Anda di halaman 1dari 276

ISBN 978-979-3132-41-9

Prosiding

SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN
Bogor, 9 November 2011

Editor:
Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si.
Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
Prof. Ir. Dulsalam, MM.
Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc.

KEMENTERIAN KEHUTANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN
DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN
BOGOR, 2012

i
Prosiding Seminar Nasional
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN

ISBN 978-979-3132-41-9

Tim Editing:
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan
Ketua Tim : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Hasil Penelitian
Editor : Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si.
Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
Prof. Ir. Dulsalam, MM.
Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc.
Staf Editor : Ayit Taufik Hidayat, S.Hut. T, M.Sc.
Marthen L. Hanas, S.H.
Drs. Juli Jajuli
Deden Nurhayadi, S.Hut.

Diterbitkan oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610
Telp.: 0251-8633378; Fax.: 0251 86334134
Website: www.pustekolah.org

Disain: Deden Nurhayadi, S.Hut.


KATA PENGANTAR

Di tengah semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, konsumen


produk manufaktur tidak lagi hanya mempertimbangkan kualitas dan harga produk, melainkan
juga mempertanyakan apakah suatu produk menggunakan bahan baku atau melibatkan proses
yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan. Perubahan perilaku konsumen ini bahkan
di beberapa negara mulai dilembagakan menjadi standar yang dalam prakteknya berfungsi sebagai
non-tarrif barrier. Kondisi ini juga berlaku pada produk-produk manufaktur berbasis kehutanan.

Oleh sebab itu, apabila tidak ingin kehilangan pasar, industri kehutanan dituntut untuk
bertransformasi menjadi industri hijau, yakni industri yang bersahabat dengan lingkungan (eco-
friendly) dan aman bagi kesehatan (health-safe). Parameter industri pengolahan hasil hutan yang
eco-friendly dan health-safe mencakup antara lain penyediaan bahan baku, efisiensi penggunaan
bahan baku, konsumsi energi fosil, penggunaan bahan pembantu anorganik, serta karakteristik dan
penanganan limbah. Sejalan dengan itu, untuk mewujudkan industri kehutanan yang eco-friendly
dan health-safe diperlukan berbagai teknologi, mulai dari teknologi untuk menghasilkan bahan
baku tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya hutan, untuk mengolah bahan baku secara
efisien (zero waste), untuk menyediakan energi alternatif pensubstitusi energi fosil, untuk
menyediakan bahan pembantu alternatif, serta untuk menangani limbah industri.

Berangkat dari keinginan untuk menghimpun hasil-hasil riset yang mendukung terwujudnya
industri hijau di bidang kehutanan, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil
Hutan menyelenggarakan seminar sehari Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan pada
tanggal 9 November 2011 di Bogor. Prosiding ini mendokumentasikan keynote speech serta
berbagai makalah yang dibahas dalam seminar tersebut. Semoga prosiding ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012


Kepala Pusat,

Dr. Ir. IB Putera Parthama, M.Sc.


NIP. 19590502 198603 1 001

iii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
PADA SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN
Bogor, 9 November 2011

Saudara sekalian para peserta seminar dan undangan yang saya hormati,
Assalamualaikum. Wr. Wb.

Pertama sekali, seyogyanya kita mengucap syukur kehadapan Tuhan YME, karena hanya atas
limpahan karuniaNya pagi ini kita semua ada dalam keadaan sehat walafiat, berkumpul di sini
untuk acara pembukaan Seminar Naional TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN. Semoga seminar yang akan kita selenggarakan ini menjadi ajang untuk
menghasilkan sesuatu yang positif yang bermanfaat bagi kehutanan dan bagi masyarakat. Amin.

Saudara-saudara sekalian,
Salah satu isu penting belakangan ini ialah green economic atau ekonomi hijau. Ekonomi hijau
sendiri ialah ekonomi yang menyediakan produk dan jasa yang dalam prosesnya tidak melibatkan
hal-hal yang bersifat negatif terhadap lingkungan atau alam. Tren dalam perdagangan dunia
dewasa ini semakin kuat mengarah mensyaratkan produk-produk yang diperdagangkan harus
demikian. Tidak bisa kita hindari karena pasar dunia mulai mendiskriminasikan produk-produk
yang ditengarai atau tidak dipercaya diproses secara hijau.

Ekonomi sebuah negara terdiri dari industri-industri. Sedangkan sebuah industri terdiri dari
manufaktur-manufaktur. Oleh sebab itu, sebuah ekonomi suatu negara akan menjelma menjadi
ekonomi hijau, apabila industri-industri di dalamnya sudah menjadi industri hijau.

Industri kehutanan sangat bisa berdampak besar bagi terwujudnya ekonomi Indonesia yang hijau.
Karena industri kehutanan meliputi berbagai manufaktur mulai dari penyediaan bahan baku,
pembuatan bahan pembantu hingga prosesing dan distribusi produk. Untuk mewujudkan industri
hijau kehutanan, maka seluruh komponen tersebut harus bersifat eco-friendly. Penyediaan bahan
baku harus eco-friendly, berdampak minimal atau bahkan zero impact terhadap alam, tidak
membahayakan kelestarian sumberdaya. Proses produksi juga harus eco-friendly, efisien, tidak
meninggalkan banyak limbah, khususnya limbah-limbah berbahaya. Proses produksi juga dituntut
menggunakan energi yang carbon-neutral atau setidaknya dengan carbon foot-print atau jejak
karbon minimal. Produk yang dihasilkan juga dipersyaratkan tidak mengandung komponen-
komponen yang dalam jangka pendek maupun jangka panjang bisa membawa dampak negatif

v
bagi lingkungan dan kesehatan. Kita tahu, bahwa dewasa ini sudah ada berbagai standar produk
yang mengakomodasi berbagai persyaratan tersebut. Negara-negara pengimpor produk kehutanan
semakin hari semakin memperketat standar produk tersebut.

Saudara-saudara sekalian,
Apabila kita ingin produk kita masih diterima dengan baik di pasar global, maka tidak ada pilihan
selain mengikuti tuntutan-tuntutan tersebut. Untuk bisa memenuhi segala tuntutan tersebut
diperlukan teknologi. Teknologi penyediaan bahan baku, teknologi prosesing yang efisien bahkan
zero waste, teknologi energy alternatif, teknologi pembuatan bahan pembantu alternatif berbahan
organik, teknologi pengolahan limbah, dan sebagainya.

Pertanyaan besar yang kita hadapi sekarang ialah: apakah kita sudah siap untuk itu? Khususnya
dalam hal teknologi, apakah kita sudah menguasai teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan
industri kehutanan hijau? Mungkin saja sudah cukup banyak teknologi dan invensi yang
dihasilkan peneliti-peneliti kita, baik yang ada di Badan Litbang Kehutanan, diperguruan tinggi,
maupun di sektor swasta, khususnya perusahaan. Namun teknologi dan invensi yang terserak
tersebut, perlu kita konsolidasikan, perlu kita kumpulkan, untuk menjawab pertanyaan tentang
kesiapan teknologi tadi. Oleh sebab itu, menurut saya tema seminar kita kali ini sangat tepat.
Sangat timely untuk menjawab pertanyaan besar tadi.

Saudara-saudara sekalian,
Seminar adalah wahana bagi peneliti dan ilmuwan untuk menginformasikan capaian, temuan,
kepada sesama ilmuwan-peneliti, maupun kepada khalayak umum termasuk pembuat kebijakan
dan pengguna teknologi. Saya harapkan, dalam seminar ini para peneliti akan menyampaikan
capaian terkininya tentang teknologi-teknologi tadi. Seminar, lokakarya, ekspose, dan sejenisnya
memang belakangan seakan sebuah rutinitas. Tetapi apabila kita lakukan secara terarah, terfokus
pada suatu tema yang relevan, maka tetap menjadi sebuah ajang yang bermanfaat, tidak hanya
bagi kalangan ilmiah dan akademisi, tetapi juga bagi dunia industri. Oleh sebab itu pula, saya
menghargai Pustekolah yang merancang seminar kali ini cukup terfokus pada teknologi
mendukung industri hijau kehutanan.

Seminar-seminar atau ekspose yang bersifat multi-topik bunga rampai, bukan tidak boleh, tetapi
seminar seperti itu mungkin perlu didisain khusus semacam kongres IUFRO. Event besar seperti
kongres IUFRO, sebenarnya sebuah gabungan dari banyak seminar-seminar topik spesifik. Bulan
depan kita akan melakukan kongres INAFOR yang dapat dikatakan sebagai sebuah IUFRO mini
lingkup nasional. Pada kongres tersebut nanti semua peneliti kehutanan di Indonesia dak hanya
yang dari Badan Litbang Kehutanan, akan diundang untuk berpartisipasi.

Saudara-saudara sekalian,
Kembali ke topik seminar kita, dari hasil pemetaan kesediaan teknologi guna mendukung industri
kehutanan hijau, juga bisa kita identifikasi aspek-aspek yang mememerlukan penelitian lebih jauh,
atau pengembangan hasil penelitian. Dengan bersinergi dengan pihak praktisi industri, kita
harapkan akan ada upaya lebih kongkrit ke arah mewujudkan industri kehutanan. Dalam hal ini

vi
saya sangat berharap para peneliti akan menjalankan peran agen atau aktor kunci. Karena sekali
lagi, jawaban atas segala tuntutan pasar yang saya kemukakan tadi tidak lain ialah penguasaan
teknologi.

Saudara-saudara sekalian,
Dukungan pihak praktisi industri tentu sangat menentukan. Teknologi seperti apapun yang
tersedia, apabila pihak calon pengguna masih resisten untuk mengadopsi maka akan percuma saja.
Dalam hal ini kita perlu mencontoh Korea Selatan. Di Korea, pelaku riset, pelaku industri dan
pemerintah sudah demikian kompak, satu visi. Itu salah satu hal yang menjadikan Korea negara
industri dalam waktu yang relatif singkat. Seminar-seminar yang diselenggarakan KFRI (Badan
Litbang Kehutanan Korea) selalu dihadiri pelaku industri yang antusias, bahkan industri
mensponsori. Sebaliknya, riset-riset yang dipresentasikan juga memang amat relevan dengan
kebutuhan industri. Pemerintah Korea juga sangat sigap mendukung segala kebijakan.

Di Indonesia situasi ideal seperti itu memang masih jauh. Tetapi dengan mengadakan seminar
semacam ini, yang temanya relevan, mengundang para praktisi, kita bisa berharap semoga situasi
ideal seperti di Korea itu segera kita wujudkan. Itu sangat kita harapkan, dan Badan Litbang akan
terus berusaha ke arah itu.

Saudara-saudara sekalian,
Itu beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Semoga dapat memberikan
dorongan bagi kita semua untuk lebih giat lagi berkarya, berkontribusi bagi kemajuan penelitian,
bagi pembangunan kehutanan, bagi bangsa dan negara.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, 9 November 2011


Kepala Badan Litbang Kehutanan,

Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.

vii
SINTESIS MAKALAH
Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Bogor, 9 November 2011

Oleh: Dr. Ir. IB Putera Parthama, M.Sc.

Dewasa ini konsumen semakin menuntut bahwa suatu produk harus hijau. Secara sederhana,
produk hijau ialah produk yang pengadaan bahan baku serta proses produksinya tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Industri kehutanan juga tidak lepas dari
perubahan pelaku konsumen tersebut. Oleh sebab itu, industri kehutanan Indonesia harus
bertransformasi menjadi industri hijau bila ingin produknya tetap diterima pasar.

Industri hijau kehutanan terintegrasi dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, bahan baku industri
kehutanan harus legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Ke depan, diharapkan
industri kayu Indonesia akan dipasok utamanya dari hutan tanaman yang dikelola secara lestari.
Di sektor hilir, semua proses produksi harus ramah lingkungan. Dalam hal konsumsi energi,
penghematan energi, dan konversi dari energi fosil ke energi terbarukan adalah sebuah keharusan.
Demikian pula halnya dengan penggunaan air. Industri kehutanan, khususnya furniture dan
woodworking, juga harus menggunakan bahan pembantu atau bahan kimia yang diperbolehkan.

Teknologi untuk mewujudkan industri hijau kehutanan saat ini sudah mulai tersedia namun masih
perlu upaya invensi dan inovasi lebih lanjut, sebagaimana tercermin dalam ringkasan berikut.

Standardisasi
Upaya untuk mewujudkan industri hijau membutuhkan teknologi, mulai dari teknologi
penyediaan bahan baku, pengolahan, energi terbarukan, bahan pembantu organik, penanganan
limbah, dan sebagainya. Selain itu, satu aspek yang juga sangat penting sejak hulu sampai hilir
ialah standardisasi (pengembangan standar dan penerapan standar). Standar diperlukan sebagai
acuan pencarian teknologi dan operasional produksi dalam menghasilkan produk yang diterima
pasar, khususnya pasar global. Ketersediaan standar akan memberi manfaat berupa:
x Dorongan percepatan transfer atau adopsi teknologi,
x Peningkatan hubungan antara pelaku ekonomi,
x Peningkatan akses pasar dan daya saing,
x Optimasi penggunaan infrastruktur,
x Peningkatan kualitas, keselamatan, keamanan, kesehatan dan kualitas lingkungan, serta
x Peningkatan diseminasi sistem manajemen dan proses bisnis yang baik.

ix
Khusus untuk sektor kehutanan, Kementerian Kehutanan telah menggariskan kebijakan
standardisasi berikut:
Pengembangan SNI bidang kehutanan: mengusulkan rencana penyusunan rancangan standar
menjadi bagian dari Program Nasional Penyusunan Standar (PNPS) di Badan Standardisasi
Nasional (BSN), menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) melalui 3 (tiga)
Panitia Teknis, yaitu; Pengelolaan Hutan (PT.65-01), Hasil Hutan Kayu (PT. 65-02), dan
Hasil Hutan Bukan Kayu (PT. 79-01) untuk diusulkan penetapannya oleh BSN, dan review
SNI sesuai ketentuan yang ditetapkan dan kebutuhan/perkembangan IPTEK.
Harmonisasi SNI dengan standar internasional, khususnya untuk proses/produk yang
berpengaruh terhadap daya saing produk kehutanan Indonesia.
Pengembangan Standar Kompetensi Bidang Kehutanan.
Peningkatan pemahaman dan peran stakeholders.
Partisipasi aktif dalam forum-forum standardisasi regional dan internasional.

Bahan baku hijau


Produksi bahan baku hijau dari hutan tanaman yang dikelola secara lestari berawal dari kebijakan
yang selalu mempertimbangkan (1) pedoman-pedoman lingkungan internasional, undang-undang
lingkungan serta persyaratan lingkungan yang berlaku, (2) pengurangan dampak lingkungan
khususnya pada areal/ekosistem yang rentan, (3) penghematan energi, minimalisasi limbah,
peningkatan efisiensi dan pengadaan barang yang ramah lingkungan, serta (4) aspek sosial guna
memperbaiki mutu lingkungan.

Secara umum, kebijakan diimplementasikan melalui: (1) adopsi RIL (Reduced Impact Logging)
atau pemanenan ramah lingkungan, secara konsisten sejak pembukaan wilayah hutan hingga
pemanenan, (2) pengelolaan lingkungan sesuai ISO 14001 pada seluruh aktifitas, dan (3)
pengelolaan High Conservation Value Forests (HCVF) pada bagian kawasan yang memiliki nilai
konservasi atau keragaman hayati tinggi. Pengelolaan lingkungan mencakup: pengendalian polusi
udara, pengendalian pencemaran badan air, pengendalian pencemaran tanah, pembatasan
penggunaan sumberdaya khususnya air, pembatasan pengunaan energi (BBM dan listrik),
pengendalian emisi, pengelolaan B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dan limbah B3. Selain itu juga
perlu penerapan konsep reduce, re-use and re-change. Reduce ialah penggunaan teknik
operasional tertentu untuk mengurangi jenis maupun jumlah bahan tanpa menurunkan
produktivitas dan kualitas produk. Re-use adalah penggunaan kembali barang bekas. Sedangkan
re-change ialah penggantian peralatan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dengan
peralatan dengan dampak lebih kecil.

Langkah-langkah tersebut sebenarnya sebuah tindakan back to basic mengingat semuanya


bukan sebuah konsepsi baru, melainkan bagian dari prinsip dasar pengelolaan hutan. Persoalan
selama ini ialah tidak atau belum kuatnya dorongan agar setiap pengelola hutan menerapkan
prinsip dasar itu secara konsisten. Adanya tuntutan industri hijau semestinya mengembalikan

x
pengelola hutan kepada prinsip dasar pengelolaan hutan lestari yang menyeimbangkan kelestarian
usaha dan kelestarian sumberdaya.

Bahan baku alternatif


Bahan baku hijau juga dapat berupa bahan baku alternatif non-konvensional (non-kayu)
dan/atau dari bahan terbuang/limbah. Sebagai contoh, telah ditemukan teknologi awal yang
memungkinkan menghasilkan papan serat berkerapatan sedang (medium density fiber-board -
MDF) yang memenuhi standar dari campuran pulp limbah pembalakan hutan tanaman eukaliptus
dengan arang aktif. Dari berbagai percobaan, diketahui bahwa MDF yang dibuat dengan perekat
tanin formaldehida (TF) dengan komposisi arang aktif 2,5% (97,5% pulp limbah eukaliptus)
adalah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan lebih lanjut.

Satu material lignocellulose yang sangat potensial sebagai pensubstitusi kayu ialah batang sawit.
Setiap tahun dilakukan peremajaan ratusan ribu hektar kebun sawit yang menciptakan jutaan
meter kubik limbah berupa batang sawit. Limbah batang sawit sangat dilematis, karena apabila
dibiarkan membusuk akan menjadi inang hama, sedangkan apabila dimusnahkan secara benar
(bukan dibakar) membutuhkan biaya besar.

Teknologi mengolah batang sawit menjadi kayu solid sudah beberapa tahun lalu tersedia. Namun
pemanfaatan teknologi tersebut hingga skala komersial belum ada. Saat ini telah diuji-coba
teknologi lain, yaitu untuk mengolah batang sawit menjadi kayu lapis. Teknologi ini diharapkan
akan lebih komersial mengingat kayu lapis untuk konstruksi tidak memerlukan kekuatan dan
keindahan yang prima. Pengolahan batang sawit menjadi kayu lapis dapat memanfaatkan fasilitas
konvensional pada pabrik kayu lapis. Uji coba menunjukkan rendemen sebesar 42-63%
tergantung fasilitas produksi. Sedikit modifikasi mesin akan meningkatkan rendemen. Meskipun
panel kayu lapis sawit relatif kurang stabil dengan kualitas rekatan lebih rendah, namun
memenuhi standar Jepang (JIS) untuk panel interior.

Limbah sawit lainnya yang bisa dimanfaatkan ialah tandan kosong sawit (TKS) sebagai bahan
baku pulp. TKS dapat diolah melalui proses organosolv menggunakan pelarut asam asetat
maupun asam formiat yang ramah lingkungan. Kertas yang dihasilkan dari TKS dapat dijadikan
kertas cetak maupun kertas pembungkus.

Industri kertas hijau


Dalam mewujudkan green industry, industri pulp dan kertas Indonesia comply kepada sertifikasi
ekolabel. Selain itu juga comply kepada sertifikasi Chain of Custody (COC) untuk menjamin asal-
usul kayu bahan baku. Kementerian Perindustrian juga telah menyusun Guidelines Technology
Map for Pulp and Paper Industry dan Guidelines Technology of Carbon Calculation for Pulp and
Paper Industry dalam rangka mewujudkan konservasi energi dan reduksi emisi CO2.

Lebih operasional, industri diarahkan kepada efisiensi bahan baku, efisiensi bahan bakar minyak
dan batubara khususnya efisiensi refining dan drying, efisiensi air termasuk pemanfaatan ulang air

xi
pasi (white water), penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunanan bahan
baku kertas bekas, serta pengelolaan limbah (udara, cair dan padat) termasuk pemanfaatan limbah
padat (sludge). Teknologi pengolahan pulp dan kertas ramah lingkungan sudah mulai tersedia,
namun masih terus ditingkatkan.

Industri pulp dan kertas pada dasarnya dapat memenuhi sendiri kebutuhan energinya dari
pemanfaatan limbah biomass ( recovery boiler dari lindi hitam) dan bark boiler berbahan bakar
kulit kayu. Secara teoritis, boiler dapat memproduksi steam 15,8 GJ/Adt dan listrik 655 kWh/Adt.
Kebutuhan steam untuk proses dapat dipenuhi dari recovery boiler, sedangkan kekurangan listrik
dapat dipenuhi dari power boiler. Konservasi energi utamanya dapat dilakukan pada proses
pemasakan dan pemutihan. Pada pemasakan dapat dilakukan modifikasi dari digester ke
delignifikasi berlanjut (extended delignification). Sedangkan penghematan energi pada pemutihan
dapat dilakukan dengan penambahan instalasi sistem perpindahan panas pada sistem umpan ClO2.

Pemanfaatan kertas bekas cukup menjanjikan dalam hal efisiensi bahan baku dan penghematan
energi. Satu ton pembuatan kertas dari serat daur ulang diperkirakan dapat menghemat 25-30 m3
air, 20-30 batang pohon, 4000 kWh listrik, serta menurunkan polusi karena hanya menggunakan
sedikit bahan kimia.

Pengolahan emisi partikulat dan gas juga dapat menghasilkan energi. Proses pemisahan partikulat
dan pembakaran di unit Chemical Recovery Plant, akan menghasilkan senyawa sulfur yang
berbau dan beracun. Senyawa ini dapat didestilasi untuk menghasilkan methanol sebagai
pensubstitusi bahan bakar.

Dalam hal pengolahan limbah (selain digunakan untuk bahan bakar), industri pulp dan kertas juga
mengadopsi pengolahan secara biologis. Yang banyak digunakan ialah pemanfaatan bakteri
anaerob melalui digestasi anaerobik. Proses ini akan menghasilkan biogas: metana (50-70%), CO2
(25-45%), dan sejumlah kecil H, N dan H2S. Satu kg biogas ekivalen dengan 0,4 kg minyak disel
atau 0,6 kg besin atau 0,8 kg batubara.

Selain sebagai bahan bakar (baik dibakar langsung maupun melalui proses pembuatan ethanol),
limbah pulp dan kertas juga bisa diproses menjadi pupuk organik. Percobaan telah menunjukkan
bahwa sludge dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah bekas tambang, yakni
memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah termasuk menurunkan kandungan logam.
Ditunjukkan pula penggunaan sludge dengan dosis 50% (v/v) dapat memperbaiki KTK,
peningkatan ketersdiaan N dan P, pada tailing pond maupun tailing dump di areal pertambangan.
Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan kompos sludge dapat meningkatkan produksi
tanaman pertanian/perkebunan/kehutanan. Tanaman-tanaman kangkung, jagung, karet, akasia dan
nyamplung terbukti sangat responsif terhadap kandungan hara dalam kompos sludge.

Secara umum industri pulp dan kertas Indonesia sudah mulai bergerak ke arah industri hijau.
Invensi-invensi dan inovasi-inovasi baru untuk memberikan akselerasi transformasi masih
diperlukan.

xii
Bioenergi
Bioenergi adalah alternatif potensial pengganti bahan bakar fosil dalam upaya mewujudkan
industri hijau. Salah satu yang sudah cukup banyak diteliti ialah bioenergi dari nyamplung
(Calophyllum inophyllum). Telah diketemukan teknologi pengolahan biji nyamplung yang
menghasilkan biodiesel dengan parameter-parameter berat jenis, viskositas kinematik, bilangan
setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, korosi air dan sedimen, suhu destilasi, abu
tersulfaktan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkali, dan bilangan iodium
yang memenuhi standar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751.

Secara umum proses pembuatan biodiesel nyamplung terdiri dari: perlakuan/penyiapan biji hingga
kadar air 8-12%, pengupasan, pengukusan biji tanpa tempurung, pengeringan biji tanpa
tempurung, pengepresan, degumming (pemisahan kotoran) pada suhu 80 dan penambahan asam
fosfat, dan esterifikasi-transesterifikasi. Salah satu yang menonjol dari minyak nyamplung ialah
dengan proporsi 30% minyak nyamplung terhadap solar sudah menghasilkan bilangan setana
sesuai SNI. Artinya nilai kalor minyak nyamplung 100% (tanpa pencampuran) sangat tinggi dan
dapat digunakan untuk tujuan pembakaran langsung.

Bioenergi juga dapat diproses dari limbah padat industri pulp/kertas (sludge), yang volumenya
relatif besar yaitu mencapai sekitar 2-10% dari kapasitas produksi (sebagai gambaran, kapasitas
terpasang produksi pulp Indonesia 6,2 juta ton/tahun dan kapasitas terpasang industri kertas 10,9
juta ton/tahun). Melalui proses simultaneous sacharification fermentation, sludge dengan bahan
padatan 6% telah dibuktikan sangat baik untuk menghasilkan bioethanol. Hidrolisis dilakukan
menggunakan enzim lokal selulase dan betaglusidase. Sedangkan fermentasi menggunakan ragi
Sacharomices cerivisae. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 2,68-3,45%.

Perekat Organik
Dalam industri kayu, perekat adalah salah satu bahan utama, mencapai 20-60% dari biaya
produksi. Sampai saat ini industri kayu majemuk sebagian besar menggunakan perekat sintetis
jenis termoset seperti urea formaldehida (80%), phenol formaldehida (10%) dan melamin
formaldehida (10%). Sedangkan untuk keperluan kayu struktural dan perkapalan, digunakan
perekat dingin tipe WBP dari jenis phenol-resorsinol formaldehida atau resorsinol formaldida.
Selain itu juga digunakan perekat termoplastik termoset berbahan baku isosianat, poliuretan atau
poliviliasetat dan perekat hotmelt. Karena sebagian dari jenis-jenis perekat tersebut diperoleh
melalui impor maka harganya relatif mahal. Lebih penting dari masalah harga, produk yang
menggunakan perekat sintetis dengan komponen formaldehida semakin tidak mendapat tempat di
pasar internasional. Misalnya, negara-negara pengimpor kayu lapis sudah menerapkan standar
ambang batas emisi formaldehida.

Penelitian yang saat ini masih berlangsung telah menunjukkan bahwa ekstrak cair kulit kayu
merbau (Intsia spp) cukup menjanjikan sebagai bahan baku perekat organik karena senyawa yang
terkandung dalam ekstrak tersebut identik dengan senyawa fenolik (resorsinol) dengan bobot
molekul 753. Ekstrak cair tersebut dapat direaksikan dengan formaldehida dalam suasana basa

xiii
untuk membentuk polimer berbobot molekul 9308. Percobaan penggunaan perekat berbahan dasar
ekstrak cair merbau menghasilkan kayu lamina tipe eksterior rendah emisi (0,22mg/L) dengan
kategori emisi E0 atau F****. Produk kayu lamina tipe eksterior dengan emisi sangat rendah
(0,03mg/L) dapat diperoleh dengan kopolimerisasi ekstrak kayu merbau dengan monomer
resorsinol dan formaldehida yang membentuk kopolimer berbobot molekul 49.658.

xiv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii


SAMBUTAN KEPALA BADAN PEN ELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEHUTANAN ............................................................................................................ v
SINTESIS MAKALAH ............................... ............................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xvii

KEYNOTE SPEECH

1. Sebuah Komitmen Menuju Industri Kehutanan yang Berkelanjutan


Arya Warga Dalam ............................................................................................. 1 - 14

MAKALAH UTAMA

2. Standardisasi Hasil Hutan Guna Memenuhi Pasar Global


S.Y. Chrystanto ................................................................................................... 15 27

3. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Mendukung Penyediaan Bahan


Baku secara Ramah Lingkungan: Pengalaman PT Musi Hutan Persada
Tjipta Purwita ...................................................................................................... 29 39

4. Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan


Dulsalam ............................................................................................................. 41 61

5. Industri Pulp dan Kertas Menuju Indonesia Green


Ngakan Timur Antara dan Susi Sugesty ............................................................. 63 80

6. Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang Menggunakan Campuran Pulp


Limbah Pembalakan Hutan Tanaman dan Arang Aktif
Han Roliadi, Rena M. Siagian, Dian Anggraini Indrawan dan Rosi M.
Tampubolon ........................................................................................................ 81 89

7. Perekat Berbasis Resorsinol dari Ekstrak Limbah Kayu Merbau


Adi Santoso dan Jamaludin Malik ...................................................................... 91 101

8. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Biodiesel Nyamplung ( Calophyllum


inophyllum L.)
R. Sudradjat ......................................................................................................... 103 113

9. Pemanfaatan Sludge dari Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Pulp dan
Kertas sebagai Bahan Baku Bioetanol
Rina S. Soetopo, Sri Purwati, Susi Sugesty dan Yusup Setiawan ...................... 115 127

10. Ketahanan Papan Serat MDF terhadap Serangan Rayap Kayu Kering
(Cryptotermes cynocephalus Light.)
Jasni, Gustan Pari dan Rena M. Siagian ............................................................. 129 134

xv
11. Hasil Uji-Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Padatan ( Densified Oil Palm
Plywood)
Jamal Balfas ........................................................................................................ 135 143

MAKALAH PENUNJANG

12. Penelitian Awal Pemuliaan Araucaria cunninghamii sebagai Jenis Alternatif


Kayu Pulp di Bondowoso, Jawa Timur
Dedi Setiadi ......................................................................................................... 145 155

13. Pembuatan Pulp Ramah Lingkungan dari Limbah Agroindustri Sawit


Zulfansyah, Hari Rionaldo dan Nur Asma Deli ................................................. 157 172

14. Sifat Pemesinan Kayu Dolok Diameter Kecil Jenis Manglid (Manglieta glauca
Bl.)
Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto .............................................................. 173 179

15. Pengaruh Waktu dan Nisbah Pelarut pada Ekstraksi Tumbuhan Pewarna Alami
Lawsonia inermis
Yelin Adalina ...................................................................................................... 181 189

16. Persepsi Petani terhadap Pemanfaatan dan Budidaya Nyamplung sebagai


Sumber Biofuel Alternatif
Devy P. Kuswantoro dan Tri S. Widyaningsih ................................................... 191 197

17. Potensi Bioenergi Ceiba petandra L. Gaertn. dan Prospek Pengembangan


Titi Kalima .......................................................................................................... 199 206

18. Potensi Nyamplung (Callophyllum spp) sebagai Sumber Energi Alternatif bagi
Masyarakat Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat
Burhanuddin, Sudirman Muin, Eddy Thamrin dan Abdurrani Muin ................. 207 214

19. Paper Mills Sludge: Limbah atau Sumberdaya? (Overview Penelitian


Pemanfaatan PMS sebagai Bahan Amelioran Tanah)
Enny Widyati ...................................................................................................... 215 225

20. Manfaat Sludge Limbah Padat Pabrik Kertas untuk Pupuk Bioorganik
Happy Widiastuti dan Tati Rostiwati .................................................................. 227 234

21. Pengawetan Kayu Mindi ( Melia azedarach L.) melalui Rendaman Dingin
dengan Bahan Pengawet BAE
Endah Suhaendah ................................................................................................ 235 240

22. Selektivitas Delignifikasi Proses Kraft dan Soda dari Jenis Acacia mangium
pada Tingkat Waktu Pemasakan dan Alkali Aktif
Saptadi Darmawan dan I.M. Sulastiningsih ........................................................ 241 248

LAMPIRAN ................................................................................................................ 249 270

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keputusan Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan


Pengolahan Hasil Hutan ..................................................................... 249

Lampiran 2. Susunan Acara Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri


Hijau Kehutanan................................................................................... 252

Lampiran 3. Notulasi Diskusi Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri


Hijau Kehutanan .................................................................................. 253

Lampiran 4. Daftar Peserta Seminar Nasional ......................................................... 265

xvii
KEYNOTE SPEECH
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN

SEBUAH KOMITMEN MENUJU


INDUSTRI KEHUTANAN INDONESIA
YANG BERKELANJUTAN

Bogor, 9 November 2011

LATAR BELAKANG
Industri pengolahan kayu yang berada dibawah binaan Kementerian
Perindustrian adalah industri hilir yang mengolah lebih lanjut hasil produksi
industri primer hasil hutan, yaitu meliputi industri wood working, furniture kayu
dan rotan serta pulp/kertas, sedangkan industri primer hasil hutan yang
mengolah langsung kayu bulat sesuai dengan PP 34 Tahun 2002 merupakan
binaan Kementerian Kehutanan.
Industri hijau kehutanan merupakan sebuah proses terintegrasi dari hulu sampai
ke produk hilir. Di sektor hulu, bahan baku industri kehutanan harus memenuhi
aturan legalitas yang menjamin bahwa bahan baku berasal dari hutan yang
terjaga kelestariannya. Di sektor hilir, semua proses produksi harus
memperhatikan prinsip ramah lingkungan.
Untuk mewujudkan industri hijau di bidang pengolahan hasil hutan mutlak
diperlukan dukungan teknologi. Teknologi diperlukan untuk menghasilkan bahan
baku tanpa membahayakan kelestarian sumber daya hutan, untuk berproduksi
secara efisien (limbah minimal atau zero waste), untuk menyediakan energi
alternatif (terkait emisi gas rumah kaca) serta untuk menangani limbah industri.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 1


POTENSI INDUSTRI KEHUTANAN INDONESIA
Indonesia merupakan salah satu negara yang
sangat kaya akan sumber daya hutan.
Indonesia memiliki kawasan hutantropis
seluas 133,84 juta hektar(Data Strategis
Kehutanan, 2009), terbesar ketiga di dunia
setelah Brasil dan Zaire.
Berdasarkan hasil survey Kementerian
Kehutanan tahun 2010 menyatakan luas
areal berotan Indonesia mencapai 1,3 juta Ha
dan potensi Annual Allowable Cut (AAC)
sebesar 210.000 ton/tahun.

PROFIL INDUSTRI KEHUTANAN


INDONESIA
INDUSTRI PULP DAN KERTAS
Industri pulp, kertas danpercetakan merupakan
industri andalan nasional yang terus berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi proses,
maupun teknologi informasi.
Indonesia merupakan salah satu produsen pulp
dan kertas terkemuka di dunia (industri pulp No.
9 dan industri kertas No. 11).
Sebagian besar pabrik pulp dan kertas berlokasi
di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten,
Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Lampung, dan Kalimantan Timur.
Hampir semua jenis kertassudah dapat
diproduksi di DN seperti: kertas koran, kraft
liner/medium, kertas kantong semen, kertas
bungkus, kertas tissue, kertas sigaret.

2 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


LOKASI PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN
INDUSTRI PULP DAN KERTAS NASIONAL

Indikasi Lokasi : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua


Perusahaan : Sinar Mas Group (Banten, Jabar, Jatim, Riau, Jambi), Raja Garuda Mas Group (Sumut,
Riau), Pura Group (Jateng), PT. Fajar Surya Wisesa (Jabar), PT. Surabaya Agung (Jatim), PT. Surya Zig Zag
(Jatim), PT. Tanjung Enim Lestari (Sumsel), PT. Kiani Kertas (Kaltim), PT. Kertas Leces (Jatim), PT. Pakerin
(Jatim)

INDUSTRI PULP
TAHUN
NO. URAIAN SATUAN
2007 2008 2009 2010
1 Jumlah Perusahaan Unit 14 14 14 14
2 Kapasitas Izin Ton/th 6.697.100 7.902.100 7.902.100 7.813.500
3 Produksi Riil Ton/th 6.282.330 5.910.416 6.525.099 6.674.550
4 Nilai Produksi Rp. Juta 17.998.897 18.032.897 19.908.318 20.759.000
5 Utilisasi Kapasitas % 94 75 83 85,42
6 Konsumsi Ton 4.448.414 4.141.474 4.878.086 5.285.438
7 Ekspor Ton 2.826.687 2.770.153 2.134.268 2.557.501
Ribu US$ 1.129.670 1.107.077 733.881 1.457.072
8 Investasi Rp. Juta 12.477.075 12.477.075 13.100.929 13.231.938
9 Tenaga Kerja Orang 79.923 78.325 78.577 79.363

INDUSTRI ROTAN OLAHAN (furniture rotan+ kerajinan rotan)


TAHUN
NO. URAIAN SATUAN
2007 2008 2009 2010
1 Jumlah Perusahaan Unit 614 590 590 590
2 Kapasitas Izin Ton/th 551.585 430.236 446.784 430.236
3 Produksi Riil Ton/th 373.880 304.114 269.871 250.980
4 Nilai Produksi Rp. Juta 3.591.198 3.191.198 2.831.869 2.596.000
5 Utilisasi Kapasitas % 68 71 60 58,34
6 Konsumsi Ton 196.986 144.785 146.084 205.593
7 Ekspor Ton 130.349.639 99.777.194 71.190.993 65.083.632
Ribu US$ 367.033 312.941 224.165 212.033
8 Investasi Rp. Juta 1.007.845 1.007.845 1.012.343 1.005.245
9 Tenaga Kerja Orang 276.584 271.052 271.222 269.200

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 3


INDUSTRI FURNITURE KAYU DAN ROTAN
Hutan tropis yang dimiliki indonesia menghasilkan bahan baku industri furniture
berupa kayu dan rotan yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan negara
lain.
Furniture Indonesia mempunyai ciri dan sifat khas yang jarang dimiliki oleh
negaranegara produsen furniture lainnya, yaitu desain yang bercirikan etnis
lokal (ukiran dan anyaman) dengan bahan baku beragam (seperti: kayu, rotan
dan bambu).
Walaupun daya saing industri ini pada tahuntahun terakhir mengalami
penurunan, namun industri ini cukup strategis untuk dikembangkan.
Industri furniture di Indonesia tersebar hampir di seluruh propinsi, dengan
sentrasentra yang cukup besar terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta,
Klaten, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jabodetabek, dan lainlain.
Negara tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah Amerika Serikat, negaranegara
Eropa, Timur Tengah dan negaranegara di Asia. Furniture kayu dan rotan masih
memiliki porsi terbesar dalam ekspornya.

INDUSTRI FURNITURE KAYU


TAHUN
NO. URAIAN SATUAN
2007 2008 2009 2010
1 JumlahPerusahaan Unit 950 912 912 912
2 Kapasitas Izin Ton/th 3.411.554 3.411.554 3.411.554 3.411.554
3 ProduksiRiil Ton/th 2.265.660 2.220.347 1.990.319 2.030.125
4 Nilai Produksi Rp. Juta 11.433.676 12.904.676 13.236.968 11.758.000
5 Utilisasi Kapasitas % 66 65 58 59,51
6 Konsumsi Ton 338.404 252.043 1.221.417 1.480.824
7 Ekspor Ton 663.529 603.682 497.441 584.666
Ribu US$ 1.385.374 1.360.274 1.150.097 1.394.558
8 Investasi Rp.Juta 7.208.225 7.208.225 7.376.766 7.450.534
9 TenagaKerja Orang 435.112 426.410 426.693 430.960

INDUSTRI ROTAN OLAHAN (furniture rotan+ kerajinan rotan)


TAHUN
NO. URAIAN SATUAN
2007 2008 2009 2010
1 Jumlah Perusahaan Unit 614 590 590 590
2 Kapasitas Izin Ton/th 551.585 430.236 446.784 430.236
3 ProduksiRiil Ton/th 373.880 304.114 269.871 250.980
4 NilaiProduksi Rp. Juta 3.591.198 3.191.198 2.831.869 2.596.000
5 Utilisasi Kapasitas % 68 71 60 58,34
6 Konsumsi Ton 196.986 144.785 146.084 205.593
7 Ekspor Ton 130.349.639 99.777.194 71.190.993 65.083.632
Ribu US$ 367.033 312.941 224.165 212.033
8 Investasi Rp.Juta 1.007.845 1.007.845 1.012.343 1.005.245
9 TenagaKerja Orang 276.584 271.052 271.222 269.200

4 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


INDUSTRIWOOD WORKING
Industri woodworking masih tetap memiliki prospek
yang baik meskipun substitusinya mulai
bermunculan seperti penggunaan baja ringan dan
alumunium dalam pembangunan perumahan. Kayu
memiliki sifatsifat unik yang tidak sepenuhnya
dapat digantikan oleh barangbarang lain.
Permintaannya diproyeksikan akan tetap meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
aktivitas pembangunan ekonomi. Pasar utama
ekspor produk woodworking, antara lain: Taiwan,
China, Jepang, Australia, Jerman, dan Belanda.

INDUSTRI WOOD WORKING


TAHUN
NO. URAIAN SATUAN
2007 2008 2009 2010
1 Jumlah Perusahaan Unit 1.036 995 995 995
2 Kapasitas Izin Ton/th 8.610.063 11.126.850 11.391.775 11.126.850
3 Produksi Riil Ton/th 4.853.742 4.090.734 3.588.392 4.295.271
4 Nilai Produksi Rp. Juta 29.958.597 30.006.597 26.321.787 28.206.542
5 Utilisasi Kapasitas % 56 37 31 38,60
6 Konsumsi Ton 4.059.773 3.023.719 2.860.414 3.241.544
7 Ekspor Ton 625.185 612.681 467.277 1.076.961
Ribu US$ 977.188 957.644 574.706 642.795
8 Investasi Rp. Juta 5.306.202 5.306.202 5.534.829 5.590.177
9 Tenaga Kerja Orang 311.421 305.193 310.168 313.270

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 5


PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN
KEBIJAKAN MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU
KEHUTANAN

Bahan baku yang lestari dan berkelanjutan


Bahan baku untuk industri pulp sebagian besar (>95%) berupa kayu,
sedangkan sisanya yang jumlahnya relatif kecil berasal darilimbah
pertanian, terutama bagasse dan merang/jerami.
Pada tahun 2010, dari kebutuhan bahan baku sebesar+ 30,015 juta m3,
sebagian besar disuplai dari HTI.
Bahan baku untuk industri kertas berupa virgin pulp dan kertas bekas,
dimana secara nasional Rata-rata komposisinya sekitar 40%: 60%. Untuk
pulp serat pendek, sebagian besar sudah dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri, sedangkan untuk pulp seratpanjang hampir semuanya
diimpor. Sementara itu, untuk kertas bekas impornya sekitar 2,5 juta ton
per tahun.
Kondisi industri pengolahan kayu pada saat ini mengalami kesenjangan
antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu yang semakin
melebar. Hal ini akibat dari masih maraknya praktekillegal logging pada
hutan alam dan illegal trade, disamping masih belum optimalnya
dukungan pasokan bahan baku dari Hutan Tanaman dan Hutan Rakyat.

Bahan baku yang lestari dan berkelanjutan


Terkait industri pengolahan kayu, pasar internasional saat
ini menuntut adanya legalitas bahan baku yang
dipergunakan. Produk kayu olahan termasuk pulp dan
kertas baru bisa dikatakan legal jika diperoleh dari hutan
yang dikelola secara sustainable (hutan lestari).
Regulasi terkait legalitas kayu mulai diterapkan di
beberapa negara diantaranya di Eropa, Amerika Serikat
dan Jepang.
Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah
menyusun Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi
pengelola hutan dan perusahaan yang mengolah bahan
baku kayu.
Kedepan diharapkan industripengolahan kayutermasuk
pulp dan kertas menggunakan bahan baku kayu dari
sumber bahan baku legal dan lestari (berkesinambungan)
khususnya yang berasal dari Hutan Tanaman.

6 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Teknologi proses yang ramah lingkungan
Industri pulp tidak diperkenankan menggunakan proses sulfit
untuk proses pemasakan dan khlorin (Cl2) untuk proses
pemutihan. Mendorong penerapan cleaner production, ISO
9001: 2000 dan ISO 14000.
Sementara itu pada industri furniture kayu, proses produksi
yang ramah lingkungan bisa dilakukan dengan cara
penerapan teknologi produksi yang hemat energi, misalnya:
penggunaan dust removal secara efisien, penerapan water
and gas Recyclingtechnology saat proses pengeringan atau
hot pressing kayu.
Industri furniture dan wood working juga memperhatikan
penggunaan bahan kimia karena adanya peraturan
internasional yang memberikan batasan penggunaan bahan
kimia pada produksi furniture, contohnya adalah
formaldehid.
Formaldehid adalah bahan kimia pembuat lem perekat dan sebagai pengawet
pada bahan coating yang biasadigunakan pada produk furniture kayu dan wood
working.

Teknologi pengolahan limbah


Sumber GRK industri antara
lain berasal dari GRK dari
bahan bakar dan
pembakaran, GRK dari proses
produksi dan GRK dari limbah
industri.
Salah satu industri hilir
kehutanan yang terkait
dengan emisi adalah industri
pulp dan kertas.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 7


G-20 Pittsburgh summit and COP15
Reduksi emisi GRK pada 2020

26% 26%+ 15%= 41%


Own Action and International
Own Action
Support Action

National Action

Sumber GRK dari Industri

GRK dari bahan bakar GRK dari GRK dari


dan pembakaran proses limbah

Bahan Pembangkit Listrik


Listrik dan
Bakar dan Steam Proses Produk dan
Generasi Kukus (fisika dan kimia) Limbah

Udara
Udara Bahan Bahan
bakar baku

8 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pemakaian Steam dan Listrik Pada Industri Pulp sangat
Tinggi

Industri Pulp total konsumsi Steam 12,2 GJ/ton dan


Listrik 688 Kwh/adt

Pemakaian Listrik pada Industri Pulp terletak pada bagian


pemutihan pulp (100 kWh/adt) dan Pulp machine sebesar
141 kWh /adt)

Pemakaian Steam pada Industri Pulp terletak pada bagian


pemutihan pulp 2,3 GJ/ton, Evaporator 3,1 GJ/ton, Power Plant
2,3 GJ/ton dan Pulp machine sebesar 2,3 GJ/ton

GRK Pada Proses Pembuatan Pulp

Emisi pada proses pemasakan pulp


Emisi pada recovery boiler
Emisi pada power boiler
Emisi pada lime kiln
Emisi pada make-up chemicals
Emisi pada power plant system CHP
(Combined Heat Power)
Emisi berdasarkan penggunaan listrik yang
dibeli dari luar pabrik (electricity purchase)
Neraca massa pada proses pembuatan
pulp

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 9


GRK pada Pembuatan1 ton pulp Putih
Faktor emisi
Total
CH4 N2O
CO2Eq.
No Bahan dan bahan Jumlah kg (kg (kg CO2Eq.
(kg)
bakar (TJ) CO2/TJ CO2Eq./TJ) /TJ)
1. Lindi hitam 630 1550
0,01665 36,297
2. Kulit kayu 860 8060
0,00128 11,418
3. Bahan bakar fossil
untuk boiler (3
pilihan):
Batubara 0,00404 126000 509,040
Minyak 0,00411 76600 314,826
Gas alam 0,00411 59900 246,788
4. Bahan bakar fosil
untuk limekiln (2
pilihan):
Minyak 0,00148 76600 2,7 0,3 113,372
Gas alam 0,00148 59900 2,7 0,4 88,656
5. CaCO3 440 kg
10,21 kg 43,10
CO2/ton

PROSES PEMBUATAN KERTAS

10 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Emisi dari Industri Kertas kg CO2/ton

Distribusi Tenaga Pada Industri Pulp


GJ/ton

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 11


Kemungkinan penghematan energi pada proses produksi kertas

Target Reduksi Emisi Untuk


Setiap Sektor

Emission reduction target


(Year 2020)
Sektor EmissionYear 2020 GtCO2e
(without reduction)
GtCO2e 26% +15% (total
41%)
Lahan Gambut 1.09 0.28 0.057

Limbah 0.25 0.048 0.030

Kehutanan 0.49 0.392 0.310

Pertanian 0.06 0.008 0.003

Industri 0.06 0.001 0.004

Perhubungan 0.008 0.008

Energi 1.00 0.030 0.010

2.95 0.767 0.422

12 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


LIMBAH PADAT INDUSTRI KERTAS DAN PENGOLAHANNYA

Landfill
Proses
produksi  Organik Insinerasi
PADAT  Anorganik
 IPAL
 Kadar air Pengomposan
 Power plant
Digestasi anaerobik

Pemisahan Partikulat
 CRP Emisi Sulfur
GAS  Digester Emisi Karbon
 Power plant Emisi NOx
Pemisahan Gas

PENGELOLAAN LIMBAH CAIR

PROSES DASAR
PROSES PERALATAN EMISI
PEMILIHAN
Sistem
Fisika - Partikel kasar upengendapan Clarifier Lumpur

Clarifier
 Partikel halus
Sistem koagulasi dilengkapi dgn
Kimia -  tersuspensi dan Lumpur
flokulasi koagulator
Koagulator-
koloid
flokulator
 CO2
Org terlarut Bak aerasi dgn
Aerobik Activated sludge HH 2O
sederhana clarifier
 lumpur
 CO2
 CH4
Org terlarut Reaktor,
Reaktor UASB HH 2
kompleks penangkap gas,
HH 2O
Biologi
 Lumpur
lumpur
Anaerobik
(prospektif) Bahan organik tinggi : 10 30 kg COD/m3. hari
Reduksi COD : 70 85%
Konsumsi energi rendah : rendah
Kebutuhan nutrisi : rendah
Menghasilkan emisi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai
energi 0,3 0,4m 3 CH4/kg COD red

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 13


Dasar Penentuan
Teknologi Proses Pengelolaan Limbah
(Aspek Lingkungan)

Jenis teknologi
item Digestasi
Landfill Incinerator Composting
anaerobik
Organik B3 Organik Organik Organik
Sifat limbah
Anorganik B3 Nilai kalor tinggi Unsur hara bulki

Penstabilan dengan Penstabilan dgn


Penghancuran limbah
Tujuan Pembuangan akhir pemanfaatan unsur pemanfaatan
B3 secara cepat
hara energi

Emisi CO2; CH4; NOx CO2 CO2 CO2; CH4; H2;




Tinggi Tinggi
Potensi GRK Sedang (tanpa pemanfaatan energi) Rendah (tanpa pemanfaatan
energi)

Teknologi pengolahan limbah


Teknologi pengolahan limbah industri pulp kertas semakin
berkembang. Salah satunya yangtelah dikembangkan oleh
PT. Riau Andalan Pulp Paper yang memanfaatkan
biosludge sebagai bahan bakar pada recovery boiler.
Biosludge merupakan waste activated sludge yang
dihasilkan dari Treatment Plant (ETP). Biosludge tersebut
masih memiliki nilai kalori dan dapat digunakan sebagai
bahan bakar pengganti.
Pengembangan teknologi ini merupakan hal baru, dimana
Biosludge yang selama ini dibuang di Landfill akan dibakar
di Recovery Boiler karena masih memiliki nilai kalori dan
masih dapat dimafaatkan sebagai bahan bakar pengganti.
Kegiatan proyek ini adalah memanfaatkan Biosludge yang
dihasilkan dari proses Effluent Treatment Plant dengan
mengurangi kandungan air didalamnya menggunakan alat
Centrifuge. Kemudian Biosludge dicampur dengan
Black Liquor pekat dari Evaporator untuk bersamasama
dibakar di Recovery Boiler.

Standardisasi
Standarisasi Produk-produk industri kehutanan
saat ini juga telah disusun dalam bentuk
Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI),
baik RSNI produk kertas maupun produk furniture.

14 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


MAKALAH UTAMA
STANDARDISASI HASIL HUTAN GUNA
MEMENUHI PASAR GLOBAL

PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN


(Standardisasi , Lingkungan, Perubahan Iklim)

Ir.S.Y.Chrystanto, M.For.Sc

Bogor, 9 Oktober 2011

OUTLINE
BACK GROUND
KEBIJAKAN STANDARDISASI
PERUMUSAN SNI
RANGKUMAN

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 15


BACK GROUND

STANDAR......?

Sesuatu yang jadi acuan :SBU,SBK


Sesuatu yang baku : Waktu, Jarak,
Berat
Batasan maximum/minimum : polusi
Keteraturan : lampu merah
Sesuatu batasan yang disepakati umum
sirup, madu ?

STANDARDISASI
Rangkaian proses mulai dari pengembangan standar
(pemrograman, perumusan, penetapan dan pemeliharaan
standar) dan penerapan standar yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerjasama dengan para pemangku kepentingan

SISTEM STANDARDISASI NASIONAL


Suatu sistem yang dibentuk oleh jaringan kelembagaan, yang
saling berinteraksi dalam tiga subsistem infrastruktur mutu
yaitu metrologi, standardisasi dan penilaian kesesuaian untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan
Landasan Hukum : PP 102 tahun 2000

16 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


TIGA PILAR SISTEM MUTU NASIONAL

MUTU (Q)

Manajemen Mutu
METROLOGI STANDARDISASI PENILAIAN KESESUAIAN

Ilmiah Pengembangan Akreditasi


Industri/terapan Penerapan Sertifikasi
Legal Pemberlakuan Pengujian
Inspeksi

Pemasyarakatan

Sistem Legal

Sistem Ekonomi

STANDARDISASI DAN GLOBALISASI

PRODUK GLOBALISASI
GLOBAL

EVALUASI INDONESIA
FREE TRADE
GLOBAL RATIFIKASI
AGREEMENT
TH. 1994

GLOBALISASI
KOMITE STANDARDISASI RANTAI
TEKNIS DAN PASOKAN
AKREDITASI

AKREDITASI STANDAR

LABORATORIUM PENGUKURAN
/ LMBG
SERTIFIKASI PENGUJIAN/
SERTIFIKASI

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 17


Standard adalah tanggung jawab bersama

PENERAPAN STANDARD TERGANTUNG


KETERLIBATAN PARA PIHAK (STAKEHOLDER)

INDUSTRI UKM PEMERINTAH


RISET

PERNIAGAAN STANDARDISASI UNIVERSITAS

KONSUMEN AHLI PENGUSAHA PERDAGANGAN

MANFAAT STANDAR

Mendorong percepatan transfer teknologi;


Meningkatkan hubungan antar Pelaku Ekonomi;
Membuka peluang akses Pasar terhadap Produk (Barang & Jasa)
DAYA SAING
Optimisasi penggunaan infrastruktur;
Meningkatkan Kualitas/Mutu, Keselamatan, Keamanan, Kesehatan dan
Lingkungan;
Melakukan diseminasi sistem manajemen dan proses bisnis yang baik;
Melaksanakan Penilaian dan Pembuktian Kesesuaian.

18 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


KEBIJAKAN STANDARDISASI
KEBIJAKAN NASIONAL STANDARDISASI

Pengembangan SNI sesuai kebutuhan pasar dan peningkatan mutu SNI melalui penerapan tata
cara internasional yang baik dalam pengembangan Standar (international code of good practices);
Penyelarasan SNI dengan standar internasional sejauh mungkin untuk memfasilitasi
perdagangan global ADOPSI DAPTASI BOLISI
Pengusulan SNI untuk menjadi standar internasional (ISO);
Penyusunan SNI dengan parameter seminimal mungkin, tetapi berfungsi secara maksimal
mencakup perlindungan terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pelestarian
lingkungan hidup;
Peningkatan efektifitas dukungan penerapan SNI untuk mendorong perkembangan akses
pasar Pemberian insentif (kemudahan) bagi penerap SNI dan penyediaan jasa penilaian
kesesuaian yang terpercaya (LSPro)
Penyusunan Regulasi Tekn is mengacu pada prinsip Good Regulatory Practices (GRP).
Penegakan integritas tanda SNI dan tanda kesesuaian lainnya yang berbasis SNI;
Edukasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran akan fungsi dan manfaat SSN.

Kebijakan Standardisasi Kht (2010-2014)


1. Pengembangan standar nasional (SNI) bidang kehutanan:
a. Mengusulkan rencana penyusunan rancangan standar
untuk masuk ke dalam Program Nasional Penyusunan
Standar (PNPS) di Badan Standardisasi Nasional (BSN)
yang diputuskan melalui rapat MPTS dimana
Kapustanling sebagai salah satu anggotanya,
b. Menyusun rancangan standar (RSNI) melalui 3 Panitia
Teknis (PH, HHK, HHBK) dan mengusulkan
penetapannya menjadi SNI oleh BSN
c. Review SNI sesuai ketent uan yang ditetapkan dan
kebutuhan/perkembangan IPTEK terkait.
2. Harmonisasi SNI dengan standar internasional terutama
untuk produk/proses yang berpengaruh terhadap daya
saing/kepentingan Indonesia dan terkait dengan
kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 19


Kebijakan Standardisasi kht (lanjutan)
3. Pengembangan standar kompetensi (SKKNI) bidang
kehutanan bekerjasama dengan unit terkait
lingkup Kemhut dan instansi di luar Kemhut,
4. Penyiapan bahan kebijakan standardisasi terkait
kebutuhan/penyusunan/penerapan standar dan isu
standardisasi dalam perdagangan internasional,
5. Peningkatan pemahaman dan peran stakeholder di
bidang standardisasi, melalui penataran, sosialisai,
workshop, publikasi dll.
6. Partisipasi dalam forum regional (misal ASEAN), dan
international (ISO dan yang terkait : TC 165 Timber
Structure dan TC 89 Wood based Panel ).

POSISI PUSTANLING TERHADAP LEMBAGA LAIN

20 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


POSISI PUSTANLING DALAM STANDARDISASI NASIONAL
INDONESIA
(produk, proses, jasa hutan)
ST ANDARDISASI

BSN KAN

Pengembangan dan Akreditasi dan


Perumusan SNI Dasar Hukum:
Sertifikasi
PP 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional
Sistem Standardisasi Nasional (SSN)
Pedoman Standardisasi Nasional (PSN)

Lembaga Penilaian
Panitia Teknis
Kesesuaian/ Lembaga
Perumusan RSNI PUSTANLING Sertifikasi

3 Panitia Teknis binaan Kemhut

STANDARDISASI, LINGKUNGAN,
(produk, proses, PERUBAHAN IKLIM
jasa kehutanan)

Panitia Teknis Bidang


Kehutanan

PT. 65-01 Pengelolaan


Hutan (Ketua : Dr.Ir.Nur
Masripatin, M.For.Sc)

PT. 65-02 Hasil Hutan Bukan


Kayu (Ketua :
Ir.S.Y.Chrystanto,M.For.Sc)

PT. 79-01 Hasil Hutan Kayu


(Ketua : Prof. Dr. Ir.
Surdiding Ruhendi MSc.)

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 21


Program Pustanling2010-2014 : Lingkungan

Fasilitasi sertifikasi
PHBML (pelatihan,
pendampingan),
bekerjasama
dengan Dinas
Kehutanan
setempat.

Program Pustanling 2010-2014 : PI

Review REDD+ demonstration activities dan penyiapan Draft Premenhut ttg MRV
REDD+_ DA
Membangun ISS- REDD+
Membangun standar
(RSNI)
Pengukuran carbon

22 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


PERUMUSAN SNI

PRINSIP PERUMUSAN SNI


Terbuka bagi siapa saja untuk
berpartisipasi dalam proses
perumusan standar melalui jalur PT
atau Mastan

OPENESS Prosesnya dapat diikuti


secara transparan melalui
Memberikan kesempatan media IT
kepada ukm dan daerah
TRANSPARENCY
untuk berpartisipasi dalam
DEVELOPMENT
perumusan SNI
DIMENSION

CONSENSUS
AND IMPARTIALITY Pelaksanaannya melalui
COHERENCE konsensus nasional dan tidak
memihak
SNI dibuat dgn
memperhati-kan EFFECTIVENESS
keberadaan standar AND RELEVANCE
internasional, sebaiknya
harmonis dengan standar
internasional
Standar dibuat
Adopted from the Decision of the WTO- sesuaikebutuhan pasar,
TBT Second triennial review hasilnya harus efektif dipakai
untuk fasilitasi perdagangan

PROSES PENGEMBANGAN SNI

Drafting/ Jajak Pemungutan


Perencanaan Pemeliharaan
Ratek Pendapat suara
BSN

Penetapan Verifikasi SISNI Adopsi Publikasi


PNPS
TC/STC

Usulan Konsep Kaji ulang


PNPS Drafting akhir
MASTAN

Penilaian Jajak Konsensus


Kebutuhan pasar Pendapat Nasional

Kebijakan Standardisasi Nasional


21
Jakarta, 12 Januari 2011

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 23


PENERAPAN SNI

SNI dapat diterapkan secara sukarela sebagai acuan/referensi pasar, atau


diberlakukan secara wajib sebagai persyaratan pasar melalui suatu regulasi
teknis

REGULASI TEKNIS
Dokumen yang mengatur sifat produk atau proses dan metode produksi
terkait, termasuk aturan administrasi yang berlaku, yang pemenuhannya
bersifat wajib.

Regulasi teknis juga dapat meliputi atau berkaitan secara khusus dengan
persyaratan terminologi, simbol, pengepakan, penandaan atau pelabelan
yang diterapkan untuk suatu produk, proses atau metode produksi.

Bagaimana jika SNI dipakai sebagai acuan dalam regulasi teknis?

Kebijakan Standardisasi Nasional


Jakarta, 12 Januari 2011

PEMELIHARAAN SNI

Pemeliharaan SNI oleh PT/SPT, minimal 5 tahun sekali


Dapat diusulkan oleh pengguna ke BSN atau PT
Hasil kaji ulang berupa ralat, amandemen, revisi, abolisi atau
tetap tanpa perubahan
Standar dan liabilitas perhatikan 2 hal yaitu (1) ikuti tatacara
perumusan yang disepakati secara internasional dalam
ISO/IEC maupun TBT WTO, dan (2) lakukan kaji ulang untuk
mengikuti perkembangan IPTEK terkini (state of the art)
Jika terjadi sesuatu dengan pengguna barang yang
distandarkan, harus ada pembuktian terbalik

24 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


PEMBERLAKUAN WAJIB SNI

Beberapa prinsip dalam TBT-WTO:


Harus transparant agar tidak mengganggu trade
Tidak boleh diskriminasi (NT dan MFN)
Regulasi harus mempunyai alasan yg legitimate
Menggunakan standar internasional
Boleh beda dgn alasan klimatik, geografis/geologis
Prinsip ekivalensi
Saling pengakuan penilaian kesesuaian

PEMBERLAKUAN WAJIB SNI

Transparan: Notifikasi rancangan regulasi teknis

Apa yang dinotifikasikan?


Yang harus disiapkan (SNI, sistem PK, juknis);
Periode notifikasi 2 bulan;
Masukan yang relevan harus dipertimbangkan;
Enforcement minimum 6 bulan stlh SK terbit;
Bila kondisi berubah harus ditinjau lagi.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 25


Skema akreditasi dan sertifikasi

SKEMA STANDARDISASI NASIONAL

TANDA SNI

Standar
Standar Industri
Industri Produk
Produk Konsumen
Konsumen
(SNI)
(SNI)
MUTU Sertifikasi
Sertifikasi
KOMPETENSI
Akreditasi
Akreditasi LPK
LPK

LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN:


Laboratorium Penguji
Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro)
Lembaga Inspeksi

26 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


RANGKUMAN

PERAN STANDARDISASI DALAM PASAR


GLOBAL
PENGHUBUNG PENTING RANTAI
PASOKAN GLOBAL Meningkatkan
hubungan para pelaku ekonomi &
transfer techologi
MELANCARKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DAN AKSES KE
PASAR Meningkatkan daya saing
produk kehutanan di pasar global
MEMBANTU MENGURANGI HAMBATAN
TEKNIS DALAM PERDAGANGAN DAN
MEMBANTU SISTEM PERDAGANGAN
ANTAR NEGARA Melindungi
konsumen dalam negeri
Meningkatkan kualitas/mutu,
keselamatan, keamanan, kesehatan
dan lingkungan;

Standardisasi & Sertifikasi jaminan


kelestarian SDH dan akses pasar

Forum global terkait

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 27


PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) MENDUKUNG
PENYEDIAAN BAHAN BAKU SECARA RAMAH LINGKUNGAN:
PENGALAMAN PT MUSI HUTAN PERSADA

Oleh:
Tjipta Purwita
Direktur Tanaman PT Musi Hutan Persada
E-mail: purwita-pht@yahoo.com

I. PENDAHULUAN

PT Musi Hutan Persada (MHP) merupakan salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri
(HTI) dengan Acacia mangium sebagai spesies utama untuk bahan baku pulp bagi industri PT
Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper (TELPP). PT MHP didirikan pada tahun 1991 di Sumatera
Selatan, meliputi 6 wilayah kabupaten, yaitu: Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi Rawas,
Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten
Ogan Komering Ulu Timur.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 038/Kpts-II/1996 luas bruto HTI
ditetapkan 296.400 ha, terdiri atas tanaman pokok seluas 138.000 ha (46,5%), tanaman
kehidupan seluas 68.128 ha (22,9%), tanaman unggulan seluas 30.812 ha (10,4%), serta
sisanya berupa kawasan lindung (Daerah Perlindungan Satwa Liar dan Kawasan Perlindungan
Plasma Nutfah) seluas 44.098 ha (15%) dan areal tidak efektif untuk produksi (sarana-prasarana
& areal penelitian) seluas 15.362 ha (5,2%).
PT MHP merupakan perusahaan patungan (joint-venture) antara PT Marubeni Corporation
Jepang (menguasai 60% saham) dan PT Inhutani V (menguasai 40% saham). Kemampuan pasok
PT Musi Hutan Persada kepada PT Tanjung Enim Lestari (yang mayoritas sahamnya dikuasai
oleh PT Marubeni Corporation) adalah sebesar 2,0 juta m3. Kekurangan pasok kepada industri
dipenuhi sendiri oleh PT TELPP dengan membeli kayu dari perusahaan lain.
PT MHP dalam usahanya menerapkan prinsip pengelolaan hutan lestari yang diwujudkan
dalam pengelolaan yang berkelanjutan, antara lain ditopang oleh adanya penggunaan benih
unggul melalui upaya tree improvement, penerapan sistem silvikultur yang intensif, serta
didukung dengan penerapan best practice pengelolaan hutan yang ramah lingkungan.

II. FALSAFAH

Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan antara lain
tercermin dalam visi maupun misi perusahaan PT Musi Hutan Persada, yaitu:

1. Visi Perusahaan
Menjadi perusahaan hutan tanaman terdepan yang berkelanjutan dengan selalu
meningkatkan kapasitas pertumbuhan tegakan, kualitas karyawan, sistem dan struktur yang
bertujuan untuk mengamankan lahan dan memaksimalkan hasil kayu untuk memuaskan
pelanggan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 29


2. Misi Perusahaan
Menghutankan kembali lahan yang tidak produktif dan mengelolanya menjadi hutan
tanaman yang tinggi produktivitasnya secara berkelanjutan seraya memperbaiki biodiversitas
dan lingkungan untuk menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.

III. PRINSIP SUSTAINIBILITAS

PT Musi Hutan Persada adalah perusahaan timber growing business, sehingga prinsip
sustainibiltas menjadi sangat penting, yaitu filosofinya adalah: bagaimana produktivitas pada
rotasi kedua dan rotasi-rotasi berikutnya tidak hanya bisa dipertahankan, melainkan harus dapat
ditingkatkan.
Dari hasil riset PT MHP, pertumbuhan tegakan Acacia mangium dari rotasi 1, rotasi 2 dan
rotasi 3 terus mengalami peningkatan, sebagaimana disajikan pada grafik yang tertera pada
Gambar 1, 2, dan 3 berikut.

50
45
40
35
V o l. (m 3 /h a /th )

30 MAI - R1
25
20
CAI - R1 Gambar 1. Hubungan MAI dan CAI
15 Tegakan Rotasi 1
10
5 Perpotongan antara MAI dan CAI
0 Tegakan Rotasi 1 adalah pada umur 8,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 tahun. Artinya, tegakan rotasi 1 paling
Umur (tahun) optimal dipanen pada umur 8 tahun
dengan riap 32,8 m3/ha/tahun.

60

50

40
)
Vo l. m( 3 /h a /th

30 MAI - R2

20 CAI - R2 Gambar 2. Hubungan MAI dan CAI


Tegakan Rotasi 2
10
Perpotongan antara MAI dan CAI
0
Tegakan Rotasi 2 adalah pada umur 6,5
1 2 3 4 5 6 7 tahun. Artinya, tegakan rotasi 1 paling
Um ur (tahun) optimal dipanen pada umur 6 tahun
dengan riap 37,9 m3/ha/tahun.

30 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


150

125

100
Vo lu m e (m 3/h a)

75 Rotasi 1

Rotasi 2
50
Rotas i 3
25 Gambar 3. Produktivitas Tegakan
Rotasirotasi 2 dan Rotasi 3
0
1 2 3 4 Pertumbuhan tegakan A.mangium dari
Umur (tahun) rotasi 1, rotasi 2 dan rotasi 3 terus
mengalami peningkatan.

Daur pada rotasi 1 yaitu 8 tahun dapat diperpendek menjadi 6 tahun pada rotasi 2 dengan
riap yang lebih tinggi. Apabila tidak ada gangguan yang signifikan, diharapkan pada rotasi 3 daur
lebih pendek lagi dengan riap yang semakin meningkat.
Peningkatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kualitas benih yang digunakan antar
rotasi semakin unggul. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri, bahwa teknik silvikultur
seperti manajemen residu panen, masukan unsur hara, pengendalian gulma, dan sebagainya juga
mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan produktivitas.

IV. KEBIJAKAN

Dalam rangka mencapai visi dan misi perusahaan sebagai timber growing business company
yang berkelanjutan, PT Musi Hutan Persada memiliki kebijakan terdokumentasi yang wajib
dipahami oleh seluruh karyawan dan bisa diakses oleh publik. Kebijakan tersebut adalah selalu
mempertimbangkan dampak lingkungan ketika menjalankan usahanya, mengurangi risiko
lingkungan, melindungi lingkungan serta mencegah pencemaran lingkungan dengan cara:
1. Memperhatikan pedoman-pedoman lingkungan internasional, undang-undang lingkungan,
serta persyaratan lingkungan lain yang berlaku.
2. Mengurangi dampak lingkungan ketika akan memulai operasi baru atau penggunaan mesin/
peralatan baru, terutama pada areal-areal yang kondisi ekosistem dan lingkungan perlu
mendapat perhatian ekstra.
3. Penghematan energi dan sumberdaya, mengurangi limbah, peningkatan efisiensi usaha dan
pengadaan barang yang ramah lingkungan.
4. Melaksanakan upaya untuk menghasilkan produk, jasa dan pembinaan sosial guna
memperbaiki dan meningkatkan mutu lingkungan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 31


Kebijakan ini dimasukkan kedalam setiap standard operating procedures (standar prosedur
operasi) kegiatan teknis di lapangan maupun administrasi perkantoran, yang selalu dievaluasi
pelaksanaannya, serta dilakukan perbaikan secara terus menerus (continuous improvement) untuk
menghindari kelemahan prosedur maupun kesalahan tindakan.

V. SASARAN

Sasaran pengelolaan hutan tanaman yang ramah lingkungan adalah:


1. Meningkatkan pertumbuhan tegakan dengan mempertahankan kualitas tapak, serta
pencegahan degradasi hutan dan pencemaran lingkungan.
2. Peningkatan keuntungan ekonomi dengan jalan pengurangan penggunaan energi, bahan dan
sumber daya, serta penggunaan teknologi atau peralatan baru yang lebih efisien dan ramah
lingkungan.
3. Kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat.
4. Menghasilkan produk hijau yang dapat diterima oleh pasar dunia.

VI. IMPLEMENTASI

Implementasi pengelolaan hutan ramah lingkungan pada PT. Musi Hutan Persada
diwujudkan dalam 3 kegiatan, yaitu:
1. Penerapan RIL (reduce impact logging) pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH)
dan pemanenan.
2. Penerapan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 pada seluruh aktivitas operasional
dan administrasi.
3. Pengelolaan high conservation value forest (HCVF) atau kawasan hutan dengan nilai
konservasi tinggi.

A. Penerapan Reduce Impact Logging


RIL diatur dalam standar prosedur operasi (SPO) pekerjaan pembukaan wilayah hutan dan
pemanenan. SPO diturunkan menjadi Instruksi Kerja (IK) yang didistribusikan sampai ke level
supervisor maupun subkontraktor sebagai pedoman pelaksanan pekerjaan dan pengawasan.

1. Pembukaan Wilayah Hutan


a. SPO pembukaan wilayah hutan secara tegas menyebutkan bahwa prosedur tersebut dibuat
untuk menjamin pelaksanaan pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dan gorong-
gorong, TPn dan sarana-prasarana lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
hutan lestari dan memastikan pengendalian aspek-aspek dan dampak lingkungan yang
muncul akibat aktivitas PWH.

32 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


b. RIL pada PWH ditujukan untuk pencegahan erosi tanah, perlindungan area HCV dan
keselamatan manusia.
c. Perencanaan PWH selalu mendasarkan pada peta tata ruang hutan tanaman, peta kontur
dan kondisi topografi di lapangan.
d. Trase jalan mengikuti punggung bukit, menghindari area lindung/HCV, tidak melewati
badan air, dan mengurangi kegiatan potongtimbun tanah. Jalan diupayakan pada lokasi
dengan jarak angkut terpendek yang mampu melayani seluruh kegiatan operasional hutan
tanaman.
e. Pembuatan dan perawatan jalan dilakukan pada saat tanah kering, dan dihentikan apabila
terjadi hujan.
f. Gorong-gorong dibangun dan dilakukan pembersihan rutin dengan mempertimbangkan
kelancaran arus air sehingga tidak memutus pergerakan satwa air.
g. Lubang penjebak (pengendap) lumpur dibuat pada parit jalan yang mengarah ke badan air
(sungai, rawa, cekungan) dan tempat air masuk (in let) gorong-gorong.
h. TPn dibangun dengan meminimalkan pemotongan penimbunan tanah, pada area yang
datar dengan kemiringan maksimum 6 derajat, serta lokasi menjauhi area lindung/HCV
dan badan air.
i. Secara detail SPO memberikan persyaratan kepada operator mesin berat untuk berhati-hati
saat pengisian BBM/oli agar tidak terjadi tumpahan, menggunakan alat pelindung diri
yang memadai (sepatu safety, helm, masker, penutup telinga), memeriksa ketersediaan
alat pemadam kebakaran dan kotak K3, dan secara rutin melakukan general check up
untuk memantau dampak pengoperasian mesin berat terhadap kesehatan.

2. Pemanenan
a. RIL pada proses pemanenan bertujuan untuk keselamatan pekerja, pencegahan erosi dan
pemadatan tanah, perlindungan area HCV, perlindungan lahan usaha masyarakat, dan
pencegahan kerusakan tegakan tinggal (tanaman muda).
b. Sebelum tebang dilakukan verifikasi dan pemastian batas area HCV, lahan usaha
masyarakat dan tanaman muda disekitar petak tebang. Arah rebah pohon menjauhi dan
mesin berat tidak diperbolehkan melintasi area-area tersebut.
c. Penebangan secara manual (dengan chainsaw) lebih diprioritaskan, untuk menghindarkan
mesin berat terlalu sering masuk area produksi.
d. Metode pemanenan full mechanized (dengan harvester atau mesin berat lain) dilakukan
secara selektif, terutama pada area yang berbahaya bagi pekerja jika dilakukan secara
manual.
e. Koridor tebang dibuat setiap 5 baris tanaman, dimana rebah pohon kearah baris tengah,
dan jarak antar negara penebang minimal 25 m untuk menghindarkan pekerja tertimpa
pohon rebah.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 33


f. Limbah tebangan disusun sebagai jalur (bantalan) mesin sarad saat beroperasi, sehingga
mengurangi tekanan langsung ke tanah dan mempercepat penghancuran/pelapukan limbah
(dekomposisi).
g. Arah sarad mengikuti kontur atau sejajar dengan kemiringan lahan.
h. Divisi R & D secara terprogram melakukan pemantauan dan pengujian efek penggunaan
mesin-mesin berat produksi terhadap pemadatan tanah dan erosi.
i. Permudaan kembali (replanting) dilakukan segera setelah penyaradan kayu selesai untuk
menghindarkan risiko erosi karena tanah terbuka terlalu lama, mengurangi biaya persiapan
lahan dan untuk optimalisasi waktu pertumbuhan tanaman. Masa tanam tidak hanya
dilakukan pada bulan-bulan basah. Aplikasi aquasorb memungkinkan penanaman
dilakukan pada bulan dengan curah hujan sedikit (musim kemarau).
j. Secara rutin Divisi R & D melakukan pengukuran dan pemantauan untuk mengidentifikasi
terjadinya pemadatan tanah, pembuburan tanah, maupun perpindahan topsoil akibat
aktivitas PWH dan pemanenan.

B. Implementasi Sistem Manajemen Lingkungan


Untuk memperoleh pengakuan semua pihak bahwa MHP serius dalam melaksanakan
pengelolaan lingkungan, perusahaan mengikuti sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan (SML)
ISO 14001 dan mendapatkan sertifikat pada tahun 2007 yang berlaku selama 3 tahun. SML
memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan, terutama merubah budaya kerja karyawan
menjadi pro lingkungan serta memberikan kontribusi dalam penerapan sistem pengelolaan hutan
lestari, sehingga tahun 2010 dilakukan resertifikasi dan Sertifikat SML ISO 14001 diperoleh
kembali sampai tahun 2013.

1. Pengendalian Polusi Udara


Kegiatan pengendalian polusi udara untuk mendukung industri hijau dan pembangunan
berwawasan lingkungan, diimplementasikan PT Musi Hutan Persada dengan pengaturan
sebagai berikut:
a. Polusi udara terutama ditimbulkan dari aktivitas pemanenan dan pembukaan wilayah
hutan yang banyak menggunakan mesin berat, kegiatan persemaian dan pengendalian
gulma yang menggunakan pestisida. Hal ini sangat berbahaya bagi lingkungan, sehingga
perlu dikendalikan.
b. Pengendalian dilakukan sebagai-berikut:
Perencanaan kebutuhan alat dan bahan (jenis dan jumlah) yang akurat, sesuai target
kegiatan atau produksi dan sebaran lokasi.
Pembatasan umur mesin/alat yang beroperasi (misal: logging truck maksimal berumur
5 tahun.
Jadwal pemeliharaan mesin secara berkala diimplementasikan secara ketat.
SPO persemaian dan SPO pemeliharaan tanaman mengatur bahwa pekerja yang
melakukan penyemprotan pestisida wajib menggunakan masker dan penyemprotan

34 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


dilakukan jika kondisi angin tenang. MSDS (material safety data sheet) wajib
dipatuhi.
Pengukuran emisi gas buang untuk setiap jenis mesin dilakukan per 3 bulan oleh
Bagian Workshop.
Pengukuran ambient udara dilakukan secara berkala oleh Bagian Lingkungan (Divisi
R & D).

2. Pengendalian Pencemaran Badan Air


a. Potensi pencemaran air bersumber pada aktivitas pemanenan, PWH dan penanaman yang
dapat menimbulkan erosi, persemaian dan pengendalian gulma tanaman yang
menggunakan pestisida, serta bengkel dan pemukiman (base camp).
b. Metode pengendalianpencemaran badan air:
Kontrol dosis dan tata cara aplikasi pestisida dilakukan secara ketat. SPO
pemeliharaan tanaman mengatur dengan jelas dosis maksimal yang diperbolehkan,
pencampuran pestisida dilarang dilakukan di dekat badan air, penyemprotan tidak
diizinkan saat hujan.
Pembuatan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di seluruh persemaian, bengkel
dan pemukiman, sehingga buangan cair yang dikembalikan ke badan air memenuhi
standar baku mutu limbah.
Dilakukan kerjasama dengan BLHD (Biro Lingkungan Hidup Daerah) untuk
pengambilan sampel air dari IPAL, sumber air konsumsi dan aliran sungai untuk
dilakukan pengujian baku mutu air.
Untuk mengamati tingkat erosi dan sedimentasi sungai dibangun stasiun pengamatan
aliran sungai (SPAS) dan plot-plot pengamatan erosi di banyak petak/compartement.

3. Pengendalian Pencemaran Tanah


a. Pencemaran tanah di hutan tanaman utamanya diakibatkan tumpahan cairan B3 (BBM,
oli, pestisida, dan lain-lain) dan sampah padat (kemasan makanan/minuman, wadah bibit).
b. Untuk mengurangi sampah padat pada area tanaman sejak lama MHP tidak lagi
menggunakan polibag untuk wadah bibit, namun diganti dengan pottrays yang wajib
dikembalikan ke persemaian sebagai persyaratan wajib untuk mengambil bibit
selanjutnya.
c. Pencegahan tumpahan B3 diatur dengan tegas di beberapa prosedur operasional, misalnya
SPO distribusi barang mengatur bagaimana pengiriman dan serah-terima B3 cair sehingga
tidak tumpah atau hilang, SPO pemanenan mengatur bagaimana tata cara pengisian
BBM/oli ke tanki mesin produksi agar tidak terjadi ceceran.
d. Kotak sampah rumah tangga, perkantoran, persemaian dan bengkel telah dipisahkan untuk
sampah organik dan anorganik. Pada beberapa base camp telah memiliki izin tempat
pembuangan akhir (TPA) dimana dibuat tempat pembuangan yang terpisah di antara 2
jenis sampah tersebut.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 35


e. Bagian Rumah Tangga mencatat pengeluaran sampah dan pengiriman ke TPA setiap hari.
Evaluasi dan tindaklanjut selalu dilakukan apabila produksi sampah melampaui rata-rata
normal.

4. Pembatasan Penggunaan Sumberdaya (Khususnya Air)


a. Bagian Umum memiliki prosedur yang mengatur penggunaan air, yang di dalamnya
terdapat standar kebutuhan air per orang. Demikian juga Bagian Persemaian memiliki
standar kebutuhan air untuk setiap bibit.
b. Distribusi air dikontrol ketat. Konsumsi air setiap hari dicatat dan didokumentasikan
untuk bahan evaluasi dan tindaklanjut apabila konsumsi melebihi rata-rata normal.

