Anda di halaman 1dari 265

ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III

‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering


Mendukung Swasembada Daging Nasional’

SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN III

Hotel Neo Aston Kupang, 1415 November 2017

Kolaborasi Penyelenggaraan:
Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) NTT
Himpunan Ilmuan Peternakan Indonesia (HILPI) NTT
Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) NTT
Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI) NTT

i
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN III

Kupang, 14-15 November 2017


“HILIRISASI TEKNOLOGI DALAM SISTEM PETERNAKAN LAHAN KERING
MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING NASIONAL”

Editor:
Dr. Marthen L. Mullik
Dr. Ulrikus R. Lole
Dr. Obed H. Nono

Reviewer:

Dr. I Gusti Ngurah Jelantik Universitas Nusa Cendana


Dr. Asnath M. Fuah Institut Pertanian Bogor
Prof. I G. Mahardika Universitas Udayana
Prof. G.A.M. Kristina Dewi Universitas Udayana
Prof. Marsetyo Universitas Haluoleo
Prof. Yusuf L. Henukh Universitas Sumatera Utara
Prof. Ifar Subagyo Universitas Brawijaya
Prof. Ni Ketut Suwiti Universitas Udayana
Prof. H.L.L. Belli Universitas Nusa Cendana
Prof. J.F. Bale-Therik Universitas Nusa Cendana
Prof. Erna Hartati Universitas Nusa Cendana
Prof. Sukawati Fatah Universitas Nusa Cendana
Prof. Frans Umbu Datta Universitas Nusa Cendana
Dr. Thomas Matahine Universitas Nusa Cendana
Dr. Johanis Ly Universitas Nusa Cendana
Dr. Maritje Hilakore Universitas Nusa Cendana
Dr. Franky M.S. Telupere Universitas Nusa Cendana
Dr. Paulus Klau Tahuk Universitas Timor
Dr. Marthen Luther Mullik Universitas Nusa Cendana
Dr. Obed Haba Nono Universitas Nusa Cendana
Dr. Ulrikus Romsen Lole Universitas Nusa Cendana

ii
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN III

14-15 November 2017, Kupang, NTT

Diterbitkan oleh:
Undana Press
ISBN: 978-602-6906-29-8

©2017. M.L. Mullik, U. R. Lole, O. H. Nono. Hilirisasi Teknologi Dalam Sistem Peternakan
Lahan Kering Mendukung Swasembada Daging Nasional’

Hak cipta dilindungi Undang-Undang, dilarang mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit.

Alamat Penerbit:
Jl. Adisucipto, Kampus Penfui, Kupang
Telpon: 0380-821084
www://undana.ac.id

iii
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

KATA PENGANTAR

Seminar Nasional Peternakan III tahun 2017 merupakan seri lanjutan dari dua seminar
pada dua tahun sebelumnya. Tema yang diusung adalah “Hilirisasi Teknologi dalam Sistem
Peternakan Lahan Kering Mendukung Swasembada Daging Nasional”. Tema ini dipilih
karena tantangan yang dihadapi dalam pengembangan ilmu dan teknologi di Indonesia saat ini
adalah hilirisasi. Oleh karena itu, topik-topik bahasan dalam seminar ini pun berpusar di
sekitar tema ini.
Para pakar yang dalam bidang rekayasa dan hilirisasi teknologi diundang untuk
menjadi narasumber utama. Prof. Muladno sebagai konseptor Program Sentra Produksi
Rakyat (SPR) menyajikan tantangan dalam implementasi SPR. Prof. Ali Agus sebagai pakar
teknologi pengolahan pakan yang telah melahirkan serta menghilirisasi temuannya, diundang
untuk membawakan ulasan tentang Teknologi Pengolahan Pakan Lahan Kering. Prof. Luki
Abdullah adalah seorang ilmuan pakan ternak yang penemuannya banyak membantu industri
dan peternak dalam penyediaan pakan hijauan mengulas topik tentang Pengembangan
Hijauan Pakan Lahan Kering. Menyatukan dunia akademik dan dunia usaha dalam diri
seorang akademisi merupakan suatu hal sangat menarik, dan Dr. Bambang W. Hep yang
adalah seorang dosen dan pengusaha peternakan membagi pengalaman melalui pembahasan
topik Akademisi dan Dunia Usaha. Pemuliabiakan ternak unggas lokal adalah topik menarik
lain yang dibahas oleh Prof. Firda Arlina. Dr. Gusti Jelantik berkesempatan untuk
memaparkan berbagai isu yang berkaitan dengan Kemajuan dan Tantangan Pengembangan
Iptek Lahan Kering. Mengawali semua penyajian tersebut, Gubernur NTT akan mengulas
tentang berbagai strategi dan kebijakan pemerintah NTT mengantrol kinerja peternakan
rakyat mendukung swasembada daging nasional, mengingat NTT sebagai salah satu lumbung
daging sapi nasional. Selain makalah-makalah utama tersebut, disajikan pula 40-an makalah
penunjang oleh berbagai peneliti dari berbagai universitas dan institusi riset di Indonesia.
Semoga prosiding ini menjadi rangkuman hasil seminar yang bermanfaat bagi kita
semua dalam mewujudkan peran masing-masing membangun peternakan Indonesia.

Panitia pelaksana,

Dr. Marthen L. Mullik


Ketua

iv
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

Selamat datang para peserta Seminar Nasional Peternakan III di kota Kupang,

Seminar ini merupakan bagian dari kegiatan yang dilaksnakan secara rutin setiap tahun dalam rangka
merayakan Dies Natalis Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana (Fapet Undana). Tahun 2017
merupakan Dies Natalis yang ke-54. Tahun ini merupakan momen spesial karena di ulang tahunnya
yang ke-54, Prodi Peternakan Undana mendapat nilai akreditasi A dari BAN PT. Dalam semangat
terus meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, bangsa dan negara, maka Fapet Undana
terus berkomitment dan berupaya meningkatkan mutu internalnya. Salah satu yang dilakukan adalah
dengan menyelenggarakan forum-forum ilmiah seperti yang kita lakukan saat ini.

Penyelenggaraan seminar ini dilakukan secara bersama dengan 4 organisasi profesi mitra
yaitu Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), Perhimpunan Peternak Sapid an Kerbau Indonesia
(PPSKI), Himpunan Ilmuan Pakan Indonesia (HILPI), dan Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan
Indonesia (HITPI). Joint force ini diharapkan akan memberikan daya dorong yang lebih besar dalam
membangun peternakan khususnya di NTT sebagai salah satu lumbung produksi daging nasional
sehingga ikut berperan nyata dalam misi besar Indonesia yaitu swasembada daging nasional.

Uis Neno nokan kit (Tuhan Menyertai kita)

Dekan Fakulas Peternakan Undana,

Ir. Gustaf Oematan, M.Si.


NIP. 19630405 199003 1 002

v
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar iv
Sambutan Dekan v
Daftar Isi vi

MAKALAH UTAMA

U-01
Pengembangan Hijauan Pakan Lahan Kering: Konsentrat Hijau Indigofera Zollingeriana
sebagai Sumber Nutrien Lokal untuk Mendorong Kemandirian Pakan dan Daya Saing
Peternakan Nasional
Prof. Luki Abdullah
Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ................................................. 1

U-02
Akademisi dan Dunia Usaha
Dr. Bambang W.H.E. Prasetiyono
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro .......................................................... 9

U-03
Tantangan dalam Implementasi SPR
Prof. Muladno
Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ................................................. 17

U-04
Teknologi Pengolahan Pakan untuk Lahan Kering
Prof. Ali Agus
Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada .............................................. 25

U-05
Pemuliabiakan Unggas Lokal di Lahan Kering
Dr. Firda Arlina
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas ................................................................. 33

U-06
Kemajuan dan Tantangan Pengembangan Iptek Peternakan Lahan Kering
Dr. I Gusti Ngurah Jelantik
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana ...................................................... 41
MAKALAH PENDUKUNG

TEMA 1
Pakan dan Nutrisi Makanan Ternak

P1-01
Pengaruh Pemberian Pakan Komplit dengan Rasio Jerami Padi dan Konsentrat yang
Berbeda terhadap Konsumsi, Konversi Ransum dan Pertambahan Berat Badan Kambing
Kacang Betina
A.E. Manu, Y.U.L. Sobang, dan A. Pryadi ........................................................................... 68

P1-02
Pengaruh Fermentasi Dedak Padi oleh Kapang Rhyzopus Oligosporus terhadap Kadar
Asam Pitat
M.A. Hilakore, M. Nenobais, dan T.O. Dami Dato .............................................................. 72
vi
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

P1-03
Pengaruh Kombinasi Pemberian Putak dan Jerami Padi dengan Suplementasi Asam
Fenilpropionat dan Analog Hidroksi Metionin untuk Meningkatkan Produksi Ternak
Kerbau (Bubalus bubalis)
G. Oematan dan M.L. Mullik ................................................................................................ 76

P1-04
Analisis Kandungan Nutrien Produk Fermentasi Bonggol Pisang Kepok dan Pengaruh
Pemberiannya terhadap Performa Ternak Babi Lepas Sapih
S. Sembiring ............................................................................................................ 81

P1-05
Rasio Karbon-Nitrogen pada Berbagai Hijauan Pakan di Timor Barat
M.L. Mullik, G. Oematan, T.O. Dami Dato, G. Maranatha, Y.M. Mulik ............................ 86

P1-06
Pakan Rendah Protein bagi Ayam Broiler di Daerah Tropis
S.Y.F.G. Dillak dan N.G.A. Mulyantini ................................................................................ 90

P1-07
Pengaruh Penambahan Tepung Kunyit dalam Ransum terhadap Performan Babi
Peranakan Landrace
T. Dodu, I.M.S. Aryanta, N.N. Suryani, F. Heryfianto, dan S.T. Tanghamap ...................... 94

P1-08
Efek Campuran Tepung Daun Kelor, Tepung Daging Bekicot dan Tepung Limbah Ikan
sebagai Pengganti Konsentrat Komersial terhadap Kecernaan dan Performan Babi
N.N. Suryani, Usaha G. Moenthe, I M.S. Aryanta, dan Thomy Naitasi ............................... 98

P1-09
Efek Penggunaan Tepung Biji Asam Terfermentasi terhadap Kadar Kolesterol Babi Induk
Awal Kebuntingan
J. Ly, Markus A. Pay, Ni Nengah Suryani............................................................................ 102

P1-10
Evaluasi Parameter Rumen secara Invitro Standing Hay Rumput Kume Amoniasi yang
Difermentasi oleh Pleurotus Sajur-caju dengan Kombinasi Gamal dan Lamtoro
M. Nenobais dan Jalaludin ................................................................................................... 107

P1-11
Efek Suplementasi Cobalt-Zeolit Alam Aktif terhadap Kondisi Fermentasi Rumen dan
Profil Darah Ternak Kambing Lokal yang Digembalakan
M.M. Kleden, L.S. Enawati, dan G.A.Y. Lestari .................................................................. 111

P1-12
Optimalisasi Fermentasi Rumen secara in Vitro melalui Pemberian Pakan Komplit Plus
Berbasis Limbah dari Hasil Fermentasi Menggunakan Zn-Cu Isoleusinat
G.A.Y. Lestari dan E. Hartati ............................................................................................... 116

P1-13
Optimalisasi Fermentasi dalam Rumen melalui Suplementasi Tepung Bekicot pada
Ransum Berbasis Standing Hay Rumput Kume (Sorghum plumosum)
E. Hartati, E.Dj. Sulistidjo, A. Saleh, G. Oematan, dan G.A.Y. Lestari ............................... 121

vii
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

P1-14
Kecernaan Bahan Organik dan Mineral Ternak Babi Keturunan Landrace yang
Mengonsumsi Biji Asam Olahan dalam Ransum 126
R. Wea, J. F. Balle-Therik, P.R. Kalle, dan M.L. Mullik ......................................................

P1-15
Performans Ayam Kampung di Daerah Tropis yang Diberi Ransum dengan Imbangan
Energi Protein Berbeda
V.J. Ballo .............................................................................................................................. 131

P1-16
Perubahan Kandungan Komponen Serat “Standing Hay Rumput Kume” Amoniasi yang
Difermentasi Jamur Pleurotus sajor-caju
Jalaludin dan M. Nenobais ................................................................................................... 136

P1-17
Kualitas Rumput pada Padang Penggembalaan Alam di Kecamatan Katiku Tana Selatan
Kabupaten Sumba Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur
S.T. Temu, H.P. Nastiti, H.T. Handayani, H.T. Pangestuti, dan D.B. Osa .......................... 141

P1-18
Evaluasi Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Hijauan Padang Penggembalaan
Alam di Desa Bangka Kantar Kecamatan Borong Kabupaten Manggarai Timur
H.P. Nastiti dan H.T. Pangestuti .......................................................................................... 144

TEMA 2
Produksi, Reproduksi, Pemuliabiakan, dan Kesehatan Hewan 149

P2-01
Pemanfaatan Madu dalam Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Motilitas dan Viabilitas
Spermatozoa Kambing Peranakan Etawah
W.M.M. Nalley, I G.N. Jelantik, dan Yustiani Y. Bette ......................................................... 150

P2-02
Pengaruh Strain Pejantan terhadap Performa Reproduksi Ternak Ayam Lokal Sabu
Y. Djegho, H.T. Pangestuti, J.N. Kihe, dan H. Sutedjo ...................................................... 155

P2-03
Efektivitas Suplementasi Level Filtrat Jambu Biji yang Berbeda ke dalam Pengencer Air
Kelapa Kuning Telur terhadap Kualitas Semen Cair Sapi Bali pada Penyimpanan Suhu
50c
M.S. Abdullah, A. Marawali, dan Jalaludin .......................................................................... 160

P2-04
Kemampuan Tumbuh Blastosis Mencit Pasca Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi
dan Slow-Freezing
T.M. Hine dan W.M.M. Nalley .............................................................................................. 165

P2-05
Produktivitas Sapi Bali Penggemukan di Tingkat Peternak
U.S. Rosnah dan M. Yunus ................................................................................................... 170

P2-06
viii
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

Pengaruh Suplementasi Selenium dan Vitamin E pada Induk Sapi Bali Prepartum
terhadap Berat Lahir dan Ukuran Linear Tubuh
H.L.L. Belli ............................................................................................................................ 174

P2-07
Korelasi Fenotip Beberapa Sifat Produksi F1 Hasil Persilangan antara Ayam Lokal
dengan Ayam Ras Petelur ISA Brown
F.M.S. Telupere, Rianti A. Naitboho, dan J.N. Kihe ............................................................ 178

P2-08
Kinerja Induk Kambing Peranakan Etawah di Desa Sumlili Kabupaten Kupang
J.R. Noach dan H.T. Handayani ........................................................................................... 183

TEMA 3
Pengolahan Hasil dan Limbah Ternak serta Lingkungan 187

P3-01
Pengujian Total Plate Count Daging Ayam Selama Penyimpanan yang Diawetkan dengan
Daun Sirsak (Annona muricata)
J.F. Bale-Therik ..................................................................................................................... 188

P3-02
Pengaruh Cara dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Fisik Susu Ultra Light
Temperature (UHT) Kemasan Terbuka
T.I. Purwantiningsih dan K.W. Kia ...................................................................................... 194

P3-03
Performa dan Kolesterol Daging Ayam Broiler yang Diberi Ampas Sagu dalam Ransum
T.N. Ralahalu dan C.C.E. Latuperisa ................................................................................... 198

P3-04
Kandungan Air, Lemak, Protein dan Kolesterol Se’i Sapi yang Diberi Ekstrak Jeruk
Nipis dan Rosela
G.E.M. Malelak, P.R. Kale, dan H. Armadianto ................................................................. 203

P3-05
Kadar Asam Asetat, Fenol, dan Karbonil Asap Cair Kayu Kusambi dan dengan Campuran
Asap Cair Daun Kusambi
B. Sabtu dan N.P.F. Suryatni ............................................................................................... 207

P3-06
Analisis Kebutuhan Air bagi Budidaya Ternak Sapi di Lahan Kering Timor Barat,
Indonesia
M.L. Lano, M. Makaborang, J.J.S. Dethan, dan M.L. Mullik ............................................. 212

P3-07
Penyediaan dan Pemanfaatan Air untuk Produksi Ternak Sapi Ongol di Lahan Kering
Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur
M. Makaborang, M.L. Lango, J.J.S. Dethan, dan M.L. Mullik ........................................... 217

P3-08
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Rosella (Hibiscus Sabdarifa Linn) dan Asap Cair Kayu
Kusambi (Schleichera oleosa) sebagai Karakteristik Organoleptik, Fisik dan Kimia dalam
Pengolahan Se’i (Daging Asap Timor). G.M. Sipahelut dan G.E.M. Malelak.................. 221
ix
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

TEMA 4 225
Sosial Ekonomi, Agribisnis, dan Alih Teknologi

P4-01
Faktor-faktor Penentu Keikutsertaan Pelaku dalam Sistem Bagi-Hasil Sapi Potong
O.H. Nono ............................................................................................................................. 226

P4-02
Analisis Ekonomi Usaha Ternak Sapi Bantuan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah
Selatan
A. Keban, I G.N. Jelantik, J.G. Sogen, dan T.T. Nikolaus .................................................... 230

P4-03
Dinamika Pertumbuhan Pasar Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Malaka
M. Krova ............................................................................................................................... 236

P4-04
Faktor Penentu Permintaan Pasar Lokal Ternak Sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur
U.R. Lole .............................................................................................................................. 241

P4-05
Karakteristik Sosial dan Ekonomi Usaha Sapi Bali Penggemukan pada Kondisi Peternak
S. Fattah, M.R. Pellokila, B. Sabtu, dan Y.U.L. Sobang ....................................................... 245

P4-06
Keragaan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Tradisional: Studi Kasus Rumah Tangga
Nelayan Desa Nembrala Kecamatan Rote Barat Kabupaten Rote Ndao
C.A. Paulus dan Y.U.L. Sobang ........................................................................................... 249

P4-07
Efisiensi pemesaran ayam broiler (survey pemasaran ayam broiler pola kemitraan dari
Kab. Ciamis ke Kota Bandung, Jawa Barat.
M. Y. Luruk, Burhan Arief, Maman Paturochman dan Daddy Suryadi................................ 253

x
ISBN: 978-602-6906-29-8602 Seminar Nasional Peternakan III
‘Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional’

Universitas Nusa Cendana

Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia

Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan Indonesia

Himpunan Ilmuan Peternakan Indonesia

Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia

Sekretariat Panitia:
Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana
Gedung Pascasarjana Undana
Jl. Adisucipto, Kupang, NTT 85001
Email: panitia_semnaspet3@yahoo.com
Mobil: +62-8123726254

xi
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

MAKALAH UTAMA

1
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

MAKALAH PENUNJANG

TEMA 1

Pakan dan Nutrisi Makanan Ternak

2
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KONSENTRAT HIJAU Indigofera zollingeriana SEBAGAI SUMBER NUTRIEN


LOKAL UNTUK MENDORONG KEMANDIRIAN PAKAN DAN DAYA SAING
PETERNAKAN NASIONAL
GREEN CONCENTRATE of Indigofera zollingeriana AS LOCAL NUTRIENT SOURCE TO
SUPPORT FEED SELF SUFICIENCY AND NATIONAL LIVESTOCK COMPETENCY
Luki Abdullah
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Institut Pertanian Bogor

PENDAHULUAN
Daya saing produk peternakan Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan dan
kualitas pakan. Proporsi biaya pakan dari keseluruhan biaya produksi dari hasil kajian menunjukkan
adanya kenaikan yang signifikan dari dekade 80-an yaitu dari rataan 65% menjadi 76% untuk
ruminansia, dan dari 74% menjadi sekitar 80% untuk unggas pada saat ini. Peningkatan biaya pakan
ini menyebabkan kenaikan harga ternak dan produk ternak dalam negeri tinggi. Tingginya harga
bahan pakan bersumber dari serealia, biji-bijian dan limbah agro industri telah memicu
kenaikan harga ransum ternak. Tingginya harga bahan pakan konsentrat karena bahan pakan strategis
sumber protein dan karbohidrat seperti bungkil kedelai, jagung, pollard dan corn gluten meal
didatangkan dari luar negeri. Impor bungkil kedele dan jagung masing-masing dapat melebihi 2 juta
ton dan 2,95 juta ton tahun 2013, akibat peningkatan kapasitas produksi industri pakan nasional
mencapai 13,8 juta ton tahun 2013 (Sudirman. 2014), bahkan dengan semakin besarnya kebutuhan
industri pakan dengan target terpasang 15,5 juta ton ada kecenderungan kebutuhan bahan baku
tersebut akan terus meningkat.
Disisi lain beberapa contoh bahan baku konsentrat asal lokal seperti bungkil inti sawit juga
ternyata tidak mudah didapatkan oleh peternak, karena diperkirakan lebih dari 1,5 juta ton per tahun
diekspor untuk kebutuhan industri lain dengan harga tentunya lebih menguntungkan. Kalaupun
tersedia pembelian harus dengan kuantitas besar, yang sulit dijangkau oleh peternak menengah ke
bawah. Bahan konsentrat lainnya yang sering ditemukan masalah terjadi pada dedak padi, selain
harganya fluktuatif juga tingkat pemalsuan bahan yang sudah mencapai taraf membahayakan
produktivitas ternak dalam jangka panjang. Pemicu kenaikan harga dan pemalsuan bahan baku
konsentrat sulit dikendalikan karena sistem rantai pasok yang tidak terstruktur. Kondisi ini
semakin menjerat peternak dalam ketidakberdayaan akibat semakin sulit menjangkau bahan pakan
konsentrat berkualitas tinggi.
Kesulitan mendapatkan bahan pakan konsentrat konvensional diprediksi akan terus berlanjut
seiring suksesnya pengembangan teknologi dan industri biorefinary. Teknologi biorefinary mampu
mengkonversi setiap biomassa menjadi lebih bernilai ekonomi dan berdaya guna untuk berbagai
industri seperti farmasi (obat dan kosmetik) dan pangan fungsional. Artinya, industri pakan
akan berkompetisi dengan industri lain dalam menggunakan bahan baku yang bernilai gizi tinggi.
Industri biorefinary tergolong industri dengan investasi tinggi saat ini, sehingga jarang investor kita
(yang memang lebih suka cepat untung dengan trading) bersedia membangun industri berbasis
teknologi biorefinary, sedangkan investor di luar negeri seperti di Korea, Jepang, Malaysia, China
saat ini membangun industri berbasis teknologi biorefinary yang bahan bakunya dari Indonesia.
Hal ini menyebabkan seringnya ketersediaan bahan baku pakan tertentu mengalami pasang surut,
karena sebagian besar diekspor ke negara-negara tersebut. Hal ini pula dapat menyebabkan
beberapa pabrik agro industri tidak mengolah lagi bahan bakunya di Indonesia, melainkan langsung
di negara tersebut. Untuk ini Kementrian yang terkait dengan perindustrian dan perdagangan perlu
mencermati dan mengeluarkan regulasi agar tidak terjadi ekspor biomassa mentah secara besar-
besaran, seperti regulasi pada bahan tambang dan mineral baru-baru ini. Kegiatan ekspor bahan baku
bernilai gizi tinggi menurut pandangan penulis sama dengan melakukan ekspor nutrien yang sangat
merugikan bagi industri yang dapat dikembangkan di Indonesia. Pemerintah juga harus mendorong
terciptanya industri baru pakan yang dapat menyerap bahan baku bernilai nutrien tinggi.

