Anda di halaman 1dari 762

MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN MELALUI PENERAPAN INOVASI

TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI PADA KAWASAN PERTANIAN

i
ii
MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN MELALUI PENERAPAN INOVASI
TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI PADA KAWASAN PERTANIAN

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian


Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian
2018

iii
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawasan Pertanian

Sorong, 9 November 2017

ISBN: 978-602-6954-00-0

Penanggung Jawab

Haris Syahbudin
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Penyunting

Demas Wamaer
Entis Sutisna
Atekan
Aser Rouw
Rachmat Hendayana

Penyunting Pelaksana

Subiadi
Ghalih W. Hidayat
Arif Yudho
Halijah
Erny Rossanty Maruapey

Diterbitkan Tahun 2018, oleh:


Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 10
Kampus Penelitian Pertanian, Cimanggu, Bogor 16114
Telp. : +62 251 8351277 . Faks. : +62 251 8350928
E-mail: bbp2tp@yahoo.com
Website: www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id

iv
KATA PENGANTAR

Seminar Nasional yang berlangsung di Sorong Papua pada tanggal 17 November 2017
dengan topik Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawasan Pertanian diselenggarakan oleh BPTP Papua Barat
sebagai Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di bawah
Koordinasi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Pemilihan topik seminar “Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan
Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawasan Pertanian” dipandang tepat
dalam era saat ini, sebagai wujud dukungan terhadap Program Peningkatan Produksi
Pertanian Berbasis Kawasan. .
Seminar diikuti 170 orang peserta dari kalangan pejabat Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah
(Balitbangda) Papua Barat, Perguruan Tinggi (Universitas Papua- UNIPA), peneliti, penyuluh,
lingkup Balitbangtan, Mahasiswa UNIPA, dan unsur pemangku kepentingan utusan dari
berbagai wilayah di Indonesia.
Prosiding ini memuat kumpulan 84 makalah yang dipresentasikan secara oral dan
poster dalam seminar, setelah melalui proses seleksi dan evaluasi serta penyuntingan oleh
Tim Editor yang kompeten di bidangnya melibatkan Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Introduksi inovasi pertanian yang dirangkum dalam prosiding ini diharapkan dapat
menjadi titik ungkit dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan di Kawasan Pertanian

Bogor, Juni 2018


Kepala Balai Besar,

Dr. Ir. Haris Syahbudin

v
RUMUSAN SEMINAR NASIONAL

Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi


Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawasan Pertanian
Sorong, 9 November 2017

Seminar Nasional dengan topik Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan


Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawasan Pertanian yang berlangsung di
Sorong, Papua Barat, 9 November 2017, diikuti oleh 166 orang peserta dari kalangan pejabat
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah (Balitbangda) Papua Barat, Perguruan Tinggi (Universitas Papua-
UNIPA), peneliti, penyuluh, lingkup Balitbangtan, Mahasiswa UNIPA, dan unsur pemangku
kepentingan utusan dari berbagai wilayah di Indonesia.
Dari hasil Seminar Nasional ini dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kedaulatan pangan merupakan suatu keniscayaan bagi masyarakat Indonesia sebagai
refleksi dari negara yang dikenal sebagai negara agraris. Tercapainya kedaulatan
pangan akan menjadi modal dasar bagi pembangunan Indonesia seutuhnya.
2. Guna mewujudkan kedaulatan pangan, perlu upaya yang dipersiapkan untuk dapat
dilaksanakan pihak pengguna, baik pengguna antara, pengguna utama dan pelaku
usaha. Salah satunya adalah inisiasi inovasi teknologi spesifik lokasi, yaitu berupa
teknologi yang layak secara teknis, diterima secara sosial dan layak secara ekonomis.
3. Dukungan untuk mencapai kedaulatan pangan dari sisi inovasi pertanian adaptif –
spesifik lokasi sudah tersedia, baik berupa unsur teknologi yang mencakup semua
subsektor dan lintas agroekosistem maupun rekayasa kelembagaan yang dihasilkan
lingkup Balitbangtan maupun Perguruan Tinggi.
4. Dari aspek kebijakan pusat dan daerah juga sudah kondusif untuk mendorong aplikasi
inovasi teknologi pertanian tersebut. Kuncinya tinggal membangun dan
meningkatkan komitment berbagai pihak untuk mau menghilirkan inovasi teknologi
pertanian tersebut kepada pihak pengguna.
Rumusan hasil seminar ini bermanfaat untuk dapat dijadikan acuan pengembangan
inovasi teknologi untuk mewujudkan kedaulatan pangan pada kawasan pertanian.

Sorong, 9 November 2017

Tim Perumus.

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................v

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL ...................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. vii

1. PENELITIAN DAN PENGKAJIAN BERBASIS OUTPUT MENDUKUNG


PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
Andi M. Syakir .................................................................................... 1

2. PERAN BALITBANGDA PROVINSI PAPUA BARAT DALAM


MENDUKUNG PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI
PERTANIAN SPESIFIK LOKASI DI PAPUA BARAT
Charly D Heatubun, Ezrom Batorinding, Hendrik Burwos ....................... 3

3. CEKAMAN ABIOTIK DAN PROVITAS PADI PADA AGROKOSISTEM


LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DAN TADAH HUJAN DI PAPUA
BARAT: Penerapan Inovasi Teknologi Badan Litbang Pertanian
Aser Rouw .........................................................................................11

4. PRODUKTIVITAS BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI


SAWAH DI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU
Apriyani N. Sariffudin1 dan Erliaty Laempah2 ......................................25

5. POTENSI KEBERHASILAN OKULASI DENGAN PEMILIHAN LETAK


MATA TUNAS DAN PEMASANGAN MATA TEMPEL TERHADAP
PERTUMBUHAN KAKAO
Apresus Sinaga1, Andi Faisal Suddin2dan Muhammad Thamrin2 ..........32

6. PENGEMBANGAN PERDESAAN MELALUI PENDEKATAN INOVASI


TEKNOLOGI PERTANIAN BERBASIS HORTIKULTURA DI
KABUPATEN GOWA
Ruchjaniningsih dan Muhammad Thamrin ...........................................38

7. INOVASI TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN


MUTU CABAI RAWIT DI SENTRA PENGEMBANGAN SULAWESI
SELATAN Ruchjaniningsih, Muh. Taufik dan Abdul Wahid Rauf ............49

8. EVALUASI KARAKTER AGRONOMIS HASIL PADI GOGO


BERDASARKAN SIDIK LINTAS DI LAHAN KERING MANOKWARI

vii
PAPUA BARAT
Apresus Sinaga1 dan Salim2...............................................................55

9. PENGKAJIAN SISTEM TANAM IP 200 JAGUNG PADA


AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN
TAKALAR
Amir dan Halijah ................................................................................60

10. PENGARUH TEKNOLOGI PEMUPUKAN KOMBINASI ORGANIK DAN


ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
JAGUNG DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI TAKALAR
Amir dan Muh. Fathul Ulum Ariza ......................................................71

11. PENGARUH PEMBERIAN PUPUK HAYATI TERHADAP SIFAT KIMIA


TANAH DAN HASIL TANAMAN KEDELAI PADA LAHAN SAWAH
TADAH HUJAN DI SULAWESI SELATAN
Idaryani dan Wardah .........................................................................82

12. PEMANFAATAN LIMBAH ULAT SUTERA SEBAGAI PUPUK HAYATI


DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL
TANAMAN KEDELAI
Idaryani, Abdul Wahid Rauf dan Amisnaipa .........................................91

13. KERAGAAN KEGIATAN PENDAMPINGAN PENGEMBANGAN


KAWASAN AGRIBISNIS HORTIKULTURA SULAWESI BARAT
Ida Andriani dan Cicu ...................................................................... 100

14. KERAGAAN TEKNOLOGI INTEGRASI KAKAO-KAMBING DALAM M-


P3MI DI MAMUJU-SULAWESI BARAT
Ida Andriani dan Erny Rossanti Maruapey ......................................... 109

15. KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN JAGUNG DI KABUPATEN


KEPULAUAN SULA, PROVINSI MALUKU UTARA
Himawan Bayu Aji, Arif Yudo, Ika Ferry Yunianti................................ 118

16. STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CENGKEH MELALUI


PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI DI MALUKU UTARA
Yopi Saleh, Chris Sugihono dan Imam Prambudi ............................... 127

17. PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI BERKELANJUTAN DI KOTA


TERNATE
Yopi Saleh, Chris Sugihono dan Imam Prambudi ............................... 140

viii
18. KELAYAKAN DAN DAYA SAING ALOKASI TENAGA KERJA PADA
USAHATANI JAGUNG DI SULAWESI UTARA
Jantje G. Kindangen dan Jefny B.M. Rawung ..................................... 150

19. PROSPEK PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN USAHATANI


KELAPA DENGAN TANAMAN KAKAO KLON UNGGUL DI SULAWESI
UTARA
Jantje G. Kindangen dan Jefny B.M. Rawung ..................................... 161

20. PAKAN DAN NUTRISI SAPI POTONG BERBASIS LIMBAH PADI


Paulus C. Paat dan Jefny B.M. Rawung ............................................. 174

21. LIMBAH JAGUNG UNTUK PAKAN DAN NUTRISI TERNAK SAPI


Paulus C. Paat ................................................................................. 188

22. ANALISIS FINANSIAL DAN PREFERENSI PETANI TERHADAP


JAGUNG HIBRIDA PROLIFIK DI KABUPATEN MINAHASA SELATAN
Joula Sondakh, Janne H.W. Rembang dan Jefny B.M. Rawung ........... 201

23. PREFERENSI PEDAGANG DAN KONSUMEN TERHADAP BUNGA


KRISAN DI SULAWESI UTARA
Joula Sondakh, Sudarti dan Janne H.W. Rembang ............................. 208

24. PENGARUH BAHAN PENYALUT TERHADAP KUALITAS


ENKAPSULASI MINYAK ATSIRI PALA
Payung Layuk, M. Lintang, dan H. J. Motulo. ..................................... 216

25. KOMPONEN BIOAKTIF DALAM TEH DAN MANFAAT UNTUK


KESEHATAN Payung Layuk dan Semuel Layuk.................................. 225

26. EVALUASI DAMPAK PELATIHAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO


JAGUNG TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI
Nova Maya Muhammad, Dedy Hertanto ............................................ 234

27. KINERJA PRODUKSI JAGUNG VARIETAS UNGGUL BARU


BALITBANGTAN PADA KAWASAN JAGUNG DI GORONTALO
Jaka Sumarno, Fatmah Sari Indah Hiola, dan Hasyim Jamalu
Moko .............................................................................................. 242

28. ANALISIS USAHATANI KAKAO DI KECAMATAN WONOSARI


KABUPATEN BOALEMO
Ari Abdul Rouf, Erna Retnawati, Dwi Rohmadi, Sukarto dan Hatta
Muhammad ..................................................................................... 252

ix
29. KERAGAAN KEBERHASILAN SAMBUNG SAMPING KAKAO DI
KECAMATAN WONOSARI BOALEMO
Ari Abdul Rouf, Erna Retnawati, Dwi Rohmadi, Sukarto dan Hatta
Muhammad ..................................................................................... 258

30. PENGEMBANGAN MODEL SISTEM USAHATANI JAGUNG


BERBASIS PERTANIAN BIOINDUSTRI DI GORONTALO
Rahmat H. Anasiru dan Atekan ........................................................ 264

31. PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH PADA BERBAGAI


DOSIS PEMUPUKAN ZA DI LAHAN TADAH HUJAN BERTANAH
ALLUVIAL DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NTB
Lia Hadiawati, Ahmad Suriadi, dan Fenty Irianty ................................ 277

32. PENURUNAN HASIL BAWANG MERAH AKIBAT KEKERINGAN


PADA BEBERAPA FASE PERTUMBUHAN
Lia Hadiawati, Ahmad Suriadi, dan Fransiska Renita Anon
Basundari ........................................................................................ 286

33. KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG


PANJANG DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK
Eka Widiastuti dan Tri Cahyon2 ......................................................... 292

34. PENGARUH SUBTITUSI TEPUNG MOCAF TERHADAP KUALITAS


CAKE MOCAF
Ulfa Majid, Maryam Nurdin, dan Irfan Ohorella .................................. 301

35. PERSEPSI PETANI TERHADAP PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK


PADA TANAMAN PALA DI SERAM BAGIAN TIMUR MALUKU
Dini Fibriyanti dan Risma Fira Suneth ................................................ 309

36. PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU JAGUNG DI KABUPATEN


SERAM BAGIAN TIMUR
Sheny Kaihatu dan Hardiana Bansi ................................................... 316

37. PRIORITAS PENGEMBANGAN DAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN


TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI KOMODITAS UNGGULAN
TANAMAN PANGAN DI PROVINSI MALUKU
Ismatul Hidayah .............................................................................. 325

38. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI


KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PERKEBUNAN DI PROVINSI
MALUKU ANALISIS DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA
Ismatul Hidayah .............................................................................. 337

x
39. PERCEPATAN PENERAPAN TEKNOLOGI PTT PADI SAWAH DI
TINGKAT PETANI MELALUI GELAR TEKNOLOGI DI KENDARI
PROV. SULAWESI TENGGARA
Sjamsiar, Yuliani Zainuddin, Sostenes Konyep ................................... 349

40. RESPON PETANI TERHADAP TEKNOLOGI USAHATANI PADI


SAWAH MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN DI KONAWE
UTARA SULAWESI TENGGARA
Yuliani Zainuddin, Sjamsiar, Halijah .................................................. 355

41. PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI CABAI MELALUI


DEMONSTRASI PLOTING DI KONAWE SULAWESI TENGGARA
Assayuthi Ma’suf, Abdul Azis, dan Ririen Indrawati A ......................... 366

42. ANALISIS BIAYA USAHATANI CABAI MERAH TINGKAT PETANI


DI KABUPATEN KONAWE
Bungati, Warda dan Demas Wamaer ................................................ 375

43. PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG INOVASI


TEKNOLOGI CABAI DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI
SULAWESI TENGGARA Assayuthi Ma’suf, Tamrin Kunta dan Galih
Hidayat ........................................................................................... 384

44. DAMPAK PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN


TERPADU TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI
PADI SAWAH DI SULAWESI TENGGARA
Sri Bananiek Sugiman dan Zainal Abidin ............................................ 392

45. ANALISIS PEMASARAN CABAI RAWIT DI KABUPATEN DI


KABUPATEN KOLAKA UTARA
Bungati1, Sri Bananiek1 dan Wardah1) ............................................... 400

46. PEMANFAATAN TRICHODERMA VIRIDE UNTUK PENGENDALIAN


PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT
Antonius Lawang, Eko Agus Martanto, dan D.K. Erari ........................ 408

47. IBM KAMPUNG KAMERI YANG MENGALAMI MASALAH


PERONTOKAN POKEM
Paulus Payung, Abadi Jading, Adelin Tanati ....................................... 418

48. PENGEMBANGAN DAN EVALUASI ALAT PERONTOK POKEM


UNTUK MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN SPESIFIK LOKAL
Paulus Payung, Abadi Jading, Reniana .............................................. 422

xi
49. PRODUKSI ASAP CAIR BERBAHAN DASAR KULIT BATANG SAGU
ASAL PAPUA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PIROLISIS
Sarman Oktovianus Gultom, Isak Silamba, Purnama Darmadji 2),
Yudi Prayitno ................................................................................... 428

50. PEMANFAATAN LIMBAH CAIR EKSTRAKSI SAGU LOKAL PAPUA


SEBAGAI MEDIA TUMBUH MIKROALGA UNTUK PEMBUATAN
BIODISEL
Sarman Oktovianus Gultom, Eduard F. Tethool , Bambang Susilo ,
Aji Sutrisno .................................................................................... 434

51. VARIANT-3 MESIN EKSTRAKSI PATI SAGU TIPE STIRRER


ROTARY BALADE BERTENAGA MOTOR BAKAR BENSIN
Darma, Budi Santoso ....................................................................... 440

52. PEMANFAATAN CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL UNTUK


MEMBANGKITKAN INFORMASI EVAPOTRANSPIRASI GUNA
MENDUKUNG SISTEM PERTANIAN YANG PRESISI DI KABUPATEN
MANOKWARI
Arif Faisol, Atekan, Rizatus Shofiyati, Budiyono .................................. 452

53. PERILAKU ADOPSI BUDIDAYA KELAPA SAWIT PETANI ARFAK


PESERTA PROGRAM POLA KEMITRAAN INTI PLASMA PTPN II
PRAFI DI KABUPATEN MANOKWARI
Amestina Matualage ........................................................................ 459

54. PENAMPAKAN MUTU FISIK GABAH DI SENTRA PRODUKSI PADI


DI KALIMANTAN BARAT
Jhon David H dan Mimin Yulita Kusumaningrum ................................ 468

55. RENDEMEN BERAS DAN MUTU FISIK BERAS BERBAGAI


VARIETAS DI KALIMANTAN BARAT
Jhon David H dn Arief Yudo ............................................................. 476

56. PENGARUH APLIKASI PUPUK NPK 18-9-20 TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI KULTIVAR CIBOGO DI
MAGETAN
Fuad Nur Azis, Lina Aisyawati, dan Herman Rois Tata ........................ 483

57. PENGGUNAAN PERANGKAT UJI TANAH KERING UNTUK


PENINGKATAN PRODUKSI KEDELAI DI LAHAN KERING
E. Fidiyawati1, Ratih K. Ndaru1, Lina Aisyawati, dan Tri Cahyono 2 ....... 494

58. DAMPAK PENYULUHAN TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN


SIKAP DAN KETERAMPILAN PETANI PADA TEKNOLOGI

xii
PENGOLAHAN LIMBAH KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PAKAN
KAMBING DI SULAWESI BARAT Religius Heryanto, Ketut
Indrayana, dan Chicilia Iriani Rayo ................................................... 501

59. PERANAN DEMFARM VARIETAS UNGGUL BARU KEDELAI


TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN SIKAP DAN
KETERAMPILAN PETANI DI SULAWESI BARAT
Religius Heryanto, Ketut Indrayana .................................................. 510

60. EVALUASI TERHADAP BEBERAPA INVIGORASI BENIH JAGUNG


(ZEA MAYS L.) YANG DISIMPAN
Ramlah Arief, Fauziah Koes, dan Galih Hidayat .................................. 520

61. PENGELOLAAN DAN TEKNOLOGI BENIH JAGUNG


Ramlah Arief, Fauziah Koes, Dan Oom Komalasari ............................. 525

62. TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI INTEGRASI SALAK-KAMBING DI


SLEMAN, D.I. YOGYAKARTA DAN FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
Retno Dwi Wahyuningrum, Titik F. Djaafar dan Sulasmi ..................... 534

63. PRODUKTIVITAS BEBERAPA GALUR PADI SAWAH TAHAN


PENYAKIT BLAS PADA LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS
Subiadi dan Surianto Sipi ................................................................. 544

64. TINGKAT SERANGAN PENYAKIT BLAS DAUN DAN PENYAKIT


BLAS LEHER PADA PADI SAWAH VARIETAS CIGEULIS
Subiadi dan Surianto Sipi ................................................................. 550

65. ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN KEDELAI DI


KABUPATEN MANOKWARI PAPUA BARAT
Entis Sutisna dan Galih Wahyu Hidayat ............................................. 559

66. IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI KELEMBAGAAN


PERBENIHAN PADI DI PROVINSI PAPUA BARAT
Entis Sutisna dan Fransiska Renita Anon Basundari ........................... 570

67. DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM SL-PTT PADI TERHADAP


PENINGKATAN ADOPSI TEKNOLOGI DAN PENDAPATAN
PETANI PADI DI PROVINSI PAPUA BARAT
Entis Sutisna ................................................................................... 581

68. UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU BAWANG MERAH DI


DATARAN RENDAH, MANOKWARI - PAPUA BARAT
Fransiska Renita Anon Basundari, Arif Yudo Krisdianto ....................... 589

xiii
69. RAGAM ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN KELAPA SAWIT DI
PT. INTI KEBUN SEJAHTERA KABUPATEN SORONG
Abdul Mubaraq Irfan dan Farida Oktavia ........................................... 603

70. PERKEMBANGAN PENELITIAN KULTUR JARINGAN PADA


TANAMAN PALMA
Farida Oktavia ................................................................................. 613

71. KLASTERISASI BEBERAPA AKSESI JAWAWUT DALAM


MENDUKUNG PERAKITAN VARIETAS UNGGUL
Dominggus M. D. Tatuhey dan Herman Masbaitubun ......................... 621

72. HERITABILITAS BEBERAPA KARAKTER BUAH CABAI HASIL


PERSILANGAN ANTARA TETUA DAN HIBRIDA F1
Herman Masbaitubun ....................................................................... 629

73. PENGARUH PENAMBAHAN GELATIN TERHADAP MUTU KIMIA


SYOGHURT YANG DIHASILKAN
Nurhafsah, ST. Hadariah Erny Rossanti Maruapey .............................. 635

74. PROSPEK DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHATANI KEDELAI


DI SULAWESI TENGGARA
Dahya dan Alimuddin ....................................................................... 640

75. UPAYA PERBAIKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DAGING


ITIK MELALUI PERSILANGAN ENTOG DENGAN ITIK
Procula R Matitaputty dan Nurfaizin .................................................. 651

76. MORPHOLOGI DAN POTENSI BEBERAPA JENIS TANAMAN SAGU


M. Basir Nappu, Abd. Wahid dan Maintang ........................................ 662

77. RESPON PEMBERIAN PUPUK ORGANIK TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG MANIS
Nely Lade. S, Sunanto, Nicolays Jambang ......................................... 672

78. GELAR TEKNOLOGI PADI SAWAH VARIETAS UNGGUL BARU


INPARI 7 DAN INPARI 30 DI PROVINSI PAPUA BARAT
Halijah ............................................................................................ 680

79. PENGARUH LEVEL AMPAS SAGU DALAM RANSUM TERHADAP


PRESENTASE BOBOT KARKAS DAN GIBLET AYAM BROILER.
Harry Triely Uhi ............................................................................... 690

xiv
80. PENINGKATAN NILAI NUTRISI AMPAS SAGU MENGGUNAKAN
BIO-FERMENTASI
Harry Triely Uhi ............................................................................... 699

81. UJI POTENSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH DALAM


MENGHASILKAN BIJI BOTANI DI DATARAN TINGGI SULAWESI
SELATAN Nurjanani ....................................................................... 707

82. PROSPEK PENGEMBANGAN TEPUNG SAGU MENJADI PRODUK


SEKUNDER DI KOTA KENDARI Zainal Abidin ................................... 717

83. PERBAIKAN KUALITAS NUTRISI LIMBAH KELAPA SAWIT


MENGGUNAKAN BIO-FERMENTASI
Harry Triely Uhi ............................................................................... 725

84. ANALISIS KINERJA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PENDAMPING DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
ASSET GAPOKTAN PUAP
Siti Sehat Tan dan Rita Indrasti ....................................................... 732

DAFTAR HADIR SEMINAR NASIONAL ........................................................... 742

xv
xvi
PENELITIAN DAN PENGKAJIAN BERBASIS OUTPUT MENDUKUNG
PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Andi M. Syakir

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 252 juta jiwa disertai dinamikanya
memerlukan perhatian, terutama yang terkait di bidang pangan. Dinamika tersebut
termasuk adanya urbanisasi, meningkatnya angkatan kerja termasuk tenaga wanita, proporsi
penduduk miskin yag tidak sedikit serta ketergantungan pangan akan beras ditambah
konsumsi perkapita dan masalah gizi Kondisi ligkungan strategis dalam negeri yang sangat
dinamis ini memerlukan pencermatan yang sangat serius, terutama terkait adanya
peningkatan permintaan pangan, baik jumlah, mutu, keragaman maupun keamanannya.
Tantangan besar yang terakit dengan pemyediaan pangan tersebut antara lain
pengendalian mengenai terus terjadinya konversi lahan yang diperkirakan 100 ribu
ha/tauan, akses terhadap sumber pembiayaan pertanian, tekbologi, informasi termasuk
pasar. Selain itu juga sebaran produksi pangan ya g tidak merata, baik atar daerah maupun
antar waktu. Kondisi ini ditambah lagi dengan adanya dampak negatif perubahan iklim.
Oleh karena itu diperlukan kebijakan terobosan dalam penigkatan pangan. Terobosan
tersebut antara lain dengan mempercepat peingkatan produksi pertanian berbasis teknologi
dari hasil-hasil penelitian dan pengkajian pertanian, lebih fokus lagi adalah untuk
pengembangan akwaan pertanian yang spesifik lokasi. Hal ini memerlukan output atau hasil-
hasil penelitian yang benar-benar diperlukan secara mendesak untuk diterapkan.

PENELITIAN DAN PENGKAJIAN BERBASIS OUTPUT


Dalam menghasilkan teknologi, Badan Litbang Pertanian merupakan penggerak
inovasi pembangunan pertanian bersama-sama dengan sumber iptek lainnya seperti
Perguruan Tinggi maupun lembaga Penelitian lainnya. Oleh karena diperlukan keterpadan
pemenfaatan sumberdaya penelitian dan pengkajian (litkaji) dalam menghasilkan invesnsi-
invensi iovatif yang memang diperlukan. Hal ini berpeluang besar terjadi jika ada kemitraan
atau nerworking dengan sumberdaya litkaji lainnya. Catatan yang harus disertakan dalam
litkaji maupun kemitraan tersebut adalah adanya output yang jelas diperlukan masyarakat
atau yang segera dapat memecahkan masalah di lapangan.
Beberapa upaya strategis Badan Litbang Pertanian telah dilakukan yaitu dengan
menyediakan berbagai kebijakan yang mendukung tersedianya dana maupun faasilitasi
lainnya, baik untuk kegiatan litkaji inhouse dan non-inhouse serta untuk kemitraan dengan
jumlah dana yang tidak sedikit. Hanya satu yang dituntut dari skema kegiatan tersebut, yaitu
output yang jelas, riil dan segera dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah di
lapangan, terutama dalam emigkatkan produksi pertanian terutama pangan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 1
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Oleh karena itu strategi Badan Litbang Pertanian telah digariskan, bahwa topik litkaji
lebih banyak ditentukan secara top-down ditambah sebagian kecil kegiatan bottom-up yang
berasal dari ide para penelti maupun perekayasa. Angka proporsi 70 % dan 30 % dapat
menjadi acuan besarnya kegiatan top-down dan bottom-up tersebut. Kebijakan ini
diperlukan karena kegiatan litkaji harus benar-benar mampu mendukung langsung
pencapaian target-2 Kementan, mengingat bahwa Badan Litbang Pertaian adalah lembaga
Litkaji yang berada di Kementan.
Kebijakan dan strategi sudah ditetapkan, oelh karena itu tantangan yang perlu
diselesaikan adalah kemampuan Balit maupun BPTP dalam menentukan kebutuhan
teknologi spesifik lokasi secara lebih akurat, peningkatan sinergi antara Balit dengan tandem
nya yaitu BPTP maupun sumber teknologi lainnya, kerjasama dengan pamangku kepentingan
serta tanpa mengesampingkan marwahnya dalam ikut mengembangkan iptek nasional.

PENUTUP
Tantangan dalam peningkatan produksi pertanian terutama pangan adalah
pemanfaatan teknologi dari hasil penelitian dan pengkajian dalam pembangunan pertanian.
Oleh karena itu, paradigma litkaji harus berubah dan diarahkan menjadi orientasi kepada
secara cepat menghasilkan output yang benar-2 diperlukan secara mendesak untuk
menyelesaikan masalah pertanian di lapangan, terutama dalam mendukung pencapaian
target-2 Kementerian Pertanian. Balit bersama tandem nya BPTP hendaknya secara padu
padan menjadikan hal tersebut menjadi panduan kemitraan, baik secara in-house maupun
dengan sumber litkaji lainnya termasuak dengan perguruan maupun lembaga litkaji lainnya.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


2 | Teknologi Pertanian
PERAN BALITBANGDA PROVINSI PAPUA BARAT DALAM MENDUKUNG
PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
DI PAPUA BARAT

Charly D Heatubun, Ezrom Batorinding, Hendrik Burwos

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah


Provinsi Papua Barat

PENDAHULUAN
World Development Reeport (WDR) terbaru yang dikeluarkan Bank Dunia,
menyatakan bahwa investasi pada sektor pertanian merupakan cara terbaik untuk
mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan negara-negara berkembang. Data empiris
menunjukkan bahwa meskipun sektor pertanian memberikan sumbangan yang besar dalam
penciptaan kesempatan kerja dan jaminan pendapatan kepada masyarakat, namun
ketidakseimbangan sistemik masih sering terjadi pada kelompok masyarakat tani yang
sebagian besar berada di pedesaan (Malik 2015, hlm 22).
Akibat ketidakseimbangan ini sebagai penyebab hadirnya kemiskinan dalam
masyarakat. Kemiskinan saat ini bukan saja secara ekonomi tetapi sudah menjadi kemiskinan
kultural dan struktural. Kemiskinan struktural terbentuk karena struktur lingkungan (tidak
memiliki kesempatan yang sama) dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan penduduk
miskin bisa naik kelas.
Kemiskinan di Papua Barat dideskripsikan dengan data jumlah penduduk miskin, garis
kemiskinan. Penduduk miskin Provinsi Papua Barat (September) tahun 2016 berjumlah 24,88
persen mengalami sedikit penurunan sebesar 0,85 persen dibandingkan dengan (September)
tahun 2015 yaitu 25,73 persen. Meskipun persentase penduduk miskin mengalami
penurunan, namun persentase penduduk miskin Papua Barat masih berada pada peringkat
kedua kemiskinan di Indonesia.
Pada Maret 2016, Garis Kemiskinan Perkotaan sebesar Rp 487.722,- (garis kemiskinan
tertinggi keenam dari 34 provinsi). Sementara itu, Garis Kemiskinan pedesaan Papua Barat
sebesar Rp 466.996,- (garis kemiskinan tertinggi keenam dari 34 provinsi). Baik garis
kemiskinan perkotaan maupun pedesaan, keduanya cukup tinggi dan melebihi garis
kemiskinan nasional. Hal ini menunjukkan secara rata-rata biaya yang dibutuhkan setiap
penduduk Provinsi Papua Barat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya per bulan jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan provinsi lain (BPS, 2017).
Jumlah penduduk Provinsi Papua Barat merupakan yang terkecil kedua di Indonesia,
setelah Provinsi Kalimantan Utara (0,26 persen). Tercatat hanya 0,35 persen penduduk
Indonesia yang berada di Provinsi Papua Barat pada tahun 2016. Namun bila dilihat dari
Capaian IPM, Provinsi Papua Barat adalah 62,21 pada tahun 2016, bertumbuh 0,77 lebih
tinggi bila dibandingkan pertumbuhan IPM tahun 2015 sebesar 0,75 pesen dengan IPM
61,73. Walaupun terjadi pertumbuhan tetapi Status capaian IPM tersebut masih tetap sama,
dengan kategori “Sedang” berbeda jauh dengan Provinsi Kalimantan Utara dengan IPM
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 3
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
mencapai 69,20 dengan selisih IPM 6,99. Kondisi IPM kedua provinsi ini berbeda dengan
capaian IPM Nasional tahun 2016 yang sudah berada pada kategori tinggi dengan capaian
IPM 70,18.
PDRB Papua Barat tahun 2016 mengalami peningkatan yang cukup tajam hingga Rp 7
miliar dengan nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Rp 62,889 triliun, sedangkan
PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2010 (ADHK) dengan nilai Rp 54,711 triliun. Peningkatan
PDRB ADHB bukan bukan karena adanya peningkatan produksi pada sektor-sektor ekonomi
tetapi adanya pengaruh inflasi yang masuk dalam perhitungan PDRB. berbeda dengan ADHK,
PDRB mencerminkan adanya kenaikan produksi yang menunjukkan adanya peningkatan di
tahun 2016 sebesar Rp 2,4 triliun. Peranan sub sektor migas berpengaruh signifikan
terhadap perekonomian Papua Barat.
Bila struktur ekonomi dilihat tanpa memperhitungkan subsektor migas, maka sektor
pertanian berkontribusi terbesar kedua setelah sektor Konstruksi (25,57%) dengan
kontribusi 18,82 persen, selanjutnya kontribusi ketiga Administrasi Pemerintahan,
Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib (18,08 persen) dan keempat sektor industri
pengolahan dengan kontribusi 4,56 persen.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2016 tanpa migas mencapai 10,99 persen menurun dari
pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 13,79 persen. Laju pertumbuhan ekonomi Papua
Barat dengan sektor migas meningkat menjadi 4,52 persen di tahun 2016 bila dibandingkan
laju pertumbuhan ekonomi tahun 2015 (4,10 persen). Khusus sektor pertanian laju
pertumbuhan melambat di tahun 2016 dengan laju 2,10 persen dibandingkan tahun 2015
(2,14 persen).
Pada tingkat Nasional, Sektor Pertanian dalam Rencana Strategis 2015-2019 mengacu
pada paradigma pertanian untuk Pembangunan yang memposisikan sektor pertanian
sebagai penggerak transformasi pembangunan yaitu sebagai tumpuan ketahanan pangan
yang tidak hanya untuk memenuhi kepentingan penyediaan pangan bagi masyarakat, tetapi
juga kepentingan yang luas dan multifungsional untuk menyelesaikan permasalahan
lingkungan dan sosial (kemiskinan, keadilan dan lainnya). Dengan prioritas NAWA CITA untuk
mewujudkan kedaulatan pangan
Sektor pertanian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dari status Papua Barat sebagai provinsi miskin.
Pengelolaan sektor ini menjadi sangat penting karena sekitar 60% masyarakat Papua Barat
hidup dan menguasai sumberdaya hayati. Akan tetapi, sejauh ini kontribusi sektor ini
terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil dibanding sektor pertambangan dan
migas.
Dalam sejarah dunia terbukti bahwa sangat jarang negara yang mampu berkembang
dan tumbuh hanya dengan mengandalkan sumber daya alam yang dimilikinya. Korea Selatan
dan Korea Utara adalah sebuah contoh kontras keberhasilan dan kegagalan pembangunan.
Korea Utara jauh tertinggal dibandingkan dengan Korea Selatan yang miskin sumber daya
alam tetapi sukses dalam membangun.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


4 | Teknologi Pertanian
Dukungan pengembangan sektor pertanian sebagai salah satu prioritas dalam visi
misi Gubernur dan wakil gubernur terpilih periode 2017 – 2022, Visi: “Menuju Papua Barat
Yang Aman, Sejahtera dan Bermartabat” dengan misi keenam: membangun pertanian yang
mandiri dan berdaulat untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat Papua Barat. Misi ini
sejalan dengan program NAWA CITA untuk mendukung kedaulatan pangan.
Tercapainya kedaulatan pangan tidak terlepas dari program kerja yang tepat sasaran
dan tepat guna serta didukung dengan indikator yang tepat. Keunggulan absolut (komparatif
dan kompetitif) daerah sebagai data awal dalam mengatur strategi pembangunan pertanian
menuju kedaulatan pangan. Ketika telah diketahuinya suatu daerah dengan potensi atau
produk unggulannya juga isu strategis dalam upaya pengembangannya maka program kerja
dengan tepat dapat dirancang untuk pengembangan daerah tersebut berdasarkan
keunggulannya.

Posisi Balitbangda Provinsi Papua Barat

Provinsi Papua Barat memiliki potensi sumberdaya alam yang besar baik
pertanian, perikanan, pertambangan hasil hutan maupun pariwisata, namun potensi
yang besar tersebut belum termanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat hal ini tercermin dari tingginya angka kemiskinan Papua Barat.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2016 tentang Pedoman Penelitian dan
Pengembangan di Kementerian Dalam Negeri yang dijabarkan dalam Peraturan
Daerah Provinsi Papua Barat No.7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah merupakan landasan hukum pembentukan BALITBANGDA Provinsi
Papua Barat yang terbentuk dan aktif pada januari 2017.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penelitian dan Pengembangan di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Hal ini memberikan arti
bahwa kelitbangan sudah seharusnya mendapatkan fungsi dan peran yang luas
dalam mencapai target dan sasaran pembangunan di daerah, terutama dalam
menyusun kebijakan teknis, rencana dan program kelitbangan di pemerintah provinsi
dan pemerintahan kabupaten/kota di wilayahnya.
Lebih lanjut kelitbangan daerah juga memberikan keleluasaan dalam
melaksanakan pengkajian kebijakan lingkup urusan pemerintahan daerah, fasilitasi
dan inovasi daerah, melakukan pemantauan, evaluasi, pelaporan atas pelaksanaan
kelitbangan serta melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kelitbangan di
pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten Kota.
BALITBANGDA adalah organisasi perangkat daerah yang membidangi sektor
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berperan sebagai analisator dan interrogator
dalam merumuskan grand strategy pembangunan yang mempunyai Output policy
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 5
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
recommendation dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan daerah,
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pemantapan penataan ruang dalam
pembangunan daerah, pengembangan budaya daerah, pengembangan pemanfaatan
teknologi dan penataan ekonomi serta keuangan daerah, diperlukan upaya
peningkatan dan penyempurnaan perencanaan kegiatan yang didasari hasil
penelitian, pengkajian dan pengembangan sehingga dapat berjalan searah,
konvergensi dan saling mengisi.
Fungsi dan tugas kelitbangan Provinsi yang cukup besar sebagaimana amanat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2016 pasal 27 huruf (a) sampai
dengan huruf (m) maka fungsi koordinasi kelitbangan antar lembaga penelitian dan
antar tingkatan Provinsi dengan kabupaten/kota menjadi sangat penting guna
menjaring isu-isu strategis penelitian paling mengemuka yang perlu mendapatkan
solusi pemecahan melalui kegiatan kelitbangan untuk menunjang pembangunan
daerah.
Tugas Pokok BALITBANGDA Papua Barat (berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Papua Barat No.7 Tahun 2016) adalah melaksanakan penelitian dan
pengembangan di bidang penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan penjabaran fungsi:
1. Penyusun kebijakan teknis penelitian dan pengembangan pemerintah
provinsi;
2. Penyusun perencanaan program dan anggaran penelitian dan pengembangan
pemerintah provinsi;
3. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di Pemerintah Provinsi;
4. Pelaksanaan pengkajian kebijakan lingkup urusan Pemerintah Provinsi;
5. Fasilitasi dan pelaksanaan inovasi daerah;
6. Pemantauan evaluasi dan pelaporan atas pelaksanaan penelitian dan
pengembangan di provinsi.
7. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan
lingkup Pemerintah Provinsi.
8. Pelaksanaan administrasi penelitian dan pengembangan daerah Provinsi; dan
9. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur

Peran Balitbangda Provinsi Papua Barat

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


6 | Teknologi Pertanian
Beberapa permasalahan pokok penyebab masih rendahnya kontribusi sektor
pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan,
diantaranya: (i) program pembangunan yang berbasis pada pemanfaatan sektor tersebut di
Papua Barat belum terarah/fokus komoditas, berkesinambungan dan menyeluruh dari hulu
hingga hilir untuk dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan
masyarakat dan perekonomian daerah; (ii) perencanaan dan implementasi program sektor
pertanian dalam arti luas belum dilakukan secara sinergi dan terintegrasi antar instansi
terkait di Papua Barat; (iii) alokasi sumberdaya modal dan anggaran diarahkan pada beragam
komoditas tanpa mempertimbagkan tingkat keunggulan dan aspek multiplier efek terhadap
aktivitas ekonomi sektor lain; dan (iv) pengembangan pertanian dalam arti luas di Papua
Barat belum berorietansi pasar skala besar.
Di sisi lain dukungan pembiayaan pembangunan melalui APBD, APBN dan Otsus
cukup memadai. Sementara itu, terkait dengan tingginya kekayaan keaneragaman
sumberdaya hayati, ekosistem, dan kekhasan budaya (kearifan lokal) yang dimiliki, maka
Papua Barat berproses untuk menetapkan diri sebagai provinsi konservasi (provinsi
pembangunan berkelanjutan). Fakta ini mengharuskan penerapan prinsip konservasi dalam
perencanaan dan pelaksanan pembangunan di Papua Barat agar pemanfaatan sumberdaya
dapat dilakukan secara berkelanjutan (lestari).
Keseluruhan fakta diatas menuntut perlunya re-orientasi paradigma
pembangunan terutama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pertanian dalam
arti luas (pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan) di Papua
Barat. Untuk ini, sangat diperlukan adanya percepatan pembangunan melalui
pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki, berdasarkan prinsip
efisiensi dan efektivitas dengan syarat harus memperhatikan aspek kelestariannya
agar dapat menjamin pertumbuhan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan
masyarakat Papua Barat secara berkelanjutan.
Tantangan pembangunan 2017-2022 yaitu mendorong percepatan (akselerasi)
pembangunan dengan mengoptimalkan dan membangun basis keunggulan daerah serta
memperkuat keterkaitan antar desa/kampung dan antar kecamatan/distrik. Perubahan
mendasar (transformasi) dengan mengoptimalkan pengelolaan pemerintahan secara
berjenjang, meliputi meningkatkan kinerja (jangkauan dan mutu) pelayanan publik,
meningkatkan akses masyarakat terhadap pemenuhan hak-hak dasar, meningkatkan
kuantitas dan kualitas infrastruktur serta membangun kerjasama dan kemitraan yang solid.
Dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan tantangan serta isu-isu strategis
pembangunan di Provinsi Papua Barat maka keberadaan dan peran penelitian dan
pengembangan semestinya akan menjadi sangat penting dan strategis terutama pada sektor
Pertanian.
Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan implementasi pembangunan untuk
mengatasi permasalahan di atas adalah perlunya dukungan data dan informasi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat sebagai salah satu unit pelaksana teknis

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 7
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
di bidang penelitian dan pengembangan pertanian yang mempunyai tugas melaksanakan
pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi,
sudah saatnya untuk berperan dan bersinergi dengan BALITBANGDA Provinsi Papua Barat
dan berbagai institusi penelitian dan pengembangan sebagai sumber penyedia berbagai
rekomendasi kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai penyeleggara
pembangunan.
Peran BALITBANGDA Provinsi Papua Barat dalam mendukung pengembangan inovasi
teknologi pertanian spesifik lokasi sebagai bagian pelaksanaan fungsi kelitbangan yaitu
fungsi koordinasi dan fasilitasi yang mendukung pembangunan pertanian yang mandiri dan
berdaulat menuju kesejahteraan masyarakat. Beberapa hal terkait fungsi BALITBANGDA
adalah:
1. Koordinasi pelaksanaan kajian, penelitian dan pengembangan inovasi spesifik lokasi di
Pemerintah Provinsi;
2. Koordinasi pelaksanaan kajian kebijakan lingkup pengembangan inovasi spesifik lokasi
di Provinsi Papua Barat;
3. Fasilitasi dan pelaksanaan inovasi daerah terkait pengembangan inovasi spesifik
lokasi;
4. Pemantauan evaluasi dan pelaporan atas pelaksanaan penelitian dan pengembangan
inovasi spesifik lokasi yang difasilitasi BALITBANGDA.
5. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan terkait
pengembangan inovasi spesifik lokasi.
Dengan melihat peran dan fungsi strategis yang dimainkan Balitbangda maka
diharapkan hasil-hasil kajian, penelitian dan pengembangan dapat menghasilkan berbagai
kebijakan strategis secara khusus terkait inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi yang
mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi
daerah dan otonomi khusus untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Papua dengan
menurunkan angka kemiskinan di Papua Barat.

Fokus Komoditas Unggulan Papua Barat

Berdasarkan komoditas-komoditas unggulan daerah di setiap kabupaten/kota


sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dipilih beberapa komoditas yang menjadi fokus
provinsi.
Komoditas unggulan fokus provinsi di bagi berdasarkan sub sektor tanaman pangan
dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan sebagai berikut :
1. Sub sektor tanaman pangan dan hortikultura komoditas ubi-ubian: Wondama,
Manokwari Selatan, Bintuni, Manokwari, Fakfak, Raja Ampat,Sorong Selatan,
Kabupaten Sorong dan Pegunungan Arfak

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


8 | Teknologi Pertanian
2. Sub sektor perkebunan komoditas kakao dan sagu: Wondama, Manokwari Selatan,
Bintuni, Fakfak, Raja Ampat, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw, Kabupaten
Sorong, Kaimana dan Manokwari
3. Sub sektor peternakan komoditas sapi dan babi : Wondama, Manokwari Selatan,
Bintuni, Fakfak, Raja Ampat, Sorong Selatan, Maybrat, Tambrauw, Kabupaten
Sorong, Kaimana, Manokwari, Kota Sorong dan Pegunungan Arfak
4. Sub sektor kehutanan komoditas kayu merbau dan kayu matoa: Wondama,
Manokwari Selatan, Bintuni, Fakfak, Raja Ampat, Sorong Selatan, Maybrat,
Tambrauw, Kabupaten Sorong dan Kaimana
5. Sub sektor perikanan komoditas cakalang dan kakap: Wondama, Manokwari
Selatan, Bintuni, Manokwari, Raja Ampat, Tambrauw, Kota Sorong dan Kaimana
Semua komoditas yang terpetakan memiliki tingkat keunggulan komparatif. Di mana
seluruh komoditas unggulan di Papua Barat menunjukkan keunggulan dari sisi sumberdaya
alam (ketersedian lahan dan potensi produksi). Sementara aspek lainnya masih kurang atau
masih menunjukkan skala nilai yang rendah. Beberapa komoditas unggulan tertentu dari
masing-masing subsektor telah cukup menonjol pada aspek lainnya tidak hanya pada skala
ruang kabupaten tetapi unggul dalam kawasan regional Papua Barat.
Pada sub sektor tanaman pangan: Sagu mulai terintegrasi dengan industri
pengolahan sehingga mendapat dukungan inovasi teknologi dan pasar. Pada sub sektor
perkebunan: tanaman pala selain dukungan sumber daya lahan tersedia yang luas, telah
memiliki aspek manejerial yang cukup, memiliki pasar dalam skala luas, dan dukungan
inovasi teknologi cukup tersedia; Kakao memiliki ketetersediaan inovasi teknologi, dukungan
pasar yang luas, namun produksi menurun/stagnan dan perlu direhablitasi.
Pada subsektor perikanan: tuna, cakalang, dan udang memiliki potensi produksi yang
besar, mulai diantar pulaukan dalam skala produksi yang masih kecil. Pada subsektor
peternakan: Sapi didukung oleh ketersedian sumberdaya lahan pengembalaan yang cukup
luas, dukungan inovasi teknologi cukup tersedia, ketersedian pasar cukup luas. Pada
subsektor kehutanan: Potensi kehutanan dan hasil hutan masih mengandalkan ekstraksi
alam, dukungan inovasi teknologi masih rendah. Komoditas unggulan lainnya masih
memenuhi kebutuhan lokal wilayah pada skala Kabupaten/kota di Papua Barat.

REFERENSI:
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, 2017. Inventarisasi dan Identifikasi Komoditas
Unggulan Daerah di Provinsi Papua Barat. (Laporan Hasil Penelitian Badan Penelitian
dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2017).
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2017. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Provinsi Papua Barat 2017-2022. Badan Perencanaan dan
Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 9
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Badan Pusat Statistik, 2016. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2016.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2017. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2017. Provinsi Papua Barat Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik
Provinsi Papua Barat.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 2016. Pedoman Penelitian dan
Pengembangan di Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah. Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.17 Tahun 2016. Jakarta.
Universitas Papua dan Bank Indonesia, 2014. Komoditi, Produk dan Jenis Usaha (KPJU)
Unggulan Provinsi Papua Barat. Laporan Hasil Penelitian kerjasama Bank Indonesia
Perwakilan Papua dan Papua Barat dengan Universitas Papua Tahun 2014.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


10 | Teknologi Pertanian
CEKAMAN ABIOTIK DAN PROVITAS PADI PADA AGROKOSISTEM
LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DAN TADAH HUJAN DI PAPUA BARAT:
Penerapan Inovasi Teknologi Badan Litbang Pertanian

Aser Rouw

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat


Jl. Base Camp Arfai Gunung Kompleks Perkantoran Provinsi Papua Barat
Email: aserrouw@gmail.com

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan mengungkap cekaman abiotik kemasaman tanah dan kekeringan akibat El
Nino. Studi cekaman kemasaman tanah menggunakan pendekatan kajian lapangan di Masni dan
Malawe masing-masing pada luasan 1 hektar pada MT April-November 2016. Pada kedua lokasi
dilakukan analisis lab terhadap contoh tanah. Di Masni dilakukan pengamatan gejala keracunan
Fe pada petak sampel tanaman padi mulai 2MST-8MST. Di Malawele, Sorong hanya diamati
capaian provitas. Kajian dilakukan melalui pendekatan: (i) desk study, dan (ii) survey lapagan.
Desk study mencakup analisis skala regional dan lokal. Analisis regional menggunakan data SST
Nino 3.4 dikorelasikan dengan curah hujan 30 tahun (1985-2015) dari 60 stasiun/pos hujan yang
terdistribusi di Papua dan Papua Barat. Hasil analisis digambarkan dalam peta Papua untuk
melihat rata-rata perubahan curah hujan spasial. Analisis lokal mengambil kasus El Nino
dipertengahan tahun 2015 hingga awal 2016, dan perubahan curah hujan di stasiun lokal, serta
kaitannya dengan provitas padi selama dua musim tanam, yaitu MT2 Apr-Sep 2015 dan MT1
Okt-Mar 2015/2016. Data provitas kedua MT dicatat langsung di lapangan pada petani
responden yang sama. Hasil analisis sampel tanah memperlihatkan bahwa lokasi kajian memiliki
pH bersifat masam, kandungan Fe-dd sangat tinggi, dan ketersediaan hara sangat rendah.
Presentase gejala keracunan Fe pada tanaman padi di Masni meningkat tajam mulai 4 MST
hingga 8 MST. Presentase gejala tertinggi pada Inpara 1, sedangkan akumulasi Fe dalam jaringan
tanaman tertinggi pada Inpari 34. Namun provitas tertinggi dicapai oleh inpari 34, yaitu 2,6 t
GKP/ha. Cekaman lebih kuat dampaknya di lahan sawah tadah hujan di Sorong, di mana 60 %
tanaman padi mengalami gagal panen.
Kata Kunci: Cekaman abiotik, kemasaman tanah, kekeringan, El Nino, provitas padi

PENDAHULUAN
Cekaman kemasaman tanah (hara), kekeringan, banjir, suhu, radiasi dan angin adalah
faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Dari
keseluruhan faktor abiotik tersebut, cekaman kemasaman tanah, kekerigan, dan banjir
faktor abiotik yang seringkali berdampak pada penurunan hasil pertanian secara signifikan di
Indonesia. Kemasaman tanah berkaitan dengan cekaman hara dan merupakan faktor abiotik
yang sifatnya rutin mempengaruhi provitas tanaman. Keadaan cekaman hara sering terjadi
pada lahan-lahan marginal dan mengakibatkan rendahnya provitas tanaman. Cekaman
lingkungan merupakan hal penting yang harus dicermati, apalagi upaya perluasan dan
peningkatan produksi hasil pertanian sekarang ini hanya memungkinkan dilakukan pada
lahan-lahan marginal karena sebagian besar lahan subur telah terkonversi.
Lahan marginal dintandai dengan pH rendah, tingkat kemasaman tinggi, miskin hara
makro, dan kelebihan unsur Al. Fe, dan Mn, serta defisit air yang dapat menjadi racun dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 11
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
penghambat bagi tanaman. Salah satu strategi untuk menanggulangi permasalahan pada
lahan-lahan marjinal tersebut adalah memanfaatkan tanaman yang toleran terhadap
cekaman lingkungan (Zheng et al., 1998; Ma, 2000; Utama et al., 2009). Varietas unggul
merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas
padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman dan toleransi dan/atau
ketahannya terhadap cakaman abiotik dan aabiotik. Berbagai teknologi terobosan terutama
varietas unggul berdaya hasil tinggi, komponen teknologi budidaya, dan sistem budidaya
terintegrasi yang diyakini mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kemamanan
hasil produksi dengan proses produksi yang ramah lingkungan dan menjamin keberlanjutan
fungsi agroekosistem.
Cekaman kekeringan dan banjir sering berasiosiasi dengan anomali ikllim akibat
Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang kejadiannya tidak reguler. frekuensi
kejadian El Nino semakin lama semakin sering dengan intensitas yang kuat sebagai akibat
dari keadaan perubahan iklim global. Indonesia memiliki pengalaman bahwa setiap kejadian
kekeringan karena fenomena El Nino atau banjir akibat La Nina, petani sering mengalami
gagal panen dan kerugian ekonomi. Secara nasional kerugian petani dapat mencapai
milyaran rupiah akibat kejadian iklim ekstrim tersebut. Pada tahun El-Nino 1991, 1994 dan
1997, kerugian ekonomi di Indonesia akibat kegagalan panen pada tahun El-Nino tersebut
mencapai 571 milyar sedangkan kehilangan investasi yang dialami petani dapat mencapai
228 milyar (Boer et.al., 2003). Bahkan kejadian kemarau Panjang dengan adanya anomali
iklim (EL-Nino) juga telah berdampak pada munculnya biotipe dan strain hama dan penyakit
tanaman.
Persediaan air yang tidak memadai merupakan pembatas utama pertumbuhan
tanaman (Ludlow, 1993). Tingkat kerugian yang dialami oleh tanaman akibat kekeringan
tergantung pada beberapa faktor, antara lain pada saat tanaman mengalami kekurangan air,
intensitas kekurangan air dan lamanya kekurangan air (Nio dan Kandou, 2000). Cekaman
kekeringan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat menurunkan produksi.
Besar kecilnya pengaruh tergantung pada fase pertumbuhan pada saat kekeringan terjadi
dan lamanya kekeringan (Nio, et.al., 2010). Tanaman mempunyai toleransi yang berbeda
terhadap kekeringan karena perbedaan dalam mekanisme morfologi, fisiologi, biokimia dan
molekular (Dhanda et al., 1995). Toleransi terhadap kekeringan melibatkan akumulasi
senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan yang terjadi pada saat potensial air
rendah (Jones et al., 1981).
Wilayah Papua pernah mengalami kondisi terparah ketika kejadian El Nino tahun
1997 yang menyebabkan rusaknya tanaman ubijalar dan berdampak pada kelaparan yang
terjadi di lebih dari 100 kampung di area Wamena hingga utara Merauke. Sementara
fenomena yang sama ditahun 2015 berasosiasi dengan fenomena yang berbeda terjadi di
daerah pegunungan, yaitu munculnya fenomena frost (embun beku) yang menyebabkan
rusaknya tanaman ubijalar dan memicu terjadinya kelaparan dan korban jiwa, seperti yang
terjadi beberapa waktu lalu di Lani Jaya, Papua. Padahal frost merupakan fenomena yang
hanya terjadi di daerah beriklim subtropics. Sedangkan di daerah dataran rendah kekeringan
di tahun 2015 hingga memasuki awal tahun 2016, yang menyebabkan gagal penen padi pada

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


12 | Teknologi Pertanian
sebagian besar lahan sawah tadah hujan di Sorong, dan juga di beberapa area sawah irigasi
semi teknis. Kejadian kekeringan tersebut diikuti dengan La Nina yang menghasilkan curah
hujan tinggi pada perode kemarau di tahun ini (2016).
Papua secara geografis sangat erat kaitannya dengan proses kejadian ENSO di Pasifik
(Hendon, 2003). Ketika terjadi perubahan suhu muka laut rata-rata di Pasifik Nino 3.4 dapat
mempengaruhi iklim wilayah Papua dan tidak membutuhkan lag time (waktu tunda) yang
lama. Begitu perubahan ini terjadi, akan segera diikuti pula oleh perubahan iklim (curah
hujan) di wilayah Papua. Bahkan analisis terhadap data curah hujan pada periode 1902-2010
tiga stasiun hujan: Manokwari, Sorong, dan Merauke memperlihatkan bahwa sering terjadi
pergeseran klimatologi pola hujan dalam skala waktu diatas 20 tahunan (Rouw & Triwahyu,
2013; Rouw 2014).
Sementara itu, dengan potensi sumberdaya lahan yang luas, Papua (Papua dan Papua
Barat) diharapkan dapat berkontribusi maksimal terhadap pangan nasional. Pengembangan
luas sawah terus bertambah dari waktu ke waktu sejalan dengan upaya peningkatan
produksi pangan melalui program ekstensifikasi. Berdasarkan data statistik, luas sawah
irigasi teknis di Papua Barat sekitar 7.500 ha (BPS, 2015). Luas ini terus bertambah sejalan
dengan pencetakan sawah baru yang menurut catatan dinas pertanian dan hortikultura
Papua Barat telah mencapai sekitar 10.000 ha yang tersebar di Kabupaten Manokwari,
Sorong, Manokwari Selatan, Teluk Bintuni, Sorong Selatan, dan Teluk Wondama. Sekitar 60%
luas lahan tersebut berada di Manokwari dan Sorong. Di Sorong 80% lahan sawahnya
merupakan lahan sawah tadah hujan, sebaliknya di Manokwari 90% merupakan lahan sawah
irigasi teknis.
Sejauh ini total produksi beras di Papua Barat baru mencapai sekitar 32.000 ton dari
total sawah 10.000 ha. Sementara secara nasional pemerintah manargetkan produksi beras
di Papua Barat sebesar 42.000 ton dengan asumsi produksi rata-rata 4,2 ton. Berdasarkan
hasil-hasil pengkajian selama ini oleh BPTP Papua Barat, teridentifikasi bahwa rendahnya
provitas padi di Papua Barat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting: (i) cekaman abiotik
kemasaman tanah (keracunan Fe) dan cekaman abiotik, (ii) Sebagian besar lahan terutama di
kabupaten Sorong masih mengandalkan input curah hujan, (iii) masih minimnya
ketersediaan varietas bermutu di lapangan, serta (iv) belum optimalnya penerapan paket
inovasi teknologi produksi padi di petani baik secara individu, maupun dalam kelompok tani.
Meskipun demikian, sejauh ini belum ada riset yang menginformasikan sejauhmana
pengaruh cekaman abiotik terhadap provitas padi di Papua Barat. Tulisan ini memberikan
informasi awal tentang cekaman abiotik kemasaman tanah dan kekeringan akibat El Nino,
serta tingkat capaian provitas padi melalui penerapan inovasi teknologi di lahan sawah irigasi
teknis dan tadah hujan di Papua Barat.

METODOLOGI

Kajian Cekaman Kemasaman Tanah

Kajian cekaman abiotik kemasaman tanah dilakukan di Malawele, Sorong, dan Masni,
Manokwari Papua Barat (Gambar 1) pada musim tanam April-November 2016.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 13
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
²
131°0'0"E 132°0'0"E
Area Padi di Sorong
MORAID
Lokasi Kajian
Legend
MORAID
Kab. Sorong (Area Verifikasi)
KLASO
<all other values>
MAKBON
KECAMATAN SORONG BARAT
SORONG KEPULAUAN
SORONG UTARA
AIMAS
SORONG
MARIAT SORONG KEPULAUANSORONG MANOI
SORONG KEPULAUANSORONG TIMUR MAUDUS
MAYAMUK SORONG KEPULAUAN
KLAYILI
SALAWATI
1°0'0"S

1°0'0"S
AIMAS
AIMAS
MARIAT SAYOSA

MAYAMUK

KLAMONO
SALAWATI

KLAWAK

SALAWATI SELATAN

SALAWATI TIMUR
BERAUR

SEGET
SEGUN
KLABOT

SEGUN

0 5 10 20 Kilometers
131°0'0"E 132°0'0"E

Gambar 1. Lokasi kajian

Studi cekaman kemasaman tanah menggunakan pendekatan kajian lapangan dan


analisis lab. Kajian lapangan menerapakan paket teknologi untuk mengatasi cekaman
kemasaman tanah. Dua komponen utama dalam penelitian adalah: penggunaan varietas
tenggang masam Inpara 1, Inpara 8, dan Inpari 34 dan pengairan inter-miten. Dosis
pemupukan urea 100 kg/ha dan NPK Phonska 200 kg/ha diaplikasikan pada Inpara 1 dan
Inpara 8. Sedangkan untuk Inpari 34 dosis tersebut ditambah dengan 1 ton kompos/ha.
Kajian di Malawele sorong menggunakan varietas eksisting IR64 dan Sidenok. Sistem
pengairan yang diterapkan adalah eksisting (tadah hujan). Dosis pupuk menggunakan
rekomendasi kalender tanam (katam) terpadu: 50 kg Urea +100 kg NPK Phonska + 2 ton
Kompos/ha (Tabel 1).

Tabel 1. Paket teknologi yang diterapkan untuk mengatai keracunan Fe akibat


keadaan kemasaman tanah
Paket Inovasi Lokasi: Agroekosistem Lahan sawah Lokasi: Agroekosistem Lahan Sawah Tadah
teknologi Irigasi Teknis di SP-6 Masni, Manokwari hujan di Malawele, Sorong
Varietas Inpara 1 (agak toleren Fe), Inpara 8 (agak Eksisting: IR 64 dan sidenok
toleran Fe) dan, Inpari 34
Luas Percobaan 1 ha 1 ha
Dosis Pupuk (kg/ha) 100 kg Urea +200 kg NPK utk Inpara 1 50 kg Urea +150 kg NPK Phonska + 2 ton
dan Inpara 8; 100 kg Urea +200 kg NPK + Kompos/ha
1 t kompos/ha

Sistem Tanam Legowo 4:1 Legowo 4:1


Sistem Pengairan Inter-miten setiap 2 hari Eksisting
Waktu Tanam Minggu kedua Agustus 2016 Minggu kedua Juli 2016
Rekomendasi Katam

Pada kedua lokasi dilakukan analisis lab terhadap contoh tanah komposit yang
diambil sebelum penanaman untuk memastikan tingkat kemasaman tanah di masing-masing
lokasi. Unsur yang dianalisis adalah pH, Fe-dd dan unsur hara tersedia di dalam tanah. Selain
itu dianalisis pula kation-kation terlarut dalam air irigasi khususnya di Masni Manokwari.
Kajian di Masni, Manokwari dilakukan pengamatan gejala keracunan Fe pada petak sampel
yang diamati pada tanaman padi dalam selang dua mingguan mulai 2MST-8MST

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


14 | Teknologi Pertanian
menggunakan definsi gejala keracunan Fe menurut IRI (Internasional Rice Reasearch
Institute).
Gejala keracunan Fe pada tanaman diamati dalam selang dua mingguan mulai 2MST-
8MST menurut definisi gejala keracunan Fe menurut IRI (Internasional Rice Reasearch
Institute) (Tabel 2).

Tabel 2. Gejala keracunan Fe pada tanaman padi (IRRI)


Scale (Injured panicies)
0 : Growth and tillering nearly normal
1 : Growth and tillering nearly normal; reddish-brown spots or orange discoloration on tips of older leaves
3 : Growth and tillering nearly normal; older leaves reddish-brown, purple, or, orange yellow
5 : Growth and tillering retarded; many leaves discoloured
7 : Growth and tillering ceases; most leaves discoloured or dead
9 : Almost all plants dead or dying

Perhitungan presentase gejala keracunan menggunakan persamaan 1. Di Malawele,


Sorong tidak dilakukan pengamatan gejala keracunan Fe. Variabel yang dimamati di
Malawele Sorong adalah provitas GKP/ha.

𝑛(1)+𝑛(3)+𝑛(5)+𝑛(7)+𝑛(9)
% 𝑆𝑎𝑣ⅇ𝑟ⅈ𝑡𝑦 = 𝑥 100 (1)
𝑡𝑛

n = jumlah tanaman bergejala keracunan Fe pada skoring (1, 3, 5, 7, 9)


tn = total tanaman yang diamati

Kajian Cekaman Kekeringan

Kajian cekaman kekeringan akibat El Nino dilakukan melalui dua pendekatan: (i) desk
study, dan (ii) survey lapagan. Kegiatan desk study mencakup analisis skala regional dan
analisis skala lokal di wilayah kajian. Analisis regional menggunakan data SST (sea surface
temperature) dari Nino 3.4 (Gambar 2) dan dikorelasikan dengan curah hujan 30 tahun
(1985-2015) dari 35 stasiun/pos hujan yang terdistribusi yang sudah terklaster menurut pola
hujan di wilayah Papua (Rouw et.al., 2014). Kejadian El Nino ditandai dengan nilai anomali
SST dengan treshold 0,5 s/d 2,5 (Gambar 3).
Hasil perubahan curah hujan akibat El Nino digambarkan secara spasial untuk melihat
rata-rata perubahan secara ruang. Sedangkan analisis lokal mengambil kasus kejadian El
Nino dipertengahan tahun 2015 dan awal tahun 2016, dan perubahan curah hujan di stasiun
lokal dan kaitannya dengan provitas padi selama dua musim tanam, yaitu MT2 April-
September 2015 dan MT1 Okt-Maret 2015/2016 di kedua lokasi kajian. Data provitas
tanaman pada kedua MT tersebut dicatat secara langsung di lapangan pada lokasi dan
petani responden yang sama.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 15
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 2. Lokasi pengukuran SST di Pasifik 5N-5S,170W-120W (Nino 3.4).
Kasus anomali SST bulan Januari 2017
(http://www.esrl.noaa.gov/psd/gcos_wgsp/Timeseries/Nino34)

Gambar 3. Indeks anomali SST Nino 3.4 treshold El Nino 0,5 s/d 2,5 dan -0,5 s/d -2,5
treshold La Nina (http://www.esrl.noaa.gov)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemasaman Tanah dan Provitas Padi

Hasil analisis kemasan tanah dan ketersedian hara di lokasi kajian diperlihatkan pada
Tabel 3. Kedua lokasi, lahan irigasi teknis di Masni, Manokwari dan lahan tadah hujan di
Malawele, Sorong merupakan lahan masam dengan kendala utama sangat tingginya Fe-dd
(Fe-dapat ditukar), dan konsentrasi H+ (asam-asam organik) yang tinggi, rendahnya kapasitas
tukar kation (KTK), serta hara makro yang rendah.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


16 | Teknologi Pertanian
Menarik dicermati bahwa lahan sawah irigasi teknis di Masni bukan lahan bukaan
baru, lahan sawah yang sudah digarap lebih dari 30 tahun (1983-2016).

Tabel 3. Hasil analisis sampel tanah di Malawele, Sorong dan Masni, Manokwari
Parameter Metode Malawele, Sorong Masni, Manokwari
0-20 cm Kriteria 0-20 cm Kriteria
C-Organik (%) Walkley & 2,61 Sedang 4,34 Tinggi
Black/Gravimetri
N-Total (%) Kjeldhal 0,24 Rendah 0,31 Rendah
C/N rasio Penghitungan 11,06 Rendah 14,03 Sedang
P2O5 Tersedia (ppm) Bray 1/Olsen 159,87 Tinggi 133,70 Tinggi
P2O5 Potensial (ppm) HCl 25% 81,98 Tinggi 26,85 Tinggi
K2O Potensial (ppm) HCl 25% 87,10 Tinggi 53,24 Tinggi
Kation dapat ditukar CH3COONH4 1 N
(cmol/kg)
K+ 0,11 Rendah 0,03 Rendah
Na++ 0,21 Rendah 0,01 Rendah
++
Ca 0,10 Rendah 0,02 Rendah
Mg++ 0,02 Rendah 0,01 Rendah
Kemasaman-dd KCN 1N
(cmol/kg)
Total 3,09 Tinggi 4,12 Tinggi
Al-dd 0,00 Rendah 0,000 Rendah
H-dd 3,09 Tinggi 4,12 Tinggi
Fe-dd 81,87 Tinggi 53,94 Tinggi
Kapasitas Tukar Kation CH3COONH4 1 N 22,22 Rendah 20,0 Rendah
(cmol/kg)
Kadar Air (%) Gravimetri 28,09 Seadang 49,12 Tinggi
pH H2O Potensiometer 5,50 Masam 6,02 Agak masam
pH KCN Potensiometri 4,33 5,12
Sumber: Hasil analisis contoh tanah

Demikian halnya lahan sawah di Malawele, Sorong sudah diolah lebih dari 20 tahun.
Utama et al. (2013) memperlihatkan bahwa lahan sawah bukaan baru yang tergenang
kelarutan Fe berkisar 0,1ppm – 600 ppm.
Fakta tersebut menggambarkan bahwa kedua lahan ini memiliki cekaman abiotik
kahat hara yang sifatnya rutin terhadap produktivitas padi. Di Masni persoalan kemasaman
tanah diperparah dengan sulfat dan kation dan anion terlarut dari air irigasi yang tinggi,
yakni Natrium (Na), Sulfat (SO4), dan Khlorida (Cl) (Tabel 4).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 17
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 4. Hasil analisis sampel air irigasi di Masni, Manokwari
Masni, Manokwari
Parameter Metode Unit
Nilai Krietria
pH Potensiometri % 7,50 Netral
Kadar Lumpur SNI 06.6989.69-2009 Mg/l 1,16 Rendah
Kation :
Kalium (K) SNI 06.6989.69-2009 mg/l 12,00 Sedang
Natrium (Na) AAS mg/l 59,00 tinggi
Besi (Fe) SNI 06.6989.69-2009 mg/l 0,20 rendah
mangan (Mn) SNI 06.6989.5-2010 mg/l 0,01 Rendah
Temabaga (Cu) SNI 06.6989.56-2005 mg/l 0,30 Rendah
seng (Zn) SNI 06.6989.7-2012 mg/l 3,00 Sedang
Amonium (NH4-N) SNI 06.6989.56-2005 Mg/l 0,13 Rendah
Kalsium (Ca) SNI 06.6989.30-2012 mg/l 36,00 Tinggi
Boron (B) Spektrofotometri mg/l 49,12 Tinggi
Alumanium (Al) SNI 06.6989.34-2009 mg/l 0,00 Rendah
Mangnesium (Mg) SNI 06.6989.55-2005 mg/l 28,00 Tinggi
Anion:
Phospat (Po4) SNI 06.6989.30-2012 mg/l 8,00 Sedang
Nitrat (NO3-N) Spektrofotometri mg/l 1,00 Sedang
Sulfat (SO4) SNI 06.6989.20-2009 mg/l 121,00 Tinggi
Khlorida (Cl) SNI 06.6989.19-2009 mg/l 53,00 Tinggi
HCO3 Trimetri mg/l 0,00 Rendah
CO3 Trimetri mg/l 0,00 Rendah
BO3 APHAed.22nd 4500-BO3 B,2012 mg/l 0,01 Rendah
Sumber: Hasil analisis contoh air

Gejala Keracunan Fe dan Provitas Tanaman Padi

Gambar 4 memperlihatkan gejala keracunan Fe mulai 4 MST pada varietas Inpara 1 di


Masni Manokwari. Sedangkan presentase gejala keracunan Fe pada empat varietas yang
dikaji di lahan sawah irigsi teknis di Masni, Manokwari diperlihatkan pada Gambar 5.

Gambar 4. Gejala keracunan Inpari 1 pada 4 MST

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


18 | Teknologi Pertanian
Gejala keracunan meningkat sejak umur 2 MST hingga 8 MST. Inpara 1
memperlihatkan presentase gejala keracunan lebih tinggi, di mana pada 6 MST mencapai
30%. Inpari 34 ketika memasuk 6 MST gejala keracunan menjadi terendah. Lebih lanjut hasil
analisis jaringan tanaman padi menunjukkan bahwa kandungan Fe sangat tinggi pada
tanaman yang menunjukkan gejala keracunan. Peningkatan hampir 1 kali pada Inpara 1 dan
Inpara 8, dan meningkat 3 kali pada Inpari 34.
Sementara capaian provitas tertinggi diperlihatkan oleh Inpari 34, yakni 2,6 t/h,
sedangkan inpara 1 dan 8 masing-masing mencapai 2,3 t/h dan 1,6 t/ha (Gambar 6).
Tingginya kandungan Fe pada jaringan padi disebabkan oleh kemampuan varietas tersebut
untuk beradaptasi terhadap cekaman Fe, di mana Fe yang larut pada sebagian rhisospher
prakaran, sebagian diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan dan ditranslokasikan ke
bagian tanaman termasuk bulir padi. Di Masni, Manokwari keadaan keracunan diperparah
dengan kation dan anion terlarut dalam air irigasi. Keadaan tersebut memungkinkan
meningkatnya kelarutan fero sulfida (Fe2S) dan hydrogen sulfida (H2S) pada saat tergenang
mempengaruhi kemampuan akar untuk mengoksidasi, sehingga tanaman akan menjadi peka
terhadap keracunan besi. Sedangkan kemampuan yang tinggi pada inpari 34 ditunjang oleh
aplikasi pemupukan organik yang berfungsi menteralisisir kemasaman tanah dan
meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap Fe dan mentranslokasinya ke jaringan
tanaman padi. Penerapan penggunaan varietas unggul tenggang masam ditambah dengan
pengairan intermiten dapat mempertahankan provitas padi pada kondisi cekaman tinggi.

Gambar 5. Persentase gejala keracunan Fe di Masni, Manokwari

Di Malawele, Sorong penampilan tanaman di lapangan tidak menunjukkan gejala


keracunan Fe. Penggunaan bahan organik hingga 2 ton/ha + 150 kg NPK Phonska+50 kg Urea
berdasarkan rekomendasi katam terpadu mampu menetralkan kemasaman tanah dan
meningkatkan provitas GKP IR 64 sebesar 4,7 t/ha dan Sidenok 4,3 t/ha, atau terjadi
peningkatan 34,3 % – 4,4 % dari rata-rata provitas 3,2 t/ha di Sorong (Gambar 7).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 19
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Beberapa penelitian di tempat lain menunjukkan hal yang sama. Pada lahan sawah
tadah hujan jenis tanah Alluvial melalui pendekatan PTT (menggunakan bahan organik 2
t/ha) produktivitas padi gogo rancah meningkat 59,5% dan untuk walik jerami 76,5%
(Pirngadi dan Makarim 2006). Pemberian pupuk kandang 5 t/ha pada lahan sawah tadah
hujan jenis tanah Alluvial meningkatkan hasil padi gogo rancah sebesar 17,3% (Pirngadi dan
Pane 2004). Di lahan sawah irigasi pada jenis tanah hidromorf kelabu, pemberian bahan
organik melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) meningkatkan hasil padi
14,8% (Pirngadi et al. 2002a).
Pemberian pupuk kandang 5 t/ha di lahan sawah Alluvial serta 250 kg N/ha
meningkatkan hasil padi walik jerami 7,3% (Pirngadi et al. 2002b). Meningkatnya
produktivitas padi melalui pendekatan PTT pada berbagai agroekologi tersebut
menunjukkan adanya pengaruh sinergis antarkomponen teknologi yang dianjurkan dalam
PTT yang berakibat pada meningkatnya efisiensi pemupukan (Zaini dan Las 2004).

Gambar 6. Kandungan Fe dalam jaringan padi di Masni, Manokwari


Pada MT Agustus-Desember 2016

Gambar 7. Provitas padi varietas toleran kemasaman tanah di Masni, Manokwari


pada MT pada MT Agustus-Desember 2016 dan di Malewele Sorong
pada MT Juli-Nov 2016.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


20 | Teknologi Pertanian
Cekaman Kekeringan dan Provitas Padi

Cekaman kekeringan merupakan gangguan yang sifatnya non reguler terhadap


produksi pertanian, dan ancaman ini sering kali terkait dengan fenomena El Nino. Pola hujan
monsunal dan lokal umumnya lebih kuat dipengaruhi El Nino dibanding pola hujan ekuatorial
(Aldrian, et.al, 2001). Perubahan terbesar biasanya terjadi pada periode monsun timuran
Juni-Juli-Agustus (JJA) dan transisi September-Oktober-November (SON). Wilayah yang
memiliki pola hujan lokal tentunya lebih berisiko karena musim hujan biasanya terjadi
periode JJA berbeda dengan pola hujan monsunal yang biasanya terjadi di periode
Desember-Januari-Februari (DJF) berkenaan dengan monsun baratan dari daratan Asia dan
Samudera Pasifik.
Papua secara geografis dekat daerah pusat aksi di Samudera Pasifik barat dan tengah
(Nino 3.4). Artinya bahwa wilayah tersebut dipengaruhi oleh Fenomena El Nino. Gambar 8
memperlihatkan rata-rata perubahan curah hujan pada setiap wilayah pola hujan di Papua
akibat El Nino. Di wilayah Sorong dan Manokwari secara rata-rata penurunan besaran curah
hujan akibat El Nino mencapai 10-15% dari kondisi normal. Sementara wilayah ini lain di
bagian tengah dan timur Papua mencapai 30% dari normal.

Gambar 8. Perubahan curah hujan akibat El Nino digambar dari tahun-tahun


kejadian El Nino dalam 30 tahun (1975-2010) dari 30 stasiun hujan

Pengaruh El Nino tidak hanya menurunkan curah hujan tetapi juga mengeser periode
musim hujan dan puncak hujan. Pada kejadian El Nino tahun 2015 penurunan curah hujan
mencapai lebih dari kondisi normalnya. Di Sorong pada kondisi normal pola hujan lokal
mengalami musim penghujan mulai memasuki bulan april dan mencapai puncak sekitar
Juni/Juli, dan pada periode tertentu terkadang puncak hujan terjadi lebih awal sekitar Mei
(Rouw, et. al., 2014). Gambar 9 menunjukkan keadaan curah hujan terkait El Nino yang
terjadi pada pertengahan 2015 hingga awal tahun 2016. Curah hujan berada dibawah
ambang batas kebutuhan padi 150 mm/bulan. Korelasi dengan SST Nino 3.4 diperlihatkan
pada Gambar 9.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 21
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 9. Plot curah hujan (CH) bulanan (mm) pada tahun 2015
di Mariat, Aimas_Malawili, Salawati_Majener, Kab. Sorong

Penurunan curah hujan berdampak pada rendahnya provitas padi di lahan sawah
irigasi teknis dan lahan sawah tadah hujan. 60% petani mengalami gagal panen di lahan
sawah tadah hujan di Kabupaten Sorong. Pada MT 2 April-November 2015 bersamaan
dengan terjadinya El Nino yang dikuti dengan kemarau menyababkan defisit air bagi
tanaman padi. Pada MT2 April-November 2015 petani masih mengandalkan debit air yang
tersedia oleh curah hujan periode sebelumnya. Namun memasuki MT1 Okt 2015 - Maret
2016 sebagian sungai mengering sehingga tanaman mengalami risiko kekeringan. Rata-rata
GKP hanya 0,6 t/h. Pada lahan sawah irigasi teknis di Kabupaten Manokwari provitas rata-
rata GKP masih mencapai 3 t/ha (Gambar 10). Kondisi debit air masih mendukung debit air di
bendungan sehingga tanaman padi masih mendapat suplai air dari irigasi.

Gambar 10. Korelasi anomali SST Nino 3.4 dengan curah hujan di Stasiun Hujan
di Sorong dan Manokwari kasus 2015

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


22 | Teknologi Pertanian
Gambar 11. Provitas padi MT2 April - November 2015 dan MT1 Okt 2015 - Maret 2016
di Kabupaten Sorong terkait fenomena El Nino 2015 - 2016.

KESIMPULAN
Cekaman abiotik kemasaman tanah (keracunan Fe) terjadi pada lahan sawah irigasi
dan tadah hujan dan merupakan gangguan yang bersifat rutin terhadap peningkatan
provitas padi di Agroeksoistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Papua Barat. Cekaman
abiotik kekeringan akibat El Nino yang ditandai dengan meningkatnya indeks SST Nino 3.4
sekitar 0,5-2 dapat menyebabkan penurunan curah hujan 15-30 % dari kondisi normal dan
menyebabkan gagal panen di lahan sawah tadah hujan di Papua Barat
Penerapan inovasi teknologi cekaman kemasaman tanah melalui penggunaan
varietas toleren, pemupukan organik, dan penerapan pengairan inter-miten yang dilakukan
secara sinergi dalam pengelolaan tanaman terpadu terpadu dapat meningkatkan provitas
padi 35-40 % dari capaian provitas rata-rata di Papua Barat

DAFTAR PUSTAKA
Dhanda. S.S., R.K. Behl, N. Elbassam. 1995. Breeding Wheat Genotypes for Water Deficit
Environments. Landbanforschung Volkendrode 45:159-167.
Hendon, H. H. (2003). Indonesia rainfall variability: Impacts of ENSO and local air-sea
interaction. J. Climate, 16, 1775–1790.
Jones, M.M., N.C. Turner, C.B. Osmond. 1981. Mechanisms of Drought Resistance. L.G. Paleg,
D. Aspinal (Eds). The Physiology and Biochemistry of Drought Resistance in Plants.
Academic Press: Sydney. Hal. 15-37.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 23
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Ludlow, M.M. 1993. Physiological Mechanism of drought Resistance. T.J. Mabry, H.T.
Nguyen, R.A. Dixon, M.S. Bonnes (Eds). Biotechnology for Aridland Plants. IC2
Institute: Austin.
Ma, J. F. 2000. Role of organic acids in detoxification of aluminum in higher plants. Plant cell
physiol, 41(4): 383-390.
Nio, S.A., F.E.F. Kandou. 2000. Respons Pertumbuhan Padi (Oryza sativa L.) Sawah dan Gogo
pada Fase Vegetatif Awal terhadap Cekaman Kekeringan. Eugenia 6:270-273.
Nio S.A., Sri Mariyati Tindais, dan Regina Butarbutar. 2010: evaluasi indikator toleransi
cekaman kekeringan pada fase perkecambahan padi (Oryza sativa L.). Jurnal Biologi
XIV (1), ISSN: 1410 5292, vol 21(10), hal : 50 – 54.
Pirngadi, K., O. Syahromi, dan T.S. Kadir. 2002a. Model pengelolaan tanaman padi pada
lahan sawah beririgasi. J. Agrivigor 2 (2): 84-96.
Pirngadi, K., A. Guswara, K. Permadi, dan H. Pane. 2002b. Pengaruh persiapan lahan dan
pemupukan terhadap hasil padi walik jerami pada sawah tadah hujan. hlm. 217-224.
Dalam J. Soejitno, Hermanto, dan Sunihardi (Ed.). Sistem Produksi Pertanian Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Pirngadi, K. dan H. Pane. 2004. Pemberian bahan organik, kalium, dan teknik persiapan
lahan untuk padi gogo rancah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 23(3): 177-184.
Rouw, A. 2008. Analisis dampak keragaman curah hujan terhadap kinerja produksi padi
sawah (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Papua). Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.11 No.2, Juli, 2008, p146-155.
Rouw, A., Tri Wahyu Hadi, Bayong Tjasyono, H.K., dan Safwah Hadi, 2014. Analisis Variasi
Geografis Pola Hujan di Wilayah Papua. Jurnal Tanah dan Iklim Vol.38 No.1, 25-34.
Rouw, A dan Triwahyu, H., (2013): The Teleconnection of Pacific Decadal Oscillation (PDO)
and Rainfall Pattern Variability on Inter-decadal Time Scale in the Papua Region.
[Abstract], International Workshop on Ocean Carbon Cycle and Climate Change, Bali
7-8 November 2013.
Utama, M.Z.H., W. Haryoko., R. Munir., Sunadi.2009. Penapisan varitas padi toleran salinitas
pada lahan rawa-rawa di Kabupaten Pesisir Selatan. J. Agron.Indonesia 37 (2): 101-
106.
Zaini, Z. and I. Las. 2004. Development of integrated crop and resources management
options for higher yield and profit in rice farming in Indonesia. p. 252-257. Proc.
Training on Agricultural Technology Tranfer and Training. APEC, Bandung-Indonesia,
18-22 July 2004.
Zheng, S.J., J.F, Ma, and H. Matsumoto. 1998. High aluminum resistance in buckwheat. I. Al-
induced specific secretion of oxalic acid from root tips. Plant physiol. 117:74

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


24 | Teknologi Pertanian
PRODUKTIVITAS BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH
DI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Apriyani N. Sariffudin1 dan Erliaty Laempah2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau
Jl. Pelabuhan Sungaijang No. 38 Tanjungpinang, Kepulauan Riau
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base camp Arfai Gunung, Kompleks Pemda Provinsi Papua Barat, Manokwari
e-mail: an.sariffudin@gmail.com; erliatylaempah@pertanian.go.id

ABSTRAK
Padi merupakan tanaman utama penduduk Indonesia. Kepulauan Riau merupakan salah satu
provinsi di Indonesia yang memerlukan kestabilan produksi agar tercipta kedaulatan pangan di
provinsi ini. Kendala yang dihadapi dalam pemenuhan tersebut adalah kurangnya benih unggul
yang memiliki potensi produksi tinggi. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan
dan produktivitas padi VUB varietas Inpari 7, Inpari 10 dan Situ Bagendit yang dikembangkan di
Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Pengkajian dilakukan di Desa Batubi Jaya,
Kecamatan Bunguran Batubi, Kabupaten Natuna pada lahan seluas 2 ha. Kegiatan dimulai pada
bulan Mei-September 2016. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan dan 4 perlakuan. Parameter yang diamati yaitu tinggi
tanaman, jumlah anakan dan produksi padi. Data dianalisis dengan uji One-way ANOVA dengan
software Statistical Product and Service Solution (SPSS ver 16.0). Hasil kajian menunjukkan
bahwa varietas situ bagendit mampu beradaptasi dengan baik dan mempunyai produksi
tertinggi dibanding varietas yang lain yaitu sebesar 1,6 ton/ha. Produksi terbesar kedua dan
ketiga didapat oleh Inpari 7 dan Inpari 10 masing-masing 1,2 ton/ha dan 1 ton/ha. Padi lokal
mempunyai produksi terendah yaitu sebesar 0,6 ton/ha. Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa varietas Situ Bagendit memberikan hasil paling tinggi yakni 1,6 ton/ha gabah
kering panen dibanding varietas yang lain, sehingga varietas ini dapat dikembangkan untuk
perbanyakan benih.
Kata kunci: Produktivitas, VUB, Kepulauan Riau

PENDAHULUAN
Kedaulatan Pangan merupakan konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal.
Untuk mencapai hal tersebut semua Provinsi di Indonesia diharapkan akan mendukung
program pemerintah itu. Kebijakan pembangunan pertanian tanaman pangan dan
hortikultura di Provinsi Kepulauan Riau selama ini ditempuh dengan cara memperluas areal
tanam dalam rangka mewujudkan swasembada pangan.
Menurut data dari BPS (2017) bahwa pada tahun 2016, Provinsi Kepulauan Riau
mempunyai lahan sawah seluas 286,3 ha. Luasan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan
luas lahan bukan sawah yaitu sebesar 147.383,5 ha, dimana 93.427,7 ha merupakan lahan
yang sementara tidak diusahakan. Semua kabupaten/kota berpotensi untuk pengembangan
pertanian, tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Kabupaten dan kota tersebut
antara lain Bintan, Natuna, Anambas, Lingga, Karimun, Tanjungpinang dan Batam. Lahan
terluas berada di kabupaten Natuna yaitu sebesar, 158 ha dengan produktivitas 3,41 ton/ha.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 25
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Produksi komoditas tanaman pangan terutama padi masih belum mampu memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri, bahkan impor. Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa
pengadaan pangan masih belum optimal. Untuk mengatasi persoalan tersebut selain dengan
memperluas lahan sawah, juga dapat menggunakan VUB sebagai benihnya. VUB berperan
penting dalam peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan petani. Varietas Unggul
Baru (VUB) yang sudah dilepas oleh Lembaga di Indonesia, 85% merupakan produk dari
Badan Litbang Pertanian (Yahumri et al, 2015). Benih unggul sebagai bahan pertanaman
merupakan modal awal bagi penyediaan pangan, namun demikian kenyataan di lapangan
khususnya di Provinsi ini, bahwa penggunaan benih unggul masih sangat minim. Hal ini
diakibatkan oleh belum tersosialisasinya VUB ini ke petani setempat.Untuk tanaman pangan
khususnya tanaman padi di Provinsi Kepulauan Riau, benih/bibit yang akan ditanam
merupakan benih lokal.
Selain itu, perbaikan teknologi budidaya melalui pendekatan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) juga berdampak terhadap keberhasilan produksi. PTT padi adalah suatu
pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan
petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani (Endrizal et
al, 2015). PTT yang diterapkan mencakup pengolahan tanah, penggunaan varietas unggul
baru, sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1, pemupukan serta pengendalian hama terpadu.
Kabupaten Natuna merupakan Kabupaten terjauh yang ada di provinsi Kepulauan Riau jika
dilihat dari jarak antara ibukota kabupaten ke ibukota provinsi yakni sekitar 440.000 mil atau
708.111,36 km (BPS, 2017). Maka dari itu pemenuhan kebutuhan pangan di wilayah itu
harus selalu terpenuhi agar tidak terjadi suatu kelangkaan.
Kegiatan pengkajian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi di lahan sawah ini
dilaksanakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan benih padi di Provinsi Kepulauan Riau.
Kegiatan dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan kelompok tani dengan
pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Kegiatan pengkajian ini
bertujuan untuk mengetahui penampilan dan produktivitas padi VUB varietas Inpari 7, Inpari
10 dan Situ Bagendit yang dikembangkan di Kabupaten Natuna.

METODOLOGI
Kegiatan pengkajian mengenai Uji Varietas Unggul Baru (VUB) dilaksanakan di lahan
petani di Desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Batubi, Kabupaten Natuna, Provinsi
Kepulauan Riau dengan total luas tanam 2 Ha. Waktu pelaksanaan pengkajian pada 1 musim
tanam (MT) yaitu dari bulan Mei-September 2016. Bahan yang digunakan dalam pengkajian
ini yaitu padi varietas Inpari 7, Inpari 10, Situ Bagendit yang berasal dari BB Padi dan 1 padi
lokal. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4
ulangan dan 4 perlakuan. Varietas padi digunakan sebagai ulangan yakni Inpari 7, Inpari 10,
Situ Bagendit dan padi lokal (padi merah).
Paket teknologi yang diterapkan dalam pengkajian ini yaitu budidaya padi melalui
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang mencakup pengolahan tanah, varietas unggul
baru, sistem tanam jajar legowo 2:1 dan 4:1, umur bibit 21 hari, pemupukan serta

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


26 | Teknologi Pertanian
pengendalian hama terpadu. Komponen teknologi PTT padi yang diterapkan di lokasi
pengkajian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen teknologi PTT padi di lahan sawah Desa Batubi Jaya, Kecamatan
Bunguran Batubi, Kabupaten Natuna
No. Komponen Teknologi PTT
1. Pengolahan tanah Traktor
2. Benih Berlabel
3. Persemaian Basah
4. Jumlah tanaman per lubang tanam 1-3 tanaman/ lubang
5. Sistem tanam Legowo 2:1 dan 4:1
6. Varietas Inpari 7, Inpari 10, Situ Bagendit dan Padi Merah
7. Pemupukan
Organik Pupuk kandang 1 ton/Ha
Anorganik Urea 200 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 200 kg/ha.
8. Pengendalian OPT Penerapan PHT

Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor. Pengolahan tanah ini juga
dilakukan pemberian kapur/dolomit dengan tujuan untuk mengurangi tingkat keasaman
tanah. Purba et al (2015) menyatakan bahwa pemberian fosfat alam dapat meningkatkan pH
tanah, dikarenakan fosfat alam memiliki kandungan kapur didalamnya. Benih yang
digunakan berasal dari BB Padi dan benih lokal sebagai pembanding. Sistem tanam
menggunakan legowo 2:1 dan 4:1.
Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan padi, serta produksi
padi. Pengumpulan data diperoleh secara langsung di lapangan. Data dianalisis dengan uji
One-way ANOVA dengan software Statistical Product and Service Solution (SPSS ver 16.0).
Pengujian hipotesis yaitu H0 diterima jika nilai sig >0,05 dan H0 ditolak jika nilai sig <0,05
berarti terima H1. H0 : µ1 = µ2 = µ3 = … = µn, Tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-
rata hitung dari n kelompok, H1 : µ1 ≠ µ2 ≠ µ3 ≠ … ≠ µn, Ada perbedaan yang nyata antara
rata-rata hitung dari n kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Pengkajian

Secara astronomis, Kabupaten Natuna terletak pada titik koordinat 1016’-7019’ LU


(Lintang Utara) dan 105.000’-110.000’ BT (Bujur Timur) dengan batas wilayah utara
berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bintan,
sebelah barat berbatasan dengan Semenanjung Malaysia dan sebelah timur berbatasan
dengan Laut Cina Selatan. Lokasi pengkajian terletak di Desa Batubi Jaya, Kecamatan
Bunguran Batubi, Kabupaten Natuna. Kecamatan Bunguran Batubi merupakan pemekaran
dari Kecamatan Bunguran Barat yang diresmikan pada tanggal 1 April 2016. Menurut Badan
Pusat Statistik Kabupaten Natuna (2015) menyatakan bahwa Kecamatan Bunguran Barat
mempunyai luas panen tanaman padi seluas 55 Ha dengan produksi sebanyak 72 ton.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 27
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Keragaan Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Padi

Keragaan pertumbuhan tanaman padi yang diamati yaitu tinggi tanaman padi dan
jumlah anakan padi saat padi berumur 40 HST dan 60 HST.

Tabel 2. Hasil pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan


pada umur 40 HST dan 60 HST
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (batang)
Perlakuan (Varietas)
40 HST 60 HST 40 HST 60 HST
a a a a
Inpari 7 47,00 ± 1,37 62,20 ± 1,90 17,00 ± 4,09 21,30 ± 3,04
a b b ab
Inpari 10 47,10 ± 0,96 63,85 ± 1,69 14,10 ± 2,12 19,50 ± 1,50
a c b a
Situ Bagendit 46,70 ± 1,97 60,20 ± 2,14 14,50 ± 2,32 20,80 ± 2,30
a d b b
Padi Lokal 46,80 ± 1,43 52,20 ± 1,43 13,80 ± 2,06 17,90 ± 2,07
Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (nilai sig < 0,05)

Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa rataan tinggi tanaman padi umur 40 HST
untuk semua varietas tidak berbeda nyata. Tidak berbeda secara nyata ini dapat
menggambarkan bahwa tingkat respon tanaman padi terhadap lingkungan sama. Menurut
Maintang et al (2012) menyatakan bahwa respon tanaman terhadap lingkungan tadi dapat
berupa penyerapan unsur hara, cahaya dan faktor tumbuh lainnya. Sedangkan tinggi
tanaman padi umur 60 HST untuk semua varietas berbeda nyata nilai sig <0,05. Pengamatan
tinggi tanaman padi saat berumur 60 HST, varietas inpari 10 memiliki tinggi tanaman
terbesar yaitu 63,85 cm dengan standar deviasi 1,69 dan terendah pada varietas lokal 52,20
cm dengan standar deviasi 1,43. Standar deviasi merupakan suatu nilai yang digunakan
untuk mengetahui sebaran sampel yang digunakan, semakin kecil standar deviasinya, maka
datanya semakin homogen. Perbedaan yang nyata pada tinggi tanaman umur 60 HST dapat
dipengaruhi oleh sifat genetis masing-masing varietas.
Terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah anakan saat padi berumur 40 HST
pada varietas Inpari 7 dengan ketiga varietas lainnya (Inpari 10, Situ Bagendit dan Padi Lokal)
lihat Tabel 2. Sedangkan pada umur 60 HST jumlah anakan varietas Inpari 7 berbeda nyata
dengan padi lokal, dan tidak berbeda secara nyata dengan Inpari 10 dan Situ Bagendit. Inpari
7 memiliki jumlah anakan tertinggi dengan rataan 21,30 batang dan terendah yaitu padi
lokal 17,90 batang. Menurut Ramija et al (2010), bahwa adanya perbedaan tinggi tanaman
dan jumlah anakan yang dimiliki masing-masing varietas dikarenakan adanya sifat genetis
dari varietas itu sendiri.

Tabel 3. Tinggi tanaman saat panen dan hasil gabah kering panen (GKP) beberapa VUB padi
sawah di Desa Batubi Jaya, Kecamatan Bunguran Batubi, Kabupaten Natuna
No Perlakuan (Varietas) Sistem Tanam Legowo Tinggi Tanaman saat Panen (cm) Produktivitas (ton/ha)
a b
1 Inpari 7 2:1 89,09± 4,70 1,2
b b
2 Inpari 10 4:1 96,46± 6,36 1
a c
3 Situ Bagendit 2:1 88,22± 2,48 1,6
c a
4 Padi Lokal 4:1 80,02± 1,09 0,6
Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (nilai sig < 0,05)

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


28 | Teknologi Pertanian
Berdasarkan Tabel 3 di atas terlihat bahwa varietas Inpari 10 memiliki rataan tinggi
tanaman paling tinggi dibandingkan dengan varietas yang lain yaitu sebesar 96,46 cm dan
terendah didapat oleh varietas lokal sebesar 80,02 cm. Tinggi tanaman maksimal yang
didapatkan dari ketiga VUB tersebut masih rendah dibandingkan dengan deskripsinya.
Menurut Suprihatno et al (2010), bahwa varietas Inpari 7 mempunyai tinggi tanaman
sebesar 104 ± 7 cm, Inpari 10 sebesar 100-120 cm dan Situ Bagendit sebesar 99-105 cm.
Menurut Endrizal et al (2015), bahwa tinggi tanaman menentukan tingkat penerimaan suatu
varietas baru, varietas yang berpostur tinggi umumnya sangat rentan rebah dan tanaman
yang tinggi belum menjamin tingkat produktivitasnya. Selain dipengaruhi oleh sifat genetis,
tinggi rendahnya suatu tanaman dipengaruhi juga oleh lingkungan seperti intensitas cahaya
matahari, suhu, air dan unsur hara atau nutrisi.
Berdasarkan Tabel 3 diatas, terlihat bahwa padi VUB yang dikembangkan di daerah
Batubi Jaya mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan padi lokal.
Produktivitas tertinggi didapatkan oleh varietas Situ Bagendit yaitu 1,6 ton/ha gabah kering
panen (GKP) disusul oleh varietas Inpari 7 dan Inpari 10. Sedangkan produktivitas terendah
didapat oleh padi lokal yaitu sebesar 0,6 ton/ha GKP. Hal ini menunjukkan bahwa padi VUB
yang diadaptasikan di desa Batubi Jaya mempunyai prospek yang bagus untuk
dikembangkan lagi. Menurut hasil kajian dari Sirappa et al (2007), membuktikan bahwa
adanya introduksi padi VUB yang didukung dengan teknologi mampu memberikan
peningkatan hasil sebesar 21-54%. Akan tetapi rataan hasil yang didapat masih rendah
dibandingkan dengan rataan hasil pada deskripsinya. Tidak tercapainya produksi padi
berdasarkan hasil pada deskripsi varietasnya disebabkan karena adanya serangan hama dan
kekeringan.
Kekeringan terjadi akibat sumber air yang digunakan untuk pengairan mengalami
penyusutan akibat minimnya hujan selama kegiatan pengkajian dilakukan. Hasil Penelitian
Khodijah (2015) menunjukkan bahwa curah hujan sangat berpengaruh pada produktivitas
padi, artinya ketersediaan air sangat mempengaruhi produksi. Hidayati dan Suryanto (2015)
menambahkan bahwa lahan yang rawan kekeringan berpotensi akan menurunkan produksi
padi.
Menurut petani setempat, bahwa faktor angin utara juga mempengaruhi tidak
tercapainya produksi. Angin utara merupakan angin yang berhembus dari laut yang
membawa partikel garam. Partikel-partikel garam tadi mengendap/menempel di daun
sehingga proses foto sintesis tanaman terganggu. Hasil penelitian Samrin et al (2015)
menunjukkan bahwa padi VUB yang diadaptasikan di lahan sawah di Sulawesi Tenggara
mempunyai produktivitas yang tinggi, produksinya pun melebihi rata-rata produksi pada
deskripsi.
Menurut Suprihatno et al (2010) bahwa rata-rata hasil padi untuk varietas inpari 7,
inpari 10 dan situ bagendit masing-masing sebesar 6,23 ton/ha, 5,08 ton/ha dan 5,5 ton/ha.
Perbedaan produktivitas tiap varietas dapat disebabkan juga oleh pola tanam yang
digunakan. Berdasarkan Tabel 3 diatas terlihat bahwa varietas padi yang ditanam dengan
sistem legowo 2:1 produksi padinya lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan legowo

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 29
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
4:1. Hasil penelitian Azwir (2008) menunjukkan bahwa perlakuan shafter 2:1 menghasilkan
produksi lebih tinggi dibanding dengan perlakuan shafter 4:1 yaitu sebesar 6,39 ton/ha.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengkajian terlihat bahwa semua VUB yang diujikan yaitu Inpari 7,
Inpari 10 dan Situ Bagendit mampu beradaptasi dengan baik. Hal ini ditunjukkan dari
produktivitas yang dihasilkan lebih tinggi dibanding dengan padi lokal. Produktivitas tertinggi
didapat oleh varietas Situ Bagendit yaitu sebesar 1,6 ton GKP/ha, disusul oleh Inpari 7 dan
Inpari 10 masing-masing sebesar 1,2 ton GKP/ha dan 1 ton GKP/ha. Produksi terendah
didapat oleh varietas lokal yaitu sebesar 0,6 ton GKP/ha.

DAFTAR PUSTAKA
Azwir. 2008. Sistem tanam legowo dan pemberian p-stater pada padi sawah dataran tinggi.
Jurnal Akta Agrosia 11 (2):102-107. ISSN: 1410-3354.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna. 2015. Natuna dalam Angka. Ranai: BPS Kabupaten
Natuna. ISSN: 2355-4916.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2017. Provinsi Kepulauan Riau dalam Angka.
Tanjungpinang: BPS Kepulauan Riau. ISSN: 0215-3998.
Endrizal., Jumakir dan J. Bobihoe. 2015. Adaptasi beberapa varietas unggul baru (VUB) padi
di lahan rawa lebak Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Palembang 8-9 Oktober
2015. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. ISBN: 979-587-580-9.
Hidayati, I. N, dan Suryanto. 2015. Pengaruh perubahan iklim terhadap produksi pertanian
dan strategi adaptasi pada lahan rawan kekeringan. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan 16 (1): 42-52.
Khodijah, N. S. 2015. Hubungan antara perubahan iklim dan produksi tanaman padi di lahan
rawa Sumatera Selatan. Bangka Belitung April 2015. Universitas Bangka Belitung.
Enviagro, Jurnal Pertanian dan Lingkungan 8 (2): 83-91. ISSN: 1978-1644.
Maintang, A. Ilyas., E. Tando dan Yahumri. 2012. Kajian keragaman varietas unggul baru
(VUB) padi di kecamatan bantimurung kabupaten maros Sulawesi selatan. BPTP
Bengkulu. Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Pertanian 2012.
http://bengkulu.litbang.pertanian.go.id. Diakses tanggal 18 Agustus 2017.
Purba, M. A., Fauzi dan K. Sari. 2015. Pengaruh pemberian fosfat alam dan bahan organik
pada tanah sulfat masam potensial terhadap p-tersedia tanah dan produksi padi
(Oriza sativa L.). Jurnal Online Agroekoteaknologi 3 (3): 938-948. ISSN: 2337-6597.
Ramija, K. E., Chairuman N, Harnowo D. 2010. Keragaan dan pertumbuhan komponen hasil
dan produksi tiga varietas padi unggul baru di lokasi Primatani Kabupaten Mandailing
Natal. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 13 (1): 42-51.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


30 | Teknologi Pertanian
Samrin., R. T. Wijanarko dan T. Handayani. 2015. Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru
Padi Sawah di Sulawesi Tenggara. Medan 2 Desember 2015. BPTP Sumatera Utara.
Prosiding Seminar Nasional Padi “Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung
Kedaulatan Pangan Nasional”. Hal: 257-265. ISBN: 978-979-3137-53-7.
Sirappa, M. P., Rieuwpassa, A.J dan Waas E. D. 2007. Kajian pemberian pupuk NPK pada
beberapa varietas unggul padi sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 10 (1): 48-56.
Suprihatno, B., A. A. Daradjat., Satoto., Baehaki., Suprihanto., A. Setyono., S. D. Indrasari., I.
P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. ISBN: 978-979-540-047-9.
Yahumri., A. Damiri., Yartiwi dan Afrizon. 2015. Keragaan pertumbuhan dan hasil tiga
varietas unggul baru padi sawah di Kabupaten Seluma, Bengkulu. Prosiding Seminar
Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia 1 (5): 1217-1221. ISSN: 2407-8050.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 31
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
POTENSI KEBERHASILAN OKULASI DENGAN PEMILIHAN LETAK MATA TUNAS
DAN PEMASANGAN MATA TEMPEL TERHADAP PERTUMBUHAN KAKAO

Apresus Sinaga1, Andi Faisal Suddin2dan Muhammad Thamrin2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
e-mail: apresusnaga@gmail.com2; (andifaisals@yahoo.co.id)1

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuanuntuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan berbagai mata
tunas entris kakao yang diokulasi terbalik dan tidak terbalik. Penelitian dilaksanakan di
Kompleks UNHAS Baraya Makasssar pada bulan januari-Desember 2000.Penelitian dilaksanakan
dengan menggunakan pecobaan faktorial 3 x 2 disusun dengan tataletak Acak Kelompok dengan
4 ulangan. Setiap faktor dikombinasikan sehingga terdapat enam kombinasi perlakuan. Setiap
kombinasi perlakuan terdiri dari tiga unit percobaan (tanaman/polybag) dan diulang sebanyak
empat kali sehingga terdapat 72 satuan percobaan.Variabel karakter agronomi yang diamati
meliputi pesertase okulasi tumbuh, masa bertunas okulasi, tinggi tunas tanaman okulasi, jumlah
daun tunas dan diameter tunas okulasi.Data pengamatan dianalisis dengan menggunakan
analisis varian (Anova) pada taraf 5%, apabila terdapat beda nyata diuji dengan Duncan’s
Mutiple Range Test (DMRT) 5%. Hasil penelitian berdasarkan metode analisis tersebut,
menunjukkan bahwa variabel pesertase okulasi tumbuh, masa bertunas okulasi, tinggi tunas
tanaman okulasi, dan jumlah daun tunas tidak terdapat interaksi antar perlakuan sedangkan
pada diameter tunas okulasi terdapat interaksi antara letak mata tunas dengan cara
pemasangan mata tempel terhadap diameter tanaman. Diameter tanaman meningkat dan
berbeda nyata dengan tanaman lain bila pemasangan mata tempel diambil dari mata tunas
kelima dari ujung entris.
Kata kunci: Vegetatif-Okulasi,Penyambungan, Kakao

PENDAHULUAN
Kakao merupakan tanaman sangat penting di Indonesia, yang dibudidaya sekitar satu
juta petani kecil dan merupakan pengerak ekonomi di pulau Sulawesi(Moriartyat al.,
2014).Sejak tahun 1930 Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia (Rubiyo &
Siswanto, 2012). Produktivitas kakao di Sulawesi Selatan tahun 2000 sebesar 0,46 ton ha-1,
produktivitas ini dibawah produksi nasional pada tahun 2013 sebesar 0,56 ton ha -
1
(Perkebunan, 2015).
Produktivitas yang rendah merupakan permasalahan klasik yang dihadapi banyak
pekebun kakao (Prawoto at al., 2005).Rendahnya Produktivitas kakao yang ditanam petani
karena berasal dari semaian yang beragam sifatnya dan bukan klon unggul. Perbanyakan
kakao secara vegetatif dapat menanggulangi tanaman kakao yang beragam produksinya.
Upaya untuk meningkatkan produktivitas per satuan luas dapat dilakukan dengan
perbanyakan benih secara vegetatif dimana perbanyakan tanaman secara vegetatif akan
menghasilkan populasi tanaman yang homogen dalam sifat-sifat genetiknya (Pesireron,
2010).Salah satu faktor yang turut menunjang tingkat keberhasilan perbanyakan cara okulasi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


32 | Teknologi Pertanian
adalah ketersedian batang bawah (seeding) yang subur dan sehat (Sutardi dan Hendrata,
2009).Keberhasilan penyambungan tanaman dipengaruhi beberpa faktor antara lain tingkat
kompatibilitas antara batang atas dengan batang bawah, tipe/jenis penyambungan, kondisi
lingkungan pada saat dan atau setelah penyambungan, aktivitas pertumbuhan batang
bawah, polaritas, adanya kontaminan patogen, aplikasi zat pengatur tumbuh, proses
perkembangan tunas setelah penyambungan, dan keterampilan para pelaksana (Hartmann
et al., 2010). Roshetkoat al., (2006) menyatakan keberhasilan sambungan perlu
memperhatikan pelaksanaan okulasi, kebersihan alat (seterilisasi alat), dan ketrampilan
petani dalam menyambung serta kelengkapan bahan untuk keperluan penyambungan.
Pranowo, & wardiana (2016) mengatakan tingkat keberhasilan penyambungan antara
batang atas dengan batang bawah yang diperoleh dari tanaman dengan spesies sama
(homograft) lebih tinggi dibandingkan dengan antar spesies yang berbeda (heterograft).
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pertumbuhan berbagai mata
tunas entris kakao yang diokulasi terbalik dan tidak terbalik.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Kompleks UNHAS Baraya Makassar pada bulan Januari-
Desember 2000. Bahan penelitian berupa tanaman kakao, polybag, tanah, pupuk kandang,
pupuk NPK dan air. Alat yang digunakan adalah pisau okulasi (stainless stell), batu asah,
gunting, tali, meteran, ember, dan alat tulis menulis. Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan pecobaan faktorial 3 x 2 disusun dengan tataletak Acak Kelompok dengan 4
ulangan. Kombinasi letak mata tunas dan pemasangan mata tempel pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Letak Mata Tunas dan Pemasangan


Mata Tempel
Pemasangan Mata Tempel
Letak mata tunas
Terbalik (P1) Tidak Terbalik (P2)
Mata Tunas Pertama dari Ujung Entris (T1) P1T1 P2T1
Mata Tunas Ketiga dari Ujung Entris (T3) P1T3 P2T3
Mata Tunas Kelima dari Ujung Entris (T5) P1T5 P2T5

Tiap faktor dikombinasikan sehingga terdapat enam kombinasi perlakuan. Setiap


kombinasi perlakuan terdiri dari tiga unit percobaan (tanaman/polybag) dan diulang
sebanyak empat kali sehingga terdapat72 satuan percobaan.
Bibit kakao yang digunakan sebagai batang bawah adalah bibit sehat, pertumbuhan
tegap, berumur satu tahun dalam kantong plastik 30 cm x 20 cm. Batang bawah dibuat irisan
melitang sepanjang 1 cm dari ujung irisan dan dibuat irisan vertikal dari ujung irisan yang
tegak lurus ke arah bawah.
Mata tunas sebagai batang atas diambil dengan cara mengiris berbentuk segi empat.
Besarnya kulit mata tunas batang atas harus lebih kecil dari kulit batang bawah. penyisipan
mata tunas harus terhindar dari segala kotoran. Pengikatan tempelan dengan menggunakan
plastik yang panjang 20 cm, lebar 1,5 cm dan tebal 0,1 mm dilakukan dari bawah ke atas.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 33
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pembukaan sayatan dilakukan setelah ±2 minggu dari waktu penempelan.
Pemotongan batang bawah dipotong 1 cm di atas mata tempelan dengan bentuk potongan
miring ke belakang. Pemeliharaan meliputi penyiraman setiap pagi dan sore hari unuk
menjaga kelembaban media serta penyiangan terhadap gulma.Komponen yang diamati
adalah pesentase okulasi tumbuh, masa bertunas okulasi, tinggi tunas tanaman okulasi,
jumlah daun dan diameter tunas okulasi.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis
varian (Anova) pada taraf 5%, apabila terdapat beda nyata diuji dengan Duncan’s Mutiple
Range Test (DMRT) 5% (Gomez and Gomez, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Okulasi Tumbuh

Tabel 2 menunjukkan tidak terjadi interaksi antara letak mata tunas dengan cara
pemasangan mata tempel terhadap okulasi tanaman yang tumbuh. Pemilihan berbagai mata
tunas tidak menunjukkan pengaruh okulasi berhasil tumbuh. Hasil penelitian Prawoto et al.,
(2005) melaporkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan (klonx
pengikatan x pemupukan) terhadap persentasi sambungan jadi. Persentase sambungan jadi
merupakan salah satu indikator keberhasilan perbanyakan vegetatif tanaman kakao
(Limbongan dan Djufry, 2013)
Pemasangan mata tempel terbalik maupun tidak terbalik tidak mempengaruhi okulasi
berhasil tumbuh (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata Okulasi Tumbuh


Perlakuan Okulasi Tumbuh
Letak Mata Tunas
Mata Tunas Pertama dari Ujung Entris (T1) 91.67 a
Mata Tunas Ketiga dari Ujung Entris (T3) 95.83 a
Mata Tunas Kelima dari Ujung Entris (T5) 83.33 a
Pemasangan Mata Tempel
Terbalik (P1) 88.89 a
Tidak Terbalik (P2) 91.67 a
Interaksi (-)
CV % 18,57
Keterangan: Nilai diikuti huruf sama, tidak berbeda dengan DMRT 5%

Masa Bertunas

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan tidak terjadi interaksi antara letak mata tunas
dengan cara pemasangan mata tempel terhadap masa bertunas tanaman. Pemilihan mata
tunas ketiga dan kelima dapat meningkatkan masa bertunas dibandingkan tanaman yang
berasal dari mata tunas ke satu dari ujung entris.Pranowo dan Wardiana (2016), mengatakan
persentase benih yang bertunas mengalami peningkatan seiring bertambahnya hari setelah
penyambungan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


34 | Teknologi Pertanian
Pemasangan mata tempel tidak terbalik dapat meningkatkan masa bertunas tanaman
dibandingkan tanaman yang dipasang dengan mata tunas terbalik (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata Masa Bertunas Tanaman


Perlakuan Masa Bertunas Tanaman
Letak Mata Tunas
Mata Tunas Pertama dari Ujung Entris (T1) 13.29 c
Mata Tunas Ketiga dari Ujung Entris (T3) 15.06 b
Mata Tunas Kelima dari Ujung Entris (T5) 16.10 a
Pemasangan Mata Tempel
Terbalik (P1) 14.59 b
Tidak Terbalik (P2) 15.04 a
Interaksi (-)
CV % 2,26
Keterangan: Nilai diikuti huruf sama, tidak berbeda dengan DMRT 5%

Tinggi Tunas Tanaman

Perlakuan letak mata tunas dengan cara pemasangan mata tempel menunujukkan
tidak terdapat interaksi terhadap tinggi tunas tanaman. Pemilihan mata tunas kelima dari
ujung entris klon dapat meningkatkan tinggi tunas tanaman dibandingkan tanaman yang
berasal dari berbagai mata tunas lainnya (Tabel 4).
Tinggi tunas tanaman dapat meningkat apabila dipasang dengan mata tempel tidak
terbalik terhadap tanaman yang dipasang dengan mata tunas terbalik (Tabel 4).

Tabel 4. Rata-rata Tinggi Tunas Tanaman


Perlakuan Tinggi Tunas Tanaman
Letak Mata Tunas
Mata Tunas Pertama dari Ujung Entris (T1) 20.60 b
Mata Tunas Ketiga dari Ujung Entris (T3) 20.88 ab
Mata Tunas Kelima dari Ujung Entris (T5) 21.46 a
Pemasangan Mata Tempel
Terbalik (P1) 20.59 b
Tidak Terbalik (P2) 21.37 a
Interaksi (-)
CV % 2,61
Keterangan: Nilai diikuti huruf sama, tidak berbeda dengan DMRT 5%

Jumlah Daun Tanaman

Hasil pada Tabel 5 menunjukkan tidak terjadi interaksi antara letak mata tunas
dengan cara pemasangan mata tempel terhadap jumlah daun tanaman. Pemilihan mata
tunas ketiga dan kelima dapat meningkatkan jumlah daun tanaman dibandingkan tanaman
yang berasal dari mata tunas ke satu dari ujung entris.
Pemasangan mata tempel tidak terbalik dapat meningkatakan jumlah daun tanaman
dibandingkan tanaman yang dipasang dengan mata tunas terbalik (Tabel 5).
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 35
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 5. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman
Perlakuan Jumlah Daun Tanaman
Letak Mata Tunas
Mata Tunas Pertama dari Ujung Entris (T1) 10.54 b
Mata Tunas Ketiga dari Ujung Entris (T3) 10.96 a
Mata Tunas Kelima dari Ujung Entris (T5) 11,00 a
Pemasangan Mata Tempel
Terbalik (P1) 10.36 b
Tidak Terbalik (P2) 11.30 a
Interaksi (-)
CV % 2,44
Keterangan: Nilai diikuti huruf sama, tidak berbeda dengan DMRT 5%

Diameter Tunas Tanaman

Terdapat interaksi antara letak mata tunas dengan cara pemasangan mata tempel
terhadap diameter tanaman. Mata tunas pertama dan ketiga yang diambil dari ujung entris
klon dengan pemasangan mata tempel terbalik dan tidak terbalik tidak berpengaruh
terhadap diameter tanaman. Diameter tanaman meningkat bila pemasangan mata tempel
diambil dari mata tunas kelima dari ujung entris dan berbeda nyata terhadap tanaman yang
lain (Tabel 6).Mertade dan Basri(2011), melaporkan bahwa diameter tunas yang terbentuk
pada entres yang memiliki diameter pangkal tangkai daun >4-6 mm (rata-rata 1,09 cm)
berbeda sangat nyata dengan diameter tunas yang terbentuk pada entres yang berdiameter
pangkal tangkai daun >6-8 mm (rata-rata 1,63 cm).

Tabel 6. Rata-Rata Diameter Tanaman


Pemasangan Mata Tempel
Letak Mata Tunas Rata-Rata
Terbalik (P1) Tidak Terbalik (P2)
Mata Tunas Pertama dari Ujung Entris (T1) 5.1800 b 4.0725 c 46.263
Mata Tunas Ketiga dari Ujung Entris (T3) 5.2750 b 4.4550 c 48.650
Mata Tunas Kelima dari Ujung Entris (T5) 6.1325 a 6.0825 a 61.075
Rata-Rata 55.292 48.700 (+)
CV % 5,77
Keterangan: Nilai diikuti huruf sama, tidak berbeda dengan DMRT 5%

KESIMPULAN
Terjadi interaksi antara letak mata tunas dengan cara pemasangan mata tempel
terhadap diameter tanaman. Letak mata tunas ke lima dari ujung entris lebih baik digunakan
sebagai sumber mata entris pada okulasi karena dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah
daun, masa bertunas dan diameter batang dibandingkan letak mata tunas yang lain.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala dan Staff Universitas
Hasanuddin yang telah membantu penelitian serta semua rekan-rekan Mahasiswa.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


36 | Teknologi Pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. John Wiley
International Publishers. New York. USA.
Hartmann, H.T., Kester, D.E., Davies, F.T., & Geneve, R.L. 2010. Plant propagation: Principles
and Practices. In Chapter 11, Principles of Grafting and Budding (pp. 415–463). 7th
edition. Pearson Education, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.
Limbongan, J. dan Djufry, F. 2013. Pengembangan Teknologi Sambung Pucuk sebagai
Alternatif Pilihan Perbanyakan Bibit Kakao . 32(2), 166–172.
Mertade, N., & Basri, Z. 2011. Pengaruh diameter pangkal tangkai daun pada entres
terhadap pertumbuhan tunas kako. Media Litbang Sulteng, 4(1), 1–7.
Moriarty, K., Elchinger, M., Hill, G., Katz, J., Barnett, J., Moriarty, K., &Katz, J. 2014. Methane
for Power Generation in Muaro Jambi : A Green Prosperity Model Project Work for
Others Report Methane for Power Generation in Muaro Jambi: A Green Prosperity
Model Project, (July).
Perkebunan, D. J. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta. 98p.
Prawoto, A., Qomariyah, N., Rahayu, S., & Kusmanadhi, B. 2005. Pelita perkebunan. Pelita
Perkebunan (a Coffee and Cocoa Research Journal), 21(1), 12–30p.
Pesireron, M. 2010. Pengkajian perbanyakan tanaman kakao secara vegetatif (okulasi mata
entri dan sambung pucuk). Jurnal Budidaya Pertanian, 1(6), 25–29.
Pranowo, D., & wardiana, E. 2016. Kompatibilitas Lima Klon Unggul Kakao Sebagai Batang
Atas Dengan Batang Bawah Progeni Half-Sib Klon Sulawesi 01,J. TIDP 3(1), 29–36.
Roshetko, J. M., Maurung, G. E. S., Tukan, J. M., & Prastowo, N. (2006). Tehnik Pembibitan
dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry Center, 100p.
Rubiyo, R., & Siswanto, S. 2012. Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao
(Theobroma cacao L.) di Indonesia. Jurnal Tanaman Industri Dan Penyegar, 3(1), 33–
48.
Sutardi, H. R. & Hendrata, R. 2009. Respon Bibit Kakao pada Bagian Pangkal Tengah dan
Pucuk terhadap Pemupukan Majemuk. Agrovigor, 2(2), 103–109.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 37
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGEMBANGAN PERDESAAN MELALUI PENDEKATAN INOVASI TEKNOLOGI
PERTANIAN BERBASIS HORTIKULTURA DI KABUPATEN GOWA

Ruchjaniningsih dan Muhammad Thamrin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan


Jl. Perintis Kemerdekaan Km.17,5Makassar
e-mail: ruchjaniningsih@yahoo.com

ABSTRAK
Kegiatan Pengembangan Pertanian Perdesaan di Kabupaten Gowa 2014 dilakukan dengan
sistem integrasi tanaman sayuran (kentang dan sayuran lain) dengan ternak (Sapi) melalui
metode penggemukan sebagai core program dan penerapan inovasi teknologi pada komoditas
kentang dan sayuran lain untuk mendukung usaha pengembangan sistem agribisnis sayuran
dengan ternak sapi. Hasil kegiatan Pengembangan Pertanian Perdesaan di Kabupaten Gowa
yaitu pelatihan pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi + sekam yang dicampur promi telah
diaplikasikan pada tanaman tomat dan kentang yang meningkat produksinya masing-masing
dari 15 t/ha menjadi 20 ton/ha dan 15 t/ha menjadi 18 ton/ha. Pupuk Cair dari urine sapi dan
kompos belum dipasarkan masih dimanfaatkan oleh kelompok tani pada lahan pertaniannya.
Dalam pembuatan pupuk cair jika biaya variable diperhitungkan berarti pada bulan pertama
petani masih mengalami kerugian sebanyak Rp. 3,700,000, dan pada bulan berikutnya petani
sudah mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp. 20.000.000/bulan. Dari hasil analisa finansial
pembuatan pupuk organik petani mendapat keuntungan bersih RP1,600,000,- dan dapat
menghemat biaya pupuk kimia hanya dengan biaya input Rp 550,000,-.
Kata kunci: Pengembangan, Perdesaan, Hortikultura, Teknologi Pertanian, Inovasi

PENDAHULUAN
Teknis pengembangan agribisnis hortikultura khususnya sayuran dengan pola
integrasi tanaman ternak berskala besar dengan pendekatan berkelanjutan dengan biaya
murah dan optimalisasi pemanfaatan limbah atau yang dikenal dengan istilah (LEISA) dan
zero waste, terutama di wilayah sentra tanaman hortikultura seperti sayuran kentang. Dalam
upaya meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, eksport dan
kesejahteraan petani. Salah satu komoditi yang menjadi perhatian utama dalam
meningkatkan kemandirian ketahanan pangan adalah kentang sebagai sumber karbohidrat.
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang mengambil lokasi di Desa Bulubalea,
Kecamatan Tinggimoncong, dengan sumber-daya lahan sayuran, serta dipadu dengan ternak
sapi, dengan SDM petani yang ada, diharapkan mampu mengadopsi inovasi pada komoditas
yang terpilih, meningkat kan produksi dan produktivitasnya secara nyata serta mampu
menanam kan sikap maju para petani/Kelompok Tani yang tergabung dalam Gapoktan,
berupa cikal-bakal dan peletakan dasar agribisnis.
Dewasa ini usaha pengembangan kentang dengan dukungan teknologi terus
ditingkatkan. Hasil penelitian kentang yang telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Sayuran
(2011) telah mencapai produksi rata-rata 18,0-40,8 t/ha, produksi ini jauh lebih tinggi
dibandingkan hasil produksi kentang di Asia Tenggara yang hanya mencapai rata-rata 15 t/ha
(BPS, 2011).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


38 | Teknologi Pertanian
Kesenjangan hasil produksi yang tinggi disebabkan teknologi yang telah dihasilkan
belum sepenuhnya diterapkan oleh petani sesuai kondisi setempat terutama penggunaan
bahan tanam varietas unggul, terbatasnya investasi petani dalam memenuhi standar
teknologi yang dianjurkan, dan lemahnya dukungan kelembagaan yang mampu
meningkatkan partisipasi petani dalam berusahatani kentang dengan baik.
Tujuan dari kegiatan mempercepat arus, dan memperluas spektrum diseminasi
inovasi teknologi dan kelembagaan berbasis hortikultura yang sesuai dengan kebutuhan
pengguna. Meningkatkan kadar adopsi teknologi inovatif badan litbang pertanian dan
umpan balik mengenai karakteristik teknologi dan kelembagaan berbasis hortikultura
spesifik lokasi.

METODE PENELITIAN
Kegiatan Pengembangan Pertanian Perdesaan melalui Inovasi Teknologi Berbasis
komoditas hortikultura dilaksanakan di kawasan sentra pengembangan hortikultura
kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan mulai bulan Januari-Desember 2014.
Kegiatan Pengembangan Pertanian Perdesaan di Kabupaten Gowa dilakukan dengan sistem
integrasi tanaman sayuran (kentang dan sayuran lain) dengan ternak (Sapi) melalui metode
penggemukan sebagai core program dan penerapan inovasi teknologi pada komoditas
kentang dan sayuran lain untuk mendukung usaha pengembangan sistem agribisnis sayuran
dengan ternak sapi.
Metode pelaksanaan kegiatan Pengembangan Pertanian Perdesaan dilaksanakan
dengan pentahapan kegiatan sesuai dengan mekanisme yang telah disusun berdasarkan
Pedum pelaksanaan kegiatan berdasarkan Road Map. Dimana kegiatan diawali dengan tahap
inisiasi terjadi respon Pemda dan petani, produktivitas meningkat, dilajutkan Sosialisasi dan
Identifikasi wilayah dengan metode PPMP (Pemahaman Potensi Masalah dan Peluang) serta
Implementasi inovasi teknologi skala terbatas. Pelaksanaan yang diaplikasikan adalah
pembuatan pupuk organik menggunakan bahan limbah sekam, kotoran sapi, dan promi.
Pemantapan Inovasi dan Diseminasi Teknologi dalam Memberdayakan petani melalui inovasi
teknologi pakan murah menggunakan pendekatan partisipatif dalam menunjukkan teknologi
formulasi pakan murah dan berkualitas untuk sapi melalui pendayagunaan limbah pertanian
dan agroindustri untuk mendukung ketersediaan pakan yang kontinyu. Serta teknologi
pembuatan biogas dan pupuk organik cair guna menfaatkan potensi limbah peternakan.
Dampak penerapan teknologi baru terhadap pendapatan dilakukan analisis finansial
pembuatan pupuk cair dan biogas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Kegiatan

Hasil analisis secara komprehensif sumberdaya alam untuk pelaksanaan kegiatan


Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi Berbasis Hortikultura di
Kabupaten Gowa merupakan indikator dalam penentuan lokasi yaitu antara lain ;
temperature, kelembaban, curah hujan dsb. Kabupaten Gowa berada pada 119.3773° Bujur
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 39
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Barat dan 120.0317° Bujur Timur, 5.0829342862° Lintang Utara dan 5.577305437° Lintang
Selatan. Secara geografis Kabupaten Gowa terletak di bagian Utara berbatasan dengan Kota
Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai,
Bulukumba dan Bantaeng. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan
Jeneponto sedangkan di bagian Baratnya dengan Kota Makassar dan Takalar.
Kabupaten Gowa yang terdiri dari 18 kecamatan dan 167 desa/kelurahan dengan luas
sekitar 1.883,33 Ha atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Propinsi Sulawesi
Selatan, terdiri atas 33.401 Ha Lahan Sawah, 74.604 Ha Lahan Bukan Sawah, dan 80.328
Lahan Bukan Pertanian. Dimana 9 wilayah kecamatannya merupakan dataran tinggi yaitu
Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan,
Tompobulu dan Biringbulu. Kecamatan Tinggimoncong diambil sampel sebagai lokasi
kegiatan MP3MI.
Kecamatan Tinggi moncong memiliki temperatur yang relative baik bagi
pertumbuhan tanaman sayuran terbukti dengan meningkatnya laju pertumbuhan sayuran
yang diakibatkan oleh komsumsi yang meningkat. Curah hujan di wilayah ini juga cukup
tinggi yaitu rata-rata 3000-3500 mm/tahun sehingga berkorelasi tinggi dengan ketersediaan
sayuran dan peternakan sapi. Selain itu tingginya curah hujan mengakibatkan temperatur
potensial bagi pertumbuhan sayuran dan peternakan sapi. Demikian juga dengan kondisi
topografi lokasi akan mempengaruhi temperatur, curah hujan, dan kelembaban lingkungan.
Eksistensi kelembagaan pertanian di wilayah ini meliputi kelembagaan
petani/peternak yaitu kelompok tani dan Gapoktan, kelembagaan keuangan berupa BRI
Unit, kelembagaan penyuluhan berupa Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan berinteraksi
baik dengan petani di wilayahnya, kelembagaan pemasaran berupa pasar tradisional tingkat
kecamatan yang beroperasi 3 kali seminggu. Di pasar ini juga sebagian besar petani
melakukan transaksi pembelian sarana produksi dan penjualan hasil produksi.
Selain bercocok tanam petani di lokasi kegiataan juga memelihara ternak sapi. Selain
limbah pertanaman petani Kecamatan Tinggimoncong juga menghasikan limbah dari
peternakan, dengan adanya promi membantu para peternak mempercepat limbah
ternaknya menjadi kompos ,limbah urin sapi diolah menjadi biogas dan pupuk cair. Hal
tersebut merupakan indikator bahwa teknologi yang akan didemonstrasikan memiliki
peluang untuk dapat diterima dan diterapkan karena ketersediaan bahan pelatihan cukup
baik dari aspek kuantitas, kualitas dan kontinuitasnya terjamin.

Karakteristik Petani

Karakteristik petani perlu dalam proses transfer teknologi karena kondisi internal
tersebut berperan dalam berbagai proses yang dilalui seseorang dalam berinteraksi dengan
hal-hal inovatif. Karakteristik secara internal dapat digambarkan oleh umur, tingkat
pendidikan formal, luas garapan, dan pengalaman berusahatani.
Pada umumnya petani berada pada usia produktif yaitu kisaran usia 40-45 tahun,
sehingga secara fisik masih memiliki kemampuan yang cukup baik untuk melakukan aktivitas
usahatani dan usaha ternaknya. Termasuk di dalamnya menerapkan berbagai teknologi yang

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


40 | Teknologi Pertanian
tersedia untuk meningkatkan kinerja usahanya. Namun demikian masih perlu bimbingan
lebih lanjut untuk menerapkan suatu komponen teknologi, karena tingkat ketrampilan
seseorang akan dapat dicapai dengan meningkatkan frekuensi aktivitas yang sama.
Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
kapasitas sumberdaya manusia. Peningkatan kapasitas seseorang dapat ditempuh dengan
berbagai cara, antara lain pendidikan formal, dimana makin tinggi tingkat pendidikan formal
petani akan semakin rasional pola pikir dan daya nalarnya, sehingga cepat memahami
fenomena yang ada, yang selanjutnya akan menanamkan pengertian, sikap dan
mempengaruhi kemampuan petani untuk bertindak lebih tanggap terhadap suatu inovasi
teknologi. Untuk lebih meyakini bahwa tingkat pendidikan formal seseorang sangat
mempengaruhi pembentukan opini, pembentukan sikap.
Sebagian kecil petani memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, karena mayoritas
sudah mengenyam pendidikan sehingga memberikan gambaran kapasitas yang cukup
optimal untuk melakukan interaksi dengan dunia luar. Kapasitas tersebut salah satunya
adalah kemampuan mengakses informasi dan teknologi relatif lebih baik. Meskipun dalam
berkomunikasi masih sangat terpengaruh oleh kebudayaan setempat yang melekat kuat
sehingga masih terdapat kendala dalam transfer teknologi.
Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan dialogis untuk berinteraksi sehingga
komunikasi dapat terjalin dengan baik yang pada akhirnya akan memudahkan upaya transfer
teknologi ke depan. Kualitas interaksi yang baik akan menghasilkan komunikasi yang timbal
balik, dalam arti akan terjadi umpan balik secara alami.
Karakteristik petani menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman petani
yang beragam dalam berusahatani mempunyai hubungan yang signifikan dalam peningkatan
produksi dan produktivitas. Disamping adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam
memfasilitasi faktor-faktor produksi seperti, ketersediaan sarana produksi, permodalan,
teknologi, kelembagaan petani, pemasaran dan infrastruktur. Karakteristik petani kentang di
Kabupaten Gowa dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Petani belum sepenuhnya menggunakan sarana produksi sesuai rekomendasi karena
lemahnya permodalan petani yang berdampak rendahnya tingkat penerapan teknologi.
2) Permodalan petani yang lemah sebagai akibat lemahnya kelembagaan petani baik
manajemen maupun dalam mengakses skim kredit yang ada di perbankan.
Hal tersebut terjadi karena harga sarana produksi setiap tahun bahkan setiap musim
terjadi kenaikan, sedangkan harga jual produksi yang dihasilkan petani cenderung tetap,
bahkan pada kondisi tertentu harga turun.
Dalam bidang usahatani sayuran khususnya kentang, faktor biaya dan pendapatan
merupakan hal yang sangat menentukan. Harga hasil yang diterima petani produsen
merupakan perangsang untuk berusahatani. Kalau petani menerima harga penjualan yang
baik maka petani akan berusaha berproduksi lebih banyak lagi, demikian pula jika harga
turun akan terjadi sebaliknya.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 41
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Sosialisasi Kegiatan Pengembangan Pertanian Perdesaan

Kegiatan ini adalah pertemuan dengan petani pelaksana, petani/kelompok tani


lainnya dengan peneliti, penyuluh untuk menyampaikan informasi tentang kegiatan MP3MI
dan menyatukan pendapat serta tanggung jawab masing-masing mengenai hak dan
kewajiban tim pelaksana demonstrasi teknologi dan petani kooperator. Pertemuan dihadiri
oleh petani di Kelurahan Pattapang, kecamatan Tinggimoncong, kabupaten Gowa. Tempat
pelatihan Petani dilokasi (P4S) Buluballea; instansi terkait, penyuluh kabupaten dan
kecamatan serta peneliti-penyuluh BPTP sebagai narasumber.

Pembuatan pupuk Organik menggunakan Promi

Pembuatan pupuk organik menggunakan bahan limbah sekam, kotoran sapi, dan
promi. Promi (Promoting Microbes) mengandung mikroba unggul asli Indonesia yang telah
diseleksi dan diuji di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor, yang digunakan
sebagai decomposer dalam pembuatan kompos kotoran sapi + sekam yaitu: (1) Jamur
pelapuk sebagai perombak (dekomposer) bahan yang mengandung lignin, (2) Trichoderma
spp. (T. Harzianum dan T. pseudokoningii), sebagai dekomposer, pemicu pertumbuhan
tanaman dan agensia pengendali hayati penyakit tular tanah, dan (3) Aspergillus sp.
meningkatkan penyerapan hara dan kelarutan fosfat di dalam tanah.
Manfaat Kompos kotoran sapi+sekam dengan promi, adalah: Mudah, murah dan
tidak perlu pembalikan, hanya menggunakan promi dan air, dan Sebagai pupuk dan
Biofertilizer mengandung mikroba pelarut P, dan hara dari kandung bahan organiknya.
Langkah-langkah Pembuatan Kompos Kotoran sapi yaitu:
1. Dosis Promi adalah 1 kg (A, T, dan PI) untuk 2 ton bahan(tiga jenis) dicampur air dengan
perbandingan: 1 kg promi, berbanding : 350 ltr air (lk.30 ember) untuk kotoran sapi +
sekam.
2. Campuran Promi disiramkan pada setiap lapisan padat 25 cm secara merata.
3. Setiap lapisan kotoran sapi+sekam dipadatkan dengan cara diinjak-injak.
4. Tutup tumpukan kotoran sapi+sekam dengan plastik, dan di beri pemberat.
5. Tumpukan dibiarkan selama 3-4 minggu dan tidak perlu di bolak balik; dan
akhirnya Kompos siap digunakan sebagai pupuk.
Kompos yang dihasilkan telah diaplikasikan pada tanaman hortikultura yaitu:
kentang, dan tomat. Dari hasil aplikasi pada tanaman tomat ternyata dengan menggunakan
pupuk kompos promi terjadi peningkatan hasil dari 15 t/ha menjadi 20 t/ha, buah lebih
besar dan lebiah banyak, serta serangan penyakit layu tidak ada. Sedangkan pada tanaman
kentang terjadi peningkatan hasil dari 15 t/ha menjadi 18 t/ha dan tidak ada serangan
penyakit layu setelah memakai pupuk kompos promi. Pupuk kompos promi juga dicobakan
pada kentang untuk umbi bibit, dihasilkan umbi bibit sebanyak 20893 umbi atau 1 ton 21 kg
umbi serta pertanaman tidak terserang penyakit.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


42 | Teknologi Pertanian
Teknologi Pembuatan biogas dan Pupuk Organik Cair

Urine sapi yang selama ini dianggap limbah sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi
pupuk cair yang kualitasnya dapat diandalkan untuk menggantikan pupuk kimia dan
biogasnya bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar dengan menggunakan teknologi biogas.
Teknologi pembuatan biogas guna menfaatkan potensi limbah peternakan menjadi suatu
energy alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat akan minyak tanah,
LPG dan kayu bakar. Limbah cair dari biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
pupuk organic cair.
Pupuk cair organik itu memiliki kandungan unsur hara yang lebih lengkap
dibandingkan dengan pupuk kimia. Dengan pengolahan sederhana urine sapi dapat diubah
menjadi pupuk cair yang nilainya lebih tinggi. Pembuatan pupuk cair dapat dilakukan dengan
cara sederhana. Teknologi pembuatan pupuk cair berbahan dasar urine mudah, murah, dan
memberi banyak manfaat bagi petani dan peternak. Pupuk cair dibuat dengan bahan dasar
urine, feses, molasses dan air.
Menurut Putranto (2003), dalam 100 ekor sapi dapat menghasilkan 1.500 liter sampai
dengan 2000 liter urine per hari, atau satu ekor sapi menghasilkan 10 liter urine per hari.
Berdasarkan hal tersebut maka di kelompok tani pada kegiatan MP3MI di Kab Gowa salah
satu anggotanya memiliki 20 ekor sapi dimana setiap harinya ±30,000 liter urine sapi per hari
yang terbuang dan tidak dimanfaatkan.

Tahapan Pembuatan Biogas dan Pupuk Organik Cair

Pembuatan biogas dan pupuk organik cair dari kotoran sapi atau urin sangat
sederhana dapat dilihat pada gambar 1 dan langkah-langkahnya sebagai berikut:
- Biogas dari urin sapi diperoleh dari dekomposisi anaerobik. Pembuatan biogas dari urin
sapi harus dalam keadaan anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan
gas yang sebagian besar adalah berupa gas metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)
dan karbon dioksida, gas inilah yang disebut biogas.
- Proses untuk pembentukan biogas maksimal pada suhu 30-55oC
- Bak Penampungan SementaraTerbuat dari kotak dengan ukuran 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m
berguna sebagai tempat mengencerkan kotoran sapi. Pada kegiatan ini kami
menggunakan digester berkapasitas 5 kubik.
- Bangunan utama dari instalasi biogas adalah digester untuk menampung gas Jenis
digester yang paling banyak digunakan adalah model continuous feeding dimana
pengisian bahan organiknya dilakukan secara kontinu setiap hari.
- Lahan yang diperlukan sekitar 16 m2. Untuk membuat digester diperlukan bahan
bangunan seperti pasir, semen, batu kali, batu koral, bata merah, besi konstruksi, cat
dan pipa prolon.
- Gas kemudian disalurkan ke kompor gas.Kompor Gas berfungsi sebagai alat untuk
membakar gas untuk menghasilkan api. Api inilah yang digunakan untuk memasak.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 43
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
- Bak penampungan Kompos bak ini dapat dibuat dengan cara mengali lobang ukuran 2 m
x 3 m dengan kedalaman 1 m sebagai tempat penampungan pupuk cair yang dihasilkan
dari digester.

Tahapan Pembuatan Biogas Urin Sapi.

Tahapan pembuatan biogas dari kotoran sapi dengan cara sebagai berikut:
- Kotoran sapi dicampur dengan air hingga terbentuk lumpur dengan perbandingan 1:1
pada baskom besar. Pengadukan dilakukan hingga terbentuk lumpur dari kotoran sapi.
Masukan ke dalam bak penampungan tempat urin sapi ditampung.
- Lumpur dan urin sapi dari bak penampungan sementara kemudian di alirkan ke digester.
Pada pengisian pertama digester harus di isi sampai penuh.
- Setelah digester penuh, kran gas ditutup supaya terjadi proses fermentasi. Gas metan
sudah mulai di hasilkan pada hari 10 sedangkan pada hari ke-1 sampai ke-8 gas yang
terbentuk adalah CO2. Pada komposisi CH4 54% dan CO2 27% maka biogas akan
menyala.
- Pada hari ke-14 gas yang terbentuk dapat digunakan untuk menyalakan api pada
kompor gas atau kebutuhan lainnya. Mulai hari ke-14 ini kita sudah bisa menghasilkan
energi biogas yang selalu terbarukan. Biogas ini tidak berbau seperti bau kotoran sapi.
- Digester terus diisi urin sapi secara kontinu sehingga dihasilkan biogas yang optimal.
- Pupuk cair yang keluar dari digester di tampung di bak penampungan kompos.
Masukkan Mol dan permentasi selama 1 minggu. Kompos cair di kemas ke dalam
deregent.

Teknologi Formulasi Pakan Murah

Kebutuhan ternak terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi.


Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung pada jenis ternak, umur, fase
(pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan
tempat hidupnya (temperatur, kelembaban nisbi udara) serta bobot badannya. Maka, setiap
ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda pula (Umiyasih,
2007).
Menurut Salfina, dkk (2004) bahwa pakan merupakan faktor yang sangat penting
pada usaha penggemukan sapi dan sapi perah, baik hijauan (pakan dasar), konsentrat
maupun adiktif. Sejalan dengan hasil penelitian Gunawan, et al,.(1996), bahwa pemberian
konsentrat dapat meningkatkan PBBH sapi bali , PO, dan Madura hingga mencapai 660,750,
dan 650 gr/ekor/hari.
Pelatihan pakan murah menggunakan pendekatan partisipatif dalam menunjukkan
teknologi formulasi pakan murah dan berkualitas untuk sapi melalui pendayagunaan limbah
pertanian dan agroindustri untuk mendukung ketersediaan pakan yang kontinyu.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


44 | Teknologi Pertanian
Tahapan Pembuatan Pakan Murah Sapi.

Pakan yang digunakan adalah pakan hijauan dan bahan pakan lokal yang dapat
digunakan sesuai dengan ketersediaan bahan yang ada di setiap wilayah, adapun bahan
baku pakan yang digunakan untuk menformulasi pakan murah antara lain: 1) Sumber Serat
Kasar: tongkol jagung; 2) Sumber Energi: dedak, bungkil kelapa; 3) Sumber Protein : tepung
ikan;dan 4) Sumber Mineral: pikuten.
Formulasi pakan murah berkualitas untuk 100 kg adalah: 1) Dedak padi 31,5 kg; 2)
Bungkil kelapa 31,5 kg; 3) Tepung Tongkol jagung 31,5 kg; 4) Tepung ikan 5 kg; dan 5) Tepung
mineral Pikuten 0,5 kg. Semua bahan .dicampur merata dan siap untuk dikomsumsi oleh
sapi.

Analisa Finansial

Suatu teknologi, sebelum diterapkan ditingkat petani harus layak secara teknis,
ekonomi, dan Sosial. Teknologi tersebut harus dapat memberikan pendapatan yang lebih
besar, dibandingkan dengan teknologi yang dilakukan sebelumnya. Oleh karana itu dalam
melakukan usahatani, petani selalu dihadapkan pada biaya yang harus dikeluarkan dan
diperhitungkan untuk meningkatkan produksi. Secara finansial pembuatan pupuk organik,
pupuk cair serta biogas sangat menguntungkan. Pada awalnya pembuatan pupuk cair dan
biogas biayanya cukup besar, tetapi setelah berjalan agak lama akan menguntungkan karena
sarana yang digunakan masih tetap pada tahun pertama.

Analisa Finansial Pupuk Organik

Biaya produksi terdiri atas biaya variabel (promi, terpal plastik hitam, tali jepang, dan
tenaga kerja). Dari biaya tersebut di atas tenaga kerja dan dekomposer promi biaya tetap
yang harus dikeluarkan, sedangkan yang lainnya bisa digunakan beberapa kali untuk
pembuatan pupuk organik (Tabel 1).
Secara finansial pembuatan pupuk organik menggunakan biaya sebanyak Rp.
2,150,000 dan penerimaan sebanyak Rp. 3.750,000 jadi keuntungan yang diperoleh adalah
Rp. 1,600,000. Menurut Soekartawi (1995) penerimaan usahatani adalah perkalian antara
produksi dengan harga jual, biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan
dalam suatu usahatani. Sedangkan yang dimaksud dengan pendapatan usahatani adalah
selisih antara penerimaan dan pengeluaran.R/C merupakan perbandingan antara
penerimaan dengan biaya produksi. Artinya nilai R/C menunjukkan besar imbalan yang
diperoleh untuk setiap satu rupiah yang dikorbankan. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa R/C
pupuk organik 1,7 di Kabupaten Gowa. Hal ini berarti bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam pembuatan pupuk organikakan menghasilkan tambahan penerimaan
sebesar 1,7 rupiah.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 45
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 1. Analisa finansial pembuatan pupuk organik di Kabupaten Gowa
dengan bahan baku kotoran sapi dan sekam per ton
No. Pembiayaan Kebutuhan (ton) Satuan Harga satuan (Rp) Total Biaya (Rp)
1 Biaya Sarana produksi
Bahan 1,145,000
Decomposer promi 1 Kg 50,000 50,000
Terpal Plastik hitam 1 Bh 85,000 85,000
Tali jepang/Rapia 1 Rol 10,000 10,000
Sekam 1 ton 500,000 500,000
kotoran sapi 2 ton 250,000 500,000
Alat 605,000
Sekop 2 Bh 185,000 270,000
Embrat 1 Bh 100,000 100,000
Baskom besar 1 Bh 175,000 175,000
Gayung 1 Bh 60,000 60,000
Jumlah (A) Rp 1,750,000
2 Tenaga Kerja 400,000
pembuatan promi 4 OH 50,000 200,000
Panen pupuk kompos 4 OH 50,000 200,000
3 Jumlah (B) Rp 400,000
Total biaya (A+B) Rp 2,150,000
4 Penerimaan 150 Krg 25,000 3,750,000
5 Penerimaan bersih - Rp - 1,600,000
R/C 1,7

Dengan adanya pembuatan pupuk organik ini petani dapat menghemat pengeluaran
biaya pembelian pupuk kimia dan mendapat penghasilan lebih dari penjualan pupuk yang
dibuatnya.

Analisa Finansial Biogas dan Pupuk Organik Cair

Analisis finansial pembuatan pupuk cair dan biogas terdiri dari beberapa input antara
lain: (1) Biaya sarana produksi yang terdiri dari Digester dan bahan bangunan; (2) Biaya
tenaga kerja. Untuk mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.
Biaya produksi terdiri atas biaya variabel(digester dan bahan bangunan) sedangkan
biaya tetap adalah tenaga kerja yang harus dikeluarkan tiap bulan.Satu ekor sapi
menghasilkan 10 liter urin/hari, dilokasi MP3MI ada 20 ekor sapi, sehingga bio urin yang
dihasilkan bisa mencapai 6000 liter/bulan. Jika urin tersebut diisi pada cergen 5 liter berarti
akan dihasilkan 1200 cergen. Dimana dalam 1 cergen pupuk cair bisa dijual Rp. 20.000,
berarti penerimaan petani pada bulan pertama bisa menghasilkan Rp. 24.000.000. Dalam
kegiatan ini jika biaya variable diperhitungkan berarti pada bulan pertama petani masih
mengalami kerugian sebanyak Rp. 3,700,000, dan pada bulan berikutnya petani sudah
mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp. 20.000.000/bulan.

Dengan adanya limbah cair dari biogas ini petani dapat menghemat pengeluaran
biaya pembelian pupuk kimia dan mendapat penghasilan lebih dari penjualan pupuk yang
dibuatnya. Sedangkan biogas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar
alternatif menggantikan akan minyak tanah, LPG dan kayu bakar.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


46 | Teknologi Pertanian
Tabel 2. Analisis finansial pembuatan biogas dan pupuk cair
No. Pembiayaan Kebutuhan Satuan Harga satuan (Rp) Total Biaya (Rp)
1 Biaya Sarana produksi 23,500,000
Bahan
Digester 1 buah 15,000,000 15,000,000
Bahan bangunan 1 paket 8,000,000 8,000,000
kotoran sapi 2 ton 250,000 500,000
Alat 520,000
Sekop 2 Bh 185,000 270,000
Embrat 1 Bh 85,000 85,000
Baskom 1 Bh 125,000 125,000
Gayung 1 Bh 40,000 40,000
Jumlah (A) Rp 24,020,000
2 Tenaga Kerja 4.200.000
pembuatan bangunan 50 OH 80,000 4,000,000
Panen pupuk cair 4 OH 50,000 200,000
3 Jumlah (B) Rp 4,200,000
Total biaya (A+B) Rp 27,700,000
4 Penerimaan 1200 Cergen 20,000 24,000,000
5 Penerimaan bersih - - - -3,700,000

KESIMPULAN
Inovasi teknologi pertanian berupa pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi +
sekam yang dicampur promi yang diaplikasikan pada tanaman tomat dan kentang terbukti
dapat berkontribusi pada pengembangan perdesaan di Kabupaten Gowa. Inovasi tersebut
mampu meningkat produksi relatif lebih tinggi dari pola petani.
Disamping itu secara finansial, introduksi teknologi berbasis hortikultura tersebut
memberikan keuntungan relatif lebih tinggi, yakni sekitar Rp 1,6 juta,- dan menghemat biaya
pupuk kimia hanya dengan biaya input Rp 550 ribu,-

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 2011,. Panduan Umum Spektrum Diseminasi Multi Channel
(SDMC). Kementerian Pertanian. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian, 2011,. Panduan Umum Model Pengembangan Pertanian Pedesaan
Melalui Inovasi (MP3MI). Kementerian Pertanian. Jakarta.
BPS, 2011. Biro Pusat Statistik. Sulawesi Selatan dalam Angka
BPS, 2012. Statistik Pertanian Tanaman Hortikultura Kabupaten Gowa. 2012
Brown, C.R 1985. Phenotype stability parameters and theis use in cultivar selection. CIP,
Lima.p1-15.
CIP, 2012. The International Potato Center. Statistic on Potato and Sweetpotato.
http://www. eseap. cipotato.org/About Us0204/Publications.htm.
Dimyati, A. 2009. Ekspor Hortikultura Indonesia Meningkat. Sinar Tani. Edisi 7-13 Januari
2009.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 47
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Dimyati, A. 2002. Research Priorities for Potato in Indonesia. Progress in Potato and
Sweetpotato Research in Indonesia. Fuglie, Keith O. (Ed) Proceeding of the CIP-
Indonesia research Review Workshop. Held in Bogor, Indonesia, March 26-27,
2002.p.15-19
Gunawan M., A. Yusron, Aryogi dan A. Rasyid. 1996. Peningkatan Produktivitas Pedet Jantan
Sapi Perah Rakyat melalui Penambahan Pakan Konsentrat. Prosiding Seminar
Peternakan dan Veteriner, Bogor 7-8 November 1995. Jilid II. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor. 561-566.
Hadi, P. U., H. Mayrowani, Suprijati, dan Sumedi. 2000. Review dan Outlook Pengembangan
Komoditas Hortikultura. Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan
Kehutanan Tahun 2001-Kedepan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor,
9-10 Nopember 2000.
Mendoza, H.A. 1972. Inheritance of quantitative characters in the cultivated potato
(Solanum tuberosum L.) Plant Breeding Theory. International Potato Center. Lima,
Peru. p-60.
Potts, M.J. 1991. Is the potato sustainable in Asian cropping system. In Proceedings of the
third Triennial Conference of the Asian Potato Association (APA), 17-22 June 1991,
Bandung, Indonesia.pp.54-55.
Sahat, S. 1992. Pengujian varietas kentang di dataran medium. Bul. Penel. Hort. 23 (4); 31-
36.
Salfina, N., Ahmad, Deddy D. Siswansyah, dan Dewa K.S.Swastika,. 2004. Kajian Sistem
Usaha Ternak Sapi Potong di Kalimantan Tengah. Jornal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Volume 7 Nomor 2, Juli 2004. Puslitbang Sosek
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Singh, R.K., and B.D. Chaudary. 1979. Biometric methods in quantitative genetic analysis.
Kalyani Publisher. New Delhi. 276 p
Umiyasih U., Anggraeny Y N. 2007. Petunjuk Teknis Ransum Seimbang, Strategi Pakan Pada
Sapi Potong. Loka Penelitian Sapi Potong Grati.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


48 | Teknologi Pertanian
INOVASI TEKNOLOGI DALAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU CABAI
RAWIT DI SENTRA PENGEMBANGAN SULAWESI SELATAN

Ruchjaniningsih, Muh. Taufik dan Abdul Wahid Rauf

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan


Jl. Perintis Kemerdekaan Km.17,5Makassar
E-mail ruchjaniningsih@yahoo.com

ABSTRAK
Sulawesi Selatan merupakan sentra pengembangan cabai rawit yang tersebar di lima kabupaten
yaitu Takalar, Jeneponto, Maros, Soppeng dan Pinrang sekaligus sebagai pemasok produksi
cabai rawit setiap tahunnya untuk kebutuhan nasional. Peningkatan produksi dan mutu hasil
diperlukan inovasi teknologi yang inovatif dalam rangka mengatasi permasalahan dalam
usahatani. Salah satu masalah dalam pengembangan cabai rawit, adalah kurangnya varietas
unggul, teknik budidaya masih tradisional, penangan pasca panen dan pengendalian serangan
OPT yang ramah lingkungan masih rendah. Tujuan kegiatan untuk mendapatkan teknologi
budidaya dan pengendalian OPT sesuai SOP tanaman cabai rawit, penanganan pasca panen,
produksi dan produktivitas. Hasil dari kegiatan memperlihatkan kondisi umum sentra
pengembangan cabai rawit dan sistem usahatani di lima kabupaten ini belum sepenuhnya
menerapkan sistem teknologi produksi cabai rawit khususnya budidaya yang benar (sesuai SOP
cabai rawit). Oleh karena itu upaya introduksi inovasi teknologi perlu diikuti pendampingan yang
intensif.
Kata kunci : Cabe rawit, Inovasi teknologi, produksi dan mutu

PENDAHULUAN
Komoditas cabai rawit merupakan komoditas unggulan nasional dan juga unggulan
daerah Sulawesi Selatan (Dinas Pertanian tanaman Pangan dan Hortikultura Sulsel, 2014).
Komoditas ini perlu mendapat perhatian, karena dapat mempengaruhi kehidupan petani,
perekonomian makro dan inflasi. Peredaran cabai rawit di pasaran memiliki karakteristik
unik, sangat peka terhadap kondisi lingkungan sehingga tidak jarang harga cabai rawit
berpluktuasi.
Menurut Ditjen Bina Produksi Hortikultura tahun 2010, produksi cabai rawit di
Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional sehingga impor cabai masih
diperlukan sekitar 16.000 ton per tahun. Produktivitas cabai hanya 5,6 t/ha (BPS, 2011),
walaupun potensi produktivitas dapat mencapai 12 – 20 t/ha (Asniwati et al. 2012;
Napitupulu dan Winarto, 2010). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai ialah
rendahnya penerapan teknologi khususnya teknik budidaya, teknologi perbenihan serta
inovasi kelembagaan dan pemeliharaan belum optimal serta tingginya gangguan hama
penyakit.
Untuk pencapaian target produksi cabai rawit di sentra pengembangan, diperlukan
pendampingan teknologi inovatif dan kelembagaan agribisnis cabai rawit varietas unggul,
perbenihan, teknologi budidaya, ketersediaan produk hortikultura bermutu, dan
pengendalian OPT sesuai GAP/SOP budidaya cabai rawit, serta sistem perlindungan tanaman

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 49
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang mampu mendukung pengembangan hortikultura. MAkalah ini bertujuan membahas
keragaan inovasi teknologi dalam meningkatkan produksi dan mutu cabai merah di sentra
pengembangan Sulawesi Selatan.

METODOLOGI
Kegiatan dilakukan melalui survey pada bulan juni - September 2016 di Kecamatan
Pattalasang Kab. Takalar, kecamatan Tranlalili d Kab. Maros, Kecamatan Lilirilau Kab.
Soppeng, kecamatan Patam Kab. Pinrang dan Kecamatan Binamu Kab. Jeneponto dengan
melibatkan responden 40 petani cabai rawit. Instrumen survey menggunakan kuesioner
dengan model pertanyaan tertutup dan terbuka. Data yang terkumpul dianalisis sesuai
kebutuhan memenuhi tujuan makalah ini. Pendapatan usahatani menggunakan pendekatan
Downey dan Erickson (1985). I = ( Y.Py) - (Xi – Pxi). DAlam hal ini : I = Usahatani Cabai
(Rp/ha); Y = Produksi Cabai/ha Pxi = Harga input (Rp) Py = Harga Cabai (Rp) Xi = Input ( I =
1, 2, 3, …… n)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi Budidaya Cabai

Tingkat penguasaan teknologi budidaya cabai keragaannya berbeda antar kabupaten,


ada yang penerapan teknologinya sudah baik, meliputi penggunaan varietas unggul,
pemupukan, jarak tanam, pengairan/penyiraman, pemupukan, sanitasi kebun,
pengendalian hama/penyakit, pemberian mulsa. Ada juga yang baru mulai menerapkan
varietas unggul.
Kabupaten. Jeneponto, Takalar dan Maros belum menggunakan teknologi
penggunaan mulsa. Di Kec. Jeneponto petani tidak menggunakan mulsa karena harga mulsa
mahal dan petani memang lebih suka tidak menggunakan mulsa, sedangkan di kec. Tranlalili
pertanaman cabai tidak menggunakan mulsa karena tanahnya banyak mengandung pasir
dimana lahan adalah sungai yang dimanfaatkan petani di musim kemarau bertanam cabai.
Pengembangan cabai yang ada dikabupaten-kabupaten tersebut belum sepenuhnya
menerapkan sanitasi kebun. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab tingginya serangan
hama dan penyakit pada pertanaman cabai. Hama dan penyakit yang banyak dijumpai
menyerang cabaidi kebun petani adalah keriting daun, bercak, lalat buah(dacus sp), kutu
putih dan layu fusarium. Di daerah ini, pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan
penggunaan pestisida kimia seperti penggunaan perangkap lalat buah dan sebagainya,
dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi.
Di kabupaten Jeneponto sentra cabai terlihat adanya perbedaan potensi produksi
buah yang dihasilkan. Produksi buah yang dihasilkan ini juga sangat tergantung dari
pengelolaan kebun khususnya teknologi pemupukan yang diberikan (jenis pupuk, dosis, dan
waktu pemberian) dan sanitasi kebun. Petani yang memberikan pupuk sesuai kebutuhan
tanaman jauh lebih sehat dan bagus tanamannya dibanding dengan petani yang tidak sesuai

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


50 | Teknologi Pertanian
dengan kebutuhan pupuknya. Keseluruhan informasi di atas diperoleh melalui kegiatan
pemantauan dan wawancara langsung dengan pelaku usahatani.

Tabel 1.Keragaan Komponen Teknologi Budidaya Cabai Rawit


di Sentra Pengembangan di Sulawesi Selatan
Komponen
Maros Pinrang Soppeng Takalar Jeneponto
Teknologi
Penggunaan 90% unggul 100% unggul 90% unggul 90% unggul 90% unggul
Varietas Unggul
Pembibitan plastik, plastik plastik plastik, plastik
Pola Tanam Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur Monokultur
Jarak Tanam*) Beraturan 60 x 40 Beraturan Beraturan 60 Beraturan 60 x Beraturan 60
cm 60 x 40 cm /60 x 40 cm 40 cm x 40 cm
x50 cm
Pengairan System lab System lab System lab System lab System lab
pupuk kandang Kurang sesuai Cukup Kurang sesuai Kurang sesuai Kurang sesuai
Sanitasi Kebun Tanpa mulsa Mulsa Mulsa Tanpa mulsa Tanpa mulsa
Pengendalian Dilakukan Dilakukan dilakukan dilakukan Dilakukan
H&P
Luas Tanam 495 ha 129 ha 21 ha 259 ha 109 ha
Pasca panen Tidak ada ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Produksi /ha 7,179 t/ha 892,3 ton 105,5 ton 2,272 ton 513,10 ton

Teknologi Budidaya

Sebelum tanam, sebagian besar petani (53%) menggaru tanah dengan traktor dan
membalikkan dan menghaluskannya secara manual. Petani yang pengolahan tanahnya
sudah mechanized juga cukup banyak (27%). Pada umumnya,petanimelakukan pengolahan
tanah dua kali. Tenaga pengolahan tanah: manusia + mesin (47,0%), manusia (33,0%) dan
mesin (20%). Tahapan pengolahan tanah adalah: (a) pembersihan lahan dari gulma/rumput
dengan menggunakan herbisida, (b) lahan digarpu/dicangkul atau diolah dengan
menggunakan traktor, (c) lahan diratakan/diremahkan, (d) pembuatan bedengan, (e) lahan
diberi pupuk dasar – kompos atau pupuk kandang, (g) lahan siap tanam.
Seluruh petani melakukan sendiri penyemaian benih cabai rawit. Masa simpan benih
yang masih layak untuk disemai menurut sebagian besar petani (67,0%) adalah 1 – 4 bulan.
Hanya sebagian petani (27,0%) yang melakukan pengujian daya tumbuh sebelum semai
dengan cara merendam benih di dalam air hangat selama semalam. Umur semaian (21-30
hari) ditanam oleh sebagian besar petani (87%). Hama yang diidentifikasi paling sering
menyerang tanaman di persemaian adalah kutu/trips (30%), disamping hama-hama lain
seperti ulat, jangkrik, dan siput. Seluruh petani menyatakan menggunakan pestisida untuk
mengendalikan hama/penyakit di persemaian. Sebagian besar petani (67%) melakukan
pencabutan tanaman sakit selama persemaian. Jarak tanam antar barisan cukup beragam:
30 cm (5%); 40 cm (35%); 50 cm (25%); 60 cm (20%) dan 75 cm (15%). Jarak tanam antar
tanaman juga cukup bervariasi: 20 cm (7,5%), 30 cm (20%); 40 cm (55%); 50 cm (2,5%) dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 51
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
60 cm (15%). Tidak satupun petani yang menggunakan mulsa. Hanya sebagian kecilpetani
(12,5%) yang mengusahakan cabai merah dua kali per tahun.
Sebagian besar petani responden (75,5%) menyatakan bahwa pengetahuan dan
pengambilan keputusan dalam menetapkan dosis pemupukan berasal dari
pengalaman/belajar sendiri. Persentase petani yang memperoleh terapan tentang
pengetahuan pemupukan dari petugas penyuluh pertanian serta pelatihan pertanian
ternyata cukup tinggi (50,0%). Cakupan pembinaan institusi pertanian terhadap petani relatif
cukup baik dan tercermin dari sebagian besarpetani (60,0%) yang menyatakan pernah
mendengar/mengetahui dosis pupuk rekomendasi untuk cabai merah.
Sebelum tanam, sebagian petani menggunakan pupuk kambing sebagai pupuk dasar
(37,5%). Sebagian lainnya menggunakan pupuk kandang ayam (25%) dan sapi (2,5%).
Aplikasi pupuk kandangdengan cara disebar di permukaan bedengan (100%).
Setelah tanam, kombinasi penggunaan pupuk buatan yang dilakukan petani sangat
beragam, namun kombinasi dominan adalah Urea, SP36, KCl, NPK Phonska (17,5%), diikuti
oleh kombinasi Urea, ZA, NPK Phonska; kombinasi Urea, SP36, NPK Phonska; dan kombinasi
Urea, SP36. Pupuk majemuk yang digunakan adalah NPK Phonska, Matahari, Pelangi dan
Mutiara. Aplikasi pupuk buatan dilakukan dengan cara menaruh/meletakkan antara dua
tanaman atau dekat tanaman (100%).
Metode irigasi yang dominan diadopsi petani adalah pengairan atau penyiraman
dengan menggunakan sistem peggenangan. Beberapa petani mengkombinasikannya dengan
metode penyiraman. Hanya sebagian kecil petani yang melakukan penyiraman secara
manual dari saluran air (13,3%). Sebagian besar petani (80,0%) melakukan penyiraman 2-3
kali seminggu, namun ada pula sebagian petani (20%) mengemukakan keluhan tentang
ketidak-cukupan ketersediaan air, namun sebagian besar lainnya (80%) menyatakan bahwa
air untuk irigasi/pengairan cukup tersedia. Air irigasi/pengairan pada umumnya berasal dari
sumur yang digali disekitar lokasi dengan kedalam 8 meter.

Pengendalian Hama Penyakit

Jenis hama penyakit yang menyerang cabai rawit di sentra cabai rawit adalah daun
keriting di pembibitan, kutu kebul, virus kuning, layu fusarium, lalat buah dan antraknose.
Tingkat serangan setiap sentra cabai rawit berbeda karena teknik budidaya cabai rawit
penggunaan mulsa plastik, jarak tanam yang teratur dan lebih lebar, perompesan,
pengendalian yang lebih intensif akan mengurangi tingkat serangan hama penyakit.
Petani responden mempersepsi bahwa empat OPT terpenting pada usahatani cabai
rawit berturut-turut adalah: (1) Trips (Thrips parvispinus), (2) Virus kompleks, (3) Lalat buah
(Bactrocera spp.), dan (4)Ulat buah (Helicoverpa armigera). Persepsi petani tentang
intensitas serangan dan kehilangan hasil tampaknya konsisten dengan persepsinya tentang
urutan kepentingan OPT. Semakin tinggi urutan kepentingan suatu OPT, semakin tinggi pula
kisaran persentase (tingkat) intensitas serangan dan kehilangan hasil yang diakibatkannya.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


52 | Teknologi Pertanian
Pada musim tanam terakhir (MK/2016), hampir seluruh petani menyatakan
menggunakan metode pengendalian OPT secara kimiawi. Cukup banyak responden yang
menyertai penggunaan pestisida dengan pengendalian mekanis (25,0%). Pengetahuan untuk
menentukan jenis dan dosis pestisida diperoleh dari sumber yang cukup beragam. Namun
demikian, sumber pengetahuan dominan berasal dari sendiri (75%), kemudian diikuti oleh
petani lain/tetangga (25%). Perlu diperhatikan peran penyuluh pertanian dan pelatihan
pertanian (37,5%) yang ternyata cukup tinggi sebagai sumber pengetahuan.
Sebagian besarpetani (75%) pernah mendengar istilah Pengendalian Hama Terpadu,
namun tidak diperoleh informasi jelas apakah sejumlah petani ini pernah mengikuti
pelatihan PHT. Sebagian besar petani melakukan pengamatan sebelum memutuskan untuk
melakukan tindakan penyemprotan (90%), sementara itu persentase petani yang
menerapkan sistem kalender ternyata relative rendah (17,5%). Lebih dari separuh petani
(57,5%) menyatakan melakukan penyemprotan dengan interval 3 hari.
Seluruh petani (100%) melakukan pencampuran pestisida, terutama dengan alasan
bahwa hal tersebut dapat menghemat waktu dan tenaga penyemprotan (55%).
Pencampuran pestisida juga dilatar-belakangi oleh alasan dan persepsi sebagian besar petani
yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida campuran lebih efektif (manjur) dalam
mengendalikan hama penyakit dibanding dengan penggunaan pestisida tunggal.
Pada umumnya petani melakukan penyemprotan pestisida di pagi hari (92,5%).
Penyemprotan pertama dominan dilakukan 7 hari setelah tanam (35%), sedangkan
penyemprotan terakhir dominan dilakukan 120 hari setelah tanam (55%). Sementara itu,
jumlah petani yang melakukan penyemprotan terakhir > 120 hari setelah tanam hanya
sedikit jumlahnya (15%).

Panen

Menurut persepsi petani, paling sedikit ada lima faktor penting yang mempengaruhi
waktu panen. Faktor terpenting yang berpengaruh terhadap waktu panen adalah umur
tanaman, kemudian diikuti oleh cuaca (kondisi pertanaman), harga produk, tingkat
kematangan dan ketersediaan tenaga kerja panen. Hampir separuh petani berpendapat
bahwa panen dapat dilakukan kapan saja sepanjang hari (42,5%).
Sebagian petani tampaknya lebih menyukai melaksanakan panen pada pagi hari.
Rata-rata produksi pada musim tanam 2016 ternyata sangat rendah, yaitu sebesar 5.364,5
kg per hektar. Cabai merah pada dasarnya dijual tanpa melalui proses pengkelasan (grading).
Menurut estimasi petani kisaran jumlah panen adalah 10-15 kali. Alasan produk cabai rawit
tidak dapat dijual adalah busuk, terutama karena serangan hama/penyakit.

KESIMPULAN
Inovasi teknologi budidaya cabai rawit merupakan faktor kunci dalam mendukung
peningkatan produksi dan mutu cabai rawit di sentra pengembangan Sulawesi Selatan.
Faktanya penerapan inovasi teknologi budidaya cabai rawit tersebut, belum sepenuhnya

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 53
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
diterapkan petani cabai. Oleh karena itu upaya introduksi inovasi teknologi perlu diikuti
pendampingan yang intensif.

DAFTAR PUSTAKA
Asniwati, Hidayat SH., Suastika G., Sujiprihati S., Susanto S., dan Hayati I. 2012. Eksplorasi
isolat lemah Chili Veinal Mottle Potyvirus pada pertanaman cabai di Jambi, Sumatera
Barat dan Jawa Barat. J. Hort. Vol. 22(2): 181-186.
Asaad, M., Warda, Lologau, B.A. 2010. kajian pengendalian terpadu hama dan penyakit
utama pada kentang tropika di sulawesiselatan.Prosiding Seminar FEI dan PFI
Komisariat Daerah Sulawesi Selatan 2010.
Direktorat Jenderal Hortikultura, 2011. Info Hortikultura. Media Komunikasi Direktorat
Jenderal Hortikultura. No. 08(tahun V) 2011.
Direktur Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2010. Statistik Hortikultura tahun 2010. Dirjen
Hortikultura , Departemen Pertanian, Jakarta 125 hal.
Downey, W. D. dan S.P. Erickson, 1985. Manajemen Agribisnis. Dialihbahasakan oleh
Rochidayat, Gonda S dan Alpons. Penerbit Erlangga. Jakarta. 516 hal.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Produksi Nasional Hortikultura Tahun 2000-2011.
http://aplikasi.deptan.go.id [19 September 2013].
Nurjanani, 2010. Efek mulsa terhadap pertumbuhan dan produkisi umbi varietas kentang di
dataran tinggi Bantaeng, Sulsel. Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua, 2010. Hlm
763-768.
Purnomo, J. 2013Pemupukan Berimbang pada Tanaman Cabai pada Tanah Typic Hapludands
Di Cikembang, Sukabumi Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas
Sayuran Dataran Tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian. Hal. 218-228.
Puslitbang Hortikultura, 2007. Katalog Teknologi Unggul Hortikultura: Tanaman Sayuran,
Tanaman Buah-buahan dan Tanaman Hias. Puslitbanghort. Badan Litbang Pertanian,
Departemen Pertanian. 78 hlm.
Rahmawati M, Hasinah HAR, dan Zaizuli Zaizuli. 2011. Pengaruh beberapa Jenis Pupuk dan
Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum).
Jurnal Agrista Vol 15, No 2 .2011)
Rukmana, R. 2001. Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius. Yogyakarta
Setiadi. N.J. 2008. Perilaku Konsumen: Konsep dan Implikasi Untuk Strategi dan Penelitian
Pemasaran. Kencana. Jakarta
Setiawati, W. 2010. Modul Pelatihan SL-PTT Cabai Merah – Bawang Merah. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


54 | Teknologi Pertanian
EVALUASI KARAKTER AGRONOMIS HASIL PADI GOGO BERDASARKAN
SIDIK LINTAS DI LAHAN KERING MANOKWARI PAPUA BARAT

Apresus Sinaga1 dan Salim2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base Camp – Arfai Gunung Kompleks Perkantoran Pemda Prov. Papua Barat
Email : apresusnaga@gmail.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jalan Perintis Kemerdekaan Km 17,5 Makassar
Salimbedah@yahoo.co.id

ABSTRAK
Seleksi daya hasil terhadap beberapa varietas padi gogo dapat diketahui melalui seleksi tak
langsung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antar komponen dan
pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan dan komponen hasil
terhadap hasil gabah tiga varietas padi gogo. Kegiatan dilaksanakan di Desa Guintuy, Distrik
Warmare, Manokwari, Papua Barat pada November 2010 - Pebruari 2011. Varietas unggul baru
terdiri atas varietas limboto, situ bagendit dan batu tegi dengan kelas benih dasar (BS/
FS/Foundation Seed), tanaman dipupuk berdasarkan status hara, pengendalian hama dan
penyakit menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu. Penelitian dilaksanakan
dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 3 ulangan. Tiga
varietas padi gogo sebagai perlakuan adalah limboto, situba gendit dan batu tegi. Variabel
karakter agronomi yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah
gabah isi, gabah hampa, dan hasil gabah. Data pengamatan dianalisis korelasi sederhana dan
dilanjutkan dengan analisis koefisien lintas. Hasil penelitian menunjukkan tinggi tanaman
berkorelasi positif sangat nyata sedangkan panjang malai dan gabah isi berkorelasi positif nyata
terhadap hasil padi gogo. Uji lanjut analisis lintas menunjukkan tinggi tanaman, gabah isi dan
panjang malai berpengaruh langsung yang positif terhadap hasil berturut-turut sebesar 0,72,
0,48 dan 0,20.
Kata kunci: Padi gogo,korelasi,analisis sidik lintas,karakter agronomi.

PENDAHULUAN
Lahan kering sangat berpotensial untuk pengembangan budidaya padi gogo.
Pemanfaatan lahan kering merupakan salah satu sumber daya yang mempunyai potensi
besar untuk mendapatkan pangan maupun untuk pembangunan pertanian ke depan
(Nazirah dan Damanik, 2015). Padi gogo merupakan tanaman yang biasanya ditanam selama
musim hujan di lahan marginal (Dusserre, at al., 2012). Penanaman padi gogo di Kampung
Guintuy masih secara tradisional dan pengelolaan ladang masih dengan cara berpindah-
pindah tempat.Produktivitas padi gogo di kabupaten manokwari sebesar 2,7 kg ha -1
(Statistik, 2011). Hasil produktivitas di kampung Guintuy masih dibawah rata-rata
produktivitas nasional sebesar 3,30 kg ha-1 tahun (Statistik, 2011).
Rendahnya produktivitas padi gogo selain diakibatkan penggunaan varietas lokal yang
berdaya hasil rendah dan teknik pengelolaan budidaya yang belum optimal, serta
disebabkan penanaman benih yaang bermutu rendah (Wahyuni, 2008).Selanjutnya Wahyuni
(2008) mengatakan bahwa varietas yang ditanam sangat mempengaruhi pertumbuhan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 55
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
tanaman dan hasil gabah. Peningkatan produksi padi gogo di lahan kering dapat diupayakan
dengan cara meningkatkan daya hasil varietas (Susanti, at al., 2011).Penaman varietas
unggul memegang peranan penting dalam peningkatan produksi komoditas. Suprihatno,at
al. (2009) melaporkan bahwa varietas unggul mempunyai kemampuan produksi tiga kali
lipat lebih tinggi dibandingkan varietas lokal.
Seleksi varietas padi gogo dapat dilakukan dengan mencari nilai korelasi dan nilai
analisis lintas (Rizia at al., 2014).Analisis korelasi merupakan analisis untuk melihat sejauh
mana derajat keeratan hubungan antar variabel, akan tetapi analisis korelasi mempunyai
kedudukan yang sama antar variabel atau saling bebas dan tidak melihat hubungan
ketergantuan antar variabel (Ghozali, 2014). Analisis jalur merupakan pengembangan dari
model regresi yang digunakan untuk menguji kesesuaian (fit) dari matrik korelasi dari dua
atau lebih model yang dibandingkan (Ghozali, 2014). Analisis lintas pada dasarnya
didasarkan pada analisis korelasi antar variabel (Gaspersz, 1994). Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh informasi hubungan antar karakter komponen hasil dan hasil padi gogo
tiga varietas yang ditanaman pada lahan kering serta mengetahui pengaruh langsung dan tak
langsung antara komponen pertumbuhan dan komponen hasil dengan analisis sidik lintas.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan, di lahan kering dataran tinggi diKampungGuintuy, Distrik
Warmare, Manokwari, Papua Barat November 2010 - Pebruari 2011. Bahan penelitian
adalah benih padi gogo denganvarietasbatu tegi, limboto, dan situ bagendit. Jenis pupuk
yang diberikan berdasarkan hasil uji analisis tanah adalah Urea sebesar 225kg ha-1, Sp-36
sebesar 75 kg ha-1dan KCl 50 kg ha-1.Alat yang digunakan bor, cangkul,tugal, garuk, sabit,
meter rol, tali, terpal, karung, timbangan, mesin perontok dan alat tulis menulis. Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 3 ulangan.Empat
varietas pagi gogo sebagai perlakuan adalah batu tegi, limboto, towuti, dan situ bagendit.

Pelaksanaan Penelitian

Lahan yang digunakan seluas 5000 m2, terdiri atas 4 plot percobaan yang diulang tiga
kali.Ukuran plot percobaan dengan panjang 7,5 m dan lebar 12,5 m. Masing-masing plot
percobaan disetiap sisi dibuat jarak 1 m. Penanaman padi dilakukan dengan cara ditugal
dengan jarak tanam legowo 4:1, 5 biji per lubangtanam. Pemberian pupuk urea, sp-36 dan
KCl masing masing sebesar 225 kg ha-1, 75 kg ha-1, dan 50 kg ha-1. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan secara kimia, dosis dan jenis pestisida disesuaikan dengan anjuran.
Pengamatan dilakukan terhadap 3 tanaman sampel per plot percobaan. pengamatan
komponen pertumbuhan tanaman dilakukan pada minggu ke 9 MST sedangkan pengamatan
komponen hasil tanaman padi dilaksanakan pada umur tanaman 12 MST. Komponen
pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman, sedangkan komponen hasil yang diamati
adalah jumlah malai per tanaman, panjang malai, gabah isi per tanaman, gabah hamapa dan
hasil per hektar (ton). Pengamatan hasil padi per hektar dapat diketahui dengan
menggunakan rumus(Quansah, 2010):

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


56 | Teknologi Pertanian
10000 𝑥 𝑏
𝐻=
𝐼
Dalam hal ini: H: hasil biji kering per hektar; I: luas plot ubinan (m 2); b: bobot biji
kering matahari pada plot ubinan (g). Data hasil pengamatan berasal dari (Sinaga & Sutisna,
2011), selanjutnya data dikembangkan dengan diestimasi nilai koefisien korelasi, dan
dianalisis dengan analisis sidik lintas untuk mencari pengaruh langsung dan tidak langsung
antara karakter agronomis terhadap hasil.

HASIL DAN PEMBAHSAN

Korelasi antar Karakter Agronomi

Analisis korelasi menunjukkanadanya pengaruh berbeda sangat nyata dan berkorelasi


positif tinggi tanaman terhadap hasil padisedangkan panjang malai dan gabah isi berbeda
nyata dan berkorelasi positif terhadap hasil padi(Tabel 1).

Tabel 1. Matriks Korelasi antar Karakter Agronomi Padi Gogo


Tinggi Jumlah Panjang Gabah Gabah Hasil
Karakter
Tanaman malai malai Isi Hampa (ton ha-1)
Tinggi Tanaman 1,00
Jumlah malai -0,71 1,00
Panjang malai 0,78 -0,78 1,00
Gabah Isi 0,61 -0,80 0,85 1,00
Gabah Hampa 0,08 -0,52 0,43 0,71 1,00
Hasil (ton ha) 0,84 ** -0,67 0,78 * 0,73 * 0,38 1,00
Ket : tn, *,**= berturut-turut korelasi linier tidak nyata pada taraf 5%, nyata pada taraf 5%, atau nyata pada taraf 1%

Saito(2014) melaporkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah malai berpengaruh dan
berbeda nyata dan berkorelasi positif terhadap hasil.

Analisis Lintas terhadap Karakter Hasil

Hasil analisis sidik lintas menunjukkan tinggi tanaman, jumlah malai, dan gabah isi
memiliki pengaruh langsung yang positif sedangkan panjang malai berpengaruh negatif
terhadap hasil ton ha-1 (Tabel 2).
Karakter pangaruh langsung yang sangat besar terhadap hasil dipengaruhi karakter
tinggi tanaman dan gabah isi berturut-turut sebesar 0,72 dan 0,48. Hal ini didukung hasil
penelitian Safitri, at al. (2011) melaporkan bahwa gabah isi dan jumlah anakan berpengaruh
langsung terbesar terhadap hasil padi.

Tabel 2. Matriks Analisis Lintas terhadap Karakter Hasil Padi Gogo Ton ha-1

Karakter Tinggi Tanaman Jumlah Malai PanjangMalai GabahIsi


Tinggi Tanaman 0,72 -0,51 0,56 0,44
Jumlah Malai -0,14 0,20 -0,15 -0,16
PanjangMalai -0,03 0,03 -0,04 -0,03
Gabah Isi 0,29 -0,38 0,41 0,48

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 57
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KESIMPULAN
Karakter gabah isi, jumlah malai dan tinggi tanaman secara langsung dapat
meningkatkan hasil padi gogo. Ketiga karakter tersebut mempunyai korelasi yang positif
sangat nyata dan berpengaruh langsung yang tertinggi terhadap hasil padi gogo.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala dan Staff BPTP Papua Barat
yang telah membantu penelitian serta semua PPL Di Distrik Warmare Kabupaten
Manokwari.

DAFTAR PUSTAKA
Dusserre, J., Chopart, J. L., Douzet, J. M., Rakotoarisoa, J., & Scopel, E. 2012. Upland rice
production under conservation agriculture cropping systems in cold conditions of
tropical highlands. Field Crops Research.(138). 33–41.
Gaspersz, V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Armico. 1-472 p.
Ghozali, I. 2014. Model Persamaan Struktural Konsep dan Aplikasi dengan Program Amos
22.0. Undip. 394p.
Nazirah, L. Dan damanik, S. J., 2015. Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Padi Gogo Pada
Perlakuan Pemupukan. J. Floratek 10: 54-60.
Quansah, G. W. 2010. Effect of Organic and Inorganic Fertilizers and Their Combinations on
the Growth and Yield of Maize in the Semi-deciduous Forest Zone of Ghana. a Thesis
Submitted to the Department of Crop and Soil Sciences. College of Agriculture and
Natural.
Rizia Yasminda Rachmawati, R.Y., Kuswanto dan Sri Lestari Purnamaningsih, S.R. 2014. Uji
Keseragaman dan Analisis Sidik Lintas antara Karakter Agronomis dengan Hasil pada
Tujuh Genotip Padi Hibrida Japonica. Jurnal Produksi Tanama., 2(4): 292-300.
Safitri, H., Purwoko, B.S., Dewi, S.I., dan Abdullah, B. 2011. Korelasi dan Sidik Lintas Karakter
Fenotipik Galurgalur Padi Haploid Ganda Hasil Kultur Antera. J. Bioteknologi. 14(2).
Saito, K. 2014. A Screening Protocol for Developing High-Yielding Upland Rice Varieties with
Superior Weed-Suppressive Ability. Field Crops Research. 168. 119–125.
Suprihatno, B. Dan Daradjat, A.A. 2009. Kemajuan dan Ketersdediaan Varietas Unggul Padi.
Padi. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Susanti,D., Suwarto dan Haryanto, T. A. D., 2011. Evaluasi karakter penduga hasil pada
populasi genotif F3 persilangan silugonggo X milky rice berdasarkan sidik lintas.
Agronomika 11(2).
Statisitk, 2011. Papua Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Papua Barat.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


58 | Teknologi Pertanian
Toha, H. M. 2007. Peningkatan Produktivitas Padi Gogo melalui Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu dengan Introduksi Varietas Unggul. Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 26(3).
Wahyuni, S., 2008. Hasil Padi Gogo dari Dua Sumber Benih yang Berbeda. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 27(3).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 59
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGKAJIAN SISTEM TANAM IP 200 JAGUNG PADA AGROEKOSISTEM
LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN TAKALAR

Amir1) dan Halijah2)


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Sulawesi Selatan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Balitbangtan Papua Barat
Jl. Perintis Kemerdekaan, KM 17,5 Makassar
e-mail: amir_bio64@yahoo.com

ABSTRAK
Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan milik petani di desa Paddinging
Kabupaten Takalar dari Januari – Desember 2014. Luas lahan sawah tadah hujan di kabupaten
Takalar tercatat 8.393 Ha sebagai potensi pengembangan jagung. Dari luasan tersebut, yang
dimanfaatkan dengan IP 100 tercatat 7.153 ha dan IP 200 baru tercatat 1.240 Ha, padahal
peluang peningkatan produksi jagung melalui peningkatan IP200 jagung pada lahan sawah
tadah hujan masih terbuka lebar. Kendala utama peningkatan IP pada lahan sawah tadah hujan
adalah ketersediaan air pengairan. Dengan demikian perlu penerapan teknologi penyiapan
lahan secara TOT untuk efisiensi waktu. Pengkajian ini didesain menurut RPT (Rancangan Petak
Terpisah), varietas sebagai PU dan waktu tanam sebagai AP dengan tiga ulangan. Pengkajian ini
bertujuan meningkatkan produksi pipilan kering dan pendapatan petani jagung melalui
peningkatan IP 200 jagung pada lahan sawah tadah hujan. Hasil pengkajian menunjukkan Sistem
tanam IP 200 jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Takalar
berpeluang untuk dikembangkan di Sulawesi Selatan pada agroekosistem sejenis. Hal ini
didukung fakta hasil pengkajian yang menunjukkan terjadinya capaian produksi yang relatif
atraktif.
Kata kunci: IP, Jagung, tadah hujan.

PENDAHULUAN
Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan berpeluang meningkatkan produksi jagung
melalui peningkatan IP 200 dengan pola tanam jagung-jagung pada lahan sawah tadah
hujan. Penerapan IP 200 memberikan hasil gabah 4,5 t/ha dan jagung pipilan kering 9,1 t/ha
(Amir dkk, 2008). Dengan demikian peningkatan IP 200 jagung akan lebih berdampak positif
terhadap peningkatkan produksi pipilan kering dan pendapatan petani jagung.
Persoalannya, upaya peningkatan optimalisasi lahan sawah tadah hujan terkendala
pada air sebagai faktor pembatas. Akibatnya petani hanya memanfaatkan lahan sawah
tadah hujan satu kali saja. Padahal teknologi yang dapat meningkatkan indeks pertanaman
pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan dimusim kemarau sudah tersedia. Petani
biasanya membuat sumur pantek atau dengan sumur bor pada sudut sawah guna
mengantisipasi tanaman kekurangan air.
Usahatani pada lahan sawah tadah hujan perlu dioptimalkan karena luasan lahan ini
semakin menyempit akibat adanya perubahan fungsi lahan. Alih fungsi lahan sawah di
Sulawesi Selatan pada tahun 2008 tercatat 16.526 ha (BPS, 2010). Pemanfaatan lahan sawah
tadah hujan dengan komoditas pangan seperti padi dan jagung yang ditunjang sejumlah
komponen teknologi produksi masih terbuka lebar. Jumlah luas lahan sawah tadah hujan di

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


60 | Teknologi Pertanian
kabupaten Takalar dengan IP 100 tercatat 7.153 Ha, IP 200 tercatat 1.240 Ha dan IP 300
tercatat masih nihil (BPS, 2012). Padahal telah tersedia teknologi pemanfaatan lahan sawah
tadah hujan melelui peningkatan indeks pertanaman.
Perpaduan sejumlah komponen teknologi produksi membuka peluang penerapan
teknologi IP 200 jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan. Penerapan teknologi
cara tanam legowo dan penyiapan lahan tanam dengan TOT (Tanpa Olah Tanah) yang
dikombinasi dengan sistem tanam relay planting, akan memberikan peluang peningkatan
indeks pertanaman dua ratus jagung pada lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan produksi pipilan kering dan pendapatan petani jagung melalui
peningkatan IP 200 jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan.

METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan milik petani di desa
Paddinging Kabupaten Takalar dari Januari – Desember 2014. Bahan yang digunakan jagung
varietas Bima-19, Bima-20, Bisi-18, NK-33 dan Pioner-27, pupuk organik dan anorganik,
insektisida, herbisida, tali jarak tanam, label varietas dan papan penelitian, tugal, cangkul,
dan meter.

Rancangan Penelitian

Pengkajian disusun menurut rancangan petak terpisah (RPT) dengan lima perlakuan
dan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari penggunaan varietas unggul, meliputi: Bima-19,
Bima-20, Bisi-18, NK-33 dan Pioner-27. Waktu tanam: 10 hsp, 5 hsp, dan 3 hsp (hari sebelum
panen) serta (kontrol),. Jarak tanam legowo (80 – 40 x 20 cm), 1 tanaman/rumpun dengan
populasi/ha 416,667 tanaman. Penyiapan lahan tanam dilakukan tanpa olah tanah, yang
sebelunya diaplikasi herbisida sistemik. Setelah gulma mulai menguning, dibuat parit keliling
dan parit memotong petakan untuk barisan pertanaman. Benih jagung ditanam pada bibir
parit kiri dan kanan dalam legowo.
Pertanaman jagung kedua dilakukan dengan relay planting pada 10 hsp, 5 hsp dan 3
hsp, serta Kontrol. Jerami panenan jagung pertama diletakkan diantara barisan pertanaman
jagung kedua untuk mengurangi evaforasi.Jenis dan dosis pupuk yang digunakan per hektar
yaitu NPK (15:15:15) 400 kg dan Urea 270 kg. Pemupukan pertama digunakan 40% Urea dan
50% NPK(15:15:15). Pemupukan kedua digunakan 60% Urea dan 50% NPK (15:15:15). Pupuk
ditugal sejauah 5-7 cm dari tanaman. Sebelum tanam benih dicampur Saromyl 2 g/kg benih
jagung. Untuk pengendalian hama penggerek batang dan tongkol diaplikasi Furadan 3G
lewat pucuk daun tanaman pada umur 40-45 hst dengan dosis 10 kg/ha.
Parameter yang diamati, terdiri dari: Tinggi tanaman (cm), indeks luas daun, tinggi
letak tongkol (cm), jumlah baris biji/tongkol, panjang tongkol (cm), bobot 1000 biji (g),
Panjang baris (cm), dan produksi pipilan kering (t/ha)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 61
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tinggi Tanaman dan Tongkol Jagung.

Waktu tanam berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol pada
jagung pertama dan jagung kedua dibanding Kontrol. Tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol
jagung pertama lebih tinggi dari jagung ke dua. Pertumbuhan tanaman jagung pertama
bebas dari naungan tanaman jagung lainnya sehingga terhindar dari kompetisi cahaya, hara
dan air. Hal ini memberi ruang tumbuh yang cukup bagi jagung pertama untuk aktivitas
fotosintesa, dan fotosintatnya lebih dominan digunakan untuk pertumbuhan vegetatif
dibanding biji, sehingga jagung pertama lebih tinggi dari jagung kedua (Salisbury dan Ross,
1995).
Ruang tumbuh yang rapat menyebabkan banyak daun tumpang tindih, sehingga
dibutuhkan pengaturan jarak tanam renggang untuk mencegah daun saling menutupi yang
berdampak terhadap kompetisi cahaya matahari (Syafruddin dan Saidah, 2006). Berbeda
jagung kedua yang ditanam secara relay planting dengan waktu 10, 5 dan 3 HSP (hari
sebelum panen jagung pertama), terjadi kompetisi cahaya matahari, hara dan air yang
mempengaruhi pertumbuhan awal tanaman jagung kedua.
Cahaya matahari berperan pada kelangsungan proses fotosintesa dalam
pembentukan bahankering tanaman. Produksi bahan kering tanaman adalah fungsi dari laju
fotosintesa seluruh daun (Loomis dan William, 1969). Daun dibagian tajuk pertama dari atas
lebih unggul lima kali beraktifitas fotosintesis dibanding daun dibagian tajuk paling bawah
(Gardner et al. 1985).
Interaksi varietas Pioner-27 denganwaktu tanam 10 HSP memberikan tinggi tanaman
tertinggi dan berbeda nyata dengan empat perlakuan interaksi lainnya. Interaksi varietas
dengan waktu tanam memberikan tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol yang lebih pendek
pada jagung kedua dibanding jagung pertama(Tabel 1).

Tabel 1.Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanamam dan tinggi tongkol jagung
di Kabupaten Takalar, 2014.
Tinggi Tanaman (cm) Tinggi Tongkol (cm)
Perlakuan
Jagung (I) Jagung (II) Jagung (I) Jagung (II)
Waktu Tanam (AP)
3 HSP 230,80 ab 192,99 bc 115,04 b 101,74 b
5 HSP 230,08 ab 199,95 ab 117,69 ab 107,38 ab
10 HSP 236,17 a 187,77 c 120,45 a 94,51 c
Kontrol 224,53 b 207,05 a 109,83 c 109,70 a
Varietas (PU)
Bima-19 240,93 a 193,13 b 115,40 b 102,60 a
Bima-20 229,27 b 196,55 ab 113,95 bc 105,27 a
NK-33 225,39 b 190,94 b 110,93 c 97,96 a
Pioner-27 234,24 ab 206,25 a 121,66 a 105,26 a
Bisi-18 222,14 b 197,84 ab 116,98 b 105,58 a

Interaksi
Bima-19 + 3 HSP 241,27 abc 188,23 cd 115,00 cdef 96,13 dc
Bima-19 + 5 HSP 241,57 ab 193,40 bcd 121,33 abcd 108,30 abc

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


62 | Teknologi Pertanian
Tinggi Tanaman (cm) Tinggi Tongkol (cm)
Perlakuan
Jagung (I) Jagung (II) Jagung (I) Jagung (II)
Bima-19 + 10 HSP 242,87 ab 189,77 cd 118,20 bcde 98,87 bcd
Bima-19 + Kontrol 238,03 abcd 201,10 abcd 107,07 gf 107,10 abc
Bima-20 + 3 HSP 233,53 abcde 198,43 abcd 117.83 bcde 108,03 abc
Bima-20 + 5 HSP 226,53 abcde 200,60 abcd 111,20 efg 110,70 abc
Bima-20 + 10 HSP 231,60 abcde 185,67 cd 119,67 abcde 97,53 bcd
Bima-20 + Kontrol 225,40 abcde 201,50 abcd 107,10 fg 104,80 abc
NK-33 + 3 HSP 227,00 abcd 193,40 bcd 112,00 defg 106,67 abc
NK-33 + 5 HSP 221,23 cde 189,70 cd 111,83 defg 98,73 bcd
NK-33 + 10 HSP 235,23 abcd 177,77 d 114,77 cdef 84,20 d
NK-33 + Kontrol 218,10 de 202,90 abcd 105,10 g 102,23 abc
Pioner-27 + 3 HSP 228,40 abcd 189,77 cd 115,47 cdef 95,23 cd
Pioner-27 + 5 HSP 241,07 abc 217,40 ab 128,03 a 113,53 ab
Pioner-27 + 10 HSP 243,93 a 193,73 bcd 126,57 ab 93,87 dc
Pioner-27 + Kontrol 223,57 bcde 224,10 a 116,57 cdef 118,40 a
Bisi-18 + 3 HSP 223,80 abcd 195,13 bcd 110,47 efg 102,63 abc
Bisi-18 + 5 HSP 220,00 de 198,63 abcd 116,03 cdef 105,63 abc
Bisi-18 + 10 HSP 227,23 abcd 191,93 bcd 123,07 abc 98,07 bcd
Bisi-18 + Kontrol 217,53, e 205,67 abc 113,30 defg 115,97 a
KKb (%) 4,4 6,8 4,2 8,2
Angka dalam kolom yang sama pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji berganda Duncan 5 %.

Panjang Tongkol dan Baris Jagung

Perlakuan Kontrol memberikan panjang tongkol dan panjang baris terpendek pada
jagung pertama dan pada jagung kedua memberikan panjang tongkol dan panjang baris
terpanjang dan berbeda nyata dengan waktu tanam lainnya (Tabel 2).
Panjang tongkol dan panjang baris jagung pertama lebih pendek dari jagung kedua.
Panjang tongkol berkorelasi posif dengan panjang baris. Kontrol pada jagung pertama
memberikan panjang tongkol dan panjang baris terpendek. Pada jagung kedua panjang
tongkol terpanjang (18,11 cm) diikuti panjang baris terpanjang (17,35 cm) Tabel 2. Varietas
Bisi-18 memberikan panjang tongkol dan panjang baris terpanjang pada jagung pertama dan
jagung kedua,serta berbeda nyata dengan varietas lainnya terhadap panjang tongkol dan
panjang baris jagung pertama (Tabel 2).
Interaksi Bisi-18 dengan waktu tanam 10 HSP menghasilkan tongkol terpanjang (16,70
cm), namun tidak ditunjang panjang baris sehingga bagian jenggel yang tidak berbiji itu lebih
panjang dan itu mempengaruhi tingkat produktivitas. Interaksi varietas Bisi-18 dengan
kontrol memberikan panjang tongkol dan panjang baris terpanjang dan berbeda nyata
dengan enam perlakuan interaksi lainnya terhadap panjang tongkol dan sepuluh perlakuan
interaksi lainnya terhadap panjang baris jagung kedua.

Tabel 2.Pengaruh perlakuan terhadap panjang tongkol dan panjang baris jagung
di Kabupaten Takalar, 2014.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 63
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Panjang Tongkol (cm) Panjang Baris (cm)
Perlakuan
Jagung (I) Jagung (II) Jagung (I) Jagung (II)
Waktu Tanam (AP)
3 HSP 15,69 a 17,58 b 14,52 a 16,64 bc
5 HSP 15,68 a 16,97 c 14,60 a 16,23 c
10 HSP 15,85 a 18,10 a 14,79 a 16,97 ab
Kontrol 15,06 b 18,11 a 13,71 b 17,35 a
Varietas (PU)
Bima-19 15,09 b 17,49 a 13,18 d 16,33 b
Bima-20 15,40 b 17,69 a 13,43 d 16,50 b
NK-33 15,49 b 17,87 a 14,71 c 17,12 ab
Pioner-27 15,39 b 17,34 a 15,14 b 16,68 ab
Bisi-18 16,48 a 18,05 a 15,58 a 17,38 a
Interaksi
Bima-19 + 3 HSP 14,87 de 17,67 abcd 13,17 hij 16,37 bcdef
Bima-19 + 5 HSP 15,27 cde 16,83 de 13,43 ghi 16,13 def
Bima-19 + 10 HSP 15,60 cde 17,83 abcd 13,80 fgh 16,30 cdef
Bima-19 + Kontrol 14,63 e 17,63 abcd 12,33 j 16,50 bcdef
Bima-20 + 3 HSP 15,73 bcd 17,13 bcde 13,27 ghi 16,17 def
Bima-20 + 5 HSP 15,43 cde 17,20 bcde 13,57 ghi 15,77 f
Bima-20 + 10 HSP 15,67 cd 18,47 ab 14,13 efg 17,13 abcdef
Bima-20 + Kontrol 14,77 de 17,97 abcd 12,73 ij 16,93 abcdef
NK-33 + 3 HSP 15,63 cde 17,70 abcd 15,03 bcde 16,90 abcdef
NK-33 + 5 HSP 15,53 cde 17,63 abcd 14,77 cde 17,20 abcde
NK-33 + 10 HSP 15,67 cd 17,97 abcd 14,87 cde 16,67 bcdef
NK-33 + Kontrol 15,13 cde 18,17 abc 14,17 efg 17,70 ab
Pioner-27 + 3 HSP 15,57 cde 17,10 cde 15,50 abc 16,10 def
Pioner-27 + 5 HSP 15,53 cde 16,47 e 15,27 abcd 16,00 f
Pioner-27 + 10 HSP 15,63 cde 17,90 abcd 15,30 abcd 17,17 abcde
Pioner-27 + Kontrol 14,83 de 17,90 abcd 14,50 edf 17,43 abcd
Bisi-18 + 3 HSP 16,63 ab 18,30 abc 15,63 abc 17,67 abc
Bisi-18 + 5 HSP 16,63 ab 16,70 de 15,97 a 16,07 def
Bisi-18 + 10 HSP 16,70 a 18,33 abc 15,87 ab 17,57 abc
Bisi-18 + Kontrol 15,93 abc 18,87 a 14,83 cde 18,20 a
KKb (%) 3,3 3,8 3,4 4,2
Angka dalam kolom yang pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.

Interaksi varietas Bima-19 dengan perlakuan Kontrol memberikan panjang tongkol


dan panjang baris terpendek. Hal ini menyebabkan produksi pipilan yang dihasilkan lebih
rendah dari perlakuan interaksi lainnya. Pada jagung kedua interaksi varietas Pioner-27
dengan waktu tanam 5 HSP memberikan panjang tongkol dan panjang baris terpendek,
namun selisih keduanya hanya 0,47 cm dibanding interaksi varietas Bima-19 dengan waktu
tanam kontrol 2,3 cm pada jagung pertama dan 1,13 cm pada jagung kedua. Sehingga
bagian jenggel yang tidak memiliki biji lebih panjang dan menyebabkan produksi yang
dihasilkan lebih rendah dari perlakuan interaksi lainnya pada jagung pertama dan kedua.
Interaksi varietas Bisi-18 dengan waktu tanam 5 HSP memberikan panjang baris
terpanjang (15,97 cm) dan berbeda nyata dengan interaksi varietas dengan waktu tanam
lainnya, kecuali lima interaksi varietas dengan waktu tanam lainnya pada jagung pertama

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


64 | Teknologi Pertanian
(Tabel 2). Interaksi varietas Bisi-18 dengan kontrol memberikan panjang baris terpanjang
dan berbeda nyata dengan perlakuan interaksi lainnya, kecuali dengan sembilan perlakuan
interaksi varietas dengan waktu tanam lainnya pada jagung kedua yang tidak berbeda nyata
(Tabel 2).Secara umum baik pengaruh tunggal maupun interaksi, jagung pertama
memberikan panjang tongkol dan panjang baris yang lebih pendek dibanding jagung kedua.
Hal ini disebabkan jagung pertama fotosintatnya dominan diarahkan untuk pertumbuhan
vegetatif dibanding pembentukan komponen produksi/biji (Salisbury dan Ross, 1995).

Jumlah Baris dan Indeks Luas Daun

Waktu tanam relay planting memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah baris
jagung pertama dan jagung ke dua dibanding Kontrol..Waktu tanam 3 HSP memberikan
jumlah baris lebih banyak dan berbeda nyata dengan waktu tanam 10 HSP dan Kontrol pada
jagung kedua (Tabel 3). Kontrol memberikan ILD terbesar (5,74) dan berbeda nyata dengan
waktu tanam lainnya pada jagung pertama. Waktu tanam 3 HSP memberikan ILD lebih
rimbun (6,36) dibanding waktu tanam lainnya dan berbeda nyata dengan Kontrol jagung
kedua. Perlakuan tunggal varietas Pioner-27 memberikan jumlah baris terbanyak dan ILD
terbaik pada jagung pertama dan jagung kedua.
Interaksi varietas Pioner-27 dengan waktu tanam 10 HSP memberikan jumlah baris
terbanyak (16,0 baris) pada jagung pertama dan ILD (4,98) pada jagung kedua.Interaksi
varietas Pioner-27 dengan waktu tanam 3 HSP memberikan ILD (4,53) pada jagung pertama
dan jumlah baris terbanyak (17,50 baris) pada jagung kedua.
Secara keseluruhan Interaksi varietas Pioner-27 dengan waktu tanam 3 dan 10 HSP
memberikan komponen produksi jumlah baris dan indeks luas daun terbaik (Tabel 3).
Interaksi varietas NK-33 dengan waktu tanam Kontrol memberikan ILD yang lebih besar
(6,13) pada jagung pertama, dan interaksi varietas Bima-19 dengan waktu tanam Kontrol
memberikan ILD terlebar (7,35) pada jagung ke dua.
Hal ini disebabkan perlakuan waktu tanam Kontrol, menggunakan pemupukan N Urea
dosis tinggi, dibanding takaran rekomendasi. Sehingga pertumbuhan vegetatif (daun) lebih
lebar dibanding waktu tanam lainnya (Tabel 3). Luas daun tanaman jagung dapat dihitung
dengan rumus= panjang daun x lebar daun x 0,75 (Stickler, 1961).
Indeks luas daun (ILD) adalah jumlah luas daun total tanaman per satuan luas tanam.
Semakin besar nilai ILD berarti semakin banyak daun yang tumpang tindih (overlap) dan
daun bagian bawah tidak mendapat sinar matahari yang cukup, sehingga memberikan
fotosintat yang tidak optimal dan akan menurunkan hasil pipilan kering (Fik dan Hanway,
1996). Varietas jagung hibrida memiliki ukuran indeks luas daun 3,3 – 4,0 (Stoskops, 1981
Dalam Effendi dan Suwardi, 2007. Tajuk tanaman jagung dewasa mempunyai indek luas
daun (ILD) 3,5 – 8,5 (Loomis et.al, 1968).

Tabel 3.Pengaruh perlakuan terhadap jumlah baris dan ILD jagung I dan II
di Kabupaten Takalar, 2014.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 65
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Jumlah Baris Indeks Luas Daun
Perlakuan
Jagung (I) Jagung (II) Jagung (I) Jagung (II)
Waktu Tanam (AP)
3 HSP 13,95 a 15,57 a 5,43 b 6,36 a
5 HSP 13,99 a 15,13 ab 5,35 b 6,28 ab
10 HSP 14,38 a 14,86 b 5,35 b 5,86 ab
Kontrol 13,39 b 14,81 b 5,74 a 5,83 b
Varietas (PU)
Bima-19 14,13 b 15,15 bc 5,61 ab 6,67 a
Bima-20 13,48 bc 14,45 bc 5,79 a 6,38 a
NK-33 13,39 bc 13,93 c 5,98 a 6,31 a
Pioner-27 15,28 a 16,40 a 4,70 c 5,48 b
Bisi-18 13,35 c 15,52 ab 5,25 b 5,57 b
Interaksi
Bima-19 + 3 HSP 14,53 bcd 15,10 bcde 5,57 abcd 6,44 abcd
Bima-19 + 5 HSP 14,33 bcde 16,40 ab 5,53 bcd 6,52 abcd
Bima-19 + 10 HSP 14,13 bcdef 14,67 bcde 5,47 dc 6,36 abcde
Bima-19 + Kontrol 13,53 def 14,43 cde 5,87 abc 7,35 a
Bima-20 + 3 HSP 13,07 ef 14,63 bcde 5,77 abc 6,93 ab
Bima-20 + 5 HSP 13,60 def 14,00 de 5,73 abc 6,60 abc
Bima-20 + 10 HSP 14,07 cdef 14,53 bcde 5,63 abcd 6,16 abcdef
Bima-20 + Kontrol 13,20 def 14,63 bcde 6,03 abc 5,83 bcdef
NK-33 + 3 HSP 13,43 def 14,43 cde 6,10 ab 6,16 abcdef
NK-33 + 5 HSP 13,07 ef 13,30 e 5,80 abc 6,28 abcde
NK-33 + 10 HSP 14,17 bcdef 14,00 de 5,87 abc 6,72 abc
NK-33 + Kontrol 12,90 f 14,00 de 6,13 a 6,08 abcdef
Pioner-27 + 3 HSP 15,10 abc 17,50 a 4,53 f 6,02 bcdef
Pioner-27 + 5 HSP 15,47 ab 16,20 abc 4,53 f 5,46 cdef
Pioner-27 + 10 HSP 16,00 a 15,50 bcd 4,63 ef 4,98 f
Pioner-27 + Kontrol 14,53 bcd 16,40 ab 5,10 de 5,45 cdef, ,
Bisi-18 + 3 HSP 13,60 def 16,17 abc 5,17 de 6,24 abcdef
Bisi-18 + 5 HSP 13,47 def 15,73 abcd 5,13 de 5,68 bcdef
Bisi-18 + 10 HSP 13,53 def 15,33 bcd 5,13 de 5,07 ef
Bisi-18 + Kontrol 12,80 f 14,83 bcde 5,57 abcd 5,27 def
KKb (%) 5,1 6,5 5,4 10,8
Angka dalam kolom yang sama pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji berganda Duncan 5 %.

Bobot 1000 biji dan Produksi Pipilan Kering.

Waktu tanam memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot 1000 biji dan
produksi pada jagung pertama dan jagung kedua (Tabel 4). Kontrol memberikan bobot 1000
biji terberat dibanding waktu tanam 10, 5 dan 3 HSP. Hal ini disebabkan pada saat
pengamatan, kadar air jagung cara petani masih tinggi akibat terlambat panen, sehingga
proses penjemuran/pengeringan terkendala oleh cuaca yang selalu mendung dan hujan.
Berbeda waktu tanam 10, 5 dan 3 HSP yang dipanen lebih awal, sehingga proses
pengeringan aman dari cuaca mendung dan hujan. Hal ini terbukti hasil bobot 1000 biji
perlakuan 10 HSP yang dipanen pertama, menunjukkan bobot terendah (298,84g).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


66 | Teknologi Pertanian
Tabel 4.Pengaruh perlakuan terhadap Bobot 1000 biji dan produksi pipilan kering jagung
di Kabupaten Takalar, 2014.
Bobot 1000 biji (g) Produksi Pipilan Kering (t/ha)
Perlakuan
Jagung (I) Jagung (II) Jagung (I) Jagung (II)
Waktu Tanam (AP)
3 HSP 313,26 b 304,24 b 8,05 ab 11,04 a
5 HSP 305,67 c 293,39 b 7,77 b 10,04 b
10 HSP 298,84 d 274,67 c 8,21 a 10,39 b
Kontrol 331,06 a 339,49 a 6,99 c 9,09 c
Varietas (PU)
Bima-19 312,74 a 292,58 cd 7,65 b 9,80 bc
Bima-20 305,86 a 312,44 b 7,05 b 10,68 ab
NK-33 327,72 a 325,70 a 7,42 b 9,43 c
Pioner-27 310,32 a 299,83 c 8,86 a 10,84 a
Bisi-18 304,40 a 284,20 d 7,80 b 9,96 ab
Interaksi
Bima-19 + 3 HSP 314,13 bcde 297,77 def 7,77 bc 11,50 ab
Bima-19 + 5 HSP 309,20 bcde 274,83 fg 7,80 bc 9,27 efgh
Bima-19 + 10 HSP 308,27 bcde 276,47 fg 7,80 bc 10,43 abcdef
Bima-19 + Kontrol 319,37 bcd 321,23 bcd 6,23 d 8,00 h
Bima-20 + 3 HSP 316,05 bcde 270,00 cde 7,07 cd 11,43 ab
Bima-20 + 5 HSP 312,45 cde 272,95 cde 7,20 cd 10,03 bcdefg
Bima-20 + 10 HSP 328,90 cde 326,50 efg 7,60 bc 11,17 abc
Bima-20 + Kontrol 304,45 bcde 317,05 ab 7,23 cd 9,83 cdefg
NK-33 + 3 HSP 330,73 bc 323,83 bcd 7,80 bc 9,73 cdefg
NK-33 + 5 HSP 313,00 bcde 325,73 bc 7,57 bc 9,80 cdefg
NK-33 + 10 HSP 305,43 bcde 287,30 efg 8,07 bc 9,53 defg
NK-33 + Kontrol 361,70 a 365,93 a 6,33 d 8,63 gh
Pioner-27 + 3 HSP 312,33 bcde 308,50 cde 9,30 a 11,67 a
Pioner-27 + 5 HSP 306,63 bcde 293,37 efg 8,60 ab 10,57 abcde
Pioner-27 + 10 HSP 297,57 de 273,07 fgh 9,43 a 11,30 abc
Pioner-27 + Kontrol 324,73 bcd 324,40 bcd 7,87c bc 10,07 abcdefg
Bisi-18 + 3 HSP 300,40 cde 279,40 fg 8,07 bc 10,87 abcd
Bisi-18 + 5 HSP 297,27 de 266,73 gh 7,70 bc 10,53 abcde
Bisi-18 + 10 HSP 283,77 e 248,33 h 8,13 b 9,53 defg
Bisi-18 + Kontrol 336,17 ab 342,33 ab 7,30 cd 8,90 fgh
KKb (%) 2,9 4,8 7,4 8,0
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata
menurut uji berganda Duncan 5 %.

Pengaruh tunggal varietas Bisi-18 memberikan bobot 1000 biji paling ringan pada
jagung pertama dan kedua, namun tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya pada jagung
pertama, tapi berbeda nyata dengan varietas Bima-20, NK-33 dan Pioner-27 pada jagung
kedua. Varietas NK-33 memberikan bobot 1000 biji terberat dan berbeda nyata dengan
varietas lainnya pada jagung kedua (Tabel 4).
Interaksi varietas NK-33 dengan waktu tanam kontrol memberikan bobot 1000 biji
terberat pada jagung pertama dan jagung kedua,serta berbeda nyata dengan perlakuan
interaksi lainnya,,kecuali interaksi varietas Bisi-18 dengan waktu tanam kontrol pada jagung
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 67
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pertama dan kedua serta interaksi varietas Bima-20 dengan waktu tanam kontrol pada
jagung kedua itu tidak berbeda nyata.
Waktu tanam 10, 5 dan 3 HSP memberikan produksi lebih tinggi dibanding waktu
tanam Kontrol pada jagung pertama dan kedua. Hal ini disebabkan petani melakukan
pemupukan hanya satu kali dengan jenis pupuk Urea, sedang jagung yang ditanam secara
relay planting dipupuk dua kali dengan jenis pupuk Urea dan NPK (15:15:15). Dengan
demikian pertanaman jagung secara relay planting mendapat asupan hara secara lengkap
(N,P dan K) dibanding cara petani.
Pengaruh tunggal cara tanam petani memberikan produksi terendah pada jagung
pertama dan jagung keduaserta berbeda nyata dengan perlakuan waktu tanam lainnya.
Waktu tanam 10 HSP memberikan produksi tertinggi (8,21 t/ha) dan berbeda nyata waktu
tanam 5 HSP dan kontrol pada jagung pertama. Jagung kedua waktu tanam 3 HSP
memberikan produksi tertinggi dan berbeda nyata waktu tanam lainnya. Pengaruh tunggal
varietas Pioner-27 memberikan produksi tertinggi pada jagung pertama dan jagung kedua,
dan terendah varietas Bima-20 pada jagung pertama dan varietas NK-33 pada jagung kedua.
Interaksi varietas Pioner-27 dengan waktu tanam 3 HSPmemberikan produksi
tertinggipada jagung pertama dan jagung kedua.Interaksi varietas Bima-19 dengan waktu
tanam Kontrol memberikan produksi terendah pada jagung pertama dan kedua.
Rendahnya produksi diperoleh waktu tanam Kontrol disebabkan, penggunaan sarana
produksi pupuk tidak sesuai rekomendasi dan tidak diberi mulsa diantara barisan
pertanaman, sehingga kebutuhan hara untuk produksi biji kurang terpenuhidan evaforasi
tinggi yang mengurangi kebutuhan air untuk proses produksi. Pemulsaan berperan
menurunkan evaforasi dan meningkatkan infiltrasi sehingga ketersediaan air tanah disekitar
perakaran tanaman meningkat (Jones et.al, 1969). Dengan demikian air tanah dominan
dimanfaatkan untuk proses metabolisme tanaman.
Produksi jagung kedua secara totalitas lebih tinggi dari jagung pertama, walaupun
tinggi tanaman jagung pertama lebih tinggi dari jagung kedua. Tinggi tanaman berkorelasi
negatif dengan produksi pipilan kering. Semakin banyak fotosintat yang dialihkan keorgan
vegetatif membuat tinggi tanaman semakin tinggi, namun produksi pipilan kering menurun.
Tinggi tanaman lebih pendek pada jagung kedua, disebabkan pertumbuhan awal jagung
kedua ternaungi jagung pertama, dan aliran fotosintat lebih besar kebiji dibanding ke batang
sehingga produksi biji jagung kedua lebih tinggi (Salisbury dan Ross, 1995). Selain itu jagung
kedua mendapat tambahan hara residu dari jagung sebelumnya utamanya N Urea. Dari
124,2 kg N/ha yang diberikan saat pemupukan jagung pertama hanya 55-60% yang diserap
(Patrick dan Reddy, 1976).
Hasil biji yang rendah kebanyakan varietas jagung tropik disebabkan pembagian
bahan kering total kebiji yang rendah (Goldsworthy, 1996). Pengaruh interaksi varietas
Pioner-27 dengan waktu tanam 10, 5 dan 3 HSP pada jagung pertama memberikan produksi
pipilan kering tertinggi, hal ini disebabkan indeks luas daun (ILD) varietas Pioner-27 lebih
sempit (4,5 - 5,1) dibanding varietas lainnya. Standar indeks luas daun jagung hibrida 3,3 –
4,0 (Stoskops, 1981). ILD optimum rumput-rumputan dapat mencapai nilai 12, tanaman

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


68 | Teknologi Pertanian
leguminose 4 dan tajuk tanaman jagung dewasa mempunyai ILD 3,5 - 8,5 (Loomis et.al,
1968). Indeks luas daun yang tinggi mengakibatkan banyak daun yang tumpang tindih
sehingga hasil asimilatnya tidak optimal.
Daun yang ternaungi tidak bisa melakukan fotosintesa secara optimal. Potensial
fotosintesis daun jagung yang letaknya sepertiga bagian atas dari tajuk adalah dua kali lebih
tinggi dari daun-daun dibagian tengah, dan lima kali lebih tinggi dari daun-daun disepertiga
bagian terbawah (Gardner et al. 1985). Daun bagian bawah menerima cayaha dibawah titik
konpensasi yang mengakibatkan daun tersebut bersifat parasit pada tanaman itu sendiri,
karena karbohidrat yang dihasilkan lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk pemeliharaan
daun itu (Sitompul dan Guritno, 1995).

KESIMPULAN
Sistem tanam IP 200 jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan di
Kabupaten Takalar berpeluang untuk dikembangkan di Sulawesi Selatan pada agroekosistem
sejenis. Hal ini didukung fakta hasil pengkajian yang menunjukkan terjadinya capaian
produksi yang relatif atraktif. Teknologi waktu tanam 10 HSP memberikan produksi jagung
pertama dan kedua masing - masing (8,21+10,39 t/ha), waktu tanam 5 HSP (7,77+10,04
t/ha), waktu tanam 3 HSP (8,05+11,04 t/ha) dan waktu tanam cara petani (6,99+9,09 t/ha).
Varietas Pioner-27 memberikan ILD (Indeks Luas Daun) terendah, namun produksi pipilan
kering lebih tinggi dibanding varietas lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Nasrullah, A.M. Pasaribu, dan A. Sudiro, 2008. Laporan Akhir Primatani Kabupaten
Takalar (belum dipublikasikan). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Selatan.
BPS, 2010. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.
BPS Sulsel, 2012. Luas Penggunaan Lahan Sawah Menurut Kabupaten/Kota. Biro Pusat
Statistik Sulawesi Selatan.
Fik, K. dan J.J. Hanway, 1996. Leaf area in relation to yield of corn grain. Agron.J.58:16-18.
Gardner, F.P. Pearce, R.B. dan R.I. Mitchell. 1985. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Penerjemah:Herawati S. UI. Press. 428 hal.
Goldsworthy, P. R. 1996. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Fase Reproduktif
Dalam Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Editor: P.R. Goldsworhy dan N.M. Fischer.
Terjemahan: Tohari. GMU Press. Hal.281-319.
Jones, N., J., J.E. Moody, and J.H. Lillard, 1969. Effects of tillage, no tillage, and mulch on soil
water and plant growth. Agron J.61:719-721.
Loomis, R.S, W.G. Duncan, A. Dovrat dan A.F. Nunez, 1968. Quantitative description of
foliage display and light adsorbsion in field communities of corn plants. Crop Sci.
8:352-356. Dalam Sumarsono. Model Hubungan Kepadatan Populasi Tanaman
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 69
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Terhadap Hasil Tanaman Jagung (zea may L). Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.
Loomis, R.S. dan W.A. William. 1969. Productivity and the morphologi of crop stand, pp.27-
45. In R. C. Dinavers (Ed). Physiological Aspect of Crop Yield. Crop Sci., Madison.
Patrik, W.H.Jr. dan K.R. Reddy. 1976. Fate of fertilizer nitrogen in a flooded soil. Soil Sci. Am.
Proc. 40:678-681
Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan II. Ed.4. Terjemahan: D.R. Lukman
dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. 173 hal
Sitompul, S.M. dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. GMU Press.412 hal
Dalam Didik Indradewa, D. Kusnanto dan Y. Soraya, 2005. Kemungkinan Peningkatan
Hasil Jagung Dengan Pemendekan Batang. Ilmu Pertanian Vol.12 No.2, 2005:117-124.
Stickler, F.C., Weaden dan A.W. Pauli. 1961. Leaf area determination in grain sorghum.
Agronomi. J. 53(3):187-188.
Stoskops, N. 1981. Understanding Crop Production. Reston Pub. Virginia. P.97-109 Dalam
Roy Efendi dan Suwardi, 2010. Respons Tanaman Jagung Hibrida dan Kepadatan
Populasi. Prosiding Pekan Serealia Nasional. ISBN : 978-879-8940-29-3. p260-268.
Syafruddin dan Saidah, 2006. Produktivitas Jagung dengan Pengaturan Jarak Tanam dan
Penjarangan Tanaman pada Lahan Kering di Lembah Palu. Jurnal Penelitian Pertanian,
25(2):129-134.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


70 | Teknologi Pertanian
PENGARUH TEKNOLOGI PEMUPUKAN KOMBINASI ORGANIK DAN ANORGANIK
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAGUNG DI LAHAN SAWAH TADAH
HUJAN DI TAKALAR

Amir 1) dan Muh. Fathul Ulum Ariza 2)


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Email: amir_bio64@yahoo.com

ABSTRAK
Kabupaten Takalar termasuk salah satu sentra pengembangan jagung di Sulawesi Selatan,
memiliki lahan sawah tadah hujan seluas 16.262 ha sebagai potensi pengembangan jagung.
Pengkajian dilaksanakan dalam MK.1 yang berlangsung Januari-Desember, 2016, disusun
menurut Rancangan Faktorial dua faktor, tiga ulangan dan enam belas kombinasi perlakuan.
Faktor pertama dosis pupuk organik dengan empat tarap yaitu, 1, 2 dan 3 ton serta kontrol.
Faktor kedua dosis pupuk anorganik dengan empat taraf yaitu, rekomendasi, 75% dari
rekomendasi, 50% dari rekomendasi dan cara petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengaruh tunggal pupuk organik dosis 3 ton dan pengaruh tunggal pupuk anorganik dosis
rekomendasi serta interaksinya, memberikan produksi pipilan kering tertinggi masing-masing
(12,33; 12,77 dan 13,07 t/ha). Secara keseluruhan, perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton
dan perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis rekomendasi serta interaksinya memberikan
komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang lebih baik dibanding perlakuan tunggal
lainnya dan interaksinnya. Dengan demikian perlakuan ini diangkat sebagai dosis rekomendasi
dalam pengkajian ini.
Kata kunci: pupuk organik, anorganik, jagung, tadah hujan.

PENDAHULUAN
Takalar merupakan salah satu kabupaten sentra jagung di Sulawesi Selatan. Daerah
Sulawesi Selatan memiliki agroekosistem lahan sawah tadah hujan seluas 228.605 ha (BPS,
2013) sebagai potensi pengembangan jagung. Optimalisasi pemanfaatan lahan sawah tadah
hujan di Sulawesi Selatan dengan komoditas jagung masih tergolong rendah. Pada tahun
2009 produksi jagung di lahan sawah tadah hujan sebesar 1.395.742 ton dengan luas panen
tercatat 299.669 ha atau dengan tingkat produktivitas 4,6 t/ha (BPS, 2010). Produktivitas
tersebut masih jauh dibawah potensi hasil varietas unggul jagung hibrida yang berada pada
level 9-11 t/ha (Zubachtirodin dkk, 2010).
Data statistik menunjukkan bahwa di Sulawesi Selatan masih terdapat sejumlah lahan
sawah yang bera. Dalam musim tanam April-September, luasan lahan sawah yang bera
tercatat 232.421 ha, dan dalam musim tanam Oktober-Maret luas lahan sawah yang bera
tercatat 167.000 ha. Dengan demikian dalam dua musim tanam terdapat total luas lahan
sawah yang bera 399.390 ha (Fadhly dan Djamaluddin, 1993).
Komoditas jagung dapat dikembangkan (20-30%) pada agroekosistem lahan sawah
tadah hujan (Kasryno, 2002). Pertumbuhan areal tanaman jagung pada musim kemarau
lebih luas dibanding musim hujan (Subandi dan Manwan dkk; 1990). Sehingga

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 71
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pengembangan jagung kedepan akan lebih luas pada agroekosistem lahan sawah tadah
hujan setelah padi rendengan dibanding lahan kering.
Usahatani pada lahan sawah tadah hujan perlu dioptimalkan, karena luasan lahan ini
semakin berkurang akibat adanya perubahan fungsi lahan. Alih fungsi lahan sawah di
Sulawesi Selatan pada tahun 2008 tercatat 16.526 ha (BPS, 2012). Pemanfaatan lahan sawah
tadah hujan dengan komoditas pangan seperti padi dan jagung, yang berpotensi hasil tinggi
masih terbuka lebar. Guna meningkatkan produksi jagung, maka perlu upayaperbaikan
kualitas tanah untukmenunjang pertumbuhan tanaman.Salah satunya dengan melakukan
kajian pemupukan kombinasi organik dan anorganik pada tanaman jagung di lahan sawah
tadah hujan.
Jenis pupuk organik yang digunakan adalah kotoran sapi dari digester yang telah
dimanfaatkan bio gasnya untuk kebutuhan dapur. Kandungan hara pupuk organik sesuai
hasil analisis laboratorium tanah dan pupuk BPTP Sulawesi Selatan adalah N= 2,13%,
CO=25,18% dan C/N= 12,0%.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh takaran kombinasi pupuk
organik dan pupuk anorganik yang terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi pipilan
kering jagung di lahan sawah tadah hujan. Pupuk organik berperan memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah (Thompson dan Troeh, 1975 Dalam Amir, 2002).

METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan dalam MK.1, yang
berlangsung Januari-Desember 2016. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: pupuk organik dengan empat level dosis yaitu 1, 2 dan 3 ton serta kontrol, pupuk
anorganik dengan empat dosis yaitu: dosis rekomendasi, 75% dari rekomendasi, 50%
rekomendasi dan cara petani (kontrol), insektisida sistemik dan kontak, tali jarak tanam,
meteran, sevin, saromil dan tugal.
Pengkajian disususn menurut Rancangan Faktorial dua faktor, tiga ulangan dan enam
belas kombinasi perlakuan. Faktor pertama pupuk organik dengan empat level dosis yaitu: 1,
2, dan 3 ton serta kontrol. Faktor ke dua pupuk anorganik dengan empat level dosis yaitu:
rekomendasi (375 kg/ha NPK(16:16:16) + 270 kg/ha Urea), 75% dari rekomendasi (282,3
kg/ha NPK(16:16:16) + 202 kg/ha Urea), 50% dari rekomendasi (186 kg/ha NPK(16:16:16) +
135 kg/ha Urea), dan cara petani (460 kg N/ha).

Pelaksanaan kegiatan

Penyiapan lahan dilakukan secara olah tanah sempurnah, dan dilanjutkan pembuatan
bedengan dengan traktor. Lebar bedengan 75 cm dan panjang tergantung ukuran lahan.
Setelah pembuatan bedengan, dilanjutkan pembuatan plot berukuran 4m x 10m.
Selanjutnya dilakukan pemasangan label perlakuan setiap plot, dan dilakukan aplikasi pupuk
organik per plot diatas bedengan sesuai dosis dan dicampur dengan tanah dalam plot.
Kemudian dilakukan penanaman dengan jarak 75 x 40 cm, 2 biji per lubang tanam.
Pemupukan dilakukan dua kali, pertama pada umur tanaman 10 HST dan ke dua pada umur

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


72 | Teknologi Pertanian
tanaman 35 HST (Hari Setelah Tanam). Untuk mencegah penyakit Bulai, sebelum benih
tanam dicampur Saromil dengan dosis 10 gram per kilogram benih.
Parameter yang diamati: Tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol, Jumlah baris,
Indeks Luas Daun (ILD), Umur Anthesis dan silking, Panjang tongkol dan panjang baris,
Diameter tongkol, Bobot 500 biji, Produksi pipilan kering, dan Bobot biomassa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman,Tinggi Tongkol dan ILD

Pengaruh tunggal dosis pupuk organik dan dosis pupuk anorganik serta interaksinya
tidak nyata pengaruhnya terhadap tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol (Tabel 1).

Tabel 1.Pengaruh pemupukan kombinasi organik dan anorganik terhadap tinggi tanaman,
tinggi letak tongkol dan ILD jagung pada lahan sawah tadah hujan, Kab. Takalar.
Perlakuan Parameter
Faktor I (Dosis PO) Tinggi.Tan (cm) Tinggi.Tgkl (cm) Indeks Luas Daun
1 ton 240,98 a 124,792 a 2,60 b
2 ton 251,11 a 129,192 a 2,63 b
3 ton 251,33 a 126,875 a 2,94 a
Kontrol 248,02 a 125,508 a 2,65 b
Faktor II (Dosis PanO)
Rek (375 kg NPK+270 kg Urea) 252,78 a 126,475 a 2,69 ab
75% (282,3 kg NPK+202,5 Urea) 249,23 a 127,158 a 2,68 ab
50% (186 kg NPK+135 kg Urea) 247,97 a 128,600 a 2,59 b
Cara petani 241,47 a 124,133 a 2,86 a
Interaksi
1 ton PO + Rek 252,07 a 121,967 a 2,70 b
1 ton PO + 75 % 253,67 a 130,567 a 2,63 b
1 ton PO + 50 % 245,87 a 125,200 a 2,50 b
1 ton PO + Cara petani 212,33 a 121,433 a 2,56 b
2 ton PO + Rek 248,53 a 125,533 a 2,46 b
2 ton PO + 75% 253,37 a 130,467 a 2,80 b
2 ton PO + 50% 253,53 a 136,700 a 2,43 b
2 ton PO + Cara petani 249,00 a 124,067 a 2,83 b
3 ton PO + Rek 255,73 a 130,567 a 2,73 b
3 ton PO + 75% 249,53 a 123,133 a 2,73 b
3 ton PO + 50% 244,27 a 126,267 a 2,53 b
3 ton PO + Cara petani 255,80 a 127,533 a 2,63 b
0 ton PO + Rek 254,80 a 127,533 a 2,86 b
0 ton PO + 75% 240,33 a 124,467 a 2,56 b
0 ton PO + 50% 248,20 a 126,233 a 2,90 b
0 ton PO + Cara petani 248,73 a 123,500 a 3,43 a
KKb (%) 6,7 6,1 9,6
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.

Hal ini menggambarkan bahwa kadar hara dalam tanah masih lebih tinggi dari batas
kritis tanaman sehingga tanaman tidak respon dengan pemupukan (Khafidzin, 2003). Batas
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 73
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
kritis kebutuhan N pada tanaman jagung 2,7-3,5% bobot kering tanaman (Voss, 1993 Dalam
Faesal, 2015).Pupuk organik dosis 3 ton memberikan ILD terlebar (2,94) dan berbeda nyata
dibanding dosis pupuk organik lainnya. Perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis cara petani
memberikan ILD terlebar (2,86) dan berbeda nyata perlakuan dosis 50% dari rekomendasi
(2,59). Perlakuan interaksi tanpa (0) pupuk organik dengan pupuk anorganik cara petani
memberikan ILD terlebar (3,43) dan berbeda nyata perlakuan interaksi lainnya. Hal ini
menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi pipilan kering yang dicapai karena banyak
daun yang tumpang tindih sehingga fotosintat tidak optimal dalam proses pembentukan biji.
Indek luas daun adalah jumlah luas daun total tanaman per satuan luas tanam.
Semakin besar nilai indeks luas daun berarti semakin banyak jumlah daun yang tumpan
tindih (overlap) dan daun bagian bawah tidak mendapat sinar matahari yang cukup,sehingga
memberikan fotosintat yang tidak optimal dan akan menurunkan hasil pipilan kering (Fik dan
Hanway, 1996 Dalam Amir dkk, 2015). Varietas jagung hibrida memiliki ukuran indeks luas
daun 3,3 – 4,0 (Stoskops, 1981 Dalam Effendi dan Suwardi, 2010).
Interaksi pupuk organik dosis 3 ton dengan pupuk anorganik dosis rekomendasi
memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol
dibanding perlakuan lainnya. Tinggi letak tongkol setiap varietas jagung penting diketahui,
sebagai salah satu parameter yang menjadi alternatif untuk pengembangan jagung di
wilayah endemik hama babi dan anjing.
Tanaman jagung dalam proses pertumbuhannya tidak hanya mengandalkan Urea
untuk memacu pertumbuhan vegetatif tanaman, tapi juga harus di tunjang unsur fosfor dan
kalium (Thomson dan Troeh,1975). Kombinasi pupuk organik dengan pupuk anorganik,
mendapat tambahan hara dari pupuk anorganik dan pupuk organik. Kandungan hara pupuk
organik asal kotoran sapi yang digunakan dalam pengkajian ini (Tabel 2).

Tabel 2.Hasil analis uji mutu pupuk organik yang digunakan dalam penelitian
No Parameter Hasil Kompos Metode Analisis
1 N-total, % 2,13 IK PO 4/L-BPTP/10 (Kjeldahl)
2 P2O5, % 0,96 IK PO 5/L-BPTP/10 (Spektrofotometri)
3 K2O, % 2,65 IK PO 6/L-BPTP/10 (AAS)
4 pH 6,66 IK PO 2/L-BPTP/10 (Elektrometri)
5 C- organik 25,18 IK PO 3/L-BPTP/10 (Pengabuan)
6 Kadar Air, % 15,63 IK PO 1/L-BPTP/10 (Oven)
7 C/N 12 Kalkulasi
8 Fe. ppm 24380 IK PO 7/L-BPTP/10 (AAS)
9 Mn. ppm 1120 IK PO 8/L-BPTP/10 (AAS)
10 Cu. ppm 23 IK PO 9/L-BPTP/10 (AAS)
11 Zn. ppm 52 IK PO 10/L-BPTP/10 (AAS)
12 Pb. ppm 42 IK PO 11/L-BPTP/10 (AAS)
13 Cd. Ppm Tt IK PO 12/L-BPTP/10 (AAS)
14 Co. ppm 9 AAS
Ket : Tt= Tidak terdeteksi. Uji mutu pupuk organik oleh Lab. Tanah dan Pupuk BPTP Sulsel, 2016.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


74 | Teknologi Pertanian
Setiap 100 kg pupuk organik mengandung 2,13 % N (4,63 kg Urea); 0,96 % P(2,67 kg
SP36) dan 2,65 % K (4,42 kg KCl). Dengan demikian dalam dosis 3 ton pupuk organik terdapat
138,9 kg Urea; 80,1 kg SP-36 dan 132,6 kg KCl. Selain mengandung unsur makro juga
mengandung sejumlah unsur mikro yang fungsinya tidak bisa digantikan unsur lain.Pupuk
organik berfungsi memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Thompson dan Troeh,
1975 Dalam Amir, 2002).

Panjang tongkol, Panjang baris dan Jumlah Baris.

Hasil pengamatan lapang secara holistic ditampilkan dalam Tabel 3. Panjang tongkol
(14,75 cm) dan panjang baris (13,72 cm) terpanjang (13,72 cm) serta jumlah baris terbanyak
ditunjukkan perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton.

Tabel 3.Pengaruh pemupukan kombinasi organik dan anorganik terhadap panjang tongkol,
panjang baris dan jumlah baris jagung pada lahan sawah tadah hujan, Kab.Takalar
Perlakuan Parameter
Faktor I (Dosis PO) Panjang Tongkol(cm) Panjang Baris (cm) Jumlah baris (brs)
1 ton 14,66 a 13,59 a 15,93 a
2 ton 14,57 a 13,67 a 15,71 a
3 ton 14,75 a 13,72 a 16,13 a
Kontrol 14,40 a 13,31 a 15,56 a
Faktor II (Dosis PanO)
Rek (375 kg NPK+270 kg Urea) 14,82 a 13,94 a 16,00 a
75% (282,3 kg NPK+202,5 Urea) 14,82 a 13,75 a 15,96 a
50% (186 kg NPK+135 kg Urea) 14,61 ab 13,62 ab 15,71 a
Cara petani 14,10 b 12,99 b 15,66 a
Interaksi
1 ton PO + Rek 14,30 a 13,23 ab 16,13 a
1 ton PO + 75 % 14,46 a 13,40 ab 16,00 a
1 ton PO + 50 % 14,70 a 13,60 ab 16,00 a
1 ton PO + Cara petani 14,16 a 13,03 ab 15,46 a
2 ton PO + Rek 14,93 a 13,96 ab 16,00 a
2 ton PO + 75% 14,10 a 12,80 ab 15,33 a
2 ton PO + 50% 14,66 a 13,66 ab 15,80 a
2 ton PO + Cara petani 15,06 a 13,93 ab 15,73 a
3 ton PO + Rek 15,20 a 14,40 a 16,40 a
3 ton PO + 75% 15,03 a 14,16 ab 16,26 a
3 ton PO + 50% 14,53 a 13,66 ab 16,00 a
3 ton PO + Cara petani 14,90 a 13,86 ab 16,00 a
0 ton PO + Rek 15,00 a 14,16 ab 15,06 a
0 ton PO + 75% 14,06 a 13,00 ab 16,26 a
0 ton PO + 50% 14,56 a 13,56 ab 15,06 a
0 ton PO + Cara petani 13,80 a 12,76 b 15,86 a
KKb (%) 4,9 6,0 5,6
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.

Perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis rekomendasi memberikan panjang tongkol


(14,82 cm) dan panjang baris (13,94 cm) terpanjang serta jumlah baris (16,00 baris)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 75
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
terbanyak, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis
lainnya, kecuali dengan perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis cara petani itu
memberikan panjang tongkol (14,10 cm) dan panjang baris (12,99 cm) terpendek dan
berbeda nyata dengan perlakuan dosis pupuk anorganik lainnya, kecuali dengan perlakuan
tunggal pupuk anorganik dosis 50% dari rekomendasi itu tidak berbeda nyata terhadap
panjang tongkol.
Perlakuan interaksi pupuk organik dosis 3 ton dengan pupuk anorganik dosis
rekomendasi memberikan panjang tongkol (15,20 cm) dan panjang baris (14.40 cm)
terpanjang serta jumlah baris (16,40 baris) terbanyak , namun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan interaksi lainnya terhadap panjang tongkol dan jumlah baris. Kecuali dengan
perlakuan interaksi tanpa (0) pupuk organik dengan pupuk anorganik dosis cara petani itu
berbeda nyata terhadap panjang baris (Tabel 3).
Pupuk organik sangat dibutuhkan tanaman dalam memperbaiki sifat fisik tanah
sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan komponen produksi tanaman lebih optimal.
Panjang tongkol yang panjang ditunjang panjang baris dan jumlah baris yang banyak akan
memberikan produksi pipilan yang tinggi.Namun secara umum perlakuan tunggal pupuk
organik dosis 3 tondan pupuk anorganikdosis rekomendasi memberikan pengaruh yang
lebihlebih baik dibanding perlakuan lainnya terhadap komponen produksi (panjang tongkol,
panjang baris dan jumlah baris)Tabel 3. Hal ini menggambarkan bahwa pupuk anorganik
dosis rekomendasi sudah disesuaikan dengan kebutuhan hara tanaman jagung, sehingga
penampilan fenotipe tanaman lebih baik dan membentuk komponen produksi yang lebih
baik dibanding perlakuan pupuk anorganik dosis lainnya (Tabel 3).

Umur Anthesis, Silking dan Diameter Tongkol.

Perlakuan tunggal dosis pupuk organik dan dosis pupuk anorganik serta interaksinya
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap umur anthesis,umur silkingdan diameter
tongkol (Tabel 4). Hal ini menggambarkan bahwa umur anthesis dan silking mungkin
ditentukan oleh faktor genetik, sehingga tidak terpengaruh oleh perlakuan dosis
pemupukan. Sementara diameter tongkol lebih dipengaruhi kadar hara dalam tanah yang
lebih tinggi dari batas kritis tanaman, sehingga tanaman tidak respon dengan pemupukan.
Batas kritis kebutuhan P tanaman jagung sebesar 2,4 g P/kg daun dibawah tongkol
utama (Antonio, 1996). Umur anthesis ditandai dengan terbentuknya bunga jantan secara
sempurna pada ujung tanaman. Umur terbentuknya anthesis secara sempurna rata-rata 50
hari setelah tanam dan lebih awal 3(tiga) dari terbentuknya bunga betina (Tabel 4). Fase
vegetatif tanaman jagung dimulai saat kecambah muncul diatas permukaan tanah hingga
muncul kelobot tapi silk (rambut) belum muncul keluar dari kelobot. Sementara fase
generatif tanaman dimulai saat rambut jagung terlihat keluar darikelobot (silking) hingga biji
masak fisiologis (Ritchie, 1989 Dalam Sri Sunarti, 2006). Pada tanaman jagung fase anthesis
lebih duluan terbentuk dibanding fase silking.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


76 | Teknologi Pertanian
Tabel 4. Pengaruh pemupukan kombinasi organik dan anorganik terhadap umur anthesis,
umur silking dan diameter tongkol jagung pada lahan sawah tadah hujan, Kab. Takalar.
Parameter
Perlakuan Umur anthesis Diameter tongkol
Umur silking (hari)
(hari) (mm)
1 ton 50,08 a 52,08 a 49,25 a
2 ton 50,08 a 51,91 a 49,53 a
3 ton 49,83 a 51,91 a 48,95 a
Kontrol 49,83 a 51,83 a 48,89 a
Faktor II (Dosis PanO)
Rek (375 kg NPK+270 kg Urea) 49,83 a 51,83 a 49,55 a
75% (282,3 kg NPK+202,5 Urea) 50,16 a 52,16 a 48,85 a
50% (186 kg NPK+135 kg Urea) 49,75 a 51,66 a 49,31 a
Cara petani 50,08 a 52,08 a 48,90 a
Interaksi
1 ton PO + Rek 50,33 a 52,33 a 49,60 a
1 ton PO + 75 % 50,33 a 52,33 a 49,16 a
1 ton PO + 50 % 49,66 a 51,66 a 49,73 a
1 ton PO + Cara petani 50,00 a 52,00 a 48,50 a
2 ton PO + Rek 9,33 a 51,33 a 49,70 a
2 ton PO + 75% 50,33 a 52,00 a 48,93 a
2 ton PO + 50% 50,33 a 52,00 a 49,46 a
2 ton PO + Cara petani 50,33 a 52,33 a 49,23 a
3 ton PO + Rek 50,00 a 52,00 a 50,26 a
3 ton PO + 75% 49,66 a 52,00 a 48,83 a
3 ton PO + 50% 49,33 a 51,33 a 48,70 a
3 ton PO + Cara petani 50,33 a 52,33 a 48,83 a
0 ton PO + Rek 49,66 a 51,66 a 49,46 a
0 ton PO + 75% 50,33 a 52,33 a 48,50 a
0 ton PO + 50% 49,66 a 51,66 a 48,56 a
0 ton PO + Cara petani 49,66 a 51,66 a 49,03 a
KKb (%) 1,5 1,3 2,3
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.

Menurut data hasil pengamatan perbedaan waktu antara anthesis dengan silking
rata-rata 3-4 hari, batas waktu yang lebih lama dari 3-4 hari akan menyebabkan produksi
pipilan kering jagung menurun karena proses penyerbukan tidak optimal. Serbuk sari
(pollen) yang jatuh pada silk (rambut) akan membuahi ovule yang selanjutnya ovole
berkembang menjadi biji-biji jagung (Sri Sunarti, 2006). Apabila serbuk sari yang jatuh ke silk
sudah dalam keadaan kering akibat perbedaan waktu yang lebih lama dari tiga hari, maka
tidak akan terjadi pembuahan, sehingga sering ditemui ada tongkol yang tidak berbiji atau
berbii tapi jarang
Secara umum perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton dan pupuk anorganik
dosis rekomendasi memberikan pengaruh yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya
terhadap diameter tongkol. Hal ini menggambarkan bahwa pupuk anorganik dosis
rekomendasi sudah disesuaikan dengan kebutuhan hara tanaman jagung, sehingga

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 77
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
penampilan fenotipe tanaman lebih baik dan membentuk komponen produksi serta
diameter tongkol yang lebih baik dibanding perlakuan pupuk anorganik dosis lainnya.
Perlakuan interaksi pupuk organik dosis 3 ton dengan pupuk anorganik dosis
rekomendasi, memberikan diameter tongkolterbesar (50,26 mm), namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan interaksi lainnya. Ukuran diameter tongkol yang besar dibarengi
penyerbukan yang optimal akan membentuk jumlah baris dan jumlah biji yang banyak.

Bobot 500 biji, Bobot biomassa dan Produksi pipilan kering.

Perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton memberikan bobot 500 biji (143,67 g)
dan bobot biomassa (20,98 t/ha) terberatsertaproduksi pipilan kering tertinggi (12,33 t/ha),
namun tidakberbeda nyata dengan perlakuan tunggal pupuk organik dosis lainnya. Kecuali
dengan perlakuankontrol ituberbeda nyata terhadap bobot 500 biji (137,00 g).
Perlakuan kontrol memberikan bobot 500 biji, bobot biomassa dan produksi pipilan
keringterendah (Tabel 5). Perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton, tanaman jagung
mendapat asupan hara sebanyak 63,9 kg N (138,9 kg Urea); 28,8 kg P2O5 (80 kg SP-36); dan
79,5 kg K2O (132,5 kg KCl) dibanding perlakuan lainnya dengan asupan hara yang lebih
rendah serta kontrol yang tanpa pupuk organik.
Perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis rekomendasi, memberikan bobot 500 biji
(143,98 g) dan bobot biomassa (20,93 t/ha)terberat serta produksi pipilan kering tertinggi
(12,77 t/ha). Perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis rekomendasi memiliki kandungan
hara lebih banyak (184,2 kg N; 60 kg P2O5; dan 60 kg K2O), dibanding perlakuan tunggal
pupuk anorganik dosis lainnya.
Sementara pemupukan cara petani yang menggunakan dosis 460 kg N tanpa unsur P
dan K, hanya mampu memberikan produksi pipilan kering sebanyak 11,23 t/ha.Penambahan
hara ke tanaman dengan hanya menggunakan unsur N, tidak mampu meningkatkan produksi
pipilan kering jagung yang optimal, unsur N fungsi utamanya adalah memacu pertumbuhan
vegetatif tanaman dan hanya sebagian kecil untuk produksi. Selain itu unsur N mudah hilang
karena pencucian, penguapan dan keterikatan dengan unsur laindalam tanah, ini semua
dapat mengurangi efisiensihara N tanaman. Dari jumlah hara N Urea yang diberikan ke
tanaman hanya sekitar55-60% yang diabsorbsi tanaman (Patrick dan Ready 1976 Dalam
Faesal, 2013).
Perlakuan tunggal pupuk anorganik dosis cara petani memberikan bobot 500 biji dan
bobot biomassa paling ringan dan produksi pipilan kering jagung terendah (Tabel 5).
Pemupukan cara petani yang menggunakan 460 kg N, belum mampu memberikan produksi
jagung yang optimal. Setiap ton hasil biji jagung tidak hanyamembutuhkan 27,4 kg N tapi
juga dibutuhkan 4,8 P; dan 18,4 kg K (Cook, 1985). Sementara petani hanya menggunakan N
tanpa P dan K.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


78 | Teknologi Pertanian
Tabel 5.Pengaruh pemupukan kombinasi organik dan anorganik terhadap bobot 500 biji,
bobot biomassa dan produksi pipilan kering pada lahan sawah tadah hujan,Kab.Takalar.
Perlakuan Parameter
Faktor I (Dosis PO) Bobot 500 biji (g) Bobot Biomassa (t/ha) Produksi (t/ha)
1 ton 139,85 ab 20,29 a 11,81 a
2 ton 139,42 ab 20,35 a 11,76 a
3 ton 143,67 a 20,982 a 12,33 a
Kontrol 137,00 b 19,44 a 11,70 a
Faktor II (Dosis PanO)
Rek (375 kg NPK+270 kg Urea) 143,98 a 20,93 a 12,77 a
75% (282,3 kg NPK+202,5 Urea) 141,17 ab 20,19 ab 12,08 b
50% (186 kg NPK+135 kg Urea) 138,86 bc 20,81 a 11,60 bc
Cara petani 135,92 c 19,12 b 11,23 c
Interaksi
1 ton PO + Rek 141,33 ab 21,96 a 12,53 ab
1 ton PO + 75 % 140,00 ab 20,53 a 11,73 abcd
1 ton PO + 50 % 137,33 bc 19,23 a 11,53 abcd
1 ton PO + Cara petani 138,03 abc 21,00 a 11,43 bcd
2 ton PO + Rek 144,33 ab 19,53 a 12,73 ab
2 ton PO + 75% 143,67 ab 20,33 a 12,00 abcd
2 ton PO + 50% 141,67 ab 19,73 a 11,40 bcd
2 ton PO + Cara petani 140,67 ab 21,80 a 10,93 cd
3 ton PO + Rek 148,67 a 22,20 a 13,07 a
3 ton PO + 75% 140,33 ab 18,76 a 12,47 abc
3 ton PO + 50% 137,33 bc 19,93 a 12,10 abcd
3 ton PO + Cara petani 135,67 bc 19,33 a 11,70 abcd
0 ton PO + Rek 141,60 ab 21,23 a 12,73 ab
0 ton PO + 75% 140,67 ab 21,13 a 11,83 abcd
0 ton PO + 50% 139,10 abc 18,86 a 11,40 bcd
0 ton PO + Cara petani 129,33 c 18,66 a 10,87 d
KKb (%) 3,8 9,1 6,6
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.

Perlakuan interaksi pupuk organik dosis 3 ton dengan pupuk anorganik dosis
rekomendasi memberikan bobot 500 biji dan bobot biomassa terberat serta produksi pipilan
tertinggidan berbeda nyata dengan empat perlakuan interaksi lainnya terhadap bobot 500
biji dan lima perlakuan lainnya terhadap produksi pipilan kering. Namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan interaksi lainnya terhadap bobot biomassa (Tabel 5).
Perlakuan interaksi tanpa (0) pupuk organik dengan pupuk anorganik cara petani,
memberikan bobot 500 biji, bobot biomassa danproduksi pipilan kering terendah (Tabel 5).
Hal ini disebabkan pemupukan cara petani dengan tidak menggunakan pupuk organik,
pupuk P dan K, tidak mampu memberikan pertumbuhan dan hasil pipilan kering yang
optimal,karena untuk memperoleh satu ton hasil biji jagung membutuhkan 27,4 kg N; 4,8 P;
dan 18,4 kg K (Cook, 1985).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 79
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KESIMPULAN
Perlakuan tunggal dosis pupuk organik dan pupuk anorganik serta interaksinya tidak
memberikan pengaruh nyata terhdap tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol. Secara umum
perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton dan pupuk anorganik dosis rekomendasi serta
interaksinya, memberikan pengaruh yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya terhadap
semua parameter.
Selisih waktu antara terbentuknya bunga jantan dan bunga betina secara sempurna
rata-rata tiga hari. Perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3 ton dan pupuk anorganik dosis
rekomendasi serta interaksinya memberikan produksi pipilan kering jagung tertinggi masing-
masing (12,33 t/ha), (12,77 t/ha) dan (13,07 t/ha). Perlakuan tunggal pupuk organik dosis 3
ton dengan pupuk anorganik dosis rekomendasi serta interaksinya dijadikan sebagai dosis
rekomendasi dalam pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, A.Yulyani Fadwiwati dan Baso Alim Lologau, 2015. Kajian Teknologi Sistem Tanam IP
300 Pada Agroekosistem Lahan Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Takalar. Prosiding
Seminar Nasional. Membangun Kedaulatan Pangan Yang Berkelanjutan. Buku I.
Gorontalo, 25-26 Agustus 2015. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Antonio, P.M. 1996. Evaluation of nutrient in the ear leaf of corn by analysis of plant parts.
Agron J. 88(3) 376-380 (1996).
BPS, 2010. Sulawesi Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.
BPS, 2012. Luas Penggunaan Lahan Sawah Menurut Kabupaten/Kota. Biro Pusat Statistik
Sulawesi Selatan.
BPS, 2013. Laporan Survey Lahan Pertanian Sulawesi Selatan (SP-LAHAN). Biro Pusat Stastik
Sulawesi Selatan.
Cooke, G.W. 1985. Fertilizing for maximum yield. Granada Publishing Lmt. London. P. 75-87.
Faesal, 2015. Pengaruh Pemupukan N, P dan K Terhadap Hasil Jagung Provit-A. Prosiding
Seminar Nasional Serealia. Meningkatkan Peran Penelitian dan Pengembangan
Serealia dalam Mendukung Swasembada Pangan. ISBN: 978-979-8940-40-8. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.
Fadhly, A.F dan Djamaluddin, 1993. Perkembangan Produksi dan Teknologi Peningkatan
Hasil Jagung di Sulawesi Selatan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan.
Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 4. Hal.1084-1094. Pusat Penelitian
Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Fik, K. dan J.J. Hanway, 1996. Leaf area in relation to yield of corn grain. Agron.J.58:16-
18.Dalam Amir, A.Yulyani Fadwiwati dan Baso Aliem Lologau, 2015. Kajian Teknologi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


80 | Teknologi Pertanian
Sistem Tanam IP 300 Pada Agroekosistem Lahan Sawah Tadah Hujan di Kabupaten
Takalar. Prosiding Seminar Nasional. Membangun Kedaulatan Pangan Yang
Berkelanjutan. Buku I. Gorontalo, 25-26 Agustus 2015. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian.v
Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia selama empat dekade
yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Paper disampaikan dalam seminar sehari
pada acara Agribisnis Jagung di Bogor.
Khafidzin, M. 2003. Pengaruh Pemupukan Nitrogen dan Kalium terhadap Hasil dan Kualitas
Jagung Semi. Skripsi. Program Studi Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 40 hal
Ritchie, S.W. 1989. How A corn plant develops. Special report No.48. ed. J. Clayton Herman.
Iowa. Dalam Sri Sunarti Makalah disampaikan pada Lokakarya Perbenihan Jagung di
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros 20-23 November 2006.
Subandi, dan I. Manwan. 1990. Teknologi dan Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor
Sri Sunarti, 2006. Penentuan Tingkat Masak Benih Jagung. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Perbenihan Jagung di Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 20-23
November
Stoskops, N. 1981. Understanding Crop Production. Reston Pub. Virginia. P.97-109 Dalam
Roy Efendi dan Suwardi, 2010. Respons Tanaman Jagung Hibrida dan Kepadatan
Populasi. Prosiding Pekan Serealia Nasional. ISBN : 978-879-8940-29-3. p260-268.
Thompson, L.M., and R. Troeh, 1975. Soil and Soils Fertility.3 rd ed. Tata McMillar Publ. Co.
Inc. New York. Dalam Amir, 2002. Efektivitas Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap
Produktivitas dan Kualitas Padi di Lahan Sawah. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
Thompson, L.M., and R.Troeh, 1975. Soil and Soil Fertility.Third Edition. Exess
nitrogen.p.244-245. Tata McMillar. Publ. Co. New Delhi.
Zubachtirodin, A.M. Adnan dan Constace Rapar, 2010. Deskripsi Varietas Unggul Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Serealia. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Kementerian
Pertanian.
Voss, R.D. 1993. Nutrients defisiencies and toxicities in crops plant. ASS Press. The American
Phytophatologycal Society St. Paul Minnesota. DalamFaesal, 2015. Pengaruh
Pemupukan N, P dan K Terhadap Hasil Jagung Provit-A. Prosiding Seminar Nasional
Serealia. Meningkatkan Peran Penelitian dan Pengembangan Serealia dalam
Mendukung Swasembada Pangan. ISBN: 978-979-8940-40-8. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 81
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK HAYATI TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH DAN
HASIL TANAMAN KEDELAI PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
DI SULAWESI SELATAN

Idaryani dan Wardah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Selatan


e-mail: idaryanidj@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu upaya untuk mencapai renewable input dalam sistem pertanian berkelanjutan adalah
memelihara kesehatan dan kualitas tanah kimia melalui proses biologi, dengan mengurangi
ketergantungan terhadap penggunaan pupuk sintetis. Menjaga keberlangsungan kaidah-kaidah
hayati yang mendukung rantai daur ulang yang terjadi di alam antara organisme produsen,
konsumen, pengurai, serta melibatkan secara proporsional penyediaan unsur hara dan
pengendalian hama dan penyakit tanaman yang sinergis dengan kaidah hayati merupakan hal
yang sangat penting.Tujuan pengkajian adalah Untuk mengetahui pengaruh pupuk hayati
terhadap sifatkimia tanah dan hasil tanaman kedelai pada lahan sawah tadah hujan. Kajian
dilaksanakan di Desa Labokong, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng pada bulan Juni-
September 2016. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) dengan perlakuan kombinasi pemberian pupuk an organik dengan limbah ulat sutra
sebagai pupuk hayati, dan susunan perlakuan: (1) 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat
sutra; (2) 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra; (3) 250 NPK Pelangi + 100 ml pupuk
limbah ulat sutra; (4) 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra; (5) 200 NPK Pelangi +
100 ml pupuk limbah ulat sutra; (6) 200 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra; dan (7)
300 NPK Pelangi (sebagai kontrol). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penambahan limbah
ulat sutra sebagai pupuk hayati dapat meningkatkan kualitas lahan yaitu dengan meningkatnya
beberapa unsur seperti C-organik, N-total, P, dan K tersedia. Hasil tanaman kedelai tertinggi
diperoleh pada perlakuan pemberian pupuk NPK Pelangi 250 kg ha=1+ 150 ml limbah ulat sutra
sebagai pupuk hayati yaitu 1,67 t ha-1 dan hasil terendah diperoleh pada perlakuan pupuk NPK
Pelangi 300 kg ha-1 (kontrol) yaitu 1, 27 t ha-1.
Kata kunci : limbah ulat sutra, pupuk hayati, kedelai, kimia tanah

PENDAHULUAN
Tanah mempunyai struktur biologi tertentu, yang secara langsung mempengaruhi
proses biogeokimia secara alami. Dalam upaya menuju pertanian berkelanjutan, tanah harus
dipandang sebagai bagian yang hidup dan berinteraksi dengan tanaman di atasnya
(Prihastuti, 2011). Lahan potensial untuk pertanian adalah lahan yang secara biofisik
terutama kelerengan iklim, sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sesuai dikembangkan untuk
pertanian (Sukarman, 2008). Adapun lahan yang dimaksud adalah yang secara teknis
budidaya mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Salah satu penentu
keberhasilan produksi pertanian adalah kandungan hara dalam tanah. Tanaman dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal bila hara yang ada dalam tanah sifatnya mudah
tersedia dan mudah diserap tanaman.
Upaya untuk mewujudkan pertanian sebagai industri yang lestari adalah penggunaan
pupuk organik dalam budidaya tanaman. Penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


82 | Teknologi Pertanian
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Sutanto, 2002). Penggunaan secara terus menerus akan
meningkatkan kesuburan tanah dan daya dukung lahan.
Pupuk organik hayati adalah pupuk hayati dengan pembawa kompos (Gofar et al.,
2009). Prinsip penggunaan pupuk hayati adalah dengan memanfaatkan kerja
mikroorganisme tertentu dalam tanah yang berperan sebagai penghancur bahan organik,
membantu proses mineralisasi dan bersimbiosis dengan tanaman dalam menambat unsur-
unsur hara sehingga memacu pertumbuhan tanaman serta sebagai agen biokontrol yang
tidak berbahaya bagi proses ekologi dan lingkungan (Simanungkalit, 2009). Suplai sebagian
unsur hara yang dibutuhkan tanaman dapat dilakukan oleh bakteri rhizosfer yang
mempunyai kemampuan menambat N dari udara dan mikroba pelarut fosfat yang mampu
melepaskan jerapan P didalam tanah menjadi P-tersedia bagi pertumbuhan tanaman,
sehingga dapat menghemat penggunaan pupuk kimia. Selain itu penggunaan cendawan
mikoriza juga dapat mengatasi permasalahan fiksasi P dalam tanah, disamping dapat
meningkatkan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman (Fauziati, 2001).
Salah satu sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau
adalah limbah ulat sutera. Limbah ini merupakan bahan yang bermanfaat sebagai pupuk
organik untuk tanaman semusim. Potensi limbah pemeliharaan ulat sutera untuk dijadikan
pupuk organik cukup besar dan belum termanfaatkan oleh petani. Hasil penelitian
Atmosoedardjo et al. (2000) menunjukkan untuk siklus pemeliharaan ulat dari satu boks
telur yang berisi sekitar 20.000-25.000 ekor ulat, limbah yang dihasilkan dapat mencapai 500
kg. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemeliharaan satu boks ulat sutera menghasilkan
limbah sebanyak 561,365 kg.
Pupuk limbah ulat sutera merupakan pupuk organik yang mempunyai kandungan
hara seperti N, P dan K cukup tinggi (Anonim, 2008). Dari data analisis laboratorium tersebut
mempunyai C/N rasio < 20 yaitu 7,83 sehingga pupuk ini dapat langsung dimanfaatkan oleh
tanaman. Selain dapat meningkatkan kandungan unsur hara seperti N, P dan K, pupuk ini
juga dapat memperbaiki sifat biologi tanah karena dapat meningkatkan populasi biota dalam
tanah serta dapat memperbaiki sifat fisika tanah yaitu struktur tanah
Menjadi lebih gembur dan juga memperbaiki aerasi dan drainase tanah. Pemberian
pupuk anorganik dalam tanah diperlukan untuk mendukung kegiatan budidaya pertanian
yang mana penggunaannya harus disesuaikan dengan kondisi tanah. Tujuan dari pengkajian
adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian limbah ulat sutera terhadap sifat kimia tanah
dan hasil tanaman kedelai.

METODOLOGI
Kajian dilaksanakan di Desa Labokong, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng
pada bulan Juni-September 2016. Pelaksanaan pengkajian dimulai dengan penyiapan lahan
yaitu pembersihan lahan, pembajakan lahan, dan ploting. Pembuatan drainase dilakukan
untuk keluar masuknya air pada pertanaman. Penanaman dilakukan secara tugal sebanyak 2
biji per lubang, dengan jarak tanam adalah 40 x 15 cm. Pemupukan dilakukan pada saat
tanam dan pada saat tiga minggu setelah tanam. Pupuk an organik diberikan dengan cara

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 83
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
alur dengan jarak 5 cm dari barisan tanaman dengan dosis sesuai perlakuan masing-masing.
Sedangkan pupuk limbah ulat sutera diberikan pada saat 10 hari setelah tanam (hst) dan
dilakukan setiap 10 hari dengan dosis masing-masing sesuai perlakuan. Selanjutnya
pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiangan, dan penyulaman.
Penyiangan dilakukan untuk membersihkan lahan dari gulma yang tumbuh di areal tanaman
budidaya. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman yang tidak tumbuh saat awal
penanaman. Panen dilakukan pada minggu ke-12 setelah tanam, yaitu pada saat tanaman
telah berumur 84 hari.