5. Pembatasan penggunaan energy (BBM dan Listrik)


a. Pengisian BBM dengan sistem jatah harian sudah lama ditinggalkan. Metode yang
diberlakukan saat ini adalah jumlah pengisian BBM mempertimbangkan status isi tanki
kendaraan/mesin dan jarak yang akan ditempuh atau volume pekerjaan yang akan
dilakukan mesin berat.
b. Bagian Logistik, Umum, Pemanenan dan Konstruksi memiliki standar penggunaan BBM
untuk setiap jenis kendaraan dan mesin berat yang diterapkan secara konsisten dengan
supervisi ketat.
c. Bagian Umum memiliki standar kebutuhan lampu untuk mess dan perkantoran.

6. Pengendalian emisi energi


a. Emisi energi yang teridentifikasi dapat mengganggu kesehatan pekerja dalam pengelolaan
hutan tanaman adalah emisi suara (kebisingan), getaran dan emisi cahaya (silau).
b. Kebisingan dan getaran diakibatkan pengoperasian chainsaw, generator listrik, mesin
berat produksi dan konstruksi jalan, aktivitas bengkel, serta logging truck. Sedangkan
emisi cahaya ditimbulkan dari aktivitas pengelasan di bengkel dan operasi komputer.
c. Pengendalian emisi energi diatur dalam beberapa prosedur, misalnya SPO workshop
mensyaratkan penggunaan pelindung telinga untuk operator generator dan pelindung mata
bagi welder (tukang las), SPO pemanenan mensyaratkan kecepatan logging truck di area
pemukiman penduduk maks 10 km/jam agar tidak menimbulkan kebisingan dan
hamburan debu.
d. Setiap tiga bulan Divisi Workshop melakukan pengujian terhadap tingkat kebisingan dan
getaran mesin, dan informasi yang diperoleh menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan
perbaikan/pemeliharaan.

7. Pengelolaan B3 dan limbah B3


a. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang banyak dipergunakan adalah BBM dan oli,
pupuk, pestisida dan cat semprot (banyak digunakan dalam kegiatan perencanaan: survey,
penataan batas compartement dan area lindung, PUP, inventarisasi, dan lain-lain).

36 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


b. Jumlah pengadaan dihitung berdasar kebutuhan minimal. Penyimpanan dilakukan pada
tempat khusus (berizin dari KLH) dan distribusi bahan dilakukan dengan pengawasan
ketat.
c. Setelah pemakaian, seluruh limbah B3 (karung pupuk, kemasan pestisida, oli bekas,
kemasan oli, ban bekas dan kaleng cat) harus dikembalikan ke gudang sebagai persyaratan
wajib untuk permintaan barang selanjutnya.
d. Limbah B3 disimpan pada Gudang Khusus yang berizin dari KLH, dan dalam jangka
waktu tertentu (sesuai regulasi) limbah B3 diserahkan/dikirimkan kepada agen pengumpul
yang mempunyai lisensi dari KLH.

8. Reduce (Pengurangan)
a. Prinsip utama dalam reduce adalah penggunaan teknik operasional tertentu untuk
mengurangi penggunaan jumlah maupun jenis bahan namun tetap memperoleh hasil yang
optimal.
b. Prinsip ini salah satunya diterapkan pada proses penanaman, dimana pada beberapa tahun
lalu digunakan pupuk dengan dosis Urea dan TSP. Dari hasil penelitian lanjutan oleh
Divisi R & D didapatkan bahwa Acacia mangium mempunyai perakaran yang dapat
mengikat N, serta seresah dan limbah tebangan sudah mencukupi N, K dan unsur lain
yang dibutuhkan tanaman, sehingga saat ini pemupukan cukup menggunakan TSP.
c. Pengurangan jumlah ATK sampai 20% ternyata tidak mengganggu efektivitas kegiatan
administrasi, justru membuat pekerja lebih berhati-hati dan cermat dalam penyusunan
surat menyurat, pencatatan dan laporan.

9. Reuse (Penggunaan Kembali)


a. Penggunaan kembali barang bekas sudah menjadi budaya di MHP, yang bertujuan untuk
perlindungan lingkungan dan bukan sekedar penghematan biaya, mulai dari barang
kecil/murah sampai yang besar/mahal.
b. Contoh pemanfaatan kembali bahan kecil di perkantoran adalah penggunaan kertas bekas
untuk pembuatan memo dan laporan internal pada lembaran sebaliknya, pemanfaatan
kemasan tinta printer bekas untuk diisi ulang.
c. Reuse barang bekas di lapangan antara lain pengangkutan bibit di compartement
penanaman memanfaatkan jerigen bekas pestisida yang dibelah 2, oli bekas mesin berat
untuk pelumas rantai chainsaw, serta perbaikan mesin memanfaatkan komponen dari
mesin yang tidak bisa dioperasikan lagi.

10.Rechange (Mengganti)
a. Penyaradan menggunakan skidder dengan 4 roda tidak lagi dipergunakan karena
menimbulkan pemadatan tanah yang merata di beberapa bagian petak tebangan, dan
beralih menggunakan pontoon darat dengan tapak roda yang lebar sehingga tekanan
terhadap tanah lebih kecil.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 37


b. Divisi R & D melaksanakan penelitian lebih lanjut untuk mengganti sebagian lahan
Acacia mangium dengan jenis Eucalyptus pellita untuk mengurangi dampak negatif
monokultur terhadap lingkungan.

C. Pengelolaan High Conservation Value Forest (HCVF)


Bekerjasama dengan IPB, pada tahun 2008 dilaksanakan identifikasi HCV di areal kerja
MHP pada tiga kelompok hutan. Hasil identifikasi tersebut telah diverifikasi tahun 2011 yang
menjelaskan bahwa di dalam areal kerja PT MHP terdapat delapan tipe HCV, yaitu:
1. HCV 1 : Kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang
penting,
a. HCV 1.1 : Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi
pendukung keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung
atau konservasi (31 Sempadan sungai, 8 kawasan sekitar
dam, 5 areal konservasi).
b. HCV 1.2 : Species yang hampir punah, terdiri atas sempadan sungai,
areal konservasi:
Fauna : Harimau sumatera, musang, gajah, monyet ekor panjang,
rangkong.
Flora : Anggrek macan, meranti, gaharu, anggrek merpati, setali
(Appendix I/II CITES), gaharu, garam, bulian, sayas,
sebungai (vulnerable/rentan), lagan, merawan, cengal,
meranti (critically endangered/terancam hampir punah).
c. HCV 1.3 : Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi species
yang terancam, penyebaran terbatas atau dilindungi yang
mampu bertahan hidup (sempadan sungai, areal
konservasi).
d. HCV 1.4 :Kawasan yang merupakan habitat bagi species atau
sekumpulan species yang digunakan secara temporer
(sempadan sungai, areal konservasi).
2. HCV 2 : Kawasan bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami.
3. HCV 3 : Kawasan yang berisi populasi dari perwakilan species alami yang mampu
bertahan hidup (sempadan sungai, areal konservasi).
4. HCV 4 : Kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami.
5. HCV 4.1 :Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan
pengendalian banjir bagi masyarakat hilir (sempadan sungai, kawasan
sekitar dam, areal konservasi).
6. HCV 4.2 : Kawasan yang penting bagi pencegahan erosi dan sedimentasi (Bukit
Pendopo, area dengan kemiringan > 40% (445 ha).
7. HCV 5 : Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas
lokal (Puyang Tanah Putih, Puyang Dayang Rindu).

38 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam areal MHP terdapat enam area HCV, yaitu :
a. Sempadan sungai (31 sungai);
b. Sekitar danau/dam (8 lokasi);
c. Areal konservasi (5 lokasi);
d. Bukit atau areal dengan kelerengan> 40%;
e. Situs budaya (2 lokasi).
Adapun tujuan pengelolaan HCV adalah sebagai-berikut:
a. Melindungi area HCV dari kegiatan manusia yang mengganggu;
b. Mempertahankan kualitas air, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai/dam;
c. Mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati;
d. Meningkatkan nilai keberadaan HCV.
Pengelolaan HCV yang telah dilakukan oleh PT Musi Hutan Persada adalah:
a. Inventarisasi dan identifikasi kondisi penutupan lahan;
b. Pemasangan dan perlindungan tanda/pal batas;
c. Perlindungan areal, flora dan fauna;
d. Rehabilitasi dan pengkayaan (realisasi sampai dengan saat ini 535 ha);
e. Pembuatan jalur isolasi;
f. Penyuluhan ke masyarakat;
g. Pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan usaha pemanfaatan hasil
hutan (antara lain madu sialang, pengembangan agroforestry);
h. Pemantauan.

VII. PENUTUP

Pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai
wacana, namun harus diimplementasikan secara konsisten. Pengelolaan hutan yangramah
lingkungan harus dilakukan bukan semata-mata karena pasar dunia menghendaki produk hijau,
namun juga untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan stakeholder
(utamanya masyarakat sekitar hutan) atas manfaat pengelolaan hutan bagi mereka. Semua
langkah-langkah yang dilakukan tersebut merupakan kegiatan yang sejalan dan dapat
mempercepat terjadinya Industri Hijau dan akhirnya Indonesia Hijau.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 39


PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN

Oleh:
Dulsalam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor
E-mail: dul.salam@gmail.com

ABSTRAK

Pemanenan kayu ramah lingkungan merupakan bagian kegiatan pengelolaan hutan yang cukup
berperan dalam menunjang ekonomi dan sosial masyarakat. Kegiatan pemanenan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain: teknis, ekonomi, sosial, lingkungan dan politik. Berkaitan dengan isu
lingkungan, kegiatan pemanenan kayu menjadi penting untuk disempurnakan dan dikembangkan
menuju pemanenan kayu yang ramah lingkungan. Tulisan ini menyajikan pemanenan kayu ramah
lingkungan pada kegiatan pembukaan wilayah hutan, penebangan, penyaradan muat bongkar dan
pengangkutan.

Kata kunci: Hutan alam, hutan tanaman, pemanenan kayu, ramah lingkungan

I. PENDAHULUAN

Kegiatan pemanenan kayu di hutan alam luar Jawa berkembang sangat cepat pada tahun
1970 dengan menggunakan alat berat modern yang semuanya diimpor dari luar negeri. Peraturan
dan petunjuk teknis pemanenan hutan pada saat itu boleh dikatakan sangat minim. Baru pada
tahun 1972 ditetapkan beberapa sistem silvikultur yang dapat diterapkan di hutan alam. Salah satu
sistem silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) (Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan No. 35, 1972). Pada tahun 1989 sistem silvikultur TPI disempurnakan pelaksanaannya
(Keputusan Menteri Kehutanan No. 485, 1989) dan teknis pelaksanaannya diterjemahkan dalam
Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan
Hutan No. 564, 1989). TPTI tersebut disempurnakan pelaksanaannya pada tahun 1993 (Keputusan
Ditektur Jenderal Pengusahaan Hutan No 151, 1993). Pada tahun 2005, sistem Tebang Pilih
Tanam Indonesia Intensif diperkenalkan sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan No. SK.226/VI-BPHA/2005.
Untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu baik di hutan alam maupun di hutan
tanaman maka berbagai upaya perlu dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi
optimal dan pemborosan sumberdaya dan gangguan lingkungan menjadi minimal. Dalam kegiatan
pemanenan kayu, semua kayu yang ditebang seharusnya dapat dikeluarkan dari hutan untuk
dimanfaatkan. Teknik penggunaan sumberdaya yang demikian akan meningkatkan efisiensi
pemanenan dan akan menekan besarnya limbah pemanenan yang terjadi. Peningkatan efisiensi
pemanenan kayu tersebut sangat dituntut dalam rangka penyediaan bahan baku industri kayu yang
memadai secara kuantitas dan kualitas di satu pihak dan minimasi gangguan lingkungan yang
terjadi di lain pihak.
Dalam artikel ini diuraikan pemanenan kayu ramah lingkungan yang meliputi aspek teknik,
kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan tanah, produktivitas, biaya dan upaya peningkatan
efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan,
penyaradan, muat bongkar dan pemanenan kayu.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 41


II. PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN

A. Hutan Alam
Dalam pelaksanaan PWH, sebagian dari kawasan hutan harus dibuka untuk dijadikan jalan,
jembatan, kemah basis dan bengunan pendukung lainnya. Proses pembukaan dan pembersihan
tersebut tentu mengakibatkan terjadinya pengurangan lahan hutan produktif, pengurangan
produksi kayu, gangguan lingkungan (erosi tanah) dan sebagainya. Tanpa perencanaan dan
praktik pelaksanaan PWH yang baik maka aspek negatif dari PWH akan signifikan pengaruhnya
terhadap tingkat efisiensi pemanenan kayu. Dengan perencanaan dan praktik pelaksanaan PWH
yang baik maka aspek negatif tersebut di atas akan tidak berarti dibandingkan dengan aspek
positif berupa kelancaran dan peningkatan efisiensi dalam pelaksanaan pemanenan kayu.
PWH yang baik mempunyai karakteristik berikut ini: (1) Pelaksanaan dan pembangunan
dilakukan secara integral; (2) Kerapatan jalan yang optimal; (3) Jalan dapat difungsikan sepanjang
tahun; (4) Seluruh kawasan hutan terlayani; (5) Pengelola PWH memperhatikan dampak
lingkungan; (6) Bagian khusus yang menangani PWH di tiap perusahaan hutan tersedia; dan (7)
PWH merupakan salah satu kunci terpenting untuk mencapai sukses dalam pengelolaan hutan.
Kegiatan utama pada PWH adalah pembuatan jalan angkutan.
Jalan angkutan dibuat dengan prinsip sependek mungkin dan menghindari tanjakan dan
turunan yang berat (>12%), menyebarangi sungai besar, memotong alur air, daerah rawa dan
daerah konservasi. Untuk jalan yang diperkeras, lebar untuk jalan ranting cukup 5-6 m sedangkan
lebar jalan cabang dan jalan utama secara berurutan adalah 6-8 m dan 10 m. Pada jalan angkutan
yang badan jalannya banyak mengandung tanah liat lebar jalan tersebut cukup 6-7 m untuk jalan
ranting, 11 m untuk jalan cabang dan 15 m untuk jalan utama. Untuk jari-jari tikungan,
panjangnya tergantung keadaan topografi dan jarak pandang serta kecepatan kendaraan. Di
samping jalan angkutan, jalan sarad diperlukan untuk memindahkan kayu dari tempat pohon
ditebang ke tempat pengumpulan sementara (TPn).
Syarat yang diperlukan dalam pembuatan jalan sarad pada dasarnya sama dengan syarat
yang diperlukan pada pembuatan jalan angkutan. Untuk membuat rencana jalan sarad maupun
jalan angkutan dapat digunakan foto udara atau citra satelit serta peta topografi skala yang cukup
besar, yaitu 1:5.000 dan apabila memungkinkan sebaiknya menggunkan peta skala 1:1.000. Dari
peta tersebut dapat dibuat rencana secara rinci baik jalan angkutan maupun jalan sarad sehingga
kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pembuatan jalan angkutan dan jalan sarad menjadi
minimal.
Tempat pengumpulan kayu di hutan ditetapkan pada lokasi yang dipilih sedemikian rupa
sehingga di samping tidak terlalu luas juga bukaan lahan tidak banyak yang mengakibatkan
sedimentasi pada saluran air. Lokasi yang dipilih harus relatif datar, terutama di punggung bukit,
untuk memungkinkan dapat dilakukannya penyaradan ke arah punggung bukit (uphill logging).
Pemotongan bukit dan penggalian tanah harus dihindari. Bentuk tempat pengumpulan kayu dan
ukurannya memudahkan pengaturaan kayu bundar yang disarad kemudian di tumpuk di TPn yang
selanjutnya akan dimuat ke atas truk. Lokasi yang ditetapkan menjadi tempat pengumpulan kayu
harus dicantumkan dalam peta kerja dan diberi nomor sehingga memudahkan dalam melakukan
pengawasan. Di daerah TPn penggenangan air diusahakan tidak terjadi.

42 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


PWH dapat menyebabkan kerusakan tegakan tinggal, pengurangan areal produktif dan
gangguan lingkungan (erosi). Kegiatan penebangan dan penyaradan dapat menimbulkan
keterbukaan tanah. Pada kelerengan 025% dan jumlah pohon yang ditebang per ha 04, 59, dan
10 pohon/ha atau lebih keterbukaan tanah secara berurutan bervariasi antara 5,4 13,8%, 13,4
22,5% dan antara 20,9 26,6%. Keterbukaan tanah pada kemiringan lapangan 26% atau lebih
dengan jumlah pohon ditebang per ha 0 4, 5 9 dan 10 pohon/ha atau lebih secara berurutan
bervariasi antara 7,6 13,80%, 11,9 19,7% dan antara 17,1 24,6% (Thaib, 1985). Makin besar
jumlah pohon ditebang maka keterbukaan tanah makin besar demikian juga sebaliknya. Selain itu,
kebijakan perusahaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses terjadinya
keterbukaan tanah. Faktor kebijakan perusahaan antara lain dicerminkan dari jenis peralatan
penyaradan yang digunakan. Keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu secara ramah lingkungan
adalah 4,13%. Penerapan pemanenan kayu secara ramah lingkungan tersebut dapat mengurangi
keterbukaan tanah sebesar 2,2% (Suparna, 1998).
Keterbukaan tanah akibat PWH tidak dapat dihindari karena untuk mengeluarkan kayu dari
hutan maka perlu dibangun jalan angkutan dengan kerapatan tertentu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa limbah yang terjadi akibat kegiatan PWH adalah 7,20 m3/ha atau 3,65%
terhadap potensi volume kayu per ha (Anonim, 1989).
Pengaruh fisik yang paling nyata terhadap lahan hutan yang dikelola adalah adanya
pengurangan luas areal berhutan karena adanya pembuatan jalan dalam rangka PWH. Telah
diketahui juga bahwa kemiringan lapangan dan tipe angkutan yang digunakan merupakan dua
faktor utama yang menentukan luas kawasan yang digunakan untuk jalan hutan. Dari berbagai
hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa untuk daerah yang bertopografi berat dan
menggunakan alat kabel layang (skyline), persentase luas jalan hanya 2% dari luas hutan
sedangkan untuk daerah yang bertopografi lebih ringan dan alat kabel tinggi (highlead),
persentase luas jalan sangat bervariasi dari 3 - 24%. Untuk kombinasi alat kabel tinggi dan traktor
diperoleh angka 6% luas areal untuk jalan (Tinambunan, 1994).
Rata-rata lebar jalan utama yang dibuat di beberapa perusahaan di Indonesia adalah 12 m
sedangkan rata-rata lebar jalan cabang adalah 8 m. Rata-rata luas keterbukaan tegakan akibat
pembuatan jalan dan tebang bayang berkisar antara 1 - 35% dengan rata-rata 5% (Dulsalam,
1998). Persentase luas keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan ini (5%) tidak jauh berbeda
dengan persentase luas keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan di Amerika Serikat pada
sistem kombinasi antara traktor dan kabel tinggi (6%).
PWH dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan tempat kegiatan berupa erosi
tanah dan di luar tempat kegiatan berupa sedimentasi. Di sini dibicarakan hanya yang pertama. Di
Indonesia perhatian penentu kebijakan maupun pelaksana pembangunan hutan terhadap dampak
lingkungan dari kegiatan PWH belum mendapat perhatian yang memadai. Demikian juga
penelitian dalam bidang tersebut masih jarang dan biasanya masih bersifat observasi awal yang
mencakup gambaran umum keadaan jalan dan identifikasi faktor-faktor erosi yang ada. Penelitian
awal demikian telah dilakukan pada beberapa HPH di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Riau dan beberapa Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di Jawa. Hasil penelitian yang terbatas
tersebut menunjukkan bahwa semua jalan hutan di Jawa dan Luar Jawa mempunyai potensi tinggi
dalam menimbulkan gangguan erosi tanah. Hal tersebut dalam jangka panjang akan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 43


mempengaruhi produktivitas lahan hutan yang akhirnya akan menurunkan hasil kayu per satuan
luas hutan (Tinambunan, 1988, 1990a, 1990b, 1991a, 1991b).
Upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan PWH di hutan alam dapat
dilakukan sebagai berikut: (1) Penentuan lebar tebang bayang yang optimal; (2) Dalam tebang
bayang, pemilihan pohon yang ditebang harus secara selektif, yaitu pohon-pohon yang dapat
menaungi sinar matahari untuk mencapai permukaan jalan; (3) Perencanaan pembuatan jalan yang
baik.

B. Hutan Tanaman
Sebagai dasar kegiatan operasional pengusaha hutan tanaman adalah Rencana Karya Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (RKUPHHK-HT), yang merupakan rencana
pengusahaan jangka panjang. Perkembangan dokumen perencanaan tersebut menjadi acuan dalam
penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) perusahaan. RKT selanjutnya menjadi dasar legal di
dalam melaksanakan seluruh kegiatan operasional hutan tanaman, khususnya kegiatan pemanenan
dan penanaman.
Kegiatan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah penataan batas areal kerja dimana
walaupun secara hukum pengusaha hutan tanaman telah memiliki Ijin Hak Pemanfaatan Hutan
Tanaman dari Pemerintah, tetapi dalam kenyataan di lapangan areal yang menjadi konsesi
tersebut sebagian dikuasai secara adat, kelompok atau individu oleh masyarakat. Untuk
mewujudkan penataan batas areal kerja, perusahaan hutan tanaman dapat melaksanakan penataan
batas melalui perjanjian kerja sama penggunaan lahan dengan masyarakat setempat. Selain itu,
dapat dilakukan pula penataan batas secara internal dalam rangka penataan areal berupa
pembuatan batas petak dan batas luar konsesi.
Pembukaan wilayah hutan sebagai awal dari pembangunan hutan tanaman dengan kegiatan
pokok penyiapan sarana prasarana dan pembagian unit-unit pengelolaan hutan. Prinsip utama
kegiatan PWH adalah tersedianya akses untuk semua kegiatan pengelolaan hutan dengan baik dan
efisien. Pembangunan sarana prasarana meliputi pembangunan jalan dan infrastruktur berupa
bangunan seperti kantor, camp, persemaian, tempat pengumpulan/penimbunan kayu dan lain-lain.
Selain pembangunan jalan untuk menunjang kegiatan operasional, di setiap distrik dibangun
camp permanen beserta fasilitas pendukungnya seperti kantor distrik, perumahan karyawan,
sarana ibadah, kesehatan, bengkel dan yang lainnya. Dengan adanya sarana prasarana tersebut,
khususnya jalan, telah ikut membuka akses bagi masyarakat di wilayah-wilayah terpencil untuk
berinteraksi dengan wilayah lainnya. Kegiatan PWH di hutan tanaman dilakukan bersamaan pada
saat pembangunan hutan tanaman. Dampak negatif dari PWH di hutan tanaman ini akan pulih
kembali seiring dengan berjalannya waktu

III. PENEBANGAN

A. Hutan Alam
Penebangan pohon biasanya menimbulkan kerusakan kayu yang ditebang dan kerusakan
tegakan tinggal. Hal ini mudah dipahami karena penebangan pohon adalah kegiatan merobohkan

44 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


pohon dan kemudian memotong-motongnya menjadi bagian batang yang layak untuk dikeluarkan
dari hutan ke tempat pengumpulan kayu.
Penebangan dilakukan oleh satu regu tebang dan menggunakan alat penebangan.
Penebangan sebaiknya dilakukan mengikuti prosedur, antara lain menyangkut penentuan arah
rebah, pembuatan takik rebah dan takik balas. Kedalaman takik rebah berkisar antara 1/3 -1/4
diameter batang dengan sudut 45 derajat. Sedangkan takik balas dibuat dengan ketinggian sekitar
1/10 diameter batang di atas takik rebah. Berkaitan dengan cara penarikan kayu di pinggir jalan
maka cara penebangan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu paralel, tegak lurus dan
condong pada alur jalan. Berdasarkan alat yang digunakan penebangan dapat dilakukan dengan
menggunakan kapak, gergaji tangan dan gergaji rantai (chainsaw).
Dalam kegiatan penebangan tersebut masih dijumpai terjadinya limbah penebangan, yaitu
berupa tunggak yang masih tinggi dan bagian cabang yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan.
Produktivitas pemanenan kayu bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Produktivitas rata-rata
penebangan kayu dengan gergaji rantai secara konvensional berkisar antara 8,25 49,96 m3/jam
sedangkan produktivitas rata-rata penebangan kayu dengan gergaji rantai secara terkendali
berkisar antara 25,2 42,16 m3/jam (Suhartana & Dulsalam, 1996; Idris & Suhartana, 1995;
Dulsalam, 1995).
Upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan penebangan dapat
dilakukan sebagai berikut: (1) Menebang pohon serendah mungkin; (2) Menebang pohon yang
dekat dengan TPn; (3) Operator gergaji rantai berpedoman pada rencana pemanenan yang telah
dibuat; (4) Kayu berbanir dan di atas cabang pertama dimanfaatkan secara maksimal;
(5) Penebangan mempersiapkan jalur winching; (6) Pembagian batang dilakukan dengan cermat;
(7) Arah rebah yang tepat; dan (8) Pengawasan yang teratur.

B. Hutan Tanaman
Penebangan di hutan tanaman biasanya dilakukan dengan sistem tebang habis, yaitu seluruh
pohon harus ditebang hingga bersih tanpa memperhatikan bentuk dan kualitas termasuk jenis kayu
yang tidak dapat diterima di pabrik kecuali pohon-pohon di lokasi yang menjadi larangan
penebangan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Menumbangkan pohon
dengan cara mencabut atau mendorong menggunakan alat berat yang dapat merusakan fisik kayu
atau struktur tanah tidak diperbolehkan. Penebangan dapat menggunakan chainsaw atau feller
buncher. Untuk pohon mati yang berdiameter cukup besar sebaiknya penebangan tidak dilakukan
dengan menggunakan chainsaw, tetapi menggunakan feller buncher atau excavator.
Di hutan tanaman yang mempunyai ukuran kayu kecil, kegiatan penebangan sebaiknya
menggunakan chainsaw yang berukuran kecil. Keuntungan penggunaan chainsaw yang berukuran
kecil adalah sebagai berikut: (1) Menghemat tenaga dalam transportasi dan pengoperasiannya,
(2) Memudahkan dalam membuat takik rebah dan takik balas, (3) Dapat menebang kayu dengan
rendah tunggak, (4) Biaya pemilikan lebih rendah, (5) Biaya operasional relatif lebih murah,
(6) Berpindah tempat lebih cepat, dan (7) Biaya pemeliharaan lebih rendah.
Penebangan dilakukan sesuai rencana lajur tebangan pada perencanaan mikro, di mana lajur
1 dan 3 terlebih dahulu dilakukan penebangan, sedangkan lajur 2 dan 4 dibiarkan terlebih dahulu.
Penebangan berselang seling tersebut sampai ke batas petak. Untuk pohon dengan diameter 20 cm

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 45


atau lebih penebangan dimulai dengan membuat arah rebah dan takik rebah dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Membuat arah rebah pohon yang tepat yaitu arah
rebah ditujukan pada tempat-tempat yang seminimal mungkin merusak pohon (pecah, dan lain-
lain) dan searah dengan jalan sarad menuju TPn yang telah disiapkan, (2) Takik rebah dibuat
serendah mungkin sehingga tunggul pohon hampir rata dengan tanah, (3) Jalan/jalur
penyelamatan diri bagi regu penebang, (4) Tinggi tunggul hasil penebangan diusahakan serendah
mungkin dan tidak boleh lebih dari 10 cm.
Pemotongan ranting/ujung dilakukan untuk memudahkan penyaradan dan disesuaikan
dengan kebutuhan pabrik dan pengembalian unsur hara ke tanah. Untuk menghindari tumpang
tindih dan memudahkan pekerjaan selanjutnya maka pohon yang telah ditumbang harus
secepatnya dibersihkan dari ranting dan ujung (tajuk), sedangkan untuk ranting dan ujung yang
memenuhi kualitas kayu produksi harus dimanfaatkan. Cabang dan ranting bagian ujung pohon
harus dipotong rata dengan batang utama, baik menggunakan parang atau chainsaw. Cabang dan
ranting diameter < 6 cm yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai kayu Bahan Baku Serpih (BBS),
harus digunakan untuk pembuatan jalur sarad untuk tempat berpijaknya track excavator atau roda
skidder.
Pembagian Batang diperlukan untuk mempermudah penyaradan atau pengumpulan kayu.
Untuk itu, kayu yang dipotong harus sesuai dengan ukuran dan kapasitas penyaradan. Pembagian
batang yang dilakukan dengan cara mematahkan kayu menggunakan alat berat tidak
diperbolehkan. Setiap pekerja dilengkapi dengan stik/tongkat yang sudah distandarkan untuk
menyeragamkan panjang potongan kayu. Kayu yang pecah atau cabang harus dipotong sesuai
dengan kualitas kayu dan ukuran yang ditentukan. Untuk mengefisienkan pemanfaatan kayu,
pemotongan kayu diusahakan dari bagian tunggul/pangkal pohon ke arah ujung.
Produktivitas penebangan dengan chainsaw merek yang sama di PT Inhutani II, Pulau laut
sebesar 3,12 m3/jam (Dulsalam & Tinambunan, 2001) adalah lebih besar bila dibandingkan
dengan produktivitas penebangan di PT MHP. Hal ini disebabkan antara lain perbedaan keadaan
lapangan dan keterampilan tenaga kerja. Di PT Inhutani II, tenaga kerja relatif lebih terampil dan
topografi lapangan datar. Dalam kegiatan penebangan di PT MHP masih dijumpai terjadinya
limbah penebangan, yaitu berupa tunggak yang masih tinggi dan bagian cabang yang sebenarnya
masih dapat dimanfaatkan. Penebangan pohon dapat dilakukan serendah mungkin bahkan apabila
memungkinkan rata dengan tanah.
Kegiatan penebangan ini banyak menyerap tenaga kerja karena satu regu tebang terdiri dari
6 8 orang. Dulsalam dan Tinambunan (2001) mengemukakan bahwa pendapatan rata-rata
pekerja penebangan adalah Rp 835.000/orang/bulan. Dengan jumlah tenaga penebangan
sebanyak 357 orang, maka pendapatan masyarakat dari penebangan adalah Rp 298.095.000/bulan
(Rp 3.577.140.000). Uang sebesar ini cukup besar manfaatnya bagi masyarakat di sekitar hutan.
Secara sosial, kegiatan penebangan pohon dapat meningkatkan kesempatan kerja (mendapatkan
penghasilan) bagi masyarakat di sekitar hutan.
Kegiatan penebangan dapat dikatakan tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan
yang berarti. Pemadatan tanah dan pergeseran tanah dapat dikatakan tidak berarti. Gangguan
lingkungan yang terjadi akibat penebangan pohon ini hanyalah adanya sisa-sisa batang dan
ranting yang tidak dimanfaatkan. Batang dan ranting ini apabila dihancurkan justru menjadi

46 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


pupuk bagi tanaman berikutnya. Dampak lain yang terjadi adalah penurunan absorpsi karbon dan
terganggunya tata air di sekitar hutan yang dipanen. Hal ini tidak dapat dihindari karena untuk
mendapatkan manfaat dari hutan perlu pengorbanan tertentu pada lokasi hutan yang dipanen.
Suhartana dan Sinaga ( 2003) menjelaskan bahwa penerapan tekenik penebangan ramah
lingkungan dapat: 1) Meningkatkan produktivitas rata-rata penebangan dengan gergaji rantai
sebesar 3,09 m3/jam, (2) Biaya rata-rata produksi penebangan dengan gergaji rantai naik sebesar
Rp 155/m3, (3) Meningkatkan efisiensi rata-rata pemanfaatan kayu sebesar 7,4%, (4) Menurunkan
tinggi tunggak rata-rata sebesar 11 cm, (5) Meningkatkan produktivitas rata-rata penebangan
dengan timber harvester sebesar 2,505 m3/jam, (6) Menurunkan biaya rata-rata penebangan
sebesar 1.639/m3, (7) Meningkatan efisiensi pemanfaatan kayu dan menurunkan tinggi tunggak
rata-rata secara berurutan 7,3% dan 4 cm.
Suhartana dan Sinaga (2004) melaporkan bahwa penebangan kayu dengan timber harvester
memerlukan waktu tebang efektif rata-rata sebesar 0,025 jam atau 1 menit 30 detik. Waktu efektif
ini terdiri atas waktu merobohkan, waktu mengupas kulit dan waktu pembagian batang menjadi
sortimen kayu. Dalam pembagian batang ukuran sortimen kayu adalah 4 m. Volume kayu yang
ditebang rata-rata adalah 0,692 m3/pohon. Dari data volume kayu yang ditebang dan waktu
tebang, didapat produktivitas penebangan yang besarnya berkisar antara 23,886-36,214 m3/jam
dengan rata-rata 28,839 m3/jam. Sementara itu, teknik penebagan ramah lingkungan dengan
timber harvester diperoleh volume kayu yang ditebang rata-rata sebesar 0,729 m3/pohon dengan
waktu tebang efektif rata-rata sebesar 0,024 jam atau 1 menit 26 detik. Produktivitas penebangan
berkisar antara 26,323 - 36,647 m3/jam dengan rata-rata 31,344 m3/jam. Produktivitas penebangan
dengan teknik ramah lingkungan lebih besar dari pada produktivitas penebangan secara
konvensional, yaitu 31,344 m3/jam dibanding 28,839 m3/jam. Biaya rata-rata penebangan dengan
timber harvester untuk teknik konvensional adalah Rp 22.503/jam sedangkan untuk teknik ramah
lingkungan adalah Rp 20.864/m3. Biaya penebangan dengan teknik ramah lingkungan lebih
murah dengan selisih Rp 1.638/m3 dibanding dengan penebangan dengan teknik konvensional.

IV. PENYARADAN

A. Hutan Alam
Penyaradan kayu merupakan kegiatan pemindahan kayu dari tempat di mana pohon
ditebang dan telah mengalami pemotongan batang tingkat pertama ke tempat pengumpulan kayu
melalui jalan sarad yang tidak dipersiapkan secara maksimal. Penyaradan kayu dilakukan oleh
satu regu penyarad dengan menggunakan alat penyarad untuk penyaradan kayu. Penyaradan
secara manual dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia dan tenaga hewan (gajah, kerbau,
sapi atau kuda). Penyaradan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat feller
buncher, forwader, bulldozer, trakor berban karet (wheel skidder) dan yarder (sistem kabel).
Cara penyaradan yang dikenal sampai saat ini adalah: (1) pemikulan dan penarikan kayu
oleh manusia; (2) penyaradan dengan bantuan gaya penarik binatang (sapi, gajah, kuda dan
kerbau); (3) penyaradan dengan gaya berat gravitasi; (4) penyaradan dengan traktor; (5)
penyaradan dengan kabel; (6) penyaradan dengan balon; dan (7) penyaradan dengan pesawat

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 47


udara (Elias, 1998). Penyaradan dengan traktor dan kabel pada saat ini banyak digunakan. Pada
penyaradan dengan traktor, kayu yang disarad selalu menyentuh tanah. Traktor yang dapat
digunakan untuk penyaradan kayu ada beberapa jenis seperti traktor pemanenan hutan berban
rantai baja, traktor pemanenan hutan berban karet (wheel skidder) dan traktor pertanian
(agricultural tractor).
Juta (1954) menyatakan bahwa penyaradan dengan traktor dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain ukuran dan jenis traktor yang digunakan, daya tarik pada kait, mesin dan alat bantu
yang digunakan, jumlah kayu yang disarad dan keterampilan operator yang menjalankan. Suparto
(1979) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan traktor sebagai alat sarad adalah dapat
bergerak leluasa di antara pohon inti pada sistem tebang pilih, dapat digunakan dengan aman
sampai tingkat kelerengan 40% dan dapat digunakan pada jarak yang cukup aman. Diapodiningrat
(1980) menambahkan bahwa kegiatan penyaradan kayu juga dipengaruhi oleh jarak sarad, jumlah
muatan, topografi, cuaca dan kondisi tanah.
Pennyaradan kayu dengan sistem kabel layang merupakan salah satu cara pengeluran kayu
yang ramah lingkungan. Waktu pengeluran kayu tidak termasuk waktu pasang dan bongkar alat
dengan sistem kabel layang P3HH 20 berkisar antara 0,028 - 0,212 jam/rit dengan rata-rata 0,091
jam/rit (5,5 menit/rit). Produktivitas pengeluaran kayu tanpa memperhitungkan waktu pasang dan
bongkar alat dengan sistem tersebut berkisar antara 0,575 - 5,058 m3/jam dengan rata-rata 1,856
m3/jam. Rata-rata produktuvitas pengeluaran kayu dengan memperhitungkan semua unsur kerja
adalah 1,204 m3/jam (Dulsalam dkk., 1997).
Pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang Koller 300 telah dicoba di PT Sumalindo
Lestari Jaya di Kalimantan Timur. Dulsalam dan Tinambunan (1998) menyimpulkan bahwa
produktivitas alat sistem kabel layang Koller 300 (tidak termasuk waktu persiapan dan bongkar
alat) per jalur kabel berkisar antara 1,040 - 2,980 m3/jam dengan rata-rata 2,190 m3/jam.
Sedangkan produktivitas ekstraksi kayu termasuk waktu persiapan dan bongkar alat berkisar
antara 1,460 - 1,850 m3/jam dengan rata-rata 1,710 m3/jam. Biaya rata-rata pengeluaran kayu
dengan sistem kabel layang Koller 300 adalah Rp 33.322/m3 (Dulsalam & Tinambunan, 1998).
Alat yang dikaitkan dengan sistem pemanenan adalah alat penyaradan. Apabila alat
penyaradannya dengan kabel, maka sistem pemanenannya disebut sistem kabel. Apabila
penyaradannya menggunakan trakor maka sistem pemanenannya disebut sistem trakor. Apabila
penyaradannya menggunakan kuda-kuda maka sistem pemanenannya disebut sistem kuda-kuda.
Pemilihan sistem penyaradan tergantung pada kondisi hutan seperti kemiringan, ukuran sortimen
dan jarak sarad (Suparto, 1979). Kegiatan penyaradan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain: jarak sarad, jumlah muatan, topografi, cuaca, kondisi tanah dan keterampilan pekerja
(Dipodiningrat, 1980). Produktivitas penyaradan terkendali rata-rata dengan traktor penyarad
adalah 25,30 m3/jam dengan biaya rata-rata Rp 9.150/m3 sedangkan produktivitas penyaradan
secara konvensional rata-rata adalah 39,84 m3/jam dengan biaya rata-rata Rp 8.000/ m3 (Suhartana
dan Dulsalam, 2000).
Jafar (1984) dalam Adams dan Andrus (1991) menyatakan bahwa pada kelerengan lebih
besar 30%, penyaradan kayu di mana kayu yang disarad menyentuh tanah tidak diperbolehkan
karena alasan kerusakan lingkungan. Topografi lapangan sangat menentukan pemilihan sistem
penyaradan. Staaf dan Wiksten (1984) mengklasifikasikan kemiringan lapangan menjadi lima

48 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


bagian sebagai berikut: (1) rata dan mulus atau sangat baik (0 - 9%); (2) bergelombang dan mulus
atau baik (10 - 20%); (3) Bergelombang atau sedang (20 - 33%); (4) Bergelombang tidak
beraturan atau jelek (33 - 50%); dan (5) Sangat tidak beraturan atau sangat jelek (> 50%).
Jenis traktor pemanenan hutan berban rantai baja dan traktor pemanenan hutan berban karet
telah banyak digunakan untuk penyaradan kayu. Traktor pertanian sebenarnya dapat digunakan
untuk penyaradan kayu. Namun, tanpa adanya alat bantu, traktor pertanian tersebut mempunyai
produktivitas penyaradan kayu yang rendah. Wellburn (1981) menyatakan bahwa penyaradan
kayu dengan sistem traktor lebih murah dibanding dengan penyaradan kayu dengan sistem kabel.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa traktor banyak dimiliki oleh petani dan pemilik lahan kecil.
Keuntungan penggunaan traktor berban karet untuk penyaradan kayu adalah kecepatan dan
mobilitas yang relatif tinggi (Stenzel et al., 1985). Haryanto (1986) mengemukakan bahwa traktor
berban karet di samping mempunyai kecepatan yang relatif tinggi tetapi juga dapat digunakan
untuk jarak sarad yang lebih jauh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jenis traktor ini dirancang hanya
untuk pekerjaan-pekerjaan yang ringan saja. Sedangkan kelemahannya, Ibotson (1991)
menyatakan bahwa traktor berban karet tidak cocok digunkan pada daerah yang mempunyai
kelerengan lapangan dan curah hujan tinggi.
Dalam memilih cara penyaradan yang paling baik perlu memperhatikan beberapa faktor
sebagai berikut: (1) topografi; (2) luas wilayah hutan yang dipanen; (3) geologi; (4) tanah; (5)
iklim; (6) jumlah kayu yang akan disarad; (7) rencana penebangan; (8) jalan angkutan yang ada;
(9) jarak sarad; (10) adanya tenaga kerja; (11) pengalaman tentang penyaradan kayu; (12)
kemampuan penyesuaian alat sarad; (13) keadaan sosial ekonomi masyarakat; dan (14) modal
yang tersedia. Brown (1958) menambahkan bahwa pertimbangan silvikultur, ukuran dan sifat
kayu perlu dipertimbangkan dalam pemilihan sistem penyaradan. Wackerman (1949) menyatakan
bahwa penyaradan ke arah bukit mengakibatkan kemampuan alat sarad untuk menempuh jarak
sarad lebih pendek dan volume kayu yang disarad lebih kecil dari pada penyaradan di daerah
datar.
Penyaradan kayu dengan tenaga binatang yang sampai saat ini masih digunakan ialah
penyaradan dengan sapi di hutan jati di Pulau Jawa, penyaradan dengan kuda di Amerika Serikat,
penyaradan dengan kerbau di Philipina dan penyaradan dengan gajah di Myanmar, Thailand dan
India. Pada penyaradan dengan hewan ini biasanya kayu (muatan) disarad di atas tanah. Juta
(1954) menyebutkan bahwa keuntungan penyaradan di atas tanah adalah kayu yang disarad
mudah diputarbalikkan dan memerlukan waktu yang pendek untuk mengaitkan muatan sedang
kerugiannya adalah gesekan gelincir yang besar, memasukkan ujung batang dalam tanah dan
memerlukan gaya tarik yang besar.
Kegiatan penyaradan dipengaruhi oleh beberapa faktor, Brown (1949) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi sistem penyaradan adalah ukuran dan sifat kayu, topografi,
pertimbangan silvikultur, pertimbangan iklim dan jarak ke tempat pengumpulan sementara.
Disamping itu volume kayu yang disarad dan cara penyaradan dapat mempengaruhi produktivitas
penyaradan.
Dulsalam dan Sukanda (1989) menyatakan bahwa produktivitas rata-rata traktor pemanenan
hutan berban rantai baja Merek Catterpillar Model D7G adalah 92,09 m3.hm/jam. Suhartana dan
Dulsalam (2000) menyatakan bahwa produktivitas rata-rata traktor merek Caterpillar model D7G

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 49


adalah 25,30 m3/jam untuk penyaradan secara ramah lingkungan dan 39,84 m3/jam untuk
penyaradan secara konvensional. Grulois (2000) menyatakan bahwa produktivitas penyaradan
kayu dengan traktor berban rantai baja pada sistem ramah lingkungan dan konvensional secara
berurutan adalah 22 m3/jam (jaraksarad rata-rata 260 m) dan 18 m3/jam (jarak sarad rata-rata 530
m). Holmes et al. (1999) mengemukakan bahwa produktivitas rata-rata penyaradan kayu dengan
traktor berban rantai baja merek Caterpillar model D6 SR pada sistem terkendali dan sistem
konvensional secara berurutan adalah 22,39 m3/jam dan 31,66 m3/jam. Produktivitas rata-rata
penyaradan kayu dengan traktor berban karet (wheel skidder) dengan winch dan dengan
penjepit (grapple) merek Caterpillar model 518 secara berurutan adalah 22,61 m3/jam dan 45,60
m3/jam (Anonim, 1991).
Penyaradan pada sistem tebang habis dapat menimbulkan erosi dan pemadatan tanah. Erosi
di daerah hutan antara lain terjadi akibat pembangunan jalan dan kegiatan penyaradan kayu.
Bagian yang peka terhadap erosi adalah daerah pembukaan tanah, penimbunan tanah tempat
pengumpulan kayu, mahkota jalan, saluran drainase dan tempat pengumpulan kayu. Pada jalan
sarad, Trimble dan Weitzmen (1953) dalam Tinambunan (1991c) menyimpulkan bahwa jalan
sarad menimbulkan erosi yang serius. Tingkat erosi pada jalan sarad ini dipengaruhi oleh faktor
kemiringan tanah, panjang lereng, intensitas pemakaian, vegetasi dan iklim. Lebih lanjut
disarankan agar lokasi, konstruksi, pemeliharaan dan penggunaan jalan sarad dirancang dengan
baik untuk mengurangi gangguan lingkungan.
Masalah pemadatan tanah sangat penting peranannya dalam pengelolaan hutan oleh karena
hal itu dapat mengurangi atau menghambat sama sekali pertumbuhan vegetasi. Di luar jalan sarad
mengalami penurunan permeabilitas 35%, kenaikan berat jenis 2,4% dan penurunan ruang
makrokospik 10%. Pada jalan sarad dengan traktor, penurunan permeabilitas 93%, kenaikan berat
jenis 35% dan penurunan ruang makrokospik 53% (Tinambunan, 1991). Lebar jalan sarad pada
penyaradan kayu dengan traktor pertanian adalah lebih kecil dibanding lebar jalan sarad pada
penyaradan kayu dengan traktor berban rantai baja. Hal ini mudah dipahami karena lebar traktor
pertanian hanya 2 m sedangkan lebar traktor berban rantai baja berikut pisaunya dapat mencapai 4
m. Pada kerapatan jalan yang sama, kerusakan tanah yang disebabkan oleh traktor pertanian jauh
lebih kecil dibanding dengan kerusakan tanah yang disebabkan oleh traktor berban rantai baja.
Upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan penyaradan dapat dilakukan
sebagai berikut: (1) Jalan sarad direncanakan dengan baik; (2) Adanya kerjasama yang baik antara
regu penebang dan regu penyarad; (3) Keterampilan operator traktor ditingkatkan; (4) Operator
traktor membuat jalan sarad; (5) Traktor hanya beroperasi di atas jalan sarad; (6) Operator
menggunakan jalur winching yang telah dipersiapkan; (7) Penyaradan diusahakan tidak melintasi
sungai/alur; (8) Pada waktu menyarad, bagian depan kayu yang disarad terangkat; (9) Tenaga
motor alat sarad yang digunakan maksimal 180 HP; dan (10) Pengawasan pada kegiatan
penyaradan dilakukan secara teratur.

B. Hutan Tanaman
Penyaradan kayu ramah lingkungan di hutn tanaman dapat dilakukan seperti diuraikan
berikut ini. Kayu yang telah ditumpuk pada penyaradan potong pendek di dalam lokasi
penebangan harus secepatnya ditarik keluar dari lokasi penebangan, paling lambat 2 minggu dari

50 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


waktu penebangan. Pada hutan tanaman dapat mnggunakan wheel skidder atau forwarder atau
sistem kabel layang untuk penyaradan. Pada penyaradan dengan menggunakan wheel skidder atau
forwarder, penyaradan harus melalui jalur sarad yang telah diberi sisa-sisa kayu/ranting dan
cabang. Skidder menggendong muatannya ketika sedang melakukan penyaradan.
Produktivitas rata-rata penyaradan dengan skidder adalah 34,5 m3/jam pada kelerengan
lapangan 0-15% dan 31,50 m3/jam pada kelerengen lapangan 15-25%. Rata-rata biaya penyaradan
adalah Rp 23.729/m3 pada kelerengan lapangan 0-15% dan Rp 26.000/m3 pada kelerengan
lapangan 15-25% (Dulsalam dkk., 2009).
Traktor pertanian yang dilengkapi alat bantu dapat digunakan untuk penyaradan kayu.
Jumlah traktor pertanian beroda empat pada tahun 1996 adalah 5.384 buah dengan pertumbuhan
2% per tahun (BPS dalam Gultom dan Handaka, 1998). Penggunaan traktor pertanian untuk
penyaradan kayu adalah cukup beralasan jika ukuran kayu yang disarad relatif kecil dan topografi
lapangan relatif datar (Dykstra & Heinrich, 1996). Produktivitas traktor pertanian model D-110
bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan winch dan gandengan pada jarak sarad sekitar
20 - 70 m dengan kelerengan lapangan sekitar 15% berkisar antara 8,23 - 9,27 m3/jam atau 1,854 -
4,761 m3.hm/jam (Rodrigues, 1986). Produktivitas pengeluaran kayu dengan traktor pertanian
buatan Volvo BM atau Valmet Model 505-4 bermesin diesel bertenaga motor 65 HP yang
dilengkapi dengan alat bantu untuk muat dan semi gandengan pada jarak sarad rata-rata 400 m
adalah 3,10 m3/jam (12,40 m3.hm/jam) untuk kayu pertukangan dan 2,50 m3 /jam (10 m3.hm/jam)
untuk kayu bakar (Anonim, 1988). Produktivitas traktor pertanian Buatan Ford Model 5610
bermesin diesel bertenaga motor 65 HP dengan alat bantu sederhana berkisar antara 0,062 - 6,080
m3.hm/jam dengan rata-rata 2,075 m3.hm/jam (Dulsalam dan Sukadaryati, 2002). Pada jarak sarad
rata-rata 1 hm maka produktivitas traktor Ford tersebut berkisar antara 0.062 m3 - 6,080 m3/jam
dengan rata-rata 2,075 m3/jam. Abeli dan Meiludie (1991) menyebutkan bahwa produktivitas rata-
rata penyaradan kayu dengan traktor pertanian merek Ford model 6600 pada jarak sarad rata-rata
100, 151 dan 198 m secara berurutan adalah 8,3 m3/jam, 5,0 m3/jam dan 5,5 m3/jam (8,30
m3.hm/jam, 7,55 m3.hm/jam dan 10,89 m3.hm/jam). Lebih lanjut dinyatakan bahwa produktivitas
rata-rata penyaradan kayu dengan traktor pertanian merek yang sama model County 754 pada
jarak sarad rata-rata 64 m adalah 8,5 m3/jam atau 5,44 m3.hm/jam.
Biaya traktor pertanian model D-110 bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan winch
dan gandengan pada jarak sarad sekitar 20 - 70 m dengan kelerengan lapangan sekitar 15% adalah
USD 0,92/ m3 (Rodrigues, 1986). Biaya pengeluaran kayu dengan traktor pertanian buatan Volvo
BM atau Valmet Model 505-4 bermesin disel bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan alat
bantu untuk muat dan semi gandengan adalah USD 4,43/m3 untuk kayu pertukangan dan 5,49/m3
untuk kayu bakar (Anonim, 1988). Biaya rata-rata traktor pertanian Buatan Ford Model 5610
bermesin disel bertenaga motor 65 HP dengan alat bantu sederhana adalah Rp 55.777/m3.hm
(Dulsalam dan Sukadaryati, 2002). Pada jarak sarad rata-rata 1 hm maka biaya rata-rata traktor
Ford tersebut adalah Rp 55.777/m3.
Pengeluran kayu di hutan tanaman dapat dilakukan dengan sistem kabel layang.
Produktivitas pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH24 berkisar antara 1,527
5,656 m3/jam dengan rata-rata 2,519 m3/jam. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan
dengan cara meningkatkan efektivitas penggunaan waktu kerja antara lain dengan mempercepat

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 51


waktu persiapan. Produktivitas sistem kabel layang P3HH24 lebih rendah dari pada produktivitas
kabel layang Isuzu 240, yaitu secara berurutan 2,519 m3/jam dibanding 21,060 m3/jam. Hal ini
disebabkan tenaga motor pada sistem kabel layang P3HH24 jauh lebih kecil dibanding tenaga
motor sistem kabel layang Isuzu 240, yaitu secara berurutan 24 tenaga kuda dibanding 240 tenaga
kuda. Biaya rata-rata pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH20 yang telah
disempurnakan adalah Rp 24.963/m3 (Dulsalam dkk., 2002).
Heinrich (1987) menyatakan bahwa di hutan tanaman di daerah pegunungan dengan kayu
yang berukuran besar dan jaringan jalan rendah, sistem kabel layang secara tradisional mungkin
dapat menjadi cara yang cocok untuk pemanenan kayu, baik secara tebang pilih maupun tebang
jalur. Lebih lanjut dilaporkan bahwa sistem kabel layang di Bhutan dapat mengeluarkan kayu 20 -
25 m3 per hari. Apabila waktu kerja 8 jam per hari maka produktivitas sistem kabel layang yang
berkekuatan sekitar 80 tenaga kuda di Bhutan tersebut berkisar antara 2,500 - 3,125 m3/jam.
Dibandingkan dengan produktivitas rata-rata sistem kabel layang di Bhutan, produktivitas kabel
layang yang telah diuji coba dengan kekuatan tenaga tiga kali lebih kecil tidak jauh berbeda yaitu
secara berurutan 2,519 m3/jam dibanding 2,500 - 3,125 m3/jam. Hal ini mengindikasikan sistem
kabel layang P3HH24 masih lebih baik dibandingkan dengan sistem kabel layang yang ada di
hutan.
Produkstivitas penyaradan kayu dengan gajah tanpa alat bantu di Riau berkisar antara 0,969
- 4,132 m3.hm/jam dengan rata-rata 1,972 m3-hm/jam sedangkan produktivitas tersebut dengan
alat bantu berkisar antara 1,260 - 5,112 m3-hm/jam dengan rata-rata 3,099 m3-hm/jam. Biaya
penyaradan kayu dengan gajah tanpa alat bantu berkisar antara adalah Rp 1.334,30 - Rp 5.732,41/
m3.hm dengan rata-rata Rp 3.232,21/m3-hm sedangkan biaya penyaradan kayu dengan gajah
dengan alat bantu berkisar antara Rp 1.159 - Rp 4.702,44/m3.hm dengan rata-rata Rp2.201/m3-hm
(Dulsalam dkk., 1998).
Penyaradan kayu dengan kerbau per rit memerlukan waktu berkisar antara 0,16-0,69 jam
dengan rata-rata 0,28 jam. Diameter kayu yang disarad berkisar antara 11 - 19 cm dengan rata-rata
13 cm. Panjang kayu yang disarad berkisar antara 4,10-20,50 m dengan rata-rata 16,27 m.
Volume kayu yang disarad berkisar antara 0,122 - 0,464 m 3/rit dengan rata-rata 0,243 m3/rit.
Jumlah batang yang disarad berkisar antara 1-5 batang/rit dengan rata-rata 3,97 batang/rit.
Produktivitas penyaradan kayu berkisar antara 0,287-1,335 m3.hm/jam dengan rata-rata 0,821
m3.hm/jam. Biaya rata-rata penyaradan kayu dengan kerbau berkisar antara Rp 6.299-Rp
29.293/m3 dengan rata-rata Rp 11.581/m 3.hm (Anonim, 2001).

V. MUAT BONGKAR DAN PENGANGKUTAN

A. Hutan Alam
Kegiatan muat bongkar dilakukan secara manual dengan tenaga manusia dan secara
mekanis dengan menggunakan traktor pemuat kayu. Pemuatan kayu secara manual telah diteliti
pada tahun 1999 dengan hasil sebagai berikut: (1) produktivitas pemuatan kayu berkisar antara
2,32 - 6,38 m3/jam dengan rata-rata 3,83 m3/jam, jarak pemuatan kayu berkisar antara 15 - 35 m,
(3) biaya pemuatan berkisar antara Rp 1.990 - Rp 4.310/m3 dengan rata-rata Rp 3.235/m

52 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Produktivitas traktor pemuat pada pemuatan secara mekanis tersebut adalah 36 m3/jam dengan
biaya Rp 7.620/m3. (Dulsalam dan Tinambunan, 2001).
Untuk kegiatan pengangkutan kayu digunakan truk angkutan dengan berbagai kapasitas,
yaitu berkisar antara 15 - 40 ton/rit. Kegiatan pengangkutan kayu di hutan tanaman tersebut belum
efisien. Untuk itu efisiensi pengangkutan kayu di hutan tanaman perlu ditingkatkan.
Upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan pengangkutan dapat dilakukan
sebagai berikut: (1) Pemuatan dan pembongkaran muatan harus dilakukan secara hati-hati agar
kayu yang dimuat atau dibongkar tidak rusak; (2) Peningkatan keterampilan pengemudi; (3) Kayu
yang telah dimuat di atas truk harus dalam posisi yang mantap sehingga kayu-kayu tersebut tidak
mudah jatuh pada waktu truk berjalan; (4) Panjang dan volume kayu yang diangkut disesuaikan
dengan panjang dan kapasitas truk angkutan; dan (5) Pengawasan dilakukan secara terus menerus.

B. Hutan Tanaman
Pemuatan kayu dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Kayu yang dimuat dilarang
tercampur dengan barang yang bukan merupakan satu kategori (tanah, pasir, paku, tali dan
material lain), kayu terbakar, afkir dan kayu yang tidak diterima oleh pabrik. Pemuatan kayu ke
sampan besi atau truk harus tersusun rapi dan diikat supaya tidak tumpah atau jatuh di perjalanan.
Produktivitas pemuatan kayu rata-rata adalah 44 m3/jam. Biaya rata-rata pemuatan kayu adalah
Rp 9.312/m3 (Dulsalam dkk., 2009).
Pengngkutan kayu dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Pengangkutan kayu dilakukan
melalui jalan darat dan air sesuai dengan jenis dan kapasitas alat angkut yang ditentukan oleh
peraturan perundangan yang berlaku. Setiap pengangkutan kayu wajib disertai dengan dokumen
angkutan kayu yang sah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen yang sah
untuk kayu bahan baku serpih adalah Faktur dan surat keterangan sah hasil hutan (SKSHH) yang
pengadaannya dilakukan oleh tata usaha kayu (TUK). Isi dokumen harus sesuai dengan fisik kayu
yang diangkut. Produktivitas pengangkutan arata-rata adalah 18,5 m3/jam pada jarak rata-rata 26
km atau 518 m3.km/jam dengan biaya pengankutan rata-rata sebesar Rp 1.054/m3.km (Dulsalam
dkk., 2009).

VI. EFISIENSI PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN

A. Hutan Alam
Efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, sampai diameter minimal 30 cm dan 10 cm pada
pemungutan kayu yang disempurnakan di hutan lahan kering disajikan dalam Tabel 1. Pada tabel
tersebut terlihat bahwa rata-rata efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, kayu sampai dengan
batas diameter minimal 30 cm dan kayu sampai batas diameter minimal 10 cm secara berurutan
adalah 83%, 70% dan 68%. Rata-rata tingkat efisiensi pemungutan kayu yang telah
disempurnakan lebih tinggi dari pada rata-rata tingkat efisiensi pemungutan kayu secara
konvensional, yaitu 83% dibanding 77%. Dengan perbaikan teknik pemungutan terjadi
peningkatan efisiensi sebesar 7%. Volume kayu per batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan
berkisar antara 6 - 16 m3/pohon dengan rata-rata 10 m3/pohon. Kayu yang diselamatkan dengan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 53


adanya perbaikan teknik pemungutan adalah 0,7 m3/pohon. Apabila dibandingkan dengan
produksi aktual maka perbaikan teknik pemungutan tersebut dapat meningkatkan produksi sebesar
11%. Dengan asumsi bahwa produksi kayu dari hutan alam per tahun adalah 15 juta m3 per tahun
maka perbaikan teknik pemungutan tersebut dapat meningkatkan produksi kayu sebesar 1,65 juta
m3 per tahun. Jika besarnya Dana Reboisasi (DR) dan PSDH adalah Rp 150.000/m3 maka negara
akan mendapat dana sebesar Rp 247,5 milyard per tahun. Dari tabel 1 juga dapat dilihat bahwa
limbah yang terjadi pada pemungutan kayu bebas cabang, kayu sampai daiameter minimal 30 cm
dan kayu sampai diameter 10 cm secara berurutan adalah 17%, 30% dan 32%. Apabila
dibandingkan dengan produksi aktual, maka limbah yang terjadi pada pemanfaatan kayu bebas
cabang adalah sebesar 20%. Limbah pemungutan kayu tersebut sangat potensial untuk
dimanfaatkan.

Tabel 1. Efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, sampai diameter minimal 30 cm dan 10 cm
pada pemungutan kayu yang ramah lingkungan di hutan lahan kering

Efisiensi pemungutan Limbah pemungutan


No. Tahun penelitian Bebas Bebas
I t 30 I t 10 I t 30 I t 10
cabang cabang
1. A (1993) 75 70 68 25 30 32
2. B (1995) 86 - - 14 - -
3. C (1996) 97 - - 3 - -
4. D (1985) 80 - - 20 - -
5. E (1988) 83 - - 17 - -
6. F (1996) 80 - - 20 - -
7. G (1997) 80 - - 20 - -
Jumlah 581 70 68 99 30 32
Rata-rata 83 70 68 17 30 32
Keterangan: A = Dulsalam (!993); B = Idris dan Suhartana (1995); C = Suhartana dan Dulsalam (1996);
D = Simarmata (1985); E = Dulsalam (1988); F = Anonimus (1995); dan G = Anonimus (1997)

Efisiensi pemanenan kayu di hutan rawa lebih tinggi bila dibandingkan dengan efisiensi
pemanenan kayu di hutan lahan kering. Efisiensi pemungutan kayu (bebas cabang) yang telah
disempurnakan di hutan rawa disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Efisiensi pemanenan kayu (bebas cabang) yang ramah lingkungan di hutan rawa

No. Hasil penelitian Jumlah contoh Efisiensi pemungutan Limbah pemungutan


(%) (%)
1. H (1985) 184 83 17
2. I (1997) 343 89 11
Jumlah 527 172 28
Rata-rata 262,5 86 14
Keterangan: H = Simarmata & Dulsalam (1985); I = Anonim (1997)

54 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Kegiatan penebangan dan penyaradan di hutan alam dengan sistem tebang pilih dapat
menyebabkan kerusakan tegakan tinggal. Semakin tinggi tingkat kerapatan tegakan semakin
tinggi pula tingkat kerusakan tegakan tinggal, demikian juga sebaliknya. Berikut ini diuraikan
kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan kayu secara konvensional dan pemanenan kayu secra
ramah lingkungan.
Pada pelaksanaan penebangan dan penyaradan yang dilakukan secra konvensional sesuai
kebiasaan mereka, yaitu sebelum penebangan tidak dilakukan penghilangan banir, jalan sarad
tidak dibuat sebelumnya, pembuatan takik rebah dan takik balas belum dilakukan sebagaimana
mestinya, kerusakan tegakan tinggal rata-rata berkisar antara 11,75 - 20,20% (Idris & Suhartana,
1997; Suhartana, 1997; Sukadaryati & Dulsalam, 2002). Faktor dominan yang mempengaruhi
terjadinya kerusakan tegakan tinggal adalah jumlah pohon ditebang, kerapatan tegakan dan
kemiringan lapangan. Makin tinggi tingkat kerapatan tegakan makin tinggi tingkat kerusakan
tegakan tinggal yang terjadi (Dulsalam et al., 1989). Jumlah pohon ditebang per satuan luas dan
kemiringan lapangan berpengaruh sangat nyata terhadap kerusakan tegakan tinggal (Suhartana &
Dulsalam, 1996).
Pelaksanaan pemanenan kayu ramah lingkungan dapat dicapai apabila kegiatan penebangan
dan penyaradan dilakukan dengan cara: membuat perencanaan jalan sarad berdasarkan topografi
dan lokasi penyebaran pohon dengan tanda-tanda yang jelas (cat kuning) di lapangan; jalan sarad
dibuat sependek mungkin dan menghindari rusaknya pohon inti dan pohon induk serta tegakan
tinggal yang rapat; melakukan pembersihan semak belukar di sekitar pohon yang akan ditebang;
menetapkan arah rebah pohon sehingga membentuk sudut lancip dengan arah penyaradan yang
akan dilakukan; menghindari jatuhnya pohon ke arah pohon inti dan pohon induk serta lereng
bawah/jurang; melakukan penghilangan banir pada pohon tebang yang berbanir; membuat alas
takik rebah dan takik balas serendah mungkin (r 54 cm dari permukaan tanah); pada waktu
penyaradan dilakukan bagian depan kayu yang disarad terangkat dari permukaan tanah dengan
bantuan tenaga dari traktor; traktor sarad tidak membuat gerakan membelok yang tajam dan
mendadak yang akan mengakibatkan kayu yang disarad menyapu kiri-kanan tegakan tinggal;
dilakukan teknik winching bila trkator sarad tidak kuat menyarad kayu pada arah mendaki,
yaitu traktor tetap bergerak maju dengan mengulur kabel sehingga kayu yang disarad tidak
bergerak untuk selanjutnya traktor sarad berhenti/tidak bergerak sedangkan kabel sarad digulung
dengan tromol sehingga kayu yang disarad dapat ditarik; traktor sarad pada waktu menuruni
lereng bergerak membentuk sudut lancip dengan arah lurus menurunnya lereng. Apabila kegiatan
penebangan dan penyaradan dilakukan secara ramah lingkungan maka kerusakan tegakan tinggal
rata-rata yang terjadi berkisar antara 7,05 - 11,30% (Idris & Suhartana, 1997; Suhartana, 1993,
1997, 2001; Suhartana & Dulsalam, 2000; Sukadaryati & Dulsalam, 2001).
Teknik pemanenan kayu ramah lingkungan dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal
rata-rata berkisar antara 4 - 9%. Jumlah kerusakan tersebut cukup berarti bagi potensi tegakan
masa depan. Apabila potensi hutan diperkirakan 50 m 3/ha maka teknik pemanenan kayu ramah
lingkungan dapat menyelamatkan potensi pohon masa depan sebesar 2 - 4,5 m3/ha. Untuk
mengurangi kerusakan tegakan tinggal dapat dilakukan dengan jalan membatasi jumlah pohon
yang ditebang dan meningkatkan tingkat kehati-hatian dalam pelaksanaan penebangan dan
penyaradan. Kegiatan penebangan dan penyaradan perlu diperbaiki dengan cara sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 55


membatasi jumlah pohon yang ditebang yaitu tidak boleh menebang lebih dari 9 pohon per ha.
Perbaikan manajemen harus direncanakan terutama pada kegiatan penebangan dan penyaradan.
Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan penebangan dan penyaradan paling banyak
menimbulkan kerusakan tegakan tinggal. Keterampilan tenaga kerja perlu ditingkatkan. Tenaga
kerja yang ada terutama tenaga penebang dan operator traktor biasanya belum mendapat pelatihan
khusus dan hanya berdasarkan kebiasaan kerja di lapangan.

B. Hutan Tanaman
Efisiensi pemanenan kyu di hutan tanaman lebih tinggi bila dibanding efisiensi pemnenan
kayu di hutan lahan kering. Efisiensi pemnenan kayu di hutan tanaman mangium pada kelerengan
lpangan 0 15% disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Efisiensi pemanenan kayu pada kemiringan lapangan 0-15%

No. Potensi kayu (m3) Pemanfaatan kayu (m3) Efisiensi (%)


1. 8,011 7,931 99
2. 6,644 6,445 97
3. 7,528 7,226 96
Total 22,183 21,602 292
Rata-rata 7,394 7,197 97
SD 0,980 1,051 2
KV 13,26 14,60 2,23
Keterangan: SD = Standar deviasi, KV = Koefisien variasi
Sumber: Diolah dari Dulsalam dan Roliadi (2011)

Tabel 3 menunjukkan bahwa efisiensi pemanenan kayu mangium pada kemiringan


lapangan 0-15% berkisar antara 96 - 99% dengan rata-rata 97%. Efisiensi pemanenan kayu pada
kemiringan lapangan 15-25% berkisar antara 94 96% dengan rata-rata 95% (Tabel 4).

Tabel 4. Faktor eksploitasi pada kemiringan lapangan 15-25%

No. Potensi kayu (m3) Pemanfaatan kayu (m3) Efisiensi (%)


1. 7,854 7,382 0,94
2. 6,320 6,067 0,96
3. 5,985 5,685 0,95
Total 20,519 19,316 2,85
Rata-rata 6,720 6,379 0,95
SD 1,409 1,258 0,014+
KV 20,97 19,721 14,74
Keterangan: SD = Standar deviasi, KV = Koefisien variasi
Sumber: Diolah dari Dulsalam dan Roliadi (2011)

56 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa efisiensi penebangan kayu mangium berkisar
antara 99,6 - 100% (Suhartana dkk., 2004, 2010). Demikian juga dengan efisiensi pemnenan kayu
rasamala dapat mencapai 100% (Suhartana, 2005). Pemanenn kayu ramah lingkungan seyogyanya
juga diaplikasikan pada seluruh perusahaan hutan tanaman.

VII. KESIMPULAN

Pemanenan kayu ramah lingkungan selain dapat mengurangi dampak negatif terhadap
lingkungan juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu. Efisiensi pemanfatan kayu
ramah lingkungan di hutan alam dapat mencapai lebih besar dari 85% sedangkan efisiensi
pemanfatan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman dapat mencapai lebih besar dari 95%.
Pemanenan kyu ramah lingkungan di hutan alam juga dapat mengurangi kerusakan tegakan
tinggal sebesar 4 - 9% dan mengurangi keterbukaan tanah sebekitar 2%. Pemanenn kayu ramah
lingkungan seyogyanya diaplikasikan pada seluruh perusahaan hutan .

DAFTAR PUSTAKA

Abeli, W.S. and R.E.L. Ole-Meiludie.1991. Future harvesting strategies in tanzania forest.
Proceedings of A Symposium on Forest Harvesting ini South East Asia. Forest Engineering
Inc. Oregon.
Anonim. 1988. Case Study on Intermediate Technology in Forest Harvesting: Agricultural Tractor
and Forest Trailer with Mechanical Crane. Funds - In-Trust Project: GCP/Int/343/ SW.
FAO. Rome.
_______. 1989. Studi identifikasi pemanfaatan limbah pembalakan di DAS Mahakam, Provinsi
Kalimantan Timur. Tidak diterbitkan.
______. 1991. Tebang habis cara jalur, intensitas samp ling, tabel isi pohon, faktor eksploitasi dan
angka pengaman serta faktor konversi di hutan alam pinus Daerah Takengon di Provinsi
Aceh yang dikelola secara tebang habis dengan permudaan buatan. Laporan Kerjasama
Penelitian antara Badan Litbang Kehutanan dengan PT Alas Helau. Tidak diterbitkan.
_______. 1995. Penentuan faktor eksploitasi di konsesi hutan PT Mangole Timber Producer di
Maluku. Kerjasama Penelitian antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan &
Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT Mangole Timber Producer. Ttidak diterbitkan.
_______. 1997. Penelitian faktor eksploitasi (FE) PT Putraduta Indah Wood, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Dati I Jambi. Kerjasama Penelitian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT Putraduta Indah
Wood. Tidak diterbitkan.
KOICA. 2001. The Feasibility Study on Small Diameter Log Resources Development in
Indonesia. Final Report. Korea International Cooperation Agency and Korea Forest
Research Institute. Seoul.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 57


Departemen Kehutanan. 2009. Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Brown, N.C. 1958. Logging. John Wiley & Sons Inc. New York.
Dulsalam. 1988. Faktor eksploitasi meranti di Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1(5): 47 - 49.
_______. 1995. Produktivitas penebangan kayu sungkai dengan gergaji tangan. Publikasi Khusus
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan 1(2):38-
47.
_______. 1997. Hubungan kerpatan jalan hutan dengan intensitas pemungutan kayu. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 5(3): 200-211.
_______. 1989b. Produktivitas traktor caterpillar D7G di suatu perusahaan hutan di Jambi. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 6(6):368-372. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.
_______. 1993. Efisiensi penebangan kayu di kawasan hutan dengan sistem Tebang Pilih
Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(6): 232-240.
_______. 1998. Keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan hutan: Studi kasus di dua
perusahaan di Kalimantan. Info Hasil Hutan 5(1): 51-60.
Dulsalam, M.M. Idris & W. Endom. 1997. Produktivitas dan biaya pengeluaran kayu dengan
sistem kabel P3HH20. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(3):151-161. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Dulsalam dan T. Tinambunan. 1998. Sudi kasus p roduktivitas dan biaya pengeluaran kayu dengan
sistem kabel layang Koller 300. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(8):449-462. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
________________________. 2001. Teknik pemanenan hutan tanaman. Proosiding Diskusi
Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Dulsalam dan Sukadaryati. 2001. Produktivitas dan biaya penyaradan kayu dengan kerbau di
Jambi. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (3):147-164. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
_____________________. 2002. Produktivitas dan biaya penyaradan kayu dengan traktor
pertanian type FORD 5660 di hutan tanaman Semaras, Pulau Laut. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 20(1):35-54. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Dulsalam, D. Tinambunan dan Sukadaryati. 2009. Teknik pemanenan hutan ramah lingkungan di
hutan tanaman lahan kering. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.
Dulsalam dan H. Roliadi. 2011. Faktor eksploitasi hutan tanaman mangium (Accacia mangium
Wild): Studi kasus di PT Toba Pulp Lestari Tbk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat
Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

58 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Dykstra, D.P. and R. Heinrich. 1996. FAO Model Code of Forest Harvesting Practice. Food and
Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Elias. 1998. RIL di hutan alam tropika Indonesia. Prosiding Workshop Reduced Impact Logging:
Evaluasi Penerapan RIL di Hutan Alam Guna Meningkatkan Efisiensi Pemanenan Kayu
yang Ramah Lingkungan Pada Tanggal 22-27 Oktober 1998. Hlm. 1-6. PT Suka Jaya
Makmur dan PT Sari Bumi Kesuma. Camp Pawan Selatan.
Endom, W. 1995. Faktor eksploitasi beberapa jenis kayu hutan produksi alam dan penyebaran
limbah pembalakannya. Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan
Sosial ekonomi Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Grulois, S. 2000. Economic cost assessment of reduced impact logging in Bulungan Research Site
(East Kalimantan). CIFOR Final Report (tidak diterbitkan).
Holmes, TP., G.M. Blate & J.C. Sweede, R. Pereira, P. Barreto, F. Boltz & R. Bauch. Financial
cost and benefit of reduce impact logging relative to conventional logging in the Eastern
Amazon. Phase I final Report Tropical Forest Foundation. Forest Service. Tidak diterbitkan.
Ibotson, B.R. 1991. Tractor Logging in the Hill Forest of Sarawak. A Symposium of Forest
Harvesting in South East Asia. Forest Engineering Department. Oregon.
Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1995. Produktivitas dan efisiensi pemanenan kayu dengan teknik
penebangan serendah mungkin di hutan produksi alam: Studi kasus di tiga perusahaan hutan
di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(3): 94-100.
_______________________. 1996. Limbah kayu akibat pembuatan jalan hutan dan tebang
bayang pada 6 HPH di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 14(1): 7-15.
_______________________. 1997. Pembalakan ramah lingkungan untuk minimasi kerusakan
tegakan tinggal: Kasus di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian
Hasil Hutan 15(3):212-222. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Juta, E.H.P. 1954. Pemungutan Hasil Hutan. NV Timun Mas. Jakarta.
Rodrigues, E.O. 1996. Wood Extraction with Oxen and Agricultural Tractors. FAO Forestry
Paper No. 49. Rome.
Simarmata, S.R. dan Dulsalam. 1985. Faktor eksploitasi jenis meranti di Jambi, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(1): 10 - 12.
Simarmata, S.R. 1985. Limbah eksplotasi pada beberapa perusahaan pengusahaan hutan di
Kalimantan dan Sumatra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Lembaran Penelitian No. 20.
Suhartana, S. 1993. Kajian keberadaan tegakan tinggal dan keterbukaan lahan pada kegiatan
penyaradan dan penebangan di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 11(3):117-121. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 59


Suhartana, S. 1994. Penetapan besarnya limbah penebangan serta upaya penekanannya. Jutnal
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 9(3): 25 - 31.
________. 1997. Penyaradan yang direncanakan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal:
Kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(1):
60-67. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan.
Bogor.
Suhartana, S. dan Dulsalam. 1996. Penebangan serendah mungkin untuk meningkatkan produksi
kayu: Studi kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil
Hutan 14(9): 374 381.
______________________. 2000. Pemanenan berwawasan lingkungan untuk minimasi kerusakan
hutan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(2 ):87-103. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Suhartana, S. dan M. Sinaga. 2003. Peningkatan produksi penebangan di hutan tanaman. Laporan
Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.
_______________________. 2004. Peningkatan produksi penebangan di hutan tanaman. Laporan
Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.
Suhartana, S., M. Sinaga dan I. Sumantri. 2004. Peningkatan produktivitas dan penebangan kayu
di satu perusahaan hutan tanaman di Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
22(3):175-182. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil hutan. Bogor.
Suhartana, S. dan Yuniawati. 2004. Studi aplikasi penebang an ramah lingkungan di Riau dan
Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2):111-118. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil hutan. Bogor.
________________________. 2010. Studi komparasi aplikasi penerbangan ramah lingkungan di
Riau dan Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2):119-129. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Suhartana, S., Yuniawati dan D. Tinambunan. 2005. Peningkatan pemanfaatan kayu rasamala
dengan perbaikan teknik penebangan dan sikap tubuh penebang: Studi kasus di KPH
Cianjur, Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(5):349-361. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil hutan. Bogor.
Sukadaryati dan Dulsalam. 2002. Penebangan pohon yang efisien dengan kerusakan yang
minimal. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(2): 95-105. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Suparna, N. 1998. Pengalaman penerapan reduced impact logging (RIL) di Alas Kusuma Group
(Mitra Proyek NRM, USAID). Proceedings Joint Workshop on Silviculture and Reduced
Impact Logging and Workshop on Silviculture, Growth & Yield and Reduced Impact
Logging on April, 14 17 in Jakarta Anyer. p. 51-55. Provincial Forest Management
Project. Jakarta.
Suparto, R.S. 1979. Eksploitasi Hutan Modern. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

60 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Staaf, K.A.G. and N.A. Wiksten. 1984. Tree Harvesting Techniques . Martinus Nijhoff/Dr. W.
Junk Publisher. Dordrecht/Boston/Lancaster.
Thaib, J. 1985. Kerusakan tegakan sisa akibat eksploitasi hutan dengan sistem traktor dan
highlead. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(4): 14 - 18.
Tinambunan, D. 1988. Potensi jalan hutan dalam akselerasi erosi tanah di Kalimantan Barat.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(3): 105-113.
________. 1990a. Beberapa aspek geometrika jalan hutan dan hubungannya dengan erosi tanah.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(7): 411 - 419.
________. 1990b. Perkembangan keadaan jalan hutan menurut waktu dan hubungannya dengan
potensi erosi tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7(3): 79 90.
________. 1991a. Keadaan jalan hutan di hutan jati dan potensinya dalam akselerasi erosi tanah.
Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(3): 129-136.
________. 1991b. Analisis pembangunan prasarana angkutan dan ekstraksi kayu serta dampaknya
terhadap lingkungan hutan di Provinsi Riau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(5): 183 - 200.
________. 1991c. Reduksi areal hutan produktif dan gangguan lingkungan akibat pembuatan
prasarana angkutan di areal hutan jati. Duta Rimba (17):131-132. Perum Perhutani. Jakarta.
________. 1994. Reduksi areal hutan produktif dan gangguan lingkungan akibat pembuatan jalan
hutan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 9(1): 8-132.
Stenzel, G., T.A. Walbridge dan J.K. Pearce. 1985. Logging and Pulpwood Production. John
Wiley & Sons Inc. New York.
Wackerman, A.E. 1949. Harvesting Timber Crops. Mc Graw-Hill Book Company. New York.
Welburn, G.V. 1981. Logging in mountainous regions. Proceedings of XVII IUFRO World
Congress on Forest Operations and Techniques. 1981. Japanese IUFRO.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 61


INDUSTRI PULP DAN KERTAS MENUJU INDONESIA GREEN

Oleh:
Ngakan Timur Antara* dan Susi Sugesty**
Balai Besar Pulp dan Kertas
E-mail: *ngakan_ta@yahoo.com; **sugestyms@yahoo.com

ABSTRAK

Green industry merupakan industri berwawasan lingkungan, yang menselaraskan


pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengutamakan efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Green industry bukan merupakan cost
tetapi merupakan capital bagi industri. Untuk mendorong gerakan green industry di Indonesia,
pemerintah merencanakan pemberian insentif pajak tax allowance dan tax holiday bagi industri
terutama yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (MS Hidayat dalam Seputar Indonesia,
2011). Industri pulp dan kertas menuju Green industry di Indonesia diarahkan pada efisiensi
sumber daya yaitu bahan baku, bahan bakar minyak dan batubara, air, serta penurunan konsumsi
bahan kimia pemutih, peningkatan penggunaan bahan baku kertas bekas, pemanfaatan kembali air
pasi (white water), efisiensi energi (refining) dan pengeringan (drying), serta pemanfaatan limbah
padat (sludge). Penggunaan bahan baku yang cepat tumbuh (HTI) dan pemanfaatan (pinchips)
dapat menghemat bahan baku pulp selain itu dengan memanfaatkan buangan gas seperti NCG
dapat menghemat bahan bakar, satu ton pembuatan kertas dari bahan kertas bekas dapat
menghemat 25-30 m3 air, 20-30 pohon, sekitar 4000 kWh listrik dan menurunkan polusi
lingkungan karena hanya sedikit menggunakan bahan kimia jika dibandingkan pembuatan kertas
dari serat kayu. Kebijakan kementerian lingkungan hidup yang dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
mendorong pabrik kertas di Indonesia untuk meningkatkan penggunaan bahan baku kertas bekas.
Beberapa pabrik kertas di Indonesia telah mendapatkan sertifikat produk ekolabel karena dapat
memenuhi kriteria persyaratan ekolabel.