3
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Upaya alternatif untuk mengurangi ketergantungan bahan baku konsentrat yang


bersumber dari serealia, biji-bijian dan limbah agroindustri terutama dari hasil import adalah
mengoptimalkan pemanfaatan hijauan pakan berkualitas tinggi dari tanaman pakan Leguminoseae
atau dikenal dengan nama Legum. Hijauan pakan pada dasrnya merupakan pakan utama bagi ternak
ruminansia dengan konsumsi harian mencapai 70% dari total ransum (Abdullah et al., 2005).
Pengggunaan hijauan berkualitas tinggi berpeluang untuk menerapkan sistem produksi ternak organik
serta mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Hal inilah yang mendorong Australia
mengembangkan areal lamtoro (McSweeney et al., 2011) hingga mencapai 200.000 ha, karena di
negara ini bahan konsentrat konvensional semakin hari semakin mahal akibat berkembangnya industri
berbasis biorefinary. Australia terus berupaya melakukan peningkatan efisiensi produksi terutama
dalam penyediaan pakan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dalam skala industri.
Penggunaan legum pakan Lamtoro di Indonesia telah sukses dilakukan di NTT tepatnya di
Amarasi. Hasil kajian selama musim kemarau di desa Merbaun kecamatan Amarasi Barat dan desa
Oesena kecamatan Amarasi kabupaten Kupang menunjukan bahwa penggunaan daun lamtoro masing-
masing 72% dan 53% dalam ransum dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian sapi bali
masing-masing 0,74 kg/hari dan 0.76 kg/hari (Lani, 2014), lebih tinggi 0,2-0,26 kg dari sapi bali
dengan pemeliharaan di desa lain yang tidak berbasis legum.
Pengembangan dan pemanfaatan leguminosa pakan di Indonesia sudah semakin
mendesak untuk mensubstitusi penggunaan bahan konsentrat konvensional asal serealia, biji- bijian
dan limbah agroindustri. Legum pakan merupakan anugerah dan maha karya Sang Pencipta
sebagai sumber nutrien terbaik yang dapat digunakan untuk mengoreksi kekurangan nutrisi pada
berbagai bahan pakan lokal secara murah. Kandungan protein legum pakan berkisar antara 20-38%.
Daun merupakan sumber nutrien terbaik dalam setiap jenis tanaman pakan. Kandungan protein kasar
daun legum berkisar 21-38% dan bagian batang sampai tangkai daun mengandung protein kasar
dengan kisaran 10-18% (Tabel 1). Produksi dan kualitas Indigofera zollingeriana terlihat lebih tinggi
dibandingkan legum lainnya, sehingga termasuk legum yang mempunyai prospek tinggi untuk
dikembangkan sebagai komoditi industri konsentrat hijau.
Tabel 1. Produksi bahan kering (BK), kecernaan BK (KCBK), kandungan protein kasar (PK) dan
monetral beberapa legume
Jenis Legum Produksi KCBK Nutrisi (%)
BK(t/ha/thn) (%) PK Kalsium Fospor
A.glabrata 1,5 - 2,4 77 18 - 22 - 0,15-0,22
A.pintoi 5 - 6,5 60-70 13 - 25 - -
C.mucunoides 4-6 58-66 16-24 - -
C.macrocarpum 1-5 45-70 20-30 - 0,2
C.pubescens 7,6-12,8 53-71 24-26 0,83 0,19
D.virgatus 2,4-7,6 65-74 15-27 - -
D.intortum 12-19 52-57 14-23 - -
F.macrophylla 3-12 53 11-25 0,1-1,0 0,15-0,3
G.sepium 5-20 60-65 18-30
I.zollingeriana* 9-41 67-81 23-31 1,2-1,6 0,27-0,3
I.spicata 5-25 23 - -
L.purpureus 2-7 55-76 21-38 - -
L.leucocephala 2-6 55-70 18-28 0,8-1,9 0,23-0,27
S.guianensis 5-20 52-60 12-20 0,2-0,6 0,6-1,6
Sumber: Factsheet tropical forage.2013, *Abdullah et al. (2010).
Legum sering dimanfaatkan oleh peternak selain sebagai sumber protein, juga sebagai sumber
mineral Ca dan P. Kalsium dalam leguminosa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, yang
berkisar antara 0,1- 0,3% dibandingkan dengan rumput yang rata-rata sekitar 0,13-0,21%. Demikian
pula dengan kandungan P pada legum relatif lebih tinggi. P pada legum sebagian besar berupa

4
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

P organik yang sangat penting terutama dalam proses metabolisme, karena P digunakan sebagai
sumber energi metabolisme seperti ATP (adenosin tri fosfat). Jenis P organik yang ditemukan
antara lain asam nukleat dan fosfolipid. Sekitar 70-90% P dari legum dapat larut dalam air, dan
hanya sekitar 3-7% P terikat dalam bahan dinding sel (Whitehead et al.,1985.

1. Pengembangan Konsentrat Hijau Berbasis Indigofera


Konsentrat merupakan pakan yang berasal dari campuran atau bahan pakan tunggal padat
nutrisi yang mengandung serat kasar kurang dari 18% (FAO, 1983). Pengertian ini secara teknis dapat
dikembangkan bukan hanya untuk bahan pakan yang berasal dari serealia, biji- bijian, limbah
agro industri dan mineral, yang secara konvensional sudah dikenal dan digunakan selama ini.
Pengertian konsentrat bisa dikembangkan menjadi Konsentrat Hijau, dengan mempertimbangkan
sumber pakan lain yaitu hijauan pakan sebagai komponen penyusunnya. Konsentrat pada umumnya
memiliki kandungan protein kasar > 14% dengan TDN >65%. Fungsi konsentrat pada ransum ternak
adalah sebagai penguat untuk mengoreksi kekurangan nutrisi pada ransum yang diberikan agar
dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup (maintenance), produksi dan reproduksi.
Konsentrat Hijau (Green Concentrate) merupakan istilah baru yang saya munculkan dengan
pengertian “Pakan tunggal atau campuran padat nutrisi dengan kandungan serat kasar kurang
dari 18% yang bahan bakunya berasal dari hijauan pakan” (Abdullah, 2014). Konsentrat Hijau
dapat berasal dari hijauan tunggal dari satu spesies tanaman pakan atau beberapa campuran
hijauan pakan yang berasal dari species tanaman pakan yang berbeda sehingga memenuhi
persyaratan sebagai konsentrat hijau. Sebagian besar bahan baku Konsentrat Hijau berasal dari
tanaman pakan lgum. Salah satu keunggulan dari Konsentrat Hijau selain padat nutrisi juga
memiliki fungsi herbal atau jamu bagi ternak karena mengandung klorofil dan senyawa sekunder yang
bermanfaat bagi ternak.

1.1. Indigofera sebagai Bahan Konsentrat


Indigofera telah dikenal sejak jaman kolonialisasi Jepang untuk industri pewarna alami.
Sebanyak 64 spesies Indigofera ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2
sampai 12 mg NO2/g tanaman (William et al., 1981), cukup beracun untuk umur anak ayam 1
minggu. Sekitar 20 spesies telah dipelajari untuk tanaman pakan antara lain : Indigofera
zollingeriana, Indigofera arrecta, Indigofera tinctoria, Indigofera. spicata and Indigofera nigritana
yang telah diujikan pada ternak dan tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas secara histologi.
Salah satu jenis legum prospektif di Indonesia untuk bahan konsentrat hijau adalah Indigofera
zollingeriana yang disebut Indigofera (Abdullah et al., 2012a). Legum in merupakan salah satu
famili legumonoseae yang sudah dikembangkan risetnya sejak tahun 2006 oleh penulis dan tim
untuk menghasilkan bahan pakan setara konsentrat hijai secara tepat dan efisien. Indigofera dipilih
sebagai sumber konsentrat hijau, karena memiliki keunggulan dalam produksi dan kualitas
hijauannya dibandingkan dengan legum lain. Rataan protein kasar Indigofera berkisar antara
26%-31% (Tabel 1 dan Tabel 2) dengan tingkat kecernaan protein mencapai83%-86,3% (Tabel
2).
Dari hasil uji coba I. zollingeriana dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena
selain nilai nutrisinya tinggi, juga palatabilitasnya tinggi bagi semua ternak. Kualitas nutrisi I.
zollingeriana tergolong tinggi (Tabel 2) (Abdullah et al., 2010). Kualitas protein Indigofera ditentukan
oleh komposisi asam amino esensial nya. Nilai Indeks asam amino esensial Indigofera adalah
21,45% lebih rendah dibandingkan asam amino bungkil kedele (36.34%) (Palupi et al., 2014).

Tabel 2. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian edible lainnya) Indigofera zollingeriana
Kandungan nutrisi Kisaran nilai
Bahan kering (%) 88.11 ± 2.7
Abu (%) 6,14 ± 1.45

5
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Lemak kasar (%) 3.62 ± 0.23


Protein kasar (%) 29.16 ± 2.37
Serat kasar (%) 14.02 ± 2.48
Bahan Ekstrak tanpa N (%) 35.1 ± 2.54
NDF (%) 47- 61
ADF (%) 21- 39
TDN (%) 75-78
Selulosa (%) 11-16
Lignin (%) 2.4-4.6
Ca (%) 1.78 – 2.04
P(%) 0.34 – 0.46
K (%) 1.46 – 4.21
Mg (%) 0.32 - 0.51
Vitamin A (IU/100mg) 5054
Vitamin D (mg/100g) 34.7
Vitamin E (mg/100g) 13.32
Kecernaan bahan kering pada kambing (%) 78 – 82
Kecernaan bahan organic pada kambing (%) 77 – 80
Kecernaan protein (%) 82.3 – 86.3
Tanin (%) 0.03 – 0.14
Saponin (%) 2.24 – 4.20
Sumber : (Abdullah et al.,2010)

Bahan aktif yang paling sering ditemukan dalam genus Indigofera adalah Indospicin, seperti
pada I. spicata (Aylward et al., 1987) atau 3-nitro propionic acid pada I.carlessii dan I. kirilowii (Su
et al., 2008). I zollingeriana yang digunakan dalam pengembangan konsentrat mengandung tanin dan
saponin dalam jumlah relatif rendah dan tidak terdeteksi mengandung bahan berbahaya seperti 3-nitro
propionat. Berdasarkan informasi tersebut I. zollingeriana dilihat dari sudut pandang kualitas dan anti
kualitas dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan konsentrat hijau.

1.2. Karakteristik Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera


Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman pakan tahunan yang dapat berproduksi
sampai 15 tahun. Tanaman pakan ini sangat mudah dikembangkan dan dibudidayakan, karena potensi
reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan polong dan benih dengan biji bernas. I. zollingeriana.
Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara 7-17 buah dengan panjang polong antara 2.5-3.4
cm, jumlah benih per polong antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82%. Indigofera
mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang menjadi polong
memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis benih terjadi hingga minggu ke-6
tergantung curah hujan. Warna polong yang sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam
kecoklatan dan terdapat relief pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas.
Secara fisik benih berwarna coklat dan coklat kehitaman serta bulat berisi lebih baik
viabilitasnya dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau kecoklatan. Pengeringan benih
hingga 45 oC dapat menurunkan daya kecambah benih hingga 29.85% dan 41.53% berturut-
turut pada umur kecambah 4 hari dan 14 hari. Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa
mencapai 8-9%. Benih normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan
persentase perkecambahan (daya kecambah) 28-35% (Girsang, 2012) jika benih disimpan lebih dari 2
bulan dan serangan jamur saaat pembibitan. Pemberian pupuk organik pada media penyemaian dapat
meningkatkan daya kecambah menjadi 67%-74%. Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat

6
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

fotoblastik negative, karena benih yang berkecambah pada germinator gelap lebih banyak
dibandingkan germinator terang (44% - 57% vs 24% - 29%; P<0.05).
Kepadatan tanam optimal Indigofera sekitar 6.600 tanaman per ha, dengan jarak antar tanaman
dalam baris 1 m dan antar baris 1,5m. Untuk menghasilkan tajuk yang tinggi, diperlukan
pemberian pupuk kandang dalam lobang saat tanam sebanyak 250-300g/lobang dan pupuk cair
organic INDIGO-FERTILIZER, yang dibuat hasil penelitian di Laboratorium Agrostologi Fakultas
Peternakan IPB dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk daun disemprotkan 4 kali selama
periode penanaman, yaitu pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan42 hari setelah pemangkasan
atau panen sebelumnya. Aplikasi INDIGO-FERTILIZER sebanyak 50 ppm juga dapat meningkatkan
total asam amino esensial pada hijauan Indigofera dari 1,31% menjadi 1,65% atau meningkat
25,47% (Abdullah dan Kumalasari, 2012). Interval pemanenan 60 hari, dengan intensitas
pemangkasan 75-100 cm dengan bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible).
Kisaran produksi hijauan Indigofera yang dicatat di kebun percobaan Darmaga dan Unit
Pendidikan dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 5-10 ton BK/ha/panen (catatan; bahwa
produksi hijauan ini diperoleh dari tanaman yang diberi pupuk daun) (Tabel 3 dan Gambar 1).
Produksi kering hijauan Indigofera adalah 33% dari produksi hijauan segarnya. Pemangkasan yang
lebih tinggi hingga 1.5 m dilaporkan oleh Andi et al (2010) menunjukan produksi hijauan lebih
banyak dibandingkan pemangkasan yang lebih pendek.
Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi daun muda dan daun
tua tanaman Indigofera seperti terlihat pada Tabel 3. Dinamika komposisi antara daun muda dan
daun muda terjadi sesuai waktu pemangkasan adalah sebagai berikut : semakin tua umur
pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari semakin meningkat proporsi daun tua dari 58.4%
menjadi 75.3% dan semakin menurun proporsi daun muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah
dan Suharlina, 2010), meskipun produksi total hijauan meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi
5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan komposisi ini adalah penurunan kualitas yang
ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 27-31% menjadi 25%-27%, dan penurunan
kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta penurunan kecernaan 73.79% menjadi
69.63%.
Jumlah cabang tanaman Indigofera pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak
mengalami pemangkasan pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2- 6
ranting yang pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan segar. Produksi
hijauan sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan cabang dan ranting,
sehingga korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan jumlah percabangan setelah
pemangkasan ke-6 menyebabkan pertumbuhan daun (kanopi) saling menutupi dan banyak daun
tidak efektif dalam melakukan proses fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan
cabang ini menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negative (r=-0.979).
Berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan, kajian ekofisiologi menunjukkan bahwa
Indigofera zollingeriana toleran terhadap cekaman kekeringan. Kemampuan I. zollingeriana
terhadap cekaman kekeringan ditunjukan dengan nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8
mPa sampai –7,9 mPa (Sowmen, 2013). Selang nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa
tanaman ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim.
Produksi tajuk dapat menurun hingga 33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas
lapang, namun tanaman ini tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman
mendapatkan air kembali (Herdiawan et al., 2012).

Tabel 3. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan pertumbuhan tanaman Indigofera

7
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Sumber : Abdullah et al (2010).

Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman Indigofera zollingeriana. Sumber :
Abdullah et al (2010) tidak dipublikasi

Indigofera terbukti sangat interaktif dengan Mychorriza dalam hal transfer unsur hara dari
tanaman Setaria italica yang ditanam bersamaan dalam pola tanam tumpang sari agar tetap produksi
hijauannya dipertahankan (Dianita, 2012). Indigofera juga mampu mempertahankan kandungan N, P
dan C, serta meningkatkan populasi bakteri pelarut fosfat dalam rhizosphere, (Suharlina dan Abdullah,
2012).

1.3. Produk Konsentrat Hijau Indigofera: Indigofeed dan Indifeed


Pengembangan produk konsentrat berbasis Indigofera diarahkan pada dua produk yaitu
konsentrat hijauan 100% dengan nama Indigofeed dan Konsentrat dengan Indigofera sebagai sumber
protein utama dengan nama Indifeed. Keduanya adalah produk sajian pakan praktis dalam
bentuk tepung dan pelet berbasis hijauan pakan dari daun pilihan tanaman Indigofera yang ditanam
dengan pola kebun teh dan mendapat perlakuan suplementasi nutrien langsung melalui daun saat
pertumbuhannya di lapangan, sehingga produk ini sangat kaya nutrisi bermanfaat dan rendah anti
nutrisi, memenuhi syarat pakan yang aman dan halal.
Produk ini memenuhi standar industri pakan dengan sifat fisik yang memungkinkan
pabrikasi dan distribusi efisien dan dapat disimpan lama tanpa kerusakan fisik dan nutrisi signifikan.
Pelet konsentrat hijauan ini dirancang untuk menghemat biaya pakan karena keberadaan daun
Indigofera sebagai salah satu komponennya mampu mensubstitusi sumber protein impor. Produk
konsentrat yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki kualitas nutrisi dan manfaat nutrisi yang
terbaik menurut hasil pengujian secara in Vitro dan in vivo yang akan diuraikan berikutnya

8
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Proses pembuatan konsentrat hijauan diawali dengan pengeringan dan penepungan daun.
Selanjutnya tepung daun dicampur dengan bahan perekat megandung pati sampai homogen dan tidak
terjadi endapan partikel bahan yang lebih berat. Bahan campuran untuk Indigofeed menggunakan
onggok, sedangkan untuk Indifeed menggunakan beberapa bahan pakan pencampur yang
lebih lengkap. Campuran bahan yang telah siap selanjutnya disimpan dalam karung kedap air untuk
kemudian memasuki proses pemeletan atau tetap dalam bentuk tepung dengan Alur Proses seperti
pada Gambar 2.
Proses peletting mempengaruhi kualitas ransum. Berdasarkan penelitian sebelumnya pemeletan
kering tanpa menggunakan uap dilakukan untuk menghasilkan ransum komplit yang diharapkan.
Hambatan proses gelatinisasi karena adanya hijauan pakan yang mengandung serat tinggi dapat
dikurangi karena adanya penambahan sumber pati seperti tepung jagung atau onggok (Solihah,
2010). Sifat fisik pelet yang dihasilkan untuk setiap ukuran pelet dan pembuatan pelet untuk
setiap produk berbeda tergantung proporsi hijauan Indigofera yang digunakan.
Karakteristik fisik, biologis, dan kimia diuji untuk mengetahui kelayakan produk konsentrat
hijau sebagai komoditi industri. Pengujian karakteristik fisik pelet Indigofeed pada ukuran : 3mm,
5mm dan 8 mm, yang diuji dalam 5 taraf waktu penyimpanan yaitu 0 hari, 7 hari, 15 hari, 30 hari dan
60 hari.

Gambar 2. Alur proses pembuatan Indigofeed & Indifeed.

2. Properti Konsentrat Hijau


2.1. Karakteristik Fisik dan Mikrobiologi
Pengujian dilakukan untuk mengamati aktivitas air (Aw) suatu bahan yang menunjukan jumlah
air bebas yang terkandung dalam pelet daun yang diuji, yang dapat digunakan oleh mikroba untuk
pertumbuhan (Gambar 3).

9
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Gambar 3. Nilai aktivitas air (Aw) pelet dari ukuran yang berbeda disimpan pada waktu berbeda.
Sumber : (Abdullah et al., 2010) tidak dipublikasi

Nilai Aw berkisar antara 0.60-1.00. Semakin tinggi nilai Aw semakin besar berpeluang terjadi
intervensi mikroba dalam bahan pakan. Nilai Aw keseluruhan pelet daun Indigofera adalah 0.78
yang berarti memenuhi kriteria komoditas industri pakan. Berbeda dengan Indigofeed 3 mm dan
8 mm Indigofeed 5mm tidak begitu drastis meningkat hingga hari ke-30, dan cenderung konstan
setelah penyimpanan hari ke-30. Kadar air pelet juga merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan tingkat keawetan pelet semasa disimpan. Kadar air pelet pada penelitian ini selama
disimpan terus meningkat signifikan (p<0.05), namun masih dalam batas kisaran normal yaitu 8-10%
(Gambar 4).
Aroma produk Indigofeed dan Indifeed sangat harum mencitrakan kandungan daun hijauan
leguminosa pakan yang sehat. Aroma daun Indigofera yang khas meningkatkan palatabilitas bagi
ternak untuk mengonsumsinya. Dari hasil pengujian kepada ternak menunjukkan bahwa semua ternak
uji yaitu sapi perah, kambing perah, domba dan ayam dapat mengonsumsi produk konsentrat hijau
Indigofera dengan taraf yang tinggi.
Ukuran pelet lebih besar menyimpan air lebih banyak, namun masih dalam batas kadar air
simpan yang normal, yaitu 7.2-11.7%. Kadar air ini tidak akan menstimulasi aktivitas enzim yang
mungkin dihasilkan oleh mikroba, sehingga aman untuk digunakan meskipun pelet sudah disimpan
selama 60 hari. Kerapatan tumpukan memegang peranan penting dalam memperhitungkan volume
ruang yang dibutuhkan suatu bahan dengan berat tertentu, seperti dalam pengisian bahan dalam mixer,
elevator dan silo. Hasil penelitian menunjukan diameter pelet berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap
berat jenis. Pelet berdiameter 8 mm memiliki berat jenis lebih rendah (1.32 g/L) dibandingkan
dengan pelet berdiameter lebih kecil, yaitu 3mm dan 5 mm sebesar 1.34 g/L. Hal ini juga terlihat dari
nilai kerapatan tumpukan yang menunjukan nilai yang lebih rendah dibandingkan nilai kerapatan
tumpukan pelet berdiameter 3 mm dan 5 mm.

10
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Gambar 4. Kadar air pelet pada berbagai ukuran yang disimpan pada waktu yang berbeda. Sumber :
(Solihah, 2010)

Nilai kerapatan tumpukan untuk pelet berdiameter 3 mm dan 5 mm masing-masing 0.629


kg/m3 dan 0.637 kg/m3 bandingkan nilai kerapatan pelet 8 mm 0.600 kg/m3. Hal ini kemungkinan
karena pelet berdiameter lebih besar lebih berpeluang untuk menyimpan air lebih banyak, sehingga
nikai kadar air dan Aw relative lebih tinggi. Waktu penyimpanan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap
nilai kerapatan tumpukan pelet. Pelet yang disimpan hingga 7 hari menunjukan nilai kerapatan yang
tidak berbeda dengan pelet yang tidak disimpan (0 hari), yaitu berkisar 0.608 kg/m3 , pelet yang
disimpan 15 hari sampai 60 hari mengalami kenaikan nilai kerapatan tumpukan menjadi sekitar 0.635
kg/m3. Daya simpan pelet cenderung menurun dengan waktu penyimpanan lebih lama (15hari -60
hari) (Gambar 5). Hal ini mengandung arti bahwa pelet yang dibuat sangat aman disimpan hingga
waktu 60 hari. Nilai durability suatu bahan dianggap baik jika nilainya minimal 80%. Hasil
penelitian menunjukan bahwa nilai durability pelet yang diuji berkisar antara 91.6%-97.8%,
terkatagori sangat baik.

Gambar 5. Durability pelet pada berbagai ukuran yang disimpan pada waktu berbeda. Sumber :
(Solihah, 2010)

Keberadaan mikroorganisme pada pelet Indigofeed merupakan mikroba yang umum ditemukan
pada bahan dan tidak bersifat pathogen, serta menunjukan korelasi yang erat dengan kejadian
tumbuhnya mikroba pada pelet (Abdullah et al (2010) tidak dipublikasi). Pelet dengan ukuran 3 mm
relatif memiliki jenis mikroba yang lebih sedikit, yaitu hanya Rhizopus sp dan Bacillus sp. &
Staphylococcus (TPC 5,6x10-5)., sedangkan pada pelet berdiameter 5 dan 8 mm ditemukan beberapa
jenis mikroorganisme antara lain Aspergillus parasiticus, Rhizopus sp, Mucor sp., Bacillus sp. (2
species) TPC 3,6 x 10-4). Temuan jenis mikroorganisme dengan keragaman yang lebih tinggi
11
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

pada diameter pelet 5 mm dan 8 mm dibandingkan 3 mm diduga berhubungan dengan jumlah pori-
pori antar partikel pada pelet dan nilai Aw.
2.2. Feeding Value Konsentrat Hijau Pada Ternak
Uji in vivo pada ternak dilakukan di tingkat farm di Peternakan Kambing di Cikarawang Bogor,
Cijeruk Bogor dan di Lembang Bandung. Pemberian Konsentrat Hijauan berlabel Indigofeed dan
Indifeed-PB (jenis produk Konsentrat Hijau hasil penelitian) sampai taraf 100% menunjukan
peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa kering (Abdullah et al.,
2012b). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak kambing Saanen dan Peranakan
Etawah (PE) yang diberi pelet Indigofeed menghasilkan susu berturut- turut 761 ml dan 675 ml 100%
dan 70% lebih tinggi dibandingkan produksi susu kambing yang diberi ransum komersial tanpa
Indigofera pada waktu yang sama yaitu berturut-turut 379 ml dan 390 ml (Gambar 6).

Gambar 6. Produksi susu dan biaya pakan untuk menghasilkan 1 L susu; CF = 40% Ransum
komersial + 60% Rumput Gajah, CIF = 40% Indigofeed + 60% Rumput Gajah

Pemberian 30% Indigofeed ransum domba menyebabkan konsumsi bahan pakan lebih rendah
(667±86 g/ekor/hr) dibandingkan dengan pemberian ransum yang mengandung 30% limbah
tauge (914±175 g/ekor/hr), namun kecernaan protein ransum dengan Indigofeed relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan ransum dengan limbah tauge (73% vs 71%). Rataan pertambahan bobot badan
domba yang diberi ransum mengandung 30% Indigofeed 118 -151 g/ekor/hari dengan tingkat
efisiensi pakan 17,59% dan efisiensi penggunaan protein untuk daging 5,18% (Dewiyana, 2012).
Perhitungan secara ekonomis dilakukan untuk melihat apakah ransum dengan konsentrat hijau
berlabel Indigofeed lebih menguntungkan dibandingkan dengan ransum komersial yang diperoleh
dari pasar. Hasil perhitungan terhadap biaya pakan menunjukan bahwa untuk menghasilkan
satu liter susu penggunaan Indigofeed 40% pada ransum menghemat 55% biaya pakan dibanding
ransum komersial (Gambar 7).