Tabel 1. Susunan perlakuan pengaruh penggunaan pupuk hayati


terhadap peningkatan kualitas lahan dan hasil tanaman kedelai
No. Simbol Perlakuan
1. P1 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
2. P2 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra
3. P3 250 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
4. P4 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra
5. P5 200 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
6. P6 200 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra
7. P7 Cara petani (sebagai kontrol)

Parameter yang diamati meliputi : Analisis hara tanah, meliputi pH tanah, analisis
unsur N, P, C, dan K tanah; Komponen Hasil, yang dilakukan pada saat panen. Data dianalisis
dengan analisis keragaman (ANOVA), dilanjutkan dengan uji beda Nyata Jujur (BNJ) pada
taraf 5%,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Curah Hujan

Penampilan tanaman secara visual di lapangan selama kegiatan berlangsung


menunjukkan pertumbuhan yang bagus, dengan tidak mengalami gangguan, baik oleh hama
dan penyakit serta gangguan lainnya. Adapun sebaran pola curah hujan selama penelitian di
Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng cukup bervariasi. Curah hujan tertinggi
dijumpai pada bulan April sampai dengan bulan Juli. Oldemen dkk (1980) mengklasifikasikan
bahwa iklim di Kecamatan Donri Donri, Kabupaten Soppeng termasuk zona D dengan 3-4
bulan basah. Curah hujan selama penelitian atau pertumbuhan tanaman (Juli-September
2015) tertinggi terjadi pada awal penelitian yaitu pada saat penanaman, selanjutnya
mengalami penurunan hingga pada saat panen.
Meskipun demikian jumlah curah hujan pada saat pertumbuhan masih sesuai dengan
kriteria kesesuaian anasir lingkungan untuk curah hujan pada saat pertumbuhan tanaman
kedelai yaitu 200-300 atau 400-600 mm, atau dengan kata lain pada curah hujan seperti
tersebut masih sesuai dengan pertumbuhan tanaman kedelai.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


84 | Teknologi Pertanian
Gambar 1. Curah Hujan di Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng, 2016

Analisis Kandungan Hara Tanah dan Limbah Ulat Sutra

Dari hasil analisis tanah (Tabel 2) diketahui bahwa tanah pada lahan lokasi penelitian,
pada saat sebelum dilakukan pengkajian (analisis awal) bertekstur liat, mempunyai pH agak
masam (5,05) dan mengandung unsur N-total rendah (0,18% ) serta C-organik sangat rendah
(2,36%) sehingga unsur N-total dan C-organik menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan
tanaman.

Tabel 2. Karakteristik Sifat Fisik Tanah Sebelum Pengkajian


Sifat Tanah Nilai Kriteria
Tekstur tanah :
Pasir 38
Debu 23
Liat 39
pH H2O (1:2,5) 5,05 Agak masam
pH KCl (1:2,5) 5,24
C-organik (%) 2,36 Rendah
N-total (%) 0,18 Rendah
C/N 13 Sedang
P2O5 (HCl 25%, mg/100 g) 23 Sedang
P tersedia (Olsen/Bray I mg kg-1) 18 Sedang
K2O5 (HCl 25%, mg/100 g) 141 Sangat tinggi
K tersedia (Olsen/Bray I mg kg-1) 60 Sangat tinggi
Kation basa tertukar:
Ca-dd (1N NH4OAc pH7, cmol kg-1) 24,15 Tinggi
Mg-dd (1N NH4OAc pH7, cmol kg-1) 7,04
K-dd (1N NH4OAc pH7, cmol kg-1) 0,13 Sangat rendah
Na-dd (1N NH4OAc pH7, cmol kg-1) 0,07
KTK (1N NH4OAc pH7, cmol kg-1) 41,39
Kejenuhan Basa (%) 76
Sumber: CSR dan FAO Staff, 1983

Namun demikian, walaupun kandungan N-total dan C-organik tanah rendah dan
sangat rendah, tapi memiliki kandungan P sedang (18 ppm) dan K yang sangat tinggi (141
me/100 gram) sehingga dapat mendukung adanya pemenuhan kebutuhan hara yang baik
bagi pertumbuhan dan hasil kedelai.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 85
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Ciri kimia lainnya seperti KTK tanah relatif tinggi (41,39) sehingga secara umum dapat
dikatakan bahwa tanah pada lahan tersebut mempunyai status kesuburan yang rendah
meskipun ketersediaan P sedang dan K tanah sangat tinggi. Selanjutnya nilai tukar kation
yaitu Ca (25,23) sangat tinggi, sedangkan unsur Mg, K, dan Na relatif rendah, masing-masing
7,04, 0,13, dan 0,07.
Limbah ulat sutra sebelum digunakan terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui
kandungan hara yang terdapat pada pupuk tersebut. Hasil analisis kandungan hara pupuk
limbah ulat sutra dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis kandungan hara pada pupuk limbah ulat sutra


No. Jenis Analisis Hasil Analisis
1. Nitrogen (N) % 1,04
2. Fosfor (P) % 0,04
3. Kalium (K) % 0,30
4. pH 4,13
5. C-Organik % 2,38
6. C/N 7,83

Kualitas Lahan

Kualitas lahan menggambarkan kondisi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Untuk
menggambarkan kualitas tanah dapat dikaji berdasarkan pH tanah, kadar N tanah, kadar P
tanah, kadar C organik, tekstur, struktur dan lain-lain. Semakin berkualitas suatu lahan
semakin produktif lahan tersebut..

Tabel 4. Kandungan Hara Tanah Setelah Pengkajian


Perlakuan
Parameter Awal
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
pH 5,05 6,74tn 6,52 6,66 6,17 6,63 6,89 6,65
C Organik (%) 2,36 3,63 tn 3,10 3,21 3,39 3,43 3,45 3,00
N Total (%) 0,18 0,26 tn 0,28 0,23 0,22 0,25 0,22 0,22
P Bray-1 (ppm) 18 20 tn 14,7 20,7 14,7 20 15,3 16
K (me/100 gram) 60 109,7 a 99,7 b 107a 43,3 c 56,3 c 62,3 c 97b
Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.
P1 = 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra P5 = 200 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
P2 = 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra P6 = 200 NPK Pelangi+ 150 ml pupuk limbah ulat sutra
P3 = 250 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra P7 = Cara petani (sebagai kontrol)
P4 = 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra

Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas lahan dapat dilakukan dengan cara
menambahkan pupuk organik ke dalam tanah. Aplikasi ini dapat meningkatkan kualitas
lahan melalui perbaikan sifat fisik dan kimia tanah serta biologi tanah. Hasil pengkajian yang
dilakukan dengan jelas menunjukkan bahwa secara umum telah terjadi peningkatan kualitas
lahan yang diketahui dengan membandingkan data tanah awal (sebelum pengkajian) dengan
data hasil analisis tanah setelah pengkajian

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


86 | Teknologi Pertanian
pH tanah dan % C-organik tanah

Secara umum terjadi peningkatan pH tanah dari 5,05 (kondisi awal tanah) menjadi
6,89. pH tanah meningkat menjadi lebih baik yaitu mendekati pH ke arah netral. Pada pH
netral aktivitas mikroorganisme akan meningkatkan proses dekomposisi dalam tanah yang
dapat membebaskan kation yang dapat dipertukarkan atau di adsorbsi.
Tiga faktor yang menentukan perubahan pH tanah menurut (Brady., et al 1982)
adalah: (1) porsentase kejenuhan basa dan alumunium serta basa dapat tertukar dari
komplek koloidal, (2) jenis misel, dan (3) jenis ion yang diadsorpsi. Pada parameter
pengamatan kadar C-organik tanah, dan pemberian pupuk organik cair melalui daun,
meningkatkan kadar C-organik tanah.
Penambahan pupuk organik mampu memberikan sumbangan C yang tinggi untuk
tanah dan tanaman. Meningkatnya kadar C tanah karena adanya sumbangan hara dari
proses dekomposisi pupuk organik tanah. Brady., et al (1982) menyatakan pemberian pupuk
organik tidak hanya menambah karbon organik pada tanah tetapi juga mengembalikan
nitrogen tanah. Kanonova 1966 cit Brady., et al 1982 menegaskan sumber utama C di dalam
tanah berasal dari dekomposisi pupuk organik berupa sisa-sisa tanaman maupun hewan
yang telah mati.
Peningkatan kadar C-organik tanah dari kondisi awal tanah tertinggi diperoleh pada
perlakuan kombinasi pupuk limbah ulat sutra dan pupuk an organik dengan dosis 200 NPK
Pelangi+ 150 ml pupuk limbah ulat sutra.

Kandungan N total tanah

Tabel 4 menunjukkan adanya peningkatan N total tanah (kondisi awal tanah) dari
0,4%-0,10%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kadar N total sebesar 14,3% dari
kondisi awal. Pupuk yang disemprotkan pada tanaman juga dapat terserap dalam tanah,
sehingga sisa-sisa pupuk tersebut masuk dalam tanah dan merupakan makanan untuk
organisme tanah. Brady., et al (1982) menyatakan jamur mampu merombak jaringan
tanaman, melepaskan unsur hara C dan N, memanfaatkan sebagian unsur hara tersebut dan
melepaskan lagi sebagian bersama-sama dengan karbon dioksida dan ammonium.
Kandungan N total tanah tertinggi diperoleh pada kombinasi pemberian limbah ulat
sutera dengan pupuk an organik sebanyak 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat
sutra. Pemberian dengan dosis tersebut diduga dapat meningkatkan N total pada tanah.
Pupuk limbah ulat sutra memiliki kandungan N 1,04% dan mempunyai C/N rendah yaitu
7,83% sehingga mudah terurai dan memberikan tambahan N kedalam tanah.

Kadar P dan K Tersedia

Unsur P sangat diperlukan pada fase generatif tanaman. Unsur P berperan penting
pada pengisian biji. Aplikasi kombinasi antara pemberian pupuk limbah ulat sutra dan pupuk
an organik untuk dosis tertentu dapat meningkatkan kadar P dalam tanah. Hal ini dapat
terjadi karena sisa-sisa pupuk limbah ulat sutra yang disemprotkan pada tanaman masuk
kedalam tanah, sehingga dapat diserap oleh tanah, dengan demikian otomatis dapat
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 87
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
meningkatkan penyerapan unsur hara oleh miselium eksternal dengan memperluas
permukaan penyerapan akar atau melalui hasil senyawa kimia yang menyebabkan lepasnya
ikatan hara dalam tanah. Demikian pula dengan unsur K juga sangat diperlukan pada saat
fase genaratif tanaman. Sisa-siasa pupuk limbah ulat sutra yang disemprotkan pada tanaman
dapat terserap dalam tanah, dengan demikian dapat meningkatkan kadar K dalam tanah.
Peningkatan kadar P dan K tanah dari kondisi tanah sebelum diberikan perlakuan
yang tertinggi diperoleh pada masing-masing perlakuan kombinasi pemberian pupuk 250
NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra dan 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah
ulat sutra .

N Jaringan dan Serapan N Tanaman

Hasil analisa jaringan tanaman diperoleh bahwa seluruh perlakuan berpengaruh tidak
nyata terhadap N jaringan tanaman namun berpengaruh nyata terhadap serapan N. Hal ini
mungkin disebabakan karena kandungan unsur hara dalam tanah dengan kombinasi
pemberian pupuk limbah ulat sutra dan pupuk an organik masih rendah sehingga unsur hara
yang diserap tanaman juga rendah yang akhirnya tidak berpengaruh terhadap N jaringan
tanaman.
Kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh penyerapan ion nitrat
dan amonium oleh tanaman. Hal ini dimungkinkan oleh lambatnya pergerakan nitrogen
khususnya dalam bentuk NH4+ dalam larutan tanah. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan
tanaman adalah 2–4% berat kering (Tisdale, et. al, 1990).
Sedangkan untuk serapan N diperoleh hasil bahwa penambahan pupuk limbah ulat
sutra mampu meningkatkan serapan N. Serapan N tertinggi dicapai pada pemberian
kombinasi pupuk limbah ulat sutra dan pupuk an organik dengan dosis 300 NPK Pelangi +
150 ml pupuk limbah ulat sutra. Hal ini disebabkan karena dengan pemeberian kombinasi
pupuk limbah ulat sutra dan pupuk organik dengan dosis tersebut dapat meningkatkan N
total tanah, sehingga kebutuhan tanaman bisa terpenuhi.
Pemberian kombinasi pupuk limbah ulat sutra dan pupuk an organik dengan dosis
300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra dapat meningkatkan serapan N tanaman
sebesar 31,94%. Hal ini sesuai dengan kandungan N total tanah, dimana semakin tinggi N
total tanah maka serapan N juga akan meningkat. Sedangkan dengan pemberian pupuk
dengan dosis tersebut dapat meningkatkan N total tanah sebesar 40,07%. Dengan
bertambahnya kandungan bahan organik dalam tanah akan meningkatkan serapan N
tanaman. Menurut Sutedjo (1999), pupuk organik mampu menyediakan hara N dalam
jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk an organik. Disamping itu dengan
konsentrasinya yang tinggi menyebabkan pupuk ini menjadikannya lebih cepat tersedia bagi
tanaman. Peningkatan serapan N diharapkan dapat meningkatkan efisiensi serapan N oleh
tanaman.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


88 | Teknologi Pertanian
Tabel 5. Pengaruh Kombinasi Limbah Ulat Sutera dengan Pupuk An Organik Terhadap N
Jaringan dan Serapan N Tanaman Kedelai
Perlakuan N Jaringan (%) Serapan N
P1 = 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra 0,35tn 0,256b
P2 = 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra 0,36 0,348a
P3 = 250 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra 0,31 0,26ba
P4 = 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra 0,31 0,320a
P5 = 200 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra 0,32 0,255b
P6 = 200 NPK Pelangi+ 150 ml pupuk limbah ulat sutra 0,32 0,237b
P7 = Cara petani (sebagai kontrol) 0,31 0,213b
Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Komponen Hasil

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi pemberian pupuk
limbah ulat sutra dengan pupuk an organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil
tanaman kedelai. Hasil kedelai tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian pupuk limbah
ulat sutra yang dikombinasikan dengan pupuk an organik dengan dosis 250 NPK Pelangi +
100 ml pupuk limbah ulat sutra. Hal ini diduga karena pada dosis tersebut kecukupan hara
yang dibutuhkan oleh tanaman sudah terpenuhi. Hal ini sejalan dengan pendapatn Djafar et
al. (1990), bahwa salah satu faktor lingkungan yang sangat berperan penting terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman adalah ketersediaan unsur hara dalam jumlah cukup
dan seimbang.

Tabel 6. Pengaruh Kombinasi antara Limbah Ulat Sutera dengan


Pupuk An Organik Terhadap Hasil Tanaman Kedelai
Perlakuan Hasil (t ha-1)
P1 = 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra 1,45c
P2 = 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra 1,43c
P3 = 250 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra 1,67a
P4 = 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra 1,60a
P5 = 200 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra 1,55b
P6 = 200 NPK Pelangi+ 150 ml pupuk limbah ulat sutra 1,56b
P7 = Cara petani (sebagai kontrol) 1,27d
Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Pemberian kombinasi pupuk limbah ulat sutra dengan pupuk an organik memiliki
produksi tanaman kedelai lebih baik tinggi dibanding kontrol (100% NPK= cara petani), hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Marschner (2002), yang menunjukkan bahwa penggunaan
pupuk organik yang dikombinasikan dengan dengan pupuk anorganik, memberikan
peningkatan hasil tanaman secara signifikan. Hal ini didukung oleh pendapat Rukmana
(2005), bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal, pemakaian pupuk organik hendaknya
diimbangi dengan pupuk buatan supaya keduanya saling melengkapi.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 89
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KESIMPULAN
Penambahan pupuk hayati pada dosis tertentu dapat meningkatkan kualitas tanah
berupa meningkatnya C-organik, N-total, P, K tersedia, dan N Jaringan serta serapan N pada
tanaman. Penambahan limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati terbukti mendorong
peningkatan produksi: yaitu 1,67 t ha-1 dan hasil terendah diperoleh pada perlakuan pupuk
NPK Pelangi 300 kg ha=1 (kontrol) yaitu 1, 27 t ha-1.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Makalah Hasil Penelitian Limbah Ulat Sutra pada Tanaman Murbei oleh Balai
Penelitian Kehutanan. Bogor
Atmosoedardjo, H. S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh dan W. Murdoko. 2000. Sutera
Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Brady, Ncyle C dan Harry O Buckman, 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta
CSR and FAO Staff, 1983. A Test Format Procedures. Pusat Penelitian Tanah Bogor
Djafar, Z.R. 1990. Dasar – Dasar Agronomi. Palembang.
Fauziati, N. 2001. Pemanfaatan Pupuk Hayati untuk Meningkatkan Efisiensi Pemupukan pada
Tanaman Jagung di Lahan Gambut Dangkal. Balai Penelitian Tanaman pangan Lahan
Rawa, Banjarbaru.
Gofar, N., Marsi dan Sabaruddin. 2009. Teknologi produksi Mikroba Dekomposer dan Pupuk
Hayati Unggul. Kerjasama Fakultas pertanian Universitas Sriwijaya dengan PT. Pupuk
Sriwidjaja. Palembang.
Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian
(diterjemahkan dari: Statistical Prosedur for Agricultural Research, penerjemah: E.
Sjamsudin dan J. S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hlm.
Marschner, H. 2002. Mineral Nutrition of Higher Plants. Fifth printing. Academic Press.
London. UK
Rukmana, R. 2005. Bawang Merah : Budidaya, Serapan Hara dan Pengelolaan Pascapanen.
Kanisius. Yogyakarta.
Simanungkalit, R. D. M. 2001. Aplikasi pupuk hayati dan pupuk kimia; suatu pendekatan
terpadu. Buletin Agrobiol 4: 56-61.
Sutanto, 2002. Penerapan Pertanian Organik. Pemasyarakatan dan Pengembangannya.
Kanisius. Yogyakarta
Sutedjo, M.M dan A.G.Karta Sapoetra. 1999. Pengantar Ilmu Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media.
Yogyakarta.
Tisdall, J M., 1991. Fungi Hypae and Structural Stability of Soil. Aust. J. soil. Res. 29. 729-743.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


90 | Teknologi Pertanian
PEMANFAATAN LIMBAH ULAT SUTERA SEBAGAI PUPUK HAYATI DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KEDELAI

Idaryani1), Abdul Wahid Rauf1) dan Amisnaipa2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

ABSTRAK
Limbah ulat sutera merupakan bahan yang bermanfaat sebagai pupuk organik untuk
meningkatkan produksi tanaman kedelai. Tujuan pengkajian adalah Untuk mengetahui
pengaruh limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai. Kajian dilaksanakan di Desa Labokong, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng
pada bulan Juni-September 2016. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) dengan perlakuan kombinasi pemberian pupuk an organik dengan
limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati, dengan susunan perlakuan: (1) 300 NPK Pelangi + 100
ml pupuk limbah ulat sutra; (2) 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra; (3) 250 NPK
Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra; (4) 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra;
(5) 200 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra; (6) 200 NPK Pelangi + 150 ml pupuk
limbah ulat sutra; dan (7) 300 NPK Pelangi (sebagai kontrol). Hasil tanaman kedelai tertinggi
diperoleh pada perlakuan pemberian pupuk NPK Pelangi 250 kg ha-1+ 150 ml limbah ulat sutra
sebagai pupuk hayati yaitu 1,67 t ha-1 dan hasil terendah diperoleh pada perlakuan pupuk NPK
Pelangi 300 kg ha-1 (kontrol) yaitu 1,27 t ha-1. Keuntungan tertunggi diperoleh pada perlakuan
NPK Pelangi 250 kg ha-1+ 150 ml limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati yaitu Rp. 6.720.000,
dengan R/C ratio 3,04
Kata kunci: limbah ulat sutra, pupuk hayati, kedelai

PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga
setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan untuk bahan industri pangan seperti tahu dan tempe. Kesadaran masyarakat
akan tingginya unsur-unsur esensial yang ada pada biji kedelai merupakan salah satu
penyebab meningkatnya kebutuhan. Konsumsi kedelai di Indonesia terus meningkat akan
tetapi tidak diiringi dengan peningkatan produksi kedelai.
Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sentra pengembangan kedelai di
Indonesia dengan potensi lahan pengembangan mencapai 33,095 ha (Dinas Tanaman
Pangan Provinsi Sulsel, 2013), sementara produktivitas kedelai di daerah inibaru mencapai
1,6 ton/ha meskipun masih tinggi dibanding produksi rata-rata nasional (BPS Prov. Sulsel,
2013), padahal potensi varietas unggul kedelai yang telah dihasilkan dapat mencapai lebih
dari 2 ton (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Peningkatan produksi kedelai guna meningkatkan kecukupan kedelai dalam negeri
khususnya di Sulsel, telah dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Namun upaya ini
masih terkendali dengan lahan pertanian yang mengalami degradasi akibat pengolahan
secara intensif dan penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 91
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tanah yang subur tidak hanya dapat dinilai dari keadaan fisik dan kimia saja, tapi juga
kandungan dan efektivitas jasad yang ada didalamnya. Aktivitas jasad dalam tanah ternyata
banyak memberi sumbangan dalam menjaga kesuburan tanah. Dengan demikian maka salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah penggunaan
pupuk hayati dalam budidaya kedelai (Sutrisno, 2009).
Pupuk hayati dapat menambahkan nutrisi melalui proses alami, yaitu fiksasi nitrogen
atmosfir, menjadikan fosfor bahan yang terlarut dan merangsang pertumbuhan tanaman
melalui sintesis zat-zat yang mendukung pertumbuhan tanaman (Risnawati, 2010). Dalam
proses pertumbuhannya tanaman kedelai sangat memerlukan nitrogen dalam jumlah yang
cukup. Unsur hara ini digunakan untuk pembentukan asam amino (protein) (Sumarno, A.,
2012). Nitrogen dapat diperoleh melalui dua cara yaitu melalui tanah bila tersedia cukup
banyak dan melalui udara dengan bantuan bintil-bintil akar yang mengandung bakteri
Rhizobium sp. Bakteri ini akan bersimbiosis dengan tanaman kedelai sehingga tanaman
dapat memanfaatkan nitrogen (Chusnia, et al., 2012).
Salah satu sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
hijau/hayati adalah limbah ulat sutera. Limbah ini merupakan bahan yang bermanfaat
sebagai pupuk organik untuk memperbaiki kualitas lahan serta meningkatkan produksi
tanaman kedelai
Pemanfaatan limbah ulat sutera sebagai pupuk organik dapat dilakukan dengan
melakukan proses pengomposan. Mindawati et al. (1997) mengatakan kompos adalah bahan
organik yang telah menjadi lapuk atau sejenis pupuk yang terjadi karena proses pelapukan
(dekomposisi) secara alami pada bahan-bahan organik seperti limbah hutan dan limbah
pertanian. Pengomposan dengan bantuan mikroorganisme melalui pemberian inokulan
seperti Efektif Mikroorganisme 4 (EM-4) selain mempercepat proses pengomposan, juga
mempunyai nilai lebih dari kompos biasa yaitu dapat menekan pertumbuhan patogen,
meningkatkan sediaan nutrisi, memfiksasi nitrogen, dan dapat meningkatkan aktivitas
mikroorganisme yang menguntungkan.
Peranan pupuk kimia tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh pupuk hayati, sehingga
alternatif terbaik adalah dengan menggunakan kombinasi pupuk hayati dengan pupuk
anorganik. Tujuan kegiatan adalah untuk mengetahui pengaruh kombinasi limbah ulat sutra
sebagai pupuk hayati dan pupuk an organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai

METODOLOGI
Kajian dilaksanakan di Desa Labokong, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng
pada bulan Juni-September 2016. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok dengan 7 perlakuan (kombinasi pemberian limbah ulat sutera sebagai pupuk
hayati dengan pupuk an organik + kontrol) dan diulang sebanyak 4 kali. Kombinasi perlakuan
yang dikaji disajikan pada Tabel 1.
Pelaksanaan pengkajian dimulai dengan penyiapan lahan yaitu pembersihan lahan,
pembajakan lahan, dan ploting. Pembuatan drainase dilakukan untuk keluar masuknya air

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


92 | Teknologi Pertanian
pada pertanaman. Penanaman dilakukan secara tugal sebanyak 2 biji per lubang, dengan
jarak tanam adalah 40 x 15 cm. Pemupukan dilakukan pada saat tanam dan pada saat tiga
minggu setelah tanam. Pupuk an organik diberikan dengan cara alur dengan jarak 5 cm dari
barisan tanaman dengan dosis sesuai perlakuan masing-masing. Sedangkan pupuk limbah
ulat sutera diberikan pada saat 10 hari setelah tanam (hst) dan dilakukan setiap 10 hari
dengan dosis masing-masing sesuai perlakuan. Selanjutnya pemeliharaan yang dilakukan
meliputi pemupukan, penyiangan, dan penyulaman. Penyiangan dilakukan untuk
membersihkan lahan dari gulma yang tumbuh di areal tanaman budidaya. Penyulaman
dilakukan dengan mengganti tanaman yang tidak tumbuh saat awal penanaman. Panen
dilakukan pada minggu ke-12 setelah tanam, yaitu pada saat tanaman telah berumur 84 hari.

Tabel 1. Susunan perlakuan pengaruh kombinasi penggunaan pupuk limbah ulat sutera
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
No. Simbol Perlakuan
1. P1 300 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
2. P2 300 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra
3. P3 250 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
4. P4 250 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra
5. P5 200 NPK Pelangi + 100 ml pupuk limbah ulat sutra
6. P6 200 NPK Pelangi + 150 ml pupuk limbah ulat sutra
7. P7 Cara petani (sebagai kontrol)

Parameter yang diamati meliputi komponen pertumbuhan dan komponen hasil.


Komponen pertumbuhan yang diamati meliputi: Tinggi tanaman, diukur dari permukaan
tanah sampai titik tumbuh tertinggi; Jumlah cabang produktif, dihitung cabang primer
masing-masing tanaman sampel. Komponen hasil yang diamati dari petakan dengan lima
tanaman contoh adalah: Jumlah polong isi, Jumlah polong hampa, Tingkat serangan hama
penggerek polong, Jumlah biji tanaman-1, diperoleh dengan menghitung semua biji dari lima
tanaman sampel, Bobot 100 biji, diperoleh dengan menimbang 100 butir kedelai, dan
Hasil/ha, diperoleh dari panen setiap plot selanjutnya dikonversi ke dalam ton
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan Analisis Sidik
Ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh
antar perlakuan digunakan uji Duncan 5%. Untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani
dilakukan analisis dengan menggunakan R/C dan B/C.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekapitulasi Hasil Analisis Sidik Ragam

Sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter


yang diamati. Hasil sidik ragam ini menghasilkan nilai ketepatan suatu percobaan yaitu nilai
koefisien keragaman (KK). Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai kk menunjukan tingkat
ketepatan perlakuan dalam suatu percobaan dan menunjukkan pengaruh lingkungan dan
faktor lain yang tidak dapat dikendalikan dalam suatu percobaan. Nilai kk hasil analisis sidik
ragam secara umum masih dapat ditolerir yaitu dibawah 20 %.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 93
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa aplikasi limbah ulat sutra sebagai
pupuk hayati berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tanaman dan jumlah polong isi,
jumlah biji per tanaman, dan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah cabang,
jumlah polong hampa, dan intensitas serangan penggerek polong. Rekapitulasi sidik ragam
pengaruh penggunaan pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
disajikan pada tabel dibawah ini (Tabel 2).

Tabel 2. Rekapitulasi pengaruh kombinasi limbah ulat sutera dengan pupuk an organik
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
Koefisien
Variabel Perlakuan
Keragaman (%)
Tinggi Tanaman * 3,64
Jumlah Cabang tn 9,11
Jumlah Polong Isi * 7,23
Jumlah Polong Hampa tn 3,41
Jumlah Biji per Tanaman * 4,56
Intensitas Penggerek Polong tn 4,32
Bobot 100 gram tn 4,12
Hasil Tanaman * 15,01
Keterangan: *= nyata pada taraf 5%
**= sangat nyata pada taraf 5%
tn= tidak nyata pada taraf 5%

Komponen Pertumbuhan

Kombinasi pemberian limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati dan pupuk an organik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel tinggi tanaman. Tinggi tanaman
tertinggi diperoleh berturut-turut pada perlakuan pemberian pupuk NPK Pelangi 250 kg ha -
1
+ 150 ml limbah ulat sutra yaitu 60,23 cm dibanding dengan perlakuan lainnya. Sedangkan
yang terendah diperoleh pada perlakuan penggunaan pupuk NPK Pelangi 200 kg ha -1+ 100
ml limbah ulat sutra yaitu 49,93 cm.
Tingginya tanaman yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut diduga karena
pemberian dosis tersebut sudah mencukupi kecukupan hara pada tanaman kedelai dan
dapat memenuhi kecukupan hara pada tanaman terutama unsur N, dimana limbah ulat
sutra sebagai pupuk hayati secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik
unsur hara makro maupun mikro. Sisa hasil penyemprotan limbah ulat sutra yang diserap
oleh tanah dapat berperan dalam menguraikan bahan organik tanah, dimana bahan organik
tanah ini mengandung beberapa komponen zat seperti N, P, S dan Mg dan unsur hara lain
yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya.
Kombinasi pemberian limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati dan pupuk an organik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel jumlah cabang produktif. Jumlah
cabang produktif tertinggi diperoleh pada perlakuan NPK Pelangi 250 kg ha -1+ 150 ml limbah
ulat sutra dan perlakuan NPK Pelangi 250 kg ha-1+ 100 ml limbah ulat sutra yaitu 4,2 cabang
dan jumlah cabang terendah diperoleh pada perlakuan NPK Pelangi 300 kg ha =1+ 150 ml.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


94 | Teknologi Pertanian
Tabel 3. Pengaruh Kombinasi antara Limbah Ulat Sutera dengan Pupuk An Organik Terhadap
Rata-Rata Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang pada Tanaman Kedelai
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang (cabang)
P1 58,23 b 3,5tn
P2 57,19 b 3,0
P3 52,12 c 4,2
P4 60,23 a 4,2
P5 53,90 c 3,3
P6 49,9 d 3,3
P7 55,19 c 3,5
Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Menurut Fadiluddin (2009) pupuk hayati sangat berperan dalam hal perbaikan sifat
fisik tanah, meningkatkan aktivitas biologi tanah serta meningkatkan ketersediaan hara bagi
tanaman. Apabila sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sesuai dengan syarat tumbuh tanaman,
pertumbuhan akar akan lebih baik dan mudah menyerap unsur hara, dengan demikian
tanaman akan aktif membentuk cabang-cabang baru dalam pertumbuhannya.
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman salah satunya dipicu oleh fitohormon
yang dihasilkan baik dari mikroba tanah maupun mikroba pupuk hayati. Fitohormon yang
berasal dari inokulan berperan meregulasi pertumbuhan bibit. Pertumbuhan dan
perkembangan tanaman merupakan proses yang sangat kompleks dan rumit.
Kedua proses ini bergantung antara lain pada berbagai hormon yang telah
diidentifikasi sebagai IAA, giberelin, sitokinin, etilen dan asam absisat. Walaupun hormon di
atas memiliki fungsi tertentu, pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan hasil
interaksi aktivitas kelima hormon diatas (Teiz and Zeiger dalam Hindersah dan Simamarta,
2004).

Komponen Hasil
Jumlah polong isi dan jumlah biji tanaman-1 akan sangat menentukan produksi
-1
hektar . Kombinasi pemberian limbah ulat sutra dengan pupuk an organik memberikan
pengaruh yang nyata terhadap variabel jumlah polong isi. Pupuk hayati dapat menguraikan
unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga mudah diambil oleh tanaman, dan
akhirnya digunakan untuk memberntuk polong.
Jumlah polong isi tertinggi diperoleh pada perlakuan pupuk NPK Pelangi 250 kg ha-1+
150 ml limbah ulat sutra yaitu 53,43 biji dibanding dengan perlakuan lainnya dan berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan jumlah polong isi terendah diperoleh pada
perlakuan NPK Pelangi 300 kg ha-1 sebagai kontrol yaitu 42,31. Hal ini menunjukkan bahwa
kombinasi limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati dan NPK Pelangi dengan dosis tersebut
dapat merangsang pertumbuhan tanaman yang lebih cepat sehingga dapat menghasilkan
cabang primer yang lebih banyak yang otomatis dapat menghasilkan polong isi yang lebih
banyak.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 95
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kombinasi pemberian limbah ulat sutra dengan pupuk an organik tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong hampa. Jumlah polong hampa tertinggi
diperoleh pada perlakuan pemberian pupuk NPK Pelangi NPK Pelangi 300 kg ha-1+ 150 ml
limbah ulat sutra yaitu 5,5 polong. Jumlah polong hampa yang terendah diperoleh pada
perlakuan NPK Pelangi 250 kg ha-1+ 150 ml limbah ulat sutra dan perlakuan NPK Pelangi 200
kg ha-1+ 100 ml limbah ulat sutra yaitu 4,7 polong. Sedangkan kombinasi pemberian limbah
ulat sutra dengan pupuk an organik memberikan pengaruh yang nyata pada variabel jumlah
biji tanaman-1. Jumlah biji tanaman-1 tertinggi diperoleh pada perlakuan pupuk NPK Pelangi
250 kg ha-1+ 150 ml limbah ulat sutra yaitu 165,12 biji dan terendah diperoleh pada
perlakuan pupuk NPK Pelangi 300 kg ha=1(sebagai kontrol) yaitu 142,034biji.

Tabel 4. Pengaruh Kombinasi antara Limbah Ulat Sutera dengan Pupuk An Organik Terhadap
Jumlah Polong isi, Polong hampa, dan Jumlah biji tanaman -1
Jumlah Polong Hampa Jumlah Biji Tanaman -1
Perlakuan Jumlah Polong Isi (bh)
(bh) (biji)
P1 50,19 b 4,3tn 156,10c
P2 53,43 a 5,5 157,12c
P3 50,65 b 5,2 156,90c
P4 52,54 a 4,7 165,12a
P5 46,12 c 4,7 160,23b
P6 43,90 d 5,2 161,75b
P7 42,31 d 4,8 142,34d
Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Kombinasi pemberian limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati dan pupuk an organik
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot 100 butir. Bobot 100 butir tertinggi
diperoleh pada perlakuan pupuk NPK Pelangi 250 kg ha -1+ 150 ml limbah ulat sutra yaitu 29,6
gr, dan yang terendah diperoleh pada perlakuan pupuk NPK Pelangi 200 kg ha -1+ 150 ml
limbah ulat sutra yaitu 28,1 gr. Demikian pula halnya pada variabel intensitas serangan
penggerek polong tidak berpengaruh nyata dengan perlakuan tersebut. Intensitas serangan
penggerek polong tertinggi diperoleh pada perlakuan pupuk NPK Pelangi 200 kg ha-1+ 150 ml
limbah ulat sutra yaitu 2,1, sedangkan terendah diperoleh pada perlakuan pupuk NPK
Pelangi 250 kg ha-1+ 150 ml limbah ulat sutra sebagai pupuk yaitu 1,3.
Aplikasi pupuk hayati dapat memacu pertumbuhan tanaman kedelai, sehingga
berdampak juga terhadap hasil dan komponen hasil kedelai. Fadiluddin (2009) menyatakan
bahwa hasil dan komponen hasil merupakan resultan dari pertumbuhan vegetatif tanaman
padi yang ditunjukan oleh bobot kering biomassa tanaman.
Kombinasi penambahan limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati dan pupuk an organik
memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tanaman kedelai. Hasil tertinggi diperoleh
pada perlakuan pupuk NPK Pelangi 250 kg ha-1+ 150 ml limbah ulat sutra yaitu masing-
masing 1,67 t ha-1, dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan hasil terendah
diperoleh pada perlakuan pemberian pupuk 300 kg NPK Pelangi (kontrol) yaitu 1,27 t ha -1.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


96 | Teknologi Pertanian
Hal ini menunjukkan bahwa dengan aplikasi kombinasi pupuk tersebut dengan dosis
demikian dapat meningkatkan hasil tanaman kedelai. Peningkatan ini terjadi sebagai akibat
meningkatnya konsentrasi P dalam tanaman yang sangat diperlukan untuk pembentukan
biji. Purba (2005) menyatakan bahwa manfaat utama simbiosis antara pupuk hayati dengan
tanaman adalah kemampuannya dalam meningkatkan serapan hara fosfor dan memperbaiki
pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati dapat membantu memperbaiki nutrisi tanaman,
meningkatkan pertumbuhan, dan hasil tanaman.

Tabel 5. Pengaruh Kombinasi Limbah Ulat Sutera dengan Pupuk An Organik Terhadap Bobot
100 butir, intensitas serangan hama penggerek polong, dan hasil tanaman kedelai
Penggerek Polong
Perlakuan Bobot 100 butir (gr) Hasil (t ha-1)
(%)
P1 28,7 tn 1,6tn 1,45c
P2 28,9 1,5 1,43c
P3 28,1 1,3 1,67a
P4 29,6 2,0 1,60a
P5 29,1 2,0 1,55b
P6 29,0 2,1 1,56b
P7 28,3 1,7 1,27d
Keterangan: Nilai pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Mikroorganisme yang terkandung didalam pupuk organik hayati diduga berpengaruh


terhadap produksi tanaman kedelai. Azopririlium mempunyai kemampuan menambat N dari
udara dan mikroba pelarut fosfat yang dapat menambang P di dalam tanah menjadi P-
tersedia bagi pertumbuhan tanaman, sehingga dapat berproduksi dengan baik. Dari hasil
penelitian Isgitani et al. (2005) didapatkan bahwa pemberian bakteri pelarut fosfat dapat
meningkatkan jumlah dan berat biji serta secara nyata meningkatkan pertumbuhan vegetatif
tanaman jagung.
Menurut Djafar et al. (1990), salah satu faktor lingkungan yang sangat berperan
penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman adalah ketersediaan unsur hara
dalam jumlah cukup dan seimbang. Peningkatan serapan unsur hara yang dibantu oleh
mikroorganisme tentu akan meningkatkan produksi tanaman kedelai. Unsur hara yang
tersedia untuk pertumbuhan tanaman akan menyebabkan kegiatan penyerapan hara dan
fotosintesis berjalan dengan baik sehingga fotosintat yang terakumulasi juga ikut meningkat
dan akan berdampak terhadap jumlah polong. Sudjijo (1996) menyatakan bahwa besarnya
jumlah hara yang diserap oleh tanaman sangat bergantung dari pupuk yang diberikan,
dimana hara yang diserap oleh tanaman akan dimanfaatkan untuk proses fotosintesis yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun hasil yang diperoleh.

Analisis Usahatani

Tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usahatani suatu komoditas dihitung


berdasarkan nisbah penerimaan biaya input yang digunakan, sedangkan pendapatan
usahatani merupakan selisih antara nilai hasil dan biaya produksi. Hasil analisis usahatani

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 97
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
kedelai dengan adanya perbedaan perlakuan perlakuan teknologi budidaya. Usahatani
didasarkan pada pengeluaran dan penerimaan yang diterima petani sesuai dengan harga
yang berlaku saat penjualan berlangsung. Hasil analisis usahatani untuk setiap varietas dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Penerimaan tertinggi diperoleh pada kombinasi pupuk an organik 300 kg dengan pupuk
hayati limbah ulat sutra 100 ml, yaitu Rp. 10.020.000 dengan R/C ratio 3,04, sedangkan
penerimaan terendah diperoleh dari cara petani (kontrol) yaitu Rp. 7.620.000 dengan R/C ratio
2,54. Semua jenis perlakuan yang digunakan (termasuk kontrol) pada pengkajian menunjukkan
R/C >1, dengan demikian semua perlakuan tersebut layak diusahakan.
Keuntungan bersih tertinggi dari semua perlakuan diperoleh pada pada kombinasi pupuk
an organik 300 kg dengan pupuk hayati limbah ulat sutra 100 ml yaitu Rp. 6.720.000 dengan B/C
1,64. Menurut Borton (1982) jika B/C > 1, maka perlakuan tersebut memberikan nilai tambah
dan usahatani kedelai dalam skala agribisnis menguntungkan. Semua perlakuan yang dikaji
memiliki B/C >1, dengan demikian maka perlakuan-perlakuan tersebut menguntungkan dalam
skala agribisnis.

Tabel 6. Analisis Usahatani di Desa Labokong, Kecamatan Donri-Donri,


Kabupaten Soppeng, 2016
Perlakuan
Uraian
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
Saprodi Nilai (Rp) 1.300.000 1.300.000 1.500.000 1.200.000 1.400.000 1.400.000 1.400.000
Tenaga Kerja Nilai (Rp) 3.100.000 3.100.000 3.100.000 3.100.000 3.100.000 3.100.000 3.100.000
Total Biaya (Rp) 3.400.000 3.500.000 3.300.000 3.400.000 3.250.000 3.200.000 3.000.000
-1
Hasil (ton ha ) 1,45 1,43 1,67 1,60 1,55 1,56 1,27
Penerimaan (Rp) 8.700.000 8.580.000 10.020.000 9.600.000 9.300.000 9.360.000 7.620.000
Pendapatan (Rp) 5.300.000 5.080.000 6.720.000 6.200.000 6.050.000 6.160.000 4.620.000
R/C 2,56 2,45 3,04 2,30 2,86 2,93 2,54
B/C 1,64 1,69 1,49 1,77 1,77 1,52 1,65

KESIMPULAN
Hasil tanaman kedelai tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian pupuk NPK
Pelangi 250 kg ha=1+ 150 ml limbah ulat sutra sebagai pupuk hayati yaitu 1,67 t ha-1 dan
hasil terendah diperoleh pada perlakuan pupuk NPK Pelangi 300 kg ha=1 (kontrol) yaitu 1, 27
t ha-1. Keuntungan tertinggi dari semua perlakuan diperoleh pada pada kombinasi pupuk an
organik 300 kg dengan pupuk hayati limbah ulat sutra 100 ml yaitu Rp. 6.720.000

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan, 2013. Sulawesi Selatan dalam Angka, 2012. Makassar
Chusnia W., Tini S., dan Salamun, 2012. Kajian Aplikasi Pupuk Hayati dalam Meningkatkan
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kacang Hijau pada Polybag. Program Studi S1
Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.
Surabaya.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


98 | Teknologi Pertanian
Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, 2013. Laporan Tahunan. Dinas Tanaman
Pangan Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar
Djafar, Z.R. 1990. Dasar – Dasar Agronomi. Palembang.
Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian
(diterjemahkan dari : Statistical Prosedur for Agricultural Research, penerjemah : E.
Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hlm.
Hindersah, R., dan Tualar, S., 2004, Potensi Rhizobakteri Azotobacter dalam Meningkatkan
Kesehatan Tanah, Jurnal Natur Indonesia, Vol.1 No.2: 127-133
Istigani, M., S. Kabirun, dan SA Siradz. 2005. Pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat
terhadap pertumbuhan sorghum pada berbagai kandungan P tanah. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan. 5: 48-54.
Meirina, T., Darmanti, S., dan Haryanti, S., 2011, Produktivitas Kedelai (Glycine max (L) Merril
var. lokon) yang Diperlakukan dengan Pupuk Organik Cair Lengkap pada Dosis dan
Waktu Pemupukan yang Berbeda, Skripsi, Jurusan Biologi MIPA, Universitas
Diponegoro, Semarang
Purba, T. 2005. Isolasi dan uji efektifitas jenis MVA terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit
(Elais guineensis jacq) pada tanah Histosol dan Ultisol. Pascasarjana USU, Medan
Mindawati, N., Y. Sumarna, M.H. Lestari Tata, A.S. Kosasih. 1997. Pembuatan Kompos
Limbah Hutan dengan Bantuan Efektif Mikroorganisme (EM-4). Pedoman Teknis.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Risnawati, 2010. Pengaruh Pemberian Pupuk Urea dan Beberapa Formula Pupuk Hayati
Rhizobium pada Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Tanah Masam Ultisol. Fak. Sains
dan Teknologi Univ. Islam Malang. Malang
Sumarno A., 2012. Pengaruh Kombinasi Kompos Trichoderma Mikorihza Vesikuler
Arbuskuler (MVA) terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Media Tanah Kapur.
Jurnal Universitas Surabaya.
Sutrisno, 2009. Pupuk Mikrobiologis/Pupuk Hayati. http://ow.ly/KNICZ, diakses pada tanggal
06 April 2015.
Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006. Pupuk organik dan Pupuk Organik Hayati. Balai Besar
penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian. Bogor.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 99
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KERAGAAN KEGIATAN PENDAMPINGAN PENGEMBANGAN KAWASAN
AGRIBISNIS HORTIKULTURA SULAWESI BARAT

Ida Andriani dan Cicu

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat


Jl. H.Abdul Malik Pattana Endeng
Kompleks Perkantoran Pemprov. Sulawesi Barat
e-mail : ida.andriyani02@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan kegiatan ini adalah mempercepat proses adopsi inovasi teknologi bawang merah, cabai
dan jeruk dan meningkatkan penerapan inovasi teknologi serta Meningkatkatkan pengetahuan
petani/penyuluh melalui sosialisai; pelatihan; demplot inovasi teknologi bawang merah, cabai
dan jeruk; dan penyebaran informasi melalui media cetak dan elektronik. Kegiatan
pendampingan dilaksanakan di lokasi pengembangan kawasan Cabai dan Bawang Merah di Desa
Beru-Beru, kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju dan Demplot Jeruk di kabupaten Mamuju
Utara. Waktu pelaksanaan yaitu Januari sampai dengan Desember 2016. Demplot inovasi
teknologi dilaksakan pada poktan terpilih: demplot inovasi teknologi cabai pada poktan
Sirannuang II Desa Beru-Beru, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, seluas 0,25 ha, demplot
inovasi teknologi bawang merah pada poktan Sirannuang I Desa Beru-Beru, Kecamatan Kalukku,
Kabupaten Mamuju, seluas 0,20 ha, dan demplot inovasi teknologi jeruk pada poktan Tri Sejati
Desa Benggaulu, Kecamatan Dapurang, Kabupaten mamuju Utara, seluas 0,5 ha. Pembinaan dan
bimbingan inovasi teknologi pada kelompok tani dilakukan dengan metode diseminasi melalui
sosialisasi, pelatihan, dan penyebaran bahan informasi teknologi melalui media cetak, siaran
radio dan TV serta pendampingan aplikasi teknologi di lokasi demplot.
Kata kunci: Pendampingan Cabai,Bawang Merah dan Jeruk, demplot teknologi, paket teknologi,
informasi teknologi.

PENDAHULUAN
Cabai dan Bawang merah merupakan komoditas unggulan nasional. Komoditas ini
perlu mendapat perhatian khusus, karena mempengaruhi kehidupan petani, perekonomian
makro dan inflasi. Ditjen Hortikultura menetapkan Pengembangan Kawasan Bawang Merah
Tahun 2014 seluas 1.295 ha di 64 kabupaten dari 25 Provinsi, dengan target produksi 18.450
ton (Ditjen Horti, 2014). Pengembangan Kawasan Cabai Merah seluas 1.379 Ha pada 18
Provinsi (47 kab./kota); Pengembangan Kawasan Cabai Rawit Merah 960 Ha pada 18 Provinsi
(47 kab./kota).
Hasil kegiatan pendampingan hortikultura LPTP Sulawesi Barat tahun 2015
produktivitas sekitar 4,7 t/ha. Produktivitas bawang merah tersebut, khususnya di Sulawesi
Barat dipandang masih sangat rendah karena potensi hasil bawang merah berdasarkan hasil
penelitian dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran dapat mencapai 12–15 t/ha (Suwandi et al.
1997).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Sulawesi Barat (2013) tahun 2012 produksi
cabai besar di Sulawesi Barat sebesar 1917,5 ton dengan luas panen sebesar 619 hektar dan
rata-rata produktivitasnya 3,1 ton per hektar. Produktivitas ini masih sangat rendah jika

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


100 | Teknologi Pertanian
dibandingkan dengan pontensi hasil dari beberapa varietas unggul cabai yang dapat
mencapai 9-30 ton per ha (Badan Litbang Pertanian 2003; Wardani dan Purwanta 2008.
Di Sulawesi Barat, pada tahun 2007, jumlah tanaman jeruk siem yang menghasilkan
adalah 6.337.574 pohon dengan total produksi sekitar 464.998 ton. Pada tahun 2012 jumlah
pohon jeruk yang menghasilkan tinggal 547.243 pohon dengan total produksi sekitar 70.402,
8 ton (BPS Sulawesi Barat 2013). Salah satu faktor penyebab menurunnya populasi jeruk di
Sulawesi Barat adalah adanya serangan CVPD dan petani kurang memperhatikan
pemeliharaan tanaman jeruknya seperti pemangkasan dan sanitasi lingkungan. Tujuan
kegiatan ini adalah Mempercepat proses adopsi inovasi teknologi bawang merah, cabai dan
jeruk dan meningkatkan penerapan inovasi teknologi serta Meningkatkatkan pengetahuan
petani/penyuluh melalui sosialisai; pelatihan; demplot inovasi teknologi bawang merah,
cabai dan jeruk; dan penyebaran informasi melalui media cetak dan elektronik.

METODOLOGI
Kegiatan pendampingan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura (cabai,
bawang merah dan jeruk), dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan secara
partisipatif dan kemitraan antara peneliti, penyuluh dan petani. Kegiatan dilaksanakan di
lokasi pengembangan kawasan Cabai dan Bawang Merah di Desa Beru-Beru, kecamatan
Kalukku, Kabupaten Mamuju dan Demplot Jeruk di kabupaten Mamuju Utara. Waktu
pelaksanaan Januari sampai dengan Desember 2016. Bahan yang digunakan benih cabai,
bawang merah dan bibit jeruk berbagai varietas, pupuk organik, pupuk Urea, SP-36, KCl,
bahan kimia, Fungisida, insektisida, dan bahan pendukung plastik bening, mulsa MPHP,
kotak semai, plastik bumbunan, bambu, kain kasa, tali, gunting stek, gunting pangkas,
sprayer, box, timbangan, dan lain-lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Agar dapat berhasil dengan baik budidaya cabai, bawang merah, dan jeruk
diupayakan untuk memenuhi persyaratan teknis optimal diperlukan identifikasi teknologi
eksisting dalam pengelolaan usahatani komoditas tersebut. Identifikasi dilakukan dengan
metode Focus Group Discusion (FGD) sebagai upaya penggalian informasi yang lebih
mendalam kepada masyarakat. Hasil identifikasi teknologi eksisting tertera pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa, teknologi budidaya cabai di lokasi demplot (Desa
Beru-Beru, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju) sebagian petani sudah menerapkan
teknologi seperti penggunaan mulsa MPHP, namun cara pemasangan masih perlu perbaikan.
Pemupukan dilakukan seadanya (jenis dan dosis tidak teratur, biasanya menggunakan urea).
Petani cabai pada umunya melakukan persemaian di tempat terbuka sehingga diduga bibit
yang dipindahkan ke lapang sudah mengandung virus yang menunjukkan pertanaman di
lapang banyak yang terserang virus sebelum fase genertif.
Hal ini disebabkan karena petani belum mengelola usahataninya secara intensif,
Demikian juga di lokasi demplot inovasi teknologi bawang merah (Desa Beru-Beru,
Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju), teknologi budidaya bawang merah berdasarkan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 101
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
rekomendasi anjuran belum diterapkan oleh petani setempat karena pada umunya petani
belum dapat mengakses informasi teknologi dan juga belum mendapat penyuluhan
mengenai inovasi teknologi bawang merah.

Tabel 1. Hasil identifikasi teknologi eksisting di kawasan lokasi demplot cabai, bawang
merah, dan jeruk
Komoditas Aspek Teknologi Eksisting
Cabai Varietas Hibrida
Benih dan sumber benih toko tani
Persemaian ditempat terbuka dan sebagian besar belum melakukan penyapihan
Cara pengolahan tanah Cangkul, Traktor
Cara dan system tanam Monokultur
Pemupukan (organik & Tanpa/pupuk organi, Urea/Pupuk majemuk NPK dengan dosis dan waktu
anorganik) tidak teratur (pupuk sering tidak tersedia pada saat dibutuhkan)
Penggunaan mulsa Sebagian besar petani cabai menggunakan mulsa MPHP
Pemeliharaan (pemasangan Tidak/memasang ajir dan tidak melakukan penyiraman. Penyiangan dan
ajir, penyiangan, pengairan, pengendalian OPT menggunakan pestisid
pengendalian OPT
Panen dan Pascapanen Manual, petik pakai tangan, langsung jual
Produktivitas Rendah-sedang
Bawang Varietas Tidak jelas varietasnya
Merah
Benih dan sumber benih Beli di pasar/bantuan pemerintah
Cara pengolahan tanah Bajak, cangkul atau traktor
Cara dan system tanam Tugal dengan jarak tanam tidak teratur
Pemupukan (organik & belum/menggunakan pupuk organik/kompos. Pupuk anorganik: waktu dan
anorganik) dosis pupuk belum teratur
Penggunaan mulsa Belum menggunakan mulsa
Pemeliharaan: penyiangan, Tidak/melakukan pengairan, pengendalian OPT dengan pestisida kimia
pengairan, pengend. OPT
Panen dan pascapanen Cara manual, pengeringan dengan cara dikering anginkan
Produktivitas Masih rendah
Jeruk Varietas Keprok trigas, siem
Benih dan sumber benih Dari penangkar, berlabel, dan sebagian besar bibit yang digunakan tidak
diketahui sumbernya
Cara pengolahan tanah Persiapan lahan: pembabatan pohon, dibakar dan penyemprotan rumput
liar dengan herbisida, kemudian diajir
Cara dan system tanam Jarak tanam beragam, ukuran lubang tanam beragam. Bibit langsung
ditanam pada lubang tanam yang baru, pola tanam monokultur, waktu
tanam awal musim hujan
Pemupukan (organik & Jenis, dosis dan waktu pemupukan belum teratur, tidak dilakukan
anorganik) pengapuran
Pemeliharaan (penyiangan, Penyiangan, pemangkasan dan penjarangan buah kadang-kadang dilakukan
pengairan, pemangkasan, dan pengendalian OPT dengan pestisida kimia
pengendalian OPT
Panen dan pascapanen Pakai gunting
Produktivitas Rendah
Sumber: diolah dari data primer, 2016

Selain itu, petani bawang merah adalah pada umumnya petani padi sehingga belum
berpengalaman dengan usahatani komoditas bawang merah. Pada lokasi demplot inovasi
teknologi jeruk, meskipun petani belum menerapkan teknologi inovasi bukan berarti petani
belum mengetahui inovasi. Hal ini ditunjukkan di lokasi tersedia penangkar bibit jeruk
berlabel bebas penyakit, namun yang terjadi setelah bibit ditanam di lapangan biasanya

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


102 | Teknologi Pertanian
tidak diikuti dengan pemeliharaan yang intensif sehingga sulit diharapkan produksi yang
optimum. Alasan petani tidak melakukan pemeliharaan adalah kurangnya tenaga kerja
dimana luas lahan garapan sekitar 2–5 ha.

Penyebarluasan Inovasi Teknologi melalui Media Cetak

Keefektifan komunikasi selain dipengaruhi oleh pemandu lapang sebagai sumber


informasi, inovasi teknologi yang didiseminasikan, karakteristik petani, juga dipengaruhi oleh
saluran komunikasi. Jenis saluran informasi (media komunikasi) yang biasa digunakan dalam
diseminasi inovasi teknologi antara lain tatap muka langsung, studi banding, diskusi,
brosur/leaflet, dan buku panduan. Pada kegiatan pendampingan PKAH Sulawesi Barat TA.
2016, media komunikasi yang digunakan untuk diseminasi inovasi teknologi adalah
pelatihan, demplot inovasi teknologi, dan melalui media cetak (booklet). Penyebaran inovasi
melalui media cetak (booklet) tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Penyebarluasan inovasi teknologi (booklet)


Petunjuk Teknis Budidaya
Inovasi Cabai Inovasi Bawang merah Inovasi Jeruk
Penggunaan varietas unggul
Benih bermutu, cara penyediaan media Cara pengunaan mulsa MPHP
untuk pembibitan Cara penyiapan lahan
Cara pembibitan di rumah kasa Cara tanam
Perlakuan benih untuk mencegah Pemupukan Cara penyiapan bibit
serangan hama/penyakit Pengaturan jarak tanam Cara penyiapan lahan dan
Cara pembuatan bedengan Panen dan pasca panen persiapan tanam
Pengapuran Penggunaan sungkup untuk Cara tanam
Cara penggunaan mulsa hitam perak pengendalian ulat bawang Pemupukan dan aplikasi
(MPHP Penggunaan Feromon Exi untuk kapur pertanian
Pemupukan memerangkap ngengat Spodoptera cara pemangkasan
Penggunaan ajir penopang tanaman exigua Monitoring dan
Cara pengendalian lalat buah dengan Perangkap likat kuning dan pengendalian OPT
menggunakan perangkap botol bekas air perangkap berjalan untu k hama
mineral dan metil eugenol lalat daun
Penggunaan perangkap likat kuning dan Lampu perangkap hama
biru
Sumber: diolah dari data primer, 2016

Demplot Inovasi Teknologi

Tabel 3. Perumusan perbaikan teknologi Cabai, Bawang Merah dan Jeruk


Komoditas Aspek Komponen Teknologi Uraian
Cabai Varietas Horison, kencana penggunaan benih bermutu, jelas varietas dan
sumbernya, dan tersedia saat dibutuhkan,
Benih dan Hibrida Panah Merah
sumber
Cara Pembuatan bedengan Pembalikan/pemecahan bongkahan tanah 2 kali.
pengolahan Pemasangan MPHP Pembuatan bedengan disesuaikan lebar mulsa.
tanah Pemasangan pupuk kandang dan mulsa MPHP
Cara dan Pembibitan Dilakukan persemaian benih, pembumbunan dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 103
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Komoditas Aspek Komponen Teknologi Uraian
system tanam Transplanting pemeliharaan bibit di rumah kasa
Jarak tanam Jarak tanam cabe 60 x 60 cm. Penerapan pola
tanam monokultur
Pemupukan Pupuk organic Pemupukan berdasarkan rekomendasi Balitsa
Pupuk anorganik
Pemeliharaan Ajir Pemasangan ajir bamboo
Pengendalian OPT Pengendalian hama/penyakit berdasarkan PHT
Panen dan Cara panen Menggunakan alat gunting pangkas
pascapanen
Bawang Varietas Katumi, Pikatan, penggunaan benih dari umbi bibit bawang merah
Merah Mentes yang bermutu
Benih dan VUB Kelompok tani binaan BPTP Sulsel
sumber
Cara Pembuatan bedengan Bajak Traktor dan Cangkul, Pembuatan bedengan
pengolahan dan aplikasi pupuk
tanah
Cara dan Jarak tanam dan cara jarak tanam 20 cm x 15 cm, dan cara tanam tugal
system tanam tanam pada lubang tanam, menggunakan mulsa MPHP
Penerapan pola tanam monokultur
Pemupukan Pupuk organik Pemupukan berdasarkan rekomendasi hasil kajian
Pupuk anorganik LPTP

Pemeliharaan Pengendalian OPT Pengendalian hama/penyakit berdasarkan PHT


Panen dan Cara panen Cara manual
pascapanen pascapanen pengeringan dengan cara alami
Jeruk Varietas Varietas Keprok - bibit bermutu bebas penyakit
Selayar, Tejakula,
Madura, Borneo Prima,
dan Siem Madu
Benih dan Benih berlabel Koperasi CITRUS Balitjestro
sumber
Cara Persiapan lahan, Rekomendasi Balitjestro
pengolahan lubang tanam, dan
tanah penggunaan pupuk
kandang
Cara dan Cara tanam Rekomendasi Balitjestro
sistem tanam
Pemupukan Pemberian pupuk dan Jenis, dosis, dan cara aplikasi pupuk berdasarkan
dasar cara aplikasi pupuk rekomendasi Balitjestro.
serta
Sumber: diolah dari data primer, 2016

Pendampingan Penerapan Inovasi Teknologi

Pendampingan penerapan inovasi teknologi dilakukan mulai dari persiapan lahan,


pembibitan, pemupukan, pemeliharaan tanaman hingga panen. Inovasi teknologi yang
diterapkan pada demplot cabai, bawang merah, dan jeruk tertera pada Tabel 4.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


104 | Teknologi Pertanian
Tabel 4. Paket teknologi yang diterapkan di lokasi Demplot Cabai, Bawang Merah, dan Jeruk
TA. 2016
Komoditas Jadwal Paket Teknologi yang diterapkan
Waktu
Cabai 4-5 minggu Benih cabai disemai di kotak persemaian yang berisi tanah campur pupuk
sebelum kandang (2:1) yang telah diayak
tanam
3-2 minggu Penyapihan (bibit dari bak semai dipindahkan ke dalam bumbungan yang terbuat
sebelum dari plastic kokker (berisi media seperti pada media semai) yang berukuran 7 x 11
tanam cm.
2 minggu Pengolahan tanah. Pembuatan bedengan dengan lebar disesuaikan dengan lebar
sebelum MPHP
Tanam
1 minggu Pemasangan pupuk kandang dan mulsa MPHP
sebelum
Tanam
1 hari Pembuatan lubang tanam dan pemasangan pupuk dasar (NPK15:15:15) dosis
sebelum berdasarkan rekomendasi Balitsa
tanam
Penanaman bibit di lapangan setelah berdaun 4 helai (sekitar 3-4 minggu dalam
0 minggu
bumbungan) dengan jarak tanam 60 x 60 cm atau 60 x 70 cm
Pemasangan ajir bambu setinggi 1 m dekat pertanaman sebagai penopang agar
2 minggu
cabai tidak rebah, dan pemasangan perangkap likat kuning, perangkap likat biru,
setelah
dan perangkap lalat buah
Tanam
Pemupukan susulan
30-45 hari Memonitor perkembangan hama dan penyakit tanaman, Pengendalian
setelah hama/penyakit system PHT.
tanam
70 hari Panen dilakukan setelah tanaman berumur 70 hst, menggunakan gunting
setelah pangkas. Frekuensi panen dilakukan 1 – 2 minggu sekali
tanam
Bawang Pengolahan tanah dilakukan dengan bantuan Traktor. Tanah digemburkan
4 minggu
Merah kemudian dibuat bedengan. Setiap unit bedengan dengan tinggi 40 cm dan lebar
sebelum
disesuaikan lebar mulsa, panjang bedengan disesusikan dengan kebutuhan lahan,
tanam
antar bedengan dibuat parit-parit drainase dengan kedalaman dan lebar 30 cm.
1 minggu pemberian pupuk dasar SP-36 250 kg/ha, pupuk kandang ayam 15,0 t/ha.
sebelum kemudian pemasangan mulsa MPHP
tanam
Penyiapan umbi bibit. Umbi bibit yang digunakan adalah varietas Katumi, Pikatan
1 hari
dan Mentes. Sebelum tanam, benih umbi bibit bawang merah dibersihkan dari
sebelum
daun kering yang masih menjumbal diujung umbi, kemudian dipotong ujungnya
tanam
0 Minggu Penanaman secara tugal dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm. Cara penanaman,
umbi bawang merah dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan gerakan seperti
memutar sekerup sampai ujung umbi tampak rata dengan permukaan tanah.
Setelah tanam, seluruh lahan disiram dengan embrat yang halus.
15 hari Pemupukan susulan I berupa pupuk Urea sebanyak 100 kg/ha dan NPK sebanyak
setelah 150 kg/ha
tanam Pertumbuhan gulma pada pertanaman bawang merah yang masih muda sampai
umur 2 minggu sangat cepat. Oleh karena itu penyiangan merupakan keharusan.
Pengendalian OPT menggunakan pestisida

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 105
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Komoditas Jadwal Paket Teknologi yang diterapkan
Waktu
Pemupukan susulan II Urea sebanyak 100 kg/ha dan NPK sebanyak 150 kg/ha.

30 hari Panen dan pasca panen


setelah Tanaman bawang merah dipanen setelah terlihat tanda-tanda 60% leher batang
tanam lunak, tanaman rebah, dan daun menguning.
Bawang merah yang telah dipanen kemudian diikat pada batangnya untuk
mempermudah proses pasca panen.
60-70 hari umbi dikering anginkan dengan cara menjejer umbi di bawah tempat teduh
setelah dengan alas para-para dari bambu sampai cukup kering (1-2 minggu), kemudian
tanam diikuti dengan pengelompokan berdasarkan kualitas umbi.
Umbi yang tidak langsung dijual, diikat pada batangnya, lalu disimpan dengan
cara menggantungkan ikatan-ikatan bawang merah di gudang.

Jeruk Awal Persiapan lahan dan lubang tanam


musim Langkah-langkah yang dilakukan dalam persiapan lahan adalah sebagai berikut:
hujan Pembersihan lahan dari rumput dan semak
Ajir dengan ukuran jarak tanam 5m x 5m
Buat lubang tanam berukuran 60 x 60 x 60 cm
Biarkan terbuka selama 1 minggu
Campur 10 kg pupuk kandang dengan tanah top soil
Campuran pupuk kandang dan tanah top soil dimasukkan ke dalam lubang
Biarkan selama 1-2 minggu sebelum ditanami
0 minggu Penyiapan bibit. Sebelum tanam, bibit jeruk di atur perangkaranya, akar
tunggang yang bengkok dipotong, tunas cabang yang panjang dipotong,
kemudian celupkan ke dalam lumpur yang diberi fungisida sistemik, lalu diangkat
dikering anginkan
Bibit (Varietas Keprok Selayar, Tejakula, Madura, Borneo Prima, dan Siem Madu ),
ditanam pada lubang tanam yang telah dipersiapkan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penanaman adalah sebagai berkut:
Sediakan bibit jeruk unggul bermutu
Periksa kesiapan lubang tanam
Gali lubang seukuran polibag
Bibit jeruk sebelum dimasukkan ke dalam lubang, polibag dibuka secara hati-hati
Timbun dengan tanah yang bercampur pupuk kandang hingga mencapai 3-4 cm
di atas leher akar
Padatkan timbunan, kemudian disiram dengan air secukupnya
Beri naungan untuk mengurangi evaporasi
> 1bulan Pemeliharaan disesuaikan dengan kebutuhan (berdasarkan rekomendasi
Balitjestro).
Pemangkasan tanaman bertujuan agar terbentuk arsitektur tajuk tanaman yang
ideal sehingga dicapai produktivitas dan mutu buah yang optimal.
Sanitasi adalah pembersihan lahan dari sisa pangkasan dan cabang-cabang yang
berserakan di kebun. Langkah-langkah kegiatannya adalah mengumpulkan sisa
pangkasan/cabang-cabang pada salah satu alur disisi pinggir lahan/ kebun atau
dikumpulkan pada satu tempat dan kemudian dibakar.
Monitoring hama dan penyakit menggunakan perangkap likat kuning
Sumber: diolah dari data primer, 2016

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


106 | Teknologi Pertanian
KESIMPULAN
Pembinaan dan bimbingan inovasi teknologi pada kelompok tani melalui sosialisasi,
pelatihan, dan penyebaran bahan informasi teknologi melalui media cetak, siaran radio dan
TV serta pendampingan aplikasi teknologi di lokasi demplot terbukti dapat memotivasi
petani berusahatani lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Aisha, A.H., Rizk, F.A., Shaheen, A.M. and Abdel-Mouty, M.M. 2007. Onion plant growth,
bulbs yield and its physical and chemical properties as affected by organic and natural
fertilization. Research Journal of Agriculture and Biological Science, 3 (5): 380-388.
Badan Litbang Pertanian. 2003. Agrotek. Informasi Teknologi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian
Direktorat Jenderal Hortikultura, 2011. Info Hortikultura.Media Komunikasi Direktorat
Jenderal Hortikultura.No.08(tahun V) 2011.
Direktorat Jenderal Hortikultura, 2014. Rancana Aksi Bukittinggi (peningkatan produksi
pangan) bawang merah dan cabai. Materi disampaikan pada Acara Raker Konsolidasi
Kegiatan Pendampingan Program Strategis Kementan untuk Pencapaian Sasaran
Produksi 7 Komoditas Utama, IPB Convention Center-Bogor.28 Januari 2014.
Moekasan, K.T., L. Prabaningrum, dan M.L. Ratnawati. 2005. Penerapan PHT pada Sistem
Tanam Tumpang Gilir Bawang Merah dan Cabai. Monografi No. 19. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang.
Moekasan, T.K., Basuki, R.S. dan L. Prabaningrum. 2012. Penerapan ambang pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan pada budidaya bawang merah dalam upaya
mengurangi penggunaan pestisida. J.Hort. 22(1):47-56.
Nurjanani dan Ramlan. 2008. Pengendalian hama Spodoptera exigua Hbn. untuk
meningkatkan produktivitas bawang merah pada lahan sawah tadah hujan di
Jeneponto, Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 11(2): 163−169.
Ridwan, H.K., A. Ruswandi, Winarno, A. Muharam, dan Hardianto. 2008. Sifat Inovasi dan
Aplikasi Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat dalam Pengembangan
Agribisnis Jeruk di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. J. Hort 18(4):477-490.
Rukmana, R. 2008. Cabai Hibrida System Mulsa Plastik. Kanisius. Jakarta. 92 hal.
Sumarni, N dan A. Muharam. 2005. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Panduan Teknis PTT
Cabai Merah No. 2. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Puslitbang Hortikultura. Badan
Litbang Pertanian. 37 hal.
Suryaningsih, E. dan A.A. Asandhi. 1992. Pengaruh pemupukan system petani dan system
berimbang terhadap intensitas serangan penyakit cendawan pada bawang merah
varietas Bima. Bul. Penel. Hort. 24(2): 19-26.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 107
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Suwandi, R. Rosliani, dan T.A. Soetiarso. 1997. Perbaikan teknologi budidaya bawang merah
di dataran medium. J. Hort. 7(1): 541-549.
Suwandi. 1998. Optimasi input produksi budidaya sayuran. Inovasi teknologi pertanian.
Seperempat abad penelitian dan pengembangan pertanian. Badan Litbang Pertanian.
P. 540-549.
Wardani, N dan J.H. Purwanta. 2008. Teknologi Budidaya Cabai Merah. Seri Buku Inovasi:
TH/05/2008. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. 22 hal.
Vos, J.G.M. dan N. Sumarni. 1991. Pengaruh Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Hortikultura. Lembang, Bandung.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


108 | Teknologi Pertanian
KERAGAAN TEKNOLOGI INTEGRASI KAKAO-KAMBING
DALAM M-P3MI DI MAMUJU-SULAWESI BARAT

Ida Andriani dan Erny Rossanti Maruapey

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat


Jl. H.Abdul Malik Pattana Endeng
Kompleks Perkantoran Pemprov. Sulawesi Barat
e-mail : ida.andriyani02@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperluas jangkauan dan penggunaan teknologi berbasis
teknologi inovasi Badan Litbang Pertanian khususnya teknologi integrasi tanaman kakao dengan
ternak kambing. Kegiatan m-P3MI dilaksanakan di Desa salubara’na, Kecamatan Sampaga,
kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Dilaksanakan bulan Januari–Desember 2014 yang terdiri
dari aspek antara lain (1) aspek inovasi teknologi meliputi teknolgi budidaya kakao, budidaya
ternak, pengolahan limbah; (2) aspek kelembagaan yaitu rekayasa kelembagaan. Hasil yang
dicapai adalah (1) keragaan teknologi dalam pelaksanaan kegiatan m-P3MI meliputi: teknologi
budidaya tanaman kakao dan budidaya ternak kambing, teknologi produksi kakao-ternak
kambing, teknologi pakan, teknologi pengolahan hasil samping tanaman kakao,tanaman
pelindung dan ternak kambing; (2) rekayasa kelembagaan meliputi: (a) revitalisasi aturan main
organisasi yakni yang semula belum terbentuknya pembagian peran dan fungsi kelompok
tani/peternak menjadi organisasi kelompok tani yang saling berbagi peran dalam mendukung
usahatani tanaman kakao, usahatani ternak kambing dan usahatani pengolahan limbah; (b).
Penyempurnaan struktur dan fungsi organisasi kelompok tani/gapoktan yang sebelumnya hanya
dimanfaatkan untuk mendapatkan Baksos/proyek. Kegiatan m-P3MI berbasis tanaman kakao
yang diintegrasikan dengan ternak kambing di kabupaten Mamuju dapat meningkatkan
pendapatan petani kakao/peternak kambing sebesar 93%.
Kata Kunci: keragaan, teknologi, kelembagaan, kakao, kambing, perdesaan

PENDAHULUAN
Badan Litbang pertanian telah menghasilkan banyak teknologi produksi peningkatan
produksi dan pendapatan usahatani yang telah siap diterapkan dari hasil penelitian dan
pengkajian. Sebagain dari teknologi tersebut telah disebar dan diterapkan oleh pengguna
dan stakeholders, akan tetapi pengembangannya secara luas masih perlu dilakukan
percepatan. Diperlukan adanya strategi percepatan yang lebih proaktif dan sinergis untuk
dapat sampai ke petani dan diadopsi. Percepatan adopsi teknologi tersebut dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat tani, dan umumnya dalam memecahkan
berbagai kendala pembangunan pertanian dengan lebih cepat pula.
Program m-P3MI dirancang untuk menjadi wadah yang mampu mensinergikan antara
komponen-komponen dalam satu system diseminasi sehingga percepatan adopsi teknologi
mulai dari lembaga penyedia teknologi, penyalur teknologi, sampai ke pengguna dapat
berjalan baik. Kegiatan ini sifatnya partisipatif yang mengintegrasikan berbagai program
strategis daerah dengan berbagai model yang telah dikembangakan seperti organisasi dan
model kelembagaan pada program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP),

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 109
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Model Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dan Gerakan
Nasional Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao (Gernas Kakao).
Pemilihan komoditas tanaman kakao sebagai komoditas utama pada kegiatan m-
P3MI karna tanaman kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan di
Sulawesi Barat yang perannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya
sebagai penyedia lapangan kerja dan devisa Negara. Disamping itu, untuk mensinergikan
antara program Kementerian Pertanian dengan program Pemerintah Daerah setempat yakni
program Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao (GERNAS Kakao).
Secara umum produktivitas kakao dan mutu kakao masih rendah karena sistem
budidaya tanaman kakao yang tidak optimal, kurangnya pemeliharaan tanaman,
pengendalian hama penyakit kakao yang belum dilaksanakan dengan baik dan benar,belum
dilaksanakan integrasi pada tanaman kakao, lemahnya peranan kelembagaan, baik
kelembagaan di tingkat petani (lembaga kelompok tani, lembaga produksi, lembaga
pemasaran, lembaga pasca panen), maupun kelembagaan pendukung di luar sistem
usahatani (lembaga pemasaran, lembaga penyuluhan, lembaga keuangan mikro dan
sebagainya) serta lambatnya adopsi inovasi teknologi. Kecenderungan melambatnya adopsi
inovasi teknologi terjadi antara lain karena diseminasi inovasi teknologi belum efektif
dilaksanakan.
Sulawesi Barat merupakan salah daerah penghasil Kakao tertinggi di Indonesia.
Perkebunan kakao di Sulawesi Barat saat ini mampu menghasilkan kakao sekitar 150 ribu ton
lebih dengan luas areal lahan sekitar 180.853 ha yang tersebar di lima kabupaten.
Kabupaten Mamuju merupakan daerah penghasil kakao terbesar dari lima kabupaten hingga
saat ini dengan luas lahan 65.448 ha dan roduksi 53.457,9 ton/tahun (BPS Sulbar, 2012;
Disbun Sulbar, 2012), produktivitas tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan potensi
tanamnnya. Dimana produksi kakao ditingkat petani masih sangat rendah ± 790 kg/ha,
meskipun produktivitas kakao pada perkebunan besar meningkat menjadi 1,21
ton/ha/tahun, namun masih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian/potensi hasil
sebesar 2,34 ton/ha/tahun (Limbongan dan Sarasutha 2002).
Hal ini disebabkan karena lemahnya penguasaan teknologi inovasi pertanian
khususnya tanaman kakao yang berakibat buruk pada system pengelolaan usahatani kakao.
Terdapat kecenderungan aakan lemahnya tingkat SDM petani yang diakibatkan oleh
lemahnya akses petani terhadap sumber-sumber teknologi. Upaya peningkatan pendapatan
petani di daerah ini dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan petani dalam
menerapkan inovasi teknologi dan terbatasnya kemampuan petani dalam mengakses
informasi pasar. Kondisi tersebut menempatkan petani semakin terburuk dalam
ketidakberdayaan secara finansial. Program m-P3MI, diharapkan dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut sehingga produksi dan pendapatan serta
kesejahteraan petani meningkat pula.
Tulisan ini bertujuan mendiskripsikan keragaan inovasi teknologi integrasi kakao-
kambing dan penerapannya pada pelaksanan program m-P3MI di Kabupaten Mamuju dalam
peningkatan pendapatan petani kakao/peternak.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


110 | Teknologi Pertanian
METODOLOGI
Kegiatan m-P3MI dilaksanakan di Desa Salubara’na, Kecamatan Sampaga, Kabupaten
Mamuju mulai bulan Januari-Desembar 2014. Kegiatan ini difokuskan pada penguatan model
integrasi tanaman kakao dengan ternak kambing antara lain peningkatan produksi dan mutu
kakao dengan proses perbaikan budidaya dan pasca panen kakao, budidaya ternak,
penguatan kelembagaan petani, peningkatan mutu laboratorium Inovasi, peningkatan
jumlah keluarga petani dalam kawasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan m-P3MI

Pada pelaksanaan kegiatan tahun 2014 yang merupakan lanjutan dari tahun
sebelumnya dan setelah dilakukan sosialisasi kegiatan di petani, jumlah petani yang
berminat untuk ikut menjadi koperator bertambah. Perkembangan jumlah kelompok dan
petani koperator pada pelaksanaan kegiatan m-P3MI tahun 2014 disajikan pada Tabel 1
sebagai berikut.

Tabel 1. Perkembangan petani koperator, luas, produksi dan jumlah ternak pada
pelaksanaan kegiatan m-P3MI tahun 2014
Tahun Kegiatan
No Uraian
2011 2012 2013 2014
1. Jumlah Petani kooperator 11 43 77 91
2. Luas Tanaman Kakao (ha) 5 10 150 178
3. Produksi kakao (ton) 775 929 1.023 1.025
4. Jumlah ternak kambing (ekor) - 15 63 79
Sumber: diolah dari data primer, 2014.

Pada Tabel 1, menunjukkan bahwa jumlah kelompok tani koperator bertambah setiap
tahun selama 4 tahun pelaksanaan kegiatan m-P3MI di Sulawesi Barat. Kelompok tani yang
terlibat sebagai kelompok koperator pada tahun yaitu kelompok tani Manurung Jaya,
Harapan Baru, Rahmat, Ingin Maju dan Sipatuo. Petani yang menjadi koperator yang
tergabung dalam 5 kelompok tani jumlah sebanyak 91 petani (KK) masing-masing untuk
kelompok tani Manurung Jaya sebanyak 12 KK, Harapan Baru 20 KK, Rahmat 35 KK, ingin
Maju 12 KK dan Sipatuo 12 KK.
Peningkatan jumlah petani koperator tersebut merupakan dampak dari peningkatan
pendapatan petani yang menjadi koperator tahun sebelumnya. Para petani koperator yang
baru masuk tahun 2014 memiliki keinginan yang samadengan petani koperator sebelumnya,
yaitu ingin memperbaiki usahatani kakao-nya dan pendapatannya bias meningkat pula.

Keragaan Teknologi

Kegiatan m-P3MI menginisiasi muatan teknologi untuk memberdayakan masyarakat


tani dengan mengintroduksi tekologi adaptif sehingga mudah diadopsi oleh petani.
Menyediakan teknologi adaptif untuk diadopsi oleh petani mengandung arti menyediakan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 111
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pilihan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun inovasi teknologi
yang diintroduksi pada kegiatan Model sistem integrasi tanaman kakao dengan ternak
kambing adalah model usahatani integrasi, pemeliharaan disarankan dilaksanakan dengan
pola intensif (dikandangkan penuh), dengan pertimbangan beberapa aspek diantaranya
adalah daya dukung pakan, ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan kapasitas daya tampung
kandang. Berikut ini beberapa keragaan teknologi berbasis tanaman kakao-ternak kambing
yang terdapat pada lokasi m-P3MI di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat 2014.

Tabel 2. Keragaan teknologi yang direkomendasi dalam integrasi tanamanan kakao-ternak


kambing pada kegiatan m-P3MI di Kabupaten Mamuju.
No Komponen Teknologi Rekomendasi
Budidaya Tanaman Kakao
1 Teknologi Pembibitan Pemilihan bibit yang bebas dari penyakit dan bersertifikasi
2. Teknologi Penanaman Penggunaan bibit dengan memilih tajuk yang baik
Jarak tanam 3x3 m dengan pohon pelindung berjarak 9 x 9 m. atau 3,2 x 3,2m
dengan pohon pelindung 8,64 x 8,64 m. atau 2,5 x 3,3 m dengan pohon
pelindung 5 x 6 m.
3. Teknologi Pemupukan Melakukan pemupukan dengan cara menaburkan pupuk dengan jarak 15-50 cm
dari batang utama saat umur kakao 2-10 bulan
Melakukan pemupukan dengan jarak 15-50 cm dari batang utama saat umur
kakao 14-20 bulan
Melakukan pemupukan dengan jarak 50-75 cm dari batang utama saat kakao
sudah berproduksi setiap 3 bulan sekali
Menggunakan pupuk organik dan anorganik secara berimbang.
4. Teknologi pemangkasan Tinggi tajuk tidak lebih dari 4 m
Melakukan pemangkasan setiap 2 x setahun diawal masa tumbuh
Melakukan pemangkasan bentuk setiap 2 bulan sekali saat sudah berproduksi
5. Teknologi Pengendalian Hama Melakukan pengendalian hama terpadu dengan cara:
Panen saat buah kakao masak dengan rotasi panen seminggu sekali (panen
sering)
Memberikan insektisida bila serangan PBK banyak dengan cara penyemprotan
pada buah kakao dan cabang horizontal
Membuang buah yang memiliki gejala busuk buah dan mengandung ulat
dengan cara dibenam dalam tanah sedalam 30 cm
6. Teknologi Pengendalian Gulma Membersihkan piringan kakao dengan diameter 0,5 m (sanitasi kebun).
Budidaya Ternak Kambing
1. Teknologi Perkandangan Sistem pemeliharaan dilakukan pola intensif (dikandangkan penuh)
Kandang dibuat sistem panggung pada ketinggian minimal 75 cm.
2 2
Ukuran luas kandang 13 m atau 1 m /ekor dengan kapasitas tampung
maksimal 5 ekor induk kambing.
Dibawah kandang dilengkapi kolong tempat penampungan limbah kambing.
2. Teknologi Pakan Memberikan pakan hijauan (tanaman naungan kakao) dan limbah kakao buah
kakao (Silase dari KBK)
Pengolahan limbah tanaman kakao-ternak kambing
1. Teknologi pengolahan kompos Kompos yang dihasilkan 4 kg/hari (0,3 kg/ekor/hari) pada skala 13 ekor kambing
dari feses kambing 120kg/bulan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik sekitar 20 pohon kakao
(rataan 6 kg/pohon) sehingga dapat menghemat pengeluaran penggunaan
pupuk kimia
2. Teknologi pupuk organik cair/bio Limbah urine kambing 0,8 liter/ekor/hari dapat menghemat pembelian bahan
urine starter pembuatan POC/biourine
Sumber: Data primer, 2014.

Skala usaha integrasi tanaman kakao dengan ternak kambing direkomendasikan


minimal sebanyak 5 ekor induk kambing untuk setiap petani dengan 1 ekor kambing

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


112 | Teknologi Pertanian
pejantang pada 2-3 petani (secara kelompok) (Priyanto, 2008), dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a) Pemeliharaan 5 ekor induk, maka kapasitas tampung kandang secara kontinyu
mencapai 13 ekor, dengan asumsi penjualan anak dilakukan pada umur 8 bulan.
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah anak sekelahiran (litter size) sebesar 1,71 ekor,
tingkat kematian anak 5% pada kasus kambing peranakan Etawah (PE) kondisi
pedesaaan (Subandriyo et al., 1995), lama kebuntingan 5 bulan dan kondisi siap kawin
kembali 3 bulan (jarak beranak mencapai 8 bulan), dengan penjualan anak rutin umur 8
bulan, maka kapasitas maksimal ternak kambing yang ada dikandang mencapai 13 ekor.
b) Daya dukung maksimal kulit kakao dengan pemilikan areal 1 ha adalah 6 ekor, dengan
pemberian 1,5 kg/hari. Target ideal dengan skala 5 ekor induk adalah petani memiliki
lahan kakao seluas 1,5 ha. Apabila pemberian kulit kakao dikurangi menjadi 1 kg/ekor,
maka dalam areal 1 ha kebun kakao berpeluang memberikan daya dukung sebesar 9
ekor kambing, dengan konsekuensi komposisi hijauan yang diperbanyak yang dapat
diperoleh dari lahan kebun kakao (tanaman pelindung).
c) Pemeliharaan dengan skala 5 induk, jumlah anak yang dilahirkan mencapai 8 ekor
selama 8 bulan, sehingga selama satu tahun mampu menghasilkan anak 12 ekor.
d) Produksi kompos yang dihasilkan sekitar 4 kg/hari (0,3 kg/ekor/hari) pada skala 13 ekor
kambing, akan diperoleh 120 kg/bulan. Kompos tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organik tanaman kakao sekitar 20 pohon (rataan 6 kg/pohon), yang secara
bertahap akan mampu mendukung peningkatan produktivitas, maupun efisiensi input
produksi pada usahatani kakao petani.
Selama kegiatan berlangsung, yaitu sejak tahun 2011 sampai 2014, adopsi inovasi
teknologi integrasi kakao dengan ternak kambing oleh kelompok/anggota petani koperator
terus meningkat dari tahun ketahun. Adopsi inovasi teknologi juga terjadi pada petani diluar
anggota kelompok koperator, baik dalam didalam maupun diluar wilayah desa Salubara’na.
Periode waktu adopsi inovasi oleh kelompok/anggota koperator disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Periode waktu adopsi inovasi teknologi oleh anggota kelompok tani
Jumlah
No Waktu Adopsi Inovasi Teknologi Jenis Teknologi yang di introduksi
(orang)
1. Langsung setelah melihat 5 Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan
pelatihan/demonstrasi teknologi limbah kakao.
2. Satu bulan setelah pelatihan 11 Penaman tanaman pelindung (gamal)
Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan
limbah kakao
3. Setelah satu musim (6 bulan) 25 Penaman tanaman pelindung (gamal)
Pembuatan rorak di kebun kakao
Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan
limbah kakao (promi)
Penerapan teknologi P3S (pemangkasan, pemupukan, panen
sering dan sanitasi)
4. Setelah satu tahun 32 Penaman tanaman pelindung (gamal)
Pembuatan rorak di kebun kakao
Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 113
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Jumlah
No Waktu Adopsi Inovasi Teknologi Jenis Teknologi yang di introduksi
(orang)
limbah kakao (promi)
Penerapan teknologi P3S (pemangkasan, pemupukan, panen
sering dan sanitasi)
5. Setelah tahun ke-2 (2012) 100 Penaman tanaman pelindung (gamal)
Pembuatan rorak di kebun kakao
Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan
limbah kakao (promi)
Penerapan teknologi P3S (pemangkasan, pemupukan, panen
sering dan sanitasi)
Pembuatan kandang kambing
Integrasi ternak kambing dengan tanaman kakao
Pembuatan pakan ternak kambing dari limbah kulit kakao
Pengolahan limbah ternak kambing (kompos)
6. Setelah tahun ke-3 (2013) 125 Penaman tanaman pelindung (gamal)
Pembuatan rorak di kebun kakao
Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan
limbah kakao (promi)
Penerapan teknologi P3S (pemangkasan, pemupukan, panen
sering dan sanitasi)
Pembuatan kandang kambing
Integrasi ternak kambing dengan tanaman kakao
Budidaya ternak kambing
Pembuatan pakan ternak kambing dari limbah kulit kakao
Pengolahan limbah ternak kambing (feses menjadi kompos
dan urien menjadi pupuk cair)
7. Setelah tahun ke-4 220 Penaman tanaman pelindung (gamal)
Pembuatan rorak di kebun kakao
Teknologi Pembuatan pupuk organik dengan pemanfaatan
limbah kakao (promi)
Penerapan teknologi P3S (pemangkasan, pemupukan, panen
sering dan sanitasi)
Pembuatan kandang kambing
Integrasi ternak kambing dengan tanaman kakao
Budidaya ternak kambing
Pembuatan pakan ternak kambing dari limbah kulit kakao
Pengolahan limbah ternak kambing (feses menjadi kompos
dan urien menjadi pupuk cair)
Sumber: diolah dari data primer, 2014.

Penerapan teknologi budidaya tanaman kakao, teknologi budidaya ternak kambing


dan teknologi pengolahan limbah di desa Salubara’na disajikan pada Tabel 4:

Tabel 4. Tingkat adopsi inovasi atau penerapan Teknologi Integrasi Tanaman Kakao-Ternak
Kambing Tahun 2014
Kelompok tani (%) Rata-
No Komponen Teknologi
Manurung Jaya Harapan Baru Rahmat Ingin Maju Sipatuo rata
1. Teknologi budidaya tanaman
11.20 56.80 68.57 46.40 37.60 44.11
kakao
2. Teknologi budidaya ternak
16.00 32.00 52.00 28.00 28.00 31.20
kambing
3. Teknologi pengolahan limbah 30.00 44.00 50.00 30.00 30.00 36.80
Rata-rata 19.07 44.27 56.86 34.80 31.87 37.37
Sumber: diolah dari data primer, 2014.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


114 | Teknologi Pertanian
Pada Tabel 4, tampak bahwa rata-rata tingkat penerapan teknologi usahatani
integrasi kakao dengan ternak kambing untuk seluruh koperator baru mencapai 37.37 %.
Beragam dan rendahnya jumlah petani yang mengadopsi teknologi integrasi kakao dengan
ternak kambing tersebut dipengaruhi oleh masih belum terbiasanya petani koperator dalam
mengelola ternak kambing serta pengelolaan limbahnya.

Rekayasa Kelembagaan

Kelembagaan petani memiliki titik stategis (entry point) dalam menggerakkan system
agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu
diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani.
Saat ini petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang
diharapkan (Suradisastra,2008).
Seperti halnya di kabupaten Mamuju, permasalahan yang masih melekat pada sosok
petani dan kelembagaan petani adalah: 1) Masih minimnya wawasan dan pengetahuan
petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran, 2). Belum
terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis (aktivitas petani masih berfokus
pada kegiatan produksi secara individu), 3). Kemandirian permodalan usahatani belum
terbentuk secara menyeluruh dikalangan petani, 4). Peran dan fungsi kelembagaan petani
sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal. Untuk mengatasi
permasalah tersebut dilakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan
kelembagaan petani yang diharapkan dapat melindungi bargaining position petani.
Upaya tersebut pada kegiatan m-P3MI dilakukan dalam bentuk revitalisasi aturan
main organisasi dan penyempurnaan struktur dan fungsi organisasi kelompok tani/gapoktan.
Rekayasa kelembagaan yang dilakukan pada kegiatan m-P3MI akan diuraikan dalam tabel 5:

Tabel 5. Rekayasa kelembagaan Kegiatan m-P3MI di kabupaten Mamuju,2014.


Rekayasan Kelembagaan
No
Sebelum Sesudah
1 Anggota kelompok belum Revitalisasi aturan main organisasi yakni yang semula belum
terlibatnya secara utuh petani terbentuknya pembagian peran dan fungsi kelompok
dalam kegiatan agribisnis (aktivitas tani/peternak menjadi organisasi kelompok tani yang saling
petani masih berfokus pada berbagi peran dalam mendukung usahatani tanaman kakao,
kegiatan produksi secara individu) usahatani ternak kambing dan usahatani pengolahan limbah.
2 Penataan struktur organisasi sesuai Penyempurnaan struktur dan fungsi organisasi kelompok
kemampuan SDM petani tani/gapoktan yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk
mendapatkan Baksos/proyek dari Pemda menjadi objek
kunjungan lapang petani/peternak dari Kecamatan maupun
Kabupaten lain.
Sumber: Data primer, 2014.

Indikator Keberhasilan

m-P3MI dilakukan melalui pendampingan teknis meliputi peragaan inovasi teknologi


yang melibatkan kelompoktani dan Gapoktan yang dilakukan dalam batasan wilayah
tertentu. Oleh karena itu pemahaman konsep wilayah dan pembangunan wilayah perdesaan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 115
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan kegiatan m-P3MI. Adapun indikator
keberhasilan dari pelaksanaan kegiatan m-P3MI di kabupaten Mamuju dapat dilihat pada
tabel 6.

Tabel 6. Capaian hasil pelaksanaan Kegiatan m-P3MI di kabupaten Mamuju, 2014.


No Indikator Keberhasilan Capaian Hasil
1 Bertambahnya jumlah petani Petani adopter yang semula 11 KK menjadi 99 KK dalam kelompok tani dan 20 KK
adopter diluar kelompok tani(desa salubara’na), 15 KK dari Luar desa dengan jenis teknologi
yang diadopsi adalah sistem perkandangan, pengolahan pakan KBK, pengolahan
pestisida nabati dan pengolahan limbah (urien kambing).
2 Terjadinya perkembangan Petani adapter awalnya hanya bergerak di usahatani kakao, mulai mengembangkan
skala usaha usahatani ternak kambing dan usaha pengolahan limbah ternak kambing
(diantaranya memanfaatkan urein sebagai bio urein dan kompos dari limbah ternak
kambing)
3 Adanya diversivikasi Usaha Awalnya belum terbentuk unit usaha pembibitan kambing dan pengolahan limbah
ternak kambing kemudian terbentuk 1 unit usaha pembibitan ternak kambing dan 1
unit usaha pengolahan limbah
4 Meningkatnya produktivitas Produktivitas tanaman kakao sebelumnya pelaksanaan kegiatan 775 kg/ha/tahun,
dan setelah pelaksanaan kegiatan menjadi 1.019,4 ton/ha/tahun. Begitupula dengan
produksi ternak 15 ekor menjadi 79 ekor.
5 Meningkatnya produktivitas Pendapatan petani meningkat sekitar 200% diukur berdasarkan pendapatan rumah
Peningkatan penerimaan tanggatani sebelum dan setelah kegiatan.
total
6 Terbentuknya jejaring Kerja Jejaring kerja BPTP dengan Pemda Kabupaten Mamuju sebagai sumber teknologi
(partnership) Jejaring kerja dengan kelompoktani antar kabupaten yakni Farmer Manage
ekstension Aktivity (penyuluhan yang dikelola oleh petani).
Sumber: Data primer, 2014.

KESIMPULAN
Integrasi tanaman kakao-ternak kambing dalam kegiatan m-P3MI di kabupaten
Mamuju terbukti merupakan solusi bagi permasalahan yang dihadapi petani kakao/peternak
di kabupaten Mamuju. Kegiatan m-P3MI berbasis tanaman kakao yang diintegrasikan
dengan ternak kambing dapat meningkatkan pendapatan petani kakao/peternak kambing
sebesar 93% yang berimplikasi pada penguatan posisi tawar (bargaining position)
petani/peternak.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2011. Draf. Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC). Badan
Litbang Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi
(m-P3MI). Panduan Umum. Badan Litbang Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Pedoman Umum Primatani. 2005. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Bappeda Sulbar. 2012. Master Plan Pengembangan Tanaman Kakao Propinsi Sulawesi Barat.
Bappeda Propinsi Sulawesi Barat. Mamuju.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


116 | Teknologi Pertanian
BPS Sulbar. 2012. Sulawesi Barat Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi
Barat. Mamuju.
Disbun Sulbar 2011. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan Propinsi Sulawesi Barat.
Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Barat. Mamuju.
Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran Litbang dalam mendukung usaha agribisnis
pola integrasi tanaman-ternak. Pros. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-
Ternak. Denpasar, 20–22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP
dan CASREN. hlm. 63–80.
Dwi Priyanto, 2008. Model Usahatani Integrasi Kakao Kambing Dalam Upaya Peningkatan
Pendapatan Petani. WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008.
Hendayana, R., A. Djauhari, Enrico S., A. Gozali, dan Sad Hutomo. 2009.Disain Model
Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Program Unggulan Badan Litbang Pertanian.
Laporan Penelitiaan SINTA2009. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
TeknologiPertanian.
Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Umum Model Pengembangan Pertanian Perdesaaan
Melalui Inovasi (M-P3MI). Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Makka, D. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi peternakan yang berdaya saing.
Pros. SeminarNasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar,20–22 Juli 2004.
Puslitbang Peternakan bekerjasamadengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 18–31.
Pemerintah Kabupaten Seluma. 2010. Daftar Isian Profil Desa/Kelurahan Tingkat Desa.
Kelurahan Rimbo Kedui. Kecamatan Seluma Selatan. Badan PMD. Perempuan dan
Keluarga Berencana.
Puslitbangtan. 2007. Diseminasi Hasil Penelitian Tanaman Pangan.
http://www.puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=berita/fullteks_berita&&id_men
u=3&id_submenu=3&id=154(22 Juni 2011).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 117
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN JAGUNG DI KABUPATEN KEPULAUAN
SULA, PROVINSI MALUKU UTARA

Himawan Bayu Aji1, Arif Yudo2, Ika Ferry Yunianti3


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara,
Komplek Pertanian Kusu No. 1 Oba utara, Kota Tidore Kepulauan
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat
Jl. Base Camp Arfai Gunung, Kompleks Pemda Provinsi Papua Barat, Manokwari
3
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian
Jl. Raya Jakenan-Jaken Km. 5 Jaken, Pati, Jawa Tengah
e-mail: bayuaji_h@yahoo.com

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan penanaman jagung yang belum mengacu pada kesesuaian lahan
menyebabkan luas areal maupun produksi pertanaman jagung mengalami penurunan cukup
signifikan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian lahan komoditas jagung di
Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Januari-
Desember 2015 dan berlokasi di 12 Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sula. Pengkajian
menggunakan metode penyusunan peta dasar, penyusunan peta satuan lahan, penelitian
lapangan, analisis contoh tanah, penyusunan basis data sumber daya lahan, dan evaluasi lahan.
Hasil evaluasi menunjukkan Kesesuaian lahan untuk tanaman jagung yang sesuai (S) seluas
46.340,5 ha (26,0%) dan tidak sesuai (N) seluas 131.635,7 ha (74,0%). Potensi terbesar lahan
yang sesuai untuk pengembangan tanaman jagung berada di Kecamatan Mangoli Tengah seluas
10.268,5 ha dan Mangoli Barat seluas 9.541,2 ha sisanya tersebar di 10 kecamatan yang lain.
Lahan yang sesuai untuk tanaman jagung merupakan lahan sesuai marginal (S3) yaitu lahan
dengan pembatas sedang sampai berat yang membutuhkan masukan pengelolaan sedang sampai
tinggi untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Kata kunci: Pemanfaatan lahan, kesesuaian lahan, jagung, Kepulauan Sula, Maluku Utara

PENDAHULUAN
Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang mempunyai peranan
penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, karena komoditas ini
mempunyai peranan dalam pemenuhan pangan. Jagung adalah salah satu jenis sumber
pangan dengan kandungan karbohidrat sebagai alternatif pengganti beras. Jagung
mengandung serat pangan yang tinggi, kandungan karbohidrat kompleks pada biji jagung,
terutama pada perikarp dan tipkarp, juga terdapat pada dinding sel endosperma dan dalam
jumlah kecil pada dinding sel lembaga. Kulit ari (bran) jagung terdiri atas 75% hemiselulosa,
25% selulosa, dan 0,1% lignin (bk). (Suarni dan Yasin 2011).
Di Maluku Utara khususnya di Kepulauan Sula sejauh ini pemanfaatan lahan
penanaman jagung belum mengacu pada klas kesesuaian lahan yang sesuai. Hal ini
menyebabkan luas areal maupun produksi pertanamana jagung mengalami penurunan
cukup signifikan selama rentang waktu tiga tahun terakhir (2012-2014). Kondisi ini dapat
diamati dari menurunnya total areal pertanaman jagung dan produksi di Kabupaten
Kepulauan Sula sebesar 34,19% dan 35,97%. (Data Base Pangan Provinsi Malut 2015).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


118 | Teknologi Pertanian
Untuk meningkatkan minat menanam jagung, perlu dilakukan ekpansi wilayah
penanaman. Untuk itu pengembangan produksi jagung dapat diawali dengan memetakan
kawasan-kawasan areal tanam yang disesuaikan dengan potensi sumber daya lahan. Suatu
agro-ekosistem yang diberdayakan sesuai dengan potensi sumberdaya lahannya dan
dikaitkan dengan persyaratan tumbuh komoditas yang akan diusahakan, dapat
meningkatkan optimalisasi pemanfaatan agro-ekosistem yang bersangkutan (Djaenudin et
al. 2003).
Input produksi dengan tujuan memperbaiki agro-ekosistem, antara lain pemupukan
organik/anorganik dan hayati, pengairan, penyiapan lahan, pengendalian organisme
pengganggu tanaman serta bibit unggul, sehingga diharapkan mampu meningkatkan
produksi. Di samping itu perlu diketahui karakteristik lahan yang mencakup sifat iklim, tanah
dan terrain/topografi dari setiap agro-ekosistem. Tujuan dari penelitian ini adalah pemetaan
kesesuaian lahan untuk tujuan perluasan penanaman jagung di Kabupaten Kepulauan Sula
berdasarkan klas kesesuaian lahan.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan pada 12 kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi
Maluku Utara, pada bulan Desember 2015. Metode yang digunakan adalah survey untuk
mengumpulkan data biofisik lahan dan iklim. Pelaksanaan kajian sumberdaya lahan terdiri
atas tujuh tahapan, yaitu: penyusunan peta dasar, penyusunan peta satuan lahan, penelitian
lapangan, analisis contoh tanah, penyusunan basis data sumberdaya lahan, dan evaluasi
lahan.
Penyusunan peta dasar dilakukan berdasarkan data dan informasi dari peta rupa
bumi skala 1:50.000. Peta dasar memberikan informasi posisi geografis (lintang-bujur),
wilayah administrasi, dan informasi geospasial lainnya.
Peta dasar selanjutnya dioverlay dengan peta-peta lainnya (geologi, land system,
tataguna lahan, agroklimat) dan dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan dibuat dalam
bentuk digital sebagai dasar untuk menggambarkan peta satuan lahan. Peta satuan lahan ini
diterbitkan oleh tim pemetaan AEZ (Agro Ecological Zone) BPTP Maluku Utara tahun 2015.
Peta Analisis Satuan Lahan digunakan sebagai peta kerja untuk pengamatan di lapangan.
Pembagian satuan lahan berdasarkan landform, litologi dan relief/lereng mengikuti Pedoman
Klasifikasi Landform (Marsoedi et al. 1997).
Penelitian dan pengamatan tanah dilakukan melalui pendekatan transek atau topo-
litosekuen (Steers dan Hajeek 1979). Pengamatan sifat-sifat morfologi tanah di lapangan
dilakukan dengan cara membuat penampang tanah berupa profil tanah sedalam 120 cm
atau minipit sedalam 50 cm yang dilanjutkan dengan pemboran sedalam 120 cm atau
sampai batuan induk. Hasil pengamatan diplotkan pada Peta Satuan Lahan hasil interpretasi.
Cara pengamatan sifat-sifat tanah berpedoman pada FAO, (1990) atau Soil Survey Division
Staff, (1993). Klasifikasi tanah ditetapkan di lapangan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey
Staff 1998) pada tingkat sub-grup, yang kemudian dilengkapi atau diperbaiki dengan data
hasil analisis laboratorium.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 119
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Contoh tanah dari profil dan minipit pewakil yang representatif untuk setiap satuan
lahan dan satuan tanah dianalisis di laboratorium Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian
Unkhaer. Jenis analisis sifat fisik-kimia terdiri atas penetapan: tekstur tiga fraksi (pasir, debu,
liat), pH (H2O dan KCl), bahan organik (C dan N), P2O5 dan K2O total (ekstrak HCl 25%), P
tersedia (ekstrak Olsen dan Bray I), retensi P, susunan kation tukar (Ca, Mg, K, Na), kapasitas
tukar kation, dan kejenuhan basa merujuk pada Prosedur analisis contoh tanah di dalam Soil
Survey Laboratory Staff, (1991). Analisis komposisi mineral fraksi pasir total menggunakan
mikroskop polarisasi dengan line counting method.
Semua data hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium dimasukkan dan
disimpan dalam format basis data tanah dengan menggunakan program dEASE, terdiri atas
Site Horizon Description (SHD), Soil Sample Analysis (SSA), dan Mapping Unit Description
(MUD). Basisdata tersebut selanjutnya diekstraks dan dihubungkan dengan program Soil
Data Processing for Land Evaluation (SDPLE).
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara fisik untuk komoditas jagung. Evaluasi
lahan berpedoman kepada kerangka FAO (1976), seperti pada Tabel 1, dengan kriteria
penilaian kesesuaian lahan menurut Djaenudin et al. (2003). Proses perhitungan luasan
kesesuaian lahan dilakukan secara komputerisasi menggunakan program ALES (Automated
Land Evaluation System) versi 4.65d (Rossiter dan Van Wambeke 1997). Hasil evaluasi lahan
disajikan dalam bentuk data tabular dan spasial.

Tabel 1. Klas kesesuaian lahan secara fisik dan pengertiannya


KlasSimbol Nama Pengertian
1 S1 Sangat sesuai Tanpa/sedikit pembatas yang berarti yang mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman.
2 S2 Cukup sesuai Tingkat pembatas ringan yang mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman. Perbaikannya
memerlukan input rendah.
3 S3 Sesuai marjinal Tingkat pembatas sedang yang dapat mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman.
Perbaikannya memerlukan input sedang.
4 N Tidak sesuai Tingkat pembatas berat sehingga penggunaannya tidak memungkinkan. Perbaikannya
memerlukan input tinggi yang tidak sebanding dengan outputnya.

Secara administrasi Kabupaten Kepulauan Sula mempunyai luas wilayah 28.810,753


Km2 yang terdiri dari daratan seluas 14.466.288 Km2 (50,21%) dan lautan seluas 14.344,465
Km2 (49,79%). Secara geografis Kabupaten Kepulauan Sula terletak pada posisi koordinat
01o45’00” Lintang Selatan dan 124o05’00” Bujur Timur 126o50’00” Bujur Timur.

Litologi (bahan Induk)

Litologi atau batuan merupakan bahan pembentukan tanah yang sangat menentukan
sifat fisik maupun kimia tanah. Secara umum litologi di wilayah studi dikelompokan atas
batuan sediman dan batuan volkan. Kelompok batuan sedimen terdapat dalam bentuk
sedimen muda (recent) meliputi aluvio-marine (f), aluvio-kaluvium (au) dan batuan sedimen
tua meliputi batu gamping dan koral (c), campuran napal, batu gamping dan serpih (fk), batu
pasir (qf), batuan geneis dan skis (nt). Sementara batuan volkan terdapat dalam jenis batuan
breksi, tuf dan tuf lapili (d), granit dan granidiorit (gr).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


120 | Teknologi Pertanian
Klasifikasi Tanah

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi/penampang tanah di lapangan dan hasil


analisis sifat-sifat tanah di laboratorium maka tanah di Kabupaten Kepulauan Sula
diklasifikasikan ke dalam empat Ordo (jenis tanah), yaitu: Histosols (Organosol), Entisols
(Litosol, Regosol dan Aluvial), Inceptisols (Kambisol) dan Ultisols (Podsolik). Berdasarkan hasil
klasifikasi dan pemetaan menunjukan satuan asosiasi tanah yang mendominasi wilayah studi
adalah subgroup Typic Dystrudepts dan Lithic Dystrudepts yaitu seluas 51.757,3 ha (29,1%).

Iklim

Kondisi curah hujan umumnya tinggi pada bulan November sampai Agustus dan
rendah pada bulan September dan Oktober. Rata-rata curah hujan bulanan tertinggi sebesar
258,9 mm pada bulan Juni dan terendah 71,0 mm pada bulan Oktober dengan curah hujan
tahunan sebesar 1.737,6 mm/tahun. Hari hujan terbanyak terdapat pada bulan-bulan yang
jumlah hujannya tinggi seperti bulan April, Mei dan Juni, sementara hari hujan terendah
pada bulan-bulan yang hujannya rendah seperti bulan September dan Oktober. (Gambar 1.)
Tipe iklim berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidth dan Ferguson (1951) tergolong iklim
agak basah (C) dimana rata-rata bulan kering (Bk < 60 mm) sebanyak 2,5 bulan dan bulan
basah (Bb > 100 mm) sebanyak 7,3 bulan dengan nilai Q sebesar 33,8 %. Klasifikasi Oldeman
(1975) tergolong zona agroklimat D2 dimana rata-rata bulan basah (Bb > 200 mm) antara 3-4
dan bulan kering (Bk < 100 mm) antara 2-3 bulan).

Landform

Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan lapang menunjukan landform di wilayah


studi terdapat enam Grup landform, yaitu: aluvial (A) seluas 18.191,1 ha (10,2%), Marin (M)
seluas 1.571,0 ha (0,9%), karst (K) seluas 20.602,5 ha (11,6%), tektonik/struktural (T) seluas
92.584,5 ha (52,0%), volkan (V) seluas 45.099,0 ha (25,3%) dan aneka bentuk (X) atau
merupakan tubuh air terdapat seluas 69,0 ha (0,03%).

Gambar 1. Distribusi Curah Hujan dan Hari Hujan

Relief (Lereng)

Berdasarkan analisis peta topografi dan hasil verifikasi lapangan menunjukan wilayah
studi di dominasi relief agak curam/berbukit (20-40%) seluas 46.368,3 ha (26,0%) dan relief
curam/bergunung (>40%) seluas 47.644,0 ha (26,8%).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 121
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kesesuaian lahan untuk tanaman jagung di Kabupaten Kepulauan Sula menunjukkan
lahan sesuai (S) seluas 46.340,5 ha (26,0%). Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan
tanaman jagung tersebar luas di Kecamatan Mangoli Tengah seluas 10.268,5 ha (22,1%) dan
Mangoli Barat seluas 9.541,2 ha (20,6%). (Tabel 2).
Lahan yang sesuai untuk tanaman jagung merupakan lahan sesuai marginal (S3) yaitu
lahan dengan pembatas sedang sampai berat yang membutuhkan masukan pengelolaan
sedang sampai tinggi untuk meningkatkan produktivitas lahan. Pembatas lahan yang
mempengaruhi kesesuaian lahan untuk tanaman jagung pada lahan sesuai marginal (S3)
merupakan kombinasi dari pembatas ketersediaan air (wa), media perakaran (rc), retensi hara
(nr), hara tersedia (na), bahaya erosi (eh) dan penyiapan lahan (lp). Peta kesesuaian lahan
untuk tanaman jagung di Kabupaten Kepulauan Sula dapat diamati pada gambar 2.
Keadaan geohidrologi berperan penting dalam proses penyediaan air bagi
perkembangan tanah dan kebutuhan air untuk tanaman. Beberapa parameter geohidrologi
meliputi pola penyimpanan air tanah (akifer), pola aliran sungai dan debit aliran sungai
berperan penting dalam hal ketersediaan air.

Tabel 2. Kesesuaian lahan untuk tanaman jagung

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


122 | Teknologi Pertanian
Ketersediaan air tanah yang terbatas di lokasi penelitian diduga disebabkan karena. 1)
Pola penyimpanan air melalui celah dan ruang antar butiran terjadi pada batuan sedimen
batu pasir dan batuan volkan tua (granit, granidiorit) pada lahan datar produktifitas
akifernya sedang sementara pada lahan perbukitan hingga pegunungan produktivitas akifer
rendah. 2) Pola penyimpanan air melalui ruang pelarutan terjadi pada batu gamping atau
batu kapur dimana produktifitas akifer air tanah rendah sampai air tanah langka. 3) Pola
penyimpanan air melalui rekahan atau celah batuan terjadi pada batuan volkan breksi, tuf
dan tuf lapili, diabas dan basalt, granit dan granidiorit dan batuan sedimen gneis dan skis,
pola penyimpanan pada batuan ini produktifitas akifer air tanah rendah sampai air tanah
langka.
Beberapa cara untuk mengatasi permasalahan ketersediaan air adalah dengan
menggunakan teknologi air irigasi tetes Hasil penelitian Vadari et al. (1998) dalam (Kurnia,
2004) menunjukkan bahwa pemberian air irigasi tetes dapat meningkatkan ketersediaan air
tanah dan memperpanjang masa tanam. Pemberian air sampai 500 mm/musim yang
dikombinasikan dengan penggunaan mulsa jerami padi mampu meningkatkan kelembaban
tanah cukup signifikan. 15% dan 37% volume bila jumlah air yang diberikan berturut-turut
ditingkatkan menjadi 400 dan 500 mm/musim.
Aplikasi sistem irigasi lainnya adalah menaikkan air dengan pompa dari sungai di
sekitar lokasi untuk kemudian dialirkan ke lahan melalui pipa. Sedangkan metode pemberian
irigasi dilakukan dengan menggunakan sprinkler. Kelebihan dari penggunaan irigasi sprinkler
adalah dapat digunakan pada lahan dengan kondisi topografi yang tidak teratur atau
bergelombang dan berbukit-bukit seperti di lokasi penelitian. Efisiensi penggunaan air
meningkat (± 85%) karena dengan irigasi sprinkler tidak banyak air yang terbuang
dibandingkan dengan irigasi konvensional. (Rejekiningrum dan Kartiwa 2015).

Gambar 2. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman jagung di Kabupaten Kepulauan Sula

Berdasarkan hasil verifikasi lapangan menunjukan wilayah studi didominasi relief


agak curam/berbukit (20-40%) dan relief curam/bergunung (>40%). Diperlukan perlakuan
untuk mengurangi terjadinya bahaya erosi yaitu secara mekanis antara lain; 1) Pembuatan
terasiring untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan (run off) dan memperbesar

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 123
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
peresapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang. (Sukartaatmadja 2004) dalam
(Purnamasari et al. 2014).
Idjudin (2010) dalam (Bokings 2013) menyatakan bahwa efektivitas terasiring sebagai
pengendali longsor akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan
tampingan teras. Rumput dan legume pohon merupakan tanaman yang baik untuk
digunakan sebagai penguat teras; 2) pembuatan tanggul dan sistem pertanaman searah dan
sejajar garis kontur untuk mengurangi aliran permukaan sehingga air yang tertampung dapat
terserap ke dalam tanah dan tertahan oleh sistem perakaran tanaman; 3) mengoptimalkan
jalur drainase supaya air yg tidak terinfiltrasi mengalir melalui jalur yang sudah ada. Berbagai
penanganan yang tepat terhadap bahaya erosi tersebut sekaligus sebagai upaya untuk
menyiapkan lahan yang sesuai untuk budidaya pertanaman jagung.
Terdapat keterkaitan erat antara relief agak curam/berbukit sampai dengan curam/
bergunung di mana erosi menjadi penyebab solum tanah pada lahan tersebut menjadi
dangkal. Keadaan ini terjadi karena lapisan tanah bagian atas tempat perakaran tanaman
mendapatkan unsur hara terangkut oleh air melalui proses erosi. Terangkutnya lapisan atas
tanah yang kaya bahan organik dan unsur hara menyebabkan kemampuan tanah menjerap
unsur hara tersedia bagi tanaman menjadi rendah.

Analisis Kimia Tanah

Berdasarkan hasil analisis beberapa kimia tanah di laboratorium mengindikasikan


bahwa kesuburan tanah di lokasi penelitian tergolong rendah. Kadar nitrogen (N-total) tanah
di Kabupaten Kepulauan Sula berdasarkan hasil analisis rata-rata tergolong rendah yaitu
(0,18%). Hasil penelitian Sirappa et al. (2002 dalam Sirappa and Razak 2010) mendapatkan
bahwa pemupukan nitrogen dengan takaran 120 kg N/ha atau setara dengan 260 kg Urea/ha
pada lahan kering dengan kadar N total sangat rendah sampai sedang dan jenis tanah
Inceptisols, mampu memberikan hasil pipilan jagung 6–7 t/ha.
Selanjutnya Sirappa et al. (2003) dan Sirappa dan Tandisau (2004) dalam Sirappa et
al. (2010) melaporkan bahwa hasil jagung tertinggi pada tiga jenis tanah (Entisol, Inceptisols
dan Vertisols) masing-masing diperoleh pada pemupukan dengan takaran 120 kg N, 80 kg
P2O5 dan 80 kg K2O/ha atau setara dengan 260 kg urea, 220 kg SP36, dan 130 kg KCl/ha.
Bahan organik tanah dalam bentuk C-organik di Kabupaten Kepulauan Sula
berdasarkan hasil analisis rata-rata rendah sampai sangat rendah. Menurut Mayadewi (2007)
dalam Sirappa et al. 2010) pemakaian pupuk kandang sebagai sumber bahan organik perlu
mempertimbangkan jenis yang tepat, karena pupuk kandang dapat menyebabkan
berkembangnya gulma pada lahan yang diusahakan.
Keberadaan gulma yang dibiarkan tumbuh pada suatu pertanaman dapat
menurunkan hasil 20% sampai 80%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pupuk kandang dari
kotoran ayam memberikan pengaruh yang lebih baik dibanding pupuk kandang lainnya.
Upaya lain untuk mengatasi permasalahan ketersediaan hara pada tanah marjinal
adalah dengan menambahkan pupuk hayati (mikoriza). De La Cruz (1981 dalam Octavitani

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


124 | Teknologi Pertanian
2009) membuktikan bahwa pupuk mikoriza mampu menggantikan ± 50% penggunaan fosfat,
40% nitrogen dan 25% kalium. Menurut Widiastuti (2003) Beberapa efek positif yang diperoleh
tanaman inang akibat bersimbiosis dengan mikoriza, yaitu antara lain terjadinya: (1)
Peningkatan daya serap air dan hara, terutama unsur hara N, P,K, Cu, S dan Zn, serta Mo.; (2)
Peningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen akar, kondisi tanah salin,
kelembaban tanah yang rendah, temperatur tanah yang tinggi serta faktor-faktor merugikan
lainnya, dan (3) Peningkatan toleransi tanaman terhadap defisiensi hara pada tanah tidak
subur dan terhadap kemasaman serta toksisitas Al, Fe, Mn, dan Zn pada tanah masam.

KESIMPULAN
Hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan wilayah yang sesuai (S3) untuk
pengembangan tanaman jagung sebesar 26% dari total wilayah, dengan sebaran tertinggi ada
di Kecamatan Mangoli Tengah seluas 10.268,5 ha (22,1%) dan Mangoli Barat seluas 9.541,2
ha (20,6%). Faktor pembatas untuk pencapaian produktiftas jagung pada wilayah yang sesuai
tersebut adalah kombinasi dari pembatas ketersediaan air (wa), media perakaran (rc),
retensi hara (nr), hara tersedia (na), bahaya erosi (eh) dan penyiapan lahan (lp).

DAFTAR PUSTAKA
Andriko, N.S. dan Himawan, B.A. 2015. Database Pangan Provinsi Maluku Utara tahun 2015.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. Sofifi.
Bokings, D. L. (2013). Karakteristik Terasering Lahan Sawah dan Pengelolaannya di Subak
Jatiluwih, Kecamatan Penebel, 2(3), 180–181.
De La Cruz (1981 dalam Octavitani 2009), Widiastuti (2003) dalam Moelyohadi et al. 2012.
Pemanfaatan Berbagai Jenis Pupuk Hayati pada Budidaya Tanaman Jagung (Zea mays.
L) Efisien Hara di Lahan Kering Marginal. Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1, No.1: 31-39,
hal 36.
Djaenudin, D, Marwan H., Subagyo, H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan
Untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. 2003. Balai Penelitian Tanah, Puslitbang Tanah
dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Kurnia, U. (2004). Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Jurnal
Litbang Pertanian, 23(4), 134.
Marsoedi, Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP, S. Hardjowigeno, J. Hof dan E.R.
Jordens.1997. Pedoman klasifikasi landform. Laporan Teknis No.5, Versi 3.0. LREP II,
CSAR, Bogor.
Mayadewi. 2007 dalam Sirappa et al. 2010. Peningkatan Produktivitas Jagung Melalui
Pemberian Pupuk N, P, K dan Pupuk Kandang pada Lahan Kering di Maluku. Prosiding
Pekan Serealia Nasional. Hal 282-283
Purnamasari, D. A., Surjandari, N. S., As, S., Teknik, M. F., Maret, U. S., Teknik, P. F., & Maret,
U. S. (2014). Desain terasering pada lereng sungai gajah putih surakarta, 2(1).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 125
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Rejekiningrum, P., dan Kartiwa, B. (2015). Upaya meningkatkan produksi tanaman jagung
menggunakan teknik irigasi otomatis di lahan kering Kabupaten Lombok Barat, Nusa
Tenggara Barat.
Rossiter D. G., and A. R. van Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System ALES
Version 4.65d User’s Manual. Cornell Univ. Dept of Soil Crop & Atmospheric Sci. SCAS.
Ithaca NY, USA
Sirappa, M. P., & Razak, N. (2010). Peningkatan Produktivitas Jagung Melalui Pemberian
Pupuk N, P, K dan pupuk Kandang pada Lahan Kering di Maluku. Prosiding Pekan
Serealia Nasional, 1, 1–10.
Soil Survey Division Staff, 1993. Soil Survey Manual. USDA Handbook No. 18 Washington DC.
Soil Survey Laboratory Staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual. Soil Survey
Investigation Report No.42 Version 1.0. US Dept. of Agric., Washington DC.
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Eight edition. US Dept of Agriculture, Natural
Resources Conservation Service. Wahington DC
Steers, C.A., and B.F. Hajek. 1979. Determination of map unit composition by a random
selection of transects. Soil Sci. Soc. Am. J. 43: 156-160.
Suarni dan Muh. Yasin. 2011. “Jagung Sebagai Sumber Pangan Fungsional.” Iptek Tanaman
Pangan 6(1):48

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


126 | Teknologi Pertanian
STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CENGKEH
MELALUI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN PETANI
DI MALUKU UTARA

Yopi Saleh1, Chris Sugihono1 dan Imam Prambudi2


1)
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
e-mail: yopisaleh@gmail.com dan cris.sugiono@gmail.com

ABSTRAK
Pengembangan komoditas cengkeh di Maluku Utara diarahkan untuk meningkatkan nilai
tambah produk cengkeh dan turunannya dalam mendukung peningkatan kesejahteraan petani.
Makalah ini bertujuan menggambarkan potensi dan peluang pengembangan cengkeh melalui
pemberdayaan kelembagaan petani di Maluku Utara. Lokasi pengkajian ini dipilih secara
purposive di Kota Tidore Kepulauan. Pengkajian dilakukan pada bulan September sampai
dengan November 2015. Data primer diperoleh melalui survey dan wawancara dengan
responden petani cengkeh. Metode analisis data menggunakan kelayakan finansial usahatani
cengkeh dan SWOT. Hasil kajian menunjukkan tingkat produksi dan produktivitas cengkeh di
Maluku Utara semakin menurun dalam periode 10 tahun terakhir. Usahatani cengkeh termasuk
dalam kategori layak untuk diusahakan, hal ini ditunjukkan dengan nilai NPV sebesar Rp.
174.788.841,-, IRR sebesar 45,42% (i= 15%), dan Net B/C sebesar 3,24. Posisi strategi
pengembangan agribisnis cengkeh dapat ditempuh melalui peningkatan variasi, kualitas serta
kuantitas produk cengkeh dan turunannya, pengembangan sistem kelembagaan usaha dan
kemitraan, serta promosi produk. Pola pemberdayaan kelembagaan petani cengkeh mendukung
pengembangan agribisnis cengkeh dapat ditempuh melalui peningkatan pengetahuan
sumberdaya manusia petani mengenai peluang agribisnis cengkeh dan membangun kemitraan
bisnis (pemasaran dan permodalan).
Kata kunci: Cengkeh, agribsinis, kelembagaan petani.

PENDAHULUAN
Cengkeh merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang sudah lama
diusahakan oleh petani Indonesia, khususnya di Maluku Utara. Peranan cengkeh cukup besar
sebagai salah satu pendukung pertumbuhan industri rokok yang semakin meningkat
(Juangsana, 2013). Cengkeh memiliki nilai ekonomi yang sangat penting dan strategis karena
komoditas ini merupakan bahan campuran rokok kretek yang banyak menghasilkan
pendapatan negara melalui cukainya. Selain itu, cengkeh juga dapat digunakan dalam bidang
pengobatan dan bahan pembuatan minyak atsiri (Arisena, 2009). Produk utama tanaman
cengkeh adalah bunganya dan hasil sampingnya adalah gagang cengkeh berkisar antara 25-
35% dari produksi bunga cengkeh dan daun cengkeh yang telah gugur (Yuliani & Sugihono,
2007) dalam Assagaf et al., 2014).
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah
kelembagaan pertanian yang tidak mendukung, salah satunya kelembagaan petani. Menurut
Anantanyu (2011), pembangunan kelembagaan petani perlu dilandasi pemikiran bahwa: (1)
Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur,
peralatan, kredit, dan sebagainya; (2) Pembangunan kelembagaan petani lebih rumit
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 127
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit
produksi; (3) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian, yaitu penyiapan input, mengubah
input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan
output menjadi berharga; (4) Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk
kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal; dan (5) Kompleksitas pertanian, yang
meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal.
Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah lembaga petani yang berada pada
kawasan lokalitas (local institution), yang berupa organisasi keanggotaan (membership
organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu petani-petani yang tergabung dalam
kelompok kerjasama (Uphoff, 1986). Pemberdayaan petani dan usaha kecil di perdesaan
oleh pemerintah hampir selalu menggunakan pendekatan kelompok.
Salah satu kelemahan yang mendasar adalah kegagalan pengembangan kelompok,
karena tidak dilakukan melalui proses sosial yang matang. Kelompok yang dibentuk terlihat
hanya sebagai alat kelengkapan proyek, belum sebagai wadah untuk pemberdayaan
masyarakat secara hakiki (Pujiharto, 2010). Introduksi kelembagaan dari luar kurang
memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan
ekonomi, sosial, dan budaya yang berjalan. Pendekatan yang top-down planning
menyebabkan partisipasi masyarakat tidak tumbuh (Syahyuti, 2007)
Syahyuti (2007) menambahkan bahwa lemahnya kelembagaan pertanian, seperti
perkreditan, lembaga input, pemasaran, dan penyuluhan; telah menyebabkan belum dapat
menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan agroindustri perdesaan. Selain itu,
lemahnya kelembagaan ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan keuntungan
yang diterima petani relatif rendah.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan strategi
pengembangan agribisnis cengkeh melalui kelembagaan petani cengkeh di Maluku Utara
guna mengoptimalkan potensi, peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai motor
penggerak perekonomian di perdesaan. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi
permasalahan dan menganalisis potensi kelembagaan petani cengkeh yang dapat dijadikan
dasar dalam strategi pengembangan agribisnis cengkeh di masa depan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani di Maluku Utara.

METODE PENELITIAN
Lokasi kajian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan menggunakan
metode Singarimbun et al. (1995), yaitu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu
yang disesuaikan dengan tujuan pengkajian. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
penentuan lokasi berdasarkan pendekatan daerah pengembangan komoditi dan dekat
dengan pusat pemasaran yaitu di Kota Tidore Kepulauan. Pengkajian dilakukan pada bulan
September sampai dengan November tahun 2015. Data yang digunakan dalam kajian ini
adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui survey dan wawancara
dengan 30 petani responden petani cengkeh berupa data analisis kelayakan finansial
usahatani cengkeh.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


128 | Teknologi Pertanian
Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan kriteria perhitungan investasi yaitu
Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
(Soekartawi, 2002). Analisis data secara kualitatif menggunakan analisis SWOT untuk
mengetahui strategi pengembangan agribisnis cengkeh di Maluku Utara yang didasarkan
pada analisis lingkungan internal dan eksternal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Usahatani Cengkeh Di Maluku Utara

Luas areal perkebunan di Maluku Utara pada tahun 2015, yaitu sekitar 255.244 ha,
dimana komoditas kelapa memiliki luas areal tanam terluas (147.733 ha), diikuti oleh pala
(42.672 ha), kakao (32.598 ha), dan cengkeh (sekitar 22.228 ha). Komoditi jambu mete, kopi,
aren, kayu manis, panili, dan lada masing-masing masih di bawah 6.055 ha (BPS Maluku
Utara, 2016). Data tersebut ditampilkan pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Luas Areal Tanaman Perkebunan Maluku Utara Tahun 2016

Komoditi cengkeh di Maluku Utara sudah diusahakan beratus-ratus tahun yang lalu,
dengan dibuktikan adanya pohon induk cengkeh AFO I dan II yang saat ini menjadi sumber
benih untuk perbanyakan tanaman. Luas areal tanaman cengkeh dalam periode 10 tahun
terakhir mengalami peningkatan, namun berkebalikan dengan produksinya yang mengalami
penurunan (gambar 2).
Hal ini salah satunya disebabkan oleh menurunnya produktivitas tanaman cengkeh
dikarenakan sebagian tanaman sudah kurang produktif. Produktivitas tanaman cengkeh di
Maluku Utara saat ini masih di bawah produktivitas nasional yaitu sebesar 200 kg/ha/tahun,
jika dibandingkan produktivitas nasional yang mencapai 240,67 kg/ha/tahun (BPS RI, 2016).
Padahal sepuluh tahun yang lalu produktivitas cengkeh di Maluku Utara mencapai
produktivitas tertinggi dalam sejarahnya, yaitu sebesar 413 kg/ha/tahun.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 129
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 2. Luas Areal dan Produksi Cengkeh Maluku Utara Tahun 2005, 2010 dan 2015

Data BPS Maluku Utara selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa luas areal
tanaman cengkeh meningkat, namun produksinya menurun. Hal ini disebabkan produktivitas
tanaman cengkeh yang menurun, selain tanaman cengkeh yang belum menghasilkan. Pola
usahatani cengkeh di Maluku Utara masih tradisional, hal ini ditunjukkan pengelolaan
tanaman cengkeh yang tidak dirawat secara intensif, petani hanya membiarkan tanaman
cengkeh tanpa melakukan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan petani saat musim
panen tiba. Walaupun demikian, usahatani cengkeh merupakan kontributor terbesar dalam
menyumbang pendapatan petani pekebun (Brahmantiyo et al., 2016).
Analisis finansial usahatani cengkeh yang ditunjukkan dalam kelayakan investasi
tanaman cengkeh ditunjukkan pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Kelayakan investasi usahatani cengkeh di Maluku Utara Tahun 2015


No Keterangan Satuan Nilai
1 Periode Analisis Tahun 30
2 Investasi Rp/ha 430,600,000
3 NPV Rp 174,788,841
4 IRR % 45.42
5 Net B/C 3.24
Sumber: Analisis data primer, 2015.

Investasi tanaman cengkeh dalam 1 ha dalam 30 tahun membutuhkan dana sebesar


Rp. 430.600.000,-. NPV membuktikan bahwa dengan tingkat suku bunga 15% per tahun, nilai
NPV diperoleh sebesar Rp. 174.788.841,- ini berarti lebih besar dari Rp. 0,- sehingga kriteria
usahatani cengkeh layak diusahakan. Analisis IRR diperoleh sebesar 45,42%, lebih besar dari
15% artinya bahwa modal investasi hanya bisa dibiayai dengan tingkat bunga paling tinggi
sebesar 45,42%.
Hasil perhitungan dengan Net B/C diketahui bahwa nilai yang didapat sebesar 3,24,
lebih besar dari 1, hal ini mengindikasikan bahwa usahatani cengkeh yang diusahakan layak
secara finansial. Hasil kajian ini sejalan dengan penelitian Gusmawati et al. (2014) yang
menggunakan indikator kelayakan finansial yang sama bahwa usahatani cengkeh yang
diusahakan petani di Desa Bou, Kecamatan Sojol layak secara finansial.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


130 | Teknologi Pertanian
Peluang dan Potensi Agribisnis Cengkeh

Bagian tanaman cengkeh dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk bernilai


jual tinggi adalah bunga, gagang, dan daun cengkeh. Bunga cengkeh utamanya digunakan
sebagai bahan baku rokok kretek, selain itu digunakan sebagai rempah dalam industri
makanan, umumnya dalam bentuk tepung untuk bumbu masakan disamping diolah dalam
bentuk minyak cengkeh (atsiri). Gagang dan daun cengkeh juga dapat diolah lanjut menjadi
minyak cengkeh yang berbahan aktif eugenol. Minyak ini sering digunakan sebagai
campuran dalam bahan obat, balsam, bahan baku obat kumur dan permen.
Proses dimetilisasi eugenol akan menghasilkan methyl eugenol yang merupakan
insektisida natabi (atractan) hama buah yang umum menyerang buah-buahan dan
hortikultura. Sedangkan proses lanjutan eugenol menghasilkan isoeugenol asetat dan vanilin
yang digunakan sebagai bahan baku industri flavor, fragrance, dan sebagainya.

Gambar 3. Pohon Industri Cengkeh (Suryana et al., 2005)

Potensi ketersediaan bahan baku minyak cengkeh di Provinsi Maluku Utara cukup
besar, jika rata-rata setiap pohon cengkeh dapat menghasilkan daun kering sebesar 0,72 kg
per minggu (Guenther, 1990 dalam Assagaf et al., 2014), maka dalam satu tahun potensi
bahan baku daun yang dapat dihasilkan dari luas areal tanam sebesar 22.228 hektar dengan
kepadatan 105 pohon per hektar akan mencapai 16.004 ton per minggu atau 64.016 ton per
bulan. Jika rata-rata produksi minyak cengkeh dari daun cengkeh yang diolah sebesar 2%
(Assagaf et al., 2014), maka potensi produksi minyak daun cengkeh dalam 1 bulan di Maluku
Utara mencapai 3.200 ton.

Potensi Kelembagaan Petani di Maluku Utara

Menurut Esman dan Uphoff dalam Garkovich (1989), kelembagaan petani dibentuk
pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (1) Tugas dalam organisasi
(organizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara; (2) Tugas sumberdaya
(resource task) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material,
informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat; (3) Tugas pelayanan
(service task) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan
pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal; dan (4) Tugas antar organisasi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 131
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
(extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau
organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar.
Pada dasarnya adanya pola interaksi antar individu dan antar kelompok msyarakat
dapat menjadi potensi kelembagaan. Berbagai bentuk potensi kelembagaan yang ada pada
masyarakat, antara lain: (a) Kumpulan arisan; arisan uang, barang ataupun tenaga, (b)
Interaksi antara petani sebagai produsen dengan pedagang (konsumen), (c) Interaksi antar
petani dalam memasarkan hasil maupun membeli saprodi, (d) Interaksi antara petani
dengan pihak luar (pembina, pemodal, maupun pedagang).
Potensi kelembagaan ini dapat dimanfaatkan sebagai modal untuk pembentukan dan
pembinaan kelembagaan tani. Rasa sosial untuk saling tolong menolong perlu ditumbuh-
suburkan agar modal sosial ini tidak terkikis kemajuan masyarakat. Kelembagaan tani berupa
“kelompok tani” merupakan alternatif wadah yang dapat diandalkan agar para petani dapat
berhimpun dan saling bekerjasama meningkatkan usahanya.
Kelembagaan petani di Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada gambar 1 di bawah
ini. Terlihat bahwa jumlah poktan dan gapoktan mengalami tren jumlah yang meningkat dari
tahun ke tahun, hal ini dapat dijadikan potensi dan modal awal bagi pembangunan pertanian
secara umum di Maluku Utara (Gambar 4).

Gambar 4. Jumlah Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani


di Maluku Utara Periode Tahun 2011-2014
(Sumber: Pusdatin, 2014 dan BPTP Maluku Utara, 2015)

Jumlah kelembagaan petani di Maluku Utara tahun 2015 masing-masing sebanyak


1.957 poktan dan 633 gapoktan. Kelompok tani di Provinsi Maluku Utara seluruhnya masih
dalam kategori pemula dan masih dibutuhkan pendampingan serta pembinaan yang intensif
untuk meningkatkan kapasitas, peran dan fungsinya sebagai kelembagaan petani yang
profesional.

Strategi Pengembangan Agribisnis Cengkeh

Pengembangan agribisnis cengkeh melalui pemberdayaan kelembagaan petani


merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan petani cengkeh di
Maluku Utara umumnya, serta peningkatan pendapatan petani cengkeh khususnya. Agar

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


132 | Teknologi Pertanian
upaya pengembangan usaha agribisnis cengkeh tersebut dapat berdaya guna dimasa yang
akan datang maka perlu disusun strategi yang tepat. Berkaitan dengan itu, maka pengkajian
ini mencoba memformulasikan strategi yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
usaha agribisnis cengkeh di Maluku Utara dengan menggunakan analisis SWOT.
Hal terpenting yang terlebih dahulu harus dilakukan dalam analisis SWOT adalah
menentukan besarnya bobot pada masing-masing item pernyataan. Besarnya bobot
ditetapkan berdasarkan tingkat kepentingan masing-masing item pernyataan. Sedangkan
besarnya nilai rating diukur berdasarkan hasil observasi melalui daftar pernyataan yang telah
disusun untuk masing-masing faktor lingkungan strategisnya. Hasil perkalian antara bobot
dengan nilai rating-nya akan menghasilkan nilai tertimbang. Dari nilai tertimbang tersebut
dapat diformulasikan ke dalam diagram SWOT yang dipetakan dalam sumbu horizontal (X)
dan sumbu vertikal (Y). Untuk itu hasil identifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan
eksternal terhadap pengembangan agribisnis cengkeh di Maluku Utara, berdasarkan
penilaian bobot dan rating, serta nilai tertimbangnya dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Lingkungan Internal
Hasil analisis faktor kekuatan dalam strategi pengembangan agribisnis cengkeh di
Maluku Utara menghasilkan 4 (empat) faktor penting dengan nilai bobot antara 0,16 sampai
dengan 0,21. Nilai tertimbang yang diperoleh dari hasil kali bobot dan rating adalah sebesar
2,16. Sedangkan analisis faktor kelemahan, dari tabel 2 dapat terlihat bahwa terdapat 3
(tiga) kelemahan dari faktor internal, dengan bobot antara 0,15 sampai 0,17. Nilai
tertimbang yang diperoleh dari hasil kali bobot dan rating adalah sebesar 1,13. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan yang dimiliki
sehingga ini merupakan modal utama yang cukup besar untuk dijadikan langkah strategis
untuk pengembangan agribisnis cengkeh di Maluku Utara.

Tabel 2. Analisis SWOT faktor internal strategi pengembangan agribisnis cengkeh di Maluku
Utara
No Faktor Internal Rating Bobot Nilai
Kekuatan
1 Sumberdaya manusia petani banyak 2.5 0.16 0.39
2 Kualitas poduk cengkeh yang baik 3.5 0.21 0.74
3 Kemudahan pemasaran cengkeh 2.5 0.16 0.39
4 Kepemilikan lahan tanaman cengkeh 3 0.21 0.63
Jumlah 0.74 2.16
Kelemahan
1 Manajemen usahatani masih tradisional 2 0.17 0.34
2 Permodalan petani terbatas 2 0.17 0.34
3 Lokasi usahatani di pegunungan 3 0.15 0.45
Jumlah 0.49 1.13
Sumber: Analisis data primer, 2015.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 133
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
B. Lingkungan Eksternal
Hasil analisis lingkungan eksternal faktor peluang dalam strategi pengembangan
agribisnis cengkeh di Maluku Utara menghasilkan 4 (empat) faktor penting dengan nilai
bobot antara 0,13 sampai dengan 0,17. Nilai tertimbang yang diperoleh dari hasil kali bobot
dan rating adalah sebesar 1,54. Hasil analisis lingkungan eksternal dari faktor ancaman, dari
tabel 3 dapat terlihat bahwa terdapat 4 (empat) ancaman dari faktor eksternal, dengan
bobot antara 0,17 sampai 0,19. Nilai tertimbang yang diperoleh dari hasil kali bobot dan
rating adalah sebesar 1,48.

Tabel 3. Analisis SWOT faktor eksternal strategi pengembangan agribisnis cengkeh


di Maluku Utara
No Faktor Eksternal Rating Bobot Nilai
Peluang
1 Pasar Global yang selalu menjanjikan 2.5 0.17 0.43
2 Kekhasan dan keunikan produk 3 0.17 0.52
3 Kemitraan usaha 2 0.13 0.26
4 Jumlah pembeli/pengumpul bertambah 2.5 0.13 0.33
Jumlah 0.61 1.54
Ancaman
1 Iklim (panen musim hujan) 2 0.17 0.33
2 Serangan hama penyakit pada tanaman cengkeh 2.5 0.19 0.48
3 Tenaga kerja saat panen cengkeh terbatas 1.5 0.19 0.29
4 Pesaing penghasil cengkeh dari daerah lain 2 0.19 0.38
Jumlah 0.74 1.48
Sumber: Analisis data primer, 2015.

Perhitungan di atas menghasilkan nilai sumbu X (S-W / 2,16-1,13) sebesar 1,03 dan
sumbu Y (O-T/1,54-1,48) dengan nilai 0,06, maka dapat digambarkan dalam diagram SWOT
pada gambar 5 berikut ini:

Gambar 5. Analisis SWOT Agribisnis Cengkeh di Maluku Utara

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


134 | Teknologi Pertanian
Berdasarkan gambar 5 di atas, menunjukkan bahwa posisi strategi pengembangan
agribisnis cengkeh dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan memaksimalkan
kekuatan yang dimiliki. Strategi yang sebaiknya diterapkan oleh petani/kelembagaan petani
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan agresif (Growth oriented strategy) atau
menggunakan strategi Strengths Opportunities (strategi SO). Strategi pengembangan
agribisnis cengkeh yang dapat dilakukan adalah:
a. Strategi peningkatan variasi, kualitas serta kuantitas produk cengkeh dan turunannya
Dalam rangka meningkatkan daya saing produk, para petani harus dapat menjaga
kualitas produk cengkeh yang dihasilkan. Adanya peluang produk olahan (turunan)
cengkeh khususnya minyak cengkeh dapat meningkatkan nilai tambah produk serta
pendapatan petani. Untuk itu, perlu dibentuk unit atau kelembagaan usaha yang khusus
menangani pengolahan tersebut. Optimalisasi peran dan fungsi gabungan kelompok
tani atau kelompok tani sangat dibutuhkan guna mengkoordinir kegiatan usaha dari
hulu sampai hilir dalam pengembangan agribisnis cengkeh yang memiliki daya saing.
Diperlukan juga peningkatan jumlah kapasitas produksi olahan cengkeh agar dapat
memenuhi permintaan pasar yang cukup besar.
b. Pengembangan sistem kelembagaan usaha dan kemitraan
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan agribisnis cengkeh ini adalah kondisi
dan status kelembagaan usaha produksi dan pengolahan produk. Kemitraan dilakukan
oleh para pelaku usaha pabrik rokok dan juga perusahaan industri lainnya yang
menggunakan bahan baku cengkeh atau minyak cengkeh.
c. Keaktifan petani untuk mencari informasi dan berpartisipasi dalam mempromosikan
hasil produk
Mengikuti berbagai acara pameran dan promosi produk (olahan) di dalam wilayah
Provinsi Maluku Utara maupun di luar. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi petani
maupu bagi petani karena produknya dikenal dan diketahui masyarakat luas,
berimplikasi pada perluasan wilayah pemasaran produk, serta menjalin kemitraan
usaha dengan pihak lainnya.

Pemberdayaan Kelembagaan Petani

Ada 7 (tujuh) kriteria umum yang harus dipenuhi untuk menumbuhkan kelembagaan
petani menjadi kelembagaan ekonomi petani yaitu: 1). Telah melakukan kegiatan usaha
berkelompok yang berorientasi pasar; 2). Struktur organisasi kelembagaan petani (Poktan,
Gapoktan, kelompok pembelajaran agribisnis, kelompok usaha bersama agribisnis dan
asosiasi) telah memiliki kepengurusan yang melakukan kegiatan usaha atau unit agribisnis; 3)
memiliki perencanaan usaha yang disusun secara partisipatif dalam kurun waktu atau siklus
usaha tertentu; 4). Memiliki pencatatan dan pembukuan usaha; 5). Telah membangun
jejaring dalam pengembangan usaha dengan kelembagaan petani lainnya; 6). Telah
membangun kemitraan usaha dengan pengusaha atau kelembagaan ekonomi lainnya; 7)
membutuhkan dukungan aspek legal formal untuk memperkuat pengembangan usaha.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 135
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Untuk pembentukan PT membutuhkan kriteria khusus yaitu kesiapan petani dalam
penyertaan modal sebagai modal dasar perusahaan (Handriyanto, 2014).
Pengembangan kelembagaan petani di lokasi pengembangan agribisnis cengkeh
diarahkan pada penguatan kelembagaan yang sudah ada, dimana keterkaitan kinerja
agribisnis dari hulu sampai dengan hilir harus berjalan secara sinergis dan berkelanjutan
(Gambar 6). Hal ini perlu diinisiasi guna menumbuhkan dan mengembangkan pembangunan
agribisnis cengkeh yang berdaya saing. Kelembagaan penyediaan input usahatani fokus pada
tersedianya benih/bibit cengkeh yang unggul dan bermutu, pupuk, serta pestisida/obat-
obatan. Tantangan untuk mengembangkan sarana produksi pertanian ke depan adalah
bagaimana mengembangkan penangkar benih/bibit unggul dan bermutu,
menumbuhkembangkan kelembagaan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, mendorong
petani memproduksi dan meningkatkan pemakaian pupuk organik, serta mendorong petani
untuk menggunakan pestisida dan obat-obatan tanaman/hewan yang ramah lingkungan.

Gambar 6. Jaringan Kelembagaan Agribisnis Cengkeh

Untuk mendorong tersedianya pembiayaan bagi petani yang bersumber dari swasta,
perbankan dan masyarakat, setiap kelompok usaha membutuhkan kebijakan, strategi dan
fasilitasi penyediaan skema pembiayaan yang berbeda. Kelembagaan permodalan
diperlukan guna peningkatan skala usaha petani, peningkatan peran kelembagaan, menjadi
motor penggerak perekonomian di perdesaan serta merupakan salah satu tolak ukur
kemandirian suatu kelompok tani (poktan)/gabungan kelompok tani (gapoktan).
Saat ini, kegiatan usaha yang dilakukan petani di Maluku Utara masih banyak yang
tergolong sebagai usaha mikro, kecil dan menengah yang umumnya belum tersentuh dan
terlayani oleh lembaga perbankan (bank umum). Lembaga keuangan mikro agribisnis (LKM-
A) merupakan salah satu bentuk kelembagaan permodalan ideal yang dapat dikembangkan
dan diterapkan di poktan/gapoktan dengan mudah dan murah. LKM-A ini diarahkan bisa
berbadan hukum dan pilihan yang tepat adalah berbentuk koperasi. Dengan adanya
kelembagaan legal formal seperti ini diharapkan kelembagaan ekonomi di perdesaan yang
mampu mendukung permodalan bagi petani dapat dioptimalkan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


136 | Teknologi Pertanian
Pengembangan alat dan mesin pertanian dikembangkan melalui pengembangan
Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) dalam hal ini adalah kelembagaan penyediaan jasa
alsintan. Kelembagaan pengolahan hasil pertanian yang berfungsi untuk mengubah produk
cengkeh menjadi minyak cengkeh yang memiliki nilai tambah bagi petani. Produk-produk
yang dihasilkan petani dapat dikolektifkan dalam hal pemasaran hasil kepada konsumen
sasaran bahkan menjalin kemitraan dengan pihak ketiga. Hal ini dilakukan agar petani
memiliki posisi tawar yang tinggi dalam memasarkan produknya, maka dibutuhkan
kelembagaan pemasaran hasil pertanian.
Akses informasi yang dibutuhkan oleh petani menjadi sangat penting untuk
keberlanjutan usaha bersama yang sudah dirintis ini. Oleh karena itu, dengan dukungan
kelembagaan penyediaan informasi yang ada di sekitar petani dapat mempercepat
berkembangnya usaha yang dilakukan oleh poktan/gapoktan. Pasar produk cengkeh dan
produk turunan lainnya adalah perusahaan atau industri besar yang memproduksi beragam
produk yang dibutuhkan, diantaranya industri rokok, makanan, bumbu masak, obat-obatan,
aroma terapi, insektisida dan pestisida, dan lainnya. Dengan membangun jaringan
(networking) yang baik dalam semua lini, maka agribisnis cengkeh dapat berhasil dan akan
mewujudkan kesejahteraan petani cengkeh.
Pola pemberdayaan kelembagaan petani cengkeh mendukung pengembangan
agribisnis cengkeh dilakukan melalui peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM)
petani untuk merubah pola pikir petani agar mau meningkatkan usahatani dan pengolahan
pascapanen cengkeh yang masih memiliki peluang bisnis yang menjanjikan serta
meningkatkan kemampuan kelembagaan petani itu sendiri dalam melaksanakan fungsinya.
Peningkatan kapasitas SDM petani dapat dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan
penyuluhan dengan pendekatan kelompok. Kegiatan penyuluhan melalui pendekatan
kelompok dimaksudkan untuk mendorong terbentuknya kelembagaan petani yang mampu
membangun sinergi antar petani dan antar kelompok tani guna mewujudkan kelompok tani
yang efektif, efisien serta berkelanjutan.
Peluang pengembangan agribisnis cengkeh yang belum dioptimalkan adalah
pengolahan minyak cengkeh. Kebutuhan modal petani yang terbatas serta pemasaran hasil
produk ini dapat ditempuh melalui kemitraan usaha dengan lembaga keuangan/perbankan
atau sebagian bisa juga melalui kemitraan usaha dengan perusahaan/industri kimia aromatik
sebagai pembeli produk minyak cengkeh. Menurut Efendi et al. (2014) kerjasama dengan
lembaga perbankan sangat berpeluang mengingat bisnis minyak daun cengkeh cukup
menguntungkan, sehingga perbankan akan tertarik memberikan pendanaan. Demikian juga
dengan kerjasama dengan perusahaan kimia aromatik yang mendapatkan kepastian pasokan
minyak daun cengkeh.

KESIMPULAN
Peluang pengembangan agribisnis cengkeh yang masih belum dioptimalkan adalah
pengolahan minyak cengkeh. Strategi pengembangan agribisnis cengkeh dapat ditempuh
melalui peningkatan variasi, kualitas serta kuantitas produk cengkeh dan turunannya,

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 137
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pengembangan sistem kelembagaan usaha dan kemitraan, serta aktif mencari informasi dan
promosi produk. Pola pemberdayaan kelembagaan petani cengkeh mendukung
pengembangan agribisnis cengkeh di Maluku Utara dapat ditempuh melalui peningkatan
pengetahuan dan kapasitas sumberdaya manusia petani mengenai peluang agribisnis
cengkeh yang sangat potensial dan membangun kemitraan usaha dengan pihak ketiga
(lembaga keuangan/perbankan dan perusahaan kimia aromatik) dalam permodalan usaha
dan pemasaran produk.

REFERENSI
Juangsana, Hendra H. 2013. Strategi Pengembangan Agribisnis Komoditas Cengkeh Dalam
Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten Trenggalek. Jurnal Manajemen
Agribisnis, Vol 13, No. 2, Juli 2013: 45-56.
Arisena, GD. Mekse K. 2009. Struktur Dan Perilaku Pasar Komoditas Cengkeh di Kecamatan
Busungbiu Kabupaten Buleleng. Ganec Swara. Vol. 3 No. 2, September 2009: 39-46.
Assagaf, Muhammad, C. Sugihono, dan W. Sulistiyono. 2014. Analisis Teknis Dan Finansial
Prototype Alat Penyulingan Minyak Cengkeh Di Maluku Utara. Prosiding Seminar
Nasional dan Lokakarya Peran Inovasi Teknologi Pertanian dalam Pengembangan
Bioindustri Berkelanjutan untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan Volume 26, No. 3,
2014: 980-987.
Anantanyu, Sapja. 2011. Kelembagaan Petani: Peran Dan Strategi Pengembangan
Kapasitasnya. SEPA: Vol. 7 No. 2 Pebruari 2011: 102-109.
Uphoff, N. T. 1986. Local Institution Development: An Analitycal Sourcebook With Cases.
Kumarian Press.
Pujiharto. 2010. Kajian Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Sebagai
Kelembagaan Pembangunan Pertanian. Jurnal Agritech Vol. XII No. 1 Juni 2010: 64-80.
Syahyuti. 2007. Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) Sebagai
Kelembagaan Ekonomi Di Perdesaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5
No. 1, Maret 2007: 15-35.
Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. PT. Pustaka LP3ES
Indonesia. Jakarta.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2016. Maluku Utara Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik
Provinsi Maluku Utara. Ternate.
BPS Republik Indonesia. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia. Jakarta.
Brahmantiyo, Bram, dkk. 2016. Penerapan Community Biodiversity Management (CBM)
dalam Pengembangan Bawang Merah Topo di Maluku Utara. Laporan. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. Sofifi.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


138 | Teknologi Pertanian
Gusmawati, A. Laapo, dan D. Howara. 2014. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Cengkeh
di Desa Bou Kecamatan Sojol Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal
Agrotekbis 2 (3): 325-331, Juni 2014.
Suryana, Achmad, dkk. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Garkovich, Lorraine E. 1989. “Local Organizations and Leadership in Community
Development” dalam Community Development in Perspective. Editor James A.
Christenson dan Jerry W. Robinson, Jr. Iowa State University Press: 196-218. Iowa.
Pusdatin. 2014. Statistik SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta.
Syukur, Muhammad, dkk. 2015. Pendampingan Program PUAP di Maluku Utara. Laporan
Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. Sofifi.
Handriyanto, Imawan Eko. 2014. Tantangan Menumbuhkembangkan Kelembagaan Ekonomi
Petani. Artikel Sinartani: Senin, 17 Maret 2014. http://tabloidsinartani.com/
content/read/tantangan-menumbuhkembangkan-kelembagaan-ekonomi-petani/.
Diakses pada tanggal 17 Juni 2015.
Efendi, A. M. Fauzi, Machfud, dan Sukardi. 2014. Rancang Bangun Sistem Peningkatan
Kinerja Rantai Pasok Industri Minyak Atsiri. Jurnal Manajemen Teknologi Vo. 13, No.
2, 2014: 126-153.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 139
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI BERKELANJUTAN
DI KOTA TERNATE

Yopi Saleh1), Chris Sugihono1) dan Imam Prambudi2)


1)
Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Komplek Pertanian Kusu No. 1 Kec. Oba Utara,
Kota Tidore Kepulauan-Maluku Utara
e-mail: yopisaleh@gmail.com dan cris.sugiono@gmail.com

ABSTRAK
Kebutuhan komoditas cabai di Kota Ternate sampai saat ini masih bergantung kepada impor
cabai dari luar. Kota Ternate memiliki potensi sumberdaya lahan, inovasi teknologi,
kelembagaan dan SDM pertanian yang cukup dalam mewujudkan swasembada cabai. Tujuan
makalah ini adalah untuk mengidentifikasi dan menyusun arah pengembangan agribisnis cabai
dalam mendukung pemenuhan kebutuhan cabai di Kota Ternate. Kajian dilakukan pada bulan
Okotober-Desember 2016 di Kota Ternate. Metode yang digunakan adalah survey potensi,
wawancara dan studi literatur. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan
analisis trend. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kota Ternate dapat mampu memenuhi
kebutuhan cabai merah sebesar 100,55% dan cabai rawit 129,80% dalam lima tahun ke depan
melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan luas areal tanam. Upaya pengembangan
agribisnis cabai berkelanjutan di Kota Ternate dapat ditempuh melalui: (1) diseminasi inovasi
teknologi, (2) pengaturan luas tanam dan produksi, (3) penerapan inovasi teknologi budidaya
cabai off season, (4) bantuan modal atau subsidi petani, (5) pengelolaan dan penanganan pasca
panen, (6) pengembangan sistem informasi pertanian, dan (7) pengembangan kemitraan dan
kerjasama kelembagaan petani.
Kata kunci: pengembangan, agribisnis, cabai, Ternate

PENDAHULUAN
Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional yang mempunyai
daya adaptasi dan nilai ekonomi cukup tinggi. Akibat daya adaptasi yang cukup tinggi ini,
lokasi produksinya tersebar cukup luas, baik di dataran rendah, medium maupun di dataran
tinggi dan dapat ditanam pada musim penghujan maupun musim kemarau. Selama periode
2010-2015, pertumbuhan luas tanam rata-rata cabai di Maluku Utara adalah sebesar 37,60%
per tahun, dengan kecenderungan (trend) pola pertumbuhan yang meningkat. Sedangkan
pertumbuhan produksi mencapai 19,29% (BPS Maluku Utara, 2016). Komponen
pertumbuhan produksi ternyata lebih banyak memberikan kontribusi signifikan terhadap
pertumbuhan produksi cabai dibandingkan dengan komponen produktivitas. Hal ini
ditandakan menurunnya trend pertumbuhan produktivitas 6 tahun terakhir sebesar 7,10%.
Komoditas cabai banyak dikonsumsi masyarakat sebagai bahan penyedap berbagai
masakan oleh perusahaan sebagai bahan baku industri makanan, seperti pada perusahaan
mie instan, perusahaan makanan dan perusahaan sambal. Minyak atsiri yang terkandung
dalam cabai sangat bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan karena bisa
menyembuhkan berbagai penyakit seperti pegal-pegal, sesak nafas, obat kuat untuk kaum
adam dan beberapa penyakit lainnya. Menurut Bank Indonesia, Kemenkeu, dan Kemendagri

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


140 | Teknologi Pertanian
(2015), komoditas cabai merupakan salah satu penyumbang inflasi. Lonjakan harga cabai
yang hampir terjadi setiap tahun, menempatkan cabai menjadi salah satu komoditas
strategis yang selalu mendapat perhatian dari berbagai stakeholders termasuk pemerintah
(Setiawati et al., 2015).
Berdasarkan sensus pertanian tahun 2013, di Kota Ternate masih sangat sedikit
petani yang mengusahakan tanaman cabai yaitu sebanyak 447 rumah tangga petani dengan
total luas areal pengembangannya 112.858 m2 atau 11,29 ha, sehingga rata-rata luas tanam
yang diusahakan per rumah tangga petani adalah 252,48 m 2 (BPS Kota Ternate, 2014). Hal ini
mengindikasikan bahwa pola pertanaman cabai di Kota Ternate masih dalam skala yang
kecil. Sementara tingkat konsumsi rata-rata cabai untuk Kota Ternate di tahun 2014
tergolong rendah yaitu 1,51 kg/kapita/tahun atau 0,13 kg/kapita/bulan (Disperindag Maluku
Utara (2014); Disperta Maluku Utara (2014), diolah). Estimasi permintaan cabai di Kota
Ternate untuk tahun 2016 mencapai 330 ton. Analisis data ekspor-impor selama tahun 2014
mengindikasikan bahwa selama periode tersebut Kota Ternate adalah salah satu importir
cabai, karena hampir sebagian besar kebutuhan cabai dipenuhi dari impor/pemasukan luar
daerah baik itu Manado, Surabaya, maupun wilayah Halmahera lainnya sebagai sentra cabai
seperti di Halmahera Timur, Halmahera Barat dan Halmahera Utara.
Berbagai indikator menyangkut status, potensi dan prospek pengembangan
komoditas cabai di atas secara implisit tidak saja menunjukkan sisi positif perkembangan
cabai, tetapi juga celah dan kesenjangan (sumber pertumbuhan produksi cabai yang lebih
didominasi oleh pertumbuhan produksi serta impor yang mengancam daya saing produksi
cabai domestik di Kota Ternate) yang perlu mendapat perhatian lebih serius untuk segera
ditangani. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyusun arah pengembangan
agribisnis cabai dalam mendukung pemenuhan kebutuhan cabai di Kota Ternate.

BAHAN DAN METODE


Kajian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2016. Lokasi kajian di Kota
Ternate yang ditentukan secara sengaja (purposive sampling) karena Kota Ternate melalui
Dinas Pertanian sedang gencar melakukan pengembangan hortikutura untuk mewujudkan
kemandirian pangan. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan
sekunder.
Data primer diperoleh melalui survey dan wawancara dengan petani dan stakeholder
pertanian (dinas pertanian dan PPL) untuk mengetahui keragaan dan kondisi eksisting
usahatani cabai di Kota Ternate. Data sekunder diperoleh dari BPS, Dinas Pertanian Kota
Ternate, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ternate, BPTP Maluku Utara, Pusdatin,
dan literatur lainnya yang relevan dalam kajian ini. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan analisis statistik deskriptif, yaitu menggunakan tabel dan bagan untuk
menjelaskan data tentang luas lahan, produksi, produktivitas, jumlah rumah tangga petani,
proyeksi kebutuhan/permintaan cabai, dan juga varietas. Untuk mengetahui proyeksi
kebutuhan akan cabai di Kota Ternate, analisis data menggunakan analisis trend.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 141
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Agribisnis Cabai Kota Ternate Saat Ini

Pertumbuhan produksi dan produktivitas cabai di Kota Ternate selama kurun waktu 5
tahun (2011-2015) menurun. Namun luas panen cabai cenderung meningkat (Tabel 1).
Kebutuhan cabai di Kota Ternate dalam satu tahun rata-rata sekitar 300 ton per tahun atau
sekitar 25 ton per bulan. Kebutuhan cabai pada hari-hari besar keagamaan dan musim
hajatan biasanya meningkat sekitar 10-20% dari kebutuhan normal. Rerata produktivitas
tanaman cabai di Kota Ternate 5 tahun terakhir hanya berkisar 0,68 ton/ha. Produktivitas ini
masih jauh di bawah rata-rata produksi nasional yang berkisar 7,30 ton/ha (BPS Pusat, 2016),
sehingga masih terdapat gap produktivitas cabai yang masih bisa ditingkatkan untuk
mendukung meningkatnya produksi cabai di Kota Ternate.

Tabel 1. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivtas cabai di Kota Ternate periode
tahun 2011-2015
Tahun
Uraian Pertumbuhan (%) Rerata
2011 2012 2013 2014 2015
Luas Panen (ha) 82 40 132 581 270 116.35 221
Produksi (Ton) 457 181 86 21 2.13 -69.58 149.43
Produktivitas (Ton/ha) 5.57 4.53 0.65 0.04 0.01 -69.26 0.68
Sumber: BPS Maluku Utara diolah, 2012-2016

Petani di Kota Ternate mengusahakan tanaman cabai di lahan kering/tegalan.


Budidaya cabai sangat rentan terhadap iklim terutama curah hujan yang tinggi. Saat ini iklim
semakin sulit diprediksi (anomali iklim) sehingga mempengaruhi kinerja pertanaman dan
produksi cabai. Petani cabai membutuhkan keahlian khusus, baik dalam keterampilan teknis
maupun kapabilitas manajerialnya.
Teknologi budidaya tanaman cabai di Kota Ternate masih konvensional. Tanaman
cabai ditanam dalam bentuk bibit, untuk itu diperlukan persemaian. Persemaian sederhana
menggunakan atap daun kelapa, daun pisang, atau alang-alang.Petani cabai umumnya tidak
menggunakan pupuk kandang, salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya pupuk
kandang tersebut. Umumnya petani menggunakan sistem pertanaman baris tunggal pada
bedengan dengan jarak tanam 60-70 X 30-50 cm. Selama pemeliharaan, penyiangan
dilakukan secara manual dan juga menggunakan herbisida.
Peningkatan produksi dan produktivitas cabai secara nyata hanya dapat dilakukan
dengan inovasi teknologi baru dan perencanaan tanam yang tepat. Terobosan inovasi
teknologi baru dapat difokuskan pada penggunaan benih unggul dan hibrida tersertifikasi,
teknologi pemupukan secara lengkap dan berimbang, penggunaan pupuk organik
terstandarisasi dan penggunaan kapur sebagai unsur pembenah tanah, teknologi
pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, serta penanganan pascapanen yang prima.
Perencanaan tanam harus didasarkan pada dinamika permintaan pasar menurut tujuan dan
segmen pasar, serta preferensi konsumen.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


142 | Teknologi Pertanian
Kebutuhan cabai di Kota Ternate hampir >83% masih didatangkan dari luar Kota
Ternate karena produksi lokal masih belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri.
Dampaknya adalah mudah sekali terjadi fluktuasi harga sehingga cabai menjadi salah satu
komoditi penyumbang inflasi. Secara umum persediaan cabai di Kota Ternate sangat
dipengaruhi oleh produksi, konsumsi, ekspor, dan impor. Untuk ekspor bisa diabaikan karena
Kota Ternate belum pernah melakukan ekspor cabai keluar daerah. Sedangkan impor bisa
berupa cabai segar dan produk olahan lainnya. Konsumsi cabai umumnya dipengaruhi oleh
jumlah penduduk, konsumsi per kapita, dan konsumsi lainnya berupa home industry rumah
tangga maupun olahan lainnya. Sedangkan produksi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
benih, luas lahan, produktivitas, dan efektifitas input produksi.
Ketergantungan terhadap impor tentunya bisa mengakibatkan gejolak harga dan
dampak akhirnya terhadap kredibilitas pemerintah daerah dalam melakukan stabilisasi harga
dan pasokan pangan. Mau tidak mau pemerintah daerah sementara ini harus melihat pola
produksi cabai di wilayah lain agar ada jaminan pasokan komoditi tersebut masuk ke Kota
Ternate. Untuk wilayah Halmahera dan sekitarnya, cabai diusahakan setahun 1-2 kali dengan
puncak panen pada bulan Juli-Oktober. Sedangkan dari pulau Jawa biasanya panen raya
dilakukan pada musim kemarau periode November-Maret.

Prospek Pengembangan Cabai

Cabai mempunyai prospek permintaan yang baik, akan tetapi dalam sektor budidaya
skala kecil masih menghadapi berbagai masalah dan kendala yang berakibat pada resiko
kegagalan panen. Permasalahan dan kendala utama diantaranya adalah tidak adanya
kepastian jual, harga yang berfluktuasi, rantai pemasaran panjang, rendahnya margin usaha,
lemahnya akses pasar, dan ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan peminjaman
kredit bank dan lembaga kredit lainnya (Khaririyatun et al., 2014).
Dengan mempertimbangkan daya dukung sumberdaya di berbagai daerah, upaya
peningkatan produksi cabai dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas sumberdaya
lahan dengan memanfaatkan inovasi teknologi dan perluasan areal tanam. Berdasarkan data
yang ada, perhitungan laju pertumbuhan penduduk Kota Ternate sebesar 2,63% per tahun
(BPS Maluku Utara, 2016), jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2021 sekitar 249.197
jiwa.
Sebenarnya dengan asumsi elastisitas pendapatan dan harga yang kurang dari satu,
maka konsumsi cabai per kapita relatif stabil, yaitu sekitar 1,54 kg/kapita/tahun atau masing
masing-masing konsumsi cabai per kapita untuk cabai merah dan cabai rawit adalah sebesar
1,14 kg/kapita/tahun dan 0,37 kg/kapita/tahun. Hal ini dikarenakan pada tahun yang akan
datang, komoditas cabai tetap menjadi salah satu kebutuhan rumah tangga maupun industri
makanan dan lainnya. Karena laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari laju peningkatan
konsumsi per kapita per tahun maka jumlah permintaan akan komoditas cabai tetap akan
meningkat.
Usaha-usaha penanganan pascapanen, pengemasan, dan pengolahan produk
berbasis cabai masih sangat terbuka untuk dikembangkan di Kota Ternate melalui

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 143
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pengembangan kelembagaan pemasaran dan pengolahan cabai. Petani yang menjual cabai
secara perorangan langsung kepada pedagang pengumpul dapat diarahkan untuk
membentuk usaha kelompok pemasaran maupun pengolahan produk cabai untuk juga
mengembangkan agroindustri cabai di lokasi pengembangan cabai di Kota Ternate.

Potensi Dan Sumberdaya Pendukung Pengembangan Cabai

Potensi Sumberdaya Lahan


Imbangan tingkat pemanfaatan lahan dengan daya dukung lahan menjadi ukuran
kelayakan penggunaan lahan. Sebaliknya, jika pemakaian lahan telah melampaui
kemampuan daya dukung lahan, maka pemanfaatan lahan tidak dipakai secara efektif
(Moniaga, 2011).

Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Cabai di Kota Ternate (Setyowati et al., 2014)

Berdasarkan peta kesesuaian lahan tanaman cabai skala 1:50.000 di Kota Ternate dari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara, luas lahan di Kota Ternate yang
sesuai dan cukup sesuai untuk pengembangan cabai adalah sebesar 1.860,3 ha (11,4%). Luas
lahan tanaman cabai eksisting di Kota Ternate saat ini adalah sebesar 270 ha, namun
produksinya hanya 2,13 ton (BPS Maluku Utara, 2016), sehingga masih sangat terbuka
peluang peningkatan produktivitas dan luas lahan untuk pengembangan komoditas cabai.
Namun perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti berikut ini: (1) investasi dengan nilai
yang tinggi; (2) keberlanjutan fungsi lahan pertanian yang baru dibuka; (3) ketersediaan
tenaga kerja (SDM) pertanian; (4) dampak lingkungan atau perubahan ekosistem, degradasi
lingkungan dan sebagainya. Selain itu, masih adanya alternatif peningkatan produksi cabai
melalui peningkatan produktivitas yang ada.

Potensi Inovasi Teknologi

Pada abad ke-21, kemajuan di bidang ilmu dan teknologi (IPTEK) pertanian minimal
harus dapat menjawab dua hal, yaitu: (1) dampak perubahan iklim, dan (2) keterbatasan
sumberdaya ditengah kebutuhan manusia yang terus berkembang (Hasyim et al., 2015).
Dukungan inovasi teknologi dalam rangka peningkatan produktivitas dan kualitas hasil

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


144 | Teknologi Pertanian
tanaman cabai sudah banyak dilakukan. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, banyak
teknologi baru telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), yaitu
meliputi: varietas unggul, produk bioteknologi, teknologi produksi sayuran, teknologi PHT,
dan teknologi pascapanen (Basuki et al., 2014).
Beberapa varietas unggul cabai yang potensi hasilnya tidak kalah dengan varietas
benih yang dihasilkan oleh pihak swasta yang telah dihasilkan dan dikembangkan oleh
Balitsa seperti pada tabel 2 di atas. Tanaman cabai dapat beradaptasi luas mulai dari dataran
rendah sampai ke dataran tinggi tergantung dari varietas yang digunakan.

Tabel 2. Varietas Cabai Yang Telah Dilepas Oleh Balitsa, Badan Litbang Pertanian-
Kementerian Pertanian
No Varietas Jenis Potensi Hasil (t/ha) Daerah Adaptasi
1 Tanjung 1 Cabai besar 18 Rendah
2 Tanjung 2 Cabai besar 12 Rendah
3 Lembang 1 Cabai keriting 9 Rendah-Tinggi
4 Lingga Cabai besar 20,5 Medium
5 Ciko Cabai besar 20,5 Medium
6 Kencana Cabai keriting 22,9 Medium
7 Rabani Agrihorti Cabai rawit 13,18 Tinggi
8 Prima Agrihorti Cabai rawit 20,25 Tinggi
Sumber: Balitsa (2016), diolah.

Untuk memperoleh hasil buah yang optimal, selain dengan menggunakan varietas
yang tahan terhadap OPT juga perlu diperhatikan teknologi budidaya yang tepat. Anwarudin
et al. (2015) menambahkan bahwa selain varietas, Balitsa juga menghasilkan teknologi
produksi cabai, diantaranya adalah pengelolaan tanaman terpadu (PTT) cabai merah dan
budidaya cabai menggunakan sungkup kasa untuk budidaya cabai merah di musim hujan.
Penggunaan sungkup kasa ini dapat meningkatkan hasil cabai merah hibrida sampai
lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan di lahan terbuka, serta mampu mengurangi
penggunaan semua jenis pestisida yang biasa digunakan petani hingga 66%. Dukungan
teknologi melalui penerapan sistem budidaya pertanian yang baik (Good Agricultural
Practices atau GAP) dapat diterapkan sebagai jaminan untuk meningkatkan kualitas dan
mutu produk sesuai standardisasi pasar global (Yufdy et al., 2014).
Harga tertinggi cabai biasanya saat buah masih dalam keadaan segar oleh karena itu
dibutuhkan perlakuan untuk menjaga agar buah tetap terjaga kesegarannya. Cara ini bisa
dilakukan mulai waktu pemetikan yang benar, memisahkan buah sehat dengan yang rusak
dan setelah panen diupayakan buah disimpan di tempat yang sejuk.
Apabila kerusakan buah tidak bisa dihindari atau harga cabai rendah maka produk
diversifikasi pasca panen yang lain bisa dilakukan, yaitu dengan melakukan pengolahan cabai
menjadi produk olahan lainnya. Teknologi produk olahan cabai mampu memberikan nilai
tambah bagi petani. Beberapa bentuk olahan cabai yaitu cabai giling dalam kemasan, saos
cabai, cabai kering, cabai bubuk, manisan cabai, bumbu nasi goreng dan oleoresin cabai.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 145
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Potensi Kelembagaan dan SDM

Salah satu upaya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui pemberdayaan


sumberdaya manusia (SDM) baik secara individu maupun kelompok. Kelembagaan petani di
perdesaan telah tumbuh untuk mengembangkan organisasi petani yang berorientasi pada
agribisnis, hal ini dapat tumbuh dari pengembangan kapasitas kelompok tani (Poktan) atau
gabungan kelompok tani (Gapoktan). Berdasarkan data dari Pusdatin (2014), jumlah
kelembagaan petani dan petani anggota di Kota Ternate adalah sebanyak 21 gapoktan, 118
poktan dan 2.533 orang anggota. Sedangkan jumlah rumah tangga petani (RTP) menurut
subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan berturut-turut adalah sebanyak
429 RTP, 243 RTP, dan 1.487 RTP (gambar 2).

Gambar 2. Jumlah rumah tangga petani menurut Gambar 3. Jumlah penyuluh pertanian (PNS, THL-
subsektor di Kota Ternate TB, dan Swadaya) di Kota Ternate

Pembinaan dan pendampingan kelembagaan petani tidak luput dari adanya peran
kelembagaan penyuluh yang ada. Pusdatin (2014) juga mencatat jumlah SDM penyuluh di
Kota Ternate sebanyak 36 orang penyuluh PNS, 22 orang penyuluh THL-TB, dan 44 orang
penyuluh swadaya yang tersebar di 7 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di 7 kecamatan, 44
kelurahan dan 33 desa di Kota Ternate. Dukungan dari stakeholder pertanian lainnya yang
bersinggungan langsung di dunia pertanian juga sangat berperan dalam ikut serta
membangun dan mengembangkan agribisnis cabai, diantaranya ada perguruan tinggi, Dinas
Pertanian Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
Karantina Pertanian, Asosiasi pedagang hortikultura, dan lainnya. Kelembagaan, SDM petani
dan pendukung lainnya tersebut merupakan aset dan potensi yang dimiliki dalam rangka
pengembangan agribisnis cabai di Kota Ternate.

Proyeksi Dan Upaya Pemenuhan Kebutuhan Cabai

Jika diasumsikan industri pengolahan cabai masih belum tumbuh dengan pesat,
pertumbuhan jumlah penduduk 2,63% per tahun, rerata tingkat konsumsi per kapita per
tahun cabai merah dan cabai rawit adalah 1,16 kg dan 0,38 kg, rerata kebutuhan luas
pengembangan 24,79% per tahun, dan peningkatan produktivitas per tahun sebesar 12,7%,
maka kebutuhan akan cabai di Kota Ternate pada tahun 2021 lebih dari 385,27 ton atau

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


146 | Teknologi Pertanian
masing-masing kebutuhan akan cabai merah dan cabai rawit adalah sebesar 290,89 ton dan
94,38 ton. Masing-masing peningkatan permintaan untuk cabai merah dan cabai rawit ini
adalah sebesar 13,39% dan 10,94% dari permintaan pada tahun 2016.

Tabel 3. Perkiraan Permintaan/Kebutuhan Cabai Merah di Kota Ternate Tahun 2017-2021


Tahun
No Uraian
2017 2018 2019 2020 2021
1 Perkiraan jumlah penduduk (orang) 224,619 230,526 236,589 242,811 249,197
2 Perkiraan kebutuhan cabai (ton) 256.88 264.79 273.93 282.56 290.89
3 Perkiraan produksi cabai (ton) 72 114 160 216 292.5
4 Surplus/minus (ton) (184.88) (150.79) (113.93) (66.56) (1.61)
5 Rasio produksi/konsumsi (%) 28.03 43.05 58.41 76.44 100.55
6 Kebutuhan luas pengembangan (ha) 30 40 50 60 75
7 Kebutuhan produktivitas (t/ha) 2.40 2.85 3.20 3.60 3.90
Sumber: Data sekunder diolah, 2016.

Tabel 4. Perkiraan Permintaan/Kebutuhan Cabai Rawit di Kota Ternate Tahun 2017-2021


Tahun
No Uraian
2017 2018 2019 2020 2021
1 Perkiraan jumlah penduduk (orang) 224,619 230,526 236,589 242,811 249,197
2 Perkiraan kebutuhan cabai (ton) 83.34 85.91 88.87 91.67 94.38
3 Perkiraan produksi cabai (ton) 33 53 75 94.5 122.5
4 Surplus/minus (ton) -50.34 -32.91 -13.87 2.83 28.12
5 Rasio produksi/konsumsi (%) 39.60 61.70 84.39 103.08 129.80
6 Kebutuhan luas pengembangan (ha) 15 20 25 30 35
7 Kebutuhan produktivitas (t/ha) 2.20 2.65 3.00 3.15 3.50
Sumber: Data sekunder diolah, 2016.

Pemerintah daerah dibantu dengan pemerintah pusat dan peran aktif petani yang
konsisten, mampu mengembangkan luasan areal pertanaman cabai merah dan cabai rawit
masing-masing 10-15 ha/tahun dan 5 ha/tahun, niscaya swasembada cabai di Kota Ternate
dapat dicapai. Kondisi tersebut menjadikan Kota Ternate sudah dapat memenuhi kebutuhan
akan cabai merah sebesar 100,55% dan cabai rawit sebesar 129,80% dari kebutuhan
konsumsi penduduk akan produk cabai. Dengan kata lain, Kota Ternate telah mencapai
swasembada cabai dan akan mampu mengurangi impor untuk cabai merah pada tahun
2021. Dengan didukung perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas,
pengembangan komoditas cabai dengan skenario yang telah dibuat akan mampu mensuplai
kebutuhan cabai di Kota Ternate. Ke depan, permintaan cabai tidak hanya menyangkut
aspek kuantitas, tetapi juga kualitas, nilai gizi, aspek sosial budaya di masing-masing daerah,
dan perkembangan teknologi agroindustri.

Pengembangan Agribisnis Cabai Berkelanjutan

Kondisi kebutuhan cabai di Kota Ternate saat ini masih dipenuhi oleh impor cabai dari
luar. Sehingga jika tidak dilakukan upaya-upaya yang intensif, bukan tidak mungkin
swasembada cabai merupakan hal yang sulit untuk dicapai. Apalagi Kota Ternate merupakan
salah satu wilayah dengan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Kabupaten Halmahera
Selatan di Provinsi Maluku Utara. Pengembangan cabai dalam jangka menengah (5 tahun)
merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah dalam
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 147
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
mengurangi ketergantungan akan impor cabai di masa mendatang. Jika diasumsikan ada
rerata peningkatan produktivitas 12,97% per tahun dan rerata peningkatan luas areal
25,83% per tahun. Maka sampai dengan tahun 2021 diprediksikan produksi cabai di Kota
Ternate mencapai lebih dari 385,27 ton atau setara dengan 107,72% terpenuhinya
kebutuhan akan cabai di tahun tersebut.
Upaya pemenuhan kebutuhan akan komoditas cabai di Kota Ternate hingga tahun
2021 akan ditempuh melalui dua cara: (1) peningkatan produktivitas cabai dengan laju
pertumbuhan minimal 13% per tahun; dan (2) peningkatan areal panen cabai melalui
peningkatan pengembangan cabai di areal baru, termasuk sebagai tanaman sela di lahan
perkebunan maupun tanaman tumpang sari dengan komoditas sayuran lainnya.
Upaya pengembangan agribisnis cabai berkelanjutan dapat ditempuh melalui: (1)
diseminasi inovasi teknologi budidaya (varietas unggul, PTT cabai, demplot/demarea) serta
pascapanen cabai untuk peningkatan nilai tambah (produk olahan berbasis cabai), (2)
pengaturan luas tanam dan produksi cabai di musim kemarau, (3) penerapan inovasi
teknologi budidaya cabai pada musim hujan (off season) melalui penerapan inovasi teknologi
rumah atau sungkup kasa, (4) bantuan modal dan/atau subsidi pertanian kepada petani
cabai, (5) pengelolaan dan penanganan pasca panen cabai (membangun cold storage,
produk olahan cabai bernilai jual tinggi), (6) pengembangan sistem informasi pertanian
terpadu yang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk mendapatkan pengetahuan dan
informasi yang dibutuhkan, meliputi petani-petani lain, penyuluh, pedagang, agen
pemerintah, organisasi petani dan swasta, media massa, dan peneliti.
Tamba (2012) memaparkan beberapa jenis informasi yang dibutuhkan petani antara
lain: a) hasil-hasil penelitian, b) pengalaman petani, c) pasar input dan output, dan d)
kebijakan-kebijakan pemerintah, dan (7) pengembangan kemitraan dan kerjasama
kelembagaan petani untuk solusi pemasaran hasil dalam bentuk produk segar maupun
produk olahan cabai.

KESIMPULAN
Upaya pengembangan agribisnis cabai di Kota Ternate masih terbuka luas karena
kebutuhan cabe yang relative tinggi. Namun pengembangan agribisnis cabai dihadapkan
permasalahan produksi yang masih rendah. Berkenaan dengan kondisi tersebut, introduksi
inovasi teknologi, pemberdayaan kelembagaan dan SDM serta dukungan kebijakan
pemerintah daerah setempat menjadi suatu keniscayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwarudin, M. J., A. L. Sayekti, A. Mahendra K., dan Y. Hilman. 2015. Dinamika Produksi Dan
Volatilitas Harga Cabai: Antisipasi Strategi Dan Kebijakan Pengembangan. Majalah
Pengembangan Inovasi Pertanian Volume 8 Nomor 1, Maret 2015:33-42.
Bank Indonesia, Kemenkeu RI, dan Kemendagri RI. 2015. Gejolak Volatile Food Dorong Inflasi
Mei 2015 Cukup Tinggi. Analisis Inflasi, Edisi: 3 Juni 2015. TPI dan Pokjanas TPID.
Jakarta.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


148 | Teknologi Pertanian
Basuki. R. S., I. W. Arsanti, L. Zamzani, N. Khaririyatun, Y. Kusandriani, dan Luthfy. 2014. Studi
Adopsi Cabai Merah Varietas Tanjung-2 Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman
Sayuran di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Jurnal Hortikultura Vol 24, No. 4:
355-362.
BPS Provinsi Maluku Utara. 2016. Maluku Utara Dalam Angka 2016. Badan Pusat Statistik
Provinsi Maluku Utara. Ternate.
BPS Kota Ternate. 2014. Sensus Pertanian 2013: Hasil Pencacahan Lengkap Kota Ternate.
Badan Pusat Statistik Kota Ternate. Ternate.
BPS. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Hasyim, A., W. Setiawati, dan L. Lukman. 2015. Inovasi Teknologi Pengendalian OPT Ramah
Lingkungan Pada Cabai: Upaya Alternatif Menuju Ekosistem Harmonis. Majalah
Pengembangan Inovasi Pertanian Volume 8 Nomor 1, Maret 2015:1-10.
Khaririyatun, N., R. S. Basuki, Y. Kusandriani, dan I. W. Arsanti. 2014. Kontribusi Agroinovasi
Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Petani Sayur: Studi Kasus Pada Cabai Merah
Varietas Tanjung-2 Di Kabupaten Ciamis-Jawa Barat. Buku Bunga Rampai: Analisis
Outcome Inovasi Hortikultura Menghadapi Persaingan Pasar ASEAN: 47-56. IAARD
Press. Jakarta.
Moniaga, Vicky. R. B. 2011. Analisis Daya Dukung Lahan Pertanian. Jurnal ASE – Volume 7
Nomor 2, Mei 2011: 61-68.
Pusdatin. 2014. Statistik Sumber Daya Manusia Pertanian Dan Kelembagaan Petani. Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Setiawati, W., Y. Kusandriani, dan A. Hasyim. 2015. Sumbsangsih Cabai Keriting Kencana
dalam Menghadapi Kebijakan Swasembada Cabai. Bunga Rampai: Inovasi Hortikultura
Pengungkit Peningkatan Pendapatan Rakyat: 45-57. IAARD Press. Jakarta.
Setyowati, T., Y. Saleh, A. Teapon, A. N. Susanto, H. B. Aji, dan U. Kaliky. 2014. Pemetaan
Agro-Ecological Zone (AEZ) Skala 1:50.000 Kota Ternate. Laporan Akhir. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. Sofifi.
Tamba, Mariati. 2012. Pemberdayaan Petani Berbasis Informasi Pertanian (Model
Penyediaan Informasi Pertanian Dalam Pemberdayaan Petani Sayuran: Kasus Provinsi
Jawa Barat). Prosiding Seminar Nasional Petani dan Pembangunan Pertanian: 308-
323. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Kementerian Pertanian. Bogor.
Yufdy, M. P., D. Kurniasih, dan I. W. Arsanti. 2014. Inovasi Hortikultura Tantangan Dan
Strategi Pengembangannya. Buku Bunga Rampai: Analisis Outcome Inovasi
Hortikultura Menghadapi Persaingan Pasar ASEAN: 23-36. IAARD Press. Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 149
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KELAYAKAN DAN DAYA SAING ALOKASI TENAGA KERJA
PADA USAHATANI JAGUNG DI SULAWESI UTARA

Jantje G. Kindangen dan Jefny B.M. Rawung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara


Jl. Kampus Pertanian Kalasey, Kotak Pos 1354 Manado 95012
e-mail: jantjekind0857@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk untuk mengetahui kelayakan dan daya saing pengalokasian tenaga
kerja dalam usahatani jagung. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bolang Mongondow dan
Minahasa TenggaraTenggara dan Bolaang Mongondow Sulawesi Utara menggunakan metode
survai dan diskusi kelompok (FGD). Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan sistem usahatani
jagung konsumsi meliputi usaha tradisional (10 %), semi intensif (80 %), dan intensif (10 %).
Ketiga sistem pengelolaan usahatani jagung konsumsi di Kabupaten Minahasa Tenggara dan
Bolaang Mongondow menunjukkan nilai R/C semuanya bernilai >1 dan B/C rasio <1
menggambarkan usaha ini relatif menguntungkan namun tidak optimal. Pada usahatani jagung
benih produksi usaha swadaya, bantuan saprodi dan pengolahan tanah serta swadaya subsidi
harga di Kabupaten Minahasa Tenggara menunjukkan nilai R/C semuanya >2 dan B/C >1
menggambarkan usaha penangkaran benih jagung layak dan memberikan keuntungan yang
optimal. Imbalan riel alokasi tenaga kerja pada 3 sistem pengelolaan usahatani jagung konsumsi
hanya pada usahatani intensif di Minahasa Tenggara bernilai lebih besar dari nilai upah riel
sebesar Rp 75.000/HOK. Pada usaha penangkaran benih imbalan riel tenaga kerjanya semuanya
lebih besar dari nilai upah riel. Indikasinya tenaga kerja yang dialokasikan dalam pengelolaan
usaha penangkaran benih lebih berdaya saing daripada alokasi tenaga kerja pada usahatani
jagung konsumsi. Pada usahatani penangkaran benih alokasi tenaga kerjanya dapat berdaya
saing dengan nilai upah pada sektor industri dan jasa.
Kata kunci: Kelayakan finansial, daya saing, tenaga kerja, usahatani jagung

PENDAHULUAN
Komoditas jagung merupakan komoditas tanaman pangan yang penting dan strategis
dalam pembangunan sektor pertanian, terutama untuk memenuhi kebutuhan pakan yang
terus meningkat. Permintaan jagung dari tahun ketahun terus meningkat, akibat belum
mencapai swasembada telah terjadi impor jagung yang cukup besar selama ini. Guna
memenuhi kebutuhan jagung tersebut maka sejak tahun 2015 pemerintah melancarkan
upaya peningkatan produksi jagung berbasis kawasan melalui Gerakan Penerapan
Pengelolaan Tanaman Terpadu Jagung (GP-PTT) jagung.
Sasaran produksi jagung nasional tahun 2017 melalui program UPSUS adalah sebesar
30.544.728 ton pipil kering, guna meraih target produksi ini dilakukan perluasan areal di
sejumlah daerah yang potensial. Berkaitan dengan itu petani terus didorong menggunakan
benih unggul bermutu, akan tetapi ketersediaan benih unggul ditingkat petani masih
terbatas. Pengembangan jagung di Sulawesi Utara hampir semuanya diusahakan pada lahan
kering. Debaeke dan Aboudrare (2004) menyatakan kendala dalam pemanfaatan lahan
kering antara lain ketersediaan air terbatas, kesuburan tanah relatif rendah dan periode
musim hujan pendek dan tidak menentu. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


150 | Teknologi Pertanian
pertumbuhan tanaman dengan hasil rendah (Abdurachman et all., 2008; Mulyani dan
Hidayat, 2009)
Sejak tahun 2010 pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang besar dalam
menggerakkan sektor pertanian dengan fokus pada pencapaian swasembada pangan secara
berkelanjutan. Khusus pengembangan komoditas jagung melalui program ini telah
meningkatkan produktivitas sekitar 0,5-2 ton/ha/musim tanam. Pemerintah Sulawesi Utara
bertekat mempercepat upaya peningkatan produksi jagung nasional untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan pakan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk dari tahun ketahun. Program P2BN ditargetkan mampu meningkatkan produksi
jagung 5% setiap tahun (Departemen Pertanian, 2008). Senjang hasil (yield gap) antara
potensi produksi, hasil penelitian dan produksi riel jagung masih cukup lebar, ada senjang
sekitar 3-4,5 ton/ha/musim.
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang mampu
meningkatkan produktivitas jagung, di antaranya varietas unggul yang sebagian di antaranya
telah dikembangkan oleh petani. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengeta-huan dan
teknologi, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang mampu meningkatkan produktivitas jagung dan
efisiensi input produksi (Departemen Pertanian, 2008). Selang lima tahun terakhir telah
dihasilkan kurang lebih 40 varietas dan sampai sekarang jumlah yang telah didiseminasikan
di Sulawesi Utara lebih dari 10 varietas. Sania,dkk.(2006) mengemu-kakan diharapkan
hingga pada satu dekade mendatang semakin banyak petani yang menggunakan benih
unggul dan dapat dikelola secara intensif.
Dalam upaya peningkatan produksi, pijakan utama yang digunakan dalam program
pengembangan jagung adalah tingkat produktivitas yang telah dicapai saat ini. Pada daerah-
daerah yang telah memiliki produktivitas tinggi (>6 ton/ha), programnya adalah pemantapan
produktivitas. Untuk meningkatkan produksi di daerah yang tingkat produk-tivitasnya masih
rendah (<5 ton/ha), diprogramkan pergeseran penggunaan jagung hibrida ke jenis hibrida
dan komposit unggul dengan menggunakan benih berkualitas (Purwanto, 2007). Untuk
mempercepat pemasyarakatan, memperluas prevalensi adopsi dan meningkatkan kadar
adopsi teknologi di Sulawesi Utara telah diimplementasikan melalui Program Sekolah Lapang
PTT jagung. Sampai saat ini tingkat produktivitas jagung di Sulawesi Utara belum mencapai 4
ton/ha/musim tanam, sedangkan capaian produksi pada petani yang menerapkan teknologi
melalui program SL-PTT capai produksi jagung sekitar 6-8 ton/ha/musim tanam. Senjang
produktivitas ini selain masih terbatasnya petani menggunakan benih unggul, juga karena
alokasi tenaga kerja terbatas serta biaya tenaga kerja sewa yang cukup tinggi.
Dalam menyikapi kondisi ini diperlukan pemahaman dan penguasaan yang mendalam
guna memanfaatkan, memobilisasi dan memadukan potensi kelembagaan lokal dengan
kelembagaan yang dibentuk pemerintah (state-imposed institution) menjadi suatu alat
percepatan pembangunan pertanian spesifik lokasi (Suradisastra, 2006). Dalam kenyataan
kelembagaan yang berfungsi sebagai jalur pendistribusian benih masih cukup panjang serta

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 151
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
laju penyebaran benih sangat tergantung pada keberadaan proyek pada tingkat instansi
yang bersangkutan.
Masalah yang dihadapi bahwa produksi dan pendapatan per satuan unit usahatani
masih sangat rendah selain karena produktivitas setiap input yang dialokasikan relatif
terbatas juga pengakalokasiannya belum terpadu. Dalam kondisi dimana tidak ada lembaga
perbenihan yang dianggap dapat mengakomodasi kepentingan konsumen benih untuk
meningkatkan produksi dan taraf hidup petani, maka perbaikan sistem kelembagaan
perbenihan sangat diperlukan. Efektivitas lembaga sebagai sarana pemberdayaan sendiri
akan sangat tergantung pada proses pembentukannya, yang memungkinkan lembaga yang
terbentuk tersebut mencerminkan aspirasi masyarakat yang bersangkutan (Budhi dan
Aminah, 2009).
Pemberdayaan masyarakat identik dengan penguatan kelembagaan gotong royong
pada masyarakat adat (Pranadji, 2009). Melalui upaya pemberdayaan diharapkan petani
dapat meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan usahataninya, mampu tampil
sebagai innovator mengadopsi teknologi secara mandiri dan berkelanjutan.
Untuk mempercepat penyebaran benih jagung maka keberhasilan distribusinya
melalui penangkaran benih lokal sangat diperlukan. Hidajat dan Saenong (2007) menyatakan
bahwa jika penangkaran dilaksanakan disekitar pengguna maka dapat direncanakan dengan
tepat jumlah benih dan varietas jagung yang dibutuhkan, sehingga penangkaran dapat
dilaksanakan dengan tepat. Tujuan penelitian untuk mengetahui kelayakan sistem
pengelolaan usahatani jagung konsumsi dan produksi benih serta daya saing pengalokasian
tenaga kerja dalam pengelolaan usahatani jagung.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan bulan Mei - September 2014 di Kabupaten Minahasa
Tenggara (Kecamatan Belang dan Ratatotok) dan Kabupaten Bolaang Mongondow
(Kecamatan Dumoga dan Lolak). Penerapan petani terhadap sistem budidaya jagung dalam 3
kategori yaitu sistim konvensional, semi intensif, dan intensif. Penentuan sampel petani
secara acak sederhana (Simple Random Sampling) masing-masing kategori ditetapkan
sampel sebanyak 5, 20, dan 5 petani sampel setiap kecamatan sehingga jumlah petani
sampel setiap kabupaten sebanyak 60 sampel.
Data yang dikumpulkan dari petani responden dan instansi terkait. Pengumpulan data
dari petani responden dilakukan melalui wawancara responden yang dipandu dengan daftar
kuesioner langsung pada petani. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi terkait
mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dan kelompok tani.
Data primer dikumpulkan dengan metode survey menggunakan teknik wawancara
semi structural interview (SSI) dan teknik diskusi kelompok terarah Focus Group Discussion
(FGD) pada tingkat desa dan kecamatan (Adisasmita, 2006). FGD mengacu berdasarkan
wilayah kecamatan terpilih sebanyak 7-11 orang. Teknik analisis data yang digunakan adalah
analisis tabulasi, data kuantitatif maupun kualitatif yang relevan dengan yang diteliti
dituangkan dalam bentuk tabel. Tenaga kerja keluarga yang dialokasikan dihitung

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


152 | Teknologi Pertanian
berdasarkan jumlah hari orang kerja (HOK). Penerimaan dan keuntungan suatu sistem
usahatani merupakan fungsi dari nilai produksi dan total biaya yang digunakan. Komponen
biaya mencakup biaya sarana produksi, upah tenaga kerja, dan biaya tetap. Sarana produksi
berupa benih, pupuk, dan obat-obatan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai penerimaan,
keuntungan, kelayakan finansial, serta imbalan riel tenaga kerja. Pada usahatani penghasil
benih (penangkar) menjadi 3 kategori, yakni usaha swadaya, usaha bantuan biaya sarana
produksi dan pengolahan tanah hingga siap tanam, serta usaha swadaya petani ada subsidi
harga. Nilai penerimaan keuntungan terdiri dari keuntungan usaha dan keuntungan bersih.
Analisis kelayakan finansial dari sistem usahatani yang diterapkan dengan formula R/C dan
B/C rasio, dan imbalan riil terhadap tenaga kerja sektor pertanian. Formulasi analisis
pendapatan sebagai berikut:
1. Nilai penerimaan keuntungan
a. Keuntungan Usaha (∏1) Π1 = ∑ni=1 Yi*Pyi-VC

b. Pendapatan bersih atau pendapatan faktor produksi (∏ 2): Π2 = ∑ni=1 Yi*Pyi-FC

c. Keuntungan bersih atau pendapatan dari pengelolaan (∏ 3) Π3 = ∑ni=1 Yi*Pyi-VC-FC


Keterangan: ∏ = Pendapatan/keuntungan
Yi = Keluaran
Pyi = Harga keluaran
VC = Biaya variable
FC = Biaya tetap.

2. Kelayakan Usahatani R/C = Pyi/TC


Keterangan:R/C = Nisbah penerimaan dari biaya ; Py= Harga keluaran/nilai produksi
TC = Total cost; R/C > 1 usahatani secara finansial menguntungkan
R/C = 1 usahatani impas; R/C < 1 usahatani secara finansial tidak menguntungkan

N1- (N2-N3)
3. Daya saing atau imbalan riel tenaga kerja IRTKSP = ×α
Q

Dimana :IRTKsp = Imbalan riel tenaga kerja di sektor pertanian


N1= Total penerimaan dari usahatani (Rp)
N2= Total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dalam usahatani
N3= Total biaya tenaga kerja yang dikeluarkan dalam proses produksi dalam usahatani (Rp)
Q= Jumlah hari orang kerja (HOK)
α= Suatu konstanta, dimana analisis ini diasumsikan frekuensi efektif pemakaian tenaga kerja di sektor
pertanian hanya sebesar 50 % dari sektor industri.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan Sistem Usahatani Jagung

Penerapan sistem usahatani jagung pada umumnya belum menerapkan teknologi


sesuai anjuran akibatnya capaian produktivitas masih rendah, hanya sekitar 2-3
ton/ha/musim tanam. Penerapan sistem usahatani jagung pada sentra-sentra
pengembangan jagung lebih dominan (60-65%) secara mokultur, sisanya polikultur yang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 153
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
sebagian besar diusahakan apa areal tanaman kelapa. Umumnya masih menggunakan benih
lokal dan keinginan petani untuk menggunakan benih unggul cukup tinggi. Selang 10 tahun
terakhir ketersediaan benih unggul sangat terbatas, padahal penangkaran benih jagung
komposit cukup mudah untuk dibangun pada beberapa sentra yang potensial tanaman
jagung. Ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) umumnya masih
cukup sulit untuk mendapatkannya, dari sejumlah kelompok tani yang ada termasuk
gapoktan diperoleh informasi belum ada yang mengembangkan lembaganya menjadi
lembaga ekonomi desa mandiri.
Penerapan inovasi teknologi ditingkat petani masih beragam, bergantung pada
orientasi produksi (subsisten, semi komersial, dan komersial), kondisi kesuburan tanah,
risiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi
(Zubachtirodin, at all. 2007).
Diperoleh informasi bahwa meskipun kondisi benih jagung tergolong kurang bermutu
akan tetapi sebenarnya para petani jagung tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh
benih (lokal maupun dari luar). Ketersediaan benih jagung secara informal selalu tersedia
dan telah melembaga dikalangan petani pada setiap desa melalui tukar menukar antar
petani, memperoleh benih dari desa tetangga, diupayakan oleh petani sendiri secara selektif,
dapat dibeli petani pada lokasi sekitarnya. Lain halnya dengan sarana produksi berupa pupuk
dan pestisida memperlihatkan lebih dari 75% petani responden menyatakan selang 5 tahun
terakhir cenderung sulit untuk mendapatkannya dan hal ini sangat berpengaruh bagi petani
untuk menerapkan paket teknologi secara utuh.
Hal yang menarik untuk dicermati bahwa kinerja kelembagaan petani melalui
kelompok tani/gapoktan masih sangat lemah, sama sekali belum ada yang berorientasi
kearah pembentukan lembaga ekonomi.

Usahatani jagung konsumsi

Hasil evaluasi kinerja usahatani dalam pengelolaan usahatani melalui penggunaan


input dan perolehan produksi memperlihatkan ada 3 kategori penerapan sistem usahatani,
yakni sistem usahatani tradisional (8,33%), sistem usahatani semi intensif (83,33%) dan
sistem usahatani intensif (8,33%). Rincian analisis kelayakan finansial usahatani jagung
konsumsi disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Hasil analisis pendapatan usahatani jagung pada Tabel 1 bahwa penerapan sistem
usahatani jagung pada dua kabupaten baik secara konvensional, semi intensif maupun
intensif memperlihatkan usaha ini relatif menguntungkan. Makin intensif pengelolaan
usahatani poduksi jagung makin tinggi dengan tambahan biaya input yang lebih tinggi pula.
Pengelolaan yang intensif memberikan nilai keuntungan lebih dari 2,5 kali lipat dari usaha
tradisional dan semi intensif lebih dari 1,5 kali lipat dari usaha tradisional. Penggunaan biaya
input juga memperlihatkan hal yang sama. Kelayakan finansial usahatani jagung dari ketiga
sistem pengelolaan usahatani ini terlihat dari nilai R/C dan B/C ratio yang hampir sama
semuanya mengindikasikan bahwa penerapan sistem usahatani jagung pada semua lokasi
tergolong layak namun belum optimal.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


154 | Teknologi Pertanian
Tabel 1. Rincian analisis produksi, biaya dan pendapatan usahatani jagung konsumsi Di
Kabupaten Minahasa Tenggara dan Bolaang Mongondow (1 ha)
Sistem Usaha (Rp)
No Kabupaten Komponen biaya(Rp)
Konvensional Semi intensif Intensif
1 Minahasa Tenggara Bahan 360.000 1.120.000 2.390.000
Tenaga kerja 4.975.000 6.525.000 7.475.000
Biaya tetap 200.000 400.000 600.000
Total biaya 5.535.000 7.745.000 10.465.000
Produksi (kg) 2.750 4.200 6.250
Nilai produksi 8.250.000 12.600.000 18.750.000
Keuntungan 2.715.000 4.855.000 8.285.000
R/C 1,49 1,63 1,79
B/C 0,49 0,63 0,79
2 Bolaang Mongondow Bahan 360.000 1.220.000 2.340.000
Tenaga kerja 5.600.000 6.525.000 7.625.000
Biaya Tetap 200.000 400.000 600.000
Total biaya 6.180.000 8.145.000 10.565.000
Produksi (kg) 2.800 4.100.000 5.800
Nilai produksi 8.400.000 12.300.000 17.400.000
Keuntungan 2.220.000 4.155.000 6.835.000
R/C 1,36 1,51 1,64
B/C 0,36 0,51 0,64
Sumber: Diolah dari data primer, 2014.

Hasil penelitian menggunakan jagung komposit varietas Lamuru, Arjuna dan Srikandi
Kuning berpengairan sprinkler dicapai produktivitas masing-masing 8,2 ton, 7,5 ton dan 7,1
ton dengan B/C rasio masing-masing 1,43, 1,22 dan 1,12 (Suriadi et all., 2014). Kajian
usahatani jagung varietas manado kuning di Minahasa menggunakan pupuk phonska 100 kg
diberikan 3 mst dan urea 75 kg diberikan saat tanaman berumur 45 hst diperoleh hasil 7,6
ton/ha (Polakitan dan Taulu, 2016). Perbedaan keuntungan ini karena produktivitas hasil
penelitian <7 ton/ha dan biaya upah yang cukup besar.
Sarasutha et all. (2007) mengemukakan bahwa peluang peningkatan produktivitas di
Indonesia masih terbuka lebar karena hasil petani saat ini masih dibawah potensi hasil
penelitian, perbaikan teknologi budidaya jagung maka potensi hasil tersebut dapat dicapai.
Sumaryanto (2006) mengemukakan biaya produksi jagung hibrida lebih tinggi, tetapi
keuntungan bersih lebih besar.
Perbedaan prinsip dari sistem pengelolaan usahatani jagung ini dimana penerapan
usaha yang intensif membutuhkan biaya input lebih dari 2 kali lipat dari usaha konvensional
dan usaha semi intensif sebesar 1,5 kali dari usaha tradisional. Hasil observasi menunjukkan
petani jagung yang menerapkan secara intensif belum mencapai 5%, kendati melalui
penerapan usahatani jagung secara intensif terjadi peningkatan produktivitas 2 kali lipat (>6
ton/musim tanam). Lebih dominan penerapan sistem usahatani jagung secara semi intensif
mencapai 80% dan sisanya 20% secara tradisional dan intensif.
Dengan demikian untuk mengem-bangkan usahatani jagung secara masal yang
intensif dibutuhkan dana tambahan untuk investasi sekitar Rp 4,5-6 juta/ha/musim tanam.
Hasil pengamatan menunjukkan penerapan usahatani secara intensif menggunakan benih
unggul hibrida diperoleh hasil riel >7 ton/ha/musim tanam. Oleh karenanya penggunaan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 155
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
benih jagung unggul menjadi penentu utama dalam upaya peningkatan produktivitas
usahatani jagung. Pengembangan kearah tersebut masih sulit untuk dicapai terutama
disebabkan oleh ketersediaan benih unggul yang terbatas sehingga perlu dibangun
penangkaran benih spesifik pada sentra-sentra jagung.

Analisis daya saing pengalokasian tenaga kerja

Analisis daya saing pengalokasian tenaga kerja pada usahatani jagung konsumsi
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis daya saing pengalokasian tenaga kerja pada usahatani jagung konsumsi
Total penerimaan Total biaya N2 Total biaya tenaga Total tenaga
No Sistem Usahatani IRTKsp
N1 (Rp) (Rp) kerja N3 (Rp) kerja Q (HOK)
1 Kabupaten Mina-
hasa Tenggara
Konvensional 8.250.000 5.535.000 4.975.000 66 58.250
Semi intensif 12.600.000 7.745.000 6.525.000 87 65.400
Intensif 18.750.000 10.465.000 7.475.000 100 78.800
2 Kabupaten Bolaang
Mongondo
Konvensional 8.400.000 6.180.000 5.600.000 75 52.130
Semi intensif 12.300.000 8.145.000 6.525.000 87 61.380
Intensif 17.400.000 10.565.000 7.625.000 102 70.880
Sumber: diolah dari data primer, 2014

Analisis pada Tabel 2, menunjukkan bahwa nilai IRTKsp penerapan sistem usahatani
jagung hampir semuanya bernilai <Rp 75.000, kecuali pada usaha intensif di Kabupaten
Minahasa Tenggara sebesar Rp 78.800. Suatu indikasi bahwa dengan nilai upah sebesar Rp
75.000/HOK maka pengalokasian tenaga kerja pada usahatani jagung tergolong kurang
berdaya saing. Peningkatan daya saing pengalokasian tenaga kerja pada usahatani jagung
masih ada peluang melalui peningkatan produktivitas >7 ton/ha serta penggunaan alsintan
termasuk penggunaan tenaga kerja ternak pada aktivitas pengolahan tanah, penanaman,
penyiangan, serta panen jagung.
Nilai imbalan riel tenaga kerja pada pengelolaan usahatani jagung secara
konvensional dan semi intensif tergolong sangat rendah, karena upah riel yang berlaku
sebesar Rp 75.000/HOK. Feriyanto (2014) menyatakan upah riel pekerja demikian menjadi
cerminan kemampuan daya beli pekerja menurun.

Usahatani penangkaran benih jagung

Kelayakan usahatani penangkaran benih jagung terbagi dalam 3 sistem pengelolaan


usaha yaitu: 1) usaha penangkaran benih secara swadaya, 2) usaha penangkaran benih
mendapatkan bantuan sarana produksi serta biaya pengolahan tanah hingga siap tanam,
dan 3) usaha penangkaran benih swadaya yang mendapatkan subsidi harga benih. Analisis
kelayakan usaha penangkaran benih jagung di sajikan pada Tabel 3.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


156 | Teknologi Pertanian
Tabel 3. Analisis produksi, biaya dan pendapatan usahatani penangkaran benih jagung secara
intensif di Sulawesi Utara (1 ha)
Sistem usaha penangkaran
No Kabupaten Komponen biaya(Rp) 1) Bantuan sarana produksi Usaha swadaya,
Usaha swadaya 2) 3)
dan pengolahan tanah harga subsidi
1 Minahasa Bahan 2.950.000 1.600.000 2.950.000
Tenggara Tenaga kerja 11.375.000 10.375.000 11.375.000
Biaya tetap 500.000 500.000 500.000
Total biaya 14.825.000 12.475.000 14.825.000
Produksi Benih (kg) 3.150 3.150 3.150
Konsumsi(kg) 2.350 2.350 2.350
Nilai produksi 34.550.000 34.550.000 36.125.000
Keuntungan 19.725.000 22.075.000 21.300.000
R/C 2,33 2,76 2,43
B/C 1,33 1,76 1,43
2 Bolaang Bahan 2.900.000 1.500.000 2.900.000
Mongondow Tenaga kerja 10.300.000 9.400.000 10.300.000
Biaya Tetap 400.000 400.000 400.000
Total biaya 13.600.000 11.300.000 13.600.000
Produksi Benih (kg) 3.500 3.500 3.500
Konsumsi (kg) 2.500 2.500 2.500
Nilai produksi 38.500.000 38.500.000 40.250.000
Keuntungan 24.900.000 27.200.000 26.650.000
R/C 2,83 3,40 2,95
B/C 1,83 2,40 1,95
1)
Keterangan: Usaha swadaya penangkar harga benih Rp 8.500/kg
2)
Harga benih bantuan sarana produksi dan biaya pengolahan tanah hingga siap tanam, harga benih tetap Rp
8.500/kg
3)
Subsidi harga dari jagung konsumsi Rp 5.500/kg, harga menjadi Rp 9.000/kg

Hasil analisis pendapatan usahatani jagung pada Tabel 3 bahwa penerapan sistem
usahatani penangkaran benih jagung secara intensif pada semua daerah memperlihatkan
usaha ini memberikan keuntungan yang berarti. Pada usaha penangkaran benih jagung
swadaya dengan harga benih Rp 8.500/kg memberikan keuntungan 2-3 kali lipat daripada
usahatani jagung konsumsi.
Pada usaha penangkaran benih dengan bantuan sarana produksi (benih, pupuk dan
obat-obatan) serta biaya pengolahan tanah hingga siap tanam diperoleh keuntungan >Rp 2,5
juta dari usaha penagkaran benih swadaya. Sedangkan pada usaha penagkaran benih
swadaya dengan subsidi harga sebesar Rp 5.500 diatas harga jagung konsumsi (Rp 3.500/kg)
diperoleh keuntungan sekitar >Rp 1,5 juta dari usaha penangkaran benih swadaya. Nilai R/C
dan B/C masing-masing kabupaten sebesar >2 dan >1 menunjukkan usaha ini layak dan
menguntungkan. Penerapan usaha penangkaran benih jagung komposit intensif
memberikan nilai keuntungan lebih dari tiga kali lipat daripada usahatani jagung konsumsi
secara intensif.
Tantangan kedepan dalam penyediaan benih bermutu adalah pembinaan penangkar
di sentra jagung, masalah utamanya adalah kurangnya kesadaran menerapkan teknologi
anjuran dan terbatasnya modal kerja penangkar (Bahtiar, dkk. 2007). Kelayakan finansial
usaha penangkaran benih jagung memperlihatkan nilai R/C dan B/C ratio yang tinggi (> dari
satu).
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 157
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Dengan demikian pengembangan usaha penangkaran benih jagung komposit sangat
layak untuk diusahakan petani pada berapa sentra jagung dengan cara swadaya murni
petani, subsidi sarana produksi dan biaya pengolahan tanah, serta subsidi harga. Biaya
usahatani penangkar mencapai lebih dari Rp 10 juta sehingga untuk akselerasi
pengembangan penangkar selain dapat diusahakan oleh petani secara swadaya juga dapat
ditanggulangi melalui penyediaan dana langsung baik hibah maupun pinjaman bergulir
melalui dana fiskal atau melalui dana moneter (perbankan) hanya sekitar 5-10 juta
rupiah/ha/musim tanam.

Daya saing penangkaran benih jagung

Analisis daya saing pengalokasian tenaga kerja pada usahatani penangkaran benih
jagung disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis pada Tabel 4, menunjukkan bahwa dari tiga
sistem pengelolaan usaha, yaitu usaha penangkaran benih secara swadaya, usaha
penangkaran benih ada bantuan sarana produksi dan biaya pengolahan tanah hingga siap
tanam, dan usaha penangkaran benih swadaya dan mendapat subsidi harga benih semuanya
diperoleh nilai IRTKsp jauh melebihi dari nilai upah sebesar Rp 75.000/HOK diatas Rp
102.300 usahatani, bahkan ada yang mencapai hampir 2 kali lipat dari nilai upah (Rp
146.400). Suatu indikasi bahwa pengalokasian tenaga kerja dalam pengembangan usahatani
penangkar benih jagung mampu bersaing dengan sektor industri dan jasa dengan upah
sekitar Rp 100.000-Rp 125.000/HOK.

Tabel 4. Analisis daya saing pengalokasian tenaga kerja


pada usahatani penangkaran benih jagung.
Total biaya
Total penerimaan Total biaya Total tenaga
No Sistem Usahatani tenaga kerja N3 IRTKsp
N1 (Rp) N2 (Rp) kerja Q (HOK)
(Rp)
1 Kabupaten Minahasa
Tenggara
Swadaya 34.550.000 14.825.000 11.375.000 152 102.300
Bantuan saprodi dan olah 34.550.000 12.475.000 10.375.000 138 117.570
tanah
Swadaya subsidi harga 36.125.000 14.825.000 11.375.000 152 107.480
2 Kabupaten Bola-ang
Mongondow
Swadaya 38.500.000 13.600.000 10.300.000 137 128.460
Bantuan saprodi dan olah 18.500.000 11.300.000 9.400.000 125 146.400
tanah
Swadaya subsidi harga 14.250.000 13.600.000 10.300.000 137 134.850
Sumber: diolah dari data primer, 2014.

Akil dan Dahlan (2007) menyatakan untuk dapat diadopsi petani, teknologi baru
harus pula memberikan keuntungan ekonomi dan nilai tambah dan teknologi dapat
meningkatkan mutu produk, keunggulan komparatif dan kompetitif secara tidak langsung,
juga memberikan keuntungan bagi penggunanya. Kasryno, et all. (2006) menyatakan sistem
usahatani jagung sudah memasuki sistem industrial, dimana sekitar 60% kebutuhan jagung
digunakan untuk industri pakan dan makanan, dan sekitar 60% dari total biaya tunai

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


158 | Teknologi Pertanian
usahatani jagung digunakan untuk pembelian sarana produksi dan sewa alat pertanian. Akan
tetapi, usahatani jagung masih tetap dikelola oleh petani kecil.

KESIMPULAN
Penerapan usahatani yang intensif memberikan keuntungan usaha yang lebih besar 2
kali dari usahatani semi intensif dan 3 kali dari usahatani konvensional. Pengelolaan
usahatani jagung produksi benih jauh lebih menguntungkan daripada usahatani jagung
konsumsi secara intensif.
Imbalan riel tenaga kerja untuk usahatani tradisonal, semi intensif, dan intensif
masing-masing masih lebih kecil dari nilai upah yang berlaku. Hal ini berarti usahatani jagung
konsumsi imbalan riel tenaga kerjanya lebih kecil dari upah riel tenaga kerja. Pada usahatani
jagung produksi benih pengalokasian tenaga kerja memberikan imbalan riel tenaga kerja
jauh lebih besar dari nilai upah riel tenaga kerja. Pada usahatani jagung intensif produksi
benih imbalan riel tenaga kerjanya melampaui upah tenaga kerja pada industri atau jasa.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi dan teknologi lahan kering
mendukung pangan nasional. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
27(2):43-48.
Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu. Yogyakarta. p. 46-47
Akil, M. dan H.A. Dahlan, 2007. Budidaya jagung dan diseminasi teknologi. Jagung, Teknik
dan Produksi Pengembangan.p 192-204. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
Bahtiar, S.Pakki, dan Zubachtirodin, 2007. Sistem perbenihan jagung. Jagung, Teknik dan
Produksi Pengembangan.p 177-191. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
Budhi, G.S. dan M. Aminah. 2009. Faktor-Faktor dominan dalam Pembentukan Lembaga
Sosial. Forum Penelitian Agro Ekonomi.27 (1):29-41.
Debaeke, P., and Aboudrare, A., 2004. Adaption of crop management to water-limeted
enviroments. European Journal of Agronomy, 21:433-446.
Departemen Pertanian. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) jagung.
Ferianto, N. 2014. Ekonomi sumber daya manusia, Dalam perspektif Indonesia, UPP STIM
YKPN. 250 p
Hastuti, E.L. 2009. Dinamika Kelembagaan Hubungan Ketenagakerjaan di Masyarakat
Pedesaan. Forum Penelitian Agro Ekonomi.27(2): 117-131.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 159
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto, dan M.O., Adnyana. 2007. Gambaran umum ekonomi
jagung di Indonesia. Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan.p.474 - 497
Mulyani, A. Dan Hidayat. 2009. Peningkatan kapasitas produksi tanaman pangan pada lahan
kering. Jurnal Sumberdaya Lahan Pertanian. Vol. 3(2):73-84.
Polakitan, A., dan L. Taulu. 2016. Penampilan jagung hibrida dan jagung Manado kunin di
Minahasa. Prosiding Seminar Nasional. Akeselerasi Agroinovasi Berbasis Sumberdaya
Lokal Menuju Kemandirian Pangan p.127-134. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian.
Pranadji, T. 2009. Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya
Bangsa: Suatu Upaya revitalisasi Adat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. 27 (1):61-72.
Purwanto, S. 2007. Pengembangan produksi dan kebijakan dalam peningkatan produksi
jagung. Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. p 456 – 461.
Sarasutha, I.G.P., Suryawati, dan S.L. Margaretha. 2007. Tataniaga jagung. Jagung, Teknik
Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
p 498 – 508.
Sumaryanto, 2006. Iuran berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan efisiensi
penggunaan air irigasi: pendekatan dan analisis faktor-faktor yang memengaruhinya.
Diserasi Doktor: IPB, Bogor.
Suradisastra, K., 2006. Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan Pembangunan sektor
Pertanian dalam Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan Pertanian.4(4):281-314.
Suriadi, A., B.T.R. Erawati dan M. Nazam. 2014. Produktivitas jagung komposit berpengairan
sprinkler sebagai pangan dan pakan di lahan kering iklim kering Nusa Tenggara Barat.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 17 (3):197-209.
Zubachtirodin, M.S. Pobbage, dan Subandi., 2007. Wilayah produksi dan potensi
pengembangan jagung. Jagung, Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan. p 462 – 473.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


160 | Teknologi Pertanian
PROSPEK PENGEMBANGAN EKONOMI KAWASAN USAHATANI KELAPA DENGAN
TANAMAN KAKAO KLON UNGGUL DI SULAWESI UTARA

Jantje G. Kindangen dan Jefny B.M. Rawung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara


Jl. Kampus Pertanian Kalasey, Kotak Pos 1354 Manado 95013
e-mail: jantjekind0857@ gmail.com

ABSTRAK
Areal usahatani kakao hanya sekitar 5-7 % dari areal usahatani kelapa di Sulawesi Utara seluas
260.000 ha dan lebih dari separuh areal kelapa yang ada masih diusahakan secara monokultur.
Usahatani kelapa dan kakao di Sulawesi Utara lebih dari 95% dikelola petani, penerapan sistem
usahatani pada umumnya masih dikelola secara tradisional, sehingga ada senjang produktivitas
sekitar 1-2 ton/ha/tahun untuk kelapa dan 1,5-2 ton/ha/tahun untuk kakao. Faktor penyebab
utama produktivitas kakao masih rendah selain penerapan sistem usahatani belum secara
intensif juga karena masih menggunakan kakao klon-klon yang tidak produktif. Pengembangan
tanaman kakao pada areal tanaman kelapa sesuai untuk diterapkan pada areal tanaman kelapa
akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sekitar 15-30 % serta tambahan pendapatan dari
usahatani kakao sebesar 2-3 kali lipat dari nilai produk kelapa. Bila usahatani kakao dikelola
secara intensif produksi kakao akan optimal mencapai 2-3 ton/ha/tahun mulai tahun ke-3 dan
ke-4. Pengembangan masal seluas 20-30% dari areal tanaman kelapa yang ada akan terjadi
pertumbuhan ekonomi sekitar 3-5% dari nilai PDRB harga yang berlaku tahun 2016 sebesar
lebih dari Rp 100 triliun. Nilai ekonomi yang besar ini akan diperoleh apabila pengembangan
kakao ditopang oleh pemerintah daerah melalui penyediaan dana investasi bersumber dana
fiskal, dana moneter dan pemberdayaan dana swadaya petani.
Kata kunci: Pengembangan ekonomi, usahatani, kawasan kelapa, kakao klon unggul.

PENDAHULUAN
Komoditas kelapa di Sulawesi Utara memiliki areal terluas dari semua komoditas
pertanian seluas 260.000 ha lebih dari 90% dikelola sebagai perkebunan rakyat dengan luas
pemilikan rata-rata 2-2,5 ha. Pada umumnya sistem pengelolaan budidaya hingga
pengolahan hasil masih secara konvensional dan areal pertaman kelapa ini masih dominan
dikelola sebagai usaha monokultur. Sistem pengelolaan seperti ini membawa konsekuensi
perolehan produksi dan pendapatan per satuan unit usahatani sangat rendah dimana luas
areal yang digunakan untuk tanaman kelapa tidak sebanding pendapatan yang diperoleh.
Rendahnya perolehan pendapatan per satuan unit usahatani kelapa. Keberadaan tanaman
kakao di Sulawesi Utara telah ada sejak limaratusan tahun silam, oleh Karmawati, dkk.
(2010) menyebutkan kakao diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1560
tepatnya di Sulawesi, yaitu di Minahasa. Ekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke
Manila pada tahun 1825-1838 dengan jumlah 92 ton, setelah itu menurun karena adanya
serangan hama. Dewasa ini perkembangan kakao di daerah ini dibandingkan dengan provinsi
tetangga seperti Gorontalo dan Sulawesi Tengah tergolong sangat jauh tertinggal.
Tingkat produktivitas kelapa dan kakao di Sulawesi Utara masih rendah yaitu masing-
masing hanya sekitar 1,5-2 ton/ha/tahun dan 0,7-0,9 ton/ha/tahun, masih jauh dari

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 161
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
produktivitas potensial masing-masing mencapai 3,5-4 ton/ha/tahun dan 2,5-3,5
ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas ini disebabkan sebagian besar petani kakao belum
menerapkan pengelolaan usahatani secara intensif serta menggunakan klon-klon unggul.
Diperkirakan sekitar 80% hasil kebun kakao yang dipanen berasal dari kondisi tanaman yang
tidak produktif (Drajat dan Wibawa, 2008). Indikasinya bahwa tanaman kakao yang ada saja
bila petani dapat menerapkannya secara intensif melalui kegiatan pemupukan, penggunaan
pestisida yang tepat, serta pemangkasan yang berkelanjutan maka masih ada peluang untuk
meningkatkan produktivitas dan pendapatan per satuan unit usahatani kakao lebih dari dua
kali lipat.
Produktivitas dan mutu produk kakao ditentukan oleh penggunaan bahan tanaman,
teknik budidaya, serta kegiatan pra dan pasca panen (Darmawidah dan Amiroeddin, 2002).
Penggunaan bahan tanaman lokal (tidak unggul) merupakan awal penentu rendahnya
produksi dan mutu produk kakao, dewasa ini sebagian besar tanaman kakao yang
dibudidayakan masih menggunakan bibit lokal tidak produktif. Dengan demikian pemilihan
bahan tanaman merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan hasil yang tinggi
dan bermutu baik (Yusianto dan Wahyudi, 1989: Sulistyo dan Soenaryo, 1988; Texopous dan
Wessel, 1983; Iswanto dan Winarno,1989). Besarnya produksi kakao sangat tergantung dari
pemeliharaan tanaman, terutama pengendalian hama dan penyakit serta pemberian pupuk
yang tepat (Sunanto, 2010).
Tulisan ini akan potensi pengembangan kelapa dan kakao, produksi dan pendapatan
usahatani kelapa dan kakao, penerapan teknologi usahatani kelapa dan kakao secara
terintegrasi, serta prospek ekonomi pengembangan kakao dalam meningkatkan pendapatan
usahatani serta ekonomi daerah Sulawesi Utara.

POTENSI TANAMAN KELAPA DAN KAKAO


Sebaran luas dan produksi tanaman kelapa dan kakao di Sulawesi Utara pada semua
kabupaten/kota dapat disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa kelapa di Sulawesi
Utara tersebar pada semua kabupaten/kota dan sistem penerapan pengelolaan usahatani
lebih dominan diusahakan secara monokultur. Areal pertanaman kakao di daerah ini
pengembangannya belum menjangkau semua kabupaten/kota, diperkirakan ada sekitar 5-
10% telah diusahakan pada areal tanaman kelapa.
Areal pertanaman kelapa yang telah digunakan dengan usaha tanaman lain termasuk
usaha ternak belum mencapai separuh sehingga pengembangan kakao di daerah ini tidak
harus menggunakan lahan baru. Kalau bisa ditargetkan kurang lebih 20% dari areal kelapa ini
untuk pengembangan kakao maka tersedia lahan kurang lebih 50.000 ha.
Kriteria areal pertanaman kelapa yang layak untuk pengembangan kakao yaitu (1)
jarak tanaman kelapa minimal 8 x 8 m, (2) umur tanaman kelapa >30 tahun, (3) cukup
terjangkau ketersediaan air dikala musim kemarau panjang, dan (4) petani siap untuk
menerapkan teknologi.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


162 | Teknologi Pertanian
Tabel 1. Luas dan produksi serta sebaran tanaman kelapa dan kakao di Sulawesi Utara
Kelapa Kakao
No Kabupaten/Kota
Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton)
1 Bolaang Mongondow 23.782,30 29.205,65 5.236,41 1.967,85
2 Minahasa 18.477,99 19.241,50 46,5 30,31
3 Kepulauan Sangihe 20.159,10 20.629,09 - -
4 Kepulauan Talaud 22.133,14 30.981,63 - -
5 Minahasa selatan 45.751,36 41.531,72 776,45 334,55
6 Minahasa Utara 45.071,02 45.256,62 501,7 114,9
7 Bolaang Mongondow Utara 15.525,69 14.635,11 5.235,70 1,583,58
8 Kepulauan Sitaro 4.435,05 3.265,71 - -
9 Minahasa Tenggara 34.344,03 35.027,88 419,68 22,69
10 Bolaang Mongondow Selatan 8.405,11 12.101,60 1.856,89 585,9
11 Bolaang Mongondow Timur 9.449,23 8.855,91 2.075,07 472,42
12 Manado 3.884,50 3.478,15 - -
13 Bitung 14.174 13.516,44 21,25 -
14 Tomohon 1.175,60 355,73 - -
15 Kotamobagu 1.050,19 692,1 702,75 145,8
Jumlah Sulut (2016) 267.812,35 16.072,40 4.257,56
2015 268.561,37 16.820,55 4.134,60
2014 268.677,48 16.725,30 4.034,23
Sumber: BPS Sulut (2016)

Pengusahaan kelapa secara monokultur kurang efektif, untuk efisiensi pemanfataan


lahan yang dapat menunjang peningkatan pendapatan petani adalah memanfaatkan lahan
diantara kelapa dengan tanaman bernilai ekonomi dan membutuhkan biaya pemeliharaan
yang murah (Lay, 2010).
Faktor paling dominan menjadi penyebab komoditas ini tidak berkembang seperti di
beberapa provinsi termasuk di Sulawesi Utara adalah hama PBK yang telah mewabah
dimana-mana, pada umumnya petani belum mengetahui cara pengendaliannya. Hama
penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen merupakan kendala utama
dalam meningkatkan produktivitas tanaman kakao di Sumatera Utara. Hama ini dapat
mengakibatkan kehilangan hasil mencapai 82,2% (Wardoyo, 1980; Lim and Phua, 1986).
Hasil pengkajian Winarto, dkk. (1999) bahwa kerusakan biji kakao akibat serang hama
PBK di Sumatera Utara mencapai 90% pada perlakuan control. Besarnya produksi kakao
sangat tergantung dari pemeliharaan tanaman, terutama pengendalian hama dan penyakit
serta pemberian pupuk yang tepat (Pujianto, 1996; Sunanto, 2010). Untuk mengendalikan
hama penggerek buah kakao (PBK) yang merupakan hama paling berbahaya dan merugikan
dalam budidaya kakao di perlukan beberapa strategi dalam pengendaliannya seperti
karantina, eradikasi, kultur teknis, pengendalian biologis, dan pengendalian kimiawi
(Wiryadiputra, 1996).
Hasil penelitian pengendalian hama PBK dengan menggunakan Hormon Feromon PBK
yang dipadukan dengan lem perangkap menunjukkan hasil yang cukup efektif dalam
mengendalikan populasi hama penggerek buah kakao (C. Cramerella) dan dapat
menurunkan intensitas serangan sampai pada minggu ke-12 sebesar 20% (Abid dan
Arjanhar, 2011). Perbanyakan bibit kakao dengan teknik sambung pucuk dan sambung
samping diharapkan dapat mencegah penyebaran hama PBK (Limbongan, 2012)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 163
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pilihan terbaik untuk meningkatkan pendapatan usahatani kelapa adalah
memanfaatkan areal tanaman kelapa dengan usaha tanaman kakao, kedua komoditas ini
diusahakan bersama akan bersifat saling melengkapi, seperti kanopi kelapa menjadi
penaung tanaman kakao perlakuan pemupukan pada tanaman kakao sekaligus menyediakan
hara untuk tanaman kelapa, serangga semut hitam yang bersarang pada tanaman kelapa
berpotensi menjadi pengendali hama pada tanaman kakao.

PENERAPAN TEKNOLOGI
Di Sulawesi Utara areal tanaman kakao hingga tahun 2010 seluas 10.210 ha,
perkembangan areal komoditas ini selang 5 tahun terakhir tergolong masih lambat, hanya
sekitar 1,3%/tahun. Capaian produktivitas kakao hanya 0,7 ton/ha/tahun, masih jauh dari
produktivitas potensial mencapai 2,5-3 ton/ha/tahun. Untuk mendapatkan produksi yang
maksimal dari tanaman kakao yaitu (1) menggunakan bibit klon-klon unggul, (2) melakukan
pemangkasan kakao secara rutin, (3) melakukan pemupukan berimbang ditambah pupuk
organik, (4) melakukan pengendalian hama dan penyakit, sebaiknya secara organik, (5) serta
melakukan fermentasi biji kakao sempurna. Penyebab rendahnya produktivitas antara lain
tanaman yang dibudidayakan rata-rata berusia di atas 15 tahun,
Syarat menjadi batang atas yaitu cabang berasal dari pohon yang kuat,
perkembangannya normal, bebas dari hama dan penyakit, serta bentuk cabang lurus dan
diameternya disesuaikan dengan batang bawah ± 1 cm. Kriteria menjadi batang atas atau
entres adalah diambil dari pohon entris kebun produksi, mempunyai produksi stabil, tahan
hama dan penyakit utama kakao, klon anjuran untuk batang atas yaitu ICS60, CS 13, TSH
858, UIT 1, GC 7, RCC 70, RCC 71, RCC 72, DAN RCC 73. Sulawesi 1, Sulawesi 2, entris berupa
cabang plagiotrop berwarna hijau atau hijau kecoklatan dan sudah mengayu, dengan ukuran
diameter 0.75-1.50 cm, panjang cabang ± 40 cm, entres yang telah diambil langsung
disambung pada hari itu juga, entries sebaiknya segera digunakan, usahakan jangan lebih
dari 5 hari setelah pengambilan dari pohon entries. Kemudian kriteria menjadi batang bawah
yakni batang bawah harus sehat, kulit batang muda dibuka atau warna kambiumnya putih
bersih, sebelum penyambungan lakukan pemupukan, pemangkasan, penyiangan gulma serta
pengendalian hama dan penyakit.
Pelaksanaan sambung samping sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan; batang
bawah bawah dikerat pada ketinggian ± 50 cm dari permukaan tanah; kulit batang diiris
pada dua sisi secara vertikal dengan pisau okulasi, lebar 1-2 cm dan panjang ± 2-4 cm (sama
denga ukuran entries yang akan disambungkan); kulit sayatan dibuka dengan hati- hati,
entres dimasukkan kedalam lubang sayatan sampai kedasar sayatan, isi entries yang telah
disayat miring diletakkan menghadap batang bawah; serta tutup kulit sayatan tekan dengan
ibu jari tutup dengan plastic kemudian diikat kuat dengan tali raffia. Bahan dan alat yang
diperlukan adalah batang bawah, entres, gunting pangkas, pisau okulasi, serta kantong
plastik ukuran 18 x 8.5 cm, tebal 0.01 mm, (kantong gula pasir 0.25 kg),tali rafia yang telah
dipotong-potong ± 1.25-1.50 m.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


164 | Teknologi Pertanian
Aktivitas penting dalam pemeliharaan sambungan mencakup (a) plastik dibuka pada
umur 21-30 hari setelah proses penyambungan, dan ikatan tali bagian bawah dibiarkan agar
sambungan dapat melekat kuat, (b) semprot dengan insektisida dan fungisida dengan dosis 2
cc/liter air, (c) potong pucuk sambungan setelah berumur 3 bulan atau panjang tunas sudah
mencapaI 45 cm, dan tinggalkan 3-5 mata tunas untuk pembentukan dahan-dahan utama,
serta (d) pemupukan dilakukan setelah umur sambungan mencapai 4-6 bulan, diikuti
pemupukan lanjutan 2 kali setahun (awal dan akhir musim hujan).
Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah aksi mendiseminasi dan
mempromosikan paket teknologi kepada masyarakat dengan fokus utama pada teknologi
sambung samping. Teknologi sambung samping menggunakan klon-klon unggul melalui
penerapan secara intensif telah meyakinkan petani diberbagai tempat akan mendatangkan
produksi kakao berlipat ganda yakni sekitar 2-3 kali dari produksi kakao lokal tidak produktif.
Pemindahan teknologi pertanian, khususnya dalam pengusahaan kakao pada tingkat
petani adalah suatu proses yang terkait dengan aspek teknis maupun non teknis dimana
suatu proses yang tidak dapat didasarkan secara sepihak. Tujuan akhirnya adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup dari masyarakat pengguna, lebih khusus masyarakat petani
kakao dimana pelaksanaanya tidak dapat dipaksakan. Pemindahan teknologi tanpa diikuti
inovasi ataupun adaptasi yang sesuai dengan kondisi penerima, tidak akan membawa
perbaikan, malahan dapat mengakibatkan keadaan yang lebih parah (Kindangen, 2005).

USAHATANI KELAPA
Perolehan pendapatan petani dari produk tanaman kelapa semakin mengecil antara
lain karena belum ada teknologi yang secara signifikan memberi nilai tambah bagi petani,
teknologi yang diterapkan hingga saat ini masih seperti apa yang diterapkan petani pada 30-
40 tahun silam. Porsi perolehan pendapatan petani kelapa dari waktu ke waktu semakin
mengecil, sebagai gambaran dalam proses pengolahan kopra hingga tahun 1960-an nilai
produksi kelapa (kopra) hanya sekitar 75% diterima oleh petani. Selanjutnya sekitar tahun
1980-an nilai produki kelapa yang diterima petani menjadi 66%, seterusnya mulai tahun
2000-an porsi nilai produksi yang diterima tidak lagi mencapai separuh dari nilai produksi,
kalau dihitung dengan biaya pengendalian gulma setiap 3-4 bulan serta ditambah dengan
kegiatan pengangkutan buah kelapa (7% dari niai produksi) sehingga porsi nilai produksi
yang diterima petani hanya sekitar 35-40%. Itulah sebabnya penerapan teknologi usaha
tanaman sela kakao pada areal tanaman kakao sangat membantu petani kelapa
memperoleh pendapatan yang lebih besar melalui fokus pada pengelolaan usahatani kakao
yang lebih intensif.
Gambaran di atas apabila usahatani kelapa dikelola cukup intensif dengan produksi
mencapai 3 ton kopra/ha/tahun diperoleh nilai produksi Rp 30.000.000 (harga kopra Rp
10.000/kg). Beberapa komponen biaya usahatani berupa pemarasan/pembersihan 4
kali/tahun @ Rp 250.000 = Rp 1.000.000, biaya angkutan 7% = Rp 2.100.000. Alokasi biaya
tenaga kerja merupakan kesepakatan tidak tertulis dan sah pengerja kelapa mulai dari panen
hingga pembuatan kopra atau dijual dalam bentuk kelapa segar dengan air setelah dikurangi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 165
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
biaya angkutan maka nilai produksi total sisa Rp 27.900.000 selanjutnya nilai besaran uang
ini pengerja kelapa dan pemilik kelapa masing-masing menerima separuhnya sebesar Rp
13.950.000 dan kalau dikurangi biaya pengeluaran dari pemilik untuk
pemarasan/pembersihan sebesar Rp 1.000.000/tahun maka pemilik kelapa hanya
mendapatkan pendapatan bersih Rp 12.950.000 (43,17% dari nilai produksi kelapa). Dengan
demikian petani pemilik kelapa hanya memperoleh pendapatan Rp1.079.167/bulan.

USAHATANI KAKAO
Pada usahatani kelapa hampir semua tenaga kerja hanya tergantung pada tenaga
kerja luar keluarga, namun pada usahatani kakao hampir semua tenaga kerja bisa
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Bila usahatani kakao dikelola cukup intensif
dapat menghasilkan produksi biji kakao kering minimal 3 ton/ha/tahun dengan harga Rp
25.000/kg diperoleh nilai produksi Rp 75.000.000/ha/tahun. Kalau semua tenaga kerja
disewa ditambah dengan biaya sarana produksi maka total biaya produksi mencapai porsi
25% atau sebesar Rp 18.750.000/ha/tahun. Kalau hanya dibiayai sarana produksi dan
peralatan sebesar Rp 5.000.000 maka petani kakao memperoleh pendapatan sebesar Rp
70.000.000/ha/tahun. Bila tenaga kerja keluarga dioptimalkan maka setiap keluarga dapat
mengelola sendiri usahatani kakao seluas hingga 2 hektar.

INTEGRASI KELAPA-KAKAO
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa usaha integrasi kelapa dengan kakao menjadi
suatu usahatani yang sangat menguntungkan, diantaranya pada komponen kegiatan
pemarasan gulma sebelum ada tanaman kakao telah terbeban pada usaha tanaman kakao
dan gulma sebelumnya telah dapat ditekan pertumbuhannya mencapai 75%. Kemudian
tanaman pelindung/penaung kakao dari tanaman gamal/lamtoro telah diganti dengan
tanaman kelapa serta produksi kelapa dapat meningkat kurang lebih 10-20 % karena
dilakukan pemupukan intensif pada tanaman kakao. Salah satu kelemahan usaha integrasi
ini dimana pada saat kelapa di panen maka buah dan daun kelapa yang jatuh sedikitnya
berpengaruh pada tanaman kakao (dahan kakao patah dan kemungkinan ada sedikit buah
kakao yang rusak) dan diperkirakan dapat berpengaruh terhadap produksi kakao sekitar
10%.
Gambaran di atas maka produksi kelapa meningkat 10% mencapai 3.300 kg dan
produksi kakao cukup menurun menjadi 2700 kg. Nilai produksi kelapa menjadi Rp
33.000.000, dengan sistem bagi hasil dengan pengolah kelapa seperti di atas (tidak lagi
termasuk biaya pemarasan/pembersihan/3 bulan) maka pemilik dan pengolah kelapa
masing-masing memperoleh nilai pendapatan bersih Rp 15.345.000/ha/tahun. Untuk kakao
produksinya mencapai 2.700 kg diperoleh nilai produksi Rp 67.500.000, apabila semua
tenaga kerja dan sarana produksi dan peralatan dibayar maka petani kakao memperoleh
pendapatan bersih Rp 48.750.000/ha/tahun. Apabila menggunakan semua tenaga kerja
keluarga maka pendapatan petani sebesar Rp 62.750.000. Dengan demikian integrasi kelapa
kakao diperoleh pendapatan bersih Rp 61.095.000/ha/tahun (bila semua tenaga kerja
dibayar) dan Rp 78.100.000/ha/tahun (bila semua tenaga kerja menggunakan tenaga

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


166 | Teknologi Pertanian
keluarga. Pada usaha integrasi kelapa-kakao akan memperoleh pendapatan seperti ini
apabila dilakukan secara intensif mencakup pemangkasan cabang kakao tidak produktif
(minimal setiap 2 bulan), pengendalian hama dan penyakit (setiap bulan), pemupukan
(organik dan anorganik minimal 2 kali/tahun), pembersihan areal, pengairan/penyiraman
(musim kemarau panjang).
Pengalaman dari beberapa peneliti di Sulawesi Utarabaru pertama kali melakukan
sambung samping hasilnya bisa mencapai hasil >70% (Kindangen, dkk. 2013). Hasil ini
cenderung sejalan dengan penerapan teknologi sambung samping di NTT pada 2 lokasi
demplot sambung samping yang jadi mencapai 65% dan 80% dan sambung pucuk 50% dan
73%, sedangkan pada kebun petani hanya 31% dan 60% sambung samping dan 53% dan 57%
sambung pucuk (deRosari dan Triastono, 2011). Tingkat keberhasilan teknik sambung pucuk
dan sambung samping kakao di pesemaian maupun di pertanaman cukup tinggi, sehingga
kedua teknik tersebut dapat direkomendasikan untuk pengadaan bibit di tingkat kelompok
(Napu, et all. 2014).
Pengembangan usahatani kakao sangat prospektif untuk mendatangkan devisa dan
dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani secara siginifikan, oleh
karenanya pihak Pemda perlu kebijakan untuk memfasilitasi kegiatan ini secara
berkelanjutan dengan menyediakan dana untuk memberdayakan petani serta aparat teknisi
dalam melakukan pembinaan secara berkelanjutan. Selanjutnya segera ditindak-lanjuti
dengan penyediaan beberapa komponen sarana produksi dan peralatan penting untuk
merealisasikan penerapan teknologi sambung samping secara swadaya.

PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI KELAPA DAN KAKAO


Pengembangan usahatani kakao pada areal tanaman kelapa yang sudah ada pada
umumnya hampir tidak ada komponen teknologi yang diterapkan pada tanaman kelapa.
Pengembangan sistem usahatani ini hanya lebih fokus perbaikan dan penerapan teknologi
hanya pada tanaman kakao karena aktivitas budidaya pada tanaman kakao merupakan
bagian juga dari aktivitas pada tanaman kelapa. Seperti kegiatan pada tanaman kakao
pembersihan areal tanaman dan pemupukan pada tanaman kakao merupakan bagian juga
dari pemeliharan tanaman kelapa. Kegiatan berupa pemupukan, pemangkasan cabang,
pengendalian hama dan penyakit merupakan kunci utama keberhasilan dalam meningkatkan
produktivitas per satuan unit usahatani.
Pujianto (1996) menyatakan pemupukan pada tanaman kakao sebaiknya berdasarkan
atas asas keseimbangan, pemberian pupuk yang mengandung unsur tertentu secara
berlebihan akan terganggu penyerapan unsur hara lainnya. Hasil maksimal dari suatu upaya
pemupukan akan diperoleh apabila pemupukan dilakukan dengan tepat, yang meliputi dosis,
jenis pupuk, waktu maupun cara pemberiannya. Kehilangan unsur hara yang terangkut
dalam 1 ton biji kakao setara dengan 42-50 kg Urea, 43-48 kg TSP, 34-43 KCl, dan 20 kg
Kieserit, sedangkan yang terangkut dalam kulit buah setara dengan 33-37 kg Urea, 20-25 kg
TSP, 249-310 kg KCl, dan 22 kg Kieserit. Pengalaman beberapa petani kakao di Sulawesi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 167
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Utara bahwa dengan tambahan pemberian pupuk organik lebih dari 20 kg/pohon/tahun (2
kali aplikasi) jumlah buah kakao mencapai >100 buah/pohon/tahun.
Penerapan usaha tanaman sela pada areal tanaman kelapa secara intensif dapat
meningkatkan produksi kelapa sekitar 20-30% sekaligus dapat menekan biaya pada
usahatani kelapa, seperti pembersihan areal tanaman kelapa dan pada umumnya petani
kelapa tidak melakukan pemupukan. Adanya tanaman sela kakao dikelola secara intensif
dengan kegiatan pembersihan areal dan pemupukan hanya pada tanaman kakao dengan
sendirinya kegiatan ini telah menjadi masukan untuk pertumbuhan tanaman kelapa. Bagian
dari produk kelapa menjadi input pada tanaman kakao adalah air kelapa dan sabut kelapa
dapat menjadi bahan baku pupuk cair pada tanaman kakao, terutama untuk unsur kalium.
Teknologi pertanian yang dapat diadopsi dan selanjutnya dapat dikembangkan oleh
petani secara mandiri adalah teknologi yang memberi manfaat yang maksimal bagi keluarga.
Fenomena yang terjadi selama ini khususnya di Sulawesi Utara terkesan hanya mengadopsi
teknologi pada saat difasilitasi proyek, namun sesudah itu banyak yang kembali pada sistem
teknologi semula. Fliegel dkk. (1971) mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi sikap
petani dalam mengadopsi teknologi, yakni: (1) adaya keuntungan relatif bila teknologi itu
diadopsi, (2) kecocokan teknologi dengan sosial budaya setempat, (3) hasil pengamatan
petani terhadap petani lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu sebagai dasar
peletakan kepercayaan, (4) mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru, dan (5)
kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan modal, bagaimana konsekuensi kenaikan
produksi terhadap harga produk.
Keberhasilan pengusahaan kakao sangat ditentukan oleh banyak faktor yang bekerja
secara bersama-sama atau saling berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah tersedianya
lahan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman, penggunaan bahan tanaman unggul,
penerapan teknik budidaya yang benar, pemberian masukan yang tepat, perlindungan
terhadap gangguan jasad pengganggu (hama/penyakit/gulma) dan penanganan pasca panen
yang benar (Abdoellah, dkk. 1996).

PROSPEK EKONOMI
Sampai saat ini komoditas kelapa masih merupakan salah satu komoditas unggulan di
Sulawesi Utara terindikasi dari areal tanaman terluas, jumlah petani yang banyak, serta
kelapa masih menjadi kontribusi nilai eknomi yang tertinggi (Kindangen et all, 2014
Sedangkan komoditas kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu komoditas andalan
jenis tanaman perkebunan. Peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional,
khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara.
Disamping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan
pengembangan agroindustri (Badan Litbang Pertanian, 2005)
Penerapan usahatani kakao melalui rahabilitasi sambung samping selang periode 20
tahun menunjukkan nilai Rp 197.305/HOK. Jika dibandingkan dengan upah riel tenaga kerja
yang berlaku setiap HOK (7-8 jam kerja/hari) sebesar Rp 60.000/HOK. Pengelolaan usahatani
kakao melalui rehabilitasi tanaman tua/rusak dan tidak produktif tergolong sangat prospektif

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


168 | Teknologi Pertanian
dan sangat layak untuk diusahakan petani dalam jangka panjang dimana imbalan riel tenaga
kerjanya mencapai 3,28. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan usahatani kakao melalui
kegiatan sambung samping tergolong sangat menguntungkan dan menyediakan lapangan
kerja yang sangat produktif dengan imbalan upah tenaga kerja lebih dari 3 kali lipat (3,3) dari
kondisi harga upah sekarang.
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh petani dalam pengembangan tanaman
kakao klon unggul menggunakan bibit okulasi pada areal tanaman kelapa:
1. Produksi kelapa meningkat 20-30%, tanaman kelapa menjadi penaung tanaman kakao.
2. Tercipta lapangan kerja baru karena dapat menyerap upah/gaji sekitar Rp 5 juta-Rp 10
juta/ha/tahun.
3. Pendapatan petani meningkat sekitar 2-3 kali dari pendapatan usahatani kelapa
monokultur.
4. Peningkatan produksi yang tinggi berpeluang bagi petani untuk memperluas usaha
berupa usaha diversifikasi, antara lain dapat dikembangkan usaha ternak yang dapat
membantu tersedianya pupuk kompos dengan memanfaatkan kulit buah dan daun
cabang tidak produktif kakao untuk pakan ternak (kambing)

STRATEGI PENGEMBANGAN UNTUK PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH


Pengembangan tanaman kakao menggunakan bibit okulasi kakao unggul sangat
sesuai untuk diusahakan pada areal tanaman kelapa, terutama pada areal tanaman kelapa
dewasa. Disadari betul bahwa bahwa pada usahatani kelapa monokultur diperoleh
pendapatan yang rendah, pendapatan petani tidak mencapai Rp 1 juta sedangkan usaha
kakao monokultur diperoleh pendapatan sekitar 1,5-3 kali lipat dari usahatani kelapa
monokultur. Dengan demikian program pengembangan kakao pada area sentra-sentra
kelapa sangat prospektif untuk menopang pengembangan ekonomi wilayah serta
peningkatan pendapatan petani per satuan unit usahatani kelapa. Gambaran jumlah
kebutuhan dana investasi dan nilai ekonomi yang dapat diperoleh melalui program
pengembangan usahatani kakao pada areal tanaman kelapa secara masal disajikan pada
Tabel 7.

Tabel 7. Perkiraan kebutuhan dana investasi, nilai pendapatan, serta penerimaan untuk PAD
pada pengembangan kakao pada areal tanaman kelapa di Sulawesi Utara
Produksi dan Nilai
Rencana luas areal Dana 1)
Dana Produksi Kontribusi
tanaman kelapa yang Fiskal
Monoter Nilai untuk PAD Keterangan
akan dikembangkan (Rp Produksi
(Rp milyar) produksi (Rp milyar)
kakao(ha) milyar) (ton)
(Rp triliun)
50.000 200 500 125.000 3,125 187,5
70.000 280 700 175.000 4,375 262,5
85.000 340 850 212.500 5,312 318,5
1)
Keterangan: Produksi per tahun umur >3 tahun tahun mencapai 2,5-3 ton/ha/tahun.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 169
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pada Tabel 7 menunjukkan pengembangan kakao pada areal tanaman kelapa secara
intensif dapat dilaksanakan dengan menyiapkan dana fiskal (untuk penyediaan bibit okulasi
yang dikelola sendiri oleh petani bisa dihemat mencapai Rp 4.000/pohon) dan dana moneter
sebesar Rp 5.000.000/ha (pembelian pupuk, pestisida dan penanaman) separuh biaya
pemeliharaan dilaksanakan secara swadaya oleh petani melalui pendampingan yang intensif.
Pola pengembangan seperti ini akan menjadi pemicu akselerasi pengembangan ekonomi
wilayah serta peningkatan pendapatan petani secara signifikan mencapai 2-8 triliun rupiah
dan memberi kontribusi terhadap pertumbuhan PDRB sekitar 2,7-10,8%/tahun.
Apabila dapat menjangkau 35-40% dari areal kelapa yang ada kurang lebih seluas
100.000 ha dan disiapkan dana fiskal dan dana moneter untuk pengembangan kakao maka
disertai pendampingan teknologi maka peluang nilai ekonomi tersebut dapat dicapai. bahwa
apabila pemerintah daerah bertekat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah
melalui pengembangan usahatani kakao secara masal dan intensif menggunakan klon-klon
unggul maka hanya dalam jangka 3 tahun sejak kakao ditanam akan diperoleh produksi >2,5
ton/ha/tahun. Apabila usahatani kakao dikelola secara intensif dan terdampingi secara masal
maka produksi kakao pada tahun ke-3 bisa mencapai >3 ton/ha/tahun.
Bila pemerintah daerah dapat memfasilitasi seluas 50.000 ha maka jumlah dana
investasi yang diperlukan sebanyak Rp 700 milyar, seluas 70.000 ha diperlukan dan investasi
Rp 980 milyar, serta seluas 85.000 ha diperlukan dana investasi Rp 1.190 milyar. Pada tahun
ke-3 besaran investasi di atas akan diperoleh nilai pendapatan (nilai produksi) sebesar Rp
3.125 milyar, Rp 4.375 milyar, dan Rp 5.312 milyar.
Dengan demikian hanya dalam jangka 3-4 tahun dilakukan investasi akan diperoleh
proporsi dari nilai PDRB masing-masing 3,12%, 4,37%, dan 5,31% (nilai PDRB harga yang
berlaku tahun 2016 sebesar Rp 100, 54 triliun). Kindangen et all (2014) melaporkan dana
moneter memungkinkan untuk diperoleh karena dari Asosiasi Petani Kakao di Kabupaten
Bolaang Mongondow bahwa dalam pengembangan kakao pihak perbankan BI telah memberi
sinyal kucuran dana untuk pengembangan kakao (sambung samping dan penanaman baru
menggunakan klon-klon unggul) sebanyak Rp 10.000.000-Rp 20.000.000/ha. Bila ini
terealisasi maka periode pengembalian petani ke pihak bank hanya sekitar 2-3 tahun setelah
tanam dengan produksi kakao sekitar 400-500 kg.
Selanjutnya apabila tatanan sistem agribisnis dapat difasilitasi oleh pemerintah
daerah memungkinkan pemda dapat menerima retribusi sebesar Rp 1.500/kg sebagai PAD.
Informasi pada bulan arga kakao di tingkat petani di Bolmong dan Bolmut sekitar Rp 18.000-
20.000/kg. Sementara harga kakao yang berlaku di sentra produksi seperti di Kota Palu,
Kendari dan Makasar sekitar Rp 28.000-30.000/kg. Apabila pemda dapat memfasilitasi
sampai ke tingkat pemasaran (secara kolektif dijual langsung ke pedagang besar) berarti
terdapat selisih harga sekitar Rp 9.000-10.000/kg. Dengan demikian sistem agribisnis kakao
sampai ketingkat pemasaran maka ada peluang peningkatan harga kakao di tingkat petani
sekitar Rp 6.500-9.000/kg (retribusi ke Pemda sebesar Rp 1.500/kg).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


170 | Teknologi Pertanian
Melalui pengembangan usaha ini Pemda berpeluang untuk meraih sumber dana PAD
sebanding dengan nilai investasi melalui dana fisal (APBD/APBN) dan akan diperoleh setiap
tahun.

PENUTUP
Pengembangan usahatani kelapa dengan tanaman kakao unggul di Sulawesi Utara
menunjukkan prospek yang positif, ditinjau dari aspek teknis maupun ekonomis. Secara
teknis setiap keluarga tani mampu melakukan penanaman kelapa menjangkau 1-2 ha.
Untuk itu diperlukan dukungan penyediaan dana untuk penyediaan bibit, kebutuhan
sarana produksi dan peralatan. Dana swadaya petani melalui pemanfaatan tenaga kerja
keluarga menjadi acuan untuk penyediaan dana tersebut. Untuk menjamin kontinuitas
produksi dan pendapatan usahatani disarankan untuk mengoptimalkan pupuk anorganik dan
pemupukan organik disertai pengairan/penyiraman tanaman kakao dikala musim kemarau
mencapai lebih dari 1 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Abid, M. dan A. Arjanhar. 2011. Kajian Hormon Fero PBK terhadap intensitas serangan dan
jumlah serangga tertangkap hama penggerek buah kakao (PBK)(Studi Kasus di Lokasi
Pendampingan Gernas Kakao Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi tengah).
Disampaikan pada Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian mendukung
Ketahanan Pangan dan Swasembada Beras Berkelanjutan di Sulawesi Utara, 1
Desember 2011. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kakao di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.
BPS. 2009. Sulawesi Utara Dalam Angka. Kantor Perwakilan BPS Sulawesi Utara, Manado.
deRosari, B., dan J. Triastono, 2010. Rehabilitasi dan peremajaan tanaman kakao mendukung
gernas kakao di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Pengkajian
dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementerian
Pertanian, Cisarua 9-11 Desember 2010 (Buku 4). Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Drajat dan G. Wibawa. 2008. Teknologi pembibitan kunci revitalisasi pembibitan. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 30 (1). Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia, Bogor.
Fliegel, E.C., J.E. Kivlin and G.S. Sekhon. 1971. Message Distortion and The Diffusion of
Innovation in Northern India. Sociologica Ruralis.
Karmawati, E., Z. Mahmud, M Syakir, J. Munarso, K. Ardana, Rubio. 2010. Budidaya dan
Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Litbang
Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 171
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kindangen, J.G., E. Malia, J. Wowiling, P. Layuk, dan L.A. Matindas. 2013. Laporan Hasil
Pendampingan Gernas Kakao di Sulawesi Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sulawesi Utara. Badan Litbang Pertanian.
Kindangen, J.G. 2005. Efektivitas Penyiapan dan Penyerapan Teknologi Pertanian Berbasis
Rumah Tangga Tani di Perdesaan Sulawesi Utara.
Lay, A. 2010. Akselerasi pengembangan kelapa berbasis inovasi teknologi sebagai solusi
peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Prosiding Konperensi Nasional
Kelapa VII. Manado 26-27 Mei 2010. Akselerasi Revitalisasai Agribisinis Perkelapaan
Nasional p 322-332. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Lim G.T. and P.K. Phua. 1986. Effect of cocoa pod barer Acrocercrops cramerella Snellen on
yield and bean size. In. E. Pushparajah and chew Pah Soon (Eds). Cocoa and coconuts
Progeress and outlook. Incoporated Society of Planters Kuala Lumpur.
Limbongan, J., 2012. Karakteristik morfologis dan anatomis klon harapan tahan hama
penggerek buah kakao sebagai sumber bahan tanam. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 31 (1):14-20.
Napu, M.B., J. Limbongan, dan B.A. Lologau. Perbanyakan bibit kakao melalui teknik grafting,
okulasi, dan somatic embryogenesis di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 17 (3):175-185.
Pujianto, 1996. Pemupukan Kakao. Disampaikan pada “Pelatihan Teknik Budidaya Kakao, 18-
26 Desember 1996. Direktorat jenderal Perkebunan (SRADP-ADB) dan Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.
Rusdin dan Agussalim, 2010. Kajian pendapatan usahatani kakao melalui inovasi teknologi
sambung samping dan P3S di Kabupaten Kolaka. Prosiding Seminar Nasional
Pengkajian dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis
Kementerian Pertanian, Cisarua 9-11 Desember 2010 (Buku 4). Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Sulistyowati dan Teguh Sunaryo. 1998. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Mutu Lemak
Kakao. Pelita Perkebunan 4(2):73-80.
Sunanto, H. 2010. Cokelat, Pengolahan Hasil dan Aspek Ekonominya. Seri Budidaya. Kanisius,
Yogyakarta.
Texopous and Wessel, 1970. Studies on Pod and Bean of Theobromo Cocoa L. in Nigeria.
Enviromental Effect on West African Amilonado with Particular Attention to Annual
Rain Fall Distribution. Net. Journal of Agricultural Sciences 18:132-139.
Wardoyo, S. 1980. The cocoa pad barer. A Mayor hindrance to Cocoa development,
Indonesia Agricultural Research and Development. Jur. 2 (1): 1-4.
Winarno, H. 1989. Klon-Klon Kakao Unggul untuk Mendukung Klonalisasi Kakao Lindak.
Warta Puslit Kopi dan Kakao. 11(2): 77-81.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


172 | Teknologi Pertanian
Winarto, L., N. Primawati, S. Karokaro, S. M. Harahap. 1999. Implementasi Pengendalian
Hama Penggerek Buah Kakao dengan Musuh Alami dan Insektisida
Nabati. Laporan Hasil Penelitian TA. 1999/2000. BPTP Gedong Johor Sumut. 28 hal.
Wiryadiputra.S. 1996. Hama Penggerek Buah Kakao-Kendala Utama Industri Kakao Indonesia
Dan Saran Pengelolaannya. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 2. No.I:16-
23.
Yusianto, T. Wahyudi dan B. Sumartono. 1995. Pola Cita Rasa Biji Kakao dan Beberapa
Perlakuan Fermentasi. Pelita Perkebunan 11 (2): 117-131.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 173
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PAKAN DAN NUTRISI SAPI POTONG BERBASIS LIMBAH PADI

Paulus C. Paat dan Jefny B.M. Rawung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara


Jl. Kampus Pertanian Kalasey, Kotak Pos 1345 Manado 95013
e-mail: paul.bptpsulut@gmail.com

ABSTRAK
Sumber pakan dan nutrisi ternak sapi potong di Indonesia ke depan akan sangat tergantung dari
limbah pertanian termasuk limbah padi. Walaupun limbah utama padi berkualitas rendah,
namun jika dikombinasikan dengan pakan tambahan atau suplemen maka dapat dimanfaatkan
sampai 60% dalam pakan. Bila jerami mendapatkan perlakuan pendahuluan secara kimia atau
biologi maka dapat dimanfaatkan lebih besar dari 60% dalam pakan sapi. Beberapa varian
limbah pertanian padi yaitu dedak padi murni dapat digunakan menjadi suplemen yang baik
bahkan sampai mendekati 100% jika pakan dasarnya adalah jerami padi. Dari berbagai
penelitian dan pengkajian yang dilakukan di berbagai daerah menunjukkan bahwa ternak sapi
potong di Indonesia memberikan respon yang baik terhadap pakan dari limbah pertanian padi.
Setiap 1 ha lahan sawah untuk sekali panen dapat menghasilkan bahan kering jerami sebesar
kebutuhan pakan 2 ekor sapi dewasa atau untuk kebutuhan 4 ekor bagi sawah dengan indeks
pertanaman (IP) 200. Tantangan pemanfaatan limbah padi dalam pakan dan nutrisi sapi potong
yang perlu dipertimbangkan adalah tanaman padi merupakan tanaman semusim yang
umumnya melakukan panen serentak sehingga limbah pertanian cenderung tersedia dalam
jumlah yang serentak pula dan sangat banyak serta mudah rusak. Disimpulkan bahwa
pemanfaatan bahan pakan suplemen merupakan kebutuhan mutlak untuk sapi yang
mendapatkan pakan basal jerami padi, baik dari bahan pakan sumber energi maupun sumber
protein terutama untuk pemanfaatan jerami yang tidak mendapatkan perlakuan sebelumnya.
Perlu rekayasa kelembagaan petani untuk penanganan jerami mulai dari pengumpulan,
teknologi pengolahan, dan penyimpanan agar sumberdaya limbah padi dapat dioptimalkan
kemanfaatannya untuk sapi potong.
Kata kunci: Limbah pertanian padi, pakan dan nutrisi, sapi potong

PENDAHULUAN
Faktor pembatas utama dalam usahatani ternak sapi di Indonesia adalah
ketersediaan pakan dan nutrisi yang tidak memadai (Subiharta, 2015: Rachman, 2013; Paat,
2014; dan Nulik, 2015). Selain secara alami kualitas hijauan di daerah tropis memang relatif
rendah, juga bahan-bahan pakan sumber karbohidrat dari biji-bijian sangat mahal. Mahalnya
biji-bijian lantaran terjadi persaingan penggunaannya untuk kebutuhan industri pangan,
industri pakan ternak dan pakan ikan.
Sementara itu peternakan sapi pola ekstensif dan semi intensif terbatasi oleh
kekurangan pakan hijuan, tetapi di sisi yang lain masih sangat berlimpah bahan pakan lokal
yaitu bermacam varian limbah pertanian. Pemandangan sehari-hari disentra produksi
pertanian padi, jerami padi dibakar begitu saja agar tidak menghambat pengolahan lahan.
Pembakaran jerami padi bahkan menjadi salah satu manajemen pengolahan lahan tanaman
padi (Paat dkk, 2008).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


174 | Teknologi Pertanian
Ternak sapi secara alami mampu mengkonsumsi bahan-bahan pakan berserat, baik
dalam bentuk hijau segar maupun limbah pertanian kering. Kemampuan ternak ruminansia
tersebut disebabkan oleh adanya populasi mikroba (terutama bakteri dan protozoa)
penghasil enzim-enzim spesifik di dalam rumen. Mikroba yang dimaksud mampu mencerna
nutrien (protein, karbohidrat, lemak, dan lainnya) dalam pakan menjadi protein mikroba dan
asam lemak volatile. Asam lemak volatile kemudian menjadi sumber asam amino dan energi
yang dibutuhkan untuk hidup pokok dan produksi ternak yang mengkonsumsinya (Soejono,
1998).
Minimnya informasi potensi sumberdaya limbah pertanian bagi pelaku usaha sapi
potong dan pemangku kepentingan di bidang pengambil kebijakan berkontribusi terhadap
masih kurangnya pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan. Secanggih-canggihnya
teknologi komunikasi saat ini ternyata masih banyak peternak sapi yang terheran-heran
melihat bahwa ternyata jerami padi adalah pakan sapi (Paat dkk, 2015b).
Hendriadi (2015) mengemukakan bahwa transfer teknologi dan inovasi ke pelaku
usaha agribisnis ternyata masih menjadi persoalan negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Padahal di sisi lain persoalan pangan di dunia semakin krusial dengan terus
bertambahnya penduduk. Bahasan pada makalah ini bertujuan memaparkan perkembangan
produksi sumberdaya pakan limbah pertanian padi, sumberdaya ternak sapi potong dan
dinamika pertumbuhannya, gambaran cadangan nutrisi ternak yang terkandung dalam
limbah padi, serta informasi hasil penelitian pemanfaatan limbah padi sebagai pakan dan
nutrisi pada produksi sapi potong.