Kata kunci: Efisiensi sumberdaya, ekolabel, green industry, industri pulp dan kertas

I. PENDAHULUAN

Kemajuan dan perkembangan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pembangunan
industrinya. Salah satu jenis industri yang dapat menunjang pembangunan Indonesia adalah
industri selulosa yang mengolah bahan baku serat alam menjadi produk pulp dan kertas serta
rayon. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan baku pulp kertas dan pulp rayon yaitu kayu dan
non-kayu seperti jerami/merang, ampas tebu, bambu, batang jagung dan lainnya.
WWF (World Wildlife Fund ) pernah menyatakan bahwa kertas adalah produk berharga yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya. Pada dasarnya kertas dibuat
dari bahan terbarukan, dan kertas merupakan bagian yang penting dari kehidupan modern,
membantu meningkatkan pendidikan dan demokrasi di seluruh dunia. Saat ini industri pulp dan
kertas telah menggunakan kayu dari hutan lestari yaitu hutan tanaman industri (HTI). HTI yang
dikelola secara lestari dan mampu berperan positif terhadap masyarakat sekitar (CSR) dan HTI
yang menyerap karbon, dapat membantu mengurangi (mitigasi) pemanasan global.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 63


Tabel 1. Sumber daya hutan Indonesia tahun 2007

Status hutan Luas (juta ha)


Hutan lindung 31.6
Kawasan pelestarian alam 20.1
Hutan produksi 36.6
Hutan produksi terbatas 22.5
Hutan produksi dapat dikonversi 22.8
Jumlah 133.7
Sumber: Departemen Kehutanan, Data Strategis Kehutanan 2007.

Indonesia memiliki kawasan hutan produksi yang sangat luas, sekitar 59 juta hektar yang
berpotensi menyediakan bahan baku kayu bagi industri secara berkesinambungan. Iklim tropis,
kondisi tanah dan topografi Indonesia memungkinkan pohon tumbuh dengan cepat (2-3 kali lebih
cepat dibandingkan daerah non tropis). Posisi geografis Indonesia sangat strategis, berdekatan
dengan pasar yang sedang tumbuh pesat. Pasar domestik cukup besar dan akan terus tumbuh
karena konsumsi per kapita masih relatif rendah dan sumber daya manusia cukup tersedia.
Saat ini industri kertas banyak beralih menggunakan kertas bekas, walaupun tidak
mengurangi peran kayu dari HTI. Pada tahun 2010 Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas
no. 9 dunia (Menurut APKI, 2011). Kertas bekas merupakan sumber bahan baku yang penting
disamping serat virgin. Proses daur ulang kertas dapat menurunkan penebangan hutan, konsumsi
energi, emisi polutan dan problem pengolahan limbah. Satu ton pembuatan kertas dari serat daur
ulang dapat menghemat 25-30 m3 air, 20-30 pohon, sekitar 4000 kWh listrik dan menurunkan
polusi lingkungan karena hanya sedikit menggunakan bahan kimia jika dibandingkan pembuatan
kertas dari serat alami.
Industri pulp dan kertas menuju Green industry di Indonesia diarahkan pada efisiensi
sumber daya yaitu bahan baku, bahan bakar minyak dan batubara, air serta dalam mengelola
produksinya menggunakan konsep 3R (Recycle, Reduce and Re-use) sehingga produk yang
dihasilkan menjadi produk yang ramah lingkungan, keuntungan lainnya yaitu dapat memangkas
biaya produksi. Pada proses produksi juga dilakukan efisiensi pemulihan bahan kima kembali di
chemical recovery plant, penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunaan
bahan baku kertas bekas, pemanfaatan kembali air pasi (white water), efisiensi energi refining dan
drying, dan pengelolaan limbah cair, udara dan padat termasuk pemanfaatan sludge/limbah padat.
Penggunaan bahan baku kayu yang cepat tumbuh dari HTI dan pemanfaatan pinchips dapat
menghemat bahan baku pulp, selain itu dengan memanfaatkan buangan gas seperti NCG (Non-
Condensable dapat menghemat bahan bakar. Dengan konsep pengelolaan hutan yang
berkelanjutan dan proses produksi yang ramah lingkungan untuk menghasilkan eco-product,
perusahaan tidak hanya mampu meningkatkan daya saing industrinya, namun sekaligus juga ikut
berperan dalam menurunkan emisi gas karbon dan berkontribusi nyata dalam upaya mitigasi
perubahan iklim.
Sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, beberapa Industri pulp dan kertas sudah
mempunyai sertifikat produk ekolabel. Ekolabel adalah label, tanda atau sertifikasi pada suatu

64 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


produk yang memberikan keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur
hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan produk
lainnya yang sejenis dengan tanpa tanda ekolabel (Ekolabel Indonesia, 2008).
Kertas menjadi target awal dalam sertifikasi ekolabel Indonesia karena produk tersebut
menjadi kebutuhan dasar bagi setiap sektor baik pemerintah, swasta, dunia pendidikan dan
masyarakat umum lainnya. Kebijakan ekolabel ini mendorong pabrik kertas di Indonesia untuk
menggunakan lebih banyak bahan baku kertas bekas. Empat jenis produk kertas yang sudah
memiliki Standar Nasional Indonesia ekolabel adalah Kertas Cetak Salut (sedang dalam proses),
Kertas Cetak Tanpa Salut (SNI 19-7188.1.3-2006), Kertas Kemas (SNI 19-7188.1.1-2006) dan
Kertas Tisu untuk Kebersihan (SNI 19-7188.1.2-2006).
Bentuk sertifikasi dengan skema Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) ini dikembangkan di
Indonesia dengan sistem dan standar sertifikasi untuk hutan alam, hutan tanaman, dan pengelolaan
hutan berbasiskan masyarakat (Community Based Forest Management). Sertifikasi Chain of
Custody (COC) atau lacak balak oleh LEI akan menjamin asal-usul produk kayu dan non-kayu
yang hanya berasal dari hutan rakyat lestari dan diperoleh secara legal. Komite Akreditasi
Nasional menawarkan untuk memberikan akreditasi untuk lembaga sertifikasi ekolabel didasarkan
pada Pedoman KAN 801-2004: Persyaratan Umum untuk Lembaga Sertifikasi Ekolabel yang
selanjutnya disebut LS.
Kebijakan kementerian lingkungan hidup yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, difokuskan pada
perbaikan produk dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, dari mulai bahan baku
sampai kepada setelah habis masa pakai (life cycle consideration). Dengan demikian pencemaran
maupun kerusakan akibat kegiatan manusia dalam memproduksi suatu barang/jasa dapat
diantisipasi menuju kepada lingkungan yang lebih baik.
Penghargaan terkait industri hijau adalah salah satu bukti upaya perusahaan menerapkan
industri hijau dalam kegiatan industrinya. Beberapa bentuk penghargaan terkait dengan penerapan
konsep industri hijau mulai berkembang. Lembaga pemerintah dan swasta ikut diharapkan
berperan aktif dalam mendorong dan mengembangkan kesadaran pelaku usaha dan masyarakat
dalam mensukseskan program ekonomi ramah lingkungan (ekonomi hijau). Beberapa bentuk
kegiatan pemberian penghargaan terkait dengan pengembangan industri yang ramah lingkungan
mulai dan terus berkembang saat ini, antara lain:
a. Penghargaan Industri Hijau oleh Kementerian Perindustrian RI.
b. Penghargaan Perusahaan Hijau (Green Business)/oleh SRI Kehati.
c. Penghargaan Energi Bersih oleh Kementerian ESDM RI.
d. Penghargaan Pengelolaan Minyak Sawit Berkesinambungan (Indonesian Sustainable Palm
Oil/ISPO).
e. Pernghargaan Produksi Bersih ( CP Award ) dari Kementerian Lingkungan Hidup (sedang
dalam proses).
Penganugerahan penghargaan Industri Hijau merupakan penghargaan dari pemerintah
melalui Kementerian Perindustrian yang diberikan kepada industri yang telah berkontribusi
terhadap perekonomian Negara. Selain itu, industri diharapkan melakukan upaya efisiensi dalam

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 65


pemanfaatan sumber daya dan menerapkan proses produksi ramah lingkungan. Kementerian
Perindustrian akan terus berupaya dan mendorong industri dalam rangka mewujudkan industri
hijau yang maju, mandiri, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Melalui
penghargaan ini diharapkan dapat memotivasi perusahaan industri untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penggunaan sumberdaya alam serta bermanfaat bagi masyarakat.
Penilaian penghargaan industri hijau didasarkan pada hal-hal berikut:
a. Proses produksi, meliputi bahan baku, energi, air, teknologi proses, produk, sumber daya
manusia, dan lingkungan kerja.
b. Manajemen industri, meliputi kebijakan internal perusahaan, Community Development Social
Responsibility, penghargaan terkait industri hijau yang pernah diterima, dan sertifikasi.
c. Pengelolaan lingkungan industri, meliputi upaya pengelolaan lingkungan industri dan kinerja
pengelolaan lingkungan.
Salah satu bentuk kebijakan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dalam
mengukur Kinerja Pengelolaan Lingkungan Industri atau perusahaan sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan yaitu PROPER. Empat kegiatan utama yang tercakup dalam pelaksanaan
PROPER, meliputi pengawasan penaatan perusahaan, penerapan keterbukaan dalam pengelolaan
lingkungan atau, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pelaksanaan
kewajiban perusahaan untuk menyampaikan informasi terkait pengelolaan lingkungan.
Pemenuhan baku mutu lingkungan adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan.
Kewajiban industri untuk melakukan pengelolaan limbah dalam bentuk cair, padat, gas/debu
merupakan upaya pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan dan upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan secara berkesinambungan. Untuk meminimasi dampak limbah terhadap
lingkungan dapat mengacu pada baku mutu yang telah ditetapkan. Ukuran kinerja perusahaan
akan terlihat bagaimana upaya dan target pemenuhan terhadap baku mutu lingkungan ini dapat
dicapai atau adanya peningkatan pemenuhan baku mutu yang telah ditetapkan.

II. INDUSTRI PULP DAN KERTAS NASIONAL

A. Kebijakan dalam Mendukung Industri Pulp dan Kertas


Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun
2025, untuk menghadapi tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional,
maka telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri
Nasional. Selain itu diterbitkan pula Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor:
121/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri
Kertas Tahun 2010-2014. Peta Panduan adalah dokumen perencanaan nasional yang memuat
sasaran, strategi dan kebijakan, serta program/rencana aksi pengembangan klaster industri kertas
untuk periode 5 (lima) tahun.
Cakupan industri pulp dan kertas berdasarkan pengelompokan atau kategorisasi yang
dilakukan oleh Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) adalah
sebagai berikut:

66 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


1. Berdasarkan panjang seratnya dibedakan atas: pulp serat panjang (needle bleached kraft pulp)
dan pulp serat pendek (leaf bleached kraft pulp).
2. Berdasarkan proses pembuatannya dibedakan atas: pulp kimia (chemical pulp) dan pulp
mekanikal (mechanis pulp).
3. Berdasarkan bahan bakunya dibedakan atas: pulp kayu (wood pulp) dan pulp non-kayu (non-
wood pulp).
4. Pulp juga dibedakan atas: pulp virgin (pulp yang masih asli yang diperoleh dari pemrosesan
bahan baku kayu/non-kayu menjadi pulp baik melalui proses kimiawi atau mekanis) dan pulp
daur ulang yang diperoleh dari pemrosesan kembali kertas bekas.

Cakupan industri kertas dikelompokkan ke dalam berbagai kelompok sebagai berikut:


1. Kertas budaya terdiri atas: kertas koran, kertas tulis cetak dan kertas berharga (kertas untuk
saham, kertas perangko).
2. Kertas industri terdiri atas: (sack kraft) kertas kantong semen, (kraft liner), corrugating
medium, board, dan kertas bungkus.
3. Kertas tissue terdiri atas: kertas tissu rumah tangga dan kertas tisu muka.
4. Kertas khusus (specialty paper), meliputi: kertas dekoratif, kertas rokok, kertas thermo dan
kertas label.
Berdasarkan struktur, industri pulp dan kertas juga dikelompokkan dalam jenis kelompok
industri seperti:
1. Kelompok Industri Hulu
Kelompok industri hulu kertas adalah industri. Industri bubur kertas ada dua macam yaitu
virgin pulp dan kertas bekas. Virgin pulp secara garis besar ada dua macam yaitu pulp serat
pendek (Leaf Bleach Kraft Pulp) dan pulp serat panjang (Needle Bleach Kraft Pulp).
2. Kelompok Industri Antara
Kertas sebagian merupakan salah satu produk dari instansi antara, sebagian merupakan produk
hilir. Kertas sebagai produk antara contohnya kertas Medium Liner dan Kraft Liner, jenis
kertas ini merupakan bahan baku untuk industri kemasan Kotak Karton Gelombang (KKG).
Contoh lainnya adalah kertas tisu dan kertas tulis cetak dalam bentuk gulungan besar. Untuk
kertas tissue, roll besar dipotong menjadi roll-roll kecil atau segi empat, kemudian dipacking,
sebelum dipasarkan ke konsumen. Sedangkan roll besar kertas tulis cetak pada umumnya
dipotong menjadi ukuran A4, letter atau kwarto, selanjutnya dipacking dan dipasarkan kepada
konsumen akhir.
3. Kelompok Industri Hilir
Industri hilir kertas, antara lain adalah industri kertas fotocopy, industri kemasan kotak karton
gelombang (KKG), industri percetakan dan grafika serta industri converting (seperti: industri
buku tulis, tisu rumah tangga, dan lain-lain).
Dalam membuat program untuk mendukung industri pulp dan kertas ke depan, Kementerian
Perindustrian melakukan analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats) untuk

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 67


melihat peta kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang dalam menentukan strategi dan
kebijakan.
1. Kekuatan
a. Teknologi proses telah dikuasai terutama terkait dengan operasional pabrik.
b. Biaya produksi pulp dan kertas di Indonesia merupakan salah satu yang termurah di dunia.
c. Tersedianya tenaga terampil di bidang pulp dan kertas yang dihasilkan oleh ATPK dan
perguruan tinggi lainnya di Indonesia.
d. Industri pulp dan kertas ditetapkan sebagai salah satu prioritas pengembangan industri
nasional.
e. Kontribusi industri pulp dan kertas dalam perekonomian nasional cukup penting.
2. Kelemahan
a. Banyak industri pulp dan kertas permesinannya sudah tua, sehingga efisiensi dan
produktivitasnya relatif rendah.
b. Masih terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari HTI dan belum termanfaatkannya bahan
baku alternatif secara maksimal.
c. Pasokan kertas bekas dari dalam negeri belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan industri
kertas nasional.
d. Masih tingginya ketergantungan terhadap luar negeri, terutama mesin dan peralatan
proses.
e. Masih terbatasnya dukungan litbang terhadap industri pulp dan kertas.
3. Peluang
a. Adanya peluang pasar yang cukup besar, baik di dalam negeri maupun di dunia
internasional.
b. Masih adanya lahan/hutan untuk pengembangan bahan baku (HTI).
c. Tersedianya bahan baku alternatif (TKKS, abaca, kenaf) yang berlimpah, namun belum
dimanfaatkan.
d. Makin berkurangnya peran negara-negara NORSCAN dalam memasok kebutuhan pulp
dan kertas dunia.
e. Salah satu pasar pulp dan kertas yang cukup potensial yaitu negara-negara di kawasan
Asia Pasifik (terutama China dan India), letaknya relatif dekat dengan Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin atau NORSCAN.
4. Ancaman
a. Banyaknya isu dumping yang dilontarkan oleh negara-negara pesaing terhadap industri
pulp dan kertas Indonesia.
b. Bad campaign yang dilakukan oleh negara-negara maju, seperti: pengkaitan perdagangan
dengan masalah lingkungan dan HAM.
c. Munculnya pesaing-pesaing baru yang potensial, terutama negara-negara dari Amerika
Latin.

68 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


d. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang kontra produktif terhadap
pengembangan industri pulp dan kertas, seperti: Perda di beberapa daerah yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan lain-lain.
Pelaksanaan program dituangkan dalam sasaran yang meliputi jangka menengah (2010-
2014) dan jangka panjang (2010-2025):
1. Jangka Menengah
a. Makin meningkatnya pasokan bahan baku kayu dari HTI, dan diharapkan pada tahun 2009
ini seluruh bahan baku kayu untuk industri pulp sudah berasal dari HTI.
b. Meningkatnya pemanfaatan bahan baku alternatif (non-kayu) untuk industri pulp.
c. Meningkatnya suplai kertas bekas dari dalam negeri.
d. Meningkatnya industri pulp dan kertas nasional yang berkualifikasi ramah lingkungan.
e. Meningkatnya ekspor pulp dan kertas masing-masing sebesar 5%/tahun dan 10%/tahun.
2. Jangka Panjang
a. Adanya keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan bahan baku.
b. Minimalnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh industri pulp dan kertas.
c. Meningkatnya industri permesinan nasional dalam memenuhi kebutuhan permesinan
industri pulp dan kertas di dalam negeri.
d. Meningkatnya posisi Indonesia dalam percaturan di bidang industri pulp dan kertas dunia
(diharapkan dapat menjadi produsen 5 besar dunia).
Indikator pencapaian yang diharapkan yaitu:
a. Meningkatnya suplai bahan baku kayu dari HTI untuk industri pulp.
b. Meningkatnya pasokan kertas bekas dari dalam negeri.
c. Meningkatnya kapasitas terpasang industri pulp dan kertas.
d. Meningkatnya utilisas kapasitas industri pulp dan kertas.
e. Memfasilitasi Tim Klaster Industri Pulp dan Kertas dalam rangka mensinergikan Industri
Inti, Industri Pendukung dan Industri Terkait guna meningkatkan daya tahannya di pasar
dalam negeri dan daya saingnya di pasar global.
Rencana aksi yang akan dilaksanakan dituangkan dalam program jangka menengah dan
jangka panjang:
1. Jangka Menengah (2010-2014)
a. Mempercepat realisasi penanaman HTI yang sudah ada.
b. Mengalokasikan HTI baru untuk mendukung pengembangan industri pulp baru.
c. Meningkatkan penggunaan bahan baku alternatif (eks limbah perkebunan/pertanian).
d. Memfasilitasi restrukturisasi permesinan industri pulp dan kertas.
e. Mendorong penerapan penggunaan teknologi modern yang efisien dan ramah lingkungan.
f. Mengembangkan standar dalam rangka meningkatkan mutu dan daya saing industri pulp
dan kertas nasional.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 69


g. Melakukan diversifikasi produk industri kertas yang bernilai tambah tinggi (terutama
kertas khusus yang saat ini masih diimpor).
h. Mendorong perkembangan industri hilir kertas.
i. Meningkatkan penerapan ISO 9001 : 2000, ISO 14000 dan ekolabel.
j. Melakukan promosi investasi di bidang industri pulp dan kertas.
2. Jangka Panjang (2010-2025)
a. Memaksimalkan penggunaan bahan baku kayu dari hutan tanaman dan bahan baku
alternatif.
b. Mendorong berkembangnya industri rancang bangun dan perekayasaan pemesinan
industri pulp dan kertas.
c. Peningkatan penerapan ISO 9001 : 2000, ISO 14000 dan ekolabel.
d. Mengembangkan standar dalam rangka meningkatkan mutu dan daya saing industri pulp
dan kertas nasional.
e. Melakukan diversifikasi produk industri kertas yang bernilai tambah tinggi (terutama
kertas khusus yang saat ini masih impor).
f. Mendorong perkembangan industri hilir kertas.
g. Melakukan promosi investasi di bidang industri pulp dan kertas.

B. Perkembangan Industri Pulp dan Kertas


Pasar dunia pulp dan kertas selama ini didominasi oleh negara-negara di Amerika Utara
(Amerika Serikat dan Kanada) dan negara-negara di kawasan Scandinavia, seperti: Swedia,
Finlandia dan Norwegia. Kelompok negara-negara tersebut sering disebut sebagai NORSCAN.
Kecenderungan yang akan datang, dominasi pasar pulp dan kertas oleh negara-negara
NORSCAN (North America and Scandinavia) diperkirakan akan semakin berkurang mengingat di
negara tersebut sudah tidak bisa mengembangkan lagi potensi bahan bakunya (terbatasnya lahan)
secara signifikan dan biaya produksi yang relatif lebih mahal, akan bergeser ke Asia (terutama
Indonesia dan negara-negara di Asia Timur) dan negara-negara Amerika Latin (seperti: Chili,
Brazil, dan Uruguay), yang masih memiliki potensi hutan yang cukup besar dengan sistem HTI
dan penerapan SFM (Sustainable Forest Management).
Kapasitas terpasang industri pulp di Indonesia sekitar 7,9 juta ton (2009-2010) dan untuk
industri kertas sekitar 12,2-12,9 juta ton (2009-2010). Kapasitas produksi industri pulp sekitar 5,7
juta ton (2009) sedangkan pada tahun 2010 sekitar 6,3 juta ton. Untuk industri kertas produksinya
sekitar 10 juta ton (2009) sedangkan tahun 2010 sekitar 11,5 juta ton, sebagian besar
menggunakan bahan baku kertas bekas.
Menurut Asosiasi Pulp dan Kertas (APKI) ekspor pulp sekitar 50% dari kapasitas produksi
sedangkan ekspor kertas sekitar 40%-nya. Ekspor pulp pada tahun 2009 sebesar 2,2 juta ton dan
pada tahun 2010 meningkat menjadi sekitar 2,6 juta ton, untuk ekspor kertas sekitar 3,9 juta ton
(2009) dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 4,2 juta ton.
Pada Table 2 disajikan kapasitas terpasang Industri Pulp dan Kertas (IPK) di Indonesia
berada di peringkat pertama di ASEAN.

70 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 2. Kapasitas terpasang peringkat IPK ASEAN tahun 2007 (dalam ribuan ton)

No. Negara Kapasitas kertas Kapasitas pulp


1. Indonesia 11.825 6.483
2. Thailand 5.254 1.144
3. Malaysia 1.600 365
4. Vietnam 1.341 200
5. Filipina 1.100 200
Sumber: APKI (2009)

Industri pulp di Indonesia, sebagian besar menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari
(HTI). Filosofi HTI dikembangkan dari lahan hutan yang sudah rusak akibat eksploitasi yang
berlebihan di masa lalu, untuk kemudian ditanami kembali (reforestrasi). Sebagian hasil kayunya
dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, namun sebagian besar lainnya masih merupakan tanaman
hutan atau dengan kata lain pengelolaan HTI diatur sedemikian rupa berkelanjutan mengikuti
kaidah-kaidah kelestarian (Sustainable Forest Management). Pada Tabel 3 disajikan alokasi
pasokan kayu untuk industri pulp sampai tahun 2025 yaitu sebesar 68 juta m3.

Tabel 3. Alokasi bahan baku untuk industri pengolahan kayu

Proyeksi pasokan kayu (juta m3)


Uraian
2010 2011 2012 2013 2014 2020 2025
Sumber pasokan kayu: 79,2 76,0 82,1 82,5 94,9 230,2 221,4
- Hutan Alam 7,8 8,5 9,4 10,3 11,4 20,1 32,4
- HTI Pulp 31,7 29,3 34,6 33,6 44,2 65,1 60,8
- HTI Perkakas 4,5 5,4 6,3 7,2 8,1 21,4 25,1
- HTR 0 0 0 0 0 92,4 72,0
- Perhutani 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9
- Hutan Rakyat 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
- Perkebunan Karet 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0
- Perkebunan Kelapa Sawit 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0
- Perkebunan Kelapa 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0
- ISL dan IPK 4,1 1,6 0,6 0,3 0,1 0 0
- Impor 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
Alokasi pasokan kayu ke industri:
- Kayu Gergajian 30,8 30,4 30,8 31,5 32,4 98,4 95,0
- Kayu Lapis 13,1 12,8 13,1 13,7 14,4 41,7 44,0
- Partikel 3,5 3,4 3,5 3,7 3,8 15,7 14,4
- Pulp 31,7 29,3 34,6 33,6 44,2 74,3 68,0
Sumber: Roadmap Industri Pulp dan Kertas, Kementerian Perindustrian (2009)

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 71


Perbandingan konsumsi kertas per kapita di beberapa negara di dunia internasional
tercantum dalam Table 4. Indonesia menduduki peringkat ke-14 dengan konsumsi per kapita 26
kg/tahun.

Tabel 4. Konsumsi kertas per kapita di beberapa negara

Konsumsi Konsumsi
No. Negara No. Negara
(kg/kapita/tahun) (kg/kapita/tahun)
1 Finlandia 368,6 10 Malaysia 110,8
2 Amerika Serikat 288,0 11 China 54,8
3 Jepang 245,5 12 Thailand 62,1
4 Kanada 206,0 13 Brazil 42,2
5 Italia 204,6 14 Indonesia 26,0
6 Taiwan 204,0 15 Mesir 20,0
7 Inggris 199,5 16 Philippina 17,4
8 Singapura 197,7 17 India 7,7
9 Perancis 182,9 18 Afganistan 0,2
Sumber: Roadmap Industri Pulp dan Kertas, Kementerian Perindustrian (2009)

Seiring dengan makin terbatasnya pasokan kayu dan makin tingginya kesadaran dunia
terhadap masalah lingkungan, maka pada dekade terakhir berkembang pesat penggunaan kertas
bekas sebagai bahan baku industri kertas (daur ulang). Di samping itu, pemakaian kertas bekas
sebagai bahan baku industri juga dipicu oleh harganya yang relatif murah serta adanya dukungan
teknologi yang dapat dipakai untuk membuat kertas dengan kualitas yang lebih baik dan adanya
tekanan internasional di bidang lingkungan hidup. Kebutuhan kertas bekas untuk industri kertas
nasional pada saat ini sekitar 6 juta ton per tahun, sekitar 3 juta ton dipasok dari pengumpulan
kertas bekas lokal, sisanya sekitar 3 juta ton masih diimpor.
Di samping itu juga akan berkembang penggunaan bahan baku non-kayu, yang potensinya
besar antara lain adalah limbah perkebunan/pertanian seperti: tandan kosong kelapa sawit, bambu,
jerami, abaca dan kenaf. Pada Tabel 5 dapat dilihat rendemen serat dan pulp yang dihasilkan per
ton per tahun dalam 1 hektar.
Indonesia pada umumnya mengimpor pulp serat panjang dan dissolving pulp (pulp
rayon). Impor pulp sekitar 1,0 juta ton pada tahun 2009 dan meningkat sekitar 0,2 juta ton
menjadi 1,2 juta ton pada tahun 2010, sedangkan untuk impor kertas umumnya kertas bekas dan
kertas khusus sekitar 0,4 juta ton pada tahun 2009 dan sedikit meningkat pada tahun 2010 sekitar
0,5 juta ton.

72 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 5. Rendemen rata-rata tahunan dari bahan baku pulp kertas

Fibre yield Pulp yield


Plant
(tonnes/year/ha) (tonnes/year/ha)
Scandinavian softwood 1,5 0,7
Fast-growing softwood 8,6 4
Temperate softwood 3,4 1,7
Fast-growing hardwood 15 7,4
Wheat straw 4 1,9
Rice straw 3 1,2
Bagasse 9 4,2
Bamboo 4 1,6
Kenaf 15 6,5
Hemp 15 6,7
Elephant grass 12 5,7
Canary grass 8 4,0
Sumber: Pierce (1991)

III. ISU LINGKUNGAN TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM

Di Indonesia, sumber penghasil emisi GRK diklasifikasikan dalam beberapa kegiatan, yaitu
dari sektor kehutanan dan tata guna lahan, sektor energi, sektor industri, sektor pertanian dan
sampah perkotaan. Indonesia sebagai negara berkembang ikut berperan serta meratifikasi protokol
Kyoto melalui UU No. 17 Tahun 2004 yang berkomitmen menurunkan emisi CO 2. Indonesia
membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) yang menetapkan komitmen untuk menurunkan emisi
CO2 sebesar 26% dengan pendanaan sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan donor internasional.
Komitmen tersebut disampaikan oleh Presiden pada pertemuan G20 di Pittsburg, USA pada
November 2009 dan COP-15 pada Desember 2009. Terkait dengan penggunaan energi,
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2009 tentang
konservasi energi yang mengharuskan penghematan energi di atas 6000 TOE (ton setara minyak)
per tahun, pada industri yang tergolong mengkonsumsi energi tinggi.
Dalam rangka implementasi PP No 70 tahun 2009, Kementerian Perindustrian telah
melakukan kerjasama dengan ICCTF untuk tahun 2010-2011. Salah satunya adalah program
penyusunan Guidelines Technology Map for Pulp and Paper Industry dan Guidelines Technology
Carbon Calculationfor Pulp and Paper Industry, yang disusun oleh Balai Besar Pulp dan Kertas
(BBPK) dalam rangka mendukung program implementasi konservasi energi dan reduksi emisi
CO2 di Industri Pulp dan Kertas.
Gambaran umum tentang teknologi proses pembuatan pulp menunjukkan bahwa proses
kimia memiliki sifat dan kualitas produk lebih baik dari proses mekanik dan semikimia, sehingga
dapat digunakan untuk bahan baku kertas bermutu tinggi. Proses kimia mendominasi hampir
diseluruh dunia, karena dari pulp ini dapat dibuat berbagai jenis kertas diantaranya adalah kertas
budaya. Sembilan puluh persen dari berbagai jenis proses kimia didominasi oleh proses kraft.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 73


Keunggulan pulp kimia adalah lebih baik, lebih teratur, lebih rata dan lebih kompak dengan
opasitas yang lebih rendah daripada lembaran pulp mekanis. Di samping itu pada derajat putih
yang sama pulp kimia lebih stabil. Teknologi pembuatan pulp ke arah perolehan bilangan kappa
rendah dengan delignifikasi berlanjut dimaksudkan untuk dapat menerapkan teknologi pemutihan
yang berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi kadar AOX/dioksin.
Teknologi pembuatan pulp hemat energi tidak dapat dipisahkan dengan konsep teknologi
ramah lingkungan. Dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan pada pembuatan pulp dapat
diperoleh beberapa manfaat antara lain: menghemat bahan baku; menghemat air; menghemat
energi sehingga mengurangi beban pencemaran dan sekaligus dapat menghemat biaya.
Penghematan energi di industri pulp dapat dilakukan dengan konservasi energi pada sistem
pemasakan dan pemutihan pulp. Pada sistem pemasakan pulp dapat dilakukan melalui modifikasi
digester dengan metoda delignifikasi berlanjut (extended delignification). Sedangkan pada sistem
pemutihan pulp dapat dilakukan dengan menambah instalasi sistem perpindahan panas pada
sistem umpan ClO2. Secara teoritis Recovery Boiler dapat memproduksi steam 15,8 GJ/ADt dan
listrik 655 kWh/ADt. Kebutuhan steam untuk proses cukup dipenuhi dari Recovery Boiler, untuk
kebutuhan listrik kekurangannya dapat dipenuhi dari power boiler berbahan bakar kulit kayu.
Industri pulp dapat menyediakan sendiri energi yang diperlukan untuk menggerakkan
operasi pabrik. Energi yang disediakan berupa energi panas dalam bentuk uap maupun energi
listrik untuk menggerakkan mesin-mesin. Kebutuhan energi dari pemanfaatan limbah biomasa
seperti recovery boiler dari lindi hitam dan bark boiler dari kulit kayu dan limbah penebangan
kayu.
Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat aliran proses pembuatan pulp dan kertas dari mulai
penyediaan kayu di hutan sampai menjadi produk kertas dan kertas setelah pakai (kertas bekas)
didaur ulang dan diambil seratnya kembali yang selanjutnya diproses kembali menjadi produk
kertas.

Gambar 1. Proses pembuatan pulp dan kertas

74 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Beberapa aktivitas konservasi energi di unit chemical recovery dapat dilakukan antara lain
dengan cara meningkatkan perolehan energi panas yang maksimal yang dihasilkan dari proses
pembakaran.
Efisiensi pembakaran dapat ditingkatkan antara lain dengan menambah padatan total lindi
hitam yang masuk tungku boiler, penambahan aliran udara kuartener pada recovery boiler,
penggunaan superkonsentrator pada evaporator, dan memperbaiki sistem filtrasi CaCO 3 dan
refractory brick pada lime kiln. Bahan bakar yang dikembangkan cukup mudah diperoleh di
sekitar pabrik, antara lain cangkang sawit, batok kelapa sawit, serat sawit dan lain-lain.
Pengelolaan emisi partikulat dan gas di industri pulp dan kertas dilakukan dengan cara
pemisahan emisi partikulat dan gas atau pengumpulan dan pembakaran gas yang tidak
terkondensasi (Non-Condensible Gases) di lime kiln di unit Chemical Recovery Plant (CRP),
emisi gas ini mengandung senyawa sulfur yang berbau dan bersifat racun, selain itu dapat
didestilasi untuk memperoleh metanol, sehingga dapat mengurangi bahan bakar fuel. Recovery
boiler dapat menyediakan sekitar 70% energi di pabrik pulp, 30% sisanya dipasok dari power
boiler berbahan baku kulit kayu, biomassa dan batubara. Sumber penghasil emisi gas dan
partikulat atau debu yang terbesar adalah pada industri pulp kraft. Konservasi energi pada power
boiler dapat dilakukan dengan beberapa aktivitas diantaranya menghindari adanya kebocoran dan
mengurangi udara ekses.

Lime Kiln/Mud Flue


Wood Concentrator Gas
Chips

Digester Slaker/
Causticizer
White
Liquor Green Liquor
Blow Tank
Direct Contact
Evaporator/ Flue
Black
Recovery Furnace Gas
Washing/ Liquor
Filtering
Multiple-
Condensed
effect
Water/ Vapor
Screening Evaporator
Screen
Rejects

Bleaching Water/
Chemicals

Washing/
Screening White
water
Refiner

Pulp
Clean/Screen Paper Making

White water
Pulping Process

Gambar 2. Skema proses pembuatan pulp dengan proses kraft

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 75


Tabel 6. Konsumsi energi pada pabrik pulp

Steam Listrik
No Proses
(GJ/ADT) (kWh/ADT)
1. Persiapan bahan baku - 50
2. Pemasukan serpih ke sistem digester - 20
3. Pemasakan dalam digester 1,7 40
4. Pencucian dan penyaringan pulp - 30
5. Delignifikasi oksigen 0,5 75
6. Pemutihan pulp 2,3 100
7. Pulp machine 2,3 141
8. Evaporator 3,1 30
9. Power plant 2,3 60
10. Lime kiln dan rekaustisasi - 50
11. Penyediaan air panas - 32
12. Pengolahan air dan air limbah - 30
13. Lain-lain - 30
Total konsumsi 12,2 688

Proses pembuatan kertas adalah mencampurkan serat dan aditif dengan air. Pembuatan
kertas umumnya menggunakan energi yang sangat besar dan diperoleh dari power plant yang
biasanya menggunakan bahan bakar fosil. Penghematan energi pada proses pembuatan kertas
dapat dilakukan pada setiap tahap proses. Konsumsi air yang cukup besar untuk pembentukan
lembaran kertas akan dikeluarkan sebagai limbah cair. Proses pemisahan air ini berlangsung
dalam 3 (tiga) tahap, yakni:
1. Secara gravitasi pada unit forming di wire part;
2. Secara mekanis pada unit pressing di press part;
3. Secara termal pada unit drying di dryer part.
Unit drying merupakan tahap dewatering akhir yang dilakukan dimana air tidak dapat lagi
dikeluarkan dari lembaran kecuali dengan cara menguapkannya. Energi termal yang digunakan
berupa steam bertekanan rendah hingga sedang yang disuplai kedalam sejumlah silinder dryer
yang berputar. Panas selanjutnya ditransfer ke permukaan luar silinder dimana lembaran
ditempelkan. Kadar air akhir dalam lembaran kertas sangat menentukan sifat kertas yang
dihasilkan dan juga kinerja unit drying

76 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 7. Konsumsi energi pada pabrik kertas

Konsistensi Konsistensi Jumlah air yang Konsumsi energi


Unit proses masuk keluar dikeluarkan (GJ/ton kertas)
(%) (%) (kg air/kg kertas)
Unit forming 0,2 1,0 15,0 25,0 100 170
0,45
Unit pressing 15,0 25,0 33,0 55,0 24
Unit drying 33,0 55,0 92,0 95,0 1,0 1,5 4,05

Dilihat dari jumlah air yang dikeluarkan, unit forming merupakan operasi yang paling tinggi
mengeluarkan air dan unit drying paling sedikit mengeluarkan air. Proses drying merupakan suatu
tahapan penting didalam pengembangan sifat lembaran kertas/karton yang dihasilkan dan
mengkonsumsi energi paling tinggi (paling mahal) dibanding dua tahap sebelumnya. Kocurek
memberikan gambaran alokasi biaya operasi pengeluaran air di mesin kertas adalah sebagai
berikut: unit forming sekitar 10%; unit pressing 12% dan unit drying 78%.

Tabel 8. Peluang penghematan energi di industri kertas

Main Main process Type and role of energy in each process Potential for
processes units energy saving
Stock Slushing Up to 60 kWh power/t to break up dry pulp Moderate
preparation
Cleaning/ The amount of pumping energy and stock Low for virgin
screening heating depend on the number of stage required fibre
and they type of fibre (recycled fibre needs
more than virgin); About 5 kWh/t is used for
virgin stock
Refining Very energy intensive. Electrical energy is High
mostly used to drive the rotor in the refiner.
Depends strongly on the paper properties to be
achieved: 100 - 3,000 kWh/t.
Wet end Forming and It uses large amounts of electricity for machine Moderate
draining drive and vacuum processes. Energy efficient
design of the headbox and twin wire machine
leads to power savings; About 70 kWh/t is used
for vacuum systems (varies with grade and
porosity)
Dry end Pressing It is not energy intensive in itself but efficient Moderate
dewatering can give very large energy savings
in the dryers
Drying Apart from refining it is the most energy Very high
intensive process in papermaking. Mostly heat
energy
Size press and Heat energy for after size press drying Low
2nd dryer section
Calendering Electrical energy for machine drives and Low
pressing
Coating Coating and Electrical and heat energy for re-drying Low
dryer
Sumber: EU-China, 2009.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 77


Unit stock preparation termasuk bagian penggilingan adalah unit yang paling banyak
mengkonsumsi energi, penghematan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
giling menggunakan aditif atau enzim.
Perkembangan teknologi pengelolaan lingkungan di industri pulp dan kertas (IPK)
mengarah pada usaha pencegahan. Teknologi yang mengarah pada usaha mencegah terbentuknya
limbah adalah strategi pengelolaan lingkungan melalui program produksi bersih, merupakan
kegiatan mengolah limbah cair hingga memenuhi baku mutu lingkungan, dan sekaligus
memanfaatkan limbah padat sebagai energi alternatif serta mengendalikan emisi gas agar tidak
mencemari udara sehingga dapat mengurangi emisi GRK di atmosfir.
Pada prinsipnya teknologi ini digunakan untuk mencegah atau meminimisasi limbah dengan
melakukan modifikasi proses yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses produksi
melalui pengurangan konsumsi bahan baku serat, air, bahan kimia, dan energi serta terbentuknya
limbah yang bersifat B3. Penentuan teknologi dan sistem pengelolaan limbah didasarkan atas
karakteristik limbah.
Saat ini pengolahan biologi merupakan pengolahan limbah yang penting dan banyak
digunakan di IPK karena bersifat ramah lingkungan dan merupakan konsekuensi dari penerapan
daur ulang serat dan air yang semakin ketat, sehingga jumlah air limbah menjadi sedikit tetapi
kadar organiknya menjadi tinggi dan bersifat terlarut. Proses digestasi anaerobik merupakan
proses biodegradasi senyawa organik oleh aktivitas bakteri anaerob. Biodegradasi anaerobik
menghasilkan biogas yang terdiri dari gas metana (5070%), CO2 (2545%) dan sejumlah kecil
hidrogen, nitrogen dan H2S. Satu m3 biogas ekivalen dengan 0,4 kg minyak diesel atau 0,6 kg
bensin atau 0,8 kg batubara.
Limbah padat yang dihasilkan di IPK jumlahnya cukup besar dengan jenis dan karakteristik
yang bervariasi, tergantung pada unit proses dimana limbah tersebut terbentuk. Untuk
mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi, limbah padat dapat diumpankan dalam bentuk pelet atau
briket. Penanganan limbah padat yang perlu diperhatikan terutama adalah dalam pengurangan
kandungan airnya, sehingga perlu adanya filter press.
Secara keseluruhan industri pulp dan kertas mengkonsumsi energi yang cukup besar, namun
dengan perkembangan teknologi dan upaya yang maksimal dapat dilakukan efisiensi proses dan
penghematan energi.

Tabel 9. Konsumsi energi spesifik industri berat

Industri Konsumsi energi spesifik (Gj/Ton )


Baja 2,80 37,10
Aluminium 11,95 85,19
Tekstil 3,20 32,40
Semen 2,20 7,90
Pulp dan Kertas 10,70 34,30
Sumber: Ray, 2008.

78 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia (2010), industri pengolahan kayu hutan
terdiri atas industri pengergajian dan pengawetan kayu, industri kayu lapis, panel kayu lainnya
dan veneer, industri pulp, dan industri kerajinan dan ukiran dari kayu. Industri kertas (karena
sebagian besar menggunakan bahan baku pulp dan adakalanya terintegrasi dengan industri pulp)
dianggap sebagai industri pengolahan kayu hutan.
Menurut statistik industri terbaru, 5,3% nilai tambah sektor industri berasal dari industri
pengolahan kayu. Bersama-sama industri kertas, kontribusinya mencapai 8,8%. Industri
pengolahan kayu bersifat padat karya, menyerap 5,9% tenaga kerja sektor industri. Bersama-sama
dengan industri kertas, menyerap 7,5% tenaga kerja di sektor industri seperti terlihat pada Tabel
10 di bawah ini.

Tabel 10. Industri pengolahan kayu

Kelompok Industri Nilai tambah (%) Penyerapan tenaga kerja (%)


Pengolahan kayu hutan 5,3 5,9
Pengergajian dan pengawetan kayu 0,3 1,1
Kayu lapis, panel kayu dan veneer 3,0 4,1
Kerajinan ukiran dari kayu 0,0 0,3
Bubur kertas 2,0 0,4
Kertas 3,5 1,6
Total 8,8 7,5
Sumber: BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang (2007).

IV. PENUTUP

Green industry bukan merupakan cost tetapi merupakan capital bagi industri. Untuk
mendorong gerakan green industry di Indonesia, pemerintah merencanakan pemberian insentif
pajak tax allowance dan tax holiday bagi industri terutama yang mampu menyerap banyak tenaga
kerja (MS Hidayat dalam Seputar Indonesia, 2011).
Dalam rangka mendukung program implementasi konservasi energi dan reduksi emisi CO2
di Industri Pulp dan Kertas (IPK). Kementerian Perindustrian bekerjasama dengan Indonesian
Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah menyusun pedoman pemetaan teknologi di industri
pulp dan kertas.
Secara keseluruhan penghematan energi di IPK dapat dilakukan dengan konservasi energi
pada setiap unit proses yaitu pemasakan bahan baku, pemutihan pulp, Chemical Recovery, stock
preparation, mesin kertas, dan power plant serta pengelolaan limbah. Selain itu industri pulpdapat
menyediakan sendiri energi yang diperlukan untuk menggerakkan operasi pabrik dari Chemical
Recovery Plant.
Penggunaan bahan baku HTI dan pemanfaatan pinchips dapat menghemat bahan baku pulp.
Teknologi pembuatan pulp dengan delignifikasi berlanjut ke arah perolehan bilangan kappa
rendah dimaksudkan agar dapat menerapkan teknologi pemutihan yang berwawasan lingkungan
sehingga dapat mengurangi kadar AOX/dioksin. Selain itu memanfaatkan buangan gas seperti
NCG dapat menghemat bahan bakar. Pada proses pembuatan kertas, unit stock preparation

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 79


termasuk penggilingan yang paling banyak mengkonsumsi energi, penghematan dapat dilakukan
dengan meningkatkan daya giling menggunakan aditif atau enzim.
Perkembangan teknologi pengelolaan lingkungan di IPK mengarah pada usaha pencegahan
melalui program produksi bersih, merupakan kegiatan mengolah limbah cair hingga memenuhi
baku mutu lingkungan. Pemanfaatan limbah padat sebagai energi alternatif, produk kompos dan
bahan bangunan serta mengendalikan emisi gas agar tidak mencemari udara sehingga dapat
mengurangi emisi GRK di atmosfer.

DAFTAR PUSTAKA

Ardeivala, S.J. 1998. Wastewater Treatment for Pollution Control.


BPS. 2008. Statistik Industri Besar dan Sedang 2007.
Dence, C.W., Douglas W. Reeve (ed). 1996. Pulp Bleaching: Principles and Practice. TAPPI
Press Atlanta. Georgia. USA.
Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2007.
Directory 2010. Indonesian Pulp & Paper Industry.
Kadin Indonesia. 2010. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 2014.
Kementerian Perindustrian. 2011. Rencana Srategis Kemenperin 2010-2014.
Kementerian Perindustrian. 2011. Pedoman Penilaian Penganugerahan Penghargaan Industri
Hijau. Menteri Perindustrian Republik Indonesia.
Kementerian Perindustrian. 2010. Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri
Prioritas Industri Berbasis Agro Tahun 2010 2014.
Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor:
121/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster
Industri Kertas.
Kementerian Perindustrian. 2011. Pedoman Pemetaan Teknologi untuk Industri Pulp dan Kertas
dalam Rangka Implementasi Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi CO2 di Sektor
Industri (Fase 1).
Kementerian Perindustrian. 2011. Pedoman Perhitungan Karbon untuk Industri Pulp dan Kertas
dalam Rangka Implementasi Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi CO2 di Sektor
Industri (Fase 2).
Kocurek, M.G. 1989. Pulp and Paper Manufacture, Vol 5: Alkaline Pulping. Joint Texbook
Committee of The Paper Industry. Atlanta.
Ngakan Timur Antara. 2011. Pengembangan serat alam dan pemanfaatannya dalam industri pulp
dan kertas. Seminar Balittas-Malang.
Smook, G.A. 1994. Pulp and Paper Technologist. Joint Textbook Committee of the Pulp and
Paper Indusrty. Canada.

80 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


PEMBUATAN PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG
MENGGUNAKAN CAMPURAN PULP LIMBAH PEMBALAKAN
HUTAN TANAMAN DAN ARANG AKTIF

Oleh:
Han Roliadi, Rena M. Siagian, Dian Anggraini Indrawan dan Rosi M. Tampubolon
Staf Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, P.O.Box 182, Bogor 16610
E-mail: elizabethdianreza@gmail.com

ABSTRAK

Papan serat berkerapatan sedang (MDF) sebagai salah satu produk rekonstruksi kayu
memiliki banyak kegunaan untuk antara lain bahan isolasi, dinding penyekat, produk furniture,
bagian peralatan listrik, bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat.
Untuk Indonesia, saat ini ketersediaan kayu hutan alam tropis sebagai bahan baku konvensional
industri pengolahan MDF semakin terbatas dan langka. Akibatnya, produksi papan serat
Indonesia saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan domestik. Oleh sebab itu perlu dicari sumber
alternatif bahan serat berligno-selulosa lain untuk MDF, di antaranya yang cukup potensial adalah
limbah pembalakan kayu hutan tanaman industri (HTI). Untuk memperbaiki sifat dan
meningkatkan daya guna MDF sehingga memenuhi persayaratan standar, bahan aditif dapat
ditambahkan selama proses pembuatannya, seperti perekat tanin-formaldehida (TF), perekat urea
formaldehida (UF), dan arang aktif. Terkait dengan uraian tersebut telah dilakukan percobaan
pembuatan MDF menggunakan bahan baku limbah pembalakan kayu HTI jenis Eucalyptus
hybrid, dicampur dengan bahan aditif tertentu (perekat TF, UF, dan arang aktif).
Limbah pembalakan dibuat menjadi serpih, lalu diolah menjadi pulp menggunakan proses
semi-kimia soda panas terbuka pada kondisi: konsentrasi NaOH 8%, nilai banding bahan baku
serpih dengan larutan pemasak 1 : 8 (b/v), dan suhu pemasakan maximum 100qC yang
dipertahankan selama 3 jam. Pembentukan MDF menggunakan cara basah dari campuran limbah
pulp pembalakan HTI dan arang aktif dengan komposisi (b/b) 100% + 0%, 97,5% + 2,5%, 95% +
5%, 92,5% + 7,5%, dan 90% + 10%. Sebelum dibentuk lembaran, pada campuran tersebut
ditambahkan dua macam perekat (TF dan UF) secara terpisah masing-masing 5%.
Rata-rata rendemen pulp sebesar 81,8%, dan konsumsi alkali 7,12%. Produk MDF
berperekat TF memiliki sifat kekuatan lebih tinggi dan penambahan panjang lebih rendah
dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Peningkatan porsi campuran arang aktif berakibat
penurunan sifat kekuatan dan rekat internal (IB), menurunkan pengembangan tebal, tetapi
meningkatkan kadar air dan penambahan panjang MDF. Dibandingkan dengan persyaratan JIS,
sifat MDF yang banyak memenuhi adalah dengan penggunaan perekat TF. Diharapkan yang
belum memenuhi syarat dapat diperbaiki dengan penambahan lebih banyak bahan perekatdan/atau
penggunakan cross-linking agent. MDF yang paling menjanjikan adalah MDF dengan perekat TF
pada porsi campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5% dan 95% + 5%, dan
MDF dengan perekat UF dari campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97.5%+2.5%, yang
mengindikasikan bahwa kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF.

Kata kunci: Arang aktif, kayu hutan alam, limbah pembalakan kayu HTI, MDF, perekat
TF dan UF, sifat fisik dan kekuatan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 81


I. PENDAHULUAN

Papan serat didefinisikan sebagai salah satu produk panel hasil rekonstitusi kayu atau bahan
berserat ligno-selulosa lain. Papan serat tersebut dibuat dengan pertama-tama menceraiberaikan
kayu atau bahan berserat lain menjadi serat-serat terpisah (pulp). Selanjutnya, serat-serat terpisah
tersebut dibentuk menjadi lembaran papan serat dengan bantuan media air (proses pembentukan
basah) atau media udara (proses kering). Ikatan antar serat bisa berasal dari bahan kimia serat
sendiri (lignin termoplastis). Guna memperbaiki sifat-sifat papan serat (seperti kekuatan,
ketahanan air, dan ketahanan api), bahan lain bisa ditambahkan selama pembentukan lembaran
(aditif internal) atau sesudah lembaran terbentuk (aditif external/finishing), seperti perekat
thermosetting, lilin, bahan laminasi/coating, bahan pengawet, bahan tahan api, dan perlakuan
minyak (oil tempering). Salah satu keuntungan papan serat adalah dapat dibuat dari kayu bermutu
rendah, limbah kayu, atau kayu (bahan berserat ligno-selulosa lain) berukuran kecil. Papan serat
banyak digunakan untuk bahan isolasi (peredam suara), dinding penyekat, produk furniture,
bagian peralatan listrik (radio, televisi), bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan
hingga berat.
Di Indonesia arti penting kegunaan papan serat tercermin dari kecenderungan peningkatan
ekspor dan impor papan serat selama periode 2004-2008. Selama periode tersebut expor papan
serat meningkat dari 53,4 juta kg menjadi 102,2 juta kg, sedangkan impor pada periode yang sama
berkisar 180,0-234,8 juta kg (Anonim, 2008). Terlihat bahwa pada periode tersebut (2004-2008)
impor papan serat Indonesia jauh melebihi ekspornya. Ini mengindikasikan bahwa produksi papan
serat Indonesia dalam negeri saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan domestiknya. Dewasa ini
bahan baku pembuatan papan serat di Indonesia menggunakan bahan baku kayu karet tua (yang
sudah tidak produktif lagi menghasilkan getah lateks), jenis tertentu kayu hutan rakyat (HR), dan
kayu hutan tanaman (HTI) (Anonim, 2007; 2009).
Anjuran menggunakan kayu hutan tanaman kayu sisa sebagai bahan baku papan serat
mengacu pada kebijakan soft landing Kementerian Kehutanan, di mana salah satu pokok isinya
adalah mengurangi peran kayu hutan alam sebagai pemasok industri perkayuan, termasuk industri
pulp/kertas/papan serat, dan mengganti secara bertahap dengan bahan serat berligno-selulosa lain,
seperti kayu HR atau HTI dan kayu karet tua (Pasaribu dan Roliadi, 2006), mengingat sumber
persediaan kayu hutan alam semakin langka dan terbatas. Di samping itu adanya illegal logging
dan pengrusakan hutan alam untuk tujuan konversi (seperti pemukiman penduduk, perkebunan,
dan pendirian kawasan industri), berakibat laju kerusakan hutan mencapai 2,87 juta ha/tahun
(Anonim, 2006).
Sejalan dengan laju pertambahan penduduk Indonesia di masa mendatang, diperkirakan
kebutuhannya pada produk kayu (termasuk papan serat) akan meningkat pula. Dikhawatirkan,
bahwa kesenjangan (defisit) antara kemampuan produksi papan serat Indonesia dan kebutuhan
domestiknya yang sudah terjadi saat ini akan semakin parah lagi di masa mendatang. Hal ini
mencetuskan gagasan penggunaan sumber serat berligno-selulosa lain untuk papan serat. Sumber
lain yang dapat disarankan untuk hal tersebut adalah limbah kayu hutan tanaman. Potensi limbah
pembalakan hutan tanaman diperkirakan sebesar 8-10% dari potensi kayu HTI yang ditanam
berdasarkan keseluruhan jenis dan rotasi yang diterapkan yaitu sekitar 150-300 juta m3 kayu/ha.
Atas dasar itu potensi limbah pembalakan HTI diperkirakan mencapai 1,5-3,0 juta m3/tahun.

82 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Limbah pembalakan HTI selama ini hanya dibiarkan di tempat penebangan hingga membusuk
(Pasaribu et al., 2006). Limbah tersebut jika kering akan mudah terbakar dan selanjutnya
menyebabkan kebakaran hutan. Kebakaran tersebut dengan serta merta akan mengurangi areal
tutupan hutan dan sekaligus mengakibatkan pemanasan global (emisi karbon ke atmosfir). Dengan
demikian pemanfaatan limbah pembalakan HT diharapkan turut berperan menjaga kelestarian,
menjaga keseimbangan ekosistem, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Di antara produk panel papan serat yang berkembang dengan pesat adalah papan serat
berkerapatan sedang (medium density fiberboard atau MDF). MDF banyak digunakan untuk
antara lain industri furnitur, bagian interior kendaraan bermotor, dinding penyekat, dan bahan
dekorasi. Produksi MDF Indonesia pada tahun 2008 tercatat mencapai 26 juta ton (Saptadi, 2009).
Dalam rangka meningkatkan nilai tambah MDF, maka pada pembuatannya dapat ditambahkan
arang aktif. Arang aktif merupakan bahan berpori produk arang (hasil karbonisasi kayu atau bahan
berserat lingo-selulosa lain) yang telah melalui proses aktivasi menggunakan kombinasi uap air
panas dan bahan kimia tertentu (antara lain senyawa fosfat atau klorida dalam bentuk larutan),
sehingga arang tersebut memiliki luas permukaan besar. Arang aktif yang bersifat polar efektif
sebagai absorban (penyerap gas atau cairan bersifat polar, misalnya gas-gas beracun). Diharapkan
penambahan arang aktif dalam MDF selain memperbaiki sifat fisik dan menambah daya guna
papan serat tersebut, juga mengurangi dampak negatif dari produk tersebut.
Terkait dengan segala uraian tersebut, Makalah ini membahas hasil percobaan pembuatan
MDF menggunakan bahan baku limbah pembalakan kayu HTI yang dicampur dengan arang aktif.
Pada pembuatan MDF tersebut digunakan bahan aditif berupa perekat tanin formaldehida (TF), di
mana tanin yang digunakan merupakan bahan hasil ekstrak kulit kayu mangium. Pohon mangium
(Aacacia mangium) di Indonesia telah banyak dimanfaatan untuk pembangunan HTI, di mana
kayunya dipakai sebagai pemasok utama kebutuhan bahan baku berapa industri pulp/kertas
berskala besar di Indonesia. Kulit kayu mangium tersebut belum banyak dimanfaatkan, sehingga
potensinya sebagai tanin untuk antara lain bahan perekat cukup potensial. Diharapkan
pemanfaatan tanin (sebagai salah satu macam senyawa polifenol) (Sjostrom, 1993; Tsoumi, 1993)
untuk perekat dalam pembuatan MDF dapat menyamai bahan perekat konvensional yang sudah
banyak digunakan pada pengolahan MDF yaitu urea formaldehida.

II. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat


Bahan utama dalam penelitian ini adalah limbah pembalakan kayu hutan tanaman (HTI)
jenis Eucalyptus hybrid yang dikumpulkan dari daerah Sumatera Utara. Bahan kimia yang
digunakan soda api (NaOH) teknis, perekat tanin formaldehida (TF) dan perekat ureaformaldehida
(UF), dan arang aktif. Alat yang digunakan adalah ketel/panci tahan karat, kompor gas, alat
pembentukan lembaran papan serat/MDF (deckle box), alat kempa dingin (cold press), alat kempa
panas (hot press), timbangan, oven, dan alat UTM (universal testing machine) untuk pengujian
sifat fisik-mekanik MDF.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 83


B. Prosedur Kerja
Bahan baku penelitian berupa limbah pembalakan kayu HTI secara manual dijadikan serpih
berukuran 2,5 x 2,5 x 0,3 cm. Serpih yang diperoleh dikering udarakan dan ditentukan kadar
airnya. Serpih yang telah diketahui kadar airnya siap diolah menjadi pulp untuk MDF.
Pembuatan pulp dari serpih limbah pembalakan HTI tersebut dilakukan dengan proses
semikimia soda panas terbuka (tekanan udara sekitar satu atmosfir) pada ketel hasil rekayasa
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (P3KKPHH, Bogor)
menggunakan konsentrasi NaOH 8%. Kondisi pemasakan (pengolahan pulp) adalah nilai banding
bahan baku serpih dengan larutan pemasak 1 : 8 (b/v), suhu pemasakan maximum 100qC yang
dipertahankan selama 3 jam. Selesai pemasakan serpih lunak dipisahkan dari sisa larutan pemasak
dan dicuci sampai bebas larutan pemasak. Campuran sisa larutan pemasak dan air pencucian pulp
diambil sampel untuk penetapan konsumsi alkali. Serpih lunak selanjutnya diuraikan seratnya
menjadi pulp, menggunakan alat Hollander beater pada konsistensi 3% hingga serat terurai
tersebut (pulp) mencapai derajat kehalusan 700-750 ml CSF. Pulp limbah pembalakan HTI yang
diperoleh dikurangi airnya pada alat centrifuge untuk selanjutnya ditentukan rendemen pulp yang
diperoleh, dan siap dibentuk menjadi MDF.
Untuk pembentukan lembaran MDF, digunakan campuran pulp limbah pembalakan HTI
dan arang aktif dengan komposisi berturut-turut (b/b): 100% + 0% (k1), 97,5% + 2,5% (k2), 95%
+ 5% (k3), 92,5% + 7,5% (k4), dan 90% + 10% (k5). Masing-masing komposisi campuran
tersebut disuspensikan dalam air, dan diaduk hingga homogen. Sebelum pembentukan MDF, pada
campuran tersebut ditambahkan dua macam perekat (TF dan UF) sebanyak 5% secara terpisah
(dasar berat kering oven), dan selanjutnya diaduk pula hingga homogen. Pembentukan MDF
dilakukan dengan cara basah (wet process) yaitu berukuran 30 cm x 30 cm x 1,0 cm dengan
sasaran kerapatan 0,80 g/cm3 sesuai dengan persyaratan JIS (Anonim, 2003).
Pembentukan lembaran MDF menggunakan alat deckle box. Untuk mengurangi air di dalam
lembaran yang terbentuk tersebut dilakukan pengempaan dingin (pada suhu kamar) sampai
ketebalan papan mencapai 10 mm, dilanjutkan dengan perlakuan panas pada suhu 150qC selama 4
jam, dan sesudahnya dilakukan kempa panas suhu 170qC dengan tekanan kempa 30 kg/cm2
selama 10 menit. Lembaran MDF yang terbentuk dikondisikan pada suhu dan kelembaban
tertentu, dan siap diuji sifat fisik-mekaniknya yang mencakup kerapatan, keteguhan lentur (MOE),
keteguhan patah (MOR), kadar air, daya serap air, pengembangan tebal. dan perubahan panjang.
Prosedur pengkondisian dan pengujian tersebut mengacu pada standar JIS (Anonim, 2003).

C. Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Penelaahan sifat pengolahan pulp MDF (rendemen dan konsumsi alkali) dilakukan secara
deskriptif yaitu rataan dan simpangan baku, sedangkan penelaahan sifat fisik-mekanik MDF
menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial berpola petak terbagi (split plot).
Sebagai petak utama adalah macam bahan perekat (P) terdiri dari dari 2 macam yaitu TF (p1), dan
UF (p2). Sebagai petak sekunder adalah komposisi campuran pulp limbah dengan arang aktif (K),
yaitu 100% + 0% (k1), 97,5% + 2,2% (k2), 95% + 5% (k3), 92,5% + 7,5% (k4), dan 90% + 10%
(k5); dan interaksi campuran tersebut dengan macam bahan perekat (KP). Ulangan dari tiap taraf
kombinasi faktor KP dilakukan sebanyak 3 kali. Data sifat MDF mencakup kerapatan, kadar air,

84 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


MOE (ditransformasi dalam bentuk logaritma), MOR, pengembangan tebal, perubahan panjang,
dan keteguhan rekat internal (internal bond). Jika pengaruh perlakuan (faktor P dan K secara
individu, dan interaksi KP) nyata terhadap pengamatan tertentu, maka penelaahan dilanjutkan
dengan uji jarak beda nyata jujur (Tukey) (Snedecor and Cochran, 1980).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Rendemen dan Sifat Pengolahan Pulp untuk MDF


Rendemen pulp limbah pembalakan kayu Eucalyptus hybrid (rata-rata 81,8%, dengan
simpangan baku 2,27%) terletak pada selang yang umum pada rendemen pengolahan pulp semi-
kimia (60-85%). Konsumsi alkali yang diperlukan untuk pengolahan pulp kayu eukaliptus
tersebut yang sebesar 7,12% (simpangan baku 0,43%), mengindikasikan dari konsentrasi alkali
awal yang digunakan untuk pemasakan (pengolahan pulp) tersebut yaitu 8%, hanya tersisa
sebanyak 0,88% alkali (NaOH). Berarti sekitar 89% dari NaOH awal digunakan dalam
pemasakan, di mana sebagian alkali (NaOH) tersebut digunakkan untuk melunakkan lignin, dan
sebagian lagi diserap oleh fraksi karbohidrat limbah kayu.

B. Sifat Fisik-Mekanik
Hasil analisa keragaman terhadap data sifat fisik dan mekanik MDF (Tabel 1, Tabel 1a, dan
Tabel 2) menunjukkan bahwa pengaruh interaksi interaksi antara faktor komposisi campuran
(limbah dan arang aktif) dengan faktor macam bahan perekat juga nyata. Penelaahan lebih lanjut
terhadap sifat tersebut dilakukan dengan uji BNJ (Tabel 2). Kerapatan MDF dengan perekat tanin
formaldehida (TF), yaitu 0,641-0,730 gram/cm3, cenderung lebih rendah dari pada dengan perekat
urea formadehida, yaitu 0,633-0,772 g/cm3 (Tabel 2). Di duga karena tanin (polifenol) merupakan
makromolekul, sedangkan urea memiliki dimensi lebih kecil dari pada tanin. Dengan demikian
diindikasikan pula bahwa luas permukaan partikel perekat/polimer TF jauh lebih kecil
dibandingkan polimer UF (Blomquist et al., 1981; Tsoumi, 1993). Hal tersebut berakibat
intensitas berkontak (adesi) antara partikel TF dengan permukaan serat (pulp MDF) lebih rendah
dibandingkan antara partikel UF dengan permukaan serat. Dengan perkataan lain, diduga dalam
struktur ikatan dan anyaman serat dalam MDF dengan perekat TF lebih banyak rongga kosong
(kurang kompak/padat) dibandingkan dalam MDF dengan perekat UF.
Lebih lanjut, kerapatan MDF yang menggunakan perekat TF cenderung menurun dengan
meningkatnya porsi arang aktif. Diduga, semakin tingginya porsi arang aktif tersebut berakibat
lebih banyak terjadi interfere terhadap ikatan dan anyaman serat dalam struktur MDF, dan juga
interfere terhadap ikatan antara perekat TF dengan permukaan serat pulp MDF. Untuk dengan
perekat UF, peningkatan porsi arang aktif hingga 2,5% mula-mula mengakibatkan kerapatan
MDF, dan selanjutnya menurun. Diduga sifat higroskopis serat MDF akibat peningkatan porsi
arang tersebut berakibat lebih efisiennya penyebaran perekat UF pada permukaan serat dan
akibatnya menyempurnakan ikatan/anyaman antar serat (struktur serat MDF lebih kompak).
Selanjutnya, porsi arang aktif di atas 2,5%, berakibat pula interfere terhadap ikatan dan anyaman
antar serat dan terhadap ikatan perekat UF dengan permukaan serat, seperti halnya terjadi pada

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 85


perekat TF. Secara keseluruhan, kerapatan MDF hasil percobaan memenuhi persyaratannya
menurut JIS yaitu 0,35-0,80 gram/cm3 (Anonim, 2003).
Kadar air MDF dengan perekat TF (6,358-12,865%) cenderung lebih besar dari pada
dengan perekat UF (6,667-10,468%) (Tabel 2). Diduga tanin sebagai polifenol lebih banyak
terdapat gugusan polar (terutama OH) dibandingkan urea. Ini berakibat sifat menarik air
(higroskopis) MDF dengan perekat TF lebih besar dengan perekat UF. Lebih lanjut, kadar air
MDF dengan perekat TF mula-mula meningkat dengan makin tingginya porsi arang aktif hingga
7,5%, dan selanjutnya menurun. Gejala serupa terjadi pada kadar air MDF dengan perekat UF,
tetapi pada peningkatan porsi arang aktif hingga 5%. Diduga peningkatan porsi arang aktif hingga
sekitar 5-7,5% mula-mula menyebabkan sifat higroskopis MDF meningkat hingga kadar airnya
meningkat. Selanjutnya peningkatan melewati 5-7,5% tersebut menyebabkan tertutupnya akses
gugusan OH pada serat MDF, sehingga sebaliknya sifat higroskopis MDF menurun. Kadar air
MDF yang dikehendaki adalah yang rendah. Di sini seluruh kadar air MDF hasil percobaan
terletak pada selang yang dipersyaratkan oleh JIS, yaitu 5-13%.
Sifat kekuatan MDF dengan perekat TF (MOR = 123.360-297.245 kg/cm2; MOE =
13.293,1-23.984,2 kg/cm2) cenderung lebih besar dibandingkan dengan perekat UF (MOR =
102.565-165.186 kg/cm2; MOE = 9.150,7-19.350,2 kg/cm2) (Tabel 2). Diduga tanin sebagai
polifenol yang bersifat polar menyebabkan perekat TF lebih memiliki akses berkontak dengan
permukaan serat sehingga memungkinkan terjadi ikatan kovalen parsial dan gaya Van Der Waals
yang lebih intensif dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Di samping itu, diindikasikan
bahwa senyawa polimerisasi polifenol tanin dengan formaldehida berakibat struktur kohesi
internal perekat TF lebih kuat dibandingkan struktur UF. Lebih lanjut, sifat kekuatan MDF (MOR
dan MOE) baik dengan perekat TF ataupun UF mula-mula cenderung meningkat pada
peningkatan porsi arang aktif (sekitar 2,5-5%), dan selanjutnya menurun. Diduga peningkatan
kadar air akibat meningkatnya sifat higroskopis MDF akibat peningkatan porsi arang mula-mula
menyebabkan partikel-partikel perekat TF atau UF lebih terdispersi sehingga terjadi kontak
permukaan dan ikatan lebih sempurna antara perekat tersebut dengan serat MDF. Melewati porsi
arang aktif 2,5-5%, diduga terjadi lebih banyak interfere terhadap ikatan perekat dengan
permukaan serat, sehingga sifat kekuatan MDF menurun. Dibandingkan dengan persyaratan MOR
dan MOE menurut JIS, yang memenuhi adalah MDF dari campuran limbah yang dicampur arang
aktif sebanyak 2,5-5% menggunakan perekat TF, sedangkan MOR dan MOE MDF yang
menggunakan perekat UF seluruhnya tidak memenuhi syarat (Tabel 2).
Dalam hal pengembangan tebal, nilainya untuk MDF dengan perekat TF (28.876 -
61.348%) lebih besar dibandingkan dengan perekat UF (28.401 - 43.462%) (Tabel 2). Dalam
konteks ini, ternyata dalam struktur MDF ketahanan perekat TF terhadap air lebih rendah dari
pada perekat UF. Diduga sebagaimana diuraikan sebelumnya karena tanin (sebagai polifenol)
merupakan makromolekul, sedangkan urea (H2NCONH2) merupakan molekul dengan dimensi
jauh lebih kecil, maka dengan demikian luas permukaan partikel tanin (TF) jauh lebih kecil dari
pada luas permukaan urea (UF). Hal tersebut memungkinkan banyaknya rongga-rongga udara
dalam MDF dengan perekat TF lebih dari pada dalam MDF dengan perekat UF. Akibatnya,
ketahanan MDF dengan perekat TF tersebut terhadap air lebih rendah dibandingkan ketahanan
MDF dengan UF, dan menurunkan ketsabilan dimensinya. Lebih lanjut, baik dengan perekat TF

86 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


ataupun UF ternyata pengembangan tebal cenderung menurun dengan meningkatnya porsi arang
aktif. Sifat partikel arang aktif yang porous, polar, dan memiliki luas permukaan besar,
menyebabkan gaya atraksi menarik air meingkat pula, dan akibatnya lebih sedikit molekul air
yang terserap ke dalam struktur serat MDF. Pengembangan tebal MDF yang dikehendaki adalah
yang rendah, sebab ini terkait dengan sifat kestabilan dimensinya. Dibandingkan dengan
persyaratan pengembangan tebal MDF menurut JIS yaitu d 12% (untuk tebal 7-15 mm), maka
seluruh MDF hasil percobaan tidak memenuhi syarat (Tabel 2). Diharapkan hal tersebut dapat
pula diperbaiki dengan penggunaan perekat yang lebih banyak atau penggunaan cross-linking
agent.
Keteguhan rekat internal atau internal bond (IB) MDF dengan perekat TF (0,30-1,21%)
lebih rendah dibandingkan dengan perekat UF (0,50-1,01 kg/cm2) (Tabel 2). Diduga ini dapat
dijelaskan dengan fenomena adesi yang terjadi pada pengembangan tebal, yaitu intensitas adesi
antara perekat TF (tanin sebagai makromolekul) dengan permukan serat lebih rendah (lebih
banyak rongga-rongga udara, sebagaimana diinidikasikan dari kerapatannya yang lebih rendah
pula) dibandingkan antara perekat UF dengan permukaan serat. Selanjutnya, untuk MDF dengan
perekat TF, ternyata peningkatan porsi arang aktif hingga 5% mula-mula berakibat IB MDF
meningkat dan selanjutnya menurun. Sebaliknya untuk MDF dengan perekat UF, peningkatan
porsi arang aktif mengakibatkan IB MDF tersebut menurun. Untuk MDF dengan perekat TF,
fenomena tersebut serupa dengan yang terjadi pada sifat kekuatan MDF (MOR dan MOE) (Tabel
2), yaitu diduga peningkatan kadar air akibat meningkatnya sifat higroskopis MDF akibat
peningkatan porsi arang mula-mula menyebabkan partikel-partikel perekat TF lebih terdispersi
sehingga terjadi kontak permukaan dan ikatan lebih sempurna antara perekat tersebut dengan serat
MDF. Melewati porsi arang aktif 5%, diduga terjadi lebih banyak interfere terhadap ikatan
perekat dengan permukaan serat, sehingga sifat keteguhan internal (IB) menurun. Untuk MDF
dengan perekat UF, diduga dengan peningkatan porsi arang aktif juga terjadi lebih banyak
interfere terhadap ikatan perekat tersebut dengan permukaan serat MDF. Keseluruhan IB MDF
hasil percobaan ternyata tidak memenuhi persyatannya menurut JIS yaitu t 2,0 kgf/cm2 (Tabel 2).
Diharapkan ini dapat diperbaiki pula dengan pengggunaan cross-linking agent.
Penambahan panjang MDF dengan perekat TF (0,650-1,959%) lebih kecil dari pada dengan
perekat UF (0,744-1,417%), diduga ini ada kaitannya sifat kekuatan MDF (MOR dan MOE)
dengan TF yang lebih tinggi dibandingkan dengan UF (Tabel 2). Ini memberi indikasi bahwa
penomena kohesi bahan perekat dan fenomena adesi bahan perekat dengan bahan serat terhadap
pengujian sifat kekuatan pada arah memanjang lembaran MDF (MOR dan MOE tersebut)
memberi respons yang serupa terhadap pengujian kestabilan dimensi MDF juga pada arah
memanjang lembaran MDF tersebut (penambahan panjang). Lebih lanjut, penambahan panjang
MDF (baik dengan perekat TF ataupun dengan UF) cenderung meningkat dengan peningkatan
porsi arang aktif (Tabel 6 dan Tabel 10). Diduga arang aktif tersebut mengakibatkan lebih banyak
terjadi interfere terhadap bidang kontak perekat tersebut dengan permukaan serat MDF, akibatnya
kestabilan dimensi MDF menurun (penambahan panjang meningkat). MDF yang dikehendaki
adalah yang penambahan panjangnya sekecil mungkin (kestabilan dimensi setinggi mungkin).
MDF hasil percobaan yang memiliki prospek paling menjanjikan, berdasarkan hasil
telaahan skor (melalui manipulasi uji BNJ) adalah MDF dari komposisi campuran limbah-arang

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 87


aktif (97,5% + 2,5% dan 95% + 5%) dengan perekat TF (Tabel 2). Untuk MDF dengan perekat
UF, prospek yang menjanjikan adalah MDF dari campuran limbah-arang aktif (97,5% + 2,5%).
Penelaahan tersebut juga menindikasikan kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada
perekat UF, dengan demikian perekat TF (dari bahan terbarukan) cukup berprospek menggantikan
peran bahan perekat UF (dari bahan tidak terbarukan).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Rendemen pulp semi-kimia soda panas terbuka dari limbah pembalakan kayu hutan tanaman
jenis Eucalyptus hybrid sebesar 81,8%, dengan konsumsi alkali 7,12%. Rendemen tersebut
terletak dalam selang yang umum untuk pengolahan pulp semi-kimia (60-85%).
2. Konsumsi alkali (NaOH) sebesar 7,12% mengindikasikan bahwa dari konsentrasi awal NaOH
(8%), sekitar 89% digunakan untuk pemasakan serpih limbah pembalakan tersebut menjadi
pulp.
3. MDF dengan perekat TF memiliki sifat kekuatan (MOR dan MOE) lebih tinggi dan
penambahan panjang lebih rendah dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Akan tetapi,
dalam hal pengembangan tebal dan keteguhan rekat internal (IB), keadaan untuk MDF dengan
perekat TF lebih buruk dibandingkan dengan perekat UF (pengembangan tebal lebih besar dan
IB lebih rendah). Peningkatan porsi campuran arang aktif terhadap limbah pembalakan
berakibat penurunan sifat kekuatan dan IB, meningkatkan kestabilan dimensi pada arah tegak
lurus lembaran (menurunkan pengembangan tebal), tetapi meningkatkan kadar air dan
penambahan panjang MDF.
4. Dibandingkan dengan persyaratan JIS, sifat MDF yang banyak memenuhi adalah dengan
perekat TF. Diharapkan yang tidak memenuhi tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan
lebih banyak bahan perekat (TF atau UF) dan/atau penggunakan cross-linking agent.
5. Berdasarkan telaahan sifat fisik dan mekanik, MDF yang berprospek paling menjanjikan dan
banyak memenuhi persyaratan JIS adalah MDF dengan perekat TF pada porsi campuran pulp
limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5% dan 95% + 5%, dan MDF dengan perekat UF
dari campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5%. Telaahan tersebut
mengindikasikan pula bahwa kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF,
sehingga perekat TF (dari bahan terbarukan) cukup berprospek menggantikan UF (dari bahan
tidak terbarukan).

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan tersusunnya makalah ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebesarnya
dan penghargaan setingginya pada Ibu Ir. Rena M. Siagian, MS, yang telah melakukan
pencermatan, memberikan petunjuk dan pengarahan selama melaksanakan kegiatan terkait dengan
tulisan ini serta Ibu Setyani B. Lestari dan Ibu Yoswita (Teknisi di Lab Teknologi Serat Pusat

88 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor) yang telah membantu
penulis dalam kegiatan di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Fiberboard. Japanese Industrial Standard (JIS) A 5905. Tokyo. Japan.
Anonim. 2006. Kayu Hutan Alam Distop Total: Laju Degradasi Mencapai 2,87 Juta Hektar per
Tahun. Harian Kompas, tanggal 28 April 2006. Hlm. 22. Jakarta.
Anonim. 2009. Masari Board. Environmemtally Friendly Products. PT. Masari Dwisepkat Fiber.
Jakarta Karawang.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Blomquist, R.F., A.W. Christiansen, R.H. Gillespe dan G.E. Myers. 1981 . Adhesive Bonding of
Wood and Other Structural materials. Forest Products Laboratory, USDA Forest Service in
Cooperation with the University of Wisconsin - Extension. Madison, Wsiconsin.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI). Departemen Kehutanan. Jakarta.
Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2006. Kajian potensi kayu pertukangan dari hutan rakyat pada
beberapa kabupaten di Jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil Hutan 2006: Kontribusi Hutan
Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan, tanggal 21 September 2006. Pusat
Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Pasaribu, R.A., Dulsalam, H. Roliadi, dan R.M. Siagian. 2006. Penetapan faktor konversi bahan
baku serpih beberapa jenis kayu HTI dan limbah pembalakan hutan tanaman. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Pusat Litbang Hasil Hutan. 2007. Hasil Studi Lapangan Pengukuran dan Pengujian Kayu Bulat
Berdiameter Kecil (KBK). Laporan Final. Tim Studi Pusat Litbang Hasil Hutan dengan
Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan. Pusat Litbang Hasil Hutan.
Bogor.
Saptadi, D. 2009. Kualitas papan isolasi dari campuran kayu mangium dan arang. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan, 27 (4): 291-302. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry: Fundamental and Applications. Academic Press, Inc.
Orlando San Diego New York L ondon Sydney Tokyo.
Snedecor, G.W. and W.G. Cochran. 1980. Statistical Methods. The Iowa State College Press.
Ames. Iowa.
Tsoumi, G. 1993. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, and Uses. Van
Nostrand Reinhold. New York.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 89


PEREKAT BERBASIS RESORSINOL
DARI EKSTRAK KAYU MERBAU

Oleh:
Adi Santoso dan Jamaludin Malik
Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610
Telp. 0251-8633378; Fax. 0251-8633413
E-mail: asanto10@yahoo.com

I. PENDAHULUAN

Perekat merupakan salah satu bahan utama yang amat penting (2060% dari seluruh biaya
produksi) dalam industri kayu majemuk sampai saat ini, sebagian besar perekat yang digunakan di
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri kayu tersebut adalah perekat sintetis jenis termoset
seperti: Urea formaldehida (80%), Phenol formaldehida (10%) dan Melamin formaldehida (10%).
Untuk produk kayu keperluan struktural atau bangunan dan perkapalan masih menggunakan
perekat impor dari Belgia dan Jepang, yaitu perekat dingin tipe WBP dari jenis phenol resorsinol
formaldehida (Phenol Resorcinol Formaldehyde, PRF) dan resorsinol formaldehida (Resorcinol
Formaldehyde, RF). Selain itu juga digunakan jenis perekat termoplastik termoset yang berbahan
baku isosianat (epoksi), poliuretan atau polivinilasetat dan perekat hotmelt (Santoso, 2011).
Menurut data statistik (BPS, 2010), pada tahun 2008 Indonesia mengimpor perekat jenis
termoset seperti: Urea formaldehida: 201,9 ton (Rp2,5 milyar), Phenol formaldehida: 56,5 ton
(Rp30,9 milyar) dan Melamin formaldehida: 353,8 ton (Rp21,8 milyar). Sementara jenis perekat
termoplastik termoset: 2.214,5 ton (Rp28,6 milyar), jenis perekat sintetis lainnya: 1.336,5 ton
(Rp38,3 milyar) dan jenis perekat alami: 193,2 ton (Rp3 milyar). Jenis-jenis perekat tersebut di
atas sebagian besar merupakan perekat sintetis yang berasal dari hasil pengolahan minyak bumi di
mana sumber dayanya bersifat tidak dapat dipulihkan (non renewable). Penggunaannya juga
menyebabkan pencemaran dan menghasilkan emisi gas. Untuk itu perlu ditemukan solusi
alternatif pengganti bahan baku perekat yang bersumber dari dalam negeri dan bersifat dapat
dipulihkan (renewable) serta ramah lingkungan.
Upaya penelitian penggunaan bahan perekat berbasis biomassa didasarkan pada tinjauan
teoritis bahwa dalam materi tersebut selain terdiri dari lignoselulosa juga terkandung komponen
kimiawi yang merupakan campuran senyawa polifenol sehingga reaksinya dengan formaldehida
mirip dengan reaksi pembuatan phenol formaldehida (PF). Contoh nyata salah satu hasil
penelitian ini adalah penemuan perekat berbahan dasar alami berbasis ekstrak tanin cair dari kulit
kayu A. mangium (Santoso, 2005), yang mendorong dilakukannya penelitian sejenis untuk
mendapatkan bahan alternatif perekat alami dari pohon/kayu merbau (Intsia spp).
Kayu merbau sebagai salah satu jenis kayu komoditi ekspor Indonesia, mudah dikenal dari
seratnya yang berwarna merah kecokelatan, memiliki keunggulan dalam kekerasan dan tektur
halus kayunya. Kegunaanya cukup luas sebagai property karena sifat fisik dan mekanik yang
dimilikinya membuat kayu merbau menjadi sebuah simbol eklusifitas dalam interior
(Martawijaya, 2005). Kelemahan kayu ini adalah dalam keadaan hujan atau lembab,

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 91


menyebabkan kayu merbau mengeluarkan senyawaan ekstraktif berwarna merah yang mirip
dengan warna larutan fenol atau resorsinol. Keberadaan fenol monosiklik sederhana seperti
resorsinol diyakini terdapat dalam jumlah banyak dalam tumbuh-tumbuhan. Peranan senyawa
fenolik salah satunya sebagai bahan pembangun dinding sel dan sistem pertahanan tumbuhan
terhadap serangga penggerek tanaman (Hans, 2006).
Makalah ini mengemukakan hasil penelitian perekat berbasis biomassa tanaman hutan
khususnya ekstrak cair dari limbah kayu merbau.