12
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Gambar 7. Produksi susu dan biaya pakan untuk menghasilkan 1 L susu CF = 40% Ransum komersial
+ 60% Rumput Gajah, CIF = 40% Indigofeed + 60% Rumput Gajah

Tingkat efisiensi penggunaan protein untuk pembentukan protein susu kambing telah diuji.
Ransum yang mengandung Konsentrat Hijau Indigofeed tingkat efisiensi penggunaan proteinnya
30% lebih tinggi (6.5%) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (5%) (Gambar 8). Hasil pengujian
produksi dan kualitas susu kambing perah yang diberi Konsentrat Hijau berlabel Indifeed selama 3
bulan di peternakan di Cikarawang Bogor menunjukkan hasil yang sama antara susu yang berasal dari
kambing perah diberi ransum komersial maupun Indifeed. Produksi susu dari kambing yang diberi
ransum komersial menghasilkan rataan produksi yang rendah selama pengukuran pada awal periode
laktasi pertama, dan cenderung tidak mengalami peningkatan produksi hingga akhir penelitian.
Produksi susu dari kambing diberi Indifeed 20% (IndifeedPB-20) dan 40% (IndifeedPB-40)
menunjukkan total produksi kambing lebih tinggi antara 4 liter per ekor dibandingkan total produksi
susu dari kambing yang diberi ransum komersial (Abdullah et al., 2013b).
.

Gambar 8. Konversi dan efisiensi penggunaan protein CF = 40% Ransum komersial + 60% Rumput
Gajah, CIF = 40% Indigofeed + 60% Rumput Gajah

Pengujian kualitas dan nilai biologis dari produk ransum mengandung Indigofera dilakukan di
peternakan sapi perah di Lembang pada pertengahan periode produksi. Sapi diberi ransum dengan
komposisi Indigofera ditingkatkan menjadi 60% dan 80% dalam ransum. Hasil pengujian terhadap
produksi susu sapi perah dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan pada awalnya
produksi susu bervariasi antara 10-12,5 liter. Pemberian Indigofera 60-80% dalam ransum komlit
meningkatkan rataan produksi susu sapid an cenderung menstabilkan produksi susu bahkan
meningkatkannya dibandingkan dengan produksi susu dari sapi yang diberi ransum komersial
13
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Gambar 9. Produksi susu sapi akibat pengaruh pemberian Indigofeed


Pengaruh penggunaan Indigofeed dalam ransum kambing terhadap populasi mikroba
rumen dan produksi gas metan diuji dalam rangkaian penelitian ini (Abdullah et al., 2013b) dapat
dilihat pada Gambar 10. Hasilnya menunjukkan bahwa ransum yang mengandung konsentrat hijauan
Indigofeed hingga 40% dapat meningkatkan populasi bakteri rumen dan menekan populasi
protozoa, serta mampu menekan produksi gas metan dengan taraf yang sama dengan ransum yang
mengandung bungkil kedele dalam konsentrat. Pemberian ransum mengandung Indigofera 40% pada
kambing sangat nyata memperbaiki kinerja rumen dan menurunkan emisi gas secara signifikan
(Suharlina et al., 2016)

Gambar 10. Populasi bakteri dan protozoa serta produksi gas metan pada rumen yang diberi ransum
Mengandung Indigofera (Abdullah et al., 2013b).

2.3. Pegujian Konsentrat Hijau pada Monogastrik dan Ikan


Pengujian tidak hanya terbatas pada ruminansia, tetapi juga pada monogastrik. Ternak
monogastrik yang dipilih adalah kelinci, karena dimasa mendatang prospek daging kelinci di pasar
sangat baik. Kelinci dapat menjadi alternatif penyedia daging murah dan bergizi tinggi. Kualitas
sperma kelinci dapat dipertahankan dengan pemberian Indigofera hingga 30% dalam ransumnya.

14
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Motilitas spermatozoa kelinci yang diberi Indigofeed 30% dapat meningkat 6 kali lebih tinggi
dibandingkan dibandingkan motilitas sperma kelinci yang diberi ransum komersial (Gambar 11).
Demikian juga daya hidup spermatozoanya dapat diperbaiki dari 60% pada kelinci yang diberi pakan
komersial menjadi 82% jika diberi Indigofed 30% dalam ransumnya. Pemberian Indigofeed dengan
jumlah itu dapat menurunkan tingkat abnormalitas spermatozoa sebanyak 5% (Marina, 2012). Pada
penelitian lain kelinci yang diberi Indigofeed 30% dapat menghasilkan pertambahan bobot badan
27.3% lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial dan 25 kali lebih tinggi dari pada ransum
yang diberi 30% lamtoro (Nofisa, 2012). Kadar lemak daging kelinci yang diberi Indigofeed 30%
pada ransum juga lebih rendah 47% dibandingkan dengan ransum komersial namun sama dengan
lemak daging kelinci yang diberi lamtoro 30% dalam ransum. Income over feed cost (IOFC) ransum
kelinci yang mengandung Indigofeed 30% pada saat penelitian ini dilakukan adalah Rp. 9003,
sedangkan ransum kelinci komersial dan ransum mengandung 30% lamtoro nilai IOFC–nya
berturut turut Rp. 1616 dan Rp. 2931.
Konsentrat hijau Indigofeed yang berasal dari pucuk daun dapat meningkatkan produksi dan
kualitas telur ayam (Tabel 4). Hasil studi yang dilakukan Palupi et al (2014) menunjukkan bahwa
pemberian Indigofeed pada ransum ayam petelur 5%-15% dapat meningkatkan produksi telur ayam,
warna kuning telur, kandungan beta caroten kuning telur dan vitamin A kuning telur.
Telur yang dihasilkan dari ayam yang mengkonsumsi ransum mengandung konsentrat hijau
Indigofera sangat bermanfaat untuk suplemen vitamin A dan menjaga ketahanan tubuh bagi anak-
anak terutama balita secara murah dan aman. Demikian juga karena kandungan kolesterolnya lebih
rendah, maka telur ini dapat dikonsumsi dengan aman untuk orang dengan resiko kolesterol.
Indigofeed juga ditemukan dapat menghambat aktivitas penyakit karena mengandung antioksidan.
Penggunaan Indigofeed pada ransum ayam layer dalam penelitian ini dapat mensubstitusi penggunaan
bungkil kedele 11%, tepung jagung 9% dan penggunaan dedak 7%.

Gambar 11. Pengaruh penggunaan Indigofera dan Leucaena pada ransum kelinci terhadap performa
spermatozoa kelinci

Tabel 4. Produksi dan kualitas telur ayam ras yang diberi konsentrat hijau Indigofera pada ransum
iso protein dan energi
Parameter Porsi Indigofera dalam ransum (%)
0 5 10 15
Produksi Hen day (%) 83,63a 93,05b 91,36b 92,65b
Bobot telur (g/butir) 43,00 51,90 49,50 49,60
15
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Warna kuning telur 8,50a 11,50b 12,15b 13,25c


Β-caroten telur (mg/100g) 56,7a 85,9b 109,5c 124,0d
Vitamin A telur (mg/100g) 2297a 2536 b 2776c 3380d
Kolesterol telur (mg/kuning telur) 375d 280c 220b 172a
Konsentrasi inhibisi (mg/g) 87,6c 86,1c 41,4b 35,8a
Konversi pakan 2.23 2.08 2.20 2.19
Sumber: Palupi et al., 2014

Pengujian Konsentrat Hijau Indigofera dikombinasi dengan hormon oodev pada ikan Grass carp
dengan kandungan protein ransum berbasis Indigofera sebagai konsentrat hijau dapat meningkatkan
granul kuning telur sehingga memiliki tingkat kematangan gonad yang lebih lanjut dibandingkan
dengan gonad pada ikan yang diberi ransum komersial (Mulyasih, 2015). Hasil penelian ini sangat
penting karena dapat menjadi alternatif pakan ikan murah pada saat pemijahan.

3. Komersialisasi Konsentrat Hijau Indigofera


Konsentrat Hijau Indigoferadengan produk turunan Indigofeed dan Indifeed merupakan produk
yang dikembangkan penulis dan tim peneliti melalui kegiatan penelitian Insentif 2010 dari
kemenristek dan RAPID 2012-2014 dari Dikti. Berdasarkan terminologinya produk Indifeed atau
Indigofeed Konsentrat Hijau memenuhi syarat sebagai konsentrat karena kandungan serat kasarnya
<18% dan Proteinnya >22%. Produk ini memenuhi kriteria industri karena beberapa karakter yang
dimilikinya seperti hasil uji coba di atas. Khusus produk Indifeed saat ini telah terdaftar sebagai
produk Paten dengan nomor P00201201126, dengan nomor publikasi 2014/01793.

3.1. Deskripsi Produk, Profitabilitas dan Potensi Aplikasi Inovasi


Konsentrat Hijau dirancang sebagai produk sajian pakan praktis berbasis hijauan pakan dari
daun pilihan tanaman Indigofera yang ditanam dengan pola kebun teh dan mendapat perlakuan
suplementasi nutrient organik langsung melalui daun saat pertumbuhannya di lapangan, sehingga
produk ini sangat kaya nutrisi bermanfaat dan rendah anti nutrisi, memenuhi syarat pakan yang aman
dan halal. Produk ini memenuhi standar industry pakan dengan sifat fisik yang memungkinkan
pabrikasi dan distribusi efisien dan dapat disimpan lama tanpa kerusakan fisik dan nutrisi signifikan.
Konsentrat Hijau dalam bentuk pelet juga dirancang untuk menghemat biaya pakan karena keberadaan
daun Indigofera sebagai salah satu komponennya mampu mensubstitusi sumber protein impor.
Penggunaan Indifeed sebagai ransum komplit berbasis Indigofera merupakan langkah strategis
yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak kambing perah dan menekan biaya pakan.
Pelet ini dirancang dan dikembangkan dengan fokus meningkatkan kecukupan asupan gizi bagi
ternak kambing perah yang mengkonsumsinya, mudah dalam pemberiannya, penanganan dan
distribusinya, mengingat perpaduan bahan konsentrat dengan daun yang bersifat volumenous (bulky)
dan mudah busuk menjadi pertimbangan utama selain harga.
Berbeda dengan produk pelet lainnya, Indifeed diproduksi dengan memerhatikan proses
fisiologi nutrisi daun sehingga secara alamiah kualitas nutrisi daun sangat tinggi. Daun
Indigofera yang menjadi komponen utama ransum komplit dihasilkan dari daun tanaman Indigofera
berumur 60 hari yang ditanam dengan pola tanam kebun teh yang memungkinkan produksi kontinyu
secara periodik. Tanaman mendapat suplementasi mineral dan hormon tumbuh organik, yang
diaplikasikan langsung pada daun, sehingga nutrient terinkorporasi langsung pada bagian yang
digunakan sebagai bahan pellet. Produk ini telah didaftarkan untuk mendapatkan paten dengan nomor
penggunaan konsentrat hijau sebagai produk Indigofeed dan Indifeed telah terbukti
meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan kinerja reproduksi bagi ternak. Produk mudah
digunakan oleh peternak dan bahkan bisa diproduksi oleh kelompok peternak. Produk ini
berpeluang tinggi untuk menghasilkan industri dan bisnis baru, mengingat pasar sangat terbuka untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku pakan lokal yang berkualitas tinggi semakin meningkat.
Indigofeed relatif memiliki daya saing tinggi dengan harga pokok produksi Rp. 1.989 -
2.372/kg, harga di tingkat peternak Rp. 3.300 – 4.000 tergantung tingkat kemurnian Indigoferanya.
Harga ini terhitung murah dan dapat diterima peternak karena kandungan protein mencapai 26-31%.
Hasil analisis kelayakan ekonomi dengan mengacu pada pengalaman produksi selama ini
16
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menunjukkan bahwa usaha unit produksi konsentrat hijau Indigofera cukup menguntungkan. Analisis
kelayakan ekonomi untuk pengusahaan pabrik oleh swasta atau koperasi untuk produksi 1000
ton/tahun dengan luasan 30 ha, diperlukan Biaya investasi termasuk sewa lahan Rp. 2,32 miliar
dengan net B/C 2,29, NPV Rp. 2,81 miliar, IRR 43,95%, dengan HPP Rp. 2.372/kg keuntungan per
kg Rp. 1.228, dan pay back period 1,7 tahun. Untuk luas lahan 100 ha dengan perkiraan produksi
3000 ton/ha dengan HPP Rp. 1.989/kg, biaya investasi termasuk sewa lahan yang diperlukan sebesar
Rp. 4,95 miliar dan biaya operasional Rp. 1,99 miliar/tahun, menunjukkan NPV Rp. 16,8 miliar, IRR
121.17% menghasilkan keuntungan bersih Rp.1311/kg.

4.2. Market Positioning dan Dampak Ekonomi


Market positioning Indifeed tidak akan mendapatkan persaingan dengan produk lainnya karena
selain produknya yang khas juga menawarkan sajian baru bagi peternak di Indonesia sehingga
memudahkan dalam manajemen pemberian pakan. Produk ini memiliki keunggulan dalam kualitas,
produk yang alami sehingga sehat dan aman bagi ternak kambing. Pemasaran tidak akan mengalami
kesulitan, karena selama proses pengembangan produk akan dijalin kerjasama dengan koperasi dan
asosiasi peternak kambing perah disekitar jawa untuk target pasar ke depan. Konsentrat Hijau
Indigofeed merupakan rintisan lokal yang jika dikembangkan dapat mengurangi ketergantungan bahan
pakan impor sumber protein. Selain itu produk ini dapat mengembangkan rantai industri yang dapat
menyerap tenaga kerja di perdesaan. Pabrik sebagai unit pengolah tidak memerlukan investasi besar
dan terjangkau oleh usaha mikro dan menengah (UMKM). Secara nutrinomika dibandingkan
dengan bungkil kedele dan tepung ikan produk Indigofeed menunjukan prospek lebih baik,
dapat dilihat perbandingannya sebagai berikut: harga protein bungkil kedele sekitar Rp. 1.700/100
gram protein (protein kasar 45% harga Rp. 8.000 per kg), dan harga protein tepung ikan Rp.
2.340/100g protein (protein kasar 47%, harga Rp. 11.000 per kg), sedangkan harga protein Indigofeed
berkisar antara Rp. 1.260-1.540/100 g protein (protein kasar 26-31%, harga Rp. 3.300-4.000 per kg).
Harg TDN Indigofeed Rp. 440-530/100g TDN (TDN 75%), sedangkan bungkil kedele Rp.
1.950/100g TDN dan tepung ikan Rp. 1.860/100 g TDN.
Berdasarkan pengalaman di lapangan baik saat sosialisasi di kelompok peternak, koperasi
Asosiasi Peternak maupun Pameran Indolivestock 2012-2014 produk dan teknologi Konsentrat Hijau
Indigofeed banyak diminati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permintaan untuk
mengembangkan usaha ini di masyarakat. Selain itu permintaan sudah ada dari Korea, Malaysia dan
India. Namun sampai saat ini belum dapat dipenuhi karena produksi masih sangat terbatas untuk
peternak disekitar Bogor.

3.3. Model Usaha Konsentrat Hijau Berbasis Masyarakat


Dasar perhitungan produksi hijauan Indigofera bisa melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan
luasan lahan dan jumlah individu pohon. Pendekatan luas lahan dapat dilakukan untuk model
usaha dalam skala besar dan dilakukan secara full mekanik oleh perusahaan. Pendekatan individu
tanaman dapat dilakukan untuk usaha komunitas di kelompok peternak atau koperasi peternak.
Minimum luasan lahan yang dapat diusahakan oleh perusahaan adalah 30 ha, sedangkan pola
pengembangan usaha Konsentrat Hijau berbasis Msayarakat mengikuti formula : 1 kelompok
peternak : 10 ha Indigofera atau 8250 pohon/minggu : 5,6 ton Konsentrat Hijau/minggu : 1
Unit Pabrik mini pengolah Konsentrat Hijau seperti Mesin Pengering, Penepung dan pemelet dan
Investasi Rp. 400 juta. Pengusahaan dapat dilakukan melalui peternak/petani yang tergabung dalam
kelompok yang langsung menjadi pemasok bahan baku dan koperasi (yang anggotanya pekelompok
peternak/petani) mengolah bahan hijauan pakan menjadi konsentrat hijau.
Mekanisme kerja kelompok adalah sebagai berikut (dapat ilihat pada Skema pada slide) : Para
anggota usaha kelompok berperan menjamin suplai bahan baku, setiap minggu seluruh anggota
kelompok memangkas minimal 8.250 individu pohon Indigofera dan menjual hijauan segar kepada
koperasi usaha pengolah Konsentrat Hijau yang anggotanya adalah anggota kelompok penyedia
bahan baku. Peternak dapat membeli Konsentrat Hijau untuk keperluan ternaknya dari Unit
Usaha Pengolah Konsentrat Hijau dengan Harga yang disepakati dan memenuhi kelayakan ekonomis.
Hasil keuntungan penjualan Konsentrat Hijau dapat dibagikan kepada anggota atau mensubsidi

17
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

kebutuhan biaya pakan yang diatur sesuai kesepakatan. Pemasaran Konsentrat Hijau juga dapat
dilakukan oleh Unit Usaha Kelompok kepada kelompok peternak lain atau perusahaan peternakan.
Peran perempuan dalam pengembangan usaha konsentrat hijau di perdesaan sangat penting.
Hasil kajian ekonomi, harga hijauan segar antara Rp. 350-500/kg adalah harga yang layak untuk
mengungkit peningkatan income keluarga di perdesaan. Semakin banyak mereka tanam, semakin
banyak mereka hasilkan hijauannya semakin banyak peluang income bertambah, karena pasar
Konsentrat Hijau masih sangat terbuka.
Alternatif pengusahaan dapat dilakukan melalui peternak/petani yang tergabung dalam
kelompok yang langsung menjadi pemasok bahan baku dan koperasi (yang anggotanya pekelompok
peternak/petani) mengolah bahan hijauan pakan menjadi konsentrat hijau. Unit produksi dapat
berupa pabrik dengan skala kecil 2.5 ton/hari sehingga diperlukan lahan 15-20 ha per satu unit
pabrik mini pengolah daun Indigofera. Investasi pembuatan pabrik pakan mini untuk kapasitas
2.5 ton/hari sekitar Rp. 290 juta diluar biaya lahan. Permintaan usaha Konsentrat Hijau terus
berlanjut bukan hanya dari pemerintah tetapi dari pihak BUMN dan Swasta, seperti BUMN Hijau
Lestari, PTPN V, Berdikari, Yayasan Bina Sejahtera Bulog, Gabungan Koperasi Susu Indonesia,
Gabungan Pengusaha Makanan Ternak dan Perusahaan Peternakan swasta seperti Ultra Jaya dan
Indolacto.

3.4. Model Industri Konsentrat Hijau Berbasis Masyarakat

Pengembangan industri konsentrat hijauan berbasis komunitas nampaknya bisa menjadi


alternatif yang diminati oleh kelompok peternak atau koperasi. Hasil sosialisasi di beberapa
lokasi kelompok peternak di kabupaten Bogor, Garut, Bandung, Malang, Surabaya, Lamongan melalui
kegiatan RAPID dari Dikti selama 2012-2013 penulis mendapatkan gambaran bahwa model
pengembangan usahanya dilakukan sendiri langsung oleh kelompok atau koperasi peternak
petani. Hal ini dipandang oleh para peternak dapat membantu langsung meningkatkan pendapatan
bagi peternak/petani melalui penjualan hijauan pakan ke unit pengolah, dan meningkatkan performa
ternak mereka karena adanya konsentrat hijau yang dapat tersedia sepanjang waktu. Keuntungan
lainnya nilai tambah dari pengolahan hijauan pakan dapat dinikmati langsung oleh peternak/petani.
Aktivitas produksi konsentrat hijau adalah sebagai berikut : Peternak/petani yang tergabung
kelompok menanam Indigofera atau legum berkualitas lain dengan luasan lahan dan jumlah individu
tanaman yang telah direncanakan untuk memenuhi target produksi harian Konsentrat Hijau. Mereka
membudidayakan Indigofera, kemudian menjualnya ke unit pengolah (masih dalam satu
kopreasi/kelompok) dengan harga yang baik. Hasil perhitungan secara ekonomis harga hijauan
Indigofera segar yang memenuhi spesifikasi bahan baku dapat dinilai dengan harga Rp. 480-525 per
kg segar. Kelompok peternak/petani harus membudidayakan Indigofera secara berkesinambungan
sehingga menghasilkan hijauan Indigofera secara berkelanjutan dan menjadi pemasok unit pengolahan
hijauan pakan yang dikelola oleh mereka sendiri. Beberapa kelompok unit produksi konsentrat
hijau dengan skala pengusahaan yang disampaikan di atas kemudian bergabung menjadi koperasi
pengolah dan pemasar produk Indigofeed dan Indifeed.
Jumlah kelompok pembudidaya dan pengolah konsentrat hijauan ini tersebar di beberapa
wilayah pengembangan ternak. Dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat sangat diharapkan
untuk menfasilitasi penyediaan peralatan mesin pengering, mesin penepung dan mesin pelet serta
pengemas produk. Pihak swasta atau BUMN dapat dilibatkan dalam pemasaran produk jika terdapat
kelebihan produk yang tidak sanggup dijual oleh kelompok ataun koperasi. Perguruan tinggi berperan
sebagai pendamping teknologi yang terus menerus melakukan kajian agar sistem produksi konsentrat
hijau ini lebih efisien. Kegiatan yang sudah dan sedang dilakukan dalam bentuk proyek percontohan
dengan dana RAPID 2014 adalah di desa Ngepung Kabupate Probolinggo yang bekerjasama
dengan kelompok peternak dan Himpunan Peternak Domba dan KambingIndonesia.

3.5. Tantangan Pengembangan Industri Konsentrat Hijau di Indonesia


Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan Industri konsentrat hijau di Indonesia selama 2
tahun terakhir adalah konsolidasi produksi hijauan yang kontinyu setiap hari yang dipasok dari lahan
budidaya ke pabrik. Sebagian besar peternak atau petani belum terbiasa dengan pola pemasokan
18
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

hijauan pakan sebagai sumber bahan baku. Mindset peternak/petani yang terbiasa menjual bahan
mentah perlu diubah dan dikonstelasikan dalam sistem industri on- & off-farm. Pola manajemen
perkebunan yang dilakukan oleh PTPN selama ini kemungkinan dapat menjadi salah satu model
produksi yang efisien.
Tantangan lainnya adalah mengkonsolidasi lahan yang akan digunakan untuk menanam
Indigofera. Sebagai industri baru yang sedang dalam proses pengembangan peternak terutama petani
masih ingin melihat keuntungan riil yang diterimanya secara langsung. Hasil testimoni petani
mengungkapkan bahwa mereka akan menggunakan lahannya untuk menanam Indigofera kalau sudah
unit produksi konsentrat benar-benar berdiri dan siap dijalankan. Berbeda dengan persepsi petani,
sebagian besar peternak (90%) lebih responsif dan berkeinginan menanam tanpa melihat unit pabrik
produksi konsentrat sebagai syarat. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan untuk memperbaiki asupan
nutrisi ternak yang dimiliki sehingga bagi mereka menanam Indigofera menjadi kebutuhan..
Tantangan lainnya adalah menjaga kualitas produk. Meskipun belum ada standar untuk
konsentrat hijau namun kaidah konsentrat secara umum harus dipenuhi. Untuk menjaga kualitas
konsentrat hijau maka pengontrolan kualitas harus sudah dimulai dari saat penanaman
Indigofera. Hal ini tidak sulit dengan pendampingan yang baik dari para ahli tumbuhan pakan.
Tantangan yang ditemui di lapangan adalah mengemas industri konsentrat hijau yang relatif
baru dan dalam tahap inisiasi pengembangan untuk dapat diterima oleh pemangku kepentingan bisnis.
Industri ini harus meyakinkan institusi penyedia dana dan calon pelaku agar mau membuat proyek
percontohan yang lebih tersebar. Proses ini sangat penting untuk membangun keyakinan bisnis bagi
pemangku kepentingan lebih luas. Dalam perjalanan dari tahun 2006 mengembangkan Indigofera
dari teknik kulturnya sampai pengembangan bisnisnya penulis berpandangan tantangan terberat adalah
yang terakhir penulis sebutkan.

