97 2,23
Pisang 1.13 92,4 147,6 167 1,46 1,97
Jeruk 0.98 66,5 52,6 66,8 -0,51 0,01
Anggur 0.97 68,5 88,0 111 0,69 1,51
Apple 0.94 68,7 151 166 2,92 3,45
Kubis 0.93 73,8 67,0 82,0 -0,22 0,27
Lettuce 0.30 24,7 24,5 28,7 -0,02 0,39
Total 95.0 7.046 9.474 10.677 0,84 1,26
Sumber: Idso (2011)

Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan
arah kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Untuk itu, strategi yang dipandang
tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri. Untuk itu, strategi pembangunan nasional
mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk pembangunan dan mengadopsi pendekatan
agrobiobisnis Semua itu akan dibahas dalam bagian berikut.

III. PERUBAHAN KONTEKS DAN KONTEN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS

Kemajuan peradaban pada tataran global dalam enam dekade terakhir, telah menyebabkan
perubahan mendasar dalam context dan content pembangunan agribisnis. Perubahan context berkaitan
dengan perubahan lingkungan strategis sementara perubahan content berkaitan dengan berubahan
karakter internal dari sistem agribisnis. Perubahan context dan content telah mengubah arah, issu dan
kebijakan, yang berati pula paradigma pembangunan yang tepat untuk memahami dan mengelola
pembangunan agribisnis. Faktor-faktor pendorong utama (key drivers) yang mendorong perubahan
tersebut diuraikan berikut ini (Simatupang, 2015).
Pertama, perubahan tataran persaingan dari persaingan antar perusahaan menjadi persaingan
antar rantai nilai. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari globalisasi perekonomian dan perubahan
preferensi konsumen hasil usaha agribisnis. Seperti yang dijelaskan oleh Simatupang (1995),
globalisasi ekonomi dicirikan oleh liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga dayasaing menjadi
kunci bagi setiap perusahaan agar dapat bertahan hidup dan tumbuh-kembang. Liberalisasi
perekonomian merupakan konsekuensi dari kesepatan World Trade Organization (WTO) dan Tripple-
T Revolution (Telecommunication, Transportasi, Tourism). Perubahan preferensi konsumen dicirikan
oleh perubahan preferensi konsumen dari permintaan terhadap komoditas atau produk menjadi
13
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

permintaan terhadap atribut produk. Selain itu, konsumen juga menuntut adanya transparansi dan
ketelusuran (traceability) penggunaan input, produsen dan proses produksi serta sistem logistik hingga
produk sampai ke konsumen akhir. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui pengelolaan rantai nilai
secara eksklusif.
Kedua, kesadaran baru tentang orientasi pembangunan. Kini semakin disadari bahwa
orientasi kehidupan manusaia, yang berarti juga orientasi pembangunan setiap negara, bersifat multi-
dimensi. Tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga berdimensi sosial dan lingkungan. Dimesi
sosial mencakup antara lain keadilan dan pemerataan pembangunan (justice and equity), partisipasi
demokratik, dan hak azasi manusia (bahkan juga hewan). Dimensi lingkungan mencakup
keberlanjutan sumberdaya alam serta kesehatan, kenyamanan, dan keindahan lingkungan hidup.
Seiring dengan itu, usaha agribisnis tidak boleh lagi berorientasi pada perolehan laba sebesar-besarnya
(dimensi ekonomi), tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan hidup, keadilan dan pemerataan
pembagian hasil usaha, dan hak azasi pegawainya, turut bertanggung jawab atas penghidupan
masyarakat sekitar (dimensi sosial), serta bertanggunggung jawab atas kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan hidup. Keberlanjutan eksistensi perusahaan ditentukan oleh pelaksanaan ketiga
dimensi tersebut. Indikator kinerja perusahaan ini dikenal dengan konsep Profit (Ekonomi)-People
(Sosial)-Planet (Lingkungan Hidup). Dengan demikian, kesadaran baru itu telah mengubah orientasi
nilai manfaat yang diciptakan oleh perusahaan agribisnis dari semata-mata nilai ekonomi menjadi nilai
ekonomi plus nilai sosial dan nilai lingkungan hidup.
Ketiga, pandangan baru bahwa iklim global adalah barang publik global (global public good)
yang kini sudah mengalami perubahan yang mengancam eksistensi kehidupan di bumi. Iklim global
adalah barang publik global, yang berarti bahwa iklim mempengaruhi kehidupan setiap orang dimana
saja, sehingga setiap orang dimana saja turut beranggung jawab untuk memeliharanya. Penelitian
menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah mendekati titik kritis, yang mengancam kenyaman dan
eksistensi manuasi dan mahluk hidup hidup secara umum. Perubahan iklim juga juga telah
menyebabkan penurunan produksi pertanian global. Perubahan iklim global tersebut merupakan
indikasi dari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Setiap usaha agribisnis berkewajiban
untuk turut serta dalam memelihara iklim global.
Keempat, kebangkitan bioekonomi. Mengingat bahan fosil diperkirakan akan semakin langka
dan mahal sepanjang abad ke-21 dan akan habis keseluruhannya di awal abad ke-22, maka ke depan,
perekonomian setiap negara haruslah ditransformasikan dari yang selama ini berbasis pada sumber
energi dan bahan baku asal fosil menjadi berbasis pada sumber energi dan bahan baku baru dan
terbarukan, utamanya bahan hayati. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi
industri dan revolusi teknologi informasi berbasis bahan fosil telah berakhir, dan akan digantikan oleh
era revolusi bioekonomi yang digerakkan oleh revolusi bioteknologi dan bioenjinering yang mampu
menghasilkan biomassa sebesar-besarnya untuk kemudian diolah menjadi bahan pangan, pakan,
energi, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bioproduk lain secara berkelanjutan (Kementerian
Pertanian, 2014). Bioekonomi itu pastilah berbasis agribisnis penghasil biomassa (agrobiomassa).
Banyak negara telah mempersiapkan diri untuk mengambil kesempatan lebih awal dari kebangkitan
revolusi bioekonomi tersebut dengan menyusun rencana strategis dan melaksanakannya dengan road
map yang komprehensif (Albrecht and Ettling, 2014). Era revolusi bioekonomi menjadi momentum
bagi kebangkitan kembali (renaissance) pertanian dan ilmu ekonomi pertanian (Sexton, 2013).
Kelima, saturasi teknologi Revolusi Hijau dan kebangkitan Revolusi Hayati. Pingali (2012)
mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau generasi pertama telah berakhir pada paruh pertama
dekade 1980an. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan bahwa tren
produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak akhir dekade
1990an. Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi
Hayati (Biorevolution) menggantkan Revolusi Hijau (Green Revolution) yang kini telah mengalami
pemudaran atau bahkan telah berubah menjadi sumber permasalahan bagi pertanian. Ciri-ciri
Revolusi Hayati itu dan perbandingannnya dengan Revolusi Hijau ditampilkan pada Tabel 1.
Penggerak utama Revolusi Hayati itu ialah Revolusi Bioekonomi (sebagaimana diuraikan di atas);
Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat. Perubahan iklim global dan internalisasinya
dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air; Peningkatan
permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Kementerian Pertanian
(2014) telah menyusun kerangka dasar atau strategi induk pembangunan pertanian dalam rangka

14
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

mengambil kesempatan pertama dari kebangkitan Revolusi Hayati tersebut. Namun demikian, kita
masih menunggu respon positif dari Pemerintah dan para pihak terkait dalam pelaksanaan gagasan
besar tersebut.

IV. ARAH DAN STRATEGI

4.1 Arah pembangunan pertanian jangka panjang


Pembangunan pertanian adalah bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia untuk
melaksanakan amanat konstitusi menjadi negara yang merdeka, berdaulat dan turut aktif dalam
menjaga ketertiban dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjamin pekerjaan, penghidupan
yang layak dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejalan dengan itu maka dalam jangka
panjang pembangunan pertaniqan diarahkan untuk mewujudkan Pertanian Indonesia yang
Bermartabat, Mandiri, Maju, Adil dan Makmur(Kementerian Partanian, 2014).
Pertanian yang bermartabat berkenaan dengan tingkat harkat kemanusiaan petani Indonesia.
Petani Indonesia memiliki kepribadian luhur, harga diri, kebanggaan serta merasa terhormat dan
dihormati sebagai petani. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menjamin kedaulatan petani
dalam mengelola usahanya serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan sehingga berusahatani
merupakan pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan dan dapat menjamin penghidupan yang sejahtera
bagi seluruh keluarga petani.
Pertanian yang mandiri tercermin pada kedaulatan negara dalam pembuatan kebijakan,
kedaulatan petani dalam mengelola usahatani, dan kemampuan sektor pertanian. Pada tataran
kebijakan, pertanian mandiri berarti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki
kebebasan dan kedaulatan penuh dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan
pertanian.Dalam hal petani dan usahataninya, pertanian mandiri berarti bahwa petani Indonesia
memiliki kemerdekaan dan kedaulatan dalam mengelola usahataninya. Secara sektoral, pertanian
mandiri berarti bahwa bahan pangan pokok, bahan baku industri maupun bahan baku energi hayati
(bio-energy) dapat dipenuhi dengan sebesar-besarnya mengandalkan pada hasil produksi pertanian
dalam negeri.
Pertanian maju terkait dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di sepanjang rantai
nilai usaha perrtanian (business governance),tatakelola pembangunan (development governance), dan
tingkat kesejahteraan petani. Pertanian maju menerapkan inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi terbaru. Pertanian maju juga dicirikan oleh derajat modernisasi tatakelola pertanian yang
dibangun oleh pemerintah dengan membuat regulasi dan standar, membangun infrastruktur publik,
menyediakan insentif usaha dan menjamin persaingan usaha yang sehat, yang secara keseluruhan
disebut lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Peningkatan nyata
kesejahteraan petani yang terbebas dari ancaman kerawanan pangan dan kemiskinan merupakan ciri
mutlak dari suatu pertanian yang maju. Pada tahapan yang lebih tinggi, pertanian maju dicirikan oleh
tingkat kesejahteraan petani yang setara dengan tingkat penghidupan warga negara yang bekerja di
sektor-sektor lainnya.
Pertanian yang adil berkaitan dengan pemerataan kesempatan berusahatani, berpolitik, dan
akses terhadap jaminan penghidupan (livelihood) secara horizontal antar individu petani, secara
spasial antar wilayah (desa-kota, antar pulau, antar kawasan), dan secara sektoral antar bidang
pekerjaan. Pemerataan kesempatan berusahatani mencakup pemerataan akses terhadap komponen-
komponen utama usahatani yang mencakup lahan, sarana dan prasarana, teknologi, modal, dan pasar.
Pemerataan kesempatan berusahatani, berpartisipasi politik dan memperoleh penghidupan saling
menguatkan satu sama lain. Pemerataan kesempatan berusahatani merupakan kunci untuk
mewujudkan pemerataan memperoleh pekerjaan dan pendapatan (penghidupan), sementara
pemerataan kesempatan berpartisipasi politik merupakan kunci untuk mewujudkan pemerataan
kesempatan berusaha bagi petani. Selain itu, pemerataan kesempatan berusahatani juga bermanfaat
untuk mewujudkan pemerataan memperoleh kesempatan berpartisipasi politik.
Pertanian yang makmur dicirikan oleh kehidupan seluruh petani yang serba berkecukupan
terbebas dari ancaman rawan pangan dan kemiskinan. Pertanian yang makmur merupakan resultante
dari pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, dan adil. Selanjutnya, pertanian yang makmur ini
merupakan instrument dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Sehingga secara keseluruhan,

15
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur merupakan cita-cita luhur pembangunan
pertanian sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Karakteristik pertanian yang bermartabat,
mandiri, maju, adil dan makmur saling menguatkan satu sama lain. Kelima karakteristik pertanian ini
terrefleksikan dalam perwujudan kedaulatan pangan dan kesejahrteraan petani. Oleh karena itu
kiranya dapat dipahami kenapa visi Rencana Strategis Kemeterian Pertanian dirumuskan sebagai
berikut: Terwujudnya Kedaualatan Pangan dan Kesejahteraan Petani

4.2 Peran strategis sektor pertanian dalam pembangunan nasional


Sektor pertanian dapat diarahkan untuk mengemban paling sedikit sepuluh fungsi strategis
dalam pembangunan nasional (Kementerian Pertanian, 2014):
1. Ketahanan pangan;
2. Penguatan ketahanan penghidupan keluarga (household livelihoodsecurity);
3. Pengembangan sumberdaya insani;
4. Basis (potensial) untuk ketahanan energi (pengembangan bioenergi);
5. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan;
6. Jasa lingkungan alam (ekosistem);
7. Basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri;
8. Penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan;
9. Penguatan daya tahan perekonomian nasional (economic resilient);
10. Sumber pertumbuhan berkualitas.
Ketahanan pangan memiliki nilai intrinsik dan nilai instrumental. Secara intrinsik, ketahanan
pangan bermanfaat untuk menjamin eksistensi hidup, mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pula bermanfaat untuk mewujudkan tujuan akhir
pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan konstitusi. Secara instrumental, ketahanan pangan
bermanfaat untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial serta untuk menjamin keberadaan insan
berkualitas tinggi yang merupakan prasyarat pembangunan nasional secara umum.
Pertanian di Indonesia masih akan merupakan jangkar atau landasan ketahanan penghidupan
(livelihood security) bagi puluhan juta keluarga di Indonesia hingga beberapa dekade mendatang.
Sebagai jangkar penghidupan keluarga berarti bahwa pertanian merupakan tumpuan utama dalam
memenuhi kebutuhan dasar keluarga yang meliputi pekerjaan yang layak, akses pangan yang terjamin
dan pendapatan yang cukup untuk mengakses kebutuhan dasar lainnya. Selain itu, pertanian
merupakan bagian dari kegiatan sosial dan budaya bagi penduduk perdesaan. Bagi sejumlah besar
petani marginal, pertanian bahkan menjadi andalan untuk dapat bertahan hidup layak. Bagi mereka,
pertanian merupakan masalah hidup-mati (survival).
Ketahanan pangan juga esensial untuk peningkatan kapasitas insani yang menjadi subjek,
objek dan pemanfaat pembangunan nasional. Menurut definisi, ketahanan pangan adalah kondisi
terjaminnya akses pangan yang cukup gizi bagi setiap orang untuk setiap waktu, aman bagi kesehatan
serta sesuai nilai sosial, agama dan kepercayaan agar dia dapat hidup sehat dan produktif. Rawan
pangan akan menyebabkan berbagai sindroma penyakit kurang gizi, termasuk kecerdasan otak,
kemantapan psikologis dan kekuatan fisik yang berarti pula penurunan kesejahteraan hidup rakyat
sebagai penikmat hasil pembangunan dan kapasitas insani selaku subjek dan objek pembangunan.
Energi merupakan kebutuhan dasar kehidupan rakyat dan sarana esensial dalam proses
produksi barang dan jasa. Perkembangan terbaru telah membuktikan bahwa perekonomian yang
sangat tergantung pada energi asal fosil (Bahan Bakar Minyak, Batubara) akan terus mengalami
penurunan daya saing dan hambatan pertumbuhan akibat peningkatan dan instabilitas harga energi
seiring dengan kelangkaan dan ketidakpastian pasokan. Ke depan, energi yang berasal dari biomassa
(bioenergi) merupakan tumpuan utama sumber pasokan energi terbarukan. Biomassa bahan baku
energi dapat dihasilkan oleh usaha pertanian. Dengan demikian, fungsi strategis pertanian yang akan
terus meningkat di masa datang ialah pemantapan ketahanan energi.
Kemajuan ilmu pengetahuan hayati (bioscience) dan enjinering hayati (bioengineering) telah
memungkinkan biomassa untuk diolah menjadi bionergi dan berbagai bioproduk (bioproducts) seperti
biomedikal, biokemikal, dan bio-material lainnya. Bioekonomi yang ditopang oleh sistem pertanian
ekologis yang juga menghasilkan berbagai jasa lingkungan (ecological services) maupun biomassa
sebagai feedstock untuk biorefinery (bioenergi, biofarmaka-biomedika, bioindustri) telah berkembang
cepat di banyak negara dan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru perekonomian. Ke depan,

16
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

fungsi bisnis dan ekonomi pertanian akan mengalami proses transformasi dari perspektif agribisnis
menjadi biobisnis dan dari agro-industri menjadi bioindustri.
Fungsi pertanian dalam penguatan kesehatan masyarakat merupakan resultante dari fungsi
pertanian dalam pemantapan ketahanan pangan, pengembangan industri biofarmaka-biomedika serta
kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Fungsi pertanian sebagai penggerak, tumpuan, tulang
punggung atau poros, pembangunan nasional berkaitan dengan dampak pertumbuhan sektor pertanian
terhadap pertumbuhkembangan sektor-sektor lain dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian
mendorong tumbuh-kembangnya kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya. Dampak ini lebih dikenal
sebagai dampak pengganda sektor pertanian.
Dampak pengganda sektor pertanian bersumber dari hasil sinerginya dengan sektor-sektor lain
melalui berbagai media, seperti: (1) Keterkaitan faktor produksi (tenaga kerja, energi dan modal); (2)
Keterkaitan input-output antar industri (sektor) dan antar spasial; (3) Keterkaitan konsumsi;
(4)Keterkaitan melingkar.
Keterkaitan faktor produksi terjadimelalui realokasi antar wilayah,utamanya desa-kota.
Keterkaitan input-output (keterkaitan Johnston-Mellor) terjadi melalui peningkatan penggunaan hasil-
hasil sektor non-pertanian sebagai input dalam usaha pertanian (kaitan ke belakang) dan penggunaan
hasil pertanian sebagai input bagi sektor-sektor non-pertanian (kaitan ke depan). Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa sektor pertanian tergolong sektor kunci (key sector) atau sektor pemimpin
(leading sector) dilihat dari kemampuannya dalam menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja dalam
perekonomian melalui keterkaitan input-output yang terbukti secara empiris relatif lebih tinggi
dibanding sektor-sektor lainnya. Keterkaitan konsumsi tercipta melalui penggunaan nilai tambah yang
dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung oleh sektor pertanian untuk membeli hasil produksi
seluruh sektor dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Keterkaitan melingkar
(keterkaitan Timmer) berkaitan dengan perbaikan kegagalan pasar berkat kebijakan dan hasil
pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian yang dapat menciptakan stabilitas sosial-ekonomi
dan politik bermanfaat dalam mengurangi resiko usaha sehingga ongkos untuk perlindungan terhadap
resiko usaha dapat diminimalisasi.
Kualitas pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kemampuannya dalam penciptaan lapangan
kerja, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu tujuan akhir pembangunan sebagai pelaksanaan
amanat konstitusi bahwa negara wajib menyediakan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi
seluruh rakyat. Pemerataan pembangunan merupakan pelaksanaan amanat konstitusi untuk
mewujudkan keadilan sosial. Pemeliharaan lingkungan hidup merupakan bagian dari upaya
mewujudkan kesejahteraan hidup dan terjaminnya kelangsungan pembangunan secara berkelanjutan.
Dengan demikian, tujuan pembangunan ekonomi tidaklah untuk meraih laju pertumbuhan yang
setinggi-tingginya melainkan pertumbuhan tinggi berkualitas, laju dan kualitas pertumbuhan sama-
sama tinggi. Inilah yang disebut prinsip jalur ganda pembangunan: Pro-pertumbuhan (pro-growth), pro
warga miskin (pro-poor), pro-lapangan kerja (pro-job) dan pro-keberlanjutan lingkungan hidup (pro-
sustainability).
Penelitian di banyak negara, termasuk Indonesia, telah membuktikan bahwa pertumbuhan
sektor pertanian adalah yang paling efektif menurunkan prevalensi kemiskinan dibandingkan dengan
pertumbuhan seluruh sektor dalam perekonomian. Pertumbuhan sektor pertanian tidak saja efektif
menurunkan prevalensi kemiskinan di wilayah perdesaan tetapi juga di wilayah perkotaan.
Keunggulan sektor pertanian dalam menciptakan lapangan kerja terwujud tidak saja karena intensif
menggunakan tenaga kerja tetapi juga karena memiliki dampak pengganda output antar sektor yang
besar. Pertumbuhan sektor pertanian meningkatkan pemerataan pendapatan baik di dalam sektor
pertanian sendiri, antar sektor maupun antara wilayah (utamanya desa-kota). Oleh karena berkaitan
dengan pengelolaan lahan dan air untuk budidaya tanaman, ternak dan ikan, dengan pengelolaan yang
baik maka pembangunan pertanian dapat berfungsi untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan
kualitas lingkungan hidup. Dengan demikian, memacu pembangunan pertanian merupakan strategi
yang tepat untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Penguatan daya tahan perekonomian nasional berkaitan dengan daya lenturnya (resilient),
kemampuannya dalam mengurangi ancaman, menyesuaikan diri dan pulih kembali dari goncangan
eksternal. Pengalaman telah membuktikan bahwa sektor pertanian merupakan jangkar penguat daya
tahan dan katup pengaman dalam menghadapi goncangan perekonomian.Tatkala diterpa oleh krisis

17
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

multidimensi pada periode 1997-2000, seluruh sektor dalam perekonomian Indonesia anjlok drastis,
bahkan mengalami pertumbuhan negatif kecuali sektor pertanian. Tidak saja yang paling rendah
penurunan laju pertumbuhannya, sektor pertanian adalah juga yang paling cepat pulih dari terpaan
krisis. lentur terhadap goncangan dan fleksibilitas dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian
berfungsi sebagai jangkar penguat dan katup pengaman di masa krisis.

4.3 Paradigma pembangunan nasional: Pertanian untuk pembangunan


Fungsi ganda pertanian dalam pembangunan berubah menurut tahapan pambangunan. Telah
lama diketahui bahwa pembangunan pertanian yang kuat merupakan prasyarat untuk dapat tumbuh
berkembang menjadi negara maju. Sementara itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa peran dan
fungsi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi menurun seiring dengan kemajuan ekonomi.
Oleh karena irtu, landasan pikir yang paling pas untuk pembangunan ekonomi suatu negara yang
berawal dari dominasi pertanian ialah paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for
Development), yang menekankan fungsi ganda pertanian dan oleh karena itu pembangunan pertanian
dilaksanakan terpadu antar sektor dan berdasarkan pada tahapan perkembangan pembangunan
nasional. Sudah barang tentu, penekanan dari setiap fungsi disesuaikan dengan tahapan perkembangan
perekonomian. Fungsi penciptaan lingkungan kondusif bagi pembangunan, penggerak pertumbuhan
dan penambah kualitas pertumbuhan akan menurun seiring dengan tahapan kemajuan transformasi
ekonomi menjauh dari basis pertanian menuju basis industri, jasa dan ilmu pengetahuan serta
peningkatan kesejahteraan sehingga seluruh rakyat terbebas dari ancaman rawan pangan dan
kemiskinan. Pada tahapan lanjut, pertanian mungkin lebih baik diposisikan sebagai jangkar penguat
ketahanan pangan serta pelestarian lingkungan hidup dan sosial budaya nasional.
Pada tataran makro, paradigm Pembangunan Untuk Pertanian dilaksanakan dengan strategi
transformasi struktural berimbang dan menyeluruh, yang pada intinya merupakan landasan untuk
menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional, yang berarti pula landasan untuk
menetapkan strategi, kebijakan dan program pembangunan pertanian. Transformasi yang esensial
dalam merancang rencana jangka panjang pembangunan pertanian mencakup (Kementerian Pertanian,
2014):
1. Transformasi demografi;
2. Transformasi ekonomi (intersektoral);
3. Transformasi spasial;
4. Transformasi institusional (sosial-budaya);
5. Transformasi tatakelola pembangunan.
Transformasi demografi berkaitan dengan pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan
penduduk menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tempat tinggal.
Dalam hal pemanfaat hasil pembangunan, jumlah dan pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan
untuk mengurangi tekanan dalam pemenuhan kebutuhan penyediaan pangan dan kebutuhan dasar
lainnya, lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai subjek dan objek pembangunan, jumlah,
tingkat pendidikan, ketrampilan dan angkatan kerja yang sesuai merupakan kunci keberhasilan
transformasi sektoral, transformasi spasial, transformasi institusi, transformasi tatakelola
pembangunan dan transformasi pertanian. Secara umum, population dividend dan demographic
window merupakan kesempatan yang perlu dioptimalkan dalam perencanaan pembangunan jangka
panjang.
Transformasi ekonomi (intersektoral) berkaitan dengan perubahan struktur dan relasi antar
sektor dalam perekonomian nasional. Fakta terpola berdasarkan pengalaman bangsa-bangsa
menunjukkan bahwa peta jalan kemajuan setiap perekonomian diawali dengan dominasi sektor
pertanian (perekonomian berbasis pertanian), dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring
dengan penurunan peran sektor pertanian dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja, yang secara
bertahap posisi dominan diambil alih oleh sektor industri (perekonomian berbasis industri), lalu oleh
sektor jasa (perekonomian berbasis jasa), dan selanjutnya oleh sektor industri dan jasa berbasis inovasi
ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Penurunan secara absolut jumlah tenaga kerja di sektor
pertanian (Titik Belok Lewis) merupakan penanda dari keberhasilan transformasi intersektoral.Hingga
tahun 2013, Indonesia belum berhasil mencapai Titik Belok Lewis. Kegagalan dalam mewujudkan
transformasi intersektoral berimbang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah petani gurem,
munculnya fenomena kemiskinan endemik petani dan perdesaan serta semakin besarnya jenjang

18
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ketertinggalan kesejahteraan petani dibanding dengan kelompok penduduk lainnya. Akar penyebabnya
ialah kesalahan industrialisasi, khususnya penempatan sektor pertanian dalam proses industrialisasi.
Transformasi spasial berkaitan dengan perubahan lokasi, aglomerasi dan relasi geografis
kegiatan ekonomi dan pemukinan penduduk. Fakta berpola pengalaman bangsa-bangsa, termasuk
Indonesia, menunjukkan bahwa setiap perekonomian diawali dengan dominasi wilayah perdesaan
yang ditopang oleh sektor pertanian, dan bahwa kemajuan perekonomian berjalan seiring dengan
penurunan peranan wilayah perdesaan dalam penciptaan PDB dan lapangan kerja yang secara bertahap
posisi dominan diambil alih oleh wilayah perkotaan yang ditopang oleh sektor industri dan atau jasa.
Proses transformasi spasial desa-kota terjadi beriringan dengan transformasi sektoral. Di satu sisi,
perpindahan urbanisasi merupakan kunci dari pertumbuhan perekonomian perkotaan, utamanya
melalui pertumbuhan sektor industri dan jasa. Di sisi lain, urbanisasi merupakan jalan keluar dari
cengkeraman kemiskinan bagi penduduk perdesaan, termasuk petani. Urbanisasi juga merupakan
proses untuk mencapai Titik Belok Lewis yang juga merupakan prasyarat terjadinya titik belok
kecenderungan peningkatan petani gurem. Semakin tingginya senjang kesejahteraan penduduk
perdesaan dengan penduduk perkotaan merupakan penanda dari kegagalan transformasi spasial.
Mewujudkan transformasi spasial desa-kota yang berimbang dan serasi dengan transformasi
perekonomian secara sektoral merupakan agenda pembangunan nasional jangka panjang.
Mengintegrasikan perekonomian perdesaan-sektor pertanian-perkotaan merupakan strategi yang tepat
untuk itu.
Insitusi adalah norma, dalam pengertian peraturan dan organisasi yang menentukan relasi dan
pertukaran, sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah aksi kolektif (antar sektor, antar pekerjaan
antar perusahaan, antara perusahaan dan pekerja, antara perusahaan dan pemerintahan). Institusi
merupakan modal pembangunan yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan distribusi hasil-
hasilnya. Institusi pembangunan mencakup aturan perundangan resmi (modal regulasi), karakter dan
organisasi sosial-budaya (modal sosial), dan organisasi advokasi bisnis (modal politik). Transformasi
aturan perundangan diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan dunia bisnis,
termasuk menjamin keamanan dan ketertiban umum, perlindungan hak kepemilikan, menjamin
kepastian berusaha, mencegah praktek usaha tidak sehat, yang kesemuanya merupakan prasyarat
tumbuh-kembangnya usaha ekonomi swasta, mengurangi ongkos transaksi dan instrumen serta
mencegah dan memperbaiki kegagalan pasar.Transformasi modal sosial dilakukan dengan
menumbuhkembangkan karakter bangsa, yang terkenal terpercaya, pekerja keras, disiplin,
bersemangat kerjasama dan peduli sesama, sebagai habitus seluruh rakyat, yang kesemuanya
merupakan modal dasar untuk meningkatkan produktivitas, memacu inovasi dan menurunkan biaya
transaksi serta penguatan modal politik. Transformasi politik diarahkan untuk menciptakan sistem
pembentukan kebijakan dan tatakelola pemerintahan yang baik, termasuk pembentukan dan
pemberdayaan organisasi petani untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan dan dukungan
politik para anggotanya.
Tatakelola pembangunan (development governance) adalah proses kolektif dalam
pengambilan keputusan, pelaksanaan dan perbaikan kebijakan dan program pembangunan. Sebagai
suatu proses kolektif, tatakelola pembangunan merupakan penerapan otoritas ekonomi politik dan
administrasi dalam mengelola pembangunan. Tatakelola pembangunan meliputi mekanisme, proses
dan institusi melalui mana setiap warga negara, kelompok dan perserikatan memperjuangkan
kepentingan, melaksanakan hak-hak hukum dan melakukan kewajiban masing-masing serta mencari
resolusi perbedaan diantara mereka. Transformasi tatakelola pembangunan ialah proses dalam
mewujudkan tatakelola pembangunan yang baik (good development governance). Transformasi
tatakelola pembangunan mencakup transformasi birokrasi pemerintahan sebagai penanggung jawab
administrasi pembangunan dan transformasi proses perumusan kebijakan pembangunan. Dalam hal
birokrasi pemerintahan, desentralisasi sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan
merupakan salah satu perwujudan dari transformasi tatakelola pembangunan yang secara teoritis lebih
baik dari sentralisasi. Penerapan tatakelola pembangunan yang baik dalam desentralisasi pemerintahan
merupakan kunci keberhasilan pembangunan pertanian di masa datang.
Paradigma Pertanian untuk Pembangunan berpandangan bahwa strategi yang tepat untuk
mewujudkan transformasi ekonomi berimbang itu ialah dengan menjadikan transformasi pertanian
sebagai poros transformasi pembangunan nasional. Usaha pertanian terdiri dari usahatani rakyat dan
perusahaan besar pertanian, dan kemitraan antara usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian.

19
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Mengingat peranannya dalam menentukan hajat hidup rakyat yang jauh lebih besar, maka perhatian
pemerintah mestilah lebih difokuskan untuk pengembangan usahatani rakyat dan kemitraan antara
usahatani rakyat dan perusahaan besar pertanian. Transformasi pertanian diarahkan untuk
mempercepat komersialisasi usahatani rakyat dalam rangka peningkatan efisiensi, daya saing dan
peningkatan skala usahatani. Transformasi pertanian mencakup perubahan orientasi, skala, bentuk,
cakupan bidang dan manajemen rantai pasok dan teknologi usaha pertanian menurut komoditas, sub-
sektor, sektor dan lokasi spasial. Paradigma Pembangunan untuk Pertanian, berpandangan bahwa
transformasi pertanian merupakan poros penggerak transformasi pembangunan nasional secara
keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional dikelola sedemikian
rupa sehingga dapat berlangsung dengan terpadu, sinergis, selaras dan berimbang dengan proses
transformasi pertanian (Gambar 1).

Gambar 1. Transformasi Pertanian sebagai poros transformasi pembangunan nasional


(Kementerian Pertanian, 2014)

4.4 Paradigma pembangunan pertanian: Pembangunan Sistem Pertanian-Bioindustri


Berkelanjutan
Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai dapat memanfaatkan teknologi Revolusi
Hijau pada akhir tahun 1960-an hingga akhir 1980-an. Teknologi Revolusi Hijau telah memungkinkan
sektor pertanian, utamanya subsektor padi-beras, tumbuh sangat pesat dan meraih swasembada beras
pada tahun 1984. Kini teknologi Revolusi Hijau telah mengalami saturasi hasil dan bahkan telah
menimbulkan dampak ikutan sindroma overintensifikasi sehingga hasil uasahatani padi mengalami
stagnasi atau bahkan cenderung turun. Pingali (2012) mengatakan bahwa periode Revolusi Hijau
(generasi pertama) ialah 1965-1985. Penelitian Grassini, Eskridge, and Cassman (2013) menunjukkan
bahwa tren produktivitas padi, jagung dan gandum menunjukkan tren pertumbuhan menurun sejak
akhir dekade 1990an. Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya, kini sangat membutuhkan
terobosan (revolusi) teknologi baru pasca Revolusi Hijau (Pingali, 2013).
Oleh karena itu, masa depan pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh keberhasilan kita
dalam mentrasformasi teknologi Revolusi Hijau menjadi teknologi Revolusi Hayati. Teknologi
Revolusi Hijau sangat berbeda dari teknologi Revolusi Hayati Tabel Kesatuan usahatani hayati
(biofarming), biomedis dan bioindustri akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat
dinamis (yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian setiap negara maju di
masa mendatang. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan sektor pertanian Indonesia sehingga
mampu mengemban multi-fungsinya serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pem
bangunan nasional sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam membangun bioekonomi nasional.
Kemajuan bioscience dan bioengineering telah mendorong tumbuh kembangnya Revolusi Hayati
(Biorevolution), yang akan mendorong perubahan mendasar dan cepat pada pertanian global di masa

20
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

datang. Tenaga penggerak utama Revolusi Hayati antara lain: Kecenderungan semakin langkanya
energi asal fosil; Peningkatan kebutuhan pangan, pakan, energi dan serat; Perubahan iklim global dan
internalisasi dalam sistem ekonomi-politik; Peningkatan kelangkaan sumberdaya lahan dan air;
Peningkatan permintaan terhadap jasa lingkungan; Peningkatan jumlah petani marginal. Konsekuensi
dari setiap tenaga penggerak utama tersebut ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 7. Perbandingan Ciri-ciri Revolusi Hijau dan Revolusi Hayati


Aspek Revolusi Hijau RevolusiHayati
1.Sasaran output Bahanpangan(beras, terigu, Biomassa (bahanpangan, feedstock
jagung) biorefinery)
2.Sifatteknologi
Input Tinggi, eksternal Rendah, internal
Pengolahan lahan Intensif Minimal
Toleransi lingkungan Rendah, lingkungan Tinggi, atau teknologi disesuaikan
disesuaikan dengan teknologi dengan lingkungan
3. Sistemusahatani Monokultur Sistemplurifarmingterpadu
4. Cakupankomoditas Tanamanpanganpokok: padi, Tanamanpangan, tanaman hutan,
jagung, gandum rumput, cacing, mikroba, ternak, ikan
5. Industripengolahan Industripangandanpakan Bioindustri
6. Produk Pangandanpakan Pangan, pakan, bionergi, biokimiawi,
enzim, biomaterial (plastik,
biomedikal, biopartikel)
7. Kepemilikanteknologi Terbuka Tertutup
8. Pelakudisseminasi Pemerintah Swasta, komunitas, individu, keluarga
9. Dampaksosial-ekonomi Kontroversial Kontroversial
10. Dampaklingkungan Kontroversial Kontroversial
(Kementerian Pertanian, 2014)

Tabel 8. Driving Force Revolusi Hayati


No Tren Besar Konsekuensi
1. Kelangkaan energi asal fosil Urgensi sumber energi terbarukan dan berkelanjutan (bio-
makin langka energi)
2. Peningkatan kebutuhan pangan, Trade off food-feed-fuel-fibre berbasis bahan pangan dan
pakan, energi dan serat petrokimia: urgensi pengembangan bio-produk, perubahan
pola hidup, pola konsumsi (bio-kultura)
3. Perubahan iklim global dan Peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi sistem pertanian
internalisasi dalam sistem
ekonomi-politik
4 Peningkatan kelangkaan Urgensi efisiensi dan konservasi: pengendalian konversi lahan
Sumberdaya lahan dan air dan perbaikan jaringan irigasi, pertanian dengan limbah
minimal, pertanian dengan minimum input, pertanian ramah
lingkungan
5 Peningkatan permintaan terhadap Peluang pengembangan pertanian ekologis,
jasa lingkungan dan jasa ameniti Kualitas- lansekap pertanian (landscape quality agriculture)
6 Peningkatan petani marginal Urgensi pengembangan pluriculture
(sistem biosiklus terpadu)
(Kementerian Pertanian, 2014)

Kunci utama untuk dapat mewujudkan Revolusi Hayati itu ialah keberhasilan dalam
menumbuhkembangkan Biokultura yakni, kesadaran, semangat, nilai budaya, dan tindakan (sistem
produksi, pola konsumsi, kesadaran akan jasa ekosistem) memanfaatkan sumberdaya hayati bagi
kesejahteraan manusia dalam suatu ekosistem yang harmonis.Biokultura menjadi dalam merumuskan
etika dalam mengkaji ulang kondisi saat ini, mengevaluasi kondisi mendatang secara kritis dan
menyusun kebijakan kebijakan untuk mewujudkan dan menjaga kelestarian ekosistem.
Pada tataran praktis, transformasi pertanian dilaksanakan dengan pendekatan Sistem
Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan yang mencakup Sistem Usaha Pertanian terpadu (integrated

21
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

farming system) pada tingkat mikro, Sistem Rantai Nilai Terpadu (integrated value chain) pada tingkat
industri atau rantai pasok dan Sistem Agribisnis Terpadu pada tingkat industri atau komoditas. Sistem
Usaha Pertanian Terpadu yang berlandaskan pada pemanfaatan berulang zat hara atau pertanian
biosiklus (bio-cyce farming) seperti sistem integrasi tanaman-ternak-ikan dan sistem integrasi usaha
pertanian-energi (biogas, bioelektrik) atau sistem integrasi usaha pertanian-biorefinery yang termasuk
Pertanian Hijau (Green Agriculture) merupakan pilihan sistem pertanian masa depan karena tidak saja
meningkatkan nilai tambah dari lahan tetapi juga ramah lingkungan.Pengembangan klaster rantai nilai
dilaksanakan dengan mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan komponen-komponen
penunjangnya dalam satu kawasan guna memanfaatkan ekonomi aglomerasi.

V. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DEPAN

5.1 Redefinisi pertanian


Pertanian pada hakekatnya ialah kegiatan budidaya yang sengaja dilakukan untuk
menghasilkan biomassa dan atau mengolah biomassa menjadi bahan pangan, pakan, energi dan
beragam bioproduk bernilai tinggi serta jasa lingkungan yang berguna untuk kelangsungan hidup
manusia yang sehat dan sejahtera. Kata kuncinya ialah menghasilkan dan atau mengolah biomassa.
Dalam hal ini tidak dipersoalkan jenis makhluk hidup yang dibudidayakan. Pertanian pada dasarnya
adalah proses produksi biomassa dari segala jenis organisma yang terdiri dari lima kerajaan (Wayne's
Word, 1998):
1. Monera: Organisme satu sel yang tidak memiliki nucleus, termasuk bakteri murni (eubacteria)
dan cyanobacteria (blue-green algae)
2. Protista: Organisme memiliki sel, termasuk protozoa satu sel dan algae satu sel atau multi-sel
3. Fungi: Termasuk berbagai jenis jamur
4. Tanaman: Termasuk tanaman biomassa, tanaman khusus energi, serta tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan tanaman obat konvensional
5. Hewan: Termasuk cacing, serangga, moluska, serta ikan dan ternak yang konvensional
Pengertian di atas di satu sisi konsisten dengan pengertian pertanian modern sebagai:
Agriculture is the art and science of growing plants and raising animals for food, other human needs
or economic gain. (Bareja, 2008). Dalam definisi ini tidak ada pembatasan mengenai jenis tanaman
dan hewan yang dibudidayakan. Kata kunci pertanian ialah kemahiran dan kreativitas (seni) dan
penerapan ilmu dalam praktek budidaya tanaman dan hewan yang berguna untuk pangan, kebutuhan
manusia lainnya atau nilai tambah ekonomi. Jenis tumbuhan dan hewan yang dibudidayakan tidak
dibatasi. Budidaya cacing, serangga, moluska dan segala macam hewan atau tanaman non-
konvensional lainnya tercakup dalam arti pertanian modern. Namun demikian, organisme yang
dibudidayakan masih terbatas pada tanaman dan hewan. Sebagaimana diketahui, bidaya jamur sudah
lama dikenal sebagai salah satu jenis usaha pertanian yang cukup penting. Jamur memiliki kerajaan
sendiri, tidak termasuk kerajaan tanaman maupun kerajaan hewan. Perspektif Sistem Pertanian-
Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa budidaya mikroorganisme, bahkan organisme satu sel
pun, termasuk monera, protista dan fungi (bakteri, algae, bakterti, jamur, kapang) termasuk dalam
definisi pertanian.
Pertanian lazimnya dimaknai sebagai terjemamahan dari bahasa Inggris agriculture. Kata
culture dalam agriculture mengandung dua makna (Munck, 1990). Pertama, cuture diartikan
sebagai budaya sosial (makna orisinal). Dengan makna ini, pertanian berfungsi sebagai bagian dari
kebudayaan yang direfleksikan dalam tradisi bercocok tanam, budaya pangan, warisan keunikan
geografis (varietas tanaman, cita rasa hasil pertanian, panorama alam, kenyamanan lingkungan hidup).
Kedua, pertanian dapat pula diartikan sebagai budidaya organisme. Jenis organisme yang
dibudidayakan tidak dibatasi, mencakup kelima kerajaan: tanaman, hewan, fungi, protista (algae) dan
monera (bakteri). Dengan makna ini, pertanian berfungsi untuk menghasilkan komoditas yang bernilai
ekonomi, yaitu biomassa yang dapat bermanfaat langsung sebagai bahan pangan, pakan, dsb, atau
sebagai bahan baku bioindustri untuk menghasilkan pangan, pakan, energi dan beragam bioproduk.
Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan berpandangan bahwa sebagai budidaya
organisme, pertanian tidak saja menghasilkan komoditas, tetapi juga berfungsi dalam menghasilkan

22
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

jasa ekologi2. Sistem pertanian dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menciptakan siklus bio-
geo-kimia yang tertutup sehingga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan. Dengan demikian, pertanian memiliki tiga fungsi yakni fungsi ekonomi, fungsi sosial-
budaya dan fungsi ekologis. Pertanian adalah upaya manusia dalam mengelola ekosistem dan
skalanya sehingga dapat menghasilkan produk-produk yang lebih bermanfaat untuk peningkatan
kesejahteraannya. Pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu dan
teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip
ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem
pertanian ekologis atau sistem agroekologi.
Agroekologi didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem
pertanian dapat dirancang sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh
ekosistem, mengurangi tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam. Walau
beragam, definisi agroekologi memiliki beberapa kesamaan prisip dasar dalam rangka merekonsiliasi
tantangan triple trade-off keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan (Schaller, 2013):
1. Memanfaatkan fungsi ekosistem semaksimal mungkin
2. Maksimisasi biodiversitas fungsional melalui pertanaman campuran, diversifikasi antar petakan
dan pergiliran tanaman, serta diversifikasi usahatani (komplementaritas usahatani tanaman,
ternak, ikan, serangga, dsb).
3. Memperkuat regulasi biologis melalui penataan rantai makanan di dalam ekosistem. Untuk
pengendalian hama-penyakit tanaman misalnya, disarankan untuk menggunakan bilangan ganjil
(3,5,7 dsb) dalam menentukan jumlah level rantai makanan. Untuk tiga level rantai makanan,
misalnya, promosi rantai makanan level pertama (tumbuhan) dapat dilakukan dengan membatasi
keberadaan level kedua (predator) dengan menggunakan level ketiga (serangga bermanfaat).
Dengan lebih rinci, Altieri (2012) menjabarkan prisip dasar sistem pertanian ekologis sebagai berikut:
1. Daur ulang biomassa, dengan maksud optimasi dekomposisi bahan organik dan siklus nutrisi
2. Memperkuat sistem immun dari sistem pertanian melalui penguatan biodiversitas fungsional,
musuh alami, antagonis, dsb.
3. Menyediakan kondisi lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola
zat organik dan memperkuat aktivitas biologi tanah
4. Meminimumkan kehilangan energi, air, zat hara, dan sumberdaya genetik dengan memperkuat
konservasi dan regenerasi lahan, air, dan agro-biodiversitas
5. Meningkatkan diversitas spesies dan sumberdaya genetik di dalam agroekosistem menurut waktu
pada level usahatani dan kawasan lansekap.
6. Memperkuat interaksi dan sinergi bermanfaat diantara sesama komponen agro-biodiversitas,
sehingga dengan demikian mempromosikan fungsi-fungsi dan proses-proses ekologis utama.

Berdasarkan tujuannya, sistem pertanian ekologis dapat dibedakan menjadi sistem pertanian
konservatif ekologis dan sistem pertanian intensif ekologis. Sistem pertanian konservatif ekologis
berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dan proses produksinya
mengandalkan pada input internal agroekosistem. Sistem pertanian intensif ekologis berorientasi
untuk menghasilkan nilai tambah usahatani sebesar mungkin, termasuk dengan cara menggunggakan
input eksternal, namun dengan dampak minimal terhadap kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan. Sistem pertanian konservatif ekologis tidak efektif untuk peningkatan pendapatan petani
dan memacu pertumbuhan pertanian secara agregat sehingga kurang sesuai untuk Indonesia hingga
beberapa tahun ke depan. Model ini mungkin cocok bagi Negara-negar yang sudah maju.
Pertanian intensif ekologis adalah rekaya biosistem. Sebagai sebuah sistem, arsitektur
pertanian intensif ekologis dirancang dalam dua tahapan. Pertama, penetapan batas-batas lokasi serta
karakteristik sumberdaya dan lingkungan strategis sosial ekonomi tapakan lokasi pengembangan
sistem pertanian intensif ekologis tersebut. Batas-batas tapakan, karakteristik sumberdaya dan
lingkungan strategis tapakan merupakan penentu skala pengembangan dan alternatif struktur biosistem
yang layak dikembangkan di lokasi tersebut. Dalam batas inilah biosistem direkayasa sehingga
berkelanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Skala pengembangan sistem pertanian intensif
ekologis dapat mencakup satu perusahaan (usaha pertanian rakyat, perusahaan besar pertanian),

2
Uraian tentang jasa ekologis dapat dibaca pada Millenium Ecosystem Management ( 2005)

23
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

komunitas usaha (kelompok perusahaan, termasuk kelompok tani, kemitraan petani rakyat dan
perusahaan besar pertanian), kawasan pengembangan khusus (klaster, zona), kawasan ekologis atau
lansekap.
Langkah kedua dalam perekayasaan sistem pertanian intensif ekologis ialah rekayasa
arsitektur struktur organisme di lokasi pengembangan. Struktur dimaksud mencakup jenis dan
populasi setiap spesies dan atau varietas (variasi genetik dalam satau species) sesuai dengan fungsi
ekologis masing-masing sehingga terjalin interrelasi harmonis dalam mewujudkan ciri-ciri tersebut di
atas. Secara umum, bauran biodiversitas sistem pertanian ekologis tersebut disebut organisme sekawan
(companion organisms). Salah satu contohnya ialah budidaya padi dengan pegendalian hama
berdasarkan strategi rekayasa ekologis (Heong, 2013), dengan menanam tanaman bunga nektar
(tanaman wijen, bunga matahari) yang berfungsi sebagai penarik dan tempat bernaung (refugia)
organisme pengganggu di sekeliling petakanan tanamam padi (Winarto, dkk 2013).Fungsi-fungsi
ekologis setiap jenis organisme dalam rumpun organisme sekawan tersebut mencakup:
1. Pemanfaatan optimal ruang budidaya: Organisme dapat dibudiyakan secara bersama-sama karena
mereka tidak saling bersaing atau bahkan sinergis karena berbeda dalam kebutuhan lahan, hara,
air dan matahari, berbeda kedalaman perakaran, berbeda ketinggian, berbeda musim tanam, dsb.
2. Pengendalian hama: Organisme yang bermanfaat dalam pengendalian hama-penyakit, misalnya
karena bersifat penarik (pest attractor) atau pemerangkap hama (pest trap), penjauh (pest
repellant)
3. Pendukung pollinasi: Organisme yang berkontribusi dalam peningkatan penyerbukan melalui
serangga atau organisme lain, termasuk lebah madu dan serangga lainnya serta tanaman penarik
serangga
4. Hewan herbivora dan omnivora (ternak dan ikan): Ternak ruminansia, unggas
5. Organisme dekomposer: Jamur, cacing, lalat, dsb untuk media budidaya dan sekaligus mengurai
sisa dan limbah biomassa hasil pertanian menjadi bahan pangan, pakan dan pupuk yang
selanjutnya dipergunakan dalam budidaya tumbuhan.
6. Sinergi habitat: Integrasi budidaya berbasis lahan dan berbasis air (akuakultur) dalam rangka
membangun rantai pangan (food chain) antar organisme budidaya serta daur bahan organik, daur
ulang air dan hara.

Gambar 2. Sketsa arsitektur umum sistem pertanian intensif ekologis

24
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sistem pertanian intensif ekologis terdiri dari lima komponen: subsistem budidaya tanaman
darat sekawan, subsistem budidaya ternak, subsistem akuakultur, subsistem budidaya serangga
penyerbuk (pollinator), dan subsistem budidaya dekomposer (Gambar 2). Kelima subsistem tersebut
saling berinteraksi sinergis dalam suatu aliran sirkuler (semi) tertutup biogeokimia (materi biomassa,
hara, air dan energi). Subsistem budidaya tanaman darat sekawan merupakan produsen utama
biomassa primer. Tanaman air dalam subsistem akuakultur juga termasuk produsen biomassa primer.
Biomassa primer digunakan sebagai pakan ternak dan ikan. Salah satu penciri sistem pertanian
intensif ekologis ialah integrasi budidaya pertanian (tanaman-ternak) dengan budidaya perairan
(akuakultur), yang dikenal sebagai sistem integrasi pertanian akukultur yang sudad luas diterapkan di
Tiongkok, Vietnam dan beberapa daerah di Indonesia. Penciri kedua sistem pertanian intensif ekologis
ialah adanya subsistem budidaya serangga (pollinator) yang esensial bagi tanaman budidaya, dan juga
berfungsi sebagai usaha komersial. Penciri ketiga ialah subsistem dekomposer. Sisa dan limbah
biomassa pertanian diolah dalam budidaya dekomposer, yang mencakup budidaya jamur, biodigester
untuk menghasilkan biogas, budidaya cacing, dan budidaya serangga untuk menghasilkan belatung
berprotein tinggi.

5.2 Pergeseran dari paradigma agribisnis ke paradigm agrobiobisnis


Paradigma agribisnis yang dipelopori oleh Davis and Golberg (1957) dan disempurnakan oleh
Davis (1968) dipandang sudah tidak sesuai dengan konteks dan issu pembangunan pertanian
kontemporer dalam abad ke 21 ini. Tidak dapat dipungkiri, paradigma agribisnis telah berjasa dalam
menyususun kerangka teori dan program operasional pembangunan pertanian dalam era tahun 1960an
hingga tahun 1990an atau bahkan hingga awal dekade 2000an, termasuk di Indonesia sejak akhir
decade 1980an. Paradigm agribisnis berpandangan bahwa pertanian adalah usaha komersial yang
berorientasi pasar, tergantung pada input eksternal yang dihasilkan oleh lembaga atau perusaan-
perusahaan lain, industri pengolahan, dan usaha pemasaran yang dilaksanakan oleh perushaan-
perusahaan lain, fasilitasi dan jasa penunjang yang disediakan oleh lembaga atau perusaan-perusahaan
lain, serta iklim usaha (agribusiness enabling environment) yang menentukan aturan main atau
koordinasi diantara para pelaku usaha (regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis, infrastruktur
bisnis). Dengan demikian, pertanian merupakan subsistem utama dari suatu sistem agribisnis yang
terdiri dari lima subsistem (Gambar 3): Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), Subsistem
agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness),
Subsistem usaha penunjang agribisnis (agribusiness-supporting enterprises), dan Subsistem
lingkungan pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment). Kiranya dicatat bahwa
Subsistem Lingkungan Pemberdaya Agribisnis dapat dipandang sebagai subsistem koordinator
dalalam konsep Goldberg (1968) dan merupakan komponen tambahan terhadap konsep sistem
agribisnis awal yang digagas oleh Davis and Goldberg (1957) dan Saragih (2010).
Perubahan context dan content pembangunan seperti yang diuraikan diatas terus mengikis
relevansi paradigm agribisnis. Paradigm agribisnis konvensional menekankan pengelolaan sistem
agribisnis mulai dari pengadaan prasasaran dan prasana usaha pertanian hingga pengolahan dan
pemasaran komoditas hasil pertanian. Penekanan lebih pada sistem logistik komoditas, bukan produk
akhir hingga titik penjualan akhir. Sistem agribisnis tidak mencakup subsistem konsumen akhir.
Kerjasama antar aktor dalam sistem agribisnis terutama ialah dalam hal informasi pasar, bukan
kerjasama dalam rangka peningkatan nilai pada setiap simpul sistem agribisnis. Tataran persaingan
masih tetap pada tingkat perusahaan dan komoditas. Konsep ini jelas sudah tidak relevan pada saat
persaingan telah bergeser pada tingkat rantai nilai dan poduk spesifik atribut. Oleh karena itulah
paradigm agribisnis telah digeser oleh paradigm rantai pasok dan kemudian rantai nilai pertanian
(agricultural value chain) pada dekade 1990an hingga 2000an. Paradigma agribisnis maupun rantai
nilai konvensional menekankan pada laba usaha agribisnis, sama sekali tidak menyebut hal-hal yang
berkaitan dengan nilai sosial dan nilai jasa lingkungan.

25
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gambar 3. Sistem Agribisnis (Diolah dari Davis, 1968)

Paradigma agribisnis relevan pada era Revolusi Hijau, namun tidak sesuai dalam era Revolusi
Hayati karena beberapa alasan berikut. Pertama, Revolusi Hayati menekankan pentingnya nilai sosial
dan jasa lingkungan, sementara paradigma agribisnis tidak memperhatikan. Kedua, paradigma
agribisnis mekankan aliran linier komodistas sampai titik penjualan akhir, sehingga mengakibatkan
terjadinya aliran keluar zat hara dari kawasan agroekosistem basis usaha pertanian (on farm).
Karakteristik inilah yang menyebabkan lahan pertanian mengalami pemiskinan hara sehingga
memerlukan penambahan hara dan air dari sumber eksternal (pupuk kimia, air) dalam jumlah yang
terus meningkat dan selanjutnya menimbulkan kerusakan lingkungan.
Seiring dengan perkembangan bioekonomi baik dari segi ilmu maupun kegiatan
perekonomian, kini telah berkembang pula konsep baru, yaitu biobisnis. Definisi biobisnis berbeda
menurut perspektif yang digunakan, berbasis teknologi atau berbasis sumberdaya dalam proses
produksinya. Dari perspektif basis teknologi, Willoughby (2011) mendefinisikan biobisnis sebagai
kegiatan ekonomi yang diabdikan untuk pengembangan atau komersialisasi ilmu hayati (bioscience)
atau teknologi berkaitan ilmu hayati, produk atau jasa. Senada dengan Willoughby, Shahi (2006)
mendefinisikan biobisnis sebagai kegiatan komersial yang didasarkan pada pemahaman ilmu-ilmu
hayati dan proses-proses ilmu hayati, yang mencakup: Biomedikal (termasuk pemeliharaan kesehatan,
farmasi, peralatan medis, diagnostik, dll), agri-veteriner dan pangan, lingkungan dan industry, bidang
terkait (bioinformatika, bioengineering, teknologi nano, dll). Pada definisi ini, biobisnis berkenaan
dengan kegiatan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempergunakan atau
dituntun oleh ilmu hayati.
Dari basis sumberdaya, biobisnis didefinisikan sebagai kegiatan komersial yang berkaitan
dengan produksi biomassa serta konversi dan transformasi biomassa tersebut menjadi beragam bahan
pangan, pakan, energi, dan bioproduk (European Commission, 2012). Dengan definisi ini, biobisnis
mencakup kegiatan komersias dalam sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perikanan) yang
memproduksi (agro)biomassa, (bio)industri yang mengolah (mengonversi atau mentransformasi)
biomassa, serta logistik dan perdagangan yang menghantarkan produk turunan biomassa tersebut
kepada konsumen. Definisi yang lebih umum ialah menggabungkan perspektif teknologi dan
perpektif basis sumberdaya. Biobisnis ialah kegiatan komersial yang berkaitan dengan pengembangan
atau komersialisasi ilmu dan teknologi hayati serta produksi, konversi dan transformasi biomassa
tersebut menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk.
Agrobiobisnis adalah bagian dari biobisnis yang biomassanya adalah hasil usaha pertanian
(agrobiomassa). Berdasarkan definisi biobisnis di atas, agrobiobisnis ialah usaha komersial yang
berkaitan dengan sistem rantai nilai agrobiomassa (biomassa hasil pertanian) dan sistem ilmu
pengetahuan dan inovasi pendukung rantai nilai agrobiomassa tersebut. Sistem rantai nilai
agrobiomassa mencakup usaha pertanian penghasil agrobiomassa, agrobioindustri yang mengonversi
dan mentransformasikan agribiomassa menjadi beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk,
serta agrobiologistik dan pemasaran yang menghantarkan produk turunan agrobiomassa tersebut
kepada konsumen. Sedangkan sistem ilmu pengetahuan dan inovasi mencakup pengembangan,

26
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

komersialisasi atau diseminasi, dan penyuluhan ilmu pengetahuan dan innovasi yang dipergunakan
dalam rantai nilai agrobiomassa.
Paradigma agrobiobisnis disusun dengan lima pilar pemikiran (Simatupang, . Pertama,
agrobiobisnis berorientasi untuk memaksimalkan nilai tambah (laba) ekonomi, manfaat sosil-
politik, dan jasa lingkungan lingkungan hidup secara berimbang berdasarkan prinsip bisnis
berkelanjutan. Konsep ini berbeda dengan paradigma agribisnis konvenvensional yang hanya
berientasi pada perolehan laba ekonomi sebesar-besarnya. Orientasi manfaat sosil-politik dan jasa
lingkungan lingkungan hidup secara berimbang dengan laba ekonomi merupakan salah satu pembeda
utama paradigm agobiobisnis dari paradigm agribisnis.Paradigma agrobiobisnis berpandangan bahwa
nilai tambah sosial-politik dan jasa lingkungan tidak saja secara intrinsik bernilai kebajikan dari
perspektif publik bagi masyarakat umum, tetapi juga bernilai instrumental finansial dari perspektif
privat bagi perusahaan sendiri. Jasa lingkungan juga bernilai finansial bagi perusahaan karena tiga
alasan berikut. Pertama, usaha jasa lingkungan itu sendiri merupakan bidang usaha komersial.
Sebagai contoh, pertanian landsekap yang mencipatkan udara sehat serta panorma nyaman dan indah
dapat dijadikan sebagai bisnis pariwisata. Usaha jasa pengolahan limbah dan reklamasi lingkungan
juga dapat menjadi usaha komersial yang menguntungkan. Kedua, perusahaan dapat memperoleh
insentif atau imbalan finansial atas kontribusnya dalam menjaga dan meningkatkan kelestarian sumbar
daya alam dan lingkungan hidup, seperti carbon credit, carbon trade, dll. Ketiga, kapitalisasi reputasi
perusahaan di mata konsumen yang tercermin dalam harga atau permintaan produk yang lebih tinggi.
Landasan pemikiran kedua paradigma agrobiobisnis ialah bahwapertanian adalah rekayasa
agroekosistem untuk menghasilkan biomassa dan jasa ekosistem. Perspektif agrobiobisnis
berpandangan bahwa pertanian adalah ekosistem buatan manusia yang disebut agroekosistem. Ilmu
dan teknologi yang berkaitan dengan perancangan dan pengelolaan pertanian berbasis prinsip-prinsip
ekosistem disebut agroekologi. Pertanian yang dirancang berdasarkan prinsip ekologi disebut sistem
pertanian ekologis atau sistem agroekologi (Gambar 2). Dalam perspektif praksis, agroekologi
didefinisikan sebagai koherensi seluruh dan setiap hal yang membuat sistem pertanian dapat dirancang
sebagai perangkat untuk memanfaatkan fungsionalitas yang disediakan oleh ekosistem, mengurangi
tekanan pada lingkungan hidup dan melindungi sumberdaya alam.
Ketiga, seluruh agrobiomassa yang dihasilkan dikonversi dan transformasi menjadi
beragam bahan pangan, pakan, energi, dan bioproduk, oleh fasilitas pengolahan terpadu
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Fasilitas pengolahan demikian secara agregat
disebut agrobioindustri dan secara mikro perusahaan disebut kilang agrobioindustri (agrobiorefinery).
Agrobioindustri tidak sama dengan agroindustri. Dari segi cakupan bahan baku atau feedstock,
bioindustri lebih luas dari agroindustri. Agroindustri hanya menggunakan sebagian hasil pertanian
sebagai bahan bakunya, sementara agrobioindustri menggunakan segala jenis biomassa hasil
pertanian, termasuk sisa dan limbah. Dari segi tujuan, agrobioindustri berorientasi pada nilai tambah
sebesar-besarnya dengan menghasilkan beragam produk bernilai tinggi dari feedstock biomassa yang
digunakan dan dengan dampak lingkungan sekecil-kecilnya. Kilang agrobioindustri paling sesuai
dengan konsep industri berkelanjutan. Pertama, perdefinisi kilang agrobioindustri mengintegrasikan
beberapa alur proses (platform) pengolahan biomassa untuk menghasilkan beragam produk, sehingga
lebih banyak jenis biomassa yang diolah dan menghemat penggunaan input, termasuk feedstock,
energi dan input lainnya. Kedua, biokilang dapat mencakup proses pengolahan kembali atau
menggunakan kembali sisa dan limbah dari proses pengolahan lainnya. Sebagai contoh, onggok sisa
pengolahan ubikayu segar menjadi pati dapat diolah menjadi bahan pakan atau biogas. Ketiga,
biokilang dapat menghasilkan produk yang dapat digunakan sebagai input dalam menghasilkan
feedstock. Sebagai contoh, sisa dan limbah proses pengolahan olahan ubikayu menjadi pati, termasuk
produk ikutan biodigester, dapat diolah menjadi pupuk yang digunakan sebagai input pada usahatani
ubikayu (Gambar 4). Kesatuan sistem pertanian (Gambar 2) dan agrobiobioindustri (Gambar 4)
ekologis dalam suatu sistem tertutup disebut sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan (Simatupang,
2014) atau Sistem Pertanian Bio-Siklus (Agus, 2014).
Keempat, sistem pertanian intensif ekologis dan agrobioindustri ekologis akan berhasil
ditumbuh-kembangkan bila dilaksanakan dengan pendekatan atau paradigma sistem
agrobiobisnis. Komponen sistem agrobiobisnis terdiri dari lima blok, yaitu blok Sistem Ilmu
Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis (Agrobiobusiness Knowledge and Innovation System), Sistem
Rantai Nilai Tambah Agrobioproduk, Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis, Sektor Masyarakat

27
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Konsumen, dan Sistem Iklim Usaha Agrobiobisnis). Kelima blok tersebut saling berhubungan secara
sirkuler dalam mengalirkan produk dagangan (input-ouput), informasi dan aturan main (Gambar 4).

Gambar 4. Sketsa arsitektur agrobioindustri ekologis

Blok Sistem Ilmu Pengetahuan dan Inovasi Agrobiobisnis berfungsi untuk menyediakan
teknologi dan pengetahuan yang diperlukan oleh keempat blok lainnya. Di dalam blok ini termasuk
lembaga pendidikan, penelitian, serta pengembangan, komersialisasi dan penyuluhan teknologi. Blok
Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa berfungsi untuk meghasilkan agrobiomassa (pertanian, on-
farm), mengonversi dan mentransformasi agrobiomassa (agrobioindustri) menjadi beragam bahan
pangan, pakan, dan bioproduk bernilai tinggi (agrobioindustri), serta menghantarkannya
(agrobiologistik dan pemasaran) kepada konsumen. Sistem Industri Pendukung Agrobiobisnis adalah
sektor usaha swasta yang memberi dukungan untuk kelancaran usaha Sistem Ilmu Pengetahuan dan
Inovasi Agrobiobisnis dan Sistem Rantai Nilai Tambah Agrobiomassa. Sistem Iklim Usaha
Agrobiobisnis adalah elemen-elemen pembentuk konteks lingkungan strategis bagi keempat blok
lainnya. Termasuk dalam blok ini ialah standar, regulasi dan fasilitasi pemerintah, asosiasi bisnis,
organisasai konsumen, dan organisasi masyarakat sipil.
Kelima, pembangunan inklusif berkelanjutan. Pembangunan agrobiobisnis adalah pilar
utama pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat secara adil dan merata
untuk sepanjang waktu. Kesejahteraan rakyat itu bersifat multi-dimensi, meliputi kesejahteraan
ekonomi, sosial-politik, dan lingkungan alam. Kesejahteraan ekonomi tercermin dari tingkat
pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kesejahteraan sosial politik tercermin
terutama dari partisipasi dalam pembangunan, sosial dan politik, pemerataan pembagian manfaat
pembangunan, kebebasan dalam aktualisasi diri. Kesejahteraan terkait lingkungan hidup termasu
antara lain kesehatan, kenyamanan dan keindahan lingkungan hidup serta kepastian akan kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan sepanjang masa. Dengan perkataan lain, pembangunan
berkelanjutan berlandaskan pada tiga pilar: Manfaat Ekonomi (Profit), Kemanusiaan dan Keadilan
Sosial (People), dan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (Planet).

28
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gambar 5. Sketsa Sistem Agrobiobisnis

Dengan demikian, pembangunan agrobiobisnis diarahkan untuk peningkatan nilai tambah


dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), dengan partisipasi sosial-politik yang adil
dan merata antar individu, golongan dan wilayah (inclusive, pro-equity), dan memelihara atau bahkan
meningkatkan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (pro environment). Kiranya
dicatat bahwa satu-satunya sektor yang secara alamiah dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidup ialah pertanian (dalam arti luas, termasuk kehutanan dan perikanan). Oleh karena
itu, tidak boleh tidak agrobiobisnis haruslah dijadikan sebagai tulang punggung pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development) atau ekonomi hijau (Green Economy) yang menjadi arus
utama arah pembangunan saat ini hingga mesa mendatang.

PENUTUP
Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk dan kemajuan ekonomi global diperkirakan akan
menimbulkan skenarion badai sempurna (perfect storm): krisis pangan, air dan energi pada 2030.
Walau terkesan pesimistik, Indonesia haruslah mengantisipasi ancaman ini dalam penyusunan arah
kebijakan dan strategi pembangunan pertanian masa depan. Selain mengantisipasi perubahan
lingkungan strategis, pembangunan pertanian hendaklah ditempatkan pada fungsinya yang bersifat
ganda. Pertanian tidaklah semata-mata untuk mewujudkan swasembada pangan dan stabilisasai harga
komoditas pangan volatile determinan inflasi. Pembangan pertanian hendaklah ditempatkan sebagai
poros dan mesin penggerak transformasi pembangunan nasional menuju negara maju berpendapatan
tingggi. Untuk itu, strategi yang dipandang tepat ialah pengembangan sistem pertanian bioindustri.
Untuk itu, strategi pembangunan nasional mestilah mengadopsi paradigm pertanian untuk
pembangunan dan mengadopsi pendekatan agrobiobisnis. Dokumen Strategi Induk Pembangunan
Pertanian 2015-2045: Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa
Depan yang telah disusun oleh Kementerian Pertanian dapat dijadikan sebagai referensi utama dalam
penjabaran lebih lanjut konsep tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, C. 2014. Desain Dan Pola Pengelolaan Sistem Pertanian Bio-Siklus Dalam Mendukung
Kemandirian Pangan Dan Energi. Makalah utama pada Seminar Nasional memperingati
Hari Pangan Sedunia ke 34, Hotel Grand Clarion, Makassar, 4 November 2014.

29
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Altieri, M. A. 2012. The scaling up of Agroecology: Spreading the Hope for Food Sovereignty and
Resilience. SOCLA Rio+20 Position Paper.
Albrecht, K. and S. Ettling. 2014. Bioeconomy Strategies Across Globe. Rural 21 March 2014: 10-
13.
Bareja, B.G. 2010. So, What is Agriculture? What is the Definition of Agriculture?
http://www.cropsreview.com/what-is-agriculture.html; 20 juli 2014.
Beddington, J. 2009. Food, Energy, Water and the Climate: Aperfect stormof global events?
webarchive.nationalarchives.gov.uk/.../perfect-storm-paper.pd.. Diunduh pada 30
Oktober 2016.
Bruinsma, J. 2011. The Resource Outlook 2050: By How Much do Land, Water and Crop Yields Need
to Increase by 2050?, In P. Conforti.Looking ahead in world food and agriculture:
Perspectives to 2050, pp. 233-278. Food And Agriculture Organization, Rome.
Cranfield, J. A. L; T.W. Hertel ; J.S. Eales; and P.V. Preckel. 1998. Changes in the Structure of
Global Food Demand. GTAP Working Papers.
Davis, J.H. and R.A. Goldberg. 1958. A concept of Agribusiness. Boston : Division of Research,
Graduate School of Business Administration, Harvard University, xiv, 136 p.
Deutsche Bank. 2009. Investing in Agriculture: Far-Reaching Challenge, Significant Opportunity.
European Comission. 2012. Strategy for Innovating for Sustainable Growth: A Bioeconomy for
Europe. Staf Working Dokumen (2012) 11 Final. European Comission COM (2012) 60
Final.
Gill, T. G. (2013). Case studies in agribusiness: An interview with Ray Goldberg. Informing Science:
the International Journal of an Emerging Transdiscipline, 16, 203-212.
Giovannucci, D., S. Scherr, D. Nierenberg, C. Hebebrand, J. Shapiro, J. Milder, and K. Wheeler. 2012.
Food and Agriculture: the future of sustainability. A strategic input to the Sustainable
Development in the 21st Century (SD21) project. Department of Economic and Social
Affairs, Division for Sustainable Development, United Nations : New York.
Goldberg, R.A. 1968. Agribusiness Coordination: A Systems Approach to the Wheat, Soybean, and
Florida Orange Economies. Harvard Business School, Boston, xix + 256 pp.
Grassini, P., K.M.Eskridge, and K.G. Cassman. 2013. Distiguishing between yield advanses and
yield plateaus in historical crop production trend. Nature Communication,December: 1-
11.
Heong. K.L. 2012. Three planks in ecological engineering for rice pest management.
http://ricehoppers.net/2012/05/three-planks-for-ecological-engineering-for-rice-pest-
management/; Di unduh pada 7 Juni 2014.
Hoffmann , U. 2011. Assuring Food Security in Developing Countries under the Challenges
ofClimate Change: Key Trade and Development Issues ofaFundamental Transformation
ofAgriculture. UNCTAD Discussion Papers No. 201.
Idso, C.D. 2011. Estimates of Global Food Production in the Year 2050: Will We Produce Enough to
Adequately Feed the World? Center for the Study of Carbon Dioxide and Global Change.
Keane , J., S. Page, ,A. Kergna and J. Kennan. 2009. Climate Change and Developing Country
Agriculture: An Overview of Expected Impacts, Adaptation and Mitigation Challenges,
and Funding Requirements. ICTSD/International Food & Agricultural Trade Policy
Council, Issue Brief No. 2
Kelly, M., C. Banwell, J. Dixon, S. Seubsman, V. Yiengprugsawan, and A. Sleigh. 2010. Nutrition
transition, food retailing and health equity in Thailand . Australas Epidemiol 17(3): 47.
Kementerian Pertanian. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian-
Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Biro
Perencanaan. Jakarta.
Kruse, J. 2010. Estimating Demand for Agricultural Commodities to 2050. Global Harvest Initiative
Millenium Ecosystem Management. 2005. Ecosystem and Humen Well-being: Synthesis. Island
Press, Washington, D.C.
Munck, L. 1990. From Biotechnology to Agriculture, from Biorefineries to Agri-industry: An outline
of options for cooperation. In L. Munck and R. Rexen (Eds). Agricultural Refineries_a
bridge from farm to industry. Department of Biotechnology, Carlsberg Research Centre,
Copenhagen, Denmark. Pp.1-29

30
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pingali, P. 2012. Green Revolution: impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the
National Academy of Science (PNAS), Vol. 109, no. 31, July: 123022-12308.
Pingali, P. L. 2013. Green Revolution: Impacts, limits, and the path ahead. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America 109 (31, July): 12302-
12308.
Saragih, B. 2010. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. IPB
Press : Food and Agribusiness Centre, Bogor, 286 p.
Schaller, N. 2013. Agroecology: Different Definitions, Common Principles. Analysis No. 52.
Centre for Studies and Strategic Foresight. France.
Sexton, R. 2013. The Renaissance of Agricultural Economics. The Presidents Column, The
Exchange, newsletter of the AAAE, May-June 2013. Accessed at http://www.
aaea.org/publications/the-exchange/newsletter-archives/mayjune-2013/presidentscolumn
on December 3, 2013.
Shahi, G. 2006. Some Considerations: Biobusiness in Developing Countries. 3 rd Asian
Biotechnology Conference, Manila, November 10, 2006. Global BioBusiness Institute.
Simatupang, P. 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan
Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Simatupang, P. 2010. Introduksi dan Praksis Paradigma Agribisnis di Indonesia: Kontribusi Profesor
Bungaran Saragih. Dalam R. Pambudy, F.B.M. Dabukke, dan B. Krisnamurthi (Eds.).
Refleksi agribisnis : 65 tahun Profesor Bungaran Saragih. Institut Pertanian Bogor Press,
Bogor.
Simatupang, P. 2014. Perspektif Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Dalam Haryono
(Ed)Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian, hal 61-79.
IAARD Press, Jakarta.
Simatupang, P. 2015. Transformasi Paradigma Pembangunan Pertanian: Dari Paradigma Agribisnis
ke Paradigma Agrobiobisnis. Dalam F.B.M. Dabukke (Ed), Membumikan Paradigma
Agribusiness: 70 tahun Profesor Bungaran Saragih, hal 271-292. Pusat Pangan
Agribisnis-Gaung Persada (GP) Pers, Jakarta.
Thomson, A. and M. Metz. 1988. Implications of Economic Policy for Food Security : A Training
Manual. Training Materials For Agricultural Planning 40. FA0,Rome.
United Nations. 2011. World Population Prospects: The 2010 Revision. Population Division of the
Department of Economic and Social Affairs of the United Nations Secretariat.New York.
Wayne's Word. 1998. The Five Kingdoms of Life. http://waynesword.palomar.edu/trfeb98.htm;
Diunduh pada 11 Juni 2014.
Winarto, Y.T., R. Ariefiansyah and J.J. Fox. 2013. Indonesia experiments with sesame in ecological
engineering in Indramayu Regency, West Java. http://ricehoppers.net/2013/08/indonesia-
experiments-with-sesame-in-ecological-engineering-in-indramayu-regency-west-
java/;Diunduh pada 29 Agustus 2013.
Willoughby, K. W. 2011. Biobusiness 2010: Minnesotas Competitive Position in the Biobusiness
Technology Industries. BioBusiness Alliance of Minnesota. Saint Louis Park,
Minnesota, USA.

31
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

32
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

MAKALAH PENUNJANG

33
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

34
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

APLIKASI KALSIUM DAN BORON UNTUK MENGATASI CEMARAN GETAH KUNING


PADA BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
CALCIUM AND BORON APPLICATION TO OVERCOME YELLOW SAP
CONTAMINATIONON MANGOSTEEN FRUIT(Garcinia mangostana L.)
Odit F. Kurniadinata1, Roedhy Poerwanto2, Darda Efendi2, Ade Wachjar2
1
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman.
2
Departemen 2Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor, Jawa Barat
Email : odit.ferry@gmail.com

ABSTRAK
Cemaran getah kuning menjadi salah satu masalah utama dalam produksi buah manggis. Cemaran
getah kuning pada buah manggis akan menurunkan kualitas buah. Cemaran getah kuning terjadi pada
saat getah mencemari permukaan kulit buah atau aril akibat pecahnya saluran getah kuning. Pecahnya
saluran getah kuning berkaitan dengan keberadaan kalsium dan boron dalam pericarp buah. Penelitian
ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh kalsium (Ca) dan sumber kalsium dalam mengatasi
cemaran getah kuning pada buah manggis; (2) mengetahui pengaruh aplikasi boron (B) sebesar 2.8
g/pohon/tahun terhadap penurunan cemaran getah kuning pada buah manggis; serta (3) mendapatkan
waktu aplikasi kalsium dan boron terbaik dalam menanggulangi cemaran getah kuning pada buah
manggis. Penelitian dilakukan di kebun manggis Kelompok Tani Manggis Karya Mekar, di Kampung
Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini menunjukkan:
(1) Aplikasi 3.2 kg Ca dolomit /pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun dapat menurunkan cemaran
getah kuning pada aril buah manggis mencapai 53 % dan pada kulit mencapai 46%, sedangkan
tanaman tanpa kalsium dan boron (kontrol) menghasilkan cemaran getah kuning sebesar 91.66 % pada
aril dan 86 % pada kulit. (2) Aplikasi boron sebesar 2.8 g/pohon/tahun mampu menurunkan persentase
buah tercemar getah kuning serta skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit, namun tidak sebesar
aplikasi Ca. (3) Pemupukan kalsium dan boron pada saat antesis dan 1 minggu setelah antesis (MSA)
dapat menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril.
Kata Kunci: getah kuning, manggis, kalsium, boron

ABSTRACT
The yellow sap contamination became one of the main problems in the mangosteen fruit production
asit degrades the quality of the fruit. Contamination occurs when the yellow sap duct is rupture and
yellow sap contaminate aryl (pulp) or the rind of mangosteen. Yellow sap duct rupture related to the
presence of calcium and boron in fruit pericarp. This study aims to determine the influence of: (1)
calcium and a source of calcium (2) boron and (3) obtain the best calcium and boron application time
to decrease yellow sap contamination in the mangosteen fruit. The research was conduct in Kampung
Cengal, Karacak, Leuwiliang, Bogor. The results showed: (1) Application 3.2 kg of calcium dolomite /
tree / year + 2.8 g B / tree / year can reduce yellow sap contamination on aryl reached 53%, and on
rind was 46%, while the plant without calcium and boron (controls) showed 91.66% on aryl and 86%
on rind was contaminated by yellow sap. (2) Application of boron of 2.8 g / tree / year is able to
reduce the percentage of fruit contaminated with the yellow sap, and reduce score on aryl and rind
contaminated by yellow sap, but not as much as Ca application. (3) Calcium and boron application at
anthesis and 1 week after anthesis (WAA) can reduce the percentage of contaminated fruits by yellow
sap in aryl.
Keywords: yellow sap, mangosteen, calcium, boron.

35
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kalsium merupakan unsur hara yang tidak mobil dalam jaringan tanaman. Translokasi
kalsium dari akar ke tajuk tanaman sangat dipengaruhi oleh transpirasi, oleh karena itu salah satu
kendala yang muncul adalah rendahnya efektifitas serapan kalsium ke jaringan buah manggis.
Sebagian besar kalsium yang diserap dari akar akan ditranlokasikan langsung ke jaringan daun, karena
sifat kalsium yang tidak mobil dan translokasinya dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh proses
transpirasi tanaman. Daun sebagai jaringan tanaman yang aktif bertranspirasi akan menarik kalsium
dari akar dan menjadi kompetitor bagi buah. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk
meningkatkan translokasi kalsium menuju buah.
Pemberian kalsium dengan penyemprotan langsung pada permukaan buah dapat
meningkatkan kandungan kalsium pada perikarp buah (Clark et al. 1987; Rosen et al. 2006), namun
hal ini tidak praktis dan kurang efisien pada tanaman manggis dalam hal penerapannya di lapangan.
Pemberian kalsium pada saat yang tidak tepat melalui tanah akan meningkatkan kandungan kalsium
pada jaringan daun, tetapi tidak meningkatkan kalsium pada kulit buah manggis (Dorly 2009; Depari
2011). Hal ini diperjelas pada penelitian yang dilakukan oleh Purnama (2014) yang mendapatkan hasil
bahwa terjadi peningkatan kandungan kalsium pada pericarp buah seiring dengan peningkatan dosis
pupuk kalsium yang diberikan.
Penelitian lainnya mengindikasikan hubungan antara kandungan boron dengan peningkatan
serapan dan fungsi kalsium dalam menurunkan cemaran getah kuning pada buah manggis. Hasil
penelitian Saribu (2011) menunjukkan bahwa aplikasi kalsium bersama dengan boron melalui tanah
menurunkan cemaran getah kuning pada aril hingga mencapai 0 %. Hasil serupa ditunjukkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Pechkeo et al. (2007) bahwa aplikasi pemberian kalsium dan boron
pada buah manggis mampu meningkatkan kandungan kalsium pada pericarp dan menurunkan potensi
cemaran getah kuning pada buah manggis. Namun demikian belum jelas diketahui kaitan boron dalam
mendukung serapan dan translokasi kalsium ke jaringan buah manggis serta pengaruhnya terhadap
sumber kalsium yang berbeda terhadap penurunan cemaran getah kuning pada pericarp dan aril buah
manggis. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan mekanisme serapan dan
translokasi kalsium serta teknik aplikasi kalsium dan boron yang paling efektif dan efisien, untuk
meningkatkan serapan kalsium pada jaringan buah dan menurunkan cemaran getah kuning pada buah
manggis.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh kalsium dan sumber kalsium dalam
mengatasi cemaran getah kuning pada buah manggis; (2) mengetahui pengaruh aplikasi boron sebesar
2.8 g/pohon/tahun terhadap penurunan cemaran getah kuning pada buah manggis; serta (3)
mendapatkan waktu aplikasi kalsium dan boron terbaik dalam menanggulangi cemaran getah kuning
pada buah manggis. Luaran dari hasil penelitian ini adalah diketahui (1) pengaruh kalsium dan sumber
kalsium dalam mengatasi cemaran getah kuning pada buah manggis; (2) pengaruh aplikasi boron
sebesar 2.8 g/pohon/tahun terhadap penurunan cemaran getah kuning pada buah manggis; serta (3)
didapatkan waktu aplikasi kalsium dan boron terbaik dalam menanggulangi cemaran getah kuning
pada buah manggis.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di kebun manggis Kelompok Tani Manggis Karya Mekar, di Kampung
Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak pada
ketinggian 390- 398 m di atas permukaan laut (dpl). Kebun manggis Leuwiliang didominasi oleh
tanaman manggis produktif yang berumur lebih dari 20 tahun. Kebun ini berada pada ketinggian 390-
398 m dpl, dengan topografi bergelombang dan kemiringan 6-30 %, jenis tanah podsolik dengan
tekstur liat yang tinggi dan pH berkisar antara 4.30-5.50.
Analisis kimia tanah dan jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah,
Bogor dan kualitas buah di Laboratorium Pasca Panen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Penelitian berlangsung selama 24 bulan sejak persiapan hingga pengambilan data (dua musim panen),
yaitu dimulai pada bulan Maret 2011 hingga April 2013.

36
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman manggis berumur lebih kurang 20 tahun dan
telah berproduksi. Pemilihan tanaman sampel dilakukan berdasarkan pada kondisi pertumbuhan
tanaman yang baik dan relatif seragam. Tingkat keseragaman dinilai berdasarkan pada kondisi pohon
di kebun, yaitu berdasarkan kesamaan diameter batang, ukuran tajuk, tinggi tanaman dan kesesuaian
sejarah pemeliharaan, dengan maksud untuk mengurangi keragaman kondisi tanaman.
Metode Penelitian
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial
dengan 3 ulangan, terdiri atas perlakuan dosis pupuk kalsium dan boron sebagai faktor pertama, yang
terdiri atas 6 taraf yaitu :
1. Kontrol (tanpa kalsium dan tanpa B)
2. 2.8 g B/ pohon/tahun (6.09 g borat 46/pohon /tahun)
3. 3.2 kg kalsium dolomit/pohon/tahun (10.67 kg dolomit/pohon /tahun)
4. 3.2 kg kalsium kalsit/pohon/tahun (7.11 kg kalsit/pohon/tahun)
5. 3.2 kg kalsium dolomit/pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun
6. 3.2 kg kalsium kalsit/pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun
Sedangkan faktor kedua yaitu jumlah tahap pemberian kalsium dan boron pada tanaman manggis per
tahun (T), yang terdiri atas 2 taraf yaitu :
1. Pemberian kalsium dan boron pada saat antesis dan pada saat awal stadia I (1 Minggu Setelah
Antesis (MSA)). Masing-masing waktu aplikasi diberi kalsium dan boron setengah dari dosis
yang ditetapkan.
2. Pemberian kalsium dan boron pada saat antesis dan pada saat akhir stadia I (4 MSA). Masing-
masing waktu aplikasi diberi kalsium dan boron setengah dari dosis yang ditetapkan.

Setiap taraf perlakuan terdiri atas satu tanaman sehingga diperlukan 36 tanaman manggis
dewasa (umur lebih kurang 20 tahun dan telah berbuah) yang relatif seragam dalam lokasi percobaa.
Pemberian kalsium pada daerah perakaran manggis dengan cara ditaburkan dalam larikan
yang dibuat pada sekeliling pohon manggis di bawah tajuk dengan diameter lebih kurang 2 m, dan
kemudian ditutup dengan tanah. Sedangkan aplikasi boron diberikan dengan cara ditaburkan dalam
larikan yang dibuat pada sekeliling pohon manggis di bawah tajuk dengan diameter lebih kurang 1.5
m, kemudian ditutup dengan tanah. Kalsium yang digunakan bersumber dari Dolomit (CaMg(CO3)2)
dan Kalsit (CaCO3), sedangkan boron bersumber dari pupuk Borat 46.
Pelabelan buah
Pelabelan buah dilakukan terhadap 100 bunga/pohon. Pelabelan bertujuan untuk menentukan
buah-buah yang akan digunakan selama pengamatan.
Pemanenan
Buah dipanen pada umur 112 hari setelah antesis.
Pengamatan
Peubah yang diamati adalah :
1. Cemaran getah kuning pada aril.
a. Persentase buah tercemar per pohon. Dihitung berdasarkan persentase buah tercemar
terhadap jumlah buah contoh (100 buah) per pohon.
b. Persentase juring tercemar per buah. Dihitung berdasarkan persentase juring tercemar
terhadap jumlah juring per buah (diambil rataan dari seluruh buah contoh yang tercemar per
pohon).
c. Pengukuran Skor cemaran getah guning pada aril. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan skoring yang merujuk pada Kartika (2004) yang dimodifikasi, seperti tercantum
pada Tabel 1.

37
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Skor cemaran getah kuning pada aril


Skor cemaran getah
Keterangan
kuning pada Aril
Skor 1 Baik sekali, aril putih bersih, tidak terdapat getah kuning baik diantara aril dengan
kulit maupun dipembuluh buah

Skor 2 Baik, aril putih, terdapat 1-2 noda (bercak kecil) getah kuning pada satu ujung aril,
namun tidak memberikan rasa pahit
Skor 3 Cukup baik, terdapat beberapa noda (bercak) getah kuning disalah satu ujung
juring atau diantara juring dan mengotori aril
Skor 4 Buruk, terdapat noda/gumpalan getah kuning baik di ujung juring, diantara juring
atau di pembuluh buah yang menyebabkan rasa buah menjadi pahit
Skor 5 Buruk sekali, terdapat noda/gumpalan besar baik di juring, diantara juring atau di
pembuluh buah yang menyebabkan rasa buah menjadi pahit, warna aril menjadi
bening

2. Cemaran getah kuning pada kulit.


a. Persentase buah tercemar per pohon. Dihitung berdasarkan persentase buah tercemar
terhadap jumlah buah contoh (100 buah) per pohon.
b. Pengukuran skor cemaran getah kuning pada kulit buah manggis. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan skoring yang merujuk pada Kartika (2004) yang dimodifikasi,
seperti tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Skor cemaran getah kuning pada kulit
Skor cemaran getah
Keterangan
kuning pada Kulit
Skor 1 Baik sekali, kulit mulus tanpa terlihat getah kuning
Skor 2 Baik, kulit mulus dengan 1-5 gumpalan kecil getah kuning yang mengering tanpa
mempengaruhi warna buah
Skor 3 Cukup baik, kulit mulus dengan 6-10 tetes kecil getah kuning yang mengering dan
tidak mempengaruhi warna buah
Skor 4 Buruk, kulit kotor karena gumpalan sedang/ besar getah kuning , terdapat 1-2 bekas
aliran yang menguning dan membentuk jalur berwarna kuning di permukaan buah
Skor 5 Buruk sekali, kulit kotor karena terdapat lebih dari 1 gumpalan besar getah kuning,
terdapat banyak jalur-jalur berwarna kuning di permukaan buah, dan warna buah
menjadi kusam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Aplikasi kalsium dan boron
Aplikasi kalsium dan boron terbukti mampu menurunkan persentase buah tercemar getah
kuning pada aril, skor cemaran getah kuning pada aril, dan persentase juring tercemar, baik pada tahun
pertama maupun pada tahun kedua percobaan (Tabel 3). Pada tahun pertama, aplikasi dolomit + boron
mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning pada aril hingga menjadi 53 %, jauh lebih
rendah bila dibandingkan dengan tanpa kalsium dan boron (kontrol) yang menghasilkan cemaran
getah kuning pada aril sebesar 91.66 %. Nilai Skor cemaran lebih rendah juga didapatkan pada
perlakuan dolomit + boron sebesar 1.68, sedangkan kontrol menunjukkan skor cemaran sebesar 3.01.
Pada tahun kedua, aplikasi dolomit + boron menurunkan persentase buah tercemar getah
kuning pada aril hingga menjadi 31.66 %, tidak berbeda nyata dengan aplikasi dolomit (36.33%) dan
kalsit + boron (33.00%), namun berbeda nyata dengan kontrol (62.66 %). Sedangkan pada peubah
persentase juring tercemar per buah, aplikasi dolomit + boron berbeda nyata dengan kontrol namun
tidak berbeda nyata dengan aplikasi lainnya, baik pada tahun pertama maupun kedua.

38
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah tercemar
getah kuning pada aril/pohon, persentase juring tercemar dan skor cemaran getah kuning
pada aril selama dua tahun.
Cemaran getah kuning pada aril
Aplikasi kalsium dan Buah tercemar /pohon Juring tercemar /buah
boron Skor (1-5)
(%) (%)
2012 2013 2012 2013 2012 2013
Kontrol 91.66 A 62.66 a 30.4 a 33.3 a 2.96 a 3.01 a
Boron 85.00 A 57.66 a 26.5 ab 26.7 b 2.45 b 2.45 b
Dolomit 63.33 B 36.33 c 19.3 c 18.3 c 1.81 d 1.88 c
Kalsit 66.66 B 42.33 b 24.2 bc 20.9 c 1.95 cd 1.80 cd
Dolomit + boron 53.33 C 31.66 c 18.7 c 17.3 c 1.80 d 1.68 d
Kalsit + boron 68.33 B 33.00 c 22.2 bc 21.8 c 2.05 c 1.81 c
Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan nilai
1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka yang
diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon dan % juring tercemar per buah menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %.

Aplikasi kalsium dan boron juga mampu menurunkan persentase buah tercemar getah kuning
pada kulit buah dan skor cemaran getah kuning pada kulit selama dua tahun percobaan (Tabel 4).
Aplikasi dolomit + boron menurunkan persentase cemaran getah kuning pada kulit menjadi 76.66 %
pada tahun pertama, sedangkan kontrol menghasilkan 88.33 %. Pada tahun kedua percobaan, aplikasi
Aplikasi dolomit + boron menurunkan persentase cemaran getah kuning pada kulit menjadi 46.33 %,
sedangkan kontrol masih diatas 85 %. Demikian pula pada skor cemaran getah kuning pada kulit,
aplikasi dolomit + boron menunjukkan skor cemaran getah kuning yang lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol, dan tidak berbeda nyata dengan aplikasi kalsium dan boron lainnya.
Penurunan persentase buah tercemar getah kuning dan skor cemaran getah kuning pada aril
dan kulit buah, sejak tahun pertama percobaan menunjukkan bahwa kalsium menjadi unsur penting
utama dalam penurunan tersebut. Aplikasi boron juga mampu menurunkan skor cemaran getah kuning
pada aril maupun kulit buah, namun kemampuannya dalam menurunkan persentase buah tercemar
getah kuning dan skor cemaran yang terjadi belum sebesar penurunan yang didapat dengan aplikasi
kalsium.
Kombinasi aplikasi kalsium (baik dari dolomit ataupun kalsit) dan boron terbukti mampu
menurunkan persentase buah tercemar pada aril dan kulit serta skor cemaran getah kuning pada aril
dan kulit buah, baik pada tahun pertama maupun pada tahun kedua percobaan. Hal ini diduga bahwa
dengan aplikasi kalsium, terjadi peningkatan serapan dan tranlokasi kalsium ke jaringan buah. Selain
unsur kalsium, kombinasi kalsium dan boron akan menjamin suplai boron terhadap pertumbuhan dan
perkembangan buah. Boron memiliki fungsi yang sama dalam meningkatkan kekuatan dinding sel
seperti halnya kalsium (Hu et al. 1996). Oleh karena itu boron diduga akan mendukung fungsi dari
kalsium dalam peningkatan kekuatan dinding sel-sel epitel sel saluran getah kuning.

39
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 4. Pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah tercemar
getah kuning pada kulit/pohon dan skor cemaran getah kuning pada kulit buah selama dua
tahun.
Cemaran getah kuning pada kulit
Aplikasi kalsium dan boron Buah tercemar /pohon (%) Skor (1-5)
2012 2013 2012 2013
Kontrol 88.33 a 86.00 a 3.01 a 3.00 a
B 86.66 ab 73.00 b 2.73 b 2.58 b
Dolomit 83.33 ab 52.00 cd 2.26 c 2.13 c
Kalsit 85.00 ab 57.00 c 2.20 c 2.18 c
Dolomit + boron 76.66 bc 46.33 d 2.11 c 2.08 c
Kalsit + boron 71.66 C 50.00 d 2.11 c 2.15 c
Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan
nilai 1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka
yang diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT 5 %.

Kombinasi kalsium dan boron akan meningkatkan ketahanan saluran dinding sel terhadap
resiko terjadinya pecah pada saat terjadi tekanan terhadap saluran tersebut. Limpun-Udom (2001)
dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa kandungan kalsium dan boron pada kulit buah manggis
normal yang tidak tercemar getah kuning lebih tinggi dibandingkan dengan buah yang mengalami
cemaran getah kuning. Lim et al. (2001) menambahkan bahwa boron memiliki fungsi penting dalam
mendukung fungsi kalsium dalam jaringan tanaman khususnya sebagai salah satu komponen penyusun
dinding sel. Keberadaan unsur boron akan mendukung peningkatan ketahanan dan rigiditas dinding sel
saluran getah kuning. Disebutkan oleh Marschner (1995) dan ONeill et al. (2004) bahwa seperti hanya
kalsium, boron berfungsi sebagai penyusun dinding sel, berfungsi meningkatkan stabilitas dan
ketegaran struktur dinding sel dan meningkatkan integritas membran plasma. Selanjutnya Kobayashi et
al. (1996) pada hasil penelitiannya melaporkan bahwa boron sebagai asam borat terikat bersama dua
rantai rhamnogaladuronan II (RG II) membentuk kompleks boron-polisakarida. Dua molekul
rhamnogaladuronan II ini terkait silang satu sama lain oleh asam borat membentuk kompleks boron-
polisakarida. Aplikasi kalsium baik bersumber dari dolomit dan kalsit bersama boron akan menjamin
ketersediaan kalsium dan boron pada saat pertumbuhan dan perkembangan buah serta mendukung
pembentukan dan perkembangan dinding sel pada fase pertumbuhan dan perkembangan buah pada fase
generatif tanaman. Adanya tekanan pada endocarp buah akibat pertumbuhan cepat biji dan aril,
menyebabkan saluran getah kuning rentan terhadap kerusakan. Keberadaan kalsium baik dari dolomit
maupun kalsit dan boron akan meningkatkan kekuatan dinding sel jaringan saluran getah kuning
sehingga tidak mudah pecah. Baik dolomit maupun kalsit memberikan pengaruh yang relatif sama
dalam menurunkan skor cemaran getah kuning baik pada aril maupun kulit buah manggis. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua sumber kalsium tersebut dapat digunakan dalam mengatasi cemaran getah
kuning pada buah manggis.
Kebutuhan boron bagi tanaman terjadi pada saat memasuki stadia generatif, terutama pada
saat antesis (Pechkeo et al. 2007, Hu et al. 1996). Pada stadia ini, tanaman buah-buahan akan
menyerap semua unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah.
Suplai boron sebagai unsur yang tidak mobil akan bergantung kepada serapan boron dari akar menuju
buah melalui xylem. Hu et al. (1996) dan Pechkeo et al. (2007) menjelaskan bahwa terjadi
peningkatan jumlah boron pada jaringan bunga dan buah pada saat tanaman memasuki fase generatif.
Peningkatan boron terutama terkait dengan penyusunan dinding sel jaringan buah. Lebih dari 70 %
boron pada jaringan sel berada pada dinding sel dan berikatan dengan pektin.
Sifat unsur boron yang toksik menyebabkan boron tidak dapat diaplikasikan secara berlebihan.
Marshner (1995) menyatakan boron toksik bagi tanaman pada tingkat-tingkat yang berbeda, perbedaan
ini berkaitan dengan fungsi boron dan kebutuhan akan boron. Boron terutama akan diserap maksimal
pada saat sintesis dinding sel, khususnya pada saat pembentukan lignin dan sebagai penyusun dinding
sel. Untuk tanaman manggis, Martias (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa Kadar boron
daun optimum (86.5 ppm) mengeliminasi cemaran getah kuning hingga mencapai minimum (2.86 %),

40
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

namun peningkatan boron daun hingga 130 ppm menyebabkan cemaran getah kuning meningkat
hingga 40.7 %. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa aplikasi boron dapat menurunkan
cemaran getah kuning namun pada jumlah tertentu boron dapat bertindak sebagai toksik bagi tanaman.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kalsium mampu meningkatkan tingkat toleransi
tanaman terhadap sifat toksik boron. Seperti yang dinyatakan oleh Tisdale et al. (1985) dalam
penelitiannya bahwa terdapat hubungan antara kalsium dan boron terhadap tanaman. Pada saat
kalsium berada dalam jumlah yang cukup, tanaman akan menjadi lebih toleran terhadap keberadaan
boron. Keberadaan kalsium diketahui mampu meningkatkan tingkat toleransi tanaman terhadap
keracunan boron dengan melakukan regulasi transportasi boron pada sel tanaman, dan melindungi sel
dari masuknya boron ke dalam sel tanaman dalam jumlah berlebih. Hal ini akan meningkatkan
efisiensi fungsi boron sebagai salah satu penyusun dinding sel seperti halnya kalsium.
Dari hasil percobaan ini didapatkan bahwa sumber kalsium baik dolomit maupun kalsit secara
umum memberikan pengaruh yang sama terhadap penurunan cemaran getah kuning. Namun demikian
aplikasi boron bersama dengan kalsium yang bersumber dari dolomit cenderung menunjukkan nilai
yang lebih baik dalam menurunkan persentase buah tercemar ataupun skor cemaran yang terjadi pada
buah manggis.
Waktu aplikasi kalsium dan boron
Waktu aplikasi kalsium dan boron memberikan pengaruh terhadap persentase buah tercemar
getah kuning pada aril pada tahun kedua percobaan, namun tidak memberikan pengaruh terhadap
penurunan skor cemaran getah kuning pada aril pada tahun yang sama. Waktu aplikasi kalsium dan
boron hanya memberikan pengaruh terhadap skor cemaran getah kuning pada tahun pertama aplikasi.
Sedangkan pada persentase juring tercemar, waktu aplikasi kalsium dan boron tidak memberikan
pengaruh baik pada tahun pertama maupun tahun kedua percobaan (Tabel 5).
Tabel 5. Waktu pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah
tercemar getah kuning pada aril/pohon, skor cemaran getah kuning pada aril dan persentase
juring tercemar selama dua tahun.
Cemaran getah kuning pada aril
Waktu aplikasi kalsium
dan boron Buah tercemar /pohon (%) Juring tercemar /buah (%) Skor (1-5)
2012 2013 2012 2013 2012 2013
Antesis + 1 MSA 70.00 42.33 b 0.23 0.22 2.08 b 2.10
Antesis + 4 MSA 72.77 45.55 a 0.23 0.23 2.25 a 2.11
Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan nilai
1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka yang
diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon dan % juring tercemar per buah menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5 %.

Waktu aplikasi kalsium dan boron tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan persentase
cemaran getah kuning pada kulit buah baik pada tahun pertama maupun kedua. Namun demikian
waktu aplikasi kalsium dan boron memberikan pengaruh terhadap skor cemaran getah kuning pada
kulit pada tahun pertama aplikasi, sedangkan pada tahun kedua tidak memberikan pengaruh. Aplikasi
kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA memberikan skor cemaran getah kuning terburuk
dibandingkan aplikasi pada saat antesis + 1 MSA (Tabel 6).

41
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 6. Waktu pemupukan kalsium dan boron pada tanaman manggis, terhadap persentase buah
tercemar getah kuning pada kulit/pohon dan skor cemaran getah kuning pada kulit buah
selama dua tahun.
Cemaran getah kuning pada kulit
Waktu aplikasi kalsium dan Skor
boron Buah tercemar /pohon (%)
(1-5)
2012 2013 2012 2013
Antesis + 1 MSA 82.22 60.77 2.35 b 2.37
Antesis + 4 MSA 81.66 60.66 2.46 a 2.33
Ket.: Data skoring diuji menggunakan uji peringkat Kruskal Wallis. Skor cemaran berdasar skor 1-5 dengan
nilai 1 (terbaik/tanpa cemaran) hingga nilai 5 (terburuk/ memiliki skor cemaran tertinggi). Angka-angka
yang diikuti huruf yang sama pada kolom skor getah kuning menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Dunn 5 %, pada kolom % buah tercemar per pohon menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT 5 %.

Pada tahun kedua, aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 1 MSA mampu menurunkan
persentase buah tercemar getah kuning pada aril buah lebih baik dibandingkan aplikasi kalsium dan
boron pada saat antesis + 4 MSA. Hal ini diduga bahwa aplikasi kalsium dan boron dapat memenuhi
kebutuhan kalsium dan boron setelah dua tahun aplikasi untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan buah pada tahap selanjutnya. Sedangkan pada tahun pertama, waktu aplikasi hanya
dapat menurunkan skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit buah, dengan aplikasi saat antesis +
1 MSA menurunkan skor cemaran getah kuning lebih rendah dibandingkan waktu aplikasi pada saat
antesis + 4 MSA.
Terdapat keterkaitan antara perkembangan buah dengan kebutuhan kalsium yang tersedia
dalam tanah, yaitu terjadinya peningkatan serapan kalsium ke jaringan buah saat perkembangan buah.
Peningkatan terjadi mengikuti stadia perkembangan buah, terutama terjadi pada stadia awal
perkembangan buah dan kemudian menurun seiring peningkatan tingkat kematangan buah.
Disebutkan oleh Tomala et al. (1989) bahwa penyerapan kalsiumke jaringan buah terjadi secara
kontinu dan berfluktuasi dalam proses perkembangan buah. Pernyataan ini sesuai dengan Faust
(1989), Wilkinson dan Perring (1961), Ford dan Quinlan (1979), Fuhr dan Wieneke (1974), Hu et al.
(1996), Pechkeo et al. (2007) dan Wilsdorf (2011) yang menyatakan bahwa secara umum penyerapan
kalsium oleh buah terjadi selama stadia awal pertumbuhan dan perkembangan buah. Penyerapan
kalsium dan boron secara cepat oleh tanaman terutama terjadi diawal pertumbuhan dan perkembangan
buah, yang ditranlokasikan melalui xylem menuju buah.
Meningkatnya ukuran buah manggis menyebabkan buah rentan terhadap cemaran getah
kuning pada aril maupun kulit buah karena adanya desakan akibat perkembangan buah. Desakan
terjadi akibat adanya perbedaan laju pertumbuhan antara aril dan biji terhadap kulit buah. Desakan ini
berpotensi menyebabkan terjadinya pecahnya saluran getah kuning pada jaringan pericarp buah yang
kemudian mencemari aril (Poerwanto et al. 2010).
Aplikasi kalsium dan boron melalui perakaran pada saat antesis diduga dapat memenuhi
kebutuhan kalsium terutama pada stadia cepat perkembangan buah tersebut, yaitu pada 1-4 Minggu
Setelah Antesis (MSA). Dijelaskan oleh Poovarodom (2009) pada buah manggis terdiri dari tiga stadia
perkembangan buah yaitu stadia I 1-4 MSA, stadia II 5-13 MSA, dan stadia III 14-15 MSA. Oleh
karena itu aplikasi kalsium dan boron yang dilakukan dua kali pada saat antesis + 1 MSA diduga
mampu meningkatkan serapan dan tranlokasi kalsium ke jaringan buah melalui xylem dibandingkan
aplikasi pada saat antesis + 4 MSA.
Aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA diduga kurang efektif dalam
peningkatan serapan dan translokasi kalsium dan boron ke jaringan buah. Hal ini disebabkan pada saat
4 MSA kebutuhan kalsium dan boron terhadap pertumbuhan dan perkembangan buah tidak setinggi
kebutuhan pada saat antesis + 1 MSA. Dijelaskan oleh Rigney dan Wills (1981) dan Poovarodom
(2009) bahwa selama perkembangan buah manggis, kebutuhan kalsium pada dinding sel akan
mengalami peningkatan namun kemudian akan menurun menjelang pemasakan.
Stadia pertumbuhan buah cepat pada tanaman manggis terjadi pada 1-4 MSA. Pada masa ini
unsur kalsium dan boron akan ditranlokasikan ke jaringan buah dalam jumlah banyak karena buah
menjadi sink yang kuat terhadap berbagai unsur hara (Marschner 1995). Pada stadia ini aliran
translokasi kalsium dan boron yang sebelumnya dominan menuju daun akan beralih menuju buah.

42
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Aplikasi kalsium dan boron pada saat antesis + 4 MSA akan kurang efektif dibandingkan aplikasi
kalsium dan boron pada saat antesis + 1 MSA karena pada saat aplikasi kedua di 4 MSA, kebutuhan
kalsium dan boron tidak sebanyak pada saat 1 MSA. Namun demikian aplikasi kalsium dan boron
pada saat tahun kedua aplikasi menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap penurunan cemaran getah
kuning pada aril dan kulit buah manggis. Selisih waktu 1 MSA dan 4 MSA masih belum dapat
menunjukkan pengaruh aplikasi kalsium dalam penurunan cemaran getah kuning secara jelas. Jarak
waktu antara 1MSA dan 4 MSA diduga masih terlalu dekat untuk mengetahui pengaruh waktu aplikasi
kalsium terhadap penuruunan cemaran getah kuning pada buah manggis. Stadia I yaitu 1-4 MSA
merupakan waktu kebutuhan kalsium dan boron yang terpenting bagi tanaman. Aplikasi kalsium dan
boron pada saat antesis berperan penting dalam memenuhi kebutuhan kalsium dan boron untuk
menurunkan cemaran getah kuning. Selain itu jumlah dan tingkat stadia pertumbuhan dan
perkembangan buah yang berbeda pada satu tanaman diduga mempengaruhi tingkat serapan dan
translokasi kalsium dan boron terhadap buah manggis.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh dari perlakuan pemberian
kalsium dan boron terhadap seluruh peubah kualitas buah manggis yang diamati diantaranya Bobot
Buah Buah Segar, Bobot Kulit Buah Segar, Bobot Biji Segar Total, Bobot Tangkai dan Cupat Segar,
Bobot Aril, Kekerasan kulit buah, Diameter transversal, Diameter Longitudinal, Tebal Kulit Buah,
Edible portion, Total Padatan Terlarut, dan Total Asam Terlarut (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan
bahwa aplikasi kalsium dan boron tidak mempengaruhi kualitas buah yang lain kecuali penurunan
persentase buah tercemar, skor dan juring tercemar getah kuning. Oleh karena itu aplikasi kalsium dan
boron dapat diterapkan tanpa ada kekuatiran akan mempengaruhi jumlah produksi dan atau kualitas
buah lainnya.

KESIMPULAN
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Aplikasi 3.2 kg kalsium dolomit/pohon/tahun + 2.8 g B/ pohon/tahun dapat menurunkan cemaran
getah kuning pada aril buah manggis mencapai 53 % dan pada kulit mencapai 46%, sedangkan
tanaman tanpa kalsium dan boron (kontrol) menghasilkan cemaran getah kuning sebesar 91.66 %
pada aril dan 86 % pada kulit.
2. Aplikasi boron sebesar 2.8 g/pohon/tahun mampu menurunkan persentase buah tercemar getah
kuning serta skor cemaran getah kuning pada aril dan kulit, namun tidak sebesar aplikasi Ca
3. Pemupukan kalsium dan boron pada saat antesis dan 1 MSA dapat menurunkan persentase buah
tercemar getah kuning pada aril.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih diucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
membiayai sebagian besar kegiatan penelitian ini melalui Program Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-
HPTP (HIBAH Pasca) dengan Judul Pengembangan Teknologi Pengendalian Getah Kuning Buah
Manggis atas nama Prof Dr Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc untuk tahun anggaran 2011 dan 2012 dan
atas nama Dr Ir Darda Efendi, M.Si untuk tahun anggaran 2013. Program Hibah Kompetensi dengan
Judul Perbaikan Kualitas Buah Manggis dan Mangga sebagai Upaya Peningkatan Ekspor Buah
Tropika Nusantara atas nama Prof Dr Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc untuk tahun anggaran 2013; serta
Program Beasiswa PKPI (Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional)-Sandwich Like tahun 2013 di
South China Agricultural University (SCAU), Guangzhou, China.

43
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Clark CJ, Smith GS, Walker GD. 1987. The Form, Distribution And Seasonal Accumulation Of
Calcium In Kiwifruit Leaves. New Phytol. (1987) 105, 477-86
Depari SOS. 2011. Studi Waktu Aplikasi kalsium terhadap Pengendalian Getah Kuning dan Kualitas
Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). [Thesis]. Sekolah PascaSarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Dorly. 2009. Studi Struktur Sekretori dan Fitokimia Getah Kuning Serta Pengaruh Aplikasi kalsium
pada Buah Manggis. [Disertasi]. Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Faust M. 1989. Physiology of Temperate Zone Fruits Trees. John Wiley & Sons, Inc. Canada.
Ford EM, Quinlan JD. 1979. The distribution of 45Ca in apple fruits when supplied to the roots at
three times during the season. Journal of Horticultural Science, 54, 181-188.
Fuhr F, Wieneke J. 1974. Secondary translocation of 45Ca to the fruit of apple trees the year after
dormancy. Mech. Regul. Plant Growth. R. Soc. N.Z.12: l7l-175
Hu H, Brown PH, Labavitch.1996. Species variability in boron requirement is correlated with cell wall
pektin. Journal of Experimental Botany, Vol. 47, No. 295, pp. 227-232.
Kartika JG. 2004. Studi pertumbuhan buah, gejala getah kuning dan burik pada buah manggis
(Garcinia mangostana L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kobayashi M, Matoh T, Azuma JI. 1996. Two chains of rhamnogalacturonan II are cross-linked by
borate-diol ester bonds in higher plant cell walls. Plant Physiol. 110, 10171020.
Lim M, Sdoodee, Chanawerawan, Onthong. 2001. Growth pattern and phonological development of
longkong (Aglai dookoo Griff.). Songklanakarin J. Sci.Technol. 23(4): 467-478.
Limpun-Udom S. 2001. Influence of Water on the Incidence of Translucent Flesh Disorder in
Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Fruits. [Thesis]. Prince of Songkla University,
Songkhla.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd edition. Academic Press. London.
Martias. 2012. Studi peranan lingkungan (sifat kimia dan fisika tanah serta cuaca) terhadap cemaran
getah kuning buah manggis (Garcinia mangostana). [Disertasi]. Sekolah PascaSarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
ONeill MA, Ishii T, Albersheim P, Darvill AG. 2004. Rhamnogalacturonan II: structure and function
of a borate cross-linked cell wall pectic polysaccharide. Annu Rev Plant Biol. 55:109
139.
Pechkeo S, Sdoodee S, Nilnond C. 2007. The Effects of Calcium and Boron Sprays on the Incidence
of Translucent Flesh Disorder and Gamboge Disorder in Mangosteen (Garcinia
mangostana L.). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 41 : 621 - 632 (2007)
Poerwanto R, Dorly, Martias M. 2010. Getah kuning pada buah manggis dalam Reorientasi Riset
untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Seminar Nasional
Hortikultura, 2526 Januari 2010. Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Denpasar Bali.
Hal. 255260.
Poovarodom S. 2009. Growth and Nutrient Uptake into Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Fruit.
The Proceedings of International Plant Nutrition Colloquium XVI, Department of Plant
Sciences, UC Davis.
Rigney CJ, Wills RBH. 1981 Calcium movement, a regulating factor in the initiation of tomato fruit
ripening. HortScience 16:550-551.
Saribu DS. 2011. Studi Aplikasi kalsium dan boron terhadap Pengendalian Getah Kuning pada Buah
Manggis. [Thesis]. Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tisdale, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4th edition. Macmillan Publishing
Company. New York.
Tomala K, Araucz M, Zaczek B. 1989. Growth dynamics and calcium content in McIntosh and
Spartan apples. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 20:529537
Wilkinson BG, Perring MA. 1961. Variation in mineral composition of coxs orange pippin apples.
Journal of the science of food and agriculture, 15, 378-384.
Wilsdorf R. 2011. Evaluating the seasonal changes in calcium concentration and distribution in apple
fruit after application of diffferent calcium fertilisation strategies. [Thesis]. Department of
Horticultural Science, Stellenbosch University

44
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PERKEMBANGAN STRUKTUR TORPEDO MEMBENTUK TUNAS PADA TANAMAN


JAMBU METE
DEVELOPMENT OF TORPEDO STRUCTURE FORMED SHOOTS ON CASHEWNUTS
Rossa Yunita, dan Ika Mariska
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 3A Boggor 16111 Telp (0251) 8337975; Faks (0251) 8338820
E-mail: rossa_yunita@yahoo.com

ABSTRAK
Perbanyakan vegetatif melalui kultur in vitro dianggap sebagai teknologi yang berpotensi untuk
pengandaan bibit dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang relatif cepat.Perbanyakanmelalui
kultur in vitro dapat dilakukan melalui tunas adventif atau tunas lateral (organogenesis) dan
embriogenesis somatik. Tahap akhir dari perbanyakan melalui embriogenesi somatik adalah
pekembangan struktur torpedo membentuk planlet utuh. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan
formulasi media yang tepat untuk pembentukan tunas dari struktur torpedo. Penelitian ini dilakukan
di laboratorium kultur jaringan BB Biogen, Bogor, pada bulan Februari November 2014. Bahan
tanaman yang digunakan adalah struktur torpedo. Penelitian ini mengunakan rancangan acak lengkap
faktorial dengan 20 ulangan. Faktor pertama adalah konsetrasi BA atau Zeatin atau Kinetin yaitu 0:
0,5 ; dan 1 mg/l. Faktor kedua adalah ABA yaitu 0 dan 0,05 mg/l. Dari penelitian ini diperoleh hasil
media yang optimal untuk pembentukan planlet utuh adalah kinetin 1 mg/l + ABA 0,05 mg/l.
Kata Kunci: Anacardium occidentale L,BA, Kinetin, ABA.

ABSTRACT
Vegetative propagation through in vitro culture is considered as a potential technology for plant
multiplication in large amounts with a relatively quick time. Propagation through in vitro culture can
be done through adventitious buds or lateral buds (organogenesis) and somatic embryogenesis. The
final stage of propagation via somatic embryogenesis is development of torpedo into complete intact
plantlets. The purpose of this study is to get appropriate media formulations for the formation of
structures torpedo shoots. This study was conducted in laboratory tissue culture, ICABIOGRD, Bogor,
in the February to November 2014. The plant material used is the structure of the torpedo. This study
uses completely randomized factorial design with 20 replications. The first factor is the concentration
of BA or Zeatin or Kinetin is 0: 0.5; and 1 mg /l. The second factor is the concentration of ABA 0 and
0.05 mg/l. This study showed that the optimal medium for the formation of t plantlets is mS medium
suppletemented with kinetin 1 mg/l + ABA 0.05 mg/l.
Keywords: Anacardium occidentale L,BA, Kinetin, ABA

PENDAHULUAN
Luas areal perkebunan tanaman jambu mete di Indonesia pada tahun 2013 seluas 551.512 ha
dengan produksi 116.000 ton. Daerah penghasil utama jambu mete di Indonesia adalah propinsi NTT
dengan luas 180.642 ha, Sulawesi Tenggara dengan luas 117.677 ha, Sulawesi Selatan 60.532 ha,
NTB 57,086 ha, Jawa Timur 52.243 ha, Jawa Tengah 25.427 ha dan Bali 8.758 ha. (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2014). Akan tetapi produktifitasnya sekitar 164 350 kg/ha/thn, masih sangat
rendah bila dibandingkan dengan negara lain yang bisa mencapai 800 kg/ha/thn (Darwis, 2008) .
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman jambu mete, Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat telah menyeleksi berbagai populasi jambu mete dan saat ini telah
diidentifikasi 11 nomor yang memiliki produksi potensi cukup tinggi 932 2282 kg/ha/thn. Nomor-
nomor unggul yang ada saat ini jumlah populasinya masih sangat terbatas. Untuk mempertahankan
sifat unggul dari pohon induk maka dalam pengembangannya harus diperbanyak secara vegetatif.
Tanaman jambu mete merupakan tanaman tahunan yang menyerbuk secara silang dengan
waktu regenerasi yang cukup lama yaitu 5-8 tahun, disamping itu perbanyakan secara generatif
menghasilkan tanaman yang bervariasi. Salah satu upaya untuk mendukung pengembangan nomor-
nomor yang produktifitasnya tinggi adalah perbanyakan vegetatif dengan mengunakan teknik kultur
jaringan(Lestari, 2011) .

45
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Perbanyakan vegetatif tanaman dengan mengunakan teknik kultur jaringan dapat dilakukan
melalui jalur organogensis dan embriogenesis. Pada embryogenesis akan diperoleh pembentukan dan
pertumbuhan embrio yang berasal dari sel-sel somatik bukan dari peleburan gamet jantan dan betina.
Terbentuk struktur yang bipolar dan kondisi fisiologis yang menyerupai embrio zigotik maka
perbanyakan melalui pembentukan embrio somatik lebih menguntungkan dari pada pembentukan
tunas adventif yang unipolar (Mariska et al, 2001). Tanaman berkayu yang telah berhasil diperbanyak
secara in vitro diantranya tanaman mangis malino (Lestari et al, 2013), tanaman jati (Lina et al, 2013),
tanaman karet (Sundari, et al 2015), tanaman Mengkudu (Kusumawati et al, 2015).
Pada penelitian sebelumnya telah diperoleh media yang tepat untuk menginduksi kalus primer
tanaman jambu mete adalah Hevea + 2,4D 20mg/l + BA 0,5 mg/l dengan mengunakan eksplan
jaringan meristem. Untuk meningkatkan ukuran kalus, kalus tersebut disubkultur pada media Hevea
yang mengadung 2,4D 20 mg/l + glutamin 100 mg/l + arang aktif 2 gr/l. Dan untuk membentuk
struktur globular, kalus primer yang berwarna putih di sub kultur pada media Hevea + 2,4D 5 mg/l +
BA 0,3 mg/l. Diperoleh pula formulasi media terbaik untuk membentuk struktur hati adalah MS +
2,4-D 1 mg/l + BA 0,5 mg/l dan formulasi media untuk pembentukan struktur torpedo yaitu MS + BA
0,5 mg/l + ABA 0,005 mg/l + arang aktif 3 g/l (Yunita et al, 2015). Pada penelitian ini betujuan untuk
memperoleh formulasi media in vitro yang tepat untuk perkembangan struktur terpedo membentuk
tunas pada tanaman jambu mete.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Bogor. Bahan tanamn
yang dugunakan pada penelitian ini adalah Struktur embrogenik yang telah berkembang membentuk
struktur torpedo (Gambar 1 A). Media dasar yang digunakan pada penelitian ini adalahmedia dasar
MS (Murashige & Skoog, 1962). Komposisi media MS dapat dilihat pada tabel 1.
Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu:
(1) Pengaruh Kombinasi BA dan ABA terhadap perkembangganstruktur torpedo.
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial. Faktor
yang pertama adalah konsentrasi BA (0: 0,5 ; dan 1 mg/l) dan faktor yang kedua adalah
Konsentrasi ABA yaitu 0 dan 0,05 mg/l. Masing masing perlakuan terdiri dari 20 ulangan. Para
meter yang diamati adalah persentase tunas yang terbentuk, jumlah tunas dan penampakan visual
biakan.
(2) Pengaruh Kombinasi Zeatin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo
Pada percobaan ini mengunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor yang pertama adalah
konsentrasi Zeatin (0: 0,5 ; dan 1 mg/l) dan faktor yang kedua adalah Konsentrasi ABA yaitu 0
dan 0,05 mg/l. Masing masing perlakuan terdiri dari 20 ulangan. Para meter yang diamati adalah
persentase tunas yang terbentuk, jumlah tunas dan penampakan visual biakan.
(3) Pengaruh Kombinasi Kinetin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo.
Percobaan ini mengunakan rancangan acak lengkap faktorial. Faktor yang pertama adalah
konsentrasi Kinetin (0: 0,5 ; dan 1 mg/l) dan faktor yang kedua adalah Konsentrasi ABA yaitu 0
dan 0,05 mg/l. Masing masing perlakuan terdiri dari 20 ulangan. Para meter yang diamati adalah
persentase tunas yang terbentuk, jumlah tunas dan penampakan visual biakan.

46
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh Kombinasi BA dan ABA terhadap Perkembangan Struktur Torpedo
Struktur torpedo yang dikulturkan pada media tanpa zat pengatus tumbuh tidak dapat
menginduksi munculnya tunas. Pada tabel 1 dapat diamati struktur torpedo yang dikulturkan pada
media yang mengandung BA dan ABA secara umum belum memberikan hasil yang cukup baik
dimana struktur terpedo yang dikulturkan pada media MS +BA 0,5 dan 1 mg/l serta media MS +
ABA 0,05 tidak mampu menginduksi terbentuknya tunas.
Tabel 2. Tunas yang terbentuk pada media MS yang diperkaya BA dan ABA
(umur 10 minggu setelah masa tanam).
Perlakuan Persentase terbentuk Jumlah tunas Visualisasi biakan
(mg/l) tunas (%)
BA 0 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
BA 0,5 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
BA 1 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
BA 0 ABA 0,05 0 0 Kalus menghitam
BA 0,5 ABA 0,05 5 1 Tunas hijau
BA 1 ABA 0 ,05 5 1 Tunas hijau

Pada perlakuan kombinasi BA dan ABA baru mampu menginduksi terbentuknya tunas.
Persentase tunas yang terbentuk masih rendah yaitu sebesar 5% dengan jumlah tunas sebanyak 1
tunas. Hasil yang sama juga ditemuai pada tanaman Cassia occidentalis. Dimana pada tahap
pendewasaan struktur embriogenesis somatik dapat berkembang dengan baik pada media yang
mengandung kombinasi BA dan ABA (Naz et al, 2016).
Pengaruh kombinasi Zeatin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo
Pada Tabel 3 dapat diamati pemberian perlakuan zeatin maupun ABA secara tunggal tidak
mampu menginduksi terbentuknaya tunas. Dimana struktur torpedo yang dikulturkan pada media MS
+ Zeatin atau media MS + ABA tidak mampu berkembang membentuk tunas.
Tabel 3. Tunas yang terbentuk pada media MS yang diperkaya Zeatin dan ABA
(umur 10 minggu setelah masa tanam)
Perlakuan Persentase terbentuk Jumlah tunas Visualisasi biakan
(mg/l) tunas (%)
Zeatin 0 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
Zeatin 0,5 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
Zeatin 1 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
Zeatin 0 ABA 0,05 0 0 Kalus menghitam
Zeatin 0,5 ABA 0,05 25 8 Tunas hijau
Zeatin 1 ABA 0,05 35 14 Tunas hijau

Struktur torpedo berkembang membentuk tunas ketika eksplant dikuturkan pada media MS
yang mengandung kombinasi Zetian dan ABA. Perlakuan Zeatin 0,5mg/l dan ABA 0,05 mg/l dapat
menginduksi terbentuknya tunas sebesar 25% dengan jumlah tunas 8. Peningkatan kandungan Zeatin
menjadi 1mg/l yang dikombinasikan dengan ABA 0,05 mg/l dapat memacu terbentuknya tunas dari
struktur torpedo sebesar 35% dengan jumlah tunas 14. Pendewasaan struktur embrio somatik
umumnya dilakukan dengan menambahkan ABA karena ABA berperan sebagai komponen untuk
menahan perkecambahan dini, meningkatkan toleransi desikasi sehingga konversi untuk
perkecambahan tinggi (Zang et al, 2014).

47
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengaruh kombinasi Kinetin dan ABA terhadap perkembanggan struktur torpedo


Persentasi tunas yang dihasilkan pada dua percobaan sebelmnya relatif masih rendah. Untuk
itu perlu dilakukan percobaan ketiga untuk meningkatkan persentase keberhasilan pertumbuhan
struktur torpedo membentuk tunas.
Tabel 4. Tunas yang terbentuk pada media MS yang diperkaya Kinetin dan ABA
(umur 10 minggu setelah masa tanam)
Perlakuan Persentase terbentuk Jumlah Visualisasi biakan
(mg/l) tunas (%) tunas
Kinetin 0 ABA 0 0 0 Kalus menghitam
Kinetin 0,5 ABA 0 5 1 Tunas hijau
Kinetin 1 ABA 0 5 1 Tunas hijau
Kinetin 0 ABA 0,05 0 0 Kalus menghitam
Kinetin 0,5 ABA 0,05 35 10 Tunas hijau
Kinetin 1 ABA 0,05 55 23 Tunas hijau

A B
Gambar 1. A. Struktur torpedo yang digunakan sebagai eksplant B. Tunas yang terbentuk pada media
MS + Kinetin 1mg/l + ABA 0,05mg/l.

Pemberian Kinetin pada media tanam dapat menginduksi pertumbuhan struktur torpedo
berkembang membentuk tunas. Pemberian kinetin (0,5 dan1 mg/l) secara tunggal dapat menginduksi
terbentuknya tunas sebesar 5%. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman Theobroma cacao L, dimana
pemberian Kinetin pada media tanam akan meningakat pertmbuhan pada tahap pendewasaan embrio
somatik (Ajijah et al, 2016).
Kombinasi Kinetin dan ABA dapat meningkatkan terbetuknya tunas. Perlakuan Kinetin 1mg/l
yang dikombinasikan dengan ABA 0,05mg/l memberikan hasil yang cukup besar untuk mengiduksi
terbetuknya tunas, dimana jumlah tunas yang terbentuk adalah 55% dengan jumlah tunas sebanyak 23
tunas (Gambar 1 B).

KESIMPULAN
Zat pengatur tumbuh ABA sangat berperan pada tahap perkembangan struktur torpedo
membentuk tunas pada tanaman mete. Kombinasi BA dan ABA pada media MS mampu menginduksi
terbentuknya tunas. Formulasi media in vitro yang terbaik untuk perkembangan struktur terpedo
membentuk tunas pada tanaman jambu mete adalah media MS yang diperkaya dengan BA 1mg/l dan
ABA 0,05 mg/l.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada Badan Litbang Pertanian yang telah mendanai penelitian ini
melalui program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional.

48
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Ajijah, N., R. S. Hartati, R. Rubiyo, D. Sukma, S. Sudarsono. 2016. Effective cacao somatic embryo
regeneration on kinetin supplemented DKW medium and somaclonal variation
assessment using ssrs markers.Agrivita 38(1):80-92.
Darwis, A. 2008. Hama dan penyakit utama jambu mete dan usaha
pengendaliannya.Hllp://balittro.litbang.deptan.go.id.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015. Jambu Mete.
Direktorat Jenderal Perkebunan
Kusumawati, E., Y. P. Sari, T. Purnaningsih. 2016.Pengaruh NAA dan BAP terhadap inisiasi tunas
mengkudu (morinda citrifolia) secara in vitro. Agrisain 1(1):8-17.
Lestari, E. G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melaui
kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68.
Lestari, E. G., M. R. Suhartanto, A. Kurniawati, S Rahayu. 2013. Inisiasi Tunas Ganda Tanaman
Manggis Malinau melalui Kultur In Vitro untuk Perbanyakan Klonal. J. Agron. Indonesia
41 (1) : 40 46.
Lina, F. R., E. Ratnasari, R Wahyono. 2013. Pengaruh 6-benzylamino purine (BAP) dan 6-furfuryl
amino purine (Kinetin) pada Media MS terhadap Pertumbuhan Eksp. LenteraBio 2
(1):5761.
Mariska, I. , S Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W. Adil and Y Supriati. 2001. Somatik
embryogenesis in different soyben varieties. Proc Workshop on Soyben Biotechnology Al
Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Biotecnology Indonesia Germany
Project. Directorate for Assessment ang Technology, agency for The Assessment and
Aplication of Technology Federal Ministry for Education and Research, Central Research
Intitute for Food Crops. 14-15 Sept. 1999. Bogor
Naz,R. M. Anis,A. A. Alatar . 2016. ISSR marker-based detection of genomic stability inCassia
occidentalis L. plantlets derived from somatic embryogenesis. Engeneerin in life
sicences. 16(1):17-24.
Sundari, L. L.A. M. Siregar, D. S. Hanafiah .2015. Kajian awal : respon eksplan nodus dalam inisiasi
tunas mikro tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dalam Medium WPM.Jurnal
Online Agroekoteknologi 3(1):179-187.
Yunita, R., I. Mariska. 2016. Pengaruh kombinasi BA dan 2,4D dalam pembentukan kalus
embriogenik pada tanaman Jambu Mete (Anacardium ocidentale L.). Prosiding Seminar
PBI Cabang Jakarta.
Zhang, L., W. Li, H. Xu, L. Qi, S. Han. 2014. Cloning and characterization of four diffentially
espressed cDNA encoding NFYA homologs invilved in responses to ABA during
somatic embryogenesis in Japanese Larch. (Larix leptolepis). Journal Plant of
Biotechnology 117(2):293-304.

49
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG INOVASI TEKNOLOGI


PENGELOLAAN TERPADU TANAMAN JERUK DI KABUPATEN KEPAHIANG
IMPROVEMENT OF FARMERS KNOWLEDGE OF CITRUS PLANTS INTEGRATED
MANAGEMENT TECHNOLOGYIN KEPAHIANG DISTRICT
Sri Suryani M. Rambe dan Kusmea Dinata
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu Telp. (0736) 23030
e_mail : ssmrambe@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pengembangan kawasan jeruk merupakan salah satu program hortikultura Kabupaten Kepahiang,
Provinsi Bengkulu. Produksi jeruk tahun 2015 menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
Permasalahan yang ditemui adalah petani belum menguasai dengan baik cara pengelolaan tanaman
jeruk karena pengetahuan petani dan petugas masih sangat terbatas, khususnya tentang pemeliharaan
tanaman. Untuk itu diperlukan diseminasi teknologi. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui
peningkatan pengetahuan petani tentang inovasi teknologi pengelolaan terpadu tanaman (PTT) jeruk
spesifik lokasi. Kajian dilaksanakan tahun 2015 di lokasi pengembangan kawasan jeruk di Kecamatan
Sebrang Musi, kabupaten Kepahiang. Ruang lingkup kegiatan meliputi: pelatihan teknologi PTT jeruk,
pendistribusian materi penyuluhan (5 komponen teknologi PTT jeruk) dan evaluasi hasil pelatihan.
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu petani jeruk yang merupakan peserta
pelatihan teknologi PTT jeruk berjumlah 30 orang. Metode pre-test and post-test one group design
digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan petani. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik
petani dan pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi PTT jeruk. Data yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif dan untuk melihat signifikansi peningkatannya digunakan paired sample T-Test.
Hasil kajian memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan petani jeruk yang signifikan sebelum
dan sesudah penyuluhan tentang PTT jeruk yaitu sebesar 51,36 (dari 11,73 menjadi 63,09) dikawasan
pengembangan jeruk Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang. Pengetahuan petani tentang
komponen teknologi yang masih rendah adalah pengendalian hama penyakit tanaman dan dosis
pemupukan.
Kata Kunci: jeruk, pelatihan, pengetahuan, petani, pengelolaan, terpadu

ABSTRACT
Development of citrus area is one of the horticulture program in Kepahiang District, the Province of
Bengkulu. One of the problems is that the farmers only know a small part of technology of citrus
plants integrated management, especially maintenance of citrus plants due to the limited level of
knowledge of farmers and field workers. This activity aims to improve farmers knowledge of citrus
plants integrated management technology. The activity conducted in 2015 at Sebrang Musi in
Kepahiang districts, Bengkulu Province. The scope of activities include: technical training of
integrated management of citrus plants (IMCP), spread out of material dissemination (5 technology
component of IMCP) and evaluation. Pretest and posttest method was used to evaluate farmer
knowledge. The data was analyzed descriptively. To analyze significancy of the knowledge
improvement was used paired sample T-Test. The results showed that farmers knowledge in Sebrang
Musi, Kepahiang District, before and after extension for technology of integrated management of
citrus plants at citrus development area, improved significantly up to 51,36 (from 11,73 to 63,09). The
farmers knowledge which is still limited is controlling pests and diseasesand fertilizer dosage.
Key Words: citrus, farmer,integrate, knowledge, management, training,

50
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Salah satu komoditas hortikultura buah-buahan unggulan di Kabupaten Kepahiang, Provinsi
Bengkulu adalah komoditas jeruk. Produksi jeruk keprok dan siam pada tahun 2014 dan 2015 di
Provinsi Bengkulu berturut turut mencapai 7.264 ton dan 9.048 ton, sedangkan di Kabupaten
Kepahiang baru mencapai 2.825 ton dan 1.288 ton (BPS Provinsi Bengkulu, 2016). Produksi jeruk
tahun 2015 di Provinsi Bengkulu meningkat dibandingkan produksi tahun 2014, sedangkan di
Kabupaten Kepahiang produksinya menurun. Salah satu penyebab masih rendahnya produksi jeruk di
Kabupaten Kepahiang adalah karena masih banyak petani yang belum menguasai cara mengelola
pertanaman jeruknya sebagai akibat tingkat pengetahuan petani dan petugas yang masih terbatas.
Program pengembangan kawasan jeruk RGL untuk meningkatkan produksi jeruk di
Kabupaten Kepahiang dilakukan mulai tahun 2015. Program pengembangan kawasan jeruk tahun
2015 sebesar 82 ha, sedangkan target untuk 2016 seluas 50 ha. Kawasan pengembangan jeruk di
Kabupaten Kepahiang meliputi kecamatan Sebrang Musi, Kabawetan, Bermani Ilir, Ujan Mas dan
Tebat Karai.
Keberhasilan dari program pengembangan kawasan jeruk dapat diukur melalui tingkat inovasi
teknologi yang diterapkan oleh petani. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai hasil
penelitian dalam bentuk paket teknologi yang dapat meningkatkan mutu dan produktivitas produk
jeruk. Pengelolaan terpadu tanaman jeruk (PTT jeruk) spesifik lokasi adalah salah satu teknologi yang
dihasilkan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu yang merupakan modifikasi dari teknologi
pengelolaan terpadu kebun jeruk sehat (PTKJS) yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Jeruk dan
Tanaman Sub-tropika.
Dalam rangka mendukung pengembangan kawasan jeruk di Kabupaten Kepahiang, perlu
dilakukan kegiatan diseminasi teknologi secara luas agar dapat segera diadopsi petani. Tujuan
kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan petani di kawasan pengembangan jeruk
Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten Kepahiang.

METODE PENGKAJIAN
Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2015 di Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten
Kepahiang, Provinsi Bengkulu.Ruang lingkup kegiatan meliputi: pelatihan teknologi PTT jeruk,
pendistribusian materi penyuluhan (teknologi PTT jeruk, pemangkasan jeruk, pengendalian OPT
jeruk, pembuatan bubur kalifornia, pengendalian penyakit busuk akar) dan evaluasi hasil pelatihan.
Responden yang digunakan berjumlah 30 orang yang terdiri dari 3 kelompok tani jeruk. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu petani jeruk yang merupakan peserta pelatihan
teknologi pengelolaan terpadu tanaman jeruk.Metode pre-test post-test one group designdigunakan
untuk mengevaluasi tingkat pengetahuan petani (Arikunto, 2002). Data yang dikumpulkan meliputi
karakteristik petani dan pengetahuan petani terhadap inovasi teknologi PTT jeruk. Data yang
diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Untuk mengetahui perbedaan tingkat
pengetahuan (signifikansi peningkatan pengetahuannya) digunakan dilakukan uji statistikpaired
sample T-Test (untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi) dengan rumus
sebagai berikut (Sugiyono, 2011):
12
t= 2 2
1 + 2 2 ( 1 )( 2 )
1 2 1 2
Dimana :
X1 = Rata - rata sampel 1
X2 = Rata rata sampel 2
S1 = Simpangan baku sampel 1
S2 = Simpangan baku sampel 2

S12 = Varians sampel 1


S22 = Varians sampel 2
R = Korelasi antara dua sampel

51
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Profil Wilayah Kegiatan
Kecamatan Sebrang Musi termasuk kawasan pengembangan jeruk di Kabupaten Kepahiang
dengan luas wilayah 7665 ha dan seluas 4936 ha merupakan lahan kering. Kecamatan ini terdiri dari 13
desa (BPS Kabupaten Kepahiang, 2016). Lahan kering yang ada masih berpeluang untuk dikembangkan
menjadi kawasan jeruk. Lokasi wilayah berada pada ketinggian 460-700 m dari permukaan laut (dpl)
dengan topografi lahan bergelombang dan berbukit curam dengan kemiringan 15 300; jenis tanah
Andosol, latosol, dan lain-lain serta curah hujan 2000-3000 mm/tahun. Kelompok tani jeruk di wilayah
ini berjumlah 3 kelompok tani (BP3K Sebrang Musi, 2015).
Karakteristik Petani
Karakteristik petani di kawasan pengembangan jeruk Kepahiang cukup bervariasi. Petani
responden di kawasan pengembangan jeruk Kecamatan Sebrang Musi yang terbanyak pada umur 36-45
tahun yaitu sebanyak 34%, sedangkan presentase yang paling rendah adalah petani yang berusia 56-64
tahun yaitu sebanyak 3% (Tabel 1). Usia produktif berada pada kisaran usia 15 55 tahun. Hampir
seluruh petani responden tergolong usia produktif, dimana pada usia ini, seseorang masih memiliki
minat yang tinggi untuk belajar serta mempunyai keinginan untuk mencoba inovasi teknologi atau hal-
hal yang baru. Menurut Mayasari et al. (2012), penyuluhan yang efektif dapat disebabkan oleh usia
responden.
Tabel 1. Karakteristik peserta pelatihan PTT jeruk di Kecamatan Sebrang Musi tahun 2015
No. Karakteristik Petani responden Kelompok Jumlah (orang) %
1. Umur 16 25 4 13
26 35 8 27
36 45 10 34
46 55 7 23
56 64 1 3
Jumlah 30 100
2. Pendidikan SD 7 23
SMP 9 30
SMA 13 47
Diploma 0 0
Sarjana 0 0
Jumlah 30 100
3 Pengalaman usahatani 0 30 100
0< s/d 3 tahun 0 0
> 3 tahun 0 0
Jumlah 30 100
4 Keaktifan dalam berorganisasi Anggota
(poktan/gapoktan)
Pengurus
Jumlah 30 100
Sumber : Data primer (2015)

Pada tabel 1 terlihat bahwa tingkat pendidikan petani berada pada kriteria pendidikan rendah
sampai sedang dimana petani yang mempunyai tingkat pendidikan SMP dan SMA adalah yang dominan
yaitu berturut-turut sebesar 30% dan 47%, sedangkan yang tingkat pendidikan SD hanya 23%. Tidak
ada petani responden yang mempunyai tingkat pendidikan D-3 maupun sarjana. Tingkat pendidikan
seseorang berpengaruh terhadap pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan
maka pola pikir dan daya penalarannya akan semakin rasional (Saridewi dan Siregar, 2010). Dengan
latar belakang pendidikan seperti ini, diharapkan sebagian besar petani mampu memahami inovasi
teknologi yang diberikan.
Pengalaman petani dalam melaksanakan usahataninya merupakan salah satu karakteristik petani
yang diduga mempengaruhi kemampuan petani dalam menerima pengetahuan maupun menerapkan
inovasi teknologi yang baru.
Peningkatan pengetahuan petani
Salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang inovasi PTT jeruk adalah
dengan menyelenggarakan pelatihan. Tabel 2 memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan petani

52
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pada kawasan jeruk di Kecamatan Sebrang Musi, Kabupaten Kepahiang sebelum dan sesudah
pelatihan dilaksanakan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa terjadi perubahan positif (peningkatan)
pengetahuan petani peserta pelatihan teknologi PTT jeruk dari nilai 11,7 menjadi 63,0 yang berarti
terjadi peningkatan sebesar 51,36.
Tabel 2. Tingkat pengetahuan petani tentang PTT jeruk di kawasan jeruk Kecamatan
Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang tahun 2015
Sebelum Sesudah Perubahan
Teknologi
No Pelatihan Pelatihan
1 Pengertian PTT jeruk 0 94 94
2 Benih sehat 47 100 53
3 Pemangkasan bentuk 26 77 51
4 Cara pemupukan 29 100 71
5 Rekomendasi pupuk 0 11 11
6 Penyebab penyakit utama 8 57 49
7 Metode pengendalian penyakit utama 5 44 39
8 Penggunaan bubur belerang (bubur kalifornia) 11 72 61
9 Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan
0 22 22
pestisida yg tepat
10 Panen 3 17 14
11 Koordinasi antar petani/poktan/gapoktan 0 100 100
17 Rata-rata 11,73 63,09 51,36
Sumber : Data primer (2015)

Hasil analisis data dengan menggunakan paired samples T-test) memperlihatkan bahwa
tingkat pengetahuan petani di Kabupaten Kepahiang sebelum dan sesudah pendampingan berbeda
secara signifikan yaitu 0,00 (nilai sig < 0,05%).
Tabel 3. Hasil paired samples T-test tingkat pengetahuan petani jeruk sebelum dan sesudah pelatihan
di Kecamatan Sebrang Musi Kabupaten Kepahiang tahun 2015
Sig.
Paired Differences t df
(2-tailed)
Mean Std. Std. Error 95% Confidence Interval of
Deviation Mean the Difference
Lower Upper
Pair awal
-6,50 1,79 ,422 -7,39 -5,61 -15,4 29 0,000
1 akhir

Peningkatan pengetahuan yang tinggi tercapai pada beberapa aspek seperti pengertian PTT
jeruk, penggunaan benih sehat dan cara pemupukan jeruk. Pengetahuan tentang aspek tersebut mudah
dipahami dan mudah diingat, karena dalam pelatihan dilakukan praktek lapang pengamatan benih
tanaman jeruk yang sehat serta cara memupuk tanaman jeruk.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ridwan et al. (2010) yang menyatakan bahwa setelah
pelaksanaan pelatihan maka komponen teknologi PTKJS yang diadopsi oleh semua petani (100%)
antara lain penggunaan bubur kalifornia dan pemangkasan. Petani di lokasi pengembangan kawasan
jeruk Kecamatan Sebrang Musi sebagian besar belum pernah menanam jeruk sebelumnya, sehingga
walaupun tingkat pengetahuannya meningkat secara signifikan, tetapi pada pengetahuan beberapa
aspek lainnya masih perlu diperdalam lagi.
Untuk komponen teknologi lainnya seperti rekomendasi pupuk, khususnya tentang dosis
pupuk sesuai umur tanaman, petani masih belum menguasai dengan baik. Oleh karena itu masih
diperlukan materi tercetak tentang rekomendasi pupuk. Perhitungan kebutuhan pupuk untuk tanaman
jeruk produktif yaitu berdasarkan unsur hara yang terangkut tanaman (Sutopo, 2011) juga perlu
disampaikan lagi secara rinci, karena tingkat pendidikan petani yang bervariasi sehingga menyebabkan
baru sebagian kecil yang mampu memahaminya.
Materi lainnya yang masih belum dikuasai petani dengan baik adalah metode pengendalian
hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida yang tepat. Materi ini merupakan aspek
penting yang perlu dikuasai petani jeruk, karena tanaman jeruk RGL lebih disukai hama dan penyakit
sehingga umumnya tingkat serangan hama penyakitnya juga lebih tinggi. Pemahaman petani terhadap
53
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

komponen pengendalian hama dan penyakit tanaman jeruk masih kurang, hal ini disebabkan karena
materi tentang hama dan penyakit memang agak sulit dipahami di tingkat petani yang tingkat
pendidikannya relatif rendah hingga sedang. Materi pengendalian hama penyakit tanaman merupakan
materi yang paling rumit, sehingga perlu pelatihan yang intensif atau penyelenggaraan sekolah lapang.
Dalam pengembangan kawasan agribisnis jeruk, pengelolaan kebun terutama pengendalian
hama penyakit perlu perhatian khusus. Penyakit utama yang harus diwaspadai adalah penyakit
CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi secara
drastis sehingga menyebabkan turunnya minat petani dalam berusahatani jeruk dan beralih ke
komoditas lainnya (Asaad et al., 2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan berkembangnya
penyakit tersebut pada kawasan pengembangan jeruk yang baru.
Dalam usaha pengendalian hama dan penyakit tanaman tidak hanya semata-mata mengetahui
bahan, alat serta cara pengendaliannya saja, namun petani haruslah mengetahui terlebih dahulu tentang
hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka. Hal inilah yang masih dirasakan sulit dipahami
petani dilapangan, sehingga sering terjadi ketidaksesuaian antara serangan hama dan penyakit yang
terjadi dengan aplikasi pengendalian oleh petani. Rendahnya tingkat pengetahuan petani dalam hal
pengendalian hama dan penyakit jeruk akan berdampak terhadap tingkat serangan hama penyakit dan
perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut.
Sudarta (2002) menyatakan bahwa pengetahuan petani sangat membantu dan menunjang
kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam usahataninya dan kelanggengan usahataninya.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di
bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media
masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi didalam diri individu
(Azwar, 2000). Ancok (1997), menyatakan bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan
menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut.
Dari hasil kajian ini terlihat bahwa peningkatan pengetahuan petani baru mencapai setengah
dari target materi yang diberikan. Hal ini mencerminkan bahwa petani belum mampu menyerap ilmu
yang diberikan hanya dengan sekali pelatihan. tetapi masih perlu dibimbing secara lebih intensif.
Materi yang diberikan juga sebaiknya tidak sekaligus tetapi sedikit demi sedikit karena kemampuan
penerimaan pengetahuan oleh petani juga terbatas.
Setelah memperoleh pengetahuan tentang inovasi teknologi, teknologi yang dianjurkan kepada
petani tersebut tidak akan begitu saja diterapkan atau diadopsi oleh petani. Suatu inovasi mulai
diperkenalkan sampai diadopsi oleh seseorang memerlukan waktu. Pernyataan ini didukung
Mardikanto (1993), yang menyatakan bahwa kecepatan seseorang mengadopsi atau menerapkan suatu
inovasi atau teknologi baru dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:luas usahatani, tingkat
pendidikan, umur petani, keberanian mengambil resiko, aktivitas mencari ide atau informasi baru, dan
sumber informasi yang digunakan. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sudarta (2002) pengetahuan
petani sangat membantu dan menunjang kemampuannya untuk mengadopsi teknologi dalam
usahataninya dan kelanggengan usahataninya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan petani maka
kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi, dan sebaliknya. Jika
pengetahuan tinggi dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian,
maka penerapan teknologi tersebut akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara
kuantitas maupun kualitas.
David dan Erickson dalam Ridwan et al. (2010) menyatakan bahwa penyerapan suatu inovasi
teknologi oleh pengguna berjalan melalui proses dalam tahap-tahap yang sistematis, yaitu: (1)
kesadaran (pada tahap ini masyarakat telah mendengar tentang teknologi tersebut tetapi belum
mendapat informasi yang memadai untuk mengambil keputusan penggunaan); (2) minat, (pengguna
cukup tertarik untuk memiliki teknologi itu); (3) evaluasi (pengguna memutuskan untuk mencoba atau
tidak teknologi itu); (4) percobaan (pengguna mencoba teknologi itu); dan (5) penyerapan (pengguna
menerapkan teknologi tersebut secara teratur).
Korelasi umur dan pendidikan dengan tingkat pengetahuan
Dari hasil analisis korelasi ternyata umur petani jeruk dikawasan Sebrang Musi tidak
berkorelasi dengan peningkatan pengetahuan petani tentang PTT jeruk (Tabel 4).

54
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 4. Korelasi tingkat pengetahuan petani jeruk sebelum dan sesudah pelatihan di Kecamatan
Sebrang Musi tahun 2015
peningkatan umur pendidikan
Pearson Correlation 1 -0,200 0,469*
Peningkatan Sig. (2-tailed) 0,384 0,049
N 30 30 30
Pearson Correlation -0,200 1 0,059
Umur Sig. (2-tailed) 0,384 0,817
N 30 30 30
Pearson Correlation 0,469* 0,059 1
Pendidikan Sig. (2-tailed) 0,049 0,817
N 30 30 30

Hal ini bertentangan dengan pendapat Mayasari et al. (2012) yang menyatakan bahwa
penyuluhan yang efektif dapat dipengaruhi oleh usia responden, karena semakin muda umur petani
biasanya akan lebih mudah untuk menerima sesuatu yang baru. Saridewi dan Siregar (2010) juga
menyatakan bahwa semakin muda usia petani biasanya mempunyai semangat yang lebih tinggi untuk
mengetahui berbagai hal yang belum diketahui, sehingga mereka biasanya berusaha lebih cepat untuk
melakukan adopsi inovasi.
Menurut Saridewi dan Siregar (2010), tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap
pola pikir dan daya nalar, sehingga semakin lama seseorang mengenyam pendidikan maka pola pikir
dan daya penalarannya akan semakin rasional. Demikian juga dengan pernyataan Soekartawi (1988),
mereka yang berpendidikan tinggi relatif cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Begitu juga
sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah relatif lebih agak sulit untuk melaksanakan adopsi
inovasi dengan cepat.
Namun tidak demikian halnya dengan hasil evaluasi di kawasan pengembangan jeruk Sebrang
Musi Kepahiang. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara tingkat
pendidikan dengan tingkat pengetahuan petani, semakin tinggi tingkat pendidikan tidak diikuti dengan
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hal ini diduga terjadi karena sebagian dari peserta pelatihan
adalah peserta program pengembangan kawasan jeruk di Kabupaten Kepahiang yang sebelumnya
tidak pernah menanam jeruk (belum mempunyai pengalaman dalam bertanam jeruk). Dengan
demikian, bukan usia petani saja yang menentukan peningkatan pengetahuan, tetapi pengalaman
usahatani juga menentukan peningkatan pengetahuan tentang PTT jeruk. Rukka, et al. (2006)
menjelaskan bahwa pengalaman petani dalam berusahatani berpengaruh terhadap cara merespon suatu
inovasi. Semakin lama pengalaman berusahatani, maka tingkat respon terhadap suatu teknologi akan
semakin tinggi.
Hasil kajian memperlihatkan bahwa petani belum mampu menyerap sebagian besar ilmu yang
diberikan dalam jangka waktu yang singkat, tetapi masih perlu dibimbing lebih intensif. Dari hasil
kajian ini, diperoleh informasi yang akan digunakan untuk menyusun kegiatan diseminasi selanjutnya
agar peningkatan pengetahuan menjadi lebih optimal sehingga petani mampu memahami dan mau
menerapkan teknologi PTT jeruk dengan baik. Agar setiap inovasi baru dapat diterima dengan baik,
petani perlu diberikan pendidikan informal secara terus menerus sesuai dengan kebutuhannya.
Kegiatan pendidikan informal yang dibutuhkan tersebut antara lain berupa pelatihan yang lebih
intensif, praktek, demonstrasi (demonstrasi hasil dan demonstrasi cara) dan didampingi dengan bahan
informasi tercetak yang memuat informasi yang rinci untuk masing-masing komponen teknologi PTT
jeruknya, baik yang disajikan berupa leaflet, brosur, buku. Selain itu juga diperlukan bahan informasi
elektronik seperti video (VCD) yang bisa dipelajari dengan melihat langsung penerapan teknologi
yang dianjurkan. Penyuluh lapangan perlu membimbing petani secara intensif untuk mempercepat
peningkatan pengetahuan petani di kawasan jeruk di Kepahiang.

55
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
1. Pengetahuan petani jeruk tentang teknologi PTT jeruk di kawasan pengembangan jeruk Sebrang
Musi Kabupaten Kepahiang meningkat sebesar 51,36 yaitu dari nilai 11,73 menjadi 63,09.
2. Pengetahuan petani jeruk tentang pengendalian hama penyakit dan dosis pupuk masih perlu
ditingkatkan karena pemahaman petani tentang aspek tersebut masih rendah.
3. Penyuluhan melalui metode demplot atau demfarm PTT jeruk serta sekolah lapang diperlukan
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Badan
Litbang Pertanian yang telah memfasilitasi kajian ini dan kepada Bapak Dr. Dedi Sugandi, MP yang
telah membina kami selama ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada rekan rekan penyuluh
dan peneliti atas bantuan dan masukannya dalam pelaksanaan kegiatan ini dan dalam penulisan karya
tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Arikonto,S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan dan Praktek. Bina asksara. Jakarta
Asaad, M., Warda dan Sahardi. 2006. Kajian keragaan teknologi dan dampak serangan penyakit
CVPD pada tanaman jeruk siam Malangke. Dalam Prosiding Seminar Nasional Jeruk
Tropika Indonesia pada tanggal 28 - 29 Juli 2005 di Batu Malang:253-256
Azwar dan Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Cetakan IV.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
BP3K Sebrang Musi. 2016. Programa penyuluhan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Sebrang Musi. Kabupaten Kepahiang.
BPS Kabupaten Kepahiang. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Sebrang Musi. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Kepahiang. https://kepahiangkab.bps.go.id/webbeta/
website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-Seberang-Musi-2016.pdf. [Diunduh
Tgl 1 September 2016].
BPS Provinsi Bengkulu. 2016. Produksi Sayuran dan Buah-Buahan Provinsi Bengkulu. Badan Pusat
Statistik Provinsi Bengkulu.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Mayasari, R., H. Sitoros dan L. Pratama. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi
Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia 6 (3).
Ridwan, H.K., A. Ruswandi, Winarno, A. Muharam dan Hadiyanto. 2010. Sifat inovasi dan aplikasi
teknologi pengelolaan terpadu kebun jeruk sehat dalam pengembangan agribisnis jeruk di
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Jurnal Hortikultura 18: 477-490.
Rukka H., Buhaerah dan Sunaryo. 2006.Hubungan karakteristik petani dengan respon petani
terhadappenggunaan pupuk organik padapadi sawah(Oryza sativa L.). Jurnal Agrisistem 2
(1): 12 18.
Sudarta, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Terpadu. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA2 (1): 31 34.
Saridewi, T.R. dan Siregar, A. N. 2010. Hubungan antara peran penyuluh dan adopsi teknologi oleh
petani terhadap peningkatan produksi di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan
Pertanian Volume 5 No.1 Mei 2010. http://stpp-bogor.ac.id/userfiles/file/06-
Dewi%20edited.pdf. [Diunduh Tgl 7 November 2012].
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Sugiyono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung
Sutopo. 2011. Rekomendasi pemupukan untuk tanaman jeruk. Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman
Sub-Tropika. http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/rekomendasi-pemupukan-untuk-
tanaman-jeruk/. [Diunduh Tgl 12 Maret 2011].

56
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian HamaTanaman Terpadu.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20 soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf. [Diunduh Tgl
15 Desember 2014].
Ridwan, H.K, Sabari , S. B. Rofik, S. Rahman dan R. Agus. 2010. Adopsi Inovasi Teknologi
Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat (PTKJS) di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
J. Hort. 20 (1): 96-102

57
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

BIOAKTIVITAS EKSTRAK DAUN MIMBA DAN KACANG BABI


TERHADAP KUTU DAUN SERANGGA VEKTOR PENYEBAB CMV dan ChiVMV PADA
TANAMAN CABAI
BIOACTIVITY OF Azadirachta indica AND Tephrosia vogelii extract TO VEKTOR INSECTS
Aphis gossypii CAUSE OF CMV AND ChiVMV ON Capsicum annum L
Djamilah, Agustin Zarkani dan Tri Sunardi
ProgramStudiProteksi Tanaman, FakultasPertanian, UniversitasBengkulu
Jl. WR. Supratman Kandang LimunTelp (0736)-21170
e-mail : miming1605@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu fokus penelitian Universitas Bengkulu yaitu peningkatan produksi cabai merah (Capsicum
annum L) dengan perakitan varietas. Namun, kendala utama dalam produksinya yaitu adanya
gangguan hama kutudaun Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae). Selain bersifat hama langsung yang
merusak bagian muda tanaman, hama ini merupakan serangga vektor utama penyebaran penyakit virus
CMV dan ChiVMV dengan tingkat kerusakan hingga 100%. Pemanfaatan insektisida nabati dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif pengendalian yang lebih aman dan ramah lingkungan
dibandingkan insektisida sintetik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bioaktivitas ekstrak daun
mimba (Azadirachta indica) dan daun kacang babi (Tephrosia vogelii) terhadap kutudaun Aphis
gossypii pada tanaman cabai. Metode yang digunakan uji residu dan uji sistemik. Ekstraksidilakukan
dengan maserasi menggunakan air. Konsentrasi uji yang digunakan yaitu 10%; 20%; 30%; 40%; dan
kontrol dengan tiga ulangan untuk residu pada tanaman dan 0,1%; 0,5%; 1% dan kontrol dengan lima
ulangan untuk uji sistemik. Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48 dan 72 jam setelah
perlakuan. Kedua pengujian tersebut disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil
pengujian persentase mortalitas A. gossypii dianalisis menggunakan Statistical Analysis System (SAS)
dan pembanding nilai tengah dengan menggunakan selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat mortalitas A. gossypii tertinggi terjadi pada perlakuan
konsentrasi 40% pada kedua jenis ekstrak. Rerata waktu kematian pada semua perlakuan
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Uji sistemik menunjukkan bahwa kedua ekstrak bersifat
sistemik.
Kata Kunci: Insektisida nabati, Capsicum annum L, Aphis gossypii, Azadirachta indica,
Tephrosiavogelii

ABSTRACT
One focus of the research on University of Bengkulu is increased production of red chili pepper
(capsicum annuum L) with varieties assembly. However, the main obstacle in the production that is
the pest aphids Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae). In addition to direct destructive pests are
young parts of plants, insect pests is a major vector of the spread of disease CMV and ChiVMV virus-
induced damage of up to 100%. Utilization of botanical insecticides can be used as an alternative
control of safer and environmentally friendly than synthetic insecticides. The purpose of this research
is to know the bioactivity of extracts of neem leaves (Azadirachtaindica) and leaves Tephrosiavogelii
against Aphis gossypii aphids in pepper were tested using the residual and systemic method.
Extraction was done by maceration using water. Test concentration used are 10%; 20%; 30%; 40%
and control with three replications for residues on plants and 0.1%; 0.5%; 1% and control with five
replications for systemic test. Insect mortality calculations performed on 24, 48 and 72 hours after
treatment. Both tests are arranged in the completely randomized design (CRD). The test data A.
gossypii percentage mortality was analyzed using Statistical Analysis System (SAS) and benchmarking
comparisons median value by using multiple hose Duncan at 5% significance level research. The
results showed that the mortality rate was highest in Aphis gossypii40 % concentration in the second
treatment Jenins extract , Average time of death on all treatments showed different. Systemic Test that
the extracts are systemic.
Keyword: botanical insecticides, capsicum annum L, Aphis gossypii, Azadirachtaindica,
Tephrosiavogelii

58
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan komoditas pertanian penting di Indonesia.
Permintaan cabai setiap tahunnyan terus meningkatseiring dengan meningkatnya jumlah penduduk,
sehingga perlu diikuti oleh peningkatan produksinya. Tercatat rata-rata produktivitas cabai tahun 2009
sebesar 5,89 ton/ha dan menurun pada tahun 2010 menjadi 5,61 ton/ha, sehingga mempengaruhi harga
di pasar yang menyebabkan melonjaknya harga cabai (BPS, 2010)
Salah satu kendala dalam peningkatan produksi cabai adalah adanya serangan kutudaun (Aphis
gossypii) dengan daya rusak terhadap tanaman hingga 80%. Selain berperan sebagai hama yang
merusak langsung bagiann muda tanaman seperti daun, bunga dan buah. Hama kutudaun juga dikenal
sebagai salah satu serangga vektor virus CMV dan ChiVMV yang kombinasi serangan secara
bersamaan dapat mengakibatkan gagal panen. Hasil survey lapang yang dilakukan Taufik et.al,(2005)
membuktikan bahwa CMV dan ChiVMV merupakan virus utama pada tanaman cabai dan telah
menyebar luas di berbagai daerah di Indonesia. Di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu telah
terdeteksi beberapa jenis virus yang menyerang tanaman cabai yaituChiVMV, CMV dan infeksi ganda
dengan tingkat serangan berurutan adalah 50-80 %, 0-20%, dan 0-50% (Sutrawati et. al., 2012).
Di tingkat petani teknik pengendalian kutudaun ini masih menggunakan insektisida sintetik.
Pengendalian dengan cara ini dapat menimbulkan dampak negatif pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian yang lebih ramah lingkungan. Salah satu
alternatif pengendalian yang layak dikembangkan ialah insektisida nabati, karena senyawa insektisida
dari tumbuhan mudah terurai di lingkungan (Coats, 1994; Kaufman et.al., 2006) dan relatif aman
terhadap organisme bukan sasaran (Donoetal.,1998)
Dua jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai sumber insektisida nabati ialah daun
mimba (Azadirachta indica) dan daun kacang babi (Tephrosia vogelii ). Kardinan dan Ruhnayat
(2003) melaporkan bahwa mimba mampu mengendalikan 127 jenis hama dan juga berperan sebagai
fungisida, bakterisida dan antivirus. Sedangkan ekstrak daun T. vogelii telah dilaporkan dapat
membunuh, menghambat makan, dan menolak larva P.xylostella (Morallo-Rejesus, 1986). Daun T.
vogelii mengandung senyawa rotenoid yang bersifat insektisida termasuk rotenon, deguelin, dan
tefrosin (Lambert et. al.,1993). Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menghambat
tranfer elektron dalan NADH-koenzim ubikuinon reduktase dari simtem transpor elektron di dalam
mitokondria (Hollingworth, 2001).
Meskipun potensi ekstrak daun mimba (A.indica) dan daun kacang babi (T. vogelii) sebagai
racun serangga sudah diketahui, toksisitas kedua jenis insektisida nabati ini terhadap kutudaun belum
banyak diketahui. Oleh karena itu pengujian ini penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui bioaktivitas ekstrak daun mimba (A. indica) dan daun kacang babi (T. vogelii) terhadap
kutudaun (A.gossypii) pada tanaman cabai.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus- November 2014, di Laboratorium Proteksi
Tanaman, Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman cabai
Benih cabai diseleksi, kemudian disemai pada nampan persemaian. Benih yang telah disemai
10-14 hari atau berkecambah dan telah tumbuh sepasang daun dipindahkan ke polibag berukuran 13
cm sebanyak satu bibit per polibag untuk diuji residu, sedangkan untuk pengujian sistemik cabai yang
berumur 14-20 hari dipindahkan ke dalam gelas plastik. Pemeliharaan cabai yang dilakukan meliputi
penyiraman, pemupukkan, penyiangan gulma, dan pengendalian hama secara mekanis.
Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji
Serangga uji A. gossypii dari pertanaman cabai yang tidak mendapat aplikasi insektisida
dipelihara secara massal di Laboratorium Proteksi. Perbanyakan dilakukan pada tanaman cabai
berumur 30 hari setelah tanam dan disungkup dengan plastik silindris bagian atas ditutup kain kasa
dengan diameter 13 cm dan tinggi 20 cm. Nimfa A.gossypii instar dua yang berumur dua hari
dipindahkan ke tanaman cabai dan dibiarkan sampai menjadi instar empat, kemudian nimfa instar
empat tersebaut digunakan untuk pengujian.

59
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Ekstraksi Tanaman
Tanaman yang digunakan sebagai insektisida nabati untuk pengujian diperoleh dari tanaman
yang tumbuh disekitar pekarangan Laboratorium Proteksi. Bahan-bahan tanaman yang berupa daun
mimba (A.indica) dan daun kacang babi (T. vogelii) yang akan digunakan untuk pengujian, terlebih
dahulu dikering anginkan. Setelah itu bahan tanaman tersebut dipotong kecil-kecil dan dihaluskan
dengan blender, kemudian diayak hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40 mesh. Ekstraksi
dilakukan dengan air. Metode ekstraksi yang dilakukan adalah menggunakan metode maserasi, yaitu
merendam setiap serbuk tanaman dalam pelarut air dengan perbandingan 1:1 (w/v). Perendaman
dilakukan selama 24 jam, kemudian disaring pada kertas saring yang diletakkan pada corong Buchner.
Ekstrak-ekstrak kasar tersebut disimpan dalam lemari es pada suhu kira-kira 400C hingga saat
digunakan.
Metode Pengujian
Uji Residu pada tanaman
Masing-masing ekstrak kasar diencerkan dengan air dan tween. Konsentrasi uji residu pada
tanaman menggunakan 4 konsentrasi ekstrak yang berbeda, yaitu 10%; 20%; 30%; 40% dan kontrol
dengan tiga kali ulangan untuk setiap perlakuan. Tanaman cabai di polibag disemprot merata dengan
ekstrak tanaman hingga basah dan setelah kering angin diinfeskan 10 ekor serangga uji pertanaman,
kemudian tanman cabai disungkup. Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48, dan 72
jam setelah perlakuan.
Uji Sistemik pada Tanaman
Masing-masing ekstrak diencerkan menggunakan air dan tween. Konsentrasi uji sistemik pada
tanaman menggunakan tiga konsentrsi ekstrak yang berbeda , yaitu 0,1%; 0,5%; 1% dan kontrol
dengan lima kali ulangan untuk setiap perlakuan. Pengujian sistemik dilakukan dengan cara merendam
bagian akar tanaman cabai yang berumur tiga minggu dalam larutan ekstrak tanaman pada gelas
plastik, sterofoam berbentuk bulat dimasukkan ke dalam gelas plastik untuk menahan tanaman dan
agar serangga uji tidak jatuh ke dalam larutan ekstrak. Diinfeskan 10 ekor serangga uji pertanaman ,
lalu ditutup dengan gelas plastik yang bagian atasnya ditutup mengunakan kain kasa untuk
menghindari serangga uji keluar. Perhitungan mortalitas serangga dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam
setelah perlakuan.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini terdiri dari dua pengujian, yaitu uji residu dan uji sistemik pada tanaman cabai
dengan dua jenis ekstrak tanaman. Kedua pengujian disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL)
dan parameter yang diamati adalah mortalitas.
Analisis Data
Data hasil persentase mortalitas Aphis gossypii dianalisis dengan Statistical Analisis System
(SAS) dan pembandingan nilai tengah dengan selang berganda duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji Residu
Hasil penelitian uji residu secara umum ekstrak T. vogelii lebih efektif menimbulkan kematian
serangga uji dibandingkan ekstrak A. indica pada hampir semua tingkat konsentrasi yang sama. Hal ini
terlihat pada pengamatan 24 jam setelah aplikasi (jsa) hingga 48 jsa, menunjukkan bahwa ekstrak T.
vogelii lebih toksik dibandingkan ekstrak A.indica. Meskipun dari rerata waktu kematian tidak
menunjukkan berbeda tidak nyata diantara perlakuan. Diduga kandungan bahan aktif pada T. vogelii
yaitu rotenoida lebih ampuh dibanding kandungan bahan aktif A. indica. Rotenoida dapat
menyebabkan kematian serangga uji karena terganggunya sistem respirasi serangga.Hal ini dapat
dilihat pada tabel 1.

60
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Rerata jumlah individu A. gossypii yang mati (ekor) dan waktu kematian pada berbagai
perlakuan ekstrak daun A. indica dan T. vogeliipada uji residu pada berbagai waktu
pengamatan
Perlakuan Konsentrasi Waktu Pengamatan RerataWaktu
(%) 24 jsa 48 jsa 72 jsa Kematian (jam)
Kontrol 0 0,0000 e 0,0000 e 0,0000 d 0,0000
10 1,3333 d 4,3333 d 6,3333 c 1,3333
20 2,6667 d 6,0000bc 7,6667bc 1,4333
Mimba (A.indica)
30 3,0000 c 6,0000bc 8,6667a 1,6000
40 4,6667b 8,6667a 10,0000a 1,6667
10 2,6667 d 5,6667 cd 6,6667bc 1,6667
20 3,6667bc 6,6667ab 8,3333ab 1,4666
Kc. Babi (T.vogelii)
30 4,6667b 8,0000a 9,6667 a 1,6333
40 6,6667a 9,0000a 10,0000 a 1,4333
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada BNT taraf
5%; Rerata Jumlah Individu A. gossypii yang mati adalah 10 serangga/tanaman.
Sumber : Data primer (2015)

Semakin tinggi konsentrasi maka semakin efektif menimbulkan kematian kutudaun A.gossypii
. Pada perrlakuan ekstrak mimba konsentrasi 40%pada 24jsa menyebabkan kematian sebanyak 4,6667
ekor atau 46,67 %, pada 48 jsa terjadi 8,6667 ekor atau 86,67 % serta pada 72 jsa seluruh serangga uji
mati (100%) dengan rerata waktu kematian 1,67 hari atau 40 jsa.
Aktifitas biologis dari tanaman mimba disebabkan oleh adanya kandungan senyawa-senyawa
bioaktif yang termasuk dalam kelompok limonoid (triterpenoid). Setidaknya terdapat sembilan
senyawa limonoid yang telah diidentifikasi diantaranya Azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin dan
nimbidin. Azadirachtin adalah senyawa yang paling aktif yang mengandung sekitar 17 komponen
sehingga sulit untuk menentukan jenis komponen yang paling berperan sebagai insektisida. Bahan
aktif ini terdapat di semua bagian tanaman, tetapi yang paling tinggi terdapat pada biji (Kardinan,
2002).
Sedangkan pada perlakuan ekstrak kacang babi konsentrasi 40% kematian yang ditimbulkan
6,6667 ekor (66,67 %) pada pengamatan 24 jsa; 9,00 ekor (90 %)pada pengamatan 48 jsa dan pada
pengamatan 72 jsa seluruh serangga uji mati dengan rerata waktu kematian 1,4333 hari atau 34,39 jsa.
Aktifitas biologis dari tanaman kacang babi disebabkan oleh adanya kandungan senyawa
bioaktif rotenoida. Rotenon bersifat sebagai racun respirasi sel yang bekerja dengan cara menghambat
tranfer elektron dalam NADH-koenzim ubiquinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor
elektron di dalam mitokondria (Hollingwoth, 2001). Akibatnya aktivitas sel terhambat dan serangga
menjadi lumpuh dan mati.
Uji Sistemik
Kutudaun (A.gossypii) mempunyai tipe mulut pencucuk penghisap sehingga makananya
berupa cairan tanaman inangnya. Kalau kematian A. gossypii disebabkan oleh makanan maka ekstrak
mimba dan kacang babi diduga bersifat sistemik. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang
membuktikan bahwa kedua ekstrak tersebut bersifat sistemik. Hal ini akan dibuktikan pada Tabel 2.
Pada Tabel 2 ini kita dapat melihat bahwa ke dua ekstrak yaitu ekstrak mimba dan ekstrak
kacang babi mempunyai sifat sistemik. Sifat sistemik adalah jika insektisida dapat masuk ke dalam
jaringan tanaman dan di translokasikan ke seluruh jaringan.

61
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Rerata jumlah individu A. gossypii yang mati (ekor) dan waktu kematian pada berbagai
perlakuan ekstrak daun A. indica dan T. Vogelii pada uji Sistemik pada berbagai waktu
pengamatan
Perlakuan Konsentrasi Waktu Pengamatan RerataWaktu
(%) 24 jsa 48 jsa 72 jsa Kematian (jam)
Kontrol 0 0,0000 d 0,0000 e 0,0000 e 0,0000
0,1 1,4000 c 3,6000 d 6,2000 d 1,4200
Mimba (A.indica) 0,5 2,2000c 5,4000 c 8,0000 c 1,6400
1,0 4,8000a 8,2000a 10,0000a 1,7000
0,1 2,4000 bc 6,0000 bc 8,2000 bc 1,6200
Kc. Babi (T.vogelii) 0,5 3,4000 b 7,0000 b 9,6000ab 1,8400
1,0 5,0000a 8,8000a 10,0000a 1,6200
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada BNT taraf
5%; Rerata Jumlah Individu A. gossypiiyang mati adalah 10 serangga/tanaman.
Sumber : Data primer (2015)

Pada Tabel 2, uji sistemik ini juga terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi semakin efektif
menimbulkan kematian pada serangga uji. Tingkat toksisitas kacang babi lebih tinggi dibanding
mimba. Hal ini terlihat bahwa kematian serangga uji pada konsentrasi yang sama dari ekstrak kacang
babi lebih tinggi dibanding pada ekstrak mimba, meski secara statistik tidak berbeda nyata.
Pada konsentrasi tertinggi (1%) dari kedua ekstrak menunjukkan kematian seluruh serangga
uji pada 72 jsa. Hal ini menunjukkan bahwa kematian tersebut akibat bercampurnya insektisida
tersebut dengan cairan tanaman atau bersifat sistemik. Insektisida yang disemprotkan ke tanaman
dapat bersifat non-sistemik, sistemik, dan sistemik lokal.
Aktifitas residu insektisida dari Azadirachtin ini umumnya terjadi antara 7 hingga 10 hari atau
lebih lama lagi, tergantung dari jenis serangga dan aplikasinya (Thomson, 1992). Residu dapat terjadi
di permukaan jaringan tanaman ataupun di dalam jaringan tanaman. Tingkat toksisitas residu pada
permukaan jaringan cenderung akan menurun seiring dengan waktu. Hal ini dapat dikarenakan adanya
pencucian oleh air hujan maupun akibat sinar matahari.
Untuk meningkatkan daya bunuh insektisidanabati terhadap hama sasaran, sebaiknya
penyemprotan dilakukan lebih dari satu kali. Seperti yang telah dilaporkan Rusdy (2009), Aplikasi
insektisida nabati ekstrak daun mimbabdilakukan sebanyak tiga kali yaitu aplikasi pertama dilakukan
24jam setelah investasi, aplikasi kedua dilakukan 6 hari setelah aplikasi pertama dan aplikasi ketiga 6
hari berikutnya. Selain itu agar toksisitas insektisida nabati dapat ditingkatkan penggunaannya tidak
hanya dilakukan secara tunggal namun dicampur dengan bahan insektisida lain yang efektifitasnya
telah diketahui. Seperti yang telah diteliti oleh Irawan (2012) campuran ekstrak daun kacang babi dan
ekstrak air buahlerak pada konsentrasi 0,44%-1,32% mengakibatkan mortalitas larva C.pavonana
sebesar 30%-90%. Daun kacang babi mengandung senyawa aktif rotenon dan buah lerak mengandung
senyawa aktif saponin yang bersifat sebagai surfaktan dan mempunyai struktur bipolar, yaitu memiliki
bagian yang bersifat hidrofilik dan hidrofobik, sehingga campuran ekstrak daun kacang babi dan
ekstrak lerak dappat bersifat aditif atau sinergistik.

KESIMPULAN
1. Tingkat kematian serangga kutu daun Aphis gossypii lebih tinggi pada perlakuan ekstrak kacang
babi dibanding ekstrak mimba
2. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak semakin tinggi mortalitas serangga uji
3. Ekstrak mimba dan ekstrak kacang babi bersifat sitemik

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih disampaikan kepada Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang telah
memberikan bantuan dana penelitian dalam program Hibah Kompetisi bantuan dana Penelitian

62
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
[BPS]Badan Pusat Statistika. 2010.Luas Panen, produksi dan produktivitas cabai 2009-2010.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=55&notab.
[diunduh pada 10 Februari 2012]
Coats, J.R. 1994. Risks form natural versus synthetic insecticides. Annu Rev Entomol 39: 489-515
Dono, D., Priyono, D., Manuwoto, S., Buchori, D. 1998. Pengaruh ekstrak biji Aglia harmsianan
Perkins terhadap interaksi antara larva Crocidolomia binotalis Zeller (lepidoptera
Pyralidae) dan parasitoidnya, Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera:
Ichneumonidae). Bull HPT 10: 38-46
Hollingworth, R.M., Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative phosphorylation. Di
dalam : Krieger, R., Doull, J., Ecobichon, D., Gammon, D., Hogson, E., Reiter, L., Ross,
J., editor. Handbook of Pesticide Toxicology, Vol 2, Academic Press, San Diego, 2001.
hlm 1169 -1227.
Irawan, R. 2012. Toksisitas campuran ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah
Sapindus rarak (Sapindaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana. Skripsi.
Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kardinan, A dan A. Ruhnayat. 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatan, Penebar Swadaya,
Jakarta.
Kaufman, P.B., Kirakosyan, A., McKenzie, Dayanandan, P. Hoyt, J.E., Li, C., The uses of plant
natural products by human and risks associated with their uses, Di dalam: Cseke, L.J.,
Kirakosyan, A., Kaufman, P.B., Warber, S.L., Duke, J.A., Brielmann, H.L. 2006. editor.
Natural Products from Plants, CRC Press Boca Raton.
Rusdy, A. 2009. Efektifitas ekstrak nimba dalam pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada
tanaman selada. J. Flo. 4 (1) : 41-54.
Sutrawati, M., Djamilah., Andreani Kinata. 2012. Inveksi Cucumber mosaic virus dan Chilli veinal
mottle virus pada cabai di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. J. Fitopatologi
Indonesia 8(4): 110115.
Taufik, M., Astuti, A.P., Hidayat, S.H. 2005. Survei infeksi Cucumber Mosaic Virus dan Chilli Veinal
Mottle Virus pada tanaman cabai dan selaksi ketahanan beberapa kultivar cabai,
Agrikultura. 16: 146-152.
Thomson, W. T. 1992. Agricultural Chemicals. Book I: Insecticides. Thomson Publications. Fresno,
CA.

63
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU KOPI RAKYAT DI KABUPATEN


REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU
EFFORTS TO INCREASE PRODUCTION AND QUALITY COFFEE PEOPLE IN REJANG
LEBONG BENGKULU PROVINCE
Afrizon, Shannora Yuliasari dan Tri Wahyuni
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian, Km, 6,5 Bengkulu
e-mail: afrizon41@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu sentra produksi kopi di Provinsi Bengkulu. Produksi
maupun mutu kopi yang dihasilkan masih rendah yang disebabkan oleh umur tanaman yang sudah tua
atau kurang produktif, penggunaan klon yang belum sesuai, teknik pemeliharaan yang belum optimal,
gangguan beberapa hama maupun penyakit (OPT penting), serta teknik panen asalan dan pengolahan
yang belum tepat. Kegiatan pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui produksi kopi dan mutu pasca
peremajaan sistem sambung dengan klon unggul lokal. Kegiatan dilaksanakan di Desa Talang Ulu
Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong pada tahun 2014 - 2016. Peremajaan
penyambungan dengan klon unggul lokal dilakukan pada tahun 2014 pada lahan seluas 3 ha milik 15
petani dengan umur tanaman diatas 10 tahun. Pada tahun kedua setelah peremajaan tanaman setengah
dari populasi kopi tiap petani dipupuk sesuai dosis anjuran (200 gr urea, 100 gr SP 36 dan 125 gr
KCl/ph) dan pupuk kompos sebanyak 5 kg/ph. Selain pemupukan dilakukan juga pemeliharaan
tanaman antara lain pemangkasan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan
serta penyiangan dan pengaturan naungan pohon penaung. Pengamatan produksi dan mutu biji kopi
dilakukan pada bulan Mei sampai bulan Juli 2016. Data yang dihimpun adalah produksi kopi yang
dipetik merah yang diberi pupuk, produksi tanpa pupuk, jumlah dompolan/cabang, jumlah
buah/dompolan dan berat 100 butir. Untuk pengamatan produksi dilakukan 1 kali dua minggu pada 20
tanaman tiap petani. Panen ini dilakukan sampai buah habis pada setiap pohon.Data selanjutnya
ditabulasi untuk melihat tingkat produksi kopi. Untuk menilai mutu data yang dihimpun adalah bau
(aroma), warna, kadar air dan kadar sari kopi. Hasil kajian memperlihatkan produksi yang cukup
signifikan yaitu 120 - 1173 gr/pohon atau rata rata 678,6 gr/pohon (1696,5 kg/ha). Dengan penerapan
inovasi teknologi ini terjadi kenaikan produksi yang sangat signifikan yaitu 134 % dari produksi rata
rata di Kabupaten Rejang Lebong. Sedangkan tanpa pupuk meningkat sebesar 57,89 %. Hasil
pengamatan mutu memperlihatkan mutu yang baik sesuai menurut syarat mutu kopi bubuk SNI 01-
3542-2004yaitu bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar air
sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%.
Kata Kunci : Kopi, Klon unggul lokal, Pemeliharaan, Produksi, Mutu

ABSTRACT
Studies on coffee production and quality improvement of the people held in the District Talang Ulu
Rejang Lebong Curup East in 2014 2016. Objective assessment is to determine the quality coffee
production and post-rejuvenation system connect with local clones. Rejuvenation connecting with
local clones carried out in 2014 on an area of 3 ha belonging to 15 farmers with plant age above 10
years. In the second year after replanting half of the population of copies each farmer cultivated
according to recommended dosage (200 g urea, 100 gr SP 36 and 125 g KCl / ph) and compost as
much as 5 kg / ph. Half the population again fostered a half dose. In addition to the maintenance of
plant fertilization also include pruning adapted to the conditions in the field and weeding crops and
shade trees shade settings. Observation of the production and quality of coffee beans done in the
months of May to July 2016. The data collected are picked red coffee production by fertilizer, no
fertilizer production, the number of branches, the number of fruits n and weight of 100 grains. For the
production of the observations made 1 time two weeks at 20 plants per farmer. This is done until the
fruit harvest runs out on each tree. Data were then tabulated to see the level of coffee production. To
assess the quality of the data collected was the smell (aroma), color, moisture content and
concentration of coffee extract. The study results showed significant production is 120 - 1173 g / tree
or an average of 678,6 g / tree (1696.5 kg / ha). With the implementation of this technological

64
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

innovation occurs very significant increase in production that is 134% of average production in
Rejang Lebong. Whereas without fertilizers increased by 57.89%. The observation shows the quality
of a good quality suitable according to the quality requirements SNI 01-3542-2004 ground coffee that
smell (aroma) typical fragrant coffee powder, normal color (dark brown), water content of 2.15%, and
the concentration of coffee extract 33.58%.
Keywords: Coffee, local superior clones, Maintenance, Production, Quality

PENDAHULUAN
Kopi merupakan salah satu komoditas tanaman perkebunan penting di Provinsi Bengkulu dan
sebagai salah satu sumber pendapatan bagi petani. Luasan yang diusahakan petani saat ini cukup
bervariasi. Pada tahun 2014, pertanaman kopi rakyat di Provinsi Bengkulu seluas 94.232 ha yang
diusahakan sebanyak 75.452 kepala keluarga dengan produksi 55.858 ton atau rata-rata 708,51 kg/ha
(BPS, 2015). Dibandingkan dengan produksi nasional maupun wilayah penghasil kopi lain di
Indonesia, produktivitas kopi di Provinsi Bengkulu masih tergolong rendah.
Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu sentra produksi kopi di Provinsi Bengkulu.
Dari luasan pertanaman kopi yang ada, 25,10% (23.656 ha) berada di Kabupaten Rejang Lebong. Dari
segi luasan pertanaman kopidi Kabupaten Rejang Lebong cukup luas. Hal ini di dukung oleh
kesesuaian lahan dan iklim yang sangat sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi.
Namun dilihat dari produksi maupun mutu masih rendah tapi sangat berpeluang untuk ditingkatkan.
Dalam usahatani budidaya tanaman kopi ditingkat petani tidak terlepas dari permasalahan budidaya
diantaranya umur tanaman yang sudah tua atau kurang produktif, penggunaan klon yang belum sesuai,
teknik pemeliharaan yang belum optimal dan adanya gangguan beberapa hama maupun penyakit
(OPT penting) yang ada di lapangan. Kondisi ini menyebabkan produksi dan mutu biji yang dihasilkan
masih rendah.
Untuk meningkatan produktivitas tanaman kopi dapat dilakukan dengan menerapkan inovasi
budidaya anjuran. Diantaranya dengan penggunaan bahan tanam atau klon yang berkualitas yang
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan pertanaman. Selain itu perlu
melakukan pemeliharaan tanaman secara optimal (Pemupukan, pengendalian gulma, pemangkasan
dan pengendalian hama penyakit).
Penggunaan bahan tanam (klon) ungguldisamping dapat meningkatkan produksi dan mutu
kopi juga meningkatkan umur produktif tanaman (Sudarto, 2013).Tujuan utama penggunaaan bahan
tanam dengan teknik penyambungan adalah agar sifat klon diwariskan secara utuh kepada
keturunannya. Didalam penyambungan ada dua bagian tanaman yang disambung, yaitu bagian batang
bawah dan bagian batang atas (entres) yang akan diharapkan hasilnya. Mengingat potensi produksi
kopi sangat berpeluang ditingkatkan maka perlu kajian. Kegiatan pengkajian bertujuan untuk
mengetahui produksi kopi dan mutu pasca peremajaan sistem sambung dengan klon unggul lokal.

METODE PENELITIAN
Kajian dilakukan di pertanaman kopi rakyat Desa Talang Ulu Kecamatan Curup Timur
Kabupaten Rejang Lebong dari tahun 2014 sampai bulan Juli 2016. Pelaksanaan kajian menggunakan
metode demplot yaitu dengan menggunakan hamparan pertanaman kopi milik 15 orang petani, luas
masing masing adalah 0,25 ha. Umur tanaman kopi yang dikaji rata rata diatas 10 tahun dan sudah
dilakukan peremajaan dengan sistem sambung sejak tahun 2014. Tahun I setelah penyambungan
dilakukan pemupukan dengan dosis sesuai anjuran (dosis anjuran terlampir). Disamping pemupukan
dilakukan pemeliharaan tanaman berupa pemangkasan dan penyiangan. Data yang dihimpun adalah
produksi kopi yang dipetik merah yang diberi pupuk, produksi tanpa pupuk, jumlah dompolan/cabang,
jumlah buah/dompolan dan berat 100 butir. Untuk pengamatan produksi dilakukan 1 kali dua minggu
pada 20 tanaman tiap petani. Panen ini dilakukan sampai buah kopi habis pada setiap pohon sampel.
Penilaian mutu biji kopi dilakukan pengolahan biji sampai menjadi bubuk kopi siap saji dan data yang
dihimpun adalah karakteristik sensori meliputi aroma dancitarasa, serta sifat kimia bubuk kopi yang
meliputi kadar air dan kadar sari kopi. Data selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif
untuk melihat tingkat produksi kopi dan mutu biji kopi yang dihasilkan. Pengaruh perlakuan
pemupukan pada tanaman kopi dianalisis dengan uji t-test pada tingkat kepercayaan 95%, yang
dibandingkan dengan tanaman kopi tanpa pemupukan.

65
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Lokasi Kajian
Daerah pengkajian berada di Desa Talang Ulu Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang
Lebong. Daerah ini berada pada ketinggian 650 - 700 m dpl dan memiliki topografi bergelombang.
Pada umumnya tekstur tanah di daerah ini adalah lempung dengan warna tanah hitam.Desa ini
merupakan salah satu sentra produksi kopi Rakyat di Kabupaten Rejang Lebong. Lebih dari 70 %
masyarakat di daerah ini memiliki kebun kopi dengan luasan rata rata berkisar antara 0,25 0,75 ha.
Pengelolaam tanaman kopi yang dilakukan masyarakat masih tradisisional yang diusahakan secara
turun temurun dan tanaman sudah banyak yang tua serta kurang produktif. Sebagian besar umur
tanaman diatas 15 tahun dan belum menerapkan teknologi anjuran (jarak tanam rapat, belum
melakukan pemupukan dan perawatan sangat minim). Sebagian kecil petani sudah ada yang
melakukan peremajaan dengan penyambungan tanaman kopi dengan klon lokal yang dianggap lebih
baik dari klon sebelumnya. Produksi kopi masih sangat rendah yaitu rata rata ditingkat petani berkisar
antara 700 - 750 kg/ha/tahun.
Panen dilakukan dalam kondisi tanaman masih hijau atau dengan ciri adanya beberapa buah
dalam dompolan yang sudah kuning sampai merah. Penanganan pasca panen masih dilakukan secara
kovensional yaitusetelah dilakukan panen petani langsung mengeringkan buah dengan menjemurnya
di pekarangan rumah menggunakan terpal dan sebagian besar menggunakan tanah tanpa alas sebagai
lantai jemur.Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mempengaruhi kualitas produksi.
Peningkatan Produksi
Untuk melihat peningkatan produksi tanaman kopi sudah dilakukan pengamatan produksi kopi
yang dipetik merah. Peningkatan produksi tanaman kopi dilihat berdasarkan jumlah cabang produktif
per tanaman, jumlah dompolan per cabang produktif, jumlah Buah per dompolan, indeks biji 120
buah/100 g dan rendemen buah. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan pada tanaman kopi dengan dosis penuh
sesuai anjuran mampu secara signifikan (p<0,05) meningkatkan produksi kopi petik merah. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya variasi produksi setiap pohon yaitu berkisar antara 120 1.173 g/pohon
atau rata-rata 678,6 g/pohon pada perlakuan dengan pemupukan, sedangkan pada tanaman kopi yang
tidak dipupuk sebanyak 10% tanaman kopi belum menghasilkan kopi petik merah pada tiga kali
pengamatan hasil panen dan 90% tanaman kopi lainnya memiliki produksi kopi petik merah sekitar 9
1.056 g/pohon dan rata-rata 457,61 g/pohon.
Banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi kopi, diantaranya adalah
pemupukan. Penambahan pupuk kimia dan kompos pada pertanaman kopi ternyata sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemupukan sangat diperlukan agar ketersediaan
hara yang dibutuhkan tanaman dapat selalu dipenuhi. Dengan ketersediaan hara di tanah yang
dibutuhkan tanaman maka pemupukan dapat meningkatkan produksi, meningkatkan mutu hasil dan
mempertahankan stabilitas produksi. Menurut Firmansyah(2013), pemberian pupuk untuk tanaman
kopi dianjurkan 2 kali dalam satu tahun yaitu pada waktu awal musim hujan dan akhir musim hujan
atau tanah dalam kondisi lembab dengan dosis disesuaikan dengan umur tanaman. Selanjutnya
dikatakan bahwa pemupukan secara tepat dan efektif akan mendorong tanaman kopi untuk berbunga
(Dosis pupuk terlampir). Menurut Isroi (2012), pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk
meningkatkan kesuburan lahan budidaya sehingga mampu mencukupi kebutuhan unsur hara yang
diperlukan tanaman kopi. Faktor lainnya yang mempengaruhi peningkatan produksi adalah kondisi
naungan. Pada kajian ini naungan yang sudah ada diatur agar prosentase cahaya yang sampai ke
tanaman kopi tidak lebih dari 50 %. Menurut Sakiroh , et.al (2014) tanaman kopi memiliki
pertumbuhan yang baik adalah pada naungan antara 50 60 %, sehingga perlu panataan naungan yang
baik.