II. KARAKTERISTIK EKSTRAK KAYU MERBAU

Ekstrak cair kayu merbau berwarna merah kecokelatan mirip dengan larutan fenol atau
resorsinol. Derajat kemasaman (pH) 4,8 dengan rendemen ekstrak padatannya 5,59% (b/b). Hasil
identifikasi dengan spektofotometer UV-Vis pada O= 273,50 nm, menunjukkan spektrum senyawa
ekstrak cair limbah kayu merbau ini identik dengan resorsinol (Gambar 1), dengan kadar
kemurnian 78,03% (b/b). Perolehan kadar resorsinol tersebut cukup besar dan dapat bernilai
komersial karena nilainya ada dalam kisaran 70-80% (Palfreyman, 1998). Berdasarkan
perhitungan, dari 1 m3 kayu merbau dapat diperoleh 2,55 kg resorsinol.

(a) (b)

Gambar 1. Spektrum standar resorsinol (a) dan ekstrak kayu Merbau (b)

Hasil analisis lebih lanjut dengan Py-GCMS (Gambar 2) menunjukkan ekstrak cair limbah
kayu merbau mengandung senyawa fenolik yang didominasi oleh resorsinol (1,3-benzenediol
(CAS) resorcin), dengan waktu retensi 22,187 menit. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
resorsinol yang terkandung dalam ekstrak cair limbah kayu merbau mencapai 55%, bahkan
berpotensi lebih besar (73%) bila 1,2,3-Benzenetriol (CAS) 1,2,3-Trihydroxybenzene dapat berubah
menjadi 1,3-benzenediol atau 1,3-dihidroksibenzene dengan melepas satu gugus OH (Malik dan
Santoso, 2009).

92 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Gambar 2. Kromatogram ekstrak kayu merbau

Hasil analisis gugus fungsi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah (FTIR)
memperlihatkan ekstrak cair limbah kayu merbau mengandung senyawa yang didominasi senyawa
fenolik yang ditunjukkan oleh adanya puncak pita serapan di daerah 3.134 3.366 cm-1 untuk
gugus-OH dan 1.510 1.693 cm-1 untuk aromatik (Gambar 3).

100

%T

90

80
707.89
975.03

628.80
841.94
1510.29

70
1088.84
1452.42

1342.48
1304.87

1114.87

60
1199.74
2943.42

1157.31

1029.04

50
1619.27
3134.38

40
3361.98

30

20
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
E0 1/cm

Gambar 3. Spektrogram FTIR ekstrak kayu merbau

Berdasarkan hasil analisis dengan difraksi sinar-X diketahui derajat kristalinitas senyawa
yang terkandung dalam ekstrak cair kayu merbau 20,86% (Gambar 4).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 93


Gambar 4. Difraktogram ekstrak kayu merbau

Dari hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 5) diperoleh suhu transisi
fase pelelehan ekstrak cair kayu kayu merbau ini 110,89oC dengan suhu dekomposisi/disosiasi
308,01oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair kayu merbau ini relatif sama dengan suhu
transisi fase pelelehan resorsinol, yaitu 111,59 oC (Astu, 2005).

Gambar 5. Termogram ekstrak kayu merbau

Hasil analisis dengan IV-meter intrinsic viscosity diperoleh data bobot molekul dari ekstrak
cair limbah kayu merbau: 753.

III. FORMULASI DAN KARAKTERISASI PEREKAT

Ekstrak cair kayu merbau yang didominasi senyawa resorsinol dapat direaksikan dengan
formaldehida dan aditif (katalis), membentuk polimer dan/atau kopolimer untuk aplikasi perekat
kayu.

A. Polimerisasi Ekstrak Cair Limbah Kayu Merbau


Polimerisasi dilakukan dengan mereaksikan formaldehida 37% pada ekstrak cair kayu
merbau dengan katalis basa pada suhu kamar. Hasil analisis dengan FTIR terhadap produk reaksi

94 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


tersebut memperlihatkan pita serapan yang berbeda dengan komponen asalnya (Gambar 3 dan
Gambar 6), yaitu terbentuknya pita serapan yang baru di daerah bilangan gelombang 2.831cm-1,
1.599cm-1 dan, 1.365 cm-1 dengan intensitas sangat tinggi, yang mengindikasikan terjadinya reaksi
antara resorsinol dari ekstrak cair kayu merbau dengan formaldehida membentuk polimer.

105

%T

90

1045.44
3117.98
75

2955.00

2716.78
3220.21
60

45
3431.42

2831.55

30

775.40
15

1364.66
1599.02
0

4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
ET0 1/ cm

Gambar 6. Spektrogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida

Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 7)
yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda yang didominasi turunan polimer
senyawa fenolik yaitu: 5-methoxy-2,3-dimethyl(CAS)-3-methoxy-5,8-dimethylphenol dengan
waktu retensi 24,747 menit yang bila dibandingkan dengan puncak-puncak pita ekstrak kayu
merbau sendiri yang dominan mengandung resorsinol (1,3-benzenediol atau 1,3-
dihidroksibenzene), dengan waktu retensi 22,187 menit.

Gambar 7. Kromatogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 95


Hasil analisis dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung dalam
produk reaksi ekstrak cair kayu merbau dengan fomaldehida 37% pada nisbah mol tertentu
dengan katalis basa ini memiliki derajat kristalinitas 30,47% (Gambar 8), lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak cair kayu merbau (20,86%), yang mengindikasikan terbentuknya
senyawa baru.

Gambar 8. Difraktogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida

Dari hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 9) diperoleh suhu transisi
fase pelelehan produk reaksi ekstrak cair limbah kayu merbau dengan formaldehida: 111,08 oC
dengan suhu dekomposisi/disosiasi 299,65oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau
ini meskipun relatif sama dengan suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair limbah kayu merbau
(110,89o C), namun suhu dekomposisi/disosiasinya lebih rendah daripada ekstrak cair kayu
merbau (308,01oC).

Gambar 9. Termogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida

96 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Hasil analisis dengan IV-meter intrinsic viscosity diperoleh data bobot molekul dari produk
ini: 9.308, meningkat dibanding dengan bobot molekul ekstrak cair kayu merbau sendiri (753),
yang mengindikasikan terbentuknya polimer.
Produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini adalah perekat kayu tipe eksterior yang
ketika diaplikasikan pada kayu lamina sengon menghasilkan nilai keteguhan rekat: 21,6544,27
kg/cm2 dengan kerusakan kayu 80 90% (uji kering), dan: 8,82 19,16kg/cm2 dengan kerusakan
kayu 0% (uji basah). Emisi formaldehida dari kayu lamina sengon yang menggunakan perekat ini
0,22 mg/L yang tergolong F**** (klasifikasi produk paling rendah emisi). Nilai keteguhan rekat
dari hasil penelitian sebelumnya terhadap produk dan jenis kayu yang sama berturut-turut 36,96 -
54,91 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 0% (uji kering) (Malik dan Santoso, 2010), 14,6444,44
kg/cm2dengan kerusakan kayu 50 100% (uji kering) dan 7,22 22,56 kg/cm2 dengan kerusakan
kayu 40 70% (uji basah) (Santoso dan Malik, 2011).

B. Kopolimerisasi Ekstrak Cair Limbah Kayu Merbau


Kopolimerisasi dilakukan dengan mereaksikan sejumlah kecil monomer (resorsinol) dan
formaldehida 37% pada ekstrak cair kayu merbau dengan katalis basa pada suhu kamar.
Identifikasi terbentuknya kopolimer dengan FTIR ditunjukkan dengan terbentuknya puncak-
puncak pita yang berbeda dibandingkan dengan spektrum polimer maupun monomernya, antara
lain tidak adanya puncak serapan di daerah bilangan gelombang 2.831cm-1 dan berkurangnya
intensitas serapan di daerah bilangan gelombang 1.599cm-1 dan 1.365 cm-1(Gambar 6) yang
bergeser ke daerah kedaerah bilangan gelombang 1.586 cm-1 dan 1.358cm-1 (Gambar 10).

100
%T
90
1019.40
1469.78

80
2830.59

778.29

70
3110.27

60

50
1357.91

40
3425.64

30
1586.48

20
403 13

10
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
E4 1/cm

Gambar 10. Spektrogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau

Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 11)
yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda, yang didominasi turunan kopolimer
senyawa resorsinol, yaitu: 1,3-benzenediol, 4,5-dimethyl-(CAS)-4,5-dimethylresorcinol dengan
waktu retensi 24,378 menit yang berbeda dengan puncak-puncak pita turunan polimer fenolik

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 97


yang dominan mengandung 5-methoxy-2,3-dimethyl (CAS)-3-methoxy-5,8-dimethylphenol,
dengan waktu retensi 24,747 menit (Gambar 7) .

Gambar 11. Kromatogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau

Identifikasi lebih lanjut dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung
dalam produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini memiliki derajat kristalinitas 23,32%
(Gambar 12), lebih mendekati nilai derajat kristalinitas ekstrak cair kayu merbau (20,86%), yang
mengindikasikan terbentuknya kopolimer dari resorsinol.

Gambar 12. Difraktogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau

Hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 13) menunjukkan suhu
transisi fase pelelehan produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini: 115,31 oC dengan suhu
dekomposisi/disosiasi:468,77oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau ini lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu transisi fase pelelehan produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau
(111,08o C) yang suhu dekomposisi/disosiasinya: 299,65oC.

98 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Gambar 13. Termogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau

Terbentuknya kopolimer lebih teridentifikasi lagi dengan alat IV-meter intrinsic viscosity yang
menetapkan bobot molekul produk tersebut: 49.658, jauh lebih besar dibanding dengan bobot
molekul produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau (9.308).
Aplikasi produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau pada kayu lamina sengon: 44,84
56,91 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 80 - 100% (uji kering), dan 29,62 33,43kg/cm2 dengan
kerusakan kayu 20-75% (uji basah). Nilai keteguhan rekat produk perekatan ini lebih tinggi
dibanding dengan produk sejenis yang menggunakan produk polimerisasi ekstrak cair kayu
merbau. Emisi formaldehida dari kayu lamina sengon yang menggunakan perekat ini: 0,03 mg/L
yang tergolong F**** (klasifikasi produk paling rendah emisi).
Secara keseluruhan karakteristik dan aplikasi formula produk polimerisasi dan
kopolimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau ini diringkas pada Tabel 1.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 99


Tabel 1. Karakteristik produk polimerisasi dan kopolimerisasi ekstrak cair merbau sebagai
perekat kayu lamina sengon

Produk Pembanding
No. Sifat
Polimerisasi Kopolimerisasi PF PRF
1. Kenampakan:
Bentuk Cair Cair Cair Cair
Warna Cokelat-hitam Merah-cokelat Merah-cokelat Merah-cokelat
Bau Fenol Fenol Fenol Fenol
2. Kekentalan, poise 1,98 2,87 1,74 3,40
3. Kemasaman (pH) 11 11 11 8
4. Bobot molekul 9.308 49.658 - -
5. Suhu Depolimerisasi, 0C:
Titik gelas 111,08 115,31 - 161
Dekomposisi/disosiasi 299,65 468,77 - -
6. Derajat kristalinitas, % 30,47 23,32 - 51,53
7. Waktu retensi, menit 24,75 24,38 - -
8. Bobot jenis 1,08 1,12 1,19 1,15
9. Solid content, % 14,46 17,64 41,03 57,03
10. Formaldehida bebas, % 0,1 0,03 < 1,0 0,04
11. Uji pada kayu lamina sengon
a. Keteguhan rekat, kg/cm2:
Uji kering 21,65 44,27 44,84 56,91 47,32 -
Uji basah (100oC, siklus) 8,82 19,16 29,62 33,43 21,48 -
b. Emisi formaldehida (mg/L) 0,22 0,03 - -
Keterangan: (-) = tidak ada data.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Rendemen ekstrak cair kayu merbau: 5,59% (b/b), dengan tingkat kemurnian 78,03%.
Berdasarkan identifikasi dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA danIV-
meter intrinsic viscosity disimpulkan bahwa senyawa yang terkandung dalam ekstrak cair kayu
merbau identik dengan senyawa fenolik (resorsinol), dengan bobot molekul: 753.
Ekstrak cair kayu merbau dapat direaksikan dengan formaldehida dalam suasana basa,
membentuk polimer berbobot molekul 9.308. Identifikasi terjadinya polimerisasi dapat dilakukan
dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA dan IV-meter intrinsic viscosity.
Aplikasi produk polimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau sebagai perekat menghasilkan kayu
lamina tipe eksterior rendah emisi (0,22 mg/L) dengan katagori E0 atau F****.
Kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau dengan monomer resorsinol dan formaldehida
dalam suasana basa, menghasilkan kopolimer berbobot molekul 49.658. Identifikasi terjadinya
kopolimerisasi dapat dilakukan dengan spektofoto-meter UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA
dan IV-meter intrinsic viscosity. Aplikasi produk kopolimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau
sebagai perekat menghasilkan kayu lamina tipe eksterior sangat rendah emisi (0,03 mg/L) dengan
katagori E

100 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Teknologi formulasi perekat berbahan dasar terbarukan yang berasal dari tanaman hutan
memberikan harapan optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan yang dapat memberikan nilai
tambah selain kayu. Dibandingkan dengan perekat sintetis impor, teknologi perekat berbahan
baku dari biomassa relatif lebih menguntungkan guna mencapai green technology dan green
product. Langkah pemanfaatan ini pelu didukung semua stakeholder perekatan kayu di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Standar Nasional Indonesia: Venir Lamina. Badan Standardisasi Nasional-BSN.
Jakarta. SNI-5008.9-2000.
_______. 2003. Japanese Agricultural Standard for Structural Glued Laminated Timber. Japanese
Agricultural Standard (JAS). Japanese Plywood Inspection Corporation (JPIC). Tokyo.
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Industri Besar dan Sedang: Bahan Baku Indonesia 2008.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Brandt, T.B. 1953. Mangrove Tannin-Formaldehy de Resins as Hot-Press Plywood Adhesive.
Pengumuman No. 37 Balai Penyelidikan Kehutanan. Bogor.
Comyn, J. 2004. Theory of Adhesion in Philippe Cognard (Ed.) Adhesion and Sealant: General
Knowledge, Application Techniques, New Curing Techniques. Handbook of Adhesive and
Sealant Vol. 2. Elsevier. Versailles. France. p: 1-47.
Coppens, H.A., M.A.E. Santana and F.J. Pastore. 1980. Tannin formaldehyde adhesive for
exterior grade plywood and particleboard manufacture. For. Prod. J. 30(4) : 38-42.
Hans. 2006. Concise International Chemichal Assasment: Resorcinol. WHO Library Cataloguing.
Hanover.
Malik, J. dan A. Santoso. 2009. Peningkatan pemanfaatan kayu merbau untuk produk pertukangan
melalui penanggulangan zat ekstraktif. Laporan Hasil Penelitian 2009. Pusat Litbang Hasil
Hutan. Bogor.
Martawijaya. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Media Aksara. Bogor.
Prayitno, T.A. 1996. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Santoso, A. dan J. Malik. 2011. State of the Art Penelitian Perekat dan Perekatan Kayu di Pusat
Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Makalah Utama. Disampaikan
pada Diskusi Perekatan tanggal 30 Juni 2011 di Bogor.
Santoso, A. 2011. Tanin dan Lignin dari Acacia mangium Willd. sebagai Bahan Perekat Kayu
Majemuk Masa Depan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pengolahan Hasil Hutan.
Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, tanggal 25 Oktober 2011 di Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 101


TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BIODIESEL
NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)

Oleh:
R. Sudradjat
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
E-mail: adegemini@yahoo.com

ABSTRAK

Tanaman nyamplung adalah tanaman pantai yang tersebar luas merata di seluruh Indonesia.
Tanaman ini tumbuh pada tanah yang tandus dan toleran terhadap ketinggian yaitu 0 400 dpl,
toleran terhadap iklim kering dan basah, range pH yang lebar 4 7,4. Produksi biji kering per
tahun 10 20 ton/hektar dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Setiap pohon menghasilkan 50 100 kg
biji kering dan kadar minyak berkisar 40 - 60%.
Berdasarkan analisa citra satelit, luas lahan yang sesuai untuk nyamplung di Indonesia
adalah 480.000 ha, yang sudah eksis tanamannya di dalam kawasan dan luar kawasan hutan seluas
255.000 ha. Keuntungan lain dari pengembangan tanaman nyamplung sebagai bahan baku
biodiesel di daerah pantai, selain menghasilkan biodiesel untuk para nelayan juga menghasilkan
kayu yang keras dan tahan terhadap marine borrer. Kayu nyamplung telah laku dijual secara
komersial dengan harga yang lebih tinggi dari kayu sengon. Hal tersebut menyebabkan para
nelayan sejak lama telah menggunakan kayu tersebut untuk pembuatan perahu dan dayung
mereka. Demikian pula ditinjau dari aspek ekologi, bentuk mahkota daun pohon nyamplung yang
rimbun, memungkinkan tanaman ini berfungsi sebagai wind breaker di sepanjang pantai.
Proses yang sesuai untuk pengolahan biodiesel nyamplung adalah proses ET (esterifikasi-
transesterifikasi). Hasil penelitian menunjukkan parameter kualitas biodiesel seluruhnya telah
sesuai dengan standar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751. Biodiesel nyamplung telah dicoba
dengan road test menggunakan bus dan jeep dengan jarak tempuh 300 km dengan hasil yang baik.
Biodiesel nyamplung yang digunakan adalah B-100 atau biodiesel tanpa campuran solar.
Hasil analisis ekonomi menunjukkan BEP 93,46 kg biodiesel per jam, dengan bunga 16%
dan masa proyek 10 tahun layak secara ekonomi dengan PBP 4 tahun 8 bulan, NPV Rp 343,8 juta,
ARR 32,19%, IRR 33% dan B/C rasio 2,03.

Kata kunci: Biodiesel, citra satelit, nyamplung, wind breaker

I. PENDAHULUAN

Krisis energi dunia yang terjadi pada dekade terakhir memberikan dampak yang signifikan
pada meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM), telah mendorong pengembangan energi
alternatif dengan pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan (renewable resources). Salah satu
bentuk energi alternatif yang saat ini mulai dikembangkan adalah biofuel yang mempunyai tingkat
kelayakan teknologi cukup tinggi.
Untuk mendorong pengembangan biofuel, pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan Energi
Nasional diantaranya dengan menetapkan target produksi biofuel pada tahun 2025 sebesar 15%
dari total kebutuhan energi minyak nasional dan penugasan kepada Kementrian Kehutanan untuk

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 103


berperan dalam penyediaan bahan baku biofuel. Salah satu tanaman hutan yang mempunyai
potensi sebagai bahan baku biofuel adalah nyamplung (Calophyllum inophyllum).
Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku biofuel adalah biji mempunyai rendemennya
yang relatif tinggi dan pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Selain itu,
nyamplung memiliki keunggulan ditinjau dari prospek pengembangan dan pemanfaatan lain,
antara lain: (1) tanaman nyamplung tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia,
regenerasi mudah dan berbuah sepanjang tahun menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap
lingkungan; (2) tanaman relatif mudah budidayakan; (3) cocok di daerah beriklim kering,
permudaan alami banyak dan berbuah sepanjang tahun; (4) hampir seluruh bagian tanaman
nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi; (5)
tegakan hutan nyamplung berfungsi sebagai wind breaker/perlindungan untuk tanaman pertanian
dan konservasi sempadan pantai; dan (6) pemanfaatan biofuel nyamplung dapat menekan laju
penebangan pohon di hutan sebagai kayu bakar.
Informasi ini diharapkan akan memudahkan dalam menyusun strategi pengelolaan
nyamplung yang menjamin kesinambungan produksi biofuel di Indonesia.

II. PENGOLAHAN

A. Perlakuan dan Penyimpanan Biji


Biji nyamplung yang sudah dipanen, dikeringkan terlebih dahulu di bawah sinar matahari
atau jika alatnya tersedia, dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering biji. Apabila sinar
matahari cukup terik, pengeringan memerlukan waktu 2-3 hari. Setelah tercapai kondisi kering
udara (kadar air 8 - 12%), kemudian biji dikuliti yaitu daging biji dipisahkan dari tempurung/
cangkangnya. Setelah dikuliti, diperoleh rendemen biji sebesar 70% dan cangkangnya 30%
(kering udara). Biji dimasukkan ke dalam karung goni yang ditutup rapat dan disimpan digudang,
diusahakan lantai gudang dialasi kayu/papan yang tidak begitu rapat agar ada udara yang mengalir
dan agar tidak lembab. Ruang penyimpanan diusahakan tidak terlalu dingin dan lembab, suhu
ideal adalah 26 - 27oC dan kelembaban sekitar 60 - 70%.

Gambar 1. Buah basah, buah kering, biji sebelum dan dan setelah ekstraksi

104 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


B. Pengupasan, Pengukusan dan Pengeringan Biji
Biji nyamplung yang masih ada tempurungnya, dihilangkankan dahulu tempurungnya,
kemudian biji tanpa tempurung tersebut dikukus dengan air panas selama 2 jam untuk
menghilangkan getahnya atau fraksi tak tersabunkan, kemudian dikeringkan lagi di bawah sinar
matahari. Pengeringan biji tanpa tempurung bisa juga dilakukan dengan cara digoreng tanpa
minyak (sangray) atau dengan mesin. Pengeringan dilakukan sampai biji nyamplung berwarna
coklat kemerahan. Tahapan pengeringan ini sangat penting, karena menentukan besarnya
rendemen minyak yang dihasilkan.

C. Pengepresan Biji
Alat yang digunakan untuk mengekstrak minyak nyamplung dari bijinya ada dua tipe yaitu:
mesin pres hidrolik manual, dan mesin pres ekstruder/ulir. Mesin tipe hidrolik sesuai digunakan
untuk skala rumah tangga atau rakyat, sedangkan tipe ekstruder digunakan untuk pabrik. Produksi
minyak tipe hidrolik sangat kecil yaitu sekitar 10 liter/hari, sedang tipe ekstruder yang mampu
dibuat sampai saat ini dapat menghasilkan 100 liter minyak/hari.
Hasil pengerpresan selain minyak akan dihasilkan juga limbah berupa bungkil yang terdiri
dari tempurung, daging biji dan sisa minyaknya dengan jumlah sekitar 80% dari berat biji kering.
Oleh karena itu, pabrik pengolahan minyak nyamplung harus disertai dengan pengolahan limbah
bungkil menjadi briket bungkil. Hasil uji laboratorium cara pres dengan menggunakan pelarut
kimia menghasilkan minyak sebesar 48,8%, air 23,0%, protein 11,4% dan karbohidrat sebesar
5,3% atau total sebesar 63,5%.

D. Pemisahan Kotoran (Deguming)


Minyak yang keluar dari mesin pres umumnya berwarna hitam gelap, karena banyak
mengandung kotoran yang berasal dari kulit dan senyawa kimia seperti alkoloid, fosfatida,
karotenoid, khlorofil dan lain-lain yang berwarna gelap. Proses deguming adalah untuk
memisahkan kotoran dari minyak, dilakukan pada suhu 80oC selama 15 menit. Endapan yang
terjadi dipisahkan, kemudian dicuci dengan air hangat suhu 600C sampai jernih. Proses deguming
dilakukan dengan menambahkan asam fosfat teknis sebanyak 0,3-0,5% (b/b) minyak, sehingga
akan terbentuk senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak. Kemudian senyawa tersebut
dipisahkan berdasarkan berat jenis, yaitu senyawa fosfatida berada di bagian bawah dari minyak.

E. Pengolahan Minyak Nyamplung Menjadi Biodiesel


Setelah minyak nyamplung dipisahkan getahnya, dianalisis kadar asam lemak bebasnya
(FFA) dan ditetapkan besaran jumlah preaksi metanol yang digunakan, kemudian diolah lanjut
menjadi biodiesel.
Proses esterifikasi-transesterifikasi (ET), proses ini digunakan apabila kadar FFA dari
refined oil cukup tinggi, karena apabila proses yang digunakan langsung transesterifikasi maka
asam lemak bebas bukan diubah menjadi biodiesel, tetapi menjadi sabun. Prinsip proses ini adalah
melakukan terlebih dahulu proses esterifikasi sebelum proses transesterifikasi. Hasil penelitian
menunjukkan, untuk proses esterifikasi, perbandingan molar metanol terhadap kadar FFA minyak
nyamplung hasil deguming yang optimum adalah 20 : 1, katalis HCL 1% dan lama reaksi 1 jam.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 105


Setelah itu barulah dilakukan proses pengolahannya. Proses trasnsesterifikasi dilakukan sama
dengan esterifikasi hanya perbandingan molar metanol terhadap minyak adalah 6 : 1, katalis yang
digunakan KOH 0,5%, lama reaksi 0,5 jam Proses esterifikasi-esterifikasi-transesterifikasi (EET),
proses ini digunakan apabila kadar FFA dari refined oil sangat tinggi, sehingga kadar asam lemak
bebasnya juga tinggi. Kadar asam lemak bebas tersebut harus diubah dahulu dengan proses
esterifikasi sebanyak 2 kali, sehingga asam lemak bebas dapat terbentuk menjadi metil ester dari
pada terbentuk sabun. Prosedurnya sama dengan proses ET hanya saja proses esterifikasi
dilakukan sebanyak 2 kali. Apabila dengan 2 kali esterifikasi belum berhasil (biasanya dalam
keadaan ekstrim), maka dilakukan proses netralisasi dengan NaOH teknis untuk mengubah asam
lemak bebas menjadi sabun. Risiko proses netralisasi ini adalah menurunnya nilai rendemen.

Biji
NYAMPLUNG ESTERIFIKASI (E)

PENGUPASAN, PENGUKUSAN,
PENGERINGAN TRANSESTERIFIKASI (T)

EKSTRAKSI/PENGEPRESAN
PENCUCIAN DAN
PEMURNIAN
cruid oil

DEGUMING
BIODIESEL
NYAMPLUNG
refined oil

Gambar 2. Diagram alir proses produksi biodiesel dari biji nyamplung

III. KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG

Karakterisasi sifat fisiko kimia minyak nyamplung dilakukan dalam rangka mengevaluasi
perubahan karakteristik minyak tersebut yang terjadi setelah proses pengolahannya menjadi
biodiesel. Pada Tabel 1 diperlihatkan karakteristik minyak nyamplung sebelum deguming (crude
oil) dan sesudah deguming (refined oil).
Minyak nyamplung tersusun oleh beberapa komponen asam lemak utama yaitu asam
palmitat, stearat, oleat dan linoleat, yang jumlah keseluruhan dari empat jenis asam lemak tersebut
yaitu 98,46%. Jumlah komposisi asam lemak utama pada minyak jarak pagar sebesar 93,1%, dan
minyak kelapa sawit 95,7%. Dengan demikian minyak nyamplung memiliki kemiripan dengan
minyak-minyak tersebut yang sudah biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.

106 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak nyamplung

Karakteristik Sebelum deguming Sesudah deguming Pustaka


(Crude oil) (Refined oil)
Kadar air 0,25% 0,41% -
Densitas pada suhu 20oC 0,944 g/ml 0,940 g/ml 0,920 - 0,940 g/ml
Viskositas suhu 40 oC 56,70 cP 53,4 cP Kental
Bilangan asam 59,94 mg KOH/g 54,18 mg KOH/g 14,65 mg KOH/g
Kadar asam lemak bebas 29,53% 27,21% 7,4%
Bilangan penyabunan 198,1 mg KOH/g 194,7 mg KOH/g -
Bilangan iod 86,42 mg/g 85,04 mg/g 100 - 115 mg/g
Indeks refraksi 1,477 1,478 1,475 - 1,482
Penampakan Hijau gelap dan Kuning kemerahan Hijau dan kental
kental dengan bau dan kental bau seperti olive oil
menyengat
Sumber: Sudradjat (2007)

Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak nyamplung

Komponen Minyak nyamplunga) Minyak jarak pagarb) Minyak sawitc)


Asam Miristat C14) 0,09 - 0,7
Asam Palmitat (C16) 14,6 11,9 39,2
Asam stearat (C18) 19,96 5,2 4,6
Asam Oleat (C 18:1) 37,57 29,9 41,4
Asam Linoleat (C 18:2) 26,33 46,1 10,5
Asam Linolenat (C 18:3) 0,27 4,7 0,3
Asam Arachidat (C20) 0,94 - -
Asam Erukat (C20:1) 0,72 - -
Keterangan: a) Hasil analisis; b) Haas dan Mittelbach, 2000; c) Darnoko, 2005
Sumber: Sudradjat (2007)

IV. KUALITAS BIODIESEL NYAMPLUNG

Analisis sifat fisiko kimia biodiesel terdiri dari massa jenis, viskositas kinematik, bilangan
setana, titik nyala, titik kabut, korosi kepingan tembaga, residu karbon, air dan sedimen, suhu
distilasi, abu tersulfatkan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkil dan
bilangan iodium. Metode uji menggunakan prosedur dari ASTM, AOCS dan SNI.
Sifat-sifat biodiesel minyak nyamplung hampir seluruhnya telah memenuhi persyaratan SNI
04-7182-2006. Khusus untuk bilangan asam dengan proses EET dapat diturunkan dari nilai yang
sangat tinggi 59,94 mg KOH/g menjadi sangat rendah, sehingga memenuhi persyaratan SNI.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 107


Kadar ester alkil sebesar 96,99% secara langsung menunjukkan bahwa proses EET telah sesuai
untuk pembuatan biodiesel minyak nyamplung, karena nilainya lebih tinggi dari standar (96,5%).

Tabel 3. Sifat fisiko kimia biodiesel nyamplung dibandingkan dengan standar SNI 04-7182-2006

No. Parameter Satuan Metode Uji Nilai Biodiesel


Nyamplung
1. Massa jenis pada 40oC kg/m3 ASTM D1298 850-890 880,6
2. Viskositas kinematik pada 40 oC mm2/s(cSt) ASTM D445 2,3-6,0 5,724
3. Bilangan setana - ASTM D613 Min. 51 71,9
o
4. Titik nyala (mangkok tertutup) c ASTM D93 Min. 100 151
o
5. Titik kabut c ASTM D2500 Maks. 18 38
6. Korosi kepingan tembaga - ASTM D130 Maks.no 3 1b
(3 jam pada 50oC)
7. Residu karbon dalam:
- Contoh asli % massa ASTM D4530 Maks.0,05 0,04
- 10% ampas distilasi Maks.0,30
8. Air dan sedimen % volume ASTM D1796 Maks.0,05 0
o
9. Suhu distilasi 90% c ASTM D1160 Maks. 360 340
10. Abu tersulfatkan % massa ASTM D874 Maks.0,02 0,026
11. Belerang ppm-m ASTM D1266 Maks. 100 16
(mg/kg)
12. Fosfor ppm-m ASTM D1091 Maks. 10 0,223
(mg/kg)
13. Bilangan asam Mg KOH/g AOCSCd 3d-63 Maks. 0,8 0,76
14. Gliserol total % massa AOCS Ca 14-56 Maks.0.24 0,222
15. Kadar ester alkil % massa SNI04-7182-2006 Min. 96,5 96,99
16. Bilangan iodium % massa AOCS Cd1-25 Maks. 115 85
(g I2/100 g)
Keterangan: Analisis dilakukan di Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Jakarta dan P3HH Bogor
Sumber: Sudradjat (2010)

Beberapa parameter kualitas nyamplung yang memenuhi syarat SNI 04-7182-2006 adalah:
bilangan setana, bilangan asam, titik nyala, korosi kepingan tembaga, suhu destilasi, belerang,
phospor, gliserol total, ester alkali dan bilangan iod. Beberapa parameter yang belum memenuhi
standar adalah: viskositas, titik kabut dan residu karbon. Bilangan setana menentukan suhu ruang
pembakaran dan kemudahannya untuk mesin di starter, bilangan asam menentukan tingkat
korositas biodiesel terhadap mesin, titik nyala berhubungan dengan keamanan pengangkutan
biodiesel karena kemudahannya terbakar, ester alkali menunjukkan persentase asam lemak yang
diubah menjadi metil ester, bilangan iod menunjukkan banyaknya jumlah ikatan rangkap pada
asam lemak, viskositas menunjukkan kekentalan biodiesel yang menentukan kelancaran aliran
dalam permesinan, titik kabut berhubungan dengan kemudahannya biodiesel tersebut membeku.
Parameter lainnya berhubungan dengan emisi dan polusi.

108 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Sifat yang menonjol dari minyak nyamplung adalah dengan porsi 30% minyak nyamplung
terhadap solar sudah memberikan bilangan setana yang sesuai dengan standar SNI. Artinya nilai
kalor dari minyak tersebut pada porsi 100% tanpa pencampuran akan sangat tinggi. Sifat ini akan
menguntungkan bila minyak nyamplung digunakan untuk tujuan pembakaran langsung seperti
pengganti minyak tanah (biokerosene). Titik kabut yang tinggi akan menyebabkan biodiesel
mudah membeku pada suhu ruang, hal ini disebabkan kandungan asam lemak rantai panjang
(C20) yaitu asam arachidat dan eurekat. Kedua asam tersebut menyebabkan tingginya nilai kalor,
tapi di pihak lain juga menyebabkan biodiesel mudah membeku. Oleh karena itu, dianjurkan
biodiesel nyamplung penggunaannya untuk sementara waktu hanya sebagai pencampur solar
(<30%).
Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh asam lemak telah dikonversi menjadi bentuk metil
ester. Komposisi kimia biodiesel dari minyak nyamplung yang dianalisis menggunakan GCMS
(Gas Chromatography Mass Spectrofotometry) menunjukkan bahwa biodiesel terdiri dari metil
ester yang berasal dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh (C:8 C:22) dengan metil ester yang
dominan adalah metil palmitat, metil stearat, metil oleat dan metil linoleat. Sebagian kecil terdiri
dari metil ester yang berasal dari asam lemak dari rantai pendek adalah metil kaprilat dan metil
peralgonat. Metil ester yang berasal dari lemak jenuh rantai panjang diantaranya metil arakhidat,
metil erukat dan metil behenat. Karakteristik biodiesel nyamplung sangat dipengaruhi oleh titik
leleh dan titik kabut, metil stearat, oleat, linoleat, linolenat dan palmitat.

Tabel 4. Komposisi biodiesel dari minyak nyamplung hasil analisis GCMS

No. RT Area Nama sistematik Nama dagang Karbon Titik leleh


(menit) (%) (oC)
1. 3,91 0,06 Metil ester asam Oktanoat Metil kaprilat C8:0 16,7
2. 6,81 0,04 Metil ester asam Tetradekanoat Metil miristat C14:0 54,4
3. 7,03 0,09 Metil ester asam Nonanoat Metil pelargonat C9:0 12,5
4. 7,91 14,67 Metil ester asam Hexadekanoat Metil palmitat C16:0 30,5
5. 8,03 0,43 Metil ester asam 9-Hexadesenoat Metil palmitoleat C16:1 30
6. 8,52 0,24 Metil ester asam Heptadekanoat Metil margarat C17:0 61,3
7. 9,55 24,34 Metil ester asam Oktadekanoat Metil stearat C18:0 39,6
8. 9,73 33,59 Metil ester asam 8-Oktadesenoat Metil oleat C18:1 -19,9
9. 10,15 23,94 Metil ester asam 10,13 Oktadekadienoat Metil linoleat C18:2 -35,0
10. 10,65 0,23 Metil ester asam 9,12,15, Oktadekatrinoat Metil linolenat C18:3 -52,0
11. 11,34 1,27 Metil ester asam Eikosanoat Metil arakhidat C20:0 45,8
12. 11,54 0,29 Metil ester asam 11-Eikosanoat Metil erukat C20:1 -15,0
13. 13,33 0,44 Metil ester asam Dokosanoat Metil behenat C22:0 53,2
14. 13,48 0,02 Metil ester asam 9-Oktadekanoat Metil vaccenat C18:1 44

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 109


V. PEMBUATAN BIOKEROSIN

Alternatif lain dari pembuatan minyak nyamplung adalah sebagai pengganti minyak tanah
(biokerosene). Pemanfaatannya untuk biokerosene akan lebih realistis dan lebih menyentuh
masyarakat pedesaan khususnya masyarakat yang kurang mampu.
Cara pembuatannya terdri dari 2 tahap yaitu proses Deguming dan Netralisasi.

1. Proses Deguming
Minyak nyamplung apabila akan digunakan sebagai biokerosin lebih dahulu harus
dihilangkan getahnya denga proses deguming, karena keberadaan getah akan meyebabkan
minyak tidak bisa mengalir ke sumbu bagian atas, demikian pula pada aplikasi kompor
semawar akan membuat nozzle akan menjadi tersumbat. Prosedur proses deguming sama
seperti prosedur proses deguming untuk pembuatan biodiesel.

2. Proses Netralisasi
Tujuannya adalah mengurangi viskositas dengan jalan mengendapkan bagian tersabunkan
serta memberi warna minyak yang lebih cerah. Caranya yaitu : setelah minyak dipisahkan dari
getah dengan cara dekantasi, kemudian minyak direaksikan dengan NaOH teknis. Banyaknya
NaOH yang ditambahkan tergantung besarnya nilai kandungan FFA yang dinyatakan dalam
satuan derajat Be. Kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 60oC selama 15 menit,
selanjutnya didekantasi untuk mengendapkan sabun selama 1 jam. Minyak dipisahkan dari
sabun dengan cara gravitasi.

VI. KEGIATAN YANG TELAH DILAKUKAN

Kegiatan penelitian dan pengembangan biodiesel nyamplung di Kementrian Kehutanan


telah dilaksanakan sejak tahun 2005 2008 dengan hasil sebagai berikut:
1. Biodiesel hasil penelitian menghasilkan biodiesel yang sesuai dengan standar SNI dan ASTM.
2. Hasil biodiesel telah dilakukan uji kinerja permesinannya dengan memberikan hasil yang baik
dan emisis gas yang bebas dari polutan.
3. Telah dilakukan road test menggunakan kendaraan jeep dan bus sejauh 330 km dengan hasil
yang baik dan lancar tanpa memberikan kerusakan apapun pada mesin.
4. Telah melakukan sosialisasi teknologi biodiesel di dalam dan luar negeri yaitu di Jakarta,
Purworejo, Kebumen, Ciamis, Kulonprogo, Banyuwangi, Riau, Pencana-ngan Hari Tanam
Indonesia di Cibinong dan Banten (2008), di China (2008), di Konferensi Bioenergy Asia
Pasific di Jakarta (2008) dan di Singapura (2008).

110 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


VII. KESIMPULAN

1. Tanaman nyamplung adalah tanaman yang habitatnya di daerah pantai, menyukai tanah pasir
berlempung (sandy loam). Struktur pohon rindang, bercabang banyak dan tinggi > 20 meter.
Mulai berbuah pada umur 5 tahun, biasanya mulai berbuah sekitar bulan Juli sampai
Desember.
2. Tanaman ini ini bisa tumbuh pada tanah yang tandus, cukup toleran pada ketinggian yaitu
0 -400 meter dpl, toleran terhadap iklim kering sampai sangat basah (curah hujan 1000 -
3000 mm).
3. Kelebihan tanaman nyamplung dari tanaman biofuel lainnya yaitu nyamplung tumbuh dan
tersebar secara alami hampir di seluruh pantai berpasir di Indonesia, relatif mudah
dibudidayakan, produktifitas biji lebih tinggi, pemanfaatan nyamplung sebagai biofuel tidak
berkompetisi dengan kebutuhan pangan, hampir seluruh bagian tanaman berdaya guna dan
memiliki nilai ekonomi serta dapat di tanam sebagai tanaman wind breaker dan konservasi
sempadan pantai.
4. Cara pengolahan biji nyamplung menjadi biodiesel terdiri dari beberapa tahapan: a. Perlakuan
dan penyimpanan biji, b. Pengupasan, pengukusan dan pengeringan biji, c. Pengepresean biji,
d. Pemisahan kotoran minyak/degumming, e. Pengolahan minyak menjadi biodiesel dengan
cara proses esterifikasi transesterifikasi, dan f. Pencucian dan pemurnian biodiesel.
5. Parameter kualitas biodiesel nyamplung adalah: berat jenis, viskositas kinematik, bilangan
setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, korosi air dan sedimen, suhu destilasi, abu
tersulfatkan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester lkali dan bilangan
iodium. Seluruh parameter tersebut sudah sesuai dengan stndar SNI 04-7182-2006 dan
ASTM D 6751.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman, F. dan A. Prabaswara . 2008. Biji Nyamplung sebagai sumber energi alternatif.
Pemenang Karya Tulis SMA Wisata Iptek 2007. Kementerian Negara Riset dan Teknologi.
Indartono, Y.S. 2005. Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan harus bagaimana. INOVASI
Online. Ed. Vol.5/XVII/November 2005 Website: http://io.ppi-jepang.org Email:
redaksi@io.ppi-jepang.org.
Friday, J.J. and D. Okano. 2006. Calophyllum inophyllum-Kamani.
Jker, D. 2004. Calophyllum inophyllum L. Seed Leaflet No 87 (was prepared in collaboration
with indonesia forest seed project). Forest & Landscape. Denmark.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I
(Ed. Revisi). Badan Litbang Kehutanan. DEPHUT. Bogor. Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 111


Nandiyanto, A.B.D. dan F. Rumi. 2006. Biogas sebagai peluang pengembangan energi alternatif.
Inovasi Online. Ed. Vol.8/XVIII/November 2006. Website: http://io.ppi-jepang.org Email:
redaksi@io.ppi-jepang.org.
Rochandi, I. 2008. Biji buah nyamplung bahan baku alternatif minyak tanah. The Journalist
online. dilihat pada tanggal Juli 2008. http://www. seputar-indonesia.com/edisicetak/ragam/
biji-buah-nyamplungbahan-baku-alternatif-minyak.html. The Journalist.
Sahirman. 2008. Penelitian Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung dengan Proses Esterifikasi
dan Transesterifikasi. Disertasi. Fakultas Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soerawidjaja, T.H. 2005. Potensi sumber daya hayati Indonesia dalam menghasilkan bahan bakar
hayati BBM. Makalah Lokakarya Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber Energi
Alternatif Untuk Keberlanjutan Industri Perkebunan dan Kesejahteraan Masyarakat. Hotel
Horrison. Bandung.
Sudrajat, R. 2006. Laporan pembuatan biodiesel dari biji nyamplung. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. (tidak diterbitkan).
Sulaeman, A.G. 2008. Jenis-jenis tanaman biofuel dan karakteristiknya - Calophyllum elatum.
http://macklin.tmip-unpad.net.

112 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Lampiran:

PENELITIAN DAN PILOT PLANT ENERGI YANG TELAH DILAKUKAN


TAHUN 1970 -2010

No. Tahun Judul Penelitian Pelaksana Keterangan


1. 1965 1970 Pembangunan tungku arang Sutarna, Yaqob Ando, Produk arang, cuka kayu
kapasitas 12 m3 model Ishikawa- Hartoyo, dan Ishikawa dan ter
Sutarna di Ciromed, Sumedang.
2. 1970 1980 Pembuatan berbagai jenis pawon Hartoyo, Sudradjat, Salim Tungku: Singer, model
(tungku) efisiensi tinggi model Soleh, Yaqob Ando dan FAO, Thailand, China
untuk rumah tangga. Tjutju N. dan model P3HH
Penelitian nilai kalor dari 112 jenis Hartoyo, Sudradjat, Salim Jenis-jenis kayu
kayu. Soleh dan Yaqob Ando komersial, pertumbuhan
cepat dan limbah
pertanian
3. 1980 1985 - Pembuatan biogas dari kotoran sapi Sudradjat, Tjutju N.,
dan limbah pertanian. Sukandar, Nurmala, dan
Salim S.
- Pembuatan tungku/kiln, pembuatan Sudradjat, Hartoyo Nurmala Jenis-jenis kayu
arang dari serbuk gergaji, limbah Salim Soleh dan Mahpudin komersial, pertumbuhan
pembalakan, tungku Mark V cepat dan limbah
(FAO) untuk areal transmigrasi. pertanian
- Pembuatan pilot plant gasifikasi Hartoyo, Sudradjat, Gustan Kerjasama dengan ITB
dari kayu dan arang kapsitas 1 Pari, Djeni, Nurmala,
ton/hari (down/up draft) Mahpudin dan Tim ITB
- Penelitian arang, briket arang, dan Hartoyo, Gustan Pari, Kayu dan biomasa
arang aktif Nurmala dan Salim
4. 1985 1990 - Penelitian eceng gondok, limbah Hartoyo, Sudradjat, Gustan Kerjasama dengan
hasil pertanian dan sampah kota Pari, Djeni H., Tjutju N., Belgia ATA 251
untuk biogas dan tenaga listrik Nurmala, Sri K.,
- Pembangunan pilot plant limbah Gusmailina, Made W.,
dari sampah kota 1 ton/hari F. Sembiring, Sukandar,
Dadang dan Erik Dalian
- Pembangunan pilot plant gasifikasi
fluidized bed kap. 1 ton/hari
- Penelitian arang dan arang aktif Hartoyo, Gustan Pari,
Salim S. dan Mahpudin
5. 1990 2000 - Penelitian arang kompos, cuka Tjutju N, Sri K., Gusmailina
kayu dan Mad Ali
- Penelitian arang, briket arang dan Hartoyo, Gustan Pari,
arang aktif Djeni H., Nurmala,
Mahpudin, Dadang S. dan
Salim S.
6. 2000 2010 - Penelitian biodiesel dari jarak Sudradjat, Djeni H.,
pagar, nyamplung, kesambi dan Sahirman, Dadang S. dan
kepuh Mad Ali
- Penelitian arang, arang kompos, Gustan P., Djeni H., Tjutju N,
briket arang, arang aktif, biopelet Sri K., Gusmailina,
dan cuka kayu Dadang S., Salim S.,
Mahpudin dan Mad Ali
- Penelitian epoxy, poliol dan Sudradjat, Ratri, Yetti,
polyurethane dari minyak jarak Dadang S. dan Mad Ali
pagar
- Penelitian bioetanol Sudradjat, Djeni H.
Dadang S. dan Mad Ali

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 113


PEMANFAATAN SLUDGE DARI INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH
INDUSTRI PULP DAN KERTAS SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL

Oleh:
Rina S. Soetopo, Sri Purwati, Susi Sugesty dan Yusup Setiawan
Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK), Kementerian Perindustrian Indonesia
E-mail: rnsusilowati@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian pemanfaatan limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas untuk bahan baku
bioetanol telah dilakukan pada skala laboratorium dengan sistem batch. Penelitian dilakukan
terhadap 4 jenis sludge dari industri pulp dan kertas yang berbeda, yang diawali dengan uji
potensi sludge sebagai bahan baku bioetanol melalui proses sakarifikasi sludge 2%. Bagi sludge
yang memiliki efisiensi sakarifikasi lebih besar dari 75%, dianggap memiliki potensi. Penelitian
dilakukan terhadap sludge terpilih. Percobaan dilakukan dalam 3 tahap yaitu (1) penentuan
kondisi optimum hidrolisis selulosa dalam sludge; (2) Penentuan kondisi optimum fermentasi gula
hasil proses hidrolisis dan (3) Percobaan sakarifikasi-fermentasi serentak. Proses hidrolisis
dilakukan dengan rancangan percobaan RAL dengan 3 faktor perlakuan yaitu kadar padatan
sludge (2-8%), dosis selulase (5,0-27,0 FPU/g selulosa) dan lama inkubasi (24 - 96 jam). Beta
glukosidase ditambahkan sebanyak 6,7 IU/FPU pada setiap perlakuan. Kondisi percobaan
hidrolisis ditentukan berdasarkan kondisi optimum selulase yaitu pada suhu 50oC; pH 5,5 dan
putaran pengadukan 110 rpm. Parameter pengamatan adalah konsentrasi gula pereduksi, dan
efisiensi proses hidolisis. Metoda uji gula pereduksi mengacu pada cara Somogy Nelson.
Percobaan proses fermentasi merupakan lanjutan proses hidrolisis dari perlakuan yang
menghasilkan kadar gula pereduksi tertinggi. Variasi perlakuan proses fermentasi adalah pH dan
waktu inkubasi. Kondisi percobaan fermentasi adalah suhu 28oC dan jumlah inokulum ragi
Saccharomyces Cereviceae 10% v/v dengan jumlah sel 106 per mL. Pengamatan kadar bioetanol
dengan metoda GC. Hasilujipotensi sludge menunjukkan bahwa sludge (A) dan sludge (B) pada
padatan total 2% memiliki efisiensi sakarifikasi lebih besar dari 75%, dimana sludge (A) adalah
sludge primer yang berasal dari pabrik kertas berbahan baku virgin pulp, sedangkan sludge (B)
adalah sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan kertas berbahan baku kayu. Kondisi
optimum untuk proses hidrolisis adalah kadar padatan sludge 6%, dengan penambahan selulase
sebesar 9 FPU/g selulosa dan beta glukosidase 6,7 U/FPU pada kondisi pH 5,5 dan suhu 50oC
selama 48 jam. Kadar gula pereduksi yang dihasilkan adalah 31,3%, dari sludge A dengan
efisiensi hidrolisis 64% dan 36,2%, dari sludge B dengan efisiensi 64%. Proses SSF telah
dilakukan pada pH 4,5, suhu 28oC selama 96 jam menghasilkan etanol dengan konsentrasi sebesar
3,45% menggunakan substrat sludge A, dan 2,89% menggunakan sludge B. Efisiensi masing-
masing adalah 72% dengan substrat sludge A dan 60% dengan subsrat B.

Kata kunci: Bioetanol, fermentasi, hidrolisis, selulase, sludge, S. Cereviceae

I. PENDAHULUAN

Di Indonesia terdapat 84 industri pulp dan kertas dengan kapasitas terpasang produksi pulp
6,2 juta ton per tahun dan kapasitas terpasang produksi kertas 10,9 (APKI, 2008). Industri pulp
dan kertas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu industri pulp dan kertas terpadu dan non
terpadu sebagai industri pulp atau industri kertas. Industri pulp dan kertas terpadu menggunakan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 115


bahan baku kayu, sedangkan industri kertas menggunakan bahan baku virgin pulp atau bahan
baku kertas bekas. Selain menghasilkan produk kertas yang berkualitas dan memiliki nilai ekspor
yang tinggi, juga menghasilkan limbah lumpur (sludge) yang cukup besar, terutama yang
dihasilkan dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Jumlah produksi sludge IPAL tersebut
sangat besar berkisar antara 2-10% (kadar air 70%) dari kapasitas produksi. Sludge IPAL dari
industri pulp dan kertas, umumnya terdiri dari sludge primer yang berasal dari IPAL sistem fisika-
kimia, dan sludge sekunder yang berasal dari IPAL sistem biologi. Komponen utama dari sludge
primer adalah serat selulosa halus yang lolos dari mesin kertas dan keluar bersama air limbah,
sedangkan komponen utama dari sludge sekunder adalah biomassa mikroba. Umumnya, jumlah
sludge primer jauh lebih banyak dari sludge sekunder.
Berdasarkan komponennya, sludge primer banyak mengandung bahan organik terutama
selulosa. Achira (2006) dan Purwati (2006) menjelaskan bahwa komposisi sludge primer IPAL
dari industri pulp dan kertas terdiri dari selulosa 21,1%, hemiselulosa 4,1%, lignin 9,0% dan abu
46,5%. Sedangkan menurut Lynd et al. (2001) komposisi limbah sludge dari industri pulp dan
kertas terdiri dari karbohidrat 42%; kadar abu 23,2% dan bahan tervolatile 17,4%. Knutson (2007)
juga menjelaskan bahwa sebagian besar limbah sludge industri pulp dan kertas mengandung
glukosa 40-50%, karbohidrat, selulosa dan hemiselulosa 50-75% (dasar kering bebas abu).
Atas dasar komposisi sludge primer tersebut yang masih banyak mengandung selulosa,
maka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol. Pemanfaatan selulosa
sebagai sumber alternatif bahan baku pembuatan bioetanol yang merupakan generasi kedua sudah
mulai banyak dilakukan, dimana sebelumnya bahan baku yang digunakan sebagai generasi
pertama adalah yang bersumber dari pati-patian, jagung dan tebu. Penelitian pemanfaatan limbah
sludge industri pulp dan kertas untuk bioetanol telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, yang
diantaranya adalah: Gang Hu et al. (2008), menjelaskan bahwa memproduksi etanol dari selulosa
dapat dilakukan dengan sakarifikasi-fermentasi. Hasil penelitian Knutson (2007) menjelaskan
bahwa limbah sludge primer dari industri pulp dan kertas berpotensi untuk diubah menjadi
bioetanol melalui hidrolisis-fermentasi. Samsuri et al. (2007), menjelaskan bahwa memanfaatkan
selulosa bagas untuk produksi etanol dapat dilakukan melalui proses Simultaneous
Saccharificatian - Fermentation (SSF) dengan enzim xilanase dan ragi S. cereviceae. Kerstetter
et al. (1997) menjelaskan bahwa 11 industri pulp dan kertas di United Stated dengan kapasitas
produksi 325 - 2740 ton/hari, menghasilkan limbah sludge sekitar 9 - 170 ton/hari yang berpotensi
menghasilkan etanol 0,126 - 3,2 juta gallon per tahun atau 80% dari perhitungan secara teoritis.
Pada umumnya bioetanol diproduksi dengan cara fermentasi gula dengan bantuan aktivitas
mikroorganisme. Bagi bahan baku organik kompleks seperti selulosa, hemiselullosa dan organik
kompleks lainnya perlu di hidrolisis lebih dahulu yang dapat dilakukan secara kimia ataupun
enzimatis. Teknologi proses hidrolisis secara kimia pada dasarnya kurang ramah lingkungan,
sehingga proses hidrolisis banyak dikembangkan dengan menggunakan enzim (Samsuri dkk.,
2007). Xilanase dan selulase masing-masing merupakan enzim hidrolisis hemiselulosa dan
selulosa menjadi xilosa dan glukosa yang merupakan bahan baku etanol (Samsuri dkk., 2007).
Selain itu, Samsuri juga menjelaskan bahwa jamur pelapuk putih dapat digunakan untuk
perlakuan awal sebelum menggunakan enzim selulase pada proses hidrolisis selulosa menjadi
glukosa. Proses selanjutnya setelah hidrolisis adalah fermentasi gula dan atau xilan dengan
menggunakan yeast

116 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Banyak manfaat dari etanol, antara lain sebagai bahan kimia, pelarut, dan bahan bakar.
Etanol yang semula diaplikasikan untuk produk minuman, kini dikembangkan untuk bidang
farmasi, kedokteran, dan energi. Dalam dunia kedokteran dan farmasi, etanol digunakan untuk
menseterilkan alat operasi dan sebagai campuran beberapa variasi obat-obatan. Beberapa
informasi tentang menipisnya cadangan minyak bumi dunia, merupakan peluang bioetanol
sebagai bahan bakar alternatif. Etanol merupakan sumber energi alternatif yang mempunyai
prospek yang baik sebagai penganti bahan bakar cair dengan bahan baku yang dapat diperbaharui
dan ramah lingkungan.
Hambatan pemanfaatan sludge IPAL industri pulp dan kertas sebagai bioetanol adalah
kompleksnya komponen karbohidrat yang terkandung dalam sludge, sehingga perlu dilakukan
proses hidrolisis secara efektif. Selain itu ketersediaan sludge IPAL di industri umumnya terdiri
dari gabungan sludge primer dan sekunder, sehingga perlu dikaji pengaruh sludge gabungan
tersebut terhadap proses konversi sludge menjadi bioetanol.
Atas dasar komponen polisakarida dalam limbah sludge IPAL yang masih cukup tinggi dan
beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas
memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol.
Pemanfaatan ini akan sangat menguntungkan, selain menghasilkan produk yang memiliki nilai
ekonomi tinggi, juga merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah lingkungan.
Artikel ini berisi hasil penelitian pemanfaatan sludge IPAL industri pulp dan kertas sebagai
bahan baku bioetanol yang telah dilakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas, atas biaya Program
Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PIPKPP) Kementerian Riset dan
Teknologi Tahun 2011.

II. METODOLOGI

A. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat jenis limbah sludge yang
diperoleh dari 4 industri pulp dan kertas yang berbeda yang dianggap dapat mewakili
kelompoknya berdasarkan bahan baku. Industri tersebut adalah: (1) sludge A berupa sludge
primer dari industri kertas dengan bahan baku virgin pulp di Tangerang; (2) sludge B berupa
sludge primer dari industri pulp dengan bahan baku kayu di Riau; (3) sludge C berupa sludge
primer dari industri kertas dengan bahan baku kertas bekas di Bekasi; dan (4) sludge D sludge
campuran primer dan sekunder dari industri pulp dan kertas terpadu dengan bahan baku kayu di
Jambi.
Sampel limbah sludge diambil dari outlet clarifier atau dari keluaran mesin press limbah
sludge pada sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari setiap industri. Sampel diangkut
dalam kontainer. Penyimpanan sampel dilakukan dalam cold storage 4 oC. Bahan pendukung
penelitian yang digunakan adalah enzim lokal yaitu selulase yang memiliki aktivitas 6 FPU/mL
dan beta glukosidase yang memiliki aktivitas 10 unit/mL pengkondisi pH pada proses hidrolisis
digunakan larutan buffer asam phosphat; ragi untuk fermentasi alkohol digunakan
Saccharomycetes cereviceae.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 117


B. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas untuk percobaan
hidrolisis enzimatis dan fermentasi; inkubator shaker; autoclave; pH meter, magnetic stirer, oven
dan rangkaian alat destilasi; laminer air flow, cold storage dan termometer. Peralatan yang
digunakan untuk pengujian: spectrofotometer untuk uji gula pereduksi; AAS flame untuk
kandungan logam dalam sludge; GC untuk analisis bioetanol.

C. Metodologi Penelitian
1. Karakterisasi sludge IPAL industri pulp dan kertas
Terhadap sludge dari masing-masing industri dilakukan karakterisasi yang meliputi
beberapa parameter yang berhubungan dengan potensi sebagai bahan baku bioetanol yang
meliputi: kadar abu, lignin, hemiselulosa, holoselulosa, dan ekstraktif serta beberapa parameter
logam berat yang meliputi timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), nikel (Ni), seng (Zn),
kromium (Cr), kobalt (Co) dan mangan (Mn). Analisis di lakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas
(BBPK) Bandung dengan menggunakan metoda SNI.

2. Tahapan penelitian
Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu: (1) Uji potensi sludge
sebagai bahan baku etanol; (2) Penentuan kondisi optimum proses hidrolisis sludge; (3) Penentuan
kondisi optimum proses fermentasi gula sakarifikasi; dan (4) Proses sakarifikasi-fermentasi
serentak.
Uji potensi dilakukan dengan cara melakukan hidrolisis enzimatis terhadap 4 jenis sludge
pada kadar padatan 2% dalam erlenmeyer 250 mL. Enzim yang digunakan adalah selulase dengan
dosis 11 FPU/g selulosa, pH diatur pada kisaran 5,5 dengan asam phosphat. Uji ini dilakukan
secara aseptik dalam shaker inkubator pada suhu 50oC selama 96 jam. Masing-masing uji
dilakukan dengan 3 replikasi dengan parameter pengamatan adalah gula pereduksi. Metoda uji
gula pereduksi mengacu pada cara Somogy Nelson. Sludge yang memberikan konsentrasi gula
pereduksi tertinggi dengan efisiensi proses lebih besar dari 75% dianggap memiliki potensi untuk
digunakan sebagai bahan baku etanol.
Penentuan kondisi optimum hidrolisis selulosa dalam sludge dilakukan hanya terhadap
sludge yang memiliki efisiensi sakarifikasi > 75% pada uji potensi di atas. Proses hidrolisis
dilakukan dengan rancangan percobaan RAL dengan 2 faktor perlakuan yaitu:
a. Kadar padatan sludge, per dasar kering: 2%; 4%; 6%; 8%; dan 10%.
b. Dosis selulase FPU per g selulosa: 5; 7; 9; 18; dan 27.
Beta glukosidase ditambahkan sebanyak 6,7 U/FPU. Kondisi percobaan ditentukan
berdasarkan kondisi optimum selulase yaitu suhu 50oC; pH 5,5 dan putaran pengadukan 110 rpm.
Parameter pengamatan adalah konsentrasi gula pereduksi. Efisiensi hidrolisis dihitung dengan
menggunakan persamaan (1), dan rendemen dihitung dengan persamaan (2) menurut Vertes, 2010
sebagai berikut:

118 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


glukosa yang dihasilkan (g)
Efisiensi hidrolisis (%) = 1,11 x selulosa (g) x 100% ...................................... pers (1)

glukosa yang dihasilkan (g)


Efisiensi yield sludge = x 100 ......................................... pers (2)
1,11 x selulosa (%) x sludge (g)

Percobaan penentuan kondisi optimum proses fermentasi hanya dilakukan terhadap cairan
hasil proses hidrolisis sludge yang memiliki kadar gula pereduksi tertinggi dengan menggunakan
gelas erlenmeyer 250 mL Terhadap cairan tersebut ditambah 12,5% (v/v) medium nutrisi yang
komposisinya terdiri dari 0,5 g/L (NH4)HPO4; 0,025 g/L MgSO4.7H2O dan 1 g/L yeast extract.
o
Semua medium disterilisasi pada suhu 121 C selama 30 menit pada autoclave. Fermentasi
dilakukan dengan ragi Saccharomyces cerevisiae yang telah diaklimatisasi terhadap gula hasil
o
hidrolisis selulosa dalam sludge pada suhu 28 C. Percobaan dilakukan dengan 2 faktor perlakuan
yaitu pH (4,5; 5,0; 5,5; 6,0) dan lama inkubasi (24; 48; 72; 96; 120) dengan penambahan
6
inokulum ragi Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10% v/v dengan jumlah sel 10 /mL. Parameter
pengamatan dilakukan terhadap kadar etanol yang dianalisis dengan Gas Chromatografi (GC).
Setelah diperoleh kondisi optimum proses hidrolisis dan proses fermentasi, kemudian
dilakukan Simoultaneous Saccharification Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi Fermentasi
Simultan yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi yang dilakukan secara simultan pada satu
reaktor.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sludge IPALIndustri Pulp dan Kertas


Sludge industri pulp dan kertas yang digunakan untuk penelitian ini diutamakan dari sludge
primer, yang sebagian besar kandungan dari sludge tersebut merupakan senyawa organik
lignoselulosa. Kadar senyawa organik dalam sludge sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari
hasil analisis kadar abu yang berkisar antara 3,10-39,63%. Sludge yang digunakan umumnya
limbah serat yang dihasilkan dari pemisahan serat selulosa yang lolos pada pembuangan limbah
cair, pencucian pulp, mesin kertas, reject proses penyedian stok, unit pemulihan serat, dan hasil
akhir pengolahan IPAL. Komponen sludge tersebut selain bahan serat, juga berupa bahan pengisi
dan pengotor lainnya. Baik dalam jumlah maupun karakteristiknya sangat bervariasi tergantung
dari bahan baku, proses pembuatan dan produk yang dihasilkan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa komponen sludge yang berasal dari sistem pengolahan
air limbah industri pulp dan kertas terdiri dari lignin dengan kadar berkisar antara 3,24-4,276%
dan holoselulosa sekitar 48,99 - 93,26%. Kandungan hemiselulosa yang berupa pentosan sekitar
4,25-16,32%. Komponen sludge tersebut merupakan komponen lignoselulosa yang berasal dari
kayu sebagai bahan baku industri pulp dan kertas.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 119


Tabel 1. Komposisi sludge IPAL industri pulp dan kertas

Hasil analisis
Contoh Pentosan sebagai Ekstraktif
Sludge Abu Lignin Holoselulosa
Hemiselulosa Alkohol/Benzen
(%) (%) (%)
(%) (%)
A 21,96 - 77,70 4,25 3,07
B 3,10 3,24 93,26 16,32 2,08
C 39,63 - 61,01 5,72 4,81
D 31,65 4,27 48,99 4,45 7,18

Berdasarkan data karakteristik sludge pada Tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa sludge
IPAL ini masih memiliki selulosa yang cukup tinggi. Kandungan selulosa yang tinggi merupakan
sumber utama pembentuk glukosa sebagai bahan yang akan dikonversi menjadi etanol melalui
proses hidrolisis-fermentasi. Sedangkan rendahnya kandungan lignin dalam sludge menunjang
pembentukan glukosa. Lignin merupakan komponen sludge yang berpotensi sebagai inhibitor
pada proses hidrolisis selulosa enzimatis. Keberadaan lignin dalam sludge dapat menghambat
dalam proses degradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa. Oleh karena itu, bahan baku
untuk pembuatan bioetanol sebaiknya tidak mengandung lignin (Trisanti, 2009).

Tabel 2. Kandungan logam berat pada sludge IPAL industri pulp dan kertas

Sumber sludge
Parameter Sludge A Sludge B Sludge C Sludge D
(mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg)
Kromium (Cr) 4,929 4,894 9,533 31,112
Seng (Zn) 41,105 8,479 224,09 99,804
Kadmium (Cd) < 0,046 < 0,053 < 0,047 1,169
Kobalt (Co) 8,468 7,865 11,144 12,165
Tembaga (Cu) 54,136 0,924 12,781 41,655
Nikel (Ni) 8,468 7,885 11,144 29,389
Timbal (Pb) 4,154 3,708 3,834 13,739

Bahan anorganik yang terkandung dalam sludge cukup bervariasi seperti terlihat dari kadar
abu (Tabel 1). Komponen pencemar yang dapat menghambat proses hidrolisis maupun
fermentasi, antara lain logam berat yang terkandung dalam masing-masing sludge (Tabel 2).

B. Hasil Uji Potensi Sludge sebagai Bahan Baku Etanol


Hasil perhitungan efisiensi hidolisis pada uji potensi sludge dapat dilihat pada Gambar 1.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sludge (A) dan sludge (B) memiliki efisiensi hidolisis

120 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


lebih besar dari 75%. Sludge (A) adalah sludge primer yang berasal dari pabrik kertas berbahan
baku virgin pulp, sedangkan sludge (B) adalah sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan
kertas berbahan baku kayu. Sejalan dengan karakteristik masing-masing sludge, menunjukkan
bahwa sludge A dan B memiliki potensi lebih baik dibandingkan sludge C dan D. Kadar glukosa
dari hasil hidrolisa pada sludge A dan B berkisar antara 10-20%, sedangkan sludge C dan D hanya
sekitar 2-5% saja. Hal ini dikarenakan kadar selulosa yang terkandung dalam sludge A dan B
yang jauh lebih tinggi. Demikian pula dengan perhitungan efisiensi hidrolisis pada sludge A dan
B mencapai lebih besar dari 75%, yang jauh lebih tinggi dari sludge B dan C yang leih kecil dari
40%. Berdasarkan hasil uji potensi ini, maka untuk percobaan selanjutnya hanya menggunakan
sludge A dan sludge B.

Gambar 1. Hasil uji potensi limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas: (A) ditinjau dari
kandungan gula pereduksi; (B) Ditinjau dari efisiensi hidrolisis selulosa

C. Proses Hidrolisis Selulosa pada Sludge secara Enzimatis


1. Penentuan kondisi hidrolisis
Hasil proses hidrolisis sludge secara enzimatis dengan penambahan selulase dapat dilihat
pada Gambar 2. Berdasarkan uji statistik univarian dengan progran SPSS, menunjukkan bahwa
variasi kadar padatan (TS) sludge berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi sebagai
produk hasil proses hidrolisis. Dengan makin tinggi kadar padatan sludge dari 2% sampai 6%
menghasilkan kadar gula pereduksi yang makin tinggi dengan kisaran rata-rata 9,3 g/L sampai
25,1 g/L (Tabel 3).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 121


Gambar 2. Hasil percobaan hidolisis enzimatis sludge (48 jam inkubasi)

Tabel 3. Aplikasi kondisi optimum proses hidrolisis

Kadar gula rata-rata


Jenis sludge Efisiensi hidrolisis (%)
Gula pereduksi (g/L)
Sludge A 31,3 64
Sludge B 36,2 71

Kondisi ini sejalan dengan jumlah selulosa yang dihidrolisis dalam sludge yang makin besar
sehingga gula pereduksi yang terbentuk makin besar pula. Namun kadar gula pereduksi dari hasil
hidolisis sludge dengan kadar padatan 8% hingga 10% menunjukkan penurunan. Hal tersebut
disebabkan oleh karena proses hidolisis sludge dengan TS di atas 8%, tidak cocok dengan metoda
shaker sebagai pengocokannya karena pencampuran antara sludge dengan enzim tidak dapat
terjadi secara sempurna sehingga reaksi hidrolisis kurang efektif. Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Marques (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi TS di atas
7,5% (w/v), tidak efektif digunakan sebagai bahan baku untuk proses hidolisis enzimatis.
Berdaarkan perhitungan efisiensi hidrolisis, menunjukkan kecenderungan yang berbeda dari
yang ditunjukkan oleh kadar gula pereduksi (Tabel 3). Perbedaan kadar padatan sludge
memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap efisiensi hidrolisa, namun pada kadar TS Sludge
terendah (2%) memberikan efisiensi hidolisis tertinggi dan berbeda nyata terhadap kadar TS
lainnya yang lebih tinggi (4 - 14%) yang ditampilkan pada Tabel 3. Keadaan ini berbanding
terbalik dengan data analisis kadar gula pereduksi. Menurut Yang, Reeses, dan Sinitsyn dalam
Peng (2011), hal ini dapat disebabkan oleh adanya penghambat dalam lumpur, adanya enzyme
inactivation dan terjadinya penurunan reaktivitas terhadap penambahan selulosa. Berdasarkan uji
Duncan dari dua parameter pengamatan yaitu kadar gula pereduksi dan efisiensi hidrolisis, maka
kondisi sludge yang optimum diperoleh pada kondisi TS 8%. Sedangkan berdasarkan
pertimbangan lapangan proses pengelolaan sludge di industri pulp dan kertas, dengan kadar TS
sludge 6% dapat dicapai pada primary clarifier tanpa penambahan perlakuan.

122 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pada variasi dosis penambahan selulase pada proses hidrolisis menunjukkan kecenderungan
bahwa dosis 5 - 9 FPU/g selulosa memberikan nilai peningkatan kadar gula pereduksi tertinggi
(Gambar 2), namun perhitungan secara statistik peningkatan tersebut tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hal tersebut, dosis selulase 7 - 9 FPU/g selulosa ditentukan sebagai kondisi optimum
proses hidrolisis yang diaplikasikan pada percobaan selanjutnya yaitu Percobaan Simultaneous
Sacharification Fermentation (SSF).

2. Aplikasi kondisi optimum hidrolisis


Kondisi optimum hidrolisis yang diperoleh diaplikasikan terhadap sludge yang berpotensi
tinggi sebagai bahan baku bioetanol yaitu sludge primer dari industri kertas berbahan baku pulp
virgin (sludge A) dan sludge primer dari industri pulp dan kertas terpadu berbahan baku kayu
(sludge B). Proses hidolisis enzimatik terhadap kedua sludge tersebut dilakukan pada kondisi
optimumnya yaitu kadar padatan (TS) sludge 6%, dosis selulase 9 FPU/g selulosa dan beta
glukosidase 6,7 U/FPU dengan waktu inkubasi 48 jam.
Aplikasi kondisi optimum proses hidrolisis pada sludge (TS 6%) menunjukkan bahwa kedua
sludge A dan B cukup potensial untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol yaitu mencapai
efisiensi >50%. Dari masing-masing sludge dapat dihasilkan kadar gula pereduksi 31,3 g/L dan
efisiensi hidolisis 64% untuk sludge A, sedangkan sludge B menghasilkan kadar gula pereduksi
36,2g/L dan efisiensi 71%. Efisiensi hidolisis yang dicapai dalam penelitian ini menunjukan
kecenderungan yang relatif sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Peng (2011) dan
Marquez (2006). Hasil penelitian Peng (2011) dengan menggunakan bahan baku paper sludge
dengan konsentrasi 40,8 g/L ( 4,1%) dengan waktu inkubasi 82,7 jam dan dosis selulase 18
FPU/gr selulosa dapat mencapai tingkat hidolisis 82,1%. Selain itu, hasil penelitian Marquez
(2006) menjelaskan bahwa recycle paper sludge dengan total padatan 3% (lama hidrolisis: 72 jam
dan 144 jam) dan 7,5% (lama hidrolisis: 120 jam) dengan suhu 35oC masing-masing dapat
mencapai 100% dan 92%. Juga sebagai pembanding, pembuatan etanol dari bahan baku jagung
telah dilakukan oleh llyod dan Wyman (2005), dengan kadar total padatan 1%, dosis selulase 60
FPU/g selulosa dan waktu 72 jam telah diperoleh yield berkisar 78,9-93%.
Berdasarkan atas karakteristik bahan, maka sludge IPAL sebagai limbah industri pulp dan
kertas yang merupakan senyawa lignoselulosa generasi kedua dari hasil penelitian ini cukup
prospektif untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Peningkatan yield efisiensi masih
bisa dilakukan dalam suatu kondisi proses untuk mengoptimasi beban enzim melalui perlakuan
terhadap substrat dan penghomogenan campuran dalam suatu reaktor kontinyu.

3. Penentuan kondisi optimum proses fermentasi


Proses fermentasi dapat dilakukan dengan menggunakan yeast dari berbagai spesies yang
salah satunya adalah Saccharomyces cerevisiae. Yeast ini banyak digunakan untuk fermentasi
alkohol dari berbagai jenis biomassa dalam berbagai kondisi fermentasi. Penggunaan spesies yeast
yang berbeda dalam produksi bioetanol sangat berpengaruh terhadap konsentrasi bioetanol yang
dihasilkan. Selain itu, konsentrasi bioetanol yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh suhu, pH,
sumber karbon, sumber nitrogen dan waktu inkubasi dari masing-masing ragi selama fermentasi
(Trisanti, 2009).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 123


Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi pada pH
4,0 dan pH 4,5 cenderung tidak berbeda yaitu masing-masing berturut-turut berada pada kisaran
0,62 - 2,47% dan 0,84 - 3,38%. Sedangkan pada pH 5,0; 5,5 dan 6,0 masing-masing menunjukkan
kadar etanol yang lebih rendah yaitu berturut-turut 0,25 - 15; 0,07% - 0,3% dan 0,035 - 0,13%.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pH optimum untuk proses
fermentasi alkohol dengan Saccharomyces cerevuceae adalah pH 4,5 dengan lama inkubasi 96
jam.

Gambar 3. Data fermentasi glukosa pada variasi pH dan waktu inkubasi

4. Proses sakarifikasi-fermentasi serentak (SSF)


Pada akhir-akhir ini pembuatan bioetanol banyak dikembangkan dengan menggunakan
metoda proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak (SFS). Metoda ini banyak dikembangkan, karena memiliki beberapa
keuntungan yang diantaranya adalah lebih efisien karena dilakukan dalam satu reaktor. Dalam
reaktor tersebut akan terjadi hidrolisis berlanjut secara enzimatis untuk mendegradasi polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian dapat langsung difermentasi oleh Saccharomyces
cereviceae. Berdasarkan komponen sludge yang didominasi oleh selulosa, maka hidrolisis
dilakukan dengan menggunakan selulase. Selulase digunakan untuk memecah selulosa menjadi
glukosa yang kemudian akan difermentasi oleh S. cereviceae menjadi alkohol dan
karbondioksida.
S. cereviceae yang digunakan telah mengalami aklimatisasi terhadap media gula pereduksi
secara bertahap selama 2 minggu. Jumlah S. cereviceae yang digunakan untuk proses SSF adalah
5.106./mL. Hasil percobaan proses SSF dapat dilihat pada Gambar 4.
Pada proses ini terjadi perubahan pH, yang menunjukkan adanya reaksi aktivitas
Saccharomyces cereviceae. Perubahan pH pada pecobaan yang menggunakan substrat sludge A
menunjukkan ada sedikit penurunan yaitu dari 4,5 ke 4,1. Perubahan tersebut terjadi setelah
inkubasi 24 jam. Lain halnya dengan perubahan pH pada percobaan yang menggunakan substrat
B yang menunjukkan penurunan yang signifikan yaitu dari 4,5 ke 3,8. Adanya penurunan pH
tersebut disebabkan oleh terbentuknya asam karbonat dan asam organik lainnya selama proses

124 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


sakarifikasi-fermentasi (Li, 2011). Adanya perbedaan perubahan pH pada percobaan yang
menggunakan substrat sludge A dengan sludge B dapat dijelaskan sebagai berikut: Sludge A
berasal dari pabrik kertas yang memiliki kadar abu tinggi yaitu 21,96% yang berarti mengandung
kadar anorganik yang dapat menetralisir pembentukan asam yang terbentuk saat proses
sakarifikasi-fermentasi (Li,2011). Sedangkan sludge B berasal dari pabrik pulp dan kertas
memiliki kadar abu rendah yaitu 3,1%, sehingga tidak memiliki penetralisir asam-asam yang
terbentuk saat proses sakarifikasi-fermentasi.

Gambar 4. Perubahan pH selama proses SSF

Kadar etanol yang dihasilkan dari proses SSF dengan substrat sludge A berkisar pada 2,68%
- 3,45%, yang menunjukkan lebih tinggi dibanding dengan menggunakan sludge B berkisar
0,67% -2,89% (Gambar 5). Kecenderungan tersebut sejalan dengan efisiensi proses SSF untuk
masing-masing substrat yaitu 58% - 72% dengan substrat sludge A dan 34% - 60% dengan
subsrat sludge B. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya pembentukan asam-asam organik
selama proses yang mengakibatkan pH tidak optimum dan kemungkinan adanya unsur-unsur
penghambat yang berasal dari limbah industri pulp dan kertas. Unsur-unsur tersebut kemungkinan
berasal dari derivat lignin (Petro et al., 2010).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Karakteristik sludge 4 (empat) jenis yang digunakan dalam percobaan ini memiliki komponen
organik dengan komposisi terdiri dari: lignin berkisar 0,5-21,96%; holoselulosa sekitar 70,70-
77,70%; -selulosa berkisar 28,79-80,15%; hemiselulosa yang berupa pentosan sekitar 4,25-
13,81%.
2. Hasil uji potensi sludge menunjukkan bahwa sludge primer yang berasal dari pabrik kertas
berbahan baku virgin pulp (sludge A) dan sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan
kertas berbahan baku kayu (sludge B) pada padatan total 2% memiliki efisiensi hidolisis
>75%.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 125


3. Sludge dengan kadar padatan 6% merupakan kondisi yang terbaik untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku bioetanol. Kondisi proses hidrolisis adalah dosis selulase sebesar 9 FPU/g selulosa
dan beta glukosidase 6,7 IU/FPU, pH 5,5 dan suhu 50oC selama 48 jam. Hasil yang diperoleh
untuk sludge A dari industri kertas kadar gula pereduksi 31,3%, efisiensi 64% dan untuk
sludge B dari industri kertas pulp dan kertas kadar gula pereduksi 36,2%, efisiensi 64%.
4. Proses SSF telah dilakukan pada pH 4,5, suhu 28 oC selama 4 hari menghasilkan etanol
dengan kadar etanol sebesar 2,68 - 3,45% menggunakan substrat sludge A, dan 0,67 - 2,89%
menggunakan sludge B. Efisiensi masing-masing 58 - 72% dengan substrat sludge A dan 34 -
60% dengan subsrat B.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah
mendanai penelitian ini melalui Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan
Perekayasa (PIPKPP) Tahun 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Harry, T.C. 2008. Paper Sludge-to-Ethanol Process and Conceptual Design. Alabama Center for
Pulp and Bioresource Engineering. Auburn University. Auburn. Alabama.
Hettenhaus, J.R. 1998. Ethanol Fermentation Strains: Present and Future Requirements for
Biomass to Ethanol Commercialization. Amerika Serikat: United States Department of
Energy.
Lark, Nicole, Youkun Xia, Cheng Guo Xin, C.S.Gong, G.T. Tsao. 1997. Production of ethanol
from recycled paper sludge using cellulase and yeast, Kluveromyces marxianus. Biomass
and Bioenergy Vol.12, No.2.pp.135-143,1997.
Marques, S., L. Alves, J.C. Roseiro, F.M. Grio.2008. Conversion of recycled paper sludge to
ethanol by SHF and SSF using Pichia stipitis. Biomass and Bioenergy 32 ( 2008 ) 400
406.
Peng, Lincai, Yuancai Chen. 2011. Conversion of paper sludge to ethanol by seperate hydrolysis
and fermentation (SHF) using Saccharomyces cerevisiae. Biomass and Bioenergy 35 (2011)
1600-1606.
Petro, Susan. 2010. Fermentation in the yeast Saccharomyces cerevisiae. phobos.ramapo.
edu/~spetro/lab_pdf/ Fermlab.pdf - Amerika Serikat.
Philippidis, George. P, Smith, Tammy K, Charles E. Wyman. 1992. Study of the enzymatic
hydrolysis of cellulose for production of fuel ethanol by the simultaneous saccharification
and fermentation process. Biotechnology and Bioengineering, Vol. 41, Pp. 846-853 (1993).