3.6. Upaya Mempercepat Pengembangan Industri Konsentrat Hijau di Masyarakat


Upaya untuk mengakselerasi pengembangan industri Konsentrat Hijau perlu dilakukan, karena
kebutuhan pakan berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau baik untuk ternak maupun untuk
ikan saat ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Keluhan peternak banyak pad persoalan
pakan. Untuk itu perlu dilakukan langkah sebagai berikut :
1. Melakukan pendekatan sosial bisnis untuk para peternak dalam mengembangkan usaha
Konsentrat Hijau. Langkah berikutnya memperluas dan memperbanyak model usaha Konsentrat
Hijau berbasis Masyarakat di beberpa wilayah pengembangan ternak,
2. Melakukan pendekatan kepada UPT pemerintah pusat dan daerah untuk menjadi pelopor
pengembang konsentrat hijau dan dimulai menciptakan “champion” bisnis di masyarakat.
3. Bersamaan dengan hal tersebut perlu dirintis pengembangan bisnis dengan pihak BUMN seperti
Perhutani dan PTPN yang memiliki lahan sangat luas. Integrasi antar komoditi sangat penting
untuk menunjang sistem produksi bahan baku konsentrat hijau.
4. Keterlibatan kelompok usaha perempuan sangat penting dan dipandang dapat
mempercepat pengembangan Industri Konsentrat Hijau di Masyarakat. Perempuan dapat terlibat
mulai dari pemanenan sampai pemasukan hijauan kering ke unit pengolahan, karena menurut
perhitungan harga hijauan segar masih layak pada Rp. 300/kg dan hijauan kering Rp.
930/kg.
5. Membangun jaringan pemasaran Konsentrat Hijau dengan kelompok usaha peternakan
kemitraan yang tertarik bergabung untuk menjalankan bisnis.

SIMPULAN

Hijauan pakan adalah komoditi lokal strategis yang signifikan meningkatkan


produktivitas ternak, mendukung keberlanjutan usaha peternakan, menciptakan sistem produksi ternak
yang efisien berbahan lokal dan mewujudkan daya saing indutri peternakan nasional. Indigofera
zollingeriana adalah spesies legum bahan baku Konsentrat Hijau yang penting untuk terus
dikembangkan secara terstruktur melalui pendekatan bisnis dan Industri berbasis komunitas dalam
bentuk kelompok usaha resmi dan perusahaan swasta/BUMN dalam skala besar. Konsentrat hijauan
pakan berpeluang besar untuk menjadi komoditas ekonomis yang pengusahaannya skala industri

19
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

berbasis komunitas. Industri Konsentrat Hijau berbasis Masyarakat Perdesaan berpotensi, membuka
lapangan kerja baru dan meningkatkan income masyarakat, mengoptimalkan penggunaan lahan,
memperbaiki produktivitas ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L., P.D.M. Karti dan S. Hardjosoewignjo. 2005. Reposisi Tanaman Pakan dalam Kurikulum
Fakultas Peternakan. Proc. Lokakarya Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian Ternak.
Abdullah, L. 2006. The Development of integrated forage production system for ruminants in rainy
tropical regions-the case of research and extension activity in Java, Indonesia. Bul. of Fac. of
Agric. Niigata University, 58(2): 125-128.
Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by different concentration of
foliar fertilizer. J. Anim Sci and Tech.., 33(3): 169-175.
Abdullah, L and Suharlina, 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at
different time of first regrowth defoliation. Med. Pet., 1(33): 44-49.
Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina. 2010. Pengembangan Produk Hay, Tepung
dan Pelet Daun Indigoferasp.sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah.
Laporan Penelitian Hibah Insentif. Fakultas Peternakan IPB.
Abdullah, L. and N.R.Kumalasari. 2012 Amino Acid Contents of Indigofera arrecta Leaves
After Application of Foliar Fertilizer. J. Agric. Sci. and Tech. 1(8), 1224-1227.
Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini. 2012a. Indigofera
zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop for Indonesia. Proceeding the
2nd International Seminar on Animal Industry, Jakarta, Indonesia p.149-153
Abdullah, L. Apdini T. and D.A. Astuti. 2012b. Use of Indigofera zollingeriana as a Forage Protein
Source in Dairy Goat Rations. Proceeding of the 1st Asia Dairy Goat Confetrence,
Kuala Lumpur, Malysia, 9-12 April 2012. ISBN 978-983-44426-2-0, page 72-74.
Abdullah, L., D.A. Astuti, Suharlina, A. Jayanegara. 2013a. Fermentation and methane
production of Indigofera based- ration in rumen stimulation technique. Proceeding of The 4th
International Conference on Sustainable Animal Agriculture for Developing Country, 27-31
July 2013 Lanzhou, China.
Abdullah, L., Nahrowi, D.A. Astuti dan Suharlina. 2013b. Pengembangan dan Komersialisasi Produk
Ransum Komplit Berbasis Hijauan Indigofera (Indifeed) sebagai Pakan Berkualitas Untuk
Kambing Perah. Laporan Penelitian RAPID. Fakultas Peternakan IPB (Proses publikasi).
Abdullah, L. 2014. Mewujudkan Konsentrat Hijau (Green Concentrate) dalam Industri Baru Pakan
untuk Mendorong Kemandirian Pakan dan Daya Saing Peternakan Nasional. Bahan Orasi
Ilmiah Guru Besar IPB. November 2014.
Andi Tarigan, L. Abdullah, S.P. Ginting dan I.G. Permana. 2010 Produksi dan komposisi serta nutrisi
In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner, 15(3): 188-195.
Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; Hegarty, M.P. 1987. Indigofera species with
agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies.Australian Journal of Agricultural
Research. v. 38(1) p. 177-186.
.Barnes, R.F., C.J. Nelson and G.W. Fick. Terminology and Classification of Forage plants. In
Barnes, R.F., CJ Nelson, K.J. Moore and M. collins. Eds. 2007. Forage : The Science of
Grassland Agriculture, Vol II. Blackwell Publishing. 3-15.
Beck, J.L dan J.D Reed. 2007. Tannins : Anti quality effects on forage protein and digestion. In K.
Launchbaugh Ed. Anti Quality factor in Rangeland and Pastureland Forages. University of
Idaho, p. 18-22.
Dewiyana I.S. 2012. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum Komplit Mengandung Indigofera
zollingeriana dan Limbah Tauge pada Penggemukan Domba Lokal Jantan. Skripsi. Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, ps.35. (dibimbing oleh D.A. Astuti
dan L. Abdullah).
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2009. Statistik Peternakan. Kementrian
Pertanian RI, Jakarta.

20
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Daru, T.P., S Hardjosoewignjo, L. Abdullah, Y. Setiadi, Riyanto. 2012. Grazing pressure of


cattle on mixed pastures at coal mine land reclamation. J. of Anim Sci and Tech. 35(1):54-
59.
Dianita, R. 2012. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in
Integrated System. Diss., Institut Pertanian Bogor. (Dibimbing oleh : L. Abdullah, S.
Harjosoewignjo, I. Mansyur dan H. Sumarsono).
Fact sheet Tropical Forage. 2013. http://www.tropicalforages.info/ key/Forages/Media/Html/
Diunggah tanggal 15 Des 2013.
FAO, 1983. The use of concentrate feeds in livestock production systems.
http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/lead/toolbox/Refer/fcrpsec1.pdf. Diunggah
tanggal 16 September 2014.
Glatz, P. C., Y. J. Ru, Z. H. Miao, S. K. Wyatt, and B. J. Rodda. 2005. Integrating poultry into a crop
and pasture farming system. International Journal of Poultry Science 4(4): 187-191.
Girsang, R.C. 2012. Viabilitas Benih Indigofera (Indigofera zollingeriana) Setelah Injeksi CO2 dan
Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan
IPB. ps.43. (dibimbing oleh L. Abdullah dan G.K. Wiryawan)
Herdiawan, I., L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati. 2012. Productivity of
Indigofera sp. at different drought stress level and defoliation interval. J. Anim. and Vet. Sci.
17(2):276-283.
Indonesian Commercial Newsletter (ICN), 2011. Industri Palm Oil di Indonesia.
http://www.datacon.co.id/Sawit-2011ProfilIndustri.html
Karsten, H. D., G. L. Crews, R. C. Stout, and P. H. Patterson. 2003. The impact of outdoor coop
housing and forage based diets vs. cage housing and mash diets on hen performance, egg
composition and quality. International Poultry Scientific Forum, Atlanta.
Lani, M.L. 2014. Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena lecocephala) pada
Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana-IPB. (Dibimbing oleh :
L. Abdullah dan R. Priyanto).
Loor, J.J., F.D. Soriano, X. Lin, J.H. Herbein & C.E. Polan. 2003. Grazing allowance after the
morning or afternoon miling for cows fed a total mixed ration (TMR) enhances trans 11-.18:1
and cis9, trans 11-18;2 (rumenic acid) in milk fat to different extents. Animal Feed Science
and Technology, 109:105-119.
McSweeney, C.S., N.T. Ngu., M.J. Halliday, S.R. Graham. H.E. Giles, S.A Dalzell and H.M Shelton.
2011. Enhanced ruminant production from leucaena – New insights into the role of ‘leucaena
bug’. Proc. Of the 3rd International Conference on Sustainable Animal Agriculture For
Development Countries, Nakhon Racthasima, Thailand, p: 88-89.
Mulyaningsih, D. 2015. Induksi Pematangan Gonad Ikan Grass Carp (Ctenopharyngodon Idella)
Menggunakn Premiks Hormon Oodev dan Pakan Indigofera zollingeriana. Thesis IPB.
(Dibimbing oleh : L. Abdullah dan Oman).
Noci, F., A.P. Moloney, P. French dan F.J. Monahan. 2003. Influence of duration of grazing on the
fatty acid profile of M longissimus dorsi from beef heifers. Proceeding of British Society of
Animal Sciience, Winter Meeting, York. ps.233.
Nofisa, D. 2012. Performa Produksi dan Organ Dalam Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan
yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan
Leucaena lecocephala. Skripsi Fakultas Peternakan IPB. 37 hal. (dibimbing oleh L. Abdullah
dan A Setiadi).
Marina D. 2012. Kualitas Spermatozoa Kelinci Peranakan New Zealand White yang Diberi Pelet
Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena lecocephala.
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. 44 hal.
(dibimbing oleh L. Abdullah dan A Setiadi).
Palupi, R. L. Abdullah and D.A Astuti. 2014. High antioxidant egg production trough
substitution of soybean meal by Indigofera sp. Top leaf meal in laying hen diets. Int. J. Poult.
Sci., 13(4):198-203.

21
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Rostini, T., L. Abdullah, K.G. Wiryawan, P.D.H. Karti. 2014. Production and nutrition potency of
swamp local forage in South Kalimantan as ruminant feed. Global Journal of Anim. Sci., Liv.
Prod. and Anim. Breeding. 2(2):107-113.
Sholihah, U.I. 2011. Pengaruh diameter pelet dan lama penyimpanan terhadap kualitas fisik daun
legum Indigofera. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. ps.63. (dibimbing oleh
Sukria HA dan L. Abdullah)
Sowmen, S., L. Abdullah, PDMH. Karti, D. Sopandie. 2013. Adaptasi Tanaman Legum Pakan
Terhadap Cekaman Kekeringan dan Inokulasi Mikoriza. Diss., Sekolah Pasca Sarjana IPB.
ps.70. (dibimbing oleh L. Abdullah, P.DM. Karti dan D. Sopandie).
Su, Y., C.Li, Y. Gao, L.Di, X.Zhang. J.Lu and D.Gou. 2008. Six new glucose esters of 3-nitro
propionic acid from Indigofera kirilowii. Fitoterapia. 79(6):451-455.
Sudirman. 2014. http://www.agrofarm.co.id/read/ pertanian/ 781/lampaui-rekor-tertinggi-impor-
jagung-capai-36-juta-ton/#. Diunggah tanggal 6 September 2014.
Suharlina dan L. Abdullah., 2012. Peningkatan produktivitas Indigofera sp. Sebagai pakan
hijauan berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic cair : 1. Produksi hijauan dan
dampaknya terhadap kondisi tanah. Pastura, Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): 39-43.
Suharlina, DA Astuti, Nahrowi, A Jayanegara and L Abdullah. 2016. Nutritional Evaluation of Dairy
Goat Rations Containing Indigofera zollingeriana by using in vitro Rumen Fermentation
Technique (RUSITEC). Int. J. Dairy Sci. DOI: 10.3923/ijds.2016
Whitehead, D.C. K.M. Goulden and R.D. Hartley. 1985. The distribution of nutrient elements in cell
wall and other fractions of some grasses and legumes. Journal of the Science of Food and
Agriculture, 36:311-318.
Williams.,M. C 1981. Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy Journal, Vol. 73 No. 3,:434-
436.

22
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

AKADEMISI DAN DUNIA USAHA PETERNAKAN


SCIENTISTS AND BUSSINESS
Bambang W.H.E. Prasetiyono
Fakultas Peternakan Dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.
E-mail: bambangwhep@ymail.com

ABSTRAK
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, peran akademisi dalam mendukung dunia usaha
peternakan sangat strategis, terkait dengan upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas inovasi dan hasil riset.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikaji tentang hubungan dan peran akademisi terhadap daya dukung
dunia usaha peternakan yang berdaya saing di Indonesia. Komponen dalam upaya meningkatkan daya saing
usaha peternakan antara lain: (1) penyiapan sumber daya manusia terdidik bidang peternakan yang berkualitas;
(2) kesiapterapan teknologi peternakan; (3) penciptaan efisiensi produksi usaha yang terkait dengan bidang
peternakan maupun prasarananya, serta (4) peningkatan kemampuan akses pasar ternak dan hasil ternak. Faktor
penting dalam upaya percepatan hilirisasi inovasi dan riset dibidang peternakan dari para akademisi guna
mendukung usaha peternakan yang berdaya saing antara lain adalah: (1) tingkat kesiapterapan teknologi
(Technology Readiness Level) yang tinggi; (2) tingkat relasi; dan (3) tingkat percaya diri para akademisi. Tingkat
Kesiapterapan teknologi perlu dipacu pada level yang tertinggi, sehingga produk teknologi yang dihasilkan dapat
diaplikasikan kepada pengguna baik industri, pemerintah dan masyarakat.
Kata kunci: hilirisasi, inovasi, riset, teknologi, kesiapterapan, usaha, peternakan.

PENDAHULUAN
Peran akademisi bidang peternakan di era globalisasi sangat besar dalam upaya peningkatan daya saing
suatu usaha peternakan di Indonesia, utamanya dalam upaya hilirisasi suatu inovasi dan riset baik dari perguruan
tinggi maupun lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (LITBANG). Sampai saat ini beberapa industri
yang bergerak dibidang usaha terkait dengan peternakan, baik di perusahaan pakan, obat-obatan hewan, maupun
perusahaan budidaya ternak, masih cenderung percaya terhadap produk-produk hasil patent dari luar negeri,
padahal bila dicermati dari hasil inovasi dan riset perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian relatif cukup
banyak. Selain itu, juga masih relatif banyak hasil riset yang berhenti di tataran publikasi ilmiah, namun belum
diaplikasikan ke dunia industri peternakan dan masyarakat peternak baik untuk kepentingan bisnis maupun non
bisnis. Disisi lain, masih perlu adanya suatu pengembangan dan keterkaitan antara hasil riset yang bersifat non
hilirisasi ( penelitian dasar dan ekplorasi) dengan riset yang berorientasi hilirisasi sehingga akan didapatkan titik
temu dalam upaya mendukung pengembangan inovasi yang berdaya saing. Menurut RUU SINAS P3IPTEK
bahwa memaknai inovasi adalah merupakan suatu kegiatan riset, pengembangan, pengkajian, penetapan dan/atau
perekayasaan yang menghasilkan kebaruan dan perubahan yang diterapkan dan bermanfaat secara komersial,
ekonomi dan atau sosial budaya. Bahasan dalam makalah ini akan menguraikan kajian tentang hubungan dan
peran akademisi terhadap daya dukung dunia usaha peternakan yang berdaya saing di Indonesia.
Keterkaitan dunia usaha peternakan dengan kondisi perekonomian di Indonesia
Dunia usaha peternakan di Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan, namun
apabila kita lihat dengan kondisi perekonomian Indonesia sebetulnya memiliki prospek pengembangan yang
besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2016 ini rata-tata 5,02 persen per tahun, lebih tinggi
dibanding tahun 2015 sebesar 4,8%, sedangkan pendapatan per kapita mengalami peningkatan sebesar Rp. 47,96
juta/tahun, lebih tinggi dibanding tahun 2015 sebesar Rp. 45,14 juta/tahun. Pertumbuhan ekonomi diharapkan
dapat berkontribusi nyata terhadap upaya pengentasan kemiskinan serta pemerataan pembangunan, walaupun
masih terdapat kendala kesenjangan antara pendapatan dan masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS (2017)
sampai bulan Maret 2017 angka kemiskinan sampai 10,64%, masih lebih rendah dibanding bulan September
2014 yaitu 10,96%. Oleh karena itu peran pembangunan peternakan dalam hal ini sangat strategis dalam upaya
ikut mendorong terciptanya pembangunan yang inklusif, yaitu suatu pembangunan ekonomi yang diarahkan
mampu untuk menciptakan lapangan pekerjaan, menurunkan angka kemiskinan, serta ketimpangan pendapatan.
Usaha peternakan sangat berperan dalam upaya mendorong pembangunan inklusif yang dapat
mempertimbangkan berbagai aspek dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, tidak hanya dari sisi
pertumbuhan (pro-growth), tetapi juga menyangkut serapan tenaga kerja (pro-job), penurunan kemiskinan (pro-
poor) dan memperhitungkan dari aspek lingkungan (pro-environment). Pembangunan usaha peternakan tidak
hanya diarahkan ke peternak besar tetapi juga harus disertai mampu mendorong usaha peternak kecil guna

23
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

memperkuat ekonominya, sehingga pada gilirannya dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi yang lebih luas serta dapat menekan ketimpangan pendapatan.
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, menempati urutan ke-4 di dunia hingga
mencapai lebih dari 256 juta jiwa pada tahun 2017, bila laju pertumbuhan sebesar 1,2% per tahun, maka pada
tahun 2030 yang akan datang diperkirakan bisa mencapai angka 300 juta jiwa (Noviyanti, 2017). Penduduk
dengan usia produktif (15-64 tahun) ada 67% dari jumlah penduduk Indonesia, nilai ini lebih besar dari pada
golongan usia lainnya, sehingga usia produktif tersebut sering dimaknai memiliki potensi sebagai bonus
demografi, oleh karena itu masih ada peluang dalam menggerakan usaha bidang peternakan. Peranan sumber
daya manusia berkualitas pada usia produktif tersebut sangat diperlukan, utamanya terhadap tenaga terdidik
bidang peternakan. Bonus demografi, juga merupakan kelas konsumen yang memberikan kontribusi terhadap
meningkatnya daya beli termasuk produk peternakan. Selain itu, bonus demografi juga memiliki kontribusi
terhadap terbukanya peluang investasi dan ekspansi perusahaan multinasional. Besarnya jumlah penduduk
Indonesia tersebut sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap peningkatan permintaan barang dan jasa,
sehingga pada gilirannya memacu pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan tersebut mendorong para
produsen untuk melakukan produksi secara masal. Oleh karena itu sangat diperlukan input teknologi dalam
upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan menekan ongkos produksi per unit output.
Kepentingan akademisi dalam mendukung dunia usaha peternakan di Indonesia yang berdaya saing
Jumlah wirausahawan di Indonesia masih relatif kecil yakni sekitar 1,65% (Rodame, 2017) dari jumlah
penduduk di Indonesia, dan ini masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti
Malaysia, Singapura, Thailand, dan Jepang, masing masing 5, 7, 4, dan >10 % dari jumlah penduduk.
Pertanyaannya: bagaimana menumbuhkan minat wirausahawan dari kalangan terdidik asal perguruan tinggi
untuk masuk dalam usaha peternakan. Peran para akademisi sangat diperlukan dalam memprovokasi lulusan
terdidik menjadi wirausahawan yang terkait dengan dunia usaha peternakan. Berdasarkan kenyataan tersebut,
masih perlu adanya keintegrasian antara materi pengajaran dan hasil temuan inovasi dari para peneliti baik dari
perguruan tinggi maupun LITBANG, sehingga antara skil, temuan inovasi, dan minat usaha dari lulusan
kalangan terdidik bisa meningkat. Meningkatnya jumlah wirausaha ini memilik arti penting bagi suatu negara,
karena dapat mendongkrak ekonomi negara, bertambahnya lapangan pekerjaan, serta dapat meningkatkan
kualitas kesejahteraan masyarakat.
Beberapa penyebab minimnya jumlah wirausaha di Indonesia antara lain karena: (1) sistem pendidikan
di Indonesia masih relatif kurang mendukung, yang mana masih terfokus pada pengetahuan yang bersifat umum
dan masih berkutat akan pentingnya teknologi, disisi lain fokus kesadaran untuk menumbuhkan jiwa
berwirausaha masih diajarkan oleh sekolah-sekolah yang memang ditujukan untuk mencetak para wirausahawan
di Indonesia, (2) penciptaan inovasi untuk berwirausaha masih rendah, (3) faktor mental dari sebagian pengusaha
pemula yang terkesan menginginkan kesuksesan secara instan. Era globalisasi sebetulnya memiliki banyak
peluang usaha dibidang peternakan, karena peluang meningkatnya akses pasar, meningkatnya investasi, peluang
export, serta permintaan produk pangan berkualitas diprediksi juga akan meningkat.
Walaupun demikian, wirausaha dari kalangan terdidik dibidang peternakan memiliki beberapa kendala
dibandingkan bidang lainnya, antara lain tingkat partsipasinya masih rendah, masih memiliki posisi tawar yang
lemah ditingkat produsen, serta lemah ditingkat distribusi pemasaran. Selain itu, beberapa komoditas peternakan
dan sarana produksi peternakan juga masih diimpor, sehingga sangat mengganggu posisi usaha produsen. Oleh
karena itu sangat diperlukan suatu peningkatan efisiensi guna menangkal ketatnya persaingan usaha bidang
peternakan di era globalisasi, dan sudah barang tentu peran inovasi teknologi sangat diperlukan. Tingkat
kesiapterapan teknologi (TKT) sebagaimana telah diatur dalam PERMENRISTEKDIKTI No 42 Tahun 2016
sangat mendukung dalam menyiapkan inovasi teknologi yang dapat digunakan baik oleh pemerintah, industri
maupun ke masyarakat. Peran para para akademisi sangat strategis dalam mempersiapkan inovasi teknologi
melalui hilirisasi hasil riset dan inovasi teknologi.
Beberapa komponen dalam upaya meningkatkan daya saing usaha peternakan antara lain : (1)
penyiapan sumber daya manusia terdidik bidang peternakan yang berkualitas; (2) kesiapterapan teknologi
peternakan; (3) efisiensi produksi usaha yang terkait dengan bidang peternakan maupun prasarananya, serta (4)
kemampuan akses pasar ternak dan hasil ternak. Upaya peningkatan daya saing ini sangat penting dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia kedepan diprediksi akan menjadi suatu negara yang
memiliki kekuatan ekonomi yang besar. Berdasarkan suatu studi lembaga audit dan konsultan profesional PWC
(2017), Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi pada urutan ke 5 dunia pada tahun 2030,
sehingga ada peningkatan dibanding pada tahun 2016 yang berada pada urutan ke 8. Disebutkan pula bahwa
dengan dukungan demografi dan produktivitas sebagai penggerak pertumbuhan, ekonomi Indonesia bahkan
diproyeksi mampu meningkat diurutan ke empat dibawah China, India, dan Amerika Serikat pada tahun 2050.
Sektor peternakan memiliki peran strstegis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara,
karena selain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat petani, juga dapat menjadi tambahan lapangan
pekerjaan. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi kedepan, diprediksi juga akan meningkatkan investasi dibidang
usaha peternakan. Potensi usaha sektor peternakan berkontribusi terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto
24
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

(PDB). PDB sub sektor peternakan tahun 2016 atas dasar harga konstan meningkat sebesar 4,03 persen terhadap
PDB tahun 2015 dengan nilai PDB sub sektor peternakan tahun 2016 sebesar Rp142,5 triliun dan nilai PDB sub
sektor peternakan yang sebesar Rp137,0 triliun pada tahun 2015 (Newsletter Data Makro, 2017).
Peran akademisi dalam menyiapkan dan menerapkan hilirisasi inovasi dan hasil riset dibidang
peternakan sangat penting seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, karena fenomena tersebut sudah
barang tentu akan memberikan sinyal meningkatnya konsumsi produk peternakan. Beberapa faktor penting
dalam upaya percepatan hilirisasi inovasi dan riset dibidang peternakan dari para akademisi guna mendukung
usaha peternakan yang berdaya saing antara lain adalah: (1) tingkat kesiapterapan teknologi (Technology
Readiness Level) yang tinggi; (2) tingkat relasi; dan (3) tingkat percaya diri para akademisi.
Tingkat kesiapterapan teknologi ini diharapkan sudah sampai pada level 9 yang mana pada level ini
sistem benar-benar teruji dan terbukti melalui keberhasilan pengoperasian. Tingkat relasi ini sangat penting
terkait bagaimana akademisi dapat memanfaatkan peluang kerjasama, baik dengan masyarakat, pemerintah,
industri, maupun sektor perbankan. Sedangkan tingkat percaya diri diperlukan dalam membangun jiwa
kewirausahaan, karena sangat diharapkan produk dari inovasi dan hasil riset tersebut mampu mendukung
perkembangan dunia usaha peternakan.