66
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Produksi kopi petik merah di Desa Talang Ulu pada tanaman kopi dengan perlakuan
pemupukan sesuai dosis pupuk anjuran dan tanpa pemupukan.
Nomor Produksi per pohon (g)
Dengan Pemupukan Tanpa Pemupukan
1 1173 1006
2 947 1056
3 383 1007
4 120 510
5 776 1050
6 840 605
7 681 24
8 1098 0
9 422 990
10 757 84
11 388 394
12 1081 0
13 626 39
14 366 270
15 515 326
16 622 483
17 1117 171
18 854 81
19 422 9
20 384 132
Rerata 678,6* 457,61
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan : Tanda * menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan (p<0,05) berdasarkan hasil
uji T-test pada tingkat kepercayaan 95%.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebutuhan pupuk yaitu pengambilan hara oleh kopi
dan persediaan kandungan hara di dalam tanah. Untuk mendukung pertumbuhannya, tanaman kopi
mengambil unsur hara dari dalam tanah. Jumlah kebutuhan unsur hara ini berbeda-beda menurut jenis
tanaman kopi tersebut. Selanjutnya unsur hara ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan kopi dalam
mendukung pertumbuhan vegetatif dan pembentukan buah. Penggunaan pupuk kompos akan
memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan
kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Penambahan kompos akan
meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman, sehingga dapat membantu
tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah, dan menghadapi serangan penyakit (Sutanto, 2002).
Menurut Lafran (2009), pemberian kompos pada lahan memiliki banyak manfaat yaitu
memperbaiki kondisi fisik tanah dibandingkan untuk menyediakan unsur hara, walaupun dalam
kompos unsur hara sudah ada tetapi jumlahnya sedikit. Pupuk kompos berperan dalam menjaga fungsi
tanah agar unsur hara dalam tanah mudah dimanfaatkan oleh tanaman. Selanjutnya dikatakan bahwa
tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya (mutunya) daripada
tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, seperti menjadikan hasil panen lebih tahan disimpan,
lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.
Pengaruh lain dari pemberian pupuk kompos adalah terhadap jumlah dompolan tiap cabang
produksi.Jumlah dompolan/cabang, jumlah buah/dompolan dan berat 100 biji disajikan pada Tabel 2.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil tanaman kopi yant diberi pupuk dengan yang
tidak diberi pupuk. Hal ini membuktikan pemberian pupuk mengembalikan ketersediaan hara dalam
tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman kopi dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya.

67
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Pengamatan jumlah dompolan tiap cabang, jumlah buah tiap dompolandan berat 100 butir
Desa Talang Ulu
Jumlah Jumlah
Perlakuan dompolan/cabang buah/dompolan Berat 100 butir (g)
(buah) (buah)
Dengan pemupukan dosis
11* 34* 216,2*
penuh
Tanpa pemupukan 9 27 191,6
Sumber : Data primer (2016)
Keterangan : Tanda * menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan (p<0,05) berdasarkan hasil
uji T-test pada tingkat kepercayaan 95%.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman kopi adalah bahan
tanam/klon. MenurutSagala (2014), klon unggul adalah suatu genotipe tanaman yang memiliki potensi
hasil dan sifat-sifat agronomis lebih baik dari pada genotipe standar yang biasa digunakan sebagai
bahan tanaman dalam pertanaman komersial. Keunggulan suatu klon ditentukan oleh faktor genetik
yang dikandungnya dan diekspresikan dalam bentuk morfologis, susunan anatomis dan proses
fisiologis yang menunjang pertumbuhan, potensi hasil dan daya adaptasi terhadap lingkungan.
Perbedaan keunggulan suatu klon dengan klon lainya disebabkan oleh perbedaan susunan genetik
yang menunjang ketiga faktor di atas.
Dengan jarak tanam kopi 2 x 2 m dan populasi tanaman 2.500/ha, maka produksi yang
diperoleh adalah 1.696,5 kg/ha atau kenaikan sebesar 134 % dari produksi yang dikelola secara
konvensional, dimana produktivitas kopi rakyat di Kabupaten Rejang Lebong saat ini masih rendah
yaitu berkisar antara 700 750 kg/ha/th. Pada tanaman yang tidak diberi perlakuan pemupukan,
peningkatan produksi akibat penggunaan klon unggul hanya sebesar 1.144,175 kg/ha atau terjadi
kenaikan produksi sebanyak 57,89 %. Peningkatan produksi ini lebih kecil dari pada tanaman kopi
yang diberi pupuk dosis anjuran walaupun sudah menggunakan klon unggul. Pada penggunaan klon
unggul tanpa pemberian pupuk sama sekali ternyata produksi tanaman tidak setinggi tanaman yang
diberi pupuk, namun lebih tinggi dari pada tanaman kopi yang tidak dipupuk sama sekali. Hal ini
membuktikan bahwa penambahan unsur hara kususnya Nirogen, Phospor dan kalium sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.
Faktor lain yang mempengaruhi produksi diantaranya adalah kesesuaian agroklimat dan
ketersediaan hara pada tanah. Menurut Supriadi (2009), pengembangan potensi suatu komoditi tidak
terlepas dari komponen daya dukung diantaranya kesesuaian lahan. Provinsi Bengkulu memiliki
agroekosistem yang beragam dan elevasi wilayah dari 0 2000 m dpl. Luas wilayah dataran renda (0
500 m dpl) yaitu 1.333.258 ha atau 67,37%, dataran sedang (500 1.000 m dpl) yaitu 405.688 Ha
atau 20.50%, dan dataran tinggi (> 1.000 m dpl) seluas 239.924 Ha atau 12.0% dari luas wilayah
(Bappeda dan P3SDA UNIB, 2003). Ketinggian wilayah berhubungan erat dengan iklim setempat,
seperti suhu, kelembaban tanah, kondisi udara dan penyinaran matahari. Berdasarkan kondisi
agroklimatologi yang dimiliki maka daerah Rejang Lebong berpotensi sebagai wilayah pengembangan
kopi (Sukma, 1990)
Peningkatan mutu biji kopi
Mutu biji kopi dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain bau (aroma), warna, kadar air
dan kadar sari kopi. Mutu yang baik dapat diperoleh dengan melakukan panen dalam kondisi matang
sempurna (biji berwarna merah) dan dilakukan pengolahan secara basah dan mengikuti tahap tahap
penyangraian yang tepat.
Penyangraian biji kopi akan mengubah secara kimiawi kandungan kandungan dalam biji kopi,
disertai susut bobotnya, bertambah besarnya ukuran biji kopi dan perubahan warna bijinya. Biji kopi
setelah disangrai akan mengalami perubahan kimia yang sangat menentukan cita rasa. Pembentukan
unsur cita rasa kopi dan kehilangan berat kering sangat terkait erat dengan suhu penyangraian.
Berdasarkan suhu penyangraian yang digunakan kopi sangrai dibedakan atas 3 golongan yaitu (1) light
roast, suhu yang digunakan sekitar 193 199 C, (2) medium roast, suhu yang digunakan 204C, dan
(3) dark roast, suhu yang digunakan sekitar 213 221C. Proses roasting berlangsung selama 5-30
menit (Ridwansyah 2003).
Pada kajian ini, tahap penyangraian dilakukan dengan mesin penyangrai dengan suhu sekitar
200oC (medium roast), selama 30 menit. Tahap penyangraian sangat menentukan warna dan cita rasa

68
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pruduk kopi yang akan dikonsumsi. Perubahan warna biji dapat dijadikan dasar untuk sistem
klasifikasi sederhana. Proses yang terjadi selama penyangraian adalah (1) tahap awal roasting, terjadi
pengupan air pada saat suhu penyangraian 100C. (2) tahap pyrolysis pada suhu 180C, terjadi
perubahan-perubahan komposisi kimia dan pengurangan berat sebanyak 10%. Perubahan sifat fisik
dan kimia terjadi selama proses penyangraian, antara lain swelling, penguapan air, terbentuknya
senyawa volatil, karamelisasi karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya
gas CO2 sebagai hasil oksidasi, serta terbentuknya aroma yang khas pada kopi. Swelling selama
penyangraian disebabkan karena terbentuknya gas-gas yang sebagian besar terdiri dari CO2, kemudian
gas-gas ini mengisi ruang dalam sel atau pori-pori kopi.
Tahap akhir dalam pengolahan kopi bubuk adalah penggilingan. Penggilingan kopi skala luas
menggunakan gerinda beroda (roller). Gerinda roller ganda dengan gerigi 2 sampai 4 pasang
merupakan alat yang paling banyak dipakai. Partikel kopi dihaluskan selama melewati tiap pasang
roller. Selama proses penggilingan, sejumlah kandungan CO2 akan terlepas dari kopi. Pengemasan
segera mungkin dilakukan setelah penggilingan untuk mencegah terbentuknya tekanan akibat
pelepasan CO2. Untuk memperpanjang masa simpan kopi bubuk dikemas dengan menggunakan
kemasan vakum dalam aluminium foil atau kantong fleksibel (Ridwansyah, 2003).
Untuk biji kopi yang telah disangrai dapat juga langsung dikemas. Pengemasan dilakukan
dengan kantong kertas atau aluminium foil. Beberapa industri pengolahan kopi bubuk saat initelah
menggunakan kemasan vakum dari kaleng yang mampu menahan tekanan yang terbentuk atau
menggunakan kantung yang dapat melepaskan CO2 tapi menerima oksigen.
Dari hasil kajian yang dilakukan diperoleh hasil antara lain bubuk kopi yang dihasilkan
memiliki bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar air sebesar
2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%. Hasil ini telah memenuhi syarat mutu I sesuai dengan
SNI 01-3542-2004 tentang kopi bubuk kopi yang dipetik merah (Badan Standardisasi Nasional
, 2004, terlampir). Sedangkan untuk bubuk kopi yang dihasilkan oleh petani yang dipetik hijau (panen
asalan) menghasilkan bubuk kopi yang tidak memenuhi syarat muti 1 karena kadar sari kopi sebesar
37,69%. Nilai tersebut berada di luar rentang kadar sari kopi pada syarat mutu I kopi bubuk menurut
SNI 01-3542-2004.
Selain faktor budidaya yang baik mutu bubuk kopi yang dihasilkan juga sangat dipengaruhi
oleh proses pengolahan. Proses pengolahan kopi petik merah secara basah menghasilkan produk
berupa biji kopi beras. Untuk mendapatkan kopi bubuk petik merah, dilakukan tahapan proses yang
meliputi penyangraian biji kopi, penggilingan, dan pengemasan. Penggilingan kopi diperlukan untuk
memperoleh kopi bubuk dan meningkatkan luas permukaan kopi. Menurut SNI 01-3542-2004, kopi
bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted), kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan
bahan lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan aromanya serta tidak membahayakan
kesehatan (BSN 2004). Syarat mutu kopi bubuk menurut SNI SNI 01-3542-2004(terlampir).
Peningkatan mutu biji kopi saat ini sangat penting dilakukan. Faktor mutu merupakan salah
satu persyaratan yang mulai dituntut oleh konsumen. Selain itu faktor lingkungan pada sistem
produksi juga sering dijadikan pertimbangan dalam pembelian kopi. Hal penting yang berkaitan
dengan perdagangan kopi di pasar internasional adalah bahwa sebagian besar negara
pengimpor/konsumen kopi mensyaratkan kandungan okratoksin-A (OA) yang sangat rendah atau
bebas OA. Akhir akhir ini persyaratan impor produk pertanian di negara konsumen kopi semakin
ketat terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Selanjutnya dikatakan secara umum kondisi
perkopian di Indonesia mutunya cukup memprihatinkan sehingga perlu ditindaklanjuti dengan
melakukan perubahan dari budidaya, panen sampai penanganan pasca panen (Raghuramulu dan
Naidu, 2009).

69
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
1. Inovasi teknologi peremajaan penyambungan dengan menggunakan klon unggul, pemupukan dan
pemeliharaan yang diterapkan dapat meningkatkan produksi kopi petani sebesar 134 %. Sedangkan
penggunaan klon unggul tanpa pupuk dapat meningkatkan produksi 57,89 %

2. Panen petik merah yang disertai pengolahan yang sesuai anjuran dapat meningkatkan mutu kopi
yang dapat dilihat dari bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum, warna normal (coklat tua), kadar
air sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah mendanai kegiatan pengkajian
melalui Anggaran DIPA BPTP Bengkulu Tahun 2015 - 2016.

DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Prop. Bengkulu dan P3SDA UNIB. 2003. Identifikasi Tata Ruang Provinsi Bengkulu.
BPS Provinsi Bengkulu. 2013. Provinsi Bengkulu dalam Angka. Bengkulu.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Kopi Bubuk(SNI 01-3542-
2004).http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/ sni/unduh/7670. [Diunduh Tgl 5
Oktober 2015].
Firmansyah. 2013. Rekomendasi Pemupukan Umum Karet, Kelapa sawit, Kopi dan Kakao. Pelita
Perkebunan. Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember
Isroi. 2012. Pengomposan Limbah Padat Organik. Land to Farmers Income: A Case in Gunung Kidul
Regency, Indonesia. Pelita Perkebunan, 9(3), 97 104. Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia. Bogor
Lafran Habibi, 2009. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Limbah Rumah Tangga.Penerbit Titian Ilmu :
Bandung.
Raghuramulu dan Naidu. 2009. The Ochratoxin-A Contamination in Coffeean itsin Food Safety
Issues.
Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. JurusanTeknologiPertanian, FakultasPertanian Universitas
Sumatera Utara. Medan. library.usu.ac.id/download/fp/tekper-ridwansyah4.pdf. [Diunduh
Tgl 25 April 2009].
Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius.
Yogyakarta. Hal 25.
Sudarto, Yohaner dan RD Medionovianto. Karakteristik dan Alternatif Teknologi Budidaya Kopi
(Studi Kasus di Desa Rempek Kecamatan Rangga Kabupaten Lombok Utara). Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Kendari 2013. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Supriadi. 2009. Kesesuaian lahan bagi pengembangan kopi Robusta. Jurnal Tanaman Industri dan
Penyegar. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar. Bogor.
Sagala, A.D. 2012. Kinerja Klon Karet Unggul Anjuran dan Kesesuaiannya pada Berbagai
Agroekosistem. Makalah disampaikan dalam Workshop Penggunaan Klon Unggul dan
Penyiapan Bahan Tanam Karet Untuk Produktivitas Optimal di Medan Sumatera Utara
tanggal 21 Mei 2012.
Sakiroh, Sobari dan Maman Herman. 2014. Pertumbuhan, Produksi, dan Cita Rasa Kopi pada
Berbagai Tanaman Penaung. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Kopi. Puslit
Kopi dan Kakao. Jember

70
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Lampiran
Tabel 4. Luas Pertanaman kopi rakyat di Propinsi Bengkulu (ha)
Luas Pertanaman
No Kabupaten Jumlah
TBM T. Tua TM
1 Muko Muko 138,00 169,00 1.373 1.680
2 Bengkulu Utara 1.409 3.212 13.945 18.606
3 Kota Bengkulu 1,00 0,00 20,00 21,00
4 Seluma 743,00 2.601 13.206 16.550
5 Bengkulu Selatan 326,00 84,00 2.688 3.098
6 Kaur 1.363 1.701 4.921 7.985
7 Lebong 1.750 1.015 5.084 7.849
8 Rejang Lebong 1.715 158,00 17.040 21.820
9 Kepahiang 803,00 2.521 20.862 24.186
8.248 11.461 79.139 98.848
Sumber : BPS Propinsi Bengkulu 2013.
Tabel 5. Dosis pemupukan tanaman kopi
Dosis pupuk (gram/pohon)
Umur (tahun)
Urea SP-36 KCl Kieserit
1 20 25 15 10
2 50 40 40 15
3 75 50 50 25
4 100 50 70 35
5-10 150 80 100 50
>10 200 100 125 70
Sumber : Puslit Kopi dan Kakao Jember
Tabel 6. Syarat mutu kopi bubuk menurut SNI 01-3542-2004
No Kriieria Uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II
1 Keadaan fisik:
- Bau Normal Normal
- Warna Normal Normal
2 Kadar air % b/b Maksimum 7,0 Maksimum 7,0
3 Kadar sari kopi % b/b 20 36 Maksimum 60
4 Kadar kafein (anhidrat) % b/b 0,9 2,0 0,45 0,9
5 Cemaran logam :
- Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 2,0 Maksimum 2,0
- Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 30,0 Maksimum 30,0
- Seng (Zn) mg/kg Maksimum 40,0 Maksimum 40,0
- Timah (Sn) mg/kg Maksimum 40,0/250,0 Maksimum 40,0/250,0
- Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0,03 Maksimum 0,03
- Arsen (As) mg/kg Maksimum 1,0 Maksimum 1,0
6 Cemaran mikroba :
- Angka lempeng total Koloni/g Maksimum 106 Maksimum 106
- Kapang Koloni/g Maksimum 104 Maksimum 104
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004)

71
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PEMANFAATAN BERBAGAI JENIS MULSA DAN VAERIETAS MENDUKUNG


BUDIDAYA CABAI LUAR MUSIM DI LAHAN KERING
UTILIZATION VARIOUS TYPES OF MULCH AND VARIETY TO SUPPORT PLANTING
CHILI OUT SEASON IN DRY LAND
Darman Hary
Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik produksi Desa, PDT,dan Transmigrasi Bengkulu
Jln. Argamakmur-Muara Aman, Margasakti Kec. Pd. JayaKab. Bengkulu Utara
Email : bp2tpk@gmail.com

ABSTRAK
Permintaan yang cukup tinggi, kontinu serta cenderung terus meningkat memberikan dorongan kepada
masyarakat luas terutama petani untuk mengembangkan tanaman cabai. Keberhasilan usaha tani cabai
dipengaruhi rendahnya produkstivitas akibat penggunaan teknologi yang tidak tepat dan ketepatan
waktu tanam. Penelitian bertujuan Mengidentifikasi penampilan agronomis pada fase pertumbuhan
dan generatif empat varietas cabai yang dibudidayakandengan penggunaan mulsa yang berbeda dan
mendapatkan paket teknologi buddaya cabai pada lahan kering di luar musim. Penelitian telah
dilakukan dilahan kering pada bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Pebruari 2016. Penelitian
menggunakan Rancangan Kelompok lengkap teracak (RKLT) yang disusun secara faktorial dengan
perlakuan varietas moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7, dan Unib C1H3 dengan penggunaan mulsa
MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa yang masing masing diulang 3 kali. Data dianalisis
menggunakan analisis sidik ragam pada taraf 1 % dan 5 %, dan apabila terdapat perbedaan yang nyata
dilakukan uji Duncan Multiple Range test (DMRT). Hasil penelitian menunjukkan pada fase fegetatif
(pertumbuhan) tidak ada interaksi antara varietas dan penggunaan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa
mulsa tetapi terjadi interaksi pada fase generatif antara varietas moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7
dan Unib C1H3 dengan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa. Kombinasi pemilihan varietas
moncer Fi dan mulsa MPHP direkombinasikan untuk dikembangkan di lahan kering pada penanaman
cabai di luar musim karena memiliki produktivitas tertinggi yaitu 6.858 kg per hektar.
Kata kunci : Tanaman cabai, mulsa, Varietas, Budidaya luar musim.

ABSTRACT
Red papers demand which is high, continuously and tended to increase encourage people especially
farmers to cultivate it. Successful of red papers farming is influenced by low level of productivity
which causes by used of inappropriate technology and seed time accuracy. This research aim to
identify agronomy appearance in growth and generative phase of four varieties of red paper that
cultivated by various types of mulch and treated by out of season cultivation on un-irrigated land
technology package. Research was done on un-irrigated land on August 2015 to February 2016.
Research method is Randomized Complete Block Design that arranged by factorial of Moncer F1, MP
999 F1, Unib C3H7 and Unib C1H3 variety and used of MPHP mulch, straw and without mulch
which repeated three times. Data were analyzed by analysis of variance in level 1% and 5%, and if
result showed significant differences, data analysis forwarded by Duncan Multiple Range Test
(DMRT). Research result showed that in vegetative phase there is not interaction between variety of
red paper and various types of mulch utilization but in generative phase, there is interaction between
every variety of red paper (Moncer F1, MP 999 F1, Unib C3H7 and Univ C1H3) with MPHP mulch,
straw mulch and without mulch. Variety Moncer F1 and MPHP mulch combination is recommended
to cultivate on un-irrigated land in out of season seed time because it has highest productivity in
comparison with other combination. It produced 6.658 kg/hektare.
Keyword: Red paper, Mulch, Variety, Out of Season Cultivation.

72
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Cabai (CapisicumL.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai gizi
dan ekonomis penting. Buah cabai dapat dimanfaatkan sebagai sayuran atau bumbu masak, bahan
baku industri makanan dan industri obat - obatan. Buah cabai mengandung karbohidrat, protein,
lemak, kalsium, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Permintaan yang cukup tinggi, kontinu serta
cenderung terus meningkat memberikan dorongan kepada masyarakat luas terutama petani untuk
mengembangkan tanaman cabai (Prasetya, M.E., 2014).
Konsumsi cabai selama periode 2012 2014 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
1,653 kg/kapita (2012), 1,660 kg/kapita (2013), dan 1,680 kg/kapita (2014). Begitupun produksi cabai
segar Indonesia dari tahun 2009 hinnga 2013 berturut turut sebesar 1,38 juta ton, 1,33 juta ton,1,65
juta ton (2011) 1,65 juta ton (2012), 1,73 juta ton (2013) dan pada tahun 2014 produksi cabe nasional
di prediksi sebesar 1,87 juta ton (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2013).
Tanaman cabai merah memiliki potensi dan prospek yang baik untuk diusahakan, karena
tanaman ini relatif mudah dibudidayakan. Menurut Badan Pusat Statistik dan Dirjen Hortikultura
(2016), produktivitas cabai nasional pada tahun 2011 sebesar 7,34 ton/ha, 7,93 ton/ha (2012), 8,16
ton/ha (2013), dan 8,35 ton/ha (2014), dan 8,65 ton/ha (2015). Produktivitas cabai merah di Propinsi
Bengkulu dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi yaitu 7,41 ton/ha (2011), 5,99 ton/ha (2012), 6,91
ton/ha (2013), 6,21 ton/ha (2014), dan 6,12 ton/ha (2015). Angka tersebut masih jauh dari potensi
produktivitasnya yang dapat mencapai 10 30 ton/ha (Piay, S.S., dkk. 2010). Masih rendahnya
produktivitas cabai merah ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain, pemilihan varietas cabe
unggul yang tidak tepat, teknologi bercocok tanam yang masih kurang baik, kesiapan dan ketrampilan
petani cabai yang masih kurang, dan penyediaan sarana produksi yang masih belum tepat.
Selain rendahnya produktivitas, keberhasilan usaha tani komoditas cabai merah sangat
dipengaruhi ketepatan waktu tanam yang mempengaruhi pola produksi. Harga cabai tiga tahun
terakhir di propinsi Bengkulu sangat fluktuatif berkisar antara Rp. 5000,- s/d Rp. 35000,- (2013), Rp.
6000,- s/d Rp. 60000,- (2014). Rp.10.000,- s / d Rp 50.000,- (2015) (Dinas Koperasi, UKM,
Perindustrian, dan perdagangan Propinsi bengkulu, 2016) Pada bulan April sampai dengan Agustus
harga cabai berkisar antara Rp. 5000,- s/d Rp. 15000,- sedangkan bulan September sampai dengan
Maret berkisar antara Rp. 17000,- s/d Rp. 60.000,-. Ketika musim tanam (bulan Pebruari s/d April),
petani serentak untuk menanam cabai sehingga luasan tanam cabai tidak terkendali yang menyebabkan
produksi cabai melimpah dan harga anjlok. Begitu pula sebaliknya, jika diluar musim (bulan juli s/d
September) hanya sedikit petani yang menanam cabai sehingga stok buah cabai di pasar sedikit yang
mengakibatkan harga melonjak. Salah satu strategi yang menentukan keberhasilan usaha tani cabai
dengan melakukan budidaya cabai merah di luar musim. Kendala utama budidaya cabai merah diluar
musim yaitu ketersediaan air yang sangat dibutuhkan tanaman cabai pada saat pertumbuhan vegetatif
dan kelebihan air akibat tingginya curah hujan pada saat fase generatif / berbuah. Untuk itu perlu
dikaji teknologi budidaya cabai merah yang tepat sehingga dapat menghasilkan produktivitas dan
kualitas yang sama dengan budidaya pada saat musim tanam. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
penampilan agronomis pada fase pertumbuhan dan poduksi empat varietas cabai dengan penggunaan
mulsa yang berbeda serta mendapatkan alternatif penggunaan mulsa dan varietas yang sesuai dalam
paket teknologi mendukung budidaya cabai merah di lahan kering pada luar musim.

METODE PENELITIAN
Kajian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan Pebruari 2016 di lahan
percobaan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknik Produksi Desa, PDT, dan Transmigrasi Bengkulu
yang terletak di desa Margasakti Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara dengan curah
hujan rata rata 3000 4000 mm/tahun, ketinggian 200 M 300 M dpl, suhu 23 - 31 C, bulan basah
Oktober s /d April, bulan kering Mei s / d September, Kelembaban 78 86 % (Profil BP2TP, 2013).
Berdasarkan hasil analisa tanah sebelum percobaan dilakukan, Lahan percobaan termasuk tanah
masam dengan pH 4,85. Kandungan C-organik 2,94 %, N-organik 1,16 %, P- Bray 18,26 ppm, K-dd
0,27 me/100 gr, Na-dd 0,05 me/100gr, Ca-dd 1,27 me/100 gr, dan Mg-dd 1,83 me/100 gr (BPTP
Bengkulu, 2015). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
yang disusun secara faktorial, faktor A (varietas cabai merah); PM F1 999 (V1), Unib CH13 (V2),
Unib CH37 (V3) dan Moncer F1 (V4) serta faktor B (mulsa) ; Mulsa Plastik Hitam Perak (M1),
Jerami Padi (M2), dan Tanpa Mulsa (M3). Perlakuan diulang 3 (tiga) kali dengan ukuran petak /
bedengan percobaan1 M x 15 M. Jarak tanam dalam petak / bedengan 80 cm x 60 cm dengan jumlah

73
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

tanaman yang diamati 5 sampel dari 50 tanaman yang diambil secara acak. Pengamatan variabel
meliputi tinggi tanaman (cm), lebar kanopi (cm), tinggi dikotom (cm), jumlah buah pertanaman, bobot
buah pertanaman (gr), dan hasil panen per petak (kg). Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan analisa varian (anova) pada taraf 1 % dan 5 %. Apabila hasil analisis menunjukkan beda
nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Hanafiah, K., 2001).
Pelaksanaan percobaan meliputi persiapan lahan (persiapan lahan dan pengolahan lahan)
penyiapan bibit (persiapan media tanam dalam polibag, penyiapan benih, penanaman dan penyulaman
dalam polibag, dan pemeliharaan tanaman di persemaian), penanaman dan penyulaman bibit di
lapangan, pemeliharaan (pemagaran keliling lahan, pemupukan, pewiwilan, pengendalian hama /
penyakit, penyiraman, penyiangan, dan pemasangan ajir dan tali rapia), panen, dan pasca panen.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Exiting Lokasi Penelitian
Hasil analisis sifat kimia tanah lokasi penelitian sebelum percobaan dilakukan Terlihat pada
tabel 1 bahwa nisbah C/N tergolong sangat rendah, kandungan bahan organik C rendah dan N sangat
rendah. Kadar P tersedia dalam tanah tergolong sedang. Sedangkan Kadar K dd, Na-dd, Ca-dd,
Mg-dd dan KTK dalam tanah tergolong rendah dan pH tanah tergolong masam. Menurut Apandie dan
Nasih (2001), bahwa nisbah C/N < 8 tergolong harkat sangat rendah, bahan organik < 2 tergolong
sangat rendah, dan bahan organik 2 4 tergolng rendah. Begitu juga P Bray 16 25 digolongkan
sedang. K-dd < 0,3 digolongkan sangat rendah.
Pemberian pupuk anaorganik (Urea, SP-36, KCl, dan NPK Mutiara), pupuk organik (kotoran
kambing), kapur dan pupuk organik buatan sebelum penanaman dan selama fase fegetatif tanaman
cabai meningkatkan pH tanah dan nisbah C/N, P Bray, dan Kalium (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisa tanah lahan percobaan sebelum dan setelah percobaan dilakukan.
Bahan
pH P Bray I Nilai Tukar Kation
Organik
KODE
C N K-dd Na-dd Ca-dd Mg-dd KTK
H2O KCL % ppm ..........me/100 gr.........
Sebelum Percobaan 5,88 4,85 2,94 1,16 18,26 0,27 0,050 1,27 1,83 21,44
MPHP 6,6 6,3 3,88 0,34 37,35 1,42 0,11 3,73 1,59 11,61
Tanaman Jerami Padi 6,7 6,2 3,82 0,27 15,41 0,94 0,15 0,49 3,32 10,14
cabai Tanpa Mulsa 6,4 5,5 3,90 0,26 15,37 0,55 0,13 4,96 2,28 10,48
berumur 65
HST
MPHP - - 5,13 0,3 1,37 0,81 2,8 - - 15,17
Setelah Jerami Padi - - 5,58 0,34 5,06 1,01 2,82 - - 16,81
Percobaan Tanpa Mulsa - - 3,12 0,25 3,87 0,34 2,45 - - 16,32
Sumber : Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu(2015/2016).

Ketersediaan unsur hara Nitrogen pada penggunaan mulsa MPHP, jerami padi, dan tanpa
mulsa menurun pada saat tanaman cabai berumur 65 HST tetapi prosentase unsur N pada lahan MPHP
masih lebih tinggi dibandingkan mulsa jerami padi dan tanpa mulsa. Hal ini disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang sangat ekstrim selama proses budidaya tanaman cabai berlangsung. Pada bulan
Agustus, September dan Oktober, hari hujan dan jumlah hujan sangat rendah sekali tetapi bulan
Nopember dan Desember hari hujan dan jumlah hujan sangat tinggi (Tabel 2). Kondisi ini
menyebabkan lahan yang menggunakan mulsa jerami dan tanpa mulsa kehilangan unsur hara N lebih
tinggi dibandingkan lahan yang menggunakan MPHP. Menurut Fahrurrozi, dkk. (2009) bahwa
penggunaan MPHP mampu mengurangi pencucian hara Nitrogen dan mencegah terjadinya infiltrasi air
hujan berlebihan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan unsur hara Nitrogen dalam tanah dapat
tercuci, begitu juga suhu yang tinggi dapat menyebabkan beberapa unsur hara seperti N menguap ke
udara (Afandie dan Nasih, 2001). Unsur hara kalium dan fosfor digunakan tanaman untuk merangsang
pembungaan dan pembentukan buah, sehinnga kebutuhan fosfor dan kalium akan meningkat pada saat
tanaman mulai berbunga (Yuhendra, 2011 dalam Rosmanah, S., dkk. 2012). Menurut penelitian Suteja,
M.(2008), unsur fosfor berperan dalam pembentukan bagian generatif tanaman . Pada tabel 1 terlihat
pada saat tanaman cabai berbunga sampai dengan selesai berproduksi terjadi penurunan ketersediaan
jumlah fosfor dan kalium dalam tanah.

74
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Bengkulu Utara.
Rata rata
Tahun Bulan Curah Hujan Bulanan (mm) Hari Hujan (hari)
Juli 124 11
Agustus 200 11
September 53 4
2015 Oktober 97 6
November 535 25
Desember 622 22
Januari 456 18
2016
Pebruari 491 16
Sumber : Dinas Pertanian Kab. Bengkulu Utara Prop. Bengkulu (2015 dan 2016).
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai
Pada faktor utama varietas,nilai F hitung variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi
dikotom lebih besar dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 99 pesen. Ini menunjukkan bahwa
varietas berpengaruh sangat nyata terhadap variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, tinggi dikotom.
Tetapi faktor utama lainnya (mulsa) untuk variabel tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom
lebih kecil dari F tabel pada taraf kepercayaan 95 persen. Ini menunjukkan bahwa penggunaan mulsa
tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom (Tabel 3).
Kombinasi antara empat varietas dan penggunaan mulsa MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa
tidak menunjukkan adanyaa interaksi antara keduanya (varietas dan mulsa) terhadap variabel tinggi
tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom, terlihat dari F hitung ketiga variabel pertumbuhan tersebut
lebih kecil dari F tabel.
Tabel 3. Rangkuman Nilai F hiung Variabel Yang Diamati.
Variabel F hitung
No TT LK TD JBP BBP HPP
SK 5% 1%
1 Kelompok 1,026 ns 2,21 ns 1,32 ns 4,18* 3,26 ns 3,37 ns 3,44 5,72
2 Kombinasi AB 3,618** 2,37* 4,95** 2,74* 2,24 ns 1,97 ns 2,26 3,18
3 Varietas (A) 10,889** 7,53** 15,76** 9,14** 11,71** 3,73* 3,05 4,82
4 Mulsa (B) 0,06 ns 1,16 ns 3,13 ns 3,18 ns 3,75* 4,26* 3,44 5,72
5 Interaksi 1,168 ns 1,77 ns 2,01 1,38 ns 3,86** 2,76* 2,55 3,76
Sumber : Data Primer (2015 dan 2016)
Keterangan : TT :Tinggi tanaman, LK : Lebar Kanopi, TD : Tinggi Dikotom, JBP : Jumlah Buah
Pertanaman,
BBP : Bobot Buah Pertanaman, dan HPP : Hasil Panen Per Petak Tanaman
ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5 %
* = berbeda nyata pada taraf 5 %
** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Hasil uji DMRT pada tabel 4, tanaman tertinggi adalah varietas Moncer F1 dan terendah
varietas UNIB C1H3 , tetapi secara statistik tinggi tanaman varietas Moncer tidak berbeda nyata
dengan varietas PM 999 F1 dan UNIB C3H7. Tinggi tanaman setiap varietas cabai dikendalikan oleh
faktor genetik dan lingkungan (Agus Setiawan, dkk., 2012). Karakter tinggi tanaman memiliki arti
penting dalam posisi buah terhadap permukaan tanah. Hasil Kajian Kirana dan Sofiari (2007) dalam
Daryanto (2009) menyatakan karakter tinggi tanaman pada cabai berhubungan dengan ketahanan
terhadap penyakit antraknosa. Buah dari tanaman yang lebh tinggi dan tidak menyentuh tanah dapat
mengurangi percikan air dari tanah ke buah yang merupakan salah satu sumber infeksi cendawan.
Varietas Moncer F1memiliki lebar kanopi terbesar dan terendah varietas UNIB C3H7, tetapi
secara statistik lebar kanopi varieta moncer tidal berbeda nyata dengan varietas PM 999 F1 dan UNIB
C1H3. Dikotom tertinggi terlihat pada varietas Moncer sedangkan dikotom terendah varietas UNIB
C1H3, tetapi secara statistik tinggi dikotom varietas Moncer tidak berbeda nyata dengan varietas PM
99 dan UNIB C3H7. Menurut Burlis (2006), perbedaan yang nyata antar varietas baik tinggi tanaman,
lebar kanopi, dan tinggi dikotom disebabkan oleh karakter antara varietas itu sendiri. Perkembangan
tinggi tanaman masing masing varietas yang diuji ternyata kurang optimal dibandingkan dengan
tinggi masing masing varietas berdasarkan deskripsi, artinya pertumbuhan tinggi tanaman tidak
optimal. Hal ini disebabkan oleh respon masing masing varietas terhadap cekaman lingkungan

75
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

seperti fluktuasi curah hujan yang tinggi dan unsur hara yang tersedia bagi tanaman selama masa
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Lahan kering alamiah selama musim kemarau (Juli,
Agustus,September s /d Oktober 2015) belum mengalami perbaikan yang sempurna walaupun telah
diberi kapur dan pupuk kandang.
Dari peubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman yaitu tinggi tanaman, lebar kanopi, dan
tinggi dikotom , varietas Moncer F1 memiliki pertumbuhan tinggi tanaman , labar kanopi, dan tinggi
dikotom yang lebih baik, diikuti PM 999 F1 dan UNIB C3H7.
Tabel 4. Hasil Uji DMRT Rataan Tinggi Tanaman, Lebar Kanopi, Tinggi Dikotom, Jumlah Buah
Pertanaman, Bobot Buah Pertanaman dan Hasil Panen Per Petak Tanaman.
JBP BBP HPP HPH
No Perlakuan TT (cm) LK (cm) TD (cm)
(Buah) (Gram) (Kg) (Kg)
1 V4M1 75,87 a 87,47 a 33,80 a 119 a 495 a 22,86 a 6.858
2 V4M2 75,80 a 78,27 a 32,73 a 100 ab 415 b 18,59 a 5.577
3 V4M3 73,20 a 75,87 a 21,67 a 114 a 472 a 20,24 a 6.072
4 V1M2 72,67 a 72,87 a 18,33 a 122 a 387 c 16,24 b 4,872
5 V1M1 68,53 a 74,93 a 23,33 a 134 a 419 b 19,09 a 5.727
6 V3M1 67,00 a 68,53 b 18,13 a 70 c 499 a 22,40 a 6.720
7 V3M3 66,40 a 68,93 b 14,47 a 63 c 450 a 20,15 a 6.045
8 V1M3 64,33 a 72,40 ab 21,20 a 118 a 369 c 15,59 b 4.677
9 V2M3 63,67 a 75,47 a 8,73 b 89 bc 446 a 19,33 a 5,799
10 V3M2 62,00 ab 66,13 b 10,80 ab 59 c 422 ab 18,51 ab 5,553
11 V2M1 59,20 b 73,87 a 6,73 b 93 b 476 a 21,69 a 6.507
12 V2M2 57,67 b 64,80 b 6,47 b 80 c 406 bc 15,25 b 4.574
Sumber : Data Primer (2015 dan 2016)
Keterangan :- TT: Tinggi tanaman, LK: Lebar Kanopi, TD: Tinggi Dikotom, JBP: Jumlah Buah Pertanaman,
BBP: Bobot Buah Pertanaman, dan HPP: Hasil Panen Per Petak Tanaman, HPH: Hasil panen
Per hektar
- Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji DMRT 1 %
- a (huruf kecil) artinya tanda (lambang) untuk uji taraf rendah
- DMRT 0,01 % artinya beda nyata terkecil pada taraf 1 % (Hanafiah,K. 2001)

Komponen Produksi
Nilai F hitung faktor utama (varietas) untuk variabel jumlah buah pertanaman, dan bobot buah
pertanaman lebih besar dari nilai F tabel pada taraf kepercayaan 99 pesen serta F hitung hasil panen
per petak lebih besar dari F tabel pada taraf kepercayaan 95 persen (Tabel 3). Ini menunjukkan bahwa
varietas berpengaruh sangat nyata terhadap variabel jumlah buah pertanaman, dan bobot buah
pertanaman serta berbeda nyata terhadap hasil panen per petak tanaman. Sedangkan faktor utama
lainnya yaitu mulsa, F hitug untuk variabel jumlah buah pertanaman lebih kecil dari F tabel pada taraf
kepercayaan 95 persen, tetapi lebih besar pada variabel bobot buah petanaman dan hasil panen per
petak pada taraf kepercayaan 95 persen. Ini menunjukkan bahwa penggunaan mulsa tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel jumlah buah pertanaman tetapi berpengaruh nyata terhadap bobot buah
pertanaman dan hasil panen perpetak.
Pada tabel 3 juga terlihat, F hitung interaksi antara Varietas dan penggunaan mulsa (MPHP,
jerami dan tanpa mulsa) untuk variabel jumlah buah pertanaman lebih kecil dari F hitung tabel pada
taraf kepercayaan 95 persen. F hitung interaksi variabel bobot buah pertanaman lebih besar dari F tabel
pada taraf kepercayaan 99 persen dan F hitung interaksi variabel hasil panen per petak lebih besar dari
pada F tabel pada taraf kepercayaan 95 pensen. Ini menunjukkan bahwa penggunaan empat varietas
dan macam mulsa tidak berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah buah pertanaman tetapi
berpengaruh sangat nyata terhadap variabel bobot buah pertanaman dan berpengaruh nyata terhadap
variabel hasil panen per petak.
Hasil uji DMRT pada tabel 4, Jumlah buah pertanaman terbanyak adalah varietas PM 999 F1
dan yang paling sedikit UNIB C3H7, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan varietas
Moncer. Uji DMRT pada tabel 4, bobot buah pertanaman tertinggi adalah varietas C3H7 dan terendah
varietas PM 999 F1, tetapi secara statistik bobot buah varietas UNIB C3H7 tidak berbeda nyata dengan
varietas Moncer F1. Begitu juga uji DMRT hasil panen perpetak tertinggi adalah varietas Moncer F1
dan yang terendah PM F1 999, tetapi secara statistik hasil panen per petak varietas Moner tidak
berbeda nyata dengan varietas C3H7 dan C1H3.
76
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Dari hasil uji DMRT pada tabel 4, interksi antara empat varietas dengan penggunaan mulsa
MPHP lebih baik bila dibandingkan dengan mulsa jerami dan tanpa mulsa. Ini terlihat dari tingginya
bobot buah pertanaman dan hasil panen perpetak. Jumlah buah pertanaman tidak berkorelasi positif
dengan bobot buah dan hasil panen per petak. Ini disebabkan ukuran dan berat buah antar varietas yang
tidak sama (tabel 4), sehingga varietas yang memiliki jumlah buah lebih banyak pertanaman (PM 999
F1) belum tentu memiliki bobot buah pertanaman dan hasil panen perpetak labih tinggi. Kombinasi
perlakuan yang memiliki produktivitas tertinggi yaitu varietas Moncer F1 (6.858 kg), Unib C3H7
(6.720 kg), Unib C1H3 (6.507 kg), ketiga varietas tersebut menggunakan mulsa MPHP.
Perbedaan komponen produksi antara varietas MP 999 F1, Unib C1H3, Unib C3H7, dan
Moncer F1 dapat disebabkan oleh adanya pengaruh kondisi lingkungan seperti ketersediaan unsur hara,
cekaman suhu yang tinggi diawal penanaman, curah hujan yang sangat tinggi di masa pertumbuhan,
perkembangan dan produksi serta penggunaan mulsa yang berbeda-beda. Menurut Susilawati, dkk,.
(2012) bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman cabai sangat dipengaruhi oleh faktor iklim seperti
curah hujan. Selain itu varietas yang cocok untuk ditanam pada kondisi lingkungan tertentu
menyebabkan tanaman tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Varietas cabai yang
memilki keunggulan tertentu di suatu daerah belum tentu cocok untuk ditanam di daerah lain yang
memiliki kondisi lingkunganberbeda (Setiawan, A.B., 2012).
Salah satu penyakit cabai yang diamati yaitu keriting kuning menunjukkan bahwa jumlah
tanaman terserang per petak berbeda, kombinasi perlakuan empat varietas dengan mulsa MPHP
mendapat serangan penyakit keriting kuning lebih rendah (6 % 10,6 %) dibandingkan kombinasi
varietas dengan mulsa jerami (11,4 % - 34,6 %) dan tanpa mulsa (11,9 % - 20 %). Penggunaan mulsa
MPHP dapat memantulkan cahaya dan panas sinar matahari sehingga mengurangi serangan hama
aphis, thrips, dan tungau yang merupakan vektor bagi virus yang menyerang tanaman cabai (Diana,
D.R., 2008).
Kombinasi Varietas dan Mulsa
Varietas memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena
untuk mencapai produktivitas tinggi sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul
yang ditanam. Menurut Adisarwanto (2005), langkah awal terpenting mencapai produktivitas
maksimal dalam bertanam suatu komoditi yaitu memilih varieta yang akan ditanam, Pemilihan
varietas sebaiknya mempertimbangkan umur panen, produksi dan tingkat adaptasi terhadap
lingkungan tumbuh yang tinggi agar tidak mengalami hambatan dalam pertumbuhannnya.
Dari penanmpilan agronomis pertumbuhan tanaman dan produksi diatas maka varietas Moncer
secara umum memiliki penampilan agronomis yang lebih baik secara signifikan. Varietas moncer
memiliki tinggi tanaman, lebar kanopi, dan tinggi dikotom lebih baik dibanding varietas PM 999, Unib
C1H3, dan Unib C3H7. Dari penampilan produksi walaupun buah cabai PM 999 memiliki jumlah
lebih banyak dan berukuran lebih kecil, tetapi hasil panen per petak lebih rendah dari varietas moncer
dan varietas moncerpun dikategorikan buah cabai berukuran kecil karena memiliki harga yang sama
dengan varietas PM F1 999. Berdasarkan penjelasan diatas, maka varietas moncer lebih
direkomendasikan untuk dikembangkan dan mulsa MPHP yang digunakan pada budidaya cabai diluar
musim tanam.

KESIMPULAN
1. Varietas moncer F1 direkomendasikan untuk dikembangkan di lahan kering pada musim tanam di
luar musim, karena secara signifikan memiliki penampilan agronomis yang lebih baik
dibandingkan dengan varietas PM 999 F1, Unib C1H3, dan Unib C3H7
2. Pada fase fegetatif (pertumbuhan) tidak ada interaksi antara varietas dengan penggunaan mulsa
MPHP, jerami padi dan tanpa mulsa tetapi terjadi interaksi pada fase generatif antara vaerietas
moncer F1, PM 999 F1, Unib C1H3, dan Unib C3H7 dengan mulsa MPHP, jerami padi, dan
tanpa mulsa. Kombinasi perlakuan varietas moncer F1, PM 999 F1, Unib C1H3, dan Unib C3H7
dengan mulsa MPHP lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan mulsa jerami dan tanpa
menggunakan mulsa.
3. Kombinasi pemilihan varietas moncer F1 dan penggunaan mulsa MPHP direkombinasikan untuk
dikembangkan di lahan marginal pada musim tanam diluar musim karena memiliki produktivitas
tertinggi 6.858 kg per hektar.

77
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH


1. Bapak Kepala Balai Pengkajian dan Penerapan Teknis Produksi (BP2TP) Desa, PDT, dan
Transmigrasi Bengkulu yang telah membantu terlaksananya penelitian ini dengan baik.
2. Ibu Dr. Ir. Dwi Ganefianti, M.Si. selaku Narasumber dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan
hasil penelitian ini.
3. Para Litkayasa BP2TP dan Seluruh Pihak yang ikut membantu terlaksanaya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2005. Budidaya kedelai dengan pemupukan yang efektif dan pengoptimalan peran
bintil akar. Penebar Swadaya. Jakarta
Apandie R. dan Nasih W.Y., 2002. Ilmu kesuburan tanah. Penerbit Kanisius, Jogjakarta. ISBN : 979-
21-0468-2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu.2016. Hasil analisistanah komposit. Badan Penelitian
dan Pengembangan PertanianKementerian Pertanian
Daryanto, A. 2009. Studi heterosis dan daya gabung karakter agronomi cabai (Capsicum annuum L.)
pada hasil persilangan half diallel. Institut Pertanian Bogor.
Diana, D.R. 2008. Kajian pemakaian mulsa dan konsentrasi benzyl amino purine (BAP) terhadap
hasil dan kualitas cabai besar. Pasca Sarjana Agronomi UniversitasSebelas Maret
Surakarta. Hal. 32.
Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan Propinsi Bengkulu. 2016. Perkembangan
harga bahan pangan pokok propinsi Bengkulu.
Dinas Pertanian Kabupaten Bengkulu Utara. 2016. Rekapitulasi curah hujan dan hari hujan di
Kabupaten Bengkulu Utara bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Pebruari 2016.
Bengkulu.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Produksi cabai besar menurut propinsi tahun 2011 2015.
Kementerian Pertanian.
Fahrurrozi, Idarman T., Bandi H. 2009. Evaluasi berbagai dosis nitrogen untuk teknik produksi
tanaman cabai yang menggunakan mulsa. Jurnal Bionatura, Vol. 11, No. 2. Hal. 147
154.
Hanafiah K. 2001. Rancangan percobaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Piay,S.S., Ariarti, T., Yuni E., F. Rudi P.H. 2010. Budidaya dan pascapanen cabai merah (Capsicum
annumL.). Balai Pengkajian teknologi Pertanian, Jawa Tengah.Badan Penelitian dan
Pengembangan. Kementerian Pertanian. ISBN : 978-979-9007-54-4. 60 Hal.
Prasetya, M.E. 2014. Pengaruh pupuk NPK mutiara dan pupuk kandang sapi terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman cabai merah keriting varietas arimbi (Capsicum annum L.). Jurnal
Agrifor Vol. XIII No. 2 ISSN 1412-6885. Hal. 191 198.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Buletin Konsumsi pangan, Volume 4 No.3.
Kementerian Pertanian.
Rosmanah, S., Wahyu W., dan Irma C.S. 2012. Status hara tanah sawah di Kabupaten Kepahiang
berdasarkan hasil uji perangkat uji tanah sawah (PUTS). Dalam Prosiding Seminar
Naisonal yang diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 2012 di Bengkulu. Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian di
Propinsi Bengkulu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian. ISBN : 978-602-9064-06-3. Hal. 63 70.
Setiawan, A.B.,Setyastuti Purwanti, dan Toekidjo. 2012. Pertumbuhan dan hasil benih lima varietas
cabai merah (Capsicum annuum L.) di dataran menengah. Tesis. Fakultas pertanian
Universitas Gajah mada. Jogjakarta.
Susilawati, R.A. Suwignyo,Munandar,dan M. Hasmeda. 2012. Karakter agronomi dan toleransi
varietas cabai merah akibat genangan pada fase generatif. Jurnal Lahan Suboptimal. ISSN
: 2252 6188. Vol. 1 No. 1 Hal. 22 30.
Suteja, M. 2008. Pupuk dan cara pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta

78
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

TINGKAT KETIDAKMIRIPAN GENOTIPE-GENOTIPE JAGUNG (Zea mays L.)


GENERASI S1 DAN S2 UNTUK PEMBENTUKAN TETUA
DISSIMILARITIES MAIZE ((ZEA MAYS L.) GENOTYPES OF S1 AND S2 GENERATION FOR
PARENTAL
Umi Salamah1, Willy Bayuardi Suwarno2, Hajrial Aswidinnoor2
1
Program Studi Agoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Ratu Samban
2
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Jl. Jendral Sudirman, No.58, Arga Makmur, Bengkulu Utara, Bengkulu, Telp (0737)-522613
e-mail : umidreamland90@gmail.com

ABSTRAK
Dalam program pemuliaan besarnya keragaman genetik antar populasi calon tetua perlu diperhatikan.
Pengembangan varietas jagung unggul baru dilakukan untuk pemilihan tetua dengan melihat
ketidakmiripan antar genotipe. Tujuan penelitian ini adalahmenduga tingkat ketidakmiripan genetik
antar genotipe uji dengan galur-galur murni yang dievaluasi. Penelitian dilaksanakan selama dua
musim, masing-masing untuk generasi S1 dan S2. Percobaan musim ke-1 dilaksanakan pada bulan Juni
sampai September 2014, sedangkan percobaan musim ke-2 dilakukan pada bulan Januari sampai Mei
2015. Penelitian ditiap musim dilaksanakan di dua lokasi yaitu Kebun Percobaan IPB Leuwikopo dan
Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Dramaga, Bogor. Percobaan ditiap musim-lokasi menggunakan
rancangan augmented kelompok lengkap teracak dengan menggunakan 72 genotipe uji, 3 galur murni,
dan 5 varietas hibrida F1 sebagai pembanding. Analisis yang digunakan adalah analisis gerombol
metode average linkage.Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketidakmiripan genetik antar ketiga
galur murni (Mr4, Mr14, dan Nei9008) relatif besar berdasarkan karakter-karakter kuantitatif yang
diamati. Beberapa genotipe uji mengelompok pada masing-masing galur murni yang berbeda (Mr4,
Mr14 dan Nei9008). Kelompok genotipe yang terbentuk berpotensi untuk dijadikan grup heterotik
untuk penelitian lebih lanjut.
Kata Kunci: Analisis gerombol, galur murni, genotiope uji

ABSTRACT
In breeding program that genetic variability inter-population for the parent is important. The
development of new maize varieties used for selection of parental with identified dissimilarities among
the test genotypes.The objectives of this study were to estimate dissimilarities among the test
genotypes and the inbred lines evaluated. The S1 trial was conducted from June to September 2014,
and followed by the S2 trial from January to May 2015. Each trial was performed in two locations,
namely Cikabayan and Leuwikopo experimental stations of IPB, Dramaga, Bogor. Each trial was
arranged in an augmented randomized complete block design with three blocks, consisting of 72 test
genotypes, 3 inbred lines, and 5 commercial hybrid varieties as checks. Cluster analyze was used with
average linkage method. The results showed thatgenetic dissimilarities were relatively large among
the three inbred lines (Mr4, Mr14 and Nei9008) based on the quantitative traits observed.
Keywords: Cluster analyze, inbreed line, genotypetest

79
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman yang paling penting di dunia. Jagung
memiliki posisi unggul karena pemanfaatannya yang sangat luas dalam berbagai bidang, seperti
pangan, pakan ternak, bahan bakar, dan industri (Troyer dan Wellin 2009). Peningkatan produksi
jagung menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan potensi untuk memenuhi kebutuhan
pangan di masa depan memerlukan kompetisi yang kuat, namun kebutuhan sumber daya yang ada
masih terbatas (Meng et al. 2013).
Dalam pemenuhan kebutuhan jagung program pemuliaan memiliki metode perbaikan genetik
tanaman meliputi pemilihan tetua, hibridisasi, seleksi, evaluasi, dan pengujian daya adaptasi. Genotipe
yang diperoleh dari berbagai sumber untuk menghasilkan varietas yang baik perlu diseleksi pada
beberapa lingkungan. Variabilitas genetik yang luas merupakan modal dasar dalam program
pemuliaan tanaman (Babic et al. 2011).
Dalam pemilihan tetua hal yang perlu dilakukan adalah tahapan pembentukan galur murni.
Dalam pembentukan hibrida jagung, untuk membentuk galur murni dilakukan melalui tahapan
penyerbukan sendiri (selfing). Evaluasi persilangan antar galur murni merupakan tahapan penting
dalam pengembangan varietas hibrida jagung (Yustiana et al. 2013). Penampilan hibrida tergantung
pada latar belakang genetik galur murni (Suwarno 2014). Pentingnya mengetahui latar belakang sifat
unggul suatu tanaman agar dapat mempelajari jenis aksi gen dan transfer sifat. Hal ini akan lebih
mudah untuk mempelajari cara kerja gen dan pola pewarisan sifat (Ali et al. 2014). Informasi-
informasi populasi yang potensial diperlukan untuk merakit jagung hibrida yang unggul. Populasi
yang unggul dibangun dari sumber plasma nutfah yang memiliki keragaman genetik. Dalam pemilihan
tetua baru perlu adanya jarak genetik antar tetua guna memberikan peluang dalam menghasilkan
kultivar baru dengan variabilitas genetik luas (Tenda et al. 2009). Jarak genetik dapat dijadikan
sebagai ukuran kualitas jagung protein (QPM) galur inbrida dan korelasi jarak genetik dengan
heterosis akan membantu untuk merancang strategi pemuliaan dan memprediksi penampilan hibrida
Wegary et al. (2012). Genotipe-genotipe dengan jarak genetik yang berbeda dapat dijadikan prediksi
dalam pemilihan tetua.
Salah satu analisis yang digunakan untuk melihat jarak genetik antar genotipe yang berbeda
adalah analisis gerombol (cluster). Analisis gerombol dapat melihat adanya persamaan maupun
perbedaan dari keseluruhan data yang diteliti. Analisis gerombol merupakan analisis multivariat yang
bertujuan untuk mengelompokkan objek-objek dari data yang diteliti berdasarkan kesamaan
karakteristik yang dimilikinya. Tujuan penelitian ini adalahmenduga tingkat ketidakmiripan genetik
antar genotipe uji dengan galur-galur murni yang dievaluasi.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Kebun Leuwikopo Percobaan Institut Pertanian Bogor dengan
ketinggian 250 m dpl dan Kebun Percobaan Cikabayan Bawah Percobaan Institut Pertanian Bogor
dengan ketinggian 180 m dpl Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan selama
dua musim masing-masing untuk percobaan generasi S1 dan S2. Percobaan musim ke-1 dilakukan pada
bulan Juni sampai September 2014, sedangkan percobaan musim ke-2 dilakukan pada bulan Januari
sampai Mei 2015.
Alat dan Bahan
Materi genetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 72 galur S1 berasal dari hibrida
silang ganda untuk musim ke-1 dan 72 galur S2 hasil selfing S1 untuk musim ke-2. Setiap percobaan
menggunakan 3 galur murni koleksi Balitsereal (Mr4, Mr14 dan Nei9008) dan 5 varietas hibrida F 1
sebagai pembanding (NK33, NK6326, Pertiwi3, P21, dan P27). Percobaan ditiap lokasi-musim
disusun berdasarkan rancangan augmented kelompok lengkap teracak dengan 75 genotipe uji tidak
diulang dan lima varietas pembanding (check) diulang tiga kali. Areal percobaan dibuat dalam tiga
blok, pada masing-masing blok terdapat 30 plot percobaan. Genotipe uji ditempatkan secara acak pada
seluruh blok dan kelima genotipe pembanding ditempatkan pada masing-masing blok.
Prosedur Percobaan
Persiapan tanam dilakukan dengan mengolah tanah menggunakan mesin bantu traktor. Luas
lahan yang digunakan adalah 500 m2. Jarak tanam yang digunakan adalah 70 cm antar baris tanaman
dan 20 cm antar tanaman dalam baris. Setiap baris tanaman diberikan label percobaan sesuai dengan

80
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

genotipe yang digunakan. Penanaman dilakukan dengan terlebih dahulu melubangi sedalam 3 cm
menggunakan tugal. Jumlah benih yang ditanam sebanyak 2 benih per lubang tanam.
Pupuk dasar yang digunakan adalah Urea dan NPK Phonska. Pemupukan dilakukan dua kali
selama percobaan. Pemberian pupuk dilakukan seminggu setelah tanam dengan Urea dosis 100 kg ha-1
dan NPK Phonska dosis 200 kg ha-1. Pemupukan kedua dilakukan pada tanaman yang telah berumur 4
minggu dengan Urea dosis 200 kg ha-1 dan NPK Phonska dosis 100 kg ha-1. Pemberian pupuk
dilakukan dalam larikan yang berjarak 78 cm dari lajur lubang tanam dengan kedalaman 810 cm.
Penjarangan dilakukan dengan membuat satu tanaman tiap lubang tanam. Penjarangan dilakukan
setelah berumur 2 minggu setelah tanam. Pembubunan dilakukan dua minggu setelah penanaman.
Pembubunan dilakukan dengan menggunakan cangkul. Hal ini dilakukan untuk memperkokoh
tanaman selama tumbuh dan berkembang. Gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman disiangi
secara manual menggunakan alat pemotong rumput.Pengendalian hama penyakit dilakukan dengan
menggunakan pestisida berbahan aktif karbofuran 17 kg ha-1. Penyakit yang menyerang tanaman
jagung adalah bulai (Peronosclerospora maydis dan P. turcicum). Tanaman yang telah di serang
penyakit bulai dilakukan dengan mencabut dan dijauhkan dari lahan percobaan. Hal ini dilakukan agar
tidak menyerang tanaman yang lainnya. Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 110 hari.
Tanaman yang sudah memasuki masa panen memiliki ciri-ciri yaitu warna kelobot telah mongering,
biji mengkilap, dan terlihat ada lapisan hitam (black layer) pada pangkal yang menempel pada tongkol
di biji serta tingkat kehijauan tanaman menurun.
Peubah pengamatan sebagian besar diamati pada 10 tanaman contoh yang diambil secara acak
di setiap satuan percobaan (plot). Peubah pengamatan yang akan diamati berdasarkan Descriptors for
Maize (CIMMYT 1991)adalah sebagai berikut :
1. Tinggi tanaman (cm). Pengamatan dilakukan setelah stadia pembungaan pada bunga jantan dan
betina menggunakan meteran, diukur dari permukaan tanah sampai dasar bunga jantan (tassel).
2. Tinggi letak tongkol. Diukur bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman, diukur dari
permukaan tanah hingga pangkal tongkol utama (tongkol yang paling atas).
3. Jumlah daun. Pengamatan dilakukan setelah fase pembungaan.
4. Jumlah daun di atas daun tongkol (termasuk teratas). Daun tongkol adalah daun yang berada
tepat di bawah tongkol, seringkali agak menutupi tongkol. Pengamatan dilakukan setelah tahap
susu (milky stage).
5. Panjang daun (cm). Diukur dari ligule (lidah daun) ke ujung daun. Dipilih dari daun yang berada
tepat di bawah tongkol teratas. Pengamatan dilakukan setelah fase pembungaan.
6. Umur berbunga jantan (days to tasseling) (hst). Pengamatan dilakukan pada fase pembungaan
saat anthesis (munculnya kotak sari) dengan persentase 50% tanaman dalam setiap baris.
7. Umur berbunga betina (days to silking) (hst). Pengamatan dilakukan pada fase pembungaan saat
keluar rambut dengan persentase 50% tanaman dalam setiap baris.
8. Panjang tassel (cm). Pengamatan dilakuakan setelah tahap susu (milky stage) setelah tongkol
keluar rambut.
9. Jarak cabang tassel (cm). Jarak antara cabang primer pertama dan terakhir. Pengamatan
dilakuakan setelah tahap susu.
10. Jumlah cabang utama tassel. Pengamatan dilakuakan setelah tahap susu (milky stage).
11. Persentase tidak rebah akar (%). Jumlah tanaman tidak rebah akar dibagi jumlah tanaman
seluruhnya di dalam plot. Diamati dua minggu sebelum panen (sekitar umur 96 hst).
12. Persentase tidak rebah batang (%). Jumlah tanaman tidak rebah batang dibagi jumlah tanaman
seluruhnya di dalam plot. Diamati dua minggu sebelum panen.
13. Diameter tongkol (cm). Pengamatan dilakukan setelah panen dengan menggunakan jangka
sorong diukur tepat di tengah-tengah tongkol.
14. Panjang tongkol (cm). Pengamatan dilakukan setelah panen menggunakan penggaris diukur dari
pangkal tongkol hingga ke ujung tongkol.
15. Jumlah baris biji dalam tongkol. Pengamatan diukur dengan menghitung baris biji dalam setiap
tongkol.
16. Jumlah biji dalam baris. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah biji dalam satu baris
per tongkol.
17. Panjang biji (mm). Rata-rata dari 10 biji yang diambil berturut-turut dari satu baris di tengah
tongkol, diukur menggunakan jangka sorong.
18. Lebar biji (mm). Diukur pada 10 biji seperti pada panjang biji.
19. Tebal biji (mm). Diukur pada 10 biji seperti pada panjang biji.

81
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

20. Bobot tongkol per tanaman (g). Pengamatan dengan menimbang tongkol utama (tongkol paling
besar) yang sudah dibuka klobotnya tetapi belum dipipil.
21. Bobot biji per tongkol (g). Pengamatan dengan menimbang biji dari tongkol yang telah dipipil.
22. Bobot 100 biji (g). Pengamatan dilakukan dengan menimbang bobot 100 biji.
23. Rendemen biji (%). Pengamatan dilakukan dengan mengukur persentase bobot biji per tongkol
terhadap bobot tongkol.
24. Kadar air biji panen (%). Biji hasil pipilan dicampur kemudian diukur kadar airnya dengan
menggunakan digital seed moisture tester.
25. Produksi (ton ha-1). Dihitung menggunakan rumus berikut:

100KA
Hasil (ton ha-1) = 10015
x B x JT x 0.7
Keterangan :
KA = Kadar air biji kering
JT = Jumlah tanaman per ha (71 000 tanaman)
B = Bobot biji per tongkol (asumsinya, satu tanaman memiliki satu
tongkol produktif)

Analisis data
Pengelompokan genotipe dilakukan dengan menggunakan analisis gerombol. Analisis
gerombol dilakukan untuk mengetahui koefisien ketidakmiripan genetik antar genotipe menggunakan
metode Gower. Data yang digunakan dalam pengelompokan adalah data kuantitatif. Perhitungan jarak
gerombol dilakukan dengan menggunakan metode average linkage menggunakan software R 3.1.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ketidakmiripan kelompok genotipe-genotipe jagung generasi S1
Dari hasil analisis gerombol pada metode Gower menunjukkan bahwa genotipe-genotipe
generasi S1 secara keseluruhan terpisah menjadi dua bagianyaitu mengelompok dan terpisah sendiri
dengan koefisien ketidakmiripan sekitar 0.28. Hal ini didukung oleh penelitian Efendi et al. (2015)
menyatakan bahwa terdapat pengelompokkan dengan menggunakan dendogram menjadi enam
kelompok genotipe tanaman jagung yang terdiri dari grup A hingga grup F. Menurut Warburton et al.
(2005) galur tidak terklaster berdasarkan fenotipe, adaptasi lingkungan, tipe atau warna biji, umur
panen, atau respon heterotik, tapi galur yang berkerabat secara pedigree biasanya berada pada klaster
yang sama. Genotipe yang terpisah sendiri adalah PERTIWI3xNK33-84A. Genotipe-genotipe yang
mengelompok akan dilihat kedekatannya dengan ketiga galur murni (Mr4, Mr14, dan Nei9008).
Genotipe Mr4 dan Mr14 memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan dengan
Nei9008. Ketidakmiripan Mr4 dan Mr14 adalah sebesar 0.16 sedangkan ketidakmiripan dengan
Nei9008 adalah sebesar 0.18. Genotipe pembanding yang cukup dekat dengan Mr4 adalah NK6323.
Terdapat beberapa genotipe yang memiliki kemiripan terhadap Mr4diantaranya adalah P27xNK33-
79A, NK6326xPERTIWI3-76B, PERTIWI3xNK6326-48B, PERTIWI3xP31-41A, NK6326xP27-28B,
P31xNK6326-26A, dan NK33xNK33-12A). Genotipe pembanding yang cukup dekat dengan Mr4
adalah P27. Beberapa contoh genotipe yang memiliki kemiripan terhadap Mr14 adalah genotipe
NK6326xP31-112A, P31xNK33-108A, PERTIWI3xP27-90A, NK6326xPERTIWI3-76A,
NK33xPERTIWI3-68A, P27xNK6326-67A, PERTIWI3xP27-58B, NK6326xP27-53B,
P31xPERTIWI3-52A, NK6326xPERTIWI3-49B, P31xNK33-44A, NK6326xP31-43D, NK6326xP31-
43B, P27xP31-40A, P27xP31-40B, P27xNK6326-39A, P27xP27-37A, P27xPERTIWI3-35C,
P27xPERTIWI3-35B, NK6326xP27-28A, NK6326xP31-24A, dan PERTIWI3xP31-13B. Hibrida
sebagai genotipe pembanding yang memiliki kedekatan terhadap Nei9008 adalah PERTIWI3 dan
untuk genotipe uji yang dekat dengan Nei9008 diantaranya genotipe P31xNK6326-93B, P27xP31-
77A, PERTIWI3xNK6326-66B, NK33xP31-55A, PERTIWI3xNK6326-48A, NK6326xNK33-38A,
NK33xPERTIWI3-36A, P31xNK6326-26B, dan P27xNK632623-A (Gambar 1).
Secara teoritis, heterosis akan meningkat bila jarak genetik dari kedua tetua lebih jauh. Hasil
penelitian lain pada komoditas padi menunjukkan bahwa tetua hibrida yang memiliki jarak genetik
terjauh adalah tetua Hipa 6 yaitu 0.44 tetapi potensi danrata-rata hasil Hipa 6 tidak lebih tinggi dari
Hipa 8 yangmemiliki jarak genetik terdekat antartetuapembentuknya yaitu 0.12 (Mulsanti et al. 2013)

82
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Agglomerative Coefficient = 0.61


Genotipe

Gambar 1Dendogram genotipe jagung generasi S1

Ketidakmiripan kelompok genotipe-genotipe jagung generasi S2


Gambar 2 menunujukkan bahwa genotipe-genotipe generasi S2 secara keseluruhan terbagi menjadi dua
bagianyaitu mengelompok dan terpisah sendiri dengan koefisien ketidakmiripan sekitar 0.34. Hal ini
didukung pada penelitian Randall et al.(2016) menunjukkan koefisien ketidakmiripan yang terbentuk
di antara 23 genotip jawawut yang diamati karakter agromorfologinya yaitu berkisar antara 0,24 -
2,34, dan membagi dua klaster utama, yaitu klaster A dan B. Genotipe yang terpisah sendiri
adalahPERTIWI3xNK6326-10B-59. Genotipe-genotipe yang mengelompok akan dilihat
kedekatannya dengan ketiga galur murni yaitu Mr4, Mr14, dan Nei9008. Seperti halnya generasi S 1,
genotipe Mr4 dan Mr14 memiliki jarak genetik yang lebih dekat dibandingkan dengan Nei9008.
Ketidakmiripan Mr4 dan Mr14 adalah sebesar 0.16 sedangkan ketidakmiripan dengan Nei9008
adalah sebesar 0.18. Terdapat beberapa genotipe generasi S2 yang memiliki kedekatan terhadap Mr4
diantaranya yaitu genotipe NK6326xP31-43D-70, P31xPERTIWI3-19A-64, P27xP31-40A-54,
NK6326xPERTIWI3-76B-49, PERTIWI3xNK6326-10B-42, P27xPERTIWI3-35A-40,
PERTIWI3xNK6326-48A-39, P27xP31-4B-38, NK6326xP31-112A-34, NK6326xP27-28A-23,
P27xP31-40A-22, NK6326xP31-43D-18, PERTIWI3xP31-13A-13, dan P31xPERTIWI3-19A-11.
Terdapat beberapa genotipe pembanding yang memiliki kedekatan dengan Nei9008, yaitu
P31, P27, dan PERTIWI3. Genotipe uji yang memiliki kedekatan dengan Nei9008 diantaranya adalah

83
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

P31xNK6326-26C-68, P27xP31-40B-57, NK6326xNK33-39A-56, PERTIWI3xP31-41A-52,


P31xNK6326-93A-48, P31xPERTIWI3-104A-46, P31xNK33-44A-35, PERTIWI3xNK33-56A-30,
P27xNK6326-23A-24, P27xNK6326-39A-19, P31xNK6326-93A-15, PERTIWI3xNK33-56A-5,
PERTIWI3xP27-58B-4, P31xNK6326-93B-3, P31xNK33-108A-2, dan P31xNK6326-93B-1.
Genotipe uji yang memiliki kedekatan terhadap Mr14 adalah NK6326. Genotipe uji yang memiliki
kedekatan terhadap Nei9008 diantaranya adalah genotipe P31xNK6326-93B-63, NK6326xP31-71A-
51, PERTIWI3xNK6326-10C-50, P31xNK33-44A-47, P31xNK6326-93B-43, PERTIWI3xNK33-
84A-33, P27xPERTIWI3-35A-27, NK6326xP31-112A-12, dan NK6326xP31-24A-10.
Menurut Pabendon et al. (2006) menyatakan posisi dari galur murni di dalam kelompokjuga
kelihatan menyebar. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekerabatan di antara galur murni tidak
terlalutinggi. Kedudukan hibrida sebagai pembanding dengan genotipe uji yang berasal dari hibrida
tersebut memiliki hubungan yang dekat. Ketidakmiripan genetik antar galur murni pada generasi S1
dan generasi S2 menunjukkan nilai yang sama. Hal ini dapat dilihat dari koefisien ketidakmiripan
antara Mr4 dan Mr14 sebesar 0.16 dan ketidakmripan keduanya dengan Nei9008 sebesar 0.18.
Kelompok genotipe yang terbentuk berpotensi untuk dijadikan grup heterotik, namun memerlukan
penelitian lebih lanjut. Menurut Efendi et al. (2015) kesamaan genetikmenunjukkan hubungan
kedekatan antaragenotipe. Semakin tinggi kesamaan koefesien genetik semakin besar
kesempatanhubungan antara genotipe. Sebaliknya, kecilnya koefisien kemiripan genetik,
sehinggakecil kemungkinan hubungan antaragenotipe. Kelompok heterotik grup akan menentukan
pengaruh terhadap daya gabung umum dan daya gabung khusus (Fan et al. 2016).

84
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Agglomerative Coefficient = 0.64


Genotipe

Gambar 2 Dendogram genotipe jagung generasi S

KESIMPULAN
Ketidakmiripan genetik antar ketiga galur murni (Mr4, Mr14, dan Nei9008) relatif besar
berdasarkan karakter-karakter kuantitatif yang diamati. Kelompok genotipe yang terbentuk berpotensi
untuk dijadikan grup heterotik, namun memerlukan penelitian lebih lanjut.

85
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Q., M, Ahsan., Khan, N.H., Waseem, M., Ali, F. 2014. An overview of Zea mays for the
improvement of yield and quality traits through conventional breeding, Nature Science
12(8): 7184.
Babic, M., Violeta, A., Sneana, M.D., Kosana, K. 2011. The conventional and Contemporary
technologies in maize (Zea mays. L) breeding at maize Research Institut Zemun Polje,
Maydica 4957.
[CYMMIT] International Maize and Wheat Improvement Center. 1991. Discriptors forMaize. Rome
(IT). International Board for Plant Genetic Resources.
Efendi, R., Sunarti, S., Musa, Y., Farid, M., Rahim, M.D., Azrai, M. 2015. Selection of homozygosity
and genetic diversity of maize inbred using Simple Sequence Repeats (SSRs) marker,
International Journal of Current Research in Biosciences and Plant Biology 2(3): 1928.
Fan, X.M., Yin, X.F., Bi, Y.D.,Liu, Y.B.,Chen, L., Kang, H.M. 2016. Combining ability estimation for
grain yield of maize exotic germplasm using testers from three heterotic groups, Crop
Science 5: 25272535.
Meng, Q., Hou, P., Wu, L., Chen, X., Cui, Z., Zhang, F. 2013. Understanding production potentials
and yield gaps in intensive maize production in China, Field Crops Res 143: 9197.
Mulsanti, I.W., Surahman, M., Wahyuni, S., Utami, D.W. 2013. Identifikasi galur tetua padi hibrida
dengan marka SSR Spesifik dan pemanfaatannya dalam uji kemurnian. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 32(1): 18.
Pabendon, Dahlan, M., Sutrisno, M.L., George, C. 2006. Karakterisasi kemiripan genetik koleksi
inbrida jagung berdasarkan marka mikrosatelit. Jurnal Agro Biogen 2(2): 4551.
Randall, A., Yuwariah, Y., Nuraini, A., Nurmala, T., Irwan, A.W., Qosim, W.A. 2016. Karakterisasi
dan kekerabatan 23 genotip jawawut (Setaria italic L. Beauv) yang ditanam tumpangsari
dengan ubi jalar berdasarkankarakter agromorfologi. Pangan 25(1): 2132.
Suwarno, W.B. 2014. The usefulness of molecular markers approach for developing heterotic groups
in maize, Journal Tropical Crop Science 1(2): 410.
Tenda, E., Tulalo, M., Miftahorrachman. 2009. Hubungan kekerabatan genetik antar sembilan aksesi
kelapa asal Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Littri. 15(3): 139144.
Troyer, Af., Wellin, E.J. 2009. Heterosis decreasing in hybrids: yield test inbreds, Crop Science 49:
19691976.
Yustiana., Syukur. M., Sutjahjo. S.H. 2013. Analisis daya gabung galur-galur jagung tropis di dua
lokasi. Jurnal Agronomi Indonesia 41(2): 105111.
Warburton, M.L., Ribaut, J.M., Franco, J., Crossa, J., Dubreuil, P., Betran, F.J. 2005. Genetic
characterizationof 218 elite CIMMYT maize inbred lines using RFLPmarkers, Euphytica
142: 97106.
Wegary, D., Vivek, B., Labuschagne, M. 2012. Association of parental genetic distance with heterosis
and specific combining ability in quality protein maize, Euphytica 191: 205216.

86
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EFIKASI PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU (Fusarium oxysporum)


DENGAN AGENS ANTAGONIS UNTUK PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI CAISIN (Brassica campestris)
THE EFFICACY OF AGENTS ANTAGONISTS IN CONTROLLING WILT DISEASE
(Fusariuim oxysporum) TO IMPROVE CAISIN (Brassica campestris) GROWTH AND
PRODUCTION
Sri Swastikadan Rachmiwati Yusuf
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
Jl. KH Nasution 341 Marpoyan KM 10 Telp (0761)-xxxxxx
e-mail : rachmi_2608@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian Efikasi Pengendalian Penyakit Layu Dengan Agens Antagonis Untuk Peningkatan
Pertumbuhan dan Produksi Caisin telah dilaksanakan di kebun percobaan dan dilaboratorium Hama
Penyakit Tanaman UPT-Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Riau. Penelitian
berlangsung dari Bulan Maret sampai Juni 2013.Penelitian ini bertujuan untuk menguji agens
antagonis Gliocladium virens dan Pseudomonas fluorescens serta kombinasinya dalam menekan jamur
patogen penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum serta efikasinya terhadap pertumbuhan dan
produksi pada tanaman caisin. Parameter yang diamati adalah Persentase Tanaman Tumbuh Sehat,
Tinggi Tanaman dan Berat Produksi Panen Segar. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, yaitu: A. Aplikasi Gliocladium virens GR01., B.
Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01., C. Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01., D.
Kontrol. Dari hasil penelitian diketahui bahwa aplikasi kombinasi agens antagonis Gliocladium virens
GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 memberikan pengaruh nyata pada semua parameter
pengamatan jika dibandingkan dengan aplikasi tunggal agens antagonis. Agens hayati antagonis
Gliocladium virens GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 dapat dikombinasikan untuk
pengendalian patogen penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum, sehingga dapat menekan
persentase tanaman terserang sebesar 12,09 % dan meningkatkan persentase produksi tanaman caisin
sebesar 30,61 %.
Kata Kunci : Agens antagonis, layu fusarium, caisim

ABSTRACT
A Research was carried out in an experiment station and laboratory of Disease Plant Protection Unit-
Food Crops and Horticulture, Riau Province. The study lasted from March to June 2013. This study
aimed to test the agent antagonist Gliocladium virens and Pseudomonas fluorescens and their
combinations in suppressing fungal wilt disease-causing by pathogens Fusarium oxysporum and the
efficacy on caisin growth and production. Parameters measured were percentage Plants Grow
Healthy, High Production Plant and Harvest Fresh Weight. Parameters measured were percentage
Plants Grow Healthy, High Production Plant and Harvest Fresh Weight. The design used was
completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 4 replications, namely: A. Application
Gliocladium virens GR01, B. Application of Pseudomonas fluorescens PR01, C. Applications G. virens
GR01 + P. fluorescens PR01, D. Control. The results revealed that the application of a combination of
agents antagonist Gliocladium virens and Pseudomonas fluorescens GR01 PR01 significant effect on
all parameters when compared with the observation of a single application antagonist agents.
Biological agent antagonist Gliocladium virens and Pseudomonas fluorescens PR01 GR01 can be
combined to control disease-causing pathogen Fusarium oxysporum, so it can reduce the percentage
of plants attacked by 12.09% and increase crop production caisin percentage of 30.61%.
Keyword :Antagonistic agent,fusarium wilt, caisim

87
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Caisin termasuk tanaman yang tahan terhadap hujan sehingga dapat ditanam sepanjang tahun,
sedangkan pada musim kemarau disediakan air yang cukup untuk penyiraman, tanah yang cocok
untuk ditanami caisin adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, subur, memiliki drainase dan
aerasi yang baik, serta memiliki pH 6-7. Daerah penanaman yang cocok adalah mulai dari ketinggian
5 meter sampai dengan 1200 meter dari permukaan laut (Haryantoet al. 2003). Masalah yang sering
muncul dalam budidaya caisin adalah serangan hama dan penyakit yang dapat menyebabkan
menurunnya kualitas dan kuantitas hasil tanaman, bahkan dapat mengakibatkan gagal panen (Chalid,
2004).
Salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman sayur sawi-sawian termasuk caisin yang
sangat berberbahaya adalah penyakit Layu yang disebabkan oleh Jamur Fusarium oxysporum (Puspita
et al. 2006).
Di Indonesia penyakit layu sudah lama dikenal, tatapi pada umumnya orang menduga bahwa
penyakit ini hanya disebabkan oleh bakteri, namun sejak tahun 1970-an perhatian terhadap penyakit
layu yang disebabkan jamur Fusarium sudah mulai mendapat perhatian. Penyakit layu yang
disebabkan oleh Fusarium ternyata menimbulkan kerugian yang sangat besar di sentra-sentra sayuran
di Jawa Barat (Semangun, 2000). Bahkan menurut hasil penelitian Puspitaet al, (2006) penyakit layu
yang disebabkan oleh jamur Fusarium juga menyerang tanaman caisin pada lokasi pengembangan
sayuran eksport di Kota Pekanbaru.
Taksonomi jamur Fusarium adalah Kingdom : Fungi, Divisi : Ascomycota, Kelas
Sordariomycetes, Ordo Hypocreales, FamiliNectriaceae, Genus Fusarium, Species Fusarium
oxysporum (Barnet and Hunter, 1972).Gejala serangan dapat muncul pada tanaman di persemaian,
baik sebelum muncul ke permukaan tanah (Pre emergence) maupun setelah muncul ke permukaan
tanah (Post emergence). Pada tanaman dewasa penyakit ini menyebabkan daun-daun menjadi pucat,
bagian tanaman layu dan sedikit demi sedikit seluruh tanaman layu dan akhirnya mati, penyakit layu
yang disebabkan oleh Jamur Fusarium oxysporum akan berkembang dalam berkas pembuluh tanaman.
Fusarium menginfeksi melalui jaringan meristem ujung akar dan berkembang dalam pembuluh
batang. Jamur mengadakan penetrasi melalui jaringan epidermis pada zona memanjangnya akar dan
melalui celah-celah yang terjadi karena munculnya akar lateral yang baru (Semangun, 2000).
Pengendalian hayati merupakan pengendalian dengan cara menurunkan populasi inokulum
atau aktivitas patogen, baik yang aktif maupun yang dorman dengan menggunakan satu atau lebih
jenis organisme, baik yang diintroduksikan dari luar maupun melalui manipulasi lingkungan, inang
dan antagonis. Pengendalian hayati oleh agens antagonis dapat terjadi melalui satu atau beberapa
mekanisme berikut: antibiosis, kompetisi, hiperparasit (Baker & Cook, 1983), induksi ketahanan
tanaman (Van Loon, 2000), dan memacu pertumbuhan tanaman (Kloepper, 1991).
Agens antagonis dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen dengan cara
mengaktifkan suatu lintasan sinyal dan melibatkan hormon asam jasmonik dan etilen tanaman (Van
Loon, 2000). Selain itu, bakteri antagonis khususnya kelompok rizobakteria dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut bergantung pada kemampuan
agens antagonis menekan mikroba yang mengganggu pertumbuhan tanaman (deleterious
microorganism) dan kemampuan agens antagonis menekan pertumbuhan patogen tular tanah, seperti
penyebab penyakit rebah kecambah, busuk dan layu (Schippers et al 1987).Pengendalian penyakit
tanaman menggunakan agens antagonis berpotensi dikembangkan, hal ini dikarenakan agens antagonis
telah tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai efek residu merugikan,
aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya (Baker &
Cook, 1983).
Beberapa jenis agens antagonis yang efektif, misalnya Jamur Gliocladium sp, diketahui
merupakan mikroorganisme yang mampu menekan pertumbuhan patogen tular tanah, sekaligus
mampu berperan sebagai penyedia bahan organik bagi pertanaman (Baker, 1989). Gliocladium juga
memiliki beberapa spesies yang dapat bersifat sebagai mikoparasit dengan efektivitas yang hampir
sebanding dengan Trichoderma.Gliocladium bekerja dengan memproduksi metabolit sekunder yang
berfungsi sebagai antijamur yang mengandung gliotoxin dan viridin, antibakteri atau phytotoxin
(Brian et al. 1945 dalam Howell, 1989).
Dari golongan bakteri, pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens antagonis
yang mengkoloni perakaran tanaman (rizobakteria) merupakan alternatif pengendalian yang potensial.
Bakteri tersebut dapat berperan sebagai agens antagonis, pemacu pertumbuhan tanaman atau Plant

88
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Kloepper, 1991) dan penginduksi ketahanan tanaman
terhadap patogen (Van Loon, 2000). Di antara bakteri PGPR yang banyak mendapat perhatian adalah
Pseudomonas fluorescens yang menunjukkan kemampuannya dalam menekan perkembangan
beberapa penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh patogen terbawa tanah (Raaijmakers et al. 1992).
Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk pengujian efektifitas agens antagonis dengan
mengkombinasikan antara antagonis dari golongan bakteri dengan antagonis dari golongan jamur.
Berdasarkan hal tersebut, maka telah dilakukan penelitian dengan judul Efikasi Pengendalian
Penyakit Layu (Fusarium oxysporum schlecht) dengan Agens Antagonis Untuk Peningkatan
Pertumbuhan dan Produksi Caisin (Brassica campestris var. Chinensis).Adapun tujuan penelitian ini
untuk menguji agens antagonis Gliocladium virens dan Pseudomonas fluorescens serta kombinasinya
dalam menekan jamur patogen penyebab penyakit layu F.oxysporum serta pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan produksi pada tanaman caisin.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian telah dilaksanakan di kebun percobaan dan laboratorium Hama Penyakit Tanaman
UPT-Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Riau. Penelitian berlangsung dari
Bulan Maret sampai Juni 2013.
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih caisin, pupuk kandang, pupuk buatan
(NPK), isolat jamur Gliodadium virens GR01dan bakteri Pseudomonas fluorescens PR01 (Koleksi
LPHP UPT-PTPH Riau), isolat jamur patogen Fusarium oxsysporum, media biakan jamur dan bakteri
(PDA, CMS, Kings B, Jagung giling), Cloroc 10 %, aquades, antibiotik, dan bahan lain. Alat yang
digunakan adalah ATK, alat-alat laboratorium,alat-alat pertanian dan alat-alat lain.
Rancangan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan
dan 4 ulangan, yaitu : (A). Aplikasi Gliocladium virens GR01; (B). Aplikasi Pseudomonas fluorescens
PR01; (C). Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01 dan (D). Kontrol. Parameter yang diamati
adalahPersentase Tanaman Tumbuh Sehat, Tinggi Tanaman dan Berat Produksi Panen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN


Persentase Tanaman Tumbuh Sehat
Data persentase tanaman caisin yang tumbuh sehat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase tanaman tumbuh sehat yang diaplikasi dengan berbagai jenis
agens hayati dan kombinasinya (%).
Perlakuan Tanaman Sehat (%)
C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01) 79,38 A
A (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 76,46 B
B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 75,42 B
D (Kontrol) 67,29 C
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada
uji lanjut DNMRT taraf 5%.

Dari tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan D (kontrol) memperlihatkan persentase tanaman


tumbuh sehat paling rendah yaitu 67,29 % dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan
persentase tanaman tumbuh sehat yang paling tinggi adalah pada perlakuan C (Aplikasi G. virens
GR01+ P. fluorescens PR01) yaitu sebesar 79,38 % dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Dari
data diatas terlihat bahwa penekanan tingkat serangan penyakit layu yang disebabkan jamur
F.oxysporum pada tanaman caisin adalah sebesar 12,09 %.
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan agens antagonis yang dikombinasikan dapat menekan
tingkat serangan dan intensitas tanaman terserang yang ditunjukkan dengan tingginya persentase
tanaman tumbuh sehat. Perlakuan antagonis secara gabungan antara G.virens dan P. fluorescens
memberikan pengaruh positif dalam menekan intensitas penyakit, dimana perkembangan penyakit
sangat berkaitan dengan masa inkubasi, kevirulenan patogen, kepatogenan dan lingkungan yang
mendukung.
Hal tersebut pernah dilaporkan oleh Soesanto et al. (2003), yang menyatakan bahwa
penerapan gabungan agensia pengendali yang berbeda mampu memberikan hasil positif yang

89
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

konsisten daripada penerapan secara tunggal. Penggunaan beberapa agensia hayati baik secara tunggal
atau gabungan telah banyak diteliti dan berprospek baik, Penggunaan 50 ml suspensi konidium
Fusarium non-patogen, yang disiram pada bibit sebanyak tiga kali dengan kepadatan 106 konidium/ml
larutan dapat menunda gejala dan menekan intensitas penyakit Fusarium, selain itu jamur antagonis
Gliocladium sp. mampu menurunkan intensitas penyakit layu Fusarium (Soesanto, 2006).
Nuryani dan Djatnika (1999) melaporkan bahwa Gliocladium sp. mampu menekan
pertumbuhan Fusarium sp., penyebab bercak bunga sedap malam. Selain hal tersebut, Gliocladium sp.
mampu menekan persentase jumlah tanaman anyelir layu (Nuryani et al., 2003). Sedangkan hasil
penelitian Premkumar et al (2006) gabungan Pseudomonas fluorescens, Trichoderma dan VAM
Glomus vasciculatum dapat menurunkan tingkat serangan penyakit busuk akar teh yang sangat nyata
jika dibandingkan dengan penggunaan secara tunggal.
Tinggi Tanaman
Rerata tinggi tanaman caisin, setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT
pada taraf nyata 5% dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens
hayati dan kombinasinya (cm).
Perlakuan Tinggi tanaman (cm)
C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01) 41,30 A
B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 39,73 B
A (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 39,30 B
D (Kontrol) 36,50 C
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
pada uji lanjut DNMRT taraf 5%

Dari Tabel 2 terlihat bahwa rerata tinggi tanaman yang tertinggi terlihat pada perlakuan C
(41,30 cm) dan berbeda nyata dengan perlakuan A (39,30 cm), B (39,73 cm) dan D (36,50 cm).
Sedangkan perlakuan A dan B tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan D.
Secara angka-angka pengamatan tinggi tanaman yang tertinggi terdapat pada perlakuan
kombinasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01, hal ini disebabkan adanya kombinasi mekanisme
pengendalian dan rangsangan pertumbuhan yang dimiliki masing-masing agens antagonis. Menurut
Agrios, 1997 agens antagonis tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai efek
residu merugikan, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik pengendalian
lainnya.
Dengan adanya kombinasi yang kompatible antara agens antagonis ini, ketersediaan unsur
hara yang dapat diserap dan bahan organik pada tanah sehingga menyebabkan tanaman tumbuh lebih
baik. Hal ini didukung oleh pendapat Biswas, 2000 dalam Setyowati et al (2006) penggunaan mikroba
tanah dalam pertanaman dapat membantu penyediaan unsur Nitrogen (N), fosfor (P) dan Kalium (K)
sehingga dapat meningkatkan kualitas tanaman, ditambahkan Rahimi, 2000 dalam Setyowati et al
(2006) bahwa mikroba yang diberikan bersama bahan organik juga dapat meningkatkan mutu agregasi
tanah.
Menurut Kentjanasari et al, 1996 dalam Widyastuti, 2004 bahwa kondisi tanah yang subur
dengan agregasi tanah yang baik dapat memacu pertumbuhan tanaman, bahan organik yang
mengandung banyak jasad renik tertentu bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman melalui peningkatan aktivitas biologi dan jumlah jasad renik tersebut.
Anonim (2001) melaporkan bahwa kehadiran pengontrol biologi yang lazim disebut agens
biokontrol Gliocladium spp. mampu mengendalikan patogen tumbuhan terutama patogen tular tanah
(soilborne pathogens) berbagai jenis tanaman dengan efektivitas keberhasilan mencapai 6090 persen.
Lebih lanjut dilaporkan bahwa selain sebagai agens biokontrol, agens ini juga merupakan organisme
dekomposer dan memproduksi hormon perangsang tumbuh (growth stimulator). Oleh karena itu
tanaman yang diproteksi dengan biokontrol ini selain terbebas dari penyakit, juga tumbuh dengan
optimum dan selalu tampak lebih sehat dibandingkan dengan tanpa perlakuan.
Pemberian bakteri antagonis P.fluorescens menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap
tinggi tanaman jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya tanaman pada perlakuan ini
disebabkan peranan P.fluorescen disamping sebagai pengendali hayati juga dapat menstimulasi
pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker & Cook, 1983 bahwa pengendalian

90
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

hayati oleh bakteri antagonis dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme berikut: antibiosis,
kompetisi, hiperparasit induksi ketahanan tanaman (Van Loon, 2000), dan memacu pertumbuhan
tanaman (Kloepper et al, 1999).
Bakteri antagonis khususnya kelompok rhizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut bergantung pada kemampuan bakteri antagonis
menekan mokroba yang mengganggu pertumbuhan tanaman (deleterious microorganisms) dan
kemampuan agens antagonis menekan pertumbuhan patogen tular tanah, seperti penyebab penyakit
rebah kecambah, busuk, dan layu (Schippers et al. 1987).Selain itu, bakteri tersebut juga dapat
menekan perkembangan penyakit tanaman dengan cara kompetisi unsur besi Fe (III) dan unsur
karbon, memproduksi HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman menjadi lebih tahan,
serta mengolonisasi akar dan merangsang pertumbuhan tanaman (Notz et al,2001dalam Rustam,
2005).
Berat Produksi Panen Segar
Rerata berat produksi panen segar per perlakuan tanaman caisin,dapat dilihat pada Tabelo3
Tabel 3. Berat Produksi panen segar tanaman caisin yang diaplikasi
dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (kg)
Perlakuan Berat Total Panen (Kg)
C (Aplikasi G. virens GR01+ P. fluorescens PR01) 4,41 A
B (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 4,06 Ab
A (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 3,72 B
D (Kontrol) 3,06 C
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
pada uji lanjut DNMRT taraf 5%.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan C memberikan rerata berat produksi panen segar
tertinggi yaitu 4,41 Kg dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (4,06 kg), namun jika
dibandingkan dengan perlakuan lainnya terlihat berbeda nyata. Sedangkan hasil paling rendah terdapat
peda perlakuan D yaitu sebesar (3,06 kg). Disini jelas terlihat bahwa perlakuan aplikasi kombinasi
antagonis G. virens GR01dan P.fluorescens PR01 memberikan hasil yang lebih tinggi jika
dibandingkan perlakuan lainnya dan dapat meningkatkan berat produksi panen segar tanaman caisin
sebesar 30,61 % .
Tingginya berat produksi panen segar pada perlakuan antagonis, baik diberikan secara tunggal
maupun secara bersamaan disebabkan lebih besarnya jumlah tanaman sehat per plot dan rerata tinggi
tanaman yang juga lebih besar. Dimana dengan adanya peranan agens antagonis dalam tanah yang
telah diaplikasikan sebelum tanam bersamaan dengan pupuk organik telah meningkatkan kualitas dan
hasil tanaman caisin. Disamping itu dengan adanya mikoroba tanah ini akan memacu pertumbuhan
tanaman dengan meningkatnya kemampuan menyerap hara tanaman yang tersedia akibat aktifitas
agens antagonis yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman. Dengan semakin
meningkatnya kemampuan fotosintesis tanaman maka maka dapat meningkatkan bobot segar tanaman.
Sedangkan menurut Bertham et al, (1996) dalam Setyowati et al, (2006) peningkatan berat
panen tanaman disebabkan oleh keadaan pertumbuhan tanaman, tanaman yang dapat menyerap nutrisi
dengan baik dapat melakukan proses transportasi dengan baik. Pemberian bahan organik yang
didekomposisi oleh jamur saprofit mampu memacu jumlah batang dan pertumbuhan tanaman.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan dapat
diambil kesimpulan bahwa aplikasi berbagai kombinasi agens antagonis Gliocladium virens GR01 dan
Pseudomonas fluorescens PR01 memberikan pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan, jika
dibandingkan dengan aplikasi tunggal agens antagonis. Agens hayati antagonis Gliocladium virens
GR01 dan Pseudomonas fluorescens PR01 dapat dikombinasikan untuk pengendalian patogen
penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum, sehingga dapat menekan persentase tanaman terserang
sebesar 12,09 % dan meningkatkan persentase produksi tanaman caisin sebesar 30,61 %.

91
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kepada Kepala BPTP Riau dan Bapak Indra Fuadi, M.Si yang telah
membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997.Plant Pathology.Ed ke-4. San Diego:Academic Press.
Anonim, 2002. Teknologi Produksi Sayur Daun Lebar (Leafy Vegetables) Dataran Rendah. Dinas
Tanaman Pangan Provinsi Riau. Pekanbaru.
Baker, K. F. and R. J. Cook. 1983. Biological Control of Plant Pathogen.Freeman and Company. San
Fransisco.
Barnett, H.L., and B.B. Hunter., 1972. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Third edition. Burges
Publishing Company. Minneapolis.
Chalid, N. 2004. Teknologi Pengendalian Hama Penyakit Sayur Dataran Rendah. Dinas Tanaman
Pangan Propinsi Riau. Pekanbaru.
Djatnika I. 1998. Pengaruh Pseudomonas flourescens Migula terhadap Patogenisitas Fusarium
oxysporum Schlecht pada Tanaman Krisan. J. Hort. 8(1):1014-1020.
Haryanto, E., Suhartini, T., Rahayu, E. dan Sunarjono,. 2003. Sawi dan Selada. Edisi baru. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Howel,C.R. 1989. Fungi as Biological Control Agents. U.S. Department of Agriculture. College
Station, Texas.
Kloepper JW. 1991. Plant growth promotion mediated by bacterial rhizosphere colonizers. Di dalam:
Keister DL, Cregan PB, editor. The rhizosphere and plant growth. Beltsville symposia in
agricultural research; Beltsville, 8-11 May 1989. Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers, 315-326.
Nuryani dan I Djatnika.1999. PengendalianBercak Bunga Sedap Malam dengan Bio-GL dan BIO-TRI.
Prosiding KongresNasional XV dan Seminar Ilmiah PFIPurwokerto, 16-18 September.
Nuryani, W., Hanudin, I Djatmika, Evi, S. DanMuhidin. 2003. Pengendalian penyakit layuFusarium
pada Anyelir dengan formulasiPseudomonas fluorescens, Gliocladium sp., dan
Trichoderma harzianum. JurnalFitopatologi Indonesia. J. Fitpat. Ind. 7(2):71-75.
Puspita, F., Elfina,Y., dan Susanti,Y., 2006. Identifikasi Penyakit pada Tanaman Sawi dan Tingkat
Serangannya di lokasi Pengembangan Sayuran Ekspor BBI Hortikultura dan SPMA
Padang Marpoyan Pekanbaru. Kumpulan Hasil Penelitian Unggulan Universitas Riau.
Lembaga Penelitian Unri. Pekanbaru. 166-168.
Rustam, 2005. Pengendalian Penyakit Darah pada Tanaman Pisang dengan Bakteri Antagonis. Tesis
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Raaijmakers, J.M., M. Leeman, M.M.P. Van Oorschot, I. Van der Sluis, B. Schipper, and P.A.H.M.
Bakker, 1992. Dose-Response Relationships in Biological Control of Fusarium wilt of
radish by Pseudomonas spp. Phytopathology 85: 1075-1081.
Schippers B, Baker AW, Baker PAHM. 1987. Interactions between deleterious and beneficial
rhizosphere microorganisms and the effect of cropping practices. Annu Rev
Phytopathologi. 25: 339-358.
Semangun, H., 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura. Gadjah Mada University Press.
Setyowaty.N., H.Bustamam and T.Nurmiyanti. 2003. Effect of microbes fertilizer on Lettuce (Lettuca
sativa L) yield, Root diseases and weed growth. Proceding of International Seminar on
Organic Farming and Sustainable Agriculture in Tropic and Sub Tropic. Palembang Oct
8-9: 67-72.
Soesanto, L. 2006. Fusarium Utama pada Tanaman Pangan, Cara Pengendalian dan Teknik
Penyimpanan Konidiumnya. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional II dan
Workshop Fusarium, Padang 14-16 Agustus 2006.
Van Loon LC. 2000. Systemic induced resistance. Di dalam: Slusarenko A, Fraser RSS, Van Loon
LC, editor. Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Netherlands: Kluwer Academic
Publishers, 521-574.
Winarsih. S., 2007. Pengaruh Bahan Organik pada Pertumbuhan Gliocladium virens dan Daya
Antagonisnya terhadap Fusarium oxysporum secara in-vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia. Edisi Khusus No. 3:386-390.

92
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH POSISI BAHAN STEK TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH BUAH NAGA


(Hylocereus polyrhizus)
EFFECT OF STEM CUTTING POSITION ON GROWTH OF DRAGON FRUIT (Hylocereus
polyrhizus) CUTTINGS
Bambang Hariyanto
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Jln. Raya Solok-Aripan Km. 8, Kotak Pos 27301, Solok
e-mail : bengbenghariyanto@yahoo.com

ABSTRAK
Ketersediaan benih merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan suatu perbanyakan
tanaman. Stek batang merupakan salah satu perbanyakan vegetatif untuk mendapatkan benih yang
seragam dan mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Informasi tentang penggunaan posisi
bahan stek dan diameter stek serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan stek buah naga belum banyak
diketahui. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui posisi bahan stek dan diameter stek yang
terbaik yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan stek buah naga dilakukan di Kebun
Percobaan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok Mei-September 2014. Tiga perlakuanyang
terdiri dari stek naga bagian ujung dengan diameter stek 2,25-4,87 cm (rata-rata 3,5 cm), stek naga
bagian tengah dengan diameter stek 3,21-7,12 cm (rata-rata 4,8 cm), dan stek naga bagian pangkal
dengan diameter stek 2,95-7,67 cm (rata-rata 5,2 cm) disusun dalam Rancangan Acak Kelompok
dengan delapan ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi dan diameter stek berpengaruh
nyata terhadap peubah jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas stek buah naga. Stek
bagian pangkal dengan diameter stek 5,2 cm menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat
sedangkanstek bagian ujung dengan diameter stek 3,5 cmmenunjukkan pertumbuhan yang paling
lambat pada umur 120 hari setelah tanam (hst). Terdapat satu peubah yang berkorelasi nyata dan
bernilai positif yaitu panjang tunas dengan diameter tunas (R2 = 0,998).
Kata kunci : Stek buah naga, posisi bagian stek, diameter, pertumbuhan

ABSTRACT
The availability of plant material is one of the important factors in plant propagation development.
Stem cutting is one of vegetative propagation techniques to produce homogenous seedlings and true to
type. Information about stem cutting position and stem diameter of dragon fruit and it s effect on the
growth of dragon fruit cutting is very limited. The research aimed to find out the best stem cutting
position and stem diameter of dragon fruit on the growth of dragon fruit cutting, was conducted in
Indonesian Tropical Fruit Research Institute, Solok from May-September 2014. Three treatments
consisting of tip stem cutting with diameter ranged between 2.25 and 4.87 cm (averages 3.5 cm),
middle stem cutting with diameter ranged from 3.21 to 7.12 cm (averages 4.8 cm), and basal stem
cutting with diameter ranged between 2.95 and 7.67 cm (averages 5.2 cm) were arranged in a
randomized block design and eight replications. The results showed that position and diameter of stem
cutting significantly affected number of shoots, shoot length, and time of shoots emergence of dragon
fruit stem cutting. Among stem cutting positions, the basal stem cutting with diameter of 5.2 cm grew
most rapidly 120 days after planting (dap), whereas the tip stem cutting with diameter of 3.5 cm was
the slowest growth. There was one variable that significant positive correlation between shoot length
and shoot diameter (R2 = 0,998).
Keywords: dragon fruit stem cutting, stem cutting position, cutting diameter, growth

93
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Buah naga merupakan salah satu jenis tanaman tropis yang termasuk ke dalam genus
Hylocereus dan Selenicereus yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian
utara (Mc Mahon, 2003 ; Kristanto, 2003). Di daerah asalnya buah naga atau dragon fruit ini dinamai
pitahaya atau pitayo roja. Penduduk Indian sering memanfaatkan buah ini sebagai buah meja atau
buah yang dikonsumsi segar (Kristanto, 2003). Harga jual yang cukup tinggi, preferensi konsumen
serta manfaat bagi kesehatan dan kandungan gizi yang tinggi menyebabkan buah naga berpeluang
untuk dikembangkan sebagai komoditas penunjang agribisnis dan peningkatan devisa serta dapat
bersaing dengan buah tropis lainnya.
Prospek pengembangan tanaman buah naga yang masih besar di beberapa wilayah di
Indonesia diperkirakan akan meningkatkan permintaan terhadap benih buah naga. Teknik pembenihan
atau perbanyakan tanaman untuk menghasilkan bahan tanamam berkualitas dalam jumlah memadai
merupakan hal penting yang harus dipersiapkan bagi pengembangan tanaman buah naga. Perbanyakan
vegetatif dengan stek batang merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan benih dalam jumlah
banyak dan seragam. Selain waktu yang dibutuhkan relatif singkat, perbanyakan dengan stek batang
akan menghasilkan turunan yang identik dengan sifat induknya sehingga keunggulan sifat dapat
dipertahankan (Pujiono, 2008).
Menurut Raza (1992), penggunaan stek batang merupakan salah satu metode perbanyakan
vegetatif paling mudah. Ukuran penanaman stek batang penting untuk hidup awal dan pertumbuhan
stek karena secara fisiologis berperan penting dalam penentuan keberhasilan perakaran. Perbanyakan
tanaman dengan stek telah banyak dilakukan pada tanaman lain, menghasilkan pertumbuhan yang
seragam, saat produksi lebih awal dan lebih tinggi, meningkatkan persentase hidup, jumlah daun,
panjang tunas dan jumlah tunas seperti pada Murbei (Guo, et al., 2007), Nilam (Ningsih et al.,2010)
dan benih Ara (Yulistyani et al.,, 2014).
Faktor fisik seperti panjang stek dan diameter stek merupakan hal yang harus diperhatikan
karena berpengaruh terhadap kemampuan bahan stek membentuk akar (Hansen, 1998; Hartmann et
al., 2002). Panjang dan diameter stek yang baik untuk masing-masing jenis tanaman berbeda satu
dengan lainnya (Palanisamy dan Kumar, 1997; Hartmann et al., 2002). Selain hal tersebut diatas
penggunaan jenis media merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan bahan stek (Sofyan
dan Muslimin, 2006).
Hasil penelitian Purwati (2013), menunjukkan bahwa saat muncul tunas, jumlah tunas dan
panjang tunas terbaik pada ukuran stek buah naga 20 cm di screen house. Namun demikian belum
diketahui informasi yang menjelaskan daya adaptasi dan keragaman pertumbuhan dari ukuran stek
tersebut ditanam di lapang, karena tingkat daya adaptasi benih setelah ditanam di lapang menentukan
efektifitas dan efisiensi suatu teknik perbanyakan tanaman yang dipilih.
Pengamatan karakteristik morfologi perbanyakan stek batang pada jenis tanaman yang
berbeda telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti stek batang pada tanaman bugenvil (Panjaitan,
et. al.,2008), stek pada tanaman panili (Nugrahini, 2013), dan stek batang pada tanaman murbei
(Hutasoit dan Ginting, 2013), sehingga parameter yang digunakan pada penelitian tersebut dapat
dijadikan landasan untuk penelitian ini. Namun demikian informasi tentang posisi bahan stek dan
diameter stek yang digunakan sebagai bahan stek buah naga dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
benih stek buah naga belum diketahui dan informasinya saat ini masih terbatas. Oleh karena itu, untuk
menggali informasi tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui posisi bahan stek
dan diameter stek buah naga yang terbaik yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan benih
stek buah naga.

94
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika,
Solok dari Mei - September 2014 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dan 8 ulangan.
Perlakuan yang dicoba sebanyak 3 perlakuan, yaitu stek naga bagian ujung dengan diameter stek
2,25-4,87 cm (rata-rata 3,5 cm), stek naga bagian tengah dengan diameter stek 3,21-7,12 cm (rata-rata
4,8 cm), dan stek naga bagian pangkal dengan diameter stek 2,95-7,67 cm (rata-rata 5,2 cm). Setiap
perlakuan dalam satu ulangan terdiri atas 6 tanaman.
Tahap awal penelitian dimulai dengan memotong ruas batang (bahan stek) yang sudah tidak
produktif lagi, berwarna hijau tua (gelap) dengan panjang stek 60 cm. Selanjutnya stek dipotong
menjadi tiga bagian, yaitu bagian ujung yang memiliki ruas batang bagian ujungnya meruncing dan
diameternya lebih kecil dari bagian tengah dan pangkal, bagian tengah memiliki ruas batang dan
diameter yang lebih besar dari pada bagian ujung serta bagian pangkal memiliki ruas batang dan
diameter yang lebih besar dari pada bagian ujung dan tengah dengan masing-masing panjang stek 20
cm. Bahan stek yang digunakan berasal dari pertanaman buah naga varietas Hylocereus polyrhizus
yang berumur 3 tahun dan telah berproduksi. Penanaman dilakukan dengan memindahkan stek yang
sebelumnya diletakkan di bawah tempat yang ternaungi selama 7 hari ke dalam polibag ukuran
15x18 cm yang berisi media tanah, pasir dan pupuk kandang (1:1:1) (v:v:v) dan setiap polibag
ditanami satu stek batang buah naga.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan dengan cara mencabut gulma yang
tumbuh dan melakukan pengendalian hama dan penyakit. Adapun peubah yang diamati terdiri dari :
1. Jumlah tunas, dihitung dengan cara menghitung jumlah tunas yang tumbuh.
2. Panjang tunas (cm), diukur dengan cara mengukur panjang tunas dari pangkal tunas hingga ujung
tunas dengan menggunakan alat pengukur (penggaris).
3. Waktu muncul tunas (hari), diamati setiap hari hingga stek buah naga mengalami pecah tunas
pertama kali.
4. Persentase stek bertunas (%), dihitung pada akhir pengamatan (120 hst) dengan kriteria stek buah
naga telah tumbuh tunas dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
a
Persentase stek bertunas = ---------- x 100 %
b
Dimana:
a = jumlah stek yang bertunas
b = jumlah stek yang ditanam
5. Persentase stek hidup (%), dihitung pada akhir pengamatan (120 hst) dengan kriteria stek buah
naga setek buah naga tetap hijau dan telah berakar dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
a
Persentase stek bertunas =---------- x 100 %
b
Dimana:
a = jumlah stek yang hidup
b = jumlah stek yang ditanam
6. Diameter tunas (cm), diukur pada akhir pengamatan (120 hst) dengan menggunakan jangka sorong.

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan. Bila
terdapat perbedaan antar perlakuan, maka analisis data dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) pada taraf 5 %. Adapun untuk mengetahui hubungan antara peubah yang diamati digunakan
analisis korelasi Pearson pada taraf 5 %.

95
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perbedaan posisi bahan stek batang yang diaplikasikan pada stek buah naga menyebabkan
perbedaan jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas yang diperoleh, namun tidak tampak
adanya perbedaan pada peubah persentase stek bertunas, persentase stek hidup dan diameter tunas
(Tabel 1, 2, dan Tabel 3). Dengan demikian ketiga peubah tersebut merupakan peubah yang
memberikan pengaruh yang nyata akibat dari perlakuan posisi bahan stek batang buah naga.
Tabel 1. Rata-rata jumlah tunas stek buah naga pada umur 30-120
hari setelah tanam (hst).
Jumlah tunas
Perlakuan
30 hst 60 hst 90 hst 120 hst
Ujung 0 b 0,66 b 1,43 c 2,13 b
Tengah 0,18 a 1,28 a 2,08 b 2,73 ab
Pangkal 0,10 ab 1,74 a 2,43 a 3,08 a
KK (%) 147,73 35,97 16,39 22,66
Keterangan : Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom
berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) taraf 5 %.
Sumber : Data primer (2014)

Adanya perbedaan posisi bahan stek yang diaplikasikan menyebabkan perbedaan jumlah tunas
yang dihasilkan. Pada umur 30 hst jumlah tunas yang dihasilkan bervariasi antara 0 0,18, dimana
stek batang bagian tengah tidak berbeda nyata dengan stek batang bagian pangkal namun berbeda
nyata dengan stek batang bagian ujung yang memiliki jumlah tunas paling rendah. Jumlah tunas pada
umur 60 hst menunjukkan adanya perbedaan nyata, dimana stek batang bagian pangkal 1,74 tidak
berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah 1,28 tetapi berbeda nyata dengan stek batang bagian
ujung 0,66. Rata-rata pertambahan jumlah tunas pada umur 60 hst berkisar 0,66 1,64, tertinggi pada
stek batang bagian pangkal dan terendah stek batang bagian ujung. Perbedaan jumlah tunas juga
ditunjukkan pada umur 90 120 hst, dimana jumlah tunas stek batang bagian pangkal 2,43 berbeda
nyata dengan stek batang bagian tengah 2,08 dan stek batang bagian ujung 1,43. Rata-rata
pertambahan jumlah tunas pada umur 90 hst berkisar 0,69 0,80 tertinggi pada stek batang bagian
tengah dan terendah stek batang bagian pangkal. Pada umur 120 hst rata-rata pertambahan jumlah
tunas berkisar 0,65-0,70 tertinggi pada stek batang bagian ujung dan terendah stek batang bagian
pangkal dan tengah dengan jumlah tunas stek bagian pangkal 3,08 yang tidak berbeda nyata dengan
stek bagian tengah 2,73 tetapi berbeda nyata dengan stek bagian ujung 2,13 (Tabel 1 dan Gambar 1).
4
Jumlah tunas

3
ujung
2
tengah
1
pangkal
0
30 60 90 120
Hari setelah tanam (hst)
Gambar 1. Rata-rata laju pertumbuhan jumlah tunas stek buah
naga umur 30-120 hari setelah tanam (hst).

Sama halnya dengan jumlah tunas, panjang tunas yang dihasilkan juga menunjukkan adanya
perbedaan (Tabel 2). Panjang tunas pada umur 30 hst tidak menunjukkan adanya perbedaan akibat dari
perlakuan posisi bahan stek, dimana panjang tunas yang dihasilkan berkisar antara 0 0,83 cm.
Perbedaan panjang tunas pada umur 60 hst ditunjukkan oleh adanya perbedaan panjang tunas stek
batang bagian pangkal 7,64 cm yang berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah 4,99 cm dan
stek batang bagian ujung 2,57 cm. Rata-rata pertambahan panjang tunas pada umur 60 hst berkisar
2,57 6,81, tertinggi pada stek batang bagian pangkal dan terendah stek batang bagian ujung. Pada
umur 90 hst terlihat adanya perbedaan panjang tunas, dimana panjang tunas stek batang bagian
pangkal 17,89 cm dan stek batang bagian tengah 16,01 cm yang berbeda nyata dengan stek bagian

96
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ujung 11,94 cm. Rata-rata pertambahan panjang tunas pada umur 90 hst berkisar 9.37 11.02,
tertinggi pada stek batang bagian tengah dan terendah stek batang bagian ujung. Panjang tunas stek
batang bagian pangkal yang diperoleh 25,68 cm tidak berbeda nyata dengan stek batang bagian tengah
25,31 cm namun berbeda nyata dengan stek batang bagian ujung 19,83 cm pada umur 120 hst (Tabel
2). Rata-rata pertambahan panjang tunas pada umur 120 hst berkisar 7,79 9,30 tertinggi pada stek
batang bagian tengah dan terendah stek batang bagian pangkal (Tabel 2 dan Gambar 2).
Tabel 2. Rata-rata panjang tunas stek buah naga pada umur 30-120
hari setelah tanam (hst).
Panjang tunas (cm)
Perlakuan
30 hst 60 hst 90 hst 120 hst
Ujung 0a 2,57 c 11,94 b 19,83 b
Tengah 0,69 a 4,99 b 16,01 a 25,31 ab
Pangkal 0,83 a 7,64 a 17,89 a 25,68 a
KK (%) 166,75 43,14 16,92 23,05
Keterangan : Angka yang didampingi huruf sama dalam satu
kolom berarti tidak berbeda nyata pada uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) taraf 5 %.
Sumber : Data primer (2014)

30
Panjang tunas (cm)

25
20
ujung
15
10 tengah
5 pangkal
0
30 60 90 120
Hari setelah tanan (hst)
Gambar 2. Rata-rata laju pertumbuhan panjang tunas stek
buah naga umur 30-120 hari setelah tanam (hst).

Percabangan tanaman buah naga yang tersedia sebagai bahan perbanyakan adalah batang pada
percabangan lateral (primer dan sekunder). Umumnya semakin menjauh dari pucuk maka diameter
batang semakin membesar dan perbedaan diameter tersebut berpengaruh langsung terhadap
kemampuan stek membentuk akar (Wilson,1993; Hartmann, et al., 2002,).
Penggunaan stek sebagai bahan tanam dimaksudkan untuk memperoleh pertanaman yang
homogen secara genetik. Dengan lingkungan tumbuh yang seragam diharapkan diperoleh
pertumbuhan tanaman yang seragam. Namun dalam penelitian ini diperoleh jumlah tunas, panjang
tunas, dan waktu muncul tunas yang beragam. Penggunaan bahan stek dalam jumlah banyak
menyebabkan bahan stek yang diperoleh sangat beragam, baik ukuran diameter stek maupun posisi
bagian batang.
Ukuran panjang dan diameter stek berhubungan dengan tinggi rendahnya jumlah akumulasi
karbohidrat yang terkandung pada bahan stek dan akan mendukung perakaran yang lebih baik
dibandingkan bahan stek yang sedikit kandungan karbohidratnya. Hal ini berkaitan dengan adanya
perbedaan pada tipe dan variabilitas karbohidrat dan bahan tersimpan lainnya (Leakey,1999 dan
Hartman et al,. 2002). Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam metodologi bahwa bahan tanam stek
berasal dari posisi bahan stek dan diameter stek yang berbeda yaitu stek batang bagian ujung, stek
batang bagian tengah, dan stek batang bagian pangkal sehingga mengandung jumlah akumulasi
karbohidrat dan bahan cadangan makanan yang beragam. Stek batang bagian pangkal dan tengah
memiliki rata-rata diameter batang yang lebih besar dan memiliki jumlah akumulasi karbohidrat serta
bahan cadangan makanan lebih tinggi dari pada stek bagian ujung yang selanjutnya digunakan untuk
pertumbuhan tunas yang ditunjukkan oleh jumlah tunas, panjang tunas dan waktu munculnya tunas.
Perbedaan bagian stek dan diameter batang bahan stek ini dapat menyebabkan perbedaan kecepatan
pertumbuhan yang dihasilkan. Hasil penelitian Santoso et al. (2008), memperlihatkan bahwa
perbedaan diameter stek jarak pagar sebagai bahan tanam menghasilkan pertumbuhan tanaman yang

97
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

berbeda-beda. Demikian pula hasil penelitian Mulyaningsih et. al. (2007), memperlihatkan bahwa
penggunaan stek bagian pangkal, tengah, maupun pucuk batang menghasilkan pertumbuhan tanaman
yang berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pertumbuhan yang dihasilkan
dimana penggunaan stek batang bagian pangkal dengan diameter stek 5,2 cm menghasilkan
pertumbuhan yang lebih tinggi untuk peubah jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas
paling cepat yang diikuti oleh stek batang bagian tengah dengan diameter stek 4,8 cm dan terendah
pada stek batang bagian ujung dengan diameter stek 3,5 cm (Tabel 1, 2, 3).
Pertumbuhan stek dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan seperti bahan stek
yang digunakan, lingkungan tumbuh dan perlakuan yang diberikan pada stek (Prastowo et al., 2006).
Dalam penelitian ini perlakuan posisi bahan stek yang digunakan hanya berpengaruh terhadap jumlah
tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap peubah pertumbuhan lainnya yang mencakup persentase stek bertunas, persentase stek hidup
dan diameter tunas stek buah naga (Tabel 3). Hasil yang sama diperoleh Mulyaningsih et al. (2007),
menunjukkan bahwa keragaman bahan tanam stek menghasilkan diameter batang yang kurang
beragam pada tanaman jarak pagar.
Tabel 3. Rata-rata waktu muncul tunas, persentase stek bertunas, dan diameter
tunas stek buah naga pada umur 120 hari setelah tanam (hst).
Waktu muncul Persentase stek Persentase Diameter
Perlakuan tunas bertunas stek hidup tunas
(hst) (%) (%) (cm)
Ujung 44,47 b 95,83 a 95,83 a 4,56 a
Tengah 40,62 ab 95,83 a 95,83 a 4,74 a
Pangkal 38,54 a 100 a 100 a 4,74 a
KK (%) 11,55 5,92 5,92 8,00
Keterangan : Angka yang didampingi huruf sama dalam satu kolom berarti tidak
berbeda nyata pada uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5 %.
Sumber : Data primer (2014)

Hasil analisis korelasi memperlihatkan bahwa terdapat satu hubungan antar peubah yang
berkorelasi nyata dan nilainya positif. Adapun peubah yang berkorelasi nyata dan bernilai positif yaitu
panjang tunas dengan diameter tunas (R2 = 0,998) sedangkan peubah lainnya tidak berkorelasi nyata.
(Tabel 4). Panjang tunas berkorelasi nyata dan positif dengan diameter tunas menunjukkan bahwa
hubungan antara kedua peubah tersebut sangat kuat, signifikan dan searah, dimana semakin panjang
tunas yang dihasilkan diikuti oleh penambahan diameter tunas.
Habitus tanaman yang tinggi akan menyediakan ruang yang cukup untuk distribusi cahaya
dalam kanopi tanaman dan pertumbuhan organ tajuk tanaman. Distribusi cahaya yang merata dalam
kanopi memungkinkan setiap tanaman dapat berfotosintesis secara optimal sehingga laju fotosintesis
kanopi menjadi tinggi. Laju fotosintesis kanopi yang tinggi akan menghasilkan karbohidrat yang
tersedia untuk pertumbuhan tanaman menjadi tinggi (Rouhi et al., 2007). Adapun penyediaan ruang
tumbuh yang baik dan didukung dengan ketersediaan karbohidrat yang cukup menyebabkan
pertumbuhan stek seperti panjang tunas dan diameter tunas menjadi tinggi. Hal inilah yang
menyebabkan panjang tunas dengan diameter tunas berkorelasi positif (Tabel 4).
Tabel 4. Nilai koefisien korelasi antar peubah
Peubah Jumlah tunas Panjang tunas Diameter tunas Stek bertunas
Jumlah tunas 1 - - -
Panjang tunas 0,950 1 - -
Diameter tunas 0,931 0,998 * 1 -
Stek bertunas 0,781 0,548 0,500 1
Keterangan :* = Berkorelasi nyata menurut uji korelasi Pearson pada taraf 5 %

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa perbedaan posisi bahan stek
yang ditanam menyebabkan adanya perbedaan pertumbuhan jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu
muncul tunas stek buah naga. Stek bagian pangkal dengan dimeter stek 5,2 cm menghasilkan
pertumbuhan yang paling cepat untuk peubah jumlah tunas, panjang tunas, dan waktu muncul tunas
sedangkanstek bagian ujungdengan diameter stek 3,5 cm menunjukkan pertumbuhan yang paling

98
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

lambat pada umur 120 hari setelah tanam (hst). Terdapat satu peubah yang berkorelasi nyata dan
bernilai positif yaitu panjang tunas dengan diameter tunas (R2 = 0,998).

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak A. Soemargono, Agus Susiloadi, Sahlan
yang telah membantu dalam penulisan ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Guo, Z.W., C. Tingting, Y. Yonghua, P. Le,. 2007. A preliminary analysis of a sexual genetic
variability in mulberry as revealed by ISSR markers. Int J Agri Biol. 9:928-930.
Hansen, J. 1998. Effect of cutting position on rooting, axillary bud break and shoot growth in
Stephanotis floribunda. Acta Horticultura 226:159-163.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, Jr, R.L. Geneve. 2002. Plant Propagation: Principles and
Practices. 7th edition. Prentice Hall Inc. 770p.
Hutasoit , R., dan T.A. Ginting. 2013. Pengaruh diameter stek batang terhadap pertumbuhan benih
pada empat spesies tanaman murbei (Morus sp).Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2013.hal : 461-467.
Kristanto, D. 2003. Buah naga pembudidayaan di pot dan di kebun. Penebar swadaya. Jakarta.
Leakey, R.R.B. 1999. Nauclea diderrichii: rooting of stem cuttings, clonal variation in shoot
dominance, and branch plagiotropism.Trees 4:164-169.
Mc. Mahon, G. 2003. Pitaya (Dragon Fruit). Departement of Primary Industry, Fisheries and Mines.
Darwin. www.horticulture.nt.grov.au. Diakses 25 September 2012.
Mulyaningsih, S., Djumali, dan B. Hariyono. 2007. Pengaruh posisi, asal, dan panjang stek, serta ZPT
terhadap pertumbuhan stek batang pada tanaman jarak pagar. Prosiding Lokakarya
Jarak Pagar II: Status Teknologi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Hlm. 263-268.
Ningsih, E. M. N., Y. A. Nugroho,dan Trianitasari. 2010. Pengaruh stek Nilam (Pogostemon cablin,
Benth) pada berbagai komposisi media tumbuh dan dosis penyiraman limbah air kelapa.
Agrika 4 (1):37-47.
Nugrahini, T. 2013. Respon pertumbuhan stek tanaman panili (Vanilla planifolia) terhadap pemberian
pupuk kandang ayam dan pupuk organik cair nasa. Media Sains 5 (1) : 30-35.
Palanisamy, K., P. Kumar. 1997. Effect of position, size of cutting and enrironmental factors on
adventitious rooting in neem (Azadirachta indica A. Juss). Forest Ecology and
Management 98:277-288.
Panjaitan, L.R.H., J. Ginting, dan Haryati. 2014. Respons pertumbuhan berbagai ukuran diameter
batang stek bugenvil (Bougainvillea spectabilisWilld.) terhadap pemberian zat pengatur
tumbuh. Jurnal Online Agroekoteknologi 4 (2): 1384-1390.
Prastowo, N. H., J. M. Roshetko dan G. E. S. Manurung. 2006. Tehnik pembibitan dan perbanyakan
vegetative tanaman buah. World agroforestry centre (ICRAF) and winrock international.
Bogor.
Pujiono, S. 2008. Penerapan perbanyakan tanaman secara vegetatif pada pemuliaan pohon. Makalah
Gelar Teknologi di Pekanbaru Riau dalam rangka Pemasyarakatan Hasil Litbang
Kehutanan tanggal 21 Agustus 2008.
Purwati, M.S. 2013. Pertumbuhan benih buah naga (Hylocereus costaricensis) pada berbagai ukuran
stek dan pemberian hormon tanaman unggul multiguna exlusive. Media Sains, 5 (1) : 16-
22.
Raza, U. 1992. Effect of light and weed competition on the survival and growth of abies pindrows
seedlings of various ages in different soils media in the moist temperate forests of
Pakistan. Pak J Forest. 42:148-162.
Rouhi, V., R. Samson, R. Lemeur, and P. Van Damme. 2007. Photosynthetic gas exchange
characteristics in three different almond species during drought stress and subsequent
recovery. Environmental and Experimental Botany 59 (2) ; 117 129.
Santoso, B.B, Hasnam, Hariyadi, S. Susanto, dan B.S. Purwoko. 2008. Perbanyakan vegetatif tanaman
jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan stek batang: pengaruh panjang dan diameter
stek. Bul. Agron. 36 (3): 255 262.

99
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sofyan, A dan I. Muslimin,. 2006. Pengaruh asal bahan dan media stek terhadap pertumbuhan stek
batang tembesu (Fragraea fragarans ROXB). Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-
hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September
2006.
Wilson, P.J. 1993. Propagation characteristics of Eucalytus globules Labill. spp. globules stem cutting
in relation to their original position in the parent shoot. J. Hort. Sci. 68(5): 715-724.
Yulistyani, W., D. S. Sobarna, dan A. Nuraini. 2014. Pengaruh jenis stek batang dan komposisi media
tanam terhadap pertumbuhan bibit ara (Ficus carica L.). Agric. Sci 4(1):215-224.

100
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH UMUR DAUN TERHADAP EFEKTIVITAS PENGAMATAN ANATOMI


STOMATA JAMBU BIJI
EFFECT OF LEAF AGE ON THE EFFECTIVENESS OF GUAVA STOMATA ANATOMICAL
OBSERVATION
Farihul Ihsan dan Nini Marta
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Jalan Raya Solok-Aripan km 8, Solok, Sumatera Barat, 27301
Email : farihulihsan@gmail.com

ABSTRAK
Informasi tentang teknik pengamatan anatomi stomata pada jambu biji sangat terbatas. Penelitian
anatomi stomata pada jambu biji dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh umur daun
terhadap efektivitas pengamatan anatomi stomata jambu biji dengan teknik cetak. Penelitian dilakukan
mulai Januari s/d Maret 2015 di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu
Tropika), Solok, Sumatera Barat.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
4 perlakuan umur daun, yaitu umur 10 hari, 11-20 hari, 21-30 hari dan 31 hari. Masing-masing
perlakuan menggunakan 5 sampel daun dan tiap sampel daun diamati dalam 5 spot pengamatan
mikroskop. Preparat stomata dibuat dengan menggunakan teknik cetak. Parameter yang diamati
meliputi panjang dan lebar helaian daun, kerapatan, panjang dan lebar stomata serta kerapatan
trikoma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang dan lebar helaian daun jambu biji memiliki
ukuran yang optimal pada daun umur 11-20 hari, 21-30 hari dan 31 hari. Pembuatan preparat dengan
teknik cetak untuk pengamatan anatomi stomata tidak efektif dilakukan pada daun umur 10 hari.
Pengamatan stomata preparat daun umur 10 hari dengan mikroskop juga tidak mudah terlihat karena
terhalang oleh trikoma. Daun umur 31 hari memiliki ukuran stomata yang maksimal, sehingga sangat
baik dijadikan sampel.
Kata kunci: teknik cetak, stomata, jambu biji, umur daun

ABSTRACT
Information on the observation techniques of anatomical guava stomata is limited. The study of
stomata anatomy on guava was conducted to determine the effect of leaf age on the effectiveness of
guava anatomical stomata observation using printing techniques. The research was conducted from
January to March 2015 at the Laboratory of Indonesian Tropical Fruit Research Institute, Solok,
West Sumatra, using randomized block design with 4 leaf age treatments, namely 10 days, 11-20
days, 21-30 days and 31 days. Each treatment using 5 leaf samples and each sample was observed in
the 5 spot. Stomata preparations were made using printing techniques. The parameters observed were
length and width leaf, density, length and width of stomata and density of trichomes. The results
showed that the optimal length and width leaf on leaf 11-20 days, 21-30 days and 31 days. Leaf 10
days are not effective for stomata preparations using printing techniques. Additionally, stomata on
leaf 10 days are not easily visible by microscope observation because it was blocked by trichomes.
In contrast, the leaf 31 days were provided with maximum size stomata, so the leaves are very good
to be used as sample.
Keywords: printing techniques, stomata, guava, leaf age.

101
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Jambu biji merupakan salah satu komoditas tanaman buah penting dalam perdagangan
internasional. Negara-negara yang merupakan negara penghasil jambu biji terbesar antara lain India,
Brazil, dan Meksiko (Lim dan Manicom 2003, Panhwar 2005). Di Indonesia Jambu biji belum
menjadi komoditas tanaman buah utama. Menurut BPS (2013) produksi jambu biji di Indonesia pada
tahun 2013 mencapai 181.644 ton, namun hanya 48.911 ton yang dapat diekspor dengan nilai 105.025
US$. Nilai ekspor ini hanya 1,01 % dari total nilai ekspor tanaman buah.
Tanaman jambu biji memiliki keragaman varietas (Nasution dan Hadiati 2014). Keragaman
varietas perlu dipelajari dan dievaluasi untuk menentukan langkah dalam pemuliaan tanaman.
Informasi keragaman telah banyak dipelajari berdasarkan karakter makromorfologi. Namun demikian,
untuk keperluan mendasar, perlu diketahui karakter mikromorfologi, salah satunya stomata (Hanum et
al. 2013).
Stomata terdapat pada selaput sel epidermis daun (Prawiranata et al. 1981), yang secara
fisiologi berfungsi untuk transpirasi dan respirasi (Mulyani 2006).Terdapat hubungan erat antara
stomata dan fotosintesis yang secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan, produksi dan
resistensi (Mashud 2007, Hardiyanto et al. 2004). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat
hubungan antara stomata dan ploidi (Poespodarsono 1988, Griffiths et al. 1996, Damayanti 2007),
sehingga pendugaan ploidi dimungkinkan untuk dilakukan dengan pengamatan anatomi stomata.
Pengamatan anatomi stomata dapat dilakukan dengan teknik cetak, dan telah dilakukan pada beberapa
tanaman (Agustin 2012, Yudha et al. 2013, Sukamto et al. 2010). Teknik cetak banyak menjadi
pilihan karena tatalaksananya mudah, biaya dan waktu yang diperlukan sedikit. Dalam menggunakan
teknik ini, pengamatan anatomi stomata harus memerhatikan umur sampel daun. Perbedaan umur daun
akan memengaruhi kerapatan dan ukuran stomata.
Informasi tentang teknik pengamatan anatomi stomata pada jambu biji masih sangat terbatas.
Dari Informasi yang ada, ternyata tidak menjelaskan umur daun yang tepat untuk dijadikan sampel,
sehingga perlu dilakukan penelitian berkenaan hal ini.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh umur daun terhadap efektivitas
pengamatan anatomi stomata jambu biji dengan teknik cetak.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan mulai Januari s/d Maret 2015 di Laboratorium Balitbu Tropika, Solok,
Sumatera Barat.Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun jambu biji varietas
Merah Pasaman, kutek bening dan aquadest steril. Alat yang digunakan yaitu mikroskop, slide
micrometer, pinset, kamera CCD, computer dan alat tulis.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan 4 perlakuan umur daun,
yaitu: A ( 10 hari), B (11-20 hari), C (21-30) dan D (31 hari). Masing-masing perlakuan
menggunakan 5 sampel daun dan tiap sampel daun diamati dalam 5 spot pengamatan mikroskop.
Pembuatan preparat
Pengamatan anatomi stomata diawali dengan pembuatan preparat. Preparat berfungsi sebagai
wadah untuk menaruh bagian atau sel makhluk hidup. Pembuatan preparat yang baik akan
memudahkan dalam pengamatan mikroskopis. Preparat dibuat dengan menggunakan teknik cetak
(Haryanti 2010 a). Pada permukaan atas dan bawah daun diberi kutek bening untuk mendapatkan
cetakan stomata, kemudian dibiarkan 10 menit. Kutek yang sudah kering diangkat dari daun dengan
menggunakan pinset. Lapisan kutek diletakkan pada kaca preparat, ditetesi aquadest sedikit, kemudian
ditutup dengan kaca penutup. Preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x hingga
1000x, untuk melihat cetakan stomata. Setiap spot pengamatan mikroskop diambil gambarnya dengan
menggunakan kamera CCD.

102
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengamatan dan analisis data


Parameter yang diamati meliputi bentuk, kerapatan, panjang dan lebar stomata, serta kerapatan
trikoma. Kerapatan stomata dan trikoma diamati dengan menghitung jumlah stomata dalam luasan
tertentu. Panjang dan lebar stomata diamati dengan bantuan slide glass micrometer (Gambar 1.)
Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan dengan uji F dan dilanjutkan dengan
uji lanjut BNT pada taraf 5 %.

Gambar 1. Cara mengamati panjang (P) dan lebar (L) stomata.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan ukuran panjang dan lebar helaian daun jambu biji disajikan pada Tabel 1
dan Gambar 2. Ukuran panjang dan lebar helaian daun memberikan pengaruh yang sama pada daun
berumur B (11-20 hari), C (21-31 hari), dan D (31 hari), dan berpengaruh pada daun berumur A (
10 hari).
Tabel 1. Panjang dan lebar daun jambu biji.
Panjang Lebar
Umur Daun
(cm) (cm)
10 hari 6,20 A 2,40 A
11-20 hari 13,55 B 6,52 B
21-31 hari 14,18 B 6,86 B
31 hari 14,32 B 5,49 B
Angka rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut BNT pada taraf nyata 5%.

A B C D
Gambar 2. Daun jambu biji dengan berbagai umur. A) Daun berumur 10 hari. B) Daun
berumur 11-20 hari, C) Daun berumur 21-31 hari. D) Daun berumur 31 hari.

Dari pembuatan preparat stomata dengan teknik cetak pada jambu biji diketahui bahwa
pembuatan preparat pada teknik ini tidak mudah dilakukan pada daun yang berumur A ( 10 hari), dan
mudah dilakukan pada daun berumur B (11-20 hari), C (21-31 hari), dan D (31 hari). Pada daun A,
kutek yang telah dioleskan di atas permukaan daun dan dibiarkan kering, tidak mudah untuk diangkat
dari daun. Lapisan epidermis pada daun A masih lunak, sehingga kutek yang dioleskan pada
permukaan daun dapat masuk dalam lapisan epidermis dan lapisan di dalamnya. Pada pada daun B,C,

103
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dan D lapisan epidermis menebal, kutek yang dioleskan tidak dapat masuk kedalam jaringan
epidermis, sehingga kutek dapat dilepaskan dengan baik dan dapat mencetak permukaan epidermis.
Esau (1965) mengatakan, sejalan dengan pertumbuhan tanaman, epidermis juga tumbuh secara
perlahan sehingga permukaan menjadi bertambah besar dan dinding sel menjadi lebih tebal akibat
adanya penebalan sekunder yang disebut kutikula. Menurut Salisbury dan Ross (1995), kutikula pada
lapisan epidermis berfungsi untuk memperlambat kehilangan air. Kutikula ini juga sangat penting
artinya sebagai suatu sistem perlindungan secara mekanis (Hardiyanto et al. 2004).
Hasil pengamatan anatomi stomata pada daun jambu biji disajikan Gambar 3. Pengamatan
yang dilakukan di permukaan atas daun tidak ditemukan adanya stomata. Stomata hanya ditemukan di
permukaan bawah daun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haryanti (2010 b), beberapa
tanaman memiliki stomata hanya di permukaan bawah daun saja. Selanjutnya beberapa tanaman
memiliki stomata di permukaan atas dan bawah daun, bahkan juga ditemukan beberapa tanaman yang
hanya memiliki stomata di permukaan atas daun saja.

b
a
c a
c c
A B C
Gambar 3. Pengamatan mikroskopik pada permukaan atas (A), bawah (B) dan penampang
melintang (C) daun jambu biji. (a) sel epidermis, (b) stomata dan (c) trikoma.

Pada permukaan daun jambu biji terdapat trikoma. Trikoma adalah rambut-rambut yang
tumbuh dari sel-sel epidermis (Mulyani 2006).Pada daun jambu bijitrikoma mengandung
senyawakimia flavonoid yangmelindungitanaman darimikroorganisme pengganggu seperti bakteri.
Karena keberadaan senyawa inilahmaka daun jambu biji sering digunakan sebagai obat anti bakteri
(Samanta et al. 2013). Secara teknis, pengamatan preparat dengan menggunakan mikroskop tidak
mudah dilakukan pada daun A, dan mudah dilakukan pada daun B, C, dan D. Hal ini disebabkan
karena jumlah trikoma pada daun A lebih banyak, sehingga menghalangi/ menutupi cetakan stomata.
Tabel 2. Kerapatan, panjang, dan lebar stomata serta kerapatan trikoma pada permukaan bawah daun
jambu biji.
Umur Daun Kerapatan Stomata Panjang Stomata Lebar Stomata Kerapatan Trikoma
(buah/mm2) (m) (m) (buah/mm2)
10 hari 273,80 A 16,30 B 14,80 A 50,40 A
11-20 hari 242,80 A 19,60 A 15,90 A 26,40 B
21-31 hari 280,40 A 20,00 A 16,00 A 22,40 B
31 hari 275,20 A 20,54 A 15,90 A 18,40 B
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut BNT pada taraf nyata 5%.

Hasil analisis menunjukkan kerapatan stomata tidak memberikan hasil yang berbeda nyata
antara daun A, B, C dan D. Lebar stomata juga tidak berpengaruh nyata oleh umur daun. Namun
panjang stomata dan kerapatan trikoma dipengaruhi oleh umur daun. Daun B,C dan D memberikan
hasil yang sama dan berbeda pada daun A. Daun A mempunyai panjang stomata 16,30 m dan
kemudian akan bertambah besar seiring bertambahnya umur daun, yaitu 19,60 m pada daun B, 20,00
m pada daun C dan kemudian 20,54 m pada daun D. Jumlah trikoma pada daun A berjumlah 50,40
buah/ mm2, dan pada daun B,C, dan D yaitu 6,60, 5,60, dan 18,40 buah/ mm2. Kerapatan stomata tidak
berbeda nyata pada semua daun, namun dengan ukuran panjang yang secara nyata lebih kecil dan
kerapatan trikoma yang lebih tinggi pada daun muda. Pertambahan ukuran panjang dan lebar hanya
berbeda pada ukuran panjang saja, ini berarti pertumbuhan stomata cenderung memanjang. Hal ini
mungkin karena posisi 2 sel penjaga somata yang sejajar dengan panjang stomata, dimana 2 sel
penjaga tersebut termasuk dalam bagian stomata. Jumlah trikoma yang semakin berkurang seiring

104
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

bertambahnya umur daun, mungkin ini berkaitan dengan fungsinya sebagai pelindung daun. Pada daun
muda, sistem pelindung banyak diperankan oleh trikoma dan pada daun tua sistem pelindung banyak
diperankan oleh selulosa dan kutin yang menebal pada sel epidermis. Pada angsana (Pterocarpus
indicus) ukuran stomata semakin besar pada umur daun semakin tua. Kerapatan stomata sangat sedikit
pada daun muda yang kemudian semakin rapat pada daun berumur sedang dan menurun kembali pada
daun tua (Yudha 2013). Namun demikian, pada jeruk, stomata lebih rapat pada daun muda dan sedikit
pada daun tua (Hardiyanto et al. 2004).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembuatan preparat dengan teknik
cetak untuk pengamatan anatomi stomata daun jambu biji tidak efektif dilakukan pada daun berumur
10 hari. Pengamatan stomata pada preparat daun muda dengan mikroskop tidak mudah terlihat karena
terhalang oleh trikoma. Daun berumur 31 hari memiliki ukuran stomata yang maksimal sehingga
daun ini baik untuk dijadikan sampel.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Kepala Balitbu Tropika dan
Koordinator Laboratorium yang telah mengizinkan penggunaan laboratorium dalam penelitian ini.
Kepada Ibu Dwi Wahyuni AR. yang telah membantu dalam pelaksanaan teknis penelitian ini dan
kepada Prof. Dr. Rochadi Abdulhadi atas arahan dan bimbingan dalam penyelesaian karya tulis ilmiah
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, G., 2012. Kajian Histologi dan Anatomi Mahoni (Swietenia macrophylla King.) yang
Terakumulasi Timah Hitam (Pb) di Kota Padang. Padang: Tesis pascasarjana Universitas
Andalas.
BPS, 2013. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan Indonesia 2013. Jakarta: Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia. 75 hal.
Damayanti, F., 2007. Analisis jumlah kromosom dan anatomi stomata pada beberapa plasma nutfah
pisang (Musasp.) asal Kalimantan Timur. Jurnal Bioscientiae 4 (2): 53-61.
Esau, K., 1965. Plant Anatomy, second edition. New York: Jhon Willey and Sons.
Griffiths, A.J.F. dkk., 1996. An Introduction to Genetic Analysis. Ed 6th. New York: W. H. Freeman
and company.
Hanum, L., R.S. Kasiamdari, Santosa, dan Rugayah, 2013. Karakter Makromorfologi dan
Mikromorfologi Duku, Kokosan, Langsat dalam Penentuan Status Taksonomi pada
Kategori Infraspesies. Biospecies 6 (2) : 23-29.
Hardiyanto, A. Sugiyatno, dan L. P. Herawati, 2004. Resistensi Pasif Beberapa Spesies Jeruk
Berdasarkan Ketebalan Epiermis Daun dan Kerapatan Stomata. Prosiding Seminar Jeruk
Siam Nasional. Surabaya, 15-16 Juni 2004: 396-406. Batu: Puslitbang Hortikultura.
Haryanti, S., 2010 a. Pengaruh Naungan yang Berbeda terhadap Jumlah Stomata dan ukuran Porus
Stomata Daun Zephyranthes rosea Lindl. Buletin Anatomi dan Fisiologi 18(1): 41-48.
Haryanti, S., 2010 b. Jumlah dan Distribusi Stomata pada Daun Beberapa Spesies Tanaman Dikotil
dan Monokotil.Buletin Anatomi dan Fisiologi 18 (2): 21-28.
Lim T.K., and B.Q. Manicom, 2003. Diseases of guava. In: Ploetz RC, editor. 2003. Diseases of
Tropical Fruit Crops. Wallingford, UK: CABI Publishing. pp: 275-289.
Mashud, N., 2007. Stomata dan Klorofil Dalam Hubungannya dengan Produksi Kelapa. Buletin Palma
No. 32, 2007: 52-59.
Mulyani, S., 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius. 329 hal.
Nasution, F., and S. Hadiati, 2014. Characterization and clustering of some guava germplasm
collections based on leaf and fuit characters. Agrivita 36 (1): 91-96.
Panhwar, F., 2005. Genetically evolved of guava (Psidium guajava) and its future in Pakistan.
Germany: Virtual Lybrary Chemistry.
Poespodarsono, S., 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: IPB.
Prawiranata, W.S., P. Harran, dan P. Tjondronegoro, 1981. Dasar dasar Fisiologi Tumbuhan. Bogor:
Departemen Botani, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

105
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sukamto, L.A., F. Ahmad, dan A.H. Wawo , 2010. Pengaruh Oryzalin Terhadap Tingkat Ploidi
Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.). Bul. Littro 21(2): 93 102.
Salisbury F.B., C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2. Penerjemah: D.R. Lukman dan
Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB. Hal:139-140.
Samanta, K., et al, 2013. Preliminary Physico-phytochemical Study and Pharmacognostical
Standardization of Psidium guajava Leaves. Research Journal of Pharmaceutical,
Biological and Chemical Sciences 4(4): 1-8.
Yudha, G.P., Z.A. Noli, dan M. Idris, 2013. Pertumbuhan Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd)
dan Akumulasi Logam Timbal (Pb). Jurnal Biologi Universitas Andalas 2(2): 83-89.

106
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

APLIKASI BEBERAPA DEKOMPOSER DALAM PENGOMPOSAN LIMBAH KULIT KOPI


LIBERIKA TUNGKAL KOMPOSIT
APPLICATION DECCOMPOSER IN COMPOSTING LIBERIKA TUNGKAL COMPOSITE
COFFEE HUSK
Rima Purnamayani dan Araz Meilin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi
Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru , Jambi, Telp. 0741-7053525/Fax . 0741-40413
Email : rimacahyo@yahoo.com

ABSTRAK
Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) merupakan varietas unggul tanaman kopi asal Kab.
Tanjung Jabung Barat yang sudah dilepas oleh Menteri Petanian sejak Desember Tahun 2013. Luas
tanaman perkebunan kopi Libtukom di Kab. Tanjung Jabung Barat mencapai 2.721 hektar. Salah satu
keunggulan kopi Libtukom adalah ukuran buah lebih besar dengan buah masak berwarna orange, dan
produktivitas lebih tinggi dibanding Robusta. Limbah kulit kopi yang diperoleh dari proses
pengolahan kopi dari biji utuh menjadi kopi bubuk. Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian
dan perendaman serta pengupasan kulit luar, proses ini menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah
kulit kopi. Limbah kopi sebagian besar dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman kopi dan tanaman
disekitarnya. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April Desember 2014 di Desa Mekar Jaya
Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahan yang digunakan adalah limbah kulit kopi,
pupuk kandang, dolomit, decomposer (cair dan padat) dan air. Aplikasi decomposer yang digunakan
adalah : 1) decomposer cair, 2) decomposer padat dan 3) kombinasi decomposer padat dan cair.
Perlakuan diulang sebanyak 3 kali, masing-masing sejumlah 1 ton. Dekomposisi dilaksanakan selama
3 bulan dan hasilnya dianalisis kandungan N, P, K serta C-organik. Hasil analisis menunjukkan bahwa
penggunaan kombinasi dua decomposer menghasilkan kompos yang lebih baik yaitu 1,46% N, 0,07%
P, 0,73% K dan 50,39% C-organik. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia No. 19-7030-2004 yang
mengatur standar kualitas kompos, kandungan N, P, K, dan C kompos kulit kopi libtukom sudah
memenuhi persyaratan minimum SNI.
Kata kunci : kopi libtukom, kulit kopi, kompos, dekomposer

ABSTRACT
Coffee Liberika Tungkal Composite (Libtukom) is yielding varieties of coffee plant origin Kab.
Tanjung Jabung Barat that have been released by the Ministry of Agriculture since December 2013.
Libtukom coffee plantation area in the district. Tanjung Jabung Barat reached 2,721 hectares. One of
the benefits of coffee Libtukom is bigger fruit size with ripe fruit, orange, and productivity higher than
Robusta. Coffee leather waste obtained from the processing of whole bean coffee into coffee powder ..
red Coffee Processing begins with washing and soaking and stripping the outer skin, this process
resulted in 65% and 35% coffee bean coffee skin waste. Most of the coffee waste used as fertilizer on
coffee plants and plants around it. This activity was conducted in April-December 2014 Mekar
JayaVillage, subdistrict Betara, Tanjung Jabung Barat District. Materials used arethe coffee leather
waste, manure, dolomite, decomposer (liquid and solid) and water. Applications decomposer used
were: 1) liquid decomposer (EM-4) , 2) solid decomposer (Trichoderma sp) and 3) a combination of
solid and liquid decomposer. These results indicate that the combined use of two decomposers
produces better compost. Based on the Indonesian National Standard No. 19-7030-2004 governing
compost quality standards, the content of N, P, K, and C compost coffee skin libtukom already meet
the minimum requirements of SNI.
Keyword : libtukom coffee, coffee bark, compost, decomposers

107
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) merupakan salah satu komoditas unggulan
Provinsi Jambi, karena memiliki cita rasa yang khas dan menjadikan Provinsi Jambi sebagai wilayah
penghasil kopi jenis Liberika terbesar di Indonesia, dan menjadi sumber mata pencaharian utama bagi
penduduk setempat.Kopi Liberika Tungkal Komposit (Libtukom) merupakan varietas unggul tanaman
kopi asal Kab. Tanjung Jabung Barat yang sudah dilepas oleh Menteri Petanian sejak Desember Tahun
2013. Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki kebun kopi Liberika yang cukup luas, luasnya
sekitar 2.538 hektare dan tersebar di 6 kecamatan. Kopi jenis liberika ini memang jenis kopi yang
paling banyak di budidayakan di Jambi. Kopi ini sangat jarang kita temui di daerah lain di Indonesia,
namun orang jambi telah mengembangkan perkebunan jenis liberika sudah puluhan tahun lamanya,
sekitar 60 70 tahun, hasil dari komoditi kopi ini paling banyak di expor ke malaysia dan singapura,
wilayah penghasil kopi di Tanjung Jabung Barat yaitu di Kecamatan Betara 1536 ha. Kecamatan
Pangabuan seluas 176,5 hektar, Kecamatan Bram Itam 256 hektar, Kecamatan Kuala Batera seluas
105 hektar, sementara Kecamatan Tungkal Hilir hanya seluas 17 hektar sisanya di tanam secara
swadaya oleh petani di tersebar di kecamatan lainya (BPS Tanjab Barat, 2014).
Salah satu keunggulan kopi Libtukom adalah ukuran buah lebih besar dengan buah masak
berwarna orange, dan produktivitas lebih tinggi dibanding Robusta. Bisa berbuah sepanjang tahun
dengan panen sebulan sekali dan 2 x puncak produksi. Panen besar pada bulan Mei, Juni dan Juli,
sedangkan panen kecil pada bulan November, Desember dan Januari (Purnamayani et al., 2015)
Menurut Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan (2010),
dalam 1 hektar areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1.8 ton. Luas
perkebunan kopi libtukom di Tanjab Barat sekitar 2.538 hektare, sehingga dapat menghasilkan limbah
kulit kopi sekitar 4.568,4 ton setiap tahunnya. Oleh karena itu potensi dan peluangnya sangat besar
untuk dijadikan pupuk organic. Lebih lanjut Mulato et al. (1996) dalam Widyotomo (2013)
melaporkan bahwa dari tiap satu ton buah basah akan diperoleh lebih kurang 200 kg kulit kopi kering.
Jumlah limbah kopi yang perlu ditangani sebesar 44,6% dari berat buah kopi kering. Penelitian lain
melaporkan bahwa limbah kulit buah kopi yang dihasilkan dari proses pengolahan cara basah
mencapai 43% bobot buah (Ismayadi et al., 1997 dalam Widyotomo, 2013).
Kulit kopi libtukom ini dapat dimanfaatkan sebagai kompos melalui proses pengomposan.
Selama ini di petani,, kulit kopi dibiarkan tergeletak begitu saja dan dibiarkan melapuk sendiri.
Beberapa petani ada yang mengembalikan limbah kulit tersebut ke pertanaman setelah didiamkan
setahun lamanya akan tetapi kualitasnnya kurang baik. Untuk meningkatkan kualitasnya sebagai
pembenah tanah, kulit kopi libtukom dapat diolah menjadi kompos.
Winaryo et al. (1995) dalam Widyotomo (2013) melaporkan bahwa pengomposan kulit kopi
selama 3 bulan dengan komposisi bahan baku 130 kg kulit kopi, 10 kg kulit tanduk kopi, 10 kg sekam
padi, 5 kg kapur, 25 kg vertiver, 25 sampah organik dan 15 kg pupuk kandang akan menghasilkan
kompos dengan kualitas baik. Erwiyono et al (2001) melaporkan bahwa kompos organik yang
diproduksi dari kulit buah kopi memiliki kkandungan karbon (C) dan nitrogen (N) yang terus
menyusut dari minggu pertama hingga minggu keenam dan dengan C/N rasio yang relatif stabil pada
periode yang sama. Melawati (2002) dalam Widyotomo (2013) menyampaikan bahwa campuran yang
mengandung 25-50% limbah kopi dalam kotoran sapi dapat menghasilkan kompos organik dengan
struktur yang baik.
Strategi untuk mempercepat proses biodekomposisi bahan organik dilakukan dengan
memanfaatkan aktivator. Aktivator adalah mikroba dekomposer yang berperan sebagai katalisator
untuk mempercepat proses pengomposan dan membuat hasil pengomposan menjadi sempurna dengan
mutu yang baik, karena mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. (Widawati,
2005).
Penambahan activator ini mempu menyingkat waktu pengomposan dari 8-12 minggu menjadi
4-8 minggu. Aktivator ini ada dua macam yaitu bioaktivator dan activator komersial. Bioaktivator
merupakan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai aktiviator contohnya jamur, kompos
matang, humus, kotoran ternak dan mikroorganisme lokal (MOL). Sedangkan activator komersial
merupakan activator buatan pabrik yang banyak beredar di pasaran.
Trichoderma spp adalah jamur penghuni tanan yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman
lapangan. Trichoderma spp memiliki peran sebagai dekomposeer yang dapat mendekompsisi limbah
organik menjadi kompos bermutu (Mey, 2009) Dekomposer lain yang beredar di pasaran adalah
Effective Microorganism-4, yang merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang

108
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

mengunungkan bagi kesuburan tanah maupun pertumbuhan dan produksi tanaman serta ramah
lingkungan. Sebagian besar mengandung mikroorganisme seperti bakteri fotosintetik
(Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi, actinomycetes sp dan jamur
fermentasi (Syafira, 2012).
Hasil penelitian Baon et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi
adalah 45,3%, kadar nitrogen 2,98%, fosfor 0,18%, dan kalium 2,26%. Selain itu, kulit buah kopi juga
mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Kandungan hara limbah pertanian lainnya disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan hara limbah pertanian lainnya
Limbah pertanian Nitrogen (%) Pospor (%) Kalium (5)
Jerami padi 0.82 0.50 1.63
Jagung 0.92 0.29 1.39
Kacang tanah 2.33 0.16 1.10
Rerumputan 0.84 0.07 0.64
Gliricida 2.36 0.21 2.53
Lamtoro 1.43 0.10 1.39
Sumber : Ruskandi dan Setiawan (2002)

Tujuan Pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi beberapa decomposer
dalam pengomposan limbah kulit kopi libtukom.

METODOLOGI
Pengkajian ini dilaksanakan di rumah kompos 3 kelompok tani di Kelurahan Mekar Jaya
Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Timur dari bulan April Desember 2014. Bahan yang
digunakan adalah kulit kopi, pupuk kandang, kapur pertanian, gula, air, terpal decomposer cair dan
decomposer padat. Sedangkan alat yang digunakan adalah cangkul, garu, timbangan, ember dan
gembor.
Prosedur pelaksanaan pengomposan limbah kulit kopi ini adalah :
1. Kulit buah kopi dari pabrik tersebut disikan kedalam bak-bak tempat kompos,
2. bersamaan waktu juga diisikan pupuk kandang, kemudian ditaburi dolomit, gula serta disiram
dengan decomposer (EM-4 1 liter/ton atau trichoderma 2 kg/ton) dan juga air
3. Semua bahan tersebut dibuat berlapis-lapis sampai tinggi tumpukan di dalam bak minimal 75 cm.
4. Setelah proses berlangsung, suhu dalam bak naik hingga kurang lebih 50o Celcius, tapi setelah itu
suhu akan turun lagi,
5. setiap 2 minggu sekali bahan di bak-bak tersebut dibalik dan jika ternyata terlalu kering maka
dilakukan penyiraman
6. setelah 2 bulan kompos dianalisis.

Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah rancangan acak kelompok dengan perlakuan :
1) Decomposer padat (Trichoderma sp), 2) Decomposer cair (EM-4) dan 3) campuran decomposer
padat dan cair. Setiap perlakuan diulang menjadi 3 ulangan dengan 3 kelompok tani yang berbeda,
yang masing-masing berjumlah 1 ton campuran. Parameter yang diamati adalah : kandungan hara
sebelum dan sesudah pengomposan meliputi: N, P, K, C-organik. Kandungan hara sebelum
pengomposan diambil dari limbah kulit kopi yang digunakan untuk pengomposan sebanyak 3 ulangan
yang kemudian dikomposit untuk dianalisis. Kandungan hara setelah pengomposan diambil sebanyak
3 sampel secara acak (bagian atas, bagian bawah dan bagian tengah dari tumpukan kompos) dari
masing-masing ulangan, kemudian dikomposit. Untuk analisis, setiap ulangan dikomposit sehingga
menghasilkan 1 sampel analisis untuk masing-masing perlakuan.
Analisis N dilakukan dengan menggunakan metode N-Kjehdahl, analisis P dan K
menggunakan metode destruksi sedangkan analisis C-organik menggunakan metode Walkey and
Black. Hasil analisis ditampilkan secara tabulasi dan grafik dan dibahas secara analisis deskriptif.

109
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kandungan Hara Limbah Kulit Kopi Libtukom
Limbah kulit kopi yang diperoleh dari proses pengolahan kopi dari biji utuh menjadi kopi
bubuk. Proses pengolahan kopi ada 2 macam, yaitu (1) Pengolahan kopi merah/masak dan (2)
Pengolahan kopi hijau/mentah. Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian dan perendaman
serta pengupasan kulit luar, proses ini menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah kulit kopi. Limbah
kopi sebagian besar dimanfaatkan sebagai pupuk pada tanaman kopi dan tanaman disekitarnya
(Muryanto et al., 2004 dalam Purnamayani et al., 2014). Kulit buah kopi merupakan limbah dari
pengolahan buah kopi untuk mendapatkan biji kopi yang selanjutnya digiling menjadi bubuk kopi.
Kulit kopi tersebut jumlahnya berkisar antara 50 -60 persen dari hasil panen. Bila hasil panen
sebanyak 1000 kg kopi segar berkulit, maka yang menjadi biji kopi sekitar 400 500 kg dan sisanya
adalah hasil sampingan berupa kulit kopi. Limbah kulit kopi belum dimanfaatkan petani secara
optimal. Padahal kulit kopi bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk kompos
(Puslitkoka, 2005). Dari hasil data sekunder, potensi produksi kopi libtukom sebesar 1,2 ton/ha/tahun,
maka limbah kulit kopi yang dihasilkan adalah sebesar 420 ton/tahun.
Kandungan unsur hara pada limbah kulit kopi libtukom disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis
tersebut menunjukkan bahwa potensi kandungan Nitrogen pada limbah kulit kopi sangat tinggi,
sehingga berpeluang untuk menggantikan pupuk Nitrogen sebagai suplai bagi tanaman. Kandungan
Kalium juga cukup tinggi dalam kulit kopi ini sehingga dapat juga berfungsi sebagai substitusi pupuk
Kalium. Kandungan C-total pada limbah kulit kopi sebesar 3.92% dengan rasio C dan N nya yaitu
63.32. Rasio C dan N pada limbah kulit kopi sangat tinggi karena kulit kopi sebagai bahan baku
kompos ini terdiri dari kulit buah basah, limbah cair yang mengandung lendir, dan kulit gelondong
kering maupun cangkang kering. Cangkang kering inilah yang menyebabkan rasio N dan C pada kulit
kopi karena cangkang mengandung lignin (Widyotomo, 2013).
Tabel 2. Kandungan hara pada limbah kulit kopi libtukom di
Kel. Mekar Jaya Kec. Betara
Kandungan Hara Persentase (%)
Nitrogen 6,19
Pospor 0,99
Kalium 1,70
Karbon 3,92
C/N (rasio karbon dan nitrogen) 63,32
Sumber : Hasil analisis di Laboratorium Tanah BPTP Bengkulu

Kualitas Kompos Kulit Kopi Libtukom


Kualitas kompos merupakan hal penting karena mempengaruhi kondisi tanah dan tanaman
yang akan menyerap unsur-unsur hara dari kompos tersebut. Kandungan hara N, P dan K merupakan
unsure hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Selain kandungan hara, tingkat stabilitas
dan kematangan kompos juga merupakan standar kualitas kompos yang harus dipenuhi.
Dari hasil kajian dengan menggunakan dua jenis decomposer ini, diperoleh keragaan unsure
hara kompos limbah kulit kopi yang disajikan pada Gambar 1.
Persen (%)

N (%) P ( %) K (%)
Dekomposer Cair 0,88 0,06 0,70
Dekomposer Padat 0,88 0,08 0,80
Campuran 1,46 0,07 0,73

Gambar 1. Kandungan unsur hara pada kompos kulit kopi libtukom

110
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi dua decomposer menghasilkan


kompos yang lebih baik, yaitu kandungan N, P dan K yang lebih tinggi dibandingkan pada
penggunaan dekomposer tunggal. Pengamatan visual juga memperlihatkan bahwa pengompossan
dengan kombinasi dua decomposer secara fisik lebih cepat melapuk. Dekomposer padat yang
digunakan merupakan decomposer yang terdiri dari 1 jenis mikroorganisme yaitu Trichoderma sp,
sedangkan decomposer cair yang digunakan terdiri dari beberapa jenis mikroorganisme. Kandungan
mikroorganisme pada decomposer cair yaitu : bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas spp.), bakteri
asam laktat (Lactobacillus spp.), ragi / yeast (Saccharomyces spp), Actinomycetes, dan jamur
fermentasi (Aspergillus dan Penicilium) (Rahim, 2016).
Trichoderma sp. merupakan jamur kosmopolitan,yang sering ditemui di semua jenis tanah,
pupuk kandang dan membusuk di jaringan tanaman mendominasi di dalam tanah karena kemampuan
metabolismenya yang beragam dan sifat kompetitif agresif, sebagai organisme pengurai, dapat
berfungsi sebagai stimulator pertumbuhan tanaman (Setyowati et al. 2003 dalam Haryuni, (2013).
Bakteri fotosintetik dan ragi yang terdapat dalam decomposer cair berfungsi membentuk senyawa
bermanfaat sebagai substrat bagi mikroorganisme lain. Sedangkan bakteri asam laktat, dapat
meningkatkan percepatan perombakan bahan organik; menghancurkan bahan organik seperti lignin
dan selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa beracun yang ditimbulkan dari
pembusukan bahan organic. Actinomycetes hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik bersama-
sama meningkatkan mutu lingkungan tanah dengan cara meningkatkan aktivitas anti mikroba
tanah.Jamur fermentasi menguraikan bahan secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat
anti mikroba (Rahim, 2016). Oleh karena itulah, kompos hasil dekomposisi perlakuan campuran
antara decomposer padat dan cair mengandung unsure hara makro yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan tunggal karena kandungan mikroorgansmenya lebih lengkap.
Jika kompos kulit kopi akan diproduksi secara komersial, maka penggunaan decomposer
harus diterapkan dan untuk perbaikan kualitas kompos kulit kopi perlu ditambahkan lagi dosis pupuk
kandang atau limbah pertanian lainnya. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia No. 19-7030-2004
yang mengatur standar kualitas kompos, kandungan N, P, K, dan C kompos kulit kopi libtukom sudah
memenuhi persyaratan minimum SNI (Tabel 3).
Dalam proses pengomposan, salah satu hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan
kompos yang baik, yaitu : Rasio C dan N (C/N). Keseimbangan karbon dan nitrogen yang terkandung
dalam sumber bahan baku kompos menjadi factor penentu kemudahan proses pengomposan. Karbon
merupakan sumber energi bagi mikroorgasme yang membantu perombahan bahan organic.
Sedangkan Nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk membangun sel tubuhnya. Makin tinggi rasio
C/N, bahan baku akan semakin sulit terurai, temperature di bawah kondisi optimum dan suasana
pengomposan yang asam. Tabel 4 menyajikan rasio C dan N pada kompos limbah kulit kopi.
Dalam Tabel 4 terlihat bahwa penggunaan decomposer dalam kurun waktu 2 bulan belum
mampu menurunkan rasio C dan N kompos kulit kopi. Hal ini dapat dicari soluasinya dengan
menambahkan dosis decomposer tersebut atau menambah waktu dekomposisi. Dalam proses
dekomposisi bahan organik, C digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bersama N
digunakan sebagai penyusun selnya.
Kualitas kompos merupakan hal penting karena mempengaruhi kondisi tanah dan tanaman
yang akan menyerap unsur-unsur hara dari kompos tersebut. Kandungan hara N, P dan K merupakan
unsure hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Selain kandungan hara, tingkat
stabilitas dan kematangan kompos juga merupakan standar kualitas kompos yang harus dipenuhi.

111
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat


STANDAR MUTU
Granul/Pelet Remah/Curah
No Parameter Satuan
Diperkaya Diperkaya
Murni Murni
mikroba mikroba
1 C-organik % min 15 min 15 min 15 min 15
2 C/N Rasio 15-25 15-25 15-25 15-25
3 Bahan Ikutan (Plastik, kaca, kerikil) % maks 2 maks 2 maks 2 maks 2
4 Kadar air*) 8-20 10-25 15-25 15-25
Logam Berat
As ppm maks 10 maks 10 maks 10 maks 10
5 Hg ppm maks 1 maks 1 maks 1 maks 1
Pb ppm maks 50 maks 50 maks 50 maks 50
Cd ppm maks 2 maks 2 maks 2 maks 2
6 pH - 4-9 4-9 4-9 4-9
7 Hara Makro (N+P2O5+K2O)
% min 4 min 4 min 4 min 4
Mikroba kontaminan
8 - E. Coli MPN/g maks 102 maks 102 maks 102 maks 102
- Salmonella sp MPN/g maks 102 maks 102 maks 102 maks 102
Mikroba fungsional
-9 Penambat N cfu/g - min 103 - min 103
- Pelarut P cfu/g - min 103 - min 103
10 Ukuran butiran 2 -5 mm % min 80 min 80 - -

maks
Hara mikro:
9000
- Fe total atau ppm maks 9000 maks 9000 maks 9000
maks 500
- Fe tersedia
11 ppm maks 500 maks 500 maks 500
maks
- Mn ppm maks 5000 maks 5000 maks 5000
5000
- Zn ppm maks 5000 maks 5000 maks 5000
maks
5000
Unsur lain
- La
12 ppm 0 0 0 0
- Ce ppm 0 0 0 0
Keterangan : *) kadar air atas dasar berat basah

Tabel 4. Rasio C dan N pada limbah kulit kopi berbagai perlakuan


PERLAKUAN Nitrogen (%) Karbon (%) C/N
EM-4 0,88 49,15 55,9
Trichoderma 0,88 41,14 46,77
EM4+Tricho 1,46 50,39 34,5

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan dari kajian ini adalah penggunaan kombinasi dua decomposer yaitu decomposer
cair dan decomposer padat menghasilkan kompos yang lebih baik, yaitu kandungan N, P dan K yang
lebih tinggi (1,46% N, 0,07% P, 0,73% K dan 50,39% C-organik) dibandingkan pada penggunaan
dekomposer tunggal, akan tetapi belum mampu menurunkan rasio C dan N sesuai dengan kriteria
kompos.
Oleh karena itu disarankan waktu dekomposisi yang lebih lama sehingga dapat menurunkan rasio C
dan N kompos kulit kopi libtukom.

112
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Baon, J.B.; R. Sukasih & Nurkholis (2005). Laju dekomposisi dan kualitas kompos limbah padat kopi:
pengaruh activator dan bahan baku kompos. Pelita Perkebunan, 21, 31-42.
BPS Tanjab Barat. 2014. Biro Pusat Statistik. Tanjung Jabung Barat.
Direktorat Pasca Panen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian
Pertanian (2010). http//ditjendbun.pertanian.go.id/ diakses pada 30 September 2015.
Erwiyono, R.; Nurkholis & J.B. Baon (2001).Laju perombakan kulit buah kopi,jerami, dan cacahan
kayu denganperlakuan mikroorganisme dan kualitaskompos yang dihasilkan.
PelitaPerkebunan, 17, 64-71
Haryuni, 2013. Perbaikan pertumbuhan dan hasil stevia (Stevia rebaudiana Bertoni m) Melalui
aplikasi Trichoderma sp. Biosaintifika 5 (2) 2013
Puslitkoka, 2005. Panduan Len gkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka, Jakarta
Purnamayani, R., A.Meilin dan J. Hendri. 2014.Teknologi Pembuatan Kompos Limbah Kulit Kopi.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Ruskandi dan O. Setiawan. 2003. Kadar Hara Makro Berbagai Jenis Limbah Tanaman Sela dan Pola
Tanam Kelapa. Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Bogor.
Rahim, 2016. http://suplirahim1960.blogspot.com/2013/05/membuat-em4-plus-labelnya.htm. diakses
tanggal 28 Oktober 2016.
Syafira, Lia Indah (2012) Pembuatan Pupuk Bokashi Dari Limbah Organik Dan Analisis Kandungan
Unsur Nitrogen, Karbon, Fosfor Dan Kalium. Undergraduate thesis, UNIMED.
http://digilib.unimed.ac.id/10131/
Widawati, Sri. 2005. Daya Pacu Aktivator Fungi Asal Kebun Biologi Wamena terhadap Kematangan
Hara Kompos, serta Jumlah Mikroba Pelarut Fosfat dan Penambat Nitrogen. Jurnal
Biodiversitas 6(4) : 240-243. ISSN 1412-033X
Widyotomo, S. 2013. Potensi dan Teknologi Diversifikasi Limbah Kopi menjadi Produk Bermutu dan
Bernilai Tambah. Review Penelitian Kopi dan Kakao (1) 2013, 63-80.

113
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

SERANGAN DAN MEMASTIKAN JENIS PENGGEREK BATANG MANGGA


Rhytidodera SP. DI KOTA BENGKULU
ATTACK AND CONFIRMATION OF MANGO Rhytidodera SP. BORER
IN BENGKULU CITY
Teddy Suparno
Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian,Universitas Bengkulu, Bengkulu, 38225
E-mail: teddy.suparno54@gmail.com

ABSTRAK
Penggerek batang merupakan masalah utama pada budidaya mangga di wilayah rendah basah.
Infomasi mengenai hama ini masih sedikit, sehingga upaya untuk mendapatkan teknologi
pengendalian agak sulit dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis pengerek cabang,
tingkat serangan OPT pada Kota Bengkulu dan varietas mangga. Penelitian dilakukan dengan metode
survey mulai Januari 2013 sampai dengan Desember 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hama
penggerek yang menyerang tanaman mangga di kota Bengkulu adalah ada dua jenis Rhytidodera
simulans dan Rhytidodera sp. (Coleoptera: Cerambicidae). Hama Rhytidodera sp itu merupakan jenis
hama baru. Perilakunya menyerang sama pada semua varietas mangga, yaitu mulai dari pucuk
kemudian menuju ke bagian batang utama dan hanya menyerang pada tanaman yang telah berbuah.
Pada serangan tahun pertama terjadi 1530%, pada tahun kedua 2050% dan tahun ketiga 5080%
pada tahun keempat tinggal menunggu kematiannya. Penggerek batangdapat dikendalikan secara
efektifdengan cara manajemen terpadu termasuk control mekanik, kontrol kimia dan praktek
agronomipada tahap awalbaik pada pertumbuhanmanggatumbuh daninfestasi penggerek batang,
danuntukjangka panjang. Manajemen terpadutelah dikembangkan dan berhasil digunakan di daerah
demonstrasi.
Kata kunci: Mangifera indica, Rhytidodera simulans, Rhytidodera sp., penggerek cabang mangga,
hama baru.

ABSTRACT
Stem borer is the most important pest on mango in the lowland area. The information about research
this pest was still very limited, therefore, it is difficult to arrange its control strategy. The research
was intended to collect data on the species of stem borer from some location, its damage severity on
some mango varieties. The study was conducted by survey method from January 2013 to December
2014. The research revealed that the stem borer found in some location was two species Rhytidodera
sp. and Rhytidodera simulans (Coleoptera: Cerambycidae). Discovered a new species of mango
branch borer Rhytidodera sp. The stem borer attacked almost all varieties that were found in
Bengkulu City. His behavior has the same on all varieties of mango, i.e. starting from the tip of the
shoot and then headed over to the main stem and the only strike at plants that have been fruitful.In the
first year of attacks going on 15-30%, in the second year of 2050% and third year 5080% in the
fourth year of just wait for his death. The stem borer can be effectively controlled by way of the
integrated management including mechanic control, chemical control and agronomic practices in the
early stages of both mango growing and stem borer infestation, and for long run. The integrated
management was developed and successfully employed in the demonstration areas.
Keywords: Mangifera indica, Rhytidodera simulans, Rhytidodera sp., mango stem borer, new pest.

114
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Mangga Mangifera indica L. merupakan komoditas tanaman buah yang mempunyai banyak
varietas. Masing-masing varietas mangga menghendaki persyaratan agroklimat yang berbeda untuk
dapat tumbuh dan berbuah dengan optimal. Oleh karena itu pemilihan varietas dalam pengembangan
mangga harus disesuaikan dengan lokasi pengembangan yang dipilih. Salah satu daerah yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra produksi mangga adalah daerah rendah basah. Hal itu
terbukti dengan dilepasnya varietas unggul nasional mangga seperti Gedong Gincu, Sala, dan Lokal
Bengkulu yang dikembangkan di daerah rendah basah (Soegito et al. 2005).
CABI (2010) mengulas hama mangga yang tersebar di seluruh dunia. Tercatat ada sekitar 307
spesies hama yang menyerang tanaman mangga, 69 spesies di antaranya termasuk serangga yang
terdiri atas 40 spesies dari ordo Hemiptera dan Homoptera, 4 spesies dari ordo Coleptera, 4 spesies
dari ordo Diptera, 11 spesies dari ordo Lepidoptera, 1 spesies dari ordo Orthoptera, 8 spesies dari ordo
Thysanoptera. Di antara 69 spesies itu adalah penggerek cabang mangga.
Akibat serangan hama penggerek ini dapat menyebabkan cabang hingga batang utama mangga
mengalami kematian. Balitbu(2007) telah memperoleh beberapa informasi hama penggerek batang
mangga tersebar di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Hama itu juga dapat ditemukan di Bengkulu,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, di Yogyakarta dan Jawa Timur, Sarawak; Java; Sumatra;
Celebes, Ceram, Tenasserim; Thailand; Peninsular Malaysia (Malacca); Sarawak; Java; Sumatra;
Celebes, Ceram (Kondo and Razak, 1993). Dari semua varietas mangga yang diamati, tidak satu
varietas pun yang terhindar/tahan dari serangan hama ini. Dua jenis penggerek batang mangga yang
umum ditemukan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara adalah Rhytidodera integra dan Palimna
annulata (Muryati et al. 2010). LarvaR. simulans berwarna putih kusam panjangnya sampai 7
cm. Larva instar akhir (mendekati masa pupa) membuat lubang gerek 1 1,5 cm. Kumbang aktif pada
malam hari. Telur berwarna coklat-merah berbentuk oval, panjangnya sekitar 2 mm, terdiri dari 3 - 5
kelompok. Kumbang mampu hidup 50-100 hari dan menghasilkan telur sekitar 160 butir. Masa
perkembangannya diperkirakan 7 - 8 bulan di Indonesia (Balitbu, 2007) dan satu tahun di Malaysia
(Kondo and Razak, 1993).
Rhytidodera simulans termasukOrder: Coleotera, Family: Cerambicdae. Genus: Rhytidodera,
Species: Rhytidodera simulans merupakan hama utama pada tanaman mangga dan biasanya
menyerang tanaman yang sudah berbuah (Ithnin and Shamsudin, 1996; Kondo and Razak, 1993).
Imago betina meletakkan telur-telurnya di cabang-cabang muda dan telurnya berwarna kuning pada
Februari 2006.Kondo and Razak (1993) melaporkan bahwa daur hidup Rhytidodera simulans sekitar 1
tahun. Larvanya dapat ditemukan pada saat cabang tanaman yang diteliti rusak, dewasanya dijumpai
dan kawin di bulan Februari 2007 maka daur hidup aktualnya di perkebunan mangga di Malaysia
adalah satu tahun.
Menurut Muryati et al. 2003, sebanyak 95% tanaman mangga Gedong Gincu, Arumanis dan
Marifta yang digunakan sebagai Blok Penggandaan Tempel (BPMT) di Kebun Percobaan Aripan,
Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Tropika Solok hancur karena serangan hama penggerek
batang dan pada tahun 2013 semua varietas dari mangga Mangifera indica yang sudah berbuah di
Bengkulu terserang hama itu.
Salah satu kesulitan utama dalam mengatasi penggerek batang adalah keberadaan hama dalam
batang tanaman dan siklus hidupnya yang panjang. Dari publikasi yang ada, informasi perilaku lain
hama itu sangat sedikit diungkap, oleh karena itu untuk dapat mengendalikan hama ini masih banyak
data dasar yang digali, sehingga teknologi pengendalian yang dihasilkan benar-benar dapat dapat
mengatasi permasahan hama ini secara mandasar.
Guna penyusunan konsep pengendalian, perlu dipertibangkan aspek efisiensi, efektifitas dan
ramah lingkungan yang pada dasarnya merupakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Hama
penggerek batang termasuk Cerambycidae, yaitu jenis kumbang yang mempunyai antena panjang.
Hama-hama yang termasuk ke dalam famili ini biasanya menyerang tanaman berkayu dengan cara
larva berkembang dan merusak baik pucuk, batang maupun maupun akar. Larvanya berumur mulai
dari mulai beberapa bulan hingga beberapa tahun bergantung pada kualitas nutrisi dan kelembaban
jaringan Tanaman inangnya (Linsey 1961).
Hama penggerek batang merupakan salah satu permasalahan utama dalam budidaya mangga
terutama di daerah rendah basah. Gejala seranganpada tanaman yang rusak berat, dapat
mengakibatkan kerusakan bunga dan cabang patah. Pada bekas patahnya cabang, terlihat lubang dan
saluran gerekan. Dari lubang gerekan tersebut mengalir cairan getah berwarna hitam. Pada cabang-

115
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

cabang yang mati apabila dibelah pada bekas saluran tersebut seringkali menjadi tempat tinggal
semut.Untuk mengetahui spesies penggerek cabang mangga dan pola serangannya pada Mangifera
indica var. di Kota Bengkulu serta cara pengendaliannya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis
hama penggerek batang mangga dan mempelajari perilakunya di Kota Bengkulu.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan dengan cara survai menggunakan metode purposive random sampling
tanaman mangga di pekarangan di Kota Bengkulu. Sampling dilakukan dengan seluruh tanaman di
lokasi terpilih. Penelitian untuk mengetahui jenis dan perilaku hama penggerek batang dilakukan
mulai bulan Januari 2013 sampai dengan Desember 2014. Untuk mengetahui intensitas serangan,
maka pengamatan dilakukan terhadap gejala serangan baik pada pucuk, cabang maupun batang utama,
yaitu adanya lubang bekas gerekan serangga, serta kematian jaringan tanaman tersebut. Untuk
mengetahui jenis penggerek yang menyerang dilakukan pemangkasan bagian tanaman yang terserang,
kemudian dibawa ke laboratorium dan diamati jenis penggereknya. Selain itu diamati juga varietas
mangga yang ada dan intensitas serangan penggerek cabang masing-masing. Untuk pengamatan
biologi penggerek dilakukan pengambilan sampel cabang/batang terserang dan yang masih ada larva
penggerek di dalamnya, kemudian dibawa dan dipelihara di laboratorium untuk biologi dan
kemungkinan adanya musuh alami hama tersebut.
Biologi penggerek batang. Untuk mengetahui biologi hama, sepasang imago penggerek
dipelihara di dalam kotak plastik yang diberi ventilasi dengan dibuat lubang ukuran 5 cm x 5 cm.
Bagian tutup kotak pemeliharaan tersebut disimpan di laboratorium sampai imago betina meletakkan
telur. Telur yang dihasilkan dipelihara sampai menjadi imago. Larva dipelihara di dalam jaringan
cabang mangga yang berfungsi sebagai pakan larva tersebut. Pengamatan dilakukan setiap hari.
Parameter yang diamati adalah lama telur, larva, pupa dan dewasa.
Musuh alami penggerek batang diamati dengan cara larva yang berasal dari lapangan dibawa
dan dipelihara di laboratorium. Pemeliharaan dilakukan Cabang mangga yang dimasukkan ke dalam
kotak plastik. Pengamatan dilakukkan setiap dua hari sekali untuk mengetahui organisme yang muncul
dari pemeliharaan tersebut.
Data hasil pengamatan dianalisis secara diskriptif. Data hasil survai dan pengamatan perilaku
hama di laboratorium disajikan dalam bentuk gambar dan analisis arimatik berupa angka rataan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pohon mangga yang terserang penggerek batang mempunyaikanopi yang rusak dan tidak
beraturan serta dengan cabang-cabang yang patah (Gambar 1 dan 2). Cabang yang mati mempunyai
lubang-lubang gerekan pada sisi bagian bawah di mana cairang berwarna hitam keluar. Jika cabang-
cabang ini dibelah, lubang gerekan panjang dan besar akan mudah dilihat (Gambar 3).
Preferensi terhadap varietas ini dimungkinkan karena adanya kesuaiannya dan keseimbangan
nutrisi yang tersedia bagi siklus hidup hama penggerek batang Rhytidodera sp. Selain itu preferensi
hama tersebut yang lebih tinggi terhadap varietas tertentu dibandingkan terhadap yang lain
kemungkinan disebabkan karena senyawa kimia khas yang dikeluarkan oleh masing-masing varietas
berbeda, seperti yang dinyatakan oleh Chenier dan Philogene (1989) yang menyatakan bahwa
Cerambycidae dewasa mendapakan inangnya melalui olfaction (indra pembau). Hasil pengangamatan
di lapangan terhadap tingkat serangan penggerek batang mangga varietas yang ditanam petani di Kota
Bengkulu menunjukkan bahwa tingkat serangan varietas yang telah berbuah adalah 5,81-76,67%.
Karena serangannya yang sangat mematikan, maka penggerek batang dikategorikan sebagai serangga
hama yang paling merusak, Nielson (1981). Serangga golongan Cerambycidae biasanya merupakan
pemakan tanaman varietas Manalagi, Apel, Bengkulen, Lokal Bengkulu, Arumanis, Kuweni dan
Golek (Tabel 1). Selain faktor kesesuaian inang, faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan dan hari
hujan sangat mempengaruhi kesesuaian habitat bagi perkembangan serangga penggerek batang
mangga (Price, 1997). Pada serangan tahun pertama terjadi 1530%, pada tahun kedua 2050% dan
tahun ketiga 5080% pada tahun keempat tinggal menunggu kematiannya.

116
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Table 1. Persentase serangan penggerek cabang pada beberapa varietas Mangga yang telah berbuah di
Kota Bengkulu pada tahun 2013
Lokasi
Varietas Gading Muara Kampung Ratu Sungai Teluk
Selebar Rerata
Cempaka Bangkahulu Melayu Agung Serut Segara
Manalagi 32,79 23,08 11,11 - 11,11 20,83 23,84 23,03
Apel 8,11 - - - - - - 8,11
Bengkulen 32,79 32,79 20,83 11,11 - - - 19,45
Lokal Bengkulu 32,79 5,56 20,83 23,63 34,35 15,53 16,23 19,72
Arumanis 76,67 15,85 34,58 - 15,85 - - 35,54
Kuweni 12,50 5,56 - - 5,87 8,11 7,51
Golek 32,79 16,84 15,84 - - 15,67 - 20,27

Gambar 1. Kanopi telah digerek 3 bulan Gambar 2. Kanopi telah digerek 1 tahun

Gambar 3. Bekas gerekan ditandai dengan dimakannya jaringan xilem.

Hasil identifikasi serangga penggerek cabang di Kota Bengkulu adalah Rhytidodera, Ordo
Coleoptera, Familia Cerambycidae, subfamili Lamiinae (Gambar 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10). Penggerek R.
simulans sudah diketahui ada di Bengkulu (Pujiastuti dan Adam, 2010). Sedangkan Rhytidodera sp.
merupakan jenis baru. Serangga dewasanya diciririkan bentuk badan dengan antena yang panjang,
sehingga nama umum penggerek batang ini adalah kumbang berantena panjang. Antenanya dapat
berputar ke arah belakang sejajar dengan sejajar badannya. Rhytidodera sp. merupakan spesies
mempunyai antena panjang tetapi tidak melebihi panjang tubuhnya.
Hama ini meletakkan telurnya yang berbentuk oval pada ranting dari tanaman inang, selanjutnya telur
akan menetas 4-12 hari kemudian, panjangnya sekitar 2 mm, terdiri 3-5 kelompok, larva instar 1- 2
(Gambar 6) menggerek kulit dan floem, setelah memasuki instar ke 3 dan instar 4 (Gambar 7 dan 8),
larva menggerek kayu ranting kemudian bergerak menuju batang utama, larva berwarna putih
panjangnya dapat mencapai 6 cm, larva instar akir berwarna putih sedang pupa (Gambar 9) berwarna
krem kusam, kumbang aktif padamalam hari (Gambar 9), kumbang mampu hidup 50-100 hari dan
menghasilkan telur sekitar 160 butir, masa perkembangannya 7-12 bulan (tergantung varietasmangga).
Sebelum pupasi, larva akan membuat lubang keluar dengan diamenter 1-1,5 cm, dan kemudian
menetap didalam liang yang sebagian tertutup oleh serbuk-serbuk penutup.

117
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

A. Larva B. Dewasa

Gb 5. Lobang gerek Gb.6. Larva instar Gb. 7. Larva instar 4 Gb. 8. Larva instar 4
tampak dari luar 3

Gb. 9. Larva instar 4 Gb. 10. Pupa Gb. 11. Imago Rhytidodera sp

118
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kedua jenis kumbang ini aktif pada malam hari (nocturnal) dan kadang-kadang tertarik pada
sinar lampu. Umumnya kumbang ini istirahat pada siang hari dan sulit untuk ditemukan saat mereka
menjulurkan tubuhnya pada ranting-ranting dan memanjangkan antenanya ke arah depan. Kumbang
dewasa dapat terbang sejauh lebih dari 1 km.
Menurut Fransceco (2013) Genus Rhytidodera termasuk Ordo Coleoptera, Famili
Cerambycidae yang telah diketemukan adalah: R.cristata Pascoe 1866 mempunyai penyebaran di
Borneo, R.mutabilis Holzschuh 1993 (Thailand), R. consona Holzschuh 1995 (India, Nepal),
R.integrifrons Heller 1897 (Indonesia: Celebes), R. bowringii White 1853 (Nepal, Myanmar, n-
Thailand, Laos, Vietnam, China), R.griseofasciata Pic1912 (China, n-Vietnam), R. grandis Thomson
1865(Laos, Thailand, Borneo), R.robusta Gahan 1891 (India), R.integra Kolbe 1886 di (Korea,
China, Taiwan, Vietnam, Laos, R.concolor Nonfried), 1895 (Sumatra), R.simulans (White, 1853) di
(Myanmar: Nepal, Thailand and Malaysia), R.siamica Nonfried 1892 (Thailand). Kemudian oleh
Suparno (2013) ditemukan spesies baru asal Bengkulu Rhytidodera sp. dan sebelumnya spesies yang
berasal dari Sumatra adalah R.concolor Nonfried), 1895.