126 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Roehr, M. 2001. The Biotechnology of Ethanol: Classical and Future Apllication. ISBN: 3-527-
30199-2.
Sinsupha Chuichulchern. 2005. Design and start-up of a fluidized bed bioreactor for ethanol
fermentation. Proceeding of the 1st International Conference on Fermentation Technology
for Value Added Agricultural Products Khon Khaen-Thailand. March 22 - 25, 2005.
Trisanti Anindyawati. 2009. Prospek enzim dan limbah lignoselulosa untuk produksi bioetanol.
Berita Selulosa. Volume 44. No.1. Juni. 49-56.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 127


KETAHANAN PAPAN SERAT MDF TERHADAP SERANGAN RAYAP
KAYU KERING (Cryptotermes cynocephalus Light.)

Oleh:
Jasni, Gustan Pari dan Rena Siagian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
Email: jasni_m@yahoo.com

ABSTRAK

Produk papan serat khususnya yang berkerapatan sedang (MDF) semakin digemari oleh
konsumen. Hal ini disebabkan produk MDF mempunyai kelebihan, seperti fleksibilitas ukuran,
permukaan yang bagus, mudah dibentuk akan mudah dalam pengerjaan akhir. Namun demikian
sebagian besar produk papan serat tidak tahan terhadap serangan organisme perusak. Tulisan ini
mempelajari keawetan papan serat terhadap organisme perusak, khususnya rayap kayu kering.
Papan serat MDF yang diuji dibuat dari kayu gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dengan beberapa
tingkat asetilasi (25% dan 50%). Perekat yang digunakan adalah Urea Formaldehida (UF) dan
Khitosan. Hasilnya menunjukan papan serat yang di tingkat 50% dengan menggunaan perekat
khitosan menghasilkan papan serat dengan ketahanan paling baik, dimana mortalitasnya mencapai
81,6%, dan termasuk dalam kelas ketahanan I II.

Kata kunci: Gmelina, khitosan, rayap kayu kering, urea formaldehida

I. PENDAHULUAN

Papan serat adalah salah satu papan tiruan yang terbuat dari serat kayu atau bahan
berlignoselulosa lain melalui ikatan antar serat menjadi lembaran papan dengan bantuan kempa
panas. Bahan pengikat dan bahan lainnya perlu di tambahkan untuk meningkatkan sifat fisis-
mekanis, ketahanan terhadap air, api, organisme perusak, dan pelapukan. Papan serat
dikategorikan berkerapatan sedang (Medium Density Fibreboard) jika memiliki kerapatan antara
0,35 sampai 0,80 g/cm3 (JIS, 2003). Salah satu sifat MDF yang penting adalah memiliki
permukaan yang halus dan sisi yang solid (solid-edge) sehingga memudahkan proses pemesinan
dan penyelesaian akhir (finishing).
Salah satu upaya peningkatan kualitas papan serat adalah perlakuan asetilasi serat-serat
kayunya sebelum dibentuk papan. Asdar et al. (1998), telah melakukan asetilasi serat pulp kayu
magium untuk pembuatan papan serat. Hasilnya penelitian menunjukan bahwa asetilasi serat pulp
kayu akasia mampu menaikan persentase penambahan berat (WPG). Bertambahnya tingkat
asetilasi dapat memperbaiki sifat fisis papan serat, yaitu menurunkan kadar air, meningkatkan
stabilitas dimensi yang ditandai dengan penunurunan pengembangan tebal. Akan tetapi perlakuan
asetilasi menurunkan sifat mekanis yaitu modulus patah, modulus elatis dan keteguhan rekat
internal. Keawetan papan serat yang sudah di asetilasi belum diketahui, oleh karena itu penelitian
bertujuan mempelajari ketahanan papan serat MDF yang sudah diasetilasi terhadap serangan
rayap kayu kering.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 129


II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan
Kayu yang digunakan dalam pembuatan papan serat berkerapatan sedang adalah kayu
gmelina (Gmelina arborea Roxb.). Perekat yang digunakan adalah urea formadehida dan
khitosan.

B. Metode
1. Pembuatan papan serat MDF
Pembuatan lapik MDF dilakukan dengan cara kering terhadap serat pulp yang sudah
diasetilasi sebanyak 0%, 25% dan 50%. Papan serat yang dibuat adalah papan serat kerapatan
sedang (MDF) dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Pencampuran perekat dan serat dilakukan
dalam blender. Serat kering yang telah di asetilasi disemprot perekat dengan spray gun secara
merata. Perekat yang digunakan adalah perekat khitosan sebanyak 10% dengan kadar kepadatan
2% dan urea formadehida (UF) dengan kadar kepadatan 55% sebanyak 10% dari bobot kering
pulp. Setelah itu serat-serat tersebut dibentuk lembaran-lembaran yang siap di kempa kemudian
terbentuk papan serat berbentuk lembaran.

2. Pengujian sifat ketahanan terhadap rayap kayu kering


Papan serat yang sudah terbentuk, dibuat contoh ujinya dengan ukuran 5 cm x 2,5 cm x
1 cm. Pada salah satu sisi yang terdapat perekat pada masing-masing contoh uji tersebut dipasang
semprong kaca yang berdiameter 1,8 cm dengan ukuran tinggi 3 cm. Ke dalam semprong kaca
tersebut dimasukkan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) sebanyak 50 ekor
rayap pekerja yang sehat dan aktif, kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap selama
12 minggu, SNI 01-7207 (Anonim, 2006).

3. Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu akhir penelitian 12 minggu
pengujian. Pada akhir pengujian kemudian ditetapkan persen kematian (mortality) data yang
diperoleh dari transformasi data kedalam aresin % dan penurunan berat (weight loss) akibat
serangan rayap, data ini untuk menentukan klasifikasi ketahan kayu dan untuk mengetahui kelas
ketahanan kayu digunakan klasifikasi kelas ketahan kayu, SNI 01-7207 (Anonim, 2006) seperti
pada Tabel 1.

Table 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering ( Crptotermes
cynocephalus) berdasrkan pengurangan berat dan presentase rayap yang hidup

Kelas Penurunan berat (%) Ketahanan


I <2.303 Sangat tahan
II 2.003-4.406 Tahan
III 4.406-8.158 Sedang
IV 8.158-28.096 Buruk
V >28.096 Sangat buruk

130 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Di samping itu juga ditentukan derajat serangan rayap kayu kering berdasarkan klasifikasi
dari SNI 01-7207 (Anonim, 2006) dan Pablo dan Gracia (1997) seperti disajikan dalam (Tabel 2).

Tabel 2. Derajat serangan rayap kayu kering

% Kerusakan Kondosi contoh uji Nilai derajat serangan


0 Tidak ada serangan rayap 100
1-25 Serangan ringan 90
26-50 Serangan sedang 70
51-75 Serangan hebat 40
>76 Serangan sangat hebat 0

4. Analisis data
Untuk mengatuhui pengaruh perlakuan kadar tiap macam perekat pada setiap jenis kayu
maka dilakukan sidik ragam menggunakan program mikrostat. Untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilakukan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Pengaruh phenol-formaldehyda
terhadap serangan rayap kayu kering dianalisis secara statistik non parametrik yaitu uji Kruskal-
Wallis menggunakan mikrostat (Mustafa, 1990).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketahanan contoh uji papan serat dari kayu gmelina dinilai berdasarkan ketahanan kayu
tersebut masing-masing terhadap serangan rayap kayu kering. Parameter yang digunakan untuk
menilai efektifitas bahan perlakuan (perekat UF dan kitosan) terhadap serangan rayap kayu kering
adalah jumlah kematian (mortalitas), penurunan berat dan derajat serangan. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan tersebut terhadap kematian rayap dan penurunan berat contoh uji dilakukan
sidik ragam seperti disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Ringkasan sidik ragam keawetan (ketahanan) papan serat MDF

Ketahanan F Hitung F Tabel


Kematian 5,92* 3,40
Penurunan berat 44,72** 3,40
Keterangan:**= sangat nyata(highly significant)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata di antara kedua jenis perekat
terhadap jumlah kematian, dan penurunan berat, terhadap kematian rayap dan penurunan berat
contoh uji akibat serangan rayap kayu kering. Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan uji
lanjut yaitu uji beda Duncan (Tabel 4).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 131


Tabel 4. Keawetan kayu kayu sungkai dan mi ndi terhadap serangan rayap kayu kering
(Cryptotermes cyncephalus Light.)

Jenis perekat
Asetilasi UF (A) Khitosan (B)
(%) Kematian Penurunan Kelas Kematian Penurunan Kelas
(%) berat (%) ketahanan (%) berat (%) ketahanan
X SD* X SD* X SD* X SD*
0 81,600,12 2,790,11a II 93,60 0,11 0,860,03a I
25 100 0 b 0,960,01b I 100 0 b 0,750,03b I
50 100 0 b 0,920,01b I 100 0 b 0,690,02b I
Keterangan nilai: *Nilai rata-rata diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris tidak berbeda nyata; Nilai rata-
rata diikuti huruf kecil yang sama pada kolok tidak nyata; X = rata-rata; SD = Standar deviasi

Berdasarkan data Tabel 4, dapat diketahui bahwa kematian rayap kayu kering pada papan
serat dengan perekat UF(A) terendah pada control tidak diasetilasi yaitu 81,60% demikian pula
pada perekat kitosan 93,60%, sedangkan presentase kematian tertinggi terdapat pada perlakuan
asetilasi 25% ke atas baik pada perekat UF maupun khitosan, mortalitas mencapai 100%.
Sebagaimana diketahui rayap kayu kering mempunyai sifat bergerombol, sehingga rayap tersebut
menyerang kayu secara bersamaan. Dalam hal ini rayap mati secara bersama-sama makan serat
kayu yang mengandung racun.
Disamping itu pada Tabel 4 terlihat ada hubungan antara perlakuan asetilasi dengan
pemberian perekat UF dan khitosan dengan penurunan berat contoh uji, dengan pemberian
perlakuan tersebut akan memperkecil penurunan berat contoh uji. Penurunan berat ini dapat juga
digunakan sebagai salah satu factor untuk menentukan ketahanan papan serat. Papan serat control
tanpa perlakuan termasuk kelas II, sedangkan dengan asetilasi 25% ke atas dengan perekat urea
formaldehida maupun khitosan naik dari kelas II menjadi kelas I.
Menurut Jasni dan Supriana (1999) serta House dan Supriana dalam Martawijaya (1996),
penurunan berat atau kehilangan berat adalah salah satu faktor menentukan ketahanan kayu.
Menurunnya berat kayu akibat serangan rayap, karena serat kayu mengandung selulosa yang
cukup tinggi, sedangkan selulosa adalah makan utama rayap, akibatnya selulosa yang ada dalam
kayu akan dimakan rayap dan terjadi kehilangan berat kayu tersebut.
Perlakuan asetilasi 25% keatas dengan perekat UF dan kitosan dalam pembuatan papan
serat (MDF) dapat meningkatkan kelas ketahanan dari kelas II (control) menjadi kelas I. dengan
demikian pemakaian asetilasi diatas 25% dengan pemberian perekat UF dan kitosan sebagai
pembuatan papan serat MDF cukup efektif untuk mencegah serangan rayap kayu kering.
Kemampuan bahan perlakuan asetilasi, perekat UF dan khitosan untuk mencegah serangan rayap
kayu kering dapat pula dinyatakan dalam nilai dan tingkat serangan rayap kayu kering pada
contoh uji kayu (Tabel 5). Hasil penelitian menunjukan bahwa derajat serangan kedua jenis bahan
perekat terjadi perbedaan nyata berdasarkan uji Kruskal-Wallis (H hitung <H Tabel, yaitu 18,96
<3,84), namun ada perbedaan diantara perlakuan seperti disajikan pada Tabel 5.

132 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 5. Rata-rata derajat serangan rayap kayu kering pada kayu sungkai dan mindi

Jenis perekat
Asetilasi UF A Kitosan B
% kerusakan* Nilai % kerusakan* Nilai
0 36 a 70 23,4 a 70
25 31 b 70 11 b 90
50 29,6c 70 10,2 c 90
Keterangan: *Nilai rata-rata diikuti oleh huruf besar pada baris tidak berbeda nyata dan huruf kecil pada jalur
yang sama tidak berbeda nyata

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pada kontrol dengan perekat UF ternyata kerusakan
paling tinggi yaitu 36% (nilai 70), sedangkan terendah pada asetilasi 50% dengan perekat
khitosan, kerusakan hanya mencapai 10,2% (nilai 90). Hal ini sesuai dengan kelas ketahanan
papan serat terhadap rayap kayu kering. Pemberian perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat
UF maupun khitosan dalam pembuatan papan serat MDF dapat menurunkan tingkat serangan
rayap kayu kering.

IV. KESIMPULAN

Pada serat MDF dari kayu gmelina, perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF,
kelas ketahanannya meningkat dari kelas II (penurunan 2,79%) menjadi kelas I (penurunan berat
0,92 - 0,96%). Sedangkan untuk perekat kitosan papan serat MDF tetap masuk dalam kelas I,
walaupun kontrol, yaitu kelas I (penurunan berat 0,69 - 0,86%).
Di samping meningkat kelas ketahananya juga dapat mengurangi kerusakan papan serat
akibat serangan rayap kayu kering, dimana derajat serangan pada papan serat tanpa asetlasi
(kontrol) dengan perekat UF kerusakan mencapai 36% (nilai 70), sedangkan untuk kontrol pada
perekat kitosan, kerusakan mencapai 23,4% (nilai 70). Namun untuk asetilasi di atas 25% dengan
perekat UF, kerusakan berkisar 29,6 - 31% (nilai 70), sedangkan papan sera dengan perlakuan
asetilasi di atas 25% dengan perekat kitosan, kerusakan hanya berkisar 10,2 - 11% (nilai 90).
Pemberian perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF maupun khitosan dalam pembuatan
papan serat MDF dapat menurunkan tingkat serangan rayap kayu kering.

DAFTAR PUSTAKA

Asdar, M., Y.S. Hadi, K. Sofyan dan R. Siagian. 1998. Physical and mechanical properties of
medium density fiberboard made from acetylated Acacia mangium fiber. Proceeding The
Fourt Pacufuc Rim_Bio-Based Composites Symposium. Nov. Bogor.
BSN. 2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-7207. ICS 79.020. Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 133


Jasni dan N. Supriana. 1999. The resistance of eight rattan species against the powder-post beetle
Dinoderus minutus Farb. Proceedings of The Fourth International Conference on The
Development of Wood Science, Wood Technology and Forestry. Missenden Abbey. Forest
Products Research Centre. England.
Mustafa, Z.E.Q. 1990. Panduan Mikrostat untuk Mengelola Data Statistik. Andi Offset.
Yogyakarta.
Pablo, M.S. dan C.M. Gracia. 1997. Natural durability of aahau (Livistona rotundifolia (Lam)
Mart. Forest Products Research and Development Industries Journal (FPRDI). Laguna.
Philippines 23 (2): 69-76.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia. Jakarta.

134 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


HASIL UJI-COBA PRODUKSI KAYU LAPIS SAWIT PADATAN
(DENSIFIED OIL PALM PLYWOOD )

Oleh:
Jamal Balfas
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
E-mail: jamalbs2000@yahoo.com

ABSTRAK

Keterbatasan pasokan bahan kayu lingkup nasional telah menyebabkan penurunan produksi
industri panel kayu lapis Indonesia secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan ini
praktis menurunkan devisa, pajak, lapangan kerja serta kontribusi lainnya dari sektor industri
tersebut. Pemulihan situasi ini hanya dapat dilakukan melalui revitalisasi potensi bahan baku atau
melalui pemanfaatan bahan baku alternatif.
Indonesia memiliki bahan berkayu dari peremajaan kebun sawit secara berlimpah, dan
sampai saat ini belum digunakan untuk keperluan industri perkayuan. Dalam penelitian ini
dilakukan evaluasi teknis terhadap penggunaan kayu sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis.
Sumber keragaman yang diamati dalam adalah fasilitas teknologi produksi, jumlah lapisan pada
panel dan komposisi lapisan panel. Penentuan kualitas panel dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan parameter karakteristik fisis dan mekanis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi dan efektivitas produksi panel kayu sawit
secara nyata dipengaruhi oleh faktor fasilitas produksi. Pabrik pertama menghasilkan kualitas
produk yang lebih baik namun memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pabrik
kedua. Karakteristik fisis dan mekanis pada panel kayu sawit dipengaruhi secara nyata oleh faktor
proses produksi, jumlah lapisan dan komposisi lapisan. Kualitas fisis dan mekanis panel kayu
sawit menurun dengan pertambahan jumlah lapisan dan komposisi venir kayu sawit. Terdapat
korelasi positif antara nilai kerapatan dan keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit. Panel kayu
lapis yang dihasilkan dalam percobaan ini dapat memenuhi kualifikasi produk interior.

Kata kunci: Fisis, kayu lapis, kelapa sawit, mekanis

I. PENDAHULUAN

Industri panil kayu Indonesia mengalami penurunan secara drastis dalam beberapa tahun
terakhir, sebagai salah satu implikasi dari pelaksanaan program restrukturisasi industri kehutanan,
yang memuat kebijakan Soft landing pada tahun 2002. Menurut laporan data Asosiasi Panil
Kayu Indonesia (APKINDO) yang diuraikan oleh Purwanto (2008), jumlah anggota asosiasi
tersebut pada periode puncak produksi tahun 2003 mencapai 130 perusahaan dengan kapasitas
produksi sekitar 6,1 juta m3/tahun. Namun pada tahun 2006 jumlah anggotanya menurun sekitar
50%, dan dari jumlah tersebut hanya 19 unit perusahaan yang berproduksi secara normal dengan
volume kumulatif sekitar 1,54 juta m3/tahun. Perubahan ini praktis menurunkan devisa, pajak,
lapangan kerja serta kontribusi lainnya dari sektor industri panil kayu lapis nasional. Faktor
dominan yang menyebabkan perubahan tersebut adalah defisit pasokan bahan baku kayu bulat
baik dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat maupun sumber kayu lainnya.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 135


Industri panil kayu lapis nasional dalam beberapa tahun terakhir telah memanfaatkan segala
jenis kayu dari berbagai sumber, seperti sengon, randu, kemiri, mangium, karet dan kelapa.
Bahkan jenis kayu yang selama ini tidak digunakan dari kelompok jenis mahang (Macaranga
spp.) telah dimanfaatkan menjadi venir inti (core veneer) pada beberapa industri kayu lapis di
Sumatera. Keterbatasan pasokan bahan baku industri kayu telah mendesak kenaikan harga kayu
bulat sampai pada batas marginal yang mengancam kelangsungan industri kayu nasional. Sebagai
contoh, harga kayu bulat sengon per m3 pada tahun 2003 hanya sekitar Rp 100.000, sedangkan
pada tahun 2008 harganya telah mencapai Rp 600.000. Sementara harga produk kayu lapis dalam
periode yang sama di pasar internasional mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan porsi biaya
bahan baku pada struktur biaya produksi kayu lapis melonjak dari sekitar 30% pada tahun 2003
menjadi sekitar 55% pada tahun 2008.
Uraian di atas menggambarkan bahwa kelangsungan industri kayu lapis nasional saat ini
sangat ditentukan oleh faktor harga kayu bulat. Pada sisi lain kemungkinan penurunan harga kayu
bulat sukar diharapkan karena sumber kayu tersebut makin lama makin jauh dari lokasi pabrik,
sehingga komponen biaya angkutannya cenderung terus meningkat. Permasalahan ini perlu
ditanggulangi secepatnya agar terhindar dari risiko pemutusan kerja karyawan dan kerawanan
sosial. Satu solusi yang paling mungkin dilakukan adalah menggunakan bahan berkayu lain yang
bernilai murah dan tersedia dalam jumlah besar. Alternatif ini hanya mungkin dipenuhi melalui
pemanfaatan kayu sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis. Bahan kayu ini sama sekali
belum digunakan oleh industri perkayuan nasional, sementara puluhan juta meter kubik limbah
batang setiap tahun terbuang percuma di areal peremajaan kebun sawit.
Tulisan ini melaporkan hasil uji coba kayu sawit sebagai bahan baku kayu lapis yang telah
dilakukan selama dua tahun terakhir pada dua lokasi pabrik berbeda di Samarinda dan Riau. Pada
bagian ini dilaporkan aspek teknis yang meliputi aspek proses produksi dan karakteristik hasil
produksi kayu lapis.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada dua unit pabrik kayu sawit dalam selang waktu sekitar dua
tahun. Penelitian pertama dilakukan di pabrik kayu lapis PT Sumalindo, Loh Janan, Kalimantan
Timur pada tahun 2006. Penelitian ke dua dilakukan di pabrik kayu lapis PT Forestama Raya
(Group RGM), Rumbai, Riau pada tahun 2008.

B. Bahan Penelitian
Bahan kayu bulat sawit yang digunakan dalam penelitian pertama berasal dari tanaman
sawit berusia 24 tahun di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Bahan kayu bulat sawit pada
percobaan ke dua berasal dari perkebunan sawit berumur sekitar 22 tahun milik PTP Nusantara V,
Riau. Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah perekat Urea
Formaldehida (UF), dempul, pita gulung (reeling tape) dan pita rekat (gummer tape).

136 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


C. Metode Pengolahan
Proses pengolahan kayu lapis sawit secara umum mengikuti tahapan proses produksi kayu
lapis konvensional dengan beberapa tambahan modifikasi pada peralatan dan tahapan produksi.
Modifikasi utama yang dilakukan pada peralatan produksi adalah pengaturan sudut pisau kupas
yang sesuai digunakan untuk mengupas kayu sawit. Sedangkan modifikasi yang dilakukan
terhadap tahapan produksi terdiri dari dua tahap, yaitu pemanasan dan kompresi venir. Uraian
mengenai tahapan produksi kayu lapis sawit padatan secara rinci dapat disimak dalam Deskripsi
Paten P0028355 (Direktorat Paten, 2011). Komposisi penyusunan venir dalam pembuatan panel
kayu lapis dalam percobaan ini terdiri dari 7 dan 11 lapis dengan rancangan komposisi venir sawit
100, 92 dan 82%. Venir lain yang digunakan dalam komposisi tersebut adalah venir kayu kamper
dengan ukuran tebal venir 1,46 mm, yang diletakkan pada bagian muka (face) dan belakang
(back) panel. Ukuran panel yang dibuat dalam percobaan ini adalah ukuran komersil (120 cm x
240 cm). Pengujian pada panel kayu lapis dilakukan dengan metode yang digunakan oleh pabrik
kayu lapis, yaitu standar Jepang, JAS (Anonim, 1993).

D. Rancangan Percobaan
Percobaan ini memiliki tiga faktor utama, yaitu proses produksi, jumlah lapisan dan
komposisi lapisan. Proses produksi panel dilakukan secara berbeda menurut fasilitas pengolahan
pabrik. Pembuatan panel secara umum dibuat dalam dua kelompok contoh panel menurut
perlakuan jumlah lapisan (JL) dan komposisi lapisan (KL). Jumlah lapisan terdiri dari dua taraf,
yaitu 7 dan 11 lapis. Komposisi lapisan terdiri dari 3 taraf, yaitu 82, 92 dan 100% kandungan
venir sawit. Masing-masing taraf memiliki ulangan sebanyak 5 buah contoh panel. Untuk
mengetahui pengaruh masing-masing faktor di atas terhadap karakteristik panel dilakukan analisis
data menurut prosedur faktorial.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran efisiensi (rendemen) pada proses produksi kayu lapis sawit menurut tahapannya
disajikan pada Tabel 1. Proses pemotongan bagian ujung kayu bulat (log) pada tahap awal
menyebabkan kehilangan volume sekitar 3%. Porsi kehilangan pada tahap ini relatif sama dengan
kehilangan volume yang terjadi dalam pengolahan jenis kayu lainnya yang berasal dari hutan
tanaman maupun kayu rakyat.
Proses pengupasan kayu bulat sawit pada percobaan pertama di PT Sumalindo, yang
dilakukan dengan menggunakan sudut kupas sekitar 23o pada mesin Rotary lathe dan 21o pada
mesin Spindle less cenderung menimbulkan kerusakan pada venir yang dihasilkan, sehingga
menyebabkan rendemen venir pada percobaan ini tidak lebih dari 43%. Pengubahan ukuran sudut
pisau pada mesin kupas menjadi 19o dalam percobaan ke dua di PT Asia Forestama Raya secara
efektif dapat meningkatkan rendemen venir menjadi sekitar 63%. Hasil ini menunjukkan bahwa
rendemen venir kayu sawit pada tahap awal (sebelum perlakuan kompresi) mendekati nilai
rendemen venir kayu tanaman (69 - 70%). Namun demikian, hasil pengupasan venir kayu sawit
akan menjadi lebih baik apabila kecepatan putar (RPM) pada spindle rotary dapat diperlambat

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 137


sekitar 20% melalui modifikasi pada bagian penggerak mesin (pulley). Kecepatan putar log pada
mesin rotary konvensional bersifat tetap (unadjustable) dan dirancang untuk mengupas kayu
tradisional dengan rotasi per menit (RPM) sekitar 160. Kecepatan putar mesin tersebut relatif
terlalu tinggi bila digunakan dalam pengupasan kayu sawit.

Tabel 1. Rendemen (%) pengolahan kayu lapis sawit

Tahapan proses Percobaan pertama Percobaan kedua


Pemotongan log 96,92 97,85
Pengupasan
- Rotary lathe 25,48 36,62
- Spindle less 17,29 26,45
- Kumulatif 42,77 63,07
Pengempaan venir 39,51
16,46*
Pengeringan 26,17
Pengempaan panas 16,21 24,62
Pemotongan dan pengamplasan 13,24 21,55
Keterangan: *Menggunakan mesin press-dryer

Proses pengempaan dan pengeringan venir pada percobaan pertama terjadi secara
bersamaan pada satu unit mesin (press dryer) dan kadar air venir setelah melalui perlakuan
tersebut mencapai 6%, sehingga venir mengalami kehilangan volumetris sekitar 26% dalam press-
drying. Pada percobaan ke dua perlakuan pengempaan dan pengeringan venir masing-masing
menyebabkan kehilangan volume sekitar 24 dan 13%. Kedua perlakuan tersebut menunjukkan
kehilangan volumetris pada venir sawit sekitar 60% dari volume venir kayu sawit basah.
Perubahan dimensi secara drastis pada struktur kayu sawit bersifat unik, serupa dengan struktur
kayu kelapa (Balfas, 2007), namun tidak dijumpai pada struktur kayu tradisional baik yang
berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh
kandungan air dan jaringan parenkim dalam jumlah besar pada kayu sawit (Balfas, 2006). Pada
tahap inilah kompatibilitas (kuantitatif) venir kayu sawit menjadi sangat rendah dibandingkan
dengan venir kayu asal hutan tanaman yang sampai tahap kondisi venir kering dapat mencapai
rendemen lebih dari 50%. Namun demikian, perlakuan pengempaan tersebut menghasilkan venir
dengan kerapatan struktur lebih dari dua kali kerapatan kayu sawit asal, sehingga memiliki sifat
keteguhan longitudinal lebih baik daripada venir kayu hutan tanaman, terutama dari jenis pohon
cepat tumbuh.
Dalam tahap pengempaan panel pada mesin hot press terjadi kehilangan volumetris sekitar
0,2% pada percobaan pertama, yang nilainya relatif kecil dibandingkan dengan 1,5% pada
percobaan ke dua (Tabel 1). Perbedaan ini terutama berkaitan dengan perbedaan kadar air venir
setelah proses pengeringan, di mana metode pertama mencapai kadar air 6%, sedangkan pada
metode ke dua hanya sekitar 12%. Menurut Haygreen dan Bowyer (1985) nilai kadar air venir
saat penyusunan panel sangat menentukan besaran penyusutan panel dalam proses pengempaan
panas.

138 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pada tahap pemotongan kedua sisi panel dan pengamplasan permukaan panel terjadi
kehilangan volumetris sekitar 3%, sehingga rendemen kumulatif pada pembuatan panel kayu lapis
sawit pada masing-masing percobaan adalah 13,24 dan 21,55%. Hasil ini menunjukkan bahwa
perbaikan pada mekanisme pengolahan kayu sawit dalam percobaan ke dua mampu meningkatkan
nilai rendemen pengolahan sekitar 8% dibandingkan dengan nilai rendemen yang diperoleh pada
percobaan pertama. Namun demikian, nilai rendemen tersebut relatif kecil bila dibandingkan
dengan rendemen pengolahan kayu tanaman yang berkisar antara 40 sampai dengan 50%
(Iskandar, 2006).
Hasil pengujian laboratoris terhadap karakteristik produk panel kayu lapis sawit pada Tabel
2 menunjukkan bahwa sifat fisis produk tersebut beragam menurut beberapa faktor yang diamati
dalam penelitian ini. Hasil analisis keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor proses
percobaan, jumlah lapisan, komposisi lapisan, serta kombinasi ketiganya berpengaruh sangat
nyata (p>99%) terhadap kandungan air pada panel kayu lapis sawit. Sedangkan nilai kerapatan
panel hanya dipengaruhi secara nyata (p>95%) oleh faktor proses percobaan dan jumlah lapisan,
serta kombinasi kedua faktor tersebut.
Kadar air dan kerapatan panel kayu lapis sawit pada percobaan pertama memiliki nilai lebih
rendah daripada percobaan ke dua (Tabel 2). Perbedaan kedua sifat fisis tersebut terutama
berkaitan dengan kondisi venir yang dihasilkan dari masing-masing proses percobaan.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa proses pengempaan dan pengeringan venir pada
percobaan pertama terjadi secara bersamaan pada satu unit mesin (press dryer) dan kadar air venir
setelah melalui perlakuan tersebut sekitar 6% lebih rendah, serta kehilangan volumetris yang lebih
tinggi daripada percobaan kedua.

Tabel 2. Sifat fisis kayu lapis sawit

Percobaan Jumlah lapisan Komposisi lapisan Kadar air, % Kerapatan, kg/cm3


82 7,05 729,14
7 Lapis 92 7,76 726,18
100 8,18 733,08
I
82 8,20 696,21
11 Lapis 92 9,38 695,64
100 11,04 693,93
82 8,41 659,73
7 Lapis 92 8,96 661,14
100 10,45 660,28
II
82 9,62 627,36
11 Lapis 92 10,14 628,05
100 10,85 627,71

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 139


Tabel 3. Analisis keragaman pada sifat fisis panel kayu lapis sawit

Sumber keragaman db F- Hitung


Kadar air Kerapatan
sn
EXP = Percobaan 1 531,048 296,59 sn
NUMBER = Jumlah lapisan 1 811,527 sn 99,68 sn
COMP = Komposisi lapisan 2 453,413 sn 0,78 sn
EXP * NUMBER 1 89,319 sn 1,03 sn
EXP * COMP 2 4,832 sn 0,96 sn
NUMBER * COMP 2 6,771 sn 0,93 sn
EXP * NUMBER * COMP 2 54,415 sn 1,39 sn
Galat 48
Keterangan: db = derajat bebas; sn = sangat nyata; tn = tidak nyata

Nilai kadar air pada panel 7-lapis lebih rendah daripada kadar air panel 11-lapis (Tabel 2).
Sebalikanya nilai kerapatan pada panel 7-lapis lebih tinggi daripada kerapatan panel 11-lapis.
Perbedaan kedua sifat fisis tersebut tampak konsisten pada percobaan pertama maupun percobaan
ke dua. Perbedaan sifat ini merupakan suatu kecenderungan teknis yang lazim dijumpai dalam
proses produksi panel kayu lapis, sebagai akibat dari proses pengempaan panas (hot pressing)
terhadap karakteristik panel. Panel kayu lapis yang terbuat dari kondisi venir yang sama akan
mengalami penurunan kadar air dan peningkatan kerapatan dengan berkurangnya jumlah lapisan
pada panel Anonim (2008).
Kadar air pada panel kayu lapis sawit mengalami peningkatan dengan pertambahan
komposisi venir sawit (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa venir kayu sawit bersifat lebih
higroskopis dibandingkan dengan venir kayu kamper yang digunakan sebagai komponen
kombinasi dalam penelitian ini. Karakteristik tersebut berkaitan dengan sifat dasar kayu sawit
yang memiliki kadar air lebih tinggi dari kayu tradisional dari hutan alam maupun tanaman,
sehingga secara alami kayu sawit memiliki tempat ikatan air (water sorption sites) lebih banyak
daripada kayu lainnya (Balfas, 1998).
Karakteristik mekanis panel kayu lapis sawit disajikan pada Tabel 4. Nilai keteguhan rekat
pada panel kayu sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor proses percobaan, jumlah lapisan,
komposisi lapisan, serta kombinasi ketiga faktor tersebut (Tabel 5). Keragaman nilai keteguhan
rekat pada panel kayu sawit mengikuti pola keragaman pada nilai kerapatan panel. Kedua
parameter ini memiliki korelasi yang sangat erat (p>99%) dengan koefisien korelasi (R2) sebesar
0,884. Hal ini berarti nilai keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit mengalami peningkatan
dengan pertambahan nilai kerapatan panel. Fenomena serupa telah dilaporkan oleh Santoso dan
Sutigno (2004) pada panel kayu lapis kapur.
Nilai keteguhan geser rekatan pada Tabel 4 secara umum memiliki nilai keteguhan lebih
rendah daripada batasan minimal yang ditetapkan dalam standar Jepang (7 kg/cm2). Hal ini berarti
bahwa kualitas rekatan pada panel kayu lapis sawit lebih rendah daripada rekatan pada panel kayu
lapis sengon yang dilaporkan oleh Iskandar (2006). Namun demikian, panel kayu lapis sawit

140 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


memiliki nilai kerusakan kayu dan delaminasi masing-masing sebesar 100 dan 0%, sehingga
menurut standar tersebut panel kayu lapis sawit dapat digunakan untuk keperluan interior.

Tabel 4. Sifat mekanis kayu lapis sawit

Percobaan Jumlah lapisan Komposisi lapisan KR KK Del


kg/cm2 (%) (%)
82 6,85 100 0
7 Lapis 92 6,91 100 0
100 7,02 100 0
I
82 6,31 100 0
11 Lapis 92 6,41 100 0
100 6,30 100 0
82 6,14 100 0
7 Lapis 92 6,22 100 0
100 6,19 100 0
II
82 5,67 100 0
11 Lapis 92 5,69 100 0
100 5,71 100 0
Keterangan: KR = Keteguhan rekat; KK = Kerusakan kayu; Del = Delaminasi

Tabel 5. Analisis keragaman pada sifat mekanis panel kayu lapis sawit

db F- Hitung
Sumber keragaman
Keteguhan rekat Kerusakan kayu Delaminasi
EXP = Percobaan 1 308,710 sn 0 tn 0 tn
NUMBER = Jumlah lapisan 1 174,661 sn 0 tn 0 tn
COMP = Komposisi lapisan 2 0,920 sn 0 tn 0 tn
EXP * NUMBER 1 1,448 sn 0 tn 0 tn
EXP * COMP 2 0,134 tn 0 tn 0 tn
NUMBER * COMP 2 0,897 sn 0 tn 0 tn
EXP * NUMBER * COMP 2 0,659 sn 0 tn 0 tn
Galat 48
Keterangan: db = derajat bebas; sn = sangat nyata; tn = tidak nyata

Nilai kerusakan kayu dan delaminasi pada semua panel kayu lapis sawit masing-masing
menunjukkan nilai yang sama (Tabel 4). Nilai kerusakan kayu pada panel sebesar 100%
menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat pada panel tersebut sesungguhnya menggambarkan
nilai keteguhan geser pada venir kayu sawit. Artinya keteguhan rekat pada garis rekatan (bonding
line) dapat mencapai lebih dari nilai yang tercantum pada Tabel 4, karena pada garis rekatan
tersebut tidak terjadi kerusakan. Dengan demikian kelemahan yang dijumpai pada kualitas rekatan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 141


panel kayu lapis sawit terletak pada kelemahan struktur kayu sawit. Kelemahan ini terutama
berhubungan dengan porsi jaringan non struktural (parenkimatos) dalam jumlah yang besar pada
struktur anatomi kayu sawit (Balfas, 2006). Perlakuan impregnasi resin organik ke dalam struktur
kayu monokotil dapat menyempurnakan karakteristik fisis maupun mekanis kayu tersebut (Balfas,
2007).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Batang sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan panel kayu lapis dengan menggunakan
fasilitas konvensional yang terdapat pada industri kayu lapis.
2. Percobaan produksi venir kayu sawit menghasilkan rendemen venir basah sebesar 42 sampai
dengan 63% tergantung fasilitas dalam proses produksi.
3. Peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam pembuatan venir dan panel kayu lapis sawit
dapat dilakukan melalui beberapa modifikasi pada mesin dan peralatan yang digunakan dalam
proses produksi.
4. Kualitas panel kayu lapis sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor proses percobaan, jumlah
lapisan dan komposisi lapisan.
5. Keteguhan rekat pada kayu lapis sawit memiliki korelasi positif dengan nilai kerapatannya.
6. Panel kayu lapis sawit relatif kurang stabil dan memiliki kualitas rekatan lebih rendah
dibandingkan dengan panel kayu lapis sengon.
7. Mengacu pada standar Jepang (JAS) kayu lapis sawit hanya memenuhi persyaratan panel
interior.

B. Saran
1. Percobaan pemanfaatan batang kayu sawit untuk produksi kayu lapis menunjukkan hasil
produk yang cukup baik, namun masih banyak hal yang perlu disempurnakan melalui
modifikasi mesin, peralatan, serta tahapan dalam proses produksi, sehingga kegiatan produksi
dapat dilakukan secara lebih praktis dan efisien, serta pencapaian kualitas produk yang lebih
tinggi.
2. Kelemahan pada struktur anatomi kayu sawit perlu disempurnakan melalui suatu proses
densifikasi yang lebih efektif agar diperoleh stabilitas dimensi dan keteguhan rekat panel yang
lebih sempurna.

142 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1993. Japanese Agricultural Standard for Structural Plywood. Japan Plywood Inspection
Corporation. Tokyo.
______. 2008. Plywood Design Fundamentals. Canadian Plywood Association. Canada.
Balfas, J. 1998. Sifat dasar kayu sawit. Prosiding Diskusi Nasional Hutan Rawa dan Ekspose
Hasil Penelitian di Sumatra Utara. Medan 18-19 September 1998. Balai Penelitian
Kehutanan. Pematang Siantar.
_______, 2006. New approach to oil palm wood utilization for wood working production, Part 1:
Basic properties. Journal of Forestry Research 3(1):55-66. Forestry Research and
Development Agency. Jakarta.
_______. 2007. Perlakuan resin pada kayu kelapa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 25(2):108-118.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Direktorat Paten. 2011. Metode pembuatan produk kayu lapis padatan dari kayu sawit. Deskripsi
Paten ID P0028355. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
Haygeen, J.G. and L. Bowyer. 1985. Forest Products and Wood Science. Second Printing. The
IOWA State University Press. Ames.
Iskandar, M.I. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L)
Nielsen) untuk kayu rakitan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006. Bogor, 21
September 2006; 142-150. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Purwanto, B.E. 2008. Alokasi bahan baku kayu untuk keperluan domestik. Prosiding Seminar
Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 25 Oktober 2008; 7-15. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Santoso, A. dan P. Sutigno. 2004. Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat
Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur. Jurnal Penelitian Hasil
Hutan. 22(2):61-68. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 143


MAKALAH PENUNJANG
PENELITIAN AWAL PEMULIAAN Araucaria cunninghamii
SEBAGAI JENIS ALTERNATIF KAYU PULP DI BONDOWOSO,
JAWA TIMUR

Oleh:
Dedi Setiadi
Balai Beasar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta
Jalan Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582
Telp. (0274) 895954, 896080, Fax. (0274) 896080
E-mail: setiadi2009@yahoo.com

ABSTRAK

Araucaria cunninghamii Ait. Ex D. Don keberadaanya ditemukan di wilayah subtropis dan


di wilayah hutan hujan tropis, penyebarannya terjadi secara meluas dimulai dari Papua Barat yang
terletak kira-kira pada koordinat 10LS, kemudian menyambung ke dataran tinggi Papua New
Guinea, sampai di atas bagian timur Australia pada koordinat 31 0LS. Kebun benih araukaria ini
telah dibangun di Bondowoso, Jawa Timur sejak tahun 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi kinerja pertumbuhan dan parameter genetik kebun benih araukaria pada umur 6, 12
dan 24 bulan. Kebun benih ini didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RALB)
yang terdiri dari 80 famili, 4 treeplot, 6 blok dan jarak tanam 4 m x 2 m. Variabel penelitian yang
diamati adalah persen hidup, pertumbuhan dan beberapa parameter genetik. Hasil analisa
menunjukkan bahwa persen hidup rata-rata araukaria sampai umur 24 bulan berkisar antara 96,7
sampai dengan 100%, sedangkan hasil analisis varian terhadap tinggi dan diameter tanaman
menunjukkan berbeda nyata. Taksiran nilai heritabilitas tinggi dan diameter (h2f = 0,68; h2f = 0,57),
untuk 6 bulan, (h2f = 0,58; h2f = 0,55) untuk 12 bulan dan untuk 24 bulan (h2f = 0,52;, h2f = 0,64)
termasuk klasifikasi moderat. Korelasi genetik tinggi x diameter cukup kuat untuk umur 6, 12 dan
24 bulan (rg = 0,45; rg = 0,78; rg = 0,75).

Kata kunci: A. cunninghamii, heritabilitas, kebun benih, korelasi genetik, pertumbuhan

I. PENDAHULUAN

Pemuliaan pohon merupakan salah satu upaya dalam rangka peningkatan produktifitas
hutan melalui penyediaan benih yang berkualitas/unggul. Sumbangan keberhasilan kegiatan
pemuliaan pohon akan dapat diidentifikasi bahwa pertumbuhan tanaman, kualitas produksi,
ketahanan terhadap hama dan penyakit dan adaptasi terhadap lingkungan akan menjadi lebih baik
jika dibandingkan dengan tanpa adanya kegiatan pemuliaan pohon. Sangat tepat kiranya bahwa
kegiatan pemuliaan pohon di Indonesia harus mendapatkan perhatian yang cukup serius baik
dalam perencanaan, pengelolaan maupun pelaksanaan di lapangan, karena Indonesia memiliki
potensi sumberdaya hutan alam tropis yang cukup besar. Hal ini ditunjang lagi dengan adanya
komitmen pemerintah untuk mensukseskan program pembangunan hutan tanaman industri yang
bercirkan meningkatnya produktifitas hutan tanaman tanpa meninggalkan aspek kelestarian
sumberdaya hutan dan lingkungan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 145


Pada program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dengan areal yang luas dan risiko
kegagalan yang sangat tinggi, perlu ditunjang oleh penggunaan benih unggul agar riap tanaman
per satuan luas dapat ditingkatkan. Pemilihan jenis yang akan dibudidayakan merupakan langkah
awal yang sangat penting, karena akan berpengaruh terhadap teknis pengelolaan jangka panjang
yang secara ekonomi menguntungkan. Melihat hal tersebut, maka jenis-jenis yang akan
diusahakan perlu mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jenis
yang mempunyai riap tinggi, kayunya bernilai ekonomis tinggi merupakan kriteria yang
umumnya diinginkan, salah satu jenis yang memenuhi persyaratan tersebut adalah Araucaria
cunninghamii.
A. cunninghamii dikenal sebagai jenis yang bernilai ekonomis tinggi karena hasil kayunya
sangat baik digunakan untuk bahan industri plywood, pulp, paper, kayu pertukangan dan juga
menghasilkan getah (Handro, 1986 dalam Bajai, 1986). Jenis ini adalah andalan lokal potensial
yang tumbuh dan menyebar secara alami di hutan alam tropis Papua dengan kondisi tofografi
medan yang umumnya sulit dijangkau. Keberadaan populasi alam yang dulunya berada dalam
kondisi aman dan tidak terancam punah, pada saat ini telah mulai terganggu. Untuk lebih
mengoptimalkan nilai eknomis dan melestarikan populasi dan keragaman genetik dari jenis
tersebut, perlu dilakukan tindakan pemuliaannya.
Persoalan utama yang membuat berbagai pihak ragu untuk mengembangkan
A. cunninghamii adalah karena adanya kesulitan dalam memperoleh benih untuk pembangunan
pertanamannya. Oleh karenanya, usaha untuk memperoleh benih jenis A. cunninghamii yang
dapat tersedia secara mudah, rutin dan dalam jumlah yang memadai sangat diperlukan. Selama ini
pembangunan pertanaman Araukaria di Papua kebutuhan benihnya masih bergantung pada hutan
alam, yang untuk memperolehnya memerlukan biaya yang cukup tinggi dan umumnya benih-
benih tersebut hanya dikumpulkan dari area dengan dasar genetik yang relatif sempit. Hal ini
mendorong perlunya membangun sumber benih dengan genetik unggul sehingga mampu
menyediakan benih dalam jumlah yang memadai untuk pengusahaan hutan tanaman skala
operasional.
Pada tahun 2004 sampai 2006 telah terkumpul materi genetik benih sebanyak 80 famili hasil
kerjasama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta yang
bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari telah melakukan koleksi benih
A. cuninghamii dari tegakan alam di kepulauan Papua sebayak 60 famili dari 5 provenan (Serui,
Wamena, Manokwari, Jayapura dan Fak-fak) dan mendapatkan materi genetik dari provenan
Queensland (Australia Selatan) sebanyak 20 famili. Pada tahun 2008 materi benih dari 6 provenan
tersebut digunakan untuk membangun kebun benih uji keturunan di Bondowoso, Jawa Timur.
Salah satu kegiatan operasioanal dalam melaksanakan pemuliaan pohon adalah dengan
mengupayakan terbentuknya populasi pemuliaan yang akan menjadi dasar dalam melaksanakan
kegiatan pemuliaan pohon secara umum. Di dalam kebun benih uji keturunan inilah beberapa
individu pohon terseleksi (pohon plus) dari populasi dasar (hutan alam/hutan tanaman) akan diuji
melalui serangkaian kegiatan seleksi yang dituangkan dalam bentuk strategi pemuliaan. Dalam
makalah ini akan disampaikan penelitian pemuliaan pohon A.cunninghamii sampai umur 24 bulan
pada tingkat lapang. Penelitian ini bertujuan untuk membangun populasi pemuliaan yang akan
menjadi dasar pelaksanaan pemuliaan secara umum, melaksanakan evaluasi dan analisa data dari

146 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


famili-famili yang diuji di dalam kebun benih uji keturunan untuk menentukan langkah dalam
melaksanakan tahapan strategi pemuliaan yang telah ditetapkan dalam menghasilakan benih
unggul dan melaksanakan langkah awal dalam penyiapan materi dasar pemuliaan untuk pengujian
pada generasi selanjutnya.

II. BAHAN DAN METODE

A. Koleksi Benih
Benih dikumpulkan dari pohon induk dari hutan alam di Papua. Pemilihan pohon plus
didasarkan pada fenotipenya, yang sifat fenotipik tersebut merupakan cerminan dari faktor genetik
dan lingkungan tempat tumbuhnya (Wright 1976, Zobel dan Talbert 1984). Seleksi pohon induk
didasarkan baik pada sifat kualitatif, maupun kuantitatif seperti tinggi dan diameter batang, tinggi
hingga bebas cabang, lebar tajuk, bentuk batang, resistensi terhadap serangan hama dan penyakit.
Contoh pohon plus yang berhasil ditunjuk disampaikan pada Gambar 1. Informasi detil mengenai
provenan dimana benih dikoleksi disampaikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber asal benih yang digunakan dalam uji keturunan A. cunninghamii di Bondowoso,
Jawa Timur

No. Provenan Jumlah Lokasi Garis Lintang Garis Bujur Ketinggian tempat
Famili Selatan Timur (m dpl)
1 Serui 11 Kanobon 02 o - 34 ' 135 o - 11 ' 800
2 Wamena 28 Napua 04 o - 21 ' 135 o - 11 ' 1600
3 Manokwari 12 Kebar 02 o - 59 ' 139 o - 09 ' 1200
4 Jayapura 6 Cyklop 04 o - 25 ' 140 o - 38 ' 1600
5 Queensland 16 Yarraman 26 o - 52 ' 152 o - 25 ' 1000
6 Fak-fak 7 Fak-fak 02 o - 34 ' 132 o - 31 ' 900

Gambar 1. Contoh pohon plus Araucaria cunninghamii yang diseleksi

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 147


B. Pemapanan dan Rancangan Uji
Penelitian dilakukan pada Hutan Penelitian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Secara administratif hutan penelitian tersebut terletak di
Desa Wringinanom, Kecamatan Sukosari, Kabupaten Bondowoso. Tapak uji keturunan memiliki
tipe iklim B (Scmidt dan Ferguson), 1945 dengan rerata curah hujan sebesar 2.400 mm/tahun.
Jenis tanahnya termasuk Andosol. Tapak tergolong datar dengan kelerengan rata-rata 0-10%,
terletak pada ketinggian tempat 800 m di atas permukaan laut.
Uji keturunan A. cunninghamii dibangun pada bulan Januari 2008 dari 6 sumber benih yang
terdiri dari 5 sumber benih populasi alam Papua (Fak-fak, Sorong, Serui, Wamena dan
Manokwari) sebanyak 60 famili dan 1 sumber benih dari Queensland (CSIRO) sebanyak 20
famili. Uji keturunan dirancang mengikuti rancangan acak berblok (Randomizes Completely Block
Design) dengan 6 sumber benih, 80 famili, 4 blok, 4 pohon per plot dengan jarak tanam 4 x 2 m.

C. Pengukuran dan Analisis Data


Pengukuran sifat pohon dilakukan pada semua individu pohon. Karakter yang diukur adalah
tinggi pohon dan diameter batang. Tinggi pohon total (cm) diukur mulai dari permukaan tanah
sampai titik tumbuh apikal (ujung pohon). Diameter batang (mm), yang diukur pada bagian
batang dengan menggunakan kalifer pada ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah. Data ini
kemudian dianalisis untuk mengetahui rerata pertumbuhan tanaman, keragaman sifat di antara
famili yang diuji dan nilai parameter genetik. Data hasil pengukuran dianalisis dengan
menggunakan analisis varians dan kovarians untuk mengetahui nilai parameter genetik (variasi
genetik, heritabilitas famili dan korelasi genetik). Model matematika dari analisis varians yang
digunakan adalah:
Yijk =  + Bi + Pj + F(P)k + BF(P)ik + Eijkl
di mana:
Yijk = pengamatan individu pohon ke-k dari famili ke-j dalam blok ke-i
 = nilai rerata umum
Bi = efek blok ke i
Pj = efek provenan ke j
F (P)k = efek famili di dalam provevavs ke-k
BFij = efek interaksi blok ke-i pada famili ke-j
E ijk = eror random
Analisis varians dan kuadrat rerata harapan untuk penentuan komponen varians disajikan
pada Tabel 2 di bawah ini.

148 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 2. Analisis varians dan rata-rata kuadrat harapan

Sumber varians Derajat bebas Kuadrat rerata Kuadrat rerata harapan


Blok b-1 KRB 2
e + n 2fb (P)+ nf 2b
Provenan p-1 KRP 2
e + n 2fb (P)+ nf 2(P) + 2P
Famili (Provenan) f-1 KRF 2
e + n 2fb (P) + nb 2f (P)
Famili x Blok. (P) (f-1)(b-1) KRFB 2
e + n 2fb (P)
Eror (n-1) bf RKE 2
e

Estimasi heritabilitas famili setiap sifat yang diukur dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut (Hardiyanto, 2007);
V2f
2
h f=
V2f + (V2bf) / b + (V2e) / nb
3 V2f
hi2 =
V2f + V2bf + V2e
Komponen varans famili (V2f) diasumsikan sebesar 1/3 varians genetik aditif (V2A), karena
benih dikumpulkan dari pohon induk dengan penyerbukan alami pada hutan alam di mana
sebagian benih kemungkinan hasil dari kawin kerabat (neighborhood inbreeding).
Keterangan:
h2i = nilai heritabilitas individu
h2f = nilai heritabilitas famili
V2f = komponen varians famili
V2bf = komponen varians interaksi antara blok dan famili
V2e = komponen varians error
n = rerata harmonik jumlah pohon per plot
b = rerata harmonik jumlah blok
Taksiran korelasi genetik antar karakteristik, dihitung menggunakan formula sebagai berikut
(Zobel dan Talbert, 1984):
V f xy
rg =
(V2fx . V2fy)
Sedangkan untuk menghitung besarnya komponen kovarians untuk dua sifat (x dan y),
menggunakan rumus sebagai berikut (Fins et al,. 1992):
V f xy = 0,5 (V2 f (x + y) - V2f x - V2f y)
rg = korelasi genetik
f (x y) = komponen kovarians untuk sifat x dan y
2f (x+y) = komponen varians untuk sifat x dan y
2f (x) = komponen varians famili untuk sifat x
2f (y) = komponen varians famili nuntuk sifat y

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 149


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Tanaman
Berdasarkan Gambar 1 yaitu pada tingkat lapang umur 6 bulan penampilan pertumbuhan
provenan untuk tinggi terbaik dicapai oleh provenan dari Queensland dan penampilan
pertumbuhan provenan dengan pertumbuhan terendah dicapai provenan dari Manokwari. Tetapi
pada umur 12 bulan di lapangan terlihat bahwa terjadi perubahan rangking pertumbuhan dalam
provenan yaitu penampilan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh provenan dari Manokwari dan
penampilan pertumbuhan terendah dicapai oleh provenan dari Queensland seperti terlihat pada
Gambar 2. Keragaman pertumbuhan tanaman pada tingkat lapang umur 6, 12 dan 24 bulan
disajikan pada Gambar 3.

60
53.57
49.81 49.85 49.81 50.18
Tinggi (cm) / Diameter (mm)

50 46.06

40

30

20

7.54 7.76 7.84 8.06 6.84 7.34


10

0
1. Fak-fak 2. Jay ap ura 3. Serui 4. Wamena 5. M anokwari 6. Queensland
Provenan

Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter uji keturunan A. cunninghamii umur 6 bulan
pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur

100 88.03
83.52 84.24
Tinggi (cm) / Diameter (mm)

90 83.11 82.87 81.35


80
70
60
50
40
30
20 13.63 14.3 14.27 14.15 13.34 12.72
10
0
1. Fak-fak 2. Jayapura 3. Serui 4. Wamena 5. M anokwari 6. Queensland
Provenen
Provenan

Gambar 2. Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter uji keturunan A. cunninghamii umur 12 bulan
pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur

150 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


(Umur 6 bulan) (Umur 12 bulan) (Umur 24 bulan)

Gambar 3. A. cunninghamii umur 6, 12, dan 24 bulan di Bondowoso-Jawa Timur

Untuk mengetahui rerata pertumbuhan tinggi dan diameter umur 6 bulan dan 12 bulan
diurut berdasarkan rangking disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter A. cunninghamii umur 6 dan 12 bulan pada
tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur

No. Sumber asal Umur 6 bulan Umur 12 bulan


benih T R D R T R D R
1 Serui 49,81 3 7,84 2 82,87 5 14,27 2
2 Wamena 50,18 2 8,06 1 84,24 2 14,16 3
3 Manokwari 46,06 6 6,84 6 88,03 1 13,34 5
4 Jayapura 49,85 5 7,76 3 83,52 3 14,30 1
5 Queensland 53,57 1 7,.34 5 81,35 6 12,72 6
6 Fak-fak 49,81 4 7,54 4 83,11 4 13,6 4
Rerata pertumbuhan 49,88 7,56 83,85 13,74
Keterangan: T (Tinggi/cm), D (Diameter/mm) dan R (Rangking)

Tabel 3 serta Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa rerata pertumbuhan tinggi pada
umur 6 bulan di tingkat lapang mencapai 49,88 cm dengan nilai tertinggi sebesar 53,57 cm yang
dicapai provenan dari Queensland dan nilai terendah sebesar 46,06 cm dari provenan Manokwari.
Sedangkan rerata pertumbuhan diameternya sebsar 7,56 mm, dengan nilai tertinggi diameter
sebesar 8,06 mm yang dicapai provenan dari Wamena dan nilai diameter terendah sebesar 6,84
mm dari provenan Manokwari. Pada umur 12 bulan rerata pertumbuhan tinggi sebesar 83,85 cm
dengan nilai tertinggi sebesar 88,03 cm yang dicapai provenan dari Manokwari dan nilai terendah
sebesar 81,35 cm yang dicapai provenan dari Queensland. Untuk rerata pertumbuhan diameter
pada umur 12 bulan, di lapangan sebesar 13,74 mm dengan nilai diameter terbesar 14, 30 mm
yang dicapai provenan dari Jayapura dan nilai diameter terendah sebesar 12,72 mm yang dicapai
provenan dari Queensland.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 151


Dari hasil analisis varian untuk sifat tinggi dan diameter batang, sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 4 di bawah ini, keragaman sifat tinggi dan diameter di antara sumber benih yang diuji
sangat berbeda nyata. Informasi ini menunjukkan bahwa variasi sumber benih telah berkontribusi
pada pertumbuhan tinggi dan diameter A. cunninghamii. Di samping itu, bila dilihat dari
provenani terbaik dari lokasi yang berbeda juga menunjukkan hasil yang berbeda pula meskipun
material benih yang digunakan adalah sama. Menurut Zobel dan Talbert (1984), perbedaan
tersebut dapat terjadi karena penampilan suatu pohon (phenotype) dipengaruhi oleh potensi
genetik dan kualitas lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh.
Hasil analisis varians famili untuk karakter tinggi dan diameter A. cunninghamii umur 6, 12,
dan 24 bulan di Bondowoso selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis varian dan nilai heritabilitas famili (h 2f) uji keturunan A. cunninghamii umur 6,
12 dan 24 bulan pada tingkat lapang di Bondowoso-Jawa Timur

db Kuadrat tengah
Sumber keragaman
Tinggi Diameter
Umur 6 bulan
Blok 3 2628,068** 29,689**
Provenan 5 881,821** 35,321**
Famili (Provenan) 82 303,692** 3,515**
Blok x Fam (Provenan) 230 101,733** 1,543**
Error 959 77,788 1,136
Umur 12 bulan
Blok 3 12578,659** 108,049**
Provenan 5 1368,889** 66,773**
Famili (Provenan) 82 632,044** 10,851**
Blok x Fam (Provenan) 230 279,147** 4,884**
Error 959 220,025 4,240
Umur 24 bulan
Blok 3 64086.6212** 1035.238422**
Provenan 5 4111.9809** 433.926526**
Famili (Provenan) 82 2230.1741** 112.361133**
Blok x Fam (Provenan) 230 1100.7361** 41.505599*
Error 959 752.853 32.91372
Keterangan: ** = signifikan pada taraf uji 1%, * = signifikan pada taraf uji 5%

Berdasarkan hasil analisis varians di atas (Tabel 4) menunjukkan bahwa perbedaan blok,
provenan dan famili adalah sangat berbeda nyata untuk sifat tinggi dan diameter tanaman di kebun
benih uji keturunan A. cunninghamii sampai dengan umur 24 bulan di Bondowoso. Hal ini
menunjukkan bahwa dari awal pertumbuhan pada saat umur 6, 12 dan sampai umur 24 bulan
terlihat keragaman famili dalam provenan sangat berbeda nyata. Dengan demikian berarti bahwa
keragaman yang tinggi untuk sifat-sifat tersebut disebabkan oleh sifat genetik A. cunninghamii

152 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


pada perbedaan provenani. Hal ini disebabkan kemungkinan oleh adanya perbedaan tempat
tumbuh asal benih tersebut seperti; tinggi tempat, letak geografis dan suhu udara yang
berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tersebut. Perbedaan yang
signifikan untuk karakter tinggi dan diameter diantara famili yang diuji sangat penting artinya
bagi program pemuliaan A. cunninghamii di uji keturunan ini dimasa yang akan datang.
Hal menarik lain yang dapat diungkap dari penelitian awal ini adalah belum adanya jaminan
bahwa tidak semua benih dari famili yang dikoleksi dari Papua yang memiliki ketinggian tempat
relatif sama dengan tempat uji ini dibangun akan memberikan pertumbuhan yang terbaik. Untuk
pertanaman uji keturunan ini pada umur 6 bulan provenan Queensland menunjukkan penampilan
pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena, Serui, Fak-fak, Jayapura dan
Manokwari. Tetapi terjadi perubahan rangking pada umur 12 bulan provenan dari Manokwari
menujukkan penampilan pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena,
Jayapura, Fak-fak, Serui dan Queensland. Terjadinya perubahan rangking tersebut, dikarenakan di
dalam suatu pohon terdapat variasi geografis (antar provenan) sehingga kemampuan beradaptasi
setiap provenan pada kondisi lingkungan yang berbeda tidak tidak selalu sama (Zobel dan Talber,
1984). Dengan adanya perubahan rangking pertumbuhan pada provenan yang diuji maka untuk
tujuan penanaman komersial yang efisien, uji asal sumber benih yang tepat sangat diperlukan.

B. Heritabilitas dan Korelasi Genetik


Suatu fenotipe sering digambarkan sebagai produk ekspresi kinerja gen-gen yang menyusun
genotipe suatu individu pada lingkungan tertentu pada lingkungan tertentu. Uji genetik merupakan
salah satu upaya mengidentifikasi kinerja gen-gen dari individu yang sudah diketahui fenotipenya
(Zobel and Talbert, 1984). Melalui uji genetik, individu-individu yang berfenotipe unggul
dikumpulkan pada suatu tapak yang seragam, sehingga kalau ada perbedaan fenotip yang muncul
diantara individu-individu tersebut maka diduga kuat karena muatan genetik yang berbeda. Untuk
mengetahui proporsi faktor genetik yang diturunkan dari induk kepada keturunannya, maka
dilakukan penaksiran nilai heritabilitas, sedangkan untuk melihat keeratan hubungan genetik
diantara dua sifat yang diukur dilakukan perhitungan korelasi antar sifat seperti disajikan pada
Tabel 5.
Hasil penaksiran nilai heritabilitas untuk tinggi pohon umur 6 bulan sebesar 0,68, umur 12
bulan sebesar 0,58 dan umur 24 bulan sebesar 0,52. Pada umur 6 bulan nilai heritabilitas diameter
pohon sebesar 0,57, umur 12 bulan sebesar 0,55 dan umur 24 bulan sebesar 0,64. Berdasarkan
pada klasifikasi Cotterill dan Dean (1990) maka nilai heritabilitas famili untuk tinggi dan diameter
pada umur 6, 12 dan 24 bulan termasuk klasifikasi sedang/moderat. Hal ini mengidikasikan
bahwa variasi pertumbuhan sifat tinggi dan diameter cukup kuat dipengaruhi faktor genetik selain
oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas ini kemungkinan bisa berubah sejalan dengan
penambahan umur pohon, tempat dan pola pertanaman yang berbeda (Wright, 1976). Informasi
mengenai parameter genetik, khususnya heritabilitas pada A.cunninghamii masih sangat terbatas,
dengan demikian informasi mengenai heritabilitas dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan seleksi dan program pemuliaan spesies ini. Untuk melihat keeratan hubungan
genetik diantara dua sifat pertumbuhan tanaman Araukaria di Kebun benih semai uji keturunan di
Bondowoso ini maka dilakukan perhitungan korelasi antar sifat. Hasil analisa data menunjukkan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 153


bahwa korelasi sifat tinggi dan diameter cukup kuat pada umur 6, 12 dan 24 bulan mencapai (rg =
0,45; rg = 0,78; rg = 0,75), sehingga perbaikan satu sifat itu akan secara langsung memperbaiki
sifat lainnya.

Tabel 5. Estimasi heritabilitas famili, individu dan Korelasi Genetik dari karakter pohon A.
cunninghamii umur 6, 12 dan 24 bulan di Bondowoso, Jawa Timur

Heritabilitas Korelasi genetik


Karakter yang diukur
Famili Individu Tinggi Diameter
Umur 6 bulan
Tinggi 0,68 0,43 - 0,45
Diameter 0,57 0,30 -
Umur 12 bulan
Tinggi 0,58 0,28 - 0,78
Diameter 0,55 0,30 -
Umur 24 bulan
Tinggi 0,52 0,25 - 0,75
Diameter 0,64 0,36

IV. KESIMPULAN

1. Persen hidup rata-rata famili-famili A.cunninghamii sampai umur 24 bulan secara umum baik.
2. Variasi pertumbuhan tinggi dan diameter dipengaruhi oleh faktor keragaman sumber
benih/provenan dan famili yang diuji.
3. Provenan terbaik pada umur 6 bulan ditunjukkan oleh provenan Queensland, diikuti oleh
provenan Wamena, Serui, Fak-fak, Jayapura dan Manokwari. Tetapi terjadi perubahan
rangking pada umur 12 bulan provenan dari Manokwari menujukkan penampilan
pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena, Jayapura, Fak-fak, Serui
dan Queensland.
4. Nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter tanaman termasuk klasifikasi sedang, hal ini
memberi indikasi bahwa keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter itu dipengaruhi oleh
faktor genetik selain oleh faktor lingkungan.
5. Korelasi sifat tinggi dan diameter cukup kuat, sehingga perbaikan satu sifat itu akan secara
langsung memperbaiki sifat lainnya.

154 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr. A.Y.P.B.C.
Widyatmoko sebagai koordinator penelitian jenis A. cunninghamii yang mengarahkan penulisan
dan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada peneliti dan teknisi team
penelitian A. cunninghamii yang telah membantu dalam pembangunan kebun benih tersebut, serta
pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Bajaj. 1986. Biotechnology in Agriculture and Forestry Trees I. Springer-Verlag. Berlin


Heidelberg New York. Tokyo. p. 310-311.
Buitjtenen, J.P.V. and J.L. Yeiser. 1989. Exercise in Quantitative Genetic of Forest Trees. Forest
Genetic Laboratory. Texas A&M University.
Cotteril, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Succesfull Tree Breeding with Index Selection. CSIRO.
Melbourne.
Dirdjosoemarto, S. 1991. Penerapan nilai potensi pertumbuhan akar sebagai tolak ukur mutu bibit
beberapa tanaman hutan industri.
Hardiyanto, E.B. 2007. Penaksiran heritabilitas dan perolehan genetik. Handout Mata Kuliah
Pemuliaan Pohon II. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan
Biometrik). PT. Gramedia Pustaka Utama. Edisi Kedua. Jakarta.
Schmidt, F.A. and J.H.A. Ferguson . 1951. Rainfalls Types Based on Wet and Dry Period Ratio
for Indonesia and Western New Guinea Verth. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika
Jakarta.
Wright, J.W. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press. New York.
Zobel, B. and J. Talbert. 1984. Applied Tree Improvement . John Wiley & Sons, Inc. 505 p.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 155


PEMBUATAN PULP RAMAH LINGKUNGAN DARI LIMBAH
AGROINDUSTRI SAWIT

Oleh:
Zulfansyah , Hari Rionaldo1 dan Nur Asma Deli 2
1*

1
Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, Pekanbaru
Kampus Binawidya Jalan H.R. Subrantas Km. 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru 28293
*
E-mail: zulfansyah@unri.ac.id
2
Program Studi Teknologi Pengolahan Sawit Politeknik Kampar, Bangkinang
Jalan Tengku Muhammad Bangkinang Km. 2 Batu Belah, Riau 28461

ABSTRAK

Peningkatan komsumsi pulp dan kertas tidak hanya mengakibatkan perlunya ketersediaan
bahan baku yang lebih, tetapi juga memerlukan pengembangan proses-proses baru dalam
pembuatan pulp yang dapat meningkatkan produksi pulp dan lebih ramah lingkungan. Bahan
bukan kayu (non-wood), seperti limbah agroindustri sawit, merupakan bahan baku alternatif yang
layak diperhitungkan sebagai sumber selulosa untuk pembuatan pulp dan kertas dengan kualitas
yang memenuhi standar. Makalah ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian pembuatan
pulp dengan bahan baku limbah agroindustri sawit menggunakan pelarut organik asam formiat
dan asetat. Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) sangat menarik untuk
dikembangkan, karena lebih ramah lingkungan dibanding proses pembuatan pulp konvensional
(kraft dan soda). Selain itu, proses organosolv juga dapat memanfaatkan keseluruhan komponen
utama biomassa menjadi sumber bahan baku produk yang bernilai jual. Sehingga upaya
penerapan teknologi hijau bagi industri pulp dan kertas menjadi lebih mungkin pelaksanaannya.
Pelarut organik yang digunakan, kondisi proses pembuatan pulp, seperti konsentrasi asam
organik, suhu dan waktu pemasakan, nisbah cairan terhadap biomassa, jenis dan konsentrasi
katalis yang digunakan, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pulp yang
dihasilkan dari proses organosolv.

Kata kunci: Asam organik, limbah sawit, non-wood, organosolv pulping

I. PENDAHULUAN

Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri yang sangat berperan dalam memacu
roda perekonomian Indonesia. Kebutuhan pulp diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya,
seiiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kebutuhan pulp dunia
mencapai 20% setiap tahunnya (Gracia et al., 2008), sedangkan di Indonesia rata-rata sebesar 5%
pertahun (Pattinasarany, 2010). Namum demikian, perkembangan industri pulp di Indonesia
masih menemui beberapa kendala, seperti ketersediaan bahan baku. Hal ini dikarenakan pasokan
kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) belum sepenuhnya dapat menggantikan bahan baku dari
hutan alam (Pattinasarany, 2010). Selain itu, perkembangan teknologi proses pembuatan pulp juga
diharuskan untuk mampu menyelesaikan beberapa persoalan yang berhubungan dengan dampak
lingkungan. Bahan baku alternatif, seperti dari bahan non-wood, serta teknologi proses pembuatan
pulp yang ramah lingkungan, mulai dari proses pemasakan sampai proses pemucatan pulp, akan
menjadi suatu upaya dalam mendorong berkembangnya industri pulp dan kelestarian lingkungan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 157


Limbah padat agroindustri sawit, seperti tandan kosong dan pelepah, sangat berpotensi
untuk dijadikan bahan baku alternatif pada industri pulp. Selain ketersediannya yang melimpah,
selama ini limbah padat agroindustri sawit tersebut belum tertanggulangi secara maksimal.
Tandan kosong (TKS) dikeluarkan sebagai limbah pada proses ekstraksi minyak dari pengolahan
tandan buah segar (TBS) untuk mendapatkan crude palm oil (CPO). Sedangkan pelepah sawit
merupakan limbah yang berasal dari perkebunan sawit, sebagai hasil samping panen TBS.
Sebagai bahan berlignoselulosa, baik TKS maupun pelepah, dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan pulp. Setiap 1 ton pengolahan tandan buah segar (TBS) akan mengeluarkan TKS
sebanyak 200-250 kg. Kemudian, setiap 1 hektar perkebunan sawit diperkirakan bisa
menghasilkan 10,5 ton pelepah pertahun (Budiman et al., 1985). Beberapa kajian telah
membuktikan bahwa TKS dan pelepah dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp
kertas maupun bahan kimia turunan selulosa, baik dengan proses konvensional (kraft dan sulfit)
maupun dengan proses alternatif, termasuk proses organosolv yang ramah lingkungan
(Zulfansyah, 2000; Azman et al., 2002; Wanrosli et al., 2004; Wanrosli et al., 2007; Alriols et
al., 2009; Fermi et al., 2010; Zulfansyah et al., 2010; Wanrosli and Law, 2011; Wanrosli et al.,
2011). Selain itu, limbah padat agroindustri sawit juga dapat digunakan sebagai sumber energi
(Husain et al., 2003), maupun pembuatan material komposit (Rozman et al., 2004).
Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) merupakan salah satu proses
alternatif dalam pembuatan pulp, yang ramah lingkungan. Proses organosolv menggunakan
campuran air dan pelarut organik sebagai media penyisihan lignin (delignifikasi), yang dapat
diambil kembali (recovery) secara distilasi setelah proses selesai. Selain itu, secara keseluruhan
proses organosolv tidak menggunakan senyawa sulfur, dan produk samping yang terdapat pada
black liquor dapat dengan mudah dipisahkan, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan
keseluruhan komponen utama penyusun biomassa (Alriols et al., 2009). Berbagai pelarut organik
telah dicobakan sebagai media delignifikasi biomassa, baik kayu maupun non-wood, yang
meliputi alkohol, asam, amina, keton, ester dan fenol. Kualitas pulp yang dihasilkan proses
organosolv juga cukup berimbang dengan pulp yang dihasilkan proses konvensional, serta dapat
digunakan sebagai bahan baku kertas maupun bahan kimia turunan selulosa (Johansson et al.,
1987). Hasil-hasil kajian menunjukkan bahwa proses organosolv dapat digunakan untuk
menghasilkan pulp dan kertas dengan proses yang ramah lingkungan.
Asam asetat dan formiat merupakan asam organik yang banyak digunakan dan
dikembangkan pemakaiannya sebagai pelarut organik dalam pembuatan pulp. Pembuatan pulp
dengan pelarut asam asetat tanpa katalis dikenal dengan prosesacetocell dan yang menggunakan
katalis disebut dengan proses acetosolv (Parajo et al., 1993; Pan dan Sano, 2005). Proses
pembuatan pulp organosolv berbasis asam formiat diantara proses formasolv dan milox. Proses
formasolv menggunakan katalis asam mineral, sedangkan proses milox dengan katalis hidrogen
peroksida (Seisto dan Poppius-Levlin, 1997). Selain itu, penggunaan pelarut organik asam asetat
dengan tambahan asam formiat yang lebih sedikit dikenal dengan proses formacell (Saake et al.,
1995). Keunggulan utama kedua pelarut organik ini dibanding pelarut organik lainnya sebagai
media delignifikasi adalah proses pembuatan pulp dapat dilakukan pada suhu didih normal pelarut
dan tekanan atmosfer (Pan dan Sano, 2005; Jahan et al., 2007). Selain itu, adanya sejumlah kecil
katalis yang ditambahkan pada pelarut asam asetat maupun asam formiat, akan meningkatkan

158 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


selektifitas proses pembuatan pulp, sehingga menghasilkan pulp yang kaya selulosa (Parajo et al.,
1993; Ligero et al., 2008; Villaverde et al., 2010).
Makalah ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian pembuatan pulp dari TKS dan
pelepah dengan pelarut organik asam asetat dan formiat, sebagai upaya penanggulangan limbah
padat agroindustri sawit. Pengaruh kondisi proses terhadap kualitas pulp, teruatama yield dan
kadar lignin menjadi perhatian utama, selain itu dipelajari juga beberapa informasi penting
lainnya, seperti prilaku delignifikasi biomassa limbah dalam media asam asetat dan formiat.
Sehingga penggunaan proses yang ramah lingkungan mungkin dapat dikembangankan dalam
pembuatan pulp berbahan baku limbah agroindustri.

II. PROSES PEMBUATAN PULP

Proses pembuatan pulp merupakan proses pengubahan bahan berlignoselulosa mejadi


bentuk serat, dengan pemutusan ikatan-ikatan struktur pembentuk komponen biomassa. Secara
umum, proses pembuatan pulp komersil dapat diklasifikasikan menjadi proses mekanis, semi-
kimia dan proses kimia. Proses mekanis mengubah bahan baku menjadi pulp secara mekanis,
tanpa menggunakan bahan kimia. Pembuatan pulp proses mekanis tidak menghilangkan lignin,
sehingga yield proses mencapai 98%. Kadar lignin pulp mekanis masih tinggi dan mengakibatkan
warna pulp kecokelatan dan sedikit kaku (Biermann, 1996). Umumnya proses pembuatan pulp
mekanis digunakan untuk membuat kertas koran dan kertas pembungkus. Pembuatan pulp dengan
proses kimia adalah proses yang menggunakan bahan kimia berbasis alkali atau asam, dengan
yield proses berkisar antara 40 - 45%. Proses pembuatan pulp dengan berbasis alkali yang banyak
digunakan adalah proses kraft, sedangkan proses yang berbasis asam adalah proses sulfit
(Wegener, 1992), skema proses kraft dan sulfit diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2. Sebagian
besar industri pulp di dunia menggunakan proses kraft, karena pulp yang dihasilkan memiliki
kekuatan lebih tinggi dibanding proses lainnya. Sebaliknya, proses sulfit kurang banyak
digunakan karena sifat fisik pulp relatif kurang baik dibanding pulp kraft. Kelemahan utama
proses kimia (kraft dan sulfit) adalah kurang ramah lingkungan, karena menggunakan larutan
pemasak yang memiliki unsur belerang. Kemudian, proses semi mekanis adalah proses
pembuatan pulp dengan kombinasi mekanis dan penggunaan bahan kimia. Bahan kimia yang
digunakan dalam proses semi kimia tidak banyak, hanya untuk mendegradasi sedikit lignin dan
melunakkan biomassa. Sehingga serat lebih mudah diperoleh dengan kerja mekanis dan yield
proses berkisar antara 50-80% (Biermann, 1996).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 159


Gambar 1. Skema proses kraft

Gambar 2. Skema proses sulfit

III. LIMBAH SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI PULP

Agroindustri sawit berkembang sangat pesat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.
Sampai tahun 2009, luas perkebuan sawit telah melebihi 7,5 juta hektar dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 4,7% pertahun. Kemudian, total jumlah pabrik CPO di Indonesia sebanyak
680 unit, dengan kapasitas terpasang 34.280 ton TBS/jam, telah mampu menghasilkan produk
CPO sekitar 19,8 juta ton (Hambali et al., 2010). Namun demikian, perkembangan agroindustri

160 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


tersebut tidak diikuti dengan kemampuan penanggulangan limbahnya, sehingga dikhawatirkan
akan mengganggu keberlanjutan perkembangannya saat ini. Aktivitas agroindustri sawit
mengeluarkan limbah padat yang cukup banyak sepanjang tahun. Seperti, TKS, sabut dan batok
yang dikeluarkan saat produksi CPO di pabrik berlangsung. Selain itu, pada lahan perkebunan
dihasilkan pelepah pada saat panen TBS, dan batang sawit serta pelepah ketika peremajaan pohon
sawit yang telah mencapai usia 25 tahun. Jumlah limbah padat tersebut dikeluarkan pabrik CPO
per ton produksi CPO adalah 1,1 ton TKS, 0,68 ton sabut, dan 0,38 ton cangkang (Lubis et al.,
1994). Sedangkan jumlah pelepah yang dihasilkan ketika panen mencapai 10 ton per hektar kebun
sawit, dan sebanyak 70 ton batang sawit serta 16 ton pelepah akan dihasilkan per hektar luas
kebun peremajaan.
Selama ini penanggulangan limbah padat agroindustri sawit masih sangat terbatas, kecuali
sabut dan cangkang yang digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik CPO. Tandan kosong
umumnya ditanggulangi dengan cara membakarnya di incenerator, dan memanfaatkan abunya
sebagai pupuk kalium. Sedangkan pelepah dan batang hasil peremajaan, biasanya dibiarkan
membusuk di lahan perkebunan. Cara lain yang mulai dikembangkan juga masih terbatas pada
TKS, dengan menjadikannya mulsa di lahan perkebunan. Upaya penanggulaan tersebut belum
tepat, selain berdampak buruk bagi lingkungan, juga tidak memberikan nilai ekonomis bagi
agroindustri sawit. Sebenarnya, limbah padat TKS dan pelepah dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan pulp dan kertas, karena komposisi utama pada limbah padat tersebut adalah
selulosa. Selain itu, kualitas lignoselulosa TKS dan pelepah cukup berimbang dengan bahan
lignoselulosa lainnya, seperti yang diperlihatkan Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia bahan berlignoselulosa

Selulosa Hemiselulosa Lignin


Lignoselulosa
(%-berat) (%-berat) (%-berat)
Tandan kosong (TKS) 36 42 25 27 16 18
Pelepah sawit 37 45 23 25 15 20
Batang sawit 29,2 45,8 16,1 26,4 18,8 22,6
Sabut sawit 34,3 27,2 31,9
Sabut kelapa 30,6 19,9 38,9
Batang jagung 20 25 31 38 21 25
Ampas tebu 32 44 27 32 19 24
Jerami padi 28 36 23 28 12 16
Bambu 26 43 15 26 21 31
Kayu lunak (soft wood) 40 45 7 14 26 34
Kayu keras (hard wood) 38 49 19 26 23 30
Sumber: Zulfansyah (2000); Wanrosli dan Law (2011)

Upaya pemanfaatan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pulp sangatlah tepat. Selain dapat
memenuhi kebutuhan pulp dan kertas yang terus meningkat, pemanfaatkan TKS dan pelepah
sebagai bahan baku pulp dan kertas juga mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi
agroindustri sawit, sekaligus meningkatkan program pelestarian lingkungan. TKS dan pelepah

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 161


merupakan biomassa limbah yang sangat berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku industri
kimia dan energi, karena ketersediaannya sepanjang tahun. Pengumpulan TKS relatif lebih
mudah, karena telah tersedia di pabrik CPO, dibanding pelepah yang harus dikutip dari lahan
perkebunan yang mungkin tersebar di beberapa lokasi. Berdasarkan data luas kebun dan produksi
CPO di Indonesia pada tahun 2009, maka diperkiraan potensi biomassa TKS dan pelepah sebagai
bahan baku industri maupun energi, masing-masing adalah sebanyak 21,78 juta ton dan 75 juta
ton. Selanjutnya, jika hanya 10% dari potensi biomassa TKS dan pelepah dapat dikonversi
menjadi pulp, akan dihasilkan pulp sebanyak 9,6 juta ton, dan jumlah ini melebihi jumlah
produksi pulp Indonesia pada tahun 2009 yaitu sebanyak 6,5 juta ton (Pattinasarany, 2010).
Namum demikian, pemanfaatan TKS dan pelepah sebaiknya tidak menggunakan proses
pengolahan yang tidak ramah lingkungan karena hanya akan merubah limbah agroindustri sawit
menjadi limbah lain yang mungkin lebih sulit ditanggulangi dan berbahaya.