SIMPULAN
Peran akademisi dalam mendukung perkembangan dunia usaha peternakan sangat strategis, melalui hilirisasi
inovasi dan riset sehingga pada gilirannya seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia,
mampu tercipta produk unggulan yang memiliki daya saing. Tingkat Kesiapterapan teknologi perlu dipacu pada
level yang tertinggi, sehingga produk teknologi yang dihasilkan dapat diaplikasikan kepada pengguna baik
industri, pemerintah dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Newsletter Data Makro. 2017. Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Subsektor Peternakan Triwulan IV
Tahun 2016. Edisi:01/pdb/03/2017.
http://ditjenpkh.pertanian.go.id/userfiles/File/PDB1_TW_IV_2016.pdf?time=1501059404484.
Noviyanti. 2017. Pengertian dan Jumlah Penduduk di Indonesia. https://www.bagi-in.com/jumlah-penduduk-di-
indonesia.
PWC. 2017. The World in 2050: How will the global economic order change?.
https://www.pwc.com/gx/en/world-2050/assets/pwc-world-in-2050-slide-pack-feb-2017.pdf
Rodame. 2017. Bonus Demografi Indonesia : Peluang untuk Jadi Raksasa Ekonomi Dunia.
http://rodame.com/bonus-demografi-indonesia-peluang-untuk-jadi-raksasa-ekonomi-dunia.

25
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

26
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

27
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

28
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

29
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

30
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

31
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

32
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

33
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

34
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

35
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

36
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

37
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

38
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

39
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

40
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

41
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

42
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

43
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

44
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

45
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

46
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

47
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

48
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

49
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PEMULIABIAKAN UNGGAS LOKAL DI LAHAN KERING


BREEDING OF NATIVE POULTRY IN DRY-LAND AREAS
Firda Arlina
Laboratorium Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Andalas Padang
E-mail:arlina64@gmail.com

ABSTRAK
Indonesia memiliki 60 % keanekaragaman fauna dunia termasuk unggas lokal. Unggas lokal merupakan
sumberdaya genetik yang potensial dalam penyediaan daging dan telur. Pada seluruh kepulauan di Indonesia
tersedia berbagai rumpun ayam lokal yang mempunyai penampilan spesifik ataupun tidak spesifik dengan
populasi hampir sama dengan jumlah penduduk di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi
ayam di dunia setelah China dan India, namun demikian pengelolaan ayam lokal di Indonesia sebagian besar
masih dipelihara secara tradisional. Pemuliabiakan unggas lokal di Indonesia hasilnya belum memuaskan
sehingga produktivitasnya masih rendah sedangkan plasma nutfah unggas lokal lokal sangat potensial karena
memiliki keragaman genetik yang tinggi.Studi untuk memperoleh informasi tentang diversitas genetik dilakukan
melalui karakteristik fenotipe dan molekuler genetik.Dalam menyusun suatu proses perbaikan genetik ada
beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu materi genetik yang tersedia, selera konsumen, kebutuhan pasar
dan strategi pemuliaannya.Metode pemuliabiakan unggas lokal dilahan kering dapat dilakukan dengan
pemurnian, pembentukan hibrida, rumpun dan galur baru. Hasil penelitian melaporkan bahwa pada gen Heat
Shock Protein (HSP70) terdapat beberapa situs polimorfik yang dapat dipakai sebagai penanda molekuler
(MAS) ayam yang toleran terhadap suhu tinggi.
Kata kunci: unggas lokal, pemuliaan, lahan kering, persilangan, eksotik

ABSTRACT
Indonesia has 60% of the world's fauna diversity including local poultry.Native chicken has a potencial genetic
resources to meet demand on meat and eggs. Across all islands in Indonesia, there are several native chicken
strains that have specific and not specific characteristics with the number that almost the same of human’s
population in Indonesia. Indonesia has been known as one of the center of domesticated native chicken in the
world after China and India, even though the chickens are raised traditionally. It has been a blessing that due to
avian influenza outbreak, native chicken farming has become improved steadily. Local poultry breeding in
Indonesia has not been satisfactory resulting in low productivity whereas local poultry germplasm is very
potential because it has high genetic diversity. Studies to obtain information about genetic diversity are done
through genetic, phenotypes and molecular characteristics. In preparing a process of genetic improvement there
are several aspects; the available genetic material, consumers preference, market needs and breeding strategies.
Local poultry breeding methods in dry land can be carried out by pure line, hybrid formation, and new strains.
The results reported that in the Heat Shock Protein (HSP70) genes there are several polymorphic sites that can
be used as molecular markers (MAS) of chicken that are tolerant to high temperature.
Key words: Native poultry, breeding, dry-lands, cross-breeding, exotic

PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan sumberdaya genetik termasuk berbagai rumpun unggas lokal yang
tersebar diseluruh kepulauan di Indonesia. Unggas lokal tersebut ada yang mempunyai penampilan
spesifik seperti ayam Kedu, Sentul, Pelung, Gaok, Nunukan, dan Merawang, ayam Kokok
Balenggektetapi ada juga yang tidak spesifik dan sangat beragam penampilannya. Bagaimanapun juga,
Unggas lokal masih memegang peranan yang penting dalam penyediaan kebutuhan protein hewani
masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaanyang mempunyai rasa dan tekstur yang
khas.Berdasarkan data Statistik Peternakan tahun 2016, populasi ayam ras pedaging (broiler)
mencapai 1,59 Milyar ekor, ayam ras petelur (layer) mencapai 162 juta ekor dan ayam bukan
ras (buras) mencapai 299 juta ekor atau mengalami peningkatan sekitar 4,2% dari populasi pada tahun
2015 sedangkan populasi ternak itik 47 juta ekor. Propinsi Nusa Tenggara Timur menyumbang sekitar
3.58%, peringkat ke 7 dari populasi ayam Kampung dari 34 propinsi di Indonesia. Produksi daging

50
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

unggas menyumbang 83% dari penyediaan daging nasional, sedangkan produksi daging ayam ras
menyumbang 66% dari penyediaan daging nasional.
Wilayah Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang membentang luas pada
garis ekuatorial.Hal ini menciptakan kondisi ekologi yang bervariasi, sehingga memberikan
keragaman plasma nutfah yang berlimpah. Spesies dan rumpun ternak mengalami proses seleksi
alami dan adaptasi pada berbagai agroekosistem spesifik, yang menghasilkan sumber daya genetik
ternak asli dan lokal dengan sejumlah keunikan karakteristik. Kekayaan sumber daya genetik ternak
yang beragam menjadi potensi sekaligus peluang untuk perbaikan produktivitas.
Kegiatan pemuliaan yang terencana akan menjamin pemanfaatan ternak lokal secara
berkelanjutan, sehingga harapan dalam membangun kemandirian pangan khususnya berupa protein
hewani akan dapat diwujudkan. Keragaman genetik dari ternak asli dan lokal juga perlu dipelihara
dalam usaha memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat yang terus meningkat.Pemeliharaan
ragam genetik perlu mempertimbangkan spektrum yang luas untuk merespon perubahan permintaan
pasar, stres lingkungan, invasi penyakit, perubahan iklim dan aspek lainnya. Berkembangnya
perubahan selera masyarakat dalam mengkonsumsi produk ternak serta terjadinya fenomena
perubahan iklim global, sebagai misal, memberikan makna bahwa pembangunan subsektor peternakan
nasional kedepannya harus bisa menjawab berbagai tantangan seperti untuk mampu menghasilkan
produk peternakan dengan jumlah mencukupi, berkualitas, higienis dan ramah lingkungan.
Sistem usaha peternakan yang terintegrasi dengan tanaman pertanian dalam merespon
perubahan iklim global diharapkan akan terintegrasi lebih baik melalui pemanfaatan sisa hasil
pertanian sebagai pakan ternak, kotoran ternak sebagai pupuk dan penurunan produksi gas metan
melalui peningkatan efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Pada saat ini kita akui bahwa program
perbaikan produktivitas melalui kegiatan pemuliaan baru dilakukan dalam skala terbatas pada
sejumlah rumpun dan galur ternak lokal.Kegiatan konservasi untuk menjamin keberadaan rumpun dan
keragaman sumber daya genetik ternak juga masih sedikit dilakukan. Kekayaan sumber daya genetik
ternak lokal masih sangat banyak yang belum terungkap, akan tetapi dalam jumlah yang besar telah
terjadi penurunan populasi, degradasi genetik dan bahkan kelangkaan sejumlah ternak. Persilangan
secara masal dan penggunaan rumpun eksotik unggul untuk perbaikan produktivitas ternak lokal telah
menjadi kekhawatiran dunia sebagai penyebab terjadinya degradasi genetik dan hilangnya rumpun dan
galur lokal di negara-negara berkembang.
Paper ini akan mengulas tentang pelestarian dan pemanfaatan sunber daya genetik unngas
lokal, diversitas genetik, perbaikan mutu genetic dalam rangka peningkatan produktivitas unggas lokal
terutama aspek keragaman, karakterisasi, seleksi, identifikasi gen HSP 70. Hilirisasi dari kegiatan
pemuliabiakan unggas lokal dilahan kering adalah rumpun genetik unggas lokal yang tahan terhadap
panas yang memiliki mutu genetik yang tinggi
Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Unggas Lokal
Indonesia memiliki 60 % keanekaragaman fauna dunia termasuk unggas lokal.Ayam lokal
merupakan ternak unggas andalan yang mempunyai potensi tinggi dalam menyambung ketersediaan
pangan asal hewan dalam bentuk daging dan telur ayam.Ayam lokal banyak digemari konsumen
karena memiliki citarasa yang khas dan dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.Bagi petani
ayam lokal memiliki prospek sosial, ekonomi dan budaya yang sangat penting dalam kehidupannya.
Ternak ayam lokal memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai kondisi lingkungan tropis, cara
budidaya yang masih sederhana, serta biaya pemeliharaan yang murah. Hal ini merupakan potensi
nasional yang harus dipertahankan dan dikembangkan.Beberapa jenis ayam lokal merupakan ternak
unggulan daerah dan nasional, yang juga merupakan kekayaan alam dunia. Oleh karena itu Indonesia
mempunyai tanggung jawab moral untuk melestarikan sumberdaya genetik ternak unggas lokal secara
mantap dan berkelanjutan
Kekayaan yang dimiliki Indonesia dalam bentuk keanekaragaman hayati telah cukup dikenal,
dan diantaranya adalah dalam bentuk keanekaragaman sumberdaya genetik ayam lokal. Namun
demikian, kekayaan sumberdaya genetik tersebut tidak akan memberikan manfaat atau kegunaan yang
optimal jika tidak dimanfaatkan dengan baik dan layak. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya
genetik memerlukan perhatian yang serius dan penyusunan program yang terarah juga merupakan
salah satu upaya konservasi sumberdaya genetik yang bersangkutan.

51
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Dengan pemanfaatan yang baik dan terarah maka secara otomatis materi genetik yang ada,
sebagian atau seluruhnya, akan selalu berada dalam populasi. Pemanfaatan sumberdaya genetik yang
paling sering dilakukan adalah dengan menggunakan sumberdaya genetik yang bersangkutan dalam
proses produksi yang bisa memberikan keuntungan dalam suatu sistem usahatani.
Pada umumnya sumberdaya genetik yang tersedia tidak digunakan secara langsung seperti apa
adanya di alam melainkan harus melalui suatu proses pemuliaan. Secara spesifik, pemuliaan ternak
dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk merubah frekuensi gen/genotype dalam
sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. Secara umum,
pemuliaan dapat diartikan sebagai proses perbaikan secara genetik untuk mencapai tujuan produksi
tertentu. Proses perbaikan genetik dalam menyusun suatu proses perbaikan genetik ada beberapa aspek
yang perlu diperhatikan agar memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan
memberikan keuntungan dalam sistem produksinya. Materi genetik yang tersedia Tujuan yang ingin
dicapai dalam perbaikan genetik sangat ditentukan oleh materi genetik yang tersedia, karena proses
perbaikan berawal dari komposisi gen/genetik yang ada. Oleh karena itu perlu ada inventarisasi materi
genetik yang ada beserta semua karakteristiknya.
Keragaman Genetik
Studi untuk memperoleh informasi tentang keragaman genetik pada berbagai ternak akan
menjadi informasi berguna dalam mengidentifikasi sumbangan rumpun, galur dan populasi dalam
pemanfaatan secara langsung bagi pembangunan sektor peternakan. Penelitian mengenai keragaman
genetik baik berdasarkan data dari fenotipe, protein darah dan molekuler sudah cukup intensif
dilakukan pada berbagai rumpun, galur dan populasi ternak unggas lokal. Studi diversitas genetik
dilakukan bertujuan antara lain untuk mengetahui tingkat perbedaan dan kesamaan genetik, introgresi
gen, filogenetik serta identifikasi keunikan genetik.
a. Fenotipe
Data fenotipe atau morfologi banyak dipakai sebagai penanda dalam menentukan varian genetik
antara rumpun, galur dan populasi ternak.Karakter fenotipik merupakan penciri eksternal yang
dapat menunjukkan perbedaan genetik antara ternak. Banyak studi membuktikan morfometrik
tubuh yang menampilkan perbedaaan berbagai dimensi tubuh, baik secara linier maupun non
linier, dapat mengidentifikasi diversitas genetik yang terjadi baik didalam maupun antara rumpun
dan populasi ternak. Upaya identifikasi dan karakterisasi unggas lokal telah banyak dilakukan baik
oleh Perguruan Tinggi.Identifikasi dapat dilakukan terutama pada ciri-ciri fenotip baik secara
kualitatif (warna bulu, kulit, shank, bentuk jengger) maupun secara kuantitatif seperti ukuran-
ukuran tubuh (morfometrik), produktivitas, reproduktivitas dan ketahanan terhadap
penyakit.Karakteristik genetik eksternal berupa warna dan pola bulu ayam asli (kampung/K dan
wareng/W) dipakai untuk mengetahui laju introgresi gen dari rumpun ayam introduksi (Rhode
Island Red, White Leghorn dan Barred Plymouth Rock) (Sartika et. al., 2008). Studi
membuktikan pengaruh introduksi gen dari ayam rumpun eksotik memiliki laju berbeda, yang
menjelaskan tingkat kemurnian genetik ayam lokal di Sumatera Barat hanya 45 % ( Arlina et al.,
2014).
b. Molekuler Genetik
Studi keragaman sumber daya genetik ternak lokal menggunakan sejumlah analisa molekular juga
cukup intensif dieksplorasi.Analisis DNA mitokondria (mtDNA) menjadi salah satu teknik
molekular yang banyak digunakan untuk mempelajari asal-usul berbagai rumpun dan populasi
ternak domestikasi (Machugh dan Bradley, 2001). Melalui analisa D-loop DNA mitokondria
(Fumihito et. al., 1996) dan sekuen hypervariable-I daerah kontrol DNA mitokondria (Niu et. al.,
2006) dapat menjelaskan bahwa proses domestikasi ayam di Asia terjadi di berbagai tempat di
Asia Selatan dan Asia Tenggara. Untuk mengkonfirmasi hal tersebut, dilakukan studi pada ayam
kampung (10 populasi) dan konfirmasi distribusinya pada clade ayam Asia (Zein et. al., 2012).
Berdasarkan analisa filogenetik dari sekuen hipervariabel-I daerah kontrol DNA mitokondria
diketahui ayam kampung membentuk empat haplogrup/clade dari 7 referensi clade ayam Asia,
meliputi clade II, clade IIIc, clade IIId dan clade IV. Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan
sebelumnya menggunakan teknik sekuen D-loop DNA mitokondria yang menjelaskan Indonesia

52
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

sebagai salah satu pusat domestikasi utama ayam lokal dan berhubungan erat dengan ayam hutan
merah (G. gallus gallus) (Sulandari et. al., 2008).
Perbaikan Genetik Unggas Lokal di Lahan Kering
Dalam menyusun suatu proses perbaikan genetik ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan
agar memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan memberikan keuntungan dalam
sistem produksinya. Materi genetic yang tersedia, selera konsumen, kebutuhan pasar dan strategi
pemuliaannya.Penentuan strategi atau metode pemuliaan yang akan digunakan memerlukan dukungan
teknologi agar memperoleh metode yang paling efisien dan efektif dalam mencapai tujuan pemuliaan.
Teknologi tepat guna dapat diperoleh melalui serangkaian penelitian dan pengkajian/metode
pemuliaannya pada kelompok spesies tertentu dan yang telah berhasil. Metode pemuliaan ini juga
sangat berkaitan dengan target perbaikan genetik yang ingin diperoleh, misalnya pada sifat produksi
tertentu dan besarnya perubahan/perbaikan yang dapat dihasilkan. Metode pemuliaan yang dapat
digunakan meliputi pemurnian, pembentukan hibrida, rumpun dan galur baru.
Strategi pemuliaan ayam Kampung untuk memperoleh bibit yang baik, salah satunya dengan
melakukan seleksi.Pada ayam Kampung, seleksi sangat tepat untuk dilakukan mengingat variasi
genetik maupun fenotipe ayam Kampung cukup tinggi. Keakuratan seleksi salah satunya ditentukan
oleh kriteria dan intensitas seleksi (Falconer dan Mackay, 1996).
Upaya peningkatan kualitas dan kuantitas rumpun ayam lokal dapat dilaksanakan dengan
pemurnian dan persilangan rumpun-rumpun ayam lokal Sartika, 2012). Program pemurnian rumpun
ayam lokal bertujuan untuk melestarikan, memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya genetik
(SDG) ayam lokal. Langkah-langkah pelaksanaan program pemurnian sebagai berikut:
a. Identifikasi karakteristik spesifik ayam lokal. Ayam lokal yang ada di Indonesia berjumlah
lebih dari 30 rumpun dengan karakteristik spesifik yang berbeda-beda, belum seluruhnya
dikenal umum. Tergantung tujuan pemanfaatan ayam lokal, karakteristik yang perlu
diidentifikasi adalah bentuk kepala, warna bulu, paruh, jengger, pial, warna kaki, dan suara.
b. Pengembangbiakan pada populasi dasar untuk mencapai populasi yang aman untuk
dimanfaatkan.
c. Seleksi kinerja sekurang-kurangnya 30% tertinggi dari total populasi selama sekurang-
kurangnya 4 generasi sampai menghasilkan bibit murni.
d. Pada ketiga langkah angka 1, 2 dan 3 di atas harus selalu dilakukan pencatatan.
e. Menjamin kelestarian sumber daya genetik ayam lokal.

Persilangan unggas lokal bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal dengan
memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya genetik melalui persilangan. Langkah-langkah
pelaksanaan persilangan sebagai berikut:
a. Menetapkan tujuan persilangan yaitu untuk mendapatkan final stock atau galur baru dengan
tujuan untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari tetua asalnya,
b. Melakukan identifikasi dari rumpun/galur murni yang akan disilangkan
c. Melakukan persilangan antar rumpun/galur yang berbeda dengan pola perkawinan yang jelas
dan benar,
d. Melakukan pengembangbiakan hasil silangan untuk disebarluaskan di luar wilayah
pemurnian,
e. Melakukan pengendalian dalam pemanfaatan ayam lokal murni yang digunakan untuk
menjadi tetua dalam melaksanakan program persilangan untuk mencegah pengurasan populasi
bibit ayam murninya.
Seleksi Unggas lokal Indonesia berdasarkan Gen Heat Shock Protein (HSP) termasuk HSP-70,
Keberagaman unggas lokal yang kita miliki berdampak pada kemampuan merespons pengaruh
lingkungan termasuk suhu lingkungan tempat pemeliharaan. Individu yang memiliki keragaman
kombinasi gen tinggi memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan lebih baik dibandingkan
dengan individu yang komposisi gennya lebih seragam (Noor dan Seminar, 2009). Tingginya
keragaman unggas merupakan modal yang dapat dikembangkan ke arah dihasilkannya galur ayam
komersial tropik baru yang mampu beradaptasi lebih baik dengan lingkungannya.Ternak unggas
termasuk hewan homeothermic (suhu tubuh berkisar antara 41,5-40,5oC) (Etches et al., 2008), tidak
memiliki kelenjar keringat serta hampir semua bagian tubuhnya ditutupi bulu. Kondisi tubuh seperti
53
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

ini menyebabkan ternak unggas kesulitan membuang panas tubuh ke lingkungannya, sehingga sangat
rentan terhadap bahaya cekaman panas.Dalam kondisi stres, tubuh terganggu dan tubuh berusaha keras
untuk mengembalikan ke kondisi homeostasis seperti sebelum terjadi stres. Bila stres terus meningkat
dan tubuh tidak mampu mengatasinya, maka akan digunakan jalur genetis, yaitu dengan cara
mengaktifkan gen Heat Shock Protein (HSP) termasuk HSP-70, yang berfungsi hanya dalam kondisi
stres (Noor dan Seminar, 2009). Sejumlah penelitian melaporkan bahwa pada gen ini terdapat
beberapa situs polimorfik yang dapat dipakai sebagai penanda ayam yang toleran terhadap suhu tinggi
(Gaviol et al., 2008, Zhen et al., 2006, Mazzi et al., 2003). Hasil penelitian Tamzil et al., (2013) pada
ayam Kampung di Lombok yang sampelnya berasal dari dataran tinggi, dataran rendah dan dataran
sedang. Hasil genotyping memberikan informasi bahwa hasil analisis gen HSP-70 ayam menggunakan
PCR-SSCP (Single Strand Comformation Polymorphism)didapat empat alel, yaitu alel A, B, C, dan D
serta tujuh genotipe, yaitu genotipe AA, AB, AC, CC, AD, DD, dan BC. Sebanyak tujuh genotipe
terdapat pada ayam kampung, yaitu AA, AB, AC, CC, AD, DD, dan BC, enam genotipe pada ayam
arab, yaitu AA, AB, AC, CC, AD, dan BC, serta satu genotipe pada ayam ras, yaitu genotipe DD.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayam kampung mempunyai keragaman gen HSP-70 yang
tertinggi dibandingkan dengan ayam arab dan ayam ras petelur. Tingginya keragaman kombinasi gen
HSP70 pada ayam Kampung merupakan peluang dilakukannya seleksi untuk mendapatkan genetik
ayam yang lebih toleran pada suhu lingkungan yang tinggi, karena ternak dengan keragaman
kombinasi gen yang tinggi mempunyai kemampuan beradaptasi lebih baik dengan lingkungan
pemeliharaan (Noor dan Seminar, 2009).
Pada jenis unggas lokal lainnya yaitu ternak itik lokal Indonesia, perubahan pola pemeliharaan
dari tradisional menjadi intensif dengan kondisi terkurung minim air menyebabkan itik mengalami
kesulitan dalam proses thermoregulasi, ditambah lagi dengan kondisi suhu lingkungan didaerah tropis
yang berkisar 230 – 320C melebihi suhu nyaman itik yang berkisar antara 18,30-25,50C menyebabkan
itik mengalami stres/cekaman panas. Stres ini akan bermuara kepada produksi dan produktivitas itik
yang tidak optimal. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini adalah memperbaiki mutu genetik
itik lokal dengan menyeleksi itik yang tahan panas dan tidak tahan panas dengan menggunakan marka
molekuler gen kandidat yaitu gen Heat Shock Protein 70 (HSP 70) yang dikenal sebagai gen penyandi
tahan panas secara genomik, transkriptomik dan proteomik. Arlina et al (2017) melakukan penelitian
identifikasi yang dilakukan dengan analisis aspek transkriptomik (ekspresi gen HSP 70) dan proteomik
(ekspresi protein HSP 70), dalam upaya Pembentukkan Galur Itik Lokal Tahan Panas Di Sumatera
Barat.