Kunci bergambar dari Fransceco (2013) Rhytidodera White, 1853 yang termasuk tribus
Cerambycini Latreille, 1804 adalah sebagai berikut.
1.Pronotum dengan berabungan memanjang ..................2
-.Pronotum keriput tidak teratur...........................7

2.Elytra dengan pita gelap pasca median melintang .............................................................................3


-.Elytra dengan banyak bintik-bintikabu-abu dan/atau berbulu balig kuning....................................... 4

3.Elytradengan 2 duri akut panjang disetiap ujung; berbulu balig badan coklat tua (Borneo)... cristata
Pascoe, 1866.

-. Elytra rompang, tidak dipersenjatai pada ujungnya, berbulu balig tubuhnya berwarna coklat muda
(Thailand)..... mutabilis Holzschuh, 1993.

4.Elytra membulat pada ujung luar (ne-India, Nepal) ... consona Holzschuh, 1995
-. Elytra rompong miring padaujung luar ............................................................................................ 5

5. Pronotum dengan berabungan punggung dorsal tidak teratur (Indonesia: Celebes) ... .......
integrifrons Heller, 1897.

119
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

-.Pronotum dengan berabungan punggung teratur (Asian species)................................................... 6

6. Tubuh medial kecil (25-35 mm); elytra dengan pola kuning dan berbulu balig abu-abu) (Nepal,
Myanmar, n-Thailand, Laos, Vietnam, China)...........bowringii White, 1853.

-.Tubuh lebih besar medial (30-45 mm); elytra dengan hanya berbulu balig abu-abu) (China, n-
Vietnam)...... ..griseofasciata Pic, 1912.

7. Antennae flabellate (Laos, Thailand, Borneo) ....................grandis Thomson, 1865


-. Antennae not flabellate (tidak mengipas) ..................................................................................... 8

8. Elytra membulat padaujung luar .................................................................................................. 9


-. Elytra bergigi padaujung luar ................... ................................................................................ 12

9.Tubuh lebih tegar; elytra dengan garis-garis kuning membujur(India) .... robusta Gahan, 1891.

120
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

-.Tubuh lebih memanjangelytra dengan bintik-bintik abu-abu dan berbulu balig kuning
.............................................. 10

11. Ttubuh dengan berbulu; balig berbecak (Korea, China, Taiwan, Vietnam, Laos)
.......................................................integra Kolbe, 1886

-. Tubuh denganberbulu balig hampir seragam(Sumatra) ........concolor Nonfried, 1895.


Note: I do not know really the difference since, apparently, Nonfried did not know R. integra.

12.(Myanmar: Tenasserim, distrbusi telah diketahui setidaknya Nepal, Thailand and Malaysia)
..........................................simulans (White, 1853).

-. (Thailand) ........................................................................... siamica Nonfried, 1892

INDONESIE, Ile de Bencoolen, 12.IV.2013, taille 30 mm. Rhytidodera sp T. Suparno, 2014

121
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Penggerek batangdapat dikendalikan secara efektif dengan cara manajemen terpadu termasuk
control mekanik, kontrol kimia dan praktek agronomi pada tahap awal baik pada pertumbuhan mangga
tumbuh dan infestasi penggerek batang, dan untuk jangka panjang. Manajemen terpadu telah
dikembangkan dan berhasil digunakan di daerah demonstrasi.

KESIMPULAN
Ditemukan dua spesies penggerek batang mangga Rhytidodera sp. dan R. simulans.Kumbang
Rhytidodera sp. merupakan spesies baru dari Kota Bengkulu termasuk ke dalam ordo Coleoptera dan
Famili Cerambycidae. Hampir semua varietas mangga yang sudah berbuah ditemukan di Kota
Bengkulu diserang penggerek batang dengan tingkat serangan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
CABI. 2010. Crop protection compendium [CD-ROM]. Wallingord: CAB International
Chenier, J.V.R. dan B.J.R. Philogene. 1989. Field Responses of Certain Forest Coleoptera to Conifer
Monoterpene and Ethanol. J. Chem. Ecol. 15: 1729-1745.
Francesca. 2013. Key to the genus Rhytidodera White 1853. Cerambycoidea Forum. Posted 26/8/2013
Hank, L. M. 1999. Influence of the Host Plant on Reproductive Strategies of Cerambycid Beetles.
Ann. Rev. Entomol. 44: 483-595.
Ithnin, B. and O.M. Shamsudin, 1996.Insect pests.Mango planting guide. Malaysia Agric. Res.
Develop. Inst., 6: 32-42.
Kondo, E. and A.R. Razak, 1993. Infectivity of entomopathogenic nematodes, Steinernema
carpocapsae, on the mango shoot borer, Rhytidodera simulans. Jap. J. Nematol., 23: 28-
36.
Linsley, E.G. 1959. Ecology of Cerambycidae. Ann. Entomol. 4: 99-138.
Muryati, M. Istianto dan Affndi. 2010. Beberapa aspek bioekologi hama penggerek batang mangga.
20(2): 171-178
Nielsen, E.G. 1981. Studying Biology and Control of Borrer Attacking Woody Plant. Ann. Entomol.
Soc. Am. 27(4): 251-259
Pena, J.E., 1993. Pests of mango in Florida. Acta Hort. (ISHS), 341: 395-406.
Price, W.P. 1997. Insect Ecology. Third edition. John Wiley and Son, Inc. New York. USA. 874P.
Pujiastuti, Y dan T. Adam. 2010. Keragaman serangga penggerek batang (Coleoptera :
Cerambycidae) pada tanaman mangga dan nangka. Prosiding Semirata Bidang llmu-Ihnu
pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2010. flal. 83-g6
Soegito, H. Subakti, Muryati, A. Affandi dan M. Istianto. 2005. Teknologi Produksi Tanaman Mangga
di Wilayah Basah. Laporan Akhir RPTP.A. 2005. Balitbu Tropika. 36 hlm.

122
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH JENIS KOMPOS DAN WAKTU PENGENDALIAN GULMA TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN JAGUNG MANIS SECARA ORGANIK
INFLUENCE OF COMPOST TYPES AND WEED CONTROL PERIODE ON GROWTH
AND YIELD OF SWEET CORN UNDER ORGANIC FARMING
Rahmat Wijaya, Nanik Setyowati dan Masdar
Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jl. WR Supratman, Bengkulu, Indonesia.
e_mail : nanik_srg@yahoo.com, phone : 08117300478

ABSTRAK
Dewasa ini telah terjadi pergeseran ke arah budidaya pertanian yang ramah lngkungan termasuk
pertanian organik. Pupuk organik mutlak diperlukan dalam pertanian organik untuk menggantikan
pupuk kimia sintetis. Disamping itu, gulma perlu dikendalikan untuk mengurangi penurunan hasil.
Penelitian bertujuan untuk membandingkan pengaruh jenis kompos dan waktu pengendalian gulma
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis.Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-
Maret 2016 diKelurahan Padang Serai, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Indonesia.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama jenis
pupuk terdiri dari sintetik, vermikompos, kompos seresah daun, kompos wedelia dan kompos eceng
gondok sedangkan faktor kedua waktu pengendalian gulma yaitu 3 MST maupun 3 dan 6 MST.
Jagung manis yang dipupuk dengan kompos pertumbuhan dan hasilnya lebih baik dibandingkan
denganyang hanya dipupuk dengan pupuk anorganik. Pertumbuhan dan hasil jagung manis terbaik
dihasilkan dari tanaman yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos diikuti oleh kompos
eceng gondok dan kompos seresah daun. Berat berangkasan segar dan berat berangkasan kering
tanaman tertinggi dihasilkan dari tanaman yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos.
Jagung manis yang dipupuk kompos pada dosis 20 ton/ha menghasilkan diameter tongkol berkelobot,
diamater tongkol tanpa kelobot dan panjang tongkol tanpa kelobot yang lebih tinggi dibandingkan
yang dipupuk dengan pupuk anorganik. Tidak terdapat perbedaan pertumbuhan dan hasil jagung yang
gulmanya dikendalikan pada 3 MST dan yang dikendalikan dua kali pada 3 dan 6 MST.
Kata kunci : kompos, pengendalian gulma, jagung manis, pertanian organik

ABSTRACT
There has been a shift towards sustainable agriculture including organic farming system. Organic
fertilizer is absolutely necessary for organic farming to replace synthetic fertilizers. In addition, weed
control is necessary to prevent yield decrease.This study aimed to compare the influence of different
types of compost and weed control period on growth and yield of sweet corn. This research was
carried out in January-March 2016 in Padang Serai, Kampung Melayu Subdistrict, Bengkulu City,
Indonesia. The design used in the experiment was Complete Random Design with two factors. The
first factor was synthetic fertilizer, vermicompost, litter compost, wedelia compost and water hyacinth
compost, whereas the second factor was the weed control period which were 3 WAP (weeks after
planted) as well as 3 and 6 WAP. Sweet corn plants that nurtured with compost has better growthand
yield compared to a plant that just nurtured with inorganic fertilizers. The best growth and yield of
sweet corn plants produced from plants fertilized with wedelia compost and vermincompost followed
by water hyacinth compost and litter leaves compost. Sweet corn fertilized with wedelia compost and
vermicompost provided the highest shoot fresh and dry weight. Sweet corn fertilized with compost of
rate 20 ton/Ha gave diameter of unhusked ear, diameter of husked ear as well as length of unhusked
ear higher than synthetic fertilizer. Weed control once in 3 WAP (week after planted) as well as twice
in 3 and 6 WAP resulted in no significant different on sweet corn growth and yield
Keywords : compost, weed control, sweet corn, organic farming

123
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Penggunaan pupuk kimia sitetik dan pestisida sintetik akan memberikan dampak yang panjang
baik kepada sifat fisik tanah, kimia tanah bahkan biologi tanah yang berakibat menurunnya fungsi
tanah dan memperpendek penggunaan lahan. Pertanian secara konvensional berusaha memacu
produksi sebanyak-banyaknya tanpa ada usaha pengembalian sisa panen kembali ke tanah, sehingga
kesuburan tanah menurun. Sistem budidaya secara organik merupakan cara yang tepat untuk
mengatasi masalah yang ditimbulkan dari pertanian secara anorganik. Sistem pertanian organik
berorientasi kepada pemanfaatan sumber daya alam, tanpa melibatkan pupuk sintetis, pestisida sintetis
dan herbisida sintetis. Penggunaan input yang berupa pupuk organik dan pestisida hayati juga
berorientasi kepada peningkatan produksi, pendapatan, berkelanjutan dan ramah lingkugan (Tandisau
dan Herawati, 2009 ).
Pupuk organik yang berasal dari tanaman atau hewan yang digunakan untuk mensuplai bahan
organik juga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Simanungkalit et al., 2006 ).
Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan dapat menyediakan media
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang. Pemberian pupuk organik padat dengan dosis
tertentu dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Muhsanati et al 2008).
Martadjaya et al (2010), menyatakan tidak ada perbedaan terhadap pertumbuhan dan hasil panen
jagung manis yang dipupuk dengan pupuk organik maupun anorganik.
Bahan yang dapat digunakan untuk pembuatan pupuk organik antara lain seresah daun, limbah
pertanian maupun gulma seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan wedelia (Wedelia trilobata).
Meskipun memiliki dampaknegatif, beberapa jenis gulma dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik
(Muktamar et al., 2016; Setyowati et al., 2014a; Setyowati et al., 2014b; Setyowati et al., 2014c).
Selain pupuk, masalah yang serius dalam budidaya pertanian organik adalah gulma.
Pertumbuhan gulma pada tanaman jagung manis semakin lama akan semakin banyak mulai minggu ke
4 hingga minggu ke 10. Pertumbuhan dan jenis gulma juga meningkat dengan berjalannya waktu.
Tanaman jagung yang ditanam akan bersaing dengan gulma dalam memperebutkan ruang tumbuh,
unsur hara dan air.Agar tanaman tetap tumbuh dengan baik dan subur maka gulma yang tumbuh harus
dikendalikan, khususnya pada periode kritis (Suryaningsih et al, 2011). Penelitian bertujuan untuk
menentukan jenis pupuk organik dan waktu pengendalian gulma yang tepat bagi pertumbuhan dan
hasil tanaman jagung manis.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2016 diKelurahan Padang Serai,
Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, dengan ketinggian lahan 5 mdpl.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor. Faktor
pertama adalah jenis kompos terdiri dari: K0=Kontrol (pupuk anorganik dosis 300 kg Urea,150 kg
KCl dan 150 TSP/ tanpa pupuk kompos) (Kuyik et al., 2012), KV= Vermikompos 20 ton/ha,
KS=Kompos seresah daun 20 ton/ha, KE=Kompos Eceng Gondok 20 ton/ha, KW=Kompos Wedelia
20 ton/ha. Faktor kedua adalah waktu penyiangan gulma yang terdiri dari: P0=Tanaman disiangi satu
kali pada umur 3 MST, P1= Tanaman disiangi dua kali pada umur 3 MST dan 6 MST. Penelitian
diulang tiga dan pengamatan dilakukan terhadap 5 tanaman sampel pada masing-masing petak.
Pengolahan tanah dilakukan satu kali. Setelah tanah diolah dibuat petak percobaan dengan
ukuran 3m x 2m ( p x l ) dengan jarak antar blok 1m. Kompos dengan dosis 20 ton/ha diberikan 4
minggu sebelum tanam pada larikan sepanjang lubang tanam. Pada petakkontrol, pupuk diberikan
pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST dengan dosis Urea: 300 kg/ha, TSP : 150 kg/ha dan
KCl: 150 kg/ha.Benih jagung manis ditanam dengan jarak taman 20cm x 70cm dan penyulaman
dilakukan pada umur 1 MST.
Gulma dikendalikan secara mekanis menggunakan cangkul dan dilakukan pada saat tanaman
berumur 3 MST untuk perlakuan satu kali penyiangan dan pada 3 MST dan 6 MST untuk dua kali
penyiangan. Pengendalian gulma dilakukan bersamaan dengan kegiatan pembubunan. Pengendalian
hama dan penyakit dilakukansecara fisik, menggunakan perangkap, mempertahankan predator dan
menggunakan pestisida nabati ekstrak daun suren. Untuk pengendaliandengan menggunakan pestisida
yang mengandung agen hayati antagonis berupa virus (Spodoptera litura nuclear Polyhedrosis)
dilakukan selama tiga minggu yakni pada minggu ke 7 sampai minggu ke 9 setelah tanam. Panen
dilakukan dengan kriteria masak secara fisiologis atau telah masuk masa G4 atau (generatif ke 4).

124
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Selanjutnya datadianalisis dengan menggunakan analisis of varians (anova) pada taraf 5%.
Data yang menunjukkan berbeda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji BNT pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tidak terdapat interaksi antara jenis kompos dan waktu pengendalian gulma. Jenis kompos
berpengaruh terhadap seluruh variabel yang diamati kecuali diameter tongkol tanpa kelobot sedangkan
waktu pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap semua variabel yang diamati (Tabel 1).
Table 1. Rangkuman analisis varian (Anava) pengaruh jenis pupuk kompos dan waktu pengendalian
gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis.
Interaksi Jenis Kompos Waktu
Variabel Pengendalian
F-hit Prob F-hit Prob F-hit Prob
Tinggi tanaman 2,05ns .1298 53,39* .0000 0,64ns .4330
Jumlah daun 2,45ns .0834 5,76 * 0036 1,71ns .2062
Diameter batang 0,98ns .4418 6,08 * .0028 0,18ns .6711
Berat berangkasan segar 2,14ns .0867 16,33* .0000 0,05ns .8142
Berat berangkasn kering 3,34ns .0324 7,02 * .0014 0,58ns .4528
Diameter tongkol berkelobot 2,71ns .0598 9.02 * .0004 4,03ns .0625
Diameter tongkol tanpa kelobot 1,39ns .2752 2,24ns .1043 0,61ns .4423
Berat tongkol berkelobot 0,98ns .1082 13,14* .0001 0,18ns .5859
Berat tongkol tanpa kelobot 1,74ns .1839 8,60 * .0009 0,36ns .5243
Panjang tongkol tanpa kelobot 1,77ns .1785 6,22 * .0025 1,10ns .3063
Hasil perpetak 0,42ns .7892 11,04* .0001 0,10ns .7463
Keterangan : *= berbeda nyata (0,05), ns= berbeda tidak nyata (p<0,05).
Sumber : Data primer (2016)

Tabel 1 menunjukan jenis kompos berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis.
Namun waktu pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasiltanaman. Hasil
uji lanjut pengaruh jenis pupuk kompos dan waktu pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan
hasil jagung manis ditampilkan pada Tabel 2 dan 3.
Table 2. Respon pertumbuhan vegetatif jagung manis terhadap beberapa jeniskompos.
Variabel Pengamatan
Jenis Kompos TT JD DB BBS BBK
(cm) (helai) (mm) (g/tan) (g/tan)
Kompos Wedelia 78,12 a 14,70 a 15,20 a 442,4 a 272,03 a
Vermikompos 74,78 ab 14,63 a 15,06 ab 431,0 a 247,66 a
Kompos Eceng Gondok 72,93 b 14,23 a 15,00 ab 362,4 b 227,63 ab
Kompos Seresah Daun 65,28 c 14,13 a 14,88 b 309,0 b 182,53 bc
Kontrol 49,52 d 13,26 b 14,60 c 220,3 c 158,23 c
Keterangan: TT= Tinggi tanaman, JD= Jumlah daun, DB= Diameter batang, BBS= Berat berangkasan segar,
BBK= Berat berangkasan kering. Huruf yang sama yang berada pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5 %. Sumber : Data pimer (2016)

Table 3. Respon pertumbuhan generatif jagung manis terhadap beberapa jenis kompos
Variabel Pengamatan
Jenis Kompos DTB DTTK BTB BTTK PT H
(cm) (mm) (g) (g) (cm) (kg/6m2)
Kompos Wedelia 55,30 a 50,36 a 294,93 a 266,18 a 20,73 a 9,11 a
Vermikompos 55,02 a 48,74 ab 265,6 ab 246,16 a 20,50 a 8,91 a
Kompos Eceng Gondok 53,60 a 47,74 ab 277,5 a 233,13 ab 20,16 a 6,58 b
Kompos Seresah Daun 49,69 b 44,66 ab 237,5 b 204,01 bc 19,03 a 5,65 bc
Kontrol 46,76 b 41,66 b 172,13 c 164,73 c 16,10 b 3,98 c
Keterangan: DTB= Diameter tongkol berkelobot, DTTK= Diameter tingkol tanpa kelobot, PT=Panjang tongkol,
BTB= Berat Tongkol Berkelobot, BTTK= Berat Tongkol Tanpa Kelobot, H= Hasil perpetak. Huruf yang sama
yang berada pada kolom yang sama tidak berbeda nyata. Sumber: Data primer (2016)

125
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Aplikasi kompos wedelia dan vermikompos pada dosis 20 ton/ha menghasilkan tanaman
jagung yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Tanaman yang dipupuk dengan
kompos eceng gondok dan kompos seresah daun hasilnya juga lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol (Tabel 1). Tanaman yang dipupuk dengan kompos lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol.
Pada peneltian ini peningkatan tinggi tanamannya berturut-turut 57%, 51%, 47% dan 31% jika
dipupuk dengan kompos wedelia, vermikompos, kompos eceng gondok dan kompos seresah daun jika
dibandingkan dengan kontrol.
Hasil penelitian Pangaribuan (2012)juga menunjukan vermikompos dan kompos tithonia yang
diberikan pada tanaman jagung manis dapat meningkatkan tinggi tanaman, berat kering tanaman dan
serapan P pada tanaman. Disamping itu vermikompos juga meningkatkan kandungan C-organik dalam
tanah, P tersedia dan pH tanah dibandingkan dengan kontrol.
Gardner et al (1991) menyatakan, jumlah buku dan ruas sama dengan jumlah daun. Dalam hal ini,
jumlah daun yang lebih banyak dihasilkan oleh tanaman yang dipupuk dengan pupuk kompos (Tabel 2).
Jumlah daun tanaman yang dipupuk dengan kompos adalah 14 helai, dan 13 helai pada tanaman kontrol.
Disamping jumlah daun, kompos juga berpengaruh terhadap diameter batang. Pemberian pupuk organik
(kompos) tidak hanya berpengaruh positif pada tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang
tetapi juga terhadap luas. Hasil yang sama dilaporkan oleh Zulkifli dan Herman (2014). Luas daun ini
pada akhirnya berpengaruh terhadap berat berangkasan. Tanaman yang dipupuk dengan kompos pada
dosis 20ton/ha, berat berangkasan segar dan berat berangkasan keringnya lebih tinggi dibandingkan
tanaman kontrol (Tabel 2). Handajaningsih (2008) melaporkan, tanaman jagung manis yang dipupuk
vermikompos dan kompos lumpur sawit pada dosis 20 ton/ha menunjukan hasil yang berbeda tidak
nyata terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Hasil penelitian juga menunjukan kenaikan dosis
kompos diikuti dengan kenaikan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, berat berangkasan
segar dan berat berangkasan kering jagung. Hasil tertinggi didapat pada dosis 20 ton/ha.
Pertumbuhan tanaman ditunjukan oleh pertambahan ukuran dan berat kering yang tidak dapat
balik (Harjadi, 1988). Panchabanet al(2009), menyatakan penggunaan bahan organik pada tanaman
dapat meningkatkan berat kering dari tanaman itu sendiri. Penggunaan pupuk organik mampu memacu
pertumbuhan tanaman.Hal ini menjelaskan jika berat kering dari tanaman tersebut masih tinggi,
menandakan bahwa bukan hanya ada air tetapi unsur hara dan komponen lainnya terdapat didalamnya
dan mengindikasikan bahwa petumbuhan tanaman lebih baik. Secara fisiologis, unsur hara yang ada
dalam media tanam dapat diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tanaman jagung manis itu
sendiri.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan kompos dapat meningkatkan berat kering
tanaman jagung manis baik yang dipupuk dengan kompos wedelia, vermikompos maupun kompos
eceng gondok. Berat berangkasan kering terendah dihasilkan oleh tanaman kontrol (158,23 g)
sedangkan berat berangkasan kering yang dihasilkan oleh kompos wedelia sebesar 272,03 g dan tidak
berbeda nyata dengan vermikompos dan kompos eceng gondok.Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Muhsanati et al (2008), bahwa pemberian pupuk kompos tithonia dengan dosis 20ton/ha
dapat meningkatkan diameter tongkol tanaman jagung manis, panjang tongkol dan hasil. Pupuk
kompos berpengaruh baik terhadap perkembangan vegetatif maupun generatif tanaman jagung manis.
Faizal (2014) juga menyatakan, pemberian pupuk kompos dapat meningkatkan diameter tanaman
jagung. Muyassir (2013) dan Yeti el al (2012) juga menyatakan bahwa pemberian pupuk organik
dapat meningkatkan berat berangkasan kering dari tanaman jagung.
Pemberian kompos dapat menaikan pH tanah, KTK dan ketersediaan P2O5. Dalam hal ini
perlakuan pupuk kompos diduga dapat menaikan pH tanah dan memperbaiki sifat fisika dan kimia
tanah. Dengan demikian adanya pupuk kompos dapat menaikan nutrisi tanaman untuk pertumbuhan
dan efek lanjutannya ialah penambahan panjang tongkol. Tanaman yang dipupuk dengan kompos
seresah daun berat tongkol berkelobotnya naik 36,8 %, vermikomposs 61,2 %, kompos wedelia 71,3
%, sedangkan yang dipupuk dengan kompos eceng gondok naik 54,3 % dibandingkan tanaman
kontrol(Tabel3).
Pemberian kompos wedelia dan vermikompos dapat menghasilkantongkol tanpa kelobot yang
lebih tinggi dibandingkan pupuk kompos eceng gondok, kompos seresah daun maupun kontrol(Tabel
3). Aplikasi kompos wedelia dapat menaikkan berat tongkol tanpa kelobot sebesar 61,58%;
vermikompos 49,43 % dan kompos eceng gondok41,52 % dibandingkan tanaman kontrol. Ghosh et al
(2013), menyatakan bahwa pemberian vermikompos dapat meningkatkan hasiltanaman jagung manis
baik secara kualitas maupun kuantitas.

126
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pertumbuhan jagung manis yang berpengaruh nyata terhadap beberapa parameter


pertumbuhan dan hasil tersebut, diikuti dengan kenaikan hasil jagung manis. Tanaman jagung manis
yang dipupuk dengan kompos wedelia dan vermikompos hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan
kompos eceng gondok. Sedangkan kompos seresah daun hasilnya berbeda tidak nyata dengan tanaman
kontrol (Tabel 3).Dibandingkan dengan kontrol, kompos wedelia dan vermikompos masing-masing
dapat meningkatkan hasil jagung manis 128% dan 123%.
Secara umum hasil jagung manis terbaik didapat dari tanaman yang dipupuk dengan kompos
wedelia dan vermikompos selanjutnya oleh kompos eceng gondok dan kompos UNIB, sedangkan
tanaman kontrol hasilnya terendah. Kenaikan hasil ini disebabkan karena sifat kimia, fisika dan
biologi tanah menjadi lebih baik dan terarah dimana porositas tanah, kandungan nitrogen dan biologi
tanah memiliki respon baik terhadap pupuk kompos yang diberikan (Ghosh et al., 2013).
Pengaruh Waktu Pengendalian Gulma
Perbedaan waktu pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung (Tabel 1). Gulma yang dikendalikan pada umur 3 minggu setelah tanam (MST) dan
yang kendalikan 2 kali pada 3 dan 6 MST pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manisnya berbeda
tidak nyata. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail et al (2013), waktu
penyiangan yang dilakukan pada umur 2 MST hasil tanaman jagung manisnya lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang disiangi 3MST atau 4MST. Dengan demikian pada saat periode
kritis, gulma pada tamaan jagung manis harus dikendalikan dengan baik. Selanjutnya tanaman jagung
manis akan tumbuh tanpa adanya hambatan atau kompetisi dengan gulma pada fase vegetatif maupun
fase generatif. Jika gulma dikedalian pada periode kritis tersebut maka tanaman jagung manis dapat
tumbuh dengan optimal dan saat jagung manis sudah berumur 6 minggu gulma tidak lagi menjadi
pesaing utama dari tanaman jagung manis. Untuk itu gulma pada tanaman jagung manis cukup
dikendalikan satu kali pada umur 3MST.
Pengendalian gulma yang dilakukan antara 2 sampai 3 MST pada tanaman sorgum dapat
menekan kehilangan hasil sebesar 29% - 34% (Tarigan et al, 2013 dan Sitinjak et al, 2015). Penelitian
yang dilakukan olehRahayu et al, (2000) dan Simaremare(2010 )menunjukan, titik kritis pengendalian
gulma pada tanaman jagung manis terdapat pada umur tanam 21 sampai dengan 28 hari setelah tanam.
Hasil dalam penelitian ini menunjukan waktu pengendalian gulma pada umur 3 MST dan umur 3 dan
6 MST, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
manis.
Alasan tersebut diperkuat oleh penelitian Ningsih et al. (2011) dan Puspitasari (2011) yang
menunjukan bahwa jenis dan jumlah gulma pada tanaman jagung manis akan meningkat pada umur 4
MST. Dengan demikian untuk mencegah terjadinya persaingan yang tinggi antara tanaman dan gulma,
maka gulma perlu dikendalian pada umur3 MST, dan penyiangan yang dilakukan akan menekan
pertumbuhan gulma. Hasil penelitian yang dilakukan ini juga membuktikan bahwa pengendalian
gulma pada umur tanam 3 MST dapat menurunkan persaingan gulma pada pertanaman jagung manis.

KESIMPULAN
1. Tanaman jagung manis yang dipupuk dengan kompos pertumbuhan dan hasilnya lebih baik
dibandingkan dengan tanaman yang hanya dipupuk dengan pupuk anorganik.
2. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis terbaik diperoleh dari tanaman yang dipupuk
dengan kompos wedelia dan vermikompos diikuti oleh kompos eceng gondok dan kompos seresah
daun.
3. Tidak ada inteaksi antara jenis kompos dan waktu pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan
hasil jagung manis.

DAFTAR PUSTAKA
Faizal. 2014. Pengaruh pemberian beberapa dosis kompos dengan stimulator trichoderma terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea Mays Saccarata Sturt.L ) varietas
Bonanza F1. Fakultas Pertanian. Universitas Muhamadiyah Payakumbuh. Sumatera
Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan).
Gardner, P. F., B. R. Pearce and L. R. Mitchell. 1991. Fsiologi Tanaman Budiadaya. Alih bahasa oleh Susilo,
H. : Physiology of Tropical Field Crop. Gajah Mada University Press. Yokyakarta. 428 hal.

127
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Ghosh, B. C., N. Bera, D. Das, and D. K. Swain. 2013. Effect of varying soil and vermicompost
mixtures on growing media and yield and quality of sweet corn. Indian Institute of
Technology Kharagpur, India. 55(8): 38-42.
Handajanisngsih, M. 2009. Growth and yield of sweet corn grown organically using palm oil sludge at
different doses and composting methods (Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis yang
Dibudidayakan Secara Organik dengan Menggunakan Lumpur Sawit pada Dosis dan
Metode Pengomposan yang Berbeda). Jurnal Akta Agrosia 12(2) : 99-105.
Harjadi, S. S dan S. Yahya. 1988. Fisiologi Stres Tanaman. PAU IPB. Bogor
Ismail, K., W. Pembengo dan F. Zakaria.2013. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis dan
waktu penyiangan berbeda. KIM Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Vol. 1 No. 1.
http://kim.ung.ac.id/index.php/KIMFIIP/indexdiakses 28 September 2016
Muhsanati., A. Syarif., S. Rahayu. 2008. Pengaruh beberapa takaran kompos tithonia terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman jagung manis (Zea mays saccharata). Jurnal Jerami I ( 2 ) : 1-5.
Muktamar,Z., D. Putri and N. Setyowati. 2016. Reduction of Synthetic Fertilizer
for Sustainable Agriculture: Influence of Organic and Nitrogen Fertilizer Combination on Growth and
Yield of Green Mustard International Journal on Advanced Science Engineering
Information Technology, 6,3,361-364
Muyassir. 2013. Respon jagung tongkol ganda (Zea mays L.) terhadap
pemupukan urea dan kompos. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan 2(3): 250-254
Pangaribuan, M. 2012. Pengaruh pupuk SP-36, kompos Tithonia diversifolia dan vermikompos
terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman jagung (ZeamaysL.) serta P-tersedia pada
ultisol Simalingkar. Universitas Sumatra Utara. Medan. Skripsi (tidak dipublikasikan).
Puspitasari, V. D. 2011. Studi persaingan gulma terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
manis (Zea mays saccharata Sturt). Fakultas Pertanian. Universitas Jember. Skripsi
(tidak dipublikasikan).
Rahayu, N ., Nasrullah and A.T. Soejono. 2000. The critical period of sweet corn (Zea
Mayssaccharata) on weed competiton. Abstrak Program Studi Agronomi, Program Pasca
Sarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Setyowati, N., Z. Muktamar, B. Suriyanti and M. Simarmata. 2014a. Growth and Yield of Chili Pepper
as Affected by Weed Based Copmpost and N Fetilizer. 2014. International Journal on
Advanced Science Engineering Information Technology. 2-14.
Setyowati, N., Z. Muktamar, S. Oktiasa and D. W. Ganefianti. 2014b. Growth and Yield of Chili
Pepper Under Different Time of Application of Wedelia (Wedelia trilobata) and Siam
Weed (Chromolaena odorata) Organic Fertilizer International Journal on Advanced
Science Engineering Information Technology. 6-14.
Setyowati, N., S. Sudjatmiko, Z. Muktamar and Fahrurrozi. 2014c. Weed Sources
Organic Fertilizer for Vegetable Production in Closed Ageiculture System in Humid Tropical Higland
of Bengkulu. Proceedings of The 5th International Seminar of Regional Network on
Poverty Eradication (RENPER). Banking University of Ho Chi Minh City. 22-24 October
2014. P:559-667
Simanungkalit, R.D.M., D. A. Suriadikarta, R. Saraswati., D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk
Organink dan Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian .Jawa Barat.
Simaremare, F.S.S. 2010. Periode kritis kompetisi gulma pada dua varietas jagung (Zea maysL.)
hibrida. Departemen Budidaya Pertanian. Fakulltas Pertanian. Universitas Bengkulu.
Skripsi (tidak dipublikasikan).
Sitinjak, L., L. Purba., L.A.P. Putri. 2015. Identifikasi periode kritis persaingan dengan uji interval
bebas gulma pada dua varietas tanaman sorgum ( Sorghum bicholor (L.) Muench) dilihat
pada aspek pertumbuhan vegetatif. Jurnal Ilmu Pertanian KULTIVAR 9(1):9-18.
Suryaningsih.,J. Martin dan A. A. K. Darmadi. 2011. Inventarisasi gulma pada tanaman jagung (Zea
mays L.) dilahan sawah Kelurahan Padang Galak, Denpasar Timur, Kodya Denpasar,
Provinsi Bali. Jurnal Simbiosis 1(1): 1-8.
Tarigan, D. H., T. Irmansyah dan E. Purba. 2013. Pengaruh waktu penyiangan terhadap pertumbuhan
dan produksi beberapa varietas sorgum (SorgumBicolor (L.) Moench). Jurnal Online
Agroekoteknologi 2(1): 86-94.
Yeti, H., Nelvia dan A. Pratama. 2012. Pengaruh pemberian berbagai macam
kompos pada lahan ultisol terhadap pertumbuhan dan produksi jagung manis (Zea mays Saccharata
Sturt). Jurnal Agrotek. Trop. I (2): 31-37.
Zulkifli dan Herman. 2012. Respon jagung manis (Zea mays saccharata Stut ) terhadap dosis dan jenis
pupuk organik. Jurnal Agroteknologi 2 (2) : 33-36.
128
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KARAKTERISTIK KENTANG MERAH SPESIFIK BENGKULU SELAMA PENYIMPANAN


CHARACTERISTICS OF RED POTATOES OF BENGKULU-SPECIFIC DURING STORAGE
Wilda Mikasari, Lina Ivanti dan Taufik Hidayat
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian km. 6,5, Kelurahan Semarang, Kota Bengkulu
e-mail : wilda.mikasari@yahoo.com

ABSTRAK
Kentang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dikembangkan di Kabupaten
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik kentang merah
spesifik Bengkulu selama penyimpanan dan mengetahui kondisi penyimpanan yang dapat
mempertahankan mutu kentang merah. Penelitian dilaksanakan mulai Januari s.d. Mei 2014 di
laboratorium Pascapanen BPTP Bengkulu. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 2faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah lama penyimpanan 0
hari, 7 hari,14 hari, 21 hari,28 hari,35 hari, dan42 hari, faktor kedua adalah suhu penyimpanan (suhu
ruang dan suhu dingin 160C). Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan
berpengaruh nyata terhadap bobot kentang, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati, dan
kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Sementara itu, suhu penyimpanan
berpengaruh nyata terhadap bobot dan kadar pati, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula
kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Selain itu, interaksi antara lama dan suhu
penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot, kadar pati, dan kadar gula kentang merah pada
taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Penyimpanan pada suhu 160C dapat menghambat penyusutan bobot
dan memperpanjang umur simpan kentang merah.
Kata kunci : karakteristik, kentang merah, spesifik Bengkulu, penyimpanan

ABSTRACT
Red potatoe is one of horticulture comodity which is developed in Rejang Lebong District, Bengkulu
Province. This research was conducted to study Bengkulu spesific red potatoes during storage and
study storage condition which can save red potatoe quality. Research held from Januari until Mei
2014 at Postharvest Laboratory AIAT Bengkulu. Research design was Complete Randomized
Design(CRD) with 2factorsandthree replications. First factorwas storage period (0 day, 7
days,14days, 21 days, 28 days,35 days, and 42 days). Second factor wasstorage temperature (room
temperature and 16oC temperature). Analysis of Variance result showed that storage period have
significant effect to red potatoe weight, but have not significant effect to starch content and sugar
content at trust level 95% (P<0.05). Despite that, storage temperature have significant effect to red
potatoe weight and starch content, but have not significant effect to its sugar content at trust level 95%
(P<0.05).Moreover, interaction between storage period and temperature have not significant effect to
red potatoe weight, starch, and sugar content at trust level 95% (P<0.05). Then, storage condition at
temperature 16oC could inhibited red potatoe weight losses.
Keywords : characteristic, red potatoe, Bengkulu spesific, storage

PENDAHULUAN
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
peranan yang cukup strategis. Dikatakan demikian karena kentang dikonsumsi sebagai makanan
pokok untuk menyediakan sekitar 5-15% kalori bagi sebagian populasi penduduk di dunia (World
Cancer Research Fund/American Institute for Cancer Research, 2007 diacu dalam Thomson, et al.,
2009). Sementara itu, di Indonesia kentang dikenal sebagai salah satu komoditas hortikultura yang
banyak dikonsumsi sebagai sayuran. Namun walaupun dikonsumsi sebagai sayuran, kentangjuga
memiliki peranan antara lain sebagai sumber bahan makanan bergizi yang kaya akan vitamin dan
mineral, sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta kesempatan berusaha, bahan baku
agroindustri, sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara, dan pasar
bagi sektor non pertanian, khususnya industri hulu (Sumaryanto dan Friyanto, 2003).

129
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Luas panen kentang di Indonesia pada tahun 2015 (angka sementara) seluas 65.709 ha. Luas
ini menurun dibandingkan tahun 2014 sehingga berpengaruh terhadap produksi rata-rata kentang
nasional yang menurun sekitar 13,87%dibandingkan tahun 2014. Produksi kentang nasional pada
tahun 2015 (angka sementara) sebesar 1.219.558 ton.
Kentang merah merupakan salah satu jenis kentang yang dibudidayakan di beberapa wilayah
Indonesia seperti di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah, Bengkulu dan Kabupaten Solok
(Sumatera Barat) (Ferizal, 2013). Lebih lanjut, di Kabupaten Solok, komoditas kentang merah
merupakan salah satu komoditas unggulan yang dikembangkan (Fauzi, 2016). Sementara itu, di
Provinsi Bengkulu kentang merah(varietas Ukemil) banyak dikembangkan di daerah Kabupaten
Rejang Lebongyang merupakan kentang olahan spesifik Provinsi Bengkulu. Selain itu, di Kabupaten
Karo, tanaman ini sangat disukai petani. Selain karena budidayanya yang mudah pasaran kentang
merah saat ini juga sangat menjanjikan. Itu karena, produk hortikultura ini dapat diolah sebagai
panganan yang menggiurkan, seperti diolah menjadi keripik (Sofyan, 2010).
Walaupun pengembangan kentang merah masih terbatas, namun komoditas ini memiliki
potensi dan keunggulan untuk dikembangkan. Keunggulan tersebut terletak pada komposisi nutrisi
kentang merah yang cukup lengkap. Menurut United States Department of Agriculture (USDA)
(2016), dalam 100 gram kentang merah mengandung 80,96% air, 70 kkal energi, 1,89% protein,
0,14% lemak, 15,90% karbohidrat, 1,70% serat, dan 1,29% gula total. Lebih lanjut, kentang merah
juga mengandung mineral kalium dalam jumlah banyak di samping kalsium, zat besi, magnesium,
fosfor, kalium, natrium, dan seng. Selain itu, kentang merah juga mengandung vitamin C, thiamin,
riboflavin, niacin, vitamin B6, vitamin A, vitamin E dan vitamin K. Diantara kandungan beberapa
vitamin tersebut, vitamin C terdapat dalam jumlah yang banyak yakni 8,6 mg/100 gram bahan.
Permasalahan pada pengembangan komoditas kentang merah ini yakni sering mengalami
kerusakan baik pada saat penanaman, pemanenan, maupun penyimpanan. Secara ekonomi
penyimpanan bertujuan mempertahankan mutu kentang selama waktu tertentu agar harganya tidak
berfluktuasi dari satu saat panen ke saat panen berikutnya. Selain itu umbi kentang yang dipanen
jumlahnya banyak dan memerlukan waktu untuk dilakukan sortasi sebelum dikirim ke industri
pengolahan pangan, akibatnya umbi tersebut tidak dapat langsung menjadi produk olahan dalam satu
kali produksi (Asgar dan Rahayu, 2014). Lebih lanjut, umur simpan kentang dapat diperpanjang
dengan proses penyimpanan dingin. Pendinginan merupakan satu satunya cara yang ekonomis untuk
penyimpanan jangka panjang bagi sayuran segar, termasuk kentang. Pendinginan merupakan
penggunaan suhu rendah (dibawah suhu kamar) dan pada umumnya ditujukan untuk mempertahankan
kesegaran bahan.
Driskill et al. (2007), menyatakan bahwa beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
penyimpanan umbi kentang adalah bagaimana proses mengendalikan penyakit dan pertunasan,
meminimalisir penyusutan, dan mengendalikan kualitas penyimpanan. Salah satu faktor penting yang
mempengaruhi proses-proses tersebut adalah suhu. Sebagai contoh suhupenyimpanan spesifik untuk
industri pengolahan kentang beku adalah 8-90C. Kisaran suhu yang ideal yang dapat meminimalkan
pengembangan patogen dan memperpanjang dormansi dan dapat menjamin tingkat karbohidrat yang
diinginkan untuk diproses. Glukosa dan fruktosa (gula pereduksi) terakumulasi dalam jaringan umbi
pada suhu di bawah 70C yang menyebabkan umbi kentang tidak dapat diterima untuk diproses menjadi
kentang goreng ketika kadar gula pereduksi mencapai atau melebihi 2,6% dari berat umbi kentang
(basis kering).
Gula reduksi adalah semua gula yang memiliki kemampuan untuk mereduksi dikarenakan
adanya gugus aldehid atau keton bebas. Aldehid dapat teroksidasi langsung melalui reaksi redoks.
Namun gugus keton tidak dapat teroksidasi secara langsung, tetapi harus diubah menjadi aldehid
dengan perpindahan tautomerik yang memindahkan gugus karbonil ke bagian akhir rantai.
Monosakarida yang termasuk gula reduksi antara lain glukosa, fruktosa, dan galaktosa (Winarno,
1992; Serven, 2009).
Gula pereduksi tersebut bereaksi dengan asam amino bebas selama pemrosesan, sehingga
menimbulkan warna gelap pada kentang goreng dan keripik kentang yang dihasilkan (Scallenberger
et al., 1959).
Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik kentang merah spesifik Bengkulu selama
penyimpanan dan mengetahui kondisi penyimpanan yang dapat mempertahankan mutu kentang
merah.

130
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pascapanen BPTP Bengkulu pada bulan Januari s.d.
Mei 2014. Bahan yang digunakan adalah kentang merahdan bahan-bahan kimia untuk analisis kimia
kentang merah. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, Air Conditioner (AC),
kotak kardus dan termometer. Umbi kentang merah disimpan selama 42 hari dengan suhu
penyimpanan yang berbeda yakni suhu ruang yang berkisar antara 27-280C (A) dan suhu dingin 160C
(B).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan dua faktor.Faktor pertama adalah lama penyimpanan (H0 = 0 hari, H1 = 7 hari, H2 = 14 hari, H3
= 21 hari, H4 = 28, H5 = 35 hari, H6 = 42 hari), faktor kedua adalah suhu penyimpanan (T1=suhu
ruang, T2=suhu 160C). Parameter yang diamati selama penyimpanan kentang merah, setiap tujuh hari
sekali dilakukan pengamatan terhadap bobot kentang merah (bobot awal dan bobot akhir), prosentase
cacat/kerusakan (cacat kering, bertunas, busuk ujung, dan busuk), Kadar Gula dan Kadar Pati.
Data hasil pengamatan kemudian dianalisis menggunakanAnalysis of Variance (ANOVA)
dengan taraf kepercayaan 95% (P<0.05) lalu dilanjutkan dengan uji beda nyata (Duncan).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bobot Kentang Merah Selama Penyimpanan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dua arah (Two Way Anova) menunjukkan bahwa lama
dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bobot kentang merah selama penyimpanan pada
taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Namun, interaksi antara suhu dan lama penyimpanan tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot kentang merah selama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95%
(P<0.05). Bobot kentang merah rata-rata selama penyimpanan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata bobot kentang merah selama penyimpanan
Lama Penyimpanan Rata-rata Bobot Kentang (gram) pada
(Hari) Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC)
0 1.826 1.963
7 1.796 1.926
14 1.686 1.820
21 1.600 1.713
28 1.353 1.570
35 1.236 1.403
42 953 1.270
Sumber: Data primer terolah (2014)

Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat keragaman antarperlakuan lama penyimpanan
pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05) (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil uji lanjut Duncan bobot kentang merah selama penyimpanan
Lama Penyimpanan Rata-rata Bobot Kentang (gram)
(Hari) Selama Penyimpanan
0 1.895,00 a
7 1.861,67 a
14 1.753,33 ab
21 1.656,67 b
28 1.461,67 c
35 1.320,00 c
42 1.111,67 c
Ket : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbedanyata
(uji Duncan = 5%)
Sumber : Data primer terolah (2014)

Hasil pengamatan terhadap bobot kentang merah yang disimpan 0-42 hari pada suhu ruang
dan suhu dingin menunjukkan bahwa kentang merah mengalami penyusutan selama penyimpanan.
Penyusutan bobot kentang merah disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi sehingga umbi
kentang merah melepaskan karbon dioksida dan air dari dalam umbi ke lingkungan sekitar. Semakin
lama penyimpanan, semakin berkurang bobot kentang merah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
131
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dilakukan oleh Dewi, I. (2016) bahwa umbi Talium paniculatum yang disimpan selama 21 hari pada
suhu 390C memiliki penyusutan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu
rendah (110C) yaitu sebesar 12,712 gram, sedangkan susut bobot terendah umbi T panicualatum
disimpan selama 7 hari sebesar 2,564 gram.
Kenaikan susut bobot selama penyimpanan tidak dapat dicegah, kenaikan susut bobot terjadi
akibat dari proses fisiologis respirasi dan transpirasi. Kenaikan susut bobot diduga karena tingginya
laju respirasi yang terus berlangsung selama proses penyimpanan. Ditambahkan oleh Will et al.,
(1981 dalam Pertiwi, (2009)) bahwa selama proses respirasi berlangsung menghasilkan gas CO2, air
dan energi. Energi berupa panas, air dan gas yang dihasilkan akan mengalami penguapan. Peristiwa
penguapan ini menyebabkan porsentase susut bobot mengalami peningkatan selama penyimpanan.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa penurunan bobot kentang merah selama penyimpananhingga hari
ke-42 pada penyimpanan suhu ruang lebih banyak yaitu 953 gram sedangkan pada suhu dingin (16 0C)
bobot kentang 1.270 gram.
Hal ini sesuai dengan hasil percobaan Asgar dan Rahayu (2014) bahwa semakin lama umbi
disimpan, maka semakin besar susut bobotnya. Semakin rendah suhu penyimpanan, maka ada
kecenderungan kadar air semakin besar. Hal ini disebabkan oleh pendinginan yang dapat
memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu
8C kecepatan reaksi akan berkurang menjadi kira-kira setengahnya (Wiersema, 1989). Penurunan
suhu cenderung menurunkan penguapan air umbi kentang. Suhu ruang penyimpanan yang lebih
rendah dari pada suhu tumpukan umbi dapat menurunkan penguapan air umbi kentang. Oleh karena
itu penyimpanan umbi kentang pada suhu rendah dapat memperpanjang masa simpan.
Prosentase Kerusakan Kentang Merah Selama Penyimpanan
Selama penyimpanan kentang di gudang, kentang sering terserang berbagai hama dan
penyakit seperti Phthorimaea operculella Zell, penyakit busuk kering (Fusarium spp.),busuk lunak
(Erwinia carotovora), dan busuk mata (Ralstonia Solanecearum) terutama di gudang-gudang kentang
yang sangat sederhana karena kurang cahaya atau gelap dan lingkungan yang lembab (O.S. Gunawan,
2006). Ditambahkan Chailani, S.R. (2010) bahwa faktor suhu penyimpanan akan mempengaruhi
perkembangan pathogen pascapanen, umbi disimpan pada suhu dan kelembaban yang cukup tinggi
maka secara bertahap penyakit mulai berkembang.
Dilakukan pengamatan terhadap kerusakan kentang merah antara lain cacat kering, bertunas,
busuk ujungdan busuk lunak. Prosentase cacat/kerusakan kentang merah selama penyimpanan
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Prosentase cacat/kerusakan kentang selama penyimpanan
Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC)
Penyimpanan hari Cacat Busuk Cacat Busuk
Bertunas Busuk Bertunas Busuk
ke- Kering Ujung Kering Ujung
(%) (%) (%) (%)
(%) (%) (%) (%)
0 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 1,68 0 0 0 0 0 0
28 12,81 3,78 0 0 17,87 1,27 0 0
35 0 6.94 0 14,57 15,84 2,88 0 0
42 21,99 0 0 12,87 0 2,64 0 0
Sumber: Data primer (2014)

Berdasarkan data pada Tabel 3, kerusakan kentang merah terjadi mulai pada penyimpanan hari
ke-21. Kentang merah yang disimpan pada suhu ruang mengalami jenis kerusakan yang lebih banyak
dibandingkan dengan kentang merah yang disimpan pada suhu dingin. Jenis kerusakan kentang merah
yang disimpan pada suhu ruang meliputi cacat kering, bertunas, dan busuk. Sementara kerusakan
kentang merah yang disimpan pada suhu dingin hanya berupa cacat kering dan bertunas.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kentang merah setelah penyimpanan hari ke-28 umbi
kentang merah mulai terserang jamur Fusarium spp dan mengalami kebusukan/cacat kering. Pada
suhu ruang umbi kentang merah yang mengalami kebusukan kering sebanyak 12,81% sedangkan pada
suhu dingin lebih banyak yaitu 17,87%. Hal ini disebabkan karena faktor penanganan yang kurang
baik, ruang penyimpanan yang lembab sehingga jamur lebih cepat berkembang dibandingkan di ruang

132
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

penyimpanan berventilasi dan cukup cahaya. Menurut Chailani S.R. (2010) bahwa penetrasi jenis
jamur Fusarium sp terjadi pada pangkal rambut akar saat pemanenan atau permulaan penyimpanan,
dengan masa inkubasi selama 6-8 minggu. Kebusukan umbi yang terlihat hanya dangkal saja, dan
selanjutnya umbi akan mengerut terutama pada tepi bercak akhirnya mengering seperti mumi.
Menurut hasil penelitian Chailani, S.R. et al., (2008) bahwa serangan jamur Fusarium oxysporum pada
permukaan umbi jalar menunjukkan gejala berupa bercak berbentuk tidak teratur, berwarna kelabu dan
ukurannya bervariasi. Apabila umbi dibelah melintang, bagian daging umbi berwarna coklat yang
muncul dari bagian tepi umbi dan meluas ke tengah umbi.
Penyebab kerusakan lain pada kentang merah selama penyimpanan adalah dikarenakan
tumbuhnya mata tunas serta tumbuhnya mikroorganisme (jamur, kapang, bakteri) pada permukaan
umbi sehingga faktor tersebut akan memperpendek umur simpannya. Purwadi, A. et al.,(2007)
menambahkan bahwa yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan kentang jangan sampai ruang
simpan kemasukan cahaya, jadi harus benar benar gelap karna cahaya bisa merangsang pertumbuhan
tunas. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terhadap umur simpan adalah kepekaan komoditas
terhadap serangan jamur, kapang dan bakteri.
Kentang biasanya mempertahankan sifat-sifat baiknya untuk pengolahan bila disimpan pada
suhu 10C atau lebih tinggi, tetapi tidak disarankan menyimpan kentang pada suhu yang lebih tinggi
dari suhu kamar karena pada suhu tersebut kentang cenderung bertunas (Rodriguez et al.,1975).
Pada Tabel 3 untuk kerusakan umbi bertunas mulai muncul pada penyimpanan hari ke-21,
dimana prosentase kerusakan umbi bertunas lebih besar selama penyimpanan pada suhu ruang
mencapai 6,94% dibandingkan penyimpanan suhu dingin yang hanya sebesar 2,88%. Sesuai dengan
pendapat Beukema dan Zaag (2007) bahwa suhu gudang penyimpanan dapat mempengaruhi lama
masa dormansi umbi kentang. Kentang akan memiliki masa dormansi yang lebih panjang jika
disimpan pada suhu dingin 40C daripada disimpan dengan suhu 250C. Dormansi pada umbi kentang
dipengaruhi oleh varietas, umur umbi ketika panen, keadaan lingkungan saat tanam, dan kondisi
simpan umbi kentang.
Sihombing dan Sinaga (1987; dalam Gunawan (2006)) menambahkan bahwa ruang gelap
selain menghasilkan temperatur yang rendah juga mereduksi aktivitas pertunasan karena tidak ada
rangsangan dari cahaya terhadap hormon pada umbi kentang. Penyimpanan bibit di gudang terang
mampu mereduksi porsentase umbi terserang penyakit sebesar 46,598% dan menghasilkan tunas lebih
pendek, kekar dan warna tunas hijau ungu bila dibandingkan dengan bibit yang disimpan di gudang
gelap.
Kadar Gula
Berdasarkan hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Demikian pula
dengan perlakuan suhu penyimpanan yang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula kentang
merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Selain itu, interaksi antara lama dan suhu penyimpanan
kadar gula kentang merah pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05).
Prosentase rata-rata kadar gula kentang merah selama penyimpanan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata kadar gula kentang merah selama penyimpanan (0-42 hari).
Lama Penyimpanan Kadar gula kentang merah (%) pada
(Hari) Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC)
0 2,20 2,70
7 2,20 2,70
14 2,20 2,65
21 2,30 2,65
28 2,22 2,62
35 2,50 2,50
42 2,50 2,50
Sumber: Data primer terolah (2014)

Hasil pengamatan terhadap kentang merah yang disimpan 0-42 hari pada suhu ruang dan suhu
dingin menunjukkan bahwa kadar gula kentang merah mengalami peningkatan selama penyimpanan.
Peningkatan kadar gula kentang merah disebabkan terjadi akumulasi gula reduksi akibat adanya
perombakan senyawa pati dan polisakarida lain menjadi senyawa gula. Hasil uji lanjut dari analisis

133
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat keragaman antarperlakuan selama penyimpanan pada taraf
kepercayaan 95% (P<0.05) (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil uji lanjut Duncan kadar gula kentang merah selama penyimpanan
Lama Penyimpanan Kadar Gula Kentang Merah
(Hari) Selama Penyimpanan (%)
0 2,45a
7 2,45a
14 2,42a
21 2,47a
28 2,48a
35 2,50a
42 2,50a
Ket : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbedanyata
(uji Duncan = 5%)
Sumber : Data primer (2014)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan kentang merah maka
kandungan gula pada kentang merah semakin meningkat, meskipun hasil analisis tidak menunjukkan
keragaman. Hal ini karena dalam kentang terjadi akumulasi gula reduksi akibat adanya perombakan
senyawa pati dan polisakarida lain menjadi senyawa gula. Peningkatan kandungan gula melibatkan
perubahan karbohidrat menjadi gula sederhana, dimana kecepatan perubahan pati menjadi gula lebih
besar dari pada penggunaan gula sebagai substrat respirasi, sebaliknya penurunan kandungan gula
berarti kecepatan penggunaan gula sebagai substrat respirasi lebih besar daripada pembentukan gula.
Kandungan gula yang tinggi pada umbi kentang akan mengakibatkan timbulnya warna coklat
pada saat digoreng karena reaksi Maillard (reaksi antara gula-gula reduksi dengan gugus amina
primer) dan proses karamelisasi (Winarno, 1992). Ini tidak menguntungkan secara ekonomi karena
akan menurunkan kualitas olahan kentang, dilakukan penurunan kadar gula sebelum dilakukan
pengolahan dengan melakukan reconditioning. Sejalan dengan hasil penelitian Asgar dan Rahayu
(2014) bahwa aktivitas respirasi kentang akan naik apabila kentang dipindahkan dari suhu rendah ke
suhu tinggi. Dengan lama reconditioning maka kandungan sukrosa umbi kentang akan menurun.
Kadar Pati
Kadar pati kentang merah selama penyimpanan dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan
berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05). Namun, interaksi antara
lama dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati kentang merah pada taraf
kepercayaan 95% (P<0.05).
Perubahan nutrisi umbi kentang olahan selama dalam penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan penyimpannnya terutama temperatur. Penyimpanan umbi kentang pada suhu ruang dapat
mengalami penurunan kandungan pati yang lebih besar apabila dibandingkan dengan peningkatan
kandungan gulanya, karena gula hasil perombakan dari pati secara stimular digunakan sebagai energi
dalam proses respirasi. Hasil penelitian Asgar, A dan Marpaung (1998) mengatakan bahwa umbi
kentang Granola yang disimpan selama 5 hari penurunan kandungan patinya maksimal 0,98%,
sedangkan peningkatan kandungan gulanya maksimal 0,36%.
Tabel 6. Rata-rata kadar pati kentang merah selama penyimpanan (0-42 hari)
Lama Penyimpanan Kadar pati Kentang merah (%) pada
(Hari) Suhu Ruang (27-28oC) Suhu Dingin (16oC)
0 16,00 13,60
7 15,86 13,58
14 16,12 13,96
21 16,08 14,32
28 15,98 14,12
35 16,30 14,50
42 15,23 14,54
Sumber: Data primer terolah (2014)

Hasil uji lanjut dari analisis Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat keragaman
antarperlakuan selama penyimpanan pada taraf kepercayaan 95% (P<0.05) (Tabel 7).

134
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 7. Hasil uji lanjut Duncan kadar pati kentang merah selama penyimpanan
Lama Penyimpanan Kadar Pati Kentang Merah
(Hari) Selama Penyimpanan (%)
0 14,80a
7 14,72a
14 15,04a
21 15,20a
28 15,40a
35 15,05a
42 14,88a
Ket : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata
(uji Duncan = 5%)
Sumber : Data primer (2014)

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa dengan semakin rendah suhu penyimpanan, maka semakin
rendah pati. Hal ini disebabkan oleh adanya perombakan pati menjadi gula akibat pengaruh enzim
fosforilase. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Asgar dan Rahayu (2014) bahwa
kandungan pati dari suhu 4-10C berkisar antara 8,40-9,20%. Penurunan kandungan pati paling tinggi
terjadi pada umbi yang disimpan pada suhu 4C karena pada suhu ini aktivitas perombakan pati
menjadi gula berlangsung sangat cepat. Selama penyimpanan dalam suhu rendah enzim
phosphofructokinase tidak aktif atau dihambat kerjanya (Van Es A and KJ Hartmans, 1987).

KESIMPULAN
1. Lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap bobot kentang, namun tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar pati dan kadar gula kentang merah.
2. Penyimpanan umbi kentang merah pada suhu dingin 160C dapat menghambat penyusutan bobot
dan memperpanjang umur simpan umbi kentang merah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah memfasilitasi tempat pelaksanaan
penelitian ini dan teknisi di laboratorium Pascapanen atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian
ini.

DAFTAR PUSTAKA
Asgar, A. dan S.T. Rahayu. 2014. Pengaruh suhu penyimpanan dan waktu pengkondisian
untukmempertahankan kualitas kentang kultivar margahayu. Berita Biologi XIII (3) :
283-293.
Asgar, A. dan L. Marpaung, 1998. Pengaruh umur panen dan lama penyimpanan terhadap lualits
kentang goring. J. Hort 8 (3).1209:1216.
Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016. Luas Panen Kentang
MenurutProvinsi,20112015.http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2015/L.
%20Panen%20Kentang.pdf [27 Mei 2016].
____ .2016. Produksi Kentang MenurutProvinsi,20112015.http://www.pertanian.go.id/
Data5tahun/HortiASEM2015/Produksi%20Kentang.pdf.
Beukema, H.P dan D. E van der Zaag. 2007. Introduction to Potato Production. Edisi 3. Pudoc
Wageningen. Netherland. 179 p.
Isroilla, D. 2016. Pengaruh suhu dan lama penyimpnan terhadap susut bobot dan kadar saponin umbi
(Talinum paniculatum (Jacq) Gaertn. Skripsi. Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Ferizal, 2013. Melirik peluang budidaya kentang merah. http://jurnalasia.com/2013/12/17/ pada:
http://jurnalasia.com/2013/12/17/melirik-peluang-budidaya-kentang
merah/#stash.gyncd2n.dpuf [7 Juni 2016].
O.S. Gunawan. 2006. Pengaruh cahaya dan tempat penyimpanan bibit kentang di gudang terhadap
pertunasan dan serangan hama penyakit gudang. J. Hort. 16. (2) : 142-150.

135
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pantastico ErB. 1975. Structure of fruits and vegetables. In Postharvest Physiology, Handling and
Utilization of Tropical and Substropical Fruits and Vegetables.Er.B. Pantastico (Eds), 9.
The Avi Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. The Avi Publishing, C0., Inc
Pertiwi, C.A.L.P. 2009. Mutu dan umur simpan ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) dalam kemasan
plastik pada berbagai suhu penyimpanan. Skripsi. Fakultas teknologi pertanian. Institut
Pertanian Bogor. IPB.
Purwadi, A., Usada,W., dan Suryadi. 2007. Aplikasi ozon hasil teknologi kimia plasma untuk
memprpanjang umur simpan umbi kentang. Prosiding PPI-PDIPTN. Pusteks Akselerator
dan Proses Bahan-BATAN. Yogyakarta 10 Juli 2007.
Serven AV Gokmen. 2009. Evaluation of maillard reaction in potato crispy by acrylamide, antioxidant
capacity, and color. Journal of Food Composition ang Analysis. Vol 22 (6) : 589-595.
Siti Rasminah Chailani. 2010. Penyakit penyakit pascapanen tanaman pangan. Universitas Brawijaya
Press (UB Press).
Siti Rasminah Chailani, Nasir Saleh, A.L. Abadi dan I. Irianti. 2008. Identifikasi jamur pathogen
penyebab penyakit pascapanen pada umbi ubi jalar di kabupaten Bangkalan dan
Sampang. Agrivita. Jurnal Ilmu Pertanian. Vol 30. Nomor 3 Tahun 2008.p 280-287.
Sumaryanto, S. dan S. Friyanto. 2003. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas
kentang dan kubis di Wonosobo Jawa Tengah. SOCA No. 3 Vol. (1) : 83-98.
Sofyan, E. Melirik potensi kentang merah di Karo.
http://www.medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2010/11/15/7558/melirik_potensi_ken
tang_merah_di_karo/ [7 Juni 2016].
United States Department of Agriculture Agricultural Research Service [USDA]. 2016.
NationalNutrient Database for Standard Reference.
https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/3083?fgcd=&manu=&lfacet=&format=&count=
&max=35&offset=&sort=&qlookup=red+potatoe[7 Juni 2016].
Van Es. A. and KJ. Hartmans. 1987. Starch and sugars during tuberization, storage and sprouting. In
Storage of potatoes. A. Rastovski, A. Van Es et al (eds), 43-44. Pudoc. Wageningen.
Wiersema. S.G.1989. Storage requirement for potato tuber. Postharvest technology thrust.
International potato center (CIP, Bangkok, Thailand).9p
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. 18, 40-43. PT Gramedia, Jakarta.
World Health Organization. 2007. The world health report 2007: A safer future, globalpublic health
security in the 21st centurydiacu dalam Thompson,et al. 2009. Functional food
characteristics of potato cultivars (Solanum tuberosum L.):Phytochemical composition
and inhibition of 1-methyl-1-nitrosourea induced breast cancer in rats. Journal of Food
Composition and Analysis. Vol. (22). : 571-576.

136
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI


OLEH NEMATODA PURU AKAR Meloidogyne spp DAN JAMUR Fusarium sp
INHIBITION OF RED CHILLI GROWTH
BY ROOT KNOT NEMATODE Meloydogyne sp AND FUNGUS Fusarium SP.
Imelda Riska Andani1, Tunjung Pamekas2, Djamilah2
1
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
2
Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
e-mail: tpamekas@yahoo.com, tunjungpamekas@unib.ac.id

ABSTRAK
Penyakit puru akar yang disebabkan oleh Meloidogyne spp dan penyakit layu fusarium yang
disebabkan oleh Fusariumoxysporum f.sp. lycopersici merupakan faktor pembatas produksi tanaman
cabai. Interaksi kedua patogen tersebut dapat menyebabkan tanaman tumbuh kerdil, daun menguning,
layu pada daun dan batang, perontokan daun, nekrosis pada tepi daun, bahkan menyebabkan gagal
panen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh populasi nematoda puru akar
(Meloidogyne spp) dan jamur Fusarium sp terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah. Rancangan
yang digunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor pertama: populasi Meloidogyne
spp yang terdiri dari M0 = 0 ekor polibag-1, M1 = 50 ekor polibag-1, M2 = 100 ekor polibag-1, M3 = 150
ekor polibag-1, dan M4 = 200 ekor polibag-1. Faktor kedua: inokulasi Fusarium sp yang terdiri dari F0
= tanpa fusarium dan F1 = dengan fusarium. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa interaksi antara Fusarium sp dan Meloidogyne spp menghambat pertumbuhan
tanaman cabai.
Kata kunci: cabai merah, Meloidoyne spp, Fusarium sp.

ABSTRACT
Root-knot disease caused by Meloidogyne spp and Fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum f.
sp. lycopersici are the main factor influencing chilli production. Interaction of those both pathogens
on the plant caused stunting, yellowing of the leaves, stem wilt, leaves fall, and necrotic. The aim of
this research was to evaluate the effect of root knot nematode Meloidogyne spp population and
Fusarium sp on the growth of chili plant. The research was arranged on Factorial Completedly
Randomized Design with three replications. The first factor was Meloidogyne spp population, consist
of M0= 0 juveniles polybag-1, M1=50 juveniles polybag-1, M2=100 juveniles polybag-1, M3=150
juveniles polybag-1, and M4= 200 juveniles polybag-1 . The second factor was Fusarium sp.
inoculation, consist of F0= without Fusarium sp. and F1= plus Fusarium sp. The result showed that
Meloidogyne spp and Fusarium sp. interaction caused higher inhibition of chili growth.
Keywords: red chili, Meloidogyne spp. and Fusarium sp.

PENDAHULUAN
Produksi cabai besar di Provinsi Bengkulu tahun 2014 sebesar 46.166,70 ton, mengalami
peningkatan sebesar 6.165,80 ton (15,41%) dibandingkan tahun 2013. Peningkatan produksi cabai
besar ini diperkirakan karena kenaikan luas panen sebesar 1.641 hektar (28,34% dibandingkan tahun
2013 seluas 5.791 hektar). Peningkatan luas panen dan produksi tahun 2014 tidak diikuti oleh
kenaikan produktivitas jika dibandingkan tahun 2013, dengan produktivitas menurun sebesar 0,70
ton/hektar atau turun 10,07 persen (BPS, 2014). Menurut Adiyoga (1996) rata-rata produktivitas usaha
tani cabai (4,3 ton/ha) masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensinya (6-10 ton/ha). Salah
satu penyebab penurunan produktivitas cabai yaitu adanya serangan nematoda dan penyakit layu
fusarium.
Meloidogyne spp merupakan parasit akar yang penting dan banyak menyerang tanaman di
lahan pengembangan maupun pembenihan, sehingga banyak menimbulkan kerugian bagi petani
karena terjadi penurunan produktivitasnya. Serangan Meloidogyne spp. dapat mengurangi produksi
tomat dunia 20,20% (Sassre dan Freckman, 1987 dalam Mustika et al., 2002), 15-95% pada wortel
(Kurniawan, 2010), dan 20-80% pada padi (Nurjayadi et al., 2015). Meloidogyne spp masuk ke dalam
akar dan menginfeksi akar, sehingga akar akan membengkak dan tidak dapat berfungsi dengan baik.
Pada bagian akar yang membengkak ini terdapat Meloidogyne spp yang bersarang di dalamnya.

137
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Meloidogyne dewasa terus-menerus bergerak dan menetap di sekitar akar. Dalam gerakan-gerakan
tersebut Meloidogyne spp menggigit dan menginjeksikan air ludah pada bagian akar tumbuhan dan
menyebabkan sel tumbuhan menjadi rusak (Dropkin, 1989; Munif, 2003). Menurut Mulyadi (2009)
apabila tanaman terserang oleh Meloidogyne spp, sistem perakaran yang normal akan berkurang
dan menyebabkan jaringan berkas pengangkut mengalami gangguan, akibatnya tanaman mudah
layu khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil, pertumbuhan terhambat
dan mengalami klorosis. Hikmia et al. (2012) berhasil mengidentifikasi empat spesies Meloidogyne
pada wortel, yaitu M. rerania, M. hapla, M. incognita, dan M. Javanica, sementara Aprilyani et al.
(2015) berhasil mengindentifikasi beberapa sepesis nematoda M. incognita pada tanaman kentang
berdasarkan karakter morfologi dan molekul DNA.
Sementara itu, Fusarium sp merupakan patogen tanaman yang dapat menular melalui tanah
(soil borne). Cendawan ini dapat bertahan dalam tanah sebagai miselium atau spora tanpa adanya
inangm (Wibowo, 2002). Jika terdapat inang maka akan menginfeksi akar, masuk ke jaringan vaskular
(xylem), menyebar dan memperbanyak diri, dan menyebabkan inang mengalami kelayuan karena
sistem pembuluh pada tanaman inang tersebut tersumbat (Agrios, 2005 ; Huda, 2010).
Adanya luka pada perakaran akibat infeksi Meloidogyne spp diduga akan menyebabkan
mudahnya infeksi oleh Fusarium sp. Oleh karena itu perlu dievaluasi pengaruh populasi Meloidogyne
spp dan Fusarium sp. terhadap pertumbuhan tanaman cabai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh populasi nematoda puru akar
Meloidogyne spp dan jamur Fusarium sp terhadap pertumbuhan tanaman cabai.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai dengan Juli 2016, di Laboratorium
Proteksi Tanaman dan di lahan percobaan Proteksi Tanaman, Universitas Bengkulu. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan tiga ulangan, Faktor pertama: populasi
Meloidogyne spp yang terdiri dari M0= 0 ekor polibag-1, M1 = 50 ekor polibag-1, M2 = 100 ekor
polibag-1, M3 = 150 ekor polibag1, dan M4 = 200 ekor polibag-1. Faktor kkedua: inokulasi Fusarium sp
yang terdiri dari F0= tanpa Fusarium sp dan F1= dengan Fusarium sp.
Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian meliputi : benih cabai merah varietas Laris,
polibag, biakan Meloidogyne spp., isolat Fusarium sp, pupuk kandang sapi, kapas, meteran, cangkul,
mistar, nampan, petridish, PDA, tanah steril, drum, mikroskop, autoklaf, tabung reaksi, lampu Bunsen,
jangka sorong, dan LAF (Laminar Air Flow).
Isolasi Fusarium sp dilakukan dengan menggunakan metode penanaman jaringan, dari bagian
tanaman cabai yang menunjukkan gejala terserang F. oxysporum. Identifikasi dilakukan secara
makroskopis dan mikrokopis dengan menggunakan buku identifikasi (Booth, 1975). Perbanyakan
Meloidogyne spp dilakukan dengan cara mencari tanaman pacar air yang terserang Meloidogyne spp
dengan indikator adanya puru akar pada tanaman. Potongan akar tanaman pacar air ukuran 0,5 cm
dibenamkan di daerah perakaran tanaman tomat dan cabai sehat yang ditanam dalam tanah steril untuk
memperbanyak Meloidogyne spp. Selanjutnya, Meloidogyne spp diekstraksi dan diisolasi dengan
metode corong Baermann yang dimodifikasi,
Bibit cabai sehat umur tiga minggu, dipindahtanam ke medium tanah dan pupuk kandang (2:1)
steril. Inokulasi Meloidogyne spp dilakukan 1 minggu setelah tanaman cabai dipindahtanamkan ke
polibag. Inokulasi dilakukan sesuai dengan perlakuan masing-masing dan dilakukan pada sore hari
dengan cara menyiramkan suspensi nematoda di daerah sekitar perakaran. Inokulasi fusarium
dilakukan 1 jam setelah infestasi Meloidogyne spp, dengan cara menyiramkan suspensi Fusarium sp
dengan kerapatan 106 spora/ml sebanyak 1 ml/tanaman di rhizosfer tanaman.
Pemeliharaan yang dilakukan meliputi: Pemupukan NPK saat penanaman, dengan dosis 3 gr
polibag-1, penyiraman dilakuakan pada saat pagi dan sore hari, penyulaman dilakukan apabila terdapat
tanaman yang mati pada saat umur seminggu setelah pindah tanam, dan pengendalian gulma dilakukan
secara mekanik.
Variabel yang diamati adalah : tinggi tanaman (cm), diameter batang (cm) diukur 5 cm dari
permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong, jumlah daun per tanaman (helai) dengan
menghitung jumlah daun telah membuka sempurna, umur berbunga dengan mengamati saat bunga
pertama muncul, dan jumlah buah yang terbentuk. Variabel tinggi tanaman, diameter batang, dan
jumlah daun dihitung satu minggu sekali sejak inokulasi patogen hingga tanaman umur 10 minggu.

138
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varian pada taraf 5% dan 1%
apabila menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT pada taraf
5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil analisis varian diketahui bahwa inokulasi Fusarium sp dan Meloydogne spp
pada cabai merah menunjukkan adanya pengaruh nyata atau sangat nyata pada jumlah daun minggu ke
1-3, diameter batang minggu ke 3-9, tinggi tanaman minggu ke 6 sampai minggu ke 10, dan jumlah
buah (Tabel 1).
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis varian terhadap variabel pertumbuhan tanaman cabai
Variabel Fhitung
Fusarium Meloidogyne Interaksi
Jumlah daun 1 1,581ns 0,613ns 4,968**
Jumlah daun 2 0,281ns 2,167ns 6,114**
Jumlah daun 3 0,140ns 4,733** 3,553*
Jumlah daun 4 0,832ns 2,546ns 1,233ns
ns ns
Jumlah daun 5 0,558 1,780 1,977ns
ns ns
Jumlah daun 6 0,841 1,719 1,803ns
ns ns
Jumlah daun 7 0,945 1,642 1,232ns
ns ns
Jumlah daun 8 0,832 1,225 1,104ns
ns ns
Jumlah daun 9 0,867 1,292 1,161ns
ns ns
Jumlah daun 10 1,240 1,429 1,194ns
Diameter batang 1 13,537** 1,984ns 2,548ns
Diameter batang 2 8,717** 4,897** 1,447ns
ns
Diameter batang 3 0,621 4,373* 4,488*
Diameter batang 4 1,486ns 4,279* 4,153*
Diameter batang 5 0,044ns 2,951* 3,622*
Diameter batang 6 1,686ns 4,104* 3,148*
Diameter batang 7 3,311ns 4,763** 3,356*
Diameter batang 8 1,765ns 3,892* 3,116*
Diameter batang 9 7,346* 3,416* 3,151*
Diameter batang 10 15,509* 3,790* 2,806ns
ns ns
Tinggi tanaman 1 0,091 0,821 0,456ns
ns ns
Tinggi tanaman 2 0,142 1,515 1,024ns
ns ns
Tinggi tanaman 3 0,184 2,603 1,228ns
ns ns
Tinggi tanaman 4 0,391 2,715 1,164ns
ns ns
Tinggi tanaman 5 0,218 1,815 1,283ns
Tinggi tanaman 6 4,258ns 0,640ns 5,490**
Tinggi tanaman 7 4,095ns 0,611ns 5,586**
Tinggi tanaman 8 3,353ns 0,560ns 5,414**
Tinggi tanaman 9 3,793ns 0,731ns 6,228**
Tinggi tanaman 10 3,349ns 0,634ns 5,791**
Umur berbunga 0,515ns 1,928ns 2,351ns
ns ns
Jumlah buah 3,840 2,511 4,248*
Ket : * = berpengaruh nyata, ** = berpengaruh sangat nyata, ns = berpengaruh tidak nyata
Sumber: Data primer (2016)

Pengaruh Inokulasi Fusarium sp Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai


Secara umum hasil dari analisis varian menunjukkan bahwa inokulasi Fusarium sp tidak
berpengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan kecuali pada diameter batang pada minggu
ke 1, 2, 9, dan 10 (Tabel 1). Walaupun inokulasi Fusarium sp tidak berpengaruh secara statistik tetapi
dari nilai rata-rata semua variabel terlihat bahwa pada perlakuan inokulasi Fusarium (F1) lebih kecil
daripada perlakuan F0. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya Fusarium sp dapat menghambat
pertumbuhan tanaman cabai, khususnya jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman (Tabel 2).

139
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Pengaruh inokulasi Fusarium sp terhadap jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman
cabai
Minggu ke JD (helai) DB (cm) TT (cm)
(msi) F0 F1 F0 F1 F0 F1
a b
1 4,2 6,1 0,18 0,15 7,5 7,2
2 6,1 6,8 0,23a 0,21b 13,3 12,7
3 9,8 9,8 0,31 0,29 17,4 17,2
4 13,5 12,0 0,35 0,32 24,2 22,6
5 18,6 14,8 0,42 0,37 32,0 28,7
6 30,8 23,4 0,47 0,41 47,5 34,4
7 38,4 29,6 0,53 0,46 50,7 36,8
8 47,2 37,8 0,55 0,49 53,6 39,2
9 47,7 38,1 0,59a 0,51b 56,2 40,3
10 48,2 39,2 0,62a 0,52b 58,0 41,7
Ket : JD = jumlah daun, DB = diameter batang, TT = tinggi tanaman, F0 = tanpa fusarium F1 = dengan
fusarium. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji
DMRT 5%. msi = minggu setelah inokulasi.
Sumber : Data primer (2016)

Dari Tabel 2 terlihat bahwa jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman cabai
meningkat dari minggu pertama setelah pindah tanam sampai minggu ke 10 dengan pola yang sama
dengan peningkatan lebih besar pada perlakuan F0 daripada F1. Hal ini berarti bahwa inokulasi
Fusarium sp berpengaruh negatif terhadap pertambahan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi
tanaman. Adanya jamur Fusarium sp pada jaringan xylem akan mengganggu penyerapan unsur hara
sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman
cabai (Semangun, 2007).

Tabel 3. Pengaruh inokulasi Fusarium sp terhadap umur berbunga dan jumlahbuah tanaman cabai.
Fusarium Umur Berbunga (hari) Jumlah Buah (buah)
F0 57,2 7,46
F1 55,9 3,26
Ket : UB = umur berbunga, JB = jumlah buah, F0 = tanpa fusarium, F1 = dengan fusarium
Sumber: Data primer (2016)

Inokulasi Fusarium sp berpengaruh tidak nyata secara statistik terhadap umur berbunga dan
jumlah buah namun berpengaruh nyata pada nilai rataan, terlihat bahwa perlakuan F1 memiliki nilai
terendah dibandingkan dengan perlakuan F0. Hal ini dikarenakan adanya Fusarium sp dapat
menganggu pertumbuhan tanaman cabai, pada umur berbunga rataan tertinggi pada F0 yaitu dengan
rata-rata 57,2 serta pada jumlah buah F0 juga merupakan rataan tertinggi yaitu 7,46. Hal ini berarti
dengan adanya Fusarium sp akan merespon tanaman cabai cepat berbunga namun tidak mendukung
terbentuknya buah (Tabel 3).
Pengaruh Inokulasi Meloidogyne spp terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai
Hasil analisis anova secara umum menunjukkan bahwa inokulasi Meloidogyne spp
berpengaruh nyata pada jumlah daun minggu ke 3 dan diameter batang minggu ke 2-10 (Tabel 1).Dari
nilai rata-rata jumlah daun dapat dilihat bahwa inokulasi Meloidogyne spp dapat menghambat
pertambahan jumlah daun tanaman cabai. Hal yang sama terjadi pada variabel diameter batang dan
tinggi tanaman cabai. Pengamatan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman minggu pertama
sampai minggu ke 10 mengalami peningkatan, namun peningkatan laju yang paling rendah berada
pada perlakuan M4 dibandingkan dengan perlakuan M3,M2,M1, dan M0 (Tabel 4). Hal ini
dikarenakan bahwa pada perlakuan M4, populasi nematoda 200 ekor polibag-1, tanaman cabai
terserang paling parah dibandingkan dengan tanaman lain. Tingginya populasi nematoda Meloidogyne
spp akan membutuhkan makanan yang banyak juga yang diambil dari tanaman cabai sehingga
ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman cabai menjadi sangat berkurang. Sebagai akibatnya
pertambahan jumlah daun, diameter batang, dan tinggi tanaman akan menjadi kecil. Dilaporkan
bahwaMeloidogyne spp mengganggu transportasi unsur hara pada jaringan pembuluh tanaman cabai.
Gejala kerusakan pada akar biasanya selalu diikuti oleh pertumbuhan tanaman yang lambat
dikarenakan terhambatnya penyerapan unsur hara oleh akar yang akhirnya terjadi defisiensi hara,
seperti daun menguning dan layu pada cuaca kering dan panas (Munif, 2003).
140
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Inokulasi Meloidogyne spp dapat mempengaruhi kecepatan pembungaan yang terlihat pada
umur berbunga dan jumlah buah, bahwa perlakuan M4 akan lebih cepat berbunga dibandingkan
dengan perlakuan lainnya namun lebih lambat dalam membentuk buah Hal ini dikarenakan tanaman
yang terganggu akan mengalami stress sehingga akan memicu pertumbuhan bunga.
Tabel 4. Pengaruh inokulasi Meloidogyne spp terhadap jumlah daun, diameter batang dan tinggi
tanaman cabai
Nematoda Jumlah daun (helai) pada minggu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M0 4,8 6,1 11,5a 17,6 22,0 40,0 48,0 57,6 58,5 60,5
M1 3,6 6,6 8,5b 11,1 13,8 22,8 31,5 39,5 39,8 41,3
M2 3,8 7,1 10,0b 12,5 15,8 23,5 28,8 36,3 36,5 36,5
M3 4,8 7,3 10,8b 12,5 17,1 26,0 33,1 43,8 44,3 44,3
M4 3,6 5,0 8,3b 10,1 14,6 23,5 28,5 35,3 35,5 35,8

Diameter batang (cm) pada minggu ke


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M0 0,18 0,29a 0,38a 0,41a 0,47a 0,54a 0,62a 0,64a 0,67a 0,73a
b ab a ab ab ab ab ab
M1 0,18 0,20 0,24 0,29 0,33 0,39 0,44 0,46 0,51 0,57b
b abc ab ab b abc abc abc
M2 0,18 0,22 0,28 0,34 0,39 0,43 0,51 0,53 0,56 0,58b
b bc b b b bc bc bc
M3 0,15 0,21 0,31 0,34 0,44 0,46 0,50 0,53 0,54 0,55b
b c b b b c c c
M4 0,13 0,19 0,27 0,30 0,36 0,37 0,40 0,45 0,46 0,46b
Tinggi tanaman (cm) pada minggu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M0 8,1 15,3 22,1 30,3 39,0 51,9 56,8 58,7 61,6 63,7
M1 6,8 11,6 14,8 19,8 24,7 36,5 38,0 41,0 42,3 45,0
M2 7,5 12,7 16,8 23,0 29,9 38,6 40,3 42,1 43,9 45,4
M3 7,3 13,5 17,9 24,2 32,7 42,3 45,1 48,6 51,6 52,6
M4 7,1 11,9 15,0 19,7 25,5 35,6 38,6 41,6 42,8 44,2
Ket : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT
5%. M0 = Tanpa nematoda, M1 = 50 ekor nematoda, M2 = 100 ekor nematoda, M3 = 150 ekor
nematoda, M4 = 200 ekor nematode
Sumber : Data primer (2016)
Tabel 5. Pengaruh inokulasi Meloidogyne spp terhadap umur berbunga dan jumlah buah tanaman
cabai
Meloidogyne Umur Berbunga (hari) Jumlah Buah (butir)
M0 56,5 9,66
M1 61,0 4,16
M2 64,3 3,66
M3 6,0 6,33
M4 39,0 3,00
Ket : M0 = Tanpa nematoda, M1 = 50 ekor nematoda, M2 = 100 ekor nematoda, M3 = 150 ekor nematoda,
M4 = 200 ekor nematode
Sumber : Data primer (2016)

Interaksi antara Meloidogyne spp dengan Fusarium sp


Pada Tabel 1 terlihat bahwa interaksi inokulasi Meloidogyne spp dan Fusarium sp
berpengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan kecuali pada jumlah daun minggu ke 4-10,
diameter batang pada minggu ke 1 dan 2, tinggi tanaman pada minggu 1-5, dan umur berbunga. Pada
Tabel 6,7, dan 8 terlihat bahwa nilai rata-rata perlakuan M4F1 yang paling rendah. Hal ini dikarenakan
M4 merupakan perlakuan tertinggi dengan jumlah populasi 200 ekor pertanaman dan F1 merupakan
perlakuan yang diinokulasikan dengan Fusarium sp sehingga pertumbuhan dan perkembangan
tanaman terhambat akibat adanya serangan ganda oleh cendawan Fusarium dan Meloidogyne spp yang
menyebabkan penyakit layu fusarium cepat berkembang dan masuk ke dalam tanaman, kemudian
menetap serta mengambil sumber makanan dari tanaman cabai tersebut.

141
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 6. Pengaruh interaksi Meloidogyne spp dan Fusarium sp terhadap jumlah dauntanaman cabai
Perlakuan Jumlah daun (helai) minggu ke
1 2 3
M0F0 5,0a 6,6a 12,3a
M0F1 4,6ab 5,6ab 10,6a
ab ab
M1F0 3,0 5,3 7,0a
ab ab
M1F1 5,0 8,0 10,0a
ab bc
M2F0 4,6 7,3 8,3ab
M2F1 3,0ab 7,0bc 11,6ab
ab bc
M3F0 4,0 5,3 9,0ab
b bc
M3F1 5,6 9,8 12,6abc
b bc
M4F0 4,3 6,0 12,3bc
b c
M4F1 3,0 4,0 4,3c
Ket : M0F0 = 0 nematoda + 0 fusarium, M0F1 = 0 nematoda + fusarium, M1F0 = 50 nematoda + 0
fusarium, M1F1 = 50 nematoda + fusarium, M2F0 = 100 nematoda + 0 fusarium, M2F1 = 100
nematoda + fusarium, M3F0 = 150 nematoda + 0 fusarium, M3F1 = 150 nematoda + fusarium, M4F0
= 200 nematoda + 0 fusarium, M4F1 = 200 nematoda + fusarium. Huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
Sumber : Data primer (2016)
Tabel 7. Pengaruh interaksi Meloidogyne spp dan Fusarium sp terhadap diameter batangtanaman cabai
Perlakuan Diameter batang (cm) minggu ke
3 4 5 6 7 8 9
M0F0 0,36a 0,40a 0,46a 0,54a 0,67a 0,69a 0,73a
ab a a ab ab ab
M0F1 0,39 0,42 0,48 0,53 0,57 0,59 0,62ab
abc ab ab ab ab ab
M1F0 0,23 0,28 0,35 0,38 0,43 0,44 0,49ab
abcd abc ab ab ab ab
M1F1 0,25 0,30 0,33 0,41 0,46 0,47 0,54ab
abcd abc ab ab b ab
M2F0 0,28 0,34 0,40 0,43 0,50 0,52 0,59b
bcde abc ab ab b b
M2F1 0,29 0,34 0,38 0,44 0,52 0,54 0,54b
bcde abc ab ab b b
M3F0 0,31 0,35 0,46 0,47 0,51 0,55 0,56b
cde bcd abc ab b bc
M3F1 0,31 0,33 0,42 0,44 0,50 0,52 0,52b
de cd bc b b bc
M4F0 0,34 0,38 0,48 0,50 0,53 0,57 0,57b
e d c c c c
M4F1 0,20 0,23 0,24 0,25 0,26 0,33 0,33c
Ket : M0F0 = 0 nematoda + 0 fusarium, M0F1 = 0 nematoda + fusarium, M1F0 = 50 nematoda + 0
fusarium, M1F1 = 50 nematoda + fusarium, M2F0 = 100 nematoda + 0 fusarium, M2F1 = 100
nematoda + fusarium, M3F0 = 150 nematoda + 0 fusarium, M3F1 = 150 nematoda + fusarium, M4F0
= 200 nematoda + 0 fusarium, M4F1 = 200 nematoda + fusarium. Huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
Sumber : Data primer (2016)
Tabel 8. Pengaruh interaksi Meloidogyne spp dan Fusarium sp terhadap tinggi tanaman cabai
Perlakuan Tinggi tanaman (cm) minggu ke
6 7 8 9 10
M0F0 60,1a 66,0a 68,9a 73,6a 76,0a
ab ab ab ab
M0F1 43,6 47,6 48,6 49,5 51,4ab
ab abc abc ab
M1F0 39,3 41,0 45,0 46,3 50,3abc
ab abc abc b
M1F1 33,6 35,0 37,0 38,3 39,6abc
ab abc abcd bc
M2F0 48,6 51,0 53,0 55,0 57,1bcd
abc bcd bcd bc
M2F1 28,6 29,6 31,3 32,8 33,8bcd
M3F0 39,6abc 42,6bcd 45,6bcd 48,6bcd 50,8bcd
bc bcd bcd bcd
M3F1 45,0 47,6 37,0 52,8 54,5bcd
bc cd cd cd
M4F0 50,0 53,0 55,6 57,3 59,2cd
c d d d
M4F1 21,3 24,3 27,6 28,3 29,3d
Ket : M0F0 = 0 nematoda + 0 fusarium, M0F1 = 0 nematoda + fusarium, M1F0 = 50 nematoda + 0
fusarium, M1F1 = 50 nematoda + fusarium, M2F0 = 100 nematoda + 0 fusarium, M2F1 = 100
nematoda + fusarium, M3F0 = 150 nematoda + 0 fusarium, M3F1 = 150 nematoda + fusarium, M4F0
= 200 nematoda + 0 fusarium, M4F1 = 200 nematoda + fusarium. Huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT 5%.
Sumber : Data primer (2016)

142
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 7 menunjukkan bahwa interaksi pada perlakuan M4F1 sangat terlihat jelas. Hal ini
dikarenakan perlakuan M4F1 memiliki nilai rata-rata umur berbunga paling cepat dan memiliki nilai
rata-rata paling rendah, hal ini dikarenakan perlakuan M4F1 adalah perlakuan yang tertinggi dengan
populasi Meloidogyne spp 200 ekor tanaman-1 dan dengan fusarium. Sehingga akan mempercepat
proses pembungaan namun akan menghambat pertumbuhan buah.
Tanaman yang terserang paling parah yaitu pada perlakuan M4F1, hal ini menunjukkan bahwa
pada tanaman yang diinokulasi Meloidogyne spp dan Fusarium sp sangat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman cabai. Walaupun dari masing-masing perlakuan memiliki kemampuan
sendiri dalam menyerang inangnya, tetapi serangan pada tanaman akan lebih cepat dan parah apabila
keduanya dikombinasikan. Meloidogyne spp menyebabkan luka pada akar untuk masuk kedalam
tanaman dan memblokir fungsi akar, sedangkan Fusarium sp memanfaatkan luka tersebut sebagai
jalan masuk kedalam tanaman dan menginfeksi jaringan tanaman, dengan kerja sama kedua
penganggu tanaman inilah yang akan mengakibatkan cepatnya tanaman cabai terserang penyakit.
Serangan Meloidogyne spp ditandai adanya puru pada akar. Patogen ini merupakan parasit
penyerang bagian akar tanaman cabai, luka yang disebabkan Meloidogyne spp inilah dimanfaatkan
Fusarium sp untuk masuk dengan cepat kedalam jaringan tanaman cabai. Oleh karena itu, perlu upaya
agar kedua patogen tersebut tidak berada bersama pada satu tempat. Hal ini sangat penting, mengingat
Fusarium dapat tertular tanah dan bertahan lama dalam tanah (Wibowo, 2002), sementara
Meloidogyne spp. merupakan parasit penting yang memiliki distribusi yang luas dan mampu
menginfeksi berbagai macam tanaman pertanian (Nurjayadi et al., 2015) dan masih sangat tergantung
dengan penggunaan nematisida sintetik (Mustika, 2002).

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Keberadaan Fusarium sp akan menghambat pertumbuhan diameter batang tanaman cabai.
2. Keberadaan Meloidogyne spp mampu menghambat pertumbuhan jumlah daun dan diameter batang
tanaman cabai. Semakin tinggi populasi Meloidogyne spp maka penghambatan pertumbuhan
tanaman cabai akan semakin besar.
3. Adanya interaksi antara Fusarium sp dan Meloidogyne spp akan mempercepat penghambatan
pertumbuhan tanaman cabai.

DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W. 1996. Produksi dan konsumsi cabai merah. Hal: 4-13 dalam A.S. Duriat, A.W. W.
Hadisoeganda, T.A Soetiarso dan L. Prabaningrum (Eds.) Teknologi produksi cabai
merah. BALITSA. Bandung
Agrios GN. 2005. Plant pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press. San Diego, California, USA. 907
p.
Aprilyani, Supramana, A dan G. Suastika. 2015. Meloidogyne incognita penyebab umbi berbintil
pada kentang di beberapa sentra produksi kentang di Jawa. J. Fitopat. Ind. 5(10)143-149.
Badan Pusat Statisk. 2014. Luas panen, produksi dan produktivitas cabai 2009-
2013.http://www.pbs.go.id/tab-
sub/view.php?kat=3dantabel=1dandaftar=1danid_subyek=55dannotab=62 (Diunduh 14
Maret 2016).
Booth S. 1975. The Genus fusarium. The Lavenham Press Ltd. England.
Dropkin, VH. 1989. Introduction of plant nematology. John Wiley & Sons. New York. USA. 304 p.
Hikmia Z, Supramana, dan G. Suastika. 2012. Identifikasi spesies Meloidogyne spp. penyebab umbi
bercabang pada tanaman wortel di Jawa Timur. J. Fitopat. 8(3 73-78.
Huda, M. 2010. Pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang (Musa paradisiaca L.) secara
kultur teknis dan hayati. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kurniawan, W. 2010. Identifikasi penyakit umbi bercabang pada wortel, Daucus carota (L.), di
Indonesia. Tesis. IPB, Bogor.
Mulyadi. 2009. Nematologi pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Munif, A. 2003. Prinsip-prinsip pengelolaan nematoda parasit tumbuhan di lapangan. Makalah pada
Pelatihan Identifikasi dan pengelolaan nematioda parasit utamatumbuhan:. Pusat

143
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kajian Pengendalian Hama Terpadu (PKPHT)-HPT. Institut Pertanian Bogor. 26-29


Agustus 2009. 10 h.
Mustika, I, H. Marwoto, R. Harni, dan S.H. Nazarudin. 2002. Pengendalian nematoda pada tanaman
tomat dengan menggunakan bakteri Pasteuria penetrans. J. Fitopat. Ind. 5(1):20-25.
Nurjayadi, M.Y., A. Munif, dan G. Suastika. 2015. Identifikasi nematoda puru akar, Meloidogyne
graminicola, pada tanaman padi di Jawa Barat. J. Fitopat. Ind. 4(8)113-120.
Semangun H. 2007. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Wibowo, A. 2002. Pengendalian penyakit layu Fusarium pada pisang dengan menggunakan isolat
nonpatogenik Fusarium sp. J. Fitopat. Ind. 6(2) 65-70.

144
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH BEBERAPA DEKOMPOSER DI DALAM PEMBUATAN PUPUK ORGANIK


DAN PEMANFAATANNYA PADA TANAMAN KOPI
THE INFLUENCE OF SOME DECOMPOSERS IN THE ORGANIK FERTILIZER
MANIFACTURES AND UTILIZATION OF THE COFFEE PLANT
Putu Suratmini dan A.A.N.B. Sarmudadinata
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jl.ByPass Ngurah Rai, Pesanggaran , Denpasar
Email :suratminiputu@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diharapkan mampu meningkatkan nilai
devisa ekspor Indonesia. Umumnya tanah-tanah di Indonesia berkadar bahan organik rendah bahkan
di J a wa kandungannya kurang dari 1 %, sehingga pemupukan organik sangat diperlukan. Tujuan
pengkajian adalah untuk mengetahui pengaruh dekomposer (MOL) dalam fermentasi pupuk organic
dan pemanfaatan pupuk organik hasil fermentasinya pada pertanaman kopi. Pengkajian dilakukan di
Desa Sanda,Tabanan tahun 2015. Pada pengkajian ini ada dua tahap kegiatan yaitu tahap I adalah
proses pembuatan pupuk organik dari limbah ternak kambing dan Ada 4 perlakuan yang diberikan
pada kotoran kambing yaitu :P1(tanpa fermentasi/kontrol), P2(fermentasi dengan MOL ganas (daun
gamal + nasi basi), P3 (fermentasi dengan MOL buah busuk, P4 (fermentasi dengan Rumino bacillus
(RB). Tahap II adalah pemberian pupuk hasil tahap I pada tanaman kopi sebanyak 40 pohon kopi yang
telah berumur diatas 5 tahun dibagi dalam 4 perlakuan dengan 10 ulangan dan diberikan sebanyak 10
kg/pohon/tahun. Perlakuan yang diberikan yaitu: 1) K1 : pupuk kompos tanpa fermentasi, 2) K2 :
pupuk kompos MOL ganas, 3) pupuk kompos MOL buah busuk dan 4) pupuk kompos RB. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Parameter yang diamati meliputi: (1)
kadar NPK dari kompos, 2) produksi kopi gelondongan basah, kering matahari dan kering oven/pohon
dan 3) produksi biji basah, biji kering matahari dan kering oven per pohon. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa Kompos hasil fermentasi dengan MOL ganas (P2) memberikan kandungan unsur
hara makro (NPK) lebih tinggi dibandingkan desngan kontrol (P1) maupun dengan perlakuan P3 dan
P4. Perlakuan K2 (pupuk kompos MOL ganas) memberikan berat kopi gelondongan basah 4,88%,
berat biji basah 12.6%, dan berat biji kering oven 6.35% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kontrol (K1 = pupuk yang tidak difermentasi).
Kata kunci : dekomposer, pupuk organik, tanaman kopi

ABSTRACT
Coffee is one of the commodities that are expected to increase the foreign exchange value of
Indonesian exports. Generally land in Indonesia has low levels of organic matter and in Java even less
than 1%. So organic fertilizer is needed. The purpose of the assessment is to determine the role of
decomposers (local microorganism) in the fermentation of goat manure (feces) and the utilization of
result fermentation in coffee plant. The assessment was done at Sanda village, Tabanan 2015. In this
assessment, there are two phases, namely Phase I activities is the process of making organic fertilizer
from goat manure (feces) with some decomposer. There were four treatments were: 1) goat manure
without fermentation, 2) goat manure fermented with MOL ganas (Gliricidia leaves + rotten rice), 3)
goat manure fermented with MOL rotten fruit, 4) goat manure fermented with Rumino bacillus(RB).
Phase II is the provision of fertilizer results of Phase I of the coffee plant as many as 40 coffee trees
that have been over the age of 5 years were divided into 4 treatments with 10 replications and given as
much as 10 kg / tree / year. The treatments were: 1) K1: compost without fermentation, 2) K2: compost
with MOL ganas, 3) K3: compost with MOL rotten fruit and 4) K4: compost with Ruminobaciilus. The
design used was a randomized block design (RBD). The parameters observed were: (1)the content
NPK nutrient of compost, 2) the coffee production of wet logs, sun-dry and oven-dry/ tree and (2) the
production of wet seed, sun dry and dry oven seed. The result showed that the content of NPK nutrients
in organic fertilizer fermented with MOL ganas (P2) look higher compared to the control (P1) and the
other treatment P3 and P4. Treatment K2 (fertilizer with MOL ganas) provide weight of wet logs cofee
4.88%, weight of wet seed 12.6% and weight of dry oven seed 6.35% higher compared to the control
treatment (K1= fertilizer without fermentation).
Keywords: decomposers, organic fertilizer, the coffee plant

145
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Hingga saat ini, kopi masih menjadi komoditas andalan ekspor hasil pertanian Indonesia selain
kelapa sawit, karet, dan kakao. Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diharapkan
mampu meningkatkan nilai devisa ekspor Indonesia (Mayrowani, 2013). Indonesia merupakan
produsen utama kopi dunia dan menempati urutan ketiga penghasil kopi setelah Brazil dan Vietnam,
dengan volume ekspor mencapai 10.620.000 kantung ( satu kantung berisi 60 kg) di tahun 2012.
Brazil, Vietnam dan Indonesia adalah produsen utama kopi robusta di dunia. Luas perkebunan kopi di
Indonesia adalah 1.240.000 ha yang terdiri dari 933.000 ha kopi robusta dan 307.000 ha kopi arabika
(Wahyuni dan Kariada. 2015). Saat ini produksi kopi Indonesia telah mencapai 600 ribu ton pertahun
dan lebih dari 80% berasal dari perkebunan rakyat. Luas perkebunan kopi di Indonesia yang dikelola
oleh perusahaan besar hanya sekitar 47.000 ha, sedangkan luas perkebunan kopi rakyat mencapai 1,2
juta ha (BPS, 2014). Area kopi rakyat ini sebagian besar berada di lahan kering masam dengan
produktivitas rendah.
Hasil penelitian Prayuginingsih et al.(2010) mendapatkan bahwa mutu dan produktivitas kopi
rakyat umumnya rendah. Beberapa faktor penyebabnya antara lain: a) teknologi budidaya dan
pengolahan pasca panen belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia; b) penurunan kesuburan dan kualitas tanah; c) lemahnya pengawasan kualitas di
setiap tahap produksi sejak tanam, pengolahan hingga tata niaga kopi. Hal ini berakibat pada rendahnya
pendapatan petani. Hasil pengamatan Kasno (2003) terhadap tanah pertanian baik lahan sawah maupun
lahan kering diperoleh bahwa umumnya tanah-tanah di Indonesia berkadar bahan organik rendah bahkan
di Jawa kandungannya < 1 % (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Untuk meningkatkan kadar bahan
organic tanah satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan pemupukan organik (pupuk kandang atau
kompos). Bahan organik tanah menentukan sifat biologi, kimia dan fisika tanah yang pada akhirnya
sangat menentukan daya dukung tanah terhadap tanaman (Mulyanto, 2004). Kurniaty et al. (2010)
menyatakan penambahan bahan organik akan memberikan kondisi yang dapat membantu pergerakan
air dan udara dalam media menjadi lebih baik. Kondisi ini juga akan mempengaruhi penyerapan unsur
hara oleh tanaman.
Dewasa ini seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan produk pangan
berkualitas dan semangat kembali ke alam maka permintaan produk pertanian organik semakin
meningkat. Kopi sebagai salah satu aset produk Indonesia yang terkenal di dunia, sekarang ini banyak
diusahakan atau diproduksi secara organik dan dikenal dengan kopi organik. (Winarni et al., 2013).
Hal ini merupakan peluang yang sangat besar bagi petani kopi untuk memanfaatkan limbah ternak
peliharaanya sebagai pupuk tanaman kopi. Petani di Desa Sanda Tabanan (lokasi pengkajian)
umumnya selain menanam kopi juga memelihara ternak kambing, sehingga kotoran/feses kambing
cukup berpotensi sebagai pupuk tanaman kopi. Petani memelihara kambing baik untuk dijual maupun
untuk produksi susu dan limbah ternak yang dihasilkan dipakai untuk memupuk tanaman kopinya.
Pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik, baik limbah padat maupun cair merupakan salah
satu pengelolaan sumberdaya terbarukan (renewable resources), yang dapat meningkatkan kesuburan
tanah baik secara fisik, kimia maupun biologis. Penambahan bahan organik kedalam tanah pada siklus
usahatani selain berdampak positif terhadap kesububuran lahan juga berdampak terhadap efisiensi
terhadap penggunaan input luar. Primavesi (1999) menambahkan bahwa dengan penambahan bahan
organik, pertumbuhan serta distribusi akar menjadi lebih baik dan memberikan efek penyangga
(buffering) terhadap kesuburan tanah, karena itu unsur-unsur hara yang terikat dalam tanah (khususnya
P) akan menjadi lebih tersediabagi akar. Upaya ini sekaligus untuk menghemat penggunaan pupuk
anorganik karena selain harganya cenderung mahal, penggunaan pupuk yang berlebihan dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Pupuk organik mengandung unsur-unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan
oleh tumbuhan supaya dapat tumbuh dengan subur. Pupuk organik merupakan dekomposisi bahan-
bahan organik atau proses perombakan senyawa yang komplek menjadi senyawa yang sederhana
dengan bantuan mikroba. Agar kotoran ternak lebih cepat bisa dimanfaatkan untuk pupuk atau
kotoran ternak lebih cepat mengalami dekomposisi/perombakan, maka kotoran ternak perlu
diproses terlebih dahulu melalui fermentasi dengan decomposer (mikroba deckomposer).
Berdasarkan hal tersebut pengkajian pembuatan pupuk organik dengan menggunakan
mikroba decomposer dan pemanfaatannya pada tanaman kopi ini dilakukan. Tujuan pengkajian
adalah untuk mengetahui pengaruh Mikro Organisme Lokal (MOL) dalam fermentasi kotoran
kambing dan pemanfaatan hasil fermentasinya pada pertanaman kopi.

146
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODOLOGI
Pengkajian dilakukan di Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan tahun 2015.
Lokasi ini termasuk dalam agroekosistem lahan kering, dataran tinggi beriklim basah. Pada pengkajian
ini ada dua tahap kegiatan yang dilakukan yaitu:
Tahap I adalah proses pembuatan pupuk organik dari limbah padat (kotoran/feces) ternak kambing
dengan beberapa decomposer. Tahap II adalah pemberian pupuk hasil tahap I pada tanaman kopi.
Kegiatan tahap I meliputi: pembuatan pupuk organik dengan memanfaatkan Mikro Organisme
Lokal (MOL) pada kotoran (feses) kambing yang dilakukan melalui proses fermentasi secara an aerob
selama 14 hari. Ada 4 perlakuan yang diberikan pada pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing
yaitu :
P1 : pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing tanpa proses fermentasi. Kotoran kambing/feses
kambing dibiarkan ditumpuk selama 3 bulan tanpa perlakuan apa-apa
P2 : pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing dengan pemberian MOL ganas (daun gamal +
nasi basi) atau kombinasi gamal dengan nasi basi. Adapun Bahan yang diperlukan didalam
pembuatan MOL ganas ini meliputi : (1) 2 kg daun gamal, (2) 100 gram nasi basi, (3) 200 gram
gula merah dan (4) 2 liter air beras. Bahan-bahan tersebut dicampur menjadi satu di dalam jirigen,
kemudian didiamkan selama 14 hari. Setelah 14 hari bahan kemudian disaring dan disimpan.
Untuk menjaga MOL agar tetap hidup perlu ditambahkan gula merah dan air beras setiap 1
minggu sekali. MOL yang telah jadi kemudian digunakan untuk menfermentasi bahan kotoran
ternak selama 14 hari dengan cara ditutup dengan terpal atau plastik gelap.
P3: pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing dengan pemberian MOL buah. Pembuatan MOL
buah dibuat dari berbagai macam buah busuk (pepaya, pisang) sebanyak 2 kg ditambah 200 gram
gula merah dan 2 liter air kelapa. Buah-buahan busuk di potong kecil kecil kemudian dicampur
dengan bahan yang lain dan dimasukkan ke dalam jirigen. Dibiarkan selama 14 hari kemudian
baru disaring dan dikemas. Untuk menjaga MOL agar tetap hidup setiap 1 minggu sekali
ditambahkan gula merah dan air kelapa. MOL yang telah jadi kemudian digunakan untuk
memfermentasi bahan kotoran ternak selama 14 hari dengan cara ditutup dengan terpal atau
plastik gelap.
P4: Pembuatan pupuk organik dari kotoran kambing dengan pemberian Rumino bacillus (RB).
Sebelum digunakan dalam proses fermentasi, dekomposer RB perlu diaktivasi terlebih dahulu
dalam media air. Sebanyak 10 liter air bersih ditambahkan gula pasir dan pupuk urea sebanyak
0,5% kemudian diaduk hingga terlarut. Ke dalam larutan dimasukkan sebanyak 0,5% dekomposer
RB kemudian didiamkan selama 30 menit. Larutan RB semprotkan secara merata pada feses
kemudian difermentasi dengan menutup dengan terpal atau plastik selama 14 hari.
Sesudah 14 hari semua kotoran yang sudah difermentasi dibuka dan siap digunakan
Hasil kegiatan tahap I ini dan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman, pupuk
diaplikasikan pada tanaman kopi. Sebanyak 40 pohon kopi yang telah berumur diatas 5 tahun dibagi
dalam 4 perlakuan atau masing perlakuan terdapat 10 tanaman sebagai ulangan :
K1 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos tanpa fermentasi 10 kg/pohon/tahun
K2 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos MOL ganas 10 kg/pohon/tahun
K3 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos MOL buah busuk 10 kg/pohon/tahun
K4 : Pohon kopi mendapat pupuk kompos RB 10 kg/pohon/tahun
Pemberian pupuk dilaksanakan dengan sistem lorak sekeliling tajuk tanaman dengan membuat lobang
sedalam + 20 cm, kemudian pupuk dimasukkan ke dalam lubang dan sesudahnya lubang ditutup
kembali dengan tanah. Waktu pemberian pupuk adalah menjelang akhir musim hujan yaitu bulan
Pebruari-Maret 2015 dan panen dilakukan pada bulan Oktober-November 2015.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 10 ulangan.
Pemberian pupuk 10 kg/pohon/tahun berdasarkan hasil pengkajian Guntoro (2012) yang mengatakan
bahwa pupuk organik padat yang dibutuhkan tanaman kopi adalah 10 kg/pohon/tahun dan diberikan
dua kali yaitu pada awal dan akhir musim penghujan. Parameter yang diamati meliputi : (1) produksi
kopi gelondongan basah, kering matahari dan kering oven per pohon dan (2) produksi biji basah, biji
kering matahari dan kering oven per pohon. Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian ini
dianalisis dengan analisa sidik ragam (anlisis varian), apabila pengujian sidik ragam menunjukkan
pengaruh perbedaan yang nyata, maka pengujian dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan.

147
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pupuk organik yang dihasilkan dari kegiatan tahap I yaitu fermentasi dengan berbagai
dekomposer, kemudian digunakan untuk kegiatan tahap II yaitu :sebagai pupuk tanaman kopi sesuai
dengan perlakuan. Untuk mengetahui kandungan unsur hara terutama unsur makro yang dikandung
oleh masing-masing pupuk setelah fermentasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 200 gram
pada masing-masing kompos untuk dianalisis di laboratorium.
Tabel 1. Kandungan unsur hara kotoran/feses kambing yang difermentasi dengan berbagai jenis
dekomposer
Perlakuan
Peubah1)
P1 P2 P3 P4
Bahan kering (%) 92,67 93,34 93,95 92,43
pH 8,1 7,8 7,9 4,5
KTK (cmol(+)/kg) 35,85 49,83 50,76 57,21
N total (%) 1,93 2,07 1,80 1,91
P2O5 (%) 1,10 1,34 1,13 0,99
K2O (%) 3,51 4,39 3,23 2,39
C Organik (%) 45,35 41,63 36,98 41,48
C/N ratio 23 20 21 22
Sumber : data primer (2015)
Keterangan :
1)
hasil analisis laboratorium Balittanah Bogor
P1 : Feses kambing tanpa fermentasi (didiamkan selama 3 bulan)
P2 : Feses kambing yang difermentasi MOL ganas (2 minggu)
P3 : Feses kambing yang difermentasi MOL buah busuk (2 minggu)
P4 : Feses kambing yang difermentasi MOL Rumino bacillus (2 minggu)
Dari hasil analisis terlihat bahwa fermentasi menggunakan dekomposer Rumino bacillus (P4)
menghasilkan pupuk organik dengan pH asam (4,5), sedangkan dengan MOL ganas (P2) ataupun
MOL buah (P3) menghasilkan pH agak basa/basa dan hampir sama dengan pH pupuk organik tanpa
fermentasi (P1) (tabel 1). C/N ratio dari pupuk organik yang difermentasi dengan beberapa
dekomposer dan pupuk organik yang tidak difermentasi berkisar dari 20-23. Jadi C/N ratio dari pupuk
organik yang difermentasi dan yang tidak difermentasi tidak jauh berbeda.
Kandungan unsur hara NPK pada pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas
terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yan lain. kandungan N dan P pada pupuk organik
yang difermentasi dengan MOL ganas (P2) lebih tinggi 7,25% dan 21.82% dibandingkan dengan
pupuk tanpa fermentasi (P1), sedangkan kandungan N dan P pupuk organik yang difermentasi dengan
RB (P4) dan MOL buah (P3) lebih rendah dibandingkan dengan pupuk tanpa fermentas (P1).
Kandungan K pada pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas (P2) lebih tinggi 25,14%,
sedangkan kandungan K pada pupuk organik yang difermentasi dengan RB (P4) dan MOL buah (P3)
lebih rendah dibandingkan dengan pupuk organik tanpa fermentasi (P1). Kandungan unsur hara NPK
pupuk organik tanpa fermentasi (K1) tidak berbeda jauh dengan kandungan NPK pupuk yang
difermentasi (K2) maupun K3 dan K4 akan tetapi pupuk tanpa fermentasi memerlukan waktu sampai
3 bulan baru bisa digunakan, sedangkan dengan fermentasi pupuk sudah siap digunakan kurun wkatu
2- 3 minggu.
Pemberian pupuk organik hasil kegiatan tahap I pada tanaman kopi menunjukkan bahwa
tanaman kopi yang mendapat perlakuan K2 (kompos dengan MOL ganas) memiliki produksi kopi
gelondongan basah tertinggi yakni sebesar 9840 gram/pohon atau 4,88% nyata lebih tinggi (P<0,05)
dibandingkan dengan perlakuan K1(tabel 2). Sedangkan produksi kopi gelondongan basah antara
perlakuan K3 dan K4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K1 (kontrol). Pada proses pengeringan
melalui penjemuran dengan sinar matahari diperoleh produksi kopi gelondongan kering matahari juga
paling tinggi pada perlakuan K2 dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jika
dirata-ratakan jumlah total kadar air kopi gelondongan pada semua perlakuan adalah sebesar 61,13%.

148
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Produktivitas tanaman kopi pada perlakuan pemupukan organik


Perlakuan
Peubah1)
K1 K2 K3 K4
(MOL
(kontrol) (MOL buah) (RB)
ganas)
b a
Gelondongan basah 9381,8 9840 9433,4b 9516ab
Gelondongan kering matahari 4137,72b 4207,74 a
4117,68 b 3930,11c
Gelondongan kering oven 700C 3642,59a 3675,24 a
3679,03a 3454,31a
Biji Basah 4909,50c 5528,11 a
4988,38c 5346,09b
Biji Kering matahari 2442,9a 2534.32a 2510,57a 2259,81a
Biji Kering oven 700C 2114,68b 2249,42 a
2156,48ab 2175,36ab
Sumber: Data primer (2015)

Identik dengan produksi kopi gelondongan basah, produksi biji basah pada perlakuan K2 juga
paling tinggi, yakni sebesar 5528,11 gram/pohon. Produksi K2 ini lebih tinggi 12,60% dibandingkan
dengan perlakuan K1, lebih tinggi 10.82% dibandingkan dengan K3 dan lebih tinggi 3,41%
dibandingkan dengan K4 dan berbeda nyata (P>0,05). Produksi biji kopi kering matahari paling tinggi
pada perlakuan K2 akan tetapi hasil ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan
yang lain. Berat kering oven biji kopi tertinggi juga terlihat pada perlakuan K2 yakni sebesar 2249,42
gram/pohon atau 6.35% nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan K1 (kontrol).
Sedangkan berat kering oven biji kopi pada perlakuan K2 dan K4 menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata baik dengan perlakuan K3 maupun dengan kontrol (K1).
Pemberian pupuk organik yang difermentasi dengan MOL ganas(K2) memberikan berat kopi
gelondongan basah, berat biji basah dan berat biji kering oven yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan K1(kontrol) (pupuk organik kotoran kambing tanpa fermentasi). Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh karena kandungan bahan dasar dari fermentor yang dipakai adalah tanaman jenis
leguminosa (daun gamal) dimana kandungan proteinnya cukup tinggi sebagai sumber nitrogen
mikroba. Begitu juga dengan penggunaan nasi busuk yang merupakan sumber karbohirat bagi mikroba
sehingga proses dekomposisinya berjalan lebih baik. Dibandingkan dengan kontrol (K1), Berat kopi
gelondongan basah, berat biji basah dan berat biji kering oven terlihat lebih tinggi pada K2 ( kompos
dengan MOL ganas), hal ini disebabkan karena Kandungan unsur hara NPK pada kompos dengan Mol
ganas (K2) lebih tinggi.
Ketiga unsur hara tersebut secara umum dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar. Pupuk N
sangat penting untuk pertumbuhan vegetatif, pupuk P berperanan penting dalam pertumbuhan
generatif dan pupuk K berperanan dalam menguatkan batang dan perakaran tanaman. Peranan unsur
hara nitrogen, posfor dan kalium pada tanaman sangatlah penting karena dapat memacu pertumbuhan
tanaman baik vegetatif maupun generatif. Nitrogen diperlukan untuk merangsang pertumbuhan
vegetatif, meningkatkan kandungan klorofil daun memperbesar ukuran daun. Sedangkan unsur Posfor
dan Kalium selain membantu pertumbuhan vegetatif juga membantu di dalam proses pembentukan
dan pengisian biji. Setyorini et al. (2006) menyatakan pemberian pupuk organik memberikan
pengaruh positif bagi perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga lebih ramah lingkungan,
akan tetapi pemupukan organik bersifat slow release sehingga tersedia lebih lambat bagi tanaman
dibandingkan pemupukan kimia. Hartatik dan Widowati (2006) menyatakan pemupukan organik
berdampak positif terhadap peningkatan total mikroba, pelarut posfor, selulotik, rhizobia dan mikrobia
lainnya. Selain itu pula dinyatakan proses biologi merupakan proses awal yang terjadi sebelum
terjadinya proses fisik dan kimia pada lahan. Sejalan dengan itu hasil penelitian Rubiyo et al. (2006)
mendapatkan bahwa pemberian kompos yang difermentasi dengan Rumino bacillus (RB) sebanyak 10
kg per pohon pada kopi robusta di Kabupaten Buleleng Bali, mampu meningkatkan produksi kopi
sebanyak 63% dibandingkan dengan tanpa pemupukan.
Pupuk organic yang difermentasi dengan MOL ganas termasuk pupuk dengan Bahan bahan
organik yang memiliki kandungan N (Nitrogen) tinggi dan C (Karbon) tinggi. Dimana N diperoleh
dari tanaman gamal dan C diperoleh dari nasi busuk (karbohidrat tinggi). Menurut Firmansyah (2010),
bahan organik yang digunakan untuk pupuk organik terbagi menjadi dua yaitu : 1) bahan organik yang
memiliki kandungan N (Nitrogen) tinggi dan C (Karbon) tinggi, contohnya pupuk kandang, daun
legume (gamal, lamtoro, kacang-kacangan) atau limbah rumah tangga, 2) bahan organik yang
memiliki kandungan N (Nitrogen) rendah dan C (Karbon) tinggi, contohnya dedaunan yang gugur,
jerami, serbuk gergaji. Pupuk organic hasil fermentasi dengan MOL ganas mempunyai pH 7.8 (agak
basa). Menurut Hanafiah (2005) dengan pH netral sampai agak basa (pH 7-8) akan memberikan
149
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dampak yang lebih baik pada tanah karena penyerapan unsur hara menjadi optimal. Pada pH dibawah
6,5 dapat terjadi defisiensi Ca, P dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe. Sedangkan pada pH
diatas 7.5 dapat terjadi defisiensi P,B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, Mg juga toksisitas B dan MO.

KESIMPULAN
1. Kompos hasil fermentasi dengan MOL ganas (K2) memberikan kandungan unsur hara makro
(NPK) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (kompos tanpa fermentasi) maupun dengan
perlakuan kompos hasil fermentasi dengan MOL buah dan kompos dengan RB (Rumino bacillus)
2. Kompos hasil fermentasi dengan MOL ganas (K2) memberikan berat kopi gelondongan basah ,
berat biji basah dan berat biji kering oven lebih tinggi 4.88%, 12.6% dan 6.35% dibandingkan
dengan perlakuan kontrol (kompos tanpa fermentasi)
.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2014. St atistik Indonesia. B adan Pusat Statistik, Jakarta.
Guntoro, S. 2012. Meramu pakan ternak dari limbah perkebunan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hartatik, W., dan L.R. Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Dalam: Simanungkalit, R.D.M.,
Suriadikarta, D.A., Saraswati, R., Setyorini, D., Hartatik, W, editor. Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. Bogor: 2006. Balai Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal. 59-82.
Kasno, A., D. Setyorini, dan Nurjaya. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia. Buku
II. Agustian et al., (Eds.) Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Kearifan
Pendayagunaan Sumberdaya Tanah sebagai Aset Utama Peningkatan Kemampuan
Pembangunan Daerah. Padang, 21-23 Juli 2003, pp. 480-495.
Kurniaty, R., B. Budiman dan M. Suartana. 2010. Pengaruh Media dan Naungan Terhadap Mutu Bibit
Suren (Toona sureni MERR.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7 (2): 77 83.
Mayrowani, H. 2013. Kebijakan penyediaan teknologi pasca panen kopi dan masalah
pengembangannya. Forum Peneltian Agro Ekonomi 31(1): 31-49.
Mulyanto, B. 2004. Pengelolaan bahan organik tanah untuk mendukung kelestarian pertanian di lahan
basah. Prosiding Simposium Nasional Pertanian Organik Keterpaduan Teknik Pertanian
Tradisional dan Inovatif. Fakultas Pertanian IPB dan Asia Network of Organik
Recycling, Bogor 30 November 2004
Primavesi, A.M. 1999. More rice with good soil fertility management . Leisa15 (3 dan 4):50
Rubiyo, Suharyanto dan S. Guntoro. 2006. Pengkajian system usaha tani kopi
robusta, integrasi dengan ternak kambing di Bali. Makalah symposium
kopi. 2006. Su rabaya, 2 -3 Agustus 2006. Pusat Penelitian kopi dan
Kakao Indonesia
Setyorini, D., Saraswati, R. Dan E.K. Anwar. 2006. Kompos. Dalam: Simanungkalit, R.D.M.,
Suriadikarta, D.A., Saraswati, R., Setyorini, D., Hartatik, W, editor. Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. Bogor: Balai Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian. Hal. 11-40.
Suriadikarta, D.A., dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. Pendahuluan. Dalam: Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. Simanungkalit et al. (Eds.). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian, pp. 1-10.
Wahyuni, M.A. dan K. Kariada. 2015. Analisa penetapan harga pokok pemasaran kopi arabika
kawasan MPIG kintamani kabupaten bangle. Bunga Rampai model Pengembangan
Pertanian Perdesaan berbasis Inovasi. Balai pengkajian Teknologi Pertanian Bali,
Badan penelitian dan Penngembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. hal 131-138.
Winarni,E., Rita Dwi Ratnani, Indah Riwayati. 2013. Pengaruh jenis pupuk organic terhadap
pertumbuhan tanaman kopi, Momentum. Vol. 9 No.1 Hal. 35-39

150
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

IDENTIFIKASI PENYAKIT UTAMA PADA TANAMAN BUAH NAGA SUPER MERAH


(Hylocereus costaricensis) DI KABUPATEN KEPAHIANGPROVINSIBENGKULU
IDENTIFICATION OF MAJOR DISEASES ON RED SUPER DRAGON FRUIT (Hylocereus
costaricensis) IN KEPAHIANG DISTRICT, PROVINCE OF BENGKULU
Reni Andista1, Tunjung Pamekas2 dan Usman Kris Joko Suharjo1
1
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
2
Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jl. W.R.Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 Telp : (0736) 21290
e-mail : andistareni@gmail.com

ABSTRAK
Buah naga (Hylocereus sp.) merupakan salah satu tanaman tropika yang populer dan diminati karena
memiliki banyak khasiatnya bagi kesehatan tubuh. Pengembangan tanaman buah naga merupakan
salah satu program unggulan Dinas Pertanian Kabupaten Kepahiang. Namun demikian, upaya
pengembangan itu menghadapi hambatan terkait dengan serangan penyakit tanaman. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit utama pada tanaman buah naga berdasarkan ketinggian
tempat yang berbeda di Kabupaten Kepahiang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015
sampai dengan bulan September 2015, di 3 kebun buah naga Kabupaten Kepahiang, Provinsi
Bengkulu dan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu. Pemilihan kebun buah naga dilakukan dengan metode stratified sampling dan pengambilan
sampel tanaman sakit dilakukan dengan metode purposive sampling sebanyak 10 % dari jumlah
tanaman sakit dari jumlah tanaman per kebun. Isolasi patogen dilakukan dengan 2 cara yaitu
penanaman jaringan dan pengenceran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 4 penyakit utama
yang menyerang tanaman buah naga di daerah tersebut yaitu penyakit kuning sulur, penyakit karat
merah kecoklatan (Cephaleuros sp), penyakit putih sulur (Pleiochaeta sp., Fusarium sp.), dan
penyakit busuk sulur (Trihocladium sp., Acremonium sp., dan Sclerotium sp).
Kata kunci : Buah naga super merah, penyakit utama, Bengkulu

ABSTRACT
Dragon fruit (Hylocereus sp.) is one of the most exotic tropical plants. It is very popular in Indonesia
due to its nutrition values. The fruit has been extensively grown by the local government of Kepahiang
district. The objective of this research was to identify and measure the disease severity of the major
diseases on dragon fruits at three different elevations in Kepahiang district. The research was carried
out from May 2015 to September 2015 on three dragon fruit orchards at District of Kepahiang and at
the Laboratory of Plant Protection Departement, College of Agriculture, Bengkulu University. The
sampling methods employed in this research were stratified sampling and purposive sampling, in
which 10 % of the crop population in each orchard was used as the object of observation.
Identification of the pathogens has been done by tissue culture and dilution methods. The results
showed that four major diseases we`ve found at each orchard causing yellowish vine, brownish red
rust (Cephaleuros sp.), whitish vine wilt (Pleiochaeta sp., Fusarium sp.), and vine wilt (Trihocladium
sp. , Acremonium sp., and Sclerotium sp).
Keywords: super red dragon fruit, diseases infection, Bengkulu

PENDAHULUAN
Buah naga mulai dikembangkan dan dibudidayakan secara komersial di Indonesia pada sekitar
tahun 2000 (Jaya, 2010). Ada 4 jenis buah naga yang sudah dibudidayakan, yaitu buah naga daging
merah (Hylocereus polyrizus), buah naga daging putih (H. undatus), buah naga daging merah super
(H. costaricensis), dan buah naga kulit kuning (Selenecerius megalanthus) (Renasari, 2010). Untuk
memenuhi permintaan pasar domestik yang cukup tinggi maka upaya peningkatan produksi melalui
perluasan budidaya harus dilakukan, sehingga budidaya buah naga merupakan peluang bisnis yang
menjanjikan di bidang pertanian, khususnya pada tanaman hortikultura yang sudah mendunia tersebut.
Permintaan buah naga di pasaran terus meningkat, maka semakin berkembang pula
budidayanya. Buah naga ini mulai populer dan digemari oleh masyarakat Indonesia karena rasanya

151
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

yang manis dan memiliki beragam manfaat dan khasiat untuk kesehatan serta kaya akan nutrisi,
seperti vitamin C, beta karoten, kalsium, dan karbohidrat serta mengandung gula yang cukup tinggi
(Kristanto, 2008).
Tanaman buah naga tidak lepas dari adanya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT)
yang menyerang, kerusakan oleh OPT berpengaruh terhadap hasil panen seperti penurunan jumlah dan
mutu produksi yang mengakibatkan kerugian ekonomi (Palungkun dan Indrayani, 1992). Peluang
terjadinya outbreak hama atau penyakit ini dikarenakan penanaman suatu komoditas pertanian yang
secara luas dan monokultur serta dengan jarak tanam yang rapat (Jaya, 2009). Kabupaten Kepahiang,
Provinsi Bengkulu sangat potensial sebagai daerah penghasil buah naga. Sejauh ini, belum ada data
mengenai penyakit yang menyerang pada tanaman buah naga di Kabupaten Kepahiang, Provinsi
Bengkulu. Mengingat data penyakit sangat penting untuk perkembangan perkebunan buah naga di
Kabupaten Kepahiang, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyakit utama pada
tanaman buah naga berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda di Kabupaten Kepahiang. Tujuan
dari penelitian ini adalah mengidentifikasi penyakit utama tanaman buah naga Super Merah di
Kabupaten Kepahyang Provisnsi Bengkulu.

METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2015 di kebun
buah naga Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu dan di Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Pengambilan sampel kebun penelitian diambil
dengan metode stratified sampling dengan melihat ketinggian tempat semua kecamatan yang ada di
Kabupaten Kepahiang. Kemudian semua kecamatan dikelompokkan berdasarkan 3 ketinggian tempat
yang berbeda. Kebun penelitian berada pada 3 tempat yang berbeda ketinggiannya yang mewakili
semua Kecamatan di Kabupaten Kepahiang, ketiga kebun tersebut adalah : 1= kebun buah naga pada
ketinggian < 500 m dpl, 2= kebun buah naga pada ketinggian 500-600 m dpl dan 3= kebun buah naga
pada ketinggian > 600 m dpl.
Bahan yang digunakan adalah sampel bagian tanaman buah naga yang sakit, sampel tanah di
sekitar perakaran tanaman sakit, medium Potato Dextrose Agar (PDA), medium Natrium Agar (NA),
alkohol 96 %, aquades, NaOCL 1 %, tisu, dan kertas saring steril. Sedangkan alat yang digunakan
adalah mikroskop dan perangkatnya, cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, gelas erlenmeyer, pipet
tetes, pipet mikron, jarum ent/ose, pinset, bunsen, ent case, vortex, gunting, timbangan analitik, dan
ruang inkubasi.
Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi: Pengamatan kondisi lahan buah naga, isolasi dan
identifikasi patogen.
1. Pengamatan kondisi lahan buah naga.
Pada tahap ini dilakukan survei lahan buah naga di Kabupaten Kepahiang. Survei lahan dilakukan
dengan mengamati ketinggian tempat, kelembaban, temperatur kebun, kondisi tanaman, jarak
tanam, jenis buah naga yang ditanam, dan sejarah lahan.
2. Isolasi dan identifikasi patogen.
a) Isolasi patogen dilakukan dengan metode menanam jaringan dan pengenceran.
Isolasi dengan metode menanam jaringan dilakukan sebagai berikut : Bahan tanaman
sakit dibersihkan dari tanah atau kotoran yang melekat dengan air mengalir. Kemudian bahan
tanaman sakit dipotong antara bagian yang sehat dan sakit dengan ukuran 1 x 1 cm2.
Potongan direndam dalam larutan NaOCl 1% selama 1 menit. Selanjutnya potongan tanaman
sakit diangkat dengan pinset steril dan dikeringkan di atas tisu steril untuk menghilangkan
sisa-sisa larutan NaOCl. Selanjutnya potongan tanaman sakit diletakkan di atas media tumbuh
(PDA/NA). Kemudian diinkubasikan di suhu kamar selama 5-7 hari. Hifa-hifa jamur atau
koloni bakteri yang tumbuh pada potongan tanaman sakit selanjutnya diamati dan direisolasi
ke medium PDA/NA baru hingga didapatkan biakan murni.
Isolasi dengan metode pengenceran dilakukan sebagai berikut : Tanah dari rizosfer
tanaman sakit dibersihkan dari sisa-sisa tanaman. Kemudian tanah sebanyak 10 g dicampur
dengan 90 ml aquades steril dan dihomogenkan. Sebanyak 1 ml suspensi diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades steril dan dihomogenkan.
Proses tersebut diulangi sampai diperoleh pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml suspensi dengan
pengenceran 10-5 diteteskan di atas medium PDA/NA yang telah membeku, selanjutnya cawan

152
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

petri diinkubasikan di suhu kamar selama 5-7 hari. Hifa-hifa jamur atau koloni bakteri yang
tumbuh pada potongan tanaman sakit selanjutnya diamati dan direisolasi ke medium PDA/NA
baru hingga didapatkan biakan murni.
b) Identifikasi patogen
Identifikasi makroskopisdilakukandenganmengamatibentuk (lingkaran konsentris), warna
koloni, elevasi (permukaan miselium), ketebalan koloni,dan keberadaan miselium udara.
Identifikasi mikroskopis dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop dengan
meliputi bentuk dan ukuran konidia, bentuk konidiofor dan fialit, warna konidia.
Semua data makroskopis dan mikroskopis patogen akan dipakai untuk mengidentifikasi
patogen berdasarkan buku identifikasi Domsch (1993), Barnet (1988) dan Bergeys (2007).

Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dilengkapi dengan gambar-gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tanaman buah naga tidak terlepas dari gangguan OPT apalagi kondisi tanaman buah naga di
setiap lahan secara umum kurang terawat. Setelah dilakukan pengamatan ditemukan beberapa
penyakit yang menyerang tanaman buah naga di setiap lahan, seperti terlihat dalam Tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1. Jenis penyakit yang ditemukan di 3 lahan penelitian
Jenis penyakit Lahan
Kepahiang Ujan Mas Kabawetan
Kuning sulur + - +
Putih sulur + - +
Karatmerah kecoklatan + + +
Busuk sulur + + +
Ket: + (ada), - (tidak ada).
Sumber : Data Primer (2016)

1. Penyakit kuning sulur


Gejala penyakit kuning sulur yaitu sulur berwarna kuning sebagian atau menyeluruh ini cukup
banyak ditemukan pada kebun naga pada umumnya. Pada sulur tidak ditemukan bekas tusukan atau
gigitan yang menyebabkan sulur menguning (Gambar 1). Untuk mengetahui jenis penyakit yang
menyerang, maka dilakukan dengan cara pengamatan gejala di lapangan, setelah itu dilanjutkan
dengan uji laboratorium yaitu isolasi dan identifikasi. Namun, pada tahap isolasi dengan cara
penanaman jaringan tidak ditemukan patogen yang tumbuh pada medium PDA tersebut. Sulur
menguning diduga akibat kondisi lingkungan yang tidak menyediakan hara dalam jumlah cukup
sehingga menyebabkan gangguan fisiologis.

Gambar 1. Gejala penyakit kuning sulur pada tanaman buah naga super merah.
Sumber: Data primer (2015)

Bagian yang mengalami klorosis dapat menghambat pertumbuhan tanaman atau bahkan gagal
untuk membentuk bunga dan buah, selain itu sulur yang klorosis akan lebih rentan terhadap penyakit.
Menurut Kristanto (2008) gejala menguning pada sulur merupakan tanda kekurangan unsur nitrogen.

153
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2. Penyakit putih sulur


Gejala penyakit putih sulur yaitu sulur berwarna putih yang timbul dan permukaan tidak rata
seperti kerak. Kerak putih menyebar di permukaan sulur dan kemudian akan berubahmenjadi kerak
berwarna coklat (Gambar 2 dan 3).

(a) (b) (c)


Gambar 2. Gejala dan patogen Fusarium sp. penyebab penyakit putih sulur pada tanaman buah naga
super merah.
Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = Konidia.
Sumber: Data primer (2015)

(a) (b)
Gambar 3. Gejala dan patogen Pleiochaeta sp. penyebab penyakit putih sulur pada tanaman buah
naga super merah.
Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = Konidia
Sumber: Data primer (2015)

Berdasarkan hasil uji laboratorium bahwa secara makroskopis koloni (Gambar


(c) 2b) berbentuk
bulat, berwarna putih dan sedikit kekuningan dengan permukaan yang tidak rata. Secara mikroskopis
jamur ini memiliki karakter seperti konidia (Gambar 2c) tidak berwarna, berbentuk lonjong dengan
ujung yang meruncing, bersel 3-4 dan bersekat antara 2-3. Penyakit ini disebabkan oleh jamur
fusarium sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barnett (1988) bahwa jamur Fusarium sp. menyerang
jaringan tanaman yang masih lunak (basah) dan bertahan dalam jaringan kering. Faktor lain yang
menunjang keberadaan Fusarium sp. di dalam jaringan tanaman kering adalah suhu. Keberhasilan
jamur tersebut untuk menginfeksi dan hidup di dalam jaringan memerlukan suhu antara 28-30 0C
(Windels, 1993). Selain karena luka pada jaringan tanaman, jamur Fusarium sp. juga mudah
menginfeksi apabila tanaman mengalami stres karena suhu tinggi (Domsch et al., 1993).
Namun, penyakit putih sulur ini tidak hanya berasosiasi pada satu jenis patogen saja.
Berdasarkan hasil pengamatan di laboratorium, pada hari ke-7 memperlihatkan koloni (Gambar 3b)
berbentuk bulat yang memiliki lingkaran konsentris, berwarna putih yang tebal, seperti gumpalan
kapas dengan permukaan tidak rata dan tidak memiliki miselium udara. Berdasarkan hasil pengamatan
secara mikroskopis (Gambar 3c) bahwa patogen ini memiliki ciri, seperti konidia sederhana yang
lurus, dengan warna yang gelap dan memiliki 5 sel. Berbentuk elips, dinding sel bagian tengah lebih
tebal dan gelap di banding dinding sel pada bagian pinggir yang tipis dan terang. Penyakit putih sulur
tersebut disebabkan oleh jamur Pleiochaeta sp. Ini juga sesuai dengan pernyataan Barnett (1988).
3. Penyakit karat merah kecoklatan
Gejala penyakit karat merah adalah timbulnya karat berwarna merah kecoklatan yang agak
timbul dan menyebar dipermukaan secara tidak beraturan, kadang dilapisi dengan lapisan berwarna
putih transparan seperti lilin (Gambar 4). Gejala ini biasanya menyerang pada sulur utama.

154
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gambar 4. Gejala penyakit karat merah kecoklatan pada tanaman buah naga super merah.
Sumber: Data primer (2015)

Pengamatan pertama dilakukan dengan cara pengamatan gejala di lapangan, setelah itu
dilanjutkan dengan uji laboratorium yaitu isolasi dan identifikasi. Namun, pada tahap isolasi dengan
cara penanaman jaringan tidak ditemukan patogen yang tumbuh pada medium PDA tersebut. Hal ini
disebabkan oleh patogen yang menyerang penyakit karat merah kecoklatan merupakan parasit obligat.
Patogen dapat tumbuh dengan baik pada inang yang masih hidup. Menurut Supriyadi (2004),
berdasarkan sifat hidupnya parasit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu obligat dan fakultatif.
Parasit obligat yaitu parasit yang hanya bisa hidup jika berada pada inang. Parasit fakultatif yaitu
parasit yang mampu hidup di lingkungan air jika tidak ada inang disekitarnya.
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan pustaka yang memiliki gejala yang mirip dengan
penyakit tersebut. Menurut Gokhale et al (2012) bahwa penyakit tersebut berasosiasi dengan patogen
Cephaleuros sp. Kejadian penyakit sebagian besar dikendalikan dari faktor iklim dan terjadi di tempat
yang spesifik. Biasanya berada di tempat basah dengan drainase yang buruk. Wilayah dengan curah
hujan tinggi merupakan tempat yang paling banyak terjadinya penyakit ini. Kejadian penyakit ini
sering terlihat pada sulur utama. Sulur yang terinfeksi tidak menimbulkan masalah ekonomi yang
berarti.
4. Penyakit busuk sulur
Gejala bercak berair berukuran kecil yang berwarna kuning agak orange dan coklat kemudian
gejala tersebut membesar dan menyebar ke seluruh bagian sulur. Tekstur sulur yang terserang sangat
berair dan mudah sobek. Bagian busuk sulur tercium bau tidak enak (Gambar 5,6 dan 7).
Gejala busuk sulur dapat muncul di bagian tengah sulur, pangkal sulur, maupun ujung sulur.
Sulur yang sudah bergejala lanjut akan lepas dan tertinggal hanya lapisan kayu saja, lapisan lilin dan
daging sulur terkelupas. Terdapat juga gejala penyakit busuk sulur berwarna hitam yang menyebar ke
permukaan sulur. Apabila tidak dilakukan pengendalian maka lama-kelamaan gejala tersebut menjadi
kering yang berwarna hitam pekat. Kejadian penyakit ini biasanya terjadi pada saat musim penghujan
dan kelembaban yang tinggi.

(a) (b) (c) 1

Gambar 5. Gejala dan patogen Acremonium sp. penyebab penyakit busuk sulur pada tanaman buah
naga super merah.
Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = 1 (hifa), 2 (konodia)
Sumber: Data primer (2015)
.

155
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

1
(a) (b) (c
)
Gambar 6. Gejala dan patogen Trichocladium sp. penyebab penyakit busuk sulur pada tanaman buah
naga super merah.
Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = 1(hifa), 2 (konidia).
Sumber: Data primer (2015)

(a) (c)
(b)
Gambar 7. Gejala dan patogen Sclerotium sp. penyebab penyakit busuk sulur pada tanaman buah
naga super merah.
Ket : a = gejala penyakit, b = koloni, c = hifa.
Sumber: Data primer (2015)

Berdasarkan hasil uji laboratorium memperlihatkan koloni (Gambar 5b) berbentuk bulat
dengan tepi tidak rata yang berwarna merah dan tidak memiliki miselium udara. Berdasarkan
pengamatan secara mikroskopis (Gambar 5c), hifa hyaline tidak bersekat dan konidia berbentuk bulat.
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Acremonium sp. Sesuai dengan pernyataan Barnett (1988) bahwa
miselium membengkok, ramping, konidiahyalin, berselsatu, terikat sendiri , apikal, dan bersifat
saprofit.
Sedangkan jamur jenis lain yang berasosiasi dengan penyakit busuk sulur ini memiliki koloni
(Gambar 6b) berbentuk bulat, berwarna hijau gelap yang tebal, dengan permukaan yang rata dan tidak
memiliki miselium udara. Pada pengamatan secara mikroskopis (Gambar 6c), bahwa hifa bersekat,
berwarna hyalin, konidia berbentuk elips dan bersekat 2-3. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur
Trichocladium sp. Ini sesuai dengan pernyataan Barnett (1988).
Patogen lain yang berasosiasi dengan penyakit busuk sulur memiliki ciri koloni tunggal
(Gambar 7b) yang berbentuk bulat, berwarna putih yang tipis dengan permukaan rata. Berdasarkan
hasil uji mikroskopis (Gambar 7c) bahwa karateristik dari jamur tersebut memiliki hifa yang hyaline.
Penyakit yang menyerang adalah jamur Sclerotium sp. Sesuai dengan pernyataan Barett (1988) bahwa
mempunyai hifa yang hyalin dan bersekat.
5. Bercak orange buah
Penyakit bercak orange pada buah naga memiliki gejala bercak berwarna orange pada
permukaan kulit buah (Gambar 8). Gejala bercak berbentuk bulat yang dikelilingi halo kosentris dan
tersebar secara merata di permukaan kulit buah. Bercak akan menyebar ke seluruh bagian permukaan
kulit buah. Gejala yang terlihat terdapat bekas tusukan tepat di tengah lingkaran bercak tersebut. Ada
juga bercak yang berwarna hitam memenuhi permukaan kulit buah (Gambar 8b). Sebagai gejala lanjut
kulit buah menjadi kasar dan permukaan yang tidak rata, serta warna merah pada buah mejadi pudar
atau berkurang dan kulit terkelupas (Gambar 8c). Pengamatan gejala penyakit buah ini tidak termasuk
kedalam interval pengamatan selama penelitian, sehingga data tersebut dijadikan hanya sebagai data
pendukung. Data informasi ini digunakan untuk mengetahui dampak dari cara budidaya tanaman yang
dilakukan oleh pengelola kebun.

156
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gambar 8. Gejala penyakit bercak orange buah pada tanaman buah naga super merah
Sumber: Data primer (2015)

Menurut Octaviani (2012) bahwa penyakit ini berasosiasi dengan patogen Alternaria sp.
Berdasarkan wawancaranya kepada petani di pantai Trisik, bahwa gejala bercak orange ini akibat dari
serangan belalang. Keberadaan belalang di pantai Trisik memang sangat banyak. Petani menduga luka
tersebut akibat dari gigitan belalang dan banyak terjadi pada buah yang masih muda. Penyakit dapat
berkembang pada bagian tanaman apabila terdapat luka bekas gigitan atau akibat alat mekanis yang
merusak bagian tanaman pada saat melakukan perawatan tanaman.
6. Klorosis buah
Gejala klorosis buah ditemukan di salah satu lahan penelitian yaitu lahan Kepahiang. Gejala
klorosis dapat dilihat pada Gambar (9) yang menunjukkan warna merah pada buah yang tidak merata.

Gambar 9. Gejala klorosis buah


Sumber: Data Primer (2015)

Penyebab gejala tersebut merupakan salah satu dampak pemeliharaan tanaman yang kurang
terawat, seperti pemupukan yang tidak rutin dilakukan. Gejala sehubungan dengan kekurangan unsur
hara ini dapat terlihat dimulai dari sulur, warnanya yang hijau agak kekuningan selanjutnya berubah
menjadi kuning. Pada tanaman dewasa pertumbuhan yang terhambat ini akan berpengaruh pada
pertumbuhan, yang dalam hal ini perkembangan buah tidak sempurna. Kondisi buah pada Gambar (9)
dapat menurunkan kualitas dan harga jual buah itu sendiri, sehingga tidak diminati oleh konsumen.
Konsumen menyukai buah naga yang masih segar dan berkualitas bagus.

KESIMPULAN
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa penyakit utama yang menyerang tanaman buah naga
super merah di Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu adalah Kuning sulur, Putih sulur
(Pleiochaeta sp., Fusarium sp.), Karat merah kecoklatan (Cephaleuros sp.) dan busuk sulur
(Trihocladium sp., Acremonium sp., dan Sclerotium sp.

DAFTAR PUSTAKA
Barnet, H. L and Hunter, B. B. 1988. Illustrated genera of imperfect fungi. United States of Amerika
Bergeys. 2007. Revised road map to the phylum firmicutes (online). www.bergeys
volt_3_outline.pdf. [Diunduh Tgl 20 April 2015].
Domsch, K. H., Gams, W and Anderson, T. H. 1993. Compendium of soil fungi. Volume 1. IHW-
Verlag, Eching.

157
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gokhale, M. V and Shaikh S. S. 2012. Host range of a parasitic alga Cephaleuros virescens Kunz. ex
Fri. from Maharashtra state, India. Plant Sciences Feed 2 (1) : 1-4
(http://psf.lifescifeed.com/fulltext/PSF-2012-002-001.pdf). [Diuduh tgl 15 Mei 2015].
Jaya, I. K. D. 2009. Studi pendahuluan tentang praktek budidaya dan potensi pengembangan tanaman
buah naga (Hylocereus spp.) di Kabupaten Lombok Utara. Seminar Nasional Kebijakan
dan Penelitian di Bidang Pertanian untuk Pencapaian Kebutuhan Pangan dan
Agroindustri. Fakultas Pertanian UNRAM, 14 Maret 2009.
Jaya, I. K. D. 2010. Morphology and physiology of pitahaya and it future prospects in Indonesia. Crop
Agro. 3:44-50.
Kristanto, D. 2008. Buah Naga : pembudidayaan di pot dan di kebun. Jakarta: Penebar Swadaya.
Octaviani, R. D. 2012. Hama dan penyakit tanaman buah naga (hylocereus sp.) Serta budidayanya di
Yogyakarta. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Palungkun, R. dan Indrayani, Y. H. 1992. Hama penyakit sayur dan palawija. Ed ke-1. Jakarta: PT.
Penebar Swadaya.
Renasari, N. 2010. Budidaya tanaman buah naga super red di Wana Bekti Handayani. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Purwokerto: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Supriyadi, H. 2004. Penyakit infeksi dan non infeksi. Dalam: Pelatihan dasar karantina ikan tingkat
ahli dan terampil. pusat karantina ikan. Agustus 2004. Jakarta.5 hal.
Windels, C. E. 1993. Fusarium. In Singeletton, L. L., Mihail, J. D., and Rush, J. D., (Ed), Methods for
Research on Soilborne Phytopathogenic Fungi. APS Press. The American
Phytopathological Society, St. Paul Minnessota 115-126

158
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENDUKUNG


PENGEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU
PRODUCTIVITY IMPROVEMENT OF PALM TO SUPPORT
PLANTATION AREA DEVELOPMENT IN THE INDRAGIRI HULU DISTRICT
Anis Fahri, Taufik Hidayat, Heri Widyanto dan Ida Nur Istina
Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian (BPTP) Riau
Jl. Kaharuddin Nasution No. 341, km 10. Pekanbaru.Telp. 0761-674206.
Email : anisfahri@gmail.com

ABSTRAK
Peningkatan produktivitas kelapa sawit mendukung pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit
dilaksanakan pada tahun 2015 di desa Bukit Meranti Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif paket teknologi pemupukan kelapa sawit dalam
rangka pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit. Kajian disusun menggunakan Rancangan
Acak Kelompok 3 perlakuan dengan 5 (lima) ulangan. Paket teknologi yang diuji adalah sebagai
berikut adalah: 1) Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per
pohon ; 2) Urea 2,0 kg + TSP 1,0 kg + KCl 2 kg + Kieserit 0,5 kg + Borax 0,05 kg per pohon; 3)Urea
1 kg + TSP 0,5 kg + KCl 1 kg + Kieserit 0,5 kg per pohon. Pupuk kandang sebanyak 15 kg/pohon
diberikan sebagai pupuk dasar.Hasil penelitian menunjukkan Paket Teknologi 1 menghasilkan
produksi sebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi 2 sebesar 16.215
kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu rata - rata pendapatan Paket Teknologi 1
sebesar Rp. 10.015.705 per hektar/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi 2 sebesar Rp.
9.133.390 per hektar/th dan cara petani sebesar Rp. 8.705.105 per hektar/th.
Kata Kunci: Pengembangan kawasan, produktivitas, kelapa sawit dan pemupukan.

ABSTRACT
Study of increased productivity palm oil to regional development to held in 2015th on Bukit Meranti
village Seberida District, Indragiri Hulu. This study aimed to obtain alternative technology packages
of palm oil fertilizer that increased the productivity. The study prepared using a randomized block
design with 3 treatment and 5 replication. Technology package tested were as follows: 1) Urea 3.0 kg
+ 1.5 kg TSP + KCl 3 kg + kieserite 0.75 kg + Borax 0,075 kg per tree; 2) Urea 2.0 kg + 1.0 kg TSP
+ KCl 2 kg + Kieserit 0.5 kg + Borax 0.05 kg per tree; 3) Urea 1 kg + 0.5 kg TSP + KCl 1 kg +
Kieserit 0.5 kg per tree. Manure as much as 15 kg / tree given as basal fertilizer. The results showed
the Technology Package 1 resulted in the production of 19,205 kg /ha / yr is higher than the
Technology Package 2 of 16,215 kg /ha/yr and a way for farmers to 15,171 kg/ha /yr. Besides, the
average income of the Technology Package 1 Rp. 10,015,705 per hectare / year higher than the
introduction of the Technology Package 2 Rp. 9,133,390 per hectare / yr and the way farmers Rp.
8,705,105 per hectare / yr.
Keywords : Regional development, increased productivity, palm oil and fertillizer

PENDAHULUAN
Kelapa sawitmerupakan komoditas perkebunan unggulan dan sumber bahan baku industri
bahan pangan, kosmetika bahkan bahan baku sumber energi alternatif. Selain itu limbah pabrik kelapa
sawit berupa cangkang dimanfaatkan sebagai arang briket, dan tandan kosong sebagai bahan baku
kompos sedangkan limbah cairnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Melihat kegunaannya, maka
pengembangan komoditas ini akan memberikan pengaruh sebagai penyedia lapangan kerja dan
meningkatkan pendapatan petani sebesar 1,72 % (Syahza, 2003). Dari factor ekonomi pendapatan
rata-rata petani kelapa sawit di KAbupaten Kampar, Provinsi Riau sebesar Rp.
22.859.950/hektar/tahun melebihi tingkat minimum regional (UMR) Provinsi Riau (Wigena dkk,
2009)
Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau pada tahun 2013 mencapai 2, 40 juta hektar,
(BPS Riau, 2014); 45 % diantaranya adalah perkebunan rakyat. Produksi perkebunan rakyat pada
umumnya jauh dibawah perkebunan milik negara maupun perkebunan swasta dengan tingkat
produktivitas antara 12 hingga 16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar sementara potensi produksi

159
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

komoditas ini bisa mencapai 30 ton/ha. Produktivitas CPO perkebunan rakyat rata-rata 2.5 ton dan
0.33 ton minyak inti (PKO) per hektar sementara pada perusahaan perkebunan rata-rata mencapai 4.82
ton CPO dan 0.91 ton PKO per hektar (BBP2TP, 2008).
Permasalahan rendahnya produksi perkebunan kelapa sawit rakyat adalah belum
diterapkannya teknologi secara tepat mulai dari penggunaan bibit unggul, teknologi budidaya dan
panen/pasca panen. Penggunaan bibit asalan akan berdampak dalam jangka panjang yakni produksi
yang rendah. Selain itu dalam budidaya, petani pada umumnya hanya menerapkan teknologi sederhana
yang diketahui secara tidak langsung dari petani lainnya sesuai dengan kemampuan finansialnya.
Pemupukan dilakukan tidak tepat jenis maupun dosisnya sehingga cenderung tidak sesuai
dengan prinsip pemupukan berimbang maupun sesuai dengan kebutuhan tanaman. Disamping itu
petani belum memanfaatkan bahan organik seperti pupuk kandang yang bermanfaat untuk
memperbaiki kesuburan lahan. Pemupukan dapat dilakukan menggunakan pupuk anorganik maupun
pupuk organik. Penggunaan pupuk anorganik dirasakan mahal oleh petani dan sering kali tidak
tersedia,selain itu memiliki sifat yang mudah larut dan mudah menguap (Luma, 2012). Pemupukan
pada tanaman kelapa sawit membutuhkan biaya yang sangat besar sekitar 30% terhadap biaya
produksi atau sekitar 60 % terhadap biaya pemeliharaan (Sugiyono et al., 2005).
Penggunaan pupuk organik memberikan keuntungan berupa sifat tidak mudah menguap, tidak
mudah larut, ramah lingkungan dan meningkatkan kandungan hara selain memperbaiki sifat tanah;
penggunaan pupuk anorganik dan organik secara bersamaan memberikan dampak yang baik terhadap
pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Khaswarina, (2001) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk
organik (OST) dan dosis anjuran NPKMg memberikan pertumbuhan lebih baik. Karakteristik
lahan di Provinsi Riau pada umumnya termasuk dalam kelompok tanah dengan pH rendah yang
menyebabkan unsur hara terikat asam organik tanah dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman yang
berdampak pada rendahnya produktivitas.
Penggunaan bahan organik merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi
usahatani kelapa sawit. Bahan organik dapat menetralkan asam-asam organik yang bersifat
meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman (Mawardi et
al, (1999). Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi ilmiah alternatif teknologi usahatani
kelapa sawit yang efisien dan meningkatan produktivitas kelapa sawit rakyat.

METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Desa Bukit Meranti, Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri
Hulu, Provinsi Riau pada T.A. 2015. Kajian dilakukan sebanyak 2 unit, pada tofografi lahan datar
dan berbukit dengan sudut kemiringan < 150 . Kajian disusun menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan 5 (lima) kali ulangan. Paket teknologi yang diuji adalah sebagai berikut adalah: 1)
Patek 1 (Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon) ; 2)
Patek 2 ( Urea 2,0 kg + TSP 1,0 kg + KCl 2 kg + Kieserit 0,5 kg + Borax 0,05 kg per pohon); 3) Patek
cara petani (Urea 1 kg + TSP 0,5 kg + KCl 1 kg + Kieserit 0,5 kg per pohon). Pupuk kandang
sebanyak 15 kg/pohon diberikan sebagai pupuk dasar.
Tanaman kelapa sawit yang digunakan adalah kelapa sawit rakyat yang sudah berproduksi
berumur lebih > 5 tahun. Pemupukan dilakukan pada piringan tanaman dengan cara
membenamkannya. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan melakukan pengendalian gulma, hama
dan penyakit tanaman menggunakan prinsip pengendalian terpadu. Pengendalian gulma khususnya
pada piringan dilakukan menggunakan herbisida. Data yang dikumpulkanyang terdiri dari hasil panen
(kg) dan usahatani kelapa sawit.
Analisis usahatani kelapa sawit dilakukan berdasarkan data hasil tabulasi masing-masing
responden. Nilai dari data yang diperoleh dikelompokan dalam dua bagian, yaitu penerimaan dan
pengeluaran. Selisih antara keduanya merupakan manfaat bersih (net benefit). Nilai penerimaan dan
biaya tersebut kemudian diprediksi selama 25 tahun berdasarkan umur produktif tanaman kelapa sawit
dan discount factor sebesar 10%. Present Value of Net Returns (PVNR), merupakan selisih antara
pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskonto dengan menggunakan social opportunity cost of
capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa
yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini, bentuk persamaan adalah sebagai berikut:

160
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

()
PVNRi = =1 (1+)
............................................... 5
Keterangan:
PVNRi = Present Value Net Return komodi i (Rp per hektar)
B = Benefit usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar)
C = Cost usahatani tahun t komoditas i (Rp per hektar)
r = Interest rate
t = Jangka waktu analisis (tahun)
(Rustiadi etal., 2011)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Petani
Karakterisitik keluarga petani kooperator pada kajian ini digambarkan oleh umur, tingkat
pendidikan, pekerjaan utama, jumlah anggota keluarga, luas kepemilikan lahan, pengalaman
berusahatani dan pendapatan yang diterima rumah tangga petani. Petani pada lokasi kajian sebagian
besar merupakan petani PIR perkebunan karet, yang transmigrasi dari pulau Jawa pada tahun 1982.
Berdasar karakteristik rumah tangga petani diperoleh data bahwa sebagian besar responden
baik petani berada pada kelompok usia kerja. Jika dilihat dari usia yang sebagian besar tergolong usia
produktif dapat dikatakan keluarga memiliki sumberdaya yang cukup produktif untuk mencari nafkah.
Usia istri cukup mendukung mencari kegiatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagian keluarga berada pada usia diatas 40 tahun, hal ini memperjelas berbagai temuan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa sektor pertanian bukan sektor yang diminati generasi muda,
khususnya yang berumur dibawah 40 tahun.
Tingkat pendidikan petani sebagian besar (40%) menempuh pendidikan Sekolah Dasar, (30
%) menempuh pendidikan hingga tamat SLTP ; 30 persen menempuh pendidikan tingkat SLTA dan
pendidikan tinggi.Alasan yang dikemukan oleh petani mengenai rendahnya tingkat pendidikan yang
ditempuh adalah keterbatasan biaya untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tingkat pendidikan suami dan istri yang rendah , sehingga sulit untuk mencari pekerjaan pada sektor
formal. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai pekebun karet dan kelapa sawit. Jumlah anggota
keluarga petani padi dan petani kelapa sawit tergolong tidak terlalu besar. Jumlah rata rata anggota
keluarga petani 5,50 jiwa (6 Orang/KK).
Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting selain sumberdaya ekonomi
dan sumberdaya manusia. Petani secara umum memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan
lahan tempatnya berusaha, karena dari lahan tersebut diharapkan mampu menghidupkan keluarga
petani. Petani menggantungkan semua harapannya kepada apa yang dihasilkan oleh lahan tersebut,
hubungan ini biasanya terjadi pada petani yang menjadikan usahatani sebagai satu satunya andalan
untuk menghidupi keluarganya. Sebagian besar Keluarga petani sebagai pemilik lahan. Luas
kepemilikan lahan sawah sekitar 1,0 sampai 2,0 hektar, dengan luas rata rata 1,50 ha. Hasil analisa
contoh tanah unit percobaan terlampir pada tabel 1.

161
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Hasil analisa tanah pada unit percontohan Desa Bukit Meranti, Kecamatan Seberida, Inhu
(2015)
Topografi Lahan
No Uraian
Datar Bergelombang
1 Tekstur (%)
Pasir 61 65
Debu 35 22
Liat 4 13
2 PH (Ekstrak 1,5)
H2O 4,2 4,9
KCl 3,1 4,1
3 Bahan Organik
C 2,88 0,64
N 0,18 0,08
C/N 16 8
4 P dan K Potensial: Ekstrak HCl 25% (mg/100g)
P 2O 5 4 3
K2O 1 1
5 P tersedia Bray-1
P2O5 (ppm) 2,2 0,0
Morgan (K2O) ppm 6 7
6 NTK (NH4-Acetat 1N. pH7) Cmol/kg
Ca 0,48 0,47
Mg 0,13 0,16
K 0,01 0,01
Na 0,05 0,04
Jumlah 0,67 0,68
7 KTK 7,79 3,28
KB+ (%) 9 21
Al3+ (Cmol/kg) 0,38 0,92
H+ (Cmol/kg) 0,73 0,43

Dari data hasil analisa tanah, diketahui bereaksisangat masam, dengan tingkat kesuburan
rendah. Tahapan pembangunan kelapa sawit secara garis besar terbagi dalam dua periode, yaitu
berdasarkan fase vegetatif atau tanaman belum menghasilkan (TBM) mulai setelah bibit ditanam
sampai tanaman berumur 2,5 3 tahun dan fase generatif atau tanaman menghasilkan (TM).
Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan ditujukan untuk menyiapkan tanaman agar mampu
memberikan produksi yang tinggi, sedangkan tanaman menghasilkan pengelolaan tanaman terutama
pada perawatan dan pengaturan penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida.
Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Belum Menghasilkan
Pada tahap pembangunan kebun kelapa sawit penggunaan sarana produksi yang utama adalah
tenaga kerja dan bibit. Penggunaan tenaga kerja terutama untuk persiapan lahan, seperti pembersihan
lahan dari gulma, pengaturan jarak tanam dengan memberi ajir sebagai penanda lubang tanam,
pembuatan lubang tanam, dan penanaman.Rata-rata penggunaan bibit sebanyak 120 batang/hektar,
pola tanam kelapa sawit yang umum digunakan adalah pola segitiga sama sisi dengan jarak 9 x 9
meter antara barisan dan 7,79 dalam barisan.
Secara umum budidaya kelapa sawit yang dilakukan petani belum melaksanakan paket
teknologi yang direkomendasikan, terutama penggunaan bibit dan pupuk. Bibit tanaman yang
digunakan petani biasanya adalah bibit atau kecambah yang tidak bersertifikat, dibeli dari pedagang
bibit keliling yang katanya berasal dari Balai Penelitian Kelapa Sawit Marihat. Kendala utama bagi
perkebunan rakyat untuk memperoleh bibit unggul bersertifikat adalah kurangnya informasi untuk
mendapatkan bibit tersebut dan kurangnya permodalan usahataniImplikasi dari penggunaan sarana
produksi adalah timbulnya biaya usahatani, biaya rata-rata pada tahap pembangunan kebun yang
digunakan saat pembukaan lahan serta perawatan dan pengendalian hama dan penyakit sebesar Rp
7.515.288/ha.

162
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun pertama.
Biaya Persentase
Input usahatani Volume
(Rp/ha) (%)
Bibit (tanaman / ha) 120 2.469.257 32,86
Urea(kg / ha) 56 296.800 3,95
SP-36 (kg/ha) 50,29 286.629 3,81
KCl (kg / ha) 56 425.600 5,66
Dolomit (kg/ ha) 50,30 56.000 0,76
Herbisida (l / ha) 11 603.428 8,03
Tenaga Kerja ( HOK / ha) 44,07 3.268.000 43,48
Biaya peralatan (Rp/ha/th) 1 109.575 1,45
Jumlah 7.515.288 100
Sumber : Data diolah (2015)

Pengelolaan tanaman pada tahun kedua terutama pada pengendalian gulma dan pemupukan.
Rata-rata penggunaan pupuk urea sebesar 56,00 kg/ha/th, SP-36 dan KCl sebanyak pemupukan 64,43
kg/ha/th dilakukan 1 - 2 kali dalam satu tahun. Pemupukan dilakukan dengan menyebarkan secara
merata pada daerah bokoran, atau daerah di bawah pelepah daun kelapa sawit. Pengendalian gulma
dilakukan dengan penyemprotan herbisida, dan penebasan gulma dibawah tajuk tanaman atau
membersihkan piringan tanaman dengan rata-rata penggunaan sebanyak 10,96 liter/hektar/tahun.
Kebutuhan tenaga kerja sebanyak 13,32 HOK untuk pekerjaan pengendalian gulma, pemupukan, dan
perawatan tanaman.
Tabel 3. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun kedua.
Biaya Persentase
Input usahatani Volume
(Rp/ha) (%)
Urea (kg/ha) 56,00 296.800 9,97
SP-36 (kg/ha) 63,43 361.542 12,15
KCl (kg/ha) 63,43 482.057 16,20
Dolomit (kg/ha) 50,30 56.000 1,88
Herbisida (l/ha) 10,96 603.428 20,28
Tenaga Kerja (HOK /ha) 13,32 1.065.951 35,82
Peralatan (Rp/ha/th) 1 109.575 3,68
Jumlah 2.975.354 100
Sumber : Data diolah (2015)

Untuk tanaman berumur dua tahun biaya rata-rata yang dikeluarkan hanya 39,59% dari biaya
tahun pertama, yakni sebesar Rp. 2.975.3540/ hektar. Biaya pembelian pupuk sebesar Rp
1.196.400/hektar (40,21 %), kemudian diikuti biaya pembelian pestisida terutama herbisida sebesar
Rp. 603.428/hektar atau (20,28%) dan biaya tenaga kerja sebesar 1.065.951/hektar atau sebesar 35,82
% dan biaya peralatan sebesar Rp. 109,575.- (3,68 %).
Penggunaan Sarana Produksi pada Tanaman Menghasilkan
Tanaman kelapa sawit mulai berbunga setelah berumur 2,5 tahun dan bisa panen setelah 5,5
bulan dari penyerbukan. Pada lahan dengan pertumbuhan tanaman serta pengelolaan yang baik,
produksi sudah dapat diperoleh setelah tanaman berumur 31 bulan, mulai berbuah buah pasir .
Tabel 4. Penggunaan input produksi usahatani kelapa sawit pada tahun ketiga.
Biaya Persentase
Input usahatani Volume
(Rp/ha) (%)
Urea (kg/ha) 126,29 669.314 17,41
SP-36 (kg/ha) 90,29 514.269 13,38
KCl (kg/ha) 126,29 957.771 24,96
Herbisida (l / ha) 10,97 603.429 15,68
Tenaga Kerja ( HOK / ha) 12,41 992.914 25,83
Peralatan 1,0 103.750 3,45
Jumlah 3.843.807 100
Sumber : Data diolah (2015)

163
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pemupukan kelapa sawit biasanya dilakukan 1 sampai 2 kali per tahun pada saat awal musim
hujan dan akhir musim hujan. Faktor kemampuan untuk membeli dan jenis pupuk yang tersedia
mempengaruhi dosis pupuk yang digunakan. Rekomendasi pemupukan tersebut akan sulit diterapkan
ditingkat petani, mengingat kisaran biaya per pohon yang sangat tinggi.. Penggunaan sarana produksi,
seperti pupuk Urea, TSP, KCl, Kiserit, dan Borax dan herbisida pada tanaman berproduksi berumur 4
sampai 25 tahun relatif sama, sehingga biaya usahatani diasumsikan sama. Demikian juga halnya
dengan curahan tenaga kerja untuk perawatan tanaman seperti pemupukan dan pengendalian gulma.
Rata-rata biaya produksi teknologi introduksi 1 pada tahun 4 s/d 25 dapat diformulasikan
adalah biaya produksi ditambah biaya panen (Tabel 5). Hasil kelapa sawit relatif mudah dan lancar
untuk dipasarkan, petani pekebun hanya menyiapkan TBS di tepi jalan kemudian pedagang
pengumpul akan membawa ke peron atau tempat penimbangan. Setelah penimbangan, petani langsung
mendapat pembayaran dari penjualan TBS.
Tabel 5. Biaya produksiusahatani kelapa sawit umur 4 s/d 25 tahun pada tapografi lahan datar dan
berbukit.Desa Bukit Meranti, 2105.
Tapografi lahan
Uraian Rata - rata
Datar Berbukit
Paket teknologi 1 7.670.000 (150 x prod)* 7.270.000 + (150 x prod)* 7.470.000 + (150 x prod)*
(Rp/ha/th)
Paket teknologi 2 6.120.000 (150 x prod)* 5.720.000+ (150 x prod)* 5.920.000+ (150 x prod)*
(Rp/ha/th)
Paket teknologi 3 4.420.000 (150 x prod)* 4.420.000 + (150 x prod)* 4.420.000 + (150 x prod)*
(Rp/ha/th)
Rata rata 6.070.000 (150 x prod)* 5.803.333 (150 x prod)*
(Rp/ha/th)
Sumber : data primer (2105)
Keterangan: *) Biaya panen Rp 150/kg TBS

Penggunaan input produksi lebih tinggi dibanding Paket Teknologi introduksi 1 dan Paket
Teknologi Introduksi 2 lebih tinggi dibandingteknologi cara petani. Harga tandan buah segara
ditentukan oleh pedagang pengumpul berdasarkan harga pasar atau harga DO dari pabrik dan juga
berdasar kepada kualitas buah. Pemanenan dilakukan setiap dua minggu sekali atau 24 kali panen
dalam satu tahun. Penerimaan , biaya dan pendapatan usahatani kelapa sawit tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata produksi, pendapatan dan nilai B/C ratio usahatani kelapa sawit. Desa Bukit
Meranti, 2105.
Uraian Topografi lahan Datar Topografi lahan Berbukit
Produksi Pendapatan B/C ratio Produksi Pendapatan B/C ratio
(kg/ha/th) (Rp/ha/th) (kg) (Rp/ha/th)
Paket teknologi 1 21.168 12.281.330 1,15 17.235 7.750.080 0,82
Paket teknologi 2 17.486 11.106.000 1,25 14.937 7.160.780 0,71
Teknologi cara petani 17.703 11.058.730 1,50 12.639 6.351.480 1,01
Rata rata 18.785 11.482.020 1,30 14.937 7.087.446 0,85
Sumber : data primer (2105)
Keterangan: *) Biaya panen Rp 150/kg TBS

Rata-rata produksi Paket Teknologi introduksi 1 sebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi
dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171
kg/ha/th. Disamping itu rata - rata pendapatan Paket Teknologi introduksi 1 sebesar Rp. 10.015.705
per hektar/th lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar Rp. 9.133.390 per
hektar/th dan cara petani sebesar Rp. 8.705.105 per hektar/th. Kemudian rata rata nilai B/C ratio
Paket Teknologi introduksi 1 sebesar 0,985 lebih tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi
2 sebesar 0,98 dan lebih rendah dibanding nilai B/C ratio cara petani sebesar 1,25 .
Penggunaan input produksi lebih tinggi pada Paket Teknologi introduksi 1 dan Paket
Teknologi introduksi 2 dibanding Teknologi cara petani meningkatkan hasil tanaman tetapi belum
diikuti dengan peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan pada tanaman tahunan respon dari pupuk
164
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

yang diberikan baru akan berdampak pada waktu jangka panjang, minimal 6 bulan setelah aplikasi
pemupukan. Disamping itu respon pemupukan juga dipengaruhi oleh bibit tanaman yang digunakan.
Jika bibit yang digunakan meruapakan bibit unggul bersertifikat maka pemupukan yang diberikan
akan menghasilkan produksi lebih tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Rata- rata produksi Paket Teknologi introduksi 1(Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit
0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohonsebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket
Teknologi introduksi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu
rata-rata pendapatan Paket Teknologi introduksi 1 sebesar Rp. 10.015.705 per hektar/th lebih
tinggi dibanding dengan Paket Teknologi introduksi 2 sebesar Rp. 9.133.390 per hektar/th dan
cara petani sebesar Rp. 8.705.105 per hektar/th.
2. Rata-rata produksi pada topografi lahan datar sebesar 18.785 kg/ha/th dan pendapatan sebesar
Paket Teknologi introduksi 1 sebesar 19.205 kg/ha/th lebih tinggi dibanding dengan Paket
Teknologi introduksi 2 sebesar 16.215 kg/ha/th dan cara petani 15.171 kg/ha/th. Disamping itu
rata-rata produksi pada topografi lahan berbukit sebesar Rp. 11.482 ha/th dan pendapatan sebesar
Rp. 7.087.446 per hektar/ th.
Saran
1. Peningkatan produksi dan pendapatan usahatani kelapa sawit rakyat di desa Bukit Meranti
Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu perlu penerapan Paket teknologi introduksi 1
(Urea 3,0 kg + TSP 1,5 kg + KCl 3 kg + Kieserit 0,75 kg + Borax 0,075 kg per pohon)
2. Untuk mendiseminasikan penerapan paket teknologi introduksi 1, Petani kelapa sawit
memerlukan dukungan pemerintah daerah dan akses lembaga permodalan.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Propinsi Riau Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik.
Propinsi Riau.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Indragiri Hulu Dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik.
Kabupaten Indragiri Hulu.
[BBP2TP]. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian . 2008. Teknologi
Budidaya Kelapa Sawit. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian.
Khaswarina,S. 2001. Keragaan Bibit Kelapa Sawit Terhadap Pemberian Berbaga Kombinasi Pupuk di
Pembibitan Utama. Jurnal Natur Indonesia III (2):138-150.
Luma HS., 2012. Pemberian Pupuk Majemuk dan Kompos Tandan Kosong kelapa Sawit pada Media
Tanam untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit di Main nursery. Makalah.
http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/2501/1/
Jurnal%20Hendra%20Luma%20S.pdf
Mawardi, E., Syafei dan A Thaher, 1999. Pemanfaatan kaptan Super Fosfate (KSP) dalam paket
tampurin untuk meningktkan produktivitas kubah gambut. BPTP Sukarami.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID)
Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sugiyono, E.S. Sutarta, W. Darmosarkoro, dan H.Santoso. 2005. Peranan Perimbangan K, Ca dan Mg
Tanah Dalam Penyusunan Rekomendasi Pemupukan Kelapa Sawit. Prosiding Pertemuan
Teknis Kelapa Sawit 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Sawit. Medan, 19-20 April
2005. Hal 43 - 56
Syahza A. 2003. Potensi Pembangunan Industri Minyak Goreng di Daerah Riau. Sosiohumaniora. Vol
5 No. 1. Maret 2003. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung.
Wigena IGP, H. Siregar, Sudradjat, dan Santun RP Sitorus. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun
Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis (Studi Kasus
Kebun Kelapa Sawit Plasma PTP Nusantara V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi
Riau). JAE. Volume 27 No 1. Hal 81 108

165
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ENKAPSULASI Acetobacter xylinum MENGGUNAKAN ALGINAT UNTUK


MEMPRODUKSI NATA DE COCO
ENSAPSULATION OF Acetobacter xylinum USING ALGINATE TO PRODUCE NATA DECOCO
Fahroji1 dan L.T Nguyen2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
2
Asian Institute of Technology, Thailand
Jl. Kaharuddin Nasution 341, Pekanbaru
Email: fahroji83@gmail.com

ABSTRAK
Acetobacter xylinum merupakan bakteri penghasil selulosa. Salah satu selulosa yang dihasilkan oleh
bakteri yaitu nata de coco yang diproduksi menggunakan air kelapa sebagai bahan utama. Biasanya
starter kultur A. xylinum digunakan dalam bentuk cair. Ada beberapa kerugian kultur starter dalam
bentuk cair seperti tidak mudah dalam pengemasan dan transportasi, memerlukan tempat yang luas
untuk penyimpanan, dan kualitas tidak stabil. Enkapsulasi A. xylinum menggunakan metode ekstrusi
dengan alginat sebagai bahan pembawa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh
alginat sebagai bahan enkapsulasi terhadap viabilitas A. xylinum dan kemampuannya untuk
memproduksi nata de coco. Perlakuan dalam penelitian ini adalah penggunaan alginat dengan
konsentrasi berbeda yaitu 2%, 3%, dan 4%. Proses ekstrusi dilaksanakan dalam skala laboratorium
menggunakan injektor suntik. Suspensi sel ditangkap menggunakan larutan 0,1 M kalsium klorida
sehingga bead mengeras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air bead berkisar antara 94,74
96,02%, diameter bead 1,89 2,09 mm dan berat bead 3,79 5,71 mg. Jumlah bakteri pada
konsentrasi alginat 2% adalah 7,04 log CFU/g berbeda nyata dengan konsentrasi alginat 4% sebanyak
6,87 log CFU/g. Berat nata de coco yang dihasilkan berkisar antara 72,48 81,70 g/100ml dan tidak
berbeda nyata dengan kontrol yang dihasilkan oleh kultur cair A. xylinum.
Kata kunci: Acetobacter xylinum, enkapsulasi, ekstrusi, nata de coco

ABSTRACT
Acetobacter xylinum is bacteria that produce cellulose. The most famous of cellulose which is
produced by bacteria is nata de coco which is made using coconut water as main material. A. xylinum
culture is usually used in liquid form. There are several disadvantages of liquid culture including
difficult for packaging and transportation, require huge space for storage, and unstable quality.
Encapsulated A. xylinum was conducted by extrusion method using alginate as carrier material. The
objectives of this study were to evaluate the effect of alginate as an encapsulation material on the
viability of A. xylinum and its ability to produce nata de coco. The treatment in this study was
application different concentration of alginate (2%, 3% and 4%). Extrusion process was conducted in
laboratory scale using syringe needle. The Cell suspension through a syringe needle in the form of
droplets to free-fall into stirred 0.1 M CaCl2 solution.The results pointed out moisture content was
94.74 96.02%, diameter 1.89 2.09 mm/bead and weight 3.79 5.71 mg/bead. The viability of A.
xylinum at 2% alginate was 7.04 log CFU/g. It was significantly different with that at 4% alginate (6.87
log CFU/g). The weight of nata de coco yielded by encapsulated A. xylinum was 72.48 81.70 g/100ml
and was not significantly different compared to that resulted by liquid culture.
Key words: Acetobacter xylinum, encapsulation, extrusion, nata de coco

PENDAHULUAN
Acetobacter xylinum adalah bakteti Gram negatif yang memproduksi selulosa sebagai
metabolit sekunder. Bakteri ini juga menghasilkan metabolit primer berupa asam asetat. A. xylinum
merupakan bakteri obligat anaerob yang memerlukan oksigen untuk pertumbuhan. Substrat utama
yang diperlukan A. xylinum adalah glukosa (Mohammad et al., 2014).
Acetobacter xylinum umumnya digunakan untuk menghasilkan bakterial selulosa. Bakterial
selulosa adalah selulosa murni dan tidak mengandung hemiselulosa, pektin, dan lignin, yang
merupakan komponen selulosa pada tanaman dan sulit untuk dipisahkan. Bakterial selulosa
mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan selulosa dari tanaman seperti kemurniannya tinggi,

166
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

daya regang yang kuat, struktur yang halus, dan biodegradable (Shen et al., 2016). Bakterial selulosa
yang paling terkenal adalah nata de coco yang dibuat menggunakan air kelapa sebagai bahan utama.
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi nata de coco adalah nutrisi, suhu, pH, dan metode
fermentasi (Afreen dan Lokeshappa, 2014).
Acetobacter xylinum sebagai kultur starter nata de coco biasanya digunakan dalam industri
pangan dalam bentuk cair. Ada beberapa kerugian kultur starter dalam bentuk cair seperti tidak mudah
dalam pengemasan dan transportasi, memerlukan tempat yang luas untuk penyimpanan, dan kualitas
tidak stabil. Dalam bentuk cair, A. xylinum tidak dapat langsung digunakan setelah kultivasi. Hamad
and Handayani (2014) menyatakan bahwa A. xylinum menghasilkan nata de coco yang optimum pada
hari ke 7-13 setelah kultivasi.
Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat untuk mengatasi kerugian seperti yang
disebutkan diatas. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah mengubah kultur starter dalam
bentuk cair menjadi padat dengan menggunakan teknik enkapsulasi. Teknik enkapsulasi yang umum
digunakan adalah ekstrusi karena teknik ini mudah dan murah. Material yang sering digunakan untuk
enkapsulasi adalah alginat.Alginat memiliki keunggulan antara lain non-toksik, sederhana,
biokompabilitas dan murah (Krasaekoopt et al., 2003)
Hasil akhir dari enkapsulasi menggunakan metode ekstrusi adalah material berupa butiran-
butiran bulat kecil yang disebut bead. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh
alginat sebagai bahan enkapsulasi terhadap viabilitas A. xylinum dan kemampuannya untuk
memproduksi nata de coco.

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur A. xylinumTISTR 975 yang
diperoleh dari the ThailandInstitute of Science and Technology Research, air kelapa, sukrosa,
(NH4)2SO4, K2HPO4, g ekstrak yeast, MgSO4, alginat, asam asetat, kalsium klorida, aquades dan
kapas. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah autoclave, beaker glass, tabung reaksi, erlenmeyer,
pipet, inkubator, petridis, pH meter, shaker, bunsen, jarum suntik
Tahapan penelitian
Penyiapan kultur A. xylinum
Acetobacter xylinum TISTR 975 diinokulasi pada medium Hassid Barker (HB). Medium HB
dibuat dengan mencampurkan 100 g sukrosa, 6 g (NH4)2SO4, 5 g K2HPO4, 2,5 g ekstrak yeast, dan 2 g
MgSO4. Semua bahan dicampur dan diaduk sehingga homogen dan disterilisasi menggunakan
autoclave kemudian didinginkan. Larutan diinkubasi pada suhu 30oC selama 5 hari. Semua proses
dilakukan dalam keadaan steril.
Penumbuhan pada medium air kelapa
Air kelapa yang diperkaya dengan 6% (b/v) sukrosa dan 0,6% (b/v) (NH4)2SO4 dipersiapkan
sebagai medium pertumbuhan A. xylinum. Asam asetat diperlukan untuk mengatur pH medium
menjadi 4,5. Medium disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebanyak 10% inokulum pada
medium HB ditransfer ke dalam medium air kelapa. Kurva pertumbuhan bakteri ditentukan dengan
menggunakan plate count method. Viabilitas awal ditentukan pada fase stasioner awal karena A.
xylinum pada fase ini lebih stabil pada proses enkapsulasi (Corcoran et al., 2004).
Enkapsulasi A. xylinum
Enkapsulasi A. xylinum diproduksi dengan menggunakan metode ekstrusi. Konsentrasi alginat
yang digunakan sebagai bahan pembawa yaitu 2,3, dan 4%. Alginat dilarutkan dalam air deionisasi
sehingga konsentrasi alginat menjadi 4, 6, dan 8%. Setelah diaduk hingga homogen, starter A. xylinum
ditambahkan sehingga konsentrasi alginat menjadi 2,3, dan 4% (perbandingan air deionisasi dan
starter A. xylinum 1:1). Campuran diaduk menggunakan magnetik stirer sehingga diperoleh campuran
yang homogen. 0.1 M kalsium klorida (CaCl2) digunakan sebagai hardening solution sehingga
suspensi bisa mengeras membentuk butiran kecil. Suspensi sel diinjeksikan melalui jarum suntik 0,55
mm untuk membentuk droplet ke dalam larutan CaCl2 yang diaduk menggunakan magnetik stirer.
Bead dibiarkan dalam larutan CaCl2 minimal 30 menit untuk proses gelasi sehingga dihasilkan butiran
bead. Bead kemudian dicuci dengan air aquades dan disimpan pada suhu 4oC. Semua proses
dilaksanakan dalam keadaan steril

167
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Produksi nate de coco


Air kelapa yang diperkaya dengan 6% (b/v) sukrosa dan 0,6% (b/v) (NH4)2SO4 dipersiapkan
sebagai medium pertumbuhan A. xylinum terenkapsulasi. Setelah larutan disterilisasi dan didinginkan,
ditambahkan 1% (b/v) A. xylinum terenkapsulasi. Air kelapa yang telah ditambahkan A. xylinum
terenkapsulasi digoyang-goyang menggunakan shaker selama 1 jam kemudian diinkubasi pada suhu
30oC selama 12 hari untuk memproduksi nata de coco. Hasil dibandingkan dengan kontrol yaitu nata
de coco yang dihasilkan dari fermentasi menggunakan A. xylinum cair sebanyak 10% (v/v) pada
medium yang sama.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAK) dengan 3 faktor perlakuan
yaitu konsentrasi alginat 2, 3, dan 4% dengan 3 kali ulangan. Data yang diamati meliputi viabilitas A.
xylinum menggunakan metode plate count, kadar air bead menggunakan metode AOAC, diameter
bead menggunakan mikroskop berskala, berat bead menggunakan timbangan digital, dan berat nata de
coco menggunakan timbangan digital.
Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui pengaruh
dari faktor perlakuan dilakukan uji BNT pada = 5% menggunakan program SPSS versi 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kurva pertumbuhan nata de coco
Pertumbuhan A. xylinum dievaluasi selama 7 hari. Fase lag terjadi selama 3 hari dimana pada
fase ini tidak terjadi pertumbuhan A. xylinum yang berarti. Pada fase ini, A. xylinum beradaptasi pada
lingkungan yang baru termasuk pH, suhu, dan nutrisi. Aktivitas pada fase ini termasuk pembelahan
sel, sintesis enzim dan bahan genetik, aktivitas metabolisme, dan aktivitas molekul yang lain (Parija,
2014). Fase eksponensial terjadi dari hari ke 3-4 dimana viabilitas bakteri sebanyak 5.99 - 7.85 log
CFU/ml. Pada fase ini, sel membelah secara eksponensial pada kecepatan konstan. Jumlah sel baru per
unit waktu proporsional dengan jumlah sel yang ada (Parija, 2014).
Fase stasioner terjadi setelah inkubasi selama 4 hari. Fase ini disebabkan karena faktor
pertumbuhan yang terbatas seperti berkurangnya nutrisi dan terbentuknya asam asetat sehingga pH
menurun (Parija, 2014). Viabilitas awal A. xylinum adalah 5,32 log CFU/ml dan meningkat menjadi
7,85 log CFU/ml pada fase stasioner awal. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2013)
menunjukkan bahwa fase stasioner terjadi pada hari ke-4. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan
berbedaan pertumbuhan A. xylinum. Kongruang (2008) menyatakan bahwa fase stasioner terjadi pada
hari ke-8, sementara Lestari et al. (2014) menyebutkan bahwa fase stasioner A. xylinum terjadi pada
hari ke-2
\
9
Viabilitas (log CFU/ml)

5
0 1 2 3 4 5 6 7
hari

Gambar 1.
Kurva pertumbuhan A. xylinum dalam medium air kelapa selama 7 hari pada suhu 30oC

168
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Karakteristik bead
Bead yang dihasilkan dari penelitian ini berbentuk bulat kecil dan berwarna putih (Gambar 2).
Bead yang dihasilkan mempunyai tekstur yang kenyal karena pengaruh kalsium klorida. Proses
pembentukan bead melibatkan interaksi natrium alginat dan kalsium klorida. Ketika larutan natrium
alginat yang berisi A. xylinum diteteskan ke dalam larutan CaCl2, ion Na+ bertukar dengan ion Ca2+.
Setelah itu, ion Ca2+ berinteraksi dengan unit asam guluronik yang merupakan bagian dari alginat
untuk membentuk jaringan tiga dimensi(Sengupta, 2007). Hasil pengukuran diameter dengan
mikroskop berskala dengan perbesaran 40x menunjukkan bahwa bead tidak berbentuk bulat sempurna
(Gambar 1b)

2% 3% 4%
a b
Gambar 2.
A. xylinum terenkapsulasi menggunakan alginat dengan konsentrasi yang berbeda (a).
Kenampakan mikroskopis bead dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x (b)

Alginat dengan konsentrasi yang berbeda sebagai bahan enkapsulan menghasilkan


karakteristik fisik yang berbeda. Kadar air bead yang mengandung 2% alginat berbeda nyata (p<0,05)
dengan bead yang mengandung 3% dan 4% alginat. Kadar air bead berbanding terbalik dengan
konsentrasi alginat. Kadar air bead yang mengandung 2% alginat lebih tinggi karena alginat lebih
banyak menyerap air dibandingkan dengan alginat 3% dan 4%. Berat bead dengan 2% alginat berbeda
nyata (p<0,05) dengan bead yang mengandung 3% dan 4% alginat. Menurut Cuadroset al. (2012),
kadar air sedikit menurun dengan bertambahnya konsentrasi alginat pada pembuatan pada gel alginat
sedikit menurun pada pembuatan fiber kalsium alginat. Semakin tinggi konsentrasi alginat
mengakibatkan bead semakin berat. Hal ini karena semakin besar masa jenis mengakibatkan semakin
berat benda tersebut, massa jenis alginat (1.601 kg/m3) (Sun-Waterhouseet al., 2013) lebih besar
daripada massa jenis air (1.000 kg/m3)(Mller et al., 2005).
Table 1. Karakteristik A. xylinum terenkapsulasi menggunakan alginat dengan konsentrasi yang
berbeda
Alginat (%) Kadar air (%) berat bead (mg) Diameter (mm)
c a
2 96.02 0.06 3.75 0.00 1.89 0.16 a
3 95.24 0.12 b 4.39 0.00 b 1.95 0.19 ab
4 94.74 0.07 a 5.71 0.00 c 2.09 0.11 b
*Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) menggunakan uji BNT
**Sumber: data primer diolah (2016)

Diameter bead meningkat dengan bertambahnya konsentrasi alginat. Hal ini sesuai dengan
penelitian Das and Senapati (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan ukuran partikel proporsional
dengan konsentrasi sodium alginat. Alginat digunakan sebagai bahan enkapsulasi A. xylinum karena
keunggulan sifatnya dibandingkan dengan polisakarida lainnya, seperti sifat pengikat ion yang selektif
dan transisi gel alginat tidak dipengaruhi oleh suhu (Draget et al., 2005).