IV. PEMBUATAN PULP DARI LI MBAH SAWIT DENGAN PELARUT ORGANIK

Pembuatan pulp dengan pelarut organik akan sangat menarik untuk dikembangkan
prosesnya jika menggunakan bahan baku TKS dan pelepah sawit. Selain menjadi solusi bagi
penanggulangan limbah padat agroindustri sawit, proses organosolv juga diyakini mampu
mewujudkan produksi bersih pada industri pulp (Villaverde et al., 2010). Proses organosolv
dilangsungkan dengan menerapkan konsep fraksionasi biomassa, dengan memilah biomassa
menjadi komponen utama penyusunnya yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, dan tanpa banyak
merusak ataupun mengubahnya. Selanjutnya, hasil pemilahan tersebut dapat diolah dengan
berbagai proses menjadi produk yang dapat dipasarkan, dan konsep ini dikenal dengan
biomassrefinery (Myerly et al., 1981). Prinsip pengolahan proses organosolv adalah berdasarkan
perbedaan sifat kimia fisik komponen utama penyusun biomassa, perbedaan sifat-sifat tersebut
disajikan dalam Tabel 2, dan secara sederhana skema proses organosolv ditampilkan pada
Gambar 2.

Tabel 2. Perbandingan sifat kimia fisik komponen utama biomassa

Selulosa Hemiselulosa Lignin


Tidak larut dalam air Sedikit larut dalam air Tidak larut dalam air
Larut dan terhidrolisis dalam Larut dan terhidrolisis dalam Tidak larut dalam asam
beberapa asam mineral pekat. asam mineral encer mineral
Tidak larut dalam asam Larut dan terhidrolisis dalam Larut secara parsial dalam
organik asam organik asam organik pekat
Tidak larut dalam alkali Larut dalam alkali hidroksida Larut dalam alkali hidroksida
hidroksida encer encer

162 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Gambar 2. Skema sederhana proses organosolv

Tandan kosong dan pelepah sawit merupakan biomassa non-wood, sehingga sangat sesuai
jika diolah dengan proses organosolv untuk menghasilkan produk pulp. Umumnya, bahan baku
pulp non-wood diolah secara semi kimia berbasis alkali. Adanya senyawa silika pada sebagian
besar bahan non-wood dan densiti bahan yang relatif lebih rendah dibanding kayu, menyebabkan
sulitnya pengolahan bahan non-wood dengan proses Kraft (Rousu et al., 2002). Sehingga
penggunaan asam asetat dan formiat sebagai media penyisihan lignin dalam pembuatan pulp dari
TKS dan pelepah lebih tepat dibanding proses konvensional. Selengkapnya beberapa keunggulan
proses organosolv dibanding proses pembuatan pulp konvensional (kraft) ditabulasikan dalam
Tabel 3. Walaupun demikian, proses organosolv masih memiliki kekurangan yaitu sulitnya
mengambil kembali seluruh pelarut organik yang diumpankan ke dalam sistem proses organosolv.
Beberapa pelarut organik membentuk sistem azeotrop dengan air, sehingga membutuhkan unit
operasi yang lebih rumit.
Pengunaan pelarut organik dalam pembuatan pulp dari limbah agroindustri sawit telah
dilakukan sebagai upaya penanggulangan TKS dan pelepah, seperti yang diperlihatkan dalam
Tabel 4. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa, baik TKS maupun pelepah dapat diproses
oleh pelarut organik menjadi pulp dengan kualitas yang beragam, tergantung kondisi operasi. TKS
dapat dijadikan bahan baku pulp dengan pelarut asam asetat (Zulfansyah dan Susanto, 1998;
Zulfansyah, 2000), asam formiat (Azman et al., 2002; Fermi et al., 2010; Mariana et al., 2010;
Ferrer et al., 2011), dan beberapa asam organik bertitik didih tinggi seperti etilen glikol
(Rodriquez et al., 2007; Arliols et al., 2009), dietilen glikol, etanol amin, dietanol amin
(Rodriquez et al., 2008). Sedangkan pelepah dapat dijadikan bahan baku pulp dengan
menggunakan pelarut asam formiat (Deli et al., 2005; Zulfansyah et al., 2010; Wanrosli et al.,
2011). Kualitas pulp berbahan baku TKS dan pelepah dipengaruhi kondisi operasi pembuatan
pulp, seperti konsentrasi asam organik, lama pemasakan, jenis dan konsentrasi katalis, suhu
pemasakan, dan nisbah cairan terhadap biomassa (C/B). Pemasakan TKS dan pelepah dalam
media asam asetat dan formiat dapat dilakukan dengan proses tahap tunggal, baik delignifikasi
maupun hidrolisis hemiselulosa berlangsung secara serempak.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 163


Tabel 3. Keunggulan proses organosolv dibanding proses konvensional (Kraft)

Keunggulan Alasan Konsekwensi


Rendah nilai investasi Biaya sistem recovery pelarut murah, Ekonomis pada skala yang
tidak ada recoveryboiler, lime kiln dan lebih kecil
caustisizer
Ramah lingkungan Tidak menggunakan sulfur atau Investasi pemantauan
hidroksida, ceceran dan emisi hanya kualitas lingkungan rendah,
alkohol yang mampu terdegradasi dan masyarkat lebih
secara alami menerima
Untung lebih banyak Pembuatan pulp dapat berlangsung Sangat mungkin dilakukan
dengan jumlah bahan baku secara simultan dengan by-product pada skala mini.
yang sama
Diversifikasi produk yang By product dapat dijual pada pasar Menjadi proteksi untuk
dipasarkan yang tidak harus sama dengan siklus gejolak pasaran pulp
penjualan pulp.
By product dihasilkan dari By product sama atau sesuai dengan Mendukung pengurangan
sumber bahan terbarukan produk-produk karbon fosil. gas greenhouse
Kehadiran senyawa tidak Siliki dapat terpisah dari cairan Mengeliminasi masalah
tidak menjadi kendala pemasak dengan distilasi operasi untuk penggunaan
operasi bahan non-wood.
Sumber: Pye dan Katzen (2011)

Tabel 4. Pembuatan pulp berbahan baku TKS dan pelepah sawit menggunakan pelarut organik
asam asetat dan formiat

No. Pelarut organik Bahan baku Kondisi operasi Yield, % Lignin Peneliti
1. Asam asetat TKS Asetat= 70, 90% Zulfansyahdan
(Acetosolv) C/P = 8/1,10/1,12/1 Susanto
t = 3 jam 40-50 4-7% (1998)
[HCl] = 1%
T = 120oC
2. Asam asetat TKS Asetat= 70% Zulfansyah
(Acetosolv) C/P = 10/1 (2000)
t = 1-4 jam 32-72 0,5-13%
[HCl] = 0-2%
T = 120-160oC
3. Asam formiat TKS Formiat = 85% Azman et al.
(milox 2 tahap) t tahap 2 = 2 jam (2002)
t tahap 1 = 1-3 jam
32,8-42,3 1,4-6,4%
C/P = 8/1 dan 10/1
H2O2 = 1,3,5%
T = 107oC
4. Asam formiat TKS Formiat = 70,80,90% Fermi et al.
(milox 1 tahap) t = 1,2,3 jam (2010)
Kappa No
C/P =8/1,10/1,12/1 35,9-39,7
3,5-28,9
H2O2 = 5%
T = 107oC

164 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 4. (Lanjutan)

No. Pelarut organik Bahan baku Kondisi operasi Yield, % Lignin Peneliti
5. Asam formiat TKS Formiat = 70-90% Mariana et al.
(milox 1 tahap) T = 5-240 menit (2010)
C/P =10/1 35-63 8-13,5%
H2O2 = 5%
T = 107oC
6. Asam formiat TKS Formiat = 80-95% Ferrer et al.
(milox 2 tahap) C/P = 10/1 (2011)
Kappa No
t = 1-3 jam 41,7-56,5
7-31,6
H2O2 = 2-4%
T = 107oC
7. Asam formiat Pelepah Formiat = 70,80,90% Deli et al.
(milox 1 tahap) C/P = 8/1,9/1,10/1 (2005)
Kappa No
t = 1,2,3 jam 23,8-38,4
9,5-30
H2O2 = 5%
T = 107oC
8. Asam formiat Pelepah Formiat = 65,75,85% Zulfansyah et
(milox 1 tahap) C/P = 10/1 al. (2010)
t = 1,2,3 jam 33,1-50,7 9,4-13,1%
H2O2 = 1,3,5%
T = 107oC
9. Asam asetat Pelepah Asetat = 65-95% Wanrosli et al.
(Acetosolv) C/P =10/1 (2011)
t = 2 jam - 13-16
HCl = 0-1%
T = 110-170 oC

Secara umum kualitas pulp yang dihasilkan dari TKS dan pelepahdengan pelarut asam
asetat dan formiat memenuhi persyaratan kualitas pulp untuk kertas, baik sebagai kertas cetak
maupun kertas pembungkus. Pulp TKS yang dihasilkan dari pemasakan dengan pelarut asam
asetat kualitasnya cukup berimbang jika dibandingkan dengan pulp pelepah sawit yang dimasak
dengan pelarut organik yang sama, dan dengan pulp TKS yang dimasak dengan pelarut organik
asam formiat menggunakan proses 2 tahap. Tetapi, pulp TKS yang dimasak dengan pelarut
organik asam asetat kualitasnya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pulp pelepah sawit
yang dimasak dengan pelarut organik asam formiat menggunakan proses tahap tunggal. Selain itu,
pulp TKS yang dihasilkan dari pemasakan dalam media asam asetat juga memenuhi standar pulp
kimia, dengan kadar lignin <1%, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produk berbasis
selulosa (Zulfansyah, 2000). Penambahan tahap pada pemasakan TKS dengan pelarut asam
formiat dapat memperbaiki kualitas pulp menjadi lebih baik, jika dilihat dari kadar lignin pulp
(Azman et al., 2002; Ferrer et al., 2011).
Pembuatan pulp TKS dan pelepah sawit dengan pelarut organik asam asetat dan formiat
dapat dilakukan dengan konsentrasi asam berkisar antara 65 - 95%-berat, baik untuk asam asetat
maupun formiat. Penggunaan konsentrasi asam asetat 70 - 75% dalam pemasakan TKS dan
pelepah ternyata memberikan pulp dengan kualitas yang terbaik, yield memadai dan kadar lignin
pulp terendah. Sedangkan pada penggunaan asam formiat untuk pemasakan TKS dan pelepah,
pulp dengan kualitas terbaik diperoleh dengan konsentrasi asam 85 - 90%. Pelarut organik asam

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 165


asetat lebih selektif dibanding asam formiat pada reaksi delignifikasi TKS, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 4. Pengunaan konsentrasi asam organik yang lebih pekat pada proses
organosolv dapat mempercepat reaksi delignifikasi, sehingga kadar lignin pulp menjadi sedikit.
Peningkatan konsentrasi asam dalam larutan pemasak juga dapat menyebabkan selulosa
terdegradasi dan menurunkan selektivitas reaksi delignifikasi. Namun demikian, pekatnya asam
organik yang digunakan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan selektivitas turun. Faktor
lain seperti nisbah cairan terhadap biomassa, konsentrasi katalis dan lamanya pemasakan juga
dapat menurunkan selektivitas delignifikasi.

Gambar 4. Yield vs kadar lignin pada pemasakan TKS dengan proses organosolv (pelarut asam
asetat, asam formiat 1 tahap, asam formiat 2 tahap)

Nisbah cairan terhadap biomassa yang digunakan pada pemasakan TKS dan pelepah dengan
pelarut organik asam asetat dan formiat berkisar antara 8/1 - 12/1. Pemasakan menggunakan
pelarut organik asam asetat dengan nisbah yang besar (12/1) menghasilkan kualitas pulp yang
lebih baik dibandingkan dengan penggunaan nisbah yang lebih kecil. Sebaliknya, pemasakan
dengan pelarut asam formiat penggunaan nisbah yang kecil 8/1 menghasilkan pulp dengan
kualitas yang lebih baik dibandingkan penggunaan nisbah yang lebih besar. Penggunaan pelarut
oganik asam formiat dalam pembuatan pulp TKS dan pelepah lebih ekonomis dibanding asam
asetat, jika melihat perbandingan nisbah cairan terhadap biomassa yang dapat menghasilkan pulp
dengan kualitas terbaik. Perbandingan cairan yang lebih sedikit menyebabkan kapasitas
pemasakan biomassa yang lebih banyak. Sebagai perbandingan proses konvensional biasanya
menggunakan nisbah cairan terhadap biomassa sekitar 3,5 - 4,5.
Katalis yang ditambahkan untuk pemasakan dengan menggunakan pelarut organik adalah
asam klorida (HCl), dengan konsentrasi 1 - 2%. Sedangkan, katalis yang digunakan pada
pemasakan menggunakan pelarut asam formiat adalah H2O2, dengan konsentrasi 1 - 5%.

166 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pengunaan katalis HCl dengan konsentrasi terbesar (2%) pada pemasakan dengan pelarut asam
asetat menghasilkan pulp dengan kualitas yang lebih baik. Begitu juga dengan penggunaan katalis
hidrogen peroksida pada pemasakan menggunakan pelarut asam formiat, konsentrasi H2O2
terbesar (5%) menghasilkan pulp yang lebih rendah kadar ligninnya. Penggunaan katalis pada
delignifikasi TKS dan pelepah dalam pelarut organik asam asetat dan formiat tidak hanya
mempercepat reaksi delignifikasi, tetapi juga mempengaruhi selektivitasnya. Konsentrasi katalis
yang lebih besar dapat menyebabkan selulosa ikut terdegradasi dan menyebabkan selektivitas
delignifikasi turun.
Waktu pemasakan yang digunakan dalam pembuatan pulp TKS dan pelepah dengan pelarut
asam asetat dan formiat berkisar antara 1 - 4 jam. Bertambahnya waktu pemasakan belum tentu
dapat meningkatkan kualitas pulp (penyisihan lignin maksimal). Pemasakan dengan waktu yang
terlalu lama dapat mengakibatkan reaksi repolimerisasi lignin, sehingga kadar lignin dalam pulp
meningkat kembali. Namum demikian, repolimerisasi lignin bukan hanya disebabkan bertambah
lamanya waktu pemasakan. Peningkatan jumlah air dalam larutan pemasak, dengan bertambahnya
nisbah cairan terhadap biomassa juga mendorong terjadinya reaksi repolimersisasi lignin. Waktu
yang digunakan untuk menghasilkan pulp TKS berkadar lignin rendah <2,5% dengan pelarut
asam asetat tidak lebih dari 2,5 jam (Zulfansyah, 2000), sedangkan dengan pelarut asam formiat
sekitar 3 jam (Deli et al., 1995; Zulfansyah et al., 2010).
Pola penurunan yield dan kadar lignin pulp dalam larutan organik asam asetat dan formiat
digambarkan sebagai prilaku delignifikasi biomassa, seperti yang disajikan dalam Gambar 4
(Villaverde et al., 2010). Penurunan lignin awalnya berlangsung cepat, dari mulai reaksi
delignifikasi sampai menit ke 60, dan akan berlangsung lambat untuk waktu selanjutnya. Perilaku
yang sama ditemukan pada pemasakan TKS dalam media asam formiat, hanya saja delignifikasi
yang berlangsung cepat terjadi sampai menit ke 20 (Mariana et al., 2010). Proses delignifikasi
biomassa dengan pelarut asam asetat dan formiat sesuai dengan asumsi bahwa lignin dalam
biomassa terdiri dari dua fraksi, yakni lignin yang bereaksi cepat dan lambat (Parajo et al., 1993).
Gambar 5 memperlihatkan bahwa, penggunaan asam formiat sebagai media delignifikasi
biomassa memberikan yield yang lebih rendah dibanding yield yang dihasilkan dari penggunaan
asam asetat.

Gambar 5. Delignifikasi biomassa dalam pelarut asam asetat dan formiat (a. yield pulp; b. kadar
lignin pulp) (Villaverde et al., 2010)

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 167


Pengaruh kondisi proses pembuatan pulp TKS dan pelepah sawit dengan pelarut asam asetat
dan formiat juga dipelajari dengan model-model statistik (empirik) yang telah dibuat dari
beberapa hasil percobaan. Model empirik dibentuk dari persamaan polinomial orde dua, yang
akan memperkirakan pengaruh kondisi proses, konsentrasi asam, konsentrasi katalis, suhu, nisbah
cairan-biomassa dan waktu reaksi terhadap kualitas pulp. Seluruh model yang telah dibentuk
dapat digunakan untuk memprediksi kualitas pulp dengan tingkat signifikansi 95%. Kualitas pulp
yang diperkirakan model meliputi yield, kadar lignin (bilangan kappa), kadar selulosa
(Zulfansyah, 2000; Deli et al., 2005; Fermi et al., 2010; Zulfansyah et al., 2010; Ferrer et al.,
2011), maupun beberapa sifat fisik pulp (Wanrosli et al., 2011). Keunggulan penggunaan model
empirik ini adalah, dapat memperkirakan pengaruh kondisi proses secara bersamaan terhadap
kualitas pulp dan bisa untuk optimasi kondisi proses yang menghasilkan pulp dengan kualitas
baik.Sebagai contoh model yang telah dihasilkan pada pembuatan pulp TKS dan pelepah dengan
pelarut asam asetat dan formiat adalah sebagai berikut.
a. Model empirik perkiraan kualitas pulp TKS dengan pelarut asam asetat (Zulfansyah, 2000).
Y1 = 37,16 9,19XT + 3,34XT2 2,88XC + 7,97XC2 3,03Xt + 7,73Xt2
Y2 = 1,59 3,6XT + 1,88XT2 + 1,57XTXt 0,95XC + 1,27XC2 1,22Xt + 1,9Xt2
Y3 = 80,85 + 6,39 XT + 2,94 XTXC 2,05XTXt 6,06XC 1,86XC2 + 1,18XCXt - ... 1,47Xt 2,62Xt2
Dengan: Y1 = yield pulp, %; Y2 = kadar lignin pulp, % dan Y3 = kadar -selulosa pulp, %
Berlaku pada rentang kondisi operasi: Suhu (T) = 120 160oC untuk [(T(oC) 140)/20];
Konsentrasi HCl katalis = 0 0,2%, untuk [(C% - 0,1)/0,1]; Waktu pemasakan (t) = 1 4 jam,
untuk [(t (jam) 2,5)/1,5] dan Konsentrasi asam asetat 70%, nisbah cairan terhadap biomassa
12/1.
b. Model empirik perkiraan kualitas pulp pelepah dengan pelarut asam formiat (proses milox
tahap tunggal) [Zulfansyah et al. 2010].
Y1 = 34,76 6,67XF 1,64XP 1,78Xt + 3,36XFXt + 2,48XP2 + 2,22Xt2
Y2 = 11,07 1,07X F + 1,19XP 1,24Xt + 0,85XPXt + 2,24Xt2
Dengan: Y1 = yield, % dan Y2 = kadar lignin pulp, %
Berlaku pada rentang kondisi operasi: Konsentrasi asam formiat (F) = 65 85%, untuk [(F(%)
75)/10]; Konsentrasi hidrogen perosikda (P) = 1 5%, untuk [(P(%) 3)/2] dan Waktu
pemasakan (t) = 1 3 jam, untuk [(t (jam) 2)/1].
Nisbah cairan terhadap biomassa 12/1, dan suhu didih normal cairan pemasak (107oC).

Selain bisa digunakan untuk memprediksi kualitas pulp, model empiris yang dihasilkan juga
dapat digunakan untuk mengetahui kondisi proses yang paling mempengaruhi kualitas pulp.
Untuk pemasakan TKS dalam media asam asetat, suhu (T) merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap yield pulp, kadar lignin dan kadar -selulosa pulp. Sedangkan konsentrasi
katalis (C) merupakan faktor paling sedikit pengaruhnya terhadap yield dan kadar lignin pulp
TKS. Sementara, waktu (t) menjadi faktor yang kurang berpengaruh terhadap kadar -selulosa
pulp. Kemudian, pada pemasakan pelepah dalam media asam formiat, konsentrasi asam formiat
merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar terhadap yield, tetapi menjadi faktor yang

168 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


paling kecil pepengaruhnya terhadap kadar lignin pup. Waktu pemasakan (t) merupakan faktor
yang paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kadar lignin pulp, dan konsentrasi hidrogen
peroksida (P) menjadi faktor yang paling sedikit pengaruhnya terhadap yield pulp. Pengaruh
kondisi proses terhadap kualitas pulp dari persamaan model empirik disajikan dalam bentuk
diagram kontur ataupun kurva surface, seperti yang diperlihatkan Gambar 6 dan 7.

a) Konsentrasi Hidrogen Peroksida 1% b) Konsentrasi Hidogen Peroksida 3% c) Konsentrasi Hidrogen Peroksida 5%

60 50 45

55
45 40
50
%
%
, 45 ,%40 ,d 35
d
le ld l
i e
iy ie
y 40 35 y 30

35
30 25
30 3
1 1
25 25 20

65 65
65 2 2
2 t, jam 70
t, jam t, jam
75
75 75
[HCOOH], % 80 1
3 [HCOOH], % 3 [HCOOH], %
85
85 85

Gambar 6. Pengaruh konsentrasi asam formiat dan waktu pemasakan terhadap yield pada
pembuatan pulp dari pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal (Zulfansyah
et al., 2010)

a) Konsentrasi asam formiat 65% b) konsentrasi asam formiat 75% c. Konsentrasi asam formiat 85%

5 5 14-16 5
14-16 13-15
12-14
12-14 11-13
10-12
Konsentrasi hidrogen peroksida, %

Konsentrasi hidrogen peroksida, %

Konsentrasi hidrogen peroksida, %


9-11
10-12
8-10 7-9
8-10

3 3 3

1 1
1
1 2 3 1 2 3
1 2 3
Waktu pemasakan (t), jam waktu pemasakan (t), jam
Waktu pemasakan (t), jam

Gambar 7. Pengaruh kondisi operasi terhadap kadar lignin pulp pada pembuatan pulp dari
pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal (Zulfansyah et al., 2010)

V. KESIMPULAN

Tandan kosong dan pelepah sawit merupakan limbah agroindustri sawit yang sangat
berpotensi untuk dijadikan bahan baku alternatif pada industri pulp dan kertas. Penggunaan proses
organosolv, baik dengan pelarut asam asetat maupun asam formiat, merupakan pilihan yang tepat
untuk memanfaatkan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pembuatan pulp, karena proses ini
ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan proses organosolv dapat mendorong terwujudnya
produksi bersih bagi industri pulp dan agroindustri sawit. Pengunaan asam asetat sebagai pelarut
organik dalam pemanfaatan TKS dan pelepah memberikan selektivitas delignifikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan asam formiat. Namum demikian, jumlah asam asetat yang

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 169


digunakan, per satuan berat biomassa, lebih banyak dibanding jumlah asam formiat dalam
pembuatan pulp dari TKS dan pelepah. Kualitas pulp dari TKS dan pelepah yang dihasilkan
dengan pelarut asam asetat dan formiat dapat digunakan sebagai kertas cetak dan pembungkus.
Kualitas pulp dan sifat fisik pulp TKS dan pelepah dengan pelarut asam asetat dan formiat
dipengaruhi oleh konsentrasi asam, konsentrasi katalis, nisbah cairan terhadap biomassa, suhu dan
waktu pemasakan.

DAFTAR PUSTAKA

Alriols, M.G., A. Tejado, M. Blanco, I. Mondragon and J. Labidi. 2009. Agricultural palm oil tree
residues as raw material for cellulose, lignin and hemicelluloses production by ethylene
glycol pulping process. Chemical Engineering Journal 148:106114.
Azman, N., A.E. Putra, Zulfansyah dan P.S. Utama. 2002. Pembuatan pulp dari tandan kosong
sawit dengan proses milox. Prosiding Seminar Skripsi Mahasiswa Universitas Riau 2002.
Biermann, C.J. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking, 2nd ed. Academic Press. USA.
Budiman, A.F.S., F.G. Winarno, T. Silitonga dan B. Soewardi. 1985. Potensi pemanfaatan limbah
can pemanfaatan hasil perkebunan. Kantor Menteri Negara Muda Urusan Produksi Pangan.
Fermi, M.I., Zulfansyah dan S.K. Dewi. 2010. Pembuatan pulp pelepah sawit dengan proses
milox tahap tunggal. Prosiding Seminar Nasional SATEK III Universitas Lampung. Bandar
Lampung 18-19 Oktober 2010.
Deli, N.A., N. Khafiya, D. Susanti, Yusmay eni dan Zulfansyah. 2005. Pembuatan pulp pelepah
sawit dengan pelarut asam formiat. Prosiding Seminar Teknik Kimia Teknologi Oleo dan
Petrokimia Indonesia 2005. Pekanbaru 21 Desember.
Ferrer, A., A. Vega, A. Rodrguez, P. Ligero and L. Jimnez. 2011. Milox fractionation of empty
fruit bunches from Elaeis guineensis. Bioresour. Technol. 102:97559762.
Gracia, M.M., F. Lopez, A. Alfaro, J. Ariza, and R. Tapias. 2008. The use of tagasaste
(Chamaecytus proliferus) from different origin for biomass and paper production.
Bioresour. Technol. 99(9):3451-3457.
Hambali, E., A. Thahar and A. Komarudin. 2010. The potential of oil palm and rice biomass as
bioenergy feedstock. Proceeding 7th Biomass Asia Workshop. 29 November 29 1
December. Jakarta. Indonesia.
Husain, Z, Z.A. Zainal, and M.Z. Abdullah. 2003. Analysis of biomass-residue-based
cogeneration system in palm oil mills. Biomass Bioenergy 24: 117124.
Jahan, M.S., D.A. Nasima Chowdhury, and M. Khalidul Islam. 2007. Atmospheric formic acid
pulping and TCF bleaching of dhaincha (Sesbania aculeata), kash (Saccharum spontaneum)
and banana stem (Musa Cavendish). Ind. Crop.Prod. 26: 324331.
Johansson, A., O. Aaltonen, and P. Ylinen. 1987. organosolv pulping method and pulp
properties. Biomass 13: 45-65.

170 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Ligero, P. J.J. Villaverde, A. Vega, and M. Bao. 2008. Pulping cardoon ( Cyanara cardunculus)
with peroxyformic acids (milox) in one single stage. Bioresour. Technol . 99:5687-5693.
Lubis, A., P. Guritno, and Darnoko. 1994. Prospek industri dengan bahan baku limbah padat
kelapa sawit di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Vol. 1 No. 3 Juli-
September.
Mariana, F.L., Zulfansyah, and M.I. Fermi. 2010. Delignifikasi tandan kosong sawit dalam media
asam asetat. Prosiding Seminar Nasional SATEK III Universitas Lampung. Bandar
Lampung 18-19 Oktober 2010.
Myerly, R.C., M.D. Nicholson, R. Katzen, and J.M. Taylor. 1981. The forest refinery. Chemtech
March: 186-192.
Parajo, J.C., J.L. Alonso, and D. Vasquez. 1993. On the behaviour of lignin and hemicellulose
during acetosolv processing. Bioresour. Technol. 46: 233-240.
Pattinasarani, W. 2010. Perkiraan penggunaan sumber bahan baku industri pulp dan kertas: studi
advokasi PT. RAPP dan PT. IKPP di Provinsi Riau. Indonesian Working Group on Forest
Finance (IWGFF).
Pan, X. and Y. Sano. 2005. Fractionation of wheat straw by atmospheric acetic acid process.
Bioresour. Technol. 96: 12561263.
Pye, E.K. and R. Katzen. 2011. Recovery of co-product from orgnasolv pulping. [internet] diakses
tgl 15 oktober 2011 pada http://www.tappi.org/Downloads/unsorted/UNTITLED---
pulp0025pdf.aspx
Rodrguez, A., L. Serrano, A. Moral, A. Perez, and L. Jimenez. 2008. Use of high-boiling point
organic solvents for pulping oil palm empty fruit bunches. Bioresour. Technol . 99: 1743
1749.
Rousu, P., P. Rousu, and J. Anttila. 2002. Sustainable pulp production from agricultural waste.
Resource, Concervation, Recycling 35:85-103.
Rozman, H.D., K.R. Ahmadhilmi, and A. Abubakar. 2004. Polyurethane, (PU)-oil palmempty
fruit bunch (EFB) composites: The effect of EFBG reinforcement in matform and
isocyanate Treatment on the Mechanical Properties. Polymer Testing 23:559565.
Saake, B., R. Lehnen, S. Lummictsch, and H.H. Nimz. 1995. Production of dissolving and paper
grade pulps by the formacell process. In: The 8th International Symposium on Wood and
Pulping Chemistry (8th INWFPPC), 69 June 1995, Helsinki, Finland, vol. 2. Jyvaskyla:
Gummerus Kirjapaino Oy.
Seisto, K., K. Poppius-Levlin, and T. Jousima. 1997. peroxyformic acid pulping of nonwood plant
by the milox method. Part 2: Reed Pulp for Woodfree Fine Paper. TAPPI Journal Vol 12
no. 10.
Villaverde, J.J., P. Ligero, and A. Vega. 2010. Formic and acetic acid as agent for a cleaner
fractionation of Mischantus X Gigantues. Journal of Cleaner Production 18:395-401.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 171


Wanrosli, W.D., K.N. Law, and Z. Zainuddin. 2004. Effect of pulping variables on the
characteristic of oil palm frond fibers. Bioresour. Technol. 93(3): 233-240.
Wanrosli, W.D., Z. Zainuddin, K.N. Law, and R. Asro. 2007. Pulp from oil palm fronds by
chemical process. Industrial Crop and Products. 25 (1): 89-94.
Wanrosli, W.D., R. Rohaizu, and A. Ghazali. 2011. Synthesis and characterization of cellulose
phosphate from oil palm empty fruit bunches microcrystalline cellulose. Carbohydrate
Polymers 84: 262267.
Wanrosli, W.D. and K.N. Law. 2011. Oil palm fiber as papermaking material: Potential and
chalengges. BioResources 6(1): 902-927.
Wegener, G. 1992. Pulping innovation in germany. Ind. Crop. Prod . 1(2-4):113-117.
Zulfansyah dan H. Susanto. [1998]. Pembuatan pulp dari tandan kosong sawit dengan proses
asam asetat. Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia 1998.
Surabaya Nov. 25-26.
Zulfansyah. 2000. Pembuatan pulp acetosolv dari tandan kosong sawit: Pengaruh kondisi proses
terhadap karakteristik pulp. Jurnal Penelitian Universitas Riau. Vol IX No.2.
Zulfansyah, M.I. Fermi, S.Z. Amraini, H. Rionaldo, dan M.S. Utami. 2010. Pembuatan pulp
pelepah sawit dengan pelarut asam formiat. Prosiding ChESA 2010. Banda Aceh 22-23
Desember 2010.

172 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


SIFAT PEMESINAN KAYU DIAMETER KECIL JENIS MANGLID
(Manglieta glauca Bl.)

Oleh:
Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto
Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
Jalan Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis
E-mail: ddient@yahoo.co.id

ABSTRAK

Manglid (Manglieta glauca Bl.) merupakan jenis yang banyak dikembangan di hutan rakyat
Jawa dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Namun demikian
pemanfaatan jenis ini masih banyak menghasilkan limbah batang diameter kecil (diameter kurang
dari 15 cm). Dalam rangka mengembangkan pemanfaatan limbah manglid menjadi produk olahan
yang memiliki nilai tambah lebih baik, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji sifat
pemesinan kayu manglid diameter kecil yang berasal dari hutan rakyat. Pengamatan sifat
pemesinan dilakukan pada 15 sampel papan dari dolok diameter kecil (10-15 m) yang berasal dari
limbah tebangan manglid di hutan rakyat di di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir
Kabupaten Tasikmalaya. Hasil menunjukan bahwa kayu manglid yang berasal dari batang
diameter kecil memiliki mutu pemesinan yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan
dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan,
pemboran dan pembubutan. Berdasarkan sifat pemesinannya, kayu manglid yang berasal dari
batang diameter kecil memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan
tampilan halus dan konstruksi ringan seperti mebelair dan produk kerajinan.

Kata kunci: Dolog, manglid, pemanfaatan, sifat pemesinan

I. PENDAHULUAN

Perkembangan hutan rakyat dewasa ini semakin diperhitungkan sebagai alternatif pemasok
kebutuhan kayu yang selama ini lebih banyak berasal dari hutan alam. Hutan rakyat yang
terkonsentrasi di Jawa, yaitu seluas 778.253,26 ha, atau 49,6% dari total luas hutan rakyat di
Indonesia, memiliki kontribusi yang cukup baik dalam memasok kebutuhan kayu. Menurut
Astraatmaja (2000) produksi log dari hutan rakyat mencapai 32,47% dari total produksi log di
Jawa. Persentase tersebut bahkan didapatkan dari luasan hanya 13,23% dari total luas hutan
negara dan hutan rakyat di Jawa.
Manglid (Manglieta glauca Bl.) merupakan jenis yang banyak dikembangan di hutan rakyat
Jawa. Walaupun tidak terdapat data pasti mengenai potensi jenis ini, pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa ketersediaan jenis ini cukup banyak di hutan rakyat, khususnya di Jawa
Barat. Jenis ini menjadi salah satu jenis andalan Jawa Barat dan masih terus dikembangkan dalam
kegiatan-kegiatan penghijauan. Menurut Djaman (2008), manglid di Jawa Barat sudah banyak
dibudidayakan dengan masa penebangan setiap 35 tahun dengan hasil 12,1 m/ha.
Manglid dikenal masyarakat sebagai bahan baku pembuatan perkakas meja, kursi, almari,
konstruksi ringan dan lain-lain. Menurut Seng (1990), kayu manglid memilik berat jenis 0,32-0,58

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 173


dengan kelas kuat III-IV dan kelas awet II. Namun demikian kendala yang sering dijumpai dalam
pemanfaatan jenis ini adalah rentan terhadap serangan jamur dan rayap, serta kayu yang mudah
retak dan kurang stabil. Disamping itu pemanfaatan jenis ini belum banyak didukung informasi
hasil-hasil penelitian mengenai karakteristik penggergajian maupun sifat pengerjaan kayunya.
Pengelolaan hutan rakyat jenis manglid tidak berbeda dengan karakteristik hutan rakyat di
Jawa pada umumnya, yaitu dikelola secara tradisional tanpa input teknologi yang memadai. Selain
itu, jenis manglid ini juga menjadi salah satu pilihan masyarakat karena termasuk jenis cepat
tumbuh (fast growing). Sementara menurut Abdurachman dan Hadjib (2006), jenis-jenis cepat
tumbuh dari hutan rakyat umumnya menghasilkan mutu kayu relatif rendah karena selain berumur
muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan
sebagainya.
Rendahnya mutu kayu rakyat jenis manglid juga diduga disebabkan penggunaan bibit yang
tidak berkualitas serta teknik pemeliharaan yang tidak intensif. Sebagaimana menurut Sabarnudin
(2005) kelemahan yang nampak pada sisi silvikultur antara lain berhubungan dengan mutu bibit
atau benih, dan pemeliharaan selanjutnya. Bibit tanaman umumnya berasal dari semai alam
seadanya, walaupun mungkin sudah dilakukan "peningkatan" genetik dengan memilih benih atau
bibit dari induk yang terbaik. Selanjutnya petani pemilik hutan rakyat nampaknya secara sadar
sengaja hanya mengalokasikan sedikit waktunya untuk pemeliharaan hutannya, karena
menganggap menanam pohon tidak harus intensif.
Salah satu tahapan pengelolaan hutan rakyat yang masih menjadi kendala saat ini antara lain
tidak dikuasainya teknik pengolahan kayu yang baik, terutama di industri-industri kecil
penggergajian dan pengolahan kayu yang menjadi penampung hasil kayu rakyat. Pelaku industri
kecil sebagian besar belum menguasai dengan baik teknik-teknik peningkatan mutu kayu seperti
teknik pengawetan kayu, pengeringan kayu, perekatan kayu dan lain-lain. Hal ini juga disebabkan
masih terbatasnya hasil-hasil penelitian mengenai teknologi peningkatan mutu kayu jenis ini.
Mutu bahan baku kayu rakyat jenis manglid yang relatif rendah dan kurangnya dukungan
teknik pengolahan yang baik menyebabkan diversifikasi pemanfaatan kurang beragam dan tidak
efisien. Hal ini menyebabkan rendahnya rendemen pemanfaatan serta tingginya limbah baik pada
saat penebangan, penggergajian, maupun pengolahan kayu. Salah satu jenis limbah yang banyak
terdapat dalam pemanfaatan jenis manglid untuk pertukangan adalah limbah batang diameter kecil
(di bawah 15 cm). Secara umum Dulsalam et al. (2000) menyatakan bahwa limbah pembalakan
hutan tanaman adalah sebesar 10% yang berupa batang berdiameter lebih dari 10 cm dan limbah
berdiameter kurang dari 10 cm. Limbah batang diameter kecil ini umumnya dimanfaatkan untuk
kayu bakar dengan nilai tambah yang relatif kecil.
Latar belakang permasalahan di atas mendorong perlunya pengembangan pemanfaatan
limbah kayu manglid, batang diameter kecil, untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai
tambah lebih baik. Salah satu informasi penting yang diperlukan untuk menjadi dasar
pengembangan tersebut adalah sifat pemesinan kayu. Pemesinan kayu adalah proses pengolahan
kayu menjadi komponen produk kayu seperti kayu gergajian, venir dan komponen meubel yang
bertujuan untuk menghasilkan bentuk dan dimensi yang diinginkan dengan ketepatan dan kualitas
permukaan yang diharapkan melalui proses paling ekonomis (Szymani, 1989 dalam Asdar, 2010).

174 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Penelitian ini bertujuan untuk menguji sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil yang
berasal dari hutan rakyat. Pengujian sifat pemesinan yang dilakukan mencakup pengolahan kayu
secara umum seperti penyerutan, pembentukan, pembubutan, pengeboran, pembuatan lubang
persegi dan pengampelasan untuk menentukan kualitas pengerjaan kayu menggunakan mesin-
mesin komersil (ASTM, 1981). Diharapkan melalui penelitian ini, dolog manglid diameter kecil
dapat dimanfaatkan menjadi produk olahan dengan nilai tambah yang lebih baik.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Peralatan


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 batang manglid dengan diameter < 15
cm yang berasal dari limbah tebangan hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir,
Kabupaten Tasikmalaya. Pengujian sifat pemesinan dilakukan di Laboratorium Pengerjaan Kayu
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Mesin-mesin yang digunakan dalam
pengujian tersebut tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Spesifikasi mesin pengerjaan kayu yang digunakan

Jenis pengerjaan Alat Tipe Kecepatan (rpm)


Penyerutan (Planing) Mesin serut (Planer) San Yung 2500
Pembentukan (Moulding) Mesin bentuk (Moulder) Wadkin 4500
Pembubutan (Turning) Mesin bubut (Turner) ML-60 Shengpeng 1450
Pemboran (Boring) Mesin bor (Borer) DTBM 15 AEG 1400
Pengampelasan (Sanding) Mesin ampelas (Sander) Sand Max 1480

B. Metode Penelitian
1. Pembuatan contoh uji
Kayu bulat manglid dibuat menjadi papan dengan ukuran 125 cm x 12 cm x 2 cm sejumlah
15 lembar dan dibiarkan hingga mencapai kadar air kering udara. Papan-papan yang dijadikan
sebagai contoh uji tersebut dipilih papan yang bebas cacat baik cacat alami, cacat fisik maupun
biologis. Selanjutnya masing-masing papan dibagi menjadi contoh uji sifat pemesinan seperti
pada Gambar 1 dengan ukuran seperti pada Tabel 2. Metode pengujian mengikuti prosedur ASTM
D1666-64 yang dimodifikasi menurut Abdurachman dan Karnasudirdja (1982).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 175


Tabel 2. Ukuran contoh uji

Macam pengujian Ukuran (cm)


Penyerutan 90 x 10 x 2
Pembentukan 90 x 10 x 2
Pembubutan 12 x 2 x 2
Pemboran 30 x 5 x 2
Pengampelasan 30 x 5 x 2

Gambar 1. Pola pembuatan contoh uji: (A) penyerutan dan pembentukan; (B) pembubutan; (C)
pengampelasan; (D) pemboran

2. Pengujian
Penilaian sifat pemesinan didasarkan pada perbandingan luas bagian permukaan bagian
permukaan yang cacat per total luas seluruh permukaan, dinyatakan dalam persen. Pengamatan
cacat menggunakan alat bantu loupe dengan pembesaran 10 kali. Jenis cacat yang diamati secara
visual pada masing-masing sifat serta klasifikasinya tercantum dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Jenis cacat yang diamati pada sifat pemesinan kayu

Jenis cacat Sifat pemesinan


Penyerutan Pembentukan Pengampelasan Pemboran Pembubutan
Serat berbulu + + + + +
Serat patah + - - - +
Serat terangkat + + - - -
Tanda serpih + + - - -
Bekas garukan - - + - -
Penghancuran - - - + -
Kelicinan - - - + -
Penyobekan - - - + -
Kekasaran - - - - +
Keterangan: + = jenis cacat yang ditemukan dan diamati pada contoh uji;
- = jenis cacat yang tidak ditemukan pada contoh uji
Sumber: Abdurachman, et al. (1982)

176 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 4. Klasifikasi sifat pemesinan

Permukaan bebas cacat Mutu pemesinan Kelas mutu


0 20 Sangat jelek V
21 40 Jelek IV
41 60 Sedang III
61 80 Baik II
81 - 100 Sangat baik I
Sumber: Rachman dan Malik (2008)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian sifat pemesinan kayu manglid dari batang diameter kecil disajikan dalam
Tabel 5.

Tabel 5. Sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil

Sifat pemesinan (%)


Jenis cacat
Penyerutan Pembentukan Pengampelasan Pemboran Pembubutan
Serat berbulu 11 23,33 7,33 11 25
Serat patah 0 - - - 14
Serat terangkat 0 0 - - -
Tanda serpih 7 0 - - -
Bekas garukan - - 6,33 - -
Penghancuran - - - 27 -
Kelicinan - - - 0 -
Penyobekan - - - 0 -
Kekasaran - - - - 0
Total cacat 18 23,33 13,66 38 39
Bebas cacat 82 76,67 86,34 62 61
Kelas mutu I II I II II
Mutu pemesinan Sangat baik Baik Sangat baik Baik Baik

Tabel 5 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang berasal dari
batang diameter kecil. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu manglid dari dolok
manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik sampai sangat baik atau kelas mutu I
sampai II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan pengampelasan yang sangat baik atau kelas
mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa batang manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang
memerlukan tampilan permukaan yang baik seperti mebelair, kerjinan dan lain-lain. Sementara

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 177


sifat pembentukan yang baik memungkinkan batang manglid diameter kecil untuk dimanfaatkan
sebagai bahan baku produk kayu bentukan (moulding) dengan lebar papan terbatas seperti profil
dan papan sambung. Papan sambung dengan sistem finger joint dan tongue & groove yang
memerlukan sifat pembentukan baik dapat diaplikasikan pada papan manglid.
Sifat pemboran yang baik memungkinkan aplikasi pemboran papan manglid seperti
penyambungan dengan pasak atau dowel. Demikian juga dengan sifat pembubutan yang baik
memungkinkan pemanfaatan manglid untuk pembuatan kerajinan dengan aplikasi pembubutan.
Meskipun demikian dari Tabel 5 terlihat bahwa cacat terbanyak (39 buah) atau bebas caca t
terkecil (61%) terdapat pada proses pembubutan, dengan ditemukannya banyak serat berbulu dan
serat tegak. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat proses penggergajian yang tidak sejajar arah
serat. Davis (1962) dalam Asdar (2010) mengemukakan cara mencegah dan mengatasi
permasalahan cacat kayu yang terjadi selama proses pemesinan. Serat terangkat dan berbulu dapat
dikurangi dengan menggunakan pisau yang tajam, kadar air di bawah 12%, serta grinding bevel
30q-40q. Cacat serat patah dapat dicegah dengan menambah jumlah keratan per inci (knife cuts
per inch) dan untuk menghilangkannya diperlukan pengampelasan yang lebih banyak dibanding
untuk menghilangkan serat terangkat dan serat berbulu. Untuk menghindari tanda garukan selama
proses pengampelasan, maka jenis ampelas yang digunakan harus disesuaikan dengan tekstur
kayu, semakin halus teksturnya, semakin halus pula ampelas yang harus digunakan. Sedangkan
menurut Szymani (1989) dalam Asdar (2010), serat patah pada kayu yang seratnya bergelombang
atau berpadu dapat diatasi dengan mengurangi sudut kerat pisau menjadi 15qatau bahkan 10q.

IV. KESIMPULAN

1. Kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil memiliki mutu pemesinan yang sangat
baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan
baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran dan pembubutan.
2. Berdasarkan sifat pemesinannya, kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil
memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan
konstruksi ringan seperti mebelair dan produk kerajinan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan N. Hadjib. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat untuk komponen bangunan.
Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil
Hutan. Bogor.
Abdurachman, A.J. d an S. Karnasudirdja. 1982. Sifat pemesinan kayu-kayu indonesia. Laporan
No. 160. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
American Society for Testing and Meterial (ASTM). 1981. Annual Book of ASTM Standards.
Part 22: Wood; Adhesives. Philadelphia. USA. pp. 494- 520.

178 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Anonim. 2007. Manglid (Manglieta glauca Bl.). Lembar informasi teknis jenis-jenis pohon untuk
hutan rakyat. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Ciamis.
Asdar, M. 2010. Sifat pemesinan kayu surian (Toona sinensis (Adr.Juss.) M.J. Roemer) dan
kepayang (Pangium edule Reinw.). Jurnal Hasil Hutan Vol 28 No 1 tahun 2010 . Pusat
Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Djaman, D.F. 2006. Mengenal manglid (Manglieta glauca Bl,), manfaatnya dan permasalahan.
Majalah Kehutanan Indonesia Edisi VI. Jakarta.
Dulsalam, D. Tinambunan, I. Sumantri dan M. Sinaga. 2000. Peningkatan efisiensi pemanenan
kayu bulat sebagai bahan baku industri. Makalah Utama pada Seminar Hasil Penelitian
Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor 7 Desember 2007.
Malik, J. dan O. Rachman. 2002. Sifat pemesinan lima jenis kayu dolok diameter kecil dari Jambi.
Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 20 (5): 401-412 . Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hasil Hutan. Bogor.
Rachman, O. dan J. Malik. 2008. Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri perkayuan
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Sabarnudin, S. 2005. Observasi terhadap sistem silvikultur hutan rakyat dan arah perbaikannya.
http://www.fkkm.org/artikel/index.php. Diakses pada tanggal 24 Janu ari 2008.
Seng, O.D. 1990. Spesific Grafity of Indonesian Woods and Its Significance for Practical Use.
Diterjemahkan oleh Suwarsono P,H. Pusat Penelitian dan Pengembangan H asil Hutan.
Departemen Kehutanan Indonesia. Bogor. Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 179


PENGARUH WAKTU DAN NISBAH PELARUT PADA EKSTRAKSI
TUMBUHAN PEWARNA ALAMI Lawsonia inermis

Oleh:
Yelin Adalina
Peneliti pada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor
Telp. (0251) 863324; 7520067; Fax (0251) 8638111
E-mail: yelinadalina@yahoo.com

ABSTRAK

Lawsonia inermis atau pacar kuku terkenal karena daunnya yang dapat memberikan warna
merah. Tumbuhan ini sering digunakan untuk mewarnai rambut, kuku dan kulit tangan seseorang
dengan tujuan untuk memperindah penampilan. Kegunaan lainnya dari daun pacar kuku yaitu
untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, di antaranya kusta, cacar, sakit kepala, panas,
demam, penyakit saraf, reumatik, iritasi kulit dan lain sebagainya. Di Indonesia, penyebarannya
merata mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara ekstraksi yang tepat dan optimum dari
tumbuhan Lawsonia inermis dalam pembuatan zat warna alami yang siap pakai. Percobaan ini
menggunakan rancangan Percobaan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor (perlakuan). Setiap
taraf perlakuan dilakukan dua kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah dengan
menggunakan dua jenis pelarut organik, yaitu metanol teknis 70% dan air suling. Pada
penggunaan pelarut air dengan 2 perlakuan pemanasan, yaitu pemanasan selama 10 menit dan 20
menit. Konsentrasi pelarut terdiri dari 2 level, yaitu 5% dan 10%, sehingga diperoleh 6 kombinasi
perlakuan. Parameter pengamatan meliputi rendemen, nilai pH, dan intensitas warna. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis pelarut organik, lama pemanasan dan
konsentrasi pelarut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap intensitas warna
yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Intensitas warna tertinggi diperoleh
pada perlakuan penggunaan pelarut akuades, konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit yaitu
sebesar 31,81, sedangkan intensitas terendah pada penggunaan pelarut metanol dengan
konsentrasi 5% yaitu sebesar 4,84.

Kata kunci: Ekstraksi, Melastoma malabathricum, tumbuhan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zat warna yang dipergunakan untuk mewarnai makanan, kulit, produk kerajinan, tekstil dan
produk lainnya selama ini masih didominasi oleh zat warna sintesis, karena lebih mudah didapat,
lebih praktis dan lebih stabil dalam pemakaiannya maupun dalam penyimpanan dan diproduksi
dalam jumlah besar. Riset telah menunjukkan bahwa zat warna buatan (sintetik) dicurigai
berkadar zat kimia yang menyebabkan alergi, kanker dan merugikan kesehatan manusia.
Saat ini terdapat peningkatan perhatian terhadap bahan pewarna alami, berkaitan dengan
hasilnya yang bersifat non-toksis, tidak bersifat polutif, tidak berefek samping, tidak merugikan
kesehatan, tidak bersifat karsinogenik (tidak membahayakan sebagai penyebab kanker), dan tidak

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 181


beracun. Pelarangan penggunaan beberapa golongan zat warna sintesis yang bergugus azo
mengakibatkan maraknya penggalian kembali penggunaan zat warna alam di Indonesia. Jerman
sebagai penemu zat-zat warna sintetik/azo menjadi negara pertama yang melarang penggunaan
zat-zat warna azo sejak tahun 1996 (Siva, 2007).
Bahan pewarna alami sesungguhnya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kondisi
alam Indonesia yang subur memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tanaman yang berpotensi
sebagai sumber bahan pewarna alami. Prosea melaporkan bahwa terdapat sekitar 62 jenis tanaman
di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai pewarna alami.
(http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php ? pcategory=2&pageset=1).
Secara umum bahan pewarna alami terdapat sangat luas hampir di semua bahan alam, yaitu
dari mineral, tumbuhan (bunga, batang, daun, akar, kulit dan buah), dan hewan (seperti pewarna
lak). Namun, saat ini sebagian besar pewarna alami banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Di
dalam bahan pewarna terdapat pigmen penimbul warna yang berbeda tergantung struktur
kimianya seperti klorofil, karotenoid, flavonoid, dan kuinon (Lemmens dan Soetjipto, 1999).
Dengan potensi sumber bahan pewarna alami yang ada di Indonesia maka zat warna alam
perlu dikembangkan. Tanaman yang berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
sebagai bahan pewarna alami di antaranya adalah Lawsonia inermis L. (pacar kuku) karena sering
dipergunakan sebagai pewarna rambut dan kuku. Daun pacar kuku mempunyai daya toksis yang
rendah dan pada umumnya diproduksi oleh industri rumah tangga. Ekspor serbuk daun dan daun
kering dari India, Mesir dan Sudan diperkirakan sebesar 6.000- 8000 ton/tahun dalam kurun
waktu 1975-1980 (Lemmens et al., 1999). Tumbuhan pacar kuku ini dapat menghasilkan 2.500-
3.000 kg/ha daun.
Isolasi pigmen dengan cara mengekstrak bahan tumbuhan dengan menggunakan pelarut
yang memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam
tanaman. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui jenis pelarut dan
metode ekstraksi yang sesuai dari daun Lawsonia inermis dalam menghasilkan zat warna yang
optimum.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik atau metode ekstraksi yang sesuai
dari tumbuhan Lawsonia inermis dan mengetahui kualitas zat warna yang dihasilkan.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat penelitian
Persiapan dan ekstraksi bahan penelitian dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam Bogor, sedangkan perlakuan evaporasi hasil ekstraksi dan pengujian intensitas warna di
lakukan di Laboratorium Balitro, Bogor.

182 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


2. Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2009.

B. Bahan dan peralatan


Spesimen tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Lawsonia inermis
atau dikenal dengan nama pacar kuku (Sunda, Jawa, Madura), yang diperoleh dari Desa Ciherang
Pondok Rt 01/01, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Bahan pendukung yang digunakan
antara lain: metanol teknis 70%, air suling, buffer pH, kertas saring.
Alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, oven, pemanas, blender,
spektrophotometer, pH meter, alat gelas kaca dan peralatan lain yang mendukung dalam
penelitian ini.

C. Metode
1. Prosedur kerja
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap perlakuan dan
tahap analisa. Prosedur kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Daun dipisahkan dari rantingnya, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu
50-60C selama 24 jam. Daun yang telah kering kemudian diblender menjadi serbuk
halus.
b. Ditimbang 90 gram daun, dan dimasukkan ke dalam panci.
c. Ditambahkan air suling dengan perbandingan masing-masing perlakuan dengan
konsentrasi 10% (1 bagian sampel : 10 bagian pelarut) dan 5% (1 bagian sampel : 20
bagian pelarut).
d. Dipanaskan campuran bahan tersebut sesuai perlakuan selama (10 dan 20 menit) setelah
air dalam panci mendidih, sambil sesekali diaduk. Sebagai indikasi bahwa pigmen warna
yang ada dalam tumbuhan sudah keluar ditunjukkan dengan air setelah perebusan menjadi
berwarna. Jika larutan tetap bening berarti tanaman tersebut diindikasikan tidak
mengandung pigmen warna. Pada perlakuan dengan pelarut etanol tidak dilakukan
pemanasan tetapi dengan cara maserisasi selama 24 jam dengan perbandingan masing-
masing perlakuan (1 bagian bahan tanaman : 10 bagian pelarut) dan (1 bagian bahan
tanaman : 20 bagian pelarut).
e. Larutan hasil ekstraksi disaring menggunakan kain planel untuk memisahkan sisa bahan
yang diekstrak (residu). Kemudian disaring kembali dengan kertas saring Whatman.
Larutan ekstrak hasil penyaringan ini disebut larutan zat warna alam.

2. Analisa kualitas zat warna


Analisis yang dilakukan terhadap kualitas zat warna yang dihasilkan terdiri atas : nilai pH,
intensitas warna, dan rendemen ekstrak.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 183


a. Nilai pH larutan
Pengukuran nilai pH ditentukan dengan menggunakan alat pH meter yang telah dikalibrasi
terlebih dahulu dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7 sebagai standar. Apabila alat pH
meter tersebut sudah stabil maka masing masing larutan hasil ekstraksi diukur pHnya.
b. Intensitas warna
Diukur panjang gelombang maksimum dari larutan hasil evaporasi. Ditimbang sampel zat
warna, kemudian diencerkan dengan pelarut yang sesuai perlakuan pada proses
ekstraksi/maserisasi dalam labu ukur 25 ml. Kemudian diukur absorbansinya (A) pada
kuvet dengan tebal 1 cm dengan menggunakan alat spektrophotometer pada panjang
gelombang maksimum yang telah ditentukan pada langkah pertama. Penentuan intensitas
warna diukur dengan rumus:
A u 25
Intensitas warna =
Berat sampel

c. Rendemen ekstrak
Setelah pelarut diuapkan dengan evaporator didapatkan ekstrak pekat. Ekstrak tersebut
ditimbang dan dibandingkan dengan berat awal sampel. Rendemen ekstrak kasar pigmen
warna yang dihasilkan:
Berat ekstrak
x 100%
Berat sampel

D. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dengan satu
faktor (perlakuan). Setiap taraf perlakuan dilakukan 2 kali ulangan. Isolasi zat warna dilakukan
dengan cara infundasi dengan berbagai variasi konsentrasi, yaitu 10% (1 bagian sampel : 10
bagian pelarut ) dan 5% (1 bagian sampel : 20 bagian pelarut) dan lamanya waktu pemanasan
selama 10 menit dan 20 menit. Jenis pelarut yang digunakan yaitu, metanol dan aquades/air
suling. Dengan demikian banyaknya perlakuan yang dicobakan adalah sebanyak 6 kombinasi
perlakuan. Setiap kombinasi diulang sebanyak 2 kali, sehingga banyaknya percobaan adalah 12
unit percobaan.

E. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tumbuhan Lawsonia inermis


Tumbuhan ini dikenal dengan nama henna (Inggris), henna, inai (Indonesia), pacar kuku
(Sunda, Jawa, Madura), ineng, gaca (Sumatera), ngatu (Kalimantan), kayu laka (Menado),
tilangge kuku (Gorontalo), paci (Bugis), daun laka (Maluku), bunga jai (Halmahera), pacah (Bali,

184 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Nusa Tenggara). Di Indonesia, penyebarannya merata mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku. Tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi
450 m dpl. Pacar kuku dapat tumbuh di padang pasir, dan dapat beradaptasi pada daerah tropis
dan subtropis. Suhu yang paling baik untuk pertumbuhan adalah 19-27C dengan pH tanah 4,3
sampai 8,0. Daun pacar kuku akan rontok bila ditanam pada suhu 10C (EFG, 1997 dalam
Kusdinar, 2002).
Zat warna yang terkandung dalam Lawsonia inermis adalah lawson, pertama diisolasi oleh
Tomasi pada tahun 1916 dan dideterminasi sebagai senyawa kimia 2-hydroxyl-1,4
naphthoquinon, C10H6O3 (Sarigan, 1957). Pewarna merah dari pacar kuku telah digunakan oleh
orang yunani dan Romawi kuno sebagai kosmetik dan bagian-bagian tubuh.Warna yang
dihasilkan sesuai dengan bagian tumbuhan yang digunakan, seperti akar memberikan warna
hitam, daun memberikan warna merah, dan batang memberikan warna natural (tidak
berwarna).Ketiganya dicampur dengan perbandingan tertentu untuk memperoleh warna yang
diiinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

Gambar 3. Daun tumbuhan Lawsonia inermis L. Gambar 4. Bunga tumbuhan Lawsonia inermis L.

B. Ekstraksi Bahan Pewarna


1. Perlakuan pendahuluan
Isolasi pigmen dilakukan dengan cara mengekstrak bahan dengan menggunakan pelarut
yang sesuai dengan kepolarannya dengan zat yang akan diekstrak. Hasil percobaan pendahuluan
menunjukkan bahwa penggunaan pelarut organik (air dan metanol) menghasilkan pigmen yang
berbeda. Perbedaan warna yang dihasilkan untuk setiap jenis pelarut organik berkaitan dengan
sifat tumbuhan. Tumbuhan yang mempunyai sifat polar diekstrak dengan pelarut yang bersifat
polar juga.
Perlakuan pendahuluan dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi, yang
tergantung pada senyawa dalam bahan yang akan dianalisis (Robinson, 1995). Perlakuan
pendahuluan dalam penelitian ini meliputi pengeringan daun dan pengecilan ukurannya menjadi

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 185


serbuk halus. Pengeringan dimaksudkan untuk mendapatkan air yang tidak terlalu tinggi, karena
contoh tumbuhan dengan kadar air tinggi akan mudah rusak dalam penyimpanannya. Pengecilan
ukuran daun menjadi serbuk halus dimaksudkan untuk memperluas permukaan contoh, sehingga
semakin banyak yang terekstraksi.
2. Ekstraksi tumbuhan Lawsonia inermis L. (pacar kuku)
Ekstraksi merupakan proses pengambilan zat warna/zat terlarut dengan bantuan pelarut,
yaitu dapat berupa ekstraksi cair-cair, maupun ekstraksi padat-cair. Ekstraksi padat-cair dapat
dilakukan dengan soklet, perkolasi atau maserisasi.Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut
menggunakan prinsip kelarutan like dissolve like. Dalam pemilihan pelarut, hal yang perlu
diperhatikan adalah zat yang akan diekstraksi harus larut dalam pelarut yang digunakan serta
dapat berdifusi dengan baik.
Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada tekstur, kandungan air, dan jenis senyawa
yang diisolasi. Keberhasilan ekstraksi suatu senyawa dari jaringan hijau tergantung pada
banyaknya klorofil yang tertarik ke dalam pelarut tersebut. Bila ampas serbuk daun pada ekstraksi
sudah tidak berwarna hijau, maka semua senyawa berbobot molekul rendah dapat dianggap telah
terekstrak.
Analisa keragaman menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan (penggunaan jenis pelarut,
konsentrasi larutan dan lamanya waktu pemanasan) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap
rendemen, pH, absorben dan intensitas warna) dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Hasil
pengumpulan bahan dari 5.400 gram daun tanaman pacar kuku diperoleh 1.100 gram serbuk
kering daun yang berwarna kehijauan dan berbau khas.

Tabel 1. Hasil analisa tumbuhan Lawsonis inermis

Hasil analisis
No. Perlakuan Rendemen pH Panjang gelombang Absorben Intensitas
% (b/b) maksimum () (A) warna
1 T1 46,78 4,60 594 0,063 31,81
2 T2 45,77 4,10 594 0,029 12,36
3 T3 25,17 3,85 594 0,070 31,58
4 T4 19,94 3,80 594 0,049 23,05
5 T5 19,00 4,75 594 0,012 5,72
6 T6 14,72 4,80 594 0,010 4,84
Keterangan: T1 = Pelarut akuades, konsentrasi 5%, pemanasan 10 menit
T2 = Pelarut akuades, konsentrasi 5%, pemanasan 20 menit
T3 = Pelarut akuades, konsentrasi 10%, pemanasan 10 menit
T4 = Pelarut akuades, konsentrasi,10%, pemanasan 20 menit
T5 = Pelarut metanol, konsentrasi 10%
T6 = Pelarut metanol, konsentrasi 5%

a. Rendemen
Penggunaan jenis pelarut memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen ekstrak
pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji

186 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


BNJ, rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan pelarut aquades,
konsentrasi 5% dengan lama pemanasan selama 10 menit, yaitu sebesar 46,78%.
Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan.
Penggunaan pelarut aquades menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena aquades memiliki kepolaran
yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daun Lawsonia inermis L.
Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Pemanasan
selama 10 menit menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan
selama 20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadinya penguapan zat-zat yang terdapat
dalam larutan yang diakibatkan oleh pemanasan yang terlalu lama.
Perbedaan konsentrasi pelarut berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan.
Konsentrasi pelarut 5% (1bagian bahan :20 bagian pelarut) menghasilkan rendemen yang lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena pigmen yang terkandung dalam daun Lawsonia inermis L. yang
terekstrak lebih banyak.

b. pH Larutan
Penggunaan berbagai jenis pelarut memberikan pengaruh sangat nyata terhadap pH ekstrak
pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji
BNJ, pH tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan pelarut metanol, yaitu sebesar
4,80 dan pH terendah pada penggunaan pelarut aquades dengan konsentasi 10% dengan waktu
pemanasan selama 20 menit, yaitu sebesar 3,80. Perbedaan pH ekstrak ini mungkin disebabkan
karena larutan metanol yang bersifat basa sehingga mengakibatkan pH larutan menjadi lebih
tinggi.

c. Panjang gelombang
Penggunaan jenis pelarut, lama pemanasan dan konsentrasi larutan memberikan panjang
gelombang maksimum yang sama, yaitu 594. Warna yang dihasilkan pada penggunaan pelarut air
memberikan warna yang sama yaitu merah kecokelatan, sedangkan pada penggunaan pelarut
metanol menghasilkan larutan yang berwarna kuning kehijauan.

d. Absorben
Penggunaan jenis pelarut, lama pemanasan dan konsentrasi larutan memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap absorben ekstrak pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata
0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ pada taraf 5%, absorben tertinggi diperoleh pada
perlakuan dengan menggunakan pelarut aquades dengan konsentrasi 10% dan lama pemanasan
selama 10 menit, yaitu sebesar 0,07 dan absorben terendah pada penggunaan pelarut metanol
dengan konsentrasi 5%, yaitu sebesar 0,01.
Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap nilai absorben ekstrak pigmen yang
dihasilkan. Absorben yang dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades lebih tinggi
dibandingkan pada penggunaan jenis pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena
aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daum
Lawsonia inermis L.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 187


Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap nilai absorben ekstrak pigmen yang
dihasilkan. Pemanasan 10 menit memberikan nilai absorben lebih tinggi dibandingkan pemanasan
20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan Lawson yang terdapat dalam larutan
menguap pada pemanasan yang terlalu lama.
Konsentrasi pelarut yang digunakan berpengaruh nyata terhadap absorben ekstrak pigmen
yang dihasilkan. Konsentrasi pelarut 10% memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan pelarut dengan konsentrasi 5%. Hal ini disebabkan karena kandungan
Lawson yang terdapat dalam daum lawsonia inermis L. lebih banyak terekstrak sehinga warna
yang dihasilkan menjadi lebih pekat.

e. Intensitas warna
Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap intensitas warna ekstrak pekat pigmen daun
Lawsonia inermis L., maka terlihat bahwa penggunaan jenis pelarut organik, lama pemanasan dan
konsentrasi pelarut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap intensitas warna
yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<< =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ pada taraf
5%, intensitas warna tertinggi diperoleh pada perlakuan penggunaan pelarut aquades, konsentrasi
5% dan lama pemanasan 10 menit, yaitu sebesar 31,81, sedangkan intensitas terendah pada
penggunaan pelarut metanol dengan konsentrasi 5%, yaitu sebesar 4,84.
Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap intensitas warna ekstrak pigmen yang
dihasilkan. Intensitas warna yang dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades lebih tinggi
dibandingkan pada penggunaan jenis pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena
aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daun
Lawsonia inermis L.
Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap intensitas warna yang dihasilkan. Pemanasan
selama 10 menit menghasilkan intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pemanasan selama 20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadinya penguapan kandungan
Lawson yang terdapat dalam larutan ekstrak pigmen yang diakibatkan oleh pemanasan yang
terlalu lama.
Hasil analisa ekstrak pigmen tanaman Lawsonia inermis L. menunjukkan bahwa rendemen
tertinggi dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades dengan konsentrasi 5% dan lama
pemanasan 10 menit. Absorben tertinggi dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut akuades
dengan konsentarsi !0% dan lama pemanasan 10 menit, tetapi hasil absorben tersebut tidak jauh
berbeda dengan penggunaan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan pemanasan 10 menit.
Nilai intensitas warna tertinggi dihasilkan pada penggunaan pelarut akuades dengan konsentrasi
5% dan lama pemanasan 10 menit. Oleh karena itu metode yang sesuai dalam ekstraksi tanaman
lawsonia inermis L. yaitu dengan menggunakan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan lama
pemanasan 10 menit.

188 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


IV. KESIMPULAN

1. Isolasi pigmen dapat dilakukan dengan cara mengekstrak bahan tumbuhan dengan
menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen
yang terdapat dalam tanaman. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari sifat dan
karakteristik tumbuhan.
2. Pengaruh perlakuan (metode ekstraksi) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
kualitas ekstrak pigmen yang dihasilkan.
3. Metode yang paling sesuai dalam ekstraksi tumbuhan Lawsonia inermis adalah dengan
menggunakan pelarut akuades dengan perbandingan (1 bagian bahan tanaman : 20 bagian
pelarut) dan lama pemanasan 10 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pewarna alami. http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php?pcategory=


2&pageset=1).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Formularium KosmetikaIndonesia. Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Majanan. Jakarta hal 208-213.
Kusdinar, E. 2002. Isolasi komponen zat warna daun pacar kuku (Lawsoniainermis L.) untuk
pewarna rambut. Skripsi Program Studi Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Pertanian Bogor.
Siva, R. 2007. Status of natural dyes and dye-yielding plants in India. Current Science, Vol.92.
No.7.
Lemmens, R.H. dan W. Soetjipto. 1999. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara No.3. Tumbuh-
tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tannin. PROSEA Foundation. Bogor.
Robinson, T. 1995. Kandunan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung. ITB Pess.
Sarigan, E. 1957. Cosmetic Science and Technology. Sixth Edition. Interscience Publisher Inc.
New York.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 189


PERSEPSI PETANI TERHADAP PEMANFAATAN DAN BUDIDAYA
NYAMPLUNG SEBAGAI SUMBER BIOFUEL ALTERNATIF

Oleh:
Devy P. Kuswantoro dan Tri S. Widyaningsih
Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
E-mail: devylator@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji karakteristik responden petani
hutan rakyat di daerah pesisir dan persepsi para petani mengenai pemanfaatan dan budidaya
nyamplung sebagai sumber biofuel. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten
Tasikmalaya dan Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap. Responden petani hutan rakyat
termasuk dalam kelompok usia produktif, jumlah keluarga kecil dengan pendidikan didominasi
oleh tamatan Sekolah Dasar dengan pekerjaan utama sebagai petani/buruh tani. Responden
mengetahui manfaat tanaman nyamplung sebagai kayu bangunan, kayu bakar, dan manfaatnya
sebagai pelindung pantai dan penahan angin, namun banyak yang tidak mengetahui teknik
budidaya nyamplung. Pengembangan budidaya nyamplung di hutan rakyat untuk sumber bahan
baku biofuel perlu dibarengi dengan kejelasan keuntungan, harga, dan pasarnya sehingga menarik
diusahakan oleh petani.

Kata kunci: Biofuel, nyamplung, persepsi, petani

I. PENDAHULUAN

Untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah menetapkan Kebijakan Energi Nasional, yang salah
satu sasarannya adalah meningkatkan peran bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5%
pada tahun 2025. Seiring dengan kebijakan tersebut, pencarian sumber energi baru sebagai
alternatif sumber biofuel terus dilakukan. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) yang
telah diteliti secara intensif sejak tahun 2005 oleh Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang
Kehutanan mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber biofuel. Produk
bodiesel dari pengolahan biji nyamplung telah diteliti memenuhi Standar Nasional Indonesia
(SNI) untuk biodiesel menurut SNI 04-7182-2006 dan telah diuji coba di jalan raya dengan hasil
yang memuaskan (Masyhud, 2008). Perhitungan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman
nyamplung maupun industri minyaknya secara ekonomi layak diusahakan (Bustomi et al., 2008).
Sosialisasi nyamplung ke masyarakat dilakukan dengan pembuatan demplot Desa Mandiri Energi
(DME) berbasis nyamplung yang berupa pembangunan unit pengolahan biodiesel dan upaya
penanaman nyamplung. DME diharapkan dapat menjadi percontohan dalam mendukung
kemandirian energi masyarakat.
Secara alami tanaman nyamplung di Indonesia dijumpai di hampir seluruh daerah terutama
wilayah pesisir pantai baik di kawasan konservasi maupun di luar kawasan seperti di Taman
Nasional (TN) Alas Purwo, TN Kepulauan Seribu, TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Berbak,

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 191


kawasan Pantai Pangandaran dan Batukaras di Ciamis, Pantai Carita Banten, wilayah Papua, dan
Maluku Utara. Di Pulau Jawa, Perhutani juga melaksanakan penanaman di lahan negara sebagai
bagian dari upaya perlindungan pantai seperti di wilayah BKPH Purworejo, KPH Kedu Selatan.
Oleh karena itu, sumber bahan baku DME sampai saat ini dipenuhi dari hasil tanaman nyamplung
dari Perhutani maupun hasil dari masyarakat. Ke depan, dengan adanya prospek yang
menjanjikan, diharapkan peluang usaha budidaya nyamplung dapat ditangkap oleh masyarakat
sebagai salah satu usaha untuk menambah pendapatan. Dengan demikian masyarakat dapat
berperan aktif untuk menyediakan bahan baku dan bahkan mampu mengolah biji nyamplung
menjadi biofuel.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji karakteristik responden petani
hutan rakyat di daerah pesisir dan persepsi para petani mengenai pemanfaatan dan budidaya
nyamplung sebagai sumber biofuel. Dengan mengetahui pendapat masyarakat, dapat diperoleh
strategi pengembangan nyamplung serta kebijakan dan mekanisme insentif untuk mendukungnya.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2010 sampai dengan September 2010 di wilayah
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi penelitian di
Kabupaten Tasikmalaya adalah di Kecamatan Cipatujah dengan mengambil sampel penelitian di
Desa Cikawungading dan Desa Sindangkerta. Lokasi penelitian di Kabupaten Cilacap adalah di
Kecamatan Binangun dengan mengambil sampel penelitian di Desa Widarapayung Kulon dan
Desa Pagubugan. Lokasi dipilih secara sengaja karena merupakan desa-desa di wilayah pesisir
pantai yang merupakan tempat tumbuh yang cocok bagi tanaman nyamplung. Tanaman
nyamplung ditemukan tumbuh di lokasi penelitian.

B. Pengumpulan dan Analisis Data


Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara kepada responden petani hutan
rakyat. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja dari kelompok tani hutan rakyat di desa
penelitian. Jumlah responden petani setiap desa sebanyak 15 orang. Data yang dikumpulkan
meliputi jati diri responden, kepemilikan lahan hutan rakyat, pengalaman usaha tani, dan persepsi
responden terhadap budidaya dan pemanfaatan nyamplung sebagai sumber biofuel alternatif.
Data yang terkumpul diolah menggunakan statistik deskriptif. Selanjutnya, dianalisis secara
deskriptif kualitatif komparatif berupa perbandingan antara satu kelompok responden dengan satu
kelompok responden lainnya, dalam hal ini adalah responden petani di Kecamatan Cipatujah dan
responden petani di Kecamatan Binangun.

192 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden
Karakteristik responden petani yang diuraikan meliputi jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, dan pekerjaan. Deskripsi tentang karakteristik responden dikemukakan untuk
mengetahui latar belakang responden yang diteliti. Karakteristik responden penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik responden petani

Kecamatan Cipatujah Kecamatan Binangun


Karakteristik
SK CA Total - % PG WP Total - %
1. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 15 14 29 97% 15 15 30 100%
b. Perempuan 0 1 1 3% 0 0 0 0%
Jumlah 15 15 30 100% 15 15 30 100%
2. Usia
a. < 15 tahun 0 0 0 0% 0 0 0 0%
b. 15 54 tahun 9 14 23 77% 7 8 15 50%
c. > 54 tahun 6 1 7 23% 8 7 15 50%
Jumlah 15 15 30 100% 15 15 30 100%
3. Anggota keluarga
a. 1 3 orang 14 12 26 87% 7 9 16 53%
b. 4 5 orang 1 3 4 13% 7 4 11 37%
c. > 5 orang 0 0 0 0% 1 2 3 10%
Jumlah 15 15 30 100% 15 15 30 100%
4. Tingkat pendidikan
a. Tidak sekolah 0 0 0 0% 3 3 6 20%
b. SD 10 10 20 67% 6 12 18 60%
c. SMP 2 0 2 7% 4 0 4 13%
d. SMA 1 5 6 23% 2 0 2 7%
e. Perguruan Tinggi 2 0 2 7% 0 0 0 0%
Jumlah 15 15 30 100% 15 15 30 100%
5. Pekerjaan utama
a. Buruh/Tani 6 7 13 43% 12 13 25 83%
b. Nelayan 3 3 6 20% 0 1 1 3%
c. Wiraswasta 4 2 6 20% 1 1 2 7%
d. PNS/Aparat desa 2 3 5 17% 2 0 2 7%
Jumlah 15 15 30 100% 15 15 30 100%
6. Pekerjaan sampingan
a. Buruh/Tani 9 8 17 57% 7 9 16 53%
b. Nelayan 0 0 0 0% 0 1 1 3%
c. Wiraswasta 5 7 12 40% 5 4 9 30%
d. PNS/Aparat desa 1 0 1 3% 3 1 4 13%
Jumlah 15 30 100% 15 15 30 100%
Keterangan: Pengolahan data primer. SK= Desa Sindangkerta, CA= Desa Cikawungading, PG= Desa
Pagubugan, WP= Desa Widarapayung Kulon

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 193


Responden petani, baik di Kecamatan Cipatujah maupun Kecamatan Binangun didominasi
oleh laki-laki. Kaum perempuan (ibu) secara umum merasa pekerjaan utamanya adalah mengurus
rumah tangga. Pekerjaan di sektor pertanian biasanya lebih bersifat sampingan untuk membantu
petani. Dilihat dari segi usia responden, responden petani di Kecamatan Cipatujah didominasi
oleh usia produktif (15-54 tahun). Dengan demikian, diharapkan pengelolaan hutan rakyat dapat
berjalan lebih optimal karena dikelola oleh tenaga-tenaga yang masih produktif. Usia responden
petani hutan rakyat di Kecamatan Binangun terbagi rata antara yang berusia produktif dan petani
yang sudah memasuki usia tidak produktif. Pada umumnya di Jawa, banyak orang-orang tua yang
masih bekerja dan sehat karena etos kerja sebagai pekerja keras yang terbawa sampai usia senja.
Adapun dari jumlah anggota keluarga, terlihat bahwa responden mulai memperhatikan jumlah
anggota keluarga yang masih sanggup untuk ditanggungnya. Jumlah anggota keluarga yang sesuai
akan memberikan kualitas hidup keluarga yang lebih baik.
Meskipun responden didominasi yang berusia produktif, akan tetapi dari segi pendidikan
didominasi oleh responden yang berpendidikan rendah baik yang tamat maupun tidak tamat SD.
Tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi kendala dalam penerimaan teknik, inovasi, dan
informasi baru termasuk informasi mengenai nyamplung. Diniyati dan Fauziyah (2006)
menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah dapat tercermin dalam sikap dan perilaku
yang cenderung hanya mengikuti pihak lain. Artinya perubahan-perubahan yang akan dilakukan
harus dimulai oleh pihak lain misalnya melalui penyuluhan/sosialisasi yang memerlukan waktu
yang lama. Sementara itu, mengenai pekerjaan responden, sebagian besar responden bekerja
sebagai petani baik mengurus sawah maupun hutan rakyatnya. Widyaningsih dan Diniyati (2006)
mengungkapkan bahwa kaum laki-laki lebih banyak menangani pekerjaan pertanian termasuk
mengelola hutan rakyatnya dan menghabiskan sebagian waktunya dalam sehari untuk aktivitas
tersebut.

B. Usaha Tani Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian


Responden petani rata-rata memiliki pengalaman usaha tani lebih dari sepuluh tahun.
Mereka mengusahakan lahan miliknya baik yang berupa sawah, pekarangan, hutan rakyat, bahkan
ada yang menggarap lahan pantai. Usaha hutan rakyat seperti halnya di daerah lain telah
berkembang pesat karena permintaan akan kayu rakyat yang terus meningkat. Pola tanam di hutan
rakyat menggunakan pola tanam agroforestri yang dapat memberikan pendapatan pada berbagai
periode waktu sehingga apabila petani memerlukan dana untuk kebutuhan mendesaknya, terdapat
hasil tanaman dari hutan rakyat yang dapat dipanen dan dijual. Adapun jenis-jenis tanaman di
hutan rakyat yang diusahakan petani hutan rakyat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Hutan rakyat didominasi oleh jenis sengon yang merupakan primadona kayu rakyat. Pohon
sengon tumbuh baik dan tidak terserang karat tumor. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh iklim
daerah pesisir yang panas tidak seperti di dataran tinggi yang membuat penyebaran penyakit karat
tumor lebih cepat. Di samping jenis sengon, tanaman yang umum terdapat di daerah pesisir dan
menjadi ciri khas adalah kelapa. Pengunduhan buah kelapa memberikan hasil yang kontinyu
setiap bulan bagi petani baik apabila dipanen buahnya maupun diambil niranya untuk pembuatan
gula kelapa. Pengelolaan hutan rakyat oleh responden masih sangat sederhana tanpa tambahan
input teknologi yang berarti. Kegiatan pemeliharaan yang dapat meningkatkan produktivitas dan

194 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


hasil jarang yang secara intensif dilakukan oleh petani sehingga hasil hutan rakyat kurang
maksimal.