PENUTUP
Kekayaan sumber daya genetik ternak unggas lokal sudah cukup banyak dieksplorasi melalui
serangkaian studi untuk mendapatkan informasi perbedaan genetik, filogenetik, introgresi gen dan asal
usul ternak. Analisa molekular seperti mitokondria DNA (mtDNA) akan menjadi suatu cara yang
lebih intensif dipakai untuk memperoleh informasi pada aspek karakterisasi dan diversitas genetik
ternak. Program pemuliabiakan unggas lokal melaui seleksi dan persilangan dilakukan untuk
memperbaiki produktivitas dan kualitas produk ternak lokal. Perbaikan genetik melalui seleksi pada
ternak unggas (ayam dan itik) juga mempertimbangkan sifat ekonomis lain seperti produksi telur dan
fertilitas. Persilangan juga menjadi pilihan untuk memperbaiki produktivitas ternak lokal, baik antara
rumpun ternak lokal (asli) ataupun terhadap rumpun ternak eksotik.Rumpun dan galur ternak unggas
unggul untuk sifat produksi daging, produksi telur dan tahan cekaman panas perlu dikaji lebih lanjut
dengan menggunakan bioteknologi. Studi terkait dengan kegiatan karakterisasi, seleksi, persilangan
dan konservasi akan semakin intensif dilakukan pada unggas lokal agar didapatkan hilirisasi program
pemuliaan rumpunternak unggas lokal yang memiliki produktivitas yang tinggi di lahan kering Namun
kegiatan tersebut akan tetap memperhatikan keberagaman sumber daya genetik ternak unggas asli dan
lokal untuk mengantisipasi permintaan yang lebih bervariasi dan perubahan lingkungan strategis lain
di masa mendatang.

54
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Abbas.M.H dan Husmaini.2015. Strategi Pengembangan dan Pemuliaan Tdernak Unggas di Indonesia.
Penerbit Sukabina Press, Padang.
Arlina, F., Jamsari, Sarbaini dan M.H. Abbas. 2014. Variability of External Genetic Characteristic of
Kukuak Balenggek Chicken in West Sumatera. International Journal of Poultry Science
13(4):185-190, 2014.
Falconer, D.S. dan T.F.C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Ed. 4th, Longman,
England.
Statistik Peternakan Dan Kesehatan Hewan. 2016. Livestock and Animal Health Statistics 2016.
Penerbit : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan .Kementerian Pertanian RI,
Jakarta.
Hamzil. M.H., R. R. Noor, P. S. Hardjosworo, W. Manalu and, C. Sumantri. 2013. Keragaman Gen
Heat Shock Protein 70 pada Ayam Kampung, Ayam Arab, dan Ayam Ras. Jurnal Veteriner
ISSN : 1411 – 8327, September 2013 Vol. 14 No. 3: 317-326.
Noor RR, Seminar KB. 2009. Rahasia dan Hikmah Pewarisan Sifat (Ilmu Genetika dalam Al-Qur’an).
Bogor. Penerbit IPB Press. Hal:109.
Etches RJ.John TM AND Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural, Physiological, Neuroendocrine
and Molecular Responses to Heat Stress. In: Nuhad J. Daghir (ed.). Poultry Production in Hot
Climates. Pp: 49-69.
Gaviol HCT, Gasparino E, Prioli AJ, Soares MAM. 2008. Genetik evaluation of the HSP70 protein
in the japanese quail (Coturnix japonica). Genet Mol Res 7(1) : 133-139.
Zhen FS, Du HL, Xu HP, Luo QB, Zhang XQ. 2006. Tissue and allelic-specific expression of HSP 70
gene in chickens: basal and heatstress-induced mRNA level quantified with real-time reverse
transcriptase polymerase chain reaction. Brit Poul Sci 47 : 449–455.
Mazzi CM, Ferro JA, Ferro MIT, Savino VJM, Coelho AAD, Macari M. 2003. Polymorphism
analysis of the hsp70 stress gene in Broiler chickens (Gallus gallus) of different breeds. Genet
Mol Biol 26(3) : 275281.
Sartika, T., D.K. Wati, H.S. Iman Rahayu dan S. Iskandar.2008. Perbandingan Genetik Eksternal
Ayam Wareng dan Ayam Kampung yang Dilihat dari Laju Introgresi dan Variabilitas
Genetiknya. JITV 13(4): 279-287.
Sartika. T. 2012. Ketersediaan Sumberdaya Genetik Ayam Lokal Dan Strategi Pengembangannya
Untuk Pembentukan Parent Dan Grand Parent Stock.Workshop Nasional Unggas Lokal 2012.
Sulandari, S., M.S.A. Zein and T. Sartika. 2008. Molecular characterization of Indonesian Indigenous
chickens based on Mitochondrial DNA Displacement (D)-loop Sequences. Hayati J. Biosciences
15(4): 145 – 154.

55
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

TANTANGAN DAN KEMAJUAN PENGEMBANGAN IPTEK PADA PETERNAKAN


LAHAN KERING
CHALLENGES AND ADVANCEMENT IN DRYLAND LIVESTOCK DEVELOPMENT
TECHNOLOGIES
I Gusti N. Jelantik
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Email : igustingurahjelantik@staf.undana.ac.id

ABSTRAK
Sebagian besar wilayah Indonesia yaitu sekitar 70 juta ha dikategorikan sebagai lahan kering yang menyebar di
berbagai daerah terutama di wilayah timur Indonesia. Daerah-daerah tersebut berpotensi untuk memberikan
kontribusi besar pada pencapaian swasembada daging nasional ketika peningkatan produksi ternak di daerah
lahan basah tidak lagi bisa dipacu secara signifikan. Dengan berbagai kendala fisik, lingkungan, infrastruktur dan
sosial budaya peternak, saat ini propulasi dan produktivitas ternak sapi masih rendah terutama disebabkan oleh
belum optimalnya angka kelahiran, tingginya angak kematian dan rendahnya laju pertumbuhan. Berbagai
kemajuan riset telah dicapai dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, namun hanya sedikit yang
melahirkan inovasi yang telah diadopsi oleh peternak dan atau menjadi program pemerintah yang diterapkan
secara meluas. Ke depan dibutuhkan riset dan upaya sistematis dalam meningkatkan laju adopsi teknologi yang
dihasilkan berbasis pada evaluasi dampak ekonomis dan sosial budaya serta peningkatan kapasitas dan efesiensi
beternak sehingga dapat memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak di lahan kering.

ABSTRACT
Large area of Indonesia, i.e. about 70 million ha, is catagorised as dryland which widely spreads in different
region especially eastern part of Indonesia. The potency of those areas to significantly contribute to national
meat production is considered to be prominent especially when animal prodution from wetland areas can no
longer be improved significantly. Although current animal production in dry land area is low due to sub-optimal
calving rate, high mortality rate and low growth rate, a large number of technelogies produced from researches
conducted in those areas are available. However, only a small number of those tenchnologies have been widely
adopted by farmers or been included in the goverment policy. In the future, more research and attempts need to
be directed to improve tecnologie’s adoption rate based upon systematic demonstration of economics and socio-
culture benefits as well as improvement in farmer rearing efeciency and capacity.

PENDAHULUAN
Lahan kering didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai ilmuan tetapi pada dasarnya
mencakup daerah-daerah yang ketersediaan airnya terbatas pada bulan-bulan tertentu saja sementara
kekurangan pada waktu-waktu lainnya (Steiner et al., 1988). Wilayah dikategorikan sebagai lahan
kering adalah daerah yang memiliki indeks ariditas yang dihitung sebagai P/ETP (P=curah hujan,
ETP= laju evapotranspirasi) antara 0,03-0,2 untuk arid dan 0,2-0,5 untuk semi arid (Unesco, 1977).
Luas lahan kering mencapai 0,41 dari total luas dunia (Carberry et al., 2010). Sementara di Indonesia
luasan lahan kering mencakup hampir sebagian besar wilayah Indonesia yang diperkirakan sekitar 170
juta ha dan belum termanfaatkan secara optimal. Lahan kering menyebar dari Jawa Barat, Sulawesi,
NTT dan NTB. Tanah masam di Pulau Sumatera dan Kalimantan juga dikategorikan lahan kering
dimana yang terluas adalah agroekosistem lahan kering masam yang mencapai 62,6 juta hektar
(68,1%) dan lahan kering iklim kering seluas 7,8 juta hektar (8,5%) yang terletak di kawasan Timur
Indonesia.
Terdapat beberapa pembatas utama dalam pengembangan lahan kering untuk pertanian dan
peternakan. Keterbatasan sumber air yang pada umumnya tergantung pada curah hujan merupakan
permasalahan utama pengembangan peternakan di lahan kering. Produksi pakan dan kualitas pakan
tergantung pada lamanya growing period yang oleh FAO (1978) didefinisikan sebagai curah hujan
yang melebihi setengah dari evapo-transpirasi. Di samping itu, kondisi wilayah yang berbukit, solum
tanah dangkal dan serta praktek pertanaman tanaman pangan dilakukan secara non-intensif (ladang)
dan berpindah-pindah yang telah berlangsung lama mendorong laju erosi yang tinggi menyebabkan
rendahnya kesuburan dan produktivitas lahan kering. Banyak di antara luasan wilayah tersebut
kemudian ditumbuhi oleh rumput atau bahkan menjadi bentangan savana yang luas. Padang rumput
56
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

alam tersebut merupakan lahan potensial untuk pengembangan ternak ruminansia terutama ternak sapi.
Di banyak daerah tersebut, program pengembangan ternak menjadi program penting dari tahun ke
tahun. Sebagai contoh, Propinsi NTT mempunyai sekitar 1,8 juta ha padang savana yang merupakan
kombinasi lahan semak dan padang penggembalaan. Dengan luasan tersebut, peternakan khususnya
ternak sapi merupakan subsektor yang telah terbukti dan sangat potensial berperan dalam menunjang
kesejahteraan masyarakat. Berbagai kajian yang telah dilakukan di daerah ini menempatkan sektor
peternakan sebagai sektor primer yang harus dikembangkan sebelum pengembangan sektor-sektor
lainnya.
Walaupun produktivitas ternak per ha lahan mungkin jauh lebih tinggi pada tanah-tanah subur,
namun pencapaian program Swa-sembada pangan hewani tergantung pada optimalisasi pemanfaatan
lahan kering di Indonesia. Beberapa alasan dapat dijadikan bahan diskusi. Pertama, usaha ternak sapi
dan kerbau pada umumnya mempunyai net-income per satuan waktu yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan usaha pertanian tanaman pangan atau perkebunan. Mungkin akan sulit
mengharapkan petani-peternak menggunakan lahan subur mereka untuk menanam pakan, kecuali
dalam kondisi mereka kesulitan sarana produksi seperti modal dan tenaga kerja, atau karena serangan
hama berkepanjangan serta penyebab lainnya. Di samping itu, bahkan ketika lebih ekonomis
menggunakan lahan subur beririgasi misalnya untuk menanam hijauan pakan untuk ternak sapi, adalah
kurang bijaksana menggunakan lahan tersebut untuk peternakan ketika negara kita membutuhkan
pangan dalam kuantitas yang sangat besar dan kebutuhan tersebut meningkat drastis dari tahun ke
tahun dan kebanyakan di antaranya masih di-import. Konversi lahan-lahan subur tersebut akan
menurunkan kemampuan negara kita dalam menghasilkan pangan.
Faktor berikut adalah kebutuhan air. Ketersediaan air telah menjadi kendala utama
pengembangan pertanian di Indonesia dan pada masa yang akan datang kendala tersebut akan semakin
besar karena berkurangnya sumber-sumber air yang dapat digunakan. Berbeda dengan tanaman
pangan, banyak jenis hijauan pakan relatif membutuhkan air tidak sebanyak dibanding dengan
tanaman pangan. Produksi hijauan pakan masih cukup memadai di daerah-daerah lahan kering
walaupun produksinya masih jauh di bawah daerah beririgasi. Pemilihan jenis tanaman pakan yang
tepat akan mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering untuk peternakan. Sebagai contoh,
menanam lamtoro (Leucaena leucocephala) di lahan kering akan mampu meningkatkan pemanfaatan
lahan tersebut untuk produksi ternak sapi. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman leguminosa
pohon yang tahan terhadap kekeringan. Lamtoro telah menjadi tulang punggung keberhasilan NTT
dalam memproduksi ternak sapi selama bertahun-tahun.
Kemajuan pengembangan ternak di daerah lahan kering sangat tergantung pada kejuan
pengembangan ipteks yang melahirkan invovasi teknologi dalam kerangka memicu produktivitas dan
efesiensi yang tinggi dalam pemanfaatan lahan kering untuk produksi ternak. Negara seperti Australia
sangat berhasil dalam menerapkan teknologi pertanian dan peternakan lahan kering sehingga sebanyak
80% domba, 50% sapi dan 93% biji-bijian dihasilkan dari lahan kering ( Carberry et al., 2010).
Dengan demikian, peningkatan produktivits ternak di lahan kering tidak akan dicapai secara optimal
tanpa didukung oleh pengembangan Ipteks lahan kering yang memadai. Artikel ini akan membahas
tentang berbagai tantangan yang ditemukan dalam peternakan lahan kering dan kemajuan ipteks yang
dicapai di kawasan Timur Indonesia khususnya yang mencakup pengembangan ternak sapi.

I. POPULASI, PRODUKTIVITAS DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN TERNAK DI


LAHAN KERING
Peran daerah-daerah lahan kering di Indonesia dalam memasok ternak khususnya sapi
nasional sangat tergantung pada populasi dan produktivitas ternak di daerah-daerah tersebut. Hasil
sensus pertanian tahun 2014 mendapatkan bahwa konsentrasi populasi ternak sapi masih didominasi
oleh beberapa propinsi di Pulau Jawa yang sebagian besar merupakan lahan basah. Jawa Timur dengan
populasi sapi terbanyak mencapai 3,5 juta ekor disusul oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara
itu daerah-daerah yang mewakili lahan kering seperti NTT, NTB dan Sulawesi secara total hanya
memberikan kontribusi sekitar 3 juta ekor atau 27% dari total populasi yang ada. Namun demikian,
perkembangan ternak sapi di pulau Jawa dalam beberapa tahun belakanan ini relatif stagnan sehingga
tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk mendorong pengembangan ternak sapi di daerah-daerah
lahan kering.

57
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Menyadari akan hal tersebut, pemerintah terus mendorong perkembangan ternak sapi di
Indonesia terutama di daerah-daerah lahan kering yang meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.
Namun faktanya perkembangan peternakan sapi di daerah-daerah tersebut umumnya berjalan lambat.
Terdapat beberapa penyebab yang mungkin dapat dialamatkan terhadap fenomena ini. Penyebab
pertama adalah daya dukung wilayah per satuan luas yang rendah relatif dibandingkan dengan daerah-
daerah dengan lahan basah. Dengan berbagai kendala dan tantangan yang dimiliki lahan kering
menjadi dapat dimengerti bahwa daya dukung lahan kering terhadap ternak sapi akan jauh lebih
rendah dibandingkan dengan lahan basah. Namun demikian, seharusnya hal ini tidak menjadi faktor
dominan karena luas lahan kering jauh lebih luas dibandingkan dengan lahan basah yang
diperuntukkan untuk peternakan sapi.
Walaupun wilayah lahan kering di Indonesia sangat potensial untuk pengembangan ternak sapi,
berbagai permasalahan masih mengungkung perkembangan populasi ternak sapi di daerah-daerah
lahan kering. Permasalahan yang ditemui sangat kompleks mulai dari kendala iklim dan ketersediaan
air, kepemilikan lahan yang masih bersifat komunitas dan arah kebijakan pemerintah dan rendahnya
keterlibatan pihak swasta menyebabkan lambannya pengembangan ternak sapi di berbagai daerah
dengan lahan kering yang luas.
Pelaku peternakan di daerah-daerah lahan kering hingga saat ini masih didominasi oleh peternak
kecil dengan skala kepemilikan rendah. Di lain pihak lahan yang tersedia berupa hamparan padang
penggembalaan yang luas tetapi dengan daya dukung yang rendah. Kondisi ini akan berimbas pada
tingkat managemen yang diterapkan peternak. Secara umum peternak di lahan kering menerapkan
sistem gembala. Ternaknya digembalakan pada lahan kering yang tersedia tanpa perhatian yang
memadai. Sebagai contoh, sebagian besar ternak sapi yaitu 96,06% atau sebanyak 799.495 ekor dari
total 865.731 ekor ternak sapi yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2014 dipelihara
dengan menggembalakan pada padang penggembalaan yang ada. Bahkan ternak yang dilepas sama
sekali dan tidak pernah masuk kandang mencapai 45,08% dari populasi.
Produktivitas ternak pada sistem gembala sangat ditentukan oleh luasan dan terutama kualitas
padang penggembalaan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa poduksi ternak sapi dan ternak ruminansia
lainnya di daerah lahan kering tidak lagi dapat bertumpu pada padang penggembalaan. Di banyak
daerah lahan kering, luasan padang penggembalaan menurun secara cepat dari tahun ke tahun, contoh
kasus NTT terjadi penurunan luasan padang mencapai 20.000 ha/thn (Salean, 2000). Di samping itu,
sebagian besar padang penggembalaan alam yang ada juga telah mengalami degradasi yang serius
(Lawalu dkk., 2002) dengan kapasitas produksi dan kualitas hijauan yang semakin rendah (Jelantik,
2001) sebagai dampak absennya pengelolaan padang yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Fluktuasi ketersediaan dan terutama kualitas hijauan yang tersedia di padang penggembalaan antara
musim hujan dan kemarau membutuhkan tatakelola yang lebih kompleks sementara level managemen
yang diterapkan oleh peternak masih rendah.
Pemanfaatan ilmbah pertanian sebagai pakan ternak di daerah-daerah lahan kering juga belum
seoptimal daerah-daerah lahan basah walaupun potensi ketersediannya sangat besar. Waktu panen
yang sering bersamaan dengan kelimpahan bahan pakan di padang penggembalaan atau di ladang telah
menjadi kendala utama pemanfaatannya di lahan kering. Padi sering ditanam pada awal musim hujan
sehingga jerami padi tersedia pada akhir musim hujan. Pada saat yang bersamaan, ketersediaan hijauan
pakan di padang penggembalaan juga masih cukup tinggi (Jelantik, 2001). Dengan demikian upaya
pemafaatan jerami padi yang optimal mungkin akan menurunkan pemanfaatan hijauan yang ada di
padang penggembalaan.

58
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kalaupun peternak mempunyai lahan yang luas dan ditumbuhi oleh hijauan pakan dengan
produksi memadai, kapasitas peternak memelihara ternak dan memanfaatkan HMT tersebut dibatasi
oleh kemampuan peternak untuk memanen HMT tersebut. Sebagai contoh peternak dengan 2 Ha lahan
sebenarnya mampu memelihara 30 ekor sapi yang digemukkan. Namun 30 ekor ternak tersebut
membutuhkan paling tidak 1 ton per hari, sementara seorang peternak hanya mampu memotong 500
kg per hari. Dengan demikian peternak hanya mampu memelihara 15 ekor peternak dengan
menyisakan hampir sebagian dari pakan menjadi tidak termanfaatkan.
Keterbatasan kapasitas panen hijauan tersebut dikomplikasi dengan flutuasi curah hujan yang
akan berdampak pada fluktuasi produksi dan kualitas HMT. Peternak dibatasi waktunya untuk
memanen hijauan dengan kualitas terbaik hanya pada bulan-bulan tertentu, sementara pada bulan-
bulan lainnya selain sulit memanen juga kualitasnya rendah. Di samping itu, peternak yang ada pada
umumnya bukanlah peternak dalam pengertian sesungguhnya tetapi terdapat sejumlah pekerjaan
yangharus dilakukan oleh peternak termasuk pertanian tanaman pangan, dsb. Hal ini tentunya semakin
membatasi kapasitas peternak dalam memanen HMTnya.
Fluktuasi curah hujan juga membatasi bahkan kapasitas ternak dalam memanen hijuan pada
situasi gembala. Hijauan yang tumbuh di padang penggembalaan alam pada umumnya proporsi yang
bisa dipanen pada umumnya rendah. Hasil penelitian di Australia menunjukkan pada penggembalaan
sistem ekstensif yang modern sekalipun, hanya sekitar 30% dari biomassa hijauan yang diproduksi
pada padang penggembalaan (pasture) mampu dikonsumsi oleh ternak setiap tahunnya. Ini berarti
hampir sebagian besar HMT yang diproduksi hilang sia-sia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih adanya berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi
oleh peternak di berbagai daerah dengan lahan kering luas merupakan fakta tak terbantahkan.
Beberapa kendala tersebut yang merupakan kendala yang tidak dapat dihindarkan dan telah
menyebabkan lambatnya perkembangan populasi ternak sapi di beberapa daerah lahan kering seperti
di NTT terlepas dari berbagai upaya dan program yang telah dijalankan oleh pemerintah dan stake
holder lainnya. Perkembangan populasi yang lambat disebabkan oleh rendahnya produktivitas ternak
sapi di daerah-daerah tersebut sementara itu laju pengeluaran terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hasil penelitian Jelantik (2001) menunjukkan bahwa produktivitas (turn over rate) ternak sapi di NTT
hanya 9,5%, artinya dari 10 ekor ternak yang dipelihara hanya 1 ekor yang bisa dijual atau dipotong
setiap tahunnya. Jika rataan jumlah pemilikan ternak di Pulau Timor berkisar antara 3 sampai 4 ekor
(3,2 ekor) per rumah tangga peternak, maka seorang peternak hanya mampu menjual 1 ekor ternak
setiap 3 tahun sekali. Dengan produktivitas ternak serendah itu, dapat dibayangkan bagaimana
Rendahnya produktivitas ternak sapi di lahan kering merupakan akumulasi dari belum
optimalnya angka kelahiran, tingginya angka kematian dan rendahnya laju pertumbuhan. Angka
kelahiran sapi Bali di pulau Timor pada dekade belakangan ini hanya sekitar 65%. Angka kelahiran
tersebut jauh lebih rendah dibandingkan potensi angka kelahiran sapi Bali yang dicatat pada dekade
70’an yang mencapai 85% (Banks, 1986) sampai 87% (Anon., 1971) atau bahkan antara 90 sampai
100% (Kirby, 1979). Banyak spekulasi yang dapat dialamatkan pada penurunan angka kelahiran
tersebut. Beberapa diantaranya adalah penurunan jumlah populasi induk (cattle holding size),
kekurangan pejantan, laju pemotongan betina produktif dan akumulasi sapi betina afkir di dalam
peopulasli yang saat ini mencapai 37%, dan penyakit brucellosis (Mullik dan Jelantik, 2010). Di
samping itu, intensitas defesiensi nutrisi selama musim kemarau yang semakin intensif juga
merupakan faktor penting yang menyebabkan penurunan angka kelahiran sapi bali. Stress nutrisi yang
semakin meningkat mengingat musim kawin terjadi selama akhir musim kemarau. Kondisi tubuh yang
rendah (skor 1-2) dapat menyebabkan kegagalan ternak menjadi berahi (Toelihere dkk., 1990) atau
rendahnya volume dan kualitas produksi sperma (Burhanuddin dkk., 1991). Adalah merupakan
tantangan tersendiri dari para peneliti bahwa sebagian besar hal tersebut masih bersifat spekualitf dan
belum ada penelitian yang secara komprehensif mengukur besarnya kontribusi faktor-faktor tersebut
terhadap penurunan angka kelahiran ternak sapi.
Tingginya tingkat mortalitas terutama pada pedet telah terungkap dari beberapa studi yang telah
dilakukan seperti dirangkum pada tabel 1. Nampak jelas bahwa kematian pedet merupakan faktor
kunci yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak sapi Bali di NTT dan kerugian terbesar bagi
peternak.
Tabel 1. Tingkat mortalitas sapi di NTT pada umur yang berbeda

59
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Umur Ternak Mortalitas (%) Peneliti


Pedet (< 1 tahun) 25 – 30 Wirdahayati (1989)
20 – 47 Bamualim dkk. (1990)
47 Bamualim (1992)
53,3 Fattah (1998)
35,1 (24,1 - 51,2) Jelantik (2001b)
Sapihan (1 - 2 tahun) 4–8 Wirdahayati (1994)
7 – 21 Jelantik (2001b)

Dewasa <5 Wirdahayati (1994)


5–8 Jelantik (2001b)

Berbagai pengkajian dan penelitian yang telah dilakuan mendapatkan beberapa faktor yang
menyebabkan tingginya angka kematian ternak sapi terutama pedet di NTT. Faktor-faktor seperti
lemahnya hubungan induk-anak (Kirby, 1979), kekurangan susu (Wirdahayati dan Bamualim, 1990;
Jelantik, 2001a; Jealntik, 2001b), predasi (Jelantik, dkk., 2002) dan peningkatan kebutuhan nutrisi
selama ikut menggembala dan kekurangan pakan hijauan selama akhir musim kemarau (Jelantik dkk.,
2003, 2004) merupakan faktor yang telah diidentifikasi sebagai penyebab kematian pedet.
Sapi bali juga dikenal dengan potensi pertumbuhan yang rendah (Toelihere dkk., 1991).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan telah mendapatkan hasil yang berbeda-beda tentang potensi
pertumbuhan bangsa sapi ini. Terdapat beberapa laporan penelitian yang mendapatkan bahwa
pertumbuhan sapi Bali dapat dipacu hingga mendekati 1 kg/hari (Lay dkk., 1997; Malelak, dkk., 1998)
atau lebih (Manggol, 2008), namun demikian pencapaian berat badan pada kondisi pakan memadai di
lapangan berkisar antara 0,3-0,4 kg/hari. Beberapa karakteristik sapi Bali seperti laju metabolisme
yang lambat, selektivitas pakan yang tinggi dan laju urea recycling yang tinggi (Jelantik, 2001)
menyebabkan bangsa sapi ini mampu menampilkan performance memadai pada kondisi pakan rendah
sampai sedang namun kurang responsif terhadap pemberian pakan berkualitas tinggi.