169
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Produksi nata de coco


Tabel 2. Berat nata de coco dan viabilitas A. xylinum yang dihasilkan dari 1% (b/v) A. xylinum
terenkapsulasi setelah fermentasi selama 12 hari
Berat nata de coco
Alginat (%)* log CFU/g
(g/100 ml)
2 7.04 0.04 b 81.70 12.28 a
3 6.95 0.05 ab 73.57 4.46 a
4 6.87 0.11 a 72.46 7.73 a
Kontrol - 82.13 9.94 a
*Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) menggunakan uji BNT
**Sumber: data primer diolah (2016)

Acetobacter xylinum terenkapsulasi diuji viabilitas dan kemampuannya untuk memproduksi


nata de coco. A. xylinum terenkapsulasi diinokulasi pada medium air kelapa dan hasilnya
dibandingkan dengan A. xylinum cair (tanpa proses enkapsulasi). Tabel 2 menunjukkan viabilitas A.
xylinum terenkapsulasi dengan 2% alginat berbeda nyata dengan viabilitas dengan 4% alginat, tetapi
tidak berbeda nyata viabilitas dengan 3% alginat. Enkapsulasi menggunakan alginat dengan metode
ekstrusi tidak menyebabkan kerusakan sel bakteri sehingga viabilitasnya tinggi (Serna-Cock dan
Vallejo-Castillo, 2013).
Berat nata de coco yang dihasilkan sedikit menurun dengan meningkatnya konsentrasi alginat,
tetapi berat nata de coco yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Ini disebabkan karena viabilitas A.
xylinum terenkapsulasi dengan 2% alginat lebih tinggi daripada 3% dan 4% alginat. Penelitian lain
menunjukkan bahwa penggunaan 2% alginat menghasilkan viabilitas Lactobacillus casei
terenkapsulasi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan 4% alginat (Mandal et al., 2006).Berat
nata de coco yang dihasilkan dari A. xylinum terenkapsulasi tidak berbeda nyata dengan berat nata de
coco yang dihasilkan dari A. xylinum cair (tanpa proses enkapsulasi) karena viabilitas A. xylinum
terenkapsulasi tinggi (6,89-7,04 log cfu/g) tidak jauh berbeda dengan viabilitas starter cair (7,00 log
cfu/ml). Hal ini mengindikasikan bahwa enkapsulasi A. xylinum tidak berpengaruh terhadap berat nata
de coco yang dihasilkan. Potensi kelebihan penggunaan starter A. xylinum terenkapsulasi
dibandingkan starter cair adalah bead dapat digunakan lagi untuk fermentasi selanjutnya karena masih
mengandung A. xylinum setelah proses fermentasi (Nugroho dan Aji, 2015), umur simpan lebih lama
dan menghemat penggunaan tempat dalam selama penyimpanan dan transportasi.

KESIMPULAN
Alginat merupakan bahan yang mampu melindungi A. xylinum dalam proses enkapsulasi
Konsentrasi alginat 2% menghasilkan viabilitas A. xylinum tertinggi dibandingkan dengan
konsentrasi alginat 3 dan 4%
A. xylinum terenkapsulasi tidak berpengaruh nyata terhadap berat nata de coco yang dihasilkan
dibandingkan dengan menggunakan kultur cair A. xylinum

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada Laboratorium Bioprocess Technology, Food Engineering and Bioprocess
Technology, Asian Institute of Technology, Thailand yang telah membantu penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Afreen, S.S., Lokeshappa, B. 2014. Production of bacterial cellulose from Acetobacter xylinum using
fruits wastes as substrate. The International Journal of Science and Technoledge, 2(8),
57.
Corcoran, B. M., Ross, R. P., Fitzgerald, G. F., Stanton, C. 2004. Comparative survival of probiotic
lactobacilli spray-dried in the presence of prebiotic substances. Journal of Applied
Microbiology, 96(5), 10241039.
Cuadros, T. R., Skurtys, O., & Aguilera, J. M. 2012. Mechanical properties of calcium alginate fibers
produced with a microfluidic device. Carbohydrate polymers, 89(4), 1198-1206.

170
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Draget, K. I., Smidsrod, O., Skjak-Braek, G. 2005. Alginates from algae. Biopolymers
Hamad, A., Handayani, N. A. 2014. Pengaruh umur starter Acetobacter xylinum terhadap produksi
nata de coco. Techno Jurnal Ilmu Teknik, 15(1)
Kongruang, S. 2008. Bacterial cellulose production by Acetobacter xylinum strains from agricultural
waste products. Applied Biochemistry and Biotechnology, 148(1-3), 245256
Krasaekoopt, W., Bhandari, B., Deeth, H. 2003. Evaluation of encapsulation techniques of probiotics
for yoghurt. International Dairy Journal, 13(1), 313.
Lestari, P., Elfrida, N., Suryani, A., Suryadi, Y., & others. 2014. Study on the production of bacterial
cellulose from Acetobacter xylinum using agro-waste. Jordan J Biol Sci, 7, 7580
Mandal, S., Puniya, A. K., & Singh, K. (2006). Effect of alginate concentrations on survival of
microencapsulated Lactobacillus casei NCDC-298. International Dairy Journal, 16(10),
1190-1195.
Mohammad, S. M., Rahman, N. A., Khalil, M. S., Abdullah, S. R. S. 2014. An overview of
biocellulose production using Acetobacter xylinum culture. Advances in Biological
Research, 8(6), 307313.
Mller, M., Solenthaler, B., Keiser, R., & Gross, M. 2005, July. Particle-based fluid-fluid interaction.
In Proceedings of the 2005 ACM SIGGRAPH/Eurographics symposium on Computer
animation (pp. 237-244). ACM.
Nugroho, DA, Aji, P. 2015. Characterization of Nata de Coco Produced by Fermentation of
Immobilized Acetobacter xylinum. Agriculture and Agricultural Science Procedia 3: 278
282
Parija, S. C. 2014. Textbook of microbiology & immunology. Elsevier Health Sciences.
Sengupta, A. K. 2007. Ion exchange and solvent extraction: a series of advances (Vol. 18). CRc Press
Serna-Cock, L., Vallejo-Castillo, V. 2013. Probiotic encapsulation. African Journal of Microbiology
Research, 7(40), 4743-4753.
Shen, X., Shamshina, J. L., Berton, P., Gurau, G., Rogers, R. D. 2016. Hydrogels based on cellulose
and chitin: fabrication, properties, and applications. Green Chemistry, 18(1), 53-75.
Sun-Waterhouse, D., Wadhwa, S. S., & Waterhouse, G. I. 2013. Spray-drying microencapsulation of
polyphenol bioactives: a comparative study using different natural fibre polymers as
encapsulants. Food and Bioprocess Technology, 6(9), 2376-2388.
Zhang, L., Liu, C., Li, D., Zhao, Y., Zhang, X., Zeng, X., Yang, Z., Li, S., 2013. Antioxidant activity
of an exopolysaccharide isolated from Lactobacillus plantarum C88. International
journal of biological macromolecules, 54, 270-275.

171
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PREFERENSI PETANI TERHADAP CABAI RAWIT EKSISTING DI GORONTALO


FARMERS PREFERENCES OF EXISTING CAYENNE PEPPER IN GORONTALO
Muhammad Yusuf Antu1, Nanang Buri1, Ari Widya Handayani1 dan Hertina Artanti2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Muh. Van Gobel No.270 Iloheluma Kec. Tilong Kabila, Kab. Bone Bolango, Gorontalo 96183
Email : mad_antu@yahoo.co.id

ABSTRAK
Preferensi petani terhadap cabai rawit berbeda-beda, karena terkait permintaan pasar dan konsumen.
Hal tersebut menjadi pertimbangan petani untuk melakukan kontinuitas budidaya, khususnya
penggunaan varietas cabai rawit. Oleh karena itu tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui tingkat
preferensi petani terhadap cabai rawit yang eksisting di Bongomeme Gorontalo. Kajian dilaksanakan
pada Juni sampai Desember 2015 di Gorontalo. Kajian menggunakan metode survey dengan
melibatkan 25 orang petani sebagai responden. Analisis preferensi petani terhadap varietas cabai rawit
diukur menggunakan analisis komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA), dengan
variabel preferensi meliputi warna, ukuran, harga, penampilan, umur panen, proses budidaya, dan
memperoleh benih. Varietas yang diukur tingkat preferensinya adalah varietas cabai rawit lokal Malita
FM, varietas cabai rawit hibrida Dewata dan Sret. Hasil kajian menunjukkan bahwa karakteristik
petani khususnya pengalaman dan usia sangat menentukan tingkat preferensi. Selanjutnya hasil
analisis bahwa petani memiliki preferensi yang kuat terhadap varietas cabai rawit Dewata dibanding
dengan varietas Malita FM dan Sret. Varietas dewata berada pada posisi mendekati ketiga variabel
utama preferensi yang meliputi (1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh
benih, dan (3) umur panen, sehingga varietas tersebut dijadikan varietas rekomendasi.
Kata kunci : Cabai rawit, preferensi, petani

ABSTRACT
Preferences farmers on different cayenne pepper, due to market demand and consumer related. This is
a consideration farmer to make the cultivation continuityin particular the use of varieties of cayenne
pepper. Therefore the aim of the study was to assess the preference farmers to the existing cayenne
pepper in Bongomeme Gorontalo. Studies carried out in June and December 2015 in Gorontalo.
Studies using survey involving 25 farmers as respondents. Analysis of farmers preferences to varieties
of cayenne pepper is measured using principal component analysis or Principal Component Analysis
(PCA), with preference variables including color, size, price, appearance, harvesting, cultivation
process, and obtain seeds. Varieties were measured thelevel of preferences include varieties of
Dewata, Malita FM, and Sret. The results showed that the characteristics of the farmers, especially
the experience and age will determine the preferences. Results of the analysis of the preferences of
farmers have a strong preference for varieties of cayenne pepper Dewata compared with Malita FM
and Sret. Varieties Dewata are in no position away from the three main variable preferences that
include (1) a visual preference, price, and the cultivation process, (2) obtaining the seed, and (3)
harvesting, so that these varieties are used varieties of recommendation.
Keywords : Cayenne pepper, preferences, farmers

PENDAHULUAN
Salah satu komoditas hortikultura sebagai penyumbang inflasi adalah cabai rawit, karena pada
waktu-waktu tertentu khususnya pada musim hujan, produksi cabai rawit kurang baik. Hal ini yang
menjadi penyebab rendahnya produksi pada bulan tertentu disbanding dengan kebutuhan atau
konsumsi, sehingga berdampak pada kenaikan harga. Selain itu menurunnya harga disebabkan panen
raya hanya pada musim tertentu. Menurut Sutardi (2014) cabai rawit dan cabai merah memberikan
andil inflasi sebesar 0,02% - 0,03% dan 0,08% - 0,1%. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia yang
suka cabai rawit segar, sehingga menyebabkan harga menjadi tinggi. Disisi lain secara nasional
produk cabai rawit tidak bisa masuk industri di Indonesia karena kualitasnya rendah. Kualitas rendah
ini tidak lepas dari soal pemupukan dan pestisida.

172
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tingginya permintaan akan cabai rawit khususnya di Gorontalo menjadi pendorong bagi
petani untuk mengusahakan atau berbudidaya cabai rawit sesuai dengan keinginan dan preferensi
konsumen dipasaran. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lim et al. (2013), dalam merencanakan
sebuah produk harus berorientasi pada konsumen dan pasar. Permintaan pasar yang menjadi dasar
petani untuk menentukan varietas yang akan dibudidayakan yaitu cabai rawit yang sangat pedas,
seperti halnya cabai rawit lokal yang terkesan sangat pedas. Selain itu preferensi lainnya adalah cabai
rawit yang dapat menjangkau pasar, karena daya simpannya yang lama pada suhu ruang serta harga
yang optimal.
Menurut Fachrista et al, (2012), preferensi merupakan minat dan keinginan yang ditunjukkan
oleh konsumen atau petani terhadap kombinasi atribut atribut suatu produk yang baru maupun lama
yang paling disukai. Sedangkan menurut Sanjur (1982),preferensi konsumen adalah derajat kesukaan
atau tidak suka seseorang terhadap suatu produk, selain itu preferensi yang dilakukan masyarakat
terhadap suatu produk lebih dikenal dengan sebutan preferensi konsumen. Selai itu terkait preferensi,
dimana tekanan konsumen dapat secara implisit terdapat dalam permintaan varietas tanaman yang
hasilnya tinggi, mutu prima, aman dikonsumsi yang akan berdampak pada akselerasi diseminasi
(Adiyoga, 2011).
Berdasarkan permasalahan, kegiatan kajian dilakukan sebagai upaya untuk mengungkapkan
preferensi petani terhadap cabai rawit yang dibutuhkan konsumen dan pasar. Sehingga upaya tersebut
akan menjadi langkah selanjutnya petani untuk merencanakan penerapan dan kontinuitas budidaya,
khususnya penggunaan varietas cabai rawit eksisting. Oleh karena itu yang menjadi tujuan dari kajian
adalah untuk mengetahui tingkat preferensi petani terhadap cabai rawit yang eksisting di Bongomeme
Gorontalo.

METODOLOGI
Kajian dilaksanakan pada Juni sampai Desember 2015 di Kecamatan Bongomeme Kabupaten
Gorontalo Provinsi Gorontalo. Lokasi tersebut merupakan wilayah kawasan pengembangan
hortikultura provinsi Gorontalo. Kajian menggunakan metode survey dengan melibatkan 25 orang
petani sebagai responden. Analisis data dilakukan melalui wawancara dengan petani dan
menggunakan kuesioner. Preferensi petani terhadap varietas cabai rawit diukur menggunakan analisis
komponen utama atau Principal Component Analysis (PCA) pada perangkat lunak MINITAB ver. 16.
Variabel preferensi meliputi warna, ukuran, harga,penampilan, umur panen, proses budidaya, dan
memperoleh benih.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Petani dan Deskripsi varietas cabai rawit
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa preferensi terhadap varietas cabai rawit tidak
dihubungkan dengan tingkat jenis kelamin petani, karena petani baik perempuan maupun laki-laki
dapat menilai dan mengukur tingkat kesukaannya terhadap cabai rawit, baik yang dibudidayakan
maupun yang dikonsumsinya. Selain itu terkait dengan pengalaman dalam berusahatani cabai rawit
rata-rata + 6 bulan. Pengalaman petani berhubungan dengan usia petani, karena semakin lama petani
dalam berusahatani, maka semakin meningkat pula pengalaman dalam budidaya yang menjadi
usahanya. Pengalaman usaha tani berpengaruh terhadap daya respon, tanggapan, penerimaan petani
terhadap suatu informasi teknologi yang disampaikan kepada petani (Novia, 2011). Menurut
Hendarini (2011) preferensi dipengaruhi oleh umur, dimana preferensi anak-anak akan sangat berbeda
dengan orang dewasa, kemudian pereferensi juga dipengaruhi oleh waktu dan kondisi produk yang
disediakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa deskripsi varietas yang menjadi informasi
produk merupakan suatu atribut untuk dipertimbangkan petani untuk mengetahui potensi hasil cabai
rawit dan umur panennya, karena atribut tersebut salah satu yang akan menjadi dasar petani untuk
melakukan budidaya. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa sesuai deskripsi, varietas Sret produksinya
lebih tinggi dibanding dengan varietas cabai rawit Dewata dan Malita FM, namun pada kenyataannya
sesuai preferensi petani lebih memilih cabai rawit Dewata karena faktor umur panen, sedangkan untuk
cabai rawit Malita FM lebih unggul pada tingkat kepedasannya. Menurut Basuki et al, (2014) petani
enggan mengadopsi varietas apabila belum mengetahui secara jelas informasi keunggulan suatu
varietas, sehingga perlu adanya bukti-bukti baik penampilan dan preferensi harga.

173
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Karakteristik petani


Karakteristik Responden (n=25) Jumlah (n) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Perempuan 9 36
Laki-laki 16 64
Umur
18-39 Tahun 15 40
40-60 Tahun 10 60
Pengalaman
6-12 bulan 2 8
13-24 bulan 23 92
Sumber : Data primer (2015)

Tabel 2. Deskripsi varietas cabai rawit


Komponen Dewata1) Sret2) Malita FM3)
Umur panen 65 HST 90 -100 HST 120 HST
Produksi 14 ton/ha 13,3 ton/ha 8 15 ton/ha
Sumber : 1).Anonim (2005), 2).Anonim (2016), 3).Hikmawati (2015)

Preferensi Petani Terhadap Visual Cabai Rawit


Cabai rawit merupakan sayuran khas yang digemari masyarakat di Gorontalo karena
kepedasannya. Alasan tersebut menjadi kriteria utama dalam memilih cabai rawit. Selain kepedasan,
cabai rawit juga ditentukan oleh parameter lainya seperti ukuran dan umur berbuah (Gambar 1). Pada
gambar tersebut dapat dilihat bahwa ukuran cabai rawit yang kecil menjadi pilihan pasar (pedagang
dan konsumen), dengan alasan bahwa cabai rawit yang buahnya kecil jumlah per buahnya akan
menjadi lebih besar apabila dalam takaran wadah satu kilo gram, sehingga ketika dijual dalam bentuk
eceran akan terlihat banyak. Faktor tersebut yang menjadi pertimbangan petani untuk menentukan
cabai rawit berdasarkan ukurannya. Sementara itu untuk kriteria umur berbuah, petani lebih menyukai
cabai rawit yang umur berbuahnya genjah (umur panen + 60 hari), alasannya adalah petani dapat
mengejar harga pasar yang sesuai, selain itu umur cabai rawit yang genjah dapat menjaga kestabilan
harga dan ketersediaan cabai rawit di pasaran. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa keputusan
petani dalam memilih varietas cabai rawit dipengaruhi oleh penampilan (warna dan ukuran), umur
panen, proses budidaya hingga harga.
Menurut Musaddad et al (2013) penampilan visual baik warna dan bentuk merupakan
parameter kunci bagi konsumen dalam menilai kualitas produk, karena disamping menjadi indikator
kesegaran, juga dapat mengekspresikan kesehatan dan kebersihan bahan. Apabila terjadi
penyimpangan terhadap penampilan produk, maka produk tersebut tidak akan layak jual
(unmaketable).

Gambar 1. Preferensi petani terhadap cabai rawit

174
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Analisis Preferensi
Menurut Nurmalinda et al (2014) preferensi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka untuk melihat kinerja dari suatu produk yang dihasilkan, artinya konsumen dalam
memilih suatu produk mengarah pada selera yang lebih baik dan sempurna. Pada Gambar 2
menunjukkan hasil analisis preferensi petani terhadap cabai rawit menggunakan analisis PCA,
didapatkan bahwa komponen utama mampu menjelaskan keragaman sebesar 100%, dengan komponen
pertama sebesar 84.4% dan komponen kedua sebesar 15.6%. Pada Gambar 2, menunjukkan bahwa
tingkat preferensi petani terhadap varietas cabai rawit ditentukan oleh tiga kelompok preferensi yaitu
(1) preferensi visual, harga, dan proses budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen.
Kelompok preferensi tersebut pada dasarnya diharapkan menyatu, dimana vektornya menjadi satu atau
saling berdekatan. Sementara dalam kenyataannya petani memberikan penilaian yang berbeda
terhadap cabai rawit yang disukai, misalnya untuk cabai rawit Malita FM dimana harga, proses
budidaya dan preferensi visual disukai. Namun untuk umur panen dan mendapatkan benih bersertifikat
vektornya berbanding terbalik atau berkorelasi negatif dengan preferensi lainnya. Selain itu untuk
cabai rawit Sret menjauh dari semua vektor preferensi, sehingga varietas tersebut sulit untuk
direkomendasi dan dikembangkan petani. Hal ini berbeda dengan varietas cabai rawit Dewata, varietas
tersebut meskipun korelasinya lemah dengan kelompok atau vektor preferensi satu, akan tetapi sangat
dekat dengan umur panen, artinya petani dapat mengejar waktu panen meskipun harganya Rp. 45.000
Rp.55.000 per kg dibawah dari cabai rawit Malita FM sebesar Rp. 85.000 Rp. 100.000 per kg.
Berdasarkan pengamatan bahwa umur panen cabai rawit Malita FM sekitar 4 - 5 bulan, sedangkan
untuk cabai rawit Dewata umur panennya + 2 bulan. Hal ini yang menjadi daya tarik petani memilih
cabai rawit dewata untuk dikembangkan sebagai usahataninya. Menurut Astuti (2013), suatu inovasi
akan mudah diterima oleh petani apabila inovasi teknologi dapat meningkatkan produksi suatu usaha
tani dibandingkan dengan cara konvensional yang biasa dilakukan oleh petani sebelumnya. Benih
yang mudah didapatkan dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas cabai
sebelumnya dapat meningkatkan adopsi petani.

1.5
Dewata
Umur Panen
1.0
Malita
Second Component (15,6%)

Sre FM
0.5 t Warna Merah
Memperoleh Benih Warna Kuning
Ukuran
Harga
Penampilan
0.0

Proses Budidaya

-0.5

-1.0

-3 -2 -1 0 1 2 3
First Component (84,4%)

Gambar 2. Analisis komponen Utama Petani Terhadap Preferensi Cabai Rawit

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian bahwa petani memiliki preferensi yang kuat terhadap varietas cabai
rawit Dewata dibanding dengan varietas malita FM dan Sret. Varietas Dewata berada pada posisi tidak
menjauh dari ketiga variabel utama preferensi yang meliputi (1) preferensi visual, harga, dan proses

175
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

budidaya, (2) memperoleh benih, dan (3) umur panen, sehingga varietas tersebut dapat dijadikan
sebagai varietas rekomendasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada saudara Ibrahim Laita dan Nurul Aisyah, SP yang
telah membantu dalam menyelesaikan seluruh rangkaian penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W. 2011, Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keputusan konsumen untuk
membeli kentang, bawang merah, dan cabai merah. Jurnal Hortikultura 21 (3); 280-94.
Anonim. 2005. Keputusan Menteri Pertanian tentang pelepasan cabai rawit hibrida dewata No.
345/Kpts/SR.120/9/2005. http://www.perundangan.pertanian.go.id. [Diunduh Tgl 29
Agustus 2016]
Anonim. 2016. Cabai sret. Cabai Sret. http://bibitbunga.com/bintang-asia-cabe-rawit-sret/. [Diunduh
Tgl 29 Agustus 2016].
Astuti, P., Ismono, R.H., Situmorang, S. 2013. Faktorfaktor penyebab rendahnya minat petani untuk
menerapkan budidaya cabai merah ramah lingkungan di Kabupaten Lampung Selatan.
Jurnal IlmuIlmu Agribisnis1 (1): 87 92.
Basuki, R.S., Arshanti, I.W., Zamzani, L., Khaririyatun, N., Kusandriani, Y., Luthfy. 2014. Studi
adopsi cabai merah varietas tanjung-2 hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Sayuran
di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Jurnal Hortikultura 24 (4) : 355-362.
Fachrista, I.A, Issukindarsyah., Rusmawan, D., Dewi, H.A. 2012. Preferensi petani kabupaten Bangka
Selatan terhadap beberapa varietas unggul baru padi sawah. Artikel Seminar Nasional
Kedaulatan Pangan dan Energy Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura.
Hendarini, A.T . 2011. Persepsi masyarakat terhadap manfaat kesehatan dan pengembangan produk
minuman fungsional dari ekstrak daun hantap (Sterculia oblongata r.brown). [Tesis]
Pasca Sarjana IPB : 96 hlm.
Hikmawati. 2015. Mengenal rica malita (Capsicum frutescens L.) cabe lokal spesifik Gorontalo serta
hama dan penyakit yang menyerang. http://www.bkpgorontalo.org. [Diunduh Tgl 29
Agustus 2016].
Lim, J.H., Seo, J.Y., Shim, M.S. 2013. Characteristics that affect Japanese consumer preference for
chrysanthemum, Korean Journal of Hort. Sci. & Tech. (31) 5 : 640-6477.
DalamNurmalinda dan Hayati, NQ. 2014. Preferensi konsumen terhadap krisan bunga
potong dan Pot. Jurnal Horikultura. 24 (4): 363-372.
Musaddad., Setiasih., Kastaman. 2013. Laju perubahan mutu kubis bunga di olah minimal pada
berbagai pengemasan dan suhu penyimpanan. Jurnal Hortikultura 23 (2): 184 194.
Novia, R.A. 2011. Respon petani terhadap kegiatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu.
Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 7 (2): 22 48-60.
Nurmalinda., Hayati, N,Q. 2014. Judul preferensi konsumen terhadap krisan bunga potong dan pot.
Jurnal Hortikultura 24 (4): 363 372.
Sanjur, D. 1982. Social and culture perspective in nutrition: Prentice Hall, new York.
Sutradi D. 2014. pemerintah kesulitan stabilkan produksi cabai.
http://radarpena.com/read/2014/04/23/10797/18/1/pemerintah-kesulitan-stabilkan-
produksi-cabai. [Diunduh Tgl 31 Januari 2015].

176
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH APLIKASI KERAK BOILER TERHADAP PRODUKSI DAN KANDUNGAN


HARA PADA TANAMAN CAISIM
THE EFFECT OF BOILER CRUST APLICATION ON MUSTARD (Brassica Juncea L.) YIELD
AND NUTRIENT CONTENT
Eliartati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau
Jl. Kaharuddin Nasution No. 341 Pekanbaru
eliartati@pertanian.go.id

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan marginal untuk budidaya sayuran memerlukan penambahan bahan amelioran untuk
memperbaiki kesuburannya. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan amelioran adalah
kerak boiler yang banyak dijumpai di daerah perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini dilaksanakan di
rumah kaca Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah di Laladon Bogor dari bulan Mei
sampai dengan Agustus 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kerak
boiler terhadap produksi dan kandungan hara pada tanaman caisim. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang dimaksud adalah A0
(kontrol/tanpa kerak boiler), A1 (kerak boiler 250 mg/pot), A2 (kerak boiler 500 mg/pot) dan A3
(kerak boiler 1000 mg/pot). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kerak boiler tidak
berpengaruh nyata terhadap parameter pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun dan
panjang daun) dan hasil tanaman (berat basah tanaman), tetapi terdapat kecenderungan peningkatan
parameter pertumbuhan dan hasil tanaman sejalan dengan peningkatan dosis kerak boiler yang
diberikan. Di lain pihak pemberian kerak boiler berpengaruh nyata terhadap kadar P, K, Ca, dan Mg
tanaman, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar N tanaman. Tinggi tanaman, lebar daun, berat
basah tanaman, serta kadar P, K, Ca dan Mg tertinggi diperlihatkan oleh perlakuan kerak boiler 1000
mg/pot. Hasil tanaman caisim meningkat 0,6 % - 6 % dibandingkan dengan kontrol.
Kata kunci : kerak boiler, caisim, brassica juncea

ABSTRACT
The utilization of marginal land for cultivation of vegetables requires the addition of ameliorant to
improve its fertility. One of the materials that can be used as ameliorant is the boiler crust which is
abundantly produced in any oil palm plantations. This study aimed to determine the effect of boiler
crust on yield and nutrients content of mustard. This research was conducted in the greenhouse Soil
Physics Laboratory of Soil Research Institute in Laladon Bogor from May to August 2012. This study
used a completely randomized design with 4 treatments and 5 replications. The treatmentswere A0
(control / no boiler crust), A1 (boiler crust 250 mg / pot), A2 (boiler crust 500 mg / pot) and A3 (boiler
crust 1000 mg / pot). The results showed that the boiler crust did not significantly influence on growth
parameters (plant height, leaf number, leaf width and leaf length) and results from parameter
(plantfresh weight), but there was an increasing trend of growth parameters and yield in accordance
with the increase of boiler crust doses. On the other hand, boiler crust significantly influenced on P,
K,Caand Mg content of mustard, whereas N content of mustard was not significantly influenced by the
addition of boiler crust. The greatest of plant height, leaf width, fresh weight, and P, K, Ca and Mg
contentof mustardwas shown by application of the boiler crust dose 1000 mg/pot. The yield of mustard
increased about 0.6% - 6% as compared to control.
Keywords: boiler crust, mustard, brassica juncea

PENDAHULUAN
Caisim (Brassica juncea L.) sebagai salah satu jenis tanaman sayuran yang banyak digemari
oleh masyarakat Indonesia, baik sebagai sayur maupun produk olahannya. Tanaman caisim termasuk
famili Brassicaceae yang dibudidayakan sebagai tanaman penghasil biji dan tanaman sayuran
(Poincelot, 2004). Tanaman caisim berasal dari Asia Tengah dan Himalaya. Tanaman caisim banyak
ditanam di Asia Tengah, Himalaya, India dan Cina terutama di Provinsi Sichuan. Di India, Cina,
Jepang dan Eropa tanaman caisim ditanam sebagai tanaman penghasil biji. Tanaman caisim pertama
kali dikembangkan sebagai tanaman sayuran di Cina (Phillips dan Rix, 1993).

177
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Iklim dan tanah di Indonesia juga cocok untuk perkembangan tanaman caisim. Caisim dapat
tumbuh pada daerah yang beriklim panas maupun dingin, pada tanah yang subur dengan kandungan
air yang cukup (Phillips dan Rix, 1993), pH tanah berisar antara 6,0 - 7,0 dan kelembaban tanah 0,25
Bar (Poincelot, 2003). Tanaman muda tidak tahan terhadap kekeringan (Phillip dan Rix, 1993).
Maraknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi perumahan, kolam ikan dll
menyebabkan ketersedian lahan subur untuk usaha pertanian terutaman usaha tani tanaman sayuran
makin berkurang. Akibatnya usaha tani sayuran dilakukan pada lahan sub optimal seperti lahan kering
masam. Luas lahan kering masam di indonesia 108.775.830 ha dengan luas potensial untuk
pengembangan pertanian 62.647.199 ha (Mulyani dan Sarwani, 20013). Proses pelapukan dan
pencucian hara pada tanah-tanah yang terbentuk di daerah iklim tropika basah berjalan sangat intensif,
akibatnya tanah menjadi masam dengan kejenuhan basa rendah dan kejenuhan aluminium tinggi
(Subagyo et al. 2000). Usaha tani sayuran yang dilakukan pada lahan seperti ini memerlukan
penanganan khusus, antara lain dengan melakukan ameliorasi melalui penambahan bahan amelioran.
Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai amelioran adalah kerak boiler yang banyak
dijumpai di daerah tempat pengolahan kelapa sawit. Kerak boiler berasal dari pembakaran cangkang
dan serat kelapa sawit pada suhu tinggi. Kerak boiler merupakan abu yang mengeras pada dinding-
dinding boiler saat terjadinya pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit pada tungku pembakaran.
Kerak boiler memiliki massa yang lebih berat daripada fly ash (abu terbang), memiliki pori - pori
relatif lebih banyak seperti batu apung dan ukurannya bervariasi dari kecil sampai besar Komposisi
kimia kerak boiler antara lain SiO2 65,06%; CaO 8,61%; K2O 8,41%; Mg 6,9%; P2O5 3,24%; Al2O3
2,2%; Fe2O3 2,09%; Na2O 0,17%; MnO 0,09%, SO3767 ppm; CuO 316 ppm dan ZnO 31 ppm
(Eliartati et al., 20114).
Pada umumnya kerak boiler digunakan oleh Pabrik Kelapa Sawit sebagai pengeras jalan di
sekitar pabrik dan belum dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Sementara itu penelitian pemanfaatan
kerak boiler lebih banyak diarahkan pada pemanfataannya sebagai bahan pengganti semen (Altwair et
al., 2011 and Karim et al., 2011) dan campuran aspal (Borhan et al., 2010), sedangkan penelitian
pemanfaatannya di bidang pertanian belum ada. Jumlah kerak boileryang dihasilkan + 5% dari jumlah
bahan yang dibakar (Borhan et al., 2010). Berdasarkan komposisi kimia dan jumlah ketersediaannya,
kerak boiler berpotensi digunakan sebagai bahan pengganti kapur untuk meningkatkan pH tanah,
sumber Si pada tanaman padi keuatan jerami padi serta sumber unsur hara makro dan mikro terutama
K bagi tanaman. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pemanfaatan kerak boiler di bidang
pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kerak boiler terhadap produksi
dan kandungan hara tanaman caisim.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah di
Laladon Bogor dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2012.
Bahan yang digunakan adalah kerak boiler dari pabrik pengolahan kelapa sawit (komposisi
kimia Tabel 1), tanah Podsolik Merah Kuning, benih caisim, Urea, KCl, SP-36, serta bahan-bahan
kimia untuk analisis. Alat yang digunakan antara lain pot plastik, hand sprayer, meteran, muffle
furnace, spectrophotometer, flamephotometerdan alat-alat lain yang diperlukan untuk analisis.

178
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Komposisi kimia kerak boiler kelapa sawit


Senyawa Jumlah Unsur Jumlah
SiO2 (%) 65,06 Si (%) 30,42
TiO2 (%) 0,11 Ti (%) 0,07
Al2O3 (%) 2,20 Al (%) 1,17
Fe2O3 (%) 2,09 Fe (%) 1,46
MnO (%) 0,09 Mn (%) 0,07
CaO (%) 8,61 Ca (%) 6,16
MgO (%) 6,90 Mg (%) 4,16
Na2O (%) 0,17 Na (%) 0,12
K2O (%) 8,41 K (%) 6,98
P2O5 (%) 3,24 P (%) 1,42
SO3 (ppm) 767,00 S (ppm) 307,00
ZnO (ppm) 31,00 Zn (ppm) 25,00
CuO (ppm) 316,00 Cu (ppm) 252,00
SrO (ppm) 73,00 Sr (ppm) 62,00
Cr2O3 (ppm) 200,00 Cr (ppm) 137,00
Rb2O (ppm) 373,00 Rb (ppm) 341,00
LOI (%) 2,93 - -
Sumber : Eliartati et al., 2014

Pelaksanaan kegiatan terdiri dari beberapa tahap, yaitu penggilingan kerak boiler, persiapan
media tanam, pembibitan, penanaman dan panen. Penggilingan kerak boiler dilakukan menggunakan
mesin penggiling batu kapur. Kerak boiler yang telah halus diayak dengan ayakan 500 m (32 mesh).

a b
Sumber : Eliartati et al., 2014
Gambar 1 Kerak boiler sebelum (a) dan setelah (b) digiling

Tanah untuk media tanam diambil sampai kedalaman 20 cm. Tanah dikeringudarakan,
kemudian dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 5 mm. Tanah ditimbang 4,5 kg berat kering
udara (BKU). Tanah dicampur kerak boiler yang sudah dihaluskan dan diaduk secara merata,
kemudian dimasukkan ke dalam pot plastik dan diinkubasi selama satu minggu.
Pembibitan menggunakan bak plastik dengan media campuran tanah dan kompos. Bibit
dipindahkan pada umur 2 minggu atau saat bibit mempunyai 4 daun. Setiap pot ditanami dengan 2
tanaman yang dipelihara sampai panen. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan,
penyiraman, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pemberian pupuk dilakukan sekali yaitu pada
saat tanam dengan dosis Urea 400 kg/ha, SP-36 300 kg/ha dan KCl 200 kg/ha atau Urea 3,2 gr/pot,
SP-36 2,4 gr/pot dan KCl 1,6 gr/pot. Penyiraman dilakukan dua kali yaitu pagi dan sore hari.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan mengikuti konsep pengendalian hama dan
penyakit terpadu.
Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam (HST) dengan cara
memotong bagian atas tanaman. Bagian atas tanaman ditimbang untuk mengetahui berat basah
tanaman yang digunakan untuk mencerminkan produksi tanaman. Kemudian bagian yang dipanen
dimasukkan ke dalam amplop kertas untuk selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC

179
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

selama 24 jam atau sampai berat menjadi tetap. Setelah kering tanaman ditimbang untuk mengetahui
berat kering tanaman, kemudian digiling untuk digunakan dalam analisis kadar hara tanaman.
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4
perlakuan dan 5 ulangan, sehingga diperoleh 20 satuan percobaan. Perlakuan yang dimaksud adalah :
A0 : Kontrol (tanpa kerak boiler)
A1 : Kerak boiler 250 mg/pot (100 kg/ha)
A2 : Kerak boiler 500 mg/pot (200 kg/ha)
A3 : Kerak boiler 1000 mg/pot (400 kg/ha)

Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, berat
basah tanaman serta kadar hara N, P, K, Ca dan Mg tanaman.Data hasil pengamatan dianalisis secara
statistika menggunakan Analisys of Variance (ANOVA) dengan uji F pada tarafnyata 5 %. Jika
perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Hasil pengukuran tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar, jumlah daun
dan berat basah tanaman disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa
perlakuan berbagai dosis kerak boiler tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang daun, lebar daun dan berat basah tanaman. Hal ini diduga disebabkan jumlah unsur hara yang
terlepas dari kerak boiler sangat sedikit, sehingga belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil penelitian Eliartati et al., (2014) yang menunjukkan bahwa
kelarutan kalium dari kerak boiler dengan pelarut H2O hanya 0,06% dan dengan pelarut HCl 0,05 N
0,19%. Dengan demikian dibutuhkan waktu yang lebih lama agar terjadi pelepasan unsur hara secara
maksimal dari kerak boiler.
Tabel 2. Pengaruh aplikasi kerak boiler terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman caisim umur 30
HST
Tinggi Panjang Lebar Berat
Jumlah Daun
Perlakuan Tanaman Daun Daun Basah
(helai)
(cm) (cm) (cm) (gr/tan)
Kontrol (Tanpakerak boiler) 41,06 a 11 a 38,42 a 15,30 a 111,84 a
Kerak boiler 250 mg/pot 41,02 a 11 a 38,50 a 14,90 a 113,98 a
Kerak boiler 500 mg/pot 41,92 a 11 a 39,54 a 15,42 a 112,52 a
Kerak boiler 1000 mg/pot 42,48 a 11 a 39,02 a 15,50 a 118,54 a
KK (%) 4,40 9,22 4,31 6,98 12,46
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata menurut Duncan
Multiple Range Test pada taraf nyata 5 %.
Sumber : Diolah dari data primer

Walaupun secara statistik tidak berpengaruh nyata, tetapi secara angka-angka terlihat adanya
kecenderungan pemberian kerak boiler meningkatkan tinggi tanaman, panjang daun terpanjang, lebar
daun terlebar dan berat basah tanaman sejalan dengan peningkatan dosis abu boiler yang diberikan
(Tabel 2). Perlakuan kerak boiler dosis 1000 mg/pot memperlihatkan tinggi tanaman, lebar daun
terlebar dan berat basah tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil
penelitian Purwati et al. (2007) menunjukkan bahwa abu sisa (fly ash) pembakaran kulit kayu dari
boiler industri pulp and paper meningkatkan pertumbuhan tanaman akasia baik di rumah kaca maupun
di lapangan. Selain itu hasil penelitian Harmalinda (2012) menunjukkan bahwa pemberian terak baja
baik tanpa maupun dikombinasikan dengan bahan organik mampu meningkatkan produksi tanaman
caisim.
Kandungan senyawa CaO dan MgO dalam kerak boiler (Tabel 1) dapat meningkatkan pH
tanah. Seperti yang dikemukakan oleh Ai Dariah et al. (2015) bahwa senyawa CaO dan MgO dalam
tanah akan bereaksi dengan air membentuk CaCO3 dan MgCO3 yang berperan dalam penurunan
Aldd.Pada tanah mineral masam, sumber kemasaman tanah yang utama adalah Al3+ yang akan
menyumbangkan H+ ke dalam larutan tanah melalui proses hidrolisis.Selain itu pengapuran juga
180
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

berfungsi meningkatkan aktivitas mikroba tanah (Shah et al., 1990; Andersson dan Nilsson, 2001).
Mikroba mempunyai peranan penting dalam penyediaan unsur hara dalam tanah, melalui aktifitasnya
dalam proses dekomposisi bahan organik dan mineral tanah.
Kandungan unsur hara esensial yang terdapat pada kerak boiler (Tabel 1) akan meningkatkan
ketersediaanya dalam tanah. Walaupun sumbangan terhadap ketersediaan unsur hara dalam tanah
kecil, tetapi mempunyai peranan cukup penting dalam menyokong pertumbuhan dan perkembangan
tanaman caisim. Tanaman membutuhkan unsur hara yang cukup agar dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal.
Kadar N, P, K, Ca dan Mg Tanaman Setelah Panen
Data hasil analisis statistik kadar N, P, K, Ca dan Mg tanaman setelah panen disajikan pada
Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat kerak boiler berpengaruh nyata terhadap kadar P, K, Ca dan Mg
tanaman setelah panen, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar N tanaman setelah panen.
Tabel 3. Pengaruh aplikasi kerak boiler terhadap kadar hara N, P, K, Ca, dan Mg tanaman caisim
umur 30 HST
Variabel yang Diamati
Perlakuan N P K Ca Mg
(%) (%) (%) (%) (%)
Kontrol (Tanpakerak boiler) 4,14 a 0,40 b 1,64 b 0,99 b 0,106 b

Kerak boiler250 mg/pot 4,20 a 0,44 b 1,76 ab 1,14 ab 0,112 ab

Kerak boiler 500 mg/pot 4,28 a 0,44 b 1,71 ab 1,15 ab 0,114 ab

Kerak boiler 1000 mg/pot 4,13 a 0,49 ab 1,81 a 1,21 a 0,122 a


KK (%) 7,30 7,34 5,76 12,24 8,81
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata menurut Duncan
Multiple Range Test pada taraf nyata 5 %
Sumber : Diolah dari data primer

Pada Tabel 3 terlihat bahwa kadar N tanaman tidak dipengaruhi oleh pemberian kerak boiler.
Hal ini diduga karena pada komposisi kerak boiler tidak terdapat N (Tabel 1). Nitrogen bersifat volatil
sehingga hilang pada saat terjadi pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit. Dengan demikian
pemberian kerak boiler tidak menyumbangkan N ke dalam tanah, sehingga N yang diserap tanaman
berasal dari tanah dan pupuk an organikyang diberikan.
Kadar P, K, Ca dan Mg tanaman cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan dosis
kerak boiler yang diberikan. Hal ini diduga disebabkan kerak boiler yang diberikan meningkatkan
ketersediaan P, K, Ca dan Mg tanah dengan jalan melepaskan sebagian unsur hara yang dikandungkan
ke dalam tanah, sehingga jumlah yang diserap oleh tanaman juga meningkat. Makin banyak jumlah
kerak boiler yang diberikan, makin banyak unsur hara yang dilepaskan.
Selain itu kerak boiler yang diberikan diduga meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH tanah
akan meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Ai Dariah et al. (2015) pada tanah mineral
masam, sumber kemasaman tanah yang utama adalah Al3+ yang akan menyumbangkan H+ ke dalam
larutan tanah melalui proses hidrolisis. Pada tanah masam sebagian besar unsur hara terdapat dalam
bentuk tidak tersedia karena berikatan dengan Al. Peningkatan pH tanah akan menurunkan Al dd tanah
yang menyebabkan unsur hara lepas dan menjadi tersedia bagi tanaman. Sejalan dengan hasil
penelitian Bintang dan Lahuddin (2007) menunjukkan bahwa peningkatan pH tanah meningkatkan N-
total, P tersedia dan K-tukar tanah ultisol.

KESIMPULAN
1. Pemberian kerak boiler memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman caisim. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan dan hasil tanaman caisim yang
mendapat perlakuan kerak boiler lebih baik dibandingkan dengan tanpa perlakuan kerak boiler.
Pemberian kerak boiler dapat meningkatkan hasil tanaman caisim berkisar antara 0,6 6 %.
2. Pemberian kerak boiler meningkatkan kadar hara P, K, Ca dan Mg tanaman caisim.

181
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian yang telah mendanai penelitian ini serta Bapak Dr Ir Iskandar, Bapak Dr Ir
Basuki Sumawinata, M.Agr dan Ibu Dr Ir. Sri Djuniwati, MSc (alm) atas bimbingan dan saran selama
penelitian ini dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Ai Dariah, S. Sutono, N.L. Nurida, W. Hartatik dan E. Pratiwi. 2015. Pembenah tanah untuk
meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan 9(2) : 67-84.
Altwair, N.M., M.A.M Johari dan S.F.S. Hashim. 2011. Influence of calcination temperature on
characteristics and pozzolanic activity of palm oil waste ash. Aust. J. Basic & Appl.
Sci.5(11) 1010-1018.
Andersson, S. dan S.I. Nilsson. 2001. Influence of pH and temperature on microbial activity, substrate
availability of soil-solution bacteria and leaching of dissolved organic carbon in a mor
humus. Soil Biol. Biochem 33 : 11811191.
Bezdicek, D.F., T. Beaver dan D. Granatstein. 2003. Subsoil ridge tillage and lime effects on soil
microbial activity, soil pH, erosion, and
wheat and pea yield in the Pasific Northwest, USA. Soil & Tillage Research 74 : 55-63. Available
online at www.sciencedirect.com.
Bintang dan Lahuddin. 2007. Suplai hara N, P, K dan perubahan pH serta pertumbuhan tanaman
kedelai dengan pemberian abu serbuk gergaji pada tanah Ultisol. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi dan Alih TeknologiSpesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian.
Medan, 5 Juni 2007. Hal : 296-303
Borhan, M.N., A. Ismail and R.A. Rahmat. 2010. Evaluation of palm oil fuel ash on asphalt mixtures.
Aust. J. Basic & Appl. Sci.4(10) : 5456-5463.
Eliartati, Iskandar dan B. Sumawinata. 2014. Pengaruh penambahan abu boiler terhadap kualitas
kompos tandan kosong kelapa sawit. Agrica Ekstensia 8(1) : 26-38.
Karim, Md.R., M.F.M. Zain, M. Jamil dan Md.N Islam. 2011. Strength of concrete as influence by
palm oil fuel ash. Aust. J. Basic & Appl. Sci. 5(5) : 990-997.
Mulyani, A. dan M. Sarwani. 2013. Karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk pengembangan
pertanian di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan 7(1) : 47-55.
Phillips, R. dan M. Rix. 1993. Vegetables. A Pan Garden Plants Series. Pan Books Ltd. London.
Poincelot, R.P. 2004. Sustainable Horticulture : Today and Tomorrow. Pearseon Education, Inc.
Upper Saddle River. New Jersey.
Purwati, S., R. Soetopo dan Y. Setiawan. 2007. Potensi penggunaan abu boiler industri pulp dan kertas
sebagai bahan pengkondisi tanah gambut pada aeral hutan tanaman industri. BS 42(1) : 8-
17.
Shah, Z., W.A. Adams dan C.D.V. Haven. 1990. Composition and activity of the microbial population
in an acidic upland soil and effects of liming. Soil Biol. Biochem 22, 257264.
Subagyo, H., N. Suharta dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Dalam Buku
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor. Hal. 21-66.

182
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENAMPILAN FENOTIPIK 17 GENOTIP ANYELIR INTERSPESIFIK DAN TETUA


JANTANSK 11_1 DI LAHAN TERBUKA
PHENOTYPIC PERFORMANCE OF 17 INTERSPECIFIC CARNATION GENOTYPES AND
MALE PARENT SK 11-1 IN THE OPEN FIELD
Dewanti, M.1, Neni Rostini2, Murdaningsih H. K.2, Anas2
1
Balai Penelitian Tanaman Hias, Jl. Raya Ciherang-Pacet, Cianjur 43253
2
Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung
e-mail : minangsari_dewanti@yahoo.com

ABSTRAK
Selama ini anyelir dibudidayakan di bawah rumah lindung. Genotip anyelir interspesifik hasil
persilangan Dianthus caryophyllus L. x Dianthus chinensis secara visual cocok dimanfaatkan sebagai
tanaman hias taman, sehingga perlu dilakukan percobaan penanaman genotip-genotip tersebut di lahan
terbuka. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotip anyelir interspesifik yang berpenampilan
unggul sebagai tanaman hias taman. Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Penelitian Tanaman
Hias Cipanas-Cianjur, dari bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. Percobaan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan terdiri dari 17 genotip anyelir interspesifik dan satu tetua
jantan SK 11_1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotip C5 memiliki perpaduan enam karakter
unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu tanaman kokoh, daun panjang dan lebar, umur genjah dan
diameter bunga cukup besar. Genotip B5 dan E6 memiliki empat karakter unggul sebagai tanaman
hias taman, yaitu tanaman pendek, umur genjah, kesegaran bunga bertahan lama, jumlah bunga mekar
per satu waktu cukup banyak. Genotip C8, C4, C10, C14, E1, D6 dan E4 masing-masing memiliki tiga
karakter unggul sebagai tanaman hias taman. Genotip-genotip tersebut dapat dijadikan sebagai genotip
anyelir taman harapan.
Kata kunci : penampilan fenotipik, anyelir interspesifik, tanaman hias taman.

ABSTRACT
Up to now, carnation is cultivated under protected houses. Interspecific carnation genotype product of
interspecific hybridization between Dianthus caryophyllus L. x Dianthus chinensis, in a visual manner
suitable be used as landscape ornamental plant, so need to be cultivated in the open field. The
objective of this study was to get some interspecific carnation genotype which has superior
performance as landscape ornamental plant. The experiment was conducted at the Indonesian
Ornamental Crops Research Institute experiment station in Cipanas Cianjur, from June 2015
December 2015. The experiment was arranged using randomized block design (RBD). The treatment
consisted of 17 genotypes of interspecific carnation and one male parent SK 11_1. The result showed
that C5 genotype has six superior characters as landscape ornamental plant, i.e steady plant, length
and width leaf, early flowering and large flower diameter. B5 and E6 genotype have four superior
characters as landscape plant, i. e. Short plant, early flowering, long vase life and large number of
bloomed flower per period. C8, C4, C10, C14, E1, D6 and E4 genotypes have three superior
characters as landscape plant. That genotypes could became as expected landscape carnation
genotypes.
Keywords : phenotypic performance, interspecific carnation, landscape ornamental plant

PENDAHULUAN
Anyelir (Dianthus caryophyllus L.) merupakan salah satu komoditas bunga potong komersial
yang sangat penting di dunia, selain mawar dan krisan (Tarannum dan Hemla Naik, 2014). Ketiga
komoditas bunga potong ini menguasai hampir 50% pasar bunga potong dunia (Jawaharlal et al.
2010). Anyelir komersial yang ada saat ini merupakan turunan dari spesies D. caryophyllus yang
berasal dari Eropa bagian selatan dan Asia bagian barat (Mii et al. 1990). Anyelir potong mulai
menduduki pasar domestik tahun 1987 (Hardjoko, 1999).
Di Indonesia anyelir dikenal sebagai tanaman hias bunga potong yang dibudidayakan di
bawah rumah lindung/rumah serre. Anyelir sebagai tanaman hias taman belum berkembang, namun
melihat komoditas tanaman hias taman yang cenderung meningkat permintaan pasarnya, maka sudah
seharusnya mulai merakit anyelir taman.

183
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Anyelir bunga potong memiliki beberapa karakter baik, yaitu warna bunga yang sangat
bervariasi, kesegaran bunga yang cukup lama, memiliki petal bunga ganda (Jawaharlal et al. 2010).
Namun anyelir potong masih ada beberapa kekurangan, seperti siklus pertanaman yang lama atau umur
berbunga lama, perlu penopang untuk tumbuh tegak, kurang tahan terhadap penyakit layu bakteri dan
Fusarium, serta setek tunas lama berakar. D. chinensis yang merupakan tanaman hias taman memiliki
beberapa kelebihan, yaitu mudah dibudidayakan, berbunga cepat, tanaman kompak, perbanyakan
dengan setek tunas mudah dan cepat berakar, menghasilkan banyak serbuk sari, serta agak tahan
terhadap penyakit utama anyelir, yaitu layu Fusarium. Kekurangan D. chinensis adalah memiliki petal
bunga tunggal (Jawaharlal et al. 2010).
Hibridisasi interspesifik dapat menjadi strategi yang efektif dalam pemuliaan tanaman hias
(Kato et al., 2008). Persilangan antar spesies anyelir dengan karakter yang sangat berbeda diharapkan
dapat menghasilkan turunan tipe baru dengan karakter warna dan pola warna baru atau siklus hidup
yang lebih pendek (Demmink, 1978). Hibrid hasil persilangan antara anyelir dengan spesies Dianthus
lain dapat menjadi sumber yang bermanfaat bagi penyediaan karakter-karakter genetik untuk
mencapai tujuan program pemuliaan anyelir (Office of The Gene Technology Regulator, 2015).
Beberapa karakter yang menjadi tujuan perakitan anyelir tipe taman adalah cepat berbunga,
tinggi tanaman kurang dari 50 cm, memiliki warna bunga yang cerah dan kuat, berbunga sepanjang
musim, pertumbuhan yang vigor, kompak, percabangan yang bagus, kesegaran bunga lama dan jumlah
bunga banyak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan hybrid F1 anyelir yang berpenampilan unggul
sebagai tanaman hias taman.

BAHAN DAN METODE


Percobaan dilaksanakan di lahan terbuka Kebun Percobaan Penelitian Tanaman Hias Cipanas,
Cianjur, Jawa Barat, dengan ketinggian 1.100 m dpl, dari bulan Juni 2015 sampai Desember 2015.
Penelitian ditata dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan 18 perlakuan dan tiga ulangan.
Macam perlakuan terdiri dari 17 genotip F1 hasil persilangan Dianthus caryophyllus x Dianthus
chinensis, yaitu : B5, C1, C4, C5, C8, C9, C10, C12, C14, C15, C16, D6, E1, E2, E3, E4, E6 dan tetua
jantan SK 11_1.
Bahan lainnya adalah humus bambu, pupuk kandang, Urea, SP36, KCl, pupuk NPK
(15:15:15), dan gandasil D. Pestisida yang digunakan yang berbahan aktif : carbofuran 3%, mancozeb
80%, imidakloprit 200 gL-1, dikofol 191 gL-1 dan detametrin 25 gL-1.
Bibit anyelir interspesifik ditanamdi bak - bak pertanaman yang berisi campuran sekam bakar,
tanah, humus bambu dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1, pada dasar lubang tanam
diberi carbofuran 3% sekitar 2 g. Pemupukan dasar diberikan saat penanaman bibit dengan dosis urea
4 g/tanaman, SP36 3 g/tanaman dan KCl 3 g/tanaman. Setiap perlakuan terdiri atas sepuluh tanaman
dengan tiga ulangan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama
penyakit.
Pengamatan pada setiap ulangan dilakukan pada lima tanaman. Pengamatan dilakukan pada
saat tanaman mulai berbunga, pengamatan meliputi pengamatan terhadap beberapa karakter batang,
daun dan bunga, meliputi : (1) Tinggi tanaman (cm), (2) Diameter batang (cm), (3) Panjang daun
(cm), (4) Lebar daun (cm), (5) Umur inisiasi berbunga (hst), (6) Umur bunga mekar, (7) Diameter
bunga (cm), (8) Lama kesegaran bunga (hari), (9) Jumlah bunga mekar dalam satu waktu, (10) warna
batang, (11) warna daun, (12) warna petal, (13) warna putik, (14) warna anther. Pengamatan warna
menggunakan color chart The Royal Horticultural Society.
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan sidik ragam. Karakter-karakter yang
berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5% selanjutnya dikelompokkan berdasarkan uji Scott-Knott
pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Percobaan ini menggunakan SK 11_1 sebagai pembanding, karena genotip ini cocok
digunakan sebagai tanaman hias tipe taman. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman mulai
berbunga.
Penampilan batang dan daun 18 genotip uji berwarna hijau dengan sedikit perbedaan bila
dicocokkan dengan color chart. Batang genotip C10 berwarna hijau dan ungu tua pada setiap ruasnya.
184
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Warna putik dan anthera ke-17 genotip sangat beragam dan berbeda dari warna putik dan
anthera tetua jantannya, yaitu genotip SK 11_1. Genotip C4 dan C5 memiliki warna anthera seperti
tetua jantan, yaitu Black Group 202 B.
Warna bunga ke-18 genotip sangat beragam. Genotip B5 dan C10 memiliki warna bunga
merah cerah. Bunga genotip D6 dan E1 berwarna salem. Empat belas genotip lainnya memiliki warna
bunga merah keunguan (Tabel 1.). Menurut Qud et al. (1995) dalam Nurmalinda et al. (2011), pada
komoditas tanaman hias, warna bunga merupakan kontributor utama terhadap nilai ekonomi bunga.
Hasil uji F menunjukkan hampir semua karakter terukur yang diamat berbeda nyata pada taraf
uji 5% atau 1%, kecuali karakter jumlah cabang yang tidak berbeda antar semua genotip uji. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap genotip memiliki karakter-karakter tersendiri, yang menjadi penciri
genotip tersebut.
Tabel 1. Karakter warna batang, daun, bunga 18 genotip anyelir taman
Genotip Warna Petal Warna Putik Warna Anther Warna batang Warna daun
B5 RG 53A RPG 72A WG 155A GG 137A GG 139A
C1 RPG 63B PG N 79C GPG 186B GG 138B GG 137A
C4 RPG N 74A RPG 72A BG 202B GG 137A GG 137A
C5 RPG N 66A PG N 79C BG 202B GG 137B GG 137A
C8 RPG N 66B PG N 79C GG 201D GG 139A GG 139A
C9 RPG N 66A RPG 61A GPG N 187B GG 138B GG 137A
RG 53B/ GG 138B
C10 RPG 59A GPG N 187D GG 137A
RPG N 66A PG N 79C
C12 RPG N 74A RPG 61A GG 201B GG 138A GG 139A
C14 RPG N 57A RPG 59A GPG N 187C GG 137A GG 137A
C15 RPG N 74A PG N 79C GG 201A GG 138 A GG 137A
C16 RPG N 74A PG N 79C GWG 156B GG 138B GG 137A
D6 RG 52C RG 53C GYG 161A GG 137A GG 139A
E1 RPG 58C RPG 61B GWG 159B GG 137A GG 137A
E2 RPG N 66A RPG 71A PG N 77B GG 137A GG 137A
E3 RPG N 66A RPG 61A GWG 156B GG 138B GG 137A
E4 RPG N 57C RPG 61A BG 202C GG 138B GG 137A
E6 RPG N 74A RPG 72A GG 201A GG 138A GG 137A
RPG 67A/ RPG 70A/
SK11_1 BG 202B GG 137A GG 138A
RPG 61B WG 155C
Keterangan: RG = Red Group, PG = Purple Grup, RPG = Red Purple Group,GPG = Greyed Purple Group,
WG = White Group, GWG 159 = Green White Group, GWG 156 = Greyed White Group, GG
= Grey Group, BG = Black Group, GYG = Greyed Yellow Group
Sumber : Data primer (2015).

Hasil uji lanjut karakter tinggi tanaman menunjukkan bahwa ke-18 genotip terbagi menjadi
tiga kelompok. Kelompok I hanya ada satu genotip, E4 dengan rata-rata tinggi 47,22 cm. Kelompok II
terdiri dari sembilan genotip dengan kisaran tinggi 30,81 cm 33,86 cm, sedangkan kelompok III
terdiri dari delapan genotip dengan kisaran tinggi 25,10 cm 29,80 cm. Seluruh genotip dengan
kisaran tinggi yang dimiliki sudah sesuai dijadikan tanaman hias taman. Karakter ini perlu
dikombinasikan dengan karakter-karakter yang lain untuk bisa dijadikan sebagai anyelir taman
harapan (Tabel 2.).
Berdasarkan penampilan diameter batang ke-18 genotip yang ditanam di lapangan terbagi
menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari lima genotip dengan rata-rata diameter batang antara
0,327 cm 0,360 cm. Kelompok II terdiri dari sepuluh genotip dengan rata-rata diameter batang
berkisar antara 0,290cm 0,317 cm, sedangkan kelompok III terdiri dari tiga genotip dengan rata-rata
diameter batang sebesar 0,283 cm (Tabel 2.).

185
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Hasil uji lanjut karakter tinggi tanaman (Ttan), diameter batang (DBt), panjang daun (PDn)
dan lebar daun (LDn)
Karakter
No. Genotip
T Tan D Bt P Dn L Dn
1. B5 29,800 c 0,297 b 8,290 a 0,967 b
2. C1 27,890 c 0,313 b 8,143 a 0,990 b
3. C4 33,823 b 0,330 a 8,750 a 1,033 b
4. C5 33,867 b 0,340 a 8,610 a 0,967 b
5. C8 32,753 b 0,307 b 8,080 a 0,947 b
6. C9 31,900 b 0,360 a 8,543 a 1,097 b
7. C10 29,300 c 0,283 c 9,207 a 1,117 a
8. C12 30,810 b 0,297 b 7,667 b 0,960 b
9. C14 33,257 b 0,303 b 9,237 a 1,240 a
10. C15 32,767 b 0,327 a 7,763 b 0,830 b
11. C16 28,067 c 0,313 b 8,343 a 0,933 b
12. D6 28,897 c 0,317 b 8,847 a 1,307 a
13. E1 33,253 b 0,310 b 6,037 c 0,960 b
14. E2 25,100 c 0,283 c 8,607 a 1,077 b
15. E3 27,610 c 0,310 b 7,747 b 0,913 b
16. E4 47,223 a 0,283 c 9,007 a 1,233 a
17. E6 25,300 c 0,290 b 6,807 c 0,933 b
18. SK 11_1 31,267 b 0,327 a 9,073 a 1,310 a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
Scott-Knott pada taraf 5%
Sumber : Data primer (2015).

Genotip C10, B5 dan E4 memasuki masa inisiasi pembungaan berturut-turut 37,933; 35,267
dan 34,933 hari setelah tanam, tidak berbeda nyata dengan genotip E3 yang mulai muncul kuncup
bunga pada 32,733 hari setelah tanam. Genotip SK 11_1, C5, C8 dan E1 memasuki masa inisiasi
pembungaan hampir bersamaan, yaitu berturut-turut 23,333; 23,800; 24,200 dan 24,267 hari setelah
tanam. Genotip E6 paling cepat memasuki masa pembungaan, yaitu 20,267 hari setelah tanam (Tabel
3.).
Menurut Marwoto dkk. (1995) kecepatan pembungaan berhubungan dengan lamanya
akumulasi fotosintat yang dibutuhkan untuk mengubah status fisiologi dari fase vegetatif ke fase
generatif. Induksi pembungaan memerlukan ketersediaan energi yang cukup besar, dan setiap genotip
memiliki kemampuan mengakumulasi fotosintat yang berbeda yang dipengaruhi oleh faktor genetik.
Bila karakter umur inisiasi pembungaan dihubungkan dengan karakter tinggi tanaman,
panjang dan lebar daun, terlihat bahwa genotip-genotip SK 11_1, C5, C8 dan E1 yang memiliki tinggi
tanaman rendah, daun panjang dan lebar lebih mampu mengakumulasi fotosintat yang dipergunakan
untuk beralih dari masa pertumbuhan vegetatif ke generatif dibandingkan genotip lainnya.
Karakter jumlah cabang ke-18 genotip tidak berbeda nyata, jumlah cabang berkisar antara
5,003 7,330 cabang.
Penampilan rata-rata panjang daun terbagi menjadi tiga kelompok. Tiga belas genotip
tergabung dalam kelompok I dengan rata-rata panjang daun berkisar antara 8,08 cm 9, 24 cm.
Kelompok II terdiri dari tiga genotip dengan rata-rata panjang daun berkisar antara 7,67 cm 7,76 cm.
Kelompok III terdiri dari dua genotip dengan rata-rata panjang daun 6,04 cm 6,81 cm.
Penampilan rata-rata lebar daun terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok I terdiri dari lima
genotip dengan rata-rata lebar daun berkisar antara 1,15 cm 1,31 cm. Kelompok II terdiri dari 13
genotip dengan rata-rata lebar daun berkisar antara 0,83 cm 1,10 cm.
Penampilan rata-rata umur inisiasi berbunga terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I
dengan kisaran rata-rata umur inisiasi berbunga antar 32,73 hst 37,93 hst terdiri dari empat genotip.
Kelompok II terdiri dari sembilan genotip dengan rata-rata umur inisiasi berbunga berkisar antara
24,27 hst 29,13 hst. Kelompok III terdapat empat genotip dengan kisaran rata-rata umur inisiasi
berbunga antara 20,27 hst 24,20 hst (Tabel 3.).
Penampilan rata-rata umur bunga mekar terbagi menjadi empat kelompok. Kelompok I terdiri
dari tiga genotip dengan kisaran rata-rata umur bunga mekar antara 52,4 hst 56,4 hst. Kelompok II
terdiri dari satu genotip (E3) dengan rata-rata umur bunga mekar sebesar 48,73 hst. Dua belas genotip

186
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

tergabung dalam kelompok III dengan kisaran rata-rata umur bunga mekar antara 40,93 hst 45,87
hst. Kelompok IV terdiri dari dua genotip, E6 dan SK 11_1 dengan rata-rata kelompok sebesar 35,2
hst.
Penampilan rata-rata diameter bunga ke-18 genotip terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok
I terdiri dari dua genotip (B5 dan D6) dengan rata-rata diameter bunga kelompok sebesar 4,185 cm.
Kelompok II terdiri dari delapan genotip dengan kisaran rata-rata diameter bunga antara 3,74 cm
3,94 cm. Ddelapan genotip tergabung dalam kelompok III dengan kisaran rata-rata diameter bunga
antara 3,44 cm 3,66 cm.
Jumlah putik 18 genotip yang dikaji beragam, genotip C8, C9, C15, B5 dan SK 11_1 memiliki
putik 2 buah. Bunga 13 genotip lainnya memiliki putik 2 dan/atau 3 buah per tanaman. Genotip B5
dan SK 11_1 memiliki anther terbanyak, 10,38 dan 10,00 buah, sedangkan genotip C15 hanya
memiliki 0,200 anther. Jumlah ini menunjukkan bahwa bunga-bunga genotip C15 ada yang memiliki
anther dan ada yang yang tidak beranther.
Penampilan lama kesegaran bunga terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari
lima genotip dengan rata-rata lama kesegaran bunga berkisar antara 8,80 hari 9,67 hari. Kelompok II
terdiri dari 12 genotip dengan rata-rata lama kesegaran bunga berkisar antara 7,40 hari 8,13 hari. SK
11_1 termasuk kelompok III dengan rata-rata lama kesegaran bunga sebesar 6,50 hari.
Tabel 3. Hasil uji lanjut karakter umur inisiasi bunga (UIB), umur bunga mekar (UBM), diameter
bunga (DB), lama kesegaran bunga (LKB) dan jumlah bunga mekar per satu waktu (JBMW)
Karakter
No. Genotip
UIB UBM DB LKB JBMW
1. B5 35,267 a 53,867 a 4,190 a 9,267 a 2,890 e
2. C1 27,933 b 44,667 c 3,940 b 7,533 b 1,600 h
3. C4 27,733 b 45,867 c 3,830 b 8,867 a 2,600 f
4. C5 23,800 c 41,733 c 3,943 b 7,600 b 3,933 d
5. C8 24,200 c 41,000 c 3,660 c 7,733 b 6,600 a
6. C9 27,733 b 42,267 c 3,770 b 7,400 b 3,067 e
7. C10 37,933 a 56,400 a 3,743 b 8,800 a 2,600 f
8. C12 27,533 b 44,467 c 3,827 b 8,133 b 4,600 b
9. C14 25,600 b 42,533 c 3,920 b 8,000 b 2,933 e
10. C15 29,133 b 45,733 c 3,663 c 8,067 b 2,867 e
11. C16 28,267 b 45,267 c 3,580 c 8,000 b 4,800 b
12. D6 26,733 b 42,733 c 4,180 a 7,533 b 3,667 d
13. E1 24,267 c 40,933 c 3,440 c 7,533 b 3,733 d
14. E2 28,067 b 42,733 c 3,500 c 8,133 b 4,267 c
15. E3 32,733 a 48,733 b 3,803 b 8,067 b 2,867 e
16. E4 34,933 a 52,400 a 3,657 c 9,667 a 3,867 d
17. E6 20,267 c 37,067 d 3,440 c 9,067 a 4,533 b
18. SK11_1 23,333 c 33,333 d 3,457 c 6,500 c 2,333 g
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Scott-Knott pada taraf 5%
Sumber : Data primer (2015).

Karakter lama kesegaran bunga adalah salah satu karakter yang menentukan nilai ekonomi
tanaman hias tersebut. Variasi lama kesegaran bunga antar genotipe berhubungan dengan variasi
akumulasi karbohidrat sejak genotip tersebut mampu menghasilkan daun berlebih (Mehmood et al.,
2014). Daun adalah unit fungsional penting untuk fotosintesis yang berpengaruh besar terhadap
pertumbuhan dan hasil bunga bagi beberapa tanaman. Jumlah daun berlebih dengan kandungan
klorofil tinggi meningkatkan fotosintesis dan karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber energi
untuk menumbuhkan pentul bunga, bunga mekar dan ketahanan kesegaran bunga (Tarannum dan
Hemla Naik, 2014).
Penampilan rata-rata jumlah bunga mekar per satu waktu terbagi menjadi delapan kelompok
dengan rentang rata-rata kelompok antara 1,6 kuntum sampai dengan 6,6 kuntum bunga.
Genotip C5 memiliki perpaduan enam karakter unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu
tanaman kokoh, daun panjang dan lebar, umur genjah dan diameter bunga cukup besar. Genotip B5
dan E6 memiliki empat karakter unggul sebagai tanaman hias taman, yaitu tanaman pendek, umur
genjah, kesegaran bunga bertahan lama, jumlah bunga mekar per satu waktu cukup banyak. Genotip

187
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

C8, C4, C10, C14, E1, D6 dan E4 masing-masing memiliki tiga karakter unggul sebagai tanaman hias
taman. Genotip-genotip tersebut dapat dijadikan sebagai genotip anyelir taman harapan

C4 C5 C8

C10 C16

B5 D6

E1 E4 E6
Gambar 1. Tanaman dan bunga sepuluh genotip potensial sebagaitanaman hias tipe taman

Bila dicermati hasil pengamatan karakter-karakter kuantitatif populasi di rumah serre dan
populasi di lapang terdapat perbedaan. Karakter tinggi tanaman 18 genotip yang ditanam di lapang
lebih rendah bila dibandingkan tinggi 18 genotip tersebut saat ditanam di rumah serre. Diameter
batang populasi yang ditanam di lapang sebagian juga menjadi lebih kecil. Karakter jumlah cabang
genotip yang di luar rumah serre lebih sedikit dibanding genotip yang di rumah lindung. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hanzel et al. (1955) bahwa peningkatan temperatur menghasilkan
pertumbuhan vegetatif yang cepat, penambahan pasangan daun sebelum masa inisiasi pembungaan,
ruas batang yang lebih pendek, batang tanaman yang lebih lemah dan pengurangan jumlah cabang
(Office of The Gene Technology Regulator, 2015).

KESIMPULAN DAN SARAN


1. Sebagian besar genotip uji memiliki kombinasi karakter yang sesuai dengan karakter anyelir
taman, yaitu tanaman pendek, diameter batang besar, genjah, bunga bertahan lama dan jumlah
bunga mekar/waktu banyak

188
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2. Genotip B5, C4, C5, C8, C10, C16, D6, E1, E4 dan E6 potensial dijadikan sebagai tanaman hias
tipe taman.
3. Perlu dilakukan pengujian penampilan anyelir interspesifik di daerah dataran rendah atau
menengah, sehingga anyelir interspesifik sebagai tanaman hias taman dapat dimanfaatkan di
daerah-daerah dengan berbagai ketinggian tempat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepeda Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian yang telah membiayai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Demmink, J. F. 1978. Interspesific crosses in carnation In Quagliotti, L. and A. Balldi (Eds.). Genetic
and breeding of carnation and gerbera. Institute of Plant Breeding and Seed Production.
Turin, Italy. 289 p.
Hardjoko, B. 1999. Anyelir dalam Supari Dh. (Ed.) Seri Praktek Ciputri Hijau : Tuntunan
Membangun Agribisnis. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. p. 219-234.
Jawaharlal, M., Ganga, M., Padmadevi, K., Jegadeeswari, V. Dan Karthikeyan, S. 2010. A Technical
guide on carnation. Department of Floriculture and Landscaping, Horticultural College
and Research Institute. Tamil Nadu Agricultural University, Coimbatore.
Kato, J., Ohashi, H., Ikeda, M., Fujii, N., Ishikawa, R., Horaguchi H., Amano, J., Hayashi, M., dan
Mii, M. 2008. Unreduced gametes are the major causal factor for the production of
polyploid interspecific hybrids in Primula. Plant Biotechnology 25 : 521 528
Marwoto, B., T. Sutater, Lia S dan E. Setyawati. !995. Characterization and selection of
chrysanthemum result crosses of selected cultivars. Progres Report I. Program Biobrees.
Balai Penelitian Tanaman Hias. Jakarta.
Mehmood, M. A., M. S. A. Khan and Ahmad, N. 2014. Growth, Yield and Quality (Dianthus
caryophyllus L.) cultivars under lath house conditions. Journal of Ornamental Plants 4
(1) : 27 32.
Mii, M., M. Buiatti dan F. Gimelli. 1990. Carnation In P. V. Ammirato, D. R. Evans, W. R. Sharp dan
Y. P. S. Bajaj (Eds.). Handbook of Plant Cell Culture, Volume 5, Ornamental Species.
McGraw-Hill, Inc. The United States of America. p. 284 318
Nurmalinda, S. Kartikaningrum, N. Q. Hayati dan D. Widyastoety. 2011. Preferensi konsumen
terhadap anggrek phalaenopsis, vanda dan dendrobium. J. Hort. 21 (4) : 372 384.
Office of The Gene Technology Regulator. 2015. The biology of Dianthus caryophyllus L.
(Carnation). Department of Health & Ageing. Australian Government. 27 p.
Tarannum, M. S. And B. Hemla Naik. 2014. Performance of carnation (Dianthuscaryophyllus L.)
genotypes for qualitative and quantitative parameters to assess genetic variability among
genotypes. American International Journal of Research in Pormal, Applied and Natural
Sciences 5 (1) : 96 101.

189
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAMPAK PENGGUNAAN PUPUK KANDANG TERHADAP EFISIENSI TEKNIS


USAHATANI CABAI RAWIT DI KABUPATEN BULELENG-BALI
IMPACT OF MANURE ADDITION TO TECHNICAL EFFICIENCY OF CAYENNE FARMING
IN BULELENG REGENCY-BALI
Jemmy Rinaldi, Ida Bagus Gede Suryawan dan Ni Putu Suratmini
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar-Bali
e-mail: jemmy_rinaldi@yahoo.com

ABSTRAK
Cabai rawit merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi
tinggi.Namun produksi yang dihasilkan petani relatif rendah sehingga dapat dikategorikan tidak
efisien secara teknis.Salah satu teknologi untuk meningkatkan produksi cabai rawit yaitu penggunaan
pupuk kandang.Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi cabai rawit, dan (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi
cabai rawit. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali pada bulan Nopember-
Desamber 2015 dengan pertimbangan kabupaten tersebut merupakan daerah pengembangan kawasan
agribisnis cabai rawit dan salah satu sentra cabai rawit di Bali. Jenis data yang dikumpulkan adalah
data primer yang diperoleh dengan metode survei menggunakan kuesioner.Responden dalam kajian ini
sebanyak 20 orang petani cabai rawit yang terbagi menjadi 8 orang petani yang menerapkan teknologi
penggunaan pupuk kandang dan 12 orang yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk
kandang. Data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan stochastic frontier menggunakan alat
analisis frontier 4.1.Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh positif terhadap
peningkatan produksi cabai rawit adalahpenggunaan pupuk ZA, curahan tenaga kerja dan penggunaan
benih.Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif adalah penggunaan pupuk Urea.Faktor yang
mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit tidak ada. Petani yang menerapkan teknologi
penggunaan pupuk kandang berada pada kategori efisien secara teknis, sedangkan yang tidak
menerapkan berada pada kategori tidak efisien secara teknis.
Kata kunci : cabai rawit, efisiensi, produksi, stochastic frontier

ABSTRACT
Hot chili is one commodity of horticulture that has high economic values, however, the production
gained by farmer were relatively low,therefore, it can be categorized technically inefficient. One of the
technologies which can improve production is the utilization of cow manure as organic fertilizer. This
study was aimed to (1) analyze factors that affect hot chili production, and (2) analyze factors that
affect hot chili production inefficiency. This study was conducted in Buleleng during November and
December 2015 since this Regency is one of the agribusiness development centers for hot chili in Bali.
Data collected were primary data from survey method using questioner. There were 20 farmers
assigned as respondent that were divided into 2 groups, one group of 8 farmers who applied manure
fertilizer, and another group of 12 farmers who did not apply manure fertilizer. Data collected were
analyzed with stochastic frontier approach using frontier 4.1 analysis tool. Results showed that factors
that positively affect production improvement of hot chili were the utilization of ZA fertilizer,
employment of labors, and seed utilization, whereas factor that negatively affects was the utilization of
Urea fertilizer. There was not any factor affecting inefficiency of hot chili production. Technology
applied using manure fertilizer was technically at the efficient category, otherwisetechnology applied
without manure fertilizer was technically at inefficient category.
Key words: hot chili, efficiency, production, stochastic frontier

190
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan
permintaan pasar yang tinggi. Kontribusi sub sektor hortikultura terhadap pembangunan sektor
pertanian dari tahun ke tahun cenderung meningkat yang ditandai dengan peningkatan beberapa
indikator makro seperti produk domestik bruto (PDB), volume ekspor, penyerapan tenaga kerja dan
nilai tukar petani (NTP) (Litbang Pertanian, 2012).
Komoditas cabai termasuk komoditas utama atau unggulan hortikultura nasional disamping
bawang merah, kentang, mangga, manggis, jeruk, salak, jambu biji kristal, anggrek dan krisan. Cabai
merupakan komoditas pertanian yang merakyat karena dibutuhkan oleh hampir seluruh lapisan
masyarakat, dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari karena hampir semua jenis
masakan menggunakan bumbu cabai, sehingga volume peredarannya di pasaran sangat besar. Harga
komoditas cabai cukup menarik untuk diamati, dimana harga dipasar sangat berfluktuatif dimana pada
waktu tertentu (perubahan musim dan hari raya) harga cabai dapat melonjak tajam dan pada waktu
tertentu pada waktu produksi melimpah harga drastis turun (Setiadi, 2002). Produksi cabai di
Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional sehingga impor cabe masih diperlukan
sekitar 16.000 ton per tahun, rataan produksi cabai nasional baru mencapai sekitar 4,35 t/ha,
sedangkan potensinya dapat mencapai 10 20 t/ha (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2010).
Berbagai kendala yang dihadapi dalam agribisnis cabai yang salah satunya adalah penerapan
teknologi budidaya belum optimal yang menyebabkan produksi cabai kurang maksimal. Upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi beberapa kendala terutama pada budidaya tanaman dilakukan dengan
menerapkan teknologi budidaya rendah input kimia dan teknologi budidaya konservasi yang
diimplementasikan pada Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) cabai. Pengelolaan Tanaman Terpadu
merupakan suatu pendekatan budidaya tanaman yang berdasarkan pada keseimbangan ekonomi dan
ekologi, dengan tujuan utamanya adalah meraih keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan,
antara proses alami dan teknologi, dengan selalu mengingat keberlanjutan dari usahatani tersebut
(Setiawati, 2010).
Bali merupakan daerah pengahasil cabai terutama cabai rawit, karena lebih diminati
masyarakatnya dibandingkan cabai besar dan cabai keriting. Produksi cabe rawit segar dengan tangkai
tahun 2012 di Bali sebesar 16,04 ribu ton dengan luas panen sebesar 3,36 ribu hektar, dan rata-rata
produktivitasnya 4,78 ton per hektar. Dibandingkan tahun 2011, terjadi penurunan produksi sebesar
1.02 ribu ton (-5,95 %). Penurunan ini disebabkan penurunan produktivitas sebesar 0,82 t/ha (-
14,70%) (Pusdatin, 2014). Produktivitas cabai relatif masih rendah yang disebabkan oleh karena
adanya serangan hama penyakit dan penerapan teknologi budidaya yang belum maksimal. Salah satu
teknologi yang dapat meningkatkan produksi cabai ditingkat petani adalah penggunaan pupuk
kandang/organik. Salah satu daerah yang dijadikan kawasan pengembangan cabai terutama cabai rawit
d Bali yaitu kabupaten Buleleng. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi cabai rawitdi kabupaten Buleleng, Bali, dan (2)
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit di Kabupaten
Buleleng, Bali.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bontihing, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten
Buleleng, Provinsi Bali pada bulan Nopember-Desember 2015. Penentuan lokasi secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan: (1) Buleleng merupakan daerah pengembangan kawasan agribisnis
cabai rawitdi Bali, dan (2) Buleleng merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit di Bali.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu data dalam bentuk
angka-angka, bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara
wawancara langsung dengan responden/petani cabai rawit menggunakan kuesioner. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait serta hasil penelitian yang berkaitan langsung dengan
topik penelitian.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara pengambilan contoh acak kelompok
(stratified random sampling) yaitu kelompok yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang
dan tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang. Sampel petani yang akan dijadikan
contoh sebanyak 20responden yaitu kelompok petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk
kandang sebanyak 8 responden dan kelompok petani yang tidak menerapkan teknologi penggunaan
pupuk kandang sebanyak 12 responden. Metode analisis yang digunakan adalah model ekonometrika
191
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

untuk menduga hubungan antar variabel tak bebas dari suatu fungsi produksi dalam usahatani cabai
rawit. Beberapa faktor yang mendasari pemilihan suatu model adalah: (1) tingkat kesesuaian dan
kecocokan model (goodness of fit), (2) layak tidaknya parameter dugaan, dan (3) hasil pengujian (uji t)
parameter dugaan (Koutsoyiannis, 1977; Intriligator,1978).
Analisis produksi menggunakan model fungsi produksi Stochastic Frontier Cobb-Douglas.
Adapun model penduga fungsi produksi,dilakukan pada kedua kelompok responden yang menerapkan
teknologi penggunaan pupuk kandang dan tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang
adalah sebagai berikut:

LnY = Ln0 + 1LnX1 + 2LnX2 + 3LnX3 + 4LnX4 + 5LnX5 + 6LnX6 +vi - ui.. (1)
dimana:
Y = Produksi cabai rawit(kg)
0 = Konstanta
X1 = Luas lahan (ha)
X2 = Benih (gram)
X3 = Pupuk Kandang (kg)
X4 = Pupuk Urea (kg)
X5 = Pupuk ZA (kg)
X6 = Tenaga Kerja (HOK)
vi- ui = Error term (ui) efek inefisiensi teknis model
i = Koefisien parameter penduga, dimana i = 1,2,3, n

Nilai koefisien yang diharapkan : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7> 0. Sedangkan penentu nilai parameter


distribusi efek inefisiensi teknis pada penelitian ini dibangun dengan model sebagai berikut:
ui = 0 + 1Z1+ 2Z2+ 3Z3+ 4 Z4+ 5Z5+ 6Z6+ w1it ........... (2)
dimana:
ui = Efek inefisiensi teknis
0 = Konstanta
Z1 = Status Lahan(1= milih sendiri, dan 2= menyakap)
Z2 = Umur (tahun)
Z3 = Pengalaman usahatani cabai rawit (tahun)
Z4 = Jumlah anggota keluarga (persil)
Z5 = Dummy pupuk kandang (1= menggunakan, dan 0 = tidak menggunakan)
wit =Error term
i = Koefisien parameter penduga, dimana i = 1,2,3, n

Nilai koefisien yang diharapkan adalah : 1, 2, 3, 4, 5, 6< 0. Agar diperoleh persamaan fungsi
produksi potensial maka dilakukan estimasi terhadap fungsi produksi frontier usahatani cabai
rawit.Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi frontier stokastik (stochastic frontier production
function) untuk menganalisis efisiensi.Model frontier seperti translog model dapat diestimasi dengan
menggunakan MLE (Maximum Likelihood Estimastion).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Faktor Produksi Cabai Rawit di Kabupaten Buleleng
Hasil pendugaan dengan model stochastic frontier menggambarkan kinerja terbaik (best
practice) dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada.Pendugaan dilakukan dengan metode
Maximum LikelihoodEstimate (MLE). Dari enam variabel yang diduga relevan, variabel-variabel yang
nyata berpengaruh terhadap produksi petani responden adalah: luas lahan, penggunaan benih,
penggunaan pupuk ZA dan tenaga kerja. Luas lahan dan penggunaan pupuk ZA berpengaruh nyata
pada taraf sebesar 1%.Luas lahan berpengaruh negatif terhadap produksi, sedangkan penggunaan
pupuk ZA berpengaruh positif terhadap produksi.Curahan tenaga kerja berpengaruh nyata pada taraf
sebesar 5% dan berpengaruh positif terhadap produksi.Sedangkan penggunaan benih berpengaruh
nyata pada taraf sebesar 10% dan berpengaruh positif terhadap produksi.Penggunaan pupuk kandang
dan pupuk Urea tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai rawit.Tetapi jika dilihat dari nilai t-
ratio pupuk kandang mendekati berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi cabai rawit yang

192
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

bernilai positif.Sedangkan penggunaan pupuk urea dilihat dari nilai t-ratio bernilai negatif, yang
artinya penggunaan tersebut dapat mengurangi produksi cabai rawit (Tabel 1).
Tabel 1. Pendugaan fungsi produksi dengan metode maksimum likelihood estimatepada usahatani
cabai rawit di kabupaten Buleleng, Bali tahun 2015
Parameter Variabel Koefisien Standard-error t-ratio
0 Konstanta -2.43417 0.84446 -2.88251
1 Luas Lahan -0.67694 0.24828 -2.72654 ***
2 Benih 0.52800 0.36302 1.45447 *
3 Pupuk Kandang 0.01601 0.01254 1.27653
4 Pupuk Urea -0.03284 0.09084 -0.36157
5 Pupuk ZA 0.35060 0.09372 3.74108 ***
6 Tenaga Kerja 1.13194 0.54147 2.09049 **
Sumber: Data Primer (2015)
Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 10%
** = berpengaruh nyata pada taraf 5%
*** = berpengaruh nyata pada taraf 1%

Hasil pendugaan dari luas lahan usahatani cabai rawit yang digarap petani diperoleh nilai
koefisien sebesar -0,68. Angka ini menunjukkan bahwa penambahan sebesar 1 persen luas lahan yang
digarap (dimana input lainnya tetap), dapat mengurangi produksi cabai rawit sebesar 0,68 persen.
Implikasinya adalah jika petani ingin meningkatkan produksi cabai rawit, maka luas lahan tidak perlu
ditingkatkan. Hal ini disebabkan kesulitan petani dalam memelihara dan mengendalikan hama
penyakit pada usahatani cabai rawit, karena jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani
relatif sedikit. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa luas lahan
berpengaruh nyata dan bernilai positif terhadap produksi cabai (Saptana et al., 2010; Susanti, 2014;
dan Harahap 2013). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak luas lahan yang diusahakan petani
dalam melakukan usahatani cabai merah besar mampu meningkatkan produksi karena petani lebih
semangat dalam memelihara tanamannya.
Jumlah penggunaan pupuk ZA diduga berpengaruh nyata dengan nilai koefisien diperoleh
sebesar 0,35. Angka ini menunjukkan bahwa setiap penambahan sebesar 1 persen penggunaan pupuk
ZA, maka akan meningkatkan produksi cabai rawit sebesar 0,35 persen. Artinya, jika petani
menambahkan penggunaan pupuk ZA, maka produksi cabai rawit akan semakin meningkat dan
pendapatan petani dari komoditas cabai rawit akan semakin bertambah. Implikasinya adalah, jika
petani ingin meningkatkan produksi cabai rawit maka perlu dilakukan penambahan penggunaan pupuk
ZA pada usahatani cabai rawit.
Curahan tenaga kerja diduga berpengaruh nyata dengan nilai koefisien sebesar 1,13. Artinya,
setiap penambahan 1 persen curahan tenaga kerja pada usahatani cabai rawit, dapat meningkatkan
produksi cabai rawit sebesar 1,13 persen.Implikasinya jika petani ingin meningkatan produksi cabai
rawit, maka penggunaan curahan tenaga kerja memang perlu ditingkatkan terutama pemeliharaan
tanaman dan pengendalian hama penyakit pada tanaman cabai rawit. Tenaga kerja paling responsif
dibandingkan variabel lainnya karena memiliki koefisien yang paling besar. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan tenaga kerja berpengaruh nyata positif, yang artinya
setiap penambahan satu satuan tenaga kerja yang dicurahkan akan menambah peningkatan produksi
cabai rawit (Harahap, 2013; Susanti, 2014 dan Fitri, 2016). Akan tetapitidak sejalan dengan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa input tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai
rawittetapi bernilai positif (Saptana et al., 2010)
Sedangkan variabel lain yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai rawit adalah
penggunaan pupuk urea dengan nilai koefisien negatif. Artinya penggunaan pupuk Urea secara tidak
nyata dapat mengurangi produksi cabai rawit.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa penggunaan pupuk N berpengaruh nyata mengurangi produksi cabai merah dengan tingkat
kepercayaan 95 persen (Saptana et al., 2010).
Jumlah penggunaan benih berpengaruh nyata dengan nilai koefisien sebesar 0,53. Artinya
penambahan sebesar 1 persen benih dimana input lain tetap, dapat meningkatkan produksi sebesar
0,53 persen. Implikasinya adalah jika petani ingin meningkatkan produksi cabai rawit, maka
penggunaan benih pada saat persemaianperlu ditingkatkan jumlahnya, tidak sebatas kebutuhan luasan
yang akan diusahakan.Sebab, ketika tanaman hasil persemaian dipindahkan ke lahan pertanaman ada

193
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

kemungkinan mati karena tidak dapat beradaptasi.Oleh karena itu kelebihan benih yang disemai dapat
menggantikan tanaman yang mati setelah dipindah ke lahan tanam atau melakukan
penyulaman.Sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan benih berpengaruh
nyata terhadap peningkatan produksi cabai (Harahap, 2013 dan Susanti, 2014).
Sedangkan variabel input pupuk kandang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai
rawit. Sejalan dengan hasil tersebut, Susanti (2014) juga memperoleh hasil yang sama yaitu pupuk
kandang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi cabai. Begitu juga hasil penelitian Merismon
(2014), menyatakan bahwa penggunaan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan produksi cabai
merah. Hal ini diduga bahwa penggunaan input pupuk kandang yang diberikan pada usahatani cabai
rawit di Desa Bontihing belum sepenuhnya dapat langsung meningkatkan produksi cabai rawit karena
penggunaannya baru dilakukan selama satu tahun. Berbeda dengan hasil penelitian Saptana et al
(2010), menyatakan bahwa pupuk kandang berpengaruh positif terhadap produksi cabai merah besar
dengan tingkat kepercayaan 99 persen.
Faktor Inefisiensi Produksi Cabai Rawit di Kabupaten Buleleng
Fungsi inefisiensi teknis dalam penelitian ini digunakan lima variabel yang diduga
mempengaruhi inefisiensi produksi cabai rawit. Dari kelima variabel inefisiensi teknis yang diamati,
tidak ada variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi produksi cabai rawit. Artinya dari
kelima variabel tersebut tidak ada faktor yang dapat meningkatkan inefisiensi prroduksi cabai rawit.
Hal ini diduga kelima variabel tersebut sama-sama berperan terhadap peningkatan produksi. Nilai
indeks efisiensi teknis hasil analisis dikategorikan efisien karena menghasilkan nilai yang lebih besar
dari 0,70 sebagai batas efisiensi (Coelli, 1998). Hal ini dikarenakan Kabupaten Buleleng merupakan
salah satu sentra produksi cabai rawit di Provinsi Bali sehingga menghasilkan efisiensi rata-rata
sebesar 75,17 persen (Tabel 2).
Tabel 2. Pendugaan fungsi inefisiensi produksi cabai rawit dengan frontier di desa
Bontihing,kecamatan Kubutambahan, kabupaten Buleleng, Bali tahun 2015
Parameter Variabel Koefisien Standard-error t-ratio
ns
0 Konstanta 0.08883 0.99359 0.08940
ns
1 Status Lahan -0.36538 0.97825 -0.37350
ns
2 Umur 0.04576 0.03740 1.22340
ns
3 Pengalaman usaha -0.12275 0.20367 -0.60267
ns
4 Jumlah Anggota Keluarga -0.32063 0.85396 -0.37546
ns
5 Dummy Pupuk Kandang -0.09235 0.30666 -0.30114
mean efficiency 0.75168
Sumber: Data primer (2015)
Keterangan: * = berpengaruh nyata pada taraf 10%
** = berpengaruh nyata pada taraf 5%
*** = berpengaruh nyata pada taraf 1%

Berdasarkan sebaran tingkat efisiensi teknis usahatani cabai rawit menggunakan pupuk
kandang lebih efisien dibandingkan dengan tanpa pupuk kandang .Hal ini ditunjukkan bahwa petani
yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dalam usahatani cabai rawit memiliki nilai
rata-rata efisiensi sebesar 0,860 yang lebih besar dibandingkan nilai rata-rata efisiensi petani yang
tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang yaitu sebesar 0,680. Berdasarkan nilai rata-
rata efisiensi kedua kelompok tersebut, maka dapat dikatakan usahatani cabai rawit dengan
menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang dikatakan efisien secara teknis dengan nilai
efisiensi > 0,70. Sedangkan usahatani cabai rawit yang diusahakan dengan tidak menerapkan teknologi
penggunaan pupuk kandang dianggap tidak efisien secara teknis dengan nilai efisiensi rata-rata < 0,70
(Tabel 3).

194
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis cabai rawit berdasarkan status penggunaan
pupuk kandang di kabupaten Buleleng, Bali tahun 2015
Status Penggunaan Pupuk Kandang
No. Tingkat Efisiensi
Memakai % Tidak Memakai %
1. < 0,50 0 0.00 2 16.67
2. 0,50 - 0,69 2 25.00 4 33.33
3. 0,70 - 0,90 2 25.00 3 25.00
4. > 0,90 4 50.00 3 25.00
Total 8 100,00 12 100,00
Efisiensi rata-rata 0,860 0,680
Sumber: Data Primer (2015)

Memakai Pupuk Series1; 5; Tidak


Series1;Memakai Pupuk KandangSeries1; 7;
2; Kandang
1;
Series1; Series1; 8; 0,96151 0,99936
Series1; 1; 0,94610
Series1; 4; Series1; 2;
0,97846 Series1; 0,86954
6; Series1; 9;
0,99940 0,98429 0,91409 0,84242
0,74145 Series1; 3;
Tingkat Efisiensi Teknis

Series1; 12;
Series1; 3; 0,77921

Tingkat Efisiesi Teknis


0,71141
0,67414 Series1; 7;
0,68296
Series1; 4; Series1; 6; Series1; 8; Series1; 11;
0,61351 0,61691 0,51279
0,50775 Series1; 10;
0,42734

Series1; 5;
0,27087

Gambar 1. Sebaran tingkat efisiensi teknis usahatani cabai rawit


dikabupaten Buleleng, Bali tahun 2015

Sebaran petani yang menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang sebagian besar atau
sebesar 75 persen berada pada posisi efisien secara teknis. Sedangkan 25 persen masih berada pada
tingkat efisiensi diatas 0,50. Lain halnya pada petani yang tidak menerapkan teknologi penggunaan
pupuk kandang yaitu 50 persen petani berada pada kondisi ushatani yang efisiensi secara teknis, tetapi
50 persen berada pada kondisi tidak efisien secara teknis dan bahkan berada pada tingkat efisiensi
dibawah 0,50. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang mampu meningkatkan
efisiensi teknis usahatani cabai rawit di kabupaten Buleleng (Tabel 3 dan Gambar 1).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Faktor yang mempengaruhi produksi dan berpengaruh positif adalah penggunaan pupuk ZA,
curahan tenaga kerja dan penggunan benih. Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif yaitu luas
lahan.
2. Faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi tidak ada. Tingkat efisiensi teknis yang
menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang lebih besar dibandingkan tingkat efisiensi
produksi yang tidak menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandang.

Saran
Peningkatkan produksi dari usahatani cabai rawit di Kabupaten Buleleng dapat dilakukan
dengan beberapa kegiatan yaitu:
1. petanidiharapkan dapat meningkatkan curahan tenaga kerja dalam pemeliharaan tanaman cabai
rawit seperti melakukan penyiangan agar pertumbuhan tanaman baik dan mengurangi serangan
hama dan penyakit.
2. petanidiharapkan menerapkan teknologi penggunaan pupuk kandangdalam berusahatani cabai
rawit agar produksi meningkat dan tingkat efisiensi teknisnya juga meningkat.

195
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

3. Pemerintah daerah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan
memfasilitasi petani dalam usahatani cabai rawit, terutama penyediaan pupuk kandang untuk
usahatani cabai rawit serta mendiseminasikan teknologi penggunaan pupuk kandangagar produksi
dan pendapatan petani meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Coelli, T., D. S. P. Rao and G. E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity
Analysis. Kluwer Academic Publishers, Boston.
Direktur Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2010. Statistik Hortikultura tahun 2010. Dirjen
Hortikultura , Departemen Pertanian, Jakarta 125 hal.
Fitri M. 2016. Analisis Efisiensi Tenaga Kerja Usahatani Cabai Rawitdi Kelurahan Guntung Tinggi
Kecamatan BatulicinKabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan.Jurnal
Ziraaah Volume 41 No. 1, Pebruari 2016:21-26.
Harahap F. 2013. Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Cabai di Kecamatan Sumowono
Kabupaten Semarang. Economics Development Analysis Journal Vol. 2 No. 4 (2013):
446-455.
Intriligator, M.D. 1978.Econometric Models, Techniques and Applications.Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs. New Jersey.
Pusdatin Pertanian. 2014. Statistik Pertanian (Agricultural Statistic) 2014. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Koutsoyiannis. 1977. Theory of Econometrics, second edition. The Macmillan Press Limited. United
Kingdom.
Litbang Pertanian. 2012. Panduan Umum Program Dukungan Pengembangan Kawasan Agribisnis
Hortikultura (PDPKAH).Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Merismon.2014. Pertumbuhan Hasil Cabai Besar (Capsicum annuum L.) di Tanah Gambut yang
Diberi Pupuk Kandang Kotoran Sapi.Prosiding seminar Nasional Lahan Suboptimal.
Palembang, 26-27 September 2014. Hlm:140-1 140-8.
Saptana, A. Daryanto, H.K. Daryanto dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi
Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petanu Menghadapi Risiko. Jurnal Agro
Ekonomi, Volume 28 No.2, Oktober 2010: 153-188.
Setiawati, W. 2010.Modul Pelatihan SL-PTT Cabai Merah Bawang Merah.Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Susanti. 2014. Efisiensi teknis Usahatani Cabai merah keriting di Kabupaten Bogor: Pendekatan
Stochastic Production Frontier. Thesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.IPB.

196
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EFISIENSI RANTAI PEMASARAN BAWANG MERAH DI BALI


THE EFFICIENCY OF THE MARKETING CHAIN OF SHALLOT IN BALI
Nyoman Ngurah Arya, I Ketut Mahaputra, dan Jemmy Rinaldi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Bali, 80222,Telp. (0361) 720498
e-mail: arya_ngurah66@yahoo.com

ABSTRAK
Kinerja pemasaran merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan suatu komoditas
pertanian.Efisiensi pemasaran sering digunakan untuk menilai kinerja pemasaran.Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi rantai pemasaran bawang merah dan menganalisis efisiensi masing-
masing rantai pemasaran yang ada. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli
dengan pertimbangan bahwa: 1) daerah tersebut sebagai sentra produksi bawang merah di Bali, dan 2)
sebagai lokasi Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Bawang Merah. Pengambilan data
dilakukan dengan dua metode, yakni: Focus Group Discussion (FGD) dan Survei. Metode FGD
dilakukan terhadap 10 orang petani yang berasal dari 10 kelompoktani yang ada di Kecamatan
Kintamani dan lima orang pedagang pengumpul yang ada di lokasi penelitian. Metode survei
dilakukan kepada 9 orang pedagang grosir dan 15 orang pedagang pengecer di pasar Kabupaten
Klungkung, Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Responden pedagang grosir dan pengecer
ditentukan dengan teknik snowball sampling. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif
kualitatif dan kuantitatif.Analisis kualitatif dilakukan terhadap rantai pemasaran, sedangkan analisis
kuantitatif dilakukan terhadap efisiensi pemasaran dengan pendekatan marjin pemasaran, farmer
share, dan rasio keuntungan atas biaya pemasaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa, terdapat dua
jenis rantai pemasaran bawang merah, yakni: pertama, rantai pemasaran yang melibatkan petani
pedagang pengumpul pedagang grosir pedagang pengecer konsumen dan kedua rantai pemasaran
yang melibatkan petani pedagang pengumpul pengecer konsumen. Kedua rantai pemasaran
tersebut cukup efisien, namun rantai pemasaran kedua lebih efisien daripada rantai pamasaran
pertama.
Kata kunci: bawang merah, Bali, efisiensi, pemasaran

ABSTRACT
Marketing performance is a very important aspect in the development of agricultural commodities.
Marketing efficiency is often used to assess marketing performance. This study aims to identify
marketing chain of shallot and analyze the efficiency of each marketing chain. The study was
conducted in the district of Kintamani, Bangli regency, Bali Province by considering: 1) the area as a
center production of shallot in Bali, and 2) as the location of Agribusiness Region Development
Program of Shallots. Data was collected by two methods, namely: Focus Group Discussion (FGD)
and Surveying. The method of FGD performed against 10 farmers from 10 farmers group that is in the
district of Kintamani and five village traders in the research sites. Survey method conducted to 9
wholesalers and 15 retailers in the market of Klungkung, Denpasar, and Tabanan city. Respondents of
wholesalers and retailers are determined by the snowball sampling. The data was analyzed by
descriptive qualitative and quantitative. Qualitative analysis was conducted on marketing chain, while
the quantitative analysis conducted on the marketing efficiency by marketing margin, farmer share,
and the ratio of profit on marketing costs. The results showed there are two types marketing chains,
namely: the first, marketing chain is involving farmers village traders - wholesalers - retailers
consumers and the second, marketing chain is involving: farmers village traders - retailers -
consumers. Both types of marketing chain are quite efficient, but the second type of marketing chain
more efficient than the first.
Keywords: shallot, Bali, efficiency, marketing

197
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Bawang merah (alium ascalonicum L.) merupakan tanaman sayuran yang memiliki nilai
ekonomis tinggi dan dapat dikembangkan di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi.Komoditas
ini selalu dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga, restoran, hotel, dan industri pengolahan makanan
sebagai pelengkap bumbu masak. Jumlah konsumsi bawang merah pada tahun 2012 sebesar 904 ribu
ton atau 2,48 kg/kap/th. Konsumsi bawang merah di dalam negeri hingga tahun 2019 dipekirakan
mengalami pertumbuhan sebesar 2,39%/th (Anonim, 2013). Peningkatan tersebut seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan msyarakat, dan pertumbuhan industri
pengolahan makanan.Kementerian Pertanian telah menetapkan bawang merah sebagai komoditas
unggulan nasional dan dimasukkan dalam program Pengembangan Kawasan Pertanian, seperti yang
tertuang dalam Permentan Nomor 50 Tahun 2012. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang
ditetapkan sebagai lokasi program tersebut, khususnya komoditas bawang merah.
Produktivitas bawang merah di Bali (rata-rata 11,75 t/ha/th) lebih tinggi daripada rata-rata
nasional (9,85 t/ha/th) dan tertinggi di antara seluruh provinsi penghasil bawang merah di Indonesia
(BPS, 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Bali, walaupun memiliki luas wilayah yang
relatif sempit dibandingkan provinsi lainnya, namun memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan bawang merah. Kabupaten Bangli, khususnya Kecamatan Kintamani, merupakan
daerah penghasil bawang merah terbesar di Bali. Kontribusinya terhadap total produksi bawang merah
di Bali rata rata 93,70% per tahun (BPS Provinsi Bali, 2015). Budidaya bawang merah telah
dilakukan oleh petani setempat secara turun-temurun, menggunakan jenis bawang merah lokal yang
telah berkembang di lokasi setempat sejak dahulu.Usahatani bawang merah dilakukan hampir
sepanjang tahun. Penanaman bawang merah paling luas terjadi pada bulan Juni/Juli (sasih kasa).
Seperti halnya komoditas hortikultura pada umumnya, bawang merah juga memiliki sifat yang
mudah rusak, oleh karenanya penyalurannya ke konsumen akhir perlu diatasi secara baik.Kinerja
pemasaran merupakan aspek yang sangat penting dalam pengembangan suatu komoditas
pertanian.Walaupun memiliki biaya produksi per unit cukup rendah suatu agribisnis belum tentu
berdaya saing tinggi jika biaya pemasaran yang dibutuhkan untuk menyampaikan produk kepada
konsumen sangat tinggi.Oleh karena itu upaya meningkatkan daya saing agribisnis seyogyanya tidak
hanya ditempuh melalui peningkatan efisiensi produksi untuk menekan biaya produksi per unit
produk, tetapi dilengkapi pula dengan upaya peningkatan efisiensi pemasaran dalam rangka menekan
biaya pemasaran dari petani kepada konsumen (Irawan, 2007).Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi rantai pemasaran bawang merah dan menganalisis efisiensi masing-masing rantai
pemasaran yang ada.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dengan pertimbangan
bahwa: 1) daerah tersebut sebagai sentra produksi bawang merah di Bali, dan 2) sebagai lokasi
Program Pengembangan Kawasan Agribisnis Bawang Merah. Penelitian dilakukan pada Bahan yang
digunakan adalah alat tulis-menulis dan kuisioner, Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan
skunder.Pengambilan data primer dilakukan dengan dua metode, yakni: Focus Group Discussion
(FGD) dan Survei. Metode FGD dilakukan terhadap 10 orang petani yang berasal dari 10
kelompoktani yang ada di Kecamatan Kintamani dan lima orang pedagang pengumpul yang ada di
lokasi penelitian. Metode survei dilakukan kepada 9 orang pedagang grosir dan 15 orang pedagang
pengecer di pasar Kabupaten Klungkung, Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Responden
pedagang grosir dan pengecer ditentukan dengan teknik snowball sampling.Pengambilan data terhadap
pegadang grosir dan pengecer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuisioner terstruktur.Data
skunder diperoleh dari dokumen-dokumen dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan materi
penelitian ini.
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.Analisis kualitatif
dilakukan terhadap rantai pemasaran, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap efisiensi
pemasaran dengan pendekatan margin pemasaran, farmer share, dan rasio keuntungan atas biaya
pemasaran.

198
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran sering digunakan sebagai indikator efisiensi pemasaran.Besarnya marjin
pemasaran bergantung pada panjang-pendeknya saluran pemasaran, aktivitas yang dilaksanakan, dan
keuntungan yang diharapkan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Jumiati et al., 2013).Marjin
pemasaran merupakan perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayarkan
konsumen, yang dirumuskan(Widiastuti dan Harisudin, 2013), sebagai berikut:
Mp = Pr Pf (1)
Marjin pada setiap lembaga pemasaran merupakan selisih antara harga jual dan harga beli pada setiap
lembaga pemasaran, yang secara matematis diformulasikan sebagai berikut:
Mpi = Ps Pb .. (2)
Marjin pemasaran terdiri atas dua komponen, yakni: komponen biaya dan keuntungan, sehingga:
Mpi = c + ... (3)
Berdasarkan persamaan-persamaan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan:
Pr Pf = c + ... (4)
Pf = Pr c .. (5)
Keterangan:
Mp = marjin pemasaran
Pr = harga di tingkat lembaga pemasaran tujuan pemasaran petani
Pf = harga yang diterima petani
Mpi = marjin pemasaran pada lembaga pemasaran ke-i
Ps = harga jual pada setiap lembaga pemasaran
Pb = harga beli pada setiap lembaga pemasaran
c = biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran
= keuntuganpada setiap lembaga pemasaran
Bagian harga yang diterima petani
Bagian harga yang diterima petani (famers share) merupakan perbandingan harga yang
diterima petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam persentase. Secara
matematis farmers share dirumuskan sebagai berikut:
Pf
Fs = X 100%
Pr
dimana,
Fs = farmers share
Pf = harga yang diterima petani
Pr = harga yang dibayarkan oleh konsumen
Rasio Keuntungan atas Biaya Pemasaran
Distribusi marjin pemasaran pada setiap lembaga pemasaran dapat diketahui dari persentase
keuntungan dengan biayayang dikeluarkan pada masing-masing lembaga pemasaran. Secara
matematis, persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

i
Ri = X 100%
ci
dimana,
Ri = rasio antara keuntungan dan biaya pada lembaga pemasaran ke-i
i = keuntungan lembaga pemasaran ke-i
ci = biaya lembagapemasaran ke-i

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pola Tanam
Kecamatan Kintamani terdiri atas 48 desa, delapan desa di antaranya sebagai penghasil
bawang merah terbesar di Bali.Delapan desa tersebut berada di bagian timur kaki Gunung Batur dan di
sekitar Danau Batur.Struktur tanahnya remah, bertekstur lempung berpasir hingga pasir berlempung,
dan pH-nya netral.Petani setempat telah mampu memanfaatkan air Danau Batur sebagai sumber
199
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pengairan, sehingga ketersediaan air sangat mendukung pelaksanaan usahani.Kondisi ini sesuai
dengan Sumarni dan Hidayat (2005) dan Setiawati et al (2007) bahwa, tanaman bawang merah
menghendaki tanah berstruktur remah dengan pH netral dan ketersedian air pengairan yang cukup.
Terdapat empat komoditas sayuran utama yang diusahakan di lokasi penelitian, yakni: bawang
merah, cabe merah besar, tomat, dan kubis. Keempat komoditas tersebut ditanam dengan pola
diversifikasi.Lahan usahatani yang dikelola setiap petani umumnya dibagi menjadi 2 4 bagian
menurut jenis sayuran yang akan ditanam. Masing-masing sayuran memiliki luas tanam yang berbeda-
beda pada setiap musim tanam, disesuaikan dengan musim dan kecenderungan permintaan
pasar.Terdapat empat musim tanam di lokasi penelitian, yakni pada Maret/April (sasih kasanga),
Juni/Juli (sasih kasa), September/Oktober (sasih kapat), dan Desember/Januari (sasih
kaenem).Bawang merah merupakan komoditas yang paling dominan, karena ditanam pada setiap
musim tanam.Penanaman bawang merah paling luas (minimal 50% lahan usahatani yang dikelola)
dilakukan pada musim tanam Juni/Juli, karena cuaca sangat mendukung pertumbuhan, perkembangan,
dan produktivitasnya. Pada musim tanam September/Oktober, luas tanam bawang merah paling
rendah (sekitar 19,45% lahan usahatani yang dikelola), karena tingkat serangan hama dan penyakit
paling tinggi. Kondisi tersebut berdampak terhadap efisiensi usahatani yang rendah, karena
membutuhkan biaya produksi yang tinggi, tetapiproduksinya relatif rendah.
Rantai Pasar
Pemasaran adalah segala kegiatan yang menyangkut penyampaian produk atau jasa mulai dari
produsen sampai konsumen (Shinta, 2011).Hasil Analisis menunjukkan bahwa terdapat dua saluran
pemasaran, seperti tampak pada Gambar 1.Rantai pasar pertama senada dengan hasil penelitian
Sumaiyah et al. (2013) di Kabupaten Pamekasan dan hasil penelitian Brahmantyo (2015) di Kabupaten
Bantul, yang terdiri atas petani produsen pedagang pengumpul pedagang grosir pedagang
pengecer konsumen.Jumlah pedagang pengumpul bawang merah di lokasi penelitian cukup banyak,
sekitar 60 orang.Jumlah pedagang/penjual dan pembeli yang banyak dalam suatu pasar sebagai salah
satu ciri pasar bersaing sempurna (Adam, 2014).Jumlah pedagang pengumpul yang cukup banyak
berdampak positif terhadap petani sebagai produsen, mereka sulit untuk mempermainkan harga dan
transmisi harga cenderung positif dan seluruh petani memperoleh harga yang relatif sama sesuai
dengan kualitas produknya. Petani juga selalu memonitor harga yang berlaku di pasar.

Rantai pasar I

Petani Pedagang Pedagang Pedagang Konsumen


pengumpul grosir pengecer

Rantai pasar II

Petani Pedagang Pedagang Konsumen


pengumpul pengecer

Gambar 1. Rantai pasar baang merah di Bali tahun 2015

Gambar 1 menunjukkan bahwa, rantai pemasaran I lebih panjang daripada rantai pasar II.
Rantai pasar II tanpa melibatkan pedagang grosir, namun pedagang pengumpul langsung menjual
kepada pedagang pengecer.Petani menjual produksi bawang merah pada umumnya setelah disimpan 2
3 minggu setelah panen dan dalam keadaan sudah bersih dari daun, sehingga pedagang pengumpul
dapat langsung mengemasnya ke dalam karung jaring. Setiap petani sudah memiliki langganan
pedagang pengumpul tertentu yang selalu membeli produksinya. Hubungan jual-beli tersebut telah
terjalin bertahun-tahun. Pedagang pengumpul juga berasal dari desa setempat, sehingga hubungan
mereka sangat erat. Penjualan bawang merah kepada pedagang pengumpul dilakukan di rumah petani
masing-masing. Pembayaran yang dilakukan pedagang pengumpul umumnya dilakukan secara tunai
setelah baang merah ditimbang.
Pedagang pengumpul selanjutnya menjual bawang merah kepada pedagang grosir dan
pedagang pengecer di pasar Kota Klungkung, Denpasar, dan Tabanan.Pedagang grosir yang membeli
200
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

bawang merah di pasar Kota Klungkung umumnya berasal dari Kabupaten Klungkung, Karangasem,
dan Gianyar, sedangkan pedagang pengecer berasal dari Kabupaten Klungkung. Pedagang grosir dan
pengecer yang membeli bawang merah di pasar Kota Denpasar berasal dari Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung. Pedagang grosir di pasar Kota Tabanan berasal dari Kabupaten Tabanan dan
Jembrana, sedangkan pedagang pengecer berasal dari Kabupaten Tabanan. Setiap pedagang
pengumpul umumnya menjual bawang merah dalam dua jenis kemasan, yakni kemasan 60 kg dan 30
kg. Kemasan yang berkapasitas 60 kg untuk pedagang grosir, sedangkan yang berkapasitas 30 kg
untuk pedagang pengecer. Seperti halnya dengan petani, setiap pedagang pengumpul juga telah
memiliki pelanggan pedagang grosir yang tetap. Pembayaran yang diterima oleh pedagang pengumpul
dari pedagang grosir dan pengecer juga tunai. Setiap pedagang pengumpul menjual bawang merah
dalam satu kali penjualan rata-rata 1,5 t/hr pada periode September Oktober 2015.
Marjin Pemasaran
Harga bawang merah yang diterima petani dari pedagang pengumpul rata-rata Rp
11.500,00/kg. Pedagang pengumpul selanjutnya menjual kembali bawang merah tersebut kepada
pedagang grosir dengan harga rata-rata Rp 12.500,00/kg, sedangkan kepada pengecer dengan harga
rata-rata Rp 13.000,00/kg. Secara detail harga dan marjin pemasaran disajikan pada Tabel 1.
Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul meliputi pembelian karung
jaring, transportasi, dan bongkar-muat, sedangkan pedagang grosir dan pengecer hanya mengeluarkan
biaya transportasi dan bongkar-muat. Khusus biaya bongkar-muat di pasar ditanggung bersama antara
pedagang pengumpul dan pedagang grosir serta pedagang pengecer. Berdasarkan Tabel 1, diketahui
bahwa margin keuntungan tertinggi pada kedua pola saluran pemasaran dinikmati oleh pedagang
pengecer. Total marjin pemasaran pada rantai pasar pertama lebih tinggi daripada rantai pasar kedua,
dengan selisih sebesar Rp 750,00/kg. Hal ini mengindikasikan bahwa, rantai pasar yang pendek lebih
efisien daripada rantai pasar yang panjang atau dengan pernyataan lain semakin panjang rantai pasar
cenderung kurang efisien. Temuan ini senada dengan Sukayana et al. (2013) yang menyimpulkan
bahwa, semakin pendek saluran pemasaran maka margin pemasaran totalnya semakin rendah atau
saluran pemasaran yang pendek lebih efisien daripada saluran pemasaran yang panjang. Hal yang
sama juga ditemukan oleh Istiyanti (2010) dan Jumiati et al. (2013) bahwa, semakin panjang rantai
pasar cenderung memperkecil bagian yang diterima petani dan memperbesar biaya yang dikeluarkan
oleh konsumen.

201
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Harga, biaya dan distribusi marjin pemasaran bawang merah di Bali pada bulan September
Oktober 2015
Rantai pasar I Rantai pasar II
Uraian Harga dan biaya Distribusi Harga dan biaya Distribusi
(Rp/kg) marjin (%) (Rp/kg) marjin (%)
Petani
Biaya usahatani 8.863 8.863
Harga jual 11.500 11.500
Keuntungan 2.637 2.637
Pedagang Pengumpul
a. Margin pemasaran:
- Biaya 393 9,83 393 12,10
- Keuntungan 607 15,17 1.107 34,05
b. Harga jual 12.500 13.000
Pedagang grosir -
a. Margin pemasaran:
- Biaya 300 7,50 - -
- Keuntungan 1.200 30,00 - -
b. Harga jual 14.000 -
Pedagang pengecer
a. Margin pemasaran:
- Biaya 217 5,42 217 6,67
- Keuntungan 1.283 32,08 1.533 47,18
b. Harga jual 15.500 14.750
Total marjin pemasaran 4.000 3.250
Sumber: Data primer (2015)

Ditinjau dari distribusi margin pemasarannya, pada Tabel 1 tampak bahwa, keuntungan yang
paling tinggi diperoleh oleh pedagang pengecer (32,08% pada rantai pasar I dan 47,18% pada rantai
pasar II). Keuntungan yang tinggi tersebut disebabkan pedagang pengecer mengeluarkan biaya
pemasaran yang paling rendah dan menjual bawang merah dengan harga yang paling tinggi
dibandingkan dengan lembaga pemasaran di bagian hulunya.
Bagian Harga yang Diterima Petani
Hasil anlisis menunjukkan bahwa bagian harga yang diterima petani (farmers share) pada
rantai pasar II lebih tinggi daripada rantai pasar I. Hal ini disebabkan pada rantai pasar I lembaga
pemasaran yang terlibat lebih banyak daripada rantai pasar II. Dapat dinyatakan, semakin banyak
lembaga pemasaran yang terlibat dala suatu rantai pasar dapat berdampak terhadap semakin rendahnya
bagian harga yang diterima petani. Bagian harga yang diterima masing-masing lembaga pemasaran
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bagian harga yang diterima oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran
bawang merah di Bali pada September Oktpber 2015
Uraian Rantai pasar I Rantai pasar II
Harga dan Bagian harga Harga dan biaya Bagian harga
biaya (Rp/kg) (%) (Rp/kg) (%)
Petani
Harga jual 11.500 74,19 11.500 77,97
Pedagang Pengumpul - -
a. Margin pemasaran: - -
- Biaya 393 393
- Keuntungan 607 1.107

202
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

b. Harga jual 12.500 80,65 13.000 88,14


Pedagang grosir - -
a. Margin pemasaran: - -
- Biaya 300 -
- Keuntungan 1.200 -
b. Harga jual 14.000 90,32 -
Pedagang pengecer - -
a. Margin pemasaran: - -
- Biaya 217 217
- Keuntungan 1.283 1.533
b. Harga jual 15.500 14.750
Total marjin pemasaran 4.000 3.250
Sumber: Data primer (2015)
Rasio Keuntungan atas Biaya Pemasaran
Hasil anlisis terhadap rasio keuntungan atas biaya pemasaran menunjukkan bahwa, pedagang
pengecer memiliki rasio yang paling tinggi dibandingkan lembaga pemasaran lainnya, seperti tampak
pada Tabel 3. Hal ini disebabkan pedagang pengecer mengeluarkan baya pemasaran yang paling
rendah dan memperoleh harga jual paling tinggi dibandingkan lembaga pemasaran lainnya yang
terlibat.
Tabel 3. Rasio keuntungan atas biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran bawag merah di
Bali pada September Oktober 2015
Uraian Rantai pasar I Rantai pasar II
Harga dan biaya Harga dan biaya
Rasio (/c) Rasio (/c)
(Rp/kg) (Rp/kg)
Petani
Harga jual 11.500 11.500
Pedagang Pengumpul - -
a. Margin pemasaran: - -
- Biaya 393 393
- Keuntungan 607 1,54 1.107 2,81
b. Harga jual 12.500 13.000
Pedagang grosir - -
a. Margin pemasaran: - -
- Biaya 300 -
- Keuntungan 1.200 4,00 -
b. Harga jual 14.000 -
Pedagang pengecer - -
a. Margin pemasaran: - -
- Biaya 217 217
- Keuntungan 1.283 5,92 1.533 7,08
b. Harga jual 15.500 14.750
Total marjin pemasaran 4.000 3.250
Sumber: Data primer (2015)

203
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
1. Terdapat dua jenis rantai pasar bawang merah di Bali pada periode September Oktober 2015.
Pertama, rantai pasar yang melibatkan petani pedagang pengumpul pedagang grosir pedagang
pengecer konsumen. Kedua rantai pemasaran yang melibatkan petani pedagang pengumpul
pengecer konsumen. Kinerja kedua rantai pemasaran tersebut cukup efisien.
2. Rantai pemasaran jenis kedua lebih efisien daripada rantai pamasaran jenis pertama.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih yang sedalam-dalamnya kami sampaikan kepada seluruh petani sayuran di
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali atas kesediaannya meluangkan waktu dan
tenaga untuk memberikan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Ucapan terima
kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman yang telah membantu mengumpulkan data dalam
studi ini. Kepada Bapak Kepala BPTP Bali, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas
perkenannya telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan tugas pendampingan
pengembangan kawasan agribisnis bawang merah di Bali.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, P. 2014. Dinamika harga dalam pasar persaingan sempurna dengan fungsi permintaan bentuk
ekponensial dan fungsi penawaran bentuk conweb linear.Paradigma:18(2): 49-56.
Anonim.2013. Studi Pendahuluan: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Bidang Pangan dan Pedrtanian 20915 2019. Direktorat Pangan dan Pertanian
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional.
BPS Provinsi Bali. 2015. Bali dalam angka.
Brahmantyo, A. 2015.Tata niaga bawang merah. Studi kasus: Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek,
Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Skripsi.e-journal. uajy.ac.id
Irawan, B. 2007.Fluktuasi harga, transmisi harga dan marjin pemasaran sayuran dan buah. Analisis
kebijakan pertanian: 5(4): 358 373.
Istiyanti, E. 2010.Efisiensi pemasaran cabe merah keriting di Kecamatan Ngemplak Kabupaten
Sleman. Jurnal Pertanian MAPETA: XII(2): 116-124.
Jumiati, E., Darwanto, D.H., Hartono, S., dan Masyhuri. 2013. Analisis saluran pemasaran dan marjin
pemasaran kelapa Dalam di daerah perbatasan Kalimantan Timur. Jurnal AGRIFOR:
XII(1): 1-10.
Setiawati, W., R.Murtiningsih, G.A. Sopha, dan T.Handayani.2007.Budidaya Tanaman
Sayuran.Petunjuk Teknis.Balai Penelitian Tanaman Sayuran.Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Shinta, A. 2011. Manajemen Pemasaran. Cetakan Pertama. Universitas Brawijaya Press.
Sukayana, I M., Darmawan, D.P., dan Wijayanti, N.P.U. 2013.Rantai nilai komoditas kentang Granola
di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. E-journal Agribisnis dan
Agrowisata: 2(3): 99-108.
Sumaiyah, S., S. Subari, dan A.H.M. Ariyani. 2013. Analisis integrasipasar bawang merah di
Kabupaten Pamekasan.Agriekonomika: 2(1): 76 85.
Sumarni, N. dan A. Hidayat.2005.Budidaya Bawang Merah.Panduan Teknis PTT Bawang Merah
No.3.ISBN:979-8304-49-7.Balai Penelitian Tanaman Sayuran.Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Widiastuti, N. dan Harisudin, M. 2013. Saluran dan marjin pemasaran jagungdi Kabupaten
Grobogan.SEPA: 9(2): 231 240.

204
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PERTUMBUHAN EKSPLAN DAN PRODUKSI UMBI MIKRO KENTANG LOKAL


BENGKULU SECARA IN VITRO PADA SUHU YANG BERBEDA

THE GROWTH AND YIELD OF LOCAL POTATO CROPS GROWN IN VITRO AT DIFFEREN
TTEMPERATURES OF INCUBATION

Haryuni, Usman Kris Joko Suharjo dan Bambang Gonggo Murcitro


Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jl. W. R. Supratman Kandang limun Bengkulu Telp. (0736) 21290
e-mail : haryuni66@gmail.com

ABSTRAK
Pengelolaan pertanaman kentang selama ini suhu tinggi merupakan salah satu faktor penghambat
pembentukan umbi pada dataran rendah dan medium. Penelitian ini bertujuan untuk:Membandingkan
pengaruh suhu inkubasi terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil umbi mikro secara in vitro.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Januari 2016 dilaksanakan di
Laboratorium Agronomi Divisi Bioteknologi dan Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian,
Universitas Bengkulu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan suhu inkubasi (T) yaitu suhu rendah dan suhu tinggi, dan tiga kali
ualangan. Analisis data menggunakan analisis varian ( uji F taraf 5% ). Perbandingan rata-rata antar
perlakuan dilakukan dengan uji beda rata-rata DMRT. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan suhu
rendah mampu meningkatkan jumlah cabang utama, jumlah ruas total per tanaman tinggi tanaman,
jumlah tanaman berumbi, total umbi per botol, diameter umbi.
Kata Kunci : In-vitro, Kentang.

ABSTRACT
The potato crop management during high temperature is one factor inhibiting the formation of bulbs
in the lowland and medium. This study aims to: Compare the effect of incubation temperature on plant
growth and tuber yield micro in vitro. This research was conducted in September 2015 until January
2016 was conducted in the Laboratory of Agronomy and Biotechnology Division of Plant Tissue
Culture, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu. The design used in this study is completely
randomized design (CRD) with treatment incubation temperature (T) comprising: a low temperature
and high temperature, which is repeated 3 times. Analysis of data using analysis of variance (F test
level of 5%). The average ratio between treatments carried out with different test average DMRT. The
results showed a low- temperature treatment is able to increase the number of main branches, the
total number of segments per plant height, number of bulbous plants, a total of tubers per bottle, the
diameter of the bulbs.
Keywords: In-vitro, Potatoes

PENDAHULUAN
Kentang (Solanum tuberosum L ) merupakan bahan pangan keempat di dunia setelah padi,
jagung dan gandum (International Potato Center, 2013). Kentang merupakan salah satu jenis tanaman
umbi yang memiliki nilai gizi. Di Indonesia tanaman kentang sudah menjadi bahan pangan alternatif,
sebagai sumber karbohidrat yang bermanfaat untuk meningkatkan energi dalam tubuh sehingga
manusia dapat bergerak berfikir dan melakukan aktivitas lainnya (Haris, 2010). Indonesia
merupakan penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara (Deptan, 2008). Provinsi Bengkulu tidak
termasuk sebagai sentra produksi kentang di Indonesia, tetapi Provinsi Bengkulu memiliki dataran
tinggi yang cocok untuk pengembangan kentang yaitu di Kabupaten Rejang Lebong (BPTP
Bengkulu, 2012).
Produksi kentang di Indonesia terus meningkat pada 3 tahun terakhir, tahun 2012 produksi
kentang di Indonesia sebesar 1.094.240 ton pada tahun 2013 sebesar 1.124.282 ton dan pada
tahun 2014 mencapai 1.316.016 ton (BPS, 2015). Tanaman kentang merah merupakan tanaman
spesifik lokasi di Propinsi Bengkulu, namun dalam sistem budidaya kentang merah belum ditemukan
teknologi yang spesifik. Pemerintah Provinsi Bengkulu telah menetapkan Kabupaten Lebong dan
Kabupaten Kapahiang sebagai kawasan produksi kentang karena mempunyai karakteristik wilayah
dan agroekosistem yang sesuai (Damari et al., 2011).

205
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Setiap tahun kebutuhan kentang terus meningkat namun hingga saat ini produksi tanaman
kentang dari petani belum mampu memenuhi kebutuhan kentang di Indonesia. Ketidak
mampuan tersebut diakibatkan masih rendahnya produktivitas kentang yang ditanam oleh petani
(Medina, 2014). Upaya peningkatan produksi kentang di Indonesia menghadapi berbagai
kendala seperti sulitnya memperoleh umbi yang berkualitas tinggi, kerena umumnya benih lokal yang
digunakan saat ini sudah tertular dengan berbagai macam penyakit dan virus (Semangun 2006).
Pengusahaan tanaman kentang di dataran tinggi sangat terbatas karena luas lahan dataran
tinggi sangat terbatas hanya sekitar 6,5 juta hektar yang tersebar di seluruh pulau-pulau di
Indonesia (Wicaksana, 2001). Selain terbatasnya lahan, perluasan lahan ke dataran rendah juga
memiliki kendala seperti suhu tinggi dan serangan hama dan penyakit, untuk mengatasi permasalahan
kentang di dataran medium dapat dilakukan dengan merakit teknologi budidaya tanaman kentang
dan mendapatkan varietas baru yang toleran dengan suhu tinggi (Sunarjono, 2007).
Penggunaan umbi kentang sebagai bahan perbanyakan secara in vitro sebagai bibit kentang
mempunyai beberapa keuntungan, antara lain bersifat seragam yang sama dengan induknya,
penyediaan bibit tidak tergantung musim dan dapat disesuaikan dengan musim tanam yang tepat,
dapat menggunakan kultivar-kultivar yang sudah beradaptasi dengan lingkungan setempat, ekonomis
dalam penyimpanan dan transportasi (Wattimena, 2000).
Keberhasilan kultur jaringan tanaman dalam perbanyakan tanaman mikro tanaman kentang
tergantung pada media yang digunakan. Umbi mikro akan terbentuk sepanjang tahun tanpa
dipengaruhi musim dan bisa disimpan secara in vitro dengan melakukan subkultur (Ahmed et
al., 2007).
Berdasarkan hal-hal di atas perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan tanaman dan
pembentukan umbi mikro kentang yang terbaik dengan pada suhu inkubasi yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk Membandingkan pengaruh suhu inkubasi terhadap
pertumbuhan tanaman dan hasil umbi mikro secara in vitro.

METODOLOGI
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agronomi Divisi Bioteknologi dan Kultur Jaringan
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Penelitian dilaksanakan pada bulan September
2015 Januari 2016. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan suhu inkubasi (T) terdiri atas:Suhu rendah (20-21 0C) dan Suhu
tinggi (27-28 0C), yang diulang sebanyak 3 kali. Formula dasar terdiri dari auksin, sitokinin, air
kelapa, asam organik, dan chitosan dan arang aktif. Media MS adalah media Murashage and Skoog
(1964).

Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu : (1). Percobaan pertumbuhan tanaman dan
(2). Percobaan produksi umbi mikro.
1. Pertumbuhan Tanaman
Percobaan pertumbuhan tanaman dilakukan dengan menanam 2 stek mikro kentang masing-
masing dengan 1 tunas aksilar tanpa daun dan akar pada 10 ml media padat MS, yang mendapat
suplemen vitamin, asam amino dan ZPT seperti pada percobaan induksi umbi mikro. Tanaman
diinkubasi sesuai dengan perlakuan, pada umur 6 minggu tanaman dipanen. Variabel pengamatan
pertumbuhan kentang terdiri atas :
1. Jumlah cabang utama (buah), pengamatan dilakukan dengan menghitung cabang yang
keluar dari batang utama. Pengamatan dilakukan pada setiap minggu selama 6 minggu.
2. Jumlah ruas total setiap tanaman (buku), pengamatan dilakukan dengan menghitung
jumlah ruas setiap tanaman. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 6 minggu.
3. Tinggi tanaman (mm), pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari
pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi dengan menggunakan mistar. Pengamatan
dilakukan pada saat panen.

2. Produksi Umbi Mikro


Produksi umbi mikro kentang dilakukan dengan mengadopsi metode Zhung and Donnelly
(1997), yang telah dimodifikasi Suharjo (2008), yang terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap induksi stolon
dan induksi umbi mikro

206
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tahap pertama, induksi stolon dengan menanam tiga stek mikro yang masing-masing
mempunyai 5 (lima) ruas tanpa pucuk dan tanpa akar di dalam media cair selama 6 minggu pada
ruang kultur.. Media cair yang digunakan adalah media MS 0 tanpa agar, yang mendapat tambahan
gula 30 g/l, GA3 (0,4 mg/l) dan BAP (0,5 mg/l), dengan pH media 5,7. Media disterilisasi
0
menggunakan autoclave pada suhu 121 C dan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Tahap kedua, induksi umbi mikro eksplan pada tahap induksi stolon yang berusia 6 minggu
dipindahkan ke media induksi umbi mikro. Komposisi media pada tahap ini sama dengan komposisi
media induksi stolon, kecuali tanpa GA3 dan BAP, degan gula ditingkatkan menjadi 80 g/l.
Media berisi eksplan dipelihara pada ruangan yang berbeda dengan suhu sesuai perlakuan pada
kondisi gelap total. Efek gelap diberikan dengan membungkus botol kultur dengan menggunkan
kain berwarna hitam selama 10 minggu. Variabel pengamatan peroduksi umbi mikro kentang terdiri
atas:.
1. Jumlah tanaman berumbi (buah), pengamatan dilakukan dengan menghitung tanaman yang
berumbi. Pengamatan dilakukan pada saat panen.
2. Jumlah umbi per tanaman (buah), pengamtan dilakukan dengan menghitung jumlah umbi per
tanaman. Pengamatan dilakukan pada saat panen.
3. Total umbi per botol (buah), pengamatan dilakukan menghitung jumlah umbi pada setiap
botol. Pengamatan dilakukan pada saat panen.
4. Berat umbi per botol (g), pengamatan dilakukan dengan menimbang berat umbi dengan
menggunakan timbangan digital analitik merk Cheetah seri JA5003B. Pengamatan dilakukan
pada saat panen.
5. Diameter umbi (mm), pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter umbi
menggunakan jangka sorong digital merk Krisbow K W 06-77, Model No: 111-011.
Pengamatan dilakukan pada saat panen.

Analisis Data
Data hasil pengamatan variabel pertumbuhan eksplan dan produksi umbi mikro dianalisis
secara statistik menggunakan analisis varian (uji F) pada taraf 5%. Perbandingan rata-rata antar
perlakuan dilakukan dengan uji beda rata-rata DMRT (Gomez and Gomez, 1984 ).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel jumlah tanaman berumbi, jumlah umbi
per tanaman, diameter umbi, berat umbi per botol, total umbi per botol , tinggi tanaman yang
menyebar secara normal sehingga tidak ditransformasi. Untuk data variabel jumlah cabang
utama dan jumlah ruas total tiap tanaman tidak menyebar secara normal sehingga perlu
ditransformasi (Bartlett, 1937). Data yang telah menyebar normal dilakukan analisis varian (uji F).
Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap semua variabel yang diamati, kecuali jumlah cabang
utama dan jumlah ruas total tiap tanaman (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil analisis varian (anava) pada taraf 5% untuk variabel pertumbuhan tanaman
kentang yang diamati
No Variabel Pengamatan F hitung Suhu
1 Jumlah Cabang Utama 4,57 ns
2 Jumlah Ruas Total Per Tanaman 0,37 ns
3 Tinggi Tanaman 329,03*
4 Jumlah Tanaman Berumbi 867,94 *
5 Jumlah Umbi Per Tanaman 615,27 *
6 Total Umbi Per Botol 367,91 *
7 Berat Umbi Per Botol 111,48 *
8 Diameter Umbi 488,94 *
Keterangan: * Berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%. ns:Berpengaruh tidak nayata pada uji taraF 5%.
Sumber : Data primer (2016).

207
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengaruh Suhu Rendah dan Suhu Tinggi


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman tumbuh lebih baik pada suhu rendah
dibandingkan pada suhu tinggi. Tiga variabel pertumbuhan yang diamati menyatakan rata-rata hasil
pengukuran yang lebih tinggi pada suhu rendah (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh suhu inkubasi terhadap variabel pertumbuhan eskplan dan produksi umbi
mikro tanaman kentang.
No Variabel Pengamatan Suhu tinggi Suhu rendah
1 Jumlah Cabang Utama (buah) 2,37 a 1,91 a
2 Jumlah Ruas Total Per Tanaman (buku) 2,03 a 2,14 a
3 Tinggi Tanaman (cm) 3,81 a 2,49 a
4 Jumlah Tanaman Berumbi (buah) 3,67 a 0b
5 Total Umbi Per Botol (buah) 6,38 a 0b
6 Diameter Umbi (mm) 7,01 a 0b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada baris yang sama berbeda nyata pada
taraf 5%.
Sumber : Data primer (2016)

Selain itu, suhu rendah juga berpengaruh positif terhadap pengumbian, pada suhu tinggi
tidak terbentuk umbi sama sekali (Tabel 2). Hal ini diduga pertumbuhan dan pengumbian tanaman
kentang dipengaruhi oleh suhu. Menurut Salisbury and Ross (1992) bahwa pada suhu rendah laju
respirasi menurun dan sebaliknya pada suhu tinggi laju respirasi akan meningkat. Peningkatan laju
respirasi akan diikuti dengan berkurangnya karbohidrat seperti gula yang dihasilkan dari proses
fotosintesis, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang. Pada gilirannya
pertumbuhan tanaman kentang menjadi terhambat. Penghambatan pertumbuhan tanaman
dipengaruhi oleh laju respirasi yang tinggi, laju pembelahan sel dan pemanjangan sel yang
rendah (Gunawan, 1992). Pada suhu rendah produksi umbi mikro yang dihasilkan lebih banyak
dibandingkan produksi pada suhu tinggi (Tabel 2). Suhu rendah akan menurunkan laju respirasi dan
giberellin endogenus sehingga menyebabkan stolon berhenti memanjang. Stolon lebih banyak
mengakumulasi karbohidrat untuk membentuk umbi. Pada suhu tinggi diduga laju respirasi dan
giberelin meningkat sehingga kentang yang banyak mengandung pati hasil dari translokasi sukrosa
sebagian besar hilang oleh respirasi dan giberelin endogenus yang tinggi. Oleh karena itu terjadi
pemanjangan stolon sehingga pembentukan umbi terhambat. Suhu optimum untuk pengumbian in
vitro adalah 15 0C-20 0C (Wattimena, 1995). Kemampuan tanaman menghasilkan umbi tinggi
pada kondisi gelap tanpa cahaya. Akibatnya umbi membesar sampai ukuran maksimum, selanjutnya
umbi tersebut tumbuh sebuah tunas etiolasi.

KESIMPULAN
Perlakuan suhu rendah mampu meningkatkan jumlah tanaman berumbi, diameter umbi, total
umbi per botol, jumlah cabang utama, jumlah ruas total per tanaman dan tinggi tanaman.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Usman Kris Joko Suharjo yang telah mendanai dan
membantu dalam penyelesaian penelitian skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M.B.R., Sultana, M., Khatun, M.A., Razvy, M.M., Hannan, R., Islam, dan Hossain, M.M.
2007. Standardization of a suitable protocol for in vitro clonal propagation of Acorus
calamus L. An important medicinal plant in Bangladesh. American- Eurasian J.Sci.Res.
2:136-140. J. Agron. Indonesia 38 (2) : 144 149.
Bartlett, M.S. 1937. A note on the multyping factors for various x 2 approximations, J.R. Statist.
Soc. B (15): 107-240.
BPS. 2015. Produksi Tanaman Sayuran Kentang (Ton) Tahun 2012-2014.
http://www.bps.go.id/site/resultTab. Diakses 22 April 2015.
BPTP Bengkulu. 2012. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI).
Laporan Akhir Tahun. BPTP Bengkulu, Bengkulu.. W.H Freeman an Co. San

208
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Fransisco. 642 P.
Damari A., Makruf E dan Yartiwi. 2011. Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Kentang Merah
Terhadap Jarak Tanam dan Dosis Pupuk yang Berbeda Di Kabupaten Rejang Lebong,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu.
Deptan. 2008. Basis Data Statistik Peretanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Gomez, K. A and Gomez, A.A. 1984. Statiscal Proccedures For Agricultural Research. John Wiley
and Sons. Diterjemahkan oleh E.Syamsuddin dan J. S Baharsyah. 1995. Prosedur
Stastistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi kedua, UI Press, Jakarta.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor.
Haris dan Hestiana, J. 2010. Pertumbuhan dan Produksi Kentang Pada Berbagai Dosis
Pemupukan. Jurnal Agrisistem, 6 (1): 15- 22.
International Potato Center. 2013. Potato. http://cipotato.org/potato. Diakses 22 Januari 2016.
Jakarta.
Medina, J.D. 2014. Manajemen resiko produksi benih kentang aeroponik risk management of
aeroponic potatoes seed production. Agric. Sci. J. I (4) :235-243
Murashige, T., Skoog, F. 1964. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue
culture. Physiol Plant 15:473-497.
Salisbury, F.B. and Ross, C.R. 1992. Plant Physiology. Diterjemahkan oleh Diah R. Lukman dan
Sumaryono. 1995. Fisiologi tumbuhan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Suharjo, U.K.J., Fahrurrozi, dan Sudjatmiko, S. 2008. Memacu Pembentukan Umbi Mikro Kentang
Pada Suhu Tinggi Dengan Aplikasi Paclobutrazol, Coumarin, CCC, dan Anycmidol.
Prosiding Seminar Pekan Kentang Nasional, Lembang, Bandung, 22- 23 Agustus
2008.
Sunarjono, H. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Wattimena, G.A. 1992. Zat Pengatur Tumbuh. Heds Projects-Universitas Bengkulu, Bengkulu 10-
19 Februari 1992.
Wattimena, G.A. 1995. In vitro micropropagation as an alternative technologi for potato production.
Final Report PSTC-USA ID. Department of Agronomy, Bogor Agricultural University.
Wattimena, G.A. 2000. Perakitan Kultivar Kentang Unggul Indonesia secara Cepat
denganMetode Turunan Klonal Biji Tunggal dan Pra - Evaluasi Secara In Vitro. Agron.
29 (3):78 84.
Wattimena, G.A. 1987. Diktat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU, Bioteknologi. Institut.
Pertanian Bogor, Bogor.
Wicaksana, N. 2001. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik 16 genotip kentang pada
lahan sawah didataran medium. Zuriat. 12 (1) : 15-20.
Zhung and Donelly. 1997. In - vitro bioassays for salinity tolerance screening of potato. Potato
Research 40. 285- 295.

209
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

APLIKASI BEBERAPA BIOAKTIVATOR MIKROORGANISME LOKAL TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN PRODUKSISELADA (Lactuca sativa L.)
APPLICATION OF SOME LOCAL BIOACTIVATOR MICROORGANISM ON THE GROWTH
AND PRODUCTION OF LETTUCE (Lactuca sativa L.)
Parwito dan Susi Handayani
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Ratu Samban
Jl. Jenderal Sudirman No 87 Arga Makmur Bengkulu Utara Telp (0737)-522613
e-mail : par_wito@yahoo.com

ABSTRAK
Mikroorganisme lokal sebagai cairan yang terbuat dari limbah atau bahan-bahan organik yang ada
disekitar kita mengandung mikroba serta mengandung sifat-sifat kimia yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis bioaktivator mol
terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman selada. Penelitian ini dilaksanakan
bulan Juli sampai September 2014, di Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota
Bengkulu. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan
satu faktor yaitu bioaktivator mol (BM), sebagai rancangan perlakuan yang terdiri atas : BM 0: Tanpa
bioaktivator mol, BM 1: Bioaktivator mol rebung bambu, BM 2: Bioaktivator mol bonggol pisang,
dan BM 3: Bioaktivator mol maja. Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan mol setelah satu
bulan bahan mol berwarna coklat sampai kehitaman dan bau mol yang tajam. Hal ini dimungkinkan
mol sudah matang dalam proses fermentasi anaerobik dan bahan siap digunakan. Sisa hasil
pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat
gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit,
sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan
secara aerobik. Sedangkan pertumbuhan tanaman selada pada saat persemaian serta saat setelah
pindah tanam masih relatif lambat. Semua perlakuan bioaktivator mikro organisme lokal yang
diaplikasikan ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan selada
dibandingkan tanpa perlakuan (kontrol). Perlakuan bioaktivator mikroorganisme lokal terbaik terhadap
bobot segar selada adalah mol dari bonggol pisang BM 2 (64,17 g).
Kata Kunci: Bioaktivator, mikroba, mol, selada

ABSTRACT
Local microorganisms as a liquid made from waste or organic materials that exist around us contain
microbes and chemical properties that affect the growth of the microbes. This study aimed to get the
kind of bio-activator best mole in enhancing the growth and yield of lettuce. This study was conducted
from July to September 2014, in Kelurahan Lingkar Timur Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu.
This study was conducted using a randomized block design (RAK) with one factor, namely bio-
activator mol (BM), as the design of treatment consisting of: BM 0: Without bio-activator mol, BM 1:
bio-activator mole bamboo shoots, BM 2: bio-activator mol banana weevil and BM 3: bio-activator
maja mole. The results showed in the manufacturing of material mole after one month resulted in
moles with sharp odor. It was indicating that mole had matured following anaerobic fermentation and
materials being ready for use. Waste products of anaerobic composting in the form of sludge
containing water as much as 60% with the color of dark brown to black. Loss of nutrients in the
anaerobic composting process a little bit, so it generally higher nutrient content than the aerobic
composting process. While the growth of lettuce plants at the time of the nursery and after
transplanting is still relatively slow. All micro-organisms bio-activator treatment of locally applied to
lettuce plants showed a positive influence on the growth of lettuce compared to that of the untreated
(control). The best local bio-activator treatment of microorganisms on fresh weight of lettuce was the
moles of banana weevil BM 2 (64.17 g).
Keywords: Bio-activator, microbes, moles, lettuce

210
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kebutuhan pangan perkotaan khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia
mengalami peningkatan sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk kota. Permintaan pasar
untuk komoditas hortikultura khususnya sayur-sayuran semakin meningkat baik jumlah maupun
jenisnyaTidak seimbangnya persediaan produksi dengan permintaan selada di dalam negeri
menyebabkan Indonesia mengimpor komoditas ini (Rukmana, 2000). Secara umum, jumlah selada
yang diimpor meningkat setiap tahunnya. Selada yang didominasi oleh jenis sayuran dataran tinggi
belum banyak diusahakan di Indonesia. Apalagi jenis yang sudah diusahakan di Indonesia juga masih
terbatas (Haryanto dkk., 2003). Peningkatan produksi selada dapat dilakukan dengan pemupukan,
pengaturan jarak tanam, dan memilih varietas tanaman yang unggul (Rukmana, 2000). Untuk
mendapatkan produksi yang tinggi, perlu adanya penelitian yang mendukung serta pemanfaatan
teknologi tepat guna, mulai dari teknik budidaya sampai pada penanganan pasca panennya.
Pemupukan adalah salah satu teknik budidaya untuk meningkatkan produksi tanaman selada
(Nazaruddin, 1999).
Pemberian input dalam bentuk pupuk organik pada tanah dapat mengubah dan memperbaiki
sifat-sifat tanah, baik fisik, kimia dan biologi tanah (Sutanto, 2002). Selanjutnya menurut Munir
(1996) pengaruh pemberian bahan organik ke dalam tanah sebagai berikut, yaitu : struktur tanah
menjadi lebih baik, aerasi tanah menjadi lebih baik, mempunyai efek pengikat yang baik atas partikel-
partikel tanah, dan kapasitas menahan air meningkat. Salah satu peran pupuk organik dalam
memperbaiki biologi tanah adalah keberadaan mikroba tanah maupun pada tanaman.
Mikroba tanah akan menguntungkan bila kehadirannya berperan dalam siklus mineral, fiksasi
nitrogen, perombakan residu pestisida, proses humifikasi, proses menyuburkan tanah, perombakan
limbah berbahaya, biodegradasi, bioremidiasi, mineralisasi, dekomposisi, dan lain-lain. Keberadaan
mikroba tanah banyak jenis dan macamnya, salah satu mikroba yang berperan dalam memperbaiki
tanah dan tanaman adalah keberadaan bioaktivator. Salah satu bioaktivator yang berperan
memperbaiki pertumbuhan tanaman yang murah namun tetap menjaga kelestarian lingkungan adalah
Mikroorganisme Lokal (MOL). Mol diperoleh dari beberapa sumber bahan di sekitar kita diantaranya
dari mol bonggol pisang, mol rebung dan mol buah maja. Untuk melihat keefektifan dari masing-
masing bioaktivator mol tersebut maka penelitian ini bertujuan mendapatkan bioaktivator mol terbaik
dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman selada.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli sampai September 2014, di Kelurahan Lingkar Timur
Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu.Bahan penelitian yang digunakan adalah benih selada,
rebung bambu, air beras, gula merah/gula pasir, bonggol pisang, maja, pupuk kandang dan topsoil.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, cangkul, parang/sabit, meteran,
jangka sorong, timbangan digital, kertas label, plastik, polybag, alat tulis dan alat-alat laboratorium
untuk analisis tanah dan tanaman.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakanrancangan acak kelompok (RAK) dengan
satu faktor yaitu bioaktivator mol (BM), sebagai rancangan perlakuan yang terdiri atas : BM 0: Tanpa
bioaktivator mol, BM 1: Bioaktivator mol rebung bambu, BM2: Bioaktivator mol bonggol pisang,
BM3: Bioaktivator mol maja.
Perlakuan diatas diulang 3 kali sehingga diperoleh 12 satuan percobaan. Tiap satuan
percobaan terdapat 6 unit percobaan (polybag), sehingga terdapat total 72 polybag. Penempatan
perlakuan dalam satu kelompok percobaan dilakukan secara acak.
Pembuatan MOL Mol dari rebung dibuat dengan mencampurkan 1 kg rebung bambu, 2,5-3
liter air beras dan gula pasir atau gula jawa sebanyak 1-2 ons. Setelah bahan tersedia, rebung diiris
tipis atau ditumbuk, setelah itu dimasukan ke dalam jerigen/tong/ember kemudian dimasukkan gula
merah 1-1,5 kg yang telah dihaluskan dan air cucian beras sebanyak 2,5 3 liter selanjutnya ditutup
rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan
didiamkan selama 15 hari. Selanjutnya mol disaring dan siap digunakan.
Mol dari bonggol pisang dibuat dengan mencampurkan 1 kg bonggol pisang, 2,5 3 liter air
beras, dan gula pasir atau gula jawa sebanyak 1/5 kg. Setelah semua bahan siap, bonggol pisang diiris
tipis atau ditumbuk, setelah itu dimasukkan ke dalam jerigen/tong/ember kemudian dimasukkan gula
merah 1 -1,5 kg yang telah dihaluskan dan air cucian beras sebanyak 2,5 3 liter selanjutnya ditutup

211
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang berisi air dan
didiamkan selama 15 hari. Mol disaring dan siap digunakan.
Mol dari buah maja dibuat dengan mencampurkan 1 buah maja, 6 liter air beras, dan 4 liter
urine sapi. Setelah semua bahan siap, buah maja di kupas kulitnya dan diiris tipis atau dicincang,
setelah itu dimasukan ke dalam jerigen/tong/ember kemudian dimasukkan air cucian beras dan urine
selanjutnya ditutup rapat wadah dengan plastik dan diberi selang yang disambungkan ke botol yang
berisi air dan didiamkan selama 15 hari. Mol disaring dan siap digunakan.
Pemeliharaan tanaman selada terdiri atas penyiraman, pemupukan dan pengendalian gulma,
hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan volume air 200 ml.
Pemupukan dilakukan setiap 5 hari sekali dengan dosis 100 ml per tanaman dari mol yang diuji
cobakan. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila serangan hama atau penyakit telah ada dan
dilakukan secara manual.
Panen dilakukan pada umur 56 hari setelah semai. Selada daun dapat dipanen bila daun telah
cukup banyak dan lebar serta berwarna hijau muda, batang sudah terbentuk dan tanaman belum
berbunga. Data dikumpulkan dari semua tanaman selada di polybag yang diukur dan selanjutnya
dianalisis secara statistik. Pengukuran tanaman sawi meliputi variabel: tinggi tanaman, jumlah daun,
diameter batang dilakukan setiap minggu. Bobot basah sawi, panjang akar, dilakukan pada waktu
panen.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan
yang dicobakan. Apabila dari hasil analisis tersebut berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji wilayah
berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% (Steel & Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Mikroorganisme Lokal (MOL)
MOL adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya alam yang tersedia setempat.
MOL mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung mikroba yang berpotensi
sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama
penyakit tanaman. Berdasarkan kandungan yang terdapat dalam MOL tersebut, maka MOL dapat
digunakan sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organik terutama sebagai
fungsida (Purwasasmita dan Kunia, 2009).
Dalam proses pembuatan mikroorganisme lokal dengan menggunakan beberapa bahan
diantaranya menggunakan bonggol pisang, rebung, dan buah maja dapat dilihat pada gambar di bawah
ini (Gambar 1). Peroses pematangan mol dibawah ini (Gambar 1b) dilakukan secara anaerobik dengan
menggunakan jerigen plastik yang ditutup rapat lalu diberi selang untuk mengeluarkan gas-gas hasil
dari pengomposan dan ujung selang dimasukkan ke dalam botol yang berisi air, agar udara dapat
keluar namun tidak dapat masuk lagi ke jerigen untuk menjaga keadaan anaerobik dalam jerigen
tersebut. Dekomposisi secara anaerobik merupakan modifikasi biologis pada struktur kimia dan
biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen (hampa udara).

Gambar 1. Pembuatan mikro organisme lokal (MOL) a. berbahan bonggol pisang, rebung dan Buah
maja, b. Fermentasi dilakukan di jerigen
Hasil penelitian menunjukkan dalam pembuatan mol setelah satu bulan bahan mol berwarna
coklat sampai kehitaman (Gambar 2) dan bau mol yang tajam. Hal ini dimungkinkan mol sudah
matang dalam proses fermentasi anaerobik dan bahan siap digunakan. Hal ini diperkuat dalam

212
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Samekto (2006), bahwa proses anaerobik umumnya dapat menimbulkan bau yang tajam. Sisa hasil
pengomposan anaerobik berupa lumpur yang mengandung air sebanyak 60% dengan warna cokelat
gelap sampai hitam. Kehilangan unsur hara pada proses pengomposan secara anaerobik sedikit,
sehingga umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih tinggi dari proses pengomposan
secara aerobik.

Gambar 2.Hasil dari pembuatan Mikroorganisme lokal (Mol)

Proses fermentasi yang didapatkan dalam pembuatan mol diatas menunjukkan bahwa mol
berwarna coklat sampai kehitaman (gambar 2). Hal ini dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme
yang membantu dalam proses pematangan. Ini dikuatkan oleh pendapat Indriani (1999), pengomposan
akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering
ditambahkan kebahan yang akan dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses
pengomposan.
Aplikasi bioaktivator Mikroorganisme Lokal (MOL) terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Selada
Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil selada meliputi tinggi tanaman, jumlah
daun, diameter batang, panjang akar dan bobot segar tanamandisajikan Tabel 1. Berdasarkan hasil uji
F menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi bioaktivator mikro organisme lokal (MOL) berbeda sangat
nyata pada semua variabel yaitu pada semua minggu setelah pindah tanam.
Tinggi tanaman menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dan pada semua
umur ditunjukkan pada Tabel 2. Secara umum perlakuan semua bioaktivator mikro organisme lokal
yang ke tanaman selada menunjukkan pengaruh yang positif terhadap variabel tinggi tanaman selada.
Pada perlakuan aplikasi bioaktivator MOL menunjukkan pada semua umur 1 MSPT (minggu setelah
pindah tanam) sampai 6 MSPT terlihat perlakuan BM 2 menghasilkan tinggi tanaman yang terbaik dan
diikuti BM 1, dan BM 3. Tinggi tanaman selada terendah dicapai oleh tanpa bioaktivator B 0 (kontrol)
pada semua umur 1 MSPT sampai 6 MSPT

213
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Hasil Uji F pada aplikasi beberapa bioaktivator mikroorganisme lokal


terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang,
panjang akar dan bobot segar tanaman
No Koefisien
Variabel Perlakuan
keragaman
1 Tinggi tanaman 1 MSPT 36,88** 14,71
2 Tinggi tanaman 2 MSPT 36,88** 14,71
3 Tinggi tanaman 3 MSPT 43,86** 13,67
4 Tinggi tanaman 4 MSPT 48,15** 12,05
5 Tinggi tanaman 5 MSPT 47,80** 11,23
6 Tinggi tanaman 6 MSPT 45,89** 9,81
7 Jumlah daun 1 MSPT 6,40** 19,46
8 Jumlah daun 2 MSPT 6,40** 19,46
9 Jumlah daun 3 MSPT 14,61** 16,76
10 Jumlah daun 4 MSPT 6,40** 19,46
11 Jumlah daun 5 MSPT 18,10** 12,25
12 Jumlah daun 6 MSPT 15,57** 12,31
13 Diameter batang 1 MSPT 10,66** 11,81
14 Diameter batang 2 MSPT 10,66** 11,81
15 Diameter batang 3 MSPT 10,66** 11,81
16 Diameter batang 4 MSPT 15,66** 10,54
17 Diameter batang 5 MSPT 7,54** 15,52
18 Diameter batang 6 MSPT 12,78** 15,12
19 Panjang akar 6,55** 22,78
20 Bobot segar tanaman 12,94** 37,54
Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata

Sumber : Data primer (2014)

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan tertinggi tinggi tanaman selada pada umur 6 MSPT
terdapat pada perlakuan BM 2 yaitu sebesar 20,17 cm, lalu berturut-turut diikuti oleh BM 1 (17,17
cm), BM 3 (14,00 cm) dan tinggi tanaman yang terendah adalah perlakuan BM 0 (kontrol) yaitu 10,42
cm.
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa
bioaktivator mikroorganisme lokal
Tinggi minggu ke-
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
Kontrol (BM 0) 4,92 d 4,92 d 5,50 d 6,75 d 8,17d 10,42 d
Mol Rebung (BM 1) 8,50 b 8,50 b 10,42 b 12,08 b 14,50 b 17,17 b
Mol Bonggol Pisang (BM 2) 11,92 a 11,92 a 13,92 a 15,75 a 17,93 a 20,17 a
Mol Buah Maja (BM 3) 7,00 c 7,00 c 8,42 b 9,83 c 11,72 c 14,00 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Sumber : Data primer (2014)

Aplikasi bioaktivator mikroorganisme lokal bonggol pisang (BM 2) menunjukkan perlakuan


bioaktivator yang terbaik. Hal ini diduga karena mikroorganisme yang ada di bonggol pisang lebih
banyak sehingga dalam fermentasi / perombakan menghasilkan unsur hara yang baik untuk tanaman
pada saat diaplikasikan.

214
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa
bioaktivator mikroorganisme lokal
Jumlah daun minggu ke-
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
Kontrol (BM 0) 3,00 b 3,00 b 3,00 b 3,00 b 4,50 c 5,50 c
Mol Rebung (BM 1) 3,67 ab 3,67 ab 4,67 a 3,67 ab 6,67 a 7,67 b
Mol Bonggol Pisang (BM 2) 4,50 a 4,50 a 5,50 a 4,50 a 7,50 a 8,83 a
Mol Buah Maja (BM 3) 3,00 b 3,00 b 3,67 b 3,00 b 5,67 b 6,67 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Sumber : Data primer (2014)

Data hasil pengamatan dan uji f jumlah daun 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 MSPT dapat dilihat pada tabel
1, dimana perlakuan bioaktivator berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun umur
pada 1, 2, 3, 4, 5, 6 MSPT perlakuan bioaktivator MOL dapat dilihat pada Tabel 3. Dimana perlakuan
yang terbaik dilihat dari rerata jumlah daun pada bioaktivator MOL dari bonggol pisang (BM 2) dan
terendah pada kontrol (tanpa perlakuan). Hal ini bioaktivator menggunakan bonggol pisang sangat
baik karena mikroba yang ada di bonggol sangat banyak sehingga perombakan dapat terjadi dengan
baik dan tanaman dapat memanfaatkan untuk pertumbuhannya. Hal ini dikemukakan Suhastyo (2011)
dalam Ole (2013) yaitu Bonggol pisang mengandung mikrobia pengurai bahan organik. Mikrobia
pengurai tersebut terletak pada bonggol pisang bagian luar maupun bagian dalam. Jenis mikrobia yang
telah diidentifikasi pada MOL bonggol pisang antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., dan Aspergillus
nigger Mikrobia inilah yang biasa menguraikan bahan organik. Mikrobia pada MOL bonggol pisang
akan bertindak sebagai dekomposer bahan organik yang akan dikomposkan.
Tabel 4. Rata-rata diameter batang minggu ke-1 sampai minggu ke-6 terhadap aplikasi beberapa
bioaktivator mikroorganisme lokal
Diameter batang minggu ke-
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
Kontrol (BM 0) 0,45 c 0,45 c 0,45 c 0,50c 0,58 c 0,75 c
Mol Rebung (BM 1) 0,56 b 0,57 b 0,57 b 0,65 b 0,82 ab 0,95 b
Mol Bonggol Pisang (BM 2) 0,66 a 0,67 a 0,67 a 0,77 a 0,88 a 1,25 a
Mol Buah Maja (BM 3) 0,57 b 0,57 b 0,57 b 0,67 b 0,72 bc 0,88 bc
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Sumber : Data primer (2014)

Pada variabel diameter batang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan dari
umur tanaman 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 MSPT terlihat pada tabel 1. Perlakuan yang terbaik pada minggu
setelah pindah tanam variabel pengamatan diameter batang yang menggunakan bioaktivator mol dari
bonggol pisang. Ini mungkin dikarenakan pemberian mikroorganisme lokal dapat meningkatkan
mikroorganisme yang ada didalam tanah sehingga dapat merombak bahan organik dan selanjutnya
bahan organik tersebut dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhannya.
Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman selada meliputi rata-rata
panjang akar dan bobot segar tanaman selada dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata panjang akar dan bobot segar terhadap aplikasi beberapa bioaktivator
mikroorganisme lokal
Perlakuan Panjang akar (cm) Bobot segar (g)
Kontrol (BM 0) 4,25 c 16,50 c
Mol Rebung (BM 1) 6,25 ab 39,50 b
Mol Bonggol Pisang (BM 2) 7,48 a 64,17 a
Mol Buah Maja (BM 3) 5,25 bc 27,83 bc
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Sumber : Data primer (2014)

Hasil pengamatan panjang akar tertinggi dicapai oleh perlakuan bioaktivator mol dari bonggol
pisang BM 2 (7,48 cm). Hal ini diduga karena tanah yang diberi mikroorganisme lokal menjadi

215
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

gembur dan mampu memperbaiki sifat biologi tanah sehingga mempengaruhi pertumbuhan akar dan
pengalokasian hara pada tanaman.
Bobot segar selada tertinggi dicapai oleh perlakuan mikroorganisme lokal dari bonggol pisang
BM 2 (64,17 g), dari rebungBM 1 (39,50 g), dari buah Maja (27, 83 g), namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan BM 0 tanpa bioaktivator mol. Bobot basah sawi terendah dicapai oleh perlakuan
bioaktivator tapai maupun rebung. Bobot segar selada tertinggi ini diduga karena penyerapan unsur
hara dan air secara maksimal sehingga bobot segar selada dapat bertambah dan sebaliknya pada bobot
segar selada terendah.

KESIMPULAN
1. Pembuatan Mikroorganisme lokal (MOL) dalam wadah jerigen menunjukan mengalami
fermentasi yang cukup baik yang ditandai dengan warna bahan coklat sampai kehitaman dan
pertumbuhan tanaman selada pada saat persemaian serta saat setelah pindah tanam masih relatif
lambat.
2. Semua perlakuan bioaktivator mikro organisme lokal yang diaplikasikan ke tanaman selada
menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan selada kecuali tanpa perlakuan
(kontrol). Perlakuan bioaktivator mikroorganisme lokal terbaik terhadap bobot segar selada
adalah mol dari, bonggol pisang BM 2 (64,17 g)

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kami sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (Ditlitabmas) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai skim Hibah
Program Penelitian Dosen Pemula pada tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA
Haryanto, E., T. Suhartini, E., Rahayu dan H.H. Sunarjono. 2003. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Indriani, Y.H. 1999. Membuat Kompos secara Kilat. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Karakteristik, klasifikasi dan Pemanfaatannya.
Pustaka Jaya. Jakarta.
Nazaruddin. 1999. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Ole, Moses Benediktus Bengngo (2013) penggunaan mikroorganisme bonggol pisang (Musa
paradisiaca) sebagai dekomposer sampah organik. S1 thesis, UAJY. http://e-
journal.uajy.ac.id/3963/3/2BL01047.pdf[Diunduh Tgl 5 Agustus 2014].
Purwasasmita M, Kunia K. 2009. Mikroorganisme lokal sebagai pemicu siklus kehidupan dalam
bioreaktor tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia- SNTKI 2009. Bandung
19-20 Oktober 2009.
Rukmana, R. 2000. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius. Yogyakarta.
Samekto. 2006. Pupuk Kompos. Penerbit Citra Aji Parama. Yogyakarta.
Steel and Torrie 1993 Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrika. Alih Bahasa Ir.
Bambang Sumantri. Principles and Procedure of Statistic. Gramedia. Jakarta.
Suhastyo, A. A. 2011. Studi Mikrobiologi dan Sifat Kimia Mikroorganisme Lokal yang Digunakan
pada Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification). Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.

216
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EVALUASI KERAGAAN BEBERAPA SEMANGKA HIBRIDA KOLEKSI BALAI


PENELITIAN TANAMAN BUAH TROPIKA
EVALUATION OF PERFORMANCE OF SOME HYBRID WATERMELON FROM
INDONESIAN TROPICAL FRUIT RESEARCH INSTITUTE
Kuswandi, Makful, Sahlan, Mega Andini
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Jl Raya Solok-Aripan km 8 Solok, Sumatera Barat 20137, HP.085375084114
email: sutan.mangkuto33@gmail.com

ABSTRAK
Semangka hibrida hasil silangan Balitbu Tropika memiliki keragaman yang tinggi. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui keragaan hibrida semangka koleksi Balitbu Tropika dan untuk
mengevaluasi keunggulan masing-masing hibrida. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan
Sumani, Balitbu Tropika pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Materi yang digunakan terdiri
dari 19 kombinasi persilangan. Percobaan merupakan penelitian deskriptif. Data hasil penelitian
ditampilkan dalam bentuk rataan dan gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hibrida yang diuji
memiliki keragaman dalam ukuran, warna kulit buah, warna daging buah, ketebalan kulit buah dan
kemanisan. Belum ditemukan semangka hibrida yang memiliki tiga karakter unggul, yang terdiri dari
bobot buah sedang, TSS tinggi, dan kulit buah agak tebal. Hibrida yang memiliki keunggulan berupa
rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P,
BT4 x BT6, dan BT4xBT4P.
Kata kunci : semangka, hibrida, TSS, keragaan.

ABTRACT
Watermelon hybrid result of crossing by Balitbu Tropika has a high diversity. The objective of the
research was to determine the performance of hybrid watermelon of Indonesian Tropical Fruit
Research Institute (ITFRI) collection and to evaluate the superiority of each hybrid. The research has
been conducted at Sumani Experimental Garden, ITFRI in April until July 2016. The material used
consists of 19 cross combinations. The experiment was a descriptive study. The data was displayed in
the form of average and pictures. The results showed that the hybrids were tested have diversity in
size, fruit skin color, flesh color, skin thickness, and sweetness of the fruit. Have not found hybrids
have three excellent characters, consisting of medium fruit weight, TSS value is high, and rather thick
rind. Hybrid has the advantage of a sweet taste and shelf life is BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4
x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, and BT4xBT4P.
Keywords : watermelon, hybrids, TSS, performance.

PENDAHULUAN
Semangka (Citrulus lannatus Thumb (Matsum) Nakai) diyakini berasal dari Afrika dan
menyebar ke seluruh wilayah di dunia. Tanaman komersil ini memiliki kandungan air > 90 %. (Kumar
et al. 2012; Prabhakar et al. 2013). Disamping itu, kandungan lycopene pada daging buah semangka
dipercaya mampu mengurangi resiko terserang kanker (Naz et al. 2014). Selain daging buahnya kaya
dengan berbagai macam vitamin, ternyata kulit buahnya mengandung senyawa polisakarida yang
banyak digunakan sebagai anti kanker, anti pembekuan darah, anti virus dan anti oksidan (Romdhane
et al. 2017).
Kesuksesan dalam program pemuliaan semangka hibrida di Indonesia sampai saat ini masih
sangat terbatas. Kondisi serupa juga terjadi di negara tetangga Malaysia. Kendala yang dihadapi dalam
program pemuliaan semangka antara lain kurangnya sumber daya genetik dan cekaman lingkungan
seperti kelembaban tinggi, curah hujan, dan serangan hama dan penyakit yang menyebabkan gagal
panen. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap varietas komersil yang dirilis
oleh perusahaan benih asing (Bahari et al. 2012).
Pemuliaan hibrida pada tanaman menyerbuk silang seperti semangka memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan varietas bersari bebas, antara lain dalam peningkatan nilai yang mengarah
kepada heterosis, dan stabilitas hasil yang lebih tinggi (Longin et al. 2012). Program pemuliaan
semangka pada awalnya bertujuan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi (Gusmini dan

217
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Wehner 2005). Selanjutnya juga diarahkan kepada perakitan varietas tahan cekaman abiotik
(Wakindiki dan Kirambia 2011) dan biotik (Levi et al 2012). Disamping itu pemuliaan semangka
mulai mengarah kepada perakitan varietas dengan kandungan nutrisi tinggi seperti varietas dengan
kandungan citrullin, -carotene, dan lycopene yang tinggi. Program pemuliaan juga diarahkan kepada
perakitan aneka warna daging buah, dan tekstur daging renyah. (Park and Choi 2012, Kim et al. 2015).
Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Tropika sampai saat ini telah memiliki delapan galur
semangka yang telah stabil secara genetik. Kedelapan galur terdiri dari tiga nomor dengan warna
daging merah dan lima nomor dengan warna daging kuning. Kedelapan galur ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai tetua dalam mendapatkan varietas unggul baru, baik hibrida maupun varietas
bersari bebas. Penelitian ini merupakan tahapan evaluasi dari hibrida silang tunggal yang dihasilkan
dari kombinasi persilangan berbagai galur inbred yang dilakukan oleh tim pemulia semangka Balitbu
Tropika. Penelitian bertujuan untuk mengetahui keragaan hibrida semangka koleksi Balitbu Tropika
dan untuk mengevaluasi keunggulan masing-masing hibrida.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumani, Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
pada bulan April sampai dengan Juli 2016. Materi yang digunakan terdiri dari 19 kombinasi
persilangan, yaitu BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT1 x SGP, BT3 x BT1, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x
BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4 x BT4P, BT4P x BT4, BT4P x BT1, BT4P x BT5, BT5 x BT4,
BT5 x BT1, BT5 x BT3, BT5 x BT4, BT6 x SGP, dan SGP x BT6. Kesembilan belas hasil silangan
berasal dari lima galur dengan warna daging kuning dan tiga galur dengan warna daging merah.
Masing-masing hibrida ditanam di dalam bedengan berukuran 16 x 6 m, dengan jumlah 30 tanaman
per bedengan.
Peubah yang diamati terdiri dari bobot buah, panjang buah, panjang tangkai buah, lingkar
buah, tebal kulit buah, warna kulit buah, warna daging buah, warna biji dan total padatan terlarut
(TSS). Seleksi hibrida didasarkan kepada karakter yang disukai petani seperti bobot buah berkisar
antara 4-6 kg, warna daging merah atau kuning, rasa manis, dan tahan simpan.. Percobaan merupakan
percobaan deskriptif. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk rataan dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hibrida hasil persilangan galur murni koleksi Balitbu Tropika berjumlah 19 hasil silangan.
Nomor silangan yang memiliki bobot buah tertinggi adalah BT4 X BT4P dan BT5 x BT3 dengan
rerata bobot per buah mencapai 7,7 kg, sedangkan bobot buah paling ringan dimiliki oleh BT4P x
BT1, yaitu 2,3 kg (Tabel 1). Konsumen memiliki preferensi yang berbeda terhadap bobot buah
semangka, petani lebih menyukai buah berukuran 4-5 kg karena akan menghasilkan produksi yang
tinggi, sementara konsumen buah untuk konsumsi rumah tangga lebih menyukai buah berukuran kecil
dengan bobot maksimal 3 kg per buah, karena satu buah langsung habis dikonsumsi satu keluarga
tanpa harus disimpan jika bersisa.
Galur semangka koleksi Balitbu Tropika dan hasil silangannya umumnya berbentuk bulat,
sehingga memiliki panjang buah yang tidak terlalu panjang tetapi lingkar buahnya cukup besar.
Panjang buah terpanjang terdapat pada hasil silangan BT4P x BT4 yaitu 22,7 cm dan panjang buah
terpendek pada hasil silangan BT3 x BT6, yaitu 15 cm. Lingkar buah terlebar ditemukan pada hibrida
hasil silangan BT4 x BT4P, yaitu 74,8 cm, dan lingkar buah terkecil ditemukan pada hibrida hasil
silangan Bt3 X BT6, yaitu 50 cm.

218
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Karakter hibrida semangka Balitbu Tropika yang berhubungan dengan produksi.
Bobot Panjang Lingkar Tebal Warna Warna
Aksesi Warna kulit TSS
buah Buah Buah Kulit daging biji

1 BT1 x BT3 4.5 20 62.5 1.2 HjMuda lorek Merah Hitam 9


2 BT1 x BT4 4.2 21 61.5 1 HjMuda lorek Merah Hitam 9.8
3 BT1xSGP 5.6 23 67.3 1.4 Hj Gelap Polos Merah hitam 11.2
4 BT3xBT1 5 21.4 66.3 1.2 Hj Gelap Polos Merah hitam 9.8
Coklat
5 BT3 x BT5 5.1 22 66.5 1.1 Hj Gelap Polos Merah tua 9.5
6 BT3 x BT6 1.9 15 50 1.2 Hijau Gelap Merah Hitam 10
7 BT4 x BT2 5.3 21.9 66.8 1 hjMuda Polos Kuning Coklat 10.3
8 BT4 x BT4P 7.7 26 74.8 1.2 HjGelap Polos Kuning Coklat 9
9 BT4 x BT6 3.1 19 56 0.9 Hj Gelap Polos Kuning Coklat 8.2
Merah
10 BT4xBT4P 6.8 25 73 1 Hj Gelap Polos kuning hitam 11.2
Merah
11 BT4PxBT4 5.5 22.7 67.7 1.1 Hj Gelap Polos kuning hitam 9
12 BT4P x BT1 2.3 17.5 51 1.1 hjMuda Polos Kuning Coklat 7.2
13 BT4P x BT5 2.7 17 54 1 hjMuda Polos Kuning Coklat 8.2
Coklat
14 BT5 x BT4 5.4 21.7 66.1 1.1 HjMuda lorek Kuning tua 9.1
15 BT5xBT1 4.9 21 66 0.8 Hj Gelap Polos Merah hitam 9.8
16 BT5 x BT3 7.7 25 74 0.8 HjMuda lorek Kuning Coklat 9.6
17 BT5xBT4 4.1 20 62 1.1 Hj Gelap Polos Kuning hitam 11.4
18 BT6xSGP 4.9 21.5 65 1.1 Hj Gelap Polos Merah hitam 11
19 SGP x BT6 4.4 20.8 64.8 1.4 Hj Gelap Polos Merah Hitam 10.2
Sumber : data primer (2016).

Tebal kulit buah paling tebal ditemukan pada hasil silangan BT1 x SGP, yaitu 1,4 cm. kulit
buah paling tipis ditemukan pada hasil silangan BT5 x BT3 dan BT5 x BT1, yaitu 0,8 cm. tebal kulit
biasanya berhubungan dengan umur simpan buah. Menurut Kuswandi et al. (2014) Buah yang berkulit
tipis cenderung akan mempunyai umur simpan yang pendek. Walaupun demikian, kulit buah yang
terlalu tebal juga tidak memenuhi persyaratan buah berkualitas baik karena memiliki edible portion
rendah.
Warna kulit semangka hibrida koleksi Balitbu Tropika ada tiga, yaitu hijau muda berlorek,
hijau muda polos, dan hijau gelap polos. Menurut Park et al. (2016) penampilan kulit buah merupakan
karakter penting pada pemuliaan semangka, karena karakter inilah yang pertama kali dilihat oleh
konsumen. Studi genetik biasanya membicarakan pewarisan warna kulit buah, pola garis pada kulit
buah dan bentuk buah. Buah semangka dengan warna hijau muda berlorek merupakan buah semangka
pada umumnya yang biasa ditemukan di pasaran. Semangka dengan warna kulit buah hijau tua polos
biasanya identik dengan karakter berkulit tebal, tekstur kulit buah lentur, sehingga tahan pecah dan
tahan simpan. Sedangkan warna kulit buah hijau muda polos diduga terbentuk akibat terjadinya
penggabungan dua karakter resesif pada saat pembentukan warna kulit. Dalam sebuah hasil
persilangan biasanya warna kulit buah hijau muda polos akan tertutupi oleh warna kulit buah hijau
gelap polos dan hijau muda berlorek. Hasil silangan yang memiliki warna kulit buah hijau muda polos
adalah BT4 x BT2. (Gambar 1).

219
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gambar 1. Keragaan warna kulit buah semangka koleksi Balitbu Tropika

Seperti diketahui, warna daging buah semangka biasanya berwarna merah dan kuning. Warna
daging buah merah kuning biasanya terjadi ketika tanaman betina dengan merah diserbuki bunga
jantan dari tanaman yang warna daging buahnya kuning atau sebaliknya. Hasil silangan yang memiliki
warna daging merah kuning adalah BT4 x B P dan BT4P x BT4 (Gambar 2).

Gambar 2. Keragaan warna daging buah semangka Balitbu Tropika

TSS atau total padatan terlarut biasanya berhubungan dengan kemanisan, walaupun
sebenarnya kemanisan pada buah juga dipengaruhi oleh total asam. Hasil silangan yang memiliki rata-
rata TSS paling tinggi adalah BT5 X BT4 yaitu 11,4 briks, sedangkan rata-rata TSS paling rendah
terdapat pada BT4P x BT1, yaitu 7,2 briks.
Berdasarkan hasil dialog dengan beberapa orang petani mitra di beberapa lokasi pengujian
semangka Balitbu Tropika yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, disimpulkan bahwa buah
semangka yang diminati petani dan konsumen kalangan menengah ke bawah biasanya memiliki bobot
buah 4-5 kg, rasa manis (TSS 10 briks), dan berkulit agak tebal sehingga tidak mudah pecah
selama pengangkutan (Tabel 2). Dari ketiga karakter unggul yang dijadikan sebagai kriteria seleksi,
ternyata tidak satupun hibrida yang unggul pada ketiga kriteria tersebut.
Tabel 2. Nomor silangan semangka yang memiliki keunggulan pada bobot buah, TSS, dan ketebalan
kulit buah.
No. Karakter Hibrida
1. Bobot buah sedang BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT3xBT1, BT5xBT1, BT5xBT4, BT6xSGP,
( 4-5 kg) SGP x BT6
2. TSS ( 10 briks) BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x
BT6, BT4xBT4P
3. Kulit buah agak tebal (1,1 - BT1 x BT3, BT1 x BT4, BT1xSGP, BT3xBT1, BT3 x BT5, BT3 x
1,3 cm) BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, BT4xBT4P, BT4PxBT4,
BT4P x BT5, BT5 x BT4, BT5xBT1, BT5 x BT3, BT5xBT4,
BT6xSGP, SGP x BT6
Sumber : data primer (2016).

220
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis dan tahan simpan adalah BT1xSGP,
BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6, dan BT4xBT4P. Hibrida yang
memiliki keunggulan pada bobot buah 4-5 kg dan rasa manis belum ditemukan.

KESIMPULAN
Semangka hibrida yang dihasilkan Balitbu Tropika berjumlah 19 nomor silangan. Hibrida
tersebut memiliki keragaman dalam ukuran, warna kulit buah, warna daging buah, ketebalan kulit
buah dan kemanisan. Belum ditemukan hibrida yang memiliki tiga karakter unggul, yaitu bobot buah
sedang, TSS tinggi, dan kulit buah agak tebal. Hibrida yang memiliki keunggulan berupa rasa manis
dan tahan simpan adalah BT1xSGP, BT3 x BT5, BT3 x BT6, BT4 x BT2, BT4 x BT4P, BT4 x BT6,
dan BT4xBT4P.

DAFTAR PUSTAKA
Bahari, M., Rafii, M.Y,Saleh, G.B and Latif. M.A. 2012. Combining ability analysis in complete
diallel cross of watermelon (Citrullus lanatus (Thumb.)Matsum. & Nakai). The
ScientificWorld Journal: 1-6. doi:10.1100/2012/543158.
Gusmini, G and T.C.Wehner. 2005. Foundations of yield improvement in watermelon. Crop Sci.
45:141146.
Kumar,V, Shirol, A.M., Mulge, R, Thammaih, N. and Kumar, P. 2012. Genotype x environmental
interaction in watermelon (Citrullus lanatus Thunb.) genotypes for yield and quality
traits. Karnataka J. Agril. Sci., 25:248-252.
Levi, A, Thies, JA,Wechter, WP, Harrison, HF,Simmons, AM, Reddy, UK, Nimmakayala, P, Fei, Z.
2012. High frequency oligonucleotides: targeting active gene (HFO-TAG) markers
revealed wide genetic diversity among Citrullus spp. accessions useful for enhancing
disease or pest resistance in watermelon cultivars. Genet Resour Crop Evol. 1-14. DOI
10.1007/s10722-012-9845-3.
Kim, H, Han, D, Kang, J, Choi, Y, Levi, A, Lee, GP, Park, Y. 2015. Sequence characterized amplified
polymorphism markers for selecting rind stripe pattern in watermelon (Citrullus lanatus
L.). Hort. Environ. Biotechnol. 56(3):341-349. DOI 10.1007/s13580-015-0017-1
Kuswandi, Sobir, Suwarno, WB. 2014. Keragaman Genetik Plasma Nutfah Rambutan di Indonesia
Berdasarkan Karakter Morfologi. J.Hort. 24(4) : 289-298.
Longin, C.F.H., J. Muhleisen, H.P. Maurer, H. Zhang, M. Gowda, J.C. Reif. 2012. Hybrid breeding in
autogamous cereals. Theor Appl Genet 125:10871096.
Naz A., M.S.Butt, M.T.Sultan, M.M.N Qayyum, R.S Niaz. 2014. Watermelon lycopene and allied
health claims. EXCLI Journal 13:650-666.
Park, Y, Choi, S. 2012. Watermelon production and breeding in South Korea. Israel J. Plant Sci.
60:415-423.
Park, SW, Kim, KT, Kang, SC, Yang, HB. 2016. Rapid and practical molecular marker development
for rind traits in watermelon. Hortic. Environ. Biotechnol. 57(4):*-*.
Korean Society for Horticultural Science and Springer
2016. DOI 10.1007/s13580-016-0005-0
Prabhakar, M, Hebbar, S.S. and Nair, A.K. 2013. Influence of various sources and levels of fertilizer
applied through fertigation on hybrid watermelon grown in rabi-summer. J. Hortl. Sci.
8(1):60-64.
Romdhane, M, Haddar, A, Ghazala, I, Jeddou, KB, Helbert, CB, Chaabouni, SE. 2017. Optimization
of polysaccharides extraction from watermelon rinds: Structure, functional and biological
activities. Food Chemistry 216: 355364.
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.08.056.
Wakindiki IIC, Kirambia RK. 2011. Supplemental irrigation effects on yield of two watermelon
(Citrulus lanatus) cultivars under semi-arid climate in Kenya. African Journal of
Agricultural Research 6(21):4862-4870.

221
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

TINGKAT KEMATANGAN BUAH RAMBUTAN TERHADAP KUALITAS MANISAN


KERING BUAH RAMBUTAN
THE MATURITY INDEX OF RAMBUTAN FRUIT ON THE QUALITY OF RAMBUTAN DRIED
CANDIED
Nofiarli, Kuswandi, Andre Sparta, Mega Andini, Yulia Irawati dan Nini Marta
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Jalan Raya Solok Aripan Km 8 Solok, Sumatera Barat
Email : ali_swarna@yahoo.co.id

ABSTRAK
Rambutan merupakan buah yang sangat populer di Asia. Di Asia terdapat lebih dari 200 jenis varietas
rambutan. Tujuan penelitian ini adalah menentukan varietas terbaik dan indeks kematangan terbaik
buah rambutan sebagai bahan dasar manisan kering buah rambutan. Penelitian ini telah dilaksanakan
pada bulan Januari sampai Februari 2015 di Laboratorium Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman
Buah Tropika. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga
ulangan. Data yang diperoleh di analisis secara anova, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji
lanjut Tukeys. Perlakuannya adalah Korong Gadang dengan indeks kematangan A (25% warna kulit
dan rambut buah berwarna merah), Korong Gadang dengan indeks kematangan B (50% warna kulit
dan rambut buah berwarna merah), Korong Gadang dengan Indeks kematangan C (75% warna kulit
dan rambut buah berwarna merah), Sitangkue dengan indeks kematangan A (25% warna kulit dan
rambut buah berwarna merah), Sitangkue dengan indeks kematangan B (50% warna kulit dan rambut
buah berwarna merah) dan Sitangkue dengan Indeks kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah
berwarna merah). Pengamatan yang dilakukan adalah Rendemen manisan dan uji organoleptik
terhadap rasa, aroma, warna dan penampilan. Pengamatan lain adalah kadar air, kadar abu, kadar serat,
kadar karbohidrat dan vitamin C. Perlakuan terbaik adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan
tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah). Pelakuan ini memiliki
kadar vitamin C dan karbohidrat tertinggi yaitu 33,8 mg dan 84,73 %.. Perlakuan ini sangat cocok
dijadikan sebagai bahan dasar dalam pembuatan manisan kering rambutan. Uji organoleptik
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistik.
Kata kunci : Rambutan, varietas, manisan kering

ABSTRACT
Rambutan is a fruit which is very popular in Asia. In Asia, there are more than 200 kinds of rambutan
varieties. The purpose of this research was to determine the best variety and appropriate rambutan
maturity level as a basic raw material for rambutan fruit dried candied. This research was conducted
in January to February 2015 in the Post Harvest Laboratory, ITFRI, Solok, West Sumatera,
Indonesia. This research used completely randomized design with six treatments and three
replications. The treatments were Korong Gadang with A maturity index (25% fruit rind and hair red
color), Korong Gadang with B maturity index (50% fruit rind and hair color red), Korong Gadang
with the C maturity index (75% fruit rind and hair red color), Sitangkue with A maturity index (25%
fruit skin and hair red color), Sitangkue with B maturity index (50% fruit rind and hair red color) and
Sitangkue with the C maturity index (75% fruit rind and hair red color). The observations made were
candied yield and organoleptic test on aroma, color and appearance. Another observation was water
content, ash content, fiber content, carbohydrate content, and vitamin C. The best treatment was
Korong Gadang varieties with C harvest index. This treatment had higher of vitamin C content and
carbohydrate of 33.8 mg and 84.73%. This treatment was very suitable as a basic raw material for
making rambutan dried candied.The organoleptic test gave the result was not significant base on
statistical analysis.
Keyword : Rambutan, Dried Candied

222
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Rambutan (Nephelium lappaceum L.) di duga berasal dari Indonesia dan Malaysia. Rambutan
di tanam hampir di semua wilayah di Asia Tenggara (Siebert 1991) dan sangat populer di Asia
(Kondo, et al., 2001). Rambutan termasuk dalam family Sapindaceae, satu famili dengan buah sub-
tropika leci dan longan (Marisa, 2006).Buah rambutan bisa di konsumsi dalam bentuk segar, buah
kaleng, atau setengah jadi. Buah ini memiliki kesegaran rasa dan penampilan yang eksotik (Ong et al.,
1998).
Pada saat panen raya ketersediaan buah rambutan sangat banyak, sehingga harga buah
rambutan bisa jatuh sangat drastis. Untuk itu, maka perlu usaha untuk meningkatkan nilai tambah
rambutan (Sukasih dan Setiadjit, 2015). Disamping itu, rambutan merupakan buah yang memiliki
masa simpan sangat pendek.Daya simpan yang pendek membuat buah rambutan sulit untuk
didistribusikan dengan tujuan untuk penjualan jarak jauh (Hastuti et al., 2013). Menurut Srilaong et
al., (2002) komersialisasi rambutan menjadi sangat terbatas karena kehilangan hasil selama
penyimpanan dan sangat mudah mencoklat. Oleh karena itu, pengolahan buah rambutan menjadi
berbagai produk olahan menjadi sangat perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah buah
rambutan. Disamping itu, menurut Vega-Glvez et al., (2015) dan Shahdadi et al., (2015) produk
makanan sampingan (kering) berbahan dasar buah dapat meningkatkan gizi dan menjaga kesehatan.
Pengeringan buah dapat meningkatkan daya simpan dan mencegah pertumbuhan mikro organisme
(Horuz dan Maskan, 2015; Arinola, 2016; dan Fayose, 2016). Oleh karena itu, pengolahan buah
rambutan menjadi manisan kering merupakan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan buah
rambutan.
Buah rambutan memiliki kadar air yang tinggi dengan ketebalan daging yang bervariasi dari
sangat tipis sampai tebal berdasarkan varietas. Hal ini terjadi karena rambutan memiliki keragaman
jenis yang sangat tinggi. Menurut Sonwai (2012) terdapat lebih dari 200 jenis rambutan yang tersebar
di seluruh kawasan tropik asia. Untuk itu, pemilihan varietas yang tepat untuk menjadi bahan baku
pembuatan manisan kering menjadi sangat perlu. Kriteria yang diperlukan adalah buah dengan kadar
air rendah dan daging tebal. Berdasarkan kriteria di atas, maka dipilih varietas Sitangkue dan Korong
Gadang karena kedua varietas ini memiliki karakter kadar air rendah dan daging buah tebal.
Rambutan adalah buah non klimaterik (Leong, 1982), dan tidak akan melanjutkan proses
pematangan buah setelah diambil dari batang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu untuk melakukan
pemanenan pada kondisi kualitas optimal untuk di makan segar dengan penampakan visual buah yang
baik (OHare, 1995). Rasa merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas suatu produk
makanan. Rasa manisan yang diinginkan oleh konsumen adalah rasa manis dengan rasa buah yang
segar. Namun demikian, rasa manisan akan ditentukan oleh produk asal manisan itu sendiri. Maka
pemilihan tingkat kematangan yang tepat sangat menentukan dalam mendapatkan kualitas manisan
terbaik. Berdasarkan hal diatas maka tujuan penelitian ini adalah menentukan varietas terbaik dan
tingkat kematangan yang tepatbuah rambutan sebagai bahan dasar manisan kering buah rambutan.