PRODUKSI LIMBAH PADI DI INDONESIA


Jumlah produksi limbah pertanian selalu berbanding lurus dengan jumlah produksi
hasil pertanian. Ini berarti bahwa semakin tinggi produksi hasil pertanian maka semakin
besar pula suplai limbah yang dipasok. Bagi negara-negara yang masih terus meningkatkan
hasil pertaniannya seperti Indonesia, tentu saja akan berdampak langsung pada terus
meningkatnya pasokan limbah pertanian. Dari berbagai hasil penelitian baik dari dalam
maupun luar negeri umumnya melaporkan bahwa potensi limbah pertanian cukup fantastis
seiring dengan meningkatnya produksi pertanian.
Data pada Tabel 1 menyajikan sebaran luas panen padi di Indonesia sesuai Angka
Ramalan Tetap (ATAP) tahun 2013 yang diterbitkan BPS (BPS, 2014). Luas areal panen padi
pada tahun 2013 adalah 13.833.777 ha (Tabel 1), tersebar luas secara tidak merata diseluruh
33 provinsi di Indonesia (BPS, 2014). Dapat dijelaskan bahwa ketersediaan jerami padi
sebagai hasil samping juga tersebar mengikuti pola sebaran padi di seantero Indonesia.
Sekitar 50% lahan sawah di Indonesia berada di pulau Jawa dengan luas panen padi 6,46 juta
ha (Tabel 1). Pulau Sumatera berada di urutan ke dua dengan luas panen 3,52 juta ha. Pulau
Sulawesi dan Kalimantan berada di urutan ke tiga dan ke empat 2,23 juta ha.
Menurut Soedomo (1984) bahwa jumlah bahan kering (BK) jerami padi yang
dihasilkan per ha sawah adalah setara satu kali lipat dibandingkan dengan jumlah hasil gabah
kering giling (GKG). Sebagai gambaran di Indonesia (BPS, 2014a) bahwa rata-rata nasional

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 175
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
produktivitas padi sawah adalah 5,1 ton GKG per ha. Dengan luas panen skala nasional 13,8
juta ha per tahun maka produksi padi adalah 70,38 juta ton GKG. Ini berarti bahwa potensi
produksi jerami padi pada skala nasional juga adalah sekitar 70,38 juta ton BK (Tabel 3).
Mengacu pada rata-rata produktivitas jerami padi sawah sebesar 5,1 ton BK per ha
maka jika Indeks Pertanaman (IP) adalah 200% maka akan memperoleh 10,2 ton BK jerami.
Jika ditambahkan dengan hasil samping lainnya berupa dedak dan katul sekitar 1 ton atau
sekitar 10% maka semua varian limbah padi akan menjadi sekitar 11 ton BK per ha per
tahun. Sebagai gambaran pembanding bahwa total produksi limbah kelapa sawit dari
beberapa varian limbah adalah 13,6 ton BK per ha per tahun (Mathius, 2009).
Grafik 1 menyajikan produksi bahan kering (BK) jerami padi dan sebaran sesuai
provinsi seluruh Indonesia. Sebagaimana yang nampak pada peroduksi dan sebaran gabah
padi, maka sekitar 50% produksi limbah padi di Indonesia berada di pulau Jawa (Grafik 1).
Pulau Sumatera berada di urutan ke dua, Pulau Sulawesi dan Kalimantan berada di urutan ke
tiga dan ke empat.

Tabel 1. Sebaran luas panen padi, produktivitas dan produksi padi dan jerami per provinsi
Seluruh Indonesia sesuai ATAP tahun 2013
Produktivitas (ton Produksi jerami (ton
Provinsi Luas panen (ha) Produksi padi (ton GKG)
GKG/ha) BK)
Aceh 419.183 46,68 1.956.940 1.956.940
Sumut 742.968 50,17 3.800.000 3.800.000
Sumbar 487.820 49,84 2.498.672 2.498.672
Riau 118.518 36,63 434.144 434.144
Jambi 153.243 43,36 668.353 668.353
Sumsel 800.036 45,96 3.676.723 3.676.723
Bengkulu 147.680 42,17 622.832 622.832
Lampung 638.090 50.26.00 3.207.202 3.207.202
Babel 10.232 25,83 28.480 28.480
Riau Kepulauan 379 36,15 1.370 1.370
DKI 1.744 58,88 10.286 10.286
Jawa Barat 2.029.891 59,53 12.083.162 12.083.162
Jawa Tengah 1.845.447 5606 10.344.816 10.344.816
Yogyakarta 159.266 57,88 921.864 921.864
Jatim 2.037.251 59,15 12.049.362 12.049.362
Banten 393.704 52,92 2.083.608 2.083.608
Bali 150.580 58,66 882.092 882.092
NTB 438.057 50,08 2.193.698 2.193.698
NTT 222.468 32,8 729.666 729.666
Kalimantan Barat 464.898 31,01 1.441.876 1.441.876
Kalimantan Tengah 247.237 32,84 812.652 812.652
Kalimantan Selatan 479.721 42,32 2.021.809 2.021.809
Kalimantan Timur/Utara 138.883 40,63 564.163 564.163
Sulawesi Utara 127.413 50,1 638.373 638.373
Sulawesi Tengah 224.326 45,98 1.031.964 1.031.964
Sulawesi Selatan 981.394 51,22 5.035.830 5.035.830
Sulawesi Tenggara 132.945 42,23 561.361 561.361
Gorontalo 56.894 52,01 295.913 295.913
Sulawesi Barat 91.195 48,8 445.030 445.030
Maluku 24.399 41,74 101.835 101.835
Maluku Utara 19.281 19,28 72.445 72.445
Papua Barat 7.523 39,76 29.912 29.912
Papua 41.111 41,3 169.790 169.790
Total 71.279.709 71.279.709
Sumber: Diolah dari BPS (2014).
Ket: GKG= Gabah Kering Giling; ATAP = Angka ramalan tetap.
BK= Bahan Kering

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


176 | Teknologi Pertanian
Prosesing gabah menjadi beras masih menghasilkan limbah lainnya yaitu sekitar 9%
dedak padi dan 6% katul, selain itu terdapat sekitar 40% kulit luar atau sekam. Akan tetapi
ditingkat pedesaan dedak dan katul umumnya tergabung menjadi satu yaitu dedak padi
sebesar 15% dari bobot GKG. Atas asumsi tersebut maka potensi dedak padi di Indonesia
adalah sekitar 10,68 juta ton berat kering per tahun atau sekitar 9,61 juta ton BK setelah
dikoreksi dengan kadar air sekitar 10%.
Jika sekam padi yang diperoleh pada pengilingan gabah mencapai 40% maka produksi
sekam di Indonesia dapat mencapai 28,50 juta ton berat kering per tahun atau sekitar 25,65
juta ton BK sesudah dikoreksi dengan kadar air sekitar 10%. Grafik 2 menyajikan proporsi
limbah padi per varian limbah.

Sumber: Diolah dari BPS (2014).

Grafik 2. Produksi limbah padi di Indonesia 105,64 juta ton dan presentase per jenis limbah
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 177
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Potensi hasil penjumlahan seluruh limbah atau total biomasa padi di Indonesia
setelah hasil beras dikeluarkan adalah kumulatif dari jumlah jerami, dedak padi, dan sekam.
Jika jumlah produksi jerami adalah 70,38 juta ton BK, dedak padi 9,61 juta ton BK, dan sekam
padi 25,65 juta ton BK maka potensi limbah padi sawah yang dapat menjadi bahan baku
pakan sapi adalah 106,93 juta ton BK. Akan tetapi khusus sekam hanya terdapat sedikit
peluang dijadikan pakan sapi. Londra (2015) melaporkan bahwa sekam padi fermentasi
trikoderma hanya dapat menggantikan 15% dedak padi.

PRODUKSI SAPI POTONG DI INDONESIA


Populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2013 adalah 12.329.477 ekor, tersebar
luas secara tidak merata diseluruh 33 provinsi di Indonesia (BPS, 2014a). Jika dibandingkan
dengan tahun 2011 dengan jumlah populasi sapi 14.805.800 maka selang 2 tahun terjadi
penurunan sebesar 2.476.323 atau 16,72%. Menarik untuk dilihat bahwa sekitar 50% sapi
potong hanya terpusat di pulau Jawa dan Bali (Suswono, 2012), padahal tekanan jumlah
penduduk pada daerah-daerah tersebut tergolong terpadat di Indonesia. Jawa Timur dan
Jawa Tengah memiliki sapi potong tertinggi di Indonesia berturut-turut 3,5 dan 1,5 juta ekor.
Sementara itu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua Barat, dan Papua
kenyataannya kepadatan sapinya masih kurang, kendati sumberdaya lahannya jauh lebih
luas. Sekalipun demikian data menunjukkan bahwa ternak sapi potong ternyata tersebar di
seluruh propinsi di Indonesia, tidak ada yang terkecuali. Hal yang berbeda berlaku pada
kerbau dan sapi perah yang belum tersebar di seluruh propinsi di Indonesia.
Jumlah rumah tangga peternak sapi di Indonesia berdasarkan Sensus Pertanian tahun
2013 adalah 5.078.979 rumah tangga (BPS, 2014a). Dapat diterangkan bahwa usaha ternak
sapi di Indonesia berbasis rumah tangga tani dengan rata-rata skala pemilikan antara 1
sampai 3 ekor. Dengan demikian semakin banyak jumlah rumah tangga tani maka semakin
banyak jumlah populasi sapi. Grafik 3 menggambarkan sebaran populasi sapi potong di
Indonesia tahun 2013 yang diolah dari data BPS tahun 2014.
Tabel 2 menunjukkan sebaran populasi berdasarkan umur sapi potong di Indonesia
pada 2011. Dapat dimaknai bahwa pola pemeliharaan sapi potong di Indonesia didominasi
pola usaha pembibitan atau pembiakan. Setiap 1 ekor sapi dewasa setara 1 satuan ternak
(ST), 2 ekor sapi muda adalah 1 ST dan 3 ekor sapi anak adalah 1 ST (Dirjen Peternakan,
1993).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


178 | Teknologi Pertanian
Sumber: Paat (2016)
Grafik 3. Sebaran Populasi Sapi Potong di Indonesia

Tabel 2. Sebaran populasi berdasarkan umur sapi potong di Indonesia 2012


Jenis Umur Jumlah (ekor) Persen (%)
Jantan Anak 1.446.923 9,77
Muda 1.816.179 12,27
Dewasa 1.452.635 9,81
Betina Anak 1.414.808 9,56
Muda 2.007.267 13,56
Dewasa 2-4 tahun 2.687.705 18,15
Dewasa 5-6 tahun 2.773.985 18,73
Dewasa >6 tahun 1.206.298 8,15
Total 14.805.800 100,00
Sumber: Suswono (2013).

Dari hasil perhitungan tersebut di atas didapatkan bahwa total populasi sapi potong
pada tahun 2012 adalah sekitar 9,58 juta ST. Jika kebutuhan konsumsi per ST sapi adalah 10
kg BK/ekor/hari (NRC, 1981 dilaporkan Paat, 2016), maka total kebutuhan pakan dari 9,58
juta ST sapi di Indonesia adalah sekitar 90,58 juta kg.

NILAI NUTRISI LIMBAH PADI


Tabel 3 menyajikan analisis proksimat dan Van Soest dari hasil samping tanaman padi
yang meliputi jerami, bekatul, dedak, dan sekam dari beberapa hasil penelitian.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 179
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 3. Komposisi kimia limbah padi
Komposisi kimia Jerami Bekatul Dedak Sekam
Bahan Kering,% 1) 39,8 90 90 90
Ekstrak ether,% 2) 01.02 12,4 14,1 1,5
Protein kasar,% 2) 4 14 13,8 3,8
BETN,% 2) 47,5 85 81 31,7
TDN,%2) 26,6 81 81 12
Serat kasar,% 2) 21,9 6 11,6 43,3
Fraksi serat, %:
ADF 75,5 5 5
Sellulosa 41,8 7,9 7,9
Lignin 12,8
Silica 20,4
Abu,% 2) 25,4 9,9 11,6 19,7
Ca*) 0,36 0,05 5 0,1
P*) 0,11 1,48 7,9 0,15
Keterangan:
1)= Dari bahan basah; 2)= Dari bahan kering (BK)
BETN= Bahan ekstrak tiada Nitrogen; ADF= Acid Ditergent Fibre
TDN= Total digestible nutrients; *)= Baneerjee (1978) dan Sudana dkk (1985)

Berdasarkan sifat fisik maka jerami padi termasuk masuk dalam kelas hijauan pakan
sumber serat (roughages) yang berdasarkan sifat fisik berbentuk kering karena proses
pemanasan alami menjadi kelompok hay (Utomo, 2012). Jerami padi merupakan hijauan
pakan yang dari segi umur sudah melewati fase generatif, bersifat keras dan kaku. Ini
disebabkan kandungan serat yang tinggi yang biasanya diikuti dengan kadar lignin yang
tinggi pula (Haryanto, 2009). Selanjutnya berdasarkan sifat kimia (Utomo, 2012) jerami padi
masuk dalam kelas hijauan pakan sumber karbohidrat dengan kandungan serat kasar >18%
dan protein kasar <20%. Serat kasar jerami padi adalah 21,9% dan protein kasar hanya 4,0%
Kadar lignin jerami padi adalah 12,8%. Lignin yang terbentuk melalui proses lignifikasi
alami bagi tanaman yang sudah tua berkembang mengelilingi atau melindungi selulosa dan
hemiselulosa pada dinding sel. Sekitar 70% dari dinding sel adalah serat detergen netral
atau dinamakan Neutral Detergent Fiber (NDF).
Sekalipun nilai nutrisi secara eksisting (alami) dari jerami padi kenyataannya memang
rendah baik dari aspek fisik maupun kimia, namun potensi ketersediaan di Indonesia luar
biasa besar. Untuk itu maka dipandang penting untuk mendapatkan perhatian lebih sebagai
pakan sapi potong. Dengan luas panen padi lebih dari 13 juta ha maka komoditas padi
tergolong usaha pertanian yang menghasilkan limbah jerami terbesar di Indonesia.
Dalam proses penggilingan padi terdapat salah satu hasil samping yaitu bekatul.
Banyaknya bekatul dalam setiap 100 kg gabah kering giling adalah 6-8,5 kg. Menurut
Soedomo (1984) bahwa setiap 100 kg gabah terdapat 6,5 kg bekatul. Menurut Agus (2012)
bahwa sebanyak 8-8,5% berat padi adalah bekatul.
Berdasarkan sifat fisik maka bekatul padi masuk dalam kelas pakan kering berbentuk
tepung sebagaimana bahan pakan konsentrat. Dari sifat kimia maka kandungan zat-zat

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


180 | Teknologi Pertanian
makanan bekatul masuk dalam pakan konsentrat sumber energi. Kadar protein lebih kecil
dari 14,0% dan serat kasar 6,0% (Tabel 6). Kadar lemak kasar cukup tinggi yaitu 12% sehingga
sering menjadi faktor pembatas yaitu mudah tengik jika terlalu lama disimpan. Pada
kebanyakan gilingan padi di perdesaan tidak lagi dipisahkan antara bekatul dan dedak padi.
Dengan demikian dalam kasus tersebut maka hasil samping penggilingan gabah hanya
menghasilkan 2 varian yaitu dedak padi dan sekam padi.
Dalam proses penggilingan padi terdapat salah satu hasil samping yaitu dedak padi.
Kandungan dedak padi dalam setiap 100 kg gabah kering giling adalah 10-15 kg menurut
Agus (2012). Menurut Soepardjo (1972) dalam Soedomo (1984) bahwa setiap 100 kg gabah
terdapat 9,0 kg dedak padi. Berdasarkan sifat fisik maka dedak padi hampir sama dengan
bekatul padi yaitu masuk dalam kelas pakan konsentrat. Dari aspek kandungan zat-zat
makanan maka dedak padi masuk dalam pakan konsentrat sumber energi. Kadar protein
kasar lebih kecil dari 14,0% dan serat kasar 6,0% (Tabel 6). Sebagaimana bekatul, maka kadar
lemak kasar dedak padi cukup tinggi yaitu 14% sehingga sering menjadi faktor pembatas
yaitu mudah tengik jika terlalu lama disimpan.
Sekam padi dari sifat fisiknya tergolong butiran kasar dan keras. Walaupun belum
banyak dilaporkan tentang zat-zat makanan yang terkandung tetapi dapat dipastikan bahwa
kandungan lignin dan silica amat tinggi. Ini terlihat dari sifat fisiknya yang kaku terbalut
dengan lignin yang fungsinya untuk memperkuat fisik sekam padi. Secara kimiawi kandungan
serat kasar sangat tinggi yaitu 43%. Sekam padi sedikit sekali peluang sebagai pakan sapi
karena sangat sulit dicerna. Sekam padi fermentasi dapat menggantikan sekitar 30% dedak
padi (Londra, 2015). Secara eksisting kandungan TDN (Total Digestible Nutrients) hanya 12%,
bandingkan dengan kandungan TDN dedak sebesar 81%, demikian pula kandungan BETN
(Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) hanya 31,7%.
Lopez dkk (2010) melaporkan bahwa kandungan lignin sekam padi adalah 15,45%,
selulosa 36,60%, dan abu 19,61%. Dilaporkan pula bahwa kandungan karbohidrat 8,71% dan
xylan 13,87%. Berbeda dengan bekatul padi dan dedak padi yang masih kaya akan zat-zat gizi
maka sekam padi secara eksisting tergolong bahan yang miskin gizi sehingga sangat sulit
dicerna, sekalipun oleh ternak ruminansia.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PADI


Kendala utama penggunaan limbah pertanian padi sebagai pakan ternak ruminansia
adalah tingginya kadar serat (selulosa, hemiselulosa, dan lignin), dan silica yang merupakan
komponen penyusun dinding sel tanaman (Soejono, 1998). Kadar serat dan lignin yang tinggi
menyebabkan kecernaan jerami rendah dan konsumsinya menjadi terbatas (Sing et al.,
1993). Theander dan Amann (1984) menekankan bahwa jerami padi telah mengalami
lignifikasi bertaraf lanjut. Selulosa dan hemiselulosa berikatan dengan lignin membentuk
senyawa komplek yaitu lignoselulosa dan lignohemiselulosa yang sulit dicerna.
Menurut Soejono (1998) bahwa aplikasi teknologi pengolahan pakan untuk ternak
ruminansia ada 13 tujuan dan manfaat termasuk meningkatkan nutrisi atau perlakuan
pengkayaan gizi. Ke 13 hal-hal tersebut adalah: 1. Konservasi atau pengawetan, 2.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 181
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Mengubah ukuran partikel, 3. Mengurangi kadar air, 4. Mengubah densitas pakan, 5.
Mengubah palatabilitas, 6. Mengubah nilai nutrisi, 7. Menghilangkan atau mengurangi anti
nutrisi, 8. Menstabilkan kualitas, 9. Mengurangi ruang penyimpanan atau pengangkutan, 10.
Meningkatkan mekanisasi, 11. Mengurangi jamur, salmonella, dan substansi toksik lainnya,
12. Suplemen nutrien, dan 13. Proteksi nutrien.

PEMANFAATAN LIMBAH PADI PADA SAPI POTONG


Menurut Soedomo (1984) bahwa limbah padi berupa jerami dalam bentuk kering
untuk ternak sapi potong dapat diberikan 50% dari jumlah pakan yang diberikan. Menurut
Winugroho (1991) bahwa bila jerami padi diberikan di bawah atau sama dengan 60% dari
pakan maka harus diperhatikan jumlah suplemennya, sedangkan jerami padi tidak perlu ada
perlakuan kimia atau biologi. Suplemen 40% merupakan konsentrat dari bahan lokal dedak
atau onggok yang ditambah dengan daun legume atau campuran daun legume misalnya
gamal (Gliricidia sp.) dan lamtoro (Leucaena sp.). Mineral lengkap perlu ditambahkan jika
jerami padi sebagai pakan dasar diberikan dalam jangka waktu lama.
Sementara itu bila porsi jerami padi diberikan lebih besar dari 60% maka harus
mendapatkan perlakuan, disamping suplemennya harus memenuhi sebagai pakan komplit
apa lagi jika pakan tersebut diberikan pada jangka waktu lama atau bahkan terus-menerus
pada pola usaha pembibitan dan penggemukan (Winugroho, 1991). Perlakuan jerami dapat
berupa amoniasi memanfaatkan urea atau fermentasi menggunakan salah satu probiotik
selulolitik.
Dalam petunjuk pelaksanaan (Juklak) Laboratorim Lapang pembibitan dan
penggemukan sapi potong yang dikeluarkan Badan Litbang Kementerian Pertanian
(Puslitbangnak, 2012) ditargetkan bahwa pertambahan bobot badan harian sapi lokal adalah
minimal 600 g/ekor/hari, sapi persilangan minimal 1000 g/ekor/hari, dan sapi impor minimal
1500 g/ekor/hari. Terkait dengan itu, tugas pendampingan inovasi Badan Litbang
Kementerian Pertanian kepada kepada para pelaku usaha penggemukan sapi potong
mengacu pada target pertambahan bobot badan tersebut.
Sapi penggemukan bobot badan awal 350 kg per ekor diberikan jerami padi tanpa
perlakuan ad libitum dengan suplemen konsentrat 5 kg berat kering/ekor/hari, mineral
lengkap 1 kg/100kg BK pakan, dan urea (Paat dkk, 2015a). Konsentrat murah terdiri dari
dedak padi : tepung jagung porsi 80 : 20 sedangkan mix mineral untuk sapi sesuai keutuhan
ternak sudah dicampur rata dalam konsentrat. Urea 1% untuk setiap 100 kg BK pakan.
Sapi Bali induk betina pada pola usaha pembibitan yang diberikan jerami padi tanpa
perlakuan secara ad libitum dengan suplemen dedak padi 2,5 kg berat kering/ekor/hari,
mineral lengkap 1 kg/100kg BK pakan, dan urea menghasilkan calving interval 12 bulan (Paat
dkk, 2015a). Dalam hal ini urea ditakar 1% untuk setiap 100 kg BK pakan (Paat, 2014 dan
Soejono,1998).
Winugroho (1991) melaporkan bahwa pemberian jerami padi tanpa perlakuan
dengan pakan tambahan konsentrat 50% dapat memberikan pertambahan bobot badan sapi
sebesar 770 g/ekor/hari. Hal yang sama dilaporkan Mahendri dkk (2006) memberikan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


182 | Teknologi Pertanian
pertambahan bobot badan 1.010 g/ekor/hari. Priyanto (1983) melaporkan bahwa pemberian
konsentrat 28 dan 30% dalam pakan sapi yang diberikan jerami padi tanpa perlakuan dapat
memberikan pertambahan bobot badan sapi berturut-turut 690 dan 950 g/ekor/hari.
Sapi PO penggemukan yang diberikan jerami padi amoniasi secada ad libitum dengan
tambahan dedak padi 30%dan mineral lengkap 1% memberikan pertambahan bobot badan
800 g/ekor/hari (Paat dkk, 2015a). Jerami padi perlakuan anhydrous ammonia dengan pakan
tambahan 11 dan 50% memberikan tertambahan bobot badan sapi berturut-turut 620 dan
1170 g/ekor/hari (Creek dkk, 1983). Jerami amoniasi (4% urea) dengan pakan tambahan
konsentrat 53% dan konsentra 53% ditambah urea dan tetes meningkatkan pertambahan
bobot badan sapi masing-masing 650 dan 670 g/ekor/hari (Boonlom and Kanjabapruthipong,
1987).
Jerami perlakuan fermentasi dengan tambahan pakan konsentrat dapat memberikan
pertambahan bobot badan sapi sebesar 1050 g/ekor/hari (Mahendri, 2006). Jerami
perlakuan fermentasi dengan pakan tambahan konsentrat 4-5 kg dilaporkan oleh Anggraeni
dkk (2009) memberikan pertambahan bobot badan sebesar 720 g/ekor/hari. Jerami padi
untuk sapi yang ditabur dengan 1% urea dan 8% tetes tanpa diperam tetapi dengan pakan
tambahan 3 kg katul, 0,5 kg tepung daun, 10 kg Setaria per ekor per hari berdampak
memberikan pertambahan bobot badan per hari sebesar 680 g/ekor/hari.
Beberapa hasil penelitian lapangan dan laboratorium tentang pemanfaatan limbah
padi pada sapi potong dengan dan tanpa perlakuan dapat disajikan. Tabel 4 berikut ini
menyajikan hasil penelitian dan pengamatan pengaruh pemanfaatan limbah padi terhadap
pertambahan bobot badan sapi, baik jerami padi tanpa dan dengan perlakuan, maupun
pemanfaatan dedak dan katul padi sebagai suplemen (Paat, 2016).

Tabel 4. Beberapa hasil penelitian pemanfaatan Jerami padi untuk sapi


Perlakuan jerami PBBH
Suplemen Sumber pustaka
padi (g/ekor/hari)
Tidak ada 60% dedak + 40% jagung, Mineral komplit 1% 1500 Paat dkk, 2014
Tidak ada Konsentrat 1020 Mahendri dkk, 2006
Tidak ada 2 kg konsentrat 296 Astuti dan Suharto, 1987
Tidak ada 1 kg daun singkong kering + 0,6 kg onggok 214
Tidak ada 13% konsentrat 160 Winugroho, 1985
50% konsentra 770
Tidak ada 8% rumput -78
Creek dkk, 1983
7% rumput+32% dedak +91
Tidak ada Tidak ada -113 Saadullah, 1984
Tidak ada Tidak ada Verano stylo -165 Suriyajantrong dan Wilaipon,
29% +104 1986
Tidak ada 24% campuran Gliricidia, rumput gajah, bungkil
330
kelapa, mineral
24% campuran Gliricidia, rumput gajah, bungkil
400
kedelai, mineral.
Pramudiati dkk, 1983
24% campuran Gliricidia, rumput gajah, bungkil
150
kacang tanah, mineral.
24% campuran Gliricidia, rumput gajah, dedak
150
padi, urea, mineral
Tidak ada Tidak ada 30
Prianto. 1983
16% konsentrat 400

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 183
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Perlakuan jerami PBBH
Suplemen Sumber pustaka
padi (g/ekor/hari)
28% konsentrat 690
38% konsentrat 950
Tidak ada 6% tetes+urea 100
5% tetes+11% ampas kecap 280
Sitorus dkk, 1986
5% tetes+15% ampas kecap 430
5% tetes+20% ampas kecap 280
Amoniasi 70% dedak padi + 30% bungkil kelapa (1kg/ekor
270 Paat dkk, 2000
/hari) sapi grower local
Amoniasi ad
30% dedak padi, mineral komplit 1% 800 Paat, 2015a
libitum
Fermentasi Konsentrat 1050 Mahendri dkk, 2006
Fermentasi ad lib Konsentrat 4-5 kg/ekor /hari 720 Anggraeni dan Umiasih, 2009
5% urea 2 kg konsentrat 493 Astuti dan Suharto, 1987
Anhydrous 11% konsentrat 620
Creek dkk, 1983
ammonia 50% konsentrat 1170
Urea 3% rumput 112
Anonimous, 1986 dalam
3% rumput+13% dedak padi 262
Wunugroho, 1991
13% Gliricidia 134
Urea 4% 53% konsentrat 650 Boonlom and
53%konsentrat+urea+tetes 670 Kanjabapruthipong, 1987
Urea 5% 1,3 kg dedak padi, 0,5 kg menir, 0,2 kg kedelai, 10
840 Wanapat dkk, 1986
g tepung tulang, 20 g garam
1% urea+8%
Padmo Wijoto dkk, 1987 dalam
tetes tanpa 3 kg katul, 0,5 kg tepung daun, 10 kg Setaria sp. 680
Winugroho, 1991
peram
Jerami padi Konsentrat, leucaena 35% 710 Bamualim, 1985
Sumber: Paat, 2016

PENUTUP
Pemanfaatan limbah padi dalam pakan dan nutrisi sapi potong yang perlu
dipertimbangkan adalah tanaman padi merupakan tanaman semusim yang umumnya
melakukan panen serentak sehingga limbah pertanian cenderung tersedia dalam jumlah
yang serentak pula dan sangat banyak. Secara fisik bentuk limbah pertanian adalah
menggunakan tempat besar (voluminous = bulky) sehingga memerlukan ruang penyimpanan
yang banyak jika ditempuh langkah penyimpanan dan pengawetan. Oleh karena itu perlu
rekayasa kelembagaan petani untuk penanganan jerami mulai sari pengumpulan, teknologi
pengolahan, dan penyimpanan agar sumberdaya limbah padi dapat dioptimalkan
kemanfaatannya untuk sapi potong.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny, Y.N., Mariyono, L. Affandi. 2009. Superovulasi sapi PO dengan exogenous
hormon (Laporan Loka Penelitian Sapi Potong Grati Tahun 2009)
Astuti, T. dan I. Suharto. 1987. Penggemukan sapi potong menggunakan jerami padi
amoniasi dan pakan konsentrat pada tingkat petani peternak di pedesaan. Prosiding
Limbah Pertanian Sebagai Pakan dan Manfaatnya. Sub Balitnak Grati, Bagan Litbang
Pertanian.Hlm 106-110
Bannerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford and IBH Publishing Co. New Dehli.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


184 | Teknologi Pertanian
Bloonlom, C.I. and J. Kanjanapruthipong. 1987. A comparison of urea-treated rice straw with
urea-molasses sprayed rice straw as basal diet for growing cattle. R.M. Dixon (ed).
Proceedings of the Fifth Annual Workshop of AAFAR Network, 13-17 April, Balitnak
Ciawi Bogor.
BPS. 2014a. Perbandingan ATAP 2013 terhadap ATAP 2012 dan sasaran 2013 serta
perbandingan ARAM 2014 terhadap ATAP 2013 dan sasaran 2014. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Bamualim, A. 1985. Effect of Leucaena feed as a supplement to ruminants on a low quality
roughages diet. Proceedings of the Fifth Annual Workshop of AAFAR Network, 13-17
April, Baltnak Ciawi Bogor.
BPS. 2014b. Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Creek, M.J., T,J. Berker, and W.A. hargus. 1983. An evaluation of the use of anhydrous
ammonia to treat rice straw. UNDP/FAO BEGY/82/007, Field Beef Industry Dev.
Project Fields Doc. International Development Program of Australian University and
Colleges, pp: 3-10
Haryanto, B. 2009. Inovasi teknologi pakan ternak dalam system integrasi Tanaman-ternak
bebas limbah mendukung upaya peningkatan produksi daging. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Vo. 2 No. 3
Hendriadi, A. 2015. Diseminasi masih persoalan di negara berkembang. Artikel dalam dialog:
The role of technology transfer in agriculture for sustainable development outcomes.
CAPSA Bogor. Sinar Tani ed. 25 Feb-3 Mar 2015 no. 3596 tahun XLV
Londra, M. 2015. Evaluasi PSDSK di Provinsi Bali tahun 2014. Makalah pada: Workshop
Pendampingan Kawasan Sapi Potong, BBP2TP Bogor.
Lopez, Y., A. Garcia, K. Karimi, M.J. Tehersade, and C. Martin. 2010. Chemical
characterisation and delute-acid hydrolysis of rice hulls from Artisan Mill.
Bioresources 5(4), 2268-2277. www.ncsu.edu/bioresources-05/
Mahendri, I.G.P.A., B. Haryanto dan A. Priyanti. 2006 Respon jerami padi fermentasi sebagai
pakan pada usaha ternak sapi. Pros. Seminar Nasional Teknolog Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 5-6 Sep 2006. Puslitbangnak , Bogor.
Mathius, I.W. 2009. Produk samping industri kelapa sawit dan teknologi pengayaan sebagai
bahan pakan sapi yang terintegrasi. Dalam: Sistem Integrasi Ternak Tanaman Padi-
Sawit-Kakao. Puslitbangtan. Bogor
Nulik,J. 2015. Kinerja hasil pendampingan PSDSK di NTT tahun 2014. Makalah pada:
Workshop Pendampingan Kawasan Sapi Potong, BBP2TP Bogor.
Paat,P., L. Taulu, L. Hakim, G.H. Joseph, dan B. Kumontoi. 2008. Primatani Berbasis Sawah
Irigasi di Kabupaten Bolmong Sulut. Laporan Hasil Pengkajian, BPTP Sulut.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 185
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Paat, P.C., D. Polakitan, dan Aryanto. 2014. Kajian produktivitas Pennisetum purpureum
Schum cv. Mott di lahan perkebunan kelapa di Sulut. Prosiding Seminar Regional
teknologi Spesifik Lokasi, di Palu Sulteng. BBP2TP Bogor.
Paat,P.C. 2015a. Pendampingan Pengembangan Kawasan Peternakan Sapi di Sulut. Laporan
Hasil Pengkajian dan Diseminasi BPTP Sulut
Paat, P.C. 2015b. Quo Vadis Sapi Potong. Artikel pada Surat Kabar Harian Tribun Manado, 14
Agustus 2015, Manado.
Paat, P.C. 2016. Limbah Pertanian Padi dan Jagung Dalam Pakan dan Nutrisi Sapi Potong.
Penerbit: IAARD Press, Badan Penelitin dan Pengembangan Pertanian.
Priyanto, H. 1983. Pemberian makanan penguat pada sapi potong dengan jerami padi
sebagai makanan pokok. Prosiding Seminar pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah
Pertanian untuk Makanan Ternak. LKN-LIPI, Bandung.
Puslitbangnak, 2012. Petunjuk Pelaksanaan Laboratorium Lapang dan Sekolah Lapang dalam
Pembibitan dan Penggemukan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
Rachman, R. 2013. Laporan Perkembangan Pendampingan PSDSK di Sulsel tahun 2013.
Makalah pada: Rakor Pendampingan PSDSK Sulut 2013. Rakor PSDSK di Jambi,
Puslitbangnak Bogor.
Sing, K. and J.B. Schiere. 1993. Feeding of ruminant in fibrous crop residue introductory
comments. In K. Sing and I.B. Schiere Eds.) Feeding of ruminant on Fibrous Crop
residues. ICAR, New Delhi. Pp.2-4
Sitorus, S.S., J.E. Teleni, van Eys., P. Pongsapan, and B. Tangendjaja. 1986. Urea, soysauce
waste and cassava leaf as supplement for cattle given rice straw. Proceedings of the
Fifth Annual Workshop of AAFAR Network, 13-17 April, Baltnak Ciawi Bogor.
Soedomo, R. 1984. Bahan Makanan Ternak Limbah Pertanian dan Industri. Cetakan I. BPFE,
Yogyakarta.
Soejono,M. 1998. Teknologi Pakan untuk Ternak Ruminansia. Buku Orasi Guru Besar pada
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 13 Juni 1998.
Subiharta. 2015. Kinerja hasil pendampingan PSDSK Jateng tahun 2014. Makalah pada:
Workshop Pendampingan Kawasan Sapi Potong, BBP2TP Bogor.
Sudana, I.B. dan R.A.with lucer Leng. 1985. Supplementation of urea-treated rice straw with
hay, fishmeal or fish meal plus Lucerne hay.
Proceedings of the Fifth Annual Workshop of AAFAR Network, 13-17 April, Baltnak Ciawi
Bogor.
Suriyajatantrong, W. Dan B. Wilaipon. 1985. Supplementing rice straw with Verano stilo
(Stylosantes bamata cv Verano) for native cattle. P.T. Doyle (ed)). The utilization of

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


186 | Teknologi Pertanian
fibrous Agricultural Program of Australia Universities and Colleges, Canberra, pp:49-
153.
Suswono. 2013. Blue print swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) 2014. Edisi revisi.
Jakarta (Indonesia) Kementerian Pertanian.
Theander, O. and P. Aman. 1984. Anatomical and chemical characteristic . In: F. Sundstol and
E. Owen (Eds.), Straw and other fibrous by-products as feed. Developments in Anim.
And vet. Sciences. Elsevier, Amsterdam. pp. 45-78
Utomo, R. 2012. Bahan Pakan Berserat Untuk Sapi. PT Citra Aji Pratama, Yogyakarta.
Wanapad, M., S. Duangchan, S. Pongpairote, T. Anakewit, and P. Tongpanung. 1986. Effects
of various level of concentrate feed with urea treated rice straw for purebreed
American Brahman yearling cattle. Proceedings of the Fifth Annual Workshop of
AAFAR Network, 13-17 April, Baltnak Ciawi Bogor.
Winugroho, M. 1991. Pedoman Cara Pemanfaatan Jerami Padi pada Pakan Ruminansia. Balai
Peneitian Ternak, Bogor.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 187
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
LIMBAH JAGUNG UNTUK PAKAN DAN NUTRISI TERNAK SAPI

Paulus C. Paat

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara


Jl. Kampus Pertanian Kalasey, Kotak Pos 1345 Manado 95013
e-mail: paul.bptpsulut@gmail.com

ABSTRAK
Pakan ternak sapi di masa datang akan sangat tergantung dari limbah pertanian termasuk
limbah jagung. Walaupun kualitas limbah utama jagung tergolong rendah, namun jika
memanfaatkan suplemen konsentrat sebagai pakan tambahan maka dapat dimanfaatkan
sampai lebih besar dari 60% dalam formula pakan sapi. Dari berbagai penelitian dan pengkajian
yang dilakukan di berbagai daerah menunjukkan bahwa ternak sapi potong di Indonesia
memberikan respon yang baik terhadap pakan dari limbah pertanian jagung. Hasil-hasil kajian
melaporkan bahwa 1 ha lahan untuk sekali panen dapat menghasilkan bahan kering jerami
jagung yang cukup untuk kebutuhan pakan 3 ekor sapi dewasa atau untuk kebutuhan 6 ekor
bagi sawah dengan indeks pertanaman (IP) 200. Tantangan pemanfaatan limbah jagung dalam
nutrisi sapi yang perlu dipertimbangkan adalah tanaman jagung merupakan tanaman semusim
yang umumnya melakukan panen serentak sehingga limbah pertanian cenderung tersedia
dalam jumlah yang serentak pula dan sangat banyak serta mudah rusak. Dapat disimpulkan
bahwa pemanfaatan bahan pakan suplemen merupakan kebutuhan mutlak untuk sapi yang
mendapatkan pakan basal jerami jagung, baik dari bahan pakan sumber energi maupun sumber
protein terutama untuk pemanfaatan jerami yang tidak mendapatkan perlakuan sebelumnya.
Perlakuan pendahuluan limbah jagung baik secara kimia atau biologi dapat meningkatkan
jumlah pemanfaatannya dalam formula lengkap pakan sapi.
Kata kunci: Limbah pertanian jagung, pakan dan nutrisi sapi

PENDAHULUAN
Masalah utama usahatani ternak sapi di Indonesia adalah ketersediaan pakan yang
tidak memadai (Nulik, 2015; Subiharta, 2015: Rachman 2013; dan Paat, 2014). Kualitas
hijauan di daerah tropis memang secara alami relatif rendah, selain itu bahan-bahan pakan
serealia yang menjadi sumber karbohidrat relatif sangat mahal. Mahalnya biji-bijian lantaran
terjadi persaingan penggunaannya untuk kebutuhan bioindustri pangan, pakan ternak dan
pakan ikan, bahkan belakangan mulai diarahkan ke bioenergi terbarukan.
Sistem peternakan sapi pola ekstensif tradisional dan semi intensif di satu sisi
terbatasi oleh kekurangan pakan hijuan, tetapi di sisi yang lain masih sangat berlimpah
sumberdaya bahan pakan lokal yaitu bermacam varian hasil samping dari usahatani. Potret
lapangan disentra produksi pertanian jagung, jerami jagung banyak dibiarkan begitu saja
bahkan ada yang dibakar agar mempermudah pengolahan lahan. Pembakaran jerami bahkan
menjadi salah satu manajemen pengolahan lahan tanaman jagung (Paat dkk, 2008).
Ternak sapi secara fermentative mampu mengkonsumsi bahan-bahan pakan berserat,
baik dalam bentuk hijau segar maupun limbah pertanian kering dalam bentuk hay.
Kemampuan ternak ruminansia tersebut disebabkan oleh adanya populasi mikrobia
(terutama bakteri dan protozoa) penghasil enzim-enzim spesifik di dalam rumen. Secara

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


188 | Teknologi Pertanian
fermentative mikrobia yang dimaksud mampu mencerna zat-zat makanan (protein,
karbohidrat, lemak, dan lainnya) dalam pakan menjadi protein mikrobial dan asam lemak
terbang (volatile fatty acid, VFA). Asam lemak VFA kemudian menjadi sumber asam amino
dan energi yang dibutuhkan untuk hidup pokok dan produksi ternak yang mengkonsumsinya
(Soejono, 1998).
Kekurangan informasi potensi sumberdaya limbah pertanian yang dapat diakses bagi
pelaku usaha sapi potong dan para pengambil kebijakan, sangat mungkin berkontribusi
terhadap masih kurangnya pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan termasuk limbah
jagung. Saat ini masih banyak peternak sapi yang belum tahu bahwa ternyata jerami adalah
pakan sapi yang potensil (Paat dkk, 2015b). Hendriadi (2015) mengemukakan bahwa transfer
teknologi dan inovasi ke pelaku usaha agribisnis ternyata masih menjadi persoalan negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Padahal di sisi lain persoalan pangan di dunia
semakin krusial dengan terus bertambahnya penduduk. Bahasan pada makalah ini bertujuan
memaparkan perkembangan produksi sumberdaya pakan limbah pertanian jagung,
sumbserdaya ternak sapi potong dan dinamika pertumbuhannya, gambaran cadangan nutrisi
ternak yang terkandung dalam limbah jagung, serta informasi hasil penelitian pemanfaatan
limbah jagung sebagai pakan dan nutrisi pada produksi sapi potong, baik untuk pola usaha
pembibitan maupun penggemukan.

PRODUKSI LIMBAH JAGUNG DI INDONESIA


Besaran produksi hasil samping (waste product) suatu usahatani selalu berbanding
lurus dengan jumlah produksi hasil utama usahataninya. Semakin tinggi produksi hasil
pertanian maka semakin besar pula suplai limbah yang dipasok. Indonesia termasuk negara-
negara di dunia yang masih terus meningkatkan hasil pertaniannya, tentu saja akan
berdampak langsung pada terus meningkatnya pasokan limbah usahatani. Hasil-hasil
penelitian baik dari dalam maupun luar negeri umumnya melaporkan bahwa potensi limbah
pertanian cukup fantastis seiring dengan meningkatnya produksi usahatani.
Data pada Tabel 1 menyajikan sebaran luas panen jagung di Indonesia sesuai Angka
Ramalan Tetap (ATAP) tahun 2013 yang diterbitkan BPS (BPS, 2014). Luas areal panen jagung
pada tahun 2013 adalah 3,7 ha (Tabel 1), tersebar luas secara tidak merata diseluruh 33
provinsi di Indonesia (BPS, 2014). Yang menarik bahwa sekitar 50-51% lahan jagung di
Indonesia terpusat di pulau Jawa dengan luas panen sekitar 1,9 juta ha (Tabel 1), walaupun
sumberdaya lahannya jauh lebih kecil. Pulau Sumatera berada di urutan ke dua dengan luas
panen sekitar 750 ribu ha. Pulau Sulawesi berada di urutan ke tiga seluas 690 ribu ha dan
hanya kurang dari 100 ribu ha untuk Kalimantan di urutan ke empat. Data menunjukkan
bahwa ketersediaan hasil samping jerami jagung sebagai bahan baku pakan tersebar
mengikuti pola sebaran jagung di Indonesia.
Menurut Soedomo (1984) bahwa jumlah bahan kering (BK) jerami padi yang
dihasilkan per ha sawah adalah setara dua kali lebih besar dibandingkan dengan jumlah hasil
jagung pipilan kering. Sebagai gambaran di Indonesia (BPS, 2014) bahwa rata-rata nasional
produktivitas jagung adalah 4,8 ton per ha. Dengan luas panen skala nasional 3,7 juta ha per

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 189
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
tahun maka produksi jagung adalah 17,76 juta ton. Ini berarti bahwa potensi produksi jerami
jagung pada skala nasional adalah sekitar 35,52 juta ton BK (Tabel 1).

Tabel 1. Sebaran luas panen jagung, produktivitas dan produksi jagung dan jerami per
provinsi Seluruh Indonesia sesuai ATAP tahun 2013
Luas panen Produksi jerami jagung
Provinsi Produktivitas (kw /ha) Produksi jagung (ton)
(ha) (ton BK)
Aceh 44.099 40,83 177.842 355.684
Sumut 211.750 55,87 1.183.011 2.366.022
Sumbar 81.655 67,03 547.417 1.094.834
Riau 11.748 23,88 28.052 56.104
Jambi 6.504 39,5 25.690 51.380
Sumsel 32.558 800.036 167.457 334.914
Bengkulu 18.257 51,48 93.988 187.976
Lampung 346.315 50,83 1.760.278 3.520.556
Babel 234 33,46 783 1.566
Riau Kepulauan 399 23,3 790 1.580
DKI 0 0 0 0
Jawa Barat 152.923 72,06 1.101.998 2.203.996
Jawa Tengah 532.061 55,09 2.930.911 5.561.822
Yogyakarta 70.772 40,92 289580 579.160
Jatim 1.119.554 48,03 5.760.959 11.521.910
Banten 3.583 33,6 12.038 24.076
Bali 18.223 31,59 18.223 36.446
NTB 110.237 57,47 633,773 1.267.450
NTT 270.394 26,17 729.666 1.459.332
Kalimantan Barat 42.621 37,53 159.973 319.946
Kalimantan Tengah 2.042 30,15 6.217 12.434
Kalimantan Selatan 20.629 51,89 107.403 214.806
Kalimantan Timur/Utara 2.303 26,35 5.837 11.674
Sulawesi Utara 122.237 36,65 448.002 896.004
Sulawesi Tengah 34.174 40,75 139.226 278.452
Sulawesi Selatan 274.046 45,62 1.250.202 2.500.404
Sulawesi Tenggara 27.133 24,91 67.578 135.156
Gorontalo 140.423 47,66 669.094 1.338.188
Sulawesi Barat 26.781 47,92 37,28 74.560
Maluku 3.203 41,74 101.835 203.670
Maluku Utara 10.395 28,3 29.421 58.842
Papua Barat 1.250 17,1 2.137 4.274
Papua 3.005 23,41 7.034 14.068
Total 3.741.448 18.511.853 37.023.706
Sumber: Diolah dari BPS (2014).
ATAP = angka ramalan tetap. BK = Bahan Kering

Mengacu pada rata-rata produktivitas jerami jagung sebesar 4,8 ton BK per ha maka
jika Indeks Pertanaman (IP) adalah 200% sebagaimana yang sering dilaporkan, maka akan
memperoleh 9,6 ton BK jerami. Sebagai gambaran pembanding bahwa total produksi limbah
padi sawah dari beberapa varian limbah adalah sekitar 10,6 ton BK per ha per tahun (Paat,
2016) dan kelapa sawit 13,6 ton BK per ha per tahun (Mathius, 2009). Hal ini berarti bahwa
usahatani jagung menempati urutan ke tiga dari besarnya kontrobusi limbah pertanian di
Indonesia setelah perkebunan kelapa sawit dan usahatani padi.
Limbah pertanian usahatani jagung memiliki sejumlah varian yakni; jerami atau
brangkasan, kelobot atau kulit tongkol jagung, janggel yang merupakan bahan sisa setelah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


190 | Teknologi Pertanian
butir jagung dikeluarkan dari tongkol. Pada prosesing butir jagung menjadi tepung jagung
terdapat hasil sisa berupa dedak atau debu yang dinamakan tumpi.

PRODUKSI SAPI POTONG DI INDONESIA


Jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2013 adalah 12.329.477 ekor,
tersebar luas diseluruh 33 provinsi di Indonesia (BPS, 2014). Jika dibandingkan dengan tahun
2011 dengan jumlah populasi sapi 14.805.800 maka selang 2 tahun terjadi penurunan
sebesar 2.476.323 atau 16,72%. Menarik untuk dilihat bahwa sekitar 50% sapi potong hanya
terpusat di pulau Jawa dan Bali (Suswono, 2013), padahal tekanan jumlah penduduk pada
daerah-daerah tersebut tergolong terpadat di Indonesia. Jawa Timur dan Jawa Tengah
memiliki sapi potong tertinggi di Indonesia berturut-turut 3,5 dan 1,5 juta ekor.
Sementara itu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua Barat, dan Papua
kenyataannya kepadatan sapinya masih kurang, kendati sumberdaya lahannya jauh lebih
luas. Sekalipun demikian data menunjukkan bahwa ternak sapi potong ternyata tersebar di
seluruh propinsi di Indonesia, tidak ada yang terkecuali. Hal yang berbeda berlaku pada
kerbau dan sapi perah yang belum tersebar di seluruh propinsi di Indonesia.
Jumlah rumah tangga peternak sapi di Indonesia berdasarkan Sensus Pertanian tahun
2013 adalah 5.078.979 rumah tangga (BPS, 2014). Dapat diterangkan bahwa usaha ternak
sapi di Indonesia berbasis rumah tangga tani dengan rata-rata skala pemilikan antara 1
sampai 3 ekor. Dengan demikian semakin banyak jumlah rumah tangga tani maka semakin
banyak jumlah populasi sapi. Grafik 3 menggambarkan sebaran populasi sapi potong di
Indonesia tahun 2013 yang diolah dari data BPS tahun 2014.

Sumber: Paat (2016)


Grafik 1. Sebaran Populasi Sapi Potong di Indonesia

Tabel 2 menunjukkan sebaran populasi berdasarkan umur sapi potong di Indonesia


pada 2011. Dapat dimaknai bahwa pola pemeliharaan sapi potong di Indonesia didominasi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 191
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pola usaha pembibitan atau pembiakan. Setiap 1 ekor sapi dewasa setara 1 satuan ternak
(ST), 2 ekor sapi muda adalah 1 ST dan 3 ekor sapi anak adalah 1 ST.

Tabel 2. Sebaran populasi berdasarkan umur sapi potong di Indonesia 2012


Jenis Umur Jumlah (ekor) Persen (%)
Jantan Anak 1.446.923 9,77
Muda 1.816.179 12,27
Dewasa 1.452.635 9,81
Betina Anak 1.414.808 9,56
Muda 2.007.267 13,56
Dewasa 2-4 tahun 2.687.705 18,15
Dewasa 5-6 tahun 2.773.985 18,73
Dewasa >6 tahun 1.206.298 8,15
Total 14.805.800 100
Sumber: Suswono (2013).

Dari hasil perhitungan tersebut di atas didapatkan bahwa total populasi sapi potong
pada tahun 2012 adalah sekitar 9,58 juta ST. Jika kebutuhan konsumsi per ST sapi adalah 10
kg BK/ekor/hari (NRC, 1981 dilaporkan Paat, 2016), maka total kebutuhan pakan dari 9,58
juta ST sapi di Indonesia adalah sekitar 90,58 juta kg.

NILAI NUTRISI LIMBAH JAGUNG


Tabel 3 menyajikan analisis proksimat dan Van Soest hasil samping jagung yaitu
meliputi jerami, kelobot, janggel dan tumpi yang dikumpulkan dari beberapa sumber
informasi dan hasil penelitian.

Tabel 3. Komposisi kimia limbah jagung


Komposisi kimia Jerami Kelobot Janggel Tumpi
Bahan Kering,% 1) 38,9 90 90 90
Ekstrak ether,% 2) 1,8 1,7 0,5 0,5
Protein kasar,% 2) 6,6 5,1 1,6 9
BETN,% 2) 49,6 48,6 48,6 71,8
TDN,%2) 29 52 76 67
2)
Serat kasar,% 29,2 48,6 21,3 36
Fraksi serat, %:
ADF 68,8 39
Cellulosa 45 88
Lignin 15
Silica 5,1
Abu,% 2) 12,9 8,8 8,8 2
Ca*) 0,28 0,6 0,05 00.12
P*) 0,28 0,1 0,06 0,04
Keterangan
1) 2)
: = Dari bahan basah; = Dari bahan kering (BK)
BETN= Bahan ekstrak tiada Nitrogen; ADF= Acid Ditergent Fibre
TDN= Total digestible nutrients; *) Baneerjee, 1978

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


192 | Teknologi Pertanian
Jerami jagung

Menurut Utomo (2012) bahwa secara sifat fisik jerami jagung tergolong dalam kelas
hijauan pakan sumber serat (roughages) yang berbentuk hay. Secara kimia jerami jagung
masuk kelas sumber karbohidrat dengan kandungan serat kasar >18% dan protein kasar
<20%. Kandungan serat kasar jerami jagung adalah 29,2% dan protein kasar hanya 6,6%
Jerami jagung merupakan hijauan pakan yang dari segi umur sudah melewati fase
generative, bersifat keras dan kaku. Ini disebabkan kandungan serat yang tinggi yang
biasanya diikuti dengan kadar lignin yang tinggi pula (Haryanto, 2009). Selanjutnya
berdasarkan sifat kimia (Utomo, 2012) jerami jagung masuk dalam kelas hijauan pakan
sumber karbohidrat dengan kandungan serat kasar >18% dan protein kasar <20%.
Kandungan serat kasar jerami jagung adalah 21,9% dan protein kasar hanya 6,6% tetapi lebih
tinggi sekitar dua kali dari pada jerami padi.
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa kadar lignin jerami jagung adalah 15,0%, sebagai
pembanding bahwa jerami padi hanya 12,8%. Lignin yang terbentuk melalui proses lignifikasi
alami bagi tanaman yang sudah tua berkembang melindungi selulosa dan hemiselulosa pada
dinding sel. Sekitar 70% dari dinding sel adalah serat detergen netral atau dinamakan
Neutral Detergent Fiber (NDF).
Sekalipun nilai nutrisi secara eksisting (alami) dari jerami jagung kenyataannya
memang rendah baik dari aspek fisik maupun kimia, namun potensi ketersediaan di
Indonesia luar biasa besar. Untuk itu maka dipandang penting untuk mendapatkan perhatian
lebih sebagai pakan sapi potong. Dengan luas panen jagung sekitar 3,7 juta ha maka
komoditas jagung tergolong usaha pertanian yang menghasilkan limbah jerami yang potensil
sebagai cadangan bahan baku pakan sapi potong di Indonesia.

Tumpi Jagung

Tumpi jagung adalah salah satu varian dari hasil samping pengolahan biji jagung
menjadi beras. Menurut Soedomo (1984) bahwa kandungan tumpi adalah sebesar 27,5%
dari berat biji jagung.
Berdasarkan sifat fisik yang berbentuk serbuk atau kadang-kadang butiran yang kadar
airnya rendah maka tumpi jagung termasuk pakan kering. Dari sifat kimianya ternyata
kandungan serat kasar cukup tinggi yaitu 36% atau melebihi kadar serat kasar jerami jagung
sebesar 29% dan janggel jagung sebesar 21,3%. Kandungan TDN cukup tinggi yaitu 67% dan
karbohidrat 71,8%. Dengan demikian secara kimia bahan pakan ini tergolong dalam pakan
sumber karbohidrat dan secara fisik tergolong pakan berserat.

Janggel Jagung

Berdasarkan sifat fisik janggel jagung termasuk pakan kering dengan kadar air kurang
dari 12%. Dari sifat kimianya ternyata kandungan serat kasar cukup tinggi yaitu 21% atau
lebih rendah dari serat kasar jerami jagung sebesar 29% tetapi TDN cukup tinggi yaitu 76%
dan karbohidrat 48,0%. Dengan demikian secara kimia bahan pakan jangel jagung ini
tergolong dalam pakan sumber karbohidrat dan secara fisik tergolong pakan berserat.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 193
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Janggel jagung adalah salah satu varian dari hasil samping tanaman jagung yaitu hasil
samping dari pemisahan biji jaging dari tongkol jagung. Terkadang tongkol jagung disebut
janggel jagung, tetapi arti lain tongkol jagung meliputi buah jagung keseluruhan meliputi
kelobot, biji dan janggelnya.
Berdasarkan sifat fisik yang berbentuk serbuk atau kadang-kadang butiran yang kadar
airnya sedikit maka janggel jagung termasuk pakan kering. Dari sifat kimianya ternyata
kandungan serat kasar cukup tinggi yaitu 36% atau melebihi kadar serat kasar jerami jagung
sebesar 29% tetapi TDN cukup tinggi yaitu 67% dan karbohidrat 71,8%. Dengan demikian
secara kimia bahan pakan ini tergolong dalam pakan sumber karbohidrat dan secara fisik
tergolong pakan berserat (Utomo, 2012). Daya cerna invitro janggel jagung cukup baik yaitu
60%.

Kelobot Jagung

Kelobot jagung dari sifat fisiknya tergolong pakan berserat yang berbentuk kering
seperti hay. Menurut Subandi dkk (2004) bahwa dari 5,9 ton per ha produksi biomasa jagung
maka bobot kelobot jagung adalah 1,5 ton atau sekitar 25%. Pada banyak kasus di lapangan
kelobot kebanyakan menyatu bersama jerami jagung karena karena panen buah tanpa kulit
biasa dilakukan setelah jagung melewati matang fisiologis mulai umur 95 hari setelah tanam
atau lebih tua tergantung varietasnya.
Secara kimiawi kandungan serat kasar nampak tertinggi dari semua varian hasil
samping jagung yaitu 48,6% (Tabel 7). Tetapi yang menarik dilihat adalah kandungan TDN
yang malah lebih tinggi dari pada jerami jagung yaitu 52% padahal jerami jagung serat
kasarnya hanya 29,0%. Daya cerna invitro kelobot jagung cukup baik yaitu 60%.
Kelobot ternyata kaya akan kandungan mineral kalsium (Ca) yaitu 0,6%. Dibandingkan
dengan Ca jerami jagung hanya 0,28%, bahkan janggel hanya 0,05 % dan tumpi hanya 0,12%.
Kalsium merupakan salah satu mineral makro untuk kebutuhan fisiologis ternak ruminansia
selain fosfor, magnesium dan natrium (Banergee, 1978). Rekomendasi kebutuhan mineral Ca
untuk sapi adalah sekitar 4,3 g per kg bahan kering pakan (Little, 1985).

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH JAGUNG

Pembuatan Hay

Hay merupakan hijauan pakan kering yang mudah dibuat dengan membiarkan sisa
panen jagung di bawah terik matahari sehingga diperoleh jerami jagung yang kering dan
tetap berdiri di lahan (standing hay). Di negara-negara produsen jagung skala besar jumlah
limbahnya setelah panen sangat melimpah. Jika waktu panen sudah mendekati musim
dingin, maka pembuatan hay harus menggunakan mesin pengering. Setelah kering, hay
dikumpulkan dan dipadatkan menyerupai gelondongan kemudian ditutup dengan plastik
agar tidak kehujanan untuk digunakan sebagai persediaan pakan ternak selama musim
dingin. Penyimpanan hay di tempat kering merupakan hal yang harus dipraktekkan. Di
wilayah tropis kondisi yang panas dan lembab sangat memudahkan tumbuhnya jamur pada
hay sehingga penyimpanannya harus baik, tidak basah dan tidak lembab.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


194 | Teknologi Pertanian
Pembuatan silase

Van Soest (1994) mengemukakan bahwa proses silase adalah pengomposan hijauan
pakan segar dalam kondisi atau sistem anaerobic, dimana pengawetannya menggunakan
asam dari gula-gula yang dikandungnya. Hal yang terpenting dalam proses biofermentasi
silase adalah bagaimana secepatnya mencapai derajat keasaman pH 4 agar mendapatkan
produk silase yang baik.
Seluruh bagian tanaman jagung, termasuk buah mudanya atau buah yang hampir
matang atau limbah yang berupa tanaman jagung setelah buah dipanen dan kulit jagung
dapat diproses menjadi silase. Bagian tanaman jagung yang tersisa dari panen jagung
umumnya masih berkadar air tinggi. Syarat untuk pembuatan silase adalah berkadar air
sekitar 60%. Untuk itu tanaman jagung yang segar harus dikeringkan sekitar 2-3 hari. Limbah
dipotong menjadi potongan-potongan dengan ukuran partikel kecil (3-5 cm) lalu dimasukkan
sambil dipadatkan sepadat mungkin ke dalam kantong-kantong plastik kedap udara atau
dalam silo-silo yang berbentuk bunker (NUSIO, 2005).
Bila dalam proses pembuatan silase kondisi kedap udara tidak 100% tercapai maka
bagian permukaan silase sering terkontaminasi dan ditumbuhi oleh bakteri lain yang
merugikan seperti bakteri Clostridium tyrobutyricum yang mampu mengubah asam laktat
menjadi asam butirat (Driehuis dan Giffel, 2005). Dalam kondisi seluruh tanaman jagung
termasuk buahnya dibuat menjadi silase maka karbohidrat terlarut yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan bakteri sudah mencukupi.
Jika bahan silase tidak ada buahnya maka biasanya menambahkan sumber
karbohidrat lain seperti dedak padi. Atau, jika bahan yang dibuat silase hanya jerami jagung
atau kulit jagung, maka dapat ditambahkan molases sebagai sumber karbohidrat terlarut
atau dapat pula ditambahkan starter (bakteri atau campurannya) untuk mempercepat
terjadinya silase. Mikroba yang ditambahkan biasanya bakteri penghasil asam laktat seperti
Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus lactis, Lactobacillus bucheneri,
Pediocococcus acidilactici, Enterococcus faecium, yang menyebabkan pH silase cepat turun
(NUSIO, 2005).
Umumnya proses pembuatan silase akan memakan waktu kurang lebih 3 minggu bila
tidak ditambah starter. Produk silase jagung yang baik atau sudah jadi ditandai dengan bau
yang agak asam karena pH silase biasanya rendah (sekitar 4) dan berwarna coklat muda
karena warna hijau daun dari khlorofil akan hancur sehingga limbah menjadi kecoklatan. Bila
ditambah molases, silase yang dihasilkan agak berbau sedikit harum, baunya agak asam,
akan tetapi cukup palatabel bagi ternak.
Silase merupakan proses yang sangat umum dilakukan di negara-negara yang
mempunyai 4 musim karena pada musim dingin, tidak tersedia stok rumput segar untuk
diberikan ternak. Banyak sekali penelitian yang telah dilaporkan untuk melihat pengaruh
jenis tanaman jagung, ukuran cacahan, umur panen, dan sebagainya, terhadap kualitas silase
maupun performans ternak, namun sampai saat ini proses adopsi teknologi ini tetap saja
rendah di tingkat peternak padahal di Indonesia terutama di daerah Indonesia bagian Timur
sering terjadi kemarau panjang yang mengakibatkan kekurangan pakan berkualitas.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 195
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Fermentasi

Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah tanaman jagung. Pamungkas
et al. (2006) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur
Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi). Jamur ini dapat
mengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering
jerami jagung akan meningkat. Sedangkan Rohaeni et al. (2006) menggunakan Trichoderma
virideae untuk memfermentasi janggel jagung.
Sebelum proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/penggiling
janggel jagung sehingga diperoleh ukuran partikel janggel jagung sebesar butiran biji jagung.
Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase sehingga banyak digunakan untuk
memfermentasi limbah-limbah pertanian. Janggel dicampur dengan jamur Trichoderma dan
dibiarkan selama 4-7 hari dalam tempat tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan
nilai nutrisi atau nilai kecernaan bahan kering suatu bahan serta dapat pula menyebabkan
bahan menjadi lebih palatabel bagi ternak (Pamungkas et al. 2006)
Pemanfaatan janggel jagung sebagai komponen ransum domba belum banyak
dilakukan karena sifat fisik yang keras ditambah dengan nilai nutrisinya yang rendah,
sehingga diperlukan upaya pengolahan lebih lanjut untuk memperbaiki nilai nutrisinya.
Perkembangan teknologi pascapanen jagung dalam menghasilkan jagung pipilan kering telah
mampu menghasilkan limbah berupa janggel jagung dengan ukuran partikel yang lebih kecil
sehingga memungkinkan digunakan sebagai komponen ransum domba.
Namun pada kondisi seperti ini, nilai nutrisi janggel jagung tidak mengalami
perubahan sehingga bentuk pengolahan lain yang dapat meningkatkan nilai nutrisinya masih
perlu dilakukan. Salah satu metode pengolahan yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan
jasa teknologi fermentasi menggunakan kapang Neurospora sitophila.
Fermentasi merupakan proses yang melibatkan aktifitas mikroba untuk memperoleh
energi melalui pemecahan substrat nutrien. Substrat tersebut berguna untuk keperluan
metabolisme dan pertumbuhannya sehingga dapat menyebabkan perubahan sifat bahan
pakan sebagai akibat dari pemecahan kandungan zat makanan dalam bahan pakan tersebut.
Dalam biofermentasi tersebut di atas, mikroba akan menggunakan sejumlah energi
untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya, berasal dari perombakan zat makanan
didalam substrat. Setelah itu terjadilah perubahan kimia didalam substrat diakibatkan oleh
aktifitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut. Perubahan meliputi molekul komplek
seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana dan mudah
dicerna.
Fermentasi yang menggunakan kapang Neurospora sp, menghasilkan perubahan nilai
nutrisi janggel jagung, karena Neurospora sp mengandung sejumlah spora yang mampu
menghasilkan enzim proteolitik, lipolitik, amilolitik, serta dapat menyesuaikan diri terhadap
kondisi aerobic. Proses ini dapat menguraikan zat makanan didalam substrat menjadi
komponen yang lebih kecil, lebih mudah larut dan dapat menghasilkan aroma yang khas
(Soeharsono, 2010).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


196 | Teknologi Pertanian
Neurospora sitophila sebagai kapang kelas Ascomycetes, merupakan soft rot fungi
yang dapat mendegradasi lignin dan bahan lignoselulolitik. Neurospora sitophila mudah
tumbuh dan cepat menghasilkan keturunan, kapang ini dapat tumbuh baik pada kelembaban
yang tinggi dan mempunyai suhu pertumbuhan antara 200C sampai 300C pada kondisi
aerobic. Neurospora sitophila termasuk kapang mesophilik yang memiliki suhu optimum
pertumbuhan sekitar 300 dengan angka kelembaban sekitar 70 % sampai 90%, sedangkan
pH lingkungan yang dibutuhkannya berkisar antara 4,5-6,5 (Rohaeni et al. 2006).

PEMANFAATAN LIMBAH JAGUNG UNTUK PAKAN SAPI POTONG


Tabel 4 berikut ini menyajikan secara ringkas beberapa hasil penelitian dan
pengamatan pengaruh pemanfaatan limbah jagung terhadap pertambahan bobot badan
sapi potong baik dari sumber referensi di Indonesia maupun dari luar negeri. Walaupun
limbah utama padi berkualitas rendah, namun jika dikombinasikan dengan pakan tambahan
atau suplemen maka dapat dimanfaatkan sampai 60% dalam pakan. Bila jerami
mendapatkan perlakuan pendahuluan secara kimia atau biofermentasi maka dapat
dimanfaatkan lebih besar dari 60% dalam pakan sapi. Beberapa varian limbah pertanian padi
yaitu dedak padi asli atau murni dapat digunakan menjadi suplemen yang baik bahkan
sampai mendekati 100% jika pakan dasarnya adalah jerami padi.

Tabel 4. Beberapa hasil penelitian dan pengamatan pengaruh pemanfaatan limbah jagung
terhadap pertambahan bobot badan sapi potong
Jenis limbah PBBH
Campuran bahan lain/suplementasi Ternak Pustaka
jagung (g)
Jerami jagung
Dedak jagung ad lib Zeby Malawi 680 Munthali, 2016
ad lib
Jerami jagung Cassava + biji bunga matahari + bungkil biji kapas
Heifer 533 Urio, 2016
+ meat bound meal + garam
Janggel jagung Tetes + biji bunga matahari + bungkil biji kapas +
Heifer 511 Urio, 2016
meat bound meal + garam
Jerami jagung Umiasih et al.
Dedak gamblong, jerami padi, probiotik Sapi PO betina 630
2004
Tumpi jagung Sapi PO dara Mariono et
Konsentrat, rumput gajah, jerami padi 630
bunting al.2005
Jerami jagung Anggreani et al.
Probiotik Sapi Bali jantan 480
2006
Tumpi jagung Sapi PO Mariyono et al.
Konsentrat, rumput gajah, jerami padi 700
penggembalaan 2005
Jerami jagung Anggreani et al.
Multi nutrient Sapi PO jantan 530
2006
Janggel jagung Jagung, dedak, bungkil kelapa, ampas kecap, Sapi Bali jantan Rohaini et al.
500
mineral muda 2006
Jerami jagung Umiasih et al.
Tanpa suplemen Sapi PO jantan 406
fermentasi 2006
Janggel jagung Rohaeni dkk,
UMMB Sapi Bali 500
fermentasi 2009
Jerami segar
Dedak:jagung 70:30, mineral komplit 1% BK Sapi PO 760 Paat dkk, 2012
ad libitum
Sumber: Dari berbagai pustaka

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 197
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENUTUP
Ternak sapi potong di Indonesia memberikan respon yang baik terhadap pakan dari
limbah pertanian jagung dengan pertambahan bobot badan harian 480-760 g per ekor untuk
sapi lokal. Tantangan pemanfaatan limbah jagung dalam pakan dan nutrisi sapi potong yang
perlu dipertimbangkan adalah tanaman jagung merupakan tanaman semusim yang
umumnya melakukan panen serentak sehingga limbah pertanian cenderung tersedia dalam
jumlah yang serentak pula dan sangat banyak.
Secara fisik bentuk limbah pertanian adalah menggunakan tempat besar (voluminous
= bulky) sehingga memerlukan ruang penyimpanan yang banyak jika ditempuh langkah
penyimpanan dan pengawetan. Oleh karena itu perlu rekayasa kelembagaan petani untuk
penanganan jerami mulai pengumpulan, teknologi pengolahan, dan penyimpanan agar
sumberdaya limbah jagung dapat dioptimalkan kemanfaatannya untuk sapi potong.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny, Y.N., U. Umiasih, N.H. Krisna, dan L. Affandi. 2006. Strategi pemenuhan gizi
melalui optimalisasi pemanfaatan limbah untuk pembesaran sapi potong calon induk.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006.
Puslitbangnak, Bogor
Anggraeny, Y.N., Mariyono, L. Affandi. 2009. Superovulasi sapi PO dengan exogenous
hormon (Laporan Loka Penelitian Sapi Potong Grati Tahun 2009)
Bannerjee, G.C. 1978. Animal Nutrition. Oxford and IBH Publishing Co. New Dehli.
BPS. 2014. Perbandingan ATAP 2013 terhadap ATAP 2012 dan sasaran 2013 serta
perbandingan ARAM 2014 terhadap ATAP 2013 dan sasaran 2014. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
Hendriadi, A. 2015. Diseminasi masih persoalan di negara berkembang. Artikel dalam dialog:
The role of technology transfer in agriculture for sustainable development outcomes.
CAPSA Bogor. Sinar Tani ed. 25 Feb-3 Mar 2015 no. 3596 tahun XLV
Mariyono, D.B. Wijono, dan Hartati. 2005. Teknologi pakan murah untuk sapi potong:
optimalisasi pemanfaatan tumpi jagung. Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak.
Bogor, 16 September 2005. Puslitbangnak, Bogor
Mathius, I.W. 2009. Produk samping industri kelapa sawit dan teknologi pengayaan sebagai
bahan pakan sapi yang terintegrasi. Dalam Buku: Sistem Integrasi Ternak Tanaman
Padi-Sawit-Kakao. Puslitbangtan. Bogor
Nusio, L.G. 2005. Silage produkction from tropical forages. In: Silage Production and
Utyilization. Park, R.S. and M.D. Stronge (Eds). Wageningen Academic Publ.,The
Netherlands. pp. 97-107.
Nulik,J. 2015. Kinerja hasil pendampingan PSDSK di NTT tahun 2014. Makalah pada:
Workshop Pendampingan Kawasan Sapi Potong, BBP2TP Bogor.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


198 | Teknologi Pertanian
Paat,P., L. Taulu, L. Hakim, G.H. Joseph, dan B. Kumontoi. 2008. Primatani Berbasis Sawah
Irigasi di Kabupaten Bolmong Sulut. Laporan Hasil Pengkajian, BPTP Sulut.
Paat,P.C., J. Wenas, R. Reppi, dan D. Polakitan. 2012. Pendampingan PSDSK di Sulut tahun
2011. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulut.
Paat, P.C. 2016. Limbah Pertanian Padi dan Jagung Dalam Pakan dan Nutrisi Sapi Potong.
Penerbit: IAARD Press, Badan Penelitin dan Pengembangan Pertanian.
Pamungkas, D., E. Romjali, dan Y.N. Anggraeni. 2006. Peningkatan mutu biomas jagung
penyediaan pakan sapi potong sepanjang tahun. Pros. Lokakarya Nasional Integrasi
Sistem Integrasi Jagung-Ternak. Pontianak, 22-24 September 2004.
Rachman, R. 2013. Laporan Perkembangan Pendampingan PSDSK di Sulsel tahun 2013.
Makalah pada: Rakor Pendampingan PSDSK Sulut 2013. Rakor PSDSK di Jambi,
Puslitbangnak Bogor.
Rohaeni, E.S., A. Suhban, dan A. Darmawan. 2006. Kajian penggunaan pakan lengkap dengan
memanfaatkan janggel jagung terhadap pertumbuhan sapi. Prosiding Lokakarya
Nasional Jejaring Pengembangan Jagung dan Sapi, Pontianak 4-5 Agustus.
Puslitbangnak, Bogor.
Rohaini, E.S.. A. Suhban, dan E. Handiwiraran. 2009. Hasiln dan prospek penerapan sistem
integrasi tanaman dan ternak di Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Nasional
Integrasi Sistem Integrasi Jagung-Ternak. Puslitbangnak, Bogor.
Soedomo, R. 1984. Bahan Makanan Ternak Limbah Pertanian dan Industri. Cetakan I. BPFE,
Yogyakarta.
Soejono,M. 1998. Teknologi Pakan untuk Ternak Ruminansia. Buku Orasi Guru Besar pada
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 13 Juni 1998.
Soeharsono. 2010. Probiotik Basis Ilmiah, Apkikasi, dan Aspek Praktis. Soeharsono (Eds.).
Penerbit Widya Pajajaran, Bandung.
Subandi, S. Saenong, Bahtiar, I.U. Firmansyah, dan Zubachtirodin. 2004. Peranan Penelitian
Jagung dalam Upaya Mencapai Swasembada Jagung Nasional. Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Peranan Agro Inovasi Mendukung Ketahanan Pangan dan
Agribisnis. Sumatera Barat. 10 Agustus 2004.
Suswono. 2013. Blue print swasembada daging sapi dan kerbau (PSDSK) 2014. Edisi revisi.
Jakarta (Indonesia) Kementerian Pertanian.
Umiasih, U.,D.E. Wahyono, D. Pamungkas, Y.N. Anggreini, N.H. Krisna, dan I.W. Mathius.
2004. Penggunaan bahan pakan lokal sebagai
upaya efisiensi pada usaha pembibitan sapi potong komersil, studi kasus pada CV. Bukit
Indah Lumajang. Seminar Peternakan dan Veteriner Puslitbang Peternakan 4-5
Agustus., Bogor, hlm 86-90
Urio, N.A. 2016. Maize stover and cobs as a feed resource for ruminants in

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 199
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tanzania. Produce by ILRI. http://www.fao.org/wairdocs/ ilri/x 5494e /x5494e05.htm#c
omposition & nutritive value of maize cobs & stover
Utomo, R. 2012. Bahan Pakan Berserat Untuk Sapi. PT Citra Aji Pratama, Yogyakarta.
Van Soest, P.J. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant, Edisi II. Cornell University Press. Ithaca
and London. P 476.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


200 | Teknologi Pertanian
ANALISIS FINANSIAL DAN PREFERENSI PETANI TERHADAP JAGUNG HIBRIDA
PROLIFIK DI KABUPATEN MINAHASA SELATAN

Joula Sondakh, Janne H.W. Rembang dan Jefny B.M. Rawung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balibangtan Sulut


Jalan Kampus Pertanian Kalasey-Sulawesi Utara
e-mail: joulasondakh@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Minahasa Selatan merupakan salah satu sentra produksi Jagung di Sulawesi Utara
didominasi oleh lahan kering yang luasannya mencapai 70,022 ha, cukup potensial untuk
pengembangan tanaman jagung. Kajian dilakukan pada Januari 2017 pada saat panen
pengembangan jagung hibrida prolifik produktivitas tinggi Balitbangtan. Survey dilakukan
terhadap 25 anggota kelompok tani untuk preferensi melibatkan 30 reseponden yang terdiri
dari PPL dan PBT, ABRI, petani kooperator dan non-kooperator. Analisis data dilakukan analisis
BCR membandingkan varietas prolifik dengan varietas eksisting. Unrtuk tingkat preferensi
dilakukan analisis terhadap tanggapan petani, petugas lapangan, dan pengambil kebijakan yang
menjelaskan tingkat kesukaannya, dilakukan dengan pendekatan Likert. Hasil analisis finansial
menunjukkan perbedaan yang signifikan. B/C, teknologi petani 0,17 sedangkan Teknologi
introduksi 4,59. Untuk tingkat preferensi hasil analisis Likert menunjukkan bahwa pada
pertumbuhan tanaman yaitu bentuk batang lebih baik dari pada bentuk daun; sedangkan pada
produksi (tongkol dan biji) warna biji menempati preferensi tertinggi dibanding kategori lainnya.
Kata kunci: Finansial, preferensi, jagung, prolifik, Minahasa Selatan.

PENDAHULUAN
Permintaan jagung senantiasa meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan
meningkatnya permintaan untuk pangan, pakan, dan industri. Kebutuhan jagung dalam
negeri untuk pakan sudah mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2005 dan diprediksi menjadi 6,6
juta ton pada tahun 2010 (Ditjen Tanaman Pangan, 2006). Peluang ekspor juga semakin
meningkat karena negara penghasil jagung seperti Amerika, Argentina, dan China mulai
membatasi volume ekspornya karena kebutuhan dalam negerinya meningkat (Hadijah,
2009), Swasembada jagung secara berkelanjutan berdampak terhadap penurunan impor,
meningkatkan kemandirian pangan, dan memenuhi kebutuhan jagung dari produksi dalam
negeri (Arsyad M. Biba, 2016).
Dalam upaya pengembangan usahatani, komoditas jagung akan senantiasa masuk
kedalam jejaring kegiatan agribisnis, artinya keberhasilan dalam meningkatkan usahatani
jagung tidak bisa terlepas dari sistem agribisnis komoditas itu sendiri (Winarso B, 2012).
Jagung disamping sebagai bahan baku industri juga sebagai makanan pokok sebagian
masyarakat di Indonesia.
Usahatani jagung di Indonesia berkembang pesat dan mendapat beragam respons
dari petani. Komoditas ini perlu dipacu pengembangannya untuk memenuhi kebutuhan yang
terus meningkat. Pengembangan usahatani jagung perlu digerakkan oleh inovasi teknologi
dan sumber daya manusia (SDM) terampil (Saptana, 2012).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 201
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Salah satu komponen teknologi yang paling menentukan keberhasilan budidaya
jagung adalah benih. Industri benih nasional tanaman pangan sudah berkembang namun
sebagian besar bersifat informal dan benih yang dihasilkan tidak memiliki jaminan mutu atau
sertifikasi benih (Puslitbangtan, 2005).
Dalam pertanian modern, benih berperan sebagai salah satu sarana produksi yang
menentukan keberhasilan budi daya tanaman. Sementara itu, varietas unggul baru (VUB)
merupakan komponen utama teknologi yang berkontribusi dalam peningkatan produktivitas
tanaman.
Zakaria (2011) melaporkan bahwa penyediaan benih bermutu dengan prinsip enam
tepat (waktu, jenis, harga, tempat, mutu, dan jumlah) diperlukan untuk mempercepat upaya
peningkatan produksi jagung nasional. Upaya peningkatan produksi jagung dihadapkan
kepada beberapa kendala lainnya, antara lain tidak stabilnya harga jagung di tingkat petani
dan lemahnya modal untuk pembelian sarana produksi (Moniruzzaman et al, 2009).
Kabupaten Minahasa Selatan memiliki luas lahan 1,591,65 Km2, dengan luas sawah
4.996 ha dan lahan kering 107.239 ha sehingga masih memiliki lahan pertanian yang dapat
dikembangkan sebagai lahan produktif untuk mendukung pembangunan ekonomi
Kabupaten Minahasa Selatan (Dinas Pertanian Minsel, 2015).
Beberapa permasalahan yang dijumpai dalam usahatani jagung di Kabupaten
Minahasa Selatan antaranya adalah produktivitas jagung ditingkat petani rendah yang
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah penggunaan varietas lokal
yang berdaya hasil rendah (Sarasutha, et al, 1998). Salah satu upaya untuk meningkatkan
produktivitas adalah penanaman varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif pada
kondisi lingkungan tertentu.
Balitbangtan telah melakukan penelitian dan menghasilkan varietas unggul jagung
hibrida Prolifik tongkol dua dengan nama varietas NASA (Nakula Sadewa) 29. NASA 29
merupakan pemberian nama dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada acara Hari
Pangan Sedunia (HPS) yang berlangsung 29 Oktober 2016. NASA 29 memiliki umur panen
100 hst dengan warna biji kuning-oranye. Potensi hasil yang tinggi mencapai 13,5 t/ha.
Selain potensi hasil yang tinggi, jagung ini memiliki ketahanan terhadap penyakit bulai, karat,
dan hawar.
Selanjutnya oleh Budianto (1999), dinyatakan bahwa persyaratan yang harus
dipenuhi oleh teknologi pertanian termasuk jagung, untuk dapat diadopsi oleh pengguna
mencakup aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi, lingkungan, agronomi, legal, moral,
keselamatan dan keserasiaannya dengan teknologi asli petani.
Hasil penelitian Kalinda, et al, (2014) menunjukkan faktor yang berpengaruh terhadap
adopsi varietas unggul jagung oleh petani antara lain luas lahan garapan, status sosial, dan
tingkat pendidikan. Lebih lanjut Ebojei, et al, (2012) mengatakan terdapat beberapa variabel
sosial yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi, antara lain usia, status
pendidikan, dan pengalaman dalam berusahatani

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


202 | Teknologi Pertanian
Respons petani terhadap inovasi pertanian, termasuk varietas unggul jagung, perlu
dipelajari untuk mengetahui varietas yang mereka sukai. Hal ini penting artinya dalam
perakitan dan pengembangan varietas unggul jagung untuk mempercepat upaya
peningkatan produksi menuju swasembada dan ketahanan pangan (Suryana, 2014).
Teger, et al, (2009) mengemukakan bahwa analisa kelayakan usaha tani dari varietas
baru diperlukan untuk pengembangan varietas tersebut di daerah pengembangan tertentu.
Informasi tentang keragaan usaha tani varietas baru dan preferensi petani terhadap suatu
varietas sangat berguna untuk penentuan varietas yang akan dikembangkan di daerah
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana kegiatan budidaya jagung
hibrida prolifik memberikan keuntungan dan tingkat preferensi stakeholder terhadap
pertumbuhan dan hasil panennya.

METODOLOGI
Kegiatan pengembangan jagung hibrida prolifik produktivitas tinggi Balitbangtan
dilakukan pada September-Desember 2016 di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Untuk survey analisis usahatani dan preferensi dilakukan saat panen pada Januari 2017.
Survey analisis usahatani dilakukan terhadap 25 anggota kelompok tani peserta kajian dan
untuk preferensi dilakukan terhadap 30 reseponden terutama terhadap petugas lapangan
(PPL dan PBT), ABRI, dan petani cooperator juga petani non-cooperator.
Analisis data dilakukan secara kuantutatif dan kualitatif. Untuk mengetahui
keuntungan dilakukan analisis MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio) membandingkan antara
varietas prolifik dengan varietas yang ditanam petani. Dikatakan layak secara ekonomi jika
nilai MBCR lebih besar dari 1. Untuk mengetahui tingkat preferensi petani dilakukan analisis
terhadap tanggapan petani, petugas lapangan, dan pengambil kebijakan yang menjelaskan
tingkat kesukaannya, dilakukan dengan metode skoring Likert dengan rumus sebagai
berikut:
∑i1-5 ni × bi
Skor=
N
Keterangan:
Skor= 1 sampai 5, semakin besar skornya semakin setuju; ni= Jumlah responden pada i
bi= Bobot penilaian pada I N = Jumlah Responden

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Finansial

Hasil analisis finansial dari usahatani jagung di tingkat petani dan kajian jagung
hibrida prolifik dapat dipelajari pada Tabel 1. Komoditas jagung akan senantiasa masuk
kedalam jejaring kegiatan agribisnis komoditas tersebut, artinya keberhasilan dalam
meningkatkan budidaya usahatani jagung tidak bisa terlepas dari sistem agribisnis
komoditas itu sendiri. Pengembangan komoditas jagung tidak semua petani
mengusahakannya untuk dikonsumsi sendiri, melainkan sebagian besar petani mengarahkan
usaha tersebut untuk memenuhi kebutuhan pasar (Winarso, 2012). Oleh karenanya, untuk
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 203
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
melihat sejauh mana tingkat keberhasilan usahatani, maka perlu dilakukan analisis finansial
agar diketahui keuntungan dan kerugiannya.

Tabel 1. Analisis finansial usahatani jagung per ha teknologi petani ko-operator dan
penangkaran benih jagung hibrida di Minahasa Selatan, 2016.
Analisa Usahatani di Tingkat Petani, Minahasa Selatan Analisa Usahatani Teknologi Penangkaran Benih Jagung
2016. Hibrida Prolifik, Minahasa Selatan 2016.
Jumlah Jumlah
No Uraian Rp/Satuan No Uraian Rp/Satuan
(Rp) (Rp)
I. BIAYA USAHATANI : I. BIAYA USAHATANI:
1. Bahan 1.960.000 1. Bahan 3.976.000
2. Tenaga kerja (HOK) 3.300.000 2. Tenaga kerja (HOK) 9.960.000
3. Bahan Pasca Panen 2.525.000
TOTAL BIAYA (1 + 2) 5.260.000 TOTAL BIAYA (1+2+3) 16.461.000
II. Penerimaan (Rp/ha) 6.160.000 II. Penerimaan (Rp/kg) 92.000.000
III. Keuntungan (Rp): (II-I) 900.000 III. Keuntungan (Rp): (II-I) 75.539.000
IV. ANALISIS USAHATANI IV. ANALISIS USAHATANI
B/C 0,17 B/C 4,59
R/C 1,17 R/C 5,59
Sumber: Data primer diolah, 2016.

Hasil analisis usahatani pada Tabel 1, menunjukkan perbedaan yang signifikan


terhadap hasil yang didapat. Hal ini terlihat nyata pada B/C ratio, dimana petani hanya 0.17
sedangkan bila melakukan penangkaran 4,59. Pada kasus ini ditentukan oleh perolehan
produksi dan nilai jual. Produksi yang diperoleh dengan teknologi petani hanya 2,2 t/ha,
padahal benih Bisi-2 memiliki potensi hasil antara 3-9 t/ha. Terhadap harga jual, penelitian
(Sondakh, dkk, 2016), harga jual pada tingkat petani mencapai Rp 3.500/kg di tahun 2015,
namun akhir 2016 mengalami penurunan antara Rp 2.000-Rp 2.800/kg. Dalam kasus petani
co-operator, benih dan pupuk adalah bantuan namun dalam analisis ini dihitung, kalaupun
tidak dihitung nilai B/C ratio adalah 0,74 artinya masih belum menguntungkan karena
nilainya masih <1.
Potensi melakukan penangkaran terlihat sangat menguntungkan, walaupun
sebenarnya keuntungan yang diraih akan lebih besar jika petani telah melakukan
pengepakan dan pelabelan menjadi produk benih siap jual dengan pendampingan instansi
terkait. Dengan kondisi yang demikian, saat ini petani hanya mampu menjual Rp 23.000/kg
kepada pembeli dari potensi penjualan benih hibrida ke konsumen dengan harga Rp
50.000/kg.

Analisis Preferensi terhadap Penangkaran Benih Jagung Hibrida

Survey untuk preferensi dilakukan terhadap 30 reseponden terutama terhadap


petugas lapangan (PPL dan PBT), ABRI, dan petani cooperator juga petani non-kooperator
yang sering melewati dan melihat terhadap pertumbuhan dan produksi penangkaran benih
tetua yaitu galur G193/Mr14 untuk tetua betina Bima 19 URI dan G180/Mr14 untuk tetua
betina Bima 20 URI serta Nei9008P sebagai tetua pejantannya. Hasil analisis preferensi
adalah sebagai berikut:

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


204 | Teknologi Pertanian
Tabel 2a. Kriteria interpretasi skor analisis Likert terhadap Penangkaran Benih Jagung Hibrida
dengan n=30 di Kabupaten Minahasa Selatan, 2016.
1. Angka 80%-100% Sangat Baik
2. Angka 60%-79,99% Baik
3. Angka 40%-5,99% Cukup Baik
4. Angka 20%-3,99% Kurang Baik
5. Angka 0%-19,99% Buruk

Tabel 2b. Hasil Analisis Skala Likert Preferensi Penangkaran Benih Jagung Hibrida di
Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara, 2016.
Atribut Kategori Nilai (%) Peringkat
PERTUMBUHAN TANAMAN
1. Bentuk Batang Sangat Baik 84,00 I
2. Bentuk Daun Sangat Baik 80,67 II
PRODUKSI (TONGKOL DAN BIJI)
3. Penutupan Klobot Baik 75,33 III
4. Warna Biji Sangat Baik 87,33 I
5. Bentuk Baris Sangat Baik 80,67 II
6. Bentuk Biji Baik 69,33 VI
Sumber: Data primer, diolah, 2016.

Hasil analisis preferensi menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman dari bentuk


batang didapatkan hasil 84,00% (sangat baik). Alasan responden adalah benih Bima 19 URI
dan Bima 20 URI memiliki batang yang besar sehingga kuat dan tahan rebah. Untuk bentuk
daun hasil preferensi adalah 80,67% (sangat baik), dimana responden melihat bahwa daun
berukuran lebar dan berwarna hijau cerah.
Preferensi terhadap produksi (tongkol dan biji), untuk penutupan klobot memberikan
hasil 75,33% (baik) dimana alasan responden adalah klobot tertutup bagus, cocok saat curah
hujan tinggi dan disukai petani. Terhadap warna biji didapatkan hasil 87,33% (sangat baik),
responden memberikan alasan bahwa warnanya dominan kuning dan homogen, kuning
bening. Bentuk baris dengan hasil kategori sangat baik yaitu 80,67%, rata-rata sama banyak
untuk tiap tongkol dimana terdapat 14 baris/tongkol, teratur, dan sejajar. Terakhir untuk
bentuk biji, didapatkan hasil 69,33% atau kategori baik. Alasan responden adalah biji rata-
rata berukuran sama dan didominasi ukuran yang besar, namun ada yang memberikan
alasan cukup dan kurang baik karena dalam satu tongkol masih banyak yang jarang terutama
benih jantan.

KESIMPULAN
Secara finansial terdapat perbedaan yang cukup besar antara keuntungan yang
diperoleh jagung konsumsi dibandingkan dengan teknologi introduksi. Rasio keuntungan
yang diperoleh petani terhadap introduksi mencapai Rp 900.000/ha, berbanding Rp
75.539.000/ha. B/C petani 0,17 sedangkan B/C introduksi 4,59.
Dari analisis preferensi diketahui mayoritas menyatakan baik dan sangat baik. Petani
cooperator dan peneliti/petugas pendamping merasa cukup puas dengan hasil kerja yang
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 205
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dilakukan bersama. Kondisi ini memberikan semangat ternyata mereka bisa melakukan
pengkajian yang baru saat ini dilakukan. Hal ini juga ditambah dengan hasil analisis

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Abdul Wahid Rauf dan Bahtiar dalam
membantu penulisan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad M Biba. 2016. Preferensi Petani terhadap Jagung Hibrida Berdasarkan Karakter
Agronomik, Produktivitas, dan Keuntungan Usahatani Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan vol. 35 no. 1 2016 hal 81-88
Budianto, J. 1999. Akseptabilitas Teknologi Pertanian bagi Konsumen, Dalam Simposium
Penelitian Tanaman IV, Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan,
Bogor 22-24 November 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Dinas Pertanian Minahasa Selatan. 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
2016-2021
Ditjen Tanaman Pangan. 2006. Program Peningkatan Produksi Jagung Nasional, Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional dan Ekspose Inovasi Teknologi, 15-16 September
2006, Makassar-Pangkep.
Ebojei, C.O., Ayinde, T.B., Akogwu, G.O. 2012. Socio-economic factors Influencing the
adoption of hybrid in Giwa Local Government Area of Kaduna State, Negeria. The
Journal of Agricultural Sciences 7(1): 23-32.
Hadijah A.D. 2009. Identifikasi Kinerja Usahatani Dan Pemasaran Jagung Di Nusa Tenggara
Barat Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia
Kalinda, T., G. Tembo, and E. Kuntashula. 2014. Adoption of maize seed varieties in Southern
Zambia. Asian Journal of Agricultural Science 6(1): 33-39.
Moniruzzaman, M., M.S. Rahman., M.K. Karim, and Q.M. Alam. 2009. Agro-economic
analysis of maize production in Bangladesh: a farm level study. Bangladesh J. Agril.
Res.34(1): 15-24.
Saptana. 2012. Konsep efisiensi usahatani pangan dan implikasinya bagi peningkatan
produktivitas. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 30(2): 109-128.
Sarasutha IGP, Zubachtirodin, Margaretha SL., A. Najamuddin, dan Hadijah AD. 1988.
Peluang dan Kendala Pengembangan Jagung di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar
dan Lokakarya Nasional Jagung, Puslitbangtan, Balitjas, Maros.
Sondakh Joula, Abdul Wahid Rauf, Janne H.W. Rembang, Sudarti, 2016. Analisis Produksi
dan Rantai Pemasaran Jagung Di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


206 | Teknologi Pertanian
Utara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 19 Nomor 3,
November 2016. ISSN-1410-959X.
Suryana, A. 2014. Menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2015: Tantangan dan
Pengembangannya. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 32(2): 123-135.
Teger Basuki, Dwi Adi Sunarto, dan Nurindah. 2009. Analisis Kelayakan Usahatani dan
Persepsi Petani terhadap Penggunaan Varietas Unggul Kapas Buletin Tanaman
Tembakau, Serat & Minyak Industri 1(2), Oktober 2009 ISSN: 2085-6717 hal. 82 m-91
Winarso Bambang, 2012. Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis Jagung di Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 103-114. ISSN
1410-5020. Mei 2012.
Zakaria, A.K. 2011. Kebijakan Antisipatif dan Strategi Penggalangan Petani Menuju
Swasembada Jagung Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian 9(3): 261-274

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 207
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PREFERENSI PEDAGANG DAN KONSUMEN TERHADAP BUNGA KRISAN
DI SULAWESI UTARA

Joula Sondakh, Sudarti dan Janne H.W. Rembang

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Sulut


Jalan Kampus Pertanian Kalasey-Sulawesi Utara
e-mail: joulasondakh@gmail.com

ABSTRAK
Kota Tomohon sebagai “Kota Bunga” memiliki kekayaan alam dengan banyaknya jenis bunga
yang berkembang dan dikembangkan yang memiliki potensi. Florikultura yang dikembangkan di
daerah ini memilki jenis yang cukup beragam. Lokasi penelitian pada agroekosistem dataran
tinggi yang merupakan sentra produksi krisan di Kota Tomohon Provinsi Sulawesi Utara.
Penelitian dilakukan September 2014. Survey dilakukan terhadap Pedagang/florist, masing-
masing 20 pengusaha dan 60 konsumen individu dan kelompok seperti usaha hotel dan lainnya.
Preferensi florist dan konsumen digunakan analisis data kuantitatif terhadap atribut-atribut
bunga krisan dengan menggunakan analisis Chi-Square. Hasil analisis Chi-Square pada alfa = 0.05
dan taraf kepercayaan = 95%, menunjukkan bahwa preferensi florist terhadap jenis bunga
berbeda (X2 hit > X2 tab). Hasil peragaan bunga krisan, selera florist dalam membeli bunga dari
petani yaitu jenis standar, berwarna putih, bentuk bunga dekoratif, diameter bunga tipe standar
yang diinginkan > 15 cm, serta ketahanan bunga disukai >5 hari. Sementara, analisis preferensi
tingkat konsumen menunjukkan bahwa preferensi konsumen pada semua variabel di atas
berbeda nyata (significant).
Kata kunci: krisan, preferensi, Kota Tomohon

PENDAHULUAN
Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain seruni atau
bunga emas (Golden Flower) yang berasal dari dataran Cina. Tanaman ini banyak disukai
karena warnanya yang beragam sehingga dapat menghiasi ruangan (Putri, dkk, 2013, Fitria,
dkk, 2014).
Krisan (Chrysanthemum sp.) termasuk sub sektor komoditi hortikultura yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek yang cerah. Selain karena merupakan salah
satu primadona bunga potong, bunga krisan bersifat universal, artinya diminati oleh semua
kalangan. Varietasnya pun beragam, baik dari segi bentuk maupun warna. Selain
pemanfaatannya yang luas, dapat digunakan sebagai bunga utama dalam rangkaian bunga,
kelebihan lainnya adalah daya tahan yang lebih lama.
Oleh karena itu sebagai bunga hias, krisan di Indonesia digunakan sebagai bunga pot
dan bunga potong. Namun potensi bunga krisan potong sangat baik dibanding bunga krisan
pot karena peminat bunga potong lebih besar dari pada bunga krisan pot. Sebagai bunga
potong, krisan bisa digunakan untuk bahan dekorasi ruangan, rangkaian besar maupun
jambangan bunga. Manfaat lain adalah minyak atsiri bunga krisan dapat digunakan sebagai
pengharum, obat tradisional dan penghasil racun serangga.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


208 | Teknologi Pertanian
Menurut Kotler (1997), konsumen dalam memilih suatu produk dipengaruhi oleh 2
(dua) faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi ciri pembeli (unsur
budaya, sosial, pribadi, dan psikologi) dan keputusan pembeli (peran pembeli, tipe pembeli,
dan tahapan keputusan), sedangkan faktor eksternal meliputi rangsangan pemasaran dan
lingkungan. Rangsangan pemasaran meliputi unsur produk, harga, tempat, dan promosi.
Sumarno (2004), mengatakan bahwa industri tanaman hias merupakan usaha fashion
plants, selera konsumen sangat menentukan tipe yang diinginkan pasar. Meulenberg (1996)
dalam Oosten (1998) juga menyatakan bahwa setiap konsumen mencoba memuaskan
kebutuhan dirinya sendiri.
Selera konsumen terhadap bunga sama seperti halnya dengan selera konsumen
terhadap pakaian. Artinya selera konsumen bunga cepat berubah kearah yang lebih baik dan
sempurna yang dilihat dari segi keindahan, warna, ukuran, bentuk bunga, susunan, dan daya
tahan (Nurmalinda et al. 1999). Demikian juga menurut Soekartawi (1994), bahwa selera
konsumen terhadap bunga potong cepat berubah, bersamaan dengan perubahan tingkat
sosial ekonomi konsumen, jumlah persediaan yang ada, harga, dan kualitas. Selera
konsumen masing-masing bunga berbeda, namun demikian pada dasarnya atribut yang
diperhatikan selalu sama.
Hasil penelitian Nurmalinda dan A. Yani (2009), faktor yang mempengaruhi konsumen
dalam melakukan pembelian bunga potong gerbera adalah aspek kualitas, berkaitan dengan
warna bunga, kesegaran bunga, serta ketahanan bunga. Konsumen florist menyukai gerbera
introduksi yang sudah lama dikembangkan di Indonesia atau sering disebut sebagai jenis
lokal, semua warna, ukuran bunga sedang, ketahanan bunga sekitar 5 hari.
Preferensi konsumen merupakan tingkat utilitas atau tingkat kesenangan (kesukaan)
konsumen terhadap sesuatu. Suatu produk akan lebih disukai konsumen jika ia ditempatkan
pada pilihan pertama. Lim et al.(2013), dalam merencanakan sebuah produk harus
berorientasi pada konsumen dan pasar.
Sejalan dengan pertimbangan di atas, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
preferensi pedagang/florist dan konsumen terhadap bunga potong krisan di Sulawesi Utara.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan September 2014. Lokasi penelitian pada agroekosistem dataran
tinggi yang merupakan sentra produksi krisan di Kota Tomohon Provinsi Sulawesi Utara.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan lokasi tersebut
merupakan daerah sentra penanaman krisan di Indonesia dan telah memiliki pasar yang
stabil di dalam negeri. Survey dilakukan terhadap pedagang/florist, masing-masing 20
pengusaha dan 60 konsumen individu dan kelompok seperti usaha hotel dan lainnya.
Untuk melihat tingkat preferensi pasar mencakup florist dan konsumen pengguna
tersebut, maka pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi terhadap varietas
yang disukai dengan menganalisis atribut dari masing-masing varietas tersebut terhadap: (1)
tipe krisan (standar dan spray); (2) warna bunga; (3) Bentuk (singe, double, dekoratif,

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 209
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pimpong); (4) diameter bunga (besar, sedang, kecil); (5) untuk tipe spray jumlah kuntum
bunga/tangkai, jumlah kuntum bunga yang mekar; (6) ketahanan bunga (<7 hari, 7-14 hari,
>14 hari). Sedangkan data sekunder berasal dari laporan dan publikasi di Puslitbang
Hortikultura, Dirjen Tanaman Hortikultura, BPTP, Dinas Teknis, instansi terkait lainnya, hasil-
hasil penelitian, dan lain sebagainya.
Analisis kuantitatif preferensi florist dan konsumen dilakukan dengan menggunakan
analisis Chi-Square (Sudrajat, 1999) dengan formula sebagai berikut:
∑(O-E)2
X2 =
E
dimana: X = Nilai angka yang memberikan keterangan hasil observasi
O = Frekuensi observasi dari setiap atribut
E = Frekuensi observasi yang diharapkan dari setiap atribut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Florikultura

Kota Tomohon sebagai “Kota Bunga” memiliki kekayaan alam dengan banyaknya jenis
bunga yang berkembang dan dikembangkan yang memiliki potensi. Florikultura yang
dikembangkan di daerah ini memilki jenis yang cukup beragam. Hal ini dapat dilihat pada
data Tabel 1.

Tabel 1. Luas Tanaman Dan Produksi Tanaman Hias di Kota Tomohon, Tahun 2014.
No Komoditi Luas Tanam (m²) Luas Panen (m²) Produksi/Tangkai
1. Anggrek 1000 270 3240
2. Anthurium Bunga 58704 57675 848350
3. Anyelir 754 700 14300
4. Gerbera 850 700 20100
5. Gladiol 42700 30300 1382100
6. Heliconia 760 520 17000
7. Krisan 34280 33560 1775000
8. Mawar 6000 4000 5500
9. Aster 15 ha 12.5 450000 pohon
Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan Dan Perikanan Kota Tomohon, 2015.

Produksi bunga dari Tabel di atas dihasilkan dari petani perseorangan yang terlibat
dalam Kelompok tani. Khusus bunga Krisan, dibanding tahun 2014, perkembangan luas
tanam di tahun 2015 mengalami kenaikan cukup baik yaitu 53.786m2 (63.73%) (BPS Kota
Tomohon, 2015).
Kondisi ini memiliki indikasi bahwa minat mengembangkan usahatani cukup tinggi,
karena seperti akan dijelaskan pada bagian berikutnya sesuai hasil survey, budidaya krisan
mampu memberikan pendapatan yang cukup baik per MT. Hal ini juga didorong dengan
tingkat konsumsi bunga dimana di luar turnamen ataupun hari Natal dan Tahun Baru,
sebagai contoh, terdapat petani yang habis terjual 1.000 tangkai/minggu atau Rp.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


210 | Teknologi Pertanian
3.500.000/minggu bruto. Pada hari raya Natal dan Tahun Baru, biasanya produksi bunga
petani habis terjual 10.000-15.000 tangkai/petani atau terjual 1 screenhouse/petani.

Preferensi Florist/Pedagang

Umumnya florist/pedagang bunga di Sulawesi Utara tersebar di Kota Tomohon,


dimana dari total pedagang 10% memiliki kios di pasar tradisional dan 80% memiliki kios
tetap di pinggiran jalan raya Kota Tomohon dan hanya 10% berada di salah satu pasar di
Kota Manado.
Secara singkat karakteristik florist/pedagang dapat dilihat pada Tabel 2. Karakteristik
ini diambil untuk dijadikan data penunjang dalam melihat minat florist dalam
mengembangkan usaha dagang mereka. Hal ini dapat berarti menjadi petunjuk penting bagi
pengambil keputusan dalam menunjang peningkatan usaha mereka baik antara lain dari segi
perbaikan varietas dan modal usaha.

Tabel 2. Karakteristik responden florist/pedagang bunga di Sulawesi Utara, 2014.


No. Uraian Keterangan
1 Umur Rata-rata: 43,5 tahun
2 Pendidikan Tamat SLTA: 85%, > SLTA: 15%
3 Tahun mulai Usaha. Awal tahun mulai berusaha pada 1982 dengan jumlah 1 florist. Pada tahun 2014, telah
mencapai 20 orang yang dapat berarti pertumbuhan selang 32 tahun adalah 0.63
florist/tahun.
4 Status Tempat Usaha Status tempat usaha dari 20 florist yang ada:
Milik : 9 florist (45%)
Sewa : 10 florist (50%)
Pinjam : 1 florist (5%)
5 Asal krisan yang dijual 3 florist (15%): Lahan Sendiri + Petani Lain
13 florist (65%): Petani Lain
4 florist (20%): Lahan sendiri + Perusahaan di Jawa
Sumber: Data Primer, 2014.

Hasil penelitian preferensi terhadap 20 florist/pedagang bunga krisan tersebut,


dengan menggunakan analisis chi-square, dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis Chi-
Square pada alfa = 0.05 dan taraf kepercayaan = 95%, menunjukkan bahwa preferensi florist
terhadap jenis bunga berbeda (X2 hit > X2 tab). Hasil peragaan bunga krisan, selera florist
dalam membeli bunga dari petani yaitu jenis standar, berwarna putih, bentuk bunga
dekoratif, diameter bunga tipe standar yang diinginkan >15 cm, serta ketahanan bunga
disukai >5 hari.
Tipe standar yang banyak dijual florist karena banyak disukai konsumen, hal ini
berhubungan dengan diameter yang besar dan menonjolkan kecantikan krisan itu sendiri.
Warna putih yang sangat disukai untuk dijual karena mudah dipasangkan dengan warna apa
saja dan hampir dapat digunakan untuk semua kejadian/kegiatan.
Hasil Penelitian Nurmalinda dan dan Hayati, NQ (2014), bahwa pertimbangan utama
konsumen florist/dekorator dalam pembelian bunga adalah jenis bunga, kemudian baru
warna bunga, ukuran bunga, bentuk bunga, ketegaran tangkai bunga, ketahanan bunga, dan
terakhir baru harga, sedangkan untuk krisan pot, yang menjadi pertimbangan utama

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 211
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
konsumen dalam membeli bunga adalah warna, kemudian baru diikuti oleh bentuk bunga,
vaselife, ukuran bunga, ketegaran tangkai bunga, dan harga.

Tabel 3. Preferensi florist/pedagang bunga Krisan di Sulawesi Utara, 2014.


Nilai
Nilai Onservasi 2
Harapan X X tabel
Variabel Pengamatan (Observation
No. (Expected hitung (X Keterangan (Remarks)
(Observation Variable) Value) 2
Value) (X cal) table)
(%) (%)
1 Tipe bunga (Type of
flower)
a. Standart 95.00 50 16.20 3.84 Berbeda nyata (significant)
b. Spray 5.00 50
2 Warna bunga (flower
color)
a. Putih (white) 100 33,33 Ket : hasil perhitungan (lwt
b. Kuning (yellow) 0 33,33 SPSS) dinyatakan ‘tak perlu
c. Merah Muda dianalisis karena telah jelas
0 33,33
(pink) perbedaannya
3 Bentuk bunga (shape of
flower)
Dekoratif
a. 95.00 33,33 16.20 3.84
(decorative)
Anemon Berbeda nyata (significant)
b. 5.00 33,33
(Anemon)
c. Double (Double) 0 33,33
4 Diameter bunga tipe
standart (diameter of
flower for standart type)
a. > 15 cm 50.00 33,33 7.30 5.99
b. 12.5-15.00 cm 45.00 33,33 Berbeda nyata (significant)
c. < 12.5 cm 5.00 33,33
5 Diameter bunga tipe
spray (diameter of flower
for standart type)
a. > 15 cm 25.00 33,33 04.30 5.99
Tidak berbeda nyata
b. 12.5-15.00 cm 20.00 33,33
(unsignificant)
c. < 12.5 cm 55.00 33,33
6 Ketahanan bunga
(vaselife of flower)
a. < 5 hari 0 33,33 07.20 3.84
b. 5-7 hari 50.00 33,33 Berbeda nyata (significant)
c. > 7 hari 50.00 33,33
Sumber: Data primer, diolah, 2014.

Untuk pemilihan florist/pedagang dalam menjual tipe spray berdasarkan diameter,


dengan hasil tidak berbeda nyata untuk semua ukuran (unsignificant), menunjukkan bahwa,
ukuran tidaklah menjadi masalah di ketika dijual di tingkat konsumen. Karena tipe spray,
sering dijadikan konsumen sebagai bunga pelengkap dari tipe standar yang dijadikan sebagai
inti/core dari rangkaian bunga.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


212 | Teknologi Pertanian
Preferensi Konsumen

Konsumen dalam mengukur tingkat preferensi ini berjumlah 60 orang yang terdiri
dari 40 konsumen umum dan 20 konsumen yang berasal dari kelembagaan agama,
pemerintah dan hotel. Karakteristik responden konsumen dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik responden konsumen umum bunga Krisan di Sulawesi Utara, 2014.
No. Uraian Keterangan
1 Umur Rata-rata: 49 tahun
2 Pendidikan < SMA: 17.5%; SMA: 62.5%; >SMA: 20%
3 Penghasilan Bulanan < Rp. 2.000.000: 27,5 %
Rp. 2.000.001–Rp. 5.000.000: 65,0 %
>Rp. 5.000.001: 7.5 %
4 Pekerjaan Beragam
5 Asal krisan yang diperoleh Pasar dan Kios Bunga
Sumber: Data Primer, 2014.

Untuk lebih jelasnya hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Preferensi konsumen terhadap bunga Krisan di Sulawesi Utara, 2014.


Nilai Nilai
2
Onservasi Harapan X X tabel
Keterangan
No. Variabel Pengamatan (Observation Variable) (Observation (Expected hitung (X
2 (Remarks)
Value) Value) (X cal) table)
(%) (%)
1 Tipe bunga (Type of flower) Berbeda
a. Standart 93,33 50 35,27 3,84 nyata
b. Spray 11,67 50 (significant)
2 Warna bunga (flower color)
a. Putih (white) 93,33 33,33 82,30 5,99 Berbeda
b. Kuning (yellow) 5,00 33,33 nyata
c, Merah Muda (pink) 1,67 33,33 (significant)
3 Bentuk bunga (shape of flower)
a. Dekoratif (decorative) 90 33,33 38,40 3,84 Berbeda
b. Anemon (Anemon) 0 33,33 nyata
c. Double (Double) 10 33,33 (significant)
4 Diameter bunga tipe standart (diameter of
flower for standart type)
a. > 15 cm 43,33 33,33 28,30 5,99 Berbeda
b. 12.5-15.00 cm 55,00 33,33 nyata
c. < 12.5 cm 1,67 33,33 (significant)
5 Diameter bunga tipe spray (diameter of flower
for standart type)
a. > 15 cm 6,67 33,33 31,30 5,99 Berbeda
b. 12.5-5.00 cm 28,33 33,33 nyata
c. < 12.5 cm 50,00 33,33 (significant)
6 Ketahahan bunga (vaselife of flower)
a. < 5 hari 10,00 33,33 47,10 5,99 Berbeda
b. 5-7 hari 15,00 33,33 nyata
c. > 7 hari 75,00 33,33 (significant)
Sumber: Data primer, diolah, 2014.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 213
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Halnya analisis preferensi di tingkat florist/pedagang, pada pengukuran di tingkat
konsumen ini masih menggunakan Chi-Square sebagai alat analisis pada alfa = 0.05 dan taraf
kepercayaan = 95%. Hasil analisis menunjukkan bahwa preferensi konsumen pada semua
variabel di atas berbeda nyata (significant).
Pada tingkat konsumen, terlihat lebih kritis dalam membeli bunga yang
diinginkannya, baik jenis, warna, bentuk, ukuran dan ketahanan bunga krisan. Nilai observasi
pada jenis bunga menunjukkan bahwa 93.33% konsumen atau sebanyak 57 orang dari total
60 responden lebih memilih tipe standar dan bunga berwarna putih. Hasil yang tidak jauh
berbeda dengan pengukuran pada tingkatan florist. Begitu juga untuk bentuk bunga yang
diinginkan konsumen 90% memilih dekoratif, ukuran diameter tipe standar dan spray di atas
12,5 cm karena dengan diameter yang besar penggunaan bunga (kuntum dan tangkai) dapat
diminimalisir, serta ketahanan bunga konsumen menginginkan lebih dari 7 hari.
Untuk ketahanan bunga (vaselife), krisan Balithi banyak yang tahan >7 hari, bahkan
>14 hari. Sebagai contoh krisan yang memiliki vaselife > atau = 14 hari yaitu Pitaloka:14 hari,
Nyi Ageng Serang:14 hari, Puspita Asri:14,02 hari, Puspita Kencana 14,39 hari, Puspita
Nusantara:14 hari, Sakuntala:13 hari, Sri Rejeki:12 hari, dan Delina Kuning: 17 hari
(Puslitbang Horti, 2003).

KESIMPULAN
Krisan sebagai salah satu komoditi hortikultura sangat diminati masyarakat. Hal ini
terlihat dari tingkat preferensi masyarakat terhadap bunga ini. Varietas yang beragam,
keindahan bentuk maupun warna, pemanfaatannya sebagai bunga utama dalam rangkaian
bunga, digunakan dalam situasi apapun serta daya tahan yang lebih lama menjadi faktor
mengapa komoditi ini sangat diminati masyarakat.
Analisis preferensi tingkat konsumen menunjukkan bahwa preferensi konsumen pada
semua variabel di atas berbeda nyata (significant). Bentuk bunga yang diinginkan konsumen
90% memilih dekoratif, ukuran diameter tipe standar dan spray di atas 12,5 cm karena
dengan diameter yang besar penggunaan bunga (kuntum dan tangkai) dapat diminimalisir,
serta ketahanan bunga konsumen menginginkan lebih dari 7 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bahtiar dan Jantje G. Kindangen dalam
membantu penulisan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Kota Tomohon, 2015. Laporan Tahunan. Badan Pusat Statistika Kota Tomohon.
Dinas Pertanian, Peternakan Dan Perikanan Kota Tomohon, 2015. Laporan Tahunan.
Fitria Dewi Ariesna, Sudiarso, Ninuk Herlina, 2014. Respon 3 Varietas Tanaman Krisan
(Chrysanthemum Morifolium) Pada Berbagai Warna Cahaya Tambahan. Jurnal
Produksi Tanaman Volume 2, Nomor 5, Juli 2014, hlm. 419-426.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


214 | Teknologi Pertanian
Kotler, 1997. Manajemen Pemasaran. Jilid I. Prehallindo. Jakarta.
Nurmalinda, D. Widyastuti, L. Marpaung, dan D. Musaddad. 1999. Preferensi Konsumen
terhadap Bunga Anggrek Potong di Jakarta. Jurnal Hortikultura 9(2):146-152.
Nurmalinda dan A. Yani, 2009. Preferensi Konsumen Hotel terhadap Bunga Potong Gerbera.
Jurnal Hortikultura. 19(4):450-458, 2009.
Nurmalinda dan Hayati, NQ, 2014. Preferensi Konsumen Terhadap Krisan Bunga Potong dan
Pot. Jurnal Hortikultura 24(4):363-372, 2014.
Oosten, H.J.V, 1998. Horticultural Research ini the Netherlands : Changes and Challenges for
2010. Paper for the ‘World Conference on Horticulture Research’ Of the ISHS and
tehe ASHS, Rome, June 17-20, 1998. 12p.
http://www.agro.n/nrlo/achtergrondstudies/rap9826.htm. 5 Agustus 2009)
Putri Istianingrum, Damanhuri, Lita Soetopo, 2013. Pengaruh Generasi Benih Terhadap
Pertumbuhan Dan Pembungaan Krisan (Chrysanthemum). Jurnal Produksi Tanaman
Vol.1No.3 JULI-2013. ISSN : 2338-3976
Soekartawi. 1994. Tataniaga Bunga Potong di Surabaya. Agrivita. 18(2):74-79.
Steenkamp, J.B.E.M and J.C.M. van Trijp, 1988. Determinant’s of food Quality Perception and
Their Relationships to the Physico-Cemical Characteristics: An Application to Meat.
Netherlands J. Agriv. Sci. 36:390-395.
Sudrajat, 1999. Statistika Nonparametrik. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran.
Bandung.
Sumarno, 2004. Potensi Florikultura untuk Usaha Agribisnis di Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional Florikultura, Bogor 4-5 Agustus 2004:1-4

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 215
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGARUH BAHAN PENYALUT TERHADAP KUALITAS
ENKAPSULASI MINYAK ATSIRI PALA

Payung Layuk, M. Lintang, dan H. J. Motulo.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara


e-mail: playuk21@gmail.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan penyalut terhadap kualitas
enkapsulasi minyak atsiri pala. Mikroemulsi dilakukan dengan menggunakan CMC, pektin dan
Gum arab dengan cara 100 g bahan penyalut dilarutkan dalam 100 ml aquadest (1:1) kemudian
ditambahkan minyak atsiri pala dihomogenisasi menggunakan homogenizer selama 2 menit
dengan kecepatan 1500 rpm. Perbandingan minyak atsiri pala dengan bahan enkapsulan adalah
1: 10. Hasil memperlihatkan bahwa CMC, pektin dan Gum arab mampu melindungi minyak atsiri
pala selama enkapsulasi dimana minyak atsiri yang terperangkap berkisar 22,56-26,90%, minyak
atsiri di permukaan sekiar 1,26-1,86% dengan kadar air rata-rata 6,08-7,20 %. Perlakuan terbaik
adalah penggunaan Gum arab dengan kadar air (6,08%) dan minyak atsiri di permukaan
terendah (1,26%) serta minyak atsiri terperangkap tertinggi yaitu 26,90%.
Kata kunci: enkapsulasi CMC, pektin, gum arab dan minyak atsiri pala.

PENDAHULUAN
Pala merupakan rempah yang dikenal gunanya sebagai pemberi cita rasa atau
bumbu, disamping banyak digunakan untuk jamu tradisional. Sifat tersebut disebabkan
kandungan zat aktif aromatis di dalamnya. Jika zat atau komponen aktif tersebut dipisahkan
dengan cara diekstrak, baik dengan pelarut tertentu (misalnya etanol) mupun penyulingan
(destilasi) hasilnya masing-masing dikenal dengan nama oleoresin atau minyak atsiri.
Oleoresin dan minyak atsiri rempah-rempah banyak digunakan dalam industri makanan,
minuman, farmasi, flavor, parfum, pewarna dan lain-lain. Misalnya dalam industri pangan
banyak digunakan untuk pemberi cita rasa dalam produk-produk olahan daging (misalnya
sosis dan ham), ikan dan hasil laut lainnya, roti, kue, puding, sirup, saus, dan lain-lain. Dalam
penggunaan oleoresin dan minyak atsiri masih dijumpai adanya kekurangan atau kerugian.
Hal ini mendorong para ahli untuk mengolah lebih lanjut kedua produk tersebut, diantaranya
dengan teknologi enkapsulasi.
Buah pala terdiri dari atas daging buah pala 77,8%, biji pala 13,1%, fuli 4%, dan
tempurung 5,1%. Secara komersial biji dan fuli pala merupakan bagian terpenting dari buah
pala dan dapat diolah menjadi minyak atsiri dan oleorisen sebagai bahan baku industri
pangan dan farmasi. Produk lain yang mungkin dibuat dari biji adalah mentega pala yaitu
trimiristin yang dapat digunakan sebagai minyak makanan dan industri kosmetik
(Somaatmaja, 1984).
Minyak atsiri merupakan komponen aroma yang bersifat volatil dalam bentuk cair
yang biasanya didapatkan dari tanaman (Hamid et al, 2011). Minyak atsiri pala dimanfaatkan
dalam berbagai bidang dan dapat digunakan sebagai anti mikroba, baik bakteri maupun
jamur (Yuharmen et al, 2010), untuk bahan farmasi, kuliner dan kosmetik (Chudwal et al,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


216 | Teknologi Pertanian
2010). Meskipun minyak atsiri bersifat anti mikroba, bakteri dan jamur, minyak atsiri rentan
terhadap suhu tinggi, oksidasi, sinar UV, dan kelembaban (Patrovic et al, 2010, Calvo et al,
2012), sehingga perlu mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Pada umumnya
minyak atsiri rusak krena oksidasi, yanag menyebabkan terbentuknya flavour yang tidak
enak menyebabkan penunuran sifat sensoris (Valasco at al, 2003).
Kelebihan dari kapsulasi penyimpanan pada yaitu dapat melindungi rasa dan aroma
selama proses pengolahan dan produk makanan serta dapat mengontrol pelepasan
komponen aktif yang dilindungi (Reineccius, 1989). Salah satu cara yang digunakan dalam
menangani masalah ini adalah menggunakan teknologi Mikroenkapsulasi. Teknik ini
melindungi bahan inti yang semula berbetuk cairan menjadi bentuk padatan sehingga
mudah ditangani dan dapat melindungi bahan inti dari kehilangan flavour (Soottitantawat et
al, 2003; Gharsallaoui et al, 2007; Marcuzzo et al, 2010) dalam proses mikroenkapsulasi, hal
yang perlu diperhatikan adalah jenis penyalut yang digunakan.
Mikroenkapsulasi adalah proses penyalutan bahan-bahan initi yang berbentuk cair
atau padatan dengan menggunakan suatu bahan penyalut khusus yang membuat partikel ini
mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Bahan penyalut yang berfungsi
sebagai dinding pembungkus bahan inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan
terbungkus dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut. Metode
spray drying adalah metode paling umum digunakan dalam proses enkapsulasi pada industri
makanan.
Proses yang terdapat dalam spray drying ada tiga tahap: pertama persiapan dari
bahan-bahan yang akan disebarkan dan bahan emulsi yang akan diproses, kedua
menghomogenisasikan bahan-bahan tersebut, dan ketiga adalah menyemprotkan cairan-
cairan tersebut dengan udara panas (Kaswara, 2012) Enkapsulasi dapat meningkatkan
konsentrasi komponen aktif dan mengurangi volatilisasi komponen antimikroba sehingga
aktivitas antibakteri juga meningkat. Jenis penyalut alami yang sering digunakan adalah
CMC, pektin, gum arab atau maltodektrin. (Krisnan et al, 2005 dan Loahasongkram et al,
2011).
Selama ini polimer yang banyak digunakan adalah poliuretan, metil metakrilat,
hidroksipropil metil selulosa dan poliepoksi yang pada umumnya menggunakan pelarut
organik, yang memiliki risiko mudah terbakar, toksik, kurang ramah lingkungan dan kurang
ekonomis. Oleh karena itu, diperlukan terobosan pembuatan mikroenkapsulasi dengan
bahan penyalut yang lebih alami dengan basis menggunakan air. Polimer alam yang
digunakan sebagai bahan penyalut berbasis air adalah pati singkong (tapioca starch),
karboksimetilselulosa (CMC), gum arab dan pektin.
Pati merupakan senyawa kation bersifat non toksik, biokompatibel, biodegradabel,
larut dalam air dan mudah mengalir, sedangkan karboksimetil selulosa merupakan eter
polimer selulosa linear dan berupa senyawa anion, yang bersifat biodegradable, tidak
berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam
pelarut organik dan memiliki rentang pH sebesar 6,5-8,0 CMC memiliki berat molekul yang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 217
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
lebih rendah dan struktur molekul yang lebih sederhana sehingga dengan mudah larut
dalam air dapat diuapkan ketika proses pengeringan berlangsung.
CMC merupakan polimer derivat selulosa yang memiliki kompaktibilias dan
kompresibilitas baik. Gum arab dan pektin sering digunakan karena memiliki sifat sebagai
penyalut yang baik karena kemampuannya dalam membentuk emulsi dan viskositasnya
tinggi (Laohasongkram et al, 2011). Selain itu gum arab dan pektin banyak digunakan karena
mudah ditemukan dan penanganan prosses, memiliki kelarutan yang tinggi dan stabil pada
emulsi minyak dan air (Moore et al, 2005 dan Dickinson, 2003).
Beberapa hasil penelitian melaporkan tentang penelitian mikroenkapsulasi pada
minyak atsiri dan oleoresin. Nurlaili (2011) tentang mikroenkapsulasi minyak jahe dan
oleoresin jahe dengan menggunakan maltrodekstrin dengan pengeringan semprot dan
Efendi (2000), menggunakan gum arab dan maltrodekstrin, hasilnya menunjukkan bahwa
mikroenkapsulasi yang dihasilkan kualitasnya cukup baik.
Maltodesktrin mampu melindungi senyawa utama pada minyak lengkuas dengan
rasio minyak lengkuas dan maltrodekstrin 1:10. Keberhasilan dalam pengolahan
mikroenkapsulasi tergantung pada suhu, konsentrasi bahan inti dan konsentrasi penyalut.
Encapsulasi oleoresin ladah hitam metode spray drying. Bahan pengkapsul
mengombinasikan maltodekstrin dengan konsentrasi susu skim 10% dari total menghasilkan
mikrokapsul memiliki rendemen 67,22%, kadar minyak atsiri 0,68%, kadar surface oil
0,1420%, pH 6,16 dan kelarutan sebesar 98,20%. Hasil pengamatan dengan scanning
electron microscope menunjukkan bahwa mikrokapsul memiliki morfologi yang cukup baik
dengan diameter partikel antara 2-20 µm (Nasrullah, 2010). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh bahan penyalut terhadap kualitas enkapsulasi minyak atsiri
pala.

BAHAN DAN METODE


Bahan yang digunakan adalah minyak atsiri biji pala yang diperoleh dari KP Pandu,
CMC, gum arab dan pektin (Brataco) dan akuades. Peralatan yang digunakan adalah gelas
ukur, beker gelas, erlenmeyer, oven, sigma Aldrich.

Destilasi minyak atsiri pala

Produksi minyak atsiri menggunakan metode penyulingan dengan air dan uap,
menggunakan alat destilasi tipe Balitro kapasitas 5 kg. Tahapan penyulingan adalah
persiapan bahan baku dengan cara pengeringan dengan matahari selama 4 jam, selanjutnya
dikeringanginkan. Sampel yang didestilasi dalam bentuk utuh dan dikecilkan ukurannya. Alat
distilasi diisi dengan air suling tepat di bawah angsa, bahan yang akan didestilasi dimasukkan
ke dalam tangki destilasi dan diatur rata permukaanya. Tutup tengki destilasi segera
dipasang sehingga tidak ada uap yang keluar.
Kemudian alat pendingin dihubungkan dengan corong pengeluaran uap. Setelah
semua rangkaian alat destilasi siap, kompor dihidupkan. Kondesat keluar dari alat pendingin
di tampung menggunakan penampung gelas, sehingga diperoleh campuran antara minyak

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


218 | Teknologi Pertanian
dan air. Minyak terdapat pada lapisan bagian atas campuran. Minyak dipisahkan dari
campuran tersebut dengan menggunakan corong pemisah.
Destilasi minyak dilakukan selama 6-7 jam atau sampai dihasilkan destilat yang
berupa air saja. Hasil yang diperoleh dianalisis sesuai standar SNI untuk minyak atsiri.
Penentuan index bias minyak (refraktometer), berat jenis (Piknometer), rendemen minyak
(metode clevenger), kadar air (Metode Immicible Solvent Distillation), kelarutan minyak
dalam alkohol dan putaran Optik Minyak.

Pembuatan Mikroenkapsulasi

Proses pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan menggunakan bahan penyalut


CMC, Gum arab dan pektin dengan aquades (1:1) kemudian ditambahkan minyak atsiri biji
pala dengan perbandingan (1:10), dihomogenisasi dengan menggunakan homogenizer
selama 2 menit pada kecepatan 1500 rpm. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan
pengering semprot (spray Dryer) pada suhu 80oC.

Analisis produk

Produk enkapsulasi yang dihasilkan dilakukan analisis kadar air, (Soedarmadji et al,
1990), minyak atsiri di permukaan dan minyak atsiri terperangkap (Yuliani et al, 2007). Data
dianalisis dengan menggunakan program SPSS 2007.

Minyak atsiri di permukaan mikrokapsulasi (Yuliani et al,2007).

Sebanyak 0,5 g (a) mikrokapsul dalam erlenmeyer diekstak dengan 6,7 ml heksana,
kemudian dikocok dan disaring menggunakan kertas saring whatmen no 1. Ekstrak
dimasukkan ke dalam labu evaporator yang telah diketahui beratnya (b). Pencucian diulang
dengan 3,3 ml heksana sebanyak 3 kali. Kombinasi ekstrak diuapkan pelarutnya
menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 400C. Residu ditimbang sebagai minyak
atsiri pada permukaan mikrokapsul (c).
C-b
% minyak di permukaan= ×100%
a
Minyak atsiri terperangkap (Yuliani et al, 2007)

Sebanyak 10 mg mikrokapsul dilarutkan dalam 0,5 ml etanol kemudian disaring


dengan menggunakan kertas saring Whatman no 1. Residu yang tertinggal yang tertinggal
pada kertas saring kemudian dilarutkan dalam kloroform. Penambahan kloroform dilakukan
hingga mencapai 10 ml. Larutan tersebut di sonikasi selama 5 menit dan disaring kembali
hingga diperoleh filtrat. Filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam cawan yang telah
diketahi beratnya dan dipanaskan dalam oven 105 oC selama 30 menit. Berat minyak atsiri
terperangkap didapatkan dari hasil timbangan setelah pemanasan berlangsung.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 219
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas minyak atsiri pala hasil yang digunakan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis Parameter Kualitas minyak atsiri


Parameter Minyak atsiri pala SNI
Warna Kuning pucat Jernih
Berat jenis 0,865 1,032
Indeks bias 1,488 1,493
Billangan Asam 3,0 3,2
Kelarutan dalan alkohol 70% Larut jernih 1:3-1:4 1: 3-1:7
Kadar air 10,20% Jernih
Sumber: Layuk et al, 2014

Kadar Air

Kadar air merupakan parameter yang berhubungan dengan stabilitas produk selama
penyimpanan. Kadar air mikrokapsul yang dihasilkan seperti disajikan pada Gambar 1. 6,08-
7,20 %.

Gambar 1. Kadar air mikrokapsul

Kadar air yang dihasilkan berkisar 6,08-7,20%. Menunjukkan perbedaan nyata antar
perlakuan pada P<0,05. Kadar air ini masih relatif tinggi karena menurut Reineccius (2004)
dalam Yuliani et al (2007) tipikal kadar air produk yang dihasilkan dengan pengering semprot
adalah 2-6%. Kadar yang relatif tinggi pada produk yang dihasilkan disebabkan diduga
disebabkan bahan penyalut yang digunakan dan viskositas dari emulsi yang kurang tinggi
sehingga kadar air yang dihasilkan masih di atas tipikal kadar air produk (Supriyadi dan
Rujita, 2012).
Pada gambar 1. Dapat dilihat bahwa kadar air tertinggi adalah penggunaan bahan
penyalut pektin yaitu 8,08 kemudian CMC dan gum arab berturut-turut 7,17% dan 6,27%.
Tingginya kadar air pada pektin disebabkan pektin memiliki sifat mengikat air lebih tinggi
dibandingkan dengan CMC dan gum arab, sehingga dalam melepaskan air perlu

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


220 | Teknologi Pertanian
menggunakan waktu pengering lebih lama. Selain itu kadar air juga dipengaruhi oleh minyak
atsiri yang digunakan. Semakin tinggi bahan inti yang digunakan menyebabkan titik didihnya
menjadi tinggi pula sehingga jika suhu pengeringan sama dan lamanya waktu yang
digunakan sama maka akan dihasilkan produk dengan kadar air yang lebih tinggi.

Minyak di permukaan

Persentasi minyak dipermukaan adalah merupakan banyaknya minyak yang terdapat


pada permukaan luar dinding mikrokapsul. Adanya minyak dipermukaan luar mikrokapsul
tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan bahan inti sangat mudah terpapar oleh udara,
khususnya oksigen dan uap air, sehingga mempercepat kerusakan produk. Pengaruh bahan
penyalut terhadap persentasi minyak di permukaan adalah 1,26-1,86% (Gambar 2)..

Gambar 2. Prosentase minyak dipermukaan

Bahan penyalut berpengaruh pada minyak di permukaan mikrokapsul yang


dihasilkan. Persentasi terendah diperoleh pada penggunaan gum arab hal ini disebabkan
gum arab kemampuannya dalam membentuk emulsi dan viskositasnya tinggi menyebabkan
bahan inti yang terperangkap lebih banyak. Berdasarkan hasil pengujian statistik, nilai
persentase minyak di permukaan berbeda nyata satu sama lainnya (p<0,05) semakin tinggi
persentase minyak di permukaan produk akan rentan mengalami kerusakan dan akan dapat
menurunkan kualitas bahan aktif selama distribusi maupun penyimpanan.
Sugindro et al, (2008) mengatakan bahwa adanya viskositas emulsi yang rendah
selama proses pengeringan semprot berlangsung, akan membuat lapisan kulit (crust) yang
terbetuk tidak begitu kuat sehingga bahan initi menjadi kurang terlindungi. Selain adanya
viskositas yang rendah menyebabkan proses pengeringan berlangsung lama dan jumlah
minyak atsiri yang terperangkap dalam mikrokapsul sangat dipengaruhi oleh kecepatan
pengeringan dan pembentukan lapisan kulit. Jumlah minyak atsiri terperangkap jika dapat
meningkat jika pembentukan kulit berlangsung cepat.
Oleh karena jumlah minyak atsiri yang terperangkap meningkat, maka jumlah minyak
atsiri yang terdapat pada permukaan mikrokapsul menjadi berkurang sehingga persentase
minyak dipermukaan yang dihasilkan rendah. Hal yang sama dilaporkan oleh Tonon et al,
(2011) bahwa adanya viskositas yang tinggi menyebabkan lapisan kulit yang terbentuk kuat
sehingga dapat mengurangi migrasi minyak menuju permukaan luar mikrokapsul.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 221
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Minyak Terperangkap

Minyak terperangkap merupakan banyaknya minyak atsiri yang terdapat di dalam


mikrokapsul. Produk dengan minyak terperangkap tinggi menunjukkan bahwa minyak yang
terdapat terlindungi oleh matriks penyalut banyak. Persentasi minyak terperangkap dengan
bahan penyalut yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.
Persentasi minyak terperangkap berkisar 22,56-26,90%. Tertinggi adalah penggunaan
bahan penyalut gum arab 26,90% kemudian berturut-turut CMC dan pektin yaitu 24,78%
dan 22,56%. Berdasarkan data analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata antar
perlakuan (p<0,05). Adanya perbedaan ini disebabkan sifat dari bahan penyalut dimana
Gum arab viskositas emulsinya tinggi dibanding dengan CMC dan pektin sehingga
menghasilkan minyak terperangkap lebih tinggi (Laohasongkram et al, 2011).
Selain viskositas rendah menyebabkan proses pengeringan berlangsung lama dan
juga disebabkan kecepatan pengeringan dan pembentukan lapisan kulit. Jumlah bahan inti
yang terperangkap dapat meningkat jika pembentukan kulit berlangsung cepat. Pada sisi
lain, adanya viskositas tinggi dapat mengurangi mirgasi minyak menuju permukaan luar
mikrokapsul. Akibatnya dihasilkan persentase minyak terperangkap yang tinggi pada emulsi
berviskositas tinggi.

Gambar 3. Persentase minyak terperangkap

KESIMPULAN
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa CMC, pektin dan Gum arab mampu
melindungi minyak atsiri pala selama enkapsulasi dimana minyak atsiri yang terperangkap
berkisar 22,56-26,90%, minyak atsiri di permukaan sekiar 1,26-1,86% dengan kadar air rata-
rata 6,08-7,20 %. Perlakuan terbaik adalah penggunaan Gum arab dengan kadar air (6,08%)
dan minyak atsiri di permukaan terendah (1,26%) serta minyak atsiri terperangkap tertinggi
yaitu 26,90%. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu pengeringan optimal
untuk mendapatkan kadar air ipikal kadar alat pengering semprot 2-6%

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


222 | Teknologi Pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Colvo P.,Castano AL, Lozano M., Gonzales-Gomez D. 2012. Influence of the
microencapsulation on the quality paramaters and shelf-life of extra-virgin olive oil
encapsulated in the presence of BHT and different capsule wall component. Food Res
Int 45: 256-261. Chudiwal AK, Jain DP, Somani RS.2010. Alpinia Galanga Wildan
overview on phyto- pharmacological properties. Indian J. Nat Prod Res 1: 143-149
Dickinson E. 2003. Hydrocolloids at interfaces and the influence on the properties of
dispersed systems. Food Hydrocolloid 17:25-39. Efendi E. 2000. Mikroenkapsulasi
Minyak Atsiri Jahe dengan Campuran Gum Arab-Maltodekstrin dan Variasi Suhu Inlet
Spray Dryer (Thesis). Program Studi teknologi Hasil Perkebunan UGM.
Gharsallaoui A., Roundaut G., Chambin O., Voilley A., Saurel R. 2007. Application of Spray-
Drying in microencapsulation of food ingredients: an overview. Food Res Int 40:1107-
1121
Hamid A.A., Aiyelaagbe O, Usman L.A. 2011. Essential oils: Its Medicinal and Pharmacological
Uses. Int J. Curr Res 3:86-98.
Kaswara S. 2012. Teknologi Enkapsulasi Flavor Rempah-Rempah. WWW. Ebookpangan.com
Krisnan S., Bhosale R., Singhal RS. 2005. Microencapsulation of cardamom Oleoresin:
evaluation of blends of gum arabic, maltodextrin and a modified starch as wall
materials Carbohyd Polym 61: 95-102.
Laohasongkram K., Mahamaktudsanee T., Chaiwanishsiri S. 2011. Microencapsulation of
macadamia oil by spray drying. Procedia Food Sci. 1: 1660-1665.
Layuk, P. M. Lintang, S. Datundugon, G.H. Yoseph. 2014. Visitor Plot Pengolahan Minyak
Atsiri. Laporan Hasil Penelitian BPTP Sulawesi Utara.
Marcuzzo E. Sendidoni A., Debeaufort F. Volley A. 2010. Encapsulation of aroma compounds
in biopolymeric emulsion based edible film to controle flavour realease. Carbohyd
Polym 80: 984-988.
Moore GRP, do Canto LR, Armante ER, Soldi V. 2005. Cassava and corn starch in
maltodextrin production. Quim Nova 28 : 596 -600.
Nasrullah F. 2010. Pengaruh Komposisi Bahan Pengkapsul Terhadap Kualitas Mikrokapsul
Oleoresin Ladah Hitam (Piper nigrum L.) Skripsi Fak. Tek. Pertanian. IPB Bogor.
Nurlaili FA. 2011. Karakterisasi Mikrokapsul Minyak Atsiri Jahe dan Oleoresin Ampas Jahe
(Zingiber officinale var. Rubrum) dengan Penyalut Maltodekstrin (Tesis). Program
Studi Teknologi Hasil Perkebunan. UGM Yogyakarta.
Petrovic GM. Stojanovic GS, Radulovic NS. 2010. Encapsulation of Cinnamon oil in β-
cyclodextrin. J. Med Plant Res 14: 1382-1390.
Somaatmadja, D. 1984. Penelitian Pala dan Fuli. Komunikasi No 215. BBIHP. Bogor. 12 hal

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 223
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Soottitantawat A., Yoshii H. Futura T., Ohkawara M. Lonko P. 2003. Microencapsulation by
spray drying: influence of emulsion size on the retention of volatile compounds. J. Food Sci
68: 2256-2262.
Sudarmadji S., Haryono B., Suhardi., 1990. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sugindro, Mardliyati E. Djajadisastra J. 2008. Pembuatan dan Mikroenkapsulasi Ekstrak
Etanol Biji Jintan Hitam Pahit (Nigella Sativa Linn). Majalah Ilmu kefarmasian 5: 57 -
66.
Supriyadi dan A. Sakha Rujita. 2012. Karakteristik Mikrokapsul Minyak Atsiri Lengkuas
Dengan maltodekstrin Sebagai Enkapsulan. J. teknol. Dan Industri pangan Vol 24 N0, 2
TH 2013.
Tonan RV, Grosso CRF, Hubinger MD. 2011. Influence of Emulsion Composition and Inlet Air
Temperature on The Microencapsulation of Flaxseed oil by spray drying. Food Res Int
44: 282-289.
Yuliani S., Desmawarni NH, Yuliani SS 2007. Pengaruh Laju Air Umpan dan Suhu Inlet Spray
Drying pada Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe. J. Pascapanen 4: 18-26.
Yuharmen Y., Eryanti Y., Nurbalatif.2002. Uji Aktivitas Antimikrobia Minyak Atsiri dan Ekstrak
Metanol Lenkuas (Alpinia galanga). J. Nature Indonesia 4: 178-183.
Velasco J., Dobarganes C. Margues-Ruiz G. 2003. Variables Affecting Lipid Oxidation in Dried
Miencrocapsulated Oils. Grasas Aceities 54: 304-314.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


224 | Teknologi Pertanian
KOMPONEN BIOAKTIF DALAM TEH DAN MANFAAT
UNTUK KESEHATAN

Payung Layuk1 dan Semuel Layuk2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara
2
Staf pengajar Politeknik Kesehatan Manado

Abstrak
Teh (Camelia Sinensis, L.) adalah produk olahan daun muda tanaman teh yang dapat diminum
setelah diseduh dengan air panas. Teh telah digunakan sebagai minuman penyegar diberbagai
negara, karena dapat dapat mendatangkan ketenangan, menghilangkan kelelahan tubuh dan
kecapaian mental. Ada 4 empat macam teh yang beredar dipasaran berdasarkan cara
pengolahannya yaitu teh hijau, teh hitam, teh ooglong dan teh wangi. Teh mengandung
senyawa poliphenol yaitu teaflavin dan teharubigin yang memberikan rasa khas pada teh hitam
dan katekin pada teh hijau yang dapat bermanfaat untuk kesehatan tubuh manusia. Ada enam
komponen biokatif pada teh yaitu katekin (K), epikatekin (EK), galokatekin(GK), epikatekingalat
(ECG), epigalokatekin(EGC) dan epigalokatekingalat (EGCG). Hasil penelitian melaporkan bahwa
komponen bioktif dalam teh bersifat antioksidan, anti mikroba, anti radiasi, memperkuat
pembuluh darah, melancarkan sekresi air seni dan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang jenis teh dan senyawa penting yang terkandung dalam
teh serta manfaatnya untuk kesehatan.
Kata kunci: Teh, komponen bioaktif, manfaat, kesehatan.

PENDAHULUAN
Umur panjang dalam kondisi sehat merupakan dambaan hampir setiap orang. Maka
tidak heran berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan makanan yang sehat yang
berdampak usia yang panjang. Dalam dekade terakhir ini konsumsi makanan dan minuman
menyehatkan cendrung meningkat. Hal ini disebabkan karena masyarakat semakin sadar
akan pentingnya pencegahan terhadap penyakit dan penurunan fungsi tubuh karena proses
degeneratif ataupun malnutrition, sedangkan biaya pengobatan terhadap penyakit sangat
besar.
Makanan selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gizi juga untuk memuaskan
selera termasuk untuk penyegar. Berkembangnya makanan terutama dalam bentuk
minuman yang mengandung berbagai senyawa yang dapat menyegarkan tubuh baik yang
berkaitan dengan kemampuan menyimpan memori, neurotransmitter ataupun yang
meningkatkan vitalitas merupakan salah satu respon terhadap keinginan konsumen untuk
memuaskan seleranya.
Teh (Camelia Sinensis) adalah produk olahan daun muda tanaman teh yang dapat
diminum sesudah diseduh dengan air panas. Teh telah lama digunakan sebagai minuman
penyegar yang bersifat alamiah yang dapat memberikan kepuasan bagi peminumnya. Teh
juga dikenal sejak dahulu sebagai minuman surga, sarana meditasi, sarana pengobatan
maupun pergaulan (Bambang, 1998). Penggunaanya sangat luas dan mendunia, segala usia
dan disegala cuaca.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 225
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Ada bermacam-macam jenis teh berdasarkan cara pengolahannya. Teh yang dalam
pengolahannya tidak membiarkan terjadinya oksidasi senyawa polifenol disebut teh hijau,
sedangkan teh hitam diolah melalui tapan-tahapan okdidasi polifenol sedangkan apabila
oksidasi pilifenol dilakukan tidak secara penuh jadilah teh oolong serta teh wangi merupakan
proses penyerapan aroma bunga dalam teh dibuat dengan cara mencampur daun teh
dengan bunga melati atau melati gambir.
Manfaat sehat minum teh baik mental maupun fisik telah dilakukan beribu-ribu tahun
yang lalu di Cina maupun negara lain dimana teh dikonsumsi. Jenis teh yang diminum,
Sangat terkait dengan tradisi ataupun kebiasaan makanan. Dengan kemajuan ilmu kimia dan
ilmu kedokteran dewasa ini maka penelitian aspek kesehatan teh makin intensif dilakukan.
Jepang dan Cina menitik beratkan penelitian terhadap teh hijau yang merupakan produk
utama di kedua negara, sedangkan negara barat dan Indonesia adalah teh hitam dan teh
wangi. Untuk mengetahui komponen apa saja yang terkandung dalam tanaman teh dan
sejauh mana manfaat minum teh untuk kesehatan berdasarkan beberapa penelitian saat ini
dicoba diungkapkan dalam makalah ini.

KOMPONEN BIOAKTIF YANG PENTING DALAM TEH


Di Indonesia dikenal empat macam teh yaitu teh hijau, teh hitam, teh oolong dan teh
wangi. Keempat macam teh Indonesia ini diolah dari bahan baku pucuk tanaman tea.Teh
hitam merupakan produk pengolahan pucuk teh dengan memanfaatkan terjadinya oksidasi
polifenol teh secara ansimatik melalui tahapan pengolahan yaitu pelayuan, penggilingan,
pengeringan dan pengepakan. Pada proses pelayuan dilakukan untuk mengurangi kadar air
sehinga polifenol dalam teh meningkat dan cocok untuk oksidasi. Selain itu palayuan juga
memungkinkan terjadinya perubahan kimia yang mendukung terbentuknya calon aroma.
Setelah proses pelayuan dilanjutkan dengan proses penggilingan yang bertujuan untuk
memecahkan sel sehingga terjadi pertemuan polifenol dan enzim oksidasi. Varietas
Assamica yang memiliki kandungan katekin dalam pucuknya lebih tinggi dari pada Varietas
Sinensis (Yamanishi, 1995), yang merupakan bahan baku teh hijau Cina dan Jepang. Hasil
penelitian bambang dkk. (1996) melaporkan bahwa teh Indonesia mengandung katekin
cukup tinggi dibanding dengan teh Cina, Jepang dan Srilangkah (Tabel 1)

Tabel 1. Kadar tanin dan katekin dalam teh


Substansi katekin (% b.k.)
Jenis Teh Tanin (% b.k.)
K EK EGK EKG EGKG Total
Indonesia:
- teh hitam ortodokx 10.98 0.24 0.79 3.54 1.46 2.21 8.24
- teh hitam CTC 9.35 0.23 0.27 4.24 1.03 1.25 7.02
- teh hijau ekspor 15.47 0.10 0.54 6.35 1.08 3.53 11.60
- teh hijau lokal 14.40 0.08 0.41 6.39 0.65 3.28 10.81
- teh wangi 12.38 0.10 0.35 5.96 0.64 2.23 9.28
Sencha (Jepang) 6.76 0.07 0.41 2.96 0.26 1.36 5.06
Teh Oolong (Cina) 8.96 0,14 0.20 2.24 0.43 3.14 6.73
Teh Wangi (Cina) 9.95 0.15 0.39 3.81 0.69 2.43 7.47
Teh hitam BOP (Srilangka) 9.85 0.25 0.45 4.21 0.82 1.16 7.39
Sumber: Bambang 1996.
Keterangan: K = Katekin; EK = epikatekin; EGK= Epigalokatekin; EKG = Epikatekingala; EGKG = Epigalakatekingalat.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


226 | Teknologi Pertanian
Katekin Tea.

Polifenol tea sering disebut sebagai tanin merupakan zat yang unik karena berbeda
dengan tanin yang terdapat pada tanaman lain. Tanin dalam teh tidak bersifat menyamak
dan tidak berpengaruh buruk terhadap pencernaan makanan (Bakuchava and Skobeleza,
1996). Tanin teh termasuk golongan katekin. Ada enam katekin yang terdapat dalam teh
yaitu kateki (K), epikatekin (EK), galokatekin(GK), epikatekingalat (ECG), epigalokatekin
(EGC)dan epigalokatekingalat (EGCG). Diantara enam ketekin ini yang paling berperan besar
dalam menjaga kesehatan adalah ECG dan EGCG banyak terdapat pada teh hijau. EGCG
(epigallocatechin gallate) adalah komponen biokatif paling dominan dalam teh yang
bermanfaat bagi kesehatan.
Sebagai antioksidan yang kuat, mempunyai kemampuan mengusir radikal bebas.
Selain itu, juga berfungsi untuk antiatherogenic, antimicrobial. Sedangkan penyakit-penyakit
yang dapat dicegah oleh EGCG antara lain jantung koroner, stroke dan caries pada gigi
(Khomsan, 2003). Nakane dan Ono (1990) membuktikan bahwa ekatraksi daun teh dapat
digunakan untuk terapi pasien di daerah endemik kolore dan flu. Dilaporkan juga Nakane
dan Ono (1990) bahwa EGCG dengan konsentrasi 0,01-0,02 ug/ml dapat menghambat 50
persen perkembangan virus AIDS.
Sumber utama EGCG adalah teh hijau, teh hitam dan teh wangi. Namun teh hijau
yang mengandung kadar EGCG yang tinggi. Hasil oksidasi katekin adalah yaitu theaflavin dan
thearubigin yang banyak terdapat pada tea hitam juga memiliki aktivitas kesehatan yang
sama dengan katekin. Katekin teh diketahui bersifat anti mikroba (bakteri dan virus),
antioksidan dan anti radiasi, memperkuat pembuluh darah, melanjarkan sekresi air seni dan
menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Hara, 1993).
Dilaporkan juga oleh Aktiva(1994), bahwa katekin dalam teh dapat menghambat
pertumbuhan isolat bakteri Salmonella typhi dan S. dysentriae. Teh hijau dan teh wangi pada
dosis 0,6-0,9 mg/g berat badan/hari tidak merusak hati tetapi bahkan melindungi dari
kerusakan. Pada studi yang melibatkan 262 pria jepang berusia 30 tahun keatas, Sasazuki
dkk.(2000), secara epidemiologis membuktikan bahwa mereka yang mengkonsumsi teh hijau
2-4 cangkir sehari yang berarti mengkonsumsi EGCG lebih banyak, resikonya untuk
mengalami aterosklerosis ternyata lebih rendah. EGCG dengan dosis 50 mg/kg diberikan
pada tikus percobaan, hasilnya menunjukkan bahwa proteksi terhadap trombosit bisa
mencapai 60-70 persen (Kang et al, 1999) dan secara statistik berbeda sangat nyata
dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan EGCG.

Kafein Teh.

Popularitas tea banyak ditentukan oleh keberadaan kafein. Dalam pengolahan tea,
kafein tidak banyak mengalami perubahan, sehingga jumlahnya dalam teh kering relatif
sama dengan yang terdapat daun segar (Bokuvhava and Skobeleva, 1996). Kafein murni
bersifat sebagai stimulan atau perangsang saraf, otot dan ginjal. Dalam dosis kecil kafein
menyebabkan peningkatan aktivitas mental, interprestasi inderawi menjadi lebih cepat serta
daya pikir akan menjadi jernih dan meningkat.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 227
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Akan tetapi dalam jumlah yang besar kafein dapat menyebabkan seseorang gelisah,
ribut dan kejang-kejang (Viani, 1991). Kafein dalam teh diikat oleh polifenol sehingga tidak
ada pengaruh langsung kafein terhadap sistem saraf pusat demikian pula tidak akan
menyebabkan meningkatnya keasaman lambung apabila teh diminum dalam keadaan perut
kosong (Krishnamoorty, 1991).

MANFAAT TEH UNTUK KESEHATAN

Teh sebagai minuman kesehatan.

Seduhan teh hijau yang berwarna hijau kekuningan dan teh hitam berwarna merah
kekuningan/coklat, nampak jernih dan mengkilat, Rasanya agak pahit, segar, sepat dan
sedikit terkesan manis. Minum teh dapat menghilangkan kelelahan dan kelesuan tubuh, juga
kecapaian mental. Keraguan, kekuatiran dan perasaan diburu-buru akan hilang dan berganti
dengan kejernihan dan ketenangan pikiran serta kesegaran semangat. Minuman teh juga
dapat menghilangkan demam punggung sekaligus menimbulkan kelegaan sesudah
bertanding. Sebab itu minuman tea sangat bermanfaat bagi para olahragawan, guru,
pemikir, penulis, pembaca, maupun pekerja untuk mendapatkan perasaan antusias,
peningkatan antelegensia, berpikir maju dan cepat mengambil keputusan (Krishnamoorthy,
1991).

Teh minuman yang higienis

Minuman teh yang dapat disajikan dalam keadaan panas maupun dingin selalu
disiapkan melalui serangkaian proses penyeduhan menggunakan air bersih yang mendidih
(Bambang, 1998). Mula-mula poci atau cangkir dibilas dengan air panas kemudian diambil
dengan sendok bersih dan kering, dan dimasukkan dalam poci atau cangkir kemudian
dituangkan air mendidih selama 6-10 menit. Saring ampas dan hidangkan. Cara ini lebih
sederhana apabila digunakan tea celup. Tea dicelupkan dalam cangkir dan dituangi air panas
beberapa saat dan angkat tea celupnya. Demikian penyeduhan tea selalu dilakukan dengan
air bersih yang mendidih. Ditamabah lagi dengan kemampuan antimikroba dari katekin tea
maka lengkaplah seduhan tea sebagai minuman higienis yang sehat dan aman bagi tubuh
manusia.

Teh minuman yang melangsingkan

Teh dikenal sebagai minuman berkalori rendah, yaitu 4 kalori per cangkir. Apabila
ditambah susu maka kalori akan meningkat menjadi 14 kalori dan apabila di tambah gula
satu sendok maka kalori akan meningkat kurang lebih 40 kalori (Krisnamoorthy, 1997). Jadi
dengan membiasakan minum tea tanpa susu dan gula badan akan terbebas dari kegemukan
karena mengkonsumsi minuman berkalori rendah. Tentu saja kebiasaan ini harus dibaringi
dengan mengurangi makanan lain yang berpotensi menggemukkan seperti karbohidrat dan
lemak.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


228 | Teknologi Pertanian
Teh menghambat pertumbuhan sel-sel kanker

Penyakit yang amat ditakuti saat ini adalah penyakit kanker. Kemajuan di bidang ilmu
makanan dengan produksi bermacam-macam bahan tambahan pangan sintetik dapat
menjadi salah satu penyebabnya. Kebiasaan merokok dan menggunakan kosmetik sering
juga dituding sebagai penyebab timbulnya kanker. Dengan minum tea kita akan merasa lebih
tenang karena kemungkinan besar dapat terbebas dari bahaya tersebut (Brunneman,1990,
Fung,1991, Fujiki,1991).
Hasil penelitian melaporkan bahwa ekstrak tea dapat menghambat pertumbuhan sel
kanker karena dapat menghambat aktivitas mutagenik berupa senyawa karsinogen
(Hayatsu,1991, Mukhtar, 1991,Tomita, dkk, 1993). Kanker yang terbukti dapat dihambat
pertumbuhannya dengan minum tea adalah kanker kulit, usus besar, kelenjar pankreas, hati,
paru-paru, payudara serta kerongkongan. Zat yang berperan dalam teh untuk mencegah
pertumbuhan sel-sel kanker adalah epichatekin gallat (ECG) dan epigallo catechin gallat
(EGCG). Untuk mencegah kanker lebih aktif tea diminum sebanyak 10 cangkir atau lebih
setiap hari dibanding dengan 4 cangkir. Setiap cangkir tea yang dipersiapkan dari 2 gram
daun yang diseduh dengan 100 ml air mengandung 36-54 mg epikatekin galat (Mary Astuti,
2000).

Jantung dan pembuluh darah jadi sehat.

Katekin dan theaflavin tea akan menghambat aktivitas angiotensine converting


enzyme (AVE) suatu ensim yang mengkatalida pembentukan senyawa penyebab tingginya
tekana darah, sehingga minum teh akan membuat kita memiliki tekanan darah yang terjaga
dengan baik (Hara, 1991). Timbulnya penyumbatan pembuluh darah (atherosclerosisi)
dicegah oleh teh karena beberapa sebab yaitu teh dapat mengurangi pengentalan dan
agregasi darah, menurunkan kadar kolestrol darah, demikian juga dapat menghambat
pertumbuhan sel otot halus sekeliling urat nadi yang dipacu oleh kolesterol (Lou, et al, 1991;
Ganguly,1995).
Hasil penelitian melaporkan bahwa adanya asosiasi negatif antara minum teh dengan
tingginya kolesterol. Peminum teh berat, resiko kematiannya karena penyakit jantung
koroner lebih kecil dibandingkan dengan peminum tea ringan (Tverdal, 1991). Katekin tea
menunjukkan aktivitas vitamin P yang kuat. Vitamin ini diketahui dapat memperkuat
pembuluh darah kapiler (Bokuvhava and Skobeleva, 1969).
Oleh karena kemampuan teh memperkuat pembuluh darah, menjaga aliran darah,
memelihara tekanan darah serta menghindarkan kematian karena penyakit jantung koroner
maka layaklah disebut bahwa minuman teh akan dapat memperpanjang umur kita semua.
Bagi pribadi yang berkebiasaan makan makanan berlemak, minum teh akan membebaskan
dari kemungkinan kadar kolesterol tinggi dan plasma darahnya (Muramatsu, 1991).

Aktivitas anti mikroba

Katekin teh bersifat anti mikroba. Sifat anti mikroba katekin tea disebabkan oleh
gugus pyrogallol dan gugus galloil, sedang sifat penghambatan terhadap racun ditentukan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 229
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
oleh struktur tersier persenyawaan gugus catechol atau pyrogallol dengan gugus galloilnya
(Iswhigaki et al, 1991). Mikroba pembentuk racun dalam makanan, serta mikroba penyebab
penyakit pencernaan seperti Bacillus cereus 3 virio stainss staphylococcus aureus,
Plastomonas shigelloides, Aeromonas sabria, Clostridium perfringens dan C. botulinum dapat
ditangkal oleh tea (Hara, 1993). Demikian juga teh dapat menghambat pertumbuhan
mikroflora usus besar yang merugikan serta meningkatkan keasaman, sehingga menekan
pembentukan senyawa oleh bakteri. Dari hasil penelitian tersebut nyata bahwa konsumsi
tea sangat efektif dalam memelihara kesehatan maupun kelancaran pencernaan makanan
dan sekaligus memperbaiki flora dalam organ tersebut (Okubo, et al, 1993).
Teh hitam dan teh hijau terbukti mengambat aktivitas toxin cholera yang dihasilkan
oleh vibrio parahaemolyticus dan staphylococcus aureus (Shimamura, 1991). Seduhan tea
juga menghambat pertumbuhan Steptocoous mutans, bakteri pembentuk senyawa tak larut,
glucan, yang merupakan penyebab karies pada gigi (Sakanaka, et al, 1991). Dengan demikian
bersama-sama dengan fluride yang dapat memeperkuat gigi, katekin tea akan menyehatkan
gigi kita. Hasil penelitian Radyosusnu (1990) membuktikan juga bahwa teh berpengaruh
langsung pada pembentukan dan pertumbuhan gigi.
Sedangkan sebagai bahan kumur dengan dosis teh 0,2% selama 3 hari berturut-turut
sesudah makan dapat menghambat pertumbuhan plak gigi (Sofia, 1994). Katekin teh dapat
menghambat kemampuan menginfeksi virus influensa (Nakayama, et al, 1991). Hal ini dapat
mendasari pemilihan teh sebagai minuman pencegah, dan pengobatan influenza. Gugus
galloyl pada teaflavin teh hitam ternyata dapat menghambat aktivitas beberapa vius yang
berkemampuan reverse transkriptase dan polimerase DNA manusia seperti virus HIV
(nakane et al, 1991), mekanisme penghambatannya sama dengan epigalokatekingalat pada
teh hijau.

Teh mencegah oksidasi.

Sifat antioksidan teh disebabkan oleh katekin. Katekin dapat merupakan pelindung
yang kuat bagi membran butir darah terhadap oksidasi. Oksidasi membran tersebut
umumnya disebabkan oleh peroksidasi lemak. Dengan demikian teh dapat melindungi
kerusakan butir darah merah maupun penyakit lain yang disebabkan oleh kerusakan
tersebut (Sano et al, 1991). Sifat antioksidasi teh sangat mendukung kemampuan teh
sebagai senyawa pelindung radiasi. Diketahui bahwa teh dapat menetralkan SZ90 suatu
isotop yang amat berbahaya. Sifat anti oksidasi teh juga dapat dimanfaatkan dalam
pengawetan makanan. Lemak dan minyak makan dapat dilindungi terhadap kerusakan
(Hara, 1991a), demikian juga beberapa vitamin yang peka terhadap oksidasi besar
kemungkinan dapat dilindungi oleh teh.

Melancarkan sekresi air seni.

Teh adalah senyawa diuretik lemah. Potensi ini disebabkan oleh kandungan
methylxanthine yang dapat menghambat reabsorbsi garam-garam dan air dalam ginjal.
Tolerenasi terhadap teh sebagai zat diuretik akan berkembang sesudah teh menjadi
kebiasaan. Sekresi air seni menjadi lancar apabila kita biasakan minum teh (Sands, 1991).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


230 | Teknologi Pertanian
Deodoran dan anti alergi.

Bau mulut disebabkan oleh pembentukan methylmercapten dalam air ludah.


Penelitian menunjukkan bahwa teh dapat menekan produksi methylmercapten, sehingga
minum, berkumur atau mengunyah permen teh dapat mencegah timbulnya bau mulut.
Sejalan dengan itu teh juga diketahui menekan terbentuknya senyawa-senyawa akergis
seperti histamin, melalui penghambat aktivitas enzim hyluronidase. Hal ini menunjukkan
bahwa teh berpotensi menjadi bahan anti alergi yang perlu dimanfaatkan (Maeda, et al,
1991).

Sebagai minuman anti diabetes.

Penderita diabetes dapat berkurang kadar glukosa darahnya apabila minum teh hijau
maupun teh hitam (Guanguly, 1995). Tentu saja efek baik teh ini perlu diimbangi dengan
pengaturan makan yang lain agar penderita diabetes dapat berkurang penderitanya.
Kekurang sukaan terhadap teh Indonesia terutama teh hijau terletak pada rasanya yang
relatif lebih pahit dari pada teh Cina dan Jepang, akibat dari tingginya katekin yang
menyebabkan rasa pahit. Rasa pahit ini dapat dikurangi dengan pemanasan (Bambang,
1989).

KESIMPULAN
Teh adalah minuman kesehatan mengandung komponen bioaktif yang
berkemampuan ganda baik secara medis maupun hayati. Teh dapat memberikan
kenikmatan dan kesegaran bagi peminumnya dan juga dapat mengurangi resiko kejangkitan
beberapa penyakit, kalori rendah, anti oksidan dan anti mikroba. Teh dianjurkan untuk
diminum sehari-hari secara sinambung, jika ingin sehat dan terhindar dari resiko penyakit.
Karena teh bukan minuman pemasok gizi, maka konsumsi teh harus seimbang dengan zat-
zat gizi yang diperlukan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Aktiva, N. 1994. Pengaruh Ekstrak teh Terhadap Pertumbuhan Isolat Bakteri Salmonella
Thyhi dan Sthigella Sp. Skripsi Fakultas Biologi. Unsoed Purwokerto..
Bambang K., 1998. Teh dan Kesehatan Makalah disampaikan pada Festifal Teh Indonesia,
Surabaya 25-26 April 1998.
Bakuchava dan Skobeleza, 1996. The Chemistry and Biochemistry of Tea and Tea
Manufacture. ADV. Fd. Res. 215-292.
Brunneman, K. 1991. Tea and Tea Components as Inhibitor of Carcinogen Formation in
model systems and Man. Int. Symp. Phys and Pharm. Efect of Camelia sinensis. New
York.
Fujiki, H. 1991. Anti carcinogenic Effects Of (-) Epigallocatechin Gallate (EGCG). Ibid.
Fung, Lung Chun, 1991. The Effect of Tea and Its Components Tumorigenesis Induced by
Tobacco-Specific Nitrosamine. Ibid.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 231
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gunguly, Y. 1991. Hypocholesterolemic of Black tea. Proc. Int. Tea Quality Human Health
Symp. Shanghai China, 59-61.
Hara, Y. 1991. Hypocholesterolemic and Hypotensive Effect of Tea Polifenol. Int. Symp. Phys
and Pharm Effect of Camalia Sinensis. New York.
Hara, Y. 1991 a. Prophylactic Functions of Tea Polyphenol. Proc. Int Symp. On Tea Sci. and
Human Health. Cucutta. India.
Hara, Y. 1993. Multifuntional Activities of Tea Polyphenols. Prc. Int Symp. Int Symp. On Tea
Sci. and Human Health. Cucutta. India..
Hayatsu, H. 1991. Antimutagenic Effects of Tea Polyphenols. Int Symp. Phys. And Pharm.
Effects of C. Sinensis. New York.
Iswhigaki K., T. Takakuwa and T. Takeo. 1991. Anti Diabetes Mellitus Effects of Water Soluble
Tea Polysaccharide. Proc. Int Syamp. On Tea Science Shizuoka, Japan 240 – 242.
Krishnamoorthy, K. K. 1991. The Nutritional and Therapeutic of Tea. Ibid.
Lou, F. 1991. A Study on Tea Pigment in Prevention of Atherosclerosis. Int. Syamp. Phys. And
Pharm. Effects of C. sinencis. New York.
Maeda, Y., M. Yamamoto, T. Masui, K. Ito, K. Sugiyama, M. Yakota, K. Nakagami, H. Tanaka, I.
Takahashi, T. Kobayashi and E. Kobayashi. 1991. Anti Allergic Effect in Tea. Proc. Int.
Syamp. Tea Sci. Shizuoka,Japan 337-341.
Mary Astuti. Makanan Keszehatan Prospeknya Bagi Industri Pangan dan Manfaatnya Bagi
Kesehatan. Makalah disampaikan pada Simposium Makanan Kesehatan. Yogyakarta,
31 Mei 2000.
Muhktar, H. 1991. Tea Components. Abtimutagenic and Anticarcinogenic Effects. Int Syamp.
Phys. And Pharm. Effects of C. sinensis. New York.
Muramatsu, K., K. Sugiyama, S. Amono, J., Nakashima and S. Saeki. 1991. Effect of Tea on
Colesterol Metabolism. Proc. Int. Symp. On Tea Sci Shizuoka, Japan 220 -224.
Nakane, H., Y. Hara, K. Ono. 1991. Differential Inhibition of HIV Reverse Transcriptase and
Various DNA Polymerases by Theaflavin. Ibid. 282 – 286.
Nakayama, M., M. Toda, S. Okabu, T. Shimamura. 1991. Inhibition of the Infectivity of
Influenza Virus by Tea. Ibid. 291 – 293.
Okubo, T., N. Ishihara, A. Oura and M. Kim. 1991. Effect of Tea Polyhenol Intake on
Intestional Microflora and Metabolish. Ibid. 299 -303.
Radyosunu, Y. S. 1990. Peran Unsur Fluora Pada Teh dalam Pertumbuhan dan Pembentukan
Gigi.Desertasi S-3 Unair, Surabaya.
Sakana, S., T. Ishida, M. Aizawa, M. Kim, T. Yamamoto. 1991. Prenventive Effects of Tea
Polyphenols Against Dental Caries. Proc. Int. Syamp. Tea Sci. Shizuoka Japan. 243 -
247.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


232 | Teknologi Pertanian
Sands, J. M. 1991. Tea, Fluid Balance and Renal Disease. Int. Symp. Phys. And Pharm Effect of
C. sinensis. New York.
Sano, M. Y. Takamashi, C. Komatsu, Y. Nakamura, K. Shimoi, I. Tomita, I. Oguni, K. Nasu, K.
Obata, H. Konomoto, T. Masuzawa, N. Suzuki. 1991. Anthioxidative Avtivities of Green
Tea and Black Tea in Rat Organ and Blood Plasma. Proc. Int. Symp. Tea Sci. Shizuoka
Japan. 304-308.
Shimamura, T., 1991. The anti Microbial Activity of Tea. Ibid, 27-31.
Tomita, I., K. Shimoi, E. Akaiwa, N. Suzuki, I. Kawase, M. Matsuda, S. Harada and Y.
Nakamura. 1993. Anti Mutagenic and Anti Carchinogenic Properties of Tea. Proc. Int
Symp. On Tea Sci and Human Health Calcutta. India.
Tverdal, A. 1991. Consumption of Coffee and Tea in Relation to Mortality Result From a
Study of Midle Aged Norwegian Men and Women. Int Symp. Phys. And Pharm. Effects
of C. Sinensis. New York.
Viani, R. 1991 The Active Constituent of Tea; A. Brief Review. Proc. Int Symp. Tea Sci.
Shizuoka Japan, 1-5.
Yamanishi, T. 1995. Special Issiue on tea. Food Reviews International, Vol 11 (3) 371-545.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 233
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
EVALUASI DAMPAK PELATIHAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO JAGUNG
TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI

Nova Maya Muhammad, Dedy Hertanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Gorontalo


Jalan. Muh. Van Gobel No. 270 Tilongkabila Bone Bolango Gorontalo
e-mail: ddy_hertanto@yahoo.com

ABSTRAK
Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia pertanian adalah melalui proses penyuluhan
dan pelatihan kepada petani. Sekolah lapang merupakah salah satu metode yang sering
diterapkan dalam aktivitas penyuluh pertanian dan salah satu bentuk kegiatannya adalah
pelatihan sistem jajar legowo pada jagung. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi
karakteristik petani jagung, mengevaluasi pelaksanaan pelatihan sistem tanam jajar legowo
jagung dan menganalisis hubungan karakteristik petani terhadap proses pengambilan keputusan
adopsi. Desain penelitian dilakukan dengan membandingkan hasil pretest dan postest dari
responden sebagai peserta pelatihan. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur peningkatan
pengetahuan peserta pelatihan sebelum dan sesudah diberikan pelatihan. Data dianalisis
dengan menggunakan uji Wilcoxon Match Pairs Test dan uji Rank Spearman. Dampak pelatihan
menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan yang dilakukan secara partisipatif dengan memberikan
materi serta praktek kepada petani ternyata mampu meningkatkan pemahaman petani tentang
teknologi inovasi sistem tanam jajar legowo pada jagung. Faktor pendidikan petani merupakan
variabel yang memiliki hubungan dengan tingkat keeratan yang rendah terhadap proses
pengambilan keputusan adopsi oleh petani.
Kata kunci: Evaluasi, Pelatihan, Penyuluhan, Pengetahuan

PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai
ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai
sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Jagung meskipun bukan komoditi
utama tanaman pangan seperti halnya padi, tetapi kebutuhannya dalam negeri memiliki
peranan pokok sebagai pemenuhan kebutuhan pangan setiap tahunnya cenderung
mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Ketersediaan
produksi jagung dari sisi ketahanan pangan menjadi sangat penting sebagai pangan
pengganti beras.
Dalam memenuhi kebutuhan jagung nasional yang terus meningkat, pemerintah
telah menetapkan sasaran produksi jagung pada tahun 2017 yaitu sebesar 25.200.000 ton,
sementara untuk sasaran upaya khusus (UPSUS) sebesar 30.544.728 ton pipilan kering (PK).
Target tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pencapaian produksi jagung
tahun 2016, yaitu sebesar 23.164.915 ton pipilan kering (PK) berdasarkan angka ramalan
(ARAM) II BPS 2016. (Kementan, 2017).
Peningkatan produksi jagung dalam rangka memenuhi kebutuhan jagung nasional
telah dilakukan dengan berbagai cara diantaranya: (1) Peningkatan produktivitas dengan
menerapkan teknologi spesifik lokasi, (2) Penggunaan varietas unggul baru yang bermutu,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


234 | Teknologi Pertanian
(3) Pengembangan optimalisasi lahan mendukung produksi, (4) Penerapan PTT, (5)
Pengamanan produksi dengan penerapan PHT, (6) Penanganan pasca panen serta (7)
Dukungan dari hasil-hasil penelitian dan penyuluhan. Upaya tersebut harus mendapat
dukung dari seluruh pelaku di sektor pertanian terutama adalah petani. Partisipasi dan
keterlibatan berbagai pihak perlu dikoordinasikan secara baik dan terencana agar introduksi
dan adopsi berbagai inovasi dapat mengarah pada peningkatan produksi dan mutu sesuai
permintaan pasar.
Peningkatan kemampuan (kognitif, afektif dan psikomotorik) petani dalam
manajemen usahatani jagung merupakan faktor yang sangat penting yang menentukan
tingkat keberdayaan petani. Artinya petani akan berdaya apabila mereka memiliki
kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengatasi
permasalahan usahataninya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan sumber daya manusia
yang memiliki pengetahuan yang memadai, terampil, motivasi yang tinggi, dan mampu
mengambil keputusan yang diperlukan dalam mengelola usahatani.
Salah satu strategi yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia pertanian adalah melalui penyuluhan dan pelatihan kepada petani. Sekolah
lapangan merupakah salah satu metode yang diterapkan dalam aktivitas penyuluh
pertanian. Metode ini merupakan suatu cara belajar yang memadukan teori dan praktek
melalui pengalaman petani atau kelompok tani yang ada dalam usahatani.
Usahatani jagung memiliki beberapa komponen teknologi untuk mendapatkan hasil
yang maksimal, salah satunya dengan cara pengaturan jarak tanam. Teknologi ini diperlukan
untuk mendapatkan tingkat populasi yang optimal; mempermudah dalam perawatan
tanaman; mendapatkan efek tambahan pakan (pada tanam jajar legowo sisip); mengurangi
kompetisi mendapatkan unsur hara antar tanaman serta memaksimalkan penerimaan sinar
matahari ke tanaman sehingga proses fotosintesis dapat maksimal. Inovasi teknologi
pengaturan jarak tanam salah satunya adalah tanam jajar legowo. Upaya pengaturan jarak
tanam untuk menghasilkan populasi yang optimum diharapkan dapat meningkatkan hasil
produksi.
Bertitik tolak dari permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi karakteristik petani jagung, 2)
mengevaluasi pelaksanaan pelatihan sistem tanam jajar legowo jagung, dan 3) menganalisis
hubungan karakteristik petani terhadap pengambilan keputusan adopsi.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Desa Dumati Kecamatan Telaga Biru Kabupaten Gorontalo
Provinsi Gorontalo. Pemilihan lokasi penelitian menggunakan metode purposive sampling,
yaitu suatu cara penentuan lokasi penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan sesuai
dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006). Lokasi dipilih karena merupakan salah satu
sentra produksi jagung di provinsi Gorontalo dan menjadi lokasi pelaksanaan pelatihan jajar
legowo jagung yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Gorontalo pada tahun 2016.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 235
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Penilaian perubahan pengetahuan dilakukan pada seluruh petani yang mengikuti pelatihan
jajar legowo jagung yaitu sebanyak 20 orang.
Desain penelitian ini menggunakan Pre-Experimental Design dengan One Group
Pretest dan Posttest Design. Desain ini dilakukan dengan membandingkan hasil pretest dan
postest dari responden sebagai peserta pelatihan. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur
peningkatan pengetahuan peserta pelatihan sebelum dan sesudah diberikan pelatihan.
Pengumpulan informasi tentang hal ini diperoleh melalui kuesioner terstruktur. Kuesioner
yang digunakan sebelum dan sesudah pelatihan adalah sama.
Pelatihan diberikan oleh peneliti dan penyuluh yang paham terhadap sistem jajar
legowo jagung. Materi berisi tentang teknis tahap pelaksanaan kegiatan budidaya dari tahap
varietas, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen. Pelatihan menggunakan 2
metode yaitu ceramah dan praktek langsung.
Responden yang diteliti sebanyak 20 orang petani yang merupakan petani kooperator
serta petani yang diberikan pelatihan. Karakteristik petani terdiri dari jenis kelamin, usia,
tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, pendapatan, luas lahan, dan kekosmopolitan.
Data yang diambil adalah data primer yang berupa data karaketristik petani,
pengambilan keputusan adopsi dan data hasil pretest dan posttest. Data dianalisis
menggunakan analisis statistik nonparametrik yaitu dengan uji Wilcoxon Match Pairs Test
(Siegel, 1997 dan Sugiyono, 2010). Uji ini untuk mengetahui perbedaan antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan (Siregar, 2011). Pengujian dilakukan dengan mentransformasi
data kualitatif yang berbentuk skala likert ke dalam data kuantitatif. Pengujian dilanjutkan
untuk melihat hubungan variabel bebas karakteristik petani dengan variabel terikat
pengambilan keputusan adopsi. Analisis non parametrik yaitu uji Rank Spearman digunakan
untuk menguji ada tidaknya korelasi antar variabel penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani

Jumlah petani berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa petani berjenis kelamin
laki-laki sebesar 45 persen atau 9 orang, sedangkan petani perempuan sebesar 55 persen
atau 11 orang. Jumlah petani berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan petani
berjenis kelamin laki-laki. Petani perempuan lebih banyak dibutuhkan pada proses budidaya
dalam tahap penananam, pemeliharaan dan panen yang membutuhkan kesabaran dan
telaten dalam bekerja.
Jumlah petani berdasarkan usia menunjukkan bahwa mayoritas petani berusia 41-50
tahun sebesar 35 persen atau 7 orang, selanjutnya petani berusia 51-60 tahun sebesar 30
persen atau 6 orang, petani berusia <30 tahun sebesar 25 persen atau 5 orang dan petani
berusia 31-40 tahun sebesar 10 persen atau 2 orang. Jumlah petani yang berusia ≤30 tahun
lebih sedikit di bandingkan petani yang berusia 41-50 dan yang berusia > 50 tahun. Hal ini
terjadi karena minat petani yang berusia ≤30 tahun dalam masa produktif sangat kurang
dalam usahatani pada umumnya, mereka lebih tertarik untuk berusaha dibidang lain seperti

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


236 | Teknologi Pertanian
usaha jasa dan pertambangan. Minat yang rendah diduga karena petani dengan usia
produktif menganggap pekerjaan petani belum bisa meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan.
Tingkat pendidikan pada petani jagung di desa Dumati sebagian besar di dominasi
oleh petani yang memiliki tingkat pendidikan tamat SD sebesar 65 persen atau 13 orang,
kemudian SMA sebesar 20 persen atau 4 orang, sedangkan yang tidak lulus SD sebesar 15
persen atau 3 orang. Lulusan SD mendominasi tingkat pendidikan sebagian besar petani
jagung di Desa Dumati, hal ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan petani
masih rendah.
Mayoritas petani jagung yang menjadi responden memiliki pengalaman dalam
berusahatani jagung dari ≤10 tahun sebesar 55 persen atau 11 orang, pengalaman 11-20
tahun sebesar 25 persen atau 5 orang, dan masa kerja >20 tahun sebesar 20 persen atau 4
orang. Pengalaman petani dalam berusahatani berhubungan dengan teknik budidaya,
pemahaman permasalahan budidaya serta strategi adaptasi petani. Semakin tinggi
pengalaman usahatani akan semakin mudah mereka menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi saat proses budidaya serta memiliki solusi secara cepat dan tepat.
Karakteristik petani berdasarkan pendapatan dapat dilihat bahwa petani jagung di
Desa Dumati sebagian besar memiliki pendapatan sebesar Rp.1.000.000-Rp.
5.000.000/tahun sebesar 55 persen atau 11 orang, pendapatan Rp. 6.000.000-
10.000.000/tahun sebesar 30 persen atau sebanyak 6 orang dan petani yang berpenghasilan
Rp. 11.000.000-15.000.000 sebesar 15 persen atau sebanyak 3 orang. Pendapatan petani
jagung di desa Dumati menunjukkan nilai dibawah rata-rata dan tergolong masih rendah. Hal
ini memperlihatkan bahwa sebagian besar petani masih pada golongan petani yang gurem
dan memiliki kemampuan ekonomi yang lemah.

Kepemilikan Lahan

Luas lahan yang dimiliki oleh petani merupakan sumberdaya alam yang dimanfaatkan
setiap musimnya dalam budidaya jagung. Kepemilikan lahan memiliki keberagaman di
tingkat petani, ada yang sekedar hanya menjadi penggarap, menyewa bahkan sebagai
pemiliki tanah. Luas lahan yang diusahakan oleh petani sebagian besar berkisar antara 0-0,5
ha yaitu sebesar 70 persen atau 14 orang, lalu untuk luasan 0,6-1 Ha dan >1 ha sebanyak 3
persen atau masing-masing 3 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian petani hanya
memiliki luas lahan yang sempit dan masuk dalam kategori petani gurem.

Kekosmopolitan

Tingkat kekosmopolitan merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh


mana petani jagung di Desa Dumati dalam mencari, mendapatkan, mengakses serta
menggunakan informasi yang didapatkan dari tokoh desa, internet, penyuluh dan lain-lain.
Rata-rata petani .memiliki tingkat kekosmopolitan yang rendah yaitu 0-3 kali/bulan sebesar
40 persen atau 8 orang, tingkat kosmopolitan yang sedang yaitu 4-7 kali sebesar 25 persen
atau 5 orang, tingkat kosmopolitan yang tinggi yaitu 8-11 kali/bulan sebesar 25 persen atau
sebanyak 5 orang dan tingkat kosmopolitan sangat tinggi yaitu 12-15 kali sebesar 10 persen
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 237
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
atau sebanyak 2 orang. Dapat dilihat bahwa petani jagung masih minim dalam mencari
informasi terkait peningkatan produksi jagung. Hal tersebut menandakan informasi yang
berkembang di tingkat petani masih belum terbuka sehingga inovasi pertanian yang
digunakan juga masih tertinggal.

Efektifitas Pelatihan

Efektifitas pelatihan diukur berdasarkan hasil wawancara terhadap petani pada aspek
pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya jagung yang terdiri dari varietas, persiapan
lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen. Evaluasi dilakukan sebelum dan setelah proses
pelatihan dilakukan dengan daftar pertanyaan yang sama. Pemahaman petani sebelum
proses pelatihan menunjukkan peningkatan pengetahuan pada aspek teknologi varietas,
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen.
Pemahaman petani pada jenis varietas jagung sebelum pelatihan menunjukkan
kategori rendah dengan rata-rata 2,05 dan setelah pelatihan menunjukkan kategori sedang
dengan rata-rata 3,78. Pemahaman petani terkait teknologi pengolahan lahan sebelum
pelatihan menunjukkan kategori rendah dengan skor rata-rata 2,1, sedangkan setelah
pelatihan mengalami kenaikan yaitu skoring rata-rata sebesar 3,56 masuk dalam kategori
sedang.
Pemahaman petani terkait teknologi jajar legowo jagung sebelum pelatihan
menunjukkan nilai rata-rata sebesar 2,25 termasuk kategori rendah, sedangkan setelah
pelatihan menunjukkan nilai rata-rata meningkat menjadi 3,76 dengan kategori sedang.
Untuk pemahaman petani terkait proses pemeliharaan dan panen masuk pada kategori
sedang baik sebelum dan setelah pelatihan tetapi untuk nilai rata-rata menunjukkan
peningkatan pada setaip aspek yaitu pemeliharaan pada sebelum pelatihan sebesar 2,3
menjadi 3,54, sedangkan pada aspek panen pada sebelum pelatihan nilai rata-rata sebesar
3,2 menjadi 3,73 setelah pelatihan.
Pelaksanaan pelatihan sistem tanam jajar legowo jagung yang dilakukan
menunjukkan adanya perubahan pemahaman petani pada setiap aspek budidaya. Metode
pelatihan yang diterapkan mampu meningkatkan pengetahuan petani secara keseluruhan.
Metode sekolah lapangan yang diberikan berupa materi di ruangan dan dikombinasikan
dengan lebih banyak praktek dilapangan terbukti mampu meningkatkan pengetahuan.
Menurut Ernawati S. dkk. (2012) setelah diberikan pelatihan ketrampilan terdapat
perubahan dan peningkatan kemampuan dari peserta pelatihan peternakan-pertanian
terpadu. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan kemampuan dan pengetahuan petani
dipengaruhi oleh metode penyuluhan yang dilaksanakan pada saat pelatihan berlangsung.
Dukungan aspek dari metode pelatihan, narasumber yang kompeten, materi yang berbobot,
suasana tempat pelatihan yang nyaman dan porsi kegiatan praktek yang lebih banyak dapat
menambah efektifitas pelatihan dalam menambah pengetahuan petani. Perubahan nilai
skoring peserta pelatihan pada masing-masing aspek budidaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


238 | Teknologi Pertanian
Tabel 1. Nilai rata-rata skor pemahaman petani
Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan
Pemahaman Petani
Rata-rata Kategori Rata-rata Kategori
Varietas 2,05 Rendah 3,78 Sedang
Persiapan Lahan 2,1 Rendah 3,56 Sedang
Penanaman 2,25 Rendah 3,76 Sedang
Pemeliharaan 2,73 Sedang 3,54 Sedang
Panen 3,2 Sedang 3,73 Sedang

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan nilai Asymp. Sig. (2 tailed) menunjukkan nilai


0,000<0,05 maka H0 ditolak. Uji wilcoxon menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara pemahaman petani sebelum dan setelah pelatihan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa perlakuan dengan metode pelatihan yang diterapkan kepada petani
dengan memberikan materi serta praktek langsung dilapangan memberikan perubahan
terhadap pengetahuan petani jagung. Pengetahuan petani sebelum mendapatkan materi
pelatihan masih minim tentang budidaya jagung dengan menggunakan sistem tanam jajar
legowo, tetapi setelah diberikan pembelajaran yang dilakukan secara partisipatif mengalami
peningkatan. Petani menjadi lebih paham terkait budidaya jagung dengan menggunakan
teknologi jajar legowo.

Tabel 2. Uji Wilcoxon


Test Statisticsb
Sesudah–Sebelum
Z -3,922a
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Hubungan karakteristik responden dengan pengambilan keputusan adopsi

Pengambilan keputusan dalam adopsi suatu teknologi dipengaruhi oleh faktor


karakteristik individu petani. Petani yang memiliki pengalaman serta pengetahuan yang lebih
baik terkait teknis usahatani akan mempermudah dalam mengatasi permasalahan yang
terjadi. Penanganan permasalahan usahatani akan membutuhkan pertimbangan-
pertimbangan dalam melaksanakannya, hal ini membutuhkan pengambilan keputusan yang
tepat. Proses pengambilan keputusan dalam mengadopsi inovasi baru ditentukan oleh
pengetahuan serta pengalaman dari individu. Sedangkankan peningkatan pengetahuan dari
petani dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pendidikan, pekerjaan, umur, minat,
pengetahuan, dan informasi (BBP2TP, 2010).
Hubungan antara karakteristik petani yang mengikuti pelatihan dengan keputusan
mereka dalam mengadopsi teknologi jajar legowo jagung menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan tetapi memiliki tingkat keeratan yang kurang yaitu pada variabel
pendidikan. Petani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih mudah untuk
menerima inovasi baru sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi pertanian. Petani

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 239
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang memiliki tingkat pendidikan lebih baik cenderung dapat menimbang kelebihan dan
kekurangan dalam menerapkan sistem tanam jajar legowo pada jagung.
Variabel umur, pengalaman dan tingkat kosmopolitan menunjukkan hubungan
dengan tingkat keeratannya rendah dan tidak signifikan. Petani yang memiliki umur
produktif cenderung memiliki motivasi lebih untuk mencoba sesuatu hal yang baru sehingga
lebih tertarik pada inovasi teknologi yang dapat meningkatkan hasil produksi jagungnya.
Pengalaman yang didapat dari periode yang lama akan sangat membantu petani dalam
menyelesaikan permasalahan yang dialaminya, sehingga memiliki hubungan antara lama
pengalaman petani dalam berusahatani dengan pengambilan keputusan untuk adopsi.
Begitu pula dengan tingkat kosmopolitan petani dalam mencari informasi akan sangat
membantu petani untuk lebih cepat dalam menerima inovasi baru. Hasil pengolahan data
analisis hubungan antara karakteristik petani dengan pengambilan keputusan adopsi
disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Korelasi Karakteristik petani dengan tingkat pengambilan keputusan adopsi


Koefisie Pengala Pendidik Luas Pendap Kosmop
Umur
n man an Lahan atan olit
Spearman’s Tingkat
korelasi 0,440 0,391 0,463* 0,195 0,115 0,378
rho Adopsi
Signifika
0,052 0,088 0,040 0,410 0,629 0,100
nsi

KESIMPULAN
Kegiatan pelatihan yang dilakukan secara partisipatif dengan memberikan materi
serta praktek kepada petani ternyata mampu meningkatkan pemahaman petani terhadap
teknologi inovasi sistem tanam jajar legowo pada jagung. Petani sebelum mengikuti
pelatihan merasa belum paham apa keuntungan serta manfaat bila menerapkan sistem
tanam jajar legowo, tetapi setelah mengikuti pelatihan petani lebih memahami pentingnya
menerapkan sistem tanam jajar legowo pada jagung.
Pendidikan memiliki korelasi lebih besar daripada variabel lainnya terhadap tingkat
pengambilan keputusan inovasi. Dari hasil analisis korelasi antara variabel tingkat
pengambilan keputusan inovasi dengan variabel karakteristik petani memiliki hubungan
yang nyata terhadap keputusan petani untuk melakukan penerapan sistem tanam jajar
legowo.

DAFTAR PUSTAKA
BBP2TP. 2014. Panduan pelaksanaan dan kumpulan materi training of trainer (TOT)
“Metodologi pengkajian penyuluhan dan evaluasi kinerja diseminasi hasil litkaji bagi
penyuluh pertanian lingkup Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian (BBP2TPBalitbangtan)”. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


240 | Teknologi Pertanian
Ernawati S. Dkk. 2012. Efektifitas Model Pelatihan Keterampilan berbasis Usaha Pertanian-
Peternakan Terpadu Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Selo,
Kabupaten Boyolali.
Kementerian Pertanian, 2017, Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Budidaya Jagung Tahun 2017,
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung:Alfabeta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Siregar, Sofyan. (2011), Statistik Deskriptif Untuk Penelitian. Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 241
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KINERJA PRODUKSI JAGUNG VARIETAS UNGGUL BARU BALITBANGTAN
PADA KAWASAN JAGUNG DI GORONTALO

Jaka Sumarno, Fatmah Sari Indah Hiola, dan Hasyim Jamalu Moko

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo


Jl. Moh. Van Gobel No.270 Bone Bolango, Gorontalo 96183
e-mail: jaka_sumarno@yahoo.com

ABSTRAK
Gorontalo merupakan salah satu Provinsi yang telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan
kawasan pertanian komoditas jagung. Dukungan pendampingan BPTP Gorontalo untuk
akselerasi adopsi teknologi dalam program pendampingan kawasan jagung di Gorontalo salah
satunya yaitu diseminasi varietas unggul baru jagung melalui display varietas di lokasi
pengembangan kawasan jagung. Penggunaan varietas unggul baru jagung hibrida hasil Badan
Litbang Pertanian diharapkan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas jagung pada
kawasan pertanian di Gorontalo. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas
beberapa varietas unggul baru jagung Badan Litbang Pertanian pada program pendampingan
pengembangan kawasan jagung di Gorontalo. Lokasi display varietas unggul jagung program
pendampingan kawasan jagung BPTP Gorontalo di Desa Dungaliyo, Kecamatan Dungaliyo,
Kabupaten Gorontalo pada tahun 2017. Total lahan display jagung yang digunakan yaitu seluas 3
ha. Varietas jagung yang ditanam di lokasi Display ini terdiri dari 4 Varietas Badan Litbang
Pertanian yaitu Bima 19 Uri dan Bima 20 Uri (Varietas Hibrida), serta Lamuru dan Srikandi
Kuning (Varietas Komposit). Sebagai kontrol atau pembanding adalah varietas eksisting yang
biasa dibudidayakan petani yaitu jagung hibrida Bisi 2 dan Bisi 18. Hasil ubinan panen di lokasi
display pada kadar air 23% menunjukkan bahwa produktivitas jagung hibrida Bima 19 Uri
sebesar 12,32 ton/ha, Bima 20 Uri sebesar 11,20 ton/ha, Jagung Komposit Lamuru sebesar 7,84
ton/ha, Srikandi Kuning sebesar 7,28 ton/ha, Bisi 2 sebesar 10,08 ton/ha, dan Bisi 18 sebesar
12,39 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas jagung hibrida varietas unggul
baru Badan Litbang Pertanian bisa bersaing dengan varietas jagung hibrida eksisting yang
selama ini berkembang di Gorontalo. Penting untuk memperbaiki sistem penyediaan benih
jagung varietas Balitbangtan di daerah dan tetap mempertahankan kebijakan pengunaan
varietas Balitbangtan ini pada program bantuan benih jagung pemerintah pada tahun-tahun
kedepan.
Kata kunci: produksi, varietas unggul baru, kawasan jagung

PENDAHULUAN
Salah satu upaya pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan pertanian adalah
melalui penetapan dan pengembangan kawasan pertanian. Tujuan pengembangan kawasan
pertanian yaitu melanjutkan keberhasilan dan meningkatkan kinerja pembangunan
pertanian yang telah dilaksanakan sebelumnya di daerah-daerah yang telah ditetapkan
sebagai Kawasan Pertanian melalui pengutuhan system dan usaha agribisnis di dalam
maupun antar kawasan dalam rangka mendukung tercapainya tujuan dan sasaran
pembangunan pertanian nasional dan daerah saat ini dan kedepan (Permentan 56 tahun
2016).
Berdasarkan Permentan Nomor 56 Tahun 2016, Gorontalo merupakan salah satu
Provinsi yang telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan kawasan nasional tanaman

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


242 | Teknologi Pertanian
pangan komoditas jagung. Pemerintah provinsi Gorontalo juga telah menetapkan jagung
sebagai komoditas unggulan daerah. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan
usahatani jagung di Gorontalo yaitu penurunan luas panen, produksi, dan produktivitas.
Catatan lima tahun terakhir, dari tahun 2008 sampai 2012, luas panen jagung menurun
sekitar 2,13 persen per tahun, produksi menurun rata-rata 1,68 persen per tahun dan
produktivitas menurun sebesar 0,06 persen per tahun (BPS, 2012).
Pada tingkat nasional, berdasarkan angka sementara BPS (ASEM) 2016 produksi
jagung Indonesia sebesar 23,59 ton. Namun produksi tersebut dipandang belum mampu
menjadikan Indonesia sebagai negara Zero impor di tahun 2017 ini. Pemerintah
menargetkan tahun 2017 produksi jagung ditingkatkan menjadi 30,5 juta ton untuk zero
impor (BBP2TP, 2017). Sehingga upaya-upaya khusus dilakukan untuk peningkatan produksi
dan produktivitas jagung, dalam rangka mencapai swasembada jagung nasional, dimana
telah ditargetkan swasembada jagung nasional oleh Kementerian Pertanian akan dicapai
tahun 2017 ini.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi jagung adalah
melalui penyediaan dan pengembangan benih varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi
dan tahan terhadap hama maupun cekaman lingkungan ekstrim lainnya. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) sebagai unit kerja dibawah Kementerian
Pertanian, telah banyak menghasilkan varietas unggul jagung baik jenis hibrida maupun
komposit. Namun demikian, menurut Balitserealia (2017) sebaran jagung hibrida dan
komposit varietas unggul Balitbangtan ini masih rendah di tingkat nasional. Masih di
dominasi oleh varietas unggul perusahaan multinasional. Menurut data Balitserealia (2017),
kontribusi jagung hibrida varietas Badan Litbang Pertanian pada tahun 2016 baru mencapai
7,2% dari total produksi jagung nasional, dan kontribusi jagung komposit pada 2014-2015
mencapai 13% dari total produksi nasional. Padahal produktivitas jagung varietas ungul
Badan Litbang Pertanian tidak kalah bersaing dengan varietas eksisting di petani.
Untuk itu sebagai upaya peningkatan produksi dan pengembangan varietas unggul
dalam negeri yaitu varietas unggul jagung Balitbangtan, telah dibuat kebijaan dari
Kementerian Pertanian bahwa mulai tahun 2017, 40% bantuan benih jagung pemerintah,
menggunakan varietas unggul Balitbangtan. Sebagai implementasi dari kebijakan ini, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di wilayah sentra produksi jagung, diminta untuk
melakukan pendampingan terhadap Calon Petani Calon Lahan (CPCL) penerima bantuan
benih jagung varietas Balitbangtan dan melakukan sosialisasi varietas unggul jagung
Balitbangtan kepada petani, penyuluh, dinas pertanian, dan stakeholder lainnya.
Varietas unggul baru merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan
keberhasilan usahatani terutama dalam peningkatan produktivitas. Fadwiwati et al. (2013)
mengungkapkan bahwa penggunaan varietas unggul baru pada petani jagung di Provinsi
Gorontalo mempunyai tingkat efisiensi teknis lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
efisiensi varietas unggul lama. Sebagai bentuk sosialisasi penggunaan varietas unggul baru
jagung Balitbangtan kepada masyarakat di Provinsi Gorontalo, BPTP Gorontalo telah
membuat display varietas jagung Balitbangtan di Kabupaten Gorontalo. Display varietas

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 243
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
jagung dibuat supaya petani lebih mengenal dan yakin untuk menggunakan varietas unggul
Balitbangtan dan lebih luas penyebarannya. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis
produktivitas beberapa varietas unggul baru jagung Badan Litbang Pertanian pada program
pendampingan pengembangan kawasan jagung di Gorontalo.

METODOLOGI

Ruang Lingkup Kegiatan

Kegiatan ini merupakan bentuk pendampingan BPTP Gorontalo pada pengembangan


kawasan jagung di Gorontalo dalam upaya percepatan adopsi teknologi, peningkatan
produktivitas dan pengembangan jagung varietas unggul Balitbangtan. Kegiatan
dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2017, dilakukan dalam bentuk display
varietas jagung, yang dilaksanakan di lokasi pengembangan kawasan jagung di Desa
Dungaliyo, Kecamatan Dungaliyo, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Kegiatan ini
juga merupakan bentuk sosialisasi jagung varietas unggul Balitbangtan kepada masyarakat di
Gorontalo (petani, penyuluh, dinas pertanian dan stakeholder lainnya).
Total lahan display varietas jagung yang digunakan yaitu seluas 3 ha. Varietas jagung
yang ditanam di lokasi Display ini terdiri dari 4 Varietas Badan Litbang Pertanian yaitu Bima
19 Uri dan Bima 20 Uri (Varietas Hibrida), serta Lamuru dan Srikandi Kuning (Varietas
Komposit). Sebagai kontrol atau pembanding adalah varietas eksisting yang biasa
dibudidayakan petani yaitu jagung hibrida Bisi 2 dan Bisi 18.

Metode Analisis Data

Analisis data menggunakan data primer hasil pengukuran lapang berupa data
produktivitas dan parameter jagung. Disamping itu, juga dilakukan wawancara dengan
beberapa petani jagung untuk meperdalam bahasan di lokasi pengembangan kawasan
jagung di Kabupaten Gorontalo. Pengukuran produktivitas dan keragaan hasil dilakukan
melalui pengambilan ubinan/sampel meliputi panjang tongkol, jumlah baris, bobot 1000 biji
dan hasil ubinan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif, data yang
diperoleh dianalisis secara tabulasi yang meliputi data produktivitas dan keragaan parameter
jagung,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan Teknologi Budidaya Jagung

Salah satu faktor yang mampu meningkatkan produksi adalah teknologi. Pengelolaan
usahatani jagung di lokasi display varietas jagung Balitbangtan di Desa Dungaliyo, Kecamatan
Dungaliyo, Kabupaten Gorontalo menerapkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) Jagung. Penggunaan varietas unggul jagung dan komponen teknologi lainnya dikelola
secara terpadu memungkinkan tercapainya potensi hasil yang tinggi. Saidah et al. (2015),
mengungkapkan bahwa kemampuan suatu varietas akan memberikan produksi lebih tinggi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


244 | Teknologi Pertanian
jika keadaan lingkungan tumbuhnya optimal. Penggunaan input dam penerapan teknologi
budidaya jagung pada lokasi display varietas jagung Balitbangtan sebagai berikut.

Penyiapan lahan

Pengolahan lahan di lokasi display sebagian menggunakan mesin traktor roda 4 seluas
1,5 ha dan sebagiannya lagi seluas 1,5 ha menggunakan bajak ternak. Pengolahan tanah
yang menggunakan traktor dilakukan dengan dengan dua kali bajak dan dua kali garu
kemudian diratakan (pengolahan tanah sempurna). Sedangkan sebagian menggunakan
ternak sapi, menerapkan system olah tanah minimum. Sebelum dilakukan pengolahan
tanah, dilakukan penyemprotan menggunakan herbisida untuk membersihkan rumput
(gulma).

Penanaman

Penanaman jagung dilakukan dengan lubang tanam dengan cara ditugal, kemudian
benih jagung dimasukkan ke dalam lubang tersebut. Pembuatan lubang tanam pada
umumnya dilakukan oleh tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Jarak tanam yang
digunakan yaitu 70 x 40 cm dengan 2 biji per lubang. Penerapan jarak tanam ini
menyesuaikan dengan kebiasaan petani. Hasil wawancara dengan petani bahwa penggunaan
jarak tanam ini karena lebih menghemat input tenaga kerja.

Pemupukan

Pemupukan diaplikasikan sebanyak dua kali. Pemupukan pertama dilakukan setelah


satu sampai dua minggu dari penanaman pada kisaran umur jagung 7 sampai 15 hari setelah
tanam (HST), kemudian pemupukan kedua dilakukan kisaran umur jagung 35 sampai 45 HST.
Jenis pupuk yang digunakan petani jagung di lokasi display yaitu pupuk urea dan pupuk
phonska (NPK). Dosis pupuk yang diterapkan sesuai hasil uji menggunakan Perangkat Uji
Tanah Kering (PUTK) di lokasi display yaitu urea sebanyak 250 kg/ha dan phonska sebanyak
300 kg/ha. Kegiatan pemupukan dilakukan oleh tenaga kerja baik laki-laki maupun
perempuan. Petani di kawasan jagung Kabupaten Gorontalo relatif tidak ada yang
menggunakan bahan organik, oleh karena ketersediaan bahan organik khususnya pupuk
kandang yang kurang di lokasi pengembangan.

Pemeliharaan

Pemeliharaan dalam usahatani jagung dilakukan dengan penyiangan untuk


membersihkan rumput dan gulma pengganggu tanaman jagung. Petani jagung dianjurkan
untuk melakukan penyiangan minimal dua kali dalam satu musim. Penyiangan pertama pada
pertanaman jagung dilakukan pada umur 14 sampai 20 hari setelah tanam (HST) bersamaan
dengan pembuatan alur drainase atau pengairan. Penyiangan dilakukan dengan
penyemprotan menggunakan herbisida.
Periode kritis tanaman jagung terhadap gulma adalah pada dua bulan pertama masa
pertumbuhan. Di lokasi display varietas, seluas 1,5 ha dilakukan pembumbunan tanaman
menggunakan ternak sapi. Pembumbunan ini bertujuan untuk memberikan lingkungan akar

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 245
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang lebih baik, agar tanaman tumbuh kokoh dan tidak mudah rebah. Pembumbunan
biasanya dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama dan pembuatan saluran, atau
setelah pemupukan kedua bersamaan dengan penyiangan kedua secara mekanis.
Pembumbunan ini dilakukan juga untuk membersihkan/mengendalikan gulma dan rumput.
Hasil di lapangan menunjukkan bahwa dengan proses ini sampai panen, lokasi display ini
bersih dari gulma dan rumput.

Panen dan Pasca Panen

Panen dilakukan tepat waktu oleh petani jagung jika kelobot tongkol telah mengering
(berwarna coklat) dan biji telah mengeras. Panen jagung dilakukan oleh petani di lokasi
display pada saat umur tanaman jagung sekitar 102 hari setelah tanam. Panen yang
dilakukan lebih awal kadar air biji tinggi menyebabkan biji keriput, warna kusam dan bobot
biji lebih ringan. Jika terlambat panen pada musim hujan menyebabkan tumbuhnya jamur
dan bahkan biji berkecambah. Jagung hasil pipilan dijemur hingga kadar air biji mencapai
sekitar ±15 persen.

Produktivitas Beberapa Varietas Unggul Jagung Balitbangtan

Varietas jagung Balitbangtan yang ditanam sebagai bentuk sosialisasi kepada petani
di lokasi pengembangan kawasan jagung Kabupaten Gorontalo di Desa Dungaliyo,
Kecamatan Dungaliyo adalah jagung hibrida Bima 19 Uri dan Bima 20 Uri, Jagung Komposit
Lamuru dan Srikandi Kuning, serta sebagai pembanding Jagung hibrida Bisi 2 dan Bisi 18.
Pengukuran hasil panen jagung varietas Balitbangtan di lokasi display varietas ini dilakukan
pada saat tanaman jagung berumur 102 hari setelah tanam. Pengukuran hasil dan parameter
jagung dilakukan dengan ubinan/sampel pada saat kadar air 23 persen. Produktivitas jagung
varietas unggul Balitbangtan dan varietas pembanding yang eksis di tingkat petani dapat di
lihat pada tabel 1-6.

Tabel 1. Produktivitas dan keragaan hasil ubinan pengukuran parameter jagung varietas
Bima 19 Uri di Lokasi Display Jagung Desa Dungaliyo Kabupaten Gorontalo 2017
Panjang Panjang Jumlah Jumlah Jumlah I Bobot Bobot
No
Klobot Tongkol Baris Dalam Baris Tongkol Ubinan 1000 biji
1 22 17 12 34 408
2 27 20 12 40 480
3 24 17 14 36 504
4 26 18 16 29 464
5 24 18 14 31 434
6 25 18 12 33 396 12,32
343 gram
7 19 13 12 24 288 ton/ha
8 24 17 16 27 432
9 22 15 12 33 396
10 29 19 14 37 518
Rata-
24,2 17,2 13,4 32,4 432
rata

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


246 | Teknologi Pertanian
Tabel 2. Produktivitas dan keragaan hasil ubinan pengukuran parameter jagung varietas
Bima 20 Uri di Lokasi Display Jagung Desa Dungaliyo Kabupaten Gorontalo 2017
Jumlah
Panjang Panjan Jumlah Jumlah l Bobot Bobot
No Dalam
Klobot Tongkol Baris tongkol Ubinan 1000 biji
Baris
1 25 14 14 27 378
2 26 17 14 32 448
3 23 15 12 28 336
4 23 16 12 33 396
5 23 14 14 26 364
6 24 14 16 25 400 11,20
336 gram
7 24 11 16 20 320 ton/ha
8 21 17 12 34 408
9 24 17 14 34 476
10 20 11 14 24 322
Rata-
23,3 14,6 13,8 28,3 384,8
rata

Produktivitas jagung hibrida varietas Balitbangtan, Bima 19 Uri dan Bima 20 Uri,
masing-masing 12,32 ton/ha dan 11,20 ton/ha. Dari beberapa kajian sebelumnya yang
dilakukan oleh BPTP Gorontalo di beberapa kabupaten, menunjukkan bahwa varietas Bima
19 Uri lebih cocok di tanam di kawasan jagung di Gorontalo. Karakteristik varietas Bima 19
Uri ini yang juga menjadi kelebihannya adalah sangat toleran terhadap kekeringan, dan
memang sangat cocok untuk dikembangkan di Gorontalo. Selain itu varietas ini tahan
terhadap penyakit bulai, karat dan hawar daun. Keunggulan lainnya kedua varietas ini,
berdasarkan fakta dilapangan adalah stay green, daun massih relatife hijau sampe pada saat
panen, sehingga masih dapat digunakan untuk pakan ternak sapi.

Tabel 3. Produktivitas dan keragaan hasil ubinan pengukuran parameter jagung varietas
Srikandi Kuning di Lokasi Display Jagung Desa Dungaliyo Kabupaten Gorontalo 2017
Jumlah
Panjang Panjang Jumlah Jumlah l Bobot Bobot
No Dalam
Klobot Tongkol Baris Tongkol Ubinan 1000 biji
Baris
1 22 11 12 22 264
2 27 14 14 29 406
3 23 19 14 27 378
4 22 14 16 32 512
5 26 17 12 26 312
7,28
6 19 13 14 29 406 272 gram
ton/ha
7 21 14 12 34 408
8 21 12 18 25 450
9 22 13 12 33 396
10 24 16 14 28 392
Rata-rata 22,7 14,3 13,8 28,5 392,4

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 247
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 4. Produktivitas dan keragaan hasil ubinan pengukuran parameter jagung varietas
Lamuru di Lokasi Display Jagung Desa Dungaliyo Kabupaten Gorontalo 2017
Jumlah
Panjang Panjang Jumlah Jumlah l Bobot Bobot
No Dalam
Klobot Tongkol Baris tongkol Ubinan 1000 biji
Baris
1 27 19 16 37 592
2 23 13 14 25 350
3 22 15 16 26 416
4 26 18 14 34 476
5 22 14 16 14 224 7,84
273 gram
6 28 16 16 23 368 ton/ha
7 26 16 14 26 364
8 24 15 12 30 360
9 25 14 16 24 384
10 23 11 16 20 320
Rata-rata 24,66 15,1 15 25,9 385,4

Hasil ubinan, menunjukkan bahwa produktivitas jagung komposit varietas


Balitbangtan yaitu Srikandi Kuning dan Lamuru, masing-masing sebesar 7,28 ton/ha dan 7,84
ton/ha. Hasil di lapangan, varietas Srikandi Kuning relatif banyak yang rebah pada saat
terjadi hujan disertai angin. Jika dibandingkan antar kedua varietas ini rata-rata panjang
tongkol lebih panjang varietas Lamuru termasuk pada parameter jumlah baris. Pada kegiatan
pendampingan kawasan jagung ini, varietas komposit juga diperkenalkan karena terdapat
juga bantuan benih jagung komposit varietas Balitbangtan pada tahun anggaran 2017 ini di
Provinsi Gorontalo. Selain itu, BPTP Gorontalo pada tahun ini juga mengembangkan benih
jagung komposit yaitu Lamuru, Srikandi Kuning, dan Bisma.

Tabel 5. Produktivitas dan keragaan hasil ubinan pengukuran parameter jagung varietas Bisi
2 di Lokasi Display Jagung Desa Dungaliyo Kabupaten Gorontalo 2017
Jumlah
Panjang Panjang Jumlah Jumlah l Bobot Bobot
No Dalam
Klobot Tongkol Baris tongkol Ubinan 1000 biji
Baris
1 22 17 12 39 468
2 24 16 12 35 420
3 24 17 12 39 468
4 19 14 12 33 396
5 23 8 4 21 84
10,08
6 22 17 10 38 380 305 gram
ton/ha
7 25 18 12 32 384
8 22 17 12 40 480
9 21 12 12 22 264
10 21 14 10 32 320
Rata-rata 22,3 15 10,8 33,1 366,4

Jika membandingkan antara jagung hibrida dengan jagung komposit diatas


menunjukkan bahwa produktivitas jagung hibrida lebih tinggi dari jagung komposit. Hasil ini
konsisten dengan penelitian Bahua (2008), bahwa produksi jagung hibrida di Kecamatan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


248 | Teknologi Pertanian
Limboto Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan jagung komposit masing-masing
sebesar 5,4 ton per hektar dan 3,4 ton per hektar. Antara (2010) mengungkapkan bahwa
produksi jagung hibrida lebih tinggi daripada jagung non hibrida masing-masing sebesar
4.505 kg per hektar pipilan kering dan 2.720 kg per hektar pipilan kering. Menurut Sutoro
(2015), varietas jagung hibrida mempunyai potensi hasil lebih tinggi dibanding jagung bersari
bebas karena terdapat efek heterosis dari gen-gen penyusun hibrida.

Tabel 6. Produktivitas dan keragaan hasil ubinan pengukuran parameter jagung varietas Bisi
18 di Lokasi Display Jagung Desa Dungaliyo Kabupaten Gorontalo 2017
Jumlah
Panjang Panjang Jumlah Jumlah l Bobot Bobot
No Dalam
Klobot Tongkol Baris tongkol Ubinan 1000 biji
Baris
1 22 17 12 38 456
2 23 16 16 30 480
3 24 14 14 24 336
4 22 15 14 30 420
5 21 16 14 30 420 12,39
348 gram
6 22 16 12 32 384 ton/ha
7 22 18 16 35 560
8 22 16 14 33 462
9 21 15 16 29 464
10 22 17 14 39 546
Rata-rata 22,1 16 14,2 32 452,8

Sebagai kontrol atau perbandingan, pada display varietas pendampingan kawasan


jagung ini ditanam juga varietas yang telah luas berkembang di Provinsi Gorontalo yaitu Bisi
2 dan Bisi 18. Kedua varietas ini sangat diminati sebagian besar petani di Gorontalo. Hasil di
lapangan, menunjukkan bahwa produktivitas kedua varietas jagung hibrida ini relatif tinggi,
Bisi 2 mencapai 10,08 ton/ha dan Bisi 18 mencapai 12,39 ton/ha. Jika dibandingkan dengan
varietas jagung hibrida Balitbangtan, Bisi 18 ini produktivitasnya masih yang paling tinggi.
Hasil dilapangan menunjukkan bahwa yang relatife bisa bersaing dan mendekati dengan
produktivitas varietas Bisi 18 adalah Jagung hibrida varietas Bima 19 Uri, dimana
produktivitas di lokasi display mencapai 12,32 ton/ha. Jika membandingkan dengan Bisi 2,
produktivitas jagung di lokasi display lebih tinggi varietas Bima 19 Uri.
Persoalan utama dalam pengembangan jagung varietas Balitbangtan adalah
ketersediaan benih di wilayah pengembangan kawasan, termasuk di Gorontalo. Petani
berminat untuk menanam, namun ketika permintaan banyak dari petani tidak diimbangi
dengan ketersediaan benih yang memadai baik yang tersedia di toko tani maupun di
penyedia benih. Sehingga penting untuk memperbaiki sistem penyediaan benih jagung
varietas Balitbangtan di daerah, disamping tetap mempertahankan kebijakan pengunaan
varietas Balitbangtan ini pada program bantuan pemerintah pada tahun-tahun kedepan.
Implementasi kebijakan penggunaan varietas Balitbangtan pada program bantuan benih
jagung pemerintah ini, pada tahap awal akan memberikan keyakinan kepada petani bahwa
varietas jagung Badan Litbang Pertanian sebenarnya tidak kalah dengan varietas eksisting
dan cenderung juga akan meningkatkan produktivitas. Jika petani telah mengenal dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 249
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
permintaan tinggi tentunya akan membangkitkan minat produsen-produsen atau penyedia
benih jagung varietas Badan Litbang Pertanian.

KESIMPULAN
Produktivitas jagung hibrida varietas unggul baru Badan Litbang Pertanian di lokasi
pengembangan kawasan jagung, relatif bersaing dengan varietas jagung hibrida eksisting
yang selama ini berkembang di Gorontalo. Hasil ubinan panen di lokasi display pada kadar air
23% menunjukkan bahwa produktivitas jagung hibrida Bima 19 Uri sebesar 12,32 ton/ha,
Bima 20 Uri sebesar 11,20 ton/ha, Jagung Komposit Lamuru sebesar 7,84 ton/ha, Srikandi
Kuning sebesar 7,28 ton/ha, Bisi 2 sebesar 10,08 ton/ha, dan Bisi 18 sebesar 12,39 ton/ha.
Dari beberapa display varietas di lokasi pengembangan kawasan jagung, varietas
jagung Balitbangtan Bima 19 Uri relatif cocok untuk dikembangkan di daerah Gorontalo,
karena varietas ini memiliki keunggulan yaitu toleran terhadap kekeringan, tahan penyakit
bulai, tahan penyakit karat dan hawar daun.
Dalam rangka pengembangan jagung varietas Badan Litbang Pertanian, tahap
pertama yang disarankan adalah tetap konsisten menetapkan kebijakan penggunaan
varietas Balitbantan pada program bantuan benih jagung pemerintah. Hal ini telah
diimplementasikan tahun 2017 ini, dimana sebanyak 40% bantuan benih jagung pemerintah
menggunakan varietas Balitbangtan. Sangat penting untuk meningkatkan sarana dan
prasarana pendukung untuk memproduksi jagung hibrida varietas dalam negeri,
meningkatkan dukungan pendanaan, meningkatkan SDM penangkar jagung hibrida
terutama di daerah pengembangan kawasan jagung sehingga mampu untuk mandiri benih.

DAFTAR PUSTAKA
Antara M. 2010. Analisis Produksi dan Komparatif Antara Usahatani Jagung Hibrida Dengan
Non Hibrida di Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi. Jurnal Agroland. 17(1):56-62.
Bahua I. 2008. Analisis Usahatani Jagung Pada Lahan Kering di Kecamatan Limboto
Kabupaten Gorontalo. Jurnal Penyuluhan. 4(1):47-53.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). 2017. Strategi
Pendampingan dan Progress CPCL Jagung. Rakor Jagung Maros, 15 Maret 2017.
Badan Litbang Pertanian.
Balitserealia Maros. 2017. Peran inovasi teknologi dalam mendukung peningkatan provitas
jagung di kawasan timur Indonesia. Temu Teknologi Pertanian Kawasan Timur
Indonesia, UMI 16 Maret 2017. Badan Litbang Pertanian.
BPS. 2012. Gorontalo dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Provinsi Gorontalo. Gorontalo.
Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo. 2012. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi
Gorontalo. Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo. Gorontalo.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


250 | Teknologi Pertanian
Fadwiwati AY, Hartoyo S, Kuncoro SU, Rusastra IW. 2013. Analisis Efisiensi Teknis, Efisiensi
Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Usahatani Jagung Berdasarkan Varietas di Provinsi
Gorontalo. Jurnal Agro Ekonomi.
Keputuasan Menteri Pertanian No 830/Kpts/RC.040/12/2016. Keputusan Menteri Pertanian
tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional.
Permentan 56/PERMENTAN/RC.040/11/2016. Peraturan Menteri Pertanian Tentang
Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian.
Saidah, Syafruddin, Dan R. Pangestuti. 2015. Daya hasil jagung varietas srikandi kuning pada
beberapa lokasi SL-PTT di Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1 (5):
1151-1155.
Sutoro. 2015. Determinan Agronomis Produktivitas Jagung. Jurnal IPTEK Tanaman Pangan 10
(1): 39-46.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 251
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
ANALISIS USAHATANI KAKAO DI KECAMATAN WONOSARI
KABUPATEN BOALEMO

Ari Abdul Rouf, Erna Retnawati, Dwi Rohmadi, Sukarto


dan Hatta Muhammad

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo.


Jl Muh Van Gobel 270 Bone Bolango Gorontalo,
Telp (0435) 827627.
e-mail: ariabdrouf@gmail.com

ABSTRAK
Data BPS Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa luas panen kakao di Provinsi Gorontalo
selama 2008-2012 cenderung mengalami penurunan yaitu dari 9.646 Ha menjadi 4.793 Ha.
Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan komoditas kakao di Provinsi Gorontalo
adalah produktivitas tanaman rendah disebabkan budidaya belum optimal, serangan hama dan
penyakit serta kurang bersaing dengan komoditas lain. Kajian bertujuan untuk menganalisis
usahatani kakao di Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo. Data primer dikumpulkan
meliputi karakteristik petani, usahatani serta input-output produksi yang diperoleh dari 30
petani kakao. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2015. Data kemudian dikaji
berdasarkan analisis usahatani menggunakan analisis pendapatan dan benefit cost ratio. Hasil
kajian menunjukan bahwa sebagian besar petani (96,7%) tidak mengetahui klon kakao yang
ditanam. Sementara rata-rata luas kepemilikan kebun kakao oleh petani sebesar 0,81 Ha/petani.
Produktivitas kakao mencapai 679 kg/ha/th, nilai ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata
produktivitas kakao di Kabupaten Boalemo yang mencapai 270 kg/ha/th. Adapun biaya
usahatani kakao mencapai Rp 7.527.776/ha. Sementara keuntungan yang diperoleh petani
sebesar Rp 6.731.224/ha/th. Namun demikian, analisis kelayakan usaha menunjukan bahwa
indikator BC rasio usahatani kakao mencapai 0,89, hal ini menunjukan bahwa usahatani kakao
belum layak diusahakan karena nilai BC rasio yang kurang dari satu. Kondisi ini disebabkan oleh
produksi tanaman kakao yang rendah, sehingga kedepan petani harus mengoptimalkan
budidaya tanaman kakao sehingga diharapkan pendapatan petani dapat meningkat.
Kata Kunci: Kakao, usahatani, pendapatan, kelayakan

PENDAHULUAN
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi
untuk peningkatan devisa Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok
utama kakao dunia setelah Pantai Gading yang berkontribusi sebesar 31,64% atau 1,42 juta
ton, kemudian diikuti Indonnesia yaitu sebesar 17,36% atau sekitar 780 ribu ton (Pusdatin,
2014). Permintaan dunia terhadap kakao semakin meningkat dari tahun ke tahun, hingga
tahun 2011, ICCO (international Cocoa Organization) memperkirakan produksi kakao dunia
akan mencapai 4,05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga
terjadi defisit sekitar 50 ribu ton per tahun (Suryani, et al 2007).
Kondisi ini merupakan suatu peluang bagi Indonesia karena Indonesia berpotensi
menjadi produsen utama kakao di dunia. Sebagai salah satu komoditas andalan perkebunan
Indonesia, perkebunan kakao didominasi oleh perkebunan rakyat (91,3%) dengan jumlah
petani yang terlibat secara langsung lebih dari 1,5 juta KK (Aklimawati, 2013).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


252 | Teknologi Pertanian
Data BPS Gorontalo (2012) menunjukan bahwa luas panen kakao di Provinsi
Gorontalo selama 2008-2012 cenderung mengalami penurunan yaitu dari 9.646 Ha (2008)
menjadi 4.793 Ha (2012). Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan komoditas
kakao di Provinsi Gorontalo terutama di daerah pengembangan seperti kabupaten
Pohuwato, kabupaten Boalemo, kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango adalah
produktivitas tanaman yang rendah (kurang dari 800 kg/ha/thn).
Hal ini disebabkan oleh kegiatan petani kakao yang mendatangkan benih yang tidak
jelas tetuanya, budidaya belum optimal dan adanya serang hama dan penyakit. Oleh karena
itu, kajian ini dilaksanakan untuk menganalisis usahatani dan kelayakan usaha kakao di
Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo.

METODOLOGI
Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposive dengan alasan bahwa kabupaten tersebut memiliki kebijakan
pengembangan komoditas kakao. Pengkajian dilakukan pada bulan Juni 2015.
Unit contoh pada penelitian ini adalah petani kakao yang dipilih sebanyak 30 petani.
Pemilihan dilakukan secara non probablity sampling. Data primer diperoleh melalui
wawancara dibantu dengan kuesioner. Adapun data yang dikumpulkan meliputi karakteristik
petani, budidaya dan sarana produksi yang digunakan beserta harga belinya serta output
produksi dan harga jualnya. Data yang diambil adalah data selama usahatani satu tahun
terakhir.

Analisis data

Banyak faktor yang dapat dijadikan indikator keberhasilan suatu usaha. Guna
mengukur keberhasilan tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan analisis usahatani yang
meliputi yaitu analisis pendapatan dan analisis kelayakan usaha. Perhitungan kedua
indikator tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut (Shinta, 2011):
a. Analisis Pendapatan: π= TR-TC - π=Y.Py-X.Px
Dimana:𝜋= Keuntungan
TR = Total penerimaan yang diperoleh dari nilai hasil produksi
TC = Jumlah biaya keseluruhan yang meliputi biaya tetap dan biaya variabel
π
b. Benefit Cost Ratio (BCR): BCR=
TC

Dimana: 𝜋 = Keuntungan; TC = Jumlah biaya keseluruhan yang meliputi biaya


tetap dan biaya variabel BC
Nilai BCR merupakan indikator dalam menilai kelayakan usaha. Suatu usaha dikatakan
layak jika bernilai lebih dari satu, sebaliknya jika kurang dari satu maka dikatakan tidak layak
diusahakan karena keuntunganyang diperoleh tidak mencukupi biaya yang dikeluarkan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 253
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PEMBAHASAN

Karakteristik petani kakao

Guna mengetahui kondisi karakteristik petani dan pertanaman dilokasi penelitian


maka dilakukan survei. Karakteristik petani dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik petani di Kecamatan Wonosari


Parameter Keterangan
Umur 40,63 + 9,9 tahun
Pendidikan SD (50%); SMP (26,67%); > SMA (20%); tidak sekolah (3,3%)
Pengalaman usahatani 7,4 + 4,4 tahun
Status usaha Utama (60%); Sampingan (40%)
Anggota keluarga 3 orang
Sumber: Data primer (2015)

Tabel 1 menunjukan bahwa umur petani masih dalam kisaran usia produktif dengan
umur rata-rata sebesar 40,63 tahun. Berkenaan dengan pendidikan diketahui bahwa petani
sebagian besar tamatan pendidikan SD (50%) dan hanya 20% yang tamat SMA. Pengalaman
usahatani kakao rata-rata sebesar 7,4 tahun, hal ini menunjukan bahwa usahatani kakao
relatif baru bagi petani. Petani kakao umumnya adalah para transmigran yang mulai
menempati lokasi sekitar tahun 2007. Dengan demikian masih terdapat peluang peningkatan
pengetahuan teknis budidaya bagi petani. Status usaha menunjukan usahatani kakao bagi
60% petani adalah pekerjaan utama sedangkan sisanya adalah pekerjaan sampingan.
Adapun jumlah anggota keluarga rata-rata sebanyak 3 orang yaitu terdiri dari istri dan anak.

Budidaya Kakao

Karakteristik teknologi merupakan indikator yang harus dicermati dalam usahatani


kakao. Keberhasilan dalam menghasilkan produksi yang maksimal sangat ditentukan oleh
teknologi yang diterapkan. Semakin baik teknologi diterapakan serta didukung oleh
lingkungan (iklim, serangan hama/penyakit yang rendah) maka diharapkan produksi kakao
yang dihasilkan semakin tinggi. Karakteristik penerapan teknologi oleh petani sekitar dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik penerapan teknologi budidaya kakao


No Karakteristik Budidaya Penerapan oleh Petani
1 Klon kakao 96,67% lokal; 3,33% M06
2 Luas kebun 0,81+ 0,39 Ha
3 Dosis pemupukan/Ha Urea: 131 kg/ha
Phonska: 205 kg/ha
4 Produktivitas rata-rata 679 kg/ha/th
5 Hama atau penyakit utama PBK, Kanker, VSD, Jamur
Sumber: Data primer (2015)

Tabel 2. menunjukkan bahwa sebagian besar petani (96,7%) tidak mengetahui klon
kakao yang digunakan dan hanya satu orang yang mengetahui jenis klon yang digunakan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


254 | Teknologi Pertanian
Ketidaktahuan petani atas klon yang digunakan dikarenakan petani memperoleh bibit
sebelumnya dari petani lain dan pemilik bibitpun tidak mengetahui klon yang dibudidayakan
oleh mereka sendiri.
Selain dari petani lain, bibit yang digunakan diperoleh dari bantuan dinas
perkebunan, namun demikian petani tidak memperhatikan klon yang tertera dalam sertifikat
bibit tersebut. Petani di lokasi kegiatan umumnya memperoleh kebun dari pemerintah
daerah sebagai bantuan bagi para transmigran, namun demikian luas kepemilikan kebun
kakao oleh petani adalah sebesar 0,81 Ha/petani. Sehingga sisa kebun digunakan oleh petani
untuk menanam tanaman lain seperti jagung.
Dosis pemupukan kakao yang diberikan oleh petani adalah urea sebanyak 131
kg/ha/th dan phonska 205 kg/ha/th. Menurut Puslitkoka dalam (Ben, et al. 2008) jumlah
pupuk yang perlu diberikan pada tanaman kakao dengan usia lebih dari 6 tahun adalah
sebanyak 220 kg/ha, 240 kg/ha SP 36 dan 170 kg KCL, hal ini berarti jumlah pupuk yang
diberikan oleh petani masih lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan optimal tanaman
kakao. Padahal pupuk merupakan hal yang penting sebagai sumber nutrisi bagi tanaman.
Kajian sebelumnya menyimpulkan bahwa produksi tanaman kakao dipengaruhi oleh lahan,
tenaga kerja, pestisida, pupuk kandang dan pupuk anorganik (Saputra 2015; Rinaldi et al
2013).
Produktivitas tanaman kakao dilokasi sekitar mencapai 679 kg/ha/th, nilai ini lebih
tinggi dibandingkan rata-rata produktivitas tanaman kakao di Kabupaten Boalemo yang
mencapai 270 kg/ha/th. Namun demikian jika dibandingkan dengan potensi hasil klon unggul
generasi ketiga seperti ICCRI 1-04 yang dapat mencapai produksi lebih dari 2 ton/ha/th
(Langsa dan Ruruk, 2007) maka produktivitas dilokasi penelitian masih jaun lebih rendah.
Hasil yang jauh dari potensi ini dapat disebabkan oleh perawatan yang kurang
maksimal serta adanya serangan hama dan penyakit seperti PBK, kanker dan VSD sehingga
mengurangi produksi buah kakao. Hasil kajian Rubiyo dan Siswanto (2012) menyimpulkan
bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usahatani kakao di tingkat on farm
adalah 1) melaksanakan intensifikasi kebun dengan memperhatikan kesesuian lahan,
penggunaan klon unggul yang spesifik lokasi, teknologi pengendalian hama penyakit
(pemangkasan, pestisida, penyarungan buah, musuh alami, klon tahan HPT tertentu),
pemupukan sesuai rekomendasi; 2) rehabilitasi kebun dengan peremajaan atau perluasan
kebun; 3) perbaikan mutu produksi sesuai preferensi pasar.

Analisis Usahatani Kakao di lokasi Penelitian

Tujuan utama petani berusaha adalah agar memperoleh pendapatan. Gambaran


pendapatan petani kakao dilokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukan
bahwa alokasi terbesar biaya usahatani kakao dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja sebesar
69,94%, diikuti oleh biaya variabel seperti pupuk dan pestisida sebesar 19,04%. Total
keseluruhan biaya usahatani mencapai Rp 7.527.776/ha/th. Adapun keuntungan yang
diperoleh petani sebesar Rp 6.731.224/ha/th.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 255
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 3. Analisis usahatani kakao di Kecamatan Wonosari (ha/th)
No Variabel Kuantitas Harga Nilai %
A Penerimaan
Produksi 679 kg 21.000 14.259.000
B Biaya
B.1 Biaya Variabel
Pupuk Urea 130 kg 1.827 237.510 3,16
Pupuk Phonska 205 kg 2.581 529.105 7,03
Pestisida 666.411 8,85
B.2 Biaya Penyusutan Peralatan 874.750 11,62
B.3 Biaya Tenaga Kerja 87 HOK 60.000 5.220.000 69,34
Biaya diperhitungkan(B1+B2) 2.307.776
Total Biaya (B1+B2+B3) 7.527.776 100,00
C Keuntungan (Rp) 6.731.224
D BC Rasio 0,89
Sumber: Data primer (2015)

Namun demikian jika nilai tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan maka
pendapatan yang diperoleh adalah sebesar Rp 11.951.224. Pendapatan petani di lokasi
penelitian lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Fahmid (2013) yang menyimpulkan
bahwa petani di Parigi Moutong dengan luas kurang dari satu hektar dan usia tanaman
kurang dari 20 tahun memiliki pendapatan rata-rata sebesar Rp 8.687.783/ha dengan
produktivitas rata-rata sebesar 650 kg/Ha.
Namun lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Ermiati, et al. (2014) yang
menyimpulkan bahwa pendapatan usahatani kakao di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara
rata-rata sebesar Rp 6.231.450/ha/th. Rendahnya pendapatan kakao di Kecamatan
Wonosari diduga disebabkan oleh produksi tanaman kakao yang masih rendah yaitu hanya
679 kg/ha/th. Kesimpulan Rubiyo dan Siswanto (2012) bahwa tingkat produktivitas
usahatani kakao antar provinsi tahun 2010 adalah beragam dari 641 kg/ha-1.175, dengan
rata-rata sebesar 834 kg/ha/th.
Oleh karena itu kedepan petani harus meningkatkan perawatan tanaman kakao
sehingga pendapatan petani diharapkan dapat meningkat. Analisis kelayakan usaha
menunjukan bahwa indikator BC rasio usahatani kakao mencapai 0,89, hal ini menunjukan
bahwa usahatani kakao belum layak diusahakan karena nilai BC rasio yang kurang dari satu.
Hal ini berbeda dengan hasil kesimpulan Ermiati, et al. (2014) bahwa usahatani kakao
memiliki status layak diusahakan dengan nilai BCR rasio sebesar 2,87 dengan capaian
produktivitas rata-rata sebesar 773 kg/ha/th.

KESIMPULAN
Karakteristik petani kakao tergolong pada usia produktif dengan pendidikan yang
diselesaikan umumnya tingkat sekolah dasar dan pertama. Budidaya yang dilakukan oleh
petani kurang optimal sehingga tingkat produktivitas yang dicapai dibawah rata-rata
nasional. Secara finansial, usahatani kakao dapat memberikan keuntungan bagi petani
namun pada jangka panjang keuntungan yang diperoleh belum dapat menutupi biaya yang

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


256 | Teknologi Pertanian
dikeluarkan (BCR<1) sehingga usahatani kakao belum layak. Oleh karena itu, petani perlu
meningkatkan budidaya yang dilakukan dengan melaksanakan intensifikasi tanaman seperti
pengendalian penyakit, pemupukan sesuai rekomendasi, pemangkasan serta panen sering.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian, Kementerian
Pertanian Indonesia yang telah mendanai kegiatan pengkajian ini sehingga penelitian ini
dapat terlaksana. Kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya kajian ini kami
sampaikan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Aklimawati, L. 2013. Potensi Ekonomi Kakao Sebagai Sumber Pendapatan Petani. Puslitkoka,
Jember.
Ben, AF, Nasriati, dan A. Yani. 2008. Teknologi Budidaya Kakao. Bogor: BBP2TP, Kementerian
Pertanian.
BPS Gorontalo. 2012. Gorontalo Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi
Gorontalo, Gorontalo.
Ermiati, Hasibuan, AM dan Wahyudi, A. 2014. Profil dan kelayakan usahatani kakao di
Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. JTIDP. Vol 1(3):125–32.
Fahmid, IM. 2013. Cocoa farmers performance at highland area in South Sulawesi, Indonesia.
Asian Journal of Agriculture and Rural Development. Vol 3(6):360–70.
Langsa, Y., dan Ruruk, B. 2007. Klon Unggul Kakao Nasional. BPTP Sulteng, Kementan, Palu.
Rinaldi, J., Fariyanti, A dan Jahroh, S. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
kakao pada perkebunan rakyat di Bali: Pendekatan Stochastic Frontier. SEPA. Vol
10(1):47–54.
Rubiyo dan Siswanto. 2012. Peningkatan produksi dan pengembangan kakao di Indonesia.
Buletin RISTRI. Vol 3(1):33–48.
Saputra, A. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Kabupaten
MuaroJambi. J Penelitian Universitas Jambi. Vol 17(2):1–8.
Shinta, A. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press, Malang.
Suryani, Dinie, dan Zulfebriansyah. 2007. Komoditas kakao: potret dan peluang pembiayaan.
Economic Review.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 257
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KERAGAAN KEBERHASILAN SAMBUNG SAMPING KAKAO
DI KECAMATAN WONOSARI BOALEMO

Ari Abdul Rouf, Erna Retnawati, Dwi Rohmadi, Sukarto dan Hatta Muhammad

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo


Jl Muh Van Gobel 270 Bone Bolango Gorontalo, Telp (0435) 827627
ariabdrouf@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu kendala yang dimiliki oleh petani dalam usahatani kakao adalah umur tanaman yang
sudah tua sehingga kurang produktif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan produksi adalah dengan melakukan rehabilitasi tanaman yaitu dengan melakukan
sambung samping menggunakan klon unggul. Kajian bertujuan untuk mengetahui keragaan hasil
sambung samping kakao di Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo. Rancangan percobaan
yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan.
Pelaksanaan kajian dilaksanakan pada periode Januari-Desember 2016. Data primer yang
dikumpulkan meliputi panjang batang (cm), jumlah tunas (unit), jumlah daun (unit) dan
diameter tunas (mm) serta persentase keberhasilan sambung samping. Hasil kajian menunjukan
bahwa keberhasilan sambung samping pada umur empat minggu setelah sambung memiliki
perbedaan nyata antar klon dengan kisaran keberhasilan 40-96% atau rata-rata keberhasilan
mencapai 66%. Adapun keragaan hasil tumbuh sambung samping antar beberapa klon
menunjukan perbedaan pada parameter jumlah tunas, jumlah daun, diameter dan panjang
tunas.
Kata kunci: kakao, sambung samping, rehabilitasi, klon

PENDAHULUAN
Salah satu kendala dalam budidaya tanaman kakao adalah usia tanaman kakao yang
sudah tua dan kurang produktif. Data Ditjenbun (2015) menunjukan bahwa luasan kebun
kakao di Provinsi Gorontalo yang tidak menghasilkan mencapai 2.777 Ha kemudian
meningkat menjadi 2.876 (2015) atau mencapai persentase 19,4%. Hal ini menunjukan
bahwa persentase lahan yang sudah tidak produktif semakin meningkat. Hal ini dapat
berakibat pada penurunan produktivitas, dimana produktivitas capaian kakao di Gorontalo
menurun dari 853 kg/th (2014) menjadi 655 kg/tahun (2014). Padahal dengan upaya
rehabilitasi maka pertanaman dapat kembali berproduksi.
Rehabilitasi tanaman merupakan sebuah pilihan yang dapat ditempuh. Rehabilitasi
tanaman salah satunya adalah dengan melakukan sambung samping. Pelaksanaan sambung
samping masih tetap menghasilkan tanaman yang dapat dipanen ketika sambung samping
dilaksanakan (Suhendi, 2008) selain daripada itu biaya yang dikeluarkan untuk
penyambungan relatif murah (Salim dan Drajad, 2008). Hasil produksi tanaman setelah
dilaksanakan sambung samping dapat meningkat tajam lebih dari 300 persen atau mencapai
2.500 kg/tahun (Agussalim, 2009).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


258 | Teknologi Pertanian
BAHAN DAN METODE
Pengkajian ini dilaksanakan pada Januari-Desember 2016, berlokasi Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan
pengkajian ini adalah entres kakao, pisau okulasi, gunting pangkas, tali rafia, plastik
transparan, polybag, pupuk, pestisida, handsprayer, papan plot, label tanaman, tali,
meteran, ATK serta alat bantu lainnya

Rancangan Percobaan

Perlakuan disusun menurut Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dan 5


ulangan. Perlakuan yang akan dikaji terdiri dari 5 klon yaitu K1 (Sulawesi 1); K2 (MCC 01); K3
(MCC 02); K4 (BB); dan K5 (AP). Adapun sampel tiap klon dalam ulangan sebanyak lima
pohon. Sehingga jumlah pengamatan tiap klon sebanyak 25 pohon. Pelaksanaan sambung
samping dilakukan sebanyak 2 sambungan per pohon. Untuk membedakan jenis klon yang
disambung maka tiap pohon diberi warna dan label informasi klon yang digunakan.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam kegiatan ini terdiri dari:


a) Persentase sambungan berhasil/hidup (%).
Pengamatan dilakukan pada setiap sambungan hidup yang ditandai tumbuhnya tunas
pada entres ataupun pada entres yang belum bertunas yang dicirikan dengan entres yang
masih segar, hijau dan masih bertautan dengan batang bawah. Persentase sambung hidup
(PS) dirumuskan:
Jumlah batang atas yang hidup (unit)
PS= ×100%
Jumlah batang atas yang disambung
b) Jumlah tunas (unit): Pengamatan dilakukan pada setiap sambungan yang hidup dan
bertunas, dengan satuan unit/sambungan.
c) Panjang tunas (cm): Panjang tunas diukur mulai dari dasar tunas sampai titik tumbuh
dengan menggunakan penggaris.
d) Jumlah daun total tanaman (helai): Jumlah daun yang diamati dengan cara menghitung
seluruh helai daun yang telah terbuka sempurna pada batang atas (entres).
e) Diameter tunas entres (mm) : Diameter tunas diukur menggunakan jangka sorong, 5 cm
dari bagian pangkal tunas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Boalemo dengan luas wilayah yang dimiliki


sekitar 1.829,44 km2. Adapun batas wilayah diantaranya adalah dengan Kabupaten
Gorontalo Utara disebelah utara, Kabupaten Gorontalo sebelah timur, Teluk Tomini sebelah

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 259
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
selatan dan Kabupaten Pohuwato sebelah Barat. Berdasarkan topografinya maka sebagian
besar wilayah kabupaten Boalemo merupakan perbukitan dengan ketinggian wilayah antara
0-1000 dpl.
Kabupaten Boalemo terbagi dalam 7 Kecamatan yaitu diurut berdasarkan luas
wilayahnya tertinggi adalah Botumoito (26,6%), Dulupi (18,2%), Mananggu (16,2%),
Wonosari (12,5%), Tilamuta (10,2%), Paguyaman Pantai (8,3%) dan Paguyaman (8,0%).
Berkenaan dengan iklim, diketahui bahwa suhu udara si wilayah tersebut mengalami kondisi
terpanas pada bulan Oktober dengan suhu mencapai 33,93 o C sementara rentang suhu
bulanan diwilayah tersebut antara 21,05-33,93oC sedangkan rata-rata kelembaban udara
berkisar antara 61,90-84,70%. Curah hujan paling tinggi terjadi di bulan Mei yaitu sebesar
188 mm3 sedangkan paling rendah pada bulan Maret yaitu sebesar 15 mm 3 (BPS Kab
Boalemo, 2016).
Berdasarkan luas tanam perkebunan di wilayah kabupaten Boalemo diketahui bahwa
tahun 2015 terdapat 3 komoditas utama yang ditanam yaitu Kelapa (44,8%), kelapa sawit
(26,7%) dan kakao (20,9%) namun jika dibandingkan tahun 2014 maka luasan tanaman
kelapa dan kakao memiliki persentase lebih tinggi masing-masing mencapai 68,1% dan
31,5% (BPS Kab Boalemo, 2016).
Penurunan persentase luasan kelapa dan kakao disebabkan pada tahun 2015 terjadi
penambahan luasa perkebunan komoditas baru yaitu kelapa sawit yang mencapai 5.420 Ha.

Persiapan dan pelaksanaan sambung samping

Introduksi klon kakao dilakukan pada petani kooperator dengan teknik sambung
samping. Penerapan teknik sambung samping dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa
petani kooperator tetap memiliki penghasilan walaupun tanaman induk sementara
dilakukan sambung samping. Adapun salah satu kriteria petani kooperator adalah petani
tersebut bersedia bekerjasama dan mengikuti pola anjuran yang disarankan pengkaji.
Pada tahap awal dilakukan penyiapan bahan klon yang akan digunakan untuk
sambung samping. Klon yang digunakan terdiri dari beberapa klon yaitu S1, MCC 01, MCC
02, BB dan AP. Klon diperoleh dari penangkar bibit kakao di Kecamatan Kasimbar, Sulawesi
Tengah.
Selain mempersiapkan bahan klon kakao, persiapan dilakukan pada pertanaman
induk yang akan dilakukan sambung samping. Persiapan yang dilakukan diantaranya adalah
pemupukan. Pemupukan ini dilakukan guna meningkatkan kesehatan batang bawah
sambung samping. Kondisi batang bawah yang sehat dapat menunjang keberhasilan
sambung samping karena tanaman tidak mudah terserang penyakit.
Pemupukan juga dimaksudkan agar batang bawah dapat menghasilkan lebih banyak
kambium sehingga dapat mempermudah penempelan dan meningkatkan keberhasilan
sambung samping. Beberapa persiapan yang dilakukan diantaranya penyediaan pupuk NPK
15-15-15 dan tenaga kerja pelaksana. Dosis yang digunakan adalah sebesar 500 gr/pohon.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


260 | Teknologi Pertanian
Hasil Perkembangan Sambung Samping

Pengamatan dilakukan meliputi beberapa parameter yaitu persentase tumbuh dan


pertumbuhan pertanaman (jumlah tunas, panjang tunas, jumlah daun dan diameter tunas).
Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali yaitu empat minggu setelah sambung dan 16 minggu
setelah sambung. Adapun hasil pengamatan dari hasil sambung samping dapat dilihat pada
Grafik 1.

Gambar 2. Perbandingan keragaan hasil sambung samping

Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa setelah 30 hari setelah sambung atau 4


minggu setelah sambung (MSS) rata-rata keberhasilan sambung samping mencapai 66%.
Apabila dilihat berdasarkan klon kakao maka terdapat dua tingkatan perbedaan keberhasilan
sambung samping yaitu: 1) Keberhasilan tinggi dicapai oleh klon MCC 02 dan BB yaitu lebih
dari 80%; 2) keberhasilan rendah yaitu klon S1, MCC 01 dan AP dengan persentase dibawah
60% yaitu masing-masing sebesar 40%, 56% dan 44%. Penelitian Pranowo dan dan Wardiana
(2016) menyimpulkan bahwa penggunaan batang atas klon Sulawesi 1, Sulawesi 2 dan Sca 6
memiliki peluang keberhasilan sambung samping lebih tinggi dibandingkan klon MCC 01 dan
MCC 01 ketika disambung dengan batang bawah Sulawesi 01.
Kajian Sari dan Susilo (2012) menyimpulkan bahwa persentase hidup sambung
samping dipengaruhi oleh klon batang atas sementara Limbongan (2011) menyatakan
bahwa faktor yang mempengaruhi keberhasilan sambung samping seperti umur entres,
kemampuan dan keterampilan petani dalam melakukan penyambungan mapun kondisi
cuaca pada saat penyambungan. Berkenaan dengan iklim, diketahui bahwa curah hujan
ketika dilaksanakan sambung samping di lokasi dispay relatif mencukupi.
Sementara berkenaan dengan petani okulator diketahui bahwa petani tersebut telah
mengikuti pelatihan sambung samping dan telah melakukan sambung samping sebelumnya.
Sementara setelah 16 MSS pertumbuhan batang atas mengalami penurunan dari 66%
menjadi 53%. Penurunan keberhasilan sambung samping diduga karena beberapa hal
diantaranya adanya serangan penyakit jamur, gangguan oleh sapi atau tanaman tidak
ternaungi sehingga terpapar cahaya matahari cukup tinggi.
Hasil analisis uji DMRT untuk tingkat keberhasilan sambung samping dapat dilihat
pada Tabel 1.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 261
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 1. Presentase keberhasilan sambung samping
Klon Rata-rata Simpangan baku
S1 0.4000a 0.28284
MCC1 0.5600ab 0.45607
MCC2 0.9600b 0.08944
BB 0.9200b 0.17889
AP 0.4400a 0.43359
Total 0.6560 0.38088
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada
tingkat signifikansi 5%.

Tabel 1 menunjukan bahwa tingkat keberhasilan sambung samping cukup beragam.


Keberhasilan sambung samping klon MCC 02 dan BB lebih tinggi dan berbeda nyata
dibandingkan keberhasilan klon S1 dan AP. Sementara itu berkenaan dengan simpangan
baku keberhasilan, bahwa klon MCC 01 dan AP relatif memiliki simpangan yang jauh lebih
besar dibandingkan klon lainnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa keberhasilan
sambung samping kakao dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil analisis Adapun hasil
pengamatan pada pertumbuhan hasil sambung samping dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hasil pengamatan parameter pertumbuhan


Klon Panjang batang (cm) Jumlah Tunas (unit) Jumlah daun (unit) Diameter Tunas (mm)
S1 13,41+ 8,60a 1,00+0,61a 2,30+1,94a 2,81+1,75a
MCC 01 35,98+14,40b 1,53+0,68a 6,76+4,24b 6,21+2,98b
MCC 02 26,24+8,97ab 1,50+0,37a 6,51+1,97b 5,27+1,51ab
BB 29,09+2,82b 1,53+0,21a 6,59+1,14b 5,18+0,69ab
AP 26,35+10,76ab 1,59+0,47a 5,19+1,75ab 5,03+1,21ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji
DMRT pada tingkat signifikansi 5%.

Tabel 2 menunjukan bahwa berdasarkan uji lanjut Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf signifikansi 5 % bahwa pertumbuhan panjang klon atas S1 berbeda
dengan pertumbuhan panjang klon MCC 01 dan BB namun tidak berbeda nyata dengan klon
MCC 02 dan AP. Pertumbuhan panjang klon terendah dicapai oleh klon S1 dengan panjang
klon atas sebesar 13,55 cm sedangkan yang tertinggi dicapai oleh klon MCC 01 sepanjang
34,65 cm.
Sementara itu, jumlah tunas yang dimiliki secara statistik tidak berbeda antar klon.
Jumlah daun yang dimiliki oleh batang hasil sambung batas berbeda secara statistik yaitu
jumlah daun S1 lebih sedikit dibandingkan jumlah daun klon lainnya. Pada ukuran diameter
tunas, diketahui bahwa diameter tunas S1 berbeda dengan MCC 01 dan AP namun tidak
berbeda dengan klon lainnya.

KESIMPULAN
Keberhasilan sambung samping memiliki perbedaan nyata antar beberapa klon
dengan rata-rata keberhasilan 66% kemudian menurun menjadi 53%.Keragaan hasil tumbuh

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


262 | Teknologi Pertanian
sambung samping antar beberapa klon menunjukan beberapa perbedaan pada parameter
jumlah tunas, jumlah daun, diameter dan panjang tunas.

DAFTAR PUSTAKA
Agussalim. 2009. Produksi sambung samping pada Tanaman Kakao (Studi Kasus Prima Tani di
Kabupaten Kolaka). Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. BPTP Sulawesi
Tenggara. Hal 40-46.
Badan Pusat Statistik [BPS] Kab Boalemo. 2016. Boalemo Dalam Angka Boalemo 2015. BPS
Kab Boalemo.
Ditjenbun. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia 2014-2016: Kakao. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Jakarta.
Limbongan J. 2011. Kesiapan penerapan teknologi sambung samping untuk mendukung
program rehabilitasi tanaman kakao. Jurnal Litbang Pertanian. 30(4):156-163.
Salim, A. dan B. Drajat. 2008. Teknologi sambung samping kakao, kisah sukses Prima Tani
Sulawesi Tenggara. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30 (5):8-10.
Sari IA, Susilo AW. 2012. Keberhasilan sambungan pada beberapa jenis batang atas dan
famili batang bawah kakao. Pelita Perkebunan. 28(2):72-81.
Suhendi, D. 2008. Rehabilitasi tanaman kakao: Tinjauan potensi, permasalahan, dan
rehabilitasi tanaman kakao di desa Prima Tani Tonggolobibi. hlm 335-346. Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Lahan Marginal. Pusat Penellitian Kopi dan
Kakao, Jember.
Pranowo, D. dan E. Wardiana. 2016. Kompabilitas Lima Klon Unggul Kakao sebagai Batang
Atas dengan batang Bawah Progeni half-Sib Klon Sulawesi 1. J. TIDP 3(1)-29-36.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 263
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGEMBANGAN MODEL SISTEM USAHATANI JAGUNG
BERBASIS PERTANIAN BIOINDUSTRI DI GORONTALO

Rahmat H. Anasiru1) dan Atekan 2)

1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Muh. Van Gobel 270, Kabila. Bone Bolango. Gorontalo
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat.
Jl Base-Cump Arfai Gunung Kompleks perkantoran Pemda, Manokwari. Papua Barat
e-mail: rhanasiru@gmail.com

ABSTRAK
Pertanian bio-industri berkelanjutan memandang lahan sebagai sumberdaya alam dan industri
yang memanfaatkan seluruh faktor produksi untuk menghasilkan pangan untuk ketahanan
pangan, maupun produk lain yang dikelola menjadi bio-energi serta bebas limbah dengan
menerapkan mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse and
recycle). Konsep pertanian bio-industri tidak terlepas dari prinsip dasar kegiatan sistim usaha
pertanian terpadu dimana di Indonesia telah banyak diteliti tentang sistim usaha tanaman-
ternak, seperti integrasi tanaman Jagung dan Sapi. Provinsi Gorontalo berhasil mengembangkan
produksi jagung dengan memanfaatkan potensi lahan pertanian seluas kurang lebih 12 ribu km2
yang sebagian besar terdiri dari lahan kering. Beberapa pertimbangan yang menjadi dasar
pemilihan pengembangan jagung di Gorontalo antara lain tersedianya lahan yang sangat luas
yang cocok untuk pengembangan tanaman jagung. Iklim Gorontalo juga mendukung upaya
penanaman jagung. Air tanah di lahan datar cukup dangkal, dengan kedalaman berkisar antara
3-8 meter. Para petani jagung Gorontalo bisa panen 2-3 kali dalam satu tahun. Prinsip dasar
pertanian bio-industri adalah pengelolaan usahatani pertanian nol limbah, mengurangi input
baik untuk produksi maupun energi seminimal mungkin, pengolahan biomassa dan limbah
menjadi bio-produk baru bernilai tinggi, pertanian ramah lingkungan serta pertanian sebagai
kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju penghasil pangan dan non pangan. Tujuan
pengkajian pertanian bio-industri adalah untuk mengurangi limbah (minimize waste),
mengurangi imported input produksi, mengurangi imported energy, pertanian pengolah
biomassa dan limbah menjadi bio-produk baru yang mempunyai nilai tambah, serta pertanian
yang ramah lingkungan.
Kata kunci: Pertanian, Bio-industri, Jagung, berkelanjutan.

PENDAHULUAN
Visi Pembangunan Pertanian tahun 2015-2019 adalah terwujudnya sistem pertanian
bio-industri berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai
tambah tinggi dari sumberdaya hayati pertanian. Salah satu dari implementasi visi tersebut
adalah dengan menciptakan sistem pengelolaan pertanian. Sistem pertanian pada prinsipnya
mengelola dan memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomasa,
atau limbah organik pertanian, bagi kesejaheteraan masyarakat dalam suatu ekosistem
secara harmonis.
Bio-industri berkelanjutan memandang lahan pertanian sebagai sumberdaya alam
dan industri yang memanfaatkan seluruh faktor produksi untuk menghasilkan pangan untuk
ketahanan pangan, maupun produk lain yang dikelola menjadi bio-energi serta bebas limbah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


264 | Teknologi Pertanian
dengan menerapkan mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang (reduce, reuse
and recycle).
Konsep pertanian bio-industri tidak hanya sebatas menghasikan produk pangan
olahan, non pangan dan energy tetapi dalam implementasinya harus menjadi sarana untuk
mengoptimalkan potensi sumberdaya lahan/air/iklim dalam skala kawasan (Las dan Mulyani,
2014).
Pertanian bio-industri dapat dikonsepsikan sebagi system pertanian yang pada
prinsipnya menglola dan/atau memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati
termsuk biomassa dan atau limbah pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu
ekosistem secara harmonis (Hendriadi 2014; Prastowo, 2014). Dengan demikian kata kunci
sistem pertanian bio-industri ini terletak pada pemanfaatan seluruh suber rdaya hayati,
biomassa, dan limbah pertanian, ilmu pengetahuan dan teknologi dan bio proses,
pemanfaatan dan rekayasa genetik.
Simatupang (2014) menyatakan bahwa konsep pertanian bio-industri terdari dari: 1)
Biomassa primer berupa budidaya tanaman; 2) Biodigester berupa peternakan dan biogas;
3) Biorefinery berupa industry pengolahan biomassa secara menyeluruh 4) Rumah tangga
konsumen; dan 5) ekosistem yaitu interaksi biologis dan siklus materi biogeokimia. Jadi
sistem pertanian bio-industri berkelanjutan yakni bagaimana memadukan sistem pertanian
terpadu dengan biorefinery secara berkelanjutan.
Pertanian bio-industri secara luas dapat diartikan sebagai usaha pengolahan
sumberdaya alam hayati dengan bantuan teknologi industri untuk meghasilkan berbagai
macam hasil pertanian yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi (Manurung dan Robert,
2013. Pengolahan itu tidak hanya terbatas pada upaya meningkatkan hasil pertanian saja,
akan tetapi bagaimana mengelola hasil pertanian menjadi komoditas yang bervariasi,
sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat (Hendayana, 2015).
Pertanian bio-industri dapat menjadi alternatif pilihan sebagai bahan baku energi
untuk menggantikan BBM yang ketersediaannya semakin menipis. Meningkatkan harga
bahan bakar minyak dan gas, ketahanan energi serta meningkatknya polusi lingkungan
dalam kaitannya dengan penggunaan bahan bakar merupakan penyebab bangkitnya kembali
bio-industri pada beberapa tahun terakhir (Rumengan dan Fatimah, 2014).
Provinsi Gorontalo berhasil mengembangkan produksi jagung dengan memanfaatkan
potensi lahan pertanian seluas kurang lebih 12 ribu km 2 yang sebagian besar terdiri lahan
kering. Beberapa pertimbangan yang menjadi dasar pemilihan pengembangan jagung di
Gorontalo antara lain tersedianya lahan yang sangat luas yang cocok untuk pengembangan
tanaman jagung. Iklim Gorontalo juga mendukung upaya penanaman jagung. Air tanah di
lahan datar cukup dangkal, dengan kedalaman berkisar antara 3-8 meter. Para petani jagung
Gorontalo bisa panen 2-3 kali dalam satu tahun.
Trend perkembangan pemasaran jagung di Provinsi Gorontalo meningkat. Data dari
Badan Pusat Informasi Jagung Provinsi Gorontalo mencatat bahwa nilai ekspor tahun 2003
mencapai 20.450 Ton, Tahun 2004 mencapai 39.032,08 Ton, Tahun 2005 mencapai 26.460

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 265
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Ton, nilai ekspor tertinggi pada tahun 2006 sebesar 112.042,16 Ton, Tahun 2007 mencapai
83.448 Ton, Tahun 2008 mencapai 79.385 Ton, Tahun 2009 mencapai 42.900 Ton, tahun
2010 mencapai 34.387 Ton, tahun 2011 mencapai 6.600 Ton. Sedangkan hingga bulan Juli
tahun 2012, ekspor jagung Gorontalo telah mencapai 30.300 Ton.
Penerapan inovasi teknologi ditingkat petani masih beragam, bergantung pada
orientasi produksi, kesuburan tanah, resiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli
atau mengakses sarana produksi. Penggunaan varietas hibrida, yang merupakan salah satu
faktor yang dapat meningkatkan produksi jagung juga masih rendah sekitar 22% pada tahun
2005, jauh dibawah negara tetangga seperti Thailand dan Filiphina. Mahalnya benih hibrida
merupakan pertimbangan dan resiko yang dihadapi sehingga cukup banyak petani yang
menggunakan benih hibrida turunan (F2).
Diantara tanaman palawija, jagung merupakan komponen utama dalam pakan ternak
dan mencapai sekitar 51% dari komposisi pakan (Swastika et.al., 2005) dan merupakan
tanaman pangan terpenting kedua setelah padi sebagai sumber karbohidrat. Lahan kering
di Kab. Gorontalo seluas 32.000 ha yang umumnya diusahakan untuk pertanaman jagung
dengan potensi hasil rata-rata 2,5 ton/ha. Dilain pihak, hasil sampingan dari tanaman jagung
berupa jerami dan tongkol belum dimanfaatkan menjadi pakan ternak, padahal jika dilihat
potensi jerami dan tongkol yang merupakan hasil sampingan bisa mencapai 8,5 ton
basah/ha. Nilai ini dapat mensuplai pakan untuk ternak sapi sebanyak 283 ekor/hari dimana
30 kg biomassa/ekor atau setara dengan 3 tiga ekor sapi selama
pemeliharaan/penggemukan selama tiga bulan. Disamping itu pula, kotoran ternak berupa
feses dan urine dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cari dan padat, serta bio gas
sebagai sumber energi. Permasalahan yang terjadi dilapangan adalah petani yang belum
mengolah limbah dari usahataninya menjadi bernilai tambah, baik itu dari hasil sampingan
jagung maupun ternak.