II. KEMAJUAN PENGEMBANGAN IPTEK PADA LAHAN KERING


Pengembangan ipteks di lahan kering dibutuhkan untuk tiga aspek yaitu peningkatan
produktivitas ternak sapi di lahan kering, peningkatan kapasitas peternak dan peningkatan farmer share
oleh peternak kecil. Keberhasilan dalam ketiga aspek akan meningkatkan kesejahteraan peternak di
daerah lahan kering dan meningkatkan minat dan motivasi beternak. Namun demikian, dalam tulisan
ini hanya akan dibahas kemajuan riset dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi melalui
peningkatan angka kelahiran, penurunan angka kematian dan peningkatan laju pertumbuhan ternak
sapi khususnya sapi bali di lahan kering.
Peningkatan Angka Kelahiran
Diluar begitu banyaknya kegiatan penelitian yang dilakukan dalam mengkarakterisasi kapasitas
reproduksi sapi Bali, relatif tidak banyak penelitian yang telah dilakukan dalam upaya melahirkan
inovasi dalam peningkatan angka kelahiran sapi di daerah lahan kering. Upaya peningkatan angka
kelahiran tersebut mencakup pemberian pakan suplemen sebelum dan sesudah partus, dan intervensi
managemen reproduksi dan pemeliharaan.
Hampir sebagian riset yang dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan angka kelahiran sapi
bali dan sapi lokal lainnya terkait dengan penyediaan nutrisi yang memadai untuk menstimulasi
perkembangan ovarium pasca melahirkan dan keberhasilan fertilisasi serta kebuntingan. Hal ini
didasarkan pada asumsi adanya hubungan yang erat antara status nutrisi dan aktivitas ovarium dan
angka kelahiran (Winugroho, 2002). Hal ini dibuktikan oleh Wirdahayati et al. (1995) yang
mendapatkan hubungan yang erat antara bobot badan dan skor kondisi tubuh dengan angka
kebuntingan sapi bali dari 85% pada skor kondisi tubuh induk (SKI) tinggi menjadi 20% pada SKI
rendah. Berdasarkan hubungan tersebut beberapa skenario pemberian pakan tambahan baik selama
periode pre-partum maupun post-partum telah menjadi fokus kajian selama bertahun-tahun dan telah
berhasil meningkatkan angka kelahiran ternak sapi di lahan kering. Sebagai contoh, beberapa
penelitian yang telah dilakukan di NTT termasuk suplementasi pada masa akhir kebuntingan (pre-

60
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

partum) dan selama menyusui (post partum) (Belli, 2002; Jelantik dkk., 1998; Jelantik dkk., 2002;
Jelantik, 2001). Wirdahayati et al. (1998) melaporkan perpendekan konsepsi setelah partus dari 201
hari menjadi 155 hari dengan pemberian pakan suplemen post-partum. Hasil yang sama juga
dilaporkan Ma’sum et al. (1998) bahwa 89% induk PO berahi pada 90 hari pertama dibandingkan
dengan 29% pada ternak kontrol. Pada penelitian yang sama produksi susu juga naik dari 2,5 kg
menjadi 3,3 kg/hari pada ternak yang mendapatkan suplemen.
Hasil penelitian yang lebih berhasil dilaporkan pada pemberian pakan suplemen selama pre-
partum dilanjutkan dengan post-partum. Putu et al. (1999) melaporkan bahwa pemberian pakan
tambahan yang mengandung 17% protein dan 72% TDN dari 2 bulan sebelum partus sampai 2 bulan
setelah partus meningkatkan angka kelahiran sapi bali dari 56% ke 69%. Dan mortalitas pedet turun
dari 13% menjadi 6%. Hal yang sama juga dilaporkan dengan pemberian probiotik (Bioplus) yang
dapat meningkatkan angka kebuntingan pada sapi SO di Pulau Sumba dati 25 menjadi 90%
(Winugroho et al., 1996). Walaupun upaya suplementasi tersebut mampu meningkatkan angka
kelahiran, namun dibutuhkan kajian ekonomi yang mendalam untuk menjustifikasi kelayakan upaya
tersebut dalam meningkatkan angka kelahiran.
Selain pemberian pakan tambahan, intervensi managemen juga telah menjadi fokus penelitian
dalam rangka peningkatan angka kelahiran dan produktivitas ternak sapi di lahan kering. Salah satu di
antaranya yang dapat dicatat adalah penerapan controlled mating pada ternak sapi dengan pola
kandang kelompok. Dahlannuddin et al. (2008) melaporkan bahwa model ”Kelebuh” model
perkawinan terkontrol pada sistem kandang kelompok dilaporkan mampu meningkatkan angka
kelahiran sapi hingga 80%, memperpendek periode beranak sampai konsepsi menjadi hanya 70 hari,
meningkatkan angka sapihan menjadi 83% dan menekan angka kematian menjadi 2-4% (Panjaitan et
al., 2008). Salah satu kunci keberhasilan dari model tersebut adalah penyapihan dini (early weaning)
yang sebelumnya sukses diterapkan di bagian utara Australia (Holroid and Fordyce, 2001).
Managemen pengafkiran (culling management) mungkin juga dapat dijadikan salah satu fokus
kajian dalam meningkatkan angka kelahiran sapi di dalah kering. Tingginya proporsi betina afkir yang
berumur lebih dari 8 tahun yaitu sekitar 32% dari populasi betina dewasa pada peternakan rakyat dapat
menjadi salah satu sebab menurunnya angka kelahiran sapi bali di NTT (Jelantik, 2001; Jelantik dan
Kune, 2011). Hal ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan reproduksi ternak sapi seiring dengan
penuaan. Jelantik (2001) mendapatkan bahwa angka kebuntingan sapi Bali menurun menjadi di bawah
50% pada ternak yang berumur lebih dari 10 tahun. Hal ini menunjukkan akan perlunya melakukan
pengafkiran selektif terhadap induk-induk tua dan jika hal ini dilakukan maka angka kelhiran dapat
ditingkatkan dan dengan demikian populasi juga dapat ditingkatkan. Akhirnya perubahan pola
perkawinan-kelahiran mungkin dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan angka kelahiran sapi Bali.
Toelihere dkk. (1990) melaporkan bahwa kesuburan tertinggi terjadi selama bulan maret dibandingkan
dengan bulan september dan November. Keberhasilan sistem Kelebuh juga karena adanya
pengontrolan waktu perkawinan yang disesuaikan dengan musim ketersediaan pakan.
Penurunan Angka Kematian
Berbagai pengkajian dan penelitian yang telah dilakuan mendapatkan beberapa faktor yang
menyebabkan tingginya angka kematian ternak sapi terutama pedet di NTT. Faktor-faktor seperti
lemahnya hubungan induk-anak (Kirby, 1979), kekurangan susu (Wirdahayati dan Bamualim, 1990;
Jelantik, 2001), predasi dan peningkatan kebutuhan nutrisi selama ikut menggembala dan kekurangan
pakan hijauan selama akhir musim kemarau (Jelantik dkk., 2004) merupakan faktor yang telah
diidentifikasi sebagai penyebab kematian pedet. Pengetahuan kita tentang beragam penyebab
tingginya tingkat kematian pedet pada sistem peternakan gembala esktensif tradisional di NTT akan
semakin mendekatkan pada upaya penanggulangannya. Jika rendahnya kuantitas dan terutama kualitas
pakan adalah pangkal penyebab angka kematian pedet yang tinggi, dua alternatif pemecahan dapat
dikedepankan yaitu modifikasi musim kelahiran dan pemberian pakan tambahan (suplemen).
Tingginya kesulitas teknis penelitian yang memodifikasi musim kelahiran yang kini jatuh pada
periode kekurangan pakan selama musim kemarau ke periode kelimpahan hijauan pakan berkualitas
(pertengahan sampai akhir musim hujan) menyebabkan penelitian pada aspek ini jarang dilakukan
namun mempunyai prospek yang baik dalam menekan angka kematian pedet. Hasil penelitian yang
dilaksanakan selama musim hujan dilaporkan mempunyai performans pedet yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil yagn dicatat pada penelitian yang dilaksanakan selama musim kemarau.

61
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Sebagai contoh, Belli (2002) melaporkan pertambahan berat badan anak sapi Bali yang induknya
diberikan suplemen selama musim hujan mencapai 311 g per hari. Pertumbuhan pedet yang impresif
juga dilaporkan oleh Jelantik dkk. (2002) yang mencapai 379 g per hari. Hasil-hasil penelitian tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan selama musim kemarau
yang mencatat pertambahan berat badan pedet berkisar 141 – 243 g per hari (Fattah, 1998; Jelantik et
al, 2001b; Jelantik dkk., 2003; 2004; 2005). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
modifikasi musim kelahiran mungkin akan dapat menekan angka kematian pedet. Hal ini dibuktikan
oleh Panjaitan et al. (2008) pada sistem “Kelebuh” dimana kelahiran pedet dimodifikasi sesuai dengan
ketersediaan pakan mampu menekan angka kematian pedet menjadi hanya 2-4%.
Pendekatan yang lebih banyak menjadi fokus kajian untuk menekan angka kematian pedet
adalah suplementasi untuk menutupi defesiensi nutrien selama musim kemarau baik suplementasi
pada induk untuk meningkatkan produksi susu maupun suplementasi langsung pada pedet. Kedua
strategi suplementasi tersebut dilaporkan cukup berhasil menekan angka kematian pedet. Sebagai
contoh, Jelantik dkk. (1998) mencoba memberikan suplementasi jerami jagung yang diammoniasi dan
konsentrat kepada induk sapi Bali yang sedang menyusui. Sementara itu, Mesakh (2000), Wirdahayati
(2000), Siregar (2000) dan Jelantik (2001) juga telah berupaya memberikan beragam pakan suplemen
untuk meningkatkan produksi susu sapi Bali. Hasil-hasil yang diperoleh pada umumnya
menyimpulkan bahwa peningkatan produksi susu setelah suplementasi relatif kecil serta tidak sesuai
dengan banyaknya suplemen yang diberikan. Yang lebih penting lagi bahwa hampir semua penelitian
gagal meningkatkan laju pertumbuhan pedet. Sebagai contoh, Jelantik dkk. (1998) hanya mampu
meningkatkan produksi susu sapi Bali sebanyak 0,2 kg per hari dari 1,2 menjadi 1,4 kg setelah
disuplementasi dengan 1,5 kg konsentrat plus 1 kg jerami jagung yang diammoniasi atau setara
dengan 2 feed unit untuk produksi 4 kg susu pada sapi perah di Denmark. Mesakh (2000) dengan
memberikan 2 kg multinutrien block per hari pada induk sapi Bali yang digembalakan hanya
meningkatkan produksi susu dari 1,37 kg/hari menjadi 1,81 kg/hari. Jelantik (2001) dengan
memberikan pakan tambahan berupa 2 kg dedak padi dan 1 kg daun lamtoro kering bahkan mencatat
peningkatan produksi susu hanya 0,1 kg dari 1,45 kg menjadi 1,55 kg/hari.
Walaupun produksi susu dan tampilan pedet tidak secara signifikan meningkat setelah
pemberian suplemen pada induk, hasil-hasil penelitian yang pernah dilaporkan menunjukkan adanya
peningkatan performans induk. Suplementasi pada 3 bulan sebelum partus menekan penurunan
kondisi tubuh setelah partus (Wirdahayati, 1994; Jelantik dkk., 1998; Jelantik et al., 2001b) atau
bahkan meningkatkan kondisi tubuh setelah partus (Belli, 2002), mempercepat kebuntingan kembali
dan angka konsepsi yang lebih tinggi (Wirdahayati dkk., 2000; Belli, 2002). Dengan demikian strategi
pemberian suplemen pada induk baik sebelum dan setelah partus merupakan salah satu alternatif
penting dalam menekan angka kematian pedet. Namun demikian strategi ini harus dievaluasi lebih
lanjut terutama dari segi keuntungan ekonomi netto yang diindikasikan sebagai hasil produksi anak
per tahunnya.
Dalam rangka menekan angka kematian dan meningkatkan laju petumbuhan anak sapi Bali di
pulau Timor, beberapa upaya telah dilakukan dengan memberikan pakan suplemen langsung pada
pedet. Strategi ini diharapkan menekan biaya yang dikeluarkan untuk suplementasi mengingat
kuantitas pakan yang dibutuhkan jauh lebih sedikit. Untuk tujuan tersebut beberapa penelitian telah
dilakukan antara lain oleh Wirdahayati (2000) dan belakangan secara intensif diteliti oleh penulis
(Jelantik dkk.., 2001b; Jelantik dkk., 2002; 2003; 2004; 2005). Beberapa jenis suplemen yang telah
dicobakan antara lain pemberian tambahan hijauan berupa hay dan lamtoro (Jelantik dkk., 2001b;
Jelantik, dkk., 2002; 2003), pakan cair berupa susu kedelai (Wirdahayati (2000) dan pakan cair
penambah susu (PCPS) yang terbuat dari berbagai hasil pertanian tumpang sari jagung (Jelantik dkk.,
2004). Disamping itu pakan padat pemula (P3) juga telah dicobakan (Jelantik dkk., 2005). Hasil-hasil
penelitian tersebut pada umumnya menunjukkan bahwa pemberian suplemen berupa pakan cair
penambah susu dan pakan padat pemula merupakan strategi yang sangat efisien dalam rangka
menekan angka kematian pedet. Hasil dari hampir semua penelitian yang telah dilaksanakan mencatat
absennya kematian pedet (mortalitas pedet 0%) pada kelompok pedet yang mendapatkan suplemen
(Jelantik dkk. 2005). Hal ini secara meyakinkan menunjukkan besarnya peluang meningkatkan
populasi dan produktivitas sapi Bali di pulau Timor dengan aplikasi pakan suplemen yang diberikan
langsung pada pedet. Pada tahapan selanjutnya, kemanfaatan teknologi pasupet dalam menekan
mortalitas dan meningkatkan laju pertumbuhan pedet dikaji pada skala yang lebih luas dengan
62
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

melibatkan 948 ekor pedet milik peternak di tiga kabupaten di Pulau Timor yaitu Kabupaten Kupang,
TTS dan TTU selama 4 tahun berturut-turut (2007-2010) (Copland et al., 2010). Penelitian yang
terlaksana atas kerjasama Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Undana,
dan The University of Queensland, Australia, menghasilkan beberapa kesimpulan yang meyakinkan
bahwa pemberian pasupet yang dibarengi dengan pengandangan pedet selama induknya menggembala
di padang penggembalaan merupakan strategi yang efektif menekan angka kematian pedet dari 17,8-
35% menjadi di bawah 3% (Jelantik et al., 2008; Copland et al., 2010). Di samping itu, aplikasi
pasupet juga melipatgandakan pertambahan berat badan pedet selama periode menyusui (Jelantik et
al., 2010), ukuran linier tubuh (Leo-Penu et al., 2008) dan berat sapih dan berat bakalan (Copland et
al., 2010). Hasil kajian selanjutnya juga mencatat bahwa keunggulan pertambahan berat badan pedet
tersebut tetap dipertahankan bahkan setelah ternak tersebut tidak lagi mengkonsumsi pakan suplemen
(Mullik dan jekantik., 2009) dan selama periode penggemukan (Jelantik et al., 2011).
Terlepas dari keberhasilan teknologi suplementasi dalam meningkatkan produksi pedet, hingga
saat ini kontribusi hasil-hasil penelitian tersebut belum mampu secara signifikan mendorong
kemampuan daerah ini untuk menghasilkan bibit sapi nasional sebagai dampak rendahnya adopsi
teknologi pasupet oleh masyarakat peternak kecil. Faktor-faktor seperti keterbatasan ketersediaan dan
harga pasupet ditingkat peternak merupakan faktor utama yang menyebabkan rendahnya adopsi
peternak terhadap teknologi pasupet. Penyusun pasupet sebagian masih didatangkan dari daerah lain
atau merupakan produk impor (seperti tepung ikan). Di samping itu, teknik aplikasi yang
membutuhkan pemisahan pedet juga disinyalir sebagai salah satu penyebab rendahnya laju adopsi
teknologi ini oleh peternak walaupun persepsi peternak sebenarnya sangat baik (Jermias et al., 2010)
dan secara ekonomis sangat feasible (B/C ratio 6,47) (Sogen et al., 2010; Copland et al., 2010).
Dengan demikian dibutuhkan upaya untuk meningkatkan laju adopsi teknologi pasupet oleh peternak
di NTT.
Peningkatan Laju Pertumbuhan
Sapi Bali dikenal dengan potensi pertumbuhan yang rendah (Toelihere dkk., 1991). Berbagai
penelitian yang telah dilakukan telah mendapatkan hasil yang berbeda-beda tentang potensi
pertumbuhan bangsa sapi ini. Terdapat beberapa laporan penelitian yang mendapatkan bahwa
pertumbuhan sapi Bali dapat dipacu hingga mendekati 1 kg/hari (Lay dkk., 1997; Malelak, dkk.,
1998), namun demikian pencapaian berat badan pada kondisi pakan memadai di lapangan berkisar
antara 0,3-0,4 kg/hari sehingga mencapai bobot jual yang rendah.
Peningkatan laju pertumbuhan sebenarnya harus dimulai dari upaya meningkatkan bobot lahir,
kemudian memacu pertumbuhan selama tahap awal pertumbuhan ternak (menyusu sampai sapihan),
beberapa waktu setelah sapih dan meningkatkan pertambahan berat badan (total tahunan) yang dapat
dicapai dengan menghindarkan penurunan berat badan selama musim kemarau dan memaksimalkan
pertambahan berat badan selama musim hujan.
Kemajuan riset dalam meningkatkan pertumbuhan pedet pra-sapih lebih banyak pada upaya
suplementasi yang dilakukan pada induk. Di NTT, Bamualim et al. (2000) melporkan peningkatan
PBB pedet sapi bali dari 0,15 kg/hari menjadi 0,2 kg/ekor/hari dan dari 0,32 menjadi 0,47 kg/hari
sebagai dampak peningkatan produksi susu dari 2,2 kg menjadi 2,8 kg/hari pada sapi bali dan 3,2 kg
menjadi 4,3 kg pada sapi ongole.
Namun beberapa penelitian mencoba memberikan pakan suplemen langsung pada pedet
melalui teknik creep feeding atau pemisahan dan pengandangan pedet selama induknya menggembala.
Lufty dan Affandy (2013) melaporkan peningkatan pertambahan berat badan pedet sapi silangan
ongole dan limousin dari 0,64 kg menjadi 0,87 kg setelah diberikan pakan suplemen berupa dedak
padi 0,5-1% BB. Di NTT, Wirdahayati et al. (2000) melaporkan bahwa pemberian pakan khusus pada
pedet dapat meningkatkan pertambahan berat badan dari 0,1 menjadi 0,3 kg/ekor/hari. Sama halnya,
Copland et al. (2011) melalui studi yang meluas di 3 kabupaten dengan melibatkan lebih dari seribu
pedet sapi bali mendapatkan 0,1 kg menjadi 0,37 kg pada pedet yang mendapatkan suplemen pakan
pedet (pasupet) berbasis pakan konsentrat yang dikembangkan oleh Jelantik dkk. (2004) selama
periode menyusui. Untuk meningkatkan adoptabilitas oleh peternak terhadap teknologi pasupet, telah
juga dikembangkan pasupet berbasis hijauan. Beberapa spesies leguminosa telah dikaji potensinya
sebagai pengganti pasupet dalam bentuk konsentrat. Jelantik et al. (2015a) melaporkan bahwa siratro
(Macroptilium atropurpureus ) mampu menggantikan sekitar 60% konsentrat. Hasil penelitian

63
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

tersebut menunjukkan bahwa angka kematian dan pertumbuhan pedet yang diperoleh setara dengan
kelompok pedet yang diberikan pasupet konsentrat. Pertambahan berat badan yang diperloleh pada
pedet yang mengkonsumsi pakan suplemen berbasis siratro mencapai 236 gram/hari, lebih tinggi
dibandingkan dengan pedet yang mendapatkan suplemen lamtoro, i.e. 126 gram/hari. Pada tahapan
selanjutnya Jelantik et al. (2015b) mengevaluasi 4 spesies leguminosa untuk digunakan sebagai
pengganti konsentrat sebagai pasupet. Di antara empat legum yang dievaluasi, i.e. C. pubescens, C.
pascuorum, C. ternatea, dan V. unguicullata, potensi produksi hijauan tertinggi ditunjukkan oleh C.
ternatea. Ketika dipanen pada fase awal pembungaan (sekitar 60-75 hari setelah tanam), sebanyak
6,05 ton BK dihasilkan dari 1 hektar tanaman C. ternatea.
Kemajuan riset juga dicatat dalam penentuan kebutuhan sapi sapihan antara 6-12 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pedet umur 6 bulan membutuhkan ransum dengan kandungan protein
16%. Kapasitas pertumbuhan tertinggi mencapai 0,6 kg/h dicapai pada pedet yang diberi pakan
lamtoro ditambah jagung giling atau dedak padi pada pada level 10 gram BK per kg BB. Sementara itu
pedet yang mengkonsumsi rumput alam bertumbuh antara 0,05-0,15 kg/h dan yang diberi 100%
lamtoro mencapai 0,4 kg/h. Damry et al. (2008) melaporkan peningkatan PBB sapi bali yang diberikan
pakan suplemen berupa campuran dedak padi dan bungkil kelapa (50:50) meningkat dari 0,286
menjadi 0,424 kg/h.
Penggemukan sapi di daerah lahan kering pada umumnya berbasis hijauan khususnya
leguminosa pohon terutama lamtoro. Pada sistem Amarasi di NTT, pemberian lamtoro dapat mencapai
100%. Lamtoro (Leuchaena leucocephala) merupakan tanaman pakan yang telah menjadi fokus riset
selama bertahun-tahun karena potensinya yang luar biasa dalam memecahkan permasalahan pakan di
daerah lahan kering. Dengan akar yang dalam, tanaman ini mampu menghasilkan hijauan berkualitas
tinggi di derah dengan curah hujan rendah. Lamtoro dapat bertahan lama bahkan selamanya sebagai
sumber pakan ternak. Kalaupun digembalai, lamtoro dapat bertahan lebih dari 30 tahun (Jones and
Bunch, 2000) jauh lebih lama dari leguminosa lainnya seperti lablab (Lablab purpureus), alfalfa
(Medicago sativa), kacang burgundy (Macroptiliumbracteatum) dan kacang kupu (Clitoriaternatea)
yang harus ditanam ulang setiap 1-10 tahun tergantung pada spesies, tingkat kekeringan dan
tatakelola gembala (Whitbread et al., 2005; Collins dan Grundy, 2005; Cullen dan Hill, 2006). Sejak
tahun 70’an peternak di daerah Amarasi, Kupang NTT telah menggunakan lamtoro sebagai pakan
utama untuk penggemukan sapi.
Berbagai penelitian yang dilakukan menggunakan lamtoro sebagai suplemen pada umumnya
mampu melipatgandakan laju pertumbuhan. Dahlanuddin et al. (2014) melaporkan peningkatan
pertambahan bobot badan sapi sapihan dari 0,03 kg/hari pada sapi yang mengkonsumsi rumput
menjadi 0,47 kg/h ketika diberi suplemen lamtoro. Peningkatan yang sama dari 0,1 kg/h menjadi 0,42
kg/h juga dicatat oleh Quigley et al. (2009) pada sapi yang digemukkan.
Walaupun kualitas hijauan termasuk tinggi, penggunaan lamtoro sebagai pakan basal
menghasilkan pertambahan berat badan yang tidak optimal. Sapi yang diberikan lamtoro pertambahan
berat badan hanya mencapai 0,25 kg/ekor/hari (Nullik et al., 2014). Beberapa penyebab antara lain
adanya anti-nutrisi mimosine (Halliday et al., 2014), dan imbangan protein/energi yang tinggi
(Jelantik dkk., 2009). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan lamtoro
sebagai pakan basal antara lain dengan menambahkan sumber serat, sumber karbohidrat mudah
dicerna, dll. Nullik et al. (2014) melaporkan dengan penambahan ubikayu dalam ransum sapi yang
hanya diberikan lamtoro mampu meningkatkan PBB dari 0,25 menjadi 0,47 kg/ekor/hari pada ternak
sapi sapihan. Pada sapi betina afkir, Jelantik dkk. (Jelantik 2009, unpublish data) mampu
meningkatkan PBB dari 0,5 kg/h menjadi 0,7 kg/h ketika imbangan protein di dalam rumen dikoreksi
dengan penambahan jagung dan labu.