BAHAN DAN METODA


Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015 di Laboratorium
Pasca Panen Balai Penelitian Tanaman Tropika (Balitbu Tropika), Solok, Sumatera Barat. Varietas
yang digunakan adalah rambutan varietas Sitangkue dan Korong Gadang. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuannya adalah Korong
Gadang dengan tngkat kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Korong
Gadang dengan tingkat kematangan B (50% warna kulit dan rambut buah berwarna merah), Korong
Gadang dengan Tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah),
Sitangkue dengan Tingkat kematangan A (25% warna kulit dan rambut buah berwarna merah),
Sitangkue dengan Tingkat kematangan B (50% warna kulit dan rambut buah berwarna merah) dan
Sitangkue dengan Tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah). Jumlah
sampel yang digunakan adalah 100 buah per perlakuan.
Bahan dan alat yang digunakan adalah rambutan varietas Korong Gadang dan Sitangkue,
alumunium foil, alat panen rambutan, kantong plastik, pisau, aneka wajan, oven, tanur, dan aneka alat
tulis. Buah rambutan dipanen menurut tingkat kematangan tertentu sesuai perlakuan. Kulit buah di
kupas dan di ambil isinya, kemudian di potong menjadi dua bagian. Selanjutnya biji dikeluarkan dan
di ambil daging buahnya. Selanjutnya daging buah segar langsung dioven selama 24 jam pada suhu
70oC.

223
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengamatan yang dilakukan adalah rendemen manisan. Rendemen dihitung dengan


perbandingan antara berat kering akhir bahan dengan berat basah awal bahan. Uji berikutnya adalah
uji organoleptik terhadap rasa, aroma, warna dan penampilan terhadap 25 orang panelis di Balitbu
Tropika (panelis berumur antara 15 40 tahun) tergolong panelis smi terlatih. Uji organoleptik
didasarkan pada penilaian spesifik secara skoring oleh panelis dengan kriteria sebagai berikut : 1
(sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (suka), 4 (sangat suka), dan 5 (sangat suka sekali). Pengamatan
lain adalah kadar air dengan motode oven pada suhu 105oC selama 4 jam, kadar abu dengan metode
tanur pada suhu 550oC selama 4 jam, kadar serat dengan metode gravimetri, kadar karbohidrat dengan
metode spektrofotometri dan vitamin C dengan metode titrimetri. Data yang diperoleh di analisis
secara anova, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukeys. Analisis statistik
dilakukan dengan menggunakan software STAR 2.0.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada gambar 1 terlihat bahwa varietas Korong Gadang, memiliki rendemen manisan
berbanding lurus terhadap tingkat kematangan. Semakin matang buah yang digunakan sebagai bahan
dasar pembutan manisan, maka akan semakin tinggi rendemen manisan yang didapatkan. Rendemen
tertinggi terdapat pada tingkat kematangan C (75% warna kulit dan rambut buah berwarna merah)
yaitu 20,73%. Sementara pada rambutan varietas Sitangkue, rendemen tidak di tentukan oleh tingkat
kematangan buah. Rendemen tertinggi terdapat pada tingkat kematangan A (25% warna kulit dan
rambut buah berwarna merah)yaitu 24,90%. Dari grafik pada gambar 1.dapat terlihat bahwa varietas
Sitangkue memiliki rendemen lebih besar dari pada varietas Korong Gadang.
Rendemen;
Rendemen;
Rendemen; SA; 24,89 Rendemen;
Rendemen;
KB; KC; 20,73
19,39
Rendemen; SC; 19,09 KA
SB; 18,87
KA; 15,18 KB
KC
% SA
SB
SC

Gambar 1. Rendemen manisan kering rambutan

A B
Gambar 2. Rambutan Sitangkue (A) dan Rambutan Korong Gadang (B)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan
berbagai tingkat kematangan tidak berpengauh nyata terhadap rasa manisan rambutan (Tabel 1).
Angka penerimaan panelis tertinggi diperoleh pada varietas Korong Gadang dengan tingkat
kematangan B (3,28 (suka)), sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai panelis adalah perlakuan
varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan A (2,88 (tidak suka)). Rasa manisan kedua
varietas rambutan adalah memiliki rasa khas buah rambutan dengan dominasi rasa manis.

224
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Data uji organoleptik rasa, aroma, warna dan penampilan


Perlakuan Rasa Aroma Warna Penampilan
Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,88 ns 2,44 ns 2,72 ns 2,48 ns
Korong Gadang dengan tingkat kematangan B 3,28 2,36 2,8 2,76
Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 3,24 2,32 2,64 2,8
Sitangkue dengan tingkat kematangan A 3,08 2,36 2,84 2,64
Sitangkue dengan tingkat kematangan B 3,12 2,32 2,52 2,6
Sitangkue dengan tingkat kematangan C 3,04 2,6 2,68 2,72
Ns = Non siknifikan (tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan
berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter aroma (Tabel 1). Dari data
terlihat bahwa perlakuan varietas Sitangkue dan tingkat kematangan C (2,6 (suka)) adalah perlakuan
yang paling disukai, sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai adalah perlakuan varietas Korong
Gadang dengan tingkat kematangan C dan perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B
(2,32 (tidak suka)). Pada penentukan kualitas produk, aroma dan komponen volatil adalah karakter
utama yang harus diperhatikan dan dievaluasi (Mujic et al, 2014). Aroma sebagian besar produk
makanan terdiri dari gabungan ratusan senyawa (Plutowska dan Wardencki, 2007). Senyawa phenol
adalah senyawa yang menentukan rasa dan aroma buah (Senglina, 2009). Sebagian besar senyawa
volatil yang paling mudah menguap adalah golongan senyawa terpen, keton dan lakton (Singh dan
Singh, 2012).
Warna adalah parameter penting dalam uji organoleptik (Sukasih dan Setyadjit, 2015).
Variabel warna sangat berhubungan dengan tipe dan kualitas pigmen dalam makanan (Ozkan, 2003).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan berbagai
tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap warna manisan kering rambutan (Tabel 1).
Perlakuan yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat
kematangan A (2,84 (suka)), sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai adalah perlakuan varietas
Sitangkue dengan tingkat kematangan B (2,52 (tidak suka)).
Perubahan warna pada manisan rambutan terjadi karena adanya proses karamelisasi. Proses ini
terjadi selama proses pengeringan. Menurut Shahdadi et al., (2015), selama proses pengeringan,
oksidasi pigmen, enzim dan non enzim menyebabkan perubahan warna pada produk.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan
berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap penampilan manisan kering rambutan
(Tabel 1).Perlakuan yang paling disukai oleh panelis adalah perlakuan varietas Korong Gadang
dengan tingkat kematangan C (2,8 (suka)), sedangkan perlakuan yang paling tidak disukai oleh panelis
adalah perlakuan varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan A (2,48 (tidak suka)).
Kombinasi warna dan tekstur merupakan faktor utama yang menentukan penampilan produk
makanan. Menurut Priyono et al., (2014), Suhu 80oc dan lama pengeringan diatas 12 jam akan
menghasilkan manisan kering belimbing menjadi keras.
Tabel 2. Data kadar air dan kadar abu
Perlakuan Kadar Air (%) Kadar Abu (%)
Korong Gadang dengan tingkat kematangan A 2,44 ns 1,61 ns
Korong Gadang dengan tingkat kematanga B 2,36 1,51
Korong Gadang dengan tingkat kematangan C 2,32 1,32
Sitangkue dengan tingkat kematangan A 2,36 1,87
Sitangkue dengan tingkat kematangan B 2,32 1,84
Sitangkue dengan tingkat kematangan C 2,60 1,64
Ns = Non siknifikan (tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan
berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air manisan kering rambutan
(Tabel 2). Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan C
(2,60%) sedangkan kadar air terendah terdapat pada perlakuan varietas Korong gadang dengan tingkat
kematangan C dan perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan B (2,32%). Kandungan

225
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

kadar air akan berpengaruh terhadap warna suatu produk makanan. Menurut Ozkan (2003)
menyatakan bahwa kandungan air berpengaruh pada refleksi warna pada manisan aprikot.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa varietas Korong Gadang dan Sitangkue dengan
berbagai tingkat kematangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu manisan kering rambutan
(Tabel 2). Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan varietas Sitangkue dengan tingkat kematangan
B (1,84%), sedangkan perlakuan yang memiiki kadar abu terendah adalah perlakuan varietas Korong
Gadang dengan tingkat kematangan C (1,32%). Kadar abu akan menunjukkan kandungan mineral
pada bahan. Menurut Olaoye and Onilude (2008), Widaningrum et al., (2008) mengatakan bahwa
kadar abu mengindikasikan adanya kandungan mineral dalam makanan.
Pada Rambutan, vitamin C adalah kandungan vitamin tertinggi dibanding dengan vitamin-
vitamin lainnya (Kimbal, 1999). Berdasarkan data pada gambar 2, dapat dilihat bahwa tingkat
kematangan berbanding lurus dengan kadar vitamin C. Pada varietas Sitangkue, semakin matang buah
yang digunakan, maka kadar vitamin C akan semakin menurun. Kadar vitamin C tertinggi terdapat
pada tingkat kematangan A (25,45 mg), sedangkan tingkat kematangan C memiliki kandungan vitamin
C terendah (16,45 mg). Berbanding terbalik dengan varietas Sitangkue, pada varietas Korong Gadang,
semakin tinggi indeks kematangan, maka kadar vitamin C akan semakin tinggi. Kadar vitamin C
tertinggi terdapat pada tingkat kematangan C (33,8 mg) sedangkan kadar vitamin C terendah terdapat
pada tingkat kematangan A (17,02 mg). Dari kedua varietas terlihat bahwa varietas Korong Gadang
memiliki kadar vitamin C lebih tinggi dari pada varietas Sitangkue pada semua tingkat kematangan.
Menurut Sukasih dan Setyadjit (2015), kisaran kandungan vitamin C daging buah segar rambutan
adalah 56,68 mg/100 g. Ringeisen (2012) menambahkan bahwa kandungan vitamin C pada buah
kering lebih rendah dari buah buah segar.
Vit C; KC;
33,8
Vit C; SA;
25,45
Vit C; KB;
Vit C; KA;
Vit C; SB;Vit C; SC;
16,99 16,95 17,02 17,09
% S
A

Gambar 2. Kandungan vitamin c manisan kering rambutan

Karbohidrat;
Karbohidrat; Karbohidrat; KC; 84,73
SA; 81,22 KA; 82,38
Karbohidrat;
Karbohidrat;
SB; 77,42 Karbohidrat;
SC; 75,9
% KB; 73,73 SA

Gambar 3. Kandungan Karbohidrat Manisan Kering Rambutan


Berdasarkan data pada gambar 3 terlihat bahwa pada varietas Sitangkue, kenaikan tingkat
kematangan menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat. Kandungan karbohidrat tertinggi
terdapat pada tingkat kematangan A (81,22%) dan terendah pada tingkat kematangan C (75,9 %).
Sedangkan pada varietas Korong Gadang terjadi perubahan kandungan karbohidrat yang fluktuatif.

226
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pada tingkat kematangan A kandungan karbohidratnya adalah 82,38 %. Pada tingkat kematangan B
terjadi penuruan kandungan karbohidrat menjadi 73,73 % dan naik lagi pada tingkat kematangan C
menjadi 84,73 %.
Pada varietas Sitangkue, tingkat kematangan mempengaruhi kandungan serat. Semakin tinggi
tingkat kematangan, maka akan semakin rendah kandungan serat. Kandungan serat tertinggi terdapat
pada tingkat kematangan A dan terendah pada tingkat kematangan C. Sedangkan pada varietas Korong
Gadang terjadi fluktuasi kandungan serat. Kandungan serat tertinggi terdapat pada tingkat kematangan
A dan terendah pada tingkat kematangan B.
Kadar Kadar
Serat; KA;KadarSerat; KC;
Kadar Kadar 2,708Serat; KB;2,617
Serat; SB;
Serat; SA; 2,557
2,498 2,5 Kadar
Serat; SC;
% 2,39 SA SB

Gambar 4. Kandungan serat manisan kering rambutan

KESIMPULAN
Varietas Korong Gadang dengan tingkat kematangan C (75 % warna kulit dan rambut buah
berwarna merah) merupakan perlakuan yang paling disukai dan memiliki kadar vitamin C dan
karbohidrat tertinggi yaitu 33,8 mg dan 84,73 %, serta sangat cocok dijadikan sebagai bahan dasar
pembuatan manisan kering rambutan.

DAFTAR PUSTAKA
Arinola, S. O. Ogunbusola, E. M. and Adebayo, S. F. 2016. Effect of Drying Methods on the
Chemical, Pasting and Functional Properties of Unripe Plantain (Musa paradisiaca)
Flour. British Journal of Applied Science & Technology 14(3) : 1-7.
Fayose, F and Huan, Z. 2016. Heat Pump Drying of Fruits and Vegetables: Principles and Potentials
for Sub-Saharan Africa. International Journal of Food Science. Volume 2016.
Hastuti, S., Kurnianti, Y.D., and Fahry, M. 2013. Produksi Rambutan Kering Dengan Variasi
Konsentrasi Larutan Kapur Dan Karakteristik Pengeringan. Jurnal Agrointek, Volume 7
No 1.
Horuz, E. and Maskan, Medeni. 2015.Hot air and microwave drying of pomegranate (Punica granatum
L.) arils. J Food Sci Technol. volume 52(1) : 285293.
Kimball, D.A. 1999. Citrus processing a complete guide second edition. Maryland : Aspen Publisher.
Leong, PC., 1982. Summary report on mango and rambutan project in Singapore. In: Proceedings of
the Workshop on Mango and Rambutan, 18-25 April 1982, University of the Philippines
at Los Banos, College, Laguna, Philippines, pp. 30-33.
Marisa. 2006. Ascorbic acid and mineral composition of longan (Dimocarpus longan), lychee (Litchi
chinensis) and rambutan (Nephelium lappaceum) cultivars grown in Hawaii. Journal of
Food Composition & Analysis, vol 19 (2006), pp. 655 663.
Olaoye, O.A. dan A.A., Onilude. 2008. Microbiological, proximate analysis and sensory evaluation of
baked products from blends of wheat-breadfruit flours. African Journal of Food
Agriculture Nutrition and Development. Vol. 8(2) : 192-203.
OHare, T.J. 1995. Postharvest physiology and storage of rambutan. Postharvest Biology and
Technology 6 (1995) : 189-199.

227
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Ong, P.K.C, Acree,T.E dan E.H. Lavin. 1998. Characterization of volatiles in rambutan fruit
(Nephelium lappaceum L.). Journal of Agricultural Food Chemistry, 46 (1998), pp. 611
615.
Ozkan, M., Kirca, A. Egul, dan Cemeroglu B. 2003. Effect of moisture content on CIE color values
in dried apricots. Eur Food Res Technol 216 : 217219.
Plutowska, B., dan Wardencki W. 2007. Aromagramsaromatic profiles in the appreciation of food
quality. Food Chem 101: 845872.
Priyono, Suci, R.P, Sukirman, JFX.S. 2014.Training Use Of Papaya (Carisa papaya L.) Dried Fruit
Papaya Into Sweets (Case Study In The Village Bendotretek, Prambon District, District
Sidoarjo). International Journal of Small Business and Entrepreneurship Research. Vol.2,
No.3, pp.33-41.
Ringeisen, H. Blake. 2012. Concentrated solar fruit drying of tomatoes. ProQuest LLC. 789 East
Eisenhower Parkway.
Seglina, D., Krasnova, I., Heidemane, G., and Ruisa, S. 2009. Influence Of Drying Technology On
The Quality Of Dried Candied Chaenomeles Japonica During Storage. Agronomijas
Vestis, pp 113 118.
Shahdadi, F. Mirzaei, H. O. and Garmakhany, A. D. 2015. Study of phenolic compound and
antioxidant activity of date. J Food Sci Technol 52 (3) : 18141819.
Siebert, B. 1991. Nephelium lappaceum L., di dalam Verheij EWM & Coronel, RE (eds.),
Sumberdaya nabati Asia Tenggara 2 (buah-buahan yang dapat dimakan), PT. Gramedia
Pustaka Utama bekerjasama dengan Prosea Indonesia dan European Commission,
Jakarta.
Singh, Zora and Singh, S. Pal. 2012. Mango in Crop Post-Harvest: Science and Technology
Perishables. A John Wiley & Sons, Ltd., Publication. Chapter 6, P 108 142.
Sonwai, S dan Ponprajhanuvud, Punnee. 2012. Characterization of physicochemical and thermal
properties and crystallization behavior of krabok (Irvingia Malayana) and rambutan seed
fat. Journal of Oleo Science. 61 (12) : 671 679.
Srilaong, V., Kanlayanarat, dan S., Tatsumi, Y., 2002. Changes in commercial quality of Rong
rieng rambutan in modified atmosphere packing. Food Sci. Technol. Res. 8, 337341.
Sukasih, Ermi dan Setyadjit. 2015. Development of new product : rambutan pulpy juice. Procedia
Food Science 3 (2015) : 413 425.
Vega-Glvez, A. Zura-Bravo, Liliana, Lemus-Mondaca, R. Martinez-Monz, J. Quispe-Fuentes, I.
Puente, L and Karina, D.S. 2015. Influence of drying temperature on dietary fibre,
rehydration properties, texture and microstructure of Cape gooseberry (Physalis
peruviana L.). J Food Sci Technology 52 (4) : 23042311.
Widaningrum, N. Setyawandan, dan D.A. Setyabudi. 2008. The effect of spicy and frying temperature
on chemical properties of chikpea (Phaseolusradiatus). Postharvest Journal 5 (2) : 45-54.

228
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGKAJIAN MUTU LADA HIJAU KERING SELAMA PENYIMPANAN


IMPROVING QUALITY OF PEPPER GREEN DRY DURING STORAGE
Jhon David1 dan Taufik Hidayat2
1
Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Barat
2
Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
jhondavidsilalahi@yahoo.com

ABSTRAK
Lada hijau kering adalah merupakan diversifikasi produk lada, dan salah satu kriteria mutu lada hijau
kering yang baik adalah warna hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mutu lada
hijau kering selama penyimpanan pada berbagai suhu dalam tiga jenis kemasan. Penelitian
dilaksanakan di Desa Sahan dan Laboratorium tahun 2016, dengan bahan baku utamanya lada hijau.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua factorial, faktor pertama adalah
jenis kemasan ( Ko= kemasan LDPE, K1= PP, k3= aluminium foil), faktor kedua adalah tingkatan
suhu ( T0= 200C, T1 = 300C =suhu ruangan) dengan jumlah ulangan 6, dan dilakukan pengamatan
selama 4 bulan. Parameter yang diamati yaitu karakteristik bahan seperti , warna, kadar air, kadar
minyak atsiri, pH, dan uji organoleptik yang meliputi warna, rasa, aroma, dan penerimaan umum
dengan metode scoring. Hasil penelitian menunjukkan jenis kemasan, suhu ruang, dan lama
penyimpanan berpengaruh terhadap mutu lada hijau kering. Jenis kemasan aluminium foil pada
ruangan bersuhu 300C dapat mempertahankan warna hijau hingga 4 bulan, kadar air 5,32%, kadar
minyak 2,12-2,45 dan pH 4-5.
Kata kunci : lada hijau kering, mutu, penyimpanan, suhu, jenis kemasan

ABSTRACT
Dried green pepper is a pepper product diversification, and one of the quality criteria of dried green
pepper is a good green color. This study aimed to determine changes in the quality of green pepper
dry during storage at various temperatures in the three types of packaging. The research was
conducted in the village of Sahan and Laboratories in 2016, the main raw material of green pepper.
This study uses a completely randomized design with two factorial, the first factor is the type of
packaging (Ko = packaging LDPE, K1 = PP, k3 = aluminum foil), the second factor is the degree of
temperature (T0 = 200C, T1 = 300C = room temperature) with a number of Deuteronomy 5, and was
observed for 4 months. The parameters observed were the characteristics of materials and packaging,
color, moisture content, oil content, pH and organoleptic tests that include color, flavor, aroma, and
the general acceptance of the scoring method. The results showed the type of packaging, the
temperature of the room, and storage time influences the quality of dried green pepper. Types of
aluminum packaging foil at room temperature of 300C can maintain the green color until 4 months,
the water content of 5.32%, oil content from 2.12 to 2.45 and a pH of 4-5.
Keywords: dried green pepper, quality, storage, temperature, type of packaging

229
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Diantara produk lada tersebut, lada hijau kering (dehydrated green pepper) merupakan salah
satu produk olahan lada yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan produk lada hitam dan
putih. Nilai lada hijau kering mencapai US$ 3.950/kg, sedangkan lada putih mencapai US$ 2.168/kg
dan lada hitam mencapai US$ 1.1117/kg (Nair, 2006). Lada hijau merupakan salah satu produk lada
yang diolah dengan cara mempertahankan warna hijaunya. Dikenal beberapa bentuk lada hijau
tergantung proses pembuatannya, yaitu lada hijau dalam larutan garam yang dikalengkan atau
dibotolkan (canned green pepper), lada hijau kering (dehydrated green pepper) dan lada hijau kering
beku. Lada hijau dapat digunakan baik sebagai hiasan dalam makanan maupun sebagai rempah (
Nurdjanah N dan Hoerudin, 2008)
Persyaratan buah lada untuk pembuatan lada hijau kering yaitu buah dalam kondisi segar, agak
muda, warna hijau agak gelap, dan cukup keras (Pruthi, 1992). Varitas lada berpengaruh terhadap
mutu produk akhir. Perlakuan pendahuluan sebelum pe-ngeringan bertujuan untuk mencegah reaksi
pencoklatan (browning) agar lada yang dihasilkan tetap berwarna hijau. Pencoklatan yang terjadi
selama pengolahan lada hijau merupakan proses enzimatis yang dikatalisasi oleh enzim polifenolase
dengan adanya oksigen (Vergeshe, 1991). Pencoklatan enzimatis terjadi karena komponen fenolik
terkonversi menjadi melanin coklat yang dikatalisis oleh enzim polifenol oksidase (Weller et al.,
1997). Menurut Mathew (1993), komponen utama senyawa fenolik pada lada yang responsif terhadap
reaksi pencoklatan diidentifikasi sebagai 3,4-dihydroxy-6-(N-ethylamino) benza-mide.
Lada hijau kering yang bermutu baik ditandai oleh warnanya yang hijau alami, bentuk relatif
utuh, aroma dan rasa mendekati aslinya, bebas dari kontaminasi kotoran dan mikroorganisme. Kadar
minyak dan piperin merupakan komponen kimia yang memberikan kontribusi terhadap rasa dan aroma
lada hijau (Mathew, 1993). Oleh karena itu, tingginya kadar minyak dan piperin merefleksikan
tingginya mutu lada hijau kering. Mutu lada hijau kering dipengaruhi oleh mutu bahan baku,
perlakuan pendahuluan sebelum pengeringan, dan metoda pengeringan (Pruthi, 1992). Pada prinsipnya
proses pengolahan lada hijau kering melalui beberapa tahap, yaitu pemisahan buah lada dari
tangkainya, pencucian, blansir sebagai perlakuan pendahuluan, dan pengeringan.
Minyak atsiri dan piperin merupakan senyawa kimia yang berkontribusi terhadap rasa dan
aroma lada hijau kering. Oleh karena itu, tingginya kadar minyak atsiri dan piperin merefleksikan
tingginya mutu lada hijau kering. Piperin merupakan senyawa utama yang memberikan rasa pedas
khas lada. Senyawa tersebut merupakan alkaloid yang berbentuk trans-trans 1-piperolipiperidin.
Minyak atsiri merupakan komponen volatil yang memberikan kontribusi terhadap aroma (flavor) lada
hijau kering.
Aroma lada hijau kering lebih baik daripada lada putih dan lada hitam karena kandungan
monoterpena yang tinggi sehingga dapat menghasilkan kualitas aroma lada yang optimal. Kelompok
monoterpen secara umum memberikan aroma top-pepperynote, sesquiterpena memberikan aroma
pepper odor, sedangkan senyawa sesquiterpena beroksigen merupakan body dari aroma lada
Lada hijau kering memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimilimencapaiki lada putih
dan lada hitam, yaitu warnanya hijau alami menyerupai buah lada segar. Rendemen lada hijau kering
yang dihasilkan pada umumnya berkisar antara 18-21%. Lada hijau kering akan terjaga aroma dan
rasanya untuk jangka waktu yang lama bila disimpan pada suhu 20- 25oC serta terhindar dari cahaya
dan kelembapan udara yang tinggi.

METOLODOGI PENELITIAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lada hijau segar yang diperoleh dari petani
lada di desa Sahan, kecamatan Seluas Kab. Bengkayang.. Bahan lainnya adalah antara lain asam
sitrat, asam malat dan asam tartrat sebagai zat anti pencok-latan dan toluen yang digunakan untuk
pengukuran kadar air.
Penelitian dilakukan pada 2016 di desa sahan dan Laboratorium. Penelitian yang dilakukan
terdiri dari dua tahap, yaitu (1) karak-terisasi lada hijau segar yang meliputi uji warna, kadar air, kadar
minyak atsiri, pH dan bulk density; (2) peng-olahan lada hijau kering.Penelitian dirancang secara Acak
Lengkap faktorial, dengan dua faktor, faktor pertama jenis kemasa yang terdiri dari 3 jenis yaitu jenis
kemasan ( Ko= kemasan LDPE, K1= PP, k3= aluminium foil), faktor kedua adalah tingkatan suhu (
T0= 200C, T1 = 300C =suhu ruangan) dengan jumlah ulangan 5, dan dilakukan pengamatan selama 4
bulan

230
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakterisasi buah lada segar bertujuan untuk mengetahui mutu awal buah lada yang akan
dikering-kan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi warna, kadar air, kadar minyak atsiri, bulk density
dan pH, seperti yang tertera pada Tabel 1. Dari kajian yang dilakukan didperoleh bahwa warna buah
lada segar 16,23 yang diukur dalam derajat, dan nilai pH adalah sebesar 5,68 sepeti yang ditunjukkan
dalam tabel 1.
Tabel 1. Penampakan buah segar lada hijau
Parameter buah lada segar
Warna (a*) 16,23
Kadar air (%) 75,28
Kadar atsiri (%) 3,72
Densitas kamba (g/l) 610,85
pH 5,68

Warna merupakan parameter penting yang harus diperhatikan dalam mutu lada hijau karena
menentukan kesan awal penerimaan produk oleh konsumen. Pengukuran warna dilaku-kan
menggunakan notasi Hunter dengan notasi a* menyatakan warna kromatik merah-hijau. Menurut
Francis (1998), pada notasi Hunter nilai +a* (positif) berkisar antara 0 - (+100) menyatakan warna
merah sedangkan a* (negatif) berkisar dari 0 - (-80) menyatakan warna hijau. Semakin ne-gatif nilai
a* menunjukan semakin tinggi intensitas kehijauannya. Nilai warna lada hijau hasil pengukuran
dengan notasi Hunter terdapat di dalam kisaran warna hijau. Warna hijau ini disebabkan karena
pengaruh klorofil yang terkandung di dalamnya.
Nilai kadar air lada hijau segar diperoleh pada kisaran angka 75,28 persen (b/b). Kandungan
kadar air yang tinggi dalam bahan dapat mengaktifkan enzim penyebab kerusakan bahan, salah
satunya adalah reaksi pencoklatan akibat aktivitas fenolase (Eskin ,1990). Untuk mence-gah kerusakan
bahan, perlu dilakukan pengurangan kadar air lada hingga maksimal 12 % (Natures, 2007).
Kadar minyak atsiri lada hijau segar sebesar 3,72% . Minyak atsiri menimbulkan bau khas
pada lada serta bersifat mudah menguap sehingga pada suhu ruang aromanya dapat dengan mudah
ditangkap oleh indera penciuman. Densitas kamba (Bulk density) pada lada hijau segar sebesar 610,85
g/l. Densitas kamba merupakan nilai perbandingan bobot kamba suatu bahan dengan volume yang
ditempatinya, termasuk ruang kosong yang ter-bentuk. Dapat diduga bahwa densitas kamba
merupakan salah satu karak-teristik buah lada yang lebih ditentukan oleh sifat genetik/jenis buah lada,
cara budidaya serta lingkungan tumbuhnya Besarnya nilai densitas kamba pada lada hijau segar
dipengaruhi oleh tingginya jumlah air yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan nilai pH lada hijau segar sebesar 5,68. Besarnya nilai pH sangat erat kaitannya
dengan aktivitas fenolase. Nilai pH menentukan besar-nya aktifitas enzim fenolase. Menurut Variyar
et al. (1988) enzim fenolase aktif pada kisaran pH 3-8,5 dan optimal pada pH 7. Fenolase merupakan
enzim yang bertanggung jawab terhadap reak-si pencoklatan pada lada serta buah-buahan dan sayur-
sayuran lainnya. Nilai pH lada hijau segar yang akan di-pakai terdapat dalam kisaran pH aktif-nya
fenolase sehingga amat memung-kinkan terjadinya reaksi pencoklatan (browning).
Tabel 2. Pengaruh jenis kemasan terhadap mutu selama masa simpan
Uraian mutu
Lama simpan
Jenis kemasan Kadar air Atsiri
(hari) pH Warna Rasa Aroma
(%) (%)
30 8,10 3,69 5,79 4 4 4
60 6,86 3,48 6,38 4 3,5 3
K0 90 5,24 2,95 4,85 4 3,5 3
120 5,13 2,45 5,35 3 3 2,5
30 8,25 3,75 5,23 4 4 4
60 7,57 3,27 5,83 4 4 4
K1 90 6,38 2,86 4,21 3 3 3
120 5,82 2,72 5,48 3 3 3
30 8,15 3,21 5,38 4 4 4
60 6,67 3,00 5.00 4 3 3,5
K2 90 6,28 2,59 4,84 4 3 3,5
120 5,37 2,37 5,62 3 2 3

231
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Warna
Selama penyimpanan terjadi perubahan warna pada lada hijau kering dari hijau cerah menjadi
hijau kecoklatan.. Menurut Muchtadi (1989),pigmen-pigmen alam biasanya mengalami perubahan
kimia sebagaimana terjadi pada pematangan buah-buahan. Degradasi warna dapat terjadi selama
penyimpanan yang disebabkan oleh reaksi enzim polifenol oksidase atau fenolase, substrat fenol,
tembaga, dan oksigen. Perubahan warna pada buah dan sayur, yang dikenal dengan istilah browning,
merupakan suatu proses enzimatis. Enzim yang berperan pada browning tersebut adalah enzim
polifenol oksidase. Enzim tersebut berperan pada perubahan warnayang terjadi pada buah dan sayur.
Reaksi enzimatis tersebut menghasilkan warna cokelat pada buah dan sayur yang dikenal dengan
sebutan browning (Anonymous, 2010). Enzim ini terdapat pada semua tanaman dengan konsentrasi
yang berbeda. Salah satu cara untuk mengurangi reaksi browning adalah blanching, tetapi blanching
bahan pada suhu 100C tidak dapat menginaktifkan semua enzim fenolase. Aktivitas enzim
polifenolase mencapai optimum pada suhu 73-78C (Bandyopadhyay et al.,1990).
Degradasi warna lada hijau kering dapat pula disebabkan oleh pemanasan. Warna lada hijau
kering dalam kemasan aluminium foil yang disimpan pada suhu 20C dapat bertahan dengan baik
sampai hari ke-90, sedangkan pada suhu 40C hanya bertahan sampai hari ke-60. Penyimpanan pada
suhu rendah lebih baik dari pada suhu tinggi dalam mempertahankan warna karena laju reaksinya
lebih kecil dibanding pada suhu tinggi. Menurut Muchtadi (1989), setiap kenaikan suhu 10C
kecepatan reaksi enzimatik dan nonenzimatik rata-rata akan bertambah dua kali lipat. Semakin tinggi
suhu semakin besar laju alir udara dan semakin lama waktu oksidasi mengakibatkan penurunan warna
semakin besar (Budikarjono, 2007). Menurut KIM et al. (2003), penyimpanan pada suhu di atas 40C
akan mempercepat konversi klorofil menjadi feopitin.
Tabel 2. Pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu lada hijau kering
Uraian mutu
Lama simpan
Jenis kemasan Kadar air Atsiri
(hari) pH Warna Rasa Aroma
(%) (%)
30 8,40 3,48 5,55 4 4 4
60 7,38 3,00 6,25 3 3,5 3
T0= 20 0C 90 5,50 2,74 5,38 3 3,5 3
120 5,32 2,24 5,00 3 3 3
30 7,48 3,52 5,04 4 4 4
60 7,13 3,21 6,36 4 4 4
T1=30 0C 90 6,47 2,83 5,10 4 3,5 3,5
120 6,04 2,31 4,96 3 3 3,5

Kadar Air
Kadar air lada hijau kering selama penyimpanan mengalami perubahan dalam semua
kemasan. Lada yang disimpan pada suhu 20C dan 30C untuk semua jenis kemasan mengalami
peningkatan kadar air. Menurut Syarief dan Halid (1993) dalam Wigati, D (2009), jika kelembapan
ruangan lebih rendah daripada kadar air bahan maka sebagian air dalam bahan akan menguap.
Perubahan kadar air disebabkan karena sifat bahannya yang higroskopis. Komoditas rempah-rempah
beserta produknya bersifat higroskopis dan sensitif terhadap air yang dapat menyebabkan
discoloration, ketengikan, pertumbuhan jamur, dan serangan serangga. Jika kelembapan lingkungan
relatif tinggi, maka bahan akan menyerap sejumlah air dari lingkungan untuk menyesuaikan dengan
kelembapan relatif. Hal ini menyebabkan nilai kadar air bahan mengalami peningkatan.
Perubahan kadar air bahan juga dipengaruhi oleh permeabilitas kemasan. Kemampuan
permeabilitas tiap kemasan berbeda-beda dan akan berpengaruh terhadap laju transmisi uap air.
Semakin rendah laju transmisi uap air suatu kemasan, semakin sedikit jumlah uap air yang mampu
menembus kemasan. Laju transmisi uap air pada kemasan LDPE paling tinggi dibanding PP dan
aluminium foil. Hal ini menyebabkan laju peningkatan kadar air pada kemasan tesebut paling tinggi,
diikuti kemasan PP dan aluminium foil. Perubahan kadar air pada aluminium foil paling rendah karena
nilai transmisi uap airnya juga paling rendah. Menurut Chuansin et al. (2006), kemasan aluminium foil
memiliki sifat perlindungan terhadap air lebih baik dibanding polietilen. Kadar air lada hijau kering
selama empat bulan penyimpanan adalah 11,78%. Standar maksimum kadar air lada hijau kering di
pasaran adalah 12%, sedangkan menurut standar Esa (2007), maksimum 13%. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai kadar air lada hijau kering hasil penyimpanan memenuhi standar lada hijau di pasaran
maupun standar Esa.

232
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kadar Minyak Atsiri


Dari penelitian memperlihatkan bahwa selama penyimpanan, kadar minyak atsiri lada hijau kering
mengalami penurunan yang cukup nyata. Penurunan kadar minyak pada kemasan LDPE dan PP
cukup besar dibandingkan aluminium foil. Hal ini dapat diketahui dengan terciumnya bau khas
minyak lada yang cukup kuat keluar dari dalam kemasan, sedangkan dari aluminium foil tidak tercium
bau. Penurunan kadar minyak atsiri selama penyimpanan dapat disebabkan oleh proses penguapan.
Terjadinya penguapan air selama penyimpanan mengakibatkan kehilangan minyak atsiri yang
disebabkan oleh proses oksidasi dan resinifikasi. Proses penguapan berpengaruh tidak terlalu
signifikan dibanding dengan proses oksidasi dan resinifikasi. Menurut Mathew (1993), beberapa
komponen minyak atsiri lada dapat rusak karena adanya pemanasan. Pada akhir penyimpanan, lada
hijau kering yang dikemas dalam aluminium foil kemudian disimpan pada suhu 20C menghasilkan
kadar minyak atsiri tertinggi yaitu 2,76,00%,dan terendah (2,15%) dari kemasan LDPE pada suhu
penyimpanan 30C. Menurut Esa (2007), kadar minyak atsiri lada hijau kering minimal 1%. Kadar
minyak atsiri selama empat bulan penyimpanan masih berada di atas nilaiminimum kadar minyak
atsiri menurut Esa (2007). Jenis kemasan yang paling baik untuk mempertahankan minyakatsiri lada
hijau kering secara berurutan adalah aluminium foil, PP, dan LDPE. Penyimpanan pada suhu 20C
dapat mempertahankan kadar minyak atsiri lada hijau kering.
pH
Selama penyimpanan kualitas lada hijau kering khususnya nilai pH mengalami perubahan
nilai pH. Pada pH awal berada pada kisaran 5,11 dan setelah disimpan berubah menjadi 5,85-6,02.
Perubahan pH sangat erat kaitannya dengan aktivitas enzim fenolase yaitu enzim yang bertanggung
jawab terhadap reaksi pencokelatan enzimatis pada lada hijau kering. Menurut Variyar et al. (1998),
aktivitas enzim fenolase pada lada hijau terjadi pada kisaran pH 3,0-8,5 dan optimum pada pH 7. Pada
nilai pH mendekati 3, aktivitas enzim fenolase semakin rendah bahkan beberapa sudah inaktif.
Penurunan pH mungkin disebabkan oleh meningkatnya asam-asam organik yang terbentuk akibat
proses oksidasi terpene pada minyak atsiri. Nilai pH lada hijau kering yang dihasilkan berkisar antara
5,85-6,02, dan berada pada kisaran pH aktif enzim fenolase. Hal ini mendukung terjadinya reaksi
pencokelatan enzimatis selama penyimpanan lada hijau kering.
Uji Organoleptik Lada Hijau Kering
Warna
Warna adalah salah satu atribut penting dari lada hijau kering. Gould (1974) menambahkan
bahwa warna merupakan faktor mutu yang sangat penting dalam menilai produk-produk makanan.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa sampai hari ke 90 semua sampel berada pada skor nilai 3-4. Nilai
tersebut menunjukkan warna lada masih diterima oleh konsumen.. Naik atau turunnya nilai hijau
selama penyimpanan dapat dipengaruhi oleh penilaian subjektif panelis terhadap sampel. Rata-rata
skor yang diberikan oleh panelis adalah 3 (netral). Penurunan kesukaan disebabkan oleh pencokelatan
warna lada hijau akibat proses browning enzimatis dan pengaruh pemanasan.
Rasa
Atribut rasa dari lada hijau kering juga merupakan hal penting karena dapat memberikan rasa
pedas dan panas akibat senyawa piperin yang dikandungnya. Nilai rata-rata yang diberikan konsumen
sampai pada hari ke 90 berkisar antara 3-4. Penurunan rasa pedas terjadi seiring dengan lamanya
waktu penyimpanan. Akan tetapi penurunan nilai tersebut masih dapat diterima oleh panelis sampai
akhir penyimpanan. Penurunan kesukaan terhadap rasa lada hijau kering sampai akhir penyimpanan
tidak menunjukkan perubahan yang signifikan karena panelis masih merasakan pedas sampai akhir
pengujian. Berdasarkan hasil evaluasi sensori terhadap rasa, diketahui kandungan piperin pada sampel
masih tinggi karena rasanya masih pedas
Aroma
Aroma yang berasal dari minyak atsiri merupakan ciri khas lada hijau kering. Penurunan
aroma terjadi selama penyimpanan. Sebagian besar panelis masih memberi penilaian netral terhadap
semua sampel. Penerimaan umum panelis terhadap lada hijau kering mengalami penurunan selama
masa penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh warna, rasa, dan aroma yang dapat
mempengaruhi penilaian terhadap penerimaan umum.

233
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
Perlakuan dengan menggunakan jenis kemasan aluminum foil dan dikombinasikan dengan
suhu penyimpanan pada kisaran 30 0C merupakan perlakuan yang terbaik untuk mempertahankan
mutu lada hijau kering, dengan masa simpan 4 bulan ( 120) hari dengan kandungan air 5,32 % dan
penerimaan akan konsumen yang relative baik.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010. Enzymatic brpwning [online]. [www.food-info.net (Diakses Tgl. 25 april 2012)
Bandyopadhyay, C., V.S. Narayan, and P.S. Variyar. 1990. Phenolic of green pepper berries (Piper
nigrum). J. Agric. Food Chemi. 3: 1696-1699.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Dalam Herawati. H.
2008. J. Litbang Pertanian, 27(4): 124-130.
Budhikarjono, K. 2007. Perbaikan kwalitas minyak sawit sebagai bahan baku sabun melalui proses
pemucatan dengan oksidasi. J. Teknik Kimia. 1(2): 54-59.
Chuansin S, Vearasip S, Srichuwong E Dan Pawelzik. selection of packaging materials for soybean
seed storage. (online) available http;//www.tropentag.de/ 2006/abstract/full/229.pdf
(Diakses Tgl. 6 april 2012).
Djubaedah, E., djumarman, E. H. Lubis, dan T. Hendraswaty. 2004. Pengaruh konsentrasi garam,
penambahan jenis asam terhadap mutu lada hijau dalam botol selama penyimpanan. J.
Teknol dan Industri Pangan. 15(3): 188-198.
[Esa] European Spice Association. 2007. Quality Minima Document. Business and Technical
Meeting, 2 November 2007. 16 hlm.
Francis, F.J. 1998. Food Colour. In Food Analysis. Suzzana, S. (ed). Aspen publisher Inc., Maryland,
p.599-612.
Gould, W.A. 1974. Tomato Production, Processing, and Quality Evaluation, Wesport, The AVI
Publishing. Company. 445 P.
Hidayat, T dan Risfaheri, 1994. Pengaruh kondisi blanching dan sulfitasi terhadap mutu lada hijau
dehidrasi. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 19 (3-4) : 43-48.
Iyengar R.J.A. and Mc. Evily, 1992. Anti browning agents : Alternatives to the use of sulfite in foods ;
Trends in food Technology.. Elsevier trends. Journal. United Kingdom. 3 ; 60-63
Kim, M., J. LEE, and E. CHOE. 2003. Pigment changes in fried dough containing spinach powder
during Storage in the dark. J. of Food Science. 68(6): 1925.
Muchtadi, T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 189
hlm.
Mathew,A.G. 1993. Chemical constituent of pepper international pepper community. Bulletin 16(2):
18-22.
Murdiati, W. 2010. Metode acellerated shelf life testing (aslt) di pt. tudung putra putri jaya. skripsi.
Fateta. IPB. 94 hlm.
Nurdjannah, N. 1996. Diversifikasi Produk Lada. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat Bogor. hlm. 222-234
Nudjannah N dan Hoerudin, 2008. Pengaruh Perendaman Dalam Asam Organik Dan Metoda
Pengeringan Terhadap Mutu Lada Hijau Kering. Buletin Litro. Vol XIX No 2. 2008 Hal.
181-196
Pruthi, J.S. 1992. Simple innovation in canning, botling, bulk preservation, and storage of green
pepper (Piper nigrum L.) in brine. International Pepper News Bull. 16(1): 17-27.
Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green, and S.R.J. Robins. 1981. Spices. Longman. New York.
Vol. 1: 59-65.
Syarief, R., S. Santausa, dan S.T. Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium
Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. 189 hlm.
Variyar, P.S., B. Pendhakar, A. Banerjee, and I. Bandyaopadhyay. 1988. Blackening in green pepper
berries. Phytochemistry. 27(3): 715-717.

234
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KAJIAN PEMASARAN JAGUNG MANIS DI DESA SAREEKECAMATAN SEULAWAH


KABUPATEN ACEH BESAR
THE STUDY OF MARKETING SWEET CORN IN SAREE VILLAGE SEULAWAH
SUBDISTRICT ACEH BESAR DISTRICT
Emlan Fauzi1 dan M.Ferizal2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu, Jalan Irian KM 6,5 Bengkulu
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jalan Pnyak Makam, Lampineung, Aceh
e-mail : velaninam12@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bentuk saluran dan seberapa besar marjin pemasaran
jagung manis di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian dilakukan pada
bulan September sampai dengan Nopember 2011. Metode penentuan responden dilakukan dengan
carasnowball sampling. Dimana penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari
petani jagung manis. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang. Analisa data
dilakukan dengan pendekatan analisa marjin pemasaran dan harga yang diterima petani dibagi dengan
harga yang dibayar konsumen akhir (farmers share). Dari hasil penelitian terdapat dua saluran
pemasaran. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran tingkat kabupaten dengan persentase
penjualan sebesar 16,7%. Pada saluran ini pedagang pengecer membeli jagung manis langsung ke
pedagang pengumpul dengan harga Rp. 2.800,-/Kg. Pedagang pengecer saluran I menjual jagung
manis di pasar Saree. Harga jual jagung manis sebesar Rp.3.800,-/Kg.Saluran pemasaran II adalah
saluran pemasaran tingkat ibukota propinsi dengan persentase penjualan 33,3 %. Pada saluran ini
pedagang grossir membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2.800,-
/Kg. Kemudian pedagang grossir menjual jagung manis ke pedagang pengecer yang berada di pasar
Ule Kareng dan Peunayong Banda Aceh dengan harga Rp.4.500,-/Kg.Margin pemasaran jagung manis
di daerah penelitian dari petani sebagai produsen sampai kepada konsumen pada saluran I sebesar
Rp.1.300,-/kg dan pada saluran II sebesar Rp.3.687,5,-/kg.
Kata Kunci : Margin, Pemasaran, Jagung Manis

ABSTRACT
This study aimed to determine the shape of the level marketing and how big the marketing margin
sweet corn in Saree village Seulawah Subdistrict of Aceh Besar district. The study was conducted in
September to November 2011. The method of determining the respondent is done by snowball
sampling. Where the determination of the respondents based on information obtained from sweet corn
growers. The number of respondents in this study was 25 people. Data analysis using analytical
approach to marketing margin and the price received by farmers divided by the price paid by
consumers end (farmers share). The results showed that there are two level of marketing. The first
level marketing is district level with a percentage of sales 16.7%. The retailer at this level buys sweet
corn directly from retailers at a price Rp.2.800,-/Kg. Theseretailers selling sweet corn at the market
Saree. The sale price of sweet corn is Rp.3.800,-/Kg. The second level is the provincial capital level
marketing with a percentage of sales 33.3%. In this level marketing, the grosser traders buy sweet
corn from dealers gatherers at a price Rp.2.800,-/Kg. Grossir trader then sells sweet corn to retailers
in the Ule Kareng and Peunayong Banda Aceh market at a price Rp.4.500,-/Kg. Analysis data showed
marketing margin at level marketing I (district level marketing) is Rp.1.300/kg and marketing margin
at level marketing II (provincial capital level market) is Rp.3.687,5/Kg.
Keywords: Margin, Marketing, Sweet Corn

235
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara agraris yang dikarunia kekayaan alam hayati tropika, tanah yang
subur dan air yang cukup sepanjang tahun. Letak dan struktur geologis territorial yang dikelilingi oleh
pegunungan memberikan keuntungan tersendiri yaitu tanah yang sangat cocok digunakan untuk
kegiatan pertanian. Sektor pertanian merupakan roda penggerak perekonomian yang memegang
peranan sangat penting (Winaryono, 2004).
Hortikultura sebagai sub sektor pertanian meliputi sayuran, tanaman hias dan buah-buahan,
banyak diusahakan oleh petani terutama di pedesaan. Sektor ini perlu mendapat dukungan dan
perhatian yang serius, terutama dalam meningkatkan produksi lewat budidaya yang lebih baik.
Alasannya, sektor ini berperan dalam hasil pertanian hortikultura, misalnya sayur-sayuran, sebagai
bahan makan oleh masyarakat, juga merupakan sumber pendapatan bagi petani dan iklim Indonesia
sangat cocok untuk pengembangan sayuran.
Tanaman jagung manis atau sweet corn merupakan jenis jagung yang belum lama dikenal dan
baru dikembangkan di Indonesia. Sweet corn semakin popular dan banyak dikonsumsi karena
memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Selain itu umur produksinya lebih singkat
(genjah) yaitu 70 80 hari sehingga sangat menguntungkan (Marvelia, dkk, 2006).
Besar kecilnya produksi yang dihasilkan petani dipengaruhi oleh kemampuan keterampilan
dan pengetahun petani, serta juga kemampuan petani dalam mengalokasikan sumberdaya yang
dimiliki. Apabila petani ingin mendapatkan keuntungan yang maksimal dalam usahanya haruslah
memperhatikan faktor-faktor produksi yang ada. Faktor produksi dalam suatu kegiatan usahatani
sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi dan tingkat pendapatan yang akan diterima oleh
petani. Dengan pengalokasian penggunaan faktor-faktor produksi yang efektif dan efisien akan dapat
menghasilkan produksi yang optimal, dengan produksi yang optimal maka pendapatan yang dihasilkan
dari usahatani akan meningkat.
Usahatani yang efisien apabila memiliki produktivitas tinggi. Sedangkan produktivitas adalah
gabungan dari efesiensi fisik dengan kapasitas lahan. Efisiensi fisik adalah banyaknya produksi yang
dihasilkan dari satu kesatuan input. Sedangkan kapasitas lahan adalah kemampuan lahan untuk
menyerap tenaga kerja dan modal sehingga memberikan hasil yang sebesar-besarnya pada tingkat
teknologi tertentu (Mubyarto, 1995).
Untuk mencapai tujuan peningkatan produksi yang maksimal maka harus diupayakan secara
maksimal serta efisiensi yang tinggi dari penggunaan faktor-faktor usahatani jagung manis. Faktor-
faktor yang mempengaruhi produksi jagung manis meliputi luas lahan, jumlah benih, tenaga kerja,
jumlah pupuk dan jumlah pestisida.
Melalui peningkatan produksi diharapkan pendapatan petani meningkat. Kegiatan pemasaran
berpengaruh terhadap pendapatan petani, karena terkait dengan tingkat harga yang diterima petani.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem pemasaran yang baik dalam kegiatan usahatani jagung manis.
Dengan sistem pemasaran yang baik, ada kerja sama yang saling mengguntungkan antara petani
produsen dengan lembaga pemasaran, dimana harga yang diterima petani tidak terlalu rendah sehingga
secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas petani (Sarasutha, 2002). Selain itu dalam
pemasaran komoditi pertanian sering dijumpai saluran pemasaran yang terlalu panjang, sehingga akan
cenderung mengakibatkan marjin pemasaran yang terlalu tinggi dan pada akhirnya menyebabkan
bagian yang diterima petani sangat kecil.
Selain itu dalam pemasaran komoditi pertanian sering dijumpai saluran pemasaran yang
terlalu panjang, sehingga akan cenderung mengakibatkan marjin pemasaran yang terlalu tinggi dan
pada akhirnya menyebabkan bagian yang diterima petani sangat kecil.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bentuk saluran dan seberapa besar marjin pemasaran jagung manis di Desa Saree
Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar.

236
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODOLOGI
Metode Penentuan Lokasi
Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Saree Kecamatan Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi dilakukan dengan
pertimbangan bahwa Desa Saree merupakan salah satu daerah produksi tanaman jagung manis.
Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember 2011.
Metode Pengambilan Sampel
Metode penentuan responden dilakukan dengan carasnowball sampling. Dimana penentuan
responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani jagung manis. Dari produsen diperoleh
informasi tentang jumlah pedagang pengumpul atau pedagang pengecer yang membeli jagung manis.
Kemudian dari pedagang pengumpul diperoleh informasi tentang pedagang pengecer yang membeli
produk mereka, sehingga sampai ke konsumen. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25
orang yang terdiri dari petani jagung, pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer.
Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder dan data primer. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden yang menjadi objek penelitian
melalui pengisian daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder
diperoleh dari instansi-instansi yang terkait serta studi pustaka atau literatur-literatur yang
berhubungan dengan penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara,
yaitu observasi, wawancara, dan studi pustaka. Observasi yaitu merupakan pengumpulan data dengan
cara pengamatan langsung ke objek penelitian, wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan
cara mengadakan tanya-jawab atau wawancara langsung kepada responden untuk mendapatkan data
yang dibutuhkan dengan alat bantu berupa kuisioner, sedangkan studi pustaka yaitu metode
pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Metode Analisis Data
Untuk menganalisis besarnya margin pemasaran jagung manis dapat dicari dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Limbong dan Sitorus. 1987) :
Mji = Psi Pbi
i = Mji bti
Sehingga total margin pemasaran adalah :
Mji = =
=1
Dimana :
Mji : Margin pemasaran pada lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg)
Psi : Harga jual lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg)
Pbi : Harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg)
i : Keuntungan Harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp)
bti : Biaya pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp)
i : 1, 2, 3, ..n
Untuk menganalisis perbandingan harga yang diterima oleh petani produsen dengan harga yang
dibayar oleh konsumen akhir atau yang disebut farmers share dapat dicari dengan rumus berikut :

FS =
100 %
Dimana :
FS : Farmers share
P : Harga yang diterima petani (Rp/Kg)
K : Harga yang dibayar konsumen akhir (Rp/Kg)
Untuk menganalisis share keuntungan lembaga pemasaran dapat dicari dengan rumus berikut
:

FS Keuntungan =
100 %

237
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Saluran Pemasaran Jagung Manis
Produk jagung manis sampai kepada konsumen akan melewati saluran pemasaran. Saluran
pemasaran akan melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Saluran pemasaran adalah saluran yang
digunakan produsen untuk menyalurkan produknya sampai kepada konsumen. Berdasarkan hasil
penelitian di lapangan, saluran pemasaran jagung manis terdapat tiga bentuk saluran pemasaran, yaitu
1. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen
2. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Grossir PedagangPengecer konsumen
3. Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Luar Aceh
Adapun lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran jagung manis dimulai dari
produsen sampai ke konsumen. Saluran pemasaran jagung manis pada penelitian ini dimulai dari petani
sebagai produsen sampai ke pedagang pengecer di Aceh. Petani menjual hasil produksi jagung manis
ke pedagang pengumpul desa yang menjadi langganannya. Pedagang pengumpul desa yang menjadi
langganan ada dua orang pedagang pengumpul desa.
Dari hasil penelitian terdapat dua saluran pemasaran. Saluran pemasaran I adalah saluran
pemasaran tingkat kabupaten dengan persentase penjualan sebesar 16,7 %. Pada saluran ini pedagang
pengecer membeli jagung manis langsung ke pedagang pengumpul dengan harga Rp.2800,-/Kg.
Pedagang pengecer saluran I menjual jagung manis di pasar Saree. Harga jual jagung manis yang
dijualnya seharga Rp.3800,-/Kg.
Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran tingkat ibukota propinsi dengan persentase
penjualan 33,3 %. Pada saluran ini pedagang grossir membeli jagung manis langsung ke pedagang
pengumpul dengan harga Rp.2800,-/Kg.. Kemudian pedagang grossir menjual jagung manis ke
pedagang pengecer yang berada di pasar Ule Kareng dan Peunayong di Banda Aceh dengan harga Rp.
4.500,-/Kg. Pedagang pengecer membeli dalam jumlah yang sedikit, hal ini bertujuan untuk
mengurangi resiko kerugian penjualan. Harga jual jagung manis sampai di Banda Aceh adalah
berkisar seharga Rp. 6.000-6.500/Kg. Pedagang pengecer berhubungan langsung dengan konsumen
sehingga kebutuhan konsumen dapat diketahui oleh pedagang pengecer tentang kualitas, kuantitas,
harga dan daya beli konsumen.
Analisis Margin Pemasaran Jagung Manis
Margin pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran jagung manis yang terjadi di
daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran I
No Uraian Share (%) Jumlah (Rp/Kg)
1 Petani 65,789*
Harga jual 2500
2 Pedagang Pengumpul Desa 7,694**
Harga beli 2500
Harga jual 2800
Biaya pemasaran 84,581
Keuntungan pemasaran 215,419
Margin pemasaran 300
3 Pedagang Pengecer 10.258**
Harga beli 2800
Harga jual 3800
Biaya pemasaran 610,186
Keuntungan pemasaran 389,814
Margin pemasaran 1000
Total biaya pemasaran 694,767
Total keuntungan 605,233
Total Margin pemasaran 1300
Sumber : Data primer diolah, 2011
Keterangan : tanda * : Share harga yang diterima petani
** : Share keuntungan lembaga pemasaran

238
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa share harga yang diterima petani sebesar 65,789
%. Petani lebih menikmati harga karena 65,789 % dikuasai oleh petani, sedangkan 34,211 % tersebar
ke lembaga pemasaran yang lain. Sementara total margin pemasaran jagung manis pada saluran
pemasaran I sebesar Rp. 1.300,-/kg yang terdiri dari total biaya pemasaran Rp. 694,186,-/kg dan
tingkat keuntungan sebesar Rp. 605,233,-/kg. Margin yang terbesar diterima oleh pedagang pengecer
yaitu sebesar Rp. 1000,-/kg. Hal ini terjadi karena biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang
pengecer lebih besar dari pada pedagang pengumpul desa dan untuk mendapatkan keuntungan dari
penjualan jagung manis pedagang pengecer juga menjual dengan harga jual yang lebih tinggi dari pada
pedagang pengumpul desa. Tingginya harga jual jagung manis yang ditetapkan pedagang pengecer
pada saluran I ini karena penjualan jagung manis dilakukan di pasar kabupaten. Sedangkan
keuntungan yang terbesar terjadi pada pedagang pengecer dengan share keuntungan 10.258 %.
Pedagang pengecer lebih banyak mendapatkan keuntungan daripada pedagang pengumpul desa. Share
keuntungan pedagang pengecer lebih besar yaitu 10,258 % dibandingkan dengan pedagang pengumpul
desa yang hanya sebesar 7,694 %.
Besarnya margin pemasaran pada saluran pemasaran II jagung manis dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2. Margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran II
No Uraian Share (%) Jumlah (Rp/Kg)
1 Petani 40,40*
Harga jual 2500
2 Pedagang Pengumpul Desa 7,694**
Harga beli 2500
Harga jual 2800
Biaya pemasaran 84,581
Keuntungan pemasaran 215,419
Margin pemasaran 300
3 Pedagang grosser 10,329**
Harga beli 2800
Harga jual 4500
Biaya pemasaran 1235,212
Keuntungan pemasaran 464,788
Margin pemasaran 1700
4 Pedagang Pengecer 15,178**
Harga beli 4500
Harga jual 6187,5
Biaya pemasaran 749,407
Keuntungan pemasaran 938,093
Margin pemasaran 1687,5
Total biaya pemasaran 1984,619
Total keuntungan 1402,881
Total Margin pemasaran 3687,5
Sumber : Data primer diolah, 2011
Keterangan : tanda * : Share harga yang diterima petani
** : Share keuntungan lembaga pemasaran

Berdasarkan tabel 2 dapat dilhat bahwa share harga yang diterima petani sebesar 40,40 %.
Petani hanya menguasai 40,40 % dari harga jual jagung manis. Sedangkan 59,60 % lagi tersebar ke
lembaga pemasaran lain yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang grossir, dan pedagang pengecer.
Perbedaan harga jual jagung manis dari pedagang pengumpul desa ke pedagang grossir, Rp.2.800,-/kg
dan pedagang grossir ke pedagang pengecer Rp.4.500,-/kg. Pedagang pengecer menjual jagung manis
kepada konsumen sebesar Rp.6.000,-/kg. Perbedaan harga jual dari masing-masing lembaga
pemasaran menyebabkan perbedaan margin pemasaran serta keuntungan yang diperoleh masing-
masing lembaga pemasaran. Pedagang pengecer memiliki keuntungan yang lebih banyak
dibandingkan lembaga pemasaran yang lain. Share keuntungan yang didapatkan oleh pedagang
pengecer paling besar yaitu sebesar 15,178 %.

239
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Total margin pemasaran jagung manis pada saluran pemasaran II sebesar Rp.3.687,5,-/kg
yang terdiri dari total biaya pemasaran Rp.1.984,619,-/kg dan total keuntungan sebesar Rp.1.402,881,-
/kg. Margin pemasaran dan biaya pemasaran yang terbesar diterima oleh pedagang grossir yaitu
sebesar Rp.1.700,-/kg dan Rp.1.235,212,-/kg. Hal ini dikarenakan harga jual yang lebih tinggi.
Besarnya harga jual yang ditetapkan oleh pedagang grossir terjadi karena pedagang grossir membeli
langsung ke pedagang pengumpul desa dengan jarak tempuh yang cukup jauh, sehingga biaya
pembelian juga besar. Dalam hal ini biaya pembelian adalah biaya transportasi untuk mengangkut
jagung manis. Tingkat keuntungan yang diperoleh oleh pedagang dari pemasaran jagung manis adalah
sebesar 89,72 %. Dimana, diperoleh dari total pendapatan pedagang jagung manis yaitu sebesar
Rp.1.316.829,-/kg dibagi dengan total penerimaan pedagang jagung manis yaitu sebesar 1.467.707,-
/kg.
Berdasarkan tabel 1 dan 2 dapat dijelaskan bahwa dari kedua saluran pemasaran share harga
yang terbesar diterima petani adalah 65,789 % yang terjadi pada saluran pemasaran I. Hal ini terjadi
karena lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran I lebih sedikit. Selain itu dari kedua saluran
pemasaran yang terjadi total margin pemasaran, total biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran
yang terbesar adalah terjadi pada saluran pemasaran II yaitu masing-masing sebesar Rp. 3.687,5,-/kg,
Rp.1.984,619,-/kg dan Rp.1.402,881,-/kg . Besarnya total margin pemasaran, total biaya pemasaran
dan keuntungan pemasaran terjadi karena harga jual ke konsumen pada saluran pemasaran II lebih
tinggi dibandingkan dengan harga jual pada saluran pemasaran I. Dari kedua saluran pemasaran yang
terjadi dapat diketahui bahwa saluran pemasaran yang panjang maka akan menyebabkan besarnya
margin yang akan diperoleh. Hal ini sejalan dengan pendapat Azzaino (1983) yang menyatakan bahwa
semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam suatu penyaluran barang, maka akan semakin
besar perbedaan harga yang harus dibayar konsumen, yang menyebabkan tingginya margin
pemasaran.

KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat tiga bentuk saluran pemasaran jagung manis yang terdapat daerah
penelitian, yaitu :
Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen
Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Grossir
Pedagang Pengecer Konsumen
Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Luar Aceh

2. Dari kedua saluran pemasaran, share harga yang terbesar diterima petani adalah 65,789 % yang
terjadi pada saluran pemasaran I.
Saran
Petani hendaknya menjual hasil produksi jagung manis melalui saluran pemasaran kedua. Pada saluran
pemasaran kedua ini harga jual ke konsumen lebih tinggi sehingga margin pemasaran yang diperoleh
juga lebih tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada Ir. T.Iskandar, MSi selaku Kepala BPTP Aceh, M.Ismail, SP selaku
anggota tim yang telah banyak membatu dalam penelitian ini.

240
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Budidaya Jagung Manis. http://www.agrobisnis.com. (Diakses 13 Maret 2010).
Anonim. 2009. Agribisnis Jagung.www.matanews.com. Diakses 13 Maret 2012)
Azzaino. 1983. Pengantar Tata Niaga Pertanian. IPB. Bogor.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008, Aceh Dalam Angka 2007.
Kerjasama Badan Pusat Statistik NAD dan Bapeda NAD, hal 197 207.
Darwis. V. 2009. Analisis Usahatani, Pemasaran, dan Penetapan Harga Minimum Regional
Tembakau Rakyat (Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Limbong dan Sitorus. 1987. Pengantar Tata Niaga Pertanian. IPB. Bogor.
Marvelia, Awalita, Sri Darmanti dan Sarjana Parman. 2006. Produksi Jagung Manis (Zea Mays L.
Saccharata) yang Diperlakukan Dengan Kompos Kascing Dengan Dosis Yang Berbeda.
Jurnal Anatomi dan Fisiologi. 14 (2): 7-18. Oktober 2006. Semarang
Mubyarto. 1995.Pengantar Ekonomi Pertanian, Cetakan keempat. Lembaga Penelitian Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta.
Nazir. Muhammad. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Sarasutha, IG. 2002. Kinerja Usahatani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Litbang
Pertanian. 21 (2): 39-47. 2002. Makassar
Swastha. B. 1992. Saluran Pemasaran, Konsep dan Strategi, Analisa Kuantitatif.BPFE, Yogyakarta.

241
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EFEKTIFITAS DAN NILAI EKONOMI BEBERAPA TIPE ALAT PENGERING DALAM


MENINGKATKAN MUTU BIJI KAKAO DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI
SULAWESI TENGGARA
EFFECTIVENESS AND THE ECONOMICS VALUE OF SOME TYPE OF DRYER
EQUIPMENT IN IMPROVING THE QUALITY OF COCOA BEANS IN KONAWE
REGENCY SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE
Yuliani Zainuddin1, Yudi Irawan1, Sudarmansyah2 Baharuddin1
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Prof Muh. Yamin No. 89 Kendari
E-mail : yunie_za80@yahoo.com

ABSTRAK
Upaya peningkatan mutu produksi kakao dapat dilakukan menggunakan alat pengering biji kakao.
Perlakuan melalui penggunaan alat pengering diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan mutu
kakao. Tujuan kajian untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi penggunaan alat pengering terhadap
mutu, respon petani dan nilai ekonomi beberapa tipe pengering biji kakao. Kajian ini dilaksanakan
bulan Januari-Desembertahun 2015 di DesaAndomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe
melibatkan sebanyak 16 responden yang merupakan anggota kelompok Lembaga Ekonomi
Masyarakat (LEM) kakao Sejahtera. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok. 5 ulangan, data dianalisis secara statistik dengan Anova dan dilanjutkan dengan uji DMRT
= 0.05, analisis respon petani dengan pendekatan analisis prilaku petani serta analisis usahatani B/C
ratio. Hasil kajian menunjukkan penanganan pasca panen kakao menggunakan oven Tipe BPTP II
Sultra, lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan alat pengering lainnya.Respon petani tertinggi
adalah pada penggunaan alat pengering para-para, oven Tipe BPTP II Sultra, solar cell, dibanding
dengan type system blower. Kelebihan penggunaan alat pengering oven Tipe BPTP II Sultra, prodak
akhir biji kakao yang dihasilkan dapat memunculkan khas aroma dan cita rasa khas cokelat juga
menekan rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao. Pendapatan petani tertinggi diperoleh pada
alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang
diintroduksi menguntungkan dan layak diusahakan dengan B/C ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan
2,96 sedangkan terendah pada alat pengering solar cell
Kata Kunci : theobroma cacao, alat pengering, mutu biji, analisis usahatani.

ABSTRACT
To improve the quality of cocoa production can be done using dryer cocoa beans. The treatment
through the use of the dryer is expected to improve productivity and quality of cocoa. The studies
objective were to determine the effectiveness and efficiency of using dryers on the quality, the response
of farmers and the economic value of some types of cocoa beans dryers. This study was conducted in
January-December 2015 in the Andomesinggo village, Besulutu sub-district and Konawe district
involving as many as 16 respondents who are members of the Institute for Public Economics (LEM)
cocoa Sejahtera. The study was conducted using a randomized block design. 5 replicates, the data
were statistically analyzed by ANOVA followed by DMRT = 0.05 farmer response analysis with
behavioral analysis approach farmers and farm analysis B / C ratio. Results of the study showed post-
harvest handling of cocoa using oven Type of BPTP II southeast sulawesi more efficiently and
effectively than with others dryers. The highest response of farmers is the dryer rack, oven type of
BPTP II southeast sulawesi, Solar cells, compared with a blower type system. Advantages of using
dryers oven type of BPTP II southeast sulawesi, The last product of cocoa beans produced can bring a
distinctive aroma and distinctive taste of chocolate also suppress bitter and astringent flavors that
exist in cocoa beans. The highest Farmers' income earned on the dryer rack with sunlight, oven type
of BPTP II southeast sulawesi and blower system is being introduced profitable and viable with B/C
ratio respectively 3.67 and 3.16 and 2,96 while the lowest was in the dryer solar cell.
Keywords : theobroma cacao, dryers, seeds quality, farm analysis

242
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Produksi kakao Indonesia mencapai 1.315.800ton per tahun atau setara dengan 15% dari
totalproduksi kakao dunia. Indonesia menempati posisi ketiga penghasil kakao dunia setelah Pantai
Gading dan Ghana dengan luas areal 1.462.000 ha dan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir areal
perkebunannya meningkat pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% per tahun (Karmawati et al.,
2010). Kakao Indonesia mampu menyumbangkan devisa bagi negara sebesar US$ 668 juta per tahun
atau nomor tiga dari sektor pertanian setelah kelapa sawit dan karet (Anonim,2010a).
Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan
sangat rendah dan beragam. Keberagaman mutu biji kakao Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti minimnya sarana pengolahan, lemahnya pengawasan mutu pada seluruh tahapan proses
pengolahan biji kakao rakyat, serta pengelolaan biji kakao yang masih tradisional (85% biji kakao
produksi nasional tidak difermentasi). Kemampuan Indonesia sebagai negara produsen kakao tidak
diimbangi dengan kemampuan mengolahnya. Indonesia hanya mampu menyediakan bahan baku bagi
industri negara lain, sedangkan industri pengolahan di dalam negeri masih mengimpor bahan olah dari
luar, hal ini kurang menguntungkan bagi agroindustri dalam negeri. Pengolahan biji kakao lebih lanjut
di dalam negeri sangat diperlukan, mengingat jumlah perusahaan pengolahan kakao masih sangat
sedikit. Pengolahan kakao primer (biji kakao) menjadi kakao olahan selain dapat memberikan nilai
tambah pada kakao itu sendiri, juga dapat meningkatkan pendapatan petani serta memberikan alternatif
pasar yang lebih beragam bagi petani (Anonim, 2010b).
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu sentra penghasil kakao di Indonesia. Pada tahun
2013, produksi kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 185.201 ton yang sebagian besar diusahakan
oleh perkebunan rakyat dengan total luas pertanaman kakao mencapai 245.624 ha (BPS, 2014). Dari
tahun 2011 2013, rata-rata produktivitas kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 0,9
ton/ha/tahun.Sampai saat ini, kurang lebih 90% petani menjual kakao dalam bentuk biji. Akan tetapi,
permasalahan yang dihadapi adalah mutu biji kakao yang dihasilkan masih tergolong rendah dan kalah
bersaing dengan negara-negara penghasil kakao di pasar internasional. Salah satu parameter mutu yang
kurang diperhatikan adalah kadar air.
Adapun faktor yang turut menentukan mutu biji kakao adalah karakteristik fisik (seperti
jumlah biji per 100 gram, biji terfermentasi dan kadar biji berjamur/berserangga), kimia Padahal, di era
perdagangan global, perhatian dan persaingan mutu semakin ketat. Kadar air biji yang diharapkan
setelah pengeringan adalah 6%, yang bertujuan untuk memudahkan pelepasan nibs dari kulitnya, juga
mencegah agar tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme pembusuk sehingga dapat memperpanjang umur
simpan (Napitupulu, 2012). Akan tetapi, tiap jenis pengeringan memiliki kendala masing-masing, baik
dalam hal efektivitas pengeringan, kebutuhan sumber daya, pembiayaan, dan pengaruhnya terhadap
aspek mutu biji kakao. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan
menghasilkan rekomendasi mengenai jenis pengering yang dapat secara efektif meningkatkan mutu
kakao dan efisien dari segi ekonomi sehingga dapat mendukung petani dalam meningkatkan mutu biji
kakao, khususnya di Kabupaten Konawe. Peningkatan mutu biji kakao di Sulawesi Tenggara terutama
di Kabupaten Konawe perlu terpadu dengan proses penanganan pasca panen kakao. Salah satu tahapan
penting proses penanganan panen kakao sebagai bahan baku standar mutu yang sudah ditetapkan untuk
diolah menjadi makanan dan minuman cokelat. Fermentasi bertujuan untuk membentuk cita rasa khas
cokelat dan mengurangi rasa pahit serta sepat dalam biji kakao. Peningkatan mutu hasil kakao ini juga
ikut meningkatkan pendapatan petani kakao.
Secara umum, jenis pengeringan biji kakao dapat dibagi menjadi dua, yaitu sun drying dan
artificial drying. Sun drying memerlukan sinar matahari sebagai sumber energi, sumber panas dan
sinar ultraviolet. Pengeringan ini dilakukan secara terbuka, membutuhkan hembusan angin yang besar
dari udara sehingga pengeringan berlangsung lambat. Walaupun tipe pengeringan ini tergolong murah
karena memanfaatkan energi matahari dan angin, tetapi pengeringan secara terbuka menyebabkan
rawan kontaminasi dari udara, debu dan kerikil dari lingkungan sekitar. Selain itu, pengeringan ini
dilakukan hanya jika cuaca memungkinkan. Proses fermentasi dan, pengeringan bertujuan untuk
meningkatkan citarasa biji kakao. Polyphenol dan alkaloid berpengaruh terhadap rasa dari kakao.
Keberagaman dan ukuran tumpukan biji kakaoyang berbeda menyebabkan temperatur dan konsentrasi
metabolit mikroba menjadi berbeda. Padaproses fermentasi, kandungan epicatechin dan theobromine
berkurang akibat adanya difusi keluar darikotiledon biji dan oksidasi serta kondensasi dari polifenol.
Jwnlah epicatechin dan theobromine yang tertinggal di biji sangat berpengaruh terhadap rasa dari
kakao. Perbedaan dalam aktivitas mikroba pada fermentasi berpengaruh pada rasa dari biji kakao dan

243
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

produk cokelat yang dihasilkan. Oleh karena itu, pengendalian terhadap kondisi fermentasi dapat harus
dilakukan (Camu, 2008; Payne et aI.,2010). Proses fermentasi biji kakao secara konvensional atau
fermentasi spontan pada umumnya membutuhkan waktu sekitar 5 hari. Fermentasi bertujuan untuk
melepaskan pulp (cairan berupa lender yang terdapat pada permukaan kulit biji kakao), menghentikan
pertumbuhan kecambah pada biji, serta membentuk warna dan cita rasa zkhas, tujuan lain dari
fermentasi biji kakao adalah untuk menghasilkan biji yang tahan terhadap hama dan jamur selama
penyimpanan. Fermentasi dapat dilakukan di dalam kotak yang terbuat dari kayu berukuran 60 x 40
em yang dapat menampung sekitar 100 kg biji kakao basah. Selanjutnya kotak ditutup dengan karung
goni/daun pisang selama 36-48 jam. Sebagian besar pulp yang menempel pada biji kakao akan
terkonversi menjadi alkohol, asam asetat dan asam laktat. Pada hari ke 3 dilakukan aerasi dengan
pengadukan agar fermentasi biji merata. Aerasi dilakukan setiap 48 jam sekali, kemudian biji kakao
dikeluarkan dari kotak fermentasi setelah 8-10 hari (Afoakwa, 2010). Fermentasi biji kakao juga dapat
dilakukan dengan penambahan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat.
Cara lain untuk meningkatkan kualitas biji kakao dan proses fermentasi yaitu dengan membuang
sebagian pulp yang melekat pada biji sebelum difermentasi. Pulp yang terlalu banyak dapat
menghasilkan rasa asam serta tekstur yang jurang bagus untuk biji kakao (Bernaert at al. 2011)
Sedangkan pengeringan buatan (artificial drying) menggunakan bahan bakar. Prinsip kerjanya
adalah pemanasan secara konduksi (penghantaran panas) atau konveksi (pengaliran panas) yang
bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan pangan, berbentuk solid. Untuk mengantisipasi cuaca
yang tidak menentu tersebut maka pengeringan yang baik adalah pengeringan yang dilakukan dengan
alat pengering (Napitupulu 2012).
Perubahan cuaca di Indonesia saat ini bisa dikatakan tidak stabil. Dengan adanya perubahan
cuaca yang tidak menentu ini dapat mengganggu aktivitas para petani di Indonesia khususnya petani
kakao dalam hal proses pengeringan. Oleh sebab itu, diperlukan kajian mengenai jenis pengeringan
yang tepat untuk petani kakao, berdasarkan mutu biji kakao yang diperoleh dan analisa ekonominya.
Tujuan kajian untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi penggunaan alat pengering terhadap mutu,
respon petani dan nilai ekonomi beberapa tipe pengering biji kakao.

METODOLOGI PENGKAJIAN
Waktu dan Tempat
Kajian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Desember tahun 2015 di Desa Andomesinggo
Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe yang merupakan salah satu daerah potensi kakao. Kajian ini
melibatkan 16 orang petani responden yang merupakan anggota kelompok lembaga Ekonomi
Masyarakat (LEM) kakao sejahtera yang terdiri atas 4 kelompok tani dan masing-masing diwakili 4
orang pada setiap kelompok.
Komponen Teknologi Alat Pengering Biji Kakao
Buah kakao masak setelah panen difermentasi selama 2436 jam, dilanjutkan dengan
fermentasi biji pada kotak fermentasi selama kurang lebih 120 jam. Kemudian, sebanyak 100 kg biji
kakao hasil fermentasi, masing-masing dikeringkan menggunakan empat tipe pengering yang berbeda :
a. Tipe BPTP-II Sultra
b. Para-para dengan sinar matahari,
c. Solar cell, dan
d. Blower dengan bahan bakar kayu dan solar
Adapun lama waktu pengeringan pada masing-masing tipe pengering disesuaikan, sampai kadar air
biji kakao mencapai 6 8%. Setelah itu, biji kakao kering dianalisa sifat fisiko-kimianya.

Metode Analisis
Biji kakao yang telah memenuhi syarat kadar air 6 8%, diangkat dari pengering, ditimbang
per jenis pengering yang digunakan untuk kemudian dihitung rendemennya (wet basis) dengan rumus :
Rendemen : Bobot akhir x 100%
Bobot awal
Kemudian dilakukan pengujian sampel untuk mengetahui kadar air, bobot biji kering, kadar kotoran,
kandungan lemak dan katekin pada biji kakao. Data yang diperoleh dari pengujian ini dikelompokkan

244
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ke dalam data primer. Survey mengenai respon petani terhadap teknologi dan hasil yang diperoleh dari
kegiatan pengkajian. Dari segi sosial ekonomi, dilakukan pula survey dengan melakukan wawancara
langsung menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai tujuan penelitian, untuk mengukur respon
petani kakao terhadap pelaksanan kegiatan pengkajian. Survey dilakukan terhadap para petani kakao di
daerah kajian. dianalisis dengan mengidentifikasi masalah di lokasi terhadap perilaku petani untuk
peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani diukur dengan melakukan identifikasi dan
analisis. Adapun cara menggali Aspek Perilaku petani dengan cara menyusun pertanyaan yang
berkaitan dengan prioritas masalah yang akan dibuat materi penyuluhan yang meliputi aspek
Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan. Dari Hasil Wawancara/penggalian Instrument kemudian
direkapitulasi dengan cara menghitung Persentase Jawaban yang benar . Setelah itu kita beri kriteria
Tinggi, Sedang dan Rendah.
Tabel 1. Rumusan Tingkat Perilaku (Tinggi, Sedang dan Rendah)
No. Pengetahuan dan Sikap Kategori
1. Lebih Besar 60% Tinggi
2. 31 % s/d 60% Sedang
3. 0% s/d 30% Rendah
Keterampilan
1. Lebih Besar 40%
2. 21% s/d 40% Tinggi
3. 0% s/d 20% Sedang
Rendah
Sumber: PPMKP Ciawi 2013.

Analisis data digunakan pada pengkajian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang
dilanjutkan dengan uji Duncan pada empat perlakuan pengeringan sebanyak 5 (lima) kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Petani Responden
Identitas petani responden yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani
responden yang meliputi : umur petani responden, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan
luas lahan petani responden. Karakteristik petani responden terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Petani Responden
No Uraian Persentase (%)
1. Umur
- 15-30 Tahun 18,75
- 31-50 tahun 68,75
- > 51 tahun 12,5
2. Pendidikan
- SD 56,25
- SMP 12,50
- SLTA 31,25
3. Pengalaman berusahatani
- 5-10 tahun 68,75
- 11-20 tahun 31,25
4.. Luas Lahan (Ha)
- 1-2 Ha 44,25
- 2,5 4 Ha 42,75
- 4,5 -7 Ha 13,00
Sumber : Data primer yang diolah, 2015.

Umur petani akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan kerja dan sikap petani responden
dalam mengelola usahatani, terutama dalam hal pengambilan keputusan petani responden yang
umurnya masih tergolong muda memiliki kemampuan untuk maju dan kemampuan menerima inovasi
baru dari luar yang sifatnya membangun lebih besar dibandingkan dengan petani yang berumur lebih
tua. Petani yang berusia muda lebih berani untuk mengambil resiko dalam mengambil keputusan
untuk kemajuan usahataninya, dibanding petani yang berusia tua yang cenderung bersifat terlalu hati-
hati, terutama dalam hal menerima teknologi baru (Soekartawi 2005). Bahwa makin muda petani

245
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka
berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun biasanya mereka masih belum
berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut.umur petani responden di Desa Andomesinggo
berada pada klasifikasi tenaga kerja produktif yaitu seluruh responden (100%) berada pada tingkat
kerja produktif (31-50 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa petani responden di Desa Andomesinggo
masih dalam usia produktif. Dengan usia yang masih produktif responden masih bisa meningkatkan
usahataninya, karena masih memiliki tenaga yang cukup kuat dan mampu menerima dan menerapkan
inovasi baru dalam bidang teknologi pertanian Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang
akan mempengaruhi cara berfikirnya sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka
semakin luas cara berfikirnya. Tingkat pendidikan petani responden tergolong dalam kategori rendah
karena 56,25 % berada pada kisaran 0-6 tahun atau setingkat hanya tamatan sekolah dasar (SD). Hal
ini menunjukkan bahwa petani kurang memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memahami
permasalahan mereka dan kurang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi untuk dapat
mencapai tujuan yang diharapkan. Tingkat pendidikan mempengaruhi keterbukaan seseorang dalam
menerima beberapa inovasi, dalam hal ini inovasi teknologi pertanian. Menurut Saridewi (2010),
tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga
makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Pengalaman Berusahatani.
Pengalaman usahatani petani berdasarkan hasil penelitian memiliki pengalaman lebih dari 5-10 tahun
yaitu 68,75%, hal ini menunjukkan bahwa petani sangat berpengalaman dalam budidaya kakao Hal ini
menunjukan bahwa pengalaman usahatani petani responden sudah cukup lama sehingga petani
responden di Desa Andomesinggo lebih matang dengan berbagai pengalaman dalam berusahatani,
baik usaha yang dapat meningkatkan maupun yang dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Luas
lahan. Luas lahan petani berdasarkan hasil kajian rata-rata berada pada luasan 1-2 Ha yaitu 44,25%,
namun tergolong kurang luas.Hal ini menunjukkan bahwa produksi yang dicapai juga terbatas sesuai
dengan luas lahan yang dimiliki. Menurut Hernanto (1993), luas lahan usahatani dapat menentukan
pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah tangga petani. Luas kepemilikan lahan dapat
berpengaruh terhadap adopsi teknologi, karena semakin luas lahan usahatani, semakin tinggi hasil
produksi sehingga ikut meningkatkan pendapatan petani.
Penanganan Pasca Panen
Penanganan pascapanen kakao dengan menggunakan beberpa tipe alat pengering biji kakao
terhadap bobot 100 biji sebelum dikupas, bobot biji setelah dikupas, rendemen dan kadar lemak dapat
dilihat pada tabel 2. alat pengering oven tipe BPTP II Sultra dilakukan dengan fermentasi sejak pada
saat buah di panen hingga pada kotak fermentasi. Fermentasi buah selama 2-3 malam dan fermentasi
biji pada kotak fermentasi selama 5 hari. Pelaksanaan fermentasi biji kakao dilakukan sesuai dengan
standar.
Tabel 2. Penagaruh aplikasi beberapa alat pengering biji kakao terhadap bobot 100 biji sebelum
dikupas, 100 bobot biji setelah dikupas, rendemen dan kadar lemak
Rataan bobot Rataan bobot
100 biji 100 biji Rataan Rataan kadar
Perlakuan
sebelum setelah rendemen (%) lemak (%)
dikupas (g) dikupas (g)
Para-para dengan sinar matahari 95,20a 76,40a 31,22b 40,16a
Oven tipe BPTP II Sultra 102,40a 81,80a 36,76a 43,08a
Solar cell (Solar system) 99,00a 78,00a 35,14a 34,31b
System Blower 102,80a 80,20a 35,29a 31,83b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama, dan angka-angka yang
diikuti huruf kapital yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak
Duncan pada = 0.05.

Dari tabel 2 menunjukkan bahwa hasil pengeringan bobot 100 biji kakao sebelum dan setelah
dikupas dengan penggunaan Oven tipe BPTP II Sultra lebih tinggi, efektif dan efisien walaupun tidak
berbeda nyata dengan alat pengering lainnya. Pada rendemen biji kakao terbaik dan berbeda nyata
pada penggunaan alat pengering oven tipe BPTP II Sultra, solar cell Untuk kadar lemak biji kakao
tertinggi dan berbeda nyata pada penggunaan alat oven tipe BPTP II Sultra dan para-para. Selain itu
hasil pengering biji kakao dengan penggunaan oven tipe BPTP II Sultra memunculkan khas aroma dan
cita rasa khas cokelat dan menekan rasa pahit serta sepat yang ada dalam biji kakao. Hasil penelitian
bahwa perbaikan mutu biji kakao rakyat menggunakan pengering tipe BPTP II Sultra membentuk cita

246
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

rasa khas cokelat, menekan rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao. Biji kakao yang dilakukan
melalui proses fermentasi dengan menggunakan alat oven tipe BPTP II Sultra dapat menurunkan
kadar air biji kakao hingga 7% selama kurang dari 80 jam dibandingkan dengan para-para selama 60-
84 jam. (Baharuddin, dkk 2014). Produk-produk hasil olahan coklat yang utama saat ini adalah lemak
dan tepung coklat. Kandungan lemak pada biji kakao berkisar 55-60%. Proses pemisahan lemak dan
tepung ini dilakukan terhadap biji kakao yang telah terfermentasi. Pemisahan lemak coklat dapat
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya ekstraksi dengan menggunakan pelarut atau dengan
pengepresan (Venter dkk., 2007). Selain kadar lemak, ukuran berat biji juga turut menentukan mutu
biji kakao. Ukuran berat biji sering dinyatakan dalam jumlah biji per 100 gram. Suhendi dkk. (2004)
menyatakan bahwa ukuran berat biji kakao yang dikehendaki adalah lebih dari 1 g per biji. Dengan
demikian, jelas bahwa biji kakao dengan penggunaan alat pengering mampu menghasilkan mutu
(ukuran berat) biji standar (dikehendaki). Mulato dkk. (2009) menyatakan bahwa ukuran berat biji
sangat dipengaruhi oleh jenis (klon) tanaman, kondisi lingkungan (curah hujan) selama perkembangan
buah dan tindak agronomis pada tanaman.
Respon Petani terhadap alat pengering kakao
Respon petani terhadap suatu invoasi baru perlu dilakukan dengan melakukan identifikasi dan
analisis perilaku petani kakao. Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian akan
mempengaruhi sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan (keterampilan). Dengan adanya
wawasan petani dengan baik tentang teknologi alat pengering, akan mendorong adanya perubahan
perilaku. Respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao di DesaAndomesinggo Kec.
Besulutu Kabupaten Konawe Tahun 2015
Respon Petani
No. Uraian Mengetahui Menerima Melakukan
(Pengetahuan) (%) (Sikap) (%) (Keterampilan) (%)
1. papa-para dengan sinar matahari 91,50 81,25 56,25
2. Oven Tipe BPTP II 85,20 75,00 35,10
3. Solar cell (Solar system) 84,25 75,10 34,25
4. Blower dengan bahan bahkar kayu dan solar 70,75 50,20 26,05
Rataan 82,93 70,38 37,91

Pada Tabel 3 diketahui bahwa respon petani terhadap penggunaan alat pengering kakao
tertinggi pada alat pengering para-para dengan masing-masing pengetahuan 91,50% sikap 81,25% dan
keterampilan 56,25%. Respon petani tertinggi pada teknologi pengeringan dengan menggunakan para-
para karena murah dan mudah dilakukan terutama pada musim kemarau. Penggunaan oven tipe BPTP
II Sultra respon petani untukpengetahuan sebesar 85,20%, sikap 75.00% dan keterampilan 35.10%,
terutama dapat digunakan pada musim penghujan.Pada kondisi ini walaupun sebagian petani memiliki
pendidikan formal yang rendah, tetapi pemahaman tentang teknologi penggunaan alat pengering kakao
khususnya pada alat pengering para-para dan oven tipe BPTP II Sultra sudah cukup tinggi karena
teknologi eksisting petani yaitu menggunakan alat pengering para-para dengan sinar matahari selain
menghemat bahan bakar, mutu biji kakao lebih baik dan memunculkan aroma cita rasa
cokelat.Sebaliknya dengan menggunakan alat pengering solar cell dan blower selain bahan bakar yang
digunakan banyak serta mutu biji kakao yang dihasilkan kurang baik. Penggunaan Solar cell pada
musim penghujan terlalu panjang tidak dapat mengeringkan biji kakao bahkan terserang penyakit dan
berjamur sedangkan penggunaan system blower sulit digunakan petani karena menggunakan dua
bahan bakar kayu dan solar dan membutuhkan waktu yang lama sehingga biaya yang dikeluarkan
lebih mahal.

247
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Analisis Usahatani
Harga kakao tergantung pada kadar air dan alat pengering yang digunakan serta lamanyadalam
pengeringan biji kakao. Secara umum kebiasaan petani dalam menjual biji kakao dengan kadar air 12-
14%, sehingga harga jual biji kakao dapat lebih murah. Analisis usahatani penggunaan alat pengering
biji kakao disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis usahatani alat pengering kakao di Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu
Kabupaten Konawe Tahun 2015
Alat pengering biji kakao
Uraian Para-para + Sinar Oven BPTP II
Solar cell Sistem Blower
Matahari Sultra
Total Biaya (Rp) 1.220.000 1.594.000 2.440.000 1.440.000
Produktfitas (kg/ha) 1.500 1.500 1.500 1.500
Harga/Kg 38.000 38.000 38.000 38.000
Penerimaan 5.700.000 5.700.000 5.700.000 5.700.000
pendapatan 4.480.000 4.106.000 3.260.000 4.260.000
B/C ratio 3,67 3,16 2,05 2,96
R/C Ratio 4,07 3,57 2,34 3,96
Keterangan : Data primer yang diolah, 2015

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh petani tertinggi yaitu dengan
penggunaan alat pengering para-para dengan bantuan sinar matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem
blower yang diintroduksi menguntungkan dengan B/C ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96.
dibandingkan dengan alat pengering solar cell karena total biaya yang dikeluarkan lebih rendah, juga
dapat digunakan untuk mengantisipasi pada saat musim penghujan dalam meningkatkan mutu biji
kakao.Dalam analisis usahatani pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa penggunaan alat pengering
kakao layak digunakan untuk meningkatkan mutu biji kakaodengan B/C ratio > l di Desa
Andomesinggo Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe. Penggunaan alat pengering dengan solar cell
walaupun kurang menguntungkan masih tetap digunakan terutama pada saat musim penghujan tidak
tinggi, sedangkan tipe BPTP II dapat digunakan oleh petani setiap saat jika dibutuhkan. Alat pengering
para-para dengan sinar matahari dan solar cell tetap digunakan setiap saat namun jika pada saat musim
penghujan tinggi tidak bisa digunakan karena banyak biji kakao rusak akibat terserang
penyakit/pathogen pada saat pengeringan/penjemuran.

KESIMPULAN
1. Penanganan pasca panen kakao penggunaan oven tipe BPTP II Sultra lebih efektif dan efisien
dibanding dengan alat pengering lainnya.
2. Respon petani tertinggi adalah pada penggunaan alat pengering para-para, oven Tipe BPTP II,
Solar cell, dibanding dengan type system blower. Kelebihan penggunaan alat pengering oven
Tipe BPTP II Sultra, prodak akhir biji kakao yang dihasilkan dapat memunculkan aroma dan cita
rasa cokelat.
3. Pendapatan petani tertinggi diperoleh pada alat pengering para-para dengan bantuan sinar
matahari, oven BPTP-II Sultra, dan sistem blower yang diintroduksi menguntungkan dan layak
diusahakan dengan B/C ratio masing-masing 3,67 dan 3,16 dan 2,96 sedangkan terendah pada
alat pengering solar cell.

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2010). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Anonim. 2010a. Potensi Kakao Indonesia. http://lrptn.co./potensi-kakao-indonesia/.Diakses pada
tanggal 29 Desember 2014.
Anonim. 2010b. Industri Pengolahan Kakao MengajakKerjasama. Agrobost. Portal Agrobisnis
danPertanian. Diakses pada tanggal 29 Desember 2014.
Afoakwa, E., 2010, Chocolate Science and Technology, Blackwell publishing, John Wiley & Sons
Ltd, West Sussex. United Kingdom
Beckett, T. S., 2009, Industrial Chocolate Manufacture and Use, 4 ed., Blackwell Publishing,UK
Bemaert, H., Camu, N., Lohmueller, T., 2011, Method for Processing Cocoa Beans, US Patent
20110070332A1
248
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

BPS Sulawesi Tenggara. 2012. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2012.


__________________. 2013. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2013.
__________________. 2014. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2014.
Camu, N., Tom, D.W., Addo, S.K., Jemmy, S.T., Herwig, B., Luc, D.V., 2008, Fermentation of cocoa
beans: influence of microbial activities and polyphenol concentrations on the flavor of
chocolate, Jurnal of Science of Food and Agriculture, vol. 88, no. 13, pp. 2288-2297
Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Penerbit swadaya. Jakarta.
Irawan, Y., Baharudin, M. Taufiq Ratule. 2013. Kajian Peningkatan Mutu Biji Kakao Melalui
Penggunaan Beberapa Tipe Alat Pengering. [tidak dipublikasi]
Karmawati, E., Zainal Mahmud, M. Syakir, J. Munarso, K.Adiana, dan Rubino. 2010. Budidaya dan
PascaPanen Kakao. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perkebunan.
KementerianPertanian.
Mulato, S., Widyotomo, S., Misnawi dan Suharyanto, E., 2009. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk
Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
Napitupulu, F.H., Putra Mora Tua. 2012. Perancangan dan Pengujian Alat Pengering Kakao dengan
Tipe Cabinet Dryer untuk Kapasitas 7,5 kg Per-Siklus. Jurnal Dinamis, Vol. II, No. 10,
Januari 2012.
Padmowihardjo,S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta Universitas Terbuka.
PPMKP Ciawi 2013. Mengemas Materi dan Media Penyuluhan sesuai Kebutuhan. Badan
Pengembangan SDM Pertanian. PPMKP Ciawi Bogor 2013.
Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Baharuddin, Yudi Irawan, 2014. Di download 19 Oktober 2016
(http://sultra.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option com_contennt dan view)
peningkatan-produktivitas dan mutu kakao melalui penggunaan alat engering tipe BPTP
II Sultra.
Venter, M. J., Kuipers, N. J. M., de Haan, A. B. (2007) Modelling and experimental evaluation of high
pressure expression of cocoa nibs, Journal of Food Engineering, 80, 1157-1170.

249
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK PADAT (POP) TERHADAP PRODUKSI


DAN KELAYAKAN USAHA TANI KUBIS
DI KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU
PRODUCTION AND FINANSIAL ANALYZE CABBAGE FARMER INFLUENCE OF USING
SOLID ORGANIC FERTILIZER (POP) IN REJANG LEBONG DISTRICT-BENGKULU
PROVINCE
Yulie Oktavia dan Umi Puji Astuti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km. 6,5 Kota Bengkulu Telp. 0736 (23030) Fax. 0736 345568
Email : yo_alie@yahoo.com

ABSTRAK
Dalam budidaya tanaman kubis, petani biasanya melakukan eksploitasi penggunaan bahan kimia
terutama dalam penggunaan pupuk dan pestisida. Menyikapi berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan dari kegiatan pertanian konvensional, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser
ke pertanianorganik. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui dosis penggunaan Pupuk Organik Padat
(POP) terhadap produksi tanaman kubis dan menganalisis kelayakan Usaha Tani (UT) kubis dengan
mengunakan POP. Pengkajian dilakukan di lahan petani kooperator kegiatan Model Sistem Pertanian
Bio-Industri Tanaman-Ternak di Desa Air Meles Kec. Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong pada
bulan Maret hingga bulan Juni 2016. Pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan faktor tunggal yaitu dosis POP dengan 4 taraf perlakuan yaitu I : Tanpa Kompos, II : dosis 5
ton/ha, III : dosis 10 ton/ha dan IV : dosis 15 ton/ha dengan 5 kali ulangan. Varietas kubis yang
digunakan adalah varietas Grand 11. Data dikumpulkan pada saat panen yaitu : 1) Data teknis (tinggi
tanaman, berat basah krop, diameter krop dan jumlah daun), 2) Data UT kubis. Analisis data dilakukan
dengan : 1) Analisis of Variance (ANOVA) dan dianjutkan dengan uji lanjut DMRT dan 2) Analisis
finansial Usaha Tani Kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP. Penggunaan dosis POP
sebanyak 15 ton/ha pada tanaman kubis memberikan hasil yang lebih baik dari dosis 0,5,10 ton/ha
dengan produksi sebanyak 34,286 ton. Penggunaan beberapa dosis POP layak untuk diusahakan yang
ditunjukan dengan nilai B/C >1 dengan kondisi harga jual pada saat pengkajian yang cukup tinggi (Rp.
4000,-/kg).
Kata Kunci : Kubis, POP, Produksi

ABSTRACT
Usually conventional farmingusing exploitation of chemicals, especially the use of fertilizers and
pesticides. It`s too many negative impacts from conventional farming. the attention of the world
community began slow to move to the organic farming. The assessment aims to determine the dosage
of Solid Organic Fertilizer (SOF) on the production of cabbage and analyze the Feasibility Farming
(UT) of Cabbage. The assessment was done in the land farmer cooperators in Farming System Model
Bio-Industrial Plant-Animal activities in Air Meles Village. Subdistrict East Curup District Rejang
Lebong in March through June 2016. This study used randomized block design (RBD) with a single
factor, namely POP dosage with 4 levels of treatment. Cabbage varieties used is Grand 11 varieties.
Data collected during the harvest,: 1) Technical data (height, weight wet crop, crop net diameter and
number of leaves), 2) the data of Farming system. Data analyze is done by 1) Analysis of Variance
(ANOVA) and DMRT Analyze and 2) A financial analysis Farming Cabbage. SOF doses up to 15
tons/ha on cabbage gives better results than other doses with production of 34.286 tons. The use of
multiple doses of SOF shown the B / C>1 for condition of the selling price at the time the assessment
is quite high (Rp. 4000,- / kg).
Keywords : cabbage, SOF, income, production

250
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Menyikapi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian konvensional,
perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser menuju pertanian yang ramah lingkungan. Salah
satu upaya alternatif yang dapat dilakukanadalah dengan mengembangkan pertanian organik yang
merupakan suatu sistem yang mampu menjaga keselarasan diantara komponen ekosistem secara
berkesinambungan dan lestari. Pertanian organik ini mengandalkan kebutuhan hara melalui
penggunaan pupuk organik. Pertanian ramah lingkungan merupakan konsep model pertanian yang
bertujuan agar kegiatan ekonomi tidak merusak lingkungan, dengan tetap memperhatikan keterkaitan
antara ekologi, ekonomi, dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Usaha tani sayuran biasanya menggunakan input yang tinggi terutama dalam penggunaan
pupuk anorganik, untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Penggunaan input kimia yang
tinggi jika dipakai terus menerus akan dapat merusak kondisi tanah (Puspita et al, 2015). Alternatif
bijaksana yang dapat dipilih dengan menggunakan kompos.
Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya
interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja didalamnya. Bahan-bahan organik
tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan dan lain-lain.
Penggunaan kompos bukan hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman namun
dapat menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan porositas, aerase
dan komposisi mikroorganisme tanah sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman, daya serap
air yang lebih lama pada tanah, menghemat pemakaian pupuk kimia, menjadi salah satu alternatif
pengganti pupuk kimia karena harganya lebih murah, dan ramah lingkungan (Murbandono,2000).
Menurut Simanungkalit et al. (2006) kompos merupakan sumber hara makro dan mikro mineral secara
lengkap meskipun dalam jumlah relatif kecil (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Zn, Mo, dan Si). Selain itu,
kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomisetes, bakteri, dan alga). Variasi dalam
kuantitas macam-macam nutrien esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sangat besar.
Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu kabupaten di provinsi bengkulu yang
mempunyai potensi yang cukup luas dalam pengembangan tanaman sayuran. Salah satu tanaman
sayuran yang dikembangkan diantaranya adalah tanaman kubis. Pada tahun 2015, tercatat
pengembangan areal kubis mencapai 2.517 ha dengan produksi 914.792 kuintal (Statistik Pertanian
Rejang Lebong, 2015).
Kubis merupakan tanaman yang banyak digemari untuk digunakan sebagai sumber protein,
vitamin A, Vitamin C, Vitamin B1, Vitamin B2 dan Niacin (Setiawati et al, 2001). Dalam budidaya
tanaman ini petani biasanya mengeksploitasi penggunaan bahan kimia terutama penggunaan pupuk
dan pestisida.
Suatu usahatani memiliki tujuan untuk menghasilkan manfaat bagi pelakunya,untuk
mengevaluasi manfaat atau keuntungan petani dalam melakukan budidaya tanaman perlu dilakukan
analisis finansial untuk melihat jumlah biaya yang dikeluarkan dan diterima oleh petani (Herdiyansyah
dan Rohayana, 2014).Untuk mengkaji kelayakan usahatani kubis dengan menggunakan POP,
dilakukan analisis finansial.Hal ini untuk menepis keraguan petani sayuran konvensional untuk beralih
menjadi petani sayuran organik.
POP yang dikembangkan merupakan campuran dari pemanfaatan limbah kulit kopi.
Penambahan bahan organik berupa pemberian kompos kulit kopi dapat memenuhi nutrisi untuk
pembentukan daun. Secara umum pengomposan dengan sistem aerobik termasukpengomposan limbah
kulit kopi adalah modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi dengan
kehadiran oksigen (Sahputra et al, 2013).
Pengkajian bertujuan untuk : 1) mengetahuipengaruh dosis POP terhadap produksi tanaman
kubis dan 2) menganalisis kelayakan Usaha Tani pada beberapa dosis POP yang digunakan dalam
pengkajian.

251
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Pengkajian dilakukan di lokasi kegiatan Model Sistem Pertanian Bio-Industri Tanaman-
Ternak Spesifik Lokasi di Desa Air Meles Kec. Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong Provinsi
Bengkulu pada bulan Maret hingga bulan Juni 2016 dilahan petanikooperator. Hasil analisis
laboratorium menunjukkan bahwa kondisi tanah di lokasi pengkajian mempunyai kandungan hara
sebagai berikut: N-total 0,47 %, P2O53,94 %, K2O 0,51 % dan pH 6,18.
Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu
dosis POP dengan 4 perlakuan, yaitu : perlakuan I : Tanpa Kompos, perlakuan II : dosis 5 ton/ha,
perlakuan III : dosis 10 ton/ha dan perlakuan IV : dosis 15 ton/ha dengan 5 kali ulangan. Penggunaan
dosis POP dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kubis terhadap pupuk an organik yang
direkomendasikan. Varietas kubis yang digunakan adalah Grand 11. Data yang dikumpulkan pada saat
panen yaitu : tinggi tanaman yang diukur dari permukaan tanah, berat basah krop; krop dibersihkan
dari daun-daun yang kuning dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik, diameter bersih
krop; diukur dengan cara membersihkan daun yang tidak layak, krop dipotong dua bagian yang sama
diameter diukur dengan menggunakan mistar dan jumlah daun; dihitung dengan cara memisahkan satu
persatu daun lalu dihitung.Data kelayakan usaha tani yang dikumpulkan antara lain : biaya input
produksi, produksi dan harga produksi, data yang ambil merupakan data Usaha Tani (UT) yang
diterapkan pada penggunaan dosis POP.
Data teknis dianalisis dengan Analisis of Variance (ANOVA). Rerata antar perlakuan diuji
lanjut dengan DMRT. Untuk mengetahui kelayakan dan keberhasilan usahatani digunakan analisis
finansial rumus (Oetama et al, 2014) :

Benefit Cost Ratio (B/C)



B/C =

Dimana :
Pd = Pendapatan Usahatani
Kriteria uji :
Apabila B/C >0, maka usahatani dikatakan menguntungkan
Apabila B/C <0, maka usahatani dikatakan tidak menguntungkan
Apabila B/C = 0, maka usahatani dikatakan tidak untung dan tidak rugi atau impas.

Break Event Point (BEP)



BEP harga (Rp/Kg) =

BEP produksi (Kg) =
TC = Total Biaya
Y = Produksi
PY = Harga Produksi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Aplikasi Beberapa Dosis POP pada Tanaman Kubis
Aplikasi penggunaan POP pada tanaman kubis menunjukkan pertumbuhan yang beragam
terhadap berat basah krop, diameter krop, jumlah daun dan tinggi tanaman.. Hasil analisis sidik ragam
dari aplikasi beberapa dosis POP pada tanaman kubis yang dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT
menunjukkan hasil sebagai berikut :

252
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Pengaruh beberapa dosis pemberian POP terhadap berat basah krop, diameter krop, jumlah
daun dan tinggi tanaman.
Berat Basah Krop Diameter Krop Tinggi Tanaman
No. Dosis POP Jumlah Daun (helai)
(g) (cm) (cm)
1 Tanpa Kompos 294,0 c 13,8 c 29,3ab 29,0 a
2 5 ton/ha 319,2 c 14,7 bc 27,2 b 29,2 a
3 10 ton/ha 706,0 b 15,0 b 28,2 ab 29,5 a
4 15 ton/ha 1161,2 a 18,4 a 31,0 a 29,7 a
Sumber : Pengamatan Th. 2015

Pada Tabel 1. menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan pemberian POP
terhadap parameter berat basah krop, diameter krop dan jumlah daun. Pada parameter tinggi tanaman
tidak menunjukkan terdapat beda nyata, tinggi merupakan salah satu parameter pertumbuhan tanaman.
Tanaman setiap waktu terus tumbuh yang menunjukkan telah terjadi pembelahan dan pembesaran sel.
Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, fisiologi dan genetik tanaman.
Berat basah krop pada perlakuan dosis pemupukan POP 15 ton/ha menunjukkanperbedaan
yang sangat nyata terhadap ke 3 perlakuan dosis lainnya, perlakuan kontrol menunjukkan berat basah
krop yang terendah yaitu294 g, sedangkan pada perlakuan dosis POP 15 ton/ha menunjukkan berat
1.161 gram. Penggunaan dosis POP 15 ton/ha mampu menghasilkan produktivitas sebanyak 34,3
ton/ha.
Kandungan unsur hara yang ada pada POP yang dihasilkan menunjukkan bahwa N yang
tersedia sebanyak 6,06 %, P2O5 4,09 %, K2O 0,40% dan pH H2O 8,9 lebih tinggi dibandingkan hasil
analisis kompos dari penelitian Isroi (2005)jika menggunakan kompos yang matang kandungan
haranya kurang lebih mengandung 1,69% N, 0,34% P2O5, dan 2,81% K. Pada penggunaan dosis
kompos 15 ton/ha memiliki kandungan N dan P yang cukup tinggi. Setiawatiet al, (2007),
memberikan rekomendasi sebagai berikut untuk tanaman kubis: Urea sebanyak 100 kg/ha, ZA 250
kg/ha, TSP atau SP-36 250 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Dengan menggunakan dosis kompos 10-15 ton
dapat memenuhi kebutuhan N dan P pada tanaman kubis.Namun demikian POP yang digunakan
belum dapat memenuhi kebutuhan unsur K untuk tanaman kubis karena unsur K yang dihasilkan
relatif sedikit (0,40 %).
Pada perlakuan kompos 15 ton/ha, berat basah krop berkorelasi positif dalam menghasilkan
diameter dan jumlah daun dibandingkan perlakuan yang lain. Berat basah krop, diameter dan jumlah
daun berturut-turut sebagai berikut 1.116,2 kg, 18,4 cm dan 31,0 helai daun, diduga pada kondisi 10-
15 ton/ha merupakan kondisi yang optimal dalam ketersediaan unsur hara.Suatu tanaman akan tumbuh
subur apabila segala unsur hara yang dibutuhkan cukup tersedia dan dalam bentuk yang sesuai untuk
diserap tanaman (Dwidjoseputro, 1983).
Waktu penanaman pada kegiatan pengkajian dilakukan pada musim kering dengan curah
hujan yang relatif sangat terbatas, namun tanaman dapat bertahan dengan produktivitas 8 ton/ha.
Beberapa hasil penelitian lain seperti Suriadikarta (2006) berpendapat bahwa bahwa bahan organik
khususnya pupuk kompos dan urine kelinci juga berperan sebagai sumber energi dan makanan
mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam menyediakan hara
tanaman. Jadi penambahan bahan organik disamping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus
sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba.
Selain mendapatkan kebutuhan akan unsur hara dari POP, pada tanaman kubis juga
ditambahkan penggunaan POC, yang diberikan dengan konsentrasi 1:15 yang diaplikasikan langsung
ke tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap unsur harajuga dapat diperoleh melalui pemberian pupuk
cair (Arinong et al. 2011)
Aplikasi biourine juga dapat ikut membantu memberikan tambahan makanan pada
pertumbuhan tanaman. Aplikasi biourine dengan disemprot ke daun akan secara langsung diserap oleh
stomata daun, dikarenakan didalam biourine terdapat zpt jenis auksin seperti IAA (Indol Asetic Acid)
yang dapat menginisiasi pemanjangan sel dengan cara mempengaruhi pengendoran atau pelunturan
dinding sel (Rao, 1994). Kajian Bilad (2011) tentang dosis pupuk organik dan konsentrasi biourine
menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi biourine dan dosis pupuk organik secara tunggal mampu
meningkatkan N-total tanah, peningkatan N dalam tanah kemungkinan disebabkan oleh

253
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

mikroorganisme yang terdapat dalam biourine yang mampu merombak senyawa organik yang terdapat
dalam biourine.
Analisis Kelayakan Finansial Penggunaan POP Pada Tanaman Kubis
Untuk mengetahui kelayakan Usaha Tani dengan penggunaan POP pada beberapa dosis
dilakukan analisis Benefit Cost Ratio (B/C ratio) dan Break Event Point (BEP). Hasil analisis
kelayakan finansial penggunaan POP pada tanaman kubis pada lahan petani seluas 1 ha di Desa Air
Meles Atas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Analisis kelayakan finansial UT kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP.
Dosis POP (ton/ha)
No Uraian
0 5 10 15
1. Biaya Input
a. Sarana Produksi (Rp) 2.500.000 6.270.000 9.300.000 13.770.000
b. Tenaga kerja (Rp) 6.930.000 6.930.000 6.930.000 6.930.000
c. Total Biaya (Rp) 9.430.000 13.200.000 16.230.000 20.700.000
2. Produksi Kubis (Kg) 8.400 9.114 20.172 34.286
3. Harga Jual (RP/kg) (Current) 4.000 4.000 4.000 4.000
4. Penerimaan UT (Rp) 33.600.672 36.457.872 80.687.328 137.145.600
5. Keuntungan UT (Rp) 24.170.672 23.257.872 64.457.328 116.445.600
6. B/C 3,56 2,76 4,97 6,63
7. BEP Harga(Rp) 1.123 1.448 805 604
BEP Produksi (ton/ha) 2.358 3.300 4.058 5.175
Sumber : Data primer diolah, 2015

Dari hasil analisis UT kubis dengan menggunakan POP menunjukkan bahwa pada setiap
penggunaan dosis POP memiliki nilai B/C > 1, nilai ini menunjukan bahwa pada setiap penggunaan
dosis POP pada UT kubis layak untuk diusahakan. Kondisi ini terjadi karena harga jual di tingkat
petani pada saat pengkajian relatif cukup tinggi yaitu Rp. 4000,-/kg.
Dari pemantauan harga pasar, Laporan Dinas Pertanian Kab. Rejang Lebong, pada kondisi
harga 3 tahun terakhir (th 2014- 2016), harga jual kubis di tingkat petani yang terendah pada harga jual
Rp. 357,-/kg dan harga tertinggi mencapai Rp. 4.286,-/kg. Harga jual pada saat dilakukan pengkajian
merupakan harga yang memberikan keuntungan yang cukup besar pada kurun waktu 3 tahun terakhir,
berikut merupakan trend harga jual kubis di tingkat petani di Kabupaten Rejang Lebong (Grafik 1).
Apabila dilihat dari rata-rata harga kubis selama tiga tahun maka pada harga Rp. 2.126,-/kg, maka
usahatani kubis pada saat itu masih menguntungkan karena BEP harga pada setiap perlakuan
pemberian kompos lebih kecil dari harga rata-rata.

2014
2015
2016

Grafik 1. Trend harga jual kubis di tingkat petani pada tahun 2014-2016 (Rp/kg)

Produksi yang diperoleh dari ke-4 dosis POP dan harga jual pada saat itu, menunjukkan nilai
B/C yang tinggi, sehingga petani dapat memperoleh keuntungan yang cukup tinggi. Menurut
Soekartawi (1991) semakin tinggi B/C rasio dari suatu UT, maka usaha tersebut semakin layak dan
keuntungan yang di dapat juga semakin besar.

254
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

BEP UT kubis dengan menggunakan beberapa dosis POP 15 ton/ha menunjukkan BEP dengan
harga terendah Rp. 604,- dengan produksi sebanyak 5,2 ton/ha. Artinya agar UT kubis tidak
mengalami kerugian, dengan produksi 34,286 ton/ha petani harus menjual produknya minimal dengan
harga Rp. 604,-/kg dan apabila harga jual kubis Rp.4.000,-/kg petani harus dapat memproduksi kubis
sebanyak 5,2 ton.

KESIMPULAN
Penggunaan dosis POP sebanyak10 dan 15 ton/ha pada tanaman kubis memberikan hasil yang
lebih baik dari dosis lainnya dengan produksi sebanyak 34,286 ton. Penggunaan beberapa dosis POP
layak untuk diusahakan yang ditunjukan dengan nilai B/C >1 dengan kondisi harga jual pada saat
pengkajian yang cukup tinggi (Rp. 4000,-/kg).

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Wahyu Wibawa,
MP yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Arinong. A. R dan Chrispen Dalrit Lasiwua. 2011. Aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman sawi liquid organic fertilizer application on growth and production
of mustard. Jurnal Agrisistem, Vol. 7 No. 1.
Bilad (2011),http://www.ipard.com/, diakses 10 Juni 2016. Dwidjoseputro. 1988. Pengantar Fisiologi
Tumbuhan. Gramedia. Jakarta
Gardner, F.P., R. B. Pearce dan R. I. Mitchell. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. Universitas
Indonesia Press, Jakarta. 428 hlm.
Herdiansyah, E dan Rohayana, D. 2014. Analisis ekonomi dan kendala pada budidaya kedelai lahan
sawah di Desa Rejo Binangun Kabupatrn Lampung Timur. Prosiding Temu Teknis
Jabatan Fungsional Non Peneliti, Bogor. Hal. 159-1.
Murbandono, Hs., 2000. Membuat Kompos . Penebar Swadaya , Jakarta
Oetama. D.S. N, Emy Kernalis dan Arnoldy Arby. 2014. Analisis usahatani padi sawah dan usahatani
kedelai di Kecamatan Berbak Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sosio Ekonomika
Bisnis Vol 17. (2).
Rao, S. N. S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman, Edisi Kedua,UI-Press, Jakarta.
Sahputra. A., Asil Barus dan Rosita Sipayung. 2013. Pertumbuhan dan produksi bawang merah
(allium ascalonicum .l) terhadap pemberian kompos kulit kopi dan pupuk organik cair.
Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.2, No.1: 26-35.
Setiawati. W., Rini Murtiningsih., Gina Aliya Sopha dan Tri Handayani. 2001. Petunjuk Teknis
budidaya sayuran. Balitsa.
Simanungkalit, R. D. M., D. A. Suriadikarta, R., Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006.
Pupuk organik dan pupuk hayati:Organik fertilizer and biofertilizer.Balai Penelitian dan
Pengembangan Lahan Pertanian, Bogor.
Soekartawi. 1991. Agribisnis teori dan aplikasi. Rajawali Press.
Suriadikarta (2006), D.A. Hartatik dan G. Syamsidi,2003. Penerapanpengelolaan hara terpadu pada
lahan sawah irigasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional PERHIMPI. Biotrop, 9-10
September 2003.
Yamin, A. 2014. Pengaruh pemberian urin kelinci dan kompos terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman caisim (Brassica juncea, L.) Fakultas Pertanian Program Studi Agroteknologi
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Surabaya.

255
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI DALAM PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT


TANAMAN HAYATI PADA USAHATANI CABAI DI MOJO REJO KABUPATEN REJANG
LEBONG
KNOWLEDGE IMPROVEMENT OF FARMER FOR BIOLOGICAL CONTROL PEST PLANT
DISEASES AT CHILI FARMING IN MOJO REJO REJANG LEBONG
Herlena Bidi Astuti dan Rudi Hartono
Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km 6,5 38119. Telp (0736) 345568.Website : www.bengkulu.litbang.pertanian.go.id
Email: bidizafirah@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tingkat pengetahuan petani dalam pengendalian hama penyakit secara hayati masih sangat kurang
ditambah lagi dengan masifnya promosi berbagai merek dagang pestisida membuat informasi tentang
pengendalian HPT secara hayati semakin jarang terdengar. Penelitian ini bertujuan untu mengetahui
peningkatan pengetahuan petani sebelum dan setelah di lakukan penyuluhan tentang pengendalian
HPT cabai secara hayati. Metode yang digunakan adalah pre-test post-test one group design dengan
jumlah responden sebanyak 31 orang yang ditentukan secara purposive. Peningkatan pengetahuan
responden diuji dengan menggunakan statistic paired sample t test. Hasil uji analisis diketahui nilai
signifikansi kurang dari 0,05 yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum
dan sesudah dilakukan penyuluhan. Nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan
setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23.
Kata kunci : peningkatan, pengetahuan, hpt hayati, usahatani cabai

ABSTRACT
The level of knowledge of farmers in biological pest management are still lacking coupled with more
promotion of various trademarks of pesticides to make information about biological countermeasures
of pests and diseases are more rarely heard. This study aims to determine the increase in farmers'
knowledge before and after doing counseling on prevention of pests and diseases biologically chili.
The method used is the pre -test post-test design one group with the number of respondents as many as
31 people were determined by purposive. Increased knowledge of the respondents tested using
statistical paired sample t-test. Test results analysis showed significance values less than ( ) 0.05 ,
which means there is a real difference between farmers' knowledge before and after counseling.
Where in the know the average value of knowledge before the extension was 3, 52 and after the
extension was 7, 23 .
Keywords : improvement, knowledge, biological pests and plant diseases, chili farming

PENDAHULUAN
Budidaya cabai hingga kini masih sangat diminati oleh petani walaupun harga komoditas ini
sangat fluktuatif. Kebutuhan akan cabai yang terus meningkat menjanjikan keuntungan bagi usahatani
cabai, banyak petani yang mendapatkan keutungan berlipat namun banyak juga yang gagal karena
harga yang murah atau serangan hama penyakit yang masif. Hama dan penyakit tanaman menjadi
faktor penyebab utama turunnya produktivitas tanaman, Puluhan tahun lamanya hingga sekarang para
petani mengendalikan hama dan penyakit dengan bahan-bahan kimia buatan pabrik seperti insektisida,
fungisida, bakterisida, dan masih banyak lainnya dengan harga yang relatif mahal. Untuk mengurangi
resiko kegagalan dalam usahatani cabai petani sering menggunakan berbagai macam pestisida dalam
jumlah yang besar tanpa memperhatikan keberlangsungan hayati ataupun keamanan pangan dari cabai
yang di hasilkan.
Tingkat pengetahuan petani akan cara penanggulangan hama penyakit secara hayati masih
sangat kurang di tambah lagi dengan gencarnya promosi produk berbagai merek dagang pestisida
membuat informasi akan pengendalian hama secara hayati semakin tidak terdengar. Pada kondisi
inilah diperlukan sosialisasi dan diseminasi teknologi agar berbagai inovasi penanggulangan hama
penyakit dapat tersampaikan ke petani sebagai pengguna. Dalam kaitannya dengan pembangunan
pertanian, diseminasi tidak bisa dipisahkan dengan penelitian dan pengkajian sehingga berbagai hasil

256
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

penelitian dapat tersebar keberbagai kalangan khususnya petani sebagai pengguna karena diseminasi
merupakan penyebaran teknologi kepada pengguna sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal
pada masyarakat. ( Basuno,2003)
Peningkatan pengetahuan petani akan mempengaruhi keputusan dalam penerapan suatu
teknologi pertanian sehingga diperlukan diseminasi inovasi teknologi untuk itu kajian ini bertujuan
untuk mengetahui peningkatan pengetahuan petani dalam peanggulangan HPT hayati pada usahatani
cabai di Mojo Rejo Kabupaten Rejang Lebong.

METODOLOGI
Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang
Lebong. Sampel penelitian adalah anggota kelompok tani cabai di Desa Mojo Rejo Kabupaten Rejang
Lebong. Jumlah sampel adalah 31 orang petani yang diambil secara purposive sampling. Pengambilan
data menggunakan pendekatan pre-test post-test one group design yaitu eksperimen yang dilakukan
pada satu kelompok tanpa kelompok pembanding. Arikunto (2002) mengungkapkan pre-test post-
test one group design adalah penelitian yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen
(pre-test) dan sesudah ekperimen (post-test) dengan satu kelompok subjek. Pengambilan data
menggunakan kuesioner yang harus di jawab oleh petani responden sebelum dilakukan penyuluhan.
Untuk melihat peningkatan pengetahuan petani responden, kuesioner yang sama di bagikan kembali
setelah penyuluhan selesai .
Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dilakukan uji statistik digunakan statistic
paired sample t test . rumus t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel
yang berkorelasi dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2011)
12
t= 2 2
1 + 2 2 ( 1 )( 2 )
1 2 1 2
Dimana :
X1 = Rata - rata sampel 1
X2 = Rata rata sampel 2
S1 = Simpangan baku sampel 1
S2 = Simpangan baku sampel 2
S12 = Varians sampel 1
S22 = Varians sampel 2
r = Korelasi antara dua sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Karakteristik Responden
Petani responden rata-rata berusia 36, 9 tahun usia yang masih sangat muda dan berada pada
usia yang produktif. Pada usia yang masih relatif muda, masih sangat besar peluang untuk menerima
inovasi untuk perbaikan teknologi usahatani yang di terapkan seperti di jelaskan dalam Soekartawi
(1988) bahwa usia yang muda petani akan lebih mudah untuk menerima informasi dan menerapkan
inovasi baru.
Pengalaman rata-rata petani responden yaitu 7 tahun, dimana setiap petani responden sudah
lebih dari 5 kali musim tanam melakukan usahatani cabai sehingga sudah banyak melihat dan
mengalami berbagai kondisi iklim, serangan hama dan juga fluktuasi harga. Pengalaman ini akan
membuat petani belajar cara yang paling efektif dalam penerapan usahatani cabai dan juga mempelajari
kondisi yang paling menguntungkan dalam kegiatan usahataninya.
Rata-rata pendidikan formal petani responden 9,1 tahun artinya sudah berada di atas wajib
belajar pemerintah 9 tahun. Lama pendidikan seseorang akan mempengaruhi wawasan dan
kemampuan nalar serta berpikir seseorang sehingga akan mempengaruhi kemampuan dalam
manajemen usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sejalan dengan hasil penelitian
Hutuaruk (2009) bahwa lama pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan dan berpengaruh
positif terhadap produktifitas hasil pertanian yang di lakukan.

257
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

b. Tingkat Pengetahuan Petani


Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian mempengaruhi sikap dan
pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan (keterampilan). Dengan adanya wawasan petani
yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannnya mendorong
terjadinya perubahan perilak (Astuti dan Honorita, 2013)
Table. Pengetahuan petani terhadap pengendalian hama dan penyakit secara hayati.
No Item pengetahuan Nilai rata Keterangan
1 Pengendalian busuk buah 9 99 % mengetahui
2 Pembuatan tanaman penghalang/ border 0 100 % tidak mengetahui
Benih berlabel 1 90 % tidak mengetahui
3 Pengelolaan lahan dan trichoderma 8 80 % mengetahui
4 Perangkap hama 2 80 % tidak mengetahui
5 Pergiliran Pestisida 0 100 % tidak mengetahui

Pengetahuan petani terhadap penyebab busuk buah sudah cukup baik, petani dominan
menjawab penyebab busuk buah adalah lalat buah dan jamur. Sebagaimana diketahui bahwa penyebab
utama busuk buah pada cabai adalah lalat buah cendawan Colletotrichum sp. Untuk mencegah dan
menangani penyakit busuk buah petani dominan (99 %) menjawab dengan sanitasi atau pembersihan
lahan, menggunakan lem perangkap dan melakukan penyemprotan pestisida. Dari jawaban petani bisa
dilihat bahwa petani sudah menyadari akan cara cara pencegahan dan penanganan busuk buah namun
lahan yang bersih / sanitasi dimaksud bukan hanya membersihkan gulma atau rumput pengganggu
tanaman melainkan juga petani harus membuang sisa buah yang jatuh disekitar tanaman karena ketika
buah cabai busuk tidak segera dibuang maka larva yang ada di dalam buah akan segera berubah
menjadi pupa dan menetas menjadi lalat buah baru.
Pengetahuan petani akan pembuatan tanaman penghalang/pagar atau border sangat rendah
100 % karena petani belum mengetahui tentang pembuatan border. Petani masih beranggapan
penyemprotan sebelum terserang penyakit adalah cara pencegahan yang paling baik padahal tanaman
pagar bisa mencegah tertularnya tanaman dari hama penyakit yang ada di sekitar lahan. Penggunaan
border dapat di lakukan dengan menanam jagung 5-6 baris rapat (15-20 cm) sekeliling kebun 2-3
minggu sebelum tanam cabai dengan tujuan membuat penghalang agar serangga vektor dan penyakit
lain dari kebun tetangga tidak masuk ke lahan tanaman cabai. Saat ini petani umumnya menggunakan
insektisida untuk pengendalian berbagai serangan hama penyakit yang merusak tanaman terutama
pada tanaman yang tidak memiliki ketahanan terhadap hama-ham tersebut. Pengendalian
menggunakan bahan kimia seringkali menimbulkan permasalahan baru diantaranya adalah
pencemaran lingkungan yang menyebabkan keracunan bagi petani pengguna, matinya musuh alami
dari hama yang diharapkan dapat menekan populasi hama secara alamiah dan bisa juga menyebabkan
serangga menjadi resisten sehingga penggunaan selanjutnya harus dengan dosis yang lebih tinggi
selain itu penggunaan insektisida kimia dapat menimbulkan risurjensi hama atau meningkatnya
populasi hama setelah penggunaan insektisida. Hasil penelitian Kusheryani (2006) menjelaskan bahwa
tanaman yang diusahakan secara organik dengan menggunakan tanaman penolak hama yaitu tanaman
daun bawang, selasih dan tagetes menunjukkan hasil dan pertumbuhan cabang tanaman yang lebih
baik daripada cara-cara konvensional.
Untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman tentulah tanaman harus sehat sejak di
pembibitan atau pemilihan benih karena benih yang terkontaminasi penyakit tanaman akan membuat
tanaman tidak sehat dan menyebabkan kegagalan dalam usahatani. Untuk memastikan benih yang
dipilih adalah sehat bisa dengan menggunakan benih berlabel dan dominan petani (99%) tidak
menggunakan benih berlabel dan menganggap benih bisa diambil dari tanaman yang secara kasat mata
terlihat sehat.
Pengelolaan lahan perlu di jadikan perhatian yang serius karena jamur dan beberapa hama
seperti ulat Gangsir (Brachytrypes portentosus) dapat menyerang tanaman sejak tanaman baru
dipindahkan kelahan tanam. 80 % petani sudah mengetahui pemanfaatan jamur trikoderma untuk
mencegah serangan jamur pada akar dan pangkal batang tanaman. Ismail dan tenrirawe (2012)
menjelaskan, Trichoderma spp. mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai agens
hayati dalam pengendalian penyakit tanaman, hal ini karenakan sifat Trichoderma spp. sebagai
cendawan antagonis yang dianggap aman bagi lingkungan karena cendawan ini berasal dari tanah dan

258
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dapat berfungsi sebagai pengurai unsur hara tanaman serta dalam pengendalian penyakit memberikan
hasil yang cukup memuaskan.
Untuk mencegah serangan hama penyakit tanaman di lakukan dengan pembuatan perangkap,
dalam membuat perangkap, kita memanfaatkan sifat phototaksis postitif dalam menangkap serangga.
Serangga umumnya tertarik dengan warna merah, biru, hijau, dan kuning. Dari ketiga warna tersebut,
warna kuning yang paling banyak serangga yang tertarik, kemudian disusul warna biru, hijau, dan
merah. Sebanyak 80 % petani responden belum mengetahui pembuatan perangkap dengan
menggunakan perangkap berwarna kuning. Perangkap warna dapat dimaksimalkan untuk fokus
menangkap serangga tertentu. Misal lalat buah, bisa menggunakan buah tiruan yang berwarna kuning
kemudian diberi perekat atau bisa juga papan kuning ditambahkan metil eugenol atau pheromon
sebagai zat penarik melalui aroma untuk memperkuat daya tarik.
Pemanfaatan pestisida terkadang tidak bisa dihindari selama proses produksi, namun
pemanfaatan pestisida yang berimbang dan tidak berlebihan masih harus terus di sosialisasikan kepada
petani, 100 % atau semua petani responden belum mengetahui bahwa harus dilakukan pergiliran
pestisida dalam penyemprotan hama penyakit. Sembayang (2013) menjelaskan beberapa dampak
negatif pestisida : (1) timbulnya resistensi hama sasaran, (2) resurjensi (timbul lagi hama sasaran), (3)
residu pestisida, penggunaan pestisida berlebih pada tanaman cabai dengan perkiraan 30 x
penyemprotan permusim, (4) terbunuhnya musuh-musuh alami tanaman penting pada cabai dan (5)
terjadinya pencemaran lingungan. Aplikasi pestisida hanya digunakan bila populasi hama atau
kerusakan yang ditimbulkan mencapai ambang ekonomi (ambang pengendalian) hama sasaran. Jenis
pestisida yang digunakan juga hendaknya bersifat efektif dan dosis penggunaannya sesuai dengan
rekomendasi penyemprotan.
c. Perubahan Pengetahuan Petani.
Untuk melihat perubahan pengetahuan petani setelah di lakukan penyuluhan tentang
penanggulangan hama penyakit secara hayati dilakukan uji t dari skor penilaian setiap point jawaban
yang di pilih oleh petani responden dan di dapatkan hasil bahwa nilai signifikansi kurang dari ( ) 0,05
yang artinya ada perbedaan nyata antara pengetahuan petani sebelum dan sesudah dilakukan
penyuluhan. Dimana di ketahui nilai rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 3, 52 dan
setelah dilakukan penyuluhan adalah 7, 23. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Indraningsih (2011) bahwa penyuluhan dapat memberikan peningkatan persepsi petani
terhadap inovasi teknologi dan akan lebih baik lagi jika materi penyuluhan ini terkait langsung dengan
aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal. Peningkatan persepsi petani juga akan
semakin tajam jika pada diri petani terdapat keberanian untuk mengambil resiko dan lebih berorientasi
ekonomi. Sejalan pula dengan hasil penelitian Bahua (2015) bahwa kompetensi dan kinerja penyuluh
berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam menerapkan teknologi pertanian.
Kartasapoetra (1997)menjelaskan bahwa, penyuluh pertanian merupakan agen bagi perubahan
perilaku petani, yaitu dengan mendorong masyarakat petani untuk mengubah perilakunya menjadi
petani dengan kemampuan yang lebih baik dan mampu mengambil keputusan sendiri, yang selanjutnya
akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Melalui peran penyuluh, petani diharapkan menyadari
akan kekurangannya atau kebutuhannya, melakukan peningkatan kemampuan diri dan dapat berperan
di masyarakat dengan lebih baik.

KESIMPULAN
1. Petani cabai masih berada pada kisaran usia produktif dengan pengalam usahatani cabai selama
tujuh tahun dan rata-rata pendidikan juga cukup tinggi yaitu diatas wajib belajar 9 tahun.
2. Statistic uji t diketahui ada perubahan pengetahuan petani setelah dilakukan penyuluhan HPT
secara hayati. Pengetahuan petani tentang penanggulangan HPT cabai secara hayati sebelum
dilakukan penyuluhan sangat rendah yaitu 3,52 namun setelah dilakukan penyuluhan pengetahuan
petani menjadi meningkat menjadi 7,23.

259
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Arikonto,Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan dan Praktek. Bina asksara. Jakarta
Astuti UP dan Honorita Bunayyah. 2013.Pengetahuan Petani Dalam Teknologi Pemanfaatan Lahan
Pekarangan Terpadu di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Inovasi Teknologi
Pertanian Ramah Lingkungan Spesifik Lokasi Mendukung Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Provinsi Bengkulu . Halaman 133-132
Bahua Ikbal Muhammad. 2015. Pengaruh Kompetensi pada Kinerja Penyuluh Pertanian dan
Dampaknya pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo. repository.ung.ac.id
Basuno edi. 2003. Kebijakan Sistem Diseminasi Teknologi Pertanian : Belajar Dari BPTP NTB. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 1 No 3. Halaman 238-254
Hutuaruk Erwin Husudungan. 2009. Pengaruh Pendidikan Dan Pengalaman Petani Terhadap Tingkat
Produktivitas Tanaman Kopi Dan Kontribusi Terhadap Pengembangan Wilayah Di
Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Universitas Sumatera Utara (USU)
Indraningsih Suci kurnia. 2011. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan petani Dalam Adobsi
Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal AgroEkonomi. Vol 2. Halaman 1-24
Ismail Nurmasita Dan Tenrirawe Andi. Potensi Agen Hayati Treichoderma Spp. Sebagai Agens
Pengendali Hayati. Prosiding Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung
Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. Hal 177-189
Kartasapoetra AG. 1997. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina Aksara.
Kusheryani Ina dan Sandra Arifin Aziz. 2006. Pengaruh Jenis Tanaman Penolak Organisme
Pengganggu Tanaman Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Kedelai ( Glycini
max (L.) Merr ) Yang Diusakan Secara Organik. Bul. Agronomi Volume 34 no 1
halaman 39-45
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi pertanian. Penerbit Jakarta : Universitas Indonesia ( UI-
Press)
Semabayang Lukas. 2013. Teknik Pengendalian Penyakit Kuning Pada Tanaman Cabai. BPTP
Sumatera Utara
Sugiyono.2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung

260
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KERAGAAN SEPULUH GENOTIP KRISAN POTONG HASIL PERSILANGAN


PERFORMANCE OF TEN CUT CHRYSANTHEMUM HYBRIDIZATION GENOTYPES
Kurnia Yuniarto, Rika Meilasari dan Suryawati
Balai Penelitian Tanaman Hias
Jl. Raya-Ciherang, Segunung PO. Box 8 Sindanglaya, Pacet, Cianjur, Jawa Barat 43253
email : kurnia_yuniarto@yahoo.com

ABSTRAK
Program pemuliaan krisan secara konvensional melalui persilangan yang dilakukan di Balai Penelitian
Tanaman Hias telah menghasilkan sejumlah genotip F1. Keragaan dari setiap genotip perlu diketahui
untuk mengetahui keunggulan dari genotip-genotip krisan yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui keragaan dari sepuluh genotip krisan potong hasil persilangan di Balithi.
Penelitian dilakukan di dalam rumah plastik Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas
dari bulan Januari Juli 2016. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
menggunakan 10 genotip krisan yang diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan dilakukan terhadap
tinggi tanaman, jumlah internode, jumlah bunga, respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan
warna bunga tabung. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pada semua karakter
pengamatan kecuali karakter warna bunga tabung. Genotip F memiliki karakter tinggi tanaman yang
paling tinggi, sedangkan genotip G memiliki karakter jumlah internode dan jumlah bunga yang
terbanyak diantara sepuluh genotip yang diuji. Respon time dari sepuluh genotip yang diuji berkisar
antara 59 sampai 84 hari, dimana genotip B merupakan genotip dengan respon time tersingkat dan
genotip F merupakan genotip dengan respon time terlama. Bentuk bunga bervariasi yaitu tunggal
untuk genotip A,C,H dan J, semi ganda untuk genotip F, ganda untuk genotip D, E, dan I, dan
dekoratif untuk genotip B dan G. Warna bunga pita beragam yang terdiri dari white group, yellow
group, yellow orange group, red group, red purple group, greyed yellow group, greyed orange group
dan greyed red group, sedangkan warna bunga tabung hanya terdiri dari satu grup warna yaitu yellow
green group.
Kata Kunci : genotip, keragaan, krisan, persilangan.

ABSTRACT
Chrysanthemum conventional breeding programs through hybridization conducted in Indonesian
Ornamental Crops Research Institute has produced a number of F1 genotype. The performance of
each genotype needs to know to determine the superiority of the chrysanthemum genotypes. The
purpose of this study was to determine the performance of ten genotypes of cut chrysanthemum from
hybridization in IOCRI. The study was conducted in a plastic house of Cipanas installation of IOCRI
from January to July 2016. The study used randomized block design (RBD) with 10 chrysanthemum
genotypes as a treatment were repeated three times. Observations were made on plant height,
internode number, number of flowers, response time, flower shape, color of ray floret and color of
disc florets. The results of this study showed there are differences in all characters except the
character of color of disc florets. F genotype has the highest of plant height, while the G genotype has
the most of internode number and flower number among the ten genotypes. The response time of ten
genotypes was ranged from 59 to 84 days, in which the B genotype is the shortest and F genotype is
the longest. The flower shape diverse among genotypes, single flower shape for A, C, H and J
genotypes, semi-double flower shape for F genotype, double flower shape for D, E, and I genotypes,
and decorative flower shape for B and G genotypes. Ray floret color diverse group there are white
group, yellow group, yellow orange group, red purple group, greyed yellow group, greyed orange
group and greyed red group, while the color of disc florets only has one group that is yellow green
group.
Keywords : genotype, performance, chrysanthemum, hybridization

261
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Bunga potong krisan merupakan bunga potong yang sangat diminati konsumen tanaman hias
di Indonesia. Bentuk bunga, warna bunga, kemudahan untuk dirangkai dan harganya yang relatif
murah dibandingkan bunga potong lainnya merupakan alasan utama yang menjadikan bunga potong
krisan lebih disukai oleh para pengguna tanaman hias. Bagi pengguna yang pada umumnya pendekor,
bunga potong krisan umumnya dijadikan sebagai pilihan utama karena dalam satu tangkainya untuk
krisan tipe spray memiliki jumlah kuntum bunga yang banyak, dengan harga yang tergolong relatif
murah. Selain itu Purwanto dan Martini (2009) juga menyatakan bahwa warna bunga juga menjadi
dasar pilihan bagi konsumen, dimana pada umumnya konsumen lebih menyukai warna merah, putih
dan kuning sebagai warna dasar krisan. Tidak mengherankan hingga saat ini permintaan terhadap
krisan lebih tinggi dibandingkan dengan bunga potong lainnya.
Produksi bunga potong krisan menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara signifikan.
Pada tahun 2005 produksi krisan di Indonesia sebesar 47.465.794 tangkai, kemudian meningkat pada
tahun 2006 yaitu sebesar 63.716.256 tangkai. Pada tahun 2007 produksi meningkat menjadi
66.979.260 tangkai. Peningkatan produksi yang signifikan terjadi pada tahun 2008 menjadi
101.777.126 tangkai. Pada tahun 2009 produksi krisan sebesar 107.847.072 tangkai dan pada tahun
2010 produksi krisan meningkat menjadi 185.232.970 tangkai. Pada tahun 2013 produksi bunga krisan
mencapai angka 387.208.754 tangkai (Kementerian Pertanian, 2016). Peningkatan produksi yang terus
menerus ini menunjukkan besarnya minat masyarakat terhadap bunga potong krisan.
Balai Penelitian Tanaman Hias sebagai institusi pemerintah yang bergerak di bidang
penelitian dan pengembangan tanaman hias telah melakukan program pemuliaan tanaman krisan untuk
menghasilkan varietas-varietas unggul baru krisan. Genus krisan sangat bervariasi baik secara
morfologi maupun tingkat ploidinya (dari 2n = 2x = 18, hingga 2n = 36, 54, 72, hingga 90) dengan
sejarah evolusi yang kompleks (Liu et al., 2012 dalam Baliyan et al., 2014). Kumar et al. (2006) juga
menyatakan bahwa krisan yang dibudidayakan sebagian besar memiliki keragaman genetik yang
tinggi. Program pemuliaan krisan secara konvensional melalui persilangan yang dilakukan di Balai
Penelitian Tanaman Hias telah menghasilkan sejumlah genotip F1. Keragaan dari setiap genotip perlu
diketahui untuk mengetahui keunggulan dari genotip-genotip krisan yang dihasilkan. Dengan
mengetahui keunggulan dari setiap genotip yang diuji kita akan dapat mendaftarkan lebih banyak lagi
varietas unggul baru krisan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan dari sepuluh
genotip krisan potong hasil persilangan di Balithi.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas dari bulan
Januari Juli 2016 dengan ketinggian lokasi 1100 m dpl. Bahan tanaman yang digunakan pada
penelitian berupa 10 genotip krisan potong hasil persilangan yaitu genotip A, B, C, D, E, F, G, H, I
dan J. Bahan penelitian lainnya berupa pupuk kandang, pupuk NPK, growmore, dithane, confidor,
reagent. Alat yang digunakan antara lain lampu, timer, instalasi listrik, net/tali rambang dan Royal
Horticulture Society Color Chart. Percoban dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) yang diulang sebanyak tiga kali dengan genotip krisan sebagai perlakuan.
Sepuluh genotip krisan ditanaman di rumah lindung pada bedengan dengan jarak tanam 12,5 x
12,5 cm.Krisan merupakan tanaman hari pendek dimana tanaman akan segera berbunga jika panjang
hari kurang dari 14.5 jam (Crockett, 1977). Berdasarkan hal tersebut maka dalam budidaya krisan di
Indonesia diperlukan penambahan cahaya agar bagian vegetatif tanaman dapat tumbuh kuat (Hasim
dan Reza, 1995) dan ketinggian tanaman krisan dapat mencapai tinggi yang diinginkan pada waktu
panen (Rukmana dan Mulyana, 1997). Penambahan cahaya lampu dilakukan selama 4 jam mulai
pukul 22.00 sampai pukul 02.00 setiap hari selama sekitar 4 minggu atau tanaman telah mencapai
tinggi 30 cm. Penyiraman pada tanaman krisan muda berumur 1-2 minggu dilakukan setiap hari sekali.
Pada minggu selanjutnya penyiraman dilakukan melihat kondisi tanah. Pemupukan susulan dilakukan
pada satu bulan setelah tanam yaitu dengan menambahkan pupuk urea 150 kg/ha. Pupuk ditabur dalam
larikan dan ditimbun kembali. Pemberian pupuk daun dilakukan bersamaan dengan penyemprotan
pestisida setiap minggu sekali. Pembersihan gulma dilakukan 2 minggu sekali atau tergantung
pertumbuhan gulma.
Pengamatan dilakukan saat tanaman telah berbunga yang meliputitinggi tanaman, jumlah
internode, jumlah bunga, respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung.
Pengamatan tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga kuncup / bunga tertinggi yang dibentuk

262
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

oleh tanaman. Respon time (waktu respon) adalah jumlah hari yang diperlukan dari saat dimatikan
penyinaran lampu tambahan sampai tanaman krisan berbunga dan siap panen. Bentuk bunga dilihat
secara visual apakah termasuk katergori tunggal, ganda, semi ganda, anemon atau dekoratif (Balai
Penelitian Tanaman Hias, 2009). Warna bunga pita (kuntum bunga) dan bunga tabung (piringan
bunga) diamati dengan membanding warna kuntum bunga dan piring bunga dengan RHS Color Chart
(The Royal Horticultural Society Color Chart).Data pengamatan untuk karakter tinggi tanaman,
jumlah bunga dan jumlah internode dianalisis menggunakan analis sidik ragam dan uji lanjut
menggunakan Duncan Multiple Range Test pada taraf 5% menggunakan program MSTATC.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode
Data tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode dari 10 genotip krisan potong yang
diuji dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah bunga dan jumlah internode 10 genotip krisan potong yang diuji
Genotip Tinggi tanaman Jumlah bunga Jumlah internode
A 76.83 bc 10.89 ab 31.33 a
B 91.56 cd 14.22 bc 40.78 ef
C 64.17 ab 10.67 ab 35.89 bcd
D 89.01 cd 8.89 a 33.44 abc
E 89.61 cd 11.33 ab 37.56 cde
F 94.71 d 17.33 c 38.78 def
G 84.74 cd 22.78 d 42.11 f
H 54.47 a 8.00 a 32.11 ab
I 81.22 cd 9.56 a 33.56 abc
J 61.61 a 7.56 a 32.22 ab
Sumber : Data primer (2014).

Hasil analisis sidik ragam dari karakter tinggi tanaman menunjukkan terdapatnya perbedaan
yang nyata dari 10 genotip krisan potong yang diuji. Tinggi tanaman berkisar dari 54,47 cm sampai
94,71 cm. Tabel 1. menunjukkan keragaan tinggi tanaman krisan dimana genotip F memiliki karakter
tinggi tanaman yang paling tinggi dan genotip H merupakan genotip dengan karakter tinggi tanaman
yang paling pendek. Hasil penelitian Yuniarto, et al (2004) terhadap karakter morfologi progeni 13
pasang persilangan krisan juga menunjukkan terdapatnya keragaman yang luas pada karakter tinggi
tanaman dan jumlah daun dari genotip krisan yang diuji. Hal yang sama juga terdapat pada hasil
penelitian Warsito dan Marwoto (2003) dimana hasil analisis dari 15 klon harapan krisan yang diuji
menunjukkan terdapatnya keragaman pada karakter tinggi tanaman.
Tinggi tanaman merupakan hal yang akan menentukan panjang tangkai bunga dari bunga
potong krisan. Panjang tangkai bunga pada bunga potong kisan merupakan salah satu karakter yang
menjadi indikator penentuan kualitas dari bunga potong krisan. Pada bunga potong krisan, kelas mutu
AA yang merupakan kelas tertinggi dengan syarat mutu untuk karakter panjang tangkai bunga
minimal 80 cm (Direktorat Budidaya Tanaman Hias, Dirjen Hortikultura). Berdasarkan syarat mutu
tersebut, maka dari 10 genotip yang diuji terlihat terdapat 6 genotip yang memenuhi persyaratan
tersebut yaitu genotip B, D, E, F, G dan I.
Karakter jumlah bunga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata diantara genotip-genotip
krisan potong yang diuji. Pada Tabel 1. terlihat bahwa genotip G memiliki karakter jumlah bunga
terbanyak dan berbeda nyata dengan genotip-genotip lainnya yaitu mencapai 22,78 kuntum. Semakin
banyak kuntum bunga yang terdapat dalam satu tangkai bunga maka hal tersebut akan semakin disukai
oleh konsumen. Umumnya pasar menginginkan minimal terdapat 10 kuntum bunga pada satu tangkai
bunga krisan. Jika dilihat dari hasil pengamatan maka terdapat 6 genotip diantara krisan yang diuji
yang memenuhi kriteria tersebut yaitu genotip A, B, C, E, F dan G.
Jumlah internode pada tanaman krisan menggambarkan jumlah daun yang dimilikinya. Daun
merupakan tempat fotosintesis. Semakin banyak jumlah daun yang dimiliki oleh tanaman secara
fisiologis akan menjamin proses fotosintesis yang lebih banyak, sehingga pertumbuhan tanaman akan
lebih baik. Keragaan jumlah internode sepuluh genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada

263
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Pengamatan terhadap jumlah internode dari genotip-genotip krisan potong yang diuji
menunjukkan keragaman yang besar dimana kisaran nilainya berkisar antara 31,33 hingga 42,11.
Genotip G menunjukkan nilai jumlah internode terbanyak, sedangkan genotip A memiliki jumlah
internode yang paling sedikit. Jika kita lihat data tinggi tanaman dan jumlah bunga, terlihat bahwa
genotip G memiliki tinggi tanaman 84,74 cm, dimana secara statistik tidak berbeda nyata dengan
genotip F yang merupakan genotip dengan tinggi tanaman yang paling tinggi. Sedangkan untuk
jumlah bunga, terlihat bahwa genotip G merupakan genotip dengan karakter jumlah bunga terbanyak.
Hal ini sejalan dengan jumlah internode yang dimiliki oleh genotip G dimana genotip ini memiliki
jumlah internode yang paling banyak.
Respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung
Data respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung dari sepuluh
genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Respon time, bentuk bunga, warna bunga pita dan warna bunga tabung 10 genotip krisan
potong yang diuji
No Genotip Respon time Bentuk bunga Warna bunga pita Warna bunga tabung
(hari)
1 A 72 Tunggal Yellow group 6A Yellow green group N 144 A
2 B 59 Dekoratif Yellow orange group 15 B Tidak ada/tidak terlihat
3 C 65 Tunggal Red purple group 70 B Yellow green group 144 A
4 D 61 Ganda Yellow group 5A Yellow green group N 144 A
5 E 61 Ganda White group NN 155 D Yellow green group 144 A
6 F 84 Semi Ganda Greyed orange group 167 A Yellow green group 144 B
7 G 71 Dekoratif Greyed yellow group 160 A Tidak ada/tidak terlihat
8 H 72 Tunggal Red purple group 71 D Yellow green group 144 A
9 I 71 Ganda Greyed red group 181A Yellow green group 144 A
10 J 76 Tunggal Yellow group 6A Yellow green group 144 B
Sumber : Data primer (2014).

Respon time dari sepuluh genotip yang diuji berkisar antara 59 sampai 84 hari, dimana genotip
B merupakan genotip dengan respon time tersingkat dan genotip F merupakan genotip dengan respon
time terlama. Informasi karakter respon time dari suatu genotip sangat penting bagi petani karena
berdasarkan data ini petani dapat memprediksi waktu panen bunga potongnya, sehingga pengaturan
waktu tanam dan pemberian hari pendek dapat diatur sesuai keinginan kapan waktu panen bunga yang
diinginkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi para petani krisan pada saat menyesuaikan saat panen
bunga potong krisan dengan waktu-waktu permintaan bunga potong krisan yang tinggi.
Karakter bentuk bunga dari genotip diuji menunjukkan terdapatnya keragaman yaitu bentuk
bunga tunggal untuk genotip A,C,H dan J, bentuk bunga semi ganda untuk genotip F, bentuk bunga
ganda untuk genotip D, E, dan I, dan bentuk bunga dekoratif untuk genotip B dan G. Bentuk dan
warna bunga merupakan karakter bunga yang penting dari tanaman krisan (Li, et al., 2016). Gambar
bunga dari genotip krisan potong yang diuji dapat dilihat pada Gambar 4.

Genotip A Genotip B Genotip C

264
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Genotip D Genotip E Genotip F Genotip G

Genotip H Genotip I Genotip J


Gambar 4. Bunga dari genotip-genotip krisan potong yang diuji

Struktur inflorescence krisan terdiri dari dua morfologi bunga yang berbeda yaitu ray floret
atau bunga pita dan disc floret atau bunga tabung. Bunga pita memiliki petal dengan warna-warna
yang menyolok dan tanpa stamen, bunga pita ini memegang peranan penting dalam menarik polinator.
Sedangkan bunga tabung memiliki serbuk sari atau pollen yang fertil yang digunakan dalam proses
reproduksi pada krisan (Liu, et al., 2016). Hasil pengamatan menunjukkan terdapatnya variasi yang
beragam pada warna bunga pita. Genotip A, D dan J memiliki warna bunga pita kuning (yellow
group), genotip B termasukdalam yellow orange group,genotip C dan H memiliki warna bunga pita
dalam grup yang sama yaitu red purple group, genotip E termasukdalam white group, genotip F
termasukdalam greyed orange group, genotip G termasukdalam greyed yellow group dan genotip I
termasukdalam greyed red group. Pengamatan terhadap karakter warna bunga tabung menunjukkan
bahwa semua genotip memiliki warna bunga tabung dalam grup warna yang sama yaitu yellow green
group. Bentuk dan warna bunga akan menentukan keindahan dari tanaman krisan. Warna bunga pita
krisan dipengaruhi oleh keberadaan pigmen antosianin dan karotenoid. Keberadaan antosianin saja
akan menghasilkan warna bunga pink hingga violet, karotenoid saja akan menghasilkan warna bunga
krem hingga kuning, dan keberadaan kedua pigmen akan menghasilkan warna tembaga hingga oranye
(Teixera da Silva, et al., 2013).

KESIMPULAN
1. Keragaan dari sepuluh genotip krisan potong hasil persilangan di Balithi menunjukkan terdapatnya
keragaman pada karakter tinggi tanaman, jumlah bunga, jumlah internode, respon time, bentuk
bunga dan warna bunga pita.
2. Genotip F memiliki karakter tinggi tanaman yang paling tinggi, sedangkan genotip G memiliki
karakter jumlah internode dan jumlah bunga yang terbanyak diantara sepuluh genotip yang diuji.
3. Respon time dari sepuluh genotip yang diuji berkisar antara 59 sampai 84 hari. Genotip B
merupakan genotip dengan respon time tersingkat dan genotip F merupakan genotip dengan respon
time terlama.
4. Keragaan bentuk bunga bervariasi yaitu tunggal untuk genotip A,C,H dan J, semi ganda untuk
genotip F, ganda untuk genotip D, E, dan I, dan dekoratif untuk genotip B dan G.
5. Karakter warna bunga pita dari genotip yang diuji sangat beragam yang terdiri dari white group,
yellow group, yellow orange group, red purple group, greyed yellow group, greyed orange group
dan greyed red group, sedangkan warna bunga tabung hanya terdiri dari satu grup warna yaitu
yellow green group.

265
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ridho Kurniati, SP, MSi atas saran dan masukannya,
Wisnu Aji Wibawa SP, Ika Haerawati STP dan Yiyin Nasihin, SP atas bantuannya dalam kegiatan
penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Krisan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hortikultura.
Baliyan, D., A. Sirohi, M. Kumar, V. Kumar, S. Malik, S. Sharma and S. Sharma. 2014. Comparative
genetic diversity analysis in chrysanthemum : A pilot study based on morpho-agronomic
traits and ISSR markers. Scientia Horticulturae 167 : 164-168.
Crockett, J. 1977. Green House Gardening. Time Life Books, Alexandria. Virginia. 209 p.
Direktorat Budidaya Tanaman Hias, Dirjen Hortikultura. Acuan Standar Mutu Bunga Potong Krisan
(Dendranthema grandiflora Tzvelev Syn. Chrysanthemum morifolium Ramat).
Hasim, I. dan M. Reza. 1995. Krisan. Penebar Swadaya. Jakarta. 108 hal.
Kementerian Pertanian. https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Diakses tanggal 30
September 2016.
Kumar, S., K. V. Prasad and M. L. Choudhary. 2006. Detection of genetic variability among
chrysanthemum radiomutants using RAPD markers. Current Science, Vol. 90, No. 8. Pp
1108 1113.
Teixeira da Silva, J.A., H. Shinoyama, R. Aida, Y. Matsushita, S.K. Raj and F. Chen. 2013.
Chrysanthemum Biotechnology : Quo vadis?,Critical Reviews. Plant Sciences 32:1, 21
52.
Li, P, F. Zhang, S. Chen, J. Jiang, H. Wang, J. Su, W. Fang, Z. Guan and F. Chen. 2016. Genetic
diversity, population structure and association analysis in cut chrysanthemum
(Chrysanthemum morifolium Ramat.). Mol Genet Genomics. 9 p.
Liu, H., M. Sung, D. Du, H. Pan, T. Cheng, J. Wang, Q. Zhang and Y. Gao. 2016. BMC Genomic 17
: 398.
Purwanto, A. W dan Tri Martini. 2009. Krisan, Bunga Seribu Warna. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
73 hal.
Rukmana, R. dan A.E. Mulyana. 1997. Krisan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 108 hal.
Warsito, A dan B. Marwoto. 2003. Evaluasi daya hasil dan adaptasi klon-klon krisan. J.Hort 13 (4) :
236 243.
Yuniarto, K., M. Haeruman K., W. Astika dan B. Marwoto. 2004a. Variabilitas genetik karakter
morfologi progeni 13 pasang persilangan krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev).
Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus 2004, 263-270.

266
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

.KERAGAMAN GENETIK 101 GENOTIP KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev)


BERDASARKAN ANALISIS KLUSTER DAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA
GENETIC VARIABILITY OF 101 CHRYSANTHEMUM GENOTYPES(Dendranthema
grandiflora Tzvelev) BASED ON CLUSTER ANALYSIS AND PRINCIPAL COMPONENT
ANALYSIS
Rika Meilasari1, W. A. Qosim2, Murdaningsih2, N. Rostini2, M. Rachmadi2, N. Wicaksana2, K.
Yuniarto1dan Suryawati1
1
Balai Penelitian Tanaman Hias
2
Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl. Raya-Ciherang, Segunung PO. Box 8 Sindanglaya, Pacet, Cianjur, Jawa Barat 43253
email : rimeisa@yahoo.com

ABSTRAK
Krisan merupakan salah satu tanaman hias yang banyak diminati oleh konsumen. Produksi bunga
krisan termasuk dalam lima besar diantara tanaman hias lainnya di Indonesia. Hasil persilangan
diantara varietas-varietas krisan diduga akan menghasilkan keragaman genetik yang luas pada
genotip-genotip progeninya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelompokan
dari 101 genotip krisan berdasarkan ketidakmiripan (dissimilarity) karakter fenotipiknya dan karakter
yang memberikan kontribusi besar dalam pola pengelompokan berdasarkan analisis kluster dan
analisis komponen utama. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan
Cipanas dari bulan September 2013 Februari 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan menggunakan 101 genotip krisan yang diulang sebanyak dua kali.
Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, diameter batang, panjang daun, lebar daun, jumlah
internode, panjang internode, diameter bunga, diameter bunga tabung, diameter tajuk, jumlah bunga
pita, jumlah bunga tabung, jumlah bunga per tanaman, jumlah cabang, panjang pedisel, umur mulai
berbunga, respon time, lama kesegaran bunga, warna bunga, bentuk bunga, tipe bunga dan
kekompakan bunga.Hasil penelitian menunjukkan terdapat ketidakmiripan yang tinggi pada genotip-
genotip krisan yang dikaji. Pengamatan pada batas nilai koefisien ketidakmiripan 1,37 pada
dendrogram menunjukkan bahwa 101 genotip krisan terbagi dalam 6 kelompok. Hasil analisis
komponen utama menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan tersebar dalam empat kuadran yang
berbeda. Berdasarkan nilai PC yang diperoleh dari analisis komponen utama terdapat tujuh karakter
yang berkontribusi besar terhadap variasi pengelompokan 101 genotip krisan yaitu tinggi tanaman,
panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang, panjang pedisel dan umur mulai berbunga.
Kata Kunci : analisis kluster, analisis komponen utama, keragaman genetik, krisan, persilangan

ABSTRACT
Chrysanthemum is one of the ornamental plants are much in demand by consumers. Chrysanthemum
flower production in the top five among other ornamental plants in Indonesia.The result of
hybridizationbetween varieties of chrysanthemum is expected to produce a broad genetic diversity in
the progeny genotypes. The purpose of this study was to determine the pattern of grouping of 101
chrysanthemum genotypes based dissimilarity phenotypic characters and characters that make a
major contribution in the pattern groupings based on cluster analysis and principal component
analysis. The study was conducted at Cipanas installation of IOCRI from September 2013 to February
2014. The study used randomized block design (RBD) using 101 genotypes chrysanthemum were
repeated twice. Observations were made on plant height, stem diameter, leaf length, leaf width, inter-
node number, inter-node length, flower diameter, diameter of the disc florets, canopy diameter,
number of ray florets, disc florets number, number of flowers per plant, number of branches, length of
pedicel, age started flowering, response time, pot life, flower color, flower shape, flower type and
compactness of flowers. The results showed a high dissimilarity in chrysanthemum genotypes studied.
Observations on the dissimilarity coefficient value limit of 1.37 at dendrogram showed that 101
genotype chrysanthemums are divided into six groups. The results of principal component analysis
showed that the genotypes chrysanthemums scattered in four different quadrants. Based on the value
PC obtained from principal component analysis, there are seven characters that contribute to
variation genotype grouping 101 chrysanthemum ie plant height, leaf length, leaf width, flower
diameter, number of branches, pedicel length and age started flowering.
Keywords : cluster analysis, principal component analysis, genetic variability, Chrysanthemum,
hybridization
267
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Tanaman krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev)merupakan salah satu tanaman hias dari
famili asteraceae yang banyak diminati konsumen dan cocok digunakan baik sebagai bunga potong
maupun tanaman hias pot. Data dari Kementerian Pertanian (2015) menunjukkan bahwa pada tahun
2013 produksi bunga krisan menempati urutan teratas diantara produksi bunga potong lainnya di
Indonesia dimana produksinya mencapai 387.208.754 tangkai. Terkait dalam hal sosial ekonomi,
krisan merupakan tanaman hias kedua terpenting di dunia (Teixera da Silva, et al., 2013), dengan
negara produksi utama meliputi Belanda, China, Jepang dan Korea Selatan (Li et al., 2016).
Sedangkan untuk krisan pot, selain bentuk dan warna bunga yang beragam, memiliki keunggulan dari
tanaman pot lainnya karena petani dapat mengatur waktu pembungaan krisan sesuai dengan yang
diinginkan.
Krisan merupakan tanaman yang menyerbuk silang. Hasil persilangan diantara varietas-
varietas krisan diduga akan menghasilkan keragaman genetik yang luas pada genotip-genotip
progeninya. Melalui hibridisasi, diharapkan dapat mengumpulkan karakter-karakter yang diiginkan
dari tetua terpilih pada progeni yang dihasilkan. Semakin jauh jarak genetik dari tetua yang
disilangkan maka peluang diperolehnya variabilitas yang luas akan semakin tinggi. Berdasarkan hal
tersebut maka informasi mengenai kekerabatan dari tetua persilangan sangat diperlukan dalam
program pemuliaan. Kekerabatan genetik antara dua tanaman atau populasi diukur berdasarkan
kemiripan sejumlah karakter, dengan asumsi karakter-karakter berbeda menggambarkan perbedaan
susunan genetiknya (Kartikaningrum, 2002).
Balai Penelitian Tanaman Hias telah mendapatkan 100 genotip klon F1 hasil persilangan
dengan krisan pot sebagai tetua betina yaitu varietas Garden Mum Red, Surf dan Sunny Ursula.
Tetua jantan yang digunakan terdiri dari dua tipe krisan pot yaitu varietas Bonny dan Miramar dan
dua tipe krisan potong yaitu varietas Swarna Kencana dan Tirta Ayuni. Lima dari tetua
persilangan merupakan krisan introduksi dengan karakter morfologi yang bervariasi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pola pengelompokan dari 101 genotip krisan berdasarkan
ketidakmiripan (dissimilarity) karakter fenotipiknya dan mengetahui karakter apa yang memberikan
kontribusi besar dalam pola pengelompokan berdasarkan analisis kluster dan analisis komponen
utama.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Hias Kebun Percobaan Cipanas dari bulan
September 2013 Februari 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan menggunakan 101 genotip krisan yang diulang sebanyak dua kali. Adapun genotip-genotip
krisan yang digunakan merupakan genotip F1 krisan hasil persilagan dari 5 populasi persilangan yaitu
populasi A (persilangan Garden Mum Red x Bonny) sebanyak 22 genotip, populasi B
(persilangan Garden Mum Red x Swarna Kencana) sebanyak 29 genotip, populasi C (persilangan
Garden Mum Red x Miramar) sebanyak 7 genotip, populasi D (persilangan Surf x Tirta
Ayuni) sebanyak 9 genotip dan populasi E (persilangan Sunny Ursula x Bonny) sebanyak 29
genotip serta 5 varietas tetua persilangan yaitu Garden Mum Red, Bonny, Sunny Ursula,
Miramar dan Surf. Genotip krisan ini ditanam dalam pot plastik berdiameter 15 cm dan
dibudidayakan sebagai krisan pot. Pengamatan dilakukan saat tanaman telah berbunga. Adapun
karakter yang diamati meliputitinggi tanaman, diameter batang, panjang daun, lebar daun, jumlah
internode, panjang internode, diameter bunga, diameter bunga tabung, diameter tajuk, jumlah bunga
pita, jumlah bunga tabung, jumlah bunga per tanaman, jumlah cabang, panjang pedisel, umur mulai
berbunga, respon time, lama kesegaran bunga, warna bunga, bentuk bunga, tipe bunga dan
kekompakan bunga. Data pengamatan diseragamkan menjadi data kualitatif dengan melakukan
skoring.
Penentuan skoring terhadap karakter tinggi tanaman didasarkan pada UPOV (2010) dimana
tinggi tanaman dibagi atas 3 kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan skor 3, 5 dan 7.
Berdasarkan Cahyono (1999) karakter tinggi krisan pot untuk kualitas yang bagus sekitar 20-25 cm.
Skoring untuk karakter diameter tajuk juga akan dibagi atas tiga kelas dan berdasarkan Cahyono
(1999) kualitas krisan pot yang bagus adalah yang memiliki diameter tajuk lebih dari 20 cm.
Berdasarkan hal tersebut maka skoring untuk karakter tinggi tanaman adalah : (3) : x< 20 cm ; (5) : 20
cm x 25 cm ; (7) : x > 25 cm dan skoring untuk karakter diameter tajuk adalah : (3) : x< 20 cm ;
(5) : 20 cm x 25 cm ; (7) : x > 25 cm.

268
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Penentuan skoring terhadap karakter panjang daun, lebar daun, diameter bunga, diameter
bunga tabung, jumlah bunga pita, jumlah bunga per tanaman, jumlah cabang dan panjang pedisel
berdasarkan UPOV (2010) akan dibagi atas 3 kelas dengan skor 3 (pendek/sempit/kecil/sedikit), 5
(sedang/medium), dan 7 (tinggi/lebar/besar/banyak). Mengacu pada hal tersebut maka untuk karakter
diameter batang, jumlah internode, panjang internode dan jumlah bunga tabung juga akan dibagi
dalam 3 kelas dengan skor yang sama. Adapun untuk karakter-karakter ini karena tidak ditentukan
ukuran untuk setiap skor maka dari hasil data pengamatan akan dibagi ke dalam 3 kelas dari kisaran
terendah sampai tertinggi.
Penentuan skoring untuk karakter respon time akan mengacu pada karakter respon group pada
UPOV (2010) yaitu : (1) : x < 6 minggu (2) : 6 minggu x < 6.5 minggu (3) : 6.5 minggu x < 7
minggu (4) : 7 minggu x < 7.5 minggu (5) : 7.5 minggu x < 8 minggu (6) : 8 minggu x <8.5
minggu (7) : 8.5 minggu x < 9 minggu (8) : 9 minggu x < 10 minggu (9) : 10 minggu x <11
minggu (10) : 11 minggu x <12 minggu (11) : x 12 minggu.
Penentuan skoring untuk karakter umur mulai berbunga dan lama kesegaran bunga karena
perhitungan juga didasarkan waktu maka skoring akan dibagi mengacu pada skoring respon time
dengan pembagian kelas berdasarkan kisaran data pengamatan dari terendah hingga tertinggi.
Penentuan skoring untuk warna bunga mengacu pada UPOV (2010) dengan didasarkan pada
warna dasar bunga menurut RHS Color Chart yaitu : (1) : White (2) : Yellow (3) : Yellow Orange (4) :
Orange (5) : Orange Red (6) : Red (7) : Red Purple (8) : Purple (9) : Greyed Orange (10) : Greyed
Red.
Penentuan skoring untuk bentuk bunga mengacu kepada Panduan Karakterisasi Tanaman Hias
Krisan Balithi (2009) yaitu : (1) : Tunggal (2) : Ganda (3) : Semi ganda (4) : Anemon (5) : Dekoratif.
Penentuan skoring untuk tipe bunga dan kekompakan bunga didasarkan pada penilaian tipe bunga dan
kekompakan bunga, untuk tipe bunga yaitu : (1) : Spray (2) : Standar dan untuk kekompakan bunga
yaitu : (1) : Tidak Kompak (2) : Kurang Kompak (3) : Kompak.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Numerical Taxonomy and Multivariate
Analysis System (NTSYS), program ini digunakan untuk mengetahui dan melihat struktur dari data
multivariat (Rohlf, 2000). Data karakter fenotipik yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan
standarisasi menggunakan fungsi STAND. Matriks rata-rata jarak taksonomis diperoleh
menggunakan fungsi SIMINT dan koefisien DIST. Analisis kluster dilakukan berdasarkan matriks
rata-rata jarak taksonomis dengan menggunakan metode unweighted pair-group method based on
arithmetric avarage (UPGMA) (Tatineni et al., 1996).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis kluster pada penelitian ini menunjukkan nilai koefisien ketidakmiripan pada
dendrogram mencapai angka 2,37. Matriks rata-rata jarak taksonomis merupakan matriks
dissimilarityyang memuat angka-angka koefisien yang secara kuantitatif menggambarkan hubungan
tingkat ketidakmiripan di antara genotip yang dibandingkan. Semakin besar nilai angka koefisien
ketidakmiripan, maka semakin besar pula ketidakmiripan di antara dua genotip. Demikian pula
semakin kecil nilai angka koefisien ketidakmiripan, maka semakin kecil pula tingkat ketidakmiripan di
antara dua genotip (Kurniawan, 2000). Tingginya nilai koefisien ketidakmiripan ini mengindikasikan
keragaman yang luas dari 101 genotip krisan yang diuji. Dendrogram pengelompokan genotip krisan
berdasarkan matriks rata-rata jarak taksonomis dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada nilai koefisien jarak taksonomis 2,37 terlihat bahwa genotip krisan terbagi dalam dua
kelompok besar, dimana kelompok pertama terdiri dari 99 genotip dan kelompok kedua terdiri dari 2
genotip yaitu D.09 dan Surf. Jika kita hubungkan dengan hasil pengamatan terhadap karakter bunga,
kedua genotip ini memiliki tipe bunga standar yang berbeda dengan 99 genotip lainnya yang bertipe
spray. Selain itu kedua genotip ini sama-sama memiliki diameter bunga yang besar dan bentuk bunga
dekoratif. Jika kita tinjau dari segi latar belakang genetiknya, genotip D.09 merupakan genotip hasil
persilangan dengan tetua betina Surf.

269
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Gambar 1. Dendrogram 101 genotip krisan


Pengamatan pada batas nilai koefisien jarak taksonomis 1,37 yang ditunjukkan dengan garis
putus-putus pada dendrogram menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan yang dikaji terbagi dalam 6
kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok dengan jumlah genotip terbesar yaitu sebanyak
64 genotip. Kelompok pertama sebagian besar didominasi oleh genotip dari populasi E yaitu sebanyak
29 genotip, kemudian 15 genotip dari populasi A, 12 genotip dari populasi B, 4 genotip dari populasi
C dan 1 genotip dari populasi D. Pada kelompok ini terlihat bahwa seluruh genotip E dan sebagian
besar dari genotip A dan C berkumpul di kelompok ini. Hal ini diduga terdapatnya kemiripan antar
genotip-genotip dengan tetuanya dimana populasi A berasal dari persilangan Garden Mum Red
dengan Bonny, populasi C berasal dari persilangan Garden Mum Red dengan Miramar dan
populasi E berasal dari persilangan Sunny Ursula dengan Bonny. Varietas tetua persilangan yaitu
Garden Mum Red, Sunny Ursula dan Bonny terdapat dalam kelompok pertama, dan Garden

270
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Mum Red dengan Sunny Ursula berada pada satu sub kluster dengan jarak yang dekat yang
mengindikasikan kemiripan di antara kedua varietas tersebut.
Kelompok kedua terdiri dari 6 genotip dimana semuanya dari populasi A yaitu genotip A.05,
A.06, A.16, A.17, A.13 dan A.23. Hal ini mengindikasikan terdapatnya tingkat kemiripan yang tinggi
antar 6 genotip A tersebut dan ketidakmiripan yang tinggi antar keenam genotip dari populasi A
tersebut dengan tetuanya.
Kelompok ketiga terdiri dari 27 genotip yaitu 16 genotip dari populasi B, 6 genotip dari
populasi D, 3 genotip dari populasi C, 1 genotip dari populasi A dan satu tetua persilangan yaitu
Miramar. Miramar merupakan tetua jantan dari persilangan populasi C. Kelompok keempat dan
kelima masing-masing terdiri dari satu genotip yaitu B.03 pada kelompok empat dan D.07 pada
kelompok lima. Hal ini menunjukkan terdapatnya ketidakmiripan yang tinggi antara genotip B.03 dan
D.07 dengan tetuanya maupun dengan genotip-genotip lainnya. Kelompok enam terdiri dari 2 genotip
yaitu D.09 dan Surf, dimana seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Surf merupakan tetua
betina dari populasi D. Hal ini menunjukkan di antara genotip pada populasi D, genotip D.09
menunjukkan tingkat kemiripan yang paling tinggi dengan tetua betinanya, sekaligus menunjukkan
ketidakmiripan dengan genotip-genotip dari populasi D lainnya.
Keragaman dari genetik krisan juga telah dilaporkan pada beberapa hasil penelitian terdahulu.
Hasil penelitian Jie et al. (2007) pada 45 varietas krisan yang dianalisis menggunakan metode AFLP
menunjukkan terdapat variasi di antara varietas krisan yang diuji dan hasil analisis kluster
menunjukkan 45 varietas krisan tersebut terbagi dalam 6 kelompok yang berbeda. Kim et al. (2014)
melaporkan hasil penelitiannya terhadap 15 spesies krisan asli Korea yang menunjukkan bahwa 15
spesies krisan yang ditelitinya diklasifikasikan dalam 3 grup berdasarkan analisis kluster dan PCA,
dimana grup pertama terdiri dari 9 spesies, grup kedua terdiri dari 1 spesies dan grup ketiga terdiri dari
5 spesies. Klasifikasi tersebut didasarkan pada pengamatan terhadap karakter pembungaan dan
pertumbuhan tanaman secara umum. Sejalan dengan dua penelitian tersebut, hasil penelitian analisis
keragaman terhadap 24 genotip krisan yang dilakukan oleh Baliyan et al. (2014) berdasarkan karakter
morfo-agronomi, telah membagi 24 genotip krisan tersebut dalam 4 grup yang berbeda. Adapun
dendrogram berdasarkan aplikasi ISSR yang dilakukannya membagi 24 genotip krisan dalam 2
kelompok besar, dimana kelompok pertama merupakan kelompok tunggal dan kelompok kedua
terbagi lagi menjadi dua kelompok, sub kelompok pertama terbagi lagi menjadi 2 sub kelompok dan
sub kelompok kedua terbagi lagi menjadi 5 sub kelompok.
Analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA) juga dilakukan pada
genotip-genotip krisan untuk melihat pola pengelompokan dan karakter yang memberikan kontribusi
keragaman dalam pengelompokan. Hasil analisis komponen utama yang tergambar dalam grafik biplot
menunjukkan bahwa genotip-genotip krisan tersebar dalam empat kuadran yang berbeda, dimana
sebagian besar genotip berkumpul mendekati titik utama. Adapun genotip yang berada pada titik-titik
terjauh adalah genotip B.03 pada kuadran 1, D.01 dan Surf pada kuadran 2) dan genotip A.04 pada
kuadran 4 (Gambar 2.).

271
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

1,0

0,5

0,0
PC 2

-1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0

-0,5

-1,0

-1,5

PC 1
Pop A Pop B Pop C Pop D Pop E Tetua

Gambar 2. Grafik biplot PCA 101 genotip krisan

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengelompokan genotip menggunakan analisis komponen


utama ini relatif sama dengan hasil pengelompokan genotip dengan menggunakan analisis kluster.
Genotip B.03 yang berada pada sumbu PC 2 positif terjauh pada analisis kluster juga berada pada
kelompok tersendiri yaitu pada kelompok empat. Genotip D.01 yang berada pada sumbu PC 1 positif
terjauh pada analisis kluster berada pada kelompok tiga. Surf yang berada pada sumbu PC 2 negatif
terjauh pada analisis kluster terdapat pada kelompok keenam bersama dengan genotip D.09 yang pada
grafik biplot terlihat terletak berdekatan dengan Surf. Sebagian besar genotip yang berada pada titik
tengah merupakan genotip-genotip yang berada pada kelompok pertama, kedua dan ketiga pada
dendrogram hasil analisis kluster.
Pada analisis komponen utama, kita dapat melihat kontribusi variasi karakter-karakter yang
berperan dalam pengelompokan dari nilai PC. Menurut Zubair (2004) dalam Maxiselly (2011) PC
yang memiliki nilai kontribusi variasi > 50% menunjukkan bahwa pengelompokan yang terjadi berasal
dari variasi karakter-karakter yang diamati. Adapun PC yang berpengaruh dalam pengelompokan
adalah PC memiliki nilai eigenvalue > 1 (Jeffers, 1966). Data selengkapnya nilai PC 1 5 dapat
dilihat pada Tabel 1.

272
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Nilai PC dan eigenvalue dari 101 genotip krisan yang diuji
No Karakter PC1 PC2 PC3 PC4 PC 5
1 Tinggi Tanaman 0.822 0.098 0.112 0.109 0.052
2 Diameter Batang 0.510 -0.018 -0.412 -0.017 0.018
3 Panjang Daun 0.774 -0.044 -0.035 0.304 -0.116
4 Lebar Daun 0.730 0.006 -0.113 0.374 -0.012
5 Jumlah Internode -0.152 0.306 -0.436 0.389 0.128
6 Panjang Internode 0.502 -0.169 0.197 0.341 -0.446
7 Diameter Bunga 0.845 0.015 0.006 -0.060 -0.241
8 Diameter Bunga Tabung 0.545 0.616 0.189 -0.156 0.035
9 Diameter Tajuk 0.580 -0.009 0.143 0.514 0.043
10 Jumlah Bunga Pita 0.406 -0.608 -0.041 -0.091 0.361
11 Jumlah Bunga Tabung 0.529 0.528 0.096 -0.160 -0.144
12 Jumlah Bunga per Tanaman -0.599 0.211 -0.344 0.367 -0.149
13 Jumlah Cabang -0.727 0.067 -0.195 0.240 -0.202
14 Panjang Pedisel 0.738 0.173 0.236 -0.146 0.235
15 Umur Mulai Berbunga 0.097 0.495 -0.717 -0.157 -0.004
16 Respon Time 0.517 0.440 -0.501 -0.087 0.010
17 Lama Kesegaran Bunga 0.238 -0.546 -0.133 0.335 0.045
18 Warna Bunga -0.466 0.124 0.130 0.348 0.244
19 Bentuk Bunga 0.186 -0.645 -0.394 -0.182 -0.088
20 Tipe Bunga 0.253 -0.509 -0.316 -0.286 -0.430
21 Kekompakan Bunga 0.343 -0.223 -0.324 0.024 0.565
Eigenvalue 6.335 2.719 1.864 1.433 1.135
Persentase 30.168 12.946 8.877 6.825 5.406
Kumulatif 30.168 43.114 51.991 58.816 64.222
Sumber : Data Primer (2014)

Pada penelitian ini terlihat bahwa PC1 sampai PC 5 memiliki nilai eigenvalue> 1. Nilai
kumulatif eigenvalue pada PC 5 adalah sebesar 64,222%, hal ini menunjukkan bahwa sampai PC 5
dapat menggambarkan 64,222% keragaman dari total keragaman pada genotip-genotip krisan yang
dikaji. Adapun karakter yang memiliki nilai PC > 0.7, baik bernilai positif maupun negatif, merupakan
karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan (Jeffers, 1966). Pada PC 1
terdapat enam karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan yaitu karakter
tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang dan panjang pedisel. Pada
PC 2 tidak terdapat karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan genotip
krisan. Pada PC 3 terdapat satu karakter yang memberikan kontribusi variasi dalam pengelompokan
genotip krisan yaitu umur mulai berbunga. Pada PC 4 dan 5 tidak terdapat karakter yang memberikan
kontribusi variasi dalam pengelompokan genotip krisan. Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pada
pengelompokan genotip krisan terdapat tujuh karakter yang berkontribusi besar terhadap variasi
pengelompokan yaitu tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang,
panjang pedisel dan umur mulai berbunga.
Hasil penelitian Mukharjee et al. (2013) yang meneliti keragaman genetik pada 40 varietas
krisan yang berbeda yang terdiri dari krisan tipe spray dan standar menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang luas di antara varietas-varietas krisan yang diuji. Pengelompokan krisan yang diuji
dengan menggunakan principle coordinate analysis(PCA) menunjukkan bahwa sebagian besar dari
kultivar-kultivar krisan tipe spray mengelompok pada titik yang berdekatan, dan semua krisan tipe
standar kecuali satu atau dua, mengelompok pada satu grup. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan dimana dua genotip tipe standar yaitu D.09 dan Surf tergabung dalam satu
kelompok, dan kedua genotip ini terpisah dengan 99 genotip lainnya yang bertipe spray.

273
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
6. Hasil analisis kluster menunjukkan terdapat ketidakmiripan yang tinggi diantara 101 genotip
krisan yang diteliti, dimana dari gambar dendrogram pada batas nilai koefisien ketidakmiripan
1,37 genotip krisan terbagi dalam 6 kelompok.
7. Pada grafik biplot dari hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa genotip-genotip
krisan tersebar dalam empat kuadran yang berbeda.
8. Berdasarkan nilai PC yang diperoleh dari analisis komponen utama terdapat tujuh karakter yang
berkontribusi besar terhadap variasi pengelompokan 101 genotip krisan yaitu tinggi tanaman,
panjang daun, lebar daun, diameter bunga, jumlah cabang, panjang pedisel dan umur mulai
berbunga.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diucapkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah
memberikan biaya penelitian melalui beasiswa program magister.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanaman Hias. 2009. Panduan Karakterisasi Tanaman Hias Krisan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hortikultura.
Baliyan, D., A. Sirohi, M. Kumar, V. Kumar, S. Malik, S. Sharma and S. Sharma. 2014. Comparative
genetic diversity analysis in Chrysanthemum : A pilot study based on morpho-agronomic
traits and ISSR markers. Scientia Horticulturae 167 : 164 168.
Cahyono, F.B. 1999. Chrysanthemum Pot. Tuntunan Membangun Agribisnis. Edisi Pertama. PT.
Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia Jakarta. Hal. 353-367
Jeffers, J.N.R. 1966. Two Case Studies in The Aplication of Principals Component Analysis. In
Applied Statistics.
Jie, H., H. Nan, L. I. Yu-ge and S. Fu-de. 2007. Genetic diversity of chrysanthemum cultivars
revealed by AFLP analysis. Acta Horticulturae Sinica 34 (4) : 1041 1046.
Kartikaningrum, S. 2002. Kekerabatan Antar Genus Anggrek Sub Tribe Sarchantinae Berdasarkan
Fenotip dan Pola Pita DNA melalui Teknik Random Amplified Polymorphic DNA.
Universitas Padjadjaran. Tesis.
Kementerian Pertanian. https://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. Diakses tanggal 30
September 2016.
Kim, S. J., C. H. Lee, J. Kim and K. S. Kim. 2014. Phylogenetic analysis of Korean native
Chrysanthemum species based on morphological characteristics. Scientia Horticulturae
175 : 278 289.
Kurniawan, H. 2002. Diversitas Genetik Plasma Nutfah Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L) Lamb.) Asal
Indonesia Berdasarkan Analisis Kluster Karakter Fenotipik. Universitas Padjadjaran.
Tesis.
Li, P, F. Zhang, S. Chen, J. Jiang, H. Wang, J. Su, W. Fang, Z. Guan and F. Chen. 2016. Genetic
diversity, population structure and association analysis in cut chrysanthemum
(Chrysanthemum morifolium Ramat.). Mol Genet Genomics. 9 p.
Maxiselly, Y. 2011. Keragaman dan Pola Penyebaran Talas Spesies Colocasia esculenta dan
Xanthosoma sagittifolium di Jawa Barat. Universitas Padjadjaran. Tesis.
Mukherjee, A. K., A. Dey, L. Acharya, . K. Palai and P. C. Panda. 2013. Studies on genetic diversity
in elite varieties of Chrysanthemum using RAPD and ISSR marker. Indian Journal of
Biotechnology. Vol. 12, pp 161-169.
Rohlf, J. F. 2000. NTSYS pc. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System. Version 2.1.
User Guide. Department of Ecology and Evolution State University of New York. 38 p.
Teixeira da Silva, J.A., H. Shinoyama, R. Aida, Y. Matsushita, S.K. Raj and F. Chen. 2013.
Chrysanthemum Biotechnology : Quo vadis?,Critical Reviews. Plant Sciences 32:1, 21
52.
UPOV. International Union for The Protection of New Varieties of Plants. 2010. TG/26/5/Corr.2.
Geneva.