Dasar Pertimbangan

Pertanian yang ada saat ini mayoritas merupakan skala usahatani kecil dan masih
perlu dikelola atau diorganisir sehingga menjadi kawasan budidaya yang memungkinkan
pengembangan pertanian bioindustri. Pemanfaatan produk pertanian untuk konsumsi
(pangan, pakan, bahan baku industri dan energi) secara berkelanjutan hanya dapat terwujud
jika pemanfaatan tersebut mengacu pada aspek biofisik lahan dan tanaman yang akan
dibudidayakan (Prasotowo, 2014). Penerapan inovasi teknologi yang memungkinkan
keseluruhan komponen biomasa dapat dimanfaatkan untuk konsumsi baik produk maupun
limbahnya. Selain itu, mineral dan bahan-bahan organik yang esensial bagi tanaman dapat
didaur ulang untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Melalui pengkajian spesifik lokasi
diharapkan dapat membangun sistem pertanian bio-industri dan bio-ekonomi pada suatu
kawasan pertanian (Gambar 1).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


266 | Teknologi Pertanian
Komoditas
Utama Pengolahan

Biomass/ Produk Produk


Pengolahan
Limbah Bermutu Bernilai
Tambah

Komoditas
Pendukung Pasar

Gambar 1. Skema umum model pertanian bio-industri

METODOLOGI
Pengkajian model pengembangan pertanian bio-industri Jagung berkelanjutan
dilaksanakan di Desa Dunggala, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Lokasi ini
merupakan salah satu kawasan sentra Jagung yang ada di Gorontalo.
Perancangan model pengembangan kawasan pertanian bio-industri integrasi jagung
ternak diawali dengan pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi berbagai teknik
pengumpulan data yaitu: desk study, observasi dan penelitian lapangan. Data berasal dari
penelusuran data sekunder yang berasal dari stakeholder terkait. Penelusuran data produksi
dan kebutuhan diperoleh berdasarkan hasil FGD. Langkah awal dalam analisis kebutuhan
adalah mendata stakeholder yang terkait dalam sistem yang dikaji. Dalam penelitian ini
stakeholder kunci yang diperkirakan terlibat adalah yang mewakili profesi petani, buruh tani,
penyuluh, perangkat desa, pedagang sarana produksi, dinas instansi terkait, peneliti,
klimatologi, PU, Bulog, kependudukan, konsumen dan pakar.
Tahapan selanjutnya adalah menyusun model aktual berdasarkan data-data teknis
lainnya dan penelitian-penelitian terdahulu. Pemodelan sistem merupakan perumusan
masalah ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model
menghubungkan faktor-faktor kunci yang diperoleh dalam bentuk kontekstual dengan
bahasa simbolis. Formulasi model dalam penelitian ini, terdiri atas struktur model sistem
produksi jagung. Struktur model sistem produksi jagung adalah struktur model yang
menggambarkan hubungan antar elemen/faktor kunci yang berpengaruh terhadap kapasitas
produksi padi untuk mencapai tingkat produksi yang diharapkan.
Langkah awal adalah melakukan identifikasi sistem yang bertujuan untuk
memberikan gambaran rerhadap sistem yang dikaji dalam bentuk diagram antara komponen
masukan (input) dengan sistem lingkungan yang mengahsilkan suatu keluaran (output) baik
yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Variabel-variabel di luar batas sistem tidak akan diperhatikan dalam model. Dalam
permodelan, beberapa variabel yang berada di luar sistem dapat mempengaruhi kinerja
sistem, sehingga dapat dipertimbangkan/ dimasukkan sebagai variabel model.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 267
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Wilayah Pengembangan

Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu kecamatan kondisi


agroklimatnya berada pada ketinggian 23 dpl dengan curah hujan relatif yakni antara 37-307
mm/tahun. Dikarenakan letaknya yang relatif dekat dengan kota Gorontalo (ibu kota
propinsi) menyebabkan kecamatan ini potensil untuk dikembangkan sebagai penyangga
pangan kota Gorontalo. Luas area Kecamatan Tibawa memiliki cakupan areal yang cukup
luas. Berdasarkan hasil survei tahun 2010-2014 tercatat jumlah penduduk yaitu sebanyak
43.522 orang. Kawasan ini berpotensi untuk pengembangan kawasan pertanian, khususnya
tanaman pangan Jagung yang berada di desa Balahu, Molowahu dan Donggala.

Tabel 1. Profil Kecamatan Tibawa, kabupaten Gorontalo


No Indikator Uraian
1. Luas Wilayah 137.56 km2
2. Produksi padi sawah 149.049 ton
3. Produksi padi ladang 2.016 ton
4. Produksi jagung 114.299 ton
5. Produksi ubi kayu 648 ton
6. Produksi ubi jalar 186 ton
7. Produksi Kacang tanah 619 ton
8. Produksi Kacang hijau 19 ton
9. Produksi Kedelai 356 ton
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo, 2014

Keragaan Usahatani

Topografi suatu wilayah merupakan faktor pendukung dalam bercocok tanam suatu
komoditas. Desa Balahu, Desa Molowahu dan Desa Donggala yang terletak di kecamatan
Tibawa, berdasarkan peta Agroekologiacal Zona, wilayah ini termasuk pada lahan kering
daratan rendah. Dalam usahataninya, tanaman yang dominan diusahakan adalah Jagung,
sebagian lainya memelihara ternak sapi. Kepemilikan lahan petani rata-rata 0,5-1 ha dimana
sebagian besar masih menggunakan cara tradisional. Intensitas pertanaman masih dua kali
dalam setahun. Waktu tanam ini berdasarkan cuaca, jika pada saat musim kemarau namun
masih memungkinkan untuk memperoleh pengairan pada lahan pertanian jagung, petani
dapat melakukan penanam jagung.
Jarak tanam yang digunakan petani di Kecamatan Tibawa rata-rata pada jarak 70 cm x
20 cm. Sistem tanam yang diterapkan yaitu monokultur, yaitu dengan menggunakan satu
komoditi dalam satu area. Penerapan sistem monokultur dipilih petani karena beralasan
agar hasil capaian panennya dapat meningkat dengan penggunaan lahan yang optimal.
Varietas jagung yang ditanaman umumnya Bisi 2 yang diperoleh dari bantuan pemerintah
setempat. Untuk memasarkan hasil panen tanaman jagung, biasanya petani sekitar Desa
Balahu dan Molowahu, memasarkan hasil dengan harga Rp. 3.000/kg.
Perkembangan industri peternakan di Indonesia berpotensi meningkatkan
permintaan terhadap jagung, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan potensi pasar bagi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


268 | Teknologi Pertanian
komoditas jagung. Selain di sektor peternakan, jagung juga banyak dimanfaatkan sebagai
bahan pangan bagi manusia. Para petani sang penggerak sektor pertanian jauh dari kesan
sejahtera jika dilihat secara umum lewat indikator ekonomi. Terdapat kesenjangan
pendapatan yang cukup jauh. Berbagai faktor-faktor merupakan kendala petani dalam
mewujudkan peningkatan pangan diantaranya kesenjangan akan teknologi yang digunakan
petani, belum diperolehlah penyuluhan akan peningkatan produktivitas pertanian, dan
modal yang kurang yang dimiliki petani untuk bercocok tanam.
Limbah tanaman jagung dimanfaatkan sebagai pakan ternak masih dalam bentuk
pakan segar, apabila mengering sisa limbah tanaman tersebut dibakar. Oleh karena itu, jika
saat musim kemarau, jumlah limbah jerami segar mengalami kekurangan stok, kondisi ini
menyebabkan petani sangat sulit mendapatkan pakan pada saat musim kemarau. Hal ini
disebabkan karena petani belum memahami cara pengolahan terutama dalam bentuk silase.
Pada saat musim kemarau petani mencari pakan ternak sampai di luar kecamatan tempat
mereka berdomisili.
Kepemilikan ternak umumnya berkisar antara 3-11 ekor dengan rata-rata per rumah
tangga 4-5 ekor. Pemeliharaan ternak dilakukan diladang, di sawah atau lahan yang memiliki
persediaan pakan yang cukup bagi ternak. Pagi hari ternak dibawa ke tempat-tempat
tersebut dan pulang ke kandang pada sore hari. Tapi ada juga yang membiarkan ternaknya
berada di sawah atau ladang tanpa membawa pulang. Lokasi kandang umumnya mempunyai
rens mini, dan pada umumnya ternaknya tidak dimasukkan dalam kandang sehingga kotoran
ternak sulit terkumpul sebagai sumber pupuk organik.
Untuk limbah ternak petani juga belum mengolah dalam bentuk pupuk organik
(kompos), baik yang berupa pupuk organik padat maupun pupuk organik cair dan masih
mengandalkan penggunaan pupuk anorganik. Sedangkan Inseminasi Buatan (IB) pada
umumnya petani belum melaksanakan dengan kehawatiran sapi mereka susah melahirkan
karena kondisi induk yang agak kecil dan kurus. Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi
eksisting teknologi usahatani ternak ditingkat petani dan perbaikan teknologi yang
diintroduksi pada implemnetasi model disajikan pada Tabel 2, berikut ini.

Tabel 2. Kondisi eksisting usahatani ternak dan introduksi penerapan komponen teknologi
model pertanian bio-industri
No Uraian Teknologi eksisting Teknologi introduksi
1 Sistem pemeliharaan Lepas, kandang komunal, ikat Semi intensif pola integrasi
Pemberian pakan Malam hari (saat panen) Pagi dan malam hari (sepanjang
2
tahun)
Hijauan pakan Rumput alam Hijauan unggul dan jerami
3
jagung
4 Kondisi Kandang Lantai tanah Semen
5 Posisi Lantai kandang Datar Kemiringan 15ᵒ
6 Bak Pakan Tersedia, belum menyatu Menggunakan bak pakan
standar dari papan
7 Pengumpulan kotoran ternak Dilakukan pada saat dibutuhkan Diolah jadi kompos
(feses) dan terbatas
Sumber: Data primer 2016

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 269
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Sedangkan untuk pertanaman jagung, varietas jagung yang ditanam petani selama ini
adalah Bisi 2 yang merupakan benih bantuan pemda setempat dan ditanam berulang kali
ketersediaan benih pada musim tanam berikutnya tidak mencukupi. Jarak tanam yang
digunakan sangat beragam dan kurang teratur dengan jumlah benih 3-4 biji perlubang
tanam.
Penggunaan pupuk anorganik sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing
petani dan masih jauh dibawah rekomendasi yang dianjurkan, namun untuk penggunaan
pestisida dan herbisida terkadang melampaui ambang batas yang dianjurkan. Pemanfaatan
jerami jagung hanya digunakan dalam bentuk segar yang ditopping pada saat pertanaman
menjelang panen, sedangkan batang bawah tongkol dan sisa limbah lainnya dibakar pada
saat akan dilakukan pengolahan lahan berikutnya.
Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi eksisting teknologi usahatani jagung ditingkat
petani dan perbaikan teknologi yang diintroduksi pada implemnetasi model disajikan pada
Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Kondisi eksisting usahatani jagung dan introduksi penerapan komponen teknologi
model pertanian bioindustri
No Uraian Teknologi eksisting Teknologi introduksi
1 Varietas Bisi 2 Bima Bima 19 URI
2 Benih 20-25 kg/ha 20 kg/ha
3 Jarak Tanam Tidak Teratur 70 Cm x 40 Cm
4 Jumlah benih per lubang tanam 3-4 biji 2 biji
5 Penggunaan pupuk organik Tidak Menggunakan pupuk Menggunakan pupuk organik
organik
6 Penggunaan pupuk an-organik NPK Ponska 100-150 kg/ha NPK Ponska 350 kg/ha
Urea 50-150 kg/ha Urea 100 kg/ha
7 Pengendalian hama dan Menggunakan pestisida Menggunakan pestisida sesuai
penyakit melebihi takaran anjuran
8 Pengendalian Gulma Menggunakan herbisida Menggunakan herbisida sesuai
melebihi takaran anjuran dan dilakukan secara
mekanis
9 Pemanfaatan jerami jagung Dimanfaatkan dalam bentuk Dimanfaatkan dalam bentuk
segar dan terbatas segar dan diolah dalam bentuk
silase dan Hay
Sumber: Data primer Diolah, 2016

Analisis Usahatani Jagung dan Ternak

Analisis usahatani merupakan alat analisis yang digunakan untuk menghitung nilai
finansial yang didapatkan pada suatu lahan usahatani pada periode tertentu yang
berdasarkan pada penggunaan paket input tertentu. Pada analisis ini, input biaya yang
dikeluarkan pada usahatani jagung dalam periode satu musim tanam berupa biaya pupuk,
herbisida, pestisida, dan tenaga kerja. Pada umumnya petani masih menggunakan tenaga
kerja dalam keluarga dalam mengelolah usahataninya kecuali untuk pengolahan lahan dan
penanaman. Hasil produksi yang diperoleh untuk pertanaman jagung dengan menggunakan
varietas Bima 19 URI sekitar 6 ton per hektar, sedangkan untuk varietas pembanding Bisi 2

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


270 | Teknologi Pertanian
yang ditanam petani produksi yang dicapai berkisar 5 ton per hektar. Adapun biaya dan
pendapatan usahatani jagung disajikan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Hasil rata-rata analisis usahatani Jagung per hektar


No Uraian Bima 19 URI Bisi 2
1 Sarana produksi: 2.795.000 2.100.000
- Benih 900.000 1.000.000
- Pupuk anorganik 995.000 650.000
- Pupuk kandang 500.000 -
- Racun 400.000 450.000
2 Tenaga Kerja: 3.460.000 3.240.000
- Pengolahan lahan 1.000.000 1.000.000
- Penanaman 700.000 700.000
- Pemeliharaan 560.000 420.000
- Panen 700.000 700.000
- Pengangkutan 500.000 370.000
3 Total biaya 6.255.000 5.360.000
4 Penerimaan 15.000.000 11.100.000
6 Keuntungan 8.745.000 5.740.000
7 R/C Ratio 2,39 2,07

Output Sistem Pertanian Bio-industri Berkelanjutan ialah produk, dan produk ikutan
sub-sistem pertanian dan atau hasil olahannya dalam sub-sistem bio-industri. Sistem
Pertanian Bio-industri Berkelanjutan berorientasi pada maksimisasi output yang bermanfaat
bagi manusia (bernilai ekonomi) dan lingkungan, dengan dampak negatif yang minimal
terhadap kelestarian sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Produk-produk yang
bermanfaat langsung secara ekonomi mencakup pangan, pakan, energi dan bioproduk
(Simatupang, 2015). Dalam sistem pertanian bio-industri berbasis integrasi tanaman dan
ternak, maka ada beberapa output yang dihasilkan, baik produk maupun produk ikutan sub-
sistem pertanian.

Ciri utama integrasi tanaman dan ternak adalah adanya sinergisme atau keterkaitan
yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkan kotoran
ternak sebagai pupuk organik untuk tanamannya, kemudian memanfaatkan limbah
pertanian sebagai pakan ternak. Pada model integrasi tanaman ternak, pemanfaatan
kotoran sapi sebagai pupuk organik disamping mampu menghemat penggunaan pupuk
anorganik, juga mampu memperbaiki struktur dan ketersediaan unsur hara tanah sehingga
meningkatkan produktivitas lahan (Kariyasa, 2005).
Ternak sapi menghasilkan dua jenis limbah yaitu limbah cair berupa urine dan limbah
padat berupa kotoran ternak. Kedua macam limbah ini dapat dilakukan pengolahan menjadi
pupuk organik.

Model Integrasi Jagung Ternak

Sistem pertanian atau sistem usahatani ramah lingkungan merupakan sistem yang
menerapkan pemillihan dan penerapan teknologi yang serasi dengan lingkungan, sehingga

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 271
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
produktivitas usahatani optimal dan produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Sistim
ini memiliki satu kunci yaitu pelestarian lahan budidaya pertanian baik lahan sawah maupun
lahan kering berupa kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah.
Selain itu ketersediaan pakan ternak dari hasil sampingan usahatani Jagung yakni
enam kali luas lahan dikalikan 0.70 menghasilkan 4,5 ton bahan kering per tahun (Sariubang
dan Pasambe. 2005). Penambahan pupuk kandang kedalam tanah, selain memperbaiki
struktur, juga meningkatkan kandungan nitrogen dan unsur hara lainnya. Pengintegrasian
tanaman dan ternak merupakan salah satu kegiatan usaha yang ramah lingkungan, karena
adanya pemanfaatan limbah dari budidaya tanaman sebagai pakan ternak dan pemanfaatan
limbah ternak untuk budidaya tanaman. Limbah ternak sapi berupa feses dan urine dapat
diolah menjadi pupuk organik..
Penyerapan satuan populasi ternak dan estimasi kebutuhan pakan ternak dilakukan
dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Haryanto (2009). Penyetaraan dalam satuan
ternak (ST) untuk setiap jenis ternak ruminansia adalah sebagai berikut: Sapi 0,7 ST; kerbau
0,8 ST; domba 0,07 dan kambil 0,08 ST. Adapun kebutuhan pakan untuk setiap satuan ternak
(ST) diperkirakan sebesar 9,1 kg BK/hari. Kapasitas tampung ternak disetiap kecamatan
dihitung dengan menggunakan perumusan kepasitas tampung ternak (ekor) = total pakan
tersedia/kebutuhan pakan.

Fermentasi sebagai pakan ternak

Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah tanaman jagung. Umiyasih
dan Wina (2008) menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami jagung. Jamur
Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi). Jamur ini dapat
mengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga kecernaan bahan kering
jerami jagung akan meningkat. Sedangkan Tangendjaya dan Wina (2007) menggunakan
Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung. Sebelum proses fermentasi
dilakukan, diperlukan mesin penghancur/penggiling tongkol jagung sehingga diperoleh
ukuran partikel tongkol jagung sebesar butiran biji jagung.
Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase sehingga banyak digunakan
untuk memfermentasi limbah-limbah pertanian. Tongkol dicampur dengan jamur
Trichoderma dan dibiarkan selama 4-7 hari dalam tempat tertutup. Fermentasi biasanya
akan meningkatkan nilai nutrisi atau nilai kecernaan bahan kering suatu bahan serta dapat
pula menyebabkan bahan menjadi lebih palatabel bagi ternak (Rofiq, 2012).

Pupuk Organik Padat

Pupuk organik padat dibuat dari kotoran ternak segar dan hasil endapan padat dari
bio slury, serta sisa-sisa pakan yang tidak habis termakan. Pupuk organik terlebih dahulu
difermentasikan sehingga aman digunakan untuk tanaman. Pada pertanaman jagung di
Kabupaten Gianyar Bali, penggunaan pupuk organik sebagai sumber nutrisi tanaman secara
langsung dapat mensubstitusi peran pupuk anorganik NPK yang semakin mahal dan bersifat
kimiawi yang merusak dan meracuni sumberdaya tanah, dimana pupuk organik berperan
ganda sebagai pengaman lingkungan (Kariyasa, 2012). Hasil kajian Adnyana et al dalam

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


272 | Teknologi Pertanian
Kariyasa (2005) menunjukkan bahwa implementasi sistem integrasi tanaman ternak yang
dikembangkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan
pupuk anorganik 25-30 persen dan meningkatkan produktifitas padi 20-29 persen.
Berdasarkan Permentantan No.130/Permentan/SR.130/11/2014 Tanggal 27
Nopember 2014, kebutuhan pupuk bersubsidi untuk Provinsi Gorontalo pada Tahun
Anggaran 2015 adalah urea sebanyak 18.000 ton, SP 36 sebanyak 1.500 ton, ZA sebanyak
900 ton, NPK sebanyak 18.300 ton dan pupuk organik sbanyak 1.500 ton. Populasi sapi di
Provinsi Gorontalo yang mencapai 192.229 ekor (BPS Provinsi Gorontalo, 2015) dengan
kapasitas produksi biourine mencapai 5 liter/hari dan bioslurry 300 kg per hari (pada
peternakan dengan 10 ekor sapi). Pada sistem pertanian bio-industri inetgarsi tanaman-
ternak akan didapatkan 96.1145 liter biourine dan 5,7 ton bioslurry per hari sebagai pupuk
organik, dimana akan mensubstitusi kapasitas 9.675 ton pupuk anorganik yang dibutuhkan
dalam sistem usahatani di Provinsi Gorontalo. (Tabel 5).

Tabel 5. Hasil rata-rata analisis usahatani tani integrasi Jagung-Sapi per hektar
No Uraian Volume/satuan Nilai (Rp) Total (Rp)
A Usaha ternak
1 Biaya:
- Iseminasi Buatan 4 ekor 100.000 400.000
- Olahan limbah jagung 1.440 kg 1.000 1.440.000
- Obat 40 ml 1.500 60.000
- Vitamin 20 ml 2.000 40.000
- Tenaga Kerja 88 HOK 70.000 6.160.000
2 Total biaya 8.100.000
3 Penerimaan 4 ekor 5.000.000 20.000.000
4 Keuntungan 11.900.000
B Pupuk Organik Padat
1 Biaya:
-Tenaga kerja 15 HOK 20.000 300.000
- Karung (isi 50 kg) 150 lbr 2.500 375.000
- Dedak 300 kg 1.000 300.000
- EM4 12 ltr 20.000 240.000
- Label produk 100 lbr 3.000 300.000
2 Total Biaya 1.215.000
3 Penerimaan 7.000 kg 1.000 7.000.000
4 Keuntungan 5.785.000
C. Pupuk Organik Cair
1. Biaya:
-Tenaga kerja 15 HOK 20.000 300.000
- Jerigen (5 lt) 60 bh 10.000 600.000
- Air Kelapa 100 btr 3.000 300.000
- Label produk 100 lbr 3.000 300.000
2. Total Biaya 1.500.000
3. Penerimaan 1.000 lt 4.500 4.500.000
4. Keuntungan 3.000.000
5 Total penerimaan (A+B+C)) 31.500.000
6 Total biaya (A+B+C) 10.815.000
7 Total keuntungan (A+B+C) 20.685.000
R/C rasio 1,91

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 273
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pertanian Bio-industri Jagung Berkelanjutan.

Model Sistem Dinamis adalah suatu metodologi untuk mempelajari dan mengelola
sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem
sosial lainnya (system dynamic society) Definisi yang lain mengatakan bahwa Model Sistem
Dinamis adalah suatu metodologi untuk mempelajari permasalahan di sekitar kita secara
menyeluruh.
Tujuan yang paling mendasar dalam pemodelan System Dynamics adalah
meningkatkan pemahaman tentang hubungan yang terjadi diantara struktur umpan balik
dan perilaku dinamis dari suatu sistem, sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan
dalam rangka memperbaiki permasalahan yang terjadi.
Arah kebijakan pengembangan pertanian bioindustri dirumuskan secara mendetail,
melalui pendekatan modeling (system dinamic). Masing-masing komponen penyusun sistem
yang terkait teriidentifikasi dan dirumuskan dalam diagram sebab-akibat (Causal Loop
Diagram) dilengkapi data kuantitatifnya yang digambarkan pada diagram alirnya (Gambar 1).
Hasil analisis dan simulasi menggunakan software Power Sim merupakan alternatif kebijakan
yang dapat diterapkan oleh pemangku kepentingan. Adapun komponen atau parameter
yang harus dicermati dalam rangka menciptakan pertanian bio-inudustri Jagung
berkelanjutan terangkum pada Tabel 6.

Tabel 6. Parameter berpengaruh pada model pengembangan pertanian bio-industri Jagung


No Komponen Justifikasi Volume
1 Persediaan jagung Jumlah jagung yang telah diproduksi dan siap dikonsumsi 8 ton
2 Hasil jagung Jumlah jagung yang dihasilkan pada musim tanam tertentu 6 ton/MT
3 Kapasitas produksi Jumlah produksi maksimal jagung setiap MT 10 ton/MT
Jagung
4 Komsumsi jagung Jumlah jagung yang dikonsumsi masyarakat pada bulan tertentu 3 ton/bulan
5 Kecukupan jagung Perbandingan antara jumlah jagung yang tersedia dan jumlah jagung 125 %
yang dibutuhkan
6 Kebutuhan jagung Jumlah jagung yang dibutuhkan masyarakat pada bulan tertentu 5 ton/bulan
7 Proporsi konsumsi Proporsi masyarakat yang mampu mengkonsumsi jagung pada tingkat 80 %
jagung harga tertentu
8 Harga jagung Harga jagung tiap ton 3.150.000 Rp/
Ton

KESIMPULAN
Pengembangan Pertanian Bio-Industri Jagung berkelanjutan dapat memberikan nilai
tambah hasil baik produk olahan limbah, maupun usahataninya, yang terbukti dari hasil
usahatani jagung yang dilakukan melalui paket introduksi teknologi dapat menambah
pendapatan petani sebesar Rp. 8.745.000 per hektar dibanding dengan tekonologi eksisting
hanya Rp. 5.740.00 per hektar. Dari usahatani ternak introduksi model pertanian bio-industri
dengan melakukan pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik padat dan pupuk cair
memberikan keuntungan yang lebih besar Rp. 20.685.000 dengan nilai R/C rasio 1.91.
Keragaan daya dukung model pengembangan pertanian bio-industri Jagung
berkelanjutan di Gorontalo setidaknya dapat mencirikan pertanian berkelanjutan baik layak

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


274 | Teknologi Pertanian
secara ekonomi maupun lingkungan. Dengan demkian dalam penerapan dilapangan harus
memperhatikan kisi-kisi pertanian bio-industri.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Gorontalo, 2015. Gorontalo dalam Angka 2015
Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Pengembangan
Inovasi Pertanian. www.pustaka.litbang.pertanian.go.id
Hendayana, R. 2015. Perspektif Pengembangan Pertanian Bio-industri. Makalah Sosialisasi
Pertanian Bioindustri di BBP2TP. Bogor.
Hendriadi, A. 2014. Pengembangan Pertanian Bioindustri Berkelanjutan Berbasis
Sumberdaya Alam. Bahan presentasi dalam Workshop Pengembangan Sistem
Pertanian Bio- industry. Lor Inn Hotel, Sentul, 14 – 16 Mei.
Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan
Subsidi Pupuk dan Peningkatak Pendapatan Petani. J. Anaslisis Kebijakan. 3 (1) hal.
68–80. ejurnal.litbang.pertanian.go.id.
Kariyasa, K. 2012. Teknolgi Olahan Limbah Pertanian dan Aplikasinya Pada Tanaman
Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan
Energi. Fakultas Pertanian Univ. Trunojoyo, Juni 2012.
Las, I. dan A. Mulyani. 2014. Pengembangan Peratnian Biondustri Berbasis SDLP dan
Pengwilayahan Komoditas. Bahan Presentasi dalam Workshop Pertanian Bio-industri.
Hotel Lor Inn, Sentul, 14–16 Mei 2014
Manurung, Robert. 2013. Pengembangan Sistem Pertanian-Bio-industri Berkelanjutan.
Makalah disampaikan pada acara “Sosialisasi Strategi Induk Pembangunan Pertanian
(SIPP) 2013–2045. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. Medan, November 2013.
Prasotowo, B. 2014. Konsep Pertanian Bio-industri dan Langkah-Langkah Pelaksanaanya
Bahan Presentasi dalam Workshop Pertanian Bio-industri, Hotel Lor Inn, sentul 14–16
Mei.
Rofiq, M.N., 2012. Teknologi Pemanfaatan Limbah Jagung Sebagai Pakan. Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tidak dipublikasikan.
Rumengan, I.F.M dan F. Fatimah, 2014. Perkembangan teknologi bio-industri. Peluang dan
Tantangan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Mendukung Bio-industri.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian.
Sariubang, M dan D. Pasambe. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Jagung dan Sapi Potong di
Kabupaten Takalar Sulawese Selatan. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
Veteriner. Bogor, 1 – 2 Desember 1998 Puslitbang Peternakan, Bogor. Hal 285-291.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 275
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Simatupang, P. 2014. Perspektif Pertanian Bio-industri Berkelanjutan. Dalam Haryono, dkk
(Editor). Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian.
Kementerian Pertanian. IAARD Press.
___________. 2015. Perspektif Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. Politik Pertanian
Indonesia: Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian.
www.litbang.pertanian.go.id/buku/reformasi-kebijakan.../BAB-II-3.pd
Tangendjaya, B. dan E.Wina. 2007. Limbah Tanaman dan Produk Samping Industri Jagung
untuk Pakan Ternak. Jagung (edisi khusus). www.balitseral.litbang.pertanian.go.id
Umiyasih, U. dan E.Wina. 2008. Pengolahan dan Nilai Nutrisi Limbah Tanaman Jagung
Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. J. Wartazoa. www.peternakan.litbang.go.id

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


276 | Teknologi Pertanian
PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG MERAH PADA BERBAGAI DOSIS
PEMUPUKAN ZA DI LAHAN TADAH HUJAN BERTANAH ALLUVIAL
DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NTB

Lia Hadiawati1, Ahmad Suriadi1, dan Fenty Irianty2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat (BPTP NTB).
Jl. Raya Peninjauan Narmada, Lombok Barat, NTB
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat (BPTP Papua Barat).
Jl. Basecamp – Arfai Gunung, Kompleks Perkantoran Pemprov Papua Barat, Manokwari
e-mail: lia.hadiawati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pupuk ammonium sulfat/ZA (Zwavelzure Ammoniak) dapat meningkatkan hasil dan mutu
bawang merah sehingga banyak diaplikasikan oleh petani di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis pupuk ZA yang tepat untuk mengingkatkan
hasil bawang merah di lahan tadah hujan bertanah Alluvial. Penelitian on-farm dilaksanakan di
Desa Labuan Lombok Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur-NTB pada bulan Juni sampai
Agustus 2017. Penelitian disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
terdiri dari 6 taraf perlakuan pupuk ZA yaitu 0/kontrol, 50, 100, 150, 200, dan 250 kg/ha. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada fase pertumbuhan awal sampai umur 40 HST, tanaman
bawang merah menghasilkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot berangkasan segar paling
tinggi pada dosis pupuk ZA 50 kg/ha. Akan tetapi, hasil bawang merah tertinggi dicapai pada
dosis pupuk ZA 200 kg/ha. Pada dosis tersebut, hasil bawang merah kering jemur meningkat
41.9% dibandingkan kontrol. Sampai umur 60 HST, secara konsisten dosis pupuk ZA 200 kg/ha
memberikan nilai tertinggi untuk hasil segar (3.50 kg/m2), jumlah umbi (8.67), bobot
berangkasan segar per rumpun (106.81 gr), jumlah daun per rumpun (40.60 helai), dan tinggi
tanaman per rumpun (49.53 cm).
Kata kunci: Pupuk ZA, bawang merah

PENDAHULUAN
Lahan kering tadah hujan berupa tegalan dengan jenis tanah Alluvial sangat potensial
untuk penanaman bawang merah pada musim hujan. Tanah Alluvial cocok untuk tanaman
bawang merah karena teksturnya yang remah, memiliki drainase/aerasi yang baik, dan
reaksi tanah sekitar netral (Moekasan et all, 2016). Dengan demikian kelebihan air dari hujan
dengan cepat diloloskan sehingga tanaman bawang merah terhindar dari kondisi tanah
tergenang atau terlalu lembab yang dapat menurunkan produksi.
Selain faktor lahan, pupuk kimia mempengaruhi produksi bawang merah di lahan
tadah hujan. Pemupukan merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman agar
tumbuh optimal. Kekurangan atau kelebihan unsur hara dapat menghambat pertumbuhan
tanaman, meningkatkan kerentanan terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT), dan
menurunkan hasil (Agung, 2005). Salah satu pupuk yang digemari oleh petani bawang merah
di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah pupuk ZA. Petani menyukai pupuk ZA karena
memberikan aroma bawang merah yang lebih kuat.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 277
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pupuk ZA/Zwavelzure Ammoniak atau ammonium sulfat/(NH4)2SO4 merupakan pupuk
anorganik tunggal dengan kandungan nitrogen (N) 21% dan sulfat (S) 23% (Lide, 2006).
Bawang merah merupakan tanaman yang membutuhkan banyak S, terutama untuk memicu
metabolisme tanaman yang berhubungan dengan kualitas nutrisi tanaman sayuran.
Pemberian S dengan dosis 20-60 ppm meningkatkan serapan S, P, Zn, dan Cn. Pada tanaman
bawang merah kebutuhan S sebanyak 120 kg/ha. Ketajaman aroma bawang merah
berkorelasi dengan ketersediaan S di dalam tanah (Sumarni dan Hidayat, 2005).
Unsur N merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman untuk merangsang
pertumbuhan daun, batang, dan akar. Nitrogen merupakan bagian dari zat hijau daun yang
berguna dalam proses fotosintesis sel. Apabila tanaman bawang merah kekurangan N maka
pertumbuhannya terhalang sehingga ukuran umbi mengecil dan kurang disukai pasar
(Henriksen dan Hansen, 2001). Namun apabila berlebih, unsur N menyebabkan
pertumbuhan vegetatif berlebih, panen tertunda, rentan OPT, menurunkan bobot
berangkasan kering dan daya simpan, bahkan mengurangi hasil (Batal et al., 1994).
Rentannya bawang merah akan kelebihan N disebabkan karena terjadinya pembesaran
ukuran sel tanaman dan mempertipis dinding sel, sehingga patogen mudah terserang
patogen dan hama (Moekasan et all, 2016).
Bawang merah memiliki sistem perakaran yang dangkal dan tidak bercabang,
sehingga pemupukan perlu dilakukan secara bertahap. Rekomendasi pemupukan pada
bawang merah diberikan dalam tiga tahap, yaitu (1) pupuk dasar diberikan sebelum
pencangkulan terakhir atau tujuh hari sebelum tanam berupa campuran pupuk NPK, SP-36
dan KCL, (2) pupuk susulan pertama saat tanaman berumur 10-15 HST berupa Urea atau ZA,
dan (3) pupuk susulan ketiga saat tanaman berumur 30-35 HST berupa Urea (Moekasan et
all, 2016).
Berbagai penelitian tentang komposisi pupuk yang tepat telah dilakukan. Salah
satunya menganjurkan komposisi pupuk N yang paling baik untuk menghasilkan umbi
bawang merah konsumsi adalah 1/3 N (urea) + 2/3 N (ZA) (Sumarni dan Hidayat, 2005).
Komposisi pupuk tersebut juga tergantung pada kondisi lahan. Jumlah N yang diserap
bawang merah berkisar antara 50-300 kg/ha tergantung pada varietas, iklim, jarak tanam,
pupuk dan potensi hasil (Pire et al., 2001). Dalam praktiknya, petani yang kurang
berpengalaman cenderung mengaplikasikan pupuk urea dan ZA pada dosis yang sama,
padahal kandungan N dalam urea mencapai 46%. Apabila pupuk urea tidak tersedia, maka
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis pupuk ZA yang tepat untuk meningkatkan
hasil bawang merah di lahan tadah hujan bertanah Aluvial.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian on-farm dilaksanakan di lahan kering tadah hujan bertanah Alluvial di
Desa Labuan Lombok Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur-NTB bulan Juni sampai
Agustus 2017 (musim kemarau /MK I). Lokasi pengkajian terletak di koordinat S 8 o30’47.74”
x E 116o39’17.56” pada ketinggian 57 m di atas permukaan laut.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


278 | Teknologi Pertanian
Varietas yang ditanam adalah varietas Vietnam dalam rancangan lingkungan acak
kelompok dengan perlakuan variasi pupuk ZA pada dosis 0 kg/ha sebagai kontrol, dan 50,
100, 150, 200, dan 200 kg/ha. Dosis pupuk ZA tersebut diaplikasikan dengan cara disebar
saat tanaman berumur 15 HST. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan dalam
bedengan berukuran 1 m x 15 m dalam setiap blok.
Pelaksanaan pengkajian meliputi pembersihan lahan, pembuatan bedengan dan
saluran draenase dengan cara dicangkul. Pupuk dasar berupa pupuk organik 10 t/ha, NPK
250 kg/ha, dan SP-36 150 kg/ha diberikan 7 hari sebelum tanam. Umbi bibit dipotong 2/3
bagian ujungnya, ditaburi fungisida, dan dikeringanginkan selama 3 hari sebelum tanam.
Tanam dilakukan secara tugal dengan menanam satu umbi/lubang pada jarak 15 x 20 cm.
Pemeliharaaan tanaman mengacu PTT (pengelolaan tanaman terpadu) bawang merah
(Moekasan et all, 2016). Panen dilaksanaan saat tanaman berumur 60 HST.
Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, bobot berangkasan
segar, dan jumlah umbi pada umur 20, 40, dan 60 HST. Hasil bawang merah segar ditimbang
dari ubinan berukuran 1 m2, kemudian dijemur selama 7 hari untuk mendapat bobot hasil
kering. Analisis ragam dilakukan menggunakan software STAR ver. 2.0.1, dan dilanjutkan uji
lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (STAR, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada peubah tinggi tanaman menunjukkan
bahwa perlakuan beberapa taraf pupuk ZA sangat nyata mempengaruhi tinggi tanaman pada
umur 40 HST, sedangkan tinggi tanaman pada umur 20 HST dan 60 HST tidak menunjukkan
adanya pengaruh antar perlakuan. Hasil uji lanjut terhadap peubah tersebut tercantum
dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman bawang merah pada beberapa taraf pupuk ZA di lahan
tadah hujan bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada MK II 2017
Tinggi tanaman (cm) sampel tdk terusik
Pupuk ZA (kg/ha)
20 HST 40 HST 60 HST
0/kontrol 32.11 39.70b 49.27
50 30.93 53.20a 48.73
100 29.87 49.62a 49.00
150 31.87 44.52ab 48.73
200 30.55 51.60a 49.53
250 29.31 51.60a 49.40
CV (%) 16.13 17.13** 10.43
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada Uji
Duncan 5%

Pengaruh perlakuan pemupukan ZA pada tinggi tanaman bawang merah umur 40 HST
bervariasi yaitu secara nyata paling rendah pada tanaman kontrol (dosis 0 kg/ha) dan paling
tinggi pada perlakuan dosis 50 kg/ha. Namun perlakuan dosis 50 kg/ha tersebut tidak

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 279
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada dosis yang lebih tinggi. Selisih tinggi tanaman
antara tanaman kontrol dengan tanaman lainnya adalah 4.84 cm (dosis 150 kg.ha) sampai
dengan 13.5 cm (dosis 50 kg/ha).

Jumlah Daun

Seperti halnya peubah tinggi tanaman, hasil analisis sidik ragam pada peubah jumlah
daun menunjukkan bahwa perlakuan beberapa taraf pupuk ZA sangat nyata mempengaruhi
jumlah daun tanaman pada umur 40 HST, sedangkan jumlah daun pada umur 20 HST dan 60
HST tidak menunjukkan adanya pengaruh antar perlakuan. Hasil uji lanjut terhadap peubah
jumlah daun pada umur 40 HST tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata jumlah daun bawang merah pada beberapa taraf pupuk ZA di lahan tadah
hujan bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada MK II 2017
Jumlah daun per rumpun
Pupuk ZA (kg/ha)
20 HST 40 HST 60 HST
0/kontrol 14.20 19.67ab 32.40
50 13.73 26.00a 29.80
100 13.07 21.40ab 28.73
150 13.93 23.47ab 33.00
200 12.93 24.47ab 40.60
250 17.13 16.53b 32.93
CV (%) 33.00 34.80** 34.95
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada
Uji Duncan 5%

Sedangkan sebaran data rata-rata dari peubah tinggi tanaman dan jumlah daun
tanaman umur 40 HST disajikan dalam Grafik 1.Pengaruh perlakuan pemupukan ZA pada
jumlah daun tanaman bawang merah umur 40 HST juga bervariasi. Berbeda dengan tinggi
tanaman, jumlah daun secara nyata paling sedikit pada dosis 250 kg/ha, namun tidak
berbeda nyata dengan jumlah daun pada dosis yang lebih rendah, kecuali dosis 50 kg/ha.
Dibandingkan dengan kontrol, penambahan jumlah daun berkisar antara 1.73 helai
(dosis 100 kg/ha) sampai dengan 6.33 helai (dosis 50 kg/ha). Dengan demikian, pupuk ZA
pada dosis rendah diduga dapat memacu tinggi tanaman dan jumlah daun pada fase
vagetatif. Sejalan dengan hasil percobaan ini, Setyawati et al. (2016) melaporkan bawah
pupuk ZA secara sangat nyata mempengaruhi tinggi tanaman dan jumlah daun, dosis terbaik
adalah 0.4 gr antara perlakuan dosis 0.2-0.6 gr/pot.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


280 | Teknologi Pertanian
a b

Gambar 1. Tinggi tanaman bawang merah pada beberapa taraf pemupukan ZA di lahan tadah hujan
bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada MK II 2017

Bobot Berangkasan Segar

Berbeda dengan peubah tinggi tanaman dan jumlah daun, hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan beberapa taraf pupuk ZA tidak mempengaruhi bobot
berangkasan segar (BBS) bawang merah pada umur 20 HST dan 40 HST. Pengaruh
pemupukan terlihat sangat nyata pada BBS umur 60 HST. Hasil uji lanjut terhadap peubah
tersebut tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata bobot berangkasan segar bawang merah umur 20, 40, dan 60 HST pada
beberapa taraf pupuk ZA di lahan tadah hujan bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada
MK II 2017
Bobot berangkasan segar per rumpun (gr)
Pupuk ZA (kg/ha)
20 HST 40 HST 60 HST
0/kontrol 11.65 17.38 79.02ab
50 9.04 20.05 63.71b
100 9.64 17.64 74.76b
150 10.13 17.57 76.10ab
200 7.95 19.52 106.81a
250 11.28 16.68 71.89b
CV (%) 45.31 41.41 38.07**
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata
pada Uji Duncan 5%

Pengaruh perlakuan pemupukan ZA pada BBS tanaman bawang merah umur 60 HST
juga bervariasi. BBS secara nyata paling tinggi pada dosis pupuk 200 kg/ha yaitu 106.81 gr,
atau sekitar 26.02% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Walaupun tidak berbeda nyata
dengan kontrol, namun secara umum penambahan pupuk ZA akan meningkatkan BBS,
kecuali pada dosis 50 kg/ha. Pemupukan ZA pada dosis 50 kg/ha justru menurunkan BBS
sampai 19.4%.
Hal ini mengindikasikan bahwa pemupukan ZA pada dosis rendah (50 kg/ha) tidak
mencukupi untuk pembentukan umbi pada fase generatif lanjut. Dosis 50 kg/ha cenderung
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 281
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
memacu tinggi, jumlah daun, dan BBS sampai umur 40 HST, sehingga berpeluang menarget
pasar untuk konsumsi bawang muda/daun. Jumlah dan berat daun yang tinggi tidak selalu
akan menghasilkan umbi yang tinggi juga (Gamiely, et al. 1991). Lebih lanjut, Gamiely
mejelaskan bahwa saat NH4-N menjadi sumber N tunggal maka pembentukan anakan pada
fase pertumbuhan awal tidak berkorelasi dengan berat umbi saat panen.

Jumlah Umbi

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada peubah jumlah umbi menunjukkan bahwa
perlakuan beberapa taraf pupuk ZA sangat nyata mempengaruhi jumlah umbi pada umur 40
HST, sedangkan tinggi tanaman pada umur 20 HST dan 60 HST tidak menunjukkan adanya
pengaruh antar perlakuan. Hasil uji lanjut terhadap peubah tersebut tercantum dalam Tabel
4.

Tabel 4. Rata-rata jumlah umbi bawang merah umur 20, 40, dan 60 HST pada beberapa taraf
pupuk ZA di lahan tadah hujan bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada MK II 2017
Jumlah umbi per rumpun
Pupuk ZA (kg/ha)
20 HST 40 HST 60 HST
0/kontrol 2.87 3.33b 8.67
50 3.33 4.53ab 6.27
100 2.87 3.80ab 7.20
150 3.20 4.67ab 7.27
200 2.87 5.40a 8.67
250 3.73 2.87b 8.13
CV (%) 34.09 41.91** 55.62
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada
Uji Duncan 5%

Pengaruh perlakuan pemupukan ZA pada jumlah umbi tanaman bawang merah umur
40 HST juga bervariasi. Jumlah umbi secara nyata paling tinggi pada dosis pupuk 200 kg/ha
yaitu 5.40 umbi, atau sekitar 38.3% lebih tinggi dibandingkan kontrol.

a b

Gambar 2. Bobot berangkasan segar umur 60 HST (a) dan jumlah umbi umur 40 HST (b) tanaman
bawang merah pada perlakuan beberapa taraf pupuk ZA di lahan tadah hujan bertanah alluvial-
Lombok Timur, NTB pada MK II 2017

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


282 | Teknologi Pertanian
Walaupun tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun secara umum penambahan
pupuk ZA akan meningkatkan jumlah umbi, kecuali pada dosis 250 kg/ha. Pemupukan ZA
pada dosis 250 kg/ha justru menurunkan jumlah umbi sampai 13.8%. Pemupukan cenderung
menambah jumlah umbi, namun menurunkan bobot berangkasan kering sehingga tidak
berbeda nyata dengan plot tanpa pemupukan (Woldetsadik, 2008). Dengan demikian diduga
bahwa ambang pemupukan ZA di lokasi percobaan sebaiknya tidak melebihi dosis 200 kg/ha.
Pupuk ZA berpotensi menurunkan pH tanah apabila diaplikasikan berlebih (Zapp, 2012).

Produksi Bawang Merah

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan beberapa taraf
pupuk ZA secara nyata mempengaruhi produksi segar dan kering jemur bawang merah. Hasil
uji lanjut terhadap peubah tersebut tercantum dalam Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata bobot berangkasan basah dan bobot berangkasan kering pada beberapa
taraf pupuk ZA di lahan tadah hujan bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada MK II 2017
Pupuk ZA (kg/ha) Produksi segar (kg/m2) Produksi kering (kg/m2)
0/kontrol 3.00ab 0.86bc
50 2.90b 0.83c
100 3.33ab 1.46a
150 3.23ab 1.09b
200 3.50a 1.48a
250 2.27c 1.00bc
CV (%) 9.90** 11.66**
Keterangan: nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada Uji
Duncan 5%

Pengaruh perlakuan pemupukan ZA pada produksi segar dan kering tanaman bawang
merah bervariasi. Pemupukan ZA 200 kg/ha secara nyata memberikan hasil produksi basah
dan kering tertinggi. Dibandingkan kontrol, hasil bawang merah kering meningkat 41.9%,
dan hasil segar meningkat sebesar 14.3%.

a b
Gambar 3. Hasil bawang merah segar (a) dan hasil bawang merah kering (b) (kg/m2) pada beberapa
taraf pemupukan ZA di lahan tadah hujan bertanah alluvial-Lombok Timur, NTB pada MK II 2017

Tingginya hasil tersebut diduga merupakan kontribusi dari nilai BBS dan jumlah umbi
yang tinggi pada dosis 200 kg/ha tersebut. Hasil pemupukan pada dosis 100 dan 150 kg/ha
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 283
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
tidak berbeda nyata dengan dosis 200 kg/ha. Dengan demikian kisaran dosis yang potensial
meningkatkan hasil bawang merah di lokasi penelitian adalah 100-200 kg/ha. Dosis pupuk
diluar kisaran tersebut tidak dianjurkan karena berpeluang penurunan hasil (Tabel 1).

KESIMPULAN
Secara konsisten dosis pupuk ZA 200 kg/ha memberikan nilai tertinggi untuk hasil
segar (3.50 kg/m2), jumlah umbi (8.67), bobot berangkasan segar per rumpun (106.81 gr),
jumlah daun per rumpun (40.60 helai), dan tinggi tanaman per rumpun (49.53 cm) pada
umur 60 HST. Hasil bawang merah kering jemur meningkat 41.9% dibandingkan kontrol.
Aplikasi pupuk ZA 50 kg/ha secara nyata memacu pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah
daun, dan bobot berangkasan segar) pada fase vegetatif awal sampai umur 40 HST.

DAFTAR PUSTAKA
Agung, I Dewa Gede. 2005. Faktor-Faktor Karakteristik Usahatani Yang Mempengaruhi
Pendapatan Usahatani Bawang Merah Di Desa Songan Kecamatan Kintamani. Thesis
S2. Program Pasca Sarjana. Universitas Udayana. Denpasar
Batal, K. M., K. Bondari, D. M. Granberry, and B. G. Mullinix. 1994. Effect of Source, rata, and
Frequency of N Application on Yield, Marketable Grades and Rot Incidence of Sweet
Onion (Allium cepa L. cv. Granex-33). Journal of Horticultural Science 69, 1043-1051h
Gamiely, S., W. M. Randle, H. A.Mills dan D. A. Smittle. 1991. Onion plant growth, bulb
quality, and water uptake following ammonium and nitrat nutrition. HortScience
26(8):1061-1063h
Henriksen, K & S. L. Hansen. 2001. Increasing the Dry Matter Production in Bulb Onions
(Allium cepa L.) Acta Horticulture 555, 147-52h.
Lide, D. R. ed. 2006. CRC Handbook of Chemistry and Physics(87th ed.). Boca Raton, FL: CRC
Press. ISBN 0-8493-0487-3
Moekasan, T. K., L. Prabaningrum, W. Setiawati, M. Prathama, dan A. Rayahu. 2016. Modul
Pendampingan Pengembangan Kawasan Pengelolaan Tanaman Terpadu Bawang
Merah. Pusat Penelitian dan Pengambanan Hortikultura. Bogor. 67-82h
Pire, R., Ramirez, H., Riera, J. & Gómez de T. N. 2001. Removal of N, P, K and Ca by an onion
crop (Allium cepa L.) in a silty-clay soil, in a semiarid region of Venezuela. Acta
Horticulturae 555, 103-109h.
Setyawati, N. K., S. Husain, dan L. Tangge. 2016. Pengaruh pemberian pupuk ZA terhadap
pertumbuhan bawang merah (Allium cepa L.). Diakses pada tanggal 25 Oktober 2017
di http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/EBiol/article/view/7414
Sumarni, N. dan A. Hidayat. 2005. Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Bandung.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


284 | Teknologi Pertanian
Swasono, F. D. H., 2012. Karakteristik Fisiologi Toleransi Tanaman Bawang Merah Terhadap
Cekaman Kekeringan di Tanah Pasir Pantai. AgriSains. Vol. 3. No. 4. 88-103h.
Star, version 2.1.1. 2014. Biometrics and Breeding Information, PBGB Division, International
Rice Research Institute, Los Banos, Laguna
Woldetsadik, K., U.Gertsson, dan J. Ascard. 2008. Season and nitrogen source and rate affect
development and yiled of shallot. DOI: 10.1300/J068v08n01_09
Zapp, K. H. 2012. Ammonium compounds in Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry
2012, Wiley-VCH, Weinheim. doi:10.1002/14356007.a02_243

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 285
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENURUNAN HASIL BAWANG MERAH AKIBAT KEKERINGAN
PADA BEBERAPA FASE PERTUMBUHAN

Lia Hadiawati1, Ahmad Suriadi1, dan Fransiska Renita Anon Basundari2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat (BPTP NTB).
Jl. Raya Peninjauan Narmada, Lombok Barat, NTB
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat (BPTP Papua Barat).
Jl. Basecamp-Arfai Gunung, Kompleks Perkantoran Pemprov Papua Barat, Manokwari
e-mail: lia.hadiawati@yahoo.co.id

Abstrak
Kendala utama pada budidaya bawang merah pada musim kemarau adalah ketersediaan air
yang terbatas sehingga tanaman rentan mengalami kekeringan. Pada kasus kekeringan yang
parah, petani mengalami kerugian akibat biaya pengairan terlalu tinggi atau produksi terlalu
rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya penurunan hasil dan pertumbuhan
bawang merah akibat kekeringan pada beberapa fase pertumbuhan. Percobaan dilakukan di
screen house menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan kekeringan saat
bawang merah berumur 30, 40, 50, dan 60 hari setelah tanam (HST) sebagai kontrol. Jumlah
ulangan 10 pot dan peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, bobot
berangksan kering, jumlah dan ukuran (diameter dan tinggi) umbi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kekeringan secara nyata menurunkan berat berangkasan bawang merah sebesar 58.9%,
62.6%, dan 32.0% pada perlakuan umur 30, 40, dan 50 HST secara berurutan. Demikian juga
dengan ukuran umbi secara nyata menjadi lebih kecil apabila mengalami cekaman kekeringan
lebih awal selama fase tumbuhnya.
Kata kunci: bawang merah dan kekeringan

PENDAHULUAN
Bawang merah adalah salah satu komoditas hortikultura primadona yang
berkembang pesat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada tahun 2015, NTB
dicanangkan oleh Menteri Pertanian sebagai salah satu sentra produksi bawang merah
nasional. Luas panen bawang merah berkembang dari 9.988 ha di tahun 2011 menjadi
14.524 ha di tahun 2015. Demikian juga dengan produksi meningkat sampai 51.12% selama
periode tersebut (BPS, 2015). Berdasarkan hasil sensus pertanian pada tahun 2013, jumlah
rumah tangga tani yang membudidayakan bawang merah sekitar 17.711 usaha dengan rata-
rata luas tanam yang diusahakan sekitar 3.302 m2 per rumah tangga (BPS, 2013).
Puncak penanaman bawang merah di NTB adalah musim kemarau yaitu sekitar bulan
Mei-Agustus. Bawang merah dominan dibudidayakan pada musim kemarau (MK) untuk
menghidari tingginya serangan hama dan penyakit di musim hujan (MH). Bawang merah
membutuhkan banyak sinar matahari yaitu penyinaran minimal 70%, suhu antara 25-32oC,
dan kelembaban antara 50-70%. Bawang merah membutuhkan banyak air namun peka
terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi. Kelembaban yang tinggi akan
menyebabkan penyakit berkembang pesat (Moekasan et all, 2016). Iklim memang sangat
mempengaruhi resiko produksi usahatani bawang merah, (Widyantara dan Yasa, 2013).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


286 | Teknologi Pertanian
Lebih lanjut, Widyantara dan Yasa menjelaskan bahwa resiko budidaya padi di musim hujan
lebih kecil daripada musim kemarau.
Kendala utama pada MK adalah ketersediaan air yang terbatas sehingga tanaman
rentan mengalami kekeringan. Pada bawang merah, periode kritis karena kekurangan air
terjadi saat pembentukan umbi, sehingga dapat menurunkan produksi (Sumarni dan
Hidayat, 2005). Penyiraman bawang merah idealnya dilakukan dua kali (pagi dan sore) sehari
saat umur tanaman 0-5 HST, kemudian menjadi satu kali saja pada pagi hari saat tamanan
mencapai umur 6-25 HST. Penyiraman kembali dilakukan dua kali sehari setelah umur 26-50
HST, dan dikurangi lagi menjadi satu kali sehari setelah mencapai umur 51-60 HST
(Moekasan et all, 2016). Penyiraman diupayakan untuk mempertahankan lengas tanah agar
lebih tinggi dari -12.5 kPa. Produksi dan keuntungan budidaya bawang merah meningkat bila
air tanah potensial berada pada kisaran -17 kPa sampai -12.5 kPa pada kedalaman tanah 20
cm (Shock et al., 1998).
Pengaturan kelembaban tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan
produksi. Hal tersebut disebabkan karena keluarga bawang-bawngan, termasuk bawang
merah memiliki system perkaran yang kurang effisien. Perakaran bawang merah 90%
terkonsentrasi pada kedalam sampai 40 cm, dan hanya 2-3% dari total akar yang ditemukan
pada kedalam dibawah 60 cm (Greenwood et al, 1982). Sehingga kemampuan mengekstrak
air rendah dan rentan terhadap kekeringan. Pada kasus kekeringan yang parah, petani
mengalami kerugian akibat biaya pengairan terlalu tinggi atau produksi terlalu rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya penurunan hasil dan pertumbuhan
bawang merah akibat kekeringan pada beberapa fase pertumbuhan.

BAHAN DAN METODE


Percobaan telah dilaksanakan di screen house Kebun Percobaan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) NTB pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2017.
Percobaan menggunakan rancangan lingkungan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan
kekeringan sejak bawang merah berumur 30, 40, dan 50 hari setelah tanam (HST), dan
tanaman kontrol yang tidak mendapat perlakuan kekeringan. Setiap perlakuan diulang
dalam 10 pot, dan panen dilakukan pada umur 60 HST.
Varietas bawang merah yang digunakan adalah Varietas Vietnam. Bibit berukuran
sedang (diameter 1.5-1.8 cm) dipilih dan dipotong ujungnya sebelum perlakuan fungisida.
Selanjutnya bibit dikeringanginkan selama empat hari sebelum tanam. Media tanam
sebanyak 2 kg dalam setiap pot merupakan campuran tanah (Alluvial) dan kompos (granul
petrogenaik) dengan perbandingan 2:1. Penyiraman dilakukan setiap hari, dan dihentikan
pada saat mencapai umur untuk perlakuan kekeringan.
Pengukuran kadar lengas tanah pada pot kontrol selama periode perlakukan
kekeringan ditampilkan dalam Grafik 1. Kapasitas lapang tanah yang digunakan dalam
penelitian ini berada pada kisaran kadar lengas 20.26%-31.32% (rata-rata 26.45%). Kadar
lengas tanah makin menurun dengan makin panjangnya periode kekeringan. Rata-rata

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 287
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
kehilangan air setelah tidak diairi selama 5, 10, 15 dan 20 hari berturut-turut adalah 14.7%,
38,4%, 45.5%, dan 55.9%.

Grafik 1. Penurunan kadar lengas tanah selama periode perlakuan kekeringan

Peubah amatan terdiri tinggi tanaman, jumlah daun, bobot barangkasan kering,
jumlah umbi, diameter umbi, dan tinggi umbi. Analisis ragam dilakukan menggunakan
software STAR ver. 2.1, dan dilanjutkan uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan
pada taraf 5% (STAR, 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Bawang Merah

Berdasarkan hasil analisis data pada sidik ragam, perlakuan kekeringan pada
beberapa fase pertumbuhan bawang merah berpengaruh secara nyata pada bobot
berangkasan kering (BBK) dan jumlah daun, namun tidak mempengaruhi tinggi tanaman.
Hasil uji lanjut terhadap peubah tersebut tercantum dalam Tabel 1, dan sebaran rata-rata
data pengamatan BBK dan jumlah daun bawang merah ditampilkan dalam Grafik 2.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot berangkasan kering bawang
merah akibat perlakuan kekeringan pada beberapa fase pertumbuhan.
Perlakuan Kekeringan Bobot berangkasan kering (gr) Jumlah daun (helai) Tinggi tanaman (cm)
Umur 30 HST 6.35 c 22.70ab 27.77
Umur 40 HST 5.79 c 19.10 b 24.61
Umur 50 HST 10.52 b 20.15 b 26.11
Umur 60 HST/kontrol 15.48 a 27.20 a 25.35
CV (%) 29.76* 24.00* 11.53
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada Uji Duncan
5%

Berdasarkan hasil uji lanjut pada Tabel 1, perlakuan kekeringan secara nyata
menurunkan BBK tanaman. Perlakukan kekeringan sejak tanaman berumur 40 HST
menghasilkan BBK paling rendah yaitu rata-rata 5.79 gr, atau 62.6.8% secara nyata lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya diikuti dengan penurunan BBK pada

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


288 | Teknologi Pertanian
perlakukan kekeringan 30 HST sebesar 58.9%, dan penurunan paling kecil pada perlakuan
kekeringan umur 50 HST (32.04%). Dengan demikian, terdapat kecenderungan penurunan
BBK yang lebih besar bila terjadi cekaman kekeringan pada fase tanaman lebih muda.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil lebih besar apabila
kekurangan air terjadi saat pembentukan umbi (Al-Jamal et al., 2000). Kelembaban tanah
sangat penting untuk pembentukan akar baru karena akar bawang merah tidak terlalu aktif
membentuk percabangan. Hasil penelitian Swasono (2012) menyimpulkan bahwa serapan
air dan hara dipengaruhi oleh pertumbuhan akar yang kurang baik akibat cekaman
kekeringan. Kekurangan air menyebabkan akar yang baru terbentuk dari batang tidak dapat
mencapai dasar umbi (Brewster, 1994). Pada akhirnya menyebabkan terhambatnya pasokan
hara dan akan mengganggu pertumbuhan.
Sejalan dengan menurunnya BBK, perlakukan kekeringan secara nyata menurunkan
jumlah daun tanaman pada setiap fase pertumbuhan. Walaupun perlakuan kekeringan sejak
tanaman berumur 30 HST tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun terdapat penurunan
jumlah daun sebesar 16.5%. Sedangkan perlakuan kekeringan sejak umur 40 HST dan 50 HST
adalah sebesar 29.8% dan 25.9% secara berturut-turut.
Penurunan jumlah daun diduga berkontribusi terhadap penuruan BBK pada tiap fase
pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Tahla et al. (1978) melaporkan bahwa jumlah daun
dan tinggi tanaman berkorelasi secara linier dengan ketersediaan lengas tanah, pengaruhnya
akan terlihat pada berat umbi dan hasil. Kekurangan air menyebabkan daun menyempit
sehingga memperkecil jumlah cahaya matahari yang diterima. Pada gilirannya akan
menurunkan laju transpirasi dan jumlah hara yang diserap (Marschner, 1995). Kekeringan
menyebabkan mundurnya laju transpirasi, photosintesis, dan pertumbuhan bawang merah
(Begum at al., 1990).

a b
Grafik 2. Pengaruh kekeringan terhadap bobot berangkasn kering (a) dan jumlah daun (b)bawang
merah pada beberapa fase pertumbuhan

Hasil Umbi Bawang Merah

Berdasarkan hasil analisis data pada sidik ragam, perlakuan kekeringan pada
beberapa fase pertumbuhan bawang merah tidak mempengaruhi jumlah umbi, namun
berpengaruh secara nyata pada bobot diameter dan tinggi umbi. Hasil uji lanjut terhadap
peubah tersebut tercantum dalam Tabel 2.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 289
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 2. Rata-rata jumlah, diameter, dan tinggi umbi bawang merah akibat perlakuan
kekeringan pada beberapa fase pertumbuhan.
Perlakuan Kekeringan Jumlah umbi Diameter umbi (cm) Tinggi umbi (cm)
Umur 30 HST 5.50 1.05 b 1.92 b
Umur 40 HST 4.50 0.98 b 2.04 b
Umur 50 HST 4.60 1.41 a 2.66 a
Umur 60 HST/kontrol 5.80 1.59 a 2.88 a
CV (%) 31.85 23.63** 12.34**
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada Uji
Duncan 5%

Berdasarkan hasil uji lanjut pada Tabel 2, penurunan diameter dan tinggi umbi tidak
berbeda nyata antara perlakuan 30 HST dan 40 HST, namun keduanya berbeda nyata dengan
perlakuan kekeringan sejak 50 HST dan 60 HST/kontrol. Penurunan diameter dan tinggi umbi
paling besar terjadi pada perlakuan kekeringan sejak tanaman umur 40 HST, yaitu sebesar
38.36% penurunan diameter umbi dan29.17% penurunan tinggi umbi bila dibandingkan
dengan kontrol.
Grafik 3 menunjukkan sebaran rata-rata data pengamatan diameter dan tinggi umbi
bawang merah akibat kekeringan. Sejalan dengan hasil pengamatan BBK, ukuran umbi
(diameter dan tinggi) menjadi lebih kecil apabila mengalami kekeringan lebih awal (40 HST
dan 30 HST) pada fase tumbuhnya.

a b
Grafik 3. Pengaruh kekeringan terhadap diameter umbi (a) dan tinggi umbi (b) bawang merah pada
beberapa fase pertumbuhan

Bawang merah dapat tumbuh sampai panen pada kondisi kekeringan, namun
hasilnya jauh lebih tinggi apabila air lebih tersedia. Kekurangan air dapat menyebabkan
tanaman bawang merah membentuk umbi lebih awal, ukuran umbi lebih kecil namun
jumlahnya banyak, dan pada akhirnya mengurangi jumlah produksi yang dapat dipasarkan
(Brewster dan Butler, 1989).

KESIMPULAN
Perlakuan kekeringan sejak tanaman berumur 30, 40, dan 50 HST secara nyata
menurunkan bobot berangkasan kering bawang merah sebesar 58.9%, 62.6%, dan 32.0%

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


290 | Teknologi Pertanian
secara berturut-turut. Selain mengurangi jumlah daun, tanaman bawang merah yang
mengalami cekaman kekeringan lebih awal pada fase tumbuhnya (30 dan 40 HST) secara
nyata menghasilkan umbi yang memiliki diameter dan tinggi lebih kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jamal, M.S., Sammis,T.W., Ball, S. & Smeal, D. 2000. Computing the Crop Water
Production Function for Onion. Agriculture and Water Management 46, 29-41h.
Begum, R. A., Mallik, S.A., Rahman, M., Anowar, M.N. & Khan, M.S. 1990. Yield response of
onion as influenced by different soil moisture regimes. Bangladesh Journal of
Agricultural Research 15, 64-69h.
BPS. 2015. Statistik Produksi Tanaman Hortikultura. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa
Tenggara Barat. 7h.
BPS. 2013. Potret Usaha Pertanian Nusa Tenggara Barat Menurut Subsektor. Badan Pusat
Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. 54h.
Brewster, J.L. & Butler, H.A. 1989. Effects of nitrogen supply on bulb development in onion
Allium cepa L. Journal of Experimental Botany 40, 1155-1162h.
Brewster, J.L. 1994. Onion and other vegetable Alliums. CAB International, UK.
Greenwood, D.J., Gerwitz, A., Stone, D.A. & Barnes, A. 1982. Root development ofvegetable
crops. Plant and Soil 68, 75-96h.
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plant. Academic Press, London.
Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, W. Setiawati, M. Prathama, dan A. Rayahu. 2016. Modul
Pendampingan Pengembangan Kawasan Pengelolaan Tanaman Terpadu Bawang
Merah. Pusat Penelitian dan Pengambanan Hortikultura. Bogor. 53-66h.
Shock, C.C., Feibert, E.B.G. & Saunders, L.D. 1998. Onion yield and quality affected by soil
water potential as irrigation threshold. HortScience 33, 1188-1191h.
Sumarni, N. dan A. Hidayat. 2005. Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Bandung.
Swasono, F.D.H., 2012. Karakteristik Fisiologi Toleransi Tanaman Bawang Merah Terhadap
Cekaman Kekeringan di Tanah Pasir Pantai. AgriSains. Vol. 3. No. 4. 88-103h.
STAR, version 2.1.1. 2014. Biometrics and Breeding Information, PBGB Division, International
Rice Research Institute, Los Banos, Laguna
Talha, M., Hamdi, H. & Semaik, M. 1978. Evapotranspiration and yield of onion and beans as
affected by soil texture and available soil moisture depletion. Egyptian Journal of Soil
Science 18, 1-10h.
Widyantara, W. Dan N.S. Yasa, 2013. Iklim Sangat Berpengaruh Terhadap Resiko Produksi
Usahatani Bawang Merah. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. Vol.2. No.1. 32-37h.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 291
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG PANJANG
DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK

Eka Widiastuti1 dan Tri Cahyono2


1
BPTP Nusa Tenggara Barat (NTB)
Jl. Raya Peninjauan Narmada, Lombok Barat-NTB 83371
2
BPTP Papua Barat
Jl. Basecamp Komplek Perkantoran Pemprov, Manokwari Sel., Manokwari, Papua Bar. 98315
e-mail: erlisitueka@gmail.com

ABSTRAK
Perbaikan kualitas tanah dengan penambahan bahan organik merupakan salah satu cara
meningkatkan produksi tanaman kacang panjang. Kacang panjang merupakan tanaman yang
bersimbiosis dengan Rhizobium sp. sehingga mampu mengikat N dari udara. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui keragaan pertumbuhan dan hasil tanaman kacang panjang dengan
penambahan bahan organik. Penelitian dilakukan di KP. Narmada BPTP NTB pada bulan Januari-
Maret 2016 menggunakan kacang panjang lokal Bima. Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktor tunggal 2 perlakuan yaitu 1). Tanpa kompos
dan 2). Kompos dengan 15 ulangan sehingga diperoleh 30 perlakuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pemberian kompos atau tanpa kompos terhadap
pertumbuhan dan hasil kacang panjang. Tanaman kacang panjang tanpa kompos memiliki
pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman dan jumlah daun) dan hasil (jumlah buah, panjang buah
dan berat brangkasan) yang lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan pemberian kompos
namun pengaruh pemberian kompos meningkatkan berat (55,23 g) dan diameter buah (0.9 cm).
Kata kunci: Kacang panjang, bahan organik. Kompos

PENDAHULUAN
Pemupukan merupakan salah satu bentuk penyediaan unsur hara sehingga tersedia
selama pertumbuhan tanaman. Pemupukan dapat diberikan dalam bentuk bahan organik
dan pupuk anorganik atau kombinasi antara keduanya, baik kandungan unsur tunggal
maupun majemuk. Penggunaan pupuk anorganik selama ini mampu meningkatkan
produktivitas tanaman namun seiring berjalannya waktu penggunaan pupuk anorganik
menyebakan masalah pada tanaman dan tidak ekonomis. Degradasi kesuburan tanah
merupakan masalah utama yang muncul dari penggunaan pupuk anorganik secara
berkelanjutan sehingga lapisan olah tanah menjadi keras, erosi mikroba tanah dan
menurunnya kandungan C-organik tanah. Data BBSDLP (2006) menyebutkan bahwa pada
lahan sawah intensif kandungan bahan organik hanya mencapai <2% bahkan pada lahan
sawah intensif di Jawa kandungan mencapai C-organik <1% yang akhirnya menyebabkan
penurunan produktivitas tanaman.
Kondisi ini menyebabkan petani perlahan mulai beralih pada penggunaan bahan
organik sebagai sumber unsur hara walaupun masih menerapkan kombinasi penggunaan
bahan organik dan pupuk anorganik, pupuk anorganik untuk meningkatkan produktivitas
tanaman dan bahan organik untuk memperbaiki kesuburan tanah. Bahan organik dapat
bersumber dari kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen, limbah ternak dan limbah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


292 | Teknologi Pertanian
kota. Bahan organik mampu menyediakan hara makro dan mikro walaupun dalam jumlah
relatif sedikit, meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan meminimalisir
keracunan tanaman karena membentuk senyawa kompleks dengan ion logam (BBSDLP,
2006). Pentingnya peran bahan organik bagi kesuburan tanah sehingga perlu ditambahkan
pada setiap budidaya tanaman salah satunya adalah budidaya kacang panjang.
Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan salah satu sayuran yang memiliki nilai
gizi tinggi karena mengandung vitamin A, B dan C dan diminati oleh masyarakat Indonesia
sehingga banyak diusahakan oleh petani di Indonesia. Pada tahun 2015 luas panen kacang
panjang di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 873 ha (BPS 1, 2016) dengan produksi 8,567
ton (BPS2, 2016). Pemberian bahan organik sangat penting karena kacang panjang
membutuhkan tanah subur, banyak mengandung bahan organik, drainase baik serta kondisi
pH tanah yang netral (5,5-6,5) untuk mendukung pertumbuhan dan hasil yang maksimal.
Penambahan bahan organik melalui pemberian kompos merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan produktivitas tanaman yang paling baik, karena menguntungkan dari segi
ekonomis juga dapat memperbaiki struktur tanah secara tidak langsung. Hasil penelitian
Pardono (2009) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang dengan dosis 8 t/ha
menunjukkan hasil yang lebih tinggi namun tidak signifikan dengan pemberian pupuk
kandang 10 t/ha. Tujuan penelitian adalah mengetahui keragaan pertumbuhan dan hasil
tanaman kacang panjang dengan penambahan bahan organik.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Maret 2016 di Kebun Percobaan (KP)
Narmada BPTP NTB, Kec Narmada Kab. Lombok Barat NTB dengan jenis tanah inceptisol dan
pada ketinggian 100,4 mdpl. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL) faktor tunggal dengan 2 perlakuan yaitu 1). Tanpa kompos dan 2). Kompos, masing-
masing perlakuan 15 ulangan sehingga diperoleh 30 perlakuan. Bahan yang digunakan
adalah benih kacang panjang lokal Bima, ajir dari bambu (1,5-2 m), tali sedangkan alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah parang, gembor, jangka sorong, timbangan analitik
dan alat tulis.
Pengolahan lahan dilakukan dengan sistem olah tanam sederhana (minimum tillage)
dengan kedalaman 30 cm hingga gembur. Pembuatan bedengan dilakukan dengan panjang
15 m x lebar 1,5 m. Pemberian kompos setara 2 ton/ha diberikan pada saat tanam pada
setiap bedengan yang mendapat perlakuan pupuk kompos. Kacang panjang ditanam
langsung tanpa disemai terlebih dahulu dengan cara ditugal dengan jarak tanam 20 x 70 cm
dengan jumlah benih 2 biji/lubang tanam kemudian ditutup dengan sedikit tanah.
Penyulaman pada tanaman yang tidak tumbuh atau mati dilakukan pada 7 HST. Pemupukan
tanaman dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (HST) menggunakan pupuk NPK
15:15:15 dengan dosis 200 kg/ha dengan cara ditugal pada jarak 5-10 cm dari tanaman.
Pemberian ajir sebagai penyangga dan tempat rambatan tanaman perlu dilakukan
mengingat kacang panjang merupakan tanaman merambat dan dilakukan pada 14 HST
dengan menancapkan bambu pada jarak 10 cm dari batang tanaman. Penyiangan gulma
dilakukan secara rutin dengan mencabut gulma-gulma yang tumbuh di areal pertanaman.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 293
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kacang panjang dipanen muda (pada umur 45-50 HST) sebanyak 2 kali panen dengan ciri-ciri
ukuran polong telah maksimal, mudah dipatahkan dan biji-bijinya didalam polong tidak
menonjol. Kacang panjang lokal Bima memiliki warna polong ungu.
Pengukuran parameter vegetatif meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun dilakukan
setiap 7 hari sekali pada 4 sampel tanaman pada setiap petak pengamatan. Pengamatan
parameter generatif dilakukan pada saat panen pada 5 tanaman sampel/petak pengamatan.
Parameter generatif yang diamati adalah yaitu jumlah polong/tanaman, bobot polong,
panjang polong, diameter polong dan bobot segar brangkasan tanaman. Data hasil
pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (Anova) menggunakan program SAS version 9.1.
uji beda rata-rata menggunakan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan
95% (α = 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertumbuhan vegetatif tanaman dimulai sejak tanaman berkecambah sampai
tanaman menghasilkan bunga dan selanjutnya diikuti dengan fase generatif yang ditandai
dengan keluarnya bunga, buah dan biji. Parameter vegetatif yang diamati pada tanaman
kacang panjang adalah tinggi tanaman dan jumlah daun. Pada grafik laju pertumbuhan
vegetatif kacang panjang (gambar 1) menunjukkan bahwa secara umum tanaman kacang
panjang yang tidak diberikan kompos memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang diberikan kompos. Pada pertumbuhan awal (minggu 1),
tanaman yang tidak diberikan kompos dengan tanaman yang diberikan kompos
menunjukkan tinggi tanaman yang sama. Kondisi ini terjadi karena pada pertumbuhan awal,
tanaman belum memiliki perakaran yang sempurna sehingga akar belum bisa menyerap
unsur hara dalam tanah dengan optimal namun sejalan dengan pertumbuhan tanaman
maka kecepatan penyerapan unsur hara oleh tanaman akan semakin meningkat.

Gambar 1. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah daun selama pertumbuhan vegetatif tanaman kacang
panjang tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos, KP. Narmada, MH. 2016

Laju pertumbuhan vegetatif tanaman akan semakin meningkat sejalan dengan laju
penyerapan unsur hara oleh tanaman. Kemampuan tanaman kacang panjang yang tidak
diberikan kompos untuk tumbuh lebih baik dibandingkan tanaman yang diberikan kompos
diduga karena tanaman memperoleh sumber unsur hara dari pupuk anorganik yang
diberikan pada 7 HST. Unsur hara dalam pupuk anorganik mudah terurai sehingga cepat

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


294 | Teknologi Pertanian
tersedia bagi tanaman sedangkan penyediaan unsur hara oleh pupuk organik membutuhkan
waktu yang relatif lama karena proses penguraian kandungan dalam bahan organik
dipengaruhi oleh peranan aktivitas mikroorganisme agar unsur hara menjadi tersedia dan
dapat diserap tanaman.
Laju pertumbuhan vegetatif yang pesat ditandai dengan bertambahnya ukuran tinggi
tanaman dan terbentuknya jumlah daun yang banyak. Daun mempunyai peranan yang
sangat penting bagi tanaman sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis,
permukaan daun yang luas dalam menerima cahaya berperan sebagai katalisator proses
fotosintesis dibandingkan bagian tanaman lainnya. Hasil fotosintesis (fotosintat) yang
dihasilkan di daun akan ditranslokasikan ke semua bagian tanaman, pada fase vegetatif
akumulasi fotosintat terukur pada tinggi tanaman.

Tabel 1. Pengaruh penggunaan kompos terhadap pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman


dan jumlah daun) kacang panjang, Narmada, MH 2016
Parameter vegetatif
Perlakuan
Tinggi tanaman Jumlah daun
18 HST (Hari Setelah Tanam)
Tanpa kompos 23.32a 10.33a
Kompos 23.05a 9.73a
34 HST (Hari Setelah Tanam)
Tanpa kompos 211.60a 28.47a
Kompos 186.47a 27.60a
48 HST (Hari Setelah Tanam)
Tanpa kompos 220.80a 72.13a
Kompos 214.00a 59.40a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji
DMRT 0,05

Kemampuan bahan anorganik untuk menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang
panjang berlangsung sejak pertumbuhan vegetatif awal (18 HST), generatif berbunga (34
HST) dan pengisian polong (48 HST) yang ditunjukkan dengan tinggi tanaman dan jumlah
daun pada tanaman yang tidak diberikan kompos lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman
yang diberikan kompos Tabel 1. Kompos memiliki karakteristik kandungan hara rendah,
ketersediaan unsur hara lambat dan menyediakan hara dalam jumlah terbatas namun
kompos banyak mengandung mikroorganisme yang membantu dalam memperbaiki sifat
fisika, kimia dan biologi tanah. Sebaliknya pupuk anorganik dapat menyediakan unsur hara
dengan cepat karena mengandung unsur hara yang siap diserap oleh tanamn namun tidak
berdampak positif pada tanah.
Pada pertumbuhan vegetatif unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman adalah
Nitrogen (N). Peranan utama N bagi tanaman adalah untuk merangsang pertumbuhan
tanaman secara keseluruhan, khususnya batang, cabang dan daun sehingga terjadi
peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daun. Laju pertumbuhan vegetatif baik tinggi
tanaman dan jumlah daun pada tanaman yang tidak diberikan kompos lebih tinggi daripada
tanaman yang diberikan kompos. Hal ini diduga N yang terdapat pada pupuk kompos tidak

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 295
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
langsung tersedia untuk tanaman karena mikroorganisme tanah dan mikroorganisme yang
terdapat pada pupuk kompos memanfaatkan C-organik sebagai sumber energi karbon dalam
tanah untuk mensintesis nitrogen agar tersedia bagi tanaman akibatnya penyerapan N oleh
tanaman menjadi lebih lama. Sumber N tanaman kacang panjang selain diperoleh dari pupuk
juga diperoleh dari nitrogen bebas. Kacang panjang dapat bersimbiosis dengan Rhizobium sp
yang berperan sebagai penambat nitrogen bebas bahkan menurut Sutanto (2002),
produktivitas tanaman legume dapat meningkat 10-25% karena kemampuan Rhizobium sp
menyediakan 80% nitrogen untuk tanaman legume.
Pada tanaman dengan perlakuan kompos, pada 7 HST juga diberikan penambahan
pupuk anorganik namun laju pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan tanaman tanpa
penambahan kompos. Kondisi ini diduga karena unsur hara yang ada di dalam pupuk
anorganik cepat terurai dan dimanfaatkan sebagai sumber sumber karbon oleh
mikroorganimse dalam kompos. Ketersediaan N yang terbatas menyebabkan pertumbuhan
vegetatif tanaman kacang panjang yang diberikan kompos menjadi sedikit lebih lambat dan
menyebabkan hasil tanaman yang diperoleh lebih rendah dibandingkan tanaman yang tidak
diberikan kompos.

Tabel 2. Keragaan komponen hasil kacang panjang tanpa pemberian kompos dan dengan
pemberian kompos, KP. Narmada, MH. 2016
Perlakuan
Komponen hasil
Tanpa kompos Kompos
Jumlah polong/tanaman (buah) 7.80a 5.87a
Bobot polong (gr) 51.07a 55.23a
Panjang polong (cm) 52.07a 47.66a
Diameter polong (cm) 0.81a 0.90a
Bobot segar brangkasan tanaman (kg) 0.43a 0.35a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf
uji DMRT 0,05

Hasil analisis ragam pada komponen hasil (tabel 2) menunjukkan hasil pada tanaman
yang tidak diberikan kompos tidak berbeda nyata dengan yang diberikan kompos namun
dari rata-rata perlakuan menunjukkan bahwa berat polong (55,23 g) dan diameter polong
(0,90 cm) yang dihasilkan oleh tanaman yang diberikan kompos lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tidak diberikan kompos.
Kondisi ini menunjukan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman mempengaruhi
produksi tanaman.Tanaman dengan pertumbuhan vegetatif yang baik akan menghasilkan
produksi yang tinggi karena berkaitan dengan laju penimbunan fotosintat. Fotosintat yang
dihasilkan oleh daun pada fase pertumbuhan generatif sebagian besar akan ditranslokasikan
oleh daun dan ditimbun dalam polong dan biji, proses fotosintesis yang berjalan maksimal
menghasilkan fotosintat yang banyak sehingga kualitas (jumlah, bobot, panjang dan
diameter) polong menjadi baik.
Varietas unggul sengaja diciptakan berukuran tinggi agar memperoleh hasil yang
tinggi (Sumarno dan Manshuri, 2007) karena tanaman dengan ukuran yang tinggi akan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


296 | Teknologi Pertanian
maksimal memperoleh sinar matahari sehingga proses fotosintesis berlangsung maksimal
dan menghasilkan jumlah fotosintat yang lebih banyak, timbunan fotosintat yang banyak
terukur sebagai banyaknya jumlah buah yang terbentuk sehingga meningkatkan produksi
tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kacang panjang yang tidak
diberikan kompos memiliki ukuran tanaman yang tinggi menghasilkan jumlah polong banyak
dengan ukuran yang panjang namun memiliki bobot polong dan diameter polong yang lebih
rendah dibandingkan dengan tanaman yang diberikan kompos. Hal ini bertolak belakang
dengan penelitian Surtinah (2007) pada tanaman tomat bahwa peningkatan tinggi tanaman
menyebabkan peningkatan bobot buah tomat per tanaman.
Laju fotosintesis pada daun lebih lanjut akan menentukan pembentukan polong
tanaman.Tanaman kacang panjang merupakan tanaman sayuran yang menghasilkan banyak
polong sehingga pembentukan polong dapat terhenti bila akumulasi fotosintat terhenti
selam proses pembungaan. Polong muda kacang panjang mengandung 27% protein dan
merupakan sumber protein terbesar dbandingkan bagian lain seperti biji kering (22,3%) dan
daun (4,1%) (Haryanto. et. al., 2003), sehingga pembentukan polong sangat berkaitan
dengan penimbunan unsur penyusun protein seperti N, P, dan K. Ketersediaan N pada
tanaman yang diberikan pupuk anorganik tanpa kompos lebih cepat sehingga tanaman
dapat meningkatkan laju fotosintat, memacu pertumpuhan vegetatif dan membentuk
polong lebih banyak.
Tanaman yang diberikan kompos memiliki berat polong dan diameter polong yang
lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan tanaman yang hanya diberikan
pupuk anorganik, Jumlah polong yang terbentuk pada tanaman yang diberikan kompos lebih
sedikit akibatnya penimbunan fotosintat pada setiap polong menjadi lebih besar sehingga
menyebabkan penambahan bobot dan diameter polong. Pada tanaman yang tidak diberikan
kompos, jumlah polong yang terbentuk banyak namun memiliki bobot dan diameter polong
yang rendah, menurut Sariyanto (2004) karena fotosintat yang tersedia harus didistribusikan
ke seluruh buah yang ada dan berjumlah banyak akibatnya bobot dan diameter polong
menjadi rendah.

Perbandingan jumlah Perbandingan panjang buah Perbandingan diameter buah


buah/tanaman pada kacang kacang panjang antara perlakuan kacang panjang antara perlakuan
panjang antara perlakuan Pakai Pakai Kompos (PK) dan Tanpa Pakai Kompos (PK) dan Tanpa
Kompos (PK) dan Tanpa Kompos Kompos (TK) Kompos (TK)
(TK)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 297
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Perbandingan berat buah kacang panjang antara Perbandingan berat brangkasan
perlakuan Pakai Kompos (PK) dan Tanpa Kompos (TK) tanaman kacang panjang antara
perlakuan Pakai Kompos (PK) dan
Tanpa Kompos (TK)

Keragaan data komponen hasil menunjukkan bahwa data yang diperoleh tidak
menunjukkan tidak berbeda nyata pada semua komponen hasil. Kualitas dan kuantitas
komponen hasil tanaman sangat berhubungan dengan keberadaan unsur hara yang tersedia
dan dapat diserap oleh tanaman. Tanggapan tanaman terhadap pemberian pupuk juga
mengindikasikan kandungan hara tanah dan kondisi tanah yang berhubungan dengan
kemampuan produksi tanah untuk menghasilkan produksi tanaman. Jika tanaman tanpa
pemberian kompos mampu menghasilkan komponen produksi yang tidak berbeda nyata dan
lebih tinggi pada beberapa komponen daripada tanaman yang diberikan kompos berarti
sebenarnya lahan yang digunakan memiliki kapasitas produksi yang tinggi.
Salah satu hasil samping dari panen tanaman kacang panjang adalah brangkasan
tanaman. Bobot segar brangkasan ditentukan oleh jumlah dan ukuran organ-organ tanaman
yang terbentuk serta kandungan air yang diserap oleh akar dan tersimpan dalam bagian-
bagian tanaman tersebut, ukuran organ tanaman yang terbentuk sangat bergantung pada
banyaknya timbunan fotosintat. Ukuran tajuk dan jumlah daun akan mempengaruhi bobot
brangkasan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995) sehingga semakin tinggi ukuran dan
jumlah daun tanaman akan meningkatkan bobot segar brangkasan tanaman. Akar
memegang peranan dalam menentukan bobot segar brangkasan karena mempengaruhi
jumlah air yang diserap oleh tanaman selama pertumbuhan, sesuai dengan Susilo (1991)
bahwa ketersediaan unsur hara dan air dalam tanah yang diserap oleh akar akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga mempengaruhi bobot basah suatu
tanaman.
Konsentrasi N di daun berhubungan erat dengan laju fotosintesis dan produksi
biomassa. N berperan dalam pembentukan klorofil daun sebagai penyusun asam-asam
amino, protein komponen pigmen klorofil. Ketersediaan unsur hara makro, dan mikro yang
seimbang, cahaya yang maksimal serta kandungan klorofil yang tinggi akan meningkatkan
laju fotosintesis sehingga terjadi penambahan ukuran tinggi tanaman, pembentukan cabang
dan daun baru yang menyebabkan peningkatan bobot segar brangkasan tanaman.
Pemberian bahan organik akan menambah ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan
tanaman karena mempengaruhi sifat fisik dan kimiawi tanah sehingga mendorong
perkembangan jasad renik (Sutedja, 2002).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


298 | Teknologi Pertanian
Tabel 3. Analsis korelasi pengaruh pertumbuhan vegetative terhadap bobot segar
brangkasan tanaman kacang panjang
Bobot segar
Komponen Tinggi tanaman Jumlah daun
brangkasan
Tinggi tanaman
Koefisien 1 0.1163 0.1464
p-value 0.5404 0.44
n 30 30 30
Jumlah daun
Koefisien 0.1163 1 -0.1645
p-value 0.5404 0.385
n 30 30 30
Bobot segar brangkasan
Koefisien 0.1464 -0.1645 1
p-value 0.44 0.385
n 30 30 30
Keterangan: berdasarkan Pearson correlation

Hasil analisis korelasi menunjukkan tinggi tanaman berkorelasi positif dan tidak nyata
dengan bobot segar brangkasan tanaman dan berkorelasi negatif dan tidak nyata dengan
jumlah daun. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan tinggi tanaman lebih dominan
terhadap bobot segar brangkasan tanaman dibandingkan jumlah daun. Namun jumlah daun
yang banyak akan meningkatkan terjadinya overlapping antar daun tanaman sehingga
memperkecil luas daun yang menerima cahaya, cahaya yang terbatas menyebabkan proses
fotosintesis tidak berjalan secara maksimal (Sutoro dan Setyowati, 2008), penimbunan
fotosintat tidak maksimal sehingga bobot brangkasan tanaman menjadi rendah sejalan
dengan Junita, et. al., (2012) bahwa seluruh bagian tanaman tidak hanya daun berperan
dalam menghasilkan bagian tanaman baru karena laju pertumbuhan nisbi merupakan
kemampuan tanaman untuk menambah bahan kering pada periode tertentu dari setiap
bahan kering yang dihasilkan.

KESIMPULAN
Tanaman kacang panjang dengan pemupukan anorganik tanpa pemberian kompos
memiliki pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman dan jumlah daun) dan hasil (jumlah polong,
panjang polong dan berat kering brangkasan) yang lebih tinggi dibandingkan tanaman
dengan pemberian kompos namun pengaruh pemberian kompos meningkatkan bobot
polong (55,23 g) dan diameter polong (0.9 cm).

DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2016. Luas panen Tanaman Sayuran Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis sayuran di
Propinsi Nusa Tenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/50.
diakses pada 14 September 2017.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 299
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
BPS. 2016. Produksi Tanaman Sayuran Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Sayuran di
Provinsi Nusa Tenggara Barat. http://ntb.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/51.
diakses pada 14 September 2017.
BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). 2006. Pupuk Organik dan Pupuk
Hayati. Editor: R.D.M. Simanungkalit, Didi Ardi Suriadikarta, Rasti Saraswati, Diah
Setyorini dan Wiwik Hartatik. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian. Jakarta.
Haryanto, E., T. Suhartini, dan E. Rahayu. 2003. Budidaya Kacang Panjang. Penebar Swadaya.
Jakarta. 69p.
Junita F, Muhartini S, Kastono D. 2012. Pengaruh Frekuensi Penyiraman dan Takaran Pupuk
Kandang terhadap Pertumbuhan dan Hasil Pakchoi. Ilmu Pertanian. IX(1): 37-45p.
Pardono. 2009. Pengaruh Pupuk Organik Air Kencing Sapi dan Pupuk Kandang Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kacang Panjang (Vigna sinensis L.). Agrosains 11(1):11-14p.
Sariyanto 2004. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Atonik Terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Tanaman tomat ( Lycopersicum escuentum Mill ). Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.32p.
Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.
Sumarno, Manshuri AG. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di
Indonesia, Dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor (ID).
Surtinah. 2007. Kajian Tentang Hubungan Pertumbuhan Vegetatif dengan Produksi Tanaman
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Jurnal Ilmiah Pertanian Vol. 4 No. 1 Agustus
2007. 1-9p.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta
Sutedjo, 2002. Pemberian Pupuk Kandang. diunduh pada balit tanah.
http://www.litbang.deptan.go.id. diakses pada 13 September 2017
Susilo H. 1991. Fisiologi Tanaman Budi Daya. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Press
Salemba.
Sutoro ND, Setyowati M. 2008. Hubungan Sifat Morfologis Tanaman dengan Hasil Kedelai.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 27(3): 185-190.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


300 | Teknologi Pertanian
PENGARUH SUBTITUSI TEPUNG MOCAF TERHADAP
KUALITAS CAKE MOCAF

Ulfa Majid, Maryam Nurdin, dan Irfan Ohorella

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku


Jl. Chr. Soplanit Rumah Tiga-Ambon. Kotak Pos 204 Passo
Telp. (0911) 322664, 330865; Fax. (0911) 322542
e-mail: ulfamajidsamal@gmail.com

ABSTRAK
Komoditas umbi-umbian merupakan sumber pangan lokal memiliki prospek yang cukup
potensial untuk dikembangkan sebagai substitusi pangan pokok dan olahan makanan pengganti
beras atau makanan tambahan dalam diversifikasi pangan dan perbaikan gizi masyarakat.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Maluku dan Balai Perindustrian Bogor. Penelitian dilakukan pada Bulan Mei sampai dengan
Oktober 2016. Metode Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial
dengan 2 (dua) kali ulangan. Faktor I jenis ubi kayu = A (A1:ubi kayu kuning, A2: Ubi kayu putih
dan A3: ubi kayu beracun), Faktor 2 proporsi tepung mocaf: tepung terigu= B (B1:75%:25% ,
B2:85%:15% dan, B3:100%:0%) sehingga didapatkan perlakuan 3 x 3 x 2= 18 kombinasi
perlakuan. Sifat organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan tingkat kesukaan. Uji
organoleptik melibatkan 20 orang panelis yang terdiri dari lima skala hedonik yaitu: 5=sangat
suka, 4=suka, 3=agak suka, 2=kurang suka, 1=tidak suka. Dari hasil organoleptik terbaik
kemudian dilakukan analisa kimia. Analisis kimia meliputi kadar air, kadar karbohidrat, kadar
protein, Kadar Lemak, kadar abu, serat dengan metode AOAC. Hasil analisa kimia dibandingkan
dengan Standar Nasional Indonesia SNI 01-2973-1992. Hasil pengamatan organoleptik produk
cake menunjukkan bahwa perlakuan ubi kayu beracun dengan presentasi tepung mocaf: tepung
terigu 100%: 0% (A3B3) memberikan warna yang disukai oleh panelis dengan skor 3.58.
komposisi kimia cake terbaik, kadar air 19.90%, kadar karbohidrat 57.57%, kadar protein 5.38%,
kadar lemak 21.50%, kadar abu 1.91%, dan serat kasar 1.36%
Kata kunci: ubi kayu, mocaf, cake mocaf.

PENDAHULUAN
Komoditas umbi-umbian sebagai sumber pangan lokal memiliki prospek yang cukup
luas untuk dikembangkan sebagai sebagai substitusi pangan pokok dan diolah menjadi
makanan pengganti beras atau makanan tambahan dalam diversifikasi pangan dan
perbaikan gizi masyarakat. Ubi kayu dapat menjadi bahan baku lokal yang tidak kalah
dengan terigu (Subejo et al, 2014). Ubi kayu yang langsung dipasarkan setelah panen dan
dikonsumsi langsung tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu nilai gizinya masih rendah
dan daya tahan serta umur dari ubi kayu tersebut tidak lama. Untuk meningkatkan nilai gizi
ubi kayu, dilakukan pengolahan dan memodifikasi pada ubi kayu (Franco at al, 2012).
Mocaf (Modified Cassava Flour) merupakan produk tepung dari hasil fermentasi ubi
kayu menggunakan bakteri asam laktat (Subagio et al., 2008). Mocaf juga mempunyai
karakteristik yang menguntungkan dibanding tepung atau bahan lain seperti beraroma dan
bercita rasa khas, warna mocaf lebih putih dibanding tepung gaplek, kandungan serat

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 301
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
terlarut pada mocaf lebih tinggi dari tepung gaplek,dan kandungan mineral pada mocaf lebih
tinggi dibanding gandum dan padi (Subagio, 2009).
Menurut Djalal (2011) dalam Widasari dan Handayani (2014), komposisi gizi pada
mocaf adalah kadar Air 13 %, kadar protein 1,0 %, kadar abu 0,2 %, kadar pati 85-87 %, kadar
serat 1,9-3,4 %, kadar lemak 0,4-0,8 %. Keberadaan zat gizi pada tepung mocaf berpeluang
untuk dikembangkan menjadi produk lain sebagai bahan subtitusi tepung terigu, sehingga
makanan yang berbahan baku tepung terigu dapat dikurangi atau diganti dengan
meningkatkan pengolahan tepung mocaf. Salah satu keunggulan tepung mocaf dibandingkan
dengan tepung terigu adalah mocaf memiliki kadar abu yang lebih rendah yaitu berkisar 0,4
%, sedangkan terigu berkisar 1,3 %, mocaf memiliki kadar pati yang lebih tinggi dibanding
tepung terigu yang berkisar 85-87 % dan mocaf juga memiliki kadar serat yang lebih tinggi
dibanding dengan terigu.
Cake adalah kue basah yang berbahan dasar terigu, gula dan telur. Menurut Subagio
(2006), mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku makanan semi basah. Mocaf mempunyai
daya kembang setara dengan tepung terigu protein sedang (Subagio 2009). Tepung pangan
lokal sebagai subtitusi tepung terigu diharapkan dapat mendorong pangan lokal. Teknologi
pengolahan dapat meningkatkan mutu, nilai tambah dan ragam produk pertanian (Subejo et
al, 2014; Hariyadi, 2010).

METODOLOGI

Bahan dan Alat

Penelitian dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Laboratorium Balai Pengkajian


Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku dan Laboratorium Balai Industri Bogor, mulai pada bulan
Januari sampai dengan Desember 2016. Bahan baku yang digunakan yaitu ubi kayu putih, ubi
kayu kuning dan ubi kayu beracun. Ubi kayu diperoleh pertani di Kabupaten Maluku tengah
kemudian diolah menjadi tepung mocaf, tepung terigu, gula pasir, margarin, telur ayam,
susu kental manis, vanili, TBM. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
timbangan digital, Loyang cetakan, oven, mixer, gelas ukur, baskom dan peralatan untuk
pengujian sifat kimia dan uji organoleptik.

Metode

Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial


dengan 3 (kali) ulangan dengan menggunakan 2 faktor. Faktor 1 adalah jenis ubi kayu (ubi
kayu kuning, ubi kayu putih dan ubi kayu beracun) dan faktor proporsi tepung mocaf: tepung
terigu (75%:25%; 85%:15%; 100%:0%). Sehingga didapatkan perlakuan 3 x 3 x 2 = 18
kombinasi perlakuan. Sifat organoleptik meliputi warna, aroma, rasa, tekstur (Rahayu, 1986).
Uji organoleptik melibatkan 20 orang panelis agak terlatih dengan sistem skoring penilaian
sebagai berikut: 5=sangat suka, 4=suka, 3=agak suka, 2=kurang suka, 1=tidak suka. Setelah
mendapatkan hasil terbaik dari uji organoleptik, dilanjutkan dengan uji kimia, meliputi kadar
air, karbohidrat, protein, lemak, serat dan kadar abu (AOAC, 1990).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


302 | Teknologi Pertanian
Pengolahan Tepung Mocaf

Dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pengolahan tepung mocaf


menggunakan penambahan bakteri asam laktat dari BIMO-CF. Pembuatan tepung mocaf
melalui beberapa tahapan proses antara lain: (1) pembersihan ubi kayu, yaitu ubi kayu
dikupas kulitnya, kemudian singkong dikikis lendirnya, lalu diiris tipis, (2) dilakukan
perendaman dalam air selama 12 jam dengan perbandingan 1 kg ubi kayu :1 gr bimo CF, (3)
setelah perendaman, ubi kayu dicuci dengan air mengalir sampai bersih, (4) kemudian
dikeringkan dibawah panas matahari sampai kering, (5) setelah selesai pengeringan,
digiling/dihaluskan dan disaring/diayak dengan ayakan 80 mesh, (6) selanjutnya dilakukan
penepungan dan diayak dengan saringan 80 mesh, (7) kemudian dikemas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Organoleptik Cake Mocaf

Hasil rerata uji organoleptik pada cake mocaf tersaji pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Hasil Rerata Uji Organoleptik Cake Mocaf


Parameter Organoleptik
Perlakuan Tingkat
Warna Aroma Rasa Tekstur
Kesukaan
A1B1 3.71 3.82 3.50 3.76 3.58
A1B2 3.38 3.70 3.20 3.39 3.28
A1B3 3.50 3.50 3.26 3.46 3.32
A2B1 3.82 3.44 3.44 3.61 3.43
A2B2 3.79 3.47 3.55 3.61 3.49
A2B3 3.64 3.58 3.29 3.32 3.40
A3B1 3.23 3.50 3.5 3.37 3.26
A3B2 3.23 3.23 3.06 3.17 3.14
A3B3 3.12 3.29 3.08 3.14 3.26
Sumber: data primer

Ket : A1 = ubi kayu kuning,


A2 = ubi kayu putih,
A3 = ubi kayu beracun
B1 = proporsi tepung mocaf 75% : tepung terigu 25%
B2 = proporsi tepung mocaf 85% : tepung terigu 15%
B3 = proporsi tepung mocaf 100% : tepung terigu 0%

Warna

Warna merupakan salah satu faktor penentu mutu produk cake karena dalam
pemasaran cake, karena warna merupakan salah satu faktor konsumen dalam memilih
produk makanan. Hasil pengamatan organoleptik menunjukkan bahwa jenis ubi kayu putih
dan perlakuan proporsi tepung mocaf: tepung terigu 75% : 25% (A2B1) memberikan warna
yang disukai oleh panelis dengan skor nilai 3,82. Warna cake mocaf dipengaruhi oleh derajat
putih tepung. Derajat putih tepung mocaf mencapai 78,76%. Nilai derajat putih tepung
mocaf lebih rendah dari tepung terigu yang mencapai 82,17% (Hidayat, 2009). Mocaf

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 303
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
memiliki warna yang lebih terang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung ubi kayu
sebagai pesubtitusi terigu tidak akan berpengaruh terhadap penampakan akhir produk yang
dihasilkan (Antarlina, 2003).

Aroma

Aroma adalah sensasi dari senyawa volatil yang diterima oleh rongga hidung (Wijaya,
2009). Untuk parameter aroma, perlakuan jenis ubi kayu kuning dan perlakuan proporsi
tepung tepung mocaf: tepung terigu 75 : 25 % (A1B1) memberikan aroma yang disukai oleh
panelis dengan skor nilai 3,82.
Hal ini disebabkan karena pada saat degradasi pati kandungan pati terjadi perubahan
yang ekstensif dengan eliminasi molekul air dan fragmentasi molekul gula dimana terjadi
pemutusan ikatan karbon yang akan menghasilkan senyawa karbonil dan senyawa volatil
sehingga menimbulkan aroma yang khas. senyawa volatil adalah berbentuk senyawa yang
mudah menguap dimana molekul komponen tersebut menyentuh lebih kurang 16 juta jenis
aroma (De man 2003).

Rasa

Menurut Kartika dkk(1998) bahwa umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari
salah satu rasa, tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa secara terpadu,
sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh. Hasil pengujian dengan hedonik untuk parameter
rasa, perlakuan jenis ubi kayu putih dan perlakuan perbandingan substitusi tepung mocaf:
tepung terigu 85% : 15% (A2B2) memberikan rasa yang disukai oleh panelis dengan skor nilai
tertinggi 3,55.
Salah satu faktor yang mempengaruhi rasa cake mocaf adalah telur dan margarin.
Tepung mocaf yang digunakan telah terjadi perubahan karateristik. Selajutnya granula pati
tersebut akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku untuk
menghasilkan asam-asam organik. Senyawa asam ini akan menghasilkan aroma dan cita rasa
yang khas yang dapat menutupi aroma dan cita rasa khas singkong yang cenderung tidak
menyenangkan (langu) (Anonymous, 2011).

Tekstur

Tekstur merupakan salah satu faktor penentu kualitas makanan (Bourne, 1982).
Tekstur suatu produk pangan berperan penting dalam proses penerimaan produk oleh
konsumen, sehingga tekstur menjadi salah satu kriteria utama yang digunakan konsumen
untuk menilai mutu dan kesegaran suatu produk (Lawless dan Heyman, 2010).
Hasil pengamatan organoleptik terhadap tekstur cake, menunjukkan bahwa perlakuan
jenis ubi kayu kuning dan perlakuan perbandingan substitusi tepung mocaf: tepung terigu 75% :
25% (A1B1) memberikan tekstur yang disukai oleh panelis dengan skor nilai tertinggi 3,78.
Tekstur cake dipengaruhi oleh tingkat kehalusan tepung. cake mocaf dengan penambahan
tepung terigu menghasilkan cake yang teksturnya lebih lembut.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


304 | Teknologi Pertanian
Menurut Risti dan Rahayuni (2013) Mocaf memiliki kadar amilosa sebesar 21-29%.
Mocaf memiliki kadar amilosa lebih tinggi dapat memberikan tekstur yang lembut pada kue
yang dihasilkan.

Tingkat kesukaan

Nilai tingkat kesukaan merupakan variabel yang ditentukan oleh gabungan dari
persepsi komponen organoleptik seperti: warna, aroma, rasa, dan tekstur dari suatu produk.
Nilai kesukaan tertinggi pada perlakuan jenis ubi kayu kuning dan perlakuan proporsi tepung
mocaf: tepung terigu 75% : 24% (A1B1). Kesukaan panelis terhadap cake terpilih karena
warnanya lebih kuning terang dan tekstur yang lembut.

Komposisi Kimia Cake Terpilih

Setelah dilakukan uji organoleptik, hasil uji organoleptik perlakuan terbaik dilakukan
analisa kimia. Komposisi kimia cake yang disukai panelis adalah perlakuan ubi kayu kuning
dan proporsi tepung mocaf 75% dan tepung terigu 25% (A1B1) dengan skor nilai 3,58 dengan
komposisi seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Komposisi Kimia Cake Mocaf


Parameter Jumlah
Air 19,40
Protein 5,38
Karbohidrat 57,57
Lemak 21,50
Abu 0,91
Serat Kasar 1,36
Sumber: Data Primer

Kadar Air

Hasil analisis kadar air terhadap cake proporsi subtitusi tepung mocaf: tepung terigu
75%:25 (A1B1) sebesar 19,40%. Cake yang dihasilkan pada penelitian ini, menghasilkan kadar
air yang lebih rendah dan sesuai dari persyaratan mutu cake yang ditetapkan oleh Dewan
Standarisasi Nasional Indonesia (SNI 01-3840-1995) yaitu maksimal 35%. Menurut
Andarwulan et al (2011) kadar air suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap daya tahan suatu bahan pangan tersebut, semakin
rendah kadar air bahan pangan maka bahan pangan tersebut semakin tahan lama. kadar air
dapat mempengaruhi penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi De man
(1997).

Protein

Protein merupakan salah satu makro molekul yang penting dalam bahan pangan.
Protein merupakan sumber gizi utama, yaitu sebagai sumber asam amino dan zat makanan
yang sangat penting bagi tubuh. Protein selain berfungsi sebagai bahan bakar untuk tenaga,
juga berfungsi sebagai zat pembangunan dan pengatur dalam tubuh (Winarno, 2004). Hasil
analisis protein terhadap cake proporsi subtitusi tepung mocaf: tepung terigu 75%:25%
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 305
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
(A3B1) menghasilkan Kadar protein sebesar 5,36%. Cake yang dihasilkan pada penelitian ini
menghasilkan kadar protein telah memenuhi standar bahkan melebihi kadar protein yang
ditetapkan Dewan Standarisasi Nasional (SNI 1995) minimal 4%. Tingginya kadar protein
cake yang dihasilkan disebabkan tepung terigu yang digunakan yaitu terigu protein tinggi
dan adanya penambahan telur. Menurut Faridah, (2008), pada pembuatan cake, telur
bersama tepung membentuk kerangka atau struktur proteinnya cake.

Karbohidrat

Tepung mocaf mengandung kadar pati yang tinggi dibanding tepung terigu. Kadar pati
berbanding lurus dengan kadar karbohidrat. Sehingga apabila kadar patinya tinggi maka
kadar karbohidratnya tinggi. Hasil analisis karbohidrat terhadap cake proporsi subtitusi
tepung mocaf: tepung terigu 75%:25% (A3B1) sebesar 57,57%. Cake yang dihasilkan pada
penelitian ini menghasilkan kadar karbohidrat sesuai dengan SNI 1995 yaitu minimal 40%.
Tingginya kadar karbohidrat cake karena bahan baku tepung mocaf yang digunakan sebesar
85%, dimana kadar karbohidrat mocaf tinggi, sehingga mempengaruhi kadar karbohidrat
produk yang dihasilkan. Menurut Hidayat at al (2006), pati merupakan komponen terbesar
pada ubi kayu.

Lemak

Hasil analis lemak terhadap Kadar lemak cake cake proporsi subtitusi tepung mocaf:
tepung terigu 75% : 25% (A3B1) sebesar 21,50%. Cake yang dihasilkan pada penelitian ini
menghasilkan kadar lemak yang lebih tinggi dari kadar lemak yang ditetapkan SNI 1995 yaitu
maksimum 3% bb. Kadar lemak yang tinggi karena penggunaan bahan tambahan yaitu
mentega dan susu kental manis. Menurut Winarno (2004), kandungan lemak dalam
margarin tidak kurang dari 80%. Tujuan penambahan lemak dalam bahan pangan adalah
untuk memperbaiki rupa dan struktur bahan pangan, menambah nilai gizi dan kalori, serta
memberi cita rasa yang gurih pada bahan pangan (Ketaren, 1986),

Kadar Abu

Kadar abu adalah zat organik sisa pembakaran dari senyawa organik. Dalam bahan
pangan, selain abu terdapat komponen lain yaitu mineral. Menurut Sudarmadji, dkk (1997),
bahwa tingginya kadar abu pada suatu bahan pangan yang dihasilkan menunjukkan
tingginya kandungan mineral bahan tersebut. Kadar abu cake terpilih adalah 0,91%. Kadar
abu cake yang dihasilkan telah sesuai dengan standar SNI 1995 yaitu maksimal 3%.

KESIMPULAN
Cake mocaf perlakuan ubi kayu kuning dan proporsi tepung mocaf 75% : tepung
terigu 25 % (A1B1) lebih di sukai panelis dengan rata-rata warna 3.71, aroma 3.82, rasa 3.50,
tekstur 3.76, dan tingkat kesukaan 3,58.
Hasil analisa kimia cake mocaf perlakuan ubi kayu kuning dan proporsi tepung mocaf
75% : tepung terigu 25 % (A1B1) memiliki kadar air 19.40%, protein 5.38 %, karbohidrat
57.57%, lemak 21.50%, kadar abu 0.91% dan serat kasar 1.36%.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


306 | Teknologi Pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D Herawati. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta.
Anonymous. 2011. Pemanfaatan Ubi Kayu Menjadi Tepung Mocaf Sebagai Pengganti Terigu
(Online),(http://litbang.kaltimprov.go.id/berita-149-pemanfaatan-ubikayu-menjadi-
tepung-mocaf-sebagai-pengganti-terigu.html, diakses tanggal 10 Januari 2013).
Antarlina, S.S. 2003. Teknologi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubi Jalar sebagai Bahan
Baku Industri Pangan. Dalam Winarno FG,Lukito W, Abdurrachim, Ardna MM, Wijaya
B (eds). Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. Hlm 105-
125.
AOAC. 1990. Official methods of analysis of association analytical chemist. AOAC Int.
Washington D.C.
Bourne, M.C. 1982. Food Texture and Viscocity : Concept and Measurment. Academic Press,
New York.
De Man, J.M. 2003. Kimia makanan. Penerbit ITB. Bandung.
Djalal (2011) dalam Widasari, M dan Handayani. 2014. Pengaruh proporsi terigu-mocaf
(modified cassava flour) dan penambahan tepung tepung formula tempe terhadap
hasil jadi flake. E-journal Boga, Volume 3. Nomor 3. Edisi Yudisium Periode Oktober
2014, hal 222-228.
Faridah, A . 2008. Patiseri Jilid 1. Bahan Ajar Sekolah Menengah Kejuruan.
Franco, C., Morales,J., Alves, F. 2012 Effect o Ball Milling on Structural and Phisicochemical.
Hariyadi, P. 2010. Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal. Jurnal
Pangan. 19(4):295-301.
Hidayat, Beni. 2009. Karakteristik Tepung Ubi Kayu Modifikasi. Bandar Lampung.
Hidayat, B, WidodoY R, Wirawati CU. 2006. Pengaruh Jenis Ubi Kayu terhadap Karakteristik
Tepung Ubi Kayu (Cassava Flour) yang Dihasilkan. Laporan Penelitian Hibah Kompetisi
Pemda Propinsi Lampung. Tahun Anggaran 2006. Politeknik Negeri Lampung.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-Press.
Lawless, L.T. dan Heymann, H. 2010.Sensory Evaluation of Food.Springer. New York.
Rahayu. W. 1998. Penentuan Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan
dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor, Bogor.
Risti, Y., dan Rahayuni, A. 2013. Pengaruh penambahan telur terhadap kadar protein, serat,
tingkat kekenyalan dan penerimaan mie basah bebas gluten berbahan baku tepung
komposit. J. of Nutr. College. 2: 696-703.
Kartika, B., Adi D.K., Didik P dan Dyah I. 1998. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil
Pertanian UGM. Yogyakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 307
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Subagio, A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Rev. 1.
Subagio, Windarti, Witono, dan Fahri. 2008. Prosedur operasi standar (POS): produksi
MOCAF berbasis klaster. Jakarta: Kementerian Negera Riset danTeknologi.
Subagio, Achmad. 2009. Modified Cassava Flour Sebuah Masa Depan Ketahanan Pangan
Nasional berbasis Lokal. Jember :FTP Universitas Jember.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 1995. SNI Kue Basah No. 01-3840-1995. Badan tandarisasi
Nasional. Jakarta.
Sudarmadji, S. B., dkk. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Subejo, N. S. Al Arifa dan Mustafa, M. H. 2014. Lima Pilar Kedaulatan Pangan Nusantara.
Gadjah Mada Universitas. Cetakan Pertama.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Wijaya, C.H. 2009. Foodreview. Majalah Foodreview Indonesia. Vol. IV. Tahun 2009.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


308 | Teknologi Pertanian
PERSEPSI PETANI TERHADAP PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
PADA TANAMAN PALA DI SERAM BAGIAN TIMUR MALUKU

Dini Fibriyanti dan Risma Fira Suneth

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku


Jl. Chr. Soplanit Rumah Tiga-Ambon
e-mail: dini.fibriyanti@gmail.com

ABSTRAK
Kegiatan Pendampingan Kawasan Perkebunan Nasional yang dilaksanakan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku meliputi pendampingan terhadap penggunaan pupuk
organik pada petani tanaman pala. Komoditas pala adalah salah satu komoditas perkebunan
unggulan di Provinsi Maluku sehingga perbaikan teknologi budidaya tanaman pala dianggap
penting untuk dilakukan agar produksi pala tidak mengalami penurunan. Teknologi yang
diterapkan dalam kegiatan pendampingan tersebut salah satunya adalah penggunaan pupuk
organik dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan terjaganya keseimbangan hara
dalam tanah untuk mengantisipasi terjadinya penurunan produksi pala. Pada kegiatan ini perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat persepsi petani terhadap penggunaan pupuk
organik agar proses adopsi penggunaan pupuk organik bisa berjalan sesuai harapan. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Penelitian dilakukan di desa
Danama, Kecamatan Tutuk Tolu, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku.
Metode Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling sebanyak 14
(empat belas) responden. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
menggunakan kuisioner model skala Likert. Analisis data untuk mengukur tingkat persepsi
petani terhadap penggunaan pupuk organik menggunakan Importance Performance Analysis
(IPA). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat persepsi petani terhadap penggunaan pupuk
organik dengan tingkat kepentingan tinggi dan tingkat kepuasan masih rendah (prioritas utama)
adalah perlunya bantuan pemerintah dalam pengadaan pupuk organik, menghadiri pelatihan
bertujuan untuk menerima bantuan, akses petani memperoleh bibit berkualitas dan akses
petani memasarkan hasil panen.
Kata kunci: Persepsi, pupuk organik, pala

PENDAHULUAN
Sektor perkebunan termasuk sektor unggulan di Provinsi Maluku. Komoditi dari
sektor perkebunan di Provinsi Maluku antara lain, kelapa, cengkih, coklat, pala dan lainnya.
Pala merupakan salah satu komoditi ekspor perkebunan Indonesia, khususnya wilayah
Indonesia bagian timur. Sentra produksi utama pala terdapat di provinsi Maluku, provinsi
Maluku Utara dan provinsi Sulawesi Utara. Pala atau nutmeg dengan bahasa ilmiahnya
Myristica fragrans diperdagangkan dalam bentuk biji pala dan fuli (BBPPTP Ambon, 2016).
Berdasarkan data BPS Provinsi Maluku dari sektor perkebunan, tanaman pala
termasuk dalam 5 (lima) komoditas unggulan di Provinsi Maluku. Produksi pala dalam 5
(lima) tahun terakhir (2011-2015) di Provinsi Maluku mengalami penurunan, padahal luas
areal tanaman pala mengalami kenaikan. Pada tahun 2011 produksi pala di Provinsi Maluku
sebesar 2.700 ton, kemudian mengalami kenaikan di tahun 2015 produksinya mencapai
4.406 ton. Pala merupakan komoditi urutan keempat jika dilihat dari jumlah produksinya

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 309
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
setelah kelapa, cengkih dan coklat (BPS Provinsi Maluku, 2016). Kabupaten Seram Bagian
Timur (SBT) adalah penghasil produksi pala ketiga, yaitu sebesar 736 ton dan memiliki luas
areal tanaman pala urutan kedua, seluas 8.353 hektar (ha) di Provinsi Maluku (BPS Provinsi
Maluku, 2016).
Berdasarkan data BPS tersebut dapat diketahui jika produktivitas pala di Kabupaten
SBT termasuk rendah, yaitu sebesar 0,088 ton/ha. Jika dilihat dari potensi luas areal
tanaman pala yang dimiliki kabupaten SBT seharusnya bisa mencapai angka produktivitas
yang lebih tinggi. Produktivitas pala di kabupaten SBT selama 5 (lima) tahun terakhir
berdasarkan data BPS Provinsi Maluku tahun 2011-2015 secara berurutan sebagai berikut
0,168 ton/ha, 0,247 ton/ha, 0,159 ton/ha, 0,096 ton/ha dan 0,088 ton/ha. Penurunan
produktivitas pala ini antara lain disebabkan oleh kemampuan produksi tiap pohon rendah,
karena umur tanaman pala yang masih ada sampai saat ini dan berproduksi mayoritas
merupakan tanaman pala yang sudah berumur 60-80 tahun. Tanaman lainnya merupakan
tanaman anakan hingga remaja yang baru dibudidayakan dan berumur sekitar 2 sampai 7
tahun dan belum sempat berproduksi dengan optimal. Penyebab lainnya adalah penggunaan
pupuk yang hanya dilakukan pada saat tanam tanpa pemupukan yang rutin menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman pala di provinsi Maluku menjadi terhambat
karena keterbatasan hara yang dibutuhkan (Wenno, 2015).
Pemberian pupuk sesuai aturan perlu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan hara
tersebut. Peranan pupuk dalam kegiatan usahatani adalah sangat penting. Usaha yang
dilakukan untuk memperbaiki kesuburan tanah adalah dengan melakukan pemupukan
menggunakan pupuk organik. Penggunaan bahan-bahan kimia, seperti pupuk dan pestisida
kimia sintetis serta hormon tumbuh dalam produksi pertanian memberikan efek negatif
terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Tanah-tanah yang sangat miskin hara
sebaiknya dipupuk dengan pupuk organik (Roidah, 2013).
Pemberian pupuk bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pala adalah
penting. Manfaat menggunakan pupuk organik akan terlihat secara sistemik seperti
memperbaiki kesuburan tanah, biologi tanah dan fisik tanah (Hakim, 2007). Oleh karena itu,
perlu diketahui tingkat persepsi petani tanaman pala terhadap penggunaan pupuk organik.
Persepsi adalah proses individu dalam menginterpretasikan, mengorganisasikan dan
memberi makna terhadap stimulus yang berasal dari lingkungan di mana individu itu berada
yang merupakan hasil dari proses belajar dan pengalaman (Asrori, 2009). Segala informasi
dan stimulus yang diterima petani mengenai penggunaan pupuk organik dalam usahatani
tanaman pala diseleksi kemudian disusun menjadi kesatuan yang bermakna dan akhirnya
timbullah persepsi pada diri petani padi terhadap penggunaan pupuk organik.

METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Metode
deskriptif (Suratmo, 2002) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi petani terhadap penggunaan pupuk organik pada tanaman pala berdasarkan
wawancara dengan menggunakan kuesioner melalui Focus Group Discussion (FGD). Metode

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


310 | Teknologi Pertanian
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling sebanyak 14 (empat
belas) responden (Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989). Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuisioner model skala Likert (Sugiyono,
2008). Analisis data untuk mengukur tingkat persepsi petani terhadap penggunaan pupuk
organik menggunakan Importance Performance Analysis (IPA) (Martilla dan James dalam
Yola dan Duwi, 2013). Penelitian dilakukan di desa Danama, Kecamatan Tutuk Tolu,
Kabupaten SBT, Provinsi Maluku.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah variabel yang digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat persepsi
petani terhadap pengaruh penggunaan pupuk organik terhadap produktivitas tanaman pala
di Kabupaten SBT ada 10 (sepuluh) variabel. Variabel-variabel tersebut adalah 1). Pelatihan
dari BPTP, 2). Pemulihan kondisi tanaman setelah panen, 3). Memperbaiki kondisi tanah, 4).
Bantuan pemerintah, 5). Materi yang disampaikan BPTP, 6). Peragaan langsung di lapangan,
7). Kehadiran dalam pelatihan bertujuan menerima bantuan, 8). Akses petani mendapatkan
pupuk, 9). Akses petani memperoleh bibit dan 10). Akses petani memasarkan hasil panen.
Masing-masing variabel tersebut diukur berdasarkan tingkat kepentingan dan tingkat
kepuasaan responden dengan cara memberikan rangking (peringkat) pada setiap variabel.
Pemberian rangking menggunakan skala Likert dimulai dari rangking 1 sampai dengan
rangking 5 dengan ketentuan rangking pada tabel 1.

Tabel 1. Kategori rangking tingkat kepentingan dan kepuasan


Rangking Tingkat Kepentingan Tingkat Kepuasan
1 sangat tidak penting sangat tidak puas
2 tidak penting tidak puas
3 ragu-ragu ragu-ragu
4 Penting puas
5 sangat penting sangat puas
Sumber: Skala Likert

Hasil nilai rerata dari jumlah rangking yang diberikan responden pada setiap variabel
adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Nilai rerata tingkat kepentingan dan kepuasan penggunaan pupuk organik
No. Variabel Kepentingan Kepuasan
1. Produktivitas 4,93 4,71
2. Pemulihan kondisi tanaman 4,71 4,50
3. Perbaikan kondisi tanah 4,79 4,21
4. Perlu bantuan pemerintah 4,64 3,86
5. Materi BPTP bermanfaat 4,86 4,64
6. Perlu peragaan langsung 4,79 4,57
7. Pelatihan untuk menerima bantuan 4,50 2,79
8. Akses pupuk 3,50 2,07
9. Akses bibit 4,29 2,86
10. Akses pasar 4,29 4,14
Sumber: hasil analisa data primer

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 311
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Hasil nilai rerata dari tabel 2 tersebut kemudian dianalisis menggunakan IPA secara
deskriptif dengan diagram plot/scatter plot. Tingkat kepentingan dan kepuasan responden
terhadap variabel persepsi penggunaan pupuk organik dijelaskan dengan kuadran IPA
sebagai berikut:

Gambar 1. Tingkat Persepsi Pupuk Organik

Berdasarkan kuadran IPA diketahui bahwa posisi pada kuadran I adalah prioritas
utama. Pada kuadran ini menggambarkan variabel-variabel yang bagi petani tingkat
kepentingannya tinggi, tapi tingkat kepuasan yang dirasakan petani masih rendah. Variabel-
variabel yang termasuk pada kuadran I ada 4 (empat), yaitu variabel 4 (perlunya bantuan
pemerintah dalam pengadaan pupuk organik), variabel 7 (menghadiri pelatihan bertujuan
untuk menerima bantuan), variabel 9 (akses petani memperoleh bibit berkualitas) dan
variabel 10 (akses petani memasarkan hasil panen).
Variabel 4, yaitu perlunya bantuan pemerintah dalam pengadaan pupuk organik
dianggap sangat penting oleh petani, tetapi petani belum merasa puas terhadap kinerja
pemerintah dalam pengadaan pupuk organik. Hal ini dikarenakan petani tanaman pala di
kabupaten SBT masih merasakan kesulitan untuk mendapatkan pupuk organik. Peran
pemerintah sangat penting dalam membantu petani untuk menyediakan pupuk organik bagi
petani. Variabel 7, yaitu menghadiri pelatihan bertujuan untuk menerima bantuan.
Pelatihan dari instansi terkait tentang bagaimana meningkatkan produktivitas
usahatani petani adalah salahsatu kebutuhan yang sangat mereka harapkan, namun hampir
tidak pernah mereka mendapatkan pelatihan-pelatihan tersebut, khususnya bagi petani
tanaman pala di desa Danama, Kecamatan Tutuk Tolu, Kabupaten SBT. Pelatihan yang
disampaikan BPTP Maluku tentang pupuk organik adalah yang pertama kali mereka
dapatkan selama ini. Frekuensi mengadakan pelatihan tentang pupuk organik kepada petani
harus ditingkatkan karena petani memiliki tingkat antusias tinggi untuk menambah
pengetahuan dan kemampuan mereka agar mereka dapat meningkatkan produktivitas
tanaman pala mereka.
Variabel 9 adalah akses petani memperoleh bibit berkualitas yang sangat penting bagi
petani, tetapi petani masih sering kesulitan dalam memperoleh bibit berkualitas. Produksi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


312 | Teknologi Pertanian
tinggi harus dimulai dari pembibitan yang baik dan benar sehingga menghasilkan bahan
tanam yang siap tanam dan berproduksi sesuai dengan potensinya (Khairiah, 2013). Faktor
apa saja yang menyebabkan petani masih kesulitan mendapatkan bibit berkualitas perlu jadi
perhatian bagi instansi terkait sehingga permasalahan ini dapat terselesaikan dan petani
tidak mengalami kesulitan lagi mendapatkan bibit berkualitas.
Variabel lainnya yang menjadi priorias utama adalah variabel 10, yaitu akses petani
memasarkan hasil panen yang dirasakan sangat penting juga bagi petani, tetapi tingkat
kepuasan petani masih rendah. Hal ini dikarenakan petani masih merasakan akses mereka
dalam memasarkan hasil panennya masih sangat kurang, padahal kemudahan akses untuk
memasarkan hasil panen usaha tani mereka adalah vital bagi petani. Kemudahan akses
petani dalam memasarkan hasil panen berpengaruh pada faktor pendapatan usaha taninya.
Selama ini petani masih kesulitan dalam hal transportasi untuk menjual hasil
panennya ke pasar. Jarak antara lahan menuju pasar yang cukup jauh sekitar 70-100 km, bila
ditempuh melalui jalan darat membutuhkan waktu tempuh 2 jam. Angkutan umum menuju
pasar tidak tersedia, sehingga jika petani ingin menjual ke pasar, mereka harus
mengeluarkan biaya untuk sewa mobil angkut hasil panen. Akhirnya untuk meminimalisir
biaya pengeluaran sebagian besar petani menjual hasil panennya kepada pengumpul yang
datang langsung ke lahan. Hal ini menyebabkan petani mendapatkan harga jual yang lebih
rendah jika dibandingkan menjualnya langsung ke pasar.
Variabel-variabel tersebut menjadi prioritas utama sebagai bahan evaluasi atau
koreksi agar tingkat kepuasan petani meningkat. Perlu segera dicari solusi untuk
menyelesaikan permasalah-permasalahan tersebut dan memperbaiki fasilitas terhadap
variabel-variabel tersebut agar petani merasa puas dan tumbuh kepercayaan kembali
terhadap pemerintah maupun lembaga yang berkepentingan. Jika tingkat kepuasan petani
sudah meningkat, maka kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan optimal.
Pada kuadran II merupakan kuadran ideal disebut dengan pertahankan prestasi.
Artinya petani menilai bahwa variabel yang termasuk pada kuadran ini sangat penting dan
kinerjanya sudah sangat memuaskan. Hasil analisa IPA diketahui bahwa variabel yang
termasuk pada kuadran II ada 4 (empat), yaitu variabel 1 (pelatihan dari BPTP membantu
meningkatkan produktivitas pala), variabel 2 (pemupukan organik dilakukan untuk
membantu pemulihan kondisi tanaman setelah panen), variabel 5 (materi yang disampaikan
BPTP bermanfaat untuk menambah pengetahuan) dan variabel 6 (materi yang disampaikan
perlu dilakukan peragaan langsung di lapangan).
Tingkat kepentingan dan kepuasan petani terhadap pelatihan dari BPTP tentang
pengaruh pupuk organik terhadap peningkatan produktivitas tanaman pala sudah tinggi, hal
ini menunjukkan bahwa petani yakin dengan penggunaan pupuk organik akan dapat
meningkatkan produktivitas tanaman pala. Variabel 2, yaitu pemupukan organik dilakukan
untuk membantu pemulihan kondisi tanaman setelah panen untuk tingkat kepentingan dan
kepuasan petani juga sudah tinggi. Hal ini berarti petani sudah paham bahwa penggunaan
pupuk organik sangat bermanfaat untuk pemulihan kondisi tanaman pala setelah panen.
Selanjutnya variabel 5, yaitu materi yang disampaikan BPTP tentang pengaruh penggunaan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 313
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pupuk organik terhadap produktivitas tanaman pala juga sudah tinggi untuk tingkat
kepentingan dan kepuasan petani. Hal ini menunjukkan bahwa petani sudah paham dan
sadar bahwa materi yang disampaikan BPTP tersebut bermanfaat untuk menambah
pengetahuan mereka. Variabel tersebut berhubungan erat dengan variabel 6 yang tingkat
kepentingan dan kepuasan juga tinggi, yaitu materi yang disampaikan perlu dilakukan
peragaan atau praktek langsung di lapangan. Hal ini artinya peragaan langsung di lapangan
terhadap materi yang disampaikan BPTP dianggap penting dan memuaskan petani karena
dilakukan demonstrasi cara dengan praktek langsung di lapangan sehingga membuat petani
semakin paham cara menggunakan pupuk organik untuk tanaman pala.
Hasil analisa pada kuadran III yang merupakan prioritas rendah artinya petani
menganggap variabel-variabel yang termasuk pada kuadran III adalah sesuatu yang menurut
persepsi petani tingkat kepentingan dan kepuasan yang dirasakan rendah. Pada kuadran III
tidak ada variabel yang menurut petani masuk pada kuadran tersebut. Begitu juga yang
terjadi pada kuadran IV yang disebut kuadran berlebihan. Tidak ada variabel yang menurut
petani masuk pada kuadran IV tersebut, dimana tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan
yang dirasakan petani tinggi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kuadran IPA, variabel yang berada di kuadran prioritas utama
adalah perlunya bantuan pemerintah dalam pengadaan pupuk organik, menghadiri
pelatihan bertujuan untuk menerima bantuan, akses petani memperoleh bibit berkualitas
dan akses petani memasarkan hasil panen. Respon petani terhadap penggunaan pupuk
organik dapat semakin baik jika pemerintah dan instansi terkait memberikan kemudahan
bantuan dalam pengadaan pupuk organik, memberikan pelatihan-pelatihan tentang
teknologi usahatani tanaman pala kepada petani, memberikan kemudahan petani dalam
mendapatkan bibit yang berkualitas dan memberikan fasilitas kemudahan bagi petani dalam
memasarkan hasil panen. Jika kendala-kendala tersebut bisa diatasi maka proses adopsi
dalam mendiseminasikan penggunaan pupuk organik bisa berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan, I. S, Bambang Utoyo, Any Kusumastuti. 2015. Pengaruh Pupuk NPK dan Pupuk
Organik terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Main
Nursery. Jurnal Agro Industri Perkebunan Volume 3 No. 2│ Oktober 2015: 69-81.
Bandar Lampung.
Asrori, Mohammad. 2009. Psikologi Pembelajaran. CV Wacana Prima. Bandung.
BPS Provinsi Maluku. 2012. Maluku Dalam Angka 2012. BPS Provinsi Maluku. Ambon.
BPS Provinsi Maluku. 2013. Maluku Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Maluku. Ambon.
BPS Provinsi Maluku. 2014. Maluku Dalam Angka 2014. BPS Provinsi Maluku. Ambon.
BPS Provinsi Maluku. 2015. Maluku Dalam Angka 2015. BPS Provinsi Maluku. Ambon.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


314 | Teknologi Pertanian
BPS Provinsi Maluku. 2016. Provinsi Maluku Dalam Angka 2016. BPS Provinsi Maluku.
Ambon.
BBPPTP Ambon. 2016. Toksisitas Dan Aspek Kimiawi Aflatoksin Pada Biji Pala.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-425-toksisitas-dan-aspek-kimiawi-aflatoksin-
pada-biji-pala.html. Diakses tanggal 20 Juli 2017.
Suratmo Gunawan. 2002. Panduan Penelitian Multidisiplin. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hakim, M. 2007. Teknis Agronomis dan Manajemen Kelapa Sawit. Lembaga Pupuk Indonesia.
Jakarta.
Khairiah. 2013. Kiat Sukses Industri Kelapa Sawit Indonesia.
http://www.bumn.co/id/Ptpn1/galeri/artikel. Diakses tanggal 20 Mei 2013.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.
Roidah, S. I. 2013. Manfaat Penggunaan Pupuk Organik Untuk Kesuburan Tanah. Jurnal
Universitas Tulungagung BONOROWO Vol. 1.No.1 Tahun 2013. Tulungagung.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.
Wenno, F. N. 2015. Prospek Agroindustri Pala Di Wilayah Pesisir (Suatu Studi Dalam Rangka
Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Seith Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku
Tengah). PIRAMIDA Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Volume XI No. 2 : 88-94. Bali.
Yola, M dan Duwi Budianto. 2013. Analisis Kepuasan Konsumen Terhadap Kualitas Pelayanan
Dan Harga Produk Pada Supermarket Dengan Menggunakan Metode Importance
Performance Analysis (IPA). Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 12 No. 12, April
2013:301-309. Padang.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 315
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU JAGUNG
DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR

Sheny Kaihatu dan Hardiana Bansi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku


Jl. Chr Soplanit Rumahtiga
email: shela_lio@yahoo.com

ABSTRAK
Peningkatan produktivitas jagung di Maluku memerlukan teknologi adaptif yang efisien, antara
lain varietas unggul adaptif dan teknologi spesifik lokasi sesuai kondisi biofisik lahan, sosial
ekonomi masyarakat dan kelembagaan petani. Proses produksi yang demikian hekekatnya
merupakan pendekatan pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kajian PTT jagung dilaksanakan
pada lahan kering milik petani di desa Sumber Agung kecamatan Bula Barat Kabupaten Seram
Bagian Timur dengan luas lahan 0,5 ha. Pengkajian berlangsung dari bulan April-Desember 2015.
Varietas jagung yang ditanam adalah Bima 19 dan varietas lokal yang ditanam petani.Pengkajian
dilaksanakan dengan melibatkan 2 petani kooperator untuk melaksanakan teknologi PTT dan 1
orang petani non kooperator yang melaksanakan sesuai dengan kebiasaan petani. Untuk
mengukur tingkat kemampuan pengembalian atas biaya usaha tani jagung dengan penerapan
teknologi PTT digunakan analisis kelayakan usahatani berupa R/C Ratio sedangkan untuk
mengetahui atau mengukur kelayakan teknologi introduksi dalam memberi nilai tambah
terhadap teknologi petani digunakan MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio). Hasil kajian
menunjukkan bahwa produktivitas jagung varietas Bima 19 melalui pendekatan PTT adalah
10,19 t/ha dan hasil petani 9,01 t/ha. Hasil analisis finansial berdasarkan nilai R/C ratio PTT I
2,5; PTT II 2,9 dan petani 2,8. Sedangkan berdasarkan nilai MBCR 3,3 maka PTT II layak secara
ekonomis untuk dikembangkan dilahan kering desa Sumber Agung.
Kata kunci: PTT, Jagung, Lahan Kering

PENDAHULUAN
Jagung mempunyai peran yang sangat strategis, baik dalam sistem ketahanan pangan
maupun perannya sebagai penggerak roda ekonomi nasional. Selain perannya sebagai
pangan bagi sebagian masyarakat Indonesia, jagung juga berkontribusi terhadap
ketersediaan protein karena jagung menjadi bahan baku pakan baik ternak maupun
perikanan. Jagung menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong
pertumbuhan industri hilir yang berkontribusi cukup besar pada pertumbuhan ekonomi
nasional.
Jagung tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan dan pakan saja, tetapi juga
digunakan sebagai bahan baku industry lainnya, seperti bahan bakar alternatif (biofuel),
polymer dan lain-lain. Permintaan jagung baik untuk industry pangan, pakan, dan kebutuhan
industri lainnya dalam lima tahun kedepan diproyeksikan akan terus meningkat seiring
dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan juga peningkatan pendapatan dan daya
beli masyarakat.
Indonesia mempunyai potensi sangat besar dalam meningkatkan produksi maupun
produktivitas jagung. Lahan yang tersedia untuk budidaya jagung sangat luas, persyaratan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


316 | Teknologi Pertanian
agroklimat sederhana, teknologi sudah tersedia, sehingga prospek keuntungan bagi
pembudidayanya cukup besar.Komoditas Pertanian yang diprioritaskan pengembangannya
pada suatu wilayah merupakan komoditas yang diusahakan oleh masyarakat, baik itu
komoditas yang memiliki nilai strategis atau keunggulan bersaing dalam bisnis pertanian,
dengan luasan skala ekonomi tertentu (Natawidjaja et al., 2002).
Untuk memenuhi kebutuhan jagung yang terus meningkat, maka upaya peningkatan
produksi jagung perlu mendapat perhatian yang lebih besar agar terwujud swasembada
jagung. Peningkatan produksi dan produktivitas dipengaruhi oleh faktor iklim, kesuburan
tanah, penggunaan benih unggul, tingkat serangan hama dan penyakit, penggunaan pupuk
dan pestisida. Sedangkan dari segi ekonomi dipengaruhi oleh sarana produksi pertanian,
keterampilan dan pengalaman berusaha tani (Andjani et al., 2010).
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi jagung adalah dengan menggunakan
varietas unggul jagung hibrida. Jagung hibrida berpotensi memiliki hasil lebih tinggi
dibandingkan jagung komposit (bersari bebas), karena hibrida mempunyai gen-gen dominan
yang mampu memberi hasil tinggi.
Pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) merupakan pendekatan dalam
budidaya yang mengutamakan pengelolaant anah, lahan, air dan organisme pengganggu
tanaman (OPT) secara sinergis dan bersifat spesifik lokasi (Zubachtirodindan Subandi, 2008).
PTT jagung bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan produktifitas jagung
secara berkelanjutan dan meningkatkan efisiensi produksi. Pengembangan PTT disuatu
lokasi memperhatikan kondisi sumberdaya setempat, sehingga teknologi yang diterapkan
disuatu lokasi dapat berbeda dengan lokasi lain. Komponen teknologi yang diterapkan
berdasarkan pada masalah, potensi dan peluang diwilayah tersebut, yang dapat diketahui
melalui Participatory Rural Appraisal (PRA). PTT adalah suatu pendekatan atau model dalam
upaya meningkatkan produktivitas, pendapatan petani secara finansial layak untuk
dikembangkan.
Di Maluku, pengembangan jagung diarahkan pada agroekosistem lahan kering,
karena potensi lahan kering masih cukup tinggi, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah,
(bahkan pada kondisi tanah yang agak kering) dan mudah dibudidayakan. Selain itu resiko
kegagalan bertanam jagung lebih kecil dibanding bertanam palawija lainnya (Purwono, 2005
dalam Sri Agung, 2009). Jagung juga memiliki pengganda nilai tambah yang tinggi namun
pengganda tenaga kerjanya rendah (Malik, 2008). Perbaikan varietas jagung sampai saat ini
lebih banyak ditekankan pada peningkatan potensi hasil.
Berdasarkan analisis sumberdaya lahan melalui pendekatan zona agroekologi (skala
1:250.000) lahan potensial untuk pertanian tanaman pangan termasuk jagung di Maluku
adalah 903.214 ha, terdiri atas pertanian tanaman pangan lahan kering 718.465 ha (80%),
tanaman pangan lahan basah 55.611 ha (6 %) dan wanatani 129.136 (14%) (Susanto dan
Bustaman, 2006). Luas areal yang telah dikembangkan tanaman jagung pada tahun 2014
tercatat 3.795 ha atau hanya sekitar <1% (BPS Provinsi Maluku, 2014) dengan produksi
10.568 ton jagung pipilan kering. Rata-rata produktivitas jagung yang diperoleh di Maluku
yaitu2,8 t/ha (BPS Promal, 2014) lebih rendah dari rata-rata produk Nasional 3,60 t/ha, dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 317
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
masih jauh dari hasil penelitian yang dapat mencapai 5 t/ha-10 t/ha. Sentra produksi jagung
di Kabupaten SBT ada di kecamatan Bula Barat. Pada tahun 2014 rata-rata produksin jagung
di kecamatan Bula Barat Kab SBT mencapai 40 ton/ha dengan luas areal panen mencapai
40,85 ha dan produksi sebesar 163 ton (BPS SBT, 2014).
Peningkatan produktivitas jagung di Maluku memerlukan teknologi adaptif yang
efisien, antara lain varietas unggul adaptif dan teknologi spesifik lokasi sesuai kondisi biofisik
lahan, sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan petani. Proses produksi yang demikian
hekekatnya merupakan pendekatan pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kelayakan usahatani jagung dengan
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Kecamatan Bula Barat, Kabupaten
Seram Bagian Timur, Propinsi Maluku. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan pertanian setempat dalam
mengintroduksi teknologi pertanian khususnya pola PTT.

METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan pada lahan kering milik petani kooperator didesa Sumber
Agung, Kecamatan Bula Barat Kabupaten Seram Bagian Timur dengan luas lahan 0,5 ha.
Pengkajian berlangsung dari bulan April-Desember 2015. Varietas jagung yang ditanam
adalah Bima 19. Hasil panen dihitung dari hasil petakan seluas 2,5 m x 2,5 m kemudian di
konversikan ke dalam hektar.
Pengkajian dilaksanakan dengan melibatkan 2 petani kooperator untuk melaksanakan
teknologi PTT dan 1 orang petani non kooperator yang melaksanakan sesuai dengan
kebiasaan petani. Petani yang terpilih sebagai petani kooperator adalah petani yang memiliki
lahan, dapat bekerjasama, mudah menerima teknologi baru, bersedia menyebarkan
informasi yang diperoleh dan mematuhi aturan-aturan selama kegiatan berlangsung.
Keragaan teknologi usahatani jagung antara petani kooperator dan non kooperator
ditampilkan padaTabel 1.

Tabel 1.Keragaan Teknologi Usahatani Jagung Pola PTT Dan Pola Petani
Komponen Teknologi
No Uraian Petani Kooperator Petani Non Kooperator
PTT Pola Petani
1 Varietas Bima 19 Arjuna
2 Kebutuhan benih 20 kg/ha, dengan 2 biji per lubang tanam 15-20 kg/ha, dengan 2-3 biji per lubang
tanam
3 Pengolahan Tanah Herbisida (Supremo, DMA, Gramaxone) dan Tanpa olah tanah
bajak mengunakan handtraktor
4 Pupuk PTT 1: 200 phonska kg/ha + 50 kg urea + 2 Tidak di pupuk
ton petro-organik
PTT 2:100 phonska kg/ha + 25 kg urea + 1 ton
petro-organik
5 Jarak tanam 75 cm x 40 cm, 2 biji/lubang tanam Berkisar 75 cm x 20 cm, 1 biji/lubang tanam
6 Pasca Panen Panen dilakukan jika kelobot tongkol telah Panen dilakukan jika kelobot tongkol telah
kering, biji telah keras dan telah terbentuk kering, biji telah keras dan telah terbentuk
lapisan hitam minimal 50% pada setiap baris lapisan hitam minimal 50% pada setiap baris
biji. biji.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


318 | Teknologi Pertanian
Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Untuk mengukur tingkat
kemampuan pengembalian atas biaya usaha tani kedelai dengan penerapan teknologi PTT
digunakan analisis kelayakan usahatani berupa R/C Ratio sedangkan untuk mengetahui atau
mengukur kelayakan teknologi introduksi dalam memberi nilai tambah terhadap teknologi
petani digunakan MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio).
Analisis data kelayakan usahatani dianalisis berdasarkan rumus (Rahim, A. dan
Hastuti. 2008) :
a = R/C
Dimana: a = Nisbah penerimaan dan biaya (kelayakan usahatani)
R = Penerimaan (Rp/ha)
C = Biaya (Rp/ha)
Dengan keputusan: R/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan
R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP)
R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan (rugi)
Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) dihitung berdasarkan formulasi berikut:
Penerimaan Kotor (I)-Penerimaan Kotor (P)
MBCR=
Total Biaya (I)-Total Biaya (P)
dimana: I = Teknologi introduksi
P = Teknologi petani
Perhitungan MBCR menjelaskan jika nilainya <2, berarti teknologi introduksi tidak
berpotensi secara ekonomis untuk dikembangkan, sebaliknya jika >2, artinya teknologi
tersebut berpotensi secara ekonomis untuk dikembangkan (Suhaeti dan Basuno, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia tanah

Untuk efisiensi pemupukan, jenis dan takaran pupuk yang diberikan hendaknya
didasarkan pada hasil analisis/uji tanah. Namun pendekatan itu dihadapkan kepada: (a)
keterbatasan areal yang tanahnya telah dianalisis, (b) perubahan status hara tanah sejalan
dengan lama pemanfaatan dan pengelolaan hara dan (c) sulitnya petani membiayai analisis
tanahnya sendiri. Oleh karena itu digunakanlah PUTK (perangkat uji tanah kering) yang
merupakan alat uji cepat tanah di lapangan. Hasil uji tanah dilokasi kegiatan yang dilakukan
dengan menggunakan PUTK, menunjukkan ketersediaan unsur C-organik yang
menggambarkan status N rendah, P rendah dan K tinggi, pH 5-6 (agak masam). Tekstur tanah
liat berpasir, drainase agak baik dan ketersediaan air tergantung pada curah hujan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 319
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 2. Hasil analisis tanah pada kegiatan PTT Jagung di lahan kering desa Sumber Agung
Kabupaten Seram Bagian Timur menggunakan PUTK
Unsur Hara Status hara di lokasi Rekomendasi
P Rendah 250 kg SP-36/ha
K Tinggi 50 kg KCl/ha
C-organik Rendah 2000 kg/ha
pH Agak masam
Sumber: BPTP Maluku, 2015

Keragaan Agronomis dan Hasil Biji

Jagung termasuk tanaman yang membutuhkan air yang cukup banyak, terutama pada
saat pertumbuhan awal, saat berbunga, dan saat pengisian biji. Kekurangan air pada stadium
tersebut akan menyebabkan hasil yang menurun. Kebutuhan jumlah air setiap varietas
sangat beragam. Namun demikian, secara umum tanaman jagung membutuhkan 2 liter air
per tanaman per hari saat kondisi panas dan berangin (Purwono dan Hartono,2006).
Parameter yang diamati pada pertumbuhan tanaman ini adalah tinggi tanaman dan tinggi
tongkol. Jagung termasuk kedalam jenis tanaman C4 yang mempunyai sifat-sifat
menguntungkan antara lain aktivitas fotosintesis pada keadaan normal relatif tinggi,
fotorespirasi sangat rendah, transpirasi rendah, serta efisien dalam penggunaan air. Sifat-
sifat tersebut merupakan sifat fisiologis dan anatomis yang menguntungkan dalam kaitannya
dengan hasil (Leonard dan Martin, 1973 dalam Haryati et al,2015).
Tinggi tanaman adalah salah satu parameter utama untuk mengetahui tingkat
adaptasi suatu varietas pada suatu agroekosistem. Perbedaan tinggi tanaman disebabkan
oleh sifat genetik dan karakteristik serta kemampuan adaptasi dari masing-masing varietas
yang berbeda terhadap lingkungannya (Ermanita et al., 2004). Menurut Tahir et al (2013),
tinggi tanaman merupakan faktor yang dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan, sehingga
setiap varietas jagung hibrida memiliki tinggi yang berbeda. Sumarno dan Manshuri., 2007
mengatakan bahwa varietas unggul sengaja diciptakan tinggi, karena dengan tanaman tinggi
diharapkan dapat memperoleh hasil yang tinggi.
Pada kegiatan PTT jagung ini, tanaman jagung mempunyai tinggi berkisar antara
203,20-243,40 cm dan tinggi tanaman tertinggi yaitu PTT I (243,40 cm) dan terendah adalah
pola petani (203,20 cm). Dari hasil uji statistik, tinggi tanaman PTT I berbeda dengan PTT II
dan pola petani. Sementara tinggi tongkol tertinggi adalah PTT II (231,1 cm) dan pola petani
adalah yang paling rendah (176,4 cm) dan hasil uji statistik menunjukkan bahwa ketiga pola
tersebut tidak berbeda nyata. Jumlah tongkol yang dihasilkan dipengaruhi oleh faktor
genetik tanaman dan sifat dominasi apikal (Patola dan Hardiatmi., 2011).
Panjang tongkol PTT I lebih panjang (17,73 cm) dari PTT II (16,37 cm) dan pola petani
(15,97 cm). Uji statistik menunjukkan bahwa panjang tongkol PTT I berbeda dengan PTT II
dan pola petani. Panjang tongkol yang panjang dengan diameter tongkol yang lebih besar,
akan menghasilkan bobot pipilan kering lebih tinggi. Hasil penelitian Valizadeh dan
Bahrampour (2013), bahwa diameter tongkol dapat mempengaruhi hasil jagung hibrida.
Diameter tongkol PTT I (3,97 cm) lebih besar dari PTT II dan terendah pola petani (3,00 cm)

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


320 | Teknologi Pertanian
dan uji statistik ke tiga pola ini berbeda. Jumlah baris per tongkol, kerapatan dan besar kecil
biji akan mempengaruhi bobot 100 biji. Jumlah baris PTT II lebih banyak (14,23) dari PTT I
(13,70) dan pola petani yang paling rendah (12,87) tetapi dari hasil uji statistik, PTT II dan
PTT I, tidak berbeda namun keduanya berbeda dengan pola petani. Kadar air untuk ketiga
pola ini tidak berbeda.
Berat 100 biji PTT I lebih tinggi (27,36 g) dikuti oleh PTT II (27,16 g) dan paling rendah
adalah pola petani (27,05). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ke tiga pola ini tidak
berbeda nyata. Bobot pipilan kering yang sudah di konversi ke hektar, menunjukkan bahwa
PTT I dan PTT II hasilnya lebih tinggi (10,19 dan 9,71 t/ha) dari pola petani (9,01 t/ha).

Tabel 3. Karakteristik agronomi dan hasil jagung pada PTT dilahan kering
desa Sumber Agung 2015
POLA
Paket Teknologi PTT PTT I PTT II
PETANI
Tinggi tanaman (cm) 243,40 a 238,87 b 203,20 c
Tinggi tongkol (cm) 203,7 a 231,1 a 176,4 a
Panjang tongkol (cm) 17,73 a 16,37 b 15,97 b
Diameter tongkol (cm) 3,97 a 3,43 b 3,00 c
Jumlah baris/tongkol 13,70 a 14,23 a 12,87 b
Kadar air (%) 12,57 a 12,75 a 12,13 a
Bobot 100 biji (g) 27,36 a 27,16 a 27,05 a
Bobot pipilan kering (t/ha) 10,19 9,71 9,01
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % DMRT

Analisis Usahatani Jagung di desa Sumber Agung

Pendapatan petani dalam usahatani jagung diperlukan modal untuk membiayai


semua kegiatan, baik untuk membeli sarana produksi maupun untuk tenaga kerja. Dalam
kegiatan ini, semua sarana produksi diperhitungkan sebagai biaya produksi. Introduksi
teknologi varietas unggul baru (VUB), pemupukan N dengan indicator BWD, pemupukan P
dan K sesuai status hara tanah dan pemanfaatan pupuk organik dapat meningkatkan hasil
jagung lebih tinggi dibandingkan dengan teknik yang biasa dilakukan petani.
Analisis finansial usahatani jagung meliputi penghitungan biaya produksi, tenaga
kerja, panen dan penerimaan hasil. Biaya produksi usahatani jagung dengan pola PTT
meliputi biaya pembelian benih, pestisida, pupuk, dan biaya. Terdapat perbedaan antara
usahatani jagung pola PTT dengan pola petani. Perbedaannya terletak pada penggunaan
input produksi, yakni tenaga kerja dan pupuk. Pola PTT lebih banyak menggunakan tenaga
kerja dibandingkan pola petani dan pola petani tidak menggunakan pupuk dalam usahatani
jagung.
Teknologi PTT jagung yang diterapkan dilahan desa Sumber Agung berdasarkan
analisa ekonomi menguntungkan, namun keuntungan PTT II lebih tinggi (Rp 22,177,500)
dibandingkan dengan PTT I (Rp 21,432,500) dan pola petani (Rp 20,465,000) walaupun hasil
produksi PTT II hanya 9,71 t/ha. Hal ini disebabkan karena biaya sarana produksi dan tenaga
kerja yang digunakan PTT II lebih sedikit (Rp 11,807,500) dibanding dengan PTT I yang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 321
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
produksinya 10,19 t/ha, namun karena penggunaan biaya saprodi dan tenaga kerja yang
besar (Rp 14,232,500) (Tabel 4).

Tabel 4. Analisis Finansial Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung di desa Sumber Agung
Kec Bula Barat, 2015
PTT I PTT II PolaPetani
Komponen teknologi
Fisik Rp Fisik Rp Fisik Rp
A. Saprodi
Benih (kg) 30 1,650,000 30 1,650,000 30 1,650,000
Phonska (kg) 300 1,200,000 150 600,000 150 600,000
Urea (kg) 100 300,000 50 150,000 75 225,000
SP-36 (kg) 100 350,000 50 175,000 75 262,500
Petroorganik (kg) 2000 3,000,000 1000 1,500,000 1000 1,500,000
Herbisidapratumbuh 3 225,000 3 225,000 2 150,000
Furadan 30 900,000 30 900,000 20 600,000
Klenset 3 292,500 3 292,500 3 292,500
Antracol 3 270,000 3 270,000 3 270,000
Spontan 3 210,000 3 210,000 3 210,000
Dithane M-45 3 210,000 3 210,000 3 210,000
Rundop 3 330,000 3 330,000 0 -
Venator - - - - 5 500,000
Capture - - - - 5 425,000
Prevaton - - - - 3 375,000
Dense 0 0 0 0 4 200,000
Phinalty 3 300,000 3 300,000 0 -
Parang 2 110,000 2 110,000 0 -
Sabit 2 110,000 2 110,000 0 -
Cangkul 1 75,000 1 75,000 0 -
Jumlah A 9,532,500 7,107,500 7,470,000
B. TenagaKerja
Pengolahantanah 1 1,500,000 1 1,500,000 1 1,500,000
Tanam 15 750,000 15 750,000 6 300,000
Pemupukan I 6 300,000 6 300,000 4 200,000
Pemupukan II 6 300,000 6 300,000 4 200,000
Penyiangan I 10 500,000 10 500,000 8 400,000
Penyemprotan I 7 350,000 7 350,000 4 200,000
Penyemprotan II 4 200,000 4 200,000 4 200,000
Penyemprotan III 4 200,000 4 200,000 4 200,000
Panen 12 600,000 12 600,000 8 400,000
Jumlah B 4,700,000 4,700,000 3,600,000
Total A + B 14,232,500 11,807,500 11,070,000
Hasil (t/ha) 10.19 9.71 9.01
Penerimaan 35,665,000 33,985,000 31,535,000
Keuntungan 21,432,500 29285000 20,465,000
R/C ratio 2.5 2.9 2.8
MBCR 1.3 3.3

Terdapat perbedaan struktur biaya antara usahatani jagung pola PTT dan pola petani.
Perbedaan struktur biaya terlihat terutama pada penggunaan input sarana produksi berupa
pupuk dan obat-obatan pada pola PTT yang tidak diterapkan di pola petani. Penggunaan
pupuk pada pola PTT mengakibatkan adanya penambahan biaya tenaga kerja. Perbedaan
struktur harga juga terlihat pada biaya tenaga kerja dan biaya pestisida. Meskipun pada pola
PTT biaya produksi yang dikeluarkan lebih besar, namun dengan input yang ditambahkan
pada pola PTT dapat meningkatkan pendapatan usahatani kedelai dengan pola PTT.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


322 | Teknologi Pertanian
Jika dinilai berdasarkan R/C ratio maka PTT I, PTT II dan pola petani layak secara
financial, karena nilai R/C ratio >1.Untuk mengetahui atau mengukur kelayakan Pola PTT
dalam memberi nilai tambah terhadap pola petani digunakan MBCR (Marginal Benefit Cost
Ratio). Secara teoritis, keputusan mengadopsi teknologi baru layak dilakukan jika MBCR>2.
Artinya, setiap tambahan penerimaan yang diperoleh dari penerapan teknologi baru harus
lebih besar daripada tambahan biaya (Malian dalam Suharyanto, 2007). Nilai MBCR dari
penerapan usahatani kedelai dengan pola PTT II layak secara ekonomis untuk dikembangkan
pada lahan desa Sumber Agung karena nilai MBCR<2 yaitu PTT II adalah 3,3 sedangkan untuk
PTT I tidak layak secara ekonomis untuk dikembangkan karena nilai MBCR 1,3.
Dengan demikian maka dapat direkomendasikan PTT II untuk dapat diterapkan oleh
petani jagung di desa Sumber Agung.

KESIMPULAN
Penerapan teknologi PTT dapat meningkatkan hasil jagung. Hasil jagung hibrida
varietas Bima 19 melalui pendekatan PTT pada lahan desa Sumber Agung adalah PTT I 10,19
t/ha, PTT II 9,71 t/ha dan sangat jauh dari hasil petani yang hanya 9,1 t/ha.
Berdasarkan analisis kelayakan usahatani jagung di Desa Sumber Agung Kabupaten
Seram Bagian Timur dengan varietas Hibrida menguntungkan, karena memiliki nilai R/C ratio
PTT I 12,5; PTT II 2,9 dan petani 2,8. Sedangkan berdasarkan nilai MBCR 3,3 maka PTT II layak
secara ekonomis untuk dikembangkan dilahan kering desa Sumber Agung.

DAFTAR PUSTAKA
Andjani, T. K., Djoka Koestiono dan Iman Yushendra. 2010. Analisis Pendapatan dan
Penyerapan Tenaga Kerja Keluarga Petani. J Agrise 10(1): 65-73
BPS Promal, (2014). Maluku Dalam Angka 2013. BPS Maluku.
BPS SBT (Seram Bagian Timur), 2014. Seram Bagian Timur Dalam Angka 2013.
Ermanita, Yusnida Bev dan Firdaus LN. 2004. Pertumbuhan Vegetatif Dua Varietas Jagung
Pada Tanah Gambut Yang Diberi Limbah Pulp dan Paper. Jurnal Biogenesis 1(1):1-8
Haryati. Y dan Permadi K., 2015. Implementasi Pengelolaan Tanaman Terpadu pada Jagung
Hibrida. J Agrotrop 5(1):101-109
Malik,A dan J. Limbongan, 2008. Pengkajian Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan
Palawija di Papua. J Pengkajian dan Pengembagan Teknologi Pertanian 11(3):194-204
Natawidjaja, R. S., T. Karyani, T. I. Noor. 2002. Identifikasi Sentra Pengembangan Agribisnis
Komoditas Unggulan di Jawa Barat. Jurnal Agrikultura 13(1):8-17
Patola, E dan Hardiatmi, S. 2011. Uji Potensi Tiga Varietas Jagung dan Saat Emaskulasi
Terhadap Produktivitas Jagung Semi (Baby Corn). Innofarm: J Inovasi Pertanian
10(1):17-29
Purwono dan R. Hartono. 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.112 h.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 323
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Rahim, A dan Diah Retno Dwi Hastuti. 2008. (Pengantar, Teori dan Kasus). Penerbit Swadaya.
Jakarta
Sri Agung, I. G. A. M, 2009. Adaptasi Berbagai Varietas Jagung Dengan Densitas Berbeda
pada Akhir Musim Hujan di Jimbaran Kabupaten Badung. Jurnal Bumi Lestari
9(2):201-210
Suhaeti, R. N. & E. Basuno. 2004. Analisis Dampak Pengkajian Teknologi Pertanian Unggulan
Spesifik Lokasi Terhadap Produktivitas Kasus: BPTP Nusa Tenggara Timur. Soca (Socio-
Economic of Agriculture and Agribusiness 4(1)).
Suharyanto. 2007. Analisis Dampak Teknologi Integrasi Tanaman Kopi Dengan Ternak
Kambing Terhadap Produktivitas Usahatani. ntb.litbang.deptan.
go.id/ind/2007/NP/analisisdampak.doc., diakses tanggal 5 April 2010.
Sumarno dan Manshuri AG. 2007. Persyaratan Tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di
Indonesia, Dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor (ID)
Susanto, A. N. dan S. Bustaman. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya lahan untuk
mendukung pengembangan agribisnis di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. BPTP
Maluku. Ambon.
Tahir, M., Tanveer, A., Ali, A., Abbas, M and Wasaya, A. 2008. Comparative Yield
Performance of Different Maize (Zea mays L) Hybrids Under Local Conditions of
Faisalabad-Pakistan. Pakistan J of Life and Social Sciences 6(2):118-120
Valizadeh, H dan Bahrampour, T. 2013. Identify Traits Affecting Grain Yield in the Middle and
Late Maize Hybrids Using Path Analysis. International Journal of Agriculture and Crop
Sciences, 5(21) : 2645-2649
Zubachtirodin dan Subandi. 2008. Peningkatan Efisiensi Pupuk N, P, K dan Produktivitas
Jagung pada Lahan Kering Ultisols Kalimantan Selatan. J. Penelitian Pertanian
27(1):32-36.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


324 | Teknologi Pertanian
PRIORITAS PENGEMBANGAN DAN IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI KOMODITAS UNGGULAN
TANAMAN PANGAN DI PROVINSI MALUKU

Ismatul Hidayah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku

Abstrak
Pengkajian Analisis Prioritas Pengembangan dan Identifikasi Kebutuhan Teknologi Spesifik
Lokasi Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Provinsi Maluku telah dilakukan, kegiatan
bertujuan menginventarisasi dan/atau identifikasi komoditas unggulan daerah dan teknologi
pertanian yang dibutuhkan pada subsector tanaman pangan di provinsi Maluku. Pendekatan
metode yang digunakan yaitu analisis LQ, analisis prioritas pengembangan dan Focus Group
Discustion (FGD). Hasil penelitian yaitu komoditas unggulan dan prioritas pengembangan
tanaman pangan di propinsi Maluku yaitu padi sawah, padi ladang, jagung dan ketela pohon
dengan sentra pengembangan padi sawah berada di kabupaten Maluku Tengah, Buru dan SBT,
sedang sentra padi ladang di kabupaten Maluku tenggara dan MTB, sentra pengembangan
jagung ada di kabupaten MBD sedangkan sentra pengembangan ketela pohon ada di kabupaten
Ambon, Tual, Buru Selatan, SBB dan Kepulauan Aru. Prioritas kebutuhan teknologi spesifik lokasi
untuk pengembangan komoditas pangan untuk padi sawah (Mekanisasi alat tanam jarwo), padi
ladang (VUB padi gogo dan RMU mini disetiap lokasi), jagung (Teknologi pengairan/embung
untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan air pada musim kemarau), Ubi kayu (Alat
pengepress hasil parutan ubi kayu). Kebijakan pengembangan komoditas unggulan pangan
dalam upaya mendukung swasembada lebih diarahkan ke komoditas padi sawah dengan sentra
pengembangan 4 Kabupaten yaitu Buru, SBB, Maluku Tengah dan SBT. Komoditas pangan lokal
sebagai pendukung yaitu ubi kayu (SBB, Maluku Tenggara)
Kata kunci: Komoditas Unggulan Daerah, Tanaman Pangan, Analisis LQ, Teknologi Spesifik Lokasi

Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar yang pemenuhannya
merupakan syarat pokok untuk pembangunan manusia seutuhnya. Komitmen Pemerintah
dalam mewujudkan ketahanan pangan ini dituangkan dalam bentuk Undang Undang Nomor
7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang mengamanatkan agar Pemerintah bersama masyarakat
mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketahanan pangan yang
dimaksud adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersediaanya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau (Thahir, 2004).
Kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang ditetapkan di suatu daerah harus
disesuaikan dengan kondisi (masalah, kebutuhan, dan potensi) daerah yang bersangkutan.
Penelitian yang mendalam tentang keadaan tiap daerah harus dilakukan untuk mendapatkan
data dan informasi yang berguna bagi penentuan perencanaan pembangunan daerah yang
bersangkutan (Syafrizal, 1999; Arsyad, 2002; Basuki dan Gayatri, 2009).
Komoditas unggulan merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis berdasarkan
pertimbangan fisik (kondisi tanah dan iklim), sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 325
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, kondisi sosial budaya) untuk
dikembangkan di suatu wilayah (Sitorus et al. 2014). Penentuan komoditas unggulan suatu
daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian dan perikanan yang
berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan absolut dan komparatif dalam
menghadapi globalisasi perdagangan. (Hendayana, 2003).
Propinsi Maluku merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 1.124 pulau, dengan
luas daratannya sekitar 4.625.416 Ha atau 10% dari total luas wilayah. Pulau-pulau yang ada
sebagian besar adalah pulau kecil yang memiliki karakteristik berbeda-beda seperti aspek
geografis, iklim, sosial, budaya, etnis serta tahapan perkembangan ekonominya. Berdasarkan
peta ZAE (Susanto A.N dan Bustaman S, 2006) total potensi lahan Maluku seluas 4.625.416
ha, dengan saran penggunaan adalah potensi untuk hutan seluas 2.274.491 ha, perkebunan
1.263.575 ha, wanatani 129.137 ha, tanaman pangan lahan kering 718.465 ha, tanaman
pangan lahan basah 55.612 ha, padang pengembalaan 1.508 ha, perikanan tambak 146.419
ha dan hutan pantai seluas 36.205. Tingkat pemanfaatan lahan tersebut sampai saat ini
masih rendah bila dilihat dari luas areal existing yang ada berdasarkan data BPS tahun 2013
yaitu tanaman pangan (38.077 ha), Sayur dan hortikultura (5.826 ha) dan perkebunan
(223.998 ha)
Rata rata produktivitas komoditas tanaman pangan di Maluku yaitu padi 4,1 ton/ha,
jagung 3,7 ton/ha, kedelai 1,2 ton/ha, kacang tanah 1,1 ton/ha, kacang hijau 1,05 ton/ha, ubi
kayu 20,4 ton/ha, ubi jalar 10,9 ton/ha (BPS, 2013). Bila dilihat dari rata rata
produktivitasnya produksi tanaman pangan masih tergolong rendah karena masih dibawah
potensi hasil yang bisa dicapai. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan karena
pengelolaan yang belum intensif atau pemeliharaan yang sangat sederhana yaitu
penggunaan input produksi yang pada umumnya masih rendah
Dalam rangka memanfaatkan potensi tersebut diperlukan inovasi teknologi spesifik
lokasi yang mampu meningkatkan produksi dan produktifitas komoditas unggulan daerah
dan peran serta masyarakat secara partisipatif. Diperlukan adanya dukungan data dan
informasi yang akurat sebagai dasar kebijaksanaan pembangunan pertanian yang ditempuh
Pemerintah daerah dalam mengembangkan mengembangkan agribisnis yang berorientasi
global dengan membangun keunggulan kompetitif produk daerah berdasarkan kompetensi
dan keunggulan komparatif sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerah yang
bersangkutan agar dapat tercapai.

METODOLOGI

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh
dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian, perkebunan dan peternakan kabupaten/kota
berupa data luas areal tanam, areal panen dan produksi untuk tanaman pangan series
selama kurun waktu dua belas tahun (2002-2013). Data primer di peroleh dari wawancara
dengan petani dan kegiatan Fokus Group Discussion (FGD).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


326 | Teknologi Pertanian
Metode Analisis

Analisis penentuan komoditas unggulan

Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan diakomodasi dari Miller &


Wright (1991), Isserman (1997), dan Ron Hood (1998). Menurut Hood (1998), Loqation
Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya. Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum
digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor
kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat
spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
Berdasarkan teori ekonomi basis, teknik LQ relevan digunakan sebagai metoda dalam
menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi). Di
dalam konsep agroekologi, teknologi ditempatkan sebagai alat untuk meningkatkan
kapasitas produksi suatu komoditas. Ketiga peubah pembentuk utama agroekologi tersebut
merupakan peubah yang sulit berubah, sehingga suatu wilayah yang dikelompokkan ke
dalam wilayah AEZ (agroekological zone) sebagai basis pengembangan suatu komoditas
dengan teknologi sebagai instrumentnya merupakan sesuatu yang mempunyai dasar (Amin,
1997).
Dijelaskan oleh Rusastra, dkk., (2002) bahwa yang dimaksud kegiatan basis
merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa
ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar,
regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun efisiensi ekonomis
sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah.
Secara lebih sederhana perhitungan LQ menurut Hendayana. R (2003) dapat
diformulasikan sebagai berikut:
pi⁄
pt
LQ=
Pi⁄
Pt
Dimana: pi = Luas panen komoditas ‘i’ pada tingkat kabupaten atau kota
pt = Luas panen total kelompok komoditas pada tingkat kabupaten
Pi = Luas panen komoditas ‘i’ pada tingkat Provinsi
Pt = Luas panen total kelompok komoditas pada tingkat Provinsi
Kriteria:
LQ > 1 Sektor basis artinya komoditas i disuatu wilayah memiliki keunggulan
komparatif
LQ = 1 Sektor non basis, artinya komoditas i disuatu wilayah tidak memiliki
keunggulan, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
wilayah sendiri
LQ < 1 Sektor non basis, artinya komoditas i disuatu wilayah tidak dapat

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 327
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar
Penjelasan: Semakin tinggi nilai LQ sektor disuatu wilayah, semakin tinggi potensi
keunggulan sektor tersebut.
Perbandingan komparatif ini tentu saja belum cukup memadai untuk mengambil
keputusan komoditas mana yang ditetapkan sebagai prioritas pengembangan di
Kabupaten/Kota. Sehingga diperlukan analisis lanjutan dengan cara menyeleksi komoditas-
komoditas mana yang memiliki kecenderungan lebih baik dibanding komoditas yang lain.
Prioritas pengembangan diberikan pada komoditas unggulan spesifik daerah yang
mempunyai potensi dan peluang memperoleh gains tertinggi. Penentuan prioritas dilakukan
dengan analisis trend. Indikator-indikator yang digunakan yaitu:
a) Trend luas tanam
b) Trend luas panen
c) Trend produksi
d) Trend produktivitas
Komoditas dengan nilai skoring terkecil mencerminkan prioritas paling tinggi

Identifikasi kebutuhan teknologi spesifik lokasi

Kegiatan identifikasi teknologi pertanian spesifik lokasi yang sesuai dengan


kebutuhan pengguna dilakukan melalui survey dan FGD dengan kelompok petani dan
instansi terkait.
Kegiatan FGD dilaksanakan pada 4 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, Maluku Tengah, Seram Bgian Barat dan Ambon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analsis LQ Komoditas Pangan

Mengacu pada tabel 1, hasil analsis LQ komoditas unggulan tanaman pangan yang
didasarkan pada luas panen perkabupaten di Maluku yaitu meliputi Padi sawah, padi ladang,
jagung, ketela rambat, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang kacangan lain dan umbi
umbian.
Komoditas padi sawah unggul di tiga kabupaten (Maluku tengah, Buru dan Seram
Bagian Timur), Padi ladang unggul di empat kabupaten (Maluku Tenggara, Maluku tenggara
Barat, Buru dan Seram bagian Timur), Jagung unggul di satu kabupaten yaitu Maluku
Tenggara Barat, Ketela pohon unggul di enam kabupaten (Ambon, Maluku Tenggara, Tual,
Buru Selatan, SBB dan Kepulauan Aru), Ketela rambat unggul di lima kabupaten (Ambon,
Tual, MBD, SBB dan SBT), Kacang tanah unggul di lima kabupaten (Ambon, Maluku Tenggara,
Maluku Tenggara Barat, Buru Selatan dan SBT), Kacang hijau unggul di tiga kabupaten ( Tual,
MTB dan Buru Selatan), Kedelai unggul di tiga kabupaten (Maluku Tengah, Buru dan SBT),
Kacang kacangan lainnya unggul di tiga kabupaten (MTB, MBD dan Kepulauan Aru) dan ubi
ubian lain unggul di tiga kabupaten (MTB, MBD dan Kepulauan Aru)

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


328 | Teknologi Pertanian
Tabel 1. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Pangan Perkabupaten pada Provinsi Maluku
Komoditas
Kabupaten
Padi Padi Ketela Ketela Kacang Kacang Kacang Ubi
/Kota Jagung Kedelai
sawah ladang pohon rambat tanah hijau lain ubian
Ambon - - 0,94 3,01 1,31 2,55 - - - -
Maluku
2,22 0,17 0,37 0,82 0,69 0,71 0,42 2,33 - -
Tengah
Maluku
- 2,20 0,98 2,37 0,52 1,34 0,81 - 0,80 0,78
Tenggara
Tual - 0,86 0,48 3,35 1,06 0,52 1,17 - 0,77 0,43
MTB - 2,96 0,90 0,41 0,95 2,55 4,41 - 4,56 2,40
MBD - 0,39 2,49 0,66 1,05 0,44 0,57 - 1,44 2,37
Buru 2,72 1,66 0,13 0,14 0,16 0,46 0,35 2,73 - -
Buru
- 0,90 0,59 3,01 0,76 3,37 1,02 - - -
Selatan
SBB 0,98 0,16 0,17 2,23 2,72 0,66 0,48 0,39 - -
SBT 1,31 1,29 0,43 0,84 2,10 2,46 0,63 2,88 - -
Kep. Aru - 0,28 0,67 2,67 1,42 1,11 1,86 - 1,15 1,15
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Urutan Prioritas Komoditas Unggulan

Analisis perhitungan prioritas pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan


perkabupaten di provinsi Maluku didasarkan pada perkembangan luas tanam, luas panen,
produksi dan produktivitas. Hasil analisis di tunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Prioritas Pengembangan Tanaman Pangan Perkabupaten Provinsi Maluku


Komoditas
Kabupaten
Padi Padi Ketela Ketela Kacang Kacang Kacang Ubi
/Kota Jagung Kedelai
sawah ladang pohon rambat tanah hijau lain ubian
Ambon - - - 1 2 3 - - - -
Maluku
1 - - - - - - 2 - -
Tengah
Maluku
- 1 - 3 - 2 - - - -
Tenggara
Tual - - - 1 3 - 2 - - -
MTB - 1 - - - 3 2 - 5 4
MBD - - 1 - 2 - - - 3 4
Buru 1 2 - - - - - 3 - -
Buru
- - - 1 - 2 3 - - -
Selatan
SBB 2 - - 1 3 - - - - -
SBT 1 3 - - 2 4 - 5 - -
Kep. Aru - - - 1 2 3 3 - 4 5
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Urutan pertama prioritas pengembangan tanaman pangan di propinsi Maluku yaitu


padi sawah, padi ladang, jagung dan ketela pohon. Sentra pengembangan padi sawah
berada di kabupaten Maluku Tengah, Buru dan SBT, sedang sentra padi ladang di kabupaten
Maluku tenggara dan MTB, sentra pengembangan jagung ada di kabupaten MBD sedangkan
sentra pengembangan ketela pohon ada di kabupaten Ambon, Tual, Buru Selatan, SBB dan
Kepulauan Aru.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 329
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Sebaran Komoditas Berdasarkan Hasil Analisis LQ

Berdasarkan hasil analisis LQ tingkat kecamatan akan diketahui sebaran sentra


pengembangan komoditas pangan berdasarkan luas panen eksisiting di provinsi Maluku.
Mengacu pada tabel 3, sentra komoditas padi sawah tersebar di empat kabupaten
yaitu Buru (kec. Waeyapo), Maluku Tengah (kec. Seram Utara Timur Kobi dan Seram Utara
Timur Seti), SBB (kec. Kairatu) dan SBT (kec. Bula Barat).
Sentra komoditas padi ladang tersebar di empat kabupaten yaitu MTB (kec.
Wertamrian, Wermaktian, Yaru dan Wuar Labobar), Buru (kec. Namlea dan Air Buaya),
Maluku Tenggara (kec. Kei Kecil Barat, Kei Kecil Timar, Kei Besar), SBT (kec. Bula Barat).
Sentra komoditas jagung di kabupaten MBD (kec. Pp. Terselatan dan Pp. Babar ).

Tabel 3. Sebaran Komoditas Unggulan Padi Sawah, Padi Ladang dan Jagung di Provinsi
Maluku
Sebaran Lokasi
Jenis Komoditas Luas Areal (Ha) LQ Kec
Kabupaten/Kota Kecamatan
Buru Waeyapo 10.425 1,15
Maluku Tengah Seram Utara Timur Kobi 5.089 1,50
Padi Sawah Seram Utara Timur Seti 5.162 1,48
SBB Kairatu 1.252 2,55
SBT Bula Barat 2.013 2,35
Maluku Tenggara Barat (MTB) Wertamrian 221 1,16
Wermaktian 81 1,00
Yaru 57 1,12
Wuar Labobar 126 1,51
Buru Namlea 65 5,94
Padi Ladang
Air Buaya 72 5,43
Maluku Tenggara Kei Kecil Barat 195 2,53
Kei Kecil Timur 121 1,29
Kei Besar 307 1,46
SBT Bula Barat 760 2,20
Pp. Terselatan 52 1,11
Jagung Maluku Barat Daya (MBD) Moa Lakor 26 1,08
Pp. Babar 120 1,03
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Mengacu pada tabel 4, sentra komoditas ubi kayu tersebar di lima kabupaten yaitu
kota Ambon (kec. Nusaniwe dan Leitimur Selatan, Maluku Tenggara (kec. Kei kecil), Tual
(kec.Dullah utara dan Dullah Selatan), Buru Selatan (kec.Kepala Madan dan Leksula), Seram
Bagian Barat (kec. Taniwel). Sentra komoditas ketela rambat di enam kabupaten yaitu
Ambon (kec. Sirimau dan leitimur Selatan), Tual (P.P. Kur dan Tayando Tam), Maluku Darat
Daya (kec. Damar dan Mdona Heira), Seram Bagian Barat (kec. Taniwel dan Huamual), Seram
Bagian Timur (Seram timur, Wakate, Teor dan Pulau Panjang), Kepulauan Aru (kec. Aru
Tengah dan Aru Tengah Selatan).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


330 | Teknologi Pertanian
Tabel 4. Sebaran Komoditas Unggulan Ubi kayu dan Ketela rambat di Provinsi Maluku
Sebaran Lokasi
Jenis Komoditas Luas Areal (Ha) LQ Kec
Kabupaten/Kota Kecamatan
Ambon Nusaniwe 28 1,17
Leitimur Selatan 33 1,04
Maluku Tenggara Kei Kecil 312 1,26
Tual Dullah Utara 18 1,11
Ubi Kayu
Dullah Selatan 14 1,15
Buru Selatan Kepala Madan 9 1,04
Leksula 10 1,03
Seram Bagian Barat Taniwel 501 1,51
Ambon Sirimau 10 1,16
Leitimur Selatan 11 1,51
Tual P. P. Kur 6 1,67
Tayando Tam 7 1,68
Maluku Barat Daya Damar 10 5,07
Mdona Hiera 30 1,38
Taniwel 51 1,53
Ketela rambat Seram Bagian Barat
Huamual 97 2,11
Seram Timur 30 2,80
Wakate 20 3,08
Seram Bagian Timur
Teor 16 2,58
Pulau Panjang 15 1,93
Aru Tengah 37 1,08
Kep Aru
Aru Tengah Selatan 26 2,51
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Kondisi Eksisting Komoditas Unggulan Tanaman Pangan

Mengacu pada Tabel 5 menunjukkan bahwa produktivitas padi sawah berkisar antara
4,2-4,7 ton/ha dengan kisaran indeks R/C atas biaya tunai antara 1,62-2,43, produktivitas
padi ladang berkisar antara 0,99-2,14 ton/ha dengan kisaran indeks R/C atas biaya tunai
antara 1,02-1,50, produktivitas jagung 2-3,48 dengan indeks R/C atas biaya tunai 1,55.
Komoditas ubi kayu tingkat produksinya berkisar antara 7,92-20,55 ton/ha dengan indeks
R/C atas biaya tunai berkisar antara 1,6-3,4, produktivitas ketela rambat berkisar antara
2,39-11,22 ton/ha dengan indeks R/C atas biaya tunai berkisar antara 1,05-4,6.
Rata-rata produktivitas komoditas pangan Maluku masih rendah bila dibandingkan
dengan rata rata produktivitas komoditas pangan nasional yaitu padi sawah 5,3 ton/ha, padi
ladang 3,3 ton/ha, jagung 5 ton/ha, ubi kayu 23,3 ton/ha dan ubi jalar 15,2 ton/ha. Hasil
kajian BPTP Maluku untuk komoditas pangan dengan menggunakan varietas unggul dan
pemupukan berimbang rata rata mampu mencapai produktivitas yang tinggi jauh diatas
produktivitas nasional oleh karena itu masih terdapat peluang bagi provinsi Maluku untuk
meningkatkan produktivitas pangannya dengan penerapan teknologi yang benar.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 331
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 5. Produktivitas, R/C dan Teknologi Eksisting Komoditas Unggulan Tanaman Pangan
Provinsi Maluku
Komoditas Kabupaten Produktivitas (ton/ha) R/C Teknologi
Buru 4,62 1,62 PTT
Maluku Tengah 4,70 2,43 PTT
Padi Sawah
SBB 4,47 2,39 PTT
SBT 4,25 2,04 PTT
Maluku Tenggara Barat 2,08 1,60 Semi PTT
Buru 0,99 1,02 Non PTT
Padi Ladang
Maluku Tenggara 2,10 1,50 Semi PTT
SBT 2,14 1,98 Semi PTT
Jagung Maluku Barat Daya 3,48 1,55 Non PTT
Ambon 20,55 3,4 VUB
Maluku tenggara 12,00 2,6 Lokal/VUB
Ubi Kayu Tual 7,92 1,6 Lokal
Buru Selatan 12,61 2,8 Lokal
SBB 17,57 3,04 Lokal/VUB
Ambon 10,38 4,2 Lokal
Tual 3,72 1,4 Lokal
MBD 7,00 2,6 Lokal
Ketela Rambat
SBB 11,22 4,6 Lokal/VUB
SBT 10,85 3,9 Lokal
Kep Aru 2,39 1,05 Lokal
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Teknologi Balitbangtan yang pernah didesiminasikan di Maluku disajikan pada Tabel 6


berikut.

Tabel 6. Teknologi Balitbangtan yang didesiminasikan dan diadopsi di Provinsi Maluku


Komoditas Teknologi litbang yang didiseminasikan Teknologi yang diadopsi
Padi VUB hasil litbang (Waeapo buru, Cigeulis, Ciherang, - VUB (Waeapo buru, Cigeulis,
Sawah Conde, Mekongga, Cisantana, Cimelati, Sinta nur, Ciherang, Mekongga, Cibogo,
Fatmawati, Membramo, Inpari 1, 10, 6 JETE, 13, 21, 22, Cisantana, IR 64, Inpari 10, inpari
23, 24, 26, 27, 28) 13)
Pemupukan berimbang dengan mengunakan PUTS - Sistem tanam jajar legowo (2:1
(perangkat uji tanah sawah) dan 4:1)  tingkat adopsi ± 8%
Sistem tanam jajar legowo (2:1 dan 4:1)
Padi Gogo VUB hasil litbang (Cigeulis, situ patenggang, situ bagendit, VUB hasil litbang (Cigeulis, situ
batu tegi, limboto, inpago 6) patenggang, situ bagendit,
Pemupukan berimbang dengan mengunakan PUTK limboto)
(perangkat uji tanah kering)
Jagung VUB hasil litbang (Sukmaraga, Srikandi Kuning, Bisma,
Palaka, Lagaligo)
-
Pemupukan berimbang dengan mengunakan PUTK
(perangkat uji tanah kering)
Ubi kayu VUB hasil litbang (Malang-1, Malang-4, Malang-6, UJ-5, VUB (Malang-4)
UJ-3, Adira 4, )
Pemupukan berimbang dengan mengunakan PUTK
(perangkat uji tanah kering)
Kacang VUB hasil litbang (Bima, kancil, bison, singa, kelinci)
-
Tanah
Sumber: Laporan hasil pengkajian BPTP

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


332 | Teknologi Pertanian
Permasalahan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan

Hasil FGD yang dilakukan di 4 kabupaten teridentifikasi beberapa kendala atau


permasalahan yang dihadapi oleh petani pada komoditas unggulan tanaman pangan,
disajikan pada tabel 7 berikut.

Tabel 7. Permasalahan/kendala yg dihadapi petani tanaman pangan di Maluku


Jenis Komoditas Permasalahan/kendala yg dihadapi
1. Padi sawah Tenaga kerja terbatas (Tanam dan Panen)
Hama penggerek batang
Hama Walang Sangit
Hama burung
Tikus
Penyakit blas/kresek
Hama ulat grayak
Anomali iklim yang ekstrim
Pasca panen pengeringan terbatas
Rendahnya harga beras akibat masuknya beras raskin dari luar Maluku
Petani kurang tertarik dengan VUB terbaru (Inpari)
2. Padi Ladang Produktivitas masih rendah
Petani belum mengenal dan menggunakan VUB
Ketersediaan bibit unggul/vub terbatas karena belum ada petani penangkar padi gogo
Serangan hama wereng dan burung
Terbatasnya alat prosesing gabah menjadi beras didaerah-daeraH terjauh
Ketersediaan air yang terbatas (menunggu musim hujan)/penanaman 1x per tahun
Pengelolaan yang sangat alami/zero pupuk sehingga produktivitas rendah
Anomaly iklim yang cukup ekstrim pada beberapa gugus pulau
3. Jagung Produktivitas rendah
Budidaya jagung yang masih sederhana/tanpa pemupukan
Ketersediaan pupuk terbatas dan harga yang cukup tinggi
Teknologi pemipilan dan penggiling jagung masih dilakukan secara manual
Keterbatasan ketersediaan air pada musim kemarau
Ketersediaan varietas komposit
4. Ubi kayu Serangan hama babi hutan merusak tanaman
Ketersediaan pupuk terbatas dan harga yang cukup tinggi
VUB untuk Embal tidak tersedia
5. Kacang tanah Produktivitas rendah
VUB belum tersedia di lokasi
Budidaya yang masih sangat sederhana
Ketersediaan pupuk terbatas dan harga yang cukup tinggi
Sumber: Data hasil FGD diolah

Identifikasi Teknologi yang dibutuhkan Subsektor Komoditas Unggulan Tanaman Pangan

Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan melalui FGD yang dilakukan di 4


kabupaten maka teridentifikasi beberapa teknologi spesifik lokasi yang dibutuhkan oleh
petani pada komoditas unggulan tanaman pangan yang disajikan pada tabel 8 berikut.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 333
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 8. Identifikasi Teknologi dan Urutan Prioritas Kebutuhan untuk Komoditas Pangan
Jenis Nilai
Teknologi yang dibutuhkan
Komoditas /Peringkat
106 (1)
Mekanisasi alat tanam jarwo untuk mengatasi keterbatasa tenaga kerja
tanam
97 (4)
Mekanisasi alat panen untuk mengatasi keterbatasa tenaga kerja dan
menurunkan kehilangan hasil
88 (5)
Penyebaran VUB dan memberikan pemahaman kepada petani manfat
Padi Sawah penggunaan VUB khususnya jenis Inpari
Teknologi pengendalian hama penggerek batang
105 (2)
Teknologi penanganan pasca panen (pengeringan)
82 (7)
Mekanisasi alat pengolahan beras
80 (8)
Teknologi pemupukan berimbang + aplikasi bahan organik
101 (3)
Informasi katam yang akurat
83 (6)
VUB padi gogo 106 (1)
RMU mini disetiap lokasi 102 (2)
Padi Ladang Teknologi pemupukan berimbang/PTT padi gogo 87 (4)
Aplikasi pendekatan PTT padi gogo 87 (4)
Teknologi pengolahan lahan 89 (3)
111 (1)

Teknologi pengairan/embung untuk mengatasi keterbatasan Ketersediaan air 106 (2)


pada musim kemarau
Ketersediaan VUB yang cita rasanya setara dengan varietas lokal 84 (5)
Jagung Teknologi pemanfaatan limbah bahan lokal untuk pupuk organik
Ketersediaan pupuk yang tepat waktu untuk daerah daerah terjauh 100 (3)
Teknologi pasca panen pemipil dan penggiling jagung
Teknologi pasca panen pengolahan jagung untuk meningkatkan nilai tambah 81(6)

94 (4)
VUB ubikayu yang tidak disukai oleh babi 99 (3)
Alat mesin pemarut ubi kayu 77 (4)
Ubi kayu Alat pengepress hasil parutan ubikayu 111 (1)
Teknologi pengemasan produk Enbal menggunakan aluminium foil yang
dilengkapi dengan siler 102 (2)
VUB yang berproduksi tinggi dan rasa disukai untuk bahan kacang botol 108 (1)
Kacang
Teknologi pasca panen pengemasan kacang botol 90 (3)
Tanah
Teknologi budidaya kacang tanah 100 (2)
Sumber: Data hasil FGD diolah

Berdasarkan nilai skor pemeringkatan untuk komoditas padi sawah teknologi yang
sangat dibutuhkan adalah teknologi alat tanam/mekanisasi tanam untuk mengatasi
terbatasnya tenaga kerja tanam yang sudah mulai langka dan teknologi pengendalian hama
penggerek batang. Untuk komoditas padi ladang teknologi yang sangat dibutuhkan yaitu
ketersediaan benih VUB padi gogo dan RMU mini di setiap lokasi pengembangan padi
ladang. Untuk komoditas jagung teknologi yang sangat dibutuhkan yaitu teknologi
penyediaan air pada musim kemarau dalam bentuk embung atau sumur tanah dalam. Untuk
komoditas ubi kayu teknologi yang dibutuhkan yaitu alat press ubi kayu sebagai bahan enbal

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


334 | Teknologi Pertanian
sedangkan untuk komoditas kacang tanah teknologi yang dibutuhkan yaitu VUB yang
berproduksi tinggi dan rasa disukai untuk bahan kacang botol.

KESIMPULAN
Komoditas unggulan dan prioritas pengembangan tanaman pangan di propinsi
Maluku yaitu padi sawah, padi ladang, jagung dan ketela pohon dengan sentra
pengembangan padi sawah berada di kabupaten Maluku Tengah, Buru dan SBT, sedang
sentra padi ladang di kabupaten Maluku tenggara dan MTB, sentra pengembangan jagung
ada di kabupaten MBD sedangkan sentra pengembangan ketela pohon ada di kabupaten
Ambon, Tual, Buru Selatan, SBB dan Kepulauan Aru.
Prioritas kebutuhan teknologi spesifik lokasi untuk pengembangan komoditas pangan
untuk padi sawah (Mekanisasi alat tanam jarwo untuk mengatasi keterbatasa tenaga kerja
tanam, Teknologi pengendalian hama penggerek batang, Teknologi pemupukan berimbang +
aplikasi bahan organic), padi ladang (VUB padi gogo, RMU mini disetiap lokasi, Teknologi
pengolahan lahan), jagung (Teknologi pengairan/embung untuk mengatasi keterbatasan
Ketersediaan air pada musim kemarau, Ketersediaan VUB yang cita rasanya setara dengan
varietas lokal, Ketersediaan pupuk yang tepat waktu untuk daerah daerah terjauh), Ubi kayu
(Alat pengepress hasil parutan ubikayu, Teknologi pengemasan produk Enbal menggunakan
aluminium foil yang dilengkapi dengan siler, VUB ubikayu yang tidak disukai oleh babi)
Kebijakan pengembangan komoditas unggulan pangan dalam upaya mendukung
swasembada lebih diarahkan ke komoditas padi sawah dengan sentra pengembangan 4
Kabupaten yaitu Buru, SBB, Maluku Tengah dan SBT. Komoditas pangan lokal sebagai
pendukung yaitu ubi kayu (SBB, Maluku Tenggara)

DAFTAR PUSTAKA
Amien, I. 1997. Karakterisasi dan Analisis Agroekologi. Pusat Penelitian Agroklimat. Bogor.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku. 2013. Maluku Dalam Angka. BPS Maluku.
Ambon.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buru 2002-2013. Buru Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buru Selatan 2002-2013. Buru Selatan Dalam Angka.
BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Seram Bagian Barat 2002-2013. Seram Bagian Barat
Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Seram Bagian Timur 2002-2013. Seram Bagian Timur
Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tengah 2002-2013. Maluku Tengah Dalam
Angka. BPS Maluku.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 335
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tenggra 2002-2013. Maluku Tenggara Dalam
Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tenggra Barat 2002-2013. Maluku Tenggara
Barat Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Barat Daya 2002-2013. Maluku Barat Daya
Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tual 2002-2013. Tual Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Aru 2002-2013. Kepulauan Aru Dalam
Angka. BPS Maluku.
Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas
Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. Volume 12, 2003. p:658-675
Isserman, Andrew.M. 1977 ‘The Location Quotient Approach for Estimating Regional
Economic Impacts’, AIP Journal
Miller. M. M, J.L.Gibson, & G.N. Wright .1991. ‘Location Quotient Basic Tool for Economic
Development Analysis’ Economic Development Review, 9(2);65
Ron Hood, 1998. Economic Analysis: A Location Quotient. Primer. Principal Sun Region
Associates, Inc.
Rusastra, I.W., Pantjar Simatupang dan Benny Rachman.2000. Pembangunan Ekonomi
Pedesaan Berlandaskan Agribisnis. Dalam Tahlim Sudaryanto, dkk (Penyunting)
Analisis Kebijaksanaan: Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis.
Monograph Series N0 23. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian.
Susanto A. N dan Bustaman S, 2006. Data Dan Informasi Sumberdaya Lahan Untuk
Mendukung Pengembangan Agribisnis Di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. BPTP
Maluku 2006.
Thahir, R. 2004. Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan Tradisional Untuk
Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya
Saing Pangan Tradisional; Penyunting: J. Munarso, Risfaheri, Abubakar, Setyadjit dan
S. Prabawati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


336 | Teknologi Pertanian
IDENTIFIKASI KEBUTUHAN TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI
KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PERKEBUNAN DI PROVINSI MALUKU
ANALISIS DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA

Ismatul Hidayah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku

Abstrak
Penelitian Identifikasi Kebutuhan Teknologi Spesifik Lokasi Komoditas Unggulan Tanaman
Perkebunan dan Analisis Prioritas Pengembangannya di Provinsi Maluku telah dilakukan,
penelitian bertujuan menginventarisasi dan/atau identifikasi komoditas unggulan daerah dan
teknologi pertanian yang dibutuhkan pada subsektor tanaman perkebunan di provinsi Maluku.
Pendekatan metode yang digunakan yaitu analisis LQ, analisis prioritas pengembangan dan
Focus Group Discustion (FGD). Hasil penelitian yaitu komoditas unggulan dan prioritas
pengembangan tanaman perkebunan di propinsi Maluku yaitu kelapa, cengkeh, pala dan kakao.
Sentra pengembangan komoditas kelapa berada di kabupaten Maluku Tenggara, MTB, MBD,
Tual dan Kepulauan Aru, komoditas cengkeh di kabupaten Buru Selatan, komoditas Pala di
kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur, sedangkan sentra pengembangan
komoditas Kakao di kabupaten Buru dan Seram Bagian Barat. Prioritas kebutuhan teknologi
spesifik lokasi untuk pengembangan komoditas perkebunan yaitu 1) kakao, teknologi
pengendalian hama PBK dan teknologi pasca panen pemanfaatan limbah buah dan kulit kakao,
2) pala, teknologi pengendalian dan penanganan hama penggerek batang pada pala, 3) cengkeh,
teknologi pengeringan biji cengkeh, 4) kelapa, teknologi pengeringan kopra.
Kata Kunci: Komoditas Unggulan Daerah, Tanaman Perkebunan, Analisis LQ, Teknologi Spesifik
Lokasi

LATAR BELAKANG
Pembangunan pertanian di Indonesia ke depan menurut Sudaryanto dan Syafa’at
(2002), harus selalu diarahkan agar mampu memanfaatkan secara maksimal keunggulan
sumberdaya wilayah secara berkelanjutan. Oleh karena itu kebijaksanaan pembangunan
pertanian mesti dirancang dalam perspektif ekonomi wilayah. Pembangunan pertanian
dalam konteks ekonomi wilayah semakin relevan dengan berlakunya UU nomor 22 dan
nomor 25 tahun 1999, yang kemudian dijabarkan dalam PP nomor 2 tahun 2000. Hal ini
berarti bahwa pemerintah pusat hanya berperan dalam merancang perencanaan yang
bersifat makro, sedangkan pemerintah daerah merancang pelaksanaan pencapaian target
sesuai dengan kondisi wilayah. Dalam perspektif kebijaksanaan yang demikian, pemerintah
daerah dituntut benar-benar mampu memanfaatkan secara maksimal pengelolaan
sumberdaya yang bersifat spesifik lokasi.
Berkaitan dengan pembangunan pertanian, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
merupakan prasyarat mutlak untuk mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing
produk yang dihasilkan. Dalam konteks agribisnis, yang lingkupnya lebih luas daripada
aktivitas produksi pertanian, teknologi dimaksud mencakup teknik dan teknologi yang
digunakan untuk memproduksi hasil pertanian primer, mengolah hasil pertanian pangan,
menyimpan dan mengangkut produk-produk agribisnis yang dihasilkan. inovasi dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 337
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
perubahan teknologi, termasuk pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi pertanian,
akan mampu meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas pertanian dalam
menyiapkan ketahanan pangan (Anonimous, 2013).
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang mengandalkan
sektor pertanian baik sebagai sumber matapencarian masyarakat maupun sebagai sumber
penopang pembangunan (Saragih, 2001). Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menjadikan
sektor pertanian sebagai sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi nasional,
transformasi pembangunan pertanian harus dilakukan kearah pembangunan agribisnis.
Pembangunan agribisnis memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan daerah.
Pendekatan komoditas unggulan dilandasi pada pendapat bahwa yang perlu dikembangkan
di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut
secara efisien dan efektif dengan menggunakan sumber daya lokal untuk diekspor dan
menghasilkan kekayaan daerah serta penciptaan peluang kerja (Ameriyani, 2014). Dengan
demikian perekonomian wilayah akan bergerak lebih cepat sehingga akan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Menurut Handewi Rachman, (2003) yang dimaksud komoditas unggulan adalah
komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah.
Posisi strategis ini didasarkan pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim), sosial
ekonomi dan kelembagaan. Penentuan ini penting dengan pertimbangan bahwa
ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan manusia) untuk menghasilkan
dan memasarkan semua komoditas yang dapat diproduksi di suatu wilayah secara simultan
relatif terbatas. Disisi lain pada era pasar bebas saat ini baik ditingkat pasar lokal, nasional
maupun global hanya komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial
ekonomi serta mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang akan mampu
bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama dari wilayah lain.
Berdasarkan peta ZAE (Susanto A.N dan Bustaman S, 2006) total potensi lahan
Maluku seluas 4.625.416 ha, dengan saran penggunaan adalah potensi untuk hutan seluas
2.274.491 ha, perkebunan 1.263.575 ha, wanatani 129.137 ha, tanaman pangan lahan kering
718.465 ha, tanaman pangan lahan basah 55.612 ha, padang pengembalaan 1.508 ha,
perikanan tambak 146.419 ha dan hutan pantai seluas 36.205. Tingkat pemanfaatan lahan
tersebut sampai saat ini masih rendah bila dilihat dari luas areal existing yang ada
berdasarkan data BPS tahun 2013 yaitu tanaman pangan (38.077 ha), Sayur dan hortikultura
(5.826 ha) dan perkebunan (223.998 ha)
Rata rata produktivitas komoditas perkebunan yaitu Kelapa 1,31 ton/ha, kakao 0,87
ton/ha, cengkeh 0,5 ton/ha, Jambu mete 1,05 ton/ha, kopi 0,57 ton/ha dan pala 0,41 ton/ha
(BPS, 2013). Bila dilihat dari rata rata produktivitasnya produksi tanaman perkebunan masih
tergolong rendah karena masih dibawah potensi hasil yang bisa dicapai. Rendahnya
produktivitas tersebut disebabkan karena pengelolaan yang belum intensif atau
pemeliharaan yang sangat sederhana yaitu penggunaan input produksi yang sangat rendah
atau bahkan sama sekali tidak menggunakan input komersial seperti pupuk dan pestisida.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


338 | Teknologi Pertanian
BPTP merupakan UPT Badan Litbang Pertanian yang berkedudukan di provinsi yang
berhubungan langsung dengan pengguna di daerah. BPTP juga menjadi mitra kerja bagi
Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi dalam mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah.
Sesuai dengan tupoksinya keberadaan BPTP diharapkan akan mendorong pemberdayaan
SDM dan pemanfaatan sumberdaya lokal (local source) di setiap provinsi.
Teknologi yang akan dikaji oleh BPTP harus berlandaskan demand driven, dimana
hasil dari pengembang teknologi harus mampu menyelesaikan permasalahan nyata
dimasyarakat, harus sesuai dengan kebutuhan pengguna teknologi karena setiap daerah
memiliki keunikan masing masing sehingga inovasi dan teknologi yang dibutuhkanpun akan
sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun dalam implemantasinya BPTP
belum sepenuhnya mampu menyediakan teknologi pertanian spesifik lokasi yang
dibutuhkan oleh pengguna di daerah.
Hal ini terlihat dari tingkat adopsi inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah ketidak sesuaian komoditas
dan/atau teknologi pertanian yang dikaji oleh BPTP dengan komoditas unggulan dan
teknologi pertanian yang ditetapkan/dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu
diperlukan adanya inventarisasi dan/atau identifikasi komoditas pertanian unggulan daerah
dan teknologi pertanian yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah/pengguna khususnya
pada subsektor tanaman perkebunan yang merupakan tujuan dari penelitian ini.

METODOLOGI

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh
dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian, perkebunan dan peternakan kabupaten/kota
berupa data luas areal tanam, areal panen dan produksi untuk tanaman perkebunan series
selama kurun waktu dua belas tahun (2002-2013). Pengolahan dan entri data dilakukan
secara sederhana menggunakan spreadsheet dari Excel dalam Microsoft Windows. Data
primer di peroleh dari wawancara dengan petani dan kegiatan Focus Group Discustion
dengan stakeholder terkait.

Analisis penentuan komoditas unggulan

Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan diakomodasi dari Miller &


Wright (1991), Isserman (1997), dan Ron Hood (1998). Menurut Hood (1998), Loqation
Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya. Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum
digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sector
kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat
spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
Berdasarkan teori ekonomi basis, teknik LQ relevan digunakan sebagai metoda dalam
menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi). Di
dalam konsep agroekologi, teknologi ditempatkan sebagai alat untuk meningkatkan
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 339
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
kapasitas produksi suatu komoditas. Ketiga peubah pembentuk utama agroekologi tersebut
merupakan peubah yang sulit berubah, sehingga suatu wilayah yang dikelompokkan ke
dalam wilayah AEZ (agroekological zone) sebagai basis pengembangan suatu komoditas
dengan teknologi sebagai instrumentnya merupakan sesuatu yang mempunyai dasar (Amin,
1997).
Dijelaskan oleh Rusastra, dkk., (2002) bahwa yang dimaksud kegiatan basis
merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa
ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar,
regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun efisiensi ekonomis
sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah.
Secara lebih sederhana perhitungan LQ menurut Hendayana. R (2003) dapat
diformulasikan sebagai berikut :
pi⁄
pt
LQ=
Pi⁄
Pt
Dimana: pi = Luas panen komoditas ‘i’ pada tingkat kabupaten atau kota
pt = Luas panen total kelompok komoditas pada tingkat kabupaten
Pi = Luas panen komoditas ‘i’ pada tingkat Provinsi
Pt = Luas panen total kelompok komoditas pada tingkat Provinsi
Kriteria:
LQ > 1 : Sektor basis artinya komoditas i disuatu wilayah memiliki keunggulan
komparatif
LQ = 1 : Sektor non basis, artinya komoditas i disuatu wilayah tidak memiliki
keunggulan, produksinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
wilayah sendiri
LQ < 1 : Sektor non basis, artinya komoditas i disuatu wilayah tidak dapat
memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan dari luar
Penjelasan : Semakin tinggi nilai LQ sektor disuatu wilayah, semakin tinggi potensi
keunggulan sektor tersebut.
Perbandingan komparatif ini tentu saja belum cukup memadai untuk mengambil
keputusan komoditas mana yang ditetapkan sebagai prioritas pengembangan di
Kabupaten/Kota. Sehingga diperlukan analisis lanjutan dengan cara menyeleksi komoditas-
komoditas mana yang memiliki kecenderungan lebih baik dibanding komoditas yang lain.
Prioritas pengembangan diberikan pada komoditas unggulan spesifik daerah yang
mempunyai potensi dan peluang memperoleh gains tertinggi. Penentuan prioritas dilakukan
dengan analisis trend. Indikator indikator yang digunakan yaitu: Trend luas tanam, Trend
luas panen, Trend produksi dan Trend produktivitas. Dalam hal ini komoditas dengan nilai
skoring terkecil mencerminkan prioritas paling tinggi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


340 | Teknologi Pertanian
Identifikasi kebutuhan teknologi spesifik lokasi

Kegiatan identifikasi teknologi pertanian spesifik lokasi yang sesuai dengan


kebutuhan pengguna dilakukan melalui survey dan FGD dengan kelompok petani dan
instansi terkait. Kegiatan FGD dilaksanakan pada 4 Kabupaten/kota yaitu Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, Maluku Tengah, Buru Selatan, Seram Bagian Barat dan Ambon sebagai
representativ seluruh Kabupaten/kota di Maluku

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Komoditas Unggulan

Mengacu pada tabel 1 hasil analsis LQ komoditas unggulan tanaman perkebunan


yang didasarkan pada luas panen perkabupaten di Maluku yaitu meliputi Kelapa, Cengkeh,
Pala, Kakao, Kopi dan Jambu mete.

Tabel 1. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Perkebunan di Provinsi Maluku


Komoditas
Kabupaten/Kota Jambu
Kelapa Cengkeh Pala Kakao Kopi
Mete
Ambon - - - - - -
Maluku Tengah 0,61 2,20 1,49 1,55 1,04 -
Maluku Tenggara 1,57 - - - - -
Tual 1,57 - - - - -
Maluku Tenggara Barat 1,31 - - - - 2,80
Maluku Barat Daya 1,43 0,04 0,04 0,01 0,20 1,76
Buru 0,58 0,54 0,31 4,60 0,66 2,27
Buru Selatan 0,71 1,73 1,48 1,74 0,68 0,32
Seram Bagian Barat 0,63 1,90 1,38 1,65 1,30 0,75
Seram Bagian Timur 0,62 1,97 4,04 0,63 1,49 -
Kep. Aru 1,57 - - - - -
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Komoditas kelapa unggul di lima kabupaten (Maluku tenggara, Tual, MTB, MBD dan
Kep Aru), Komoditas cengkeh unggul di empat kabupaten yaitu Maluku tengah, Buru
Selatan, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur. Komoditas Pala unggul di empat
kabupaten (Maluku Tengah, Buru Selatan, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur).
Komoditas kakao unggul di empat kabupaten (Maluku Tengah, Buru, Buru Selatan dan Seram
Bagian Barat). Komoditas kopi unggul di tiga kabupaten (Maluku tengah, Seram Bagian Barat
dan Seram Bagian Timur). Komoditas jambu mete unggul di tiga kabupaten ( Maluku
Tenggara Barat, Maluku barat daya dan Buru).

Urutan Prioritas

Analisis perhitungan prioritas pengembangan komoditas unggulan tanaman


perkebunan perkabupaten di provinsi Maluku didasarkan pada perkembangan luas tanam,
luas panen, produksi dan produktivitas. Hasil analisis di tunjukkan pada Tabel 2.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 341
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 2. Prioritas Pengembangan Tanaman Perkebunan Perkabupaten Provinsi Maluku
Komoditas
Kabupaten/Kota Cengke Jambu
Kelapa Pala Kakao Kopi
h Mete
Ambon - - - - - -
Maluku Tengah - 2 1 3 4 -
Maluku Tenggara 1 - - - - 2
Tual 1 - - - - -
Maluku Tenggara Barat 1 - - - - -
Maluku Barat Daya 1 - - - - 2
Buru - - - 1 - 2
Buru Selatan - 1 2 3 - -
Seram Bagian Barat - 3 2 1 4 -
Seram Bagian Timur - 2 1 - 3 -
Kep. Aru 1 - - - - -
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Urutan pertama prioritas pengembangan tanaman perkebunan di propinsi Maluku


yaitu Kelapa, cengkeh, pala dan kakao. Sentra pengembangan komoditas kelapa berada di
kabupaten Maluku Tenggara, MTB, MBD, Tual dan Kepulauan Aru. Sentra pengembangan
komoditas cengkeh di kabupaten Buru Selatan. Sentra pengembangan komoditas Pala di
kabupaten Maluku Tengah dan Seram bagian Timur, sedangkan sentra pengembangan
komoditas kakao di kabupaten Buru dan Seram bagian Barat.

Sebaran Komoditas Unggulan

Berdasarkan hasil analisis LQ tingkat kecamatan akan diketahui sebaran sentra


pengembangan komoditas perkebunan berdasarkan luas panen eksisiting di provinsi
Maluku.
Mengacu pada tabel 3, sentra komoditas kelapa tersebar di lima kabupaten yaitu
maluku Tenggara (kec. Kei Kecil Barat, Kei Besar, Kei Besar Utara Timur dan Kei Besar
Selatan), Tual (kec. Tayando Tam), MTB (kec. Wermaktian, Selaru, Tanimbar Utara), MBD
(kec. Damer, Babar Timar dan Mdona Hiera), Kepulauan Aru (Aru Utara, Aru Tengah dan Aru
Selatan). Sentra komoditas cengkeh tersebar di empat kabupaten yaitu Maluku Tengah (kec.
Amahai, Saparua, Nusa Laut, Pulau Haruku, Salahutu dan Leihitu), Buru Selatan
(kec.Ambalao), SBB (kec. Amalatu dan Huamual), SBT (kec. P.P. Gorom dan Kilmuri).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


342 | Teknologi Pertanian
Tabel 3. Sebaran Komoditas Unggulan Kelapa dan Cengkah di Provinsi Maluku
Sebaran Lokasi
Jenis Komoditas Luas Areal (Ha)
Kabupaten/Kota Kecamatan
Kei Kecil Barat 7.575
Kei Besar 2.448
Maluku Tenggara Kei Besar Utara
1.872
Timur
Kei Besar Selatan 1.714
Tual Tayando Tam 93,2
Wermaktian 2.833,65
Kelapa MTB Selaru 2.969,63
Tanimbar Utara 2.638,17
Damer 647
MBD Babar Timur 628
Mdona Hiera 669
Aru Utara 603
Kep Aru Aru Tengah 691
Aru Selatan 697
Amahai 1.637
Saparua 1.494
Nusa Laut 685
Maluku tengah
Pulau Haruku 721
Salahutu 2.097
Cengkeh Leihitu 1.683
Buru Selatan Ambalao 763
Amalatu 574
SBB
Huamual 1.037
P.P.Gorom 745
SBT
Kilmury 817
Sumber: Data BPS Kabupaten dalam angka

Mengacu pada tabel 4, Sentra komoditas pala tersebar di empat kabupaten yaitu
Maluku Tengah (kec. Pulau Haruku, Leihitu Barat dan Leihitu), Buru Selatan (Ambalao,
Namrole dan Waisama), SBB (kec. Seram Barat), SBT (kec. P.P. Gorom, Wakate dan Gorom
Timur). Sentra komoditas kakao tersebar di empat kabupaten yaitu Maluku Tengah (kec.
Amahai, TNS dan Seram Utara), Buru (kec. Air Buaya, Waeyapo dan Batabual), Buru Selatan
(kec.Kepala Madan dan Namrole), SBB (kec. Taniwel dan Taniwel Timur).

Tabel 4. Sebaran Komoditas Unggulan Pala dan Kakao di Provinsi Maluku


Sebaran Lokasi
Jenis Komoditas Luas Areal (Ha)
Kabupaten/Kota Kecamatan
Pulau Haruku 249
Maluku tengah Leihitu 339
Leihitu Barat 538
Namrole 1.036
Pala
Buru Selatan Waisama 790
Ambalao 763
SBB Seram Barat 133
SBT P.P.Gorom 915

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 343
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Wakate 422
Gorom Timur 201
Amahai 1.711
Maluku tengah TNS 574
Seram Utara 460
Air Buaya 2.990,90
Buru Waeapo 1.728,74
Kakao
Batabual 1.215,18
Kepala Madan 842,4
Buru Selatan
Namrole 602,2
Taniwel 521
SBB
Taniwel Timur 486
Sumber: Data BPS Kabupaten dalam Angka

Kondisi Eksisting Komoditas Unggulan Tanaman Perkebunan

Kondisi eksisting komoditas unggulan tanaman perkebunan ditunjukkan pada tabel 5,


produktivitas kelapa berkisar antara 0,4-2,01 ton/ha dengan kisaran indeks Net B/C atas
biaya tunai antara 0,9-1,96, produktivitas cengkeh berkisar antara 0,25-0,93 ton/ha dengan
kisaran indeks Net B/C atas biaya tunai antara 1,32-3,15, produktivitas pala berkisar antara
0,25-0,91 ton/ha dengan kisaran indeks R/C atas biaya tunai antara 2,3-4,03. Komoditas
kakao tingkat produksinya berkisar antara 0,53-0,94 ton/ha dengan indeks R/C atas biaya
tunai berkisar antara 1,6-2,56.
Rata rata produktivitas komoditas perkebunan Maluku relatif sama bila dibandingkan
dengan rata rata produktivitas komoditas perkebunan nasional namun masih dibawah
potensi hasil penelitian sehingga terdapat peluang bagi provinsi Maluku untuk meningkatkan
produktivitas perkebunannya dengan intensifikasi.

Tabel 5. Produktivitas, R/C dan Teknologi Eksisting Komoditas Unggulan Tanaman


Perkebunan Provinsi Maluku
Komoditas Kabupaten/Kota Produktivitas (ton/ha) NET B/C Teknologi
Maluku Tenggara 1,44 1,38 Var.Lokal
Tual 0,49 0,9 Var.Lokal
Kelapa MTB 2,01 1,96 Var.Lokal
MBD 1,40 1,30 Var.Lokal
Kep Aru 0,88 1,10 Var.Lokal
Maluku tengah 0,25 1,32 Var.Lokal/organik
Buru Selatan 0,60 2,67 Var.Lokal/organik
Cengkeh
SBB 0,61 2,72 Var.Lokal/organik
SBT 0,93 3,15 Var.Lokal/organik
Maluku tengah 0,29 2,3 Var.Lokal/organik
Buru Selatan 0,50 3,4 Var.Lokal/organik
Pala
SBB 0,25 2,3 Var.Lokal/organik
SBT 0,91 4,03 Var.Lokal/organik
Maluku tengah 0,53 1,59 VUB
Buru 0,55 1,60 VUB
Kakao
Buru Selatan 0,71 2,24 VUB
SBB 0,94 2,56 VUB
Sumber: Data BPS Kabupaten diolah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


344 | Teknologi Pertanian
Identifikasi Permasalahan

Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan di 4 kabupaten teridentifikasi beberapa


kendala atau permasalahan yang dihadapai oleh petani pada komoditas unggulan tanaman
perkebunan yang disajikan pada tabel 8 berikut.

Tabel 6. Permasalahan/kendala yg dihadapi petani tanaman perkebunan di Maluku


Komoditas
Permasalahan/kendala yg dihadapi
Perkebunan
1. Kakao Serangan Hama PBK (penggerek buah kakao)
Produktivitas yang masih rendah
Animo masyarakat untuk menanam kakao terus menurun
Ketersediaan bibit/anakan terbatas
Tidak dilakukan fermentasi dalam penanganan pasca panen
Harga tidak berbeda antara kakao fermentasi dengan yang tidak difermentasi
Sanitasi/perawatan oleh prtani kurang
2. Pala Petani kekurangan modal untuk pengembangan lebih luas
Tingkat produksi rendah
Penyakit layu pucuk daun pada anakan pala
Teknologi pengolahan hasil tidak ada
Serangan hama penggerek batang pala (batocera hercules)
Pemeliharaan tanaman masih sangat sederhana/zero pupuk
Tingginya kandungan aflatoksin pada biji pala
Banyaknya limbah pala yang belum dimanfaatkan
3. Cengkeh Pada musim hujan pengeringan cengkeh terhambat
Serangan hama penggerek batang cengkeh
Tenaga kerja panen yang terbatas menyebabkan proses panen terlambat sehingga
menurunkan mutu buah cengkeh
4. Kelapa Penanganan pasca panen (pengeringan kopra) belum tersedia sehingga kelapa menjadi busuk
Limbah kelapa (kulit/serabut, batok dan air kelapa) dibuang disembarang tempat atau belum
dimanfaatkan
Produktivitas masih tergolong rendah
Alat panen belum tersedia
Sumber: Data Primer diolah

Kebutuhan Teknologi Unggulan

Berdasarkan hasil identifikasi permasalahan melalui FGD yang dilakukan di 4


kabupaten maka teridentifikasi beberapa teknologi spesifik lokasi yang dibutuhkan oleh
petani pada komoditas unggulan tanaman pangan yang disajikan pada tabel 7 berikut.

Tabel 9. Urutan Prioritas Kebutuhan Teknologi untuk Komoditas Perkebunan


Komoditas
Teknologi yang dibutuhkan Nilai /Peringkat
Perkebunan
Kakao Teknologi pengendalian hama PBK 111 (1)
Teknologi alat fermentasi biji kakao 67 (4)
Teknologi pasca panen pemanfaatan limbah buah kakao (nata 84 (2)
dekakao) 75 (3)
Teknologi pemanfaatan limbah kulit buah menjadi pupuk organik
Teknologi budidaya tanaman yang sehat 92 (2)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 345
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pala Teknologi pengendalian dan penanganan hama penggerek batang 106 (1)
pala
Teknologi penyulingan minyak atsiri pala 75 (4)
Teknologi penangan pasca panen biji pala (menurunkan kandungan 68 (6)
aflatoksin pada biji pala) 88 (3)
Teknologi pemanfaatan limbah buah pala 72 (5)
Teknologi pemanfaatan kulit batok pala
3. Cengkeh Teknologi pengendalian dan penanganan hama penggerek batang 91 (2)
cengkeh 63 (4)
Teknologi alat panen biji cengkeh 99 (1)
Teknologi pengeringan biji cengkeh 81 (3)
Teknologi penyulingan minyak atsiri cengkeh
4. Kelapa Teknologi pengeringan kopra 96 (1)
Teknologi pengolahan limbah kelapa 65 (4)
Teknologi perbaikan pembuatan minyak goreng 94 (2)
Teknologi pengendalian hama pucuk kelapa 92 (3)
Sumber: Data Primer diolah

Berdasarkan nilai skor pemeringkatan untuk komoditas kakao teknologi yang sangat
dibutuhkan adalah teknologi pengendalian hama PBK dan teknologi pasca panen
pemanfaatan limbah buah dan kulit kakao. Untuk komoditas pala teknologi yang sangat
dibutuhkan yaitu teknologi pengendalian dan penanganan hama penggerek batang pada
pala. Untuk komoditas cengkeh teknologi yang sangat dibutuhkan yaitu teknologi
pengeringan biji cengkeh. Untuk komoditas kelapa teknologi yang sangat dibutuhkan yaitu
teknologi pengeringan kopra.

KESIMPULAN
Komoditas unggulan dan prioritas pengembangan tanaman perkebunan di provinsi
Maluku yaitu Kelapa, cengkeh, pala dan kakao. Sentra pengembangan komoditas kelapa
berada di kabupaten Maluku Tenggara, MTB, MBD, Tual dan Kepulauan Aru. Sentra
pengembangan komoditas cengkeh di kabupaten Buru Selatan. Sentra pengembangan
komoditas Pala di kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur, sedangkan sentra
pengembangan komoditas Kakao di kabupaten Buru dan Seram Bagian Barat.
Prioritas kebutuhan teknologi spesifik lokasi untuk pengembangan komoditas
perkebunan yaitu Kakao (Teknologi pengendalian hama PBK, Teknologi pasca panen
pemanfaatan limbah buah kakao/nata dekakao,Teknologi pemanfaatan limbah kulit buah
menjadi pupuk organik), Pala (Teknologi pengendalian dan penanganan hama penggerek
batang pala, Teknologi budidaya tanaman yang sehat, Teknologi pemanfaatan limbah buah
pala), cengkeh (Teknologi pengeringan biji cengkeh, Teknologi pengendalian dan
penanganan hama penggerek batang cengkeh, Teknologi penyulingan minyak atsiri
cengkeh), Kelapa (Teknologi pengendalian hama pucuk kelapa, Teknologi pengeringan kopra,
Teknologi perbaikan pembuatan minyak goreng).
Kebijakan pengembangan komoditas unggulan perkebunan sebagai komoditas ekspor
Maluku yaitu Pala, cengkeh, kelapa dan kakao dengan daerah sentra pengembangan yaitu

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


346 | Teknologi Pertanian
kabupaten SBT dan Maluku Tengah (pala), Buru selatan dan Maluku Tengah (cengkeh), MTB
(kelapa), Buru (kakao)

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2013. Meningkatkan Produktivitas Pertanian guna Mewujudkan Ketahanan
Pangan dalam Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian Lemhannas RI|Edisi 15, Mei
2013
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku. 2013. Maluku Dalam Angka. BPS Maluku.
Ambon.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buru 2002-2013. Buru Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buru Selatan 2002-2013. Buru Selatan Dalam Angka.
BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Seram Bagian Barat 2002-2013. Seram Bagian Barat
Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Seram Bagian Timur 2002-2013. Seram Bagian Timur
Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tengah 2002-2013. Maluku Tengah Dalam
Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tenggra 2002-2013. Maluku Tenggara Dalam
Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Tenggra Barat 2002-2013. Maluku Tenggara
Barat Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Maluku Barat Daya 2002-2013. Maluku Barat Daya
Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tual 2002 - 2013. Tual Dalam Angka. BPS Maluku.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Aru 2002-2013. Kepulauan Aru Dalam
Angka. BPS Maluku.
Handewi Rachman. 2003. Penentuan Komoditas Unggulan Nasional di Tingkat Provinsi.
Makalah Lokakarya ‘Sintesis Komoditas Unggulan Nasional’. Bogor.
Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas
Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. Volume 12, 2003. p:658-675
Isserman, Andrew.M. 1977 ‘The Location Quotient Approach for Estimating Regional
Economic Impacts’, AIP Journal
Miller.M. M, J. L.Gibson, & G. N. Wright .1991. ‘Location Quotient Basic Tool for Economic
Development Analysis’ Economic Development Review, 9(2);65

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 347
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Ron Hood, 1998. Economic Analysis: A Location Quotient. Primer. Principal Sun Region
Associates, Inc.
Rusastra, I. W., Pantjar Simatupang dan Benny Rachman.2000. Pembangunan Ekonomi
Pedesaan Berlandaskan Agribisnis. Dalam Tahlim Sudaryanto, dkk (Penyunting)
Analisis Kebijaksanaan: Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis.
Monograph Series N0 23. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian.
Sudaryanto T. dan Syafa’at. N. 2002. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian wilayah. Dalam
Analisis Kebijakan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro
Industri. Monograph Series No. 22. Penyunting : T. Sudaryanto, I.W. Rusastra, A. Syam
dan M. Ariani. p: 1-8.
Susanto A. N dan Bustaman S, 2006. Data Dan Informasi Sumberdaya Lahan Untuk
Mendukung Pengembangan Agribisnis Di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. BPTP
Maluku 2006.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


348 | Teknologi Pertanian
PERCEPATAN PENERAPAN TEKNOLOGI PTT PADI SAWAH
DI TINGKAT PETANI MELALUI GELAR TEKNOLOGI
DI KENDARI PROV. SULAWESI TENGGARA

Sjamsiar, Yuliani Zainuddin, Sostenes Konyep

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara


Jl. Prof Muh. Yamin No. 89 Kendari
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base-Cump Arfai gunung kompleks Perkantoran Pemda, Monokwari, Papua Barat
e-mail: yunie_za80@yahoo.com

ABSTRAK
Potensi lahan sawah di Sulawesi Tenggara untuk pengembangan tanaman padi sawah seluas
121.222 ha. Penggunaan lahan untuk usahatani tanaman padi sawah seluas 94.921 ha dengan
tingkat produktivitas sebesar 4,30 t/ha. Kota Kendari merupakan salah satu daerah di Sulawesi
Tenggara yang memiliki sumberdaya lahan sawah untuk pengembangan tanaman padi sawah
seluas 1.037. ha dengan luas panen 987 ha dan produktivitas 3,89 t/ha. Kajian ini dilaksanakan
di Kelurahan Labibia Kec. Mandonga Kota Kendari pada bulan Januari-Juli 2015 dengan
menerapkan teknologi PTT, bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi PTT padi
sawah di tingkat petani dan keuntungan finansial usahatani padi sawah. Komponen teknologi
padi sawah yang diterapkan adalah: penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) berlabel dan
bersertifikat Inpari 15, pengolahan tanah sempurnah, tanam pindah (tapin), tanam bibit 1-3
batang per rumpun, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah,
pengendalian hama penyakit (PHT), panen tepat waktu dan pasca panen. Hasil kajian diperoleh
bahwa penerapan teknologi PTT padi sawah VUB Inpari 15 menghasilkan produksi 7,2 t/ha GKG
dengan tingkat adopsi 89,63%. Komponen teknologi yang telah diadopsi 100% adalah
penggunaan VUB Inpari 15 dan aplikasi pupuk. Sedangkan jumlah adopsi yang paling sedikit
adalah pada komponen tanam bibit 1-3 batang/rumpun yaitu 80%. Secara finansial usahatani
padi sawah dengan pendekatan PTT layak diusahakan. dengan R/C ratio sebesar 2,51 dan
keuntungan finansial Rp.15.142.000/ha per MT.
Kata kunci: PTT Padi Sawah, Percepatan Adopsi Teknologi, Sultra

PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas strategis yang tetap mendapat prioritas utama dalam
program pembangunan nasional. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, padi selain berfungsi
sebagai makanan pokok juga merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagian
masyarakat Indonesia. Tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat,
menyebabkan kebutuhan beras juga meningkat.
Di Sulawesi Tenggara usaha bercocok tanam dan pengembangan tanaman padi
sawah sudah cukup intensif namun hasil yang dicapai masih rendah dibanding produksi padi
nasional. Salah satu penyebabnya adalah penerapan teknologi budidaya yang masih rendah
sehingga diperlukan suatu percepatan penerapan inovasi teknologi. Di Sulawesi Tenggara
potensi lahan sawah untuk pengembangan tanaman padi sawah seluas 121.222 ha.
Penggunaan lahan untuk usaha tani padi sawah seluas 94.921 ha, dengan tingkat
produktivitas per hektar masih rendah, yaitu 4,30 t/ha. Kota Kendari merupakan salah satu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 349
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
daerah di Sulawesi Tenggara yang memiliki sumber daya lahan sawah untuk pengembangan
tanaman padi sawah seluas 1.037 ha dengan luas panen 987 ha dan rata-rata produksi yang
dihasilkan 3,89 t/ha (BPS Sultra, 2015). Produksi tersebut masih jauh di bawah rata-rata
produksi padi nasioanal sekitar 5,1 t/ha/MT. Hasil penelitian produktivitas padi sawah dapat
mencapai 12 t/ha (Balitpa, 2014). Hal tersebut nampak bahwa ada kesenjangan yang besar
antara produktivitas yang semestinya dicapai dengan produktivitas riil di tingkat petani.
Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan karena penerapan teknologi budidaya yang
masih rendah, sehingga diperlukan suatu percepatan penerapan inovasi teknologi yaitu
teknologi PTT padi sawah.
Penyebaran hasil penelitian dan pengkajian melalui kegiatan penyuluhan bukan hal
baru. Semakin maju tingkat pengetahuan petani, makin tinggi tuntutan permintaan
teknologi untuk peningkatan dan pengembangan usaha taninya. Oleh karena itu diperlukan
usaha penyampaian teknologi secara informatif dan efektif dari hasil penelitian dan
pengkajian untuk diterapkan (Badan Litbang Pertanian, 1999). Melalui Gelar Teknologi,
Inovasi Teknologi pertanian hasil penelitian dan pengkajian yang sudah matang dapat
diterapkan di lahan petani dalam skala ekonomi yang dapat memberikan pengetahuan,
pengalaman dan kesempatan pada petani untuk menilai keunggulan teknologi yang digelar
dibanding sistem budidaya lama yang sudah turun temurun dilaksanakan. Tujuan kajian ini
adalah untuk mengetahui tingkat adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah dan keuntungan
finansial usaha tani padi sawah.

METODOLOGI
Kegiatan gelar teknologgi PTT padi sawah dilaksanakan di Kelurahan Labibia
Kecamatan Mandonga Kota Kendari pada bulan Januari-Agustus 2015. Kelurahan Labibia
merupakan salah satu wilayah pengembangan tanaman padi di Kota Kendari.
Untuk mengidentifikasi lokasi pengembangan tanaman padi di Kota Kendari dengan
sarana dan prasarana jalan yang memadai dilakukan identifikasi lokasi. Selain itu dipilih
petani koperator yang dapat menerima dan menerapkan inovasi teknologi PTT padi sawah.
Kegiatan berikutnya melakukan apresiasi/Sosialisasi yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman kepada petani pelaksana (kooperator) mengenai paket teknologi yang akan
diintroduksi dan dilaksanakan.
Selain sosialisasi juga dilaksanakan pembinaan kelompok yang dilaksanakan pada
setiap pelaksanaan tahapan kegiatan teknologi yang akan diaplikasikan. Hal tersebut
bertujuan untuk membina petani secara berkelompok, dilakukan melalui diskusi dan
penjelasan teknologi, cara pengamatan, pemecahan masalah, memupuk modal dengan
mengadakan simpanan kelompok, evaluasi kegiatan. Pembinaan kelompok dilakukan dengan
melibatkan penyuluh dan kepala wilayah kecamatan.
Temu Lapang dilaksanakan untuk memperkenalkan teknologi yang digelar kepada
petani non koperator dan pengguna teknologi lainnya di dalam satu wilayah dan daerah
sekitarnya, penyuluh, swasta, LSM dan pemerintah daerah dengan mengundang instansi
terkait dan aparatur pemerintah setempat. Pelaksanaan dilakukan dengan penjelasan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


350 | Teknologi Pertanian
teknologi oleh penyuluh-peneliti BPTP, diskusi, kunjungan lapang dan diskusi antara petani
koperator dengan peserta temu lapang di lapangan.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara langsung pada petani kooperator yang melaksanakan gelar
teknologi dan petani sekitar yang tergabung dalam kelompok tani dengan mengunakan
kuisioner yang telah disiapkan. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan instansi yang
terkait. Sedangkan untuk mengetahui keuntungan dan kelayakan usaha tani padi sawah,
data yang dikumpulkan meliputi struktur biaya penggunaan sarana produksi, penggunaan
tenaga kerja, data produksi, harga jual produksi serta data lainnya yang diperlukan.

Analisis Data

Untuk mengetahui tingkat adopsi dari beberapa komponen teknologi PTT, diukur
dengan cara Teknik Skoring berdasarkan bobot skor dan persentase dari masing-masing
komponen teknologi yang diterapkan petani (Santoso et al., 2005), sebagai berikut:
P ×BS
Nilai Skor=
Σ BS
Keterangan: P = Persentase petani yang menerapkan teknologi
BS = Bobot Skor
∑ BS = Total bobot skor

Untuk mengetahui ada tidaknya nilai tambah dari kegiatan ini, dilakukan analsisis
kelayakan usaha dengan menggunakan uji Revenue Cost Ratio (R/C). Analisis dilakukan
terhadap biaya total maupun biaya tunai dengan menggunakan tingkat harga dan tingkat
upah yang berlaku di lokasi pelaksanaan kegiatan. Kelayakan usaha tani dapat dilihat dari
indikator R/C (Return Cost Ratio) atau yang dikenal dengan nisbah antara penerimaan dan
biaya. Usaha tani dianggap layak jika nilai Gross R/C > 1. (Soekartawi, 1995)
R⁄ = Total Revenue (TR)
C Total Cost (TC)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Penerapan Teknologi

Pada umumnya petani di lokasi kegiatan berusaha tani padi sawah. Penanaman dan
pengembangan tanaman padi sawah yang dilakukan belum menerapkan teknik budidaya
yang dianjurkan.
Pengetahuan petani koperator terhadap teknologi usaha tani padi sawah masih
terbatas. Hal ini dikaitkan dengan masih minimnya pengenalan teknologi baru dan belum
tersedianya varietas unggul bersertifikat di lapangan. Petani mengelola usaha taninya
berdasarkan pengetahuan dan penggunaan benih yang sudah ditanam turun temurun.
Teknologi budidaya tanaman padi sawah umumnya yang dilaksanakan petani adalah: a)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 351
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Menanam dengan menggunakan varietas lokal yang sudah ditanam turun temurun, b) Jarak
tanam tidak teratur dengan jumlah 5-10 batang/rumpun, c) Pemupukan tidak berdasarkan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah yang direkomendasikan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara (dipupuk seadanya), d) Penyiangan hanya
dilaksanakan 1 (satu) kali, e) Panen dilakukan terlambat (setelah tanaman kering) di
lapangan. Dengan teknologi yang diterapkan petani tersebut, produktivitas yang dihasilkan
berkisar 1,7-3 t/ha. Di dalam pengelolaan PTT padi sawah dikenal dengan 2 komponen
teknologi, yaitu: (1) Komponen Teknologi Dasar, dan (2) Komponen Teknologi Pilihan. (Tim
PTT Balitpa, 2001)

Aplikasi Teknologi

Pada kegiatan ini, untuk mempercepat adopsi teknlogi melalui kegiatan Gelar
Teknologi PTT, beberapa teknologi yang diperkenalkan yaitu: (1) Penggunaan VUB padi
sawah Inpari 15; (2) Penggunaan benih unggul bermutu dan berlabel, bersertifikat; (3)
Pengolahan tanah sempurna; (4) Pemberian bahan organik dengan mengembalikan jerami
ke sawah; (5) Penggunaan bibit muda (<21 hari) dan tanam bibit 1-3 batang/rumpun (tanam
pindah); (6) Pengaturan populasi tanaman dengan menerapkan jajar legowo; (7) Pemupukan
berdasarkan kebutuhan hara tanaman spesifik lokasi (Urea: 150 kg/ha, NPK 15;15:15: 300
kg/ha); (8) Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT; (9) Penyiangan dengan landak atau
gasrok, dan (10) Panen tepat waktu.
Produksi yang dihasilkan dengan aplikasi teknologi PTT pada kegiatan ini sebesar 7,2
ton/ha.

Adopsi Teknologi

Dari beberapa komponen teknologi yang digelar, telah diadopsi oleh 30 petani
koperator dengan tingkat adopsi seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat Adopsi Petani terhadap Komponen Teknologi PTT Padi Sawah di Kelurahan
Labibia Kecamatan Mandonga Kota Kendari Tahun 2015
Petani yang Petani yang
Bobot Nilai
Komponen Teknologi Mengadopsi Mengadopsi
Skor Skor
(orang) (%)
Penggunaan VUB padi sawah bersertifikat (Inpari 15) 30 100 34 10,24
Pengolahan tanah sempurna 26 86,67 33 8,61
Pemberian bahan organik (pengembalian jerami) 28 93,33 16 4,99
Penggunaan bibit muda (<21 hari) dan tanam bibit 1-3
24 80 50 12,5
batang/rumpun
Penerapan cara tanam jajar legowo 24 80 50 12,5
Penggunaan pupuk NPK 30 100 16 4,82
Penggunaan pupuk Urea 30 100 16 4,82
Pengairan secara efektif dan efisien 26 86,67 50 13,05
Penyiangan dengan landak atau gasrok 28 93,33 33 8,99
Panen tepat waktu 28 93,33 34 9,56
Total 91,67 332 89,63

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


352 | Teknologi Pertanian
Pada tabel 1 terlihat bahwa tingkat adopsi terhadap komponen teknologi yang digelar
sebesar 91,67% dengan nilai skor sebesar 89,63. Dari beberapa komponen teknologi yang
digelar, penggunaan varietas unggul bersertifikat, pemupukan dengan menggunakan urea
dan NPK yang telah diterapkan 100% oleh petani. Hal tersebut disebabkan karena setelah
melihat perbandingan hasil tanaman padi sawah yang tidak dipupuk dan tidak menggunakan
varietas unggul baru hanya menghasilkan 1,7-3 ton/ha. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
petani sudah sadar akan kebutuhan hara (pupuk) bagi tanaman dan perlunya menggunakan
varietas unggul baru bersertifikat untuk dapat menghasilkan produksi tinggi. Sedangkan
komponen teknologi yang paling sedikit diadopsi adalah pada komponen penerapan tanam
bibit muda (<21 hari) dan tanam bibit 1-3 batang/rumpun yaitu sebanyak 80%. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian petani masih kurang yakin dengan tanam bibit 1-3
batang/rumpun dapat menghasilkan anakan yang banyak dan produksi padi yang dihasilkan
dapat lebih tinggi jika tanam bibit 5-10 batang/rumpun seperti yang dilakukan secara turun
temurun.
Secara umum, tingkat adopsi terhadap teknologi PTT padi sawah yang digelar di
tingkat petani yaitu 91,67%. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan pendampingan yang
kontinyu, maka tingkat adopsi beberapa komponen teknologi akan mudah diserap dan
diaplikasikan. Selain itu beberapa komponen teknologi yang ditawarkan mudah untuk
dilaksanakan dan diterima oleh petani.

Analsis Kelayakan Usaha Tani

Dalam analisis parsial, komponen analisis dibedakan atas dua komponen yaitu: 1)
Komponen biaya yang meliputi saprodi dan upah tenaga kerja, 2) Komponen pendapatan
meliputi produksi, harga padi GKG, penerimaan. Pendapatan finansial usaha tani diperoleh
dari selisih penerimaan dengan total biaya produksi. Analisis finansial usaha tani disajikan
dalam Tabel 2.

Tabel 2. Analisa Kelayakan Usaha Tani VUB padi sawah Inpari 15


dengan teknologi PTT di Kel. Labibia Kec. Mandonga Kota Kendari Tahun 2015
No. Kegiatan Biaya (Rp.)
I. Biaya
A. Saprodi 1.958.000
B. Tenaga Kerja 8.100.000
Total biaya 10.058.000
II. Penerimaan (7,2 ton harga @ Rp 3.500/kg) 25.200.000
III. Pendapatan 15.142.000
R/C 2,51

Komponen biaya yang paling besar adalah upah tenaga kerja yaitu sebesar 80,53%
dari total biaya yang dialokasikan. Secara finansial usaha tani padi sawah dengan
pendekatan PTT layak diusahakan dan menguntungkan petani di Kelurahan Labibia
Kecamatan Mandonga Kota Kendari. Pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp.
15.142.000 /Ha/MT dengan R/C 2,51.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 353
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
KESIMPULAN
Tingkat adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah sebesar 89,63%. Komponen
teknologi yang telah diadopsi 100% adalah penggunaan varietas unggul baru Inpari 15 dan
pemupukan sedangkan jumlah adopsi yang paling sedikit adalah pada komponen tanam bibit
1-3 batang/rumpun yaitu sebanyak 80%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian petani
masih kurang yakin dengan tingkat daya tumbuh benih tersebut. Usaha tani padi sawah
dengan menerapkan teknologi PTT menghasilkan produksi sebesar 7,2 ton/ha. Secara
finansial layak diusahakan dengan nilai R/C ratio 2,51 dengan pendapatan petani sebesar Rp.
15.142.000 /Ha/MT.
Strategi percepatan penerapan inovasi teknologi PTT dilakukan melalui pertemuan
kelompok dan temu lapang yang mengundang petani dari kelurahan berbeda memberikan
dampak tersebarnya Teknologi PTT padi sawah khususnya kelas benih yang dihasilkan pada
kegiatan gelar. Untuk mempercepat adopsi teknologi PTT padi sawah, diperlukan gelar
teknologi (demontrasi teknologi) dengan melibatkan petani, pendampingan kelompok
secara kontinyu, sehingga petani dapat belajar dan melihat langsung hasilnya.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian dan
Diseminasi Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian,
Jakarta
Balitpa, 2014. Pengkajian dan Pengembangan Intensifikasi Padi Lahan Irigasi Berdasarkan
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
Sukartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia
Santoso, P., Agus Suryadi, Herman Subagio dan Beny Viktor Latulung, 2005. Dampak
Teknologi Sistim Usaha Pertanian Padi terhadap Peningkatan Produksi dan
Pendapatan Usahatani di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Vol. 8 Namor 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian
Tim PTT Balitpa, 2011. Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan dan Evaluasi Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu pada Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


354 | Teknologi Pertanian
RESPON PETANI TERHADAP TEKNOLOGI USAHATANI PADI SAWAH
MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN DI KONAWE UTARA
SULAWESI TENGGARA

Yuliani Zainuddin1, Sjamsiar, Halijah2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof Muh. Yamin No. 89 Kendari
e-mail: yunie_za80@yahoo.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Arfai gunung kompleks Perkantoran Pemda Papua Barat

Abstrak
Swasembada pangan menjadi target utama program pembangunan pemerintah tiga tahun ke
depan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang bersinergi dengan
lintas instansi, penuh semangat menyingsingkan lengan, menyatukan misi, mengikis rasa ego
sektoral, berjibaku bekerja, bekerja dan bekerja menyongsong program swasembada pangan.
Kajian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2016 di Kelurahan Tinobu Kecamatan Lasolo
Kabupaten Konawe. Tujuan untuk mengetahui respon petani terhadap teknologi usahatani Padi
sawah di Kabupaten Konawe Utara. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut potensi untuk pengembangan padi sawah. Teknik
pengumpulan data dengan cara acak sederhana oleh 20 orang petani Padi sawah. Data dan
informasi yang dikumpulkan meliputi Data primer: karakteristik petani, produktivitas,
penyebaran media dan respon petani terhadap teknologi yang diintroduksikan untuk melihat
respon petani menggunakan analisis Prilaku petani. Adapun cara menggali Aspek Perilaku petani
dengan cara menyusun pertanyaan meliputi aspek Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan. Dari
hasil kajian Petani mengetahui keunggulan teknologi yang diintroduksikan antara lain hasil
produktivitas VUB Inpari 15 parahyangan adalah 6,3 t/ha dan Inpari 30 Ciherang Sub 1 adalah
7,3 t/ha, serta petani mengetahui cara penerapan teknologi padi sawah spesifik lokasi. Respon
petani terhadap teknologi yang diintroduksikan termasuk kategori TSS (tinggi, sedang, sedang)
dengan Pengetahuan 76,87%, Sikap 48,75% dan Keterampilan 40,00% Ini menunjukkan bahwa
petani sangat mersepon adanya inovasi baru teknologi padi sawah di Kabupaten Konawe Utara
dan untuk lebih mengoptimalkan lagi perlu pendekatan partisipatif melalui pertemuan-
pertemuan kelompok dan pelatihan-pelatihan tentang teknologi Padi sawah sehingga dapat
meningkatkan produksi.
Kata kunci: Respon, Petani, Teknologi Padi Sawah, UPSUS, Sultra

PENDAHULUAN
Melalui program UPSUS tiga komoditas utama padi jagung kedelai (pajale),
pemerintah Presiden Jokowi sangat bertekad untuk mensukseskan kedaulatan pangan dalam
3 tahun ini, yaitu pada tahun 2017. Pada kegiatan Upsus pajale, segala strategi dan upaya
dilakukan untuk peningkatan luas tanam dan produktivitas di daerah-daerah sentra produksi
pangan. Operasioanalisasi pencapaian target di lapangan benar-benar dilaksanakan secara
all in untuk mensukseskan program yaitu dengan penyediaan dana, pengerahan tenaga,
perbaikan jaringan irigasi yang rusak, bantuan pupuk, ketersedian benih unggul yang tepat
(jenis/varietas, jumlah, tempat, waktu, mutu, harga), bantuan traktor dan alsintan lainnya
yang mendukung persiapan, panen dan pasca panen termasuk kepastian pemasarannya.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 355
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
(Kurniawan, 2015). Program Upsus dilaksanakan serentak di beberapa provinsi di Indonesia,
yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan)
diminta untuk mengaplikasikan teknologi unggulan yang sudah dimilikinya untuk
mendukung suksesnya program UPSUS terutama dalam hal penyediaan benih unggul serta
teknik-teknik budidaya pajale dan SDM untuk pendampingan produksi. (anonim, 2016)
Swasembada pangan menjadi target utama program pembangunan pemerintah 3
(tiga) tahun ke depan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) yang
bersinergi dengan lintas instansi, penuh semangat menyingsingkan lengan, menyatukan misi,
mengikis rasa ego sektoral, berjibaku bekerja, bekerja dan bekerja menyongsong program
swasembada pangan (Balitbangtan, 2015a).
Sulawesi Tenggara memiliki peluang yang besar dalam mendukung program upsus
swasembada pangan antara lain daya dukung lahan masih cukup luas. BPS Sulawesi
Tenggara (2015) menunjukkan lahan sawah di Sulawesi Tenggara terbagi atas irigasi teknis
seluas 37.013 ha, irigasi setengah teknis 13.433 ha, irigasi sederhana 14.130 ha, irigasi desa
30.345 ha, tadah hujan 24.446 ha, dan pasang surut 1.855 ha, sehingga luas keseluruhan
adalah 121.222 ha, dimana sekitar 94.921 ha (78,31%) merupakan irigasi dan sekitar 26.301
ha (21,69%) merupakan non irigas.
Selanjutnya untuk penggunaan lahan pada sektor tanaman pangan menunjukkan luas
lahan sawah yang sudah ditanami sekitar 95.933 ha dan terbagi atas tanam satu kali seluas
26.633 ha dan tanam dua kali seluas 69.300 ha,sedangkan lahan kering 2.630.490 ha. Namun
yang masih potensi untuk ditanami dan statusnya belum ditanami ada seluas 25.289 ha,
yang disebabkan adanya kerusakan jaringan irigasi. Luas panen padi tahun 2013 132.945 ha
dengan produktivitas 561,362 ton, rata-rata produktivitas petani untuk padi yaitu 4,22 t/ha,
jagung 2,5 t/ha dan kedelai 0,96 t/ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Sultra,2015). Sasaran
tanam tahun 2015 padi sawah 154.713 ha dengan produksi 4,78 t/ha, jagung 57,885 ha
produksi 2,69 t//ha, dan rencana pengembangan kedelai 18.295 ha produksi 1,2 t/ha.
Luas sawah eksisting saat ini yaitu 106.243 ha (Dinas Pertanian dan peternakan
Sultra, 2016) dimana target luas tanam MT I (Oktober-Maret 2016) yaitu seluas 82.105 ha,
sedangkan target luas tanam MT II (April-September 2016) yaitu seluas 126.189 ha. Khusus
untuk wilayah tugas BPTP Sulawesi Tenggara dalam pengumpulan data luas tambah tanam
meliputi 9 kabupaten/kota yaitu Kolaka Timur, Konawe Utara, Muna, Buton, Buton Utara,
Muna Barat, Konawe Kepulauan, Kota Kendari dan Kota Baubau.
Khusus untuk Kabupaten Konawe Utara Luas Sawah eksisting 3.712 Ha, target
kementan 2500 ha, target awal 1.474 ha dan realisasi tanam padi sawah MT II Periode
(apsep) sampai tgl 25 September 2016 seluas 1874 Ha.
Dari aspek dukungan sumberdaya air juga sangat potensial dalam mendukung
kegiatan pertanian tanaman pangan. Di wilayah Sultra terdapat 5 wilayah sungai besar yaitu
Lasolo-Konaweha, Toari-Lasusua, Poleang-Roraya, Pulau Muna dan Pulau Buton yang selama
ini mengairi sawah seluas 121.222 ha.Dari total jaringan irigasi di Sultra seluas 151.970 ha,
yang saat ini mengalami kerusakan seluas 64.486 ha (Dinas Pertanian dan Peternakan, 2014).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


356 | Teknologi Pertanian
Apabila jaringan yang rusak tersebut dapat diperbaiki maka dapat meningkatkan luas
tanaman dari luasan yang selama ini sudah ditanami. Kabupaten Konawe Utara merupakan
salah satu wilayah pemekaran dari Kabupaten Konawe yang terbentuk tahun 2008. Luas
wilayah Kabupaten Konawe Utara yaitu 487.746 ha. Luas sawah meliputi 1.829 ha yang
terdiri dari sawah irigasi sederhana 634 ha dan Irigasi tadah hujan 1.195 ha. Produktivitas
yang dicapai selama ini yaitu 3 ton per ha GKG. Produktivitas tersebut masih tergolong
rendah bila dibandingkan dengan kabupaten penghasil padi lainnya di Sulawesi Tenggara
Jumlah penduduk Konawe Utara yaitu 45.760 jiwa yang sebagian besar bermata pencaharian
di sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Varietas padi yang digunakan oleh
petani sangat bervariasi, terdiri dari varietas unggul baru Ciliwung, Konawe, Cisantana,
Ciherang, Mekongga sampai varietas tanpa nama. Pada tahun 2014 hasil penelitian untuk
demonstrasi VUB Inpari 15 di Kabupaten Konawe Utara dengan produktivitas 4,70 t/GKG
dengan produktivitas rata-rata 3,77 t/ha. (Suharno, dkk, 2014).
Permasalahan usahatani tanaman pangan seperti padi sawah adalah penyediaan
benih yang berkualitas dengan harga tidak terjangkau, pemupukan belum seimbang karena
petani pada umumnya hanya menggunakan pupuk urea, adanya serangan hama dan
penyakit populasi tanaman yang tidak optimal.
Keadaan ini merefleksikan pentingnya penerapan dan pengembangan teknologi
pertanian partisipatif spesifik lokasi dalam mendukung pembangunan pertanian daerah dan
meningkatkan daya saing komoditas pertanian. Pengembangan jenis teknologi spesifik
bukan saja meningkatkan efektifitas pemanfaatan sumberdaya dan daya saing komoditas,
tetapi justru diharapkan dapat menjamin keberlanjutan usahatani karena telah
dipertimbangkan aspek relevansi teknologi dari segi kebutuhan dan keragaman komunitas
lokal. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui respon petani terhadap teknologi usahatani
padi sawah dalam kaitan dengan dukungannya terhadap swasembada pangan

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tinobu Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe
Utara pada bulan Maret-Agustus 2016 melibatkan 20 orang petani padi sawah. Komponen
Teknologi: penyebaran inovasi teknologi padi sawah di Kabuapetn Konawe Utara,
memperkenalkan keunggulan teknologi padi sawah yang diintroduksikan, dan memberikan
pembelajaran kepada petani cara penerapan teknologi padi sawah spesifik lokasi

Pengumpulan dan Analisis Data

Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dan wawancara langsung dilapangan.
Data primer tersebut antara lain:
 Data karakteristik petani responden (umur, Pendidikan, Luas Lahan, Pengalaman UT,
Luas kepemilikan lahan, dan status penguasaan lahan)
 Data penyebaran media diseminasi meliputi; jenis, jumlah dan penerima media ini
dilakukan melalui sosialisasi, pertemuan, pelatihan, dan Temu Lapang
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 357
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
 Respon petani terhadap teknologi yang diintroduksikan Adapun cara menggali Aspek
Perilaku petani dengan cara menyusun pertanyaan yang berkaitan dengan prioritas
masalah yang akan dibuat materi penyuluhan yang meliputi aspek Pengetahuan, Sikap
dan Keterampilan. Dari Hasil Wawancara/penggalian Instrument kemudian
direkapitulasi dengan cara menghitung Persentase Jawaban yang benar. Setelah itu kita
beri kriteria Tinggi, Sedang dan Rendah.

Tabel 1. Rumusan Tingkat Perilaku (Tinggi, Sedang dan Rendah)


No. Pengetahuan dan Sikap Kategori
1. Lebih Besar 60% Tinggi
2. 31% s/d 60% Sedang
3. 0% s/d 30% Rendah
Keterampilan
1. Lebih Besar 40% Tinggi
2. 21% s/d 40% Sedang
3. 0% s/d 20% Rendah
Sumber: PPMKP Ciawi 2013.

Pengumpulan data sekunder diperoleh pada beberapa instansi seperti Dinas


Pertanian, BP4K dan BP3K serta sumber informasi lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah

Secara administratif Kecamatan Lasolo berbatasan dengan Laut Banda di sebelah


Timur, Kecamatan Meluhu Kabupaten Konawe di sebelah Barat, Kecamatan Molawe dan
Asera di sebelah Utara, dan Kecamatan Lembo di bagian Selatan.
Wilayah Kabupaten Konawe Utara dibagi dalam 10 (sepuluh) kecamatan. Dari 10
kecamatan tersebut, Kabupaten Konawe Utara terbagi dengan 144 desa/kelurahan yang
terdiri dari 136 desa, 8 kelurahan dan 2 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT).

Tabel 2. Nama dan Luas Wilayah Per-Kecamatan di Kabupaten Konawe Utara


Banyaknya
Kecamatan Ibukota Luas Wilayah (Km2) Jumlah
Desa Kelurahan UPT
Sawa Sawa 93.885 9 1 0 10
Motui Bende 24.265 12 0 0 12
Lembo Lembo 78.12 10 1 0 11
Lasolo Tinobu 262.5 25 1 0 26
Molawe Molawe 365.06 8 1 0 9
Asera Asera 714.77 15 1 1 17
Andowia Andowia 892.25 12 1 0 13
Oheo Oheo 590.7 15 0 1 16
Langgikima Langgikima 476.75 7 1 0 8
Wiwirano Wiwirano 1505.09 23 1 0 24
JUMLAH 5003.39 136 8 2 146

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


358 | Teknologi Pertanian
Luas wilayah Kecamatan Lasolo 26.250 Ha dengan ketinggian 0-200 dpl dengan
topografi wilayahnya datar bergelombang dan berbukit. Jumlah penduduk di Kecamatan
Lasolo 11.543 jiwa, Jumlah KK 2.521, jumlah KK Tani 1.225. Jenis tanah dikecamatan Lasolo
adalah podsolik merah kuning (IPB, 173) dengan pH tanah berkisar 5-7, kemiringan tanah 3-
5%, rata-rata curah hujan harian antara 39,5-475,5 mm, dan suhu rata-rata harian berkisar
antara 27-32oC.

Kegiatan Pertanian di Kecamatan Lasolo meliputi sub sektor Tanaman pangan (1.820
ha), perkebunan (4.443 ha), perikanan (89.5) dan peternakan. Berdasarkan hasil
restrukturisasi kelembagaan petani di lasolo diperoleh data jumlah gapoktan yang ada di
kecamatan Lasolo sebanyak 22 Gapoktan, kelompok tani sebanyak 57 kelompok, jumlah
anggota kelompok tani sebanyak 4.262 jiwa, kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) 27
kelompok, kelompok tani peternak 39 kelompok dan Kelompok Wanita Tani (KWT) 16
kelompok. Sedangkan jumlah ketenagaan penyuluh di kecamatan Lasolo terdapat 2 orang
penyuluh PNS, 1 orang penyuluh THL-TBPP dan 2 orang Penyuluh Swadaya pertanian. (BP3K
Lasolo, 2015)
Berdasarkan pakta integritas kesanggupan pencapaian sasaran tanam padi tahun
2016 Provinsi Sulawesi Tenggara dalam rangka mendukung pelaksanaan upsus swasembada
pangan, target luas tanam MT I (Oktober 2015-Maret 2016) adalah seluas 750 ha, sedangkan
target luas tanam MT II (April-September 2016) adalah seluas 850 ha. Hal ini dikarenakan
data luas sawah eksisting Kota Kendari tahun 2015/2016 adalah 850 ha.
Kemudian perkembangan total realisasi tanam padi MT I yaitu seluas 821 ha
(109,47% dari target) dan total realisasi tanam padi MT II yaitu seluas 806 ha (94,82% dari
target) per tanggal 25 September 2016 (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2016). Luas sawah eksisting saat ini yaitu 106.243 ha dimana target luas tanam MT
I (Oktober-Maret 2016) yaitu seluas 82.105 ha, sedangkan target luas tanam MT II (April-
September 2016) yaitu seluas 126.189 ha. Khusus untuk wilayah Konawe Utara luas sawah
eksisting (3.712 Ha), target kementan 2500 ha, target awal 1.474 ha yang terealisasi tanam
padi sawah MT II (April-September 2016) yaitu 1.874 Ha. Yang tersebar di 10
Kecamatan(Dinas Pertanian dan peternakan Sultra, 2016).

Karakteristik Petani Responden

Identifikasi karakteristik petani responden di Kelurahan Tinobu Kecamatan Lasolo


Kabupaten Konawe Utara dilakukan untuk mengetahui kondisi awal sebelum pelaksanaan
kegiatan seperti: umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga,
luas lahan, status kepemilikan lahan dan jenis pengairan seperti pada tabel 3. Pada tabel 3
dapat dilihat Distribusi karakteristik umur petani berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa 60 % petani berada pada kisaran umur 16-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar responden berada pada kategori umur produktif, umur responden terkait
dengan adanya inovasi baru teknologi padi sawah, seseorang pada umur non produktif akan
cenderung sulit menerima inovasi baru, sebaliknya seseorang dengan umur produktif akan
lebih mudah dan cepat menerima inovasi baru teknologi padi sawah. sesuai dengan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 359
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pendapat Soekartawi (2005) bahwa makin muda petani biasanya mempunyai semangat
untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih
cepat melakukan adopsi inovasi walaupun biasanya mereka masih belum berpengalaman
dalam soal adopsi inovasi tersebut. Umur responden merupakan lama responden hidup
hingga penelitiandilakukan, umur produktif petani akan mempengaruhi proses adopsi suatu
inovasi baru.

Tabel 3. Karakteristik petani responden di Kelurahan Tinobu,


Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara 2016
Uraian Kategori Persentase (%)
0-15 0
Umur (tahun) 16-50 60
>51 40
6 Tahun (SD) 20
9 Tahun (SMP) 10
Pendidikan (tahun)
12 Tahun (SMA) 60
13 Tahun (D1) 10
0-10 40
Pengalaman berusahatani (tahun) 11 – 20 50
>20 10
0–3 30
Jumlah anggota keluarga (orang) 4–5 40
>5 30
<1 90
Luas lahan (ha)
1–2 10
Milik 70
Status kepemilikan lahan (%)
Sewa 30
Sumber: Data Primer, diolah 2016.

Menurut BPS (2015), berdasarkan komposisi penduduk, umur dikelompokkan


menjadi 3 yaitu umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok penduduk belum produktif,
kelompok penduduk umur 15-64 tahun sebagai kelompok produktif dan kelompok umur 65
tahun ke atas sebagai kelompok penduduk yang tidak lagi produktif. Pendidikan petani
responden tergolong dalam kategori sedang karena 60 % berada pada kisaran 12 tahun atau
setingkat pada sekolah Menengah atas (SMA). Hasil ini menunjukkan bahwa petani sudah
memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat memahami permasalahan dihadapi dalam
usahatani padi sawah dan kurang tepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Saridewi (2010), tingkat pendidikan seseorang dapat mengubah pola pikir,
daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan
akan semakin rasional. Jumlah anggota keluarga Petani responden lebih besar pada kisaran
4-5 orang yaitu 40%. Sehingga dalam melakukan Usahatani padi sawahnya di lahannnya
tidak terlalu sulit untuk mendapatkan tenaga kerja yang dapat membantu di lahannya.
Sedangkan Luas lahan sawah petani responden masih tergolong sempit yaitu <1 ha sebesar
90 %.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


360 | Teknologi Pertanian
Sehingga produksi yang diperoleh juga sedikit. Luas lahan usahatani merupakan
keseluruhan luas lahan yang diusahakan petani responden baik milik sendiri, menyewa,
maupun menyakap. Luas lahan petani berdasarkan hasil penelitian berada pada kisaran luas
lahan 0,5-2 Ha tergolong luas tanah petani sempit. Menurut Hernanto (1993) menyebutkan,
luas lahan usahatani menentukan pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah
tangga petani. Luas Penguasaan lahan akan berpengaruh terhadap adopsi inovasi, karena
semakin luas lahan usahatani maka akan semakin tinggi hasil produksi sehingga turut
meningkatkan pendapatan petani.

Penyebaran Media Diseminasi

Penyebaran materi diseminasi dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Penyebaran Media Diseminasi Di Lokasi Kegiatan


Jumlah Peringkat
No. Jenis Media Judul Penerima
(eks) Materi *)
1. Folder Dinas Pertanian Konut, BP4K Konut,
Teknik Tanam Padi dengan
30 BP3K Konut, Penyuluh Kec, dan 5
Tapin Sistem Jajar Legowo
Petani
2. Bahan tayang
Teknologi Persemaian padi BP3K Konut, Penyuluh Kec, dan
(karton dan 20 2
sawah system Jarwo Petani
spidol)
3. Bahan tayang
(karton dan Teknologi Pemupukan BP3K Konut, Penyuluh Kec, dan
20 7
spidol) Alat berdasarkan BWD Petani
peraga BWD
4. Poster Dinas Pertanian Konut, BP4K Konut,
Kalender 2016 “ Info
30 BP3K Konut, Penyuluh Kec, dan 8
Mengenai Katam Terpadu
Petani
5. Selebaran dan
Alat Peraga Cara Penggunaan PUTS 20 Penyuluh dan Petani 6
(PUTS)
6. Selebaran dan
Alat Peraga Cara Mengidentifikasi Hama 20 Penyuluh dan Petani 4
(Swip Net)
7. Selebaran dan
Alat Peraga Cara Pengendalian Gulma 20 Penyuluh dan Petani 1
(Landak)
8. Folder Rekomendasi Varietas, Waktu
dan Cara Tanam Serta
30 Petani dan Penyuluh 3
Pemupukan Padi Sawah di
Sulawesi Tenggara
9. Folder Zonasi Varietas Unggul Baru
30 Petani dan Penyuluh 9
Padi Sawah di Sultra
10. Buku saku Deskripsi varietas Unggul Padi, Dinas Pertanian Konut, BP4K Konut,
Jagung dan Kedelai adaptif di 20 BP3K Konut, Penyuluh Kec, dan
Sultra Petani
Sumber: Data Primer, diolah 2016

Catatan peringkat materi yang diminati petani *): 1= paling diminati, 2= penting pada urutan ke-2, 3= penting pada urutan ke-
3, 4= penting pada urutan ke-4, 5= penting pada urutan ke-5, 6= penting pada
urutan ke-6, 7= penting pada urutan ke-7, 8= penting pada urutan ke-8, 9=
penting pada urutan ke-9.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 361
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Penyebaran media diseminasi media cetak dan atau elektronik ke Dinas Pertanian
Kab/Kota, BP4K, BP3K, penyuluh, petani kooperator dan non kooperator. Penyebaran media
diseminasi berupa folder, selebaran, poster dan print out power point bahan tayangan yang
ditayangkan melalui LCD dan karton + Spidol kepada Dinas Pertanian Kab/Kota, BP4K, BP3K,
penyuluh, petani kooperator dan non kooperator. Pada tabel 3 diatas terlihat bahwa telah
disebarkan media diseminasi dengan sembilan judul atau materi diseminasi, penyebaran
media diseminasi dilakukan pada saat melakukan Sosialisasi kegiatan, pelatihan dan temu
lapang dari beberapa judul tersebut penerima materi (petani) sangat senang dan
bermanfaat dengan adanya informasi baru dalam mengembangkan usahatani padi sawah
khususnya petani yang ada di lokasi kegiatan.
Diseminasi merupakan tindak inovasi yang disusun dan disebarkan berdasarkan
sebuah perencanaan yang matang dengan pandangan jauh ke depan baik melalui diskusi
atau forum lainnnya yang sengaja diprogramkan, sehingga terdapat kesepakatan untuk
melaksanakan inovasi, Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan,
diarahkan, dan dikelola. Hal ini berbeda dengan difusi yang merupakan alur komunikasi
spontan.
Sehingga terjadi saling tukar informasi dan akhirnya terjadi kesamaan pendapat
antara tentang inovasi tersebut. Perubahan dan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang cepat dan dinamika sosial dan politik seakan mempengaruhi pilihan strategi
komunikasi dan diseminasi informasi publik. Hal ini menjadi tantangan sekaligus catatan bagi
pejabat publik dan humas pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dan
perubahan tersebut.
Secara umum pola komunikasi di masa mendatang relatih tidak berubah. Komunikasi
linier, sebagai basis, tetap digunakan. Namun, proses atau pendekatan komunikasi
transaksional (yang bersifat diskusi interaktif, kooperatif, egaliter, resiprokal) akan makin
berkembang dan menjadi kebutuhan. (Mediakom Batola,2013) (Buletin on line mediakom
batola, 2013).