Tabel 2. Jenis-jenis tanaman pada hutan rakyat yang dimiliki responden

No. Lokasi Jenis tanaman


1 Desa Sindangkerta Sengon, Kelapa, Mahoni, Jati, Cengkeh, Pisang, Mangga
2 Desa Cikawungading Sengon, Kelapa, Formis, Jati, Mahoni, Pisang
3 Desa Pagubugan Kelapa, Akasia, Jati, Sengon, Nyamplung, Ketela pohon
4 Desa Widarapayung Kulon Sengon, Kelapa, Akasia, Nyamplung, Pisang
Sumber: Pengolahan data primer

C. Persepsi Petani Terhadap Pemanfaatan Nyamplung


Responden petani di Desa Cikawungading dan Sindangkerta kebanyakan tidak mengetahui
manfaat dari bagian tanaman nyamplung kecuali kayu nyamplung yang dapat dimanfaatkan
sebagai kayu bangunan dan kayu bakar. Responden lebih mengetahui manfaat tanaman
nyamplung bagi konservasi kawasan pantai mengingat kejadian tsunami di waktu lalu yang juga
melanda pesisir Tasikmalaya. Responden menyadari pentingnya perlindungan pantai ini dan
tanaman nyamplung dirasa cocok sebagai salah satu jenis tanaman pelindung. Sosialisasi manfaat
nyamplung baru didapat setelah ada kegiatan penanaman dan demo biodiesel oleh TNI AD.
Itupun tidak seluruh masyarakat mengetahui adanya sosialisasi ini.
Kejadian berbeda ditemui pada responden di Desa Pagubugan dan Widarapayung Kulon.
Masyarakat di kedua desa ini sudah akrab dengan nyamplung dan mengetahui manfaat nyamplung
terutama manfaat kayu nyamplung sebagai kayu bangunan, kulit dan buah nyamplung sebagai
bahan bakar, dan manfaat biji nyamplung sebagai sumber biofuel setelah buahnya laku dijual ke
pabrik pengolahan minyak nyamplung. Masyarakat juga mengetahui manfaat nyamplung bagi
perlindungan pantai, penahan erosi, penahan angin (wind breaker) yang dapat melindungi
tanaman pertanian mereka dari terpaan angin laut yang kencang.
Pendapat masyarakat tersebut dapat menjadi modal dalam pengembangan budidaya
nyamplung sebagai bahan baku biofuel. Budidaya nyamplung di lahan pantai sebagai pelindung
pantai mempunyai manfaat ganda karena nantinya yang akan diambil hasilnya adalah hasil hutan
bukan kayu (HHBK) berupa buahnya. Pemanfaatan lahan-lahan pantai yang tidak produktif
dengan tanaman nyamplung dapat terus digalakkan sehingga nantinya masyarakat sudah
mempunyai pemasok bahan baku biofuel yang siap diolah lebih lanjut.

D. Persepsi Petani Terhadap Budidaya Nyamplung


Perbedaan mendasar yang ditemui di lokasi penelitian mengenai tanaman nyamplung adalah
apabila di wilayah Kecamatan Cipatujah sangat jarang ditemukan tanaman nyamplung, sementara
di wilayah Kecamatan Binangun lebih mudah ditemui keberadaan tanaman nyamplung. Tanaman
nyamplung di Kecamatan Cipatujah ditemui tumbuh berjajar di tepi jalan Pantai Cikawungading
serta tumbuh soliter di pemakaman dan halaman. Sementara di wilayah Kecamatan Binangun,
tanaman nyamplung dapat ditemui tumbuh alami di pekarangan rumah penduduk serta di pantai.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 195


Seluruh responden petani di seluruh lokasi penelitian mengetahui dan pernah melihat
keberadaan tanaman nyamplung serta dapat menyebutkan ciri-ciri tanaman nyamplung.
Responden petani di Kecamatan Binangun bahkan memiliki tanaman tersebut karena tumbuh
sendiri di pekarangan rumah maupun di kebunnya. Selain tumbuh alami, saat ini di kedua
kecamatan terdapat tanaman nyamplung hasil penanaman dari kegiatan proyek kehutanan maupun
instansi lain.
Pada tahun 2005 pernah diadakan sosialisasi oleh TNI Angkatan Darat berupa kegiatan
penanaman yang melibatkan masyarakat dan demo pembuatan biodiesel di wilayah Kecamatan
Cipatujah yang dipusatkan di daerah Pamayangsari. Akan tetapi untuk turut membudidayakannya,
ternyata lebih dari 75% responden petani di Kecamatan Cipatujah mengaku belum mengetahui
teknik budidaya nyamplung dengan benar. Meskipun demikian dari hasil pengamatan mereka,
tanaman nyamplung mudah tumbuh dan berkembang tanpa perawatan yang berarti. Bibit
nyamplung pun dapat diperoleh dengan mudah karena sudah ada pohon yang cukup tua dan besar
yang dapat dijadikan sumber bibit baik dari buahnya maupun anakan nyamplung sebagai sumber
cabutan. Akan tetapi untuk membudidayakannya di lahan hutan rakyat maupun di lahan pantai
untk bahan baku biofuel, responden menyatakan ketidaksiapan dan ketidakbersediaannya. Hal ini
dilatarbelakangi oleh belum diketahuinya keuntungan yang akan didapat dari budidaya
nyamplung, harga biji, dan pemasarannya. Responden enggan berspekulasi dengan
membandingkan dengan hasil dari tanaman sengon dan kayu rakyat lainnya yang sudah jelas
harga, pasar, dan keuntungannya.
Responden petani di Desa Pagubugan dan Widarapayung Kulon tidak pernah dengan
sengaja menanam nyamplung di pekarangan atau kebunnya. Mereka membiarkan tanaman
nyamplung tetap hidup dengan alasan kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar. Sekitar 70%
responden belum mengetahui teknik budidaya nyamplung. Responden lainnya belajar dari
tanaman nyamplung yang tumbuh alami dan kemudian menambah jumlah tanaman di kebunnya.
Pemeliharaan yang dilakukan adalah dengan memberikan pupuk kandang maupun pupuk kimia
dan pembersihan rumput disekitarnya. Dengan demikian petani mempunyai stok bahan kayu
bakar untuk keperluan sehari-hari. Tanaman nyamplung yang sudah berbuah kemudian diunduh
buahnya lalu dijual ke pedagang pengumpul buah di Desa Pagubugan untuk kemudian dijual ke
pabrik pengolahan minnyak nyamplung yang berada di Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap.
Responden juga mengetahui bahwa biji nyamplung dapat diolah lebih lanjut di pabrik untuk
menjadi biodiesel. Akan tetapi, untuk membudidayakan dalam bentuk hutan rakyat nyamplung,
responden petani menyatakan kesediaannya asalkan usaha hutan rakyat berbasis nyamplung untuk
bahan baku biofuel ini jelas perhitungan ekonominya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
harga buah nyamplung masih dipandang cukup murah sehingga kurang menarik. Di samping itu,
pabrik pengolahan minyak nyamplung yang berada di Kroya sampai saat ini belum maksimal
bekerja dan hasil minyaknya masih banyak untuk keperluan penelitian saja. Hal ini membuat
usaha budidaya nyamplung dipandang oleh responden belum mampu memberikan keuntungan.
Persepsi responden di kedua kecamatan tersebut mengarah pada pendapat yang sama, yaitu
mau mengembangkan hutan rakyat nyamplung sebagai bahan baku biofuel asalkan jelas
keuntungannya. Ini menggambarkan bahwa usaha hutan rakyat saat ini benar-benar berkontribusi
dalam pendapatan petani dan peningkatan kesejahteraanya. Hal-hal yang baru dan belum

196 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


memperlihatkan kejelasan seperti nyamplung, kecil kemungkinan mendapatkan tempat.
Responden selama ini memandang kegunaan nyamplung untuk kayu bakar yang memang
memberikan panas yang baik karena kandungan getah di dalam kayunya. Adanya manfaat
tersebut membuat petani di Pagubugan mempertahankan keberadaan tanaman nyamplung di
kebunnya.
Pengembangan budidaya nyamplung untuk sumber biofuel tidak sepenuhnya ditolak oleh
masyarakat. Hanya saja masyarakat menginginkan kejelasan usaha dan hasil yang akan diperoleh.
Oleh karena itu, untuk mendorong pengembangan budidaya nyamplung perlu sosialisasi,
pendampingan, dan mekanisme insentif untuk menarik keterlibatan masyarakat dalam usaha
menuju kemandirian energi masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:


1. Responden petani hutan rakyat termasuk dalam kelompok usia produktif, jumlah keluarga
kecil dengan pendidikan didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar dengan pekerjaan utama
sebagai petani/buruh tani.
2. Responden mengetahui manfaat tanaman nyamplung sebagai kayu bangunan, kayu bakar, dan
manfaatnya sebagai pelindung pantai dan penahan angin.
3. Responden petani banyak yang tidak mengetahui teknik budidaya nyamplung. Pengembangan
budidaya nyamplung di hutan rakyat untuk sumber bahan baku biofuel perlu dibarengi dengan
kejelasan keuntungan, harga, dan pasarnya sehingga menarik diusahakan oleh petani.

DAFTAR PUSTAKA

Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I. Anggraeni, D. Syamsuwida,


Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin, Mahfudz, dan E. Rachman. 2008. Nyamplung, sumber
energi biofuel yang potensial. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Diniyati, D. dan E. Fauziyah. 2006. Strategi pengembangan kelompok tani hutan rakyat. Prosiding
Seminar Pekan Hutan Rakyat I tanggal 6 September 2006 di Ciamis. Hal. 51-64. Puslit
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Masyhud. 2008. Litbang kehutanan temukan sumber energi biofuel dari biji nyamplung. Siaran
Pers Nomor S.578/PIK-1/2008 tanggal 24 November 2008. Website:
http://www.dephut.go.id/ index.php?q=id/node/ 4960. Diakses tanggal 5 Maret 2010.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Widyaningsih, T.S. dan D. Diniyati. 2006. Etos kerja petani dalam pengelolaan hutan rakyat di
Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap. Prosiding Seminar Pekan Hutan Rakyat I tanggal
6 September 2006 di Ciamis. Hal. 142-152. Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan. Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 197


POTENSI BIOENERGI Ceiba petandra L. Gaertn.
DAN PROSPEK PENGEMBANGAN

Oleh:
Titi Kalima
Puslibang Konservasi dan Rehabilitasi Hutan
Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor
Email: titi_kalima@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pemenuhan sumber energi dalam bentuk cair terutama solar pada sektor transportasi
merupakan sektor paling kritis dan perlu mendapat perhatian khusus. Melalui pemanfaatan
teknologi bioenergi, Indonesia memliki kesempatan yang besar di dalam penyediaan energi
bersih, termasuk biodiesel. Sebagai negara tropis memiliki berbagai jenis tumbuhan yang dapat
dikembangkan sebagai bahan baku produksi energi, salah satunya Ceiba petandra, yang
mempunyai peluang untuk menjadi penghasil biodiesel.

Kata kunci: Bahan baku biodiesel, Ceiba petandra L. Gaertn., prospek pengembangan

I. PENDAHULUAN

Diperkirakan terdapat sekitar 4000 jenis pohon di Indonesia, termasuk pohon yang dapat
menghasilkan energi alternafif. Oleh karena itu, peranan pengembangan energi alternatif harus
ditingkatkan. Kebutuhan energi alternatif tersebut dapat dipenuhi dari sumber-sumber energi
alternatif lainnya seperti biodiesel. Biodiesel yang sedang gencar dikembangkan di Indonesia saat
ini kebanyakan dari minyak jarak (Ricinus communis ) dan minyak nyamplung (Calophyllum
inophyllum). Padahal sebenarnya masih banyak energi alternatif bahan lain yang dapat
digunakan untuk pembuatan biodiesel seperti minyak biji Ceiba petandra L.Gaertn. (Tatang,
2006). Karena pentingnya spesies Ceiba petandra L. Gaertn. dalam penyediaan bahan baku
berupa biodiesel, ada beberapa keunggulan yang dimiliki minyak biji Ceiba petandra
L.Gaertn. antara lain mudah di dapat, harga relatif murah, kadar asam lemak tak jenuh relatif
tinggi (71,95%) (Dewayani, 2008).
Ceiba pentandra L.Gaertn. adalah jenis pohon tropis yang tergolong famili Bombacaceae,
dengan nama lokal Kapuk randu atau kapuk yang berasal dari bagian utara Amerika Selatan,
Amerika Tengah dan Karibia. Kata "kapuk"atau "kapuk" juga digunakan untuk menyebut serat
yang dihasilkan dari bijinya. Pohon ini juga dikenal sebagai kapas Jawa atau kapok Jawa, atau
pohon kapas-sutra. Selain sebagai penyediaan bahan baku biodsel, penting juga penyediaan
berupa kayu gergajian, obat-obatan dan lain-lain di kawasan Asia Tenggara, maka dilakukan
survei kajian botani yang bertujuan untuk memperoleh informasi keanekaragaman manfaat
spesies dan keberadaan sebaran tempat tumbuh jenis pohon Ceiba petandra L.Gaertn. di Cagar
Alam Gunung Celering, Jepara, Jawa Tengah. Diharapkan hasil kajian ini dapat dijadikan data
dasar dalam pengambilan langkah-langkah lebih lanjut dalam usaha penanganannya.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 199


A. Klasifikasi
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Bombacaceae
Genus : Ceiba
Spesies : Ceiba pentandra L. Gaertn

B. Deskripsi
Pohon Ceiba petandra L. Gaertn. tumbuh tegak hingga setinggi 60-70 m dan dapat memiliki
batang pohon yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m. Batang dengan atau tanpa cabang,
kadang-kadang berduri. Akar menyebar horizontal, di permukaan tanah. Daun majemuk menjari
dengan 5 - 8 anak daun, melambai di ujung tangkai yang panjang, tersusun berseling; bentuk anak
daun memanjang - lanset, gundul. Percabangan mendatar seperti jeruji roda pedati. Bunga
bisexual; kelopak menggenta, di bagian luar gundul; mahkota bunga memanjang - bulat telur
terbalik, bersatu pada pangkal, biasanya berwarna putih kekuningan, di bagian dalam gundul dan
di bagian luar berambut lebat seperti sutra; benang sari bersatu pada pangkal dalam kolom
staminal, kepala sari bergelung atau seperti ginjal. Buah berbetuk kapsul, lonjong, panjang dan
keras, berwarna hijau, ketika masak berubah menjadi coklat, dengan gumpalan putih serat kapuk
bertabur bulir biji hitam menyembul dari cangkang yang membuka. Biji bulat telur, coklat tua,
putih, kuning muda atau berwarna seperti sutra.

A B

Gambar 1. A. Habitus pohon Ceiba petandra; B. Buah dan serat kapuk putih Ceiba petandra di
lereng Gunung Celering, Jepara, Jawa Tengah (Foto Titi Kalima)

C. Persebaran
Ceiba petandra L. Gaertn berasal daerah tropis di Amerika berkembang dan menyebar ke
Afrika sepanjang pantai barat dari Senegal ke Angola. Pohon Ceiba petandra ini di Asia
dibudidayakan.dan terlukis di relief Jawa sejak 1000 setelah Masehi. Di Indonesia, pohon ini
tersebar merata di seluruh daerah tropika, terutama di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Jawa,

200 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Sumatera, Timor, Kai, Ternate dan Irian) (Heyne, 1987), Thailand dan Amerika Selatan.
(http://www.wikipedia.htm).

D. Habitat Tempat Tumbuh


Ceiba petandra L. Gaertn. tumbuh di lereng Gunung Celering pada ketinggian 400 - 600 m
di atas permukaan laut, temperatur udara 32C. Curah hujan sekitar 1500 - 3000 mm per tahun,
curah hujan melimpah selama periode vegetatatif dan lebih kering pada periode berbunga dan
berbuah, jenis tanah lempung vulkanik, cukup sinar matahari dan pengairan. Pohon ini mudah
rusak oleh angin yang kuat.

Gambar 2. Lereng CA.Gunung Celering, tempat tumbuh pohon Ceiba petandra (Foto Titi Kalima)

E. Sifat Kayu Ceiba petandra


Kayu Ceiba petandra sangat ringan dengan warna kuning pada waktu basah dan kuning
kecoklatan atau coklat muda bila kering. Kadar air segar kayu rata-rata sebesar 206% dan mudah
mengering mencapai kering angin (KA=15%) dengan banyak cacat pengeringan akibat
ketidakstabilan dimensi kayu (Chatarina, 1992).

F. Manfaat dan Potensi Pohon Ceiba petandra


Tiap bagian dari pohon Ceiba petandra memiliki manfaat dan potensi yang sangat besar,
mulai dari kayu, daun, bunga, buah, biji hingga kulit buah (http://www.kapuk-kasurcplus.com/
berita-103-kapuk-randu-ceiba-pentandra-l.html).
1. Buah Ceiba pentandra merupakan sumber serat, digunakan untuk bahan dasar matras, bantal,
hiasan dinding, pakaian pelindung dan penahan panas dan suara.
2. Kulit buah sebagai pengganti bahan kertas untuk pembuatan kertas di Jawa. Kulit kaya akan
potasium dan abu yang dapat digunakan sebagai pupuk. Mereka juga digunakan untuk
membuat baking soda dan sabun.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 201


3. Kulit kering digunakan sebagai bahan bakar.
4. Biji mengandung minyak yang digunakan dalam industri sabun sebagai pelumas dan minyak
lampu, campuran coating pada genting, campuran pada kain batik serta sumber protein untuk
sapi dan domba. Oleh sebab itu dapat dipakai sebagai bahan baku energi. Kandungan minyak
yang terdapat dalam biji randu sebesar 24 - 40% (Soerawidjaya, 2005).
5. Daun muda dimakan sebagai sayuran di Filipina, bunga dan buah muda dimakan di Thailand,
dan polong yang masih sangat muda dimakan di Jawa.
6. Daun digunakan sebagai makanan ternak dan untuk memperbaiki tanah.
7. Kayunya digunakan untuk pembuatan kertas, pintu, furniture, kotak dan mainan.
8. Bunganya merupakan sumber madu yang bagus.
9. Ceiba petandra L.Gaertn sangat bermanfaat bagi para petani di daerah yang bertanah tandus
dan beriklim kering, selain bernilai ekonomi juga berfungsi sebagai penahan tanah dari erosi,
mencegah banjir dan sebagai tanaman penghijauan yang dapat diandalkan untuk usaha
pengawetan tanah dan melestarikan sumber daya alam.
Pemanfaatan lain untuk pengobatan secara tradisional:
a. Daun digunakan untuk mengobati demam, batuk, serak, dan penyakit lainnya.
b. Kulit kayu diyakini sebgai diuretic dan astringent juga digunakan dalam mengobati demam,
asma, gonorrhoea dan diare. Akarnya diyakini sebagai diuretic dan febrifuge.
c. Di India rebusan akar digunakan untuk mengobati disentri kronik dan penyakit cacing.

G. Perbanyakan
Ceiba petandra L.Gaertn. diperbanyak dengan biji atau stek. Biji disebarkan pada
bedengan-bedengan pembibitan dimana untuk 1Ha diperlukan biji kapuk sebanyak 16 kg. Setelah
berumur 1 (satu) tahun akar tunggang dipotong sampai tertinggal kurang lebih 30 cm dan lingkar
batang pada leher akar telah mencapai kurang lebih 10 cm. Ketika tanaman muda mencapai tinggi
12-15 cm, diletakkan di bawah cahaya matahari penuh. Tanaman yang tidak menerima banyak
sinar matahari tumbuh tinggi dan kurus. Cara kedua adalah stek, yaitu dengan cara mengambil
dari batang kapuk randu yang sudah tua, sepanjang 1,5 - 2 m. Akan tetapi cara stek ini bentuk
pohon maupun produksinya tidak sebaik tanaman yang berasal dari biji.
Apabila Ceiba petandra L.Gaertn. akan dilakukan penanaman pada tanah yang berpasir,
maka 2-3 bulan sebelumnya harus sudah dibuat lubang tanam. Penanaman sebaiknya dilakukan
pada awal musim hujan. Untuk tanah subur, lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x
40 cm, jika tanahnya kurang subur maka dibuat lubang tanam dengan ukuran 80 cm x 80 cm x 80
cm. Setelah dibuat lubang tanam, dibiarkan terlebih dahulu 2-3 hari, kemudian diberikan pupuk
kandang sebanyak 5 kg. Pada saat penanaman, dibuat lubang secukupnya untuk memasukkan akar
tanaman. Untuk mengurangi penguapan, di sekitar tanaman sebaiknya diberikan mulsa dari
serasah daun atau lainnya. Dalam penanaman komersial di Jawa, Ceiba petandra L.Gaertn.
ditanam dengan jarak 7 m 7 m atau 8 m 8 m. Penanaman dilakukan dengan tumpang sari
antara Ceiba petandra L.Gaertn dengan palawija sebaiknya berjarak tanam 10 m 10 m serta

202 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


jarak tanaman tumpangsari dibatasi 2 m dari pohon Ceiba petandra L.Gaertn. Pemupukan
diberikan 2 (dua) kali setahun atau sekaligus setahun sekali.
Perawatan kapuk randu dilakukan untuk mengurangi gulma serta benalu Loranthus spp.
yang sering ditemui menyerang kapuk randu. Pemangkasan sebaiknya dilakukan pada awal
musim penghujan. Hama yang banyak ditemui adalah penggerek buah Mudaria variabilis dan
penggerek batang Alcides leeweni.
Pohon Ceiba petandra L. Gaertn. di beberapa tempat di Indonesia telah diusahakan secara
intensif. Misalnya di Pulau Jawa di lereng Gunung Muria (Pati) di sekitar Weleri, antara
SemarangPekalongan; di daerah Pandaan antara Gunung Arjuno dan Penanggungan dan antara
Pare dan Ngantang yaitu jalan dari Kediri menuju ke Malang.
Di Sulawesi Ceiba petandra L. Gaertn. didapati di bagian selatan Danau Tempe dekat
Sengkang, di bagian selatan dan timur Gunung Lompobattang sekitar Jeneponto dan Bantaeng,
kemudian di sekitar Tanette dan Pulau Muna. Pohon Ceiba petandra L. Gaertn di Indonesia
dikembangkan oleh rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah (BUMN). Areal
seluruhnya saat ini mencapai 250.500 ha dengan produksi serat mencapai 84.700 kg (Direktorat
Budidaya Tanaman Tahunan, 2008).
Di Asia Tenggara, pohon Ceiba petandra L. Gaertn. ditanam di sekitar desa, di lahan petani
atau di penanaman komersial. Ceiba petandra L. Gaertn. juga ditanam di sepanjang jalan dan di
sekeliling ladang. Di Jawa, Ceiba petandra L. Gaertn sangat jarang ditanam sebagai tanaman
yang diperjualbelikan. Pohon ini digabungkan dengan bermacam-macam tanaman, seperti ketela
pohon (Manihot esculenta Crantz), kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dan turmeric (Curcuma
longa L.). Di Kamboja digabungkan dengan tanaman jagung, kapas dan kedelai selama 2 - 3
tahun pertama setelah penanaman pohon.

H. Nilai Ekonomi
Buah randu (Ceiba petandra L. Gaertn.) biasanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan
baku kasur dan bijinya dapat diolah menjadi minyak biji randu (Ricinus comunis) sebagai bahan
bakar nabati atau sumber energi alternatif atau biodiesel. Satu pohon Ceiba petandra,
menghasilkan buah randu sebanyak 140 kg, dijual dengan harga Rp 2.500/kg, akan menghasilkan
Rp 350.000. Namun demikian Ceiba petandra merupakan salah satu pohon yang berpotensi
menghasilkan minyak. Setiap gelondong buah Ceiba petandra mengandung 26% biji, sehingga
setiap 100 kg gelondong Ceiba petandra akan menghasilkan 26 kg limbah biji, dijual dengan
harga Rp 500/kg lebih murah dibandingkan dengan minyak biji jarak (Ricinus communis) dengan
harga Rp 4000/kg (Hambali dkk., 2006; Prihandana dan Endroko, 2007). Namun minyak biji
Ceiba petandra berpotensi untuk dijadikan subsitusi biodiesel, dimana sumber minyak nabati
yang terkandung di dalam biji Ceiba petandra sebesar 24-40% (http://www.disbunjatim-
online.htm ).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 203


Gambar 3. Buah dan Serat putih kapuk Ceiba petandra
(Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?album=301&p=2&s=1)

II. PROSPEK PENGEMBANGAN

Dengan semakin mahal dan terbatasnya BBM fosil di alam maka harus dicari energi
alternatif yang dapat diperbaharui yang antara lain biofuel misalnya biodiesel. Beberapa kajian
seperti yang dikemukakan oleh peneliti ITB bahwa minyak nabati dapat langsung digunakan
sebagai minyak diesel. Pengembangan biodiesel sebagai pengganti solar, meskipun dari aspek
lingkungan lebih menguntungkan maka yang tidak kalah pentingnya adalah tinjauan dari aspek
ekonomisnya, karena kalau biodiesel jauh lebih mahal dari BBM maka akan kurang mendapat
respon dari pengguna (masyarakat atau industri). Oleh karena itu diperlukan bahan baku biodiesel
yang banyak terdapat atau mungkin dapat dikembangkan di indonesia, misal Minyak biji Ceiba
petandra mempunyai potensi yang besar untuk dieksplorasi sebagai bahan baku biodiesel
(Rahmat Hidayat, 2010).
Ceiba petandra adalah salah satu komoditas yang dipilih oleh masyarakat Indonesia
terutama Jawa Timur, karena memiliki beberapa keunggulan, yakni: Pertama, mudah
dibudidayakan, Kedua, waktu panen lebih singkat (5 tahun) dengan daur pohon bisa mencapai 50
tahun, Ketiga, harga buah randu relatif lebih stabil dengan pangsa pasar yang terjamin, Keempat,
termasuk tanaman konservasi, makanya ditanam di tepi-tepi sungai, Kelima, memberikan
keuntungan lain berupa industri lebah madu bagi masyarakat dan Keenam, bijinya pun dapat
menghasilkan minyak. Peluang untuk mengembangkan jenis pohon Ceiba petandra sebagai
sumber bahan bakar biodiesel sangat diperlukan (http://kapukrandukaraban-pati.blogspot.
com/2011 08_01 archive.html).
Pengembangan pohon Ceiba petandra dilakukan di Pandaan dekat dengan Perusahaan
minyak biji Ceiba petandra pada areal 12.604 ha dengan jumlah pohon 2.048.757 pohon dan
menghasilkan biji kapuk randu 7.900 ton dengan kapasitas produksi mencapai 600 ton per tahun.
Selain bijinya dimanfaatkan sebagai minyak, kapuknya dapat dimanfaatkan untuk kasur/jok.

204 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Penanaman juga dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, hasil inventarisasi sementara,
pohon Ceiba petandra menghasilkan populasi sejumlah 439,8 pohon (Anonim, 1994). Bila rata-
rata diameter batang pohon sebesar 45 cm dan tinggi pohon bebas cabang 9 m (yang dapat
dipungut untuk pertukangan) serta rotasi 10 tahun akan diperoleh volume kayu pertukangan
sebesar 62.953 m3 per tahun.

III. PENUTUP

Ceiba pentandra L.Gaertn. adalah salah satu komoditas yang dipilih oleh masyarakat
Indonesia memiliki beberapa keunggulan, yakni mudah dibudidayakan, waktu panen lebih singkat
(5 tahun), harga buah randu relatif lebih stabil dengan pangsa pasar yang terjamin, termasuk
tanaman konservasi, dan bijinya dapat menghasilkan minyak atau sumber bahan bakar biodiesel.
Selain bijinya dimanfaatkan sebagai minyak, kapuknya dapat dimanfaatkan untuk kasur/jok.
Biodiesel tidak akan habis karena bahan bakunya dapat ditanam atau diperbaharui
sumbernya. Dengan berkembangnya biodiesel jelas akan dapat memanfaatkan tanah-tanah kritis
yang banyak tersebar diseluruh pelosok tanah air. Penggunaan biodiesel ini akan menurunkan
polusi udara karena emisi hidrokarbon lebih sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Chatarina, S.R. 1992. Sifat fisik dan mekanika kayu randu (Ceiba petandra L. Gaern.). Skripsi
INSTIPER Yogyakarta (tidak diterbitkan).
Dewayani. H. 2008. Potensi minyak biji randu (Ceiba petandra) sebagai alternatif bahan baku
Biodiesel. Jurnal Teknologi Separasi Vol.I No.2. DISTILAT.
Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta. 1994. Laporan Tahunan. Yogyakarta.
Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan. 2008. Budidaya Kapuk ( Ceiba petandra L.Gaern.).
Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Hambali, Erliza. 2006. Diversifikasi Produk Olahan Jarak Pagar dan Kaitannya dengan Corporate
Social Responsibility. Perusahaan Swasta di Indonesia. Eka Cipta Foundation. Bogor.
Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia IV. Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jakarta.
http://kapukrandukaraban-pati.blogspot.com/2011_08_01_archive.html. Prospek Kapuk Randu
(Ceiba petandra L.Gaern.). Diunduh 12 September 2011.
http://www.kapuk-kasurcplus.com/berita-103-kapuk-randu-ceiba-pentandra-l.html. Kapuk Randu
(Ceiba petandra L.Gaern.). Diunduh 12 September 2011.
Prihandana, R. dan R. Endroko. 2007. Energi Hijau Pilihan Menuju Negeri Mandiri Energi.
Penebar Swadana. Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 205


Rahmat Hidayat. 2010. Pemanfaatan Minyak Biji Kapuk Randu (Ceiba pentandra) dalam
Pembuatan Biodiesel dengan Teknologi Gelombang Mikro. http://memedtpunyasesuatu.
blogspot.com/2010/04/pemanfaatan-minyak-biji-kapuk.html. Diunduh 1 Oktober 2011.
Soerawidjaya, T. 2005. Membangun Industri Biodiesel di Indonesia. Beberapa Skenario dan
Persoalan Pengembangan yang Perlu Dicermati. Forum Biodiesel Indonesia (FBI).
Tatang, H.S. 2006. Material Aspects of Biodiesel Production in Indonesia. Seminar Business
opportunities of Biodiesel into the Fuel Market in Indonesia. BPPT. Jakarta, 8 Maret 2006.

206 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


POTENSI NYAMPLUNG (Callophyllum spp) SEBAGAI SUMBER ENERGI
ALTERNATIF BAGI MASYARAKAT KABUPATEN KAYONG UTARA
KALIMANTAN BARAT

Oleh:
Burhanuddin, Sudirman Muin, Eddy Thamrin dan Abdurrani Muin
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura
E-mail: hans_borneo@yahoo.co.id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi tegakan alam dan kadar minyak nyamplung
(penage) sebagai sumber energi alternatif di Kabupaten Kayong Utara. Penelitian dilakukan di
sepanjang daerah pesisir Kabupaten Kayong Utara mulai dari daerah Telok Batang ke arah selatan
dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan secara sensus (100%) terhadap jumlah,
ukuran keliling pangkal batang dan tinggi pohon, dan secara sampling terhadap jumlah dan berat
buah serta kandungan minyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kayong Utara
terdapat tegakan alam nyamplung sebanyak 219 pohon di Desa Tambak Rawang dan 71 pohon di
Pulau Datok. Hasil pengukuran terhadap tinggi dan keliling pangkal batang menggambarkan
bahwa pohon-pohon yang terdapat di kedua lokasi tersebut sudah berukuan besar, namun rendah
(tidak lebih dari 8 meter). Dari hasil uji kandungan minyak mentah, ternyata biji nyamplung dari
tegakan alam yang terdapat di Kayong Utara cukup tinggi (53-63%). Kondisi ini menggambarkan
bahwa nyamplung ini cukup potensial untuk dijadikan sumber bahan energi alternatif dimasa yang
akan datang, terutama untuk kebutuhan masyarakat Kayong Utara.

Kata kunci: Jumlah pohon, kandungan minyak, energi alternatif, nyamplung

I. PENDAHULUAN

Menurunnya tingkat produksi minyak bumi yang seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk termasuk di Kabupaten Kayong Utara, menyebabkan harga bahan bakar minyak
bumi akan semakin sulit diperoleh dan harganya akan terus mahal karena persediaan yang
semakin terbatas. Menurut Saufi (2011) untuk menjamin pasokan energi dalam negeri terutama
penyediaan energi bagi industri, transportasi dan rumah tangga, serta untuk pengembangan
ekonomi lebih lanjut, perlu dilakukan langkah-langkah penghematan dan pengembangan
diversifikasi energi, termasuk energi alternatif yang terbarukan. Karena itu mulai sekarang sudah
harus dipersiapkan bahan energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar minyak bumi
tersebut. Minyak nabati sebagai biofuels dari biji nyamplung (Callophyllum spp.) merupakan
salah satu alternatif untuk menggantikan minyak bumi, terutama bagi masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir. Menurut Budi dan Rosika (2011) biodiesel yang dihasilkan dari nyamplung pun
memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman lain, rendemen minyak nyamplung lebih
tinggi, yaitu 40-73%, dari jarak pagar 40-60%, dan sawit 46-54%. Selain itu, daya bakar minyak
nyamplung dua kali lebih lama dibandingkan dengan minyak tanah.
Karena keunggulannya tersebut, maka jenis ini sudah dijadikan sebagai sumber energi
alternatif (bioenergi) di daerah Jawa dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan di daerah

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 207


Kalimantan Barat, termasuk di Kabupaten Kayong Utara. Hasil pengamatan Muin (2010)
menunjukkan bahwa sejumlah pohon nyamplung atau yang tumbuh secara alam ditemukan dan
tumbuh subur di Kabupaten Kayong Utara dan Desa Sukabaru Kabupaten Ketapang. Sebagai
jenis pohon yang tumbuh di daerah pantai, maka jenis pohon ini memiliki daya tahan yang tinggi
terhadap lingkungan, sehingga ditemukan dalam jumlah populasi yang besar.
Jenis ini sebetulnya sudah banyak dikenal oleh masyarakat Kayong Utara yang mereka
sebut dengan pohon penage, namun belum mengetahui jika bijinya dapat digunakan sebagai
sumber energi. Melihat potensi tegakan alam yang tersedia, maka sangat dimungkinkan biji
nyamplung digunakan sebagai sumber bahan baku energi alternatif. Namun untuk
memanfaatkannya masih membutuhkan informasi lokasi, potensi dan kondisi tegakan alam yang
tersedia serta kandungan (kadar) minyak pada biji dari tegakan alam tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tegakan alam nyamplung sebagai sumber
energi alternatif di Kabupaten Kayong Utara dengan melakukan studi terhadap: (1) jumlah dan
ukuran pohon nyamplung yang tumbuh secara alam, (2) rata-rata buah atau biji nyamplung per
pohon dan (3) rata-rata kadar minyak yang dihasilkan dari setiap kilogram biji kering nyamplung.

II. METODE PENELITIAN

A. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di sepanjang daerah pesisir Kabupaten Kayong Utara mulai dari daerah
Telok Batang ke arah selatan. Lokasi-lokasi ini ditentukan setelah mendapatkan informasi dari
masyarakat Kabupaten Kayong Utara.

B. Metode Penelitian
1. Potensi tegakan dan buah penage
Penelitian dilakukan dengan metode survei dan pengambilan data pohon nyamplung
ditentukan secara sensus. Data yang dikumpulkan meliputi lokasi pohon penage, ukuran batang
(tinggi total pohon), ukuran tajuk (luas dan tinggi tajuk), produksi buah (kg/pohon). Untuk
menghitung produksi buah, dilakukan pengambilan sampel buah di setiap cabang dan berat basah
buah ditimbang. Selain itu dilakukan juga pendataan terhadap potensi dan sebaran permudaan
alam yang terdapat di setiap lokasi.

2. Kandungan minyak nyamplung


Untuk mengetahui kandungan minyak mentah (masih mengandung getah) maka dilakukan
tahap-tahap pengolahan biji nyamplung sebagai berikut:
a. Pengeringan buah.
Buah segar yang diperoleh dari lapangan, dikupas kulit dan tempurungnya. Biji yang
sudah dikupas tersebut dijemur di bawah sinar matahari selama 30 hari. Pengeringan
dilakukan sampai biji nyamplung berwarna coklat kemerahan dan beratnya tetap.

208 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


b. Pengepresan biji.
Pengeperesan biji dilakukan dengan menggunakan alat press yang dibuat oleh
Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (UNTAN).
Sebelum biji dipress, terlebih dahulu biji nyamplung tersebut diblender secara kasar,
diblender kasar dan ditumbuk dengan meggunakan lesung dari batu, dan diblender
kembali sampai halus.
c. Uji ekstraksi (penyulingan)
Pengujian kandungan minyak dengan metode penyulingan dilakukan dengan cara dua
cara: (1) sisa peresan dari hasil belenderan dan (2) biji yang sudah dibelender secara kasar.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potensi Tegakan
1. Jumlah tegakan
Hasil survei yang dilakukan di sebelas tempat (Tabel 1) di Kabupaten Kayong Utara,
ternyata tegakan alam nymaplung hanya dijumpai di dua tempat yakni Tambak Rawang dan Pulau
Datok. Daerah Tambak rawang memiliki potensi tegakan alam nyamplung yang terbanyak (219
pohon) dengan lokus (luas daerah sebaran) sepanjang pantai 1.400 m dan melebar ke arah daratan
sepanjang 50 m. Sementara itu di Pulau Dato terdapat tegakan alam sebanyak 71 pohon dengan
lokus sepanjang pantai 1.250 m dan sebaran ke arah darat sepanjang kurang lebih 50 m.

Tabel 1. Lokasi dan potensi ditemukannya tegakan nyamplung di Kabupaten Kayong Utara

No. Lokasi Jumlah pohon Luas per lokus (ha)


1. Tambak Rawang 219 1.400 x 50
2. Pulau Datok 71 1.250 x 50

Jumlah 290

2. Ukuran tinggi pohon


Pengukuran tinggi dilakukan mulai dari permukaan tanah sampai ujung pucuk pohon
nyamplung paling atas. Hasil pengukuran yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pohon
nyamplung yang terdapat di dua lokasi (Tambak Rawang dan Pulau Datok) bukan merupakan
pohon yang berukuran tinggi. Dari hasil pengukuran tersebut, ternyata tinggi pohon yang terdapat
di Kayong Utara ini berkisar antara 2,5 m - 8 m. Tinggi pohon sekitar 2,5 - 4,9 m merupakan
terbanyak yang terdapat di Kabupaten ini.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 209


Tabel 2. Ukuran tinggi pohon nyamplung di Kayong Utara

Jumlah pohon/ukuran tinggi batang (m)


Lokasi Total
2,5-2,9 3,0-3,9 4,0-4,9 5,0-5,9 6,0-6,9 7,0-7,9 <8
Tambak Rawang 71 49 67 23 8 - 1 219
Pulau Datok 15 21 24 10 1 - - 71
Jumlah 86 70 91 33 9 - 1 290

Pohon-pohon seperti ini sangat cocok jika digunakan sebagai pohon penghasil buah.
Arsitektur pohon yang rindang dengan tajuk yang melebar, merupakan ciri khas pohon penghasil
buah. Pohon dengan arsitektur tajuk yang lebar ini dapat menghasilkan buah dalam jumlah yang
banyak dan pohon yang tinggi seperti ini akan mempermudah dalam pemanenan.

3. Ukuran keliling pangkal batang


Berdasarkan hasil pengukuran keliling pangkal batang, ternyata pohon yang terdapat di
Tambak Rawang sebagian besar memiliki ukuran keliling batang antara 34-49 cm, sementara
yang di Pulau Datok dengan ukuran keliling pangkal batang antara 50-74 cm. Meskipun jumlah
pohon nyamplung yang terdapat di Pulau Datok lebih sedikit, namun ukuran diameter atau
lingkaran keliling batangnya lebih besar.

Tabel 3. Ukuran keliling pangkal batang pohon penage di Kayong Utara

Jumlah pohon/ukuran keliling batang (cm) Jumlah


Lokasi
15-34 34-49 50-74 75-100 100 batang
Tambak Rawang 51 71 36 52 9 219
Pulau Datok 6 15 24 23 3 71
Jumlah 57 86 60 75 12 290

4. Kandungan minyak nyamplung


Untuk mengetahui kandungan minyak nyamplung yang terdapat di Kabupaten Kayong
Utara dilakukan pengumpulan buah yang masih di atas pohon dan yang sudah jatuh serta buah
yang akan masak. Ciri-ciri buah yang masak seperti juga dengan nyamplung di pulau Jawa adalah
kulit buah berwarna kuning dan jika sudah masak berwarna coklat agak keunguan, sedangkan
buah yang masih muda memilik kulit berwarna hijau.
Buah yang sudah dikumpulkan dibawa ke Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan
UNTAN untuk diuji kandungan minyaknya. Buah tersebut dikupas kulit dan tempurungnya dan
diambil bijinya yang selanjutnya dikeringanginkan selama 30 hari sampai beratnya tetap. Hasil
pengamatan perubahan berat buah segar, setelah dikupas kulit dalam keadaan segar dan setelah
dkeringkan tertera dalam Tabel 4.

210 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 4. Perubahan berat buah segar dan biji setelah dilakukan pengeringan

No. Berat segar + Berat segar tanpa Berat kering tanpa


% %
Sampel kulit (g) kulit (g) kulit (g)
1 1.000 414,3 41,43 281,3 67,90
2 3.000 1.077, 1 35,90 675,2 62,69
3 3.000 1.086,5 36,22 678,1 62,41
4 2.000 699,7 34,99 478,1 68,33
5 2.000 706,9 35,35 457,2 69.68
Rata 2.200 796,9 36,22 513,9 23,36

Tabel 5. Hasil analisis kandungan minyak dengan sistem pemeresan dan ekstraksi dengan
penyulingan

Berat contoh Kandungan % Ekstrak sisa Persentase


Metode penghalusan
(g) minyak minyak peresan total (%)
1. Dibelender kasar 300 97,33 ml 32,44 25,23 57,67
2. Dibelender kasar dan ditumbuk 100 39,33 ml 39,33 23,78 62,49
3. Dibelender halus 100 40,00 ml 40,00 23,42 63,42

Dari berbagai uji kandungan minyak tersebut (Tabel 5), ternyata kandungan minyak biji
nyamplung yang dihasilkan dengan membelender biji dan diperes menghasilkan minyak sebanyak
32,44 sampai 40%. Biji yang hanya dibelender kasar dan diperes menghasilkan minyak yang lebih
sedikit dibandingkan dengan dibelender dan ditumbuk serta dibelender halus. Selanjutnya sisa
peresan tersebut disuling dan menghasilkan minyak antara 23% sampai 25%. Dari kedua cara
tersebut menghasilkan minyak (diperes dan ekstrak), ternyata kandungan miinyak biji nyamplung
Kabupaten Kayong Utara berkisar antara 57,67 - 63,42%. Sementara itu kandungan minyak yang
diperoleh dari ekstrak langsung biji yang sudah dibelender hanya berkisar 54% (Tabel 6).
Menurut Yunarlaeli dan Rochmatika (2011) yang melakukan pemeresan biji karet, bahwa faktor
yang berpengaruh pada proses pengepresan yang pertama adalah ukuran bahan baku (karet).
Semakin kecil diameter biji karet, maka rendeman yang dihasilkan semakian besar. Faktor kedua
adalah ukuran pori-pori biji dan yang ketiga adalah daya tekan press.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang pernah dilakukan terhadap biji
nyamplung di pulau Jawa. Menurut Candra dan Sugiharto (2011) biji nyamplung yang sudah tua
mengandung minyak berkisar antara 40-70%. Menurut Sutrisno (2011) produksi nyamplung
pertahun sekitar 5-7 ton dengan jarak tanam 3 m x 3,5 m, dan menurut Friday dan Okano, 2005
dalam Sutrisno (2011) bahwa setiap pohon menghasilkan 30-50 kg biji dengan kadar minyak
berkisar antara 50-70%. Hargono dan Haryani (2010) juga menyatakan kandungan minyak pada
biji nyamplung yang tua yang diperoleh secara mekanik (pressing) mencapai 50-70%.
Produktivitas biji keringnya tinggi, 10 ton/ha dari jarak tanam 5 m x 10 m dan 20 ton dari jarak 5
m x 5 m, dengan kadar minyak 60 hingga 65% dari kapasitas total dan 45-40 minyak yang
diekstrak (Anonim, 2008).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 211


Tabel 6. Kandungan minyak biji nyamplung dari hasil ekstrak (suling)

Nomor sampel Berat sampel (g) Hasil ekstrak (g) Persentase (%)
1 5,135 2,767 53,89
2 5,147 2,754 53,51
3 5,112 2,771 54,21
Total 15,394 8,292 53,87

Dari hasil penelitian, ternyata di Kayong Utara terdapat sebanyak 219 pohon tegalan
nyamplung di Tambak Rawang dan 271 di Pulau Datok. Dari hasil analisis pengamatan pada
bulan Agustus (waktu tidak musim berbuah) masih ada sebagian dari pohon tersebut sedang
berbuah. Menurut data yang ada, rata-rata setiap pohon menghasilkan buah sekitar 8,5 kg,
sehingga diperkirakan tegakan alam nyamplung tersebut akan menghasilkan 2,32 ton buah segar.
Produksi buah akan lebih banyak pada musim berbuah yang menurut informasi masyarakat
setempat akan terjadi sekitar bulan Oktober atau Nopember. Pada waktu pengamatan, hampir
seluruh pohon tegakan alam nyamplung tersebut sedang berbunga dan hampir seluruh cabang dari
pohon tersebut terdapat bunga. Diperkirakan pada waktu musim berbuah, setiap pohon akan
menghasilkan 20-40 kg buah. Dalam perhitungan, jika sebanyak 80% dari pohon tersebut
berbuah, maka akan dihasilkan sebanyak 290 x 0,80 x 30 kg = 6.96 ton buah segar nyamplung
dengan biji kering sebanyak 1,6 ton.
Berdasarkan berat kering biji dan persentase minyak, maka tegakan alam nyamplung pada
waktu musim berbuah akan menghasilkan sebanyak 1,6 ton x 0,634% = 1000 liter minyak
mentah yang siap diolah menjadi bahan bakar elternatif. Produksi buah sebanyak ini sudah bisa
dimanfaatkan untuk kebutuhan bahan bakar (biodiesel) masyarakat setempat (nelayan dan bahan
bakar keperluan rumah tangga) dengan cara membangunan home industry berskala kecil sampai
menengah. Heryana (2010) mengemukakan bahwa nyamplung memiliki kelebihan sebagai bahan
baku biodiesel yang dihasilkan dari bijinya dengan rendemen cukup tinggi dan dalam
pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan pemanfaatan lain. Karena itu nyamplung merupakan
tanaman hutan yang memiliki potensial tinggi untuk dikembangkan sebagai bahan baku biofuels
(Hendra, Setiawan dan Wibowo, 2010). Kebutuhan bahan baku bisa ditingkatkan dengan
mendatangkan buah atau biji nyamplung dari daerah lain seperti Kabupaten Ketapang yang
menurut pengamatan Muin (2010) memiliki sejumlah tegakan alam. Perawatan secara intensif
terhadap tegakan alam juga akan meningkatkan produksi buah nyamplung di Kayong Utara
tersebut. Namun yang lebih penting jika ingin meningkatkan produksi sumber energi yang
didukung industri berkapasitas tinggi, perlu dilakukan pembangunan hutan tanaman nyamplung di
Kabupaten Kayong Utara dengan menggunakan tegakan alam sebagai sumber benih.
Untuk menggalakan penanaman nyamplung bagi masyarakat di Kabupaten Kayong Utara
perlu disusun suatu program dengan tahapan kegiatan sebagai berikut:
a. Program pertama diarahkan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat
nyamplung nyamplung.
b. Pemberian bantuan atau pembuatan demplot pembibitan.
c. Penanaman nyamplung serta pelatihan teknik menanam dan pemeliharaan tanaman.

212 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


d. Pemberian bantuan mesin pengolah nyamplung menjadi bahan bakar alternatif atau biofuel
disertai dengan pelatihan teknik penggunaannya.
e. Pelatihan kepada masyarakat pesisir teknik pengolahan biji nyamplung menjadi minyak
mentah,
f. Uji coba penggunaan minyak (biodiesel) kepada nelayan yang memiliki kapal penangkap ikan
dan ibu rumah tangga yang menggunakan kompor sebagai alat memasak.
g. Memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk melakukan pembangunan hutan tanaman
nyamplung nyamplung dan mendirikan industri pengolah biji nyamplung.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kayong Utara terdapat tegakan alam
nyamplung atau disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan penage. Tegakan alam
tersebut terdapat di Tambak Rawang sebanyak 219 pohon dan Pulau Datok sebanyak 71
pohon. Tegakan alam yang di Tambak Rawang menyebar sejajar pesisir pantai sepanjang
kurang lebih 1.400 m dan kearah daratan selebar 50 m, sedangkan di Pulau Datok sepanjang
1.250 m dan kearah darat selebar 50.
2. Hasil pengukuran terhadap tinggi dan keliling pangkal batang menggambarkan pohon-pohon
yang terdapat di kedua lokasi tersebut sudah berukuran besar, namun rendah (tidak lebih dari
6 meter). Tinggi pohon antara 3-4 meter merupakan yang terbanyak baik di Tambak Rawang
maupun di Pulau Datok. Sebagian besar pohon-pohon tersebut bercabang lebih dari satu pada
pangkal batangnya dengan ukuran diameter cabang lebih dari 15 cm. Di Tambak Rawang
sebagian besar ditemukan pohon dengan ukuran keliling antara 34-49 cm, sedangkan di Pulau
Datok antara 50-74 cm.
3. Dari hasil uji kandungan minyak mentah, ternyata biji nyamplung (penage) dari tegakan alam
yang terdapat di Kayong Utara cukup tinggi (53-63%). Kondisi ini menggambarkan bahwa
nyamplung (penage) ini cukup potensial untuk dijadikan sumber bahan baku enegri alternatif
(biofuel) dimasa yang akan datang, terutama bagi masyarakat Kabupaten Kayong Utara.

B. Saran
1. Dalam rangka mendukung Program Pemerintah untuk memanfaatkan nyamplung sebagai
bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi, maka Kayong Utara dengan potensi tegakan
alam yang ada sekarang perlu menyusun program penyediaan bahan baku biofuel dimasa
mendatang.
2. Program tersebut dimulai dengan memanfaatkan tegakan alam yang tersedia sekarang ini
(Tambak Rawang dan Pulau Datok) sebagai awal penggunaan biofuel dan dilanjutkan dengan
pembangunan hutan tanaman nyamplung dengan tegakan yang berkualitas (cepat berbuah,
produksi buah tinggi dan kandungan minyak yang lebih tinggi).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 213


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Pusat Penelitian dan Pengambangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian
pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophyllum inopyllum L.) tahun 2005-2008.
http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf.
Benny. 2007. Pemanfaatan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai biokarosen,
benny.blog.uns.ac.id/2010/07/21/136/. Diunduh tanggal 28-2-2011.
Budi, A dan N. Rosika. 2011. Nyamplung, Tanaman Penghasil Biofuel. http://www.
agrikaindoraya.com/nyamplung-tanaman-penghasil-biofuel/.Diunduh tanggal 28 2 -2011.
Chandra, W.S.A. dan M.S. Sugiharto. 2011. Prints.undip.ac.id/1347/1/makalah_penelitian_pdf.
pdf. Dikutip 28 September 2011.
Hargono dan K. Haryani. 2010. Pengaruh jenis solvent dan variasi tray pada pengambilan minyak
nyamplung dengan metode ekstrasi kolom. Prosiding Seminar Nasional Teknik
KimiaKejuangan, Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya
Alam Indinesia. Tanggal 26 Januari 2010. Repository.upnyk.ac.id./593/1/50.pdf. Dikutip
tanggal 28 Sept 2011.
Hendra D., D. Setiawan dan S. Wibowo. 2010. Anilisis sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung
(Callophyllum inophyllum L.) hasil proses degumming. Bulletin Hasil Hutan 16 (1) : 63-70.
Heryana, D. 2010. Perbanyakan tanaman nyamplung (Callopyllum inophyllum) melalui sambung
pucuk. Jur. Info Teknik 1(1) : 63-69.
Saufi, A. 2011. Agroforestri nyamplung sebagai sumber bahan baku biodiesel.
www.facebook.com/ topic.php?uid=214087676235. Diunduh tanggal 28-2 2011.
Sutrisno, E. 2011. Nyamplung (Calophyllum inophyllum). Soetrisnoeko.blogspot.com
/2011//nyamplung-Calopyllum.
Yunarlaeli, F. dan B. Rochmatika. 2011. Penga ruh metode pengepresan terhadap minyak biji
karet. Puslit.petra.ac.id.journals/pdf.php?publishedID=MES 09110209. Dikutip Tanggal 28
Sept 2011.

214 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


PAPER MILLS SLUDGE: LIMBAH ATAU SUMBERDAYA?
(Overview Penelitian Pemanfaatan PMS Sebagai Bahan Amelioran Tanah)

Oleh:
Enny Widyati
Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan
Puslitbang Produktivitas Hutan
E-mail: enny_widyati@yahoo.com

ABSTRAK

Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas kelas atas dunia maka yang juga
menghasilkan paper mills sludge (PMS) sebagai salah satu limbahnya dalam jumlah besar.
Sampai saat ini belum ada pemanfaatan secara optimal bahan tersebut karena masih terdapat
polemik berkepanjangan antara kekhawatiran akan bahan berbahaya yang terdapat di dalamnya
dengan potensi manfaat yang terdapat dalam bahan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa
PMS yang berasal dari virgin pulp tidak mengandung bahan yang berbahaya. Aplikasi PMS pada
dosis 50% dapat memperbaiki sifat-sifat tanah gambut, tanah bekas tambang batubara dan tailing
tambang mineral secara signifikan setelah 15 hari aplikasi. Bahan tersebut dapat memperbaiki pH,
KTK, ketersediaan unsur hara makro serta menurunkan kelarutan logam-logam berat secara
signifikan. Dengan demikian saatnya mengubah image PMS dari limbah menjadi sumber bahan
organik untuk memperbaiki lahan-lahan terdegradasi yang banyak terdapat di Indonesia.

Kata kunci: Perbaikan sifat-sifat tanah, PMS, sumber bahan organik

I. PENDAHULUAN

Hingga saat ini, Indonesia masih merupakan salah satu negara pengekspor pulp dan kertas.
Dengan total produksi nasional mencapai lebih dari 16 juta ton per tahun, diperkirakan setiap hari
di seluruh industri kertas di Indonesia dihasilkan lebih dari 4.800 ton limbah padat yang dikenal
dengan nama sludge (paper mills sludge = PMS). Namun karena di Indonesia PMS dikategorikan
sebagai limbah B3 (walaupun tidak tercantum dalam tabel lampirannya), sampai saat ini
pengelolaan PMS di beberapa industri pulp dan kertas, sebagian besar hanya dibenamkan ke
dalam tanah sebagai land filling, ditumpuk di lahan terbuka (opened dumping) atau dibakar.
Penanggulangan dengan cara-cara tersebut mempunyai beberapa resiko.
Pengelolaan PMS di beberapa industri besar di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan
cara pengomposan. Investasi besar telah dialokasikan untuk mengelola PMS menjadi kompos, di
samping itu berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji apakah kompos PMS layak untuk
diaplikasikan di sektor pertanian dan kehutanan. Hasil penelitian kerjasama PT Arara Abadi
dengan Biotrop yang dilakukan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa kompos PMS dapat
meningkatkan produktivitas jagung, sayur mayur dan jamur merang.
Walaupun perusahaan telah mengelola PMS dengan baik melalui pengomposan, regulasi
dari pemerintah belum mendukung upaya pemanfaatan kompos PMS tersebut. Regulasi
pemerintah cenderung melarang walaupun pendapat para pakar yang didasarkan pada hasil

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 215


penelitian dan kajian mendalam bahwa PMS dan komposnya tidak perlu dikhawatirkan
mengandung bahan-bahan berbahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan biota
lainnya. Pada bulan November 2008 diadakan suatu simposium oleh Pusat Penelitian Hasil Hutan
(saat ini berganti nama menjadi Pusat Penelitian Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan), Badan
Litbang Kehutanan yang membahas masalah pemanfaatan PMS. Dalam simposium tersebut para
pakar PMS memaparkan hasil penelitian masing-masing dan hampir seluruh pemakalah tidak
menemukan hal-hal yang perlu dikhawatirkan yang terdapat dalam PMS. Oleh karena itu,
makalah ini akan mereview hasil hasil penelitian maupun data sekunder pemanfaatan PMS untuk
memperbaiki produktivitas lahan sektor pertanian, kehutanan dan pertambangan.

II. PMS MEMPERBAIKI KUALITAS TANAH, MENGHEMAT PUPUK KIMIA


DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN

Sejalan dengan meningkatnya populasi penduduk dunia, masalah krusial yang akan dihadapi
oleh umat manusia (termasuk penduduk Indonesia) adalah prediksi terjadinya krisis pangan,
energi dan air (food, energy and water scarecity = FEWS). Hal ini mulai dirasakan di Indonesia
misalnya terjadinya antri bahan bakar, kebanjiran di musim hujan dan kelangkaan air di musim
kering serta teridentifikasinya daerah-daerah rawan pangan dan mencuatnya kasus balita gizi
buruk di berbagai mass media.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi hal tersebut.
Untuk meningkatkan ketahanan pangan antara lain melalui perluasan lahan pertanian
(ekstensifikasi pertanian) dan program intensifikasi pertanian serta program diversifikasi pangan.
Namun demikian luas bumi tidak akan pernah bertambah, sedangkan selain untuk lahan pertanian,
permintaan akan lahan pemukiman, industri, dan prasarana penunjang lainnya juga semakin
meningkat. Oleh karena itu, optimasi produksi pertanian sebagai salah satu upaya intensifikasi
pertanian merupakan suatu solusi yang paling sesuai. Optimasi dapat dilakukan dengan
meningkatkan produktivitas lahan atau memperbaiki lahan yang kurang produktif agar dapat
berproduksi optimal.
Krisis energi dapat diatasi melalui penyediaan energi alternatif. Indonesia kaya akan
sumber-sumber energi misalnya energi surya, energi angin, energi air atau energi panas bumi. Di
samping itu, banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu energi (kayu bakar dan
arang). Penggalakan penanaman tanaman penghasil bioenergi atau biodiesel juga merupakan
upaya yang dapat mengatasi krisis energi sekaligus dapat meningkatkan pendapatan nasional.
Krisis air hanya dapat diatasi dengan menampung semaksimal mungkin, menyimpan selama
mungkin dalam tanah, air yang datang dari hujan serta mengeluarkannya sebagai air permukaan
sepanjang tahun. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui revitalisasi fungsi hutan. Dengan
demikian rehabilitasi lahan dan hutan yang sudah dilaksanakan selama ini harus mencapai hasil
yang lebih memuaskan.
Cara yang paling mudah untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah managemen bahan
organik tanah. Menurut Stevenson (1994), bahan organik akan memperbaiki sifat fisik tanah
antara lain meningkatkan water holding capacity (WHC) tanah, sehingga dapat memperbaiki
kelembaban dan suhu tanah, ketersediaan air bagi tanaman dan mikroba. Selain itu bahan organik

216 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


juga akan memperbaiki agregasi tanah dan menurunkan kepadatan tanah. Secara kimia, bahan
organik akan dimineralisasikan menjadi unsur-unsur hara, merupakan sumber kation yang akan
memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) tanah. Bahan organik
bersifat amfoter sehingga mempunyai kapasitas penyangga yang akan memperbaiki pH tanah.
Meningkatnya KTK dan KB serta pH yang sesuai akan menyebabkan pemupukan lebih efisien
karena pupuk yang ditambahkan diikat oleh tanah sehingga tidak hilang karena tercuci ketika
hujan. Selain itu, bahan organik juga dapat memperbaiki sifat biologi tanah karena bahan organik
menyediakan sumber makanan, energi dan shelter bagi mikroba tanah.
Namun demikian, luasnya lahan pertanian akan menuntut pemenuhan permintaan bahan
organik dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Bahan organik yang umum digunakan
sampai saat ini adalah kompos sampah organik, kompos sisa panen, kompos sisa pakan ternak,
pupuk kandang dan hijauan. Kebutuhan bahan organik yang dipasok dari sumber-sumber tersebut
tidak pernah cukup sehingga harga bahan organik tersebut makin lama makin mahal. Hasil
kunjungan ke beberapa toko pertanian di Kota Bogor menunjukkan bahwa harga kompos
komersial saat ini berkisar antara 900 - 3.000 rupiah per kilogram. Apabila dalam satu hektar
diperlukan 5 ton, maka biaya produksi akan meningkat 4.500.000 - 15.000.000 rupiah, suatu nilai
yang tidak rasional. Di samping itu, produk kompos yang ada saat ini tidak akan mampu
memenuhi seluruh kebutuhan bahan organik yang diperlukan, sehingga sebagian besar petani
masih memilih menggunakan pupuk kimia untuk mengoptimalkan produksi hasil panen.
Oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber kompos yang mampu menyediakan dalam
jumlah besar dan berkesinambungan. Menurut beberapa hasil penelitian di beberapa instansi di
Indonesia, kompos PMS merupakan salah satu sumber atau subtituen bahan organik tanah yang
dapat dipertimbangkan. Seperti disampaikan pada bagian terdahulu, bahan ini memiliki
kandungan nutrisi yang memadai, keraguan akan kandungan bahan berbahaya tidak terbukti,
tetapi terbukti memperbaiki properti tanah dan produktivitas tanaman.
Di Eropa, Amerika dan Canada, kompos PMS sudah banyak diaplikasikan untuk
meningkatkan produktivitas hortikultura dan HTI. Di negara-negara tersebut PMS tidak lagi
dipandang sebagai limbah tetapi sebagai sumberdaya (resource) (Cooperband et al., 2000).
Kompos PMS digabung dengan pupuk kandang, pupuk pabrikan dan bahan amelioran lain telah
banyak diaplikasikan pada tanaman jagung dan kentang.
Salah satu contoh adalah di Central Wisconsin yang merupakan salah satu kota produsen
pulp dan kertas terbesar di Inggris telah menghasilkan PMS dalam jumlah besar. Sebelumnya
PMS hanya diperlakukan sebagai land filling. Saat ini pemanfaatan kompos PMS mulai
berkembang pesat setelah hasil analisis dari Consogro tidak menemukan senyawa yang
mengandung klor pada kompos PMS (Cooperband et al., 2000). Saat ini penelitian tentang
keuntungan dan kemungkinan resiko lingkungan jangka pendek dan jangka panjang akibat
pemanfaatan kompos PMS pada tanaman pertanian masih terus dilakukan secara komprehensif di
Wisconsin. Karena daerah ini berencana akan memanfaatkan kompos PMS pada skala besar-
besaran pada rentang kisaran pemanfaatan lahan yang luas.
Central Wisconsin juga merupakan salah satu sentra penghasil sayur mayur. Daerah ini
mempunyai jenis tanah dengan tekstur berpasir sehingga irigasi harus dilakukan secara intensif
(Cooperband et al., 2000). Namun saat ini petani sayur di daerah ini menghadapi hasil panen yang

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 217


merosot kualitasnya dan adanya peningkatan serangan penyakit sehingga harga sayur mayur
menjadi merosot yang mengakibatkan menurunnya pendapatan petani. Hal ini diduga karena
kondisi tanah yang sudah dibudidayakan dalam jangka waktu lama mendukung berkembangnya
penyakit. Seperti halnya manusia, tanaman memiliki preferensi terhadap unsur hara tertentu, tidak
menyukai terhadap unsur hara tertentu dan selalu menghasilkan eksudat akar sebagai metabolit
sekunder. Ketika dalam jangka waktu yang lama digunakan sebagai budidaya monokultur dalam
tanah akan terjadi pengurasan hara yang disukai, penumpukan hara yang tidak disukai dan
penumpukan eksudat akar. Hal ini yang mengakibatkan datangnya penyakit.
Di lain sisi, petani dituntut oleh berbagai fihak untuk meminimalisir penggunaan pestisida
dan pupuk kimia. Oleh karena itu The Wisconsin Potato Vegetable Growers Association
(WPVGA) tertarik untuk memelopori pengembangan sistem pengelolaan tanaman alternatif, yaitu
peningkatan kualitas tanah dan meminimalisir dampak lingkungan pertanian sayur mayur dengan
memanfaatkan PMS atau kompos PMS (Cooperband et al., 2000).
Sudah banyak penelitian penggunaan PMS maupun kompos PMS dengan hasil bahan
tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah seperti ketersediaan nutrien, meningkatnya
kelembaban, meningkatnya struktur tanah, memperbaiki pH, dan lain-lain, sehingga
meningkatkan produktivitas pertanian. Berikut akan dibahas peningkatan kualitas tanah akibat
pemanfaatan PMS atau komposnya. Di Canada penggunaan kompos PMS merupakan salah satu
cara yang efisien untuk memperbaiki nutrisi tanah, sifat biokimia dan fisik tanah yang bertekstur
kasar yang digunakan sebagai lahan budidaya kentang (Simard et al., 2000).
Dampak yang diberikan karena penambahan bahan organik akan memberikan pengaruh
dalam jangka panjang serta tidak menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan. Hasil kajian
Cooperband et al. (2000) pada budidaya tanaman kentang menunjukkan bahwa setelah satu tahun
perlakuan aplikasi kompos PMS dapat meningkatkan kelembaban tanah sebesar 25 - 67% lebih
tinggi dibanding kontrol. Akibatnya aplikasi kompos PMS meningkatkan ketersediaan air bagi
tanaman sebesar 33 - 150% lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol. Hal ini karena kompos PMS
(dan bahan organik pada umumnya) mempunyai kapasitas untuk memegang air beberapa kali lipat
dibandingkan dengan biomasnya.
Menurut Cooperband et al. (2000), hasil perbaikan kualitas tanah berpasir di Central
Wisconsin yang paling dramatis setelah penambahan PMS adalah peningkatan pH tanah dari asam
menjadi netral. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Widyati (2006), bahwa pada lahan bekas
tambang batubara penggunaan PMS dosis 25% dapat meningkatkan pH dari 3,2 menjadi 6,6
dalam waktu 14 hari. Hasil serupa juga dicapai oleh Widyati et al. (2009), aplikasi PMS pada
tanah gambut menunjukkan bahwa penambahan kompos sludge dengan dosis 50% dapat
meningkatkan pH tanah gambut dari 4,1 menjadi 6 pada hari ke-5 setelah inkubasi dan pada hari
ke-10 pH meningkat pada level 6,6. Nilai pH 6,6 ini merupakan kisaran nilai optimum hampir
bagi semua jenis tanaman.
Pemberian PMS atau kompos PMS dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara makro.
Penelitian Cooperband et al. (2000), menunjukkan bahwa penambahan kompos PMS dengan C/N
20 dapat menyediakan kebutuhan N 25 - 50% dari total N yang dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini
terdeteksi dari peningkatan secara signifikan ketersediaan residu NO3-N dalam tanah setelah
panen pada lahan yang diamendemen dengan kompos PMS. Penelitian Bowen et al. (1995)

218 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


menggunakan kompos PMS dan PMS pada areal penanaman kentang (Solanurn tuberosum L.
Hilite Russet) menunjukkan bahwa areal yang diberi penambahan PMS dapat memproduksi
kentang lebih tinggi dibandingkan dengan areal yang diberi pupuk N sebanyak 200 kg/ha. Hasil
ini sejalan dengan hasil kajian Cooperland et al. (2000) bahwa hasil panen kentang pada tanah
berpasir yang ditambah dengan perlakuan PMS atau kompos PMS menghasilkan tanaman kentang
yang lebih baik secara kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan tanaman kentang pada
lahan yang sama yang dibudidayakan melalui cara-cara budidaya konvensional.
Kompos PMS telah digunakan sebagai campuran untuk memperbaiki kesuburan tanah
pertanian dalam jumlah besar di Amerika bagian Utara setiap tahunnya (N'Dayegamiye, 2006).
Kajian lapangan selama tiga tahun (19971999), untuk menguji dampak aplikasi PMS pada
tanaman jagung (Zea mays L.), baik terhadap perbaikan sifat tanah maupun hasil panen
menunjukkan penambahan PMS 20 ton/ha ditambah 135 kg pupuk N/ha dan perlakuan 40 PMS
ton/ha digabung dengan 90 kg pupuk N/ha merupakan kombinasi terbaik dalam mencapai
produktivitas optimal jagung. Produktivitas yang dicapai setara dengan budidaya jagung tanpa
penambahan PMS dengan perlakuan pupuk N sebesar 180 kg/ha. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Cooperband et al. (2000) pada tanaman kentang yang disebutkan di atas,
bahwa aplikasi kompos PMS membantu menurunkan penggunaan pupuk kimia N sebesar 25
50% dari kebutuhannya.
N'Dayegamiye (2009) juga melaporkan hasil penelitian lapangan selama enam tahun (2001
2006) untuk mengetahui dampak pemberian PMS secara berulang-ulang digabung dengan
pemupukan pupuk kimia dan pupuk kandang terhadap kualitas tanah dan produktivitas tanaman
jagung (Zea mays L.), barley ( Hordeum vulgaris L.), dan kedelai (Glycine max L. Merr.) yang
ditanam pada tanah bertekstur liat dan bertekstur pasir. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa
aplikasi PMS dan pupuk kandang meningkatkan mineralisasi N dan meningkatkan hasil panen
ketiga komoditas tersebut lebih baik pada tanah berpasir daripada tanah berliat. Aplikasi PMS
pada dosis 36 dan 54 ton/ha tanpa pupuk NPK dan PMS pada dosis 18 ton/ha digabung dengan
pemupukan NPK 60% dari dosis umum memberikan produktivitas tertinggi pada kedua jenis
tanah tersebut dibandingkan dengan tanpa pemberian PMS dengan 100% pasokan pupuk NPK
pabrikan. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi kompos PMS dengan dosis yang tepat dapat
menurunkan penggunaan pupuk pabrikan dari 40% sampai tergantikan sama sekali sehingga tidak
perlu lagi menambahkan pupuk kimia.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan kompos PMS dapat meningkatkan
resistensi tanaman terhadap serangan patogen tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vallad
et al. (2000) menggunakan bahan organik PMS, kompos PMS dan kompos PMS yang dicampur
dengan kulit kayu (access bark) diaplikasikan pada tanaman kentang, mentimun dan snap bean.
Kemudian diinokulasi dengan berbagai penyakit antara lain Phytium spp, patogen yang dapat
merusak umbi, akar dan daun tanaman kentang, patogen penyebab penyakit lodoh pada mentimun
dan bercak cokelat pada daun dan polong kacang snap. Penelitian dilakukan selama tiga tahun
pada lahan yang memiliki tanah bertekstur pasir (Tabel 1).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 219


Tabel 1. Dampak penambahan kompos PSM terhadap insiden serangan penyakit

Kentang Snap bean


(1998) (1999)
Perlakuan Pytium Snap bean Pythium Aerial Foliar Pod
yield damping off pythium brown brown spot
index incidence spot incidence
PMS 10T/ha 6,3 6,37 1,8 3,0 2,3 22,9
PMS 5T/ha 5,1 7,19 1,4 1,7 3,4 34,3
Kompos PMS tinggi 10,3 7,43 1,5 1,5 1,5 12,1
Kompos PMS rendah 4,8 6,27 1,8 1,7 1,1 7,6
Kompos PMS+bark tinggi 4,1 6,80 1,7 1,9 2,4 25,3
Kompos PMS+Bark rendah 8,1 6,46 1,7 1,9 2,5 23,3
Kontrol 13,1 6,08 3,2 15,0 3,9 24,7

III. PMS MEMPERBAIKI PROPERTI TANAH GAMBUT DAN MENINGKATKAN


PRODUKTIVITAS TEGAKAN HTI

Indonesia memiliki luasan hutan gambut yang cukup besar. Seperti kondisi hutan yang lain,
hutan gambutpun banyak mengalami kerusakan. Namun demikian, lingkungan gambut
mempunyai kondisi yang unik, memiliki pH sangat masam, ketersediaan unsur hara makro sangat
rendah, unsur hara mikro defisien, jenuh air, dan sebagainya, maka untuk melakukan rehabilitasi
hutan gambut memerlukan perbaikan tanah.
Penelitian yang dilakukan Widyati et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian PMS dan
kompos PMS pada tanah gambut yang diambil dari Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa
penambahan PMS dosis 25% dapat meningkatkan ketersediaan N 300% sedangkan penambahan
kompos PMS dosis 50% meningkatkan ketersediaan N 800% dibanding kontrol (Gambar 1).

Kontrol 8.00
0.9 800 Kontrol
SOP
Kontrol
Sludge 25% SOP 7.20
0.8 Sludge 50% 700 SOP 7.00 Sludge 25%
Kompos sludge 25% Sludge 25%
0.7 kompos sludge 50% Sludge 50% Sludge 50% 6.31
K etersediaan K (m e/100g gam but)

600 6.00 Kompos sludge 25%


Kompos sludge 25%
0.6 kompos sludge 50% kompos sludge 50%
K etersediaan P (ppm )

500 5.00
4.52
N total (% )

0.5
400 4.00
3.75
0.4 3.50 3.40
3.38
3.00 3.08
300
0.3

200 2.00
0.2

100 1.00 0.94 0.94


0.1 0.71 0.79

0 0.00
0
H-0 H-5 H-10 H-15 H-0 H-5 H-10 H-15
H-0 H-5 H-10 H-15
Pengamatan hari ke- Pengamatan hari ke- Pengamatan hari ke-

Gambar 1. Dinamika ketersediaan N, P dan K dalam tanah gambut setelah perlakuan pemberian
PMS maupun kompos PMS

220 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Gambar 1 juga menunjukkan bahwa penambahan kompos PMS 25% dan 50% memberikan
pengaruh paling baik dalam meningkatkan ketersediaan K dalam tanah gambut (Widyati et al.,
2009). Peningkatan ini berasal dari proses dekomposisi yang terjadi pada kompos PMS yang
digunakan sebagai bahan amelioran tersebut.
Aplikasi kompos PMS pada lahan HTI dilaporkan oleh Sherman (1995) bahwa aplikasi
kompos PMS pada lahan HTI dapat membantu tanah dalam menyimpan mineral dan
melepaskannya secara perlahan-lahan, sebagai sumber kation alkali dan sebagai sumber C bagi
mikroba tanah. Peningkatan kandungan C dapat meningkatkan populasi mikroba tanah yang pada
akhirnya akan meningkatkan kandungan humus tanah, meningkatkan water holding capacity dan
memperbaiki agregasi tanah.
Menurut hasil penelitian PT. Arara Abadi (komunikasi pribadi) PMS yang telah
dikomposkan dengan dosis 10 kg/lubang (ukuran lubang 40 x 40 x 30 cm) dapat meningkatkan
pertumbuhan Acacia spp di lapangan secara signifikan. Penelitian di HTI Pinus juga dilakukan di
Amerika. Hasil penelitian pada tanaman Pinus radiata yang diukur satu tahun setelah aplikasi
kompos PMS menunjukkan bahwa diameter batang meningkat 40 66% lebih besar dibanding
kontrol. Hal ini karena kompos PMS dapat meningkatkan serapan N 17 - 37% lebih tinggi
dibanding kontrol (Jackson et al., 2000).

IV. PMS MEMPERBAIKI LINGKUNGAN LAHAN BEKAS PERTAMBANGAN

Indonesia memiliki cadangan bahan galian yang cukup menjanjikan sehingga dalam
percaturan industri pertambangan dunia, Indonesia memainkan peranan yang sangat strategis.
Menurut data pada tahun 2005, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor
batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah
peringkat ke-2, tembaga ke-3, nikel ke-4 (Gautama, 2007). Sedangkan untuk tambang emas
Indonesia menempati peringkat ke-8 dunia (Gautama, 2007).
Namun di lain sisi, sektor pertambangan juga disadari telah menimbulkan kerusakan
lingkungan yang sangat serius. Hal ini karena selama proses eksploitasi dan ekstrasi bahan galian
tidak dapat dihindari akan mengganggu bahkan merusak bentang lahan. Proses pertambangan
umumnya dilakukan melalui dua proses, tergantung letak dan struktur batuan induknya. Apabila
deposit bahan galian terletak di dekat permukaan tanah atau struktur batuan induknya bersifat
rapuh, maka tambang terbuka (open pit mining) merupakan cara ekstraksi yang paling tepat
karena aman dan ekonomis. Sebaliknya apabila deposisi bahan galian terletak jauh dari
permukaan tanah dengan batuan induk yang kokoh maka praktek tambang dalam (underground
mining) merupakan cara yang paling bijaksana.
Pertambangan sistem terbuka (batubara atau mineral) akan meninggalkan lahan dengan
kepadatan tanah yang sangat tinggi, kandungan unsur hara makro sangat rendah, akumulasi logam
tinggi dan tanah miskin akan bahan organik tanah. Sebagian besar batuan Indonesia tersusun atas
mineral sulfidik akibat terbentuk melalui proses vulkanik hal ini akan menyebabkan fenomena air
asam tambang. Air asam tambang merupakan proses teroksidasinya mineral sulfidik
menghasilkan asam sulfat sehingga pH menjadi sangat masam. Masamnya pH (<3) akan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 221


meningkatkan kelarutan logam-logam sehingga pada lahan dengan fenomena AAT selalu
memiliki kandungan logam yang tinggi. Pada penambangan mineral akan dihasilkan limbah
batuan dalam jumlah besar yang disebut tailing. Hal ini karena konsentrat batuan yang berharga
jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total batuan yang dieksploitasi. Tailing memiliki
permasalahan yang mengkawatirkan karena berupa butiran pasir yang mengandung unsur unsur
logam berat, sehingga perlu dikelola dengan bijaksana.
Bahan organik dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
bekas tambang batubara maupun tailing tambang mineral. Aplikasi PMS segar pada tanah bekas
tambang batubara tersebut dengan dosis 25% dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan
biologi tanah lebih baik daripada perlakuan top soil 50% yang biasa menjadi perlakuan standar
(SOP) revegetasi lahan bekas tambang dan kontrol. Selain meningkatkan sifat kimia tanah
perlakuan PMS juga dapat menurunkan kandungan logam-logam dalam tanah bekas tambang
batubara (Tabel 2), 14 hari setelah inkubasi.
Peningkatan pH ini berhubungan dengan peningkatan bahan organik, pelakuan PMS dapat
meningkatkan C organik dalam tanah bekas tambang batubara dari 1,32% (kriteria PPT, 1983
tergolong rendah) menjadi 3,70% yang menurut kriteria PPT (1983) tergolong tinggi. Menurut
Stevenson (1994) bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga akan meningkatkan pH
tanah apabila pH tanah rendah.
Meningkatnya bahan organik dan pH tanah bekas tambang batubara akibat pemberian
perlakuan PMS pada penelitian ini ternyata mengakibatkan meningkatnya KTK (Tabel 4),
perlakuan SOP meningkatkan KTK tanah dari 6,51 me/100 g tanah pada perlakuan kontrol yang
tergolong rendah (PPT, 1983) menjadi sedang yaitu 21,25 me/100 g tanah, sedangkan pada
perlakuan PMS meningkatkan KTK menjadi 22,57 me/100 g tanah.

Tabel 2. Perbaikan ketersediaan unsur hara makro dan mikro dalam tanah bekas tambang
batubara 15 hari setelah penambahan PMS

pH KTK Corg N P K Fe Mn Zn Cu
Perlakuan Me/100g
% ppm me/100g Tersedia (ppm)
tanah
Kontrol 2,99 6,51 1,32 0,02 3,22 2,21 315 153 53 8,75
SOP 4,82 21,25 1,21 0,16 6,80 1,80 97 298 36 6,04
PMS 6,41 22,57 3,70 0,63 145,99 8,72 14 79 12 1,30
Sumber: Widyati (2006)

Meningkatnya pH dan KTK dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur hara makro


dalam tanah bekas tambang batubara. Tan (1993) menyatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan
unsur hara sangat dipengaruhi oleh reaksi (pH) tanah. Ketersediaan unsur hara makro N, P dan K
tanah bekas tambang batubara mengalami peningkatan secara signifikan setelah 15 hari perlakuan.
Perlakuan PMS meningkatkan N dari 0,02% pada kontrol menjadi 0,63% (meningkat 3.150%).
Ketersediaan unsur P juga menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan karena perlakuan
PMS, dari 3,99 ppm menjadi 145,99 ppm (meningkat 4.533% dibanding kontrol). Peningkatan N

222 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


dan P ini terjadi karena PMS diperoleh dari pengendapan lumpur selama proses pengolahan air
limbah. Pada proses pengolahan limbah ini ditambahkan pupuk urea 1,5 ton dan asam fosfat 350
liter setiap hari untuk memelihara mikroba yang berperan dalam pengolahan air limbah.
Perlakuan SOP dengan top soil juga meningkatkan ketersediaan N menjadi 0,16%
(meningkat 800% dibanding kontrol) yang menurut kriteria PPT (1983) termasuk sedang. Di
samping itu perlakuan SOP dapat meningkatkan P 200% dibanding kontrol. Peningkatan N dan P
pada perlakuan SOP ini diduga berasal dari proses mineralisasi tanah top soil atau eksudat akar
yang dihasilkan oleh tanaman Dipterokarpa yang berasal dari tempat pengambilan top soil
tersebut. Perbaikan sifat-sifat tanah telah memperbaiki pertumbuhan tanaman revegetasi
(Gambar 2).