274
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PRODUKSI BAWANG MERAH GENERASI KEDUA ASAL BENIH BIJI BOTANI BAWANG
MERAH (True Seed of Shallot) PADA VARIETAS MENTES, PIKATAN, DAN BIMA
PRODUCTION OF SHALLOT FROM SECOND GENERATION OF TRUE SEED (True Seed of
Shallot) ON VARIETY OF MENTES, PIKATAN AND BIMA
Kiki Kusyaeri Hamdani, Agus Nurawan, Liferdi, Meksy Dianawati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian(BPTP) Jawa Barat
Jl. Kayuambon 80, Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat, Telp. 081219192065
Email : meksyd@yahoo.com

ABSTRAK
Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas tanaman. Selain umbi, benih biji
botani bawang merah dapat menjadi alternatif sumber benih yang menghasilkan umbi yang
berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi berbagai varietas bawang merah
generasi kedua asal benih biji botani. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Desa Silih Asih,
Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mulai April sampai Juni 2016. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 10 ulangan. Varietas yang diuji adalah
Mentes, Pikatan, dan Bima. Data dianalisis dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal
dan uji korelasi pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan varietas
mempengaruhi tinggi tanaman umur 5 dan 7 minggu setelah tanam, diameter umbi, bobot brangkasan
basah, dan bobot kering umbi. Varietas Pikatan dan Mentes menghasilkan bobot kering umbi masing-
masing sebesar 8,22 g dan 7,92 g dan berbeda nyata dengan varietas dominan yaitu Bima sebesar 6,52
g. Sedangkan untuk produksi, varietas Pikatan memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 16,10 ton/ha akan
tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Mentes dan Bima.
Kata kunci : bawang merah, produksi, benih biji, varietas

ABSTRACT
Seed is one of the factors that determine the productivity of the plant. Besides the bulbs, true seed of
shallot can be an alternative source of seeds that produce quality bulbs. The aim of the study was to
know the production of second generation from true seed of shallot on variety of Mentes, Pikatan, and
Bima. The research was conducted at rice field in Silih Asih Village, Pabedilan Subdistrict, Cirebon
Regency, Jawa Barat Province from April to Juni 2016. The research was arranged in Completely
Randomized Block Design with ten replications. Varieties were tested consist of Mentes, Pikatan, and
Bima. The data were analyzed by F test and continued with the contrast orthogonal test and
correlation test at level 95%. The result showed that the different varieties affect plant height at 5 and
7 weeks after planting, bulb diameter, weight of wet stover, and dry weight of bulb. Variety of Pikatan
and Mentes produced the dry weight of bulb 8,22 g and 7,92 g respectively and significantly different
from the dominant variety that Bima by 6,52 g. Whereas for the production, Pikatan has a higher yield
16,10 ton/ha but not significantly different compared to Mentes and Bima.
Keywords : Shallot, production, trueseed, variety

PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang menjadi prioritas
pengembangan pada Permentan No 45 tahun 2015 (Kementerian Pertanian, 2015). Komoditas tersebut
menjadi sangat penting, karenamempengaruhi kehidupan petani dan perekonomian makro inflasi. Pada
tingkat rumah tangga, bawang merah merupakan sayuran bumbu yang kebutuhan hariannya cukup
tinggi. Permintaan terhadap bawang merah yang terus meningkat perlu diimbangi dengan peningkatan
produksi bawang merah.Pasokan yang tidak merata sepanjang tahun akibat iklim dan pengusahaan
lahan dapat mempengaruhi luas panen, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan
bawang merah.Kondisi demikian menyebabkan harga bawang merah melonjak tinggi dan umbi untuk
bibit pun ikut dijual sebagai umbi konsumsi, sehingga ketersediaan umbi konsumsi dan umbi bibit
menjadi langka. Kondisi ini mengakibatkan dibukanya impor bawang merah.
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi sentra komoditas bawang merah dengan wilayah
sentra produksi tersebar di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Bandung
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013). Produksi umbi bawang merah Jawa Barat tahun
275
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2014 sebesar 130.082 ton, dengan luas panen sebesar 12.532 ha dan rata-rata produktivitas sebesar
10,38 ton per ha (BPS Jawa Barat, 2015). Rendahnya produktivitas tersebut diakibatkan oleh beberapa
faktor.
Salah satu permasalahan dalam upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah di
Indonesia adalah terkait dengan bibit, dimanabibit sulit diperoleh saat menjelang musim tanam, harga
bibit mahal, dan produktivitas bibit rendah karena penyakit terbawa umbi. Selain itu, akibat dari
keterbatasan benih sumber tersebut, umumnya petani menggunakan bibit dari umbi konsumsi yang
diperbanyak secara turun temurun dalam jangka waktu yang lama sehingga mutunya menurun
(rendah). Bawang merah yang umumnya dibudidayakan secara vegetatif tersebut, mengakibatkan
mudahnya dalam penyebaran virus dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berdampak terhadap
penurunan produksi bawang merah (Lot et al., 1998; Dovas et al., 2001). Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara umum terdapat 3 macam virus yang umum menyerang tanaman bawang
merah yaitu Onion Yellow Dearf Virus (OYDV), Shallot Laten Virus (SLV) dan Leek Yellow Stip
Virus (LYSV) (Dovas et al. 2001). Penelitian lainnya ditemukan virus Onion Yellow Dearf Virus
(OYDV) pada tanaman bawang merah kultivar Tawangmangu Biru dari Blumbang, Tawangmangu,
Karanganyar, Jawa Tengah dan bibit bawang merah kultivar Philiphine Bima dari Srigading, Sandel,
Bantul, DIY (Arisuryanti dan Daryono, 2008). Selanjutnya ditemukan bahwa umbi bawang merah
yang diperoleh dari penangkar benih dan petani di Jawa Barat dan Jawa Tengah terinfeksi oleh
OYDV, SLV, dan GCLV (Wulandari, et al., 2015). Oleh karena itu, usaha peningkatan produksi
bawang merah harus dimulai dengan tersedianya bibit/benih berkualitas agar bisa berproduksi lebih
tinggi dan kualitasnya bagus. Iriani (2013) menyatakan bahwa benih varietas unggul bawang merah
bersertifikat diperlukan sebagai syarat utama untuk mengawali proses produksi agar memperoleh hasil
yang tinggi dan berkualitas prima.Penggunaan benih yang bermutu tinggi yaitu mutu fisik, genetik,
fisiologi, dan patologi merupakan upaya untuk peningkatan produksi (Sadjad 1993).
Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis benih bawang merah dengan
menggunakan benih berupa biji (Maemunah, 2010). Bahan tanam bawang merah dari biji yang dikenal
dengan nama TSS (True Seed of Shallot) ini selanjutnya diproduksi menjadi umbi mini yang
merupakan generasi kedua asal benih biji bawang merah. Beberapa keuntungan bibit asal umbi mini
tersebut yaitu bebas dari penyakit tular umbi. Pengembangan umbi mini sebagai sumber benih menjadi
salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk perbaikan kualitas bibit bawang merah yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas bawang merah serta pendapatan
petani.
Sampai saat ini, penggunaan umbi mini untuk budidaya bawang merah belum banyak
dilakukan di Jawa Barat. Penyebabnya antara lain ketersediaan umbi mini sebagai sumber benih yang
sehat masih jarang karena belum banyak yang memproduksi benih asalnya yaitu TSS.Belum
banyaknya produksi benih TSS yang menjadi cikal bakal umbi mini disebabkan oleh : 1) teknik
produksi TSS yang baik dan efisien masih belum diketahui sepenuhnya; 2) produksi TSS di dataran
tinggi dan penggunanya berada di dataran rendah menyebabkan perkembangan TSS menjadi lambat;
3)secara sosial budaya, kebanyakan lahan bawang merah adalah sewa, fanatisme benih umbi dari
Brebes, dan belum terbiasa dilakukannya pembibitan dengan sistem tanam pindah akibat waktu
produksi lebih panjang, merepotkan, dan rawan kematian saat dipindah ke lapangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi berbagai varietas bawang merah generasi
kedua asal benih biji botani.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Desa Silih Asih, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten
Cirebon pada bulan April - Juli 2016.
Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan tiga varietas
dan diulang sepuluh kali. Varietas yang diuji adalah Mentes (V1), Pikatan (V2), dan Bima (V3).
Bahan dan alat yang digunakan adalah benih umbi bawang merah, pupuk organik, pupuk
kimia (NPK, Urea, SP36, KCl), pestisida, jangka sorong, meteran, timbangan digital, dsb. Umbi yang
digunakan pada pengkajian ini adalah umbi hasil penanaman dari biji TSS yang telah disimpan selama
3 bulan.
Pelaksanaan penelitian meliputi 1) persiapan lahan; 2) penanaman; 3) pemupukan; 4)
penyiangan; 5) penyiraman; 6) pengendalian hama dan penyakit; dan 7) panen.

276
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun per anakan, jumlah anakan per
rumpun, bobot basah brangkasan per rumpun, bobot kering per umbi per rumpun, dan hasil per hektar.
Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan sidik ragam dan untuk melihat perbedaan
antar varietas serta perbandingan antara varietas unggul dan kontrol dilakukan uji lanjut kontras
ortogonal pada taraf kepercayaan 95%. Analisis lainnya yang digunakan yaitu analisis korelasi pada
taraf kepercayaan 95% (Gomez and Gomez, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Varietas bawang merah yang diuji adalah varietas unggul baru yang terdiri dari varietas
Mentes dan Pikatan sedangkan sebagai pembanding yaitu varietas Bima yang merupakan varietas
dominan yang ditanam petani. Deskripsi ketiga varietas bawang merah tersebut tercantum di dalam
deskripsi varietas (Tabel 1).
Tabel 1. Deskripsi varietas bawang merah yang digunakan pada display varietas asal bibit umbi mini
Deskripsi Mentes Pikatan Bima
Umur tanaman 58 HST 55 HST 60 HST
Tinggi tanaman 42,07 cm 39 cm 25-44 cm
Jumlah rumpun 8-12 anakan 8 anakan 7-12 anakan
Bentuk daun Bulat Agak pipih dan Silindris
sedikit berkerut
Warna daun Hijau muda Hijau tua Hijau
Jumlah daun per rumpun 41-43 helai/rumpun 27-36 helai/rumpun 14-50 helai/rumpun
Bentuk umbi Bulat Bulat keriput Lonjong
Warna umbi Pucat Merah Merah muda
Berat umbi rata-rata 5-10 gr 5-30 gr
Diameter umbi 1-2,27 cm 1,69-3 cm
Produksi umbi 7,10-27,58 ton/ha 6,20-23,31 ton/ha 9,9 ton/ha
Susut bobot 32,20% 42,01% 21,5%
Ketahanan simpan dalam keadaan Tahan 3-4 bulan Tahan 6 bulan
normal
Sumber : Waluyo dan Sinaga (2015)

Keragaman antar varietas sudah mulai terlihat pada fase vegetatif. Hasil analisis ragam pada
taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga varietas
bawang merah yaitu varietas Mentes, Pikatan, dan Bima terhadap tinggi tanaman baik pada umur 5
MST maupun 7 MST, diameter umbi, bobot brangkasan basah, dan bobot kering umbi.
Tabel 2.Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, diameter umbi, bobot brangkasan
basah per rumpun, hasil per hektar, dan bobot kering umbi
Tinggi
tanaman (cm) Jumlah Jumlah
Diamater
Bobot
Hasil
Bobot
Perlakuan daun anakan brangkasan kering
5 7 umbi (cm) (ton/ha)
(helai) (anakan) basah (gr) umbi (gr)
MST MST
Mentes (V1) 43.8 46.5 5.4 6.9 2.19 96.2 15.54 7.92
Pikatan (V2) 46.3 50.2 5.7 6.2 2.25 109.6 16.10 8.22
Bima (V3) 36.7 38.9 4.9 5.9 1.95 69.2 12.12 6.52
Uji F * * Ns ns * * ns *
V1,V2 vs V3 * * Ns ns * * ns *
V1 vs V2 * * Ns ns ns ns ns ns
Keterangan : * = berbeda nyata (P=0,05); ns = non significant (tidak berbeda nyata)
Sumber : Data primer (2016)

Berdasarkan uji lanjut dengan menggunakan uji kontras orthogonal pada taraf kepercayaan
5%, menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada varietas unggul baru yaitu Mentes (V1) dan Pikatan
(V2) berbeda nyata dengan varietas Bima (V3) pada umur 5 dan 7 minggu setelah tanam (MST). Jika
dilihat dari deskripsi varietas bawang merah (Tabel 1), menunjukkan bahwa varietas Mentes dan
Pikatan memiliki tinggi tanaman yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas Bima. Selanjutnya,
pada kedua umur tersebut, tinggi tanaman V1 berbeda nyata dengan V2. Sampai umur 7 MST, varietas
Pikatan memiliki tinggi tanaman yang lebih unggul dibandingkan varietas Mentes dan berbeda halnya

277
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dengan karakteristik pada deskripsi varietas dimana varietas Mentes memiliki rata-rata tinggi tanaman
lebih unggul dibandingkan dengan varietas Pikatan. Hal ini diduga bahwa potensi tinggi tanaman pada
varietas Pikatan lebih muncul dibandingkan varietas Mentes. Faktor lokasi menjadi salah satu faktor
keluarnya potensi dari suatu varietas. Menurut Andrio (2015) bahwa suatu varietas bawang merah
memerlukan lingkungan yang bersifat spesifik lokasi yang optimal untuk dapat tumbuh dan berdaya
hasil tinggi. Setiap varietas memiliki tinggi tanaman yang berbeda. Tinggi tanaman merupakan salah
satu indikator pertumbuhan. Selain faktor lingkungan, tinggi tanaman suatu varietas dikendalikan juga
oleh faktor genetik. Menurut Kuruseng dan Wahab (2006), bahwa potensi gen suatu tanaman akan
optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang berperan dalam penampilan karakter dalam gen
tersebut. Selain besarnya diametar daun, tinggi tanaman pada bawang merah yang dominannya
merupakan tinggi daun memiliki arti penting bagi tanaman bawang merah. Semakin tinggi tanaman,
semakin luas permukaan daun yang melakukan fotosintesis.
Daun merupakan organ utama dalam proses fotosintesis. Artinya daun berfungsi sebagai organ
yang menghasilkan asimilat (source) yang akan ditranslokasikan ke organ lainnya (sink). Semakin
tinggi tanaman atau daun pada bawang merah maka akan berkorelasi dengan semakin tingginya
jumlah kandungan klorofil yang berdampak terhadap tingginya asimilat yang dihasilkan. Besarnya
asimilat yang dihasilkan dan ditranslokasikan mempengaruhi besarnya bobot brangkasan basah dan
bobot kering umbi bawang merah.
Diameter umbi, bobot brangkasan, dan bobot kering umbi pada varietas Mentes dan Pikatan
berbeda nyata dengan Bima. Sedangkan ketiga peubah tersebut di antara varietas Mentes dan Pikatan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Varietas Mentes dan Pikatan yang memiliki diameter umbi
yang lebih besar dibandingkan Bima diduga berpengaruh terhadap bobot brangkasan basah (terdiri
atas umbi, akar, dan daun) serta berat kering umbi.
Pada beberapa peubah di atas, sebagian besar hampir tidak jauh berbeda dengan deskripsi
varietas bawang merah (Tabel 1). Adanya perbedaan pada semua komponen pertumbuhan antar
varietas bawang merah yang diujikan sangat dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor genetik sehingga
variasi tersebutdapat dijadikan penciri dari suatu varietas. Terkait hal tersebut, bahwa ketersediaan
varietas yang sesuai dengan lingkungannya dan memiliki potensi hasil yang tinggi merupakan faktor
yang secara langsung mempengaruhi daya hasil dan adaptasi varietas (Ambarwati dan Yudono, 2003).
Tabel 3. Analisis korelasi peubah yang diamati
Peubah Hsl TT5 TT7 JD DU JA BB BKU
Hsl - 18 27 4 -2 12 -1 11
TT5 - 73* 15 19 19 42* 47*
TT7 - 29 16 1 56* 41
JD - 10 -7 3 23
DU - -8 17 7
JA - -17 15
BB - 23
BKU -
Keterangan : ns = tidak berbeda nyata, * = beda nyata pada P<0.05
Hsl = hasil, TT5 = tinggi tanaman umur 5 MST, TT7 = tinggi
tanaman umur 7 MST, JD = jumlah daun, DU = diameter umbi,
JA = jumlah anakan, BB = bobot brangkasan basah, BKU = bobot
kering umbi
Sumber : Data primer (2016)

Kontribusi setiap karakter pertumbuhan terhadap komponen hasil baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat dianalisis melalui analisis korelasi. Nilai koefesien korelasi
menunjukkan keeratan hubungan satu peubah dengan peubah lainnya dianalisis dengan menggunakan
analisis korelasi. Analisis korelasi antar peubah disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis korelasi
menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada umur 5 MST berkorelasi positif dan berbeda nyata dengan
tinggi tanaman pada umur 7 MST, berat brangkasan basah, dan berat kering umbi. Sedangkan tinggi
tanaman pada umur 7 MST berkorelasi positif dan nyata dengan berat brangkasan basah. Hal ini
menunjukkan bahwa tinggi tanaman mempengaruhi hasil baik terhadap berat brangkasan basah
maupun berat kering umbi.

278
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
1. Varietas mempengaruhi tinggi tanaman umur 5 dan 7 minggu setelah tanam, diameter umbi, bobot
brangkasan basah, dan bobot kering umbi.
2. Varietas Pikatan dan Mentes menghasilkan bobot kering umbi masing-masing sebesar 8,22 g dan
7,92 g dan berbeda nyata dengan varietas dominan yaitu Bima sebesar 6,52 g. Sedangkan untuk
produksi, varietas Pikatan memiliki hasil yang lebih tinggi yaitu 16,10 ton/ha akan tetapi tidak
berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Mentes dan Bima.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Yudono, P. 2003. Keragaan stabilitas hasil bawang merah. Jurnal Ilmu Pertanian : Vol.
10(2) : 1-10.
Andrio, S., Mariati, Luthfi A., Siregar, M. 2015. Tanggap pertumbuhan vegetatif dan generatif bawang
merah terhadap konsentrasi dan lama perendaman GA3 di dataran rendah. Jurnal Online
Agroekoteknologi : Vol. 3(1): 310-319.
Arisuryanti, T., Daryono, B.S. 2008. Observasi dan identfifikasi virus yang menginfeksi bawang
merah di Jawa. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia : Vol. 14 (2): 55-62.
BPS Jawa Barat. 2015. Jawa Barat dalam angka 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat. 2013. Laporan akhir kegiatan tahun 2013.
Dovas, C., Hatziloukas, E., Salomon, R., Barg, E., Shiboleth, Y., Katis, N. 2001. Incidence of viruses
infecting Allium spp. in Greece. European Journal of Plant Pathology : Vol. 107(7): 677-
684.
Gomez, A.K., Gomez, A.A. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi 2. Terjemahan.
UI Press.
Iriani, E. 2013. Prospek pengembangan inovasi teknologi bawang merah di lahan sub optimal (lahan
pasir) dalam upaya peningkatan pendapatan petani. Jurnal Litbang Propinsi Jawa Tengah
: Vol. 11(2): 231-243.
Kementerian Pertanian. 2015. Kepmentan No.45 tentang penetapan kawasan cabai, bawang merah,
dan jeruk nasional.
Kuruseng, M.A., Wahab, A. 2006. Respon berbagai varietas tanaman terhadap waktu perompesan
daun di bawah tongkol. Jurnal Agrisistem : Vol : 2(2): 87-95.
Lot, H., Chovelon, V, Souche, S., Delecolle, B. 1998. Effects on onion yellow dwarf and leek yellow
stripes viruses on symptomalogy and yield loss of three french garlic cultivars. Journal of
Plant Disease : Vol. 82(12): 1381-1385.
Maemunah. 2010. Viabilitas dan vigor benih bawang merah pada beberapa varietas setelah
penyimpanan. Jurnal Agroland : Vol. 17 (1): 18-22.
Sadjad S. 1993. Dari benih kepada benih. Grafindo. Jakarta. 144p.
Waluyo, N., Sinaga, R. 2015. Bawang merah yang dirilis oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/
...file/.../5-buku-publikasi.html?. [Diunduh tanggal 10 Agustus 2016].
Wulandari, A.W., Hidayat, S.H., Sobir. 2015. Deteksi virus pada bawang merah (Allium cepa var.
ascalonicum) dengan metode dot immuno binding assay (detection of shallot viruses
(Allium cepa var. ascalonicum) by dot immuno binding assay). Jurnal Hortikultura : Vol.
25 (4): 350-356.

279
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

FORMULASI DAN TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP BISKUIT DENGAN


FORTIFIKASI BAYAM HIJAU
FORMULATION AND CUSTOMER PREFERENCE ON BISCUITS WITH SPINACH
FORTIFICATION
S. Aminah1, M. Yanis1, T. Ramdhan1, W. Mikasari2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
2
Balai Pengkajian Teknologi Petanian Bengkulu
Jl. Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu Jakarta Selatan
e-mail: mifa71@yahoo.com

ABSTRAK
Konsumsi maupun pemanfaatan sayuran dalam produk pangan baik sebagai diversifikasi maupun
fortifikasi masih terbatas dikalangan masyarakat. Oleh karena perlu upaya untuk menjadikan bayam
sebagai salah satu bahan fortifikan untuk memberikan keragaman olahan maupun perbaikan nutrisi,
seperti pada biskuit. Penelitian bertujuan untuk memperoleh konsentrasi fortifikan dan tingkat
kesukaan terhadap biskuit yang difortifikasi dengan bayam hijau. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium BPTP Jakarta mulai Agustus sampai Nopember 2015. Metode penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan jumlah panelis sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari 3 (tiga)
konsentrasi bayam segar yang ditambahkan pada formula biskuit, yaitu 5%, 10% dan 15%. Parameter
pengamatan meliputi preferensi konsumen terhadap warna (kecerahan), rasa, aroma, tekstur dan
overall, dengan 1 - 6 skala hedonic sedangkan uji mutu hedonik dilakukan terhadap rasa bayam dan
aroma bayam. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan
uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesukaan
konsumen terhadap biskuit bayam tidak dipengaruhi oleh konsentrasi bayam yang berbeda.
Penggunaan konsentrasi bayam sampai 15% masih dapat diterima oleh konsumen baik terhadap
warna, aroma, rasa, terkstur maupun secara overall. Berdasarkan uji mutu hedonik memperlihatkan
bahwa aroma bayam pada biskuit mulai tercium pada penggunaan konsentrasi bayam diatas 10%,
demikian halnya dengan rasa bayam (nilai 2.5 dan 2.9).
Kata kunci: fortifikasi, sayuran, bayam, biskuit, preferensi

ABSTRACT
Consumption and utilization of vegetables in food products both as diversification and fortification
still limited among the people. Therefore, efforts are needed to make the spinach as an ingredient
fortification to give a diversity of product and improved nutrition, such as biscuits. This study was
aimed to get fortification concentration and level of preference on biscuits with fortified of green
spinach. The research was conducted in BPTP Jakarta Laboratory start from August to
November 2015.This study used completely randomized design with the number of panelist as
replication. The treatment consist of three concentration of fresh spinach is added to formula biscuit,
which are 5%, 10% and 15%. Parameters included the observation of customer preference to color,
flavor, aroma, texture and overall on 1 6 hedonic scales, while the hedonic quality conducted on
spinach flavor and aroma spinach. The data were analyzed using analysis of variance by Duncan test
at 95% level. The results showed that the level of customer preference on spinach biscuits not affected
by different concentration of spinach. The use of spinach concentration could be accepted up to 15%
for color, aroma, flavor, texture and overall. Based on the hedonic test showed that the aroma of
spinach on biscuits began to smell on the spinach concentrations over 10%, and same for flavor of
spinach (a value of 2.5 and 2.9).
Keywords: fortification, vegetables, spinach, biscuits, preference

280
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Sayuran merupakan sumber nutrisi yang penting untuk kesehatan tubuh manusia. Konsumsi
sayuran di Indonesia masih cukup rendah dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Jepang dan
Thailand. Tingkat konsumsi sayuran masyarakat Indonesia berkisar 91 gram/hari/orang (Balitbangkes,
2014 dalam http://health.kopas.com). Jumlah ini masih berada dibawah standar FAO untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, yaitu minimal 75 kg/kapita/tahun sedangkan standar
kecukupan untuk sehat adalah 91,25 kilogram per kapita per tahun. Sayuran seperti bayam
mengandung banyak makro dan mikro nutrisi yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh, seperti zat besi,
vitamin A, asam folat yang dapat ditambahkan ke dalam produk pangan melalui fortifikasi (Akhtar et
al., 2011; Britto et al., 2014).
Salah satu upaya untuk itu adalah menambahkan sayuran pada produk olahan sehingga tidak
hanya dikonsumsi sebagai menu makan sehari-hari akan tetapi dalam bentuk sajian yang berbeda,
seperti produk olahan yang ditambahkan sayuran. Selain bertujuan untuk menambahan nilai gizi,
memberikan pilihan cita rasa, memberikan nilai tambah, juga memberikan pilihan kepada masyarakat
untuk dapat mengkonsumsi sayuran dalam bentuk yang lain. Fortifikasi juga merupakan pelengkap
dari makanan bayi berbahan baku baik sayuran maupun buah dalam bentuk puree untuk melengkapi
kebutuhan unsur mikro (Mejia & Bower, 2015; Boroski et al., 2011; Swieca et al., 2014).
Fortifikasi sayuran dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah untuk diaplikasikan
ditingkat usaha skala rumah tangga. Bahan fortifikan dapat dalam bentuk segar maupun powder
sayuran yang sudah dikeringkan sehingga dapat disimpan lebih lama. Selain itu fortifikasi juga dapat
dilakukan dengan cara coating terhadap produk (Ozguven et al., 2016; Borneo & Aguirre, 2008).
Teknologi pengolahan sayuran melalui fortifikasi dapat memberikan peluang bagi masyarakat atau
kelompok olahan untuk menawarkan produk lain yang memiliki nilai fungsional sehingga bisa
bersaing dengan produk sejenisnya yang sudah ada dipasaran.
Salah satu syarat dalam melakukan fortifikasi diantaranya adalah bahan fortifikasi tidak
merubah citarasa produk sehingga produk masih dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena itu
produk fortifikasi membutuhkan uji organoleptik agar produk yang telah difortifikasi tidak hanya
memperbaiki atau meningkatkan nutrisinya akan tetapi rasa, warna maupun karakteristik fisik lainnya
dapat diterima konsumen. Bahan fortifikan yang mengandung zat besi tinggi dapat mempengaruhi
warna produk menjadi kurang cerah dan tidak diminati konsumen. Hal ini dapat diatasi diantaranya
dengan menambahkan zat polyphenol untuk mengurangi perubahan warna produk, seperti puree
pisang (Habeych et al., 2016). Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
penerimaan konsumen terhadap biskuit yang difortifikasi dengan bayam hijau.

METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan meliputi bayam hijau segar, tepung terigu, tepung gula, margarin, telur,
baking powder dan bahan pendukung lainnya. Alat yang digunakan, meliputi food processor, pisau,
timbangan, blender, kompor, panci, oven, dan alat pengolahan lainnya. Formulasi biskuit dengan
perlakuan konsentrasi bayam yang berbeda disajikan pada tabel 1. Proses pembuatan biskuit diawali
dengan pembuatan bahan fortifikan, selanjutnya proses pembuatan biskuit bayam disajikan pada
gambar 1. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 (empat)
perlakuan konsentrasi bayam terhadap formula biskuit termasuk kontrol. Parameter pengamatan
meliputi karakterirtik fisik dan uji organoleptik yang terdiri dari uji tingkat kesukaan dan mutu
hedonik. Uji tingkat kesukaan dilakukan terhadap warna, rasa, aroma, tekstur dan overall dengan skor
1 6 skala hedonik, sedangkan uji mutu hedonik dilakukan terhadap aroma bayam dan rasa bayam.

Pembuatan Bahan Fortifikan


1. Siapkan bayam segar, lakukan sortasi, selanjutnya cuci bersih dan tiriskan.
2. Pisahkan batang dan daun bayam.
3. Cacah daun bayam dengan menggunakan pisau tajam atau menggunakan alat pencacah seperti,
food processor sampai daun bayam tercacah merata.
4. Timbang bayam yang sudah dicacah sesuai perlakuan.
5. Bahan baku fortifikasi bayam segar siap diguanakan.
Formulasi Biskuit Bayam

281
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Formula biskuit dengan perlakuan konsentrasi bayam yang berbeda


Perlakuan konsentrasi bayam (%)
Jenis bahan
0 5 10 15
Bayam segar (g) 0 15 30 45
TepungTerigu (g) 300 300 300 300
Margarine (g) 50 50 50 50
Susu bubuk (g) 10 10 10 10
Gula halus (g) 65 65 65 65
Kuning telur (btr) 1 1 1 1
Baking Powder (g) 3 3 3 3
Garam (g) 3 3 3 3
Vanili (g) 3 3 3 3
Air dingin (ml) 60 60 60 60

Proses Pembuatan Biskuit Bayam


Margarine Mixing I
Kuning Telur Pembentukan krim selama 15
Gula Halus menit

Susu Full Cream Mixing II


Garam Selama 10 menit
Baking Powder
Vanili

Tepung Terigu Mixing III


Air matang Selama 10 menit
Bayam cacah

Adonan Kalis

Dicetak dengan ukuran seragam

Pemanggangan dalam oven selama 30


menit, T = 150 oC

Biskuit bayam

Gambar 1. Tahapan pembuatan biskuit bayam

Analisa data
Untuk mengetahui pengaruh jenis perlakuan terhadap parameter yang diamati, data hasil
pengamatan akan dianalisis menggunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan
pada taraf kepercayaan 95%.

282
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Formulasi Dan Karakteristik Fisik Biskuit Bayam
Fortifikasi bayam terhadap biskuit menggunakan bayam hijau segar dalam bentuk cacahan.
Penggunaan konsentrasi bayam berdasarkan persentase penggunaan terigu pada formula biskuit.
Data karakteristik fisik biskuit dengan penambahan konsentrasi bayam mulai 0%, 5%, 10% sampai
15% disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 . Data karakteristik fisik biskuit dengan fortifikasi bayam
Rendemen biskuit
Konsentrasi bayam (%) Adonan (g)
Jumlah keping Berat (g)
0 490 85 288
5 521 114 383
10 465 115 408
15 537 118 393

Tabel 2. memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan bayam maka


semakin bertambah berat adonan dan jumlah keping biskuit yang terbentuk juga semakin bertambah.
Rendemen biskuit yang terbentuk dipengaruhi oleh penambahan bayam, terlihat bahwa jumlah biskuit
lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penambahan bayam (kontrol). Penambahan bayam sebesar
5%, 10% dan 15% masing-masing memiliki rendemen biskuit berturut-turut sekitar 34%, 35% dan
38%. Secara lebih detil peningkatan rendemen dapat dilihat pada gambar 2.

450
Rendemen (gram)

400

350

300

250

200
0 5 10 15
Konsentrasi bayam (%)

Gambar 2. Grafik rendemen biskuit dengan fortifikasi bayam

Berdasarkan gambar 2. memperlihatkan bahwa rendemen tertinggi diperoleh pada konsentrasi


bayam 10%, selanjutnya grafik mengalami penurunan pada konsentrasi 15%. Hal ini dipengaruhi oleh
kondisi adonan menjadi lembek dan sulit dibentuk atau dicetak sehingga tidak keseluruhan adonan
dibentuk menjadi biskuit. Tingginya kadar air pada sayuran dapat mempengaruhi tekstur adonan. Oleh
karena itu dalam melakukan fortifikasi dengan menggunakan bahan segar seperti sayuran, jumlah
bahan fortifikan yang akan ditambahkan perlu disesuikan dengan jenis produk yang akan difortifikasi
karena dapat berpengaruh terhadap proses produksinya. Dalam melakukan fortifikasi harus
dipertimbangkan kemudahan dalam aplikasinya selain ketersediaan bahan bakunya dan preferensi
konsumennya (Allen et al., 2006)
Uji organoleptik
Uji organoleptik terhadap biskuit bayam dilakukan pada uji tingkat kesukaan konsumen
dengan skala hedonik dan uji mutu hedonik.
Uji tingkat kesukaan konsumen
Uji tingkat kesukaan terhadap biskuit bayam dilakukan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur
dan overall dengan menggunakan 1 6 skala hedonik. Hasil penilaian hedonik disajikan pada tabel 3.

283
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Data uji tingkat kesukaan terhadap biskuit bayam


Parameter mutu
Konsentrasi bayam (%)
Warna Aroma Rasa Tekstur Overall
5 4.7a 4.3a 4.1a 3.5a 3.9a
10 5a 4.8a 4.5a 3.6a 4.6a
15 4.8a 4.7a 4.6a 4.2a 4.7a
Ket: 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak tidak suka, 4=agak suka, 5= suka, 6= sangat suka

Berdasarkan tabel 3. memperlihatkan bahwa penambahan bayam pada biskuit mulai


konsentrasi 5%, 10% sampai 15% tidak mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen terhadap
keseluruhan parameter hedonik. Konsumen tidak memberikan penilaian yang berbeda terhadap warna,
aroma, rasa, tekstur dan penampakan secara keseluruhan pada penggunaan konsentrasi bayam mulai
5%, 10% sampai 15%. Hal yang sama dilaporkan pada penelitian Ogunsina et al ( 2010) bahwa
fortifikasi tepung kelor sebanyak 20% pada biskuit tidak memberikan penilaian yang berbeda terhadap
warna.
Biskuit bayam masih dapat diterima konsumen dengan penggunaan konsentrasi bayam
sampai 15% baik terhadap warna, rasa, aroma, tekstur aupun penampakan secara keseluruhan
(overall). Dengan demikian menunjukkan bahwa fortifikasi dengan bayam segar masih dapat
dilakukan sampai 15% berdasarkan tingkat kesukaan konsumen. Menurut Oyeyinka et al (2016)
bahwa penambahan nutrisi pada suatu produk sebagai fortifikan tidak boleh melampaui tingkat
kesukaan konsumen, artinya bahwa faktor penerimaan konsumen tetap menjadi prioritas untuk semua
faktor mutu.
Uji mutu hedonik
Uji mutu hedonik dilakukan terhadap aroma bayam dan rasa bayam pada biskuit yang difortifikasi
dengan bayam hijau segar. Hasil uji mutu hedonik disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Data uji mutu hedonik terhadap biskuit bayam
Parameter mutu
Konsentrasi bayam (%)
Aroma bayam Rasa bayam
5 3.1a 3a
10 2.3ab 2.5a
15 2.6b 2.9a
Keterangan:
Rasa bayam
1= sangat terasa Aroma bayam
2= terasa 1= sangat tercium
3= agak terasa 2= tercium
4= tidak terasa 3= agak tercium
5=sangat tidak terasa 4= tidak tercium
5= sangat tidak tercium
Berdasarkan tabel 4, menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bayam berpengaruh terhadap
aroma, kecuali rasa. Terlihat bahwa pada konsentrasi 10% aroma bayam sudah mulai tercium pada
biskuit. Akan tetapi rasa bayam tidak memberikan respon yang berbeda mulai 5%, 10% sampai 15%.
Fortifikasi bayam pada biskuit dengan konsentrasi 5% memperlihatkan skor nilai 3,1 (agak
tercium) terhadap aroma bayam sedangkan konsentrasi 10% dan 15% masing-masing memperlihatkan
skor nilai 2,3 (tercium) dan 2,6 (tercium).

KESIMPULAN
Fortifikasi terhadap biskuit dapat dilakukan dengan menggunakan bayam segar dengan
konsentrasi optimum sebesar 10% dengan konsistensi adonan yang mudah diproses dan dibentuk
menjadi biskuit. Berdasarkan tingkat kesukaan konsumen fortifikasi bayam terhadap biskuit dapat
dilakukan sampai 15% dan dapat diterima konsumen dengan tingkat kesukaan agak suka. Aroma dan
rasa pada biskuit bayam sudah mulai tercium dan terasa pada konsentrasi 10%.

284
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Setyadjid, MappSc atas masukan dan saran
dalam penelitian dan tim pascapanen BPTP Jakarta yang telah aktif dalam melalukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L.H., De Benoist, B., Dary, O., Hurrell, R., 2006. Guidelines on food fortification with
micronutrients. World Health Organization.
http://www.who.int/nutrition/publications/guide_food_fortification_ micronutrients.pdf
Akhtar, S., Anjum, F.M., Anjum, M.A. 2011. Micronutrient fortification of wheat flour: Recent
development and strategies, Food Research International, 44: 652659
Boroski, M., de Aguiar, A. C., Boeing, J. S., Rotta, E. M., Wibby, C. L., Bonafe, E. G., et al. (2011).
Enhancement of pasta antioxidant activity with oregano and carrot leaf. Food Chemistry,
125(2), 696700.
Brittoa, J.C., Canadob, R., Guerra-Shinohara, E.M. 2014. Concentrations of blood folate in Brazilian
studies prior to and after fortification of wheat and cornmeal (maize flour) with folic acid:
a review. Brazilian Journal of Hematology and Hemotherapy:36(4):275286
Habeych, E., Kogelenberg, V., Sagalowicz, L., Michel, M., Galaffu, N. 2016. Strategies to limit
colour changes when fortifying food products with iron. Food Research International, 88:
122128
Maharani, D. 2014. Orang Indonesia Kurang makan. http://health.kopas.com. [15 Juli 2016].
Mejia, L. A., & Bower, A. M. 2015. The global regulatory landscape regarding micronutrient
fortification of condiments and seasonings. Annals of the New York Academy of
Sciences. http://dx.doi.org/10.1111/nyas.12854
Ozguven, M.G., Karadag, A., Duman, S., Ozkal, B., Ozelik, B. 2016. Fortification of dark chocolate
with spray dried black mulberry (Morus nigra) waste extract encapsulated in chitosan-
coated liposomes and bioaccessability studies. Food Chemistry: 201: 205212
Ogunsina, B., Radha, C., Indrani, D., 2010. Quality characteristics of bread and cookies enriched with
debittered Moringa oleifera seed flour. Int. J. Food Sci. Nutr. 62, 185194.
Oyeyinka, A.T., Oyeyinka, S.A. 2016. Moringa oleifera as a food fortificant: Recent trends and
prospects. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences.Article in Press.
Swieca, M., Seczyk, L., Gawlik-Dziki, U., & Dziki, D. 2014. Bread enriched with
quinoa leaves The influence of proteinphenolics interactions on the nutritional and antioxidant
quality. Food Chemistry, 162, 5462.

285
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EKSPLORASI DAN KARAKTER MORFOLOGI MANGGIS DI PROVINSI BENGKULU


EXPLORATION AND MORPHOLOGIC CHARACTER OF MANGOSTEEN
IN BENGKULU PROVINCE
Taupik Rahman, Miswarti, dan W. E. Putra
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119. Telp. (0736) 23020
e-mail : Taufik_06011@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tanaman buah manggis merupakan komoditas yang banyak dijumpai di Provinsi Bengkulu. Penelitian
ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan plasma nutfah manggis yang tersebar di sentra
penghasil manggis serta mengetahui karakteristiknya. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret
sampai dengan bulan Oktober 2015 di Provinsi Bengkulu. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah
tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing
BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi
tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut
tumbuh atau ditanam. Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau
keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat. Setiap tanaman yang
ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan
petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data karakterisasi. Data yang diperoleh
berupa data karakter kualitatif tanaman seperti bentuk kanopi, pola percabangan dan warna daun
muda; serta data karakter kuantitatif tanaman seperti tinggi tanaman, kerapatan daun, bobot buah dan
tebal kulit buah. Data yang telah terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Eksplorasi yang
telah dilakukan di Provinsi Bengkulu memperoleh sebanyak 28 genotip tanaman manggis yang terdiri
dari 9 genotip ditemukan dilahan dataran rendah, 9 genotip ditemukan di lahan dataran sedang dan 10
genotip ditemukan di lahan dataran tinggi.
Kata Kunci: eksplorasi, karakterisasi, manggis

ABSTRACT
Mangosteen is commodities easily found in the province of Bengkulu. The research aims to explore
and collect germplasm scattered in around central mangosteen producer and knowing its
characteristics. The study was conducted from March to October 2015 in Bengkulu. Exploration of
fruit crop germplasm search begins with the literature study and field visits to each BP4K/BPP
Department of Agriculture/local farmer groups that exist in each region. The information is used as
information to search for site of plant grown or planted. The next phase was visiting to site where
plants presence or cultivated by local farmers or grow wild. Each plant that was found treated as
sample material for observation. It also conducted interviews with farmers and secondary data from
relevant agencies to complete the data. Data collected in two groups, qualitative characters such as
canopy shape, branch pattern and pubesence color; quantitative characters such as plants heights,leaf
density, fruits weight, and width of pericarp. Data collected were tabulated and analyzed
descriptively. Exploration results collected in Bengkulu province were 28 genotypes consisting of 9
genotypes found in lowlands, 9 genotypes found in the midlands and 10 genotypes were found in the
highlands.
Keywords: Exploration, Characterization, Mangosteen

286
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar (negara biodiversity) disebabkan
oleh geografisnya terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua lautan yaitu lautan
pasifik dan antlantik. Sumberdaya genetik tanaman buah tropika sangat beragam karena didukung oleh
iklim tropik basah. Keanekaragaman buah-buahan tropika tersebut merupakan aset yang sangat
berharga untuk meningkatkan daya saing nasional di bidang bisnis buah-buahan tropika di tingkat
internasional. Keanekaragaman genetik tersebut akan menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan
secara bijak dan dikelola secara berkelanjutan (Yufdi, 2015).
Berkembangnya pembangunan yang pesat mengakibatkan semakin cepat beralih fungsinya
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta semakin banyaknya varietas unggul sehingga
menyebabkan varietas lokal maupun jenis liarnya keberadaannya semakin sedikit bahkan menjadi
punah (Sastrapradja, 1996 dalam Hadiatmi, 2002). Padahal plasma nutfah merupakan aset penting
yang dimiliki sehingga harus dilestarikan karena plasma nutfah terkandung sifat-sifat yang diperlukan
untuk pembentukan atau perbaikan sifat tanaman sesuai yang dikehendaki dan diharapkan menjadi
pertumbuhan baru sektor pertanian kedepannya khususnya dibidang hortikultura buah-buahan yang
beraneka ragam yang tersebar di wilayah Indonesia.
Upaya yang dilakukan untuk pemenuhan materi genetik untuk perbaikan tanaman diperlukan
langkah-langkah pengumpulan materi genetik seperti eksplorasi, inventarisasi, karakterisasi, serta
evaluasi karakter yang dimiliki serta memanfaatkannya (Berthaud, 1997). Eksplorasi merupakan suatu
kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengkarakterisasi untuk mengamankan plasma nutfah
dari kepunahan.
Provinsi Bengkulu memiliki sebaran populasi manggis yang beragam, mulai dari
agroekosistem dataran rendah hingga agroekosistem dataran tinggi dengan potensi serta peluang
pasarnya cukup cerah untuk dikembangkan. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan yang besar
termasuk manggis perlu didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan.
Disamping itu besarnya keanekaragaman jenis suatu komoditas buah-buahan juga merupakan modal
dasar melakukan usaha pemuliaan tanaman (Uji, 2004). Salah satu varietas unggul manggis yang
sudah dilepas tahun 2009 adalah manggis Rejang Lebong (manggis marel).
Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan turun ke lapangan yang bertujuan untuk
mengumpulkan dan mengkoleksi semua sumber keragaman genetik yang tersedia dan diharapkan
dapat diperoleh bibit-bibit/varietas unggul baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, sebagai
langkah awal untuk mencapai tujuan ini diperlukan pengumpulan informasi tentang kekayaan plasma
nutfah buah manggis yang ada di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan
mengumpulkan plasma nutfah manggis yang tersebar di sentra penghasil manggis serta mengetahui
karakteristiknya.

METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bengkulu pada bulan Maret sampai dengan Oktober 2015.
Bahan dan alat yang digunakan ialah tanaman manggis yang telah berproduksi, kuisioner, Global
Position System (GPS), meteran, timbangan, jangka sorong dan alat tulis.
Eksplorasi tanaman manggis dilakukan secara purposive sampling, eksplorasi dilakukan di 4
Kabupaten sentra manggis yaitu Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Bengkulu
Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara. Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah
diawali dengan studi pustaka pembuatan paspor karakterisai tanaman manggis yang dilanjutkan
dengan kunjungan lapangan ke masing-masing BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat
yang ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk
penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam.
Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman
yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar. Setiap tanaman yang
ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter
morfologi tanaman manggis menggunakan standar yang telah ditetapkan oleh Pusat Perlindungan
Varietas Tanaman (PPVT) (2007). Karakter kualitatif meliputi bentuk kanopi, pola cabang, warna
daun muda, warna daun tua, bentuk daun, susunan helaian daun, bentuk daun, bentuk ujung daun,
bentuk pangkal daun, tepi daun, tekstur permukaan atas, pola tandan buah, warna kelopak bunga,
warna mahkota bunga, posisi bunga, pola tandan buah, bentuk buah, bercak disekitar kupat, warna

287
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

kupat, warna tangkai buah, warna buah matang, tekstur aril, rasa aril, warna aril, bentuk biji, warna
biji. Sedangkan karakter kuantitatif terdiri dari tinggi tanaman, bobot buah, tebal kulit buah. Selain itu
juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data.
Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Eksplorasi Tanaman Manggis di Provinsi Bengkulu
Tanaman manggis yang ditemukan dalam eksplorasi ini tumbuh di pekarangan, ladang, kebun
polikultur dan hutan tanpa ada perawatan sehingga tanaman manggis dapat digolongkan sebagai
tanaman kebun yang tidak dibudidayakan secara intensif. Dari beberapa pernyataan responden
diketahui bahwa sebagian besar tanaman manggis merupakan warisan turun temurun dari ayah/ibu
ataupun kakek/nenek responden, tumbuh di sekitar halaman rumah dan belum ada budidaya secara
intensif dari responden untuk meningkatkan hasil produksi seperti pemupukan, peremajaan,
pemangkasan dan pengendalian OPT (Organisme Penggangu Tanaman).
Hasil eksplorasi tanaman manggis diperoleh 28 genotip tanaman manggis yang berasal dari 4
Kabupaten di Provinsi Bengkulu. 9 Genotip tanaman manggis berasal dari agroekologi dataran rendah
(<400 mdpl), 9 genotip berasal dari agroekologi dataran menengah (400 800 mdpl) dan 10 genotip
berasal dari agroekologi dataran tinggi (<800 mdpl). Hasil eksplorasi manggis dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Hasil eksplorasi tanaman manggis di Provinsi Bengkulu
No Kabupaten Kecamatan Desa Agroekologi Jumlah Kode Genotip
genotip
1 Benteng Taba Sukarami Dataran Rendah 7 M1, M2, M3, M4,
Penanjung M5, M6, M7
2 Bengkulu Ulu Palik, Batu Layang, Dataran Rendah 2 M18, M19
Utara Padang Jaya Padang jaya
3 Lebong Lebong Sakti Magelang Dataran Sedang 9 M20, M21, M22,
Baru, Ujung M23, M24, M25,
Tanjung 3 M26, M27, M28
4 Rejang Bermani Ulu Pal VIII, Dataran Tinggi 10 M8, M9, M10, M11,
Lebong Curup Tengah M12, M13, M14,
M15, M16, M17
Jumlah 28
Sumber : Data primer (2015)

Pengamatan yang dilakukan terhadap 28 genotip tanaman manggis menghasilkan karakter


kualitiatif dan kuantitatif sebagai berikut :
Karakter Kualitatif
Penampilan plasma nutfah manggis pada 28 genotip yang diamati diperoleh bahwa hampir
semua karakter kualitatif yang diamati adalah seragam atau variasi keragamannya rendah. Secara
umum manggis di provinsi Bengkulu memiliki susunan daun yang berhadap-hadapan dengan tepi
daun rata. Daun bagian atas berwarna hijau mengkilat dan daun bagian bawah memiliki warna yang
berbeda dangan daun bagian atas yakni berwarna hijau. Warna daun muda merah bata muda dan
coklat kemerahan. Bunga manggis tumbuh di ujung/ terminal, dengan sepal dan calyc berwarna
kuning dengan tepi merah. Tangkai buah berwarna hijau, dengan kupat berwarna coklat. Warna buah
manggis berwarna ungu-ungu tua dengan aril berwarna putih salju dengan tekstur lembek sampai
sedang. Rasa buah asam manis dengan benuk biji spheroid berwarna coklat.
Di Provinsi Bengkulu terdapat 7 karakter kualitatif yang menunjukkan variasi pada genotip
tanaman manggis yang diamati seperti bentuk kanopi, pola percabangan, bentuk daun, bentuk ujung
daun, bentuk pangkal daun, pola tandan buah dan bentuk buah, karakter kualitatif tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.

288
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Karakteristik kualitatif manggis


Bentuk
Bentuk Pola Bentuk Bentuk Pola tandan Bentuk
No Genotip pangkal
kanopi percabangan daun ujung daun buah buah
daun
1 M01 Oblong Horizontal Elliptic Acuminate Rounded Satu Gepeng
2 M02 Oblong Horizontal Elliptic Acuminate Rounded Satu Gepeng
3 M03 Oblong Horizontal Elliptic Acuminate Rounded Satu Gepeng
Satu, dua,
Shortly
4 M04 Oblong semi-tegak Elliptic Obtuse tiga sampai Gepeng
attenuate
12
5 M05 Oblong semi-tegak Elliptic Obtuse Rounded Satu Gepeng
6 M06 Oblong semi-tegak Elliptic Acuminate Rounded Satu Gepeng
7 M07 Pyramidal semi-tegak Elliptic Acuminate Rounded Satu Gepeng
Satu, dua,
Shortly
8 M08 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate tiga sampai Bulat
attenuate
12
Shortly
9 M09 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
10 M10 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
11 M11 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
12 M12 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Oblique Satu Bulat
13 M13 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Cuneate Satu Bulat
Shortly
14 M14 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
15 M15 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
16 M16 Elliptical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
17 M17 Elliptical tak bearturan Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
18 M18 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Gepeng
attenuate
Satu, dua,
19 M19 Spherical Horizontal Elliptic Acuminate Rounded tiga sampai Gepeng
12
Shortly
20 M20 Oblong Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
21 M21 Oblong Horizontal Elliptic Obtuse Rounded Satu Bulat
Shortly
22 M22 Elliptical Horizontal Elliptic Acuminate Satu Gepeng
attenuate
Shortly
23 M23 Spherical semi-tegak Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
24 M24 Pyramidal semi-tegak Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
25 M25 Oblong Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
26 M26 Oblong Horizontal Oblong Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
27 M27 Oblong semi-tegak Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Shortly
28 M28 Oblong Horizontal Elliptic Acuminate Satu Bulat
attenuate
Sumber : Data primer (2015)

Hasil pengamatan karakter kualitatif tanaman manggis diketahui bahwa bentuk kanopi
tanaman manggis bervariasi yakni oblong, spherical dan pyramidal. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mansyah. et al
(2007), bahwa teradapat variasi bentuk kanopi dan bentuk buah pada tanaman manggis di provinsi
Bengkulu. Selanjutnya Purnomo. et al (1996) menyatakan bahwa bentuk kanopi menentukan produksi
dan kualitas buahnya.

289
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pola percabangan tanaman manggis terdapat tiga bentuk yakni horizontal, semi-tegak dan tak
beraturan. Bentuk daun, bentuk ujung daun dan bentuk pangkal daun memiliki sedikit variasi. Bentuk
daun manggis didominasi oleh bentuk elliptic, hanya 1 aksesi yang memiliki bentuk oblong yakni
aksesi M26. Sementara bentuk ujung daun di dominasi oleh bentuk acuminate dan 3 aksesi berbentuk
obtuse. Bentuk pangkal daun cukup bervariasi yakni di dominasi oleh shortly attenuate 19 aksesi dan
bentuk rounded 7 aksesi, dan bentuk pangkal daun oblique dan cuneate masing-masing satu aksesi.
Menurut Geleta. et al (2007) variasi genetik dapat terjadi karena mutasi, introgresi,
rekombinasi, adaptasi pada lingkungan baru dan seleksi yang terjadi secara terus menerus. Perubahan
yang terjadi pada tanaman manggis dimungkinkan terjadi karena tanaman manggis yang ditemukan di
lapangan merupakan tanaman manggis yang tidak diupayakan secara intensif dan tumbuh pada lahan
polikultur sehingga faktor lingkungan berperan besar dalam variasi bentuk morfologi tanaman
manggis.
Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan ditemukan dua pola tandan buah pada tanaman
manggis, tanaman dengan pola tandan buah satu dan tanaman manggis dengan pola tandan buah lebih
dari satu. Pola tandan buah manggis umumnya satu namun dari hasil eksplorasi ditemukan juga pola
tandan buah lebih dari satu berjumlah tiga tanaman. Pola tandan ini telah jarang ditemukan dan harus
dilestarikan.
Bentuk buah manggis yang ditemukan dua bentuk yaitu gepeng dan bulat. Tanaman manggis
yang ditemukan pada dataran rendah (M1, M2, M3, M4, M5, M6, M7, M18 dan M19) memiliki
bentuk buah yang gepeng sementara buah manggis yang ditemukan di dataran sedang dan tinggi
berbentuk bulat (M8, M9, M10, M11, M12, M13, M14, M15, M16, M17, M20, M21, M23, M24,
M25, M26, M27dan M28), kecuali pada genotip 22 yang ditemukan pada dataran sedang namun,
memiliki bentuk gepeng. Variasi morfologi tanaman manggis sejalan dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Van steenis (1981) telah mengidentifikasi dua bentuk buah manggis, buah
manggis berbentuk bulat dengan dasar yang sedikit datar dan buah yang berbentuk bulat. Morton
(1987) telah menemukan manggis liar yang memiliki 4 carpel dengan 4 biji yang berkembang
sempurna. Thomas (1997) menemukan buah manggis yang tidak memiliki biji di Yan Bukit Pinang
Malaysia. Mansyah et al (1999) telah menemukan manggis di Sumatera Barat memiliki variabilitas
yang besar dalam hal panjang daun, berat buah, dan ketebalan kulit buah. Mansyah et al (2005)
menemukan manggis di Tembilahan, Pulau Sumatera bentuk buah gepeng, tangkai buah yang sangat
pendek dengan stigma yang berbentuk elips.

Karakter Kuantitatif
Hasil pengamatan terhadap karakter kuantitatif (Tabel 3) memperlihatkan bahwa karakter
kuantitatif tinggi tanaman, kerapatan daun, tebal kulit buah dan bobot buah memiliki variasi yang
beragam antar genotip tanaman.
Tabel 3. Karakteristik kuantitatif manggis di Provinsi Bengkulu
Tinggi tanaman Tebal kulit buah
No Genotip Kerapatan Daun Bobot Buah (gr)
(m) (cm)
1 M01 9 43 1.02 85
2 M02 11 26 1.08 73.3
3 M03 10 86 0.92 93.75
4 M04 10 41 0.97 53.33
5 M05 7 36 1.03 80
6 M06 6 62 1.1 82.5
7 M07 7 42 1 44.44
8 M08 8 32 1 124
9 M09 9 60 1.04 111.67
10 M10 9 30 1.06 66.67
11 M11 9 50 0.9 107.67
12 M12 9 32 0.88 138.75
13 M13 9 28 0.95 140

290
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

14 M14 8.5 24 0.93 96


15 M15 9 32 0.92 79
16 M16 6 44 1.15 129
17 M17 9 40 0.98 120
18 M18 8 51 0.88 75
19 M19 9 43 0.90 76.67
20 M20 8 32 1.12 137.50
21 M21 7 37 1.13 123.34
22 M22 12 42 1.23 112.50
23 M23 11.5 26 1.40 112
24 M24 8 40 1.11 105.56
25 M25 8 36 1 157.14
26 M26 8 80 1.14 130.45
27 M27 7 20 1.45 98.33
28 M28 8 30 0.86 69
Nilai Maksimal 12 86 1.45 157.14
Nilai Minimal 6 20 0.86 44.44
Rata-rata 8.57 40.92 1.04 100.81
Sumber : Data primer (2015)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman manggis mempunyai tinggi tanaman yang
berbeda, tanaman yang tertinggi pada genotip M 22 yaitu 12 m dan yang terendah sebesar 6 m.
Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan umur tanaman. Sebagian besar responden tidak dapat
memastikan usia tanaman dengan akurat karena tanaman manggis yang dimiliki tidak diusahakan
secara intensif. Tanaman manggis tumbuh secara liar di kebun/pekarangan responden.
Kerapatan daun memiliki nilai yang sangat beragam dengan nilai yang tertinggi diperoleh 86
lembar (genotip M03) sedangkan yang terendah pada sebesar 20 lembar (genotip M27). Kerapatan
daun menunjukkan kemampuan tanaman untuk menangkap cahaya matahari. Menurut Xiong (2016)
daun adalah organ penting tanaman untuk fotosintesis dan media pertukaran energy bagi tanaman dan
lingkungan.
Bobot buah memiliki variasi yang cukup beragam dengan nilai maksimum 157,14 gr dan nilai
minimum 44,44 gr. Terlihat juga bahwa manggis yang tumbuh di dataran rendah memiliki bobot di
bawah rata-rata semua ganotip manggis, sementara manggis yang tumbuh pada dataran sedang dan
dataran tinggi memiliki bobot buah yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa performance
manggis di dataran sedang dan tinggi lebih baik dibandingkan manggis di dataran rendah. Menurut
Fisher (2007), ketinggian tempat mempengaruhi berat buah, diameter buah dan waktu pematangan
buah. Setiap kenaikan ketinggian sebesar 100 m akan memperpanjang siklus pisang selama 1 bulan.
Buah persik yang ditanam pada dataran tinggi mengalami penundaan masa panen 20 40 hari. Waktu
pematangan buah yang lebih lama ini memberikan kesempatan buah untuk berkembang dengan
sempurna sehingga memiliki ukuran yang lebih besar daripada buah yang ditanam pada dataran
rendah.
Terdapat keunikan pada genotip manggis yang ditemukan di daerah Pal VIII (M8-M15) yaitu
saat manggis muda buah berbentuk seperti puting susu, namun ketika telah masak buah berubah
menjadi bentuk bulat. Fenomena perubahan buah dari puting susu menjadi bulat tidak ditemukan pada
genotip lainnya.
Meskipun manggis termasuk agamospermy obligat (Richards, 1990) sehingga tidak ada
keragaman genetik pada tanaman manggis. Ternyata tetap ditemukan keragaman dalam populasi
manggis disebabkan oleh beberapa faktor seperti lingkungan, mutasi alami dan perubahan genetik
(Ramage et al, 2004).
KESIMPULAN
Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah manggis di Provinsi Bengkulu diperoleh
sebanyak 28 genotip tanaman manggis. Di Provinsi Bengkulu terdapat 12 karakter morfologi yang

291
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

menunjukkan variasi dalam genotip manggis yaitu pola kanopi, bentuk buah, pola percabangan,
bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, pola tandan buah, tinggi tanaman, kerapatan
daun, tebal kulit buah dan bobot buah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang mendanai atau yang berperan serta besar dalam tulisan
ini (jika ada). Ucapan terima kasih ditulis dengan menggunkan huruf Times New Roman 12 dan spasi
tunggal (1 spasi).

DAFTAR PUSTAKA
Berthaud, J. 1997. Strategies for Concervation of Genetic Resources in Relation with Their
Utilization. Euphytica 96: Hal 1-12.
Fisher, G., G Ebert dan P.ludders. 2007. Production, seeds and carbohydrates contents of cape
gooseberry (Physalis peruviana L.) fruits grown attwo constrating Colombian altitudes.
Journal of applied botany and food quality 81, Hal : 29-35.
Geleta, M. 2007. Genetic diversity, phylogenetic and molecular systematics of Guizotia Cass.
(Asteraceae). Alnarp : Swedish University of Agricultural Sciences.
Hadiatmi, Tiur, S.Silitonga, Sri G. Budiarti, dan Buang Abdullah. 2002. Eksplorasi Plasma Nutfah
Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi
Tanaman.
Mansyah, E, Anwarudinsyah MJ, Sadwiyanti L, Susiloadi A. 1999. Genetics variability of mangosteen
base on isozymes analysis and its relationship to phenothypic variability. Zuriat 10, Hal
1-10.
Mansyah, E, Santoso PJ, M. Jawal AS. 2005. Genetic variation of mangosteen (Garcinia mangostana
L.) progenesis derived from polyembrionic seed based on RAPD markers. Proceeding of
6th National Congress on genetics, 12- 14 May, 2005, Kuala Lumpur, Malaysia, Hal 87-
90.
Mansyah, E, Sobir, Edi Santosa dan Roedhy Poerwanto. 2007. Assessment of Inter Simple Sequence
Repeat (ISSR) technique in Mangosteen (Garcinia mangostana L.) grown in different
Sumatera Region. Journal of Horticulture and Forestry Vol. 2(6) Hal : 127-134.
Morton J. 1987. Mangosteen. In: Morton JF (ed) Fruits of Warm Climates, Miami, FL, Hal : 301-304.
Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT). 2007. Panduan Pengujian Individual Kebaruan,
Keunikan, Keseragaman, dan Kestabilan Manggis (Garcinia mangostana L). Departemen
Pertanian.
Purnomo, S., S. Handayani dan S. Hosni. 1996. Penentuan Kriteria dan Seleksi Kultivar mangga
Produktif. Jurnal Hortikultura 6(4): Hal : 325-334.
Richards AJ. 1990. Plant breeding system. Second edition. Departement of Agricultural and
Enviromental Sciences University of New Castle Upon Tyne. Chapman and Hall.
London. Hal : 529.
Thomas SC. 1997. Geographic parthogenesis in a tropical forst tree. American Journal of Botany 84.
Hal : 1012-1015.
Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan.
BioSmart 6(2) : Hal : 117-125.
Van Steenis CGGJ. 1981. Flora. Jakarta : Paradnya Paramitha. Hal : 495.
Verheij, E.W.M. 1999. Garcinia mangostana L. In E.W.M. Verheij and R.E.Coronel. Buah-buahan
yang dapat dimakan. Plant Resources of South East Asia (Prosea). Bogor.
Xiong, Dongliang., Dan Wang., Shaobing Peng., Jianliang Huang., dan Yong Li. 2016. Leaf density
explains variation in leaf mass per areain rice between cultivars and nitrogen treatments.
Annals of Botany. Hal: 1-9.
Yufdi, P. 2015. Community Fruit Catalogue. Garcinia and Nephelium in Sijunjung, West Sumatera.

292
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CABAI DALAM MENDUKUNG


PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BINTAN
PROVINSI KEPULAUAN RIAU
CHILI FARMING INCOME ANALYSIS OF IN BINTAN REGENCY OF RIAU ISLANDS
SUPPORT DEVELOPMENT SUSTAINABLE
Oktariani Indri Safitri1, Dahono2, dan Lutfi Izhar2
1
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan (LPTP) Riau
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi
Jl. Pelabuhan Sungai Jang No. 38 Tanjungpinang
e-mail: riaardhi@gmail.com, Rani_maniis@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pertanian berkelanjutan diperlukan dalam mencapai tujuan pembangunan dengan cara membuka lahan
untuk dijadikan lahan pertanian sebagai salah satu bentuk sistem usahatani. Usahatani cabai dapat
membantu membangun pertanian modern dan inovatif menjadi salah satu solusi di masa depan.
Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah sentra produksi cabai di Provinsi Kepulauan Riau yang
memiliki potensi wilayah yang kondusif untuk pengembangan tanaman cabai. Tujuan kajian adalah
mengetahui jumlah pendapatan dan menganalisis kelayakan usahatani yang diperoleh petani cabaidi
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Kajian dilaksanakan di Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau dimulai pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014. Metode yang digunakan
adalah survey dengan teknik penentuan sampel secara sengaja (purposive sampling), jumlah
responden sebanyak 20 orang. Data dianalisis dengan menggunakan metode tabulasi dan rata-rata.
Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan usahatani cabai selama satu musim tanam
sebesar Rp. 446.000.000,-/ha dengan B/C-Ratio 3,43 dan R/C-Ratio 4,43. Nilai BEP (Break-
evenpoint) untuk volume produksi pada 4.062 kg/ha dan BEP harga produksi Rp. 7.222,-/kg/ha yang
berarti bahwa sangat efisien dan menguntungkan dalam berusahatani cabai.
Kata Kunci: Pendapatan, Cabe, Berkelanjutan, Bintan

ABSTRACT
Sustainable agriculture is necessary for achieving the development goals with landclearing for
agriculture could be as one farming systems activity. Chili farming can facilitate modern and innovative
agricultural practices for development sustainable supported and could be one of agribusiness
solutions in the future. Bintan regency is one of the central areas of the chili production in Riau
Islands Province that has the potential area that is conductive to the development of pepper plants.
This study was aimed to find out how much income could be obtained analyze the viability by chili
farmers and in Bintan Regency of Riau Islands. The research was done in Bintan Regency of Riau
Islands, beganinFebruary 2013untilApril2013. The method used was survey with purposive
sampling design, the number of farmer respondents was 20 people. Data was analyzed with tabulation
and average methods. The study showed that average income of chili farming with during one
planting season was Rp 446.000.000,-/ha with B/ C-Ratio of 3,43 and R/C-Ratio of 4,43. Value of
BEP (Breakevenpoints) for volume production at 4.062 kgs/ha and BEP production price Rp7.222,-
/kgs which means that it is very efficient and favorable for manage chilifarming.
Keywords: Income, Chili, Sustainable, Bintan

PENDAHULUAN
Pertanian berkelanjutan diperlukan dalam mencapai tujuan pembangunan. Menurut organisasi
pangan dan pertanian dunia (FAO), pertanian berkelanjutan adalah keberhasilan pengelolaan sumber
daya untuk memenuhi kebutuhan masuia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Semua definisi pertanian berkelanjutan
memberikan penekanan terhadap upaya mempertahankan produktivitas pertanian, sehingga kebutuhan
dan permintaan masyarakat dapat terpenuhi tanpa menguras sumber daya alam yang berlebihan. Dengan
demikian sistem pertanian berkelanjutan tidak hanya menghasilkan produk yang sehat tetapi juga
bersinergi terhadap rantai ekologi. Membuka lahan untuk dijadikan lahan pertanian sebagai salah satu
bentuk sistem usahatani. Usahatani cabai dapat membantu membangun pertanian modern dan inovatif

293
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi salah satu solusi di masa depan
(Badan Litbang, 2015).
Salah satu ciri pertanian modern yaitu usahatani yang dilakukan berorientasi kepada
keuntungan. Usahataniyang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga tetapiuntuk
dapat meningkatkan pendapatan petani, untuk itulah harus diupayakan peningkatan kemampuan dan
keterampilan petani dalam melaksanakan usahataninya. Disamping itu pula usahatani yang dijalankan
harus pula memperhatikan kebutuhan gizi (Hernanto,F. 1988).
Cabai merupakan salah satu komoditas yang tidak pernah ditinggalkan masyarakat Indonesia.
Bisa dibilang cabai sudah menjadi bagian budaya orang-orang Indonesia. Cabai merupakan bumbu
dapur yang keberadaannya wajib ada. (Syukur Muhammad, 2012). Cabai juga bermanfaat sebagai
bahan baku produk kesehatan dan memiliki peluang ekspor yang tinggi. Tentunya kondisi ini dapat
meningkatkan pendapatan petani Indonesia sehingga tidak heran jika cabai menjadi komoditas pertanian
dengan nilai ekonomi tinggi (Prajnanta, 2011)
Menurut Sumarni (2005), cabai ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl,
tanah sawah, tegalan yang gembur, subur, tidak terlalu liat dan cukup air. Cabai dapat beradaptasi
dengan baik pada temperatur 24 27C dengan kelembaban yang tidak terlalu tinggi dengan pH tanah
yang optimal antara 5,5 7. Jenis tanah yang baik antara lain andosol, regosol, latosol, ultisol dan
grumosol dan lempung berpasir (Alex S. 2012).
Provinsi Kepulauan Riau berdiri berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2002 yang mencakup luas
Wilayah 251.810 Km2, daratan: 10.595 Km2 (4%), lautan: 241.215 Km2 (96%). Jumlah Pulau: 2.408
buah, pulau berpenghuni: 394 buah dan Pulau Terluar: 19 buah.Wilayah Provinsi Kepulauan Riau
yang beribukota di Tanjungpinang terbagi dalam 5 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Bintan,
Kabupaten Karimun, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Lingga, Kabupaten natuna, Kota
Batam dan Kota Tanjungpinang. Kabupaten Karimun merupakan wilayah dengan luas terbesar yaitu
2.873,20 Km2 atau 27,12 %, sementara Kota tanjungpinang merupakan wilayah dengan luas terkecil
yaitu 239,50 Km2 atau 2,26 % (BPS Kepri, 2011).
Tanah di Kabupaten Bintan berdasarkan analisis tanah maka jenis tanah yang merupakan
tanah berbasis alluvial dengan ordo tanah inceptisols merupakan jenis tanah yang sesuai untuk
budidaya tanaman sayuran. Kondisi pH 5-6 yang sedikit masam memerlukan penambahan kapur
sebanyak minimal 2 ton/ha. Kondisi unsur hara makro P yang cukup tinggi sehingga tidak
membutuhkan tambahan pupuk P,sedangkan unsur hara K cukup rendah sehingga memerlukan
tambahan pupuk. Kondisi bahan organik yang rendah memerlukan tambahan pupuk hayati atau pupuk
kandang yang dapat meningkatkan kandungan organik tanah (BPS Kepri, 2007).
Karakteristik wilayah percobaan yang berbukit dengan kemiringan lahan kurang dari 5%
mengharuskan penanaman menggunakan pola terasering bertingkat dengan guludan digunakan untuk
mencegah erosi. Pencegahan erosi lainnya dilakukan dengan menggunakan mulsa plastik hitam/perak,
selain keuntungan pengunaan mulsa ini adalah dapat mempertahankan kelembaban media tanaman
didalam mulsanya, efisien pengunaan air, mengemat tenaga kerja dan menekan pertumbuhan gulma
(Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011).
Kabupaten Bintan merupakan salah satu daerah sentra produksi cabai di Provinsi Kepulauan
Riau yang memiliki potensi wilayah yang kondusif untuk pengembangan tanaman cabai. Dengan
keunggulan komparatif yang dimiliki dalam hal potensi wilayah dan tenaga kerja diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan usahatani cabai. Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan
gambaran mengenai produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
pendapatan petani dalam berusahatani cabai serta menganalisis kelayakan usahatani yang diperoleh
oleh petani cabai. Usahatani cabai skalanya relatif kecil dan adanya ketergantungan terhadap harga
jual yang selalu berfluktuasi setiap waktu akan mempengaruhi hasil usahatani sertapendapatan petani.
Berdasarkan uraian diatas mendorong peneliti untuk melaksanakan penelitian tentang analisis
pendapatan usahatani cabai dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan di Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

BAHAN DAN METODE


Kajian ini dilaksanakan pada Bulan Januari - Desember 2014 di Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposivesampling) dengan

294
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra cabai yang ada di Provinsi
Kepulauan Riau selain Kota Batam.
Kajian dilakukan dengan menggunakan metode survey. Sebanyak 25% dari 80 petani cabai
menjadi responden atau dua puluh orang petani. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan
mengelompokkan data.
Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
menggunakan quisioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang terkait serta literatur
pustaka. Selanjutnya data yang diperoleh dari responden dianalisis secara kuantitatif dan di
diskriptifkan. Sedangkan untuk menghitung rasio pendapatan/keuntungan digunakan rumus sebagai
berikut (Soekartawi, 2002):
Tingkat pendapatan petani cabai digunakan rumus pendapatan sebagai berikut:
Pd = TRTC
Dimana:
TR = Y.Py
TC = FC+VC
= TR TC
Keterangan:
Pd = Pendapatan Usahatani
TR = Total Penerimaan(total revenue)
TC = Total BiayaProduksi(total cost)
FC = Biaya Tetap(fixed cost)
VC = Biaya Variabel (variablecost)
Y = Produksi yang dihasilkan
Py = Harga Produksi
= Keuntungan
Sedangkan untuk mengetahui Benefit Cost Ratio (B/C) digunakan rumus sebagai berikut:
B/C-Ratio = Keuntungan
Biaya Produksi
Dengan Kriteria:
B/CRatio < 1 : tidak memberikan keuntungan
B/CRatio > 1 : Untung
B/CRatio = 1 : Impas

Sedangkan untuk mengetahui analisis kelayakan usahatani dengan menggunakan Revenue Cost Ratio
(R/C), rumus sebagai berikut:
R/C-Ratio = Total Penerimaan
Total Biaya Produksi
Dengan Kriteria:
R/CRatio < 1 : tidak memberikan keuntungan (tidak efisien)
R/CRatio > 1 : Untung (efisien)
R/CRatio = 1 : Impas
Sedangkan untuk mengetahui Titik Impas/Break Even Point (BEP) Produksi dan Harga
digunakan rumus sebagai berikut :
BEP Produksi = Biaya Produksi
Harga Jual
Dengan Kriteria :
Nilai BEP Produksi produksi yang diterima petani maka usaha tersebut tidaklayak.
Nilai BEP produksi < produksi yang diterima petani maka usaha tersebut layak.
BEP Harga = Biaya Produksi
Jumlah Produksi
Dengan Kriteria :
Nilai BEP harga harga jual yang diterima petani maka usaha tersebut tidak layak.
Nilai BEP harga < harga jual yang diterima petani maka usaha tersebut layak.

295
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Karakteristik Petani
Kabupaten Bintan mempunyai potensi pertanian hortikultura yang cukup
menjanjikan. Akan tetapi, belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari luas
lahan potensi yang tersedia cukup luas, yaitu mencapai 8.302 Ha, sedangkan lahan yang telah
digunakan sebesar 1.165 Ha. Luas lahan yang berpotensi untuk pengembangan hortikultura khususnya
sayuran di Bintan 21.611 Ha, sedangkan luas lahan yang diusahakan 3.664 Ha (BPS Kabupaten
Bintan, 2015).
Karakterisrik petani responden. Hasil wawancara yang dilakukan pada 20% responden
menunjukkan variasi yang berbeda, mulai dari usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani dan
luasan kepemilikan lahan.
Usia petani responden yang ada lokasi penelitian bervariasi antara17 sampai diatas 46 tahun.
35% atau sebanyak 7 responden berada pada usia 36-45 tahun, 25% atau sebanyak sebanyak 25
responden berada pada usia 26-35 tahun,10% atau sebanyak 2 responden berada pada usia 17-25
tahun, dan sisanya 30% berada di atas usia 46 tahun atau sebanyak 6 responden. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan usahatani dilakukan oleh masyarakat yang berada pada
golongan usia produktif sampai dengan usia yang tidak produktif. Umur petani responden
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok usia di Kabupaten Bintan
Kepulauan Riau Tahun 2014
Karakteristik Individu Kategori Jumlah(orang) Persentase (%)
Usia (tahun) 17 25 2 10
26 35 5 25
36 45 7 35
> 46 6 30
Jumlah 20 100%
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014

Pendidikan. Strata pendidikan formal petani responden adalah 50% berada pada tingkat
SLTA, 10% atau sebanyak 10 responden.SLTP sebanyak 2 responden atau sebesar 10%, dan sisanya
adalah SD sebesar 40% atau sebanyak 8 responden. Pendidikan responden dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok pendidikan di Kabupaten Bintan
Kepulauan Riau Tahun 2014
Karakteristik Individu Kategori Jumlah(orang) Persentase (%)
Pendidikan SD 8 40
SLTP 2 10
SLTA 10 50
Jumlah 20 100%
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014

Pengalaman berusahatani. Persentase pengalaman petani responden dalam melakukan


usahatani cabai sangat bervariasi mulai 1 tahun hingga 30 tahun. 3 5 % petani memiliki pengalaman
sebagai petani cabai selama 11 hingga 20 tahun, 40% dari 21 hingga 30 tahun dan sisanya 1 hingga 10
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai telah cukup lama diusahakan oleh masyarakat
setempat. Dengan demikian, pengalaman petani dalam berusahatani cabaitelah cukup. Pengalaman
berusahatani responden dapat dilihat pada Tabel 3.

296
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok pengalaman berusahatani cabai di


Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun 2014
Karakteristik Individu Kategori Jumlah(orang) Persentase (%)
Pengalaman berusahatani cabai
5 25
(tahun) 1 10
11 20 7 35
21 30 8 40
Jumlah 20 100%
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014

Luas kepemilikan lahan (Ha).Persentaseluas kepemilikan lahan petani antara0,50-1,00 hektar


adalah yang terbanyak(70%), sedangkan sisanya memiliki luas kepemilikan antara 1,5-2,00 hektar.
Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai memerlukan pembukaan lahan baru dalam membangun
pertanian modern dan inovatif berkelanjutan dalam rangka mendukung pembangunan pertanian
berkelanjutan. Luas kepemilikan lahan (Ha) responden dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase responden berdasarkan karakteristik individu KabupatenBintan, Provinsi
Kepulauan Riau.

Karakteristik Individu Kategori Jumlah(orang) Persentase (%)

Luasan kepemilikan lahan (ha) 0,25 1,00 14 70


1,25 2,00 6 30
Jumlah 20 100%
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014

Menurut Jannah (2012), luas kepemilikan lahan mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani.
Keuntungan petani dengan luas penguasaan lahan usahatani yang lebih besar adalah kemampuan
menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Dengan demikian, selain dapat memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, juga memungkinkan berinvestasi pada sektor pertanian atau di sektor non pertanian.
Investasi yang ditanamkan petanian menghasilkan tambahan pendapatan bagi rumah tangga petani
(Utami, 2015).
2. Kelayakan Usaha
Permasalahan petani dalam melaksanakan usahatani, tentunya tidak terlepas dari masalah
biaya dan pendapatan. Maksud dari biaya disini adalah semua nilai dari input produksi selama proses
produksi berlangsung.
Biaya usahatani dalam penelitian ini terdiri atas biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel
meliputi biaya sarana produksi, dan biaya tenaga kerja. Sedangkan biaya tetap meliputi peralatan dan
mesin.
Tabel 5. Analisis pendapatan usahatani cabai di Kabupaten Bintan Provisi Kepulauan Riau
Harga Satuan
Komponen Usahatani Volume Nilai (Rp)
(Rp)

A. Penerimaan 32,000 18,000 576.000.000


Nilai Produksi (kg)
Rata-rata Penerimaan
B. Biaya Biaya
1. Biaya Variabel
Benih Cabe Bintang Asia 130,000 4 520,000
Saprodi
- Pupuk Kandang 1,500 2,400 3,600,000
- NPK Subur 10,000 2,000 20,000,000

297
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

- NPK Buah 11,500 300 3,450,000


- Mulsa 650,000 16 10,400,000
- Pestisida Nabati 3.000.000 1 3.000.0000
- Pestisida Kimia 1.775.000 1 1.775.0000
- Dupont 173,000 15 2,595,000
- Dolomit/Kapurtani 2,000 2,000 4,000,000
- Furadan 2 kg 35,000 15 525,000
- Tali Rapiah 60,000 10 600,000
- Solar 7,000 200 1,400,000
- Ajir 500 20.000 10,000,000
Tenaga kerja
- Bendungan (15 x 8 m) 5,000,000 5,000,000
- Buka Lahan 6,500,000 6,500,000
- Bajak Lahan 5,000,000 5,000,000
- Pupuk Dasar 4,000,000 4,000,000
- Bedengan 5,000,000 5,000,000
- Pemasangan Ajir 2,500,000 2,500,000
- Pemupukan 8,000,000 8,000,000
- Penyiangan 4,000,000 4,000,000
- Penyulaman 2,500,000 2,500,000
- Panen 4,000,000 4,000,000
- Sortasi 1,500,000 1,500,000
- Pengepakan 800,000 800,000
Total Biaya Variabel 108,070,000
2. Biaya Tetap
- Mesin 175 Dong Hai 2,300,000 2 4,600,000
- Pompa NSS 50 620,000 1 620,000
- Mesin Motoyama 2,100,000 1 2,100,000
- Dinamo 3 KW 2,300,000 1 2,300,000
- Selang Daito 7,600 100 760,000
- Gerobak 525,000 1 525,000
- Sekop Kayu 45,000 1 45,000
- Selang Air 4,000 10 40,000
- Paralon 3" 100,000 1 100,000
- Elbow 3" 17,000 1 17,000
- Paralon 2" 72,000 40 2,880,000
- Soket 4,500 100 450,000
- Kran Air Besar 54,000 4 216,000
- Paralon 1" 16,000 1 16,000
- Lem paralon 70,000 3 210,000
- Selang fuso 12,000 100 1,200,000
- Drum 380,000 10 3,800,000

298
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

- Cangkul 101,000 3 303,000


- Parang 75,000 3 225,000
- Ember 15,000 3 45,000
- Garpu 35,000 2 70,000
- Pembolong Mulsa 50,000 2 100,000
- Gayung 8,000 3 24,000
- Handsprayer 642,000 2 1,284,000
Total Biaya Tetap 21,930,000
Total Biaya yang dikeluarkan (B1+B2) 130,000,000
Pendapatan bersih (Nilai Produksi - Total 446,000,000
Biaya)
B/C Ratio 3.43
R/C Ratio 4.43
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014

Biaya produksi adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan produksi yang terdiri dari
biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya produksi akan selalu muncul dalam setiap kegiatan ekonomi
dimana usahanya selalu berkaitan dengan produksi (Hernanto, 1996 ; Kartasapoetra, 1998). Biaya
tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan. Biaya tidak
tetap tergantung pada volume produksi yang dihasilkan. Besarnya biaya produksi yang harus
dikeluarkan merupakan faktor penentu terhadap harga jual terendah dari produk yang dihasilkan
(Taufik, 2010). Petani dihadapkan pada biaya yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh
pendapatan yang optimal.
Menurut Karneta Railia (2014), pendapatan usahatani cabai yang diterima oleh petani
sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan dan rendahnya pengeluaran. Pendapatan adalah selisih
antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan atau nilai penerimaan total dikurangi dari
keseluruhan biaya produksi dalam proses usahatani tersebut (Jannah, 2012).
Hasil analisis usahatani cabai menujukkan bahwa rata-rata penerimaan petani per hektar
sebesar Rp.576.000.000,- dengan nilai pendapatan Rp.446.000.000,-atau B/C-Ratio 3,43 dan R/C-
Ratio 4,43. Produksi cabai rata-rata per hektar mencapai 18.000kg/ha. Sedangkan total biaya yang
dikeluarkan oleh petani adalah Rp.130.000.000,-/ha/musim tanam. Nilai B/CRatio dan R/C-Ratio
lebih besar atau sama dengan satu berarti usaha tani tersebut menguntungkan (Soekartawi,2002).
Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,- .
Hasil analisis usahatani padi dengan sistem tanam benih langsung per hektar per musim tanam
disajikan pada Tabel 5.

KESIMPULAN
Hasil analisis usahatani cabai di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau memberikan
keuntungan yang layak bagi petani dengan nilai B/C-Ratio 3,43 dan R/C-Ratio 4,43 atau rata-rata
pendapatan sebesar Rp. 446.000.000,-/ha/musim tanam. Sedangkan BEP produksi 4.062 kg dengan
harga satuan Rp. 32.000,- serta BEP harga Rp. 7.222,-.

DAFTAR PUSTAKA
Alex S. 2012. Usaha Tani Cabai. Kiat Jitu Bertanam Cabai di Segala Musim. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Sistem Pertanian Organik Mendukung
Produktivitas Lahan Berkelanjutan. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2011. Kepri Dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat
Statistik Provinsi Kepulauan Riau.
BPS Kabupaten Bintan. Bintan Dalam Angka, 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan.
BPS 2007. Propinsi Kepulauan Riau Dalam Angka.

299
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Distanhutnak Kepri.2010. Identifikasi dan Inventarisasi Potensi Pertanian Provinsi Kepulauan Riau
Tahun 2010. Laporan Akhir Dinas Pertanian Kehutanan dan Peternakan Propinsi
Kepulauan Riau.
Hamid Abdul dan Haryanto Munir. 2011. Bertanam Cabai Hibrida Untuk Indutri. Harga dan Pasar
Lebih Terjamin. AgroMedia Pustaka. Jakarta
Hernanto. 1996. IlmuUsahatani. Penebar Swadaya. Jakarta
Jannah,E.M.2012. Analisis Keuntungan Usahatani dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Petani
Ubi kayu pada Sentra Agroindustri Tapioka di Kab. Lampung Tengah. Jurnal Informatika
Pertanian Vol.21 No.2/Desember 2012. Hal.95-105. Jakarta.
Kartasapoetra,G. 1998. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Rineka Cipta. Jakarta
Karneta Railia, 2014. Analisis Kelayakan Usahatani Cabe Merah Keriting (Capsicum annum L) dan
Kacang Panjang (Vigna sinesis L) Secara Rotasi Menggunakan Teknologi Olah Limbah
Pada Lahan Sub Optimal.Prosiding Seminar Nasional, Pertanian Ramah Lingkungan
Mendukung Bioindustri Di Lahan Sub Optimal. Hal 671-681. Palembang.
Prajnanta, Final, 2011. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta
Sihotang, B. 2010. http://www.ideelok.com/budidaya-tanaman/cabe. diakses 14 Pebruari 2013.
Soekartawi. 2002.Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas
Indonesia. Press.Jakarta.
Sumarni, N dan A. Muharam. 2005. Budidaya Cabai Merah. Panduan Teknis PTT Cabai Merah No.
2. Balitsa.
Syukur Muhammad, SP, M.Si. Dr, 2012.Cabai Prospek Bisnis dan Teknologi Mancanegara. Tim
Penulis Agriflo. Agriflo, Jakarta
Taufik. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Penanganan Pasca Panen. Balai Pengkajian
Pertanian. Sulawesi Selatan
Utami, Cahyaning Desy. 2015. Analisis Biaya dan Usahatani Cabai Merah (Capsicum Annum L) Di
Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Buana Sains Vol 15 No 1 : 91-99.

300
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EKSPLORASI DAN KONSERVASI TANAMAN BUAH DI PROVINSI BENGKULU


EXPLORATION AND CONSERVATION OF FRUITS IN BENGKULU PROVINCE
Miswarti, Taupik Rahman dan W. E. Putra
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119. Telp. (0736) 23020, Faximile (0736) 345568
e-mail : misbachza@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tanaman buah merupakan komoditas yang banyak dijumpai di Provinsi Bengkulu. Kekayaan buah
lokal yang ada di Bengkulu serta belum terdokumentasinya dengan baik, kalau dibiarkan akan
mengalami kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan buah-buahan
spesifik yang tersebar di seluruh kabupaten/kota serta mengetahui penyebarannya. Penelitian
dilaksanakan mulai Maret sampai dengan oktober 2015 di Bengkulu. Eksplorasi atau pencarian plasma
nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan kunjungan lapangan ke masing-masing
BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang ada di masing-masing wilayah. Informasi
tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke lahan atau tempat tanaman buah tersebut
tumbuh atau ditanam.Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau
keberadaan tanaman yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar.
Setiap tanaman yang ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Selain itu juga dilakukan
wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk melengkapi data. Data
dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil eksplorasi yang berhasil dikumpulkan di
Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip yang terdiri dari jenis durian 38 genotip, jeruk 23 genotip,
mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip.Sedangkan tanaman buah yang telah
di konservasi berjumlah 160 tanaman yang terdiri dari jeruk 88 tanaman, mangga 19 tanaman,
manggis 17 tanaman, durian 9 batang dan pisang 27 tanaman.
Kata Kunci: eksplorasi, konservasi, buah, Provinsi Bengkulu

ABSTRACT
Fruits commodities are often found in the province of Bengkulu. The research aims to explore and
collect specific fruits scattered throughout the district / city and understands its spread. The study was
conducted from March to October 2015 in Bengkulu Province. Exploration or fruit crop germplasm
search begins with the literature study and field visit to each BP4K / BPP / Department of Agriculture
/ local farmer groups that exist in each region. The information is used as information to search for
area or location where that fruits were planted or grown. Next is a visit to the site of that plant planted
or grown wild. Each plant which is found collected as sample material for observation. It also
conducted interviews with farmers and secondary data from relevant agencies to complete the data.
Data collected were tabulated and analyzed descriptively. Exploration results collected 145 plant
genotypes in Bengkulu Province consisting of 38 genotypes types of durian, 23 genotypes of orange,
17 genotype of mango, 35 genotypes of mangosteen and 32 genotypes of banana. Meanwhile, fruit that
has been in the conservation were 160 plants consisting of 88 plants orange, 19 mango plants, 17
plants mangosteen, durian 9 plants and banana 27 plants.
Key Words: exploration, conservation, fruit, Bengkulu Province

301
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumberdaya hayati yang sangat besar (negara biodiversity) disebabkan
oleh geografisnya terletak antara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua lautan yaitu lautan
pasifik dan atlantik. Sumberdaya genetik tanaman buah tropika sangat beragam karena didukung oleh
iklim tropik basah. Keanekaragaman buah-buahan tropika tersebut merupakan aset yang sangat
berharga untuk meningkatkan daya saing nasional di bidang bisnis buah-buahan tropika di tingkat
internasional. Keanekaragaman genetik tersebut akan menjadi tidak berguna jika tidak dimanfaatkan
secara bijak dan dikelola secara berkelanjutan (Yufdi, 2015)
Berkembangnya pembangunan yang pesat mengakibatkan semakin cepat beralih fungsinya
lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta semakin banyaknya varietas unggul sehingga
menyebabkan varietas lokal maupun jenis liarnya keberadaannya semakin sedikit bahkan menjadi
punah (Sastrapradja, 1996 dalam Hadiatmi, 2002). Padahal plasma nutfah merupakan aset penting
yang dimiliki sehingga harus dilestarikan karena plasma nutfah terkandung sifat-sifat yang diperlukan
untuk pembentukan atau perbaikan sifat tanaman sesuai yang dikehendaki dan diharapkan menjadi
pertumbuhan baru sektor pertanian kedepannya khususnya dibidang hortikultura buah-buahan yang
beraneka ragam yang tersebar di wilayah Indonesia.
Upaya yang dilakukan untuk pemenuhan materi genetik untuk perbaikan tanaman diperlukan
langkah-langkah pengumpulan materi genetik seperti eksplorasi, inventarisasi, karakterisasi, serta
evaluasi karakter yang dimiliki serta memanfaatkannya (Berthaud, 1997). Eksplorasi merupakan suatu
kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengkarakterisasi utuk mengamankan plasma nutfah dari
kepunahan.
Tanaman buah di Provinsi Bengkulu tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan potensi serta
peluang pasarnya cukup cerah untuk dikembangkan. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan
yang besar perlu didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya buah-buahan.
Disamping itu besarnya keanekaragaman jenis suatu komoditas buah-buahan juga merupakan modal
dasar melakukan usaha pemuliaan tanaman (Uji, 2004).
Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan turun ke lapangan yang bertujuan untuk
mengumpulkan dan mengkoleksi semua sumber keragaman genetik yang tersedia dan diharapkan
dapat diperoleh bibit-bibit/varietas unggul baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, sebagai
langkah awal untuk mencapai tujuan ini diperlukan pengumpulan informasi tentang kekayaan plasma
nutfah buah dan potensi yang dimilikinya.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengumpulkan buah-buahan spesifik yang
tersebar di seluruh kabupaten/kota serta mengetahui penyebarannya.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Bengkulu mulai bulan Maret sampai dengan Oktober
2015. Bahan dan alat yang digunakan ialah tanaman buah difokuskan pada 5 jenis buah yaitu durian,
jeruk, mangga, manggis, dan pisang yang telah berproduksi, kuisioner, Global Position System (GPS),
meteran, timbangan, jangka sorong, ATK.
Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah tanaman buah diawali dengan studi pustaka dan
kunjungan lapangan ke masing-masing BP4K/BPP/Dinas Pertanian/Kelompok Tani setempat yang
ada di masing-masing wilayah. Informasi tersebut digunakan sebagai informasi untuk penelusuran ke
lahan atau tempat tanaman buah tersebut tumbuh atau ditanam.
Tahap berikutnya adalah melakukan kunjungan ke tempat tanaman atau keberadaan tanaman
yang tumbuh atau dibudidayakan oleh petani setempat ataupun tumbuh liar. Setiap tanaman yang
ditemukan dijadikan sampel untuk bahan pengamatan. Pengamatan Tanaman dilakukan berdasakan
standar identifikasi tanaman yang ditetapkan IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute)
untuk karakterisasi tanaman buah. Karakter kualitatif meliputi bentuk kanopi, pola cabang, warna
daun muda, warna daun tua, bentuk daun, susunan helaian daun, bentuk daun, bentuk ujung daun,
bentuk pangkal daun, tepi daun, tekstur permukaan atas, pola tandan buah, warna kelopak bunga,
warna mahkota bunga, posisi bunga, pola tandan buah, bentuk buah, bercak disekitar kupat, warna
kupat, warna tangkai buah, warna buah matang, tekstur aril, rasa aril, warna aril, bentuk biji, warna
biji. Sedangkan karakter kuantitatif terdiri dari tinggi tanaman, ukuran bunga, bobot buah, tebal kulit
buah. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan petani dan data sekunder dari dinas terkait untuk
melengkapi data. Data dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

302
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Wilayah Eksplorasi
Provinsi Bengkulu mempunyai lahan kering mencapai 4,57 ha juta yang terdiri dari 3,44 juta
ha lahan masam dan 1,13 juta lahan tidak masam (Hidayat dan Mulyani, 2002). Luas lahan kering di
Provinsi Bengkulu yang berpotensi untuk sektor pertanian seluas 796.800 ha (BPS Provinsi Bengkulu,
2010). Lahan-lahan masam atau marginal biasanya mempunyai kandungan hara yang rendah sehingga
membutuhkan input yang tinggi dalam pengelolaan tanaman. Potensi sumberdaya alam yang marginal
tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan produksi tanaman lahan kering termasuk tanaman
buah.
Tanaman buah yang diidentifikasi umumnya tumbuh pada lahan kering. Sebagian besar
tanaman tersebut tumbuh di lahan pekarangan dan lahan kebun polikultur kecuali tanaman durian
umumnya tumbuh di hutan dan kebun polikultur. Wawancara yang dilakukan dengan petani bahwa
tanaman buah umumnya tumbuh dan berkembang secara alamiah tanpa pemeliharaan dan merupakan
tanaman warisan leluhurnya.
Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas
tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan data curah hujan selama 10 tahun (Tabel 1) bahwa Provinsi
Bengkulu memiliki iklim zona A (Q=0,1) yang sangat basah (berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt
Ferguson).
Tabel 1. Perhitungan data curah hujan (2003 2013) untuk menentukan klasifikasi iklim menurut
Schmidt Ferguson
Tahun Bulan BK BB
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2003 172 326 76 347 150 99 149 300 187 572 190 609 0 10
2004 210 203 142 258 401 85 184 107 335 137 547 608 0 11
2005 233 176 246 163 343 378 195 327 215 412 481 639 0 12
2006 597 449 345 284 76 346 65 1 29 14 72 340 3 6
2007 520 164 452 124 318 184 208 38 127 177 491 815 1 11
2008 174 205 475 226 84 79 72 227 190 294 758 794 0 9
2009 449 237 322 570 195 294 292 177 210 333 347 344 0 12
2010 235 388 396 239 197 213 326 235 343 553 339 374 0 12
2011 268 113 278 376 192 488 142 75 53 105 232 537 1 10
2012 198 101 131 340 182 173 140 95 37 190 537 508 1 10
2013 443 388 304 227 265 255 506 194 371 154 486 388 0 12
Rata-
rata 318.09 250 287.91 286.73 218.45 235.82 207.18 161.45 190.64 267.36 407.27 541.45 0.54 10.45
Sumber : Data sekunder diolah (2016)

Tabel 2. Keadaan iklim Provinsi Bengkulu tahun 2015


Bulan Suhu udara (oC) Kelembaban Udara (%) Curah hujan (mm)
Januari 30,2 85 365,38
Februari 26,8 84 289,88
Maret 27,2 81 290,38
April 26,9 85 417,00
Mei 27,8 83 148,13
Juni 27,5 82 153,50
Juli 27,1 80 89,50
Agustus 27,1 82 119,88
September 26,6 83 68,25
Oktober 27,6 83 35,30
November 27,0 86 330,88
Desember 26,7 86 437,88
Jumlah 328,50 1.000 2.746,13
Rataan 27,38 83,33 228,84
Sumber : BMKG (2016)

Berdasarkan tabel diatas, suhu udara rataan dipeoleh sebesar 27,38oC dengan suhu terendah
pada bulan Oktober (26,6oC) dan yang tertinggi pada bulan Januari (30,2oC). Suhu optimum tanaman
berbeda-beda menurut tanamannya dan berbeda sesuai tahap perkembangannya. Menurut Verheij
(1999) pertumbuhan tanaman manggis lambat bila suhu dibawah 20oC dengan batas temperatur

303
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

tertinggi 38-40oC. Kelembaban rataan bulanan berkisar 83,33%, kelembaban terendah terjadi pada
bulan Juli (80%) dan yang tertinggi pada bulan November-Desember (86%).
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa curah hujan terdistribusi merata sehingga curah hujan
tidak menjadi pembatas utama. Ashari (2006) tanaman buah mempunyai daya toleransi terhadap
kondisi iklim. Tetapi titik kritis adalah saat pembungaan. Apabila saat pembungaan curah hujan tinggi
maka proses pembungaan akan terganggu, tepung sari akan menjadi busuk dan tidak mempunyai
viabilitas lagi. Berdasarkan data di atas maka tanaman buah-buahan sangat cocok tumbuh pada iklim
yang ada di Provinsi Bengkulu.
Realisasi Eksplorasi
Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah tanaman buah di lapangan yang berhasil
dikumpulkan di Provinsi Bengkulu sebanyak 145 genotip yang terdiri dari jenis durian 38 genotip,
jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35 genotip, dan pisang 32 genotip (Tabel 3 ). Prosea
(1991) di kawasan Asia Tenggara dilaporkan terdapat sekitar 400 jenis buah-buahan yang dapat
dimakan.
Tabel 3. Hasil eksplorasi plasma nutfah tanaman buah di Provinsi Bengkulu, 2015
N Jumlah genotip
Kabupaten Kecamatan
o Durian Jeruk Mangga Manggis Pisang
1 Benteng Taba Penanjung 24 - - 7 1
2 Bengkulu Utara Ulu Palik, Padang Jaya 1 5 1 3 4
3 Kepahiang Kepahiang, Hujan Mas 3 2 1 8
4 Rejang Lebong Bermani Ulu, Bermani Ulu 4 1 - 10 4
Raya, Curup Tengah
5 Lebong Lebong Sakti, Air Dingin 8 3 - 9 -
6 Seluma Seluma Selatan - 1 2 1 3
7 Bengkulu Selatan Seginim - 2 2
8 Kota Bengkulu Sungai Serut, Selebar, Gd. - 8 10 4 12
Cempaka
9 Kaur Kinal 1 - - - -
Jumlah 38 23 17 35 32
Sumber : Data Primer diolah (2016)

Hasil pengamatan secara morfologis terhadap 38 genotip durian lokal di Provinsi Bengkulu
menunjukkan keragaman. Durian lokal tersebut sangat beragam baik rasa, aroma, tekstur dan warna
daging buah, juga bervariasi dari bentuk buah, bentuk duri, warna kulit dan biji. Nama lokal durian
oleh petani dinamai sesuai dengan bentuk buah atau warna daging buah seperti durian kuning, durian
belimbing, durian terong, dan durian lai serta umumnya durian tersebut dapat dimakan. Durian terong
populasinya sudah mulai langka, banyak ditebang oleh petani dan nilai jualnya rendah karena ukuran
buah yang sangat kecil. Menurut Uji (2007) bahwa di dunia terdapat 27 jenis durio dan 20 jenis ada di
Indonesia serta 9 jenis diantaranya merupakan durio yang dapat dimakan masing-masing adalah Durio
dulcis (lahong), D. Excelsus (apun), D.grandiflorus (sukang), D. graveolens (tuwala), D. kutejensis
(lai), D.lowianus (terutung), D.oxleyanus (kerantungan), D.testudinarum (durian sekura) dan D.
zibenthinus.
Hasil eksplorasi terhadap 23 genotip tanaman jeruk terdapat variasi mulai dari ukuran yang
kecil (jeruk kalamansi) sampai yang berukuran besar (jeruk bali). Jeruk yang ditemukan terdiri dari
jenis jeruk peras, jeruk purut lokal, jeruk purut, jeruk bali, jeruk kalamansi, jeruk siam, jeruk gerga,
jeruk nipis, jeruk nipis lokal, dan jeruk sunkist. Dua jenis jeruk yaitu kalamansi dan gerga telah
berkembang menjadi usaha rakyat. Jeruk kalamansi tanamannya banyak ditemukan di Kabupaten
Bengkulu Tengah sedangkan pengolahan pasca panen menjadi sirup dikembangkan di Kota Bengkulu.
Jeruk gerga banyak di jumpai di Kabupaten Lebong dan telah dipasarkan melalui pasar modern yang
ada di Bengkulu. Jeruk gerga secara morfologi mirip dengan jeruk siam, namun yang membedakannya
ukuran buah lebih besar dan kulit jeruk lebih tebal dibanding dengan jeruk siam.
Hasil eksplorasi diperoleh 17 genotip mangga di Provinsi Bengkulu dengan 9 jenis yaitu
mangga bengkulu, bembam, mangga manalagi, bacang, mangga gedong, mangga udang, mangga
indramayu, mangga apel. Menurut Gruezo (1991) dalam Uji (2007) bahwa Indonesia terdapat 40 jenis
mangifera, dan 23 jenis mangga yang dapat dimakan serta 14 jenis diantaranya telah dibudidayakan.

304
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Mangga Bengkulu merupakan mangga lokal yang karakteristik morfologi mempunyai ukuran
panjang buah rata-rata 15,71 cm, diameter buah 10,57 cm, berat buah 709,64 g, tekstur daging buah
sedang, buah tidak beraroma, dengan Total padatan terlarut (TPT) 10,46% Brix (Miswarti 2015).
Hasil pengamatan terhadap 35 genotip manggis lokal di Provinsi Bengkulu menunjukkan
keragaman yang rendah. Secara morfologi manggis lokal tersebut memiliki dua bentuk yaitu bentuk
bulat dan gepeng, sedangkan karakter lainnya umumnya memiliki kemiripan.
Hasil pengamatan terhadap 32 genotip tanaman pisang terdapat variasi mulai dari ukuran buah
yang kecil sampai yang berukuran besar. Nama pisang lokal yang ditemukan terdiri dari jenis Pisang
ambon curup, pisang jantan, pisang kreak, pisang rotan, pisang udang, pisang nangka, pisang batu,
pisang ketan, pisang serindit, pisang rawas, pisang moli, pisang hutan, pisang rajo serai, pisang kepok
lenggang, pisang tenggayak, pisang rusa, pisang kapal, dan pisang mas. Pisang Ambon Curup
merupakan salah satu pisang yang memiliki rasa yang khas warna kuning, kandungan air rendah serta
wangi dibandingkan dengan jenis ambon yang ditanam pada daerah di luar Kabupaten Rejang Lebong.
Ada satu jenis pisang yang mempunyai warna kulit ungu yaitu pisang hutan. Pisang hutan ini tumbuh
disepanjang pengunungan dengan tipe tandan adalah horizontal.
Konservasi eks-situ
Berkembangnya pembangunan fisik di Provinsi Bengkulu menyebabkan banyak lahan subur
yang beralih fungsi sehingga banyak plasma nutfah yang hilang termasuk tanaman buah. Plasma nutfah
merupakan aset yang sangat berharga untuk pembentukan varietas unggul, oleh karena itu keberadaan
plasma nutfah harus terus menerus dijaga agar dapat dimanfaatkan tanpa mengenal batas waktu. Untuk
menyelamatkan dan mencegah hilangnya sumberdaya genetik selain dilakukan eksplorasi juga
dilakukan konservasi eks-situ. Konservasi plasma nutfah secara eks-situ tersebut telah dilakukan
dengan menanam ke lima jenis buahan seperti mangga, manggis, durian, jeruk dan pisang di media pot
dan lahan kebun koleksi di sekitar halaman kantor BPTP Bengkulu. Jenis dan jumlah tanaman yang
telah dikoleksi di halaman kantor BPTP Bengkulu disajikan pada Tabel 2 berikut ini..
Tabel 2. Koleksi plasma nutfah tanaman buah yang di koleksi BPTP Bengkulu Tahun 2015
No Komoditas Jenis/varietas Jumlah tanaman (pohon)
1 Jeruk Jeruk Kalamansi 62
Jeruk Gergah 17
Jeruk Peras 1
Jeruk Sunkist 4
Jeruk Siam 3
Jeruk Bali 1
2 Mangga Mangga Bengkulu 16
Mangga Gedong 1
Bembam 2
3 Manggis Manggis penum 3
Manggis marel 14
4 Durian Durian Bentara 1
Durian Sitokong 4
Durian Lai 4
5 Pisang Pisang Ambon Curup 1
Pisang Batu/Kepok 18
Pisang Raja Sere 2
Pisang Udang 1
Pisang Nangka 1
Pisang Kapal 2
Pisang Serindit 1
Pisang mas 1
Jumlah 160
Sumber : Data Primer diolah (2016)

Plasma nutfah tanaman buah yang telah dikoleksi tersebut diatas dipelihara sehingga tersedia
materi genetik untuk dimanfaatkan dalam program pemuliaan.

305
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
Hasil eksplorasi dan pengamatan plasma nutfah tanaman buah di Provinsi Bengkulu
sebanyak 145 genotip terdiri dari durian 38 genotip, jeruk 23 genotip, mangga 17 genotip, manggis 35
genotip, dan pisang 32 genotip. Berdasarkan kondisi Iklim, Provinsi Bengkulu memiliki potensi untuk
pengembangan buah- buahan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada Kepala BPTP Bengkulu yang telah mengalokasikan dana dalam DIPA
TA 2015 sehingga kegiatan ini dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 2006. Pengantar Biologi Repreduksi Tanaman. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Berthaud, J. 1997. Strategies for Concervation of Genetik Resources in Relation with Their
Utilization. Euphytica 96:1-12
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. 2016. Data Curah Hujan, Suhu Udara dan
Kelembaban Udara Stasiun Klimatologi Klas I Pulau Baai.
[BPS] Badan Provinsi Bengkulu. 2010. Provinsi Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi bengkulu
Hadiatmi, Tiur, S.Silitonga, Sri G. Budiarti, dan Buang Abdullah. 2002. Eksplorasi Plasma Nutfah
Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman.
Hidayat, A dan Mulyani. A 2002. Lahan kering untuk pertanian dalam buku teknologi pengelolaan
lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor
Miswarti, E. Makruf, Afrizon, W.E. Putra, T. Rahman, dan E. Kristanto. 2015. Sumberdaya Genetik
Tanaman Hortikultura dan Pangan di Provinsi Bengkulu. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bengkulu
Prosea. 1991. Edoble Fruit and Nuts. Bogor. Plant Resources of South-East Asia
Uji, T. 2007. Keanekaragaman, Persebaran, dan Potensi Jenis-jenis Garcinia di Indonesia. Berk. Penel.
Hayati : 12 (129-135).
Uji, T. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan.
BioSmart 6(2) : 117-125
Verheij, E.W.M. 1999. Garcinia mangostana L. In E.W.M. Verheij and R.E.Coronel. Buah-buahan
yang dapat dimakan. Plant Resources of South East Asia (Prosea). Bogor
Yufdi, P. 2015. Community Fruit Catalogue. Garcinia and Nephelium in Sijunjung, West Sumatera.

306
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HILIRISAI PENERAPAN INOVASI MELALUI JEJARING PELAKU INOVASI


(Studi Kasus: Implementasi Inovasi Demplot Usahatani Bawang Merah Di Kabupaten Kediri,
Jawa Timur)
STREAM OF ACCELERATION AND APPLICATE INNOVATIONTHROUGH NETWORKING
PRINCIPALS OF INNOVATOR
(case study: Demplot of farming Innovation Implementation of onion in Kediri)
Tini Siniati Koesno
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jln. Raya Karangploso Km.4, Malang, Tlp.(0341) 494052, 485056; Fax. (0341)471255
Email: bptpjatim@litbang.pertanian.go.id

ABSTRAK
Hilirisasi inovasi teknologi, sebagai akibat rangkaian jejaring melibatkan aktor teknis dan sosial.
Aktor (pelaku) tersebut mempunyai kontribusi sama dalam membangun jejaring. Jejaring menjadi
efektif, tergantung kekuatan relasi diantar aktor tersebut. Jejaring Aktor salah satu kunci keberhasilan
penyebar-luasan dan hilirisasi inovasi teknologi. Oleh karena itu diperlukan informasi pelaku jejaring
inovasi dan kinerjanyanya dengan mengidentifikasi: pelaku inovasi; pemetaan alur jejaring pelaku
inovasi; kinerja jejaring; metoda dan media yang digunakan. Kegiatan tersebut menggunakan studi
kasus demplot Imple-mentasi Inovasi Usahatani Bawang Merah di Sidowareg, Kecamatan Plemahan,
Kabupaten Kediri. Kegiatan dilakukan pada September s/d Nopember 2015 dengan menggunakan
metode survey. Responden adalah gapoktan terdiri dari 7 poktan dari unsur pengurus (ketua, sekretaris
dan bendahara) dan petugas lapangan. Hasil identifikasi pelaku inovasi dipetakan menjadi tiga, yaitu
berperan: 1. sumber informasi (generating agent) berasal dari a) pemkab: Dinas Pertanian, BKP, BPP;
b) UPT Kementan (BPTP dan Balai Besar Pelatihan); c) R&D Perusahaan Saprotan., 2. saluran
informasi atau media (dilevery agent): PPL, POPT, Mantri Tani, BP3K, KTNA, P4S, Kios Saprotan;
dan 3. pengguna informasi, Receiving agent: petani. Hasil identifikasi Akses generating agent ke
dilevery agent: a) pemkab: Dinas Pertanian (42,9%), BKP (28,57%), BPP (42,9%); b) UPT
Kementan: BPTP (57,14%) dan Balai Besar Pelatihan (57,14%); dan c) R&D Perusahaan Saprotan
(71,43%). Semua generating agent memiliki akses ke dilevery agent: PPL (100%); POPT (83%);
BP3K (83%); Mantri Tani (33%); KTNA (33%); P4S (17%) dan Kios Saprotan (17%). BPTP Jatim
sebagai Generating agent, yang berperan merakit dan sebagai sumber pembaharuan inovasi, serta
bertanggung jawab memperderas hilirisasi inovasi ke dilevery dan receiving agent (petani), perlu lebih
meningkatkan kinerjanya, agar terjadi percepatan penerapan inovasi ke pengguna. Selain itu perlu
menjalin jejaring dengan KTNA dan P4S serta mantri tani.
Kata Kunci: Hilirisai, Inovasi, Jejaring, Pelaku Inovasi

ABSTRACT
Stream of acceleration and applicate technological innovation, as a result of a series of networking
involves technical and social actors. Actor (perpetrators) have the same contribution in building the
network. Network to be effective, depending on the strength of the partnership needed between these
actors. Networking Actors one of the key successes of the promulgation and technological innovation
hilirisasi.Therefore required information networking innovations and offender performance by
identifying: the perpetrator of the innovation; mapping the flow of network principals of innovation;
the performance of the network; methods and media used. These activities use the case study demo
plot "Implementation Innovation of farming village of Sidowareg in the red onion, Plemahan
Subdistrict, district of Kediri. The activities carried out in September until November 2015 by using
method survey. The respondent is a union of farmer group composed of 7 farmer groups of Trustees
(Chairman, Secretary and Treasurer) and officers of the Court. The results of the identification of the
perpetrator of the innovation is mapped into three, namely: 1. the role of information sources
(generating agent) comes from a) District Government: Department of agriculture, food security body,
the PANTHERS; b) Agriculture ministry (Great Hall and AIAT Training); c) R&D Company
Saprotan., 2. information channel or media (delivery agent): PPL, POPT, Mantri Tani, BP3K, KTNA,
P4S, Saprotan; and 3. the user information, the Receiving agent: farmers. The results of the
identification of generating agent Access to delivery agent: a) the District Government: Department of
agriculture (42,9%), BKP (28,57%), BPP (42,9%); b) Technical Conduction Unit of Agricultural
307
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Ministery: BPTP (57,14%) and Training Centre 57,14%); and c) R&D Agricultural Facilities
Production Company (71,43%). BPTP East java as Generating agent, which acts to assemble and as a
source of innovation, renewal and responsible for accelerate downstream innovation to the dilevery
and receiving agent (farmer), needs to further improve its performance, the acceleration of the
implementation of innovation in order to the user. In addition need to establish networks with KTNA
and P4S and mantri tani.
Keywords: Stream of Innovation, Networking, Actors Of Innovation

PENDAHULUAN
Fluktuasi harga bawang merah kerap membuat heboh masyarakat konsumen ketika harga
melangit, maupun di pihak produsen ketika harga jatuh dibawah biaya produksi. Kondisi ini bila
dibiarkan akan mengganggu stabilitas ekonomi, yang berdampak pada meningkatkan inflasi. Akhirnya
pada tanggal 29 Oktober 2013 pemerintah menetapkan bawang merah sebagai komoditas utama yang
perlu mendapat perhatian khusus.
Perlu diketahui bahwa fluktuasi harga dipicu oleh kebutuhan pasokan yang setiap hari harus
tersedia di pasar. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan bawang merah di tingkat petani produsen bersifat
musiman dan potensi pengembangannya terbatas pada wilayah tertentu. Menjadikan daerah tersebut
memacu produksi dengan menanam berulang kali tanpa jedah. Akhirnya tingkat serangan hama dan
penyakit tinggi, biaya produksi menjadi meningkat, berdampak terhadap harga jual ke konsumen.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, sepatutnya petani bergerak brsama-sama dalam
suatu wadah kelembagaan usahatani (poktan atau Gapotan), agar efisien (Aritonang, 2012) .
Selanjutnya kelembagaan ini perlu membentuk jejaring usaha anatar poktan dan gapoktan. Melalui
jejaring tersebut, para petani di masing-masing wilayah sentra produksi dapat mengatur pola produksi
yang berdasarkan kebutuhan pasar (Laksono dan Wulandari, 2011). Untuk tujuan tersebut, maka
semua unsur-unsur yang terlibat dalam jejaring bersama-sama membahas rakitan inovasi teknologi
melalui pengaturan pola tanam, penggunaan varietas yang mampu beradaptasi dengan musim hujan,
management pengendalian OPT serta perlu bersepakat untuk mengatur pengendalian harga (Priyatma,
2013)
Selain itu melalui kegiatan jejaring dapat menuai beberapa manfaat, diantaranya: dapat
meningkatkan posisi tawar petani dengan pihak lain; dapat membangun satuan skala usaha yang
menguntungkan; terbangunnya komitmen yang jelas dan terukur diantara pelaku bisnis; menjalin
kemitraan usaha, yang selanjutnya bisa menjadi embrio kelembagaan ekonomi petani yang berbadan
hukum, seperti koperasi tani atau badan usaha milik petani (BUMP)
Hal tersebut selaras dengan Badan Litbang Pertanian (2011) telah mengembangkan
pendekatan percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian melalui Spektrum Diseminasi Multi Channel
yang dikenal SDMC. Perluasan spektrum inovasi teknologi pertanian dan perluasan/percepatan adopsi
inovasi pertanian tidak hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan penyuluhan formal, namun
juga diperankan oleh berbagai pihak di lingkungan masyarakat, termasuk kelembagaan non formal
Untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan efektivitas interaksi antara BPTP Jawa Timur
dengan kelembagaan petani akan dilaksanakan dengan kegiatan peningkatan kapasitas jejaring pelaku
inovasi (Koesno, 2015) Untuk meningkatkan kapasitas tersebut, perlunya mengetahui ruang lingkup
kegiatan tersebut meliputi (i) Identifikasi pelaku inovasi pertanian (petani kooperator, P4S, Kontak
Tani/Kontak Tani Andalan, pelaku usaha, penyuluh swadaya, stakeholders), (ii) pemetaan hubungan
keterkaitan jejaring kerja diantara pelaku inovasi untuk transfer inovasi pertanian, (iii)
mengidentifikasi dan mengukur kinerja media dan metoda yang digunakan, (iv) menyelenggarakan
percontohan atau peragaan inovasi pertanian (bawang merah) sebagai tempat menggali data dan
informasi.
Apabila diketahui ukuran kinerja masing-masing pelaku inovasi, akan mempermudah para
pelaku tersebut memposisikan diri demi percepatan penerapan inovasi. Demikian halnya dengan jenis
media dan metoda yang direspon pelaku inovasi paling berdampak terhadap percepatan penerapan
inovasi pada pengambangan bawang merah (Koesno, et al., 2015)

308
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Kegiatan dilaksanakan di desa Sidowarek, kecamatan Plemahan sebagai sentra bawang merah
di kabupaten Kediri. Pelakasanaan kegiatan yaitu mengambil study kasus pada petani pelaksanaan
demplot pembibitan bawang merah, yang kegiatan dimulai bulan September sampai dengan Desember
2015. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode deskriptif. Sesuai dengan tujuan
kegiatan ini adalah untuk mendiskripsikan atau memetakan secara faktual dan sistematis mengenai
fakta dan keadaan, sifat hubungan antara pelaku inovasi (Nasir, 1999)
Dalam mendiskripsikan hasil kegiatan membutuhkan dua (2) jenis data, yaitu data primer
yang bersifat kualitatif dan data sekunder yang cenderung bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh
melalui wawancara langsung ke sumber informasi yaitu: petani pelaksana, penyuluh dan petugas
lapang di tingkat desa hingga kabupaten. Data sekunder diperoleh dari laporan Dinas Pertanian
kabupaten Kediri, Programa Penyuluhan Pertanian, serta data dan informasi yang diperoleh melalui
desk study literatur.
Metode pengambilan data dan informasi dilakukan melalui dua cara, yaitu: survey atau
observasi dan fokus group diskusi (FGD) langsung dengan petani untuk mengetahui skala
permasalahan dalam pengembangan kegiatan selanjutnya. Untuk memudahkan keperluan analisis,
data-data yang diperoleh terlebih dahulu ditabulasi, kemudian dianalisa secara diskriptif.
Melaksanakan identifikasi pelaku inovasi (petani kooperator, P4S, dan Kontak Tani/Kontak
Tani Andalan, pelaku usaha, penyuluh swadaya) untuk jejaring kerja dalam rangka transfer inovasi
pertanian.Melaksanakan identifikasi karakteristik petani pelaku utama inovasi. Hal ini erat
hubungannya dengan tingkat penerapan inovasi serta pemilihan media dan metoda diseminasi.
Menggali data dan informasi untuk mengukur kinerja media dan metoda diseminasi dilakukan
melalui FGD. Caranya yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan seputar media dan metode
diseminasi yang digunakan dan disukai petani. Sebagai responden adalah pengurus tujuh poktan
(ketua, sekretaris, bendahara, seksi produksi dan usaha) yang tergabung dalam gapoktan Notoprojo.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil identifikasi Jejaring Pelaku Inovasi pada study kasus petani pelaksana kegiatan demplot
bawang merah, meliputi hasil identifikasi: pelaku inovasi; jejaring pelaku inovasi dan aksesibilitas
terhadap sumber inovasi; serta hasil identifikasi penggunaan dan kinerja media dan metoda yang
digunakan oleh petani sebagai pelaku utama penerapan inovasi
1. Identifikasi Pelaku Inovasi
Dalam suatu system Jejaring Pelaku Inovasi, berdasarkan peranan masing-masing pelaku,
dibedakan menjadi tiga (3), yaitu pelaku yang berperan sebagai: sumber informasi; saluran informasi
atau media; dan pengguna informasi (petani).

Sumber Informasi atau Generating Agent


Sumber informasi pertanian, disebut sebagai Generating Agent adalah lembaga atau institusi
yang bertanggung jawab menggali, mengolah, menghasilkan dan menyediakan serta menyebarkan-
luaskan informasi pertanian yang dijamin dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya serta mudah
digunakan dan dimengerti petani.
Hasil identifikasi kelembagan yang bertindak sebagai sumber informasi adalah: Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Balai besar Pelatihan Pertanian Ketindan, Dinas
Pertanian, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri, BP3K, R and D perusahaan pupuk dan obat-
obatan, melalui Kios saprotan yang ada di wilayah tersebut.
Saluran Informasi atau Delivery Agent
Saluran Informasi adalah individu atau petugas yang bertanggung jawab menyalurkan dan
atau menyampaikan informasi ke pengguna akhir informasi, yaitu petani. Di wilayah kegiatan,
dileveri agent dilakukan oleh: penyuluh pertanian, POPT, Mantri Tani, pedagang saprotan, dan petani
maju. Bisa juga atas nama kelembagaan petani seperti: KTNA, P4S yang dianggap mampu
menyampaikan informasi pertanian kepada pelaku utama, seperti pada tabel 1.

309
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Table 1. Hasil identifikasi Pelaku Inovasi Pertanian di Sidowareg


Saluran Informasi
Sumber Informasi Penerima (Recieveing
No Atau Media
(Generating Agent) Agent)
(Delivery Agent)
1. Pemerintah Daerah:
a. Dinas Pertanian Kabupaten

b. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana


1. Penyuluh Lapang
Penyuluhan Kab.
2. POPT
c. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Petani Pengguna
3. Mantri Tani
4. BP3K (user akhir)
2. Kementerian Pertanian: 5. P4S Jenis usahatani:
a. Balai Besar Pelatihan Pertanian 6. KTNA Bawang Merah
7. Kios Saprotan
b. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa
Timur
3. Research and Development Perusahaan Saprotan
(R & D)
Sumber: Data Primer (2015)
Penerima atau Recieveing Agent
Pada Permentan nomor 82 tahun 2013, bahwa yang namanya Pelaku Utama inovasi (petani)
adalah Warga Negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usahatani
di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. Dalam jejaring pelaku
inovasi, pelaku utama adalah bertindak sebagai Recieveing Agent. Hasil Karakteristik Recieveing
Agent, dicirikan dengan: umur, pendidikan, kepemilikan lahan, dan komoditi yang diusahakan.
Beberapa faktor tersebut mempengaruhi kemampuan perkembangan mental dan proses mental pelaku
utama dalam mengambil keputusan dalam penerapan inovasi (Soekartawi, 1988). Hasil identifikasi
karakteristik pelaku utama pada kegiatan analisis jejaring pelaku inovasi, disajikan pada tabel 2.
Umur, kisaran umur pelaku utama inovasi ternyata masih didominasi oleh kaum menjelang
manula hingga manula (56 %); sedangkan pelaku utama yang berusia produkti hingga produktif
mapan yaitu 44 %. Adapun dukungan pendidikan yang dimiliki pelaku utama tersebut 61,1 %
berpendidikan SD; 33,3 % berpenddikan SMP dan 22,2 % berpendidikan SMA.
Hampr semua pelaku utama pekerjaannya adalah bertani (94,4 %). Hal ini dibuktikan dengan
61,11 % pelaku utama sebagai responden memiliki lahan garapan yang memiliki Status kepemilikan
lahan. Kisaran kepemilikan lahan responden antara 0,146 s/d 0,286 ha, adalah Terbanyak 28 %; 22,2
% responden memiliki lahan garapan 0,143 ha; dan 16,7% responden memiliki lahan garapan 0,36 s/d
0,43 ha. Sisanya 33,1 % responden memiliki lahan garapan antara 0,50 s/d 1,36 ha. Mencermati
kondisi kepemilikan lahan pelaku utama inovasi dengan komoditi utama hortikultura (bawang merah),
maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan lahan cukup relevan untuk jenis usahatani tersebut.

310
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Karakteristik Recieveing Agent atau Pelaku Utama


Karakteristi Recieveing Agent atau Pelaku
No. Persentase (%) Keterangan Intepretasi
Utama
1. Kelompok umur (tahun):
a. 30-40 Muda produktif 22,2 Pekerjaan petani Mayoritas
b. 41-50 Usia mapan Prod. 22,2 didominasi oleh kelompok usia
c. 51-60 Menjelang manula 28 menjelang manula hingga manula
d. 61-70 Usia manula 28
2. Pendidikan
a. Sekolah dasar 61,1 Pendidikan pelaku utama
b. Sekolah Menengah Pertama 33,3 mayoritas adalah Sekolah Dasar
c. Sekolah Menengah Atas 22,2 (61,1 %)
3. Pekerjaan:
a. Pemilik dan penggarap 94,4 Hampr semua pelaku utama
b. Pelaku utama dan P.Usaha 5,6 pekerjaannya adalah bertani
(94,4 %)
4. Status Kepemilikan Lahan
a. Pemilik 61,11 Sekitar 61,11 % pelaku utama
b. Sewa 11,11 memiliki lahan garapan
c. Penggarap 16,67
d. Pemilik dan Penggarap 11,11
5. Luas Kepemilikan Lahan:
(50-950 ru setara 0,07-1,357 ha)
a. 50-100 ru setara 0,07-0,143 ha 22,2 Kisaran kepemilikan lahan:
b. 102-200ru setara 0,146-0,286 ha 27,8 a. Terbanyak 28% antara 0,146 s/d
c. 250-300ru setara 0,357-0,429 ha 16,7 0,286 ha
d. 350-400ru setara 0,500-0,571 ha 11,1 b. 22,2 % memiliki lahan 0,143 ha
e. 500 ru setara 0,714 ha 5,6 c. 16,7% memiliki lahan 0,36 s/d
f. 600 ru setara 0,857 ha 11,1 0,43 ha.
g. 950 ru setara 1,357 ha 5,6
Sumber: Data Primer (2015)

Identifikasi Aksessibilitas Pelaku Jejaring Inovasi


Dalam suatu system Jejaring Pelaku Inovasi: sumber informasi, saluran informasi atau media,
dan pengguna informasi (petani), dipetakan seperti pada gambar 1. Masing-masing pelaku inovasi
mempunyai peranan dan hubungan keterkaitan. Pada skema gambar 1, menunjukkan bahwa pelaku
delivery agent: Penyuluh Pertanian Lapang mendapatkan informasi dari semua pelaku sumber
informasi (generating agent), dengan persen aksesibilitas 100 %. Ini membuktikan cakupan tugas
penyuluh Lapang adalah menyelesaikan semua permasalahan usahatani di semua komodi di tingkat
desa. Keadaan ini secara langsung berpengaruh terhadap kelembagaan BP3K tempat tersimpulnya para
penyuluh memiliki akses 83 % dari sumber informasi. Peran petugas POPT juga tinggi untuk
mendapatkan akses dari sumber informasi (83 %), ini disebabkan karena jangkauan wilayah kerja se
kecamatan. Berbeda dengan Mantri tani hanya 33 %, karena tugas mantri tani sifatnya koordinatif
program sebagai kepanjangan tangan dari dinas kabupaten yang ada di tingkat kecamatan (UPTD).
Kedua pelaku delivery agent tersebut, bersamaan bernaung dalam satu management Dinas Pertanian
Kabupaten Kediri. Sedangkan Penyuluh Lapang, memiliki satuan wilayah kerjanya berada di dalam
wilayah kerja BP3K Kecamatan, yang tersimpul dalam management Badan Ketahanan Pangan dan
Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Kediri.

311
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pelaku Pelaku Pelaku


Generating Agent Delivery Agent Recieveing
Agent
% % %
Akses ke Akses ke Akses ke
Delivery Agent Generating Agent Delivery Agent
1. Pemerintah Daerah:
a. Dinas Pertanian Kabupaten Penyuluh Lapang 100 % 100 %
(42,9 %)
b. Badan Ketahanan Pangan dan 83 % 50 %
Pelaksana Penyuluhan POPT
Kabupaten (28,57 %) Mantri Tani 33 % 25 %
c. Balai Penyuluhan Pertanian
Kecamatan
(42,9 %)
Ka.BP3K 67 %
2. Kementerian Pertanian:
75 %
a. Balai Besar Pelatihan
Pertanian KTNA
(71,43 %)
33 %
b. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Timur 12,5 %
P4S
(57,14 %)
3. Research and Develop-ment 17 %
Perusahaan Saprotan KIOS 12,5 %
(R & D) (71,43 %) SAPROTAN/PETU
GAS 17 %
63 %
Sumber: Data Primer (2015)
Gambar 1. Skema Jejaring Inovasi Pertanian di desa Sidowareg,Kecamatan Plemahan Kabupaten
Kediri

Aksesibilitas Recieveing Agent ke Delivery Agent, dihitung berdasarkan kehadiran selama


satu siklus kegiatan diselenggarakan dari persiapan hingga panen, terdapat 8 kali tatap muka
(pertemuan atau kegiatan di lahan) dengan poktan. Masing-masing Delivery Agent memberikan
kontribusi akses ke Recieveing Agent sebagai berikut: PPL (100%), BP3K (75%), Kios/Petugas
Perusahaan Obat (63%), POPT (50%), Mantri Tani (25 %) serta KTNA dan P4S (12,5%).
Keterlibatan tertinggi diraih oleh PPL, dianggap wajar karena sebagai penyuluh di wilayah kerjanya
harus mengawal pelaksanaan penerapan inovasi bersama BPTP Jatim hingga panen. Demikian dengan
lembaga penyuluhan BP3K sebagai satmingkal penyuluh dan petugas lapang lainnya seperti POPT
dan Mantri Tani. Keberadaannya sangat strategis untuk hilirisasi inovasi, sebagai tempat pertemuan
antara petani dan petugas. Selama kegiatan tersebut, Petugas Perusahaan Obat memainkan peran
cukup tinggi bila dibandingkan POPT, KTNA dan P4S. Artinya, dia menyadari posisi perannya di
tempat yang tepat yaitu di sentra bawang merah yang sarat dengan serangan OPT. Tingginya peran
tersebut, dimaksudkan agar perusahaan memperoleh keuntungan dari situasi tersebut. Berbeda dengan
POPT, misinya hanya membawa atau menyampaikan anjuran pengendalian, untuk selanjutnya
dilakukan oleh PPL.
Nampak peran KTNA dan P4S tidak nampak. Menurut Syahyuti (2014), Seharusnya petani
juga menjadi pelaku aktif dalam konsep metode belajar dari petani ke petani (farmer to farmer
learning). Secara konseptual pendekatan ini diyakini bisa lebih efektif. Komunikasi antar petani
diharapkan akan lebih efektif, karena sesama mereka memiliki kesamaan bahasa, persepsi terhadap
persoalan, dan metode pemecahan masalah. Empati, sebagai salah satu syarat komunikasi, akan lebih

312
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

terjamin. Hal ini diwadahi dengan pendirian berbagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan
Swadaya (P4S), di mana petani belajar dari petani secara langsung. Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya (P4S) merupakan wadah pelatihan pertanian dan pedesaan yang didirikan, dimiliki,
dikelola oleh petani secara swadaya baik perorangan maupun berkelompok.
Kinerja Media dan Metoda
Pada prakteknya, delivery agent untuk menyalurkan informasi ke pengguna, menggunakan
berbagai media atau saluran informasi sebagai alat bantu yang dapat dengan mudah dipahami oleh
pengguna pelaku utama inovasi (petani). Hasil identifikasi media informasi yang digunakan oleh
pelaku utama, adalah media elektronik dan media cetak.
Hasil pengukuran Kinerja dua (2) jenis media tersebut, ternyata pelaku utama inovasi lebih
sering menerima pesan melalui media elektronik: TV, Radio dan Internet, dibandingkan Media Cetak
berupa leaflet dan broseur yang biasa disebarkan oleh BPTP maupun Dinas Provinsi (table 2).
Tabel 2. Kinerja media diseminasi
Kinerja Penggunaan Media Diseminasi (5)
Media Elektronik Media Cetak
Lokasi Kegiatan Televisi Radio
Sidowareg Swasta Daerah Swasta RPW Internet
TV RI Leaflet Brosur
Nasional (DohoTV) Lokal Keliling
Poktan Tentrem 50 33 11 16,7 0 11 5,6 0
Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap responden sebagai pelaku utama, ternyata mereka lebih
sering menerima informasi melalui media Televise Swasta Nasional , yakni mencapai 50%.
Kemudian disusul oleh sebanyak 33 % responden menyatakan menerima pesan melalui media TV RI;
16,7 % responden menerima pesan melalui Siaran Radio Swasta Daerah dan 11 % responden sudah
menggunakan fasilitas internet untuk mencari informasi inovasi pertanian, dan sekitar 11 % lainnya
responden menggunakan media Doho TV, yang merupakan stasiun TV lokal milik pemerintahan
kabupaten Kediri.
Alasan mereka menyukai televisi, karena pesan yang disampaikan menarik, atraktif, dan
terkesan sebagai hiburan bagi pemirsa. Selain itu pesan yang disampaikan melalui media televisi
menggabungkan beberapa indera penerimaan, yakni melalui indera penglihatan (83 %) dan indera
pendengaran (11 %). Namun demikian, apa yang dilihat dan didengar, belum tentu langsung diadopsi.
Perlu diketahui bahwa Proses adopsi itu merupakan proses mental yang melalui lima (5) tahapan, bisa
secara berurutan, atau lompatan dari proses mental tersebut. Hal ini tergantung dari kemampuan
proses mental seseorang dalam menerima pesan tersebut (Arifin Moekadas, 1985)
Selanjutnya pada prakteknya, dalam penyampaian media diseminasi, atau penyuluhan,
diperlukanlah suatu strategi, yang dilakukankan melalui berbagai metoda diseminasi. Diantaranya
yang diamksud berbagai metoda tersebut yaitu melalui pertemuan (temu lapang, temu karya, dan temu
ilmiah) dan pembelajaran petani (kursus tani dan sekolah lapang atau SL). Hasil identifikasi kinerja
penggunaan metoda diseminasi tersebut, disajikan pada table 3.
Tabel 3. Kinerja penggunaan metoda diseminasi
Kinerja Metoda Diseminasi (%)
Lokasi Kegiatan
Pertemuan Pembelajaran Petani
Sidowareg Demplot
Temu Lapang Temu Karya Temu Ilmiah Kursus Sekolah Lapang
Poktan Tentrem 72,2 5,6 5,6 28 83,3 44
Sumber: Data Primer (2015)

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa ukuran kinerja metode diseminasi 83,3 % responden sebagai
pelaku inovasi telah mengikuti kegiatan pembelajaran sekolah lapang dan 72,2 % responden sering
mengikuti kegiatan Temu Lapang Petani dan 44 % mengikuti pelaksanaan demplot (sebagai
demonstrator maupun anggota). Memang akhir-akhir ini, metode yang banyak digunakan yaitu
pembelajaran petani dalam bentuk sekolah lapang (SL), (Syahyuti, 2014). Alasannya yaitu, metode ini
menerapkan falsafah penyuluhan learning by doing. Artinya peserta belajar inovasi sambil
mengerjakan praktek usahataninya di lahan.(Roger, 2003). Metode berikutnya yang sering diikuti
responden yaitu Temu lapang (72,2 %). Kegiatan ini sebenarnya menyatu dalam kegiatan demplot.

313
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Salah satu kegiatannya, menyelenggarakan temu lapang petani yang bisa dilakukan pada awal,
pertengahan atau pada akhir kegiatan. Pada kegiatan demplot sendiri, responden hanya 40 % yang
terlibat sebagai petani kooperator, sedangkan anggota kelompok tani lainnya, terlibat dalam kegiatan
temu lapang. Oleh sebab itu, kegiatan temu lapang menduduki rating ke dua setelah sekolah lapang.

KESIMPULAN
1. Hilirisasi dalam penyebarluasan inovasi teknologi, digambarkan sebagai suatu rangkaian jejaring
Pelaku Inovasi, dibedakan menjadi tiga (3), yaitu berperan sebagai: sumber informasi; saluran
informasi atau media; dan pengguna informasi (petani)
2. Hasil identifikasi pelaku jejaring inovasi, bertindak sebagai sumber informasi (generating agent),
adalah: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Balai Besar Pelatihan
Pertanian Ketindan, Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri, BP3K, R and D
perusahaan pupuk dan obat-obatan, melalui Kios saprotan yang ada di wilayah tersebut;
Bertindak sebagai
3. Di wilayah kegiatan, dileveri agent dilakukan oleh: penyuluh pertanian, POPT, Mantri Tani,
pedagang saprotan, dan petani maju. Bisa juga atas nama kelembagaan petani seperti: KTNA,
P4S yang dianggap mampu menyampaikan informasi pertanian kepada pelaku utama,
4. Karakteristik recieveing agent (petani)meliputi keadaan: Umur, didominasi56 % oleh kaum
menjelang manula hingga manula, 44 % berusia produkti.Selanjutnya dukungan pendidikan 61,1
% berpendidikan SD; 33,3 % berpenddikan SMP dan 22,2 % berpendidikan SMA.
Pekerjaanpelaku utama adalah bertani (94,4 %), karena 61,11 % responden memiliki lahan
garapan yang memiliki Status kepemilikan.Hasil identifikasi diperoleh 22,2 % memiliki lahan
garapan 0,143 ha; 28 %responden antara 0,146 s/d 0,286 ha; 16,7% responden memiliki lahan
garapan 0,36 s/d 0,43 ha dan sisanya 33,1 % responden memiliki lahan garapan antara 0,50 s/d
1,36 ha.
5. Pada identifikasi aksesibilitas pelaku jejaringinovasi, rating akses tertinggi dari generating agent
ke pelaku delivery agent adalah Balai Besar Pelatihan serta R&D Saprotan, mencapai 71,43 %;
kemudian BPTP Jatim 57,14 %; Dinas Pertanian Kabupaten dan BP3K memiliki akses ke
delivery sebesar 42,9 % dan akses terendah yaitu BKP3 kabupaten 28,57 %.
6. Penyuluh Pertanian Lapang sebagai dilevery agent memiliki akses informasi 100 %dari semua
pelaku sumber informasi (generating agent), POPT 83 %, Ka. BKP3K 67 %kemudian Mantri
tani dan KTNA masing-masing 33 %
7. Delivery agent menyalurkan informasi melalui berbagai media dan metoda. Hasil identifikasi
media informasi yang digunakan oleh pelaku adalah media elektronik dan media cetak.
8. Hasil pengukuran Kinerja media ternyata pelaku utama inovasi lebih sering menerima pesan
melalui media elektronik: TV, Radio dan Internet, dibandingkan Media Cetak berupa leaflet dan
brosur yang biasa disebarkan oleh BPTP maupun Dinas Provinsi.
9. Pesn yang diterima melalui media elektronik, yaituTelevise Swasta Nasional, mencapai 50%.
Kemudian 33 % responden menerima pesan melalui media TV RI; 16,7 % responden menerima
pesan melalui Siaran Radio Swasta Daerah dan 11 % responden sudah menggunakan fasilitas
internet untuk mengakses inovasi pertanian, dan sekitar 11 % lainnya responden menggunakan
Doho TV, merupakan stasiun TV lokal milik pemerintahan kabupaten Kediri.
10. Pengukuran hasil kinerja penggunaan metoda diseminasi, menunjukkan bahwa 83,3 % responden
telah mengikuti pembelajaran sekolah lapang dan 72,2 % responden sering mengikuti kegiatan
Temu Lapang Petani dan 44 % mengikuti pelaksanaan demplot (sebagai demonstrator maupun
anggota). Metode paling banyak digunakan yaitu pembelajaran petani melalui sekolah lapang
(SL). Alasannya yaitu, metode ini menerapkan falsafah penyuluhan learning by doing. Artinya
peserta belajar inovasi sambil mengerjakan praktek usahataninya di lahan.
Saran
1. BPTP Jawa Timur,Sebagai lembaga vertical agar meningkatkan kinerja aksesibilitas ke delivery
agent melalui berbagai media dan metoda diseminasi, minimal mempunyai nilai akses sama dengan
Balai Besar pelatihan yaitu 71,43 %;

314
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2. Aksesibilitaskomunikasi BPTP Jatim ke delivery agent: P4S, KTNA, mantriTani, perlu


ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas dengan melibatkan mereka atau menciptakan
kegiatan melalui berbagai metoda diseminasi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Keberhasilan menggali data dan informasi untuk kepentingan pemetaan jaringan hilirisasi
inovasi, dari generating agent, delivery agent hingga receiving agent, adalah berkat kerja keras petugas
lapangan. Oleh sebab itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ka. BPP Plemahan berserta
Crew, Gapoktan Notoprojo, dan PPOPT. Selain itu ucapan terimakasih untuk Kepala BPTP Jatim Ka.
Lab. Diseminasi Wonocolo yang memberi kepercayaan dan fasilitasi terselenggaranya kegiatan
pemetaan hilirisasi inovasi dari sumber hingga ke pengguna.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011. Pedoman Umum Spektrum Diseminasi Multi
Chanel (SDMC). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta
Badan Litbang Pertanian, 2003. Panduan umum pelaksanaan penelitian dan pengkajian serta program
informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta
BKP3K Plemahan. 2014. Programa Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Plemahan,
Kabupaten Kediri.
Ibrahim, J.T., A. Sudiyono dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayumedia.
Malang
Indra Aritonang. 2012. Strategi Pengembangan Sistem Jaringan Komunikasi Inovasi Pertanian
Melalui Cyber Extension. Institut Pertanian Bogor.
Laksono, A.D. dan R.D. Wulandari. 2011. Analisis potensi penyebaran informasi kesehatan melalui
jejaring sosial (Studi Kasus Pada Forum Jejaring Peduli AIDS). Pusat Humaniora,
Kebijakan Kesehatan, dan Pemberda-yaan Masyarakat Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. email;
agung_dwilaksono@yahoo.co.id.
Kasryno, F. 2006. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) ujung tombak diseminasi teknologi
pertanian berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Revitalisasi Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Cisarua, 21 Nopember 2006.
Koesno, T.S., A. Muhariyanto dan H.A. Dewi. 2015. Peningkatan Kapasitas Komunikasi dalam
Rangka Akselerasi dan Efektivitas Pemasyarakatan Inovasi hasil Litkaji di Jawa Timur.
Sub. Kegiatan: Peningkatan kapasitas pelaku inovasi pertanian melalui demplot bawang
merah d ideas Sidowareg, Plemahan, Kediri. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Timur
Nasir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Pangarsa, N., A. Muhariyanto dan H. Ariyanto, 2007. Pengkajian efektifitas media komunikasi massa
BPTP Jawa Timar di lima wilayah kabupaten. Laporan Hasil Pengkajian. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Permentan nomor 42. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/ OT.140/3/2013.
Tentang Pedoman Penilaian Petani Berprestasi. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Syahyuti. 2014. Peran strategis penyuluh swadaya dalam paradigma baru penyuluhan pertanian
Indonesia.Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Priyatma, J.E. 2013. Potensi Teori Jejaring Aktor Untuk Memahami Inovasi Teknologi.Teknik
Informatika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovations. Fith Ed. Simon & Schuster Publisher. Inc. New York.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press
Van Den Ban A.W., dan Hawkins HS., 1996 Penyuluhan Pertanian, Kanisius, Yogyakarta.

315
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK CAIR (POC) DARI LIMBAH PERTANIAN ASAL


SUMBER DAYA ALAMI LOKAL PADA BUDIDAYA SAYURAN BAWANG DAUN (Allium
fistulosumL.)
UTILIZATION OF LIQUID ORGANIC FERTILIZER FROM AGRICULTURAL WASTES OF
RESOURCES LOCAL ORIGIN NATURAL ON LEEK VEGETABLES (Allium fistulosumL.)
Agustina E. Marpaung1, Bina Br Karo1 dan Kusmea Dinata2
1
Kebun Percobaan Berastagi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jln. Raya Medan Berastagi Km 60, Berastagi 22156
Email : agustinamarpaung@yahoo.com

ABSTRAK
Bawang daun merupakan salah satu komoditi sayuran yang pemanfaatannya banyak digunakan oleh
konsumen sebagai bumbu memasak. Saat ini salah satu yang menjadi kendala adalah kualitas produk
yang dihasilkan dan produktivitas yang rendah. Peningkatan kualitas produk dan produktivitas dapat
dilakukan dengan pendekatan pertanian ramah lingkungan, berupa pemanfaatan pupuk organik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair (POC) terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman bawang daun. Penelitian dilaksanakan bulan Mei s/d Juli 2016 di KP
Berastagi(ketinggian 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol. Rancangan percobaan yang digunakan
adalah split plot faktorial dengan tiga ulangan. Petak utama : Teknik aplikasi (A1. Semprot dan A2.
Siram). Anak petak : Dosis pupuk organik cair (D0.Tanpa POC, D1. 10 ml/l air, D2. 20 ml/l air, D3. 30
ml/l air dan D4.40 ml/l air). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi bawang
daun tidak dipengaruhi oleh teknik aplikasi POC. Pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan
pertumbuhan (tinggi 17,49 -21,07%; diameter batang 23,16-25,52%; jumlah anakan 39,91%) dan
produksi (bobot bersih per tanaman 44,70%, bobot anakan 46,45% dan produksi per plot 42,99%)
daun bawang dibanding tanpa pemberian POC. Pemberian POC dosis 20 ml/l air dengan cara siram
dapat meningkatkan panjang batang dan panjang daun bawang daun (13,67 cm dan 61,67 cm)
dibanding perlakuan lainnya.
Katakunci : Allium fistulosum L, pemanfaatan, dosis, pupuk organik cair, teknis

ABSTRACT
Leek is one of vegetable commodities that used of lot consumer as seasoning. This time, one of matters
is the product quality and productivity still low. To increase the quality and productivity can be done
with environmental friendly approach, with using the organic fertilizer. The research aims are to know
the effect of liquid organic fertilizer to growth and yield of leek. The research was conducted from
May - July 2016 in the Berastagi experimental farm, with altitude 1340 meters above sea level, the
soil type andisol. The experimental design used was a split plot factorial with three replications. The
main plot is application technique (A1. Spray and A2. watered). The subplot is dosage of liquid organic
fertilizer (D0. Without liquid organic fertilizer, D1. 10 ml/l water, D2. 20 ml/l water, D3. 30 ml/l water
and D4. 40 ml/l water). The results showed that growth and yield of leek no effected by application
technique. Liquid organic fertilizer dose 20 ml/l water can increase growth (height 17,49 -21,07%;
stem diameter 23,16-25,52%; tillers number 39,91%) and production (net weight per plant 44,70%;
tillers weight per plant 46,45% and production per plot 42,99%) of leek compare to without liquid
organic fertilizer. Liquid organic fertilizer dose 20 ml/l water with watered application technique can
increase stem and leave length of leek (13,67 cm and 61,67 cm) compare to another treatment.
Keywords: Allium fistulosumL,utilization, dose, liquid organic fertilizer, technique

316
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kebutuhan terhadap sayur-sayuran semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah
penduduk. Oleh karena itu, sayur-sayuran perlu ditingkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. (Kumarawati, et al., 2013; Mujib, et al., 2014).
Bawang daun (Allium fistulosumL.) merupakan salah satu jenis sayuran daun yang biasa
digunakan untuk sayuran ataupun bumbu penyedap masakan. Di samping itu, bawang daun juga
sering digunakan dalam pengobatan karena kandungan senyawa yang terdapat dalam bawang daun
dapat berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan dalam bawang daun dapat berfungsi sebagai
antihiperlipidemia sehingga dapat mengurangi resiko penyakit anterosklerosis serta penyakit jantung
koroner (Yamamoto dan Yasuoka, 2009).
Dikalangan petani, ketergantungan dalam menggunakan pupuk kimia sintetis hampir
mencapai 100%, sedangkan penggunaan pupuk organik masih kurang. Pemberian pupuk kimia sintetis
bukanlah jaminan untuk memperoleh hasil maksimal tanpa diimbangi pupuk organik, dimana hasil
penelitian Sopha dan Uhan (2013) mengatakan bahwa pupuk organik mampu mengurangi penggunaan
pupuk kimia. Hal ini didukung oleh Susi (2009) bahwa penggunaan dosis pupuk kimia sintetis yang
berlebihan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, apalagi penggunaan secara terus menerus
dalam waktu lama akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan mikroorganisme penyubur
tanah berkurang.
Peningkatan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik. Salah
satu sumber bahan organik yang banyak tersedia disekitar petani adalah pupuk kandang. Pemberian
pupuk organik dapat mengurangi dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia (Martin, etal.,
2006),menyumbangkan unsur hara bagi tanaman serta meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman
(Taufiq, et al., 2007).
Penggunaan pupuk organik alam (daun kerinyu, daun paitan dan bonggol pisang) yang dapat
dipergunakan untuk membantu mengatasi kendala produksi pertanian khususnya tanaman sayuran
daun, yaitu Pupuk Organik Cair. Pupuk organik cair merupakan salah satu jenis pupuk yang banyak
beredar di pasaran. Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut sebagai
pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial. Pupuk organik cair mempunyai
beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun dan
pembentukan bintil akar pada tanaman leguminosae sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis
tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman
menjadi kokoh dan kuat, merangsang pertumbuhan cabang produksi, serta meningkatkan
pembentukan bunga dan bakal buah (Anonim, 2004 dalam Rizqiani, 2007). Pupuk organik cair juga
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sawi (Manullang, et al., 2014; Arinong dan
Lasiwua, 2011), kentang (Parman, 2007), tomat (Rehatta, et al., 2014), kacang kedelai (Hamzah,
2014), jagung manis (Syofia, et al., 2014)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk organik cair (POC) terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan bulan Mei s/d Juli 2016 di KP Berastagi pada lahan seluas 120 m2,
Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, (ketinggian 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol.
Metoda penelitian berupa perlakuan dosis pupuk organik cair (POC) dari bahan limbah pertanian yang
diolah sendiri. Petak utama : teknik aplikasi (A1. Semprot dan A2. Siram). Anak petak : dosis pupuk
organik cair (D0. Tanpa POC, D1. 10 ml/l air, D2. 20 ml/l air, D3. 30 ml/l air dan D4. 40 ml/l air).
Populasi tanaman terdiri dari 50 tanaman. Bibit bawang daun merupakan varietas lokal. Data diolah
menggunakan Rancangan percobaan split plot faktorial dengan tiga ulangan. Prosedur penelitian
dilakukan dua tahap, yaitu:
1. Tahap pembuatan pupuk organik cair
Proses pembuatan pupuk organik cair (POC) terbuat menggunakan sisa-sisa limbah bahan
organik, berupa : daun kerinyu, daun paitan dan bonggol pisang (dengan campuran 1 : 1 : 2) yang
dicacah terlebih dahulu. Kemudian dikomposkan (aerob) selama 1 bulan dengan ditambah larutan
IM4(100 gram gula merah, 50 ml bioaktivator EM4, air bersih). Setelah 1 bulan, bahan diaduk dan
dimasukkan ke dalam drum dan ditambah air dengan perbandingan 2:1 (anaerob) serta100 gram gula
merah + 50 ml bioaktivator EM4. Drum ditutup dengan rapat, kemudian selang dimasukan lewat

317
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

lubang tutup drum dan direkatkan sehingga tidak ada celah udara, sedangkan ujung selang yang lain
masuk kedalam botol yang telah diberi air dan dibiarkan selama 2 minggu. Kemudian dipisahkan
cairan dengan ampasnya dengan cara disaring dan cairan disimpan dalam drum/jerigen yang kemudian
ditutup rapat. Pupuk organik cair ini merupakan pengganti pupuk daun yang biasa diberikan pada
tanaman dengan cara disemprotkan.
2. Tahap penerapan POC
Lahan diolah dan dibersihkan, pembuatan bedengan dengan ukuran 1 m x 2 m, dimana jarak
antar perlakuan 70 cm dan jarak antar ulangan 1 m. Pupuk dasar ditebar merata di atas bedengan
berupa pupuk organik 4 kg/plot. Kemudian pupuk ditutup dengan tanah dan dipasang mulsa. Dibuat
lubang tanam pada mulsa dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Pupuk organik cair diberikan dengan cara
dan dosis sesuai dengan perlakuan yang diuji 1 x 2 minggu dimulai tanaman berumur 4 minggu
setelah tanam. Pemeliharaan meliputi penyiangan, penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit.
Pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif Pofenofos, Klorantranilipol 50 g/l,
Imidakloprid dengan konsentrasi 0,5 1,0 cc/l air, sedangkan untuk mengendalikan penyakit
dilakukan penyemprotan fungisida Mankozeb atau Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 g/ltr
air. Pengendalian dilakukan tergantung pada tingkat serangan hama dan penyakit tanaman di
lapangan. Pemanenan bawang daun dilakukan pada umur 3 bulan setelah tanam.
Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman dan diamater batang pada umur 6 dan 10 minggu
setelah tanam, jumlah anakan, panjang batang dan daun, bobot per tanaman (bersih dan anakan) dan
produksi per plot. Data-data dari peubah yang diamati diuji dengan uji ANOVA (uji F) dan dilanjutkan
dengan uji beda rata-rata menurut BNJ pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman dan Diameter Batang
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman dan diameter batang pada umur 6 dan
10 minggu setelah tanam (MST) menghasilkan bahwa perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh
nyata terhadap diameter batang dan tinggi tanaman umur 6 MST, namun berpengaruh nyata pada
tinggi tanaman umur 10 MST. Perlakuan dosis pupuk organik cair (POC) berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan diameter batang (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap tinggi tanaman dan diameter batang umur
6 dan 10 MST
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm)
6 MST 10 MST 6 MST 10 MST
Teknik Aplikasi
A1.Semprot 46,55 a 55,26 b 0,66 a 0,99 a
A2.Siram 48,48 a 57,94 a 0,70 a 0,94 a
Koefisien Keragaman/ (%) 3,33 1,62 6,20 4,11
Dosis Pupuk Organik Cair
D0.Tanpa POC 49,08 b 60,87 b 0,70 c 0,95 b
D1.10 ml/l air 57,17 a 66,32 b 0,81 ab 1,15 ab
D2.20 ml/l air 62,18 a 73,77 a 0,91 a 1,28 a
D3.30 ml/l air 58,25 a 71,33 a 0,88 ab 1,16 ab
D4.40 ml/l air 58,40 a 67,33 ab 0,80 bc 1,27 a
KK (%) 2,26 2,26 6,78 3,97
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ.05

Tinggi tanaman daun bawang pada umur 6 MST tidak berbeda nyata antara perlakuan pada
teknik aplikasi, namun pada umur 10 MST, teknik aplikasi siram (57,94 cm) nyata lebih tinggi
dibanding teknik aplikasi semprot. Sedangkan perlakuan dosis POC pada umur 6 dan 10 MST,
diperoleh pertumbuhan tanaman dengan pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC.
Diantara perlakuan pemberian dosis POC, diperoleh dosis 20 ml/l air nyata lebih tinggi dari perlakuan
lainnya (62,18 cm dan 73,77 cm).
Diameter batang tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada perlakuan teknik aplikasi
pada umur 6 dan 10 MST. Sedangkan perlakuan dosis POC, diperoleh pertumbuhan tanaman dengan
pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis
318
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

POC, diperoleh dosis 20 ml/l air nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya (0,91 cm dan 1,28 cm). Hal
ini memperlihatkan bahwa pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman 17,49% -21,07% dan diameter batang 23,16% -25,52% dari perlakuan tanpa pemberian POC.
Hal ini dikarenakan pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat mendorong dan meningkatkan
pembentukan klorofil daun sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan
nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman (Anonim, 2004 dalam Rizqiani, 2007),
sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman yang lebih baik.
Jumlah Anakan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik aplikasi dan dosis pupuk
organik cair (POC) berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap jumlah anakan
Perlakuan Jumlah Anakan (anakan)
Teknik Aplikasi
A1.Semprot 5,28 b
A2.Siram 5,72 a
KK (%) 3,35
Dosis Pupuk Organik Cair
D0.Tanpa POC 4,57 b
D1.10 ml/l air 6,90 a
D2.20 ml/l air 7,60 a
D3.30 ml/l air 7,30 a
D4.40 ml/l air 6,63 a
KK (%) 6,57
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05

Perlakuan teknik aplikasi dan dosis POC sangat berperan dalam pembentukan anakan bawang
daun. Dimana pada perlakuan teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi dibanding teknik aplikasi
semprot (5,72 anakan). Pada perlakuan dosis pupuk organik cair diperoleh jumlah anakan dengan
pemberian POC lebih tinggi dibanding tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis
POC, diperoleh jumlah anakan yang lebih tinggi pada dosis 20 ml/l air dari perlakuan lainnya (7,60
anakan). Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan jumlah
anakan sebesar 39,91% dari perlakuan tanpa pemberi POC.
Panjang Batang dan Daun
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa panjang batang dan daun
menghasilkan interaksi yang nyata antara perlakuan teknik aplikasi dan dosis pupuk organik cair
(POC) (Tabel 3 dan 4).
Tabel 3. Interaksi antara teknik aplikasi dan dosis POC terhadap panjang batang
Panjang Batang (cm)
Teknik Aplikasi Dosis Pupuk Organik Cair (ml/l air)
0 10 20 30 40
Semprot 10.60 b 11.73 ab 11.67 ab 11.33 ab 12.00 a
B B B B A
Siram 12.00 bc 12.77 ab 13.67 a 12.20 bc 11.03 c
A A A A B
KK (%) 2,28
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji BNJ. 05

Perlakuan teknik aplikasi semprot pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 10
ml/l air menghasilkan panjang batang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (11,73 cm).
Sedangkan pada teknik aplikasi siram pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh dosis POC 20 ml/l

319
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

air menghasilkan panjang batang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (13,67 cm). Pada
perlakuan dosis POC, secara umum diperoleh teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi menghasilkan
panjang batang dibanding dengan teknik semprot pada setiap taraf dosis POC yang diberikan.
Tabel 4. Interaksi antara teknik aplikasi dan dosis POC terhadap panjang daun
Panjang Daun (cm)
Teknik Aplikasi Dosis Pupuk Organik Cair (ml/l air)
0 10 20 30 40
Semprot 42.80 c 53.60 b 60.13 a 59.80 a 55.60 ab
B B A A A
Siram 54.67 b 56.00 ab 61.67 a 58.57 ab 54.67 b
A A A A A
KK (%) 2,48
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji BNJ. 05

Perlakuan teknik aplikasi semprot dan siram pada setiap taraf dosis pupuk POC diperoleh
dosis POC 20 ml/l air menghasilkan panjang daun nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya,
yaitu masing-masing 60,13 cm dan 61,67 cm. Pada perlakuan dosis POC, pada taraf dosis 0 dan 10
ml/l air POC diperoleh teknik aplikasi siram nyata lebih tinggi menghasilkan panjang daun dibanding
dengan teknik semprot, sedangkan pada taraf dosis 20, 30 dan 40 ml/l air POC tidak dijumpai
perbedaan yang nyata antara teknik aplikasi semprot dengan siram.
Sehingga diperoleh bahwa penggunaan POC dosis 20 ml/l air dengan cara siram dapat
meningkatkan panjang batang bawang daun (13,67 cm), sedangkan panjang daun semakin meningkat
dengan menggunakan teknik aplikasi semprot maupun siram dan pemberian POC dosis 20 ml/l air
(61,67 cm).
Bobot per Tanaman (Bersih dan Anakan) dan Produksi per Plot
Data dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik aplikasi tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot per tanaman (bersih dan anakan) dan produksi per plot, sedangkan
perlakuan dosis pupuk organik cair (POC) berpengaruh nyata (Tabel 5).
Tabel 5. Pengaruh teknik aplikasi dan dosis POC terhadap bobot per tanaman (bersih dan anakan) dan
produksi per plot
Bobot per Tanaman (g) Produksi per Plot
Perlakuan
Bersih Anakan (kg/2 m2)
Teknik Aplikasi
A1.Semprot 44,86 a 46,92 a 4,53 a
A2.Siram 43,83 a 52,06 a 4,46 a
KK (%) 1,51 11,55 2,47

Dosis Pupuk Organik Cair


D0.Tanpa POC 35,67 b 36,50 b 3,73 b
D1.10 ml/l air 54,07 ab 62,77 ab 5,40 ab
D2.20 ml/l air 64,50 a 68,17 a 6,54 a
D3.30 ml/l air 57,17 a 63,67 ab 5,60 ab
D4.40 ml/l air 54,67 ab 65,83 ab 5,60 ab
KK (%) 8,49 11,62 10,00
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05

Perlakuan teknik aplikasi tidak berpengaruh nyata pada bobot per tanaman dan produksi per
plot. Sedangkan perlakuan dosis POC, diperoleh bahwa bobot per tanaman (bersih dan anakan) serta

320
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

produksi per plot menghasilkan nilai yang lebih tinggi dengan adanya pemberian POC dibanding
tanpa pemberian POC. Diantara perlakuan pemberian dosis POC, pemberian POC 20 ml/l air
menghasilkan bobot per tanaman (bersih dan anakan) serta produksi per plot nyata lebih tinggi dari
perlakuan lainnya, yaitu masing-masing 64,50 g; 68,17 g dan 6,54 kg/2 m2 dan terdapat kecendrungan
bila dosis ditingkatkan maka produksi semakin menurun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Rohmiyati, et al., (2006), bahwa konsentrasi yang tinggi pada POC akan memperlambat serapan hara
oleh tanaman.
Dengan demikian diperoleh bahwa pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan produksi
bawang daun, yaitu bobot bersih per tanaman 44,70%, bobot anakan 46,45% dan produksi per plot
42,99% dibanding tanpa pemberian POC. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik cair
dapat menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bawang daun, sehingga menghasilkan produksi yang baik.
Hal ini didukung oleh Taufiq, et al.,(2007), bahwa pemberian pupuk organik dapat menyumbangkan
unsur hara bagi tanaman serta meningkatkan serapan unsur hara oleh tanaman.

Gambar 1. Tanaman Bawang Daun

KESIMPULAN
1. Pertumbuhan dan produksi bawang daun tidak dipengaruhi oleh teknik aplikasi POC.
2. Pemberian POC 20 ml/l air dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi 17,49 -21,07%; diameter
batang 23,16-25,52%; jumlah anakan 39,91%) dan produksi (bobot bersih per tanaman 44,70%,
bobot anakan 46,45% dan produksi per plot 42,99%) daun bawang dibanding tanpa pemberian
POC.
3. Pemberian POC dosis 20 ml/l air dengan cara siram dapat meningkatkan panjang batang dan
panjang daun bawang daun (13,67 cm dan 61,67 cm) dibanding perlakuan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) dalam : Rizqiani, N.F., Ambarwati, E. dan Yuwono,
N.W. 2007.Pengaruh dosis dan frekuensi pemberian pupuk organik cair terhadap
pertumbuhan dan hasil buncis (Phaseolus vulgaris L.) dataran rendah.Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan 7(1):43-53.
Arinong, A.R., Lasiwua, C.D. 2011. Aplikasi pupuk organic cair terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman sawi. Jurnal Agrisistem 7(1): 47 - 54, ISSN 1858.
Hamzah, S. 2014. Pupuk Organik Cair dan Pupuk Kandang Ayam berpengaruh kepada pertumbuhan
dan produksi kedelai(Glycine max L.). Agrium 1(3):228 234.
Kumarawati, N.P.M., Supartha, I.W., Yuliadhi, K.A. 2013. Struktur komunitas dan serangan hama-
hama penting tanaman kubis (Brassica oleracea L.).E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika 2
(4): 252-259. ISSN: 2301- 6515.
Martin, E.C., Slack, D.C., Tanksley, K.A.,Basso, B. 2006. Effects of fresh and composted dairy
manure aplications on alfalfa yield and the environment in Arizona. Agron. J., 98:80-84.

321
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Manullang, G.S., Rahmi, A., Astuti, P. 2014. Pengaruh jenis dan konsentrasi pupuk organik cair
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi (Brassica juncea L.) varietas tosakan.
Jurnal AGRIFOR XIII(1):33 40, ISSN : 1412 6885.
Mujib, A., Syabana, M.A., Hastuti, D. 2014. Uji efektivitas larutan pestisidanabati terhadap hama ulat
krop (Crocidolomia pavonana L.) pada tanaman kubis (Brassica oleraceae). Jurnal Ilmu
Pertanian dan Perikanan 3(1):67-72, ISSN 2302-6308.
Parman, S. 2007. Pengaruh pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kentang (Solanum tuberosum L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi XV(2):21 31.
Rehatta, H., Mahulete, A., Pelu, A.M. 2014. Pengaruh konsentrasi pupuk organik cair bioliz dan
pemangkasan tunas air/wiwilan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman tomat
(Lycopersicon esculentum Miller). Jurnal Budidaya Pertanian 10(2):88 92.
Rohmiyati, S.M., Surya, M.,Hastuti, P.B. 2006. Pengaruh dari pengenceran dan waktuinkubasi bahan
organik terhadap pakcoy (Brassica juncea)]. Buletin Ilmiah Instiper 13(1):1 - 11.
Susi, K. 2009. Aplikasi pupuk organik dan nitrogen pada jagung manis. Agritek., 17(6):1119-1132,
ISSN 0852-5426.
Sopha, G.S., Uhan, T.S. 2013. Application of liquid organic fertilizer from city waste on reduce urea
application on chinese mustard (Brassica juncea L) cultivation. AAB Bioflux 5(1):39-44.
Syofia, I., Munar, A., Sofian, M. 2014. Pengaruh pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan hasil
dua varietas tanaman jagung manis (Zea Mays Saccharata Sturt). Agrium 1(3):208 218.
Taufiq, A., Kuntyastuti, H., Prahoro, C., Wardani, Y. 2007. Pemberian kapur dan pupuk kandang pada
sukkun di lahan kering masam. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan26(2):78-85.
Yamamoto, Y., Yasuoka, A. 2009, Welsh onion attenuates hypelipidemia in rats fed on high-fat hingh-
sucroe diet. Biosci. 74(2): 404.

322
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PEMANFAATAN URINE SAPI DAN KELINCI SEBAGAI PUPUK CAIR DALAM


PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG DAUN (Allium fistulosum L)
UTILIZATION OF URINE COW AND RABBIT AS LIQUID ORGANIC FERTILIZER TO
INCREASING THE GROWTH AND PRODUCTION OF LEEK (Allium fistulosum L.)
Bina Br Karo1, Agustina E. Marpaung1 dan Taufiq Hidayat2
1
Kebun Percobaan (KP)-Berastagi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jln. Raya Medan-Berastagi Km 60, Berastagi 22156
E-mail : bina_karo@yahoo.co.id

ABSTRAK
Bawang daun memiliki nilai ekonomis yang cukup penting dan prospek bawang daun cukup baik
untuk pemenuhan konsumen domestik maupun untuk permintaan ekspor. Produktivitas bawang daun
di tingkat petani masih rendah salah satu penyebabnya adalah pemupukan yang belum
optimal.Penggunaan urin kelinci dan sapi sebagai pupuk cair diharapkan dapat meningkatkan hasil
bawang daun. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untukmengetahui pengaruh urin
kelinci dan sapi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang daun. Penelitian dilaksanakan bulan
Januari s/d April 2016 di KP Berastagi(ketinggian 1340 meter dpl dan jenis tanah andisol.Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I :Jenis urin
(U1.Urine sapi dan U2.Urine kelinci).Faktor II :Dosis (D0.Tanpa pemberian urin, D1.50 ml/l air, D2.
100 ml/l air, D3. 150 ml/l air dan D4.200 ml/l air).Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
urine sapi maupun kelinci dapat dilakukan pada usaha bawang daun. Pemberian urine 200 ml/l air
dapat meningkatkan produksi (bobot kotor per tanaman 50,28%, bobot bersih per tanaman 40,00%,
dan produksi per plot 49,63%.
Katakunci : Allium fistulosum L, penggunaan urin, dosis pupuk.

ABSTRACT
Leek has the high economic value. Leek has a good prospect to supply domestic consumer and export
demand. Leek productivity on farmer lever still low, the one of the caused is the fertilization not
optimal yet. Utilization of rabbit and cow urine as liquid fertilizershoped to increase the leek yielding.
Therefore, research conducted with aims to know the effect of rabbit and cow urine to growth and
yield of leek. The research was conducted from January - April 2016 in the Berastagi experimental
farm, with altitude 1340 meters above sea level, the soil type andisol. The experiment using a
randomized block design (RBD) factorial with three replications. The first factor istype of urine
(U1.Cow urine and U2.Rabbit urine).The second factor is dosage (D0.Without urine application, D1.50
ml/l water, D2. 100 ml/l water, D3. 150 ml/l water and D4.200 ml/l water).The results showed that
using the cow and rabbit urine can be done at the leek business. Giving urine of 200 ml / l of water
can increase the production (weight of 50.28% gross per plant, net weight per plant 40.00%, and the
yield per plot 49.63%
Keywords: Allium fistulosum L, use of urine, dose of fertilizer.

323
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Bawang daun daun sering disebut bawang prai (Allium fistulosumL) merupakan salah satu
jenis sayuran daun yang biasa digunakan untuk sayuran ataupun bumbu penyedap masakan memiliki
nilai ekonomis yang cukup penting. Prospek bawang daun cukup baik untuk pemenuhan konsumen
domestik maupun untuk permintaan ekspor. Pada saat ini produktivitas di tingkat petani masih rendah
akibat menggunakan pemupukan yang belum optimal. Untuk memenuhi permintaan pasar dalam
jumlah yang banyak maka produksi bawang daun harus ditingkatkan melalui budidaya yang intensif.
Budidaya yang intensif diantaranya pemberian pupuk yang berimbang (Susantidiana, 2011).
Urine termasuk pupuk organik cair yang dapat menambah bahan organik tanah sehingga dapat
memperbaiki kesuburan tanah, agar mempertahankan keadaan bahan organik tanah tersebut, tanah
pertanian harus selalu ditambahkan bahan organik minimal 8 10 ton/ha setiap tahunnya (Nazari,et al.
2012). Pemberian pupuk organik sesuai dosis anjuran dapat menigkatkan bobot umbi grade besar
53.25%, grade sedang 25.42% dan menurunkan bobot umbi grade kecil sebesar 1.52% (Marpaung,et
al. 2014). Penggunaan pupuk organik (cair kotoran sapi) dapat meningkatkan tinggi tanaman,
jumlahdaun, dan hasil tanaman sawi (Arinong dan Lasiwua, 2011).Urin ini yang sering di abaikan,
dibuang begitu saja bahkan slama ini dianggap sebagai kotoran ternyata bisa dimanfaatkan sebagai
pupuk organik cair,urin umumnya mengandung unsur hara, terutama nitrogen (N) yang tinggi, mudah
larut dan tersedia bagi tanaman, tetapi mudah hilang dalam bentuk gas amonia (Indriyatidan Anas,
2013).
Tabel 1 .Kandungan urin setelah satu bulan didalam wadah plastik (2016)
Bahan Nitrogen (%) P2O5 (%) K2O(%) C-Organik (%)
Urin Sapi 1,02 0,21 1,22 13,61
Urin Kelinci 1,27 0,08 1,87 16,71
Sumber: Feri Gunawan 2016, Laboratorium Fakultas Pertanian UISU Medan

Penggunaanurine kelinci dan urin sapi yang telah difermentasi berpengaruh terhadap luas
daun, volume akar dan bobot kering bibit kakao pada umur 16 mst.Penggunaan urin sapi dengan
konsentrasi 25 % dapat menyamai penggunaan pupukan organik pada pembibitan kakao (Rosniawaty,
et al. 2015). Konsentrasi urin sapi 37,5% memberikan pengaruh terbaik terhadap pertambahan tinggi
batang, diameter batang dan pertambahan jumlah daun bibit umur 4-12 MSA (Minggu Setelah
Aplikasi), serta nisbah pupus akar dan bobot kering akar bibit umur 12 MSA (Ariesandi, 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dosis urinyang tepat untuk peningkatan
produksi bawang daun. Hipotesis yang diajukan adalah diperoleh interaksi yang positif antara jenis
dan dosis urin dalam peningkatan produksi bawang daun.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari s/d April 2016 di kebun percobaan
Berastagi,Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo,dengan ketinggian 1340 meter dari permukaan
laut,jenis tanah andisol.Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan
3 ulangan. Faktor I :jenis urine(U1 =sapi, U2=kelinci). Faktor II : dosis urin (D0=0, D1= 50 mi/l air, D2
= 100 ml/l air, D3 = 150 mi/l air dan D3 = 200 mi/l air). Prosedur pelaksanaannya adalah dibuat buat
petak percobaan dengan ukuran 1 m x 1 m. Jarak antar perlakuan 0,3 m dan jarak antar ulangan 0,6 m,
tinggi bedengan 30 cm. Dipermukaan bedengan dipasang mulsa lalu dibuat jarak tanam 20 x 20 cm
dilobang tanam diberi pupuk kandang sebanyak 1,5 kg/plot (60 g/lobang tanam) dan pupuk anorganik
dengan dosis N 90 kg/ha dan P2O5sebanyak 90 kg/ha. Urin sapi dan urine kelinci yang telah disimpan
selama satu bulan diberikan sesuai perlakuan di cor sebanyak 50 ml/tanaman setiap minggu dari umur
4 8 minggu setelah tanam. Untuk mencegah serangan hama tanaman, dilakukan penyemprotan
insektisida berbahan aktif Pofenofos, Klorantranilipol 50 g/l, Imidakloprid dengan konsentrasi 0,5
1,0 cc/l air, untuk mengendalikan penyakit tanaman dilakukan penyemprotan fungisida Mankozeb
atau Difenokonasol 250 g dengan konsentrasi 2 g/ltr air. Penyemprotan dilakukan 1 x 4 hari atau
tergantung tingkat serangan hama/penyakit tanaman di lapangan.Pemanenan dilakukan pada umur 3
bulan setelah tanam.Parameter yang diamati adalah : tinggi tanaman dan diameter batang umur 6 dan
10 minggu setelah tanam, jumlah anakan, bobot kotor dan bersih per tanaman, panjang batang,
panjang daun dan produksiper plot.Data yang diperoleh dianalisa dengan uji F dan dilanjutkan dengan
uji beda rata-rata BNJ pada taraf 5%.

324
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi Tanaman
Hasil anlisis sidik ragam memperlihatkan bahwa pada umur 6 dan 10 minggu setelah tanam
(MST) perlakuan dosis urin memberi pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun perlakuan jenis
urin dan interaksi antara kedua perlakuan memberi pengaruh (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh jenis dan dosis urin terhadap tinggi tanaman umur6 dan 10 minggu setelah tanam
(2016)
Tinggi Tanaman (cm)
Perlakuan
6 MST 10 MST
Jenis urine
U1.Sapi 47,25 a 77,63 a
U2.Kelinci 46,88 a 77,69 a

Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin 39,62 b 69,42 b
D1.50 ml/l air 47,70 a 78,18 a
D2.100 ml/l air 48,57 a 80,77 a
D3.150 ml/l air 50,26 a 78,38 a
D4.200 ml/l air 49,19 a 81,57 a
KK (%) 6,30 5,96
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05
MST : Minggu setelah tanam

Pada umur 6 dan 10 MST perlakuan pemberian urin mampu meningkatkan pertumbuhan
tanaman nyata lebih tinggi dari perlakuan tanpa pemberian urin. Sedangkan diantara perlakuan
pemberian urin tidak dijumpai perbedaan yang nyata. Dimana pertumbuhan bawang daun tertinggi
pada umur 6 MST dijumpai pada perlakuan dosis 150 ml/l air (50,26 cm), sedangkan pada umur 10
MST, teringgi dijumpai pada perlakuan dosis 200 ml/l air (81,57 cm). Pemberian urine dosis 150
200 ml/l air dapat meningkatkan tinggi tanaman 14,05 21,16 %. Hal ini karena urin mengandung
unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Hal ini
juga sesuai dengan hasil penelitian Mayura, et al.(2015), bahwa dengan pemberian urin sapi pada
konsentrasi 25% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan bibit tanaman
kayumanis ceylon.
Diameter Batang
Diameter batang bawang daun pada umur 6 dan 10 MST tidak dipengaruhi oleh perlakuan
jenis urine, tetapi nyata dipengaruhi oleh perlakuan dosis urin(Tabel 3).
Perlakuan dosis urin pada umur 6 MST nyata menghasilkan diameter batang yang lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian urin, yaitu 0,69 -0,78 cm berbanding 0,54 cm, dan
pada umur 10 MST 1,15 1,27 cm berbanding 0,95 cm. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian
urine 100 -150 ml/l air dapat meningkatkan diameter batang tanaman bawang daun sebesar 23,33
30,85 %. Hal ini didukung penelitian Desiana, et al.(2013), bahwa pemberian urine sapi berpengaruh
nyata terhadap peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjangakar, bobot segar
tanaman dan bobot kering tanaman.

325
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Pengaruh jenis dan dosis urine terhadap diameter batang umur6 dan 10 minggu setelah tanam
Diameter Batang (cm)
Perlakuan
6 MST 10 MST
Jenis urine
U1.Sapi 0,71 a 1,19 a
U2.Kelinci 0,69 a 1,12 a

Dosis urin
D0.Tanpa pemberian urin 0,54 b 0,95 b
D1.50 ml/l air 0,69 a 1,15 ab
D2.100 ml/l air 0,72 a 1,27 a
D3.150 ml/l air 0,78 a 1,15 ab
D4.200 ml/l air 0,76 a 1,25 a
KK (%) 8,49 10,84
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05
MST : Minggu setelah tanam

Jumlah Anakan
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh
nyata terhadap jumlah anakan namun perlakuan jenis urine dan interaksi kedua perlakuan tidak
berpengaruh nyata (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh jenis dan dosis urine terhadap jumlah anakan
Perlakuan Jumlah Anakan (anakan)
Jenis urine
U1.Sapi 6,16 a
U2.Kelinci 5,81 a

Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin 4,93 b
D1.50 ml/l air 5,93 ab
D2.100 ml/l air 6,23 a
D3.150 ml/l air 6,13 a
D4.200 ml/l air 6,70 a
KK (%) 11,45
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05

Perlakuan dosis urine nyata menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan
dengan tanpa pemberian urine, yaitu 5,93 6,70 berbanding 4,93 anakan. Diantara perlakuan dosis
urin diperoleh dosis200 ml/l air dapat meningkatkan jumlah anakan pada tanaman bawang daun
26,36%. Halini dikarenakan urine mengandung unsur nitrogen yang tinggi, dimana kandungan unsur
N yang lebih banyak akan merangsang tumbuhnya anakan sehingga akan diperoleh hasil panen
dengan jumlah umbi yang lebih banyak karena faktor anakan berpengaruh terhadap jumlah umbi
(Wahyu, 2013).

Bobot Kotor dan Bersih per Tanaman


Berdasarkan hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi
pengaruh nyata terhadap bobot kotor dan bersih per tanamannamun perlakuan jenis urine dan interaksi
kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata (Tabel 5).

326
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 5. Pengaruh jenis dan dosis urin terhadap bobot kotor dan bersih per tanaman
Bobot per Tanaman (g)
Perlakuan
Kotor Bersih
Jenis urine
57,87 a
U1.Sapi 116,73 a
62,80 a
U2.Kelinci 124,71 a

Dosis urine
41,00 b
D0.Tanpa pemberian urin 69,35 b
62,33 a
D1.50 ml/l air 120,83 a
63,00 a
D2.100 ml/l air 135,33 a
67,00 a
D3.150 ml/l air 138,60 a
68,33 a
D4.200 ml/l air 139,50 a
KK (%) 15,08 14,08
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05

Perlakuan dosis urinenyata menghasilkan bobot kotor dan bersih per tanaman yang lebih
tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian urin, dimana peningkatan bobot kotor pertanaman
mencapai 50,28% dan bobot bersih pertanaman 40,00%.Terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi
dosis urin yang diberikan, maka akan semakin meningkat bobot per tanaman. Dimana bobot kotor dan
bersih per tanaman tertinggi dijumpai pada perlakuan dosis 200 ml/l air, yaitu masing-masing 139,50 g
dan 68,33 g. Hal ini diduga karena urine menganadung unsur hara yang dapat membantu pertumbuhan
dan produksi tanaman, ini sesuai dengan hasil penelitian Karo, et al.(2014), bahwa pemberian urine
kelinci dengan cara disiram dapat meningkatkan produksi kentang, khususnya persentase ketang grade
besar, (47,21%).
Panjang Daun dan Batang
Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh
nyata terhadap panjang daun namun dan tidak pada panjang batang,perlakuan jenis urinedan interaksi
kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh jenis dan dosis urineterhadap panjang daun dan batang
Panjang (cm)
Perlakuan
Daun Batang
Jenis urine
U1.Sapi 65,23 a 12,55 a
U2.Kelinci 65,10 a 12,57 a

Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin 56,92 b 12,45 a
D1.50 ml/l air 65,82 a 12,57 a
D2.100 ml/l air 68,05 a 12,87 a
D3.150 ml/l air 66,23 a 12,28 a
D4.200 ml/l air 68,82 a 12,63 a
KK (%) 6,94 4,00
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05

Perlakuan dosis urinenyata menghasilkan panjang daun yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan tanpa pemberian urin, dimana meningkat sebesar 15,63 - 19,29%. Pemberian urine200 ml/l
air menghasilkan panjang daun teringgi dari perlakuan lainnya (68,82 cm). Hal ini diduga karena urine
mengandung unsure hara nitrogen yang sangat berperan terhadap pertumbuhan vegetative.Djafar,et al.
(2013), mengatakan bahwa pemberian urine kelinci berpengaruh nyata pada tinggi tanaman 3 dan 4
MST, jumlah daun 3 dan 4 MST, luas daun, bobot basah tanaman, bobot kering tanaman, dan produksi
per plot pada tanaman sawi.

327
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Produksi per Plot


Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa perlakuan dosis urine memberi pengaruh
nyata terhadap produksi per plot namun perlakuan jenis urine berpengaruh tidak nyata dan interaksi
kedua perlakuan memberi pengaruh tidak nyata (Tabel 7).
Tabel 7. Pengaruh jenis dan dosis urineterhadap produksi per plot
Perlakuan Produksi per Plot (kg/1 m2)
Jenis urine
U1.Sapi 1,00 a
U2.Kelinci 1,02 a

Dosis urine
D0.Tanpa pemberian urin 0,58 b
D1.50 ml/l air 1,02 a
D2.100 ml/l air 1,19 a
D3.150 ml/l air 1,12 a
D4.200 ml/l air 1,14 a
KK (%) 16,29
Keterangan : Angka rata-rata yang di ikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ. 05

Perlakuan dosis urine nyata menghasilkan produksi per plot yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan tanpa pemberian urine, yaitu 1,02 1,19 kg berbanding 0,58 kg. Dari Tabel 7 dapat dilihat
bahwa pemberian urine 200 ml/l air dapat meningkatkan produksi per plot 49,63 % pada tanaman
bawang daun. Hal ini karena urine mengandung unsur hara bagi tanaman sehingga dapat berproduksi
dengan sempurna, sesuai dengan penelitian (Alfarisidan Manurung, 2015) yang mengatakan bahwa
pupuk organik urine sapi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung manis pada
konsentrasi 75 cc/l.

Gambar 1. Pertumbuhan Tanaman Bawang Daun dengan Pemberian Urin

KESIMPULAN
1. Penggunaan urine sapi maupun kelinci dapat dilakukan pada usaha bawang daun.
2. Pemberian urine 200 ml/l air dapat meningkatkan produksi (bobot kotor per tanaman 50,28%,
bobot bersih per tanaman 40,00%, dan produksi per plot 49,63%.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ririn Hariati SP. Alumni
Universitas Methodis Medan dan Yodik Syahputra Marpaung Mahasiswa Univesitas
Methodis Medan yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

328
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi, N., Manurung, T. 2015. Pengaruh pemberian pupuk urin sapi terhadap pertumbuhan dan
produksi jagung manis (Zea mays saccharata) dengan penggunaan EM4. Jurnal Biosains
1(3):93-99.
Ariesandy,W. 2014.Pengaruh kombinasi tanah dengan kompos daun sebagai campuran media tanam
dan konsentrasi urin sapi terhadap pertumbuhan bibit kopi Arabika (Coffea arabica L.)
kultivarlini S 795.Agric. Sci. J., I (4) : 8-17.
Arinong, A.R., Lasiwua, C.D. 2011. Aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman sawi.Jurnal Agrisistem. 7(1):47-54.
Desiana, C., Banuwa, I.S., Evijal,R., Yusnani, S. 2013. Pengaruh pupuk organik cair urin sapi dan
limbah tahu terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L ). J. Agrotek
Tropika1(1): 113-119.
Djafar, T.A., Barus, A., Syukri. 2013. Respon pertumbuhan dan produksi sawi (Brassica juncea L )
terhadap pemberian urin kelinci dan pupuk guano, Jurnal Online
Agroekoteknologi1(3):646 -654, ISSN No. 2337- 6597.
Indriyati, L.T., Anas, I. 2013. Jerapan nitrogen-urine oleh ziolet dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.).J. Tanah Lingk. 15(2): 84-90, ISSN 1410-
7333.
Karo, B., Marpaung,A.E., Lasmono, A. 2014. Efek tehnik penanaman dan pemberian urin kelinci
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kentang granola (Solanum tuberosum L),
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi PertanianLampung, hlm. 285-
197, ISBN 978-979-3263-42-7.
Marpaung, A.E., Karo, B., Lasmono, A. 2014. Respon penggunaan pupuk organik NPK dengan
pengurangan pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum
Tuberosum). Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
Lampung, hlm. 200-210, ISBN 978-979-3263-42-7.
Mayura, E., Yudarfis,Idris, H. 2015. Pengaruh pemberian urin sapi pada pertumbuhan benih tanaman
kayumanis ceylon (Cinnamomum zeylanicum Blume.) Prosiding Seminar Perbenihan
Tanaman Rempah dan Obat Bogor, 29 April 2015, hlm. 45-49.
Nazari, Y.A., Soemarno, Agustina, L. 2012.Pengelolaan kesuburan tanah pada pertanaman kentang
dengan apikasi pupuk organik dan anorganik.Indonesian Green Technology
Journal1(1):7-12.
Rosniawaty, S., Sudirja, R., Afrianto, H. 2015. Pemanfaatan urin kelinci dan urin sapi sebagai
alternatif pupukorganik cairpada kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal Kultivasi
14(1):32-36.
Susantidiana. 2011. Peran media tanam dandosis pupuk urea, SP-36, KCl terhadap pertumbuhan
tanaman bawang daun (Allium fistulosum L.) dalam polybag.Agronobis 3(5):17-21.
Wahyu, D.E. 2013.Pengaruh pemberian berbagai komposisi bahan organik pada pertumbuhan dan
hasil tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.).Jurnal Produksi Tanaman1(3): 21-
29.

329
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KAJIAN ADAPTASI CABAI MERAH KENCANA PADA AGROEKOSISTEM DATARAN


TINGGI MUSIM KEMARAU DI KABUPATEN REJANG LEBONG
ASSESSMENT OF ADAPTATION OF RED CHILI KENCANA
ON HIGHLAND AGROECOSYSTEMS DRY SEASON IN THE DISTRICT REJANG LEBONG
Rudi Hartono dan Yahumri
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu
E-mail : yahumri.bptpbengkulu@gmail.com

ABSTRAK
Masih rendahnya tingkat produktivitas cabai di Provinsi Bengkulu disebabkan oleh penerapan
teknologi ditingkat petani belum memadai, seperti penggunaan varietas yang unggul dan bermutu
yang adaptif. Oleh karena itu perlu adanya kajian adaptasi varietas cabai merah spesifik lokasi di
Kabupaten Rejang Lebong sebagai salah satu strategi dasar untuk memacu produksi dalam rangka
memenuhi permintaan yang semakin meningkat. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengkaji
adaptasi varietas cabai kencana pada agroekosistem dataran tinggi di musim kemarau. Pengkajian
dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2015 di Kabupaten Rejang Lebong.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial
dengan 3 perlakuan yaitu cabai merahvarietas Kencana (V1), Hibrida (V2), dan Lokal (V3) dengan 8
ulangan. Pengkajian dilaksanakan di lahan 4 orang petani dengan luas plot pengkajian masing-masing
berukuran 800m2(per satuan usaha).Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai yang
terkumpul dianalisis dengan Analisis of Variant (Anova) dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas yang diintroduksi yaitu
varietas kencana dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim kekeringan, dapat
ditanam diluar musim serta mampu berproduksi dengan baik dengan hasil rerata sampai panen
keempat sebanyak 129,32 g/ per pohon. Dengan demikian penggunaan paket teknologi terutama pada
komponen varietas unggul cabai kencana dapat dikembangkan oleh petani di Desa Mojorejo dan
sekitarnya.
Kata Kunci: Adaptasi, cabai merah kencana, dataran tinggi

ABSTRACT
The low level of productivity of chili in Bengkulu Province caused by the application of technology is
not adequate for farmers, such as the use of superior varieties and quality adaptive. Therefore, it is
necessary to study adaptation of specific varieties of red chili in Rejang Lebong as one of the basic
strategies to boost production in order to meet the ever increasing demand. The purpose of this study
was to assess the adaptation of varieties of chili golden highland agroecosystems in the dry season.
The assessment was carried out from January to December 2015 in Rejang Lebong. The experimental
design used was a randomized block design (RBD) nonfactorial with 3 treatments, red chili varieties
Kencana (V1), Hybrid (V2), and local (V3) with 8 replications. The assessment was conducted in four
farmers land plot with an area of study each measuring 800 m2 (per unit of effort). Data growth and
productivity of pepper plants were analyzed by analysis of Variant (ANOVA) and the test continued
with Duncan Multiple Range Test (DMRT) at 5%.The study showed that the introduced varieties are
golden varieties can grow and adapt well to the climatic conditions of drought, can be grown out of
season and can produce well. Thus the use of the technology package, especially on components
golden chili varieties can be developed by farmers in Mojorejo and surrounding areas.
Keywords: Adaptation, highland, red chili kencana

330
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Cabai (Capsicum annum L.)merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di
Indonesia, baik sebagai komoditas yang dikonsumsi di dalam negeri maupun sebagai komoditas
ekspor. Sebagai sayuran, cabai merah selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, juga mempunyai
nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau sebagai bahan baku berbagai
industri makanan, minuman dan obat-obatan membuat cabai merah semakin menarik untuk
diusahakan (Sumarni dan Muharam, 2005). Di Indonesia tanaman tersebut dibudidayakan sebagai
tanaman semusim pada lahan bekas sawah dan lahan kering atau tegalan. Namun demikian, syarat-
syarat tumbuh tanaman cabai merah harus dipenuhi agar diperoleh pertumbuhan tanaman yang baik
dan hasil buah yang tinggi.
Kabupaten Rejang Lebong memiliki luas wilayah 151.576 ha yang terdiri dari 15 kecamatan.
Topografi wilayah Rejang Lebong bergelombang hingga berbukit dengan ketinggian 100-1.000 m di
atas permukaan laut. Curah hujan berkisar antara 2.377-3.508 mm sepanjang tahun. Kabupaten Rejang
Lebong juga terkenal sebagai daerah sentra produksi hortikultura di provinsi Bengkulu. Salah satu
komoditas unggulan hortikultura adalah sayur-sayuran yaitu cabai besar dengan produksi 37.251,30
ton atau 80,69 persen dari total produksi cabai besar di Provinsi Bengkulu dengan produktivitas rata-
rata tahun 2014 mencapai 6,21 ton/ha (Kementan, 2015; BPS, 2015). Akan tetapi produktivitas
tersebut masih rendah jika dibandingkan rata-rata produktivitas nasional sebesar 8,35 ton/ha.
Masih rendahnya produktivitas cabai merah di Kabupaten Rejang Lebong disebabkan oleh
faktor-faktor produksi tidak terpenuhi secara optimal, salah satu diantaranya adalah penggunaan benih
yang unggul dan berkualitas. Menurut Syukur et al. (2010) bahwa penggunaan benih bermutu dari
varietas unggul merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi di bidang
pertanian, jika bibit yang ditanam tidak memiliki sifat unggul maka akan sangat berisiko akan
serangan hama penyakit dan menyebabkan hasil produksi tidak optimal. Karida dan Aribawa (2014)
melaporkan bahwa kebanyakan petani, terbiasa menggunakan benih dari hasil panen sendiri yang
mutunya belum terjamin, karena petani tidak mampu membeli benih dari varietas hibrida yang
harganya mahal dan bersifat sekali pakai. Disamping benih/biji yang kurang berkualitas, petani juga
menanam bibit dari satu jenis varietas secara terus menerus, dari musim ke musim tanam berikutnya,
sehingga produktivitasnya menurun dan rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman.
Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di
dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut, tetapi
pertumbuhannya di dataran tinggi lebih lambat. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman
0 0
cabai merah adalah 25-27 C pada siang hari dan 18-20 C pada malam hari (Wien, 1997). Suhu malam
0 0
di bawah 16 C dan suhu siang hari di atas 32 C dapat menggagalkan pembuahan (Knott dan Deanon
1970). Suhu tinggi dan kelembaban udara yang rendah menyebabkan transpirasi berlebihan, sehingga
tanaman kekurangan air. Akibatnya bunga dan buah mudah gugur. Pembungaan tanaman cabai merah
tidak banyak dipengaruhi oleh panjang hari. Kelembaban tanah dalam keadaan kapasitas lapang
0
(lembab tetapi tidak becek) dan temperatur tanah antara 24-30 C sangat mendukung pertumbuhan
tanaman cabai merah. Temperatur tanah yang rendah akan menghambat pengambilan unsur hara oleh
akar.
Informasi mengenai teknologi spesifik lokasi, terutama daya adaptasi cabai kencana pada
dataran tinggi di Provinsi Bengkulu terutama diluar musim (off season) dengan pendekatan teknologi
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengatasi faktor-
faktor pembatas produksi tanaman dirasa masih kurang. Sehingga perlu dilakukan kajian untuk
mengetahui daya adaptasi cabai merah kencana yang dibandingkan dengan cabai hibrida dan cabai
lokal. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi cabai merah kencana pada aspek
karakter agronomis (pertumbuhan dan produksi) di lahan kering dataran tinggi diluar musim.