Pelatihan

Selama kegiatan berlangsung dilaksanakan pelatihan untuk petani dan penyuluh di


wilayah tersebut. Materi pelatihan akan disesuaikan dengan kebutuhan petani dan penyuluh
setempat. Materi pembelajaran dilakukan pada pertemuan sosialisasi dan pelatihan yang
diharapkan memberi pemahaman kepada petani. Materi pembelajaran tersebut yaitu
rekomendasi teknologi padi sawah dan pengenalan VUB Inpari 15 pariyangan dan Inpari 30
Ciherang Sub 1. Materi rekomendasi teknologi padi sawah meliputi sistem tanam jajar
legowo, jajar legowo 2:1, pemupukan spesifik lokasi, pengendalian OPT ramah lingkungan,
panen dan penanganan pasca panen. Selanjutnya, materi pembelajaran lainnya antara lain:
sistem tanam jajar legowo, pemupukan berimbang berdasarkan PUTS dan BWD, serta
pengendalian OPT (penggunaan deapers dan perangkap tikus). Selain itu, dilakukan pula
praktek penggunaan perangkat uji tanah sawah (PUTS) menggunakan sampel tanah yang
diambil dari lokasi kegiatan menjelang panen. Hasil sampel tanah menunjukkan status hara
N = tinggi, P = rendah dan K = tinggi, dan pH tanah 5,5-6. Petani dan penyuluh yang

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


362 | Teknologi Pertanian
mengikuti pelatihan sangat antusias dan mengharapkan BPTP selalu memberikan pelatihan
seperti ini untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Peserta pelatihan yang hadir terdiri
dari petani kooperator/non kooperator, ketua kelompok tani, ketua gapoktan dan penyuluh.
Keragaan Hasil VUB Padi Sawah di Konawe Utara Data keragaan hasil Varietas Unggul Baru
(VUB) padi sawah di Konawe Utara dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 5. Keragaan hasil VUB padi sawah di Konawe Utara 2016


No. Varietas Jumlah benih (Kg) Produksi(t/ha)
1. Inpari 15 parahyangan 25 6,30
2. Inpari 30 Ciherang Sub 1 25 7,30
3. Mekongga * 40 4,0
4. Inpari 6 * 40 5,2
5. 33 super (konawe) * 40 5,5
Sumber: Data Primer, diolah 2016
Ket: * Varietas eksisting

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa produksi yang dicapai untuk Inpari 15
parahyangan sebesar 6,30 t/ha dan varietas Inpari 30 Ciherang Sub 1 sebesar 7,30 t/ha
meningkat dibanding produksi yang varietas eksisting ini dikarenakan adanya introduksi
teknologi yang diterapkan petani dalam usahatani padi sawah antara lain penggunaan
jumlah benih 25 kg/ha juga melakukan tanam pindah dengan umur bibit muda yaitu 17 HSS
dengan system jajar legowo 2:1, pemupukan berimbang, serta pengendalian hama penyakit
secara terpadu. Ada 6 Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi padi antara
lain : 1) Tanam bibit muda (17-20 HSS) Bibit (Hari setelah semai). 2) melakukan sistem tanam
jajar legowo 2:1, 3)kedalaman tanam yang tepat 4) Satu lubang 1-3 tanaman, 5). Pengairan
berselang serta melakukan pemupukan berimbang. (Debby’s. 2015).

Respon Petani terhadap Introduksi Teknologi padi sawah

Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian akan


mempengaruhi sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan (keterampilan). Dengan
adanya wawasan petani dengan baik tentang suatu hal, akan mendorong adanya perubahan
perilaku. Respon petani terhadap teknologi padi sawah pada Kegiatan di Kecamatan Lasolo
dapat dilihat pada Tebel 7.

Tabel 7. Respon petani terhadap teknologi Padi Sawah di Kabupaten Konsel


Respon petani (%)
Jumlah
No. Kegiatan Pendampingan Pengetahuan Keterampilan
peserta Sikap (menerima)
Mengetahui) (Menerapkan)
1. Penggunaan VUB (Inpari 15 dan 30) 20 50 50 50
2. Pengolahan lahan sempurna 20 100 50 40
3. Penggunaan benih 25 kg 20 80 50 35
4. Persemaian dengan umur bibit muda 20 80 50 40
5. Penanaman dengan Tapin legowo 2 :1 20 80 50 40
6. Pemupukan berdasarkan PUTS 20 75 40 35
7. Pengendalian Hama dan penyakit 20 70 50 40
8. Panen tepat waktu 20 80 50 40
Rataan 76,87 48,75 40,00

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 363
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Sumber: Data Primer, diolah 2016.

Dari tabel diatas terlihat bahwa respon petani terhadap Introduksi teknologi tertnggi
pada komponen teknologi pengolahan lahan sempurna, Penggunaan benih, Persemaian,
penanaman dengan Tapin legowow 2:1 serta panen tepat waktu. Sedangkan komponen
teknologi yang kurang di respon oleh petani adalah Penggunaan VUB, pemupukan
berdasarkan PUTS serta pengendalian hama dan penyakit. Penggunaan VUB Inpari 30
Ciherang Sub 1 dan Inpari 15 Parahyangan merupakan varietas yang pertama kali
didemonstasikan di daerah tersebut sehingga menarik perhatian petani untuk melihat secara
langsung perkembangan tanamannya yang baik dan keunggulan varietas tersebut serta hasil
panen yang memuaskan.
Selanjutnya pemupukan spesifik lokasi (NPK berdasarkan PUTS dan Urea dengan
deteksi alat BWD) diminati oleh petani karena dapat diketahui kadar N,P,K yang dibutuhkan
tanah serta pH tanah sehingga diketahui dosis pupuk yang tepat dan berimbang untuk lahan
sawahnya dari tabel diatas dapat pula dirumuskan bahwa perilaku petani responden
terhadap Introduksi teknologi pada kegiatan Padi sawah termasuk kategori TSS (tinggi,
sedang, sedang) dengan Pengetahuan mencapai 76,87%, Sikap 48,75% dan Keterampilan
40% hal ini menunjukkan bahwa petani sangat mersepon adanya inovasi baru teknologi padi
sawah dan untuk lebih mengoptimalkan lagi perlu pendekatan partisipatif melalui
pertemuan-pertemuan kelompok dan pelatihan-pelatihan tentang teknologi Padi sawah
sehingga dapat meningkatkan produksi.

KESIMPULAN
Petani mengetahui keunggulan teknologi yang diintroduksikan antara lain hasil
produktivitas VUB Inpari 15 parahyangan adalah 6,3 t/ha dan Inpari 30 Ciherang Sub 1
adalah 7,3 t/ha, serta petani mengetahui cara penerapan teknologi padi sawah spesifik
lokasi. Respon petani terhadap teknologi yang diintroduksikan termasuk kategori TSS (tinggi,
sedang, sedang) dengan Pengetahuan 76,87%, Sikap 48,75% dan Keterampilan 40,00% Ini
menunjukkan bahwa petani sangat meresepon adanya inovasi baru teknologi padi sawah di
Kabupaten Konawe Utara dan untuk lebih mengoptimalkan lagi perlu pendekatan partisipatif
melalui pertemuan-pertemuan kelompok dan pelatihan-pelatihan tentang teknologi padi
sawah sehingga mampu meningkatkan produksi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2016. Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan 4 Oktober 2016. www.Biogen.
litbang.pertanian.go.id
Azwar, S. (2010). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Balitbangtan. 2015a. Rumusan sementara Hasil Rapat Badan Litbang Pertanian, pada tanggal
8-10 Januari 2015.
BP3K Lasolo, 2015. Program Kerja Balai Penyuluhan Perikanan dan Kehutanan (BP3K)
Kecamatan Lasolo.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


364 | Teknologi Pertanian
BPS Sulawesi Tenggara. 2015. Sulawesi Tenggara dalam Angka 2015. Kendari: Badan Pusat
Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara.
Debby’s, 2015. 6 Upaya peningkatan produksi padi. Sabtu, 22 Agustus 2015. Didownload 4
Oktober 2015<http;//debbyeka.blogspot.co.id/2015/08/6-upaya-peningkatan-
produksi-padi.html
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2014. Upaya Khusus (UPSUS)
Swasembada Padi, Jagung, dan Kedelai. Disampaikan pada acara Koordinasi UPSUS di
BPTP Sulawesi Tenggara.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2015. Upaya Khusus (UPSUS)
Swasembada Padi, Jagung, dan Kedelai. Disampaikan pada acara Koordinasi UPSUS di
BPTP Sulawesi Tenggara, Desember 2016.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sultra, 2016. Laporan perkembangan Tanaman
Pangan provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Tahun 2017.
Hernanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Penerbit swadaya. Jakarta.
Mardikanto, T. 1993, Penyuluhan Pembangunan Pertanian, Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
PPMKP Ciawi 2013. Mengemas Materi dan Media Penyuluhan sesuai Kebutuhan. Badan
Pengembangan SDM Pertanian. PPMKP Ciawi Bogor 2013
Suharno, Sjamsiar dan Taproni 2014. Laporan Akhir Pendampingan SL-PTT Wilayah di luar
sentra produksi padi Padi Sulawesi Tenggara. BPTP Sulawesi Tenggara. Kendari. (Tidak
Dipublikasikan).
Soekartawi, 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya, Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 365
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI CABAI MELALUI DEMONSTRASI
PLOTING DI KONAWE SULAWESI TENGGARA

Assayuthi Ma’suf1, Abdul Azis1, dan Ririen Indrawati A2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Puuwatu, Kendari
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base camp Arfai Gunung, Manokwari

ABSTRAK
Penerapan teknologi cabai di lahan milik petani memiliki tantangan yang berbeda pada masing-
masing wilayah. Meskipun sebelumnya telah dilakukan penyuluhan, tidak semua petani
menerima teknologi yang dianjurkan. Salah satu metode penyuluhan pertanian yang dapat
mempercepat penyebarluasan inovasi teknologi baru adalah demonstrasi ploting (demplot).
Implementasi demplot diharapkan dapat merubah pengetahuan, sikap, dan perilaku petani
serta keluarganya. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui persepsi petani terhadap
teknologi cabai di Kabupaten Konawe. Metode pengkajian menggunakan pendekatan ‘with and
without’ dan analisis persepsi. Waktu pengkajian dilakukan pada bulan Maret-Agustus 2017.
Diseminasi teknologi dilakukan dengan pendekatan partisipatif kepada kelompok tani dalam
pelaksanaan demplot cabai. Data yang dikumpulkan yaitu paket teknologi cabai, dan tingkat
persepsi petani terhadap teknologi cabai dari Balitbangtan. Penilaian tingkat persepsi
menggunakan interval kelas dan item pertanyaan menggunakan pilihan ganda menggunakan
skala likert. Paket teknologi cabai yang diintroduksikan adalah penggunaan VUB Balitbangtan
‘Lingga dan Kencana’, pengolahan tanah secara sempurna, penyiapan benih dan pembibitan,
penggunaan MPHP, pemupukan sesuai rekomendasi, penggunaan ameliorasi, pengendalian
hama/penyakit secara terpadu, pemeliharaan tanaman, dan panen tepat waktu. Hasil
pengkajian menunjukkan bahwa nilai interpretasi petani sebesar 76,20 yang artinya petani
memberikan persepsi yang positif terhadap teknologi cabai yang diintroduksikan.
Kata kunci: Persepsi, teknologi cabai, demplot

PENDAHULUAN
Dalam konteks usahatani, persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi pertanian
erat kaitannya dengan penyebarluasan dan penerapan teknologi yang pada akhirnya terkait
dengan pencapaian produksi. Pemahaman tentang persepsi akan bermanfaat dalam
memberikan gambaran riel tentang kadar perhatian petani terhadap inovasi teknologi
pertanian. Informasi itu penting untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengambilan
keputusan dalam pembinaan petani ke depan.
Kita akan mengetahui dari mana pembinaan harus mulai, seberapa besar kedalaman
materi yang bisa diberikan, dan bagaimanakah pendekatannya yang harus dilakukan agar
tercapai tujuan yang efektif. Makna positif lainnya akan mendorong peningkatan partisipasi
petani dalam mengadopsi teknologi. Petani akan merasakan bahwa materi yang dibawakan
adalah solusi bagi persoalan yang mereka hadapi.
Cabai termasuk salah satu komoditas strategis Kementerian Pertanian yang turut
memberikan sumbangan yang berarti terhadap perekonomian nasional yakni meningkatkan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


366 | Teknologi Pertanian
pendapatan petani, sebagai bahan baku industri, memiliki peluang ekspor, dan membuka
kesempatan kerja. Di sisi lain, cabai juga memberikan pengaruh terhadap kenaikan inflasi
walau cabai bukan makanan pokok bagi bangsa Indonesia.
Kabupaten Konawe memiliki luas panen cabai besar seluas 108 ha dengan produksi
4.921 ton, dan luas panen cabai rawit seluas 151 ha dengan produksi 5.008 ton. Rata-rata
hasil panen cabai besar per hektar adalah 4,56 ton/ha dan rata-rata hasil panen cabai rawit
per hektar adalah 3,32 ton/ha (BPS Konawe, 2015).
Dalam rangka peningkatan produksi cabai dan pengoptimalan penerapan teknologi
cabai tersebut, maka Badan Litbang Pertanian senantiasa melakukan pendampingan
teknologi diantaranya melakukan demplot inovasi teknologi cabai spesifik lokasi. Diharapkan
melalui kegiatan demplot inovasi teknologi ini dapat merubah pengetahuan, sikap, dan
perilaku petani serta keluarganya sehingga tercapai peningkatkan produktivitas dan
swasembada pangan yang dicita-citakan.
BPTP Sulawesi tenggara telah mengintroduksikan VUB Balitbangtan melalui demplot
PKHA Cabai di Kabupaten Konawe antara lain varietas Kencana, Ciko, Lingga, Tanjung 2,
Prima Agrihorti dan Rabani Agrihorti. Komponen teknologi yang telah diintroduksikan adalah
persemaian benih dan pembibitan, jarak tanam 50x60 cm, penggunaan pupuk
organik/pupuk kandang dan pupuk anorganik, pengapuran dengan dolomit untuk
meningkatkan pH tanah, pengendalian hama/penyakit dengan sistem PHT dan ramah
lingkungan, lebih terfokus kepada penggunaan biopestisida/biofertilizer dari agensia hayati
ketimbang pestisida sintetik dan penggunaan MPHP, perbaikan cara panen dan pasca panen
(BPTP Sultra, 2016).
Inovasi teknologi telah banyak dihasilkan dan dikembangkan oleh lembaga penelitian
dan pengembangan termasuk perguruan tinggi, namun pengembangannya ke target area
yang lebih luas (hilirisasi) perlu upaya khusus. Proses penyebaran teknologi dilakukan
melalui demonstrasi plot atau area percontohan, penyuluhan, pelatihan, dan inkubasi bisnis,
kepada petani maupun pemangku kepentingan di daerah sehingga inovasi teknologi dapat
dengan mudah diadopsi (Hartati, dkk, 2011).
Namun, banyak faktor yang menjadi pertimbangan petani dalam membentuk
persepsi karena sebelum mengadopsi inovasi teknologi, petani akan lebih mudah
menerapkan jika telah melihat langsung keunggulan dari inovasi itu sendiri. Hendayana
(2014) menyatakan bahwa persepsi petani terhadap informasi teknologi itu bisa positif,
negatif, atau bahkan netral.
Persepsi petani yang positif akan mendorong adopsi, sebaliknya jika yang terbentuk
adalah persepsi negatif, maka petani akan menolak teknologi yang ditawarkan kepadanya.
Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui persepsi petani terhadap teknologi cabai spesifik
lokasi melalui demplot di Kabupaten Konawe. Keluaran dari pengkajian ini adalah
diketahuinya persepsi petani akan komponen teknologi cabai spesifik lokasi melalui demplot
di Kabupaten Konawe.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 367
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan demplot mencakup: ATK dan komputer
suplies, papan nama kegiatan, mulsa plastik hitam perak, benih VUB cabai, pupuk, pestisida,
ajir dan bahan pendukung lainnya. Sedangkan alat yang digunakan, yaitu: gembor/selang,
pisau/gunting, handsprayer, cangkul/sekop/garpu, tali rapia dan alat pendukung lainnya.

Waktu dan Lokasi Pengkajian

Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Maret-Agustus 2017 yang


dilaksanakan di Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe. Lokasi demplot seluas 25 are.
Lokasi demplot ini strategis, mudah dikunjungi dan dilihat oleh petani di sekitarnya. Petani
pelaksana demplot tergabung dalam kelompok tani Tirto Agung, berdomisili di sekitar
pelaksanaan demplot, dan menjadi mitra penyuluh dalam penyebaran informasi hasil
demplot cabai.

Pendekatan Pengkajian

Kegiatan demplot teknologi cabai menggunakan pendekatan secara partisipatif


kepada kelompok tani. Melalui pendekatan partisipatif tersebut dapat dipahami apa
masalah yang sebenarnya dihadapi petani. Dengan demikian ada umpan balik teknologi yang
benar-benar dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selanjutnya teknologi
tersebut diterapkan di dalam demplot sebagai media pembelajaran langsung oleh petani
yang dilakukan di lahan petani. Bersamaan dengan pelaksanaan demplot, dilakukan pula
sosialisasi dan pelatihan tentang teknis budidaya cabai mengenai penggunaan VUB
Balitbangtan Lingga dan Kencana, pengolahan tanah secara sempurna, penyiapan benih dan
pembibitan, penggunaan MPHP, pemupukan sesuai rekomendasi, Ameliorasi, pengendalian
hama/penyakit secara terpadu, pemeliharaan tanaman, dan panen tepat waktu.

Rancangan dan Data Pengkajian

Penilaian tingkat persepsi menggunakan item pertanyaan tipe pilihan berganda


(multiple choice) menggunakan skala likert. Adapun cara penggolongan tingkat persepsi
digunakan rumus interval kelas. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dan jumlah
sampel pada penelitian ini sebanyak 30 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data
komponen teknologi demplot dan data tingkat persepsi petani terhadap teknologi cabai
spesifik lokasi.

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu


menggunakan pendekatan with and without dan analisis persepsi. Pendekatan with and
without digunakan untuk menganalisis yang membandingkan teknologi yang diterapkan
dilokasi demplot dengan teknologi yang dilakukan dilokasi non demplot. Untuk analisis
persepsi petani menggunakan penskalaan likert, dengan skala berjenjang 5. Untuk

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


368 | Teknologi Pertanian
pengukuran persepsi, skor 1 menyatakan sangat tidak setuju (STS), skor 2 menyatakan tidak
setuju (TS), skor 3 menyatakan ragu-ragu (R), skor 4 menyatakan setuju (S), dan skor 5
menyatakan sangat setuju (SS). Persamaan yang digunakan untuk mengukur persepsi
menggunakan nilai dengan formula sebagai berikut:
K = n/N x 100% (Hendayana, 2014)
Dimana:
K= nilai konstanta; n= jumlah responden yang menyatakan (orang) dan N= total jumlah
responden
Pengukuran persepsi pada pengkajian ini menggunakan pendekatan tertimbang.
Pendekatan tertimbang pada analisis persepsi dilakukan dengan cara menghitung rasio atau
perbandingan antara jumlah individu yang memberikan pernyataan tertentu terhadap
jumlah keseluruhan responden. Pernyataan tertentu itu, menunjukkan persepsi individu
terhadap suatu obyek atau fenomena yang dapat dibedakan ke dalam beberapa klasifikasi
pernyataan.
Penilaian interpretasi responden terhadap inovasi teknologi cabai Balitbangtan
tersebut adalah hasil nilai yang dihasilkan dengan menggunakan rumus Index %.
Rumus Index % = Total Skor / Y x 100
Dimana: Total skor = jumlah skor per item pernyataan Y= skor tertinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berbagai inovasi teknologi budidaya cabai telah dikembangkan dan disebarluaskan
kepada para petani. Namun, hal tersebut sering menghadapi kendala, baik dari sisi daya
serap atau pengetahuan petani maupun faktor lingkungan setempat. Pendekatan secara
langsung dengan membuat suatu demplot dilakukan agar para petani lebih memahami dan
terjadi percepatan adopsi inovasi teknologi dalam rangka peningkatan produksi cabai.

Paket Teknologi Cabai Balitbangtan

Paket teknologi cabai yang diintroduksikan dalam pelaksanaan kegiatan demplot


adalah penggunaan VUB Balitbangtan Lingga dan Kencana, pengolahan tanah secara
sempurna, penyiapan benih dan pembibitan, penggunaan MPHP, pemupukan sesuai
rekomendasi, Ameliorasi, pengendalian hama/penyakit secara terpadu, pemeliharaan
tanaman, dan panen tepat waktu. Perbandingan paket teknologi antara petani kooperator
dan non kooperator dapat dilihat pada tabel 1.
Komponen teknologi yang diintroduksikan, terdiri dari :
 VUB Balitbangtan yaitu Varietas Lingga dan Kencana berasal dari benih sumber Balitsa.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani cabai merah adalah
ketersediaan benih bermutu tinggi. Untuk mendapatkan benih tersebut, selain
diperlukan benih sumber dengan mutu genetik tinggi, perlu diperhatikan juga cara

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 369
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
budidaya tanaman yang optimal, pemeliharaan, panen, pasca panen, dan penyimpanan
benih yang baik (Anonim, 2011).
 Pengolahan tanah secara sempurna bertujuan untuk memperbaiki drainase dan aerasi
tanah, menggemburkan tanah, meratakan permukaan tanah dan mengendalikan gulma
 Penyiapan benih dan pembibitan dilakukan persemaian benih dan dilanjutkan dengan
pembibitan sampai tanaman siap dipindahkan ke lahan
 Penggunaan mulsa plastik hitam perak (MPHP) dengan pembuatan bedengan selebar
110-120 cm dan tinggi 30-40 cm
 Pemupukan sesuai rekomendasi hasil analisis tanah sehingga diberikan pupuk kandang
15 t/ha, SP36 300 kg/ha, dan NPK 300 kg/ha
 Ameliorasi sesuai kondisi pH tanah 4,5 sehingga diberikan kapur pertanian sebanyak 1,5
t/ha
 Pengendalian hama/penyakit secara terpadu
 Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyulaman, pemasangan ajir, pengairan/
penyiraman, perempelan, dan pemupukan susulan
 Panen tepat waktu, panen dilakukan saat buah mencapai tingkat kemasakan 85-90%
dan warna buah merah kehitaman. Varietas Lingga mulai dipanen saat berumur 88-95
HST dan Kencana berumur 95-98 HST. Hasil buah per hektar Varietas Lingga berkisar
13,4-25,5 ton dan Kencana berkisar 12,1-22,9 ton.

Tabel 1. Paket teknologi cabai pada petani kooperator dan petani non koopeartor di
Kabupaten Konawe
Teknologi Petani Kooperator Petani Non Kooperator
Varietas yang
Lingga, Kencana Pilar, Lado
digunakan
Pengolahan lahan menggunakan hand traktor
Pengolahan lahan menggunakan hand traktor
(dikering-anginkan ±14 hari), pembuatan bedengan
(dikering-anginkan 7 hari), pembuatan
Persiapan selebar 110-120 cm dan tinggi 30-40 cm, pemberian
bedengan selebar 50-60 cm dan tinggi 15-20
Lahan kapur pertanian, dan pembuatan parit keliling, setelah
cm, pemberian kapur pertanian, dan tidak
pemberian pupuk kandang, kapur pertanian dan SP36,
dilakukan pembuatan parit keliling
lahan dibiarkan ± 14 hari
Benih disemai dibedengan, setelah semaian berumur Benih disemai dibedengan, setelah semaian
Penyiapan
15 hari, bibit semai dipindahkan satu persatu dalam berumur 30 hari, bibit semai dipindahkan ke
benih
bumbung (polybag) bedengan
Bibit ditanam ketika telah berdaun 2-4 helai. Sehari Bibit ditanam ketika telah berdaun 5-7 helai.
sebelum tanam, bedengan dibuatkan lubang tanam Sehari sebelum tanam, bedengan dibuatkan
Penanaman
pada mulsa plastik (MPHP) dengan jarak tanam 60 x 60 lubang tanam pada mulsa plastik (MPHP)
cm dengan jarak tanam 40 x 50 cm
Pemupukan dasar dengan pupuk kandang 15 t/ha dan SP-36: 16 zak/ha, KCl: 8 zak/ha, NPK: 8
Pemupukan SP36 300 kg/ha dan pemupukan susulan dengan pupuk zak/ha, Pupuk kandang (saat olah tanah) tidak
NPK 300 kg/ha. melakukan
Kapur pertanian 1,5 kg/ha dan ada pula yang tidak Kapur pertanian 100 kg/ha dan ada pula yang
Amelioran
menggunakan tidak menggunakan
Pengendalian Pendekatan PHT dengan pengendalian hayati (biologi), Pengendalian hanya dengan penyemprotan
Hama/ varietas yang tahan (resisten), fisik dan mekanik, dan pestisida

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


370 | Teknologi Pertanian
Penyakit cara kimiawi.
Penyulaman, pemasangan ajir, pengairan/
Pemeliharaan Penyulaman, pemasangan ajir, pengairan/ penyiraman,
penyiraman, perempelan, pemupukan
Tanaman perempelan, pemupukan susulan
susulan
Panen Panen tepat waktu Panen tepat waktu
Sumber: Data Primer, 2017

Persepsi Petani Terhadap Teknologi Cabai Spesifik Lokasi

Paket inovasi teknologi cabai ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan petani dalam usahatani cabai. Berkaitan dengan hal tersebut diharapkan pula,
petani yang melihat demplot cabai ini mempunyai persepsi yang positif terhadap inovasi
teknologi cabai yang didemplotkan. Pada tabel 2, terlihat secara terperinci persepsi petani
terhadap komponen teknologi cabai Balitbangtan.

Tabel 2. Pernyataan yang membentuk persepsi petani terhadap teknologi cabai di


Kabupaten Konawe
Persepsi (%)
Pernyataan
SS S R KS STS Total
Media tanam yang baik adalah pengolahan tanah yang sempurna 33.33 56.67 10.00 0.00 0.00 100
Persemaian dilanjutkan pembibitan polybag lebih baik dibandingkan
6.67 56.67 16.67 13.33 6.67 100
tanpa pembibitan
Performens VUB Lingga dan Kencana cukup baik dibandingkan
6.67 50.00 23.33 10.00 10.00 100
varietas hibrida
Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan produktivitas cabai 33.33 66.67 0.00 0.00 0.00 100
Penanaman yang baik saat bibit telah berdaun 2-4 helai dengan
16.67 46.67 16.67 16.67 3.33 100
jarak tanam 60 cm x 60 cm
Pemupukan sesuai rekomendasi hasil analisis lebih baik dari pada
13.33 46.67 20.00 13.33 6.67 100
pemupukan eksisting
Pemberian kapurpertanian sangat penting dilakukan dalam
26.67 66.67 6.67 0.00 0.00 100
pelaksanaan pengolahan lahan
Pengendalian hama/penyakit secara PHT lebih baik dari pada hanya
13.33 46.67 20.00 10.00 10.00 100
dengan penyemprotan pestisida semata
Penggunaan MPHP memudahkan dalam pengendalian gulma 16.67 80.00 3.33 0.00 0.00 100
Pemeliharaan tanaman yang baik dimulai dari penyulaman,
pemasangan ajir, pengairan, perempelan, sampai pemupukan 13.33 70.00 16.67 0.00 0.00 100
susulan
Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan pernyataan persepsi petani terhadap komponen teknologi cabai


Balitbangtan menunjukkan bahwa rata-rata nilai persentase terbesar berada pada kategori
setuju dan sangat setuju. Persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang
(stimulus) melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu
mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar
maupun di dalam diri individu (Kulsum dan Jauhar, 2014). Untuk mengetahui hasil
interpretasi petani, dapat menggunakan rumus indeks %, sebagai berikut.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 371
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 3. Hasil interpretasi petani terhadap teknologi cabai di Kabupaten Konawe
Skor Penilaian Responden
Pernyataan Hasil Interpretasi (%)
SS S R TS STS Total Skor
Pengolahan tanah yang sempurna 50 68 9 0 0 127 84.67
Persemaian dilanjutkan pembibitan 10 68 15 8 2 103 68.67
Penggunaan VUB Lingga dan Kencana 10 60 21 6 3 100 66.67
Pemberian pupuk organik 50 80 0 0 0 130 86.67
Penanaman tepat waktu 25 56 15 10 1 107 71.33
Pemupukan sesuai rekomendasi 20 56 18 8 2 104 69.33
Pengapuran lahan 40 80 6 0 0 126 84.00
Pengendalian hama/penyakit secara PHT 20 56 18 6 3 103 68.67
Penggunaan MPHP 25 96 3 0 0 124 82.67
Pemeliharaan tanaman 20 84 15 0 0 119 79.33
Rata-Rata Skor 27 70.4 12 3.8 1.1 114.3 76.20
Sumber: Data Primer, 2017

Berikut kriteria interpretasi skornya berdasarkan interval:


 Angka 0%-19,99% = Sangat (tidak setuju/buruk/kurang sekali)
 Angka 20%-39,99% = Tidak setuju / Kurang baik)
 Angka 40%-59,99% = Ragu-Ragu / Netral
 Angka 60%-79,99% = (Setuju/Baik/suka)
 Angka 80%-100% = Sangat (setuju/Baik/Suka)
Berdasarkan Tabel 3 diatas dapat disimpulkan bahwa teknologi cabai Balitbangtan
dinilai positif oleh petani, hal ini ditunjukkan dengan hasilinterpretasi yang termasuk
kategori setuju dan sangat setuju. Teknologi pengolahan tanah, pemberian pupuk organik,
pengapuran lahan, penggunaan MPHP termasuk kategori sangat setuju atau sangat disukai
petani, dan teknologi Persemaian dan pembibitan, penggunaan VUB Lingga dan Kencana,
penanaman tepat waktu, dan pengendalian hama/penyakit secara PHT termasuk kategori
setuju. Hasil rata-rata skor petani terhadap teknologi cabai menunjukkan nilai interpretasi
76,20 yang artinya petani memberikan persepsi yang positif atau bisa dikatakan petani
memberi perhatian positif (setuju) terhadap teknologi cabai yang diintroduksikan.
Untuk mencapai tingkat adopsi maka demplot seperti ini seharusnya dapat dilakukan
secara berkesinambungan. Karena Adopsi terhadap inovasi oleh adopter akan terjadi setelah
melalui proses mental. Proses dimulai dari perhatian (attention), kemudian akan tumbuh
minat (interest), muncul hasrat (desire) untuk mencoba inovasi. Proses itu mendorong
adopter untuk mengambil keputusan (decision) dan pada akhirnya sampai pada upaya untuk
mendorong tindakan penerapan teknologi sebagai action yang disebut adopsi (Hendayana,
2014).
Proses adopsi sejak adanya kesadaran tentang sesuatu sampai dengan adopsi terjadi
dalam waktu yang beragam, ada yang singkat tetapi ada juga yang lambat. Kondisi itu
tergantung pada berbagai faktor baik internal maupun eksternal dari diri adopter. Keputusan
petani untuk menerima atau menolak teknologi baru bukan tindakan sekali jadi, melainkan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


372 | Teknologi Pertanian
berulang (iteratif) merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam jangka
waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi, 1981).
Keputusan petani untuk menerima atau menolak teknologi merupakan proses yang
berjalan secara gradual dan bertahap, sehingga terjadi adoption lag atau sederhananya
senjang adopsi yaitu gap antara kesadaran adanya teknologi hingga adopter menerapkannya
secara aktual (Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi, 1981; Kenneth, 2009). Rogers (1983)
mengemukakan kecepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi terkait dengan persepsi petani
terhadap sifat-sifat inovasi inovasi itu sendiri.

KESIMPULAN
Paket teknologi cabai yang diintroduksikan adalah penggunaan VUB Balitbangtan
‘Lingga dan Kencana’, pengolahan tanah secara sempurna, penyiapan benih dan pembibitan,
penggunaan MPHP, pemupukan sesuai rekomendasi, penggunaan ameliorasi, pengendalian
hama/penyakit secara terpadu, pemeliharaan tanaman, dan panen tepat waktu.
Hasil rata-rata skor petani terhadap teknologi cabai menunjukkan nilai interpretasi
76,20 yang artinya petani memberikan persepsi yang positif terhadap teknologi cabai yang
diintroduksikan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Asaad, Dr. Abdul
Wahab, SP, MP, Dr. Ir. Muhammad Alwi Mustaha, M.Si dan Dr. Ir. Julian Wicaksono, M.Si,
dalam mengarahkan penelitian, Bapak Rusdi, Tamrin Kunta, Sjamsiar, dan Bungati dalam
membantu pelaksanaan dilapangan dan pengumpulan data, Bapak Bakri Kaliambang
(Penyuluh Kecamatan Wonggeduku) dan Bapak Sutarno (Kepala Desa Lalousu) sebagai mitra
kerjasama kami dilapangan, dan Kelompok Tani Tirto Agung sebagai petani koopertor, serta
semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2011. Kiat Sukses Berinovasi Cabai. Sinar Tani Edisi 2-8 Pebruari 2011 No.3391
Tahun XLI.
BPS Konawe. 2015. Konawe Dalam Angka. Konawe.
BPTP Sultra. 2016. Laporan Akhir PKAH Cabai Kabupaten Konawe. BPTP Sultra. Kendari.
Hanafi, A., 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya Press.
Hartati, Retno Sri, Agung Prabowo, Sri Hery Susilowati, Edi Husen, Sulusi Prabawati, Ridwan
Rachmat, Asmawati, Eko Sri Mulyani, Moch Takdir Mulyadi, Syafaruddin, Chandra
Indrawanto, Endang Romjali, Priyatna Sassmita, dan Henriyadi. 2011. Pedoman
Umum Pengembangan Taman Sains dan Teknologi Pertanian (TSTP). Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. IAARD Press. Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 373
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Hendayana, R., 2006. Lintasan dan Peta Jalan (Road Map) Diseminasi Teknologi Pertanian
Menuju Masyarakat Tani Progresif. Prosiding Lokakarya Nasional Akselerasi
Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Pembangunan Berawal dari Desa. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Hendayana, Rachmat. 2014. Persepsi Dan Adopsi Teknologi (Teori dan Praktek Pengukuran).
Disajikan Dalam Kegiatan: Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Peneliti Sosial Ekonomi
Dalam Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Bogor, 19 Oktober-1
November 2014.
Kulsum, U., dan Mohammad Jauhar. 2014. Pengantar Psikologi Sosial. Prestasi Pustaka
Publisher.
Kenneth F.G Masuki, 2009. Determinants of Farm-level Adoption of Water Systems
Innovations in Dryland Areas: The Case of Makanya Watershed in Pangani River Basin,
Tanzania.
Roger, E. M. and F. F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural
Approach. The Free Press. New York.
Rogers,E. M., 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition, The Free Press, New York.
Sumarni, Nani dan Agus Muharram, 2005. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Panduan Teknis
PTT Cabai No.2. ISBN: 979-8304-40-3. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


374 | Teknologi Pertanian
ANALISIS BIAYA USAHATANI CABAI MERAH TINGKAT PETANI
DI KABUPATEN KONAWE

Bungati1), Warda1) dan Demas Wamaer2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl.Prof Muh Yamin No.89 Puwatu Kendari
Telp/Fax: (0401) 323180
2)
Balai pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Arfai gunung kompleks Perkantoran Pemda Papua Barat
e-mail: bunga.kdi@gmail.com

ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan finansial dan titik impas harga usahatani cabai
merah. Lokasi kajian di Desa Tetemotaha, Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe dimulai
bulan Pebruari sampai bulan Juni 2016. Pengambilan data dengan metode survey dan
wawancara langsung dengan petani cabai yang tergabung dalam kelompok tani Kateni dengan
jumlah petani 25 orang. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan sekunder.
Hasil kajian menunjukkan bahwa total biaya produksi usahatani cabai merah yang dikeluarkan
oleh patani mulai dari persiapan lahan hingga panen sebesar Rp. 53.315.000,- per hektar per
musim tanam dan biaya yang paling tinggi dikeluarkan oleh petani cabai adalah pada kegiatan
persiapan lahan Rp. 15.420.000,- per hekter per musim tanam. Total menerimaan petani cabai
sebesar Rp. 141.000.000,- dan total produksi buah cabai merah adalah 9.400 kg dengan harga
cabai Rp. 15.000,- per kg. RC ratio 2,64 yang berarti bahwa usahatani cabai layak untuk
diusahakan. BEP Rp.7.723,- yang berarti bahwa petani harus menjual diatas harga tersebut agar
tidak mengalami kerugian.
Kata kunci: Usahatani, Cabai, Penerimaan, Total biaya produksi, kelayakan finansial.

PENDAHULUAN
Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup
berarti bagi sektor pertanian maupun perekomian secara nasional. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), pertambahan jumlah rumahtangga yang
mengandalkan sumber pendapatannya dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja
dan peningkatan pendapatan masyarakat serta meningkatkan perdagangan domestik
maupun perdagangan internasional. Pengembangan subsektor hortikultura memerlukan
dukungan penerapan inovasi untuk meningkatkan daya saing produk, baik untuk pasar
domestik maupun global. Persaingan pasar bebas di tingkat Asean melalui belakunya MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir 2015, merupakan peluang sekaligus ancaman yang
harus diantisipasi dalam pengembangan hortikultura nasional.
Cabai merah (Capsium Annum) termasuk salah satu komoditas hortikultura yang
turut memberikan sumbangan yang berarti terhadap perekonomian nasional yakni
meningkatkan pendapatan petani, sebagai bahan baku industri, memiliki peluang ekspor,
dan membuka kesempatan kerja. Disamping itu cabai juga dapat berpengaruh terhadap
inflasi walaupun cabai bukan makanan pokok di Indonesia, tetapi ada waktu-waktu tertentu
terjadi kegagalan panen atau hari-hari raya tertentu harga cabai sangat mahal.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 375
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Petani cabai yang sudah mandiri telah mampu menganalisis biaya dan penerimaan
sebelum melakukan budidaya cabai. Analisis tersebut dimaksudkan agar dapat memberikan
gambaran produksi dan harga jual yang akan berpengaruh terhadap pendapatan petani itu
sendiri. Komponen analisis usahatani cabai adalah biaya operasional, produksi, penerimaan
modal usaha, hingga perhitungan Break Even Poin/titik impas dan R/C.
Hasil penelitian Desy Cahyaning Utami bahwa biaya produksi cabai mulai dari
persiapan lahan sampai panen sekitar Rp.70.960.000/ha, dan proporsi biaya yang paling
besar adalah biaya persiapan lahan yaitu sekitar Rp. 20.167.500/ha. Hal ini dikarnakan sewa
tanah sekitar Rp. 10.000.000/musim tanam.
Apabila petani memiliki lahan sendiri maka biaya persiapan lahan dapat ditekan. Hasil
penelitian Nurdin, 2011 di Kabupaten Balemo, provinsi Gorontalo mengatakan bahwa secara
finasial usahatani cabai merah menguntungkan karena RC dan BC ratio >1. Hasil penelitian
Muh Taufik, 2011 bahwa produktivitas VUB tanjung 25,70 t/ha, Lembang 14,60 t/ha dan
Tombak 6 t/ha, dengan BC ratio >1 yaitu 2,94, 3,14. Ketiga varietas tersebut sangat baik
secara teknis maupun secara finansial.
Secara teoritis usahatani dikatakan layak, manakala B/C >1, namun secara praktis
teori hal ini tidak sepenuhnya bisa digunakan, terlebih jika input data yang digunakan tidak
dikoreksi dengan “risk premium”, adalah resiko yang harus ditanggung petani karena proses
yang dilalui dalam usahatani itu. Contoh petani membutuhkan pupuk Urea 50 kg dengan
harga Rp. 100.000,-.
Tempat pembelian pupuk dari kios tani dengan menggunakan jasa ojek atau
kendaraan lainnya, maka petani sebenarnya mengeluarkan biaya untuk 1 zak pupuk Urea
lebih dari Rp. 100.000,-. Kelayakan ekonomi usahatani selain dipengaruhi oleh produktivitas
juga sangat ditentukan oleh faktor harga input dan output. Walaupun petani memperoleh
produktivitas yang tinggi tetapi harga jual rendah maka pendapatan usahatani tetap rendah
(Rachmat Hendayana, 2011).
Dalam usahatani cabai merah, analisis biaya dan pendapatan merupakan awal dalam
mengambil sikap untuk mengusahakan usahatani cabai merah. Analisis biaya dilakukan agar
memberikan gambaran produksi dan harga jual yang pada akhirnya sangat menentukan
pendapatan petani dalam berusahatani cabai merah. Harga jual cabai merah yang selalu
flutuatif serta skala usahatani cabai merah yang relatif kecil, sangat menentukan hasil
usahatani serta pendapatan petani. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, mendorong
melakukan analisis biaya usahatani cabai merah besar di kecamatan Wenggeduku,
Kabupaten Konawe.
Kabupaten Konawe adalah merupakan salah satu daerah di Provinsi Sulawesi
Tenggara yang merupakan pemasok produk hortikultura terutama buah dan sayur-sayuran.
Daerah-daerah tersebut adalah Kecamatan Wonggeduku, Uepai, Pondidaha, dan Onembute.
Khusus untuk kecamatan Wonggeduku daerah penghasil cabai besar adalah Tetemotaha,
Puduuria, Lalousu, Dawi-Dawi, Langgonawe dan Karandu. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui kelayakan dan titik impas harga usahatani cabai merah besar di Desa
Tetemotaha Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


376 | Teknologi Pertanian
METODE PENGKAJIAN

Lokasi Pengkajian

Kajian ini dilakukan di Desa Tete Motaha, Kacamatan Wonngeduku, Kabupaten


Konawe pada bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2016. Lokasi ditentukan secara
sengaja dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan salah satu lokasi
pengambangan cabai merah di Kabupaten Konawe. Adapun deskripsi kegiatan usahatani
cabai merah sebagai berikut:
Pola Tanam. Lahan yang digunakan merupakan lahan sawah, tetapi karena lahan
tersebut tidak ada akses pengairan sehingga petani memanfaatkannya untuk lahan
hortikultura yaitu dengan menanam jagung, tomat, kedelai, cabai merah dan komoditas
sanyuran lainnya. Pola tanam pada lahan ini adalah cabai-cabai atau cabai-jagung atau cabai
tomat atau sayuran lainnya.
Benih Cabai. Rata-rata responden menggunakan benih cabai hibrida (lado atau cabai
keriting, pilar dan darmais atau cabai besar) yang diproleh dari toko tani yang terdekat
dengan sistem tanam monokultur. Rata penggunaan benih per hektar sebanyak 20 bungkus
(1 bungkus = 10 gram).
Pesemaian. Media semai berupa tanah yang subur dan ditambahkan dengan pupuk
kandang. Benih cabai direndam dengan air hangat kuku sebelum disemai selama 15 menit.
Persiapan lahan. Luas lahan petani untuk usahatani cabai merah di lokasi kajian rata-
rata 0,25 ha. Lahan pertanaman cabai petani diolah secara sempurna dengan menggunakan
traktor. Pada umunya di desa Tetemotaha mengolahan lahan dengan traktor juga telah
membuat bedengan dan ditutup dengan mulsa plastik hitan perak
Penanaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan pemindahan bibit dari persemaian ke
lahan atau areal pertanaman hingga tanaman berdiri tegak dan tumbuh secara optimal di
lapangan. Penanaman dilakukan pada pagi hari dan sore hari agar tanaman tidak layu akibat
terik matahari. Bibit ditanam di guludan/bedengan pada mulsa yang telah dilubang.
Kemudian dilakukan penyiraman setiap hari.
Pemeliharaan. Penyiraman dilakukan pada saat musim kering dan penggenangan
apabila di perlukan. Minggu pertama tanaman diperikasa, apabila ada yang mati atau
pertumbuhan kurang normal maka segera di sulam dengan bibit yang baru. Pemasangan ajir
dilakukan minggu ke dua setelah tanam agar ajir tidak melukai akar tanaman. Perempelan
dilakukan setelah umur tanaman satu bulan, tunas yang tumbuh di keriak harus di rempel
sampai terbentuk cabang utama yang ditandai dengan munculnya bunga pertama atau ke
dua. Pemupukan dilakukan sekali dalam dua minggu atau delapan kali pemupukan susulan
sampai panen. Pemupukan susulan dilakukan dengan pengocoran pada lubang tanaman.
Penyiangan gulma dilakukan apabila diperlukan saja. Pengendalian hama dan penyakit untuk
cabai adalah hal yang sangat vital. Dalam usahatani cabai pengendalian hama penyakit
adalah tahap yang membutuhkan perhatian dan biaya. Tahap ini sangat menentukan
keberhasilan petani cabai.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 377
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Panen. Panen cabai dilakukan dengan kematangan 80-90%, yang dipanen pada pagi
hari setelah embun kering. Buah yang telah di panen disimpan ditempat yang teduh dengan
menggunakan keranjang panen.

METODE PENGAMBILAN DATA


Data mencakup kualitatif dan kuantitatif bersumber dari data primer dan sekunder.
Data sekunder diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait dengan kajian ini sedangkan
data primer diperoleh dengan metode survey yakni wawancara dengan responden secara
langsung (petani yang tergabung dalam kelompok tani Kateni yang berjumlah 25 orang
petani) dengan bantuan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data primer meliputi
(Santoso, et al 2005 dalam Utami D.C, 2015):
a. Identitas umum petani sampel: nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah
anggota keluarga, luas kepemilikan dan luas garapan.
b. Aspek produksi dan biaya produksi: luas tanam, luas panen, besarnya produksi,
penggunaan sarana produksi (bibit atau benih, pupuk, obat-obatan, mulsa),
penggunaan tenaga kerja (luar dan dalam keluarga), upah pengairan (sumur boor),
pajak tanah dan penyusutan alat-alat pertanian.

Metode Analisa Data

Setiap petani sangat penting mengetahui besarnya biaya yang dikeluar untuk
operasionalisasi usahatani yang di tekuni agar mengetahui apakah usahatani yang
ditekuninya itu mendatangkan keuntungan atau mengalami kerugian. Untuk mengetahui
besarnya biaya, Penerimaan dan pendapatan digunakan rumus menurut (Hermanto, 1993).
a. Pendapatan: A = TR – TC; TR = Y . Hy
Keterangan: A = Pendapatan (Rp); TR= Total Revenue/Total Penerimaan (Rp)
TC = Total Cost /Biaya Total (Rp/Kg); SHy= Harga jual (Rp)
b. BEP (Break Event Price) = (Biaya produksi /produksi)
Penerimaan (TR)
c. RC Ratio= Biaya Total (TC)

Kriteria (Soekartawi, 1994):


R/C > 1 maka usahatani menguntungkan
R/C < 1 maka usahatani tidak menguntungkan
R/C = 1 maka usahatani dikatakan impas

HASIL PEMBAHASAN

Biaya Operasional

Biaya opesional dalam usahatani cabai adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani
dalam proses produksi. Biaya usahatani cabai merah meliputi biaya pengadaan sarana
produksi, upah tenaga kerja di luar keluarga, biaya untuk pembayaran pajak dan iuaran
lainnnya serta biaya yang tidak diperhitungkan yaitu biaya dalam keluarga. Biaya-biaya

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


378 | Teknologi Pertanian
tersebut sangat penting diketahui oleh petani sebelum memutuskan untuk mengusahakan
usahatani cabai. Husni et al, 2014 mengatakan bahwa dengan mengetahui biaya dan
penerimaan seorang petani dapat memperkirakan apakah usahatani yang dilakukan untung
atau rugi.
Tabel 1 adalah tahap persiapan lahan pada dasarnya sama pada usahatani cabai
didaerah lain dan merupakan biaya terbanyak dikeluarkan dalam usahatani cabai. Biaya
paling tinggi pada kegiatan persiapan lahan adalah pembelian mulsa plastik hitam perak dan
pebuatan bedengan serta pemasangan mulsa.

Tabel 1. Kegiatan persiapan lahan usahatani cabai merah di Desa Tetemotaha, Kecamatan
Wonggeduku, Kabupaten Konawe Tahun 2016
No Uraian Biaya (Rp)
1 Pengolahan lahan dengan traktor secara sempurna 1.500.000,-
2 Pupuk kandang (kotoran sapi) 4 t (@ Rp 500,- x 3000 kg) 1.500.000,-
3 Biaya penyebar pupuk kandang, 4 x Rp.100.000,- 400.000,-
4 Pupuk dasar SP36 (4 zak x Rp. 100.000,-) 400.000,-
5 Biaya penyebar pupuk dasar (4 orang x 100.000) 400.000,-
6 Pembuatan bedengan dan pemasangan mulsa, 40 x Rp. 100.000,- 3.200.000,-
7 Mulsa plastik 8 gulung (harga @1 gulung Rp. 600.000,-) 4.800.000,-
8 Biaya pemasangan mulsa 12 x Rp.80.000,- 960.000,-
9 Bambu penjepit mulsa 20 x Rp.5.000,- 100.000,-
10 Biaya pembuatan penjepit mulsa 4 x Rp. 80.000,- 320.000,-
11 Pembuatan lubang mulsa 8 x Rp. 80.000,- 640.000,-
12 Kapur dolomite 1000 kg x Rp 1.200,- 1.200.000,-
Total Biaya 15.420.000,-
Sumber: data Primer yang telah diolah

Namun menurut penelitian Desi Cahyaning Utami, 2015 bahwa biaya yang paling
tinggi dikeluarkan petani cabai merah di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri pada kegiatan
persiapan lahan adalah sewa lahan. Biaya sewa lahan untuk petani cabai di Desa Tetemotaha
dapat ditekan karena pada umunya petani memiliki lahan, walaupun kepemilikan hanya
rata-rata 0,25 ha, tetapi untuk usahatani dibidang hotikultura khususnya cabai merah, luas
tersebut cukup untuk diusahakan dengan skala usaha keluarga. Pada kajian ini analisis biaya
dikonversi kedalam 1 ha.

Tabel 2. Pupuk (kimia) susulan usahatani cabai merah di Desa Tetemotaha, Kecamatan
Wonggeduku, Kabupaten Konawe Tahun 2016
No Uraian Biaya (Rp)
1 NPK Mutiara 16-16-16 (400 kg x 11.200) pupuk susulan 4.440.000
2 Biaya Pemupukan susulan (20 orang x 70.000) 1.400.000,-
Jumlah 5.840.000,-
Sumber: data Primer yang telah diolah

Pemupukan susulan dilokasi kajian sebagian besar hanya menggunakan NPK mutiara,
walaupun harga pupuk tersebut cukup tinggi dibanding NPK phonska, namun petani masih
memilih pupuk tersebut. Pemupukan susulan dilakukan dengan cara pengocoran.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 379
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 3. Kegiatan persemaian dan penanaman usahatani cabai merah di Desa Tetemotaha,
Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe Tahun 2016
No Uraian Biaya (Rp)
1 Benih 12 bungkus x Rp 175.000 2.100.000,-
2 Pembuatan persemaian Rp. 80.000 x 4 320.000,-
3 Perawatan bibit di persemaian Rp. 50.000 x 8 400.000,-
Jumlah 2.820.000,-
4 Tenaga tanam perempuan Rp 80.000 x 28 orang 2.240.000,-
5 Tenaga tanam perempuan Rp. 100.000 x 12 orang 1.200.000,-
Jumlah 3.440.000,-
Sumber: data Primer yang telah diolah

Kegiatan persemaian dilakukan bersamaan dengan persiapan lahan. Selain biaya


pembelian benih cabai pada kegiatan persemaian, juga terdapat biaya perawatan
persemaian karena persemaian harus dirawat agar menghasilkan bibit yang sehat dan kuat.

Tabel 4. Biaya perawatan usahatani cabai merah di Desa Tetemotaha, Kecamatan


Wonggeduku, Kabupaten Konawe Tahun 2016
No Uraian Biaya (Rp)
1 Tenaga wiwil I (pemangkasan tunas air) Rp 80.000 x 15 orang 1.200.000,-
2 Tenaga wiwil II (pemangkasan tunas air) Rp 80.000 x 15 orang 1.200.000,-
3 Biaya Pembersihan selokan Rp.80.000 x 12 orang 960.000,-
4 Biaya pembersihan lubang tanam Rp. 80.000 x 18 orang x 2 2.880.000,-
5 Tenaga penyemprotan Rp.70.000 x 35 orang 2.450.000,-
Jumlah 8.690.000,-
Sumber: data Primer yang telah diolah

. Pewiwilan dilakukan dua kali. Kebutuhan dan upah kerja untuk setiap tahap dalam
kegiatan usahatani cabai merah berbeda tergantung jenis pekerjaanya. Untuk pewiwilan,
pembersihan selokan, dan pembersihan lubang tanam dengan upah Rp.80.000,- per hari
orang kerja berbeda dengan penyemprotan hanya Rp. 70.000 per hari orang kerja.

Tabel 5. Pestisida dan alat usahatani cabai merah di Desa Tetemotaha, Kecamatan
Wonggeduku, Kabupaten Konawe Tahun 2016
No Uraian Biaya (Rp)
1 Fungisida Systemic cair (Amistratop) 8 botol, @ 250 ml x Rp. 190.000,- 1.520.000,-
2 Antracol, 8 bungkus x Rp. 45.000,- 360.000,-
3 Insektisida prevathon 8 botol, @ 250 ml x Rp. 150.000,- 1.200.000,-
4 Decis 5 botol x Rp.18.000,- 90.000,-
5 Demolis 7 botol @ 100 cc x Rp 100.000,- 700.000,-
6 Sarung tangan dan masker wajah 125.000,-
7 Gembor 4 buah 300.000,-
8 Ajir Rp. 150,- x 20.000,- 3.000.000,-
9 Tali penghubung ajir 5 kg x Rp. 50.000,- 250.000,-
10 Keranjang panen 10 x Rp. 50.000,- 500.000,-
Total Biaya 8.045.000,-
Sumber: data Primer yang telah diolah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


380 | Teknologi Pertanian
Penggunaan pestisida untuk usahatani cabai merah di lokasi kajian cukup tinggi.
Alasannya apabila tidak melakukan penyemprotan pestisida maka mustahil akan
mendapatkan keuntungan atau bahkan merugi. Penggunaan pestisida terterah pada Tabel 5.

Tabel 6. Biaya Panen dan transport


No Uraian Biaya (Rp)
1 Ongkos panen (petik) Rp.800 x 9400 kg 7.520.000,-
2 Biaya transport ke rumah dan sortasi 30 x Rp. 50.000,- 1.500.000,-
Total Biaya 9.020.000,-

Jumlah keseluruhan biaya produksi cabai mulai dari kegiatan persiapan lahan sampai
panen adalah Rp. 53.315.000/ha/musim tanam. Biaya operasional yang tertinggi dikeluarkan
pada usahatani cabai besar adalah kegiatan persiapan lahan. kegiatan persiapan lahan
terdapat beberapa kegiatan dan yang memilik biaya yang paling tinggi adalah pembelian
mulsa plastic hitam perak menyusul pembuatan bedengan dan pemasangan mulsa.

Produksi dan Penerimaan

Tanaman cabai besar mulai di panen pada umur 60-75 hari setelah tanam dan 80-90%
buah cabai berwarna merah. Harga cabai pada saat kajian adalah Rp. 15.000,- per kg yang
dijual ke pedagang pengumpul desa. Panen cabai dalam satu kali musim tanam cabai bisa
dilakukan petani 10 hingga 13 kali petik. Puncak produksi cabai biasanya pada pemetikan ke
lima dan ke enam. Untuk satu pohon dapat menghasilkan buah cabai sekitar 0,5 kg, dengan
jumlah pohon produktif 18.000 batang (kegagalan 6%).
Menurut Soekartawi (1985) pendapatan bersih dapat diperhitungkan dengan
mengurangi pendapatan kotor dengan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam usahataninya.
Pendapatan bersih akan menggambarkan keuntungan usahatani dan merupakan gambaran
pengembalian tenaga kerja, modal dan manajemen petani. Sedangkan penerimaan
(pendapatan kotor) merupakan nilai produk total usahatani baik yang dijual maupun tidak
dijual. Harga cabai merah yang digunakan dalam kajian ini adalah harga ditingkat petani
pada saat kajian. Dimana proses pembentukan harga pada petani produsen dengan dengan
pedagang pengumpul tidak melalui proses tawar menawar (Prayitno B.A, 2013). Rata-rata
produksi, penerimaan, dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata produksi dan penerimaan dan pendapatan usahatani cabai merah per ha
di Desa Tetemotaha, Kecamatan Wonggeduku, Kabupaten Konawe Tahun 2016
No Uraian Rincian Jumlah
1 Produksi 0,5 kg yang layak di jual, jumlah kematian tidak sehat 6 % 6% x 20.000 1.200 batang
Jumlah pohon produktif 20.000-1.200 18.800 batang
2 Total produksi 0,5 kg x 18.800 9.400 kg
3 Jumlah produksi /ha 9,4 t
Total Penerimaan 9.400 kg x Rp.15.000,- Rp.141.000.000,-
Total Biaya Usahatani/ha Rp.53.315.000,-
Total pendapatan Rp.87.685.000,-

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 381
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pada Tabel 7 menunjukkan rata-rata menerimaan usahatani cabai merah dalah satu
hektar sebesar Rp. 141.000.000,-. Produksi buah cabai merah rata-rata 9.400 kg, sehingga
pendapatan rata-rata pendapatan usahatani cabai merah di Desa Tetemotaha Kecamatan
Wonggeduku, Kabupaten Konawe Rp. 87.685.000,- per hektar per musim.

BEP (Break Event Price)

Metode menetapan harga dengan mempertimbangkan seluruh biaya usahatani


dengan harga tertentu. Usahatani dianggap untung apabila penjualan diatas break even dan
dianggap rugi apabilah berada di bawah titik break even.
Petani cabai perlu memperhitungkan BEP agar dapat memperhitungkan rugi labanya,
sehingga petani dapat mengestimasi jumlah produksi yang harus dicapai agar tidak
mengalami kerugian dalam usahataninya.
BEP = (Biaya produksi /produksi)
= (Rp.53.315.000,- : 9.400 kg)
= Rp.5,672,-
Jadi petani di Desa Tetemotaha harus mampu menjual buah cabainya diatas harga
Rp. 5,672- per kg agar tidak mengalami kerugian.

RC Ratio

RC ratio menujukkan efisiensi usahatani cabai merah yang dihitung berdasarkan


besarnya penerimaan dan biaya yang dikeluarkan petani. Petani dapat membandingkan
penerimaan yang diperoleh dan biaya yang telah di keluarkan apakah menguntungkan atau
merugi (Mosher, 1966).
141.000.000,-
RC Ratio = = 2,64
53.315.000,-

Hasil perhitungan RC ratio sebesar 2,64. Dalam hal ini menyatakan bahwa usahatani
cabai besar di Desa Tetemotaha Kecamatan Wonggeduku Kabupaten Konawe dikatakan
sudah efisien dan layak untuk diusahakan, RC ratio >1. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap
biaya produksi yang dikeluarkan pada usahatani cabai sebesar 1,00 maka akan memperoleh
penerimaan sebesar 2,64. Semakin besar RC ratio berarti maka usahatani tersebut semakin
layak untuk diusakan (Antriyandari, E. 2015).

KESIMPULAN
Biaya produksi usahatani cabai merah yang harus dikeluarkan oleh patani untuk satu
kali musim tanam per hektar mulai dari kegiatan persiapan lahan, pembelian pupuk, biaya
tanam, biaya pestisida dan alat, biaya tenaga kerja, biaya pemeliharaan hingga biaya panen
sebesar Rp. 53.325.000,- dan biaya tertinggi adalah biaya persiapan lahan sebesar Rp.
15.420.000,- per musim tanam.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


382 | Teknologi Pertanian
Penerimaan yang diproleh petani dalam satu kali musim rata-rata Rp. 141.000.000,-
dengan jumlah produksi 9.400 kg dan harga cabai Rp. 15.000,- per kg. RC ratio diperoleh
sebesar 2.64, hal ini menujukkan bahwa usahatani cabai merah menguntungkan dan layak
untuk di usahakan. BEP sebesar Rp.5.723,- dalam artian bahwa petani harus menjual hasil
panen cabainya diatas Rp.5.723,- per kg, agar petani tidak mengalami kerugian.

DAFTAR PUSTAKA
Utami Cahyaning Desy, 2015. Analisis Biaya dan Usahatani Cabai Merah (Capsium Annum L)
Di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri. Buana Sains Vol 15 No1: 91-99,2015.
Hendayana R, 2011. Metode analisis data hasil pengkajian. Balai Besar pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor
Hermanto, F. 1993. Ilmu Usahatani. Swadaya Jakarta.
Soekartawi,A. 1994. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
................... 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Taufik Muh. 2011. Analisis Pendapatan Usahtani dan Pendapatan Pascapanen Cabai Merah.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementrian Pertanian. Volme 30 Nomor 2, 2011.
Nurdin. 2011. Teknologi Perkembangan Agribisnis Cabai di Kabupaten Boalemo Provinsi
Gorontalo. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. Volme 30 Nomor 2, 2011.
Antriyandarti E, 2015. Pengambangan Agribisnis Cabai Merah (Capsicum annum L) di
Kabupaten Magelang. Media Trend Vol.10 No. 1 Maret 2015, hal. 47-56.
Prayitno B.A, Hasyim I.A, Situmorang.S, 2013. Efisiensi Pemasaran Cabai Merah di
Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung. JIIA, Volume 1 No.1,
Januari 2013.
Husni, Abdul Kholik Hidayah, dan Maskan AF, 2014. Analisis Finasial Usahtani Cabai Rawit
(Capsium Frutetescens L) Desa Puwajaya Kecamatan Loa Jana. Jurnal AGRIFOR
Volume XIII Nomor 1, Maret 2014.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 383
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG INOVASI TEKNOLOGI CABAI
DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Assayuthi Ma’suf1, Tamrin Kunta1 dan Galih Hidayat2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Puwatu, Kendari
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base-camp Arfai Gunung, Manokwari, Papua Barat

ABSTRAK
Perubahan perilaku melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan merupakan
salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi pertanian kepada pengguna.
Meningkatnya pengetahuan petani diharapkan dapat membawa sikap positif yang pada
akhirnya dapat memperbaiki keterampilan petani dalam penerapan teknologi yang telah
disebarluaskan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani
terhadap inovasi teknologi cabai sebelum dan sesudah pelatihan pada kegiatan demonstasi
ploting cabai. Pengkajian dilakukan pada bulan Mei 2017 dengan responden adalah 30 petani
cabai di Kabupaten Konawe. Data diambil dari data primer, termasuk karakteristik responden
dan tingkat pengetahuan petani tentang teknologi cabai anjuran Balitbangtan. Data dianalisis
dengan menggunakan interval kelas dan Simple Paired T-Test. Hasil kajian menunjukkan bahwa
peningkatan pengetahuan petani tentang teknologi cabai anjuran Balitbangtan adalah 9,33%.
Pelaksanaan pelatihan pada kegiatan demonstasi ploting cabai di Kabupaten Konawe dapat
disimpulkan berhasil meningkatkan pengertahuan petani.
Kata kunci: Cabai, pengetahuan, pelatihan, petani

PENDAHULUAN
Cabai (Capisicum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai
gizi dan ekonomis penting. Buah cabai dapat dimanfaatkan sebagai sayuran atau bumbu
masak, bahan baku industri makanan dan industri obat-obatan. Buah cabai mengandung
karbohidrat, protein, lemak, kalsium, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Permintaan yang
cukup tinggi, kontiny serta cenderung terus meningkat memberikan dorongan kepada
masyarakat luas terutama petani untuk mengembangkan tanaman cabai (Prasetya,. 2014).
Tanaman cabai merah memiliki potensi dan prospek yang baik untuk diusahakan,
karena tanaman ini relatif mudah dibudidayakan. Menurut Dirjen Hortikultura (2016),
produktivitas cabai nasional pada tahun 2011 sebesar 7,34 ton/ha, 7,93 ton/ha (2012), 8,16
ton/ha (2013), dan 8,35 ton/ha (2014), dan 8,65 ton/ha (2015). Produktivitas cabai merah di
Kabupaten Konawe pada tahun 2015 adalah 4,56 ton/ha dan cabai rawit adalah 3,32 ton/ha
(BPS Konawe, 2015). Angka-angka tersebut masih jauh dari potensi produktivitasnya yang
dapat mencapai 10-30 ton/ha (Piay, et al., 2010).
Masih rendahnya produktivitas cabai merah ini disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain, pemilihan varietas cabe unggul yang tidak tepat, teknologi bercocok tanam yang
masih kurang baik, kesiapan dan ketrampilan petani cabai yang masih kurang, dan
penyediaan sarana produksi yang masih belum tepat. Selain rendahnya produktivitas,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


384 | Teknologi Pertanian
keberhasilan usaha tani komoditas cabai merah sangat dipengaruhi ketepatan waktu tanam
yang mempengaruhi pola produksi.
Peningkatan perilaku melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi pertanian kepada
pengguna. Menurut Angel, et al. (1992) dalam Hidayah (2012), pengetahuan didefinisikan
sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Dalam akselerasi pembangunan pertanian,
pengetahuan petani mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani dapat
mempertinggi kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika
pengetahuan petani tinggi dan petani bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di
bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang
pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas
maupun kualitas (Sudarta, 2005).
Sangat penting arti peningkatan pengetahuan sebagai tahap awal dalam suatu proses
adopsi inovasi. Peningkatan pengetahuan petani dalam inovasi teknologi cabai anjuran
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) diharapkan dapat melahirkan
sikap positif terhadap teknologi yang disampaikan, yang pada akhirnya dapat memperbaiki
keterampilan petani dalam aplikasi teknologi yang telah didiseminasikan. Melalui
peningkatan pengetahuan, transfer teknologi cabai diharapkan dapat lebih cepat sampai
kepada pengguna. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan petani
sebelum dan setelah dilakukan pelatihan tentang teknologi cabai Balitbangtan.

BAHAN DAN METODE


Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan kajian ini mencakup: kuesioner sebelum
dan sesudah pelatihan teknologi budidaya cabai sesuai anjuran Balitbangtan, dan pulpen
sebagai alat tulis.

Metode Pengkajian

Pengkajian dilaksanakan pada bulan bulan Mei 2017 dengan responden adalah
petani cabai sebanyak 30 orang. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah
metode komunikasi langsung melalui sosialisasi/pelatihan dan wawancara dengan
menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data yang diambil terdiri dari data primer,
meliputi karakteristik responden dan tingkat pengetahuan responden dalam teknologi
cabai. Analisis terhadap tingkat pengetahuan petani menggunakan statistik deskriptif dan
interval kelas menurut Nasution dan Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval
kelas untuk masing-masing indikator adalah:
NR = NST-NSR dan PI = NR : JIK
Dimana :
NR: Nilai Range; PI: Panjang Interval; NST: Nilai Skor Tertinggi
NSR: Nilai Skor Terendah; JIK: Jumlah Interval Kelas

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 385
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan (signifikansi peningkatan
pengetahuannya) digunakan dilakukan uji statistik paired sample T-Test (untuk menguji
hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi) dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono,
2012):
x̅1 - x̅2
thitung =
S21 S22 S S
√ + -2r ( 1 ) ( 2 )
n1 n2 √ n1 √ n2

Dimana: 𝑥̅1 : Rata-rata sampel 1 𝑠12 : Varians sampel 1


𝑥̅1 : Rata-rata sampel 2 𝑠22 : Varians sampel 2
𝑠1 : Simpangan baku sampel 1 r : Korelasi antara dua sampel
𝑠2 : Simpangan baku sampel 2
Hipotesis:
 Ho: Tidak terdapat perbedaan nilai pengetahuan petani antara sebelum dan setelah
mengikuti pelatihan
 Ha: Terdapat perbedaan nilai pengetahuan petani antara sebelum dan setelah
mengikuti pelatihan
Pengambilan keputusan:
 Jika sig. lebih besar dari 0,05 maka terima H0 (N-Pretest = N-Postes)
 Jika sig. kurang dari 0,05 maka terima H1 (N-Pretest ≠ N-Postes)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Menurut Mayasari et al. (2012), penyuluhan yang efektif dapat disebabkan oleh usia
responden. Rata-rata umur petani adalah 44,1 tahun dan tergolong usia produktif.
Pengelompokkan petani berdasarkan umur, yang terbanyak adalah kelompok umur antara
15-54 yaitu sebanyak 25 orang atau 83,33%. Kondisi ini akan mempengaruhi perilaku (baik
pengetahuan, sikap, dan keterampilan), pola pengambilan keputusan, dan cara berpikir
petani.
Sebagian besar petani (66,67%) berpendidikan sekolah dasar (SD). Menurut
Bandolan, et al. (2008), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan
teknologi yang diberikan. Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pola pikir
dan daya nalar, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan maka pola pikir dan daya
penalarannya akan semakin rasional (Saridewi dan Siregar, 2010).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


386 | Teknologi Pertanian
Tabel 1. Karakteristik Petani Responden Pelatihan Teknologi Budidaya Cabai, 2017
Uraian Kategori Persentase Rata-Rata (%)
15-54 83.33
Umur (tahun)
>54 16.67
0–6 66.67
Pendidikan (tahun) 7–9 26.67
9 – 12 6.67
<10 60.00
Pengalaman berusahatani (tahun) 10 – 20 40.00
>20 0.00
1–3 83.33
Jumlah anggota keluarga (orang) 4–6 16.67
7–9 0.00
<1 86.67
Luas lahan (ha) 1–2 13.33
>2 0.00
Sumber: Data Primer, 2017

Sebagian besar petani (60,00%) memiliki pengalaman berusahatani cabai kurang dari 10
tahun. Rukka, et al. (2006) menjelaskan bahwa pengalaman petani dalam berusahatani
berpengaruh terhadap cara merespon suatu inovasi. Semakin lama pengalaman
berusahatani, maka tingkat respon terhadap suatu teknologi akan semakin tinggi.
Pengalaman petani dalam melaksanakan usahataninya merupakan salah satu karakteristik
petani yang diduga mempengaruhi kemampuan petani dalam menerima pengetahuan
maupun menerapkan inovasi teknologi yang baru.
Luas lahan yang dimiliki untuk berusahatani cabai sebagian besar kurang dari 1 ha.
Menurut Mardikanto (1993), yang menyatakan bahwa kecepatan seseorang mengadopsi
atau menerapkan suatu inovasi atau teknologi baru dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti: luas usahatani, tingkat pendidikan, umur petani, keberanian mengambil resiko,
aktivitas mencari ide atau informasi baru, dan sumber informasi yang digunakan.

Pengetahuan Petani dalam Teknologi Cabai

Pengetahuan merupakan tahap awal dari persepsi yang kemudian mempengaruhi


sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan (keterampilan). Dengan
adanya wawasan petani yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang
pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Hasil pengkajian
memperlihatkan bahwa pengetahuan petani meningkat setelah dilakukan pelatihan (Tabel
2). Pengetahuan petani mengenai teknologi budidaya cabai meningkat sebesar 9,33% dari
22,6 menjadi 25,4, meskipun tidak terjadi peningkatan secara signifikan. Petani cukup
memahami materi pelatihan mengenai teknologi budidaya cabai anjuran Balitbangtan.
Secara tidak langsung pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman cabai
mempengaruhi pengetahuan petani terhadap teknologi cabai anjuran Balitbangtan tersebut.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 387
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 2. Deskripsi Nilai Pengetahuan Petani tentang Teknologi Cabai Balitbangtan di
Kabupaten. Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, 2017.
Rata-rata nilai pengetahuan responden
Materi Pelatihan
Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan
Teknologi Budidaya Cabai Anjuran Balitbangtan 22,6 25,4
Sumber: Data Primer, 2017

Hasil kajian memperlihatkan bahwa petani belum mampu menyerap sebagian besar
ilmu yang diberikan dalam jangka waktu yang singkat, tetapi masih perlu dibimbing lebih
intensif. Dari hasil kajian ini, diperoleh informasi yang akan digunakan untuk menyusun
kegiatan diseminasi selanjutnya agar peningkatan pengetahuan menjadi lebih optimal
sehingga petani mampu memahami dan mau menerapkan teknologi cabai yang dianjurkan
dengan baik. Agar setiap inovasi baru dapat diterima dengan baik, petani perlu diberikan
pendidikan informal secara terus menerus sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan
pendidikan informal yang dibutuhkan tersebut antara lain berupa pelatihan yang lebih
intensif, praktek, demonstrasi (demonstrasi hasil dan demonstrasi cara) dan didampingi
dengan bahan informasi tercetak yang memuat informasi yang rinci untuk masing-masing
komponen teknologi cabai Balitbangtan, baik yang disajikan berupa leaflet/folder, brosur,
dan buku. Selain itu juga diperlukan bahan informasi elektronik seperti video (VCD) yang bisa
dipelajari dengan melihat langsung penerapan teknologi yang dianjurkan. Penyuluh lapangan
perlu membimbing petani secara intensif untuk mempercepat peningkatan pengetahuan
petani di Kabupaten Konawe.
Pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran petani untuk mencari dan menerima
informasi inovasi teknologi. Artinya, pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh petani yang
mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Kesadaran yang tinggi mendorong petani
untuk lebih memberdayakan diri mereka sendiri dengan meningkatkan pengetahuannya.
Peningkatan pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran penyuluh pendamping untuk
mencari dan menerima informasi inovasi teknologi. Artinya, pengetahuan yang tinggi
dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Pendapat ini
didukung oleh pandangan bahwa penyuluh sebagai orang dewasa telah mempunyai konsep
diri, pengalaman belajar, dan kesiapan belajar (Apps, 1973 dalam Sadono, 2008) sehingga
sisi manusianya dan proses belajarnya perlu dikedepankan.
Peningkatan pengetahuan petani merupakan bagian yang penting dalam proses
adopsi inovasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarta (2005) bahwa dalam akselerasi
pembangunan pertanian, pengetahuan individu pertanian mempunyai arti penting, karena
pengetahuan dapat mempertinggi kemampuan dalam mengadopsi teknologi baru di bidang
pertanian. Jika pengetahuan tinggi dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi
baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna,
yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas
maupun kualitas.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan petani sebagai bagian dari
perilaku penerapan inovasi. Soekartawi (1988) mengatakan, perilaku penerapan inovasi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


388 | Teknologi Pertanian
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar
lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan
sikap terhadap pembaharuan, keberanian mengambil resiko, fatalisme, aspirasi dan
dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain:
kosmopolitas, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan
prasarana dan sarana dan proses memperoleh sarana produksi.
Hasil pengkajian setelah diuji analisis statistik Paired Simple T Test,
memperlihatkan ada perbedaan rata-rata pengetahuan petani, terutama mengenai teknis
budidaya tanaman sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan. Dimana nilai signifikansi
0,000<0,05. Artinya, adanya pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan petani dalam
teknologi cabai khususnya mengenai teknik budidaya tanaman cabai anjuran Balitbangtan
(Tabel 3).

Tabel 3. Pengetahuan Petani Sebelum dan Sesudah Pelatihan Teknologi Budidaya Cabai,
2017.
Paired Differences
95% Confidence Interval of the Sig. (2-
Std. Std. Error t df
Mean Difference tailed)
Deviation Mean
Lower Upper
Sebelum-sesudah
Pair 1 -2.80000 2.70886 .49457 -3.81151 -1.78849 -5.662 29 .000
pelatihan
Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan hasil hitung spss diperoleh t -5,662 df 29 dan signifikan 0,000. Karena
sig. (2-tailed)<0,05 dengan demikian maka disimpulkan terima H1 yang berarti bahwa skor
rata-rata hasil tingkat pengetahuan petani responden sebelum dan sesudah pelatihan
terdapat perbedaan yang signifikan.
Syafruddin, et al. (2006) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan
berbeda untuk mengembangkan pengetahuan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
perbedaan karakteristik individu tersebut. Tiap karakter yang melekat pada individu
akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku tersendiri dengan cara yang berbeda
pula. Pengetahuan sebagai alat jaminan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang dari pengalaman, dan hasil penelitian membuktikan bahwa perilaku didasarkan
atas pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan dengan tanpa didasari pengetahuan.
Dengan adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong
terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan oleh Ancok (1997), bahwa
adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang
bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat
tergantung pada apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya
niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan
apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Meningkatnya pengetahuan petani
mencerminkan proses transfer teknologi pemanfaatan lahan pekarangan. Diharapkan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 389
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pengembangan berbagai inovasi teknologi yang terkait dengan pemanfaatan lahan
pekarangan dapat berkembang sebagaimana yang diharapkan.

KESIMPULAN
Inovasi teknologi budidaya cabai anjuran Balitbangtan sudah cukup dipahami oleh
para petani. Pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya cabai anjuran Balitbangtan
meningkat sebesar 9,33%. Metode pelatihan yang dirangkaikan dengan diskusi ini dapat
dipilih sebagai metode awal dalam penyuluhan yang efektif untuk mengetahui informasi
teknologi yang dibutuhkan atau masih kurang dipahami oleh petani. Sehingga untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani maka dalam pelaksanaan demplot
teknologi cabai diperlukan pelatihan yang intensif dan penyebaran media diseminasi demi
percepatan transfer teknologi pertanian kepada petani.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Asaad, Dr. Ir.
Muhammad Alwi Mustaha, M.Si dan Dr. Ir. Julian Wicaksono, M.Si, dalam mengarahkan
penelitian, Bapak Rusdi, Abdul Azis, Sjamsiar, dan Bungati dalam membantu pelaksanaan
dilapangan dan pengumpulan data, Bapak Bakri Kaliambang (Penyuluh Kecamatan
Wonggeduku) dan Bapak Sutarno (Kepala Desa Lalousu) sebagai mitra kerjasama kami
dilapangan, dan Kelompok Tani Tirto Agung sebagai petani kooperator, serta semua pihak
yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Bandolan Y, Abd. Aziz, dan Sumang. 2008. Tingkat Adopsi petani Terhadap Teknologi
Budidaya Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa.
Jurnal Agrisistem, 4 (2).
BPS Konawe. 2015. Konawe Dalam Angka. Konawe.
Dirjen Hortikultura. 2016. Produksi cabai besar menurut propinsi tahun 2011-2015.
Kementerian Pertanian.
Hidayah,. 2012. Kesiapan Psikologis Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Menghadapi
Diversifikasi Pangan Pokok. Jurnal Humanitas, 8 (1).
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press,
Surakarta.
Mayasari, R., H. Sitoros dan L. Pratama. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi
Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia 6 (3).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


390 | Teknologi Pertanian
Piay, S. S., Ariarti, T., Yuni E., F. Rudi P.H. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah
(Capsicum annum L.). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.Badan
Penelitian dan Pengembangan. Kementerian Pertanian. ISBN: 978-979-9007-54-4.
Prasetya, M. E. 2014. Pengaruh Pupuk NPK Mutiara Dan Pupuk Kandang Sapi Terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Cabai Merah Keriting Varietas Arimbi (Capsicum
annum L.). Jurnal Agrifor 8 (2).
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Irigasi
Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di Desa Bedilan Kecamatan
Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas Sriwijaya.Palembang.
Rukka H., Buhaerah dan Sunaryo. 2006. Hubungan Karakteristik Petani Dengan Respon
Petani Terhadap Penggunaan Pupuk Organik Pada Padi Sawah (Oryza sativa L.). Jurnal
Agrisistem, 2 (1).
Sadono, Dwi 2008. Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di
Indonesia. Jurnal Penyuluhan, 4 (1).
Saridewi, T. R. dan Siregar, A. N. 2010. Hubungan Antara Peran Penyuluh Dan Adopsi
Teknologi Oleh Petani Terhadap Peningkatan Produksi di Kabupaten Tasikmalaya.
Jurnal Penyuluhan Pertanian 5 (1)..
Soekartawi,1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press). Jakarta.
Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Tanaman
Terpadu (Online). Diperoleh dari http://ejournal .unud. ac.id/ abstrak/(6)%20soca-
sudarta-pks%20pht(2).pdf. Diiakses 19 September 2017.
Syafruddin, Amri Jahi dan Richard W.E. Lumintang. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik
Petani Mete dengan Pengetahuan Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten
Bombana, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan, 2 (2).
Sugiyono. 2012. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 391
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
DAMPAK PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU
TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH
DI SULAWESI TENGGARA

Sri Bananiek Sugiman dan Zainal Abidin

Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Sulawesi Tenggara


Jln. Prof. Muh. Yamin No. 89 Puuwatu
e-mail: naniek.bptpsultra@gmail.com

ABSTRAK
Kajian dampak program sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) terhadap
produksi dan pendapatan usahatani padi sawah, dilaksanakan pada Tahun 2013. Pengkajian
dilaksanakan di kabupaten Kolaka, Konawe, Konawe Selatan dan Bombana Propinsi Sulawesi
Tenggara. Tujuan kegiatan adalah untuk menganalisis dampak pelaksanaan program SL-PTT
terhadap produksi dan pendapatan usahatani padi sawah di Sulawesi Tenggara. Penelitian
menggunakan metode dengan pendekatan before and after. Analisis data menggunakan analisis
pendapatan. Untuk menguji perbedaan rata-rata antara pendapatan sebelum dan setelah SL-
PTT digunakan analisis statistik Paired Samples T Test. Hasil kajian menunjukkan, Penerapan
teknologi PTT melalui program SL-PTT di Sulawesi Tenggara memberikan perubahan positif
terhadap produksi dan pendapatan petani. Dari aspek produksi, pembelajaran SL-PTT yang
diterima petani telah meningkatkan produksi padi sebesar 788 kg/ha atau 22,6% dari produksi
sebelumnya. Sementara dari aspek pendapatan terdapat peningkatan pendapatan petani
sebesar Rp. 1.916.279,-/ha atau 32.3% setelah mengikuti program SL-PTT.
Kata kunci: Dampak, Sekolah Lapang, PTT, Padi Sawah

PENDAHULUAN
Peningkatan produksi beras dalam negeri terus diupayakan pemerintah, antara lain
melalui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Melalui program ini
ditargetkan tercapainya tambahan produksi sebesar 5% per tahun. Untuk mendukung
pencapaian tersebut, upaya yang ditempuh diantaranya melalui penerapan teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah, yang diimplementasikan melalui
pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT).
SL-PTT merupakan suatu konsep diseminasi teknologi untuk mensosialisasikan PTT
secara nasional dan percepatan adopsi teknologi PTT padi kepada petani secara luas. Tujuan
utama SL-PTT adalah mempercepat transfer dan penyebaran teknologi PTT kepada
pengguna melalui pelatihan dari peneliti atau narasumber lainnya. (Mentan, 2010; Sudana
dan Subagyono, 2012).
Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada dasarnya merupakan suatu
pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis, sesuai dengan karakteristik sosial
ekonomi setempat dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan
kelestarian lingkungan, (Deptan, 2009; Zairin dan Toha, 2005; Makarim dan Las., 2004;
Hermanto, 2007), Selanjutnya Hendayana et.al, 2014 menyatakan bahwa PTT merupakan
inovasi untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam peningkatan produktivitas. PTT

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


392 | Teknologi Pertanian
merupakan pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi
usahatani melalui perbaikan need assessment) (Anggoro, 2011). Dengan adanya program SL-
PTT diharapkan terjadi percepatan penyebaran teknologi PTT (Mentan, 2010).
Hasil akhir yang diharapkan dari adopsi teknologi PTT padi melalui program SL-PTT
adalah terjadinya perbaikan teknologi produksi padi. Melalui perbaikan teknologi tersebut
produktivitas usahatani padi sawah diharapkan meningkat, sehingga dapat meningkatkan
pendapatan usahatani padi sawah. Sutijo dan Rintayani (2012), menyatakan bahwa
pendekatan SL-PTT mampu meningkatkan produksi padi sebesar 19,7%.
Di Sulawesi Tenggara pelaksanaan SL-PTT telah dimulai sejak tahun 2008. Seiring
pelaksanaannya, program SL-PTT diharapkan dapat memberikan dampak pada berbagai hal
diantaranya adalah peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani. Informasi tersebut
perlu diketahui agar dapat diberikan gambaran mengenai perubahan yang diperoleh petani
setelah mengikuti program SL-PTT. Berdasarkan hal tersebut, maka kajian ini bertujuan
untuk menganalisis dampak pelaksanaan program SL-PTT terhadap produksi dan
pendapatan usahatani padi sawah di Sulawesi Tenggara.

METODE PENELITIAN
Pengkajian dilaksanakan di empat kabupaten di Sulawesi Tenggara yang menjadi
sentra pengembangan komoditas padi sawah, yaitu kabupaten Konawe, Konawe Selatan,
Kolaka dan Bombana. Penelitian berlangsung pada bulan Januari hingga Desember 2013.
Populasi penelitian adalah petani padi sawah yang telah mengikuti program SL-PTT.
Penentuan petani sampel dilakukan dengan teknik purposif random sampling dengan
ketentuan petani yang sudah pernah mengikuti program SL-PTT. Jumlah responden masing-
masing sebanyak 20 orang petani di setiap kabupaten, sehingga jumlah keseluruhan sampel
adalah 80 orang petani.
Untuk menganalisis dampak teknologi PTT terhadap pendapatan petani dilakukan
dengan pendekatan before and after, yaitu dengan menganalisis pendapatan yang diperoleh
petani pada keadaan sebelum adanya program SL-PTT dan pendapatan yang diperoleh
setelah adanya program SL-PTT. Pendapatan petani dianalisis dengan menggunakan rumus
pendapatan sebagai berikut (Downey dan Ericson, 1985 dan Suratiyah, 1997):
I = (Y.Py) - (Xi.Pxi)
Keterangan:
I= Pendapatan usahatani (Rp) ; Y = Produksi (kg); Py= Harga produk (Rp)
Xi= Jumlah sarana produksi (liter, kg); Pxi= Harga sarana produksi (Rp/kg, ltr, HOK)

Selanjutnya, untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua
kelompok yang berpasangan (berhubungan) yaitu pendapatan sebelum dan sesudah adanya
program SL-PTT digunakan rumus Paired Samples T Test (Sugiyono, 2011), sebagai berikut:

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 393
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
X1 - X 2
t=
(S21 ) (S22 ) S S
√ + -2r ( 1 ) ( 2 )
n1 n2 √ n1 √ n2
Katerangan:
T = Nilai t-hitung
X1 = Pendapatan rata-rata usahatani padi sawah setelah SL-PTT (Rp/ha).
X2 = Pendapatan rata-rata usahatani padi sawah sebelum SL-PTT (Rp/ha).
n1 = Jumlah sampel responden sebelum SL-PTT.
n2 = Jumlah sampel responden sesudah SL-PTT.
2
S1 = Simpangan baku/variasi pendapatan untuk usahatani padi sawah setelah SL-PTT.
2
S2 = Simpangan baku/variasi pendapatan untuk usahatani padi sawah sebelum SL-PTT.

Dengan kriteria pengujian:

 Jika nilai signifikansi Paired Samples T Test > taraf kesalahan yang digunakan (α = 0,05),
atau t-hitung<t-tabel, berarti program SL-PTT tidak berdampak positif terhadap
pendapatan usahatani padi sawah.
 Sebaliknya, jika nilai signifikansi Paired Samples T Test < taraf kesalahan yang digunakan
(α= 0,05) atau t-hitung>t-tabel, berarti program SL-PTT berdampak positif terhadap
pendapatan usahatani padi sawah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Hasil survey mengenai karakteristik petani responden di empat lokasi survey


bervariasi (Tabel 1). Dari aspek umur petani, persentase terbesar berada dalam kategori
umur 15-54 tahun (80.75%) Kelompok umur tersebut tergolong usia produktif, yang
memungkinkan petani untuk mengelola usahataninya dengan baik. Tingkat usia juga dapat
menjadi parameter dalam adopsi (penerapan) teknologi introduksi. Golongan usia muda
biasanya lebih responsif dalam menerima inovasi teknologi baru, sebaliknya petani golongan
tua biasanya lebih mengandalkan pengalaman empiris, sehingga kurang responsif dalam
menerima inovasi teknologi baru.
Tingkat pendidikan petani responden terbanyak berada pada jenjang pendidikan SD
dan SMP masing-masing sebanyak 39.75% dan 37.25%. Tingkat pendidikan dapat
berpengaruh terhadap perubahan sikap dan berperilaku karena dapat mengubah cara
pandang seseorang dalam mengamati keadaan lingkungannya. Tingkat pendidikan formal
yang rendah dapat dilengkapi dengan pembelajaran dan pelatihan sehingga dapat
menambah informasi pengetahuan dan wawasan petani,
Pengalaman berusahatani menunjukkan lamanya seorang petani melakukan
usahatani padi sawah. Mayoritas petani responden (41.25%) memiliki pengalaman
berusahatani antara 10-20 tahun. Selanjutnya pengalaman berusahatani >20 tahun dimiliki
sebanyak 32% petani responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani responden telah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


394 | Teknologi Pertanian
memiliki pengalaman yang cukup lama sehingga diharapkan dapat memilih dan menentukan
alternatif yang lebih baik dalam peningkatan produksi padinya.
Jumlah anggota keluarga diperoleh sebanyak 79.25% petani responden memiliki
jumlah anggota keluarga sebanyak 1-3 orang. anggota keluarga dengan umur yang produktif
dapat menjadi sumber tenaga kerja keluarga. Terbatasnya tenaga kerja produktif dalam
keluarga menyebabkan petani menggunakan tenaga upahan terutama untuk pekerjaan
penanaman dan panen.
Kepemilikan lahan petani responden terbanyak berada dalam luasan 1-2 ha yaitu
sebanyak 48,5% responden, sementara yang memiliki luas lahan kurang dari 1 ha sebanyak
32,25%. Untuk status kepemilikan lahan, sebanyak 81,25% merupakan lahan milik sendiri,
dan sisanya sebanyak 18,75%, adalah lahan milik orang lain. Petani yang memiliki lahan lebih
luas biasanya lebih bersemangat dan berani mencoba hal-hal baru dalam usahataninya serta
memilki keberanian terhadap resiko lebih besar dibanding petani yang memiliki lahan kecil.

Tabel 1. Karakteristik Petani Padi Sawah di Daerah Sampel, 2013


Persentase (%)
Uraian kategori Rata-rata
konawe kolaka Kon-sel Bombana
15-54 60 90 78 95 80,75
Umur (tahun)
>54 40 10 22 10 20,50
SD 55 30 44 30 3,75
SMP 20 45 39 45 37,25
Pendidikan (tahun)
SMA 25 20 6 25 19,00
Sarjana 0 5 11 0 4,00
<10 25 15 22 45 26,75
Pengalaman berusahatani (thn) 10-20 40 40 50 35 41,25
>20 35 45 28 20 32,00
1-3 90 65 67 95 79,25
Jumlah anggota keluarga
4-6 10 35 33 10 2,.00
<1 20 30 39 40 32,25
Luas lahan (ha) 1-2 70 45 44 35 48,50
>2 10 25 17 25 19,25
Status kepemilikan Milik 71 86 83 85 81,25
lahan (%) Bagi hasil 29 14 17 15 18,75
Sumber: Analisis Data Primer, 2013

Dampak program SL-PTT

Salah satu tujuan dalam program sekolah lapang adalah meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap petani terhadap teknologi anjuran dan meningkatkan adopsi
teknologi dalam sekolah lapang. Dalam hal ini, diharapkan pelaksanaan SL-PTT membawa
perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan petani terhadap teknologi PTT. yang
berdampak terhadap peningkatan produksi dan pendapatan usahatani.
Hasil yang diperoleh menunjukkan, dari aspek produksi terdapat peningkatan hasil
per hektar yang diterima petani setelah adanya program SL-PTT, Selengkapnya disajikan
pada Tabel 2.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 395
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 2. Produksi Usahatani Padi Sawah Sebelum dan Setelah SL-PTT, 2013
Produksi GKP (Kg)
Daerah Sampel Perubahan (kg)
sebelum setelah
Konawe Selatan 3,389 4,189 800
Konawe 3,525 4,232 707
Kolaka 3,442 4,558 1,116
Bombana 3,576 4,106 530
Rata-rata 3,483 4,271 788
Perubahan (%) 22,6

Tabel 2 menunjukkan jika penerapan program SL-PTT telah membawa dampak


terhadap hasil produksi yang diperoleh. Sebelum SL-PTT produksi yang diperoleh petani rata-
rata 3,483 kg/ha, setelah adanya program SL-PTT produksi yang diperoleh petani menjadi
4,271 kg/ha. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan produksi sebesar 788 kg/ha.
Berbagai kajian lain juga menunjukkan adanya peningkatan produksi dengan adanya SL-PTT
antara lain, Suratmini et all., (2011) terdapat peningkatan produktivitas padi antara 6,9%-
28,7% atau peningkatan produksi antara 0,5-1,5 GKP ton/ha dengan memperkenalkan
beberapa VUB seperti Inpari 1, 3, 6, 7, 10 dan 13. Mulyani dan Jumiati (2013), terdapat
peningkatan produktivitas padi sebesar 0,377 ton/ha atau meningkat 29,7% setelah petani
mengikuti SL-PTT.
Dari aspek pendapatan, juga terdapat perubahan pendapatan yang diperoleh petani.
Sebelumnya pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp. 5.837.204,- ha, setelah
pelaksanaan SL-PTT meningkat menjadi Rp. 7.724.075,- artinya, terdapat peningkatan
pendapatan petani sebesar 32,3%. Selengkapnya, pendapatan yang diperoleh petani di
empat daerah sampel ditampilkan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Pendapatan Usahatani Padi Sawah Sebelum dan Setelah SL-PTT, 2013
Pendapatan (Rp)
Daerah Sampel Perubahan (Rp)
sebelum setelah
Konawe Selatan 5.825.600 7.794.200 1.968.600
Konawe 5.994.450 7.690.000 1.695.550
Kolaka 5.539.800 8.095.800 2.556.000
Bombana 5.988.966 7.316.300 1.327.334
Rata-rata 5.837.204 7.724.075 1.886.871
Perubahan (%) 32,3

Secara rinci, analisis pendapatan rata-rata pada empat daerah sampel ditampilkan
pada Tabel 4. Analisis usaha tani dilakukan terhadap biaya total dengan memperhitungkan
semua pembiayaan, termasuk biaya non tunai seperti tenaga kerja keluarga yang secara riil
tidak dibayarkan oleh petani, contoh kegiatan aplikasi pestisida dan pemupukan.

Tabel 4 menunjukkan, produksi dan pendapatan usahatani padi sawah setelah


pelaksanaan SL-PTT lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum SL-PTT, yang ditunjukkan oleh
adanya peningkatan produksi sebesar 22,6%, demikian pula dengan pendapbatan usahatani
petani yang mengalami peningkatan sebesar 32,3%. Meningkatnya produksi yang diperoleh

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


396 | Teknologi Pertanian
petani disebabkan karena adanya perubahan dalam penerapan teknologi baru melalui
komponen inovasi teknologi PTT padi sawah yang ternyata memberikan dampak secara
langsung dalam meningkatkan produktivitas usahatani padi sawah.

Tabel 4. Analisis Pendapatan Rata-Rata Usahatani Padi Sawah per hektar Sebelum dan
Sesudah SL-PTT di Sulawesi Tenggara, 2013.
Sebelum Sesudah
Uraian
Jumlah satuan Harga Satuan Nilai Jumlah satuan Harga Satuan Nilai
A. Biaya
1. Saprodi 963.072 1.006.125
- Benih (kg) 40 5000 200.000 30 5000 150.000
- Urea (kg) 94 1.900 178.600 150 1.900 285.000
- Phonska(kg) 85 2.400 204.000 200 2.400 480.000
- Insektisida - - 312.838 - - 280.680
- Herbisida - - 67.000 - - 55.000
2.Tenaga Kerja 4.485.000 4.375.000
Olah tanah 1.200.000 1.200.000
Penanaman 900.000 900.000
Pemupukan 2 OH 60.000 120.000 2.5 OH 60.000 150.000
Aplikasi Pestisida 1.5 OH 60.000 150.000 2 OH 60.000 120.000
Penyiangan 2 OH 60.000 120.000 2 OH 60.000 120.000
Panen dan Rontok - - 1.635.000 - - 1.875.000
Pengangkutan 360.000 410.000
3. Lain-Lain 152.000 162.000
Karung - - 72.000 - - 82.000
Iuran Irigasi - - 80.000 - - 80.000
Pajak 50.000 50.000
Total Biaya (1+2+3) 5.308.396 5. 943.125
B. Produksi GKP (kg) 3,483 4,271
C. Harga (Rp/kg) 3.200 3.200
D. Penerimaan 11.145.600 13.667.200
E. Keuntungan 5.837.204 7.724.075

Selanjutnya dari hasil analisis Paired Samples t Test yang dilakukan untuk mengetahui
ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara pendapatan sebelum dan sesudah adanya
program SL-PTT, hasil menunjukkan bahwa nilai signifikansi Paired Samples t Test adalah
0,000, lebih kecil dari taraf kesalahan yang digunakan pada taraf kesalahan 5 % (α= 0,05). Hal
tersebut berarti bahwa tingkat pendapatan petani setelah adanya program SL-PTT berbeda
nyata dibandingkan dengan pendapatan sebelum SL-PTT.

KESIMPULAN
Penerapan teknologi PTT melalui program SL-PTT di Sulawesi Tenggara memberikan
perubahan positif terhadap produksi dan pendapatan petani. Dari aspek produksi,
pembelajaran SL-PTT yang diterima petani telah meningkatkan produksi padi sebesar 788
kg/ha atau 22,6% dari produksi sebelumnya.
Dari aspek pendapatan terdapat peningkatan pendapatan petani sebesar Rp.
1.916.279,-/ha atau 32,3% setelah mengikuti program SL-PTT. Selanjutnya, terdapat

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 397
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
perbedaan nyata antara pendapatan petani setelah adanya program SL-PTT dibandingkan
dengan sebelum SL-PTT.

DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, U.K. 2011. Percepatan pelaksanaan program swasembada beras tahun 2011. Open
House Musim Tanam 1 (MT 1) di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi,
Kabupaten Subang, 23 Februari 2011.
Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Departemen Pertanian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1985. Manajemen Agribisnis. Dialihbahasakan oleh
Rochidayat, Gonda S dan Alfonsus. Penerbit Erlangga. Jakarta. 516 hal.
Hermanto, 2007. PTT Andalan Peningkatan Produksi Nasional. Warta Litbang Pertanian Vol
29. No 2 tahun 2007. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Hendayana, Zakiah, Ketut GM dan Eko Ananto, 2014. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan
PTT. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Makarim, A.K. dan I. Las, 2004. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi
Melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
Seminar Kebijakan Padi pada Pekan Padi Nasional II, 15 Juli 2004, Sukamandi.
Mentan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-
PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010. Kementerian Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta.
Rahman B dan A. Saryoko. 2008. Analisis Titik Impas dan Laba Usahatani melalui Pendekatan
Pengelolaan Padi Terpadu di Kabupaten Lebak-Banten. Jurnal pengkajian dan
pengembangan teknologi pertanian vol 11, No. 1, Maret 2008. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Hal 54-60.
Sudana, W dan K. Subagyono, 2012. Kajian Faktor-Faktor Penentu Adopsi Inovasi
Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 15
Nomor, 2 Juli 2012. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Suratmini, P., A.A.N.B. Kamandalu, dan I.B. Suryawan. 2011. Laporan Akhir Tahun
Pendampingan Program SL-PTT Padi Sawah di Provinsi Bali. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bali. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Sutijo, B dan R. Rintayani. 2012. Evaluasi Penerapan Metode SL-TT terhadap Peningkatan
Produksi Padi Sawah. Journal GDLHUB/2013-06-25 18:04:28 Vol.4. No.2, September
2012. Institut Teknologi Sepuluh November.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta.
Bandung.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


398 | Teknologi Pertanian
Suratiyah, K. 1997. Analisis Usahatani. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 7 Nomor 1.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Zairin, M dan Toha, Husin. 2005. Pengembangan Varietas Unggul Baru (VUB) dengan
Pendekatan Model PTT Padi Sawah Irigasi. BPTP NTB dan BB Padi Sukamandi.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 399
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
ANALISIS PEMASARAN CABAI RAWIT DI KABUPATEN
DI KABUPATEN KOLAKA UTARA

Bungati1, Sri Bananiek1 dan Wardah1)


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
Jl.Prof Muh Yamin No.89 Puwatu Kendari
Telp/Fax: (0401) 323180
e-mail: bunga.kdi@gmail.com

Abstrak
Kajian ini adalah untuk mengetahui saluran dan margin pemasaran cabai rawit di Desa
Pasampang Kecamatan Pakue Tengah Kabupaten Kolaka Utara. Kajian ini dilakukan pada bulan
Mei sampai Juli 2016. Lokasi kajian ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa
Desa Pasampang merupakan salah satu penghasil cabai rawit di Kecamatan Pakue Tengah.
Penentuan responden dengan cara snowball sampling berdasarkan informasi yang diperoleh
dari para petani cabai rawit. Dari reponden diperoleh informasi jumlah pedagang pengumpul
dan pengecer yang membeli cabai rawit. Kemudian dari pedagang pengumpul diperoleh, jumlah
pedagang pengecer. Jumlah responden dalam kajian ini adalah 10 petani cabai rawit, 7
pedagang pengecer dan 3 pedagang pengumpul. Analisa data yang digunakan adalah dengan
pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat
tiga saluran pemasaran. Saluran pertama adalah saluran pemasaran yang terjadi di tingkat desa,
pedagang pengecer langsung membeli cabai rawit ke rumah/kebun petani. Saluran pemasaran
kedua ditingkat Kabupaten, pedagang pengumpul membeli cabai rawit di pasar tradisonal,
pengecer kabupaten membeli dari pedagang pengumpul. Pada saluran pemasaran ketiga
perdagangan cabai rawit antar kota/antar pulau, volume penjualan cukup besar. Share harga
yang paling tinggi diterima oleh petani terdapat pada saluran pemasaran kedua yaitu 72,22%,
sementara saluran pemasaran ketiga 52% dan yang paling rendah adalah saluran pemasaran
pertama 50%.
Kata kunci: Margin, Pemasaran, Famer’s share, Cabai Rawit

PENDAHULUAN
Cabai merupakan salah satu jenis sayuran komersial yang sejak lama dibudidayakan di
Indonesia, sebab komoditi tersebut memiliki nilai ekonimi yang tinggi. Cabai selain dapat
digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari, cabai juga banyak digunakan sebagai bahan baku
industri pangan dan farmasi. Di Indonesia sentra produksi cabai adalah pulau jawa, namun
pada saat-saat tertentu daerah tersebut mengalami kegagalan panen sehingga di daerah
luar pulau jawa mulai dikembangkan dengan lahan yang cukup potensial. Pemasaran cabai
dapat dilakukan dalam bentuk segar, kering, bubuk yang merupakan bahan dasar industri
maupun dalam bentuk pasta cabai.
Cabai adalah salah satu komoditas unggulan nasional hortikultura dan merupakan
komoditas yang besar pengaruhnya terdapat dinamika perekonomian nasional. Hal demikian
sehingga cabai dimasukkan dalam jajaran komoditas penyumbang inflasi setiap tahun. Cabai
rawit merah memiliki harga yang sangat fluktuasi bila dibanding dengan cabai lainnya. Belum
lama ini masyarakat dikejutkan dengan tingginya harga cabai rawit merah yang mencapai Rp
200.000,- per kg.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


400 | Teknologi Pertanian
Berdasarkan data rata-rata tahun 2011-2015, sentra produksi cabai rawit terdapat di
Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Aceh, Nusa Tenggara Barat
dan Bali. Jawa Timur menempati peringkat pertama dengan kontribusi produksi sebesar
31,03%, menyusul Jawa Barat (14,89%), Jawa Tengah (13,14 %), Nusa Tenggara Barat
(5,86%), Aceh (5,61%), Sumatra Utara (5,28%) dan Bali (3.08%). Produksi dari provinsi
tersebut mencapai 79,17% dari total produksi cabai rawit Indonesia, sedangkan provinsi
lainnya memberikan kontribusi kurang dari 2%, (Pusdatin Pertanian, 2016).
Lonjakan harga cabai terjadi yang kerap terjadi karena kegagalan mengatur tataniaga
komoditi tersebut. Rantai tataniaga saat ini terlalu panjang (makin banyak lembaga
pemasaran yang terlibat). Akibatnya perbedaan harga ditingkat petani, pedangan dan
konsumen sangat tinggi, (Sinar Tani 2016), atau margin pemasaran semakin besar. Hal
tersebut dapat mengakibatkan pendapatan petani produsen menjadi rendah. Perbedaan
harga (margin) pemasaran yang relativ besar merupakan salah satu hambatan pemasara dan
sering dijumpai dalam pemasaran komoditas pertanian. Menurut Soekartawi (2002), bahwa
kelemahan dalam sistem pertanian Negara berkembang pada umumnya yaitu kurangnya
perhatian dalam bidang pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran sering tidak berjalan seperti
yang diharapkan sehingga pemasaran menjadi tidak efisien.
Peningkatan pendapatan petani tidak hanya melalui peningkatan produksi tetapi juga
berpengaruh terhadap kegiatan pemasaran, sebab terkait dengan tingkat harga yang
diterima oleh petani. Sistem pemasaran dalam kegiatan usahtani cabai rawit diharapkan ada
kerjasama yang saling menguntungkan antara petani produsen dengan lembaga pemasaran,
agar petani cabai rawit di Kabupaten Kolaka Utara terdorong untuk meningkatkan
produksinya. Selama ini petani cabai rawit di lokasi kajian belum mengelolah usahatani cabai
rawit sesuai standar budidaya tanaman dan pada umunya produk cabai rawit dijual ke
pedagang pengumpul dan tengkulak. Hal ini sejalan dengan laporan Baruwadi et al,(2007)
dalam Nurdin, (2011) bahwa petani mengembangkan usaha tani cabai adalah untuk
memenuhi kebutuhan sendiri dan sebagian dijual kepasar serta kepedagang pengumpul.
Sehunbungan dengan permasalahan tersebut diatas makan penulis termotivasi untuk
mengetahui bentuk saluran dan margin pemasaran cabai rawit di Desa Pasampang,
Kecamatan Pakue Tengah, Kabupaten Kolaka Utara.

METODOLOGI
Lokasi Kajian di Desa Pasampang Kecamatan Pakue Tengah Kabupaten Kolaka Utara.
pada bulan Mei sampai Juli 2016. Penentuan responden dilakukan dengan cara snowball
sampling. Dari responden diperoleh informasi jumlah pedagang pengumpul dan pengecer
yang membeli cabai rawit. Kemudian dari pedagang pengumpul diperoleh jumlah pedagang
pengecer yang membeli produk mereka, hingga sampai ke konsumen. Jumlah responden
dalam kajian ini adalah 10 petani cabai rawit 7 pedagang pengecer dan 3 pedagang
pengumpul.
Data yang dikumpulkan bersumber dari data sekunder dan data primer. Data primer
diperoleh dari responden melalui wawancara langsung dengan petani responden yang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 401
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
menjadi objek kajian dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait, studi pustaka atau literatur
yang berhubungan dengan kajian ini.
Untuk menganalisis besarnya margin pemasaran cabai rawit dapat menggunakan
formula sebagai berikut (Limbongan dan Sitorus, 1987):
Mji = Psi – Pbi; 𝜋i = Mji – bti
Sehingga total margin pemasaran adalah:
i=n

Mji= ∑ Mji
i=1

Dimana:
Mji : Margin pemasaran pada lembaga pemasaran ke-I (Rp/Kg)
Psi : Harga jual lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg)
Pdi : Harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp/Kg)
𝜋ⅈ : Keuntungan harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp)
bti : Biaya pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp)
i : 1, 2, 3……………..n
Perbandingan harga yang diterima oleh patani dan harga yang dibayarkan oleh
konsumen akhir atau farmer’s share dapat dianalisis dengan menggunakan dengan rumus:
P
FS = x 100 %
K

Dimana: FS : farmers share


P : Harga yang diterima oleh petani (Rp/Kg)
K : Harga Yang dibayar konsumnen akhir (Rp/Kg)
Share Keuntungan lembaga pemasaran dapat dicari dengan rumus:
Keuntungan lembaga pemasaran
FS Keuntungan = x 100 %
Harga Jual

HASIL PEMBAHASAN

Saluran Pemasaran Cabai Rawit

Cabai rawit adalah salah satu komoditas hortikultura sebagai penyumbang inflasi, hal
ini disebabkan rendahnya produksi dibandingkan dengan kebutuhan atau konsumsi, pada
waktu-waktu tertentu, yaitu pada musim hujan, produksi cabai rawit menurun, sementara
permintaan akan buah segar cabai rawit semakin hari semakin meningkat. Kolaka Utara
dikenal sebagai penghasil cabai rawit namun penerapan teknologi terhadap usahatani cabai
rawit di tingkat petani masih rendah, terutama teknik budidaya tanaman. Umumnya
tanaman cabai rawit tumbuh dan dipelihara dengan tanaman utama pada saat petani
membuka lahan baru, walaupun bukan tanaman utama tetapi karena permintaan dan akses
pasarnya cukup baik sehingga petani terdorong untuk mengusahakannya. Hal ini sejalan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


402 | Teknologi Pertanian
dengan pernyataan (Lim et al, 2013 dalam Antu, 2016) bahwa dalam merencanakan suatu
produk harus beorientasi pada konsumen dan pasar.
Permintaan pasar akan cabai rawit pedas asal Kolaka Utara cukup tinggi dan dapat
menjangkau beberapa pasar karena daya simpanya yang lama pada suhu ruang dengan
dukungan lahan berkapur walaupun letaknya di pegunungan. Buah cabai rawit yang sampai
kepada konsumen melewati saluran-saluran pemasaran yang melibatkan beberapa lembaga
pemasaran. Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan oleh produsen menyalurkan
produknya untuk sampai ke konsumen. Hasil kajian dilapangan menunjukkan bahwa saluran
pemasaran cabai rawit di Kabupaten Kolaka Utara terdapat 3 bentuk atau rantai saluran
pemasaran yaitu:
1. Petani Pedagang Pengecer Konsumen
2. Petani Pedagang Pengumpul PP/Warung Makan Konsumen
3. Petani Pedagang Pengumpul Antar Kota Pedagang Pengecer Konsumen
Soroako/Malili/Tanah
Toraja.

Saluran pemasaran cabai rawit dalam kajian ini dimulai dari petani produsen di
Kabupaten Kolaka Utara sampai ke pedagang pengecer di provinsi Sulawesi Tenggara dan
Selatan. Terdapat tiga saluran pemasaran di lokasi kajian. Saluran pemasaran I terdiri dari
petani dan langsung ke pedagang pengecer dipasar perwakilan mobil angkutan antar kota
provinsi. Pedagang pengecer yang berada di perwakilan mobil antar provinsi beroperasi
setiap hari. Saluran Pemasaran ke II terdiri dari petani, pedagang pengumpul di desa, warung
makan kota Lasusua/pedagang pengecer di pasar Lapai dan konsumen di Kabupaten Kolaka
Utara.
Saluran pemasaran ke III terdiri dari petani, pedagang pengumpul/antar kota,
pedagang pengecer dan konsumen. Volume penjualan untuk saluran pemasaran ke III cukup
tinggi karena menjangkau beberapa pasar seperti pasar Soroako dan Malili Luwu Timur,
Makale di Tanah Toraja, Palopo di Luwu dan sesekali menembus pasar antar pulau lewat
Makasar. Pengiriman dilakukan dua kali dalam seminggu dan apabila memungkinkan untuk
menembus pasar antar pulau maka kualitas produk harus diperhatikan serta waktu
pengiriman produk ke kota Makasar, namun bisanya diantar langsung oleh pedagang
pengumpul yang telah memiliki hubungan dengan pedagang antar pulau, sehingga produk
cabai tiba tepat waktu. Tujuan pasar antar pulau yaitu pulau Maluku, Jayapura dan
Kalimantan serta Kota Menado Sulawesi Utara.

Analisis Marjin Pamasaran Cabai Rawit

Analisis margin pemasaran adalah untuk mengetahui besarnya keuntungan pada


setiap saluran pemasaran cabai rawit. Pengertian margin pemasaran sering digunakan untuk
menjelaskan fenomena yang menjembatani gap antara pasar ditingkat petani dengan pasar
ditingkat eceran (Asmarantaka 2009).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 403
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 1. Margin pemasaran cabai rawit pada saluran I di desa Pasampang, Kecamatan Pakue
Tengah, Kebupaten Kolaka Utara Tahun 2016.
No Uraian Share (%) Jumlah (Rp/kg)
1 Petani 50,000*
Harga jual 10.000,-
2 Pedagang Pengecer 32,889**
Harga beli 10.000,-
Harga jual 15.000,-
Biaya pemasaran 250,-
Keuntungan pemasaran 4.933,34,-
Margin pemasaran 5.000,-
Sumber: Data primer telah diolah 2016

Tabel 1 yang menggambarkan margin pemasaran cabai rawit pada sistem saluran
pemasaran I yang menunjukkan bahwa bagian harga yang diterima oleh petani sebesar 50%,
sementara 50% tersebar ke lembaga-lembaga pemasaran lainya. Volume pemasaran pada
saluran pemasaran ini kecil. Rata-rata pedagang pengecer menjual sekitar 20 kg per hari dan
konsumennya adalah masyarakat sekitar perwakilan mobil dan masyarakat yang melintasi
jalan tersebut. Margin pemasaran sebesar Rp. 5.000,- yang terdiri dari biaya pemasaran
sekitar Rp. 250,-/kg dan keuntungan sekitar Rp. 4.933,34,-/kg.
Tingginya margin pemasaran pada saluran pemasaran pertama hal ini disebabkan
volume perdagangan atau pemasaran yang kecil sehingga mengambil keuntungan yang
cukup besar untuk setiap satuan. Hal ini sejalan dengan pendapat (Hadi dan Susetyo,2011)
bahwa pedangan dengan volume perdagangan yang besar hanya mengambil keuntungan
yang kecil persatuannya, sedangkan pedagang pengecer dengan volume perdagangan yang
kecil mungkin saja mengambil keuntungan yang besar per satuan.
Hal tersebut juga disebabkan oleh transakasi yang terjadi antara petani dengan
pedagang pengecer di rumah atau di kebun, dimana harga ditentukan oleh pedagang (pasar
Monopsoni), adalah suatu bentuk transaksi antara permintaan dan penawaran dimana
penawaran atau pembeli hanya satu, sehingga harga cenderung rendah karena ditentukan
oleh pedagang, (Jenis-jenis pasar berserta ciri-cirinya
https://gheearnii.wordpress.com/category/ekonomi) diupdate tanggal 9 oktober 2017.
Tabel 2 menggambarkan saluran pemasaran cabai rawit kedua. Terdapat tiga
lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran pemasaran tersebut, yaitu petani, pedagang
pengumpul dan pedang pengecer. Harga jual ditingkat petani sedikit lebih tinggi dibanding
harga jual petani pada saluran pemasaran I. Hal ini karena petani pemasarkan produknya di
pasar tradisional, mereka membutuhakn biaya transportasi untuk ke pasar sehingga harga
jual cabai rawit sedikit lebih tinggi.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


404 | Teknologi Pertanian
Tabel 2. Margin pemasaran cabai rawit pada saluran pemasaran ke II di desa Pasampang,
Kecamatan Pakue Tengah, Kebupaten Kolaka Utara Tahun 2016.
No Uraian Share (%) Jumlah (Rp/kg)
1 Petani 72,222*
Harga jual 13.000,-
2 Pedagang pengumpul 12,666**
Harga beli 13.000,-
Harga Jual 15.000,-
Biaya Pemasaran 100,-
Keuntungan pemasaran 1.900,-
Margin pemasaran 2.000,-
3 Pedagang Pengecer 13,888**
Harga beli 15.000,-
Harga Jual 18.000,-
Biaya Pemasaran 500,-
Keuntungan pemasaran 2.500,-
Margin pemasaran 3.000,-
Total biaya pemasaran 600,-
Total keuntungan 4.400,-
Total margin pemasaran 5.000,-
Sumber: Data primer telah diolah 2016

Share harga yang diterima oleh petani padat tabel II 72,222%. Jadi petani cabai rawit
dapat menguasai harga 72,222% sedangkan hanya 27,778% dikuasai oleh lembaga
pemasaran lainnya, yaitu pedagang pengumpul dan pengecer. Share keuntungan yang
diterima lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran kedua sebesarn
12,666% pedagang pengumpul dan 13,888% untuk pedangan pengecer pasar Lapai Lasusua
Kolaka Utara. Volume penjualan untuk pedagang pengumpul sekitar 500 kg sementara biaya
pemasaran merupakan biaya transport ketempat tujuan.
Volume penjualan untuk pedagangang pengecer sekitar 10-12 kg per hari. Walaupun
share dan mergin lebih tinggi pada pedagang pengecer dibanding pedagang pengumpul,
namum demikian pedangan pengumpul memiliki keuntungan yang lebih tinggi karena
volume penjualan lebih besar. Total margin pemasaran cabai rawit pada saluran pemasaran
kedua yaitu Rp.5000,- per kg, yang terdiri dari total biaya pemasaran sebesar Rp. 600,- per kg
dan total keuntungan pemasaran sebesar Rp. 4.400,- per kg.
Tabel III menggambarkan pemasaran cabai rawit yang melibatkan banyak lembaga
pemasaran dan dapat menjangkau beberapa pasar bukan hanya pasar di provinsi Sulawesi
Tanggara tetapi dapat menjangkau pasar antar kota provinsi atau antar pulau. Namun
penulis hanya dapat menggambarkan pamasaran cabai rawit dari petani sampai ke salah
satu pasar Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu pasar Makale Tanah Toraja. Suatu
daerah atau yang memiliki konsumen cabai rawit yang cukup tinggi.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 405
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 3. Margin pemasaran cabai rawit pada saluran III di desa Pasampang,
Kecamatan Pakue Tengah, Kebupaten Kolaka Utara Tahun 2016.
No Uraian Share (%) Jumlah (Rp/kg)
1 Petani 52,000*
Harga jual 13000
2 Pedagang pengumpul 27,272**
Harga beli 13000
Harga Jual 22000
Biaya Pemasaran 2000
Keuntungan pemasaran 6000
Margin pemasaran 9000
3 Pedagang Pengecer 17,600**
Harga beli 20000
Harga Jual 25000
Biaya Pemasaran 600
Keuntungan pemasaran 4400
Margin pemasaran 5000
Total biaya pemasaran 2600
Total keuntungan 9400
Total margin pemasaran 12000
Sumber: Data primer telah diolah 2016

Tabel III menunjukkan bahwa besarnya margin pemasaran cabai rawit di Desa
Pasampang sebesar Rp. 12.000,- per kg. Harga tersebut tidak jauh dengan harga yang
diterima oleh petani sebesar Rp. 13.000,- per kg. Sejatinya nilai margin seharusnya jauh lebih
kecil dari pada harga di tingkat produsen, (Syamsul hadi, 2011).
Nilai margin tersebut terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran
sehingga share harga yang diterima oleh petani sebesar Rp. 52.00%. Lembaga pemasaran
yang memiliki keuntungan yang cukup tinggi dalam rantai pemasaran ini adalah pedagang
pengumpul. Hal ini terjadi karena volume penjualan cabai rawit cukup tinggi.
Dari ketiga rantai pemasaran yang terjadi dapat di ketahui bahwa selain volume
penjualan, saluran pemasaran yang panjang dapat menyebabkan tingginya margin
pemasaran. Hal ini sejalan dengan pendapat dari, (Azzaino, 1983 dalam Fauzi dan Ferizai,
2016) bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam penyaluran suatu
barang, maka semakin besar harga yang harus dibayar oleh konsumen akhir, yang
menyebabkan tingginya margin pemasaran.
Saluran pemasaran pertama dan kedua memiliki margin pemasaran yang sama
walaupun saluran pemasaran pertama lebih pendek daripada saluran pemasaran kedua,
seyogyanya rantai pemasaran pertama memiliki margin lebih rendah dari rantai pemasaran
kedua. Hal yang berbeda pada kedua rantai pemasaran tersebut adalah konsumen akhir
pada untuk saluran pertama merupakan penumpang angkutan lintas provinsi sementara
saluran pemasaran kedua adalah konsumen lokal kota Lasusua Kolaka Utara.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


406 | Teknologi Pertanian
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil dan pembahasan tentang saluran dan margin
pemasaran cabai adalah:
Terdapat tiga bentuk saluran pemasaran cabai rawit yang terdapat di lokasi kajian,
yaitu:
Petani Pedagang Pengecer Konsumen
Petani Pedagang Pengumpul PP/Warung Makan Konsumen
Petani Pedagang Pengumpul Antar Kota Pedagang Pengecer Konsumen
Soroako/Malili/Tanah
Toraja.
Share harga tertinggi yang diterima oleh petani dari ketiga rantai pemasaran cabai
rawit yang terjadi lokasi kajian, terdapat pada rantai atau saluran pemasaran yang kedua
yaitu sebesar 72,222%.

DAFTAR PUSTAKA
Asmarantakan RW, 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Dalam Bunga Rampai
Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB.
Bogor: IPB Press.
Emlan Fauzi dan M.Ferizal, 2016. Kajian Pemasaran Jagung di Desa Saree Kecamatan
Seulawang Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian Meosern Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan.Hotel Santia
Bengkulu, 08 November 2016.
Husni, Abdul Kholik Hidayah, dan Maskan AF, 2014. Analisis Finasial Usahtani Cabai Rawit
(Capsium Frutetescens L) Desa Puwajaya Kecamatan Loa Jana. Jurnal AGRIFOR
Volume XIII Nomor 1, Maret 2014.
https://gheearnii.wordpress.com/category/ekonomi. Jenis-jenis pasar berserta ciri-cirinya.
diupdate tanggal 9 oktober 2017.
Prayitno B.A, Hassyim A.I, Situmorang S. Efisiensi Pemasaran Cabai Merah di Kecamatan
Adiluwih Kabupaten pringsewu Provinsi Lampung.
Pusdatin, 2016. Komoditas Pertanian Sub Sektor Hortikultura. Outlook Cabai Merah Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian. Kementrian Pertanian 2016.
Sinar Tani, 2016. Meredam Pedasnya Harga Cabai. Sinar Tani Edisi 27 April-3 Mei 2016 No
3652 Tahun XLVI.
Nurdin. 2011. Teknologi Perkembangan Agribisnis Cabai di Kabupaten Boalemo Provinsi
Gorontalo. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. Volme 30 Nomor 2, 2011.
Syamsul Hadi dan A. Bodi Susetyo, 2011. Analisis Pemasaran Cabai Merah (Capsicum annum
L) di Kabupaten Jember. Agritrop Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 407
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PEMANFAATAN TRICHODERMA VIRIDE UNTUK PENGENDALIAN
PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT

Antonius Lawang*, Eko Agus Martanto**, dan D.K. Erari **

*Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Manokwari


**Laboratorium Hama Penyakit Tanaman Faperta Unipa
e-mail: e_a_martanto@yahoo.com

ABSTRACT
Trichoderma viride is an antagonist fungus that capable of controlling Fusarium wilt disease in
tomato plants. The research was conducted in Laboratory of Plant Diseases of Agricultural
Faculty, Papua University, Manokwari and Laboratory of Pest and Disease Observation Prafi
Manokwari. The objective of the study was to evaluate the capability of Trichoderma viride in
suppressing Fusarium oxysporium f. sp. lycopersici on tomato plants. This study was designed
using Factorial Complete Random Design consisting of four varieties of tomato plants, four
treatments of Trichoderma and repeated three times. Data analysis was performed using
analysis of variants (ANOVA), if a significant effect of treatment, it is followed by BNJ test at
level of 95%. Trichoderma treatment affects plant height because Trichoderma is synergistic
with solvent-phosphate bacteria. Plant heigh of Mawar varieties are higher than Lentana,
Permata and Karina varieties. The disease intensity of Mawar varieties was 32.50% followed by
Permata 51,58%, Karina 51,81% and Lentana 54,14%. The disease intensity of Fusarium wilt in
plants not given Trichoderma was higher (65,76%) than Fusarium application one week before
of Trichoderma (46,27%), Trichoderma and Fusarium application simultaneously (44,06%) and
Trichoderma application one week before Fusarium (33.33%). The best number of fruit branch,
flower, fruit and fruit weight was Trichoderma application one week before Fusarium (T1)
followed by Trichoderma and Fusarium application simultaneously (T2), Fusarium application
one week before Trichoderma (T3) and Fusarium application without Trichoderma (T0).
Keywords: Trichoderma viride, Fusarium oxysporium, control and tomato.

PENDAHULUAN
Tanaman tomat (Lycoversicum esculentum, Mill) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang sangat potensial untuk dikembangkan karena mempunyai nilai ekonomi
yang tinggi dan potensi ekspor yang besar. Di Indonesia daerah sentra produksi tomat
tersebar di beberapa provinsi antara lain: Jawa Barat, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali (Anonim, 2004). Dewasa ini budidaya tomat tidak hanya dikembangkan
secara tradisional tetapi masyarakat tani sudah mulai mengenal dan mengembangkan secara
intensif (Pracaya, 1989).
Produksi tomat di Indonesia rata-rata masih rendah, yaitu 6,3 ton/ha apabila
dibandingkan dengan negara-negara seperti Taiwan, Saudi Arabia, dan India dengan hasil
produksinya adalah 21 ton/ha, 13,4 ton/ha, dan 9,5 ton/ha. Kendala rendahnya produksi
tomat yang ada di Indonesia adalah varietas yang tidak cocok, pengulturan yang kurang baik,
atau pemberantasan hama dan penyakit yang kurang efisien (Kartapradja dan Djuariah,
1992). Salah satu penyakit yang menyebabkan penurunan produksi tomat, yaitu penyakit
layu Fusarium.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


408 | Teknologi Pertanian
Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxsysporium
merupakan penyakit akar yang paling merugikan pada tanaman tomat. Cendawan dapat
menyebabkan kerugian besar, terutama pada varietas tomat rentan dan pada kondisi
lingkungan sesuai (Holiday, 1980; Agrios, 2005). Selain menyerang tanaman tomat, Fusarium
oxysporium juga menyerang berbagai jenis tanaman lain seperti lombok (cabai), terung dan
kentang (Semangun, 2007).
Pertanaman tomat di daerah Prafi Manokwari banyak terinfeksi patogen tular tanah,
khususnya Fusarium oxysporium, f. sp. lycopersici. Hal ini ditunjukkan dengan selalu
dijumpainya penyakit tersebut disetiap musim tanam sehingga tanaman tersebut tidak
mampu memberikan hasil optimum.
Menurut Semangun, (2007) gejala serangan yang timbul akibat serangan penyakit ini
adalah pucatnya tulang-tulang daun, terutama daun-daun sebelah atas, kemudian diikuti
dengan merunduknya tangkai dan akhirnya tanaman menjadi layu secara keseluruhan. Jika
tanaman yang terserang penyakit ini dipotong dekat pangkal batang akan terlihat suatu
cincin coklat dari berkas pembuluh. Pada tanaman yang masih muda penyakit dapat
menyebabkan matinya tanaman secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi
kerusakan. Pada tanaman dewasa yang terinfeksi dapat bertahan sampai berbuah tetapi
hasilnya sangat sedikit dan buahnya tidak normal.
Pengendalian yang dilakukan dengan fungisida sintetis dapat menyebabkan dampak
negatif (Untung, 1996, Gamliel et al, 1997). Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana
dapat menimbulkan terganggunya ekosistem karena pestisida dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan serta meninggalkan residu yang berbahaya bagi kehidupan makhluk
bukan sasaran. Dengan adanya berbagai dampak negatif penggunaan pestisida sintetis,
maka perlu dicari alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan, misalnya
pengendalian dengan penggunaan agens hayati berupa cendawan antagonis.
Pengendalian secara biologis dengan menggunakan agens pengendali hayati
merupakan salah satu pengendalian yang perlu dikembangkan, sebab relatif murah dan
mudah dilakukan serta bersifat ramah lingkungan. Cendawan Trichoderma sp, merupakan
salah satu jenis cendawan yang dapat mengendalikan penyakit layu Fusarium.
Berdasarkan permasalahan di atas maka dalam upaya mengendalikan penyakit layu
Fusarium dengan menggunakan Trichoderma sp. sangat relevan untuk dilakukan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan cendawan Trichoderma viride dalam
menekan patogen Fusarium oxsysporium, f. sp. lycopersici pada tanaman tomat.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian


Universitas Papua dan Lahan Percobaan Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Pangan
dan Hortikultura (LPHP) Provinsi Papua Barat di Distrik Prafi Manokwari. Penelitian ini
dilaksanakan selama 4 bulan yaitu dari bulan Agustus-Desember 2014.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 409
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Metode

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap berfaktor yang terdiri atas faktor
antagonis dan varietas, diulang 3 kali. Faktor antagonis terdiri atas T0 = (Kontrol) Pemberian
Fusarium tanpa aplikasi Trichoderma, T1 = aplikasi Trichoderma satu minggu sebelum
pemberian Fusarium, T2 = aplikasi Trichoderma dan Fusarium secara bersamaan, dan T3 =
pemberian Fusarium satu minggu sebelum aplikasi Trichoderma. Sedangkan faktor varietas
terdiri atas V1 = Varietas Permata, V2 = Varietas Lentana, V3 = Varietas Karina dan V4 =
Varietas Mawar.

Perbanyakan Patogen Fusarium dan Antagonis Trichoderma

Media perbanyakan patogen Fusarium oxysporium adalah jagung giling dan pasir
dengan perbandingan jagung dan pasir adalah 1:3, sementara antagonis Trichoderma
diperbanyak menggunakan bahan dasar berupa sekam dan dedak dengan perbandingan 3:1.

Inokulasi patogen Fusarium dan aplikasi antagonis Trichoderma

Media pasir jagung yang sudah ditumbuhi oleh Fusarium oxysporium diaplikasi pada
tanaman dengan cara ditanam ke dalam tanah di sekeliling tanaman secara merata sebanyak
10 gram/tanaman sedalam 5 cm dari permukaan tanah kemudian disiram sampai lembab.
Kerapatan spora cendawan patogen yang digunakan adalah 5.8 x 106 spora/ml air.
Cendawan diaplikasikan dengan cara ditanam ke dalam tanah dengan dosis 10
gr/tanaman di sekeliling tanaman secara merata sedalam 5 cm dari permukaan tanah
kemudian disiram dengan air sampai lembab. Kerapatan spora cendawan yang digunakan
adalah 1,54 x 107 spora/ml air

Variabel pengamatan

a. Intensitas Penyakit
Pengamatan intensitas penyakit dilakukan pada umur tanaman 4-9 MST. Intensitas
penyakit dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Soesanto et al,
(2010) sebagai berikut:
Σ (ni × vi)
IP= ×100%
Z xN
Dimana: IP = Intensitas Penyakit,
ni = Banyaknya umbi dari setiap kategori infeksi,
vi = Nilai skala dari setiap kategori infeksi,
N = Jumlah umbi yang diamati,
V = Nilai skala tertinggi.
Kategori serangan yang dipakai adalah menurut Soesanto et al. (2010) sebagai
berikut:
0 = Tidak ada daun bergejala
1 = Gejala daun menguning 0-20 %

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


410 | Teknologi Pertanian
2 = Gejala daun menguning 21-40 %
3 = Gejala daun menguning 41-60 %
4 = Gejala daun menguning 61-80 %
5 = Gejala daun menguning >80 %
b. Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh
pada umur 4 MST sampai batas pertumbuhan maksimum.
c. Jumlah bunga per tanaman. Pengamatan terhadap jumlah bunga dihitung saat tanaman
mulai berbunga sampai bunga terakhir.
d. Jumlah tandan buah per tanaman. Semua tandan buah dihitung per tanaman saat
panen
e. Jumlah buah per tanaman Jumlah buah dihitung saat mulai keluar buah sampai panen
f. Bobot buah segar per tanaman (gr/tanaman). Buah yang segar dan baik dipanen dan
ditimbang pada saat panen.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf α = 0,05, jika
terjadi perbedaan antar perlakuan, uji dilanjutkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur
(BNJ) pada taraf α = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh varietas terhadap variabel yang diamati

a. Tinggi tanaman
Tinggi tanaman varietas uji berbeda nyata pada pengamatan 4-9 MST. Pada
pengamatan 9 MST varietas tanaman yang paling tinggi adalah varietas Mawar (128,20 cm)
diikuti varietas Lentana (91,85 cm), varietas Permata (86,24 cm) dan yang paling rendah
varietas Karina (69,55 cm) (Tabel 1).

Tabel 2. Pengaruh varietas terhadap tinggi tanaman.


Tinggi tanaman pengamatan minggu ke…..(cm)
Perlakuan
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
Var. Permata F1 22,82a 39,30 54,67a 74,85b 80,11b 86,24b
Var.Lentana F1 19,44b 31,93 53,35ab 77,06b 87,83b 91,85b
Var. Karina 19,42b 33,45 46,06b 56,45c 63,03c 69,55c
Var. Mawar 19,09b 34,95 57,93a 96,10a 109,55a 128,20a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ
pada aras 5%. Data ditransformasi Arcsin.

b. Intensitas penyakit
Gejala penyakit sudah tampak pada 4 MST. Pada pengamatan 9 MST intensitas
penyakit tertinggi pada varietas Lentana 54,14% dan terendah pada varietas Mawar 32,50%
(Tabel 2).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 411
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 3. Pengaruh varietas terhadap intensitas penyakit.
Intensitas Penyakit (IP) Pengamatan Minggu ke…(%)
Perlakuan
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
Var. Permata 1,51 2,92b 17,97ab 12,61 25,90ab 51,58a
Var.lentana 0,92 2,01b 18,17ab 14,76 37,36a 54,14a
Var. Karina 3,87 10,46a 26,36a 21,86 34,34a 51,81a
Var.mawar 1,06 3,99ab 13,21b 11,50 14,50b 32,50b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ
pada aras 5%. Data ditransformasi Arcsin.

c. Tandan buah, jumlah bunga, jumlah buah dan bobot buah per tanaman (gr)
Hasil analisa menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata pada jumlah tandan buah per
tanaman tetapi tidak berbeda nyata pada pengamatan jumlah bunga, jumlah buah, dan
bobot buah per tanaman. Tandan buah per tanaman terbanyak pada variertas mawar 9,15
dan terendah pada varietas Lentana sebesar 6,46. Jumlah bunga per tanaman terbanyak
pada Varietas Karina 63,91 dan paling sedikit pada varietas Permata 32,78. Jumlah buah per
tanaman tertinggi pada varietas Permata 26,59 dan terendah pada varietas Karina 23,10.
Bobot buah/tanaman terbanyak pada varietas Mawar 743,23 gr dan paling sedikit pada
varietas Karina 609,88 gr (Tabel 3).

Tabel 4. Pengaruh varietas terhadap jumlah tandan buah, jumlah bunga, jumlah buah dan
bobot buah per tanaman.
Perlakuan Jumlah Tandan buah Jumlah Bunga Jumlah Buah Bobot buah (gr)
Permata 7,22ab 32,78 26,59 639,16
Lentana 6,46b 53,14 23,45 662,57
Karina 8,25ab 63,91 23,10 609,83
Mawar 9,15a 60,05 26,24 751,99
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ
pada aras 5%. Data ditransformasi Arcsin.

Pengaruh Trichoderma Terhadap Variabel Yang Diamati

a. Tinggi Tanaman
Pengaruh Trichoderma terhadap tinggi tanaman hanya berbeda nyata pada
pengamatan 7 MST. Pada pengamatan 9 MST tinggi tanaman pada aplikasi patogen sebelum
aplikasi antagonis (T3) tertinggi sebesar 99,35 cm dan terpendek pada aplikasi patogen
tanpa antagonis (T0) sebesar 85,04 cm (Tabel 4).

Tabel 5. Pengaruh aplikasi Trichoderma viride terhadap tinggi tanaman.


Tinggi tanaman pengamatan Minggu Ke .... (cm)
Perlakuan
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
T0 20,35 35,91 49,47 68,84b 77,03 85,04
T1 20,10 35,05 53,44 76,24ab 87,87 95,80
T2 19,55 35,44 55,07 82,12a 87,62 95,65
T3 2076 33,23 54,03 77,26ab 88,00 99,35
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada aras
5%. Data ditransformasi Arcsin. T0= tanpa antagonis, T1= pemberian antagonis 1 mgg sebelum patogen, T2=
pemberian antagonis dan patogen bersamaan, T3= pemberian patogen 1 mgg sebelum antagonis

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


412 | Teknologi Pertanian
b. Intensitas Penyakit
Pengaruh Trichoderma terhadap intensitas penyakit hanya berbeda nyata pada
pengamatan 6 MST, sementara lainnya tidak berbeda nyata. Pada pengamatan terakhir
terlihat kecenderungan bahwa varietas yang diaplikasi patogen tanpa antagonis (T0)
intensitas penyakitnya lebih tinggi (65,76%) dibanding aplikasi antagonis sebelum aplikasi
patogen (T1) 33,33%, aplikasi antagonis dan patogen secara bersamaan (T2) 44,66%, dan
aplikasi patogen sebelum aplikasi antagonis (T3) 46,27% (Tabel 5).

Tabel 6. Pengaruh aplikasi Trichoderma viride terhadapi intensitas penyakit.


Intensitas penyakit pengamatan minggu ke….(%)
Perlakuan
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
T0 1,87 4,96 26,96a 15,36 32,74 65,76
T1 2,07 6,12 16,27ab 15,64 19,71 33,33
T2 1,56 3,46 18,29ab 15,75 29,04 44,66
T3 1,86 4,84 14,19b 13,97 30,59 46,27
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada aras
5%. Data ditransformasi Arcsin. T0= tanpa antagonis, T1= pemberian antagonis 1 mgg sebelum patogen, T2=
pemberian antagonis dan patogen bersamaan, T3= pemberian patogen 1 mgg sebelum antagonis

c. Tandan buah, jumlah bunga, jumlah buah dan bobot buah per tanaman (gr)
Pengaruh Trichoderma hanya berbeda nyata pada pengamatan bobot buah, tetapi
tidak berbeda nyata pada pengamatan tandan buah, jumlah bunga dan jumlah buah. Pada
pengamatan tandan buah per tanaman, jumlah bunga per tanaman, jumlah buah per
tanaman dan bobot buah per tanaman terlihat kecenderungan bahwa varietas yang tidak
diaplikasi antagonis (T0) lebih rendah dari pada yang diaplikasi antagonis (T1, T2 dan T3)
Tabel 6.

Tabel 7. Pengaruh varietas terhadap jumlah tandan buah, jumlah bunga, jumlah buah dan
bobot buah per tanaman.
Perlakuan Jumlah Tandan Buah Jumlah Bunga Jumlah Buah Bobot Buah (gr)
T0 6,33 47,12 20,59 430,58b
T1 8,35 59,00 27,85 812,00a
T2 8,34 49,58 27,18 743,16a
T3 8,07 54,17 23,76 677,25a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada aras
5%. Data ditransformasi Arcsin. T0= tanpa antagonis, T1= pemberian antagonis 1 mgg sebelum patogen, T2=
pemberian antagonis dan patogen bersamaan, T3= pemberian patogen 1 mgg sebelum antagonis

Pengaruh kombinasi perlakuan terhadap variabel yang diamati

a. Intensitas penyakit
Pada 4 MST, perlakuan V1T0, V1T3, V2T1, dan V4T0 belum menunjukkan gejala
penyakit. Pada pengamatan 5-8 MST, terjadi fluktuasi intensitas penyakit. Pengamatan ke-9
intensitas penyakit terendah pada perlakuan V4T3 18,66 % dan intensitas tertinggi pada
perlakuan V2T0 79,71 %. Pada pengamatan ini sebagian besar tanaman yang diuji sudah
kuning dan kering (Tabel 7).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 413
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 7. Pengaruh kombinasi varietas dan Trichoderma viride
terhadap intensitas penyakit.
Intensitas penyakit (IP) pengamatan minggu ke….… (%)
Perlakuan
4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST
V1T0 0,00 2,96 35,76 18,22 41,47 74,00
V1T1 3,37 8,75 19,62 9,66 19,20 38,33
V1T2 2,68 0,00 9,55 12,56 12,56 38,66
V1T3 0,00 0,00 6,96 10,00 30,61 55,53
V2T0 1,21 3,33 26,43 14,90 50,84 79,71
V2T1 0,00 0,00 8,44 12,92 15,33 22,00
V2T2 0,25 0,00 15,84 6,66 42,59 52,00
V2T3 2,22 2,72 20,99 24,57 40,00 52,86
V3T0 6,27 6,66 35,58 15,33 25,33 60,00
V3T1 4,33 10,00 18,46 16,66 24,33 37,00
V3T2 1,08 8,51 35,93 34,12 42,59 52,00
V3T3 3,81 16,66 15,49 18,00 45,10 58,25
V4T0 0,00 6,89 9,09 13,00 13,33 49,33
V4T1 0,60 5,73 18,59 20,00 20,00 26,00
V4T2 2,22 3,33 11,83 9,66 18,66 36,00
V4T3 1,43 0,00 13,33 3,33 6,00 18,66
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada aras
5%. Data ditransformasi Arcsin. T0= tanpa antagonis, T1= pemberian antagonis 1 mgg sebelum patogen, T2=
pemberian antagonis dan patogen bersamaan, T3= pemberian patogen 1 mgg sebelum antagonis

b. Jumlah tandan buah, jumlah buah, jumlah bunga dan bobot buah per tanaman
Jumlah tandan buah per tanaman terbanyak pada perlakuan V4T2 9.86 tandan dan
paling sedikit pada perlakuan V1T0 4.66 tandan. Jumlah buah per tanaman terbanyak pada
perlakuan V1T1 31,23 dan paling sedikit pada perlakuan V2T0 15,00 buah. Jumlah bunga
terbanyak pada kombinasi perlakuan V3T1 76,80 dan paling sedikit pada kombinasi
perlakuan V1T2 30,60 bunga. Bobot buah per tanaman paling banyak pada perlakuan V1T1
847,33 gr dan paling sedikit pada perlakuan V3T0 280,66 gr (Tabel 8).

Tabel 8. Pengaruh kombinasi varietas dan aplikasi Trichoderma viride terhadap tandan buah,
jumlah buah, jumlah bunga dan bobot buah/tanaman.
Perlakuan Jumlah Bunga Jumlah Tandan Buah Jumlah Buah Bobot Buah (gr)
V1T0 32,42 4,66 17,86 425,33
V1T1 33,33 9,60 31,23 847,33
V1T2 30,60 7,73 30,10 677,66
V1T3 34,80 6,90 27,16 606,33
V2T0 41,90 5,73 15,00 417,00
V2T1 59,66 6,80 26,63 809,66
V2T2 52,80 5,96 27,36 737,66
V2T3 58,20 7,36 24,83 683,66
V3T0 61,36 5,63 19,80 280,66
V3T1 76,80 9,00 24,43 778,33
V3T2 52,43 9,80 21,53 738,66
V3T3 65,06 8,60 23,96 641,66
V4T0 52,83 9,30 29,70 599,33
V4T1 66,23 8,03 25,10 812,66
V4T2 62,50 9,86 29,73 818,66
V4T3 58,63 9,43 20,43 777,33

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


414 | Teknologi Pertanian
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada aras
5%. Data ditransformasi Arcsin. T0= tanpa antagonis, T1= pemberian antagonis 1 mgg sebelum patogen, T2=
pemberian antagonis dan patogen bersamaan, T3= pemberian patogen 1 mgg sebelum antagonis

Pembahasan

Tinggi tanaman pada berbagai waktu pengamatan menunjukkan adanya perbedaan


terutama pada waktu pengamatan 6-9 MST. Perbedaan ini disebabkan karena sifat genetis
yang dimiliki oleh masing-masing varietas. Sopialena (2015) menyatakan bahwa varietas
tanaman mencapai batas pertumbuhan tertinggi sesuai dengan sifat genetiknya.
Pemberian Trichoderma mempengaruhi tinggi tanaman, terlihat pada pengamatan 6-
8 MST. Hal ini disebabkan karena Trichoderma merupakan salah satu mikroorganisme
pelarut pospat yang dapat digunakan sebagai pupuk biologis yang dapat melepaskan unsur
fosfat kemudian siap diserap oleh tanaman, sehingga pertumbuhan tinggi tanaman
berlangsung dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiadi (1989) yang menyatakan
bahwa keberadaan Trichoderma dalam tanah bersifat sinergis dengan bakteri pelarut fosfat.
Varietas Mawar memiliki intensitas penyakit yang rendah yaitu 32,50% kemudian
diikuti oleh varietas Permata, Karina dan Lentana. Pemberian Trichoderma mampu menekan
patogen Fusarium sehingga intensitas penyakit menjadi rendah. Menurut Purwantisari dan
Hastuti (2009) dan Semangun (1991) Trichoderma sp. merupakan antagonis yang sangat
penting untuk pengendalian hayati, selain memiliki mekanisme pengendalian yang spesifik
target, cendawan juga dapat mengkoloni rizosfer dengan cepat dan melindungi akar dari
serangan patogen.
Kombinasi perlakuan terbaik terdapat pada varietas Mawar dengan Trichoderma
yang menunjukkan adanya intensitas penyakit rendah, sementara kombinasi perlakuan
varietas Lentana dan Trichoderma menunjukkan adanya intensitas penyakit lebih tinggi.
Aplikasi Trichoderma, satu minggu sebelum pemberian patogen pada semua varietas uji
memberikan penekanan yang cukup tinggi terhadap patogen Fusarium. Dengan demikian
penggunaan Trichoderma lebih baik digunakan sebagai agens hayati untuk pencegahan
penyakit daripada diberikan bersamaan atau sesudah patogen.
Jumlah tandan buah, bunga dan bobot buah per tanaman terbanyak dijumpai pada
varietas Mawar yaitu masing-masing jumlah tandan buah (9,15), jumlah bunga (60,05) dan
bobot buah (743,25 gram). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan jumlah tandan buah,
jumlah bunga, jumlah buah dan bobot buah yang dihasilkan tanaman saling berkaitan
dimana semakin banyak tandan buah, jumlah bunga dan jumlah buah yang dihasilkan maka
akan menghasilkan bobot buah yang maksimal. Tingginya produksi bobot buah yang
dihasilkan oleh varietas Mawar dikarenakan antagonis yang diberikan telah menambah
kandungan unsur hara sehingga ketahanan tanaman menjadi meningkat. Mulat (2003)
melaporkan bahwa dengan tersedianya unsur hara baik makro maupun mikro bagi tanaman,
maka dapat membentuk ketahanan seperti pertahanan histologis pembentukan lapisan
gabus, pembentukan absisi dan juga pembentukan tilosis pada jaringan xylem sehingga
patogen sulit melakukan infeksi pada tanaman. Dengan demikian tanaman menjadi tahan
terhadap serangan patogen dan tumbuh lebih baik untuk menghasilkan buah yang sehat.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 415
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pemberian patogen tanpa aplikasi antagonis menyebabkan patogen dengan mudah
menyerang tanaman tomat dan berpengaruh terhadap jumlah tandan buah, jumlah bunga,
jumlah buah dan bobot buah sehingga produksi yang dihasilkan tanaman tomat turun.
Diduga antagonis yang diberikan menekan patogen dengan cara antibiosis dan parasitisme
sehingga mampu berkompetisi dengan patogen untuk mendapatkan nutrisi pada lingkungan
tanaman tomat. Hal ini sesuai dengan pendapat Papavizas (1985) menyatakan bahwa
Trichoderma viride menekan perkembangan patogen dengan berbagai cara seperti
antibiosis, parasitisme dan kompetisi.
Banyaknya bobot buah dipengaruhi oleh banyaknya tandan buah, jumlah bunga dan
jumlah buah yang dihasilkan. Bunga dan buah yang dihasilkan banyak yang tidak gugur
karena tanaman memiliki ketahanan terhadap patogen Fusarim yang diinokulasikan.
Bustaman (2000) mengemukakan bahwa mikroorganisme Trichoderma sp. menimbulkan
ketahanan pada tanaman yang diberi pupuk organik yang menyediakan fosfor sehingga
tanaman tumbuh lebih kuat dan membentuk percabangan karena tanaman mampu
membentuk epidermis yang lebih tebal.
Kombinasi varietas dan aplikasi Trichoderma viride menghasilkan jumlah tandan
buah, buah dan bobot buah yang banyak, sedangkan kombinasi pemberian patogen tanpa
aplikasi antagonis memberikan hasil yang lebih sedikit. Pernyataan ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Agrios (2005) bahwa perkembangan penyakit dipengaruhi oleh faktor
patogen virulen, inang rentan dan lingkungan yang mendukung. Ditambahkan oleh Farida
(2004) yang menyatakan bahwa patogen sukar melakukan penetrasi ke tanaman dan
menimbulkan penyakit apabila sistem perakaran terkuasai oleh antagonis.

KESIMPULAN
Pemberian Trichoderma mempengaruhi tinggi tanaman karena Trichoderma bersifat
sinergis dengan bakteri pelarut posfat. Tinggi tanaman varietas Mawar lebih tinggi dibanding
varietas Lentana, Permata dan Karina. Intensitas penyakit varietas Mawar paling rendah
32,50% kemudian diikuti varietas Permata 51,58%, varietas Karina 51,81% dan varietas
Lentana 54,14%. Intensitas penyakit layu Fusarium pada tanaman yang tidak diberi
Trichoderma lebih tinggi (65,76%) dibandingkan pemberian Fusarium satu minggu sebelum
aplikasi Trichoderma T3 (46,27%), aplikasi Trichoderma dan Fusarium secara bersamaan
(44,06%) dan aplikasi Trichoderma satu minggu sebelum pemberian Fusarium (33,33%).
Jumlah tandan buah, bunga, buah dan bobot buah per tanaman terbaik pada perlakuan
aplikasi Trichoderma satu minggu sebelum pemberian Fusarium (T1) disusul aplikasi
Trichoderma dan Fusarium secara bersamaan (T2), pemberian Fusarium satu minggu
sebelum aplikasi Trichoderma (T3) dan pemberian Fusarium tanpa aplikasi Trichoderma (T0).

DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology 5th ed Academic Press, New York.
Anonim. 2004. Pedoman Penerapan PHT Pada Agribisnis Tanaman Cabai. Direktorat Jenderal
Bina Produksi Hortikultura. Kementrian Pertanian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


416 | Teknologi Pertanian
Bustaman, H. 2000. Penggunaan Jamur Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan
Tanaman Jahe dan Penurunan Penyakit Layu. Seminar Nasional BKS Barat Bidang Ilmu
Pertanian. 23-24 September 2000.
Farida. N. 2004. Pemanfaatan Trichoderma harzianum dan Bahan Organik Pada Tanah
Entisol Untuk Menghambat Fusarium oxysporium Pada Tanaman Tomat
(Lycoversicum esculentum, Mill). Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Syah Kuala.
Fakultas Pertanian (tidak dipublikasikan).
Gamliel A, A. Grinstein, Y. Peretz, I. Klein, A. Nachmiaz, L. Tsror, I. Livescu & J. Katan, 1997.
Reduced dosage of metyl bromide for controlling verticillium wilt of potato in
experimental and commercial plots- plant dis.81:469-474.
Holliday, P. 1980. Fungus Diseases Of Tropikal Crops. Cambridge University Press,
Cambridge.
Kartapradja, R. dan D. Djuariah, 1992. Pengaruh tingkat kematangan buah tomat terhadap
daya kecambah, pertumbuhan dan hasil tomat. Buletin Penelitian Hortikultura Vol
XXIV/2.
Mulat T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kascing Sebagai Pupuk Organik Berkualitas.
Agromedia Pustaka Jakarta.
Papavizas G.C. 1985. Trichoderma and Giocladium. Biologi, Ecologi and Potensial for
Biocontrol. Ann Rev Phytopatology25: 23-54.
Pracaya, 1989. Bertanam Tomat. Kanisius Yogjakarta.
Purwantisari, S. dan R. B. Hastuti. 2009. Isolasi dan Identifikasi Jamur Indegenous Rhizosfer
Tanaman Kentang dari Lahan Pertanian Kentang Organik di Desa Pakis. Laboratorium
Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadja Mada
University Press Yogyakarta.
Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Pusat Antar Universitas-
Bioteknologi. IPB Bogor.
Soesanto, L., E. Mugiastuti & R.F. Rahayaniati, 2010. Kajian Mekanisme Antagonis
Pseudomonas fluorescens P60 Terhadap Fusarium oxysporium, f sp lycopersici Pada
Tanaman Tomat In Vivo. Hal 109.
Sopialena. 2015. Ketahanan Beberapa Varietas Tomat Terhadap Penyakit Fusarium
oxysporum dengan Pemberian Trichoderma sp. Jurnal AGRIFOR Volume XIV Nomor 1.
Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman
Untung K, 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadja Mada University Press
Yogyakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 417
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
IBM KAMPUNG KAMERI YANG MENGALAMI
MASALAH PERONTOKAN POKEM

Paulus Payung1), Abadi Jading1), Adelin Tanati2)


1)
Jurusan Teknologi Pertanian , Fakultas Teknologi Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban Manokwari-98314, Papua Barat.
2)
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Papua
e-mail: payung.paulus@yahoo.com

ABSTRACT
Pokem or wheat Papua is one of the papua local food, which has a strategically cultural value.
Pokem postharvest processing especially at the threshing stage was done in a
conventional/traditional manner, so this method is very complicated and inefficient as well as
has a limited capacity. To optimize the postharvest processing especially in the threshing
process, the appropriate equipment that can work more quickly, efficiently and easily operated
was required. The purpose of this study is to design a prototype of mechanical pokem thresher
with a petrol engine drive to increase the threshing efficiency and capacity. This research was
conducted with two stages, the first stage is to design a prototype mechanical pokem thresher
and the second is a application in Numfor. Results of this research is a prototype of mechanical
pokem thresher and the test results showed that the average of threshing capacity is 18 kg/h,
the average of threshing efficiency is 86% and the average of percentage panicles separation is
96,4%. This pokem thresher has applicated in Numfor Kameri Village.
Keywords: Pokem thresher, local food , prototype, techno-economic evaluation

PENDAHULUAN
Pokem merupakan tumbuhan sejenis gandum yang banyak tumbuh di Papua,
khususnya di Kabupaten Biak Numfor. Pokem dapat tumbuh bebas dilahan kering tanpa
tergantung pada pengairan/irigasi yang memadai (Zooleh, H. At.al, 2011). Pokem dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup rumah tangga, industri-industri pengolahan makanan,
pakan ternak dan sektor-sektor lainnya. Selain itu, menurut (Budi, 2003) pokem telah
digunakan oleh masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman Papua pada jaman Belanda
sebagai makanan kesehatan, khususnya ibu hamil, makanan tambahan anak balita, dan lain-
lain.
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pokem sebagai
makanan alternatif di Papua adalah teknologi pascapanen. Teknologi pascapanen pokem
sangat penting bagi masyarakat karena merupakan jenis tanaman yang menghasilkan ukuran
biji yang sangat kecil dengan diameter 1 sampai 1,2 mm, sehingga memerlukan penanganan
secara khusus agar kualitas tepung yang dihasilkan lebih baik (Jading dan Bahri, 2005).
Pengolahan pascapanen pokem oleh masyarakat di Papua masih menggunakan cara yang
sangat sederhana atau konvensional, karena belum tersedianya peralatan dan mesin
pascapanen yang lebih baik, sehingga faktor inilah yang menyebabkan masyarakat tidak
serius membudidayakan pokem. Untuk mengoptimalkan proses penanganan pasca panen
pokem maka diperlukan ketersediaan peralatan yang dapat bekerja lebih cepat, efisien,
serta mudah dioperasikan oleh masyarakat (Payung. dkk ,2009). Dalam penelitian ini telah

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


418 | Teknologi Pertanian
dirancang suatu prototipe alat perontok pokem mekanis dengan menggunakan motor bakar
sebagai sumber tenaga penggerak yang dilengkapi dengan ayakan untuk memisahkan biji
pokem dengan malainya. Dengan adanya peralatan tepat guna ini maka diharapkan dapat
membantu petani dalam penanganan pasca panen pokem serta dapat menginspirasi
masyarakat dan pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi pokem.

METODE PELAKSANAAN
Tahapan dari kegiatan ini terdiri dari 2 tahapan yaitu tahapan pertama mendesain
alat perontok pokem mekanis dan tahapan kedua penerapan alat perontok pokem di
kampung Kameri Numfor. Komponen alat perontok pokem terdiri dari penutup perontok,
tempat pemasukan, komponen transmisi dan motor bakar, rangka alat, unit perontok,
silinder perontok, pengeluaran biji, serta bagian pemisah .
Pengujian alat bertujuan untuk mengetahui kinerja alat perontok pokem yang telah
dirancang bangun sebelum diaplikasikan di masyarakat. Parameter yang diamati adalah
efisiensi perontokan, persentase pemisahan malai, dan kapasitas perontokan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perancangan Evaluasi Teknis Alat

Telah dirancang suatu prototipe alat perontok pokem (Gandum Papua) mekanis yang
diperuntukkan untuk merontokkan atau memisahkan biji pokem dari malainya. Propotipe
alat perontok ini digerakkan dengan motor bakar (Honda 5,5 hp). Mekanisme kerja alat ini
adalah dengan prinsip malai pokem dimasukkan ke dalam saluran pemasukan dan malai
pokem dihantam oleh gigi perontok. Gigi perontok dipasang pada permukaan silinder
perontok yang digerakan secara mekanis dengan sistim puli dan sabuk. Alat perontok ini di
lengkapi dengan ayakan bergetar untuk memisahkan biji pokem dan malai serta benda asing
lainnya. Bagian-bagian dari alat ini terdiri dari beberapa komponen yang saling menopang
satu dengan lain sehingga membentuk suatu sistem sebagai perontok biji pokem mekanis.
Konstruksi alat perontok ini berdimensi panjang 70 cm, lebar 40 cm dan tinggi 74 cm,
dan bagian fungsional berupa silinder perontok yang dilengkapi dengan gerigi perontok
dengan ukuran diameter silinder 35 cm, panjang silinder perontok 38 cm dan tinggi gigi
perontok 4 cm.

Kapasitas Perontokan

Rata-rata kapasitas perontokan yaitu bobot biji pokem yang terontok (kg) per waktu
perontokan (jam). Rata-rata kapasitas perontokan yang diperoleh adalah 18 kg/jam.
Kapasitas dari alat ini masih terbatas, hal ini diakibatkan faktor fisik pokem yang berukuran
sangat kecil dan faktor bentuk gerigi perontok sehingga malai pokem banyak terpotong
sebelum terontok. Namun sebaliknya kapasitas yang diperoleh dengan alat ini sangat tinggi
jika dibandingkan dengan kapasitas perontohkan secara manual yang telah rancang
sebelumnya yang hanya berkapasitas 6,54 kg/jam.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 419
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Efesiensi perontokan

Efisiensi perontokan merupakan perbandingan antara pokem yang terontok dengan


total biji pokem.Rata-rata efisiensi perontokan yang hasilkan dari alat rancangan ini adalah
80%. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap efisiensi perontokan adalah
karakteristik dari pokem itu sendiri dimana ukuran pokem yang sangat kecil sehingga sulit
untuk dirontokkan. Selain itu model gigi perontok yang berbentuk persegi empat sehingga
membuat bulir pokem terpotong sebelum terontok.

Persentase pemisahan malai

Persentase pemisahan malai merupakan jumlah malai yang keluar dari saluran
pengeluaran malai dibagi dengan total malai dalam satu kali proses perontokan. Rata-rata
persentase pemisahan malai adalah 90%, hal ini mengindikasikan bahwa proses permisahan
malai cukup bagus. Prinsip pemisahan malai dari alat ini adalah dengan sistim ayakan
bergetar yang digerakan oleh motor penggerak yang diturunkan dari as silinder perontok.

Penerapan Alat Perontok Pokem

Alat perontok pokem ini telah di terapkan pada masyarakat tepatnya di Kampung
Kameri Distrik Numfor Barat Papua sebagai salah satu kampung sentra produksi pokem di
Papua . Alat ini sangat meringankan pekerjaan petani pokem di daerah ini karena selama ini
proses perontokan pokem yang dilakukan masyarakat masih manual dengan menggunakan
kocokan kedua tangan dan menggunakan alu dan lesung.

KESIMPULAN
Telah dirancang satu unit perontok pokem mekanis dan telah diterapkan di Kampung
Kameri Pulau Numfor Papua pada tahun 2016

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada: Pihak
kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana kegiatan IbM tahun
2016. Tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Papua di Manokwari serta segenap anggota
kelompok petani pokem yang ada di Kampung Kameri.

DAFTAR PUSTAKA
Jading, A., dan S. Bahri. 2007. Rancang Bangun Alat Pengering Fluid Bed Berbasis Fuzzy Logic
Controller untuk Pengeringan Pokem (Gandum Papua). Laporan Penelitian. Fapertek
Unipa.
Jading, A., dan S. Gultom. 2007. Rancang Bangun Alat Pengering Pati Sagu Secara Fluidais
Berbasis Pengendali Logika Fuzzy untuk Meningkatkan Produksi Tepung Sagu di Papua
dan Papua Barat. Laporan Penelitian Beasiswa Unggulan P3SWOT Depdiknas. UNIPA
Manokwari.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


420 | Teknologi Pertanian
Payung, P., dan Jading, A. 2009. Desain dan Analisis Finansial Pengendali logika Fuzzy pada
Alat Pengering Pokem (Gandum Papua) Model Cross Flow Fluidazed Bed Secara
Kontinyu. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Unipa Manokwari.
Payung, P., dan Padang, E. 2012. Rancang Bangun dan Unjuk Kerja Alat Perontok dan
Pengupas Pokem (gandum Papua) Tepat guna untuk Produksi Tepung Pokem di
Papua. Laporan Penelitian Stategis Nasional. Unipa Manokwari
Zooleh, H., Jahansooz., Yanusa,I., Hosseini,S.M.B., Chaichi, M.R., Jafari, A. A. 2011. Effect of
Alternate Irrigation on root-devided Foxtail Millet (Setaria italic). Australian Journal of
cross Science.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 421
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGEMBANGAN DAN EVALUASI ALAT PERONTOK POKEM UNTUK
MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN SPESIFIK LOKAL

Paulus Payung, Abadi Jading, Reniana

Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Papua


Jl. Gunung Salju Amban Manokwari-Papua Barat kode Pos 98314
e-mail: payung.paulus@yahoo.com

ABSTRAK
Pengolahan pascapanen pokem khususnya pada tahapan perontokan masih dikerjakan secara
konvensional/tradisional sehingga cara ini sangat rumit, kurang efisien dan kapasitas yang
sangat terbatas. Dengan peralatan yang tradisional ini tentunya kurang menginspirasi petani
pokem di Papua untuk lebih meningkatkan produksi pokem. Untuk mengoptimalkan proses
penanganan pascapanen pokem khususnya pada proses perontokan, maka diperlukan peralatan
tepat guna yang dapat bekerja lebih cepat, efisien, serta mudah dioperasikan oleh masyarakat
(aplikatif). Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan prototipe alat perontok pokem
mekanis dengan penggerak menggunakan motor bakar untuk lebih meningkatkan efisiensi dan
kapasitas perontokkan. Penelitian ini dilakukan dengan tahapan pertama adalah
mengembangkan prototipe perontok pokem mekanis dan tahapan kedua adalah evaluasi alat
perontok pokem mekanis. Hasil penelitian ini adalah suatu prototipe alat perontok pokem
mekanis yang telah berfungsi sebagai suatu sistem perontok pokem mekanis. Hasil pengujian
diperoleh rata-rata kapasitas perontokkan 20,16 kg/jam, rata-rata efisiensi perontokan 87,34 %
dan rata-rata persentase pemisahan malai 91,72% .
Kata kunci: Pokem, pangan lokal, Prototipe, Perontok mekanis, Evaluasi

PENDAHULUAN
Pokem (Setaria italica L.) merupakan salah satu pangan spesifik Papua yang tersebar
dan tumbuh dengan subur di dataran Pulau Numfor, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi
Papua. Pokem dapat tumbuh bebas dilahan kering tanpa tergantung pada pengairan/irigasi
yang memadai (Zooleh, H. At.al, 2011). Masyarakat Papua mengenal pokem dengan sebutan
lain yaitu gandum Papua dan diluar pulau Papua, pokem dikenal dengan nama jewawut atau
hotong
Pokem dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup rumah tangga, industri-industri
pengolahan makanan, pakan ternak dan sektor-sektor lainnya. Selain itu, menurut (Budi,
2003) pokem telah digunakan oleh masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman Papua
pada jaman Belanda sebagai makanan kesehatan, khususnya ibu hamil, makanan tambahan
anak balita, dan lain-lain.
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pokem sebagai
makanan alternatif di Papua adalah teknologi pascapanen. Teknologi pascapanen pokem
sangat penting bagi masyarakat karena merupakan jenis tanaman yang menghasilkan ukuran
biji yang sangat kecil dengan diameter 1 sampai 1,2 mm, sehingga memerlukan penanganan
secara khusus agar kualitas tepung yang dihasilkan lebih baik (Jading dan Bahri, 2005).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


422 | Teknologi Pertanian
Pengolahan pascapanen pokem oleh masyarakat Papua masih menggunakan cara
yang sangat sederhana atau konvensional, karena belum tersedianya peralatan pascapanen
yang lebih baik, sehingga faktor inilah yang menyebabkan masyarakat tidak serius
membudidayakan pokem. Untuk mengoptimalkan proses penanganan pascapanen pokem
maka diperlukan ketersediaan peralatan yang dapat bekerja lebih cepat, efisien, serta
mudah dioperasikan oleh masyarakat (Payung. dkk ,2009.,2012).
Kegiatan penelitian ini adalah mengembangkan suatu prototipe perontok pokem
mekanis dengan menggunakan motor bakar sebagai sumber tenaga penggerak. Perancangan
dan pengembangan alat ini dilakukan dengan mengadopsi peralatan bijian-bijian lainnya
diantaranya perontok lada (Risfaheri ,et al.,1999). Dengan adanya peralatan ini, diharapkan
dapat membantu petani dalam penanganan pasca panen pokem serta dapat menginspirasi
masyarakat dan pemerintah daerah untuk lebih peningkatan produksi pokem dan
mempertahankan pokem sehingga terhindar dari kepunahan.

METODE PENELITIAN
Tahapan penelitian terdiri dari 2 tahapan yaitu tahapan pertama ada
mengembangkan alat perontok pokem mekanis dan tahapan kedua adalah uji kinerja alat
perontok. Kegiatan penelitian ini adalah mengembangkan prototipe perontok pokem yang
telah di rancang sebelumnya, Komponen-komponen dari alat perontok pokem ini terdiri dari
penutup perontok, tempat pemasukan, komponen transmisi dan motor bakar, rangka alat,
unit perontok, silinder perontok, pengeluaran biji, serta bagian pemisah.
Pengujian alat bertujuan untuk mengetahui kinerja prototipe perontok pokem yang
telah terbentuk. Biji pokem yang digunakan diperoleh dari kebun petani di kabupaten Biak
Numfor Papua. Setiap pengujian menggunakan biji pokem dan malai, dengan 3 kali ulangan.
Parameter yang diamati adalah: Kapasitas perontokan, efisiensi perontokkan, persentase
pemisahan malai. Kapasitas perontokan, efisiensi perontokkan dan persentase pemisahan
malai dihitung dengan formulasi sebagai berikut:
B1
Efisiensi Perontokan= × 100% (1)
(B2 + B1)
M1
Persentase pemisahan malai= × 100% (2)
M1 + M2
B1
Kapasitas= (3)
T
Keterangan: B1 : biji pokem yang terontok
B2 : biji pokem yang tidak terontok
M1 : Malai yang keluar pada pada keluaran malai
M2 : Malai yang terbaawa pada keluaran bijian
T : Waktu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 423
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Teknis Alat Perontok Pokem

Telah dikembangkan suatu prototipe alat perontok pokem (Gandum Papua) mekanis
yang diperuntukkan untuk merontokkan atau memisahkan biji pokem dari malainya
(Gambar 1). Propotipe alat perontok ini digerakkan dengan motor bakar (Honda 5,5 hp).
Mekanisme kerja alat ini adalah dengan prinsip bulir pokem dimasukkan ke dalam saluran
pemasukan lalu bulir pokem tersebut terontok dengan bantingan dari putaran silinder yang
dilengkapi dengan gigi perontok yang terbentuk dari baut dan mur. Gigi perontok dipasang
pada permukaan silinder perontok yang digerakan secara mekanis dengan sistim puli dan
sabuk.Bagian-bagian dari alat rancangan ini terdiri dari beberapa komponen yang saling
menopang satu dengan lain sehingga membentuk suatu sistem sebagai perontok biji pokem
mekanis.
Hopper
Silinder Perontok
Transmisi Daya
Keluaran Malai
Saluran Biji
Motor Bakar
Kerangka
Gambar 1. Prototipe perontok pokem yang telah dirancang

Setelah diadakan pengujian baik uji fungsional maupun uji struktural di workshop
perancangan dan di lapangan penelitian maka diperoleh spesifikasi prototipe perontok yang
disajikan pada Tabel 1.

Tabel.1. Spesifikasi struktural dan fungsional perontok pokem


No Spesifikasi
1 Namai Perontok pokem mekanis
2 Sumber daya Motor Bakar Honda 5,5 HP
3 Dimensi alat
a. Panjang 110 cm
b. Lebar 50 cm
c. Tinggi 90 cm
4 Sistem transmisi
a. Puly 14 in dan 4 in
b. Sabuk Sabuk (V-belt A) 87 in
5 Kapasitas 20,160 kg/jam
6 Efesiensi perontokan 87,34%
7 Persentase pemisahan malai 91,2%

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


424 | Teknologi Pertanian
Uji Kinerja alat perontok

Kapasitas perontontokan yaitu kemampuan alat perontok untuk merontokkan pokem


dalam waktu tertentu, kapasitas perontohkan dihitung dengan menggunakan persamaan 1
dimana, dengan menimbang biji pokem yang terontok (kg) dan mengukur waktu proses
perontokan (jam). Kapasitas yang diperoleh diperlihatkan pada Tabel 2. Pengujian dilakukan
3 kali ulangan dengan jumlah bahan dan waktu perontokan yang berbeda-beda.

Tabel.2. Kapasitas perontokkan yang dilakukan selama lima ulangan


Ulangan Pokem Terontok (kg) Waktu (jam) Kapasitas Perontokan (kg/jam)
1 3.45 0.167 20.70
2 2.35 0.122 19.23
3 4.34 0.211 20.56
Rata-rata 20.16

Berdasarkan Tabel 2. Rata-rata kapasitas perontokan yang diperoleh masih terbatas


yakni 20.16 kg/jam. Terbatasnya kapasitas ini diduga karena terbatasnya ruang perontok,
dalam hal ini silender perontok yang kurang panjang dan jarak gigi perontok yang jauh
(jarang), selain itu kapasitas perontokan juga dipengaruhi oleh saluran pemasukan bulir
pokem (hopper) yang masih terbatas yang mempengaruhi pemasukan bulir pokem kedalam
silinder perontok.
Namun jika dibandingkan dengan kapasitas perontohkan secara manual dengan alat
yang telah rancang sebelumnya yang hanya berkapasitas 6,54 kg/jam maka dengan adanya
pengembangan perontok ini kapasitas perontokan yang diperoleh cukup besar. Demikian
juga dengan proses perontokan dilakukan di Numfor sebagai sentra pokem dengan kapasitas
yang sangat terbatas 1-2 kg/jam.

Efesiensi perontokan

Efisiensi perontokan merupakan perbandingan antara pokem yang terontok dengan


total biji pokem yang dirumuskan pada persamaan 2. Efisiensi perontokan yang diperoleh
dari alat perontok ini diperlihatkan pada Tabel 3. Biji pokem yang terontok keluar dari
saluran pengeluaran biji pokem dan biji pokem yang tidak terontok sebagian besar keluar
bersama malai dari saluran pengeluaran malai

Tabel 3. Rata-rata efisensi perontokan biji pokem


Ulangan Total biji (kg) Biji terontok (kg) Efesiensi perontokan (%)
1 4.28 3.45 80.70
2 2.48 2.35 94.95
3 5.23 4.34 86.37
Rata-rata 87.34
Rata-rata efisiensi perontokan yang hasilkan dari alat rancangan ini adalah 87.34%.
Terbatasnya efisiensi perontokan di akibatkan oleh dan jarak gigi perontok yang cukup jauh
dan ruang perontokan yang terbatas. Selain itu efisiensi perontokkan juga dipengaruhi dari
faktor internal pokem dengan karakteristik pokem yang berukuran kecil dan bulir yang padat
sehingga sulit untuk dirontokkan secara tuntas.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 425
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Persentase pemisahan malai

Persentase pemisahan malai merupakan banyaknya malai yang keluar dari saluran
pengeluaran malai (Gambar.2) dari alat rancangan dibagi dengan total malai dalam satu kali
proses perontokan.

Gambar 2. Malai pokem sisa perontokan dengan alat perontok

Persentase pemisahan malai yang diperoleh selama lima kali ulangan pengujian
dengan formulasi sesuai dengan persamaan (3) dan hasilnya pemisahan diperlihatkan pada
Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata pemisalahan malai


Ulangan Total malai Malai yang keluar dari saluran malai Persentase pemisahan malai (%)
pokem (kg) (kg)
1 1.06 1.02 96.23
2 0.78 0.65 83.33
3 1.36 1.30 95.59
rata-rata 91.72

Pada Tabel 4. Rata-rata persentase pemisahan malai dari alat ini adalah 91,72%, hal
ini mengindikasikan bahwa proses permisahan malai pada alat ini belum maksimal. Prinsip
pemisahan malai dari alat ini adalah sisa malai setelah proses perontokan dialirkan ke ujung
silinder dan dibuang keluar silinder oleh baling-baling yang berputar.

KESIMPULAN
Telah dikembangkan suatu prototipe Alat perontok pokem (Gandum Papua) mekanis
yang gerakkan oleh motor bakar dan dapat berfungsi sebagai suatu sistem perontok pokem
tepat guna yang dapat dioperasikan satu orang. Rata-rata kapasitas perontokkan dari alat ini
adalah 20,16 kg/jam, rata-rata efisiensi perontokan 87,34% dan rata-rata persentase
pemisahan malai adalah 91,72%. Protototipe perontok ini masih perlu penyempurnaan lebih
lanjut.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nasional di
Jakarta atas bantuan dana penelitian produk Terapan; Ketua Lembaga Penelitian Universitas

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


426 | Teknologi Pertanian
Negeri Papua di Manokwari; Kepada saudara Sutrisno selaku Teknisi di Bengkel Teknologi
Pertanian.

DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S. 2005. Tata Cara Penanaman dan Penanganan Pascapanen Gandum Papua. Jurnal
Agrotek. Fapertek Unipa.
Jading, A., dan S. Bahri. 2007. Rancang Bangun Alat Pengering Fluid Bed Berbasis Fuzzy Logic
Controller untuk Pengeringan Pokem (Gandum Papua). Laporan Penelitian. Fapertek
Unipa.
Payung, P., dan Jading, A. 2009. Desain dan Analisis Finansial Pengendali logika Fuzzy pada
Alat Pengering Pokem (Gandum Papua) Model Cross Flow Fluidazed Bed Secara
Kontinyu. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Unipa Manokwari
Payung, P., dan Padang, E. 2012. Rancang Bangun dan Unjuk Kerja Alat Perontok dan
Pengupas Pokem (gandum Papua) Tepat guna untuk Produksi Tepung Pokem di
Papua. Laporan Penelitian Stategis Nasional. Unipa Manokwari
Risfaheri dan T. Hidayat. 1999. Rancang Bangun Alat Perontok Lada dengan Penggerak
Engkol Untuk Pengolahan Lada Hitam. Jurnal LITRI.
Zooleh, H., Jahansooz., Yanusa, I., Hosseini, S. M. B., Chaichi, M. R., Jafari, A. A. 2011. Effect
of Alternate Irrigation on root-devided Foxtail Millet (Setaria italic). Australian Journal
of cross Science.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 427
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PRODUKSI ASAP CAIR BERBAHAN DASAR KULIT BATANG SAGU
ASAL PAPUA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PIROLISIS

Sarman Oktovianus Gultom1), Isak Silamba1), Purnama Darmadji2), Yudi Prayitno2)


1)
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari-Papua Barat.
2)
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
e-mail: sarmangultom@yahoo.com

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan asap cair berbahan baku kulit
sagu asal Papua dengan melihat rendemen, kandungan serta sifat fisik asap cair. Metode yang
digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental dengan melakukan proses pirolisis
kulit batang sagu pada suhu 450oC dan dilanjutkan dengan proses redestilasi untuk
menghasilkan asap cair redestilasi yang lebih jernih. Kulit batang sagu yang digunakan memiliki
kadar air sebesar 10,4% dengan kadar selulosa, hemiselulosa dan ligni berturut-turut sebesar
52,6%, 30,2%, dan 17,1%. Pada proses pembuatan asap cair dihasilkan produk samping, yaitu
tar dan arang hasil pembakaran kulit batang sagu. Asap cair yang dihasilkan dari proses pirolisis
merupakan asap cair kasar karena masih bercampur dengan tar. Asap cair kasar masih perlu
dilakukan redestilasi untuk menghasilkan asap cair redestilasi yang aman diaplikasikan pada
bahan pangan. Rendemen asap cair yang diperoleh sebesar 32,6% dimana warna asap cair
kuning kecoklatan diakibatkan telah terjadinya pirolisa lignin.
Kata kunci: asap cair, pirolisis, kulit sagu, suhu, rendemen.

PENDAHULUAN
Sagu (Metroxylon Sp.) merupakan salah satu sumber bahan pangan di beberapa
daerah di Indonesia seperti Maluku, Papua, Mentawai, dan Sulawesi (Haryanto dan
Pangloli,1992). Flach (1997) menyebutkan bahwa dari 2,2 juta ha lahan sagu yang ada di
seluruh dunia, sekitar 1.4 juta ha terdapat di hutan-hutan Indonesia dan sekitar 0,994 juta
areal sagu terdapat di Papua. Sedangkan, Haryanto dan Pangloli (1992) melaporkan bahwa
tanaman sagu tersebar hampir diseluruh wilayah Papua, mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi.
Pada umumnya, dalam menghasilkan pati sagu, masyarakat Papua pengolah sagu
memilih batang sagu yang telah matang dan siap dipanen sehingga dapat menghasilkan pati
sagu yang optimal. Batang sagu tersebut kemudian dibersihkan dan di keluarkan kulitnya
untuk diambil empulur dimana pati sagu berasa. Kulit batang sagu tersebut hanya dibuang
sebagai limbah tanpa dimanfaatkan kembali. Secara umum, rendemen pati sagu yang
dihasilkan untuk setiap pohon sagu adalah sebesar 30%, sedangkan limbah yang dibuang
dari proses pengolahan sagu adalah sebesar 70%, dimana sebagian besarnya adalah limbah
kulit batang sagu.
Berdasarkan beberapa kajian, komposis kulit batang sagu adalah lignin, selulosa dan
hemiselulosa. Oleh sebab itu, kulit batang sagu dapat digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan acap cair. Asap cair merupakan asam cuka (vinegar) diperoleh dari proses

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


428 | Teknologi Pertanian
pirolisis menggunakan bahan baku yang mengandung bahan selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Asap cair merupakan fraksi cairan yang mengandung komponen senyawa kimia yang
sangat kompleks, terdiri dari aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, ester, furan, turunan
piran, fenol, turunan fenol (senyawa-senyawa fenolat), hidrokarbon, dan senyawa-senyawa
nitrogen diperoleh melalui degradasi termal biomassa yang mengandung lignin,
hemiselulosa, dan selulosa dengan sedikit oksigen (Visciano et al., 2008; Manu et al., 2009).
Melihat besarnya potensi ketersediaan kulit batang sagu yang ada di Papua serta
belum termanfaatkannya kulit batang sagu tersebut, maka penelitian asap cair dari kulit
batang sagu penting untuk dilakukan. Komponen bioaktif yang terkandung di dalam asap cair
dari kulit batang sagu tersebut perlu diketahui untuk nantinya dapat diaplikasikan pada
produk pangan, khususnya pada ikan cakalang asap asal Manokwari. Daya simpan serta
pengahambatan pertumbuhan mikroba pada ikan cakalang asap menjadi fokus dari
pengaplikasian asap cair yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan waktu

Penelitian ini dilakukan di dua laboratorium, yaitu Laboratorium Teknologi Pertanian


UNIPA dan Laboratorium Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada.
Persiapan kulit batang sagu sebagai sampel penelitian disiapkan di Laboratorium Teknologi
Pertanian sedangkan proses pirolisis hingga analisis asap cair dilakukan di Laboratorium
Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah kulit batang sagu yang tumbuh di
Papua. Bahan kimia yang digunakan dalam melakukan analisis antara lain akuades, larutan
garam, larutan asam galat. Alat-alat yang digunakan antara lain peralatan gelas, termometer,
dan timbangan analitik

Analisis

Uji Kadar Air (AOAC, 1990)


Kulit batang sagu yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1 gr dalam botol yang
telah diketahui berat konstannya. Sampel dioven pada suhu 105oC selama 3-5 jam kemudian
sampel dikeluarkan dan didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang. Sampel
dipanaskan kembali dalam oven selama 30 menit, dikeluarkan dan didinginkan dalam
eksikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang hingga mencapai berat konstan (selisih
penimbangan ≤ 0,2 mg).
Uji kadar selulosa, hemiselulosa, lignin (metode fraksinasi Cheeson, 1987)
Kulit batang sagu yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1 gr (a) kemudian
dimasukkan dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 150 ml aquades dan direflux pada suhu
100oC selama 1 jam.Bahan disaring dan dicuci dengan aquades sebanyak 300 ml. Residu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 429
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC sampai berat konstan (b) (a). Residu kering
dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan 150 ml H 2SO4 1 N dan refluxs pada suhu
100oC selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan pencucian residu dengan
aquades panas 300 ml. Residu dikeringkan dan ditimbang hingga berat konstan (c) (b).
Residu yang telah kering didestruksi dengan 10 ml H 2SO4 72% pada suhu kamar selama 4 jam
kemudian ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N dan refluks pada suhu 100oC selama 1,5 jam
kemudian disaring dan residu dicuci dengan air panas 400 ml. Residu dikeringkan dan
ditimbang sampai berat konstan (d) (c). Residu kering diabukan dan ditimbang hingga berat
konstan (e) (d).
Perhitungan:
Kadar Hemiselulosa = (b-c) 100%/a
Kadar selulosa = (c-d) 100%/a
Kadar Lignin = (d-e) 100%/a
Uji proksimat asap cair. Uji proksimat asap cair yaitu kadar fenol dengan
menggunakan metode Senterr (1989), kadar karbonil dengan metode Lapin (1951),
keasaman dengan pH meter dan titrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi asap cair sangat dipengaruhi oleh komponen penyusun dari bahan yang
digunakan. Perbedaan jenis kayu sebagai bahan dasar produksi asap cair dapat memberikan
hasil yang berbeda karena tiap jenis kayu memiliki komponen penyusun yang bervariasi.
Kandungan air, selulosa, hemiselulosa dan lignin pada bahan akan berpengaruh terhadap
rendemen maupun persentase kandungan senyawa pada asap cair yang dihasilkan.
Kulit batang sagu sebagai bahan pembuatan asap cair terlebih dahulu dibersihkan dan
dikering agar kadar air bahan menjadi rendah. Setelah dilakukan pengeringan selama 7 hari
pada rumah pengering Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Papua, diperoleh kadar air
seperti yang tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar air kulit batang sagu yang telah dikeringkan.


Ulangan Kadar Air (%)
1 10,7
2 10,2
3 10,4
Rata-rata 10,4

Pada Tabel 1 terlihat bahwa kadar air rata-rata kulit sagu dari 3 kali pengukuran yaitu
sebesar 10,4%. Ini menunjukkan bahwa pengeringan kulit sagu selama 7 hari sudah cukup
untuk menurunkan kadar air ke level yang tepat untuk dilakukan proses pirolisis. Kadar air
bahan dapat mempengaruhi rendemen asap cair yang dihasilkan melalui proses pirolisis.
Oleh sebab itu, kadar air yang rendah dapat menghasilkan rendemen asap cair yang tinggi.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


430 | Teknologi Pertanian
Selain kandungan air, produksi asap cair juga dapat dipengaruhi oleh komponen
penyusun kulit batang sagu, seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa komponen terbesar penyusun kulit batang sagu adalah selulosa
sebesar 52%, diikuti dengan hemiselulosa sebesar 30,2% dan komponen terkecil adalah
lignin sebesar 17,1% (Tabel 2).

Tabel 2. Kadar Selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada kulit batang sagu.
Komponen Kadar (%)
Selulosa 52,6
Hemiselulosa 30,2
Lignin 17,1

Fengel dan Wagener (1995) melaporkan bahwa baik pada kayu lunak maupun kayu
keras pada umumnya memiliki komponen selulosa yang hampir seragam jumlahnya,
sedangkan kandungan lignin berbeda pada tiap jenis kayu. Darmadji (2000) melaporkan
komponen selulosa beberapa jenis bahan dasar produksi asap cair, antara lain sabut sawit
(42%), Kolobot (51,2%), Kulit Kakao (45,7%) dan tempurung kelapa (43,6%). Sedangkan
komponen lignin pada kulit batang sagu relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bahan
dasar lainnya, seperti tempurung kelapa (44,7%).
Selama proses pembakaran, ketiga komponen pada bahan dasar tersebut, yaitu
selulosa, hemiselulosa dan lignin mengalami pirolisa. Proses pirolisa terjadi secara bertahap,
diawali dengan penghilangan air dari dalam bahan pada suhu 120-150oC, diikuti tahap kedua
yaitu pirolisa hemiselulosa yang terjadi pada suhu 150-200oC, tahap selanjutnya adalah
pirolisa selulosa pada suhu 250-300oC dan yang terakhir adalah pirolisa lignin pada suhu
400oC (Darmadji, 2009). Bila suhu pembakaran dinaikkan hingga suhu >500 oC, maka akan
terbentuk senyawa-senyawa baru prosuk konsensasi, seperti fenol, tar dan Polycyclic
Aromatic Hydrocarbon (PAH) (Girrard, 1992)
Maga (1993) menjelaskan bahwa proses pirolisa pada kayu akan menghasilkan tiga
kelompok senyawa yaitu senyawa mudah menguap yang dapat dikondensasikan, gas-gas
yang tidak sapat dikondensasikan dan zat padat berupa arang. Senyawa mudah menguap
tersebut jika dikondensasikan akan menghasilkan asap cair, yang mana kandungan
utamanya yaitu fenol, karbonil dan asam. Hasil analisis asap cair dari kulit batang sagu
terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan senyawa fenol, karbonil, bobot jenis dan keasaman


asap cair dari bahan dasar kulit batang sagu
Macam Analisis Hasil Analisis
Total Asam (%) 10,112
Fenol (%) 0,906
Karbonil (%) 2,117
Bobot Jenis 1,0127
pH-keasaman 2,30

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 431
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kadar fenol dan karbonil pada berbagai jenis bahan dasar sangat bervariasi. Pada
asap cair dari bahan dasar kulit batang sagu, kadar fenol sangat kecil jika dibandingkan
tempurung kelapa yang umum digunakan sebagai bahan dasar asap cair, yaitu sebesar
3,13%. Fenol merupakan produk pirolisa dari senyawa lignin. Dengan demikian rendahnya
kadar fenol pada asap cair berbahan dasar kulit batang sagu disebabkan karena rendahnya
senyawa lignin pada kulit batang sagu tersebut. Asam, fenol dan karbonil merupakan
senyawa yang dapat berperan sebagai antioksidan, antimikroba dan pembuka cita rasa dan
warna produk, khususnya produk daging (Girard, 1992).

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kulit batang sagu
dapat dikonversi menjadi asap cair melalui teknologi pirolisis. Asap cair yang dihasilkan
memiliki tiga komponen penting yang sangat berperan dalam pengawetan bahan pangan,
yaitu senyawa asam, fenol dan karbonil.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih diberikan kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini melalui skim
Penelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi (PEKERTI) Tahun 2017.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1990. Association of Official Analitical Chemist, Official Method of Analysis, 18th
edition, Benyamin Franklin, Washington D.C.
Darmadji P., 2009. Teknologi Asap Cair dan Aplikasinya pada Pangan dan Hasil Pertanian.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam BIdang Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Flatch M.,1997. Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. International Plant Genetic Resources
Institute, Rome, Italy.
Fangel, D. and G. Wegener, 1995. Kayu: Kimia Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Hardono
Sastrohamidjoyo (Penterjemah), Gadjah Mada University Press.
Girard, J.P. 1992. Smoking In Technology of Meat Products. Clermont Ferrand, Ellis Horwood,
New York.
Haryanto, B dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta.
Lappin, A. and G. Clark, 1951. Colorimetric Methods for Determination of Traces of Carbonyl
Compounds, Analytical Chem, 23: 541-542
Maga, J.A., 1993. Smoke in Food Processing. Boca Raton, CRC Press, Florida.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


432 | Teknologi Pertanian
Manu, R., dan Suparporn, S., 2009, Evaluation of Antioxidant and Radical Scavenging
Activities in Pyroligenous Acid Samples, Pure and Applied Chemistry International
Conference, 51-53.
Senterr, S.D.J.A. Robertson and F.I. Meredith, 1989. Phenolic Compounds of The Mesocarp
of Cresthauen Peaches During Storage and Ripening, J. Food Sci. 54: 1259-1268.
Visciano, P., M, Perugini., F, Conte., dan M, Amorena., 2008, Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons in Farmed Rainbow Trout (Oncorhynus mykiss) Processed by
Traditional Flue Gas Smoking and by Liquid Smoke Flavourings, J. Food and Chemical
toxicology, 46, 1409-1413

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 433
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PEMANFAATAN LIMBAH CAIR EKSTRAKSI SAGU LOKAL PAPUA
SEBAGAI MEDIA TUMBUH MIKROALGA UNTUK PEMBUATAN BIODISEL

Sarman Oktovianus Gultom1), Eduard F. Tethool 1), Bambang Susilo 2), Aji Sutrisno 2)

1)
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Papua
Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari-Papua Barat.
2)
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
e-mail: sarmangultom@yahoo.com

ABSTRAK
Sagu merupakan tanaman penghasil pati yang banyak tersebar di Indonesia, termasuk Papua.
Dalam proses pengolahannya, untuk memisahkan pati sagu dari empulur batang sagu
dibutuhkan media air melalui proses ekstraksi. pada umumnya air hasil ekstraksi pati sagu
tersebut hanya dibuang ke perairan ataupun lahan sekitar tempat pengolahan sagu dilakukan
menjadi limbah cair yang dapat memberikan dampak terhadap pencemaran lingkungan. Oleh
sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan limbah cair hasil ekstraksi sagu tersebut
sebagai media tumbuh mikroalga yang merupakan tumbuhan rendah eukariotik yang memiliki
potensi yang besar sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Dalam kondisi heterotrofik
mikroalga akan memanfaatkan karbon organik sebagai sumber energinya untuk bertumbuh.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan mikroalga Chlorella sp. pada 5 media
perlakuan dengan perbandingan volume media Walne dan limbah cair pengolahan sagu.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan 5 media perlakuan
yang berbeda, yaitu 100 ml media Walne (B1), 75 ml media Walne dan 25 ml limbah cair sagu
(B2), 50 ml media Walne dan 50 ml limbah cair sagu (B3), 25 ml media Walne dan 75 ml limbah
cair sagu (B4), dan 100 ml limbah cair sagu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
kepadatan sel dan konsentrasi biomassa tertinggi diperoleh dari perlakuan B3 masing-masing
sebesar 7x106 sel/ml dan 0,44 gDW/L.
Kata kunci: Mikroalga Chlorella sp, limbah cair sagu, kepadatan sel, media tumbuh, konsentrasi
biomassa.

PENDAHULUAN
Sagu merupakan tanaman penghasil pati yang banyak tersebar di Indonesia,
khususnya di wilayah timur Indonesia termasuk Papua. Dalam proses pengolahannya,
tanaman sagu ditebang, dihancurkan serta diekstraksi untuk mendapatkan pati sagu yang
dapat digunakan sebagai bahan pangan. Pada proses ekstraksi pati sagu, banyak limbah cair
yang dihasilkan. Pada umumnya limbah cair tersebut tidak dimanfaatkan dan hanya dibuang
secara bebas ke lahan maupun sungai atau perairan yang ada di sekitar tanaman sagu
sehingga dapat mencemari lingkungan.
Dalam upaya meminimalkan pencemaran lingkungan akibat limbah cair pegolahan
sagu, maka limbah cair tersebut dimanfaatkan sebagai media tumbuh mikroalga. mikroalga
merupakan tumbuhan rendah eukariot yang memiliki potensi yang besar sebagai bahan
baku pembutan biodiesel. Namun demikian, tidak semua mikroalga mengandung minyak
yang dibutuhkan untuk pembutan biodiesel. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa
mikroalga dapat mengandung minyak hingga mencapai 40%. Hal ini membuktikan bahwa

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


434 | Teknologi Pertanian
pemanfaatan mikroalga sebagai sumber energi bahan bahan biodisel perlu dioptimalkan
untuk menjawab permasalah energi saat ini.
Mikroalga dapat tumbuh pada tiga jenis kondisi, yaitu (1) kondisi fototropik
(phototrophic conditions) dimana mikroalga membutuhkan cahaya matahari sebagai energi
dan CO2 sebagai sumber karbon, (2) kondisi heterotropik (heterotrophic conditions) dimana
mikroalga mendapatkan energi dan sumber karbon dari substrat karbon organic, seperti
glukosa, dan (3) kondisi mixotropik (mixotrophic conditions) yang adalah penggabungan dua
kondisi di atas. Dari ke tiga kondisi tersebut, mikroalga yang tumbuh pada kondisi
heterotropik dilaporkan menghasilkan biomasa dan kandungan minyak yang lebih tinggi dari
yang tumbuh pada kondisi lainnya (Miao & Wu, 2006; Liang, Sarkany, & Cui, 2009).
Pada kondisi heterotropik, mikroalga membutuhkan substrat yang memiliki karbon
organik untuk pertumbuhanya karena pada kondisi ini mikroalga tumbuh tanpa adanya
cahaya. Glukosa, asetat dan gliserol merupakan sumber karbon organik yang paling banyak
digunakan pada kondisi herotropik. Akan tetapi penggunaan glukosa yang sangat banyak
pada skala industri akan berdampak pada total biaya produksi yang sangat besar. Untuk
mengurangi biaya produksi mikroalga tersebut, maka sumber karbon organik alternatif perlu
dikembangkan.
Pada penelitian ini, limbah cair yang dihasilkan dalam proses ekstraksi pati sagu akan
dimanfaatkan sebagai media tumbuh mikroalga Chlorella, sp yang menurut hasil penelitian
sebelumnya memiliki kandungan minyak yang cukup tingi sebagai bahan baku pembuatan
biodisel. Hal ini dimungkinkan karena limbah cair ekstraksi sagu masih mengandung pati dan
beberapa nitrisi penting untuk pertumbuhan mikroalga.

METODE

Alat dan bahan

Peralatan yang digunakan antara lain: laminar air flow, incubated shaker, autoclave,
Haemocytometer Neubauer, mikroskop cahaya, oven analisis, hand counter, mikropipet dan
tip, centrifuge, pH meter, dan peralatan gelas. Bahan-bahan yang digunakan adalah
mikroalga Chlorella sp, pupuk Walne dan vitamin, air akuades, dan limbah cair pengolahan
sagu.

Persiapan mikroalga

Mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroalga Chlorella sp,
diperoleh dari koleksi mikroalga di Balai Besar Penelitian Budidaya Air Tawar (BBPBAP)
Jepara. Nutrisi pada media yang digunakan untuk pertumbuhan kultur induk mikroalga
(starter) yaitu menggunakan pupuk Walne dan vitamin.

Persiapan limbah cair sagu

Limbah cair sagu diperoleh dari pengolahan sagu yang berasal dari hutan sagu di
Sorong Selatan, Papua Barat. Batang pohon sagu dipotong-potong menjadi bagian-bagian

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 435
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang pendek dengan ukuran 1,5-2 meter. Batang-batang sagu tersebut kemudian dikupas
dan dibersihkan dari pelepah dan kulit batang hingga diperoleh bagian empulur. Bagian
empulur tersebut kemudian diparut mengguanakan alat pemarut sagu. Setelah itu, empulur
yang telah diparut diekstaksi menggunakan air dan dilakukan dengan cara diperas pada
saringan kain seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Pati yang ada pada empulur
sagu akan terikut bersama dengan air pada proses ekstraksi dan ditampung pada sebuah
wadah dan dibiarkan selama 1 malam. Pati yang telah mengendap kemudian dipisahkan dari
air, dimana air tersebut digunakan pada seluruh percobaan.

Pelaksanaan percobaan

Pada penelitian ini 5 (lima) perlakuan berbeda dilakukan pada media tumbuh
mikroalga dengan variasi perbandingan volume media Walne: limbah cair sagu, dimana total
media sebanyak 100 ml (Tabel 1)

Tabel 1. Perlakuan berdasarkan variasi volume media tumbuh mikroalga Chlorella sp.
Perbandingan volume
Perlakuan
Media Walne (ml) Limbah cair sagu (ml)
B1 100 0
B2 75 25
B3 50 50
B4 25 75
B5 0 100

Ke dalam semua media sel mikroalga Chlorella sp diinokulasi dengan kepadatan sel
awal 1x106 sel/ml. Kultivasi sel mikroalga dilakukan pada incubated shaker dengan
kecepatan rotasi 150 rpm pada suhu 27oC.

Pengukuran pH media

pH media tumbuh diukur secara berkala setiap 24 jam sekali menggunakan pH meter.
Nilai yang tertera pada pH meter merupakan nilai pengukuran pH media tumbuh mikroalga.

Perhitungan jumlah sel mikroalga

Perhitungan jumlah sel dilakukan secara berkala setiap 24 jam sekali dimulai dari jam
ke-0 hingga jam ke-144. Penghitungan jumlah sel dilakukan di bawah mikroskop cahaya pada
pembesaran 40x dengan menggunakan Heamocytometer Neubauer dan dibantu alat
penghitung hand counter. Kepadatan sel Chlorella sp untuk setiap milliliter dihitung dengan
rumus (Mudjiman & Suryanto, 2007):
Sel N
Jumlah = ( ) ×250.000 ×10
ml 25
Pengukuran konsentrasi biomassa mikroalga

Pada akhir kultivasi mikroalga, berat biomassa kering diukur untuk mengetahui
konsentrasi biomassa mikroalga yang dihasilkan. Sel mikroalga dipisahkan dari media

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


436 | Teknologi Pertanian
tumbuhnya dengan menggunakan centrifuge dengan kecepatan putar sebesar 4000 rpm
selama 10 menit. Sel yang telah terpisah dari media tumbuh tersebut kemudian dikeringkan
menggunakan oven analisis pada suhu 60oC selama 2 hari hingga beratnya konstan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Warna media

Limbah cair pengolahan sagu memiliki memiliki warna kecoklatan yang diduga berasal
dari kandungan lignin yang masih menempel pada empulur sagu. Selain itu, proses enzimatis
yang terjadi selama proses pemarutan hingga ekstraksi pati sagu karena pengaruh adanya
oksigen dapat pula mengebabkan reaksi browning pada empulur, yang kemudian
menghasilkan warna coklat pada air limbah ekstraksi sagu. Penambahan limbah cair sagu
pada media Walne (B2, B3, B4, dan B5) memberikan warna coklat pada media tumbuh
mikroalga. Setelah inokulasi sel mikroalga Chlorella sp dilakukan sebanyak 1x 10 6 sel/ml pada
media tersebut, terlihat bahwa hanya pada media tanpa penambahan limbah cair sagu (B1)
yang memiliki warna hijau, sedangkan media lainnya tetap berwarna coklat (Gambar 1).

Gambar 1. Warna media tumbuh setelah dilakukan inokulasi sel mikroalga Chlorella sp (A) kultivasi
jam ke-0, (B) kultivasi jam ke-144

Kepadatan sel mikroalga Chlorella sp

Pada hari ke-144 kepadatan sel mikroalga Chlorella sp paling tinggi terdapat pada
media perlakuan B1 (3x107 sel/ml) dimana perbandingan volume media Walne : limbah cair
sagu yaitu 50 ml : 50 ml atau volume limbah cair sagu 50% dari volume total media.
Kepadatan sel pada media perlakuan B1 dan B2 juga terlihat mengalami peningkatan
terutama setelah jam ke-24. Berbeda halnya dengan media B4 dan B5, kepadatan sel terlihat
semakin menurun setelah jam ke-72 dan mengalami fase kematian (Gambar 2).
Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa sel mikroalga mengalami fase adaptasi
pada jam 48 jam pertama dan setelah itu, secara perlahan sel terus meningkat. Sel mikroalga
pada media perlakuan B1 mengalami fase eksponensial pada jam ke-72, terlihat dengan
meningkatnya kepadatan sel secara drastis.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 437
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 2. Kepadatan sel mikroalga Chlorella sp (sel/ml) pada 5 perlakuan media.

Pertumbuhan sel mikroalga Chlorella sp. terjadi dengan cepat pada media perlakuan
dimana media Walne dan limbah cair sagu memiliki volume yang sama. Hal ini diduga karena
kebutuhan akan karbon organik oleh sel mikroalga untuk bertumbuh terpenuhi oleh limbah
cair pengolahan sagu yang masih mengandung pati sagu. Selain itu, keseimbangan nutrien
yang terkandung dalam media Walne dan limbah cair sagu dapat menjadi faktor pendukung
yang penting dalam pertumbuhan mikroalga Chlorella sp. Akan tetapi, pada media perlakuan
B4 (75% limbah cair sagu) dan B5 (100% limbah pati sagu) sel mikroalga tidak bertumbuh
dengan baik. Hal ini diduga karena tidak tersedianya nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan
mikroalga.

Konsentrasi biomass

Konsentrasi biomassa mikroalga dinyatakan dalam gram berat kering per liter
(gDW/L). Penghitungan konsentrasi biomassa mikroalga dilakukan pada akhir kultivasi
dengan cara mengeringkan sel mikroalga yang telah dipisahkan dari media tumbuhnya. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi biomassa tertinggi terjadi pada media B3
(0,44 g/L), sedangkan konsentrasi terendah ada pada media B5 yaitu sebesar 0,14 g/L
(Gambar 3). Hasil ini masih rendah bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Amini,
et.al (2011) dimana konsentrasi biomass Chlorella sp yang dikultivasi pada fotobioreaktor
sebesar 1,9 g/L. Namun demikian, jika Chlorella ditumbuhkan pada kondisi mixotrofik, yaitu
penggabungan cahaya dan karbon organik secara bersamaan, maka akan meningkatkan
konsentrasi biomassa secara maksimal (Yang, Hua, & Shimizu, 2000)

Gambar 3. Konsentrasi biomassa Chlorella sp (g DW /L) pada 5 perlakuan media

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


438 | Teknologi Pertanian
Konsentrasi biomassa mikroalga tersebut sejalan dengan kepadatan sel mikroalga.
Media yang memiliki kepadatan sel mikroalga yang tinggi akan menghasilkan konsentrasi
biomassa yang tinggi pula. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yang, Hua, & Shimizu
(2000) yang menunjukkan bahwa Chlorella memiliki kemampuan untuk bertumbuh dengan
baik pada media yang memiliki karbon organik yang cukup . Akan tetapi hal tersebut perlu
dikaji lebih lanjut karena padatan yang ada pada limbah cair sagu dapat pula mempengaruhi
konsentrasi biomassa yang dihasilkan.

KESIMPULAN
Penambahan limbah cair sagu pada media tumbuh mikroalga memberikan pengaruh
positif terhadap pertumbuhan mikroalga Chlorella sp. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya
kepadatan sel serta konsentrasi biomassa mikroalga pada media B3 (50 ml media Walne dan
50 ml limbah cair sagu) masing-masing sebesar 7x106 sel/ml dan 0,44 gDW/L. Pencampuran
media Walne dan limbah cair sagu dengan volume yang seimbang memberikan nutrien yang
tepat bagi pertumbuhan mikroalga Chlorella sp.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Direktorat Riset dan
Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) skim penelitian PEKERTI Tahun 2016.

DAFTAR PUSTAKA
Amini , S., Najafabady, N., Mobasher, M., Alhashemi, S., & Ghasemi, Y. (2011). Chlorella sp: A
new strain with highly saturated fatty acids for biodiesel production in bubble-column
photobioreactor . Applied Energy , 88, 3354-3356.
Liang, Y., Sarkany, N., & Cui, Y. (2009). Biomassa and lipid productivities of Chlorella vulgaris
under autotrophic, heterotrophic and mixotrophic growth condition. Biotechnology
Letter , 1043-1049.
Mudjiman, A., & Suryanto, S. (2007). Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Miao, X., & Wu, Q. (2006). Biodiesel production from heterotrophic microalgal oil. Bioresour.
Technol. , 97, 841–846.
Yang, C., Hua, Q., & Shimizu , K. (2000). Energetics and carbon metabolism during growth of
microalgal cells under photoautotrophic, mixotrophic and cyclic light-
autotrophic/dark-heterotrophic conditions. Biochemical Engineering Journal, 6, 87–
102 .

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 439
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
VARIANT-3 MESIN EKSTRAKSI PATI SAGU TIPE STIRRER ROTARY BALADE
BERTENAGA MOTOR BAKAR BENSIN

Darma, Budi Santoso

Jurusan Teknologi Pertanian-Fakultas Teknologi Pertanian-Universitas Papua


Jl. Gunung Salju Amban, Manokwari 98314
HP: 081344533739 e-mail: darmabond@gmail.com

ABSTRAK
Walaupun Papua Barat memiliki potensi sagu yang sangat besar, namun sampai saat ini
produksi dan pemanfaatannya masih sangat rendah dibandingkan dengan potensinya. Hal ini
terutama disebabkan karena sebagian besar proses pengolahan sagu oleh petani masih
dilakukan secara tradisional dengan efektivitas dan efisiensi rendah. Tujuan penelitian ini adalah
mengembangkan prototype mesin ekstraksi pati sagu tipe stirrer rotary blade untuk
meningkatkan kinerjanya. Pengembangan dilakukan terutama pada komponen saringan. Pada
percobaan ini digunakan saringan dengan lubang yang lebih halus yaitu 60 mesh yang diuji pada
3 periode waktu ekstraksi yaitu 10, 20 dan 30 menit. Evaluasi kinerja dilakukan dengan
mengukur variabel kapasitas ekstraksi, rendemen pati, hasil pati dan persentase pati pada
ampas. Hasil pengujian kinerja mesin menunjukkan bahwa semakin lama periode waktu
ekstraksi, semakin rendah kapasitas ekstraksi, hasil pati dan persentase pati pada ampas
sedangkan rendemen pati meningkat. Kinerja tertinggi diperoleh pada periode waktu ekstraksi
10 menit. Kinerja mesin pada kondisi tersebut adalah (a) Kapasitas ekstraksi 222 kg ela/jam, (b)
Rendemen pati 45.2%, (c) Hasil pati 100 kg/jam dan (d) Persentase pati pada ampas 5.5%
Kata kunci: Pengolahan sagu, stirrer rotary blade, ekstraksi pati, kapasitas ekstraksi. motor bakar

PENDAHULUAN
Potensi sagu di provinsi Papua dan Papua Barat sangat besar, namun belum digarap
dan dimanfaatkan secara maksimal. Diperkirakan bahwa dari 2.2 juta ha areal sagu
(Metroxylon sagu sp.) yang ada di seluruh dunia, lebih dari separuhnya yaitu sekitar 1.4 juta
ha terdapat di hutan-hutan di ke dua provinsi paling timur ini. Flach (1997) memperkirakan
luas areal sagu di Papua dan Papua Barat sekitar 1.214.000 ha yang sebagian besar berupa
hutan sagu alam (natural sago forest). Menurut Matanubun dan Maturbong (2006), luas
areal sagu di Papua dan Papua Barat sekitar 1.471.232 ha dengan potensi produksi pati
kering sekitar 12.035.000 ton/tahun. Menurut Bintoro (2011), potensi produksi sagu alam
berkisar antara 20-40 ton pati/ha/tahun. Hal ini berarti bahwa potensi produksi pati sagu di
Papua dan Papua Barat adalah 29.424.640-58.849.280 ton/tahun. Hasil penelitian Jong dan
Ho (2011) menyimpulkan bahwa potensi produksi hutan sagu alam di Papua adalah antara
10-15 ton pati kering/ha/tahun, dengan demikian potensi produksi total adalah antara
14.712.320-22.068.480 ton pati kering/tahun. Darma et al. (2010), memperkirakan potensi
produksi pati basah di Papua adalah 9.070.145-33.102.720 ton/tahun atau setara dengan
5.638.579-20.706.496 ton pati kering per tahun.
Walaupun Papua dan Papua Barat memiliki potensi sagu sangat besar, namun
produksi dan pemanfaatan pati sagu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi
produksi yang ada. Jutaan ton pati yang terkandung dalam batang sagu tidak dipanen dan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


440 | Teknologi Pertanian
hilang percuma setiap tahunnya. Matanubun dan Maturbong (2006) memperkirakan bahwa
pemanfaatan sumberdaya sagu di Papua kurang dari 5% dari potensi yang ada. Bahkan
menurut Samad (2002), pemanfaatan sumberdaya sagu di Indonesia hanya sekitar 0.1% dari
potensinya. Rendahnya produksi ini terutama disebabkan karena sebagian besar pengolahan
sagu dilakukan oleh masyarakat secara tradisional, dan juga karena lokasi areal sagu
umumnya terletak di daerah marginal dengan kondisi geografi dan demografi yang tidak
menunjang serta sarana produksi yang masih terbatas.
Penerapan teknologi mekanis dalam bentuk mesin dan peralatan tepat guna
(Appropriate Technology) di kalangan petani sangat tepat untuk dikembangkan agar jumlah
dan mutu produk dapat ditingkatkan sehingga bisa mengantar corak pertanian yang
subsistence ke pertanian transisi menuju ke sistim pertanian moderen. Persyaratan dari
teknologi dimaksud adalah mudah dibuat, mudah dioprasikan, sederhana, praktis, efisien
dan mudah diserap oleh petani karena harganya terjangkau. Untuk maksud tersebut, setiap
daerah harus mengembangkan alat dan mesin pertanian yang sesuai dengan kondisi
setempat karena pengalaman menunjukkan bahwa introduksi alat dari luar banyak menemui
berbagai kendala.
Penerapan alsintan di suatu daerah harus memperhatikan berbagai aspek agar
penerapannya tidak menemui kegagalan. Sebagai contoh, Ulluwishewa et al., (1985)
menyimpulkan bahwa kegagalan mekanisasi pertanian di Srilanka karena penerapan mesin-
mesin pertanian import secara langsung, berbeda dengan Jepang yang melakukan modifikasi
sesuai dengan kondisi lokal, kemudian memproduksi sendiri untuk digunakan oleh petani
mereka. Lebih lanjut dikemukakan oleh Sembiring, Radite dan Suastawa (1998),
pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia untuk meraih kembali, mempertahankan
dan meningkatkan produksi pangan seharusnya dilakukan dengan pengembangan
mekanisasi pertanian spesifik wilayah. Dalam hal ini setiap daerah diarahkan agar
mengembangkan alsin pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayahnya sekaligus
meningkatkan kemampuan industri lokal. Pengembangan mekanisasi pertanian spesiik
wilayah berdasarkan pada komoditi, kondisi tanah dan lahan, serta budaya spesifik wilayah
yang bersangkutan. Terkait dengan hal tersebut, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Papua telah mengembangkan alat/mesin pengolahan sagu yang terdiri dari unit pemarut
dan unit pengekstrak pati yang telah diuji coba di berbagai daerah dan telah disesuaikan dan
diperbaiki berdasarkan feed back dari user sehingga sesuai dengan kondisi lokal setempat.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya, Darma et al, (2011; 2012; 2013; 2014) telah
menghasilkan prototype mesin ekstraksi pati sagu tipe stirrer rotary blade bertenaga mootor
bakar bensin. Prinsip kerja dari mesin ini adalah mengkombinasikan pengadukan, peremasan
dan penyaringan dalam suatu chamber. Ketiga proses berlangsung secara simultan dalam 1
tabung ekstraksi sehingga konstruksi alat jauh lebih sederhana dibandingkan dengan mesin
ekstraksi pati lainnya.Mesin ekstraksi pati sagu ini telah digunakan oleh masyarakat di
Provinsi Papua dan Papua Barat, baik yang diadakan oleh pemda setempat maupun yang
diadakan secara mandiri oleh masyarakat. Namun berdasarkan masukan atau feed back dari
masyarakat pengguna, mesin ini masih terdapat beberapa kekurangan sehingga perlu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 441
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dikembangkan baik dari segi komponen fungsional (process system) maupun komponen
pendukung (support system).
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan mesin pengekstrak pati sagu untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengoprasiannya. Dari penelitian ini diharapkan akan
dihasilkan variant baru yang yang handal, layak secara tekno-ekonomi, praktis dalam
penggunaan, harganya terjangkau, dan sesuai dengan kondisi sosiokultural masyarakat
setempat. Introduksi dan aplikasi alat ini ke masyarakat akan meningkatkan pemanfaatan
dan nilai tambah sumberdaya sagu sebagai konsekwensi dari peningkatan kapasitas produksi
yang tentunya pada gilirannya meningkatkan pendapatan ekonomi petani. Disamping itu,
dengan penerapan alat mekanis pada proses pengolahan tentunya juga meningkatkan
kualitas pati yang diperoleh memenuhi standard mutu secara nasional sehingga
pemanfaatannya tidak hanya untuk tujuan pangan namun juga untuk industri lainnya.

METODE PENELITIAN

Konstruksi dan Prinsip Kerja Mesin Ekstraksi Pati Sagu Tipe Stirrer Rotary Blade

Konstruksi mesin ekstraksi pati sagu tipe mixer rotary blade hasil pengembangan
(variant-3) yang telah dihasilkan pada penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1. Untuk
memudahkan transportasi alat ke lokasi yang membutuhkan, mesin ekstraksi ini didesain
dapat dibongkar pasang secara mudah (knock down).
Mesin pengekstrak ini terdiri dari 5 bagian utama yaitu: (1) Rangka utama (Frame), (2)
Mekanisme penggerak pengaduk (berupa reduction gear box WPX 80, pulley, dan V-belt), (3)
Tabung ekstraksi dan pengaduk, merupakan komponen fungsional/komponen proses dari
alat ini. Tabung terbuat dari besi plat 2 mm yang dibentuk menjadi tabung/silinder. Pada
dasar tabung terdapat saringan dari bahan stainless steel dengan lubang saringan 1 mm dan
dilapisi dengan saringan 60 mesh. Pada bagian bawah saringan dibuat berbentuk kerucut
agar tidak terjadi endapan pati di dasar tabung. Untuk meningkatkan efektifitas dan
effisiensi ekstraksi pati, bagian ujung pengaduk dilengkapi dengan pembersih/penyapu
saringan yang berfungsi untuk mencegah tersumbatnya lubang-lubang saringan oleh butiran
pati. Pada permukaan tabung bagian dalam dipasangi sirip-sirip berupa besi strip yang
berfungsi untuk membelokkan aliran bubur pati (slurry) pada saat extraksi sehingga tercipta
aliran turbulensi atau eddy current. Bagian pengaduk terdiri dari poros berdiameter 1 inch
yang dipasangi bilah (blade) pengaduk horisontal dan vertikal, terbuat dari besi poros/as
berdiameter 3/4 inch (4). Motor penggerak (Honda 4 tak 6.5 HP), (5). Pipa penyalur pati
(berupa pipa PVC 2 inch yang dilengkapi dengan stop kran pada ujung keluaran/outlet untuk
mengontrol aliran suspensi pati yang keluar dari tabung ekstraksi. Untuk menampung pati
hasil ekstraksi dibuat bak penampung yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Mesin ekstraksi pati sagu ini merupakan pengembangan atau modifikasi dari alat
ekstraksi pati sagu tradisional/manual. Prinsip kerja dari alat ini mengkombinasikan
peremasan dan pengadukan sehingga melepaskan pati dari ampas dan tersuspensi ke dalam
air untuk kemudian dipisahkan dari ampas melalui saringan. Proses peremasan, pengadukan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


442 | Teknologi Pertanian
dan penyaringan berlansung secara simultan dalam suatu ruang ekstraksi sehingga
konstruksi alat lebih sederhana namun kinerjanya tinggi.
Sebelum dilakukan proses ekstraksi, terlebih dahulu empulur batang sagu
dihancurkan menggunakan mesin parut sagu tipe silinder (Darma et al., 2013). Tujuan dari
pemarutan (rasping/grating) adalah untuk menghancurkan struktur seluler dan merobek
dinding-dinding sel sehingga bitiran pati yang terkandung di dalam sel dapat tersuspensi ke
dalam air saat proses ekstraksi. Tujuan dari proses ekstraksi adalah untuk memisahkan pati
dari komponen lainnya (ampas sagu). Sejauh ini proses pemisahan pati dari komponen
lainnya hanya dapat dilakukan dengan proses pencucian menggunakan air. Mekanisme
proses pemisahan pati diawali dengan mensuspensikan ela (rasped pith) ke dalam air
kemudian diaduk dan diperas untuk melepaskan pati. Suspensi pati selanjutnya dipisahkan
dari ampas menggunakan saringan (screen).

Gambar 1. Konstruksi mesin ekstraksi pati sagu tipe stirrer rotary blades

Rancangan Perlakuan

Secara prinsip, variant-3 ini sama dengan prototipe sebelumnya, namun


menggunakan komponen saringan dengan ukuran lubang (screen apertures) yang lebih kecil.
Proses ekstraksi pati yang berlangsung di dalam tabung ekstraksi melibatkan pengadukan
(stirring), peremasan (kneading) dan penyaringan (screening) secara simultan. Untuk
meningkatkan efektifitas proses ekstraksi, pola aliran bahan dalam tabung ektraksi berupa
aliran turbulensi (turbulent/eddy current). Untuk maksud tersebut, pada permukaan tabung
ekstraksi bagian dalam dilengkapi dengan sirip/blade stasioner (stationary blades) yang
dipasang secara vertical. Selama proses pengadukan dan peremasan, butiran pati
tersuspensi ke dalam air yangmana kemudian dipisahkan dari ampas oleh komponen
saringan. Selanjutnya suspensi pati dialirkan ke bak pengendapan pati melalui pipa penyalur.
Salah satu komponen fungsional dari mesin ini adalah saringan (screener). Fungsi dari
saringan adalah memisahkan butiran pati dengan komponen lainnya berdasarkan ukuran
partikel. Pada penelitian sebelumnya digunakan saringan dengan lubang berdiameter 1,5
mm dan 1 mm. Pada penelitian ini digunakan saringan dengan ukuran lubang yang lebih kecil
yaitu 60 mesh. Perlakuan/kondisi percobaan (independent variable) pada penelitian ini
adalah periode waktu ekstraksi. Pengujian kinerja mesin dilakukan pada 3 level lama waktu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 443
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
proses ekstraksi yaitu 10, 20, dan 30 menit. Evaluasi kinerja dilakukan dengan mengukur
variable pengamatan (dependent variable): (a) Kapasitas ekstraksi, (b) Rendemen pati, (c)
Hasil pati, dan (d) Persentase kehilangan pati pada ampas.

Prosedur Pengujian Kinerja

Prosedur pengujian kinerja mesin ditampilkan pada Gambar 2 dan 3. Setiap perlakuan
dilakukan pengujian 3 kali.

Gambar 2. Bagan alir proses pengolahan pati sagu untuk uji kinerja mesin ekstraksi pati sagu

1. Penebangan dan pembersihan batang 1. Pemarutan empulur batang sagu

2. Batang dipotong menjadi log 1 m 2. Proses ekstraksi pati secara mekanis

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


444 | Teknologi Pertanian
3. Pengangkutan ke tempat pengolahan 3. Pengambilan pati hasil ekstraksi

4. Pengupasan kulit batang/pembelahan 4. Pati segar hasil ekstraksi ditimbang


Gambar 3. Tahapan proses uji kinerja mesin ekstraksi pati sagu

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengujian kinerja mesin ekstraksi pati sagu variant-3 didasarkan pada perlakuan
sebagaimana dijelaskan pada Bab Metode Penelitian. Fungsi dari mesin ini adalah untuk
memisahkan sebanyak mungkin pati dari ampas. Pemisahan pati dilakukan dalam dua tahap
penyaringan, saringan tahap pertama dengan ukuran lubang 60 mesh ditempatkan pada
dasar tabung mesin ekstraksi dan saringan tahap kedua menggunakan kain satin yang
ditempatkan dalam kotak kayu terbuka pada bagian atas (Gambar 3 point “6”). Saringan
tahap pertama menahan sebagian besar ampas tetap berada dalam tabung ekstraksi dan
saringan tahap kedua menahan ampas halus yang masih melewati saringan tahap pertama.
Komponen-komponen terlarut yang terkandung dalam empulur seperti gula, protein dan
zat-zat lainnya juga tersuspensi dan atau larut dalam air mengalir bersama suspensi pati ke
dalam bak pengendapan. Materials non-pati yang terlarut dalam air menyebabkan warna
kecoklatan pada suspense pati. Walupun demikian, karena materials non-pati yang terlarut
tersebut tidak ikut mengendap, warna pati tetap putih (warna pati tergantung jenis sagu).

Kapasitas Ekstraksi

Untuk memperoleh pati sagu, empulur sagu harus dihancurkan baik secara manual
maupun secara mekanis, pada umumnya penghancuran empulur dilakukan menggunakan
mesin parut (rasper). Semakin halus butiran hancuran empulur sagu (rasped pith/ela),
semakin tinggi pati yang dihasilkan. Namun di sisi lain, semakin halus butiran ela
mengakibatkan proses pemisahan pati dari ampas lebih sulit (Colon and Annokke, 1984;
Cecil, 1992). Setelah proses pemarutan, pati yang terkandung dalam empulur terbebas (free

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 445
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
state) sehingga dapat dipisahkan pada proses ekstraksi. Pada Gambar 4 disajikan kapasitas
ekstraksi pada berbagai periode waktu ekstraksi.

Gambar 4. Rata-rata kapasitas ekstraksi pada berbagai periode waktu ekstraksi

Kapasitas ekstraksi adalah jumlah ela yang diekstraksi per satuan waktu (jam). Proses
ekstraksi diawali dengan memasukkan 100 kg hancuran empulur batang (ela) ke dalam
tabung ekstraksi untuk setiap proses dengan lama waktu sesuai perlakuan yaitu 10, 20 dan
30 menit.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa kapasitas ekstraksi berbanding terbalik dengan periode
waktu ekstraksi. Semakin lama waktu proses ekstraksi maka semakin kecil kapasitas
ekstraksi. Waktu yang diperlukan untuk sekali proses terdiri dari: (a) pemasukan bahan ke
dalam tabung ekstraksi (3 menit) (b) Pengadukan, peremasan dan penyaluran suspensi pati
ke dalam bak pengendapan pati (sesuai perlakuan, 10, 20 dan 30 menit) dan (c) Pengeluaran
ampas dari dalam tabung ekstraksi (antara 11-14 menit). Pada periode waktu 3 menit awal,
pengadukan dan peremasan berlangsung tanpa mengalirkan suspensi pati ke bak
pengendapan. Pada periode ini juga tidak ditambahkan air ke dalam tabung ekstraksi.
Setelah 3 menit, kran pada ujung pipa penyalur dibuka dan suspensi pati mengalir ke dalam
bak pengendapan pati.
Selama pengaliran suspensi pati dari dalam tabung ekstraksi ke bak pengendapan,
sangat penting untuk memperhatikan bahwa jumlah air yang dialirkan ke dalam tabung
sama dengan aliran keluar agar proses berlangsung lancar. Jumlah aliran dari dalam tabung
dikontrol dengan mengontrol besar kecilnya bukaan katup pada stop kran. Semakin besar
debit air yang digunakan semakin efektif proses pemisahan pati dari ampas. Jika debit air
yang digunakan terlalu sedikit, proses pemisahan pati tidak efektif dan banyak pati yang
terbuang bersama ampas karena tidak terekstrak, sebaliknya jika terlalu banyak air yang
digunakan maka biaya operasional lebih mahal (Cecil 1992).
Faktor lain yang penting untuk diperhatikan adalah perbandingan debit air yang
dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi dengan debit aliran suspensi pati yang keluar
(dialirkan ke bak pengendapan) harus seimbang. Jika jumlah aliran masuk lebih kecil dari
aliran ke luar, suspensi material (slurry) dalam tabung ekstraksi menjadi lebih kental dan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


446 | Teknologi Pertanian
lebih sulit untuk diaduk dan diperas. Pada kondisi ekstrim dapat mengakibatkan motor
penggerak kelebihan beban (over load) bahkan dapat mengakibatkan kerusakan pada
komponen mesin ekstraksi. Sebaliknya jika jumlah air yang dialirkan ke dalam tabung lebih
besar dari aliran ke luar, maka air akan meluap melalui permukaan atas tabung.
Setelah proses ekstraksi selesai maka motor penggerak segera dihentikan untuk
kemudian dilakukan pengeluaran ampas dari dalam tabung. Motor penggerak dihentikan
pada saat air dalam tabung masih tersisa sekitar setengah sampai dengan 1/3 dari volume
tabung untuk menghindari rusaknya bilah-bilah pengaduk jika berputar pada keadaan
kekurangan air dalam tabung.

Rendemen Pati dan Persentase Pati pada Ampas

Pati segar/pati basah hasil ekstraksi dikumpulkan dan ditimbang massanya untuk
perhitungan rendemen. Untuk perhitungan pati pada ampas, 500 g sampel ampas diambil
dan dire-ekstrak secara manual untuk menentukan persentase pati pada ampas (unextracted
freed starch). Pada Gambar 5 disajikan rendemen pati dan persentase pati pada ampas pada
berbagai periode waktu ekstraksi.

Gambar 5. Rata-rata rendemen pati dan persentase pati terikut ke ampas pada berbagai periode
waktu ekstraksi

Dari Gambar 5 nampak bahwa rendemen pati berbanding lurus dengan periode
waktu ekstraksi, semakin lama periode waktu ekstraksi maka semakin tinggi rendemen pati.
Di sisi lain, semakin lama periode waktu ekstraksi, semakin rendah persentase pati pada
ampas. Hal ini disebabkan karena semakin lama proses ekstraksi berlangsung, semakin
banyak jumlah pati yang terekstrak sehingga pati yang tertinggal pada ampas semakin
sedikit.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu dengan menggunakan lubang
saringan yang lebih besar (Darma et al, 2011; 2012; 2013; 2014). Jumlah pati yang dapat
terekstrak tidak hanya tergantung pada derajat kehalusan ela, namun juga pada efisiensi
pemisahan pati dari ampas.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 447
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Rendemen pati yang dihasilkan pada penelitian ini (45,2-52,7%) lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya (Darma et al., 2009; 2010; 2011;2014;
2015) yangmana menghasilkan rendemen pati berturut-turut 18,05%, 15,84%. 11,3%;
20,54%; 24%. Hal ini terutama disebabkan karena kandungan pati pada batang sagu yang
diproses pada penelitian lebih tinggi.
Tingginya variasi rendemen pati yang dihasilkan oleh peneliti yang berbeda, di
samping dipengaruhi oleh teknik pengolahan yang digunakan, juga dipengaruhi oleh
kandungan pati pada empulur batang sagu. Alat pengolahan sagu mekanis sistim terpadu
hasil rancangan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) bekerjasama dengan
ALSINTANI Serpong menghasilkan rendemen pati 24-30,7%, (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2001),
sedangkan alat pengolahan sagu hasil rancangan BPPT (1990) menghasilkan rendemen pati
sekitar 12,7-14 %. Hasil penelitian Darma dkk., (2004), menjumpai bahwa kadar pati sagu
diberbagai lokasi di Papua berkisar antara 12,43%-39,89%. Hasil penelitian Thompson (2011)
menghasilkan rendemen pati 38,09%.
Hasil penelitian Reniana (2008), memperoleh rendemen pati antara 34%-37%.
Paulinus (2005) melaporkan adanya jenis sagu di Kabupaten Merauke dengan kadar pati
segar mencapai 56%. Menurut Flach (1997), kandungan pati pada empulur batang berkisar
antara 10% sampai 25%, sedangkan menurut BPPT (1992), kandungan pati pada empulur
batang bervariasi, tergantung pada umur, jenis, dan lingkungan tempat tumbuh. Menurut
Haryanto dan Pangloli (1992), kandungan pati dalam empulur batang berbeda-beda
tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat tumbuh. Rendemen pati hasil
pengolahan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat di Propinsi Papua berkisar
antara 11%-31,2% (Darma, 2011).
Persentase pati yang terikut ke ampas antara 2,4-5,5%. Hasil ini lebih tinggi dari hasil
penelitian terdahulu (Darma dkk., 2010; Darma dkk.,2011) yang menghasilkan pati pada
ampas berturut-turut sebesar 0,457% dan 0,675%. Hasil ini juga lebih tinggi dari hasil
penelitian Darma et al. (2014) yang memperoleh pati pada ampas 2%. Pengolahan sagu
mekanis sistim terpadu hasil rancangan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA)
bekerjasama dengan ALSINTANI Serpong memiliki tingkat kehilangan hasil yang terikut ke
ampas 2,4-3,2% (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan, 2001).
Persentase pati yang masih terikut ke ampas hasil pengolahan secara tradisional yang
dilakukan oleh masyarakat Papua adalah 9,3%. (Darma dkk., 2004). Semakin tinggi
persentase pati pada ampas menunjukkan bahwa semakin kurang efektifnya proses ekstraksi
berlangsung dan sebaliknya.

Hasil Pati (Starch Yield)

Hasil pati tergantung pada kapasitas ekstraksi dan rendemen pati. Pada Gambar 6
disajikan rata-rata hasil pati pada berbagai periode waktu ekstraksi.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


448 | Teknologi Pertanian
Gambar 6. Rata-rata hasil pati pada berbagai periode waktu ekstraksi

Dari Gambar 6 terlihat bahwa semakin lama waktu ekstraksi, semakin rendah jumlah
pati yang dihasilkan per jam. Hal ini karena kapasitas ekstraksi semakin rendah dengan
semakin meningkatnya waktu ekstraksi. Walaupun rendemen pati meningkat dengan
meningkatnya waktu ekatraksi (Gambar 5) namun karena peningkatannya tidak begitu tajam
dibandingkan dengan penurunan kapasitas ekstraksi maka konsekuensinya hasil pati
berbanding terbalik dengan periode waktu ekstraksi.
Hal ini juga berarti bahwa hasil pati lebih dipengaruhi oleh kapasitas ekstraksi
daripada rendemen pati. Hasil pati tertinggi (100 kg/jam) sejalan dengan hasil penelitian
Darma et al., (2014) namun lebih tinggi dari hasil penelitian Darma et al., (2010; 2012) yang
memperoleh hasil pati berturut-turut 33 kg/jam dan 79 kg/jam. Hasil pati tergantung pada
metode ekstraksi yang digunakan dan kadar pati pada empulur batang (Cecil, 1992).

KESIMPULAN
Mesin ekstraksi pati sagu variant-3 yang merupakan pengembangan dari prototype
mesin ekstraksi pati sagu tipe stirrer rotary blade berfungsi baik dengan kinerja yang lebih
tinggi dari prototype. Semakin lama periode waktu ekstraksi, semakin tinggi rendemen pati,
namun kapasitas ekstraksi, hasil pati dan persentase pati pada ampas semakin menurun.
Kinerja tertinggi diperoleh pada periode waktu ekstraksi 10 menit. Kinerja mesin pada
kondisi tersebut adalah: (a) Kapasitas ekstraksi 222 kg ela/jam, (b) Rendemen pati 45,2%, (c)
Persentase pati pada ampas 5,5% dan (d) Hasil pati 100 kg/jam. Mesin ini dirancang dan
dikembangkan untuk pengolahan sagu skala kecil dan layak secara tekno-ekonomi digunakan
di daerah Papua dan Papua Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Bintoro MH (2011) Progress of sago research in Indonesia. In: Proc 10th int sago symposium:
sago for food security, bio-energy, and industry from research to market. Bogor, pp
16–34.
BPPT. 1990. Pengkajian dan Pengembangan Peralatan Pengolahan Sagu. BPP Teknologi.
Bogor.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 449
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Cecil JE (1992) Small-medium-and large-scale starch processing. Rome: FAO Agricultural
Services Bulletin 98
Cecil JE, Lau G, Heng H, Ku CK (1982) The sago starch industry: a technical profile based on
preliminary study made in Sarawak. London: Tropical Product Institute.
Colon FJ, Annokke GJ (1984) Survey of some processing route of sago. In: Proc. the expert
consultation of the sago palm and palm products. Jakarta, Indonesia, January 16–21.
Darma, Istalaksana P (2011) Traditional processing of sago in Papua Province. In Proc 10th
int sago symposium: sago for food security, bio-energy, and industry from research to
market. Bogor, 29–31 October, pp 115–116.
Darma dan Reniana (2009) Prototype of cylinder type sago rasper powered by 5.5 hp
gasoline engine. Agrotek Journal 1(6):49–56.
Darma dan Worabai T (2010) Variant-1 of cylinder type sago rasper powered by 5.5 hp
Gasoline Engine. Agrotek J 2(3):82–90.
Darma, Wang X, Kito K. (2014) Development of cylinder type sago rasper for improving
rasping performance. Internat Agricult Engin J 23(3):31–40.
Darma, Wang X, Kito K (2014) Development of sago starch extractor with stirrer rotary blade
for improving extraction performance. Internat Agricult Engin J 6(5):2472–2481.
Darma P, Istalaksana, Gani A (2010) Prototype of stirrer rotary blades type sago starch
extractor. Agritech J 30(4):204–211.
Darma P, Istalaksana, Sarunggallo ZL (2010) Starch content and production potency of
natural sago palm (Metroxylon sagu Rottb). Agrotek J 2(2):7–14
Darma dan Triyanto Budi. 2015. Development and Performance Test of Cylinder Type Sago
Rasper Powered by Petrol Engine. Prosiding Seminar Nasional PERTETA 5–7 Agustus,
2015. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Darma, Xiulun WANG, Koji KITO. 2015. Effect of Teeth Density and Cylinder Rotation Speed
on Power Requirement and Specific Energy Consumption of Cylinder Type Sago
Rasper in: Prooceedings of the 12th International Sago Symposium September 15–17,
2015. Tokyo, Japan.
Darma dan Sumartono. 2015. Pemberdayaan dan Pengembangan Industri Pengolahan Pati
Sagu Rakyat di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Laporan Program Insentif
Diseminasi Produk Teknologi ke Masyarakat. LPPM Unipa. Manokwari.
Darma dan A. Kurniawan. 2016. Effect of Cylinder Rotation Speed, Teeth Density and Engine
Power Rate on Performance of Cylinder Type Sago Rasping Machine. in: The 1st
international conference: The role of agricultural engineering for sustainable
agricultural production (AESAP). 13-14 Desember, 2016, IPB Bogor.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


450 | Teknologi Pertanian
Darma, B. Santoso, Reniana. 2017. Development of cylinder type sago rasping machine using
pointed teeth. International Journal of Engineering and Technology (IJET-IJENS) Vol.
17, No.01: 2472-2481.
Flach M (1983) The sago palm, domestication and product. FAO, Rome
Flach M (1997) Sago palm. Metroxylon sagu Rottb. International Plant Genetic Resources
Institute, Rome.
Haryanto, B dan P. Pangloli. 1992. Potensi Dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Jogjakarta.
Jong, F.S. 2006. An urgent need to expedite the commercialization of the sago industries. in
Proc. 8th Int. Sago Symposium: Sago palm development and utilization, 25-34.
Jayapura, 6-8 July.
Jong, F. S. and C.J. Hoo. 2011. Growth and Yields of Natural Sago Forests for commercial
operations. In Proc. 10th Int.Sago Symposium, Sago for food security, Bio-energy, and
Industry from Research to Market, 43-45. Bogor, Indonesia, Oct. 29-31.
Matanubun H, Maturbongs L (2006) Sago palm potential, biodiversity and socio-cultural
consideration for industrial sago development in Papua, Indonesia. In Proc. 8th Int.
Sago Symposium: Sago Palm Development and Utilization, Jayapura, pp 41–54.
Samad MY (2002) Application of semi mechanical technology to improve production of small
scale sago industry. Indonesia J Science Techn 4(5):11–17.
Sembiring EN, Radite PAS, Suastawa IN (1998) Development of agricultural mechanization in
supporting self-sufficient of food. Agricult Engin J 12(3):1–6.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 451
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PEMANFAATAN CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL UNTUK MEMBANGKITKAN
INFORMASI EVAPOTRANSPIRASI GUNA MENDUKUNG SISTEM PERTANIAN
YANG PRESISI DI KABUPATEN MANOKWARI

Arif Faisol1, Atekan2, Rizatus Shofiyati3, Budiyono4


1
Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Papua
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Papua Barat
3
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
4
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Papua

Abstrak
Evapotranspirasi merupakan komponen penting dalam sistem pertanian presisi. Terbatasnya
data iklim menjadi kendala dalam melakukan analisis evapotranspirasi sehingga diperlukan
solusi alternatif. Citra satelit dapat menjadi solusi altenatif, untuk membangkitkan informasi
evapotranspirasi dibutuhkan citra satelit yang memiliki spektrum gelombang elektromagnetik
(band) visible (0,4 µm-0,7 µm), near-infrared (0,7 µm-1,3 µm), dan thermal infrared (8,0 µm-
14,0 µm), salah satunya adalah citra satelit Moderate Resolution Imaging Spektroradiometer
(MODIS). Metode yang digunakan untuk membangkitkan informasi evapotranspirasi dari citra
satelit adalah metode neraca energi pada permukaan lahan atau Surface Energy Balance
Algorithms for Land. Penelitian menunjukkan bahwa evapotranspirasi di Kabupaten Manokwari
hasil pengolahan data satelit berada pada kisaran 0-3,58 mm/hari dan umumnya lebih rendah
dari pengolahan data iklim. Hal ini disebabkan evapotranspirasi yang dibangkitkan dari citra
satelit merupakan ekstrapolasi dari evapotranspirasi sesaat yang mengacu pada saat perekaman
oleh satelit sehingga mengabaikan perubahan cuaca. Berdasarkan metode RMSE, akurasi citra
satelit MODIS dalam membangkitkan informasi evapotranspirasi sebesar 84,11% dibanding
metode pengolahan data iklim atau memiliki tingkat penyimpangan sebesar 15,89% sehingga
citra satelit MODIS dapat digunakan sebagai solusi alternatif dalam membangkitkan informasi
evapotranspirasi.

PENDAHULUAN
Sistem pertanian presisi (precision farming) merupakan komponen penting dalam
pertanian modern yang bertujuan untuk mengoptimalkan produksi pertanian yang
berkelanjutan, serta menjaga lingkungan dengan mencocokkan antara kegiatan budidaya
pertanian dengan kebutuhan riil tanaman berdasarkan karakterisik fisik lahan. Informasi
yang akurat mengenai karakteristik lahan serta kondisi tanaman merupakan hal yang sangat
krusial dalam sistem pertanian presisi, sehingga dibutuhkan dukungan teknologi modern
untuk menyediakan informasi tersebut. Beberapa teknologi modern yang dapat digunakan
diantaranya sistem informasi geografis dan penginderaan jauh (Seelan et al. (2003) dalam
Shafri (2016)).
Evapotranspirasi merupakan parameter utama dalam pengelolaan sumberdaya air
pada lahan pertanian melalui pemberian air yang tepat sesuai kebutuhan air tanaman serta
perencanaan pola tanam dan jadwal tanam. Pada umumnya evapotranspirasi dianalisis
menggunakan 3 (tiga) metode, yaitu; metode pengukuran, metode panci evaporasi, dan
metode perhitungan berdasarkan data iklim (Allen et al., 1998). Metode-metode tersebut
memiliki banyak kelemahan, diantaranya; hasil pendugaan hanya dapat digunakan untuk

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


452 | Teknologi Pertanian
skala lokal serta membutuhkan biaya dan waktu yang sangat banyak (Bastiaanssen (1995)
dalam Hong (2008)). Disamping itu minimnya data iklim menjadi kendala dalam analisis
evapotranspirasi akibat terbatasnya jumlah stasiun iklim serta sebarannya tidak merata dan
banyaknya peralatan yang mulai rusak.
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh diharapkan dapat menjadi solusi altenatif
untuk mengatasi keterbatasan jumlah stasiun iklim dalam melakukan analisis
evapotranspirasi. Penginderaan jauh merupakan teknologi terkini yang digunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai kondisi fisik permukaan bumi serta fenomena geografi
melalui analisa data yang diperoleh dari sensor. Meskipun teknologi penginderaan jauh tidak
dapat mengukur evapotranspirasi secara langsung, akan tetapi teknologi ini dapat digunakan
untuk membangkitkan parameter-parameter yang dapat digunakan untuk menghitung
evapotranspirasi diantaranya albedo, emisivitas, dan suhu permukaan lahan.
Penelitian tentang pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk analisis
evapotranspirtasi menggunakan metode Surface Energy Balance Algorithms for Land (SEBAL)
telah dilakukan dibeberapa negara, diantaranya Australia (Yang et al.,2008), Cina (Shen et
al., 2007; Hafeez dan Khan, 2006), Amerika (Wang et al., 2008;Trezza dan Allen, 2003),
Sudan (Ahmed et al., 2002), dan Thailand (Chemin, 2004). Dari hasil penelitian tersebut
diketahui bahwa analisis evapotranspirasi menggunakan teknologi penginderaan jauh dan
metode SEBAL memiliki akurasi sebesar 85% hingga 95% (Hafeez dan Khan, 2006;Wang et
al., 2008; Chemin, 2004; Trezza dan Allen,2003).
Citra satelit merupakan salah satu produk teknologi penginderaan jauh, untuk
mengimplementasikan citra satelit dalam analisis evapotranspirasi dibutuhkan citra satelit
yang memiliki spektrum gelombang elektromagnetik (band) visible (0,4 µm-0,7 µm), near-
infrared (0,7 µm-1,3 µm), dan thermal infrared (8,0 µm-14,0 µm).

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Manokwari pada bulan Juli-Oktober 2017.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data satelit Moderate Resolution
Imaging Spektroradiometer (MODIS) Surface Reflectance (MOD09) perekaman 2016 dan
2017, MODIS Geolocation (MOD03), Digital Elevation Model (DEM), dan data iklim.
Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer, perangkat lunak
Modis Swath Tool, dan ArcGIS.

14 Mei 2016 3 Juni 2016 1 Juli 2016

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 453
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
14 Juli 2016 14 Agustus 2016 14 September 2016

21 Oktober 2016 26 Desember 2016 5 Agustus 2017

21 Agustus 2017 30 Agustus 2017 10 Oktober 2017


Gambar 1. Raw data citra satelit MODIS yang digunakan dalam penelitian

Metode yang digunakan untuk membangkitkan informasi evapotranspirasi dari citra


satelit adalah metode neraca energi pada permukaan lahan atau Surface Energy Balance
Algorithms for Land (SEBAL) yang diperkenalkan oleh Bastiaanssen (Bastiaanssen et al.,
2002) dengan persamaan sebagai berikut (Allen et. al., 1998):
λET=Rn-G-H ....................................................................(1)
Keterangan: ET
2
= Energi untuk evapotranspirasi (W/m )
2
Rn = Radiasi permukaan netto (Net surface radiation) (W/m )
2
G = Kalor laten tanah (Soil heat flux) (W/m )
2
H = Aliran kalor sensibel (W/m )
Evapotranspirasi sesaat (ETi) adalah evapotranspirasi pada saat perekaman oleh
satelit. Evapotranspirasi sesaat (ETi) dihitung menggunakan persamaan berikut (Bastiaanssen
et al., 2002):
ET
ETi =3600
 ....................................................................(2)
Keterangan: ETi = Evapotranspirasi sesaat (mm/jam)
ET 2
= Energi untuk evapotranspirasi (W/m )
 = Kalor laten untuk penguapan (J/kg)

Evapotranspirasi dihitung berdasarkan pengolahan data satelit menggunakan


pendekatan energi dengan persamaan berikut (Xie et al. (1991) dalam Xiong et al. (2008)):
ETi . 2Ne
ETa =
π.sin(π.t⁄Ne ) ………............……………..…………….………..(3)
Keterangan: ETa = Evapotranspirasi (mm/hari)
ETi = Evapotranspirasi sesaat (mm/jam)

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


454 | Teknologi Pertanian
Ne = Durasi evapotranspirasi dalam sehari
t = Interval waktu antara matahari terbit dan pengambilan data oleh satelit

Akurasi evapotranspirasi hasil analisis citra satelit diuji menggunakan metode Root
Mean Square Error (RMSE) yang dibandingkan dengan metode perhitungan berdasarkan
data iklim. RMSE dihitung menggunakan persamaan berikut:

1 n Xi -Yi 2
RMSE=√ ∑ ( )
n i=1 Xi ……………..…………..……..……….................(4)
Keterangan: RMSE = Root mean square error
Xi = Nilai hasil pengamatan
Yi = Nilai hasil data satelit
n = Jumlah data

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil interpretasi citra satelit pada beberapa periode perekaman,
Evapotranspirasi di Kabupaten Manokwari berada pada kisaran 0-3,58 mm/hari.
Evapotranspirasi terendah terjadi pada kawasan yang tertutup awan, sehingga nilai
evapotranspirasinya mendekati 0. Sedangkan evapotranspirasi tertinggi berada dikawasan
hutan, kemudian disusul kawasan perkebunan dan kawasan pertanian. Distribusi
evapotranspirasi di Kabupaten Manokwari pada beberapa periode perekaman citra satelit
disajikan pada Gambar 2 berikut.

14 Mei 2016 3 Juni 2016 1 Juli 2016

14 Juli 2016 14 Agustus 2016 14 September 2016

21 Oktober 2016 26 Desember 2016 5 Agustus 2017

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 455
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
21 Agustus 2017 30 Agustus 2017 10 Oktober 2017
Gambar 2. Distribusi evapotranspirasi di Kabupaten Manokwari.

Pada umumnya nilai evapotranspirasi yang dibangkitkan dari citra satelit lebih rendah
dari pengolahan data iklim. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Nilai evapotranspirasi yang dibangkitkan dari citra satelit merupakan ekstrapolasi dari
evapotranspirasi sesaat yang mengacu pada saat perekaman oleh satelit, sedangkan
nilai evapotranspirasi menggunakan metode pengolahan data iklim berdasarkan hasil
pengukuran parameter iklim sepanjang hari,
2. Evapotraspirasi yang dibangkitkan dari citra satelit menggunakan asumsi langit dalam
kedaan cerah sepanjang hari, sehingga perubahan cuaca diabaikan,
3. Evapotranspirasi yang dibangkitkan dari citra satelit bersifat piksel based, sehingga jenis
penutup lahan mayoritas yang dijadikan dasar perhitungan evapotraspirasi. Sedangkan
evapotranspirasi menggunakan metode pengolahan data iklim berdasarkan kondisi
penutup lahan disekitar alat ukur (stasiun klimatologi),
Berdasarkan uji menggunakan metode RMSE, akurasi citra satelit MODIS dalam
membangkitkan informasi evapotranspirasi sebesar 84,11% dibanding metode pengolahan
data iklim atau memiliki tingkat penyimpangan sebesar 15,89%.

Gambar 3. Grafik perbandingan evapotranspirasi hasil pengolahan data iklim dan interpretasi citra
satelit.

KESIMPULAN
Secara umum citra satelit multispektral dapat digunakan untuk membangkitkan
informasi evapotranspirasi dengan menggunakan metode neraca energi pada permukaan
lahan,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


456 | Teknologi Pertanian
Pemanfaatan citra satelit Moderate Resolution Imaging Spektroradiometer (MODIS)
dalam membangkitkan informasi evapotranspirasi memiliki akurasi sebesar 82,56%
dibanding metode pengolahan data iklim atau memiliki tingkat penyimpangan sebesar
17,44% sehingga citra satelit MODIS dapat digunakan sebagai solusi alternatif dalam
membangkitkan informasi evapotranspirasi di Kabupaten Manokwari akibat terbatasnya
data iklim, sehingga akan dapat mendukung sistem pertanian yang presisi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian Kementerian
Pertanian yang telah membiayai penelitian ini melalui skema Kerjasama Penelitian,
Pengkajian, dan Pengembangan Pertanian Strategis (KP4S) tahun anggaran 2017.

PUSTAKA
Ahmed, M.B., T. Hata, H. Tanakamaru, A.W. Abdelhadi, A. Tada. 2002. The Spatial Analysis of
Surface Temperature and Evapotranspiration for Some Land Use/Cover Types in The
Gezira Area, Sudan. Agricultural Reserach Corporation. Sudan
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, M. Smith. 1998. FAO Irrigation and Drainage Paper 56: Crop
Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirements. FAO. Rome.
Bastiaanssen,W., R. Waters, R. Allen, M. Tasumi, R. Trezza. 2002. SEBAL: Surface Energy
Balance Algoritm for Land. University of Idaho. Kimberly.
Chemin, Y. 2004. Evapotranspiration of Crop by Remote Sensing using the Energy Balance
Based Algorithm. Asian Institute of Technology. Bangkok.
Hong, S. 2008. Mapping Regional Distributions of Energy Balance Components using Optical
Remotely Sensed Imagery. Disertation. New Mexico Institute of Mining and
Technology. New Mexico.
Shafri, H.Z.M. 2016. The Use of Hyperspectral Remote Sensing Systems in Precision
Agriculture: Current Statuse and Future Trends. International Conference on
Agricultural and Food Engineering.
Shen, J., A. Kondoh, C. Tang, J. Xiao, T. Oki, S. Kanae. 2007. Development and Application of
Remote Sensing Model for Estimating Soil Water Status and Evapotranspiration in
Semiarid Region. University of Tokyo. Tokyo.
Trezza, R., dan R. Allen. 2003. Crop Water Requirement from Remote Sensing Model for The
Snake Plain Area in Idaho. Geoenseñanza. Vol.8-2003 (1). p.83-90
Wang, J., T.W. Sammis, V.P. Gutschick. 2008. A Remote Sensing Model Estimating Lake
Evaporation. 2008 IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium.
Boston.
Xiong, Y.J., G.Y. Qiu, J. Yin, S.H. Zhao, X.Q. Wu, P. Wang, S. Zeng. 2008.
Estimation of Daily Evapotranspiration by Three-Temperatures Model at

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 457
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Large Catchment Scale. The International Archives of The Photogrammetry, Remote
Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Beijing.
Yang, X., P. Smith, T. Yu, H. Gao, D. Tien. 2008. Monitoring Evapotranspiration for Terrestrial
Groundwater Dependant Ecosystem Using Satellite-Based Energy Balance Model. The
International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Science. Vol. XXXVII, Part B8. p.529-534.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


458 | Teknologi Pertanian
PERILAKU ADOPSI BUDIDAYA KELAPA SAWIT PETANI ARFAK PESERTA
PROGRAM POLA KEMITRAAN INTI PLASMA PTPN II PRAFI
DI KABUPATEN MANOKWARI

Amestina Matualage

Universitas Papua. Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari Papua Barat.


e-mail: matualage.a@gmail.com

Abstrak
Trans-PIR di Manokwari sudah berlangsung sejak tahun 1986. Di kabupaten Manokwari, petani
yang mengikuti program ini diantaranya berasal dari petani lokal (suku Arfak). Walaupun
program ini sudah berlangsung lama, namun belum ada penelitian tentang bagaimana tingkat
adopsi teknologi budidaya kelapa sawit yang dilakukan oleh peserta program Trans-PIR setelah
dibina oleh PTPN II Prafi melalui pola keimtraan inti plasma, sementara data ini sangat
diperlukan sebagai acuan perencanaan pembanguan pertanian bagi petani suku Arfak di
Manokwari dan juga bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masih beroperasi di daerah
ini, yang melibatkan petani suku Arfak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana tingkat adopsi teknologi budidaya kelapa sawit petani suku arfak dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Metode yang dilakukan adalah metode survey yang melibatkan 126 kk
petani suku arfak peserta program Trans-PIR di tiga distrik di kabupaten Manokwari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi budidaya kelapa sawit tergolong
rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kontrol perilaku baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung dari kontrol perilaku adalah melalui pembentukan niat untuk
mengadopsi teknologi budidaya kelapa sawit.
Kata kunci: Suku Arfak tingkat adopsi, budidaya kelapa sawit

LATAR BELAKANG
Program Transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans) merupakan program
kemitraan pemerintah dengan swasta dalam rangka pemerataan penduduk sekaligus
peningkatan pendapatan petani melalui budidaya tanaman kelapa sawit. Program ini
didasari oleh Inpres No.1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi.
Berdasarkan hasil penelitian Sumule (1994), Holle (2000) dan Imbiri (2010), petani
Suku Arfak adalah salah satu kelompok sasaran program PIR-Trans sejak tahun 1986. Suku
Arfak adalah petani peramu yang belum pernah mengenal tanaman kelapa sawit. Sebelum
mengikuti tingkat partisipasi petani Suku Arfak tergolong rendah dibanding kelompok suku
lain peserta program, padahal mereka mendapatkan pendapatan tambahan melalui program
ini walaupun pendapatan mereka lebih kecil dibanding pendapatan petani dari suku lain
(Imbiri, 2010). Hal ini menunjukkan adanya masalah yang timbul di kalangan petani Suku
Arfak dalam mengadopsi pola kemitraan ini.
Pola kemitraan seperti PIR ini merupakan hal baru bagi petani Suku Arfak karena
sebelum ada program ini, mereka adalah peramu dan belum pernah ada pihak-pihak yang
melakukan kerjasama dengan mereka. Hasil dari kegiatan meramu dan berladang hanya

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 459
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan hanya sedikit sekali yang mereka jual
ke pasar.
Pola kemitraan inti plasma yang diterapkan oleh perusahaan terhadap petani Arfak
sudah berlangsung kurang lebih 30 tahun, telah mengintroduksi teknologi budidaya kelapa
sawit, namun belum diketahui sejauh mana tingkat adopsi petani. Sementara data ini sangat
diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang masih akan terus
dilaksanakan di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan
penelitian tentang meneliti tingkat adopsi teknologi budidaya kelapa sawit.
Perilaku adopsi ini didekati melalui teori perilaku yang dikemukakan oleh Ajzen
(1991). Menurut teori ini, perilaku dibentuk oleh kontrol perilaku yang dipersepsikan dan
niat dimana niat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku
yang dipersepsikan. Oleh karena itu, peneliti menduga rendahnya tingkat tingkat adopsi
teknologi budidaya kelapa sawit di kalangan petani Suku Arfak peserta program PIR-Trans
tergolong rendah karena niat untuk mengadopsinya rendah. Selain itu, juga dipengaruhi
secara langsung oleh kontrol perilaku. Niat untuk mengadopsi teknologi budidaya kelapa
sawit yang rendah ini diduga disebabkan karena sikap petani Suku Arfak yang negatif
terhadap pola kemitraan, tidak adanya dukungan lingkungan untuk mengadopsi dan juga
karena rendahnya peran pemerintah, perusahaan dan sifat-sifat inovasi yang tidak sesuai
dengan kebiasaan petani Arfak.
Tingkat adopsi teknologi budidaya kelapa sawit di kalangan Suku Arfak ini penting
sekali diketahui karena data ini sangat berguna untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat
yang bertujuan mengubah perilaku petani Suku Arfak sehingga kegagalan yang dilakukan
sebelumnya tidak terjadi di masa mendatang. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan
dapat mengetahui tingkat adopsi teknologi budidaya kelapa sawit dan faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhinya.

TEORI PERILAKU TERENCANA


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi
individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, 2012), hal yang hampir mirip dikemukakan oleh skinner, pencetus teori operant.
Menurut Skinner dalam Notoadmodjo (2003), perilaku adalah respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku terjadi melalui proses adanya
stimulus/rangsangan yang diterima oleh organisme, lalu organisme tersebut merespons.
Berdasarkan definisi ini, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-
Organisme-Respon. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan bentuk respon terhadap
stimulus maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Perilaku tertutup
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup.
Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus
tersebut dan belum dapat diamati secara jelas.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


460 | Teknologi Pertanian
b) Perilaku terbuka
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang
dengan mudah dapat diamati atau dengan mudah dipelajari.
Secara operasional, Notoadmodjo, (1993) mengungkapkan bahwa perilaku dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan
dari luar.
2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan
dari luar. Dalam hal ini lingkungan berperan dalam membentuk perilaku manusia yang
ada di dalamnya. Sementara itu lingkungan terdiri dari, lingkungan pertama adalah
lingkungan alam yang bersifat fisik dan akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan
sifat dan keadaaan alam tersebut. Sedangkan lingkungan yang kedua adalah lingkungan
sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
pembentukan perilaku manusia. Yang termasuk lingkungan non fisik ini adalah
norma/aturan yang berlaku di masyarakat/di keluarga.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, yakni berupa perbuatan atau action
terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
Pada tahun 1980 Ajzen dan Fishbein merumuskan teori yang diberi nama Theory of
Reasoned Action, dimana teori ini menyatakan bahwa perilaku seseorang didahului oleh
adanya minat yang timbul di dalam hatinya. Jika kita ingin mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh seseorang, maka kita bisa bertanya pada orang tersebut apakah ia
berkeinginan untuk melakukan tindakan tersebut. Inilah yang disebut dengan
intension/minat. Menurut teori ini, minat itu muncul karena adanya sikap yang positif
terhadap perilaku tertentu dan juga karena norma subyektif.

Gambar 1. Teori Tindakan Beralasan

Teori tindakan beralasan (TRA) ini disempurnakan oleh Ajzen pada tahun 1988,
dengan menambahkan faktor kontrol perilaku (Perceived behavioral perception) sehingga
nama teori diganti menjadi Theory of Planned Bahaviour). Alasan Ajzen menambahkan
faktor kontrol perilaku adalah karena menurutnya TRA hanya berlaku pada perilaku yang
berada di bawah kontrol individu, namun tidak sesuai untuk menjelaskan perilaku yang tidak
sepenuhnya berada dalam kontrol individu karena ada faktor yang bisa menghambat niat
untuk berperilaku. Teori ini digambarkan sebagai berikut:

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 461
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 2. Teori Tindakan Berencana

Teori tindakan beralasan ini menyatakan bahwa niat/intension dipengaruhi oleh


sikap, norma subyektif dan kontrol perilaku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap
adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2012). Sikap merupakan evaluasi positif atau negatif
individu terhadap perilaku tertentu. Sedangkan norma subjektif adalah persepsi seseorang
terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu (Ajzen &
Fishbein, 1975),. Namun Ajzen berpendapat bahwa teori reason action belum dapat
menjelaskan tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol seseorang. Karena
itu dalam theory of planned behavior Ajzen menambahkan satu faktor yang menentukan
intensi yaitu perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan persepsi
individu terhadap kontrol yang dimilikinya sehubungan dengan perilaku tertentu (Ajzen,
2005). Faktor ini menurut Ajzen mengacu pada persepsi individu mengenai mudah atau
sulitnya memunculkan tingkah laku.
Menurut Matualage (2011), pengaruh keluarga, terutama orang tua, tokoh agama
serta tokoh adat masih sangat kuat di kalangan masyarakat Suku Arfak. Orang tua
sebagaimana hasil penelitian tersebut merupakan model yang digunakan petani Suku Arfak
untuk melakukan budidaya ubijalar, sedangkan tokoh adat merupakan wakil masyarakat
untuk menyelesaikan permasalahan yang menyangkut adat. Selain itu, tokoh agama yang
biasa disebut “gembala” merupakan seseorang yang harus dipatuhi karena mereka yang
bertugas “melayani kebutuhan rohani” masyarakat. Tokoh-tokoh ini apabila memberikan
pendapat akan sangat dihargai dan dipatuhi oleh petani. Oleh karena, peran tokoh-tokoh ini
dipandang sebagai variabel dalam menganalisis norma subyektif lingkungan terhadap pola
kemitraan dan budidaya kelapa sawit di Kabupaten Manokwari.

METODE PENELITIAN
Metode dasar dari penelitian adalah metode kuantitatif dengan menggunakan
metode diskriptif analisis untuk mengungkap hasil penelitian dengan cara memfokuskan
pada pemecahan masalah pada masa sekarang (Soeratno & Arsyad, 1999). Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik survey dengan tujuan mempelajari gejala-gejala
yang terjadi di lokasi penelitian secara keseluruhan.
Penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Distrik Warmare dan Distrik Prafi
Kabupaten Manokwari. Pemilihan kedua distrik ini dilakukan secara sengaja karena program
Trans-PIR dilaksanakan di kedua distrik ini. Responden yang dijadikan sampel adalah petani
Suku Arfak yang menjadi peserta program Trans-PIR yang diambil secara acak sebanyak 126
responden.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


462 | Teknologi Pertanian
Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang
diperoleh dari wawancara dengan menggunakan bantuan kuesioner dan juga data sekunder
yang diperoleh dari penelusuran pustaka baik dari hasil penelitian maupun dari perusahaan
dan instansi terkait seperti BPS, Dinas Perkebunan serta Departemen transmigrasi.
Metode analisis yang digunakan untuk mengkaji adopsi teknologi budidaya kelapa
sawitadaah statistik deskriptif sedang Model perilaku adopsi teknologi budidaya kelapa sawit
petani Suku Arfak dikaji dengan menggunakan metode Path analysis untuk menganalisis
model yang diduga dengan model yang terjadi di lapangan serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap variabel dependen.

HASIL PENELITIAN

Perilaku adopsi budidaya kelapa sawit

Hasil penelitian tentang perilaku adopsi tehnologi budidaya kelapa sawit disajikan
pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Tingkat Adopsi tehnologi budidaya kelapa sawit


Tingkat Adopsi Jumlah (KK) Nisbah (%)
Rendah 67 53
Sedang 52 41
Tinggi 7 6
Jumlah 126 100
Sumber: Data primer, 2017, diolah

Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 6% petani Arfak peserta program kemitraan yang
mengadopsi tehnologi budidaya kelapa sawit seperti yang diajarkan oleh perusahaan
(tingkat adopsinya tinggi). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Adanya “waktu tunggu” dalam sistem pertanian yang diterapkan oleh perusahaan
dalam teknologi budidaya kelapa sawit yang tidak pernah dirasakan oleh petani Arfak
dalam sistem pertanian yang mereka anut, yaitu kombinasi sistem pertanian ladang
berpindah dan meramu. Pada sistem pertanian ladang berpindah yang dianut oleh
petani Arfak, mereka akan membuka kebun baru ketika kebun lama mereka sudah
mulai panen. Panen yang mereka lakukan tidak hanya sekali sehingga karena hasil
kebun dipanen untuk kebutuhan keluarga, sedang sisanya dibiarkan di lahan sampai
persediaan makanan di rumah hampir habis dan mereka akan memanennya. Selama
kebun lama dipanen, kebun baru sudah ditanam, sehingga pada saat kebun lama sudah
tidak menghasilkan bahan makanan, kebun baru sudah siap untuk dipanen. Adanya
rotasi inilah yang menyebabkan petani Suku Arfak tidak mengenal “waktu tunggu” yaitu
selang waktu antara tanam dan panen. Waktu tunggu yang cukup lama dalam kegiatan
budidaya kelapa sawit untuk menjual TBS menyebabkan petani Arfak lebih memilih
mengusahakan ladang mereka.
2. Selain waktu tunggu, keberadaan beras murah yang disediakan oleh pemerintah
dirasakan sangat membantu petani untuk mencukupi kebutuhan akan bahan pangan
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 463
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
utama. Dibalik itu, keberadaan beras murah ini menyebabkan petani enggan untuk
berusaha lebih keras lagi karena dengan pendapatan mereka dari hasil berjualan sayur
dan ubi-ubian, mereka sudah bisa membeli beras untuk kebutuhan selama 1 bulan.
3. Pelaksanaan program-program pembangunan di perdesaan membuka kesempatan kerja
bagi tenga kerja di desa untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Hal ini juga merupakan
penyebab dari rendahnya perilaku adopsi petani Arfak. Adanya waktu tunggu sebelum
panen, memberi peluang bagi petani Arfak untuk bekerja sebagai buruh. Ternyata hasil
dari bekerja sebagai buruh masih lebih banyak dibanding pendapatan dari penjualan
TBS yang harganya tidak tentu, sehingga petani yang sudah terbiasa dengan pendapatan
yang tinggi ini sudah enggan untuk mengurus kebun kelapa sawitnya lagi.
4. Tinggi pohon yang sudah melebihi 4 meter, menyebabkan petani sudah tidak bisa
menggunakan dosos tetapi harus menggunakan egrek, yaitu alat untuk mengambil TBS
berupa 2 sampai 3 pipa yang disambung dan pada ujungnya diberi semacam parang
yang ujungnya tajam untuk memanen TBS. petani Suku Arfak tidak mau memanen
TBSnya dengan egrek karena dengan alat yang panjang ini mereka susah memanen TBS
dan menurut mereka resiko celaka akibat penggunaan egrek ini sangat besar mengingat
pipa yang digunakan sangat panjang dan akan susah dikendalikan apabila angin
kencang. Selain itu tingginya pohon menyebabkan tingginya resiko kecelakaan karena
tertimpa pelepah sawit menyebabkan petani Suku Arfak tidak mau mengadopsi
tehnologi budidaya kelapa sawit.