Kontrol SOP PMS 25% PMS 50%


Gambar 2. Keragaan tanaman revegetasi pada tanah bekas tambang batubara dengan perlakuan
bahan organik 3 bulan setelah tanam (foto: Enny, 2006).

Tabel 3. Hasil penghitungan efisiensi peningkatan unsur hara makro dan KTK (%)

Perlakuan N P K KTK
TD 0 3,89 8 23,3
TD + 25% sludge 1029 100,2 -10 76,5
TD + 50% sludge 2414 150,8 -6 93,9
TP 0 0 0 12,3
TP + 25% sludge 1086 181,2 -21 99,5
TP + 50% sludge 3243 442,5 -3 154,3

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 223


Hasil penelitian pemanfaatan PMS terhadap perbaikan kualitas tailing telah menunjukkan
bahwa PMS dengan dosis 50% (v/v) dapat memperbaiki KTK, ketersediaan N dan P baik pada
tailing pond (TP) maupun tailing dump (TD) secara signifikan 15 hari setelah aplikasi (Tabel 3).
Aplikasi PMS juga dapat menurunkan ketersediaan logam-logam pada tailing dump secara
signifikan (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil penghitungan efisiensi penurunan beberapa mineral dan logam (%)

Perlakuan S Fe Cu Cd Pb CN
TD 6,1 5,9 0,0 0,0 1,3 -16,4
TD + 25% sludge 52,9 21,5 30,0 87,0 9,5 99,8
TD + 50% sludge 82,2 63,7 73,3 90,0 53,6 99,8

V. PENUTUP

Paper mills sludge (PMS) merupakan limbah pabrik kertas yang ternyata mempunyai
beberapa sifat yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah pertanian, kehutanan dan pertambangan.
Dengan demikian saatnya dimulai pemanfaatan bahan tersebut untuk membantu kelangkaan
ketersediaan bahan organik yang sangat diperlukan baik untuk memperbaiki sifat-sifat tanah
maupun untuk memperbaiki produktivitas lahan dan tegakan. Seandainya masih terdapat hal-hal
yang mengkhawatirkan akan adanya kandungan bahan-bahan berbahaya dalam sludge, saat ini
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meperbaiki kualitas limbah telah berkembang dengan baik.
Dengan demikian sudah saatnya mengubah image PMS dari limbah menjadi semberdaya.

DAFTAR PUSTAKA

Cooperband, L., A. Stone and B. Foley. 2000. Using paper mill sludge and compost in potato
production: first year effects on soil quality and crop production. http://www.soils.wisc.
eduextensionwcmcproceedings5A.cooperband.pdf (18 Februari 2010).
Gautama, R.S. 2007. Pengelolaan air asam tambang: Aspek penting menuju pertambangan
berwawasan lingkungan. Pidato Guru Besar ITB. http://www.itb.ac.id/favicon.ico20 (Mei
2007).
Jakcson, M.J., M.A. Line, S. Wilson dan S.J. Hetherington. 2000. Application of composted pulp
and paper mill sludge to a young pine plantation. Journal of Environmental
Quality. Vol. 29, n o2, pp. 407-414.
N'Dayegamiye, A. 2006. Mixed paper mill sludge effects on corn yield, nitrogen efficiency, and
soil properties. Agron J (98):1471-1478 (2006).

224 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


N'Dayegamiye, A. 2009. Soil properties and crop yields in response to mixed paper mill sludges,
dairy cattle manure, and inorganic fertilizer application. Agron J (101):826-835 (2009).
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Interpretasi data kesuburan dan penyusunan rekomendasi. Pusat
Penelitian Tanah. Departemen Pertanian (Tidak diterbitkan).
Sherman, W.R. 1995. A review of the main appendix sludge research program. TAPP 1(78): 135
150.
Simard, R.R., R. Lalande, B. Gagnon, G. Parent and P. Parent. 2000. Beneficial Use of Paper-Mill
Residue Compost in Potato Production. http://www.dolbec.ca (11 Februari 2010).
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. 2 nd ed. John Willey and
Son. New York.
Vallad, G.E., A.G. Stone, R.M. Goodman, W.R. Stevenson, and L.R. Cooperband. 2000. Paper
mills sludge and compost effects on disease incidensin a vegetable rotation (2000).
httpwww.soils.wisc. eduextensionwcmcproceedings5A.vallad.pdf (10 Januari 2010).
Widyati, E., H. Daryono dan Mawazin. 2009. Ameliorasi tanah gambut dengan sludge industri
kertas. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Dalam tahap penerbitan.
Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas
untuk Memacu Revegetasi Lahan. Program Pendidikan Doktor, IPB. Disertasi. Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 225


MANFAAT SLUDGE LIMBAH PADAT PABRIK KERTAS
UNTUK PUPUK BIOORGANIK

Oleh:
Happy Widiastuti 1) dan Tati Rostiwati 2)
1)
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
2)
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan
E-mail: happywidiastuti@yahoo.com

ABSTRAK

Sludge merupakan salah satu alternatif bahan kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk
organik, karena ketersediaannya yang melimpah dan mengandung karbon dan beberapa hara
makro serta mikro yang cukup tinggi. Kemampuan Limbah sludge Pabtrik Kertas (LSPK) dalam
media tanaman yang dapat meningkatkan produktivitas bibit dan tanaman telah ditunjukkan
dengan beberapa hasil penelitian. Penelitian terhadap keefektifan pupuk biorganik sludge ini telah
dilakukan pada tanaman pertanian (kangkung dan jagung), tanaman perkebunan (karet), tanaman
kehutanan (akasia dan nyamplung). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa
pemanfaatan LSPK dapat menekan penggunaan pupuk anorganik sebanyak 50% dan responsnya
yang ditunjukkan dengan penambahan pupuk biorganik sludge berupa pertambahan tinggi bibit
kangkung, karet dan akasia di persemaian, pertambahan jumlah tangkai daun jagung, pertambahan
jumlah daun bibit nyamplung, pertambahan diameter batang tanaman akasia di lapangan serta
produksi jamur tiram.

Kata kunci: Anorganik, bibit, biorganik sludge, jamur tiram, pupuk

I. PENDAHULUAN

Lumpur sludge pabrik kertas (LSPK) merupakan limbah pabrik kertas di samping limbah
lainnya seperti lignosulfonat, fiber, dan flush. Di antara jenis limbah limbah tersebut, LSPK
merupakan limbah terbesar. Produksi sludge di satu pabrik dapat mencapai 15 - 400 ton per hari
(Nur, 1990). Potensi produksi LSPK secara nasional berkisar sekurangnya 500 ton per hari. Pada
saat ini, limbah sludge belum dimanfaatkan dan penanganannya hanya sebagai open dumping dan
land fill. Bagaimanapun juga, dengan terus meningkatnya kebutuhan kertas akan diikuti
peningkatan jumlah limbah pabrik kertas sehingga limbah ini akan menjadi masalah yang serius.
Seperti halnya limbah agroindustri lain, limbah sludge pabrik kertas adalah limbah organik
yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin dalam jumlah tinggi. Analisis laboratorium
menunjukkan bahwa kandungan C limbah sludge tersebut sangat tinggi sedangkan kandungan N
sangat rendah sehingga menghasilkan nisbah C/N sangat tinggi yaitu berkisar antara 50 - 200
(Newspaper Industry Environmental Technology Initiative , 2000). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa baik selulosa, hemiselulosa, maupun lignin dapat digunakan sebagai sumber
C bagi organisme lignoselulolitik. Dalam metabolismenya organisme tersebut menghasilkan
senyawa C sederhana di samping hara tersedia. Terbentuknya senyawa C sederhana dan hara
terlarut menjadikan bahan ini dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk bioorganik. Saat ini

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 227


telah tersedia teknologi pembuatan pupuk bioorganik berbahan baku LSPK (Widiastuti dkk.,
2008).
Penggunaan kompos LSPK telah banyak dilakukan di negara lain. Beberapa manfaat yang
ditunjukkan dari aplikasi kompos LSPK adalah kemampuannya dalam memperbaiki struktur
tanah setelah aplikasi selama dua tahun (Foley dan Cooperband, 2002), meningkatkan produksi
tanaman, dan mengurangi serangan penyakit (Vallad et al., 2002). Selain itu, juga ditunjukkan
bahwa kompos limbah sludge dapat menekan serangan penyakit daun pada tanaman tomat dan
arabidopsis (Vallad et al., 2003). Limbah sludge juga dapat digunakan sebagai media tanam jamur
merang (Widiastuti at al., 1989; Widiastuti, 2005) dan jamur tiram (Widiastuti dan Gunawan,
1989).
Penelitian pemanfaatan kompos sludge untuk meningkatkan produksi pertanian sudah
banyak dilakukan terutama di Eropah dan Amerika. Aplikasi sludge pulp and paper terhadap
lahan pertanian dan kehutanan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sludge dapat
meningkatkan pertumbuhan, redudancy nutrisi tanaman dan kondisi fisik tanah. Tulisan ini
mengulas tentang hasil-hasil penelitian aplikasi pupuk bioorganik LSPK yang bertujuan untuk
mengurangi dosis pupuk anorganik pada tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan serta
sebagai media produksi jamur tiram.

.
II. MANFAAT PADA TA NAMAN PERTANIAN

Jenis tanaman pertanian yang digunakan untuk mengetahui keefektifan penggunaan pupuk
biorganik sludge adalah:

A. Kangkung
Pupuk bioorganik sludge yang digunakan terdiri dari pupuk bioorganik sludge tanpa
pengaya (CS dan GS) dan pupuk bioorganik sludge yang diperkaya (G16-50PK dan C16-50PK).
Hasil yang diperoleh dalam uji keefektifan pupuk bioorganik sludge terhadap tanaman kangkung
terlihat bahwa pertumbuhan kangkung dipacu oleh pemberian pupuk baik dalam bentuk pupuk
anorganik maupun pupuk bioorganik sludge G4-50PK, C4-50PK, G16-50PK dan C16-50PK
terutama pada 20 hari setelah tanam (Gambar 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis pupuk
kandang dapat dikurangi 50% asalkan digantikan dengan pupuk bioorganik.

B. Jagung
Pada percobaan pemanfaatan pupuk biorganik sludge pada tanaman jagung, diperoleh hasil
bahwa walaupun 50% pupuk anorganik dapat digantikan dengan pemberian pupuk bioorganik
sludge G4, C4, C16, atau C4H. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk bioorganik sludge
dapat meningkatkan efisiensi pupuk anorganik.
Pada peubah jumlah tangkai daun ditunjukkan bahwa perlakuan G4, C4, C16 yang disertai
pupuk anorganik 50% menghasilkan jumlah tangkai daun tertinggi (Gambar 2). Perlakuan C4 dan
C16 yang disertai pupuk anorganik 50% menghasilkan jumlah tangkai daun sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan pemupukan anorganik 100%.

228 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Gambar 1. Pertumbuhan kangkung pada perlakuan (berturut-turut dari kiri ke kanan): 1) tanpa
permupukan; 2) pemupukan anorganik 100%, 3) aplikasi pupuk bioorganik sludge
formula G16 + 50% pupuk kandang; 4) aplikasi pupuk bioorganik sludge formula C16
+ 50% pupuk kandang (Widiastuti dkk., 2008).

Gambar 2. Jumlah tangkai daun jagung umur 3 bulan pada perlakuan pupuk bioorganik G4 dan
C4 serta C16 disertai pemberian pupuk anorganik (50%) (Widiastuti dkk., 2008).

III. MANFAAT PADA TANAMAN PERKEBUNAN

Pengujian keefektifan pupuk sludge pada tanaman karet telah dilakukan di kebun Merbuh
PTPN X. Pada pengujian di pembibitan di polibag, pupuk bioorganik sludge diaplikasikan di
perakaran batang bawah tanaman karet. Tinggi tanaman karet yang dipupuk bioorganik sludge
formula G4 lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman karet yang dipupuk anorganik 100%
(Gambar 3).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 229


Gambar 3.Tinggi bibit karet pada pengujian keefektifan pupuk bioorganic sludge pada
pembibitan karet di polibag di kebun Merbuh PTPN IX (Widiastuti dkk., 2008).

Hasil ini menunjukkan bahwa di samping pupuk bioorganik sludge formula G4 dapat
mengurangi dosis pupuk anorganik 50%, demikian juga pada respon pertumbuhan tinggi yang
lebih baik dibandingkan dengan bibit karet yang dipupuk anorganik 100%. Hasil yang sama juga
dikjumpai pada peubah lilit batang

IV. MANFAAT PADA TANAMAN KEHUTANAN

A. Akasia (Acasia mangium)


Pemberian pupuk bioorganik sludge menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman A.
mangium di persemaian yang lebih baik dibandingkan dengan pemupukan anorganik 100%.
Demikian juga pada pengamatan warna daun menunjukkan bahwa pemupukan dapat
meningkatkan nilai indeks warna daun. Pemberian pupuk bioorganik sludge dapat menghasilkan
warna daun lebih hijau khususnya pemberian pupuk bioorganik sludge G4, G16, dan C4H.
Pertumbuhan tanaman di lapang menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik 50%
dapat dikurangi dan digantikan dengan pupuk bioorganik sludge dan menghasilkan pertumbuhan
tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik 100%. Pupuk
bioorganik sludge G4 menghasilkan pertumbuhan tanaman tertinggi (Gambar 4).
Demikian juga pada pengamatan diameter batang menunjukkan bahwa peningkatan
diameter batang jauh lebih tinggi dengan pemberian pupuk bioorganik sludge dibandingkan
pemberian pupuk anorganik.

230 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Gambar 4. Tanaman A. mangium berumur 7 (tujuh) bulan pada pengujian keefektifan beberapa
formula pupuk bioorganik sludge di lapangan (kiri); Pertambahan tinggi A. mangium
yang telah diberikan perlakuan Formula G4 +pupuk anorganik 50% dan pupuk
anorganik anorganik 100% (K) (Widiastuti dkk., 2008).

B. Nyamplung
Widiatuti dan Rostiwati (2010) telah melakukan aplikasi pupuk bioorganik sludge pada bibit
nyamplung umur 3,5 bulan, ternyata perlakuan tersebut memberikan peningkatan pertumbuhan
tinggi dan diameter yang paling baik dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik saja atau
yang dikombinasi dengan pupuk bioorganik sludge 20 g (K50S2). Respons yang paling mencolok
adalah pada parameter jumlah daun yang menunjukkan peningkatan yang cukup besar yaitu
64,44% (Gambar 5). Peningkatan beberapa peubah pertumbuhan sebagai respons penggunaan
pupuk bioorgnaik sludge diduga disebabkan karakteristik pupuk bioorganik sludge. kandungan
unsur makro serta mikro yang lengkap sehingga dapat meningkatkan kandungan hara rhizosfer
nyamplung yang selanjutnya dapat meningkatkan serapan hara bibit nyamplung. Selain itu,
penambahan pupuk bioorganik sludge dapat memperbaiki kandungan karbon yang sangat
diperlukan bagi mikroba tanah sebagai sumber karbon.
Dengan demikian, pemberian pupuk dengan dosis pupuk bioorganik sludge 50% dan
ditambah dengan 50% dosis pupuk anorganik akan menghasilkan pertumbuhan tinggi, diameter
dan jumlah daun nyamplung yang lebih tinggi dengan umur yang relatif muda dibandingkan
dengan penggunaan media kompos organik + arang kayu 1:2 (v:v). Perbedaan respons tersebut
mengindikasikan bahwa pemupukan anorganik dengan dosis yang tepat diperlukan untuk
meningkatkan efektivitas penyerapan hara ke dalam organ tanaman nyamplung sedangkan
pemberian pupuk bioorganik sludge berfungsi mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik
tersebut.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 231


Gambar 5. Penampilan bibit nyamplung umur 2 (diua) bulan (kiri); Kurva pertambahan jumlah
daun bibit nyamplung dengan perlakuan pemupukan biorganik sludge (Widiatuti dan
Rostiwati, 2010)

V. MANFAAT SEBAGAI MEDIA JAMUR TIRAM

Produksi jamur tiram putih diuji menggunakan campuran sludge, serbuk gergaji dan bekatul
serta kapur di rumah produksi jamur. Pengujian sludge sebagai media jamur tiram menunjukkan
bahwa jamur tiram dapat tumbuh baik di medium campuran sludge dan serbuk gergaji
(Gambar 5).

Gambar 5. Pertumbuhan miselium jamur tiram di media campuran sludge dan serbuk gergaji di
rumah produksi jamur (Widiatuti dkk, 2008).

232 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pertumbuhan miselium tidak seluruhnya mendukung pembentukan tubuh buah. Pengamatan
menunjukkan bahwa pada medium campuran sludge dan serbuk gergaji, persentase tumbuh tubuh
buah lebih tinggi dibandingkan dengan pada medium standar. Inokulasi JTS menghasilkan
persentase tumbuh tubuh buah jamur tertinggi yaitu mencapai 100%.

VI. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian uji coba keefektifan pemanfaatan pupuk biorganik sludge yang
berasal dari limbah padat pabrik kertas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hara yang tersedia pada bahan organic sludge memberikan respons positif terhadap komoditi
pertanian, perkebunan, kehutanan serta produksi jamur tiram sehingga mempunyai peluang
untuk pemanfaatan dalam skala yang lebih luas.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk melakukan kajian terhadap pengelolaan limbah
pabrik kertas untuk bahan baku media tanam sehingga dapat diaplikasikan oleh para petani di
masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Allahdadi, I., C.J. Beauchamp, and F. Chalifour. 2004. Symbiotic dinitrogen fixation in forage
legumes amended with high rates of de-inking paper sludge. Agron J: 96: 956-965.
Chu, H., T. Fujii, S. Morimoto, X. Lin, K. Yagi, J. Hu, and J. Zhang. 2007. Community structure
of ammonia oxidizing bacteria under long-term application of mineral faertlizer and organic
manure in a sandy loam soil. Appl. Environ. Microbiol. 73: 485-491.
DAmor, J.J., S.R. Al Abed, K.G. Scheckel and J.A. Ryan. 2005. Methods for speciation of metals
in soils: a review. J. Environ Qual. 34, 1707-1745.
Darby, H.M., A.G. Stone. and R.P. Dick. 2006. Compost and manure mediated impacts on
soilborne pathogens and soil quality. Soil Sci. Soc. Am. 70(2): 347-358.
Flavel, T.C., and D.V. Murphy. 2006. Carbon and nitrogen mineralization rates afeter application
of organic amendments to soil. J. Environ Qual. 35:183-193.
Foley, B.J. and L.R. Cooperband. 2002. Paper mill residuals and compost effects on soil carbon
and physical properties. J. Environ. Qual. 31: 2086-2095.
Vallad, G.E., L. Cooperband. and R.M. Goodmana. 2003. Plant foliar disease suppression
mediated by composted forms of paper mill residuals exhibit molecular features of induced
resistance. Physiol and Molec. Plant Pathol 63: 65-77.
Bipfubusa, M., D.A Angers, A.N. Dayegam iye, and H. Anton. 2008. Soil aggregation and
biochemical properties following the application of fresh and composted organic
amendments. Soil Sci. Soc Am J., 72: 160-166.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 233


Widiatuti, H., Isroi, Siswanto, Suharyanto dan T. Panji. 2008. Pemanfaatan limbah sludge pabrik
kertas untuk pupuk organik, media produksi jamur konsumsi dan enzim lignolitik secara
simultan. Laporan RUT KMNRT.
Widiatuti, H. dan T. Rostiwati. 2010. Upaya peningkatan pertumbuhan bibit nyamplung
(Calophyllum inophylum L.) dengan pemanfaatan pupuk bioorganik sludge. Makalah
Penunjang. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. (Dalam proses pencetakan).

234 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


PENGAWETAN KAYU MINDI ( Melia azedarach L.)
MELALUI RENDAMAN DINGIN DENGAN BAHAN PENGAWET BAE

Oleh:
Endah Suhaendah
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Agroforestri
E-mail: endah_ah@yahoo.com

ABSTRAK

Mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu tanaman yang dikembangkan di hutan
rakyat karena sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Namun,
kayu mindi termasuk ke dalam kayu dengan kelas awet rendah yaitu IV-V sehingga rentan
terhadap serangan organisme perusak kayu. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan masa
pakai melalui pengawetan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama
perendaman dingin dan ukuran sortimen terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE
(Boric Acid Equivalent) pada kayu mindi. Sampel kayu berasal dari pohon di hutan rakyat Desa
Parigi, Ciamis. Percobaan disusun secara faktorial dengan 3 perlakuan lama perendaman (3, 5 dan
7 hari) serta 2 ukuran sortimen kayu (tebal 2,5 dan 5 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE, dengan
kecenderungan peningkatan retensi dan penetrasi dengan meningkatnya lama perendaman.
Berdasarkan persyaratan SNI untuk perumahan dan gedung, pengawetan kayu mindi dengan
bahan pengawet BAE 10% yang disarankan adalah dengan lama perendaman selama 3 hari (tebal
2,5 cm) dan 5 hari (tebal 5 cm).

Kata kunci: BAE, mindi, pengawetan, rendaman dingin, SNI

I. PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 2,5% per tahun mengakibatkan
meningkatnya permintaan akan bahan kayu konstruksi dan untuk mebel. Sedangkan di sisi lain,
ketersediaan kayu semakin menurun baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1980-an
kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti kapur, kempas, jati, merbau dan ulin
yang termasuk jenis-jenis kayu kelas kuat dan kelas awet cukup tinggi. Pada saat sekarang ini
dengan meningkatnya permintaan akan kayu, penyediaan kayu yang berkualitas tinggi dari hutan
alam mengalami penurunan. Oleh karena itu penyediaan bahan baku untuk bangunan banyak
beralih pada kayu yang berasal dari hutan rakyat.
Berdasarkan penggolongan keawetan kayu di Indonesia (mulai dari kelas I yang paling awet
sampai kelas V yang tidak awet), 85% dari 4000 jenis kayu yang dikembangkan di hutan rakyat
termasuk dalam kelas awet rendah (kelas III, IV dan V). Kenyataan ini ditunjang pula oleh letak
geografis Indonesia di khatulistiwa dengan iklim tropisnya yang memungkinkan hadirnya
berbagai jenis organisme perusak kayu seperti rayap, bubuk kayu kering dan jamur pelapuk.
Mindi merupakan salah jenis pohon cepat tumbuh yang dibudidayakan di hutan rakyat.
Kayu mindi bercorak indah dan mudah dikerjakan sehingga banyak digunakan sebagai bahan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 235


baku mebel untuk ekspor dan domestik. Namun, kayu mindi termasuk kelas awet IV-V, sehingga
mudah terserang organisme perusak seperti jamur dan serangga.
Masyarakat umumnya mengabaikan perlunya pengawetan kayu. Sementara teknik
pengawetan yang ada saat ini dianggap masih kurang efektif dan hanya bisa membuat kayu awet
selama lima tahun. Padahal paling tidak akan terjadi penghematan sebesar 50% dari total
konsumsi kayu saat ini bila saja kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun. Penghematan yang terjadi
diperkirakan dapat mencapai 14,76 m3/tahun, yang nilainya setara dengan hutan seluas 147.600
hektar.
Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan
masa pakai (service life). Salah satu langka strategis yang dapat diterapkan adalah
memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen kayu melalui pengawetan
kayu sesuai dengan standar teknis yang berlaku.
Upaya peningkatan mutu kayu dan masa pakai kayu sangat penting sehingga diperlukan
metoda yang dapat diterapkan dalam memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur
komponen kayu melalui penerapan teknologi pengawetan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh konsentarsi larutan dan lama perendaman dingin terhadap retensi dan
penetrasi bahan pengawet BAE pada kayu mindi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai pertimbangan dalam pengawetan kayu mindi yang memenuhi standar pengawetan
berdasarkan kriteria Standar Nasional Indonesia (SNI).

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2009. Pengambilan
contoh uji kayu mindi dilaksanakan di Desa Parigi, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Secara
keseluruhan keadaan alam Desa Parigi mempunyai topografi dataran rendah dengan ketinggian
rata-rata 3,2 m dpl.

B. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu mindi (Melia azedarach L.), bahan
pengawet kayu BAE (Boric Acid Equivalent) serta pereaksi boron. Peralatan yang diperlukan
yaitu bak perendam, gelas ukur untuk menetapkan konsentrasi larutan bahan pengawet dan gergaji
untuk memotong contoh kayu yang akan diawetkan.

C. Prosedur Kerja
Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman dingin dengan faktor
utama ukuran sortimen dan lama perendaman. Contoh uji berupa kayu mindi dipotong dengan dua
ukuran sortimen yaitu 2,5 cm x 5 cm x 100 cm dan 5 cm x 5 cm x 100 cm. Contoh uji disimpan
pada suhu kamar sampai kering udara dan ditimbang kemudian direndam ke dalam larutan bahan
pengawet pada suhu kamar dengan konsentrasi 10%. Perlakuan dibedakan berdasarkan lama
perendaman, yaitu selama 3, 5 dan 7 hari. Contoh uji setiap perlakuan sebanyak 10 buah sehingga
total contoh uji sebanyak 60 buah.

236 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Untuk mengukur dalamnya penembusan bahan pengawet setiap contoh uji dipotong
melintang pada bagian tengahnya setelah dibiarkan selama dua minggu pada suhu kamar.
Kedalaman penetrasi bahan pengawet BAE dapat diamati dengan menyemprotkan atau
melaburkan pereaksi boron pada penampang melintang contoh uji hasil pemotongan. Adanya
unsur Boron ditunjukkan oleh warna merah jambu, sedangkan bagian yang tidak mengandung
boron berwarna kuning.
Uji penetrasi penetrasi boron terdiri dari (a) 2 g ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol (b)
20 ml asam khlorida pekat, 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat (13 g per 100 ml).
Analisis data untuk melihat pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap penetrasi
bahan pengawet digunakan uji sidik ragam (Steel dan Torrie, 1960).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui
bahwa perlakuan lama perendaman dan ukuran sortimen berpengaruh nyata (taraf kepercayaan
95%) terhadap retensi bahan pengawet BAE pada kayu mindi.

Tabel 1.Sidik ragam pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap retensi bahan
pengawet pada kayu mindi

Sumber keragaman Derajat bebas Kwadrat tengah F Hitung Nilai-p


Ukuran sortimen 1 90,676 6,130 0,016*
Lama perendaman 2 60,308 4,077 0,022*
Sortimen * Lama perendaman 2 116,733 7,892 0,001 *
Keterangan: * = berpengaruh nyata

Hasil pengamatan retensi bahan pengawet BAE pada kayu mindi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Retensi BAE pada kayu mindi

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 237


Berdasarkan Gambar 1, ditunjukan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan nilai retensi
dengan peningkatan lama perendaman. Semua perlakuan lama rendaman dan ukuran sortimen
menunjukkan nilai retensi BAE yang lebih tinggi dari nilai retensi SNI, kecuali pada perlakuan
lama rendaman 3 hari, besarnya retensi BAE pada ukuran sortimen 5 cm x 5 cm x 100 cm masih
di bawah retensi SNI.
Nilai retensi BAE paling tinggi ditunjukkan pada lama perendaman 7 hari. Berdasarkan SNI
03-5010.1-1999, persyaratan retensi bahan pengawet sebesar 8,0 kg/m3. Hal ini menunjukkan
bahwa untuk menghasilkan retensi dengan nilai minimal 8,0 kg/m3 cukup dengan mengawetkan
kayu mindi dengan larutan BAE 10% selama 3 hari untuk kayu dengan tebal 2,5 cm, sedangkan
untuk kayu dengan tebal 5 cm nilai retensi minimal 8,0 kg/m3 diperoleh dengan lama perendaman
5 hari.
Hasil sidik ragam penetrasi BAE pada kayu mindi disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2,
terlihat bahwa ukuran sortimen dan lama perendaman masing-masing berpengaruh terhadap
penetrasi BAE, namun korelasi antara ukuran sortimen dan lama perendaman tidak berbeda nyata.

Tabel 2. Sidik ragam pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap penetrasi bahan
pengawet pada kayu mindi

Sumber keragaman Derajat bebas Kwadrat tengah F Hitung Nilai-p


Ukuran sortimen 1 6,888 138,045 0,000*
Lama perendaman 2 0,179 3,593 0,034*
Sortimen * Lama perendaman 2 0,042 0,834 0,440tn
Keterangan: * = perpengaruh nyata; tn = tidak nyata

Hasil pengamatan penetrasi BAE pada kayu mindi disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Penetrasi BAE pada kayu mindi

238 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Berdasarkan Gambar 2, semua perlakuan lama perendaman dan ukuran sortimen
menunjukkan nilai penetrasi bahan pengawet yang lebih tinggi dari nilai penetrasi SNI.
Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi bahan pengawet sebesar 5 mm. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penetrasi dengan nilai minimal 0,5 cm cukup dengan
mengawetkan kayu mindi dengan larutan BAE 10% selama 3 hari baik untuk kayu dengan
ketebalan 2,5 cm maupun 5 cm.
Perlakuan lama perendaman masing-masing saling menghasilkan penetrasi bahan pengawet
yang berbeda nyata dengan kecenderungan peningkatan penetrasi dengan meningkatnya lama
perendaman. Adanya kecenderungan meningkatnya penetrasi dengan peningkatan lama
perendaman sesuai dengan hasil penelitian Abdurrohim (2006) yang mengtakan bahwa lama
perendaman berkaitan dengan kesempatan kayu berhubungan dengan konsentrasi larutan bahan
pengawet. Sebelum saluran dalam kayu berupa noktah, tertutup seluruhnya oleh bahan pengawet
yang berfiksasi, akibat bahan pengawet kontak dengan lignin, larutan bahan pengawet dapat
masuk terus ke dalam kayu karena sifat higroskopisitas kayu.

B. Pembahasan
Salah satu kelemahan kayu dari hutan rakyat adalah mudah terserang oleh jamur dan rayap
terutama terjadi pada keadaan kayu lembab. Dengan adanya kelemahan ini, maka kayu tersebut
perlu diawetkan dengan bahan kimia tertentu untuk membunuh atau mencegah serangan jamur
dan rayap.
Bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal
maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara
benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga, dan perusak-perusak
kayu lainnya.
Kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet tergantung pada toksisitas (daya racun = daya
bunuh) terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu.
Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin
efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu. Disamping bersifat racun
bagi organisme perusak kayu, bahan pengawet yang layak digunakan dalam proses pengawetan
kayu juga harus memenuhi persyaratan mudah meresap pada kayu menuju ke bagian dalam, harus
dapat digunakan secara mudah dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit atau membahayakan
kesehatan, tidak mudah menguap dan tidak mudah terurai menjadi unsur-unsur yang tidak
beracun, namun harus mampu berada secara permanen di dalam kayu, harganya relatif murah
serta mudah didapatkan di pasaran, tidak mengkorosikan (mengauskan) logam (sebagai contoh:
paku) yang bersentuhan (digunakan bersama) dengan kayu yang diawetkan, tidak mengurangi
sifat baik (misal: keindahan dan kekuatan) yang melekat pada kayu, tidak berwarna dan berbau,
tidak mudah terbakar dan tidak mengembangkan (memperbesar ukuran panjang, lebar, tebal)
dimensi kayu.
BAE merupakan bahan pengawet yang memiliki beberapa sifat baik antara lain beracun
terhadap jamur dan serangga perusak kayu tetapi tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak,
dapat digunakan baik dengan proses tekanan maupun dengan proses diffusi, tidak korosif terhadap
logam, tidak berbau dan tidak merubah warna serta kayu yang diawetkan dapat dicat, diplitur atau

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 239


direkat dengan baik. Berdasarkan sifat baik tersebut, maka penggunaan BAE sebagai bahan
pengawet kayu mendukung konsep pengolahan hasil hutan yang ramah lingkungan karena tidak
berbahaya bagi manusia maupun ternak.
Diharapkan melalui pengawetan kayu akan terjadi penghematan sebesar 50 persen dari total
konsumsi kayu. Hal ini diasumsikan jika saat ini kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun.
Penghematan yang terjadi diperkirakan dapat mencapai 14,76 m3/tahun, yang nilainya setara
dengan hutan seluas 147.600 hektar.

IV. KESIMPULAN

1. Perlakuan lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet
BAE pada kayu mindi, dengan kecenderungan peningkatan retensi dan penetrasi dengan
meningkatnya lama perendaman.
2. Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet menurut Standar Nasional Indonesia untuk
perumahan dan gedung adalah sebesar minimal 8,0 kg/m3 dan 5 mm. Berdasarkan kriteria
tersebut pengawetan kayu mindi menggunakan larutan BAE yang disarankan adalah dengan
konsentrasi 10% dengan lama perendaman 3 hari untuk tebal kayu 2,5 cm, sedangkan kayu
mindi dengan tebal 5 cm diawetkan dengan BAE 10% selama 5 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim, S. 2006. Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet ccb secara
rendaman panas dingin dan sel penuh. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan:
Penyelamatan Industri Kehutanan Melalui Implementasi Hasil Ristek. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Hal 55-62.
Anonim. 1999. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Standar Nasional Indonesia
(SNI) 03-5010.1-1999. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Barly dan S. Abdurrochim. 1996. Petunjuk Teknis Pengawetan Kayu untuk Bangunan Hunian dan
Bukan Hunian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi
Kehutanan. Bogor.
Martawijaya, A dan N. Supriana. Penembusan Persenyawaan Bor pada Sepuluh Jenis Kayu
Indonesia yang diawetkan dengan Proses Diffusi. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Mindi. Brosur terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Oey, D.S. 1990. Spesific Grafity of Indonesian Woods and Its Significance for Practical Use.
Diterjemahkan oleh Suwarsono P.H. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Departemen Kehutanan Indonesia. Bogor. Indonesia.

240 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


SELEKTIVITAS DELIGNIFIKASI PROSES KRAFT DAN SODA
DARI JENIS Acacia mangium PADA TINGKAT WAKTU PEMASAKAN
DAN ALKALI AKTIF

Oleh:
Saptadi Darmawan dan I.M. Sulastiningsih
1
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi HHBK, Mataram
2
Penelti pada Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hail Hutan, Bogor
E-mail: saptadi-darmawan@yahoo.com

ABSTRAK

Kayu mangium merupakan bahan baku pembuatan pulp kertas yang potensial dan di dalam
proses pembuatannya menjadi pulp akan dipengaruhi oleh jenis proses dan kondisi pemasakan.
Proses soda dan kraft menggunakan bahan pemasak NaOH yang bersifat basa, dan untuk proses
kraft terdapat bahan kimia lain berupa Na2S. Pada kedua proses tersebut akan terjadi reaksi kimia
yang berbeda selama pulping. Dalam penelitian ini dikaji karakteristik pulp yang dihasilkan dan
tingkat selektivtas delignifikasi yang terjadi dan dari pengaruh perlakuan lainnya yaitu waktu
pemasakan dan pamakaian alkali aktif.

Kata kunci: Acacia mangium, alkali aktif, proses soda dan kraft, selektivitas delignifikasi,
sifat pulp, waktu pemasakan

I. PENDAHULUAN

Kayu mangium banyak dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman industri sebagai bahan
baku pembuatan pulp kertas. Ukuran kayu yang dimanfaatkan sebagian besar adalah batangnya
hingga diameter terkecil 15 cm. Dimensi kayu dibawah ukuran tersebut belum banyak
dimanfaatkan padahal jumlahnya cukup besar yaitu mencapai 20% dari volume kayu yang
diproduksi. Jika pada tahun 2002 produksi Hutan Tamanan Industri (HTI) untuk kayu serat
sebesar 7,6 juta m3 maka limbah kayu berdiameter kurang dari 10cm mencapai 1,5 juta m3
(Siagian, 2007).
Tujuan utama proses pulping adalah mendegradasi lignin untuk mendapatkan serat. Teknik
pemisahan antara lignin dan serat (pulping) dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu secara
kimia dan mekanis. Pada delignifikasi kimia diperlukan penambahan sejumlah bahan kimia
sebagai pereaksi seperti soda, sulfite, anthraquinone, polysulfide dan hydrogen sulfide (Berggren,
2003). Penggunaan bahan tersebut pada umumnya mencirikan tipe proses pulping. Sementara itu
delignifikasi secara mekanis lebih mengandalkan pada kekuatan fisik dan mekanis dalam
pemisahan serat dan dapat juga dikombinasikan menggunakan uap air.
Kualitas pulp dari masing-masing proses tersebut tentunya akan memberikan hasil yang
berbeda tergantung dari bahan kimia pemasak. Salah satu parameter yang dapat digunakan dalam
menentukan kualitas pulp dan proses pulping adalah selektivitas delignifikasi. Pulp dengan
rendemen yang tinggi belum tentu selektif dalam mendegradasi lignin. Selain bahan kimia,
selektivitas delignifikasi dipengaruhi juga oleh kondisi pemasakan (Gustavsson, 2007).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 241


Tulisan ini menguraikan hasil delignifikasi jenis kayu mangium berdiameter kecil (< 10cm)
yang dibuat dengan proses soda dan sulfat pada kondisi pulping yang sama.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan
Jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan pulp adalah Acacia mangium Willd.
berdiameter kecil (< 10 cm) dari Sumatera Selatan. Untuk pemasakandigunakan rotari digester
AU/E-20 merek Regmed dengan pamanasan tidak langsung menggunakan media air yang terdiri
dari 4 tabung kapasitas serpih 150 g (o.d).

B. Metode
Kayu mangium dibuat serpih secara manual dengan ukuran 3 x 2,5 x 0,2-0,3 cm3 dan
dikering udarakan hingga diperoleh kadar air kesetimbangan. Serpih tersebut dimasak sebanyak
150g (o.d) dalam rotary digester.
Pemasakan menggunakan proses sulfat dan soda dengan alkali aktif masing-masing 16 dan
17% dan sulfiditas 20% (untuk sulfat) pada perbandingan kayu:larutan 1:4. Kondisi pemasakan
diterapkan pada suhu maksimum 170oC yang dipertahankan selama 2 dan 2,5 jam, serta waktu
tuju 2 jam. Untuk setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan pemasakan. Pulp hasil pemasakan
dicuci dan disaring kemudian ditetapkan kadar air, rendemen, konsumsi alkalidan bilangan
Kappa. Penentuan parameter tersebut dilakukan duplo untuk setiap kali ulangan.
Perhitungan persentase lignin sisa (Klason), lignin pada pulp dan karbohidrat pada pulp
dilakukan menggunakan rumus:
Persentase lignin sisa (%) = bilangan Kappa x 0,13 (TAPPI 236 cm-85) ....................... (1)
Lignin pada pulp (g) = persentase lignin sisa x berat pulp tersaring ...................... (2)
Karbohidrat pada pulp (g) = berat pulp tersaring lignin pada pulp ............................... (3)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Rendemen dan Bilangan Kappa


Rendemen tersaring pulp proses soda sedikit lebih besar dibandingkan dengan proses kraft
yaitu pada kisaran 51,89 dan 54,27%, sedangkan bilangan Kappa perbedaanya cukup besar dan
pengaruhnya sangat nyata (Tabel 1). Tingginya bilangan Kappa pada proses soda menunjukkan
bahwa delignifikasi yang terjadi belum berlangsung secara optimal dibandingkan proses kraft. Hal
tersebut didukung dengan masih adanya rendemen kasar (reject) pada proses soda (Gambar 1).

242 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Tabel 1. Analisis statistik

No. Sumber keragaman Rendemen Konsumsi alkali Bilangan Kappa Selektivitas


(%) (%) delignifikasi
Probability,P
1. Proses 0,059 0,590 0,000** 0,000**
2. Alkali aktif 0,059 0,570 0,238 0,636
3. Waktupemasakan 0,949 0,173 0,047* 0,421
4. Alkaliaktif x waktu 0,125 0,320 0,320 0,968
Keterangan: ** berpengaruh sangat nyata pada kepercayaan 95%

Kraft Soda

Gambar 1. Rendemen tersaring dan bilangan kappa pulp kraft dan soda

Pada proses kraft terdapat dua jenis eksternal nukleophile yaitu ion OH- dan SH- sedangkan
pada proses soda hanya terdapat OH-. Ion hidrogen sulfid merupakan nukleo filik yang sangat
kuat, sehingga kehadirannya pada proses kraft akan meningkatkan delignifikasi lignin terutama
terhadap pemutusan ikatan E aril ether pada unit fenol (Gambar 2), pada proses soda hal tersebut
tidak terjadi. Pemutusan ikatan E aril ethermemberikan dampak yang besar pada penurunan
bilangan Kappa mengingat hampir 60% ikatan tersebut terdapat pada unit fenilpropana dalam
ligninkayu daun lebar (Sjostrom,1995).Pemutusan ikatan E-aril ether unit non-fenolik melalui HS-
SN2 terjadi pada proses kraft (Gambar 4). Pemutusan alkil gugus metoksil pada unit non-fenol
pada proses kraft terjadi oleh ion hidrosulfida (Gambar 5).

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 243


Gambar 2. Pemutusan ikatan E-aril ether unit fenol lignin secara sulfidolitik pada proses kraft
(bawah) dan pembentukan unit E-aroksi stiren pada proses soda (Ragauskas, 2009)

Kahadiran ion hidrosulfida juga memiliki peran yang penting untuk mencegah terjadinya
kondensasi pada lignin, yaitu bersaing dengan internal nukloephile dari struktur enol (Gambar 3).
Reaksi tersebut akan membantu dalam menurunkan bilangan Kappa. Pemutusan CJ unit fenol
yang menghasilkan formaldehid (Gambar 2) pada proses soda berpeluang menyebabkan
terjadinya reaksi kondensasi (Sjostrom, 1995).

Gambar 3. Kompetisi penambahan eksternal (kraft) dan internal nukleophile melalui quinon
methida intermediat (Chakar, 2001)

244 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pada alkali aktif yang sama antara proses kraft dan soda, adannyaion hidrosulfida pada
proses kraft akan mengurangi ion hidroksil. Ion hidroksil ini menyebabkan terdegradasinya
karbohidrat saat pulping, sehingga pada proses sulfat akan diperoleh karbohidrat dalam jumlah
yang lebih besar dan baik kualitasnya (derajat polimerisasi tinggi).
Pada komposisi alkali aktif 17% dan proses pulping yang sama,peningkatan lama
pemasakan pada suhu maksimal dari 2 menjadi 2,5 jam menyebabkan penurunan rendemen
tersaring.Pulping pada fase akhir delignifikasi cenderung menyebabkan depolimerisasikarena
dipengaruhi energi kinetikdan tinggginya alkali aktif (Sjostrom, 1995).Padapemakaian alkali aktif
16% masih terjadi peningkatan rendemen dengan bertambahnya waktu pulping. Sementara itu
pada lama pemasakan yang sama, terjadi peningkatan rendemen tersaring dengan bertambahnya
alkali aktif dari 16 menjadi 17%.
Pada kondisi pemasakan tinggi baik pada proses kraft maupun sulfat cenderung
menghasilkan bilangan Kappa rendah (Baptista, 2008). Meningkatnya konsentrasi alkali aktif dari
16% menjadi 17%, akan memberikan peluang delignifikasi lebih besar antara larutan pemasak
dan lignin karena ion hidroksida yang tersedia lebih banyak. Bertambahnya waktu pemasakan
sampai batas tertentu akan memberikan peluang terjadinya degradasi dan pelarutan lignin
sehingga bilangan Kappa yang diperoleh rendah.

Gambar 4. Pemutusan ikatan E-aril ether unit non-fenolik melalui HS- SN2 pada proses kraft

Gambar 5. Pemutusan alkil gugus metoksil pada unit non-fenol pada proses kraft (Chakar, 2001)

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 245


B. Konsumsi Alkali
Jumlah alkali aktif yang digunakan selama proses pulping kraft lebih sedikit dibandingkan
proses soda karena adanya ion hidrosulfida yang secara aktif mendegradasi lignin. Pada waktu
pulping yang lebih lama (2,5 jam) memberikan peluang pada alkali aktif (dalam larutan pemasak)
untuk mendegradasi dan melarutkan lignin sehingga alkali aktif yang digunakan lebih besar
(Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik pulp kayu mangium

No. Proses AA Waktu pada suhu 170 oC Kode RT RK K. Alk LP KP


(%) (jam) (%) (%) (%) (g) (g)
1. Kraft 16 2 AA16-T2 51,89 0,00 13,46 1,67 76,16
2. Kraft 16 2,5 AA16-T2,5 52,400,0014,041,63
76,96
3. Kraft 17 2 AA17-T2 53,020,0012,611,68
77,85
4. Kraft 17 2,5 AA17-T2,5 52,280,0013,191,63
76,78
5. Soda 16 2 AA16-T2 52,07 1,67 14,31 4,70 73,41
6. Soda 16 2,5 AA16-T2,5 52,80 1,74 15,31 4,63 74,56
7. Soda 17 2 AA17-T2 54,27 1,20 14,31 4,90 76,50
8. Soda 17 2,5 AA17-T2,5 53,68 0,30 14,46 4,33 76,19
Keteragan: AA = Alkali aktif; RT = Rendemen Tersaring; RK = Rendemen Kasar; K. Alk. = Konsumsi Alkali;
LP = Lignin pada Pulp; KP = Karbohidrat pada Pulp; SD = Selektivitas Delignifikasi

C. Selektifitas Delignifikasi
Selektivitas delignifikasi pada proses kraft jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proses
soda (Gambar 6) dan pengaruhnya sangat nyata (Tabel 1). Fenomena tersebut terjadi karena pada
proses kraft terdapat ion hidrosulfida yang sangat reaktif menyerang lignin dan melindungi
terjadinya degradasi karbohidrat oleh ion hidrogen.

Gambar 6. Selektivitas delignifikasi pulping proses kraft dan soda pada beberapa tingkat alkali
aktif dan lama pemasakan

246 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Pada pemasakan selama 2,5 jam cenderung masih meningkatkan selektivitas delignifikasi
pada proses kraft dan soda, namun rendemennya pada pemakaian alkali aktif 17% mengalami
penurunan. Hal tersebut terjadi karena reaksi berjalan lebih lama pada konsentrasi ion hidrogen
yang lebih besar sehingga terjadi degradasi terhadap karbohidrat. Semakin lama waktu pulping
baik pada proses kraft maupun soda, degradasi lignin meningkat dan karbohidrat tersisa pada pulp
bertambah. Sementara itu peningkatan penggunaan alkali aktif pada proses kraft dan soda dari
16% menjadi 17% mampu menurunkan lignin sisa pada pulp tetapi berdampak negatif terhadap
turunnya karbohidrat sisa (Gambar 7 dan 8).

Karbohidrat (g)

16%

2,5 jam

17%
2 jam

Lignin (g)
Waktu pada suhu 170qC, Alkali Aktif

Gambar 7. Hubungan antara karbohidrat dan lignin pada pulp kraft

Karbohidrat (g)

16%
17%

2,5 jam

2 jam

Waktu pada suhu 170qC, Alkali Aktif

Gambar 8. Hubungan antara karbohidrat dan lignin pada pulp soda

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 247


IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Selektivitas delignifikasi dan bilangan Kappa pada proses kraft lebih baik dari pada proses
sulfat karena keberadaan ion hidrosulfida yang merupakan nukleofilik secara selektif mampu
mendegradasi lignin dan pengaruhnya sangat nyata.
2. Rendemen pulp soda lebih tinggi dari pulp sulfat tetapi kandungan lignin di dalamnya lebih
besar.
3. Semakin lama waktu pemasakan cenderung menurunkan bilangan Kappa dan meningkatkan
konsumsi alkali dan selektivitas delignifikasi.
4. Penggunaan alkali aktif yang lebih tinggi cenderung menurunkan bilangan Kappa dan
konsumsi alkali serta meningkatkan selektivitas delignifikasi.

B. Saran
Untuk mengetahui kecenderungan dari perlakuan waktu pemasakan dan pemakaian alkali
aktif secara lebih mewakli, diperlukan pengambilan tingkat selang yang lebih banyak untuk
masing-masing perlakuan.

DAFTAR PUSTAKA

Baptista, R.D. and A.P. Duarte. 2008. Relationship between lignin structure and delignification
degree in Pinus pinaster kraft pulps. Bioresource Technology 99: 2349-2356.
Berggren, R. 2003. Cellulose Degradation in Pulpfibers Studied as Changes in Molarmass
Distributions. Thesis doctoral. Royal Institute of TechnologyDepartment of Fibre and
Polymer Technology. Division of Wood Chem istry and Pulp Technology. Stockholm.
Chakar, F.S. 2001. Fundamental Delignification Chemistry of Laccase-Mediator System on High-
Lignin-Content Kraft Pulps. Dissertation. Institute of Paper Science and Technology.
Atlanta, Georgia.
Fengel, D. and G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan.
Yogyakarta. Gadjah Mada University PressGustavsson M. 2007. The Significance of
Liquor-to-Wood Ratio on the Reaction Kinetics of Spruce Sulphate Pulping. Thesis. Dept.
of Chem. Engi. Fakulty of Technology and Science. Depart. Of Chemical Engineering.
Karlstads Universitiet.
Ragauskas, A.J. 2009. High Selectivity Oxygen Delignification. Final Technical Report. Institute
of Paper Science and TechnologyGeorgia Institute of Technology. Atlanta. Georgia.
Siagian, R.M. 2007. Teknologi produksi pulp rayon dan papan isolasi dari limbah pembalakan
hutan tanaman kayu pelita (Eucalyptus pellita). Laporan Hasil Penelitian (tidak
dipublikasikan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Terjemahan.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

248 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


LAMPIRAN
Lampiran 1.

SURAT KEPUTUSAN KEPALA PUSTEKOLAH

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 249


KEDUA

KETIGA

250 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 251
Lampiran 2.

SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL


TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN
Bogor, 9 November 2011

WAKTU ACARA PEMBICARA


08:00 08:30 Registrasi Panitia
08:30 08:35 Doa Drs. M. Muslich, M.Sc.
08:35 08:40 Laporan Kepala Pusat Kepala Pustekolah
08:40 09:00 Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Kepala Badan Litbang Kehutanan
09:00 09:20 Keynote Speech
Sebuah Komitmen Menuju Industri Kehutanan Ir. Arya Warga Dalam, MA.
yang Berkelanjutan
09:20 09:40 Break
09:40 12:30 Sesi I
a. Standardisasi Hasil Hutan Guna Memenuhi Ir. SY. Christanto, M.For.Sc.
Pasar Global
b. Pembangunan HTI Mendukung Penyediaan Dr. Tjipta Purwita, M.BA.
Bahan Baku yang Ramah Lingkungan:
Pengalaman PT Musi Hutan Persada
(MHP)
c. Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan Prof. Riset Ir. Dulsalam, MM.
d. Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Dian Anggraini, S.Hut. MM.
Sedang Menggunakan Campuran Pulp
Limbah Pembalakan Hutan Tanaman dan
Arang Aktif
e. Industri Pulp dan Kertas Menuju Green Dr. Ir. Ngakan Timur Antara
Indonesia
12:30 13:30 Ishoma
13:30 16:30 Sesi II
a. Perekat Berbasis Resorsinol dari Ekstrak Prof. Riset Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si.
Limbah Kayu Merbau
b. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Prof. Riset Dr. Ir. R. Sudrajat, M.Sc.
Biodiesel Nyamplung (Colopyllum
inophyllum L.)
c. Pemanfaatan Limbah Sludge IPAL Industry Dr. Rina Soetopo
Pulp dan Kertas sebagai Bahan Baku
Bioetanol
d. Ketahanan Papan Serat MDF terhadap Dra. Jasni, M.Si.
Serangan Rayap Kayu Kering
e. Hasil Uji Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Padatan (Desified Oil Palm Plywood)
16:30 16:40 Penutupan

252 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Lampiran 3.

NOTULASI DISKUSI SEMINAR NASIONAL


TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN

SESI I

Makalah Kunci (Keynote Speech)


Paparan: Sebuah Komitmen Menuju Industri Kehutanan yang Berkelanjutan
Oleh: Ir. Arya Wargadalam, MA (Kementerian Perindustrian/IHHP)

SESI II

A. MAKALAH UTAMA

1. Makalah yang dibahas:


a. Standardisasi Hasil Hutan Guna Memenuhi Pasar Global
Oleh: Ir. SY. Chrystanto, M.For.Sc. (Pustanling)
b. Pembangunan HTI Mendukung Penyediaan Bahan Baku yang Ramah Lingkungan:
Pengalaman PT Musi Hutan Persada
Oleh: Dr. Tjipta Purwita, M.BA. (PT Musi Hutan Persada)
c. Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan
Oleh: Prof. Riset Ir. Dulsalam, MM. (Pustekolah)
d. Industri Pulp dan Kertas Menuju Green Indonesia
Oleh: Dr. Ir. Ngakan Timur Antara (Balai Besar Pulp dan Kertas Bandung)
e. Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang Menggunakan Campuran Pulp Limbah
Pembalakan Hutan Tanaman dan Arang Aktif
Oleh: Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc., Dian Anggraeni, S.Hut., MM & Rosi M. Tampubolon,
S.Hut.

2. Diskusi:

a. Pertanyaan/saran/masukan:

1) Kusmintarjo (BTPTH Bogor)

Untuk Pak Tjipta:


x Acacia mangium sebagai kayu andalan, MHP setuju. Pada rotasi penanaman kedua
tanaman biasanya kurus, hal ini bisa dimaknai bahwa produksi tinggi hanya pada
produksi awal, terjadi pengurasan hara. Setuju kalau hasil hutan bukan kayu tetap
ditinggalkan. Tetapi dengan mengektraksi kayu sedemikian hebat mengakibatkan

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 253


terjadi pengurasan hara, sebagai substitusi tidak bisa ditutup dengan pupuk dan lain-
lain. Apa yang harus dilakukan MHP untuk mengembalikan kondisi tersebut?
x Belum disebutkan ancaman yang terjadi pada Acacia mangium. Ancaman yang hebat
adalah penyakit busuk akar. Balai Besar Yogyakarta sekarang bekerjasama dengan
proyek ACIAR. Kita tidak akan mampu menggunakan berjuta-juta liter pestisida.
Mohon penjelasan jalan keluarnya.

2) Subarudi (Puspijak)

Untuk Pak Ngakan:


x Pasokan kayu terbatas. Kekurangan pasokan bahan baku. Untuk BBPK: Dari
pemaparan tadi, dimana green teknologinya. Teknologi tekstil bisa menghemat air.
Industri pulp bagaimana?
x Pasokan kayu untuk kayu terbatas. Ada ketidakadilan. Pulp kita kompetitif karena
biaya produksi rendah. Biaya bahan baku pulp 8-10%. Apakah kita akan bertahan,
nanti akan kekurangan bahan baku.

3) Sukma (Biomaterial LIPI)

Untuk Pak Ngakan:


x Dari judul Industri Pulp dan Kertas Menuju Indonesia Green, mestinya terdapat
perbedaan industri pulp yang konvensional dan industri yang green teknologi. Tapi
tidak disebutkan data yang mengatakan hal tersebut.
Untuk Bu Dian:
x Pembuatan MDF dari pulp dan penambahan arang aktif. Apakah telah diuji viabilitas
terhadap bahan baku yang digunakan?

4) Saptadi Darmawan (Pustekolah)

Untuk Bu Dian:
x Ada 2 proses yaitu basah dan kering. Yang berkembang adalah proses kering. Dari
lingkungan basah yang lebih ramah lingkungan karena tidak perlu perekat. MDF perlu
proses basah. Bagamana kualitas apabila dilihat dari proses yang cenderung memakai
proses kering.
x Arang aktif dapat menurunkan sifat-sifat MDF. Penambahan arang aktit dengan
penambahan 4%, semua kualitas meningkat termasuk kualitas dan emisi
formaldehidnya.

5) UNTAN

Untuk Pak Tjipta:


x Hutan monokultur apalagi Acacia mangium, tahun kedua akan mengurangi unsur hara
dan pengurangan pertumbuhan. Apakah ada usaha-usaha untuk mempercepat

254 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


dekomposisi. Apa ada usaha untuk tanaman campuran (misalnya eukaliptus atau jenis
lain) supaya tidak memliki tanaman monokultur?
x Apakah ada usaha penggunaan pupuk ramah lingkungan (pupuk hayati)?

6) Joko Sulistyo (UGM)

Untuk Pak Dulsalam:


x Pemanenan ramah lingkungan cukup meningkatkan produktivitas hasil. Belum
melihat apakah limbah dimanfaatkan atau ditinggal. Sawit semua limbahnya ada nilai
ekonomisnya. Apakah limbah sebagian bisa dikeluarkan atau tidak. Kalau bisa, bisa
mendorong pemanfaatan energi yang ramah lingkungan sekalian meningkatkan nutrisi
dalam hutan. Seperti kelapa sawit, seluruh limbahnya dapat dimanfaatkan.
Untuk Pak Ngakan:
x Sekarang industri kertas banyak menghadapi komplain dari negara maju. Komitmen
pemerintah dalam menjawab isu itu seperti apa. Industri kertas berjuang sendiri untuk
menjawab isu tersebut.

7) Gustan Pari (Pustekolah)

Untuk Pustanling:
x Indonesia dalam ISO 14001, industri mebel berada nomor dua dari bawah. Perlu
klarifikasi dari Pustanling, supaya nanti bisa lebih meningkat lagi.

8) Wesman (Pustekolah)

Untuk Pak Ngakan:


x Bahan baku industri pulp sebagian besar impor, tidak memanfaatkan cabang-cabang
limbah pemanenan. Seberapa jauh pemanfaatan cabang-cabang, apakah kualitasnya
berbeda apabila menggunakan kayu diameter kecil?
x Sedang mencoba alat, tapi memotong arah melintang dari kayunya. Apa kualitas dari
cara memotong mempengaruhi kualitas pulp (arah memotong melintang)?

b. Jawaban/tanggapan:

1) SY. Chrystanto (Pustanling)

x Posisi di negara Asian ISO 14001. ASEAN itu ada pertemuan yang khusus membahas
standar, hanya saja data yang masuk sebetulnya kadangkala tidak valid, karena seluruh
negara tidak memberi data yang pas. Disepakati masing-masing negara rajin untuk
menyampaikan informasi data yang lengkap. Tidak mengajak dirjen-dirjen terkait
untuk pemantauan kegiatan-kegiatan dan rajin memberi informasi, sehingga posisi
Indonesia bisa lebih baik dari sekarang.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 255


x Kami akan cek kembali di kehutanan, kelembagaan kadangkala yang paling terkait
tidak diajak. Litbang diajak terus, BUK yang paling banyak tertkait malah
ditinggalkan. Perlu pemantauan dan rajin menyampaikan informasi sehingga posisi
Indonesia bisa lebih baik dari sekerang. Di AACC ada 38 datar yang standarnya sudah
diharmonisasikan, hanya 4 negara dari 10 negara.

2) Tjipta Purwita

Untuk Pak Kusmintarjo:


x Sama mengkhawatirkan soal itu. Resiko itu ada. Kami peduli soal itu. Kami membuat
plot penelitian untuk meneliti agar tidak terjadi penurunan produktivitas atau
setidaknya mempertahankan. Dalam skala penelitian pada rotasi kedua masih bagus.
Namun apakah bisa skala laboratorium itu dibawa ke skala yang lebih besar. Masalah
hama penyakit, terjadi. Kita kerjasama dengan ACIAR untuk mengatasi hal itu. Hama
monyet juga berat.
x Proses dekomposisi apalagi tunggak lama sekali. Dengan cara dicincang. Kalau
dibiarkan saja akan lama waktunya. Sehingga bahan organik merata. Ada jenis lain.
Dan ada pemikiran ada jenis pohon pengganti. Dan sudah disiapkan rencana apabila
ada penyerangan hama yang berat. Namun yang large scale masih dalam proses
negoisasi. Kita menggunakan bahan organik yang tidak beresiko terhadap lingkungan,
tapi tidak menggunakan pupuk kandang.Dengan menggunakan fertilizer yang
berersiko terhadap lingkungan.Sehingga bisa berkurang resiko.
x Dekomposisi daun, masih normal dalam skala lab.

3) Dian Anggraeni

Untuk Sukma:
x Weatbilitas tidak diuji, karena hanya menggunakan perekat tanin dan urea. Apakah
dengan penambahan arang bisa menaikkan stabilitas dimensinya, tidak untuk
penelitian ke depan.
Untuk Saptadi:
x Penambahan arang aktif kekuatan MOE MOR dan stabilitas meningkat, mengapa
penelitian kita menurun. Apakah karena perbedaan proses? Apakah karena
perekatnya? Harus diteliti lebih lanjut. Dilakukan dengan menggunakan sabut apakan
menurun pengaruh dari proses atau perekatnya.
Untuk Wesman:
x Pulp sekecil apapun, ranting pun bisa digunakan selama bisa dimasak asal jangan
terlalu hancur. Karena sekarang masih menggunakan proses manual dengan golok.
x Proses basah itu akan menyebabkan lebih sedikit penggunakan perekat sehingga air
folutionnya sedikit. Sedangkan proses kering menggunakan perekat yang lebih banyak
sehingga air folutionnya lebih banyak. Jadi untuk pengusaha kecil lebih banyak
menggunakan dengan proses basah.
x Tanin berprospek baik, lebih ramah lingkungan.

256 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


4) Ngakan Timur Antara

Untuk Pusdiklat:
x Bagaimana green isndurtri: salah satunya adalah penghematan sumberdaya,
peningkatan efisiensi. Dalam paparan kami, industri IPK telah melakukan komitmen
pemerintah pada batas mendorong. Mereka telah melakukan ekolabel, semua hal-hal
yang berkaitan dari huluhilir harus mengacu SNI produk multi kriteria. Penggunaan
air, energi, dan lain-lain, tersirat dalam ekolabel. Pemerintah/Kementrian
Perisndustrian ada komitmen besar yang harus digarap bersama. Memetakan industri
pulp dan kertas, dimana terjadi penghematan-penghematan: apakah peralatan perlu
diganti tapi proses tidak berubah.
Untuk Sukma:
x Dengan adanya capaian yang telah dilakukan, komitmen pemerintah untuk
memetakan teknologi, itu proses yang sedang berjalan. Industri PK cukup tinggi
memenuhi komitmen tersebut. BBPK mensuplai perangkat infrastruktur, peralatan dan
sertifikasi produk ekolabel. IPK kita menuju dan sejalan dengan program pemerintah
dalam mengurangi emisi dan menuju undustri hijau.
x Pembelian BB cukup rendah, tidak banyak menyentuh itu. Jika salah satu pihak
merasa dirugikan, bisnis tidak lama dan tidak merubah. Akan workshop bulan
Desember. Dari hasil pemetaan akan ada beberapa kategori, low, medium, high cost.
Mereka mau pakai yang mana?
Untuk Sulistyo:
x Industri tidak bergerak sendirian, akan mengikuti dengan porsi yang sesuai. Ini harus
dilakukan seharusnya demikian. Harus dilakukan kontribusi sesuai porsi.
x Ranting apa dimanfaatkan? Efisiensi, jika tidak efektif sama saja mencacah air,
sehingga proses tidak efisien. Pernah dilakukan tanaman (atas, tengah, bawah) tapi
ada perbedaan yang signifikan.
x Cara pemotongan tidak melihat, serta dengan cara pemotongan tidak terpotong. Saya
kira tidak signifikan.
x Tiap tahun sebaiknya dilakukan kegiatan seminar seperti ini. Kita ingin tahu
barometer IPK sejauh mana. Printing teknologi sangat maju, harus diikuti kertas untuk
memenuhi kebutuhan printing.

5) Dulsalam

x Pemanfaatan limbah dibagi dua, HT langsung diproses, di hutan alam ada, tapi belum
diteliti. Mudah-mudahan ada tambahan target, kegiatan sudah ada tapi target
penelitian belum. Di Sarminto ada, malah khusus mengeluarkan tidak bersama dengan
traktor tapi dengan eksavator mengambil kecil-kecil dan diangkut. Tapi ada industri
dalam hutan/industri veenir, bisa mengupas kayu-kayu berdiamer kecil. Belum diteliti,
baru melihat di lapangan. Ada yang sudah diangkut tapi tidak dibeli, rugi, akhirnya
ditinggal. Apabila digunakan portible kupas/rotary bisa dilakukan di lapangan,
membantu sekali pemanfaatan limbah di lapangan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 257


SESI - III

B. MAKALAH PENUNJANG

1. Makalah yang dibahas:


a. Perekat Berbasis Resorsinol dari Ekstrak Limbah Kayu Merbau
Oleh: Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. (Pustekolah)
b. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Biodiesel NyamplungCalopyllu
( inophylum L)
Oleh: Prof. Riset. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc. (Pustekolah)
c. Pemanfaatan Limbah Sludge Industri Pulp dan Kertas
Oleh: Dr. Rina S. Sutopo (Balai Besar Pulp dan Kertas Bandung)
d. Ketahanan Papan Serat MDF Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering
Oleh: Dra. Jasni, M.Si., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. dan Ir. Rena M. Siagian, MS.
(Pustekolah)
e. Hasil Uji Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Padatan (Desified Oil Palm Plywood)
Oleh: Ir. Jamal Balfas, M.Sc. (Pustekolah)

2. Diskusi:

a. Pertanyaan/saran/masukan:

1) Han Roliadi

Untuk Pak Adi S.:


x Bagaimana kalau ditambah reaksi pewarnaan dengan reaksi resorsinol agar lebih
yakin.
Untuk Bu Rina:
x Diekspan menjadi proses etanol dan bisa menggerakkan kendaraan-kendaraan di PT
TEL.
Untuk Pak Jasni:
x Bagaimana kekuatannya apakah lebih baik dengan menggunakan chitosan dibanding
TF? Asteliasi merubah gugus? Dicurigai kekuatannya menurun namun keawetannya
meningkat.
Untuk Pak Jamal:
x Kayu lapis/kayu reguler beda. Apakah sudah diantisipasi keawetan dari panel kayu
lapis ini?
Untuk Pak Adi S.:
x Ada hal bagus merau jadi bahan perekat bisa merngeras pada suhu kamar. Untuk lebih
yakin ditambah analisis dengan reaksi pewarnaan sama dengan resorsinol.

258 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Untuk Ibu Rina:
x Konveri sludge menjadi etanol. Pada sludge, bagaimana kalau suatu saat akan
dieksvan menjadi metanol? Bisa menggerakkan kendaraan di PT TEL.
Untuk pak Jasni:
x Mematikan rayap lebih bagus, bagaimana kekuatannya? Apakah juga lebih baik
apabila menggunakan chitosan dibanding TF.
Untuk Pak Jamal:
x Bagus sekali densigikasi kalapi dari sawit. Sesudah didisensikasi kayu kembali lagi ke
asal, perlu perlakuan. Apa sudah diantisipasi? Kayu lapis dan reguler beda. Apakah
sudah diantisipasi terhadap keawetan kayu lapis terhadap mikroorganisme dari kayu
sawit.

2) Joko

Untuk Pak Adi:


x Kayu merbau itu jauh dari Papua. Bagaimana cara memperoleh ekstrak bila
diperlukan? Apakah dari limbah atau pemanenan khusus untuk pohon berdiri?
Untuk Pak Adjat:
x Energi yang diperlukan untuk memperoleh bioetanol yang kompotetitf? Pohon
nyamplung berapa luasan yang ekonomsi untuk meproduksi bioetanol. Berapa besar
energi yang diperlukan untuk bioetaniol apakah kompetitif/tidak?
Untuk Bu Rina:
x Apakah bila dibandingkan dengan limbah sludge kompotetitif? Lebih mahal atau lebih
murah? Limbah padat semuanya sudah dimanfaatkan apakah masih ada yang
terbuang?

3) Krisdianto (Pustekolah)

Untuk Pak Adi:


x Spektrogram dan lain-lain. Disebutkan ada puncak. Sedangkan kalau dilihat grafiknya
itu lembah bukan puncak karena ke bawah. Gambar 6 dan 10 kalau bisa digabungkan
karena ingin melihat seberapa besar perbedaannya.
Untuk Pak Jasni:
x Asetoilasi? Penambahan beratnya?
Untuk Pak Jamal:
x Densifikasi batang kelapa sawit 130 derajat menjadi bentuk lain? Ada penjelasan dari
proses tersebut?

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 259


4) Barly

Untuk Pak Adi:


x Kesimpulan 5.5 itu bentuk larutan atau padatan?
x Apalah ekonomis?
Untuk Bu Rina:
x Kadar etanol? Kurang jelas kesimpulannya. Dari 2% didapat 6 kg/ton sludge. Kalau
memang demikian kecil, padatan yang dihasilkan kecil. Apakah ekonomis?
Untuk Pak Jasni:
x Penjelasan Tabel 5, tidak ada bedanya antara yang 0 dan yang lain.
x Chistosan yang 25 dan 50 tidak ada bedanya.
Untuk Pak Jamal:
x Potensi memang besar, namun kalau terlambat dalam pengolahan karena ada
keterlambatan pencegahan dalam mengantisipasi pengawetan (pencegahan bakteri).
Kerapatan kayu sawit beda dengan kayu. Bagaimana menyikapi hal itu dalam
pengolahan. Apakah tidak terjadi cacat-cacat karena ada perbedaan kerapatan?

5) Dulsalam

Untuk Bu Rina:
x Mengkomersilkan teknologi untuk membuat energi dari limbah pembalakan, bisa
membuat biozat dari limbah pembalakan. Apakah bisa sludge ini dibuat menjadi
biozat atau bio gas? CH8?
Untuk Pak Jasni:
x Kerusakan dengan derajat serangan. Apa tidak kebalik? Derajat serangan dan
kerusakannya?
Untuk Pak Jamal:
x 130rb dan pengangkutan 60rb. Tergantung dari jarak pengangkutannya. Selain
pengangkutan di lapangan ada kegiatan pemotongan, dan lain-lain. Apakah harga
tersebut sudah termasuk itu? Termasuk uang untuk RT, polisi dan lain-lain.

6) Yusuf Sudo Hadi

Untuk Pak Adi:


x Kayu merbau di Irian tua. Bagaimana dengan kayu merbau yang masih muda?
Ekstraktifnya?
Untuk Pak Adjat:
x Apabila ini untuk komemrsial, apakah bisa menghasilkan di bawah harga internasional
yaitu 1 dollar? Prospektif tidak?
Untuk Pak Jamal:
x Pengeringan veneer apakah harus kontinyu? Badtch? Full press drying?
x Kerapatan satuannya bukan gr/m3 harusnya kg/m3 dan tidak perlu pakai koma.

260 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


b. Jawaban/tanggapan:

1) Adi Santoso

Untuk Pak Han:


x Analisis komponen kimia dari bahan bakunya. Kami berpijak dari tujuan awal
menemukan kendala pada penggunaan kayu merbau pada saat finishing. Yaitu pada
saat finishing akan berwarna merah pada saat kena air. Sehingga konsentrasi kita
hanya pada zat itu saja. Jadi tidak menganalisis lebih lanjut lagi.
Untuk Pak Krisdianto:
x Menggabungkan gambar-gambar grafik. Kami kesulitan dalam pemogramannya,
sehingga tampilannya begitu. Agar terlihat perbedaan antara ekstrak dan polimer.
x FTUR. Puncak tapi di bawah. Graik pertama kombinasi hidroksil dan aromatis.
x Rendemen 5,5%. Kadar padatannya dominannya cairan dianalisis dengan perawatan
tadi diperlukan kristalnya. Ternyata rendemennya 5,5%. Ternyata 78% kemurnian
kristalnya.
Untuk Pak Yusuf:
x Yang diamati yang dipanen, yang muda tidak tahu namun harus dibuktikan. Masukan
untuk ditindaklanjuti.

2) Jasni

Untuk Pak Han:


x Kerapatan papan serat menurut JIS.
x Menghasilkan papan serat yang lebih tinggi dengan chistosan bukan dari yang urea.
Untuk Pak Barly:
x Tabel 5. Non parametrik. Range nilainya terlalu besar pada kerusakan karena
perbedaan statistik non parametrik. Jika masuk SNI tidak berbeda 90. Semua ini sudah
standar. Serangan 0-90 ya begitu sesuai dengan standar yang ada.

3) R. Sudradjat

Untuk Pak Joko:


x Luas minimal sekitar 30 hektar. Kalau hitung-hitungan 1 ton/jam. 24 jam = 24 ton. 1
tahun 300 ton biodiesel.
x Energi balance. Harusnya efisien. Bagian-bagian prosesing pengeringan biji. Sekarang
bisa atasi tidak dikukus tapi disisir/dicincang tipis. Untuk mengatasi pengeringan.
Proses degumming dan lain-lain lamanya 2 jam. Energi balance-nya positif.
Untuk Pak Yusuf:
x Dengan harga 9 ribu, itu dengan harga jual 6 ribu sudah pasti ekonomis. Ekspor
biodisel ke LN seharga 10 ribu. Harga pokok biodisel 4 ribu.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 261


4) Jamal Balfas

x Spring back pada kayu konvensional berbeda dengan kayu monokotil. Dalam kasus
kayu sawit, kelapa, aren relatif mudah dilakukan densifikasi. Makin ke dalam porsi
jaringan parenkim makin besar dan makin mudah dilakukan pemadatan vasculer
bundels. Itu yang dilakukan densifikasi dengan tujuan untuk meningkatkan kerapatan,
kekuatan stabilitas kayu sawit.
x Densifikasi 30 derajat terjadi perubahan kimia. Terjadi karamelisasi berbau enak.
Densifikasi ada dua: Press dryer. Banyak karamel. Pada saat pressing metal dari
bagian mesin, veneer lekat skali dengan alas. Sehingga alat ini harus disodok-sodok
dan recovery-nya hanya 30%. Perubahan kimianya ekstrim karena ada perubahan
selulosa, lignin yang paling tegas pada pati. Penambahan yang efektif terhadap
struktur. Perubahan ini dicontoh dari ilmu food teknologi. Dan diadopsi pada proses
pengolahan kayu sawit.
x Spring back terjadi pada kayu konvensional.
Untuk Pak Barly:
x Pengawetan dilakukan yaitu treatment borak borik. Untuk propilatik efektif. Namun
untuk yang pengawetan permanen di luar negeri mereka umum menggunakan
pestisida tertentu. Kita bisa mengadospsi cara tersebut. Varisasi tinggi pada kayu sawit
sangat mengganggu. Veneer dimasukkan ke dalam larutan sebelum dilakukan
pengeringan. Variasi rotarinya sudah minimal. Cara paling efektif untuk mengurangi
densitas kayu sawit dan lainnya.
x Di Riau 7 tahun terakhir sudah menggunakan kayu kepala untuk plywood. Satu
potensi yang paling kuat untuk menggunakan kayu sawit.
x Di Malaysia perusahaan perkebunan wajib menyuplai kayu sawit ke pabrik kayu yang
mengolah dan dikenakan ongkos kirim 130 ribu. Cost perusahaan perkebunan. Ke
pabrik kayu. Ongkos kirim ke pabrik kayu sawitnya. Termasuk biaya plus lainnya.
Kebun sawit posisinya sangat mudah. Bahkan ada yang di tengah kota. Jadi tidak
memerlukan biaya yang besar. Dan hanya membutuhkan biaya yang mahal.
Untuk Yusuf:
x Densitas keliru satuan: kg/m3 sehingga ada nilai yang seribu kali lebih besar.

6) Rina S. Sutopo

x Konversi sludge menjadi metanol. Belum ada pengalaman. Untuk menjadi metanol
diperlukan mikroba yang lain. Dan kita belum mendalami soal itu.
Untuk Pak Joko:
x Limbah padat dikeringkan dan dimasukkan ke boiler. Kadar airnya 60-70%.
Permasalahan industri limbah padat untuk menghasilkan energi, karena kadar air yang
tinggi. Limbah lignin dimasukkan sudah bisa digunakan untuk sumber energi.
x Kadar etanol 2-3% adalah kadar etanol setelah fermentasi. Tidak ekonomis, namun
karena bahan bakunya menggunakan limbah, sehingga melihat keekonomisnya perlu
diperhitungan lagi.

262 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


x Sludge untuk biogas, sudah banyak dilakukan. Di Riau pemanfaatan sludge untuk
biogas. Lebih cocok digunakan dari biological/biogass. Sludge biologi sifatnya sulit
diendapkan, sulit dipresss dan dominan oleh mikroba sehingga sulit untuk
dihilangkan.
Untuk Pak Adjat:
x Sludge bisa untuk metanol tetapi melalui proses gasifikasi.

SESI - III

a. Pertanyaan/saran/masukan:

1) Kusmintarjo

Untuk Pak Sudradjat:


x Perihal biofuel. Lipid ada dalam benih apapun dalam bentuk granul yang disebut
oleosin. Itu kimianya triacil gricerol. Benih membutuhkan energi untuk berkecambah.
Dari bentuk granul itu harus dipecah-pecah untuk menjadi energi oleh enzim lipase.
Untuk biofuel ini ada di segmen yang mana? Proses awal dengan proses pengepresan.
Kalau melihat ada kinerja enzimatik, kalau dibantu triasilgli bisa menjadi molukel-
molukel yang sederhana, mohon pendapat/keterangan?

2) Ratih

Untuk Bu Rina:
x Kalau ekspor ditolak karena mengandung kayu ramin. Bagaimana bisa membedakan
kertas yang ada itu mengandung kayu raminnya?
Untuk Pak Jamal:
x Kelemahan kayu sawit yaiut pada anatominya, parenkimnya yang terlalu besar.
Batang sawit apakah cocok?

b. Jawaban/tanggapan:

1) R. Sudradjat

x Bahan yang diambil dari nabati, biji-bijian. Selain dari lipid, lipase alamiah yang
dikandung oleh biji.
x Harus dibuat reaksi enzimatik. Lalu proses esterfikasi karena pH-nya rendah karena
kalau diproses tetap akan menjadi panjang. Prosesnya panjang.

2) Jamal Balfas

x Pengeringan dengan menggunakan sistem drum atau betch ketimbang hotpress.


x Kelemahan anatomi kayu sawit sudah dari tahun 50an.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 263


x Harga produk yang relatif murah yaitu panel, partical board.
x Orang apresiasi karena faktor lingkungan.
x Mengolah kayu sawit sulit. Dikeringkan peot. Dibiarkan busuk. Pada saat bersamaan
fenomena tunggak pinus yang telah ditebang 3 tahun masih fresh. Dan ini yang
digunakan untuk kayu sawit. Memasukan getah pinus ke dalam kayu sawit. Dan itu
awal dari semua ini. Tapi mana mungkin terus mengkonsumsi getah resin pinus untuk
kayu sawit. Jadi apa yang dilakukan dengan modifikasi dengan food teknologi.
Material komponen pangannya lebih banyak daripada komponen kayunya. Bagian
atasnya mudah dibuat pangan. Lebih mudah dikonversi untuk bahan pangan.
x Kelamahan anatomi ini maka kita lakukan densifikasi. Kemungkinan untuk menjadi
kayu lapis cenderung lebih optimis. Lebih mudah densifikasi, lebih stabil, dirakit
menjadi panel pun lebih mudah dibanding dengan kayu solid. Percobaan di Riau,
harganya di atas harga panel sengon. Sedang disiapkan pabrik kayu lapis pertama di
Aceh. Perlu investasi 140 milyar. Prospek plywood dengan kayu sawit itu positif.

3) Rina S. Sutopo

x Mengenai produksi kertas, saya tidak research dengan produksi kertas dan
mengindentifikasi kertas terbuat dari jenis kayu apa.
Untuk Bu Susy:
x Industri telp ke BPPK ada masalah dimana pulpnya mengandung kayu ramin. Balai
Besar adalah balai besar proses pulp dan kertas. Yang bisa mengindentifikasi jenis apa
yaitu Pustekolah.
x Pulp dengan menggunakan ramin Mixard wood?
x Produksi pulp kertas massa jenis 0,3-0,5. IPK tidak mungkin menggunakan kayu yang
massa jenisnya lebih dari 0,5 karena polusinya lebih tinggi.
x Perekat ektrak kayu merbau dapat sebagai perekat sisntetis formaldehid terbarukan,
ramah lingkungan dan murah, penacapaian green teknologi dan green produk.
x Biji nyamplung kadar minyak tinggi, non pangan (tidak kompetitif dengan pangan),
tersebar di seluruh Indonesia, untuk biodiesel dan karosen. Ramah lingkungan dan
green produk.
x Sludge dapat untuk BB bioetanol yang ramah lingkungan sebagai alternatif bioenergi
yang ramah lingkungan.
x Pada MDF dapat meningkatkan serangan terhadap RKK.
x Permanfaatan batang kayu kelapa sebagai kalap dapat alternatif.
x Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas dari kayu lapisnya.

264 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan


Lampiran 4.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 265


266 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 267
268 Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan 269

Anda mungkin juga menyukai