331
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi iklim basah di Desa Mojorejo,
Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong dengan ketinggian tempat 1.047 m dari
permukaan laut, penanaman dilaksanakan pada musim kemarau (MK) dari bulan Juli sampai dengan
bulan Desember tahun 2015.
Pengkajian dilakukan dilahan petani dan melibatkan 4 petani sebagai pelaksana, dengan luasan
3.200m2. Percobaan lapangan yang dilakukan terfokus pada uji adaptasi varietas unggul baru (VUB)
cabai merah Kencana, sedangkan hibrida dan lokal sebagai pembanding. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 ulangan. Perlakuan terdiri atas 3
perlakuan yaitu varietas cabai merah (Varietas Kencana, Hibrida dan Lokal). Petani kooperator
sebanyak 4 orang dengan luas plot pengkajian masing-masing berukuran 800m2(per satuan usaha).
Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan teknologi PTT cabai merah dataran tingggi.
Komponen teknolgi PTT yang diterapkan disajikan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Teknologi PTT cabai merah yang diterapkan di lokasi pengkajian tahun 2015.
No Komponen Teknologi Keterangan
1 Penggunaan Varietas Unggul Kencana, Hibrida dan Lokal
2 Persemaian Persemaian khusus di bedengan
3 Pengolahan Tanah Olah Tanah Sempurna (Maximum Tillage)
4 Pemupukan Spesifik Lokasi
(per satuan usaha 800 m2)
Pupuk Organik 1,2 t, Phonska 50 kg, SP-36 75 kg, ZA 50
kg, NPK Mutiara 15 kg, KCl 15 kg.
5 Pengendalian Hama dan Penyakit PHPT
6 Penggunaan Mulsa Mulsa Plastik Hitam-Perak (MPHP)
7 Pengaturan Populasi Tanaman Jarak Tanam 30 x 150 cm
8 Panen Tepat waktu
Penyiangan
9 Manual dan khemis
Sumber: Data Primer (2015)

Bahan yang digunakan pada percobaan ini diantaranya adalah pupuk kimia, pestisida
(herbisida, insektisida, dan fungisida), benih cabai merah keriting (Varietas Kencana, Hibrida, Lokal).
Peralatan yang diperlukan dalam percobaan ini adalah timbangan, ATK (mistar, handcounter,
kalkulator, pena, amplop dll), plastik, cangkul, ember, sprayer, tali, ajir dan meteran. Benih cabai
merah kencana diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayur-sayuran (Balitsa) Lembang Jawa Barat
yang merupakan benih sumber dengan kelas benih penjenis (breeder seed). Varietas cabai kencana
yang digunakan pada kegiatan ini merupakan varietas yang cocok dibudidayakan diluar musim (off
season), baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, pada lahan sawah atau tegalan dengan
ketinggian 0-1000 m dpl dan tumbuh optimum pada dataran medium dengan ketinggian 510-550 m
dpl pada musim kemarau basah dengan umur panen antara 95-98 hari setelah tanam (HST). benih
cabai hibirda diperoleh dari kios setempat dan benih cabai lokal diperoleh dari petani kooperator.
Pelaksanaan Kegiatan adalah sebagai berikut: (1) Pupuk organik berupa pupuk kandang ayam
diaplikasikan bersamaan dengan waktu olah tanah atau pada saat tanam (2) Pupuk dasar berupa SP-36
dan NPK Phonska semua dosis diaplikasikan sebelum pemasangan mulsa (3) Selanjutnya pemasangan
mulsa plastik dan pembuatan lubang tanam (4) Bibit ditanam pada umur 4-5 minggu dengan jarak
tanam 30 x 150 cm pola satu baris (5) Pupuk susulan berupa pupuk ZA diberikan sebanyak 3 kali yaitu
pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST), 6 MST dan 9 MST. Kemudian untuk
pupuk NPK Mutiara dan pupuk KCl diberikan dengan cara dikocor dengan interval 2 minggu 1 kali.
Parameter tanaman yang diamati adalah komponen pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, lebar
kanopi, jumlah daun, jumlah tunas dan jumlah cabang), Komponen hasil antara lain (jumlah bunga,
jumlah buah, panjang buah dan hasil panen), serta curah hujan, suhu dan kelembaban selama
pengkajian.
Data pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai yang terkumpul dianalisis dengan Analisis
of Variant (Anova) dan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% bila
dalam uji F memperlihatkan pengaruh yang nyata.

332
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Lokasi Pengkajian
Desa Mojorejo memiliki luas wilayah 1.159 ha (6,70%) dari luas 17.295 wilayah Kecamatan
Selupu Rejang. Topografi lokasi pengkajian bergelombang hingga berbukit dengan ketinggian tempat
dari permukaan laut rata-rata 968,31 m dpl (BPS, 2015). Jumlah hari hujan di Kecamatan Selupu
Rejang selama pelaksanaan pengkajian terjadi 161 hari atau rata-rata 15 hari per bulan. Demikian juga
dengan curah hujan yang terjadi selama kurun waktu yang sama yaitu 2.717 mm atau rata-rata 247
mm perbulan. Sedangkan suhu dan kelembaban rata-rata kurun waktu September-Oktober yaitu
24,2oC dan 70,2% (BPP Mojorejo, 2015).
Dari hasil pengamatan terhadap curah hujan dan hari hujan pada bulan Juli sampai dengan
bulan Oktober 2016 terjadi penurunan yang ekstrim dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Dari
grafik 1 menunjukkan bahwa hari hujan pada bulan Juli terjadi sebanyak 4 kali, bulan Agustus 9 kali,
bulan September 1 dan bulan Oktober 6 kali dengan rerata curah hujan berturut-turut 48,6 mm/bulan,
88 mm/bulan, 15 mm/bulan dan 122,7 mm/bulan. Kemudian terjadi peningkatan intensitas curah hujan
sebanyak 18 kali dengan rerata curah hujan 440,4 mm/bulan pada akhir bulan November.
500 472,5 440,4
395,2
365
400
277,1
300 249,8
242,6
Curah Hujan
200 122,7 (mm/bulan)
88
100 48,6 Hari Hujan
24 23 20 23 16 17 4 9 15
1 6 18
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Bulan

Grafik 1. Rerata hasil pengamatan terhadap hari hujan dan curah hujan
di Kecamatan Selupu Rejang tahun 2015

Komponen Pertumbuhan Vegetatif


Hasil analisis pada komponen pertumbuhan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
tinggi tanaman pada umur 3 minggu setelah tanam (MST) dan umur 6 MST varietas kencana dan
hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan varietas lokal. Sedangkan pada umur 9 HST cabai hibrida
memiliki tinggi tanaman yang berbeda nyata dibandingkan dengan kencana dan lokal. Pada parameter
tinggi tanaman umur 3 MST tertinggi cabai hibrida 27,65 cm, diikuti oleh cabai kencana 26,56 cm,
dan terendah cabai lokal 17,18 cm. Tinggi tanaman umur 6 MST tertinggi cabai hibrida 50,65 cm,
diikuti cabai kencana 49,80 cm, selanjutnya tinggi tanaman pada umur 9 MST tertinggi cabai hibrida
59,75 cm, kemudian diikuti tinggi tanaman cabai kencana dan cabai lokal yang sama yaitu 56,18 cm.
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman dan lebar kanopi tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST
dan 9 MST tahun 2015.
Perlakuan
Parameter
Kencana Hibrida Lokal
Tinggi Tanaman (cm)
3 MST 26,56 a 27,65 a 17,18 b
6 MST 49,80 a 50,65 a 43,39 b
9 MST 56,18 b 59,75 a 56,18 b
Lebar Kanopi (cm)
3 MST 13,66 a 14,00 a 10,11 b
6 MST 34,53 a 35,91 a 31,29 b
9 MST 49,39 a 45,26 b 43,74 b
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Sumber: Data primer (2015).

333
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Hasil analisis pada parameter lebar kanopi menunjukkan bahwa varietas kencana dan hibrida
berbeda nyata dibandingkan dengan cabai lokal pada umur 3 MST dan 6 MST. Sedangkan umur 9
MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan cabai hibrida dan cabai lokal. Pada
parameter lebar kanopi umur 3 MST tertinggi cabai hibrida 14,00 cm, diikuti oleh cabai kencana 13,66
cm, dan terendah cabai lokal 10,11 cm. Lebar kanopi umur 6 MST tertinggi cabai hibrida 35,91 cm,
diikuti cabai kencana 34,53 cm, dan terendah cabai lokal 31,29 cm. Selanjutnya lebar kanopi pada
umur 9 MST tertinggi cabai kencana 49,39 cm, kemudian diikuti lebar kanopi cabai hibrida dan cabai
lokal masing-masing 45,26 cm dan 43,74 cm. Dengan demikian, semakin tinggi tanaman maka
produksi buah akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi tanaman sangat
memengaruhi produksi buah cabai. Dengan semakin tinggi tanaman maka akan meningkatkan
percabangan tanaman sehingga kemungkinan produksi bunga dan buah juga meningkat (Sujitno dan
Dianawati, 2015).
Hasil analisis keragaman terhadap jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah cabang pada fase
pertumbuhan 3 MST sampai dengan 15 MST masing-masing varietas disajikan pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Rerata jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah cabang tiga varietas cabai merah pada umur 3
MST, 6 MST, 9 MST, 12 MST, dan 15 MST.
Perlakuan
Parameter
Kencana Hibrida Lokal
Jumlah Daun (helai)
3 MST 107,83 a 106,78 a 87,80 b
6 MST 157,36 a 166,30 a 133,89 b
9 MST 349,88 a 318,64 a 355,59 a
12 MST 388,08 a 392,08 a 373,08 a
15 MST 484,69 a 490,95 a 486,99 a
Jumlah Tunas
3 MST 5,90 a 5,41 a 6,09 a
6 MST 10,73 b 10,48 b 11,76 a
9 MST 9,50 c 10,68 b 11,99 a
12 MST 9,50 b 9,91 b 11,99 a
15 MST 9,50 b 9,91 b 11,99 a
Jumlah Cabang
3 MST 2,15 a 2,44 a 0,75 b
6 MST 4,66 a 4,04 b 2,79 c
9 MST 7,60 a 7,20 a 5,95 b
12 MST 9,71 a 9,41 a 7,88 b
15 MST 11,73 a 11,88 a 10,49 b
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5 % uji DMRT. Sumber: Data primer terolah (2015).

Parameter jumlah daun menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada varietas
kencana dan hibrida terhadap varietas lokal pada umur tanaman 3 MST dan 6 MST dan selanjutnya
pada fase pertumbuhan tanaman 9 MST sampai dengan 15 MST tidak terdapat perbedaan yang nyata
antar varietas. Varietas kencana dan hibrida mampu beradaptasi dengan baik dan masa juvenilitasnya
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan varietas lokal, hal tersebut ditunjukan pada jumlah daun
yang terbentuk lebih banyak yaitu varietas kencana 107,83 helai dan vareitas hibrida 106,78 helai pada
umur 3 MST, sedangkan pada umur 6 MST jumlah daun yang terbentuk tertinggi pada varietas hibrida
berjumlah 166,30 helai yang diikuti oleh varietas kencana berjumlah 157,36 helai.
Hasil analisis terhadap parameter jumlah tunas yang terbentuk terdapat perbedaan yang nyata
pada varietas lokal terhadap varietas kencana dan hibrida pada fase pertumbuhan jumlah tunas dari
umur 3 MST sampai dengan umur 15 MST, dimana jumlah tunas yang terbentuk tertinggi yaitu
varietas lokal sebanyak 11,99 tunas dan mulai konstan pada umur 9 MST sampai umur 15 MST.
Dari parameter jumlah cabang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada varietas
kencana dan hibrida dibandingkan dengan varietas lokal pada umur 3 MST, 9 MST, 12 MST dan 15
MST. Sedangkan pada umur 6 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan varietas
hibrida dan varietas lokal. Pada fase pertumbuhan 15 MST menunjukkan bahwa jumlah cabang
tertinggi yaitu varietas hibrida sebanyak 11,88 cabang, diikuti oleh varietas kencana sebanyak 11,73
cabang dan terendah varietas lokal sebanyak 10,49 cabang. Perbedaan keragaan pertumbuhan masing-
masing varietas ditentukan oleh sejumlah genotipe dan mempunyai kemampuan beradaptasi yang

334
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

berbeda terhadap lingkungan tertentu. Ciri -ciri tertentu dari suatu pertumbuhan dipengaruhi oleh
genotipe sedangkan yang lainnya dipengaruhi oleh lingkungan (Marliah et al., 2011).
Komponen Pertumbuhan Generatif
Komponen pertumbuhan generatif yang diamati selama pengkajian terhadap ketiga varietas
yaitu jumlah bunga, jumlah buah, hasil panen dan panjang buah. Hasil analisis keragaman disajikan
pada Tabel 4, 5, dan 6.
Tabel 4. Rerata jumlah bunga tiga varietas cabai merah pada umur 3 MST, 6 MST, 9 MST, 12 MST,
dan 15 MST tahun 2015.
Perlakuan
Parameter
Kencana Hibrida Lokal
Jumlah Bunga
3 MST 4,60 a 5,84 a 1,44 b
6 MST 17,00 a 18,99 a 6,38 b
9 MST 64,08 a 35,00 b 47,91 b
12 MST 68,78 a 33,09 c 45,64 b
15 MST 81,34 a 23,16 c 39,06 b
Jumlah Buah
3 MST 0,00 a 0,08 a 0,00 a
6 MST 2,80 a 3,28 a 0,38 b
9 MST 46,39 a 52,94 a 27,71 b
12 MST 62,46 a 65,41 a 37,83 b
15 MST 69,21 a 75,83 a 54,46 b
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Sumber: Data primer terolah (2015).

Hasil analsis terhadap jumlah bunga menunjukkan bahwa varietas kencana dan hibrida
berbeda nyata dibandingkan varietas lokal pada umur 3 MST dan 6 MST, namun pada umur 9 MST
sampai dengan umur 15 MST varietas kencana berbeda nyata dibandingkan dengan varietas hibrida
dan lokal. Sedangkan pada umur 12 MST dan umur 15 MST berbeda sangat nyata pada varietas
kencana dibandingkan dengan varietas hibrida. Dari Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah bunga pada
varietas kencana terjadi peningkatan dari umur 3 MST sampai dengan umur 15 MST yaitu sebanyak
81,34 bunga, sedangkan varietas hibrida dan varietas lokal terjadi penurunan mulai umur 12 MST dan
15 MST. Penurunan jumlah bunga pada varietas hibrida dari 35,00 bunga menjadi 33,09 bunga dan
23,16 bunga, selanjutnya varietas lokal dari 45,64 bunga menjadi 45,64 bunga dan 39,06 bunga.
Hasil analisis pada parameter hasil panen per pohon terhadap tiga varietas menunjukkan
bahwa varietas hibrida berbeda nyata dibandingkan dengan varietas kencana dan lokal pada hasil
panen kesatu dan kedua, selanjutnya tidak ada perbedaan yang nyata hasil panen ketiga dan keempat
pada semua varietas. Dari hasil panen pertama dan kedua menunjukkan bahwa varietas hibrida
menghasilkan hasil panen tertinggi 40,63 gram/pohon dan 50,20 gram/pohon, diikuti varietas kencana
17,09 gram/pohon dan 21,69 gram/pohon, dan selanjutnya varietas lokal 7,09 gram/pohon dan 18,31
gram/pohon (Tabel. 5).
Tabel 5. Rerata hasil panen per pohon pada tiga varietas cabai merah yang diamati sampai minggu
keempat.
Perlakuan
Parameter
Kencana Hibrida Lokal
Hasil Panen (g/pohon)
Ke-1 17,09 b 40,63 a 7,08 b
Ke-2 21,69 b 50,20 a 18,31 b
Ke-3 51,04 ab 69,59 a 42,91 a
Ke-4 29,60 a 37,10 a 29,60 a
Keterangan : Angka-angka dalam baris yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5 % uji DMRT.

Dari Tabel5 menunjukkan bahwa varietas kencana dan varietas lokal mengalami peningkatan
hasil panen yang signifikan dibandingkan varietas hibrida. Hasil panen keempat pada semua varietas

335
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

mengalami penurunan, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan
bahwa varietas kencana sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan pertumbuhannya.
Penurunan hasil panen cabai hibrida dibandingkan dengan hasil panen pertama diduga tidak
optimalnya pertumbuhan tanaman karena disebabkan oleh kekurangan air pada fase pertumbuhan
vegetatif hingga generatif tanaman sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman,
dimana fungsi air merupakan komponen lingkungan abiotik yang sangat diperlukan oleh tanaman
dalam menyerap (absorbsi) unsur hara dari dalam tanah dan membantu proses fotosintesis. Menurut
Syukur et al. (2010) tingkat produksi cabai akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan cabai
tersebut ditanam dan genotipenya.
Hasil pengamatan terhadap jumlah bunga juga menunjukkan penurunan jumlah bunga pada
varietas hibrida dan varietas lokal, sedangkan pada varietas kencana tidak terjadi penurunan jumlah
bunga tapi diduga terjadinya penurunan hasil panen disebabkan oleh bunga yang terbentuk menjadi
buah menurun dan juga secara morfologis buah yang dihasilkan varietas kencana tidak sepanjang
varietas hibrida dan varietas lokal.
Hasil analisis terhadap rerata panjang buah terhadap tiga varietas cabai merah disajikan pada
Tabel. 6 berikut:
Tabel 6. Rerata panjang buah tiga varietas cabai merah tahun 2015.
Perlakuan Panjang Buah (cm)
Kencana 10,94 b
Hibrida 11,99 ab
Lokal 12,76 a
Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Sumber: Data primer terolah (2015).
Berdasarkan hasil analisis terhadap panjang buah menunjukkan bahwa panjang buah varietas
lokal berbeda nyata dengan varietas kencana, varietas lokal dengan varietas hibrida tidak berbeda
nyata, sedangkan varietas hibrida dengan varietas kencana tidak berbeda nyata. Dari hasil pengukuran
bahwa varietas lokal memiliki panjang buah terpanjang 12,76 cm yang diikuti oleh varietas hibrida
11,99 cm dan terpendek varietas kencana 10,94 cm (Gambar 1).

Gambar 1. Keragaan panjang buah cabai varietas hibrida, kencana dan lokal

Penurunan rerata hasil panen per pohon pada tiga varietas cabai merah keriting pada minggu
keempat juga diduga interval panen yang terlalu dekat dan akibat cekaman lingkungan abiotik
terutama pada curah hujan dan hari hujan pada saat pertumbuhan generatif tanaman, hal tersebut
sejalan dengan Yusniwati et al. (2008) bahwa cekaman kekeringan pada pertumbuhan reproduktif
mengakibatkan ketidaknormalan pembungaan, aborsi embrio, ketidaknormalan perkembangan biji dan
buah.

336
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KESIMPULAN
Cabai merah varietas Kencana dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim
kekeringan dan dapat ditanam diluar musim dengan hasil rerata sebanyak 129,32 g/pohon. Dengan
demikian penggunaan varietas unggul cabai kencana dapat dikembangkan oleh petani di Desa
Mojorejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong.

DAFTAR PUSTAKA
Aribawa, I.B. dan I.K. Karida. 2014. Adaptasi beberapa klon cabai di lahan kering dataran tinggi
beriklim basah di Bali. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi pertanian spesifik
lokasi. Banjarbaru, 6-7 Agustus 2014. halaman: 413-418.
BPS, 2015. Kabupaten Rejang Lebong Dalam Angka 2015. http://rejanglebongkab.
bps.go.id/webbeta/backend/pdf_publikasi/statistik-daerah-kabupaten-rejang-lebong -
statistik-daerah-kecamatan-selupu-rejangg-2015.pdf [diakses pada tanggal 22 Desember
2015].
Karida, I.K. dan I.B. Aribawa. 2014. Adaptasi beberapa galur cabai (Capsicum annum) secara organik
pada lahan medium iklim basah di Bali. Prosiding seminar nasional pertanian organik.
Bogor, 18-19 Juni 2014, halaman: 233-238.
Kementan, 2015. Produktivitas sayuran Indonesia dan produktivitas cabai besar menurut provinsi
tahun 2010-2014. http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/datahorti. [diakses tanggal 4
Januari 2015].
Knott, J.E. and J.R. Deanon. 1970. Vegetable production in Southeast Asia. Univ. of Phillipines
College of Agricultural College. Los Banos, Laguna, Phillipines. P: 97-133.
Marliah, A., M. Nasution, dan Armin. 2011. Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas cabai merah
pada media tumbuh yang berbeda. J. Floratek (6): 84-91.
Sujitno, S. dan M. Dianawati. 2015. Produksi panen berbagai varietas unggul baru cabai rawit
(Capsicum frutescens) di lahan kering Kabupaten Garut, Jawa Barat. Prosiding seminar
nasional masyarakat biodiversitas Indonesia. Juli 2015, Vol (1), No. 4, hal: 874-877.
Sumarni, N., dan A. Hidayat. 2005. Juknis Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan HortikulturaBadan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, R., dan Kusumah, D. A. (2010). Evaluasi daya hasil cabai
hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. Jurnal Agronomi
Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy): 38 (1): 43-51.
Wien, H.C. 1997. The physiology of vegetable crops. Cab. International.
Yusniwati, Sudarsono, H. Aswidinnoor, S. Hendrastuti, dan D. Santoso. 2008. Pengaruh Cekaman
Kekeringan Terhadap pertumbuhan, hasil, dan kandungan prolina daun cabai. Agrista Vol
(12), No. 1, hal: 19-27.

337
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

ANALISIS USAHATANI CABAI MERAHDENGAN TEKNOLOGI ANJURAN DI DESA


LUBUK SAUNG, KECAMATAN BANYUASIN III, KABUPATEN BANYUASIN,
SUMATERA SELATAN
RED CHILI PRODUCTION ANALYSIS USING SUGGESTED TECHNOLOGY IN LUBUK
SAUNG VILLAGE, SUB DISTRICT BANYUASIN III, BANYUASIN REGENCY, SOUTH
SUMATERA
Maya Dhania Sari, Dedeh Hadiyanti, Suparwoto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Burlian No. 83 Km. 6 Palembang
e-mail : mayadhaniasari@gmail.com

ABSTRAK
Cabai merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi. Namun
produktivitas cabai merah di Sumatera Selatan relatif masih rendah, oleh karena itu diperlukan
penerapan teknologi baru untuk meningkatkan produksi cabai merah. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengetahui pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran dan teknologi
petani, serta untuk mengetahui kelayakan penerapan teknologi anjuran. Pengkajian dilaksanakan di
Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan dari bulan
April sampai Desember 2015, pada lahan petani kooperator dengan luasan 2500 m2. Metode yang
digunakan observasi dan dianalisis dengan uji kelayakan finansial B/C dan MBCR. Kajian di lapangan
menggunakan 2 varietas, yakni varietas Kencana dan varietas Lokal sebagai pembanding. Dalam
pengkajian ini petani kooperator menerapkan paket teknologi anjuran, yakni menggunakan Varietas
Kencana dan pemakaian pupuk kandang, Sedangkan petani non kooperator menerapkan teknologi cara
petani setempat. Hasil menunjukkan produksi cabai merah pada penerapan teknologi anjuran sebesar
6,48 ton/ha, sedangkan produksi yang dicapai dengan teknologi petani sebesar 1,8 ton/ha. Pendapatan
pada penerapan teknologi anjuran Rp.100.538.000/musim (B/C 3,42) lebih besar daripada pendapatan
teknologi petani Rp. 26.763.000/musin (B/C 2,9), dan nilai MBCR 3,72. Dengan demikian teknologi
anjuran layak untuk dikembangkan.
Kata Kunci: Cabai Merah, Pendapatan, Teknologi anjuran

ABSTACT
Red Chili is one of horticultural commodity that has a high economic value. It is too bad that the
production of the Red Chili in South Sumatera is still low. Because of that, it is important to implement
new technology in order to increase the production of Red Chili. The goal of this research is to know
the income of Red Chili farmer and appropriateness of using the suggested technology by using
superior variety and manure. The research was held in Desa Lubuk Saung, Banyuasin III District,
Banyuasin Regency, South Sumatera from April 2015 until December 2015, in a 2500m2 field.
Research methods were observation. Then, the data were analyzed using financial B/C and MBCR
qualification. Field study used 2 varieties. Those were Kencana and Local variety as comparison. In
the research, volunteer farmer used Kencana, and manure. While non-volunteer used local method.
The result showed that the suggested technology produced 6.48 ton/ha, while local method only
produced 1.8 ton/ha. The income of the suggested technology is Rp100.538.000/season (B/C 3.42). It
is much bigger than local methods that only gained Rp26.763.000/season (B/C 2.9) and (MBCR 3.72).
Thus, suggested technology is worth to be implemented.
Keywords: Red Chili, Income, Suggested Technology.

338
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Cabai (Capsicum annuum, L.) termasuk suku Selaneceae merupakan salah satu komoditas
unggulan nasional yang tidak tersubstitusi, mempunyai nilai ekonomi dan dayaguna yang tinggi, serta
daya adaptasi yang kuat. Berbagai daya tarik tersebut menyebabkan minat masyarakat petani dalam
mengusahakan cabai sebagai kooditas andalan meningkat dan diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga. (Wahyudi, D dan Sehat Tan, S, 2010). Komoditas ini
memiliki potensi sebagai jenis sayuran buah untuk dikembangkan karena cukup penting peranannya
baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daerah, nasional maupun komoditas ekspor. Dengan
beragamnya kebutuhan manusia dan makin berkembangnya teknologi, maka kebutuhan bahan baku
cabai akan terus meningkat di setiap tahunnya.
Beberapa alasan penting pengembangan komoditas cabai merah besar, antara lain adalah (1)
tergolong sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi, (2) merupakan salah satu komoditas sayuran
unggulan nasional, (3) menduduki posisi penting dalam hampir seluruh menu masakan di Indonesia,
(4) memiliki prospek ekspor yang baik, (5) mempunyai daya adaptasi yang luas, dan (6) bersifat
intensif dalam menyerap tenaga kerja (Saptana et al, 2010).
Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah tumbuhan perdu yang berkayu, dan
buahnya berasa pedas yang disebabkan oleh kandungan kapsaisin. Di Indonesia tanaman tersebut
dibudidayakan sebagai tanaman semusim pada lahan bekas sawah dan lahan kering atau tegalan.
Namun demikian, syarat-syarat tumbuh tanaman cabai merah harus dipenuhi agar diperoleh
pertumbuhan tanaman yang baik dan hasil buah yang tinggi. Potensi hasil cabai merah sekitar 12-20 t/
ha. (Sumarni dan M uharram, 2005).
Rata-rata produktivitas cabai merah di Sumatera Selatan periode tahun 2011-2015 sebesar
2,71 ton/ha, masih sangat rendah bila dibandingkan rata-rata produksi nasional pada periode yang
sama sebesar 8,16 ton/ha (BPS, 2015). Hidajat et al. (2000) menyatakan penyebab rendahnya
produktivitas, antara lain tidak menggunakan benih bermutu.. Rendahnya produksi di Sumatera
Selatan disebabkan karena sebagian petani masih menggunakan benih varietas lokal. Menurut Sumarni
dan Muharam (2003), penggunaan benih berkualitas merupakan kunci utama memperoleh hasil yang
tinggi. Selain menggunakan benih varietas unggul, pemakaian pupuk kandang sesuai rekomendasi
juga sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi cabai merah. Dalam budidaya cabai, pemakaian
pupuk kandang atau kompos merupakan kebutuhan pokok, disamping penggunaan pupuk buatan.
Pupuk kandang atau kompos, selain dapat mensuplai unsur hara bagi tanaman (terutama hara mikro),
juga dapat memperbaiki struktur tanah, memelihara kelembaban tanah, mengurangi pencucian hara,
dan meningkatkan aktifitas biologi tanah (Sumarni dan Muharam, 2003).
Untuk meningkatkan produksi cabai merah di Sumatera Selatan, maka diperlukan perbaikan
teknologi budidayanya. Penggunaan varietas unggul dan pemupukan sesuai rekomendasi/anjuran
merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas cabai merah.
Varietas Kencana merupakan cabai keriting unggul baru di lepas tahun 2011 yang harus
dikembangkan dan diintroduksikan ke berbagai sentra produksi cabai karena mempunyai karakteristik
yang menonjol seperti toleran terhadap genangan dan berdaya hasil tinggi di atas 20 ton/ha. Introduksi
cabai varietas Kencana diharapkan mampu memenuhi pasokan cabai sepanjang tahun untuk mengatasi
gejolak harga cabai yang selalu terjadi terutama pada musim basah dan kemarau basah sehingga
kebijakan swasembada cabai yang diinginkan dapat terpenuhi (Setiawati, W et al, 2016). Oleh karena
itu diharapkan dengan teknologi yang dianjurkan kepada petani dapat meningkatkan hasil cabai
merah, sehingga pendapatan petani juga bertambah. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pendapatan usahatani cabai merah
dengan penerapan teknologi anjuran dan teknologi petani, serta untuk mengetahui kelayakan
penerapan teknologi anjuran.

339
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan dari bulan April sampai Desember 2015, pada lahan petani kooperator
dengan luasan 2500 m2. Pengkajian menggunakan metode observasi.Dalam pengkajian ini petani
kooperator menerapkan paket teknologi anjuran budidaya cabai merah dan petani non kooperator
menerapkan teknologi cara petani setempat. Komponen teknologi anjuran terdiri dari penggunaan
varietas unggul dan pupuk kandang. Secara rinci teknologi anjuran dan teknologi petani budidaya
cabai merah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen tekologi budidaya cabai merah di Desa Lubuk Saung,Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan
No. Komponen teknologi Teknologi anjuran Teknologi cara petani
1. Benih Berlabel/bermutu Petani
2. Varietas Unggul Kencana Lokal
3. Pengolahan tanah Tanah diolah + bedengan Tanah diolah + bedengan
4. Penanaman Jarak tanam 60 x 60 cm Jarak tanam 60 x 60 cm
5. Pemupukan (kg/ha) 400 kg urea/ha, 400 kg SP-36/ha, 150 kg urea/ha, 200 kg SP-
200 kg KCL/ha, 200 kg NPK/ha 36/ha, 200 kg KCL/ha, 400 kg
6. Pupuk kandang 20 ton/ha NPK/ha
7. Penyiangan gulma Penyiangan dilakukan 2-3 700 kg/ha
kali/tergantung kondisi lapang 2-3 kali
8. Pengedalian OPT Sistem monitoring Kadang-kadang
Sumber: Data primer (2016)

Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan sisa tanaman dan rumput. Kemudian tanah
diolah sebanyak dua kali sedalam 30-40 cm dan dibuat guludan setinggi 30 cm dengan jarak antar
guludan 50 cm. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 60 x 60 cm. Penyiraman dilakukan sesuai
kebutuhan. Penyiangan dilakukan 3 kali pada umur 2, 4 dan 8 minggu setelah tanam, dengan cara
manual/mencabut gulma. Penyiangan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pembumbunan
Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum tanam disebarkan merata di atas garitan,
dicampur pada tanah bedengan atau diberikan pada lubang tanam sebagai pupuk dasar. Pemberian
pupuk urea dilakukan pada saat tanam dan pada waktu tanaman berumur satu bulan, sedangkan pupuk
SP-36, NPK dan KCl diberikan seluruhnya pada tanaman umur satu minggu setelah
tanam.Pengendalian terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) dilakukan sesuai dengan jenis
dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan hama dan penyakit tersebut. Data dianalisis disusun secara
tabulasi dan dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif.
Komponen teknologi pada penelitian ini tidak menggunakan mulsa dikarenakan petani di Desa
Lubuk Saung Kabupaten Banyuasin menerapkankan pola tanam cabai merah katuk palawija.
Katuk merupakan salah satu komoditas sayuran andalan petani setempat. Penggunaan mulsa
mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman katuk dan palawija.
Analisis Data
Parameter yang diamati pada pengkajian ini meliputi produktivitas cabai merah, sarana
produksi dan tenaga kerja. Analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis imbangan
pendapatan atas biaya (B/C) (Malian, 2004)
(RAVC)
B C ratio = -------------
TVC
Dimana:
BC ratio = Nisbah pendapatan terhadap biaya
P = Harga jual (Rp/kg)
TVC = Biaya Total (Rp/ha/musim)
RAVC = (QxP) TVC
Q = Total produksi (kg/ha/musim)
Dengan keputusan:
BC Ratio > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan
BC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas
BC Ratio < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan

340
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Untuk melihat tingkat kelayakan teknologi dilakukan analisis marginal benefit cost ratio
(MBCR) yang digunakan sebagai berikut:
MBCR = Pendapatan usahatani pola perbaikan pendapatan usahatani pola petani dibagi dengan
biaya usahatani pola perbaikan biaya usahatani pola petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Desa Lubuk Saungtermasuk Saung Kecamatan Banyuasin III Kabupaten Banyuasin memiliki
luas wilayah 149 hektar. Secara umum lahan di Desa Lubuk Saung merupakan lahan kering yang
ditanami karet, palawija, dan sayuran seperti cabai merah dan katuk. Petani di Desa Lubuk Saung
menanam cabai merah pada musim penghujan dari bulan September sampai Oktober. Varietas cabai
merah yang digunakan petani yaitu varietas lokal hasil seleksi sendiri. Sebagian besar petani memiliki
lahan sendiri. Petani yang tidak memiliki lahan menyewa lahan garapan dengan sistem bagi hasil.
Analisis Usahatani Cabai Merah
Untuk mengetahui sejauh mana teknologi anjuran dapat meningkatkan pendapatan petani di
Desa Lubuk Saung, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, maka dilakukan analisa
usahatani seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis usahatani cabai merah dengan luasan 10.000 m2 di DesaLubuk Saung
No Uraian Teknologi Anjuran Teknologi Petani
Nilai (Rp) % Nilai (Rp) %
I Kebutuhan Saprodi
Benih 300.000 1,0 35.000 0,4
Urea 880.000 3,0 250.000 2,7
Sp-36 112.000 0,4 410.000 4,4
KCL 1.600.000 5,5 1.520.000 16,5
NPK 1.700.000 5,9 800.000 8,7
Pupuk Kandang 12.000.000 41,3 700.000 7,6
Pestisida 1.020.000 3,5 730.000 7,9
Total A (Rp) 17.612.000 60,6 4.427.000 47,9
II Tenaga kerja
Pengolahan lahan 600.000 2,1 400.000 4,3
Persemaian 50.000 0,2 50.000 0,5
Penanaman 200.000 0,7 200.000 2,2
Pemupukan 300.000 1,0 200.000 2,2
Penyiangan 100.000 0,3 100.000 1,1
Pengendalian Hama Penyakit 600.000 2,1 500.000 5,4
Pemanenan
Total B (Rp) 9.600.000 33,0 3.360.000 36,4
11.450.000 39,4 4.810.000 52,1
Total A + B (Rp) 29.062.000 100 9.237.000 100
Hasil cabai (kg/1ha) 6.480 1.800
Harga cabai (Rp/kg) 20.000 20.000
Penerimaan 129.600.000 36.000.000
Pendapatan 100.538.000 26.763.000
BC ratio 3,45 2,9
MBCR 3,72
Sumber: Data primer (2016)

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa biaya produksi pada teknologi anjuran lebih besar
dibandingkan dengan teknologi petani. Biaya produksi usahatani teknologi anjuran paling banyak
dikeluarkan untuk pembelian pupuk kandang sebesar 41,3% (Rp. 12.000.000,-) dari biaya produksi.
Besarnya biaya produksi dari penggunaan Varietas Unggul (Varietas Kencana) dan pupuk kandang
berbanding lurus dengan hasil yang dicapai, yaitu sebesar 6,48 ton/ha lebih besar dibandingkan
teknologi petani sebesar 1,8 ton/ha. Sepwanti et al (2016) menyatakan bahwa Varietas Unggul
merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan
pendapatan usaha tani cabai.

341
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pemakaian pupuk kandang juga berperan penting dalam peningkatan hasil cabai merah.
Menurut Las et al (2003), peran teknologi varietas dan pemupukan sangat nyata dalam peningkatan
produktivitas maupun produksi. Simamora (2006) menyatakan bahwa suatu tanaman akan tumbuh
subur apabila unsur hara yang dibutuhkan cukup tersedia dalam bentuk yang sesuai untuk diserap
tanaman. Pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah melalui perannya
sebagai sumber makanan mikroba di dalam tanah (Sugito et al., 1995).
Besarnya hasil dari usahatani dengan teknologi anjuran menyebabkan meningkatnya
pendapatan petani. Dengan harga jual cabai merah saat panen Rp. 20.000,-, petani memperoleh
pendapatan sebesar Rp. 100.538.000,-., lebih besar dari pendapatan dengan menggunakan teknologi
petani sebesar Rp. 26.763.000,- . Besarnya pendapatan ini menunjukkan bahwa teknologi anjuran
layak diusahakan dengan nilai MBCR 3,72. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparwoto et al
(2012), yang meneliti peningkatan pendapatan petani cabe merah melalui perbaikan teknologi
usahatani di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan mendapatkan hasil bahwa teknologi perbaikan
budidaya cabe merah memberikan keuntungan lebih besar daripada teknologi petani.

KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan ini dapat disimpulkan:
1. Pendapatan usahatani cabai merah dengan penerapan teknologi anjuran sebesar Rp. 100.538.000,-
lebih besar dari teknologi petani Rp. 26.763.000,-
2. Teknologi penggunaan Varietas Unggul (Varietas Kencana) dan pemakaian pupuk kandang layak
untuk diterapkan, dengan nilai B/C 3,45 dan MBCR 3,72

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2015.
www.pertanian.go.id/Data5tahun/Horti/BEM2015
Hidayat, A., R. Rosliani, A.A. asandhi, dan N. Sumarni. 2003. Optimasi penggunaan input produksi
dalam usahatani sayuran Leisa di dataran tinggi. Laporan Hasil Penelitian. Balitsa.
Lembang.
Las, I., B. Suprihatno, A.A.Drajat, Suwarno, B. Abdullah dan Satoto. 2003. Innovasi teknologi
varietas unggul padi : Pekembangan, arah dan strategi ke depan. Dalam Ekonomi Padi dan
Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Malian, A. Husni. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial teknologi pada skala
pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek
Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (The Participating Development of technology
Transfer Project (PAATP). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Marlina, Neni. 2010. Pemanfaatan Jenis Pupuk Kandang Pada Cabai Merah (Capsicum annum). Jurnal
Pemanfaatan Jenis Pupuk Kandang.
Saptana; Daryanto, A; Daryanto, H.K; dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi
Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petani Dalam Menghadapi Resiko. Jurnal Agro
Ekonomi, Volume 28 No.2, Oktober 2010 : 153 188
Sepwanti, C; Rahmawati, M; Kesumawati, E. 2016. Pengaruh Varietas dan Dosis Kompos yang
Diperkaya Trichoderma harzianum Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Cabai Maerah
(Capsicum annuum L.). Jurnal Kawista 1(1);68-74.
Setiawati, W; Koesandriani, Y; Hasyim, A. 2016. Sumbangsih Cabai Keriting Varietas Kencana
Dalam Menghadapi Kebijakan Swasembada Cabai.
http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/Buku_Inovasi/45-
57.Wiwin%20S%20sumbangsih%20cabai%20keriting.pdf 15 Oktober 2016.
Simamora, S. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Agromedia, Jakarta.
Sugito Y, Nuraini Y, Nhayati E. 1995. Sistem pertanian organik. Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya. Malang
Sumarni, N dan Muharam, A. 2003. Budidaya Cabai Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Lembang.
Wahyudi, D dan Sehat Tan, S. 2010. Kajian Efektivitas Media Diseminasi Dalam Inovasi Teknologi
PTT Cabai di Kabupaten Cirebon dan Ciamis Propinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar
Nasional Membangun Sistem Inovasi di Pedesaan. ISBN 978-979-1415-49-1.

342
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PERANAN PENDAMPINGAN TEKNOLOGI TERHADAP PENINGKATAN


PENEGETAHUAN PETANI DAN PRODUKSI CABE DI BENGKULU
MENTORING ROLE TECHNOLOGY TO INCREASE FARMERS KNOWLEDGE AND CHILI
PRODUCTION AT BENGKULU
Ruswendi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119
e-mail : wendi_polo@yahoo.com

ABSTRAK
Pendampingan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura, merupakan suatu wujud peningkatan
produksi hortikultura dan pendapatan petani secara nasional. Provinsi Bengkulu merupakan salah satu
daerah yang memiliki potensi dalam pengembangan tanaman hortikultura, termasuk komoditas cabe.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendampingan pengembangan kawasan cabai
terhadap peningkatan kemampuan dan produksi petani dalam berusahatani cabe di Bengkulu.
Diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan cabe di Bengkulumenggunakan metode
survei, dilakukan di 5 Kabupaten pada tahun 2015. Metode pendampingan yang dilakukan melalui
pertemuan tatap muka dan pelatihan. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir kegiatan
pendampingan, berupa data primer meliputi; karakteristik, timgkat pengetahuan responden terhadap
usahatani cabe, produksi, kendala dan pemecahanan masalah. Data dikumpulkan melalui wawancara,
tatap muka dan pertemuan terfokus menggunakan daftar pertanyaan. Selanjutnya dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif membandingkan hasil dicapai dengan hasil sebelumnya
(before and after). Hasil kajian menunjukan adanya pengaruh diseminasi pendampingan pada petani,
terhadap perbaikan kemampuan penguasaan usahatani cabe, terutama terhadap komponen teknologi
penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam sebesar 47,37%; 38,89%
dan 33,33%. Serta juga berdampak pada peningkatan luas garapan petani sebesar 22,22% dari sebelum
pendampingan rata-rara 0,207 ha menjadi 0,253 ha setelah pendampingan dan peningkatan produksi
cabai merah sebesar 28,57% dari sebelum pendampingan rata-rara sebanyak 4,13 t/ha menjadi 5,31
t/ha setelah pendampingan.
Kata kunci : Pendampingan, peningkatan, pengetahuan petani, produksi cabe, Bengkulu

ABSTRACT
Mentoring the development of horticulture agribusiness region, represents one of the efforts to
increase horticultural production and farmer income nationally. Bengkulu Province is one of the
areas that have potency in the development of horticultural crops, including chili. This study aims to
understand the impact of Mentoring the development of horticulture agribusiness regionto capacity
and production improvement of farmers in chili farming on Bengkulu Province. Dissemination of
Mentoring the development of horticulture agribusiness regionwere done by survey conducted in 5
regency in 2015. The method conducted through face to face meetings and training. Data were
collected at the beginning and the end of the mentoring activities, in the form of primary data consist
of; characteristics, respondents' knowledge level of chili farming, production, constraints and problem
solving. Data were collected through interviews, face-to-face meeting and focused meetings using
questionnaires. Data were analyzed using descriptive analysis comparing the results achieved with
previous results (before and after). Results of the study shows the influence of dissemination
mentoring to farmers, the improvement in the ability of chili farming, especially the use of organic
fertilizers technology components; the use of improved varieties; and planting system at 47.37%;
38.89% and 33.33%. As well as the impact on farmers of arable area increase of 22.22% from the
prior mentoring average 0.207 ha to 0,253 ha after mentoring and increased production of red chili
28.57% of the average before mentoring 4.13 t/ha to 5.31 t/ha after mentoring.
Keywords: Mentoring, Increase, farmers knowledge, Chili production, Bengkulu

343
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kebijakan pendampingan pengembangan kawasan pertanian nasional, merupakan suatu wujud
peningkatan produksi pangan nasional dan pendapatan petani melalui implementasi inovasi dan
transfer teknologi dalam suatu model diversifikasi usahatani secara terpadu. Termasuk pendampingan
pengembangan hortikultura komoditas cabe yang merupakan salah satu pangan unggulan nasional dan
diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian, mewujudkan pemerataan
pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi di daerah (Kementan, 2014).
Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi dalam
pengembangan komoditas hortikultura, termasuk cabe merah sebagai komoditas pangan unggulan
nasional yang pengembangannya tersentra di daerah dataran tinggi dan medium. Tanaman cabe merah
mempunyai daya adaptasi cukup luas dari dataran tinggi sampai dataran rendah, namun rerata
produktivitas cabe merah relatif rendah yaitu hanya sekitar 5,61 t/ha (Kementan, 2011) bila
dibandingkan dengan potensi hasil yang berkisar antara 1220 t/ha (Soetiarso dan Setiawati, 2010).
Namun komoditas cabe merah ini selain merupakan salah satu jenis tanaman sayuran bernilai ekonomi
tinggi juga memiliki karakteristik unik, yaitu; merupakan ikon nasional sekaligus sebagai pemicu
inflasi; memiliki sebaran wilayah dan potensi pasar cukup luas. Maka untuk pengembangannya
diperlukan dukungan pemerintah (Dirjen Hortikultura, 2013).
Hal ini mulai diwujudkan dengan program pengembangan kawasan hortikultura komoditas
cabe, dengan sasaran untuk peningkatan produktivitas dan pengendalian senjang harga dan fluktuasi
produksi menjadi lebih merata sepanjang tahun. Sehinggadiperlukan inovasi pola produksi cabe merah
yang dapat menghasilkan sepanjang tahun, sekaligus mendukung pendapatan petani cabe merah
menjadi lebih stabil dan terus-menerus.
Melalui pendampingan ini sangat memberi peluang petani cabe untuk mengembangkan usaha
dan meningkatkan pengetahuan maupun keterampilan guna menjamin produktivitas dan kualiltas hasil
tanaman cabe diwilayah sentra produksi, serta percepatan penyebaran atau diseminasi inovasi bagi
pengguna. Baik itu aspek peningkatan teknologi produksi dan pengemdalian HPT, panen dan
pascapanen, pemberdayaan petani, penguatan kelembagaan serta mendorong terjadinya kemitraan.
Sehingga perlu diketahui sampai sejauh mana pengaruh pendampingan pengembangan kawasan
produksi cabe dan introduksi inovasi teknologi sesuai kondisi wilayah, terhadap peningkatan
kemampuan dan produksi petani dalam berusahatani cabe merah di Bengkulu.

METODE PENELITIAN
Diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan cabe di Bengkulumenggunakan
metode survei, dilakukan pada Tahun 2015 pada 5 (lima) wilayah kawasan pengembangankomoditas
cabe, meliputi; 1) Kabupaten Rejang Lebong, 2) Kabupaten Kepahiang, 3) Kabupaten Lebong, 4)
Kabupaten Kaur, dan 5) Kabupaten Mukomuko. Metode pendampingan dilakukan secara bertahap
melalui pendekatan; secara parisipatif, pertemuan tatap muka, pelatihan serta penyiapan dan
penyebaran bahan informasi sesuai kondisi. Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir kegiatan
pendampingan, berupa data primer meliputi; karakteristik, tingkat pengetahuan responden terhadap
usahatani cabe, produksi, kendala dan pemecahanan masalah. Data dikumpulkan melalui wawancara,
tatap muka dan pertemuan terfokus menggunakan daftar pertanyaan. Selanjutnya dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif membandingkan hasil dicapai dengan hasil sebelumnya
(before and after).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil kajian diseminasi peranan pendampingan pengembangan kawasan komoditas
cabeterhadap peningkatan pengetahuan petani dan produksi cabe di Bengkulu yang dilaksanakan di 5
(lima) wilayah kawasan pengembangan komoditas cabe, antara lain di; 1) Kabupaten Rejang Lebong,
2) Kabupaten Kepahiang, 3) Kabupaten Lebong, 4) Kabupaten Kaur, dan 5) Kabupaten Mukomuko,
memberikan gambaran hasil yang meliputi :

344
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Karakteristik Petani Cabe


Keadaan karakteristik petani di wilayahpengembangankawasan cabe menggambarkan tingkat
keragaman cukup bervariasi, bila dilihat berdasarkan kondisi umur berkisar antara 2951 tahun
dengan tingkat pendidikan 612 tahun (SD sampai SLTA) serta pengelolaan lahan usahatani cabe
antara 0,10,3 ha dan pengalaman usahatani cabe 210 tahun (Tabel 1).
Terlihat bahwa petani cabe pada sentra kawasan pengembangan memiliki umur rata-rata 40,63
tahun dan secara umum masih tergolong usia produktif, berkisar antara 29 tahun sampai dengan
51tahun. Dilihat dari sebaranumur petani terlihat dari sebaran umur pelaku usahatani cabe, jumlah
terbesar berada pada kelompok umur 3140 tahun(43,33%) dan umur 4150 tahun (40,00%). Kondisi
ini jelas memperlihatkan petani di wilayah kawasan pengembangan cabe merupakan pelaku usaha
produktif dan sangat berpotensi dalam pengembangan usahatani cabe dan pengembangan inovasi
teknologi sesuai sumberdaya pertanian wilayah, karena menurut Suharyanto et all., (2001) secara
umum tenaga kerja sektor pertanian masih didominasi tenaga kerja dengan umur > 50 Tahun. Artinya
pelaku usaha di wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu umumnya berada pada
kondisl fisik produktif, yaitu mencapai 93,33% berada pada usia 50 tahun.
Tabel 1. Karakteristik responden di sentra kawasan pengembangan cabe berdasarkan kelompok;
umur, pendidikan, penggelolaan lahan dan pengalaman usaha.
No. Karakteristik Petani Contoh Kelompok Jumlah (orang) %
1. Umur (tahun) 2030 3 10,00
3140 13 43,33
4150 12 40,00
5160 2 6,67
Jumlah 30 100,00
2. Pendidikan (tahun) 6 2 6,67
9 20 66,67
12 8 26,66
Jumlah 30 100,00
3. Luas lahan usaha (ha) 0,1 2 6,67
0,2 8 26,66
0,3 20 66,67
Jumlah 30 100,00
4. Pengalaman usaha (tahun) 24 14 46,67
57 10 33,33
810 6 20,00
Jumlah 30 100,00
Sumber : Data terolah 2016.

Begitu juga dengan tingkat pendidikan petani padasentra kawasan pengembangan cabe selain
memiliki kondisi fisik sangat produktif (rata-rata berumur 40,63 tahun), juga memiliki jenjang
pendidikan cukup layak. Sebagian besar memiliki tingkat pendidikan berada pada level pendidikan 6
tahun (setingkat SD), yaitu sebesar 66,67% berada pada jenjang pendidikan 9 Tahun (setingkat SMP)
dan 26,66% pada jenjang pendidikan 12 Tahun (setingkat SLTA). Jenjang pendidikan seseorang akan
mempengaruhi nilai-nilai dianut, cara berpikir, cara pandang, maupun persepsinya terhadap suatu
masalah dihadapi (Simanjuntak et all., 2010). Begitu juga Bandolan et all. (2008) menyampaikan,
bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi yang diaplikasikan
dalam proses berusahatani. Dengan kondisi tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SMP dan SMA
ini akan sangat membantu petani kawasan cabe dalam proses transfer, menerima, dan mengaplikasikan
inovasi teknologi pedampingan dan pembinaan secara terpadu serta. Kondisi ini secara tidak langsung,
juga dapat mendorong percepatan produktivitas usahatani cabe dan pendapatan masyarakat pada
wilayah sentra kawasan pengembangan cabe di Bengkulu.
Dilihat dari luas lahan usahatani, umunya petani pada wilayah sentra kawasan pengembangan
cabe di Bengkulu memiliki lahan usahatani antara 0,1 0,3 ha, atau dengan rerata luas lahan garapan
sebesar 0,207 ha. Dimana rerata luas lahan garapan ini termasuk pada kategori lahan garapan dengan
jumlah terbesar berada pada luasan 0,3 ha (berkisar antara 0,2 0,3 ha) yang mencapai 66,67.
Menurut Drakel (2008) besar kecilnya luas lahan diusahakan petani, akan mempengaruhi aktivitas
mereka dalam melakukan kegiatan usahatani. Kondisi luas lahan garapan petani cabe ini berkaitan
dengan ketersediaan modal dan resiko uasahatani cabe yang culup tinggi, sehingga untuk dapat
345
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

meningkatkan produktivitas usahatani mereka perlu di dukung dengan berbagai inovasi yang secara
bersamaan saling menguntungkan. Termasuk upaya pendampingan dalam bentuk kegiatan diseminasi
inovasi melalui pengawalan, percontohan, pelatihan dan pertemuan. Sudiman (2006) menyampaikan
bahwa aktivitasyang dapat dilakukan individu untuk dapat meningkatkan kualitas keahliannya, adalah
melalui upaya pendidikan dan pelatihan.
Begitu juga dengan pengalaman usaha, umumnya petani pada sentra pengembangan kawasan
cabe cukup variatif (2 10 tahun). Dilhat dari tingkatan kategori pengalaman usahanya, maka
pengalaman usaha petani cabe tertinggi berada pada tingkatan kategori 2 - 4 tahun sebesar 46,67%,
kemudian kategori 5-7 tahun dan 8-10 tahun masing-masing sebesar 33,33% dan 30,00%. Karena
pengalaman usaha merupakan faktor cukup berpengaruh terhadap keberhasilan usahatani cabe yang
memerlukan pengembangan pengetahuan, kreativitas danketerampilan sesuai dengan kemajuan
teknologi. Novia (2011) berpendapat, bahwa pengalaman usahatani sangat berpengaruh terhadap daya
respon, tanggapan, dan penerimaan terhadap suatu informasi teknologi yang disampaikan kepada
petani.
Pengalaman usaha ini juga berkaitan dengan umur pelaku usaha, dimana semakin tinggi umur
seseorang akan semakin banyak pengalaman yang dimilikinya. Termasuk dalam hal ber usahatani
cabe, semakin panjang umur petani semakin banyak pengalaman penerapan teknologi dan upaya
penanganan dalam menghadapi permasalahan dalam keberhasilan petani berusahatani cabe. Selaras
dengan pendapat Latifah et all., (2010) bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka akan semakin
banyak peluang dan cara yang dapat dilakukan dalam menghadapi permasalahan dialaminya.
Peranan Pendampingan
Kegiatan diseminasi pendampingan pengembangan kawasan agribisnis cabeyang dilaksanakan
di Bengkulu, terfokus pada kegiatan pendampingan inovasi teknologi dan pengembangan kawasan
yang dilakukan melalui berbagai upaya diseminasi inovasi. Baik itu pertemuan tatap muka, pelatihan
penyebaran media informasi maupun pecontohan langsung dilahan petani dengan harapan dapat
memberikan dukungan terhadap peningkatan; kemampuan, produksi, pendapatan dan pengembangan
usahatani cabe. Berdasarkan kajian pada 5 wilayah pengembangan kawasan cabe, dapat digambarkan
peranan kegiatan pendampingan melalui implementasi inovasi teknologi yang dilakukan pada petani
pegembangan kawasan cabe telah memberi pengaruh terhadap upaya perbaikan usahatani cabe, baik itu
dalam hal peningkatan pengetahuan atau kemampuan petani; peningkatan produktivitas; dan
pengembangan usahatani cabe di Bengkulu (Tabel 2).
Peningkatan pengetahuan petani
Bila dilihat dari kajian peningkatan pengetahuan atau kemampuan petani cabe, peranan
pendampingan inovasi teknologi pada usahatani cabe di Bengkulu telah memberikan pengaruh positif
terhadap perbaikan pengetahuan petani pada penguasaan teknologi. Terutama dalam hal komponen
teknologi penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam, tejadi
peningkatan sebesar 47,37%; 38,89%; dan 33,33%. Dimana tingkat pengetahuan petani cabe sebelum
dan sesudah pendampingan yang digambarkan berdasarkan penerapan komponen teknologi
penggunaan pupuk organik; penggunaan varietas unggul; dan sistim tanam adalah sebesar 66, 67%;
60,00%; dan 60,00% (sebelumnya) menjadi 93, 33%; 83,33%; dan 80,00% (sesudah pendampingan).
Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa melalui diseminasi inovasi teknologi,terlihat adanya peranan
pendampingan dan pengawalan inovasi.Baik melalui pertemuan, pelatihan, percontohan dan
penyebaran bahan informasi berupa folder secara berkala, memperlihatkan adanya peningkatan dan
pengembangan sumberdaya manusia terhadap penerapan inovasi yang semakin optimal pada
pengembangan kawasan cabe di Bengkulu. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses
untuk meningkatkan pengetahuan, kreativitas dan keterampilan, serta kemampuan petani (Demitriaet
all. 2006).

346
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Pengaruh peranan pendampingan terhadap perbaikan peningkatan pengetahuan petani,


produksi dan usahatani pada pengembangan kawasan cabe di Bengkulu.
No Peranan Pendampingan Terhadap Perbaikan Pendampingan Peningkatan
Sebelum Sesudah (%)
1. Pengetahuan penguasaan komponen teknologi;
- Pupuk organik (%) 63,33 93,33 47,37
- Varietas unggul (%) 60,00 83,33 38,89
- Sistim tanam (%) 60,00 80,00 33,33
2. Produksi (t/ha) 4,13 5,31 28,57
3. Luasan usahatani (ha) 0,207 0,253 22,22

Sumber : Data terolah 2016

Peningkatan produksi
Seperti tergambar pada Tabel 2, terlihat adanya pengaruh peranan pendampingan teknologi
terhadap peningkatan produksi cabe pada wilayah pengembangan kawasan komoditas cabe di
Bengkulu sebesar 28,57%. Dimana sebelum pendampingan dilakukan produksi cabe rata-rata petani
hanya sebesar 4,13 t/ha dan setelah adanya kegiatan pendampingan produksi cabe rata-rata petani
mencapai 5,31 t/ha atau terjadi peningkatan sekitar 1,18 t/ha. Peningkatan produksi cabe petani ini
selain berbanding lurus dengan peningkatan pengetahuan petani, secara tidak langsung berhubungan
juga dengan peningkatan luasan garapan usahatani cabe. Ini terlihat dari luas garapan petani cabe rata-
rata sebelum pendampingan seluas 0,207 ha dan setelah pendampingan menjadi 0,253 ha, atau terjadi
pengembangan luasan usahatani setiap petani sebesar 22,22%. Saptana et all., (2010) menyatakan
bahwa luas lahan garapan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi
cabe merah, dimana untuk penambahan 1 persen luas lahan garapan cabe merah dapat meningkatkan
produksi cabe merah besar sekitar 0,8575 persen.

KESIMPULAN
1. Berdasarkan karakteristik petani, tingkatan umur, pendidikan, pengaalaman usaha dan luas garapan
memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemamapuan petani dan produksi cabe.
2. Kegiatan pendampingan inovasi teknologi pada petani pengembangan kawasan cabe telah berperan
nyata terhadap peningkatan pengetahuan petani dan peningkatan produksi cabe pada kawasan
pengembangan cabe di Bengkulu.

DAFTAR PUSTAKA
Bandolan, Y., Aziz A. dan Sumang. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya
Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa. Jurnal
Agrisistem, Desember 2008, Vol. 4 No. 2.
Demitria D, Harianto, Sjafri M dan Nunung. 2006. Peran Pembangunan Sumberdaya Manusia dalam
Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum
Pascasarjana. IPB. Vol.33. No.3. Juli 2010. hal. 155-164.
Dirjen Hortikultura. 2013. Program dan Kebijakan Pengembangan Hortikultura TA. 2013. Makalah
disampaikan pada acara Workshop Evaluasi Outcome. Analisis Potensi Impact dan
Baseline Study. Tanggal 16-19 April 2013 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura di Solo. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian.
Jakarta
Drakel, A. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi Desa Akelamo
Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008.
Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Permentan no.50 tahun
2012. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2014. Rancangan Model Pengembangan Kawasan Pertanian Tahun 2015-
2019. Kementerian Pertanaian RI. Jakarta
Latifah EK, Hartoyo dan Guhardjo S. 2010. Persepsi Sikap dan Strategi Koping Keluarga Miskin
Terkait Program Konversi Minyak Tanah Ke LPG di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga
dan Konsumen, 3 (2) : 122-132

347
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Novia, R.A. 2011. Respon petani terhadap kegiatan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu.
Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian 7 (2): 22 48-60.
Saptana, Daryanto A., Heny K. Daryanto dan Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis Produksi
Usahatani Cabai Merah Besar dan Perilaku Petani Dalam Menghadapi Risiko. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanaian. Bogor,
Jurnal Agro Ekonomi, Volume 28. No.2, Oktober 2010 : 153 188.
Simanjuntak M, Puspitawati H dan Djamaludin MD. 2010. Karakteristik Demografi Sosial dan
Ekonomi Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Jurnal Ilmu Keluarga
dan Konsumen, 3 (2) : 101-113.
Soetiarso, TA dan Setiawati, W. 2010. Kajian Teknis dan Ekonomis Sistem Tanam Dua Varietas
Cabai Merah Di Dataran Tinggi. Badan Litbang Pertanian. J. Hort., vol. 20, no. 3, hlm.
284-98.
Sudiman. 2006. Kajian Teoritis Pelatihan Ketrampilan Usaha Terpadu Bagi Petani Sebagai Upaya
Alih Komoditas. Tesis; Program Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta.
Suharyanto, Destialisma dan I.A. Parwati. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruh Adopsi Teknologi
Tabela di Provinsi Bali. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Bali. Denpasar.

348
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PROSPEK PENGEMBANGAN BAWANG MERAH (Allium ascolonicum L.)


DI PROVINSI RIAU
PROSPECTS OF SHALLOT (Allium ascolonicum L.) DEVELOPMENTIN RIAU PROVINCE
Rachmiwati Yusuf dan Sri Swastika
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau
Jl. KH Nasution 341 Marpoyan KM 10 Telp (0761)-xxxxxx
e-mail : rachmi_2608@yahoo.com

ABSTRAK
Permintaan bawang merah semakin meningkat seiring peningkatan jumlah konsumen dan daya beli
masyarakat. Provinsi Riau merupakan daerah pengembangan bawang merah khususnya Kabupaten
Kampar dan Kota Pekanbaru. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui keuntungan dan kelayakan
pendapatan petani bawang merah di Provinsi Riau dan prospek pengembangannya. Penelitian
dilakukan pada tahun 2015 di Pekanbaru dengan analisis deskriptif. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan
wawancara langsung ke petani di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh
dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas
Pertanian, kantor Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait lain. Analisis kualitatif dilakukan
untuk mengetahui kondisi yang dialami petani dalam melakukan sistem budidaya bawang merah.
Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan analisis imbangan
penerimaan dan biaya (R/C Ratio). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
bersih petani bawang per musim panen sebesar Rp.252.000.000,00/ha dengan kisaran R/C ratio adalah
1,48 sampai 2,67, sehingga usaha bawang merah menguntungkan dan layak diusahakan. Dari trend
linear menunjukkan bahwa pengembangan agribisnis bawang merah di Provinsi Riau sangat
prospektif berdasarkan data luas panen, produksi, produktivitas dan konsumsi bawang merah per
kapita dalam rumah tangga setahun dalam 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami peningkatan searah
kenaikan garis trend. Aspek-aspek yang mendukung prospek pengembangan bawang merah di
Provinsi Riau antara lain ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas bawang merah, kebijakan
pemerintah yang mendukung pengembangan bawang merah dan peluang pasar.
Kata Kunci: Prospek, budidaya bawang merah, Provinsi Riau

ABSTRACT
The demand of shallot increased with increasing number of consumers and purchasing power. Riau
Province is a particular area of development shallots Kampar Regency and Pekanbaru. The purpose
of this study was to determine the benefits and feasibility of shallot farmer income in Riau Province
and its development prospect.The study was conducted in 2015 in Pekanbaru with descriptive
analysis. The data used in this study are primary data and secondary data. Primary data collection
was done by direct interview to the farmers in the field. While secondary data is the data obtained
from institutions associated with the research institutions such as village and sub-district level, The
Department of Agriculture, the Central Statistics Agency (BPS) and other related agencies.
Qualitative analysis was conducted to determine the conditions experienced by farmers in conducting
system of shallot cultivation. Quantitative analysis is selected farm income analysis, and analysis of
the balance of receipts and expenses (R / C Ratio). The results showed that the average net income of
farmers of onions per seasonRp.252.000.000,00 / ha with a range of R / C is 1.48 to 2.67, so that
businesses profitable onion and viable. Of linear trend indicates that the development of agribusiness
shallot in Riau highly prospective based on data harvested area, production, productivity and per
capita consumption of shallot in a household a year within 5 (five) years continued to increase in the
direction of the increase in the trend line. The Aspects support the development prospects of shallot in
Riau Province are the availability of land suitable for commodities shallots, government policies that
support the development of onion and market opportunities.
Keywords : Prospect, Shallot cultivation, Riau Province

349
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium ascolonicum L.) merupakan salah satu komoditas tanaman sayuran
dengan beragam manfaat antara lain sebagai sayuran, bumbu penyedap masakan, bahan obat
tradisional untuk kesehatan dan kecantikan. Penelitian menunjukkan bahwa kandungan quercetin
flavonoid pada bawang merah dapat mengobati katarak, penyakit jantung dan kanker dan senyawa
organosulfur dapat menurunkan tekanan darah dan kolesterol. Umbi bawang merah dapat
dimanfaatkan untuk obat cacing, anti-inflamasi, antiseptik, antispasmodik, karminatif, diuretik,
ekspektoran, obat penurun panas, hipoglikemik, hipotensi, lithontripic, obat perut dan tonik (Kumar,
2010).
Permintaan bawang merah semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah konsumen
dan daya beli masyarakat. Dengan menjamurnya bisnis kuliner di berbagai daerah menjadi salah satu
penyebab meningkatnya kebutuhan pasar akan bawang merah. Jumlah produksi bawang merah
nasional belum dapat memenuhi kebutuhan pasar baik dalam negeri maupun ekspor. Bawang merah
memiliki pengaruh besar dalam perekonomian terutama terjadinya inflasi harga yang disebabkan
dinamika produksi terutama saat off season.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan agribisnis bawang merah
adalah ketersediaan benih bermutu. Keputusan penggunaan suatu jenis benih sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan benih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila benih yang akan digunakan tidak
tersedia di lapang, maka sebagian besar petani pengguna benih lokal dan impor akan mencari benih
tersebut di tempat lain (Theresia V dkk, 2016). Harga benih yang mahal menyebabkan petani tidak
mampu membeli benih yang mengakibatkan areal pengusahaan bawang merah cenderung menurun.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ginting et al. (2013) yang menunjukkan bahwa koefisien harga
benih juga bernilai negatif yang menandakan bahwa semakin tinggi harga benih, maka keinginan
petani untuk memperluas areal tanam bawang merah semakin kecil.
Provinsi Riau merupakan daerah pengembangan bawang merah khususnya Kabupaten
Kampar dan Kota Pekanbaru yang ditetapkan sebagai kawasan cabai, bawang merah dan jeruk
nasional dalam Permentan No.45/Kpts/PD.200/1/2015. Provinsi Riau belum mampu memenuhi
kebutuhan konsumen akan bawang merah. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap
bawang merah selalu didatangkan dari luar Riau seperti Pulau Jawa, Sumatera Barat dan Sumatera
Utara. Upaya pengembangan bawang merah di Provinsi Riau telah tercatat seperti tersaji pada tabel
berikut :
Tabel 1. Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Provinsi Riau tahun 2011 2015
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura,
Tahun
No Data
2011 2012 2013 2014 2015
1 Luas Panen (Ha) - - 3 14 41
2 Produksi (Ton) - - 12 59 140
3 Produktivitas (Ton/Ha) - - 4 4,23 3,42
Keterangan : -) Data tidak tersedia

Menurut laporan hasil Sensus Pertanian tahun 2013 di Provinsi Riau, subsektor perkebunan
terlihat mendominasi usaha pertanian. Peningkatan pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha pertanian
tertinggi antara tahun 2003 sampai tahun 2013 terjadi di subsektor perkebunan, yang mengalami
pertumbuhan sebesar 32,95 persen. Sedangkan pada periode yang sama, subsektor hortikultura
mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu tercatat sebesar 95,76 ribu rumah tangga (BPS,
2013).
Peralihan penggunaan fungsi lahan yang terjadi menurut Kusnitarini (2006) adalah bahwa
penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomi lebih
menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang
paling tinggi. Penggunaan lahan untuk pertanian merupakan salah satu penggunaan lahan yang
mempunyai nilai land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan untuk sektor non-pertanian.
Konversi lahan rawan terjadi pada daerah yang memiliki lahan pertanian yang luas, semakin luas
lahan pertanian di suatu daerah maka konversi lahan yang terjadi akan semakin besar skalanya
(Ruswandi, 2005). Penilaian kesesuian lahan pada dasarnya dapat berupa pemilihan lahan yang sesuai
untuk tanaman tertentu yang sesuai dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter
dan persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi (Sitorus, 1998).

350
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Untuk penambahan sentra produksi baru bawang merah dengan perluasan sentra
produksi/agribisnis baru harus memperhatikan kesesuaian agroklimat bawang merah. Kondisi
agroklimat yang cocok untuk bawang merah di dataran rendah adalah yang memiliki karakterisitik
sebagai berikut (Anonim, 2007): (a) ketinggian tempat < 300m, (b) jenis tanah alluvial dan regosol,
dan (c) tipe iklim (klasifikasi Oldeman dan Irsal) C3 = 5 6 bulan basah dan 4 6 bulan kering; atau
D3 = 3 4 bulan basah dan 4 6 bulan kering; atau E3 = 3 bulan basah dan 4 6 bulan kering.
Provinsi Riau merupakan wilayah yang beriklim tropis dengan suhu udara maksimum berkisar antara
34,0C - 35,4 C dan suhu minimum berkisar antara 19,2C 20,2C. Sementara intensitas curah
hujan mencapai 50 mm/hari. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, Provinsi Riau mempunyai tipe
iklim Af, sedangkan menurut Schmidt dan Ferguson tipe iklim berkisar antara A-B-C, daerah Provinsi
Riau beriklim tropis basah (Anonim, 2015).
Salah satu konsep yang perlu diperhatikan dalam identifikasi kesesuaian
lahan yaitu kesesuaian lahan aktual (saat ini) dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual
didasarkan pada kesesuaian lahan untuk penggunaan
tetentu pada kondisi saat ini, sedangkan klas kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan
untuk penggunaan lahan tertentu setelah dilakukan perbaikan lahan terpenuhi (Djikerman, dkk, 1985).
Secara faktual lahan bawang merah ditanami juga berbagai komoditas antara lain Bawang Merah,
Cabe, Kacang Tanah secara tumpang sari, sehingga dalam setahun masih dapat diperoleh keuntungan
dari total pendapatan ketiga komoditas tambahan tersebut (Anonim, 2006). Petani saat ini memiliki
ciri-ciri antara lain: (i) mengusahakan lahan yang sempit, (ii) produk yang dihasilkan cenderung untuk
kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya, (iii) penerapan teknologi modern sudah dilakukan di dalam usahataninya, (iv)
berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya di sektor pertanian saja), (v)
fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi
satu - satunya (Shanin dalam Subali, 2005).
Melihat kondisi yang ada perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keuntungan dan
kelayakan pendapatan petani bawang merah di Provinsi Riau dan prospek pengembangannya dengan
mengoptimalkan potensi kesesuaian sumberdaya alam, ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang
tersedia.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kampar dan Pekanbaru pada bulan November 2015. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ini
dilakukan dengan wawancara langsung dengan petani di lapangan. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti lembaga tingkat
desa hingga kecamatan, Dinas Pertanian, kantor Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait lain.
Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui kondisi yang dialami petani dalam melakukan sistem
budidaya bawang merah. Analisis kuantitatif yang dipilih adalah analisis pendapatan usahatani, dan
analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio).
Analisis kelayakan usaha digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian usaha dalam
menerapkan suatu teknologi. Sebagai tolak ukur adalah nisbah penerimaan dan biaya atau R/C ratio.
Apabila R/C ratio > 1, maka usaha layak secara finansial (Rahmanto, Bambang, et. al., 1988). Secara
sederhana dapat ditulis :
R
R/C =
C
R = Py.Y
C = FC + VC
R/C = {(Py.Y) / (FC +VC)}
Keterangan :
R = Penerimaan
C = Biaya
Py = Harga output
Y = Output
FC = Biaya tetap (fixed cost)
VC = Biaya tidak tetap (variabel cost)

351
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Potensi Pengembangan
Provinsi Riau merupakan daerah dengan iklim tropika basah menurut klasifikasi Koppen dan
iklim sangat basah hingga agak basah menurut Schmidt and Fergusson. Jenis lahan yang dimanfaatkan
untuk budidaya pertanian yaitu lahan basah dan lahan kering seluas 3,76 juta hektar sebagaimana
seluas 3,40 juta hektar (90,20%) diusahakan untuk 3 tanaman perkebunan utama yaitu kelapa sawit,
kelapa dan karet. Sementara pemanfaatan lahan untuk tanaman hortikultura masih sangat minim yaitu
berupa lahan pekarangan atau lahan garapan yang tidak dalam satu hamparan yang luas. Provinsi Riau
memiliki lahan gambut seluas 3,9 juta hektar yaitu 26% dari luas lahan gambut di Indonesia
(Wahyunto et al.,2005) dengan pengelolaan yang tepat lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan pertanian khususnya tanaman hortikultura.
Bawang merah di Provinsi Riau dikembangkan di 2 (dua) Kabupaten/Kota yaitu Kampar dan
Pekanbaru. Semakin meningkatnya permintaan dan konsumsi bawang merah maka Pemerintah
Kabupaten Kampar terutama Bupati Kampar menggagas akan menjadikan Kabupaten Kampar
menjadi sentra bawang merah di Riau dan bahkan di Sumatera. Budidaya bawang merah dilakukan
dengan meniru sistem budidaya yang telah diterapkan oleh petani bawang di Cirebon dan Brebes.
Dukungan yang luar biasa baik dari pemerintah pusat dan daerah membuat petani hortikultura
bersemangat untuk melakukan usahatani bawang merah. Bentuk dukungan tersebut antara lain dengan
bantuan modal berupa paket sarana produksi, pembinaan teknis budidaya dan pendampingan
penerapan teknologi dari hulu ke hilir.
Distribusi bawang merah saat panen yang masih kurang baik menyebabkkan harga belum
stabil. Letak geografis Provinsi Riau yang strategis sangat menguntungkan untuk pengembangan
bawang merah khususnya ekspor bawang merah. Pemasaran bawang merah kebanyakan masih dujual
dalam bentuk segar tidak menjamin kestabilan harga sehingga pengolahan bawang merah menjadi
bentuk produk olahan juga dapat membantu meningkatkan nilai jual bawang merah.
Analisis Usaha Tani
Tabel 2. Rincian biaya rata-rata usahatani bawang merah per hektar di Pekanbaru tahun 2015.
kebutuhan
Komponen Biaya harga (Rp) Total Jumlah
(kg/hektar)
a. Biaya Variabel
1. Benih 1200kg/Ha 1.200 38.000 Rp45.600.000
2. Pupuk
Pupuk Makro
- Pupuk kandang 20.000 270 Rp5.400.000
- Dolomit 2.000 700 Rp1.400.000
-NPK 500 10.000 Rp5.000.000
- TSP 150 8.000 Rp1.200.000
-Urea 200 5.000 Rp1.000.000
-KCL 200 10.000 Rp2.000.000
- ZA 400 10.000 Rp4.000.000
Pupuk Mikro
- Mg 2 pcs 100.000 Rp200.000
- Cu 2 pcs 100.000 Rp200.000
- Super K 2 pcs 100.000 Rp200.000
- ZPT 2 pcs 80.000 Rp160.000
- Ca 2 pcs 100.000 Rp200.000
- Br 2 pcs 100.000 Rp200.000
3. Pestisida
- Benomyl 4 pcs 50.000 Rp200.000
- Amnistar 4 pcs 50.000 Rp200.000
- Dalsane 4 pcs 50.000 Rp200.000
- Dithame 4 pcs 50.000 Rp200.000
- Prevator 4 pcs 50.000 Rp200.000
- Decis 4 pcs 50.000 Rp200.000
- Perekat 3 pcs 25.000 Rp75.000
4. Tenaga Kerja 6 x 60 HOK 60.000 Rp21.600.000
5. Bahan Bakar 200 liter 8.000 Rp1.600.000

352
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

b.Biaya Tetap
sewa lahan per hektar Rp3.000.000
Total Biaya Rp94.235.000
Total Penerimaan = 8.400 kg x Rp 30.000 Rp252.000.000
Analisis Kelayakan (R/C ) = Rp 252.000.000 / Rp 94.235.000
= 2,67
Sumber : Data Primer (2015)

Pada anlisis usahatani terlihat bahwa biaya terbesar dalam budidaya bawang merah adalah
benih dan tenaga kerja. Harga benih yang tinggi dipengaruhi oleh jarak yang jauh dari sentra benih
menyebabkan tingginya biaya pengiriman benih. Selain itu ada resiko kerusakan benih selama di
perjalanan. Pengembangan bawang merah selain untuk konsumsi, usahatani perbenihan bawang merah
juga sangat layak dilirik sebagai bisnis yang menjanjikan. Pada kondisi panen optimal dan harga tinggi
diperoleh R/C 2,67. Hasil ini menunjukkan bahwa usahatani bawang merah ini sangat layak secara
finansial. Dengan skenario bahwa saat panen produktivitas adalah 7 ton/Ha dengan harga jual Rp.
20.000,- /Kg maka R/C adalah 1,48. Dengan R/C > 1 maka usahatani bawang merah juga masih
menguntungkan meskipun harga mencapai harga terendah di Provinsi Riau.
Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budidaya bawang merah yang tepat dapat
memenuhi kebutuhan bawang merah di Provinsi Riau bahkan untuk skala nasional. Apabila Provinsi
Riau telah menjadi sentra bawang di pulau Sumatera maka bawang merah akan menjadi sumber devisa
dengan ekspor ke negara-negara ASEAN.

KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani bawang per
musim panen sebesar Rp.252.000.000,00/ha dengan kisaran R/C ratio adalah 1,48 sampai 2,67,
sehingga usaha bawang merah menguntungkan dan layak diusahakan. Dari trend linear menunjukkan
bahwa pengembangan agribisnis bawang merah di Provinsi Riau sangat prospektif berdasarkan data
luas panen, produksi, produktivitas dan konsumsi bawang merah per kapita dalam rumah tangga
setahun dalam 5 (lima) tahun terakhir terus mengalami peningkatan searah kenaikan garis trend.
Aspek-aspek yang mendukung prospek pengembangan bawang merah di Provinsi Riau antara lain
ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas bawang merah, kebijakan pemerintah yang
mendukung pengembangan bawang merah dan peluang pasar.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih kepada Kepala BPTP Riau dan Tim PKAH BPTP Riau.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Road Map Pascapanen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Bawang Merah, Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian
Anonim, 2007, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah, Badan Litbang
Pertanian, Kementerian Pertanian
Anonim, 2015, https://www.riau.go.id/home/bankdatafile/laporan-kinerja-instansi-pemerintah-
provinsi-riau.pdf , visited 16 September 2016
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2013, Laporan Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013
Djikerman, J. C dan D. W, Dianingsih. 1985. Evaluasi Lahan. Unibraw Pres. Malang
Ginting, M., T. Sebayang, dan Iskandarini. 2013. Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani
terhadap Luas Tanam Bawang Merah Berdasarkan Pendapatan Petani di Kabupaten
Dairi. Universitas Sumatera Utara.
Kumar, K. P. Sampath, Debjit Bhowmik, Chiranjib, Biswajit, and Pankaj Tiwari. 2010. Allium cepa:
A tradisional medicinal herb and its health benefits. J. Chem. Pharm. Res., 2(1): 283-
291
Kusnitarini Y., 2006, Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah
dan faktor-faktor yang Mempengaruhinya, IPB Bogor.
Rahmanto, B dan Made Oka Adnyana. 1988. Potensi SUTPA dalam Meningkatkan Kemampuan Daya
Saing Komoditas Pangan di Jawa Tengah. Prosiding Ekonomi Pedesaan dan

353
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.


Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan
Penguasaan Lahan di Kawasan Bandung Utara. IPB Bogor
Sitorus, S. 1998. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Tasito. Bandung.
Subali, A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumah Tangga Petani.
[Skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan
Karbon di Pulau Sumatera, 1990 2002. Wetlands International-Indonesia Programme
& Wildlife Habitat Canada (WHC).
Theresia, V dkk., Analisis Persepsi Petani Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan
Impor di Kabupaten Cirebon, Jawa BaratJurnal Penyuluhan, Maret 2016 Vol. 12 No. 1

354
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

EFEKTIVITAS URIN KELINCI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PAKCOY


SERTA SELADA PADA BUDIDAYA DALAM POT
EFFECTIVENESS OF RABBIT URINE ON GROWTH AND YIELD OF CHINESE CABBAGE
AND LETTUCE ON CULTIVATION IN POTS
Ikrarwati, Yudi Sastro dan Susi Sutardi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
Jl. Ragunan Raya no. 30 Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Email : ikrar_oktober@yahoo.co.id

ABSTRAK
Urin kelinci merupakan limbah yang potensial dimanfaatkan sebagai pupuk karena ternak kelinci
prospektif dikembangkan di Jakarta. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian urin
kelinci terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman pakcoy dan selada pada budidaya dalam pot.
Penelitian dilakukan di wilayah kerja BPTP Jakarta pada Januari-Maret 2016. Penelitian terdiri atas 2
tahap, 1) Penentuan dosis dan intensitas pemberian urin kelinci pada tanaman pakcoy dan selada, 2)
Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani. Tahap 1 dirancang menggunakan rancangan
faktorial tiga faktor. Faktor pertama merupakan tehnik penyediaan urin kelinci yaitu dengan fermentasi
dan tanpa fermentasi, faktor kedua yaitu empat taraf dosis pemberian yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%,
faktor ketiga berupa dua taraf intensitas aplikasi yaitu 1 kali/minggu dan 2 kali/minggu. Penelitian
tahap 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok. Perlakuan penelitian terdiri atas i)
pemupukan urin kelinci berdasar hasil terbaik dari tahap 1, ii) pemupukan NPK, dan iii) kontrol.
Penelitian tahap 1 menunjukkan perlakuan TF60%1x memberikan hasil terbaik dengan tiggi tanaman
15,2cm; jumlah daun 6,4; berat segar 37g; dan berat kering 3,6g untuk selada dan tiggi tanaman 14,9
cm; jumlah daun 9,1; berat segar 62,4g; dan berat kering 6,2g untuk pakchoy. Penelitian tahap 2
menunjukkan pertumbuhan selada dengan aplikasi urin kelinci (tinggi tanaman 15,2 cm, jumlah daun
6,4, berat segar 37g, berat kering 3,6g) sama baik dengan aplikasi NPK (tinggi tanaman 16,1cm,
jumlah daun 6,5, berat segar 39,5g, berat kering 4g). Hasil pakchoy dengan aplikasi urin kelinci (berat
segar 62,4g; berat kering 6,2g) lebih baik dibanding penggunaan NPK (berat segar 54,5g; berat kering
5,7g).
Kata kunci: dosis, pakcoy, selada, urin kelinci

ABSTRACT
Rabbit urine is a potential waste for fertilizer because rabbit is a prospective cattle to developed in
Jakarta. This study aimed to determine the effect of rabbit urine application on the growth and yield of
chinese cabbage and lettuce on cultivation in pots. The study was conducted at BPTP Jakarta in
January-March, 2016. The study consisted of two stages, i.e. 1) Determination of the fermentation,
dose and intensity of rabbit urine on chinese cabbage and lettuce plants, 2) Studycomparison with
existing technology by farmers. Phase 1 was designed using a three-factor factorial design with five
replications. The first factor was the technical provision of rabbit urine which are fermented and
unfermented, the second factor was four levels of rabbits urine dose were 0%, 20%, 40% and 60%, the
third factor was the level intensity of application i.e. 1 times/week and 2 times/week. Phase 2 was
designed using a randomized block design. Treatment consisted of i) fertilizing rabbit urine based on
the best results of phase 1, ii) NPK fertilization, and iii) control (without fertilizer). The results of
phase 1 showed TF60%1x gave the best results with 15,2cm plant height; 6.4 number of leaves; 37g
fresh weight; and the dry weight 3,6g to plant lettuce and 14.9 cm plant height; 9.1 number of leaves;
fresh weight 62,4g; and the dry weight 6,2g to chinese cabbage. Research phase 2 shows the growth of
lettuce with rabbit urine application (15.2 cm plant height, leaf number 6.4, 37g fresh weight, dry
weight 3,6g) equally well with NPK application (16,1cm plant height, leaf number 6, 5, 39,5g fresh
weight, dry weight 4g). The yield of chinese cabbage with rabbit urine application (fresh weight 62,4g;
dry weight 6,2g) was better than NPK (fresh weight 54,5g; dry weight 5,7g).
Keywords: chinese cabbage, dose, lettuce, rabbit urine

355
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Budidaya pertanian di Jakarta sebagai Ibukota Negara masih terus berlangsung dengan
karakteristik pertanian perkotaan yaitu penerapanmetode produksi intensif, menggunakan
danmemanfaatkan kembalisumber daya alamdanlimbahperkotaanuntuk menghasilkanberbagai
macamtanaman (FAO, 2009). Tanaman hortikultura seperti sayuran daun pakcoy dan selada
merupakan komoditas yang banyak ditanam baik untuk tujuan ekonomis maupun dimanfaatkan untuk
konsumsi rumah tangga sendiri dengan pemanfaatan pekarangan dan lahan yang terbatas.
Pengembangan budidaya sayuran di Jakarta juga perlu didukung oleh ketersediaan sarana
produksi, diantaranya adalah ketersediaan pupuk. Pupuk memegang peranan penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman untuk dapat berproduksi dengan optimal. Penggunaan
pupuk kimia yang terus menerus telah mengakibatkan dampak negatif bagi tanah dan lingkungan
berupa rusaknya struktur fisik serta fungsi biologi tanah (Hong, 1991; Karama et al., 1991). Terkait
dengan pertanian perkotaan yang memanfaatkan limbah perkotaan, maka kotoran kelinci memiliki
potensi sebagai sumber pupuk organik dalam budidaya sayuran. Ternak kelinci menghasilkan feses
sebanyak 100 300 g/ekor/hari (Sadjimin et al., 20016) dan urin sebanyak 50-65 ml/ekor/hari (Bahar
et al., 2014)
Kotoran kelinci baik padat (feces) maupun cair (urin) dikenal sebagai sumber pupuk organik
yang potensial untuk tanaman. Sementara itu, ternak kelinci merupakan ternak yang potensial untuk
dikembangkan di DKI Jakarta berkenaan dengan Perda yang melarang pemeliharaan dan
pengembangan unggas di wiayah Provinsi Jakarta serta keterbatasan lahan untuk mengembangkan
ternak ruminansia besar seperti sapi dan kambing. Saat ini, terdapat sedikitnya 11 peternak kelinci di
DKI Jakarta dengan jumlah kepemilikan 5-30 ekor (Bahar, 2014) dan terus bertambah dengan adanya
kegiatan Bioindustri di kawasan Marunda - Jakarta Utara dan Pekayon Jakarta Timur. Oleh karena
itu penelitian terkait pemanfaatan limbah kelinci sebagai sumber hara dalam teknis budidaya pertanian
perkotaan yang berlahan sempit penting untuk dilakukan.
Urin kelinci merupakan limbah kelinci yang paling banyak diperoleh daripada kotoran kelinci.
Penelitian tentang pemanfaatan urin kelinci terhadap beberapa komoditas telah dilakukan diantaranya
Oikeh dan Asiegbu (2003) yang meneliti pemupukan dengan menggunakan lumpur kotoran atau pupuk
kandang kelinci sebesar 20 ton/ha pada tanaman tomat memberikan hasil yang terbaik yaitu 42-47
ton/ha. Djafar et al. (2003) melaporkan aplikasi 60ml/L urin kelinci yang dikombinasikan dengan
guano meningkatkan produktifitas tanaman sawi. Sementara itu, aplikasi urin kelinci pada tanaman
tomat dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tetapi tidak nyata meningkatkan produksi buah tomat
(Nugraheni et.al., 2011). Namun, penelitian yang komprehensif terkait teknis pemanfaatan urin kelinci
pada budidaya sayuran dalam pot sebagai bentuk teknis pertanian perkotaan belum banyak dilakukan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pengelolaan urin dengan fermentasi,
dosis/takaran dan intensitas pemberian urin kelinci terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman pakcoy
dan selada pada teknis budidaya dalam pot.

METODOLOGI
Penelitian dilakukan di rumah kassa BPTP Jakarta dan kelompok tani Mahoni, Marunda-
Jakarta Utara pada Januari sampai dengan April 2016. Penelitian terdiri atas 2 tahap yaitu 1) Penentuan
tehnik penyediaan urin kelinci, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci terbaik untuk tanaman
pakcoy dan selada, 2) Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani.
Komposisi hara urin kelinci yang digunakan dalam penelitian ini mengandung C-organik
0,32%; N 0,60%; P2O5 18%; K2O 0,12%; Na 0,04%; Ca 37 ppm; Mg 0,01%; Fe 1,1 ppm; Mn 0,2 ppm;
Cu 1,2 ppm; Pb 0,2 ppm; Cd 0,05 ppm; Co 0,5 ppm; Mo 0,05 ppm; Se 0,1 ppm; sedangkan S, Zn, Al,
B, Cr, Ni, As, Hg tidak terdeteksi.
Pengujian Pengaruh Fermentasi, Dosis dan Intensitas Pemberian Urin Kelinci
Penelitian tahap 1 dirancang menggunakan rancangan faktorial tiga faktor 2 x 3 x 2 dengan
lima ulangan. Faktor pertama merupakan tehnik penyedian urin kelinci yaitu dengan fermentasi (F) dan
tanpa fermentasi (TF), faktor kedua yaitu empat taraf dosis pemberian urin kelinci yaitu 0%, 20%,
40% dan 60%, faktor ketiga berupa dua taraf intensitas aplikasi yaitu 1 kali/minggu dan 2 kali/minggu.
Fermentasi urin dilakukan secara anaerob dengan penambahan EM4 dan molase 10%,
difermentasi selama 30 hari. Perlakuan urin tanpa fermentasi dilakuakan dengan menampung urin
pada wadah tertutup rapat dan disimpan selama 30 hari tanpa penambahan bahan apapun.
356
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Aplikasi pemupukan dilakukan dengan mencampur urin kelici dan air sesuai dosis 20%, 40%
dan 60%. Diaplikasikan sebanyak 200 ml per pot tanam.
Pengujian Pembanding Dengan Teknologi Eksisting Petani
Penelitian tahap 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 perlakuan dan 10
ulangan. Perlakuan penelitian terdiri atas 1) pemupukan urin kelinci berdasar hasil terbaik dari tahap 1;
2) pemupukan NPK, dan iii) kontrol (tanpa pemupukan). Aplikasi NPK pada tanaman selada dan
pakchoy dilakukan 2 kali, saat sebelum tanam sebanyak 3 g/pot dan setelah 14 hari sebanyak 2 g/pot
(modifikasi Susila, 2006)
Pengamatan dan Analisa Data
Peubah pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati pada komoditas selada dan pakcoy
meliputi tinggi tanaman setiap minggu, jumlah daun setiap minggu, berat segar panen dan berat kering.
Berat kering diukur setelah sampel dioven pada suhu 600C selama tiga hari. Data yang diperoleh
dianalisa sidik ragam, hasil yang menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan
Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian pengaruh fermentasi, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci
Interaksi antara perlakuan fermentasi urin kelinci, takaran pemberian dan intensitas aplikasi
pemupukan urin kelinci berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan serta hasil tanaman selada
dan pakcoy (tabel 1 dan 2).
Perlakuan TF 60% 1x memberikan hasil yang terbaik pada komoditas selada dan tidak
berbeda nyata dengan perlakuan TF 60% 2x, TF 40% 2x dan TF 20% 2x. Sementara itu, semua
interaksi dengan perlakuan F (urin yang difermentasi) memberikan hasil yang terendah baik pada
komponen pertumbuhan maupun hasil. Bahkan interaksi perlakuan F dengan konsentrasi urin 60%
menyebabkan kematian pada tanaman selada (tabel 1).
Hasil pengujian pada tanaman pakcoy (tabel 2) menunjukkan TF 60% 1x dan TF 60% 2x
memberikan hasil yang terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain (tabel 2). Sejalan
dengan pengujian pada komoditas selada, semua interaksi dengan perlakuan F memberi hasil terendah
pada semua variable pengamatan tetapi tidak sampai terjadi kematian tanaman seperti pada selada.
Proses fermentasi urin kelinci memanfaatkan EM4 dan dilakukan secara anaerob. EM4
merupakan bioaktivator yang mengandung banyak sekali ikroorganisme pemecah bahan-bahan
organik. Mikroorganisme dapat meningkatkan penyerapan unsur hara,karena mikroorganisme dapat
meningkatkan penyerapan karbohidrat dan beberapa unsure lainnya (Margaretha dan Itang 2008).
Dalam urin kelinci terdapat bahan-bahan organik seperti nitrogen, posfor dan kalium yang dibutuhkan
tanaman. Namun tidak dapat langsung diserap oleh tanaman karena masih dalam bentuk senyawa yang
perlu dipecah menjadi bentuk ion-ion yang mudah diserap tanaman. Dengan adanya fermentasi zat-zat
tersebut dapat diserap dengan mudah oleh tanaman.
Akan tetapi, pada penelitian ini urin yang difermentasi justru menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan tanaman. Hal ini diduga karena N yang terdapat pada urin kelinci dalam bentuk NH4+
dan NO3- pada proses fermentasi dirubah menjadi NO3 dan NO2 yang mudah lepas ke udara atau
sumber N pada urin kelinci dimanfaatkan juga oleh mikroba karena carbon dan nitrogen merupakan
sumber makanan utama bagi bakteri anaerob. Carbon dibutuhkan untuk mensuplai energi dan nitrogen
yang dibutuhkan untuk membentuk struktur sel bakteri (Aelita et.al., 2013). Penelitian Makiyah et.al.
(2015) menunjukkan proses fermetasi pada ampas tahu mengalami penurunan kandungan N, P dan K
sejalan dengan lamanya waktu fermentasi.

357
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Respons tanaman selada terhadap pupuk urin kelinci


Tinggi tanaman (cm) Berat Berat
Jumlah daun minggu ke-
Perlakuan minggu ke- segar kering
1 2 3 4 1 2 3 4 (g) (g)
TF 60 % 1x 2.3 ab 5.4 abc 9.9 ab 15.2 a 2.6 ab 4.1 a 5.6 a 6.4 a 37.0 a 3.6 a
TF 60% 2x 2.1 ab 5.3 abc 9.8 ab 14.3 a 2.8 a 4.1 a 5.3 ab 6.4 a 31.3 ab 3.0 abc
TF 40 % 1x 1.8 b 4.5 c 8.2 b 12.2 b 2.6 ab 3.9 ab 5.1 ab 5.5 ab 25.6 bc 2.5 bc
TF 40 % 2x 2.3 ab 6.0 ab 10.8 a 15.8 a 2.7 a 4.1 a 5.3 ab 6.2 a 35.9 a 3.3 ab
TF 20 % 1x 2.0 b 4.8 ab 8.2 b 11.2 b 2.4 ab 4.2 a 5.0 ab 5.4 ab 18.9 c 2.2 c
TF 20 % 2x 2.6 a 6.4 a 10.4 a 14.3 a 2.8 a 4.2 a 5.1 abc 5.5 ab 32.7ab 3.3 ab
F 60 % 1x 0.8 c 2.1 de 1.6 de Mati e 1.6 c 2.1 c 1.6 f Mati d Mati d Mati d
F 60 % 2x 1.3 c 0.8 e 0.5 e Mati e 2.2 bc 0.8 d 0.6 f Mati d Mati d Mati d
F 40 % 1x 1.3 c 3.2 d 4.6 c 6.5 c 2.0 bc 3.7 ab 4.3 bcd 4.9 b 3.7 d 0.5 d
F 40 % 2x 1.1 c 2.3 d 2.9 cd 3.6 d 1.9 bc 3.0 bc 3.2 e 3.0 c 0.8 d 0.1 d
F 20 % 1x 1.1 c 2.7 d 4.0 c 5.2 cd 1.6 c 2.9 bc 3.9 cde 4.0 c 2.6 d 0.4 d
F 20 % 2x 1.2 c 2.5 d 3.0 cd 3.5 d 1.7 c 2.9 bc 3.5 de 3.2 c 0.9 d 0.2 d
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%

Tabel 2. Respons tanaman pakcoy terhadap pupuk urin kelinci


Berat Berat
Tinggi tanaman (cm) minggu ke- Jumlah daun minggu ke-
Perlakuan segar kering
1 2 3 4 1 2 3 4 (g) (g)
TF 60 % 1x 5.7 a 11.0 a 13.4 a 14.9 a 3.6 a 6.5 a 7.5 a 9.1 a 62.4 a 6.2 ab
TF 60% 2x 4.9 ab 10.8 ab 13.2 a 14.8 a 3.4 a 6.2 ab 6.1 bc 8.6 a 71.2 a 6.7 a
TF 40 % 1x 4.8 ab 9.7 bc 13.0 a 13.2 b 3.1 ab 5.8 bc 6.6 ab 7.8 abc 47.6 b 5.4 bc
TF 40 % 2x 5.2 ab 10.6 ab 13.0 a 13.1 b 3.6 a 6.4 ab 5.9 bcd 8.0 ab 46.1 b 4.7 2c
TF 20 % 1x 4.4 b 7.9 d 10.2 b 10.6 cd 3.0 abc 5.4 c 5.2 bcd 6.7 bcd 19.9 c 2.9 d
TF 20 % 2x 4.9 ab 9.4 c 10.8 b 11.1 c 3.5 a 5.9 bc 4.9 cd 6.6 bcde 29.9 c 3.7 d
F 60 % 1x 2.0 c 5.2 e 7.8 c 9.0 de 2.4 cd 4.1 d 6.1 bc 6.8 bcd 7.43 d 0.9 e
F 60 % 2x 2.4 c 4.9 e 6.8 cd 6.5 fg 2.6 bcd 3.9 de 4.67 cd 5.0 fg 3.74 d 0.4 e
F 40 % 1x 1.8 c 5.4 e 8.2 c 8.8 e 1.6 e 3.9 d 6.0 bc 6.43cdef 8.14d 1.10e
F 40 % 2x 2.0 c 4.9 e 6.5 cd 6.8 f 2.6 bcd 3.9 de 5.0 cd 5.71def 4.96d 0.82e
F 20 % 1x 1.7 c 4.7 e 7.0 c 7.7 ef 1.7 e 3.8 de 4.9 cd 5.12efg 5.39d 0.78e
F 20 % 2x 2.1 c 4.3 e 5.1 d 5.2 g 2.2 de 3.36 e 4.5 d 4.10g 2.42d 0.50e
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%.

Pengaruh faktor tunggal menunjukkan urin tanpa fermentasi dan dosis 60% secara signifikan
memberikan hasil lebih baik pada pertumbuhan serta hasil pakcoy dan selada sedangkan perlakuan
intensitas aplikasi tidak memberi pengaruh yang signifikan (Tabel 3 dan 4).
Urin kelinci tanpa perlakuan fermentasi menghasilkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen
yang signifikan lebih tinggi pada tanaman selada. Hal ini menunjukkan dalam pengelolaan urin kelinci
untuk diaplikasikan sebagai pupuk pada sayuran selada tidak perlu difermentasi, karena dengan
disimpan secara alami memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini diduga karena selama proses
fermentasi kandungan N dalam urin kelinci banyak yang lepas dari
Faktor konsentrasi menunjukkan pemberian 60% urin kelinci menghasilkan pengaruh terbaik
pada variabel hasil yaitu berat segar dan berat kering. Pada variabel jumlah daun, semua perlakuan
tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, sedangkan pada variabel tinggi tanaman terjadi hal
yang menarik, yaitu pada minggu 2 dan 3 perlakuan urin 60% signifikan memberikan hasil yang lebih

358
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

rendah dari perlakuan yang lain tetapi pada minggu ke-4 perlakuan urin 60% secara signifikan
memberikan hasil yang terbaik.
Intensitas pemberian 1 kali/minggu ataupun 2 kali/minggu tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata pada semua variabel pengamatan baik pertumbuhan maupun hasil. Sehingga untuk
efisiensi, maka aplikasi pemupukan dilakukan 1 kali/minggu.
Tabel 3. Respons tanaman selada terhadap faktor tunggal perlakuan fermentasi, konsentrasi dan
intensitas pemupukan.
Tinggi tanaman (cm) minggu Jumlah daun minggu Berat Berat
Perlakuan ke- ke- segar kering
Faktor tunggal
1 2 3 4 1 2 3 4 (g) (g)
Faktor 1
Tanpa fermentasi 2.2 a 5.4 a 9.5 a 13.8 a 2.6 a 4.1 a 5.2 a 5.9 a 30.3 a 3.0 a
Fermentasi 1.1 b 2.3 b 2.8 b 4.8 b 1.8 b 2.5 b 2.9 b 3.8 b 2.0 b 0.29 b
Faktor 2
Konsentrasi 60% 1.6 3.4 b 5.4 b 14.7 a 2.3 2.8 3.3 6.4 34.4 a 3.3 a
Konsentrasi 40% 1.6 4.0 a 6.6 a 9.5 2.3 3.7 4.5 4.9 16.5 1.6 b
Konsentrasi 20% 1.7 4.1 a 6.4 ab 8.5 2.1 3.6 4.4 4.5 13.8 1.5 b
Faktor 3
Intensitas 1x/mgg 1.5 3.8 6.1 10.06 2.12 3.47 4.24 5.26 17.56 1.83
Intensitas 2x/mgg 1.8 3.9 6.2 10.27 2.36 3.19 3.83 4.84 20.41 1.98
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%.

Hasil yang sejalan ditunjukkan pada komoditas pakcoy. Urin kelinci yang tidak difermentasi
secara signifikan memberi hasil terbaik pada semua variable pengamatan. Sementara itu, perlakuan
konsentrasi memberi pengaruh berbeda nyata pada semua variable pengamatan. Konsentrasi 60%
memberikan hasil yang terbaik, diikuti konsntrasi 40% dan 20%. Perlakuan intensitas berpengaruh
nyata terhadap variable tinggi tanaman dan jumlah daun, intensitas pemupukan 2x per minggu
menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi pada pakcoy, tetapi tidak berbeda nyata terhadap
variabel komponen hasil.
Tabel 4. Respons tanaman pakcoy terhadap faktor tunggal perlakuan fermentasi, konsentrasi dan
intensitas pemupukan.
Tinggi tanaman (cm) minggu Berat Berat
Perlakuan ke- Jumlah daun minggu ke- segar kering
1 2 3 4 1 2 3 4 (g) (g)
Faktor 1
Tanpa fermentasi 5.0 a 9.9 a 12.3 a 12.9 a 3.4 a 6.0 a 6.0 a 7.8 a 46.2 a 4.9 a
Fermentasi 2.0 b 4.9 b 6.9 b 7.3 b 2.2 b 3.8 b 5.2 b 5.5 b 5.3 b 0.8 b
Faktor 2
Konsentrasi 60% 3.8 8.0 a 10.3 a 11.3 a 3.0 a 5.2 a 6.1 a 7.4 a 36.2 a 3.6 a
Konsentrasi 40% 3.5 7.6 a 10.2 a 10.5 b 2.7 ab 5.0 a 5.9 a 7.0 a 26.7 b 3.0 b
Konsentrasi 20% 3.3 6.6 b 8.3 b 8.6 c 2.6 b 4.6 b 4.9 b 5.6 b 14.4 c 2.0 c
Faktor 3
Intensitas 1x/mgg 3.4 7.3 9.9 a 10.7 a 2.6 a 4.9 6.0 a 7.0 a 25.1 2.9
Intensitas 2x/mgg 3.6 7.5 9.2 b 9.6 b 3.0 b 4.9 5.2 b 6.3 b 26.4 2.8
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%

359
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengujian pembanding dengan teknologi eksisting petani


Berdasar pengujian pengaruh fermentasi, dosis dan intensitas pemberian urin kelinci pada
tahap sebelumnya, kombinasi perlakuan aplikasi urin kelinci yang memberi hasil terbaik adalah
TF60%1x. Perlakuan tersebut kemudian diujikan di tingkat petani dengan teknologi pemupukan
eksisting petani sebagai pembanding dan juga tanpa pemupukan sebagai kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan aplikasi urin kelinci TF 60% 1x memberi hasil tidak berbeda
nyata dibanding NPK pada pertumbuhan dan hasil selada maupun pakcoy. Sementara itu, perlakuan
urin kelinci dan NPK signifikan memberi hasil lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 5). Hal ini
menunjukkan pemanfaatan urin kelinci dapat menggantikan penggunaan NPK pada budidaya selada
dan pakcoy. Urin kelinci memiliki kandungan hara N 2,0%; P2O5 1,3%; dan K2O 1,2% (Jerry Purser,
2013); N 2,62%, P2,46%, K 1,86%. Sementara itu penelitian Ikrarwati et al., (2016) menunjukkan hasil analisa
urin kelinci menunjukkkan kandugan N 0,6%; P 2O5 18 ppm dan K2O 0,12% (Ikrarwati et al. 2016).
Kandungan hara yang terdapat pada urin kelinci terbukti cukup untuk memenuhi kebutuhan hara utuk
pertumbuhan selada dan pakcoy.
Tabel 5. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman selada dan pakcoy terhadap pemberian pupuk urin
kelinci dan NPK
Berat Berat
Tinggi tanaman (cm) minggu ke- Jumlah daun minggu ke-
Perlakuan segar kering
1 2 3 4 1 2 3 4 (g) (g)
SELADA
TF 60 % 1x 2.3 5.4 a 9.9 a 15.2 a 2.6 4.1 5.6 a 6.4 a 37.0 a 3.6 a
NPK 2.2 5.9 a 11.0 a 16.1 a 2.6 4.2 5.5 a 6.5 a 39.5 a 4.0 a
kontrol 1.8 3.9 b 5.7 b 7.6 b 2.3 3.6 4.2 b 4.0 b 7.4 b 0.9 b
PAKCOY
TF 60 % 1x 5.7 a 11.0 a 13.4 a 14.9 a 3.6 a 6.5 a 7.5 a 9.1a 62.4 a 6.2 a
NPK 3.1 b 8.3 b 13.2 a 15.6 a 2.4 b 4.9 b 7.6 a 9.3a 54.5 a 5.7 a
kontrol 2.8 b 5.2 c 6.1 b 5.9 b 2.9 ab 3.9 c 4.5 b 4.5b 3.9 b 0.7 b
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasar uji Duncan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemupukan urin kelinci dengan dosis 60% dan
intensitas aplikasi satu kali perminggu pada tanaman pakcoy dan selada dapat memberikan hasil yang
sama dengan pemupukan NPK. Pemanfaatan limbah kelinci dalam bentuk urin untuk budidaya
pakcoy dan selada dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, serta mengurangi
permasalahan limbah yang muncul dari peternakan kelinci. Selain itu, pemanfaatan urin kelinci
sebagai pupuk pada tanaman sayuran daun memiliki potensi mudah diadaptasikan karena prosesnya
yang sederhana dan mudah untuk diaplikasikan.

KESIMPULAN
Secara keseluruhan, hasil penelitian mennunjukkan aplikasi urin kelinci tanpa fermentasi
dengan dosis 60% dan diaplikasikan satu kali perminggu, dapat menggantikan penggunaan NPK pada
tanaman selada dan pakcoy.
Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan perlakuan yang memberi hasil terbaik pada pertumbuhan
selada dan pakcoy adalah urin tanpa fermentasi dosis 60% aplikasi 1x/minggu (TF60%1x) dengan tiggi
tanaman 15,2 cm; jumlah daun 6,4; berat segar 37 g; dan berat kering 3,6 g untuk tanaman selada dan
tiggi tanaman 14,9 cm; jumlah daun 9,1; berat segar 62,4 g; dan berat kering 6,2 g untuk tanaman
pakchoy. Pengaruh faktor tunggal menunjukkan urin tanpa fermentasi dan dosis 60% memberikan
hasil yang terbaik, sedangkan perlakuan intensitas aplikasi tidak berpengaruh pada komoditas selada
tetapi berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan pakcoy.
Penelitian tahap 2 menunjukkan pertumbuhan dan hasil tanaman selada dengan aplikasi urin
kelinci (tinggi tanaman 15,2 cm, jumlah daun 6,4, berat segar 37 g, berat kering 3,6 g) sama baik
dengan aplikasi NPK (tinggi tanaman 16,1cm, jumlah daun 6,5, berat segar 39,5 g, berat kering 4g).

360
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Hasil tanaman pakchoy dengan aplikasi urin kelinci (berat segar 62,4 g; berat kering 6,2 g) lebih baik
dibanding penggunaan NPK (berat segar 54,5 g; berat kering 5,7 g)

UCAPAN TERIMA KASIH


Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jakarta, Badan Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA anggaran BPTP
Jakarta. Terima kasih juga disampaikan kepada tim pengkaji dan Kelompok Tani Mahoni yang telah
melakukan penelitian ini secara bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Aelita, A. Dharma dan B. Arifin. 2013. Fermentassi Anaerobic Limbah Kulit Singkong dan Kotoran
Kelinci Untuk Produkssi Biogas. Jurnal Kimia Unand. Vol 2(2).
Bahar, S., B. Bakrie, U. Sente, D. Andayani, dan B.V. Lotulung. 2014. Potensi dan Peluang
Pengembangan Ternak Kelinci di Wilayah Perkotaan DKI Jakarta. Buletin Pertanian
Perkotaan. Vol. 4 (2).
Djafar, T. A., A. Barus dan Syukri. 2013. Respon Pertumbuhan dan Produksi Sawi ( Brassica juncea l
) Terhadap Pemberian Urine Kelinci Dan Pupuk Guano. Jurnal Online Agroekoteknologi
Vol.1, No.3.
FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations). 2009. "Urban and Peri-urban
Agriculture, Household Food Security and Nutrition"
Ikrarwati, Y. Sastro, C.S. Ammatillah, N.A. Rokhmah, S. Sutardi, L. Hakim, K. Mayasari. 2016.
Kajian Budidaya Sayuran Dengan Pemanfaatan Urin dan Feses Kelinci Sebagai Pupuk
dan Media Tanam. Laporan Tahunan Balai Penggkajian Teknologi Pertanian Jakarta.
Jerry Purser. 2013. Animal Manure As Fertilizer. Extension Agriculture Resource Management
Agent. www.uaf.edu/ces.
Hong, G.B. 1991. Syarat Tanah Untuk Pemupukan Efektif. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi
Penggunaan Pupuk V. Cisarua. Puslittanak. Bogor.
Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan. 1991. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman
Pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua.
Puslittanak. Bogor.
Makiyah, M., W. Sunarto, dan A.T. Prasetya. 2015. Analisis Kadar NPK Pupuk Cair Limbah Tahu
dengan Penambahan Tanaman Thitonia diversivolia. Indonesian Journal of Chemical
Science.
Margaretha dan A.N. Itang.2008. Optimasi Penambahan Unsure Hara NPK Pada Limbah Biogas Dan
Kompos Kambing Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Organik Granul Denngan
Menggunakan Program Linear. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 13 (1): 27-33
Nugraheni E.D. dan Paiman. 2011. Pengaruh Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian Pupuk Urin
Kelinci Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat (Lycopersicum esculentum Mill).
Oikeh S. O. dan J. E. Asiegbu, 2003. Pertumbuhan Dan Tanggapan Hasil Tanaman Tomat Terhadap
Sumber-Sumber Dan Tingkat Pupuk Organik Di Tanah Ferralitic. Universitas Nigeria :
hal 21-25. Diakses, 27 Juni 2010.
Samkol dan Lukefarh, 2008. Produksi Peran Pupuk Organik Kelinci Menuju Penanggulangan
Kemiskinan di Asia Timus Selatan. Pusat Peternakan dan Pengembangan Pertanian,
Kamboja. Diakses, 21 Jaanuari 2016.
Sajimin, Y. C. Rahardjo dan N.D. Purwantari. 2006. Potensi Kotoran Kelinci Sebagai Pupuk
Organik Dan Pemanfaatannya Pada Tanaman Pakan Dan Sayuran. Lokakarya Nasional
Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci. Bogor. Hal. 156-161.
Susila, D. A. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable Vegetable
Production in Southeast Asian. Wathershed Project SANREM-CRSP USAID.

361
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KERAGAMAN GENETIK DAN EVALUASI PLASMA NUTFAH JAMBU BIJI (Psidium


guajava L)
GENETIC DIVERSITY AND EVALUATION OF GUAVA (Psidium guajava L.) GERMPLASM
Sri Hadiati dan Kuswandi
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Jl Raya Solok-Aripan km 8 Solok, Sumatera Barat 20137, HP.085375084114
e-mail: sutan.mangkuto33@gmail.com

ABSTRAK
Jambu biji merupakan tanaman yang menyerbuk silang, sehingga memiliki keragaman yang tinggi.
Tujuan penelitian untuk mengetahui keragaman genetik, pengelompokan aksesi serta mengevaluasi
aksesi-aksesi potensial sebagai materi pemuliaan dalam rangka mendapatkan varietas unggul baru.
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dari
tahun 2013 sampai tahun 2014. Karakterisasidilakukan terhadap 11 aksesi jambu biji.Sebanyak 22
karakter (12 kuantitatif dan 10 kualitatif) diamati untuk mengetahui keragamannya. Setiap aksesi
dikarakter sebanyak 10 daun dan 5-10 buah yang mengacu pada minimum descriptor yang diterbitkan
oleh UPOV. Data karakter kuantitatif dianalisis secara statistik. Pengelompokan menggunakan
metode average linkage dalam paket cluster di perangkat lunak R versi 3.0.1. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik yang tinggi baik pada karakter kuantitatif maupun
kualitatif yang diamati. Karakter kuantitatif yang mempunyai keragaman tinggi (KK > 30%) yaitu
tebal daging (62,75%), diameter core (51,33%), bobot daging (39,91%), dan bobot buah (33,11%).
Karakter kualitatif yang beragam yaitu yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk
pundak buah. 11 aksesi jambu biji yang diamati dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok pada
koefisien ketidakmiripan 50% dan dapat mengelompokkan aksesi berdaging merah dan putih secara
terpisah. Aksesi 10.12 memiliki banyak sifat unggul dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai
varietas unggul ke depannya.
Kata Kunci : jambu biji, keragaman, pengelompokan, evaluasi

ABSTRACT
Guava is a cross-pollinated crop, so it has a high diversity. The aimed of this research was to
determin the genetic diversity of guava, clustering the guava germplasm and evaluate guava potential
as breeding materials in order to get new varieties. The research was carried out at the Aripan
Experimental Farm of Indonesian Tropical Fruits Research Institute (ITFRI) from 2013 to 2014.
Characterization conducted on 11 accessions of guava. A total of 22 characters (12 quantitative and
10 qualitative) were observed to determine its diversity. Each accession was characterized as many as
10 leaves and 5 fruits refer to the minimum descriptor issued by UPOV.The data of quantitative
characters were analyzed by statistic. Clustering used average linkagemethod in R version 3.0.1
program.The result showed that there was a high genetic diversity both in quantitative and qualitative
characters were observed. Quantitative characters that have a high diversity (CV > 30%) are thick
flesh (62.75%), core diameter (51.33%), the weight of flesh (39.91%), and fruit weight (33.11%). The
diversity of qualitative characters is leaf shape, leaf tip shape, fruit shape and form of the fruit
shoulder. As many as 11 accessions of guava observed can be classified into four groups on the
dissimilarity coefficient of 50% and can be grouped of fleshy red and white accessions separately.
10.12 accession had many superior characteristic and likely to be developed as future varieties.
Key Words: guava, diversity,clustering,evaluation.

362
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan tanaman buah yang berasal dari wilayah tropis
Amerika. Tanaman ini kemudian menyebar ke seluruh wilayah tropis dan sub tropis di seluruh dunia.
Komoditas ini termasuk ke dalam famili Myrtaceae Buahnya kaya akan nutrisi yang penting bagi
kesehatan manusia. Buah jambu biji mengandung vitamin A dan B, serta sangat kaya akan kandungan
vitamin C, bahkan lebih tinggi dibandingkan jeruk (Delgado et al., 2007; Chandra dan Mishra, 2007;
Pommer dan Murakami, 2009; Santos et al., 2011).
Tanaman jambu biji merupakan tanaman diploid yang memiliki 22 kromosom. Beberapa jenis
di antaranya ada juga yang triploid, sehingga tidak berbiji (Rajan et al., 2005). Tanaman ini termasuk
ke dalam genus Psidium yang terdiri dari 150 spesies, yang sebagian besar diantaranya dapat dimakan.
Kerabat terdekat jambu biji antara lain Jambu Brazil (Psidium guineense), Jambu Gunung (Psidium
montanum), Jambu Cheri (Psidium cattleianum), Jambu nenas (Acca sellowiana) dan Jambu Chili
(Ugni myricoides) (Mehmooda et al., 2014).
Jambu biji umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang, sehingga memiliki keragaman
genetik yang sangat tinggi (Balasubrahmanyan, 1959), dan juga terjadi penyerbukan sendiri meskipun
dengan persentase yang rendah seperti yang telah dilaporkan oleh Singh dan Sehgal (1968). Petani
banyak yang masih memperbanyak jambu biji menggunakan biji (generatif), sehingga menyebabkan
munculnya variasi cukup besar yang terlihat sejak fase bibit (Kareem et al., 2013). Upaya untuk
mendapatkan tanaman yang true to type perlu dilakukan dengan menggunakan perbanyakan secara
vegetatif seperti cangkok, okulasi, sambung dan stek.
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika) sebagai lembaga penelitian buah
tropika memiliki setidaknya 20 aksesi jambu biji yang berasal dari beberapa wilayah Indonesia.
Aksesi-aksesi tersebut memperlihatkan keragaman baik warna daging, bentuk, maupun ukuran
buahnya. Keragaman genetik yang tinggi diperlukan dalam pemilihan tetua untuk perakitan varietas.
Semakin beragam tetua yang digunakan maka akan meningkatkan peluang untuk mendapatkan
karakter yang dituju. Informasi tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatan/pengelompokan
penting untuk program perbaikan varietas (Pommer, 2012). Pengelompokan plasma nutfah jambu biji
selain menggunakan penanda molekuler juga dapat dilakukan dengan menggunakan penanda
morfologi seperti yang telah dilakukan oleh Cosera et al., (2012) dan Mehmood et al., (2014).
Penggunaan penanda morfologi memiliki kelebihan seperti lebih murah dan mudah digunakan
(Stoskopf et al.,1993).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik, pengelompokan aksesi
serta mengevaluasi aksesi-aksesi potensial sebagai materi pemuliaan dalam rangka mendapatkan
varietas unggul baru.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Aripan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika
Solok mulai tahun 2013 sampai tahun 2014. Bahan yang digunakan adalah 11 aksesi jambu biji
koleksi KP Aripan. Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, jangka sorong digital,
penggaris, dan hand refractometer.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan melakukan karakterisasi yang mengacu kepada Guidelines for
the conduct of tests for distinctness, homogeneity and stability on Guava (UPOV, 1987). Setiap aksesi
dikarakter sebanyak 10 daun dan 5 10 buah. Peubah yang diamati meliputi karakter kuantitatif dan
kualitatif. Karakter kuantitatif meliputi panjang dan lebar daun, panjang tangkai buah, bobot buah,
lebar buah, tinggi buah, diameter core, bobot daging, tebal daging, TSS (Total Soluble Solid), kadar
air, dan edible portion. Karakter kualitatif yang diamati meliputi bentuk helaian daun, kelengkungan
penampang daun, melipatnya daun, bentuk buah, bentuk pundak buah, dan warna daging buah.

363
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Analisis data
Data karakter kuantatif yang diperoleh dari 11 aksesi jambu biji selanjutnya dihitung nilai
minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien keragaman. Analisis korelasi
antar karakter menggunakan korelasi Pearson dengan tingkat singnifikansi 95%.
Data karakter kuantitatif dan kualitatif selanjutnya digunakan untuk analisis kluster /
dendogram. Data kuantitatif dikualitatifkan dengan cara scoring dengan kriteria 3) rendah, 5) sedang,
dan 7) tinggi. Peubah kuantitatif yang dikualitatifkan adalah sebagai berikut: a). Bobot buah : 3)
rendah 301,64 g, 5) sedang 301,65 380,17 g, dan 7) berat 380,18 g; b). Lebar buah: 3) sempit
7,82 cm, 5) sedang 7,83-8,74 cm, 7) lebar 8,75 cm; c). Tinggi buah: 3) rendah 7,83 cm, 5)
sedang 7,84-8,75 cm, 7) tinggi 8,76 cm; d). Bobot daging : 3) ringan 253,55 g, 5) sedang 253,56-
341,96 g, 7) berat 341,97 g; e). Tebal daging: 3) tipis 2,33 cm, 5) sedang 2,34-3,46 cm, 7) tebal
3,47 cm; f).TSS : 3) rendah 10,0 briks, 5) sedang 10,01-11,52 briks 7) tinggi 11,53 briks; g).
Edible portion: 3) rendah 81,01%, 5) sedang 81,02-90,5%, 7) tinggi 90,51%.
Penghitungan jarak genetik antaraksesi dilakukan dengan metode Gower, kemudian
dilanjutkan dengan pengelompokan hirarkis menggunakan metode average linkage dalam paket
cluster di perangkat lunak R versi 3.0.1. Analisis klaster ini bertujuan untuk mengelompokkan aksesi
berdasarkan kesamaan/ketidaksamaan karakter (Basweti dan Hanson, 2012). Hasil analisis
ditampilkan dalam bentuk dendrogram dan plot analisis koordinat utama.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil perhitungan statistik terlihat bahwa 12 karakter kuantitatif yg diamati beberapa karakter
menunjukkan keragaman yang tinggi ( > 30%). Karakter yang mempunyai keragaman tertinggi yaitu
tebal daging (62,75%), kemudian disusul diameter core (51,33%), bobot daging (39,91%), dan bobot
buah (33,11%). Karakter yang mempunyai keragaman kecil yaitu kadar air (1,60%), panjang daun
(8,57%), dan lebar daun (10,73%). Tebal daging jambu biji bervariasi dari 0,93 cm 4,60 cm,
diameter core berkisar 0 6,14 cm, dan bobot daging berkisar 94,98 g 430,37 g (Tabel 1). Hasil
penelitian Mehmood et al., (2014) pada 132 aksesi jambu biji juga menunjukkan bahwa karakter
panjang dan lebar daun mempunyai keragaman yang kecil ( 18,51% dan 15,62%) dibandingkan
karakter lainnya.
Tabel 1. Nilai minimum, maksimum, rata-rata, standar deviasi dan koefisien keragam 12 karakter
kuantitatif daun dan buah pada 11 aksesi jambu biji.
Standar Koefisien keragaman
Karakter Minimum Maksimum Rata-rata
deviasi (KK)(%)
Panjang daun (cm) 10,67 14,59 13,28 1,14 8,57
Lebar daun (cm) 5,56 8,13 6,85 0,74 10,73
Bobot buah (g) 132,80 458,70 290,38 96,16 33,11
Lebar buah (cm) 6,00 9,67 8,00 1,11 13,87
Tinggi buah (cm) 5,34 9,69 8,01 1,15 14,41
Panjang tangkai buah (cm) 1,65 2,73 2,11 0,34 15,91
Diameter core (cm) 0,00 6,14 4,03 2,07 51,33
Bobot daging (g) 94,98 430,37 239,87 95,72 39,91
Tebal daging (cm) 0,93 4,60 1,90 1,19 62,75
TSS ( briks) 8,48 13,73 11,64 1,73 14,90
Kadar air (%) 82,25 86,13 83,57 1,34 1,60
Edible portion (%) 71,511 100,000 80,686 9,170 11,37
Sumber : Data primer (2013-2014)

Pada Tabel 2 terlihat bahwa karakter kualitatif pada jambu biji yang menunjukkan keragaman
yaitu bentuk daun, bentuk ujung daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah. Karakter yang tidak
beragam yaitu lengkungan ibu tulang daun, dimana semua aksesi mempunyai lengkungan yang lurus.
Dengan adanya keragaman yang tinggi pada karakter kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas, akan
memudahkan pemulia untuk menyeleksi aksesi-aksesi tersebut.

364
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Data karakterisasi baik karakter kuantitatif maupun kualitatif yang diperoleh selanjutnya
dianalisis cluster untuk mengetahui pengelompokan dari aksesi-aksesi yang diuji. Aksesi yang
tergabung dalam satu kelompok biasanya mempunyai banyak kesamaan karakter sehingga mempunyai
jarak genetik yang dekat. Di dalam persilangan, semakin jauh jarak genetik antar tetua yang
digunakan, maka semakin berpeluang untuk memperoleh hibrid dengan tingkat heterosis karakter
tertentu yang tinggi (Hadiati et al., 2009).

Gambar 1. Dendrogram pengelompokan 11 aksesi jambu biji koleksi Balitbu Tropika berdasarkan
karakter morfologi.

Hasil analisis cluster menunjukkan bahwa 11 aksesi jambu biji mengelompok menjadi empat
kelompok pada koefisien ketidakmiripan sekitar 50 % (Gambar 1). Aksesi-aksesi yang tergabung
dalam kelompok I, II, III mempunyai warna daging buah putih, sedangkan aksesi yang tergabung
dalam kelompok IV mempunyai warna daging buah merah, kecuali aksesi 10.1 yang berdaging putih.
Aksesi Kbnrmbtn mempunyai ciri yang berbeda dengan aksesi lainnya, yaitu bentuk daun trullate,
helaian daun melipat, bentuk buah bulat telur, bentuk pundak buah berleher, serta ukuran buah yang
panjang dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan aksesi Bipara mempunyai ciri karakter yang khas
yaitu buah tidak berbiji sama sekali sehingga semua bagian buah dapat dimakan.

365
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Karakter kualitatif daun dan buah pada 11 aksesi jambu biji

Aksesi
WijayaMerah 10.6 10.7 10.8 10.9 10.1 10.11 10.12 Kristal Bipara KbnRmbtn
Daun :

Bentuk seperti layangan seperti bulat panjang bulat panjang bulat panjang seperti seperti oblong bulat telur seperti trullate
layangan layangan layangan layangan
Kelengkungan sedang kuat kuat sedang kuat kuat kuat sedang sedang kuat kuat
penampang
Melipatnya tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat tidak melipat melipat

Lengkungan ibu lurus lurus lurus lurus lurus lurus lurus lurus lurus lurus lurus
tulang daun
Bentuk pangkal membulat tumpul membulat membulat tumpul tumpul tumpul tumpul membulat tumpul membulat

Bentuk ujung meruncing meruncing tumpul tumpul meruncing tumpul meruncing meruncing tumpul meruncing runcing

Buah :

Bentuk lonjong bulat bulat bulat bulat bulat bulat bulat bulat empat persegi bulat telur
panjang
Bentuk pundak membulat dan membulat dan membulat dan membulat dan membulat dan membulat membulat dan membulat dan membulat dan truncate berleher
lebar lebar lebar lebar lebar dan lebar lebar lebar lebar
Ukuran leher sangat lebar sangat lebar sangat lebar sangat lebar sangat lebar sangat lebar sangat lebar sangat lebar sangat lebar Sangat lebar sedang

Warna daging merah merah merah merah putih putih merah putih putih putih putih

Sumber : Data primer (2013-2014)

366
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pengelompokan aksesi jambu biji juga dapat dilakukan menggunakan analisis koordinat utama
(Principal Coordinate Analysis/PCoA). Baik dendrogram maupun PCoA sama-sama menggunakan
matriks jarak dalam pembuatan plotnya. Plot PCoA menunjukkan bahwa aksesi Wijaya Merah, 10.1,
10.6, 10.11, 10.7, dan 10.8 berada pada kelompok yang sama, sedangkan Bipara, 10.9, 10.12, dan
Kristal berada pada kelompok yang lain. Sementara aksesi KbnRmbtn posisinya terpisah jauh dari
kedua kelompok (Gambar 2). Koordinat Utama Jambu Biji Koleksi Balitbu Tropika
Analisis

10.9
10.8 10.7
0.1

10.12
10.6 10.11
0.0

10.1
WijayaMerah
Koordinat 2

-0.1

Kristal
-0.2

KbnRmbtn
-0.3
-0.4

Bipara

-0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4

Koordinat 1
Gambar 2. Analisis Koordinat Utama pengelompokan aksesi jambu biji.

Pada kelompok jambu biji berdaging putih, aksesi yang memiliki ketidakmiripan terkecil yaitu
antara aksesi Kristal dan 10.12 dengan koefisien ketidakmiripan antara keduanya sekitar 23,81 % atau
kemiripan sebesar 76,19%. Kemiripan antara kedua aksesi tersebut antara lain pada karakter
kelengkungan daun sedang, daun tidak melipat, bentuk pundak buah bulat melebar, dan warna daging
buah putih (Gambar 3).
Pada kelompok jambu biji berdaging merah, aksesi yang memiliki ketidakmiripan terkecil
yaitu antara aksesi 10.6dan 10.11 dengan koefisien ketidakmiripan antara keduanya sekitar 7 % atau
kemiripan sebesar 93%. Kemiripan antara kedua aksesi tersebut hampir pada semua karakter baik
kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mempermudah pemeliharaan dan meningkatkan efisiensi
penggunaannya dalam koleksi plasma nutfah, maka sebaiknya kedua aksesi tersebut dipilih salah satu
saja. Sedangkan aksesi-aksesi yang memiliki persamaan genetik kecil atau berjarak genetik jauh baik
digunakan sebagai tetua persilangan agar diperoleh efek heterosis yang tinggi.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa karakter-karakter yang mempunyai korelasi
positip nyata yaitu panjang daun dan lebar daun (0,624*), bobot buah dan bobot daging (0,975**),
lebar buah dan bobot daging (0,93**), bobot daging dan tebal daging (0,745**), diameter core dan
TSS (0,646*), bobot daging dan edible portion (0,714*), tebal daging dan edible portion (0,898**).
Sebaliknya, karakter yang mempunyai korelasi negatif dan nyata yaitu diameter core dan tebal daging
(-0,918**), diameter core dan edible portion (-0,805**) (Tabel 3).

367
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Koeefisien korelasi antar 12 karakter kuantitatif pada 11 aksesi jambu biji
PD LD BB LB TB PTB DC BDB TDG TSS KA EP
PD 1,00 0,624* 0,046 -0,005 0,359 0,112 -0,081 0,077 -0,012 -0,296 -0,268 0,133
LD 1,000 -0,091 -0,084 0,121 0,108 -0,474 0,047 0,307 -0,403 -0,088 0,455
BB 1,000 0,976 0,549 0,549 -0,275 0,975** 0,590 0,070 -0,551 0,557
LB 1,000 0,487 0,228 -0,204 0,93** 0,506 0,130 -0,560 0,462
TB 1,000 -0,409 -0,246 0,546 0,331 -0,501 -0,483 0,492
PTB 1,000 -0,128 0,275 0,245 0,499 -0,262 0,021
DC 1,000 -0,461 -0,918** 0,646* 0,004 -0,805**
BDB 1,000 0,745** -0,063 -0,481 0,714*
TDG 1,000 -0,436 -0,146 0,898**
TSS 1,000 -0,300 -0,530
KA 1,000 -0,072
EP 1,000
Keterangan : PD: panjang daun; LD: lebar daun; BB: bobot buah; LB: lebar buah; TB: tinggi buah; PTB:
panjang tangkai buah; DM: diameter core; BDB: bobot daging buah; TDG: tebal daging buah;
TSS: total soluble solid; KA: kadar air; EP: edible portion.
*: nyata pada 5%
Sumber : Data primer (2013-2014)

Kbnrmbtn 10.12
10.
KbnR Bipara
Bip Kristal
Kri
Gambar 3. Keragaan buah jambu biji aksesi kbnrmbtn, Bipara, Kristal, dan 10.12

Dari 11 aksesi jambu biji yang dievaluasi, aksesi 10.12 memiliki keunggulan paling banyak.
Jumlah karakter unggul yang dimiliki aksesi 10.12 sama banyak dengan jambu Kristal yang telah
dilepas pada tahun 2007. Keunggulan aksesi 10.12 yaitu memiliki ukuran buah yang besar (bobot buah
: 429,68 g ; lebar buah: 9,5 cm; tinggi buah : 9,27 cm), bobot daging yang berat (363,4 g ), rasa buah
yang manis (13,01 briks ), tetapi kekurangannya adalah daging buah lebih tipis dan edible portion
lebih rendah dibanding jambu biji Kristal (Tabel 4).

368
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 4. Karakter kuantitatif buah pada 11 aksesi jambu biji


Aksesi Bobot Lebar Tinggi Bobot Tebal TSS Edible
Buah (g) Buah Buah (cm) Daging Daging (briks) portion
(cm) (g) (cm) (%)
WijayaMerah 259.46 7.59 8.29 206.11 1.54 8.94 79.44
10.6 250.09 7.65 7.61 198.75 1.32 12.15 79.78
10.7 255.92 8.11 7.58 199.39 1.21 11.96 71.51
10.8 223.11 7.12 6.9 165.14 1.19 12.53 73.3
10.9 388.68 9.25 8.43 313.13 2.05 13.04 80.45
10.1 270.6 7.9 7.52 201.07 1.29 13.02 73.9
10.11 256.68 7.8 7.38 192.38 1.21 12.13 74.81
10.12 429.68 9.5 9.27 363.44 1.63 13.01 85.82
Kristal 458.7 9.67 8.29 430.37 4.6 11.31 93.82
Bipara 267.60 7.64 8.72 267.60 3.82 8.48 100
KbnRmbtn 223.93 6.89 9.68 171.3 1.29 10.24 76.5
Sumber : Data primer (2013-2014)

KESIMPULAN
Koleksi jambu biji di Kebun Percobaan Aripan-Solok mempunyai keragaman genetik yang tinggi
baik pada karakter kuantitatif maupun kualitatif. Karakter kuantitatif yang mempunyai keragaman
tinggi (KK > 30%) yaitu tebal daging (62,75%), diameter core (51,33%), bobot daging (39,91%),
dan bobot buah (33,11%). Karakter kualitatif yang beragam yaitu yaitu bentuk daun, bentuk ujung
daun, bentuk buah dan bentuk pundak buah.
11 aksesi jambu biji yang diamati dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok pada koefisien
ketidakmiripan 50% dan dapat mengelompokkan aksesi berdaging merah dan putih secara terpisah.
Aksesi 10.12 memiliki banyak sifat unggul dan berpeluang untuk dikembangkan sebagai varietas
unggul ke depannya.

DAFTAR PUSTAKA
Balasubrahmanyan,V.R.1959.Studiesonblossom biologyofguava.IndianJ.Hortic. 16: 6975.
Basweti, E.A. & Hanson, J. 2012.Variation in morphological and agronomic characteristics of quartin
clover (Trifolium quartinianum) accessions.World Journal of Agricultural Sciences 8 (2):
179-185.
Cosera, S.M., Ferreiraa,M.F.S., Ferreiraa, A.,Mitreb, L.K., Carvalhoc, C.R.& Clarindo, W.R. 2012.
Assessment of genetic diversity in Psidium guajava L. using different approaches. Scientia
Horticulturae 148: 223229
Chandra, R & Mishra, M. 2007. Biotechnological interventions for improvement of guava (Psidium
guajava L.). Proc. Ist IS on Guava Eds. Acta Hort. 735: 117-126.
Delgado, S.H., Ramrez, J.S.P., Cedillo, A.N.& Perez, N.M.2007. Morphological and genetic
diversity of Mexican guava germplasm. Plant Genetic Resources: Characterization and
Utilization 5(3): 131141.
Hadiati, S., Yuliati, S., dan Sukartini. 2009. Pengelompokan dan jarak genetik plasma nutfah nenas
berdasarkan karakter morfologi. J. Hortikultura19(3): 264-274.
Kareem, A., Jaskani, M.J., Fatima, B., &Sadia, B. 2013. Clonal multiplication of guava through soft
wood cuttings under mist condition. Pak. J. Agric. Sci. 50: 2327.
Mehmooda, A., Jaskania, M.J., Khana, I.A., Ahmada, S., Ahmad, R., Luoc, S., & Ahmad, N.M.
2014. Genetic diversity of Pakistani guava (Psidium guajava L.) germplasm and its
implications for conservation and breeding. Scientia Horticulturae 172 : 221232.
Pommer, C.V & Murakami, K.R.N. 2009. Breeding guava (Psidium guajava L.) In S.M. Jain, P.M.
Priyadarshan (eds.), Breeding Plantation Tree Crops: Tropical Species, DOI 10.1007/978-
0-387-71201-7 3, Springer Science+Business Media.
Pommer, C.V. 2012. Guava world-wide breeding: major techniques and cultivarsand future
challenges. Acta Hortic. 959: 8188.

369
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Rajan, S., Yadava, L.P., Kumar, R., &Saxena, S.K. 2005. Selection possibilities for seed content A
determinant of fresh fruit quality in guava (Psidium guajava L.). Journal of Applied
Horticulture 7(1):52-54.
Santos, C.A.F, Correa, L.C, &da Costa, S.R. 2011. Genetic divergence among Psidium accession
based on biochemical and agronomic variables. Crop Breeding and Apllied Biotechnology
11 : 149-156.
Singh, R. and Sehgal, O.P. 1968. Studies on the blossom biology of Psidium guajava L.(guava) II:
Pollen studies, stigmatal receptivity, pollination and fruit set. Indian J. Hortic. 25: 5259.
Stoskopf, N.C., Tomes, D.T. & Christie, B.R. 1993. Plant breeding theory and practice,Westview
Press, Inc., Colorado.
(UPOV) International Union for the Protection of New Varieties of Plants. 1987. Guidelines for the
conduct of tests for distinctness, homogeneity and stability on Guava. UPOV.

370
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PREFERENSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN SIFAT SENSORI


KOPI PETIK MERAH SPESIFIK BENGKULU
FARMER'S PREFERENCE ON PROCESSING TECHNOLOGY AND SENSORY PROPERTIES
OF SPECIFIC RED COFFEE BEANS OF BENGKULU
Shannora Yuliasari dan Afrizon
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu 38119
E-mail : rara_shy@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu teknologi untuk meningkatkan mutu kopi adalah teknologi pengolahan kopi petik merah.
Teknologi yang digunakan adalah pengolahan kopi secara basah. Kajian bertujuan untuk mengetahui
preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah serta sifat sensori kopi bubuk petik
merah. Kajian ini menggunakan metode survei dengan observasi langsung dan wawancara, uji sensori
dengan petani dan konsumen sebagai panelis, serta analisis laboratorium. Responden yang digunakan
adalah petani kopi di Desa Air Meles dan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang
Lebong sebanyak 39 orang. Parameter yang diamati adalah preferensi petani terhadap teknologi
pengolahan kopi petik merah, atribut sensori meliputi aroma, rasa, aftertaste, dan citarasa secara
keseluruhan dari minuman kopi, serta parameter mutu berupa kadar air dan kadar sari kopi. Hasil
kajian menunjukkan secara keseluruhan diketahui bahwa sebanyak 82,69% petani responden sudah
memahami tahapan teknologi pengolahan kopi petik merah dan kopi petik merah yang diolah dengan
pengolahan yang tepat akan menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang lebih baik. Kopi bubuk yang
dihasilkan dengan sistem panen asalan tidak memenuhi syarat mutu I menurut standar mutu kopi bubuk
(SNI No. 01-3542-2004) karena kadar sari kopi sebesar 37,69%. Sedangkan kopi bubuk petik merah
telah memenuhi syarat mutu I yang ditunjukkan dengan bau (aroma) khas kopi bubuk yang harum,
warna normal (coklat tua), kadar air sebesar 2,15%, dan kadar sari kopi sebesar 33,58%. Kopi bubuk
petik merah memiliki sifat sensori yang lebih baik dibandingkan kopi panen asalan, yang dapat dilihat
dari bau (aroma), citarasa, aftertaste, kekentalan, dan penerimaan secara keseluruhan (overall).
Kata kunci: kopi, pengolahan, petik merah, preferensi, sensori

ABSTRACT
One of the many technics to improve the quality of coffee is by processing the red beans, it means that
the coffee beans being used are the beans that ripen on the tree. In this case the technology being used
is the wet coffee processing. The study aims to determine the preference of farmers to red coffee beans
processing technology as well as the sensory properties of red beans powder. The study used a survey
method with direct observation and interviews, sensory test by farmers and consumers as panelists, as
well as laboratory analysis. Respondents were 39 coffee farmers in Desa Air Meles and Talang Ulu,
Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong. The parameters measured were the preference
of farmers to red beans processing technology, sensory attributes include aroma, taste, aftertaste and
overall flavor of the coffee drinks, as well as quality parameters such as water content and
concentration of the coffee extract. The overall results showed that 82.69% of the respondent-farmers
already understood the stages of red coffee processing technology and that the red beans with
appropriate processing will produce coffee beans with a better quality. The coffee powder produced
by random harvesting systems do not meet the quality requirements number I, according to the quality
standards of ground coffee (SNI No. 01-3542-2004) because of the coffee extract content is 37.69%,
while red beans powder has qualified the quality requirements number I, indicated by the aroma of the
typical fragrant coffee powder, normal color (dark brown), water content of 2.15%, and the content of
the coffee extract by 33.58%. Coffee powder of the red beans has better sensory properties than the
randomly harvested coffee beans, which can be detected from the aroma, taste, aftertaste, viscosity,
and overall acceptance.
Keywords: coffee, processing, red coffee beans, preference, sensory

371
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian di sub sektor perkebunan yang mempunyai
peluang besar untuk dikembangkan. Di Provinsi Bengkulu, kopi merupakan salah satu komoditas
perkebunan utama setelah kelapa sawit dan karet. Jenis kopi yang banyak dikembangkan di Provinsi
Bengkulu adalah kopi robusta dengan luas areal mencapai 86.666 ha atau 95,79% dengan produksi
54.799 ton. Salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu yang menjadikan kopi sebagai komuditas
unggulan adalah Kabupaten Rejang Lebong. Luas areal kopi di Kabupaten Rejang Lebong mencapai
22.166 ha dengan produksi sebesar 13.556 ton (BPS Provinsi Bengkulu, 2015). Peluang ini harus
dapat diwujudkan dengan membuat produk kopi bubuk yang memiliki nilai tambah yang lebih baik
dibandingkan dengan produk kopi bubuk yang telah ada di pasaran, baik itu dari segi kualitas maupun
kuantitas.
Kopi termasuk dalam kelompok pangan penyegar berupa minuman yang diseduh. Minuman
tersebut diperoleh dari seduhan kopi dalam bentuk bubuk (Sunarharum, et al., 2014). Kopi bubuk
adalah biji kopi yang disangrai (roasted), kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan
lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan aromanya serta tidak membahayakan kesehatan
(BSN 2004). Teknologi pascapanen kopi telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia dan digunakan sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan pascapanen kopi
oleh Ditjen Perkebunan. Teknologi yang dikembangkan adalah teknologi pengolahan kopi petik merah
secara basah (Ditjen Perkebunan, 2011).
Penanganan pascapanen kopi dimulai dari cara panen. Pemanenan buah kopi dilakukan secara
manual dengan memetik buah yang telah masak. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan
warna kulit buah dari hijau tua ketika masih muda menjadi merah pada saat masak penuh. Tanaman
kopi tidak berbunga serentak dalam setahun, oleh karena itu ada beberapa cara pemetikan, yaitu (1)
pemetikan selektif terhadap buah masak, (2) pemetikan setengah selektif dilakukan terhadap dompolan
buah masak, (3) secara lelesan dilakukan terhadap buah kopi yang gugur karena terlambat pemetikan,
dan (4) secara rampasan merupakan pemetikan terhadap semua buah kopi termasuk yang masih hijau,
biasanya dilakukan pada akhir panen (Mayrowani, 2013).
Panen kopi petik merah adalah panen kopi dengan memetik kopi yang benar-benar matang
dan merah. Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa organik calon pembentuk
citarasa dan aroma khas kopi. Senyawa kimia yang terpenting tedapat di dalam kopi adalah kafein dan
caffeol. Kafein yang menstimuli kerja saraf, sedangkan caffeol memberikan flavor dan aroma khas
kopi (Mussatto, et al. 2011). Untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik
setelah betul-betul matang. Pada kondisi yang benar-benar matang, senyawa tersebut berada dalam
jumlah maksimum (Sunarharum, et al., 2014).
Permasalahan kopi di tingkat petani di Provinsi Bengkulu tidak saja dalam hal jumlah, tetapi
juga dalam hal mutu bubuk kopi yang relatif belum dapat bersaing. Menurut Sugandi, et al. (2014),
rekomendasi kebijakan pengembangan kopi di Provinsi Bengkulu, antara lain (1) peningkatan
peremajaan (grafting) dari 65% menjadi 82% melalui penyambungan, (2) peningkatan penggunaan
klon unggul berkualitas dari 25% menjadi 69% melalui program bantuan bibit, (3) peningkatan
kapasitas SDM petani melalui pelatihan dan intensitas penyuluhan dari 10% menjadi 48%, (4)
penegakan regulasi panen petik merah yang diiringi dengan kelayakan harga dari 0% menjadi 14%.
Saat ini, pengolahan kopi petik merah di tingkat petani di Provinsi Bengkulu masih sulit diterapkan
karena alasan keamanan sehingga jumlah kopi masak atau petik merah sangat sedikit. Terkadang
petani kopi menjual dalam bentuk buah kopi yang telah kering (kopi asalan), karena tidak adanya
perbedaan harga yang signifikan di tingkat petani antara buah kopi yang berwarna merah, kuning, dan
hijau. Selain itu, petani belum termotivasi untuk melakukan panen petik merah karena belum yakin
dengan melakukan panen kopi petik merah dapat meningkatkan kualitas bubuk kopi. Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah serta
mengevaluasi sifat sensori kopi minuman kopi petik merah. Makalah ini diharapkan dapat
menunjukkan bahwa melalui panen kopi petik merah dapat diperoleh kualitas biji kopi yang baik dan
aroma bubuk kopi yang harum yang dapat memenuhi keinginan konsumen.

372
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODOLOGI PENELITIAN
Kajian dilaksanakan di Desa Air Meles dan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten
Rejang Lebong pada bulan Oktober 2015 sampai dengan Juli 2016. Metode yang digunakan adalah(1)
metode survei dengan observasi langsung dan wawancara untuk mengetahui preferensi petani terhadap
teknologi pengolahan kopi petik merah, (2) uji sensori dengan melibatkan petani responden dan
konsumen sebagai panelis untuk mengamati preferensi konsumen terhadap atribut sensori yang
meliputi aroma, rasa, aftertaste, dan citarasa secara keseluruhan dari minuman kopi, serta (3) analisis
laboratorium untuk menganalisis kadar air dan kadar sari kopi.Responden yang digunakan adalah
petani kopi di Desa Air Meles dan Talang Ulu, Kecamatan Curup Timur, Kabupaten Rejang Lebong
sebanyak 39 orang. Uji sensori menggunakan 80 orang panelis yang terdiri dari 39 orang petani
responden dan 41 orang konsumen kopi. Sampel bubuk kopi yang digunakan untuk uji sensori dan
analisis laboratorium adalah kopi bubuk petik merah dan kopi bubuk panen asalan. Pengukuran
preferensi petani terhadap teknologi pengolahan petik merah dan preferensi konsumen terhadap atribut
sensori dirancang dengan uji hedonik dengan skor 1 sampai 5, yang menyatakan sangat tidak
setuju/suka (1), tidak setuju/suka (2), cukup setuju/suka (3), setuju/suka (4), dan sangat setuju/suka
(5). Analisis data preferensi dilakukan dengan analisis deskriptif. Data ditabulasi dan disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik. Perbedaan karakteristik sensori pada kopi petik merah dan panen asalan
dilakukan dengan uji t pada tingkat kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat pendidikanyang disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik responden
No. Karakteristik Petani Kelompok Jumlah (orang) %

1. Umur (tahun) 18 27 5 6,25


28 37 24 30
38 47 28 35
48 57 21 26,25
> 58 2 2,5
2. Tingkat pendidikan SD 9 11,25
SMP 12 15,00
SMA 29 36,25
Perguruan Tinggi 30 37,50
Sumber : Data primer diolah (2015)

Responden yang digunakan pada pengkajian ini adalah responden yang mengkonsumsi kopi
minimal tiga kali dalam seminggu. Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa mayoritas responden (35%)
berumur 38 47 tahun. Kondisi ini menunjukkan responden yang terbiasa mengkonsumsi kopi adalah
responden dengan usia 38 47 tahun. Kebiasaan mengkonsumsi kopi pada usia produktif tersebut
dapat dikaitkan dengan manfaat kopi yang dapat mengurangi rasa kantuk. Suatu studi menunjukkan
bahwa kafein dari segelas kopi dapat meningkatkan kadar adrenalin dan kerja sistem pembuluh darah.
Sehingga bila kafein diminum di pagi hari, akan meningkatkan semangat kerja dan kemampuan kerja
fisik (Armada, 2008).
Tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan SMA (36,25%)
dan perguruan tinggi (37,50%). Pendidikan formal sangat mempengaruhi tingkat perilaku seseorang
dalam pengambilan keputusan dan memilih produk yang dibutuhkan. Tingkat pendidikan
mempengaruhi pola pikir, keterampilan, sikap dan pengambilan keputusan dan tingkat pendidikan
juga sangat mempengaruhi dalam menerima informasi (Nazariah, 2015).

373
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Preferensi Petani terhadap Teknologi Pengolahan Kopi Petik Merah


Salah satu teknologi pengolahan yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas produk
kopi adalah pengolahan kopi petik merah. Teknik pengolahan yang digunakan adalah teknologi
pengolahan kopi secara basah. Proses pengolahan kopi secara basah menghasilkan produk berupa biji
kopi beras.
Preferensi petani terhadap teknologi pengolahan kopi petik merah diukur pada saat
pelaksanaan pelatihan teknologi pengolahan kopi petik merah. Data primer diperoleh dari pengamatan
lapangan serta wawancara terstruktur dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).
Atribut teknologi pengolahan kopi petik merah yang menjadi indikator pengukuran preferensi petani
responden adalah (1) cara panen kopi petik merah, (2) teknik sortasi sebelum pengolahan kopi seacar
basah, (3) teknik pengupasan kulit buah kopi dengan alat pulper, (4) proses fermentasi biji kopi, (5)
teknik pencucian biji kopi, (6) proses pengeringan biji kopi dan kadar air yang aman untuk
penyimpanan biji kopi, (7) kemudahan pengolahan kopi secara basah, dan (8) pengolahan kopi secara
basah dapat meningkatkan kualitas dan harga kopi.
Berdasarkan hasil survey menunjukkan seluruh petani (100%) sudah memahami cara panen
kopi petik merah secara selektif. Sebagian besar petani (92,3%) sudah memahami teknik sortasi
sebelum pengolahan kopi secara basah. Tahap sortasi bertujuan untuk memisahkan buah yang masak
dengan buah yang busuk dan hijau (Prastowo, et al., 2010). Sebanyak 84,6% petani responden telah
memahami teknik pengupasan kulit buah kopi petik merah dengan alat pengupas kulit buah kopi
(pulper). Akan tetapi, hanya 56,4% petani responden yang memahami proses fermentasi biji kopi.
Selanjutnya, sebanyak 87,2% petani telah memahami teknik pencucian biji kopi. Pada tahap
pengeringan ini, sebanyak 84,6% petani telah memahami teknik pengeringan biji kopi dengan cara
penjemuran dan sekaligus memahami kadar air yang aman untuk penyimpanan biji kopi. Sebanyak
79,5% petani responden menyatakan pengolahan kopi secara basah mudah diterapkan oleh petani, dan
76,9% petani responden memahami bahwa pengolahan kopi secara basah dapat meningkatkan kualitas
dan harga kopi.
Berdasarkan hasil survey tersebut secara keseluruhan diketahui bahwa sebanyak 82,69% petani
responden sudah memahami tahapan teknologi pengolahan kopi petik merah dan kopi petik merah
yang diolah dengan pengolahan yang tepat akan menghasilkan biji kopi dengan kualitas yang lebih
baik. Tingginya tingkat pemahaman petani responden terhadap teknologi pengolahan kopi secara basah
juga didukung karena sebagian besar petani responden berlatar belakang pendidikan SMP (15,0%) dan
SMA (36,25%). Drakel, A (2008) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir
terhadap respon-respon inovatif dan perubahan-perubahan yang dianjurkan.
Preferensi Konsumen terhadap Sifat Sensori Kopi Petik Merah
Preferensi konsumen terhadap atribut sensori yang meliputi aroma, rasa, aftertaste, dan
citarasa secara keseluruhan dari minuman kopi diukur terhadap sampel minuman kopi petik merah dan
kopi panen asalan. Aroma merupakan suatu nilai yang terkandung dalam produk yang langsung dapat
dinikmati oleh konsumen. Aroma suatu produk dalam banyak hal menentukan bau atau tidaknya suatu
produk, bahkan aroma atau bau lebih kompleks dari pada rasa. Aroma atau bau merupakan komponen
penting penentu flavor kopi. Aroma spesifik kopi muncul setelah proses penyangraian. Selama proses
penyangraian akan terjadi reaksi kimia pada biji kopi (reaksi maillard) membentuk senyawa organik
kompleks pembentuk aroma (Sacchetti, et al.,2009). Keberadaan caffeol secara alami dalam biji kopi
memberikan flavor dan aroma khas kopi (Mussatto, et al. 2011).
Asam-asam organik yang terdapat dalam kopi merupakan komponen yang membentuk aroma
kopi saat diseduh (Baggenstoss et al. 2008).Penyangraian dengan suhu tinggi dan durasi yang lama
menyebabkan terjadinya perubahan warna biji kopi menjadi kecoklatan dan makin gelap.Perubahan
warna menjadi coklat tua disebabkan karena karamelisasi gula menjadi warna cokelat tua.Selain itu,
warna yang terbentuk pada bubuk kopi dipengaruhi oleh reaksi maillard yang terjadi antara asam
amino atau protein dengan adanya jumlah gula (Nebesny, et. al., 2007).Reaksi maillard adalah reaksi
browning non-enzimatik yang menghasilkan senyawa kompleks dengan berat molekul tinggi.

374
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Aroma
5,0
4,0
3,0 Rasa dalam
Overall 2,0 mulut
1,0

Kekentalan Aftertaste

Kopi Petik
Merah

Gambar 1. Hasil uji sensori minuman kopi bubuk petik merah dan kopi panen asalan

Rasa menjadi atribut penting yang mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap produk
pangan.Biji kopi beras belum mempunyai karakter cita rasa khas kopi tetapi hanya mengandung
senyawa-senyawa prekursor pembentuk cita rasa.Karakter cita rasa kopi baru terbentuk setelah biji
kopi mengalami proses penyangraian. Selama proses penyangraian terjadi reaksi kimiawi yang
kompleks sehingga terbentuk komponen-komponen kimiawi pembentuk karakter kopi yang bersifat
khas. Cita rasa pada kopi dipengaruhi oleh hasil degradasi beberapa senyawa seperti karbohidrat,
alkaloid, senyawa mudah menguap, dan trigonelin.Keasaman dan rasa pahit terbentuk dari komponen
non volatile dalam kopi.Asam klorogenat merupakan salah satu komponen kimia kopi yang
terdekomposisi bertahap seiring dengan pembentukan aroma volatile dan senyawa polimer.Sedangkan
kafein menjadi penyumbang rasa pahit pada kopi bubuk (Oktadina et al. 2013).
Penerimaan umum panelis menunjukkan tingkat penerimaan panelis terhadap produk secara
umum dan menyeluruh. Penilaian didasarkan pada kesukaan panelis terhadap atribut aroma, rasa,
aftertaste, dan kekentalan yang digabungkan dan dinilai secara keseluruhan. Kopi bubuk petik merah
memiliki sifat sensori yang lebih baik dibandingkan kopi panen asalan, yang dapat dilihat dari bau
(aroma), citarasa, aftertase, kekentalan, dan penerimaan secara keseluruhan (overall), dengan tingkat
kesukaan rata-rata 3,8, dibandingkan kopi bubuk panen asalan 3,3.
Hasil analisis menunjukkan secara keseluruhan dari parameter yang diuji, yaitu aroma, rasa,
aftertaste, kekentalan dan penerimaan umum (overall) minuman kopi bubuk petik merah secara
signifikan lebih disukai panelis dibandingkan kopi panen asalan (p<0,05). Hal ini sejalan dengan
pendapat Mussatto, et al.(2011) dan Sunarharum, et al. (2014), senyawa kimia yang terpenting
terdapat di dalam kopi adalah kafein dan caffeolakan berada pada jumlah maksimum jika pada kondisi
biji kopi yang benar-benar matang (petik merah), sehingga memberikan aroma dan citarasa khas kopi
yang lebih kuat.
Kadar Air dan Kadar Sari Kopi
Kadar air mempengaruhi umur simpan dan ketahanan bahan terhadap mikroorganisme. Daya
simpan suatu bahan dapat diperpanjang dengan menghilangkan sebagian air dalam bahan sehingga
mencapai kadar air tertentu. Semakin rendah kadar air maka semakin kecil kemungkinan bahan
terkontaminasi oleh mikroorganisme pada saat penyimpanan. Kadar air maksimum untuk kopi bubuk
berdasarkan SNI Kopi Bubuk No. 01-3542-2004 adalah maksimal 7% wb atau 7,0% db. Syarat mutu
kopi bubuk berdasarkan SNI No. 01-3542-2004 dapat dilihat pada Lampiran 1. Kadar air yang tinggi
pada kopi bubuk akan menyebabkan penggumpalan pada bubuk kopi dan menyebabkan kerusakan.
Kopi bubuk petik merah dan kopi panen asalan yang dihasilkan melalui kajian ini memiliki kadar air
sebesar 2,15% dan 2,09%. Berdasarkan parameter kadar air, kedua jenis kopi tersebut memenuhi
persyaratan SNI kopi bubuk karena memiliki kadar air kurang dari 7%db (BSN, 2004).
Parameter kadar sari dihitung untuk menentukan tingkat kemurnian dari kopi bubuk. Kadar
sari menyatakan jumlah total padatan kopi yang telarut. Jika nilai kadar sari tinggi maka jumlah
padatan kopi yang terlatut pun tinggi. Perhitungan kadar sari dilakukan dengan mengekstrak kopi
bubuk dengan air panas lalu dihitung perubahan beratnya setelah dioven. Suhu air penyeduh berperan
terhadap proses ekstraksi kopi. Suhu air yang tinggi akan menghasilkan hasil ekstraksi yang baik.
Suhu air penyeduh yang digunakan berkisar antara 80C hingga 95C (BSN, 2004).

375
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Hasil pengkajian menunjukkan kopi bubuk petik merah memiliki kadar sari kopi sebesar
33,58%. Berdasarkan nilai kadar sari kopi, kopi bubuk petik merah yang dihasilkan melalui
pengkajian ini memenuhi syarat mutu I sesuai dengan SNI 01-3542-2004. Nilai syarat kadar sari untuk
mutu I adalah maksimum 20 36% (BSN, 2004). Kopi bubukpanen asalan yang dihasilkan oleh
petani memiliki nilai kadar sari kopi sebesar 37,69%. Nilai tersebut berada di luar rentang kadar sari
kopi pada syarat mutu I, namun masih berada dalam syarat mutu II, yaitu kurang dari 60% (BSN,
2004). Semakin banyak jumlah padatan larut air semakin baik cita rasa kopi yang dihasilkan, karena
padatan terlarut memberikan cita rasa pada hasil seduhan kopi (Pastiniasih 2012).

KESIMPULAN
Petani responden yang telah memahami tahapan teknologi pengolahan kopi petik merah dan
kopi petik merah yang diolah dengan pengolahan yang tepat akan menghasilkan biji kopi dengan
kualitas yang lebih baik sebanyak 82,69%.
Kopi bubuk petik merah memiliki sifat sensori yang lebih baik dibandingkan kopi panen
asalan, yang dapat dilihat dari bau (aroma), citarasa, aftertase, kekentalan, dan penerimaan secara
keseluruhan (overall), dengan tingkat kesukaan rata-rata 3,8, dibandingkan kopi bubuk panen asalan
3,3.
Kopi bubuk petik merah memenuhi syarat mutu I menurut SNI kopi bubuk No. 01-3542-2004
berdasarkan parameter kadar air (2,15%), dan kadar sari kopi (33,58%).

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian serta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu yang telah mendanai kegiatan pengkajian
melalui Anggaran DIPA BPTP Bengkulu Tahun 2015.

DAFTAR PUSTAKA
Armada, N. 2008. Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Konsumen Kopi Bubuk Instan (Kasus di
Giant Botani Square, Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Baggenstoss J, Poisson L, Kaegi R, Perren R, dan Escher F. 2008.Coffe roasting and aroma
formation: application of different time and temperature conditions. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 56(14):5386- 5846.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. 2015. Produksi Padi dan Palawija Provinsi Bengkulu Tahun
2014.http://bengkulu.bps.go.id. [6 Mei 2016].
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Kopi Bubuk (SNI 01-3542-
2004). http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/unduh/7670. [Diunduh Tgl 5
Oktober 2015].
[Dirjen Perkebunan] Direktur Jenderal Perkebunan. 2011. Pedoman Teknis Penanganan Pascapanen
Kopi. Direktur Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian.
http://ditjenbun.pertanian.go.id. [diakses pada tangal 13 Juni 2016].
Drakel, Arman. 2008. Analisis usahatani terhadap masyarakat kehutanan di dusun gumi desa
akelamo kota tidore kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober
2008.
Mussatto, S.I., Machado, E.M.S., Martins, S., Teixeira, J.A. 2011. Production, composition, and
application of coffee and its industrial residues. Food Bioprocess Technol 4: 661672.
Doi:10.1007/s11947-011-0565-z
Mayrowani, H. 2013. Kebijakan penyediaan teknologi pascapanen kopi dan masalah
pengembangannya. Forum Penelitian Aro Ekonomi 31 (1): 31 49.
Nazariah. 2015. Percepatan difusi teknologi ptt kedelai di provinsi aceh. Dalam Prosiding Seminar
Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 24 25 Agustus di Bogor, Temu teknis
jabatan fungsional non peneliti: halaman :93-99.
Nebesny, E., Budryn, G., Kula, J., Madja, T. The effect of roasting method on headspace composition
of robusta coffee bean aroma. Eur Food Res Technol (2007) 225:919. doi
10.1007/s00217-006-0375-0.

376
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Oktadiani D, Dwi Argo M, Hermanto B. Pemanfaatan Nanas (Ananas Comosus L. Merr) untuk
Penurunan Kadar Kaffein dan Perbaikan Citarasa Kopi dalam pembuatan kopi bubuk.
Malang. Universitas Brawijaya.
Pastiniasih L. 2012. Pengolahan Kopi Instan Berbahan Baku Kopi Lokal Buleleng [skripsi]. Bogor.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Prastowo, B., Karmawati, E., Rubijo, Siswanto, Indrawanto, C., Munarso, S.J. 2010. Budidaya dan
Pascapanen Kopi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. 70 p.
Sacchetti, G., Di Mattia, C., Pittia, P., & Mastrocola, D. (2009). Effect of roasting degree, equivalent
thermal effect and coffee type on the radical scavenging activity of coffee brews and their
phenolic fraction. Journal of Food Engineering, 90, 7480.
Sunarharum, W.B., Williams, D. J., Smyth, H. E. 2014. Review: Complexity of coffee flavor: A
compositional and sensory perspective. Food Research International 62; 315325.
doi.org/10.1016/j.foodres.2014.02.030

Lampiran 1. Syarat Mutu Kopi Bubuk Menurut SNI 01-3542-2004


No Kriieria Uji Satuan Persyaratan
Mutu I Mutu II
1 Keadaan fisik:
- Bau Normal Normal
- Warna Normal Normal
2 Kadar air % b/b Maks 7,0 Maks7,0
3 Kadar sari kopi % b/b 20 36 Maks 60
4 Kadar kafein (anhidrat) % b/b 0,9 2,0 0,45 0,9
5 Cemaran logam :
- Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0 Maks 2,0
- Tembaga (Cu) mg/kg Mak 30,0 Maks30,0
- Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0 Maks 40,0
- Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0/250,0 Maks 40,0/250,0
- Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03 Maks 0,03
- Arsen (As) mg/kg Maks 1,0 Maks 1,0
6 Cemaran mikroba :
- Angka lempeng total Koloni/g Maks106 Maks106
- Kapang Koloni/g Maks104 Maks104
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2004)

377
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG MANIS DENGAN PEMBERIAN BEBERAPA


JENIS, DOSIS DAN SAAT APLIKASI KOMPOS PADA ULTISOL
GROWTH AND YIELD OF SWEET CORN UNDER DIFFERENT TYPES OF COMPOST,
DOSAGE AND TIME OF APPLICATION ON ULTISOL
Merakati Handajaningsih, Marwanto, Raindra Efendi, Jefri Sihombing
Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian - Universitas Bengkulu
email: merakati@unib.ac.id

ABSTRAK
Jagung manis dibudidayakan dengan sistem organik sebagai upaya untuk memproduksi tanaman yang
berkelanjutan dan aman bagi konsumen. Tanah jenis Ultisol yang memiliki masalah dengan
kesuburan dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan menambahkan bahan organik berupa kompos.
Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan respon tanaman jagung manis terhadap 3 jenis
kompos dengan dosis dan saat aplikasi kompos yang berbeda. Penelitian dilakukan dengan 2 kegiatan
pada musim yang sama di Kota Bengkulu, masing-masing menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap, diulang 3 kali. Jenis kompos yang digunakan adalah kompos sapi, BIOM-3G, dan kompos
EM-4. Penelitian I mengombinasikan kompos dengan waktu aplikasi yang berbeda yaitu 0 Hari
Sebelum Tanam (HSbT), 5 HSbT, dan 10 HSbT. Penelitian II jenis kompos dikombinasikan dengan
dosis yang terdiri atas 10 ton/ha, 15 ton/ha, dan 20 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan saat aplikasi
kompos 5 atau 10 HSbT menghasilkan pertumbuhan dan hasil jagung yang lebih baik dibandingkan
aplikasi kompos saat tanam. Jenis kompos sapi lebih baik dibandingkan BIOM3G dan kompos EM4.
Dosis kompos tidak berpengaruh pada hasil jagung manis. Bobot tongkol tertinggi 241,86 gram
diperoleh dari saat aplikasi kompos 5 HSbT.
Kata Kunci : jagung manis, Ultisol, kompos, Bio-M3G, pertumbuhan, hasil

ABSTRACT
Sweet corn is cultivated with organic system in an attempt to produce crops that are not only
sustainable but also safe for consumers. Soil type Ultisol which has problems with fertilitycould be
improved its productivity by adding organic matter such as compost. Research objectives were to
compare the response of sweet corn plants to three types of composts with different dose and time of
application; and to present the correlation between vegetative plant organs and yield components. The
study was conducted in two separate experiments in the same season in Bengkulu City, each of them
used Randomized Complete Block Design, 3 replicates. Types of compost used were cow compost,
BioM-3G, and compost EM-4. The First study combining 3 typesof composts withdifferent
applications, namely 0 Days Before Planting (DBP), 5 DBP, and 10 DBP. Research II combined types
of composts with different doses, consisting of 10 tons/ha, 15 tons / ha, and 20 ton / ha. The results
showed that time application of compost 5 or 10 DBP generated better growth and yield of corn than
the application of compost at day of planting. Cow compost was better than BIOM3G and EM4
compost. Compost dose had no effect on yield of sweet corn. Highest harvested corn i.e. 241.86 grams
was obtained from 5 DBP compost application.
Keywords: sweet corn, Ultisol, compost, Bio-M3G, growth, yield

PENDAHULUAN
Budidaya jagung manis secara organik dilakukan sebagai upaya untuk memproduksi tanaman
yang aman bagi konsumen maupun lingkungan. Pemberian input anorganik berupa pemberian pupuk
sintetik dalam jumlah yang cukup besar dan terus-menerus dapat menimbulkan dampak negatif yaitu
kesuburan tanah. Penurunan kualitas tanah dapat berupa berkurangnya biomassa mikroorganisme yang
ada di dalam tanah, tanah menjadi keras, serta meningkatnya kemasaman tanah (Zhen et al., 2014).
Sistem pertanian berkelanjutan merupakan pilihan yang semakin marak dikembangkan untuk
mengurangi dampak negatif terhadap pertanian konvensional berupa tingginya input pupuk anorganik.
Upaya peningkatan produksi dan kualitas jagung manis di tanah Ultisol dapat dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya dengan pemberian kompos. dan saat pengaplikasian yang tepat.
Tanah yang digunakan sebagai media tumbuh tanaman harus mempunyai kandungan hara yang cukup
untuk menunjang proses pertumbuhan tanaman sampai berproduksi. Salah satu pendekatan yang
dilakukan yaitu dengan pemberian bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah yang semakin

378
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

lama semakin menurun akibat pemberian pupuk kimia yang berlebihan (Suliasih dkk., 2010; Adriano
et al., 2012).
Pupuk hayati (Biofertilizer) merupakan pupuk yang bahan dasarnya berasal dari sel hidup,
atau bentuk lain dari mikroba penambat N, mikroba pelarut phosphate, atau mikroba perombak
selulosa, dapat diaplikasikan melalui bahan tanam maupun tanah untuk mempercepat proses
tersedianya unsur hara bagi tanaman. Selain dapat meningkatkan ketersediaan hara, pupuk hayati juga
bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari penyakit (US Compost Council, 2008), 2) menstimulasi
sistem perakaran, 3) mengeliminasi tingkat beberapa logam berat, 4) sebagai metabolit pengatur
bioreaksi tanaman, dan 5) bioaktivator perombak bahan organik (Abdurachman dkk.,2008). Beberapa
jenis amelioran yang dapat digunakan adalah pupuk kandang sapi, Bio-M3G, dan kompos EM4. Bio-
M3G adalah kompos dengan penambahan mikrobia hasil isolasi dari sejumlah cendawan dekomposer
bahan organik yang kaya selulosa yang sangat agresif (Adiprasetyo et al., 2014) yang bila dipadukan
dengan mikrobia berguna dan dekomposer lainnya akan mampu mengurai bahan organik limbah
pertanian, peternakan dan bahkan limbah organik rumah tangga.
Kompos adalah pupuk alami (organik) yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami padi,
janjang kosong sawit (jangkos), rumput-rumputan, pelepah pisang, dedaunan serta bahan organik lain
misalnya kotoran sapi yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses pembusukan bila
diperlukan (Wied, 2004). Pengomposan dilakukan untuk menurunkan rasio C/N sehingga tidak terjadi
persaingan antara tanaman dan mikroorganisme yang dapat menurunkan perumbuhan dan hasil
tanaman (Supanjani, 2009). Pupuk kompos dapat memperbaiki struktur tanah, menambah cadangan
unsur hara tanaman, serta menambah kandungan bahan organik tanah. Pupuk kompos dapat
memperbaiki sifat kimia tanah seperti memperbaiki pH tanah, meningkatkan kandungan C- organik,
serta meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan sifat biologi pada tanah miskin seperti Ultisol
(Riwandi dkk.,2014). Peningkatan biomassa mikrobia dan perbaikan lingkungan mikro membantu
penyediaan unsur hara (Zhen et al., 2014). Peningkatan KTK dapat mengurangi kehilangan hara
akibat pencucian dan berdampak pada peningkatan efektifitas tanaman dalam menggunakan hara.
Unsur mikro juga mampu disediakan dari keberadaan kompos (US Compost Council, 2008)
Dengan berbagai manfaat yang diperoleh dari adanya kompos dalam tanah maka kompos telah
lama menjadi bagian penting dalam budidaya tanaman terutama tanaman hortikultura. Bahan-bahan
kompos yang digunakan pada budidaya jagung manis misalnya janjang kosong kelapa sawit
(Handajaningsih, 2009), brangkasan jagung (Yulia dkk., 2014), biochar sekam dan serbuk gergaji
(Adiwirman dkk., 2014), atau kompos kotoran kambing (Saputra, 2013). Adiprasetyo et al., 2014
mengaplikasikan Bio-M3G pada tanaman kelapa sawit, sedangkan Handajaningsih et al., (2015)
melakukan penelitian Bio-M3G serta kompos residu sayur pada tanaman cabe.
Unsur hara dari bahan organik bersifat lambat tersedia, tingkat ketersediaan unsur hara sangat
bergantung pada jenis bahan organik (Hapsoh et al., 2015), hal ini disebabkan tingkat dekomposisi
bahan organik berbeda-beda Raviv, 2005). Oleh karena itu perlu diteliti tingkat inkubasi bahan
organik dalam menyediakan unsur hara khususnya untuk tanaman jagung manis. Masnag (2003)
menyatakan bahwa peningkatan efisiensi unsur hara dapat dilakukan dengan berbagai teknik yaitu
tepat jenis, tepat waktu, tepat cara, dan tepat dosis pupuk yang diperlukan oleh tanaman.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perlakuan jenis, dosis dan saat aplikasi kompos
yang berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis pada Ultisol.
Luaran
Luaran penelitian ini adalah penentuan saat aplikasi kompos dan jenis kompos untuk budidaya
jagung manis secara organik di Ultisol.

379
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Penelitian dalam bentuk percobaan lapangan di Ultisol Kota Bengkulu. Dua set penelitian
dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2012 pada satu hamparan lahan dengan
tingkat kemiringan berbeda.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok lengkap,
dengan 2 faktor. Penelitian I, faktor pertama adalah perlakuan jenis kompos (P) yang terdiri dari P 1=
kompos kotoran sapi, P2= BIOM3G (Biofertilizer Multi Mikroba Multi Guna) dan P3= Kompos EM-4
(Effective Microorganism 4). Faktor kedua adalah saat aplikasi kompos (D) yaitu D1= 0 hari sebelum
tanam, D2= 5 hari sebelum tanam, D3 = 10 hari sebelum tanam. Pada penelitian II jenis kompos yang
digunakan sama dengan penelitian set I, sedangkan faktor ke dua adalah dosis kompos terdiri atas 5
ton/ha, 15 ton/ha, dan 25 ton/ha. Penelitian diulang 3 kali, setiap unit percobaan terdapat 30 tanaman
Jenis kompos yang digunakan berupa pupuk kandang sapi yang diperoleh dari Kota Bengkulu
dan kompos EM-4 serta BIOM3G diperoleh dari Laboratorium Ilmu Tanah dan Laboratorium Ilmu
Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Lahan percobaan diolah dan
dibuat petakan 2 m x 3,6 m dengan jarak antar perlakuan 50 cm dan jarak antar ulangan 100 cm.
Kompos pada penelitian I ditempatkan sesuai dengan perlakuan dengan dosis 25 ton/ha. Kompos
disebarkan secara merata di petakan kemudian di aduk dengan pencangkulan. Pada penelitian II
kompos disebar merata kemudian dicampur dengan cangkulan ringan pada petakan 7 hari sebelum
tanam
Varietas benih jagung manis yang digunakan adalah varietas Super Sweet Corn. Penanaman
dilakukan dengan cara tugal dengan jarak tanam 60 cm x 40 cm, setiap lubang dimasukkan 2 benih.
Penjarangan dilakukan dua minggu setelah tanam menyisakan 1 tanaman di setiap lubang tanam.
Pemanenan dilakukan saat tanaman berumur 65 hari setelah tanam.
Lima tanaman setiap petak menjadi sampel pengamatan yang terdiri atas : Tinggi tanaman
dan jumlah daun diukur seminggu sekali dimulai satu minggu setelah penanaman hingga saat anthesis.
Diameter batang diukur saat tanaman berumur 2 dan 4 mst serta saat tanaman mencapai anthesis.
Luas daun diukur dengan menggunakan leaf area meter, diambil dari daun pada dua tanaman per
petak. Tingkat kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat SPAD. Pada saat panen dilakukan
pengukuran terhadap bobot akar, batang, daun, bobot tongkol berkelobot dan tanpa kelobot, serta
diameter tongkol.
Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan uji F, perbandingan nilai tengah
dilakukan dengan Duncan Multiple Range Test dengantingkat kepercayaan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Interaksi Antar Perlakuan
Berdasarkan hasil pengujian statistik diketahui bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan
jenis kompos dan saat aplikasi pada semua variabel kecuali pada diameter batang minggu ke-2.
Demikian pula interaksi antara jenis dan dosis kompos tidak mempengaruhi seluruh variabel
pertumbuhan maupun hasil jagung manis.
Tabel 1. Interaksi jenis dan saat aplikasi kompos terhadap diameter batang (mm) jagung manis
minggu ke 2
Perlakuan Saat Aplikasi (HSbT)
0 5 10
Kompos k. sapi 4.961 a 4.756 ab 4.981 a
BioM3G 4.842 a 4.521 ab 4.809 a
Kompos EM-4 4.118 b 4.397 ab 4.665 ab
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT taraf 5%

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kompos EM-4 yang diberikan pada saat tanam menghasilkan
diameter batang lebih rendah dibandingkan dengan diameter batang dari perlakuan kompos kotoran
sapi dan BioM3G saat tanam atau 10 hari sebelum tanam. Kompos adalah bahan organik yang telah
mengalami pelapukan, dengan bantuan mikrobia tanah (Yang et al., 2009). Unsur unsur hara yang
ada pada kompos dilepas secara lambat hingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Morgan et al.,

380
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

2009). Raviv (2005) mengungkapkan bahwa masa dekomposisi dan hasil akhir kompos dipengaruhi
oleh bahan kompos dan suhu saat pengomposan berlangsung. Data penelitian ini juga menunjukkan
bahwa kompos EM-4 yang diaplikasikan 5 dan 10 hari sebelum tanam mengakibatkan diameter batang
jagung lebih besar. Berbeda dengan kompos EM-4, kompos kotoran sapi dan BioM3G direspon cepat
oleh tanaman jagung untuk meningkatkan ukuran diameter batang. Diameter batang yang lebih besar
dapat memperbaiki aliran air dan unsur hara yang diserap akar untuk dialirkan ke seluruh tanaman
karena salah satu fungsi batang adalah menyerap dan mengalirkan air dan hara dari hasil penyerapan
akar, serta mentranslokasikan fotosintat dari source ke seluruh tanaman.
Saat Aplikasi Kompos
Saat aplikasi kompos mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pada jumlah daun minggu ke-5,
berat tongkol berkelobot, berat tongkol tanpa kelobot, diameter tongkol tanpa kelobot, berat basah
akar, berat basah daun, dan berat kering daun (Tabel 2). Namun demikian, kompos yang diberikan
pada 5 dan 10 hari sebelum tanam tidak memberikan pengaruh berbeda pada variabel variabel
tersebut.
Tabel 2. Pengaruh saat aplikasi kompos terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis.
Saat aplikasi (HSbT)
Variabel
0 5 10
Jumlah daun mgg ke-5 5.80 b 6.35 a 6.24 a
Bobot tongkol berkelobot (g) 186.37 b 241.86 a 236.73 a
Bobot tongkol tanpa kelobot (g) 124.15 b 159.99 a 155.75 a
Diameter tongkol (mm) 40.94 b 45.16 a 45.07 a
Bobot kering daun (g) 16.22 b 19.26 ab 22.33 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada DMRT taraf 5%

Pertumbuhan dan hasil jagung lebih baik jika kompos diberikan 5 atau 10 hari sebelum tanam
dibandingkan dengan kompos yang diberikan bersamaan dengan saat tanam. Hal tersebut berbeda
dengan hasil yang diperoleh dari penelitian Saputra (2013) yang mendapatkan bahwa perbedaan saat
aplikasi kompos hanya direspon oleh tanaman jagung pada awal pertumbuhan saja dan tidak
mempengaruhi hasil maupun komponen hasil jagung kecuali tingkat kemanisan.
Jenis Kompos
Perlakuan jenis kompos secara tunggal mempengaruhi pertumbuhan dan hasil jagung manis
yang diamati Tabel 3.
Tabel 3. Rerata pertumbuhan dan hasil jagung manis akibat perlakuan tiga jenis kompos
Jenis kompos
Variabel
Kotoran Sapi Bio-M3G Kompos EM-4
Tinggi tan mgg ke-2 28.91 a 26.07 b 29.1 a
Tinggi tan mgg ke-4 82.35 a 67.22 b 76.88 a
Tinggi tan mgg ke-6 180.44 a 147.51 b 165.11 ab
Diam. batang mgg ke-4 10.88 a 8.10 b 10.47 a
Diam. batang mgg ke-6 22.57 a 17.47 c 19.80 b
Jumlah daun minggu ke-4 5.44 a 4.71 b 5.15 a
Jumlah daun minggu ke-6 8.84 a 7.64 b 7.97 b
Tingkat kehijauan daun 40.89 a 36.71 b 38.08 b
Bobot tongkol berkelobot 260.41 a 179.79 b 224.77 ab
Bobot tongkol tanpa kelobot 174.78 a 115.44 b 149.68 a
Diameter tongkol 45.78 a 40.51 b 44.89 a
Bobot basah akar 54.16 a 32.70 b 44.73 ab
Bobot basah batang 216.84 a 139.68 b 182.81 a
Bobot basah daun 76.53 a 50.95 b 70.01 a
Bobot kering batang 55.33 a 35.74 b 46.24 a
Bobot kering daun 22.07 a 14.83 b 20.91 a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak
nyata pada DMRT taraf 5%

Jenis kompos kotoran sapi dan kompos EM-4 tidak memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap variabel tinggi tanaman, diameter batang minggu ke-4, jumlah daun minggu ke-4 dan ke-6,

381
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

berat tongkol tanpa kelobot, diameter tongkol, bobot basah akar, batang, daun, serta bobot kering
batang dan daun. Respon tanaman jagung manis yang lebih baik dengan penambahan bahan organik
juga diperoleh dari penelitian-penelitian lain (Adiwirman dkk., 2014 dan Yulia dkk., 2014).
Penambahan kompos meningkatkan kualitas kesuburan tanah yang signifikan pada tanah marjinal
Ultisol di Bengkulu (Riwandi dkk., 2014) yang memberikan kemungkinan untuk diusahakan
berbudidaya tanaman dengan pemberian input sintetik rendah (Riwandi dkk., 2015).
Dosis kompos dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil jagung manis. Hasil penelitian Hasanudin dkk., (2007) menunjukkan bahwa
pemberian pupuk kandang pada berbagai dosis mampu menurunkan Al-dd sekaligus meningkatkan pH
tanah yang diikuti peningkatan P tanah menjadi tersedia. Penambahan kompos ke dalam tanah juga
mampu menambah unsur hara tanah (US Council, 2008; Adriano et al., 2012), namun demikian
ketersediaan jumlah yang ada dan faktor lingkungan memungkinkan unsur-unsur tersebut tidak dapat
dimanfaatkan oleh tanaman (Handajaningsih dkk., 2015). Kim and Li (2016) memperoleh data bahwa
jumlah P yang terserap oleh tanaman akan menentukan alokasi fotosintat ke organ-organ tanaman
yang berbeda.

KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini adalah kompos kotoran sapi dan kompos EM4 menghasilkan
pertumbuhan dan hasil jagung manis yang lebih baik dibandingkan dengan kompos Bio-M3G.
Aplikasi kompos 5 dan 10 hari sebelum tanam berdampak lebih baik bagi pertumbuhan dan hasil
jagung manis dibandingkan aplikasi kompos saat tanam.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Mucharromah, MSc.
(almh.) atas dedikasinya yang luar biasa dalam pengembangan bakteri multiguna BIOM3G yang
digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Yen Efrieni,
MS. (almh.) atas sumbangan informasinya tentang peranan mikrobia tanah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan
kering mendukung pengadaan pangan nasional. J. Litbang Pertanian. Vol 27 (2): 43 49.
Adiprasetyo, T., Purnomo, B., Handajaningsih, M., and Hidayat. 2014. The usage of Biom3g-to
improve and support land system of independent oil palm smallholders.Intl. J. on
Advanced Sci. Eng. Inform. Tech. Vol. 4 (5) : 43 46.
Adiwirman, Saleh, M., dan Nelvia. 2014. Studi respon dua varietas jagung manis pada berbagai
formula media tumbuh selama dua periode tanam. Dalam Prosiding Seminar
Nasionalyang diselenggarakan pada tanggal 19 21 Agustus di Lampung, Prosiding
Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah
Barat : Buku I: 9 11.
Adriano, M. de L., Gutierrez, F., Dendooven, L., and Salvador-Figueroa, M. 2012. Influence of
compost and liquid bioferment on the chemical and biological characteristics of soil
cultivated with banana (Musa spp. L.). J. Soil Sci. Plant Nutr. : Vol. 12 (1): 33 43.
Duong, T. T. T. 2013. Compost effects on soil properties and plant growth. Thesis for Doctor of
Philosophy. Soils. School of Agriculture, Food, and Wine. The University of Adelaide.
Handajaningsih, M. 2009. Growth and yield of Sweet Corn grown organically using palm oil sludge
at different doses and composting methods. Akta
Agrosia. Vol 12 (2): 99 105.
Handajaningsih, M., Siswanto, U., Adiprasetyo, T., Hidayat, Purnomo, B., Marwanto, and Nuri, L.
2015. The suitability of different sources of biofertilizers to support sustainability of
organic vegetables practice in Bengkulu province of Indonesia. Dalam Prosiding
Seminar Internasional yang diselenggarakan pada tanggal 12 13 Oktober 2015 di
Bengkulu, Judul prosiding: Proceeding International Seminar and Expo on Promoting
Local Resources for Food and Health: pp. 250 253.
Hapsoh, Gusmawartati, and Yusuf, M. 2015. Combination of compost material from organic waste of
municipal and agricultural to compost quality. J. Tropical Soils. Vol 20 (1): 59 65.

382
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Hasanudin, Mitriani, dan Barchia, F. 2007. Pengaruh pengapuran dan pupuk kandang terhadap
ketersediaan hara P pada timbunan tanah pasca tambang batubara. Akta Agrosia. Edisi
Khusus Nomer 1: 1-4.
Kim, H.J. and Li, X. 2016. Effect of phosphorus and shoot and root growth, partitioning, and
phosphorus utilization efficiency in Lantana. HortSci. Vol 51 (8): 1001 1009.
Masnang, A. 2003. Konversi penggunaan lahan kawasan hulu dan dampaknya terhadap kualitas
sumberdaya air di kawasan hilir. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Morgan, K.T., Cushman, K.E., and Sato, S. 2009. Release mechanism for slow- and controlled release
fertilizers and strategies for their use in vegetable production. HortTechnology, vol. 19
(1) : 10 12.
Raviv, M. 2005. Production of high-quality composts for horticultural purposes : A Mini review.
HortTechnology, vol 15 (1): 52-57.
Riwandi, Handajaningsih, M., dan Hasanudin. 2014 Dalam Prosiding Seminar Nasionalyang
diselenggarakan pada tanggal 19 21 Agustus di Lampung, Prosiding Seminar Nasional
dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat : Buku I: 540
546.
Riwandi, Handajaningsih, M., Hasanudin, and Munawar, A. 2015. Soil quality improvement using
compost and its effects on organic corn production. J. Tropical Soils. Vol 20 (1):11 19.
Saputra, D. 2013. Pengaruh Lama Inkubasi Pupuk Kandang Kambing terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt). Skripsi. Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu.
Suliasih, Widawati, S., dan Muharam,A. 2011. Aktivitas pupuk organik dan bakteri pelarut fosfor
untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dan aktivitas mikroba tanah.
J.Hortikultura. Vol 20 (3): 241 246.
Supanjani. 2009. Pembuatan kompos dan pupuk organik cair. Teknologi Tepat Guna. Lembaga
Penelitian Universitas Bengkulu.
US Compoct Council. 2008. USCC Factsheet : Compost and Its Benefits.
http://www.bae.ncsu.edu/topic/composting/pubs/us-composting-basics.pdf Diakses 12
September 2016.
Wied, H.P. 2004. Memproses sampah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yang, J., Kloepper, J.W., and Ryu, C.M. 2009. Rhizosphere bacteria help plants tolerate abiotic
stress. Trend in Plant Science, 14: 1 4.
Yulia, A.E., Silvina, F., dan Setyaningsih, F. 2014. Aplikasi kompos brangkasan jagung dan pupuk
N,P,K pada tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt). Dalam Prosiding
Seminar Nasionalyang diselenggarakan pada tanggal 19 21 Agustus di Lampung,
Prosiding Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Ilmu Pertanian BKS-PTN
Wilayah Barat : Buku I: 37 43.
Zhen, Z., Liu, H., Wang, N., Guo, L., Meng, J., Ding, N., Wu, G., and Jiang, G. 2014. Effects of
manure compost application on soil microbial community diversity and soil
microenvironments in a temperate cropland in China. PLoS ONE. Vol 9 (10): e108555.
Diakses melalui doi:10.1371/journal.pone.0108555.