Pengujian hipotesis

Hipotesis 1: Sebagian besar petani Arfak mempunyai tingkat adopsi tergolong rendah

Untuk menguji hipotesis ini digunakan analisis proporsi. Hipotesis yang dibangun
adalah sebagai berikut :
H0: Lebih dari 50% petani Suku Arfak mempunyai tingkat adopsi budidaya kelapa
sawit tergolong tinggi
H1: Kurang dari atau sama dengan 50% petani Suku Arfak mempunyai tingkat adopsi
budidaya kelapa sawit tergolong tinggi
Seperti telah dikemukakan sebelumnya pada Tabel 1 bahwa hanya 6% petani Arfak
peserta program kemitraan yang tingkat adopsinya tinggi, sehingga Z hitung adalah sebagai
berikut :
x⁄ -p 67⁄ -0,51
n 0 126
Z= ==> Z= = 0,488
0,51(0,49)
√p0 (1-p0 ) √
n 126

Ztabel = -1,64

Karena Zhitung (0,488) > Ztabel (-1,64), maka H0 ditolak, yang berarti H0 yang menyatakan
bahwa kurang dari 50% petani mempunyai tingkat adopsi tinggi diterima.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


464 | Teknologi Pertanian
a. Hipotesis 2. Niat untuk mengadopsi dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif dan kontrol
perilaku.
b. Hipotesis 3. Perilaku adopsi dipengaruhi oleh niat dan kontrol perilaku.
Kedua hipotesis ini diuji dengan menggunakan analisa jalur dengan bantuan Software
Lisrel 8.72.
Hasil pengujian adalah sebagai berikut:

Analisis the goodness of fit

Analisis the googness of fit dari analisis ini menunjukkan bahwa model yang
diasumsikan ini tidak berbeda dengan model dilapangan, yang ditunjukkan dengan beberapa
indikator:
1. Chisquare = 3,92 yang berarti model yang dibuat tidak berbeda secara signifikan dengan
keadaan di lapangan atau dengan kata lain model di lapangan sesuai dengan model
hipotesis
2. Probabilitas = 0,14071 yang berarti p lebih dari 0,05, sehingga bisa disimpulkan model
ini tidak berbda secara signifikan dengan kondisi di lapangan
3. RMSEA = 0,089 berarti model fit
Hasil analisis menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut:
y1 = -0,036* x 1 - 0,0051* x 2 + 0,48* x 3, Errorvar.= 0,17, R² = 0,20
(0,18) (0,083) (0,089)
-0,20 -0,061 5,45
Persamaan di atas menunjukkan bahwa:
 Sikap (x1) tidak berpengaruh signifikan dalam taraf kepercayaan 95% terhadap niat
(thitung = -0,20, ttabel = 1,97)
 Norma subyektif (x2) tidak berpengaruh signifikan dalam taraf kepercayaan 95%
terhadap niat (thitung = -0,061, ttabel = 1,97)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 465
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
 Kontrol perilaku (x3) berpengaruh signifikan dalam taraf kepercayaan 95% terhadap niat
(thitung = 5.45, ttabel = 1,97)
Selain persamaan di atas, diperoleh persamaan sebagai berikut:
Y21 = 0,83*y1 + 0,31* x 3, Errorvar.= 0,047, R² = 0,82
(0,047) (0,051) (0,0061)
17,47 5,96 7,81
Persamaan di atas menunjukkan bahwa:
 Niat (y1) berpengaruh signifikan dalam taraf kepercayaan 95% terhadap perilaku (t hitung
= 17,47, ttabel = 1,97)
 Kontrol perilaku (x3) berpengaruh signifikan dalam taraf kepercayaan 95% terhadap
perilaku (thitung = 5,96, ttabel = 1.97)
 Pengaruh langsung dari niat terhadap perilaku sebesar 0,047
 Pengaruh langsung dari kontrol perilaku terhadap perilaku sebesar 0,051
Persamaan regresi tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dengan R 2
sebesar 0,82 yang berarti 82% perilaku adopsi teknologi budidaya kelapa sawit dipengaruhi
oleh niat dan kontrol perilaku, dan 18% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini.

PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku adopsi petani Arfak terhadap budidaya
kelapa sawit tidak saja terbentuk secara spontan tetapi melalui proses dalam pikiran yang
membentuk niat untuk melakukan suatu perilaku. Hal ini sejalan dengan teori perilaku
terencana yang dikemukakan oleh Ajzen and Fishbein (1975). Hal yang berbeda dalam
pembentukan niat petani Arfak peserta program kemitraan inti plasma adalah bahwa sikap
dan norma subyektif tidak berpengaruh signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa peran
pemerintah, peran perusahaan dan juga sifat inovasi sangat berperan dalam pembentukan
niat dan juga perilaku untuk mengadopsi teknologi budidaya kelapa sawit.
Peran pemerintah dan perusahaan yang rendah, rumitnya melakukan budidaya
kelapa sawit, tidak sesuainya budaya bertani petani Arfak dengan budidaya kelapa sawit,
serta sulitnya mencoba budidaya kelapa sawit dalam skala kecil tidak saja menyebabkan
rendahnya niat petani untuk mengadopsi teknologi tetapi juga menyebabkan petani tidak
mau mengadopsi teknologi budidaya kelapa sawit.

KESIMPULAN
Petani suku arfak tidak mengadopsi teknologi budidaya kelapa sawit yang diterapkan
oleh PTPN II Prafi. Peran pemerintah, peran perusahaan serta sifat inovasi berpengaruh pada
pembentukan niat dan juga terhadap perilaku adopsi teknologi budidaya kelapa sawit

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


466 | Teknologi Pertanian
Perlu peningkatan peran pemerintah melalui pendampingan bagi petani Arfak
Program pendampingan yang akan dibuat harus memperhatikan kebutuhan petani Arfak
sehingga pendampingan tersebut efektif

DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational behavior and human
decision processes, 50(2), 179-211.
Ajzen, I., & Fishbein, M. (1975). Understanding Attitudes and Predicting Social Beahvior.
Engelwood Clifs, NJ: Prentice-hall.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, K. P. B. (2012). Kamus Besar Bahasa
Indonesia: http://kbbi.web.id.
Holle, Y. (2000). Partisipasi Petani dalam Kegiatan PIR Kelapa Sawit (Kasus Petani PIR di
Kabupaten Manokwari - Irian Jaya). Thesis Program Pascasarjana Insitut Pertanian
Bogor, Tidak diterbitkan.
Imbiri, S. (2010). Analisis Dampak PIR Kelapa Sawit terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Sekitar di Kabupaten Manokwari. AGRITEK, 18(2), 15.
Matualage, A. (2011). Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Budidaya Ubi Jalar Di
Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari. Jurnal Kawistara, 1(1).
Notoadmodjo, S. (1993). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Yogyakarta:
Andi Offset.
Notoadmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan Jakarta: Rineka Cipta.
Soeratno, & Arsyad, L. (1999). Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta:
Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.
Sumule, A. I. (1994). The Tehnology Adoption Behaviour of the Indigenous People of Irian
Jaya: A Case Study of the Arfak Tribals. University of Queensland, Doctor of
Phylosophy Program. Tidak diterbitkan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 467
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENAMPAKAN MUTU FISIK GABAH DI SENTRA PRODUKSI PADI
DI KALIMANTAN BARAT

Jhon David H1 dan Mimin Yulita Kusumaningrum2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat.
Jl. Budi Utomo No. 45, Siantan, Pontianak Utara, Siantan Hulu, Kalimantan Barat.
2
BPTP Papua Barat.
Jl. Basecamp Komplek Perkantoran Arfai, Manokwari, Papua Barat
e-mail: jhondavidsilalahi@yahoo.com

ABSTRAK
Mutu fisik gabah dan kadar air gabah sangat mempengaruhi rendemen dan mutu beras giling
yang akan dihasilkan. Jika gabah yang akan digiling mencapai kadar air yang optimum (14%),
maka akan diperoleh rendemen dan mutu beras giling yang baik pula, hal ini pengeringan gabah
yang tepat sangatmenentukan. Pengetahuan petani akan pentingnya standar SNI Gabah adalah
sangat mutlak, adalah menjadi tujuan dari penelitian ini. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan
disentra produksi beras yang dimulai dari Maret-Agustus 2017. Perlakuannya adalah dengan
cara introduksi GHP sesuai dengan SOP dan cara petani/kebiasaan setempat, dan diulang 3 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan perlakuan GHP, gabah yang dihasilkan memenuhi
persyaratan SNI 01-6128-2008 baik mutu I, II dan III, sedangkan dengan cara petani belum
memenuhi persyaratan SNI 01-6128-2008.
Kata kunci: gabah, SNI, Mutu dan pasca panen

PENDAHULUAN
Mutu gabah secara nasional sudah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN)
yaitu Standar Nasional Indonesia SNI 01-6128-2008. Berdasrkan SNI tersebut mutu gabah
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelas mutu, yaitu mutu I, mutu II, dan mutu III (Badan
Standarisasi Nasional, 2008). Standar mutu gabah mempunyai hubungan langsung dengan
harga jual produk yang dihasilkan. Sekurang-kurangnya standar mutu tersebut memberikan
jaminan harga bagi produsen untuk produk yang ditawarkan. Mutu pasar secara objektif
lebih ditentukan oleh sifat fisik dan penampakan produk yang dihasilkan, seperti gabah yaitu
kadar air, gabah hampa, butir rusak/butir kuning, butir mengapur (gabah muda), butir
merah, dan benda asing. Usaha perbaikan dan peningkatan mutu gabah merupakan hal yang
harus dilakukan agar tidak terjadi kehilangan hasil, baik secara kuantitatif maupun kualitatif
(Nur Asni dan Dewi Novalinda, 2016)
Mutu gabah dan kadar air gabah sebelum digiling dapat mempengaruhi rendemen
dan mutu beras giling yang dihasilkan. Bila gabah yang akan digiling mencapai kadar air yang
optimum maka akan diperoleh rendemen dan mutu beras giling yang baik pula. Oleh sebab
itu perlu adanya pengeringan gabah yang tepat hingga mencapai kadar air optimum
tersebut.
Menurut Webb dan Calderwood (1977) dalam Wadsworth (1994), kadar air gabah
berkaitan erat dengan rendemen beras kepala dan derajat gilingnya. Dalam percobaannya,
Webb dan Calderwood ini melakukan penggilingan pada berbagai varietas beras dengan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


468 | Teknologi Pertanian
berbagai range kadar air (6-18%). Gabah dengan kadar air yang berbeda ini kemudian
digiling dengan menggunakan alat penggiling yang telah diatur pada tekanan yang berbeda-
beda, untuk mendapatkan empat derajat giling yang berbeda (well milled, reasonably well
milled, lightly milled, dan undermilled). Gabah dengan kadar air rendah (6-10%) lebih tahan
terhadap penggilingan pada setiap setting penggilingan dibandingkan dengan gabah dengan
kadar air tinggi (14-16%). Selain itu gabah dengan kadar air rendah membutuhkan tekanan
yang lebih tinggi daripada gabah dengan kadar air tinggi agar didapatkan beras dengan
derajat giling/derajat sosoh yang tinggi pula. Pada derajat sosoh yang sama, gabah dengan
kadar air yang tinggi menghasilkan rendemen beras kepala yang lebih tinggi 1-3%
dibandingkan dengan rendemen beras kepala yang dihasilkan oleh gabah dengan kadar air
rendah.
Banyak faktor yang menentukan mutu beras seperti mutu beras giling, rendemen,
mutu gabah dan kehilangan bobot. Mutu beras ditentukan oleh mutu gabah sewaktu
digiling, derajat sosoh, kondisi penggilingan dan penanganannya serta sifat varietas
(Soemardi dan Thahir, 1991). Mutu giling merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan mutu beras. Mutu giling mencakup berbagai ciri, yaitu rendemen beras giling,
rendemen beras kepala, persentase beras pecah, dan derajat sosoh beras. Sebagian besar
beras yang beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki derajat sosoh 80% atau lebih
dan persentase beras kepala lebih besar dari 75% dan mengandung butir patah kurang dari
30%. Berbagai faktor yang meliputi keadaan lingkungan, panenhingga penanganan lepas
panen mempengaruhi mutu giling di samping faktor genetik (Haryadi, 2006).

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan didaerah sentra produksi kabupaten Sambas, di 2 Kecamatan,
kecamatan, Semparuk dan Pemangkat, pada bulan Maret-Agustus 2017, Analisa mutu gabah
yang dihasilkan dilakukan di Laboratorium Pascapanen Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Kalbar. Teknologi panen dan pascapanen yang dilakukan meliputi panen, perontokan,
pengeringan, pembersihan dan pengemasan gabah. Sebagai perlakuan adalah teknologi
pascapanen padi yang biasa dilakukan petani (teknologi existing) dan dibandingkan dengan
teknologi pascapanen secara GHP (teknologi introduksi). Data yang diamati adalah
komponen mutu gabah sesuai dengan standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6128-2008 yaitu
kadar air (%), gabah hamba (%), butir rusak+kuning (%), butir mengapur (butir muda)(%),
butir merah (%), dan kotoran/benda asing (%). Mutu gabah yang dihasilkan baik dengan
teknologi petani maupun teknologi introduksi (GHP) dianalisa dengan cara perhitungan
sebagai berikut:
Analisa Mutu Fisik Gabah:
 Timbang 100 g biji gabah, kemudian ukur kadar air gabah (%) dengan alat moisture
tester
 Pisahkan butir hampa, butir mengapur (butir muda), butir rusak + kuning, butir merah
dan kotoran (benda asing)
 Hitung butir hampa dengan rumus: butir hampa = berat butir hampa/100 g x 100%
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 469
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
 Hitung butir mengapur (muda) dengan rumus = berat butir mengapur/100 g x 100%
 Hitung butir rusak + kuning dengan rumus = berat butir kuning/rusak/100 g x 100%
 Hitung butir merah dengan rumus butir merah = berat butir merah/100 g x 100%
 Hitung kotoran (benda asing) dengan rumus kotoran = kotoran/100 g x 100%
 Bandingkan dengan tabel standar mutu SNI 01-6128-2008 (Tabel 1)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemanenan padi dilaksanakan dengan 2 tahapan, pertama dengan cara petani dan
dengan introduksi teknologi yang selanjutnya di sebut cara GHP. Masing-masing pemanenan
dilaksanakan pada jam 06.00 WIB yaitu pada saat kadar air gabah sudah menurun. Panen
cara GHP yaitu panen pada saat matang optimal yang ditandai dengan 90-95% gabah pada
malai telah menguning, dan sebagian daun bendera telah mengering. Sampel tanaman
adalah petak ubinan (5m x 5m) pada rumpun yang seragam. Alat panen yang digunakan
adalah sabit yang tajam (secara manual) dengan cara memotong batang padi bagian atas
(potong atas). Perontokan cara GHP yaitu perontokan dilakukan segera setelah panen (KA
18-21%) dengan dengan alat power thresher dan dialasi dengan terpal ukuran 8m x 8m. Padi
yang dirontok adalah padi yang baru dipanen, mempunyai ukuran potongan jerami yang
seragam dan belum mengalami penundaan perontokan. Power thresher diletakkan tepat di
pinggir alas perontok yang digunakan. Arah keluarnya gabah hasil perontokan harus
mengikuti arah. Untuk teknologi pengeringan dengan pengeringan alami/sinar matahri yang
berlokasi di lahan sawah atau pinggir jalan, dengan rata-rata ketebalan 3-5 cm. Pembalikan
dilakukan sekali 2 (dua) jam. Pengeringan dianggap sudah selesai bila kadar air gabah sudah
mencapai 13-14%. Gabah hasil pengeringan dibersihkan kembali dengan cara ditampi.
Gabah yang telah bersih dimasukan kedalam karung yang telah dilapisi karung plastik.

Tabel 1. Introduksi teknologi dan cara petani


No Tahapan Kegiatan Inovasi Teknologi/GHP Cara Petani
1 Panen Umur panen Kebiasaan
2 Alat Panen Sabit Bergeriri Ani-ani, Sabit biasa
3 Perontokan Power thresser Injak-injak, Gebot
4 Pengeringan Sinar Matahar dengan ketebalan 3-5 Sinar Matahari dengan tidak merata
cm dan setiap 2 jam dibolak-balik ketebalan gabah
Pembersihan
5 Tampi Tampi
Gabah
6 Penyimpanan Kadar air maks 14% dan dimasukkan Penyimpanan dilakukan di gudang
gabah dalam kemasan karung 50 kg dan tertutup dan tanpa alas kayu
disimpan dengan alas kayu
7 Pengemasan Kemasan kaleng untuk bibit dan Kemasan karung yang telah digunakan
kemasan karung bersih untuk di jual berulang kali

Dari tabel, Menunjukkan bahwa dengan penerapan tahapan panen sampai


penyimpanan dengan cara GHP/introduksi teknologi, mutu gabah yang dihasilkan akan
memenuhi kriteria SNI kelas I, sedangkan dengan cara petani/kebiasaan setempat, maka

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


470 | Teknologi Pertanian
mutu gabah yang dihasilkan belum memenuhi kriteria SNI SNI 01-6128-2008, baik mutu I,
mutu II, maupun mutu III, karena petani masih belum mengadopsi panen dan pascapanen
yang baik dan benar.

Tabel 2. Mutu gabah dengan Cara GHP dan cara petani


LEVEL MUTU
Komponen Mutu
I II III GHP PETANI
Kadar Air (%) Maks 14,0 14,0 14,0 14,0 17,1
Butir Hampa (%) Maks 1,0 2,0 3,0 2,1 5,4
Butir rusak+kuning (%) Maks 2,0 5,0 7,0 2,1 10,5
Butir kapul/gabah muda (%) Maks 1,0 5,0 10,0 1,5 12,1
Butir merah (%) Maks 1,0 2,0 10,0 1,0 11,3
Benda asing (%) Maks - 0,5 4,0 0,5 5,3

Kadar air 14% merupakan kadar air dimana gabah cukup stabil, artinya tidak mudah
terjadi penyerapan air kembali, sehingga kenaikan kadar air terjadi cukup lambat. Pada
kadar air 14% ini gabah cukup aman disimpan apabila pengaruh lingkungan tidak merusak,
karena panas yang dihasilkan akibat respirasi butiran maupun jasad renik tidak cukup untuk
menaikkan suhu dan lembab butiran (Damardjati dan Purwani, 1991). Menurut Fardiaz
(1992), kadar air bahan pangan kurang dari 14-15%, misalnya pada beras dan serealia, dapat
menghambat atau memperlambat pertumbuhan kebanyakan khamir. Beras dengan kadar
air 14% ini pada suhu yang sama dapat disetarakan dengan Rh 75.6% (Wratten and Kendrick
(1970) dalam Kunze et al., 2004).
Selain itu pada kadar air lebih dari 15%, laju respirasi gabah meningkat cukup cepat,
sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada butir gabah, misalnya terbentuk butir kuning
yang akan mengganggu mutu giling dan organoleptik dari beras itu sendiri Bailey (1940)
dalam Siebenmorgen dan Meullenet, (2004). Pada peningkatan kadar air di atas 14%,
respirasi akan meningkat secara bertahap hingga mencapai kadar air kritik yang dapat
mempercepat laju respirasi dan suhu biji juga cenderung meningkat. Peningkatan respirasi
dalam biji selama penyimpanan dapat juga disebabkan oleh kegiatan cendawan (terutama
spesies Aspergillus dan Penicillium), yang umumnya terinfestasi dalam lapisan pembungkus
biji (Damardjati, 1988).
Nugraha dkk, (1998), mengungkapkan pengeringan tanpa memperhatikan ketebalan
penjemuran, frekuensi pembalikan gabah dan alas jemur, dapat menyebabkan penurunan
kualitas dan kuantitas gabah. Salah satu komponen mutu gabah untuk persyaratan
kuantitatif SNI adalah kadar air. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kadar air gabah yang
dihasilkan pada perlakuan GHP adalah 14,0%, dan ini sudah memenuhi persyaratan mutu
SNI. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan secara GHP pengeringan dilakukan dengan
ketebalan 3-5cm dan pembalikan sekali 2 jam, sehingga panas pada gabah terserap secara
merata dan sempurna dan mencapai kadar air sekitar 14% pada hari ketiga. Pada perlakuan
cara petani kadar air yang diperoleh lebih tinggi lagi yaitu 17,1%, sehingga tidak memenuhi
persyaratan mutu SNI. Hal ini disebabkan pengeringan gabah dengan cara petani dengan
ketebalan penjemuran yang tidak merata bahkan perlakuan pembalikan gabah masih sangat
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 471
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
minim (2-3 kali sehari), dan juga kapasitas padi yang melebihi kapasitas penjemuran.
Pengeringan cara petani biasanya akan mencapai kadar air 14%, membutuhkan 5-6 hari.
Selama pengeringan sebaiknya gabah dibalik setiap 2 jam untuk mencegah terjadinya
kenaikan suhu. Pengeringan gabah dapat menghasilkan gabah dengan mutu yang kurang
baik apabila gabah yang dijemur ini mengalami fluktuasi suhu yang tidak tetap. Perubahan
suhu yang cukup drastis, misalnya setelah terkena panas, gabah ini terkena hujan, maka
mutu gabah ini akan berkurang dan akan menghasilkan beras giling dengan persentase beras
kepala yang berkurang (Siebenmorgen, 1994).
Penentuan umur panen yang tepat pada kondisi matang optimum, sangat
mempengaruhi mutu gabah. Pada Tabel 3 memperlihat bahwa dengan cara GHP, butir
hampa dan butir mengapur berada pada kisaran masing-masing 2,1 dan 2,1, sedangkan
dengan cara petani butir hampanya sekitar 5,4% dan butir mengapur 10,5%, dan tidak
memenuhi standar SNI. Kamil (1979), mengatakan bahwa, panen padi dilakukan pada
kondisi matang optimum yaitu stadia tertentu dalam perkembangan buah dimana semua
syarat proses kematangan terpenuhi secara sempurna Pada kondisi ini gabah sudah matang
dengan sempurna, sehingga butir hampa, butir mengapur/butir muda hampir tidak ada atau
sedikit
Menurut Matz (1965), kadar air dapat mempengaruhi tekstur dan elastisitas pada
makanan. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara air dengan komponen struktural
dari protein dan karbohidrat yang akan meningkatkan ataupun menurunkan elastisitas dan
kekakuan dari bahan pangan. Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan hal yang
menyebabkan gabah dengan kadar air 12% memiliki persentase menir terbanyak
dibandingkan dengan gabah dengan kadar air 14% dan 16% adalah karena pada kadar air
12% elastisitas gabah berkurang, sehingga gabah menjadi lebih keras dan mudah patah.
Butir hampa ataupun bobot gabah yang berkurang atau tidak sesuai dengan bobot
yang diharapkan dapatdisebabkan karena kondisi setelah pembungaan yang tidak
menguntungkan, misalnya karena kurangnya unsur-unsur hara yang tersedia (Taslim, H et
al.,1989). Selain itu menurut Damardjati (1979), pemanenan yang dilakukan pada
kematangan yang tidak tepat akan menghasilkan penurunan mutu giling dan rendemen
beras. Beras yang dipanen sebelum masak akan banyak mengandung gabah hampa, butir
kapur, dan beras pecah yang tinggi. Pengamatan di lapangan bahwa, sebagian besar
pertanaman padi sudah dipanen sebelum waktunya karena pengaruh musim penghujan dan
adanya serangan hama kepinding tanah (Scotinophara coarctata). Hama diperkirakan
menjadi penyebab meningkatnya jumlah gabah hampa karena hama ini menyerang butiran-
butiran gabah, sehingga gabah menjadi hampa.
Butir kuning adalah butir utuh dan atau patah yang sebagian atau keseluruhan bijinya
berwarna kuning. Penyebab utama warna kuning dari biji tersebut adalah adanya peragian,
pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan
gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera
dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan Purwani, 1991).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


472 | Teknologi Pertanian
Perlakuan dengan cara GHP, butir kuning berada pada kisaran 2.1 dan memenuhi
standar SNI. Menurut Ayap et al.(2001), beras yang memiliki butir kuning ≤ 2% dapat
digolongkan ke dalam beras Premium.
Butir hijau dan butir mengapur pada gabah menunjukkan pengaruh lingkungan dan
pengelolaan. Jarak tanam yang kurang rapat akan memperbanyak jumlah anakan yang akan
membentuk tunas tunas lambat dan pada akhirnya menyebabkan kematangan padi tidak
serempak sehingga persentase butir hijau meningkat. Hal ini akan menyebabkan daun saling
menutupi sehingga proses fotosintesis dan proses pemasakan biji tidak sempurna karena
sinar matahari yang dibutuhkan terhalang oleh daun (Damardjati dan Purwani, 1991).
Menurut Setyono et al. (1998), faktor penyebab kehilangan hasil panen diantaranya
karena banyak gabah rontok saat pemotongan padi dan pengumpulan, banyak malai padi
yang tertinggal saat pengumpulan potongan malai padi, banyak gabah yang tercecer pada
saat perontokan dengan cara digebot, dan perontokan yang kurang bersih, sehingga masih
banyak butir gabah yang masih menempel pada malainya.

KESIMPULAN
Mutu gabah fisik yang diperlihatkan pada daerah sentra produksi padi dengan cara
introduksi GHP akan memenuhi standar SNI 01-6128-2008 baik dari Muti I, II dan III. Mutu
gabah dengan cara petani, tak satupun memenuhi unsur mutu SNI, baik kadar airnya, butir
hampa, butir kuning maupun benda asing. Perlu diseminasi massal dan massif kepada
kelompok tani guna memenuhi standar SNI 01-6128-2008

DAFTAR PUSTAKA
Ayap, J.N.B., R.E Valdez., E.D. Antolin., M.B. Guloy., P.A. Tibayan., D.V Aquino., M.J.C.
Ablaza., and M.V. Romero. 2001. Grain quality profile of hybrid rice lines and
parentals. Dalam: E.D. Redona and M.G. Gaspar (ed.). Proceeding of the 2nd national
workshop on hybrid rice: Hybrid rice in the Philippines: Progress and new horizons. P.
88-92.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2008. Standar Mutu Gabah SNI 01-6128-2008. Jakarta
Bailey. C. G. 1940. The handling and storage of cereal grains and flaxseed. Cereal Chem.
72:304-307
Damardjati, D.S. 1979. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.) terhadap sifat
dan mutu beras. Tesis M.S. Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Damardjati, D. S. 1988. Struktur kandungan gizi beras. Dalam: Ismunadji, M.,
S.Partohardjono, M.Syam, A. Widjono. Padi-Buku 1. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Hal: 103- 159

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 473
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Damardjati, D.S dan E.Y. Purwani. 1991. Mutu beras. Dalam: Padi-Buku 3. Balai Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan dan Gizi IPB bekerja sama dengan PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: UGM Press.
Kamil, Jurnalis. 1979. Teknologi Benih. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian
Universitas Andalas. Padang Indonesia.
Kunze, O.R., Yubin L., Finis T.W. 2004. Phisycal and mechanical properties of rice. Dalam:
Champagne, E.T. (ed). Rice: Chemistry and technology. Third Edition. American
Association of Cereal Chemists, Inc, USA. Hal : 191-218
Matz, S.A. 1965. Water in Foods. The AVI Publishing Company, Inc., USA.
Nugraha, U.S., S.J. Munarso, Suismono dan A. Setyono. 1998. Tinjauan tentang rendemen
beras giling dan susut pascapanen: 1. Masalah sekitar rendemen beras giling, susut
dan pemecahannya. Makalah. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
(Unpublished). 15 Hal.
Nur Asni dan Dewi Novalinda, 2016. Prosiding Seminar Nasional Membangun Pertanian
Modern dan Inovatif Berkelanjutan Dalam Rangka Mendukung MEA, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor
Siebenmorgen. 1994. Moisture content and head rice yield. Dalam: Marshall, E.W and James
I. Wadsworth. ed. Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc, USA. Hal : 353-
377
Siebenmorgen, T.J., Meullenet, J-F. 2004. Impact of drying, storage, and milling on rice
quality and functionality. Dalam: Champagne, E.T. (ed). Rice: Chemistry and
technology. Third Edition. American Association of Cereal Chemists, Inc, USA. Hal:
301-325.
Setyono, A., Sutrisno dan S. Nugraha. 1998. Uji coba kelompok jasa pemanen padi di daerah
Subang. Makalah Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. (Unpublished). 15 Hal.
Soemardi dan R. Thahir, 1991. Penanganan Pasca Panen Padi dalam Padi Buku 3 Badan
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
Taslim, H., S. Partohardjono, dan Djunainah. 1989. Bercocok tanam padi sawah. Dalam:
Ismunadji, M., M. Syam dan Yuswadi. Padi Buku 2. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor. Hal: 363-375.
Wadsworth, J.I. 1994. Degree of milling. Dalam: Marshall, E.W and James I. Wadsworth. ed.
Rice Science and Technology. Marcel Dekker, Inc, USA. Hal: 139-151

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


474 | Teknologi Pertanian
Wratten, F. T., and Kendrick, J.H. 1970. A further treatment of hygroscopic equilibrium of
rough rice and soybean at elevated temperature. (Abstr.) page 38 in: Proc. Rice Tech.
Working Group. 13th. Texas Agricultural Experiment Station, Colege Station, TX.
Webb, B. D., and Calderwood, D.L. (1977). Relationship of moisture content to degree of
milling in rice. Cereal Foods world, 22(9) :484.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 475
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
RENDEMEN BERAS DAN MUTU FISIK BERAS BERBAGAI VARIETAS
DI KALIMANTAN BARAT

Jhon David H1 dn Arief Yudo 2

1
Bptp Kalbar, 2BPTP PAPUA BARAT

ABTRAK
Mutu gabah dan beras merupakan hal yang sangat penting, dikarenakan mutu gabah yang tinggi
akan menghasilkan beras dengan kualitas terbaik. Dengan penerapan teknologi, sistem dan cara
panen yang tepat, penggunaan mesin perontok, teknologi pengeringan (sinar matahari dan alat
pengering), dan teknologi penyimpanan (cara dan lama penyimpanan), akan tercapai mutu
gabah/beras yang baik. Tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk melihat dan mengetahui kualitas
fisik beras yang dihasilkan oleh petani 2) Mendapatkan rendemen giling beras di berbagai
penggilingan padi di sentra produksi beras. Proses pengkajian dilakukan dengan pendekatan
melalui metode survei terhadap penggilingan padi. Analisa mutu fisik beras gabah dan
rendemen giling beras dihitung dengan menganalisa mutu fisik beras yang sesuai dengan
standar mutu SNI 01-6128-2008. Hasil kajian memperlihatkan bahwa analisa mutu fisik beras
yang dihasilkan berada dalam standar Mutu SNI Mutu II dan III SNI 6128: 2008. Dari hasil kajian
tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan varietas unggul Baru yang dikeluarkan Balitbangtan
telah sesuai dengan SNI 6128: 2008.
Kata Kunci : Rendemen, Beras, Mutu, SNI 6128: 2008.

PENDAHULUAN
Rendemen beras kepala merupakan persyaratan utama dalam penetapan mutu
gabah, karena akan menentukan jumlah berat beras yang dihasilkan dan pada akhirnya
menentukan nilai ekonomis beras tersebut. Rendemen beras kepala mempunyai keragaman
yang besar yang tergantung pada berbagai faktor yaitu varietas, jenis biji, butir kapur, cara
budidaya, faktor lingkungan, perlakuan lepas panen yang dimulai sejak pemanenan,
perontokan, pengeringan, penyimpanan, hingga penggilingan. Demikian juga rendemen total
beras giling dipengaruhi perlakuan tersebut diatas dan juga ditentukan oleh perbandingan
sekam, kulit ari, dan bagian endosperm. Semua karakter mutu tersebut akan menentukan
penerimaan konsumen terhadap beras.
Proses penggilingan sebagai salah satu tahapan dalam penanganan pascapanen padi
memiliki peran yang penting dan turut menentukan tingkat rendemen dan kualitas beras
giling yang dihasilkan (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
2007).
Mutu beras dipengaruhi oleh empat faktor yaitu genetis, lingkungan dan kegiatan
prapanen, perlakuan pemanenan dan pasca panen. Perbaikan mutu beras terus dilakukan,
baik terhadap mutu giling, mutu nasi maupun tampilan beras. Tampilan beras meliputi
ukuran, bentuk, dan kebeningan butir yang erat kaitannya dengan mutu beras di pasar.
Beras yang bermutu baik dihargai lebih tinggi daripada beras biasa. Standar mutu beras
pasar bersifat subjektif, dan dikenal adanya kriteria mutu beras yang bersifat lokal dengan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


476 | Teknologi Pertanian
kriteria tertentu yang berlaku dan dapat diterima oleh produsen, pedagang, dan konsumen
beras (Fitry Tafzi, 2012).
Menurut Sugondo,2002, ada dua faktor penting untuk mendapatkan mutu dan
rendemen giling yang tinggi. Pertama, mutu gabah padi termasuk kadar air, jumlah
kotoran/benda asing dan jumlah gabah retak/patah, jumlah gabah muda, jumlah gabah
rusak dan jumlah gabah varietas lain, seperti yang diperlihatkan pada tabel 1. Faktor kedua
yaitu sarana mesin penggilingan pada yang dipakai termasuk didalamnya komposisi atau
konfigurasi mesin. Selain rendemen dan mutu beras giling yang dihasilkan erat kaitannya
dengan jusifikasi mesisn. Kondisi standar dari rotasi rubber roll pada poros utama + 1.050
RPM pada poros pembantu + 800 RPM, jarak (clearance) anata rubber roll berkisar 0,5 -0,8
mm; tekanan (husking pressure) 1-2 kg/m2.
Kerusakan bahan pangan seringkali terjadi pada proses peyimpanan yang kurang
memenuhi standar. Menurut Astawan (2004), Penyimpanan beras harus dilakukan dengan
baik untuk melindungi beras dari pengaruh cuaca, mencegah hama dan enghambat
perubahan mutu serta nilai gizi beras. Penyimpanan beras dalam waktu yang lama dengan
kondisi yang kurang baik akan menyebabkan perubahan pada bau dan rasa beras. Kerusakan
ini terutama disebabkan ketengikan yang terjadi pada kandungan lemak beras sehingga
menimbulkan bau apek. Bau apek dari beras giling yang telah lama disimpan disebabkan
oleh senyawa-senyawa karbonil yang bersifat tengik, yaitu senyawa-senyawa hasil oksidasi
lemak dengan oksigen dari udara. pasca panen yang baik akan berdampak positif terhadap
kualitas gabah konsumsi, benih dan beras, oleh karena itu penanganan pasca panen perlu
mengikuti persyaratan GAP (Good Agricultural Practices) dan SOP (Standart Operasional
Procedure). Dengan demikian beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan gizi yang baik
sehingga mempunyai daya saing yang tinggi (Setyono, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetetahu mutu fisik beras dan rendemen giling dari
berbagai varietas , dalam hubungannya dengan upaya khusus padi di Kalimantan Barat
utamanya di sentra produksi padi, agar dapat dilakukan langkah – langkah perbaikan yang
tepat.

Tabel 1. Persyaratan mutu beras menurut SNI 6128: 2008

Komponen mutu Satuan I II III IV V


Derajat sosoh (minimum) (%) 100 100 95 95 85
Kadar air (maksimum) (%) 14 14 14 14 15
Beras kepala (minimum) (%) 95 89 78 73 60
Butir patah (maksimum) (%) 5 10 20 25 35
Butir menir (maksimum) (%) 0 1 2 2 5
Butir merah (maksimum) (%) 0 1 2 3 3
Butir kuning rusak (maksimum) (%) 0 1 2 3 5
Butir kapur (maksimum) (%) 0 1 2 3 5
Benda asing (maksimum) (%) 0 0,02 0,02 0,05 0,20
Butir gabah (maksimum) (butir/100 g) 0 1 1 2 3
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2008)
Badan Standarisasi Nasional (2008)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 477
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksankan di sentra produksi beras Kabupaten Sambas pada bulan
Juni- September 2017 di 50 tempat penggilingan padi dengan berbagai varietas seperti :
Ciherang, Inpari 30, Silosari, Mekongga, dan Inpara 3. Gabah kering giling (GKG) sebanyak 10
kg diambil sebagai sampel penelitian, kemudian digiling di RMU setempat, kemudian mutu
berasnya di identifikasi meliputi: kadar air, persentase beras giling, persentase beras kepala,
persentase beras patah, persentase menir, persentase butir kapur, dan persentase butir
kuning dan rusak, dan juga rendemen giling di hitung dengan cermat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mutu Fisik Beras

Analisis terhadap sifak fisik beras dari berbagai varietas yang dilaksanakan seperti
yang tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Mutu Fisik Beras berbagai Varietas
No Varietas Kadar air Bobot/100 g Butir hijau (%) Butir kuning/ Butir merah
/ kapur rusak
1 Mekongga 14,3 24,74 0,60 1,3 2,1
2 Ciherang 14,7 24,97 0,70 1,5 1,0
3 Inpari 30 14,2 25,86 1,0 1,0 1,0
4 Inpara 3 14,5 25,05 1,3 1,8 2,1
5 Silosaro 15,0 23,53 3,2 3,0 3,4

Pada Tabel 2 tampak bahwa kadar air gabah pada varietas yang dijumpai pada
penggilingan sangat bervariasi antara 14,2 sampai dengan 15,0 %. Itu berati varietas
Mekongg, Ciherang, Inpari 30, dan Inpara 3 sudah memenuhi kriteria Mutu I standarSNI,
namun untuk varietas Silosari masuk dalam Mutu V SNI 6128: 2008 yang kadar airnya 15 %.
Kadar air gabah merupakan rasio antara bobot air dalam sampel dengan bobot awal sampel
(Varnamkhasti et al., 2008). Kadar air suatu bahan sangat mempengaruhi umur simpan
bahan tersebut
Bobot 1.000 butir berkisar antara 23,53-25,86 g. Bobot 1000 butir paling rendah
adalah Silosari 23,53, sedangkan yang tertinggi adalah Inpari 30 25,86. Padi memiliki bobot
1.000 butir yang tinggi apabila bobot 1.000 butirnya mencapai di atas 30 g, sedangkan
dikatakan rendah apabila di bawah 30 g. Bobot 1.000 butir merupakan berat nisbah dari
1.000 butir benih yang dihasilkan oleh suatu jenis tanaman atau varietas. Salah satu aplikasi
penggunaan bobot 1.000 butir adalah untuk menentukan kebutuhan benih dalam satu
hektar.
Berdasarkan persentase butir hijau/kapur, dikelompkkan varietas Mekongga,
Ciherang dan Inpari 30 masuk dalam Mutu II, Inpara 3 masuk dalam mutu III sedangkan
Silosari masuk kedalam mutu V. Butir hijau/kapur tidak disukai oleh konsumen penggilingan,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


478 | Teknologi Pertanian
karena akan menghasilkan beras berwarna putih seperti kapur. Selain itu butir hijau/kapur
mudah rusak oleh serangan hama sehingga daya simpannya menjadi rendah.
Persentase butir kuning rusak yang telah memenuhi standar mutu III (maksimal 2%)
adalah sebanyak 4 varietas, sedangkan sisanya masuk dalam kelas mutu IV (maksimal 3%).
Mekongga, Ciherang, Inpari 30 dan Inpara 3, mengandung kadar butir kuning/rusak masing-
masing 1,3%, 1,5%, !% dan 1,8%, sedangkan persentase Silosari sebesar 3%.
MUTU GILING

Tabel 3. Mutu Giling berbagai Varietas

NO Varietas Rendemen Beras BPK (%) Beras Kepala Beras Patah Menir(%)
Giling (%) (%) (%)
1 Mekongga 69,44 78,04 90,21 9,28 0,51
2 Ciherang 70,78 78,77 94,22 5,62 0,21
3 Inpari 30 69,95 78,25 91,14 8,45 0,41
4 Inpara 3 70.07 80,44 58,98 38,26 2,76
5 Silosari 69,68 77,87 65.90 33,58 1,51

Mutu giling dari 5 varietas seperti yang disajikan pada tabel 3, terlihat bahwa
rendemen beras pecah kuli (BPK) sangat bervariasi antara 77,87 – 80,44. Rendemen paling
kecil adalah varietas Silosari 77,87 dan tertinggi adalah Inpara 3 sebesar 80,44. Beras pecah
kulit adalah beras yang dihasilkan setelah biji gabah mengalami proses pengulitan sebelum
melalui proses penyosohan.
Rendemen beras yang paling tinggi seperti yang ditampilkan pada tabel3, adalah
Ciherang 70,78 % dan terendah adalah varietas Silosari 69,68 %, Semakin tinggi rendemen
beras pecah kulit, maka rendemen beras giling yang dihasilkan semakin tinggi pula.
Rendemen beras giling adalah salah satu faktor penting dalam mempertimbangkan apakah
galur harapan padi dapat dikembangkan menjadi varietas unggul baru. Semakin tinggi
rendemen beras giling maka varietas tersebut semakin memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Selain dipengaruhi oleh varietas, besarnya padi saat panen juga turut mempengaruhi
tinggi rendahnya rendemen yang dihasilkan Kehilangan pada tahapan penggilingan juga
umumnya disebabkan oleh ketidaktepatan dalam penyetelan blower penghisap,
penghembus sekam dan bekatul. Penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak
gabah yang terlempar ikut ke dalam sekam atau beras yang terbawa ke dalam dedak. Hal ini
menyebabkan rendemen giling rendah (Miilati dan Susi, 2009). Selain itu, agroekosistem
juga mempengaruhi kehilangan hasil pada tahap penggilingan. Hasil penelitianlain
menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada tahapan penggilingan di agroekosistem padi
lahan irigasi sebesar 2,16 persen, pada agroekosistem padi lahan tadah hujan sebesar 2,35
persen dan pada agroekosistem padi lahan pasang surut sebesar 2,60 persen (Santika dan
Aliawati, 2007).
Berdasarkan SNI No. 01-6128-2008, mutu beras dibagi menjadi 5 kelas mutu.
Komponen lain yang mempengaruhi penerimaan konsumen adalah persentase beras kepala.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 479
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Beras giling dengan kadar beras kepala yang tinggi lebih disukai konsumen daripada yang
rendah. Pada Penelitian ini, rendemen Beras kepala yang tertinggi didapatkan pada varietas
Ciherang sebesar 94,22 dan terendah pada Silosari sebesar 65,90%. Varietas Ciherang,
Mekongga dan Inpari 30 termasuk dalam SNI mutu II, sedangkan Inpara 3 dan Silosari
termasuk dalam kelompok SNI Mutu V.
Persentase beras patah yang tertinngi adalah Silosari 33,58 dan terendah adalah
Ciherang sebesar 5,62. Semakin tinggi persentase beras patah dan menir pada beras akan
menyebabkan nilai ekonomisnya semakin menurun. Butir patah ialah biji beras pecah
menjadi kurang dari ¼ ukuran biji asal butir beras tersebut. Permukaan pecahan sangat
mudah diserang hama gudang, baik jasad renik maupun serangga. Jadi banyaknya biji pecah
akan meningkatkan kemungkinan serangan oleh hama gudang. Pada umumnya batas kadar
biji pecah ialah kurang dari 25 % dari beras tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya beras patah adalah kadar air gabah kering giling yang terlalu rendah.
Besarnya persentase beras kepala, beras patah dan menir merupakan parameter
penting untuk mutu beras giling. Mutu beras giling yang dihasilkan dari proses penggilingan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis varietas (Damardjati dan Purwani, 1991),
kadar air gabah kering panen maupun gabah kering giling (Mudjisihono, 1994; Setyono, dkk.,
2008), faktor prapanen (lokasi pertanaman padi, teknik budidaya, pemupukan, dsb)
(Soerjandoko, 2010; Umar, dkk., 1988), penanganan pascapanen (proses pengeringan,
pengemasan, dan kondisi penyimpanan), serta kondisi mesin penggiling dan teknik
penggilingan (Setyono, dkk., 1993; Suismono, dkk., 2003, Umar, 2011). Beras dari varietas
yang sama namun dari lokasi yang berbeda menghasilkan persentase beras kepala yang
berbeda (Soerjandoko, 2010). Pengeringan gabah dengan suhu yang tinggi dapat
menyebabkan beras menjadi getas dan mudah patah pada saat dilakukan penggilingan.
Selain itu penyimpanan yang tidak sesuai dengan kelembaban dan suhu yang mendukung
akan menyebabkan gabah menjadi busuk dan hal ini berpengaruh juga
Konsumen cenderung tidak menyukai beras giling dengan kadar butir kapur yang
tinggi. Hal ini karena butir kapur mudah diinvestasi oleh hama pada saat penyimpanan
sehingga menurunkan daya simpan beras tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan
tingginya butir kapur adalah waktu panen yang kurang optimal, sehingga menyebabkan
gabah berwarna hijau yang apabila digiling menghasil beras berwarna putih kapur
Studi yang dilakukan oleh Budiharti, dkk., (2006a) melaporkan bahwa rata rata
rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi kecil yang berkonfigurasi
sederhana Husker- Polisher sebesar hanya 61,4 persen dengan beras kepala dan utuh 76
persen. Sedangkan rata-rata rendemen beras giling yang dihasilkan oleh penggilingan padi
kecil percontohan (pilot) dengan konfigurasi Husker-Separator-Polisher adalah sebesar 65,8
persen, dengan beras kepala dan utuh 78 persen (Budiharti, dkk., 2006a). Dalam studi yang
lain dilaporkan bahwa rata-rata rendemen yang dihasilkan pada konfigurasi Pengupas gabah-
Pemoles beras (HP) adalah 65,3 persen, konfigurasi Pengupas gabah-Separator-Pemoles
beras (HSP) adalah 66,3 persen dan Pembersih gabah-Pengupas gabah-Separator-Pemoles
beras (CHSP) adalah 67,2 persen. Dengan persentase beras utuh dan kepala untuk masing-

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


480 | Teknologi Pertanian
masing konfigurasi tersebut adalah 77,5 persen; 77,6 persen dan 81 persen (Budiharti, dkk.,
2006b).

KESIMPULAN
Varietas Unggul Baru yang sudah dilepas oleh Balibangtan seperti Ciherang,
Mekongga, Inpari 30 dan Inpara 3 sudah memenuhi kriteria Mutu SNI. Banyak faktor yang
mempengaruhi rendemen beras di tingkat lapangan, seperti kadar air gabah. Diperlukan
revitalisasi penggilingan padi di tingkat pedesaan?kelompok tani terutama
penggilingan padi yang sudah tua ( lebih dari 20 tahun)

DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M, 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Cetakan I. Penerbit Tiga
Serangkai, Solo.
Badan Standarisasi nasional (BSN). 2008. Stadar Nasional Beras giling No. 01-6128-1999.
Jakarta.
Budiharti, U., Harsono dan Gultom, R. J. 2006a. Perbaikan Konfigurasi Mesin Pada
Penggilingan Padi Kecil Untuk Meningkatkan Rendemen Giling Padi. Balai Besar
Mekanisasi Pertanian Serpong.
Budiharti, U., Tjahjohutomo, R., Harsono, Handaka, Gultom, R.J. 2006b. Rekayasa
ModelMekanisasi Penggilingan Padi untuk Meningkatkan Rendemen Beras. Balai
Besar Mekanisasi Pertanian Serpong.
Damardjati, D.S. dan Purwani, E.Y. 1991. Mutu Beras. him. 875-885. Dalam E. Soenarjo, D. S.
Damardjati, dan M. Syam (Ed.). Padi. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2007. Pedoman Teknis
Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah. Departemen Pertanian Rl.
Fitry Tafzi, 2012. Identifikasi Mutu Beras Dari Padi Lokal Pasang Surut Asal Kecamatan
Pengabuan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri
Sains. Volume 14, Nomor 2, Hal. 51-58. Juli – Desember 2012
Miilati, T. dan Susi. 2009. Mutu Giling Beberapa Varietas Gabah Lepas Panen. Ziraa'ah Vol. 24
No 1,2009: 61-67.
Mudjisihono. 1994. Prosedur Analisa untuk Mutu Gabah dan Beras. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Sukamandi, Jawa Barat.
Santika, A. dan Aliawati, G. 2007. Teknik Pengujian Tampilan Beras Untuk Padi Sawah, Padi
Gogo,dan Padi Pasang Surut. Buletin TeknikPertanian Vol. 12 No. 1,2007: 19-23.
Setyono, A., Kusbiantoro, B., Jumali, Wibowo, P. dan Guswara, A. 2008. Evaluasi Mutu Beras
di Beberapa Wilayah Sentra Produksi Padi. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 481
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Setyono, A. 2010. Perbaikan Teknologi Pasca Panen Dalam Upaya Menekan Kehilangan Hasil
Padi. Pengembangan Inovasi Pertanian 3 (3), 2010:212-216.
Sugondo, Suwandi. 2002. Perkembangan Teknologi Penggilingan Padi dan Pengaruhnya
Terhadap Peningkatan Kualitas dan Rendemen Beras. Diskusi Teknis Kinerja Sistem
Penggilingan Padi. Badan Litbang Pertanian. Jakarta, 18 Juli 2002.
Soerjandoko, R.N.E. 2010. Teknik Pengujian Mutu Beras Skala Laboratorium. Buletin Teknik
Pertanian Vol. 15, No. 2, 2010: 44-47.
Suismono, Setyono, A., Indrasari, S.D., Wibowo, P. dan Las, I. 2003. Evaluasi MutuBeras
Berbagai Varietas Padi di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa
Barat.
Umar, S. 2011. Pengaruh Sistim Penggilingan Padi terhadap Kualitas Giling di Sentra Produksi
Beras Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi PertanianJC\):9-W.
Umar, S., Noor, H. Dj., dan Herawati 1.1988. Pengaruh Pemupukan Terhadap Mutu Beras
Padi Pasang Surut. Prosiding Seminar Penelitian Pasca Panen Pertanian. p. 91-96.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Deptan. Bogor, 1-2 Februari 1988.
Varnamkhasti, G. M., H. Mobli, A. Jafari, A.R. Keyhani, M. Heidari Soltanabadi, S. Rafiee, dan
K. Kheiralipour. 2008. Some physical properties of rough rice (Oryza Sativa) grain.
Journal of Cereal Science, 47, 496-501.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


482 | Teknologi Pertanian
PENGARUH APLIKASI PUPUK NPK 18-9-20 TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
HASIL PADI KULTIVAR CIBOGO DI MAGETAN

Fuad Nur Azis,1 Lina Aisyawati,1 dan Herman Rois Tata3


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jl. Raya Karangploso KM.4 Malang 65152
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Perkantoran Pemprov, Anday, Manokwari, Papua Barat

ABSTRAK
Pupuk majemuk NPK yang banyak digunakan di Indonesia memiliki komposisi berimbang. Pupuk
majemuk dengan komposisi tidak berimbang saat ini sudah banyak beredar di pasar seperti NPK
dengan komposisi 18-9-20. Respon tanaman padi terhadap aplikasi pupuk NPK tidak berimbang
dengan kandungan N 18%, P2O5 9%, dan K 20% ini perlu diuji untuk tanaman padi. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pemupukan NPK 18-9-20 terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman padi Cibogo dibandingkan dengan penggunaan NPK 15-15-15. Percobaan
dilakukan di Desa Madigondo Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan menggunakan
rancangan acak kelompok lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuan menggunakan 8 dosis yaitu 2
dosis kontrol dan 6 menggunakan dosis NPK 15-15-15. Dosis standar adalah 300 kg/ha NPK 15-
15-15 ditambah dengan 200 kg/ha Urea Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman (cm),
jumlah anakan produktif, panjang malai (cm), jumlah gabah per malai, persen gabah isi (%),
bobot 1000 biji, dan produktivitas (t/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa NPK 18-9-20
dosis 200 kg/ha memiliki produktivitas terbaik (5,27 t/ha) tidak berbeda nyata dengan dosis
standar. Dibandingkan dengan dosis standar, efektivitas pupuk NPK 18-9-20 adalah 131,17%.
Kata kunci: Pupuk Majemuk NPK tak berimbang

PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayan kultivar padi yang telah berkembang pesat. Kekayaan
sumberdaya genetik lokal dengan berbagai sifat unggul menjadikan perakitan kultivar padi
terus berkembang. Sifat unggul yang ada antara lain ketahanan terhadap hama ganjur,
bakteri hawar daun, hawar daun jingga, blas daun, blas leher, daun bergaris putih, wereng
batang coklat, tungro, toleran kekeringan, keracunan Al, keracunan Fe, salinitas, suhu
rendah, dan naungan. Pengembangan kultivar padi saat ini lebih banyak fokus pada
peningkatan produksi dan ketahanan hama penyakit (Nurhati et al., 2008; Praptana, 2013;
Sitaresmi et al., 2013; Iswanto et al., 2015).
Kultivar Cibogo merupakan salah satu kultivar padi sawah yang memiliki keunggulan
tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 3
dengan potensi hasil mencapai 7 t/ha (Suprihatno et al., 2010). Padi kultivar Cibogo
merupakan salah satu kultivar stabil yang telah dibudidayakan oleh masyarakat Jawa Timur
(Krismawati dan Arifin, 2011) terutama di Kabupaten Magetan dan disukai oleh masyarakat
terutama di Jawa Tengah (Supriatna dan Mulyono, 2011). Dibandingkan dengan Ciherang
padi Cibogo memiliki susut bobot lebih rendah pada saat penggilingan (Hasbullah et al.,
2014).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 483
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Luas panen dan pemberian dosis pupuk NPK menjadi faktor utama produksi padi di
Kabupaten Magetan (Sari dan Winahju, 2016). Pupuk sebagai salah satu komponen teknologi
budidaya padi menentukan produktivitas tanaman sehingga berpengaruh terhadap produksi
padi di Magetan. Pemberian pupuk harus sesuai dengan jenis tanah dan lingkungan sehingga
dapat meningkatkan hasil dengan demikian memberikan keuntungan lebih bagi petani
(Zaini, 2012).
Pupuk Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) merupakan unsur hara makro esensial
bagi tanaman yang paling berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi
(Abdulrachman et al., 2007). Unsur hara nitrogen merupakan bahan pembangun asam
amino sebagai bahan penyusun protein, enzim, nukleoprotein, dan alkaloid. Seluruh
senyawa tersebut harus ada dalam sel sehingga tanaman padi tumbuh dan berkembang
hingga berproduksi (Dubetz dan Bole, 1975; Guerrero et al., 1981; Galili et al., 2016).
Kekurangan unsur ini berpengaruh terhadap seluruh fase pertumbuhan tanaman padi.
Fosfor (P) adalah nutrisi makro pembatas kedua setelah nitrogen. Fosfor sangat
penting untuk aktivitas metabolisme tanaman. Fosfor merupakan salah satu unsur
pembentuk ATP dalam metabolisme tanaman sehingga seluruh aktivitas dan serapan unsur
makro lain terutama Kalium memiliki ketergantungan terhadap unsur ini (Azizzadeh et al.,
2016). Fosfor berperan terhadap pertumbuhan awal tanaman padi yaitu untuk
pembentukan akar dan anakan. Kekurangan unsur Fosfor menyebabkan menurunkan gabah
isi, bobot dan kualitas gabah, serta menghambat pengisian bulir padi. Kekurangan Fosfor
pada padi juga dapat menyebabkan tanaman tidak berbunga. Kekurangan Fosfor berkaitan
erat dengan tanggap tanaman terhadap pemupukan N dan berasosiasi dengan
meningkatnya kadar Fe hingga meracuni tanaman dan kekurangan Zn, terutama pada tanah
yang mempunyai pH rendah (Dobermann dan Fairhurst, 2000).
Kalium merupakan unsur hara yang selalu bergerak dalam setiap reaksi metabolisme
tanaman. Unsur hara ini tidak menetap dalam satu sel dan dapat berpindah pada bagian sel
yang membutuhkan sehingga memiliki peran penting di dalam sitoplasma dan larutan pada
jaringan tanaman padi. Peran unsur ini adalah sebagai translokasi asimilat hingga
pembentukan pati, protein, dan aktivator enzim (Karama et al., 1992). Sifat Kalium yang
sangat mobile menyebabkan unsur ini ada di seluruh jaringan tanaman terutama jaringan
tanaman muda (Ashfaq et al., 2015).
Bentuk pupuk dibagi menjadi dua golongan yaitu pupuk tunggal dan pupuk majemuk.
Penggunaan pupuk majemuk mempermudah petani dalam melakukan pemupukan secara
lengkap. Sebagian besar pupuk majemuk yang beredar dipasar memiliki perbandingan N, P,
dan K seimbang yaitu NPK 15-15-15. Penggunaan pupuk majemuk ini telah luas diaplikasikan
meskipun sangat spesifik lokasi dan kultivar. Penggunaan pupuk dengan komposisi tidak
seimbang perlu terus dikaji karena dapat menghemat dosis pupuk dengan tetap
memperhatikan kemudahan pemberiannya pada tanaman. Pupuk dengan bentuk formulasi
lain yang perlu dikaji adalah kandungan hara N tinggi seperti pada pupuk NPK 15-15-15 tapi
kandungan P relatif rendah dan kandungan K relatif tinggi. Pupuk NPK 18-9-20 merupakan
kombinasi yang perlu dicoba karena memiliki kandungan N dan K tinggi namun memiliki

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


484 | Teknologi Pertanian
Fosfor rendah. Publikasi mengenai pemupukan dan efektivitas pemupukan kultivar Cibogo di
Magetan belum tersedia sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh pupuk N 18%, P2O5 9%, dan K 20% (NPK 18-9-20)
terhadap pertumbuhan dan hasil padi kultivar Cibogo di Kabupaten Magetan.

METODE
Percobaan dilakukan di Desa Madigondo Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan.
Dosis NPK 18-9-20 dipergunakan sebagai perlakuan, sedangkan pupuk NPK 15-15-15 dan
urea digunakan sebagai pupuk standar. Kultivar yang digunakan adalah kultivar padi sawah
Cibogo dengan kelas benih sebar. Tanaman dipindah tanam pada umur tanam 26 hari
setelah semai. Benih ditanam dengan sistem tanam jajar legowo (Ikhwani et al., 2013).
Tanaman berumur 26 hari setelah semai ditanam di lahan pada bulan April 2016 dan
dipanen pada bulan Agustus 2016.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan tiga ulangan.
Padi ditanam pada lahan seluas 1.500 m2. Perlakuan yang digunakan adalah dosis
pemupukan NPK 18-9-20 dibandingkan dengan dua pembanding yaitu dosis kontrol dan
dosis standar. Dosis standar merupakan dosis yang digunakan oleh petani setempat yaitu
300 kg/ha Phonska dan 200 kg/ha urea. Perlakuan dosis secara lengkap tertera pada 0.

Tabel 1. Perlakuan Dosis Pemupukan

Kode Dosis (kg/ha)


Perlakuan Urea NPK 15-15-15 NPK 18-9-20
A (kontrol) 0 0 0
B (standar) 200 300 0
C 0 0 200
D 0 0 300
E 0 0 400
F 200 0 200
G 200 0 300
H 100 0 400

Tanah pada lokasi penelitian dianalisis sebelum penelitian dilakukan. Parameter yang
dianalisis adalah pH KCl dan H2O; C-Organik; N total; P2O5; KTK; dan Tekstur tanah. Analisis
tanah dilakukan di Laboratorium Tanah BPTP Jawa Timur.
Variabel yang diamati adalah Tinggi tanaman (cm), Jumlah anakan produktif, Panjang
malai (cm), Jumlah gabah isi per malai, Jumlah gabah hampa per malai, Persen gabah isi (%),
Bobot 1000 biji, dan Hasil (t/ha). Data pertumbuhan dan hasil dianalisis menggunakan
Analisis varian yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Penggambaran regresi
dilakukan berdasarkan kandungan nitrogen dalam perlakuan untuk variabel tinggi tanaman.
apabila berbeda nyata. Nilai efektivitas perlakuan pemupukan NPK 18-9-20 menggunakan
nilai relative agronomic effectiveness (RAE) (Mackay et al., 1984; Engelstad et al., 1974)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 485
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa lahan sawah di Desa Madigondo, Kecamatan
Takeran Kabupaten Magetan memiliki kandungan C-Organik dan N-total tanah dengan
kategori sedang, sedangkan kandungan P2O5 sangat tinggi (Tabel 2). Tekstur tanah liat
berdebu (Hardjowigeno, 1995). Kemasaman tanah netral namun pH H 2O dalam kategori
netral meskipun demikian pH KCl berada pada kisaran agak masam. Hal tersebut ditunjang
dengan nilai KTK dan Al-dd tinggi. Perbedaan pH H2O dan KCl sebesar 1,4 menunjukkan
bahwa terdapat banyak kation yang tersedia dalam tanah sehingga dapat menjerap Fosfat.
Hal tersebut menyebabkan kandungan P2O5 dalam tanah tinggi. Pupuk dengan kandungan P
rendah seperti pupuk NPK 18-9-20 sesuai dengan kondisi tanah seperti pada 0.

Tabel 2. Analisis tanah di Magetan


No Parameter Uji Hasil
1 pH
H2O 7,3
KCl 5,9
2 C-Organik (terhadap contoh kering 105oC) 2,14%
3 N-total (terhadap contoh kering 105oC) 0,2%
4 P2O5 (terhadap contoh kering 105oC) 231
5 Nilai tukar kation (terhadap contoh kering 105oC)
- Kation dapat diukur (dd) 1,18
- Kapasitas Tukar Kation (KTK) 28,11
6 Tekstur
- Pasir 10
- Debu 43
- Liat 47

Semua perlakuan pemupukan NPK 18-9-20 berpengaruh nyata terhadap


pertumbuhan tinggi tanaman pada umur 50 hari setelah tanam (HST) tetapi tidak berbeda
nyata pada 110 HST (0). Aplikasi pupuk NPK 18-9-20 dapat meningkatkan tinggi tanaman
berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol dan pemberian dosis standar pada umur 50
HST. Puncak pertumbuhan vegetatif dicapai pada umur 50 HST. Nitrogen merupakan unsur
utama pembentuk enzim pada kloroplas. Tingginya asupan nitrogen pada tanaman
meningkatkan laju pertumbuhan vegetatif karena meningkatnya aktivitas enzim pada
kloroplas (Barker dan Pilbeam, 2015). Tinggi tanaman pada umur 110 tidak dipengaruhi oleh
perlakuan pemupukan. Kultivar Cibogo pada penelitian ini mencapai potensi pertumbuhan
tertinggi yaitu 102,93 cm di perlakuan standar dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan
yang lain. Tinggi tanaman pada penelitian ini sesuai dengan deskripsi kultivar Cibogo yaitu
100 sampai 120 cm (Suprihatno et al., 2010).
Pertumbuhan tinggi tanaman pada Kultivar Cibogo mengalami puncak pertumbuhan
pada umur 42 HST (Maulidiya, 2015). Hal tersebut mengakibatkan regresi untuk tinggi
tanaman umur 50 HST pada kultivar Cibogo dapat memperlihatkan nilai puncak pemupukan
optimal.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


486 | Teknologi Pertanian
Tabel 3. Tinggi tanaman 50 HST dan 110 HST padi Cibogo di Magetan
Umur Tanaman (cm)
Perlakuan
50 HST 110 HST
Kontrol 65,60 b 100,27
Standar 67,27 b 102,93
200 kg/ha NPK 18-9-20 79,53 a 99,33
300 kg/ha NPK 18-9-20 82,27 a 102,20
400 kg/ha NPK 18-9-20 81,27 a 105,20
200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 84,53 a 102,20
200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20 82,93 a 100,60
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 81,20 a 104,13
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Gambar 1 menunjukkan tinggi tanaman pada umur 50 HST dengan pola kuadratik
akibat perlakuan pupuk Nitrogen. Berdasarkan perhitungan regresi bahwa tinggi tanaman
pada umur 50 HST mengalami puncak tertinggi pada saat diberikan Nitrogen dengan dosis
92,4 kg/ha.

Gambar 1. Pengaruh nitrogen (kg/ha) yang diberikan pada tinggi tanaman (cm) umur 50 HST

Anakan produktif merupakan anakan padi yang membentuk malai. 0 menunjukkan


bahwa jumlah anakan produktif Cibogo dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan. Jumlah
anakan produktif terbanyak terdapat pada empat perlakuan pupuk yaitu 200 kg/ha
urea+300 kg/ha pupuk NPK 15-15-15 (standar) dan tidak berbeda nyata dengan 200 kg/ha
pemupukan NPK 18-9-20; 200 kg/ha urea+300 kg/ha pupuk NPK 18-9-20; dan 100 kg/ha
urea+400 kg/ha pupuk NPK 18-9-20 Kebutuhan Fosfor sangat penting dalam pembentukan
malai. Tanpa adanya serapan Fosfor tanaman padi tidak membentuk biji dan malai (Fageria,
2014). Kandungan Fosfor pada tanah yang tinggi (Tabel 1) menyebabkan penambahan Fosfor
dari NPK 18-9-20 pada dosis 200 kg/ha NPK 18-9-20; 200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 487
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dan 100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 memberikan jumlah anakan tidak berbeda nyata
dengan dosis standar.

Tabel 4. Jumlah anakan produktif padi Cibogo di Magetan

Perlakuan Jumlah anakan produktif

Kontrol 6,80 d
Standar 17,80 a
200 kg/ha NPK 18-9-20 17,60 a
300 kg/ha NPK 18-9-20 13,93 bc
400 kg/ha NPK 18-9-20 14,47 bc
200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 13,53 c
200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20 16,93 ab
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 18,20 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Pemupukan nitrogen sangat penting dalam produksi padi. Pembentukan anakan padi
pada pertumbuhan vegetatif padi dapat mendukung perkembangan anakan produktif.
Namun dengan konsentrasi yang lebih tinggi seperti pada perlakuan 300 kg/ha NPK 18-9-20;
400 kg/ha NPK 18-9-20; dan 200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 nitrogen dapat
menghambat pembentukan malai. Hal ini dikarenakan oleh pemberian pupuk nitrogen dosis
tinggi dapat meningkatnya efek kekeringan dan menghambat kerja pupuk lain (Guowei et
al., 2015)
Pemupukan NPK diperlukan untuk meningkatkan panjang malai, namun perlakuan
dosis pemupukan NPK tidak berpengaruh terhadap panjang malai (Tabel 5). Hal ini
menunjukkan bahwa suplai nutrisi dari pupuk pupuk NPK 18-9-20 dan dosis standar telah
mencukupi untuk pertumbuhan panjang malai. Panjang malai tanaman padi menunjukkan
kecukupan nutrisi padi pada saat munculnya malai sampai fase panen (Manaka dan
Matsushima, 1971).

Tabel 6. Panjang malai padi Cibogo di Magetan


Perlakuan Panjang malai (cm)
Kontrol 22,33 b
Standar 25,17 a
200 kg/ha NPK 18-9-20 25,50 a
300 kg/ha NPK 18-9-20 25,00 a
400 kg/ha NPK 18-9-20 26,17 a
200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 25,67 a
200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20 26,33 a
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 26,00 a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


488 | Teknologi Pertanian
0 menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan tidak berpengaruh terhadap jumlah
gabah per malai namun berpengaruh terhadap persen gabah isi. Pengaruh persen gabah isi
tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah gabah isi juga sudah dilaporkan penelitian
terdahulu pada kultivar Cibogo di Kalimantan Barat, Inpari 24, Inpari 30, dan Inpara 3
(Subekti dan Pramudyani, 2016) Hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan pada persen
gabah isi berperan penting sebagai komponen hasil karena menunjukkan banyaknya jumlah
gabah isi dan keberhasilan pembentukan biji.

Tabel 7. Jumlah gabah per malai dan persen gabah isi per malai padi Cibogo di Magetan

Jumlah gabah per Persen Gabah


Perlakuan
malai Isi (%)
Kontrol 164,50 73,11 c
Standar 163,67 87,24 a
200 kg/ha NPK 18-9-20 142,33 88,14 a
300 kg/ha NPK 18-9-20 156,83 82,70 b
400 kg/ha NPK 18-9-20 149,00 88,69 a
200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 143,17 80,82 b
200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20 148,50 81,39 b
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 157,83 90,14 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5% pada kolom yang
sama.

Dosis perlakuan 200 kg/ha NPK 18-9-20; 400 kg/ha NPK 18-9-20; dan 100 kg/ha
urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 menghasilkan persen gabah isi sama dengan perlakuan standar
(0). Salah satu faktor yang mempengaruhi persen gabah isi adalah ketersediaan unsur Kalium
dalam tanah. Pada proses pembungaan keseimbangan Kalium dibutuhkan sehingga
mengatur proses penutupan bunga melalui mekanisme gen OsAKT1 (Ahmad et al., 2017).
Bunga yang menutup terlalu cepat mengakibatkan bunga tidak diserbuki secara maksimal
sehingga mengakibatkan gabah hampa.
Bobot 1000 biji padi Cibogo dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan. Pemupukan 200
kg/ha NPK 18-9-20; 400 kg/ha NPK 18-9-20; 200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20; dan
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 memiliki bobot 1.000 biji tidak berbeda nyata
dengan dosis standar (0). Kalium merupakan salah satu faktor penting dalam pengisian biji.
Kebutuhan Kalium harus terpenuhi sehingga pengisian biji dapat optimal. Pentingnya Kalium
pada pengisian bobot 1000 biji juga telah dibuktikan di varietas Ciherang di Pati, Jawa
Tengah (Wihardjaka, 2015)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 489
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 7. Bobot 1000 biji (g) padi Cibogo di Magetan
Perlakuan Bobot 1000 biji (g)
Standar 28,03 a
200 kg/ha NPK 18-9-20 27,34 ab
300 kg/ha NPK 18-9-20 25,32 bcd
400 kg/ha NPK 18-9-20 27,81 a
200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 26,25 abc
200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20 24,85 cd
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 27,10 abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Produktivitas tertinggi ditunjukkan pada pemupukan tanaman dengan dosis 200


kg/ha urea+300 kg/ha pupuk NPK 15-15-15, tidak berbeda nyata dengan 200 kgha pupuk
NPK 18-9-20; dan 100 kg/ha urea+400 kg/ha pupuk NPK 18-9-20 (0). Ketiga dosis ini
memberikan hasil tinggi diantara perlakuan pemupukan yang lain. Meskipun demikian
pemupukan dengan dosis 200 kg pupuk NPK 18-9-20 menjadi perlakuan yang efisien karena
dengan pemupukan 200 kg/ha NPK 18-9-20 dapat memberikan hasil yang sama dengan dosis
standar. Dosis 200 kg/ha NPK 18-9-20 memberikan 36 kg/ha Nitrogen, 18 kg/ha P2O5, dan 40
kg/ha Kalium.
Kebutuhan tanaman padi untuk berproduksi berada antara 35-100 kg/ha Nitrogen
dan 62,5 kg/ha Kalium (Cassman et al., 1993; Meena et al., 2003). Hal ini menjadikan pupuk
NPK 18-9-20 dosis 200 kg/ha memiliki nilai RAE paling tinggi lebih dari 100%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pupuk NPK 18-9-20 secara agronomis memiliki efektivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian dosis pupuk standar menggunakan pupuk NPK 15-15-15.
Pemupukan dosis 200 kg/ha pupuk NPK 18-9-20 didukung dengan jumlah anakan produktif
(17,60 anakan) (0) dan persen gabah isi yang tinggi (88,14%) (0). pada fase vegetatif dosis ini
juga mampu mencukupi pertumbuhan tinggi tanaman padi.

Tabel 8. Produktivitas (t/ha) dan RAE padi Cibogo di Magetan


Kode Perlakuan Produktivitas (t/ha) RAE (%)
Kontrol 4,26 cd
Standar 5,03 ab
200 kg/ha NPK 18-9-20 5,27 a 131,17
300 kg/ha NPK 18-9-20 4,50 bcd 31,17
400 kg/ha NPK 18-9-20 4,52 bcd 33,77
200 kg/ha urea+200 kg/ha NPK 18-9-20 4,30 cd 5,19
200 kg/ha urea+300 kg/ha NPK 18-9-20 3,81 d -58,44
100 kg/ha urea+400 kg/ha NPK 18-9-20 4,63 abc 48,05
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNJ 5%

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


490 | Teknologi Pertanian
KESIMPULAN
Pupuk majemuk NPK 18-9-20 dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
dan hasil padi kultivar Cibogo. Pupuk NPK 18-9-20 dosis 200 kg/ha efektif menggantikan
dosis pupuk 200 kg urea ditambah NPK 15-15-15.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih disampaikan kepada para penyuluh pertanian di Kecamatan
Takeran, Kabupaten Magetan, teknisi dan petugas pengambil contoh yang telah membantu
dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S., Agustian, N. dan Sembiring, H. 2007. Verifikasi metode penetapan
kebutuhan pupuk pada padi sawah irigasi. Iptek Tanaman Pangan, 4(2): 105–115.
Ahmad, I., Mian, A. dan Maathuis, F.J.M. 2017. Overexpression of the rice AKT1 potassium
channel affects potassium nutrition and rice drought tolerance. Journal of
Experimental Botany, 67(9): 2689–2698.
Ashfaq, A., Hussain, N. dan Athar, M. 2015. Role of potassium fertilizers in plant growth ,
crop yield and quality fiber production of cotton – An Overview. FUUAST Journal of
Biology, 5: 27–35.
Azizzadeh, E., Naeini, S.A.R.M., Zeinali, E. dan Roshani, G.A. 2016. Nitrogen, phosphor and
potassium changes in soil and wheat under foliar application of Leonardite, N and K.
International Journal of Advance Biological and Biomedical Research, 4(2): 193–201.
Barker, A. V. dan Pilbeam, D.J. 2015. Handbook of plant nutrition. CRC Press.
Cassman, K.G., Kropff, M.J., Gaunt, J. dan Peng, S. 1993. Nitrogen use efficiency of rice
reconsidered: What are the key constraints? Plant and Soil, 155(1): 359–362.
Dobermann, A. dan Fairhurst, T. 2000. Rice: Nutrient disorders & nutrient management.
Philippine: International Rice Research Institute.
Dubetz, S. dan Bole, J.B. 1975. Effect of nitrogen, phosphorus, and potassium fertilizers on
yield components and specific gravity of potatoes. American Potato Jurnal, 52: 399–
405.
Engelstad, O.P., Jugsujinda, A. dan Datta, S.K. De 1974. Responce by flooded rice to
phosphate rocks varying in citrate solubility. Soil Science Society of America Journal,
38(3): 524–529.
Fageria, N.K. 2014. Nitrogen, phosphorus and potassium interactions in upland rice. Journal
of Plant Nutrition, 37(10): 1586–1600. Tersedia di
http://dx.doi.org/10.1080/01904167.2014.920362.
Galili, G., Amir, R. dan Fernie, A.R. 2016. The regulation of essential amino acid synthesis
and accumulation in plants. Annual Review of Plant Biology, 67: 153–78.
Guerrero, M.G., Vega, J.M. dan Losada, M. 1981. The assimilatory nitrate-reducing system
and its regulatio. Annual Review of Plant Physiology, 32: 169–204.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 491
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Guowei, X., Hezheng, W., Zhihua, Z., Meng, S. dan Youjun, L. 2015. Effect of water and
nitrogen coupling on root morphology and physiology, yield and nutrition utilization
for rice. Chinese Society of Agriculture Enginering, 31(10): 132–141.
Hasbullah, Rokhani dan Dewi, A.R. 2014. Kajian pengaruh konfigurasi mesin penggilingan
terhadap rendemen dan susut giling beberapa varietas padi. Jurnal Keteknikan
Pertanian, 23(2).
Ikhwani, Pratiwi, G.R., Paturrohman, E. dan Makarim, A.K. 2013. Perkembangan dan
tantangan perakitan verietas tahan dalam pengendalian wereng coklat di Indonesia.
Iptek Tanaman Pangan, 8(2): 72–79.
Iswanto, E.H., Susanto, U. dan Jamil, A. 2015. Perkembangan dan Tantangan Perakitan
Verietas Tahan dalam Pengendalian Wereng Coklat di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian, 34(4): 187–193.
Karama, A.S., Adiningsih, J.S., Supartini, M., Sediarso, M., Kasno, A. dan Prihatini, T. 1992.
Peranan pupuk kalium dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Kalium, 9–48.
Krismawati, A. dan Arifin, Z. 2011. Stabilitas hasil beberapa varietas padi di lahan sawah.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 14(2): 84–91.
Mackay, A.D., Syers, J.K. dan Gregg, P.E.H. 1984. Ability of chemical extraction procedures
to assess the agronomic effectiveness of phosphate rock materials. New Zealand
Journal of Agricultural Research, 27: 219–230.
Manaka, T. dan Matsushima, S. 1971. Analysis of yield-determining process and its
application to yield-prediction and culture improvement of lowland rice. Japanese
Journal of Crop Science, 40(1): 101–108.
Maulidiya, L. 2015. Studi karakteristik pertumbuhan empat varietas padi (Oryza sativa L.)
pada tiga ketinggian tempat berbeda. Universitas Negeri Jember.
Meena, S.L., Singh, S. dan Shivay, Y.S. 2003. Response of hybrid rice (oryza sativa) to
nitrogen and potassium application in sandy clay-loam soil. Indian Journal of
Agricul;tural Sciences, 73(1): 8–11.
Nurhati, I., Ramdhaniati, S. dan Zuraida, N. 2008. Peranan dan dominasi varietas unggul
baru dalam peningkatan produksi padi di Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah, 14(1): 8–
13.
Praptana, R.H. 2013. Durabilitas ketahanan varietas padi terhadap penyakit tungro. Iptek
Tanaman Pangan, 8(1): 15–21.
Sari, A.D.P. dan Winahju, S. 2016. Pemodelan faktor-faktor yang memengaruhi produksi
padi di Jawa Timur. Jurnal Sains dan Seni ITS, 5(2): 414–419.
Sitaresmi, T., Wening, R.H., Rakhmi, A.T., Yunani, N. dan Susanto, U. 2013. Pemanfaatan
plasma nutfah padi varietas lokal dalam perakitan varietas unggul. Iptek Tanaman
Pangan, 8(1): 22–30.
Subekti, A. dan Pramudyani, L. 2016. Keragaan beberapa varietas unggul baru padi pada
lahan sawah di Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Pertanian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


492 | Teknologi Pertanian
Supriatna, A. dan Mulyono, J. 2011. Percepatan pengembangan varietas unggul baru padi
melalui unit pengelola benih sumber. Iptek Tanaman Pangan, 6(2): 203–216.
Suprihatno, B., Daradjat, A.A., Satoto, Suprihanto, SE., B., Setyono, Agus, Sembiring,
Indrasari, S.D., Wardana, I.P. dan Sembiring, H. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang:
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Wihardjaka, A. 2015. Peran jerami padi dalam memperbaiki hasil gabah dan serapan kalium
di lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Agric, 27(1): 15–22.
Zaini, Z. 2012. Pupuk majemuk dan pemupukan hara spesifik lokasi pada padi sawah. Iptek
Tanaman Pangan, 7(1): 1–7.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 493
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGGUNAAN PERANGKAT UJI TANAH KERING UNTUK PENINGKATAN
PRODUKSI KEDELAI DI LAHAN KERING

E. Fidiyawati1, Ratih K. Ndaru1, Lina Aisyawati, dan Tri Cahyono2


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jalan Raya Karangploso Km 4 Malang Jawa Timur
2)
BPTP Papua Barat
e-mail : enibptp@gmail.com

ABSTRAK
Peluang peningkatan produktivitas kedelai cukup besar, mengingat hasil kedelai petani masih
berkisar 0,6-1,5 t/ha, sedangkan hasil dari penelitian/pengkajian mampu mencapai 1,7-3,0 t/ha.
Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani kedelai adalah pemupukan yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan hara setempat. Pertanaman kedelai lahan kering mempunyai
peran sangat penting, kaitannya dengan “jabalsim” sebagai penyedia benih yang bermutu untuk
lahan sawah pada MK-1. Peningkatkan produktivitas kedelai lahan kering menjadi >1,80 t/ha
akan menghasilkan produksi kedelai sekitar 250.000 ton yang dapat digunakan sebagai sumber
benih kedelai lahan sawah dan pada gilirannya akan mendorong tercapainya target produksi
satu juta ton kedelai di Jawa Timur. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui penggunaan PUTK
dalam meningkatkan produksi kedelai di lahan kering. Pengkajian dilakukan di LMDH Desa
Walikukun, Kec. Widodaren, Ngawi. yang merupakan sentra produksi kedelai di Jawa Timur,
pada MK. dan MH. Pengkajian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acaka Kelompok (RAK)
dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan, dengan luas masing-masing petak perlakuan 4 x 5 m. Data
yang diamati setiap musim adalah: C-org, N, P dan K, produktivitas kedelai dan keragaan
agronomis. Data yang dieroleh dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) sedangkan
untuk membandingkan antara rata-rata pengamatan setiap variabel yang diuji menggunakan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT-5%). Hasil pengkajian menunjukkan pemupukan dengan dosis 100 kg
urea + SP-36 (sesuai dosis PUTK diberikan 100%) + KCl (sesuai dosis PUTK diberikan 150%),
mampu meningkatkan hasil kedelai tertinggi (1,97 t/ha) pada MH dan (1,83 t/ha) pada MK.
Kata kunci: Kedelai, lahan kering, pemupukan, produksi,PUTK

PENDAHULUAN

Kebutuhan kedelai nasional sebagian masih harus dipenuhi dari impor karena
produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Kebutuhan kedelai nasional hanya mampu terpenuhi oleh produksi dalam negeri sebesar
40%, sedangkan sisanya masih mengandalkan dari impor (Disperta Jatim, 2012). Penanaman
kedelai di Jawa Timur diusahakan pada dua tipe agroekologi, yaitu kedelai lahan kering dan
kedelai lahan sawah, sekitar 277.000 ha (66%) pertanaman kedelai ditanam di lahan sawah
dan sekitar 142.700 ha (34%) di kedelai lahan kering. Usahatani kedelai di Jawa Timur
memiliki keunggulan komparatif dibanding daerah lainnya, meskipun demikian produktivitas
di lapangan masih berkisar 1,1 – 1,4 t/ha. Berdasarkan hasil kajian lapangan, penerapan
teknologi rekomendasi pada budidaya kedelai di sawah setelah padi dapat mencapai hasil
berkisar 1,7 t-3,0 t/ha (Disperta Jatim, 2010). Dengan demikian terbuka peluang besar untuk
meningkatkan produktivitas di tingkat petani, terutama di lahan kering.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


494 | Teknologi Pertanian
Luas areal panen kedelai di Jawa Timur selama kurun waktu 10 tahun sangat
fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan
kedelai bukan komoditas pertanian favorit bagi petani dikarenakan harga jual serta
produktivitas tanaman yang rendah. Kurva produksi kedelai di Jawa timur cenderung
mengikuti kurva luas areal tanam, sehingga jika luas areal tanam meningkat maka produksi
kedelai juga akan meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, produkstivitas kedelai di
Jawa Timur cenderung stagnan.
Solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai di Jawa Timur
salah satunya dengan meningkatkan produktivitas kedelai di lapangan, dengan
menggunakan varietas unggul baru (VUB), yang terjadi selama ini adanya perbedaan hasil
yang tinggi antara hasil riil di lapangan dengan uji coba (pengkajian) dan potensi produksi
(genetik) dari VUB tersebut. Akan tetapi cara tersebut terkendala dengan belum semua VUB
yang dilepas dapat diadopsi oleh petani atau pengguna dan ketersediaan benih sumber
(jumlah, mutu, varietas, dan waktu) belum terpenuhi. sehingga kebutuhan benih kedelai
bermutu di Jawa Timur sekitar 34.000 t/tahun masih sulit dipenuhi.
Untuk meningkatkan hasil kedelai lebih dari 2 t/ha diperlukan unsur hara yang cukup
dan seimbang. Sebagian besar petani yang menanam kedelai hanya memupuk dengan N
(urea) saja, bahkan tanpa dipupuk, oleh karena itu tingkat hasil yang dicapai rendah.
Berdasarkan konsep pengelolaan hara spesifik lokasi, praktek pemupukan harus didasarkan
atas status hara dalam tanah dan target hasil tanaman yang diusahakan (Witt et al, 2009).
Oleh sebab itu praktek pemupukan yang efisien harus didasarkan atas status hara dalam
tanah dan target hasil yang ingin dicapai.
Di antara masalah kesuburan tanah, ketersediaan nitrogen, fosfat dan kalium dalam
tanah menjadi faktor penghambat utama dalam upaya memperoleh hasil pertanian yang
optimal. Praktek pemupukan N, P, K tanaman kedelai berdasarkan pengelolaan hara spesifik
lokasi dapat meningkatkan hasil >1,0 t/ha dengan hasil yang dicapai 2,0 hingga 3,0 t/ha di
Ponorogo, Madiun dan Malang (Manshuri, 2010).
Peningkatkan produktivitas kedelai lahan kering akan meningkatkan ketersediaan
benih yang dapat digunakan sebagai sumber benih kedelai lahan sawah dan pada gilirannya
mampu mendorong tercapainya target pencapaian produksi satu juta ton kedelai di Jawa
Timur. Produktivitas kedelai lahan kering relatif rendah karena penggunaan benih, varietas
dan pengelolaan tanaman, utamanya pemupukan sangat sederhana.
Untuk mencapai hasil yang tinggi diperlukan informasi kesesuaian varietas unggul
berdaya hasil tinggi (>2,0 t/ha) dan praktek pemupukan didasarkan status hara tanah dan
target hasil yang ingin dicapai. Dengan penerapan teknologi yang didasarkan atas kondisi
status hara tanah, informasi varietas (genetik) dan pengelolaan budi daya tanaman yang
sesuai, maka target peningkatan hasil kedelai lahan kering menjadi >1,80 t/ha akan dapat
dicapai.
Tujuan pengkajian ini adalah untuk mendapatkan teknik pemupukan yang efisien
pada budi daya kedelai lahan kering antar musim di Jawa Timur .

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 495
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
METODOLOGI

Pengkajian ini dilaksanakan di lahan kering dengan menggunakan rangcangan acak


kelompok diulang 4 kali, ukuran petak 4 m x 5 m, yang dilaksanakan di LMDH Desa
Walikukun Kec. Widodaren Kabupaten Ngawi yang merupakan salah satu daerah sentra
kedelai di Jawa Timur, pada MK.1, 2013 dan MH. 2013/2014. Data dan informasi yang
dikumpulkan meliputi data kesuburan tanah, keragaan agronomis, produktivitas. Data yang
dikumpulkan dianalisa secara statistik menggunakan ANOVA (Analysis of Variance)
sedangkan untuk membandingkan antara rata-rata pengamatan setiap variabel yang diuji
menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5%. Varietas yang digunakan adalah Wilis ,
perlakuan pengkajian adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Perlakuan pemupukan kedelai lahan kering di Ngawi MH , 2013-2014 dan MK, 2013
Dosis pemupukan (kg/ha) Pupuk mikro
Perlk.
Urea SP 36 KCl
1 50 0 0 0
2 50 1,0 x Dosis PUTK2) 1,0 x Dosis PUTK2) 0
1) 2) 2)
3 100 1,0 x Dosis PUTK 1,5 x Dosis PUTK 0
1)
4 200 1,5 x Dosis PUTK2) 1,0 x Dosis PUTK2) 0
1)
5 100 1,5 x Dosis PUTK2) 1,5 X Dosis PUTK2) 0
6 50 1,0 x Dosis PUTK2) 1,0 x Dosis PUTK2) 1
1)
7 100 1,0 x Dosis PUTK2) 1,5 x Dosis PUTK2) 1
Keterangan:
Pupuk urea diberikan 2 kali, setengah bagian saat tanam, setengah bagian sisanya diberikan umur 45 hst
Dosis pupuk SP 36 dan KCl mengacu pembacaan PUTK (Perangkat Uji Tanah kering) setempat.
Pupuk mikro berupa pupuk pelengkap cair (PPC) terdaftar dengan dosis sesuai anjuran pada label kemasan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bentuk wilayah lahan kering di Kabupaten Ngawi beragam, dari mulai datar hingga
bergelombang. Lahan kering sebagian besar berada di kawasan hutan (PT Perhutani), oleh
sebab itu pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan bekerja sama dengan LMDH, yaitu LMDH
Walikukun Kec. Widodaren.

`Tabel 2. Hasil analisis tanah untuk pengkajian kedelai di Ngawi (2013)


Macam analisis Nilai dan harkat
pH H2O 6,7
pH KCl 5,5
C-Organik (%) 1,62 (R)
Bahan organik (%) 2,78 (R)
N-Total (%) 0,15 (R)
P-Olsen (ppm) 14,3 (S)
KTK (me/100 g) 44,34 (T)
K-tersedia (me/100 g) 0,42 (Sd)
Ca (me/100 g) 22,4 (T)
Mg (me/100 g) 3,15 (S)
Na (me/100 g) 0,62 (S)
Keterangan: R = Rendah; Sd = Sedang; T = Tinggi; ST = Sangat Tinggi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


496 | Teknologi Pertanian
Lokasi pengkajian mempunyai jenis tanah Vertisol atau Grumusol, yaitu tanah hitam
yang mempunyaI kandungan mineral liat monmorilonit/vermiculit yang mempunyai ciri khas
permukaan tanah dapat mengembang pada musim hujan dan mengkerut pada musim
kemarau, faktor pembatas utama kesuburan tanah di lokasi ini adalah faktor ketersediaan
air. Wilayah lahan kering di Ngawi mempunyai status P sedang, keragaan hara P pada tanah
vertisol biasanya padalahan kering adalah rendah, karena P difiksasi oleh mineral liat
monmorilonit dan oleh kapur (Ca) yang cukup tinggi.
Di lokasi pengkajian kandungan P sedang, hal ini disebabkan lahan untuk pengkajian
berupa lahan hutan yang mengandung bahan organik yang cukup. Ketersediaan P dalam
tanah berada pada rentang pH yang sempit, pada suasana asam (pH < 6) sebagian besar ion
P terikat oleh ion Al, sedang pada suasana alkalin (pH > 6,5) sebagian besar ion P
membentuk senyawa dengan Ca dan Mg (Tisdale et al, 1985).
Disamping itu ion P dapat berikatan dengan mineral liat membentuk liat-fosfat.
Fosfat yang terikat tersebut merupakan cadangan fosfat dalam tanah dengan tingkat
kelarutan yang berbeda, dari yang mudah larut, sukar larut hingga tidak larut dalam tanah.
Tingginya status hara P dan K dalam tanah merupakan modal penting dalam usaha
peningkatan produksi kedelai dan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas yang
dihasilkan. Umumnya petani jarang memupuk kedelai secara lengkap, namun demikian
produktivitas yang dihasilkan cukup tinggi. Oleh karena itu praktek pemupukan harus
mempertimbangkan status hara dalam tanah dan tingkat hasil yang akan dicapai (Manshuri,
2010).
Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum pengkajian (Tabel 2), menunjukkan bahwa
kandungan N-total tanah untuk percobaan adalah rendah (0,15%), hal ini berkaitan dengan
rendahnya bahan organik dalama tanah (1,62% C-organik), hal ini disebabkan pengusahaan
lahan percobaan pada beberapa tahun yang lalu tanpa diberi pupuk kandang. Reaksi tanah
mendekati netral (nilai pH-H2O 6,7) dengan klas tekstur lempung berliat.
Kandungan hara fosfat (P) adalah tinggi, yakni P-tersedia 19,3 ppm dan kandungan K-
tersedia adalah sedang (0,42 me/100 g). Nilai kapasitas tukar kation (KTK) adalah tinggi
(44,34 mg/100 g), kandungan basa-basa dapat ditukar (K, Ca, Mg dan Na) adalah tinggi, KTK
merupakan sifat kimia yang sangat berhubungan erat dengan kesuburan tanah, hal ini
disebabkan tanah dengan nilai KTK yang tinggi mampu menjerap dan menyanggah unsur
hara lebih banyak sehingga ketersediaan hara bagi tanaman juga lebih tercukupi.

Hasil MK

Percobaan pemupukan yang terdiri dari 7 perlakuan. Perlakuan didasarkan atas


pembacaan perangkat uji tanah kering (PUTK). Berdasarkan status hara di lokasi pengkajian
menggunakan PUTK, maka ditentukan dosis pemupukan rekomendasi untuk pertanaman
kedelai adalah: 150 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Dari dasar dosis P dan K tersebut, maka
dosis perlakuan pemupukan disajikan pada Tabel 6. Percobaan menggunakan varietas Wilis
dengan jarak tanam 30 x 10 cm, pengelolaan tanaman lainnya diusahakan sesuai dengan
rekomendasi.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 497
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Keragaan pertumbuhan tanaman akibat perlakukan pemupukan tampaknya tidak ada
perbedaan pertumbuhan yang nyata. Rata-rata pertumbuhannya relatif sama diantara dosis
pemupukan yang dicoba (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh pemupukan terhadap hasil kedelai di lahan kering (Ngawi, MK-1 2013)
Dosis pemupukan (kg/ha) Tinggi
Perlk. Pupuk mikro Hasil biji (t/ha)
Urea SP 362) KCl2) tanaman (cm)
1 50 0 0 0 62 1,38 b
2 50 150 100 0 65 1,69 ab
3 1001) 150 150 0 68 1,82 a
4 2001) 225 100 0 63 1,62 ab
5 1001) 225 150 0 66 1,78 ab
6 50 150 100 13) 64 1,69 ab
7 1001) 150 150 13) 69 1,79 ab
Keterangan:
Pupuk urea diberikan 2 kali, 0,5 bagian saat tanam, setengah bagian sisanya diberikan umur 45 hst ;
Dosis pupuk SP 36 dan KCl mengacu pembacaan PUTK (Perangkat Uji Tanah kering) setempat ;
Pupuk mikro berupa pupuk daun Ajifol, produksi PT Ajinomoto Mojokerto ;

Pertanaman kedelai yang hanya dipupuk urea saja menghasilkan biji paling rendah,
yakni 1,48 t/ha selanjutnya bila dipupuk P dan K sesuai anjuran PUTK dapat meningkatkan
hasil hingg 200 kg/ha, akan tetapi kenaikan hasilnya tidak berbeda secara statistik (Tabel 3).
Pada perlakuan dengan meningkatkan dosis K ternyata memberikan pengaruh terhadap
peningkatan hasil.
Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Suyamto dan Sumarno (1991), yang
menyatakan pada tanah vertisol pemupukan K sangat respon terhadap peningkatan
pertumbuhan dan hasil jagung di Ngawi. Pemupukan dengan dosis P sesuai rekomendasi
PUTK dan pemupukan K dengan dosis 1,5 rekomendasi PUTK ternyata dapat meningkatkan
hasil hingga 31,8%. Secara umum aplikasi pemupukan pada lahan kering tanah vertisol agak
sulit, karena aplikasi pupuk hanya pada permukaan tanah dan tidak dapat dibarengi dan
diikuti oleh pengairan.

Hasil MH

Tabel 4. Pengaruh pemupukan N,P,K terhadap hasil kedelai pada pengkajian SUP kedelai
lahan kering (Ngawi, MH, 2012/2013)
Perlk Dosis pemupukan (kg/ha) Tinggi
Pupuk mikro Hasil biji (t/ha)
. Urea SP 362) KCl2) tanaman (cm)
1 50 0 0 0 82 1,59 b
2 50 150 100 0 85 1,89 ab
3 1001) 150 150 0 87 1,97 a
4 2001) 225 100 0 86 1,82 ab
5 1001) 225 150 0 88 1,88 ab
6 50 150 100 13) 84 1,89 ab
7 1001) 150 150 13) 89 1,93 ab

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


498 | Teknologi Pertanian
Keterangan:
Pupuk urea diberikan 2 kali, 0,5 bagian saat tanam, setengah bagian sisanya diberikan umur 45 hst
Dosis pupuk SP 36 dan KCl mengacu pembacaan PUTK (Perangkat Uji Tanah kering) setempat.
Pupuk mikro berupa pupuk daun Ajifol, produksi PT Ajinomoto Mojokerto
Pengkajian pemupukan pada musim hujan menunjukkan bahwa kedelai yang hanya
dipupuk urea tanpa P dan K menghasilkan biji paling rendah, yakni 1,59 t/ha selanjutnya bila
dipupuk P dan K sesuai anjuran PUTK dapat meningkatkan hasil hingga 300 kg/ha, akan
tetapi kenaikan hasilnya tidak berbeda secara statistik (Tabel 4). Pada perlakuan dengan
meningkatkan dosis N dan K menjadi 100 kg urea + 150 kg KCl/ha mampu meningkatkan
hasil hingga 23,8%, dan menghasilkan kedelai tertinggi (1,97 t/ha). Pada pemupukan P dan K
yang lain tampaknya menghasilkan kedelai yang setara dan tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan yang hanya dipupuk 50 kg urea saja. Secara umum aplikasi
pemupukan pada lahan kering tanah vertisol agak sulit, karena aplikasi pupuk hanya
diletakkan di permukaan tanah saja. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Suyamto dan
Sumarno. (1991), yang menyatakan pada tanah vertisol pemupukan K sangat respon
terhadap hasil jagung di Ngawi .

KESIMPULAN
Pemupukan dengan dosis 100 kg urea + 150 kg SP-36 +150 kg KCl/ha mampu
menghasilkan kedelai tertinggi (1,97 t/ha) dan meningkatkan hasil hingga 23,8% dibanding
tanpa pupuk P dan K.

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, Riwanodja, R. Suhendi dan Suhartina. 1996. Pemberian Pupuk N dan Metanol
pada Daun kedelai. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Kedelai di
Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta, 6-7 Agustus 1996
Adisarwanto, T., Subandi dan Sudaryono, 2007. Teknologi produksi kedelai. Dalam Sumarno
et al. (eds.). Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengambangan Tanaman Pangan.
BPS. 2011. Statistik Indonesia 2011. BPS. 620 p.
Departemen Pertanian, 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian. Jakarta. 39 p.
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur. 2010. Program Peningkatan Produksi dan Produktivitas
Tanaman Pangan Tahun 2011 di Jawa Timur. Disampaikan Dalam Rangka Evaluasi
Pelaksanaan BLBU 2009 dan Sosialisasi Pelaksanaan BLBU Tahun 2010 di Jawa Timur.
Hernowo, D. 1996. Performance of the jabal system: a unique soybean seed supply system.
Paper at the 2nd International Soybean Processing and Utilization Conference on
January 1996. Bangkok. Thailand
Heriyanto, Fachrur Rozi, Ruly Krisdiana dan Zaenal Arifin. 2005. Kondisi Aktual Komoditas
kedelai Sebagai Pijakan Pengembangan. Risalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan
2004. Bogor. P:61-78
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 499
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Manshuri, A. G. 2010. Pemupukan N, P dan K pada Kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan Vol. 29 No. 3. 2010, p:171-179
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2009. Deskripsi Varietas Unggul
Palawija (1918-2009). Bogor.
Roesmiyanto, N. Pangarso, S. Yuniastuti, Suhardjo, S. Roesmarkam, E. Purnomo dan
Handoko. 1999. Pengkajian Sistim Usaha Tani Kedelai Varietas Bromo dan Argomulyo
di Lahan keringan Jawa Timur. Makalah unggulan Hasil Penelitian Badan Litbang
pertanian 1999.
Suyamto dan Sumarno. 1991. Effect of rate and time of potassium application on growth
and yield of maize planted on a Vertisol. Penelitian Palawija 6 (1 dan 2): 36-43.
Suyamto, Roesmiyanto dan F Kasijadi.2001. Rekayasa Paket Teknologi Usaha tani Kedelai
berwawasan Agribisnis. Makalah disampaikan pada Seminar Tahunan Hasil Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Balitkabi Tahun 2001.
Witt, C. J.M. Pasuquin, M.F. Pampolino, R.J. Buresh, and A. Dobermann. 2009. A manual for
the development and participatory evaluation of site-specific nutrient management
for maize in tropical, favorable environments. Draft 05, 28 January 2009.
International Plant Nutrition Institute, Penang, Malaysia.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


500 | Teknologi Pertanian
DAMPAK PENYULUHAN TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN SIKAP DAN
KETERAMPILAN PETANI PADA TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH KULIT BUAH
KAKAO SEBAGAI PAKAN KAMBING DI SULAWESI BARAT

Religius Heryanto1), Ketut Indrayana1), dan Chicilia Iriani Rayo1)


1)
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat
Kompleks Perkantoran Gubernur Sulawesi Barat
Jln. Abdul Malik Pattana Endang, Mamuju
E-mail: religius.heryanto@yahoo.co.id; HP. 081241 330346

ABSTRAK
Limbah kulit buah kakao (KBK) merupakan bahan pakan yang potensial karena tersedia
sepanjang tahun, mudah diperoleh dan mengandung nutrisi tinggi. Untuk mensosialisasikan
atau mendiseminasikan teknologi tersebut perlu dilakukan penyuluhan kepada petani dan
disertai dengan evaluasi. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap petani terhadap teknologi yang disuluhkan. Kegiatan
dilaksanakan pada Bulan Agustus 2015 di sentra pengembangan kakao di Kabupaten Mamuju
yaitu di Desa Salubarana, Kecamatan Sampaga, Kab. Mamuju dengan responden sebanyak 30
orang petani kakao. Data yang diambil terdiri dari data primer, meliputi karakteristik responden,
tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap responden melalui test awal dan akhir dengan
menggunakan kuisioner selanjutnya ditabulasi kemudian diolah secara deskriptif. Hasil evaluasi
menunjukkan perubahan tingkat pengetahuan 36,6 persen, sikap meningkat sebesar 17,0
persen dan keterampilan 25,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pengolahan limbah
kulit buah kakao (KBK) untuk pakan ternak kambing dapat diterima dan dimanfaatkan oleh
petani setempat.
Kata Kunci : Kulit Kakao, Penyuluhan, Pengetahuan, Keterampilan, Sikap

PENDAHULUAN
Konsep pertanian bioindustri tanpa limbah sebagai salah satu strategi untuk
peningkatan nilai tambah dan daya saing serta kesejahteraan petani. Konsep ini, menuntut
setiap lini produk mempunyai nilai jual, sehingga penggunan sumber daya menjadi efisien
dan dapat menekan biaya produksi (Suswono, 2014). Melalui konsep zero waste, limbah
dari budidaya tanaman diubah menjadi pakan ternak, dan produk turunan lainnya.
Sebaliknya, limbah peternakan dapat digunakan sebagai pupuk/kompos, bio gas dan bio
urine yang memungkinkan peningkatan nilai tambah di setiap rantai produksi. Usaha yang
semula dinilai tidak layak, dapat menghasilkan produk berdaya saing, ramah lingkungan,
dengan demikian petani akan memperoleh tambahan pendapatan. Senada dengan
(Diwyanto dan Haryanto 1999) menyatakan bahwa sistem integrasi tanaman-ternak
mengintegrasikan seluruh komponen usaha pertanian baik secara horizontal maupun
vertikal, sehingga tidak ada limbah yang terbuang. Sistem ini sangat ramah lingkungan dan
mampu memperluas sumber pendapatan dan menekan risiko kegagalan (Nitis 1995).
Sulawesi Barat merupakan salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia.
Luas pertanaman Kakao di Sulawesi Barat pada tahun 2011 mencapai 175.860 ha dengan
produksi 141.987 ton dan khusus Kabupaten Mumuju seluas 68.330 ha dengan produksi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 501
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
26.870 t. (BPS Sulbar, 2012). Saat ini limbah perkebunan belum banyak dimanfaatkan oleh
petani setempat, khususnya pemanfaatan kulit buah kakao sebagai pakan ternak. Hal ini di
karenakan ketidaktahuan petani/peternak dalam memanfaatkan limbah pertanian dan
perkebunan sebagai pakan ternak yang potensial. Limbah kulit buah kakao merupakan
bahan pakan potensial bagi ternak ruminansia (ketersediaan cukup, terjangkau disekitar
petani dan harga murah),
Pemanfaatan limbah kulit buah kakao (KBK) merupakan suatu terobosan untuk
mengintegrasikan semua permasalahan dan potensi usahatani kakao serta mengoptimalkan
pemanfaatan semua sumberdaya yang tersedia dan ramah lingkungan. Menurut Priyanto
et. al., (2004) Pola usaha terintegrasi antara usaha perkebunan kakao dan usaha ternak
cukup memberikan dampak positif bagi petani di pedesaan khususnya petani perkebunan
kakao rakyat. Pola tersebut memberikan peluang dalam pengembangan pola integrated
farming system seperti crop livestock system, dimana kedua sektor usaha tersebut akan
tercipta pola usaha yang sinergis yakni tercipta pola efisiensi usaha (perkebunan kakao dan
usaha ternak kambing). Hal demikian sekaligus berdampak mampu memberikan nilai
tambah pendapatan rumah tangga petani pedesaan.
Salah satu cara atau pendekatan untuk mengenalkan inovasi tersebut kepada
masyarakat tani adalah melalui penyuluhan yang disertai dengan demostrasi. Cara tersebut
merupakan salah satu metode penyampaian hasil-hasil penelitian dan pengkajian kepada
petani dan pengguna lainya melalui peragaan teknologi untuk mempercepat adopsi
teknologi sampai ke pengguna.
Untuk mengetahui tingkat perubahan petani terhadap inovasi teknologi yang
disuluhkan maka dilakukan evaluasi awal dan evaluai akhir, dalam memahami suatu inovasi
melalui proses perubahan perilaku, termasuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani.
Evaluasi adalah sebuah proses yang terdiri dari urutan rangkaian kegiatan mengukur dan
menilai (Anonim, 2013). Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang penting, namun sering
dikesampingkan dan konotasinya negatif, karena dianggap mencari kesalahan, kegagalan
dan kelemahan dari suatu kegiatan penyuluhan pertanian. Sebenarnya evaluasi harus dilihat
dari segi manfaatnya sebagai upaya memperbaiki dan penyempurnaan program/kegiatan
penyuluhan pertanian sehingga lebih efektif, efisien dan dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
BAHAN DAN METODE
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada Bulan Agustus Tahun 2015 di sentra
pengembangan kakao di Kabupaten Mamuju yaitu di Desa Salubarana, Kecamatan Sampaga,
Kab. Mamuju. Metode pendekatan kelompok dilakukan melalui pertemuan kelompok,
penyuluhan dan diskusi kelompok serta praktek lapang.
Untuk mengetahui tingkat perubahan petani terhadap teknologi yang di introduksi
dilakukan test awal dan test akhir dengan menggunakan kuisioner selanjutnya ditabulasi
kemudian diolah secara deskriptif. Untuk kebutuhan evaluasi penyuluhan dilakukan
penarikan sampel. Sampel yang baik adalah sampel yang representatif artinya sampel
tersebut mewakili populasi. Teknik penentuan sampel secara purposive (disengaja) yaitu

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


502 | Teknologi Pertanian
dengan cara mengambil dari populasi petani kemudian dijadikan responden. Sampel yang
terpilih sejumlah 30 orang dari populasi yang hadir dalam setiap penyuluhan dengan alasan
bahwa mereka dianggap mewakili populasi yang ada. Untuk memperoleh kejelasan atas
suatu kebenaran yaitu menggunakan rating scale atau skala nilai yang dilanjutkan dengan
menggunakan rumus persentase garis continuum (Padmowihardjo, 2002). Adapun rumus
dari rating scale adalah sebagai berikut:
𝐽𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛
𝑇ⅈ𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑃ⅇ𝑛𝑔ⅇ𝑡𝑎ℎ𝑢𝑎𝑛 = 𝑥 100 %
𝑁ⅈ𝑙𝑎ⅈ 𝑇ⅇ𝑟𝑡ⅈ𝑛𝑔𝑔ⅈ

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan menggunakan butir pertanyaan


dalam bentuk kuesioner sebanyak 30 responden, identitas petani berdasarkan
penggolongan umur dan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 1 . terlihat bahwa petani yang
menjadi responden berada pada kisaran umur 16-54 tahun dengan rata-rata umur petani
responden adalah 38,87 tahun dan tergolong usia produktif. Pada usia tersebut sangat
berpeluang dalam upaya peningkatan produktivitas melalui kemampuan kelompok tani.
Menurut Yuzzsar (2008), umur produktif (15-55 tahun) akan relatif lebih baik
produktifitasnya dibandingkan dengan umur lanjut. Pada umur lanjut orang akan lebih sulit
menerima teknologi baru dibandingkan dengan umur produktif. Kondisi ini akan
mempengaruhi perilaku (baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan), pola pengambilan
keputusan, dan cara berpikir. Jika dilihat berdasarkan penggolongan umur produktif dan
tidak produktif, maka sebagian besar petani responden berada dalam kategori umur
produktif. Pengelompokkan responden berdasarkan umur, yang terbanyak adalah kelompok
umur antara 35- 44 dan 45-54 masing-masing sebanyak 10 orang atau 33,33%, Kemudian
kelompok umur dan 16-24 dan 24-34 tahun masing-masing 5 orang atau 16,67 %. 45-54
tahun masing-masing sebanyak 6 orang atau 20,00%.
Tingkat pendidikan merupakan jumlah tahun mengikuti pendidikan formal yang
ditempuh petani pada bangku sekolah. Pendidikan akan berpengaruh terhadap perilaku dan
tingkat adopsi suatu inovasi. Seseorang yang berpendidikan tinggi cenderunglebih terbuka
untuk menerima dan mencoba hal-hal yang baru. Tingkat pendidikan responden dibagi
menjadi empat kelompok yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan persentase masing-masing sebesar 26,67%,
40,00 %, dan 30,00 %. Menurut Bandolan, Y (2008), tingkat pendidikan sangat berpengaruh
terhadap penerimaan teknologi yang diberikan.

Teknologi pembuatan pakan dari limbah kulit buah kakao

Limbah kulit buah kakao (KBK) merupakan bahan pakan yang potensial karena
tersedia sepanjang tahun, mudah diperoleh dan mengandung nutrisi tinggi. Pada areal satu
hektar pertanaman kakao produktif dapat menghasilkan limbah kulit buah segar ± 5
ton/ha/tahun setara dengan 812 kg tepung limbah. Kulit buah kakao dengan kandungan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 503
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
protein kasar sebesar 6-9% sangat baik dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pemanfaatan
KBK sebagai pakan, secara otomatis menciptakan kondisi lahan pertanaman kakao menjadi
bersih dan tanaman terhindar dari penyakit. Ketersediaan KBK berlimpah dimusim panen,
tetapi dalam bentuk segar tidak bisa disimpan lebih dari 3 hari.
Kulit buah kakao merupakan limbah agroindustri yang berasal dari tanaman kakao
yang umumnya dikenal dengan tanaman coklat. Komposisi buah kakao terdiri dari 74% kulit,
24% biji kakao dan 2% plasenta. Setelah dilakukan analisis proksimat, kakao mengandung
22% protein dan 3 – 9% lemak (Nasrullah dan Ela, 1993). Kulit buah kakao memiliki
kandungan gizi sebagai berikut : Bahan kering (BK) 88 %, Protein kasar (PK) 8 %, SK 40 %,
TDN 50,8 %. Dan penggunaan oleh ternak ruminansia adalah 30-40 %.
Metode pengolahan yang sederhana dalam bentuk silase dengan memanfaatkan
sumber karbohidrat yang tersedia dilokasi (dedak padi, jagung) mampu menjadi solusi
berlimpahnya KBK sehingga dapat dijadikan sebagai pakan cadangan. Daya simpan silase
KBK dalam kondisi kedap udara (an-aerob) mencapai 6-8 bulan. Tahapan pembuatan silase
KBK adalah sebagai berikut : a) KBK segar dicacah kasar dengan ukuran 1-2 cm atau dicacah
dengan mesin, b) Timbang kulit kakao yang telah dicacah sebanyak 20 kg, c) Tambahkan
dedak padi sebanyak 10-20% dari KBK atau 2 kg- 4 kg, d) Beri hijauan segar sebanyak 20-40%
dari KBK atau 4 kg-8 kg, e) Semua bahan diaduk hingga rata, f) Disimpan dalam kantong
plastik lalu ikat h). Simpan selama 21 hari atau 3 minggu dalam suhu ruang, i) Simpan dalam
kondisi anaerob sebagai cadangan makanan.
Ciri-ciri silase yang baik adalah PH Rendah <5, bau/aroam manis asam, tidak
berlendir/berjamur, testur dan bahan aslinya jelas, tidak menggumpal. Hal yang perlu
diperhatikan adalah a) jangan menggunakan dedak terlau banyak agar kadar air bahan silase
tidak berkurang sehingga proses fermentasi berjalan dengan sempurna, b) silase yang telah
jadi dan diberikan ke ternak sebaiknya habis dalam waktu 3 hari. Oleh karena itu sebaikya
mengemas dengan ukuran 5-10 kg, c) Jika mengunakan molasse, sebaiknya sebaiknya jangan
tambahkan air agar kadar air bahan tidak berlebihan.Kadar air yang berelbihan dapat
memicu pembusukan. Penggunaan silase KBK dapat menggantikan 100 persen rumput
dalam ransum kambing Silase KBK dengan tambahan hijauan.
Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Petani
Evaluasi penyuluhan merupakan suatu titik melihat hasil adopsi sasaran dan
menentukan tingkat keberhasilan dari inovasi yang disampaikan. Adapun peningkatan
perubahan (respon) terhadap materi penyuluhan dikaitkan dengan jumlah responden (30
orang) dan hasil jawaban kuisioner sebanyak dua puluh pertanyaan.
Evaluasi penyuluhan yang digunakan dalam penyuluhan bertujuan untuk mengetahui
peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan sasaran. Sebelum diadakan penyuluhan,
terlebih dahulu diadakan tes awal untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan keterampilan
petani. Kemudian setelah penyuluhan, diadakan lagi tes akhir dengan tujuan untuk
mengetahui perubahan tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan petani yang berkaitan
dengan materi yang dibawakan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


504 | Teknologi Pertanian
Berikut ini adalah hasil dari evaluasi awal dan akhir tentang pengetahuan petani
responden dengan menggunakan skala nilai/rating scale.

Tahap pengetahuan

Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan


sikap dan pada giliranya akan melahirkan tindakan. Evaluasi awal tentang pengetahuan
petani responden digambarkan dalam garis continuum adalah :

TM 38,8% KM M SM

465
0 300 600 900 1200
Gambar 1. Garis continuum pengetahuan evaluasi akhir
pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing

Berdasarkan Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani


terhadap teknologi pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing adalah 38,8%
kurang mengetahui, sehingga perlu diadakan kegiatan penyuluhan agar lebih memahami
tentang inovasi teknologi yang disuluhkan.
Evaluasi akhir tentang pengetahuan petani responden terhadap teknologi pengolahan
limbah kulit kakao untuk pakan kambing digambarkan dalam garis continuum adalah :
TM KM M 78,6% SM

0 300 600 900 904 1200


Gambar 2. Garis Continuum pengetahuan evaluasi akhir
pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing

Berdasarkan Gambar 2. tersebut menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyuluhan


dan pembinaan maka tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pengolahan limbah
kulit kakao untuk pakan kambing meningkat menjadi 78,6 % dengan kategori sangat
mengetahui. Peningkatan pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran petani untuk
mengetahui tentang teknologi pengolahan limbah kulit kakao. Artinya, pengetahuan yang
tinggi dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi pula. Hal ini
diduga karena sebagian besar petani memiliki pendidikan formal yaitu Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) 40 %, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 30,00 %. Senada
dengan hal tersebut, Rifki A. N. (2011) menyatakan bahwa petani yang mempunyai tingkat
pendidikan formal tentunya akan dapat dengan mudah menerima dan memahami

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 505
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
penjelasan-penjelasan dari fasilitator/penyuluh, oleh karena itu petani yang memiliki tingkat
pendidikan formal lebih tinggi akan lebih baik dalam aspek pemahaman, perasaan dan
kecenderungan bertindak.

Tahap keterampilan

Keterampilan petani merupakan kemampuan yang dimiliki petani dalam menerapkan


inovasi teknologi yang disuluhkan. Evaluasi awal terhadap keterampilan petani responden
tentang teknologi pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing bila digambarkan
dalam garis continuum adalah :

TT 49,33% KT T ST

296

0 150 300 450 600


Gambar 3. Garis continuum pengetahuan evaluasi akhir
pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing

Gambar 3. menunjukkan bahwa sebelum dilakukan penyuluhan petani responden


memang sudah kurang terampil dalam melakukan pembibitan kakao namun untuk lebih
meningkatkan keterampilannya tetap dilakukan penyuluhan.
Evaluasi akhir tentang keterampilan responden tentang teknologi pengolahan limbah
kulit buah kakao untuk pakan kambing digambarkan dalam garis continuum adalah:
TT KT T ST
75,2%

450

0 150 300 450 600


Gambar 4. Garis continuum pengetahuan evaluasi akhir
pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing

Berdasarkan Gambar 4. tersebut menunjukkan bahwa setelah dilakukan penyuluhan


dan praktek secara langsung maka tingkat keterampilan petani terhadap teknologi
pengolahan limbah kulit buah kakao untuk pakan kambing meningkat menjadi 75,2% dengan
kategori sangat terampil. Peningkatan keterampilan mencerminkan tingkat keterampilan
petani untuk menerapkan tentang teknologi pengolahan limbah kulit kakao.
Terjadinya peningkatan keterampilan diduga karena sebagian besar petani memiliki
pendidikan formal yang berdampak pada tingginya pengetahuan petani atau rasa ingin tahu

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


506 | Teknologi Pertanian
terhadap teknologi yang disuluhkan. Senada dengan hal tersebut, Drakel, A (2008)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir terhadap respon-
respon inovatif dan perubahan-perubahan yang dianjurkan. Dalam hal menerima inovasi
baru, responden dengan kondisi ini tergolong dalam kelompok mudah menerima inovasi
baru.

Tahap sikap

Sikap petani menggambarkan respons atau minat sekaligus penilaian petani terhadap
paket teknologi pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing yang akan dan telah
disuluhkan. Evaluasi awal tentang sikap responden digambarkan dalam garis continuum
adalah :
TS KS 70% S SS

420

0 150 300 450 600


Gambar 5 Garis Continuum sikap evaluasi akhir pengolahan limbah
kulit kakao untuk pakan kambing

Pada Gambar 5. menunjukkan bahwa pada test awal petani responden


merespon/setuju tentang teknologi pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan kambing
namun untuk lebih meningkatkan pola pikir dan sikap petani tentang teknologi tersebut
perlu dilakukan penyuluhan.
Evaluasi akhir tentang sikap responden tentang teknologi pengolahan limbah kulit
buah kakao untuk pakan kambing digambarkan dalam garis continuum adalah:

TS KS S 87% SS

522

0 150 300 450 600


Gambar 6. Garis Continuum sikap evaluasi akhir pengolahan limbah
kulit kakao untuk pakan kambing

Gambar 6. Menunjukkan bahwa pada Evaluasi akhir setelah dilakukan penyuluhan,


sikap petani responden terhadap teknologi pengolahan limbah kulit kakao untuk pakan
kambing meningkat menjadi 87 % dengan kategori sangat setuju. Pengetahuan dan
pemahaman petani tentang teknologi pengolahan limbah kulit buah kakao yang telah
disuluhkan berpengaruh positif terhadap sikap petani. Hal ini memberikan indikasi bahwa
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 507
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pengenalan atau sosialisasi secara baik suatu teknologi kepada petani memegang peranan
penting dalam pembentukan sikap positif petani.
Untuk mengetahui perubahan dan peningkatan perolehan nilai responden dari nilai
maximum pada tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan petani responden maka dapat
dilihat pada rekapitulasi yang disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Rata-rata Tingkat Perubahan Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan
Petani Responden.
Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap petani terhadap pengolahan Limbah Kulit BuahKakao)
Nilai Nilai yang diperoleh Perubahan
Deskripsi max T.Awal % Kurang T.Akhir % Kurang Nilai %
Pengetahuan 1200 465 38.8 61.2 904 78.6 21.4 439 36.6
Keterampilan 600 296 49.33 50.67 450 75.2 24.8 154 25.7
Sikap 600 420 70 30 522 87 13 102 17.0
Total nilai 1181 1876 695
Sumber : Data primer setelah diolah, Tahun 2015

Berdasarkan Tabel 2 di atas bahwa tingkat perubahan yang tertinggi adalah pada
tahap pengetahuan yaitu 36,6 persen, kemudian diikuti dengan keterampilan sebesar 25,7
persen dan yang terakhir tahap sikap dengan perubahan sebesar 17,0 persen. Tingginya
perubahan tahap pengetahuan pada responden diasumsikan bahwa, teknologi yang
disuluhkan dengan memanfaatkan limbah kulit kakao sebagai pakan sangat bermanfaat bagi
petani responden, karena sebelumnya petani hanya memanfaatkan tanaman pelindung
(gamal) dan rumput sebagai pakan ternak. Hal ini diikuti dengan sikap petani sebelum
dilakukan penyuluhan berada pada tahap setuju yaitu 70 persen.

KESIMPULAN
Setelah diadakan penyuluhan mengenai teknologi pengolahan limbah kulit buah
kakao (KBK) untuk pakan ternak kambing, tingkat pengetahuan sikap dan keterampilan
petani kakao mengalami peningkatan yaitu ditunjukkan dengan adanya perubahan tingkat
pengetahuan 36,6 persen, sikap meningkat sebesar 17,0 persen dan keterampilan 25,7
persen. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi pengolahan limbah kulit buah kakao (KBK)
untuk pakan ternak kambing dapat diterima dan dimanfaatkan oleh petani setempat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada sdr. Chicilia Iriani Rayo
sebagai teknisi litkayasa pada LPTP Sulawesi Barat yang telah membantu pelaksanaan
kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Sulawesi Barat. 2012. Sulawesi Barat Dalam Angka 2013. Biro Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


508 | Teknologi Pertanian
Drakel, Arman. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi
Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan Volume I
Oktober 2008.
Diwyanto, K. dan B. Haryanto. 1999. Pembangunan pertanian ramah lingkungan: Prospek
pengembangan ternak pola integrasi (Suatu konsep pemikiran dan bahan diskusi).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,Bogor.
Nitis, I.M. 1995. Research methodology for semiarid crop-animal systems in Indonesia. Crop-
Animal Interaction. In C. Devendra and C. Sevilla (Eds.). IRRI. Discussion Paper Series
No. 6. IRRI, Manila, Philippines
Padmowihardjo., 2002. Evaluasi Penyuluhan Pertanian. Materi Pokok LUTH 4430/2
SKS/Modul 1-6, Universitas Terbuka, Jakarta.
Suswono 2014a. Sektor Pertanian Akan Menjadi Bio Industri Sabtu, 25 Januari 2014 16:32
wib | Dani Jumadil Akhir – economy.Okezone.com.
Rifki A. N. 2011.respon Petani Terhadap Kegiatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SLPTT) di Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta
Yuzzsar, 2008. Kependudukan dan Kehidupan Keluarga http:// yuzzsar.wordpress.com/
materi-viii/. Diakses pada tanggal 21 Juni 2016.
Priyanto, D., A. Priyanti dan I. Inonu. 2004. Potensi dan Peluang Pola Integrasi Ternak
Kambing dan Perkebunan Kakao Rakyat. Pemda Lampung

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 509
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PERANAN DEMFARM VARIETAS UNGGUL BARU KEDELAI TERHADAP
PENINGKATAN PENGETAHUAN SIKAP DAN KETERAMPILAN PETANI DI
SULAWESI BARAT

Religius Heryanto*), Ketut Indrayana**)


*)
Penyuluh pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat
**) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat
Kompleks Perkantoran Gubernur Sulawesi Barat
Jln. Abdul Malik Pattana Endang, Mamuju
E-mail: religius.heryanto@yahoo.co.id; HP. 081241330346

ABSTRAK
Varietas merupakan salah satu komponen inovasi teknologi yang memegang peranan penting
dalam meningkatkan produksi. Penggunaan varietas unggul secara bersama-sama dengan
komponen teknologi budidaya lainnya akan memberikan hasil yang lebih tinggi. Kegiatan
Demfarm VUB Kedelai dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Lara, Kecamatan Karossa,
Kabupaten Mamuju Tengah pada areal seluas 5 ha yang bertujuan untuk mempecepat
penyebaran varietas unggul baru (VUB) kedelai dan mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan
keterampilan petani tentang budidaya kedelai melalui pendekatan PTT. Varietas unggul baru
yang ditanam adalah Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang, grobokan. Hasil kegiatan
menunjukkan bahwa produktivitas tertinggi varietas Argomulyo (2,3 ton/ha) menyusul
Anjasmoro (2,25 ton/h), Burangrang 2,17 (ton/ha) dan hasil terendah pada varietas Grobokan
(1,9 ton/ha) atau rata-rata hasil dari 4 varietas sebesar 2,16 t/ha. Rata-rata hasil tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil yang dicapai di kabupaten Mamuju (1,28 t/ha).
(Mamuju dalam Angka, 2013). (5,09 t/ha) atau provinsi Sulawesi Barat (5,12 t/ha). Hasil analisis
juga menunjukkan bahwa Perubahan perilaku petani PTT kedelai terhadap teknologi yang
dianjurkan, apabila teknologi tersebut memberikan manfaat sesuai tujuan yang diingin dicapai.
Perubahan perilaku petani PTT kedelai melalui proses belajar social terhadap teknologi yang
dianjurkan dapat dilakukan petani melalui penjaringan informasi inovasi teknologi bersifat
pembelajaran observasional. Sikap petani terhadap inovasi teknologi selalu berakitan dengan
kemapuan, kesesuaian terhadap kondisi lingkungan serta tujuan yang ingin dicapai. Untuk
memperoleh informasi seorang petani selalu mengadakan interaksi, komunikasi, dan belajar
social tentang suatu teknolgi yang dibutuhkan. Melakukan kegiatan bersama dalam kelompok
akan dapat memepengaruhi perubahan perilaku petani PTT kedelai, karena melalui kelompok
interaksi dapat terjalin, semakin cepatnya proses difusi, semakin meningkat kemampuan
anggota.
Kata Kunci: Varietas unggul, Kedelai, Pengelolaan Tanaman Terpadu, Pengetahuan, sikap,
keterampilan, Sulawesi Barat

PENDAHULUAN
Sasaran pembangunan pertanian saat ini diarahkan untuk meningkatkan
produktivitas hasil pertanian yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani
dan keluarganya. Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu tujuan
penyuluhan pertanian, yang ditegaskan dalam UU RI No.16 Tahun 2006 bahwa penyuluhan
juga ditujukan untuk memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan
kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi,
pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


510 | Teknologi Pertanian
serta fasilitasi. Pencapaian sasaran penyuluhan salah satunya dilakukan melalui
pengembangan dan diseminasi inovasi pertanian serta penumbuhan motivasi pada petani
menggunakan inovasi teknologi (Ruswendi dan Honorita B, 2011).
Dalam konteks transfer teknologi, Badan Litbang Pertanian telah menggunakan
berbagai media sebagai wahana promosi teknologi yang dihasilkan baik itu diseminasi hasil-
hasil litkaji kepada petani-peternak, pihak swasta dan pengguna lain perlu dilakukan melalui
media yang tepat dan secara berkelanjutan. Kegiatan diseminasi bukan sekedar
penyebarluasan informasi dan teknologi pertanian, tetapi petani diharapkan mampu
mengadopsi dan menerapkan hasil litkaji tersebut dalam usaha pertanian, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan BPTP akan
bermanfaat apabila dapat menjangkau dan diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan
(khalayak pengguna).
Varietas merupakan salah satu komponen inovasi teknologi yang memegang peranan
penting dalam meningkatkan produksi. Penggunaan varietas unggul secara bersama-sama
dengan komponen teknologi budidaya lainnya akan memberikan hasil guna meningkatkan
ketahanan dan kemandirian pangan nasional, serta peningkatan tingkat kesejahteraan
petani.
Melalui demfarm penggunaan VUB kedelai merupakan salah satu peluang untuk
meningkatkan produksi terutama dalam mendukung swasembada pangan. Untuk di Sulawesi
barat Kedelai umumnya dikembangkan di lahan sawah setelah panen padi. Potensi
pengembangan kedelai cukup tinggi dengan tersediaanya lahan sawah sekitar 63.567 ha
(BPS Provinsi Sulbar, 2012). Luas lahan sawah tersebut, terdiri atas luas lahan sawah tadah
hujan 29.683 ha, sawah irigasi teknis 12.838 ha, Sawah setengah teknis 7.423, Sawah irigasi
sederhana 3.029, Sawah irigasi sederhana 3.029 ha,sawah irigasi desa 10.305 ha, sawah
pasang surut 105 ha, dan sawah lebak 184 ha. Pada lahan sawah tadah hujan tersebut
umumnya ditanami padi satu kali, setelah itu ditanami palawija termasuk kedelai dan
jagung.
Di Sulawesi Barat, produktivitas kedelai baru mencapai 1,3 t/ha (BPS Sulbar, 2012),
sedangkan potensi hasil varietas yang berkembang berkisar 2,21–3,40 t/ha (Balitkabi, 2007).
Kesenjangan produktivitas dengan potensi hasil yang ada tersebut disebabkan oleh masih
rendahnya penerapan/inovasi teknologi dalam budidaya. Senjang hasil di tingkat petani
yang tinggi dengan potensi hasil tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain: 1) Penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan benih bersertifikat di
tingkat petani masih relatif rendah. Umumnya petani menggunakan varietas unggul, tetapi
kualitas benihnya telah turun (tidak bersertifikat), 2) Aplikasi pemupukan yang belum
rasional dan efisien. Penggunaan pupuk berimbang sesuai kebutuhan tanaman secara
umum belum diterapkan dengan baik. 3) Penggunaan pupuk organik untuk meningkatkan
kesuburan biologis lahan secara umum belum diterapkan.
Salah satu cara atau pendekatan untuk mengenalkan inovasi pertanian spesifik lokasi
secara partisipatif kepada masyarakat tani adalah melalui Demonstrasi Farming (Demfarm).
Demfarm merupakan salah satu metode penyampaian hasil-hasil penelitian dan pengkajian

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 511
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
kepada petani dan pengguna lainya melalui peragaan teknologi untuk mempercepat adopsi
teknologi sampai ke pengguna dengan pendekatan PTT. Melalui kegiatan Demfarm VUB
diharapkan terjadi perbaikan pemahaman petani dan kelompok tani mengenai pentingnya
penerapan inovasi teknologi dengan benar untuk meningkatkan produksi dan pendapatan
usahataninya. Demfarm yang dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Barat adalah Kedelai.
Selain penggunaan varietas, perubahan perilaku petani dan peningkatan adopsi
merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan budidaya tanaman. Dalam memahami suatu
inovasi adalah melalui proses perubahan perilaku, termasuk pengetahuan, sikap, dan
keterampilan petani terhadap suatu inovasi teknologi baru.
Melalui perubahan perilaku petani, inovasi teknologi tersebut menjadi sesuatu yang
berarti, bermanfaat dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. bentuk
keputusan berperilaku adalah merupakan tindakan individu untuk memaknai inovasi
teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan. Perilaku adalah semua tingkah laku manusia
yang hakekatnya mempunyai motif, yaitu meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

METODOLOGI
Kegiatan Demfarm VUB Kedelai dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Lara,
Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah pada areal seluas 5 ha. Kegiatan
berlangsung dari bulan Juni sampai Oktober 2014. Komponen teknologi PTT yang diterapkan
pada kegiatan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen teknologi PTT kedelai yang diterapkan


No. Komponen Teknologi Keterangan
1. Varietas Unggul Baru VUB Kedelai Balitkabi (Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang,
( VUB ) grobokan)
2. Benih bermutu dan berlabel Label ungu (Stock Seed) : 40 – 50 kg/ha
3. Pemberian bahan organik 2 ton/ha) pupuk organik diberikan sebagai penutup lubang
tanam benih.
4. Pengaturan populasi tanaman Jarak Tanam 40 x10 cm /40 x15 cm
secara optimum
5. Pemupukan Phonska: 200 kg/ha Urea : 100 kg/ha,
6. Pengolahan tanah Tanpa Olah Tanah (TOT)
8. Jumlah benih/lubang 1-2 biji/lubang
9. Pengairan secara efektif Fase Vegatatif (umur 15-21 hari), saat berbunga (25-35 hari,
dan efisien dan saat pengisian polong (umur 55-70 hari)
10. Penyiangan Secara manual/ kimia jika perlu (umur 35 HST)
11. Pengendalian OPT PHT (juknis),
12. Panen Tepat waktu pada saat mutu benih mecapai maaksimal,
ditandai 95% polong berwarna coklat dan daun pada
tanaman sudah rontok.

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan Petani Kooperator


dilakukan wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner selanjutnya ditabulasi
kemudian diolah secara deskriptif.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


512 | Teknologi Pertanian
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Pertumbuhan VUB Kedelai

Varietas unggul baru kedelai yang di introduksi melalui pendekatan PTT adalah
Varietas Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang, Grobokan. Benih yang digunakan adalah benih
yang bermutu tinggi bersertifikat kelas benih FS (foundation Seed), hasil perbenihan
Balitkabi Malang. Penanaman dilakukan pada saat musim hujan dengan keadaan tanah
berada pada kaspistas lapang. Berdasarkan kajian di lapangan menunjukkan bahwa keempat
varietas tersebut mengalami proses perkecambahan yang sangat cepat yaitu pada umur 4
hst. Pertumbuhan tanaman serempak, seragam, dan daya tumbuh /daya kecambah rata-rata
95%. Populasi tanaman optimum sehingga dapat memberikan hasil tinggi.
Pertumbuhan keempat varietas tersebut sangat baik. Pada saat tanaman berumur
14-21 hst setelah dilakukan pemupukan dasar Phonska pertumbuhan vegetatif tanaman
sangat cepat, bentuk tanaman tegak, batang kekar dan kuat. Menyusul pemupukan N yang
kedua pada umur 30 hst berdarkan bagan warna daun (BWD), keadaan ini mempercepat
proses pembugaan, daun berwarna hijau gelap, kanopi daun menutupi permukaan tanah
sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma. Hal ini disebabkan tanaman dilakukan
pemupukan berimbang. Pemupukan berimbang/spesifik lokasi yaitu pemberian pupuk teoat
takaran, tepat waktu, dan jenis pupuk yang diperlukan sesuai, maka pemupukan akan lebih
efisien, hasil tinggi pencemaran lingkungan dapat dihindari, kesuburan tanah dapat terjaga,
dan produksi kedelai lestari serat mengurangi pembelian pupuk.
Pengendalian OPT dilakukan dengan monitoring secara berkala. Hasil pengamatan
dilapangan hama utama yang menyerang tanaman kedelai adalah ulat daun (heliothis sp),
serangan cukup tinggi sehingga dianjurkan menggunakan insektsida. Selain itu muncul
serangan hama penghisap polong (Nezara Viridulla L), namun populasinya berada dibawah
ambng kendali. Untuk mengantisipasi lalat bibit dan semut, pada saat pemuukan dasar
pupuk dicampur karobufuran dengan dosis 5 kg/ha. Penampilan keragaan tanaman dan
produksinya pada kegiatan demonstrasi VUB kedelai disajikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Keragaan Agronomis teknologi PTT pada usaha tani kedelai desa lara, Kecamatan
Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah.
Tinggi Tanaman Umur Berbunga Umur Panen
Varietas Daya Tumbuh (%)
(cm) 95%(hari) (Hari)
Anjasmoro 95 110,6 40 90
Argomulyo 95 104,0 40 86
Burangrang 95 102,8 42 82
Grobokan 95 101,0 40 88
Jumlah 380 418,4 162 346
Rata-rata 95 104,6 40,5 86,5

Data yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa varietas Anjasmoro yang
memberikan pertumbuhan yang lebih baik menyusul Argomulyo, Burangrang dan terendah
pada Varietas Grobokan. Umur keluar bunga 95% terjadi pada umur 40-42 hari. Umur panen
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 513
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
ke empat varietas beragam berkisar 82-90 hari sehingga termasuk dalam kelompok umur
sedang (80-95 hari) (Badan Litbang pertanian,2007). Varietas Burangrang 82 Hari, sedangkan
Argomulyo 86 hari, grobokan 88 hari dan Anjasmoro 90 hari.
Komponen hasil tanaman dari empat varietas juga dapat dilihat pada Tabel 3, dimana
Hasil tertingi dicapai oleh varietas Argomulyo (2,3 ton/ha) menyusul Anjasmoro (2,25 ton/h),
Burangrang 2,17 (ton/ha) dan hasil terendah pada varieta Grobokan (1,9 ton/ha). Tingginya
hasil tersebut ditunjang oleh komponen hasil yang tinggi yaitu jumlah polong rata-rata
118,35, presentase polong hampa 5,89%, dan bobot 100 butir 10,72 gr. Beragamnya Hasil ini
disebabkan potensi genetik dari masing-masing varietas tersebut yang berbeda disamping
faktor lingkungan dan genetik.

Tabel 3. Keragaan Komponen hasil pada usaha tani kedelai Desa Lara, Kecamatan Karossa,
Kabupaten Mamuju Tengah
Presentase Polong Hasil pipilan
Varietas Jumlah Polong/tan hampa (%) Bobot 100 gr kering (t/h)
Anjamoro 129.0 6.02 11,20 2.25
Argomulyo 133.0 6.05 11.25 2.30
Burangrang 108.8 5.42 10.23 2.17
Grobokan 102.6 6.05 10.18 1.90
Jumlah 473.4 23.54 42.86 8.62
Rata-rata 118.35 5.89 10.72 2.16

Hasil tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh daerah ini yaitu
hanya rata-rata 1,28 t/ha (BPS Kab. Mamuju, 2013). Hal ini selain disebabkan karena
penggunaan benih atau varietas unggul bermutu dan berlabel, juga karena adanya
penggunaan pupuk anorganik dan organik yang didasarkan atas hasil analisis tanah,
pengaturan jarak tanam dan penerapan komponen teknologi PTT lainnya dalam budidaya
tanaman.
Penggunaan pupuk secara berimbang merupakan salah satu komponen pengelolaan
tanaman terpadu selain komponen lainnya. Menurut Las et al., (2002), pemakaian pupuk
kimia secara intensif, terutama pupuk N, P dan K serta penggunaan bahan organik yang
terabaikan dalam upaya pencapaian produksi yang tinggi merupakan salah satu pemicu
menurunnya produktivitas lahan. Pengembalian bahan organik ke dalam tanah sangat
penting karena selain dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah, juga merupakan
sumber hara bagi tanaman (Wihardjaka et al., 1999).
Menurut Adiningsih dan Rochayati (1988), penambahan bahan organik ke dalam
tanah dapat meningkatkan efisiensi pupuk karena perbaikan lingkungan tumbuh tanaman.
Hasil penelitian Arafah dan Sirappa (2003), Sirappa et al. (2002; 2003), Sirappa (2002); dan
Sirappa (2003) menunjukkan bawa penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan
pupuk anorganik memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman padi yang lebih tinggi
dibandingkan tanpa pemberian pupuk organik.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


514 | Teknologi Pertanian
Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Petani
Secara agronomis, pertumbuhan tanam kedelai menunjukan pertumbuhan yang baik.
Pengamatan perubahan perilaku petani PTT kedelai terhadap teknologi yang diterapkan
pada lahan kelompok maupun lahan petani. Teknologi budidaya kedelai kelompok tani ini
hanya mengenal dan mengetahui budidaya kedelai sacara konvensional/tradisional yakni
menanam kedelai dengan menggunakan benih yang dibeli dipasaran dan belum
bersertifikat. Variebel pengamatan perubahan perilaku yang dilakuakan adalah:
Tingkat Pengetahuan Petani
Tingkat pengetahuan petani di ukur sebelum dan selama kegiatan dengan
memeberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan manfaat masing-masing
komponen teknologi yang diterapkan.

Tabel 4. Perubahan pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya kedelai di Kelompok


Tani Makmur II, Desa Lara, Kecamatan Karossa, Kabupten Mamuju Tengah, Tahun
2014.
Sebelum Sesudah
N Komponen Teknologi Tidak Tidak
o Paham Paham
paham paham
1 Manfaat benih Unggul/bersertifikat 9 1 0 10
2 Manfaat tanpa olah tanah (TOT) 4 6 0 10
3 Manfaat perendaman dengan EM4 10 0 0 10
4 Manfaat benih 1-3 biji/lubang 8 2 0 10
5 manfaat pengaturan populasi tanam
9 1 1 9
secara optimum
6 Jenis-jenis pupuk 8 2 0 10
7 manfaat pemberian pupuk organik
10 0 1 9
pada saat tanam
8 Manfaat pemberian pupuk an-
4 6 0 10
organik yang benar
Manfaat sanitasi lingkungan dan
9 1 0 10
9 penyiangan
manfaat pengairan secara efektif dan
4 6 1 9
10 efisien
11 manfaat pengendalian OPT sejak dini 8 2 0 10
12 Manfaat panen tepat waktu 6 4 1 9
13 manfaat penangan pasca panen 8 2 1 9
Total 97 33 5 125
Presentase 74.62 25.38 3.85 96.15

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa melalui demfarm
VUB Kedelai pengetahuan atau pemahaman petani terhadap komponen teknologi budidaya
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 515
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
kedelai mengalami peningkatan. Sebelum dilaksanakan kegiatan Demfarm Kedelai sebagian
besar (74,64%) petani belum memahami komponen teknologi PTT kedelai. Sebagian kecil
(25,38%) yang telah mengetahui komponen teknologi PTT kedelai. Hal ini disebabkan karena
petani belum pernah melaksanakan budidaya kedelai dalam lahan yang khusus dan skala
besar, budidaya hanya dilakukan hanya skala kecil dan dilahan yang sempit.
Setelah dilaksanakan demfarm VUB kedelai bersama petani, terjadi perubahan
pengetahuan pemahaman sebesar (70,77%) dimana sebagian besar (96,15%) terutama
manfaat dari teknologi budidaya kedelai sedangkan hanya sebagian kecil saja (3,85%) yang
belum paham tentang komponen teknologi budidaya kedelai. Tidak pahamnya petani PTT
kedelai terhadap komponen teknologi yang diterapkan tersebut karena pada tahap
pelaksanaan, petani tidak langsung terlibat karena petani melakukan usaha diluar desa.
Peningkatan pemahaman/pengetahuan tentang teknologi budidaya kedelai terutama
komponen mengunakan EM4 pada perendam benih dan pengunaan pupuk organik
disebabkan petani kooperator memperoleh informasi langsung melalui kegiatan belajar yang
dilaksanakan pada lahan kelompok melalui pendampingan langsung dan tidak langsung dari
petugas. Pengetahuan tersbut diaplikasikan langsung pada lahan milik petani.
Sikap petani terhadap teknologi yang diterapkan
Sikap petani diukur setalah demonstrasi dilaksanakan , dengan memberikan
pertanyaan yang berkaitan dengan komponen teknologi yang diterapkan dalam kegiatan
demfarm VUB kedelai. Pada Tabel 5 menunjukan sikap petani terhadap komponen teknologi
budidaya kedelai terutama pelaksanaan teknologi setelah demonstrasi, menunjukan sikap
mau menerapkan komponen teknologi budidaya (66,67%).

Tabel 5. Perubahan sikap petani terhadap teknologi budidaya kedelai di Desa Lara,
Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, Tahun 2014.
Sikap
No Komponen Teknologi
tidak mau ragu mau
1 Menanam Benih Ungul secara Swadaya 0 9 1
2 Pengolahan tanan tanpa oleh tanah 0 0 10
3 Perendaman benih dengan EM4 0 0 10
4 Penggunaan benih 1-3 biji/lubang 0 0 10
5 Pemupukan dg pupuk organik pada saat tanam 0 6 4
6 Sanitasi Lingkungan dan peyiangan 0 6 4
7 Perlunya pengamtan tanaman 0 4 1
8 Pengendalian hama penyakit 0 0 10
9 Penangan panen dan pasca panen 0 0 10
Total - 25 60
Presentase - 27.78 66.67

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


516 | Teknologi Pertanian
Sikap positif petani disebabkan petani melihat kondisi tanaman tumbuh dengan baik
akibat dari digunakanya bibit tanaman unggul dan sesuai dengan lingkungan lahan, telah
dipupuk dengan menggunakan pupuk kandang serta pengendalian hama dan penyakit
secara baik. Sikap positif petani terhadap teknologi yang dianjurkan khusunya komponen
penyediaan benih unggul dan pemupukan dengan pupuk organik, sanitasi lingkungan dan
penyiangan, masih ragu-ragu untuk dilaksankan setelah kegiatan (27.78%). Adanya sikap
ragu-ragu disebabkan pelaksanaanya nanti, petani dihadapkan pada kurangnya ketersedian
modal. Untuk mengatasi kendala ini, disarankan kepada kelompok dalam rangka penguatan
modal melalui penguatan kelembagaan kelompok yang harus dilakukan bersama dalam
kelompok dengan menyisihkan dana hasil penjualan hasil kegiatan yang ada sebagai modal
kelompok yang dikelola bersama. melalui penguatan kelompok diharapkan dapat tercipta
keberlanjutan kegiatan kelompok.
Keterampilan petani terhadap teknologi yang diterapkan

Tingkat keterampilan petani diukur selama kegiatan dilaksanakan baik pada lahan
kelompok maupun lahan petani yang dikelola sendiri. Dimensi pengukuran peningkatan
keterampilan diukur bagaimana ketepatan bertindak dalam penerapan teknologi pada lahan
kelompok maupun pada lahan petani sendiri.

Tabel 6. Perubahan keterampilan petani terhadap teknologi budidaya kedelai di Desa Lara,
Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, Tahun 2014.
keterampilan
No Komponen Teknologi tidak cukup
terampil
terampil terampilan
1 Pengolahan tanah tanpa oleh tanah (TOT) 0 0 10
2 Perendaman benih dengan EM4 0 1 9
3 Penananman benih 1-3 biji/lubang 0 0 10
4 Pemupukan dg pupuk organik pada saat tanam 0 1 9
5 Melakukan Sanitasi Lingkungan dan peyiangan 0 0 10
6 Pengairan 0 0 10
7 Pengedalian hama dan penyakit 0 1 9
8 Panen 0 0 10
9 Pasca panen 0 0 10
Total - 3 87
Presentase - 3.33 96.67

Tabel 6 menunjukan bahwa keterampilan petani terhadap komponen teknologi


budidaya kedelai mengalami perubahan ditunjukan dengan kemampuan (keterampilan)
mengaplikasikan teknologi yang ada dilahan. Secara keseluruhan, petani terampil
melaksanakan komponen teknologi anjuran. Dari petani yang terampil tersebut , sebagian

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 517
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
besar (96,67%) petani telah terampil dalam melakukan komponen teknologi sedangkan
sebagian kecil (3,33%) cukup terampil. Dengan kata lain, setelah dilkukan kegiatan
pendampingan menunjukan sebagian besar dari teknologi yang dianjurkan untuk
dilaksanakan dalam kegiatan, hampir semua petani mampu melakukan teknologi tersebut.

KESIMPULAN
Teknologi PTT dengan komponen benih bermutu, varietas unggul baru (VUB
Anjamoro, Argomulyo, Burangrang, dan Gorbokan), Jarak tanam yang tepat/populasi
optimal, pemupukan berimbang, dan pengendalian hama terpadu memberikan hasil varietas
Argomulyo 2,30 t/ha, Anjasmoro 2,25 t/h, Burangrang 2,17 t/ha dan Grobokan 1,90 t/ha.
Atau rata-rata 2,16 t/ha.
Perubahan perilaku petani PTT kedelai terhadap teknologi yang dianjurkan, apabila
teknologi tersebut memberikan manfaat sesuai tujuan yang diingin dicapai. Perubahan
perilaku petani PTT kedelai melalui proses belajar sosial terhadap teknologi yang dianjurkan
dapat dilakukan petani melalui penjaringan informasi inovasi teknologi bersifat
pembelajaran observasional. Sikap petani terhadap inovasi teknologi selalu berakitan
dengan kemapuan, kesesuaian terhadap kondisi lingkungan serta tujuan yang ingin dicapai.
Untuk memperoleh informasi seorang petani selalu mengdakan interaksi, komunikasi, dan
belajar social tentang suatu teknolgi yang dibutuhkan. Melakukan kegiatan bersama dalam
kelompok akan dapat memepengaruhi perubahan perilaku petani PTT kedelai, karena
melalui kelompok interaksi dapat terjalin, semakin cepatnya proses difusi, semakin
meningkat kemampuan anggota.

DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri J. dan Sri Rochayati. 1988. Peranan Bahan Organik dalam Meningkatkan
Efisiensi Pupuk dan Produktivitas Tanah. Hal. 161-181. Dalam M. Sudjadi et al. (eds).
Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk. Puslittan. Bogor.
Arafah dan M. P. Sirappa. 2003. Introduksi Bahan Organik Jerami dalam Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah. Jurnal Agrovigor. Vol. 3 (3) : 204-
213. Jurusan Budidaya Pertanian, Fapertahut, Unhas, Makassar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007. Varietas unggul. Teknologi Unggulan
Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
BPS Provinsi Sulawesi Barat. 2012. Sulawesi Barat Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Mamuju.
BPS Kabupaten Mamuju. 2013. Kabupaten Mamuju Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Barat.
Las, I., A. K. Makarim, Husin M. Toha, dan A. Gani. 2002. Panduan Teknis Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


518 | Teknologi Pertanian
Ruswendi dan B. Honorita. 2011. Peningkatan Persepsi Petani dalam Penerapan PTT Padi
Sawah (Studi Kasus : Kelompok Tani Harapan Maju II Desa Rimbo Recap Kabupaten
Rejang Lebong). Makalah BPTP Bengkulu.
Sirappa, M. P. 2002. Tanggapan Tanaman Padi dan Kedelai terhadap Pemberian Pupuk
Organik yang Dikombinasi dengan Pupuk Anorganik pada Pola Tanam Padi-Kedelai di
Lahan Sawah Irigasi (Belum terbit).
Sirappa, M.P., M. Azis Bilang, Kasman, M.Djafar Baco, N. Sahibe, Muslimin, dan H. Tahir.
2003. Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu. PTT, SIPT, dan KUAT Sulawesi Selatan
(Kabupaten Bone). Hal. 436-486. Dalam Pros. Lokakarya Pelaksanaan Prohram P3T
Tahun 2002. Puslitbantan. Badan Litbang Pertanian
Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh Penggunaan Bahan Organik
terhadap Hasil Padi dan Emisi Gas Metan pada Padi Sawah. Risalah Seminar Hasil
Penelitian Emisi Gas dan Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah.
Puslitbangtan. Bogor.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 519
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
EVALUASI TERHADAP BEBERAPA INVIGORASI BENIH JAGUNG (ZEA MAYS L.)
YANG DISIMPAN

Ramlah Arief1), Fauziah Koes1), dan Galih Hidayat2)

Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

ABSTRAK
Invigorasi dapat pula disebut sebagai conditioning atau priming. Priming adalah salah satu
metode untuk mengatur jumlah air yang diimbibisi oleh benih, serta mengatur kecepatan
masuknnya air kedalam benih. Beberapa metode priming yaitu hydropriming atau lebih dikenal
dengan metode hydrasi-dehidrasi, osmoconditioning atau osmopriming, dan matriconditioning
yang juga merupakan solid matrix priming. Penggunaan larutan KH2PO4, ZnSO4, dan KNO3
meningkatkan metabolisme benih dan meningkatkan laju pertumbuhan kecambah dan jumlah
benih yang berkecambah dibandingkan dengan benih yang tidak diberi perlakuan priming
(kontrol).Invigorasi benih jagung dengan menggunakan bahan padatan abu gosok meningkatkan
vigor benih jagung lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan bahan abu jerami padi, serbuk
gergaji dan kontrol. Penggunaan teknik invigorasi benih jagung terutama dengan teknik
hydropriming untuk aplikasi di lapangan perlu memerhatikan kondisi cuaca, tekstur dan struktur
tanah; terbaik diaplikasikan pada benih yang akan ditanam pada lahan dengan kapasitas
memegang air rendah dan kondisi yang agak kering.
Kata kunci : vigor, benih, invigorasi, jagung, mutu

PENDAHULUAN
Upaya peningkatan produktivitas jagung membutuhkan benih unggul bermutu.
Deteriorasi benih selama penyimpanan adalah hal yang menyebabkan penurunan daya
tumbuh dan vigor benih. Penelitian yang dilakukan oleh Arief dan Saenong (2006),
menunjukkan bahwa pertumbuhan awal tanaman yang lambat serta hasil yang rendah
disebabkan oleh penggunaan benih yang sudah mengalami penurunan mutu meskipun dari
hasil pengujian awal di laboratorium daya berkecambahnya masih relatif tinggi. Penurunan
mutu dapat disebabkan oleh lamanya penyimpanan, suhu dan kelembaban ruang simpan
serta kadar air awal benih yang disimpan. Semakin lama benih disimpan maka kemungkinan
penurunan mutunya akan semakin besar. Hasil penelitian Arief dan Saenong (2006)
menunjukkan bahwa penggunaan benih jagung dengan umur simpan 18 bulan pada suhu
kamar dapat menurunkan hasil 34% dibandingkan dengan penggunaan benih baru. Pada
benih yang demikian perlu diberikan perlakuan sebelum tanam agar dapat meningkatkan
vigor benih atau disebut invigorasi (Sadjad dalam Widajati 1999 ; Syaiful,1995). Sallam
(1999) mengemukakan bahwa perlakuan benih sebelum tanam dengan garam-garam
anorganik selain meningkatkan daya berkecambah benih juga memicu pertumbuhan awal
kecambah yang lebih cepat, meningkatkan proses metabolisme dan meningkatkan
produktivitas tanaman.
Dalam tulisan ini akan diuraikan evaluasi terhadap beberapa cara invigorasi vigor
benih jagung yang disimpan dan pengaruhnya terhadap viabilitas dan vigor benih.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


520 | Teknologi Pertanian
Beberapa Cara Meningkatkan Vigor Benih/Invigorasi
Invigorasi dapat pula disebut sebagai conditioning atau priming. Priming adalah salah
satu metode untuk mengatur jumlah air yang diimbibisi oleh benih, serta mengatur
kecepatan masuknya air kedalam benih (Muray dan Wilson, 1978). Beberapa metode
priming yaitu hydropriming atau lebih dikenal dengan metode hydrasi-dehidrasi,
osmoconditioning atau osmopriming, dan matriconditioning yang juga merupakan solid
matrix priming. Hydropriming adalah conditioning benih dengan menggunakan air,
osmoconditioning adalah conditioning benih menggunakan larutan osmotic, sedang
matriconditioning menggunakan bahan padat yang dilembabkan.
Pemakaian media padatan yang dilembabkan untuk conditioning benih sebelum
ditanam lebih menguntungkan dan lebih menarik (Syaiful,1995). Abu gosok, serbuk gergaji
dan jerami padi merupakan bahan-bahan yang diduga memiliki sifat-sifat yang dapat
digunakan sebagai media untuk matriconditioning. Shalahuddin dan Ilyas (1994)
membandingkan efektifitas antara osmoconditioning yaitu penggunaan larutan osmotik
Polyetilen Glykol (PEG) 6000 dan matriconditioning dengan serbuk gergaji. Hasilnya
menunjukkan bahawa penggunaan PEG 6000 dan serbuk gergaji mampu memperbaiki
perkecambahan sedangkan penggunaan matriconditioning serbuk gergaji lebih efektif
dibandingkan dengan osmoconditioning dengan PEG 6000 pada tolok ukur daya
berkecambah dan keserempakan tumbuh. Demikian juga penelitian yang dilakukan Basra et
al. (2003) menunjukkan bahwa priming dapat menaikkan daya berkecambah dari 70,33%
(control) menjadi 100% (hydropriming dan matriconditioning gunny bags 24 jam).
Invigorasi Benih Jagung dengan Teknik Hydropriming
Teknik invigorasi benih dengan hydropriming telah banyak diteliti. Demir dan Venter
(1999) mengemukaan bahwa priming benih jagung dengan menggunakan air, larutan
KH2PO4, ZnSO4, dan KNO3 meningkatkan metabolisme benih dan meningkatkan laju
pertumbuhan kecambah dan jumlah benih yang berkecambah dibandingkan dengan benih
yang tidak diberi perlakuan priming (kontrol). Hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh
toksik akibat akumulasi ion-ion tersebut di dalam embrio benih. Harris et al (1999)
menunjukkan bahwa teknik hydropriming meningkatkan perkecambahan dan vigor awal
benih padi, jagung buncis yang pada akhirnya mempercepat perkembangan tanaman,
proses pembungaan dan akhirnya meningkatkan hasil biji. Lebih lanjut Harris et al. (1999),
mengemukakan bahwa selain terjadinya perbaikan pertumbuhan dan vigor tanaman juga
meningkatkan ketahanan terhadap cekaman air, menurunkan tingkat kerusakan akibat
serangan hama dan meningkatkan hasil biji. Perlakuan priming pada benih ditujukan untuk
meningkatkan perkecambahan benih juga meningkatkan ketahanan terhadap cekaman
biotik dan abiotik. Priming juga dapat dilakukan terhadap benih-benih plasma nutfah yang
akan dikonservasi. Penerapan teknik priming berbeda untuk setiap jenis benih bergantung
pada spesies tanaman, morfologi dan fisiologi tanaman, yang biasa disebut sebagai
metabolisme praperkecambahan. Proses fisiologis ini berlangsung pada tahap awal imbibisi
benih dan mencakup respons perbaikan metabolisme benih seperti aktivasi rantai DNA dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 521
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
mekanisme antioksidan, untuk memertahankan integritas genom dan terjadinya
perkecambahan dan pertumbuhan kecambah.
Hasil penelitian Bobak et al. (2015) menunjukkan bahwa pemberian fitohormon
dan penerapan 0,5% KNO3 selama 8 jam dan 2,5% selama 24 jam memberikan pengaruh
positif terhadap perkecambahan benih jagung. Invigorasi benih jagung dengan teknik
hydropriming dengan menggunakan air lebih baik digunakan pada lahan-lahan dengan
kapasitas menahan air yang rendah, dan dilaksanakan pada penanaman di musim kemarau,
sehingga membantu proses pertumbuhan awal kecambah.
Invigorasi Benih Jagung dengan Teknik Matriconditioning
Matriconditioning yaitu priming dengan cara menempatkan benih pada media
padatan yang telah dilembabkan (Khan et al.,1992). Penelitian yang dilakukan oleh Studi
Ptaznik dan Khan (1993) pada benih buncis menunjukkan bahawa benih yang mendapat
perlakuan matriconditioning memiliki daya hantar listrik terendah dibandingkan dengan
benih yang tidak mendapat perlakuan matriconditioning.
Matriconditioning yaitu perlakuan benih dengan menggunakan bahan padat yang
dilembabkan. Bahan matriconditioning yang umum digunakan pada penelitian-penelitian
sebelumnya adalah menggunakan vermiculite dan Micro-Cel E. Bahan-bahan ini sangat baik
digunakan dalam conditioning benih namun harganya mahal, oleh karena itu digunakanlah
bahan-bahan yang mudah dan murah didapat misalanya serbuk gergaji, abu gosok dan
bahan-bahan padat lainnya yang hampir menyerupai bahan-bahan yang digunakan untuk
matriconditioning (Shalahuddin dan Ilyas,1994; Syaiful,1995). Afzal, et al (2002),
menerapkan matriconditioning pada benih jagung hibrida menggunakan compost, press mud
atau gunny bags yang lebih murah harganya dan lebih mudah didapakkan di negaranya
dibandingkan dengan calcined clay dan Micro Cell-E dengan perbandingan
benih:carrier:aquades 500:1000:350 (dalam gram) dan disimpan dalam wadah plastik
tertutup pada ruang dingin selama 24 jam. Maqsood, et al (2003) menggunakan metode
yang sama dengan membandingkan lamanya conditioning diperoleh bahwa conditioning
selama 24 jam adalah yang terbaik.
Hasil penelitian Arief et al (2016) menunjukkan bahwa penggunaan bahan
matriconditioning abu gosok rata-rata menghasilkan vigor dan viabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan penggunaan bahan abu jerami padi dan serbuk gergaji (Gambar 1,2).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


522 | Teknologi Pertanian
Gambar1. Pengaruh penggunan serbuk gergaji, abu gosok, jerami padi sebagai bahan
matriconditioning terhadap daya berkecambah benih Jagung (Arief et al, 2016)

Gambar2. Pengaruh penggunan serbuk gergaji, abu gosok, jerami padi

Sebagai bahan matriconditioning terhadap keserempakan tumbuh benih Jagung


(Arief et al, 2016)

KESIMPULAN
Invigorasi, salah satu metode untuk mengatur jumlah air yang diimbibisi oleh benih,
serta mengatur kecepatan masuknya air kedalam benih, dengan tujuan untuk meningkatkan
vigor benih. Beberapa cara invigorasi benih yaitu dengan metode hydropriming/hydrasi-
dehidrasi, osmoconditioning atau osmopriming, dan matriconditioning/solid matrix priming.
Invigorasi benih jagung dengan menggunakan air, larutan KH2PO4, ZnSO4, dan KNO3
meningkatkan metabolisme benih dan meningkatkan laju pertumbuhan kecambah dan
jumlah benih yang berkecambah dibandingkan dengan benih yang tidak diberi perlakuan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 523
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
priming (kontrol).Invigorasi benih jagung dengan menggunakan bahan padatan abu gosok
meningkatkan vigor benih jagung lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan bahan abu
jerami padi, serbuk gergaji dan kontrol.
Penggunaan teknik invigorasi benih jagung terutama dengan teknik hydropriming
untuk aplikasi di lapangan perlu memerhatikan kondisi cuaca, tekstur dan struktur tanah;
terbaik diaplikasikan pada benih yang akan ditanam pada lahan dengan kapasitas memegang
air rendah dan kondisi yang agak kering.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, R. dan S. Saenong. 2006. Arief, R. dan S. Saenong. 2006. Ukuran biji dan periode
simpan benih jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 25. Nomor 1
Arief, R , Fauziah Koes, dan O. Komalasari. 2016. Pengaruh Hydroriming pada benih
jagung di lahan Podzolik merah kuning, Balai Penelitian Tanaman Serealia,
Maros (Laporan hasil penelitian).
Basra A,S, Ullah E, Warraich EA, Cheema MA dan Afzal I. 2003. Effect of storage on growth
and yield of primed canola (Brassica napus) seeds. International J. Food Agric. Biol. 2:
117–120
Bobak S.A, N, K, Parviz dan W. M. Ansari. 2015. An assessment of the effects of seed
ageing, application of phytohormone and KNO3 on aged corn seed. African Journal
of Agronomy ISSN: 2375-1185 Vol. 3 (2), pp. 235-243, April, 2015. Available online at
www.internationalscholarsjournals.org © International Scholars Journals.
Demir, I. Dan Van De Venter, HA. 1999. the effect of priming treatments on the
performance of watermelon (Citrullus lanatus) seeds under temperature and osmotic stress.
SeedSci. Technol.27:871 –875.
Harris ,D. Joshi A, Khan PA, Gothakar P, Sodhi PS. 1999. On-farm seed priming in semi-arid
agriculture: Development and evaluation in corn, rice and Chickpea in India using
participatory method. Experimental Agriculture. 35: 15-29.
Sallam, H.A. 1999. Effect of some seed-soaking treatments on growth and chemical
components on faba bean plants under saline conditions. Ann. Agr. Sci. 44: 159 –
171.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


524 | Teknologi Pertanian
PENGELOLAAN DAN TEKNOLOGI BENIH JAGUNG

Ramlah Arief, Fauziah Koes, Dan Oom Komalasari

Balai Penelitian Tanaman Serealia


Jl. Dr. Ratulangi 274, Maros, Sulawesi Selatan

ABSTRAK
Pengelolaan benih merupakan bagian yang penting dalam penyediaan benih jagung unggul
bermutu. Pengelolaan benih mengacu pada subsistem produksi; memberi peluang untuk
mempercepat penurunan mutu benih, seperti penentuan saat panen yang tidak tepat,
pengeringan tongkol yang tertunda, pengepakan dalam wadah tidak sesuai, penyimpanan yang
tidak memerhatikan kondisi suhu dan kelembaban dan sanitasi ruang simpan. Kegiatan-
kegiatan pengelolaan benih dimulai dari sumber dan kegiatan teknologi produksi benih mulai
dari penentuan waktu panen, cara panen, pengeringan tongkol, sortasi, pemipilan, pengeringan
biji, pengepakan, penyimpanan, distribusi dan pemasaran. Olehnya diperlukan penanganan
pasca panen terpadu mulai dari prapanen, prosesing, hingga distribusi dan pemasarannya
hingga sampai ke pengguna dalam mutu yang prima.
Kata kunci : benih, jagung, pengelolaan, mutu

PENDAHULUAN
Keberhasilan peningkatan produksi dan produktivitas jagung memerlukan
penanganan terpadu mulai dari proses produksi hingga panen dan pasca panen benih agar
dapat memenuhi kebutuhan jagung nasional yang terus meningkat. Dengan suplai benih
unggul bermutu, ditinjau dari aspek fisik, fisiologis, genetik, diharapkan potensi hasil yang
ada dalam setiap varietas jagung yang telah dilepas oleh Badan Penelitian dan
Pengmebangan Pertanian maupun perusahaan benih swasta, dapat terealisasi melalui
peningkatan produktivitasnya.
Produksi benih jagung di Indonesia terbanyak dilakukan oleh perusahaan swasta
multinasional. Selain itu pada beberapa wilayah produsen benih, produksi benih jagung juga
dilakukan oleh penangkar benih lokal yang bekerja sama dengan perusahaan benih swasta.
Dalam hal ini pengeringan tongkol dan pemipilan tetap oleh penangkar lokal namun
penanganan benih selanjutnya seperti sortasi dan pengeringan benih dilakukan oleh
perusahaan swasta. Mengingat mutu benih benih yang dihasilkan merupakan hasil dari
setiap tahapan pasca panen, maka penanganan pasca panen benih jagung hibrida yang
dilakukan oleh penangkar lokal seharusnya tetap memerhatikan aspek yang berpengaruh
terhadap penurunan mutu benih dalam setiap tahapan pasca panen.
Penanganan pasca panen tidak menimbulkan masalah yang krusial jika saat
menjelang dan saat panen jatuh pada musim panas. Namun, jika panen dilakukan pada
musim hujan maka masalah pengeringan merupakan faktor kunci yang dapat mempercepat
penurunan mutu. Oleh karena itu penentuan waktu tanam dalam proses produksi benih
perlu disesuaikan dengan kondisi musim maupun potensi peluang hujan saat panen,
terutama bagi perusahaan swasta yang melakukan kerja sama dengan penangkar benih lokal
dengan tujuan agar benih yang dihasilkan tetap mempunyai mutu fisiologis yang tinggi.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 525
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Waktu Panen
Pada saat tanaman mencapai masak fisiologi, maka benih sebenarnya telah mencapai
bobot kering maksimum, dan dapat dipanen. Namun pada saat ini kadar air benih masih
cukup tinggi. Membiarkan tanaman tetap di lapangan pada saat ini cukup baik, terutama
saat musim panas, karena akan mempercepat proses pengeringan, sehingga tongkol menjadi
lebih cepat kering. Pada kondisi menjelang panen, pemotongan daun bendera dan bagian
atas tongkol tanaman dilakukan dengan tujuan agar transpor asimilat lebih fokus ke bagian
biji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panen pada saat masak fisiologis dan penundaan
panen beberapa hari setelah masak fisiologis berpengaruh terhadap mutu.
Penelitian yang dilakukan di desa Tibojong kabupaten Bone Sulawesi Selatan
menunjukkan bahwa pada saat panen (masak fisiologi) kadar air benih masih cukup tinggi,
yaitu dapat mencapai 44,8%. Karena itu panen harus ditunda beberapa hari agar kadar air
dapat berkurang, sehingga panenan dapat dilakukan dengan mudah dan lebih
menguntungkan ditinjau dari segi biaya pengeringan. Panen pada kadar air yang masih
tinggi kalau tidak segera dikeringkan dapat merusak biji, baik dari segi kerusakan fisik,
mekanis ataupun fisiologis yang kesemuanya dapat berakibat pada penurunan vigor benih
sebelum benih siap untuk disimpan. Penundaan panen sampai 20 hari sesudah masak
fisiologi dengan interval panen setiap 5 hari dapat menurunkan kadar air biji, sehingga
pada penundaan 20 hari sesudah masak fisiologi, kadar air benih telah menurun menjadi
16,5% (Tabel 1).

Tabel 1. Kadar air biji dan penurunan kadar air biji pada berbagai penundaan panen.
Periode penundaan Kadar air benih (%) Daya berkecambah (%) Daya hantar listrik
Panen (hari) (umhos/g/cm2)
Saat masak fisiologi 44,8 94,7 2,08
Ditunda 5 hari 44,2 98,0 2,06
Ditunda 10 hari 34,4 99,3 2,07
Ditunda 15 hari 33,4 98,7 4,09
Ditunda 20 hari 16,5 99,3 4,60
Sumber: Arief et al., 1999

Ditinjau dari segi daya berkecambah benih tidak diperoleh perbedaan daya
berkecambah yang nyata dari masak fisiologi hingga penundaan panen sampai pada 20 hari.
Namun demikian, salah satu parameter vigor (daya hantar listrik) yang dapat
mencerminkan tingkat kerusakan membran telah meningkat dua kali lipat pada penundaan
15 sampai 20 hari sehingga ketahanan simpan benih diperkirakan dapat lebih cepat
menurun (Tabel 5). Lama penundaan ditentukan oleh kondisi kelembaban udara di lapang
(curah hujan). Pada kondisi cerah dan tidak ada hujan, penundaan panen dapat dilakukan
sampai kadar air biji mencapai 16-18%.
Sekitar 60-65% pertanaman jagung ditanam pada lahan kering pada musim hujan
sehingga jagung yang dipanen pada saat masih banyak hujan, karena itu masalah
pengeringan menjadi penting. Karena itu diperlukan alat pengering karena pada saat
tersebut sinar matahari tidak mampu mengeringkan benih secara cepat. Luas pertanaman

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


526 | Teknologi Pertanian
jagung di lahan sawah mencapai 35-40% dari total pertanaman jagung yang ada dan sekitar
10-15% diantaranya ditanam di lahan sawah irigasi yang ditanam pada awal musim kemarau
(Kasryno, 2002). Dengan demikian, kebutuhan benih terbanyak adalah pada musim hujan
(periode Nopember-Desember).
Walaupun pertanaman jagung dilahan sawah (periode April-September) tidak seluas
pertanaman pada lahan kering di musim hujan, namun sebagian penangkar benih di
pedesaan kadang-kadang mengalami kesulitan untuk memasok benih tepat waktu dengan
kualitas yang baik karena tidak memiliki fasilitas pengering.
Pengeringan
Setelah panen, aerasi dan/atau pengeringan perlu segera dilakukan. Aerasi dapat
mengurangi akumulasi suhu di sekitar benih baik panas dari lapang atau dari hasil respirasi.
Aerasi juga dapat menurunkan kadar air benih. Kadar air yang tinggi dalam benih mendorong
respirasi dan menstimulasi pertumbuhan mikroorganisme (terutama cendawan) yang
mendorong kerusakan benih. Selang waktu antara panen dan pengeringan sangat
berpengaruh terhadap mutu benih terutama daya simpannya. Sebelum benih dikeringkan
biasanya petani membiarkannya dahulu beberapa waktu yang dikenal dengan istilah
penyimpanan sementara (bulk storage), apalagi kalau pengeringan hanya mengandalkan
sinar matahari. Semakin tinggi kadar air benih saat panen, semakin singkat selang waktu
penyimpanan sementara yang dapat ditoleransikan, demikian pula, semakin tinggi suhu
ruang simpan sementara, semakin singkat selang waktu yang dapat ditoleransikan (Tabel 2).

Tabel 2. Lama Penyimpanan Sementara (hari) Benih Jagung yang dapat ditoleransi untuk
mempertahankan Mutu Benih pada Beberapa Tingkat Kadar Air dan Suhu.
Suhu simpan (oC) Lama Penyimpanan (Hari)
k.a. 15% k.a. 20% k.a. 25% k.a. 30%
24 116 12 4 3
21 155 16 6 4
18 207 22 8 5
16 259 27 10 6
13 337 35 12 8
10 466 48 12 10
Sumber : Delouche (1990)

Pengaturan suhu udara dalam alat pengering benih benih perlu diperhatikan. Benih
jagung yang berkadar air awal sekitar 18% yang dikeringkan pada alat pengering tipe flat (flat
bed driyer dari Balitsereal) pada suhu rata-rata 45oC dan 50oC secara kontinue ataupun
tempering 1 jam pada bagian kanan dan kiri bak pengering masih menunjukkan daya
berkecambah yang tinggi (95,3 –99,3%) pada periode simpan 8 bulan(Tabel 8). Namun
demikian, jumlah biji pecah pada suhu pengeringan 50 oC, baik yang letak pengeringan di
bagian kanan, kiri ataupun di bagian belakang alat pengering yang mencapai kisaran 5,3
sampai 14,27%, di lain pihak kisaran biji retak pada suhu pengeringan 45 oC hanya 4,23
sampai 11,36%. Pengeringan pada suhu 50 oC bisa digunakan apabila dilakukan tempering

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 527
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
aetiap satu atau dua jam kareana dengan cara tersebut tingkat biji pecah dapat ditekan
hingga mencapai 4,3 sampai 11,2% tergantung letak tongkol dalam alat pengering tersebut.

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Pengeringan terhadap Persentase Daya Berkecambah (%),


Daya Hantar Listrik (mhos/g/cm2) dan Kadar Air Benih Sesudah Dikeringkan (%).
Perlakuan Pengeringan Daya Berkecambah (%) DHL Kadar air (%)
(0 bln) (8 bln) (O bln) (0 bln)
Suhu 45oC
Kontinyu, kanan 100,0c 99,3d 13,3de 9,2
Kontinyu, kiri 97,3bc 99,3d 12,3a 6,3
Kontinyu, belakang 100,0c 76,7c 26,0be 6,4
Suhu 50oC
Kontinyu, kanan 99,33c 98,67d 20,19ab 8,15
Kontinyu, kiri 99,33c 98,00d 13,01a 7,22
Kontinyu, belakang 87,33b 54,00ab 24,49bc 6,23
Tempering 1 jam, kanan 98,7c 98,0d 15,2a 9,8
Tempering 1 jam, kiri 100,0c 95,3d 14,7a 10,8
Tempering 1 jam, belakang 90,7bc 50,7ab 24,0bc 9,6
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata dengan Uji Duncan pada taraf 5%
Tempering : Pemutusan waktu pengeringan untuk aerasi
Sumber: Arief et al. (2001)

Dalam pengeringan benih, faktor suhu sangat perlu diperhatikan. Tingkat suhu perlu
disesuaikan dengan tingkat kadar air benih yang sedang dikeringkan. Apabila kadar air
benih diatas 18%, maka suhu maksimum adalah 32 oC. Setelah kadar air turun menjadi 10 –
18%, suhu baru dapat dinaikkan hingga 38 oC. Apabila kadar air sudah dibawah 10%, maka
suhu pengeringan dapat dinaikkan hingga 43 oC. Dengan demikian, pengatur suhu alat
pengering harus berfungsi dengan baik. apabila benih dengan kadar air yang masih tinggi
langsung dikeringkan dengan suhu sekitar 40 oC, enzimnya akan terkoagulasi (menggumpal),
menghilangkan viabilitas benih. Pengeringan benih yang disertai dengan aerasi, lebih baik
daripada yang tanpa aerasi (Delouche, 1973).

PENGOLAHAN DAN SORTASI


Pengolahan benih jagung mencakup pemipilan, pembersihan dari kotoran fisik,
sortasi berdasarkan ukuran Beratnya benih (Size Grading), sortasi berdasarkan bobot
(density grading), perlakuan dengan bahan kimia tertentu sebelum pengemasan (misalnya
pemberian senyawa Methalaxyl pada benih) serta cara, jenis dan ukuran kemasan, perlu
mendapat perhatian.
Benih jagung adalah benih dominan karbohidrat (75 %) dan sebagian besar pati
disimpan dalam endosperm, dengan kadar protein (11 %) dan lemak sekitar 5 % (Copeland
dan Mc Donald, 1985). Komposisi kimia di beberapa bagian benih jagung dapat dilihat pada
Tabel 4. Benih jagung pada umumnya lebih tahan simpan daripada benih kacang-kacangan
karena kandungan protein dan lemaknya relatif lebih rendah. Tetapi benih jagung kurang
tahan simpan dibanding benih padi karena selain memiliki kulit biji yang lebih keras (lemma
dan palea), benih padi mengandung protein albumin hanya 5 %. Protein benih jagung terdiri

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


528 | Teknologi Pertanian
dari 25 % albumin, 39 % protein glutelin, 24 % prolamin, dan tidak mengandung jenis
globulin. Sebagian besar dari enzim yang berperan pada proses metabolisme disintesis dari
protein albumin (Copeland dan McDonald, 1985). Kandungan asam lemak tidak jenuh pada
benih jagung juga cukup tinggi, yaitu terdiri dari 6 % asam palmitat, 2 % stearat, 44,0 % asam
oleat, dan 48 % asam linoleat. Kedua asam lemak tidak jenuh (oleat dan linoleat) ini mudah
teroksidasi baik secara spontan ataupun enzimatis yang dapat menurunkan viabilitas benih.

Tabel 4. Komposisi Kimia pada Beberapa Bagian Benih Jagung

Komposisi kimia Benih utuh Endosperm Embrio Kulit biji


Pati (%) 74,0 87,8 9,0 7,0
Gula (%) 1,8 0,8 10,4 0,5
Lemak (%) 3,9 0,8 31,1 1,2
Protein (%) 8,2 7,2 18,9 3,8
Sumber : Copeland dan McDonald (1985)

PENYIMPANAN
Kunci keberhasilan penyimpanan benih ortodoks seperti jagung terletak pada
pengaturan kadar air dan temperatur ruang simpan. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian yang dikemukakan oleh Harrington (1972) dan Delouche (1990) bahwa ketahanan
simpan benih dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kadar air benih dan suhu ruang
simpan. Namun demikian, suhu hanya berperan nyata pada kondisi kadar air dimana sel-sel
pada benih memiliki air aktif (water activity) yang memungkinkan proses metabolisme
dapat berjalan. Proses metabolisme meningkat dengan meningkatnya kadar air benih, dan
dipercepat dengan meningkatnya suhu ruang simpan. Peningkatan metabolisme benih
menyebabkan kemunduran benih lebih cepat (Justice dan Bass, 1979). Kaidah umum yang
berlaku dalam penyimpanan benih menurut Matthes et al. (1969) adalah untuk setiap 1%
penurunan kadar air, daya simpan dapat 2 kali lebih lama. Kaidah ini berlaku pada kisaran
kadar air 5 – 14%, serta suhu ruang simpan tidak melebihi dari 40oC.
Secara praktis apakah benih akan disimpan pada suhu kamar (28 oC), atau ruang sejuk
o
(12 C) sangat tergantung berapa lama benih akan disimpan dan tingkat kadar air benih yang
akan disimpan. Apabila daya berkecambah benih dipertahankan di atas 80% (sesuai standar
daya berkecambah benih), maka kadar air 12% (dapat dilaksanakan hanya dengan sinar
matahari pada musim kemarau) daya berkecambah benih masih dapat dipertahankan
sampai 10 bulan pada suhu kamar (28oC). Kalau kadar air benih dapat diturunkan hingga
mencapai kadar air 10%, daya berkecambah benih dapat dipertahankan lebih lama lagi yaitu
sampai 14 bulan dan pada kadar air 8% dapat dipertahankan lebih dari 14 bulan. Daya
berkecambah pada 14 bulan masih tinggi (89,34%), dilain pihak pada kadar air yang tinggi
(14%) benih hanya tahan disimpan selama delapan bulan, dan pada kadar air 16% tahan
hanya sampai empat bulan. Pada penyimpanan suhu sejuk (12 oC), daya berkecambah benih
masih di atas 80% pada kadar air 16% dan dapat bertahan selama enam bulan, apabila kadar
air diturunkan menjadi 14% benih akan bertahan sampai 12 bulan dan pada kadar air 8 –
12% dapat bertahan sampai 18 bulan (Gambar 1 dan 2).
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 529
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 1. Daya berkecambah benih jagung pada berbagai tingkat kadar air dan periode
simpan pada suhu sejuk (12oC). Saenong et al. (1998)

Penyimpanan benih sangat tergantung dari kadar air awal dan suhu ruang simpan.
Benih jagung jika disimpan pada kadar air<10% pada suhu ruang simpan 28 oC daya
berkecambah masih diatas 80% sampai pada penyimpanan 16 bulan, akan tetapi jika kadar
air dinaikkan menjadi 12% daya berkecambah benih pada penyimpanan 16 bulan hanya
sekitar 60%, pada kadar air 14% daya berkecambahnya hanya 40%, bahkan pada kadar 16%
sudah tidak berkecambah pada penyimpanan 6 bulan (Gambar 1).

Gambar 2. Daya bekecambah benih jagung pada berbagai tingkat kadar air dan periode
simpan pada suhu udara rata-rata 28oC. Saenong et al. (1998)

Benih akan mencapai keseimbangan kadar air dengan kelembaban relatif (RH) di
sekitarnya. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar air keseimbangan benih jagung
sangat dipengaruhi oleh kondisi RH lingkungannya. Pada benih jagung proses absorbsi
(penyerapan) lebih cepat dibanding dengan proses desorbsi (pelepasan) uap air dari benih.
Pada musim hujan kelembaban udara dapat mencapai 96%, sehingga benih yang disimpan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


530 | Teknologi Pertanian
pada kondisi simpan terbuka (tidak kedap) akan cepat rusak karena kadar air benih dapat
mencapai 21%, sehingga diperlukan alat penyedot udara (Dehurmidifier) agar keseimbangan
kadar air benih dapat menurun. Namun demikian, di pedesaan dengan fasilitas penyimpanan
yang masih serba terbatas, para petani yang menyimpan benih untuk kebutuhan
usahataninya lebih disarankan menggunakan kemasan kedap, antara lain jerigen plastik.
Dengan menggunakan alat tersebut, kadar air benih relatif stabil (+ 11%) sampai pada
periode simpan 8 bulan (Arief et al., 2001). Daya hantar listrik air rendaman benih
merupakan salah satu tolok ukur dalam mengukur tingkat kerusakan membran sel. Hasil
penelitian Powell dan Matthews (1981) menunjukkan bahwa indikasi kemunduran benih
yang paling dini adalah rusaknya fosfolifid yang terdapat dalam komponen membran.
Kemudian Priestley dan Leopold (1979) juga mengatakan bahwa penyebab yang paling dini
atas kerusakan benih adalah terjadinya kerusakan membran. Oleh karena itu daya hantar
listrik meningkat dengan meningkatnya kerusakan membran.
Benih jagung, sorgum dan gandum adalah benih dengan dominant karbohidrat (70-
75%), protein 11-12%, dan lemak 5-9% (Bewley dan Black, 1976). Komponen karbohidrat
dan protein cukup higroskopis, sehingga apabila benih disimpan pada kondisi simpan
terbuka (tidak kedap udara), maka kadar air biji akan selalu berkeseimbangan dengan
kelembaban relatif (RH) di sekitarnya. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa kadar air benih akan
meningkat seiring dengan meningkatnya kelembaban relatif udara di sekitarnya. Karena itu
kiat penyimpanan benih untuk wilayah tropis basah adalah penyimpanan kedap udara
(jerigen plastik) untuk penyimpanan skala rumah tangga, dan polibag densitas minimal
0,9mm untuk tujuan komersial, lalu disimpan pada silo kayu ataupun silo plastik yang relatif
kedap udara agar kadar air benih tidak terlalu dipengaruhi oleh lingkungan simpannya.

Tabel 5. Kadar air keseimbangan beberapa jenis benih pada beberapa taraf kelembaban
udara, pada suhu 25oC.
Spesies Kelembaban relatif (%)
15 30 45 60 75 90 100
1. Jagung kuning 6,4 8,4 10,5 12,9 14,8 19,1 23,8
2. Jagung putih 6,6 8,4 10,4 12,9 14,7 18,9 24,6
3. Sorgum 6,4 8,6 10,5 12,0 15,2 18,8 21,9
4. Gandum 6,7 8,6 9,9 11,8 15,0 19,7 26,3
Sumber : Copeland dan Mc Donald (1985)

KESIMPULAN
Untuk menghasilkan benih bermutu, waktu produksi benih ditentukan agar pada
saat panen hujan sudah berkurang atau tidak ada hujan, agar dalam proses pemasakan dan
pengeringan biji, kondisi lapangan (terutama kelembaban relatif) tidak berpengaruh negatif
terhadap kualitas benih. Pemasakan biji pada saat kondisi lapang yang lembab (sering ada
hujan), kerusakan membran biji dapat meningkat sampai 4 kali lipat dibanding hasil panen
pada kondisi kurang hujan sehingga dapat berpengaruh negatif pada ketahanan simpannya.
Untuk menghemat biaya pengeringan, penundaan panen dapat dilakukan sampai 15
hari sesudah masak fisiologis sampai kadar air benih menurun 16-18%, asal kondisi lapang
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 531
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
mendukung (selama proses pemasakan biji tidak ada hujan). Pengeringan benih jagung
pada kadar air awal sekitar 18%, sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak lebih dari 40 oC
agar selain benih tahan simpan, jumlah biji retak akibat deraan suhu juga lebih rendah
(4,23%).
Sortasi biji dalam tongkol jagung perlu dilakukan (membuang biji-biji yang berukuran
ringan) di bagian dasar dan ujung tongkol untuk memperoleh benih yang berkualitas. Benih
jagung yang berasal dari bagian tengah tongkol (3/5 bagian), lebih tahan disimpan dibanding
yang diperoleh dari bagian dasar dan ujung tongkol. Namun hal tersebut tidak efisien,
sehingga perlu menggunakan sortasi berdasarkan ukuran biji yang standar, agar biji kecil
yang kurang optimal untuk digunakan sebagai benih dapat dieliminir dengan mudah.
Kunci keberhasilan dalam penyimpanan benih adalah pengaturan kadar air benih,
menyusul suhu ruang simpan. Pada kondisi suhu kamar (28 oC), apabila kadar air benih dapat
diturunkan menjadi 10%, sampai pada 16 bulan penyimpanan daya berkecambahnya masih
dapat dipertahankan hingga 80%, dan pada kadar air 12 % dapat bertahan hingga satu
tahun. Benih jagung yang telah kering hendaknya disimpan pada kondisi kedap udara dan
serangga. Pada kondisi simpan terbuka, hanya dalam waktu 39 hari kadar air benih akan
meningkat dari 12% menjadi 21% pada kondisi kelembaban relatif 95%.

DAFTAR PUSTAKA
Sania Saenong, Tabran M. Lando, Fauziah Koes dan Rahmawati. 2001. Pengaruh Cara
Pengeringan terhadap Mutu dan Daya Simpan Benih Jagung. Penelitian Pertanian,
vol. 20(3): 41-47.
______., dan S. Saenong. 2003. Ketahanan Simpan Benih Jagung (Zea mays L.) dari
Beberapa Takaran dan Waktu Pemupukan Kalium. Jurnal Stigma Vol. XI No.1, 5p.
Bewley, J.D. and M. Black. 1978. Physiology and Biochemistry of Seeds in Relatiron to
Germination. 1st volume. Springe-Verlag, Berlin.
Copeland, L. O. and M.B. McDonald. 1985. Principles of Seed Science and Technology.
McMillan Pub.Comp. New York.
Delouche, J.C. 1973. Precepts of Seed Storage. Seed Technology Laboratory. Miss. State
University, USA. 27p.
___________. 1990a. Research on Association of Seed Physical Properties to Seeds Quality..
Prepared for Seed Research Workshop, AARP II Project, Indonesia.
Harrington, J.F. 1972. Seed Storage and Longevity In T.T. Kozlowski Ed. P. 145-245. Seed
Biology Vol. III. Academic Press. New York.
Justice. O.L. and L.N. Bass. 1979. Principles and Practices of Seed Storage. Castle House Bubl.
Ltd. 289 p.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


532 | Teknologi Pertanian
Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia selama Empat Dekade
yang Lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Badan
Litbang dan Pengembangan Pertanian, Bogor, 24 Juni 2002.
Matthes, R.K., G.B. Welch, J.C. Delouche, and G.M. Dougherty. 1969. Drying, Processing and
Storage of Corn Seed in Tropical and Subtropical Regions. Mississippi Agricultural
Experiment Station. American Society of Agricultural Engineers, No. 1838.
Powell, A.A. and S. Matthews. 1981. Association of Phospholipid Changes with Early Stages
of Seed Ageing. Ann. Bot. 47:709-712.
Saenong, S. 1986. Kontribusi Vigor Awal terhadap Daya Simpan Benih Jagung (Zea mays L.)
dan Kedelai (Glycine max L.Merr). Disertasi Doktor Fak. Pasca Sarjana, IPB.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 533
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI INTEGRASI SALAK-KAMBING DI SLEMAN,
D.I. YOGYAKARTA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Retno Dwi Wahyuningrum, Titik F. Djaafar dan Sulasmi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta


Jl. Stadion Maguwoharjo no 22, Karangsari, Ngemplak, Sleman

ABSTRAK
Dalam integrasi tanaman salak (Salacca zalacca, Gaertner, Voss) dan ternak kambing, BPTP
Yogyakarta telah mengintroduksikan beberapa komponan teknologi untuk meningkatkan
produktivitas. Teknologi yang diintroduksikan pada tahun 2015 adalah pembuatan pupuk
organik padat dan cair untuk tanaman salak, serta pengolahan daun dan pelepah salak untuk
pakan kambing. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – Juni 2016 untuk mengetahui tingkat
penerapan teknologi tersebut, serta faktor yang mempengaruhinya. Penelitian dilakukan di
kelompok tani peserta kegiatan “Model Pengembangan Bioindustri Integrasi Salak-Kambing” di
Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara berpanduan
kuisioner. Responden penelitian adalah 53 orang atau 60% dari paserta kegiatan di 3 kelompok
kooperator kegiatan tersebut. Data tingkat adopsi dihitung secara prosentase petani yang
menerapkan, dibanding antar kelompok, serta analisa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
penerapan dilakukan secara deskriptif. Hasilnya memperlihatkan bahwa setelah satu tahun
diintroduksikan, tingkat adopsi teknologi pengolahan pupuk organik padat dan cair masih
rendah (0-38%), yang dipengaruhi oleh umur petani. Tingkat adopsi teknologi pengolahan daun
dan pelepah salak untuk pakan kambing juga rendah, yaitu 10% yang terjadi di kelompok tani
yang menerima bantuan mesin pencacah. Faktor lain yang berpengaruh adalah manfaat relatif
serta kerumitan teknologi.
Kata kunci: integrase, salak, kambing, tingkat adopsi

PENDAHULUAN
Dalam upaya mendorong percepatan penyampaian informasi dan pemanfaatan
teknologi pertanian kepada pengguna, Badan Litbang Pertanian mengembangkan sistem
pertanian bioindustri yang merupakan program Kementerian Pertanian Republik Indonesia
yang tertuang dalam Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) untuk periode 2015-
2045. Inti dari gagasan SIPP adalah membangun sistem pertanian bioindustri berkelanjutan
ini menjadi visi pembangunan pertanian dalam Rencana Strategi Kementerian Pertanian
periode 2015-2019 (Badan Litbang Pertanian, 2015).
Sistem pertanian bioindustri adalah sistem pertanian yang mengelola dan/atau
memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomasa dan/atau
limbah organik pertanian bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara
harmonis (Hendriadi, 2013). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kata kunci dari sistem pertanian
bioindustri adalah seluruh sumberdaya hayati, biomasa dan limbah pertanian, ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) dan bioproses, serta pemanfaatan dan rekayasa genetik.
Bioindustri mengacu pada semua aktivitas pertanian dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) maju tanpa limbah, memanfaaatkan dan mengolah limbah/biomasa,
memakai sumberdaya hayati lainnya dengan tujuan untuk (1) menghasilkan pangan sehat,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


534 | Teknologi Pertanian
beragam dan cukup serta (2) produk-produk bernilai ekonomi tinggi baik pangan maupun
non pangan sehingga tercipta daya saing pertanian bioindustri yang tinggi (Anonim, 2014).
Prinsip dasar pertanian bioindustri adalah pertanian minimum limbah, minimum imported
input dan energi, pertanian pengolah biomasa dan limbah menjadi bio-produk baru bernilai
tinggi, terpadu ramah lingkungan dan sebagai kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju
(FKPR Kementan, 2014).
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta, menetapkan empat komoditi unggulan Kabupaten Sleman yang
dikembangkan yaitu padi, salak pondoh, bambu dan kambing peranakan ettawa (PE) seperti
yang tertuang dalam roadmap penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Kabupaten Sleman
(Bappeda Sleman, 2013). Oleh karena itu integrasi tanaman salak pondoh dengan kambing
PE merupakan sistem usahatani unggulan yang sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten
Sleman.
Integrasi tanaman salak dengan ternak kambing telah dilakukan oleh petani di
kawasan salak pondoh di Kabupaten Sleman. Petani telah memadukan usahatani tanaman
salak dengan usaha ternak kambing, namun hingga kini masih berkembang seadanya. Hasil
samping tanaman salak yang berupa daun pelepah dan batang daun belum dimanfaatkan
secara optimal sebagai bahan pakan ternak kambing PE. Padahal jumlah ternak kambing PE
mencapai 70.698 ekor (Dispertahut Sleman, 2011).
Disamping menghasilkan susu, kambing PE juga potensial sebagai penghasil daging
dan anak kambing yang dapat dijual sehingga menguntungkan bagi peternak yang
memelihara. Sentra kambing PE di Kabupaten Sleman berada di Dusun Nganggring, Dusun
Kemiri Kebo, Dusun Sumber Rejeki dan Dusun Sukorejo I, Desa Girikerto, Kecamatan Turi.
Selain sebagai penghasil susu, sentra peternakan tersebut menjadi tujuan kunjungan para
peternak dan calon peternak untuk mendapatkan bibit kambing PE. Kotoran ternak kambing
PE padat (faeces) dan cair (urine) dapat diolah menjadi pupuk organik padat dan cair bagi
tanaman salak. Bahkan dapat dijadikan sumber pendapatan melalui kegiatan agribisnis
pupuk organik. Setiap ekor ternak kambing mampu menghasilkan feces sebanyak 2,7 kg/hari
(Mathius, 2008) dan urine sebanyak 1,5 liter/hari (Marton et al., 2012) yang dapat diolah
menjadi pupuk organik bagi tanaman, sehingga mampu mengurangi penggunaan pupuk
anorganik (Gunawan et al., 2012).
Dengan kondisi tersebut maka kegiatan Model Pengembangan Pertanian Bioindustri
Berbasis Integrasi Salak Kambing di Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman telah
mengintroduksikan komponen teknologi: Pengolahan Pupuk Organik Padat, Pengolahan
Pupuk Organik Cair serta Pengolahan Daun dan Pelepah Salak untuk pakan Kambing. Untuk
mendapatkan respon atau umpan balik dari introduksi teknologi tersebut, maka dilakukan
studi terhadap tingkat penerimaan, tingkat adopsi dan faktor yang mempengaruhinya.

BAHAN DAN METODE


Bahan studi ini adalah teknologi yang telah diintroduksikan kepada petani kooperator
kegiatan Model Pengembangan Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Salak-Kambing. Alat

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 535
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pengumpulan data adalah kuisioner tentang penerimaan, penerapan dan faktor yang
menjadi kendala atau pendorong dalam penerimaan atau penerapan teknologi. Faktor yang
diamati adalah karakteristik petani: umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, luas
kepemilikan lahan salak, kepemilikan kambing dan lama beternak kambing. Juga
dikumpulkan data yang mempengaruhi lancar tidaknya penerapan teknologi.
Data dikumpulkan dengan cara wawancara dilakukan pada bulan Mei – Juni 2016
kepada 53 orang yang berarti 60% dari penerima teknologi melalui sosialisasi dan pelatihan
pada tahun 2015. Data diolah menjadi prosentase jumlah petani yang menerapkan yang
dibandingkan diantara 3 kelompok kooperator kegiatan, dan dianalisa secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18%
dari luas Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan secara administratif terdiri 17 wilayah
Kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun dengan jumlah penduduk sebanyak 850.176
jiwa (Anonim, 2015). Keadaan tanah Kabupaten Sleman di bagian selatan relatif datar kecuali
daerah perbukitan yaitu di bagian tenggara di Kecamatan Prambanan dan sebagian di
Kecamatan Gamping. Semakin ke utara keadaan tanah relatif miring dan di bagian utara atau
lereng Merapi relatif terjal dengan kemiringan 10 – 60%. Ketinggian wilayah Kabupaten
Sleman berkisar antara < 100 sd >1000 m dari permukaan laut dan dibagi ke dalam empat
kelas, yaitu (1) ketinggian < 100 m, (2) ketinggian 100 – 499 m, (3) ketinggian 500 – 999 m
dan (4) ketinggian > 1000 m dari permukaan laut. Bahkan Kecamatan Cangkringan sebagian
besar wilayahnya memiliki ketinggian lebih dari 1000 m dari permukaan laut. Di wilayah
utara ini ada sekitar 100 sumber mata air.
Lahan salak sangat sesuai pada agroekosistem dengan ketinggian lebih dari 500 – 999
m dari permukaan laut. Sekitar 6.538 ha (atau 11,38% dari luas lahan di Kabupaten Sleman)
kebun salak terdapat di Kecamatan Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan. Oleh karena itu
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman menetapkan kawasan tersebut sebagai wilayah
pengembangan tanaman salak.
Khusus untuk salak pondoh di Kabupaten Sleman tersebar di 3 (tiga) kecamatan yaitu
Kecamatan Tempel, Kecamatan Turi dan Kecamatan Pakem dengan luas total kawasan dari 3
(tiga) kecamatan tersebut sebesar 2.419,Ha yang terdiri atas 672,6 Ha di Kecamatan Tempel,
1.560,9 Ha di Kecamatan Turi dan 186,4 Ha di Kecamatan Pakem. Luas areal tanaman buah
salak di Kabupaten Sleman pada tahun 2012 adalah 1.760,00 Ha dengan jumlah rumpun
produktif 3.954.266 rumpun dan produksi 511.211 kuintal atau sekitar 51 ribu ton
(Hermantoro dan Uktoro, 2013).

Karakteristik Petani

Petani yang aktif dalam kegiatan Model Pengembangan Pertanian Bioindustri


Berbasis Integrasi Salak-Kambing di Desa Girikerto, Kec. Turi, Kab. Sleman pada tahun 2015
terdiri dari 3 kelompok tani yaitu kelompok tani Mandiri, Sumber Rejeki, dan Sukorejo. Hasil

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


536 | Teknologi Pertanian
pemantauan kondisi karakter petani anggota dari ke 3 kelompok tani yang diamati adalah:
umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, luas kepemilikan lahan salak,
kepemilikan kambing dan lama beternak kambing. Gambaran yang diberikan dalam
sebaran umur anggota 3 kelompok lama seperti pada Gambar 1. Umur merupakan
faktor intrinsik yang diyakini mempengaruhi penggunaan sistem informasi.
Perbedaan umur berhubungan dengan kesulitan di dalam memproses stimulus
kompleks dan mengalokasikan perhatian kepada informasi (Plude dan Hoyer 2007). dalam
Jogiyanto,

a b c

Gambar 1. Sebaran umur anggota kelompoktani (a) Sukorejo, (b) Mandiri dan (c) Sumber Rejeki

Dari ke 3 kelompok tani yang sudah bergabung dalam kegiatan Model


Pengembangan Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Salak-Kambing mempunyai
kisaran umur 30 – 65 tahun dan ini termasuk usia produktif (Prawiro, 1983). Tidak ada
anggota kelompok tani yang berumur kurang dari 30 tahun, berarti belum ada petani
muda yang tergabung dalam kelompok tani. Umur petani dominan di kelompok tani
Sukorejo adalah kelompok umur 30 - 39 tahun (35%), sedangkan kelompok tani Mandiri dan
Sumber Rejeki adalah kelompok umur 40 – 49 tahun, masing sebesar 45% dan 60%.
Perbedaan dominasi kelompok umur ini akan berpengaruh terhadap proses adopsi
inovasi, sebab menurut Mardikanto (1993) petani berusia diatas 50 tahun cenderung hanya
melaksanakan kegiatan yang telah diterapkan oleh masyarakat setempat. Hal ini dipertegas
oleh Soekartawi (2005) bahwa usia sangat berpengaruh terhadap semangat untuk mencoba
dan melaksanakan apa telah disampaikan oleh penyuluh. Petani berusia muda biasanya
mempunyai semangat ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka
berusaha untuk melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman. Dengan demikian dapat diharapkan kelompok tani Sukorejo akan lebih
cepat menerima dan mengadopsi inovasi karena kelompok tani ini didominasi petani usia
yang relatif muda dibandingkan dua kelompok tani lainnya.
Tingkat pendidikan seseorang menjadi faktor internal terhadap kemudahan dalam
persepsi inovasi. Semakin tinggi yang berpengaruh tingkat pendidikan seseorang, maka
semakin rasional dalam mempersepsikan suatu inovasi. Tingkat pendidikan petani
anggota dari ke 3 kelompok tani tersebar antara sampai S-1 (Gambar 2). berpendidikan SD

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 537
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
>
a b D1-D3 c
0, 0% 0%
SLTA SLTA 10%
SLTA
40% 35%
40%
SLTP SLTP
25%

Gambar2. Sebaran tingkat pendidikan anggota kelompok tani


(a) Sukorejo, (b) Mandiri dan (c) Sumber Rejeki

Ketiga kelompok tani tersebut didominasi oleh kelompok pendidikan SD, masing-
masing sebesar 40% untuk Kelompok tani Sukorejo, 40% juga untuk kelompok tani Mandiri,
dan 35% untuk kelompok tani Sumber Rejeki. Hal yang menarik adalah hanya kelompok tani
Sumber Rejeki yang mempunyai anggota berpendidikan S-1, yaitu sebesar 10%. Menurut
Mardikanto (1993), tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap kapasitas
belajarnya, karena dalam kegiatan belajar dibutuhkan pola pikir dan daya analitik agar
mudah memahami suatu hal. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengembangan
pemikiran, perasaan dan kehendak yang akan dilakukan, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pulakemampuan
untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi (Kartasapoetra, 1994).
Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa kelompok tani Sumber Rejeki akan
dapat dengan cepat menyerap inovasi dari kegiatan Model Pengembangan Pertanian
Bioindustri Berbasis Integrasi Salak-Kambing ini.
Sebaran jenis kelamin anggota kelompok tani yang aktif dalam kegiatan Model
Pengembangan Pertanian Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran jenis kelamin anggota kelompoktani peserta kegiatan Model


Pengembangan Pertanian Bioindustri Berbasis Integrasi Salak-Kambing
Kelompok tani Jenis Kelamin Pengurus dan Anggota Kelompok (%)
No
Laki-Laki Perempuan
1 Sukorejo 100 0
2 Mandiri 90 10
3 Sumber Rejeki 90 10

Ketiga anggota kelompok tani kegiatan Model Pengembangan Pertanian


Bioindustri Berbasis Integrasi Salak-Kambing didominasi oleh laki-laki. Hanya kelompok tani
Mandiri dan Sumber Rejeki yang mempunyai anggota perempuan, meskipun masing-
masing hanya 10%. Hal yang sama didapatkan bahwa petani yang bekerja di sawah di DIY
yang didominasi oleh laki-laki, mencapai 80% (Retno et al., 2010). Hal tersebut juga sesuai
dengan budaya Jawa yaitu perempuan ada di belakang sedangkan laki-laki ada di depan,
sehingga pekerjaan di luar rumah lebih banyak dikerjakan oleh laki-laki.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


538 | Teknologi Pertanian
Anggota kelompok tani kegiatan Model Pengembangan Pertanian Bioindustri
Berbasis Integrasi Salak-Kambing mempunyai lahan pertanaman salak yang luasnya
seperti pada Gambar 3.Umumnya anggota kelompok tani mempunyai lahan
pertanaman salak seluas 2000 – 3000 m2, berturut-turut 40% (kelompok tani Sukorejo
dan juga kelompok tani Mandiri), serta 30% (kelompok tani Sumber Rejeki).Petani
dengan luasan tersebut mempunyai tanaman salak sekitar 500 – 1000 rumpun. Jumlah ini
cukup memadai sebagai penghasilan dari pertanian, jumlah ini juga memadai untuk
penggunaan daun dan pelepah salak sebagai pakan kambing.
Namun ada juga petani yang mempunyai lahan pertanaman salak relatif sempit, yaitu
kurang dari 1000 m2, yang berarti jumlah tanaman salak belum mencukupi untuk
penghasilan dari pertanian maupun ketika daun dan pelepah salak akan dimanfaatkan
sebagai pakan kambing. Ada beberapa petani di ketiga kelompok tersebut yang mempunyai
luas pertanaman salak lebih dari 3000 m2.
Jumlah ini sangat memungkinkan untuk menganjurkan petani untuk mengadopsi
inovasi pengolahan daun dan pelepah salak sebagai pakan kambing, karena setiap hari akan
banyak pemangkasan daun dan pelepah salak agar jumlah pelepah di tanaman hanya 6 – 8
saja.
Jumlah kepemilikan kambing di 3 kelompok tani tersebut seperti pada Gambar 4
Perkembangan menggembirakan bahwa kepemilikan kambing dari tahun 2015 meningkat
pada tahun 2016 terjadi di kelompoktani Sukorejo 1 (rerata 10,6 menjadi 12,4 ekor/RTP) dan
Kelompoktani Sumber Rejeki (rerata 10,9 menjadi 11,6 ekor/RTP).
Sebaliknya, kepemilikan kambing di kelompok tani Madiri terjadi penurunan (dari
rerata 13,8 menjadi 12,9 ekor/RTP) dikarenakan banyak yang dijual dan rencananya
akan membeli kambing muda untuk produksi susu yang lebih baik. Kelompok tani Mandiri
ini memang satu-satunya kelompok yang mempunyai rumah produksi pengolahan susu.
Dengan introduksi teknologi berkaitan dengan pasca panen susu kambing yang telah
dilakukan, telah mendorong petani untuk memperhatikan budidaya kambing secara baik
agar produksi susunya meningkat. Salah satunya dengan peremajaan kambing baik dengan
umur yang produktif maupun jenis kambing yang bagus.

Secara umum petani dari 3 kelompok tani tersebut sudah berpengalaman beternak
kambing lebih dari 5 tahun (Gambar 4). Hanya sedikit saja (5% untuk kelompok Sukorejo,
20% untuk kelompok Mandiri, dan 15% untuk kelompok Sumber Rejeki). Pengalaman
beternak yang ditunjukkan dengan lama (tahun) petani memelihara kambing, yang sangat
berpengaruh dalam kemampuan mengelola kambing. Semakin lama petani beternak
kambing akan dapat diharapkan mempunyai kemampuan yang lebih daripada petani yang
baru memulai beternak kambing.

Adopsi Teknologi dan Faktor yang Mempengaruhi

Tingkat adopsi teknologi introduksi dalam kegiatan Model Pengembangan Bioindustri


Pertanian Integrasi Salak-Kambing yaitu teknologi pembuatan pupuk organik padat (POP)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 539
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dan cair (POC), serta adopsi teknologi pengolahan pakan kambing dari daun dan pelepah
salak.
Dari antara 3 kelompok tani ini, yang sama sekali tidak menerapkan teknologi
pengolahan pupuk organik padat dan cair adalah kelompok tani Sumber Rejeki. Anggota
kelompok tani Sumber Rejeki tetap menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk padat,
namun tanpa pengolahan. Juga mereka menampung air kencing kambing, namun tanpa
pengolahan, langsung digunakan sebagai pupuk tanaman salak. Sebaliknya anggota
kelompok tani Sukorejo dan Mandiri melakukan pengolahan kotoran kambing sebagai pupuk
organik padat, dan menampung air kencing kambing dan mengolahnya sebagai pupuk cair
untuk digunakan dalam pemupukan salak. Meskipun jumlah yang mengadopsi teknologi
pengolahan pupuk ini adalah kecil, yaitu 38% untuk kelompok tani Sukorejo dan 26% untuk
kelompok tani Mandiri.
Fasilitas yang dipunyai oleh ke 3 kelompok tersebut sama yaitu ada yang sudah
melakukan lantainisasi kandang sehingga memudahkan untuk memilah dan menampung
limbah padat dan limbah cair, ada juga yang belum melakukan lantainisasi. Namun dari
kelompok Sumber Rejeki, yang sudah meakukan lantainisasi juga belum melakukan
pengolahan pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Fasilitas penampungan limbah cair
berupa drum plastik juga dipunyai oleh petani dari ke 3 kelompok tersebut.
Dengan fasilitas drum ini petani telah memisahkan limbah padat dengan limbah cair,
dan menggunakannya sebagai pupuk, namun tanpa pengolahan secara fermentasi seperti
yang dilatihkan kepada kelompok ini. Alasan petani kelompok Sumber Rejeki adalah
kesulitan untuk mendapatkan biostarter sebagai biang dalam proses fermentasi. Namun bila
kelompok lain bisa melakukan dan dengan mudah mengolah limbah kandang dengancara
fermentasi sehingga didapat pupuk organik baik padat maupun cair, bisa jadi alasan
kesulitan mendapatkan biostarter ini bukan yang sebenarnya dalam penerapan teknologi.
Kondisi karakter petani anggota dari ke 3 kelompok tani: tingkat pendidikan, jenis
kelamin, pekerjaan, luas kepemilikan lahan salak, kepemilikan kambing dan lama
pengalaman beternak kambing adalah hampir sama. Karakter yang berbeda adalah umur,
petani anggota Kelompok Sukorejo dan Kelompok Mandiri cukup banyak yang berumur
kurang dari 30 tahun berturut-turut 35% dan 15%.
Sedangkan Kelompok Sumber Rejeki tidak ada petani anggota yang berumur kurang
dari 30 tahun, bahkan didominasi oleh umur 40 – 49 tahun (60%). Perbedaan umur anggota
kelompok tani ini bisa jadi menjadi sebab Kelompok Sumber Rejeki belum mengadopsi
teknologi pengolahan limbah kandang menjadi pupuk organik padan dan pupuk organik cair.
Seperti dijelaskan oleh Soekartawi (2005) bahwa usia sangat berpengaruh terhadap
semangat untuk mencoba dan melaksanakan apa telah disampaikan oleh penyuluh, petani
berusia muda selalu ingin tahu dan mencoba apa yang belum mereka ketahui, sehingga
dengan mudah mengadopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman.
Rendahnya tingkat adopsi teknologi pengolahan pupuk organik padat dan cair ini juga
disebabkan baru satu tahun teknologi tersebut diintroduksikan, sehingga petani belum

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


540 | Teknologi Pertanian
melihat manfaatnya dan ragu-ragu untuk mengadopsinya. Untuk itu, perlu diingatkan lagi
misalnya dengan ulangan pelatihan atau dengan menunjukkan hasil pertanaman salak yang
sudah dipupuk dengan pupuk organik padat dan cair. Sebagai Mardikanto (1993) katakan
bahwa dalam proses penyuluhan sampai adopsi teknologi perlu waktu dan proses belajar
yang berulang-ulang sehingga petani dapat melihat, merasakan dan menganalisa untuk
akhirnya memutuskan untuk mengadopsi atau tidak suatu teknologi.
Teknologi pengolahan daun dan pelepah salak sebagai pakan kambing yang
diintroduksikan kepada petani adalah teknologi silase dan delignifikasi. Pada 3 kelompok tani
yang mendapat pelatihan teknologi ini di tahun 2015, setelah dievaluasi pada tahun 2016
hanya kelompok Sukorejo saja yang masih menerapkan teknologi tersebut (Gambar 5).
Meskipun jumlahnya kecil, yaitu 5 orang (28%) yang mengadopsi, diharapkan ini akan
menjadi percontohan dan memberikan gambaran manfaat dari proses silase dan delignifikasi
daun dan pelepah salak bagi anggota kelompoknya maupun kelompok lain di sekitarnya.
Alasan dari Kelompok Mandiri dan Kelompok Sumber Rejeki untuk tidak menerapkan
teknologi ini adalah kesulitan dalam mencacah daun dan pelepah salak. Sementara
Kelompok Sukorejo, mengadopsi teknologi ini karena ada alat pencacahnya, sehingga lebih
dimudahkan. Kecuali fasiltas pencacah, petani juga terkendala oleh kerumitan dalam
pengolahan daun dan pelepah salak sebagai pakan kambing sementara pemberian pakan
daun salak segar sudah terbiasa bagi kambing yang dimiliki.
Alasan lain yang tidak terkatakan oleh kelompok tani, namun teramati saat survei
adalah melimpahnya hijauan pakan kambing di daerah tersebut, sehingga teknologi silase
dan delignifikasi kurang seimbang antara kerumitan penerapannya dengan keuntungan yang
diperolehnya. Hal ini sesuai dengan Indraningsih (2011) petani akan mengadopsi teknologi,
jika terkait dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi. Preferensi
petani terhadap teknologi dipengaruhi oleh manfaat langsung dari teknologi yang berupa
keuntungan relatif, kesesuaian teknologi terhadap nilai sosial budaya dan kebiasaan
usahatani serta rumit tidaknya penerapan teknologi.
Teknologi pengolahan daun dan pelepah salak untuk pakan kambing kurang tepat
diintroduksikan di daerah yang subur dan kaya hijauan pakan ternak. Untuk mengatasi
kesenjangan ini, bisa diciptakan peluang bisnis yaitu pengolahan hijauan pakan ternak
terutama dari daun dan pelepah salak yang dijual keluar daerah. Peluang bisnis ini tentu
harus dipelajari terlebih dahulu dengan cermat agar daerah sendiri tidak kehilangan bahan
dasar dalam siklus rantai pakan.

KESIMPULAN
Teknologi pengolahan pupuk organik padat dan cair diadopsi oleh 0 – 38% petani
yang mendapat pelatihan. Faktor yang berpengaruh adalah umur petani, semakin banyak
petani berumur muda semakin banyak yang mengadopsi. Sebaliknya kelompok tani yang
tidak ada anggota yang muda (<30 tahun) semakin sulit mengadopsi teknologi.
Teknologi pengolahan daun dan pelepah salak sebagai pakan kambing diadopsi oleh
10% petani yang memperoleh fasilitas mesin pencacah daun dan pelepah salak. Faktor lain
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 541
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang menghambat proses adopsi adalah tingginya tingkat kerumitan penerapan teknologi
dan rendahnya keuntungan relatif yang diperoleh petani.
Untuk peningkatan adopsi teknologi pengolahan pupuk organik padat dan cair dapat
dilakukan pelatihan ulang, dan mencarikan solusi pemasaran bagi hasil pengolahan daun dan
pelepah salak untuk pakan kambing.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2014. Pokok-pokok pikiran: Pengembangan kawasan pertanian bioindustri berbasis
sumberdaya local. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. 90 hal.
Anonim, 2015a. Salak pondoh. https://id.wikipedia.org/wiki/Salak_pondoh. Diunduh pada 9
September 2015.
Badan Litbang Pertanian, 2014. Panduan Umum Pengembangan Kawasan Pertanian Bio-
Industri Berbasis Sumber Daya Lokal. IAARD Press, 49 hal.
Bappeda Sleman, 2013. Roadmap Penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Kabupaten
Sleman. Badan Perencanaan Pembangungan Daerah Kabupaten Sleman, 78 hal.
Dispertahut Sleman, 2011. Data luas lahan dan produksi salak di kabupaten Sleman.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman.
FKPR Kementan. 2014. Penerapan Pertanian Bioindustri : Dasar Ilmiah dan Langkah- langkah
yang diperlukan. Makalah disampaiakan pada Rapat TPK-BPTP di BBP2TP tanggal 19
Maret 2014. Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian.
Gunawan, Sukar, Wiendarti I.W., Sri Wahyuni B., Setyorini W., Tri Joko S., Sutarno, Anthoni
Marthon, Nugroho Siswanto dan Utami Hatmi. 2012. Pengkajian model
pengembangan tanaman kakao integrasi dengan ternak kambing guna meningkatkan
produktivitas kakao dan pendapatan petani di Kabupaten Kulon Progo. Laporan Akhir
Tahun 2012. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Hendriadi, A. 2013. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Berbasis Inovasi. Makalah
disampaikan pada Workshop Evaluasi dan Rencana Kegiatan Peningkatan Kinerja
BPTP Tahun 2014. Bogor, 8 Januari 2014.
Hermantoro dan A.I. Uktoro, 2013. Mapping Kawasan Salak Pondoh Kabupaten Sleman
Menggunakan Pengolahan Citra Quick Bird dan Sistem Informasi Geografis. Pros.
Seminar Nasional Perteta, Bandung.
Indraningsih, K.S. 2011. Pengaruh penyuluhan terhadap keputusan petani dalam adopsi
inovasi teknologi usahatani terpadu. Jurnal Agro Ekonomi (JAE). 29 (1): 1-24.
Jogiyanto, H.M. 2007.Sistem Informasi Keperilakuan. Penerbit Andi. Yogyakarta. Ed.
Pertama.
Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


542 | Teknologi Pertanian
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press.
Surakarta.
Marton, A., N. Siswanto dan R. Utami. 2012. Teknologi pengolahan kotoran ternak kambing
untuk pupuk organik. Dalam Buku Integrasi Kambing Kakao . Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta. 45-54.
Mathius, I.W. 2008. Potensi dan pemanfaatan pupuk organik asal kotoran kambing Domba.
Wartazoa.
Prawiro (1983), Ekonomi Sumber Daya. Penerbit Alumni, Bandung
Retno Dwi W., Murwati dan Suharno, 2010. Preferensi Petani Lahan Sawah di Propinsi DIY
terhadap Media Penyuluhan. Makalah Seminar Nasional Peranan Penyuluh dalam
Mensukseskan Percepatan Diversifikasi Pangan untuk mewujudkan Pemantapan
Ketahanan Pangan. Yogyakarta, 11 – 12 Juni 2010.
Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia.Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 543
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PRODUKTIVITAS BEBERAPA GALUR PADI SAWAH
TAHAN PENYAKIT BLAS PADA LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS

Subiadi1 dan Surianto Sipi2


1&2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jalan Base-camp Arfai Gunung Kompleks perkantoran Pemda
Provinsi Papua Barat
Email : subiadisubiadi77@gmail.com

ABSTRAK
Balai Besar Biogen melepas galur padi tahan penyakit blas yang merupakan hasil persilangan
varietas Situ Patenggang dengan beberapa varietas Monogenik blas yang memiliki gen-gen
ketahanan penyakit blas yang diberi nama Galur Padi Biosa. Galur ini diharapkan dapat
menjawab permasalahan penyakit blas yang dihadapi oleh petani padi baik pada ekosistem
kering (padi gogo) maupun pada ekosistem sawah irigasi. Berdasarkan hal tersebut dilakukan
penelitian untuk melihat produktivitas varietas Biosa pada ekosistem sawah irigasi di Kabupaten
Manokwari. Penelitian dilaksanakan dengan metode demo plot di Distrik Prafi Kabupaten
Manokwari. Galur/varietas yang digunakan sebanyak 6 varietas/galur yaitu Galur Biosa 4, Biosa
5, Biosa 6, Biosa 7 dari Balai Besar Biogen, Inpari 22, dan 1 varietas eksisting (Cigeulis). Galur dan
varietas tersebut ditanam dilahan petani seluas 0,5 hektar dengan rancangan acak kelompok
yang diulang sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Galur
harapan Biosa 4 dan Biosa 5 memiliki produktivitas masing-masing 6,4 ton/ha dan 6,2 ton/ha
dan lebih tinggi dari varietas Cigeulis (6,1 ton/ha) yang merupakan varietas eksisting Kabupaten
Manokwari dan lebih tinggi dari rata-rata produksi Kabupaten Manokwari yang hanya 4,2
ton/ha.
Kata Kunci : Galur, padi, produktivitas.

PENDAHULUAN
Perakitan varietas modern bergantung pada ketersediaan keragaman genetik
tanaman. Karakter-karakter unggul yang diperlukan untuk memperbaiki varietas yang telah
ada, hampir semuanya dipunyai oleh varietas tradisional yang ditanam petani, dan terseleksi
selama beberapa generasi, serta sejumlah spesies liar (Daradjat dkk, 2008). Sementara
menurut Sitaresmi dkk. (2013) Informasi ketahanan varietas lokal terhadap hama dan
penyakit tanaman padi sangat bermanfaat bagi pemulia untuk memperoleh donor gen
dalam perakitan varietas tahan.
Salah satu komponen PTT yang sangat berperan dalam peningkatan produktivitas
padi adalah penggunaan varietas unggul baru. Pemilihan varietas unggul merupakan salah
satu komponen utama yang mampu meningkatkan produktivitas padi yang optimal
(Krismawaty dkk., 2012). Varietas padi yang direkomendasikan adalah varietas unggul baru
(VUB) yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, berdaya hasil tinggi dan bernilai jual
tinggi (Abdulrachman, 2013). Varietas unggul memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas lokal, tetapi membutuhkan input produksi yang lebih tinggi
(Ahmadikhah & Mirarab, 2010).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


544 | Teknologi Pertanian
Balai Besar Biogen melepas galur padi tahan penyakit blas yang merupakan hasil
persilangan varietas Situ Patenggang dengan beberapa varietas Monogenik blas yang
memiliki gen-gen ketahanan penyakit blas yang diberi nama Galur Padi Biosa. Varietas Situ
Patenggang merupakan salah satu varietas unggul padi gogo tetapi juga dapat bertahan
hidup di daerah tergenang (bersifat amfibi). Galur ini diharapkan dapat menjawab
permasalahan penyakit blas yang dihadapi oleh petani padi baik pada ekosistem kering (padi
gogo) maupun pada ekosistem sawah irigasi. Sesuai dengan Syam dkk, (2007); Nasution, dkk,
(2014), bahwa semula penyakit blas dikenal sebagai salah satu kendala utama pada padi
gogo, tetapi sejak akhir 1980-an, penyakit ini juga sudah terdapat pada padi sawah beirigasi.
Uji adapatsi Biosa pada ekosistem sawah perlu dilakukan sebagai cikal bakal
pengendalian penyakit blas pada padi sawah dengan penggunaan varietas tahan. Varietas
padi gogo pendahulunya seperti situ bagendit, towuti, situ patenggang juga pernah ditanam
di ekosistem sawah irigasi di Kabupaten Manokwari dengan produktivitas yang kurang lebih
sama dengan varietas padi lainnya. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk
melihat kesesuaian galur padi Biosa pada ekosistem sawah irigasi teknis di Kabupaten
Manokwari.

METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan pada Februari sampai dengan Mei tahun 2016 di Distrik Prafi
Kabupaten Manokwari. Penelitian terdiri dari 6 perlakuan galur/varietas yaitu Galur Biosa 4,
Biosa 5, Biosa 6, Biosa 7 dari Balai Besar Biogen, Inpari 22, dan 1 varietas eksisting (Cigeulis).
Galur dan varietas tersebut ditanam dilahan petani seluas 0,5 hektar dengan rancangan acak
kelompok yang diulang sebanyak 3 kali.
Galur/varietas ditanam dengan sistem tanam pindah (umur bibit 21 hari). Penanaman
dengan sistem tanam legowo 2:1 dengan jarak tanam 22 x 11 x 44 cm. Pemupukan dengan
Urea 150 kg/ha dan NPK Phonska 400 kg/ha, diberikan sebanyak 2 kali yaitu pada umur
tanaman 2 MST sebanyak 50% dan umur tanaman 6 MST sebanyak 50%.
Parameter yang diamati yaitu karakter agronomi galur/varietas seperti tinggi
tanaman dan anakan produktif yang dihitung pada 16 rumpun pada setiap perlakuan per
ulangan yang diambil secara acak sistematik, yaitu secara diagonal. Penentuan rumpun
pertama dilakukan secara acak dan selanjutnya secara sistematik dengan selang lima
rumpun. Sedangkan data karakter gabah seperti jumlah gabah per malai dan lain-lain
dengan 10 sampel malai dari masing-masing galur/varietas. Sedangkan estimasi
produktivitas dengan ubinan 3 set legowo x 5 meter.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan ANOVA dengan program
SPSS. Uji Post Hoc dilakukan dengan Duncan’s pada tingkat ketelitian 95% jika terdapat
pengaruh beda nyata pada perlakuan yang diuji.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Uji adaptasi galur atau varietas perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian
galur/varietas tersebut dengan ekosistem setempat. Menurut Ramija dkk., 2010, bahwa
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 545
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
untuk memberikan alternatif pilihan varietas maka perlu dilakukan uji beberapa varietas
disuatu tempat.
Perakitan varietas padi dimaksudkan untuk mendapatkan sifat unggul tertentu
seperti ketahanan terhadap cekaman abiotik dan biotik. Namun selain sifat unggul tersebut
diharapkan juga memiliki sifat unggul lain seperti produksi tinggi, rasanya enak, dan umur
pendek. Sesuai dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2015), bahwa padi yang
berumur 124 – 105 hari setelah semai (HSS) dikategorikan sebagai padi berumur genjah dan
164 – 125 HSS dikategorikan padi berumur sedang. Berdasarkan kategori tersebut galur
harapan Biosa 4, 5, 6, dan 7 ternyata memiliki umur genjah yang merupakan salah satu sifat
unggul yang diharapkan dari generasi baru varietas padi. Sesuai dengan Erythrina (2010);
Supriatna (2012), bahwa penggunaan varietas unggul genjah (VUG) yang digilir dengan
varietas unggul sangat genjah (VUSG) merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan
indeks pertanaman padi.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun, umur berbunga,
dan umur panen pada beberapa galur/varietas unggul padi sawah di Kampung
Prafi Mulya Distrik Prafi Kabupaten Manokwari.
Umur berbunga Umur panen
Varietas Tinggi Tanaman (cm) Anakan Produktif
(hari) (HSS)
Biosa 4 133,31 a 13,42 c 82 121
Biosa 5 111,75 d 15,15 b 82 124
Biosa 6 123,29 b 13,13 c 84 118
Biosa 7 116,33 c 13,44 c 76 118
Inpari 22 109,10 de 18,13 a 86 118
Cigeulis 108,17 e 16,77 a 86 121

Salah satu sifat unggul tanaman yang menjadi pertimbangan petani dalam memilih
varietas adalah tinggi tanaman. Varietas Cigeulis merupakan varietas eksisting yang paling
disenangi masyarakat petani di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari, karena selain rasanya
enak juga karena karakter varietas ini yang memiliki batang tidak tinggi dan jumlah anakan
yang lebih banyak. Varietas Cigeulis digunakan oleh petani sebagai pembanding apabila ada
intorduksi varietas baru. Petani umunya antusias untuk mencoba menanam varietas baru
apabila varietas tersebut memiliki karakter yang sama atau mendekati varietas Cigeulis.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa galur harapan Biosa lebih tinggi daripada varietas
Cigeulis. Sesuai Klasifikasi oleh IRRI (2015), Varietas Cigeulis termasuk kategori pendek
(tingginya ˂110 cm) sedangkan Galur Biosa 5, Biosa 6, Biosa 7 termasuk kategori sedang
(tingginya 110-130 cm) dan Biosa 4 termasuk kategori tinggi (tingginya ˃130 cm).
Faktor komponen produksi lain yang menjadi indikator keunggulan perakitan
galur/varietas baru adalah jumlah anakan produktif. Semakin tinggi jumlah anakan produktif
suatu varietas, maka potensi produksi juga akan lebih tinggi. Jumlah anakan produktif
tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 22 kemudian varietas Cigeulis. Keempat galur

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


546 | Teknologi Pertanian
harapan Biosa memiliki jumlah anakan produktif yang lebih rendah dari kedua varietas
pembanding tersebut. Sehingga kemungkinan besar galur ini tidak menjadi pilihan petani
apabila yang menjadi pertimbangan adalah tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif.
Akan tetapi galur harapan Biosa memiliki sifat unggul lain yaitu tahan terhadap penyakit blas
yang akan dipertimbangkan apabila daerah tertentu endemik dengan penyakit blas.

Tabel 2. Rata-rata panjang malai, gabah isi/malai, gabah hampa/malai, total gabah/malai,
dan % gabah isi/malai pada beberapa galur/varietas unggul padi sawah di
Kampung Prafi Mulya Distrik Prafi Kabupaten Manokwari.
Panjang malai Gabah isi / Gabah hampa / Total gabah / % gabah isi /
Galur/Varietas
(cm) malai malai malai malai
BIOSA 4 25,11 bc 181,90 b 26,40 a 208,30 b 86,66 b
BIOSA 5 21,91 d 174,70 b 22,70 ab 197,40 b 88,64 ab
BIOSA 6 28,78 a 267,80 a 30,90 a 298,70 a 89,85 ab
BIOSA 7 23,95 bc 178,80 b 22,00 ab 200,80 b 88,58 ab
INPARI 22 25,50 b 142,00 bc 10,70 b 152,70 c 93,07 a
CIGEULIS 23,52 c 130,30 c 10,50 b 140,80 c 92,47 a

Berdasarkan hasil pengamatan komponen malai, didapatkan bahwa Biosa 6 memiliki


panjang malai dan jumlah gabah per malai tertinggi sedangkan jumlah gabah per malai
terendah terdapat pada varietas Cigeulis. Keempat galur yang diuji yaitu Biosa 4, 5, 6, dan 7
menghasilkan gabah isi yang lebih rendah dari varietas Inpari 22 dan Cigeulis. Keempat galur
tersebut memiliki jumlah gabah per malai yang banyak namun juga memiliki gabah hampa
yang lebih banyak.
Jumlah gabah isi per malai varietas Inpari 22 dan Cigeulis masing-masing 93,07% dan
92,47%, sedangkan keempat galur uji memiliki jumlah gabah isi per malai <90%. Apabila
didasarkan pada klasifikasi dari IRRI (2013), maka varietas Cigeulis dan Inpari 22 termasuk
kategori malai sangat berisi (gabah isi per malai ˃ 90 %) sedangkan galur Biosa termasuk
kategori malai berisi (gabah isi per malai 75-89 %).

Tabel 3. Rata-rata bobot 1000 butir (g), dan produktivitas (kg/ha) pada beberapa
galur/varietas unggul padi sawah di Kampung Prafi Mulaya Distrik Prafi Kabupaten
Manokwari.
Galur / Varietas Bobot 1000 butir (g) Produktivitas GKG (kg/ha)
BIOSA 4 25,73 ab 6.457 b
BIOSA 5 25,59 b 6.200 c
BIOSA 6 25,00 c 5.858 e
BIOSA 7 24,11 d 4.926 f
INPARI 22 25,93 a 6.627 a
CIGEULIS 25,27 c 6.103 d
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda pada nyata P > 0,05 dengan uji Duncan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 547
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Selain jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi per malai, bobot 1000 butir
merupakan komponen produksi yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas padi.
Rata-rata bobot 1000 butir tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 22 diikuti oleh galur Biosa
4 dan terendah pada galur Biosa 7.
Rata-rata produktivitas tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 22 diikuti oleh galur
Biosa 4 masing-masing 6,6 ton GKG ha-1 dan 6,4 ton GKG ha-1. Rata-rata produktivitas
terendah diperoleh pada galur Biosa 7 diikuti galur Biosa 6 dengan produktivitas masing-
masing 4,9 ton GKG ha-1 dan 5,8 ton GKG ha-1 (tabel 3). Secara umum semua galur/varietas
yang ditanam memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari rata-rata produktivitas eksisting
Kabupaten Manokwari yang hanya sebesar 4,2 ton/ha. Galur harapan Biosa 4 dan Biosa 5
dari segi produktivitas memiliki potensi untuk dikembangkan karena produktivitasnya lebih
tinggi dari varietas Cigeulis yang merupakan varietas eksisting Kabupaten Manokwari.
Selain dibandingkan dengan varietas eksisting, galur Biosa 4, 5, 6, dan 7 juga
menunjukkan produktivitas hasil lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas varietas Situ
Patenggang sebagai varietas asal seleksi galur biosa. Produktivitas varietas Situ Patenggang
yang diperoleh dari kajian-kajian sebelumnya antara lain : Hasil yang diperoleh Toha (2007)
produktivitas Situ Patenggang sebanyak 4,24 ton/ha, Sujitno dkk. (2011) sebesar 4,1 ton/ha.
Sementara, Bakhtiar dkk (2013) sebesar 4,47 ton/ha, data lain yang ditampilkan dalam hasil
kajiannya adalah panjang malai 23,60 cm, jumlah gabah per malai 219,56 butir, gabah isi
178,56 dan persentase gabah isi 81,28 %.
Dari beberapa hasil kajian tersebut, perbedaan yang mencolok antara varietas asal
seleksi (Situ Patenggang) dengan galur Biosa adalah produktivitas Biosa lebih tinggi dan
didukung dengan persentase gabah isi yang lebih tinggi pula, dimana persentase terendah
galur Biosa adalah 86,66 % dan tertinggi 89,85 %.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Galur harapan Biosa 4 dan
Biosa 5 memiliki produktivitas masing-masing 6,4 ton/ha dan 6,2 ton/ha dan lebih tinggi
dari varietas Cigeulis (6,1 ton/ha) yang merupakan varietas eksisting Kabupaten Manokwari
dan lebih tinggi dari rata-rata produktivitas padi Kabupaten Manokwari yang hanya 4,2
ton/ha. Sehingga Biosa 4 dan Biosa 5 yang juga memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit
blas memiliki potensi untuk dikembangkan di Kabupaten Manokwari yang juga merupakan
daerah endemik penyakit blas.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadikhah A., and M. Mirarab. 2010. Differential Response of Local and Improved Varieties
of Rice to Cultural Practices. Archives of Applied Science Research. Vol. 2 (5) : 69-75.
Abdulrachman S., M.J. Mejaya, P. Sasmita, dan A. Guswara. 2013. Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Sawah irigasi. 46 Hal.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


548 | Teknologi Pertanian
Bakhtiar, Hasanuddin, dan T. Hidayat. 2013. Identifikasi Beberapa Varietas Unggul Padi Gogo
di Aceh Besar. Jurnal Agrista Vol. 17 No. 2 : 49-54.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2015. Klasifikasi Umur Padi.
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/tahukah-anda/120-kalsifikasi-umur-
padi. Balitbangtan. Diakses tanggal 4 Agustus 2017.
Daradjat A.A., S. Silitonga dan Nafisah, 2008. Ketersediaan Plasma Nutfah untuk perbaikan
varietas padi. Dalam Dradjat dkk (Penyunting). Padi; Inovasi Teknologi Produksi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi, Balitbangtan. Hal. 1 - 29.
Erythrina, 2010. Peluang pengembangan IP padi 400 di Lahan sawah irigasi. Iptek Tanaman
Pangan 5(1): 1 – 14.
IRRI, 2013. Standard Evaluation System for Rice : 5th edition. International Rice Research
Institute. 55p.
Krismawati A., P.E.R. Prahardini dan D.M. Arsyad. 2012. Analisis Stabilitas Hasil Varietas
Unggul Baru Padi dengan Menggunakan Model AMMI (Additive Main Effect
Multiplicative Interaction). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
15(2):139-149.
Nasution A., N. Usyati, dan Santoso. 2014. Varietas lokal padi sebagai sumber ketahanan
penyakit blas daun dan blas leher. Prosiding seminar nasional dies natalis ke-68
fakultas pertanian UGM. Yogyakarta, 22 September 2014. Hal. 145-148.
Ramija K.E., N. Chairuman dan D. Harnowo. 2010. Keragaan Pertumbuhan Komponen Hasil
dan Produksi Tiga Varietas Padi Unggul Baru di Lokasi Primatani Kabupaten
Mandailing Natal. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
13(1):42-51.
Sitaresmi T., R. H. Wening, A. T. Rakhmi, N. Yunani dan U. Susanto. 2013. Pemanfaatan
Plasma Nutfah Padi Varietas Lokal dalam Perakitan Varietas Unggul. Iptek Tanaman
Pangan Vol. 8, No. 1 : 22-30.
Sujitno E., T. Fahmi, dan S. Teddy. 2011. Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Padi Gogo
pada Lahan Kering Dataran Rendah di Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 14 No. 1 : 62-69.
Supriatna A. 2012. Meningkatkan indeks pertanaman padi sawah menuju IP Padi 400. Agrin
16(1): 1 – 18.
Syam M., Suparyono, Hermanto dan W.S. Diah. 2007. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara
pada Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Toha, H. M. 2007. Produktivitas Padi gogo Melalui Pendekatan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu dengan Introduksi Varietas unggul. Jurnal Penelitian Tanaman
Pangan Vol. 26 No. 3 : 180-187.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 549
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
TINGKAT SERANGAN PENYAKIT BLAS DAUN DAN PENYAKIT BLAS LEHER PADA
PADI SAWAH VARIETAS CIGEULIS

Subiadi1 dan Surianto Sipi2

1 & 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat


Jalan Base-camp Arfai Gunung Kompleks perkantoran Pemda
Provinsi Papua Barat
Email : subiadisubiadi77@gmail.com

ABSTRAK
Varietas Cigeulis merupakan varietas eksisting padi sawah di Kabupaten Manokwari yang selalu
terserang penyakit blas pada setiap musim tanam. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan
penelitian untuk melihat tingkat serangan penyakit blas dan pengaruhnya terhadap karakter
malai dan gabah pada varietas tersebut. Varietas Cigeulis ditanam dengan sistem tanam pindah
(umur bibit 21 hari). Penanaman dengan pola tanam legowo 2:1 dengan jarak tanam 22 x 11 x
44 cm. Pemupukan dengan Urea 150 kg/ha dan NPK Phonska 400 kg/ha, diberikan sebanyak 2
kali yaitu pada umur tanaman 2 MST sebanyak 50% dan umur tanaman 6 MST sebanyak 50%.
Untuk melihat pengaruh penyakit blas terhadap varietas Cigeulis dilakukan pengamatan
terhadap insiden dan skala penyakit blas daun, insiden dan keparahan penyakit blas leher, dan
karakter malai dari malai sehat dan malai yang terserang penyakit blas leher. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Penyakit blas daun pada varietas Cigeulis menyerang pada fase anakan
sampai dengan fase bunting dengan insiden 93,75% dengan rata-rata skala 3-4. Sedangkan
penyakit blas leher mulai menyerang pada fase masak susu sampai dengan fase pematangan biji
dengan insiden anakan produktif terserang 11,99% dengan tingkat keparahan penyakit blas
leher 64,74% dan rata-rata penurunan bobot 1000 biji akibat penyakit blas leher sebesar 7,35%.
Kata kunci : blas, karakter gabah, padi.

PENDAHULUAN
Penyakit blas disebabkan oleh Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. Sinonim dengan
Pyricularia oryzae Cavara (anamorph) dan Magnaporthe gisea (Hebert) Barr. (telemorph)
yang merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi (Rossman et al., 1990; Choi
et al., 2013; Pasha et al., 2013). P. grisea menyerang semua fase tanaman dan gejala muncul
pada daun dan leher malai (Seebold et al., 2004). Blas daun merupakan bercak coklat
kehitaman, berbentuk belah ketupat, dengan pusat bercak berwarna putih abu-abu. Setelah
fase berbunga, penyakit menyerang keseluruhan bagian malai dengan gejala bercak coklat
kehitaman pada pangkal leher (blas leher) yang dapat mengakibatkan leher malai tidak
mampu menopang malai dan patah (Ou, 1980). Tanaman yang terserang penyakit blas pada
fase vegetatif, kemungkinan besar akan mengalami infeksi pada leher malai melalui
transmisi dari daun ke leher malai (Ghatak et al, 2013).
Proses terjadi penyakit blas leher dimulai dengan menempelnya spora cendawan
Pyricularia grisea Sacc. pada permukaan tanaman dalam hal ini adalah leher malai,
kemudian spora tersebut berkecambah, selanjutnya perkembangan tabung kecambah dan
pembentukan apresorium kemudian melakukan penetrasi masuk kedalam jaringan tanaman
(Galhano & Talbot, 2011).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


550 | Teknologi Pertanian
Penyakit blas leher merupakan salah satu penyebab utama kehilangan hasil padi (Hao
et al., 2011). Kemampuan patogen membentuk strain dengan cepat menyebabkan
pengendalian penyakit ini sangat sulit (Syam dkk., 2007). Tingginya serangan penyakit blas
diakibatkan varietas yang rentan dan atau munculnya generasi dan ras-ras penyakit blas
yang baru (Khan et al., 2014), selain itu, kondisi iklim juga berpengaruh besar dalam
keberadaan, perkembangan dan patogenitasnya (Koutroubas, et al. 2009).
Varietas Cigeulis merupakan varietas eksisting padi sawah di Kabupaten Manokwari
yang selalu terserang penyakit blas pada setiap musim tanam. Berdasarkan hal tersebut,
dilakukan penelitian untuk melihat tingkat serangan penyakit blas dan pengaruhnya
terhadap karakter malai dan gabah pada varietas tersebut.

METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan Februari – Mei, 2016 di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari.
Varietas Cigeulis ditanam dengan sistem tanam pindah (umur bibit 21 hari) dengan pola
tanam legowo 2:1 dengan jarak tanam 22 x 11 x 44 cm. Pemupukan dengan Urea 150 kg/ha
dan NPK Phonska 400 kg/ha, diberikan 2 kali yaitu pada umur tanaman 2 MST 50% dan
umur tanaman 6 MST 50%. Parameter pengamatan untuk melihat tingkat serangan penyakit
blas pada varietas Cigeulis, dilakukan sesuai karakteristik penyakit.

Penyakit Blas daun

Pengambilan sampel 16 rumpun per ulangan dilakukan secara acak sistematik.


Insiden penyakit blas daun dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah rumpun yang
terserang blas daun dengan total rumpun yang diamati dinyatakan dalam persen
berdasarkan Hajano et al. (2011) dengan rumus sebagai berikut :

Sedangkan reaksi ketahanan tanaman ditentukan berdasarkan persentase luas daun


terserang (LDT), sesuai dengan kategori skor pada tabel 1.

Tabel 1. Skala penyakit Blas daun tanaman padi (Puri et al., 2009).
Skor gejala Sifat Keterangan
0 T Tidak ada gejala serangan
1 T Terdapat bercak sebesar ujung jarum (LDT = 0,5%)
2 T Bercak lebih besar dari ujung jarum (LDT = 1%)
Bercak keabu-abuan, berbentuk bundar dan agak lonjong, panjang 1-2 mm dengan
3 MT
tepi coklat (LDT = 2%)
4 MT Bercak khas blas, panjang 1-2 mm, LDT < 4%
5 MR Bercak khas blas, panjang, LDT 4 – 10 %
6 MR Bercak khas blas, panjang, LDT 11 - 25%
7 R Bercak khas blas, panjang, LDT 26 - 50%
8 R Bercak khas blas, panjang, LDT 51 -75%
9 R Bercak khas blas, panjang, LDT 76 – 100 %
T: Tahan, MT: medium tahan, MR: Medium rentan, R: Rentan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 551
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Skala penyakit blas pada daun juga dapat ditentukan berdasarkan nilai indeks dan
luas daun terserang seperti gambar 1.

Gambar 1. Nilai indeks dan tingkat keparahan cekaman penyakit blas daun
(Inger Genetic Resources Center, 1996).

Penyakit Blas Leher

Perkembangan penyakit blas leher mulai diamati umur tanaman 8 minggu setelah
tanam (MST) sampai dengan umur tanaman pada umur tanaman 13 MST sedangkan insiden
dan keparahannya dihitung pada fase pertumbuhan 9 (fase pematangan biji) yaitu ±1
minggu sebelum panen (Inger Genetic Resources Center, 2002). Pada penelitian ini fase
pematangan biji terjadi pada umur tanaman 13 MST. Pengamatan penyakit blas leher
dengan sampel sebanyak 16 rumpun pada setiap perlakuan per ulangan dilakukan secara
acak sistematik, yaitu secara diagonal. Insiden penyakit blas leher pada penelitian ini dilihat
pada 2 aspek yaitu insiden serangan berdasarkan rumpun terserang dan insiden serangan
berdasarkan jumlah anakan produktif yang terserang penyakit blas leher.
Insiden penyakit blas leher dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah
rumpun yang terserang blas leher dengan total rumpun yang dinyatakan dalam persen
dengan rumus sebagai berikut :

dan perbandingan antara jumlah malai per rumpun yang terserang blas leher dengan
total anakan produktif per rumpun dinyatakan dalam persen berdasarkan Katsantonis et al.
(2008); Puri et al., 2009 dengan rumus sebagai berikut :

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


552 | Teknologi Pertanian
Berdasarkan DIN, varietas dikelompokkan tahan (T) jika nilai DIN 0-15%, tahan
moderat (MT) jika 15,1-30%, dan rentan moderat (MR) jika 30,1 – 50%, dan rentan (R) jika
nilai DIN 50,1-100% (Puri et al., 2009).
Sedangkan keparahan serangan blas leher (Panicle blast severity / PBS) didasarkan
pada masing-masing skala penyakit pada setiap malai yang terserang pada setiap rumpun
yang diamati (16 rumpun per ulangan) yang dihitung berdasarkan Inger Genetic Resources
Center (1996) dengan rumus sebagai berikut:

(10 x N1) + (20 x N3) + (40 x N5) + (70 x N7) + (100 x N9)
PBS =
tm
DAlam hal ini:
PBS=Panicles Blast Severity
N=jumlah malai yang terserang blas leher dengan skala tertentu
tm=total malai yang diamati
1=Luka terdapat pada beberapa pedicel atau cabang sekunder malai.
3=Luka pada sedikit cabang primer malai atau pada bagian tengah sumbu malai.
5=Luka terdapat pada sebagian leher malai atau bagian bawah sumbu malai.
7=Luka terdapat pada seluruh leher malai atau pada sumbu malai dekat pangkal malai dengan gabah isi > 30%.
9=Luka pada seluruh leher malai dan sumbu malai dengan gabah isi < 30%.

Skala berdasarkan timbulnya serangan berat pada malai

0 = No incidence
1 = < 5% ; 3 = 5-10% ; 5 = 11-25%
7 = 26-50%; 9 = > 50%

Karakter Gabah pada Malai yang Terserang Penyakit Blas Leher

Untuk melihat karakter malai varietas Cigeulis yang terserang penyakit blas, maka
sebanyak 10 malai dari masing-masing kelompok malai sehat dan malai yang terserang
penyakit blas leher diambil secara sengaja berdasarkan kategori malai yaitu malai sehat,
malai blas skala 1, 3, 5, 7, dan 9 kemudian dilakukan pengukuran panjang malai, jumlah
gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, dan bobot 1000 butir. Untuk bobot 1000
butir didapatkan dari konversi bobot 100 butir karena jumlah gabah isi dari 10 malai yang
terserang penyakit blas dengan skala 7 dan 9 kurang dari 1000 butir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyakit Blas Daun

Penyakit blas daun dilihat pada dua aspek yaitu (1) tingkat kejadian atau insiden
penyakit blas daun dan (2) skala luas daun terserang penyakit blas. Berdasarkan hasil
pengamatan terlihat bahwa gejala penyakit blas daun mulai ditemukan pada umur 3 minggu
setelah tanam (MST) dengan insiden sebesar 6,25%.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 553
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Gambar 2. Insiden penyakit blas daun

Insiden penyakit blas daun pada varietas Cigeulis terus meningkat dari umur tanaman
3 MST (fase anakan) dan mencapai puncaknya pada 8 MST (fase bunting) dengan insiden
93,75%. Hal ini menunjukkan bahwa fase tanaman padi yang cocok untuk perkembangan
penyakit blas daun adalah fase anakan sampai dengan fase bunting-keluar malai.
Jumlah rumpun yang terserang penyakit blas daun tidak bertambah lagi dari umur
tanaman 8 MST sampai panen. Hal ini disebabkan penuaan daun tanaman yang tidak sesuai
lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan patogen penyebab penyakit blas. Penyakit blas
yang ditemukan pada daun juga tidak meluas pada permukaan daun, tetapi hanya
mengalami penuaan dan sobek pada bagian bergejala tersebut seiring dengan penuaan daun
yang terserang.

Gambar 3. Keparahan penyakit blas daun

Selain insiden penyakit blas daun, pada tanaman sampel yang sama juga diamati
skala luas daun terserang penyakit blas. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa
tanaman yang terserang penyakit blas daun memiliki skala blas daun terendah skala 4 dan
tertinggi skala 5 dengan rata-rata skala 3,79 pada umur tanaman 8 MST. Berdasarkan skala
luas daun tersrerang blas diperoleh bahwa varietas Cigeulis pada penelitian ini memiliki sifat
tahan moderat terhadap penyakit blas daun (skala >3 - 4).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


554 | Teknologi Pertanian
Penyakit Blas Leher

Penyakit blas leher pada varietas Cigeulis mulai ditemukan pada umur tanaman 10
MST dengan tingkat insiden yang rendah yaitu 10,42% dari total jumlah rumpun yang
diamati dan 0,64% dari total jumlah anakan yang diamati. Tingkat serangan penyakit blas
leher terus bertambah dan tertinggi terjadi pada umur tanaman 13 MST (fase pematangan).

Gambar 4. Insiden penyakit blas leher pada varietas Cigeulis pada berbagai umur tanaman.

Insiden penyakit blas leher pada varietas Cigeulis mencapai 89,58% jika didasarkan
pada pengamatan terhadap jumlah rumpun yang terserang dan 11,99% jika didasarkan pada
jumlah anakan produktif yang terserang. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar rumpun
yang diamati memiliki anakan produktif yang terserang penyakit blas leher, namun dengan
jumlah yang sedikit. Atau dari 16 rumpun tanaman sampel rata-rata 14 rumpun yang
didalamnya terdapat 1-2 anakan produktif yang terserang penyakit blas leher. Hasil ini lebih
tinggi dari insiden penyakit blas leher pada varietas Cigeulis pada tahun 2014 yang hanya
5,87% (Subiadi, et.all, 2016).
Berdasarkan jumlah anakan produktif terserang pada penelitian ini, insiden penyakit
blas leher pada varietas Cigeulis adalah 11,99% dan termasuk dalam kategori tahan terhadap
penyakit blas leher (DIN ≤15%). Walaupun demikian dengan insiden penyakit blas tersebut
dapat diprediksi akan terjadi kehilangan hasil sebesar 6% (Subiadi, et.all, 2016).

Tabel 2. keparahan penyakit blas leher.


Rata-rata Rata-rata malai blas per rumpun dengan skala Jumlah
Rata-rata
Kelompok malai per Malai blas
PBS
rumpun 1 3 5 7 9 per rumpun
I 16,50 0,0 0,0 0,6 0,8 0,7 2,13 56,04
II 16,56 0,0 0,0 0,4 0,8 1,1 2,25 77,56
III 17,25 0,0 0,1 0,2 0,4 0,6 1,31 60,63
Rerata 17 0,00 0,02 0,42 0,67 0,79 2 64,74

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 555
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Setiap rumpun terdapat malai yang terserang penyakit blas leher dengan rata-rata 2
malai terserang per rumpun. Malai yang terserang penyakit blas leher berada pada semua
kategori kecuali skala 1 dan terbanyak ditemukan pada skala 9. Malai pada varietas Cigeulis
yang terserang penyakit blas leher bervariasi dengan skala terendah skala 3 dan tertinggi
skala 9, dengan tingkat keparahan penyakit blas leher 64,74%. Hal ini mengindikasikan
bahwa malai-malai yang terserang penyakit blas leher dari varietas Cigeulis lebih banyak
masuk kategori skala 5 - 7.

Karakter Malai dan Gabah

Karakter malai pada varietas Cigeulis yang sehat dan yang terserang penyakit blas
leher ditunjukkan pada tabel 3. Malai blas skala 3 memiliki panjang paling tinggi bahkan lebih
tinggi dari malai sehat (malai yang tidak terserang penyakit blas) walaupun tidak berbeda
nyata secara statistik. Ini menunjukkan bahwa malai yang terserang penyakit blas dengan
tingkat keparahan yang lebih rendah memiliki panjang malai yang hampir sama dengan
malai sehat. Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa varietas Cigeulis masuk fase
bunting 6-7 MST, dan sudah mulai keluar malai pada 8 MST. Pada umur 9 MST tanaman 90%
berbunga. Sedangkan penyakit blas leher mulai ditemukan pada 10 MST (gambar 4). Dengan
demikian proses pembentukan malai sudah sempurna dan telah mencapai ukuran panjang
maksimal sebelum penyakit blas menyerang malai. Sehingga serangan penyakit blas tidak
menyebabkan berkurangnya ukuran panjang malai secara signifikan kecuali pada malai blas
skala 9. Adapun ukuran panjang malai yang lebih rendah pada malai blas skala 9 dan
bebrbeda secara signifikan dengan yang lainnya kemungkinan disebabkan oleh terjadinya
kekeringan pada malai yang lebih cepat dibandingkan malai dengan skala blas yang lebih
rendah.

Tabel 3. Karakter malai sehat dan malai yang terserang penyakit blas leher
pada varietas Cigeulis.
Panjang Malai Jumlah gabah / bobot 1000 butir
Status malai % gabah isi / malai
(cm) malai (butir) (g)
Sehat 23,52 a 140,80 a 92,47 a 25,434
Blas leher skala 1 23,38 a 146,20 a 92,14 a 25,470
Blas leher skala 3 24,01 a 154,00 a 80,05 b 24,714
Blas leher skala 5 23,92 a 143,40 a 77,28 b 24,459
Blas leher skala 7 23,12 a 146,90 a 41,69 c 21,857
Blas leher skala 9 20,17 b 110,50 b 22,99 d 21,312
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom tidak berbeda pada nyata P > 0,05 dengan uji Duncan.

Jumlah gabah per malai tidak berbeda nyata antara malai yang sehat dengan malai
yang terserang penyakit blas kecuali malai blas skala 9. Hal ini juga disebabkan karena
umumnya penyakit blas muncul setelah malai padi sudah berkembang sempurna. Adapun
jumlah gabah per malai yang terendah pada malai blas skala 9 kemungkinan disebabkan
rontoknya sebagian malai sebelum pengambilan sampel karena malai yang terserang

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


556 | Teknologi Pertanian
penyakit blas dengan skala 9 mengalami kekeringan yang lebih cepat dibandingkan dengan
malai blas lainnya.
Perbedaan yang mencolok antara malai sehat dengan malai yang terserang penyakit
blas terlihat pada persentase gabah isi per malai dan bobot 1000 butir. Persentase gabah isi
per malai dan bobot 1000 butir berbanding lurus dengan tingkat keparahan penyakit blas.
Semakin tinggi skala penyakit blas pada malai maka semakin rendah persentase gabah isi per
malai dan bobot 1000 butir. Hal ini disebabkan karena penyakit blas mulai menyerang malai
sebelum fase pengisian biji.
Varietas Cigeulis pada penelitian ini memasuki fase pengisian biji pada umur 11-12
MST sedangkan penyakit blas sudah mulai menyerang pada umur tanaman 10 MST (fase
masak susu). Sehingga malai yang terserang penyakit blas leher lebih awal akan memiliki
gabah hampa yang lebih banyak dan gabah yang terisi pun tidak sempurna. Adanya serangan
penyakit blas pada leher malai akan menghambat translokasi hara ke gabah malai yang
dibutuhkan dalam pengisian biji. Sehingga semakin parah serangan penyakit blas maka
semakin terganggu proses pengisian biji dan semakin rendah bobot gabah yang akan
dihasilkan. Menurut Koutroubas et al., (2009), penurunan hasil yang disebabkan oleh
penyakit blas daun dan blas leher terkait dengan penurunan akumulasi dan remobilisasi hasil
assimilasi pre-anthesis ke bulir padi.
Malai yang terserang penyakit blas leher dengan skala 3 dan skala 5 memiliki bobot
1000 butir menurun masing-masing 2,8% dan 3,8% dibandingkan dengan malai sehat.
Sedangkan malai dengan skala blas leher skala 7 dan skala 9 memiliki bobot 1000 butir
menurun masing-masing 14% dan 16,2 % dengan rata-rata penurunan bobot 1000 butir
sebesar 7,35% dibandingkan dengan malai sehat. Hasil pada penelitian ini lebih tinggi dari
hasil penelitian Hai et al. (2007) bahwa penyakit blas leher menyebabkan penurunan bobot
1000 butir sekitar 3,67 – 5,07%.

KESIMPULAN
Penyakit blas daun pada varietas Cigeulis menyerang pada fase anakan sampai
dengan fase bunting dengan insiden 93,75% dengan rata-rata skala 3-4. Sedangkan penyakit
blas leher mulai menyerang pada umur tanaman 10 MST (fase masak susu) sampai dengan
umur tanaman 13 MST (fase pematangan biji) dengan insiden anakan produktif terserang
11,99% dengan tingkat keparahan penyakit blas leher 64,74% dan rata-rata penurunan
bobot 1000 biji akibat penyakit blas leher sebesar 7,35%.

DAFTAR PUSTAKA
Choi J., S.Y. Park, B.R. Kim, J.H. Roh, I.S. Oh, S.S. Han, & Y. Lee. 2013. Comparative analysis of
pathogenicity and phylogenetic relattionship in Magnaporthe grisea species complex.
Plos One 8(2): 1-8.
Galhano R. & Talbot N.J. 2011. The biology of blast : Understanding how Magnaporthe
oryzae invades rice plants. Fungal Biology Reviews 25: 61-67.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 557
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Ghatak A., L. Willocquet, S. Savary and J. Kumar. 2013. Variability in Aggressiveness of Rice
Blast (Magnaporthe oryzae) Isolates Originating from Rice Leaves and Necks: A Case
of Pathogen Specialization?. PLoS ONE 8(6):1-7.
Hajano J., M.A. Pathan, Q.A. Rajput, and M.A. Lodhi. 2011. Rice blast-mycoflora,
symptomatology and pathogenicity. Sindh Agriculture University Tandojam, 5 (1): 53-
63.
Hao, Z., L. Wang, J. Liang, and R. Tao. 2011. Response of the panicle exserted from the caulis
and from various effective tillers at four stage of panicle development to neck blas in
rice. European journal plant pathology 131:269-275.
Inger Genetic Resources Center. 1996. Standard evaluation system for rice. 4th edition. Los
Banos (Philippines) : International Rice Research Institute. 52 P.
Katsantonis D., S.D. Koutroubas, D.A. Natos, and E. Lupotto. 2008. Effect of blast nitrogen
accumulation and remobilization to rice grain. Journal of Plant Pathology 90(2): 263-
272.
Khan, M.A.I., M.R. Bhuiyan, M.S. Hossain, P.P. Sen, A. Ara, M.A. Siddique and M.A. Ali. 2014.
Neck blas disease influence grain yield and quality traits of aromatic rice. Comptes
Rendus Biologies 337:635-641.
Koutroubas S.D., D. Katsantonis, D.A. Ntanos, E. Lupotto. 2009. Blast disease influence on
agronomic and quality traits of rice varieties under Mediterranean conditions. Turk. J.
Agric. 33: 487-494.
Ou S.H. 1980. A look at worldwide rice blast disease control. Plant Disease 64(5): 439 – 445.
Pasha A., N.B. Jelodar, N. Bagheri, G. Nematzadeh, & V. Khosravi. 2013. A field evaluation of
resistance to Pyricularia oryzae in rice genotypes. International Journal of Agriculture
and Crop Science 5(4): 390 – 394.
Puri, K.D., S.M. Shresta, G.B.K. Chhetri and K.D. Joshi. 2009. Leaf and neck blas resistance
reaction in tripocal rice lines under green house condition. Euphytica 165:523-532.
Rossman A.Y., R.J. Howard, & B. Valent. 1990. Pyricularia grisea, the correct name for the
rice blast disease fungus. Mycologia 82(4): 509 – 512.
Seebold K.W., L.E. Datnoff, F.J. Correa-Victoria, T.A. Kucharek, & G.H. Snyder. 2004. Effects of
silicon and fungicides on the control of leaf and neck blast in upland rice. Plant
Disease 88(3): 253 – 258.
Subiadi, S. Sipi & H.F.J. Motulo. 2017. Estimasi kehilangan hasil padi akibat serangan
penyakit blas leher. Prosiding seminar nasional akselerasi agroinovasi berbasis
sumberdaya lokal menuju kemandirian pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sulawesi Utara. Manado, 9 Agustus 2016. Hal. 377-385.
Syam, M., Suparyono, Hermanto, dan D.S. Wuryandari. 2007. Masalah Lapang Hama
Penyakit Hara pada Padi. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. 78 hal.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


558 | Teknologi Pertanian
ANALISIS USAHATANI DAN PEMASARAN KEDELAI
DI KABUPATEN MANOKWARI PAPUA BARAT

Entis Sutisna1 dan Galih Wahyu Hidayat2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat


Jalan Base-camp Arfai Gunung Kompleks perkantoran Pemda Provinsi Papua Barat
Email : entis007@yahoo.com

ABSTRAK
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Karakteristik petani kedelai; b) Tingkat
produksi dan pendapatan petani dari usahatani kedelai ; c) Kondisi pasar kedelai lokal; dan d)
Mengetahui tingkat produksi dan konsumsi kedelai untuk industri tahu tempe. Kegiatan
dilakukan mulai Bulan Januari sampai Desember 2016, Menempati Lokasi di Distrik Sidey
Kabupaten Manokwari, yang ditentukan secara sengaja. Kajian ini menggunakan metode survai
dan study kasus yang dilengkapi dengan Focus Grouf Discussion (FGD), dan Indepth interview .
Jumlah sampel petani dalam kegiatan survei sebanyak 30 responden yang ditentukan secara
acak sederhana (symple random sampling). Data diolah dengan menggunakan analisis
Pendapatan, analisis kelayakan usaha (R/C ratio dan B/C ratio), analisis titik impas , dan analisis
pemasaran. Hasil pengkajian menunjukkan petani kedelai di lokasi kajian memiliki karakter yang
cukup kondusif untuk mengembangkan usahataninya. Tingkat produktivitas yang dicapai oleh
petani baru, 0,85 ton/ha, harga jual masih rendah sehingga pendapatannya masih rendah.
Terdapat dua model saluran pemasaran kedelai lokal: model pertama dari petani ke pedagang
pengepul desa, terus ke pengrajin tahu tempe, dipilih oleh 70 % responden. Produksi kedelai
lokal yang mampu dihasilkan petani 225 ton/tahun, sedangkan kebutuhan bahan baku tahu
tempe sekitar 594 ton/tahun, masih mengalami defisit 62,1%. Jika ketersediaan kedelai hanya 4
bulan dalam setahun, maka pada waktu panen terjadi surplus sebesar 5,7% atau 5,8 % jika
serapan kedelai lokal hanya sekitar 20%. Untuk pengembangan kedelai kedepan diperlukan
dukungan kebijakan pemerintah terutama berkaitan berkaitan dengan dukungan permodalan,
jaminan harga, dan peningkatan penerapan teknologi.

PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Hal ini lebih
ditunjukkan dengan peran kedelai sebagai komoditas pangan yang kaya akan kandungan
protein nabati sehingga dalam pemanfaatannya memiliki kegunaan yang beragam, terutama
sebagai bahan baku industri makanan seperti tempe, tahu, tauco dan susu kedelai. Selain itu
kedelai dapat dijadikan sebagai bahan baku industri pakan ternak. Sejalan dengan
perkembangan penduduk dan tingginya konsumsi kedelai, maka permintaan kedelai terus
meningkat dari tahun ke tahun. Sayangnya produksi kedelai dalam negeri tidak mampu
mengimbanginya sehingga untuk mencukupi kebutuhan tersebut terpaksa harus impor.
Produksi kedelai dalam negeri sejak tahun 1992 menurun tajam hingga saat ini, yaitu
dari 1,87 juta ton menjadi hanya sekitar 700 ribu ton. Penurunan produksi disebabkan oleh
turunnya luas areal panen kedelai akibat daya saing/harga kedelai yang kurang
menguntungkan dibanding komoditas palawija pesaingnya, jaitu jagung. Sementara itu
konsumsi cenderung terus meningkat sehingga terjadi defisit kedelai yang dari tahun ke
tahun makin besar, artinya impor kedelai makin meningkat (BPS Indonesia 2016).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 559
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Untuk mengurangi ketergantungan impor kedelai yang terus meningkat, diperlukan
berbagai upaya, diantaranya pencanangan swasembada dengan mempercepat adopsi
teknologi untuk meningkatkan produktivitas, mendorong tumbuhnya industri benih kedelai
yang berdaya saing, dan kebijakan yang kondusif untuk pengembangan kedelai seperti
kebijakan yang mendorong pihak swasta mau berusahatani kedelai (Amar Zakaria, 2010).
Tantangan utama yang dihadapi untuk mencapai swasembada kedelai adalah
penambahan areal panen 1,5 – 2,0 juta hektar hingga tahun 2014 (Suyamto dan Nyoman
2014). Hl ini perlu diikuti dengan upaya peningkatan partisipasi petani untuk berusahatani
kedelai.
Perkembangan produksi kedelai di Papua Barat selama 5 tahun terakhir (2011 – 2015)
menunjukkan adanya peningkatan mulai 403 ton menjadi 650 ton, 669 ton, 945 ton dan
tahun 2015 menjadi 1.439 ton, dengan pertumbuhan 2014 – 2015 sebesar 52,28%.
Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh peningkatan areal tanam. Sedangkan tingkat
provitas angkanya cenderung stagnan pada 1,2 ton/ha. (Papua Barat dalam Angka 2016).
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam peningkatan produksi dan
pendapatan petani kedelai adalah inovasi teknologi sistem produksi termasuk varietas
unggul dan teknik budidaya spesifik lokasi, kualitas dan nilai tambah produk, infrastruktur,
kelembagaan usahatani, pemasaran dan permodalan, serta insentif usaha. Hal ini penting
artinya untuk merespon dinamika perdagangan dunia, pola konsumsi masyarakat, dan daya
saing komoditas (Departemen Pertanian, 2007)
Berkaitan dengan upaya pengembangan kedelai di Papua Barat, dari aspek
ketersediaan lahan masih sangat memungkinkan. Menurut laporan Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDL, 2008) bahwa luas lahan yang
sesuai untuk pengembangan kedelai di Provinsi Papua Barat yaitu 2.513 ha untuk lahan
sawah dan 107.704 ha untuk lahan kering, sementara luas lahan eksisting kedelai baru
sekitar 1.450 ha pada lahan sawah dan lahan kering (Dinas Pertanian dan Perkebunan Prov.
Papua Barat, 2017).
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Karakteristik petani kedelai; b)
tingkat produksi dan pendapatan petani dari usahatani kedelai ; c) Kondisi pasar kedelai
lokal; dan d) Mengetahui Tingkat produksi dan konsumsi kedelai untuk industri tahu tempe.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Pengkajian
Kegiatan dilakukan mulai bulan Januari sampai Desember 2016, Lokasi ditentukan
di Kampung Sidey Makmur dan SP 10, Distrik Sidey kabupaten Manokwari. Penentuan
lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan
daerah pengembangan kedelai yang cukup luas di Kabupaten Manokwari.
Metode Penentuan Sampel
Kajian ini menggunakan metode survei dan study kasus yang dilengkapi dengan Focus
Group Discussion (FGD), dan Indeft Interviu (Hernawan Agus, 2015; Sitorus at all 2004).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


560 | Teknologi Pertanian
Jumlah sampel petani dalam kegiatan survei sebanyak 30 responden yang ditentukan secara
acak sederhana (symple random sampling). FGD dilakukan di Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP) Sidey yang diikuti oleh seluruh penyuluh (PPL) yang ada. Pada tingkat petani dilakukan
di level kelompok tani dengan peserta terdiri dari pengurus dan anggota. Sedangkan Indepth
Interview dilakukan pada pedagang pengumpul kedelai dan pengrajin tahu tempe.
Metode Analisis
Untuk mengetahui tingkat pendapatan dan kelayakan usaha kedelai digunakan
Analisis Pendapatan, Analisis kelayakan usaha (R/C ratio dan B/C ratio), analisis titik impas
(Soekartawi 2006. Debertin DL. 1986), dan Analisis Pemasaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengembangan kedelai di Papua Barat pada tahun 2016 berupa kegiatan Penerapan
Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dan program peningkatan Intensifikasi dan
ektensifikasi (PIP/PAT). Sedangkan Penerapan Teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA) tidak
dilakukan. Penerapan teknologi pengelolaan tanaman terpadu diterapkan melalui program
GP.PTT (Gerakan Pelaksanaan Pengelolaan Tanaman Terpadu). Kegiatan ini dilaksanakan di 9
kabupaten dengan total luas areal 1.450 ha, yang melibatkan sekitar 1.250 kk petani (Dinas
Pertanian dan Perkebunan Provinsi papua Barat, 2017). Khusus di Kabupaten Manokwari
program GP.PTT dilaksaanakan oleh 200 KK petani dengan luas areal 300 ha. Dalam
pelaksanaan program GP.PTT Kabupaten Manokwari merupakan daerah yang menonjol
dalam hal jumlah petani, luas areal, dan pencapaian tingkat produktivitas, dibanding
kabupaten lainnya seperti Kabupaten Sorong pesertanya hanya 200 kk dengan luas areal
150 ha; Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw,
Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Manokwari Selatan, pesertanya hanya 100 KK dengan
luasan 100 ha (Dinas Pertanian dan Perkebunan Prov. Papua Barat 2017).

Krakteristik Petani Kedelai

Petani kedelai di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong Papua Barat masih
tergolong usia produktif. Tingkat pendidikan rata-rata tamat SD (Sekolah Dasar).
Karakteristik petani seperti ini dapat mendorong untuk bekerja proaktif, dan aktif mencari
informasi. Jjika dilihat dari perbandingan luas penguasaan lahan dengan luas tanam kedelai
yang hanya sekitar 0,25% dengan waktu tanam yang hanya 1 X pertahun, dapat diartikan
bahwa pada umumnya petani belum tertarik untuk meningkatkan pendapatannya dalam
usahatani kedelai (Tabel 1).
Hanya sebagian kecil petani kedelai yang sudah menggunakan benih bermutu, yang
lainnya banyak menggunakan benih yang ada di petani seperti varietas Anjasmoro. Benih
varietas ini sebenarnya termasuk VUB, namun sudah sering di tanam dan tidak pernah
dimurnikan lagi sehingga kualitasnya relatif rendah. Penggunaan benih semacam ini sangat
berisiko terhadap penurunan produktivitas.
Dalam Juknis Pengembangan kedelai tahun 2015 ditegaskan :”Benih yang digunakan
untuk pelaksanaan program (Intensifikasi, Ekstensifikasi PAT-PIP dan swadaya) dapat

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 561
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
menggunakan benih kelas sampai BR4. Apabila di lokasi pelaksana program tidak tersedia
benih bersertifikat, maka diperkenankan menggunakan benih unggul swadaya petani hasil
JABAL menggunakan dana swadaya petani. Ketentuan ini dapat dilakukan dengan
persetujuan Kepala Dinas Pertanian Provinsi atas usulan Kepala Dinas Kabupaten/ Kota” (
Kementan 2015). Pernyataan di atas berkaitan dengan anjuran penggunaan benih bermutu,
terkesan “longgar,” artinya peserta GP.PTT kedelai yang menggunakan benih bermutu juga
dianggap sah-sah saja.

Tabel 1. Karakteristik Petani Kedelai dan Usahataninya di Kabupaten Manokwari 2016.


Kisaran Rata- rata
No Uraian
tertinggi terendah -
1 Umur (thn) 48 45 46,5
2 Pendidikan (tahun) 8 6,5 7,25
3 Jumlah Angg. Kel (orang) 3,7 3,6 3,65
4 Jumlah TK yang aktif (orang) 2,6 2,2 2,4
4 Luas penguasaan lahan (ha) 2,5 2,1 2,3
5 Luas tanam kedelai (ha) 0,8 0,6 0,7
6 Mutu Benih kedelai :
berlabel (%): 40 30 35
tidak berlabel (%): 60 70 65
7 Produktivitas (ton/Ha) 0,9 0,8 0,85
Sumber : Data Primer, diolah 2016.

Salah satu faktor penyumbang terhadap rendahnya produktivitas ini kemungkinan


berkaitan dengan penggunaan benih yang tidak berkualitas. Beberapa petani kedelai yang
sempat dikunjungi melaporkan bahwa benih kedelai yang digunakan daya tumbuhnya
rendah.

Analisis Biaya dan Pendapatan Kedelai

Analisisi biaya dan pendapatan usaahatani kedelai di Kabupaten Manokwari dapat


dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Biaya dan Pendapatan Kedelai per Ha Petani contoh


di Kabupaten Manokwari Tahun 2015.
No Uaraian Fpisik Nilai ( Rp)
1 Penerimaan ( Nilai Produksi) 850 7.225.000
2 Total Pengeluaaran 4.365.000
Pengeluaran reel 2.865.000
3 Pendapatan atas biaya Real (Rp/Ha) 4.860.000
3 Pendapatan Atas Total Biaya (1 -2) 2.860.000
4 R/C ratio 1,65
5 TIP (kg) 513,53
TIH (Rp) 5.135,29
*) Biaya diperhitungkan (tidak dibayar real)
**) Biaya reel dibayar

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


562 | Teknologi Pertanian
Tabel 2 menunjukkan bahwa petani kedelai di Kabupaten Manokwari, rata-rata
mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.865.000 (diluar tenaga kerja keluarga), pada tingkat
produktivitas 850 kg/ha mereka memperoleh pendapatan sebesar Rp 4.860.000 termasuk
upah kerja keluarga selama periode tanam. Pada tingkat produksi 513,53 kg/ha dan tingkat
harga Rp 5.135,29 kegiatan usaha kedelai baru mencapai titik impas. Kegiatan usaha ini
dapat dianggap menguntungkan dengan tingkat R/C ratio sebesar 1,65. Namun demikian
tingkat pendapatan tersebut masih relatif kecil, hanya sekitar Rp 2 juta per bulan termasuk
upah kerja keluarga. Rendahnya pendapatan petani tersebut disebabkan karena tingkat
penerapan teknologi masih rendah (terutama penggunaan benih bermutu), disamping itu
tingkat harga juga termasuk rendah.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa tingkat penggunaan input masih relatif rendah,
sehingga produktivitasnya juga rendah (0,85 ton/ha) dibanding dengan potensi yang
dimilikinya. Varietas-Varietas Ungggul Bermutiu (VUB) kedelai seperti Varietas Dering1;
Kaba, Ijen, bahkan varietas Anjasmoro, memiliki potensi produksi lebih dari 2 – 3 ton per ha
(Badan Litbang Pertanian 2009). Hasil Pengujian 4 VUB kedelai yang dilakukan oleh BPTP
Papua Barat di Kabupaten Manokwari menunjukkan hasil 1,71 sampai 2,03 ton/ha. meliputi
varietas Varietas Dering1; Willis, Kaba, dan Ijen B (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Papua Barat 2014)
Usahatani tanaman pangan di Indonesia pada umumnya diperhadapkan pada
permasalahan yang hampir sama, yaitu rendahnya efisiensi. Terutama efisiensi alokatif dan
efisiensi ekonomi. Penyebab rendahnya efisiensi usahatani baik teknis, alokatif, maupun
ekonomi, adalah perilaku petani dalam mengalokasikan input pada usahataninya. Petani
Indonesia umumnya berlahan sempit dan kekurangan modal. Petani yang memiliki kendala
permodalan biasanya menggunakan sarana produksi relatif kecil dari kebutuhan yang
seharusnya (rekomendasi), sebaliknya petani yang memiliki modal cukup cenderung
menggunakan input yang berlebihan. Hal ini mengakibatkan tingkat efisiensi yang bervariasi
(Asnah et all, 2015)
Demikian juga yang dialami oleh petani kedelai di lokasi pengkajian, mereka
tergolong petani yang memiliki kendala dengan permodalan, menggunakan input yang
relatif rendah, harga rendah, produksinya rendah sehingga pendapatannya juga relatif
rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengembangan usaha kedelai diperlukan
adanya jaminan harga dan penerapan teknologi. Hal ini sejalan dengan hasil pengkajiaan
Sahara et all 2016.

Pemasaran Kedelai

Saluran-saluran pemasaran kedelai dapat dilihat pada Gambar 1. Skema itu dibuat
berdasarkan wawancara dengan para petani, pedagang desa, pengumpul tingkat kecamatan,
dan pedagang tingkat kabupaten di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong (Gambar
1). Sistem perkedelaian di Kabupaten Manokwari saat ini yang berperan sebagai produksen
adalah petani, sedangkan konsumen utamanya adalah pengrajin tahu- tempe. Petani sebagai
produsen kedelai biasa menjual kedelai melalui pengepul desa/kecamatan (1-2) kemudian
pengepul desa/kecamatan menjualnya ke pengrajin tahu-tempe (2-3). Selain itu biasa juga
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 563
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
petani menjual langsung ke pengrajin tahu tempe (1-3) atau ke pedagang besar (1-6) baik
yang ada di kecamatan/desa maupun yang ada di kabupaten. Pengrajin tahu tempe sebagai
konsumen kedelai selain memperoleh pasokan kedelai dalam negeri juga memperoleh
pasokan kedelai impor. Jaringan pemasaran nya melalui importir (4) ke KOPTI (5) ke
pedagang besar/pengepul kabupaten ( 6) sampai ke pengrajin tahu tempe (3). Namun
demikian sering terjadi pelaku usaha (pedagang besar/pengepul kabupaten) langsung
memesan kedelai kepada importir di Surabaya, tanpa melalui KOPTI.

1 2 ( 7500 – 8000) 3. (8.500 – 9000)

PETANI PEDAGANG/PENGEPUL PENGRAJIN


KEDELAI DESA/kECAMATAN TAHU/TEMPE

4 6 (8.500)
PEDAGANG BESAR/
iMPORTIR KEDELAI PENGEPUL KABUPATEN

KOPTI

Gambar 1. Saluran Pemasaran Kedelai di Papua Barat Tahun 2016

Sebagai konsumen utama, pengrajin tahu tempe membeli kedelai lokal dengan harga
Rp.8.500 sampai Rp.9000 per kg, sedangkan harga kedelai impor Rp 10.000 sampai Rp
11.000 per kg. Dalam pembelian kedelai lokal harga tertinggi berada pada rantai 3 (pengrajin
tahu tempe), harga tertinggi kedua berada rantai 6 (pedagang besar/pengumpul
kabupaten/kota) dan harga terendah berada pada rantai 2 (pengumpul desa/kecamatan).
Dari berbagai alternatif jalur pemasaran, ternyata mayoritas petani lebih banyak
yang menjual ke pedagang pengumpul desa/kecamatan daripada ke saluran yang lain ,
walaupun ada beberapa petani yang menjual ke dua saluran pemasaran. (Gambar 2).
Selanjutnya mayoritas petani lebih memilih menjual kedelainya kepada pengepul
desa/kecamatan, padahal mata rantai No. 2 ini menentukan harga beli paling rendah
diantara mata rantai perdagangan lainnya. Dalam konteks ini pengrajin tahu tempe yang
menentukan harga beli tertinggi, kenapa demikian? Ternyata pedagang pengumpul
desa/kecamatan memberikan fasilitas/jasa yang menarik bagi petani. Fasilitas layanan
tersebut berupa: penjemputan produksi/kedelai di rumah petani, penyediaan karung untuk
kedelai, petani bisa ambil uang sebelum panen, dan lain-lain.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


564 | Teknologi Pertanian
Gambar 2. Jalur Pemasaran Kedelai dan banyaknya Petani yang mengakses

Dalam mengambil keputusan untuk menjual kedelai ke salah satu mata rantai pasar
yaitu ke pengrajin tahu - tempe atau ke pedagang besar di kota, petani golongan ini
mempertimbangkan kondisi keuangan pada saat itu. Jika petani yang bersangkutan masih
memiliki uang untuk kebutuhan ekonominya maka mereka akan memutuskan untuk menjual
ke pengrajin tahu-tempe. Sebaliknya jika petani memerlukan uang dalam waktu cepat
mereka akan memutuskan menjual kedele ke pedagang besar di kota. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat resiko yang akan diterima. Menjual ke pengrajin tahu-tempe berarti
memperoleh harga yang paling tinggi, namun pembayarannya harus menunggu sekitar satu
sampai dua minggu kemudian. Sebaliknya jika petani memilih munjual kedelai ke pedagang
besar berarti memperoleh harga di bawah mata rantai 3 tetapi pembayarannya kontan.
Mayoritas petani mengambil keputusan menjual ke pedagang pengumpul desa
mengindikasikan bahwa petani kekurangan modal dan membutuhkan segera adanya uang
tunai karena banyak kebutuhan keluarga.

Industri/pengrajin Tahu Tempe

Kedelai merupakan sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat Indonesia
pada umumnya. Konsumsi utamanya dalam bentuk tempe dan tahu yang merupakan lauk
pauk vital bagi masyarakat Indonesia. Bentuk lain produk kedelai adalah kecap, tauco, dan
susu kedelai. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi
pasar kedelai terbesar di Asia (Pusdatin 2015).
Berdasarkan data SUSENAS tahun 2014 yang dirilis BPS, konsumsi tempe dan tahu
rata-rata per orang per tahun di Indonesia sebesar 6,95 kg dan tahu 7,07 kg. Ironisnya
pemenuhan kebutuhan akan kedelai yang merupakan bahan baku utama tempe dan tahu,
67,28% atau sebanyak 1,96 juta ton harus diimpor dari luar. Hal ini terjadi karena produksi
dalam negeri tidak mampu mencukupi permintaan produsen tempe dan tahu dalam negeri
(BPS 2015).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 565
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Di Papua Barat konsumen utama kedelai adalah pengrajin tahu tempe. Sedangkan
produk susu kedelai, masih sangat kecil (< 5 %), bahkan produk produk kecap dan tauco
belum ada. Dengan demikian pengrajin tahu tempe menjadi pemeran utama dalam
dinamika perkedelaian di Papua Barat. Sejalan dengan hal tersebut, menjadi hal yang cukup
penting untuk mengetahui karakteristik pengrajin tahu tempe di Papua Barat seperti
dituangkan pada Tabel 3.
Tabel 3. menunjukkan bahwa pengrajin tahu - tempe pada umumnya termasuk
dalam usaha perorangan/industri rumah tangga. Produksi yang terbesar dari usaha ini
adalah tahu. Dalam permodalan usaha tahu - tempe pada umumnya pengrajin menggunakan
modal sendiri/keluarga, namun sebagian sudah mengakses modal dari bank BRI.
Informasi yang sangat menarik bahwa kebutuhan bahan baku untuk produksi tahu-
tempe ini sebagian besar bersumber dari kedelai impor. Sedangkan pengunaan kedelai lokal
hanya berkisar 10 – 25% saja. Kenapa para pengrajin lebih banyak menggunakan kedelai
import dari pada kedelai lokal? jawabannya hampir semua pengrajin mengatakan bahwa
kedelai lokal tidak tersedia secara terus menerus, sifatnya hanya temporer saja misalnya
pada saat musim panen kedelai, itupun kalau berhasil dipanen. Selain sering gagal panen
karena iklim, juga kualitasnya turun drastis jika panen dimusim hujan. Sebaliknya kedelai
impor dapat diakses setiap saat, kualitasnya bagus, walaupun diakui harganya relatif lebih
mahal.

Tabel 3. Karakteristik Pengrajin Tahu Tempe di Papua Barat, Tahun 2016


No Karakteristik Pengarajin Tahu-Tmpe Kisaran Rata-Rata
Terendah Tertinggi
1 Umur (tahun) 55 35 42
2 Pendidikan (tahun) 12 6 10
3 Pengalaman Usaha (tahun) 30 10 22
4 Kebutuhan kedelai/bulan (ton) 1,3 1,5 1,4
5 Sumber bahan baku /Kedelai :
Kedelai lokal (%) 10 25 20
Kedelai import (%) 75 90 80
6 Jenis Usaha Perorangan Perorangan
7 Jenis Produksi :
Tahu : (%) 100 100 100
Tempe (%) 50 30 40
8 Banyaknya Produksi per harii:
Tahu (Bak/cetakan) 30 20
Tempe (bungkus) 300 1000 750

9 Jenis Permodalan :
Modal sendiri 100 100 100
Modal dari Bank 60 60 60
Jumlah Pekerja (orang) 2 4 3
Sumber : Data Primer 2016.

Secara fisik perbedaan antara kedelai impor dan kedelai lokal, diantaranya: (1) ukuran
biji lebih besar; (2) warna lebih cerah; (3) lebih bersih dari benda-benda ikutan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


566 | Teknologi Pertanian
Banyaknya pengrajin tahu tempe di Kabupaten Manokwari 33 pengrajin tahun-
tempe (Dinas Perindustrian Kabupaten Manokwari, 2016). Seluruh pengrajin menggunakan
bahan baku kedelai. Dengan demikian kebutuhan kedelai untuk industri tahu sebesar 49,5
ton perbulan atau sekitar 594 ton. Jika dikaitkan dengan besarnya produksi kedelai pada
tahun 2016 ( 300 ha X 0,85 ton = 255 ton), maka telah terjadi defisit sebesar 369 ton/tahun,
atau 30,75 ton per bulan ( 62,1%).
Kedelai sebagai tanaman musiman tentu periode usahanya relatif rendah (sekitar 3
bulan) dalam kondisi waktu tanam yang relatif bersama, seperti di kabupatern Manokwari
tentu sulit untuk mempertahankan produksi setiap bulan. Dalam hal ini ada waktu waktu
tertentu tersedia melimpah, dan waktu yang lain tidak tersedia sama sekali. Dalam konteks
ini produksi kedelai hanya diperoleh pada musim panen. Sementara kebutuhan bahan baku
untuk industri tahu tempe menghendaki ketersediaan kedelai secara kontinyu setiap
bulan/setiap dibutuhkan. Persediaan kedelai setiap musim panen diperkirakan bertahan
selama 4 bulan. Jika kedaannya seperti ini maka setiap musim panen mengalami surplus
produksi sebesar 11,6 persen, dengan asumsi kebutuhan kedelai dipenuhi 100% dari
produksi kedelai lokal. Jika bahan baku kedelai hanya 20% (Tabel 3), berati kedelai lokal yang
terserap hanyas 9,9 ton/ha, maka surplus produksi pada periode panen (4 bulan) dapat
mencapai 58 %. Melimpahnya produksi pada saat ini mengakibatkan harga jual rendah dan
berujung pada rendahnya pendapatan petani.

Tabel 4. Produksi dan Kebutuhan Kedelai untuk Industri Tahu Tempe di Kabupaten
Manokwari Tahun 2016
Produksi dan Konsumsi Produksi /tahun
No Uraian
Per tahun Pebulan Pertahun perbulan
1 Produksi kedelai (Ton) 225 18,75 z225 56,225*
2 Kebutuhan industri tahu/tempe (ton) 594 49,5 594 49,5
3 Surplus (ton) - - - 5,75
4 Defisit (ton) 369 30,75 369 -
5 Prosentase (%) 62,1 62,1 62,1 11,6
Sumber: Data Primer 2016, diolah
Keterangan *) Produksi saat panen selama 4 bulan

Rendahnya pendapatan petani tersebut pada gilirannya akan berdampak terhadap


rendahnya minat petani untuk menanam kedelai, selanjunya ketersediaan kedelai lokal dan
dalam negeri akan semakin menurun. Akhirnya kebutuhan akan impor kedelai semakin
tinggi. Kondisi seperti ini tentu tidak dikehendaki karena akan berdampak negatif terhadap
sistem ketahanan pangan. Ketergantungan terhadap impor juga akan mempengaruhi
stabilitas sosial ekonomi, dan politik negara.

KESIMPULAN
Petani memiliki karakter yang cukup kondusif untuki mengembangkan usahatani
kedelai di dukung pengalaman dan tingkat pendidikan yang relatif memadai serta usia yang
relatif muda. Namun luas usahanya relatif masih sempit dibanding dengan luas lahan yang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 567
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dikuasainya, sehingga produktivitas yang dicapai petani masih relatif rendah, harga jual juga
relatif rendah sehingga pendapatannya masih rendah.
Terdapat dua model saluran pemasaran kedelai lokal: a) dari petani ke pedagang
pengepul desa, terus ke pengrajin tahu tempe, b) dari petani langsung ke pengrajin tahu
tempe, baik yang ada di desa maupun yang ada di kota kabupaten, 70% petani memilih
saluran pemasaran pertama. Untuk pengembangan kedelai kedepan diperlukan dukungan
kebijakan pemerintah terutama berkaitan berkaitan dengan, dukungan permodalan, jaminan
harga, dan peningkatan penerapan teknologi.

DAFTAR PUSTAKA
Asnah, Mashyuri, Jangkung Handoyo Mulyo, dan Slamet Hartono, 2015. Tinjauan Teoritis
dan Empiris Efisiensi, Risiko dan Pelak, Rsiko Usahatani Serta Implikasinya dalam
Upaya Pencapaian Swasembada Pangan. Forum Peneliti Agro Ekonomi Vol. 33 No 2
Desember 2015.
Badan Litbang Pertanian 2009. Deskripsi Varietas Unggul Palawija 1918 – 2009. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, 2008. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30. No. 1; p 3-5.
Bappeda Prov. Papua Barat, 2012. Arah dan Kebijakan Pembangunan Pertanian di Provinsi
Papua Barat. Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan Bebasis Inovasi. Manokwari.
Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economic. Newtork. MacMillan Publising
Company
Departemen Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribnisnis Kedelai. Edisi ke
dua. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementeriaan Pertanian 2007
Fatah Lutfi, 2010. Simple manual For Outcome Based Monitoring and Evaluation. Fakultas
Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.
Hernawan Agus, 2015. Aplikasi Statistika pada data Pendampingan Untuk Karya Tulis Ilmiah.
IAARD Press. Badan Penelitian dan Peengembangan Pertanian
Hill, T. and Westbrook, R. 1997. "SWOT Analysis: It's time for a product recall". Long Range
Planning, vol 30, no 1, tahun 1997
Outlook Komodiitas Pertaniian Tanaman Pangan Kedelaii 2015. Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Kementerian Pertanian
Papua Barat Dalam Angka, 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2013. Rencana Kinerja Tahun 2013. Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


568 | Teknologi Pertanian
Pusdatin, 2015. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Kedelai. Pusat Data dan
System Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian.
Sahara Dewi, Reni Oelviani, dan Ratih Kurnia, 2016. Analisis Keuntungan Usahatani Kedelai di
Kabupaten Grobogan- Jawa Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Bogor.
Sitorus,MT, Endriatmo.S, Juara P.L, Ivanovich A, dan Rahmat P. 2004. Agribisnis Berwawasan
Komunitas. Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial. Pustaka Wira Usaha Media.
Bogor.
Suharto, Edi, 1997, Analisis Kebijakan Sosial, Diakses pada 27 Februari 2013.
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_17.htm ,
Subejo, 2006. Bahan Ajar Sosiologi Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta
Soekartawi, 2006. Analisis Usahatani. U.I Press. Jakarta.
Suyamto dan I Nyoman Widiarta, 2007. Kebijakan Pengembangan Kedelai Nasional.
Prosiding Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi Isotop dan Radiasi, 37 Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Zakaria Amar K, 2010. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 8. No. 3. September 2010.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 569
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI KELEMBAGAAN PERBENIHAN PADI DI
PROVINSI PAPUA BARAT

Entis Sutisna dan Fransiska Renita Anon Basundari

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat


Entis 007@ yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di tiga kabupaten yakni Manokwari, Sorong, dan Teluk Bintuni pada
bulan April sampai juni 2014. Menggunakan metode survei dengan tujuan mengidentifikasi dan
mengkarakterisasi kelembagaan produksi perbenihan padi yang ada di Papua Barat. Hasil
Pengkajian menunjukkan bahwa belum semua wilayah Papua Barat memiliki kelembagaan
perbenihan, dari 10 kabupaten dan satu kota, baru ada tiga kabupaten yang sudah mulai
menangani perbenihan padi. Di Kabupaten Manokwari terdapat BBI (Balai Benih Induk), BBU
(Balai Benih Utama), dan penangkar benih. Sedangkan di kabupaten Sorong dan Teluk Bintuni
baru ada BBU dan Penangkar benih. Lembaga perbenihan padi yang sudah memproduksi benih
setiap tahun dengan kapasitas terbesar baru BBI, yang lainnya belum memproduksi secara
berkesinambungan. Distribusi benih terbesar adalah dijual ke pemerintah melalui BLBU. Selain
itu ada juga yang digiling menjadi beras. Keberadaan Lembaga Perbenihan di Papua Barat
masih lemah. Diperlukan dorongan yang kuat dari Pemerintah Daerah untuk meningkatkan
kapasitas dan kualitas kelembagaan perbenihan yang ada.
Kata Kunci: Kelembagaan produksi perbenihan padi, benih padi bermutu.

PENDAHULUAN
Benih memiliki peran strategis sebagai sarana pembawa teknologi baru, berupa
keunggulan yang dimiliki varietas dengan berbagai spesifikasi keunggulan misalnya 1) daya
hasil tinggi, 2) tahan terhadap hama dan penyakit yang mendukung sistem pola tanam dan
pengendalian hama terpadu 3) umur genjah untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP)
dan 4) keunggulan mutu hasil panen sehingga sesuai dengan selera konsumen (Nugraha dan
Hidayat, 2000) Keunggulan tersebut pertama kali ditemui pada benih sumbernya yakni benih
penjenis (BS) sebagai kelas benih tertinggi.
Lembaga yang mengatur masalah perbenihan di indonesia adalah Badan Benih
Nasional (BBN). Badan ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 1971tanggal 5 Mei 1971. Pertimbangan didirikan BBN adalah upaya
peningkatan produksi pertanian memerlukan kebijakan yang terkoordinasi dalam hal
kegiatan yang berhubungan dengan pebenihan yang dikelola oleh Kementerian Pertanian
Benih bermutu dari varietas unggul spesifik lokasi merupakan komponen teknologi
yang paling cepat diadopsi oleh petani (Anonim, 2007; Subandi, 2008). permasalahan
muncul terkait dengan penyediaan benih bermutu yang memenuhi ‘enam syarat tepat’
(tepat varietas, jumlah, lokasi, mutu, waktu dan harga) yang belum dapat diakses oleh petani
secara mudah dan murah.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


570 | Teknologi Pertanian
Di Papua Barat, padi sudah menjadi komoditas strategis. Saat ini konsumen beras
bukan hanya masyarakat pendatang, tetapi masyarakat lokal pun sudah mulai
mengkonsumsi nasi. Sejalan dengan itu Pemerintah Daerah Papua Barat sudah
memprogramkan komoditas padi sebagai komoditas yang perlu mendapat perhatian. Pada
tahun 2013 luas sawah di Papua Barat tercatat 6.794 ha, dengan tingkat produktivitas 4,12
ton/ha (Papua Barat Dalam Angka, 2014). Dari 11 Kabupaten Kota yang ada di wilayah Papua
Barat sudah enam kabupaten yang mengembangkan padi sawah, dengan pusat
pengembangan di Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Teluk Bintuni,
namun produktivitasnya masih relatif rendah. .
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi adalah masih rendahnya
penerapan teknologi, termasuk penggunaan benih unggul bermutu. Kebutuhan benih
bermutu di Papua Barat ditaksir paling sedikit 625 ton, sedangkan yang tercukupi baru
sekitar 10 ton.
Rendahnya akses petani terhadap benih unggul bermutu tersebut kemungkinan
terjadi karena kelembagaan perbenihan padi yang ada di Papua Barat belum berfungsi
secara optimal sehingga system penyediaan benih bermutu belum dapat ditangani sesuai
harapan. Akibatnya ketersediaan benih bermutu masih sangat kurang. Dengan demikian,
upaya membangun dan mengembangkan sistem penyediaan benih bermutu bagi petani
merupakan hal yang harus segera dilaksanakan.
Kelembagaan perbenihan yang dimaksud adalah sebagai institusi-institusi yang
menangani perbenihan, serta hubungan-hubungan yang terjadi antara institusi tersebut
berkaitan dengan upaya pengembangan lembaga perbenihan. Institusi atau lembaga yang
menangani perbenihan tersebut diantaranya BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih,
BBI (Balai Benih Induk), BBU (Balai Benih Utama), dan pengkar benih, serta institusi lainnya
baik formal maupun non formal. Kelembagaan tersebut sangat diperlukan keberadaannya
dalam upaya memperlancar system penyediaan benih bermutu (Israel, 1990). Makalah ini
bertujuan: 1) Mengidentifikasi kelembagaan perbenihan yang ada di Papua Barat; 2)
Mengkarakterisasi kelembagaan perbenihan yang ada

METODOLOGI PENGKAJIAN
Kajian ini dilaksanakan bulan Juni- Agustus, 2014 di Kabupaten Manokwari, Sorong,
dan Teluk Bintuni. Penetapan lokasi pengkajian ditentukan secara sengaja yaitu daerah
sentra pengembangan padi di Provinsi Papua Barat. Kelembagaan perbenihan yang
diidentifikasi meliputi Balai benih Induk (BBI); Balai benih Utama (BBU), dan Penangkar
Benih. Dalam proses sampling, jika banyaknya unit kelembagaan terdapat lebih dari 5 unit,
diambil 30 – 40 %. jika sampelnya relatif kecil ( 2 – 3 unit), diambil seluruhnya sebagai
responden (Tabel 1)
Hanya ada 3 jenis kelembagaan perbenihan padi yang akan di analisis, yakni BBI, BBU,
dan penangkar benih padi. Hampir semua lembaga yang menangani benih padi dijadikan
sampel dalam pengkajian ini

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 571
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 1. Sampel Lembaga Perbenihan Padi di Papua Barat tahun 2013.
Jumlah Jumlah sampel
No Jenis Kelembagaan Perbenihan Padi
(unit) (Unit)
1 Balai benih Induk (BBI)*) 1 1
2 BBU **) 3 3
3 Penangkar Benih:
Manokwari 7 3
Sorong 2 2
Teluk Bintuni 2 2
Jumlah 15 11
Keterngan :*) BBI (Balai benih Induk) ada satu unit di provinsi
**) BBU (Balai Benih Utama) hanya ada satu setiap kabupaten.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber, baik melalui wawancara, maupun
melalui observasi langsung. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait yang
ada hubungannya dengan substansi yang dikaji. Variabel-variabel data meliputi : Prasarana
Lahan Untuk Produksi Benih; Prasarana Non Lahan; Produksi Dan Distribusi Benih; Kapasitas
Produksi Benih; kualitas benih, dan lain-lain.

Analisis Data

Untuk menjawab tujuan dilakukan analisis deskriptif. Lembaga perbenihan padi yang
diidentifikasi adalah lembaga produsen benih padi yang terdiri dari BBI (Balai Benih Induk),
BBU ( Balai Benih Utama), dan Penangkar Benih Padi. Sedangkan karakter kelembagaan
perbenihan yang disoroti meliputi: Kondisi prasaran produksi (Lahan, dan non Lahan), Jenis
dan kapasitas produksi, serta distribusi benih padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Kegiatan

Provinsi Papua Barat berada pada posisi 0º,0´- 4º ,0´LS, dan 24º, 00´- 132º,00´ BT.
Sebelah Utara berbatasan dengan Samudra Pasifik, sebelah Selatan dengan Laut Bandan dan
Provinsi Maluku, Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Seram dan provinsi Maluku, dan
sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Papua (Papua Barat dalam Angka 2011a).
Luas wilayah provinsi Papua Barat sekitar 97.024,27 km² dihuni oleh sekitar 760.422
jiwa, kepadatan penduduk 7,84 jiwa/km² dengan laju pertumbuhan 3,71% (Papua Barat
Dalam Angka, 2011b). Wilayah tersebut meliputi 10 kabupaten dan 1 kota. 54% masyarakat
bekerja di bidang pertanian dalam arti luas (pertanian, peternakan, perikanan, berburu, dll)
(Papua Barat Dalam Angka 2011c).
Pada umumnya kegiatan pertanian masih dilaksanakan secara subsisten dengan
orientasi produksi untuk dikonsumsi. Namun kegiatan usahatani lahan sawah sudah lebih
maju dibanding lahan kering. Umumnya lahan sawah banyak dikerjakan oleh penduduk ex-

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


572 | Teknologi Pertanian
transmigrasi dari Jawa dan Bali. Tingkat produktivitas padi masih relatif rendah. Pada tahun
2007 tercatat luas panen padi sawah sekitar 22.957 ha dengan tingkat produktivitas sekitar
3,5 ton/Ha GKG. (Papua Barat Dalam Angka, 2008).Pada tahun 2008 luas panen meningkat
menjadi 24.461 ha, produksi juga meningkat 4 %, namun produktivitas masih tetap rendah (
Papua Barat dalam Angka 2009)
Kegiatan usahatani padi sawah baru dikembangkan di 6 kabupaten dari 11
kabupaten-kota yang ada saat ini. Pusat pengembangan komoditas ini berada di kabupaten
Manokwari, kabupaten Sorong, Raja Ampat, dan kabupaten Teluk Bintuni. Di kabupaten ini
sudah mulai menggunakan benih-benih unggul, baik bersumber dari BLBU (Bantuan
Langsung Benih Unggul), ataupun berasal dari petani penangkar.
Kelembagaan perbenihan seperti BBI (Balai Benih Induk) dan BPSB (Balai Pengawasan
dan Serifikasi Benih) terdapat di provinsi, sedangkan BBU (Balai benih Utama) dan
penangkar benih, baru ada di 3 kabupaten yaitu kabupaten Manokwari, kabupaten Sorong,
dan kabupaten Teluk Bintuni.

Identifikasi Kelembagaan Perbenihan

Balai Benih Induk (BBI)


Lembaga perbenihan ini berkedudukan di Kampung Bowi Subur, Distrik Masni,
Kabupaten Manowari- Provinsi Papua Barat. Secara Struktural merupakan UPTD (Unit
Pelaksana Teknis Dinas) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Papua Barat. Lembaga ini
didirikan melalui Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 12 Tahun 2008 , tentang
Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Balai Benih Induk (BBI) padi, palawija dan
hortikultura Provinsi Papua Barat, Ditetapkan di Manokwari pada Tanggal 4 Juli 2008. Dalam
pelaksanaannya Balai Benih Induk Padi, Palawija dan Hortikultura Papua Barat mulai
beroperasi tahun 2010 Berdasarkan Peresmiannya Oleh Gubernur Papua Barat yakni tanggal
02 Agustus 2010.
Susunan Organisasi Balai Benih Induk padi, palawija dan hortikultura Papua Barat
sesuai Pergub. Nomor 12 Tahun 2008 sebagai berikut : Kepala Balai; Sub Bagian Tata Usaha;
Seksi Produksi Benih, dan Seksi Prasaranan dan Sarana. Kepala balai merupakan pipinan BBI
menyandang jabatan Eselon III, struktur di bawahnya menyandang Jabatan Eselon IV.
Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BBI (dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2014)
, meliputi: (1) Menyusun rencana dan program kerja; (2) Memproduksi Benih sumber
tanaman padi, palawija dan hortikultura; (3) Melakukan pembinaan teknis Balai Benih
Utama dan Benih pembantu; (4) Melakukan penerapan teknologi di bidang perbenihan padi,
palawija dan hortikultura; (5) Pelayanan informasi perbenihan padi, palawija dan
hortikultura; (6) Pelayanan pemurnian kembali varitas unggulan yang sudah lama beredar;
(7) Pelayanan pengujian varitas dan galur harapan yang berasal dari pemulia tanaman; (8)
Pelayanan studi, latihan dan arena pertemuan, penyuluhan petani, kontak tani, penangkar
benih, para petugas dan ahli dalam kalangan perbenihan padi, palawija dan hortikultura; dan
(9) Pengelolaan urusan keta tausahaan, pembiayaan dan perlengkapan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 573
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Balai Benih Utama
Terdapat tiga BBUyang diidentifikasi, yaitu Manokwari, Sorong, dan Teluk Bintuni.
Manokwari berkedudukan di kampung Wariori (Sp-8) distrik Masni Kabupaten Manokwari.
Institusi ini dikepalai oleh seorang kepala Balai dengan jabatan struktural tingkat Eselon IV
dan dibawahi langsung oleh Bidang Produksi Pertanian yang ada di Dinas Pertanian
Kabupaten Manokwari. Untuk mendukung kinerja BBU, Kepala BBU dibantu tiga orang
pegawai, dua diantaranya sudah pegawai negeri dan satunya masih magang.
Secara normatif tupoksi BBU adalah menghasilkan/melakukan perbanyakan benih
bermutu kelas SS dan ES, termasuk melakukan pembinaan terhadap penangkar yang ada
diwilayah kerja kabupaten (Dinas Pertaanian dan Peternakan kab. Manokwari 2014). Namun
demikian sampai saat ini tupoksi seperti di atas belum dapat dilaksanakan. Kegiatan BBU
masih berorientasi pada produksi gabah dan tanaman lainnya untuk tujuan konsumsi.
BBU kabupaten Sorong terletak di Kampung Makbalim, Distrik Mayamuk. Secara
struktural kelembagaan ini merupakan UPTD Dinas Pertanian kabupaten Sorong yang berada
langsung di bawah Bidang Produksi Tanaman Pangan (Dinas pertanian dan Perkebunan kab.
Sorong, 2014). BBU didirikan pada tahun 2006, namun pembangunan sarananya
dilaksanakan secara bertahap sampai tahun 2010. Sebenarnya BBU ini dipersiapkan untuk
menangani pembibitan hortikultura. Sampai ini sudah memiliki koleksi kebun induk
hortikultira seperti mangga, jeruk, dan rambutan, namun sampai saat ini belum menghasil
benih bermutu secara keberlanjutan
Untuk mendukung kinerja lembaga ini, telah tersedia pegawai sebanyak 13 orang,
semuanya Pegawai Negeri Sipil (PNS), kecuali satu orang tenaga kebun yang masih honorer.
Pada saat observasi lapang, pada lahan BBU ditanami sayuran dan palawija untuk tujuan
komsumsi.
BBU Kabupaten Bintuni terletak di kampung Tisac, distrik Bintuni, tidak jauh dari Kota.
Secara struktural kelembagaan ini merupakan salah satu UPTD Dinas pertanian kabupaten
teluk Bintuni, berada langsung di bawah Bidang tanaman pangan. Untuk melaksanakan
kinerjanya lembaga ini memiliki enam pegawai, namun semuanya masih tenaga honor,
kecuali kepala BBU yang sudah menjadi Pegawai Negeri (Dinas Pertanian kab. Teluk Bintuni,
2014).
BBU ini didirikan pada tahun 2010, dipersiapkan untuk menangani perbenihan
tanaman pangan dan hortikultura. Namun sampai saat ini belum menghasilkan benih
bermutu, baru pada taraf pemanfaatan lahan dengan komoditas jagung dan palawija
lainnya. Dalam opersional kerjanya sampa saat ini belum ada alokasi anggaran yang tegas
untuk produksi benih.

Kelompok Penangkar

Sebenarnya penangkar benih yang definitif di Papua Barat sampai saat ini belum ada,
namun sudah ada calon penangkar yang sudah menghasilkan benih hasil bimbingan dari
BPTP dan BBI Papua Barat. Kelopmpok penangkar ini sudah mulai produksi sejak tahun 2010,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


574 | Teknologi Pertanian
namun pembinaannya hanya melalui pendampingan SL-PTT (petani demplot SLPTT) yang
mendapat benih sumber dari BPTP yaitu varietas Ciherang, Cigeulis, Impari 8 dan Impari 9.
Sedangkan sumber benih dari BBI adalah varietas Inpari 6 dan varietas Mekongga.
Selanjutnya beberapa penangkar yang ada, dijadikan sebagai mitra kerja-sama UPBS BPTP
Papua Barat dan kerjasama dengan BBI dalam produksi benih bermutu. Penangkar benih di
kabupaten Manokwari terdapat di Distrik Masini 3 kelompok, distrik Prafi 2 kelompok, dan
distrik oransbari 2 kelompok. Sementara itu penangkar di kabupaten Sorong terdapat di
Kampung Walal, distrik Salawati Selatan, distritrik Aimas, yaitu di kampung Malawele, dan
Malawili. Di Kabupaten teluk Bintuni kelompok penangkar berada di SP1 dan SP 4 Distrik
Manimeri.

Karakterisasi Kelembagaan Perbenihan

Penguasaan lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi benih oleh BBI, BBU,
dan para penangkar di provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 2. Menunjukkan bahwa
BBI memiliki lahan 11 ha, terdiri dari lahan sawah 7 ha, dan lahan kering 4 ha. Namun lahan
tersebut (lahan sawah) belum bisa dipergunakan semuanya karena lahan masih banyak
bermasalah sehingga kalau ditanami sering gagal panen. Dengan demikian dalam
memproduksi benih BBI melakukan kemitraan/kerjasama dengan penangkar (menggunakan
lahan penangkar).

Tabel 2. Prasarana Lahan Untuk Produksi Benih oleh BBI, BBU, Dan Penangkar
di Provinsi Papua Barat 2013
Luas Penguasaan Lahan (ha)
Kelembagaan
No Milik luas lahan untuk
Perbenihan Milik(Potensi) Sewa *)
(digunakan) produksi benih
1 BBI 11 5 25 30
2 BBU MKW 10 0 0 0
3 BBU Sorong 5 2 0 0
4 BBU T.Bintuni 2 0 0 0
P.Benih MKW
a. Masni 30
0 0 0
b. Prafi 50
20*) 50** 0 20
c. Oransbari 50
5 *) 0 5
5 P.Benih Sorong
a. Walal 50 50** 0 50
B. Aimas 20 20 0 20
6 P.Beih T. Bintuni
SP.4 10 2* 0 2
SP.1 10 2* 0 2
Keterangan *) Bagi Hasil /Kemitraan; ** program Pemberdayaan Penangkar padi

BBU kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni, dan Sorong rata-rata memiliki lahan
namun lahan tersebut belum dipergunakan untuk produksi benih bermutu, penggunaannya
hanya sekedar pemamfaatan lahan untuk produksi gabah dab bahan pangan lainnya. Hal ini

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 575
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
terjadi karena pada umumnya BBU belum mendapat alokasi dana secara kontinyu dari
Pemerintah daerah (Pemda).
Sementara itu lahan milik penangkar belum selamanya dipergunakan untuk produksi
benih, itu tergantung pihak yang mau bekerjasama, baik BBI maupun UPBS BPTP. Jika tidak
ada kerjasama, maka lahan petani penangkar sepenuhnya digunakan untuk produksi gabah,
jadi tidak menghasilkan benih padi.
Kesepakatan yang diterapkan dalam proses kerjasama produksi benih antar BBI
dengan penangkar yakni: BBI (pihak pertama) berkewajiban membiayai produksi benih,
nanti setelah panen biaya produksi dikembalikan dalam bentuk “natura” sesuai harga benih
yang berlaku (biasanya mengikuti harga BLBU), yaitu sebesar Rp 6000/kg benih. Jadi apabila
biaya produksi per ha Rp 6.000.000, maka setelah panen BBI mendapat satu ton benih dari
mitra/penangkar. Selain itu BBI juga diwajibkan memberi bimbingan teknis dalam produksi
benih padi.
Dengan demikian dari aspek dukungan prasaran produksi benih padi (lahan), dapat
dikatakan mencukupi, namun dari segi kualitas belum memadai, baik di BBI maupun BBU
kabupaten Manokwari. Lain lagi di BBU kabupaten Sorong dan BBU kabupaten Teluk
Bintuni, di sini kualitas lahan cukup baik, hanya belum digunakan untuk produksi benih, baru
memproduksi gabah dan bahan pangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tugas pokok
BBU untuk menghasilkan benih bermutu, belum dapat dilaksanakan.
Prasarana pendukung produksi benih non lahan Di Kabupaten Manokwari dapat
dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sarana Pendukung Produksi Benih Non Lahan Di Kabupaten Manokwari Tahun 2013
Prasana Pendukung Produksi Benih Padi
No Nama BBI/BBU Lantai Alat Seed Green
Traktor Trasher
jemur pengering Cleaner House
1 BBI 8 4 1 1 1 1
2 BBU MKW 2 2 1 1 2 -
3 BBU Sorong 1 - - - - 2
4 BBU T.Bintuni 1 - 1 1 1 -
5 P.Benih MKW
a. Masni 2 4
- - - -
b. Prafi 2 4
1 - - -
c. Oransbari 2 4
6 P.Benih Sorong
a. Walal 2 3 - - - -
B. Aimas 2 3 1 - - -
7 P.Benih T. Bintuni
SP.4 2 4 - - - -
SP.1 2 4 - - - -
Jumlah 16 14 2 22 3 1

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


576 | Teknologi Pertanian
Dari aspek sarana pendukung non lahan cukup tersedia, kecuali BBU Sorong masih
minim. Dalam kaitannya dengan penguasaan/pemilikan peralatan pendukung, kelihatannya
semakin tinggi hirarki kelembagaan semakin tinggi pula sarana pendukung yang dimiliki.
Berdasarkan banyaknya sarana pendukung produksi maka BBI terlihat paling banyak,
kemudian BBU Manokwari, BBU Bintuni, dan BBU Sorong. Sedangkan penangkar masih
banyak menggunakan peralatan milik masyarakat yang dikelola oleh UPJA (unit Pengelolaan
Jasa Alsintan).

Jenis Benih yang Diproduksi

Jenis benih yang diproduksi oleh setiap lembaga perbenihan, pada umumnya adalah
produksi benih padi, namun demikian ada juga benih lainnya seperti hortikultura dan
palawija, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis produksi
benih yang diproduksi pada umumnya adalah Benih Padi Sawah. Sedangkan bibit Palawija
dan hortikultura masih jarang diproduksi. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan usahatani
padi lebih menonjol dibanding usaha tanaman pangan lainnya. Dari aspek status, BBI dan
BBU merupakan lembaga pemerintah, sedangkan penangkar merupakan kegiatan usaha
perorangan.

Tabel 4. Jenis Produksi Benih yang di Hasilkan Oleh Lembaga Perbenihan


di Provinsi Papua Barat Tahun 2013
Status
Jenis Benih yang
No Nama BBI-BBU Lembaga
dihasilkan Swasta Perorangan
Pemerintah
1 BBI Padi, kedelai, Ya - -
2 BBU. Manokwari Padi Ya - -
3 BBU Sorong Hortikultura Ya - -
4 BBU T. Bintuni Palawija Ya - -
5 P.Benih Manokwari
a. Masni Padi - - Ya
b. Prafi Padi - - Ya
c. Oransbari Padi - - Ya
6 P.Benih Sorong
a. Walal Padi - - Ya
B. Aimas Padi - - Ya
7 P.Benih T. Bintuni
SP4 Padi - - Ya
SP1 padi - - Ya

Kapasitas produksi benih terbanyak dihasilkan oleh BBI, namun hampir semuanya
(sekitar 98%) dihasilkan melalui kerjasama dengan penangkar benih padi, yang dihasilkan di
lahan sendiri hanya sekitar 2%. (Tabel 5).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 577
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 5. Banyaknya Produsen dan Jumlah Benih yang Dihasikan
Berdasarkan Kelas Benih di Papua Barat Tahun 2012
Jumlah Produksi Benih Yang dihasilkan Tahun 2012 (ton)
No Nama Lembaga
Ss Fs ES Keterangan
1 BBI 0 2 0 Dari lahan sendiri
2 BBU Manokwari 20 0 0 Kerjasama dgn UPBS
3 BBU Sorong 0 0 0 Tdk produksi benih
4 BBU T. Bintuni 0 0 0 Tdk produksi benih
5 P.Benih Manokwari
a. Masni 15 0 0 Kerjasama dgn BBI
b. Prafi 60 0 Kerjasama dgn BBI
c. Oransbari 36 0 0 Kerjasama dgn BBI
6 P.Benih Sorong
a. Walal 0 0 30 Kerjasama dgn BBI
B. Aimas 150 Kerjasama dgn BBI
7 P.Benih T. Bintuni
Sp 4 0 0 2 Kerjasama dgn BBI
SP1 0 0 2 Kerjasama dgn BBI
Jumlah 131 2 184

BBI Sebagai institusi/lembaga penghasil benih selayaknya dapat memproduksi benih


dengan menggunakan sarana dan prasarana milik sendiri, termasuk pelibatan tenaga teknisi
dan ahli yang propesional dibidang perbenihan. Hal ini sangat berkaitan dengan harapan
tercapainya output yang dihasilkan berupa benih bermutu, sekaligus meningkatkan
keyakinan konsumen akan jaminan kualitas produksi.
Memang ada lembaga perbenihan yang bertugas mengawasi kualitas, yaitu BPSB
(Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih) namun Lembaga ini juga belum berfungsi secara
baik mengingat ketersediaan tenaga lapangannya masih sangat kurang. Dengan demikian
pengawasan kualitas calon benih di lapangan masih lemah dan dapat berakibat pada
rendahnya kualitas benih yang dihasilkan.
Selanjunya dapat kita lihat juga (Tabel 4) bahwa hampir semua BBU tidak dapat
memproduksi benih bermutu, kecuali BBU Manokwari dapat menghasilkan produksi benih
hasil kerjasama dengan UPBS (Unit Pengembangan Benih Sumber) yang ada di BPTP Papua
Barat.
Hadirnya UPBS BPTP Papua Barat sebagai institusi penghasil benih, sebenarnya
bertujuan untuk membantu menangani masalah tidak tersedianya benih bermutu secara
memadai. Namun dalam pelaksanaannya masih “ kurang harmonis” dengan BBI karena
dianggap pesaing dalam pemasaran benih. Akhinya UPBS yang ada di BPTP juga tidak bisa
berkembang sebagai institusi yang melakukan bisnis di bidang perbenihan.

Distribusi Benih

Benih Padi pada umumnya dipergunakan oleh petani untuk menunjang kegiatan
usahataninya. Beberapa tahun terakhir kebutuhan benih untuk petani dipenuhi melalui

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


578 | Teknologi Pertanian
program BLBU yag merupakan subsidi dari pemerintah. Implementasinya di Papua Barat
Pengadaan benih di tangani oleh PT Sanghyang Seri (SHS) dan dikerjasamakan antara SHS,
Komisi benih di Provinsi (BBI, BPSB, Dinas Pertanian Kabupaten) dan Penangkar binaan.
Secara eskplisit distribusi benih padi dituangkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Benih Padi Berdasarkan Produsen Benih


di Provinsi Papua Barat Tahun 2012
Distribusi Benih Padi (Ton)
Dijual Ke Ditukar
No Nama BBI/BBU Digunakan Di giling/dijadikan
Pemerintah sesama
sendiri beras
(BLBU) Petani
1 BBI 2 0 0 1
2 BBU Manokwari 2 0 8 10
3 BBU Sorong 0 0 0 0
4 BBU T. Bintuni 0 0 0 0
5 P.Benih Manokwari
a. Masni 0,5 5 4 5
b. Prafi 1 20 5 34
c. Oransbari 1 15 5 15
6 P.Benih Sorong
a. Walal 1 20 4 5
B. Aimas 1 50 9 90
7 P.Benih T. Bintuni
Sp1 0,5 0 1,5 0
SP4 0,5 0 1,5 0
Jumlah 9,5 110 39 160

Distribusi benih yang utama adalah dijual ke pemerintah melalui program BLBU
(Bantuan Langsung Benih Unggul). Selan itu ada yang ditukar kepada sesama petani, dan
digiling menjadi beras. Hal ini terjadi karena proses distribusi benih oleh BLBU terlambat
sementara kebutuhan ekonomi keluarga sudah mendesak.

KESIMPULAN
Kelembagaan perbenihan yang sudah memproduksi benih setiap tahun secara
kontinyu dengan kapasitas produksi yang cukup besar adalah BBI, walaupun masih
menggunakan lahan milik penangkar. Kelembagaan lainnnya masih” timbul tenggelam”.
Distribusi benih mayoritas dijual ke pemerintah melalui BLBU. Selain itu ada juga yang di
giling menjadi beras, karena tidak laku/lambat dibeli. Keberadaan Lembaga Perbenihan di
Papua Barat masih sangat lemah. Diperlukan dorongan yang kuat dari Pemerintah Daerah
untuk meningkatkat kapasitas dan kualitas kelembagaan perbenihan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi Papua Barat, 2014. Laporan Tahun 2014.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Manopkwari, 2014. Laporan Tahun 2014.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 579
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Dinas Pertanian dan Perkebunan kabupaten Teluk Bintuni, 2014. Laporan Tahun 2014.
Dinas Tertanian dan Perkebunan kabupaten Sorong, 2014. Laporan Tahun 2014.
Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia.
Jakarta. LP3ES.
Nugraha, U.S., H. Smalders, and N. Saleh. 1995. Seed quality of secundery food crops in
Indonesia. Paper presented at the Workshop on Integrated Seed Systems for Low-
Input Agriculture, 24-27 October 1995. RILET Malang-Indonesia. 23p.
Papua Barat Dalam Angka, 2009; Badan Pusat Statistik Papua Barat.
Papua Barat Dalam Angka, 2011. Badan Pusat Statistik Papua Barat.
Papua Barat Dalam Angka, 2013. Badan Pusat Statistik Papua Barat.
Per. Gub. No.12 Tahun 2008. Sistem Organisasi Balai Benih Induk Padi, Palawija, dan
Hortikultura Papua Barat
Puslitbangtan. 2007. Teknologi Unggulan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


580 | Teknologi Pertanian
DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM SL-PTT PADI TERHADAP PENINGKATAN
ADOPSI TEKNOLOGI DAN PENDAPATAN PETANI PADI
DI PROVINSI PAPUA BARAT

Entis Sutisna

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Papua Barat


Entis007@yahoo.com

ABSTARK
Kajian ini dilakukan di Kabupaten Manokwari, Kabupaten Manokwari Selatan, dan Kabupaten
Sorong - Provinsi Papua Barat pada tahun 2015, menggunakan motode Survai dan studi kasus.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa melalui penerapan program SL-PTT dapat meningkatkan
adopter teknologi terutama pada komponen teknologi Penerapan benih bermutu, sistem tanam
jajar legowo, penggunaan pupuk berimbang, dan panen dan pasca panen. Peningkatan produksi
15%, dan peningkatan pendapatan petani sebesar 22,4%. Namun demikian diakui bahwa
pelaksanaan SL-PTT di Papua Barat belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Simpul-
simpul kritis yang menjadi sumber kelemahan terletak pada pelaksanaan pelatihan, Pelaksanaan
pendampingan, dan koordinasi. Disarankan pada progran lanjutan SL-PTT yaitu GP-PTT agar
dapat meningkatkan gerakan PHT, GP-PTT disamping mempertahankan komponen PTT lainya.
Selain itu perlu lebih diberdayakan organisasi dan kelembagaan petani, meningkatkan fungsi
koordinasi dan pengawasan, serta meningkatkan peran penyuluh lapangan, termasuk kualitas
dan kuantitasnya.
Kata Kunci: Dampak, SLPTT, Produksi, Pendapatan,

PENDAHULUAN
Provinsi Papua Barat sampai saat ini masih menitik beratkan pembangunan ekonomi
pada sektor pertanian. Salah satu indikasinya bahwa dari keenam kawasan pembangunan
(KP), yaitu KP 1 Manokwari, KP2 Kota dan Kabupaten Sorong, KP3 Raja Ampat, KP4 Sorong
Selatan, KP5 Teluk Bintuni dan Teluk Wondama, dan Kp 6 Fakfak dan Kaimana, seluruh
kawasan ini mencanangkan pembangunan pertanian (Bappeda Prov. Papua Barat, 2012).
Kendala yang dihadapi Provinsi Papua Barat dalam pembangunan pertanian,
kususnya tanaman pangan, selain faktor lemahnya permodalan petani, juga dihadapkan
pada aspek sosial budaya, yaitu masih rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan
petani, rendahnya penerapan teknologi, kurangnya tenaga kerja, dan budaya bertani yang
masih tradisional.
Masuknya program SL-PTT di Papua Barat sangat cocok untuk terus dikembangkan
memngingat program ini pada prinsipnya bukan saja berisikan pendekatan penerapan
komponen teknologi yang bersinergis satu sama lainnya dan berpotensi untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan, tetapi yang lebih menarik karena program ini juga
mengedepankan “SL” (sekolah lapang) yang secara langsung memberikan
bimbingan/pendampingan bagaimana teknologi tersebut dapat diterapkan oleh petan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 581
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pemahaman tentang PTT dan bukti–bukti penerapan program yang berhasil
diungkapkan melalui Pedoman Umum SL-PTT dan hasil penelitian di daerah luar Papua Barat
antara lain sebagai berikut:
Pengelolaan Tanaman dan sumberdayaTerpadu (PTT) merupakan suatu inovasi untuk
pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT)
dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas,
pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan (Badan Litbang, 2002, Badan Litbang
Pertanian 2007, Departemen Pertanian 2008 ). PTT di implementasikan sebagai upaya
meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani melalui pengelolaan lahan, air,
tanaman, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu dan lestari.
Pendekatan model PTT padi sawah dengan menerapkan komponen teknologi
budidaya sinergi mampu meningkatkan produktivitas usahatani berupa peningkatan hasil
panen yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pola petani atau kontrol. Peningkatan
hasil sekitar 14,70% atau sekitar 1,0 t/ha GKP. Pendekatan model PTT disamping dapat
meningkatan hasil panen, juga mampu meningkatkan keuntungan usahatani sekitar
22,7%(Kamandalu et al., 2010) . Hasil pendampingan padi di Papua Barat melalui penerapan
pengelolaan tanaman terpadu dapat meningkatkan produktivitas padi sebesar 45,6% (Rauf,
et al. 2012, Entis et al. 2011).
Penerapan PTT padi sawah di Desa Wanasari Kecamatan Wanayasa Kabupaten
Purwakarta juga mampu meningkatkan produktivitas sebesar 54,02% selama beberapa
musim tanam. Selain itu penerapan PTT memberikan efisiensi penggunaan pupuk anorganik
urea 10%, SP 36 dan KCl 33,33% dan pestisida 75% (Tri Hastini, dalam Nurbaety dan SL
Mulyadi 2014)
Dari beberapa pernyataan di atas perlu diketahui bagaimana kinerja program SL-PTT
di Papua Barat dan bagaimana dampaknya terhadap produksi dan pendapatan petani.
Dengan demikian tujuan pengkajian dirancang sebagai berikut: (1) Mengetahui dampak
program SL-PTT terhadap produktivitas dan pendapatan petani dari usahatani padi.(2)
Mengetahui gambaran adopsi komponen teknologi dealam paket PTT padi, Mengetahui
tingkat perbedaan pendapatan antar petani kooperator/peserta progan SL-PTT dan non
Peserta.

METODOLOGI
Pengkajian ini dilaksanakan di Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, dan
Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat. Lokasi pengkajian dipilih dengan beberapa
pertimbangan antara lain: (1) lokasi tersebut merupakan sentra pengembangan padi di
Provinsi Papua Barat, (2)merupakan lokasi pengembangan program SL-PTT padi , dan (3)
memiliki potensi pengembangan agribisnis. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni
sampai Desember 2015.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data skunder. Data primer
bersumber dari petani, kelompok tani, dan informan kunci. Pengumpulan data dari petani
contoh menggunakan metode survai dengan menggunakan instrumen penelitian berupa

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


582 | Teknologi Pertanian
daftar pertanyaan baik terstruktur maupun semi struktur, FGD (Focus Group Discussion)
digunakan untuk memperoleh data kinerja/pelaksanaan program SL-PTT padi, dan
wawancara mendalam ditujukan kepada informan kunci, untuk mengembangkan informasi
sekaligus meningkatkan keyakinan terhadap tingkat akurasi data. Data sekunder diperoleh
dari instansi terkait yang berhubungan dengan topik yang dikaji, diantaranya BP3K (Kantor
Penyuluhan Kecamatan), Kantor Statistik, dan Dinas Pertanian kabupaten.

Penentuan Sampel

Desa sampel ditentukan berdasarkan purposif sampling dengan pertimbangan


setelah ditentukan kabupaten, maka desa ditentukan berdasarkan kriteria terluas
pelaksanaan SL-PTT padi dan di desa itu pula BPTP melakukan pendampingan. Sehingga
dapat ditentukan petani kooperator, petani peseta, dan petani non peserta, masing-masing
sebanyak 5 KK per desa. Untuk petani kooperator diambil semua petani yang menjadi
kooperator pada kegiatan pendampingan SL-PTT oleh BPTP, sedangkan petani peserta dan
non peserta ditentukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling). Dengan demikian
jumlah petani sampel per kabupaten sebanyak 15 KK dan seluruhnya ( 3 kabupaten)
sebanyak 45 kk ( Tabel 1)

Tabel 1. Jumlah petani sampel di lokasi kegiatan berdasarkan Kriteria Petani SL-PTT di
Provinsi Papua Barat, 2014
Lokasi Jumlah sampel
Kriteria Petani Teluk Bintuni
Manokwari Sorong (KK)
Kooperator 5 5 5 15
Pesrta SL-PTT 5 5 5 15
Non Peserta SL-PTT 5 5 5 15
Jumlah 15 15 15 45
Sumber: data primer 2014

Metode Analisis

Untuk menganalisis pendapatan usahatani padi, digunakan analisis pendapatan


dengan formulasi sebagai berikut (Soekartawi, 2006; Debertin, 1986; Hernawan Agus 2015):
∏ = TR – TC
TR = ΣQi -n* Pqi - n
TC = Σxi-n * Pxi - n
TI = ΣQ1 - n* PQi - ΣX01 * PX1i
Keterangan
∏ = Pendapatan
TR = Total Revenue (struktur peneriman); TC = Total cost (struktur pembiayaan)
Σqi- n = Jumlah produksi ke i ...sampai n; Pqi-n = harga produksi ke i ....sampai n

Untuk mengukur kelayakan usaha digunakan rasio penerimaan (revenue) dan biaya
(cost) dengan rumus: R/C = TR/TC

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 583
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan sumberdaya Terpadu
(SL-PTT) padi dimulai tahun 2009. Di Papua Barat pada tahun 2010 diterapkan program
SL_PTT padi seluas 5000 ha yang terhimpun dalam 200 kelompok SL-PTT tersebar di 4
kabupaten yakni kabupaten Manokwari, Sorong, Teluk Bintuni, dan kabupaten Raja Ampat,
selanjutnya berkembang ke kabupaten Teluk Wondama sehingga menjadi 5 kabupaten
sampai tahun 2014.
Pengorganisasian dalam pelaksanaan SL-PTT dikoordinasikan oleh Tim pembina dan
tm teknis yang ditetapkan melalui SK Gubernur Papua Barat, sedangkan Tim Pelaksana
tingkat kabupaten kota dan tim teknis tingkat kabupaten kota ditetapkan melalui SK
Bupati/Walikota atau Kepala Dinas prtanian kabupaten/kota.
Pelaksanaan Sekolah Lapang PTT dilakukan pada areal LL seluas 1 ha yang berada
pada setiap Unit (20 – 25 ha) dengan jumlah kk sebanyak 15 – 25. Pada lokasi LL ini diberikan
bantuan benih padi inbrida sebanyak 25 kg/ha; pupuk urea 100 kg, NPK 300 kg, dan pupuk
organik sebanyaak 500 kg masing- masing per ha.
Sedangkan komponen teknologi yang diterapkan terdiri dari komponen teknologi
dasar yang meliputi : 1 Varietas unggul baru; 2. Benih bermutu dan berlabel; 3. Pemberian
pupuk organik; 4. Pengaturan populasi tanam jajar legowo (2:1; 4:1); 5. Pemupukan
berdasarkan kebutuhan tanaman (PUTS dan BWD); 6. Penerapan PHT

Pelaksanaan Pelatihan Pemandu Lapang

Petugas SL-PTT sebelum melakukan tugasnya harus mengikuti pelatihan. Tingkat


pelatihan yang diselenggarakan oleh provinsi dinamakan PL.II, dan PL III pada tingkat
kabupaten/kota. Peserta pelatihan (PL.II) adalah pemandu lapang II, yaitu Penyuluh
Pertanian, Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), dan Pengawas Benih
Tanaman (PBT), selanjutnya akan menjadi pelatih dalam pelatihan pemandu lapang (PL.III)
yang diselenggarakan oleh kabupate/kota.
Keikutsertaan penyuluh Dalam Pelatihan SL-PTT Padi
Pelatihan SL-PTT padi diikuti 30 orang penyuluh, namun tingkat keikutsertaan
penyuluh dalam pelatihan SL-PTT masih sangat rendah (56%). Hal ini berarti masih banyak
penyuluh yang belum pernah ikut pelatihan SL-PTT baik pada tingkatan PL.II, maupun pada
Tingkatan PL.III. Hal ini akan mempengaruhi terhadap kualitas pelatihan yang dilaksanakan
oleh penyuluh kepada petani pada tingkat LL. Ada sembilan materi utama yang seharusnya
dilatihkan pada kegitan pelatihan SL-PTT. Tanggapan penyuluh terhadap materi pelatihan
dituangkan pada Tabel 2.
Hanya materi cara tanam dan benih bermutu yang mencapai tingkat penerimaan 100
% sedangkan materi lainnya hanya berkisar 33 sampai 83 persen. Hal ini dapat diartikan
bahwa tidak semua pelatihan dalam setiap tahapan, atau tingkatan memberikan materi
pelatihan yang sama seperti 9 materi yang tertuang pada Tabel 2.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


584 | Teknologi Pertanian
Tabel 2. Tanggapan Penyuluh Terhadap materi Pelatihan pada PL
No Materi Pelatihan Penerimaan Oleh Penyuluh Tingkat Penerimaan
ya Tidak (%)
1 Kajian Kebutuhan dan Peluang 10 20 33,3
2 Benih Bermutu 30 30 100,0
3 Cara Tanam 30 30 100,0
4 Pemupukan Berimbang 22 7 73,3
5 Pengendalian Gulma terpadu (PGT) 10 20 33,3
6 Pengendalian Hama terpadu (PHT) 25 5 83,3
7 Sistim Pengairan berselang seling 15 15 50,0
8 Pengolahan Tanah sempurna 15 15 50,0
9 Penanganan Panen dan Pasca panen 25 5 83,3
Jumlah 182 147
Rata-rata 20,22 16,3 67,4
Keterangan: n = 30

Seharusnya Sistim pelatihan pada SL-PTT dilaksanakan secara TOT (Training Of


Traner). Artiny peserta pelatihan pada tingkatan PL II, menjadi pelatih lagi pada tingkatan PL
di bawahnya, dan seterusnya. Dengan demikian harus ada kesamaan materi pada setiap
tingkatan pelaksanaan pelatihan karena materi tersebutbut menjadi bahan pada pelatihan
tingkatan di bawahnya. Fenomena di atas justru memperlihatkan adanya ketidak seragaman
materi. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap tingkat kualitas pelatihan selanjutnya.

Tingkat Adopsi Komponen Teknologi PTT Oleh Petani Peserta

Tingkat adopsi komponen teknologi PTT oleh petani peserta di lima lokasi SL-PTT
yakni kampung Malawili distrik aimas Kabupaten Sorong, kmpung Sumberboga distrik Masni
kabupaten Manokwari, kampung Prafimulya distrik Prafi kabupaten Manokwari, dan
kampung Sindangjaya distrik Oransbari kabupaten Manokwari Selatan, disajikan pada
Gambar 1.

Gambar 1. Tingkat adopsi Teknologi PTT oleh Petani Peserta di 5 kolasi

Tingkat adopsi peserta SL-PTT di lima daerah pengembangan. Bahwa Penerapan


komponen teknologi Pengendaalian Hama Terpadu (PHT), Pengendalian Gulma Ierpadu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 585
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
(PGT), penggunaan pupuk Organik, dan benih bermutu masih rendah adopsinya oleh petani
di seluruh desa contoh. Hal ini dapat diartikan bahwa pemandu lapang kurang berhasil
dalam membimbing petani untuk menerapkan komponen teknologi pilihan pada program
SL-PTT. Masalah ini bisa saja disebabkan oleh kurang intensipnya pelaksanaan pedampingan
oleh pemandu lapang, atau kurang efektifnya kinerja pemandu lapang terkait dengan tingkat
kompetensi yang rendah, atau mungkin juga petani mengalami kesulitan dalam penerapan
komponen teknologi tersebut.

Tingkat Produktivitas Petani Peserta SL-PTT

Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat produktivitas padi petani peserta SL lebih tinggi
dari petani non peserta. Hal ini dapat diartikan bahwa program SL-PTT dapat meningkatkan
produktivitas padi di atas 10%. Kondisi ini hampir sama dengan target peningkatan
produktivitas SL- PTT tahun 2010. Fajar Rahman dan Rita Nurmalia (2016) melaporkan
perbedaan tingkat produksi antar petani peserta SL-PTT dan peserta SL-PTT di kabupaten
Karawang mencapai 11, 87 %.

Tabel 3. Tingkat Produktivitas dan Peningkatan Produktivitas antara Petani peserta SL-PTT
dan Non Peserta di Wilayah Pengembangan Program SL-PTT Papua Barat
Produktivitas padi petani Ton/ha
No Lokasi/Kabupaten Peningkatan %
SL-PTT Non SL-PTT
1 Manokwari 4,9 4,2 14
2 Sorong 4,6 4,1 11
3 Raja Ampat - 4,2 -
4 Teluk Bintuni - 4,1 -
5 Teluk Wondama - 4,5 -

Untuk mengetahui tingkat perbedaan pendapatan antar petani peserta SL-PTT dan
non SL-PTT di daerah pengkajian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi per hektar Petani Kooperator, Peserta
SL, dan Non Peserta di kabupaten Manokwari Tahun 2014
No Uraian Usahatani padi
Kooperator Peserta SL Non Peserta
1 Penerimaan: Produksi (ton) 5,5 4,9 4,2
Nilai Produksi (Rp.000) 16.500 14,700 12.600
2 Biaya/ Pengeluaran 5.860 5.500 5.300
3 Pendapatan (2 -1) 10.640 9.200 7.300
Tingkat perbedaan (%) - 14 19
4 Parameter Kelayakan Usaha :
R/C ratio (1/2) 2,8 2,5 2,3
B/C ratio (3/2) 1,8 1,5 1,33
MBCR 4 9,5
TIP (Titik Impas Produksi) 1.953 kg 1.933 kg 1800 Kg
TIH (Titik impas Harga) Rp 1.065 Rp 1.184 Rp 1.286

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


586 | Teknologi Pertanian
Ternyata tingkat pendapatan petani kooperator lebih tinggi dari petani peserta SL,
juga lebih tinggi dari petani non peserta. Tingkat perbedaan mencapai 14 % dari petani
peserta SL dan 33% bila dibanding dengan petani non peserta, sedangkan perbedaan
pendapatan antara petani peserta dan non peserta mencapai 26%. Peningkatan
perndapatan tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Fajar
Rahman dan Rita Nurmalia (2016) dikabupaten Karawang yang mencapai tingkat perbedaan
pendapatan sekitar 11 %. Perbedaan tingkat pendapatan tersebut sangat berhubungan
dengan perbedaan tingkat penerapan teknologi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa
tingkat penerapan teknologi pada kegiatan pendampingan jauh lebih tinggi dibanding
dengan penerapan teknologi tingkat petani

KESIMPULAN
Pelaksanaan program SL-PTT di Papua Barat belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Simpul-simpul kritis yang menjadi sumber kelemahan terletak pada pelaksanaan
pelatihan, Pelaksanaan pendampingan, dan koordinasi. Disarankan pada progran lanjutan
SL-PTT yaitu GP. PTT agar dapat meningkatkan gerakan PHT, PGT disamping
mempertahankan komponen PTT lainya. Selain itu perlu lebih diberdayakan organisasi dan
kelembagaan petani, meningkatkan fungsi koordinasi dan pengawasan, serta meningkatkan
peran penyuluh lapangan, termasuk kualitas dan kuantitasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2002. Panduan Teknis Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya
Terpadu Padi Sawah Irigasi.
Badan Litbang Pertanian , 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Bappeda Prov. Papua Barat, 2012. Arah dan Kebijakan Pembangunan Pertanian di Provinsi
Papua Barat. Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan Bebasis Inovasi. Manokwari.
Debertin DL. 1986. Agricultural Production Economic. Newtork.MacMillan Publising
Company.
Departemen pertanian, 2008. Panduan Pelaksana Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) padi. Jakarta.
Entis Sutisna, Abdul Wahid Rauf, dan Apresus Sinaga, 2011. Peningkatan Produksi dan
Pendapatan Petani Melalui Pembinaan dalam Pendampingan Program SL-PTT padi
kasus di distrik Prafi kabupaten Manokwari Papua Barat
Firman Fajar, dan Rita Nurmalia, 2016. Dampak Program SL-PTT terhadap pendapatan
usahatani padi di kabupaten Karawang. Jurnal Agricultural. Institut Pertanian Bogor.
Hernawan Agus, 2015. Aplikasi Statistika pada data Pendampingan Untuk Karya Tulis Ilmiah.
IAARD Press. Badan Penelitian dan Peengembangan Pertanian

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 587
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kuncoro, 2003; Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi.Penerbit Erlangga. Jakarta
Nurbaety dan SL Mulyadi 2014. Penerapan Model Pengelolaan dan Sumberdaya Terpadu
Padi Sawah Irigasi di Kabupaten Subang. ejurnal.litbang.pertanian.go.id
Rauf Abdul Wahid, Entis Sutisna, Apresus Sinaga, dan Herman Rois Tata,. 2012. Laporan
Pendampingan SL-PTT tahun 2012
Sekaran, 2003. Researc Method For Bussines: Skill Building Approach Fourt Edition.
Newyork. John Wiley and Sourc Inc
Sitorus,MT, Endriatmo.S, Juara P.L, Ivanovich A, dan Rahmat P. 2004. Agribisnis Berwawasan
Komunitas. Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial. Pustaka Wira Usaha Media.
Bogor.
Soekartawi, 2006. Analisis Usahatani. U.I Press

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


588 | Teknologi Pertanian
UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU BAWANG MERAH DI DATARAN
RENDAH, MANOKWARI - PAPUA BARAT

Fransiska Renita Anon Basundari, Arif Yudo Krisdianto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat,


Jl. Basecamp – Arfai Gunung, Kompleks Perkantoran Pemprov Papua Barat 98315
E-mail: fransiska.basundari@gmail.com

ABSTRAK.
Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang memiliki nilai ekonomis
tinggi, berfungsi sebagai penyedap rasa, dan dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional.
Prospek pengembangan bawang merah sangat baik, yang ditandai dengan meningkatnya
konsumsi bawang merah. Peningkatan ini belum dapat diikuti oleh peningkatan produksinya,
karena teknologi perbenihan untuk peningkatan produktivitas belum dapat diadopsi oleh petani
secara progresif. Teknologi yang mudah diaplikasikan oleh petani perlu diterapkan, diantaranya
melalui pengaturan pemupukan, jarak tanam, dan varietas yang tepat dalam produksi umbi
benih bawang merah. Perbedaan varietas tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik tetapi juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, diantaranya pemupukan dan populasi tanaman. Penelitian
dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2016 di Kebun Percobaan di Anday, Kabupaten
Manokwari, Papua Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi varietas
yang diuji, yaitu varietas Bauji, Bima Brebes, Katumi, Mentes, Pikatan, Trisula, dan lokal sebagai
kontrol. Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dan ketujuh
varietas sebagai perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas yang memiliki hasil
yang baik, dan dinilai mampu beradaptasi dengan baik adalah varietas Bauji, Bima Brebes,
Mentes, dan Pikatan. Keempat varietas tersebut dinilai dapat dikembangkan untuk
pengembangan bawang merah di lain di Papua Barat.
Kata kunci: Bawang merah, adaptasi, varietas, Manokwari

PENDAHULUAN
Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan sayuran rempah yang memiliki nilai
ekonomis tinggi, berfungsi sebagai penyedap rasa, dan dapat digunakan sebagai bahan obat
tradisional. Prospek pengembangan bawang merah sangat baik, yang ditandai dengan
meningkatnya konsumsi bawang merah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 1981-2014, perkembangan konsumsi
bawang merah pada periode tahun 1981-2014 cenderung meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan 8,69% kg/kapita/tahun. Konsumsi bawang merah tahun 1981 sebesar 1,65
kg/kapita/tahun dan pada tahun 2014 konsumsinya menjadi 2,49 kg/kapita/tahun. Dalam
kurun waktu tersebut, konsumsi bawang merah tertinggi dicapai pada tahun 2007, yaitu
sebesar 3,01 kg/kapita/tahun (Siagian 2015).
Meskipun demikian, adanya permintaan dan kebutuhan bawang merah yang terus
meningkat setiap tahunnya belum dapat diikuti oleh peningkatan produksinya. Berdasarkan
data dari Kementerian Pertanian (2011) dan BPS (2014), pada tahun 2007 permintaan
bawang merah sebesar 901.102 ton dengan produksi 802.810 ton; tahun 2008 permintaan
meningkat menjadi 969.316 dengan produksi 853.615 ton. Pada tahun 2009, permintaan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 589
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
bawang merah di Indonesia mencapai 1.019.735 ton dengan produksi 965.164 ton dan
meningkat pada tahun 2010 menjadi 1.116.275 ton dengan produksi 1.048.934 ton.
Mengacu pada kondisi permintaan konsumen dan produksi bawang merah tersebut,
terdapat indikasi bahwa program alih teknologi belum dapat berjalan dengan baik.
Teknologi-teknologi perbenihan guna peningkatan produktivitas yang sudah banyak
dihasilkan belum mampu diadopsi oleh petani secara progresif (Soetrisno 2009). Oleh karena
itu, perlu dirumuskan suatu teknologi yang mudah diaplikasikan oleh petani, diantaranya
melalui pengaturan pemupukan, densitas, dan varietas yang tepat dalam produksi umbi
benih bawang merah (Wiguna et al. 2013). Sesuai dengan penelitian Sumarni dan Hidayat
(2005), perbedaan varietas tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik tetapi juga
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, diantaranya pemupukan dan populasi tanaman.
Berkaitan dengan hal tersebut, ketersediaan varietas yang sesuai dengan lingkungan
setempat dan berpotensi hasil tinggi merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi
daya hasil dan adaptasi varietas (Ambarwati dan Yudono 2003).
Ketersediaan sumber daya lahan yang luas dan subur di Papua Barat sangat
berpotensi untuk digunakan dalam pembangunan pertanian. Dari 9,9 juta hektar (ha) luas
lahan di Provinsi Papua Barat, seluas 2,7 juta ha berpotensi untuk pertanian, tetapi hanya
sekitar 0,94 ha (33%) yang sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (Supriadi 2008;
Basundari & Wahid 2013). Dari luas lahan tersebut, mayoritas penggunaan lahan adalah
untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan, sedangkan komoditas hortikultura
belum mendapatkan perhatian khusus.
Kabupaten Manokwari merupakan salah satu daerah penghasil sayuran utama di
Provinsi Papua Barat selain Kabupaten Sorong. Tanaman sayuran di Kabupaten Manokwari
secara umum masih dibudidayakan secara tradisional dengan rata-rata kepemilikan lahan
petani kurang dari 1 hektar. Kondisi ini dapat menjadi penyebab belum terpenuhinya
kebutuhan pasar lokal untuk komoditas sayuran dari sentra-sentra produksi di Kabupaten
Manokwari sampai saat ini. Untuk memenuhi kebutuhan pasar ini maka masyarakat masih
harus mendatangkan sayuran dari daerah lain (seperti Manado), yang ironisnya harganya
lebih murah dari hasil sayuran dari Manokwari (UNDP 2013).
Kabupaten Manokwari juga merupakan daerah produksi bawang merah di Provinsi
Papua Barat, selain Kabupaten Maybrat (BPS Papua Barat 2014). Luas panen bawang merah
di Provinsi Papua Barat sebesar 77 hektar dengan produksi 106 ton, sehingga produktivitas
per hektarnya adalah 1,4 ton (Distanak KPB, 2009). Hasil per hektar bawang merah di Papua
Barat pada tiga tahun terakhir berfluktuasi, yaitu dengan hasil 1,37 ton/ha pada tahun 2011,
meningkat pada level 3,04 ton/ha pada tahun 2012, turun menjadi 0,29 ton/ha pada tahun
2013. Penurunan produktivitas ini dapat disebabkan oleh adanya penurunan luas panen dari
62 ha menjadi 47 ha.
Penggunaan umbi bawang merah sebagai bibit dari panen sebelumnya oleh para
petani, juga menjadi salah satu sebab penurunan produktivitas bawang merah dan tetap
tingginya biaya produksi. Faktor benih sendiri masih menjadi kendala di tingkat petani,
karena menyerap 24,81 – 51,1% dari biaya produksi (Thamrin et al. 2003; Nurasa & Darwin

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


590 | Teknologi Pertanian
2007). Data BPS (2015) menyatakan bahwa faktor benih ini menyerap 38,6% dari
keseluruhan biaya produksi bawang merah.
Penurunan produktivitas juga disebabkan karena belum diadopsinya inovasi teknologi
dan penggunaan benih bermutu oleh masyarakat dalam rangka peningkatan hasil pertanian,
baik komoditas pangan, perkebunan maupun hortikultura di Papua Barat. Didukung oleh
kebijakan operasional Direktorat Jenderal Hortikultura yang disampaikan oleh Bahar (2015),
yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki fokus perhatian pada
pengembangan baru komoditas keluar pulau Jawa, khususnya pada bawang merah; maka
kondisi tersebut menjadi dasar pertimbangan utama untuk melakukan pengujian potensi
daya hasil varietas-varietas unggul bawang merah yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, di Provinsi Papua Barat, khususnya di Kabupaten Manokwari.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi daya hasil dan seleksi varietas
unggul bawang merah spesifik lokasi di dataran rendah Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2016 di Kebun Percobaan Anday,
Manokwari, Papua Barat pada ketinggian + 68 mdpl, dengan jenis tanah liat berdebu, dan
derajat kemasaman (pH) tanah 5,9. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak
kelompok dengan 3 ulangan dan 7 varietas, yaitu Bauji, Bima Brebes, Katumi, Mentes,
Pikatan, Trisula, dan varietas lokal sebagai perlakuan. Bawang merah ditanam dengan jarak
tanam 20x15 cm, pada petak-petak percobaan 1x10 m2. Populasi tanaman 248 per petak.
Areal pertanaman bawang merah diberi pupuk kandang kambing 5,6 t/ha. Penanaman
dilakukan dengan membuat lubang tanam sedalam rata-rata tinggi umbi. Dua pertiga bagian
umbi yang telah dihilangkan ujungnya dimasukkan ke dalam lubang tanam tersebut.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan melakukan penyiraman 1 hari sekali, dan
penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam (MST) untuk
mengganti tanaman yang tidak tumbuh dan pertumbuhannya tidak baik. Penyiangan
dilakukan secara manual, dengan mencabut gulma langsung di sekitar plot dan parit lahan
penelitian. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan. Pengendalian hama
dilakukan secara rutin, baik secara manual maupun menggunakan insektisida berbahan aktif
profenofos dan pengendalian penyakit menggunakan pestisida dengan bahan aktif
mancozeb.
Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai
dengan bagian tertinggi, jumlah umbi per rumpun, berat umbi basah per rumpun, berat
umbi kering per rumpun, berat umbi per plot, berat umbi per tanaman, dan hasil basah
(ton/ha) diamati pada saat panen, dan hasil kering (ton/ha) diukur pada saat 1 minggu
setelah pengeringan. Sepuluh tanaman sample diambil dari setiap plot. Menurut Moekasan
et al. (2016), jumlah tanaman contoh untuk lahan seluas kurang dari atau sama dengan 2000
m2 adalah 10 tanaman. Data dianalisis dengan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji
beda rerata perlakuan dengan menggunakan uji jarak berganda, Duncan pada taraf beda
nyata 5%.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 591
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 1. Analisis Kandungan Hara Tanah di Kebun Percobaan Anday,
Kabupaten Manokwari, Papua Barat

Unsur Kandungan Harkat


Tekstur (%) Liat Berdebu
Pasir 7
Debu 44
Liat 49
Kelas Tekstur
pH: H2O 5,9 Agak masam
C – Organik (%) 0,79 Sangat rendah
N – Total (%) 0,06 Sangat rendah
C/N 12 Sedang
P.Bray1 2,31 Sangat rendah
K (me/100g) 0,09 Sangat rendah
Na (me/100g) 0,15 Rendah
Ca (me/100g) 14,31 Tinggi
Mg (me/100g) 5,04 Tinggi
KTK (me/100g) 43,00 Tunggi
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang 2016

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman

Tabel 2. Rerata tinggi tanaman dan jumlah umbi per rumpun bawang merah di Kebun
Percobaan Anday, Manokwari
Perlakuan (Varietas) Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Umbi per Rumpun
a b
Bauji 40.17 6.10
a b
Bima Brebes 39.51 5.03
b a
Mentes 35.58 8.30
bc a
Pikatan 33.27 8.00
bc a
Katumi 33.26 9.17
bc b
Trisula 32.81 6.10
c b
Lokal 31.62 5.40
Angka rata-rata yang diikuti salah satu huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam taraf uji DMRT 95% (numbers mean
followed by the same letter are not significantly different according to DMRT test at 95% significance level).

Tinggi Tanaman

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada umur 40 hari setelah tanam (HST), saat
fase vegetatif sudah berhenti. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa respon tinggi
tanaman berbeda nyata antar varietas. Tinggi tanaman dari 7 varietas yang diuji berkisar
antara 31,62 – 40,17 cm. Dari enam varietas unggul yang diuji, faktor varietas berpengaruh
nyata terhadap karakter tinggi tanaman. Varietas Bauji, Bima Brebes, dan Mentes
menampilkan tinggi tanaman yang berbeda signifikan dengan varietas lokal sebagai
pembandingnya. Hal ini dapat disebabkan oleh ukuran umbi bibit yang relatif lebih besar
dibandingkan varietas-varietas unggul lainnya, serta varietas lokal sebagai pembandingnya.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


592 | Teknologi Pertanian
Sebab menurut Sutono et al. (2007), umbi benih berukuran besar dapat menyediakan
cadangan makanan yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan
tanaman di lapangan, sehingga tanaman dapat tumbuh lebih baik dan menghasilkan daun-
daun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga nantinya dihasilkan jumlah umbi per
tanaman dan total hasil yang tinggi.
Selain itu, setiap varietas akan memberikan respon yang berbeda terhadap
pemupukan yang diberikan, sehingga interaksi pemupukan dan varietas berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman dan panjang akar tanaman bawang merah (Islam et al. 2007). Nilai
tinggi tanaman untuk varietas Bima Brebes, Mentes, Katumi, dan Trisula yang diperoleh
pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Firmansyah et al. (2014), yang
secara berturut-turut memiliki nilai 28,30 cm; 13,90 cm; 16,07 cm; dan 24,53 cm
Varietas tersebut ditanam pada lahan gambut, dan ditanam pada musim hujan. Dari
perbandingan kedua penelitian ini, diduga faktor kondisi lahan (pH tanah, kesuburan, dan
lain-lain) serta musim juga mempengaruhi tinggi tanaman yang dapat dicapai oleh varietas-
varietas yang diuji. Bila dilihat dari kisaran tinggi tanaman sesuai yang tercantum dalam
deskripsi varietas unggul bawang merah, tinggi tanaman untuk varietas-varietas yang diuji
pada penelitian ini rata-rata telah memenuhi kisaran nilai pada deskripsi varietas tersebut,
kecuali varietas Trisula, yang memiliki nilai tingi tanaman terendah. Menurut Gunadi dan
Suwandi (1989), tinggi tanaman merupakan salah satu indikator pertumbuhan meskipun
tidak ada korelasi dengan hasil.

Jumlah umbi per rumpun

Pengamatan jumlah umbi per rumpun dilakukan pada saat tanaman berumur 40 HST.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa varietas berpengaruh nyata pada jumah
anakan/umbi yang terbentuk per rumpunnya. Jumlah anakan (umbi) per rumpun yang
dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 5,03-9,17. Varietas Katumi merupakan varietas
yang menghasilkan jumlah umbi per rumpun tertinggi dibandingkan varietas unggul dan
varietas lokal yang diuji. Sedangkan varietas Bima Brebes memiliki jumlah umbi per rumpun
yang rendah, bahkan lebih sedikit dibandingkan varietas lokal yang digunakan.
Jumlah umbi yang dihasilkan oleh varietas Katumi, Pikatan, dan Mentes berbeda
secara nyata dibandingkan dengan varietas lokal yang digunakan pada penelitian ini. Ketiga
varietas tersebut juga memiliki ukuran umbi bibit lebih kecil dibandingkan Bima Brebes, dan
dapat menghasilkan jumlah umbi per rumpun yang lebih banyak dibandingkan Bima Brebes.
Hal ini dapat disebabkan oleh ukuran umbi yang digunakan sebagai bibit. Hasil yang
diperoleh pada penelitian ini untuk jumlah umbi per rumpun sesuai dengan pendapat Basuki
(2001), yang menyatakan bahwa umbi ukuran besar memiliki jumlah anakan yang lebih
sedikit.
Menurut Kusmana et al. (2005), untuk mendapatkan jumlah anakan maksimum pada
varietas-varietas yang jumlahnya sedikit, dapat dilakukan pengaturan jarak tanam. Perlakuan
jarak tanam yang rapat akan dapat menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak per
satuan luas, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil per satuan luas. Jarak tanam

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 593
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang digunakan pada penelitian ini adalah 20 cm x 15 cm. Jika varietas Bima Brebes akan
digunakan sebagai bahan tanamnya, maka perlu dilakukan pengujian lebih dulu untuk
menentukan jarak tanam yang tepat yang dapat menghasilkan jumlah umbi per rumpun
yang optimal.
Selain itu, untuk mendapatkan jumlah umbi per rumpun yang optimal, perlu
dilakukan juga pengujian pemupukannya. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Wiguna et al. (2013), adanya interaksi antara penggunaan varietas dengan pemupukan
berpengaruh terhadap jumlah anakan per rumpun. Hal ini disebabkan karena setiap varietas
bawang merah memberikan respon yang berbeda terhadap pemupukan yang diberikan.
Pengaruh interaksi pemupukan dan varietas juga dijumpai pada penelitian-penelitian lain.
Menurut Ghaffor et al. (2003), interaksi pemupukan dan varietas berpengaruh nyata
terhadap jumlah daun tanaman dan bawang merah, sedangkan menurut Islam et al. (2007),
interaksi pemupukan dan varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan panjang
akar tanaman bawang merah.

Komponen Hasil

Komponen hasil yang diamati meliputi berat umbi basah dan kering per rumpun,
berat umbi basah dan kering per plot, jumlah umbi per kg, penyusutan berat umbi per
rumpun dan per plot, dan hasil (ton/ha).

Tabel 3. Rerata berat umbi basah dan umbi kering per rumpun, berat umbi basah dan umbi
kering per plot, jumlah umbi per kg, dan hasil bawang merah
Berat Umbi Berat Umbi Berat Umbi Berat Umbi
Perlakuan Jumlah Umbi Hasil
Basah per Kering per Basah per Kering per
(Varietas) per Kg (t/ha)
Rumpun (g) Rumpun (g) Plot (kg) Plot (kg)
a a a a b a
Bauji 110.4 82.40 21.83 11.33 172.33 11.33
b b ab ab a ab
Bima Brebes 89.71 65.91 18.00 9.83 259.67 9.83
bc b bc ab a ab
Mentes 79.61 61.47 14.67 8.67 245.33 8.67
cd bc bc bc ab bc
Pikatan 63.59 53.84 11.50 6.83 221.67 6.83
bcd bc bc ab a ab
Katumi 76.14 55.23 13.67 7.83 242.67 7.83
d d c c ab c
Trisula 58.67 39.35 8.33 3.83 198.67 3.83
cd cd bc bc ab bc
Lokal 62.66 44.61 11.83 6.08 234.67 6.08
Angka rata-rata yang diikuti salah satu huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam taraf uji DMRT 5%

Berat umbi basah dan kering per rumpun

Hasil analisis sidik ragam berat umbi basah per rumpun menunjukkan perbedaan
nyata antar perlakuan. Tiga varietas dengan berat umbi basah per rumpun (gram (gr))
tertinggi terdapat pada varietas Bauji (110,4 gr), Bima Brebes (89,71 gr) dan Mentes (79,61
gr). Selanjutnya diikuti oleh varietas Katumi (76,14 gr), Pikatan (63,94 gr), Lokal (62,66 gr),
Trisula (58,67 gr). Karakter berat kering per rumpun menunjukkan hasil yang serupa dengan
berat basah umbi per rumpun. Tiga varietas yang memiliki berat tertinggi yaitu varietas Bauji
(82,40 gr), varietas Bima Brebes (65,91 gr), dan varietas Mentes (61,47 gr). Hanya varietas
Trisula yang memiliki nilai berat umbi per rumpun, baik berat basah maupun berat kering

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


594 | Teknologi Pertanian
yang lebih rendah dibandingkan varietas lokal sebagai varietas kontrolnya. Diduga, hal ini
berhubungan dengan ukuran umbi bibit Trisula yang lebih kecil dibandingkan dengan umbi
bibit varietas lokal yang digunakan pada saat penelitian. Selain itu, pertumbuhan varietas
Trisula ini tidak sebaik varietas-varietas lainnya yang diuji.

Berat umbi basah dan kering per plot

Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata varietas terhadap berat umbi
basah per plot. Berat umbi basah per plot (10 m2) dengan populasi awal 248 tanaman,
tertinggi dihasilkan oleh varietas unggul Bauji (21,83 kg/plot) diikuti oleh varietas Bima
Brebes (18 kg/plot) dan Mentes (14,67 kg/plot), Katumi (13,67 kg/plot), Lokal (11,83
kg/plot), Pikatan (6,83 kg/plot), dan yang terendah adalah varietas Trisula (8,33 kg/plot).
Berat umbi kering per plot juga menunjukkan keselarasan data hasil berat umbi basah per
plot, dimana varietas Bauji memiliki berat tertinggi, dan yang terendah adalah varietas
Trisula.

Jumlah umbi per kg

Untuk karakter jumlah umbi per kg, varietas Bima Brebes memiliki jumlah umbi per
kg yang tertinggi (259,67) dan berbeda nyata terhadap varietas Bauji (172,33). Karakter
jumlah umbi per kg ini perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis varietas yang akan
dibudidayakan oleh petani, karena petani akan cenderung memilih varietas dengan jumlah
umbi yang banyak per kg sebagai bahan tanam. Semakin banyak jumlah umbi per kg, maka
kebutuhan bibit per satuan lahan pun akan rendah. Hal ini akan meningkatkan efisiensi biaya
untuk penyediaan bahan tanamnya. Menurut Azmi et al. (2011), efisiensi benih diupayakan
dengan pengurangan berat maupun ukuran benih tanpa mengurangi populasi pertanaman
dengan produksi optimum yang diharapkan. Petani juga harus mempertimbangkan potensi
hasil dari varietas yang digunakan, sebab dengan potensi hasil yang tinggi, pada akhirnya
akan meningkatkan efisiensi produksinya dan memberi keuntungan lebih pada petani.

Penyusutan berat umbi

Grafik 1. Penyusutan berat umbi per rumpun dan penyusutan berat umbi per plot (Bulb weight
shrinkage per clump and bulb shrinkage per plot)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 595
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Persentase penyusutan berat umbi per rumpun tampak berbeda dengan penyusutan
berat umbi per plot (ha). Namun demikian, tampak dalam grafik bahwa urutan besaran
penyusutan berat umbi per rumpun ini linier dengan penyusutan berat umbi per plot (ha).
Dalam grafik tersebut diketahui bahwa varietas Pikatan memiliki persentase penyusutan
terkecil, diikuti oleh varietas Mentes, Bauji, Bima Brebes, Katumi, Lokal dan Trisula.
Persentase penyusutan berat umbi per plot untuk varietas Pikatan ini lebih kecil
dibandingkan dengan data yang diperoleh dari Waluyo dan Sinaga (2015), dimana varietas
Pikatan memiliki penyusutan berat umbi per plot sebesar 42,01%.
Penyusutan berat umbi per plot yang diperoleh dari hasil penelitian untuk varietas
Bima Brebes, Katumi, Mentes, dan Trisula, adalah sebesar 45,39%, 42,72%, 40,9%, dan
54,02%. Penyusutan tersebut lebih tinggi dibandingkan data bawang merah yang dirilis oleh
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Waluyo & Sinaga 2015), yaitu sebesar 21,50%, 30,85%,
32,20%, dan 39,04%. Besarnya persentase penyusutan dalam penelitian ini dibandingkan
dengan data tersebut, dapat disebabkan oleh faktor tidak bersihnya bawang merah per plot
dari tanah yang melekat pada umbinya saat dilakukan pemanenan. Kondisi hujan beberapa
hari sebelum panen inilah yang menyebabkan tanah dengan jenis lempung berpasir ini
melekat pada umbi bawang pada saat panen dan penimbangan berat basahnya.
Sedangkan setelah penjemuran dan umbi bawang mengering, tanah-tanah ini telah
terlepas dari rumpunnya. Kondisi inilah yang diperkirakan menjadi penyebab besarnya nilai
penyusutan berat umbi. Karena bila dilihat dari penyusutan berat umbi per rumpun, nilai
penyusutannya jauh dibawah penyusutan berat umbi per plot. Kondisi kecilnya penyusutan
berat umbi per rumpun ini disebabkan oleh bersihnya sampel rumpun (jumlah umbi sedikit
dan memungkinkan untuk pembersihan secara maksimal) pada saat panen dan
penimbangan berat basah per rumpunnya, sehingga pada saat penimbangan berat
keringnya, nilai penyusutannya tidak sebesar penyusutan berat umbi per plotnya.
Menurut Mutia et al. (2014), saat penyimpanan yang umum dilakukan di Indonesia
adalah penyimpanan tradisional pada suhu 25-30oC, dan kelembaban relatif 70-80% yang
menghasilkan susut berat sekitar 25%. Jika dibandingkan dengan data tersebut, hasil
penyusutan berat per rumpun yang diperoleh pada kelima varietas yang diuji telah
memenuhi kisaran penyusutan yang ada. Hanya varietas Trisula yang memiliki persentase
penyusutan berat umbi per rumpun yang relatif tinggi dibandingkan kelima varietas unggul
lainnya. Menurut Mutia et al. (2014), pengendalian lingkungan penyimpanan seperti suhu
dan kelembaban diharapkan dapat menekan kehilangan berat 10-17%.
Sebab, penyimpanan pada suhu rendah dapat memperlambat proses metabolisme
sehingga akan memperpanjang masa simpan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat
mengurangi kehilangan air, karena aktifitas mikroba dan pertumbuhan yang tidak
dikehendaki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurkomar et al. (2001),
penyimpanan pada suhu 10oC dengan kelembaban relatif 65-75% dapat menekan laju
respirasi yang tinggi, dan mampu mempertahankan kekerasan, serta kadar air, sehingga
bawang merah dapat disimpan selam dua bulan. Penurunan mutu berupa kerusakan dan
susut berat merupakan kendala yang selalu dihadapi selama dilakukan penyimpanan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


596 | Teknologi Pertanian
Kerusakan bawang merah berupa pertunasan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kandungan
air dan suhu penyimpanan.
Menurut Sinaga et al. (2013), susut berat umbi juga dipengaruhi oleh pemberian
pupuk organik berupa kompos yang diberikan bersama pupuk SP-36 yang dapat mengurangi
susut berat umbi. Selain memelihara dan meningkatkan pertumbuhan tanaman, kompos
juga berpengaruh ke susut berat umbi bawang tersebut berkurang, meskipun pemberian
kompos tidak berpengaruh terhadap peningkatan hasil. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari Sumarni dan Hidayat (2005), yang menyatakan bahwa pemberian pupuk organik
tersebut untuk memelihara dan meningkatkan produktivitas lahan. Dari beberapa penelitian
diketahui bahwa kompos tidak meningkatkan hasil bawang merah secara nyata, tapi
mengurangi susut berat umbi (dari berat basah menjadi berat kering jemur) sebanyak + 5%
(Sinaga et al. 2013).

Hasil

Grafik 2. Potensi hasil dan hasil bawang merah (yield potency and yield of shallot).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata antar
perlakuan (varietas) terhadap hasil. Varietas Bauji mendapatkan hasil tertinggi (11,33
ton/ha), diikuti oleh varietas Bima Brebes (9,83 ton/ha), Mentes (8,67 ton/ha), Katumi (7,83
ton/ha), Pikatan (6,83 ton/ha), Lokal (6,08 ton/ha), dan Trisula (3,83 ton/ha). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa VUB bawang merah yang diuji belum semua memenuhi kisaran potensi
hasil yang tercantum pada deskripsi varietas. Dalam deskripsi varietas dinyatakan bahwa
varietas Bima Brebes memiliki potensi hasil 9,9 ton/ha, Mentes (7,1-27,8 ton/ha), Katumi (8-
24,1 ton/ha), Pikatan (6,2-23,31 ton/ha), dan Trisula (6,5-23,21 ton/ha) (Waluyo & Sinaga
2015).
Sedangkan untuk varietas Bauji kisaran hasilnya pada kisaran 14 ton/ha (Baswarsiati
2009). Berdasarkan kriteria hasil yang tercantum pada deskripsi varietas tersebut, diketahui
bahwa VUB bawang merah yang ada dalam kisaran potensi hasilnya adalah varietas Mentes,
Pikatan, dan varietas lokal. Sedangkan varietas Bima Brebes dan Katumi hampir memenuhi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 597
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
potensi hasil yang tercantum dalam deskripsi varietasnya. Varietas Bauji diketahui memiliki
hasil tertinggi (11,33 ton/ha) dibandingkan varietas lain yang diuji. Namun demikian, hasil
yang diperoleh masih ada di bawah nilai potensi hasilnya (14 ton/ha). Untuk varietas Trisula,
hasil yang didapat pada penelitian ini adalah 3,83 ton/ha, jauh berada di bawah potensi
hasilnya (6,5 ton/ha). Belum tercapainya hasil yang diperoleh sesuai kisaran potensi hasil
dalam deskripsi varietas dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, disebabkan oleh adanya kondisi kemasaman (pH) tanah di areal
pertanaman yang berkisar antara 4,8-5,9. Berdasarkan Siemonsma dan Pileuk (1994), rerata
hasil yang masih dibawah kisaran deskripsi disebabkan oleh faktor iklim yang tidak
membantu perkembangan tanaman bawang merah. Tanah-tanah yang masam atau basa
tidak baik untuk pertumbuhan tanaman bawang merah. Jika tanahnya terlalu masam dengan
pH tanah 5,5 gram alumunium yang terlarut dalam tanah akan bersifat racun, sehingga
tumbuh tanaman akan menjadi kerdil.
Kondisi tanah yang paling baik untuk bawang merah adalah yang memiliki keasaman
sedikit agak masam sampai normal, sampai pH nya antara 6-6,8. Faktor kedua adalah pada
faktor pemeliharaan tanaman secara kultur teknis yang selama penelitian ini kurang
diperhatikan. Misalnya kurangnya frekuensi penyiraman, terutama pada masa pertumbuhan
vegetatifnya, sehingga dapat mendukung pertumbuhan optimal tanaman bawang ini. Selain
itu, kondisi tanah yang kurang gembur dapat juga menjadi penyebab kurang optimalnya hasil
yang diperoleh. Jenis tanah yang ada di lokasi penelitian adalah tanah lempung berpasir.
Kondisi tanah yang ada ini menyebabkan tanah menjadi sangat lengket dan liat pada saat
terkena air/hujan, dan akan tampak pecah-pecah pada saat tanah kering/tidak terkena
hujan. Adanya penyiraman yang dillakukan dari atas permukaan tanah yang menyebabkan
permukaan tanah memadat, juga dapat menjadi penyebab tidak terbentuknya rumpun umbi
secara maksimal. Selain itu faktor varietas juga mempengaruhi komponen hasil produksi
bawang merah (Russo 2008).
Dari data pertumbuhan dan komponen hasil yang diuji, dapat disimpulkan bahwa
varietas Bauji, Bima Brebes, dan Mentes merupakan tiga varietas dengan komponen hasil
dan hasil terbaik, yang mampu beradaptasi pada agroekosistem yang ada di dataran rendah
Kabupaten Manokwari. Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar
pengembangan varietas unggul bawang merah spesifik lokasi di Papua Barat.

KESIMPULAN
Varietas unggul bawang merah yang dinilai mampu beradaptasi dengan baik di
dataran rendah Kabupaten Manokwari adalah varietas Bauji, Bima Brebes, dan Mentes.
Varietas ini akan dikembangkan dalam penelitian selanjutnya sebagai langkah awal
diseminasi hasil penelitian kepada para pengguna.

SARAN
Penelitian ini adalah penelitian pertama VUB bawang merah untuk Kabupaten
Manokwari. Penelitian lebih dalam mengenai karakter lain seperti ukuran umbi, ataupun

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


598 | Teknologi Pertanian
karakter vegetatif lain yang sekiranya mempengaruhi hasil dan produktivitas bawang merah
secara luas perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W, Soetiarso, TA, Ameriana, M & Setiawati, W 2009, Pengkajian ex-ante manfaat
potensial adopsi varietas unggul bawang merah di Indonesia, J. Hort., vol. 19, no 3,
hlm. 356-370.
Ambarwati, E & Yudono, P 2003, Keragaan stabilitas hasil bawang merah, Ilmu Pertanian,
vol.10, no 2, hlm. 1-10.
Amin, MR, Hasan, MK, Naher, Q, Hossain, MA & Noor, ZU 2007, Response of onion to NPSKS
fertilizers in low ganges river flood plan soil, Int. J. Sustain. Crop Prod, vol. 2, no.1, pp.
7-11.
Azmi, C, Hidayat, IM & Wiguna, G, 2011, Pengaruh varietas dan ukuran umbi terhadap
produktivitas bawang merah, J. Hort., vol. 21 no. 3, hlm. 206-213.
Badan Pusat Statistik 2014, Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas bawang
merah di Indonesia tahun 2007-2013, diunduh 8 Maret 2017,
<http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81316/potongan/S2-2015-336620-
introduction.pdf>.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat 2014, Sensus Pertanian 2013: Hasil Pencacahan
lengkap provinsi Papua Barat, Manokwari, Papua Barat.
Badan Pusat Statistik, 2015, Nilai produksi dan biaya produksi per hektar usaha tanaman
bawang merah dan cabai merah 2014, diunduh tanggal 8 Maret 2017,
<https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1887>.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat 2015, Papua Barat dalam angka, Manokwari,
Papua Barat.
Bahar, YH, 2015, Rencana kerja pembangunan hortikultura 2016, Disampaikan pada
pramusrenbangtannas tahun 2016, Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura,
Jakarta.
Basuki, RS, 2009, Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah
dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional, J. Hort., vol. 19 no.2, hlm. 214-
227.
Basundari, FRA & Wahid, AR 2013, Uji daya hasil galur harapan padi di Distrik Oransbari,
Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Widyariset, vol. 16, no. 2, hlm. 243-249.
Baswarsiati 2004, Menuntaskan masalah benih bawang merah, Sinar Tani, Edisi 6.
Baswarsiati 2009, Tiga varietas unggul bawang merah hasil kajian BPTP Jawa Timur, Diunduh
28 Juni 2016, <https://baswarsiati.wordpress.com/2009/04/30/tiga-varietas-unggul-
bawang-merah-hasil-kajian-bptp-jawa-timur/>.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 599
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Departemen Pertanian 2009, Statistik Pertanian, Pusat Data dan Informasi Pertanian,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan 2015, Budidaya
Bawang Merah, Diunduh 18 Juni 2016,
<http://distantph.kalselprov.go.id/2014/09/15/budidaya-bawang-merah/>
Firmansyah, MA, Musaddad, D, Liana, T, Mokhtar, MS & Yufdi, MP 2014, Uji adaptasi
bawang merah di lahan gambut pada saat musim hujan di Kalimantasn Tengah,
J.Hort., vol 24, no.2, pp. 114-123.
Gautam, IP, Khatri, B & Paudel, GP 2006, Evaluation of different varieties on onion and their
transplanting times for off-season production in mid hills of Nepal, Nepal Agric. Res.
J., no. 7, pp. 21-26.
Gunadi, N & Suwandi 1989, Pengaruh dosis dan aplikasi pemupukan fosfat pada tanaman
bawang merah kultivas Sumenep terhadap pertumbuhan hasil, Bul. Penel. Hort., vol.
XVIII, no. 2, hlm. 98-106
Islam, MK, Alam, MF & Islam, AKMR 2007, Growth and yield response of onion (Allium cepa
L.) genotypes to different levels of fertilizer, Bangladesh J. Bot, vol. 36, no.1, pp. 33-
38.
Jilani, MS, Khan, MQ & Rahman, S 2009, Planting densities effect on yield and yield
component of onion (Allium cepa L.), J. Agric. Res, vol. 47, no 4, pp. 397-404.
Kementerian Pertanian 2011, Perkembangan produksi dan permintaan bawang merah di
Indonesia tahun 2007-2010, diunduh 8 Maret 2017,
<http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/81316/potongan/S2-2015-336620-
introduction.pdf>.
Limbongan, J & Maskar 2003, Potensi pengembangan dan ketersediaan teknologi bawang
merah Palu di Sulawesi Tengah, J. Litbang Pertanian, vol. 22, no.3, hlm. 103-108.
Moekasan, TK, Prabaningrum, L, Setiawati W, Prathama M & Rahayu A, 2016, Modul
Pendampingan Pengembangan Kawasan: Pengelolaan Tanaman Terpadu Bawang
Merah, Editor: Suwandi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembagan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Mutia, AK, Purwanto, YA & Pujantoro, L, 2014, Perubahan kualitas bawang merah (Allium
ascalonicum L.) selama penyimpanan pada tingkat kadar air dan suhu yang berbeda,
J. Pascapanen, vol. 11, no. 02, hlm. 108-115.
Nugraha, US, Wahyuni, S & Soleh, A 1994. Perbaikan teknologi budidaya untuk memproduksi
benih kedelai bermutu. Seminar Hasil Penelitian 1993/1994 Balai Penelitian Tanaman
Pangan Sukamandi.
Nurasa, T & Darwis, V 2007, Analisis usahatani dan keragaan marjin pemasaran bawang
merah di Kabupaten Brebes, J. Akta Agrosia, vol. 10, no. 1, hlm. 40-48.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


600 | Teknologi Pertanian
Rajiman, 2012, Prospek bawang merah asal biji di Bantul, J. Ilmu-ilmu Pertanian, vol. 15, no.
1, hlm. 35-44.
Rukmana, R, 1994, Bawang merah: budidaya dan pengelolaan pascapanen, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Russo, VM 2008, Plant density and nitrogen fertilizer rate on yield and nutrient content of
onion developed from greenhouse-grown transplants, HortSci, vol. 43, no. 6, pp.
1759-1764.
Siagan, VJ 2015, Outlook bawang merah (Nuryati, L & Noviati, eds), Pusat Data dan Informasi
Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Sinaga, EM, Bayu, ES & Nuriadi I 2013, Adaptasi beberapa varietas bawang merah di dataran
rendah Medan, Jurnal Online Agroteknologi, vol. 1, no. 3, Juni 2013.
Siemonsma, JS & Pileuk, K 1994, Plant Resources of South-East Asia, Porsea, Bogor.
Soetiarso, TA 2009, Teknologi inovatif bawang merah dan pengembangannya. Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal, hlm. 293-324,
diunduh 26 Desember 2016 <http://http://sulteng.litbang. deptan.go.id/
ind/images/stories/bptp/Prosiding%2007/2-33.pdf>.
Sugiarta, P, Yuliasih, S & Farid, A 2010, Teknik budidaya bawang merah dengan
memanfaatkan biji sebagai sumber benih, J. Agriekstensia, vol. 9, no. 2, hlm, 120-125.
Sumarni, N & Hidayat, N 2005, Budidaya bawang merah: panduan teknis ptt bawang merah
no. 3, Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Lembang, Bandung.
Sumarni, N & Hidayat, A 2005, Panduan Teknis PTT Bawang Merah, No. 3, Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang.
Sumiati, E, Sumarni, N dan Hidayat, A 2004, Perbaikan teknologi produksi umbi benih
bawang merah dengan ukuran umbi benih, aplikasi zat pengatur tumbuh, dan unsur
hara mikroelemen, J. Hort, vol. 14, no.1: 25-32.
Suwandi & Azirin, A 1995, Pola usahatani berbasis sayuran dengan berwawasan lingkungan
untuk meningkatkan pendapatan petani, Prosiding Ilmiah Nasional Komoditas
Sayuran Balitsa, Lembang.
Suwandi, R, Sutarya, Firmansyah, I & Adiyoga, W 2012. Laporan Akhir: Perbaikan Teknologi
Produksi Bawang Merah untuk Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Umbi Bawang
Merah, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Kementerian Pertanian Republik
Indonesia, Jakarta.
Thamrin, M, Ramlan, Armiati, Ruchjaniningsih & Wahdania 2003, Perbaikan teknologi
produksi bawang erah untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas umbi bawang
merah, Laporan Akhir, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 601
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Triharyanto, E, Samanhudi, Pujiasmanto, B & Purnomo, D 2013, Kajian Pembibitan dan
Budidaya Bawang Merah (Allium ascalonium L.) melalui biji botani (True Shallot
Seed). Makalah Seminar Nasional Fakultas Pertanian UNS Surakarta dalam rangka
Dies Natalis Tahun 2013.
UNDP Indonesia 2013, Laporan Studi: Kajian Sayuran dengan Pendekatan Rantai Nilai dan
Iklim Usaha di Kabupaten Manokwari, Program Pembangunan berbasis Masyarakat
Fase II: Implementasi Institusionalisasi Pembangunan Mata Pencaharian yang Lestari
untuk Masyarakat Papua.
Waluyo, N & Sinaga, R 2015, Bawang merah yang dirilis oleh Balai Penelitian Tanaman
Sayuran, Iptek Tanaman Sayuran, Balai Penelitian Tanaman Sayuran. No. 004, Januari
2015.
Wiguna, G, Hidayat, IM & Azmi C 2013, Perbaikan teknologi produksi benih bawang merah
melalui pengaturan pemupukan, densitas, dan varietas, J. Hort, vol. 23, no. 2, hlm.
137-142.
Yamin, M 2008. Pengembangan Varietas Unggul dan Komersialisasi Benih Sumber Padi. Buku
2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


602 | Teknologi Pertanian
RAGAM ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN KELAPA SAWIT DI PT. INTI
KEBUN SEJAHTERA KABUPATEN SORONG

Abdul Mubaraq Irfan*) dan Farida Oktavia**)

Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sorong*)


Jl. Selat Sunda KOMP. Bandara DEO Sorong, Kota Sorong, Papua Barat
Balai Penelitian Tanaman Palma**)
Jalan Raya Mapanget PO BOX 1004 Manado 95001
Email: irfanmubaraq@gmail.com

ABSTRAK
Resistensi hama dan menurunnya populasi musuh alami memungkinkan terjadinya perubahan
serangga bukan OPT berubah menjadi OPT bagi tanaman kelapa sawit. Terlebih pada
perkebunan dengan sistem monokultur yang secara terus menerus pakan serangga dan adanya
iklim mikro yang sesuai bagi perkembangbiakan serangga. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui keragaman OPT di perkebunan sawit yang menggunakan benih asal Costarica.
Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit milik PT. Inti Kebun Sejahtera yang berlokasi
di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Metode yang digunakan yaitu total sampling.
Sampel berupa serangga dan cendawan yang ditemukan di lapangan dikoleksi dan diberi label
sesuai tempat pengambilannya, kemudian dibawa ke Laboratorium Entomologi dan
Fitopatologi, Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sorong untuk diidentifikasi. Luas lahan
pengamatan 50 m² dengan umur tanaman 6 tahun dan telah menghasilkan. Ragam serangga
yang teridentifikasi antara lain Mahasena corbetti, Locusta migratoria, Valanga nigricornis,
Lepidoptera, Metisa plana, Nympalidae, Oryctes sp.,dan Spodoptera litura. Jenis serangga OPT
yang dapat ditemukan pada hampir setiap blok pengamatan adalah Valanga nigricornis.
Sedangkan cendawan yang berhasil teridentifikasi terdapat 6 jenis, yaitu Nigrospora sacari,
Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Ganoderma sp., dan Gymnopus sp.
Kata kunci: Organisme Pengganggu Tanaman, kelapa sawit, monokultur.

PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineesis Jacq.) termasuk dalam salah satu tanaman keras yang
mempunyai periode hidup hingga 25 tahun. Tanaman ini bernilai ekonomis karena mampu
menghasilkan minyak dan lemak nabati. Awal perkembangan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia dimulai dari Pulau Sumatera kemudian berkembang ke Jawa Barat, Banten bagian
selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Papua (Prayitno et al., 2008).
Kelapa sawit tergolong sebagai tanaman toleran. Meski demikian hama dan penyakit
tanaman merupakan faktor pembatas produktivitas kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit
dengan sistem monokultur sangat rentan terhadap perubahan populasi serangga yang
berpotensi menjadi hama. Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti ulat
pemakan daun kelapa sawit meskipun tidak berakibat mematikan tanaman namun sangat
merugikan secara ekonomi (Sinaga et al., 2015). Potensi kehilangan hasil yang disebabkan
hama ini dapat mencapai 35%. Pada umumnya, perkebunan kelapa sawit mengatasi masalah
hama dengan menggunakan pestisida sintetik yang mempunyai kemampuan menurunkan
populasi hama dengan cepat.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 603
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Hama yang dikendalikan dengan menggunakan pestisida berdampak negatif terhadap
kesehatan, agroekosistem, serangga penyerbuk, musuh alami, dan produksi kelapa sawit.
Penggunaan pestisida yang intensif meningkatkan resistensi OPT dan menurunkan populasi
musuh alami, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan serangga non OPT menjadi OPT
pada kelapa sawit. Pengendalian hama harus dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan
dan diintegrasikan dengan penataan lanscape untuk menjaga kelangsungan usaha
perkebunan kelapa sawit di masa yang akan datang (Anggraitoningsih et.al, 2012).
Penyakit tanaman merupakan suatu penyimpangan dan abnormalitas tanaman
dengan beragam bentuk. Penyakit juga menimbulkan masalah pada pertanaman kelapa
sawit seperti penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh infeksi cendawan
Ganoderma boninense merupakan penyakit penting yang memiliki kisaran inang sangat
banyak. Penyakit pada tanaman kelapa sawit dapat menyerang pada tahap pembibitan,
tanaman di lapangan, baik pada tahap tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun
tanaman menghasilkan (TM). Pada umumnya tanaman kelapa sawit terinfeksi penyakit
dapat dideteksi sejak masa pembibitan, sehingga diperlukan tindakan pengelolaan bibit yang
baik agar ledakan penyakit dapat diantisipasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman OPT di perkebunan sawit
yang menggunakan benih asal Costarica. Hasil identifikasi tersebut selanjutnya dapat
digunakan sebagai acuan dalam mengantisipasi pengendalian serangga dan cendawan yang
berpotensi sebagai OPT kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit milik PT. Inti Kebun Sejahtera
Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Luas lahan pengamatan 50 m² dengan umur
tanaman 6 tahun (tanaman telah menghasilkan). Pengamatan dilakukan menggunakan
metode sistematis total sampling yaitu mengambil sampel berupa serangga dan cendawan
yang ditemukan di lapangan. Specimen OPT yang ditemukan, dikoleksi dan diberi label
sesuai tempat pengambilannya, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
Serangga yang ditemukan disortir menurut jenis dan lokasi pengambilannya. Sampel
hama dikoleksi di dalam alkohol 70% untuk diidentifikasi lebih lanjut. Identifikasi serangga
hama dilakukan di Laboratorium Entomologi, Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Sorong
dengan menggunakan bahan pustaka Banks (1979), Haines (1991), Brower (2003) dan
Buntin, et.al. (2003).
Jamur yang dikoleksi dari lapang dibawa ke laboratorium. Media tumbuh dibuat
dengan mencampur bahan-bahan yaitu kentang yang telah dikupas 200gram, gula pasir 20
gram, tepung agar 16 gram, dan aquades 1000 ml. Pembuatan media didasarkan pada
prosedur Dharmaputra et al. (1989), yaitu : kentang diiris-iris setebal 1cm, direbus sampai
diperoleh air rebusan yang kekuning-kuningan yaitu ketika kentang mulai lunak. Air rebusan
disaring menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan air rebusan kentang tersebut
ditambahkan dengan gula pasir dan tepung agar kemudian semua bahan dipanaskan dan
diaduk sampai larut. Setelah semua bahan larut, media tumbuh tersebut disterilkan di

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


604 | Teknologi Pertanian
autoklaf selama ±15 menit, suhu 121 ͦC dan tekanan 1,5 atm. Saat media tumbuh dalam
keadaan hangat diberi streptomycin sulfate yang berfungsi sebagai antibiotik penghambat
bakteri kontaminan. Kemudian larutan media tumbuh dituang dalam cawan steril,
selanjutnya dibiarkan pada laminar air flow sampai memadat.
Sampel jamur dipotong kecil-kecil sebelum dibiakkan dilakukan sterilisasi permukaan
dengan menggunakan air steril dan alkohol 70%, kemudian dibiakkan pada media tumbuh.
Pemindahan koloni baru dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh isolat murni. Identifikasi
dilakukan dengan mangamati ciri mikroskopis yang mengacu pada buku identifikasi jamur,
yaitu: Barnett and Hunter (1998), Streets (1980), Dharmaputra et al.(1989), dan Savonius
(1973).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perkebunan kelapa sawit milik PT. Inti Kebun Sejahtera ditanam secara monokultur
dengan jarak tanam 9 X 9 meter. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
pertanaman kelapa sawit terdapat organisme pengganggu tanaman (OPT) yang tergolong
sebagai serangga dan cendawan. Ragam serangga yang teridentifikasi antara lain Mahasena
corbetti, Locusta migratoria, Valanga nigricornis, Lepidoptera, Metisa plana, Nympalidae,
Oryctes sp.,dan Spodoptera litura. Jenis serangga OPT yang dapat ditemukan pada hampir
setiap blok pengamatan adalah Valanga nigricornis. Hal ini sesuai dengan tipe sebaran
V.nigriconis yang menghendaki daerah panas yang banyak tumbuhan rimbun dan sangat
menyukai perkebunan tanaman tunggal.
Tabel 1. Hasil identifikasi Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada
pertanaman kelapa sawit berpola monokultur.
Kode blok pengamatan
No. OPT yang teridentifikasi Srg/C1 Srg/C2 Srg/C3 Srg/C4 Srg/C5
A. OPT serangga
1. Mahasena corbetti V - - - -
2. Locusta migratoria V - - - -
3. Valanga nigricornis V V V V -
4. Lepidoptera - V - - -
5. Metisa plana - - V V -
6. Nympalidae - - - V -
7. Oryctes sp. - - - V -
8. Spodoptera litura - - - - V
B. OPT cendawan
1. Nigrospora sacari V V V - V
2. Aspergillus flavus V V V - V
3. Aspergillus niger V - - - -
4. Ganoderma sp. V V V - V
5. Gymnopus sp. - V - - -
6. Upasia salmonicolor - - - - V

Pola penyebaran dan kepadatan serangga di suatu tempat akan berbeda-beda


tergantung dari banyak sedikitnya populasi serangga, perilaku serangga dan tempat hidup

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 605
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
(habitat). Sedangkan cendawan yang berhasil teridentifikasi terdapat 6 jenis, yaitu
Nigrospora sacari, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Ganoderma sp., dan Gymnopus sp.
Perluasan lahan sawit secara besar-besaran di wilayah Kabupaten Sorong secara
otomatis menambah jumlah areal monokultur yang menguntungkan bagi perkembangan
hama. Hal tersebut karena pakan terus menerus tersedia sehingga menunjang
keberlangsungan hidup OPT. Pemanfaatan lahan optimal di antara tanaman kelapa sawit
bermanfaat sebagai tanaman penutup tanah, meninggalkan nitrogen tanah, mengurangi
perkembangan gulma, mencegah erosi, meningkatkan penyerapan air tanah dan
meningkatkan kelembaban tanah.

Mahasena corbetti dan Metisa plana

Ulat kantong termasuk dalam famili Psychidae. Metisa plana dan Mahasena corbetti
merupakan dua spesies ulat kantung yang paling merugikan perkebunan kelapa sawit. Ulat
yang baru menetas sangat aktif dan bergantung menggunakan benang-benang air liurnya
sehingga mudah menyebar dengan bantuan angin, terbawa manusia atau binatang. Ulat
aktif memakan daun sambil membuat kantung dari potongan–potongan daun.
Serangan ulat kantong ditandai dengan penampakan tanaman tajuk tanaman yang
kering seperti terbakar dengan potensi kehilangan daun mencapai 46,6%. Ulat kantung
genus Clania pada tanaman kelapa sawit memiliki kemampuan makan daun yang cukup
rakus. Tingkat serangan dapat mencapai 20% dengan populasi per pelepah ±176 ekor.
Luas area makan ulat kantung dapat diperkirakan dengan melihat ukuran lebar kepala
ulat kantung. Sebagai perbandingannya lebar kepala genus Clania 0,41±0,03 cm dapat
memakan daun kelapa sawit dengan luas ±4,789 cm² per hari (Tabel 2). Luas area makannya
lebih besar dibandingkan dengan luas area makan M.plana instar terakhir ±2,833 cm2 /hari
dan M.corbetti ±3,448 cm2/hari.

Tabel 2. Luas area makan genus Clania berdasarkan lebar kepala pada kelapa sawit.
Rata-rata
Lebar diameter
kepala (cm) Panjang ulat Panjang kantung Luas area makan
(cm) (cm) (cm²)
0,16±0,03 1,122 1,704 1,08
0,24±0,03 1,446 1,946 3,463
0,32±0,03 1,858 2,44 3,695
0,41±0,03 2,44 3,292 4,789
Sumber: Indriati dan Khaerati, 2013.

Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat kantung, tetapi lebih
cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur lebih dari 8 tahun. Hal ini diduga
disebabkan karena pelepah daun pada tanaman lebih dari 8 tahun saling bersinggungan dan
memudahkan perpindahan ulat kantung antar pelepah. Peralihan fungsi lahan hutan
menjadi lahan perkebunan kelapa sawit secara monokultur dan ditanam dalam skala luas
dapat memicu terjadinya ledakan ulat kantung.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


606 | Teknologi Pertanian
Daun yang rusak mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis dan pada akhirnya
berdampak pada penurunan produktivitas kelapa sawit. Biasanya penurunan produksi akan
tampak pada tahun kedua setelah terjadi serangan hama ulat kantung dan ulat api (Susanto
et al., 2012). Teknik pengendalian ulat kantung dapat dilakukan dengan cara:
 Mekanik yaitu mengambil secara langsung ulat kantung dan membunuhnya.
 Fisik yaitu dengan menciptakan kondisi tidak ideal bagi perkembangbiakan ulat
kantung.
 Biologis yaitu menggunakan musuh alami berupa predator, patogen atau parasitoid.
Parasitoid yang dapat digunakan untuk pengendalian M.plana dan M.corbetti adalah
Pediobius imbreus Walker (Hymenoptera: Eulophidae) dengan tingkat parasitisasi 67,4%,
Pediobius elasmi (Hymenoptera: Eulophidae) dengan tingkat parasitisasi 10,2%, Goryphus
bunoh Gauld (Hymenoptera: Ichneumonidae) dengan tingkat parasitisasi 25%. Parasitoid
tersebut dapat dikonservasi dengan mengelola gulma berbunga sebagai sumber pakan
(nektar) bagi parasitoid tetapi tidak menjadi inang ulat kantung. Predator pemangsa
M.corbetti adalah Sycanus macracanthus Stal. (Hemiptera: Reduviidae), sedangkan M.plana
dimangsa oleh predator Sycanus dichotomus Stal. (Hemiptera: Reduviidae).
Patogen Beauveria bassiana mampu mematikan ulat kantung mulai 2-3 hari setelah
diinokulasi, sedangkan bakteri Bacillus thuringiensis var. Kurstaki (Btk) dan Aizawai (Bta). Btk
dilaporkan efektif terhadap M.plana dengan mortalitas 70-100% pada konsentrasi 2-10g/l.
Pestisida nabati berbahan dasar daun suren juga efektif mematikan ulat kantung pada
tanaman sengon, karena daun suren mengandung surenon, surenin dan surenolakton yang
berperan sebagai penghambat pertumbuhan dan daya makan ulat.
Perangkap feromon (ferotrap) menggunakan dua betina reseptif yang akan menarik
imago jantan masuk dalam perangkap yang dipasang pada ketinggian 1,6-2 m dari
permukaan tanah. Semakin banyak imago jantan yang tertarik semakin berkurang peluang
betina untuk kawin, sehingga populasi menurun. Penggunaan fertrap dianggap efektif
karena hanya imago jantan yang mampu terbang dan berpindah-pindah daun, sedangkan
imago betina hanya berada di dalam kantung.

Oryctes sp

Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pertanaman kelapa sawit muda. Namun
hasil dari pengamatan dan identifikasi di lapangan, O. Rhinoceros juga ditemukan pada areal
tanaman yang menghasilkan dan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan tanaman
bahkan kematian tanaman produktif. Hal tersebut diduga sebagai efek pemanfaatan mulsa
tandan kelapa sawit dengan lapisan yang cukup tebal dan menjadi media peletakan telur
oleh kumbang betina dewasa dan makanan larva. Hama O. Rhinoceros berkembangbiak pada
tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan (Prayitno et al.,
2008).
Kumbang O. Rhinoceros jantan dan betina yang menggerek selalu berpindah-pindah
dari pohon satu ke pohon sekitarnya, sehingga menyebabkan serangan semakin meluas.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 607
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Kerusakan yang nampak sebagai gejala serangan terlihat pada bekas lubang gerekan yang
ada di pangkal batang, selanjutnya mengakibatkan pelepah daun muda putus dan
membusuk kering. Biasanya serangan kumbang O. Rhinoceros juga diikuti oleh kumbang
R.ferrugineus dan pada lubang gerekan juga dapat digunakan sebagai media tumbuh bakteri
atau cendawan yang mengakibatkan pembusukan berkelanjutan.
Pengendalian O. Rhinoceros dapat dilakukan secara pengutipan langsung (fisik),
penggunaan pestisida (kimia) dan biologi (menggunakan Metharizium anisopliae dan
Baculovirus oryctes. Kapang dari marga Metarhizium sorokin memproduksi metabolit
sekunder yaitu destruksin yang dapat menyebabkan kematian pada serangga inang (Skrobek
et al., 2008).
Aplikasi kontak langsung dengan cara mencelupkan larva ke dalam susupensi kapang
mampu membunuh 100% larva O. rhinoceros (Sambiran dan Hosang, 2007). Monitoring
populasi hama menggunakan feromon perlu dilakukan sebagai bagian dari pengendalian
hama secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Feromon agregasi sintetik dapat
menangkap kumbang betina O. Rhinoceros lebih banyak dibanding kumbang jantan (Alouw,
2007).

Spodoptera litura

Hama ulat grayak merupakan salah satu organisme pengganggu utama pada tanaman
kedelai. Ulat grayak muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya
epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua juga merusak tulang-tulang daun sehingga
tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Hama ulat grayak dapat berkembang biak
dengan optimal pada kelembaban udara rata-rata 70% dan suhu udara 18-23%. Ulat grayak
bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, dan buah-
buahan. Spodoptera litura termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami
metamorphosis sempurna yang terdiri dari empat stadia hidup yaitu telur, larva, pupa, dan
imago (Yanto H, 2013).
S. litura sering mengakibatkan penurunan produksi bahkan kegagalan panen karena
menyebabkan daun dan buah sayuran robek, terpotong-potong dan berlubang-lubang. Bila
tidak segera diatasi maka daun atau buah tanaman di areal pertanian akan habis termakan
(EPPO, 2005). Salah satu kendala dalam peningkatan produksi kacang tanah ialah adanya
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). S. litura merupakan hama utama pada
kacang tanah.
Pengendalian hama tanaman yang di kembangkan dewasa ini adalah menekan jumlah
populasi hama yang menyerang tanaman sampai pada tingkat populasi yang tidak
merugikan. Komponen pengendalian hama yang dapat di terapkan untuk mencapai sasaran
tersebut antara lain pengendalian hayati, pengendalian secara fisik dan mekanik,
pengendalian secara kultur teknis dan pengendalian secara kimiawi (EPPO, 2005).
Pengendalian hama pada tanaman diarahkan pada penerapan pengendalian hama
terpadu (PHT). PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan
pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


608 | Teknologi Pertanian
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Musuh alami (parasit, predator, dan patogen
serangga) merupakan faktor pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola
agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang
(Nathan dan Kalaivani 2005).
Ekstrak akar tuba berpotensi mengendalikan hama ulat grayak (Taslim, 2010) karena
mengandung bahan aktif rotenon dengan nama lain tubotoxin yang termasuk dalam
golongan senyawa flavoniod. Perlakuan ekstrak akar tuba 50 g/l air mampu menyebabkan
mortalitas total dengan rata-rata sebesar 85% dan kematian awal salah satu ulat uji dicapai
dalam waktu 12 jam.

Locusta migratoria dan Valanga nigricornis

Belalang yang menyerang tanaman kelapa sawit ada dua jenis, yaitu Locusta sp. dan
Valanga Sp. Seperti halnya serangga lainnya, hama jenis ini menyerang tanaman kelapa
sawit saat daun masih muda, dengan cara memakan daun kelapa sawit muda (baru tumbuh).
Hama belalang pada tanaman kelapa sawit merupakan hama migran, dimana tingkat
kerusakannya tergantung dari jumlah populasi serta tipe tanaman yang diserang. Hama ini
menyerang terutama di bagian daun, daun terlihat rusak karena serangan dari belalang
tersebut, jika populasinya banyak serta belalang sedang dalam keadaan kelaparan, hama ini
bisa menghabiskan tanaman kelapa sawit sekaligus sampai tulang–tulang daunnya
Belalang kembara (Locusta migratoria L.) (Orthoptera : Acrididae), mengalami
metamorfosa tidak sempurna. Masa telur 17 – 22 hari, masa nimpa 1 – 1,5 bulan dan
belalang dewasa. Belalang ini perlu di waspadai keberadaannya karena dapat menimbulkan
serangan yang dahsyat apabila kondisi iklim yang menguntungkan bagi perkembangan
belalang. Serangan belalang di Indonesia sudah terjadi dari tahun 1877 dan sampai tahun
2005 di beberapa daerah. Serangan belalang tidak selalu dapat diprediksi lebih dahulu. Bila
sudah terjadi serangan dapat diberantas dengan menggunakan insektisida kimia
organophosphate dosis rendah atau dengan bioinsektisida bakteri merah (Surtikanti, 2006).
Upaya identifikasi penyakit harus dilakukan sedini mungkin untuk memudahkan
tindakan pencegahan dan pengendalian. Penyakit tanaman merupakan suatu penyimpangan
atau abnormalitas tanaman dengan beragam bentuk, sehingga berpengaruh pada
pertumbuhan dan produktivitas kelapa sawit. Intensitas serangan penyakit tergantung pada
kondisi bibit.

Aspergillus niger dan Aspergillus flavus

Aspergilus niger dan Aspergillus flavus merupakan fungi dari filum ascomycetes yang
berfilamen, mempunyai hifa berseptat, dan dapat ditemukan melimpah di alam. Fungi ini
biasanya diisolasi dari tanah, sisa tumbuhan, dan udara di dalam ruangan. Koloninya
berwarna putih pada Agar Dekstrosa Kentang (PDA) 25 °C dan berubah menjadi hitam ketika
konidia dibentuk. Kepala konidia dari A. niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah
menjadi bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur. A. niger
dapat tumbuh optimum pada suhu 35-37 °C, dengan suhu minimum 6-8 °C, dan suhu
maksimum 45-47 °C. Selain itu, dalam proses pertumbuhannya fungi ini memerlukan oksigen
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 609
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang cukup (aerobik). A. niger memiliki warna dasar berwarna putih atau kuning dengan
lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam (Madigan et. al 2006).

Ganoderma sp.

Hasil isolasi dan identifikasi isolat patogen dari lapang merupakan G.boninense yang
berpotensi penyebabkan gejala busuk pangkal batang. Pada beberapa kasus, serangan juga
menyebabkan gejala busuk pangkal atas atau penyakit upper stem rot. Perbandingan antara
penyakit busuk batang atas dan busuk pangkal batang berkisar antara 1:10 sampai dengan
1:1 dan bahkan pada beberapa kebun penyakit busuk batang atas lebih banyak dari pada
busuk pangkal batang (Hoong, 2007). G.boninense merupakan cendawan patogen tular
tanah. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012) baru
enam provinsi yang teridentifikasi terserang penyakit BPB, dan enam provinsi tersebut
adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu serta Kalimantan Tengah.
Trichoderma spp. mempunyai kemampuan antagonis dalam menghambat
pertumbuhan jamur-jamur patogen tular tanah termasuk Ganodema sp. (Widyastuti SM,
2010). Penggunaan agensia hayati Trichoderma spp. dalam pengendalian penyakit di
lapangan banyak menggunakan kompos maupun starter sehingga terdapat beberapa
kendala antara lain memerlukan ruang yang relatif luas dalam penyimpanan, sulit dalam
penyiapan dan perbanyakan isolat jamur Trichoderma spp. serta aplikasi di lapangan.
Upasia salmonicolor

Jamur upas timbul pada batang atau cabang yang kulitnya sudah berwarna cokelat,
tetapi belum membentuk lapisan gabus yang tebal. Umumnya jamur mulai berkembang dari
pangkal cabang atau sisi bawah cabang, karena disini keadaannya lebih lembab ketimbang di
bagian lain. Pada bagian yang terserang mula-mula jamur membentuk miselium tipis
seperti perak atau sutera. Stadium ini disebut stadium rumah laba-laba (I): pada waktu ini
jamur belum masuk ke dalam kulit. Pada bagian yang terlindung, sebelum masuk ke dalam
jaringan, jamur membentuk gumpalan-gumpalan hifa di depan lentisel: stadium ini disebut
stadium bongkol semu (II), setelah itu jamur membentuk kerak merah jambu (pink) atau
berwarna seperti ikan salem (salmon), stadium ini disebut stadium teleomorf(III), kulit
dibawah kerak merah jambu sudah membusuk. Pembusukan kulit dan kayu yang meluas
sering mengakibatkan kematian. Pada stadium ini jamur membentuk banyak basidium yang
menghasilkan basidiospora.
Hasil survey memperlihatkan bahwa OPT yang ditemukan merupakan OPT kosmopolit
pada tanaman kelapa sawit. Dari temuan tersebut sangat diharapkan agar tetap mengontrol
keberadaa OPT di lapangan sehingga tidak melewati ambang batas ekonomi dan populasi
agens hayati tetap terjaga. Pemberian pupuk yang seimbang dan penggunaan pestisida
secara bijaksana sangat membantu dalam menjaga keseimbangan ekosistem hingga pada
akhirnya produksi akan semakin meningkat dari waktu ke waktu, yang terpenting adalah
menjaga agar resurgensi OPT dapat dihindari.Usaha pengendalian yang efisien, efektif dan
aman bagi sumber daya alam dan lingkungan perlu dilakukan secara terpadu. Setiap hama
mempunyai musuh alami yang dapat berupa parasit, predator (pemangsa) dan penyakit.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


610 | Teknologi Pertanian
KESIMPULAN
Dari hasil survei dapat disimpulkan bahwa benih kelapa sawit asal Costarica yang
dibudiayakan dengan sistem monokultur tetap rentan terhadap OPT yang kosmopolit dan
pada tanaman kelapa sawit belum ditemukan OPT baru. Sebaiknya dilakukan survey lanjutan
untuk mendeteksi keberadaan OPT yang belum terdapat di Indonesia mengingat benih yang
banyak dibudidayakan bersasl dari luar negeri baik dari negara Costarica maupun dari Papua
Nugini.

DAFTAR PUSTAKA
Alouw, J.C. 2007. Feromon dan pemanfaatannya dalam pengendalian hama kelapa sawit
Oryctes rhinoceros (coleoptera: Scrabidae). Balai Penelitian Tanamn Kelapa dan Palma
Lain. Buletin Palma (32):12-21.
Anggraitoningsih W, Ubaidillah R, Sutrisno H, Suwito A, Oscar Efendy, 2012. Potensi Dan
Pengendalian Serangga Hama Kelapa Sawit Di Lampung”. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Banks, H.J. 1979. Identification of Stored Product Cryptolestes spp (Col: Cucujidae); A Rapid
Techique for Preparation of Suitale Mount. Journal of the Australian Entomology
Society, Vol. 18.
Barnet HL. dan BB Hunter. 1998. Illustrated genera of imperfect fungi. The american
phytopathological society St. Paul, Minnesota.
Brower, J. 2003. Stored Product Management. Oklahoma Cooperative Extension Service
Division of Agricultural Sciences and Natural Resources Oklahoma State University.
www.okstate.edu/ag/aged cm4h/pearl/ e912/ch13/ch13f29.
Buntin, G. D., S. P. Keith., M.J. Weiss, and James A. Webster, 2003. Handbook of Small Grain
Insects. photographs, Maps, and Identification Keys. Entomological Society of
America and APS PRESS.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 2012. Sawit Indonesia.
http://ditjenbun.deptan.go.id/. Diakses tanggal 26 Januari 2016.
Dharmaputra OS., WG. Agustin dan Nampiah. 1989. Penuntun praktikum: Mikologi Dasar.
Departemen pendidikan dan kebudayaan. Direktorat jenderal pendidikan tinggi pusat
antar Universitas Ilmu Hayati. IPB. Bogor.
EPPO. 2005. Data Sheets on Quarantine Pests : Spodoptera littoralis and S. litura.
Haines, C.P. 1991. Insect and Arachinids of Tropical Stored Product Their Biology and
Identification. Natural Resource Institute, Central Avenue, Chatam Maritime, Kent
Mey 4 TB, United Kingdom.
Hoong HW. 2007. Ganoderma disease of oil palm in Sabah. Planter. 89(974):299-313.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 611
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Indriati, G. Dan Khaerati. 2013. Ulat kantung (Lepidoptera:Psychidae) Sebagai hama
Potensial jambu Mete dan Upaya Pengendaliannya. Warta Vol. 19 Nomor 2:1-4.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Madigan MT, Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th ed. New Jersey :
Pearson Education. Hal. 178-185.
Nathan, Sentil S. and K. Kalaivani. 2005. Efficacy of nucleopolyhedrosis virus and azadirachtin
on Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Biol. Control 34: 93-98.
Prayitno S., D. Indradewa, BH. Sumarminto. 2008. Produktivitas kelapa sawit (Elaeis
guineesis Jacq.) yang dipupuk dengan tandan kosong dari limbah cair pabrik kelapa
sawit. Ilmu Pertanian 15(1):37-48.
Sambiran, W.J dan L.A Hosang. 2007. Patogenitas Metarhizium anisopliae dari beberapa
media air kelapa terhadap Oryctes rhinoceros L. Buletin Palma (32):1-11.
Savonius M. 1973. All colour book mushrooms and fungi. Octopus Books. London.
Sinaga M., S. Oemry dan Lisnawita. 2015. Efektifitas beberapa teknik pengendalian
Setothosea asigna pada fase vegetatif kelapa swit di rumah kaca. Jurnal Online
Agroekoteaknologi Vol. 3 No. 2:634-641.
Skrobek, A., F.A. Shah dan T.M. Butt. 2008. Dextruxin production by the entomogenous
fungus Metarhizium anisopliae in insects and factors influencing their degradation.
BioControl 53:361-373.
Streets, RB. 1980. Diagnosis penyakit tanaman. The university of arizona press. Tuskon-
Arizona, USA. (Alih bahasa: Imam Santoso).
Surtikanti, 2008. Bioekologi Belalang Kembara (Locusta migratoria L.) dan pengendaliannya,
Balai Penelitian Tanaman Serelia Maros. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 5 Nopember 2008.
Susanto A., AE. Prasetyo, D. Simanjuntak, TAP. Rozziansha, H Priwiratama, Sudharto, RD
Chenon, A Sipayung, AT Widi dan RY Purba. 2012. EWS Ulat kantong, Ulat api dan Ulat
bulu. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Pemantang Siantar.
Taslim, R. 2010. Potensi ekstrak akar tuba (Derris eliptica) untuk mengendalikan hama ulat
grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai (Glycine max L. Merril). Skripsi
Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pekanbaru.
Widyastuti SM, 2010. Penelitian Metode Pengendalian Ganoderma sp. Pada Tanaman
Perkebunan dan Kehutanan, Laporan Akhir program Tanoto Professorship Award,
Jakarta, 28 Desember 2010.
Yanto H, 2013. Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura), makalah pengendalian
Spodoptera sp. April 2013

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


612 | Teknologi Pertanian
PERKEMBANGAN PENELITIAN KULTUR JARINGAN PADA TANAMAN PALMA

Farida Oktavia

Balai Penelitian Tanaman Palma


Jl. Raya Mapanget Manado 95001
Email : faridaoktavia26@gmail.com

ABSTRAK
Tanaman palma dikenal sebagai the tree of life karena hampir seluruh bagiannya dapat diambil
manfaatnya bagi manusia. Tanaman palma yang berkembang di Indonesia sebagian besar telah
berumur lebih dari 25 tahun sehingga mengalami penurunan jumlah produktivitas. Melalui
program peremaajan tanaman tidak produktif, pemerintah mendorong pihak swasta untuk
bersama-sama membangkitkan gairah perkebunan rakyat. Program peremajaan dan penataan
kembali areal perkebunan tanaman palma mutlak membutuhkan bibit yang sangat banyak.
Teknologi kultur jaringan menjadi alternatif yang sangat layak dikembangkan untuk
perbanyakan tanaman secara massal, seragam dan dalam waktu singkat. Dimasa mendatang,
produksi benih somatik akan lebih mendapat perhatian khususnya bagi tanaman kehutanan dan
tanaman berkayu lainnya karena hanya dengan menumbuhkan satu sel somatik pada media
tertentu dan dalam keadaan aseptik telah dapat menghasilkan bibit baru yang mempunyai sifat
sama dengan induknya.
Kata kunci: Kultur jaringan, embriogenesis somatik, tanaman palma.

PENDAHULUAN
Tanaman palma dikembangkan sebagai bahan pangan, industri, farmasi dan
bioetanol. Perkembangan usaha berbasis tanaman palma serta program peremajaan
tanaman palma yang sudah memasuki masa kurang produktif meningkatkan permintaan
bibit. Perbanyakan tanaman secara konvensional sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan
bibit dalam jumlah banyak, seragam dan dalam waktu yang relatif cepat. Kultur jaringan
telah terbukti dapat digunakan sebagai teknologi alternatif mengatasi masalah-masalah
tersebut.
Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman yang dilakukan dengan
mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik dalam media tertentu. Adanya kultur jaringan
dapat membuktikan teori totipotensi, yaitu teori yang menyatakan bahwa setiap sel
mempunyai kemampuan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna apabila diletakkan dalam
lingkungan dan media yang sesuai.
Faktor lain yang perlu diantisipasi dalam metode in vitro adalah penyimpangan
genetik. Untuk itu, sebelum melakukan metode in vitro ada beberapa hal yang harus
dikuasai seperti mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju transportasi, sifat persistensi, daya
aktivitas dari berbagai komponen organik dan anorganik penyusun media tumbuh serta
faktor lain yang berpengaruh. Tanaman palma termasuk dalam tanaman tahunan berkayu,
sehingga sistem regenerasinya lebih rumit dibandingkan dengan tanaman semusim
berdinding lunak dan tanaman pangan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 613
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PERBANYAKAN TANAMAN MELALUI KULTUR JARINGAN
Kultur jaringan pada tanaman palma dapat dilakukan melalui organogenesis dan
embriogenesis. Organogenesis mampu membentuk tunas baik adventif maupun aksilar
secara langsung maupun tidak langsung (melalui kalus) dengan menggunakan media yang
mengandung zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin dan sitokinin. Demikian juga
dengan embriogenesis yang dapat dilakukan langsung maupun tidak langsung.
Faktor-faktor penunjang terjadinya keragaman dalam kultur jaringan adalah jenis
eksplan, pemilihan kultivar dan umur kultivar, level ploidi, metode dan kondisi spesifik dari
kultur termasuk zat pengatur tumbuh, tekanan seleksi, lamanya waktu in vitor dan
kecepatan proliferasi (Skirvin et al., 1994). Sedangkan menurut Karp (1995) menyatakan
bahwa penyebab keragaman dalam kultur in vitro yaitu derajat awal dari pertumbuhan
meristematik, konstitusi genetik, zat pengatur tumbuh yang digunakan pada media, dan
sumber jaringan.
Teknik kultur jaringan yang banyak dikaji untuk perbanyakan tanaman palma yaitu
kultur embrio zigotik. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tujuan kultur embrio adalah
untuk mengecambahkan embrio zigotik menjadi tanaman lengkap pada media tertentu
dalam kondisi aseptik. Kultur embrio zigotik pertama kali dilakukan oleh Charles Bonnet
pada abad ke-18 dengan mengkulturkan embrio tanaman Phaseolus dan Fagopyrum.
Keberhasilan meregenerasikan tanaman dari embrio dipengaruhi oleh media dan
umur embrio yang digunakan. Semakin muda eksplan zigotik yang digunakan, maka semakin
lengkap komposisi medianya. Teknik kultur embrio sangat tepat dipilih untuk
meregenerasikan tanaman yang mempunyai masa dormansi panjang, embrio zigotik hibrida
hasil persilangan antar spesies yang tidak kompatibel dengan endospermanya, embrio
zigotik dengan endosperma abnormal serta mengintrogasikan materi genetik pada suatu
spesies. Sedangkan dari segi fisologi perkembangan embrio, kultur embrio dapat digunakan
untuk mempelajari perkembangan embrio dan kemampuan regenerasi dari bagian-bagian
embrio, sitologi serta filogenetik molekuler (Davey dan Anthony, 2010).
Embriogenesis somatik adalah menumbuhkan embrio (calon tanaman) dari sel
somatik atau sel tanpa dibuahi. Keberhasilan embriogenesis somatik ditentukan oleh sel
yang digunakan harus bersifat embriogenik yang dicirikan dengan ukuran kecil, sitoplasma
padat, inti besar, vakuola kecil dan mengandung butir pati. Embriogenesis somatik dicirikan
dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem (meristem akar dan
meristem tunas).dengan demikian, perbanyakan tanaman melalui embrigenesis somatik
lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar dan menyerupai
embrio zigotik. Organogenesis merupakan proses pembentukan dan perkembangan tunas
dari jaringan meristem. Secara garis besar dilakukan dalam dua tahap, yaitu induksi tunas
dan multiplikasi tunas.
Zat perangsang tumbuh adalah senyawa organik yang berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan bagian-bagian tanaman. Pada teknik kultur jaringan, ZPT berfungsi untuk
mengarahkan pertumbuhan eksplan. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


614 | Teknologi Pertanian
vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi antara fitohormon dan ZPT yang diserap
dari media tumbuh. ZPT tanaman terdiri dari lima kelompok, yaitu auksin, sitokinin,
giberelin, etilen dan asam absisat yang mempunyai ciri khas masing-masing dan memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis tanaman. Faktor yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan ZPT, diantaranya jenis, konsentrasi, aturan penggunaan, periode masa
induksi dalam kultur tertentu, dan kelemahan aktifitasnya. ZPT yang paling sering digunakan
sebagai bahan tambahan dalam media tanam adalah dari golongan auksin dan sitokinin.
Auksin berperan dalam pemanjangan sel, pembelahan sel, berpengaruh dalam
dominasi apikal, penghambatan pucuk absilar dan adventif serta inisiasi perakaran
(Wattimena et al., 1992). Auksin alami yaitu Indole Acetic Acid (IAA), sedangkan auksin
sintetik antara lain NAA, IBA, pikloram, NOA, 4-CPA dan 2.4.5-T (Gunawan, 1998). Faktor-
faktor yang mempengaruhi daya aktivitas auksin, adalah kemampuan senyawa tersebut
untuk menembus lapisan kutikula atau epidermis yang berlilin, sifat translokasi di dalam
tanaman, perubahan auksin menjadi senyawa yang tidak aktif di dalam tanaman, perubahan
auksin menjadi senyawa yang tidak aktif di dalam tanaman (bersifat destruksi atau
pengikatan), interaksinya dengan hormon tumbuh lain, spesies tanaman, fase pertumbuhan,
dan lingkungan (Wattimena, 1988).
Sitokinin pertama kali ditemukan oleh Haberlandt (1913). Sitokinin berperan dalam
metabolisme asam nukleat dan sintesis protein. Sitokinin mempunyai cincin adenin, yaitu
basa purin yang terdapat pada DNA dan RNA. Sitokinin juga berperan untuk mencegah
terjadinya penguningan daun yang umumnya timbul pada proses penuaan (senescence) yang
disebabkan oleh perombakan butir-butir klorofil. Sitokinin yang digunakan dalam kultur
jaringan yitu kinetin, zeatin, BAP atau BA, PBA, 2 Cl-4 PU, dan 2.6-Cl-4 PU, serta thidiazuron.

KULTUR JARINGAN KELAPA SAWIT


Penelitian kultur jaringan kelapa sawit telah dirintis sejak tiga dasawarsa yang lalu
oleh ORSTORM-IRHO/CIRAD Perancis (Rebechault et al., 1972) dan Unilever Inggris (Smith
dan Thomas, 1973). Sejak saat itu perbanyakan tanaman kelapa sawit banyak dilakukan
melalui jalur embriogenesis somatik. Keuntungan jalur embriogenesis somatik pada kelapa
sawit adalah adanya kepastian hasil yang lebih tinggi dengan mengurangi resiko
dihasilkannya khimera (Mariska, 2013). Sedangkan kendala yang banyak ditemui adalah
adanya abnormalitas yang dikenal sebagai buah bersayap dengan prosentase 5-10% dan
berpotensi menurunkan produksi hingga 40%. Menurut Tregear et al. (2002) keadaan
tersebut dapat kembali normal seiring bertambahnya umur tanaman, dan kondisi ini disebut
epigenetik. Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan menjadi fenotipe yang normal
membutuhkan waktu hingga 9 tahun (Rival et al., 1997).
Faktor pemacu perubahan sifat genetik yang terjadi pada embriogenesis somatik
kelapa sawit disebabkan oleh frekuensi dan umur kalus (Paranjothy et al., 1993; Euwens et
al., 2002), jenis eksplan, kecepatan proliferasi kalus (Karp, 1995) serta penggunaan zat
pengatur tumbuh (Euwens et al., 2002) pada konsentrasi tinggi. Umur embrioid yang pendek
(kurang dari 1 tahun) masa inkubasinya, berpotensi menurunkan persentase buah bersayap

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 615
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
secara drastis. Zat pengatur tumbuh dari golongan auksin yang sering digunakan dalam
pembentukan kalus adalah 2,4-D.
Tahapan embriogenesis somatik kelapa sawit antara lain produksi kalus embriogenik,
tahap pendewasaan kalus, tahap perkecambahan, tahap kotiledon dan pembentukan benih
somatik (Mariska, 1997). Pemilihan media dasar yang tepat pada setiap tahap pertumbuhan
berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan perbanyakan tanaman melalui jalur kultur
jaringan.

KULTUR JARINGAN KELAPA


Kelapa merupakan tanaman palma yang sangat penting bagi masyarakat di kawasan
tropis lembab. Indonesia menjadi negara penghasil kelapa terbesar dengan luas lahan
mencapai 3,8 juta hektar dan sebagian besarnya adalah perkebunan rakyat. Produktivitas
kelapa di Indonesia sangat rendah dan terus mengalami penurunan karena hampir 2/3 dari
jumlah tanaman yang ada telah melewati masa produktif sehingga perlu diganti dengan jenis
baru yang sesuai dengan kondisi setempat.
Kultur jaringan kelapa banyak dilakukan dengan menumbuhkan embrio kelapa secara
aseptik pada media tumbuh dan jangka waktu tertentu. Media tumbuh yang digunakan
berfungsi sebagai pengganti endosperm dalam perkecambahan kelapa secara konvensional.
Teknologi ini sangat bermanfaat untuk menyelamatkan embrio kelapa yang mengalami
kerusakan endosperm sebagai sumber cadangan makanan bagi embrio seperti halnya pada
kelapa kopyor.
Protokol media kultur embrio kelapa yang telah dikembangkan, diantaranya protokol
Philippine Coconut Authority (PCA) di Philipina, protokol Central Plantation Crops Research
Institute (CPCRI) di India, protokol University of Philippines at Los Banos (UPLB) dan protokol
ORSTOM/CIRAD di Perancis. Protokol-protokol yang digunakan selama tahap pengkulturan
sebagian besar menggunakan media padat, dan sebagian kecil menggunakan media cair.
Sedangkan media yang digunakan adalah media Eeuwens (1976) yang dimodifikasi dan
merupakan formulasi ketiga sehingga dikenal dengan istilah media Y3. Beberapa kajian yang
telah membandingkan berbagai protokol yang ada, protokol dengan hasil terbaik adalah
protokol UPLB dengan persentase embrio berhasil mencapai tahap aklimatisasi di screen
house mendekati angka 30% (Mashud, 2009).
Mashud dan Manaroinsong (2007) melaporkan bahwa kelapa kopyor yang
diperbanyak melalui metode kultur jaringan berpotensi menghasilkan buah kopyor hingga
90%. Penambahan GA3 0,46 µM ke dalam media cair Eeuwens (Y3) dan 4,6 µM pada media
semi solid Y3 merupakan konsentrasi GA3 optimal dan mampu mengecambahkan masing-
masing 80-90% embrio zigotik kelapa (Pech y Aké et al., 2007).

KULTUR JARINGAN SAGU


Tanaman sagu di Indonesia belum dikelola secara optimal karena hanya
memanfaatkan hutan sagu yang banyak tumbuh di sepanjang tepian sungai dan rawa. Dari
jumlah luasan hutan sagu yang ada, masyarakat hanya memanfaatkan 40% untuk diambil

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


616 | Teknologi Pertanian
patinya sebagai sumber makanan pokok pengganti beras. Beberapa hasil penelitian terbaru
telah melaporkan bahwa tanaman sagu berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai penghasil
bahan industri, seperti bahan kimia industri (alkohol dan bioetanol), perekat, farmasi,
kosmetik, pakan ternak, kertas, tekstil dan makanan olahan. Potensi tersebut mulai diminati
oleh pengusaha sehingga perminta bibit sagu mengalami peningkatan.
Tanaman sagu termasuk dalam tanaman monokotil dan mampu berkembangbiak
secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara generatif yaitu melalui biji sangat
sulit dilakukan karena tanaman sagu di panen sebelum memasuki masa generatif.
Perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif dilakukan dengan menumbuhkan tunas anakan
(sucker). Kelemahan teknik ini, diantaranya proses seleksi membutuhkan waktu yang lama
dengan tingkat kerumitan yang relatif tinggi serta biaya besar.
Perbanyakan sagu melalui kultur jaringan mulai dilakukan secara embriogenesis
zigotik oleh Alang dan Krishnapillary (1986). Kajian untuk menghasilkan embrio somatik telah
banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai eksplan, yaitu daun muda, akar, embrio
muda dan inflorensen dengan berbagai tingkat keberhasilan. Tahardi et al. (2002) melakukan
percobaan induksi kalus embriogenik sagu dengan menggunakan eksplan berupa meristem
pucuk dari tunas anakan pada media MS modifikasi dengan penambahan 2,4-D 20-200 mg/l
dikombinasikan dengan kinetin 0,1-1,0 mg/l. Inisiasi kalus embriogenik sagu yang dihasilkan
mencapai 12-28%.
Riyadi et al. (2005) mencoba melakukan induksi embriogenesis somatik sagu
menggunakan media yang sama dan berhasil 100% dengan penambahan 2,4-D 5-10 mg/l
dikombinasikan dengan kinetin 0,1 mg/l. Kasi dan Sumaryono (2006) menyatakan bahwa
penggunaan meristem apikal pada kultur embrio somatik tanaman sagu sudah mencapai
tahap aklimatisasi, namun persentase keberhasilannya masih sangat rendah. LRPI (2009)
telah berhasil mempatenkan teknologi perakitan bibit sagu melalui jalur embriogenesis
somatik dengan nomor paten S-00200200187.
Riyadi (2010) melaporkan kultur embrio somatik fase perkembangan kotiledon
tanaman sagu pada media MS modifikasi dapat tumbuh dan berkembang membentuk
kecambah serta membentuk embrio somatik sekunder baru fase perkembangan globuler
yang kemudian berkembang menjadi embrio dewasa. Penggandaan embrio somatik tertinggi
sebesar 94% diperoleh pada perlakuan konsentrasi BAP 0,5 mg/L ditambah ABA 0,01 mg/L,
sedangkan tingkat pendewasaan tertinggi sebesar 93,5% didapat pada perlakuan konsentrasi
kinetin 1 mg/L ditambah ABA 0,01 mg/L. Perkecambahan tertinggi dicapai pada perlakuan
konsentrasi kinetin 2 mg/L ditambah ABA 0,01 mg/L yang mencapai 100%.

KULTUR JARINGAN AREN


Kultur embrio zigotik aren yang ditanam pada media Tisserat dan De Mason dengan
penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh berupa kombinasi 2,4-D 22 µM dan 2-iP 9,8
µM, kombinasi 2,4-D 50 µM dan kinetin 10 µM, kombinasi IAA 100 µM dan kinetin 10 µM
serta kombinasi NAA 100 µM dan kinetin 10 µM menghasilkan pertumbuhan akar dan tunas
normal berturut-turut sebesar 86,7%; 80%; 80%; dan 82%. Perkembangan embrio zigotik

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 617
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
aren diawali dengan membengkaknya ukuran embrio zigotik hingga dua kali lipat ukuran
awal. Selanjutnya, muncul tonjolan di bagian basal embrio kemudian berkembang menjadi
struktur apokol (cotyledonary petiole). Apokol yang terbentuk akan semakin memanjang
hingga menembus ke dalam media tanam. Hal inilah yang menjadi indikator
perkecambahan. Waktu inkubasi yang diperlukan selama proses perkecambahan adalah 1-2
MST. Arsyad et al. (2013) melaporkan kemampuan hidup dan perkecambahan embrio zigotik
aren terbaik diperoleh pada eksplan embrio zigotik muda (92%) dibandingkan embrio zigotik
tua (72%). Keberhasilan kultur embrio zigotik aren hingga menghasilkan planlet masih sangat
rendah (di bawah 25%). Putih et al. (2003) melakukan kultur tunas aren menghasilkan
persentase eksplan hidup dan persentase eksplan berkalus tertinggi dengan penambahan
kombinasi NAA 1 ppm dan BAP 1 ppm, meskipun kalus yang diperoleh belum dapat
membentuk akar dan tunas.

KULTUR JARINGAN KURMA


Teknik kultur jaringan tanaman kurma mulai dilakukan oleh Tisserat dan DeMason
pada tahun 1980 dan setelah itu semakin berkembang. Sharma et al. (1996) berhasil
melakukan menumbuhkan tunas kurma melalui teknik organogenesis langsung dengan
menggunakan eksplan pucuk apikal kurma cv. Khalas pada media MS yang dilengkapi NAA 1
mg/L, BAP 3 mg/L, dan 2-iP 3 mg/L. Kultur jaringan kurma melalui organogenesis
menghasilkan tunas yang diinduksi dari eksplan daun dan ditumbuhkan pada media yang
mengandung 2,4-D 10 mg/L dan kemudian ditransfer ke media MS solid dengan
penambahan NAA 0,04 mg/L, BA 0,2 mg/L dan KT 0,02 mg/L. Waktu inkubasi yang
diperlukan hingga terbentuk tunas kurma mencapai 8 bulan.
Embriogenesis somatik menggunakan eksplan daun muda mampu menghasilkan
kalus embriogenik setelah diinduksi selama 8 bulan pada media yang ditambah 2,4-D 10
mg/L kemudian ditransfer ke media MS solid dengan penambahan 2,4-D 0,1 mg/L untuk
menstimulasi diferensiasi dari kalus embriogenik ke embrio somatik kotiledonari (Othmani et
al., 2009). Al-Khateeb (2008) melakukan kultur jaringan kurma menggunakan berbagai
konsentrasi dan jenis sumber karbon (sukrosa, fruktosa, glukosa dan maltosa) pada media
MS menunjukkan kualitas dan kuantitas pertumbuhan tunas yang optimal pada konsentras
sumber karbon 30 g/l dan 60 g/l, sedangkan fruktosa menghasilkan berat kering tertinggi
dibandingkan jenis sumber karbon lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Alang, Z. and B. Krishnapillary. 1986. Studies on the growth and development of embryos of
the sago palm (Metroxylon sp.) in vitro and in vivo. Proceeding of Third International
Sago Symposium, Tokyo pp. 121-129.
Al-Khateeb. 2008. Regulation of in vitro but formation of date palm (Phoenix dactylifera L.)
cv. Khanezi by different carbon sourse. Bioresourse Technol. 99:6550-6555.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


618 | Teknologi Pertanian
Arsyad MA, Sudarsono, Purwito A, dan Dinarti D. 2013. Pengaruh umur embrio dan jenis
media dasar terhadap keberhasilan Embryo Rescue Aren (Arenga pinnata (Wurmb)
Merr.) secara in vitro. Buletin Palma 14(1):20-27.
Davey MR. and Anthony P. 2010. Plant Cell Culture: Essential Methods. West Sussex (GB):
John Wiley&Sons, Ltd.
Eeuwens, CJ. 1976. Mineral requirements of culture coconut tissue. Physiol. Plant 36:23-24
Eeuwens CJ, Lord S, Donough CR, Rao V, Vallejo G, and Nelson S. 2002. Effects of tissue
culture conditions during embryoid multiplication on the incidence of “mantled”
flowering in clonally propagated oil palm. Plant. Cell.Tissue 3(3):311-323.
Gunawan LW. 1998. Teknik kultur jaringan. Laboratorium kultur jaringan, PAU bioteknologi.
Bogor. Institut Pertanian Bogor: Direktorat Pendidikan Tingi. 252 hlm.
Haberlandt G. 1913. Zur physiologie der zellteilung. Sitzber K. Preuss. Akad. Wiss.318.
Karp, A. 1995. Somaclonal Variation as a Tool For Crop Improvement. Euphytica. 185: 295-
302.
Kasi, P.D. dan Sumaryono, 2006. Perkembangan Kalus Embriogenik Sagu (Metroxylon sagu
Rottb.) pada Tiga Sistem Kultur in vitro. Menara Perkebunan. 76: 4-6.
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2009. Buku pedoman 2009: Tarif pelayanan dan harga
lingkup produk LRPI. Lembaga riset perkebunan Indonesia. Bogor. 65 hlm.
Mariska. 2013. Inovasi kultur jaringan kelapa sawit. Sinartani. 3491:2-16.
Mashud N. 2009. Pertumbuhan embrio kelapa Dalam Mapanget pada media Y3 yang
disubstitusi dengan air kelapa. Buletin Palma 37:138-144.
Mashud N. dan Manaroinsong E. 2007.Teknologi kultur embrio untuk pengembangan kelapa
kopyor. Buletin Palma 33:44.
Othmani A, Bayoudh C, Drira and Trifi M. 2009. In vitro cloning of date palm Phoenix
dactylifera L., Cc. Deglet Bey using embryogenic suspension and temporary
immersion bioreactor (TIB). Biotechnol & Biotechnol. Eq:1181-1188.
Paranjothy, K.R. Othman, C.C., Tan, G., Wang and Soh, A.C. 1993. Incidence of Abnormalities
in Relation to in Vitro Protocols. In Proc the 1993 ISOPB Int. Symp. Recent
Development in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology. Kuala Lumpur.
Pech y Ake´ AE, Maust B, Orozco-Segovia A, and Oropeza C. 2007. The effect of gibberellic
acid on the in vitro germination of coconut zygotic embryos and their conversion into
plantlets. In Vitro Cell Dev Plant 43:247–253
Putih R, Satria B, dan Thaib R. 2003. Upaya perbanyakan vegetatif enau (Arenga pinnata
(Wurmb) Merr.) melalui regenerasi tunas secara in vitro. Stigma 11:208-212.
Rabechault H, Martin PP, and Cas S. 1972. Researches sur la culture des tissue de palmier a
huile (Elaeis guineensis Jacq.) Oleagineux 27:531-534.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 619
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Rival A, Arbelenc-Bertossi F, Morcillo F, Tregear J, Verdeil JL, and Duval Y. 1997. Scalling-up in
vitro clonal propagation trough somatic embryogenesis: in case of oil palm (Elaeis
guineensis Jacq.) Plant tissue cult biotech. 3:227-233.
Riyadi I. 2010. Perkembangan embrio somatik tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.).
Jurnal Agrobiogen 6(2):101-106.
Riyadi I, Tahardi JS, dan Sumaryono. 2005. The development of somatic embryos of sago
palm (Metroxylon sagu Rottb.) on solid media. Menara Perkebunan. 73(2):35-43.
Sharma DR, Kaur R. and Kumar. 1996. Embryo rescue in plant: review. Euphytica 89:325-337.
Skirvin, R.M., Pheeters, K.D and Norton, M. 1994. Sources and Frequency of Somaclonal
Variation. Hort Sci 29: 1232-1237.
Smith WK, and Thomas JA. 1973. The isolation and in vitro cultivation of cells of Elaeis
guineensis. Oleagineux 28: 123–127
Tahardi JS, Sianipar NF, dan Riyadi I. 2002. Somatic embryogenesis insago palm (Metroxylon
sagu Rottb.): New frontiers of sago palm studies. P.75-81.
Tregear JW, Morcillo F, Richaud F, Berger A, Singh R, Cheah SC, Hartmann C, Rival A, and
Duval Y. 2002. Characterization of a defensin gene expressed in oil palm
inflorescences: induction during tissue culture and possible association with
epigenetic somaclonal variation events. J. Exp. Bot. 53: 1387-1396.
Wattimena GA. 1988. Zat pengatur tumbuh tanaman. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas(PAU). IPB.
Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati A. 1992.
Bogor (ID): Pusat Antar Universitas (PAU) IPB.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


620 | Teknologi Pertanian
KLASTERISASI BEBERAPA AKSESI JAWAWUT DALAM MENDUKUNG PERAKITAN
VARIETAS UNGGUL

Dominggus M. D. Tatuhey1) dan Herman Masbaitubun2)

1)Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Santo Thomas Aquinas Jayapura,


Jalan Aquatan Kemiri Sentani Jayapura
2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua,
Jalan Yahim Sentani, Kotak Pos 256 Sentani, Jayapura 99352,
Telp. (0967) 592179, Faks. (0967) 591235,
E-mail: liwarwartel@yahoo.com

ABSTRAK
Jawawut merupakan salah satu pangan alternatif karena jenis tanaman biji-bijian ini belum
banyak dikenal serta dimanfaatkan secara luas di Indonesia. Sebagai plasma nutfah yang
memiliki keunggulan spesifik lokasi maka diperlukan informasi mendasar yang akurat terutama
mengenai klasterisasinya sehingga mempermudah dalam perakitan varietas unggul karena
selain mengandung karbohidrat juga komponen bioaktif yang bersifat antioksidan, antara lain
tanin dan vitamin E. Tulisan ini merupakan bagian kegiatan eksplorasi jawawut dari empat
provinsi yang diadaptasikan untuk mengamati sifat atau karakter kuantitatif dan kualitatif
pertumbuhan aksesi-aksesi hasil seleksi yang berlokasi di kebun percobaan Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran Jatinangor, Jawa Barat pada bulan Juni-November 2013. Informasi yang
diulas pada tulisan ini merupakan hasil keragaman aksesi-aksesi secara keseluruhan dengan
informasi menghasilkan dendogram yang menggambarkan hubungan kekerabatan 48 aksesi
jawawut dan 20 karakter agromorfologi sebagai komponen utama (PCA) yang memberikan
kontribusi tinggi terhadap variasi pada aksesi-aksesi jawawut yang diamati. Hasil analisis
klasterisasi menunjukkan bahwa karakter agromorfologi menghasilkan tiga kelompok besar
dengan nilai kemiripan antara 0,20-1,00. Selain itu terdapat 9 aksesi yang memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat yaitu acc 7 dan acc 20; acc 9 dan acc 19; acc 3 dan acc 24, acc 11; acc 12
dan acc14, yang berasal dari provinsi Bengkulu. Selain itu aksesi V1 (Papua) dan V3 (Bengkulu)
dapat digunakan sebagai tetuah untuk perakitan varietas unggul.
Kata kunci : Klasterisasi, aksesi, jawawut, varietas unggul

LATAR BELAKANG
Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dari waktu ke waktu memberikan
dampak terhadap ketersediaan pangan nasional. Badan Pusat Statistik Nasional melaporkan
pada tahun 2010, jumlah penduduk telah mencapai 237.641.326 jiwa dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun (BPS, 2013). Peningkatan ini harus diimbangi
dengan ketersediaan pangan agar tidak menimbulkan masalah kerawanan pangan.
Diversifikasi pangan merupakan salah satu upaya yang bertujuan untuk menyediakan
pangan melalui pemanfaatan pangan lokal, sehingga dapat mengurangi ketergantungan
terhadap beras dan pangan impor. Upaya ini perlu didukung dengan mencari sumber pangan
alternatif yang berpotensi sebagai penghasil karbohidrat.
Jawawut merupakan salah satu jenis tanaman biji-bijian yang belum banyak dikenal di
Indonesia. Pemanfaatan jawawut di Indonesia umumnya sebagai pakan burung, tetapi oleh
sebagian orang di pulau Buru (Maluku) dan pulau Numfor (Papua), jawawut telah lama

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 621
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dimanfaatkan sebagai pangan alternatif. Jawawut dapat ditemukan pada beberapa daerah di
Indonesia, antara lain di pulau Lombok, Enrekang, pulau Buru dan pulau Numfor (Suherman
dkk. 2005; Herodian, 2009; Rauf dan Lestari, 2009). Aksesi-aksesi yang ditemukan umumnya
termasuk tipe foxtail millet (buntut rubah).
Studi awal telah dilakukan melalui eksplorasi dengan tujuan untuk menemukan
sumber plasma nutfah baru yang dapat dijadikan sebagai bank gen bagi program pemuliaan.
Eksplorasi dilakukan di empat provinsi yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat dan
Papua. Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh 48 aksesi jawawut dengan variasi warna
merah, hitam dan kuning. Aksesi-aksesi ini akan menjadi koleksi plasma nutfah yang sangat
penting untuk kepentingan seleksi dan perakitan varietas unggul baru. Dalam program
seleksi diperlukan keragaman (variabilitas) fenotipik dan genotipik yang luas, karena akan
memberikan keluasan dalam memilih genotip untuk mendapatkan karakter yang diinginkan.
Salah satu cara untuk mendapatkan informasi tentang keragaman fenotipik dan genotipik
adalah dengan melakukan karakterisasi dan seleksi. Karakterisasi dilakukan untuk
mengetahui deskripsi karakter atau sifat tanaman yang belum diketahui, baik karakter
kuantitatif maupun karakter kualitatif. Informasi tentang karakter atau sifat tanaman ini
dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan diantara tanaman.
Rahayu dan Jansen (1996) dan Brink (2006), mengemukakan bahwa jawawut
termasuk jenis tanaman yang umumnya dibudidayakan pada kondisi semi kering, dan tidak
toleran terhadap lahan yang tergenang. Lahan sawah merupakan lahan yang sering
digenangi dan digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun
maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering
yang diairi kemudian dibatasi galengan menjadi sawah, atau dari tanah rawa-rawa yang
dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase (Hardjowigeno dkk., 2004).
Penanaman tanaman jawawut dilahan sawah perlu dicoba untuk mengetahui penampilan
tanaman pada kondisi lingkungan yang berbeda. Penanaman jawawut dilahan sawah setelah
padi juga merupakan salah satu upaya pemanfaatan lahan sawah disaat musim kemarau
dengan pola pergiliran tanaman.

METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, berlangsung pada bulan Juni -
November 2013 berada pada ketinggian 770 m dpl, dengan rata-rata curah hujan 118,5 mm
dan suhu 18,1oC. Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah 48 aksesi
jawawut pada media tanam dari tanah Inseptisol dengan volume 7 kg/polibag.
Menggunakan pupuk kandang sebanyak 300 g/tanaman dan pupuk anorganik berupa Urea,
SP-36 dan KCl serta obat insektisida menggunakan Furadan 3G, Delsen MX 200 dan Demolish
18 EC. Peralatan teridiri dari meteran, bagan warna daun, Chlorophyll meter Opti-Sciences
CCM 200 plus, Leaf Area Meter, Thermo-hygrometer. Menggunakan metode eksperimen
dengan faktor perlakuan yang dicobakan terdiri dari aksesi dan dosis pemupukan nitrogen.
Setiap satuan percobaan terdiri dari 10 polibag, sehingga jumlah keseluruhan terdapat 360
polibag. Sebagai tanaman sampel dipilih 4 tanaman dari setiap satuan percobaan yang dipilih

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


622 | Teknologi Pertanian
secara acak. Jumlah seluruh tanaman sampel dari 36 satuan percobaan adalah sebanyak 144
tanaman. Penempatan satuan percobaan dilakukan secara acak menurut rancangan yang
digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Jawawut

Secara morfologi, jawawut tergolong rumput setahun, berwarna sedikit ungu.


Sistem perakaran padat, dengan akar liar tipis dan liat dari buku terbawah. Batang tegak,
lampai, kadang-kadang bercabang. Pelepah daun silindris, terbuka, ligula pendek, berjumbai,
helaian daun memita-melancip. Perbungaan malai seperti bulir, buliran berbentuk
menjorong, bunga bawah steril, bunga atas hermaprodit. Biji membulat telur lebar, melekat
pada sekam kelopak dan sekam mahkota, berwarna kuning pucat hingga jingga, merah,
coklat atau hitam (Rahayu dan Jansen, 1996).
Jawawut dapat ditanam di daerah semi kering dengan curah hujan kurang dari 125
mm dalam 3-4 bulan masa pertumbuhan. Jenis ini tidak tahan terhadap genangan dan
rentan terhadap periode musim kering yang lama. Pada daerah tropis, tanaman ini dapat
tumbuh pada daerah semi kering sampai ketinggian 2000 m dpl. Tanaman ini menyukai
lahan subur dengan pH sekitar 6,5, tetapi dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah
berpasir hingga tanah liat, bahkan dapat tumbuh pada tanah yang miskin hara atau tanah
pinggiran. Jawawut sebagian besar menyerbuk sendiri. Umur tanaman berkisar antara 80-
120 hari, meskipun beberapa kultivar hanya perlu 60 hari untuk menjadi dewasa (Brink,
2006).
Jawawut termasuk salah satu tanaman serealia atau biji-bijian yang ditemukan di Biak
Numfor (Budi, 2003). Rumbrawer (2003) dikutip Rauf dan Lestari (2009), menyebutkan
bahwa jawawut yang dijumpai di Biak Numfor yaitu pokem vesyek (cokelat), pokem verik
(merah), pokem vepyoper (putih), pokem vepaisem (hitam), dan pokem venanyar (kuning).
Berdasarkan laporan Simanjuntak dan Ondikleuw (2004), hanya ada tiga jenis dapat
ditemukan yaitu pokem hitam, pokem putih dan pokem merah. Rauf dan Lestari (2009),
menyatakan bahwa jenis yang ditemukan di Papua adalah Setaria italica (pokem ekor
macan) dan Pennisetum glaucum (pokem ekor kucing).
Jawawut berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka memperkuat ketahanan
pangan karena merupakan sumber karbohidrat pengganti beras, jagung, ubi-ubian dan sagu.
Beberapa keunggulan jawawut yakni memiliki nilai gizi yang cukup tinggi (karbohidrat,
lemak, protein), tahan kekeringan, mempunyai daya adaptasi cukup tinggi terhadap lahan
marginal, mudah dibudidayakan dengan hasil produksi yang cukup tinggi, mempunyai ragam
kegunaan yaitu sebagai pangan dan pakan (Rauf dan Lestari, 2009; Malik, 2010).
Berdasarkan keunggulan-keunggulan tersebut, maka sudah seharusnya jawawut dapat
dibudidayakan secara intensif dengan menerapkan teknologi budidaya yang sesuai sekaligus
menjaga pelestariannya.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 623
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Keragaman Jawawut

Plasma nutfah tanaman serealia merupakan faktor terpenting dalam menghasilkan


varietas unggul. Keragaman yang tinggi menyebabkan ketersediaan sumber genetik yang
makin banyak dalam merakit varietas sesuai dengan kebutuhan pengguna. Keunggulan yang
dimiliki varietas lokal seperti ketahanan terhadap cekaman biotis dan abiotis adalah aset
seorang pemulia dalam bekerja sehingga perlu dilindungi dari kepunahan. Sifat-sifat atau
karakter tanaman sangat diperlukan para pemulia, karakterisasi perlu dilakukan guna
mengetahui sifat dan manfaat plasma nutfah sehingga diketahui potensi dan sifat-sifat yang
dimiliki agar dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan.
Dalam pemuliaan tanaman keragaman atau variabilitas dalam populasi mempunyai
arti penting, karena dengan keragaman yang luas proses seleksi akan lebih efektif.
Keragaman atau variabilitas digunakan untuk mengetahui karakter yang diinginkan dari
individu dalam populasi tanaman. Variabilitas terbagi dua yaitu variabilitas genotipik dan
fenotipik. Variabilitas fenotipik dapat diukur atau dilihat secara langsung, sedangkan
variabilitas genotipik tidak dapat diukur secara langsung tetapi melalui pendugaan secara
statistik.
Hubungan kekerabatan antar aksesi jawawut dapat dianalisis berdasarkan kemiripan
karakter tanaman secara fenotipik. Informasi mengenai hubungan kekerabatan dalam
populasi tanaman sangat penting, sebagai prasyarat untuk mengetahui jarak genetik antar
semua aksesi. Jauh atau dekatnya hubungan kekerabatan dalam populasi sangat
menentukan keberhasilan peningkatan potensi genetik.

Analisis Klaster

Hubungan kekerabatan antar aksesi jawawut dapat diketahui berdasarkan nilai


koefisien kemiripan antara 0 – 1. Nilai koefisien yang mendekati atau sama dengan 1
menunjukkan hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara aksesi jawawut, .
menghasilkan dendogram (Gambar 1).

Gambar 1. Dendogram hubungan kekerabatan 48 aksesi jawawut

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


624 | Teknologi Pertanian
Hasil dendogram klaster membagi 48 aksesi jawawut dalam tiga kelompok yaitu
kelompok A, B dan C, dengan nilai koefisien kemiripan yang diperoleh antara 0,20 – 1,00.
Kelompok A terdiri dari 23 aksesi yang berasal dari Bengkulu, Sumatera Selatan dan Jawa
Barat. Kelompok B terdiri dari 8 aksesi yang berasal dari Bengkulu, dan kelompok C terdiri
dari 13 aksesi yang berasal dari Papua. Pemisahan ini menunjukkan bahwa terdapat
keragaman karakter yang besar diantara ketiga kelompok.
Pada kelompok A terbagi lagi menjadi dua sub kelompok yaitu sub kelompok A1 dan
sub kelompok A2. Sub kelompok A1 terdiri atas 11 aksesi yaitu acc 8, acc 11, acc 12, acc 14,
acc 18, acc 28, acc 31, acc 32, acc 46, acc 47 dan acc 48. Sub kelompok A2 terdiri dari 12
aksesi yaitu acc 5, acc 6, acc 7, acc 9, acc 10, acc 16, acc 19, acc 20, acc 21, acc 27, acc 29,
dan acc 30. Kelompok B terdiri dari 8 aksesi yaitu acc 1, acc 3, acc 4, acc 17, acc 23, acc 24,
acc 25, dan acc 26. Kelompok C terdiri dari 13 aksesi acc 33, acc 34, acc 35, acc 36, acc 37,
acc 38, acc 39, acc 40, acc 41, acc 42, acc 43, acc 44 dan acc 45.
Gambar 1 memperlihatkan bahwa acc 46, acc 47 dan acc 48 yang berasal dari Jawa
Barat ternyata berada dalam satu kelompok dengan aksesi-aksesi asal Bengkulu dan
Sumatera Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun jarak antar provinsi cukup jauh,
namun aksesi-aksesi tersebut memiliki karakter yang sama. Kesamaan ini diduga dapat
disebabkan oleh keadaan lingkungan tumbuh yang hampir sama antara provinsi Jawa Barat
dan Bengkulu serta Sumatera Selatan.
Berdasarkan dendogram klaster dapat diketahui juga bahwa beberapa aksesi memiliki
hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Pada sub kelompok A1 terdapat 3 aksesi yang
memiliki kekerabatan dekat yaitu acc 11, acc 12 dan acc 14. Pada sub kelompok A2 terdapat
4 aksesi yaitu acc 7 dan acc 20, acc 9 dan acc 19. Pada kelompok B terdapat 2 aksesi yaitu acc
3 dan acc 24. Informasi tentang asal usul setiap aksesi tidak ditemukan, sehingga sulit untuk
menjelaskan kedekatan diantara aksesi-aksesi tersebut. Namun, dapat diduga bahwa
hubungan kekerabatan yang dekat ini mungkin disebabkan karena jarak lokasi asal yang
berdekatan sehingga memungkinkan benih dapat menyebar ke lokasi lain melalui campur
tangan manusia ataupun burung. Kedekatan hubungan yang terjadi, perlu diuji lagi untuk
musim berikutnya sehingga informasi yang diperoleh lebih akurat.
Analisis hubungan kekerabatan pada jawawut juga pernah dilakukan oleh Lin et al.
(2012) terhadap 324 aksesi jawawut dan diperoleh koefisien kemiripan antara 0.20-1.00.
Jarak ini sama dengan jarak yang diperoleh pada percobaan ini. Dendogram klaster juga
telah digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada tanaman hajeli (Coix
lacryma jobi L.) dan diperoleh koefisien kemiripan antara 0.61-1.00 (Qosim dan Nurmala,
2011).

Analisis Komponen Utama

Analisis komponen utama (principal component analysis) dilakukan untuk


mengetahui karakter yang memberikan kontribusi tinggi terhadap variasi pada aksesi-aksesi
jawawut yang diamati. Analisis ini dilakukan berdasarkan 20 karakter agromorfologi (Tabel
1).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 625
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 1. Nilai komponen utama (PCA) 20 karakter dari 48 aksesi jawawut
Karakter PCA1 PCA2 PCA3 PCA4
Antosianin Seludang Daun 0,98 0,03 0,10 0,11
Bentuk Tumbuh -0,98 -0,03 -0,10 -0,11
Antosianin Pangkal Daun 0,98 0,03 0,10 0,11
Umur Berbunga -0,87 0,11 0,11 -0,09
Antosianin Akar 0,98 0,03 0,10 0,11
Panjang Bulu -0,59 -0,70 0,02 -0,23
Antosianin Bulu 0,70 -0,41 -0,18 0,18
Panjang Daun Bendera -0,71 -0,33 0,09 -0,01
Lebar Daun Bendera -0,62 0,16 0,56 0,17
Antosianin Daun Bendera 0,98 0,03 0,10 0,11
Tinggi Tanaman -0,50 -0,20 0,40 0,58
Diameter Batang -0,86 -0,02 -0,10 -0,11
Jumlah Ruas -0,68 -0,04 0,29 -0,02
Panjang Tangkai Malai 0,35 -0,71 0,29 -0,24
Bentuk Malai -0,56 0,73 -0,18 0,01
Panjang Malai -0,92 -0,01 -0,13 0,02
Kerapatan Malai 0,38 0,17 0,24 -0,57
Jumlah Racis -0,72 -0,16 0,04 0,12
Bobot 1000 biji 0,11 0,37 0,70 -0,19
Warna Biji 0,72 -0,01 0,01 -0,27
Nilai Eigen 11,23 2,10 1,36 1,04
Keragaman (%) 56,13 10,48 6,81 5,22
Kumulatif (%) 56,13 66,61 73,41 78,64

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada PCA1 nilai kontribusi sebesar 56.13% terhadap
keragaman 48 aksesi jawawut, diberikan oleh karakter antosianin seludang daun, bentuk
tumbuh, antosianin pangkal daun, umur berbunga, antosianin pada akar, antosianin pada
bulu, panjang daun bendera, lebar daun bendera, antosianin daun bendera, diameter
batang, jumlah ruas, panjang malai, jumlah racis dan warna biji.

Gambar 2. Penyebaran 48 aksesi jawawut berdasarkan analisis komponen


utama (PCA).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


626 | Teknologi Pertanian
Pada PCA2 terdapat tiga karakter yang memberikan kontribusi sebesar 10.48%
terhadap keragaman 48 aksesi jawawut yaitu, panjang bulu, panjang tangkai malai, dan
bentuk malai. Pada PCA3 hanya satu karakter yang memberikan kontribusi sebesar 6.81%
terhadap keragaman yaitu bobot 1000 biji, dan pada PCA4 tidak ada karakter yang
memberikan kontribusi terhadap keragaman.
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa biplot dibuat untuk mengetahui pola
penyebaran 48 aksesi jawawut berdasarkan karakter agromorfologi yang diamati. Gambar
biplot memperlihatkan bahwa aksesi-aksesi menyebar dalam 4 kuadran dan terpisah
membentuk tiga kelompok seperti juga tergambar dalam dendogram klaster. Aksesi asal
Papua terpisah membentuk kelompok tersendiri, disebabkan memiliki penampilan fenotipik
yang berbeda dengan aksesi asal 3 provinsi yang lain.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa analisis
klaster berdasarkan karakter agromorfologi menghasilkan tiga kelompok dengan nilai
kemiripian antara 0,20 - 1,00. Terdapat 9 aksesi yang memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat yaitu acc 7 dan acc 20, acc 9 dan acc 19, acc 3 dan acc 24, acc 11, acc 12 dan acc 14,
yang berasal dari provinsi Bengkulu. Dengan demikian aksesi V1 asal Papua dan V3 asal
Bengkulu dapat digunakan untuk perakitan varietas unggul.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indoensia 2012. Editor Sub Direktorat Indikator
Statistik. Jakarta;Badan Pusat Statistik. Diaksesi melalui: http://www.bps.go.id/
hasil_publikasi/si_2012/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202012
[12/12/2013]
Brink, M. 2006. Setaria italica (L.) P.Beauv. Protabase, Wageningen University, P.O. Box
341, 6700 AH Wageningen, Netherlands Based on PROSEA 10: ‘Cereals’.
Budi, I. M. 2003. Pemanfaatan gandum Papua (Pokem) Sebagai Sumber Pangan alternatif
Untuk Menunjang Ketahanan Pangan Masyarakat Papua. Prosiding Lokakarya
Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua ; 121-127.
Harjowigeno, S.Agus,F.,Adimihardja,A., Fagi,A,M., Hartatik, W. 2004. Tanah Sawah dan
Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Herodian, S. 2009. Pengembangan Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv) Sebagai Sumber
Pangan Pokok Alternatif. Diakses melalui
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/30630 [10/12/2011]
Lin Heng Sheng, ChihYun Chiang, Song Bin Chang, Gwo Ing Liao, Chang Sheng Kuoh. 2012.
Genetic Diversity in the Foxtail Millet (Setaria italica) germplasm as determined by
agronomc traits and mcrosatellite markers. Australian Journal of Crop Science, 6(2)
Hal 342-349.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 627
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Malik, A. 2010. Pokem (Setaria italica L.) Sumber Pangan Alternatif di Masa Datang. Diakses
melalui http://papua.litbang.deptan.go.id/ind/images/ Document/pokem.pdf
[01/07/2012].
Qosim, W. A. dan Tati Nurmala. 2011. Eksplorasi, Identifikasi dan Analisis Keragaman
Plasma Nutfah Tanaman Hanjeli (Coix lacryma jobi L.) Sebagai Sumber Bahan Pangan
Berlemak di Jawa Barat. Pangan Vol. 20 No. 4 Desember 2011. Halaman 365-376.
Rahayu, M. and Jansen, P.C.M. 1996. Setaria italica (L.) P. Beauvois cv. group Foxtail Millet.
Diaksesi melalui www.proseanet.org [Nov 2012].
Rauf, A.W. dan Lestari, M.S. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber
Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Libang Pertanian, No.28 (2) ; 54-62.
Simanjuntak, Y. dan Ondikleu, M. 2004. Pengkajian Komponen Teknologi Mendukung
Pengembangan Tanaman Pokem di Biak Numfor. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Pengkajian Teknologi Papua ; hal. 14-19.
Suherman, O., M.Zairin dan Awaluddin. 2015. Keberadaan Dan Pemanfaatan Plasma Nutfah
Jewawut di Kawasan Lahan Kering Pulau Lombok. Diakses melalui
http://www.ntb.litbang.deptan.go.id/ind.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


628 | Teknologi Pertanian
HERITABILITAS BEBERAPA KARAKTER BUAH CABAI
HASIL PERSILANGAN ANTARA TETUA DAN HIBRIDA F1

Herman Masbaitubun

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua


E-mail : liwarwartel@yahoo.com

ABSTRAK
Hasil produksi cabai (Capsicum annum L) di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun,
sehingga salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas cabai melalui perbaikan potensi
genetik dengan penggunaan varietas baru. Penelitian bertujuan untuk mengetahui nilai
heritabilitas buah cabai yang berasal dari tetua dan hibrida F1 hasil persilangan dan untuk
mengetahui pengaruh genetik lingkungan terhadap ekspresi karakter buah cabai. Berlokasi di
Kabupaten Jayapura berlangsung dari bulan Agustus 2015–Januari 2016. Pnelitian dilakukan
dengan rancangan acak kelompok (RAK). Pengamatan dilakukan terhadap empat tanaman
sampel tiap satuan percobaan. Peubah yang diamati terdiri dari panjang buah (cm), diameter
buah (cm), berat buah (g/buah). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persilangan antara
tetua varietas C1 dengan tetua C2 menghasilkan hibrida F1 C5 dengan karakter ukuran panjang
buah cenderung ke tetua C2, ukuran diameter buah melebihi ukuran tetua (alel kodominan) dan
berat per buahnya cendrung berada diantara karakter kedua tetua. Sedangkan persilangan
antara tetua C3 dengan tetua C4 menghasilkan hibrida F1 C6 dengan karakter ukuran panjang
dan diameter buah lebih dominan ke tetua C3 dan karakter berat per buahnya berada diantara
kedua tetua yang bersifat semi dominan (intermedier). Sedangkan hasil analisis ragam
menunjukkan nilai heritabilitas panjang buah sebesar 97,93%, diameter buah 96,69% dan berat
per buah 98,67%. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai heritabilitas tergolong tinggi, karena
semua varietas yang diamati sangat dipengaruhi oleh faktor genetik sebaliknya sangat rendah
pengaruh dari faktor lingkungan.
Kata kunci : Cabai, tetua, hibrida, heritabilitas, Jayapura

LATAR BELAKANG
Di Indonesia tanaman cabai merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura
bila ditinjau dari aspek luas areal pertanaman dan nilai komoditas. Produksi cabai di Papua
mengalami fluktuasi dari tahun ketahun yakni pada tahun 2013 luas panen cabai sebesar
233.904 ha dan untuk produktivitasnya 5,89 t/ha. Sedangkan pada tahun 2014 terjadi
peningkatan luas panen cabai sebesar 237.105 ha namun produktivitasnya menurun menjadi
5.60 t/ha (BPS, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tersebut masih rendah bila
dibandingkan dengan potensi produktivitas cabai dapat mencapai 12 t/ha (Duriat dan
Sastrosiswoyo, 2006).
Salah satu cara untuk peningkatan produktivitas cabai adalah perbaikan potensi
genetik melalui pembentukan varietas baru. Pada umumnya kegiatan pemuliaan terhadap
varietas cabai dimaksudkan untuk mendapatkan varietas yang lebih baik dari varietas
sebelumnya. Tipe cabai unggul yang dikehendaki yakni memiliki karakter masa pembungaan
dan pembentukan bunganya cepat (umur panen genjah), produktivitasnya tinggi, daya
adaptasinya luas serta tahan terhadap hama penyakit (Setiadi, 2008).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 629
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Menurut Setiamihardja (1993) bahwa salah satu cara untuk memperluas keragaman
genetik suatu jenis tanaman dapat dilakukan dengan menyilangkan atau hibridisasi antar
tanaman dalam spesies yang sama atau antar spesies. Persilangan atau hibridisasi adalah
usaha untuk menggabungkan dua karakter atau lebih dari dua tanaman sebagai tetua
(parental) menjadi genotype tanaman baru (hibrida).
Singh dan Chaudhary (1979) mengemukakan bahwa heritabilitas adalah
perbandingan antara besaran ragam genotype dengan besaran total ragam fenotipe yang
tampak merupakan refleksi dari genotype. Pada banyak tanaman ada banyak metode untuk
menduga nilai heritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara
tidak langsung dari pendugaan komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam
turunan dan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam atau dengan cara langsung
dari pendugaan koefisien regresi dan korelasi antar klas. Sujiprihati dkk., (2006) menyatakan
bahwa sifat yang muncul dari suatu tanaman merupakan hasil dari genetik dan lingkungan,
sehingga untuk menyeleksi sifat kuantitatif digunakan ragam fenotipe individu-individu
dalam populasi.
Permasalahan yang cukup sulit adalah seberapa jauh suatu sifat disebabkan faktor
genetik sebagai akibat aksi gen dan seberapa jauh disebabkan oleh lingkungan. Sehingga
untuk mengetahui hal tersebut maka dapat dilakukan perhitungan nilai heritabilitas dari
karakter penting tersebut. Tujuan daripada penelitian ini untuk mengetahui tingkat
keberhasilan hibridisasi antar tetua dan nilai heritabilitas buah cabai yang berasal dari tetua
dan hibrida F1 hasil persilangan.

METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Dobonsolo Kabupaten Jayapura pada bulan
Agustus 2015 – bulan Januari 2016. Bahan tanaman yang digunakan terdiri dari empat tetua
antara lain varietas SSP IPB (cabai keriting), CH1 ungu stiper (cabai kecil), KHP-C2 (cabai kecil),
Seloka IPB (cabai besar) dan dua hibrida F1 (hasil persilangan) yakni CH SSPIPB x ungu stiper dan CH
KHP-C2 x seloka IPB. Bahan pendukung lain berupa polibag, pupuk kandang, gandasil D terdiri dari
unsur N (10%), P (12%), K (14%) dan Mg (1%) dan gandasil B terdiri dari unsur N (3,45%), P
(2,65%), K (2,65%) dan Mg (17,78%), dengan peralatan pendukung lapang lainnya.
Menggunakan metode eksperimen dengan rancangan perlakuan satu faktor dimana
setiap perlakuan diulang dalam empat ulangan dan secara keseluruhan terdapat enam belas
satuan percobaan. Eksperimen ini dirancang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK).
Data diperoleh melalui pengamatan terhadap empat tanaman sampel tiap satuan
percobaan berdasarkan peubah panjang buah (cm), diameter buah (cm) dan berta buah
(g/buah) dan dilakukan analisis ragam tanpa dilanjutkan dengan uji nilai tengah serta
menggunakan metode perhitungan komponen ragam. Perbandingan antar perlakuan tidak
dilakukan dengan pertimbangan variabel kuantitatif tanaman cabai besar pasti berbeda
dengan karakter kuantitatif cabai kecil. Sedangkan pendugaan komponen ragam genetik,
lingkungan dan fenotipe menurut Nasr, Shand dan Forsberg (1972) dalam Sujiprihati, dkk
(2006).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


630 | Teknologi Pertanian
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi lokasi penelitian

Areal lahan memiliki ciri-ciri tanah berwarna hitam kecoklatan dan berbatu sehingga
jenis tanah ini termasuk tanah alluvial dengan derajad keasaman (pH) tanah 6,0. Pengukuran
suhu dilakukan setiap hari selama satu minggu menggunakan thermometer diperoleh nilai
rata-rata suhu dipagi hari 300C, siang 400C dan sore 300C. sedangkan hama dan penyakit
utama cabai tidak ditemukan selama penelitian berlangsung.

Nilai Heritabilitas

Dalam menghitung nilai heritabilitas dari setiap variabel pengamatan, dilakukan


melalui analisis ragam yang dimaksudkan untuk menentukan nilai rata-rata setiap variabel.
Hasil perhitungan dan analisis ragam diperoleh nilai rata-rata panjang, diameter dan berat
per buah cabai dari varietas dan genotype yang diamati disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rerata panjang, diameter dan berat buah tanaman cabai berdasarkan
hasil analisis ragam.
Perlakuan Variabel pengamatan
PB (cm) DB (cm) BB (g/bh)
C1 9,10 0,75 2,55
C2 3,20 0,65 1,54
C3 3,65 0,65 1,51
C4 8,15 1,55 3.31
C5 4,45 0,80 2,04
C6 4,60 0,70 2,29
Hasil uji Fhitung 48,29** 30,25** 74,99**
Catatan : (PB) panjang buah; (DB) diameter buah; (BB) berat buah
(C1) SSP IPB; (C2) CH1ungu stiper; (C3) KHP-C2; C4) Seloka IPB;C5) CH1SSP IPB x ungu stiper; (C6) CH1KHP-C2 x Seloka IPB

Keragaman genetik enam varietas dan genotype tanaman cabai ini sangat tinggi.
Panjang buah cabai hasil pengukuran enam varietas dan genotype diperoleh nilai terendah
pada perlakuan C2 (3,20 cm) dan tertinggi pada perlakuan C1 (9,10 cm) dengan diameter
buah terendah pada perlakuan C3 (0,65 cm dan tertinggi pada perlakuan C4 (1,55 cm).
Sedangkan untuk berat buah diperoleh nilai terendah pada perlakuan C3 (1,51 g/bh) dan
tertinggi pada perlakuan C4 (3,31 g/buah). Perbedaan ini disebabkan karena jenis tetua
tanaman cabai kecil atau rawit merupakan genotype C2 dan C3, sedangkan jenis cabai
keriting adalah C1 dan jenis cabai besar adalah C4. Di sisi lain untuk genotype hibrida F1 hasil
persilangan dari empat tetua tersebut belum dapat dikategorikan jenisnya karena masih
perlu dilakukan uji lanjutan untuk memperoleh galur murni.
Hasil persilangan antara tetua varietas C1 dengan tetua C2 menghasilkan genoptipe
hibrida F1 (C5) yang karakternya cenderung berada diantara karakter kedua tetua. Panjang
buah cabai hibrida F1 (C5) dari hasil persilangan memiliki ukuran yang lebih dominan ke
tetua C2 namun masih lebih panjang ukurannya dari ukuran panjang buah tetua tersebut.
Pada karakter diameter buah sifat yang muncul pada genotype hibrida F1 (C5) memiliki
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 631
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
ukuran diameter buah yang melebihi ukuran kedua tetua (alel kodominan). Sedangkan untuk
karakter berat per buah genotype hibrida F1 (C5) sifatnya cenderung berada diantara sifat
kedua tetua (intermedier).
Sedangkan hasil persilangan antara tetua genotype C3 dengan tetua C4 menghasilkan
genotype hibrida F1 (C6) yang karakternya diturunkan dari karakter kedua tetua. Panjang
dan diameter bah cabai hibrida F1 (C6) lebih dominan ke tetua C3 walaupun masih lebih
panjang dan lebih lebar dari karakter yang dimiliki oleh tetua C3 tersebut. Sedangkan
karakter berat per buah cabai hibrida F1 (C6) ekspresi fenotipenya berada diantara kedua
tetua yaitu sifat semi dominan (intermedier). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Sreelathakumary dan Rajamony (2004) karakter diameter buah, berat buah, panjang buah
per tanaman memiliki nilai heritabilitas yang tinggi.
Menurut Lestari et al. (2006) nilai duga heritabilitas menunjukkan apakah suatu
karakter dikendalikan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui
sejauh mana karakter tersebut dapat diturunkan ke keturunan selanjutnya. Syukur et al.
(2011) menambahkan bahwa heritabilitas sangat bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi
akan efektif jika populasi tersebut mempunyai heritabilitas yang tinggi. Jika nilai duga
heritabilitas tinggi maka seleksi dilakukan pada generasi awal karena karakter dari suatu
genotip mudah diwariskan ke keturunannya, tetapi sebaliknya bila nilai duga heritabilitas
rendah maka seleksi dilakukan pada generasi lanjut karena sulit diwariskan pada generasi
selanjutnya (Fehr. 1987).

Heritabilitas karakter panjang buah

Heritabilitas merupakan perbandingan antara besaran ragam gentipe dengan besaran


total ragam fenotipe dari suatu sifat atau karakter untuk menggambarkan seberapa jauh
fenotipe yang tampak atau terekspresi merupakan refleksi dari genetik.
Hasil analisis ragam karakter panjang buah diperoleh nilai kuadrat tengah varietas
sebesar 12,24 dengan galat nilai tengah 0,25 sehingga diperoleh nilai ragam genetik sebesar
5,99. Dengan demikian hasil perhitungan heritabilitas untuk karakter panjang buah cabai
adalah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa heritabilitas yang terekspresi dipengaruhi faktor
genetik yaitu 97,93% dan sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebesar 2,07%. Menurut
Putri et al. (2009) nilai duga heritabilitas yang tinggi untuk suatu karakter menggambarkan
karakter tersebut penampilannya lebih ditentukan oleh faktor genetik dibandingkan dengan
faktor lingkungan.

Heritabilitas karakter diamater buah

Hasil analisis ragam karakter diameter buah diperoleh nilai kuadrat tengah varietas
sebesar 02,24 dengan galat nilai tengah 0,01 sehingga diperoleh nilai ragam genetik sebesar
0,12. Dengan demikian hasil perhitungan heritabilitas untuk karakter diameter buah cabai
adalah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa heritabilitas yang terekspresi dipengaruhi faktor
genetik yaitu 96,69% dan sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebesar 3,31%.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


632 | Teknologi Pertanian
Menurut Pinaria et al. (1996), salah satu karakter kualitatif suatu populasi tergantung
pada populasi tersebut merupakan generasi bersegregasi dari suatu persilangan, pada
generasi ke berapa dan bagaimana latar belakang genetiknya. Karakter yang terdapat pada
F1 dapat mirip dengan salah satu tetua maupun perpaduan antara kedua tetuanya. Sifat
kualitatif dapat dibedakan secara tegas karena dikendalikan oleh sedikit gen, sehingga dalam
penampilannya faktor lingkungan tidak terlalu berpengaruh. Berdasarkan hasil pengamatan,
keragaman yang terjadi pada karakter kualitatif pada genotip F1 yang diuji memang lebih
dipengaruhi oleh faktor genetik.

Heritabilitas karakter berat buah

Hasil analisis ragam karakter berat buah diperoleh nilai kuadrat tengah varietas
sebesar 0,92 dengan galat nilai tengah 0,01 sehingga diperoleh nilai ragam genetik sebesar
0,45. Dengan demikian hasil perhitungan heritabilitas untuk karakter panjang buah cabai
adalah tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa heritabilitas yang terekspresi dipengaruhi faktor
genetik yaitu 98,67% dan sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebesar 1,33%.
Tingginya nilai heritabilitas dari tiga variabel yang diamati yakni panjang, diameter dan berat
buah cabai sangat menguntungkan bagi program pemuliaan tanaman. Menurut Baihaki
(2000) bahwa karakter unggul dari suatu tanaman yang memiliki nilai heritabilitas tinggi
lebih dipengaruhi oleh faktor genetik. Sehingga pada saat ditanam pada lingkungan berbeda
yang tidak optimum bagi pertumbuhan tanaman karakter tersebut akan tetap terekspresi
dengan baik. Lebih jauh di katakan Jameela et al., (2014) bahwa bila dilakukan seleksi
terhadap karakter berat buah per tanaman dan berat per buah yang memiliki nilai
heritabilitas rendah akan kurang efektif karena kemungkinan sifat tersebut akan berubah
bila ditanam pada lingkungan yang berbeda, karena pengaruh faktor lingkungan cukup besar
pada karakter-karakter tersebut.

KESIMPULAN
Persilangan antara tetua varietas C1 dengan tetua C2 menghasilkan hibrida F1 C5
dengan karakter ukuran panjang buah cenderung ke tetua C2, ukuran diameter buah
melebihi ukuran tetua (alel kodominan) dan berat per buahnya cendrung berada diantara
karakter kedua tetua. Sedangkan persilangan antara tetua C3 dengan tetua C4 menghasilkan
hibrida F1 C6 dengan karakter ukuran panjang dan diameter buah lebih dominan ke tetua C3
dan karakter berat per buahnya berada diantara kedua tetua yang bersifat semi dominan
(intermedier). Berdasarkan kategori maka hasil perhitungan heritabilitas diperoleh panjang
buah 97,93%, diameter buah 96,69% dan berat per buah 98,67% menunjukkan sangat tinggi
karena sebagian besar dipengaruhi faktor genetik sedangkan faktor lingkungan kurang
berpengaruh.

DAFTAR PUSTAKA
Baihaki A., 2000. Tehnik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Fakultas Pertanian.
Universitas Padjadjaran Bandung.
BPS Provinsi Papua, 2015. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas. Papua Dalam Angka 2014.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 633
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Duriat A. S. dan Sastrosiswoyo S., 2006. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu Pada
Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya Jakarta.
Fehr. W. R. 1987. Principles of Cultivar Development. Volume I: Theory and Technique.
MacMilan Publishing Company. NY.
Jameela H., A.N. Sugiharto, A. Soegianto. 2014. Keragaman Genetik dan Heritabilitas
Karakter Komponen Hasil pada Populasi F2 Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Hasil
Persilangan Varietas Introduksi dengan Varietas Lokal. J. Produksi Tanaman. 2(4):324-
329.
Lestari. A. D.. W. Dewi.. W.A Qosim.. M. Rahardja.. N. Rostini dan R. Setiamihardja. 2006.
Variabilitas Genetik Dan Heritabilitas Karakter Komponen Hasil Dan Hasil Lima Belas
Genotip Cabai Merah. Zuriat 17 (1):97-98.
Pinaria. A. A. Baihaki.. R. Setiamihardja. dan A. A. Daradjat. 1996. Variabilitas Genetik dan
Heritabilitas Karakter-katakter Biomassa 53 Genotip Kedelai. Zuriat. 6(2):88-92.
Setiadi, 2008. Konsep dan Implikasi untuk Strategis dan Penelitian Pemasaran. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta.
Setiamihardja, 1993. Varian Genetik dan Heritabilitas Komponen Hasil dan Galur.
Singh R. K., and B. D. Chaudhary, 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetics
Analysis. Kalyani Publisher. Ludiana. New Delhi.
Sujiprihati S. M. Syukur dan R. Yunianti, 2006. Pendugaan Ragam Genetik dan Heritabilitas.
Agrotropika.
Sreelathakumary, I. and L. Rajamony. 2004. Variability, Heritability and Genetic Advance in
Chilli (Capsicum annuum L.). J. of Tro. Agri. 42 (1-2): 35-37.
Syukur. M.. S. Sujiprihati. R.Yunianti. dan D.A Kusumah. 2011. Pendugaan Ragam Genetik
dan Heritabilitas Karakter Komponen Hasil Beberapa Genotip Cabai. J. Agrivigor.
Indonesia 10(2):148-156.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


634 | Teknologi Pertanian
PENGARUH PENAMBAHAN GELATIN TERHADAP MUTU KIMIA SYOGHURT YANG
DIHASILKAN

Nurhafsah1), ST. Hadariah2) Erny Rossanti Maruapey3)

1)Balai PengkajianTeknologi Pertanian Sulawesi Barat.


Jl. H. Abdul Malik Pattana Endeng-Mamuju.
2)Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sidenreng-Rappang.
Jl. Gunung Bawakarang Pangkajene
3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base Camp Arfai Gunung, Kompleks Pemda Provinsi Papua Barat.
E-Mail : nurhafsah_tiro@yahoo.com

ABSTRAK
Soyghurt merupakan produk fermentasi susu kedelai dengan menggunakan bakter
Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Dalam proses fermentasi soyghurt
dilakukan penambahan gelatin yang berfungsi sebagai pengemulsi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh penambahan persentase gelatin terhadap mutu kimia soyghurt
yang dihasilkan. Penambahan persentase gelatin yang diberikan untuk tiap perlakuan adalah
3%, 5% dan 7%. Parameter pengamatan meliputi pH, total padatan terlarut, kadar protein dan
total asam. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
dua kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar asam pada penambahan gelatin
3% memiliki nilai pH5,035% dan pH terendah pada penambahan gelatin 7% dengan nilai pH
4,91%.Total padatan terlarut tertinggi terdapat pada penambahan gelatin 5% dan terendah
pada penambahan gelatin 7% dengan nilai total padatan terlarut masing-masing 17,25% dan
16,215%. Kadar protein terendah terdapat pada penambahan gelatin 3% sebesar 4,035% dan
tertinggi pada penambahan gelatin 7% sebesar 4,74%. Nilai total asam terendah terdapat pada
penambahan gelatin 3% yaitu 0,615% dan yang tertinggi terdapat pada penambahan gelatin 7%
yaitu 0,63%.

PENDAHULUAN
Gelatin merupakan produk alami yang banyak dimanfaatkan di industry makanan.
Sebagian besar bersumber dari mamalia seperti tulang sapi dan kulit babi. (Sanaei, et. all.,
2013., Cahyadi, 2008). Gelatin dapat pula diperoleh dari kolagen. Perubahan kolagen
menjadi gelatin dihasilkan dengan ekstraksi kolgen dengn air panas setelah perlakuan denga
asam atau basa (Cahyadi, 2008).
Gelatin merupakan bahan yang berbentuk padat (solid) dan tidak berwarna sampai
berwarna sedikit kekuningan, serta hampir tidak memiliki bau dan rasa. Gelatin dalam dunia
industry pangan berfungsi untuk menigkatkan elastisitas, konsistensi dan stabilitas produk
pangan yang dihasilkan. Selain itu gelatin dapat pula digunakan sebagai pengganti lemak
dalam bahan pangan (Jaswir, 2007).
Gelatin dapat digunakan sebagai stabilizer untuk mencegah terjadinya syneresis
(pemisahan air dalam sistem gel) dalam pembuatan produk soyghurt. Soyghurt adalah
produk fermentasi susu kedelai dengan menggunakan bakteri streptococcus thermophillus
dan Lactobacillus bulgaricus. Soyghurt memiliki beberapa kelebihan, antara lain bebas
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 635
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
laktosa, bebas kolesterol, mengandung lemak yang rendah dan memiliki kandungan protein
yang tinggi, dapat membantu pencernaan, mencegah diare, dan mencegah peningkatan
kolesterol darah yang terlalu tinggi (Purwati, dkk., 2008). Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan persentase gelatin terhadap mutu kimia
soyghurt yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE


Penelitian di laksanakan di Labortorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar. Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Juli
sampai Agustus 2015. Bahan yang digunakan adalah, kacang kedelai, laktosa, gelatin, bakteri
Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Bahan kimia yang digunakan
adalah, H2SO4, H2BO3, K2SO4, HgO, NaOH-Na2S2O3, indicator MM, hexan dan aquades.
Alat yang digunakan baskom, panci, kompor, blender, saringan, inkubator, laminar
flow, oven, timbangan analitik, pH meter, desikator, botol timbang, labu kajedhal, labu
destilasi, alat titrasi, automatic stirrer dan alat-alat gelas.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pembuatan susu kedelai dan
fermentasi susu kedelai (Soyghurt). Pembuatan susu kedelai mengacu pada metode
Yusmasari et.al (1998) yang telah dimodifikasi. Pembuatan susu kedelai dilakukan dengan
cara ; biji kedelai yang telah disortir direndam dalam larutan NaHCO 3 0,5% selama 12 jam
(perbandingan biji kedelai dengan larutan perendam 1 : 3). Biji kedelai ditiriskan dan
diblanching degan larutan NaHCO3 0,5% selama 30 menit (perbandingan biji kedelai dengan
larutan perendam 1 : 3). Selanjutnya kulit ari biji kedelai dibuang dan kemudian dicuci dan
ditiriskan. Biji kedelai yang telah dicuci bersih dihancurkan dengan menggunakan blender
dan ditambahkan air panas yang bersuhu antara 80 – 100 dengan perbandingan 1 : 7.
Proses penggilingan dilakukan selama 7 menit dan kemudian disaring. Setelah
diperoleh susu kedelai dari proses penyaringan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan soyghurt. Proses pembuatan soyghurt mengikuti metode Kanda et al (1976).
Proses pembuatan Soyghurt adalah susu kedelai yang digunakan adalah 900 ml untuk 1 kali
ulangan dan dimasukkan ke dalam wadah yang berbeda. Ditambahkan glukosa sebanyak 7%
dari total volume.
Susu kedelai yang telah ditambahkan glukosa dibagi menjadi 3 bagian, masing-masing
300 ml, kemudian ketiga bagian susu tersebut ditambahkan gelatin sebesar 3%, 5% dan 7%,
dan diaduk rata hingga gula, gelatin dan skim yang ditambahkan menjadi larut. Susu kedelai
dipasteurisasi pada suhu 70% selama 15 menit dan didinginkan secara cepat hingga
mencapai suhu 45oC. Susu kedelai diinokulasi dengan starter Streptococcus thermophillus
dan Lactobacillus bulgaricus masing-masing sebanyak 15% dari volume susu kedelai
kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 jam. Pembanding yang digunakan adalah
susu fermentasi yang telah lama beredar dipasaran.
Parameter pengamatan adalah pH (SNI 01 – 2891 - 1992), total padatan terlarut
/Total dissolvent solid (Sudarmaji et al, 1984), Protein (Sudarmaji et al, 1984) dan Total Asam

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


636 | Teknologi Pertanian
(Hadiwiyoto, 1982). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan
Rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan gelatin dalam pembuatan
soyghurt dengan persentase 3%, 5% dan 7% tidak memberikan pengaruh yang berbeda
nyata untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Hasil analisa soyghurt berdasarkan penggunaan persentase gelatin.


Gelatin Total Padatan
pH Total Asam Kadar Protein
(%) Terlarut
3 5,035 0,615 16,48 4,035
5 4,965 0,625 17,25 4,605
7 4,91 0,63 16,215 4,74

pH

Nilai pH setara dengan total asam. Banyaknya asam laktat yang dihasilkan akan
memberikan nilai pH yang semakin rendah. Selama proses fermentasi susu kedelai menjadi
Soyghurt terjadi perubahan pH. Susu kedelai memiliki pH 6,76, dan setelah mengalami
proses fermentasi selama 18 jam dengan bakteri Streptococcus thermophillus dan
Lactobacillus bulgaricus mengalami penurunan pH. pH tertinggi terdapat pada penambahan
gelatin 3% dan terendah terdapat pada penambahan gelatin 7%. Bakteri Streptococcus
thermophillus dapat mereduksi pH media glukosa cair hingga 4.0 (Sopandi, 2014). oleh
karena itu pH untuk setiap penambahan gelatin berada pada kisaran pH 4, selain itu
rendahnya pH yang dihasilkan disebabkan asam-asam organik yang dihasilkan. Semakin
banyak sumber gula yang dimetabolisir maka semakin banyak asam – asam yang akan
dihasilkan.

Total Asam

Susu kedelai yang telah dinokulasi dengan kedua bakteri tersebut mencapai
keasaman 0,615%, 0,625% dan 0,63% untuk masing – masing penambahan gelatin.
Keasaman dinyatakan sebagai persen asam laktat, dan keasaman akan meningkat dengan
bertambahnya waktu fermentasi. Proses yang terjadi setelah inokulasi bakteri, dimana
Streptococcus thermophillus akan berkembang biak lebih cepat memproduksi diacetyl dan
asam laktat, asam asetat dan asam formiat. Lactobacillus bulgaricus memiliki pertumbuhan
yang lambat yang disebabkan aktivitas enzim protease yang lemah.Bakteri Lactobacillus
bulgaricus melepaskan peptide dari protein susu yang akan merangsang pertumbuhan
bakteri Streptococcus thermophillus. Rasa asam yang timbul karena adanya perubahan
laktosa menjadi asam laktat oleh bakteri tersebut (Winarno, 2007). Asam laktat dihasilkan
melalui jalur heksosa difosfat sebagai produk utama (Soepandi, 2017). Penggunaan kedua
kultur bakteri tersebut atau kultur campuran akan menghasilkan lebih banyak asam
dibandingkan hanya menggunakan satu jenis kultur bakteri (Ayustaningwarno, 2014).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 637
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Total Padatan Terlarut

Susu kedelai yang digunakan mempunyai total padatan 1,09% yang diperoleh dari
penambahan perbandingan air dan kedelai 7 : 1 pada saat penggilingan. Setelah proses
fermentasi, total padatan berkisar antara 14,57% sampai 16,81%. Total padatan tertinggi
terdapat pada penambahan gelatin 5%. Total padatan yang dihasilkan pada setiap perlakuan
merupakan salah satu sumber energy bagi pertumbuhan mikroba.

Kadar Protein

Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh karena memiliki fungsi
sebagai zat pembangun dan pengatur dalam tubuh. Kadar protein tertinggi yang dihasilkan
pada pembuatan soyghurt dengan penggunaan persentase gelatin adalah 4,74% dengan
persentase gelatin 7%. Tingginya kadar protein tersebut disebabkan oleh tingginya
penambahan gelatin. Sebagaimana yang dikatakan oleh Martianingsih (2010), bahwa gelatin
merupakan protein konversi yang bersifat larut air. Akan tetapi besarnya penambhan
persentase gelatin berdasarkan analaisis statistik dengan SPSS tidak memberikan pengaruh
secara nyata untuk semua parameter pengamatan. Kedelai

KESIMPULAN
Soyghurt atau minuman fermentasi dari kacang dengan menggunakan bakteri
Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pH tinggi terdapat pada penamban gelatin 3% dengan pH 5,035%, total asam dan
padatan terlarut tertinggi terdapat pada penamahan gelatin 5% dengan nilai masing-masing
0,625% dan 17,25% dengan kadar protein tertinggi terdapat pada penambahan gelatin 7%
yaitu 4,74%. Penambahan gelatin tidak berpengaruh nyata terhadap pH, total asam, total
padatan terlarut dan kadar protein.
DAFTAR PUSTAKA
Ayustaningwarno Fitriyono. 2014. Teknologi Pangan “Teori Praktis dan Aplikasi”. Graha
Ilmu. Yokyakarta.
Cahyadi Wisnu. 2008. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara,
Jakarta.
Jaswir Irwandi. 2007. Memahami Gelatin. www.beritaiptek.com. Akses 2 Oktober 2017.
15.20 WITA.
Purwati Henny, Hoediana Istiwanty, Aylianawati, Felycia Edi Soetaredjo. 2008. Pengaruh
Waktu Simpan Terhadap Kualitas Soghurt dengan Penambahan Susu Bubuk. J.Widya
Teknik, Vol 7, No. 2 (134 - 143)
Sanaei, A.V., Mahmodani, F., See, S.F., Yusup,S.M and Baji, A.S. 2013. Optimization of
gelatin and Physico-chemical properties of cat fish (Clarias gariepinus) bone gelatin.
International Food Research Journal 20 (1) : 423 – 430.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


638 | Teknologi Pertanian
Soepandi tatang dan Wardah. 2017. Mikrobiologi Pangan (Teori dan Praktik). Andi,
Yokyakarta.
Winarno, F.G., dan Ivone E. Fernandez. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. M-Brio
Press. Bogor.
Yusmarini, Adnan M., dan Hadiwiyoto S., 1998. Perubahan Oligosakarida pada Susu Kedelai
dalam Proses Pembuatan Yoghurt. Berkala Penelitian Pasca Sarjana (BPPS) UGM.
Yokyakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 639
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PROSPEK DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHATANI KEDELAI
DI SULAWESI TENGGARA

Dahya1) dan Alimuddin2)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara1


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat2
Email: ahyadkdi@gmail.com

ABSTRAK
Luas pertanaman kedelai sampai tahun 2015 baru mencapai 5.814 hektar dengan produktivitas
yang dicapai berkisar 1,3 t/ha dan masih sangat rendah jika dibandingkan hasil penelitian
beberapa jenis varietas kedelai nasional yang mencapai 2 – 3 ton pe hektar. Berdasarkan data
tersebut, maka dilakukan penelitian dangan menggunakan metode survey dan wawancara
mendalam yang dilakukan pada empat kecamatan di kabupaten Konawe dan Konawe Selatan
dengan melakukan wawancara sebanyak 15 orang setiap kecamatan serta dilakukan juga
wawacara dengan pedagang dan pengusaha tahu dan tempe sebanyak 10 orang. Tujuan
penelitian adalah untuk mengidentifikasi potensi, masalah dan kendala pengembangan
usahatani kedelai dan menganalisis input dan output kelayakan usahatani kedelai pada lahan
sawah tadah hujan dan lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan utama
yang dihadapi petani usahatani kedelai adalah harga kedelai pada saat musim panen sangat
rendah sehingga kurang menguntungkan bagi petani serta benih dan pupuk tidak tersedia tepat
waktu pada musim tanam. Usahatani kedelai hanya dapat bersaing dengan jagung pada tingkat
produksi minimal 1.408 kg/ha dengan harga Rp. 7.747/kg dan padi pada tingkat produksi
minimal 2.309 kg/ha dengan harga Rp. 12.702/kg. Strategi pengembangan usahatani kedelai
adalah perluasan areal tanam, penerapan teknologi sesuai rekomendasi dan subsidi harga
output oleh pemerintah.
Key Word: Prospek, pengembangan, usahatani kedelai

PENDAHULUAN
Prospek pengembangan kedelai di Sultra sangat memungkinkan baik di lahan kering
maupun di lahan sawah. Potensi lahan kering seluas 914.245 ha dan terdapat sekitar
281.692 ha lahan kering yang belum diusahakan. Dari total luasan lahan kering tersebut
Potensi untuk pengembangan kedelai di Sultra yang terdiri dari tegalan/kebun seluas
143.765 ha dan lahan sawah tadah hujan 24.446 ha. Luas pertanaman kedelai sampai saat ini
baru mencapai 7.851 ha. Produktivitas rata-rata yang dicapai berkisar 1,3 t/ha dan masih
sangat rendah jika dibandingkan hasil penelitian beberapa jenis varietas kedelai nasional
yang mencapai 2 – 3 ton pe hektar. Pada tahun 2015 pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara
mengalokasikan dana APBD untuk pengembangan kedelai seluas 800 ha (Dinas Pertanian
Sultra, 2016)
Pengembangan kedelai di awal musim kemarau (MK I) terutama dianjurkan di daerah
yang memiliki kapasitas irigasi yang terbatas dan tidak cukup untuk penanaman padi kedua,
dan di lahan sawah tadah hujan. Penanaman kedelai di lahan sawah diharapkan tidak
menggeser tanaman padi sawah, tetapi merupakan tanaman komplementer yang berfungsi
ganda yaitu meningkatkan indeks pertanaman dan efisiensi penggunaan sumberdaya lahan
serta memperluas sumber pendapatan petani. Berdasarkan pertimbangan potensi dan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


640 | Teknologi Pertanian
produktivitas lahan, peluang keberhasilan dan efisiensi usahatani, maka prioritas
pengembangan kedelai sebaiknya diarahkan pada lahan sawah, baik yang berpengairan
maupun sawah tadah hujan (Manwan et al. 1996).
Keberhasilan peningkatan produktivitas kedelai dipengaruhi oleh faktor teknis, sosial
budaya, dan ekonomi. Produktivitas kedelai secara umum dipengaruhi oleh tingkat
kesesuaian lahan, kesuburan lahan, naraca lengas musiman, pengelolaan hara dan air,
pengendalian OPT, pemeliharaan dan pascapanen. Masalah umum yang bersifat teknis
untuk lahan sawah bekas padi adalah kejenuhan air (waterlogging), kepadatan tanah (soil
compaction), struktur tanah kompak (massive), lengas tanah, pengelolaan hara,
pengendalian OPT dan pascapanen.
Untuk mendorong pengembangan budidaya kedelai di lahan sawah tadah hujan dan
lahan kering di Sultra dibutuhkan inovasi teknologi budidaya yang sesuai dengan kondisi
wilayah pengembangan komoditas tersebut. Oleh karena itu, penelitian prospek dan
peluang pengembangan usahatani kedelai pada lahan kering dan lahan sawah tadah hujan
perlu dilakukan, karena usahatani kedelai memiliki prospek pengembangan yang tidak hanya
didasarkan pada kesesuaian terhadap faktor biofisik lingkungan, tetapi juga terhadap kondisi
ekonomi dan aspek sosial budaya petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
potensi, masalah dan kendala pengembangan usahatani kedelai serta menganalisis input
dan output kelayakannya pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering.

METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Konawe dan Konawe Selatan pada bulan
April sampai Juli 2017. Penentuan sample lokasi dilakukan secara purposive dengan
pertimbangan daerah tersebut merupakan sentra produksi kedelai di Suawesi Utara.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survey dan jumlah kecamatan yang
dusrvei setiap kabupaten sebanyak 2 kecamatan. Selanjutnya setiap kecamatan dipilih satu
desa dan setiap desa dipilih 15 orang responden, sehingga jumlah petani responden
sebanyak 60 orang. Selain itu, dilakukan wawancara dengan pedagang kedelai baik lokal,
maupun importir serta pengusaha tahu dan tempe sebanyak 10 orang yang terdiri dari 2
orang importir kedelai, 4 orang pengusaha lokal dan 4 orang pengusaha tahu dan tempe.
Sedangkan wawancara mendalam dan diskusi kelompok dilakukan untuk melengkapi, dan
mengkroschek data hasil wawancara guna mempertajam validisi data terkait dengan
informasi yang masih diragukan kebenarannya.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder
yang terdiri dari luas lahan pertanaman, produksi dan produktivitas. Sedangkan data primer
yang terdiri dari karakteristik responden, cara pengolahan lahan, jenis dan mutu benih, pola
tanam, penggunaan input produksi, cara pengaplikasian input produksi, cara pengendalian
hama dan penyakit, harga input dan output produksi, pemasaran produksi, dan peranan
lembaga yang terkait dengan pengembangan produksi kedelai. Analisis data dilakukan secara
deskriptif, data yang sifatnya kualitatif dilakukan peringkasan, penggolongan, dan pengaitan
antar tema, sedangkan data primer yang berupa kuantitatif diolah menggunakan program

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 641
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
exel dan ditampilkan dalam bentuk Table prekwensi dan Table silang sederhana. Untuk data
sekunder dilakukan pengolahan dan tabulasi ulang. Kedua gugus data tersebut diharapkan
dapat saling melengkapi satu sama lain guna menjawab tujuan kegiatan ini.
Untuk analisis penerimaan, analisis keuntungan dan analisis parsial (Firdaus 2010)
akan dilakukan dengan mengguunakan persamaan sebagai berikut:
TC = TFC + TVC ; TVC = Xi x AVC; TR= P x Q; K = TR – TC
Keterangan:
TC = Biaya total (total cost)
TVC = Biaya variabel total (total vaiable cost)
TFC = Biaya tetap total (total fixed cost)
AVC = Biaya input variable per unit (average variable cost)
Xi = Jumlah input produksi
TR = Penerimaan total (total revenue)
P = Harga output
Q = jumlah input dan produksi
K = Keuntungan (benefit)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas

Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi kedelai di Sulawesi Tenggara


sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 menunjukkan pola fluktuatif. Terjadi
kecenderungan menurun untuk luas panen dan produksi terjadi pada tahun (2010, 2012 dan
2013). Sedangkan pada tahun 2010 walaupun terjadi penurunan luas panen dan produksi,
namun terjadi peningkatan produktivitas, hal ini diduga ada kondisi iklim dan pengaruh
penerapan teknologi yang mendukung usahatani kedelai. Untuk lebih jelasnya disajikan pada
Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai Tahun 2006-2015.
Produk- Pertumbuh- Pertumbuh
Luas Panen Pertum-buhan Produksi
Tahun tivitas an an
(Ha) (%) (ton)
(kg/ha) (%) (%)
2006 3499 - 852 - 2982 -
2007 3719 6,29 907 6,46 3374 13,14
2008 4101 10,27 930 2,54 3812 12,98
2009 6719 63,83 835 -10,21 5615 47,29
2010 2661 -60,39 1204 44,19 3204 -42,93
2011 5814 118,49 1051 -12,70 6113 90,79
2012 3870 -33,43 959 -8,75 3710 -39,30
2013 3735 -3,48 963 0,41 3595 -3,09
2014 5079 35,98 1100 14,22 5691 58,30
2015 7851 55,30 1623 47,54 12799 124,89
Rataan 4705 19,28 1,04 8,37 5090 26,20
Sumber: BPS Sultra, Diolah, 2016

Walaupun perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas menunjukkan pola


sangat berfluktuasi, namun ada kecenderungan terjadi peningkatan rata-rata luas panen

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


642 | Teknologi Pertanian
19,28%, produktivitas 8,37% dan produksi 26,20% per tahun. Walaupun pertumbuhan luas
panen kedelai tertinggi pada tahun 2011 (118,49%), namun pertumbuhan produksi hanya
sebesar (90,79%) dan bahkan pertumbuhan produktivitas mengalami penurunan sebesar
(12,70%) jika dibandingkan tahun 2010. Luas panen kedelai tertinggi pada tahun 2015
mencapai 7.851 hektar atau meningkat 55,30%, jika dibandingkan tahun 2014. Peningkatan
luas areal panen diikuti dengan peningkatan produksi 124,89 % dan peningkatan
produktivitas sebesar 47,54%. Hal ini diduga terjadi karena adanya pencanangan
swasembada kedelai melalui program Perluasan Areal Tanam (PAT) dan Peningkatan Indek
Pertanaman (PIP) dengan bantuan sarana produksi serta program pemberdayaan
penangkaran kedelai pada beberapa sentra produksi kedelai.
Komoditas kedelai di Sulawesi Tenggara tersebar di 11 kabupaten/kota dengan total
produksi pada Tahun 2015 sebesar 7,851 ton dimana kabupaten Konawe dan Bombana
merupakan daerah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total produksi kedelai di
Sulawesi Tenggara, masing-masing sebesar 21,56%, dan 19,86% disusul Kabupaten Buton
Utara (11,79%), Kolaka (11,74%) dan Konawe Selatan (11,71%). Untuk lebih jelasnya
disajikan pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Keragaan luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai


di Sulawesi Tenggara, Tahun 2015.
Kabupaten Luas panen Hasil/Ha Produksi Kontribusi
(ha) (ku) (ton) (%)
Buton 234 12,76 298 7.68
Muna 643 11,32 728 2.64
Konawe 892 19,27 1719 21.56
Kolaka 891 18,71 1667 11.74
Konawe Selatan 2439 18,56 4526 11.71
Bombana 151 17,87 270 19.86
Kolaka Utara 6 11,01 7 7.43
Buton Utara 2273 14,25 3239 11.79
Konawe Utara 321 9,67 309 1.53
Kolaka Timur 37 9,55 35 4.00
Kendari 1 1,00 1 0.03
SulawesiTenggara 7851 13,08 10269 100
Sumber: BPS Diolah, 2016.

Produktivitas kedelai pada setiap kabupaten relatif masih rendah, jika dibandingkan
dengan hasil penelitian yang bisa mencapai 2-3 ton per hektar. Produktivitas tertinggi
terdapat di kabupaten Konawe, hal ini karena lokasi pertanaman kedelai di daerah tersebut
pada umumnya berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Rendahnya produktivitas tersebut
karena pada umumnya petani belum menggunakan varietas unggul dan melakukan
pemupukan. Petani hanya menggunakan varietas unggul dan melakukan pemupukan apabila
ada bantuan dari pemerintah.
Secara kultur teknis masalah yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas
tanaman kedelai meliputi: (1) Penggunaan varietas yang benihnya kurang bermutu, (2)
Waktu tanam tidak tepat, (3) populasi tanaman tidak penuh, (4) Pengelolaan lengas
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 643
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
(kelembaban) tanah kurang optimal, (5) Persiapan media (lahan) pertanaman kurang
optimal, (6) Pengelolaan hara kurang optimal, (7) Pengendalian OPT (organisme pengganggu
tanaman) kurang efektif, dan (8) Pascapanen kurang optimal. Adapun masalah produktivitas
kedelai bersifat lokal spesifik, ditentukan oleh ciri agroekologi areal tanam (Sudaryono et al.,
2007). Selanjutnya hasil kajian MK I (Arsyad et al., 2012) menunjukkan bahwa faktor penentu
produktivitas tanaman kedelai pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Serang, Provinsi
Banten, adalah varietas dan mutu benih yang digunakan, curah hujan, kondisi tanah
(pemupukan), dan gangguan gulma. Varietas Kaba lebih baik dibandingkan dengan varietas
yang biasa digunakan petani (varietas Grobogan). Untuk itu, paket teknologi spesifik lokasi
komoditas kedelai di lahan sawah tadah hujan pada MK I minimal harus terdiri dari varietas
unggul baru (varietas Kaba), benih bermutu (daya tumbuh >90%), pembuatan saluran
drainase yang cukup dalam, pemupukan NPK (50-50-50), dan pengendalian gulma pada
umur tiga dan enam minggu setelah tanam.

Kondisi Usahatani kedelai

Luas dan kepemilikan lahan dalam usahatani kedelai menunjukkan bahwa, tidak
terdapat variasi yang cukup tinggi mengenai rata-rata luas lahan yang diusahakan petani
untuk budidaya kedelai pada setiap sentra produksi kedelai di kabupaten Konawe Selatan.
Secara keseluruhan rata-rata luas lahan petani adalah 0,95 hektar dan umumnya milik
sendiri. Beberapa permasalahan penting yang dihadapi petani kedelai pada saat musim
tanam, yaitu benih varietas unggul kurang tersedia dan harga benih dirasakan sangat mahal
pada musim tanam.
Walaupun ada juga yang menjual benih pada saat musim tanam, namun bukan
merupakan varietas unggul dan harganya cukup tinggi. Selain itu, gangguan hama juga
banyak yang menyerang pertanaman kedelai. Musim tanam kedelai di kabupaten Konawe
Selatan dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu MT-I (Musim Tanam I bulan April- Mei) dan
MT-II penanaman dilakukan (Nopember- Desember). Petani pada umumnya menanam jenis
varietas Anjasmoro dan Wilis. Alasan petani menggunakan varietas Anjasmoro karena selain
produktivitasnya yang tinggi, ukuran bijinya yang besar. Ukuran biji yang besar banyak
diminati oleh pembeli untuk bahan baku tempe.
Yulianto (2010) dalam Sutardi at al., 2014) melaporkan bahwa varietas yang disukai
petani adalah varietas Anjasmoro, Sinabung, Tenggamus, Kedelai hitam 2 dan Ijen.
Sedangkan alasan petani memilih varietas Wilis karena petani menilai varietas ini cocok
dengan kondisi lahan di daerahnya dengan produktivitas yang relatif tinggi dibanding dengan
varietas lainnya. Hasil produksi yang dicapai petani masih sangat rendah rata-rata 0,925 ton
per hektar untuk agroekosistem lahan kering dan 1,025 untuk agroekosistem lahan sawah
tadah hujan. Dalam mengeringkan hasil panen kedelai, petani responden masih
menggunakan cara konvensional yakni dengan penjemuran matahari langsung dengan
menggunakan terpal. Namun kendala yang sering dihadapi dengan cara ini adalah terkait
dengan faktor cuaca. Tinginya curah hujan pada saat panen dan penjemuran kedelai dapat
menyebabkan tingginya tingkat kerusakan kedelai.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


644 | Teknologi Pertanian
Salah satu faktor yang menentukan tingkat pendapatan petani dari usahatani kedelai
adalah harga jual kedelai itu sendiri. Harga jual kedelai tidak terlalu berbeda pada setiap
sentra produksi, yakni rata-rata per kilogram berkisar antara Rp.4.500 sampai dengan Rp.
5.500 per kilogram. Hampir semua daerah di sentra produksi kedelai petani menjual hasil
kedelainya ke tengkulak atau pedagang pengumpul. Belum aktifnya kelembagaan,
khususnya pemasaran di tingkat kelompok petani untuk menampung hasil kedelai
menyebabkan harga komoditas ini masih dipermainkan oleh para tengkulak.
Selain itu, kurang stabilnya harga di tingkat petani menjadi salah satu kendala yang
dirasakan dalam berusahatani kedelai. Adanya kampanye negatif tentang kualitas kedelai
lokal dengan harga yang kurang kompetitif serta dibukanya kran impor dengan kualitas
kedelai lebih baik dan murah mendorong petani meninggalkan usahatani kedelai atau
kurang berminat menanam kedelai. Petani mengharapkan dalam pemasaran kedelai
pemerintah ikut terlibat serta dapat menjamin harga kedelai di tingkat petani. Selain itu,
para pedagang dan pengusaha tahu dan tempe lebih menyukai kedelai impor karena
memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan kedelai lokal. Adapun persepsi
pedagang dan pengusaha tahu dan tempe terhadap kedelai lokal dan impor disajikan pada
Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Persepsi pedagang dan pengusaha tahu dan tempe


terhadap kedelai lokal dan Impor
No Uraian Kedelai Impor Kedelai Lokal
1. Kebersihan Lebih bersih Banyak campuran kotoran
2. Ukuran Biji Besar dan seragam Kecil dan tidak seragam
3. Waktu penyimpanan Lebih lama (6 bulan) Lebih singkat (2 bulan)
4. Harga Lebih mahal Lebih murah
5. Kadar airnya Rendah Tinggi
6. Bila diproses jadi tahu/tempe Mudah mengembang Sulit mengembang

Menurut persepsi importir, pengusaha tahu dan tempe bahwa kedelai impor
mempunyai beberapa keunggulan walaupun harganya lebih mahal antara lain: lebih bersih
sehingga tidak dibutuhkan lagi tenaga untuk membersihkan apabila akan diolah menjadi
tahu dan tempe, ukuran bijinya besar dan seragam dengan tingkat kematangan yang bagus,
dapat disimpan dalam waktu yang lama karena kadar airnya rendah sehingga kegiatan
produksi tahu tempe dapat berkesinambungan dan menghindari fluktuasi harga karena stok
selalu tersedia, dan apabila diproses jadi tahu dengan volume yang sama dengan kedelai
lokal, maka kedelai impor diperoleh produksi yang lebih tinggi karena mudah mengembang
jika dibandingkan dengan kedelai lokal.
Sedangkan kedelai lokal menurut persepsi importir dan pengusaha tahu dan tempe
mempunyai kelemahan antara lain, banyak campuran kotoran sehingga dibutuhkan tenaga
untuk membersihkan pada saat akan diproses menjadi tahu dan tempe, belum terlalu
matang dan ukuran bijinya tidak seragam, kandungan kadar airnya masih tinggi sehingga
tidak bisa disimpang terlalu lama, namun harganya lebih rendah dari pada kedelai impor.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 645
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Walaupun ada perbedaan harga sekitar 1500- 2000/kg untuk kedelai impor, namun
pengusaha tahu dan tempe tetap membeli kedelai impor karena berbagai keunggulan
tersebut.

Analisis Finansial dan Keunggulan Kompetitif

Analisis usahatani adalah suatu alat analisis yang bertujuan untuk melihat keadaan
finansial yang dilakukan pada suatu lahan tertentu, suatu periode tertentu dengan
mengunakan paket input tertentu pula. Dalam analisis ini, biaya masukan yang dikeluarkan
pada usahatani kedelai dalam periode satu musim tanam. Analisis usahatani dilakukan untuk
mengetahui struktur biaya dan tingkat keuntungan dalam usahatani kedelai. Keuntungan
sangat dipengaruhi oleh jumlah penggunaan input, harga input, jumlah hasil produksi dan
harga produksi. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani Kedelai per Hektar Pada Agroekosistem
Lahan Kering dan Lahan Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Konawe.
Agroekosistem
No Uraian
Lahan kering Tadah hujan
1. Biaya Saprodi (Rp):
Benih 520.000 520.000
Pupuk Urea 330.000 445.000
Racun 375.000 300.000
2. Biaya Tanam (Rp) 840.000 840.000
3. Biaya pemeliharaan (Rp) 540.000 420.000
4. Biaya panen (Rp) 855.000 967.500
5 Total biaya (Rp) 3.232.000 3.672.500
6. Produksi (kg) 925 1075
7. Penerimaan (Rp 5.087.500 5.912.500
8. Keuntungan (Rp) 1.855.500 2.240.000
9. R/C-ratio 1.57 2.60

Sumber: Data primer diolah 2016


Keterangan:
Harga benih 13.000/kg
Urea Rp. 2000/kg
Ponska Rp. 2300/kg
Harga kedelai ditingkat petani Rp.5.500/kg
Upah tenaga kerja Rp. 60.000/hari

Hasil analisis finansial usahatani kedelai ke dua agroekosistem lahan, yaitu lahan
kering dan lahan sawah tadah hujan menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh pada
usahatani kedelai sangat rendah yaitu hanya sekitar Rp. 1.855.500 untuk agroekosistem
lahan kering dan Rp. 2.240.000 untuk agroekosistem lahan sawah tadah hujan, walaupun
nilai R/C-ratio > 1. Kentungan yang diperoleh tersebut dengan intensitas pekerjaan untuk
usahatani kedelai sekitar 3 bulan menunjukkan bahwa hanya 6.18.000 – 750.000 per bulan.
Nilai tersebut masih jauh jika dibandingkan UMP (Upah Minimun Pemerintah) Sulaweis
tenggara sebesar Rp. 1.652.000 per bulan. Komponen biaya yang menempati proporsi
terbesar dalam usahatani kedelai adalah biaya penanaman dan biaya panen yaitu berkisar

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


646 | Teknologi Pertanian
49%. Biaya pengolahan lahan pada kedua agroekosistem lahan tersebut, tidak terlalu besar
karena menggunakan sistem TOT (Tanpa Olah Tanah) hanya dilakukan penyemprotan gulma
dengan menggunakan herbisida pada saat akan dilakukan penanaman.
Sedangkan untuk mengetahui tingkat keunggulan kompetitif usahatani kedelai
terhadap usahatani jagung dan padi, maka dilakukan analisis finansial usahatani jagung dan
padi. Analisis kelayakan finansial digunakan untuk mengetahui tingkat efesiensi usahatani
hubungan penerimaan dan biaya. Analisis finansial usahatani kedelai yang disajikan
merupakan nilai rata-rata produksi, biaya dan keuntungan dari kedua agroekosistem pada
Tabel 4. Hasil analisis finasial usahatani ketiga komoditas tersebut disajikan pada Tabel 5
berikut ini .

Tabel 5. Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani Kedelai, Jagung dan Padi
Usahatani Produksi Harga Penerimaan Biaya (Rp/ha) Keuntungan
(kg/ha) (Rp/kg) (Rp/ha (Rp/ha)
Kedelai 1.000 5.500 5.500.000 3.452.250 2.047.750
Jagung 3.500 2.700 9.450.000 5.155.000 4.8455.000
Padi 4.200 3.700 15.540.000 6.290.000 9.250.000
Sumber: Data primer diolah 2016

Tingkat keunggulan kompetitif suatu usahatani terhadap usahatani lain dapat


diketahui melalui analisis tingkat harga dan produktivitas tidak berubah. Dari hasil analisis
akan diketahui tingkat produksi minimal dan harga minimal dari suatu usahatani agar dapat
kompetitif dengan usahatani komoditas lainnya. Hasil analisis keuntungan kompetitif dapat
memberikan gambaran kepada petani tentang keuntungan yang dapat bersaing dalam
memilih komoditas, khususnya tanaman pangan yang akan diusahakan. Keunggulan
kompetitif lebih banyak pertimbangan dari aspek ekonomis dari kondisi serta faktor
pendukung eksternal yang ada. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Tingkat Keunggulan Kompetitif Usahatani Kedelai, Jagung dan Padi


Usahatani Tingkat kompetitif
Produktivitas minimum (kg/ha) Harga minimum (Rp/kg)
Kedelai terhadap:
Jagung
1.408 7.747
Padi
2.309 12.702
Jagung terhadap:
Kedelai
2.667 2.057
Padi
5.335 4.115
Padi terhadap:
Kedelai
2.253 1.985
Jagung
2.860 2.520
Sumber: Data primer diolah 2016

Hasil analisis pada Tabel 6 menunjukkan bahwa usahatani kedelai dapat bersaing
dengan usahatani jagung pada tingkat produksi minimum 1.408 kg/ha dengan harga Rp.
7.747 per kilogram, sedangkan untuk tanaman padi tingkat produksi minimum yang harus
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 647
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
dicapai pada usahatani kedelai 2.309 kg/ha dengan harga minimum Rp. 12.702 per kilogram.
Untuk usahatani jagung agar dapat bersaing dengan kedelai, maka produksi minimum yang
harus dicapai 2.667 kg/ha dengan harga Rp. 2.057 per kilogram, sedangkan untuk tanaman
padi tingkat produksi minimum yang harus dicapai pada usahatani jagung 5.335 kg/ha
dengan harga minimum Rp. 4.115 per kilogram. Untuk usahatani padi agar dapat bersaing
dengan kedelai, maka produksi minimum yang harus dicapai hanya 2.253 kg/ha dengan
harga Rp.1.985 per kilogram, sedangkan untuk bersaing dengan tanaman jagung, maka
tingkat produksi minimum yang harus dicapai hanya 2.860 kg/ha dengan harga minimum Rp.
2.520 per kilogram.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka usahatani kedelai untuk kondisi saat ini
tidak mampu bersaing secara kompetitif dengan tanaman jagung dan padi karena baik
produksi maupun harga minimum kedelai diatas rata – rata produktivitas dan harga
aktualnya (1.000 kg/ha dan harga Rp. 5.500/kg). Jika harga kedelai pada posisi Rp. 5.500,
maka produktivitas yang harus dicapai adalah 1.977 kg/ha dengan asumsi bahwa tidak ada
intervensi harga dari pemerintah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Swastika (1997)
bahwa usahatani kedelai mempunyai keunggulan komparatif maka produktivitas kedelai
harus mencapai 2 ton/ha.
Sedangkan hasil penelitian Oktaviani at al., (2013) bahwa potensi produktivitas
kedelai 3,3 ton membutuhkan air irigasi total sebesar 0,446 m3/m2. Selanjutnya, Heriyanto
(2014) menyatakan bahwa, faktor langsung yang menyebabkan buruknya daya saing kedelai
adalah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar sehingga sulit mempengaruhinya.
Harga kedelai kurang tersentuh oleh kebijakan pemerintah dan lebih banyak ditentukan oleh
mekanisme pasar. Hal ini yang menyebabkan harga nominal kedelai kedelai ditingkat petani
sangat berpluktuasi dan cenderung jatuh pada saat panen raya.
Untuk meningkatkan produksi kedelai di Sulawesi Tenggara, disamping
pengembangan perluasan areal tanam dan adanya jaminan harga yang layak bagi petani,
upaya peningkatan produksi kedelai juga dapat dilakukan dengan menaikkan produktivitas
dan stabilisasi hasil, serta menekan senjang hasil dan kehilangan hasil pada saat panen dan
pasca panen. Suyamto et al., (2006) menyatakan bahwa ketersediaan teknologi spesifik
lokasi dibutuhkan baik bagi upaya peningkatan produktivitas maupun bagi perluasan areal
tanam. Perluasan areal tanam ditujukan baik ke lahan sawah (tadah hujan/irigasi sederhana)
yang mempunyai IP < 2,0, maupun ke lahan kering.
Selanjutnya Ariani (2005) menyatakan, tanpa perluasan areal tanam, upaya
peningkatan produksi sulit karena laju peningkatan produkstivitas berjalan lambat, apalagi
bila harga sarana produksi tinggi dan harga produksi rendah. Peningkatan produktivitas
masih dapat dicapai melalui penggunaan varietas unggul, karena varietas yang telah dilepas
oleh Badan Litbang Pertanian mempunyai potensi hasil 2,50 - 2,70 ton/ha (Swastika at al.,
2006). Sedangkan menurut Sumarno at al., (1998) potensi hasil kedelai 3 ton/ha dilahan
sawah dapat dicapai dengan menerapkan pengolahan tanah pengelolaan tanaman yang
tepat.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


648 | Teknologi Pertanian
Alimoeso (2008) menyatakan peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan dengan :
1) memperluas areal tanam; 2) meningkatkan produktivitas, 3) mengamankan produksi, dan
4) memperkuat kelembagaan. Selanjutnya Soim (2008) menyatakan meskipun lahan
tersedia dan pemerintah menyediakan modal, petani kurang tertarik menanam kedelai jika
harga tidak menguntungkan. Selain harga yang lebih lebih murah ada kecenderungan
pengusaha tahu dan tempe lebih menyukai kedelai impor karena ukuran bijinya yang lebih
besar. Kondisi demikian menjadi salah satu faktor yang menghambat peningkatan produksi
kedelai di dalam negeri.

KESIMPULAN
Permasalahan utama yang dihadapi petani usahatani kedelai adalah harga kedelai
pada saat musim panen sangat rendah sehingga kurang menguntungkan bagi petani serta
kurang tersedianya benih dan pupuk pada musim tanam. Perkembangan luas panen kedelai
cukup fluktuatif dan cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 19.28%,
sedangkan perkembangan produktivitas kedelai juga berfluktuasi dengan rata-rata
pertumbuhan 8,37% per tahun selama periode 2006 – 2015
Usahatani kedelai di Sulawesi Tenggara masih mempunyai peluang dan prospek,
karena masih cukup tersedia lahan kering dan lahan sawah tadah hujan untuk perluasan
areal tanam dan ketersediaan teknologi dalam peningkatan produktivitas. Usahatani kedelai
hanya dapat bersaing dengan jagung pada tingkat produksi minimal 1.408 kg/ha dengan
harga Rp.7.747/kg dan padi pada tingkat produksi minimal 2.309 kg/ha dengan harga Rp.
12.702/kg. Strategi pengembangan usahatani kedelai adalah perluasan areal tanam,
penerapan teknologi sesuai rekomendasi dan subsidi harga output oleh pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Alimoeso, S. 2008. Produksi Kedelai Belum Akan Menolong. Kompas, 26 Januari 2008.
Ariani, M. 2005. Penawaran dan Permintaan Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian di
Indonesia. Soca 5 (1):48-56
Arsyad, D.M., Z. Yurzak, H. Hermawan, dan Ahyani. 2012. Kajian Faktor Penentu
Produktivitas dan Teknologi Spesifik Lokasi di Wilayah Provinsi Banten. Laporan Akhir
Tahun,Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian TA. 2012. 33
Hal.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara 2016. Sulawesi Tenggara dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Sulawesi Tenggara. Kendari.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara 2016. Laporan Tahunan Dinas
Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
Firdaus, M. 2010. Manajemen Agribisnis. PT. Bumi Aksara Jakarta.221 hlm.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 649
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Heriyanto, F. Rosi, Krisdiana, dan Z. Arifin. 2014. Kondisi Aktual Komoditas Kedelai Sebagai
Pijakan Pengembangan. Dalam Risalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan: 61-78.
Oktaviani, Sugeng Triyono dan Nugroho Haryono. 2013. Analisis Neraca Air Budidaya
Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merr. Pada Lahan Kering. Jurnal Teknik Pertanian
Lampung. Vo. 2 (1): Universitas Lampung. Pp 7-16
Soim, A. 2008. Jaminan Harga Untuk Swasembada Pangan. Sinar Tani, 23 Januari 2008
Sudaryono, A. Taufiq, dan A. Wijanarko. 2007. Peluang peningkatan produksi kedelai di
Indonesia, hal. 130-167. Dalam Sumarno et al.(Eds.): Kedelai, Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sumarno, F. Dauphin, A. Rachim, N. Sunarlin, B. Santoso, H. Kuntyastuti, dan Harnoto.1989.
Analisis Kesenjangan Hasil Kedelai di Jawa. Laporan Proyek Analisis Kenenjangan Hasil
Analisis Kedelai. Pusat palawija, Bogor.
Sutardi, Arlyna B, Pustika, dan Mulyadi. 2014. Pengaruh Frekuensi Pengairan Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Jernal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian volume 17 Nomor 2,Juli 2014
Swastika, D.K.S. 1997. Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Agro
Ekonomi 15 (1 dan 2): 57-66
Swastika, D.K.S., J. Wargiono, B. Sayaka, A. Agustian, dan V. Darwis. 2006. Kinerja dan
Prospek Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Indonesia. Seminar Nasional
Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
Suyamto, D. M. Arsyad, dan Subandi. 2006. Teknologi peningkatan produksi kedelai dalam
optimasi pendayagunaan sumberdaya lahan melalui peningkatan indeks pertanaman.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan Kedelai IP-300,
Ditjen. Tanaman Pangan, di Bandung pada tanggal 29-31 Mei 2006
.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


650 | Teknologi Pertanian
UPAYA PERBAIKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI DAGING ITIK MELALUI
PERSILANGAN ENTOG DENGAN ITIK

Procula R Matitaputty dan Nurfaizin

BPTP Balitbangtan Maluku; Jl Chr Soplanit-Rumah Tiga Ambon


Telp. (0911) 322664 Fax. (0911) 322542

ABSTRAK
Peranan itik lokal di Maluku baru sebatas sebagai sumber penghasil telur, sedangkan dagingnya
belum banyak dimanfaatkan. Itik potong yang dijual berasal dari itik petelur jantan atau betina
afkir. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan, produksi daging ternak itik,
entog dan hasil persilangan (entog dan itik) serta efek heterosis. Rancangan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan (jenis itik) dan masing-masing
perlakuan 5 ulangan. Penelitian menggunakan d.o.d itik, entog dan hasil persilangan, sebanyak
75 ekor yang terdiri atas 25 ekor itik; 25 ekor entog dan 25 ekor hasil persilangan. Umur
pemeliharaan sampai pemotongan selama 12 minggu. Hasil penelitian menujukkan bahwa
Pemeliharaan selama 12 minggu, pertambahan bobot badan akhir ternak itik (1.332,47g); entog
(1.894,70g) dan hasil persilangan (1.584,56g). Untuk bobot karkas entog sebarat 1.499,33g
(45%) paling tinggi (p<0.05), dibandingkan itik 800,00g (24%) dan hasil persilangan, sementara
hasil persilangan 1.005,12 (31%) lebih tingg (p<0.05) dibandingkan itik. Persentase potongan
karkas bagian dada, paha, punggung dan sayap terjadi perbedaan nyata antar jenis ternak,
entog lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan hasil persilangan dan itik, begitu pula hasil
persilangan lebih tinggi (p<0.05) dari itik. Nilai heterosis pada ukuran tubuh ternak persilangan
terhadap tetua murni menunjukkan nilai positif, pada bagian panjang punggung, panjang sayap,
dan panjang tibia dengan persentase tinggi, sedangkan lebar paruh, panjang sternum, dan lebar
dada memiliki nilai lebih kecil. Ukuran-ukuran tubuh ternak ini sangat menunjang pertumbuhan
ternak potong, dan sebagai tempat melekatnya otot daging bagi ternak tersebut.
Kata Kunci: Itik, Entog, Persilangan, Pertumbuhan dan Heterosis

PENDAHULUAN
Produksi daging di Indonesia sebesar 3.062,37 ribu ton, terdiri atas daging sapi 523,93
ribu ton, daging kerbau 31,67 ribu ton, daging kambing 65,85 ribu ton, daging domba 40,95
ribu ton, daging babi 319,11 ribu ton, sedangkan daging unggas seperti ayam pedaging
1.627,11 ribu ton, ayam buras 314,00 ribu ton, ayam ras petelur 95,65 ribu ton, itik 34,84
ribu ton. Melihat tingkat produksi daging diatas, maka ternak itik masih sangat rendah
sumbangannya yakni sekitar 1,13% dari total produksi daging nasional (BPS Statistik
Pertanian, 2015).
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan daging unggas, pemeliharaan itik
jantan lokal sebagai penghasil daging merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Berbagai upaya untuk memperkenalkan daging itik melalui
pengembangan itik-itik yang berpotensi sebagai penghasil daging, seperti itik peking,
mandalung atau serati (Setioko 2003; Suparyanto 2005) namun ketersediaan d.o.d itik
peking, itik mandalung sangat terbatas dan harus di impor sehingga membutuhkan biaya
yang besar.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 651
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Itik dan entog merupakan ternak komoditas unggulan spesifik lokasi, unggas air ini
cukup populer, selain ayam ras dan ayam kampung, karena dikalangan peternak ternak
tersebut berperan sebagai sumber pendapatan maupun sumber protein berupa daging dan
telur. Upaya untuk meningkatkan produksi daging itik dan entog diperlukan suatu teknologi
produksi yang tepat seperti dengan melakukan persilangan. Persilangan entog jantan lokal
dengan itik betina lokal akan menghasilkan ternak hibrida dan merupakan unggas pedaging
yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Persilangan antara itik dan entog pada kalangan masyarakat disebut dengan nama:
itik serati, itik tongki, itik mandalung, beranti, dan untuk daerah Jawa dan Bali disebut
dengan nama bengkiwa. Dalam kajian ini kami menggunakan istilah mandalung untuk hasil
persilangan entog dengan itik. Kelebihan mandalung adalah pertumbuhannya cepat,
dagingnya tebal dan tidak seanyir daging itik. Berbeda dengan itik jantan local yang ada,
dimana pertumbuhan dagingnya tipis dan aroma bau dagingnya amis/anyir. Oleh karena itu
mandalung lebih sesuai dijadikan unggas air pedaging (Hardjosworo, 2001; Matitaputty,
2002). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
dari masing-masing jenis itik meliputi bobot hidup, bobot potong, produksi karkas, dan
potongan komersial karkas serta efek Heterosis yang timbul akibat persilangan.