383
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH APLIKASI TEPUNG CANGKANG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK,


KIMIA DAN ORGANOLEPTIK MANISAN LABU SIAM
THE EFFECT OF SHELL FLOURS APPLICATION ON PHYSICAL, CHEMICAL AND
ORGANOLEPTICOF CHAYOTE DRIED CANDIES
Lina Widawati1, Hesti Nuraini2, Septi Widiyawati 2
1
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Dehasen
2
Program Studi Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Dehasen
Jl. Meranti Raya No.32 Kota Bengkulu Telp (0736)-22027
e-mail : lina84id@gmail.com

ABSTRAK
Cangkang merupakan salah satu limbah peternakan yang memiliki kandungan kalsium yang dapat
digunakan dalam pengolahan pangan. Ion kalsium akan berikatan dengan pektin membentuk Ca-
pektinat atau Ca-pektat yang tidak larut dalam air, sehingga menghasilkan produk dengan tekstur yang
lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis rendemen serta mengevaluasi pengaruh
tepung cangkang siput, cangkang telur ayam dan cangkang kerang terhadap sifat fisik, kimia dan
organoleptik manisan labu siam. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pembuatan
tepung cangkang siput, cangkang telur dan cangkang kerang, aplikasi 3 jenis tepung cangkang tersebut
pada pengolahan manisan labu siam, dengan variasi konsentrasi sebesar 0,5% dan 1%, serta tahap
analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tepung cangkang antara 60-70%. Ditinjau
dari sifat kadar air, semua perlakuan memenuhi syarat mutu manisan kering, yaitu kurang dari 25%.
Ditinjau dari tekstur, manisan yang paling keras yaitu dengan perlakuan perendaman tepung cangkang
telur ayam baik 0,5% maupun 1%. Ditinjau dari sifat sensoris (warna, rasa, dan tesktur), panelis
memberikan penilaian antara suka hingga netral terhadap manisan labu siam.
Kata Kunci: manisan labu siam, tepung cangkang siput, tepung cangkang telur dan tepung cangkang
kerang

ABSTRACT
The shell is one of the livestock waste that contains calcium that can be used in food processing.
Calcium ions will bind with pectin to form Ca-pektat or Ca-pektinat that insoluble in water, resulting
in a product with better texture. The aim of this study is to analyze the yield and to evaluate the
influence of snail shell, egg shell and shell flours on physical, chemical and organoleptic chayote
dried candies. The research was conducted in three phases, namely the snail shell, egg shell and shell
flours processing, application of the three types of shell flour on the processing of chayote candies,
with varying concentrations of 0.5% and 1%, and the analysis phase. The results showed that the yield
of shell flour between 60-70%. Judging from the water content, all treatments meet the quality
requirements of dried candied, ie less than 25%. Judging from the texture, candied hardest is by
soaking treatment egg shells flour either 0.5% or 1%. Judging from the sensory properties (color,
flavor, and texture), panelists give like to neutral assessment between the chayote dried candies.
Keywords : chayote dried candies, snail shell flour, egg shell flour and shells flour

PENDAHULUAN
Cangkang merupakan salah satu limbah peternakan yang menjadi masalah industri pengolahan
pangan yang berbahan baku cangkang. Cangkang memiliki komposisi CaCO3 yang bisa menyebabkan
polusi karena aktivitas mikroba di lingkungan. Sejauh ini limbah cangkang mudah terkontaminasi
mikroba dan kecernaan mineral kalsiumnya yang masih rendah. Disamping itu, keberadaanya dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan karena sulit didegradasi oleh mikrobia tanah. Potensi limbah
cangkang di Indonesia cukup besar. Namun, potensi tersebut hingga saat ini belum dimanfaatkan
secara optimal khususnya sebagai bahan pangan(Komarayati, 2005).
Cangkang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku untuk industri makanan, yang
salah satunya adalah Cookies. Cangkang juga dapat dimanfaatkan sebagai pangan ternak dan juga
dimanfaatkan untuk hiasan kerajinan. Beberapa cangkang atau kerabang yang dapat diolah untuk bahan
pangan diantaranya adalah cangkang telur, cangkang siput dan cangkang kerang.Cangkang telur
merupakan salah satu limbah peternakan yang menjadi masalah egg breaking plant dan industri

384
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pengolahan pangan yang berbahan baku telur (Komarayati, 2005).Tepung cangkang kerang merupakan
olahan tepung berbahan kulit kerang hijau atau kerang air tawar yang dihaluskan sampai menjadi
tepung. Tepung cangkang kerang mengandung kalsium yang tinggi yang dapat menguatkan tulang.
Selain itu, tepung cangkang kerang juga mengandung kalsium, vitamin, protein dan mineral-mineral
lain.Sementara itu tepung cangkang siput merupakan tepung cangkang hewan yang terbuat dari
cangkang siput dan memiliki kandungan protein, lemak, kalsium, fosfor dan serat kasar (Idan, 2015).
Menurut Umar (2000) cangkang telur ayam ras mengandung hampir 95,1% terdiri atas garam-
garam organik, 3,3% bahan organik (terutama protein) dan 1,6% air. Sebagian besar bahan anorganik
terdiri atas persenyawaan kalsium karbonat (CaCO3) sekitar 98,5% dan magnesium karbonat (MgCO3)
sekitar 0,85%, sedangkan protein yang membentuk cangkang telur terdiri atas lapisan membran protein
yang membentuk musin dan kretin.
Komposisi tepung siput mentah adalah air (7,59 %), protein (59,27 %), lemak (3,62 %),
kalsium (6,40 %), fosfor (0,85 %), dan serat kasar (2,47 %), sedangkan komposisi kandungan tepung
cangkang kerang adalah meliputi calsium (Ca) sebesar 30% s/d 40% , phospor (P) sebesar 1% dan
protein sebesar 3% s/d 4%, Tepung cangkang kerang ini diperoleh dengan cara menggiling cangkang
kerang dari mulai ukuran yang besar hingga kecil(Kompiang, 1999).
Kalsium adalah zat penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk memperkuat tulang dan gigi.
Kalsium sangat penting dalam pengaturan jumlah besar aktivitas sel yang vital, fungsi syaraf dan otot,
serta kerja hormon, pembekuan darah, motilitas seluler, dan untuk pembentukan kerabang. Salah satu
sumber kalsium adalah kalsium karbonat dengan kadar kalsium adalah 40% (Widodo, 2002).
Cangkang memiliki banyak kandungan kalsium. Pada pengelolaan pangan, kalsium dapat
digunakan untuk menetralkan atau menurunkan kandungan asam pada buah. Kalsium ini tergolong
pada basa kuat. Selain itu kalsium juga dapat mengeraskan jaringan produk yang akan dikeringkan
contohnya dalam proses pembuatan manisan yaitu melakukan perendaman dengan kalsium hidroksida
(Ca(OH)2. Dalam proses pembuatan manisan kendala yang sering dihadapi adalah tekstur buah yang
lunak, oleh sebab itu perlu adanya penanganan yaitu dilakukan perendaman dalam larutan kalsium
hidroksida yang bertujuan untuk mempertahankan tekstur buah terhadap suhu buah pada saat
pemanasan bahkan dapat memperbaiki testur buah yang lunak. Penggunaan konsentrasi kalsium
hidroksida berdampak pada peningkatan kadar air tetapi tidak berdampak pada kadar vitamin
(Fitriyono, 2012).
Labu siam (Sechium edule Swartz) merupakan salah satu tumbuhan obat Indonesia dari suku
Cucurbitaceae yang sekarang belum banyak diteliti.Produksi labu siam di Provinsi Bengkulu terus
mengalami peningkatan karena sangat cocok tumbuh dan berproduksi terus sepanjang tahun. Labu
siam memiliki harga yang cukup murah sehingga selalu menjadi pilihan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan makanannya. Selain itu, buah labu siam digemari orang karena rasanya yang enak dan
dingin, namun buah ini masih terbatas dalam pengolahan, kebanyakan masyarakat mengenal buah ini
sebagai sayuran dan obat (Haryono, 2013). Labu siam mengandung serat sekitar 1,7 g per 100 g buah.
Selain itu dilaporkan bahwa labu siammerupakan sayuranpenurun kolesterol,pencegah hipertensi,
bagus sebagai sumber nutrisi ibu hamil dan menyusui, baik untuk penderita asam urat, diabetes dan
penderita sariawan, serta menjaga kesehatan ginjal (Elisabeth, 2008). Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Agustini (2006), membuktikan bahwa mengkonsumsi labu siam dapat menurunkan
kadar kolesterol dalam darah.
Manisan labu siam adalah buah-buahan yang direndam dalam air gula selama beberapa waktu.
Tujuan pemberian gula dengan kadar yang tinggi pada manisan buah labu siam, selain untuk
memberikan rasa manis, juga untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme (jamur, kapang)(Soetanto,
1996).Dalam penelitian ini, untuk mempertahankan bentuk (tekstur) serta menghilangkan getah pada
buah labu siam, yaitu dengan menambahkan kalsium yang diperoleh dari tepung cangkang telur,
tepung cangkang siput dan tepung cangkang kerang. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang:
Aplikasi Tepung Cangkang Siput, Cangkang Telur, Cangkang Kerang Dalam Pengolahan Manisan
Labu Siam.

385
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016, bertempat di Laboratorium Fakultas
Pertania`n Universitas Dehasen Bengkulu dan Laboratorium Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu siam, cangkang siput sawah
(Filopaludina javanica), cangkang telur ayam ras (Gallus gallus domesticus), cangkang kerang laut
(Corbula Faba), garam dapur, gula pasir, natrium benzoat, vanili.Alat-alat yang digunakan untuk
membuat manisan labu siam antara lain: pisau, panci, pengaduk, saringan, baskom, lilin, kantong
plastik, kompor, tungku dan alat analisis.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu :
1. Pembuatan tepung cangkang telur, tepung cangkang siput dan kerang
2. Aplikasi tepung cangkang dalam pengolahan manisan labu siam
3. Analisis rendemen tepung cangkang, analisis kimia (kadar air), fisik (tekstur), dan organoleptik
(warna rasa, tekstur) manisan labu siam. Analisis organoleptik menggunakan 20 orang panelis
terlatih.

Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung cangkang telur, cangkang siput, dan
cangkang kerang. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan penambahan tepung cangkang 3
taraf dan konsentrasi tepung cangkang 2 taraf.
1. Perlakuan tepung cangkang (T)
T1 = Tepung cangkang siput sawah (Filopaludina javanica)
T2 = Tepung cangkang telur ayam ras (Gallus gallus domesticus)
T3 = Tepung cangkang kerang laut (Corbula faba)
2. Perlakuan konsentrasi penambahan tepung cangkang (K)
K1 = Konsentrasi 0,5%
K2 = Konsentras 1,0%

HASIL DAN PEMBAHASAN


Randemen Tepung Cangkang
Rendemen adalah perbandingan jumlah (kuantitas) suatu bahan yang dihasilkan sebelum dan
sesudah pengolahan yang dinyatakan dalam satuan (%). Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan
menandakan nilai suatu bahan yang dihasilkan semakin banyak.
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah tepung cangkang siput, tepung cangkang
telur ayam ras dan tepung cangkang kerang. Rendemen tepung cangkang siput dan tepung cangkang
telur sebesar 60%, sedangkan rendemen tepung cangkang kerang sebesar 70%. Hal ini menunjukkan
bahwa rendemen yang diperoleh masih tinggi karena hasil diatas 50%. Menurut Umar (2000),
terjadinya perbedaan hasil rendemen tepung cangkang dipengaruhi oleh ketebalan kerabang. Faktor
yang mempengaruhi ketebalan kerabang adalah faktor keturunan, perubahan musim, temperatur,
makanan, umur dan kesehatan. Apabila kekurangan mineral kalsium, phosphor, dan vitamin D maka
kerabang telur yang dihasilkan akan kurang baik. Kesemuanya ini juga dipengaruhi oleh kandungan
CaCO3 dalam kerabang. Beberapa penemuan menyatakan bahwa semakin keras keadaan kerabang,
maka semakin kecil pula kandungan proteinnya.
Kadar Air Manisan Labu Siam
Hasil rerata analisis kadar air manisan labu siam dengan perendaman dalam larutan tepung
cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak
0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 1.

386
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Hasil rerata analisa kadar air manisan labu siam (%)
Konsentrasi tepung cangkang Jenis tepung cangkang
Siput Telur ayam ras Kerang
a c
0,5% 23,51 18,24 19,91 b
a c
1,0% 23,15 18,59 19,59 b
Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya
perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama)
Sumber : Data primer (2016)

Tabel 1 menjelaskan rerata analisis kadar air manisan labu siam dengan perlakuan aplikasi
tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang menunjukkan tidak berbeda
nyata baik pada perlakuan konsentrasi 0,5%, maupun 1,0%. Namun aplikasi tepung cangkang siput,
cangkang telur dan cangkang kerang memberikan pengaruh terhadap kadar air manisan labu siam yang
berbeda nyata.
Kadar air tertinggi dicapai pada perlakuan perendaman dalam larutan tepung cangkang siput
dengan konsentrasi 0,5% yaitu sebesar 23.51%. Hal ini diduga karena kadar air tepung cangkang siput
lebih besar dibandingkan dengan tepung cangkang telur dan tepung cangkang kerang. Menurut
Kompiang (1999), tepung cangkang siput memiliki kadar air sebesar 7,54%, tepung cangkang telur
1,6% dan tepung cangkang kerang sebesar 5, 83%. Lebih lanjut Haryanti (2009), menyatakan bahwa
kadar air pada suatu produk erat hubungannya dengan peningkatan air oleh protein, yaitu peningkatan
air yang tinggi akan mengurangi pelepasan air selama pemasakan, dengan demikian kadar air produk
akan tinggi.Selain itu dapat disebabkan karena terjadinya perbedaan suhu pada saat proses penjemuran
manisan labu siam. Semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin banyak molekul air yang menguap
dari manisan labu siam yang dikeringkan sehingga kadar air yang diperoleh semakin rendah. Hal ini
sejalan dengan pendapat Winarno (2002), yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan
maka semakin cepat terjadi penguapan, sehingga kandungan air di dalam bahan semakin rendah.
Penguapan tersebut juga diakibatkan karena terjadinya perbedaan tekanan uap antara air pada bahan
dengan uap air di udara. Tekanan uap air pada bahan umumnya lebih besar dari tekanan uap air udara
sehingga terjadi perpindahan masa cair dari bahan ke udara. Selain itu dengan semakin besarnya energi
panas yang dibawa udara akibat dari makin tingginya suhu pengeringan maka jumlah massa cairan
yang diuapkan dari permukaan manisan labu siam semakin banyak. Hal ini diperkuat oleh Histifarina
(2004) menyatakan bahwa kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya akan semakin
besar dengan meningkatnya suhu udara pengering sehingga kadar air yang dihasilkan semakin rendah.
Kadar air manisan labu siam hasil penelitian ini berkisar antara 19,59 s.d 23,51 %. Hal ini
sudah sesuai dengan standar mutu manisan kering yang diatur dalam SNI No. 1718-1996, yang
menerangkan bahwa kadar air manisan kering maksimal adalah 25%.
Menurut Lisdiana (1998), perendaman buah ke dalam larutan yang mengandung kalsium
memiliki pengaruh terhadap kadar air manisan kering labu siam, yang salah satunya disebabkan karena
kalsium dapat mengurangi getah pada labu siam. Glikoprotein pada getah hilang dan glikoprotein
bersifat mengikat kalsium sehingga air yang terkandung dalam bahan terikat dengan getah menjadi
bebas dan air bebas lebih mudah dihilangkan sehingga air yang terdapat dalam manisan labu siam akan
semakin berkurang. Semakin lama perendaman maka maka kadar air manisan labu siam yang
dihasilkan akan semakin rendah yang bisa diartikan bahwa selama perendaman, getah semakin banyak
terikat dengan larutan tepung cangkang, sehingga banyak air yang terbebas. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Widodo (2002) yang menyatakan bahwa larutan kalsium bersifat higroskopis dan
mengurangi kadar getah suatu bahan.
Tekstur Manisan Labu Siam
Hasil rerata analisis tekstur manisan labu siam dengan perendaman dalam larutan tepung
cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak
0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 2.

387
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Hasil rerata analisa tekstur manisan labu siam (g/mm2)


Konsentrasi tepung cangkang Jenis tepung cangkang
Siput Telur ayam ras Kerang
0,5% 85,99 a 56,67 c 69,67 b
1,0% 78,74 a 58,53 c 68,42 b
Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya
perbedaan yang nyata pada taraf signifikansi 5%, (pada kolom yang sama)
Sumber : Data primer (2016)

Analisis tekstur (kekerasan) dalam penelitian ini menggunakan alat yakni penetrometer yang
mengukur tingkat kekerasan bahan dengan menghitungberat beban yang dibutuhkan untuk menusuk
sampel dengan kedalaman 1 mm2. Oleh karena itu, penetometer dilengkapi jarum penusuk dan
penyangga beban.Semakin keras sampel yang diukur maka berat beban yang dibutuhkan untuk
menusuk bahan akan semakin tinggi.
Hasil rerata analisis tekstur manisan labu siam berkisar antara 56,67 g/mm2 hingga 85,99
2
g/mm . Nilai tekstur terbesar adalah pada perlakuan tepung cangkang siputyaitu dengan kisaran 78,74-
85,99 g/mm2, kemudian diikuti dengan perlakuan tepung cangkang kerang dengan kisaran 68,42- 69,67
g/mm2 dan nilai tekstur terkecil adalah tepung cangkang telur ayam yaitu dengan kisaran 68,42-56,67
g/mm2. Hasil ini sesuai dengan standar tekstur untuk manisan kering, yakni 60-70 g/mm2(Histifarina,
2004).
Tabel 2 menjelaskan bahwa, tidak ada perbedaan yang nyata pada tekstur labu siam dengan
perendaman larutan tepung cangkang siput, cangkang telur ayam maupun cangkang kerang dengan
perlakuan konsentrasi 0,5% dan 1,0%. Akan tetapi jenis tepung cangkang memberikan pengaruh yang
nyata. Hal ini diduga karena kandungan kalsium masing-masing tepung cangkang yang berbeda yaitu
6.40% kalsium pada tepung cangkang siput, 98,5% kalsium pada tepung cangkang telur dan 30-40%
kalsium pada tepung cangkang kerang (Kompiang, 1999), sejalan dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa tekstur manisan labu siam dengan aplikasi tepung cangkang dari yang paling lunak
hingga yang paling keras berturut-turut adalah manisan dengan aplikasi tepung cangkang telur ayam,
cangkang kerang dan cangkang siput.
Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa semakin besar kadar kalsium dalam tepung
cangkang yang digunakan, maka semakin besar gaya yang diperlukan untuk memecah manisan kering
labu siam, yang berarti tekstur manisan tersebut semakin keras. Hal ini disebabkan oleh kandungan
kalsiumdalam tepung cangkang yang diaplikasikan pada air perendam, karena dalam larutan ion
kalsium dapat berikatan dengan pektin membentuk Ca-pektat yang tidak larut (Winarno, 2002). Garam
Ca-pektat yang tidak larut ini akan mengikat material-material di antara sel-sel dan membantu
mengurangi pemecahan struktur yang disebabkan panas selama pengolahan (Pujihartati, 1994)
sehingga semakin tinggi kadar kalsium, maka makin banyak pula pektin yang terikat menjadi Ca-
pektat. Dengan banyaknya Ca-pektat yang terbentuk akan mengurangi potensi pengikatan air oleh
pektin sehingga pada proses pengeringan, penguapan air akan terjadi lebih banyak dan manisan yang
dihasilkan pun akan mempunyai tekstur yang keras. Lebih lanjut Fitriyono(2012),
mengungkapkanbahwa kandungan kalsium mempengaruhi tekstur olahan pangan. Semakin tinggi
kandungan kalsium maka tekstur buah semakin keras, sebaliknya semakin rendah kandungan kalsium
maka tekstur buah akan semakin lunak, oleh sebab itu perlu adanya perendaman dalam larutan kalsium
hidroksida yang terdapat pada tepung cangkang untuk memperbaiki struktur buah yang lunak.
Desrosier (2008) mengungkapkan bahwa penambahan garam kalsium pada buah akan
memantapkan gel kalsium pektat yang mendukung jaringan dan memelihara struktur, bahkan setelah
proses pemanasan. Menurut Eskin (1977), hal ini terjadi karena adanya pembentukan garam dari ion
kalsium dengan gugus karboksil sehingga terdapat ikatan silang antara dua karboksil tersebut. Jika
ikatan-ikatan menyilang terjadi dalam jumlah besar, maka bahan akan semakin kukuh terhadap
gangguan mekanis.
Jika dibandingkan antara tekstur manisan labu siam dengan tekstur manisan yang lain adalah
terjadi perbedaan. Menurut Kompiang (1999), Setiap jenis makanan memiliki tekstur yang berbeda-
beda, tergantung dari komposisi bahan pangan, proses pengolahan, atau tingkat kematangan untuk
komoditi buah dan sayur.Tekstur yang dimiliki makanan tersebut mempengaruhi mutu produk yang
akhirnya mempengaruhi penerimaan kosumen produk pangan tersebut.

388
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Sifat Sensoris Warna Manisan Labu Siam


Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam dengan perendaman
dalam larutan tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan
konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam
Konsentrasi Tepung Cangkang Jenis Tepung Cangkang
Siput Telur Ayam Ras Kerang
0,5% 2.10 a 2.55 a 2.75 a
a a
1,0% 2.00 2.60 2.25 a
Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf
signifikansi 5%, (pada kolom yang sama)
Skala : 1= sangat suka; 2 = suka; 3 = netral; 4 = tidak suka; 5 = sangat tidak suka (pada kolom yang
sama)
Sumber : Data primer (2016)

Berdasarkan tabel 3 hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam
dengan aplikasi tepung cangkang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% dan jenis
cangkang menunjukkan tidak beda nyata, dengan rentang skala penilaian dari suka hingga netral.
Jika ditinjau dari tampilan warnanya secara subyektif, sampel manisanlabu siam hasil
perlakuan perendaman tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan
perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%, dan 1,0% mengalami perbedaan. Manisan dengan aplikasi
tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi
sebanyak 0,5%, mempunyai warna lebih terang dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 1,0%
dengan warna agak keputihan dan memudar. Warna manisan labu siam pada aplikasi tepung cangkang
siput konsentrasi 0,5% warnanya sedikit kecoklatan, sedangkan perlakuantepung cangkang siput
konsentrasi 1,0% warnanya coklat.
Perlakuan tepung cangkang telur ayam ras dengan konsentrasi 0,5% dengan warna kuning
pekat, kemudian dengan konsentrasi 1,0% warnanya berubah menjadi kuning keputihan atau kuning
pucat. Untuk perlakuan tepung cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak 0,5%
memiliki warna coklat, kemudian dengan konsentrasi tepung cangkang kerang 1,0% mengalami
perbedaan warna coklat gelap.
Perbedaan warna manisan labu siam pada setiap perlakuan diduga disebabkan oleh persentase
tepung cangkang yang tinggi, yang diberikan pada manisan labu siam. Semakin tinggi konsentrasi
tepung cangkang maka warna manisan labu siam semakin memudar dan menurun. Adanya pengaruh
tepung cangkang terhadap kerusakan pigmen pada bahan labu siam menyebabkan warnanya semakin
menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2002), yang menyatakan pigmen sangat peka
terhadap pengaruh-pengaruh kimia, fisik dan mekanik sebelum dan selama pengolahan.
Sifat Sensoris Rasa Manisan Labu Siam
Hasil rerata tingkat kesukaan panelisterhadap rasa manisan labu siam dengan aplikasi tepung
cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi sebanyak
0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam
Konsentrasi Tepung Cangkang Jenis Tepung Cangkang
Siput Telur Ayam Ras Kerang
0,5% 2.25 a 2.45 a 2.70 a
1,0% 2.15 a 2.60 a 2.40 a
Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf
signifikansi 5%, (pada kolom yang sama). Skala : 1= sangat suka; 2 = suka; 3 = netral; 4 = tidak suka; 5
= sangat tidak suka (pada kolom yang sama)
Sumber : Data primer (2016)

Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
manisan labu siam dengan perlakuan konsentrasi larutan tepung cangkang dan jenis tepung cangkang
menunjukkan tidak ada beda nyata. Rerata tingkat kesukaan panelisterhadap rasa manisan labu siam

389
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

berkisar antara suka hingga netral. Meskipun demikian, peneliti mengamati bahwa terdapat perbedaan
rasa manisan labu siam hasil penelitian. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan konsentrasi
larutan perendam yang digunakan, semakin tinggi konsentrasiyang diberikan maka rasa manisan labu
siam juga semakin tidak enak. Menurut Fitriyono(2012), menyatakan bahwa larutan kalsium
hidroksida yang terdapat pada tepung cangkang digunakan untuk memperbaiki struktur buah yang
lunak. Penggunaan kalsium berdampak pada kadar air yang akan mempengaruhi rasa dari buah yang
dijadikan manisan.
Sifat Sensoris Tekstur Manisan Labu Siam
Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur manisan labu siam dengan aplikasi
tepung cangkang siput, cangkang telur ayam ras dan cangkang kerang dengan perlakuan konsentrasi
sebanyak 0,5%, dan 1,0% dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 4. Hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap warna manisan labu siam
Konsentrasi Tepung Cangkang Jenis Tepung Cangkang
Siput Telur Ayam Ras Kerang
a a
0,5% 2.05 2.20 2.40 a
1,0% 1.95 a 2.25 a 2.00 a
Ket : Angka yang diikuti oleh kode huruf yang berbeda menunjukkanadanya perbedaan yang nyata pada taraf
signifikansi 5%, (pada kolom yang sama)
Skala : 1= sangat suka; 2 = suka; 3 = netral; 4 = tidak suka; 5 = sangat tidak suka (pada kolom yang
sama)
Sumber : Data primer (2016)

Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa hasil rerata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
manisan labu siam dengan perlakuan konsentrasi larutan tepung cangkang dan jenis tepung cangkang
menunjukkan tidak ada beda nyata, dengan skala nilai rata-rata suka. Jika dibandingkan dengan
parameter warna dan rasa, penilaian panelis terhadap tekstur manisan labu siam pada setiap perlakuan
cenderung lebih tinggi.
Perlakuan perendaman dalam larutan tepung cangkang pada dasarnya bertujuan untuk
memperbaiki tekstur manisan kering labu siam yang dihasilkan. Kandungan kalsium dalam tepung
cangkang akan bereaksi dengan pektin di dalam jaringan labu siam, sehingga pektin yang bersifat larut
dalam air akan berubah menjadi Ca-pektinat yang bersifat tidak larut dalam air. Reaksi inilah yang
menyebabkan manisan labu siam mempunyai tekstur yang kenyal dan tidak lembek (Winarno, 2002).

KESIMPULAN
Rendemen tepung cangkang siput dan tepung cangkang telur ayam ras berkisar 60% sedangkan
rendemen tepung cangkang kerang sebesar 70%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil rendemen yang
diperoleh masih tinggi yakni diatas 50%.Rerata kadar air manisan labu siam masih memenuhi syarat
SNI yaitu kurang dari 25%. Pada analisis tekstur, tekstur terkecil yaitu pada manisan labu siam dengan
perlakuan perendaman dengan tepung cangkang telur ayam ras. Sedangkan pada analisis organoleptik
(warna, rasa dan tekstur)manisan labu siam dengan perlakuan aplikasi tepung cangkang siput,
cangkang telur dan cangkang kerang menunjukkan tidak beda nyata pada taraf signifikansi 5%baik
pada perlakuan konsentrasi 0,5%, maupun 1,0%.

DAFTAR PUSTAKA
Agustini Kurnia. 2006. Pengaruh lama pemberian formula ekstrak buah labu siam terhadap Penurunan
Kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Tikus Putih Jantan, Departemen Farmasi
Universitas Indonesia. Jakarta.www.pps.ui.ac.id/ui-Jurnal.pdf. Diunduh tanggal 17
Oktober 2016
DSN-SNI No. 1718. 1996. Syarat Mutu Manisan. Badan Standarisasi Nasional.Jakarta
Desrosier,N.W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan, UI Press, Jakarta.
Elisabeth, D A A. 2008. Labu Siam, Jadi Cantik karena Kaya Manfaat Kesehatan. Buletin Teknologi
dan Informasi Pertanian. Edisi 19, th VI desember 2008. BPTP Bali
Eskin, N.A.M, Henderson and Townsend,R.J. 1971. Biochemistry of Food. Academis Press. New
York.

390
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Fitriyono. 2012. Aplikasi Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor.
Haryati.2009. Analisa Bahan Makanan dan Hasil Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Haryono. 2013. Studi Identifikasi Makanan Olahan Lokal Provinsi Bengkulu. Skripsi Fakultas
Pertanian. Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Bengkulu.
Histifarina. 2009. Pengkajian Penerapan Teknologi Pengolahan Manisan Mangga Kering di
Kabupaten Indramayu. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan teknologi Pertanian. Vol
12. No 2 Juli 2009 Hal 91-98
Idan. 2015. Pemanfaatan Tepung Cangkang Kerang terhadap Performen Burung Puyuh. USU. Medan
Juliyanto. 2010. Pembinaan Kelompok Melalui Pengolahan Labu Siam di Kecamatan Sukabumi
Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Pertanian 5 (1).
Komarayati. 2005. Pemanfaatan Cangkang Telur sebagai Flavor. Skripsi. FPIK-IPB. Bogor.
Kompiang. 1999. Analisa Bahan dan Pertanian. Liberty.Yogyakarta.
Lisdiana. 1998. Membuat Aneka Manisan. Kanisius. Yogyakarta.
Pujihartati,V. 1994, Peranan CaCl2 dalam Perendaman Buah Pepaya (Carica papaya). Skripsi. FTP
UGM. Yogyakarta.
Soetanto, Edi. 1996. Manisan Buah-buahan. Kanisius. Yogyakarta.
Umar. 2000. Pemanfaatan Cangkang Telur sebagai Matrik Penyangga pada Imobilisasi Enzim
Protease. Skripsi Teknologi Hasil pertanian. IPB. Bogor.
Widodo, 2002. Kalsium dan Pengolahan Pangan. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Lampiran
Syarat mutu manisan
Uraian Persyaratan
Keadaan (kenampakan, bau, rasa, dan jamur) Normal tidak berjamur
Kadar Air Maks 25 % (b/b)
Jumlah Gula (dihitung sebagai sukrosa) Min. 40 %
Pemanis Buatan Tidak ada
Yang diizinkan untuk
Zat Warna
makanan
Benda Asing (daun, tangkai, pasir dan lain-lain) Tidak ada
Bahan Pengawet (dihitung sebagai SO2) Maks. 50 mg/kg
Cemaran Logam:
Tembaga (Cu) Maks. 50 mg/kg
Timbal (Pb) Maks. 2,5 mg/kg
Seng (Zn) Maks. 40 mg/kg
Timah (Sn) Maks. 150 mg/kg
Arsen Maks. 1,0 mg/kg
Pemeriksaan Mikrobiologi :
Golongan Bentuk coli Tidak ada
Bakteri Escherrichia coli Tidak ada
Smber: DSN - SNI No.1718, 1996

391
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

APLIKASI PRA-DAN PURNA-TUMBUH HERBISIDA BERBAHAN AKTIF CAMPURAN


ATRAZINE DAN MESOTRIONE UNTUK PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN
JAGUNG MANIS
PRE AND POST-EMERGENCE APPLICATION OF HERBICIDE MIXTURE OF ATRAZINE
AND MESOTRIONE FOR WEED CONTROL IN SWEET CORN
Marulak Simarmata1, Bona Romaston Haloho1, dan Yenny Sariasih2
1
Jurusan Budi Daya Pertanian,2Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan W.R. Supratman Kandang Limun, Bengkulu 38371
E-mail: marulak_simarmata@yahoo.com

ABSTRAK
Kehadiran gulma pada budidaya tanaman dapat menyebabkan kehilangan hasil sehingga sudah
keharusan untuk mengendalikan gulma dengan metode dan waktu yang tepat. Penggunaan herbisida
atau bahan kimia yang mematikan gulma merupakan pilihan yang sangat praktis. Herbisida berbahan
aktif campuran atrazine dan mesotrione direkomendasikan untuk jagung, sorgum, dan tebu. Penelitian
ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas aplikasi pra- dan purna-tumbuh herbisida berbahan
aktif campuran atrazine dan mesotrione pada tanaman jagung manis yang dibudidayakan dengan
kompos bahan organik yang berbeda. Penelitian dilaksanakandi Kelurahan Kandang Limun,
Kecamatan Muara Bangkahulu, Bengkulu, pada bulan April hingga Juli 2014. Perlakuan yang diuji
disusun dalam rancangan petak terpisah (split plot design) dengan 3 ulangan sebagai kelompok. Petak
utama adalah pemberian kompos organik kotoran sapi 10 ton ha-1, tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
20 ton ha-1, dan tanpa bahan organik; sedangkan anak petak adalah pengendalian gulma dengan
herbisida campuran atrazine dan mesotrione dengan aplikasi pra-tumbuh, aplikasi purna-tumbuh,
disiang 2x, dan tanpa pengendalian gulma sebagai kontrol. Data pengamatan diuji secara statistik
dengan analisis varian dan diuji lanjut dengan LSD (P0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tanaman jagung manis mengalami keracunan ringan terhadap herbisida berbahan aktif campuran
atrazine dan mesotrione sampai tiga minggu setelah aplikasi. Ada interaksi antara perlakuan kompos
bahan organik dengan metode pengendalian gulma terhadap peningkatan hasil tongkol jagung manis.
Katakunci: atrazine, kompos organik, mesotrione, pra-tumbuh, purna tumbuh

ABSTRACT
Weeds are always interfere withthe crops and caused yield lost, therefore weeds should be controlled
at the right time by inappropriate measures. Using herbicides to control weeds is a good measure
because of the effectiveness and efficiency. A relatively new introduced herbicide, which active
ingredients were mixture of atrazine and mesotrione was recommended to use in corn, sorghum, and
sugarcane.This study was aimed to compare the effectiveness of pre-and post-emergence applications
of herbicide mixture of atrazine and mesotrione for weed control in sweet corn treated with different
organic compost. The research was conducted in the village of Kandang Limun, District of Muara
Bangkahulu, Bengkulu, from April to July 2014. The treatments were arranged in a split-plot design
with 3 replications. The main plot was the application of organic compost included compost of cow
manure at 10 ton ha-1,compost of oil palm empty fruit bunches (EFB) at 20 ton ha-1, and without
organic compost; while the subplot was pre-emergence application of herbicide, post-emergence
application, two times of hand weeding, and without weeding as a control. Data collected were
subjected to analysis of variance at 5 % level and means for significant influences of the treatments
were separated using LSD at P 0.05. The results showed that sweet corn plants were suffered to
light injury from herbicide mixture of atrazine and mesotrione until3 weeks after application. An
interaction between organic compost and the weed control measures increased the yield of sweet corn
significantly which was observed as corn cob without husk.
Keywords:atrazine, mesotrione, organicmatters, pre-and post-emergence

392
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) merupakan tanaman hortikultura yang
dibudidayakan di Indonesia sejak tahun 1980an. Buah jagung manisbanyak dikonsumsi karena rasa
yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Hal in disebabkan kadar sukrosa mencapai 4 5 %,
sedangkan jagung biasa hanya 2 3 %. Produksi jagung manis di Indonesia masih tergolong rendah
yaitu 4-5 ton ha-1, sedangkan negara lain seperti di USA bisa mencapai 10 15 ton ha-1(USDA, 2015).
Usaha memenuhi kebutuhan domestik jagung manis adalah dengan meningkatkan produksi
dalam negeri melalui perluasan areal tanam dan sekaligus dengan perbaikan teknik budidaya.
Pemberian kompos bahan organik pada areal penanaman jagung manis merupakan teknologi budidaya
yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman seperti N, Pdan K (Brady and Weil,
2010; Brown and Cotton, 2011). Bahan organik juga dapat menyehatkan tanah dengan memperbaiki
sifat fisika dan biologi tanah (Simanungkalit, 2006; Taguiling, 2013). Bahan organik yang banyak
digunakan dalam budidaya tanaman adalah berupa pupuk kandang, tetapi dewasa ini bahan organik
hijau yang diperoleh dari sumber daya lokal berupa sisa panen tanaman, kompos gulma, dan limbah
organik dari biomassa tumbuhan sudah banyak digunakan. Bahan organik hijau dapat digunakan
setelah terlebih dahulu mengalami dekomposisi dan mineralisasi (Simanungkalit, 2006; Setyowati et
al., 2008; Taguiling, 2013). Brady and Weil (2010), menyatakan bahwa ketersediaan hara bagi
tanaman tergantung pada tipe bahan organik yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan
nutrisi lain, misalnya rasio antara C/N, C/P, dan C/S.Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan
salah satu bahan organik yang tersedia di sekitar pabrik pengolahan kelapa sawit dan belum banyak
digunakan.Pengomposan TKKS dapat menggunakan bio aktivator EM-4 untuk mempercepat
dekomposisi sehingga unsur hara yang ada pada TKKS dapat dimanfaatkan tanaman (Ichwan,
2007).Menurut Sentanaet al.(2010), kompos TKKS dapat mensuplai hara yang penting bagi tanaman
seperti C, N, P, dan K, dan juga dapat memperbaiki sifat fisika dan biologi tanah.
Budidaya tanaman tentu tidak terlepas dari kehadiran gulma yang menimbulkan kerugian pada
pertumbuhan dan hasil tanaman (Monaco et al., 2002). Aplikasi bahan organik juga dapat merubah
komposisi gulma yang muncul sehingga mempengaruhi dalam pemilihan metode pengendalian gulma
(Simarmataet al., 2015). Berbagai metode pengendalian dapat dilakukan untuk mencegah kerugian
yang ditimbulkan gulma seperticara preventif, manual, kultur teknis, biologi, kimia, dan
terintegrasi.Cara kimia dengan menggunakan herbisida banyak dilakukan karena cara-cara yang lain
tidak efektif, tidak cukup waktu, gulma sulit dikendalikan, dan juga karena lahan yang luas. Salah satu
herbisida yang direkomendasikan untuk budidaya jagung adalah herbisida berbahan aktif campuran
atrazine dan mesotrione yang dipasarkan dengan nama Calaris@ (Woodyard et al., 2009).
Atrazine ditemukan pada tahun 1952, dengan nama kimia 6-chloro-N-ethyl-N-(1-
methylethyl)-1,3,5-triazine-2,4-diaminetermasuk dalam golongan herbisida triazine (Monaco et al.,
2002). Mekanisme kerjanya menghambat fotosistem II dalam reaksi fotosintesis (Muller, 2008).
Resistensi pada gulma timbul akibat penggunaan yang intensif dari atrazine untuk jangka waktu yang
panjang (Schooler et al., 2008;. Williams II et al.,2010). Salah satu pendekatan untuk mencegah
resistensi gulma pada herbisida tertentu adalah dengan mencampur dua jenis herbisida yang memiliki
mekanisme yang berbeda seperti pencampuran atrazine dan mesotrione (Woodyard et al., 2009).
Mesotrione dengan nama kimia 2-(4-(metilsulfonil)-2-nitrobenzonyl)sikloheksana-1,3-dione, adalah
herbisida yang relatif baru dalam keluarga triketone, efektif untuk mengendalikan spesies gulma yang
tahan terhadap atrazine (James et al., 2006). Mesotrione menghambat pigmen karoten dalam jaringan
tanaman.Gejala yang nampak pada gulma adalah kehilangan warna hijau pada daun, bleaching, dan
kematian (James et al.,2006;. Schooler et al., 2008).Rasio campuran herbisida Calaris@berbahan aktif
atrazine dan mesotrione adalah masing masing 500 dan 50 g L-1, dimana herbisida ini ini secara luas
digunakan sebagai herbisida selektif untuk jagung, gandum, sorgum, dan tebu dengan metode aplikasi
pra- dan purna tumbuh (James et al., 2006; Woodyard et al., 2009).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas metode pengendalian
gulma secara kimiawi dengan herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione yang
diaplikasi pra- dan purna-tumbuh pada tanaman jagung manis yang dibudidayakan dengan pemberian
kompos pupuk kandang dan kompos TKKS.

393
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu pada
bulan April hingga bulan Juli 2014. Lahan penelitian adalah jenis tanah ultisol pada ketinggian tempat
adalah 22 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan letak geografis03o 45 08 LS dan 102o 16 59
BT. Dua perlakuan yang diteliti adalah penggunaan kompos bahan organik dalam budidaya jagung
manissebagai petak utama dan metode pengendalian gulma sebagai anak petak disusun dalam
rancangan petak terbagi (split plot design) yang diulang tiga kali. Petak utama terdiri dari kompos
bahan organik kotoran sapi 10 ton ha-1, kompos TKKS 20 ton ha-1, dan tanpa bahan organik sebagai
kontrol, sedangkan anak petak adalah cara pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida
berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione yang diaplikasi pra-tumbuh, purna-tumbuh pada 2
minggu setelah tanam (MST), disiang 2x (2 dan 4 MST), dan tanpa pengendalian gulma sebagai
kontrol. TKKS terlebih dahulu dikomposkan selama satu bulan dengan menggunakan bioaktivator
EM-4 dan kotoran sapi sudah dalam kompos siap pakai.
Lahan penelitian dibersihkan dari tumbuhan pengganggu dan diolah manual dengan
menggunakan cangkul hingga kedalaman 25 cm. Sebanyak 12 petak ukuran 3m x 1,6 m dibentuk pada
setiap ulangan dan bahan organik pupuk kandang dan kompos TKKS dicampur merata pada petak
percobaan sesuai dosis perlakuan. Penanaman dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm dilakukan dengan
menugal pada kedalaman 3 cm. Setiap lubang tanam ditanam 2 benih ditambah 5 butir insektisida
Furadan 3Guntuk mencegah benih dari serangga, kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah.
Aplikasi herbisida pra-tumbuh dilakukan setelah penanaman dan purna-tumbuh. Dosis
herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione adalah 1,0 kg b.a. ha-1 dengan penambahan
non-ionik Surfaktan 1 % v/v pada volume semprot 400 L ha-1. Larutan herbisida disemprot dengan
menggunakan alat penyemprot punggung pada tekanan 15 psi dengan menggunakan nozzle flat warna
biru. Penyemprotan diarahkan pada permukaan tanah untuk aplikasi pra-tumbuh dan pada vegetasi
gulma dan tanaman untuk aplikasi purna tumbuh.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiramansetiaphariapabilatidakturunhujan, penjarangan
pada satu MST menjadi satu tanaman per lubang tanam, dan pengendalian hama dan penyakit sesuai
dengan keperluan. Pengendalian gulma dilakukan sesuai perlakuan. Pemupukandiberikan pada larikan
berjarak 10 cm dari tanaman dan larikan ditutup dengan tanah setelah pemberian pupuk. Pupuk yang
diberikan terdiri dari Urea, SP-36, dan KCl masing-masing 400, 300, dan 150 kg ha-1. Pupuk Urea
diberikan dua kali yaitu 1/3 dosis pada saat tanam dan 2/3 dosis pada 4 MST. Sedangkan SP-36 dan
KCl diberikan pada saat penanaman. Pemanenan dilakukan setelah tanaman 65 hari atau 2/3 bagian
dari jumlah tanaman pada luasan panen telah mencapai stadia masak yang dicirikan dengan warna biji
kuning.
Pengamatan meliputi variabel pertumbuhan antara lain keracunan tanaman akibat perlakuan
herbisida, variabel pertumbuhan maksimum pada saat berbunga 50 persen antara lain tinggi tanaman
(cm), indeks luas daun, dan tingkat kehijauan daun; variebel hasil antara lain berat segar tongkol tanpa
kelobot, panjang tongkol, diameter tongkol, dan tingkat kemanisan biji. Keracunan tanaman diamati
secara visual setiap minggu dengan mengikuti metode Burrill et al., (1976). Intensitas keracunan
tanaman di hitung berdasarkan kerusakan daun tanaman akibat keracunan herbisida, yang ditetapkan
dengan rumus persamaan [1] (Tabel 1).
Dk
I= x 100 %............................................... [1]
Dk + Do
Dimana I= intensitas keracunan tanaman (%), Dk adalah daun yang keracunan, Do adalah daun
yangtidak keracunan.

394
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Intensitas dan deskripsi keracunan keracunan tanaman(Burril et al., 1976)


Intensitas Keracunan Tanaman Deskripsi Tanaman
0 10 Tidak keracunan
11 20 Keracunan sangat ringan
21 30 Keracunan cukup ringan
31 40 Keracunan ringan
41 50 Keracunan sedang
51 60 Keracunan kurang parah
61 70 Keracunan cukup parah
71 80 Keracunan parah
81 90 Keracunan sangat parah
91 100 Tanaman mati

Tingkat kehijauan daun diamati dengan menggunakan Chlorophyll Meter SPAD. Indeks luas
daun ditentukan dengan 0,75 x luas daun x (jumlah daun/jarak tanam). Tingkat kemanisanbuah (brix)
diukur dengan menggunakan Hand-Held Refractometer. Data pengamatan dianalisis secara statistik
menggunakan soft ware CoStat 6,4. Apabila terdapat pengaruh yang nyata dalam analisis varian
(ANOVA) pada taraf 5%, maka rerata pengamatan diuji lanjut dengan uji LSD taraf P 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertumbuhan Gulma
Hasil analisis vegetasi sebelum pengolahan lahan penelitian menunjukkan 14 spesies gulma
terdiri dari9 spesies berdaun lebar yaitu Borreria leaves, Boreria palustris, Eupatorium odoratum,
Melastoma affine, Mimosa pudica, Porophyllum ruderale, Pueraria javanica, Richardia brasiliensis
dan Stachytarpheta indica, dan 5 spesies gulma rerumputan yaitu Axonopus compressus, Digitaria
sanguinalis, Imperata cylindrica, Ishaemum timorense dan Paspalum conjugatum (Simarmata et al.,
2015). Pada akhir penelitian gulma yang tumbuh menurun menadi 13 spesies dimana yang dominan
menjadi Borreria leavis, Borreria palustris, Peuraria javanica, and Syndrella nodiflora. Lima gulma
yang tidak muncul lagi adalah Eupatorium odoratum, Ishaemum timorense, Melastoma afine,
Porophyllum ruderale, and Richardia brasiliensis. Empat spesies gulma yang baru tumbuh adalah
namely Ageratum conyzoides, Eleusine indica, Phyllanthus urinaria, and Syndrella nodiflora. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran vegetasi gulma akibat perlakuan pengendalian secara kimia
(Hasanuddin, 2013; Simarmata et al., 2015). Efektifitas metode pengendalian gulma secara kimia
terhadap pertumbuhan gulma nampak pada pengamatan berat kering biomassa gulma secara total pada
akhir penelitian dalam persentase dari kontrol dalam Tabel 2 (Simarmata et al., 2015). Biomassa
gulma dapat ditekan hingga 25, 25.75, dan 26,73 persen dengan herbisida campuran atrazine dan
mesotrione aplikasi purna-tumbuh masing-masing pada kompos kotoran sapi, tanpa kompos, dan
TKKS. Dengan tertekannya pertumbuhan gulma sehingga tanaman bebas dari kompetisi dandapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil.
Tabel 2. Pengaruh metode pengendalian gulma terhadapbiomassa gulma di akhir penelitian (% dari
kontrol)
Biomassa Gulma ( % dari kontrol )
Bahan Organik
Pra- tumbuh Purna-Tumbuh Penyiangan 2x
Tanpa bahan organik 42,83 25,75 42,21
Kompos kotoran sapi 37,06 25,00 37,52
Kompos TKKS 37,80 26,73 50,31
Sumber: Simarmata et al., 2015

395
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis


Jagung manis tumbuh baik dengan daya perkecambahan >90 %. Akan tetapi intensitas curah
hujan khususnya bulan ketiga penelitian kurang mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan
jagung manis. Data lengkap keadaan hujan di lokasi penelitian yaitu pada bulan April, Mei, Juni, dan
Juli adalah masing-masing 569, 444, 43, dan 204 mm bulan dengan hari hujan 17, 17, 7, dan 15 hari.
Keadaan curah hujan yang kurang ini berpengaruh pada fase produktif tanaman sehingga ukuran
tongkol nampak dibawah ukuran rata-rata.
Tabel 3. Intensitas keracunan tanaman jagung manis akibat perlakuan herbisida berbahan aktif
campuran atrazine dan mesotrione
Intensitas Keracunan Tanaman ( % )
Cara Aplikasi Herbisida
1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA
Kontrol / Penyiangan 2x 0.00 a 0.00 a 0.00 a 0.00 a
Aplikasi Pra-Tumbuh 18.38 b 12.43 c 6.73 b 0.87 a
Aplikasi Purna-Tumbuh 16.73 b 8.30 b 4.82 b 1.07 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata
pada uji LSD (P 0.05)

Tanaman jagung manis juga mengalami keracunan terhadap perlakuan herbisida pada awal
pertumbuhan hingga 3 minggu setelah aplikasi herbisida (Tabel 3). Intensitas keracunan keracunan
tanaman jagung manis akibat perlakuan herbisida campuran atrazine dan mesotrione diamati hingga 4
minggu setelah aplikasi (MSA) herbisida. Pada Tabel 3, nampak bahwa pertumbuhan tanaman jagung
manis mengalami keracunan sangat ringan terhadap perlakuan herbisida pra- dan purna-tumbuh
dengan intensitas < 20 % pada pengamatan 2 MSA, dan < 10 % pada 3 MSA, tetapi tanaman tumbuh
normal setelah 4 MSA. Keracunan visual pada jagung adalah merupakan gejala yang terjadi sebagai
respon fisiologis tanaman terhadap senyawa kimia atrazine dan mesotrione. Gejala ini dimati pada
perubahan warna dan bentuk daun setelah aplikasi herbisida dengan mengacu pada Burril et al.,
(1976). Tingkat keracunan yang rendah dan pemulihan setelah 4 MSA menunjukkan bahwa tanaman
jagung manis tahan terhadap campuran herbisida atrazine dan mesotrione dengan aplikasi pra- dan
purna-tumbuh. Keracunan ringan dan pemulihan yang cepat dari tanaman jagung terhadap campuran
herbisida atrazine dan mesotrione juga dilaporkan pada pada tanaman jagung (Mawardi, 2010;
Hasanuddin, 2013).
Tabel 4. Data pengamatan pertumbuhan pada saat berbunga meliputi tinggi tanaman (TT), tingkat
kehijauan daun(TKD), dan indeks luas daun (ILD); komponen hasil dan hasil meliputi
kemanisan (TKB), panjang tongkol (PT), diameter tongkol (DT), dan berat segar tongkol
(BST).
Bahan TT PT DT BST
Pengendalian Gulma TKD ILD TKB
Organik (cm) (cm) (cm) (gram)
Kontrol Kontrol 124,45 45,64 1,19 7,47 14,69 5,56 198,01
Herbisida Pra-tumbuh 125,09 45,33 1,19 7,25 13,95 5,76 174,50
HerbisidaPurna-tumbuh 130,35 44,81 1,21 7,45 16,70 5,74 192,53
Penyiangan 2x 121,81 44,42 1,17 7,65 16,35 5,84 204,86
Kot. Sapi Kontrol 140,77 46,88 1,32 7,70 17,03 5,59 206,67
Herbisida Pra-tumbuh 142,45 46,98 1,35 8,27 18,22 5,74 257,93
Herbisida Purna-tumbuh 146,49 49,22 1,38 8,10 16,59 5,65 225,83
Penyiangan 2x 133,12 45,96 1,31 7,90 17,62 5,69 227,22
TKKS Kontrol 121,93 43,50 1,20 7,47 14,34 5,44 184,03
Herbisida Pra-tumbuh 131,08 44,43 1,26 7,50 16,12 5,64 202,77
Herbisida Purna-tumbuh 128,90 43,66 1,25 7,60 16,31 5,52 230,13
Penyiangan 2x 139,02 45,10 1,28 7,83 14,93 5,55 228,57
Bahan Organik ns ns ns * * ns ns
Pengendalian Gulma ns ns ns ns ns ns ns
Interaksi ns ns ns ns ns ns *
Ket.: ns = non significant atau tidak berpengaruh nyata dan * = berpengaruh nyata pada pada analisis varian
ANOVA ( P 0.05).

Data pengamatan pertumbuhan, komponen hasil, dan hasil tanaman jagung manis serta
rekapitulasi analisis varian (ANOVA) disajikan pada Tabel 4. Terdapat interaksi perlakuan bahan
organik dengan cara pengendalian gulma terhadap hasil jagung manis dalam bentuk tongkol tanpa

396
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

kelobot. Perlakuan bahan organik sendiri berpengaruh pada panjang tongkol dan tingkat kemanisan
buah. Variabel pengamatan yang lain yaitu tinggi tanaman, tingkat kehijauan daun, indeks luas daun,
dan diameter tongkol tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan bahan organik dan cara
pengendalian gulma.
Walaupun perlakuan kompos bahan organik dan pengendalian gulma tidak menunjukkan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman jagung manis, tetapi kombinasi perlakuan
menunjukkan interaksi yang nyata terhadap hasil tongkol tanpa kelobot dan uji lanjut terhadap
interaksi tersebut disajikan pada Tabel 5. Hasil tongkol pada perlakuan cara pengendalian gulma atau
cara aplikasi herbisida berbeda nyata pada semua petak utama. Pada pemberian kompos bahan
organik kotoran sapi cara pengendalian gulma dengan herbisida pra-tumbuh mengasilkan berat
tongkol yang paling tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan herbisida purna-tumbuh,
penyiangan 2x dan kontrol; sedangkan pada kompos bahan organik TKKS berat tongkol paling tinggi
adalah pada perlakuan herbisida purna-tumbuh kemudian penyiangan 2x dan berbeda nyata dengan
perlakuan herbisida pra-tumbuh dan kontrol. Sedangkan antara pemberian bahan organik
menunjukkan bahwa kompos kotoran sapi memberikan hasil yang paling tinggi dalam perlakuan anak
petak herbisida pra-tumbuh, dan dalam herbisida purna-tumbuh pemberian kompos bahan organik
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada perlakuan tanpa pengendalian gulma, dengan kompos
TKKS justru menurunkan hasil dalam berat tongkol tanpa kelobot.
Tabel 5. Pengaruh interaksi pemberian bahan organik dan metode pengendalian gulma terhadap
berat tongkol tanpa klobot (gram tanaman-1)
Herbisida Pra- Herbisida Purna-
Bahan Organik Kontrol Penyiangan 2x
Tumbuh Tumbuhan
Tanpa Bahan Organik 198.01 ab 174.50 a 192.53 a 204.86 a
B A B B
Kompos Kotoran Sapi 206.67 b 257.93 c 225.83 b 227.22 b
A C B B
Kompos TKKS 184.03 a 202.77 b 230.13 b 228.57 b
A B C C
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris atau satu kolom menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji LSD (P 0.05)

Secara keseluruhan terjadi peningkatan hasil jagung manis yang diamati pada tongkol tanpa
klobot dengan perlakuan pengendalian gulma dibandingkan dengan tanpa pengendalian gulma. Hal
ini dapat dijelaskan karena pengendalian gulma dengan perlakuan herbisida baik secara pra-tumbuh
maupun purna-tumbuh dapat menekan pertumbuhan gulma dan memberikan ruang dan unsur hara
yang cukup bagi tanaman sehingga tanaman akan tumbuh baik dan hasil akan meningkat. Hasil pada
perlakuan pengendalian gulma dengan herbisida pra- dan purna-tumbuh tidak berbeda dengan
penyiangan 2x, menunjukkan bahwa aplikasi herbisida sangat efektif menekan karena hasil dapat
menyamai penyiangan 2x.
Tabel 6. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap panjang tongkol dan tingkat kemanisan buah
Bahan Organik Panjang Tongkol (cm) Tingkat Kemanisan Buah
Tanpa Bahan Organik 15.43 a 7.46 a
Kompos Bahan Organik Kotoran Sapi 17.18 b 7.99 b
Kompos Bahan Organik TKKS 15.42 a 7.60 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata
pada uji LSD (P 0.05)

Pada Tabel 6 dapat dilihat pengaruh bahan organik terhadap panjang tongkol dan tingkat
kemanisan buah jagung manis. Perlakuan bahan organik pupuk kandang dapat meningkatkan secara
nyata komponen hasil berupa panjang tongkol dan tingkat kemanisan. Hal ini dapat dijelaskan karena
kompos kotoran sapi mengandung hara yang sudah tersedia bagi tanaman sehingga pertumbuhan dan
hasil yang nampak pada panjang tongkol yang semakin meningkat. Kotoran sapi sebagai kompos
organik juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah sehingga komponen hasil seperti panjang
tongkol dan tingkat kemanisan juga akan bertambah. Disamping itu ketersediaan hara akan
menstimulasi kemanisan jagung manis. Berbeda dengan kompos bahan organik TKKS yang walaupun
mengandung hara, tetapi ketersediaannya lebih rendah karena rasio C/N yang lebih tinggi dan tentu
akan lebih lambat terdekomposisi dan tingkat ketersediaan hara pada tanaman lebih rendah.

397
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Untuk menjelaskanpengaruh interaksi pengendalian gulma dengan pemberian bahan organik


pada hasil tanaman jagung manis adalah akibat peningkatan biomassa bagian atas tanaman sebagai
pengaruh dari pengendalian dan penekanan biomassa gulma pada areal pertanaman sudah dilaporkan
oleh Simarmata et al., (2015).
Tabel 7. Pengaruh metode pengendalian gulma terhadap biomassa jagung manis dan biomassa gulma
(persentase dari kontrol).
Biomassa jagung manis ( % dari kontrol )
Bahan Organik
Pra- tumbuh Purna-Tumbuh Penyiangan 2x
Tanpa bahan organik 132,13 179,14 149,73
Kompos kotoran sapi 136,92 180,21 150,61
Kompos TKKS 149,25 195,64 159,95
Sumber: Simarmata et al., 2015

Seperti nampak pada Tabel 7 (Simarmata et al., 2015), pengendalian gulma dengan herbisida
campuran atrazine dan mesotrione yang diaplikasi purna-tumbuh dapat meningkatkan biomassa
jagung manis menjadi 180,21 dan 195,64 persen dari kontrol pada masing-masing petak utama
kotoran sapi dan TKKS. Dengan metode pengendalian menggunakan herbisida campuran atrazine dan
mesotrione dan waktu aplikasi purna-tumbuh dapat mengendaliakn gulma sehingga tanaman bebas
dari kompetisi dan akan tumbuh dengan baik. Hasil tanaman meningkat dengan nyata diamati pada
hasil tongkol dan komponen hasil seperti panjang tongkol.

KESIMPULAN
Herbisida berbahan aktif campuran atrazine dan mesotrione sangat efektif mengendalikan
gulma dan meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung manis baik aplikasi pra-tumbuh maupun
purna-tumbuh. Tanaman jagung manis mengalami keracunan sangat ringan terhadap herbisida atrazine
dan mesotrione hingga 3 minggu setelah aplikasi. Interaksi yang nyata antara metode pengendalian
gulma dan pemberian bahan organik nampak pada hasil tanaman jagung manis, dimana hasil tertinggi
yaitu 257,93 gram tanaman-1diperoleh dari interaksi pengendalian gulma dengan aplikasi herbisida
secara pra-tumbuh dengan bahan organik kotoran sapi. Bahan organik kotoran sapi dapat
meningkatkan secara nyata panjang tongkol dan tingkat kemanisan buah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Ketua Jurusan Budi Daya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, dan Panitia Seminar Nasional BPTP Bengkulu, yang
memfasilitasi sehingga hasil penelitian ini dapat disampaikan dalam Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian Modern Tahun 2016. Penghargaan juga disampaikan kepada mahasiswa
Agroekoteknologi yang turut membantu pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Brady, N.C. and R.R. Weil. 2010. The Nature and Properties of Soil. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Brown, S. and M. Cotton. 2011. Changes in Soil Properties and Carbon Content Following Compost
Application: Results of on-Farm Sampling. Compost Sci. & Utilization, 19(2):87-96.
Burrill, L.C, J. Cardenas, E. Locatelli. 1976. Field Manual for Weed Control Research. International
Plant Protections Center.Oregon State University, Corvalis.
Hasanuddin.2013. Aplikasi beberapa dosis herbisida campuran atrazine dan mesotrione pada tanaman
jagung. J Agrista, 17(1):3641.
Ichwan, B. 2007. Pertumbuhan dan hasil jagung manis (Zea mays saccarata Sturt) pada berbagai
konsentrasi EM-4 dan waktu fermentasi janjang kelapa sawit. J Agronomi, 11(2):91-94.
James, T.K, A. Rahman, J. Hicking. 2006. Mesotrione, a new herbicide for weed control in maize.
New Zealand Plant Protection, 59:242-249.
Mawardi, I. 2010. Pengujian efikasi lapang herbisida Calaris 550 SC (berbahan aktif atrazin dan
mesotrion) untuk pengendalian gulma umum pada budidaya jagung. J Gulma Tumbuhan
Invasif Tropika, 1:57-64.

398
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Monaco, T.J., S.C. Weller, and F.M. Ashton. 2002. Weed Science Principles and Practices, 4th
edition. John Wiley & Sons, New York.
Muller, G. 2008. History of the Discovery and Development of Triazine Herbicide. In. LeBaron H.M,
Farland J.M, Burnside, O (eds.). The Triazine Herbicide. Elsevier Inc. Atlanta.
Schooler, S., T. Cook, A. Bourne, G. Prichard, and M. Julien. 2008. Selective herbicides reduce
alligator weed (Alternanthera philixeroides) biomass by enhancing competition. Weed
Sci. 56(2):259-264.
Sentana, S., Suyanto, Subarto, M.A. Suprapedi dan Sudiyana. 2010. Pengembangan dan pengujian
inokulum untuk pengomposan limbah tandan kosong kelapa sawit. J Rekayasa Proses,
2(4):35-39.
Setyowati, N., U. Nurjanah dan D. Haryanti. 2008. Gulma Tusuk Konde (Wedelia trilobata) san
Kirinyu (Chlomolaena odorata) Sebagai Pupuk Organik Pada Sawi (Brassica chinensis
L.).J Akta Agrosia, 11(1):47-56.
Simanungkalit, R.D.M. 2006. Prospek Pupuk Organik dan Pupuk hayati di Indonesia. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Pengembangan dan Penelitian Bogor.
Simarmata, M.C.D. Sitanggang, Djamilah. 2015. The shifting of weed compositions andbiomass
production in sweet corn field treated with organic composts and chemical weed
controls. Agrivita, 37(3):226-236).
Taguiling, M.A.L.G., 2013. Quality Improvement of Organic Compost Using Biomass. European Sci
J. 9(13):319-341.
USDA, 2015. Vegetable Summary: Sweet Corn. Online (Diunduh:
http://www.agmrc.org/commodities-products/vegetables/sweet-corn/).
William II, M.M., C.M. Boerboom, T.L. Rabaey. 2010. Significance of atrazine in sweet corn weed
management systems. Weed Technol. 24(2):139-142.
Woodyard, A.J., J.A. Hugie, D.E. Riechers. 2009. Interactions of mesotrione and atrazine in two weed
species with different mechanisms for atrazine resistance. Weed Sci. 57(4):369-378.

399
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PERTUMBUHAN DAN HASIL KANGKUNG, SELADA SERTA PAKCOY PADA TIGA


MODEL AKUAPONIK MINI YANG DISUSUN VERTIKAL
THE GROWTH AND YIELD OF SPINACH, LETTUCE, AND PAKCOY ON THREE MODEL
OF MINI-AQUAPONICS ARRANGED VERTICALLY
Yudi Sastro, Nofi A. Rokhma, Ikrarwati, dan Lukman Hakim
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
Jl. Raya Ragunan No. 30. Pasar Minggu, Jakarta selatan (12540) email : yudis.bkl@gmail.com

ABSTRAK
Pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan masih belum optimal. Salah satu strategi yang
diduga dapat meningkatkan peran pekarangan tersebut adalah melalui teknologi akuaponik. Penelitian
ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh model akuaponik yang disusun secara vertikal dalam
mendukung pertumbuhan dan hasil kangkung, selada, dan pakcoy skala rumah tangga di perkotaan.
Model yang dikaji meliputi kombinasi talang air dengan pot, pipa PVC, dan pot tergantung pada
panel. Perlakuan diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan lima ulangan.
Aspek pengujian meliputi model akuaponik, posisi arah pertanaman, serta letak baris tanaman.
Parameter pengamatan meliputi peubah pertumbuhan dan hasil tanaman. Data hasil pengamatan
dianalisis menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANAVA) dan dilanjutkan Uji Jarak Berganda
Duncans (DMRT), masing masing pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa model akuaponik mini yang disusun secara vertikal berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
dan hasil kangkung, selada, dan pakcoy. Model pot tergantung pada panel nyata memberikan performa
pertumbuhan dan hasil tanaman paling baik. Posisi arah pertanaman timur dan barat memberikan
performa pertumbuhan dan hasil terbaik. Pertumbuhan dan hasil tanaman berkurang secara linier
dengan semakin rendah posisi baris tanaman. Perlu dilakukan perbaikan struktur rangka dan
kemiringan pertanaman serta posisi unit akuaponik pada saat diimplementasikan di lapangan.
Kata kunci : akuaponik, pekarangan, perkotaan

ABSTRACT
Utilization of the yard as food source is still not optimal. One of strategy that is expected to increase
the role of the yard as food source is through aquaponics technology. This research aimed to study the
effect of the model mini-aquaponics arranged vertically in supporting the growth and yield of spinach,
lettuce, and pakcoy in urban households scale. The model examined were combinations of gutters and
pot, PVC pipe, and pot that hanged at the panel. The treatments were arranged using a completely
randomized block design with five replications. The aspect of testing includes aquaponic model,
position of the crop, and the location of the crop rows.The observation parameters were plant growth
and yields variables. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and followed Duncan's
Multiple Range Test (DMRT) 95%. The results showed that the model of mini-aquaponics arranged
vertically significantly affect growth and yield of spinach, lettuce, and pakcoy. The pot that hanged at
the panel model provides the best plant growth and yield. The growth and yield performance were at
east and west planting position. Plant growth and yield decrease linearly in line with position of the
crop rows. The need is to improve of the models, especialy at slope planting structure and the position
of aquaponics unit when it is implemented in the field.
Keywords: aquaponic, houseyard, urban

PENDAHULUAN
Perubahan iklim global dan peristiwa anomali cuaca menuntut strategi penyediaan pangan
secara mandiri oleh masing-masing individu keluarga mutlak diperlukan. Salah satu strategi
penyediaan pangan tersebut adalah melalui pemanfaatan pekarangan. Luas lahan pekarangan di
Indonesia mencapai 10,3 juta hektar atau setara 14% dari luas lahan pertanian eksisting (Badan
Litbang Pertanian, 2011; Sastro et al., 2015a). Hingga saat ini pemanfaatan pekarangan sebagai
sumber pangan masih belum berkembang dengan baik. Perlu dilakukan berbagai upaya sehingga
lahan pekarangan tersebut termanfaatkan secara optimal. Salah satu diantaranya adalah melalui
budidaya terpadu antara tanaman dengan ikan dalam system budidaya akuaponik (Sastro dan Lestari,
2012; Sastro, 2015; Herawaty et al., 2015).

400
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Akuaponik adalah sistem produksi pangan berkelanjutan yang menggabungkan budidaya ikan
dengan tanaman di dalam lingkungan simbiosis (Rakocy et al., 2003; Rakocy et al, 2006; Pantanella et
al., 2011; Pantanella et al., 2012). Dalam budidaya hewan air, limbah padat dan ammonia menumpuk
di dalam air, sehingga bersifat toksik bagi ikan. Pada akuaponik, limbah kaya hara yang berasal dari
kolam pemeliharaan ikan dialirkan pada sub sistem hidroponik tanaman, dirombak oleh mikroba dan
diserap oleh akar tanaman, dan air yang telah bersih dan kaya oksigen selanjutnya diresirkulasi
kembali ke dalam kolam pemeliharaan ikan (Rakocy et al, 2007; Nelson, 2007; Bocek, 2010; AES,
2010). Sistem suplai hara melalui resirkulasi demikian akan mendukung pertumbuhan tanaman dan
mencegah keracunan pada ikan (Diver et al., 2006; Bishop et al., 2009).
Jenis tanaman yang sesuai untuk ditanam dalam akuaponik meliputi, sawi, selada, kemangi,
tomat, okra, buncis, kacang polong, kol, selada air, lobak, dan bawang (Diver, 2006; Amadori, 2012).
Sementara itu, jenis hewan air yang dapat dipelihara meliputi udang ikan nila, lele, mas, patin, dan
belut (Backyard Aquaponics, 2011; Aquaponics Community, 2011). Tanaman dan ikan tersebut
umumnya diterapkan dalam tiga model akuaponik, yakni media bed, rakit apung, dan NFT (Lennard et
al., 2006; Somervile et al. 2014,). Ketiga model tersebut umumnya berukuran relatif besar dan tidak
sesuai ditempatkan pada lahan sempit di pekarangan, khususnya di perkotaan. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan modifikasi, diantaranya dengan cara mengatur system pertanaman secara vertikal.
Budidaya secara vertikal telah terbukti dapat menghemat lahan dan dapat diterapkan di pekarangan
sempit di perkotaan (Sastro et al., 2015b).
Pada tahun 2013, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta telah membuat
prototipe akuaponik mini secara vertikal yang dinamakan wolkaponik. Namun demikian kelayakan
teknis model wolkaponik tersebut masih perlu diuji secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji kelayakan teknis tiga model wolkaponik yaitu model kombinasi talang air dan pot,
pipa PVC, dan pot tergantung pada panel dalam mendukung pertumbuhan dan hasil sayuran
kangkung, selada, dan pakcoy pada skala rumah tangga di perkotaan.

METODOLOGI
Penelitan dilakukan di BPTP Jakarta pada bulan Maret sampai dengan November 2014. Aspek
pengujian meliputi perbedaan antar model akuaponik, posisi arah pertanaman, serta posisi baris
tanaman. Tiga model akuaponik yang diuji meliputi kombinasi talang air dengan pot, model pipa
PVC diameter 2,5 inch, dan model pot tergantung pada panel (Gambar 1). Sementara itu, posisi arah
pertanaman berdasarkan arah mata angin yaitu Timur, Barat, Utara, dan Selatan, sedangkan posisi
baris tanaman berdasar tingkat penempatan tanaman mulai tertinggi sampai terendah yaitu
tingkat/baris pertama, kedua, dan seterusnya hingga baris kelima.

Model Aquaponik yang diuji. A) Model kombinasi talang air dengan pot, B) Model pipa PVC
A B
berdiameter 2,5 inch, dan C) model pot tergantung pada panel. C

401
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pada akuaponik model A, tanaman di tanam di dalam pot plastik berdiameter 12 cm yang
berisi media zeolit 20 mesh+kompos (3:1) yang diletakan dalam wadah talang air. Akuaponik model B
menggunakan pipa PVC berdiameter 2,5 inch yang dibuat lubang berukuran diameter 5 cm. Pada
lubang ditempatkan pot plastic hidroponik yang berisi media zeolit 20 mesh. Pada Model C, tanaman
di tanam dalam pot berdiameter 17 cm yang berisi media tanam zeolit 20 mesh+kompos (3:1).
Pada model A dan B, resirkulasi air dilakukan dengan cara melewatkan air pada talang atau
pipa yang dimulai dari kolam pemeliharaan ikan melewati talang baris pertama (paling atas) hingga
baris ke lima (paling bawah) dan selanjutnya kembali ke dalam kolam yang ikan di bawahnya.
Sementara itu, pada model C, air direskulasi dengan sistem tetes, dimulai dari pot baris pertama hingga
baris terakhir dan kembali kedalam kolam pemeliharaan ikan.
Setiap jenis tanaman ditanam secara langsung menggunakan benih pada media pertanaman.
Jumlah benih tanaman terdiri 20 benih kangkung pada model A dan C serta 5 benih untuk model B,
serta masing-masing 5 benih selada dan pakcoy untuk model A dan C serta 3 benih untk model B.
Penjarangan tanaman selada dan pak coy dilakukan 3 minggu setelah tanam dengan meninggalkan 2
tanaman untuk model A dan C serta 1 tanaman untuk model B.
Perlakuan penelitian diatur menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan lima
ulangan. Tanaman uji meliputi kangkung, selada, dan pakcoi. Ikan yang digunakan adalah ikan lele
sebanyak 100 ekor per unit model akuaponik yang dikaji. Peubah yang diamati adalah peubah
pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun serta peubah hasil tanaman meliputi
berat panen segar dan berat kering tanaman. Pengamatan tinggi dan jumlah daun tanaman dilakukan
pada 14 dan 21 hari setelah tanam untuk kangkung dan 14, 21, dan 35 hari untuk selada dan pakcoy.
Sementara itu, hasil panen diukur pada pengamatan terakhir pada masing-masing komoditas uji.
Perbedaan antar perlakuan pada masing-masing peubah pengamatan dianalisis menggunakan Analisis
Sidik Ragam (ANAVA) dan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT), masing-masing
pada taraf kepercayaan 95% (Gomez dan Gomez, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil perhitungan statistic, tidak terdapat interaksi yang nyata antar perlakuan
yang diujikan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman, baik pada kangkung, selada, maupun
pakcoy. Respon pertumbuhan dan hasil tanaman terlihat pada masing-masing factor perlakuan secara
tunggal, yakni model akuaponik mini, arah pertanaman, dan posisi baris tanaman.

Pengaruh Model Aquaponik terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada dan Pakcoy
Tiga model akuaponik yang diujikan member berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan
hasil kangkung, selada, dan pakcoy. Secara umum model aquaponik yang menghasilkan pertumbuhan
tanaman dari yang terbaik sampai yang terendah secara berturut-turut yaitu model pot tergantung pada
panel, model kombinasi talang air-pot, dan model pipa PVC. Model pot secara umum nyata
memberikan performa pertumbuhan dan hasil tanaman paling baik (Tabel 1).
Ketiga model aquaponik memberi hasil yang berbeda pada masing-masing komoditas uji.
Pada komoditas selada dan pakcoy, model pot tergantung pada panel dan model kombinasi talang air-
pot menghasilkan komponen pertumbuhan yang secara nyata lebih tinggi dibanding model pipa PVC.
Akan tetapi, pada komponen hasil, model pot tergantung pada panel memberikan hasil yang signifikan
lebih tinggi dibanding kedua model yang lain. Sementara itu, hasil yang berbeda ditunjukkan pada
komoditas kangkung, model pipa PVC menghasilkan komponen pertumbuhan dan hasil yang nyata
lebih tinggi dibanding dua model lainnya (Tabel 1).

402
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 1. Pengaruh model aquaponik terhadap pertumbuhan dan hasil kangkung, selada dan pakcoy
Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Berat Berat
Model 14 21 28 35 14 21 28 35 Panen Kering
HST HST HST HST HST HST HST HST (g) (g)
Kangkung
Kombinasi Talang-
23.9 a 34.5 a - - 6.8 ab 9.3 a - - 32.9 a 2.6 a
Pot
Pipa PVC 27.1 b 42.1 b - - 7.8 b 11.3 b - - 45.2 b 5.6 b
Pot Tergantung
23.0 a 35.1 a - - 6.0 a 8.4 a - - 34.2 a 2.5 a
Pada Panel
Selada
Kombinasi Talang-
6.8 b 13.3 b 17.7 b 22.0 b 3.2 a 4.7 a 5.1 a 5.6 b 18.8 b 1.4 b
Pot
Pipa PVC 4.4 a 9.4 a 11.8 a 11.9 a 2.7 a 4.2 a 4.4 a 4.5 a 5.9 a 0.5 a
Pot Tergantung
5.2 a 12.1 b 16.3 b 21.0 b 2.9 a 4.7 a 4.9 a 5.2 b 25.1 c 1.7 c
Pada Panel
Pakcoy
Kombinasi Talang-
7.3 a 14.0 a 16.0 a 17.0 ab 3.1 a 4.1 a 4.8 a 4.9 a 9.7 a 1.1 a
Pot
Pipa PVC 11.0 b 13.9 a 14.5 a 15.0 a 3.4 a 4.5 a 5.3 ab 5.5 a 12.0 a 1.0 a
Pot Tergantung
8.8 a 16.0 b 20.0 b 21.5 b 4.0 b 5.3 b 5.8 b 6.2 b 55.1 b 4.2 b
Pada Panel
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama pada satu komoditas menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasar DMRT taraf 95%,
HST = hari setelah panen

Secara umum, model pot tergantung pada panel memberikan hasil terbaik pada komoditas
selada dan pakcoy. Hal ini disebabkan karena model pot tergantung pada panel mempunyai kapasitas
media tanam lebih besar dibandingkan model pot-talang air maupun model pipa PVC. Selain itu, pada
sistem pot, resirkulasi air yang melewati media pertanaman dilakukan menggunakan sistem tetes
sehingga pasokan air dan hara sepanjang waktu pertanaman tetap terjaga dengan baik.
Berbeda dengan model kombinasi talang airpot dan pipa PVC, suplai air dan hara ke dalam
media menggunakan sistem absorbsi/penyerapan. Pada saat suhu harian sangat tinggi, penguapan
sangat tinggi sehingga seperempat bagian atas media tanam akan menjadi kering. Kondisi demikian
berpengaruh terhadap kecepatan tumbuh, serta derajat pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengaruh
suplai air dan suplai nutrisi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman diantaranya telah dilaporkan oleh
Uchida dan Silva (2000), Mao et al. (2003), dan Sadeghian dan Yavari (2004).
Pengaruh Posisi Pertanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada, Pakcoy
Pertumbuhan dan hasil tanaman kangkung yang ditanam pada model kombinasi talang-pot
tertinggi pada posisi pertanaman sebelah timur. Pada model pipa PVC dan model pot tergantung pada
panel, pertumbuhan dan hasil tertinggi diperoleh pada posisi barat. Hal serupa terjadi pada pakcoy.
Model kombinasi talang-pot nyata memberikan pertumbuhan dan hasil tertinggi pada posisi sebelah
timur, sedangkan pada model pipa PVC dan model pot tergantung pada panel, pertumbuhan dan hasil
tertinggi diperoleh pada posisi timur dan barat (Tabel 2).
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada komoditas selada. Pada model kombinasi talang-pot,
pertumbuhan dan hasil selada terbaik diperoleh pada posisi selatan dan timur, pada model pipa PVC
hasil terbaik diperoleh pada posisi timur, sedangkan pada model pot tergantung pada panel hasil terbaik
diperoleh pada posisi selatan dan barat (Tabel 2). Terdapat perbedaan respon tanaman terkait dengan
posisi arah pertanaman pada masing-masing model akuaponik yang diuji. Hal tersebut diduga
disebabkan adanya perbedaan fisiologi antar tanaman. Sebagai contoh adalah selada yang dapat
tumbuh dengan baik pada kondisi penyinaran yang lebih lemah dibandingkan sayuran jenis lainnya (Li
dan Kubota, 2009; Stutte et al., 2009; Zukauskas et al., 2011; Samuollene et al., 2012).
Namun demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa posisi pertanaman timur dan
barat paling ideal dalam mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman. Fakta tersebut terkait erat dengan
kuantitas dan kualitas penyinaran yang diterima olehtanaman. Intensitas dan lama penyinaran
berpengaruh sangat nyata terhadap laju fotosintesa dan pertumbuhan tanaman (Samuollene et al., 2009;
Kratky et al., 2013; Olle dan Virsile, 2013; Shing et al., 2015).

403
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 2. Pengaruh posisi pertanaman terhadap pertumbuhan dan berat panen kangkung, selada, dan
pakcoy pada tiga model aquaponik
Model Kombinasi Model Pot Tergantung
Posisi Model Pipa PVC
Talang-Pot Pada Panel
Pertanaman TT JD BP TT JD BP TT JD BP
Kangkung
Utara 36.0 a 9.7 a 34.2 a 38.0 a 11.3 a 36.6 a 38.0 b 9.0 b 34.8 b
Selatan 35.1 a 9.7 a 35.3 a 39.5 a 11.4 a 41.7 b 36.5 b 8.3 ab 41.7 c
Barat 33.4 a 8.7 a 29.9 a 45.3 b 11.6 a 42.3 b 36.3 b 8.8 b 47.3 c
Timur 32.7 a 11.6 b 65.0 b 45.4 b 11.1 a 53.1 c 32.6 a 7.8 a 19.4 a
Selada
Utara 18.7 a 4.5 a 8.4 a 13.2 a 4.3 b 6.4 b 21.6 a 4.7 a 21.6 b
Selatan 24.7 b 5.8 b 26.7 c 10.6 a 3.9 b 5.9 b 26.3 b 5.2 ab 32.6 c
Barat 18.8 a 5.8 b 16.3 b 7.5 a 2.2 a 4.2 a 18.4 a 5.8 b 28.1 c
Timur 25.2 b 6.2 b 22.7 bc 20.0 b 4.3 b 7.3 c 22.0 a 4.8 a 13.7 a
Pakcoy Hijau
Utara 21.8 a 4.6 a 8.5 a 15.4 b 6.2 b 10.6 a 25.5 c 6.6 ab 39.1 a
Selatan 21.8 a 4.6 a 8.5 a 8.3 a 4.7 a 7.3 a 17.0 a 5.8 a 23.4 a
Barat 19.5 a 6.2 b 6.5 a 12.9 b 6.1 b 14.3 b 20.3 b 7.8 b 132.4 b
Timur 19.1 a 7.2 b 23.5 b 14.0 b 6.3 b 15.7 b 21.8 b 7.2 b 121.0 b
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama pada satu komoditas menunjukkan tidak
berbeda nyata berdasar DMRT taraf 95%.
TT = Tinggi Tanaman, JD = Jumlah Daun, BP = Berat Panen

Pengaruh Posisi Baris Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kangkung, Selada, dan
Pakcoy
Posisi baris pertanaman pada setiap model akuaponik yang diuji berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan dan berat hasil panen kangkung, selada, dan pakcoy. Penurunan pertumbuhan dan hasil
setiap tanaman tersebut linier dengan semakin bawah posisi baris tanaman (Tabel 3). Serupa dengan
pengaruh arah pertanaman, respon tanaman tersebut terkait erat dengan intensitas dan lama penyinaran
((Samuollene et al., 2009; Kratky et al., 2013; Olle dan Virsile, 2013; Shing et al., 2015). Posisi baris
teratas akan mendapatkan intensitas dan lama penyinaran yang lebih baik dibandingkan baris di
bawahnya sehingga memberikan respon pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan baris di
bawahnya.
Berdasarkan hasil pengujian ini maka perlu dilakukan modifikasi pada setiap model yang
dikembangkan. Modifikasi yang mutlak harus dilakukan terkait dengan posisi baris tanaman adalah
dengan mengatur posisi kemiringan pertanaman minimal 20o. Dengan pengaturan demikian maka
kesempatan tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari, mulai dari baris pertama hingga ke lima
akan sama sehingga dapat memberikan hasil yang juga sama.

404
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Pengaruh posisi baris pertanaman terhadap pertumbuhan dan berat panen kangkung, selada,
dan pakcoy pada tiga model aquaponik
Model Kombinasi Talang- Model Pot Tergantung
Posisi Model Pipa PVC
Pot Pada Panel
Baris TT JD BP TT JD BP TT JD BP
Kangkung
1 33.7 a 11.3 b 61.8 c 39.7 a 12.6 b 62.9 c 37.5 b 9.7 b 74.3 c
2 38.7 b 9.2 a 31.0 b 38.1 a 11.4 b 44.3 b 38.1 b 10.8 b 60.0 c
3 37.7 b 8.7 a 26.0 b 47.9 b 11.1 b 43.6 b 32.0 a 9.0 b 28.5 b
4 31.8 a 7.0 a 12.7 a 42.0 b 10.0 b 32.0 ab 31.0 a 7.6 a 19.5 a
5 32.6 a 8.2 a 10.1 a 39.0 a 8.9 a 24.8 a 33.8 a 7.5 a 16.3 a
Selada
1 23.0 a 5.5 a 27.0 c 22.0 c 6.7 c 16.0 c 17.2 a 4.8 a 56.0 c
2 22.3 a 5.7 a 20.6 b 17.1 b 5.6 b 10.7 b 21.7ab 4.8 a 44.3 b
3 23.5 a 4.9 a 18.0 b 16.5 b 5.4 b 9.1 b 26.9 b 4.8 a 43.3 b
4 20. 6 a 5.7 a 16.9 b 16.1 b 5.2 b 8.8 b 23.9ab 4.8 a 21.0 a
5 22.0 a 5.3 a 13.0 a 13.8 a 3.1 a 5.5 a 22.9ab 4.3 a 18.5 a
Pakcoy
1 19.1 b 7.2 b 23.5 b 11.8 b 5.1 a 13.0 a 24.8 b 11.8 b 150.1 d
2 21.1 b 6.1 b 36.3 b 16.4 b 6.3 a 12.0 a 23.9ab 6.5 a 99.0 c
3 21.8 b 4.6 a 8.4 a 9.6 a 5.7 a 12.0 a 21.7 a 6.6 a 91.5 c
4 9.3 a 4.5 a 2.3 a 10.0 a 5.7 a 11.3 a 22.2 a 6.5 a 48.1 b
5 8.5 a 4.4 a 2.2 a 14.6 b 6.2 a 12.0 a 20.8 a 5.7 a 30.6 a
Baris 1 posisi paling atas, baris 5 posisi paling bawah. Angka-angka pada kolom yang sama diikuti
huruf yang sama pada satu komoditas menunjukkan tidak berbeda nyata berdasar DMRT taraf 95%
TT = Tinggi Tanaman, JD = Jumlah Daun, BP = Berat Panen

KESIMPULAN DAN SARAN


Perbedaan model akuaponik mini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kangkung,
selada, dan pakcoy. Akuaponik mini vertikal model pot memberikan performa pertumbuhan dan hasil
yang lebih baik dibandingkan model pipa PVC dan model pot-talang. Demikian juga dengan posisi
arah dan baris pertanaman. Arah pertanaman sebelah timur dan barat memberikan pertumbuhan dan
hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan posisi utara dan selatan. Demikian juga dengan posisi baris
tanaman, terjadi penurunan pertumbuhan dan hasil secara linier sejalan dengan semakin rendahnya
baris pertanaman.
Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan untuk dilakukan perbaikan struktur model,
kemiringan rangka, serta pengaturan posisi akuaponik pada saat diimplementasikan di lapangan.
Dengan modifikasi dan pengaturan demikian maka tanaman akan mempunyai kesempatan yang sama
dalam mendapatkan air, hara, dan cahaya matahari yang diperlukan dalam pertumbuhan

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan terima kasih kepada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian atas pendanaan
kegiatan penelitian melalui DIPA BPTP Jakarta T.A. 2014. Ucapan terimakasih juga disampaikan
kepada kelompok teknisi BPTP Jakarta atas peran sertanya dalam pelaksanaan kegiatan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Amadori, M. 2012. Fish, Lettuce and Food Waste Put New Spin on Aquaponics. Environmental
Science and Forestry (ESF).
Aquaponics Community. 2011. Bluegill or Bream Grower. Retrieved December.

405
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Backyard Aquaponics. 2011. Fish Page: Other Species Retrieved December.


Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Bishop, M., S. Bourke, K. Connolly and T. Trebic. 2009. Bairds Village Aquaponics project: AGRI
519/CIVE 519 Sustainable Development Plans. Holetown, Barbados: McGill University.
Bocek, A. 2010. Water Harvesting and Aquaculture for Rural Development. Retrieved December.
Diver, S. 2006. AquaponicsIntegration of Hydroponics and Aquaculture. Appropriate Technology
Transfer for Rural Areas (ATTRA).
Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Jhon Willey
and Sons. New York.
Harris, L. Kasimu. 2012. Aquaponics being taught in Vietnamese community.
http://www.louisianaweekly.com/aquaponics-being-taught-in-vietnamese-community/.
Louisiana Weekly. Retrieved February.
Herawati, E., Y. Sastro, B. Bakrie, and A.D. Nugroho. 2015. Urban Agriculture Development in
Jakarta City : some experiences in developing the sustainable urban agriculture in
Indonesia. International Workshop of Urban Farming. FAO-AIT. Bangkok.
Kratky, B.A., C. Bernabe, E. Araki, F. White, and S. Miyasaki. 2013. Shading reduce yields of edible
ginger rhizomes grown in sub-irrigated pots. Root Crops-2. College of Tropical
Agriculture and Human Resources. University of Hawaii. Manoa. Hawaii.
Lennard, W.A. and B.V. Leonard. 2006. A comparison of three different hydroponicsub-systems
(gravel bed, floating and nutrient film technique) in an aquaponictest system. Aquac. Int.
14:539550.
Lennard, W. 2012. Aquaponics System Design Parameters : Fish to plant ratio (Feeding Rate Ratios).
Aquaponics Fact Sheet Series.
Li, Q. and C. Kubota. 2009. Effect of supplemental light quality on growth and phytochemical of
baby leaf lettuce. Environmental and Experiment Botany 67:59-64.
Mao, X., M. Liu, X. wang, C. Liu, Z. Hou, and J. Shi. 2003. Effects of deficit irrigation on yield and
water use of greenhouse grown cucumber in the North China Plain. Journal of Agronomy
and Crop Science 61 (3): 219-228.
Nelson, R. L. 2007. 10 sistems around the world. Aquaponics Journal, 46 (3): 8.
Olle, M. And A. Virsile. 2013. The effect of light-emitting diode lighting on greenhouse plant growth
and quality. Agricultural and Food Science 22: 223-234.
Pantanella, E, M. Cardarelli, P.P. Danieli, A. MacNiven and G. Colla. 2011. Integrated Aquaculture -
Floating Agriculture: Is It a Valid Strategy to Raise Livelihood. Proc. XXVIIIth IHCIS
on Horticulture for Development. Acta Hort. 921.
Pantanella, E., M. Cardarelli, G. Colla, E. Rea, and A. Marcucci. 2012. Aquaponics vs.hydroponics:
production and quality of lettuce crop. Acta Horticultura. 927:887893.
Rakocy, J. E., R.C. Shultz, D. S. Bailey, and E.S. Thoman. 2003. Aquaponic production of tilapia and
basil: comparing a batch and staggered cropping system. Acta Hortaculturae 648:6369.
Rakocy, J.E., T.M. Losordo, and M.P. Masser. 2006. Recirculating aquaculture tank production
systems: Integrating fish and plant culture. Southern Region Aquaculture Center
Publication 454:116.
Rakocy, J. 2007. Ten Guidelines for Aquaponics System. Aquaponics Journal 46 3rd quarter :14-17.
Rokhmah, N.A., C. S. Ammatillah, dan Y. Sastro. 2014. Vertiminaponik, mini akuaponik untuk lahan
sempit di perkotaan. Buletin Pertanian Perkotaan Vol. 2 (2): 14-22.
Rogosa, E. 2010. Aquaponics: How does aquaponics work?. Retrieved November.
Sadeghian, S.Y. and N. Yavari. 2004. Effect of Water-Deficit Stress on Germination and Early
Seedling Growth in Sugar Beet. Journal of Agronomy and Crop Science 190 (2): 138-144.
Samuoliene, G., A. Urbonaviciute, P. Dhucovskis, Z. Bliznikas, P. Vitta, and A. Zukauskas. 2009.
Decrease in nitrate concentration in leafy vegetables under solid-state illuminator.
Hortscience 44:1857-1860.

406
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Samuoliene, G., A. Brazaitite, R. Sirtautas, a. Novickovas, and P. Dhucovskis. 2012. LED lighting
and seasonality effect antioxidant properties of baby leaf lettuce. Food Chemistry
134:1494-1499.
Sastro, Y dan I.P. Lestari. 2012. Potensi budidaya tanaman system akuaponik dalam mendukung
pengembangan pertanian di perkotaan. Buletin Pertanian Perkotaan 2 (1): 20-28.
Sastro, Y. 2015. Akuaponik: Budidaya tanaman terintegrasi dengan ikan, permasalahan keharaan dan
strategi mengatasinya. Buletin Pertanian Perkotaan 5 (1): 33-42.
Sastro, Y., B. Bakrie dan T. Ramdhan. 2015a. Pertanian Perkotaan: Solusi Ketahanan Pangan Masa
Depan. Jakarta: IAARD Press.
Sastro, Y., C.S. Ammatillah, dan I.P. Lestari. 2015b. Analisa pertumbuhan dan produksi sayuran
dalam dua model mini wallgarden di DKI Jakarta. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Pertanian 18 (1): 95-104.
Shing, D., C. Basu, M.M. Wollweber, and B. Roth. 2015. LEDs for Energy Efficient Greenhouse
Lighting. https://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1406/1406.3016.pdf. September.
Somerville, C., M. Cohen, E. Pantanella, A. Stankus, and A. Lovatelli. 2014. Small-scale Aquaponics
Food Production : Integrated Fish and Plant Farming. FAO. Rome.
Stutte, G.W., S. Edney, and T. Skerrit. 2009. Photoregulation of bioprotectant content of red leaf
lettuce with light-emmiting diodes. Hortscience 44:79-82.
Uchida, R. And J. A. Silva. 2000. Plant Management in Hawaiis Soil, Approaches for Tropical and
Subtropical Agriculture. College of Tropical Agriculture and Human Resources.
University of Hawaii. Manoa. Hawaii.
Zukauskas, A., Z. Bliznikas, K. Brieve, A. Novickovas, G. Samuoliene, A. Urbonaviciute, J.
Jankauskiene, and P. Dubchovkis. 2011. Effect of supplementary pre-harvest LED
lighting on the antioxidant properties of lettuce cultivars. Acta Horticulture 907:87-90.

407
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR BERBAHAN PAITAN (Tithonia diversifolia) DENGAN


DOSIS DAN KONSENTRASI YANG BERBEDA UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN DAN HASIL SAWI DI TANAH ULTISOL
LIQUID ORGANIC FERTILIZER APPLICATION BASED TITHONIA DIVERSIFOLIA
DOSAGE AND CONCENTRATION WITH DIFFERENT TO BOOST GROWTH AND RESULTS
MUSTARD IN ULTISOL
Edi Susilo
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Ratu Samban
Penulis untuk korespondensi: HP. 085235229104
e-mail: susilo_agr@yahoo.com

ABSTRAK
Sayuran sawi merupakan komoditi yang memiliki prospek cukup baik, karena dibutuhkan sehari-hari
oleh masyarakat dan permintaannya cenderung meningkat. Seiring berkembangnya jaman dengan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pemenuhan bahan makanan yang sehat dan
berkualitas maka berkembang secara pesat sistem pertanian organik. Dampak positif budidaya secara
organik yaitu terjaganya kualitas produksi dan kelestarian lahan. Penelitian bertujuan untuk
mendapatkan informasi paitan sebagai bahan pupuk organik cair (POC) terhadap tanaman sawi di
tanah ultisol. Penelitian dilaksanakan bulan September sampai Desember 2015 di Kebun Percobaan
Fakultas Pertanian Universitas Ratu Samban Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara. Metode
penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu Dosis
yang terdiri atas : 0 ml per tanaman, 50 ml per tanaman, 150 ml per tanaman, dan 250 ml per tanaman.
Faktor kedua yaitu Konsentrasi yang terdiri atas : 1 POC : 5 liter air ; 1 POC : 10 liter air dan 1 POC :
15 liter air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis POC berpengaruh sangat nyata terhadap
panjang akar (terpanjang dosis 250 ml sebesar 9,75 cm). Perlakuan konsentrasi berpengaruh sangat
nyata terhadap panjang akar (konsentrasi 1 POC : 10 liter air sebesar 9,47 cm) dan bobot segar
(konsentrasi 1 POC : 15 liter air sebesar 43,85 g). Terdapat Interaksi yang nyata antara dosis dan
konsentrasi terhadap jumlah daun dan terbanyak dicapai oleh interaksi kontrol dan konsentrasi POC :
air = 1 : 5.
Kata kunci : paitan, sawi, ultisol, pupuk organik cair

ABSTRACT
Vegetables are cabbage is a commodity that has good prospects, as required by the community every
day and demand is likely to continue to rise. The positive impact of organic farming systems that
maintain the quality of production and land conservation. The study aimed to obtain information
Tithonia plants as a liquid organic fertilizer to the ground mustard plants in ultisol. The research was
conducted from September to December 2015 at the Faculty of Agriculture Experimental Farm
University of Ratu Samban Arga Makmur North Bengkulu. The research method using a randomized
block design with two factors. The first factor is the dose consisting of 0 ml per plant, 50 ml per plant,
150 ml per plant, and 250 ml per plant. The second factor is concentration consisting of 1 POC: 5
liters of water ; 1 POC : 10 liters of water and POC: 15 liters of water. The results showed that the
dose POC significant effect on root length (longest dose of 250 ml of 9.75 cm). Concentration
treatment very significant effect on root length (POC concentration of 1: 10 liters of water amounted
to 9.47 cm) and fresh weight (concentration 1 POC: 15 liters of water amounted to 43.85 g). There is
a real interaction between dose and concentration on the number of leaves and the highest achieved
by the interaction of control and concentration POC: water = 1: 5.
Keywords: Tithonia, mustard, ultisol, fertilizer

408
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

PENDAHULUAN
Sayuran merupakan komoditi yang memiliki prospek cukup baik, karena keberadaannya
dibutuhkan sehari-hari dan permintaan sayuran cenderung terus meningkat sebagaimana jenis tanaman
hortikultura lainnya. Pada umumnya sayuran mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi dibanding
komoditas lain karena sayuran senantiasa dikonsumsi setiap saat. Hasil sensus Direktorat Jenderal
Hortikultura, menunjukkan bahwa pada tahun 2007 konsumsi sayuran masyarakat Indonesia hanya
mencapai 40,9 kg/kapita/tahun dan buah-buahan hanya sebesar 34,06 kg/kapita/tahun. Dimana angka
tersebut masih terlihat kecil karena tingkat konsumsi sayuran yang dianjurkan minimum 65
kg/kapita/tahun.
Seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan semakin sadarnya masyarakat
dengan pentingnya mengkonsumsi sayuran, kebutuhan masyarakat terhadap sawi semakin lama
semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan ini tidak diimbangi dengan produksi sawi yang masih
rendah baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (2012),
produksi sawi di Indonesia dari tahun 2008 - 2011 mengalami fluktuasi yang dapat dilihat secara
berturut turut : 565,636 ton (2008), 562,838 ton (2009), 583,770 ton (2010) dan 580,969 ton (2011).
Perkembangan jaman sekarang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap pemenuhan bahan makanan yang sehat dan berkualitas maka berkembang secara pesat sistem
pertanian organik. Dampak positif yang dihasilkan dalam budidaya tanaman secara organik yaitu
dapat terjaganya kualitas produksi dan kelestarian lahan terutama lingkungan pertanian. Aplikasi
bahan organik ke dalam tanah baik pupuk organik padat maupun pupuk organik cair adalah salah satu
cara yang tepat untuk mendapatkan bahan makanan yang sehat dan aman. Berdasarkan data statistik
pertanian organik Indonesia tahun 2010, luas area pertanian organik di Indonesia mencapai 238.872,24
ha. Dari beberapa tipe lahan organik dalam SPOI 2011, total jumlah produsen adalah 12.512
(termasuk petani kecil dan perusahaan). Nilai ini menurun 10% dari tahun 2010 (13.794).
Tanaman sawi merupakan salah satu tanaman yang responsif terhadap pemupukan. Kondisi
lingkungan yang terganggu (tidak subur) maka berdampak secara signifikan terhadap pertumbuhan
dan hasil budidaya sawi ini. Untuk mengatasi permasalahan lahan yang kurang subur salah satunya
yaitu perlu adanya masukan bahan organik pada tanah tersebut. Salah satu bahan organik yang perlu
dicobakan pada lahan adalah penggunaan pupuk organik berbahan baku paitan. Paitan merupakan
salah satu tanaman yang berbentuk perdu yang keberadaanya melimpah di lokasi tertentu namun
pemanfaatannya belum banyak digunakan. Menurut Nagarajah dan Nizar (1982), bahwa dari hasil
penelitian pada 100 sampel daun dan batang lunak paitan di Sri Lanka mengandung kisaran 3,3 - 5,5%
N, 0,2 - 0,5% P dan 2,3 - 5,5% K. Sehingga pada penelitian ini perlu dicoba pemanfaatan paitan
sebagai bahan pembuatan pupuk organik cair guna menunjang pertumbuhan dan hasil sawi yang
ditanam di tanah ultisol.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi paitan sebagai pupuk organik cair pada
tanaman sawi di tanah ultisol terutama dengan menguji pupuk dengan dosis dan konsentrasinya.
Luaran hasil penelitian yang diharapkan yaitu membantu mengatasi masalah yang dihadapi petani
terutama mahalnya pupuk anorganik dengan disubtitusi dengan pupuk organik terbaik berbahan paitan
ini khususnya pada tanaman sayuran.

409
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

METODE PENELITIAN

Penelitian akan dilaksanakan selama empat bulan mulai bulan September sampai Desember
2015. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Ratu Samban
Kecamatan Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara.
Bahan penelitian yang digunakan adalah paitan, gula merah, benih sawi, tanah ultisol, terasi,
air cucian beras, air kelapa, pupuk kandang dan dekomposer. Peralatan yang digunakan adalah
cangkul, timbangan, mistar, tali rafia, ajir, ember, kantong panen, papan nama, parang, pisau, polybag,
jerigen plastik, selang, wadah plastik, termometer, pH meter digital, lakban, kertas label, ember, dan
alat tulis.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua
faktor. Faktor pertama yaitu Dosis (D) yang terdiri atas : D0 : 0 ml per tanaman (kontrol), D1 : 50 ml
per tanaman, D2 : 150 ml per tanaman, D3 : 250 ml per tanaman. Faktor kedua yaitu Konsentrasi (K)
yang terdiri atas : K1 : konsentrasi POC : air = 1 : 5, K2 : POC : air = 1 : 10, dan K3 : POC : air = 1 :
15. Dari perlakuan tersebut di atas diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 36 kombinasi satuan
percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri atas tiga polybag berukuran berat 5 kg media tanah,
sehingga terdapat total 108 media polybag.
Kegiatan awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengumpulan bahan paitan dari
lokasi yang banyak ditumbuhi tanaman tersebut. Bahan lain berupa dekomposer, terasi, air kelapa, air
cucian beras dan gula yang disiapkan sebelum pelaksanaan penelitian dimulai.
Proses pembuatan pupuk organik cair sebagai berikut : disiapkan bahan paitan 4 kg,
dekomposer 150 ml, gula 100 g, air cucian beras 3 liter, air kelapa 3 liter, dan air secukupnya. Bahan
selain paitan diaduk sampai homogen, kemudian ditambahkan bahan paitan yang telah dicacah halus.
Kemudian dimasukkan ke dalam jerigen dengan menutupnya plastik yang telah dilubangi sebagai
saluran udara lewat selang yang terhubung ke air yang berada di botol mineral. Pematangan dan
pengadukan pupuk organik cair dilakukan dengan cara mengaduk larutan di dalam jerigen dengan cara
mengguncang jerigen tersebut. Pengadukan ini dilakukan setiap 3 hari sekali selama masa fermentasi 3
minggu.
Media topsoil ultisol disiapkan sebanyak 540 kg. Media ini dibagi ke dalam 108 polybag.
Masing-masing bagian dengan berat 5 kg ini dicampur dengan pupuk kandang sebanyak 50 g. Topsoil
ultisol dan pupuk organik tersebut dicampur secara komposit dan dimasukkan ke polybag. Media ini
didiamkan selama seminggu untuk mendapatkan media yang baik.
Benih sawi sebanyak 1 sachet disemai ke media tanah di nampan. Setelah berumur 3 minggu
setelah semai, maka bibit ini dipindah ke media polybag yang telah disiapkan sebelumnya. Setiap
media polybag ditanam sebanyak 3 bibit sawi. Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan POC
sesuai perlakuan dosis dan konsentrasi pada penelitian ini, penyiraman, pengendalian hama penyakit
dan pengendalian gulma. Pemupukan dilakukan dengan cara sistem siram atau sistem cor pada media
tanah. Pengendalian hama dilakukan setiap saat bila terdapat serangan pada pertanaman sawi tersebut.
Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut langsung setiap saat bila terdapat
gulma tumbuh yang berada di sekitar tanaman. Pemanenan dilakukan bila tanaman sawi telah berumur
35 hari setelah tanam. Pemanenan sawi dilakukan dengan cara mencabut batangnya sampai akar
kemudian berangkasan dimasukkan dalam kantong dan diberi label sesuai dengan kode perlakuan.
Hasil panen tanaman sawi ini langsung diamati sesuai variabel pengamatan.
Data dikumpulkan dari semua tanaman yang diukur. Data yang terkumpul selanjutnya
dianalisis secara statistik. Pengukuran sawi meliputi : tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan
bobot tanaman. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh
perlakuan yang dicobakan. Apabila dari hasil analisis tersebut berpengaruh nyata maka dilanjutkan
dengan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

410
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan dengan Dosis dan Konsentrasi yang
Berbeda Terhadap Tanaman Sawi di Tanah Ultisol

Pengamatan terhadap peubah pertumbuhan dan hasil tanaman sawi meliputi tinggi tanaman,
jumlah daun, panjang akar, dan bobot tanaman disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi aplikasi pupuk organik cair berbahan paitan terhadap
tanaman sawi
Perlakuan Interaksi Koefisiensi
No Variabel pengamatan Dosis Konsentrasi (D x K) keragaman
(D) (K)
1 Tinggi tanaman 0,96 tn 0,18 tn 1,63 tn 6,99
2 Jumlah daun 1,41 tn 1,34 tn 3,04 * 16,66
3 Panjang akar 5,02 ** 7,84 ** 1,34 tn 19,81
4 Bobot tanaman 0,28 tn 9,18 ** 1,84 tn 23,94
Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata
* = berpengaruh nyata
tn = tidak berpengaruh nyata

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk organik cair
menunjukkan berpengaruh sangat nyata terhadap variabel panjang akar tanaman sawi, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot tanaman. Pada perlakuan
konsentrasi pupuk organik cair menunjukkan berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dan
bobot tanaman namun tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. Pengaruh
interaksi antara dosis pupuk organik cair dan konsentrasi pupuk organik cair terdapat perbedaan yang
nyata pada variabel jumlah daun disajikan pada Tabel 1.
Tabel 2. Rataan tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman sawi terhadap aplikasi pupuk organik cair
berbahan pahitan
Tinggi tanaman Jumlah daun
Perlakuan
(cm) (helai)
Dosis :
Kontrol (D0) 33,83 9,54
50 ml per tanaman (D1) 34,04 8,63
150 ml per tanaman (D2) 34,17 8,42
250 ml per tanaman (D3) 32,71 8,63
Konsentrasi :
POC : air = 1 : 5 (K1) 33,50 9,06
POC : air = 1 : 10 (K2) 33,59 8,31
POC : air = 1 : 15 (K3) 33,99 9,03

Perlakuan dosis pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sawi.
Namun terdapat kecenderungan bahwa perlakuan dosis POC 50 ml per tanaman maupun 150 ml per
tanaman menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi jika dibandingkan kontrol maupun perlakuan
dosis 250 ml per tanaman. Perlakuan konsentrasi POC tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa konsentrasi POC dengan perbandingan POC :
air = 1 : 15 (K3) menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan
POC : air = 1 : 5 (K1) maupun POC : air = 1 : 10 (K2). Tidak terdapat interaksi yang nyata antara
dosis POC dengan konsentrasi POC terhadap tinggi tanaman sawi ditunjukkan Tabel 1.
Perlakuan dosis pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman
sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa perlakuan dosis POC 0 ml per tanaman menghasilkan
jumlah daun sawi yang lebih banyak jika dibandingkan perlakuan lainnya. Perlakuan konsentrasi POC
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman sawi. Namun terdapat kecenderungan bahwa

411
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

konsentrasi POC dengan perbandingan POC : air = 1 : 15 (K3) dan kontrol mampu menghasilkan
jumlah daun yang lebih banyak jika dibandingkan dengan perlakuan POC : air = 1 : 5 (K1). Terdapat
interaksi yang nyata antara dosis POC dengan konsentrasi POC terhadap jumlah daun tanaman sawi
ditunjukkan Tabel 1.
Tabel 3. Rataan panjang akar dan bobot tanaman sawi terhadap aplikasi pupuk organik cair berbahan
pahitan
Panjang akar Bobot tanaman
Perlakuan
(cm) (g)
Dosis :
Kontrol (D0) 7,33 b 35,13
50 ml per tanaman (D1) 8,67 ab 38,17
150 ml per tanaman (D2) 7,75 b 36,11
250 ml per tanaman (D3) 9,75 a 35,70
Konsentrasi :
POC : air = 1 : 5 (K1) 7,16 b 32,99 b
POC : air = 1 : 10 (K2) 9,47 a 31,98 b
POC : air = 1 : 15 (K3) 8,50 a 43,85 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT taraf 5%.

Perlakuan dosis pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap panjang akar sawi. Panjang
akar terpanjang dicapai oleh perlakuan POC 250 ml per tanaman meskipun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan POC 50 ml per tanaman. Panjang akar terpendek dicapai oleh perlakuan kontrol
walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 150 ml per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan dosis pupuk organik berbahan paitan ini mampu memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman sawi khususnya panjang akar. Pada variabel panjang akar dengan perlakuan
dosis tanpa POC atau kontrol ternyata menghasilkan panjang akar terendah, sedangkan dosis tertinggi
atau 250 ml per tanaman menghasilkan panjang akar terpanjang. Hal ini menunjukkan terdapat
kecenderungan semakin tinggi dosis ternyata akan menghasilkan panjang akar yang lebih panjang. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Susilo dan Nely (2014) yang menyatakan bahwa dosis POC terbaik
adalah 200 ml per tanaman dan terendah tanpa perlakuan POC.
Perlakuan konsentrasi POC berpengaruh nyata terhadap panjang akar sawi. Panjang akar
terpanjang dicapai oleh perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 10 (K2) walaupun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 15 (K3). Panjang akar terpendek dicapai oleh perlakuan
konsentrasi POC : air = 1 : 5 (K1). Terdapat interaksi yang nyata antara dosis POC dengan konsentrasi
POC terhadap panjang akar tanaman sawi ini ditunjukkan Tabel 4.
Perlakuan dosis pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tanaman segar
sawi. Terdapat kecenderungan bahwa bobot tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan 50 ml per
tanaman dan bobot tanaman terendah dicapai oleh kontrol. Perlakuan konsentrasi POC berpengaruh
nyata terhadap bobot tanaman sawi. Bobot tanaman tertinggi dicapai oleh perlakuan konsentrasi POC :
air = 1 : 15 (K3) dan berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 5 (K1) maupun
perlakuan konsentrasi POC : air = 1 : 10 (K2).
Perlakuan pupuk organik cair berbahan paitan ini ternyata cukup memberikan respon yang
baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanamana sawi khususnya panjang akar dan bobot tanaman
segar. Pupuk organik cair berbahan paitan memberikan pengaruh nyata terhadap panjang akar dan
bobot tanaman. Paitan yang tergolong gulma ini ternyata cukup baik sebagai bahan pembuatan pupuk
organik cair. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Susilo, et. al., (2015) yang menyatakan bahwa
penggunaan POC yang berbahan gulma berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, jumlah polong total,
jumlah polong bernas, bobot akar, bobot 100 butir dan bobot biji per tanaman kedelai. Ditambahkan,
perlakuan terbaik adalah POC Tithonia diversifolia dan Tridax procumbens yang mampu
meningkatkan jumlah daun (18,67 dan 18,83 helai), jumlah polong (60 dan 49,83 polong), jumlah
polong bernas (60 dan 49,17 polong), bobot kering akar (2,97 dan 2,23 g) dan bobot biji per tanaman
(11,80 dan 10,90 g).
Pupuk organik cair berbahan paitan ini ternyata memberikan respon pertumbuhan terhadap
tanaman sawi yang cukup baik hal ini ditandai dengan berpengaruhnya POC terhadap variabel hasil
412
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

sawi khususnya bobot tanaman segar. POC berbahan paitan ini mengandung beberapa unsur makro
dan mikro. Menurut Hakim dan Agustian (2003) rata-rata kandungan hara tithonia cukup tinggi, yaitu
3,16 % N, 0,38% P, 3,45% K. Tithonia yang dikomposkan akan menghasil cairan yang disebut dengan
ekstrak tithonia, 100 kg tithonia segar akan menghasilkan 20 liter ekstrak tithonia (Nofrizal, 2007).
Dari kandungan unsur hara di atas menunjukkan bahwa kandungan Nitrogen cukup tinggi, hal ini akan
berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Menurut Salisbury dan Ross (1995), selain
mengandung unsur nitrogen yang berfungsi menyusun semua protein, asam amino dan klorofil, pupuk
organik cair juga mengandung unsur hara mikro yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses
sintesis protein dan pembentukan klorofil. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan pupuk
organik cair memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman.
Pengaruh Interaksi Dosis dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair Berbahan Paitan Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Sawi
Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan dosis dan konsentrasi pupuk organik cair
berbahan paitan terhadap jumlah daun sawi ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh interaksi dosis dan konsentrasi POC berbahan paitan terhadap jumlah daun
Konsentrasi
Rataan
Dosis K1 K2 K3
---------------------------cm------------------------------
Kontrol (D0) 10,88 a 9,63 ab 8,13 bc 9,54
50 ml per tanaman (D1) 7,63 bc 9,13 abc 9,13 abc 8,63
150 ml per tanaman (D2) 9,25 ab 6,75 c 9,25 ab 8,42
250 ml per tanaman (D3) 8,50 abc 7,75 bc 9,63 ab 8,63
Rata-rata 9,06 8,31 9,03
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT
0,05.

Interaksi antara dosis dan konsentrasi pupuk organik cair berbahan paitan berpengaruh nyata
terhadap jumlah daun sawi. Interaksi antara kontrol dan konsentrasi POC : air = 1 : 5 (kontrol K1)
mampu menghasilkan jumlah daun terbanyak walaupun tidak berbeda nyata dengan interaksi D0K1,
D1K2, D1K3, D2K1, D2K3, D3K1, dan D3K3 selanjutnya berbeda nyata terhadap D1K1, D0K3,
D2K2 dan D3K2. Kombinasi antara dosis POC dan konsentrasi POC berbahan paitan ini
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik terutama pada jumlah daun. Pertumbuhan
maupun peningkatan pertumbuhan tanaman sawi ini diduga karena terdapat perbaikan pembentukan
klorofil dan pengaruh pupuk organik cair mampu meningkatkan vigor tanaman. Menurut Rizqiani dkk,
(2007), penggunaan pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat
meningkatkan pembentukan klorofil daun, meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman menjadi
kokoh serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan.

KESIMPULAN
Perlakuan dosis POC berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar dengan panjang akar
terpanjang dicapai dosis 250 ml sebesar 9,75 cm. Perlakuan konsentrasi berpengaruh sangat nyata
terhadap panjang akar dengan panjang akar terpanjang dicapai oleh konsentrasi 1 POC : 10 liter air
sebesar 9,47 cm dan bobot segar tertinggi dicapai oleh perlakuan konsentrasi 1 POC : 15 liter air
sebesar 43,85 g. Terdapat Interaksi yang nyata antara dosis POC dan konsentrasi POC terhadap
variabel jumlah daun dan terbanyak dicapai oleh interaksi kontrol dan konsentrasi POC : air = 1 : 5
(kontrol K1) waupun tidak berbeda nyata dengan D0K1, D1K2, D1K3, D2K1, D2K3, D3K1, dan
D3K3

413
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Tanaman Pangan. http://www.bps.go.id/
booklet/Booklet_Agustus_2012.pdf. Diakses 10 18 Januari 2014.
Hakim, N dan Agustian, 2003. Gulma Tithonia dan Pemanfaatannya sebagai Sumber Bahan Organik
dan Unsur Hara untuk Tanaman Hortikultura. Laporan Penelitian Tahun I Hibah Bersaing.
Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi DP3M Ditjen Dikti. Unand. Padang.
Mattjik A A, I. M Sumertajaya., 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB.
Bogor: IPB Press.
Nagarajah S, and B. M Nizar. (1982). Wild sunflower as a green manure for rice in the midcountry
wet zone. Trop. Agric. J. 138:69-79.
Nofrizal. 2007. Ternak Sebagai Sumber Pupuk Dalam Pertanian Organik. Tabloid Suara Afta
Pertanian. Edisi 46/Desember-2007.
Rizqiani, N. F. Ambarwati, E. dan Yuwono, N. W. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian
Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis (Phaseolus vulgaris L.)
Dataran Rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 7: 43-53.
Salisbury B. F. dan Ross, C. C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Susilo, E. H, Pujiwati. Parwito. 2015. Aplikasi Pupuk Organik Cair Berbahan Gulma Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Tanah Ultisol. Di dalam : Soedjijono. et. al., (eds.),
Peningkatan Kapasitas Peneliti dalam Memasuki Fase Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA). Prosiding Seminar Nasional ; Malang, 6 Juni 2015. LPPM Universitas
Kanjuruhan Malang Jawa Timur. Hal 291-295.
Susilo. E, Nely. R. 2014. Pemanfaatan Limbah Biogas yang Diperkaya MOL pada Waktu dan Dosis
Aplikasi yang Berbeda untuk Meningkatkan Hasil Selada (Lactuca sativa L.). Di dalam :
Suliansyah I. et al., (eds.), Membangkitkan Patriotisme Pertanian Sebuah Harapan
untuk Pemerintahan Baru. Prosiding Seminar Nasional dan Lokakarya FKPTPI ;
Padang, 8-10 September 2014. Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang Sumatera
Barat. Hal. 402-410.

414
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

KARAKTERISASI DAN IDENTIFIKASI SEPULUH GENOTIPE


MENTIMUN (Cucumis sativus L.) PADA TANAH ULTISOL
CHARACTERIZATION AND IDENTIFICATION TEN CUCUMBER (Cucumis sativus L.)
GENOTYPES ON ULTISOL
Taufik, M1, Fahrurrozi1 dan Oktiana Sari2
1
Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jalan Raya Kandang Limun Telpon (0736-21170)
Kota Bengkulu
taufikendah@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah mentimun (Cucumis
sativus L.). Upaya untuk meningkatkan hasil dan memenuhi selera konsumen yang semakin tinggi,
perlu dilakukan peningkatan variasi dengan merakit varietas baru melalui pemuliaan tanaman. Koleksi
yang ada dan yang sudah dikarakterisasi dapat menghasilkan deskripsi yang bermanfaat sebagai materi
dalam pembentukan varietas unggul baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan
mengidentifikasi 10 genotipe mentimun (Cucumis sativus L.) pada Ultisol. Mentimun ditanam dalam
polybag menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor, tiga ulangan, tiap ulagan terdapat 3
tanaman sampel. Sepuluh genotipe mentimun adalah: G1 (Zenuza), G2 (Yupiter), G3 (Amanda), G4
(Sukoi), G5 ( Jepang), G6 (Maninjau), G7 (Natuna), G8 (Labana), G9 (Master As), dan G10
(Harmony). Penelitian dilaksanakan di rumah kasa, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, bulan
Maret sampai Mei 2016. Data hasil pengamatan kualitatif dikarakterisasi dan digolongkan berdasarkan
keragaman tanaman menggunakan Analisis Komponen Utama dan analisis gerombol. Data kuantitatif
dianalisis menggunakan analisis varians taraf 5%, dilanjutkan dengan DMRT apabila terdapat
pengaruh nyata. Hanya 21 variabel kualitatif yang dapat dikarakterisasi dari 31 variabel yang diamati,
9 variabel tidak dapat dianalisis karena memiliki nilai sama. Dari 21 variabel kualitatif yang dianalisis
menghasilkan dendogram hubungan kekerabatan yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok besar.
Kelompok I terdiri dari G3, G9, G10, G4, G7 dan G8; kelompok II terdiri dari G1 dan G2; kelompok
III yaitu G6 dan kelompok IV yaitu G5. Sepuluh genotipe mentimun berpengaruh nyata terhadap
variabel jumlah buah, bobot per buah, panjang buah dan diameter buah. G10 merupakan genotipe
dengan ciri-ciri buah yang besar, panjang dan berat, G8 merupakan genotipe dengan ciri-ciri buah
yang besar, berat tetapi pendek, G5 merupakan genotipe dengan ciri-ciri buah yang panjang, tetapi
ukurannya kecil. G5 dan G6 memiliki nilai keragaman yang paling tinggi sehingga berpotensi untuk
dijadikan tetua dalam pemuliaan tanaman mentimun.
Kata kunci : Timun, Karakterisasi, Identifikasi dan Ultisol

ABSTRACT
Cucumber (Cucumis sativus L.) is among popular vegetables in Indonesia. To improve yield and meet
increasing consumer needs, it is necessary to increase variation by assembling new varieties through
plant breeding. Existing and characterized collections could be useful descriptions as materials in the
formation of new improved varieties. This study aimed to characterize and identify 10 genotypes of
cucumber (Cucumis sativus L.) on Ultisol. Cucumber planted in polybag using single factor of
Completely Random Design, three replicates, each replication consisted of 3 sample plants. The ten
cucumber genotypes were: G1 (Zenuza), G2 (Jupiter), G3 (Amanda), G4 (Sukoi), G5 (Japan), G6
(Maninjau), G7 (Natuna), G8 (Labana), G9 (Master As) , and G10 (Harmony). The study was
conducted at screen house, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu,from March to May 2016.
Qualitative observation data were characterized and classified based on plant diversity using
Principle Component Analysis and Cluster Analysis. Quantitative data were analyzed using variance
analysis of 5% level, followed by DMRT if there was any significant effect. Only 21 qualitative
variables that were able to be characterized from 31 variables observed, 9 variables could not be
analyzed because they had the same value. Of the 21 qualitative variables analyzed yield dendogram
relationships were grouped into 4 large groups. Group I consisted of G3, G9, G10, G4, G7 and G8;
Group II consisted of G1 and G2; Group III was G6 and group IV was G5. Ten cucumber genotypes
were significantly different in the variables number of fruits, weight per fruit, fruit length and fruit
diameter. G10 was a genotype with large fruit features, length and weight, G8 was a genotype with
large fruit, high weight but short, G5 was a genotype with long fruit characteristics, but small in size.
G5 and G6 had the highest value of diversity so potentially to be the parental in the breeding
cucumber plant.
Keywords: Cucumber, Characterization, Identification and Ultisol

415
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

I. PENDAHULUAN

Sayuran merupakan bahan pangan yang berasal dari tumbuhan yang sangat penting bagi
kesehatan, karena di dalam sayuran terdapat nutrisi yang tidak didapatkan dari sumber makanan lain
seperti daging dan ikan sehingga sayuran sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat untuk
kebutuhan pangan sehari-hari. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan yang memiliki nilai
ekonomi cukup tinggi. Selain itu disisi petani sayuran memiliki masa panen yang cukup pendek,
permintaan pasar sayuran pun cukup tinggi (Setyaningrum dan Saparinto, 2011).
Salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah mentimun
(Cucumis sativus L.). Prospek budidaya mentimun di Indonesia sangat baik karena mentimun banyak
digemari oleh masyarakat dan permintaan terhadap komoditas ini relative besar serta
berkesinambungan. Mentimun merupakan salah satu jenis sayuran semusim dari keluarga labu-
labuan (Cucurbitaceae) yang bersifat menjalar atau merambat. Sumpena (2008) menyatakan bahwa
mentimun mengandung nilai gizi mineral dan vitamin seperti protein sebanyak 0,65 %, lemak sebesar
0,1 % dan karbohidrat sebesar 2,2 %. Selain itu terdapat pula kandungan magnesium, zat besi, fosfor,
vitamin A, vitamin B, vitamin B2 dan vitamin C.
Mentimun dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi antara 11.000 meter di atas
permukaan laut (dpl). Mentimun membutuhkan iklim yang kering, sinar matahari cukup dan
temperatur berkisar antara 21,10 C sampai 26,70 C. Di Indonesia tanaman mentimun banyak
dibudidayakan di dataran rendah terutama pulau Jawa dan Sumatera (Wijoyo, 2012; Samadi, 2002).
Pada dataran rendah umumnya tanaman mentimun dibudidayakan pada tanah Ultisol yang merupakan
jenis tanah marjinal yang mempunyai masalah fisika dan kimia tanah, sehingga mentimun yang
ditanam di lahan Ultisol pertumbuhannya terkendala dan produktifitasnya rendah. Produksi buah
mentimun dari tahun 2009 sampai tahun 2013 selalu mengalami penurunan. Produksi mentimun tahun
2009 sebesar 583.139 ton, menurun menjadi 547.141 ton ditahun 2010. Pada tahun 2011, 2012 dan
2013 produksi mentimun kembali mengalami penurunan yaitu secara berturut-turut 521.535 ton;
511.485 ton dan 467.691 ton (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2014). Salah satu penyebab penurunan
produksi mentimun adalah teknik budidaya yang kurang intensif (Sumpena, 2001).
Buah mentimun memiliki variasi dalam ukuran, bentuk dan warna, namun sumber plasma
nutfah masih menjadi hambatan besar untuk mengembangbiakkan tanaman mentimun (Vora et al.,
2014). Salah satu upaya untuk memenuhi selera konsumen yang semakin tinggi, perlu dilakukan
peningkatan variasi mentimun dengan merakit varietas baru melalui pemuliaan tanaman (Sukartini,
2001).
Langkah awal untuk menunjang program pemuliaan sebelum melakukan seleksi adalah
dengan melakukan karakterisasi dan menganalisis keragaman serta hubungan kekerabatannya
(Situmorang, 2013). Menurut Suryadi et al. (2002) koleksi yang ada dan yang sudah dikarakterisasi
dapat menghasilkan deskripsi yang bermanfaat sebagai materi dalam pembentukan varietas unggul
baru.
Identifikasi sifat-sifat kuantitatif dan kualitatif sumber genetik dapat dilakukan melalui
karakterisasi dan evaluasi, sehingga akan mempermudah dalam pemilihan tetua persilangan
(Soedomo, 2000). Evaluasi biasanya dilakukan untuk mengetahui reaksi genotipe terhadap cekaman
lingkungan biotik dan abiotik, sedangkan karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat
morfologi dan agronomi tanaman (Arsyad dan Asandi 1996).
Suryadi et al. (2004) telah melakukan karakterisasi pada 23 aksesi plasma nutfah mentimun.
Dari hasil karakterisasi terpilih enam aksesi mentimun yang dapat digunakan sebagai tetua dalam
pemuliaan berdasarkan kualitas buah dan ketahanan terhadap cekaman lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan
mengidentifikasi 10 genotipe mentimun (Cucumis sativus L.) pada tanah Ultisol.

416
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

II. METODE PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2016 di Rumah Kasa, Fakultas
Pertanian, Universitas Bengkulu, Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu, Kota
Bengkulu. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gembor, timbangan, cangkul, parang, ajir,
bambu, polibag ukuran 40x60 cm, kamera, tali rafia, dan jangka sorong. Bahan yang digunakan adalah
top soil tanah Ultisol, benih mentimun 10 genotipe terdiri dari G1 (Zenuza), G2 (Yupiter), G3
(Amanda), G4 (Sukoi), G5 ( Jepang), G6 (Maninjau), G7 (Natuna), G8 (Labana), G9 (Master As), dan
G10 (Harmony), pupuk kandang ayam, pupuk NPK, carbofuran dan pestisida. Rancangan yang
digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu 10
genotipe mentimun dengan tiga diulangan, satu genotipe pada setiap ulangan ditanaman sebanyak 3
tanaman, sehingga didapat 90 tanaman. Masing-masing tanaman dikarakterisasi sesuai dengan
pedoman karakterisasi untuk variabel pengamatannya.
Variabel pengamatan meliputi karakter kualitatif dan kuantitatif mengacu pada Panduan
Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Mentimun (PPVT/PPI 2007),
ECPGR 2008 dan UPOV tahun 2007, 2014, 2015.

Karakter kualitatif yang diamati :

1. Tipe pertumbuhan: (1) determinate, (2) indeterminate. Determinate (batang utama yang berbeda ,
dengan ruas pendek) Indeterminate (batang utama panjang)

Determinate
2. Ukuran helai daun: (3) kecil, (5) sedang, (7) besar. Kecil (lebar daun < 10 cm ),Sedang ( daun
lebar 10 - < 20 cm ), Besar ( daun lebar 20 cm)
3. Intensitas warna hijau daun: (3) terang, (5) sedang, (7) gelap. Membandingkan dengan tanaman
lain di plot yang sama
4. Rasio panjang/lebar cuping terminal daun: (1) kurang dari 1, (2) sama dengan 1, (3) lebih dari 1

5. Bentuk ujung terminal cuping daun: (1) tajam, (2) menyudut ke kiri, (3) tumpul, (4) membulat

Tajam Menyudut ke kiri Tumpul Membulat

6. Posisi daun: (1) tegak lurus, (2) horizontal, (3) menurun

Tegak lurus Horizontal Menurun


7. Jenis kelamin tanaman: (1) bunga jantan dan betina terdapat secara bersamaan, (2) kebanyakan
bunga betina, (hampir semua bunga betina)
8. Jumlah bunga betina tiap ruas: (1) satu sampai tiga, (2) lebih dari tiga

417
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

9. Tipe duri buah muda: (3) hanya rambut, (5) hanya duri, (7) rambut dan duri

Rambut Duri
10. Kerapatan duri buah muda: (3) jarang, (5) sedang, (7) rapat
11. Warna duri buah muda: (1) putih, (2) hitam
12. Partenokarpi: (1) tidak ada, (9) ada
13. Bentuk pangkal buah saat stadium dipasarkan: (1) berleher, (2) meruncing, (3)
menumpul

Berleher Meruncing Menumpul


14. Bentuk ujung kelopak bunga saat stadium dipasarkan: (1) meruncing,
(2) menumpul
15. Sistem reproduksi: (1) monoecious, (2) hermaphroditic, (3) andioecious, (4)
gynoecious, (99) lainnya. Monoecious atau berumah satu
(bunga jantan dan betina pada tanaman yang sama),
Hermaphroditic (bunga hermaprodit saja) atau berkelamin
ganda, Androecious ( bunga jantan pada tanaman yang sama)
Gynoecious (bunga betina pada tanaman yang sama).
16. Warna dasar kulit saat stadium dipasarkan: (1) putih, (2) kuning, (3) hijau

17. Urat buah: (1) ada, (9) tidak ada

18. Pewarnaan urat dibandingkan warna dasar: (3) lebih terang, (5) sama, (7) lebih
gelap
19. Duri buah: (1) tidak ada/sangat jarang, (3) jarang, (5) sedang, (7) rapat, (9) sangat
rapat
20. Bintil buah: (1) ada, (9) tidak ada

21. Sebaran bintil buah: (1) hanya pada garis, (2) sebagian besar pada garis, (3)
tersebar merata

22. Garis-garis buah (tidak termasuk urat): (1) ada, (9) tidak ada

23. Burik buah: (1) ada, (9) tidak ada


24. Burik yang mendominasi buah: (1) kecil dan bulat, (2) besar dan tak beraturan
25. Warna dasar kulit pada saat masak fisiologi: (1) putih, (2) kuning, (3) hijau, (4) oranye,
(5) coklat
26. Bentuk dalam bagian melintang buah: (1) bulat, (2) bulat bersiku, (3) bersiku

Bulat

Bulat bersiku Bersiku

418
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

27. Bentuk ujung batang buah: (1) berleher, (2) tajam, (3) tumpul

Berleher Meruncing Menumpul

28. Bentuk batang dari kelopak buah: (1) tajam, (2) tumpul, (3) membulat, (4) terpotong

Tajam Tumpul Membulat Terpotong


29. Warna kulit buah dominan: (1) putih, (2) kuning, (3) hijau, (99) lainnya
30. Rasa pahit pada ujung buah: (1) ada, (9) tidak ada
31. Rasa pahit pada pangkal buah: (1) tidak pahit, (9) pahit

Karakter kuantitatif yang diamati :

1. Jumlah buah per tanaman. Jumlah buah pertanaman dihitung pada setiap panen sampai akhir
pemanenan.
2. Bobot perbuah (kg). Bobot perbuah dihitung dengan cara menimbang buah yang di panen
dengan timbangan analitik.
3. Panjang buah (cm). Dilakukan dengan mengukur panjang buah mulai dari pangkal buah sampai
ujung buah.
4. Diameter buah (cm). Dilakukan dengan mengukur diameter buah di bagian tengah buah
menggunakan jangka sorong.

ANAVA menggunakan taraf 5%. Apabila terdapat pengaruh nyata akan dilanjutkan dengan analisis
DMRT.

III. HASIL DAN PEMBAHANSAN


Karakter Kualitatif Tanaman Mentimun
Karakter kualitatif merupakan karakter yang mudah dikelompokkan karena dapat dibedakan
secara nyata pada bagian-bagian tanaman. Karakter kualitatif dikendalikan oleh gen sederhana (satu
atau dua gen) dan sedikit sekali dipengaruhi oleh lingkungan (Syukur et al., 2009). Menurut Nasir
(2001), karakter kualitatif merupakan wujud fenotipe yang saling berbeda tajam antara satu dengan
yang lain secara kualitatif dan masing-masing dapat dikelompokkan dalam bentuk kategori.
Analisis Komponen Utama (AKU) digunakan untuk mengelompokkan genotipe yang diamati
dengan cara mereduksi karakter pengamatan yang cukup banyak menjadi beberapa komponen utama
yang berdimensi lebih kecil dan saling bebas. Jumlah komponen utama yang terbentuk dapat dilihat
dari nilai akar ciri. Menurut Santoso (2004), nilai akar ciri menunjukkan kepentingan relatif masing-
masing faktor dalam menghitung keragaman seluruh variabel yang dianalisis. Nilai akar ciri yang valid
dalam menghitung jumlah komponen utama yang terbentuk adalah lebih dari satu sehingga nilai yang
kurang dari satu bisa diabaikan (Simamora 2005; Yunianti et al., 2007; Maxisella et al., 2008;
Bhartaya et al., 2011).
Penggunaan analisis gerombol ditujukan untuk mengelompokkan data (pengamatan) ke dalam
beberapa kelas (gerombol) dengan kriteria pengelompokan berdasarkan pada ukuran ketidakmiripan
(Yunianti et al., 2007; Nisya 2010). Karakteristik pengamatan dalam suatu gerombol memiliki tingkat
ketidakmiripan yang rendah, sedangkan antar gerombol memiliki tingkat ketidakmiripan yang tinggi
(Mattjik dan Sumertajaya 2011).
Karakter kualitatif genotipe pada penelitian ini terdiri 31 variabel yang meliputi tipe
pertumbuhan, morfologi tanaman dan rasa buah. Dari 31 variabel tersebut terdapat 9 variabel yang

419
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

tidak bisa dianalisis dengan AKU dan gerombol dikarenakan memiliki nilai yang sama. Variabel-
variabel tersebut tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Variabel yang memiliki hasil sama pada semua genotipe

Variabel Pengamatan Keterangan


1. Tipe pertumbuhan Indeterminate
2. Rasio panjang/lebar cuping terminal daun Kurang dari satu
3. Jumlah bunga betina tiap ruas Satu sampai tiga
4. Tipe duri buah muda Rambut dan duri
5. Sistem reproduksi Monoecious
6. Bintil buah Tidak ada
7. Sebaran bintil buah Tidak ada
8. Garis-garis buah Ada
9. Rasa pahit pada ujung buah Tidak ada

Selanjutnya 22 variabel dianalisis dengan AKU dan analisis gerombol. Pengelompokan 10


genotipe mentimun tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengelompokan 10 genotipe mentimun

Dari Gambar 1 terlihat genotipe yang diuji terbagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok I
terdiri dari G3, G4, G7, G8, G9 dan G10, kelompok II terdiri dari G1 dan G2, kelompok III terdiri dari
G6, dan kelompok IV terdiri dari G5.
Selanjutnya setiap genotipe yang membentuk satu kelompok memiliki keragaman lebih kecil
atau hampir mirip jika dibandingkan dengan keragaman antar kelompok (Gudono, 2011). Kesamaan
karakter yang dimiliki oleh beberapa genotipe mentimun yang digunakan menunjukkan kedekatan
dalam hubungan kekerabatan antar genotipe yang digunakan. Dendrogram hubungan kekerabatan
merupakan gambaran kedekatan pada 10 genotipe mentimun yang terbentuk kedalam beberapa
kelompok pada data skoring antara 0 sampai 25. Dendogram hubungan kekerabatan 10 gentotipe
disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Dendogram kekerabatan 10 genotipe tanaman mentimun


Hasil pengamatan 22 variabel kualitatif menunjukkan adanya penampilan yang beragam dari
10 genotipe mentimun sehingga dilakukan analisis kluster. Hasil analisis kluster menghasilkan matrik
disimilaritas (ketidakmiripan) yang menggambarkan jarak Euclidean dari 10 genotipe mentimun.
Tabel matriks disimilaritas sangat dibutuhkan untuk memilih calon tetua pada persilangan. Tetua
dipilih dari genotipe yang mempunyai nilai disimilaritas tinggi, karena memiliki ketidaksamaan
karakter morfologi tinggi sehingga mampu menghasilkan keturunan yang beragam. Hasil analisis
kluster tersaji pada Tabel 3.

420
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 3. Jarak Euclidean 10 genotipe mentimun


Case Squared Euclidean Distance
G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10
G1 0,000 29,478 40,359 23,672 61,549 42,509 47,133 47,075 37,921 42,843
G2 29,478 0,000 52,321 46,533 91,028 41,400 65,511 60,745 49,884 52,688
G3 40,359 52,321 0,000 14,707 58,019 44,131 28,307 34,592 2,780 6,820
G4 23,672 46,533 14,707 0,000 55,668 38,745 24,432 35,107 20,438 18,024
G5 61,549 91,028 58,019 55,668 0,000 95,759 52,853 87,370 55,240 66,124
G6 42,509 41,400 44,131 38,745 95,759 0,000 41,104 39,040 44,645 45,331
G7 47,133 65,511 28,307 24,432 52,853 41,104 0,000 28,027 28,136 23,605
G8 47,075 60,745 34,592 35,107 87,370 39,040 28,027 0,000 31,812 29,889
G9 37,921 49,884 2,780 20,438 55,240 44,645 28,136 31,812 0,000 6,649
G10 42,843 52,688 6,820 18,024 66,124 45,331 23,605 29,889 6,649 0,000

Tabel 3 memperlihatkan bahwa genotipe yang mempunyai jarak Euclidean tertinggi adalah G6
dan G5 yaitu 95,759, diikuti oleh G5 dan G2 sebesar 91,028 serta G8 dan G5 sebesar 87,370. Artinya
bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki karakteristik yang sangat berbeda atau memiliki keragaman
yang tinggi. Sedangkan genotipe yang mempunyai jarak Euclidean terendah adalah G9 dan G3 yaitu
2,780 diikuti oleh G10 dan G9 sebesar 6,649 serta G10 dan G3 sebesar 6,820. Artinya bahwa genotipe-
genotipe tersebut memiliki kemiripan yang sama atau tingkat keragaman rendah. Menurut Yunianti et
al.(2007) dan Mattjik dan Sumertajaya (2011) bahwa semakin dekat atau kecil jarak euclid antar
genotipe menandakan semakin mirip genotipe tersebut. Genotipe-genotipe yang memiliki jarak
Euclidean tinggi berpotensi untuk dijadikan sebagai tetua dalam pemuliaan tanaman. Sejalan dengan
Sukartini (2007) bahwa aksesi-aksesi yang jarak genetiknya jauh berpotensi untuk digunakan sebagai
tetua pada program pemuliaan tanaman, sementara aksesi-aksesi yang jarak genetiknya kecil sebaiknya
dipilih salah satunya saja sebagai materi koleksi plasma nutfah.

Karakter Kuantitatif Tanaman Mentimun


Karakter kuantitatif merupakan karakter yang dikendalikan oleh banyak gen, masing-masing gen
mempunyai pengaruh kecil pada karakter tersebut dan banyak dipengaruhi oleh lingkungan (Syukur et
al., 2009). Karakter kuantitatif pada umumnya menunjukkan adanya polygenic inheritance, yaitu suatu
efek tambahan dari dua atau lebih gen terhadap satu karakter fenotip (kebalikan dari pleiotropy dimana
satu gen mempengaruhi beberapa karakter fenotip) (Campbell et al., 2010).
Rangkuman hasil analisis keragaman variabel kuantitatif disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Ringkasan analisis keragaman variabel kuantitatif

Variabel Pengamatan F-hitung


Jumlah buah 2,47*
Bobot buah 6,71*
Panjang buah 9,93*
Diameter Buah 5,78*
Keterangan : * = berbeda nyata

Berdasarkan analisis keragaman variabel kuantitatif (Tabel 4) menunjukkan bahwa genotipe


berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah buah, bobot buah, panjang buah dan diameter buah. Uji
lanjut DMRT semua variabel pengamatan disajikan pada Tabel 5.

421
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Tabel 5. Uji lanjut DMRT 10genotipe terhadap variabel pengamatan


Genotipe Jumlah Buah Bobot Buah Panjang Buah Diameter Buah
(buah) (gram) (cm) (cm)
G1 1,27 bcd 215,35 c 19,4 de 4,78 bc
G2 2,13 ab 194,02 c 18,83 e 4,46 cd
G3 1,67 abcd 278,62 bc 22,79 bcd 4,86 bc
G4 1d 298,22 bc 24,30 b 4,89 bc
G5 1,62 abcd 237,10 bc 28,36 a 3,91 d
G6 1,99 abc 213,62 c 19,13 e 4,68 c
G7 1,87 abcd 273,69 bc 23,73 bc 4,7 c
G8 2,33 a 327,48 b 21,84 bcde 5,34 ab
G9 1,16 cd 266,69 bc 20,41 cde 4,81 bc
G10 1,60 abcd 485,29 a 28,36 a 5,59 a
Ket : Angka-angka yang diikuti huruf berbeda dalam kolom yang sama berbeda nyata menurut
DMRT 5 %
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa jumlah buah terbanyak terdapat pada G8 namun tidak
berbeda nyata dengan G2, G3, G5, G6, G7 dan G10, sedangkan jumlah buah terendah ada pada G4
diikuti oleh G9 dan G1. Bobot buah terberat terdapat pada G10 yaitu 485,29 gram yang berbeda nyata
dengan genotipe lainnya, sedangkan bobot buah terendah adalah G2 (194,02 gram). Panjang buah
terpanjang terdapat pada G10 (28,36 cm) dan G5 (28,36 cm) berbeda nyata dengan gentotipe lainnya,
sedangkan panjang buah terpendek terdapat pada G2 (18,83 cm). Diameter buah terbesar terdapat pada
G10 (5,59 cm) dan G8 (5,34 cm), sedangkan diameter terkecil adalah G5 (3,91 cm).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe yang memiliki jumlah buah terbanyak adalah
G8 dan G2 sedangkan genotipe yang memiliki jumlah buah paling sedikit adalah G4. Berdasarkan
ukuran buah, G10 memiliki ciri-ciri buah yang besar, panjang dan berat sedangkan G8 memiliki ciri-
ciri buah yang besar, berat tetapi pendek atau bontet, dan G5 memiliki ciri-ciri buah yang panjang,
tetapi diameternya kecil dan bobotnya sedang.
Perbedaan hasil tanaman antar varietas disebabkan oleh perbedaan faktor genetik dan
interaksinya dengan lingkungan tumbuh. Menurut Gardner et al.(1991) bahwa faktor genotipe akan
membangun daya genetik untuk pertumbuhan tanaman. Yatim (1983) menambahkan bahwa potensi
suatu genotipe dari tanaman akan lebih maksimal jika didukung oleh faktor lingkungan. Dalam
pemuliaan, khususnya dalam seleksi dan pengujian materi pemuliaan, interaksi antara genotipe dengan
lingkungan sangat diperlukan sebab akan membantu proses identifikasi genotipe unggul (Satoto dan
Suprihatno 1996).
Hasil pengamatan variabel jumlah buah menunjukkan bahwa rentang rerata jumlah buah yang
dihasilkan adalah 1 - 2,33 buah rendah. Rendahnya jumlah buah diduga karena oleh terganggunya
proses penyerbukan sehingga keberhasilan bunga membentuk buah menjadi tidak optimum. Hal ini
dikarenakan tanaman mentimun memiliki jumlah bunga jantan lebih banyak dari pada bunga betina
(Milawatie, 2006). Sejalan dengan hasil penelitian Bertua et al. (2012) pada perlakuan kontrol
menghasilkan bunga jantan sebanyak 13,75 buah sedangkan bunga betina sebanyak 3,25 buah. Ahmed
et al. (2004) menyatakan bahwa perbedaan rasio bunga jantan dan bunga betina dalam satu tanaman
akan mempengaruhi jumlah buah pertanaman pada berbagai kondisi lingkungan. Rukmana (1994)
menambahkan bahwa bunga betina yang mampu berkembang menjadi buah sekitar 60%, sisanya
gugur sebelum menjadi buah. Selain itu agen polinator menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
penyerbukan. Sarana atau agensia dari luar yang dapat membantu proses penyerbukan tumbuhan
terdiri dari serangga, burung, kelelawar, kupu-kupu, dan lebah (Abdurrahman, 2008). Lokasi
penelitian berada dalam rumah kasa yang tertutup sehingga agen polinator tidak bisa masuk dan
membantu penyerbukan.

422
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Hasil karakterisasi 10 genotipe mentimun yang terdiri dari 21 variabel kualitatif,
menghasilkan dendogram hubungan kekerabatan yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok
besar. Kelompok I terdiri atas G3 (Amanda), G9 (Master As), G10 (Harmony), G4 (Sukoi),
G7 (Natuna) dan G8 (Labana); kelompok II terdiri atas 2 genotipe yaitu, G1 (Zenuza) dan G2
(Yupiter); kelompok III yakni G6 (Maninjau) dan kelompok IV yaitu G5 (Jepang).
2. G5 dan G6, G5 dan G8, serta G5 dan G2 memiliki nilai keragaman yang tinggi sehingga
berpotensi untuk dijadikan tetua dalam pemuliaan tanaman.
3. G10 merupakan genotipe dengan ciri-ciri buah yang besar, panjang dan berat jika dilihat dari
ukurannya. Sedangkan G8 merupakan genotipe dengan ciri-ciri buah yang besar, berat tetapi
pendek atau bontet. G5 merupakan genotipe dengan ciri-ciri buah yang panjang, tetapi
ukurannya kecil.

Saran
1. Sebaiknya penelitian di lakukan di lapangan agar agen penyerbuk dapat menyerbuki bunga
betina sehingga jumlah buah yang terbentuk menjadi optimal.
2. Dalam program pemuliaan, sebagai tetua di anjurkan untuk memilih genotipe yang memiliki
nilai keragaman paling tinggi yaitu G5 dan G6, G5 dan G8, serta G5 dan G2.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, 2008. Studi keanekaragaman serangga pollinator pada perkebunan apel organic dan
anorganik. (Skripsi). Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang.
Ahmed, M., A. Hamid, and Z. Akbar. 2004. Growth and yield performance of six cucumber
(CucumissativusL.) cultivars underagro-climatic conditions of Rawalakot, Azad Pukulmu and
Kashmir. International Journal of Agriculture and Biology. 6(2): 396-399.
Arsyad, D.M. dan Asandi. 1996. Pemanfaatan plasma nutfah kedelai untuk program pemuliaan.
Buletin Plasma Nutfah 1(1):56-62.
Bertua, Irianto dan Ardianingsih. 2012. Pengaruh dosis pupuk kandang ayam terhadap pertumbuhan
dan hasil mentimun (Cucumis sativus L.) pada tanah Ultisol. Jurnal Online Agroteknologi,
1(4) : 42-49.
Bhartaya, A., J.P. Aditya, G. Singh, A. Gupta, P.K. Agarwal, J.C. Bhat. 2011. Assesment of genetic
diversity in indigenous and exotic collections of black soybean (Glycine max (L.) Merrill).
SABRAO J. Breed. Genet. 43:81-90.
Campbell, Neil A. Reece, Jane B. dan Mitchell Lawrence. 2010. Biologi Jilid I Edisi Kedelapan,
Erlangga, Jakarta.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2014. http://hortikultura.pertanian.go.id/. Diakses pada tanggal 18
September 2015.
Gardner, F. P; R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Gudono. 2011. Analisis Data Multivariat Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.
Mattjik, A.A ,Sumertajaya, I.M. 2011. Sidik Peubah Ganda dengan Menggunakan SAS. IPB Press,
Bogor.
Maxisella, Y., D. Ruswandi, dan A. Karuniawan. 2008. Penampilan fenotifik, variabilitas dan
hubungan kekerabatan 39 genotip genus Vignadan Phaseolus berdasarkan sifat morfologi dan
komponen hasil. Zuriat 19:179-196.
Milawatie. 2006. Pengaruh frekuensi penyerbukan terhadap keberhasilan persilangan mentimun
(Cucumissativus L.). Skripsi. Universitas Malang, Malang.
Nasir, M. 2001. Keragaman Genetik Tanaman, hal 64. Dalam: Makmur, A (Ed). Pengantar Pemuliaan
Tanaman. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

423
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Nisya F.N. 2010. Analisis keragaman genetic jarak pagar (Jatrophacurcas L.) berdasarkan karakter
morfologi, agronomi dan marka RAPD. Tesis. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rukmana, R. 1994. Budidaya Mentimun. Kanisius, Yogyakarta.
Samadi, B. 2002. Teknik Budidaya Mentimun Hibrida. Kanisius, Yogyakarta.
Santoso, S. 2004. SPSS Statistik Multivariat. Elex Media Computindo. Jakarta. 343 hlm.
Satoto dan B. Suprihatno. 1996. Stabilitas hasil sepuluh hibrida padi tanaman galur mandul jantan
IR54752. Zuriat VIII(1):27-32.
Simamora, B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 346 hal.
Setyaningrum, H. D., dan Saparinto, C. 2011. Panen Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Situmorang, H. S. 2013. Karakterisasi dan hubungan kekerabatan 15 genotipe tanaman cabai
(Capsicum annuum L.) yang ditanam di lahan gambut. Skripsi. Universitas Riau, Riau.
Soedomo, P. 2000. Evaluasi penampilan fenotipik dan hasil kacang kapri. J. Hort. 10(3):165-176.
Sumpena. 2001. Budidaya Mentimun. Penebar Swadaya, Jakarta.
_______ . 2005. Budidaya Mentimun Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta, hlm17-19.
Sukartini. 2001. Analisis jarak genetic dan hubungan kekerabatan pisang (Musa spp) menggunakan
penanda morfologis dan random amplified polymorphic DNA. Tesis. Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya, Malang.
Suryadi, Lutfhy, K. Yenni, dan Gunawan. 2002. Karakterisasi plasma nutfah caisim. Buletin Plasma
Nutfah 8(1):44-49.
_________________________________. 2004. Karakterisasi plasma nutfah mentimun. Buletin
Plasma Nutfah 10(1):28-31.
Syukur, M., Sujiprihati, S., Koswara, J., danWidodo, J. 2009. Ketahanan terhadap antraknosa yang
disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum
L.) dan korelasinya dengan kandungan kapsaicin dan peroksidase. Jurnal Agronomi Indonesia.
37(3):233-239.
Vora, J.D., Rane, L. and Kumar, S.A. 2014. Biochemical, anti-microbial and organoleptic studies of
165 cucumber (Cucumissativus). International Journal of Science and Research, 3: 662-664.
Wijoyo, P.M. 2012. Budidaya Mentimun yang Lebih Menguntungkan. Jakarta: PT Pustaka Agro
Indonesia. 69 hal.
Yatim, W. 1983. Genetika. Tarsito, Bandung.
Yunianti, R., S. Sastrosumarjo, S. Sujiprihati, M. Surahman, dan S.H. Hidayat. 2007. Ketahanan 22
genotipe cabai (Capsicum spp.) terhadap Phytophthora capsid Leonian dan keragaman genetiknya.
Bul. Agron. 35:103-111.

424
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR PERTANYAAN
No. Judul Makalah Saran/Pertanyaan Tanggapan Pemakalah
Makalah
1 Aplikasi Kalsium dan Boron 1. M.Taufik/Univ. Bengkulu - Lingkungan memang
untuk Mengatasi Cemaran - Apakah lingkungan berpengaruh. Pada tahun
Getah Kuning pada Buah berpengaruh terhadap 2012 curah hujan lebih
Manggis kandungan getah kuning banyak sedangkan
karena terdapat perbedaan kandungan kalsium
kontrol pada tahun 2012 lebih dipengaruhi oleh air
tinggi dibanding tahun 2013 - Getah kuning merupakan
2. Abdul Kodir/BPTP Sumsel) penyakit fisiologis. Getah
- Apa yang menjadi masalah dari kuning menjadi masalah
getah kuning tersebut? Getah karena berpengaruh
kuning merupkan penyakit atau terhadap kualitas dalam
bukan?idealnya berapa takaran sehingga sulit untuk
kalsium dan boron yang mengejar market oriented.
sesuai? Kalsium diserap oleh
1. Darman Hary (Balai Pengkajian tanaman dalam bentuk
dan Penerapan Teknik Prod. oksalat
Desa) - Tergantung dari target
- Hal yang utama yang akan pemasaran. Biasanya
dipasarkan berupa kulit atau produk utama adalah buah
buah? Apakah getah kuning dalam bentuk segar, namun
dapat mempengaruhi kualitas? bisa juga dijual kulitnya.
3 Peningkatan Pengetahuan 1. M. Taufik/Universitas BPTP bertugas untuk
dan Penerapan Inovasi Bengkulu) melakukan pendampingan
Teknologi Pengelolaan - Mengapa yang dikaji adalah terhadap teknologi kepada
Terpadu Tanaman Jeruk di pendidikan petani? Berapa petani. Kajian telah
Provinsi Bengkulu lama pengkajian dilakukan? dilakukan selama 4 tahun.
Apakah dampaknya dapat Permasalahan dalam
meningkatkan budidaya jeruk umumnya
kualitas/produksi hasil jeruk itu adalah mengenai hama dan
sendiri? penyakit
2. Dr. Wahyu Wibawa Yang nilainya 100 tidak
- Peningkatan maksimal adalah ditampilkan
100%, bukan lebih dari 100%
karena akan membingungkan
3. Dr. Umi Pudji
- Di indikator no 11 apakah para
petani sudah tahu pentingnya
Untuk koordinasi petani
koordinasi antar petani di pada awalnya tidak tahu
PTKJS, bukan koordinasi antar dan setelah penjelasan
kelompok? sudah sangat paham
5 Upaya Peningkatan Produksi 1. M.Taufik/Univ. Bengkulu) - Sambung pucuk dari klon
dan Mutu Kopi Rakyat di - Apakah sambung pucuk dari unggul memang berpotensi
Kabupaten Rejang Lebong klon unggul memang dapat menghasilkan produksi
Provinsi Bengkulu meningkatkan produksi kopi yang tinggi bisa mencapai 2
menjadi 2 ton? ton. Umurnya baru 2 tahun.
- Tabel dibuat lebih bagus Biasanya tahun pertama dan
dan melihat segi kepatutan. kedua naiknya nanti pada
- Kesimpulan gunakan kata saat puncak
yang baik (bau=aroma)
6 Tingkat Ketidakmiripan 1. Marakati Keistimewaanya yaitu tahan
Genotipe-Genotipe Jagung - Apakah keistimewaan dari penyakit bulai.
(Zea mays L.) Generasi S1 ketiga tetua itu? Keistimewaanya yaitu tahan
dan S2 untuk Pembentukan - Apakah keistimewaan dari penyakit bulai.
Tetua Dissimilarities Maize ketiga tetua itu?
((Zea mays L.) Genotypes
for parental
8 Efikasi Pengendalian 1. Parwito/Univ. Pasundan) - Sudah dilakukan
Penyakit Layu dengan - Apakah di kebun percobaan penelitian sebelumya,
Agens Antagonis untuk UPT Riau sudah endemik sudah banyak yang
Peningkatan Pertumbuhan fusarium? Apakah sudah terserang. Petani sudah

425
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dan Produksi Caisin dilakukan penelitian dianjurkan untuk


sebelumnya? menggunakan agen hayati
namun tetap melakukan
penyemprotan denga
pestisida kimia sehingga
residu sudah melebihi
batas.
2. Infetusitorius/BP2TP - Menggabungkan atau
Kemenristek) kombinasi antara agan
- Gabungan antara 2 agen hayati hayati dan pestisida nabati
(glikodium dan pseudomonas) semakin baik. Dosisnya
apakah baik? Kira-kira dosis sama, perbandingan 50:50.
yang diberikan sama atau lebih
rendah?
14 Karakteristik Kentang Merah 1. Dr. Umi Pudjiastuti Saran diterima dan makalah
Spesifik Bengkulu Selama - Bagaimana cara penyimpanan akan diperbaiki.
Penyimpanan kentang tersebut
(dihamparkan/dalam karung);
kesimpulan hanya mengulan
pembahasan.
2. Dr. Shannora
- Lama penyimpanan bukan
perlakuan tetapi waktu untuk
mengamati.
25 Pertumbuhan Eksplan dan Variabel apa yang diamati pada - Variabel yang diamati
Produksi Umbi Mikro penelitian? Pada poster tidak adalah pertumbuhan dan
Kentang Lokal Bengkulu dicantumkan pengumbian
secara Invitro pada Suhu
yang Berbeda
29 Kajian Pemasaran Jagung 1. Ir. Sri Suryani Saran diterima dan makalah
(Studi Banding di Desa - Keismpulan harus kalimat akan diperbaiki.
Saree Kab Aceh Besar) lengkap
2. Andi Ishak, M. Si.
- Saluran pemasaran lebih
diperjelas lagi.
31 Pengaruh Pemberian Pupuk 1. Ir. Ahmad Damiri Perhitungan menggunakan
Organik Padat (POP) - Hasil analisis tanah tidak interval
terhadap Produksi dan dijelaskan perhitungan
Kelayakan Usahatani Kubis tingkatan penggunaan POP?
di Kab Rejang Lebong Kab
Bengkulu
32 Peningkatan Pengetahuan Dr. Umi Pudji Astuti 1. Data yang
Petani Dalam 1. Di metodologi data yang dikumpulkan adalah
Penanggulangan Hama diambil apa? karakteristik petani dan
penyakit Tanaman Hayati 2. Kesimpulan, implikasinya teknologi pengendalian
seperti apa?
Pada Usahatani Cabai Di OPT
3. Tabel 1 masih banyak terdapat
Mojo Rejo kesalahan 2. Kesimpulan akan
KabupatenRejang Lebong diperbaiki
(Herlena Bidi dan Rudi Ir. Sri Suryani Rambe,M.Agr
Hartono) 1. Karakteristik petani tabelnya
sebaiknya lengkap
2. Metode ditambah data yang
diukur
3. Tabelnya masih terlalu
sederhana, dibuat tabel untuk
pre dan post test, berapa
peningkatannya?
Dr. Wahyu Wibawa
1. Tujuan sebaiknya diperbaiki
tidak mengetahui
2. Kesimpulan belum
menyimpulkan, perlu diperbaiki

426
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

3. Kata yaitu sebaiknya tidak


digunakan
37 Eksplorasi dan Karakterisasi 1. Dr. Wahyu Wibawa - Jumlah genotipe akan
Manggis di Provinsi - Apakah hanya ada 28 genotipe ditambah
Bengkulu manggis di Bengkulu atau - Genotipe manggis adalah
hanya sejumlah ini yang sama
ditemukan? - Justifikasi akan diperkua
2. Dr. Umi Pudji Astuti - Kesimpulan akan diperbaiki
- Apa justifikasi pengembilan - Manggis di dataran tinggi
komoditas manggis? Apa mengandung getah kuning
implikasi dai kesimpulan no 2? lebih banyak dibanding
- Dari semua manggis di manggis dataran rendah.
Provinsi Bengkulu mana Varietasnyan MO8 dan
kandungan getah kuning yang MO5
paling sedikit? Di daerah
mana? Varietasnya apa?
39 Eksplorasi dan Konservasi 1. Dr. Umi Pudji Astuti Alasan pemilihan 5
Tanaman Buah di Provinsi - Kenapa alasan pemilihan komoditas akan
Bengkulu (Miswarti, Taupik kelima komoditas tanaman dimasukkan dalam
Rahman Dan Wawan Ep) buah yang diambil tidak makalah
dicantumkan?
43 Kajian adaptasi cabai merah Dr. Umi Pudji Astuti
kencana pada agroekosistem 1. Apakah hanya dengan
dataran tinggi musim melakukan 1 kali
kemarau penanaman dapat
di kabupaten Rejang Lebong
disimpulkan bahwa cabai
( Rudi Hartono dan
Yahumri) tersebut dapat beradaptasi
di luar musim
2. Sebaiknya kesimpulan
kedua dirubah. Kalimat
dapat
dikembangkanmenjadi
alternatif varietas cabe di
luar musim
45 Peranan pendampingan Dr Umi Pudji Astuti
teknologi terhadap 1. Tujuan tidak konsisten.
peningkatan pengetahuan Bila ada kata pengaruh
dan produksi cabai di maka pada metodologi
Provinsi Bengkulu harus ada korelasi
(Ruswendi) Sri Suryani Rambe Data peningkatan luasan
1. Pada tabel 2, apakah ada dan produksi
pengaruh pendampingan dikumpulkan dengan
terhadap luasan usahatani? melakukan wawancara
2. Apa produksi meningkat sebelum dan sesudah
karena adanya pengaruh musim tanam
pendampingan tahun 2015
atau karena apa?
48 Keragaman Genetik dan Pengaruh apa yang paling dominan Jambu biji merupakan
Evaluasi Plasma Nutfah dalam pembentukan keragaan tanaman yang melakukan
Jambu Biji genetik jambu biji? penyerbukan silang
sehingga kemungkinan
untuk terjadinya keragaman
genetik lebih besar
49 Preferensi Petani Terhadap 1. Dr. Wahyu Wibawa Dalam tulisan ini, istilah
Teknologi Pengolahan dan - Istilah preferensi biasanya preferensi lebih untuk
Sifat Sensori Kopi Petik digunakan untuk PP, apa jika sifat sensori kopi.
Merah Spesifik Bengkulu untuk teknologi juga
(Dr. Shanora) menggunakan istilah
preferensi?
- Kategori umur yang

427
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

dicantumkan bermacam-
macam, apa kriterianya?
2. Ir. Siswani DD Teknologi pengolahan
- Proses fermentasi 56% masih pada tahap fermentasi,
rendah, apakah perlu
ada yang melakukan ada
difermentasi ?
juga yang tidak
50 Pertumbuhan dan Hasil 1. Ratna AD Terjadi kesalahan dalam
Jagung Manis dengan - Apa perbedaan antara kompos menjelaskan istilah,
Pemberian Berbagai Jenis, kotoran sapi dengan kompos sebenarnya EM4 adalah
Dosis dan Saat Aplikasi EM4? dekomposer yang
Kompos pada Ultisol digunakan dalam
pembuatan kompos.
52 Aplikasi Pra- dan Purna- 1. Dahono (LPTP Kepri) - Aplikasi pada saat
Tumbuh Herbisida Berbahan - Pertanyaan : Kapan aplikasi sebelum tanam dan 14
Aktif Atrazine dan herbisida pra dan purna HST, penyiangan
Mesotrione untuk tumbuh dan bagaimana dengan dilakukan pada umur 14-
Pengendalian Gulma Pada umur penyiangan yang 24 hari setelah tanaman
Tanaman Jagung Manis dilakukan 2 kali? tumbuh.
- Apakah pada fase generatif - Pada umur 28 HST gulma
masih ada gulma, mengingat masih tetap ada.
pertumbuhan gulma sudah
tertekan akibat tanaman jagung
yang pertumbuhannya sudah
maksimal?
52 Aplikasi Pupuk Organik Cair 1. M. Taufik/Univ.Bengkulu) - POC memang
Berbahan Paitan (Tithonia - POC ada yang berbahan menggunakan
diversifolia) dengan Dosis mikroorganisme ada yang mikroorganisme lokal
dan Konsentrasi yang tidak, kajian yang dilakukan (MOL) yang berbahan dari
Berbeda untuk menggunakan mikroorganisme bonggol pisang. Bahan lain
Meningkatkan Pertumbuhan atau tidak? seperti gula merah
dan Hasil Sawi di Tanah - Dijelaskan konsentrasi POC digunakan untuk
Ultisol (Edi Susilo) 50, 150 serta 250. Tetapi dari mendukung MOL. POC
perlakuan antara 250 dengan makin encer makin baik
50 konsentrasinya tidak
berbeda nyata? Gula merah
digunakan untuk apa?
2. Yartiwi/BPTP Bengkulu)
- Apakah POC yang digunakan
sudah dianalisis kandunga - Belum dilakukan analisis
haranya (misalnya NPK/CN)? kandungan unsur haranya
Dalam penentuan dosis POC sehingga kedepan dilakukan
menggunakan panduan perbaikan baik
darimana? kandungannya dan
perlakuan akan dikaji ulang.
53 Pertumbuhan dan Hasil 1. Dahono (LPTP Kepri) - Dapat diterapkan pada
Kangkung, Selada Serta - Apakah hasil penelitian ini bisa daerah kepulauan bahkan
Pakcoy Pada Tiga Model diterapkan pada daerah-daerah ada buku yang akan terbit
Akuaponik Mini yang kepulauan?; Bagaimana mengenai Konsep
Disusun Vertikal mengatasi hasil yang ekonomis Pertanian di Kepulauan
hanya pada basis 1-3 dari atas? (Konsep Kepulauan
Seribu).
- Hasil penelitian
menunjukkan hasil yang
ekonomis terdapat pada
basis 1-3 dari atas.
Penyempurnaan penelitian
dengan mengubah arah
kemiringan.

428
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

RUMUSAN HASIL SEMINAR NASIONAL


Di Hotel Santika Bengkulu, 8 November 2016

1. Seminar Nasional yang dilaksanakan tanggal 8 November 2016 di Hotel Santika bertema Inovasi
Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di buka
oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian merupakan
bagian dari pelaksanaan Kegiatan Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik di Provinsi
Bengkulu. Seminar Nasional dihadiri 220 orang peserta, berasal dari berbagai kalangan yang
terdiri dari unsur birokrat, peneliti/penyuluh lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian Ristek,
dosen dan mahasiswa Perguruan Tinggi, Pengambil Kebijakan, Pemerintah Daerah, Perwakilan
Petani dan Organisasi Profesi yang berasal dari berbagai wilayah (24 Provinsi) di seluruh
Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan
Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Gorontalo,Bali dan Nusa Tenggara Barat.
2. Seminar Nasional ini merupakan salah satu upaya mewujudkan dan meningkatkan Scientific
Recognition yang dihasilkan oleh para peneliti, penyuluh, dosen dan penentu kebijakan, pelaksana
dan pengguna teknologi di bidang pertanian. Dari seminar ini diharapkan terjadi pertukaran
pengetahuan, pengalaman, dan informasi antara para peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan.
3. Makalah yang diseminarkan terdiri atas 4 makalah utama dan 162 makalah pendukung yang
dibagi dalam 2 kelompok yaitu makalah yang dipresentasikan secara oral dan poster dari berbagai
aspek, bidang tanaman pangan, bidang sosial ekonomi, diseminasi penyuluhan dan kebijakan,
bidang hortikultura, bidang peternakan, perkebunan, serta pasca panen dan pengolahan pangan.
4. Paradigma baru Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) mempunyai makna
bahwa Balitbang berkomitmen kuat dan memberikan perhatian yang besar terhadap
pendayagunaan hasil penelitian dan mempercepat proses penerapannya di lapangan.
5. Peranan Inovasi Teknologi menuju Pertanian Modern dan Berkelanjutan mendudukan sektor
Pertanian menjadi Leading dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pangan dan energi. Melalui
kegiatan RISETnya, Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dalam perspective ke depan
harus berada di garda terdepan untuk menjawab tantangan/masalah di masa akan datang.
6. Inovasi teknologi pertanian modern perlu dikembangkan untuk mendukung pembangunan
pertanian berkelanjutan berbasis bioekonomi yang terintegrasi dengan Biosciense, Bioengineering,
social engineering dan Bioinformatics.
7. Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan memperkuat jejaring pasar produk pertanian menjadi
fokus dalam mendorong produk pertanian untuk tetapmenjadi andalan dipasar domestik maupun
mampu berkompetisi di pasar global.
8. Masa depan Pertanian Indonesia sangat ditentukan oleh transformasi teknologi Revolusi Hijau
menjadi Revolusi Hayati (Biorevolution). Kegiatan Biorevolution antara lain : biofarming,
biomedis dan bioindustri yang akan menciptakan suatu sektor perekonomian yang sangat dinamis
(yang disebut bioekonomi) dan akan menjadi basis utama perekonomian negara di masa
mendatang. Oleh karena itu pembangunan sektor pertanian di Indonesia harus mampu berperan
multi-fungsi serta menjadi poros transformasi dan motor penggerak pembangunan nasional.
9. Peran perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan antara lain
menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang pertanian dan menciptakan dan
melakukan inovasi teknologi dimulai dari kegiatan riset dasar dan terapan yang mendukung
pertanian berkelanjutan.
10. Peran Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) diharapkan dalam meningkatkan
produktivitas melalui misinya antara mengembangkan peran yang bermakna dalam

429
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

pengembangan pertanian nasional dan peningkatan kesejahteraan petani serta mengembangkan


IPTEK pertanian yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.
11. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas tanaman pangan dan hortikultura dilakukan
melalui teknologi pengelolaan tanaman terpadu (benih unggul, penggunaan bahan organik,
penggunaan alat mesin pertanian modern, pemupukan spesifik lokasi, pengendalian hama penyakit
secara bijaksana, dan panen yang tepat). Melalui upaya peningkatan produksi, kualitas dan
pendapatan petani bidang perkebunan dilakukan antara lain melalui perbaikan klon unggul,
pemupukan dan panen tepat waktu. Peningkatan produksi dan populasi ternak sebagai sumber
penghasil pangan asal ternak harus diikuti dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan
melalui optimalisasi pemanfaatan dukungan sumberdaya alam pertanian sebagai pakan alternatif
hasil ikutan atau limbah pertanian dalam mewujudkan pertanian modern berkelanjutan.
12. Dari hasil eksplorasi plasma nutfah diperoleh berbagai komoditas yaitu tanaman pangan, sayuran,
buah-buahan, perkebunan dan peternakan. Tindak lanjut yang diperlukan adalah penelitian
selanjutnya dari Balit komoditas, konservasi tanaman agar tidak punah dan pengembangannya
oleh pemerintah daerah.
13. Hasil kajian bidang penyuluhan menunjukkan bahwa berbagai metode dan media penyuluhan
mampu merubah perilaku sasaran penyuluhan berupa peningkatan pengetahuan petani dan
penerapan inovasi teknologi yang direkomendasikan.Oleh karena itu, metode dan media
penyuluhan perlu terus dikembangkan dengan inovasi terkini yang berbasis IT.

Bengkulu, 8 November 2016


Tim Perumus :
Dr. Rudi Hartono, MP (Ketua)
Dr. Wahyu Wibawa, MP (Anggota)
Dr. Umi Pudji Astuti, MP (Anggota)
Ir. Sri Suryani M.Agr (Anggota)
Ir. Ruswendi, MP (Anggota)
Ir. Ahmad Damiri, M.Si (Anggota)
Dr. Eva Oktafidianti (Anggota)
Dr. Supanajani (Anggota)

430
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

DAFTAR HADIR PESERTA


SEMINAR NASIONAL BPTP BENGKULU 2016

No Nama Instansi
1 Moh Takdir Mulyadi BPTP Balitbangtan Jambi
2 Sri Budhi Lestari BPTP Balitbangtan Yogyakarta
3 Yong farmanta BPTP Balitbangtan Jambi
4 Sigid handoko BPTP Balitbangtan Jambi
5 Minangsari Dewanti Balai Penelitian Tanaman Hias
6 Majestika Disnak dan Keswan Prov. Bengkulu
7 Adri BPTP Balitbangtan Jambi
8 Kgs a Koda BPTP Balitbangtan SUMSEL
9 Riadi taregan Bakorluh Prov. Bengkulu
10 Ika ns PUSLITBANGBUN
11 Ragapadmi P BB Biogen
12 Rahmiwati yusuf BPTP Balitbangtan Riau
13 Yossie yumiati UNiversitas Dehasen Bengkulu
14 Darman hary BPPTP Bengkulu
15 Sumilah BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
16 Lina widawati Universitas Dehasen
`17 Ratna Andam Dewi BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
18 Muhammad ichwan BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
19 Dahono LPTP
20 Umi salamah Universitas Ratu Samban
21 Atra Romeida Universitas Bengkulu (UNIB)
22 Farihul ihsan Balitbu Tropika
23 Nofiarli Balitbu Tropika
24 Ika Ferry Y Balingtan
25 Fiana Podesta UNIB
26 Dwi Fitriani UNIB
27 Endang Wisnu BPTP Balitbangtan Yogyakarta
28 Reni Andesta UNIB
29 Imelda Riska Andani UNIB
30 Pantjar Simatupang PSE KP
31 Busyra BPTP Balitbangtan Jambi
32 Rika Meilasari BALITHI
33 Jonni Firdaus BPTP Balitbangtan SULTENG
34 Rossa Yunita BB-Biogen
35 Lela Nurletina BPTP Balitbangtan Jambi
36 Tri Sudaryono BPTP Baltbangtan Jawa Timur
37 Prasatyo UNIB
38 Linda Harta BPTP Balitbangtan Bengkulu
39 Rika Dwi Yulihartika UNIVED
40 Evi Andriani UNIVED
41 Kiky Nurfitri Sari UNIB
42 Ummul Khair Hade UNIB
43 Wahyuni Amelia Wulandari BPTP Balitbangtan Bengkulu
44 Herlena Bidi Astuti BPTP Balitbangtan Bengkulu

431
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

45 Suardi BPTP Balitbangtan Bengkulu


46 Taufik Hidayat BPTP Balitbangtan Bengkulu
47 Eko Kristanto BPTP Balitbangtan Bengkulu
48 Zainani BPTP Balitbangtan Bengkulu
49 Alfayanti BPTP Balitbangtan Bengkulu
50 Kusmea Dinata BPTP Balitbangtan Bengkulu
51 Jhon Firison BPTP Balitbangtan Bengkulu
52 Hamdan BPTP Balitbangtan Bengkulu
53 Rudi Hartono BPTP Balitbangtan Bengkulu
54 Wahyu Wibawa BPTP Balitbangtan Bengkulu
55 Narkum Karantian Pertanian
56 A Sembiring Karantian Pertania
57 Sundari BBP2TP Bogor
58 Anggita T BBP2TP Bogor
59 Tuti Tutuarina UNIB
60 Wawan Eka Putra BPTP Balitbangtan Bengkulu
61 Supanjani UNIB
62 Hertina Artanti BPTP Balitbangtan Bengkulu
63 Liferdi BPTP Balitbangtan Jawa Barat
64 Eva Oktavidianti Universita Muhammadiyah Bengkulu (UMB)
65 Nurhaita UMB
66 M Taufik UNIB
67 Sumardi UNIB
68 Nadrawati UNIB
69 Tunjung Pamekas UNIB
70 Neli Definiati UMB
71 Nasriati BPTP Balitbangtan Lampung
72 Fahrurrozi UNIB
73 Andi Ishak BPTP Balitbangtan Bengkulu
74 Dini Yuliani BB- Padi
75 Nyoman Suyasa BPTP Balitbangtan Bali
76 Ni Putu Suratmini BPTP Balitbangtan Bali
77 Ade Ayu Putu Parwati BPTP Balitbangtan Bali
78 M Taufik UNIB
79 Jemmy Rinaldi BPTP Balitbangtan Bali
80 I Ketut Mahaputra BPTP Balitbangtan Bali
81 Nyoman Ngurah Arya BPTP Balitbangtan Bali
82 Fauziah Dinas Pertanian Prov. Bengkulu
83 Merakati Handajaningsih UNIB
84 Afrizon BPTP Balitbangtan Bengkulu
85 Heryan Iswadi BPTP Balitbangtan Bengkulu
86 Busri Saleh UNIB
87 Yartiwi BPTP Balitbangtan Bengkulu
88 Haryuni UNIB
89 Odit Ferry Kurniadinata Univ Mulawarman KALTIM
90 Hidayat PEMDA
91 Saiful
92 Yayu Zurriyati LPTP Kepri

432
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

93 Sarina Univ. Hazairin Bengkulu


94 Fithri Mufriantie Univ. Muhammadiyah Bengkulu
95 Rita Feni Univ. Muhammadiyah Bengkulu
96 Elma Basri BPTP Balitbangtan Lampung
97 Nila Wardani BPTP Balitbangtan Lampung
98 Suryani BPTP Balitbangtan Lampung
99 Gohan Octora Manurung BPTP Balitbangtan Lampung
100 Hengki. S Bapeda Prov. Bengkulu
101 Youzon HP Bapeda Prov. Bengkulu
102 Dothi Suryadi UNIB
103 Djamilah UNIB
104 Rina Delfi Karantina Bengkulu
105 Emperus Sitorus BPPTP Bengkulu
106 Misnarti Bapeda Prov Bengkulu
107 Hotlan Sinurat BPPTP Bengkulu
108 Lukman H UNIB
109 Nana Sutrisna BPTP Balitbangtan JABAR
110 Sukmaya BPTP Balitbangtan JABAR
111 Adetya Rahman BPTP Balitbangtan JABAR
112 Riswita BPTP Balitbangtan SULSEL
113 Liferdi BPTP Balitbangtan JABAR
114 Erni Gustiani BPTP Balitbangtan JABAR
115 Yayan Rismayanti BPTP Balitbangtan JABAR
116 Meksi Dianawati BPTP Balitbangtan JABAR
117 Agus Nurawan BPTP Balitbangtan JABAR
118 Wuri Marsigit UNIB
119 Oswaid M BPTP Balitbangtan JABAR
120 Iskandar Ishaq BPTP Balitbangtan JABAR
121 Ririn Harini Univ. Muhammadiyah Bengkulu
122 Irwansyah BPP STADA Bengkulu
123 Dilisti Univ. Dehasen Bengkulu
124 Erpan Ramon BPTP Balitbangtan Bengkulu
125 Zul efendi BPTP Balitbangtan Bengkulu
126 Yeni Eliza BPTP Balitbangtan SUMSEL
127 Bungati BPTP Balitbangtan SULTRA
128 Bandi Hermawan UNIB
130 R Kiko R Sekretariat Balitbangtan
131 Nila Wardani BPTP Balitbangtan Lampung
132 Suryani BPTP Balitbangtan Lampung
133 Gohan O Manurung BPTP Balitbangtan Lampung
134 Melli Fitriani LPTP Kepri
135 Tofik UNIB
136 Hemey P. Karantina
137 Melda A BAPEDA Prov. Bengkulu
138 Matriyani Dinas Pertanian Kota Bengkulu
139 Endriani BPTP Balitbangtan Lampung
140 Hesti Pujiwati UNIB
141 Syafrizal BKP3 Kota Bengkulu

433
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

142 Maya Dhania Sari BPTP Balitbangtan SUMSEL


143 Edi Susilo UNRAS
144 Parwito UNRAS
145 Alnopri UNIB / Ka PERAGI
146 Risuan Anwa R UNIHAZ
147 Novitri Univ. Muhammadiyah Bengkulu
148 Parlin H Sinaga Univ. Muhammadiyah Bengkulu
149 Diahirianti Ka. Komnas SDG Bengkulu
150 Marulak S UNIB
151 Kuswandi BALITBU Tropika
152 Sukarmin BALITBU Tropika
153 Sri Hadiati BALITBU Tropika
154 Harmanto BPTP Balitbangtan SUMSEL
155 Waluyo BPTP Balitbangtan SUMSEL
156 Harwi Kusnadi BPTP Balitbangtan Bengkulu
157 Aulia Evi Susanti BPTP Balitbangtan SUMSEL
158 Zulfa wilman LPTP KEPRI
159 Fahroji BPTP Balitbangtan RIAU
160 Sri Swastika BPTP Balitbangtan RIAU
161 Rachmiwaty yusuf BPTP Balitbangtan RIAU
162 Eliartati BPTP Balitbangtan RIAU
163 Marsid Jahari BPTP Balitbangtan RIAU
164 Ina Zulaehah BALINGTAN
165 Yudi Sastro BPTP Balitbangtan Jakarta
166 Teddy Suparno UNIB
167 Rahmat Wijaya UNIB
168 Nurwati BPTP Balitbangtan Yogyakarta
169 Ari Widyastuti BPTP Balitbangtan Yogyakarta
170 Siti Maryam H BPTP Balitbangtan SUMUT
171 T. Marbun BPTP Balitbangtan SUMUT
172 Yulie Oktavia BPTP Balitbangtan Bengkulu
173 Irma Calista Siagian BPTP Balitbangtan Bengkulu
174 Johardi BPTP Balitbangtan Bengkulu
175 Siswani Dwi Daliani BPTP Balitbangtan Bengkulu
176 Sri S Rambe BPTP Balitbangtan Bengkulu
177 Yahumri BPTP Balitbangtan Bengkulu
178 Wilda Mikasari BPTP Balitbangtan Bengkulu
179 Wahyuni Amelia Wulandari BPTP Balitbangtan Bengkulu
180 Tri Wahyuni BPTP Balitbangtan Bengkulu
181 Emlan Fauzi BPTP Balitbangtan Bengkulu
182 Bambang Harianto Balitbu Tropika
183 Nini marta Balitbu Tropika
184 Mansur Lolit Tungro
185 Nanik Setyowati Universitas Bengkulu
186 Masdar Universitas Bengkulu
187 Lina Ivanti BPTP Balitbangtan Bengkulu
188 Nurmegawati BPTP Balitbangtan Bengkulu
189 Ahmad Damiri BPTP Balitbangtan Bengkulu

434
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

190 Murwati BPTP Balitbangtan Yogyakarta


191 Sutardi BPTP Balitbangtan Yogyakarta
192 M. Ghulamahdi BPTP Balitbangtan Lampung
193 Eko sulistyono BPTP Balitbangtan Lampung
194 Muhammad yusuf antu BPTP Balitbangtan Gorontalo
195 Nanang Buri BPTP Balitbangtan Gorontalo
196 Ari Widya handayani BPTP Balitbangtan Gorontalo
197 Miswarti BPTP Balitbangtan Bengkulu
198 Saripah Ulpah BPTP Balitbangtan Riau
199 Maizar BPTP Balitbangtan Riau
200 Ade Yulfida BPTP Balitbangtan Riau
201 Ekaningttyas Kushatanti BPTP Balitbangtan Jawa Tengah
202 Tota Suhendra BPTP Balitbangtan Jawa Tengah
203 Oswald Marbun BPTP Balitbangtan Jawa Barat
204 Catur Herison Universitas Bengkulu
205 Muhammad Chozin Universitas Bengkulu
206 Entang Inoriah Universitas Bengkulu
207 Zainal Abidin BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
208 Siti Rosmanah BPTP Balitbangtan Bengkulu
209 Sudir BB Padi
210 Lailatul Isnaini BPTP Balitbangtan Jawa Timur
211 Sri Harwanti BPTP Balitbangtan Jawa Timur
212 M. Ferizal BPTP Balitbangtan Aceh
213 Idawanni BPTP Balitbangtan Aceh
214 Fenty Ferayanti BPTP Balitbangtan Aceh
215 Assayuthi Masuf BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
216 Sjamsiar BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
217 Rahmat Oktavia BPTP Balitbangtan Bengkulu
218 Ina Zulaiehah Balingtan
219 Sukarjo Balingtan
220 Prihasto Setyanto Balingtan
221 Dedi Sugandi BPTP Balitbangtan Bengkulu
222 Ni Ketut Kasih Sukraeni BPTP Balitbangtan Bali
223 Titin Sugianti BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat
224 Eni Fidiyawati BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat
225 Siti Mutmaidah Balitkabi
226 Evi Silviyani BPTP Balitbangtan Bengkulu
227 Engkos Kosmana BPTP Balitbangtan Bengkulu
228 A. Dalapati
229 Sumarni BPTP Balitbangtan Sulawesi Tengah
230 I Ketut Mahaputra BPTP Balitbangtan Bali
231 Siti Aminah BPTP Balitbangtan Jakarta
232 M. Yanis BPTP Balitbangtan Jakarta
233 T. Ramdhan BPTP Balitbangtan Jakarta
234 Adetiya Racman BPTP Balitbangtan Jawa Barat
235 Riswita Syamsuri BPTP Balitbangtan Jawa Barat
236 Ita Yustina BPTP Balitbangtan Jawa Timur
237 Eli Korlina BPTP Balitbangtan Jawa Timur

435
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

238 Yuni Astuti BPTP Balitbangtan Jawa Timur


239 Ari Abdul Rouf BPTP Balitbangtan Gorontalo
240 Hatta Muhammad BPTP Balitbangtan Gorontalo
241 Jonharnas BPTP Balitbangtan Sumatera Utara
242 Novia Chairuman BPTP Balitbangtan Sumatera Utara
243 I Ketut Kariada BPTP Balitbangtan Bali
244 I. B. Aribawa BPTP Balitbangtan Bali
245 Kiagus Abdul Kodir BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan
246 Robiyanto BPTP Balitbangtan Bengkulu
247 Hasrianti Silondae BPTP Balitbangtan Sulawesi Utara
248 Maryana BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan
249 Shannora Yuliasari BPTP Balitbangtan Bengkulu
250 Bina Br Karo KP Berastagi Balittas
251 Agustina E Marpaung KP Berastagi Balittas
252 Taufiq Hidayat. RS Balai Penelitian Tanaman Serat dan Pemanis
253 Dedeh Hadiyanti BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan
254 Suparwoto BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan
255 Nia Rachmawati Pustaka
256 Yanto Surdianto BPTP Balitbangtan Jawa Barat
257 Siti Lia M BPTP Balitbangtan Jawa Barat
258 Fiana Pondesta Universitas Muhammadiyah Bengkulu
259 Suryadi Universitas Muhammadiyah Bengkulu
260 Rima Purnamayani BPTP Balitbangtan Jambi
261 Araz Meilin BPTP Balitbangtan Jambi
262 A.A.N.B. Sarmudadinata BPTP Balitbangtan Bali
263 Reni Andista Universitas Bengkulu
264 Usman Kris Joko Universitas Bengkulu
265 Suharjo Universitas Bengkulu
266 Sahrul Hadi Nasution LPTP Kepulauan Riau
267 Anis Fahri BPTP Balitbangtan Riau
268 Heri Widyanto BPTP Balitbangtan Riau
269 Taufik Hidayat BPTP Balitbangtan Riau
270 L.T. Nguyen
271 Taufik Rahman BPTP Balitbangtan Bengkulu
272 Lutfi Ihzar BPTP Balitbangtan Jambi
273 Jondri S BPTP Balitbangtan Jambi
274 Oktariani I S BPTP Balitbangtan Jambi
275 Neni Rostini Balithi
276 Murdaningsih H Balithi
277 Anas K Balithi
278 Ida Bagus Gede Suryawan BPTP Balitbangtan Bali
279 Afrima Sari Universitas Bengkulu
280 Widodo Universitas Bengkulu
281 Bambang Gonggo M Universitas Bengkulu
282 Oktiana Sari Universitas Bengkulu
283 Prasetyo Universitas Bengkulu
284 Enggar Apriyanto Universitas Bengkulu
285 Siswahyono Universitas Bengkulu

436
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

286 Makful Balitbu Tropika


287 Sahlan Balitbu Tropika
288 Mega Andini Balitbu Tropika
289 Andre Sparta Balitbu Tropika
290 Yulia Irawati Balitbu Tropika
291 Jhon David BPTP Balitbangtan Kalimantan Barat
292 Yesmawati BPTP Balitbangtan Bengkulu
293 Yuliani Zainudin BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
294 Yudi Irawan BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
295 Sudarmansyah BPTP Balitbangtan Bengkulu
296 Yuniarto K Balithi
297 Suryawati Balithi
298 A. Qosim Balithi
299 M. Rachmadi Balithi
300 N. Wicaksana Balithi
301 Bunaiyah Honorita BPTP Balitbangtan Bengkulu
302 Kiki Kusyaeri BPTP Balitbangtan Jawa Barat
303 Meksy Dianawati BPTP Balitbangtan Jawa Barat
304 Oktariani Indri Safitri LPTP Balitbangtan Kepulauan Riau
305 Tini Siniati Koesno BPTP Balitbangtan Jawa Timur
306 Suharyanto BPTP Balitbangtan Bangka Belitung
307 Rubiyo BPTP Balitbangtan Bangka Belitung
308 Rachmiwati Yusuf BPTP Balitbangtan Riau
309 Fitriana Nasution Balitbu Tropika
310 Rahmi Wahyuni BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
311 Yanovi Hendri BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
312 Suprio Guntoro BPTP Balitbangtan Bali
313 Widia Siska BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
314 M. Prama Yufdi BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
315 Umi Pudji Astuti BPTP Balitbangtan Bengkulu
316 Jefrey M. Muis BPTP Balitbangtan Sumatera Barat
317 Hermansyah Universitas Bengkulu
318 Susi Handayani Universitas Bengkulu
319 Salfina Nurdin A LPTP Kepulauan Riau
320 Zulfa Willman LPTP Kepulauan Riau
321 Afriyani LPTP Kepulauan Riau
322 Hesti Nur'aini Universitas Dehasen Bengkulu
323 Septi Widiawati Universitas Dehasen Bengkulu
324 Agung Prabowo BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan
325 Joni Karman BPTP Balitbangtan Sumatera Selatan
326 Fitria Zulhaedar BPTP Balitbangtan Nusa Tenggara Barat
327 Wa Ode Aljumiati BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
328 Miftah BPTP Balitbangtan Sulawesi Tenggara
329 J. H. P. Sidadolog
330 Zuprizal
331 Khairiah BPTP Balitbangtan Lampung
332 Sri Haryani Sitindaon BPTP Balitbangtan Lampung
333 Hadis Jayanti BPTP Balitbangtan Bali

437
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

334 Anggri Hervani Balingtan


335 Miranti Ariani Balingtan
336 Sri Wahyuni Balingtan
337 Wiendharti I W BPTP Balitbangtan Yogyakarta
338 Sugiyanti BPTP Balitbangtan Yogyakarta
339 Anthony Mrt BPTP Balitbangtan Yogyakarta
340 Desi Hernita BPTP Balitbangtan Jambi
341 Ikrarwati BPTP Balitbangtan Jakarta
342 Susi Sutardi BPTP Balitbangtan Jakarta
343 Aris Hairmansis BB Padi
344 Yulianida BB Padi
345 Supartopo BB Padi
346 Suwarno BB Padi
347 Sri Yuniastuti BPTP Balitbangtan Jawa Timur
348 Fuad Nur Aziz BPTP Balitbangtan Jawa Timur
349 Dotti Suryati Universitas Bengkulu
350 Resika Alvionita Universitas Bengkulu
351 Harta Universitas Bengkulu
352 Timbul Marbun BPTP Balitbangtan Sumatera Utara
353 Andriko Noto Susanto BPTP Balitbangtan Sumatera Utara
354 Sudirman Yahya Universitas Bengkulu
355 Sandra Arifin Aziz Universitas Bengkulu
356 Oteng Haridia Universitas Bengkulu
357 Roedhy Poerwanto Universitas Mulawarman
358 Darda Efendi Universitas Mulawarman
359 Ade Wachiar Universitas Mulawarman
360 Willy Bayuardi Universitas Ratu Samban
361 Suwarno Universitas Ratu Samban
362 Hajrial Aswidinnoor Universitas Ratu Samban
363 Ika Mariska BB Biogen
364 Agustin Zarkani Universitas Bengkulu
365 Tri Sunardi Universitas Bengkulu
366 Sukisno Universitas Bengkulu
367 Indra Agustian Universitas Bengkulu
368 Hery Suhartoyo Universitas Bengkulu
369 Salwati BPTP Balitbangtan Jambi
370 Izhar L BPTP Balitbangtan Jambi
371 Marwanto Universitas Bengkulu
372 Raindra Efendi Universitas Bengkulu
373 Jefri Universitas Bengkulu
374 Sihombing Universitas Bengkulu
375 Bona Rosmanton Haloho Universitas Bengkulu
376 Yeni Sariasih Universitas Bengkulu
377 Nofi A Rokhma BPTP Balitbangtan Jakarta
378 Lukman Hakim BPTP Balitbangtan Jakarta
379 Afriyanto Universitas Muhammadiyah Bengkulu
380 Suliasih Universitas Muhammadiyah Bengkulu

438
Seminar Nasional; Inovasti Teknologi Pertanian Modern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

439

Anda mungkin juga menyukai