MATERI DAN METODE


Dalam pengkajian ini digunakan anak itik (II); anak entog (EE) dan anak hasil
persilangan itik dan entog (IE), masing-masing sebanyak 25 ekor, sehingga total keseluruhan
ternak yang digunakan sebanyak 75 ekor, pada umur satu hari dan berkelamin jantan.
Kandang yang digunakan untuk memelihara ternak berbentuk postal sebanyak 1 unit
berukuran panjang 8 meter dan lebar 4 meter, yang didalamnya dibuat petakan dengan
ukuran panjang 1,25 cm dan lebar 1,25 cm dengan tinggi 60 cm sebanyak 15 petak. Lantai
kandang berbentuk slat, dan setiap kandang dilengkapi dengan lampu pijar 75 watt yang
berfungsi sebagai brooder, dan juga sebagai penerang. Tempat makan dan air minum
disiapkan tiap-tiap kandang satu buah.

Tabel 1. Komposisi gizi ransum komersil, dan dedak padi (As Fed)
Komponen Ransum Komersial1) Dedak2)
Bahan Kering (%) 87 91
EM (kkal/kg) 3000 1900
Protein (%) 21 13
Lemak (%) 5 5
Serat kasar (%) 5 12
Abu (%) 7 11,33
Kalsium (%) 0,9 0,06
Phospor (%) 0,6 0,8
1) 2)
Keterangan : Charoen Phokhpan BR 11 (2010); Leeson & Summers (2005)

Timbangan analitik merek Ohaus kapasitas 5 kg dipersiapkan untuk menimbang


ransum serta ternak setiap minggu. Ransum yang diberikan merupakan ransum komersial

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


652 | Teknologi Pertanian
untuk umur starter 0-7 minggu (100%) dan umur finisher (7-12 minggu) diberikan pakan
komersial (60%) + dedak (40%), berbentuk tepung (mash) dan sedikit basah, diberikan 2 kali
dalam sehari yakni pagi dan sore, sedangkan air minum ad libitum.
Untuk mendapatkan dod (itik/entog/hasil persilangan) membutuhkan indukan itik
dan entog dalam jumlah yang cukup banyak sekitar 30-50 ekor. Selama masa pemeliharaan
indukan dibutuhkan pakan yang berkualitas yang akan menunjang perkembangan
produktivitas itik dan entog. Beternak itik maupun entog secara intensif, selain
menggunakan pakan pabrik, peternak dapat memberi ramuan pakan yang dicampur dengan
pakan lokal seperti dedak padi.
Pengumpulan telur dilakukan pada pagi hari dan disimpan di tempat penampungan
yang terlindung serta aman. Telur tetas yang sudah dipilih harus bentuknya normal dengan
berat 60-65 g, dan bersih. Penetasan dapat dilakukan dengan mesin tetas atau secara alami
menggunakan entog atau ayam.
Day old duck (itik, entog, hasil persilangan) berjenis kelamin jantan umur satu hari, di
timbang untuk mengetahui bobot awal. Setelah itu diberi nomor pada sayap (wing band),
dan ditempatkan secara acak dalam petakan kandang selama 12 minggu pemeliharaan.
Setiap kandang boks diberi nomor atau kode untuk memudahkan dalam pengamatan, dan
pemberian ransum. Itik/entog/itik silangan dipelihara per petakan masing-masing terdiri atas
5 ekor per ulangan (3 perlakuan dan 5 ulangan) sehingga jumlah itik yang digunakan
sebanyak 75 ekor.
Pemberian pakan, diberikan saat (itik/entog/hasil silangan) mulai ditempatkan dalam
kandang selama pemeliharaan. Timbangan analitik (ukuran 5 kg) digunakan untuk
menimbang bobot badan, pakan harian dan sisa pakan. Penimbangan dilakukan seminggu
sekali untuk mengetahui pertambahan bobot badan, jumlah konsumsi pakan dan sisa pakan
hingga akhir penelitian. Peralatan lainnya yang diperlukan adalah ember, skop, selang untuk
membersihkan kandang boks.
Pemotongan ternak dilakukan setelah (itik/entog/hasil silangan) berumur 12 minggu.
Sebelum pemotongan (itik/entog/hasil silangan) dipuasakan dahulu, sedangkan air minum
tetap diberikan ad libitum. Itik yang akan dipotong ditimbang untuk mengetahui bobot
potong. Pemotongan dilakukan dengan memotong vena jugularis, arteri karotidae,
oesophagus dan trakhea, posisi vertikal dengan kepala menghadap kebawah. Setelah itu
proses pembuluan dan pembersihan, pemisahan bagian kepala, kaki dan isi jeroan dari
dalam tubuh itik. Kembali dilakukan penimbangan untuk mendapatkan bobot karkas dan
setelah itu dibagi atas bagian-bagian potongan karkas komersial.

Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan. Adapun perlakuannya adalah jenis itik
yakni itik, entog dan hasil pesilangan yang semuanya berkelamin jantan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 653
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Model dari rancangan ini adalah sebagai berikut :

Yij=µ + αi + εij
Dimana :
Yij= nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ= rataan umum
αi = pengaruh perlakuan ke- i
εij= pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Data yang diperoleh akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan sidik ragam,
dilanjutkan dengan uji analisis covariance (Steel and Torrie 1993).

Perhitungan Heterosis

Heterosis digunakan untuk menggambarkan keunggulan keturunan kawin silang (F1)


terhadap tetuanya. Heterosis diukur berdasarkan keunggulan rataan performa itik silangan
terhadap rataan tetuanya dengan rumus menurut Noor (2008) sebagai berikut:

[rataan F1 ( EI)− rataan tetua (EE+II)]


% Heterosis = x 100%
rataan tetua (EE+II)

Peubah yang di amati:

 Bobot hidup awal (BHo): Penimbangan bobot badan awal dod dilakukan pada hari
ketiga setelah telur menetas.
 Pertambahan bobot hidup (PBH): Pertambahan bobot badan dihitung dengan cara
mengurangi bobot badan akhir dengan bobot badan awal pengamatan pada periode
tertentu.
 Bobot potong: Diperoleh dengan menimbang bobot badan itik sesaat sebelum
dipotong.
 Karkas: Diperoleh dengan menimbang bobot itik yang telah dipotong, dan sudah
dibersihkan dari bulu, kepala, kaki dan isi jeroan.
 Potongan komersial karkas: Diperoleh dengan cara menimbang bagian dada, paha,
sayap, punggung dan pinggu.
 Persentase karkas diperoleh dengan membagi bobot karkas dengan bobot sesaat
sebelum itik dipotong dikali 100%.
 Persentase dada diperoleh dengan cara membagi bobot dada dengan bobot karkas
dikali 100%.
 Persentase paha diperoleh dengan cara membagi bobot kedua paha dengan bobot
karkas dikali 100%.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


654 | Teknologi Pertanian
 Persentase sayap diperoleh dengan cara membagi bobot kedua sayap dengan bobot
karkas dikali 100%.
 Persentase punggung diperoleh dengan cara membagi bobot punggung dengan
bobot karkas dikali 100%.
 Persentase pinggul diperoleh dengan cara membagi bobot pinggul dengan bobot
karkas dikali 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan

Pertumbuhan itik, entog dan persilangan dapat dilihat dari hasil penimbangan setiap
minggu. Pengukuran pertumbuhan dapat mengacu pada pertambahan bobot hidup (BH).
Bobot hidup merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat kuantitatif
yang dikendalikan oleh banyak gen (Stansfield 1983). Peningkatan bobot badan sangat
penting dan berkaitan erat dengan produksi daging. Rataan bobot hidup (BH) itik, entog dan
hasil persilangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan bobot hidup (BH) itik, entog dan hasil persilangan selama 12 Minggu
Minggu ke (g) Jenis itik
Itik Entog Persilangan
BH awal 37.13±2.82 40.53±1.92 39.48±0.50
1 128.73±2.84 217.27±53.71 204.08±28.62
2 356.47±33.43 457.33±77.18 344.20±51.49
3 587.80±90.16 798.20±128.91 626.40±25.18
4 725.67±77.20 924.83±191.65 777.28±38.23
5 914.53±67.15 1,149.77±160.89 917.60±28.26
6 1,099.87±38.90 1,266.83±108.16 1,076.20±24.76
7 1,216.87±33.43 1,378.10±156.74 1,192.56±58.20
8 1,250.60±54.88 1,510.30±156.71 1,269.68±58.47
9 1,266.07±78.01 1,649.83±204.32 1,325.00±64.17
10 1,293.67±77.28 1,780.20±222.29 1,379.84±84.82
11 1,336.93±97.18 1,847.90±251.14 1,469.60±130.08
12 1,332.47±84.16 1,894.70±257.95 1,584.56±184.65

Muliana et al. (2001) menjelaskan bahwa bobot tetas/bobot hidup awal ternyata
tidak berpengaruh terhadap bobot potong/bobot hidup akhir pada umur 6, 8, 10 dan 12
minggu. Hal ini disebabkan karena bobot tetas sangat dipengaruhi oleh besar telur dan
perkembangan embrio, sedangkan kemampuan pertumbuhan ditentukan oleh gen-gen
penentu bobot badan, jenis kelamin dan umur.

Pertambahan Bobot Hidup (PBH)

Pada Tabel 4. diperlihatkan pertambahan bobot hidup (PBH) itik, entog dan hasil
persilangan. Secara deskripsi terlihat bahwa entog lebih tinggi PBH dibandingkan dengan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 655
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
hasil persilangan dan itik. Dari Gambar 2. memperlihatkan grafik pertambahan bobot hidup
(PBH) maksimum itik, entog dan hasil persilangan selama pemeliharaan 12 minggu yang
merupakan titik infleksi atau puncak tertinggi. Titik infleksi pada itik, entog dan hasil
persilangan dicapai pada minggu ketiga. Pada umur 1 hari sampai 3 minggu terjadi laju
pertumbuhan akselerasi atau peningkatan kecepatan pertumbuhan, itik, entog, dan hasil
persilangan setelah itu sampai dengan umur 12 minggu mengalami pertumbuhan deselerasi
atau penurunan kecepatan pertumbuhan. Titik infleksi dari itik, entog, dan hasil persilangan
berfungsi untuk mengetahui puncak pertumbuhan tertinggi dan diharapkan nantinya dalam
pemberian ransum dapat diberikan sebelum tercapainya titik infleksi, sehingga itik benar-
benar dapat memanfaatkan gizi yang ada untuk pertumbuhan yang optimal.

Gambar 2. Grafik Pertambahan bobot badan Itik, Entog dan Hasil Persilangan selama 12 minggu

Karkas dan Potongan Karkas Komersial

Karkas merupakan organ tubuh yang masak lambat. Seiring dengan bertambahnya
umur, pertumbuhannya semakin bertambah dan persentase terhadap bobot potong juga
meningkat. Pada Tabel 3. tampak persentase produksi karkas dari itik, entog dan hasil
persilangan selama pemeliharaan 12 minggu.

Tabel 3. Perbandingan kualitas karkas itik, entog dan hasil persilangan


selama umur 12 minggu.
Parameter Itik Persilangan (I x E) Entog (E)
Bobot hidup (Kg) 1332.47 1584.56 2208.97
Karkas(%) 60.04 63.43 72.32
Bagian dada (%) 26.67 30.3 29.83
Bagian paha (%) 24.68 23.13 23.23

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


656 | Teknologi Pertanian
Analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata potongan karkas seperti bagian dada,
paha, punggung dan sayap menunjukkan adanya perbedaan nyata antara entog, hasil
persilangan dan itik. Dimana entog menunjukkan persentase lebih tinggi (p<0.05)
dibandingkan hasil persilangan dan itik, sementara itik hasil persilangan lebih tinggi (p<0.05)
dari itik. Untuk bagian pinggul dan karkas tidak menunjukkan adanya perbedaan antara itik
dengan hasil persilangan sementara dengan entog berbeda nyata (p<0.05).
Disini terlihat bahwa pada bagian potongan komersial dada, paha, punggung dan
sayap menunjukkan itik persilangan berada diantara entog dan itik. Hasil kajian tahun 2015
menghasilkan Persentase karkas berdaging bagian paha, itik jantan lebih tinggi (P<0.05)
dibandingkan dengan itik betina namun untuk bagian dada, punggung, pinggul dan sayap
tidak berbeda antar jenis kelamin (Laporan Akhir, 2015). Soeparno (1998), menyatakan
bahwa faktor genetik dan lingkungan (fisiologi dan nutrisi) mempengaruhi laju pertumbuhan
dan komposisi tubuh dan karkas pada ternak.

Tabel 4. Rataan karkas dan bagian-bagian potongan komersial itik, entog dan hasil
persilangan selama 12 minggu.

Uraian Bagian (g)


Dada Paha Punggung Pinggul Sayap Karkas
213.33c 197.40c 111.87c 125.00b 152.40c 800.00b
Itik
±31.15 ±17.52 ±8.60 ±10.89 ±17.52 ±67.44
440.20a 343.87a 219.60a 192.07a 303.60a 1,499.33a
Entog
±23.90 ±32.41 ±13.03 ±19.30 ±33.31 ±83.39
326.77b 270.63b 165.73b 158.53b 228.00b 1,005.12b
Persilangan
±46.22 ±10.69 ±16.72 ±5.80 ±18.00 ±93.24
a-c
Superskrip huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (P<0.05)

Heterosis Berdasarkan Ukuran Tubuh

Selain warna bulu, beberapa ukuran tubuh yang di miliki itik lokal dapat merupakan
ciri khas dari itik tersebut, seperti ukuran panjang leher, panjang sayap, panjang badan,
panjang dada (sternum), panjang paha (femur), dan panjang betis (tibia). Penampilan ukuran
tubuh sangat menentukan besar kecilnya ternak (Noor, 2001; Noor, 2008; Falconer dan
Mackay, 1996). Ukuran-ukuran tubuh dapat dijadikan parameter dalam pertumbuhan (Tabel
5).
Teknologi persilangan, misalnya antara entog jantan dengan itik betina lokal atau
sebaliknya, yang disebut itik mandalung (serati) (Hardjosworo et al. 2001; Setioko et al.
2002; Setioko 2003; Suparyanto 2005), juga persilangan antara itik Alabio dengan Mojosari
yang disebut itik MA (Prasetyo et al. 2005), dilakukan untuk menghasilkan dan meningkatkan
produktivitas itik lokal sebagai itik potong unggul.
Perkawinan silang adalah perkawinan antar individu yang tidak berkerabat, baik
dalam kelompok genotipe yang sama maupun antar kelompok genotipe berbeda.
Perkawinan antar kelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan antar galur, rumpun,
maupun antar bangsa, dan biasanya dilakukan sebagai strategi produksi untuk

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 657
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
memanfaatkan keunggulan hibrida, yang disebut heterosis dan nilai dari heterosis dapat
bernilai positif atau negatif (Noor 2008).
Tabel 5. Ukuran tubuh indukan itik (II), entog (EE) dan hasil persilangan (EI)
Jenis
Persilangan
Ukuran tubuh Itik Betina Entog jantan
jantan
x ± sd x ± sd x ± sd
----------------------------------(cm)-------------------------
Panjang paruh 6.35±0.31 5.91±0.12 6.18±0.49
Lebar paruh 2.43±0.17 2.46±0.31 2.48±0.14
Tinggi kepala 4.17±0.29 4.67±0.24 5.20±0.80
Panjang kepala 5.56±0.24 5.66±0.53 6.58±0.21
Panjang leher 17.12±0.31 16.28±0.30 16.06±0.73
Panjang sayap 24.30±0.57 25.58±0.75 23.63±1.66
Panjang punggung 21.89±1.11 28.59±0.73 28.27±1.28
Panjang sternum 11.84±0.32 14.25±0.56 16.52±0.46
Panjang femur 7.08±0.51 6.56±0.46 6.38±0.30
Panjang tibia 9.04±0.38 8.34±0.30 6.74±1.13
Panjang tarsometatarsus 7.21±0.56 6.56±0.23 6.49±0.46
Panjang jari ketiga 6.27±0.26 7.39±0.39 7.09±0.29
Lebar dada 7.08±0.27 6.69±0.45 9.27±0.35

Persilangan yang mugkin dilakukan pada dua bangsa unggas menurut Noor (2001)
adalah persilangan reciprocal, backcross, sintetik optimum atau sintetik seimbang. Beberapa
perkawinan silang antar bangsa pada itik lokal, telah berhasil menunjukkan adanya tingkat
heterosis yang nyata untuk beberapa sifat produksi telur. Prasetyo dan Susanti (2000), telah
melakukan penelitian dengan menyilangkan itik Mojosari dan itik Alabio (MA), hasil
persilangannya mampu menunjukkan keunggulan yang dinyatakan dalam nilai heterosis
pada produksi telur sampai 3 bulan sebesar 11.7%. Noor (2008) mengatakan bahwa laju
peningkatan heterozigositas akibat silang luar tergantung pada perbedaan genetik dari
tetuanya. Makin jauh hubungan kekerabatan antara kedua ternak tersebut, maka makin
sedikit kesamaan gen-gennya dan makin besar pula tingkat heterozigositasnya.
Nilai heterosis dapat menggambarkan apakah keturunan hasil persilangan memiliki
keunggulan di atas rata-rata tetua murni yakni itik betina (II) maupun entog jantan (EE).
Besarnya nilai persentase heterosis itik persilangan EI berdasarkan ukuran tubuh dapat
dilihat pada Tabel 6. Besarnya nilai heterosis itik hasil persilangan berkisar antara -9.54 –
13.98% dengan nilai persentase heterosis tertinggi pada persentase panjang punggung
(13.98%), sedangkan nilai heterosis terendah pada persentase panjang jari ke tiga (-9.54%).
Berdasarkan Tabel 6. dapat dijelaskan bahwa nilai heterosis yang diperoleh itik hasil
persilangan ada yang positif dan ada yang negatif. Nilai heterosis positif berarti dengan
melakukan persilangan dapat meningkatkan sifat-sifat (ukuran tubuh) yang diinginkan pada
individu hasil persilangannya, sedangkan nilai heterosis negatif menunjukkan bahwa dengan
melakukan persilangan tidak memberikan hasil yang baik, karena sifat-sifat yang diinginkan
lebih rendah dari rataan itik tetuanya (Matitaputty, 2012).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


658 | Teknologi Pertanian
Tabel 6. Nilai persentase (%) heterosis itik persilangan EI (entog jantan x Itik betina)
Ukuran Tubuh Persilangan (EI) (%)
Panjang paruh -5.72
Lebar paruh 0.53
Tinggi kepala -0.32
Panjang kepala -6.80
Panjang leher -1.89
Panjang sayap 6.75
Panjang punggung 13.98
Panjang sternum 0.46
Panjang femur -2.54
Panjang tibia 5.69
Panjang tarsometatarsus -2.92
Lebar dada 0.16
Panjang jari ketiga -9.54

Ukuran tubuh seperti panjang paruh, tinggi kepala, panjang kepala, panjang leher,
panjang femur, panjang tarso dan panjang jari ke tiga dari itik hasil persilangan EI nilainya
negatif. Falconer dan Mackay (1996); Matitaputty (2012), menyatakan bahwa salah satu
tujuan persilangan adalah pemanfaatan heterosis.

KESIMPULAN
Peningkatan performa dan produksi karkas melalui persilangan itik dengan entog
menghasilkan perbedaan yang nyata diantara tetua (itik, entog) dan (F1) hasil persilangan.
Entog dari segi performa dan produksi karkas memiliki perbedaan nyata dengan (F1) hasil
persilangan dan itik. Pada bagian persentase potongan karkas komersil bagian dada, paha,
sayap, punggung entog masih lebih tinggi dibandingkan dengan (F1) hasil persilangan dan
itik, sementara (F1) hasil persilangan lebih tinggi dari itik. Efek heterosis terhadap ukuran
tubuh yang dimiliki itik hasil persilangan, diduga adanya pengaruh gen yang berasal dari
entog.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Statistik Pertanian. 2015. Buku Statistik Pertanian.Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.
Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition.
Longman: England.
Hardjosworo PS et al. 2001. Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Di
dalam: Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding
Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha
baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 659
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001.
Ciawi. hal: 22-41.
Matitaputty PR. 2002. Upaya memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung
melalui fortifikasi pakan dengan imbuhan pakan avilamisina. [tesis]. Bogor. Sekolah
PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor.
PR. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik melalui persilangan antara Itik
cihateup dengan itik Alabio. [disertasi]. Bogor. Sekolah PascaSarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Muliana, Rukmiasih, Hardjosworo PS. 2001. Pengaruh bobot tetas terhadap bobot potong
itik Mandalung pada umur 6, 8, 10 dan 12 minggu. Di dalam: Perkembangan
teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I
Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian
Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan
Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal: 187-191.
Noor RR. 2001. Genetika Kuantitatif Hewan/Ternak. Laboratorium Pemuliaan dan Genetika
Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Edisi ke 4. Jakarta. Penebar Swadaya.
Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di
Indonesia. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis
melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama
Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Masyarakat
Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 16-17
Nopember 2005. Ciawi, Bogor. hal: 145-161.
Prasetyo LH, Susanti T. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari:
Periode awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 5 (4): 209 – 213.
Setioko AR. 2003. Keragaan itik Serati sebagai itik pedaging dan permasalahannya. Wartazoa
13 (1): 14-20.
Setioko AR et al. 2002. Performans itik Serati hasil inseminasi buatan di tingkat peternak.
Prosiding Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Bogor. hal: 302- 305.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik.
(Principles and Procedures of Statistics, terjemahan Ir, Bambang Sumantri) Cetakan
ke-3, PT. Gramedia, Jakarta.
Stansfield WE. 1983. Theory and Problems of Genetics. 2nd Ed. Mc Graw Hill Book Company
Inc, New York.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


660 | Teknologi Pertanian
Suparyanto A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik Mandalung melalui pembentukan
galur induk [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 661
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
MORPHOLOGI DAN POTENSI BEBERAPA JENIS TANAMAN SAGU

M. Basir Nappu, Abd. Wahid dan Maintang

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan,


Jl.Perintis Kemerdekaan KM.17,5 Sudiang, Makassar.
Email : mbasirnappu@yahoo.com

ABSTRAK
Sagu ( Metroxylon sagu Rottb ) dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan bahan
baku industri yang sangat penting, namun komoditas ini belum menjadi perhatian yang serius
terutama dalam hal pemanfaatan pati dan berbagai hasil ikutannya serta pengembangan
budidayanya. Diperkirakan 40% dari jumlah tegakan sagu merupakan tanaman produktif yang
siap panen sehingga potensi ini dapat dimanfaat kan sebagai sumber cadangan pangan pada
masa yang akan datang. Contoh areal pertanaman sagu yang tersebar di Merauke, Timika,
Fakfak, Manokwari, Biak Numfor, Sorong, Yapen, Waropen, dan Jayapura baru dimanfaatkan
sekitar 0,34%. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan bagaimana cara mengenal suatu
jenis tanaman sagu dengan berdasarkan ciri morphologi serta mengetahui potensi produksi
jenis sagu tersebut. Hasil penelusuran pustaka disimpulkan bahwa jenis sagu asal jayapura
termasuk sagu berduri yaitu Para Huphon, Para Hongsay, Rondo, Munggin, Puy, Manno,
Epesum, Ruruna, dan Yakhalope dan sagu tidak berduri atau Metroxylon sagu Rottb yang terdiri
dari Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha Ebung, Osokhulu, Follo, Pane, Wani, Ninggih,
Yukulam, Hapolo, Yakhe, Hili, Fikhela dan Hanumbo, selain aspek morfologi jenis sagu tersebut
memiliki keragaman dalam hal warna dan kualitas pati. Sagu jenis Hapholo Hongleu, Hapholo
Hongsay, Yepha Hongleu , Yepha Hongsay, Rondo. Hongleu, Rondo Hongsay, Osohulu Hangleu,
Panne, Follo Hongleu dan Para adalah jenis sagu Unggul asal Sentani (Papua), 4 diantaranya
menghasilkan tepung sagu lebih dari > 8,0 ton/ha/tahun yaitu Osohulu Hangleu, Hapholo
Hongsay. Para, Yepha, Ruruna dan Rondo termasuk jenis sagu yang banyak dimanfaatkan.
Kata Kunci : Sagu, Keragaman, Potensi produksi

PENDAHULUAN
Tanaman sagu ( Metroxylon sagu Rottb ) merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara.
Penyebaran tanaman ini dimulai dari Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao
Utara sampai pulau Jawa dan gugus kepulauan Nusa Tenggara Bagian Selatan.Sebanyak 50%
dari areal tanaman sagu terdapat di Indonesia. Menururt Tim Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat-IPB, tahun 2013 luas sebaran sagu terluas di Indonesia
terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat seluas 3.173.322 ha (Tim P4B IPB. 2013). Negara
lain penghasil sagu antara lain PNG 1,02 juta ha, Malasia 33,000 ha dan Thailand, Filipina
dan negara kepulauan Pasifik seluas 20.000 ha (Jong 2003). Menurut Oates dan Hicks
(2002) tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 meter dari
permukaan laut dengan curah hujan mencapai 4.500 mm per tahun.
Meskipun sagu merupakan sumber karbohidrat dan bahan baku industri yang sangat
penting, namun komoditas ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah
terutama dalam hal pemanfaatan pati dan berbagai hasil ikutannya serta pengembangan
budidayanya. Diperkirakan 40% dari jumlah tegakan sagu merupakan tanaman produktif
yang siap panen sehingga potensi ini dapat dimanfaat kan sebagai sumber cadangan pangan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


662 | Teknologi Pertanian
pada masa yang akan datang (Tenda, 2004). Sedangkan hasil penelitian Kertopernomo
(1996), di Papua menyimpulkan bahwa areal sagu yang tersebar di Merauke, Timika, Fakfak,
Manokwari, Biak Numfor, Sorong, Yapen, Waropen, dan Jayapura baru dimanfaatkan sekitar
0,34%.
Menurut statistik perkebunan tahun 2000 potensi produksi tepung sagu yang dapat
dihasilkan dari beberapa kawasan sagu di Indonesia sebesar 6,5 juta ton (BPS, 2004).
Sedangkan, permintaan tepung sagu cukup besar terutama untuk kebutuhan bahan baku
industri makanan di pulau Jawa seperti pembuatan makaroni, spageti, bihun, sogun, serta
bakso dan kue-kue kering. Bahkan di Jepang tepung sagu dimanfaatkan sebagai bahan baku
plastik yang mudah hancur ( biodegradable film ),untuk pembuatan highfructosa syrop,
alkohol dan produk-produk turunannya (Okazaki et al., 2005; Pranamuda et al.,
1996).Hampir semua bagian tanaman sagu mempunyai manfaat tersendiri, misalnya
batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiangatau balok jembatan, daunnya sebagaiatap
rumah, pelepahnya untuk dindingrumah.
Konsumsi perkapita untuk sagu hampir menyamai ubi-ubian yaitu 50,18 kg/tahun sedangkan
produksi hanya 7.140 ton/tahun, akibatnya harga tepung sagu bisa mencapai Rp. 13.500 per kg atau
hampir dua kali lipat harga tepung ubi atau beras. Artinya potensi yang besar dengan harga sagu yang
cukup tinggi dapat menjadikan sagu sebagai komoditas andalan di masa yang akan datang. Produksi
tepung sagu yang dihasilkan dari jenis-jenis sagu tersebut juga berbeda mulai dari jenis dengan
produksi yang rendah (5 ton/ha/tahun) bahkan ada yang hanya digunakan sebagai media
pemeliharaan ulat sagu sampai ke beberapa jenis dengan produksi tepung sagu yang tinggi (11
ton/ha/tahun) (Oates dan Hicks, 2002). Hasil penelitian Barahima et al. (2001) menyatakan bahwa
dengan analisis phylogenetik ternyata populasi sagu di Papua memiliki keragaman yang sangat tinggi.
Kesimpulan ini diperkuat oleh Mangindaan dan Tampake (2005); Novarianto et al. (1996) yang
menyimpulkan bahwa Papua merupakan sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia sehingga
sagu dari daerah ini perlu diamankan terhadap erosi genetik serta pelarian genetik ke luar negeri.
Selanjutnya Wijono et al (2000) telah mengidentifikasi 61 jenis sagu Papua yang tumbuh di daerah
Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Hasil penelitian Universitas Papua (2001) menemukan 22
jenis sagu di Biak dan Supriori sedangkan Miftahorrachman dan Novarianto (2003) menemukan 20
aksesi sagu di Sentani.
Dari sekian banyak aksesi sagu yang telah ditemukan di Papua ternyata sangat
berbeda dalam hal penampilan morphologi misalnya berduri atau tidak berduri, tinggi
tanaman berbeda, lingkar batang berbeda bahkan warna tepung sagunya juga bervariasi
(Limbongan, 2007).Selain itu ada beberapa jenis yang dapat tumbuh di lahan kering. Pangkali
(1994) mengidentifikasi 20 jenis sagu asal Jayapura dan mengelompokkannya kedalam dua
tipe yaitu tipe berduri atau Metroxylon rumphii Mart yang terdiri dari : Para Huphon, Para
Hongsay, Rondo, Munggin, Puy, Manno, Epesum, Ruruna, dan Yakhalope dan sagu tidak
berduri atau Metroxylon sagu Rottb yang terdiri dari Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha
Ebung, Osokhulu, Follo, Pane, Wani, Ninggih, Yukulam, Hapolo, Yakhe, Hili, Fikhela dan
Hanumbo.
Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan bagaimana cara mengenal suatu jenis
tanaman sagu dengan cara melihat ciri morphologi serta mengetahui potensi produksi jenis
sagu tersebut.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 663
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
MORPHOLOGI TANAMAN SAGU
Ciri morphologi merupakan petunjuk yang praktis untuk mengenal berbagai jenis
sagu di lapangan. Ciri morphologi yang dapat diamati misalnya tinggi batang, lingkar batang,
jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, dan jumlah lembar daun (Table 1).

Tabel 1. Ciri Morphologi dari 10 jenis sagu unggul di Sentani, Papua


Tinggi Lingkar Panjang Jumlah
Jumlah Jumlah
Jenis Sagu Batang Batang rachis Lembar
daun Petiol
(m) (cm) (cm) Daun
Hapholo Hongleu 15,2 143 23 225 462,5 72
Hapholo Hongsay 13,8 145 24 245 467,0 76
Yepha Hongleu 15,2 143 23 240 474,0 82
Yepha Hongsay 14,3 148 20 270 478,5 84
Rondo Hongleu 4,5 149 22 225 461,5 77
Rondo Hongsay 4,2 144 21 205 658,0 74
Osohulu Hangleu 11,2 190 25 270 677,0 89
Panne 15,4 155 21 214 554,0 81
Follo Hongleu 9,4 171 27 264 665,0 82
Para 11,0 108 22 218 679,0 79
Sumber : Tenda et al. (2005).

Tinggi batang antar berbagai jenis sagu memiliki keragaman yang tinggi, sedangkan
sifat karakter vegetatif yang lain misalnya lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole,
panjang daun dan panjang rachis, memiliki keragaman yang rendah. Sagu jenis Rondo
memiliki tinggi tanaman 10,2 meter lebih pendek dibandingkan sagu jenis Yepha, Para, dan
Ruruna yang tingginya bisa lebih dari 20 meter. Demikian juga batang dari jenis sagu
tersebut lebih pendek yaitu 4,5 m pada jenis Rondo Hongleu dan 4,2 m pada jenis Rondo
Hongsay. Sedangkan jenis sagu lainnya seperti Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna memiliki
batang lebih dari 10 meter. Karena karakter batang pendek sehingga jenis sagu Rondo biasa
digunakan sebagai konsumsi keluarga di Sentani. Untuk keperluan seleksi klon sagu unggul,
maka karakter tinggi tanaman dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Hasil pengamatan
beberapa parameter pertumbuhan empat jenis sagu di Sentani menurut hasil penelitian
Miyazaki (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengamatan beberapa parameter pertumbuhan sagu di Sentani, Jayapura


Lingkar Berat Batang
Jenis Sagu Umur (tahun)
Batang (cm) (Kg)
Yepha Hongsay 16-18 144,6 1563,0
Para 14-15 169,7 1971,9
Rondo 12 100,6 286,3
Ruruna 17 182,3 1993,6
Sumber : Miyazaki (2004)

Dari Tabel 2 juga terlihat hal yang sama dimana pengamatan yang dilakukan
terhadap 4 jenis sagu di Sentani yaitu Yepha Hongsay, Para, Rondo, dan Ruruna yang
umurnya hampir sama namun tinggi tanaman sangat berbeda antara Rondo dengan tiga

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


664 | Teknologi Pertanian
jenis lainnya. Demikian juga panjang batang, diameter batang dan berat batang jauh lebih
kecil dibanding dengan jenis lainnya. Rondo relatif lebih kecil dan berduri pada umur 6
tahun. Menurut pengamatan Miyazaki (2004) di Sentani sagu Rondo mulai berproduksi pada
umur lebih dari 10 tahun. Durinya kecil, pendek, dan mudah patah, sagunya rasa manis dan
biasa dikonsumsi langsung tanpa diparut atau diperas terlebih dahulu. Selanjutnya Miyasaki
(2004) telah melakukan pengamatan secara kualitatif terhadap ukuran duri dan kerapatan
duri pada 21 jenis sagu di Papua (Tabel 3).
Dari hasil pengamatan Tabel 3 disimpulkan ada 10 jenis sagu berduri yaitu Manno,
Mongging, Para Hongleu, Para Hongsay, Para Waliha, Puy, Rondo,Ruruna, Yakhalobe, dan
Ebefum sedangkan yang tidak berduri yaitu Follo, Hobolo, Osukul Hongleu, Osukul Hongsay,
Phane, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Hongleu, Yepha Hongsay, Wananbo, dan Wani. Ukuran
duri panjang pada jenis Manno, Para Hongleu, Para Hongsay, sedangkan yang berduri
pendek yaitu Rondo,Ruruna, dan Yakhalobe. Jenis Puy berduri sangat pendek dan
jumlahnya sangat jarang dan kebanyakan hanya terlihat bekas dudukan duri saja. Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa sagu tidak berduri terdiri dari Follo, Hobolo, Osukul
Hongleu, Osukul Hongsay, Phane, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Hongleu, Yepha Hongsay,
Wananbo, dan Wani.

Tabel 3. Hasil pengamatan ukuran duri dan Kerapatan Duri pada 21 jenis sagu di Papua

No. Jenis Sagu Berduri Keadaan Duri Kerapatan Duri

1. Manno Berduri Panjang Jarang


2. Mongging Berduri Panjang Jarang
3. Para Hongleu Berduri Panjang Rapat
4. Para Hongsay Berduri Panjang Rapat
5. Para Waliha Berduri Panjang Jarang
6. Puy Berduri Sangat Pendek Sangat Jarang
7. Rondo Berduri Pendek Rapat
8. Ruruna Berduri Pendek Rapat
9. Yakhalobe Berduri Pendek Rapat
10. Ebefum Beduri Panjang Jarang
11. Follo Tidak
12. Hobolo Tidak
13. Osokulu Hongleu Tidak
14. Osokulu Hongsay Tidak
15. Phane Tidak
16. Yakhe Tidak
17. Yakhu Walo Tidak
18. Yepha Hongleu Tidak
19. Yepha Hongsay Tidak
20. Wananbo Tidak
21. Wani Tidak
Sumber : Disempurnakan dari Miyazaki (2004); Kanro et al. (2003).

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 665
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Potensi Produksi Beberapa Jenis Tanaman Sagu

Produksi tepung sagu sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim. Misalnya
tumbuh optimal pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial,
hidromorfik kelabu atau pada tanah mineral di rawa-rawa dengan kandungan liat > 70% dan
bahan organik 30% dengan pH =5,5-6,5. Pertumbuhan optimal membutuhkan kelembaban
60%, curah hujan 2000-4000 mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun, suhu optimal
24-30 oC.
Hasil pengamatan pada berbagai negara yang dilakukan oleh Oates dan Hicks (2002)
menunjukkan bahwa hasil tepung sagu Indonesia (Papua dan Bengkalis) yang berumur lebih
dari 10 tahun berkisar antara 5,0 – 11,0 ton/ha/tahun, sedangkan di daerah lain seperti di
Serawak, hanya berkisar antara 3,2 - 7,7 ton/ha/tahun. Hasil penelitian produksi tepung dan
kandungan kimia tepung sagu yang dilakukan oleh Tenda et al., (2005) terhadap 10 jenis
sagu Papua di Sentani dapat dilihat pada Tabel 4. yang menginformasikan bahwa dari 10
jenis sagu yang diteliti ternyata ada 4 jenis yang menghasilkan tepung sagu lebih dari 8,0
ton/ha/tahun yaitu Osohulu Hangleu menghasilkan 9,8 ton/ha/tahun, Hapholo Hongsay
menghasilkan 8,4 ton/ha/tahun, Sagu Para menghasilkan 8,3 ton/ha/tahun dan Hopholo
Hongleu menghasilkan 8,0 ton/ha/tahun.

Tabel 4. Produksi tepung, dan kandungan kimia tepung sagu di Sentani, Papua.
Jenis Sagu Hasil pati Lemak K.hidrat Starch Amilosa
Protein %
t/ha/thn % % % %
Hapholo Hongleu 8,0 0,06 0,11 81,19 81,42 28,63
Hapholo Hongsay 8,4 0,12 0,07 86,12 82,35 29,52
Yepha Hongleu 7,9 0,19 0,08 80,01 84,12 27,55
Yepha Hongsay 7,6 0,25 0,12 83,31 83,27 27,34
Rondo Hongleu 3,6 0,18 0,08 69,35 81,45 28,59
Rondo Hongsay 3,4 0,18 0,09 86,68 83,42 28,67
Osohulu Hangleu 9,8 0,06 0,11 84,43 81,75 27,05
Panne 5,6 0,12 0,12 55,78 82,75 31,14
Follo Hongleu 5,1 0,12 0,19 65,90 83,02 29,08
Para 8,3 0,06 0,10 75,14 84,35 29,75
Sumber : Tenda et al. (2005); Miyazaki et al.(2006).

Produksi tepung berbagai jenis sagu mempunyai keragaman yang tinggi. Jenis sagu
Rondo menghasilkan tepung sebesar 3,4 dan 3,6 ton/ha/tahun, tetapi ada kelebihan dari
sagu tersebut adalah pendek dan mudah diproses. Kandungan protein tertinggi yaitu antara
0,18-0,25% diperoleh dari jenis sagu Yepha dan Rondo. Kandungan karbohidrat terendah
pada sagu Panne yaitu 55,78% dan tertinggi pada sagu Rondo Hongsay yaitu 86,68%.
Kandungan lemak, starch, amilosa, dan amilopectin hampir sama pada setiap jenis sagu. Hal
ini ditunjukkan oleh nilai koefisien keragaman yang rendah. Hasil pengamatan kadungan
mineral dalam serat sagu di Sentani dapat dilihat pada Tabel 5.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


666 | Teknologi Pertanian
Tabel 5. Hasil pengamatan kandungan mineral dalam serat sagu di Sentani, Jayapura
Ca Mg
No. Jenis Sagu N (g/kg) P (g/kg) K (g/kg)
(g/kg) (g/kg)
1. Yepha Hongsay 1,14 0,36 6,05 2,42 0,68
2. Para 0,96 0,36 4,10 1,61 0,65
3. Rondo 0,80 1,08 5,29 1,18 0,83
4. Ruruna 1,39 0,46 5,30 2,33 0,86
Sumber : Miyazaki (2004)

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari keempat jenis sagu yang diamati yaitu Yepha
Hongsay, Para, Rondo, dan Ruruna dengan kisaran umur antara 12 tahun sampai 18 tahun
ternyata mengadung N, P, K, Ca, dan Mg yang hampir sama antara satu dengan lainnya.
Miyazaki (2004) melaporkan bahwa ada beberapa aksesi sagu di berbagai daerah
yang sebenarnya jenis sagu yang sama tetapi namanya berbeda. Di daerah Sentani misalnya
jenis Yakhalope disebut Yakhe di daerah tengah, dan disebut Mongging di daerah timur,
kemudian Ruruna biasanya disebut Epesum. Menurut petani setempat ada beberapa jenis
sagu tertentu saja yang sering dieksploitasi oleh petani setempat dimana jenis tersebut
memberikan hasil yang paling tinggi (Yamamoto et al., 2005) yaitu, antara lain :

Para
Para memberikan hasil pati sagu paling tinggi di Sentani. Pengolahannya masih
dilakukan secara tradisional. Ada 2 jenis yaitu Para Hongsay dengan serat berwarna merah
dan Para Hapbow/Hongleu dengan serat warna putih. Para Hongsay .umumnya dikonsumsi
dalam keadaan dingin karena kalau dikonsumsi dalam keadaan panas akan menyebabkan
sakit perut. Sagu Para dapat dikenal dari cirinya seperti daun mahkota terbuka agak lebar
dan beberapa daun tersebut agak lentur. Tulang daun dari sagu para lebih keras dan
umumnya dalam garis yang tidak beraturan. Pada beberapa tanaman muda tulang daun
kelihatan jelas sama seperti pada Ruruna. Sebagai bahan atap dan atau anyaman lainnya,
daun sagu Para paling baik dibanding jenis sagu lainnya. Ukuran daunnya luas, keras, dan
bisa tahan lebih dari 15 tahun. Diameter batang umumnya besar biasanya 60 cm dengan
tinggi 10-15 m. Di beberapa tempat yang terlindung diameternya lebih kecil walaupun
tanamannya juga tinggi. Para biasanya juga disebut Yamaha di beberapa lokasi.

Yepha
Merupakan jenis sagu tidak berduri ukuran batang medium tetapi batangnya paling
tinggi. Jenis ini merupakan penghasil pati sagu paling banyak setelah Para, umumnya
ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Menurut bahasa lokal Yepha artinya tumbuh
ke langit karena tanaman ini tumbuh hingga mencapai tinggi 25 m. Kanopi sagu Yepha
model V dengan batang lurus. Ukuran daunnya juga medium dan lurus. Dua jenis Yepha
yang ditemukan dengan ciri Yepha Hongsay dengan serat warna pink dan sagu Yepha
Hongleu dengan serat warna putih.

Ruruna

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 667
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Merupaka jenis sagu berduri, dengan poduksi sagu yang tinggi, dan berwarna putih
sehingga jenis sagu ini banyak dieksploitasi untuk mendapatkan pati sagu. Besar dan tinggi
batang tergantung dari lingkungan tumbuhnya. Pada daerah yang tidak ternaung maka
diameter batang bisa mencapai 70 cm, sedangkan pada daerah dengan populasi padat dan
ternaung diameternya lebih kecil.

Rondo
Tanamannya relatif lebih kecil dan biasanya siap panen sekitar umur 6 tahun. Sagu ini
lebih cepat dipanen dibandingkan dengan jenis yang lain di sekitar Sentani yang bisa dipanen
pada umur 10 tahun atau lebih. Sagu ini rasa manis, dan bisa dikonsumsi langsung tanpa
terlebih dahulu diperas seperti jenis sagu yang lain.

Warna dan Kualitas Pati Beberapa Jenis Sagu

Sifat atau kualitas pati sagu dipengaruhi oleh faktor genetik maupun proses
ekstraksinya misalnya ; pemakaian peralatan, kualitas air yang digunakan, penyimpanan
potongan batang sagu, kondisi penyaringan dan sebagainya (Flach, 1997a). Variasi warna
dan kualitas pati sagu dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Warna dan kualitas pati dari beberapa jenis sagu di Sentani.
Tipe Sagu Warna Pati Reaksi oksidasi
Yepha Agak merah kecoklatan Sukar teroksidasi
Osokulu Putih kekuningan Mudah teroksidasi - coklat
Wani Putih kekuningan Sukar teroksidasi
Hapholo Putih kekuningan Sukar teroksidasi
Follo Putih keabu-abuan Sukar teroksidasi
Hilli Abu-abu kecoklatan Sukar teroksidasi
Yoghuleng Putih Mudah teroksidasi - kuning
Fikhela Putih kemerahan Mudah teroksidasi - coklat kekuningan
Yakhali Putih kekuningan Mudah teroksidasi - merah
Ebesung Putih keabu-abuan Mudah teroksidasi - coklat kekuningan
Ruruna Putih agak kemerahan Tidak teroksidasi
Yaghalobe Putih keabu-abuan Mudah teroksidasi- coklatkemerahan
Rondo Putih kekuningan Sukar teroksidasi
Phui Putih Mudah teroksidasi - kuning coklat
Manna Putih Tidak teroksidasi

Sumber : Miftahorrachman dan Novarianto (2003)

Dari Tabel 6 terlihat bahwa pati sagu sebagian besar berwarna putih namun ada juga
yang secara genetik berwarna kemerahan misalnya Yeba, Fikhela, dan Ruruna yang
disebabkan oleh senyawa phenolik (Gambar 3). Menurut Purwani et al. (2006) derajat
putih pati sagu bervariasi dan seringkali berubah menjadi kecoklatan/merah selama proses
penyimpanan, sedangkan perobahan warna sebagai akibat adanya aktivitas enzim Latent
Polyphenol Oxidase (LPPO). Enzim ini mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa poliphenol

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


668 | Teknologi Pertanian
menjadi quinon yang selanjutnya membentuk polimer dan menghasilkan warna coklat (Onsa
et al., 2000).
Sampai dengan tahun 2014 di Indonesia telah dilepas 2 varietas sagu unggul oleh
Menteri Pertanian RI, yaitu (1) Varietas sagu Molat asal Provinsi Maluku tahun 2011, dengan
potensi hasil pati sagu basah 640 kg/pohon (Leuhenapessy, et al, 2011), dan (2) Varietas
sagu Selatpanjang Meranti asal Kabupaten Kepulauan Merenati, Provinsi Riau tahun 2013,
dengan potensi hasil pati sagu kering 230 kg/pohon (Novarianto, et al, 2013).

KESIMPULAN
Sagu asal Jayapura termasuk sagu berduri yaitu Para Huphon, Para Hongsay, Rondo,
Munggin, Puy, Manno, Epesum, Ruruna, dan Yakhalope dan sagu tidak berduri atau
Metroxylon sagu Rottb yang terdiri dari Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha Ebung,
Osokhulu, Follo, Pane, Wani, Ninggih, Yukulam, Hapolo, Yakhe, Hili, Fikhela dan Hanumbo,
selain aspek morfologi jenis sagu tersebut memiliki keragaman dalam hal warna dan kualitas
pati. Sagu jenis Hapholo Hongleu, Hapholo Hongsay, Yepha Hongleu , Yepha Hongsay,
Rondo. Hongleu, Rondo Hongsay, Osohulu Hangleu, Panne, Follo Hongleu dan Para adalah
jenis sagu Unggul asal Sentani (Papua), 4 diantaranya menghasilkan tepung sagu lebih dari >
8,0 ton/ha/tahun yaitu Osohulu Hangleu, Hapholo Hongsay. Para, Yepha, Ruruna dan
Rondo termasuk jenis sagu yang banyak dimanfaatkan. ksploitasi sagu sebaiknya disertai
dengan usaha penanaman kembali, hal ini untuk mencegah terjadinya erosi genetik akibat
eksploitasi yang menyebabkan aksesi tersebut punah.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Propinsi Papua, 2004. Papua dalam angka tahun 2004/2005.Badan
Pusat Statistik Propinsi Papua, 510 hlm.
Barahima, J. Renwarin, L.N. Mawikere, dan Sudarsono, 2001. Diversity of sago palm from
irian jaya based on morphologial characters and RAPD markers. Sago Palm,
Abstracts of the International Symposium on Sago, Vol. 9 No. 2, October, 2001.
Flach, M. 1997. Yield Potential of the sago palm (Metroxylon sagu) and its realisation. Proc.
Sago conference in Sarawak, Malaysia.
Jong, F.S. 2003.Pembangunan sebuah perkebunan sagu secara maju dengan rekomendasi
khusus Papua. Dalam Karafir, Y.P. et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Nasional
Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua. Universitas Negeri Papua. Jayapura,
2-4 Desember 2003. Hlm. 15-26.
Kanro,M., A. Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman sagu
dan pemanfaatannya di propinsi papua. Jurnal Litbang Pertanian, 22(3) : 116-124.
Kertopermono, A.P. 1996. Inventory and evaluation of sago palm (Metroxylon spp)
distribution. In C. Jose and R. Rasyad. Sago. The Future Source off Food and Feed.
Proc.6th International Sago Symposiun. Pp.53-62.
Limbongan J.2007. Morpologi beberapa jenis sagu potensial di provinsi Papua. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26 (1) : 16-24 .

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 669
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Louhenapessy, J.E., M. Luhukay, F.J. Polnaya, H. Salampessy, R.B. Riry, S. Handal dan
I.Nurdin. 2011. Usulan pelepasan varietas sagu Molat Maluku. Dinas Pertanian
Provinsi Maluku dan BBP2TP Ambon-Kementerian Pertanian.52 hal.
Mangindaan, H.F., dan H. Tampake, 2005. Status Plasma Nutfah Tanaman Sagu
(Metroxylon sp.). Buku Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah Perkebunan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, halaman 319-329.
Miftahorrachman, dan H. Novarianto. 2003. Jenis-jenis Sagu Potensial di Sentani Irian Jaya.
Prosiding Makalah pada Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003.
Miyazaki, A. 2004.Studies on differences in photosynthetic abilities among varieties and
related characters in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia. Paper,
Unpublish, Faculty of Agriculture, Kochi University. 50 pp
Miyazaki A, Jong F.S, Petrus, Yamamoto Y, Yoshida T, Pasolon J.B, Matanubun H, Rembon
F.S, dan Limbongan J. 2006. Starch extraction in several sago palm varieties grown
near Jayapura. In Yamamoto (Eds.). Proceedings: The 15th Conference of the
Society of Sago Palm Studies, 2006, Kochi University 2-5-1 Akebono-cha Kochi 780-
8520, Japan.hlm. 9-11.
Novarianto, H., Miftahorrachman, I. Maskromo, dan H.F. Mangindaan. 1996. Keragaman
dan kemiripan tipe-tipe sagu asal Desa Kehiran, Kecamatan Sentani, Jayapura, Irian
Jaya. Jurnal LITTRI 1(5) : 227-239.
Novarianto H, M.A. Tulalo, J. Kumaunang dan C. Indrawanto. 2013. Usulan pelepasan
varietas sagu Selatpanjang Meranti. Balit Palma-Badan Litbang Pertanian dan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti-Riau.57 hal.
Oates, C. and A. Hicks. 2002. Sago starch production in Asia and the Pacific- problems and
prospects. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc.,
Tokyo, Japan. p. 27−36.
Okazaki, M., S. Tadenuma, and M. Ohmi. 2005. Diverse utilization and industrial
development of sago biomass. Proceeding on the eight International sago
symposium. Jayapura, August 4-6, 2005. Hlm. 17-24.
Onsa G.H., N. Saari, J. Selamat dan J. Bakar. 2000. Latent polyphenol oxidases from sago log
(Metroxylon sagu Rottb) ; partial purification, activation, and some properties. J.
Agric. Food Chem. 48 : 5041-5045.
Pangkali, L.B. 1994. Taksiran kandungan pati jenis sagu Yepha (Metroxylon sagu Rottb)
berdasarkan tempat tumbuh di Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas
Pertanian Universitas Cenderawasih.
Pranamuda, H., Y. Tokiwa, H. Tanaka. 1996. Pemanfaatan pati sagu sebagai bahan
bakubiodegradable plastic. Dalam Prosiding Simposiu, Nasional Sagu III. Potensi
sagu dalam usaha pengembangan agribisnis di wilayah lahan basah.Pekanbaru.
Hlm. 27-45.
Purwani, E.Y. Widaningrum, H. Setiyanto, E. Savitri dan R. Thahir. 2006. Teknologi
pengolahan Mi sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian, Bogor. 44 hlm.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


670 | Teknologi Pertanian
Tenda E.T. 2004. Pemanfaatan keragaman genetik untuk pengembangan sagu. Prosiding
Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan, 28-30 September di Bogor,
Buku II, hlm. 313- 320
Tenda E.T., Hengky Novarianto, J. Limbongan. 2005. Diversity of sago palm in Indonesia
and conservation strategy. Paper Presented in The Eight International Sago
Symposium, Jayapura, Papua, 4-6 August 2005.
Tim P4B IPB. 2013. Hasil survey Tim P4B (Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat)-IPB. Disampaikan pada Workshop business plan
pengembangan komoditas sagu di Papua dan Papua Barat, 2 Desember 2013 di
Bogor.
Tjoa Tjiew Mo, 1953. Hama-hama kelapa di Indonesia. CV. Yasaguna. Bandung.
Widjono, A.Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy, A. Rouw, P. Wihyawari. 2000. Jenis-jenis sagu
beberapa daerah Papua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor.
Yamamoto, Y, Katayama K, Yoshida T, Miyazaki A, Jong F.S, Pasolon J.B. Matanubun H.
2005. Biodiversity and productivity of several sago palm varieties in Indonesia. In
Karafir et al (Eds.) Proceeding of The Eight International Sago Symposium. Jayapura
August 4-6, 2005. Page 35-40.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 671
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
RESPON PEMBERIAN PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG MANIS

Nely Lade. S1, Sunanto1, Nicolays Jambang2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Makassar
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jl. Base Camp kompleks Perkantoran Pemda, Manokwari - Papua Barat
Email: bptp_sulsel@yahoo.com

ABSTRAK
Jagung manis merupakan tanaman semusim yang responsif terhadap pemupukan. Penelitian ini
bertujuan mengetahui pengaruh pemberian berbagai dosis pupuk organik terhadap proses
pertumbuhan dan produksi jagung manis dengan maksud mengurangi penggunaan dosis pupuk
urea tanpa menurunkan pertumbuhan dan hasil jagung manis pada lahan. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Januari sampai Mei 2017 di kelurahan Kapasa, Kecamatan Tamalanrea,
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang terdiri dari 4 taraf perlakuan
yaitu: tanpa pupuk organik (p0), 3 ton.ha1 (p1), 6 ton.ha1 (p2), 9 ton.ha1 (p3) dan diulang
sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perlakuan dosis pupuk organik 9
ton.ha1 memberikan hasil terbaik terhadap Tinggi tanaman umur 7 dan 42 hari setelah tanam,
umur keluar bunga, berat tongkol tanpa klobot, produksi tanpa klobot, dengan penggunaan
pupuk organik 9 ton.ha1 mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis
sebesar 14,09 ton.ha.1 dibandingkan tanpa perlakuan yang hanya mampu menghasailkan
produksi sebesar 3,99 ton.ha.1
Kata kunci: Pupuk organik, jagung manis

PENDAHULUAN
Jagung manis merupakan tanaman semusim yang dikenal dengan nama sweetcorn
banyak dikonsumsi karena memiliki rasa yang lebih manis, aroma lebih harum, dan
mengandung gula sukrosa serta rendah lemak sehingga baik dikonsumsi bagi penderita
diabetes (Putri, 2011). Umur produksi jagung manis lebih singkat (genjah), sehingga dapat
menguntungkan dari sisi waktu, Siklus hidupnya mencapai 80 -150 hari. Siklus hidup terdiri
dari tahap pertama pertumbuhan vegetatif dan tahap kedua pertumbuhan generatif.
Tanaman jagung manis termasuk family poaceae, Species Zea mays L. Saccharata yang
umumnya dipanen muda. Menurut Syukur dan Rifianto (2013), jagung manis di konsumsi
segar dalam bentuk jagung rebus maupun jagung bakar, dan bahan baku berbagai masakan
dan produk olahan, misalnya kue, roti, sayur sop, sayur asam, perkedel, cream, susu, sirup,
bahan baku pembuat permen, dan topping pizza. Oleh karena itu setiap hari selalu ada
permintaan akan jagung manis.
Permintaan pasar terhadap jagung manis terus meningkat dan peluang pasar yang
besar belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan petani dan pengusaha Indonesia karena
berbagai kendala salah satu diantaranya adalah pH tanah dan kandungan bahan organik yang
rendah (Aria et al., 2009). Seiring pendapat Palungkun & Asiani (2004) rendahnya
kesuburan lahan merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi jagung. Hara

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


672 | Teknologi Pertanian
merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman jagung manis. Untuk mencapai
hasil jagung manis yang maksimal, diperlukan pemberian pupuk anorganik maupun organik.
Adapun rekomendasi pemupukan anorganik untuk tanaman jagung manis adalah pupuk
sebanyak 200 kg N ha-1 atau setara dengan 435 kg urea ha-1, 150 kg P2O5 ha-1 setara
dengan 335 kg TSP ha-1 , dan 150 kg K2O ha-1 setara dengan 250 kg KCl ha-1 serta bahan
organik 10 sampai 20 ton per hektar (Koswara, 1989). Penggunaan pupuk anorganik secara
terus menerus dapat menurunkan kualitas dan kuantitas tanah baik secara fisik, kimia,
maupun biologi tanah, dimana mikroorganisme tanah tidak dapat berkembang dengan baik
yang mana mikroorganisme tanah tersebut merupakan salah satu faktor pengurai bahan
organik dalam tanah. Salah satu usaha dalam meningkatkan kesuburan tanah dan
mengurangi serta menghilangkan dampak negatif tersebut adalah dengan menggali kembali
sumberdaya alamiah dan menerapkan budidaya (pertanian) organik dengan cara
meningkatkan kandungan bahan organik tanah melalui pemberian pupuk organik. Adapun
manfaat dari pupuk organik adalah untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah
yang banyak memiliki peranan penting di dalam tanah. Bahan organik tanah menjadi salah
satu indikator kesuburan tanah.
Kesuburan tanah dapat diperbaiki melalui pemupukan yang bertujuan untuk
menyediakan hara yang diperlukan oleh tanaman, baik dengan pupuk buatan maupun pupuk
organik yang diberikan melalui tanah. Adapun Kelemahan pemberian pupuk melalui tanah
adalah beberapa unsur hara mudah larut dalam air dan mudah hilang bersama air perkolasi
atau mengalami fiksasi oleh koloid tanah, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman (Putri,
2011). Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi mahluk hidup, seperti
pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat
atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk
organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik
dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol
jagung, berangkasan tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang
menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah) (Anonim, 2016). Penggunaan
pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah dan mendorong perkembangan populasi
mikroorganisme tanah. Bahan organik secara fisik mendorong granulasi, mengurangi
plastisitas dan meningkatkan daya pegang air.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk organik terhadap
tinggi tanaman umur 7 hst, 42 hst, umur berbunga, panjang tongkol dan berat tongkol tanpa
klobot serta produksi jagung manis tanpa klobot.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tamalanrea, Kecamatan Tamalanrea Indah,
Kota Makassar, berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Pelaksanaan penelitian sejak
bulan Januari sampai Mei 2017. Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok yang terdiri dari 4 taraf perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali sehingga
diperoleh 12 petak percobaan.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 673
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Perlakuan tersebut adalah: A = Tanpa pupuk ; B = Pupuk organik 3 ton/ha; C = Pupuk
organik 6 ton/ha, dan D = Pupuk organik 9 ton/ha

Variabel yang akan diamati adalah :

Tinggi tanaman diukur pada saat tanaman berumur 7 HST, 42 HST diukur dari pangkal
tanaman hingga ujung daun, Umur berbunga diamati pada saat tanaman mengeluarkan
bunga sekitar 75 % dari keseluruhan tanaman telah mengeluarkan bunga, Panjang Tongkol
diukur dari pangkal tongkol sampai ujung tongkol, bobot tanpa klobot, ditimbang pada saat
panen. dan Produksi jagung tanpa klobot.

Prosedur Penelitian

Persiapan penelitian seperti alat dan bahan meliputi: cangkul, meteran, timbangan,
alat tulis menulis dan lain-lain; benih, pupuk N P K, pupuk organik yang akan digunakan
dipersiapkan sebelumnya. Persiapan lapangan sebelum penanaman terlebih dahulu
dilakukan pengolahan tanah sebanyak dua kali dengan cara dicangkul kemudian diratakan
lalu di buat bedengan dengan luas bedengan 2 kali 4 meter dan jarak antar bedengan adalah
1 meter. Penanaman benih jagung manis diikuti dengan pemberian pupuk organik dengan
cara menutup lubang tanaman dan pemberian pupuk N, P, dan K sesuai perlakuan dan dosis
anjuran. Pupuk anorganik yang diberikan dengan jarak 5 cm dari lubang tanam. Pupuk urea
diberikan setengah dosis pada saat tanam, sisanya setengah dosis pada saat tanaman jagung
manis berumur satu bulan atau 21 hst. Tiap lubang tanam ditanam 2 benih, setelah tanaman
berumur 1 minggu dilakukan penjarangan dimana tiap lubang tanam ditinggalkan satu
tanaman.
Pemeliharaan; penyiraman, penyiangan tanaman sesuai kebutuhan tanaman. Panen
dilakukan pada saat tanaman jagung manis berumur 65 hari setelah tanam. Panen yang
tepat ditandai ketika rambut jagung manis telah berwarna coklat dan tongkolnya telah berisi
penuh. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari ketika suhu masih rendah karena
pada suhu yang tinggi akan mengurangi kandungan gula pada bijinya. Untuk mengatasi
penurunan mutu jagung manis maka segera setelah panen diupayakan suhu tongkol berada
di bawah 10 ºC.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam. Perbedaan pengaruh
perlakuan diuji dengan BNT pada taraf 0,05%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman Jagung Manis

Pengujian pupuk organik berbagai dosis pada tanaman jagung manis memberikan
hasil analisis sidik ragam berbeda nyata. Adapun hasil analisis pertumbuhan tanaman jagung
manis disajikan pada Tabel 1.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


674 | Teknologi Pertanian
Tabel 1. Rataan pertumbuhan tinggi tanaman jagung manis, 2017.
Pertumbuhan Tinggi Tanaman (cm)
No Perlakuan
7 HST 42 HST
1 P0 7.65 a 104.90 a
2 P1 9.7 ab 137.61 b
b
3 P2 10 145.20 b
b
4 P3 10.22 159.47 c
BNT 0,05 1,71 12,55
Keterangan: Angka yang di ikuti oleh huruf yang sama berarti berbeda tidak nyata pada Uji BNT taraf α= 0.05

Gambar 1. Diagram rata-rata Tinggi Tanaman Jagung Pada Umur 7 dan 42 Hst (cm)

Pupuk organik secara umum serta pupuk anorganik N dalam bentuk urea mampu
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis, Hal ini berkaitan dengan
fungsi masing-masing pupuk tersebut terhadap pertumbuhan tanaman. Pupuk organik
secara umum mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dengan kondisi tanah
yang baik akan menciptakan lingkungan tumbuh yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman
yaitu tercermin pada penampilan tanaman yang berupa tinggi, daun, batang dan buah
tanaman yang baik. Walaupun genotifnya sama, dalam lingkungan yang berbeda akan
berbeda pula penampilan suatu tanaman. Adapun peran bahan organik terhadap sifat fisik
tanah adalah menjadikan tanah berstruktur remah, demikian pula dengan aerasi tanah
menjadi lebih baik karena porositas atau ruang pori bertambah. Aerasi tanah berhubungan
dengan kandungan air, gas O2, N2 dan CO2 didalam tanah, yang sangat berpengaruh
terhadap perkembangan akar dan kehidupan mikroorganisme tanah.
Pertumbuhan tanaman adalah suatu proses pada tanaman yang mengakibatkan
ukuran tanaman semakin besar dan berkembang baik secara vegetativ maupun generativ,
serta kemampuan mendistribusikan sari-sari makanan ke bagian-bagian tubuh tanaman
sehingga pertumbuhannya menjadi optimal. Menurut Dwijoseputra (2005) bahwa faktor
lingkungan seperti suhu, kelembaban, radiasi matahari dan pH juga sangat berpengaruh
pada kerja mikroorganisme, sehingga maksimal dalam melakukan proses dekomposisi dan
akhirnya berpengaruh terhadap unsur hara yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
tanaman.
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 675
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pemupukan merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi
ketersediaan unsur hara tanah yang dibutuhkan tanaman. Dengan adanya pemupukan
tanaman dapat tumbuh optimal dan berproduksi maksimal. Namun yang perlu diketahui
pada pupuk adalah jenis, dosis, aplikasi, dan waktu pemupukan yang tepat. Dalam
pertumbuhannya tanaman memerlukan kurang lebih 16 unsur hara essensial yaitu, C, H, O,
N, S, P, K, Ca, Mg, Fe, Mn, Zn, Cu, B, I dan Mo. Ke 16 unsur hara tersebut dibedakan dalam 3
golongan yaitu: a). Unsur hara makro primer, C, H, O, N, S, P, dan K. b). Unsur hara makro
sekunder, Ca, dan Mg. c). Unsur hara mikro, Fe, Mn, Zn, Cu, B, I dan Mo.
Perlakuan pemberian pupuk organik (P3) serta pupuk anorganik dalam bentuk urea
mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis setelah tanam, hal ini
terlihat pada pengamatan tinggi tanaman umur 7 hari dan 42 hari setelah tanam, Keadaan
ini disebabkan dengan pemberian pupuk organik 9 ton/ha dan urea 200 kg/ha pada sekitar
tanaman dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara N. Sementara kandungan unsur zat
arang (C), oksigen (O), dan hidrogen (H), merupakan bahan baku dalam pembentukan
jaringan tubuh tanaman berada dalam bentuk H2O (air) H2CO3 (koolzur) dan CO2
(karbondioksida) yang berada dalam udara. Unsur C, H, dan O juga berperan dalam
pembentukan karbohidrat, proses fotosintesis, respirasi, kerja mekanis, kerja kimia, dan
kerja osmotik pada tumbuhan yang disebut pula sebagai aktivitas bioenergetik. Sementara
unsur N (Nitrogen), udara merupakan sumber Nitrogen terbesar, agar dapat dimanfaatkan
oleh tanaman masih harus diubah dalam bentuk NH3 (amoniak) atau nitrat. Adapun fungsi N
adalah: Untuk meningakatkan pertumbuhan tanaman, menyehatkan hijau daun, membuat
bagian tanaman menjadi lebih hijau karena banyak mengandung butir-butir hijau yang
penting dalam proses fotosintesis. mempercepat pertumbuhan tanaman (menambah tinggi
tanaman dan merangsang jumlah daun serta anakan, meningkatkan kadar protein dalam
tubuh tanaman. meningkatkan kualitas tanaman, menambah ukuran daun, dan besar buah.
menyediakan bahan makanan bagi mikrobia yang penting bagi kelangsungan dekomposisi
bahan organik di dalam tanah. Dalam jaringan tumbuhan N merupakan komponen penyusun
dari banyak senyawa essensial bagi tumbuhan, misalnya asam amino, penyusun protein dan
enzim, selain itu N juga terkandung dalam klorofil, hormon sitokinin dan auksin. Menurut
Sumeru Ashari (1995) menyatakan, bahwa nitrogen didalam tanaman berfungsi sebagai
penyusun protoplasma, molekol klorofil, asam nukleat dan asam amino yang merupakan
penyusun protein, jika terjadi difisiensi nitrogen dapat menyebabkan pertumbuhan vegetativ
maupun generativ tanaman terganggu.

Pertumbuhan Komponen Produksi Jagung Manis

Pengujian pupuk organik berbagai dosis pada tanaman jagung manis memberikan
hasil analisis sidik ragam berbeda nyata terhadap komponen produksi jagung manis. Adapun
hasil analisis pertumbuhan komponen produksi jagung manis disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan pertumbuhan komponen produksi tanaman jagung manis, 2017.


No Perlakuan Pertumbuhan Komponen Produksi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


676 | Teknologi Pertanian
Umur Berbunga Panjang Tongkol Berat Tanpa Produksi Tanpa
(hari) (cm) klobot (gr/buah) Klobot (kg/ha)
1 P0 48.50 b 6.29 a 69.90 a 3994.29 a
2 P1 47 b 10.57 b 127.60 b 8160.10 b
3 P2 45.75 a 12.96 b 163.73 c 9357.17 b
4 P3 45.25 a 17.30 c 246.65 d 14094.32 c
BNT 0,05 2,22 2,65 2,87 1934,68
Keterangan: Angka yang di ikuti oleh huruf yang sama berarti berbeda tidak nyata pada Uji BNT taraf α= 0.05

Gambar 2. Grafik rata-rata umur berbunga, panjang tongkol, diameter tongkol,


berat tanpa klobot dan produksi.

Bunga adalah organ generatif tanaman, melalui bunga akan berlanjut regenerasi
tanaman baru sehingga tanaman selalu eksis dari waktu ke waktu. Menurut Ashari (1995)
Bunga terbagi menjadi dua golongan yaitu bunga lengkap (hermaphrodite dan complete
flower) dan bunga tidak lengkap (incomplete flower). Pembungaan merupakan proses terbentuknya
organ per kembangbiakan pada tumbuhan melalui serangkaian proses yang dipengaruhi faktor
lingkungan serta faktor genetis dan hormon.
Kondisi tanah yang sangat mendukung bagi perkembangan perakaran maupun proses
penyerapanya, selain juga kebutuhan tanaman akan unsur hara tercukupi selama
pertumbuhannya, baik yang berasal dari pupuk organik maupun anorganik. Dengan
penambahan bahan organik maka sifat pupuk anorganik (urea) yang mudah hilang akan
diperkecil karena pupuk organik mampu mengikat unsur hara apabila elemen (unsur hara)
yang dibutuhkan tersedia cukup sesuai kebutuhannya, sehingga dengan adanya pupuk
organik efektifitas dan efisiensi pemupukan menjadi lebih tinggi. (Setiawan, 2010). Makin
tersedianya unsur hara pada tanaman dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman yang selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik. Seperti yang
dikemukakan oleh Dwidjoseputro (1991) bahwa tanaman akan tumbuh dengan subur
apabila elemen (unsur hara) yang dibutuhkan tersedia cukup dan unsur hara tersebut
tersedia dalam bentuk yang dapat diserap oleh tanaman.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 677
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Perlakuan pemberian pupuk organik 9 ton/ha memperlihatkan waktu pembungaan
tercepat, panjang tongkol, berat tanpa klobot dan produksi tertinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan dengan pemberian pupuk organik 9 ton.ha-1 unsur
hara dapat tersedia dalam tanah yang siap untuk diserap oleh tanaman sehingga perakaran
tanaman jagung dapat menyerap unsur hara secara maksimal, untuk merangsang dan
mempercepat pertumbuhan tanaman dan akar semai, memacu pembentukan bunga, buah
dan biji sehingga meningkatkan produksi biji-bijian, memperkuat batang tumbuhan agar
tidak mudah rebah, mempecepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman dewasa pada
umumnya serta mempercepat pemasakan sehingga mempercepat panen, juga merupakan
bagian yang essensial dari berbagai gula fosfat yang berperan dalam reaksi pada fase gelap
fotosintesis, respirasi, dan proses metabolisme lainnya. Dan merupakan bagian dari
nukleotida (dalam RNA dan DNA) dan fosfolipida penyusun membran. Jika tanaman
kekurangan unsur phospor dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman kerdil dan jumlah
anakan sedikit.
Unsur kalium merupakan satu-satuya kation monovalen yang esensial bagi tanaman.
Peran utamanya adalah sebagai aktivator berbagai enzim. Dengan adanya kalium dalam
tanah membuat ketegaran tanaman terjamin, pertumbuhan akar terangsang, memperbesar
vigor, tanaman lebih tahan hama dan penyakit, memperbaiki kualitas buah dan mengurangi
pengaruh kematangan yang dipercepat oleh phospor. Apabila tanaman kekurangan unsur
kalium menyebabkan pertumbuhan kerdil, daun tampak kering dan terbakar pada sisi-
sisinya. Sedangkan jika tanaman kelebihan unsur kalium menyebabkan daun cepat menua
sebagai akibat kadar magnesiun daun menurun dan terganggunya aktivitas fotosintesis.
Selain dari faktor tersebut di atas seperti dikatakan oleh Gardner dkk.(1991) bahwa
selain faktor genetik tanaman itu sendiri, faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain
cahaya matahari (penyinaran), kelembaban dan kesuburan tanah. Keterbatasan faktor-faktor
tersebut akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Selanjutnya
dikemukakan oleh Dwijoseputro (1991) bahwa cahaya matahari sangat diperlukan dalam
proses fotositesis, dengan banyaknya cahaya yang diterima tanaman, maka hasil fotosintesis
juga semakin banyak. Selanjutnya akan menghasilkan pertumbuhan dan hasil tanaman yang
lebih baik.

KESIMPULAN
Pemberian bahan organik pada lahan pertanaman dapat memperbaiki sifat tanah,
yaitu menurunkan kepadatan tanah, peningkatan porositas total dan meningkatkan
kapasitas memegang air. Dengan pemberian pupuk organik 9 ton/ha (P3), maka produksi
yang dicapai meningkat sebesar 14,094 ton/ha bila dibandingkan dengan perlakuan P0
(tanpa pemupukan) yang hanya mampu menghasilkan produksi 3,094 ton/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


678 | Teknologi Pertanian
Aria, et al. 2009. Pengaruh dosis pupuk kandang dan frekuensi pemberian pupuk urea
terhadap pertumbuhan dan produksi jagung (Zea mays L.) di Lahan Kering.
J. Agritrop. 26 (4): 21-26
Ashari, S. 1995. Hortikultura: Aspek Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. 490 hlm.
Anonim. 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Pupuk Organik. diakses pada tanggal 28
desember 2016.
Dwijoseputro D. 1991. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta.
Dwijoseputro D., 2005, Dasar-dasar Mikrobiologi, cetakan ke 6, Djembatan, Jakarta.
Gardner F.P; R.B Pearce, R.L Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Koswara, J. 1989. Budi daya jagung manis. Makalah pada Kursus Singkat Hortikultura.
BKS Barat USAID. Universitas Lampung. 11 p.
Putri,H.A. 2011. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi pupuk organik cair lengkap
(POCL) bio sugih terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis (Zea mays
saccharata Sturt.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas Padang.
Palungkun R. & Asiani A. (2004). Sweet Corn-Baby Corn : Peluang Bisnis Pembudidayaan dan
Penanganan Pasca Panen. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiawan, B. S. 2010. Membuat pupuk kandang secara cepat. Penebar Swadaya. Jakarta
Syukur & Rifianto,A. (2013). Jagung manis. Penebar Swadaya. Jakarta

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 679
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
GELAR TEKNOLOGI PADI SAWAH VARIETAS UNGGUL BARU INPARI 7
DAN INPARI 30 DI PROVINSI PAPUA BARAT

Halijah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat.


Jl. Base Camp Komplek Perkantoran Arfai, Manokwari Papua Barat.
Email: halijah@pertanian.go.id

ABSTRAK
Padi merupakan salah satu komoditas utama memegang peran strategis baik secara ekonomi,
sosial maupun politik. Penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) merupakan salah satu faktor
produksi yang berperan dalam peningkatan produktifitas padi. Salah satu upaya agar teknologi
yang dihasilkaan oleh Badan Litbang Pertanian melalui inovasi pertanian dapat tersebar luas
adalah melalui diseminasi dan sosialisasi berupa pengenalan, peragaan dan demonstrasi
teknologi hasil penelitian/pengkajian di lapangan dihadapan masyarakat pengguna atau petani
melalui kegiatan Gelar teknologi. Kegiatan gelar teknologi padi sawah dilaksanakan di Kampung
Sidomulyo Distrik Oransbari Kab. Manokwari Selatan, tahun 2016, Jumlah petani operator 10
KK. Menggunakan varietas unggul baru inpari 7 dan inpari 30. Mendapatkan produksi gabah
Inpari 7 sebesar ( 6,1 GKP) dan Inpari 30 ( 6,2 GKP). Hasil penerapan Gelar teknologi VUB Padi
diperoleh nilai R/C atas biaya total sebesar 3,421 menunjukkan bahwa secara finansial usahatani
padi biaya yang dicurahkan menguntungkan dengan tingkat keuntungan 3,421 dari total biaya
yang dicurahkan. Sedangkan nilai hasil perhitungan nilai B/C atas biaya penerimaan kurang
biaya pengeluaran mendapatkan nilai 2,421 pada usahatani padi artinya setiap satuan biaya
yang dikeluarkan sebesar 2,421 akan diperoleh hasil penjualan 2 kali lipat. Hasil ini menunjukkan
bahwa usaha tani padi layak untuk dikembangka
Keyword: VUB Padi, Padi Sawah, Gelar Teknologi

PENDAHULUAN
Padi merupakan salah satu komoditas utama yang memegang peran strategis baik itu
secara ekonomi, sosial maupun politik. Di Indonesia padi merupakan komoditas utama
tanaman pangan sehingga produksi maupun produktifitasnya perlu terus ditingkatkan untuk
pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Padi memiliki peranan penting
sebagai bahan pangan utama yang tingkat kebutuhannya meningkat setiap tahunnya seiring
dengan pertumbuhan dan pertambahan jumlah penduduk. Untuk itu meningkatkan produksi
padi menjadi suatu keharusan mengingat jumlah penduduk dunia terus bertambah dengan
laju 1,3 % per tahun. Tahun 2025 yang akan datang jumlah penduduk dunia diperkirakan
mencapai 8,3 milyar (Badan Litbang pertanian 2011). Untuk memenuhi kebutuhan dari
produksi dalam negeri, pemerintah telah menetapkan sasaran produksi padi tahun 2015
sekitar 73,4 juta ton GKB (Kementan 2015).
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi padi sebagai lumbung pangan maka perlu
adanya suatu inovasi teknologi pertanian yang mendukung peningkatan produksi padi baik
itu peningkatan produksi maupun produktivitas suatu tanaman. Salah satu komponen
teknologi untuk meningkatkan produksi tersebut adalah dengan menggunakan varitas
unggul baru. Varietas unggul baru merupakan teknologi yang memberikan kontribusi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


680 | Teknologi Pertanian
sebesar 56,1 % dalam peningkatan produksi padi nasional pada dekade 1970 – 2000 (Balitpa,
2004). Sehubungan dengan itu pemilihan varietas yang sesuai dengan agroekosistem dan
preferensi konsumen sangat menentukan keberhasilan usahatani padi.
Badan Litbang pertaniana telah melepas lebih dari 100 varietas unggul padi dalam
rangka mendukung peningkatan produksi beras (Suprihatno et al., 2011). Diharapkan dengan
dilepasnya varietas unggul tersebut dapat diaktualisasikan potensi genetiknya melalui
pengembangan teknologi dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu, faisal dan
Bahtiar (2013). Penggunaan varietas unggul mampu meningkatkan produksi padi secara
nyata karena hasilnya relatif tinggi dan stabil serta memiliki tingkat ketahanan yang tinggi
terhadap hama dan penyakit (Balitbangtan, 2006).
Kontribusi varietas unggul dalam peningkatan produksi padi mencapai 75 % jika
diintegrasikan dengan teknologi pengairan dan pemupukan (Badan Litbang Pertanian 2007,
Las (2002) Varietas unggul merupakan tenologi yang lebih nyata kontribusinya terhadap
peningkatan produktivitas tanaman dan dengan cepat diadopsi petani karena murah dan
penggunaan lebih praktis. Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan
penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan
produktivitas padi (Safitri H. et al. 2011). Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan
vigor tinggi sangat disarankan karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit sehat
dengan akar yang banyak, (2) benih yang baik akan menghasilkan perkecambahan dan
pertumbuhan yang seragam, (3) pada saat tanam pindah bibit dari benih yang baik dapat
tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi
(Khairil Anwar, 2012).
Produksi padi di Papua Barat tahun 2014 (ARAM II) diperkirakan sebesar 27,28 ribu
ton gabah kering giling (GKG), terjadi penurunan sebanyak 2,64 ribu ton (8,81 persen)
dibandingkan dengan produksi tahun2013. Penurunan produksi tersebut diperkirakan terjadi
adanya penurunan produksi padi sawah sebesar 2,45 ribu ton atau 8,75 persen dan pada
produksi padi ladang 186 ton (9,70 %). Penurunan produksi padi tahun 2014 sebesar 2,64
ribu ton (8,81 persen) terjadi pada subround Mei – Agustus dan subround September –
Desember masing-masing sebesar 1,68 ribu ton (12,72 persen) dan 3,15 ribu ton ( 30,56
persen), sedangkan pada subround Januari – April produksi mengalami kenaikan sebesar
2,20 ribu ton (3,455 persen) dibandingkan subround yang sama tahun 2013. Perkembangan
luas panen, produktifitas dan produksi padi di Provinsi Papua barat tahun 2012 – 2014
dimana luas panen (ha) mencapai Th. 2012 (6.592 GKG), Th. 2013 (ATAP) 6.794 GKG dan
Tahun 2014 (Aram II) 6.171 GKG. (BPS, 2014).
Gelar teknologi adalah kegiatan untuk menunjukkan paket teknologi yang diyakini
sudah lebih baik dibanding dengan teknologi petani. Salah satu upaya agar teknologi yang
dihasilkaan oleh badan litbang pertanian melalui inovasi pertanian adalah melalui
diseminasi dan sosialisasi berupa pengenalan, peragaan dan demonstrasi teknologi hasil
penelitian/pengkajian di lapangan dihadapan masyarakat pengguna atau petani melalui
kegiatan Gelar teknologi. (Permentan, Thn 2011). Pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan
dalam rangka mempercepat proses transfer inovasi dari sumber teknologi dan meningkatkan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 681
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
laju adopsi teknologi ditingkat petani, serta memperkenalkan secara langsung kepada
pengguna utama dalam hal ini petani dan keluarganya mengenai keunggulan varietas
tersebut dan petani dapat terlibat langsung dalam tahapan penerapannya baik ditingkat
lapangan maupun di tingkat pelatihan yang diberikan mengenai berusaha tani yang baik
sehingga membantu petani mengatasi permasalahan usahataninya sendiri.
Penerapan hasil penelitian dalam bentuk gelar teknologi diharapkan dapat
mendorong proses adopsi teknoloi dengan pendekatan learning by doing terhadap
kelompok tani melalui petani kooperator. Kegiatan ini melibatkan petani secara intensif
mulai dari perencanaan dan penetapan teknologi serta evaluasi kegiatan agar adopsi
teknologi yang komprehensif, berorientasi agribisnis dan berkelanjutan dapat dicapai.
Varietas Unggul Inpari 7
VUB Inpari 7 tergolong pade cere, yang berumur 110 – 115 hari. Bentuk tanamannya
tegak. Memiliki warna gabah kuning bersih, dengan tingkat kerontokan sedang. Rasa nasinya
pulen dengan kadar amilosa 20,78 persen. VUB Inpari 7 ini memiliki potensi hasil 8,7 ton per
hektar, namun di lapangan rata-rata menghasilkan 6,2 t/ha.
Varietas Unggul Inpari 30
Karakteristiknya mirip dengan VUB Inpari 7, tergolong padi cere namun tingginya relatif lebih
pendek yaitu hanya 101 cm. Rasa nasi pulen, dengan potensi hasil bisa mencapai 9,6
ton/hektar. Tetapi di lapangan rata-rata menghasilkan 7,2 ton per hektar.

METODE PENELITIAN
Kegiatan Gelar Teknologi dilaksanakan di Kampung Sidomulyo Distrik Oransbari Kab.
Manokwari Selatan, tahun Anggaran 2016. Kegiatan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan secara parsipatif yaitu pemilihan langsung petani koperator yang akan
digunakan lahan sawahnya sebagai demonstrasi kegiatan gelar teknologi padi sawah varietas
Inpari 7 dan Inpari 30. Varietas yang digunakan pada kegiatan gelar teknologi ini adalah
varietas hasil kegiatan Pengembangan Model Kawasan Mandiri Benih Padi, dimana varietas
tersebut berasal dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Luas lahan sawah
yang digunakan pada kegiatan demonstrasi gelar teknologi padi seluas 10 ha dengan masing-
masing 5 ha untuk varietas Inpari 7 dan 5 ha untuk varietas Inpari 30.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah varietas unggul baru padi varietas
inpari 7 dan inpari 30, pupuk Urea, TSP, dan KCL, herbisida, cangkul, garut, handsprayer,
sedang alat tulis kantor ( kertas, balpoin, tinta printer,plasdis dan lainnya).
Ruang Lingkup pengkajian meliputi (1) Identifikasi Lokasi dan Petani, (2) Sosialisasi/
pelaksanaan kegiatan Gelar Teknologi VUB Padi, dan (3) Pembinaan Kegiatan gelar teknologi
padi sawah
Tahapan Gelar Teknologi meliputi: 1) perumusan rencana dan pelaksanaan kegiatan,
2) pembagian tugas dan fungsi masing-masing pelaksana kegiatan, 3) penyiapan instrumen
kegiatan, 4) koordinasi, dan 5) penyediaan sarana danprasarana pengkajian. Koordinasi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


682 | Teknologi Pertanian
rencana kegiatan dengan dinas/instansi terkait, dilakukan secara intensif terutama dengan
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi, Dinas Pertanian Propinsi Papua
Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari Selatan, dan BPP. survey calon lokasi kegiatan
Gelar Teknologi Pertanian.
Demplot penerapan teknologi padi sawah, diperkirakan mulai bulan Januari sampai
dengan Mei 2016 yang akan di laksanakan di Kampung Sidomulyo Distrik Oransbari
Kabupaten Manokwari Selatan. Kegiatan gelar teknologi padi sawah dilaksanakan di lahan
petani seluas 10 hektar. Petani yang dipilih untuk kegiatan ini adalah petani yang sudah
punya pengalaman dalam penerapan teknologi unggulan padi sawah.
Pemilihan lahan mempertimbangkan antara lain Lahan sesuai untuk penerapan
teknologi pertanian yang akan digelar : berada di sentra produksi komoditas yang
teknologinya akan digelar, lahan milik seluruh atau sebagian anggota suatu kelompok tani
dengan total luas keseluruhannya berdasarkan skala ekonomi, sehingga dapat dinilai
kesesuaiannya dengan kondisi sosial dan ekonomi petani setempat, dan berada di tempat
yang strategis, dipinggir jalan yang banyak dilalui petani

Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan pada kegiatan Gelar Teknologi VUB Padi di
Distrik Oransbari manokwari Selatan tahun 2016.
NO. Komponen Teknologi
1. Pengolahan tanah Sempurna
2. Varietas VUB Lahan sawah (Inpari 7 dan Inpari 30
3. Kebutuhan benih 25 – 30 kg/ha
4. Pembibitan/ pesemian Pesemaian basah
5. Jumlah tanam perlubang 1 – 2 tanaman/lubang
6. Sistem tanam Jajar Legowo 4 : 1 dengan sisipan
5. Jarak tanam 25 x 12,5 x 50 cm
6. Pemupukan Berimbang
8. Penyiangan Pengendalian Gulma terpadu
9. Pengendalian hama/penyakit Pengendalian hama terpadu
10. Panen dan Pascapanen Tepat waktu dan memakai mesin panen (Combain
Harvedster)

Pembinaan kelompok. Pembinaan kelompok dengan pendekatan kelompok sasaran


pembinaan keluarga tani, yang terdiri atas petani dewasa, dan wanita tani, pertemuan
petani dihadiri oleh peneliti/penyuluh BPTP dan penyuluh lapangan. Materi pertemuan
kelompok selama pelaksanaan gelar dilapangan yaitu yakni adalah permasalah yang ada
pada sistem usahataninya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah

Oransbari adalah salah satu Distrik di Kabupaten Manokwari Selatan. Berdasarkan


data administrasi, Kabupaten Manokwari Selatan memiliki luas wilayah daratan 2.812,44
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 683
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Km2, dan luas wilayah perairan 584,36 Km2, dengan jumlah penduduk sebesar 3.202 jiwa.
Kondisi tofografi di Kabupaten Manokwari Selatan berupa pesisir pantai dan dataran tinggi
yang merupakan daerah pegunungan dan lereng-lereng serta dataran rendah. (Statistik
Manokwari Selatan, 2015)
Dalam struktur pemerintahan Kabupaten Manokwari Selatan, terdiri dari 6 distrik,
antara lain (1). Oransbari, (2) Ransiki, (3) Momiwaren, (4) Neney, (5) Tahota, (6) Dataran Isin.
Batas wilayah distrik oransbari secara administratif meliputi sebelah utara berbatasan
dengan Prafi, Sebelah Selatan berbatasan dengan Ransiki, Sebelah Barat berbatasan dengan
wilayah Distrik Anggi dan sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Cenderawasih.
Iklim di Distrik Oransbari berada pada daerah yang beriklim tropis sedang dengan
curah hujan perbulan rata-rata 166,38 mm dengan hari hujan rata-rata 9 hari, jenis tanahnya
adalah jenis tanah Aluvial. Berdasarkan penggunaan tanah dibagi beberapa kolompok
dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 2. Luas Tanah Sesuai Pembagian Penggunaannya di Distrik Oransbari Kabupaten


Manokwari Selatan
No Jenis Peruntukan Luas (Ha)1.
1. Lahan Sawah 526
2. Lahan kering (Ladang) 707
3. Perkebunan 982
4.. Lahan pekarangan 425
5. Kolam ikan 5
6. Hutan rakyat 23154
7. Lahan tidur 386
Total 25798

Koordinasi dan Sosialisasi

Hasil Koordinasi dan sosialisasi kegiatan dengan unit pelaksana teknis (UPT) Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) Distrik Oransbari Kabupaten Manokwari Selatan. Kegiatan
dihadiri oleh kepala Dinas Pertanian kabupaten Manokwari Selatan, Penyuluh Teknis Kab.
Manokwari Selatan, Peneliti/Penyuluh BPTP Papua Barat. dan Anggota Kelompok tani
Oransbari Kampung Sidomulyo Distrik Oransbari Kab. Manokwari Selatan. Kegiatan
sosialisasi gelar teknologi padi sawah varietas unggul baru Inpari 7 dan inpari 30, diharapkan
petani yang terpilih sebagai petani kooperator dapat menerapkan teknologi yang akan
diperagakan pada budidaya padi sawah karena akan menjadi contoh bagi petani non
kooperator.
Dalam pertemuan telah disepakati bersama, bahwa selama kegiatan Gelar Teknologi
padi sawah akan dilakukan pendampingan teknologi yang akan dikawal oleh penyuluh
pendamping dan peneliti/penyuluh BPTP Papua Barat. Demonstrasi Gelar teknologi padi
sawah telah didapatkan calon petani dan calon lahan sebanyak 13 orang petani dengan luas
lahan 10 Hektar dengan masing-masing 5 hektar vub padi parietas Inpari 7 dan 5 hektar vub
padi Inpari 30

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


684 | Teknologi Pertanian
Tabel 3. Daftar nama-nama Petani Dan Luas Lahan Kooperator Kampung Sidomulyo Distrik
Oransbari Oransbari kabupaten ManokwariSelatan tahun 2016
No. Nama Kooperator Luas Lahan (Ha)
1. Katino 0,5
2. Samun 0,5
3. Sukino 0,5
4. Suwar 0,5
5. Kemis 0,5
6. Juwarno 0,5
7. Kuswoyo 1,0
8. Joman 1,0
9. Sunaryo 1,0
10. Slamet 1,0
11. Tukiman 1,0
12. Dullasimin 1,0
13. Sucipto 1,0
Total 10,0

Pembinaan kelompok Gelar teknologi Padi Sawah

Gelar Teknologi padi sawah dilaksanakan di kampung Sidomulyo distrik Oransbari,


kegiatan tersebut diadakan pembinaan kepada petani kooperator dengan memperkenalkan
teknologi padi sawah yakni inovasi teknologi dengan menggunakan varietas unggul baru padi
sawah, sistem jajar legowo, pemupukan berimbang dengan menggunakan BWD serta
pemberantasan hama dan penyakit. Pembinaan ditujukan kepada kelompok tani yang
melibatkan kepala keluarga dan istri yang telah ikut membantu pekerjaan usahataninya.
Pembinan kelompok melibatkan peneliti/penyuluh BPTP, penyuluh lapangan dan POPT.
Pembinaan kelompok yang dilaksanakan pada kegiatan tersebut adalah mengenai:
Sistem tanam yang diterapkan pada kegiatan gelar teknologi padi sawah adalah
sistem tanam jajar legowo 4 : 1 dengan menggunakan jarak tanam 25 x 50 x 25 cm dengan
menggunakan sisipan. Sistem tanam jajar legowo dengan menggunakan sisipan populasi
pertanaman meningkat menjadi 50% artinya jumlah populasi tanaman dengan sistim jajar
legowo tanpa sisipan populasi tanaman/rumpun/ha hanya 200.000 populasi tanaman,
sedangkan apabila menggunakan sisipan jumlah rumpun tanaman menjadi 300.000
rumpun/ha. Teknologi jajar legowo dengan menggunakan sisipan merupakan hal yang baru
bagi petani di kampung Sidomulyo karena selama ini petani hanya menggunakan sistem jajar
legowo tanpa sisipan.
Pemupukan dengan menggunakan pupuk berimbang dan menggunakan BWD.
Berdasarkan hasil analisis tanah diperoleh status hara tanah Kampung Sidomulyo Distrik
Orasbari, bahwa unsur hara N, P dan K umumnya sangat rendah sehingga dosis pemupukan
yang akan diterapkan jika mengikuti tabel rekomendasi pemupukan PUTS dengan
menggunakan pupuk NPK (15:15:15) adalah sebanyak 350 g/ha dan Urea sebanyak 170
kg/ha. Sementara unsur hara N, P dan K di tempat kegiatan gelar teknologi yakni kampung
Sidomulyo Distrik Oransbari, unsur hara N, P dan K sangat rendah sehingga perlu
penambahan pemupukan untuk mendapatkan hasil produksi padi yang baik, sehingga hasil
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 685
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pertemuan dengan petani disepakati untuk penggunaan pupuk NPK (15:15:15) sebanyak 400
kg/ha. Sebagaimana yang dilakukan petani selama ini.
Pengenalan Hama dan penyakit penting Pada tanaman padi, Hama dan penyakit
adalah merupakan salah satu musuh alami pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman
padi, karena hama dan penyakit tanaman dapat menurunkan dan menghancurkan produksi
padi. Hama tanaman padi merupakan bagian penting setelah ada padi dilapngan. Keliru
dalam pengelolaan hama, maka dapat diduga akan menyebabkan penurunan produktivitas.
Hama utama yang mengganggu tanaman padi dari golongan serangga adalah wereng coklat,
dan penggerek batang padi yang banyak menyerang tanaman padi sedangkan hama – hama
padi lain yaitu wereng punggung putih, wereng hijau, pelipat daun dan walang sengit.
Dari hasil pemantauan perkemangan tanaman padi selama kegiatan berlangsung di
distrik oransbari, hama yang menyerang tanaman padi adalah hama penggulung daun atau
hama putih dan penggerek batang. Hama putih atau penggulung daun biasanya selalu terjadi
pada populasi rendah tapi kadang-kadang berkembang secara cepat yang menyebabkan
daun padi menjadi gundul.
Sedangkan hama penggerek batang padi terdapat 5 jenis di Indonesia yaitu
penggerek batang padi putih, penggerek batang padi kuning, penggerek batang berkepala
hitam, dan penggerek batang padi bergaris. Hama tersebut merupakan kendala bagi pada
lahan irigasi maupun dilahan lebak dan pasang surut. Gejala serangan penggerek pada saat
vegetatif disebut Sundep yakni titik tumbuh tanaman muda mati, sedangkan gejala serangan
penggerek pada saat generatif disebut beluk yaitu malai dengan bulir yang hampa kelihatan
berwarna putih (Baehaki, 2012)

Potensi Hasil VUB Inpari 7 dan Inpari 30

Badan Litbang Pertanian yang responsif terhadap kejadian akibat perubahan iklim
berinovasi untuk menciptakan varietas padi yang dapat dikembangkan dalam cekaman
lingkungan ekstrim. Pada tahun 2012 dilepas varietas unggul baru (VUB) dengan nama Inpari
30 Ciherang Sub 1 dengan salah satu kelebihannya tahan terhadap rendaman, sehingga
diharapkan dapat menunjang produksi yang tinggi dengan keadaan perubahan iklim yang
ekstrim terutama resiko akibat banjir dan genangan. Inpari 30 Ciherang Sub 1 sesuai ditanam
di sawah dataran rendah hingga ketinggian 400 mdpl, di daerah luapan sungai, cekungan dan
rawan banjir lainnya dengan dengan rendaman keseluruhan fase vegetatif selama 15 hari.
Umur tanaman Inpari 30 Ciherang Sub 1 hanya 111 hari setelah semai dengan potensi hasil
9,6 ton/ha. Tekstur nasi pulen yang disukai sebagian besar masyarakat umumnya. Dilihat
dari tingkat ketahanannya terhadap hama dan penyakit, varietas ini tergolong agak rentan
wereng batang coklat biotipe 1 dan 2 serta rentan terhadap biotipe 3, agak rentan terhadap
hawar daun bakteri patotipe III, serta rentan terhadap patotipe IV dan VIII.
Hasil gelar teknologi padi sawah varietas unggul baru Inpari 7 dan Inpari 30 dengan
menggunakan beberapa paket teknologi diantaranya Penggunaan varietas unggul Baru,
pemupukan berimbang dan penggunaan jarak tanam sistem legowo 4 : 1 dengan sisipan,

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


686 | Teknologi Pertanian
ternyata mampu meningkatkan produktivitas hasil panen gabah kering (6,1 GKP) untuk VUB
Inpari 7 dan (6,2 GK) varietas Inpari 30.
Hasil kajian Sirappa, et al. (2007), membuktikan bahwa penggunaan intrdoksi varietas
unggul baru yang didukung oleh teknologi mampu memberikan hasil 21 – 24 % lebih tinggi.
Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh empat komponen, yaitu jumlah malai
persatuan luas, jumlah gabah per malai, presentase gabah isi dan 1000 butir gabah. Sifat-
sifat dari varietas unggul baru adalah tinggi pendek-sedang banyak (100 – 130 cm); umur
genjah-sedang (110 – 135 hari; anakan banyak (>18 batang); malai sedang (100-150
gabah/malai); daun pendek, mendatar-tegak, hijau-hijau tua; responsif terhadap pemupukan
nitrogen. Dalam (Yahumari, et al, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa pencapaian hasil
suatu varietas harus didukung oleh teknologi dan lingkungan tumbuh yang optimal..

Tabel 4. Analisa usahatani pada kegiatan Gelar Teknologi VUB Padi


di Distrik Oransbari - Manokwari Selatan tahun 2016

Komponen Biaya dan pendapatan Nilai (Rp)


A. Komponen Biaya (Rp/ha/musim)
1. Olah Lahan 1.500.000
2. Cabut Bibit 700.000
3. Penanaman 1.500.000
4. perbaikan pematang 1.500.000
5. Panen & merontok 2.000.000
Total biaya tenaga kerja 7.200.000
6. Bahan
- Benih (25 kg a Rp. 10.000) 250.000
- Pupuk Urea ( 200 kg x Rp 2000) 400.000
- Pupuk NPK (400 Kg X Rp 2700) 1.080.000
- Pestisida 1.300.000
Total biaya bahan 3.030.000
7. Total biaya (1+2+3+4+5+6) 10.230.000

B. Komponen Pendapatan (Rp/ha/musim)


Penerimaan ( 3500 kg @ Rp. 10.000) 35.000.000

C. R/C atas biaya Total 3.421


D. B/C atas biaya penerimaan-biaya pengeluaran 2.421
Sumber: Analisis data primer 2016

Hadisaputro dan Muchlas et al. (1997) dalam Dede Rohayana D, Robet Asnawi
mengatakan bahwa untuk mengetahui keberhasilan suatu usahatani minimal harus
memenuh syarat (a) usahatani harus menghasilkan cukup pendapatan untuk membayar
biaya produksi yang dikeluarkan (b) dapat membayar modal yang digunakan baik modal
sendiri maupun modal pinjamandan (c) dapat membayar upah tenaga baik keluarga maupun
luar keluarga yang digunakan dalam usahatani.
Untuk mengetahui apakah secara finansial suatu usahatani menguntungkan atau
merugi baik atas biaya tunai maupun total, maka perlu dilakukan analisis biaya dan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 687
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pendapatan. Analisis biaya dan pendapatan usahatani hasil Gelar Teknologi VUB Padi
diperoleh nilai R/C atas biaya total sebesar 3,421. Ini menunjukkan bahwa secara finansial
usahatani padi biaya yang dicurahkan menguntungkan dengan tingkat keuntungan 3,421
dari total biaya yang dicurahkan. Sedangkan nilai hasil perhitungan nilai B/C atas biaya
penerimaan kurang biaya pengeluaran mendapatkan nilai 2,421 pada usahatani padi artinya
setiap satuan biaya yang dikeluarkan sebesar 2,421 akan diperoleh hasil penjualan 2 kali
lipat. Oka et al. (1990) menyatakan bahwa batas minimum penerapan suatu teknologi
dikatakan layak secara ekonomi apabila B/C rationya sebesar 2. Terpenuhinya hasil ini
menunjukkan bahwa usaha tani padi layak untuk dikembangkan.

KESIMPULAN
Gelar teknologi padi sawah varietas unggul baru inpari 7 dan inpari 30 di Kampung
Sidomulyo Distrik Oransbari Kab. Manokwari Selatan berhasil meyakinkan petani yang
ditunjukkan oleh capaian produktivitas yang relatif tinggi, yaitu masing-masing 6,1 ton GKP
dan 6,2 t GKP untuk Impari 7 dan Impari 30. Disamping berhasil dari sisi produktivitas, secara
finansial juga terbukti menunjukkan keuntungan finansial yang memadai sebagaimana
ditunjukkan nilai R/C yang masing-masing menghasilkan nilai konstanta 3,42.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006. Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian) 2007. Prospek dan arahpengembangan
Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian) 2007. Prospek dan
arahpengembangan Agribisnis Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pertanian. Jakarta dalam (Yuniarti Silvia dan Sri Kurniawati, 2015)
(Keragaan Pertumbuhan dan HasilVarietas Unggul Baru (VUB) padi pada lahaan
sawahirigasi di Kabupaten Pandeglang, Banten
Badan Litbang Pertanian (badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pertanian ,2011. Varietas Unggul Baru Padi Untuk Rakyat Mendukung Swasembada
Beras Berkelaanjutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian pertanian
Badan Pusat Statisti, 2014. Berita Resmi Statistik BPS provinsi Papua Barat
Baehaki, 2012., Hama Utama Tanaman Padi Dan Teknologi Penendaliannya. Prosiding
Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Kementrian Pertanian Badan Penelitian
Dan Pengembangan Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Tengah.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Balitbangtan Kementrian
Pertanian.go.id/index.php/varietas/inbripadi-sawah-irigasi-inpari/content/item/9-
inpari-7-lanrang. Diakses tanggal 30 Oktober 2017

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


688 | Teknologi Pertanian
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balibangtan Kementrian pertanian,
go.id/index.php/varietas/inbrida-padi-sawah-irigasi-inpari/content/item/33-inpari-
30-ciherang-sub-1. Diakses tanggal 30 oktober 2017
Balitpa, 2004. Inovasi teknologi untuk peningkatan produksi padi dan kesejahteraan petani
Puslitbangtan. Badan Penelitian Pertanian. 23 hal
Dede Rohayana, Robet Asnawi, Keragaan Hasil Varietas Unggul Inpari 7, Inpari 10, Dan Inpari
13 melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)) D.com/ search/
GGmain.jhtml?p2.
Faisal, Bahtiar. 2013. Produktivitas varietas unggul baru padi di SulawesiUtara. In:
Hendayana R, Arsyad DM, Arifin M, Ananto E, BustamanS, Djauhari A, Mulyandari
RSH (eds). Prosiding Seminar NasionalInovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.
Percepatan PemanfaatanInovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung
Sulawesisebagai Lumbung Pangan Nasional Buku 1. Balai Besar Pengkajiandan
Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Kendari, 21-22
November 2013
Kementrian Pertanian 2015. Pedoman Teknis GP.PTT Padi 2015. Direktorat Tanaman
Paangan Kementrian Pertanian. Jakarta.
Khairil Anwar, 2012 Prosiding. Inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi. Paket teknologi
Pada Lahan Rawa untuk pengembangan padi dan kedelai kalimantan tengah
Las, I. 2002. Alternativ Inovasi teknologi peningkatanProduktivitas dan Saing Padi .Power
Point PPN 2002. Balai Penelitian tanaman Padi 2002
Permentan 2011. Pedoman Umum Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Safitri H et al, 2011. Evaluasi Karakter Agronomi Dan Komponen Hasil 35 Genotipe Padi
Haploidganda Hasil Kultur Antera. Dalam :Suprihatno,B Et Al Editor Buku 1.
“Variabilitas Dan Perubahan Iklim: Pengaruhnya Terhadap Kemandiria Pangan
Nasional”.Sukamandi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian.p 87-97.
Sirappa MP, Rieuwpassa AJ, Wass ED, 2007 Kajian Pemberian Pupuk NPK Pada Beberapa
Varietas Unggul Padi Sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian dan Pengembanagan
Teknologi Pertanian.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 689
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
PENGARUH LEVEL AMPAS SAGU DALAM RANSUM TERHADAP PRESENTASE
BOBOT KARKAS DAN GIBLET AYAM BROILER.

Harry Triely Uhi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

ABSTRAK
Pengaruh Level Ampas Sagu (metroxylon SP) Dalam Ransum Terhadap Presentase Bobot Karkas
Dan Giblet Ayam Broiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh
terhadap presentase bobot karkas dan giblet Ayam Broiler, penelitian ini dilaksanakan selama 1
bulan di Paldam Kelurahan Numbay Distrik Jayapura Selatan. Metode yang digunakan adalah
eksperimen yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5
ulangan. Penempatan ternak kedalam petak sesuai percobaan yang dilakukan secara acak.
Empat perlakuan yang digunakan adalah: P1 = 85% Ransum Komersil + Ampas Sagu 15%; P2 =
70% Ransum Komersil + Ampas Sagu 30%; P3 = 55% Ransum Komersil + Ampas Sagu 45%;
P4=100% Ransum Komersil tanpa ampas sagu. Pengamatan dilakukan terhadap Presentase
Karkas dan giblet Broiler yang hasilnya menunjukkan bahwa : 1) Pemberian ampas sagu
fermentasi sebesar 15% mempengaruhi bobot badan akhir, bobot badan tanpa bulu dan bobot
badan tanpa darah. Dibandingkan perlakuan pemanfaatan penggunaan ampas sagu fermentasi
30% dan 45%. 2) Perlakuan pemberian pakan dengan tambahan ampas sagu fermentasi
mempengaruhi persentase karkas (paha atas, paha bawah dan sayap), tapi tidak mempengaruhi
persentase karkas (dada dan punggung) 3) Penggunaan ampas sagu fermentasi tidak
mempengaruhi persentase dan bobot giblet (hati, rempela, limpa), tetapi mempengaruhi
persentase bobot jantung.
Kata Kunci: Ampas sagu, Ransum, Bobot Karkas dan Giblet

PENDAHULUAN
Semua ternak jenis unggas dapat produksi telur dan daging. Hal yang membedakan
masing-masing unggas adalah ukuran tubuh, dan telur serta daging yang dihasilkan. Pada
awalnya asal-usul ayam (Gallus-gallus) adalah dari Asia Tenggara yaitu Birma dan ditemukan
pada 6000 tahun SM. Dari Asia Tenggara kemudian menyebar ke India, Eropa dan ke
Amerika dan penyebaran spesies unggas lainnya keseluruh pelosok dunia. Sejak tahun 1970-
an Indonesia kenal dengan ayam hibrida potong yang disebut dengan ayam Broiler,
sedangkan menurut Rasyaf (2003) sejak tahun 1980-an Indonesia baru dikenal dari sinilah
ayam Broiler final stock mulai kenal dan diterima orang.
Dalam pemberian makanan pada ternak harus diperhatikan standar kebutuhan akan
gizi zat makanan untuk masing-masing fase pertumbuhan. Untuk ternak ayam Broiler
standar pemberian ransum mengandung zat-zat nutrisi : protein 25,19 %, lemak 8,86 %,
serat kasar 15,94; abu 3,94; Be 37,25 %, Ca 0,28 %; P 0,18; Me 3140 Kkal/kg. Pemberian
ransum harus yang berkualitas (UNSRAT Manado, 1997).
Untuk mencapai berat bobot pakan yang diberikan harus berkualitas maupun
kuantitasnya agar dapat menghasilkan berat bobot serta daging yang baik. Untuk mencapai
pertumbuhan yang maksimal maka tata laksana pemeliharaan, perawatan kesehatan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


690 | Teknologi Pertanian
pemberian ransum harus dipenuhi itu merupakan faktor terpenting dalam mengembangkan
usaha peternakan (Rasyaf, 2002).
Ditinjau dari segi mutu daging ayam Broiler memiliki nilai gizi yang tinggi dengan
daging ternak lainnya (Aninomus, 1986). Dengan dagingnya lembut, warnanya merah terang
bersih dan mudah dicerna.
Dalam dunia peternakan ransum merupakan faktor terpenting, dan paling banyak
menghabiskan biaya dari hasil produksi. Dengan meningkatnya harga ransum maka penulis
ingin mencoba memanfaatkan Level Ampas Sagu sebagai pakan tambahan pada ternak ayam
Broiler. Untuk itu rencana judul penelitian adalah Pengaruh Ransum Konversial dan Level
Ampas Sagu Terhadap Bobot dan Presentase Karkas Ayam Broiler.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian level ampas sagu dalam
ransum terhadap bobot hidup, bobot tanpa darah, bobot tanpa bulu, persentase bobot
karkas, dan persentase bobot giblet ayam broiler.
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi baru bagi peternak maupun
masyarakat pada umumnya tentang teknologi atau tingkat pemberian ampas sagu yang
tepat dalam ransum terhadap bobot hidup, bobot tanpa darah, bobot tanpa bulu,
persentase bobot karkas, dan persentase bobot giblet ayam broiler.

BAHAN DAN METODE


Bahan Penelitian yang digunakan adalah ayam DOC strain sebanyak 25 ekor ayam
Broiler. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini ransum komersial 511 untuk ayam
strater dan 512 untuk ayam Grower. Perlatan penelitian meliputi Kandang, Penerangan atau
lampu, Tempat minum, Tempat makan, Timbangan, Thermometer, Meter rol (ukuran 5m),
Ember, Pisau dan Alat tulis.
Pelaksanaan Penelitian terdiri dari: (1). Tahap Persiapan yaitu sebelum percobaan
dan pengamatan terhadap ternak tersebut, adapun persiapan yang dilakukan antara lain:
kandang disiapkan satu minggu sebelum anak ayam (DOC) dimasukkan, kandang dan semua
peralatan disemprot dengan anti septic, istirahatkan kandang selama satu minggu sebelum
DOC dimasukkan, nyalakan lampu sebagai pemanas sebelum anak ayam (DOC) dimasukkan
ke dalam ruang, kurang lebih 3 – 4 jam. (2). Tahap Pelaksanaan yaitu Ransum komersil atau
siap pakai merek Hi-Pro-Vite dari PT. Charoen Pokphand Indonesia dengan kode 511 untuk
periode starter sedangkan 512 untuk periode finisher dan ransum tambahan ampas sagu
dan Air minum dengan pemberian secara ad Libitum.
Perlakuan penelitian ini menggunakan metode eksperimen sedangkan rancangan
yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan
sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Tiap ulangan terdiri atas 1 ekor ayam Broiler.
Adapun perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut :
P1 = Ransum Komersil + Ampas Sagu 15%; P2 = Ransum Komersil + Ampas Sagu 30%
P3 = Ransum Komersil + Ampas Sagu 45%; P4 = Ransum Komersil

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 691
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Parameter yang diamati:Bobot Karkas, Bobot tanpa darah, Bobot tanpa bulu, Bobot
Giblet (hati, rempela, jantung dan limpa), dan Persentase lemak abdominal
Data yang dikumpulkan seperti pertambahan bobot badan, konsumsi pakan,
konversi pakan dan mortalitas dianalisis menggunakan sidik ragam. Bila sidik ragam
menunjukkan pengaruh nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (LSD)
(Steel and Torrie, 1991). Semua data yang diperoleh dianalisa awal rataannya dengan
mentransformasikan kedalam arcsin sebelum uji lanjutan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Badan Broiler

Pertumbuhan dan peningkatan bobot badan ayam broiler ditentukan lebih utama
oleh faktor Pakan ternak yang diberikan (Kanisius, 1986). Hasil penelitian terhadap berbagai
parameter bobot badan yang ditimbang pada akhir penelitian menunjukkan bahwa bobot
akhir yang dicapai untuk seluruh perlakuan berkisar antara 1.435 g/ekor – 1.840 g/ekor;
bobot tanpa darah 1,331 g/ekor – 1.670 g/ekor; dan bobot tanpa bulu 1,210 g/ekor – 1.570
g/ekor, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap bobot akhir, Bobot tanpa darah dan bobot tanpa
bulu ayam broiler.
Perlakuan
Parameter
P1 P2 P3 P4
BB. Akhir (g/ekor) 1.610 b 1.435 c 1.440 c 1.840 a
BB Tanpa Darah (g/ekor) 1.525 b 1.331 c 1.336 c 1.670 a
BB Tanpa Bulu (g/ekor) 1.454 1.210 1.248 1.570
Ket: Angka berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05 )

Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Akhir Broiler

Rataan bobot akhir untuk masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang


signifikan antar perlakuan pakan ampas sagu yaitu bobot badan akhir tertinggi pada P1
(ampas sagu 15%) sebesar 1.610 g/ekor; P2 (ampas sagu 45%) 1.440 g/ekor; dan terendah
P3 (ampas sagu 30%) 1.435 g/ekor. Pencapaian bobot badan akhir broiler yang dicapai pada
penelitian ini cukup baik, hal ini didukung dengan pernyataan Murtidjo (2003) bahwa bobot
badan akhir broiler siap potong umumnya berkisar antara 1.300 g – 1.680 g. Sedangkan hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Rasyaf (1992) nilai bobot badan akhir broiler berkisar antara
1.610 g – 1.840 g.
Bila dibandingkan dengan nilai bobot badan perlakuan P4 dengan menggunakan
pakan komersil (1.840 g/ekor), maka bobot badan akhir yang dicapai untuk keseluruhan
perlakuan pakan dengan tambahan ampas sagu masih dibawah nilai pakan komersil. Hasil
analisis statistik menunjukan bahwa pemberian level ampas sagu berpengaruh sangat nyata
(P<0.05) terhadap bobot akhir ayam broiler. perlakuan pemberian level ampas sagu 15%
berbeda nyata (P<0,05), dibanding Perlakuan P2 dan P3. Perbedaan ini diduga karena

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


692 | Teknologi Pertanian
kandungan serat kasar yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya level ampas
sagu dalam ransum dan ini telah melebihi batas.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Tanpa Darah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan tanpa darah Broiler yang diberi
perlakuan ransum dengan penambahan level ampas sagu (Metroxylon Sp) tiap perlakuan
memberikan hasil rataan yang berbeda yaitu nilai yang tertinggi dicapai pada perlakuan P1
(1.525 g/ekor), P3 (1.336 g/ekor dan P2 (1.331 g/ekor). Sedangkan untuk kontrol positif (P4)
sebesar 1.670 g/ekor.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap bobot tanpa darah Broiler. Dengan kata lain penambahan level ampas
sagu dalam ransum memberikan perbedaan yang sangat besar pada bobot tanpa darah.
Sehingga dilanjutkan uji lanjut menunjukkan bahwa Perlakuan ampas sagu 15% berbeda
nyata (P<0,05) dibanding perlakuan ampas sagu (30%) dan (45%). Sedangkan antar
perlakuan ampas sagu 30% dan 45% tidak berbeda nyata. Perbedaan ini diduga karena level
ampas sagu yang diberikan mempunyai kandungan komposisi zat gizi ampas sagu yang telah
mengalami perbaikan nilai nutrisi dengan cara bio-fermentasi dengan penambahan urea dan
probion sehingga ada pembentukan asam amino.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Tanpa Bulu

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada masing-masing perlakuan pakan yang


diberikan bobot tanpa bulu broiler dengan pemberian level ampas sagu tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap bobot tanpa bulu.
Akan tetapi data secara numerik pada Tabel 1, menunjukkan bahwa bobot badan
tanpa bulu tertinggi sebesar myang berkisar antara 1.454 g/ekor pada perlakuan ampas sagu
15%, selanjutnya diikuti perlakuan ampas sagu 45% (1.248 g/ekor) dan perlakuan ampas
sagu 30% sebesar 1.210 g/ekor. Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
hasil penelitian Rasyaf (1996) bobot badan tanpa bulu sebesar 1.520 g - 1.610 g.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Presentase Karkas, Bobot Paha, Punggung, Dada dan Sayap

Perlakuan pakan mempengaruhi nilai persentase karkas dan dan potongan tubuh
broiler selama penelitian (Tabel 2).

Tabel 2. Persentase karkas paha atas, paha bawah, punggung, dada, dan sayap broiler
Perlakuan
Parameter
P1 P2 P3 P4
Karkas Paha Atas (%) 11.40 a 11.41 a 11.10 ab 10.85 b
Karkas Paha bawah (%) 8.79 ab 9.75 a 8.09 b 8.12 b
Karkas Punggung (%) 15.78 14.54 16.57 17.59
Karkas Dada (%) 21.01 21.18 18.53 20.24
Karkas Sayap (%) 9.17 a 8.68 b 8.14 b 7.86 c
Ket: Angka berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05 )

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 693
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Persentase Karkas Paha Atas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase Karkas paha atas broiler yang
diberikan perlakuan ransum dengan penambahan level ampas sagu (Metroxylon Sp)
menunjukkan nilai yang berkisar antara 11,10% – 11,41% seperti terlihat pada Tabel 2. Nilai
persentase karkas paha atas tertinggi pada perlakuan pakan dengan tambahan ampas sagu
sebesar 30% sebesar 11,41%, diikuti perlakuan ampas sagu 15% sebesar 11,40% dan
perlakuan pakan ampas sagu 45% sebesar 11,10%. Untuk perlakuan kontrol positif (P4) nilai
karkas paha atas yang dicapai sebesar 10,85%.
Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian keseluruhan level ampas
sagu tidak begitu membedakan nilai persentase karkas paha atas antar masing-masing
perlakuan. Hal ini disebabkan mungkin karena cukup tersedianya protein dan energi dalam
ransum untuk proses metabolisme dalam tubuh ternak.
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian level ampas sagu
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase karkas paha atas broiler, dimana P1, P2
dan P3 tidak berbeda, tetapi berbeda dengan P4.

Persentase Karkas Paha Bawah

Rataan nilai persentase Karkas bawah broiler yang diberikan perlakuan ransum
dengan penambahan level ampas sagu menunjukkan nilai yang tertinggi pada perlakuan P2
(ampas sagu 15%) sebesar 9,75% dan terendah pada perlakuan ampas sagu 45% sebesar
8,09% (Tabel 2).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian level ampas sagu
berpengaruh sangat nyata terhadap presentase karkas Broiler. Pada masing-masing
perlakuan. Pemberian ampas sagu 30% tidak berbeda nyata dengan perlakuan ransum
tambahan ampas sagu 15%, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan ampas sagu 45% dan
perlakuan pakan komersil.

Persentase Karkas Punggung

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian level ampas sagu tidak
berpengaruh terhadap berat karkas punggung broiler. Tetapi nilai rataan yang dicapai untuk
masing-masing perlakuan beragam. Perlakuan pakan dengan tambahan ampas sagu 45%
menghasilkan nilai persentase karkas punggung tertinggi 16,57% diikuti dengan perlakuan
pakan dan tambahan ampas sagu 15% sebesar 15,78% dan perlakuan ampas sagu 30%
sebesar 14,54.
Bila keseluruhan perlakuan level ampas sagu dibandingkan dengan perlakuan kontrol
positif (P4) maka nilai perlakuan tersebut masih dibawah nilai perlakuan yang dicapai pada
perlakuan tersebut sebesar 17,59%.

Presentase Karkas Dada

Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian level ampas sagu pada masing-masing
perlakuan tidak berpengaruh terhadap persentase karkas dada (Tabel 2). Akan tetapi data

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


694 | Teknologi Pertanian
secara numerik pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa rataan presentase dari tiap perlakuan
yaitu perlakuan ampas sagu 30% (P2) paling tinggi sebesar 21,18 % kemudian diikuti
perlakuan ampas sagu 15% (P1) 21,01 % diikuti selanjutnya perlakuan P3 dan P4 yang
masing–masing sebesar 18.53 % dan 20.24 %.

Persentase Karkas Sayap

Data pada Tabel 2, di atas menunjukan bahwa rata–rata persentase Karkas sayap
masing-masing perlakuan berbeda nyata dengan kisaran 8,14-9,17%. Nilai persentase karkas
sayap tertinggi pada perlakuan ampas sagu 15% sebesar 9,17%, lebih tinggi dari perlakuan
ampas sagu 30% sebesar 8,89%, perlakuan ampas sagu 45% 6,14%. Demikian juga bila
dibanding dengan perlakuan kontrol positif sebesar 7,86%.
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ampas sagu cukup memberikan hasil statistik
yang signifikan (P<0,05) dibanding dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga adanya
keseimbangan yang cukup berarti dalam proses metabolisme pakan dalam tubuh ternak.
Terutama dengan pakan ampas sagu yang telah difermentasi, sehingga dapat meningkatkan
kandungan nutrisi pakan dengan menyediakan berbagai nutrisi yang dibutuhkan ternak
dalam hidupnya.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Giblet

Persentase Bobot Rempela ( Gizzard )


Rataan bobot rempela ayam broiler pada umur 4 minggu yang diperoleh dari
penelitian perlakuan dengan menggunakan ampas sagu berkisar antara 2,33% - 3,37%. Hasil
sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas sagu dalam ransum nyata (P<0,05)
mempengaruhi Persentase bobot rempela, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap persentase/bobot kosong rempela, bobot hati, bobot
empedu, bobot limpah dan bobot jantung
Perlakuan
Parameter
P1 P2 P3 P4
Bobot Hidup (g) 1.610 b 1.435 c 1.440 c 1.840 a
Bobot Rempela (g) 50,4 48,4 47,8 42,8
(%) 3,13 3,37 3,32 2,33
Bobot Hati (g) 39,2 31,2 32,2 45,2
(%) 2,43 2,17 2,24 2,46
Bobot limpa (g) 2,8 2,0 2,1 2,5
(%) 0,17 0,14 0,15 0,14
Bobot Jantung (g) 7,6 a 5,6 a 6,0 b 7,4 b
(%) 0,47 0,39 0,42 0,40
Ket: Angka berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)

Hasil uji BNT menunjukkan bahwa persentase bobot rempela nyata (P<0,05) lebih
tinggi pada ayam yang diberi perlakuan ransum dengan tambaham ampas sagu
dibandingkan dengan kontrol (pakan komersil tanpa ampas sagu). Penggunaan ampas sagu

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 695
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
sebesar 30% menghasilkan berat rempela tertinggi sebesar 3,37%, selanjutnya diikuti ampas
sagu 45% sebesar 3,32%; ampas sagu 15% sebesar 3,13% dan terendah 2,33% pada
perlakuan kontrol positif (P4). Tingginya nilai bobot rempela pada perlakuan penggunaan
ampas sagu dibandingkan pakan komersil diduga berkaitan dengan pakan yang dikonsumsi
berserat kasar cukup tinngi, sehingga menyebabkan rempela membutuhkan energi yang
cukup besar untuk bekerja menghancurkan bahan pakan yang masuk. Hal ini menyebakan
terjadi pembesaran rempela. Fungsi rempela yaitu memecah dan melunakan pakan dan
mencampurnya dengan air menjadi pasta (Tobing, 2004) menyatakan pada ayam yang
dipelihara secara terkurung dengan pakan lunak rempela di sekresikan dan berfungsi untuk
melindungi permukaan terhadap kerusakan dan rempela ayam kampung lebih kuat. Hasil
yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Arifien (2003) berkisar antara 3,24% - 4,54%.

Persentase Bobot Hati (Liver)


Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan
penggunaan ampas sagu terhadap bobot hati broiler. Rataan persentase bobot hati broiler
penelitian ini berkisar antara 2,17% – 2,46%.
Peningkatan persentase bobot hatiayam broiler penelitian ini seiring dengan
peningkatan penggunaan ampas sagu selama penelitian. Persentase bobot hati tertinggi
dalam penelitian ini pada perlakuan kontrol (P4) sebesar 2,46%, selanjutnya diikuti oleh
perlakuan ampas sagu 15% sebesar 2,43%, perlakuan ampas sagu 45% sebesar 2,24% dan
perlakuan ampas sagu 30% sebesar 2,17% (Tabel 3). Bila dibandingkan dengan hasil
penelitian lainnya yang dilakukan oleh penelitian oleh Arifien (2003) dalam penelitian
pengaruh tepung daun talas terhadap karkas ayam broiler diperoleh hasil bobot hati 3,55% –
4,53%.

Persentase Bobot Limpa


Rataan persentase bobot limpa ayam broiler selama penelitian berkisar antara 0,14%
- 0,17%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan ampas sagu fermentasi dalam
pakan ternak tidak berpengaruh nyata terhadap persentase bobot limpa broiler..
Persentase bobot limpa tertinggi dicapai pada perlakuan ampas sagu fermentasi 15%
sebesar 0,17%, selanjutnya diikuti perlakuan ampas sagu fermentasi 45% sebesar 0,15%, dan
perlakuan ampas sagu fermentasi dan perlakuan kontrol dengan nilai yang dicapai sama
yaitu 0,14%. Persentase bobot limpa yang dicapai pada penelitian ini lebih tinggi dibanding
hasil penelitian Haryanto (1984) yaitu berkisar antara 0,07%-0,13%.

Persentase Bobot Jantung

Rataan bobot jantung ayam broiler selama penelitian berkisar 0,39%-0,47%.


Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa bobot jantung tidak dipengaruhi oleh level
pemakaian ampas sagu dalam ransum. Walaupun demikian terjadi peningkatan bobot
jantung masing-masing perlakuan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


696 | Teknologi Pertanian
Persentase bobot jantung tertinggi diperoleh pada perlakuan ampas sagu 15%
sebesar 0,47% selanjutnya perlakuan ampas sagu 45% sebesar 0,42%, kontrol positif sebesar
0,40%, dan perlakuan ampas sagu 30% sebesar 0,39%. Kisaran bobot jantung dalam
penelitian ini sedikit lebih tinggi, bila dibandingkan hasil penelitian Tobing (2004) yaitu
sebesar 0,35% - 0,41%.
Peningkatan persentase bobot jantung diduga sebagai respon jantung terhadap
tingginya kandungan serat kasar yang dihancurkan oleh kinerja rempela dengan
menggunakan energi dan daya kerja yang tinggi. Dimana jantung sebagai organ vital yang
berperan dalam sirkulasi darah. Asam oksalat dalam ransum dapat menyebabkan
pembekuan darah menjadi terhambat akibatnya sirkulasi darah terhambat pula yang
menyebabkan kinerja jantung meningkat. Kinerja ini mengakibatkan jantung membesar
(Anwar dan Pilliang, 1992).

KESIMPULAN
Pemberian ampas sagu fermentasi sebesar 15% mempengaruhi bobot badan akhir,
bobot badan tanpa bulu dan bobot badan tanpa darah. Dibandingkan perlakuan
pemanfaatan penggunaan ampas sagu fermentasi 30% dan 45%. Perlakuan pemberian
pakan dengan tambahan ampas sagu fermentasi mempengaruhi persentase karkas (paha
atas, paha bawah dan sayap), tapi tidak mempengaruhi persentase karkas (dada dan
punggung). Penggunaan ampas sagu fermentasi tidak mempengaruhi persentase dan bobot
giblet (hati, rempela, limpa), tetapi mempengaruhi persentase bobot jantung.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan ampas sagu, ditingkatkan penelitian dengan
menggunakan bio-fermentasi lainnya yang murah, mudah dan tersedia setiap saat di lokasi
pengembangan ternak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan Terima Kasih Ditujukan Terutama Kepada Saudari Lidia Dogopia, Sebagai
Mahasiswa sekolah tinggi ilmu pertanian (Stiper) Santo Thomas Aquinas, yang telah
membantu penelitian ini dalam hal pelaksanaan dan pengumpulan data penelitian. Kepada
Kepala Laboratorium Nutisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor,kami tak lupa juga mengucapkan terima kasih dalam hal pengujian dan analisis sampel
penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986. Beternak Ayam Pedaging. Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Anwar, H. M. dan W. G. Pilliang, 1992. Biokimia dan Fisiologi Gizi. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Arifien, 2003. Rahasia Sukses Memelihara Ayam Broiler di Daerah Tropis. Penerbit PT.
Swadaya Jakarta.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 697
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Haryanto, 1984. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Kartadisastra, 1994. Pengelolahan Pakan Ayam. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Murtidjo, 2003. Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Rasyaf, 1996. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit PT. Penebar Swadaya, Anggota IKAPI
Jakarta.
Rasyaf, 1992. Pengelolahan Peternakan Unggas Pedanging. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Rasyaf, 2002. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Steel R. G. D and J. H. Torrie. 1991. Prinsip Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik.
Penerbit PT. Gramedia Jakarta.
Tobing, 2004. Beternak Ayam Broiler Bebas Antibiotik. Penebar PT. Penebar Swadaya
Jakarta.
Unsrat, 1997. Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


698 | Teknologi Pertanian
PENINGKATAN NILAI NUTRISI AMPAS SAGU
MENGGUNAKAN BIO-FERMENTASI

Harry Triely Uhi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

ABSTRAK
Peningkatan Nilai Nutrisi Ampas Sagu (Metroxylon Sp.) Menggunakan Bio-Fermentasi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui waktu fermentasi yang tepat untuk meningkatkan kadar protein
pada ampas sagu dengan menggunakan probion. Penelitian menggunakan Rancangan Acak
kelompok (RAK) dengan 6 (enam) perlakuan dan 3 (tiga) ulangan, sehingga diperoleh 18 satuan
percobaan. Perlakuan yang dilakukan adalah : P1 = Ampas sagu Ihur 100 kg + Probion 100 g +
Urea 100 g, P2 = Ampas sagu Tuni 100 kg + Probion 100 g + Urea 100 g, P3= Ampas sagu Ihur
100 kg + Probion 200 g + Urea 200 g, P4 = Ampas sagu Tuni 100 kg + Probion 200 g + Urea 200 g,
P5 = Ampas sagu Ihur 100 kg + Probion 300 g + Urea 300 g dan P6 = Ampas sagu Tuni 100 kg +
Probion 300 g + Urea 300 g. Parameter yang diamati adalah pH, suhu, Protein kasar, Serat kasar,
Lemak Kasar, Energi Metabolis dan Bahan Kering. Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai
berikut :1). Lama penelitian untuk mencapai proses fermentasi optimum yang tepat untuk
media ampas sagu ihur adalah 21 hari dengan perlakuan terbaik dengan campuran probion 300
gram dan urea 300 gram, menghasilkan protein kasar 4,81 serat kasar 5,49, lemak kasar 0,73%
dan energi metabolis 3860 kkal. 2). Suhu fermentasi tertinggi pada perlakuan P5, hari ke-15
(36 0C) dan nilai pH terendah pada akhir penelitian 4,2.

PENDAHULUAN
Salah satu faktor penunjang dalam pengembangan peternakan adalah tersedianya
ransum adalah jumlah dan kualitas yang memadai kenyataan menunjukkan, bahwa dalam
usaha peternakan yang menjadi masalah utama antara lain meningkatnya persaingan
pemenuhan kebutuhan bahan makanan antara manusia dan ternak. Di samping itu, bila
ditinjau dari segi biaya, ransum merupakan komponen biaya yang terbesar dari total
produksi. Khususnya untuk ternak babi, biaya ransum berkisar antara 55-85% dari seluruh
pengeluaran usaha, tergantung pada manajemen usaha (Parakkasi, 1999).
Dari biaya ini sebagian besar digunakan untuk membeli bahan ransum sumber energi,
karena pada dasarnya kebutuhan ternak dalam mengkonsumsi ransum adalah untuk
memenuhi kebutuhan energi. Keadaan ini merupakan tantangan bagi sub sektor peternakan
untuk berupaya mencari sumber ransum lain untuk mengurangi biaya produksi dan
persaingan pemenuhan kebutuhan bahan makanan manusia. Dengan demikian,
pemanfaatan suatu bahan sebagai ransum ternak di tiap daerah bisa berbeda, tergantung
pada kondisi daerah tersebut.
Kekayaan alam Indonesia akan sebagai tanaman masih memberikan peluang untuk
menyediakan bahan ransum terutama dari hasil limbah yang diperoleh baik limbah yang
diperoleh dari hasil pertanian adalah ampas sagu yang merupakan limbah industri
pengolahan tepung sagu. Sagu merupakan salah satu sumber daya alam nabati di Indonesia

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 699
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
yang mulai akhir tahun 70-an makin meningkat pemanfaatannya sebagai akibat dari program
pemanfaatan swasembada pangan nasional maupun peningkatan di Papua sangat luas.
Pada proses pengolahan sagu dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Ampas sagu
merupakan salah satu diantara limbah padat tersebut. Perbandingan tepung dan ampas satu
dalam proses pengolahan ini adalah 1 : 6 (Rumalatu dalam Ralahulu, 1998). Pada saat ini
limbah sagu yang terdapat di sentra-sentra produksi sagu masih belum dimanfaatkan dan
ditumpuk begitu saja, sehingga dapat mencemari lingkungan. Di Papua pemanfaatan Ampas
Sagu masih terbatas untuk ransum ternak babi terutama pada peternakan yang lokasinya
berdekatan dengan lokasi pengolahan tepung sagu. Cara pemanfaatan ampas sagu untuk
ternak babi ada yang mengambilnya dari tempat pengolahan dan memberikannya secara
langsung kepada ternak tanpa mengontrol jumlah pemberiannya, dan ada juga peternakan
yang membiarkan ternaknya mengkonsumsi langsung di tempat penumpukan pada lokasi
pengolahan tepung sagu.
Alternatif penggunaan ampas sagu sebagai bahan ransum ternak merupakan hal yang
positif walaupun disadari bahwa penggunaannya sebagai ransum mempunyai kendala
antara lain kecernaan dan kadar nutriennya rendah karena tingginya kadar serat kasar dan
rendahnya kadar protein. Kondisi ini menyebabkan penggunaan ampas satu dalam
campuran sagu hanya terbatas pada jumlah tertentu, dengan potensi yang kecil. Apabila
proporsi ampas sagu dalam campuran dalam ransum menjadi besar, proporsi bahan ransum
sumber protein juga harus di tingkatkan padahal harga bahan makanan sumber protein
sangat mahal. Tingginya kadar serat kasar dan rendahnya kadar protein menyebabkan
pemanfaatan ampas sagu lebih cocok untuk ternak ruminansia. Pemanfaatan ampas sagu
untuk ternak masih memerlukan pemecahan untuk dapat menurunkan serta kasar dan
meningkatkan kadar protein karena ternak memiliki keterbatasan dalam menggunakan serat
kasar (Zurriyati, 1995).
Berdasarkan permasalahan tersebut suatu penelitian untuk meningkatkan
penggunaan ampas sagu pada ternak akan dilakukan dengan cara pemanasan dan
fermentasi untuk menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar protein. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui aktu fermentasi yang tepat untuk meningkatkan kadar
protein pada ampas sagu dengan menggunakan probion dan EM4
Manfaat penelitian adalah: diperolehnya informasi baru pemanfaatan limbah bahan
lokal ampas sagu sebagai bahan pakan ternak dengan nilai nutrisi berkualitas baik,
mengurangi pencemaran lingkungan/polusi limbah sagu sebagai bahan pakan local, dan
menekan biaya produksi (pakan) dan penggunaan bahan makanan lain yang bersaing dengan
manusia dalam berusaha ternak.

BAHAN DAN METODE


Peralatan Penelitian yang digunakan Oven, pH meter, Sentrifuse, Timbangan digital,
Thermometer, Wadah untuk fermentasi dan Terpal. Sedangkan bahan penelitian berupa Bio-
fermentasi (Probion), Dua jenis ampas sagu (Ihur, Tuni) dan Urea.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


700 | Teknologi Pertanian
Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengumpulkan dua jenis ampas sagu, yang
diambil dari tempat panen tepung sagu yang berada di sekitar desa Kehiran dan Komba.
Selanjutnya ampas/ela sagu dikering anginkan selama kurang lebih 1 jam di bawah sinar
matahari. Pisahkan benda-benda asing sebelum dimasukkan ke karung penyimpanan. Ampas
sagu yang telah dibersihkan dicampurkan probion dengan perbandingan sagu (100 kg) :
Probion (100 gram, 200 gram dan 300 gram : Urea (100 gram, 200 gram dan 300 gram).
Ampas sagu tiap perlakuan dicampurkan secara merata, kemudian dimasukan dalam wadah
bercela dengan ketinggian antara 15-20 cm. Selanjutnya wadah seluruh perlakuan ditutupi
dengan plastik selama 21 hari. Perlakuan fermentasi yang dilakukan adalah :
P1 = Ampas sagu Ihur 100 kg + Probion 100 g + Urea 100 g
P2 = Ampas sagu Tuni 100 kg + Probion 100 g + Urea 100 g
P3 = Ampas sagu Ihur 100 kg + Probion 200 g + Urea 200 g
P4 = Ampas sagu Tuni 100 kg + Probion 200 g + Urea 200 g
P5 = Ampas sagu Ihur 100 kg + Probion 300 g + Urea 300 g
P6 = Ampas sagu Tuni 100 kg + Probion 300 g + Urea 300 g
Parameter yang diamati adalah pH, suhu, Protein kasar, Serat kasar, Lemak Kasar,
Energi Metabolis dan Bahan Kering. Pengambilan data suhu dan pH dilakukan setiap 3 hari
selama 2 kali yaitu jam 10.00 pagi dan jam 14.00 siang. Analisis proksimat dilakukan setiap
minggu dan pengukuran kandungan N fermentasi dilakukan diakhir penelitian. Caranya
pertama-tama mengambil sampel 3 titik pada wadah perlakuan, kemudian diberi aquabides
dan disentrifuse pertama dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Pisahkan cairan dan
endapan. Sentrifuse ke-2 dilakukan dengan mengambil hasil endapan sentrifuse ke-1
(endapan) disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya
dianalisis kandungan N-mikroba, N-terlarut dan N-terikat di Media.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) 6 x 3. Bila hasil analisis
ragam menunjukkan berbeda nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel and
Torrie, 1991). Data dianalisis menggunakan program general linier model (GLM) (SAS
Institute, 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Umum Hasil Fermentasi

Dalam proses fermentasi, media yang digunakan harus mencukupi keperluan pokok
untuk biomassa, biosintesa dan pemeliharaan sel. Adapun persamaan yang mendasari
pertumbuhan dan pembentukan produk fermentasi adalah :
Sumber karbon ditambahkan sumber Nitrogen dan tambahan zat lain yang
dibutuhkan Mikroba biomassa sel / produk + CO2 + H2O + panas
Sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba dalam proses fermentasi ini
adalah pati dari ampas sagu (Metroxylon sp) dan sebagai sumber nitrogen ditambahkan urea
pada substrat.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 701
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Selama fermentasi dilakukan pengamatan terhadap aktivitas mikroba pada substrat.
Pengamatan ini terdiri dari pengamatan deskriptif meliputi perubahan warna menjadi putih,
rasa hangat dan adanya spora pada substrat; sedangkan pengamatan suhu dilakukan setiap
hari selama proses fermentasi berlangsung.
Setelah 2-3 hari proses fermentasi berlangsung mulai terlihat peningkatan suhu
substrat yang difermentasi, dan suhu akan terus meningkat dengan semakin lamanya
fermentasi berlangsung. Hal ini di duga karena pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam
substrat mulai mengalami peningkatan dengan adanya proses fermentasi dimana terjadi
pemecahan dinding sel selulosa dan hemiselulosa dari amnpas sagu dan pemanfaatan unsur
carbon sebagai sumber energi oleh mikroba. Pada saat tersebut ketersediaan sumber karbon
dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh mikroba terus nmeningkat sampai mencapai titik
optimum dan terus akan menurun dan secara fisik terlihat spora yang semakin banyak di
permukaan substrat.
Pengamatan deskriptif terhadap selama proses fermentasi dilakukan juga untuk
menentukan umur panen substrat yang difermentasi, disamping pengamatan suhu substrat
fermentasi. Pada Tabel 1 dapat dilihat penampilan media fermentasi secara visualisasi
selama waktu fermentasi. Untuk fermentasi ampas sagu dengan bio-fermentasi probion,
pemanenan dilakukan pada lama fermentasi 21 hari.

Tabel 1. Pertumbuhan Aspergillus Niger Selama 5 Hari Fermentasi


Lama Fermentasi
Pengamatan Deskriptif
(hari)
0-3 Belum terlihat aktivitas mikroba
3-6 Substrat sedikit hangat
6-9 Substrat hangat dan mulai terjadi perubahan warna
9 - 15 Substrat hangat, warna kemerahan dan agak lemas dan basah
15 - 17 Substrat sedikit hangat, warna putih kekuningan, telah merata dibagian tepi bahan
fermentasi, terlihat 25% misellium dan spora kapang terbentuk misellium 40%, spora
kapang 25%
17 - 21 Substrat sedikit hangat, misellium 60%, spora 40%

Di saat tersebut suhu fermentasi mulai menurun, terlihat misellium telah menyebar
rata di permukaan substratyang menyebabkan tekstur substrat terikat kompak dan spora
kapang semakin banyak terbentuk. Pada kondisi ini dianggap optimum untuk melakukan
pemanenan. Haryanto (1984) menyatakan, fermentasi dengan probion pada titik optimum
untuk memanen hasil membutuhkan waktu 21 hari.

Suhu Fermentasi

Pada awal fermentasi (0 hari suhu fermentasi adalah sekitar 26-27 oC. Setelah 12 jam
kemudian terjadi peningkatan suhu sekitar 2-3 oC sehingga meningkat bisa mencapai 29-30
o
C. seperti terlihat pada Gambar 1. Hal ini menunjukan adanya aktivitas biologis dari

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


702 | Teknologi Pertanian
mikroba, walupun demikian belum terlihat adanya pertumbuhan mikroba pada waktu
fermentasi 9 hari.
Selanjutnya suhu meningkat selama proses fermentasi berlangsung sejalan dengan
semangkin meningkatnya masa sel mikroba. Pada saat tersebut beturut-turut mulai hari ke-
15 dan seterusnya akan terlihat adanya hifa, misellium dan adanya spora permukaan
substrat. Peningkatan suhu ini disebabkan karena dalam pertumbuhannya, mikroba
menggunakan karbohidrat Sebagai sumber karbon. Pemecahan karbohidrat diikuti dengan
pembebasan energi dalam bentuk panas, CO2 dan H2O, sehingga menimbulkan panas dan
peningkatan suhu fermentasi.

38
Suhu Fermentasi ( 0 C)

36
34
32
30

28
26
24
0 3 6 9 12 15 17 21
P1 27 28 31 32 34 31 29 27
P2 27 28 31 33 35 33 30 27
P3 26 28 32 33 34 32 28 27
P4 26 28 31 33 34 32 28 27
P5 27 29 31 33 36 32 28 26
P6 26 29 32 34 36 32 28 27
Lama fermentasi (hari)

Gambar 1. Grafik perubahan suhu selama fermentasi

Setelah melewati hari ke-12, mulai terlihat adanya penurunan suhu fermentasi secara
drastis sampai pada hari ke-21. Penurunan ini diduga karena aktivitas mikroba untuk
memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi panas dan nitrogen yang tersedia pada
substrat/media kandungannya semakin menurun,

Nilai pH Fermentasi

Pengaruh perlakuan penggunaan bio-fermentasi berupa probion yang ditambahkan


urea memperlihatkan laju penurunan terhadap nilai pH mulai dari awal fermentasi sampai
hari ke-21, seperti terlihat pada Gambar 2 dibawah ini. Sampai akhir pengamatan perlakuan
P5 dan P6 menunjukkan nilai penurunan pH terendah sebesar 4,2 dibanding perlakuan P1,
P2, P3 dan P4. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan penambahan urea sebesar 300 g pada
ampas sagu tuni (P6) sejak hari ke-3, hari ke-6, hari ke-9 sampai hari terakhir
memperlihatkan perubahan penurunan pH yang signifikan, hal ini diperlihatkan juga pada
perlakuan P5 mulai pada hari ke-12 menunjukkan kecendrungan penurunan nilai pH yang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 703
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
mendekati nilai pH pada perlakuan P6, diduga peran mikroba dalam memanfaatkan urea
mulai meningkat karena kebutuhan akan energi dan Nitrogen pada urea.
6.2

5.9

5.6
Nilai pH

5.3

5.0

4.7

4.4

4.1
0 3 6 9 12 15 18 21

P1 6.0 5.9 5.7 5.5 5.2 5.1 5.0 4.9


P2 6.0 6.0 5.8 5.6 5.4 5.2 5.2 5.0
P3 6.0 5.9 5.8 5.5 5.4 5.2 5.0 4.9
P4 6.0 5.8 5.7 5.5 5.2 5.1 5.0 4.9
P5 6.0 6.0 5.8 5.4 5.0 4.7 4.5 4.2
P6 6.0 5.7 5.5 5.2 4.9 4.7 4.5 4.2
Lama Fermentasi (hari)

Gambar 2. Grafik perubahan nilai pH selama fermentasi

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis ragam, nilai pH produk ampas sagu fermentasi
menunjukan sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh perlakuan fermentasi, akan tetapi
pengaruh kelompok pembuatan fermentasi tidak nyata terhadap nilai pH produk
fermentasi. Pada Tabel 2 dapat dilihat rataan nilai pH produk ampas sagu fermentasi.
Reed (1975) menyatakan bahwa perubahan pH tersebut akan menyebabkan
perubahan ionisasi pada protein enzim substrat. Nilai pH awal dari ampas fermentasi yaitu
rata-rata 6 (enam) yang berarti masih termasuk kedalam kisaran pH optimum untuk
pertumbuhan mikroba. Menurut Fraizer dan Westhoff (1978), pH optimum untuk
pertumbuhan mikroba adalah pada kisaran 4,5-5,5. Akan tetapi akhir fermentasi terlihat
kecenderungan penurunan nilai pH, hingga mencapai kisaran optimum untuk pertumbuhan
mikroba. Pada saat ini dapat diduga bahwa pertumbuhan dari mikoba tersebut mulai
mengalami penurunan, karena dapat dikatakan bahwa pH merupakan faktor pembatas
dalam proses fermentasi ini selain faktor suhu dan penampilan fisik dari produk ampas sagu.
Penurunan nilai pH produk ampas fermentasi selama penelitian yaitu mulai hari awal
pH 6 sampai menjadi terendah 4,2 diakibatkan oleh adanya pembentukan amoniak, dimana
amoniak tersebut merupakan produk metabolisme yang berasal dari hasil penguraian
nitrogen yang terdapat pada bahan dasar itu sendiri dan nitrogen yang ditambahkan sperti
amonium sulfat serta urea yang penguraiannya diakibatkan oleh adanya aktivitas
mikroorganisme.
Menurut hasil penelitian yang dikutip oleh Haryanto (1984), bila fermentasi dilakukan
selama dua puluh satu hari, suhu pH-nya akan menurun karena adanya sintesis protein oleh
mikrobayang jika berlebihan akan terjadi Sporulasi serta menghasilkan aroma khas, selain
itu penurunan pH ini juga diakibatkan oleh adanya aktivitas enzim oleh mikroba dalam
pembentukan asam laktat.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


704 | Teknologi Pertanian
Kandungan Nutrisi

Berdasarkan analisis proksimat kandungan gizi ampas sagu yang fermentasi dan non
fermentasi dari dua jenis sagu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Gizi Ampas Sagu Fermentasi dan non fermentasi


Kandungan Gizi
Bahan PK LK SK EM
Sagu Ihur (F) 4,81 0,73 5,49 3860
Sagu Tuni (F) 4,56 0,71 6,25 3508
Sagu Ihur (NF) 1,01 0,93 10,50 3969
Sagu Tuni (NF) 0,92 0,87 9,22 4105
Keterangan : PK (protein kasar); LK (lemak kasar); SK (Serat kasar); EM (Energi metabolis)

Protein Kasar

Persentase kadar protein kasar produk ampas fermentasi dari kedua jenis sagu (ihur
4,81% dan tuni 4,56%) lebih tinggi dibandingkan produk ampas non fermentasi ihur 1,01%
dan tuni 0,92%. Kenaikan kadar protein diakibatkan karena adanya kerja optimal mikroba,
disamping itu juga ditunjang dengan adanya ketersediaan urea (nitrogen) pada
substrat/media ampas sagu.
Bakteri akan menggunakan nitrogen (urea) dan diubah menjadi micro bio-protein
untuk kebutuhan hidup/pertumbuhannnya dan yang ada pada media tersebut. Wang et al.
(1979) menyatakan, selama proses fermentasi berlangsung, kadar protein media mengalami
peningkatan, .karena adanya kenaikan jumlah massa mikroba.

Kadar Serat Kasar

Persentase kadar serat kasar produk ampas fermentasi dari kedua jenis sagu (ihur
5,49% dan tuni 6,25%) lebih rendah dibandingkan produk ampas sagu non fermentasi ihur
10,50% dan tuni 9,22%. Penurunan kadar serat kasar diakibatkan karena adanya kerja dari
mikroba dalam pemanfaatan media/ampas sagu sebagai sumber energinya yang digunakan
selama proses fermentasi berlangsung dan untuk kebutuhan hidup tubuh mikroba itu
sendiri. Selain itu peningkatan kadar serat kasar produk fermentasi dapat dipengaruhi oleh
lamanya waktu fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi, akan menghasilkan
pertumbuhan miselium yang lebat tetapi tidak didukung dengan kemampuan kapang untuk
menghasilkan enzim pemecah serat.

Energi Metabolisme

Hasil analisis proksimat kandungan energi metabolis pada penelitian ini menunjukkan
terjadi penurunan nilai EM sebelum fermentasi dan sesudah fermentasi (Tabel 2). Pada
produk energi metabolis ampas sagu non fermentasi ihur 3969 Kal/g dan tuni 4105 kkal/g
lebih tinggi dibandingkan nilai energi metabolisme ampas sagu sesudah fermentasi ihur 3860
Kkal/g dan tuni 3508 kal/g. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya peningkatan daya kerja
mikroba yang membutuhkan banyak energi selama proses fermentasi, menyebabkan
banyaknya penyerapan energi. Disisi lain bahan yang serat kasar tinggi umumnya
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 705
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
mempunyai nilai energi metabolisme rendah. Seperti yang dinyatakan oleh Wahju (1988),
bahwa bahan makanan yang mengandung serat kasar tinggi mempunyai nilai energi
metabolis yang rendah.

KESIMPULAN
Lama penelitian untuk mencapai proses fermentasi optimum yang tepat untuk media
ampas sagu ihur adalah 21 hari dengan perlakuan terbaik dengan campuran probion 300
gram dan urea 300 gram, menghasilkan protein kasar 4,81 serat kasar 5,49, lemak kasar
0,73% dan energi metabolis 3860 kkal. Suhu fermentasi tertinggi pada perlakuan P5, hari
ke-15 (36 0C) dan nilai pH terendah pada akhir penelitian 4,2. Perlu penelitian lanjutan
untuk mengetahui efek pemanfaatan limbah ampas sagu yang telah difermentasi terhadap
produktivitas ternak unggas dan ruminansia.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih ditujukan terutama kepada Saudari Sonny Woisiri, Sebagai
Mahasiswa sekolah tinggi ilmu pertanian (Stiper) Santo Thomas Aquinas, yang telah
membantu penelitian ini dalam hal pelaksanaan dan pengumpulan data penelitian. Kepada
Kepala Laboratorium Nutisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor,kami tak lupa juga mengucapkan terima kasih dalam hal pengujian dan analisis sampel
penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Fardias, S. 1998. Fisiologi Fermentasi. PAU. Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Haryanto, B. dan P. Philipus, 1992, Potensi dan Pemanfaatan Sagu Kanisius. Yogyakarta.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI. Press, Jakarta.
Reed, G. 1975. Enzym in Food Processing. Academic Prees, New York.
Rumalatu, F. J. 1981. Distribusi dan Potensi Pati dari Batang beberapa Jenis Sagu
(Metroxylon sp) di daerah Seram Barat. Fakultas Pertanian, Universitas, Ambon.
SAS Institute. 1999. SAS Propirtary Software Version 8 (TS MO). SAS Inc. USA
Wang, D. I. C., C. L. Conney, A. M. Demain and M. D. Lilly. 1979. Fermentation and Enzymes
Technology. New York.
Zurriyati, Y. 1995. Peningkatan nutrisi ampas sagu (Metroxylon sp) sebagai bahan pakan
monogstrik dengan teknologi fermentasi menggunakan Aspergilus niger (Skripsi).
Fakultas Peternakan.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


706 | Teknologi Pertanian
UJI POTENSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH DALAM MENGHASILKAN
BIJI BOTANI DI DATARAN TINGGI SULAWESI SELATAN

Nurjanani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan,


Jl. Perintis Kemerdekaan KM 17,5 Makassar
E-mail: nurjanani_nani@yahoo.com.

ABSTRAK
Nurjanani. 2015. Uji potensi beberapa varietas bawang merah dalam menghasilkan biji botani
(True Seed of Shallot/TSS) di dataran tinggi Jeneponto, Sulawesi Selatan. Penelitian bertujuan
mengetahui satu sampai dua varietas bawang merah yang bisa menghasilkan biji botani (TSS) di
atas 1 g/rumpun. Penelitian dilaksanakan di Desa Loka, Kecamatan Rumbia, Kabupaten
Jeneponto dari bulan Maret hingga September 2015. Penelitian disusun berdasarkan Rancangan
Acak Kelompok dengan empat perlakuan varietas, dan diulang tiga kali. Hasil penelitian
menunjukkan tinggi tanaman dan jumlah anakan empat varietas yaitu Trisula, Pancasona,
Mentes dan Maja Cipanas tidak berbeda nyata. Varietas Trisula menunjukkan waktu berbunga
tercepat (3-7 hari) dari varietas lainnya. Produksi biji tertinggi diperoleh pada varietas Trisula
dan Pancasona yakni 4,90 g dan 4,18 g per rumpun. Hasil analisis R/C ratio menunjukkan
bahwa produksi benih TSS kedua varietas tersebut layak diusahakan dengan R/C ratio 1,3. Hasil
penelitian disimpulkan bahwa (1) Varietas yang menghasilkan biji terbanyak adalah Trisula dan
Pancasona masing-masing 4,90 g dan 4,18 g per rumpun, dengan persentase tanaman berbunga
masing-masing 93% dan 90%. Sedangkan varietas Maja Cipanas dan Mentes menghasilkan biji
masing-masing 1,85 g dan 1,49 g, namun persentase tanaman yang berbunga pada varietas
Maja Cipanas hanya 60% dan varietas Mentes 30%. Sehingga dua varietas bawang merah yaitu
Trisula dan Pancasona dapat direkomendasikan sebagai penghasil benih TSS bawang merah di
dataran tinggi kering Sulawesi Selatan.
Kata Kunci: True Shallot Seed, Bawang Merah, Adaptasi, Varietas

PENDAHULUAN
Peningkatan produksi bawang merah saat ini terkendala dengan sulitnya bibit unggul
lokal menjelang musim tanam. Untuk mendapatkan benih tersebut, harus didatangkan dari
luar Sulsel, yang tentunya harganya cukup mahal, dan masih merupakan benih yang tidak
bersertifikat.
Masalah penggunaan benih bawang merah melalui umbi secara terus menerus dan
tidak melalui seleksi menyebabkan terjadinya penyakit degeneratif, yaitu selalu membawa
penyakit dari pertanaman sebelumnya seperti penyakit layu (Fusarium sp), antraknose
(Colletotrichum sp), bakteri, dan virus (Sumarni, et.al 2012). Hal tersebut mempengaruhi
rendahnya produktivitas bawang merah.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan cara penggunaan bahan tanam dari biji
(perbanyakan generatif) (Wulandari, et.al. 2014). TSS atau True Shallot Seed memiliki
beberapa kelebihan yaitu menghasilkan produksi yang lebih tinggi (Basuki, 2009),
menghasilkan tanaman yang sehat bebas dari penyakit dan virus, kebutuhan benih bawang

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 707
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
merah asal TSS lebih sedikit yaitu 3 - 7 kg/ha dibandingkan dengan benih asal umbi yaitu 1,0
-1,5 t/ha (Rosliani dan Hilman, 2016), sehingga mengurangi biaya benih (Basuki 2009), tidak
memerlukan gudang penyimpanan yang luas dan transportasi khusus.
Melihat beberapa kelebihan TSS daripada umbi, Penggunaan biji bawang merah
sebagai sumber benih merupakan salah satu solusi untuk mencukupi kebutuhan benih
bawang merah bermutu. Selain itu TSS menghasilkan nisbah perbanyakan benih (umbi ke
biji/TSS yang tinggi (1:200-300), dan memiliki daya simpan yang lama > 2 tahun, serta tidak
memiliki masa dormansi sehingga penyediaan benih terjamin sepanjang tahun (Rosliani dan
Hilman, 2016). Menurut Sulistyaningsih dalam Jasmin et al (2013) bahwa tanaman bawang
merah umumnya berbunga di dataran tinggi, namun sekarang tanaman bawang merah
dapat berbunga di dataran rendah. Kendala terbesar pengembangan TSS di daerah tropis
seperti di Indonesia adalah teknik produksi TSS relatif sulit jika dibandingkan produksi umbi
benih. Hingga saat ini, TSS yang beredar secara komersial adalah benih TSS yang dihasilkan
di luar negeri (Pangestuti dan Sulistyaningsih, 2011).
Beberapa kendala yang dihadapi dalam menghasilkan TSS adalah Pembungaan
bawang merah masih rendah dan tidak serempak. Rendahnya persentase pembungaan
bawang merah disebabkan oleh keadaan lingkungan cuaca di Indonesia, terutama panjang
hari yang pendek (Sopha, 2013; 2014) Bawang merah membutuhkan penyinaran setidaknya
12 jam per hari dan kebutuhan pupuk yang tinggi (Sopha, et al. 2014). Menurut Moeljani
(2014) pembungaan bawang merah dapat diinduksi pembungaan dan pembijiannya melalui
kombinasi pengaturan panjang hari sebesar 16 jam dan aplikasi GA3 sebesar 200 ppm pada
fase inisiasi. Menurut Rosliani et al (2005) pembungaan bawang merah didataran tinggi yang
terbaik ditanam pada bulan September.
Teknologi yang mendukung produksi TSS juga sudah banyak dihasilkan oleh Badan
Litbang Pertanian diantaranya adalah vernalisasi umbi pada suhu 10 oC selama 30-35 hari
(Sumiati, 1997), pemupukan dengan SP-36 200 kg/ha (Sumiati dan Gunawan, 2003) NPK 600
kg/ha (Sumarni, et al. 2010), Penggunaan Benzylaminopurine (BAP) 37,5 ppm dan boron 3
kg/ha (Rosliani et al., 2012).
Dengan berkembangnya inovasi sistem perbenihan bawang merah asal TSS, maka
diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat seperti tersedianya alternatif sumber benih
bawang merah bermutu secara mudah, massal dan berkesinambungan, mendorong
terwujudnya swasembada benih bawang merah, terbukanya peluang industri benih untuk
para penangkar benih, dan produktivitas bawang merah yang meningkat diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan petani. Penerapan teknologi tersebut diharapkan dapat
mendukung pengembangan TSS di Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui
satu sampai dua varietas bawang merah yang bisa menghasilkan biji botani (TSS) di atas 1
g/rumpun di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Dusun Bukkulu, Desa Loka, Kecamatan Rumbia, Kabupaten
Jeneponto (1.200 m di atas permukaan laut), dari bulan Mei hingga September 2015.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


708 | Teknologi Pertanian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan dan diulang
tiga kali. Perlakuannya adalah Varietas Trisula, Pancasona, Maja Cipanas, dan Mentes.
Umbi bawang merah yang digunakan berukuran 3-5 g. Sebelum ditanam, umbi
divernalisasi pada suhu 10 oC (Sumiati 1997) selama 30 hari. Setelah vernalisasi, umbi
derendam dalam larutan BAP dengan konsentrasi 37,5 ppm (Rosliani, et. al. 2012) selama 1
jam. Pelarutan BAP menggunakan KOH 0,5 NaOH 1 M setelah larut kemudian dicampurkan
ke dalam air mineral sesuai dengan kebutuhan. Setelah 1 jam direndam umbi ditiriskan di
atas wadah sampai airnya kering. Selanjutnya umbi diberi fungisida berbahan aktif
mancozeb 80% dengan dosis 2 g/kg umbi.
Lahan diolah menggunakan cangkul sedalam 30 cm, digemburkan lalu dibuat
bedengan dengan ukuran lebar 100 cm, tinggi 30 cm, dan panjang disesuaikan dengan
kondisi lapangan. Jarak antar bedengan 50 cm. Arah bedengan Utara – Selatan. Diatas
bedengan diberi pupuk kandang ayam dosis 10 t/ha dan SP-36 dosis 200 kg/ha. Bedengan
dipasangi mulsa hitam, dan dibuat lubang tanam dengan jarak 20 cm x 20 cm. Benih yang
telah disiapkan ditanam satu umbi per lubang.
Aplikasi BAP susulan dilakukan pada 1 dan 3 minggu setelah tanam dengan cara di
siramkan 250 ml/rumpun. Pupuk NPK (16-16-16) digunakan dengan dosis 600 kg/ha
(Sumarni dan Rosliani, 2012) yang diaplikasikan sebanyak 10 kali mulai pada umur 10 hari
setelah tanam (HST) diaplikasikan seminggu sekali, dengan dosis 60 kg/ha untuk setiap
aplikasi. Sedangkan pemberian boron dilakukan 3 kali yaitu pada umur 3, 5, dan 7 minggu
setelah tanam dengan dosis 3 kg/ha (Rosliani et al, 2012) masing-masing sepertiga dosis
setiap aplikasi. Seminggu setelah tanam, dibuat naungan dari bambu dengan atap dari
plastik putih transparans untuk melindungi bunga dari terpaan angin dan hujan (Sumarni et
al, 2012 ).
Parameter yang diamati meliputi:
 Pertumbuhan tanaman, yaitu ukuran tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun.
 Komponen pembungaan, yaitu persentase tanaman berbunga, Jumlah umbel/bunga
per rumpun.
 Komponen Hasil, yaitu waktu panen, jumlah tanaman yang dipanen biji, jumlah
kapsul/rumpun,jumlah dan bobot biji/rumpun
 Analisis kelayakan usahatani

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman dan jumlah anakan

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman varietas bervariasi mulai dari 43.17
cm (Varietas Mentes), hingga 50.11 cm (Pancasona) pada minggu kelima setelah tanam.
Varietas tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan pada umur 3 minggu setelah tanam
(MST) dan pada umur 4 MST varietas mulai mempengaruhi jumlah anakan. Varietas dengan

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 709
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
jumlah anakan terendah pada varietas Maja Cipanas yaitu 9,11 anakan per rumpun dan
jumlah anakan tertinggi pada Varietas Mentes 12,22 anakan per rumpun.

Tabel 1. Pengaruh Varietas terhadap Tinggi Tanaman dan jumlah anakan Bawang Merah
Minggu setelah tanam (MST)
3 4 5
No Varietas Tinggi Jumlah Jumlah Tinggi
Tinggi Tanaman
Tanaman anakan anakan Tanaman

36.89 a a b
1 Trisula 5.39 41.44 9.67 bc 48.83 a
30.78 b a c
2 Pancasona 6.00 38.44 11.06 ab 50.11 a
29.72 bc a c
3 Mentes 5.78 34.83 12.22 a 43.17 b
28.11 c a b
4 Maja Cipanas 4.94 38.33 9.11 c 50.00 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
Tukey test pada taraf α 0.05.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah anakan empat
varietas bawang merah yang diuji melebihi deskripsi varietas yang dikeluarkan oleh Balitsa.
Tinggi tanaman dan jumlah anakan selain dipengaruhi oleh faktor abiotik,diantaranya faktor
nutrisi juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Hidayat, dkk. (2011) melaporkan bahwa varietas
Trisula mempunyai tinggi tanaman 39,92 cm dan memiliki 5-8 anakan per rumpun. Varietas
Pancasona memiliki tinggi tanaman 41,13 cm dan jumlah anakan 3-7 per rumpun. Varietas
Mentes memiliki tinggi tanaman 42,07 cm dan jumlah anakan 8-12 anakan per rumpun.
Putrasamedja dan Suwandi (1996) mengemukakan bahwa varietas Maja Cipanas memiliki
tinggi tanaman berkisar antara 24,3 - 43,7 cm dengan jumlah anakan yaitu 6-12 per rumpun.
Jumlah anakan berkaitan dengan ukuran umbi, dimana ukuran umbi yang besar dihasilkan
oleh tanaman yang memiliki jumlah anakan sedikit.
Tinggi tanaman bawang merah berbeda tergantung klon serta tipe pertumbuhan,
panjang daun ternyata tergantung pada pertumbuhan dimana tiap lokasi berbeda, karena
hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dan musim (Hidayat, 2011). Penggunaan
Benzylaminopurine (BAP) pada umbi bawang merah sebelum tanam juga bisa
mempengaruhi tinggi tanaman karena aktif dalam pembelahan sel. Adapun, fungsi hormon
sitokinin yaitu mengatur pembentukan bunga dan buah, mengatur pertumbuhan daun dan
pucuk, memperbesar daun muda, merangsang pembentukan akar dan batang serta
pembentukan cabang akar dan batang, dan menghambat proses penuaan dengan cara
merangsang proses serta transportasi garam-garam mineral dan asam amino ke daun.

Komponen Pembungaan

Umur berbunga tiap varietas berbeda-beda seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Varietas yang menunjukkan mulai muncul bunga tercepat adalah varietas Trisula yaitu 23
HST dan paling lambat adalah Maja Cipanas yaitu dan 29 HST. varietas Trisula mampu
menghasilkan jumlah bunga lebih banyak daripada varietas lain, dengan persentase bunga
tertinggi yaitu 93%. Data persentase pembungaan empat varietas bawang merah disajikan
pada Tabel 2. Jumlah umbel atau bunga terlihat berbeda nyata tiap varietas (Tabel 3).

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


710 | Teknologi Pertanian
Rataan jumlah bunga tertinggi pada varietas Trisula yaitu 8,39 tangkai per rumpun dan
terendah pada Mentes yaitu 2,83 tangkai per rumpun. Rataan umbi yang tidak berbunga
tertinggi pada varietas Mentes yaitu 9,67 umbi per rumpun dan terendah pada varietas
Trisula yaitu 1,28 umbi per rumpun.

Tabel 2. Umur mulai berbunga dan persentase kemampuan berbunga


tiap varietas Bawang Merah
No. Varietas Umur Mulai Berbunga (HST) Kemampuan Berbunga (%)
1 Pancasona 23 93
2 Trisula 20 90
3 Maja Cipanas 29 30
4 Mentes 27 60
Keterangan : HST (hari setelah tanam)

Jumlah Bunga

Tabel 3. Pengaruh Varietas terhadap Jumlah bunga yang dihasilkan


Rata-rata umbel per bunga (MST)
No. Varietas
3 4 5
1 Trisula 2.22 a 3.50 a 8.39 a
2 Pancasona 0.28 b 0.28a 4.67 b
3 Mentes 0.00 b 2.56 ab 2.83 c
4 Maja Cipanas 0.33 b 2.17 b 3.22 c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
Uji BNJ pada taraf α 0.05. MST = Minggu Setelah Tanam

Tingginya persentase pembungaan pada Varietas Trisula dan Pancasona dibantu


dengan tingginya populasi Lebah yang ada di sekitar pertanaman. Menurut Sumarni, dkk.
(2013) polen bawang merah bersifat kental, sehingga memerlukan bantuan dari serangga
polinator seperti Lebah Galo-galo (Stingless bee) dan Lalat hijau untuk membantu
penyerbukan.

Komponen Pembijian

Setelah terjadinya pembentukan bunga, selanjutnya adalah proses pembentukan


kapsul untuk pembijian pada bunga yang berhasil diserbuki. Data kemampuan tiap varietas
menghasilkan kapsul dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh Varietas terhadap pembijian bawang merah


No. Rata-rata jumlah kapsul per Rata-rata berat Rata-rata jumlah
Varietas
rumpun biji/rumpun (g) biji/rumpun (g)
1 Trisula 64.77 b 4.90 a 1509.00 a
2 Pancasona 116.12 a 4.18 a 1099.33 ab
3 Mentes 58.89 b 1.49 b 727.33 b
4 Maja Cipanas 65.59 b 1.85 b 526.67 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan
Uji BNJ pada taraf α 0.05

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 711
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Varietas Pancasona memiliki kemampuan berbunga dan membentuk kapsul yang
tinggi dibandingkan dengan tiga varietas lainnya. Hal ini tidak sebanding dengan berat dan
jumlah biji yang dihasilkan per rumpun, kapsul yang terbentuk tidak sampai pada proses
pembentukan biji menyebabkan kapsul berubah warna menjadi kecoklatan dan hampa.
Hilman dkk. (2014) menyatakan bahwa kapsul bernas dengan tiga lokul yang berkembang
berwarna hijau, dan lokul yang berisi biji bernas akan membengkak. Pada kapsul hampa,
kubah tidak berkembang, berwarna coklat tapi tidak luruh. Penggunaan BAP pada
konsentrasi 200 ppm, mampu mempengaruhi viabilitas serbuk sari dan jumlah serbuk sari
bawang merah (Rosliani, 2013).
Produksi biji botani dipengaruhi oleh varietas bawang merah. Trisula merupakan
varietas yang menghasilkan berat biji botani tertinggi yaitu 4.90 g per rumpun dan terendah
adalah varietas Mentes yang hanya menghasilkan 1.49 g per rumpun dan data jumlah biji per
rumpun dapat dilihat pada Tabel 4. Rendahnya biji yang dihasilkan oleh varietas Maja
Cipanas dan Mentes karena jumlah bunga yang dihasilkanpun sedikit.
Rata-rata jumlah biji tertinggi pada varietas Trisula disusul oleh varietas Pancasona,
hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan biji berlangsung dengan baik. Menurut
Sumarni dan Soetiarso (1998) bahwa pemberian perlakuan vernalisasi, waktu tanam yang
tepat pada musim kemarau dan penggunaan bibit berukuran besar mampu meningkatkan
jumlah persentase pembungaan dan pembijian. Suhu yang rendah akan mempengaruhi
pembungaan, pembuahan dan pembijian bawang merah.
Inisiasi pembungaan membutuhkan suhu 9-12oC, pemanjangan umbel membutuhkan
suhu 17-19 oC, sedangkan pembuahan dan pembijian membutuhkan suhu 35 oC (Rabinowitch
& Brewster 1990). Hal lain yang menunjang terjadinya pembentukan biji adalah keberadaan
polinator. Serangga yang mengunjungi bunga bawang merah selama kegiatan berlangsung
adalah lebah (Apis cerana). Palupi et. al. (2015) melaporkan bahwa persentase kapsul
bernas per umbel dari tanaman dengan introduksi A.cerana berkisar 70,67-74,08%, tertinggi
di antara introduksi jenis serangga lainnya seperti Trigona, dan Lucilia sp.. Hal ini
mencerminkan A. cerana sebagai serangga penyerbuk bawang merah yang efektif dibanding
dengan jenis serangga lainnya.

Penerimaan Usahatani

Berdasarkan pengamatan di lapangan hanya varietas Pancasona dan Trisula yang


memenuhi syarat untuk dianalisis usaha taninya. Kedua varietas tersebut dihitung biaya dan
penerimaannya secara keseluruhan (Tabel 5).
Perhitungan biaya tunai petani adalah biaya yang langsung dikeluarkan sesuai dengan
kebutuhan bahan sarana produksi dan tenaga kerja luar keluarga yang digunakan dalam
proses produksi. Jumlah biaya usahatani yang dikeluarkan petani adalah sebanyak Rp. 21,28
juta. Sedangkan biaya non tunai atau biaya yang seharusnya diperhitungkan oleh petani
adalah tanaga kerja dalam keluarga, sewa lahan, dan biaya penyusutan. Jumlah biaya non
tunai yang seharusnya dikeluarkan oleh petani adalah sebanyak Rp. 4,95 juta, sehingga total
biaya usahatani TSS adalah sebanyak Rp. 26,23 juta. Berdasarkan ratio biaya usahatani, maka

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


712 | Teknologi Pertanian
pengeluaran tertinggi adalah biaya tenaga kerja yang mencapai 32,4%, kemudian disusul
oleh sewa lahan sebanyak 13,4%. Sedangkan rasio biaya tunai atas biaya yang seharusnya
dikeluarkan oleh petani masing-masing adalah 81,1% dan 18,9%.

Tabel 5. Biaya Usahatani untuk menghasilkan benih TSS (True Seed of Shallot)
di Desa Loka, Kabupaten Jeneponto
Keterangan Persentase
Fisik Nilai (Rp.)
Atas Biaya
Biaya Tunai
Benih Umbi Mini 100 kg 1.500.000 5,7
Pupuk Kandang 100 krg 1.500.000 5,7
SP-36 15 kg 75.000 0,3
Furadan 2 kg 34.000 0,1
Selang 3/4 inc 2 Rol 500.000 1,9
Selang 1 Inc 2 Rol 700.000 2,7
Kawat Behel 6 kg 150.000 0,6
Paku 6 kg 150.000 0,6
Bambu Besar 85 btg 3.750.000 14,3
Bambu Kecil 170 btg 2.550.000 9,7
Tali Rapiah 4 kg 100.000 0,4
Fungiisida 3 btl 270.000 1,0
Insektisida 3 btl 205.000 0,8
Sprayer 2 buah 1.300.000 4,9
Upah Tenaga Kerja - 8.500.000 32,4
Jumlah Biaya Tunai 21.284.000 81,1
Biaya yang diperhitungkan
TKLK Laki-laki (Rp. 50.000) 450.000 1,7
TKLK Wanita (Rp. 40.000) 400.000 1,5
Sewa Lahan - 3.500.000 13,4
Penyusutan - 600.000 2,3
Jumlah Biaya yang
diperhitungkan 4.950.000 18,9
Total Biaya - 26.234.000 100,0
Penerimaan 33.465.000
Pendapatan 7.231.000
R/C atas biaya total 1,3

Penerimaan usahatani TSS bawang merah terdiri dari penerimaan tunai dan
penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang langsung diterima
oleh petani dalam bentuk uang tunai dari hasil penjualan bawang merahnya. Penerimaan
non tunai merupakan penerimaan yang diperoleh petani tidak dalam bentuk tunai
melainkan dalam bentuk seperti konsumsi atau stock bibit.
Penerimaan usahatani TSS bawang merah dilakukan berdasarkan luas lahan dan
varietas yang digunakan yaitu varietas Pancasona dan varietas Trisula. Penerimaan
usahatani dihitung dari hasil perkalian antara jumlah hasil umbi produksi dan biji botani
bawang merah dengan harga yang berlaku saat ini. Penerimaan tunai yang diperoleh petani

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 713
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
berasal dari penjualan bawang merah, sedangkan penerimaan non tunai yang diterima
petani berasal dari konsumsi, atau cadangan bibit.
Total Penerimaan dari usahatani bawang merah varietas Trisula dan Pancasona
dengan luasan 0,1 ha adalah Rp. 33.465.000 dengan total biaya usahatani sebanyak Rp.
26.234.000, sehingga pendapatan yang diterima sebanyak Rp. 7.231.000 dengan RC ratio
1,3. Penerimaan non tunai petani yang menggunakan varietas Pancasona dan varietas
Trisula berasal dari cadangan benih yaitu Rp.2.210.000. Dari Tabel 2 diketahui bahwa R/C
bawang merah TSS varietas Pancasona dan Trisula adalah 1,3 ini berarti bahwa setiap satu
rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani ini akan menghasilkan tambahan
penerimaan sebesar 1,3 rupiah

KESIMPULAN
Varietas yang memiliki tinggi tanaman tertinggi pada varietas Pancasona dan Trisula
sedangkan jumlah anakan tertinggi pada varietas Mentes dan Pancasona. Umur berbunga pada tiap
varietas tidak signifikan tetapi varietas Trisula menunjukkan waktu berbunga tercepat (3-7 hari) dari
varietas lainnya. Varietas Pancasona membentuk kapsul tertinggi sedangkan untuk berat biji/rumpun, 82
jumlah biji per rumpun (g) tertinggi pada varietas Trisula. Analisis R/C ratio menunjukkan nilai 1,3
yang berarti bahwa produksi benih TSS layak diusahakan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Fadjry Djufry, M.Si atas dukungan yang
diberikan selama kegiatan berlangsung. Terimakasih juga disampaikan kepada Ir. Ramlan,
M.Si selaku tim peneliti dan Imam Gazali selaku teknisi yang senantiasa membantu dari awal
hingga akhir kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA
Basuki, RS. 2009. Analisis Kelayakan Teknis dan Ekonomis Teknologi Budidaya Bawang
Merah dengan Benih Biji Botani dan Benih Umbi Tradisional.J. Hort. 19 (3): 5-8
Hidayat, dkk. 2011. Persiapan Pelepasan Varietas Bawang Merah Umbi dan TSS. Laporan
Kegiatan
Hilman Y., R. Rosliani, dan E.R. Palupi. 2014. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap
Pembungaan, Produksi dan Mutu Benih Botani Bawang Merah. J. Hort. 24(2): 154-161
Jasmi, Sulistyaningsih, E dan Indradewa D. 2013. Pengaruh Vernalisasi Umbi Terhadap
Pertumbuhan, Hasil dan Pembungaan Bawang Merah (Allium cepa L,
Agregatumgroup) di Dataran Rendah. Ilmu Pertanian. 16 (1) : 42-57.
Moeljani, Ida R. 2014. Upaya Meningkatkan Pembungaan Serta Pembijian True Shallot Seed
(TSS) Tanaman Bawang Merah (Allium cepa var ascalonicum Linn.) Melalui
Pengaturan Panjang Hari dan Aplikasi GA3. Disertasi. Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga. [Abstrak]

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


714 | Teknologi Pertanian
Palupi, ER, Rosliani, R. dan Hilman, Y. 2015. Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani
Bawang merah (True Shallot Seed) dengan Introduksi Serangga Penyerbuk (Increasing
of True Shallot Seed Production and Quality by Pollinator Introduction). J. Hort.
25(1):26-36
Pangestuti, R. dan E. Sulistyaningsih. 2011. Potensi Penggunaan True Seed Shallot (TSS)
Sebagai Sumber Benih Bawang Merah Indonesia. Prosiding Semiloka Nasional
“Dukungan Agro-Inovasi untuk Pemberdayaan Petani, Kerjasama UNDIP, BPTP Jateng,
dan Pemprov Jateng, Semarang, 14 Juli 2011.
Putrasamedja, N. dan Suwandi. 1996. Varietas Bawang Merah di Indonesia. Monograf No. 5.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Robinwitch, H.D. dan Brewster, J.L. 1990. Onion and Allied Crops. CRC Press. Inc. Boca Raton.
Florida.
Rosliani, ER Palupi dan Y. Hilman. 2012. Penggunaan Benzylaminopurine (BA) dan Boron
untuk Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih TSS Bawang Merah (Allium cepa var.
ascalonicum) di Dataran Tinggi. J. Hort. 22 (3):242-250
_________. 2013. Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang
Merah (Allium cepa var. ascalonicum dengan BAP dan Boron, serta Serangga
Penyerbuk. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis.
__________., Sumarni., N dan Suwandi. 2002. Pengaruh kerapatan tanaman, naungan dan
mulsa terhadap pertumbuhan dan produksi umbi bawang merah asal mini. J.Horti.
Vol.2 (1): 28-34
Sopha. G.A. 2013. Peranan fotoperiode dan GA3 pada pembungaan dan produksi benih
sejati bawang merah (Allium cepa var agregatum) (true Shallot Seed). Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian ogor.
__________. 2014. Teknik Produksi True Shallot Seed (TSS). Iptek Hortikultura, No.10.
Agustus 2014.
___________, Winarso, D.W., Roedhy P., Endah, R.P. 2014. Photoperiod and gibberilin effect
on True shallot seed formation. AAB Bioflux. Vol.6 Issue 1.
Sumarni, N. dan Sumiati, E. 2001. Pengaruh Vernalisasi, Giberilin, dan Auksin terhadap
Pembungaan dari Hasil Biji Bawang Merah. J.Hort.11 (1):1-8.
__________ dan Rosliani, R 2002. Pengaruh kerapatan tanaman dan konsentrasi larutan
NPK (15-15-15) terhadap produksi umbi bawang merah mini dalam agregat
hidroponik. J. Hort. Vol. 11. no.3, hlm 163-9.
___________. dan Rosliani. 2010. Pengaruh Naungan Plastik Transparan, Kerapatan
Tanaman dan Dosis N terhadap Produksi Umbi Bibit Bawang Merah Asal Biji. J.Hort 20
(1) :52-59.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 715
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
__________, Suwandi, Gunaeni, dan Putrasamedja. 2013. Pengaruh Varietas dan Cara
Aplikasi GA3 terhadap Pembungaan dan Hasil Biji Bawang Merah di Dataran Tinggi
Sulawesi Selatan. J. Hort. 23 (2):153-163.
__________., Sopha, G.A., dan Gaswanto, R. 2012. Perbaikan Pembungaan dan Pembijian
Beberapa Varietas Bawang Merah dengan Pemberian Naungan Plastik Transparan
dan Aplikasi Asam Gibelarat. J.Hort. 22 (1): 14-22.
____________. Sopha, GA., Gaswanto, R. 2012. Respon tanaman bawang merah asal biji
True Shallot Seed terhadap kerapatan tanaman pada musim hujan. J.Hort. 22 (1) 23-
28.
__________. Suwandi, Gunaeni, N. dan Putrasamedja, S. 2013. Pengaruh Varietas dan Cara
Aplikasi GA3 terhadap Pembungaan dan Hasil Biji Bawang Merah di Dataran Tinggi
Sulawesi Selatan. J.Hort. 23(2) 153-163.
Sumiati, E. 1997. Pertumbuhan serta hasil umbi dan biji bawang Bombay (Allium cepa L.)
kultivar hari pendek dengan vernalisasi dan aplikasi asam giberelat di dataran tinggi
Lembang Jawa Barat’ Disertasi Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.
_________., Sumarni N., dan Hidayat A. 2004. Perbaikan teknologi produksi umbi benih
bawang merah dengan ukuran umbi benih, aplikasi zat pengatur tumbuh, dan unsur
hara mikro elemen. J. Hort. 14(1): 25-32.
Wulandari, A., D. Purnomo, dan Supriyono. 2014. Potensi Biji Botani Bawang Merah (True
Shallot Seed) sebagai Bahan Tanam Budidaya Bawang Merah di Indonesia. El Vivo
Vol.2 No.1 hal. 28-36.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


716 | Teknologi Pertanian
PROSPEK PENGEMBANGAN TEPUNG SAGU MENJADI
PRODUK SEKUNDER DI KOTA KENDARI

Zainal Abidin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara


Jl. Prof. Muh. Yamin No 89 Puwatu Kendari
Email: zainal_bptpsultra@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tepung sagu selama ini hanya digunakan sebagai bahan pangan lokal, meskipun dapat
mensubtitusi penggunaan terigu dalam pembuatan kue dan berbagai produk olahan lainnya.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui prospek pengembangan tepung sagu menjadi produk
sekunder. Penelitian dilakukan di Kota Kendari pada bulan Juni – September 2016,
menggunakan metode uji lapang pengolahan sagu menjadi produk sekunder pada kelompok
usaha rumah tangga yang beranggtakan 14 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha
produksi produk sekunder dari sagu berupa kue dan kerupuk layak dilakukan secara ekonomi
dengan nilai BCR> 1 dan memberikan keuntungan bersih Rp. 1.154.000 – Rp. 2.010.600. Usaha
pengolahan sagu menjadi produk sekunder sangat prospek yang cukup untuk dikembangkan
karena “nilai” produk sagu memiliki indeks glikemik rendah dan tergolong sebagai pati resiten
yang baik bagi kesehatan. Ke depan pengembangan produk olahan sekunder dari sagu perlu
didukung dengan berbagai kebijakan diantaranya penyediaan bahan baku tepung sagu yang
berkesinambungan, peningkatan kapasitas manajemen bagi pengrajin olahan sagu serta
dukungan permodalan.
Kata kunci : prospek, sagu, produk sekunder

LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara penghasil sagu terbesar di dunia, dimana sekitar 60%
sagu terletak di Indonesia dengan luas mencapai sekitar 5 juta ha yang tersebar di beberapa
pulau yaitu P. Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Maluku. Tanaman sagu memiliki
produksi tepung yang sangat besar yakni bisa mencaai 25 – 40 ton pati per ha per tahun.
Tepung sagu dapat dimanfaatkan bukan saja sebagai bahan pangan pokok, akan tetapi juga
dapat digunakan sebagai pengganti terigu dalam pembuatan kue dan produk olahan lainnya.
Selain itu tepung sagu juga dapat di olah menjadi gula cair, bioetanol, produk kosmetik
hingga pakan ternak (Bintoro, 2014; Syakir, 2014; Flach dan Schuling 1989; Abidin dan Assad,
2015).
Pada sisi lain Indonesia masih terus mengimpor bahan pangan yakni terigu, yang pada
tahun 2017 – 2018 saat ini mencapai 12,5 juta metrik ton. Impor tersebut tentunya sangat
membebani devisa negara. Olehnya itu perlu di kembangkan tepung alternatif ataupun
mensubtitusi penggunaan tepung terigu. Tepung sagu dapat dimanfaatkan untuk
mensubtitusi tepung terigu pada pembuatan kue, kerupuk dan beberapa produk pangan
lainnya (Fiansyah , 2018.)
Pada saat ini sagu sebagian besar hanya digunakan sebagai bahan pangan lokal pada
beberapa wilayah, khususnya di Kawasan Timur Indonesia. Tepung ini memiliki potensi

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 717
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
untuk mengatasi rawan pangan. Namun demikian beberapa upaya untuk mengembangkan
potensi sagu tersebut telah dilakukan yakni pengolahan menjadi kue, kerupuk, bakso
maupun produk sekunde lainnya. Hal ini agar sagu memiliki nilai tambah, selain itu juga
memberikan kesempatan kerja di pedesaan (Bungati dan Abidin, 2015; Pattinama, 2008;
Nendissa, 2016: Tahir et al., 2017).
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliiki lahan sagu yang
cukup luas yakni mencapai 4.572 ha dengan produktivitas mencapai 4.759 ton dan
melibatkan 9.666 KK (Dirjen Perkebunan 2017). Pemanfaatan sagu selama ini di Sulawesi
Tenggara sebagain besar terbatas sebagai bahan baku pangan lokal. Hal ini karena masih
terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap potensi pengembangan dari tepung sagu
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, makalh ini bertujuan untuk memperikan gambaran
mengenai potensi dan prosepek pengembangan tepung sagu menjadi produk sekunder.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kec. Mandonga Kota Kendari bulan Juni – September tahun
2016. Penelitian dilakukan dengan metode uji coba lapang pengembangan produk sekunder
sagu berupa kue kering dan stik sagu. Pembuatan produk sekunder melibatkan 1 kelompok
usaha yang beranggotakan 14 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui pencatatan
harian usaha produksi kue sagu. Beberapa data yang dikumpulkan jumlah produk yang
dihasilkan (kg/pekan), harga produk (Rp/kg), biaya bahan baku berupa sagu kering (Rp/kg),
biaya tenaga kerja (HOK), biaya kemasan (Rp/lembar), bumbu-bumbu yang digunakan serta
bahan pelengkap lainnya. Metode analisis data yang digunakan adalah analisa keuntungan
dengan persamaan (Sahara dan Idris, 2007; Abidin, 2011; Sukartawi, 1995 dalam Asnawi dan
Ratna, 2016) :
Π = Q x pQ - ∑X x pX
Keterangan
Π = Keuntungan (Rp/bulan)
Q = Jumlah kue yang dihasilkan (Kg/bulan)
pQ = Harga kue sagu yang dihasilkan (Rp/kg)
X = Jumlah input (kg/liter/HOK)
pX= Harga input (Rp/(kg/liter/HOK))

Pengolahan sagu menjadi produk sekunder dianggap layak secara finansial jika nilai
B/C lebih dari satu. Formulasi dari B/C adalah (Rahman dan Saryoko, 2008; Rusdi dan Asaad
2016; Sahara et al., 2006).
𝑃𝑥𝑄
𝐵𝐶𝑅 = − 𝐵ⅈ
𝐵ⅈ
Keterangan :
P= Harga produksi (Rp/kg); Q= Jumlah Produksi (kg/ha)
Bi= Biaya produksi ke i (Rp/ha). (i = 1,2,3,...n)
Kriteria (Rusdin dan Agussalim, 2012; Abidin, 2011):
BCR > 1 : usaha pengolahan sagu menjadi produk sekunder layak diusahakan
BCR < 1: usaha pengolahan sagu menjadi produk sekunder tidak layak diusahakan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


718 | Teknologi Pertanian
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik wilayah penelitian

Kota Kendari terletak di Sebelah Tenggara P. Sulawesi, dengan luas wilayah daratan
267,37 Km2. Kota Kendari merupakan perpaduan antara daerah perbukitan, datar dan
pesisir pantai dengan ketinggian 0-472 m di atas permukaan laut (dpl). Pegunungan Nipa-
nipa dengan kemiringan lebih dari 40% dan ketinggian tertinggi 472 mdpl serta Teluk Kendari
sebagai kawasan pesisir dengan kemiringan 0-3 %, memberikan ciri yang menonjol bagi
wilayah Kota Kendari. Penggunaan lahan di Kota Kendari pada tahun 2016 secara umum
terbagi atas 3 (tiga) yaitu lahan sawah seluas 1.310 ha yang didominasi oleh sawah irigasi
teknis, lahan perkebunan dan penggembalaan ternak dan hutan seluas 14.748 serta
pemukiman dan peruntukan lainnya seluas 13.522.
Berdasarkan data BPS Kota Kendari, jumlah penduduk pada tahun 2016 adalah
335.889 jiwa dengan rincian laki-laki 169.371 jiwa dan perempuan 166.518 jiwa. Penduduk
tersebut tersebar di 8 kecamatan, dan menggeluti berbagai sektor ekonomi dianatranya
sebagai penyedia jasa, maupun pelaku ekonomis ecara langsung misalnya sebagai pedagang.
Selasin itu juga terdaspat petani/nelayan, meskipun proporsinya kecil.
Sektor pertanian di Kota Kendari tetap memainkan peranan yang penting, baik
sebagai sumber pangan maupun sebagai sumber penghasilan penduduk serta menggerakan
perekonomian wilayah.Beberapa pangan utama yang dihasilkan dalam pertanian perkotaan
di Kota Kendari disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Keragaan Produksi Pertanian di Kota Kendari tahun 2011-2015


Padi Sawah Jagung Kedelai Ubi Kayu Sayuran
Tahun Sagu (Ton)
(Ton Gkp) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton)
2012 3171 1992 1 7353 30.1 1141.1
2013 3492 1385 1 5784 31 1482
2014 7113 2351 0 3012 31 1922.3
2015 6969 999 1 5041 35 1532
Rata-Rata 5186.25 1681.75 0.75 5297.5 31.775 1519.35
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara (2016), Sulawesi Tenggara Dalam Angka, 2015

Produksi pertanian dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cenderung berfluktuasi. Padi
sawah dengan sumber utama pertanaman berada di Kecamatan Baruga dan Kecamatan
Mandonga masih mampu bertumbuh hingga 26%.Pertumbuhan ini dapat dipahami sebagai
bagian dari penerapan teknologi terutama penggunaan varietas unggul baru dan teknologi
budidaya lainnya..
Jika dilihat lebih jauh produktivitas padi sawah yang diperoleh di Kota Kendari relatif
rendah yaitu hanya sekitar 4,8 t/ha. Produktivitas ini meskipun lebih tinggi dari rata-rata
produktivitas padi sawah di Sulawesi Tenggara yaitu hanya 4,3 t/ha, akan tetapi jauh lebih
rendah dari produktivitas padi sawah secara nasional yang mencapai 5,3 t/ha.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 719
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Jagung yang merupakan salah satu pangan masyarakat di Kota Kendari, produksinya
relatif menurun. Rata-rata pertumbuhan peroduksi jagung Kota Kendari dalam kurun waktu
5 tahun terakhir adalah minus 1,8%. Rendahnya produksi ini tidak terlepas dari terbatasnya
areal pengembangan jagung.Tanaman jagung hanya ditanam pada lahan kering yang luasnya
terbatas, karena hanya memanfaatkan areal disekitar perumahan warga yang belum
digunakan sebagai areal perumahan.Selain itu penerapan teknologi budidaya yang belum
maksimal menyebabkan produktivitas yang diperoleh relatif rendah.Penerapan teknologi
budidaya misalnya penggunaan varietas unggul belum banyak dimanfaatkan.Sebagain besar
pertanaman jagung adalah menggunakan varietas lokal.Hal ini tidak terlepas dari tujuan
utama pertanaman jagung adalah sebagai jagung konsumsi.
Tanaman kedelai sebagai salah satu komoditas penting, pengembangannya di Kota
Kendari relatif terbatas.Disinyalir penyebabnya adalah masih kurang familiarnya petani Kota
Kendari dengan budidaya tanaman kedelai, selain itu komoditas ini relatif kalah bersaing
dengan tanaman jagung.
Ubi kayu yang juga merupakan tanaman yang menjadi sumber pangan lokal yang
cukup familiar di Kota Kendari yaitu Kasuami dan Kabuto.Perkembangan produksi tanaman
ini dalam kurun waktu 5 tahun terakhir juga kurang maksimal, bahkan ada kecederungan
menurun.Trend penurunan produksi ubi kayu adalah sekitar 0,9% per tahun. hal ini lebih
banyak disebabkan oleh semakin terbatasnya areal pengembangan ubi kayu yang hanya
memanfaatakan areal sekitar perumahan, dan pada beberapa tempat juga memanfaatakan
areal sekitar hutan yaitu pada kawasan hutan nipa-nipa. yang saat ini juga mulai dibatasi
pemanfaatannya.
Tanaman sagu, yang merupakan tanaman yang secara khusus di buatkan Perda-nya
oleh Pemerintah Kota Kendari, produksinya relatif berkembang meskipun hanya sebesar 3,9
% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Rendahnya pertumbuhan produksi tanaman ini
karena belum adanya perluasan areal ataupun belum adanya intervensi instansi terkait
dengan komoditas ini khususnya berkaitan dengan upaya perluasan areal serta
pembimbingan teknologi budidaya.Justru hal ini cukup memprihatinkan karena permintaan
tepung sagu terus meningkat sementara dari sisi produksi belum maksimal.
Ke depan upaya operasionalisasi Perda yang telah di keluarkan oleh Pemkot Kota
Kendariperlu dilakukan terutama pada masalah perluasan areal dan pngembangan sistem
budidaya tanaman sagu melalui penjarangan pada areaal yang sudah ada maupun
pengembangan pada areal baru yang potensial. selain itu upaya pengembangan diversifikasi
produk sagu juga menjadi penting dilaksanakan.
Produksi sayuran di Kota Kendari juga mengalami trend penurunan yaitu sebesar
0,6%. Penurunan ini lebih bayak diakibatkan oleh penurunan areal pertanaman beberapa
jenis sayuran, meskipun jenis sayuran lainnya mengalami peningkatan.Hal tersebut dapat
dilihat dengan adanya pengebangan program P2KP yang dilaksanakan oleh Kantor
Ketahanan Pangan. Pengembangan P2KP ini dengan memanfaatakan areal sekitar
perumahan dengan menanam sayuran yang dibutuhkan rumaha tangga sehari-hari.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


720 | Teknologi Pertanian
Karakteristik Usaha Pengolahan Produk Sekunder Sagu

Usaha pengolahan produk sekunder sagu merupakan usaha yang baru dirinti sejak
tahun 2016. Usaha ini diinsisiasi oleh BPTP Sulawesi Tengara sekaligus juga memberikan
bantuan berupa peralatan maupun mengajarkan teknologi pembutaan kue sagu. Usaha kue
sagu dikelolah oleh Kelompok Rumah Keluarga Indonesia Wilayah Mandonga dengan
melibatkan 14 orang anggota yang merupakan ibu rumah tangga di wilayah tersebut.
Jenis kue yang di buat hingga saat ini sejumlah empat jenis yaitu kue sagu kelapa, kue
sagu keju, stik keju dan stik bawang. Pemilihan jenis kue tersebut lebih disebabkan karena
potensi pasar yang ada, selain itu cara membuatnya juga relatif mudah. Keberadaan
kelompok usaha ini juga menjadi salah alternatif pekerjaan terutama bagi ibu rumah tangga
yang memiliki cukup waktu, karena diusahakan di sekitar rumah dan sekaligus juga
memanfaatkan waktu luang.
Kelompok usaha ini dapat mengolah sagu kering sebanyak 30 – 50 kg per bulan
dengan omzet penjualan sekitar 5 – 7 juta per bulan. Pemasaran dilakukan secar langsung
dengan memajng pada toko-toko kue yang ada di Kota Kendari, maupun mengikut sertakan
dalam pamera-pameran serta even pemasaran lainnya. Selain itu pemasaran secara online
juga telah dilakukan dan telah menjangkau pasar hingga P. Papua dan P. Jawa.
Permasalahan yang dihadapi dalam usaha ini adalah masih terbatasya jenis produk
yang dapat diproduksi, selain itu peralatan yang diperlukan juga masih terbatas. Masalah
lainnya adalah pemasaran produk yang amsih terbatas. Berbagai upaya yang telah dilakukan
diantaranya adalah mencoba berabgai resep kue baru yang diperoleh dari berbagai media
online. Selanjutnya untuk mendorong pengenalan produk tersebut, dilakukan melalui
sosialisasi maupun memperbaiki image produk dengan menerbitkan sertifikat “HALAL MUI”.
Hal ini penting karena, sebasgai produk pangan, aspek kehalalan menjadi aspek penting bagi
konsumen.

Analisa Finansial

Hasil analisis ditampilkan pada tabel 2. Nampak pengembangan sagu menjadi produk
sekuncer berupa kue dan stik layak diusahakan dengan nilai BCR>1. Selanjutnya dapat dilihat
bahwa proporsi bahan merupakan proporsi terbesar dari biaya produksi yang rata-rata
mencapai 72 – 75%. Bahan-bahan yang digunakan yang paling penting adalah sagu kering
yang harganya sekitar Rp. 18.000 – Rp. 20.000 per kg, selain itu dari komposisi bahan juga
terdapat komponen bahan bakar yang juga memiliki nilai yang besar. Proporsi biaya lainnya
adalah tenaga kerja sekitar 20%. Dari komposisi tersebut namapak bahwa usaha tersebut
relatif bersifat padat modal. Meskipun demikian usaha ini dapat menjadi salah satu alternatif
pembukaan lapangan kerja terutama bagi ibu rumah tangga yang tidak dapat meninggalkan
rumah.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 721
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Tabel 2. Analisa finansial usaha pengolahan kue sagu di Kota Kendari, 2016
Uraian Stik Bawang Stick Keju Kue Keju Kue Kelapa
Bahan 780.000 794.400 840.000 768.000
Kemasan 67.000 67.000 78.000 78.000
Tenaga kerja 210.000 210.000 210.000 210.000
Total Biaya 1.057.000 1.071.400 1.128.000 1.056.000
Produksi 134 134 26 26
Harga Jual 16.500 23.000 90.000 85.000
Pendapatan 2.211.000 3.082.000 2.340.000 2.210.000
Keuntungan 1.154.000 2.010.600 1.212.000 1.154.000
BCR 1,09 1,88 1,07 1,09
Sumber : pencatatan input-output usaha pengolahan kue

Lebih lanjut dapat dilihat bahwa keuntungan yang diperoleh dari usaha pengolahan
produk sekunder dari sagu relatif baik yang berkisar 1 – 2 juta rupiah per pekan. Dengan
demikian jika dalam sebulan bisa berproduksi selama 3 pekan saja maka akan diperoleh
keuntungan bersih yang lebih tinggi dari UMP Sultra yang pada tahun 2016 berjumlah Rp.
1.854.000.

Prospek Pengembangan

Prospek pengembangan usaha pengolahan produk sekunder dari sagu cukup cerah.
Hal ini karena adanya “nilai” yang melekat pada sagu sebagai bahan yang sehat dan memiliki
indeks glikemik yang rendah, sehingga banyak diminati masyarakat, terutama bagi penderita
penyakit diabetes dan obesitas. Indeks glikemik mencerminkan efek konsumsi bahan pangan
dalam meningkatkan kadar gula darah dengan kriteria nilai IG < 55 tergolong rendah, 55 – 70
sedang dan > 70 tergolong tinggi (Mandosa, 2008).
Selain itu kadar karbohidrat dalam tepung sagu juga tinggi. Kandungan kalori pati
sagu (100 gr) sekitar 353 kalori sebanding dengan bahan pangan lainnya misalnya beras,
jagung dengan nilai aklori masing-masing 360 kalori dan 361 kalori, bahkan lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung ubi kayu dan ubi jalar yang memiliki nilai kalori masing-masing
195 kalori dan 143 kalori. Hal lain yang menyebabkan produk olahan sagu menjadi prospek
di masa mendatang adalah dengan semakin berkembangnya industri kuliner yang bersifat
lokal, dimana sagu tercirikan sebagai produk lokal, sehingga dapat menjadi bran
pengembanagn agro industri ke depan.
Pengembangan produk sekunder dari sagu mesti mendapatkan dukungan kebijakan
diantaranya jaminan suplay bahan baku, karena selama ini pohon sagu belum di
budidayakan, sehingga ke depan perlu ada budidaya sagu. Selain itu perlu pula
pengembangan kemasan, karena kemasan yang ada masih relatif sederhana. Oleh
karenanya perlu di dorong perbaikan kemasan. Faktor pengembangan resep untuk
memperbanyak jenis produk olahan juga di perlukan. Oleh karena tetap memerlukan
pelatihan untuk peningkatan kapasitas personal pengrajin produk olahan sagu.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


722 | Teknologi Pertanian
KESIMPULAN
Produk sekunder olahan dari sagu memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan,
ditunjukkan oleh hasil analisis finansial yang menguntungkan (BCR > 1). Disamping itu sagu
memiliki Indek Glikemik rendah sehingga cocok bagi kesehatan. Perkembangan sagu
berjalan seiring dengan berkembangnya industri kuliner yang menempatkan produk olahan
sagu sebagai salah satu andalan.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z dan Muh. Asaad. 2015. Bioindustri sagu. Memaksimalkan potensi memanfaatkan
biomassa yang terbuang. Dalam Buku Perspektif pengembangan model pertanian
bioindustri. Editor Rachmat Hendayana, Abdul Basith, K. G. Mudiarta dan T.
Alihamsyah. IAARD Press. Jakarta. Hal 147 – 161.
Abidin Z. 2011. Kajian Laba dan Titik Impas Usahatani Padi Hibrida di Sulawesi Tenggara.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 14 No. 3. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.Bogor. Hal 160 - 170.
Asnawi,R. dan Ratna W. A. 2016. Kajian jajar tanam jejer manten dan pupuk hayati pada
usahatani padi sawah di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 19 No 2. Balai Besar Pengkajian
Teknologi Pertanian. Bogor. Hal. 93-102
Bintoro H.M.H. 2014. Prospek Pengembangan Sagu. Makalah disampaikan pada Makalah
disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Sagu sebagai komoditas potensial,
pilar kedaulatan pangan dan energi.Badan Litbang Pertanian.Jakarta.
Bungati dan Abidin. 2015. Analisis pengolahan pati sagu. Prosiding seminar nasional PERHEPI
Komisariat Daerah Kendari. Kendari. 186 – 199.
Dirjen Perkebunan Indonesia. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. Sagu 2015 – 2017.
Dirjen Perkebunan Indonesia. Jakarta.
Flach, M., & Schuilling, D. L. (1989). Revival of an ancient starch crop: a review of the
agronomy of the sago palm. Agroforestry Systems, 7,259–281
Fiansyah R. 2018. Indonesia akan jadi impor gandum terbesar di dunia. Tersedia pada
https://www.inews.id. Didownload pada 10 Agustus 2018.
Metaragakusuma, A. P., Katsuya Osozawa dan Bai Hu. 2017. The Current Status of Sago
Production in South Sulawesi: Its Market and Challenge as a New FoodIndustry
Source. International Journal Sustainable Future for Human Security J-SustaiN Vol. 5
No 1 (2017) 31-45
Nendissa J. S. 2012. Pemanfaatan Tepung Sagu Molat (M. sagus Rottb) Dan Udang Sebagai
Bahan Campuran Pembuatan Kerupuk. Jurnal Ekologi dan Sains. Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Volume (01) No: 01. Hal. 53-64

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 723
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Pattinama, A. F., 2008. Studi Perbandingan Tepung Sagu dengan Ulat Sagu ( Rhynchophorus
ferrugineus) dalam Pembuatan Bakso. Skripsi, Faperta Unpatti, Ambon.
Rahman, B. dan A. Saryoko. 2008. Analisis Titik Impas dan Laba Usahatani melalui
Pendekatan Pengelolaan Padi Terpadu di Kabupaten Lebak-Banten. Jurnal pengkajian
dan pengembangan teknologi pertanian vol 11, No. 1, Maret 2008. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. Hal 54 – 60
Rusdi dan Muh. Asaad. 2016. Uji adaptasi empat varietas bawang merah di Kabupaten
Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian Vol 19 No 3. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor. Hal. 243 -
252.
Rusdin dan Agussalim, 2012. Analisis pendapatan usahatani padi varietas unggul baru di Kab.
Kolaka Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Vol 15(3). Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian. Bogor. Hal. 241 - 249
Sahara D. dan Idris. 2007. Kajian struktur biaya dan alokasi curahan tenaga kerja pada sistem
usahatani padi sawah (studi kasus di Kabupaten Konawe). JPPTP Vol 10 Nomor 2, Juli
2007. Bogor. Hal 137 – 148
Syakir M. 2014. Peluang Pengembangan dan Status Teknologi Komoditas Sagu di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Sagu sebagai komoditas
potensial, pilar kedaulatan
Tahir, M.,M., Meta M. Dan Ahmad M. 2017. Studi Pembuatan Kue Kering Dari Tepung Sagu
Dengan Penambahan Tepung Blondo tersedia pada www///ejournal.upnjatim.ac.id.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


724 | Teknologi Pertanian
PERBAIKAN KUALITAS NUTRISI LIMBAH KELAPA SAWIT
MENGGUNAKAN BIO-FERMENTASI

Harry Triely Uhi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan suhu yang tepat selama proses fermentasi
dalam meningkatkan kandungan nutrisi (protein kasar, energi) dan menurunkan kandungan
serat kasar sehingga dapat diguanakan sebagai pakan ternak. Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 (empat) perlakuan dan 3 (tiga)
ulangan, sehingga terdapat 12 (dua belas) satuan percobaan. Limbah sawit dicampurkan
probion dengan perbandingan limbah sawit (100 kg) : Probion (200 gram) : Urea (200 gram);
limbah sawit (100 kg) : Probion (250 gram) Urea (250 gram); limbah sawit (100 kg) : Probion
(300 gram) : Urea (300 gram); dan limbah sawit (100 kg) : Probion (350 gram); Urea (350 gram).
Setiap perlakuan dicampurkan secara merata, kemudian dimasukkan dalam wadah yang bagian
atasnya terdapat kotak dari kawat sebanyak 12 wadah dengan ketinggian antara 20-30 cm.
Selanjutnya wadah seluruh perlakuan ditutupi dengan plastik selama 30 hari. Perlakuan
fermentasi yang dilakukan sebagai berikut: P1 = Limbah sawit + Probion 200 gram + Urea 200
gram; P2 = Limbah sawit + Probion 250 gram + Urea 250 gram; P3 = Limbah sawit + Probion 300
gram + Urea 300 gram; P4 = Limbah sawit + Probion 350 gram + Urea 350 gram. Parameter
yang diamati adalah pH media, suhu media dan analisis proksimat yaitu untuk mengetahui
protein kasar, Serat kasar dan energi metabolis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lama
penelitian untuk mencapai proses fermentasi optimum yang tepat untuk media limbah kelapa
sawit adalah 30 hari dengan perlakuan terbaik dengan campuran probion 300 gram dan urea
300 gram, menghasilkan protein kasar 14,9%, serat kasar 18,5%, lemak kasar 8,3% dan energi
metabolis 2935 kkal. Suhu fermentasi tertinggi pada perlakuan P3, hari ke-21 (37oC) dan nilai pH
terendah pada akhir penelitian 5,3.
Kata kunci: Limbah sawit, Biofermentasi, Suhu dan Ph.

PENDAHULUAN
Berdasarkan arahan penggunaan lahan dan alternatif pengembangan komoditas
pertanian, potensi lahan di Papua dan Papua Barat sesuai untuk pengembangan kelapa
sawit. Dari seluruh luasan lahan yang ada di daerah ini yaitu 374.500 ha yang tersebar di
beberapa distrik atau kecamatan termasuk distrik Arso sangat berpotensi. Namun dari
laporan BPS Provinsi Papua (2003) menyebutkan bahwa luas lahan yang dimanfaatkan untuk
perkebunan kelapa sawit di seluruh Papua baru mencapai 38.814 ha (data ini termasuk
perkebunan kelapa sawit di Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat).
Luasnya lahan pengembangan perkebunan kelapa sawit tersebut menunjukkan
bahwa potensi ketersediaan bahan pakan lokal limbah kelapa sawit juga cukup besar untuk
digunakan dalam memenuhi ketersediaan pakan dan menekan biaya produksi dalam suatu
usaha ternak. Usaha penekanan biaya produksi tersebut dengan cara menggunakan bahan
pakan lokal seperti lumpur minyak sawit, tandan buah sawit, dan pelepah/daun kelapa
sawit, serabut dan kulit buah sawit yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan. Hasil
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa bahan ini sering dibuang begitu saja sehingga
Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 725
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
menimbulkan polusi (bau yang tidak enak) yang mengganggu lingkungan kehidupan
masyarakat. Di lain pihak lumpur, tandan buah, serabut dan kulit buah sawit dapat
ditingkatkan nilai gizinya melalui proses fermentasi (Barker et al. 1991; Pasaribu, 1998;
Sinurat et al. 1998) sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Hasil penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa proses fermentasi dapat meningkatkan gizi limbah sawit
tersebut, sebagai contoh lumpur sawit protein kasar 12,21% menjadi 24,5%, serat kasar
menurun dari 29,76% menjadi 19,9% (Sinurat et al. 1998). Proses fermentasi juga dilaporkan
meningkatkan daya cerna bahan kering dan daya cerna protein pada unggas.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan ketersediaan limbah kelapa
sawit sebagai bahan pakan lokal, yang selama ini belum menjadi perhatian pemerintah
daerah, secara khusus Dinas Peternakan. Penelitian ini bertujuan mengetahui waktu dan
suhu yang tepat selama proses fermentasi dalam meningkatkan kandungan nutrisi (protein
kasar, energi) dan menurunkan kandungan serat kasar sehingga dapat digunakan sebagai
pakan ternak.

METODE PENELITIAN
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Oven, pH meter,
Sentrifuse, Timbangan digital, Thermometer, Wadah untuk fermentasi dan Terpal/plastik.
Bahan penelitian yaitu Bio-fermentasi (Probion), Limbah sabut dan kulit buah kelapa sawit
serta Urea.
Metode penelitian diawali dengan mengumpulkan limbah sawit. Selanjutnya limbah
tersebut dikering anginkan selama kurang lebih 2 jam di bawah sinar matahari. Limbah sawit
dicampurkan probion dengan perbandingan limbah sawit (100 kg) : Probion (200 gram) :
Urea (200 gram); limbah sawit (100 kg) : Probion (250 gram) Urea (250 gram); limbah sawit
(100 kg) : Probion (300 gram) : Urea (300 gram); dan limbah sawit (100 kg) : Probion (350
gram); Urea (350 gram). Setiap perlakuan dicampurkan secara merata, kemudian
dimasukkan dalam wadah yang bagian atasnya terdapat kotak dari kawat sebanyak 12
wadah dengan ketinggian antara 20-30 cm. Wadah seluruh perlakuan ditutupi dengan
plastik selama 30 hari.
Perlakuan fermentasi yang dilakukan sebagai berikut:
P1 = Limbah sawit + Probion 200 gram + Urea 200 gram
P2 = Limbah sawit + Probion 250 gram + Urea 250 gram
P3 = Limbah sawit + Probion 300 gram + Urea 300 gram
P4 = Limbah sawit + Probion 350 gram + Urea 350 gram
Parameter yang diamati adalah pH media, suhu media dan analisis proksimat yaitu
untuk mengetahui protein kasar, Serat kasar dan energi metabolis.
Pengambilan data suhu dan pH dilakukan setiap hari selama 2 kali yaitu jam 10.00
pagi dan jam 14.00 siang. Analisis proksimat dilakukan pada akhir penelitian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


726 | Teknologi Pertanian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak kelompok (RAK) Pola dengan 4
perlakuan dan 3 ulangan. Bila hasil analisis ragam menunjukkan berbeda nyata maka akan
dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel and Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Gizi Sabut dan Kulit Buah Sawit

Hasil analisis proksimat terhadap kandungan gizi kulit buah dan tandan buah kelapa
sawit yang difermentasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan zat makanan limbah sawit hasil fermentasi


Kandungan gizi P1 P2 P3 P4
Protein Kasar (%) 9,5 10,2 14,9 12,7
Serat Kasar (%) 25,4 23,1 18,5 20,8
Lemak Kasar (%) 6,2 7,6 8,3 8,1
Energi Metabolis (Kkal) 2834 2820 2935 2928
Keterangan: Laboratorium Makanan Ternak Fapet, IPB (2006)

Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa kandungan protein kasar perlakuan


(P3) lebih tinggi (14,9%) dibandingkan perlakuan P1, P2 dan P4. Selanjutnya bila
dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, maka perlakuan fermentasi dengan
probion memberikan nilai peningkatan yang cukup nyata. Sebagai pembanding hasil
penelitian yang dilakukan oleh Permana (1995) kandungan protein kasar kulit buah dan
sabut sawit sebesar 6,9%. Dengan demikian perlakuan fermentasi ini dapat meningkatkan
8,0%. Sedangkan laporan hasil penelitian yang dilakukan Jalaludin et al. (1991) kandungan
protein kasar serabut sawit yang tidak difermentasi sebesar 6,5%.
Peningkatan kualitas nutrisi serabut dan kulit buah sawit ini, diduga adanya peran
aktif mikroba melalui proses metabolisme dan fermentasi dalam memanfaatkan urea
sebagai sumber Nitrogen yang diubah untuk pembentukan protein mikroba baik pada media
sawit maupun bagi kepentingan mikroba tersebut.
Menurut Permana (1995) dan Jalaludin et al (1991) kandungan gizi serat kasar
serabut sawit dan kulit buah sawit tanpa fermentasi masing-masing sebesar 49,2% dan
39,9%. Sedangkan hasil penelitian fermentasi pemanfaatan probion dan urea pada serabut
sawit dan kulit buah sawit mampu menekan dan menurunkan kandungan serat kasar
masing-masing perlakuan P1 (25,4%), P2 (23,1%), P3 (18,5%) dan P4 (20,8%). Khusus untuk
perlakuan P3 menunjukkan nilai yang cukup baik, jika dibandingkan dengan hasil penelitian
terdahulu, maka terjadi penurunan persentase serat kasar rata-rata mencapai 21%.
Penurunan tingkat serat kasar ini, diduga berhubungan erat dengan peran dan
kemampuan mikroba dalam menggunakan kandungan karbon pada media. Selain itu karena
pada probion tersebut sebagian besar merupakan bakteri pencerna serat kasar sehingga
mampu memecahkan dinding sel tanaman (selulosa dan hemiselulosa) pada media sabut
dan kulit buah sawit.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 727
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Selain itu penurunan kadar serat kasar produk fermentasi dapat dipengaruhi oleh
lamanya waktu fermentasi dan ketersediaan nutrisi atau sumber makanan mikroba pada
media. Semakin lama waktu fermentasi, akan membuat mikroba terus bekerja, sesuai
kondisi lingkungan pada media tersebut terutama untuk menghasilkan enzim pemecah
serat.
Pada Tabel 1, juga terlihat bahwa produk limbah sawit fermentasi mempunyai
kandungan energi metabolis yang cukup untuk dimanfaatkan bagi ternak. Rataan energi
metabolis hasil penelitian ini untuk perlakuan P1 (2834 Kkal), P2 ( 2820 Kkal), P3 (2935 Kkal)
dan P4 (2928 Kkal). Hasil penelitian ini dapat dikatakan tidak banyak mengalami perubahan
dibanding penelitian Permana dan Jalaludin. Hal ini karena mikroba membutuhkan energi
yang cukup untuk metabolisme selama fermentasi. Selama proses fermentasi karbohidrat
yang merupakan komponen utama dalam bahan/media yang umumnya mencapai 60-70%
dari total bahan kering bahan dan merupakan bagian serat kasar yang sebagian besar
terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa (Sutardi, 1979). Selanjutnya dikatakan pula
bahwa karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroba. Sekali lagi tidak adanya peningkatan energi metabolis ini juga
diduga berkaitan dengan pemanfaatan energi yang cukup besar oleh mikroba dalam proses
metabolisme selama fermentasi berlangsung. Hal ini mengingat dinding sel sabut dan kulit
buah sawit yang cukup keras dengan lapisan selulosa dan hemiselulosa yang banyak.

Pengamatan Fermentasi

Selama penelitian berlangsung pengamatan diskriptif secara visualisasi, pengontrolan


suhu dan pH dilakukan setiap 3 hari. Hasil yang dapat dilaporkan selama penelitian adalah:
1. Terjadi peningkatan suhu panas pada media, dimana pada awal penelitian terasa hangat
2. Pada hari ke-4 dan seterusnya media terasa lebih panas dan bila diukur dengan
termometer pada hari ke-21 suhunya dapat mencapai 36oC-37oC.
3. Terjadi perubahan warna media dari warna coklat terang menjadi agak kehitam-
hitaman.
4. Bila media sawit dipegang, maka akan terasa basah dan bila diremas akan terasa lebih
lembut dibandingkan sebelum difermentasi.
5. Pada bagian lapisan terluar tumpukan media terlihat tumbuhnya jamur yang berwarna
putih.
Pengamatan deskriptif terhadap pertumbuhan mikroba pada media akan
menentukan umur panen substrat yang difermentasi, pengamatan tersebut melalui suhu,
warna dan bentuk substrat fermentasi. Pemanenan dilakukan pada lama fermentasi 30 hari,
dimana pada saat tersebut telah terjadi penurunan suhu sehingga mencapai 27 oC.
Di saat suhu fermentasi mulai menurun, terlihat misellium telah menyebar rata di
permukaan substrat yang menyebabkan tekstur substrat terikat kompak dan spora kapang
semakin banyak terbentuk yang berwarna putih. Pada kondisi ini dianggap optimum untuk

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


728 | Teknologi Pertanian
melakukan pemanenan. Uhi (2004) menyatakan, fermentasi dengan probion membutuhkan
waktu 21 hari sampai 35 hari, tergantung media yang digunakan.
Hasil analisis statistik pengaruh perlakuan fermentasi terhadap nilai pH dan suhu
limbah sawit menunjukkan bahwa tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Tabel
2).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap nilai suhu dan pH limbah sawit


yang difermentasi selama 30 hari penelitian
Parameter
Perlakuan Suhu (oC) pH
Hari Ke-15 Hari Ke-30 Hari Ke-15 Hari Ke-30
P1 34 27a 6,5a 5,4a
a b
P2 34 27 6,3 5,4a
b b
P3 35 26 6,3 5,3b
a c
P4 34 27 6,2 5,4a
Ket: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Data pada Tabel 2 menunjukkan hasil pengamatan sampai hari ke-15 hasil analisis
sidik ragam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap masing-masing perlakuan
yang diteliti dengan kisaran nilai berkisar dari 34 oC-35oC. Sedangkan pada hari ke-30,
memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) antara masing-masing perlakuan
yaitu perlakuan P1, P2 dan P4 berbeda dengan perlakuan P3.
Pengamatan pH fermentasi limbah sawit, dianalisis secara statistik terlihat pada pH
hari ke-15, P1 berbeda dengan P2, P3 dan P4. Sedangkan P2 dan P3 tidak berbeda tapi
berbedan dengan P4. Selanjutnya pada pengamatan pH hari ke-30 menunjukkan P1, P2 dan
P4 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda dengan P3.

Nilai pH Fermentasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH awal fermentasi berkisar antara 7,9-8,0 dan
nilai pH akhir fermentasi berkisar antara 5,3-5,4, seperti terlihat pada Gambar 3.
8,2
pH Fermentasi

6,6

5,0
0 3 6 9 12 15 17 21 24 27 30
P1 8,0 7,9 7,7 7,4 7,0 6,5 6,3 5,9 5,7 5,5 5,4
P2 7,9 7,8 7,5 7,4 6,8 6,3 6,1 5,8 5,6 5,5 5,4
P3 8,0 7,8 7,6 7,4 7,0 6,3 6,0 5,8 5,6 5,4 5,3
P4 7,9 7,8 7,5 7,2 6,9 6,2 6,0 5,8 5,6 5,5 5,4
Lama Fermentasi (hari)

Gambar 3. Grafik perubahan pH selama fermentasi

Proses fermentasi pada serabut dan kulit buah sawit membutuhkan waktu yang
cukup panjang selama 30 hari dibandingkan dengan ampas sagu dengan lama fermentasi 21
hari. Hasil penelitian pada Gambar 3 terlihat bahwa diakhir penelitian nilai pH terendah dari

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 729
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
perlakuan yang diteliti adalah perlakuan P3 sebesar 5,3, dibanding perlakuan P1, P2 dan P4.
Perbedaan ini diduga berhubungan dengan level dan ratio pemberian probion dan urea ke
dalam media sawit, Karena konsumsi mikroba akan nutrisi tergantung pada kondisi dan
lingkungan dimana media tersebut.

Suhu Fermentasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu wal fermentasi berkisar antara 27 oC-28oC
dan nilai suhu optimum fermentasi berkisar antara 36 oC-37oC sedangkan suhu akhir
fermentasi 26oC-27oC seperti terlihat pada Gambar 4.
40
Suhu Fermentasi (0C)

35

30

25
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
P1 27 28 30 32 33 34 35 36 31 28 27
P2 27 28 30 31 33 34 35 36 30 29 27
P3 28 29 30 32 33 35 35 37 32 28 26
P4 28 29 31 32 33 34 35 36 32 28 27
Lama Fermentasi (hari)

Gambar 4. Grafik perubahan suhu selama fermentasi

Awal penelitian suhu fermentasi terus meningkat untuk semua perlakuan yang
digunakan sampai pada hari ke-21 suhu optimum yang dicapai pada perlakuan P3 adalah
37oC. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan energi cukup besar, mengingat dinding sel
serabut dan kulit buah sawit yang cukup kuat untuk didegradasi oleh mikroba. Sehingga
mikroba memerlukan tenaga/energi yang cukup banyak. Hal lain yang berkaitan dengan
suhu adalah ketersediaan dan keseimbangan probion dan urea yang digunakan dalam
perlakuan ini. Hasil analisis statistik perlakuan suhu fermentasi selama penelitian untuk
masing-masing perlakuan tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata.

KESIMPULAN
Lama penelitian untuk mencapai proses fermentasi optimum yang tepat untuk media
limbah kelapa sawit adalah 30 hari dengan perlakuan terbaik dengan campuran probion 300
gram dan urea 300 gram, menghasilkan protein kasar 14,9%, serat kasar 18,5%, lemak kasar
8,3% dan energi metabolis 2935 kkal. Suhu fermentasi tertinggi pada perlakuan P3, hari ke-
21 (37oC) dan nilai pH terendah pada akhir penelitian 5,3.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan Terima Kasih Ditujukan Terutama Kepada Saudari Happy Maria Hetaria,
Sebagai Mahasiswa sekolah tinggi ilmu pertanian (Stiper) Santo Thomas Aquinas, yang telah
membantu penelitian ini dalam hal pelaksanaan dan pengumpulan data penelitian. Kepada
Kepala Laboratorium Nutisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor,kami tak lupa juga mengucapkan terima kasih dalam hal pengujian dan analisis sampel
penelitian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


730 | Teknologi Pertanian
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat statistik (BPS), 2003. Data produksi dan Potensi perkebunan Provinsi Papua,
Jayapura.
Barker, T.W., N.J. Drouliscos, and J.T. Worgan. 1991. Composition and Nutritional of
Aspergillus Orzae Biomass grown on Palm Oil Processing Effluents. J. Sci. Food Agric.
32:1014-1020.
Jalaludin, S.Z.A. 1991. Recent Development in the Oil palm y Product Based Ruminant
Feeding System in Recent Advances on The Nutrition of Herbivora. Malaysia.
Permana, I. G. 1995. Evaluation of Nutritive Value of Palm Press Fiber through Inoculation
with P. Ostreatus as Ruminant Feed. Thesis. Cottingen.
Sinurat, A.P, P. Setiadi, T. Purwadaria, A.R. Setioko dan J. Dharma. 1998. Pemanfaatan bahan
pakan berserat tinggi: I. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi serta
pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. Teknologi Unggulan Pemacu
Pembangunan Pertanian, Vol. I: 53-60.
Steel R.G.D and J.H. Torrie. 1991. Prinsip Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik.
Penerbit P.T. Gramedia Jakarta.
Sutardi, 1979. Ketahanan Protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen
dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Prosiding Seminar Penelitian
dan Penunjang Peternakan, LPP, Bogor.
Uhi, H. T, 2004. Pemanfaatan Suplemen Katalitik bagi Ruminansia pada Lahan Marginal.
Disertasi. Bogor.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 731
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
ANALISIS KINERJA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAMPING
DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN ASSET GAPOKTAN PUAP

Siti Sehat Tan dan Rita Indrasti

BalaiBesarPengkajiandanPengembanganTeknologiPertanian
JalanTentaraPelajar No 10, Cimanggu -Bogor
E-mail:sititan2010@gmail.com

ABSTRAK
Untuk membangun kemandirian Gapoktan PUAP maka perlu didampingi Penyelia Mitra Tani
(PMT) dan Penyuluh Pendamping. Keberadaan PMT sangat diperlukan di tingkat kabupaten
untuk mengoptimalkan dan mengawasi pemanfaatan dana bantuan modal usaha yang diberikan
oleh PUAP. Guna menunjang tugas dan fungsi PMT secara optimal, maka diperlukan adanya
dukungan biaya operasional bagi PMT untuk melakukan tugas pendampingan dan supervisi ke
lokasi penerima bantuan dana PUAP di wilayah kerjanya masing-masing. Untuk itu pengkajian
ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana kinerjapendamping atau Penyelia
Mitra Tani (PMT) dalam mengembangkan asset Gapoktanberupa modal usaha yang diberikan.
Kajian dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-September 2015 yaitu pengumpulan
data lapang kinerja PMT 2008-2014 dengan responden PMT,PenjabPUAP di BPTP, Tim
TeknisKabupaten/Kota,penyuluh pendamping dan Gapoktan, (purposive sampling), melalui FGD
dan wawancara menggunakan kuesioner, ditunjang dengan data sekunder dari instansi terkait.
Data ditabulasi berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dan dianalisis secara sederhana
menggunakan exel dengan teori metode umpan balik 360 derajat (multirater feedback,
multisource feedback atau multisource assessment). Hasilnya menunjukan bahwa kinerja PMT
atau peran pendamping belum sesuai dengan yang diharapkan dalam menunjang
pengembangan asset Gapoktan, dari nilai 1-5 (buruk-sangat baik), posisi kinerja pendamping
rata-rata berada 2,9-3,4. Banyakfaktor lain penyebab sebagian besar Gapoktan PUAP tidak bisa
berkembang dengan baik.
Kata Kunci : Peran Pendamping, Pengelolaan, Pendampingan

PENDAHULUAN
Kehadiran PUAP dalam mendukung usaha petani, yang pengelolaannya dipercayakan
kepada Gapoktan merupakan langkah strategis untuk memutus rantai birokrasi keuangan
yang biasanya di pegang oleh lembaga perbankan dan memutus hubungan pinjaman bunga
tinggi dari rentenir. Namun mampukah petani mengelola, dan mengembangkan modal yang
dipercayakan kepadanya, mengingat dukungan SDM di perdesaan sangat lemah, dan
mainset individu petani dan aparat pelaksana program di beberapa kasus yang buruk. Hasil
kajian pada beberapa Gapoktan di seluruh Indonesia, umumnya terdapat pemahaman
bahwa dana PUAP merupakan dana hibah yang tidak wajib untuk dikembalika (Bustaman et
al, 2011).
Keseragaman pola pikir masyarakat petani yang keliru tersebut memerlukan kerja
keras dari pendamping, baik Penyelia Mitra Tani maupun Penyuluh pendamping program
PUAP untuk memberikan pemahaman yang benar dengan berbagai metoda pendekatan
yang tepat, dilakukan secara terus menerus untuk mengubahpola pikir tersebut. Penelitian

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


732 | Teknologi Pertanian
Rivai (2009) menunjukan bahwa, Gapoktan yang terbentuk sebelum adanya PUAP memiliki
kinerja yang lebih baik dari Gapoktan yang dibentuk karena adanya PUAP.
Bantuan modal yang diberikan untuk menutup kelemahan petani dalam akses
kepada sumber permodalan, modal yang diberikan juga membantu dalam memperkuat
kelembagaan Gapoktan yang secara umum mengalami kelemahan. Peran Gapoktan sebagai
kelembagaan petani di perdesaan sangatlah strategis. Sebagai lembaga gerbang (gateway
institution) institution). Gapoktan menjadi jembatan antara petani dengan lembaga-lembaga
lain diluarnya dengan fasilitator pendamping Penyelia Mitra Tani (PMT).
Gapoktan juga diharapkan berperan untuk fungsi-fungsi pemenuhan permodalan
pertanian, pemenuhan sarana produksi, pemasaran produk hasil pertanian, dan termasuk
menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani1. Harapan petani pada
kelembagaan Gapoktan cukup besar mengingat fungsi-fungsi yang diembannya dalam
meningkatkan kapasitas petani sebagai pelaku utama dibidang usahatani yang berdaya saing
dan berkelanjutan,sehingga mereka dapat meningkatakan posisi tawarnya. Untuk itu perlu
pendekatan yang efektif dalam meningkatkan kapasitas dan kemampuan mereka.
Keefektifan peningkatan kapasitas Gapoktanmerupakan tugas penting Penyelia Mitra Tani
(PMT)sekaligus untuk meningkatkan nilai asset petani.
Hasil penelitian Martowijoyo (2002) melaporkan bahwa beberapa program bantuan
memperlihatkan keragaan yang tidak memuaskan pada lembaga keuangan yang
melaksanakan terutama pada (1) rendahnya tingkat pelunasan kredit; (2) rendahnya
moralitas dibidang perkreditan aparat pelaksana; dan (3) rendahnya tingkat mobilisasi dana
masyarakat. Masalah tersebut menunjukan adanya kelemahan yang mendasar dalam
pengelolaan keuangan ditingkat kelompok. Rendahnya SDM pengelola dan masih
melekatnya pola pikir dana PUAP merupakan dana bantuan/hibah yang diberikan
pemerintah sehingga tidak wajib dikembalikan. sehingga secara umum program penguatan
modal bagi petani yang diharapkan dapat bergulir dan berkembang mengalami kemandegan
atau mengalamai kegagalan (colaps).
PMT juga diharapkan mampu memberikan motivasi dan inovasi dalam mengelola
keuangan mikro. Disamping itu Gapoktan juga mempunyai pendamping penyuluh yang telah
lama hadir dan mendampingi petani. Keduanya merupakan asset SDM yang dimiliki
Gapoktan, sehingga diharapkan Gapoktan bisa memanfaatkannya. Keberhasilan program
PUAP dapat ditempuh apabila seluruh komponen pendukung tersebut bekerja secara
optimal dan selalu melakukan koordinasi, monitoring, dan evaluasi secara terus menerus.
Kinerja komponen tersebut akan dicirikan dengan kelembagaan Gapoktan yang profesional.
Pengembangan beberapa unit usaha Gapoktan seperti unit LKM-A, unit usaha
saprotan, unit usaha pemasaran hasil, unit usaha pengolahan merupakan contoh yang
banyak ditemukan dilapangan, walaupun variasi unit usahanya tidak selalu sama, tergantung
kepada potensi wilayah dan ketersediaan sumberdaya manusia produktif di wilayah
tersebut. Profesionalisme GapoktanPUAP dan penetrasi biasanya selalu dilihat dari jumlah
asset dan penetrasi dalam mengembangkan usaha Gapoktan, karena kedua indikator

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 733
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
tersebut biasanya mencerminkan SDM yang terampil dan terdidik, serta intensitas
pendampingan yang terpadu.

METODOLOGI
Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Mei 2015 – September 2015, meliputi data
lapang kinerja PMT 2008-2014 dengan responden PMT,Penjab PUAP di BPTP, Tim
Kabupaten/Kota,Penyuluh Pendamping dan Gapoktan, (purposive sampling).
Pengumpulan data primer dengan metode survei melalui focus groupdiscussion (FGD)
dan wawancara mendalam (indepth interview) (Denzin dan Lincoln, 1994). Pengumpulan
data diperoleh juga melalui Penanggungjawab PUAP BPTP seluruh Indonesia yang
kuesionernya dibuat oleh Tim BBP2TP. sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi
terkait ditingkat Provinsi (Dinas, Bakorluh, dan BPTP), Kabupaten (Dinas dan Bapeluh) dan
Kecamatan (BPP). Responden terdiri dari; PMT, Gapoktan, Penyuluh Pendamping, Penjab
PUAP BPTP, dan Tim Teknis Kab/Kota.
Indikator pemilihan responden adalah:
 PMT yang dipilih adalah PMT yang bertugas mendampingi dan membina Gapoktan
(pada kabupaten terpilih)
 Penyuluh yang terpilih, merupakan petugas lapang yang mendampingi Gapoktan
dalam menjalankan aktivitas usahatani maupun usaha ekonomi produktif lainnya
 Gapoktan yang terpilih, merupakan Gapoktan yang dibina dan didampingi oleh PMT
sampel. Gapoktan terpilih adalah Gapoktan yang sudah maupun yang belum
membentuk LKM-A.
 Tim teknis kabupaten, merupakan petugas di tingkat kabupaten terpilih.
Data dianalisis menggunakan exel dengan metode umpan balik 360 derajat
(multirater feedback, multisource feedback atau multisource assessment), dimana
penggunaan 360 derajat berarti derajat lingkaran penuh dengan karyawan berada di
pusatnya. Dengan demikian umpan balik datang dari beberapa arah sekaligus, yaitu dari
bawah, rekan, dan atasan. Termasuk didalamnya yaitu assessment diri (Pella dan Inayati,
2011).
Metode umpan balik 360 derajat telah terbukti meningkatkan beberapa hal terkait
fungsi seorang pemimpin, seperti membuat perubahan positif pada sikap dan kelekatan
karyawan (Atwater & Brett, 2006), dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Sari, 2011).
Sehingga metode ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif cara mengembangkan.
Dalam konteks pengkajian yang dilakukan, pengukuran penilaian kinerja PMT, dilihat melalui
penilaian Gapoktan, Penjab PUAP, Penyuluh dan TimTeknis.
Skoring terhadap hasil, diperoleh melalui wawancara menggunakan instrumen
(kuesioner) terhadap responden didasarkan pada keragaan kinerja yang dilihat dari 5 (lima)
aspek, yaitu (1) aspek ketrampilan, (2) aspek kesediaan berbagi ilmu, (3) aspek administrasi,
(4) aspek kedisplinan dan (5) aspek komunikasi, yang kemudian dianalisis menggunakan

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


734 | Teknologi Pertanian
sistem pemberian skor, penentuan skor tersebut menggunakan skala likert (1-5), dimana
skala 5 merupakan jawaban yang paling mendukung, dan terendah adalah 1. Pengertian
skala 5 yaitu adanya kesesuaian antara kondisi yang seharusnya (harapan) dengan kondisi
yang terjadi (eksisting).

HASILPEMBAHASAN

Program PUAP

PUAP adalah salah satu program Kementrian Pertanian yaitu untuk meningkatkan
kemampuan modal petani dengan tujuan mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui
penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai potensi
wilayah atau spesifik lokasi. Dalam pelaksanaannya, pemerintah merekrut tenaga
pendamping yaitu Penyelia Mitra Tani (PMT) sebagai pendamping Gapoktan di setiap lokasi
PUAP. PMT yang menjadi pendamping diwajibkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan
dibidang keuangan mikro dan komputer. Disamping PMT, tenaga pendamping lainnya yaitu
penyuluh lapang, tim pembina provinsi (Dinas pertanian, Bakorluh, dan BPTP), dan tim teknis
Kabupaten (Dinas Pertanian Kabupaten dan Bapeluh).
Penyaluran dana dari pemerintah pusat untuk setiap Gapoktan/desa sebesar 100 juta
diberikan berdasarkan kebijakan dan arahan dari tim pembina provinsi, tim teknis
kabupaten serta hasil kesepakatan anggota Gapoktan. Pengelolaan dana dapat berupa
pinjaman ke anggota dengan pembentukan Unit Usaha simpan Pinjam (USP) atau dapat pula
berupa unit saprodi dan beberapa unit lainnya, yang pembayaran/pengembalian pinjaman
dapat dilakukan setelah panen (yarnen) atau berdasarkan kesepakatan anggota Gapoktan.
Jasa pinjaman beragam antar Gapoktan berkisar antara 1-2% per bulan. Besar pinjaman
disesuaikan dengan luas lahan/usaha yang dimiliki. Pemupukan modal pada umumnya
menurut kajian Bustaman et al (2012), setiap anggota wajib membayar satu kali iuran pokok
sebesar Rp10.000-50.000 dan iuran wajib Rp5.000-10.000 pada setiap pertemuan kelompok.

Kinerja Gapoktan

Keberhasilan pendamping Penyelia Mitra Tani (PMT) dapat diukur melalui indikator
kebehasilan Gapoktanbinaannya, secara rinci tahapan tersebut dapat diukur melalui:
Tahun Pertama. Dana PUAP dimanfaatkan Gapoktan untuk membiayai usaha
produktif sesuai usulan anggota, yaitu melalui Rencana Usaha Anggota (RUA), Rencana
Usaha Kelompok (RUK) dan, RencanaUsahaBersama (RUB). Pada tahap ini peran
pendamping yaitu PMT dan penyuluh sangat penting dalam memfasilitasi pembuatan RUA,
RUK dan RUB.Keberhasilan pendamping pada tahap ini dapat diukur dengan melihat
peruntukan pinjaman untuk usaha agribisnis produktif anggota sesuai dengan RUA.
Tahun Kedua. Pengembangan usaha menjadi unit simpan pinjam (USP) dan unit
usaha lainnya dengan prinsip dasar (1) kelancaran pengembalian pinjaman dari anggota,(2)
adanya simpananwajib dan pokok, (3) dukungan SDM pengurus k dalam pengelolaan dana,
dan (4) peran serta pemerintah Desa dalam memfasilitasi Gapoktan. Keempat prinsip

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 735
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
tersebut menjadi dasar utama dalam pengembangan Gapoktan untuk membentuk Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) yang merupakan tujuan Gapoktan.
Tahun Ketiga, Pembentukan Unit usaha LKM-A diharapkan beriring dengan
penumbuhan asset Gapoktan, melalui dana keswadayaan, kerjasama dengan pihak ketiga,
kemandirian pengurus, legalitas usaha sehingga unit-unit usaha yang dikelola dapat
berkembang dengan baik (Direktorat Pembiayaan Pertanian, 2014). Selanjutnya dengan
terbentuknya LKM-A diharapkan persoalan pembiayaan petani mikro dan buruh tani yang
selama ini akses ke modal keuangan formal cukup sulit dapat teratasi.

Keragaan Kelembagaan Gapoktan

Kegiatan PUAP yang dimulai tahun 2008 dan selama 7 tahun (2008 – 2013) sudah
mencapai 49.186 gabungan kelompok tani (Gapoktan), yang tersebar di 427 kabupaten, dan
33 provinsi dengan jumlah dana yang telah disalurkan sebesar Rp.4,9 triliun (Kemtan 2013).
Pada tahun 2015 penambahan sebanyak 4.000 Gapoktan. Hasil evaluasi yang dilakukan
sampai dengan tahun 2014, dari 31.527 sampel Gapoktan baru 3.898 Gapoktan (12,4%) yang
telah berhasil membentuk LKM-A (Tabel 1) , sedang sisanya sebanyak 27.629 Gapoktan
(87,6%) masih dalam bentuk USP (Tabel 2).

Tabel 1. Keragaan pembentukan lembaga keuangan


mikro agribisnis pada Gapoktan PUAP 2008-2013
Wilayah Jumlah Provinsi Jumlah Gapoktan Jumlah LKM-A (Unit) %
Sumatera 10 9.446 1.427 36,61
Jawa 6 10.161 1.625 41,69
Bali dan Nusa Tenggara 3 2.760 135 3,46
Kalimantan 4 2.693 159 4,08
Sulawesi 6 4.160 441 11,31
Maluku dan Papua 4 2.307 111 2,85
Jumlah 33 31.527 3.898 100
Sumber: BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian (2014)

Tabel 2. Keragaan unit usaha simpan pinjam (USP) pada Gapoktan PUAP 2008-2013
Wilayah Jumlah Provinsi Jumlah Gapoktan Jumlah USP (Unit) %
Sumatera 10 9.446 8.019 29,02
Jawa 6 10.161 8.536 30,90
Bali dan Nusa Tenggara 3 2.760 2.625 9,50
Kalimantan 4 2.693 2.534 9,17
Sulawesi 6 4.160 3.719 13,46
Maluku dan Papua 4 2.307 2.196 7,95
Jumlah 33 31.527 27.629 100
Sumber: BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian (2014)

LKM-A terbanyak berada pada daerah Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali dan
Nusa Tenggara, serta terakhir adalah Papua dan Maluku. Hasil evaluasi Gapoktan PUAP
2008-2011 di Banten, menunjukan bahwa dari 802 contoh Gapoktan yang dianalisis, nilai
asset hanya berkembang dari Rp80.200 juta menjadi Rp83.683. LKM-A yang terbentuk baru

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


736 | Teknologi Pertanian
46 dan USP 756. Kenaikan nilai asset yang tidak signifikan hampir terjadi disetiap provinsi
dan sebagian besar masih berada pada grade D dan E (Tabel 3). Penetapan grade dilakukan
mengacu pada suku bunga Bank dan bunga pinjaman ke anggota yang berkisar dari 1-1,5%
per bulan. Perkembangan kelembagaan Gapoktan sangat lambat dan cenderung tidak
berkembang terutama pada wilayah Maluku dan Papua.

Tabel 3. Keragaan lembaga keuangan mikro agribisnis berbasis katagori 2008-2013


Wilayah Jumlah
Katagori
Provinsi
A B C D E Jlh
Sumatera 10 121 20 17 16 1253 1.427
Jawa 6 265 61 84 128 1087 1.625
Bali dan Nusa
3 12 2 2 1 118 135
Tenggara
Kalimantan 4 17 1 4 2 135 159
Sulawesi 6 3 0 1 5 432 441
Maluku dan
4 20 7 7 3 74 111
Papua
Jumlah 33 438 91 115 155 3100 3898
% 11,23 2,33 2,95 3,98 79,51 100
Sumber: Data primer diolah
A= sangat baik, B= Baik, C= Cukup, D= Kurang Baik dan E= Buruk

Kinerja Pendamping Dalam Pengembangan Nilai Asset Gapoktan

Pendamping PUAP merupakan salah satu komponen pendukung pelaksanaan


program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang bertugas untuk
membangun kapasitas Gapoktan sebagai kelembagaan tani. Sesuai dengan struktur dasar
PUAP, Penyelia Mitra Tani (PMT) dan Penyuluh diharapkan dapat: a) Membantu
merumuskan kebijakan teknis pengembangan PUAP di Kabupaten/Kota sebagai jabaran
kebijakan Pusat dan Provinsi; b) Bersama dengan Tim Teknis Kabupaten/Kota melaksanakan
verifikasi awal rencana usaha bersama (RUB) Gapoktan; dan c) Melaporkan perkembangan
PUAP secara periodik kepada Kementerian Pertanian.
Pendamping PUAP diharapkan juga mampu berperan sebagai fasilitator untuk
mengembangkan usaha agribisnis yang dilakukan oleh petani, buruh tani dan rumah tangga
tani di perdesaan sekaligus dapat memfasilitasi penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKM-A). Keberhasilan Pendamping PUAP sebagai fasilitator dalam pengembangan
usaha agribisnis dan penumbuhan Gapoktan sangat ditentukan oleh koordinasi yang baik
dengan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam PUAP di Kabupaten/Kota.
Untuk itu, Petunjuk Teknis Pendamping PUAP ini, dapat dijadikan acuan bagi Penyelia
Mitra Tani (PMT) dan Penyuluh maupun pihak-pihak lain terkait dengan pelaksanaan PUAP.
Peian fasilitator dalam mendorong partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan
program. Untuk mendorong keberlanjutan kegiatan diperlukan exit strategy (Sudaryanto
dan Rusastra, 2006)

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 737
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
Hasil analisis kinerja pendamping penyelia mitra tani yang dilakukan pada beberapa
Provinsi, hampir seluruhnya memiliki kemiripan dalam efektivitas kinerja pendamping.
Analisis yang dilakukan mencakup beberapa aspek, yaitu (1) aspek ketrampilan, (2) aspek
kesediaan berbagi ilmu, (3) aspek administrasi, (4) aspek kedisplinan dan (5) aspek
komunikasi, yang kemudian dianalisis menggunakan sistem pemberian skor, penentuan skor
tersebut menggunakan skala likert (1-5), dimana skala 5 merupakan jawaban yang paling
mendukung, dan terendah adalah 1. Pengertian skala 5 yaitu adanya kesesuaian antara
kondisi yang seharusnya (harapan) dengan kondisi yang terjadi (eksisting) (Gambar 1-4 ).

Gambar 1-4. Rata- Rata Skor Lima Aspek Penilaian Gapoktan


Terhadap Pendamping Penyelia Mitra Tani

Hasil penilaian tersebut menunjukan bahwa, kinerja pendamping dalam menjalankan


tugas dan fungsinya rata-rata cukup (2,9-3,4) , kecuali di Maluku Utara rata-rata skor
penilaian masih kurang (2,7-2,9). Rendahnya kinerja pendamping disebabkan berbagai
faktor eksternal maupun internal berupa kebijakan pemerintah pusat dalam biaya
operasional, dukungan pemerintah daerah dan internal Gapoktan yang tidak mendukung.
Namun demikian dari hasil analisis terhadap jawaban PMT, masalah utama dalam
pembinaan dan pengembangan Gapoktan adalah biaya operasional rendah dengan daerah
binaan yang cukup luas, tidak memungkinkan PMT untuk menjangkaunya.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pendamping

Selama tahun 2008-2014 kebijakan pemerintah pusat tentang daerah binaan


Gapoktan oleh PMT yaitu 20-30 Gapoktan yang tersebar dibeberapa Desa dalam satu

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


738 | Teknologi Pertanian
kabupaten. Hal tersebut kemudian menjadi kendala terutama pada daerah-daerah yang
secara geografis memiliki wilayah kerja yang jauh dan sulit dijangkau atau memerlukan biaya
transportasi yang cukup besar. Kebijakan menyamaratakan dana operasional diseluruh
provinsi menjadi masalah utama untuk daerah-daerah tersebut. Kasus yang dijumpai di
provinsi yang penilaian terhadap pendampingnya baik, seperti di Jawa dan Sumatera
disebabkan karena PMT dan penyuluh lebih intensif, transportasi lebih mudah dan murah
dibandingkan dengan wilayah lainnya, terutama wilayah Tengah an Timur Indonesia.
Jangkauan kerja PMT di daerah Maluku dan Papua umumnya sangat berat, karena
lokasi berada pada jarak yang berjauhan, dimana satu PMT mendampingi 15-20 Gapoktan
yang tersebar di beberapa Pulau-pulau kecil yang cukup sulit dijangkau dan memerlukan
biaya transportasi yang cukup mahal. dengan biaya operasional (BOP) 1,2 juta dengan
wilayah binaan yang luas dimana sekali jalan bisa menghabiskan biaya Rp50.000, bila
pembinaan dilakukan sebulan sekali maka, idealnya hanya 5 Gapoktan yang bisa didampingi
dan dibina selama 5 bulan. Kondisi demikian menyebabkan banyak Gapoktan yang hanya
sekali dalam setahun dikunjungi oleh PMT. Variasi tingkat keberhasilan Gapoktan sulit untuk
diukur melalui kinerja PMT, karena dari Gapoktan-Gapoktan yang dibina, ada yang
dikatagorikan baik, namun ada juga yang sangat buruk. Banyak faktor berperan dalam
keberhasilan suatu Gapoktan, diantara yaitu; peran perangkat desa dalam mendukung, baik
dukungan modal tambahan, sarana dan prasarana, maupun sanksi-sanksi sosial yang diatur
dan disepakati bersama
Kurang berhasilnya Gapoktan dalam pengembangan asset dapat dilihat juga dari
kenaikan nilai asset yang tidak signifikan dan persentase LKM-A yang kecil. Salah satufaktor
penyebab rendahnya tingkat pembentukan LKM-A adalah permasalahan biaya yang
dihadapai Gapoktan untuk mendapatkan legalisasi.Untuk itu perlu dipertimbangkan bantuan
pembiayaan untuk proses legalisasi agar Gapoktan memiliki Badan Hukum.
Faktor lain selain peran pendamping adalah kemampuan pengurus Gapoktan dalam
memfasilitasi dan mengelola modal usaha, adanya persepsi dari anggota bahwa pinjaman
dana PUAP tidak perlu dikembalikan, serta dana pinjaman tidak digunakan sesuai kebutuhan
usaha. Menurut Suprapto (2012), pada tahap awal seleksi dan verifikasi calon penerima
dana PUAP tidak memperhatikan kelayakan usaha. Pembinaan dan pendampingan dari tim
pembina dan tim teknis kurang intensif.
Dengan demikian perlu langkah peningkatan kinerja Pendamping Penyelia Mitra Tani
(PMT) melalui (a) peningkatan budaya kerja, (b) memperkecil rasio antara PMT dengan
wilayah binaan, (c) perbaikan kerjasama antara PMT dengan penyuluh pendamping
(PP),serta Tim Teknis Kabupaten/Kota, dan (d) perlu adanya penyegaran baru untuk PMT
lama melalui pelatihan yang disesuaikan dengan kepentingan atau keperluan Gapoktan dan
perkembangan ilmu pengetahuan..

KESIMPULAN
Bantuan modal Program Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)sangat penting dalam
peningkatan produktifitas petani untuk penyediaan modal kerja usaha dan dana

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 739
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
pendampingan. Pengembangan Gapoktan dan peningkatan nilai asset Gapoktan ditentukan
melalui pendampingan yang padu, latar belakang pembentukan Gapoktan dan SDM
pengelola dana. Setelah 7 tahun berjalan, hasil evaluasi menunjukan kinerja pendamping
pada beberapa provinsi Indonesia masih jauh dari yang diharapkan yaitu berada pada
kisaran 2,7-3,4 dari nilai 4 dan 5 yang diharapkan, dan perkembangan nilai asset yang
sebagian besar masih di grade D dan E. Faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu
pendamping yaitu dana biaya operasional (BOP) yang tidak sesuai dengan besarnya wilayah
binaan, disamping faktor internal gapoktan dalam pengelolaan dana PUAP, kelayakan usaha
dan persepsi anggota tentang dana PUAP yang dianggap merupakan dana hibah atau
bantuan.

DAFTAR PUSTAKA
Atwater, L; dan Brett, J. 2006. 360 degree feedback to managers: Does it result in changes
in employee attitudes, Group and Organization Management, 31, 578-600.
BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2014. Data base Gapoktan PUAP 2008-2011.
Kerja sama BBP2TP Kementrian Pertanian.
Bustaman, S; S.S. Tan; A. Supriatna; Wasito, dan Erythrina. 2012. Esakalasi pengembangan
inovasi pertanian pada usaha bersama Gapoktan PUAP 2008-2011. Laporan hasil
peneltian PUAP. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian.
Bustaman, S; S.S. Tan; D.M. Arsyad; Wasito, dan M. Mardiharini. 2011. Kelembagaan Formal
dan Informal dalam pengembangan inovasi spesifik lokasi untuk mendukung
pembangunan pertanian di Jawa dan luar Jawa. Laporan hasil penelitian Program
Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kementrian Riset dan
Teknologi- Balai Besra Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Direktorat Pembiayaan Pertanian, 2014. Laporan penyaluran dana PUAP 2008-2013.
Jakarta: Direktorat Jenderal Prasarana dan SaranaPertanian, Kementrian Pertanian.
Denzim, Norman K., and Lincoln, Yvonna S.(Editor). 1994. Handbook of qualitative research.
Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.
Kementrian Pertanian, 2013. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP) 2013. Jakarta: Kementrian Pertanian. 40 hal.
Martowijoyo, S. 2002. Dampak pemberlakuan sistem bank perkreditan rakyat terhadap
kinerja lembaga perdesaan. Jurnal ekonomi rakyat, tahun I, No 5, Juli 2002.
Pella, D.A; dan Inayati, A. 2011. Talent Management: Mengembangan SDM untuk mencapai
pertumbuhan dan kinerja prima. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rivai, R. 2009. Penentuan lokasi dan evaluasi kinerja serta dampak awal PUAP. Seminar
Hasil Penelitian TA 2009: Puasat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


740 | Teknologi Pertanian
Suprapto . A. 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap pelaksanaan PUAP. Makalah
disampaikan pada workshop PUAP, Bogor, 8 Agusutus 2012.
Sari, I.K. 2011. Pengaruh metode umpan balik kepemimpinan transformasional 360 derajat
terhadap peningkatan kepuasan kerja karyawan. Tesis (tidak dipublikasikan).
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sudaryanto, T. Dan IW. Rusastra, 2006. Kebijakan strstegis usaha pertanian dalam rangka
peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan: 115-122.

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 741
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
DAFTAR HADIR SEMINAR NASIONAL

Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi


Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawasan Pertanian
Sorong, 9 November 2017
No Nama Asal Instansi
1. Abdul Karim UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
2. Albert Dinas Pertanian Kota Sorong
3. Alfaris UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
4. Alfince S. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
5. Alimuddin BPTP Papua Barat
6. Amirudin UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
7. Amisnaipa BPTP Papua Barat
8. Amnestina Matualage UNIPA Manokwari
9. Amrin Asir Ka. BPP Klasaman
10. Anita Puspita UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
11. Anji M. Dinas Pertanian Kab. Sorong
12. Antonius Lawang BPTPH Manokwari
13. Apresus Sinaga BPTP Papua Barat
14. Apriyani N. Sariffudin UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
15. Aras BPP
16. Ardy Manobi UNIPA Manokwari
17. Ari Abdul Rauf BPTP Gorontalo
18. Aries S. Dinas Pertanian Kota Sorong
19. Arif Faisol UNIPA Manokwari
20. Arif Yudo Krisdianto BPTP Papua Barat
21. Aser Rouw BPTP Papua Barat
22. Atekan BPTP Papua Barat
23. B. A. Haikatu Dinas Pertanian Kab. Sorong
24. Baharudin PMT Kota Sorong
25. Bambang Prastowo Badan Litbang Pertanian
26. Bilha Kalaibin UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
27. Charlie B. H. Balitbangda
28. Charlie Hehaitubun Balitbangda Prov. Papua Barat
29. Dalfa UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
30. Daniel Klasin UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
31. Dasma UNIPA Manokwari

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


742 | Teknologi Pertanian
No Nama Asal Instansi
32. Dedy Hertanto BPTP Gorontalo
33. Defron Wenda UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
34. Demas Wamaer BPTP Papua Barat
35. Diah K. W. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
36. Dina Blesia UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
37. Dina D. Krimadi UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
38. Dini Fibriyanti BPTP Maluku
39. Dominggus M. D. Tatuhey UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
40. Edison UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
41. Eko Agus Martanto UNIPA Manokwari
42. Entis Sutisna BPTP Papua Barat
43. Erliaty Laempah BPTP Papua Barat
44. Erny Rossanti Maruapey BPTP Papua Barat
45. Ezrom B. Balitbangda
46. Falentina Rawulun UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
47. Fenty Irianty BPTP Papua Barat
48. Feranti UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
49. Floreansi S. N. Dinas Pertanian Kabupaten
50. Fransiska UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
Fransiska Renita Anon
51. Basundari BPTP Papua Barat
52. Galih Wahyu Hidayat BPTP Papua Barat
53. Halijah BPTP Papua Barat
54. Hariyono UNIPA Manokwari
55. Hasyim Djamalu Moko BPTP Gorontalo
56. Helda F. Hakim UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
57. Hendrik Balitbangda
58. Herman Rois Tata BPTP Papua Barat
59. Hidayat Agung UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
60. I Ketut Madipta PPL
61. I Wayan Badan Karantina Sorong
62. Ida Adriyani BPTP Sulbar
63. Imam Prambudi BPTP Papua Barat
64. Imanuel UNIPA Manokwari
65. Irdayani BPTP Sulsel
66. Ismatul Hidayah BPTP Maluku

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 743
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
No Nama Asal Instansi
67. Ivani BPP Aimas
68. Jefny B. M. Rawung BPTP Sulut
69. Jemi Gifelem UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
70. Jesvina N. D. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
71. Jon W. Dinas Pertanian Kab. Sorong
72. Joni Pande Dinas Pertanian Kab. Sorong
73. Joula O. M. Sondakh BPTP Sulut
74. Jufri Samsudin UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
75. Kadir Dinas Pertanian Kota Sorong
76. Kasmiati Dinas Pertanian Kota Sorong
77. Kharis Mawar UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
78. Ladino Suyoto BPP Mariat
79. Lindy Cindy Umpes Dinas Pertanian Kabupaten
80. Lucky BPP Aimas
81. M. Basir Nappu BPTP Sulsel
82. M. Fathul Ulum Ariza BPTP Papua Barat
83. Manfret UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
84. Mansur Penyuluh Pertanian Kota Sorong
85. Margaretha UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
86. Margaretha Endah T. PPL
87. Margriet Dinas Pertanian Kab. Sorong
88. Marice Karsau UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
89. Maryam Nurdin BPTP Maluku
90. Mergelina M. S. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
91. Milka PPL Kab. Sorong
Mimin Yulita
92. Kusumaningrum BPTP Papua Barat
93. Minarno, SP PPL
94. Mira H. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
95. Muhammad Arif Arbianto BPTP Papua Barat
96. Muhammad Thamrin BPTP Sulsel
97. Musa S. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
98. Mustakim Dinas Pertanian Kota Sorong
99. Nicolays Jambang BPTP Papua Barat
100. Nolita Nanderia UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
101. Nova Maya Muhammad BPTP Gorontalo

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


744 | Teknologi Pertanian
No Nama Asal Instansi
102. Nur Aini Aries Dinas Pertanian
103. Nurhafsah BPTP Sulbar
104. Nuriya H. T. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
105. Nurjanani BPTP Sulsel
106. Nurlaila W. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
107. Pajala PPL BPP Mariat
108. Pande Ketut Dinas Pertanian Kab. Sorong
109. Paulus Payung UNIPA Manokwari
110. Payung Layuk BPTP Sulut
111. Pdt. Reinhard O. UNIPA Manokwari
112. Ponisri UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
113. Procula R. Matitaputty BPTP Maluku
114. Prokakus R. Nay UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
115. Rahman Wally UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
116. Rahmatiah BPTP Sulsel
117. Religius Heryanto BPTP Sulbar
118. Retno Dwi Wahyuningrum BPTP Yogyakarta
119. Riki UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
120. Rini A. Lobo Dinas Pertanian Kota Sorong
Ririen Indriawaty
121. Altandjung BPTP Papua Barat
122. Risma F. Suneth BPTP Maluku
123. Riswandi PPL
124. Rita Indrasti BB Pengkajian
125. Rita Maulany Dinas Pertanian Kota Sorong
126. Rocky CWM Channel
127. Rosna Rumodar UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
128. Royke N. UNIPA Manokwari
129. Rusdy Dinas Pertanian Kota Sorong
130. Ruth BPTP Sulsel
131. Ruth Juarti UNIPA Manokwari
132. Sahimaningsi UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
133. Samsudin PPL BPP Mariat
134. Sandy CWM Channel
135. Santi Devi UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
136. Sararum W. UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG

Seminar Nasional:
Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Penerapan Inovasi | 745
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Pada Kawasan Pertanian

......
No Nama Asal Instansi
137. Sariani PPL Kab. Sorong
138. Saripa Dolo UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
139. Sarma Guitar UNIPA Manokwari
140. Sarmane Pelu UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
141. Selyna UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
142. Semister PPL Kab. Sorong
143. Serli Anas BPTP Gorontalo
144. Siti Sehat Tan BB Pengkajian
145. Soni Klagilit UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
146. Sostenes Konyep BPTP Papua Barat
147. Sowono PPL
148. Sri Kiki Rukiyah PPL BPP Mariat
149. Stince Rouw UNIPA Manokwari
150. Subiadi BPTP Papua Barat
151. Subiyandono BPP Aimas
152. Sugiono Dinas Pertanian Kota Sorong
153. Sujarwan PPL
154. Sukatho PPL
155. Suralin R. PPL
156. Surianto Sipi BPTP Papua Barat
157. Suryani Dinas Pertanian Kota Sorong
158. Sutarno BPP Aimas
159. Sutrisno PPL
160. Tatak PPL
161. Tri Cahyono BPTP Papua Barat
162. Visa UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
163. Wardah BPTP Sulsel
164. Welly A. Momot UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
165. Wulem Sawaki Kabid Penyuluh Pertanian Kab. Sorong
166. Wulem Sawaki Kabid Penyuluh Pertanian Kab. Sorong
167. Yenny BPTP Sulut
168. Yusup Dinas Pertanian
169. Yusup Roy UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG
170. Yuwice Wauw PPL

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


746 | Teknologi Pertanian

Anda mungkin juga menyukai