SIMPULAN DAN PROSPEKTIF KE DEPAN


Lahan kering meliputi hampir sebagian besar wilayah Indonesia dan berpotensi untuk
dikembangkan menjadi sentra produksi ternak ketika peningkatan produksi ternak di daerah lahan
basah tidak lagi bisa dipacu secara signifikan. Dengan berbagai kendala fisik, lingkungan,
infrastruktur dan sosial budaya peternak, saat ini propulasi dan produktivitas ternak sapi masih rendah
terutama disebabkan oleh belum optimalnya angka kelahiran, tingginya angak kematian dan
rendahnya laju pertumbuhan. Berbagai kemajuan riset telah dicapai dalam upaya meningkatkan

64
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

produktivitas ternak, namun hanya sedikit yang melahirkan inovasi yang telah diadopsi oleh peternak
dan atau menjadi program pemerintah yang diterapkan secara meluas. Ke depan dibutuhkan upaya
sistematis dalam meningkatkan laju adopsi teknologi yang dihasilkan berbasis pada evaluasi dampak
ekonomis dan sosial budaya serta peningkatan kapasitas dan efesiensi beternak sehingga dapat
memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak di lahan kering.

DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A.M., P.Th. Fernandez, C. Liem, and R.B. Wirdahayati. 2000. Effect of feeding regimes
on the erformance of bali and ongole cows in dry tropic region in Nusa Tenggara, Indonesia. p.
196-198. Proceedings of ASAP Seminar, Sydney, Australia. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13
(Supplement): Juli 2000. B: 207-209.
Carberry, P. S., S.E. Bruce, J. J. Walcot and B. A. Keating. 2010 Innovation and productivity in
dryland agriculture: a return-risk analysis for Australia. Journal of Agricultural Science, p.1-13.
doi:10.1017/S0021859610000973
Dahlanuddin , Yanuarianto O, Poppi D, McLennan S, Quigley S. 2014. Liveweight gain and feed
intake of weaned Bali cattle fed grass and tree legumes in West Nusa Tenggara, Indonesia.
Animal Production Science. 54: 915–921.
Damry, Marsetyo, S. P. Quigley and D. P. Poppi. 2008. Strategies to enhance growth of weaned bali
(Bos sondaicus) calves of smallholders in Donggala district, South Sulawesi. Anim. Prod.
Pp.135-139.
Holroyd, R.G., and Fordyce, G ., 2001 . Cost effective strategies for improved fertility in extensive
and semi-extensive management conditions in northern Australia . In: 4`h International
Symposiumon Animal Reproduction, Huerta Grande, Cordoba, Argentina . 22-24 June 2001 .
pp 39-60 .
Jelantik, I G. N. 2001. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) Production through Protein
Supplementation. PhD Thesis. The Royal Vet. and Agric. Univ., Copenhage, Denmark.
Jelantik, IGN., P. Kune, TT Nikolaus, dan M. Mole. 2004. Strategi Pemeliharaan dan Suplementasi
selama Musim Kemarau dalam Upaya Menekan Angka Kematian dan Meningkatkan Laju
Pertumbuhan Pedet Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian Hibah Bersaing
,Tahun 2. DP2M, DIKTI.
Jelantik, I G N. 2006. Angka kematian ternak sapi Bali di pulau Timor. Buletin Nutrisi, Vol 9, No.2
(Juli 2006), hlm 109-113.
Jelantik, IGN. 2006. Tinjauan Tentang Strategi Menekan Angka Kematian dan Meningkatkan Laju
Pertumbuhan Pedet dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali di NTT. Prosiding
Seminar Nasional. Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Tanaman Pangan. Perkebunan
dan Peternakan dalam Sistem Usahatani Lahan Kering. Hal: 354-362.
Jelantik, I G. N., R. Copland and M. L. Mullik. 2008. Mortality rate of Bali cattle (Bos sondaicus)
calves in West Timor, Indonesia. Animal Production in Australia. Vol 27, p. 48.
Jelantik, I. G. N., M. L. Mullik, C. Leo-Penu, J. Jeremias and R. Copland. 2008. Improving calf
survival and performance by supplementation in Bali cattle. Australian Journal of Experimental
Agriculture. Volume 48 Issue 6-7 pp. 950-953.
Jelantik, IGN., HLL. Belli, and W. Holtz. 2008. Effect of protein supplementation on rumen
environment and in sacco rumen degradation in Bali cows. Tropentag p. 420.
Jelantik, IGN., dan Y.H. Manggol. 2009. Penerapan Teknologi Suplementasi untuk Menekan Angka
Kematian Pedet dan Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali di Desa Oefafi Kabupaten Kupang.
Laporan Pengabdian Masyarakat, DP2M Dikti.
Jelantik, I G. N., M. L. Mullik, R. Copland and C. Leo-Penu. 2010. Factors affecting the responses of
Bali cattle calves to supplementation prior to weaning. Animal Production Science. 50:493-496.
Lufty, M., dan L. Affandi. 2013. Pertabahan bobot badan harian dan skor kondisi tubuh pedet silangan
prasapih dengan teknologi creep feeding di peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal. 122-127
Ma’sum, K., L. Affandhy, M. Winugroho, and E. Teleni. 1998. The effect of surge feeding on
reproductive perfomance of Ongole crossbred (PO) cows. Bull. Anim. Sci. Suppl. Ed: 266-276.

65
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Mullik, ML, dan IGN Jelantik. 2009. Strategi peningkatan produktivitas sapi Bali pada sistem
pemeliharaan ekstensif di daerah lajan kering: pengalaman Nusa Tenggara Timur. Proseding
Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan dalam Sistem Peternakan Rakyat.
Mataram, 28 Oktober 2009.
Panjaitan,T .S., Fordyce, G ., Quigley, S.P., Winter, W.H. and Poppi, D.P., 2008. An integrated village
management system for Bali cattle in the eastern islands of Indonesia: The 'Kelebuh' model.
Asian-Australasian Association of Animal Production .
Putu, I. G., P. Situmorang, A. Lubis, T.D.Chaniago, E. Triwulaningsih, T. Sugiarti, I. W. Mathius and
B. Sudaryanto. 1999. Pengaruh pemberian pakan konsentrat tambahan selama dua bulan
sebelum dan sesudah kelahiran terhadap performans produksi dan reproduksi sapi potong. Edisi
Khusus-Kumpulan hasil-hasil penelitian peternakan APBN 1997/98. BPT, Ciawi-Bogor.
Hlm.63-69.
Quigley SP, Poppi DP, Budisantoso E, Dahlanuddin M, McLennan S, Pamungkas D et al. Strategies to
increase growth of weaned Bali calves. Final report. Australian Centre for International
Agricultural Research. 2009; No. FR2009-24.
Sogen, J.G. A.A. Nalle, F. L. Benu, and R. S. Copland. 2010. The Economic Benefits of Improved
Calf Survival and Growth Through Supplementing Bali Cattle Calves (Bos Sondaicus) in West
Timor Villages, Indonesia. Animal Production in Australia. Vol. 28.: 13
Wardhani, N.K. 1996. Sorghum vulgare sudanense sebagai alternatif penyediaan hijauan pakan.
Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18
Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No.
4-1996: 327−332.
Winugroho, M. 2002. Strategi pemberian pakan tambahan untuk memperbaiki efesiensi reroduksi
induk sapi. Jurnal Litbang Pertanian 21(1):19-23.
Winugroho, M., Y. Wibisono, dan M. Sabrani. Pengaruh temperatur lingkungan, pemberian Bioplus
pada konsumsi, kecernaan dan tingkat kebuntingan sai Ongole. Prosiding PAIR-BATAN,
Jakarta.
Winugroho, M., A. Ratnaningsih, N. Nuraeni, S. Marijati dan Soekardi. 1999. Efisiensi ransum domba
melalui pemanfaatan probiotik lokal. Seminar Nasional Peternakan Mandiri sebagai Penggerak
Pertanian Nasional. Fapet UGM, Yogyakarta, hlm. 1-81.
Wirdahati, R.B., B. M. Cristie, A. Muthalib and K. F. Dowset. 1995. Productivity of beef cattle in
Nusa Tenggara. SHAPS Report (1990-1992). Dir. Gen. Livestock Services (Book A):170-201.
Wirdahati, R.B., P. T. Fernandez, C. Liem and A. Bamualim. 1998. Strategies to improve beef cattle
productivity in Nusa Tenggara Region, Indonesia. Bull.Anim.Sci.Ed.: 316-322.

66
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

MAKALAH PENUNJANG

TEMA 1

Pakan dan Nutrisi Makanan Ternak

67
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN KOMPLIT DENGAN RASIO JERAMI PADI


DAN KONSENTRAT YANG BERBEDA TERHADAP KONSUMSI, KONVERSI
RANSUM DAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN KAMBING KACANG BETINA
THE EFFECT OF COMPLETE FEED WITH A RATIO OF DIFFERENT RICE STRAW AND
CONCENTRATE ON CONSUMPTION, FEED CONVERSION AND BODY WEIGHT GAIN FEMALE
KACANG GOAT
Arnold E. Manu1, Yohanis Umbu L. Sobang1, Ary Pryadi1
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Jln Adisucipto Kampus Baru Penfui,
Kupang 85001. Email:Maurin_01@yahoo.co.id

ABSTRACT
This study was aimed to determining the effect of complete feed with a ratio of different rice straw and
concentrate parameters female kacang goat, has been carried out at Large Hall Training Farm Noelbaki,
Regency of Kupang, from 19th March until 28th May 2015. This experiment used 12 female kambing goat with
experimental method a Randomized Block Design. The animal into three groups to three treatments (R 1= rice
straw 80% + concentrate 20%, R2= rice straw 70% + concentrate 30%, R3= rice straw 60% + concentrate
40%) and four replications. The result showed the treatment had not significant effect on consumption (R 1=
332.91, R2= 335.85, R3=345.94), feed conversion (R1= 30.94, R2= 17.49, R3=19.16) and body weight gain (R1=
12.85, R2= 20.00, R3=18.95). It was concluded that rice straw and concentrate was not significant on variable
measured parameters.
Keywords : complete feed, consumption, feed conversion, body weight gain, goat.

PENDAHULUAN
Pakan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi produktivitas ternak. Kondisi pakan
(kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan, menyebabkan produktivitas ternak menjadi
rendah, antara lain ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah. Limbah
pertanian seperti jerami padi merupakan pakan kambing dan ternak ruminan lainnya mempunyai
beberapa kendala antara lain kandungan proteinnya yang rendah (3-4%) dan daya cernanya yang
rendah yaitu dibawah 50%. Upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memacu pertumbuhan, dapat
dilakukan dengan cara memberi pakan tambahan konsentrat. Agar jerami padi dapat dimanfaatkan
secara optimal, maka diperlukan beberapa alternatif untuk meningkatkan nilai gizinya. Salah satunya
dengan cara mengkombinasikan dengan sejumlah pakan konsentrat menjadi pakan komplit. Pakan
komplit merupakan pakan yang cukup mengandung nutrient untuk ternak dalam tingkat fisiologis
tertentu.
Bobot badan ternak senantiasa berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya. Makin
tinggi tingkat konsumsi pakannya, akan makin tinggi pula bobot badannya. Kenaikan berat badan
terjadi apabila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka kelebihan nutrien
akan diubah menjadi jaringan daging dan lemak sehingga pertambahan bobot badan tampak menjadi
lebih jelas. Berdasarkan pada rujukan di atas, maka telah dilakukan penelitian dengan judul pengaruh
pemberian pakan komplit dengan rasio jerami padi dan konsentrat yang berbeda terhadap konsumsi,
konversi ransum dan pertambahan berat badan pada kambing kacang betina.

METODE PENELITIAN
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak kambing kacang betina sebanyak
12 ekor dengan umur berkisar 8 – 10 bulan dengan rata-rata berat badan 12,2 ± 7,61 kg. Pakan yang
digunakan adalah jerami padi yang digiling dan konsentrat yang terdiri dari jagung giling, dedak padi,
tepung ikan, mineral, garam dan urea yang dihomogenkan kemudian dijadikan pakan komplit
berbentuk tepung (mash). Komposisi bahan pakan dan komposisi kimia pakan tiap perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 1.

68
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrisi ransum penelitian


Bahan Pakan Pakan Perlakuan
R1 R2 R3
Komposisi:
Jerami padi (%) 80 70 60
Jagung giling (%) 7 10,5 14
Dedak padi (%) 7 10,5 14
Tepung ikan (%) 2,4 3,6 4,8
Urea (%) 1,2 1,8 2,4
Mineral mix (%) 2 3 4
Garam (%) 0,4 0,6 0,8
Kandungan nutrisi:
Bahan kering (%) 92,18 91,14 90,84
Protein kasar (%) 9,079 11,76 14,45
Lemak kasar (%) 2,86 3,44 4,031
Serat kasar (%) 30,80 27,96 25,31
Energi (Kcal/Kg) 3648,99 3578,99 3498,99
BETN (%) 39,01 39,82 40,63
Abu (%) 18,49 16,85 15,79

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah : R1 = Jerami padi 80% +
Konsentrat 20%, R2 = Jerami padi 70% + Konsentrat 30%, R3 = Jerami padi 60% + Konsentrat 40%.
Parameter yang di amati adalah konsumsi, konversi ransum dan pertambahan berat badan. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) sesuai dengan rancangan yang digunakan.
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji jarak berganda Duncan.

HASIL DAN BAHASAN


Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Berat Badan
Rataan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan berat badan, konsumsi dan konversi ransum
kambing betina dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pertambahan Berat Badan, Konsumsi dan Konversi Ransum ternak kambing betina yang
diberikan jerami padi 80% + konsentrat 20% (R1) atau jerami padi 70% + konsentrat 30%
(R2) atau jerami padi 60% + konsentrat 40% (R3)
Parameter Perlakuan
R1 R2 R3
Pertambahan Berat Badan (gram/ekor/hari) 12,85±6,86a 20,00±3,69a 18.95±4,07a
Konsumsi (gram) 332,91±6,43a 335,85±51,05a 345,94±13,58a
Konversi Ransum 30,94±13,55a 17,49±5,54a 19.16±6,29a
Keterangan: superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)

Hasil uji statistika menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata
(P>0,05. Pada penelitian ini, pakan ternak perlakuan semakin baik dengan semakin tingginya
persentase konsentrat karena semakin naiknya persentase PK ransum. Tetapi dengan semakin baiknya
kualitas ransum tidak diikuti dengan semakin tingginya pertambahan berat badan. Jika dilihat dari
konsumsi ransum pada penelitian ini juga tidak berbeda nyata diantara perlakuan meskipun ada
kecenderungan semakin meningkat. Hasil penelitian ini memberikan respon yang berbeda dengan
hasil penelitian Putra dkk. (2009) yang menunjukkan bahwa kambing PE yang diberikan persentase
konsentrat yang meningkat memberikan pertambahan berat badan yang meningkat pula. Hal ini
mungkin disebabkan karena perbedaan kualitas pakan yang diberikan, pada penelitian Putra dkk.

69
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menggunakan hijauan yang lebih berkualitas yaitu rumput segar, daun gamal dan daun waru. Tetapi
respon ternak hasil penelitian ini tidak berbeda hasil penelitian Hartanto (2008) yang mendapatkan
bahwa kualitas ransum yang berbeda (persentase konsentrat yang berbeda), tidak memberikan
pertambahan berat badan yang berbeda pada ternak kambing kacang jantan.
Yulistiani dkk. (1999) mendapatkan hasil bahwa induk kambing memberikan respon yang
positif (pertambahan berat badan meningkat dengan meningkatnya kualitas pakan) dengan perbaikan
pakan (kualitas ditingkatkan) selama masa bunting, tetapi memberikan hasil yang tidak berbeda
selama masa laktasi. Jadi respon ternak kambing terhadap perbaikan kualitas pakan tidak selalu
meningkat dengan meningkatnya persentase konsentrat yang diberikan.
Konsumsi Bahan Kering
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
konsumsi bahan ransum ternak. Hal ini berarti bahwa setiap perlakuan memberikan pengaruh yang
sama terhadap konsumsi bahan kering. Meskipun secara statistic perlakuan berpengaruh tidak nyata
tetapi ada kecenderungan konsumsi BK meningkat dengan naiknya persentase konsentrat.
Tinggi rendahnya konsumsi BK dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti palatabilitas ransum,
kandungan energy, dan serat kasar ransum (Putra dkk., 2009). Hasil penelitian Nuraini dkk. (2014)
menunjukkan bahwa dengan penambahan pakan konsentrat sebesar 17 %, 35 % dan 52% dengan
pakan dasar rumput lapangan konsumsi BK meningkat dengan meningkatnya persentase konsentrat,
tetapi pada penelitian ini tidak terjadi. Menurut hasil penelitian Ramadhan dkk. (2013) serta Serment
dkk. (2011) penambahan persentase konsentrat tidak mempengaruhi konsumsi BK pada pakan dasar
jerami. Konsumsi BK sangat dipengaruhi oleh palatabiliats dan kualitas ransum, pada penelitian
Nuraini dkk. pakan dasar rumput lapangan yang lebih palatable dan kualitas lebih baik dibandingkan
dengan penelitian Ramadhan dkk. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perlakuan perbaikan
pakan (ratio konsentrat hijauan) tidak mempengaruhi konsumsi BK. Menurut Purbowati dkk. (2003)
pemberian konsentrat yang terlalu banyak akan menyebabkan konsentrasi energy ransum meningkat,
sehingga dapat menurunkan tingkat konsumsi seperti hasil penelitian yang dilaporkannya bahwa
peningkatan aras konsentrat justru menurunkan konsumsi BK pakan. Hasil yang sama juga dilaporkan
oleh Sarment dkk. (2011) bahwa konsumsi BK tidak dipengaruhi oleh peningkatan persentase
konsentrat.
Konversi Ransum
Hasil uji statistika menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
konversi ransum. Rata-rata hasil penelitian ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil
penelitian Krisnan (2013) yang mendapatkan kisaran konversi pakan 7,44 – 8,98 pada persilangan
kambing local dengan kambing Boer, maupun penelitian Hartanto (2008) yang mendapatkan konversi
ransum kambing kacang jantan sebesar 14,83 – 19,97. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk
ternak kambing Bligon betina memerlukan jumlah pakan yang cukup besar untuk menaikan satu
satuan berat badannya bila diberikan ransum jerami padi yang dicampur dengan konsentrat dan
dijadikan pakan komplit. Hasil analisis yang berpengaruh tidak nyata menandakan ternak yang
mendapat ransum perlakuan mempunyai kemampuan yang sama untuk memproses pakan perlakuan
menjadi daging.
Peningkatan persentase konsentrat dalam ransum akan menyebabkan semakin baiknya kualitas
ransum, terutama semakin naiknya nutrient yang terkandung terutama protein kasar. Tetapi
peningkatan ini tidak diikuti oleh semakin efisiennya penggunaan ransum untuk pembentukan produk
ternak dalam hal ini pertambahan berat badan. Hal ini diduga mungkin karena peningkatan konsumsi
protein (R1 30,23 g, R2 39,50 g dan R3 49,99 g) tidak diikuti oleh peningkatan konsumsi energi. Pada
penelitian ini konsumsi energi untuk setiap perlakuan tidak jauh berbeda yaitu R1 sebesar 1214,79
Kcal, R2 1202 Kcal dan R3 1210 Kcal.

SIMPULAN
Pemberian jerami padi dan konsentrat dengan rasio yang berbeda relatif sama dan sebaiknya
pemberian ransum dengan rasio 80:20% diaplikasikan dalam penyusunan pakan komplit untuk
kambing kacang karena hasilnya sama dengan presentase konsentrat yang lebih tinggi.

70
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Hartanto. 2008. Pengaruh Penggantian Konsentrat dengan Daun Lamtoro Kering dalam Ransum
terhadap Performan Kambing Kacang Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
maret Surakarta.
Krisnan R. 2013. Respon Tiga Rumpun Kambing terhadap Pemberian Tambahan Konsentrat.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian RI.
Nuraini, Budisatria IGS, Ali Agus. 2014. Pengaruh Tingkat Penggunaan Pakan Penguat terhadap
Performa Induk Kambing Bligon di Peternak Rakyat. Buletin Peternakan Vol. 38(1): 34-41.
Purbowati E, Baliarti E, Budhi SPS. 2003. Kondisi cairan rumen domba yang digemukkan secara
feedlot dengan pakan dasar dan aras konsentrat berbeda. J. Indon. Anim. Agric. 28:134-140.
Putra S, Suryani NN, Subhagiana IW. 2009. Respons Metabolit Fermentasi Rumen dan Performans
Pertumbuhan Kambing PE terhadap Suplementasi Konsentrat Molamix. J. Indon. Trop.Anim.
Agric. 34(2): 107-114.
Ramadhan BG, Suprayogi TH, Sustiyah A. 2013. Tampilan Produksi Susu dan Kadar Lemak Susu
Kambing PE Akibat Pemberian Pakan dengan Imbangan Hijauan dan Konsentrat yang
Berbeda. J. Anim. Agric. 2:353-361.
Serment A, Schmidely P, Giger-Reverdin, Chapoutot P, Sauvant D. 2011. Effect of the Percentage of
Concentrate on Rumen Fermentation, Nutrient Digentibility, Plasma Metabolities, and Milk
Composition in Mid-Lactation Goats. J. Dairy Sci. 94:3960-3972.
Yulistiani, Mathius IW, Sutama IK, Adiati U, Sianturi RSG, Hastono, Budiarsana IGM. 1999. Respon
Produksi Kambing PE Induk Sebagai Akibat Perbaikan Pemberian Pakan pada Fase Bunting
Tua dan Laktasi. J. Il. Tern. dan Vet. 4(2):88-95.

71
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH FERMENTASI DEDAK PADI OLEH KAPANG RHYZOPUS


OLIGOSPORUS TERHADAP KADAR ASAM PITAT
EFFECTS OF RICE BRAN FERMENTATION USING RHIZOPUS OLIGOSPROUS ON PITATE
CONTENT
Maritje A Hilakore1, Mariana Nenobais1, Twenfosel Oc Dami Dato1
1
Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Undana,
Jl. Adi Sucipto, Penfui Kupang 85111, Telp. 0380-881465
Email: hukimaku@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan meminimalisir kandaungan asam pitat dalam dedak padi melalui fermentasi dengan kapang
R.oligosporus. Rancangan Acak Lengkap pola faktorial yakni: faktor A (taraf kultur, 1; 2; dan 3% b/b) dan 3
lama inkubasi (24, 48, dan 72 jam) dengan 3 ulangan. Kualitas dedak fermentasi (DF) nyata lebih baik setelah
fermentasi R.oligosporus setelah difermentasi 72 jam pada semua level kultur. Pada level kultur 1%
mengakibatkan penurunan kadar asam fitat dari 3,48 menjadi 0,53%; lemak kasar berkurang dari 7,23 menjadi
4,84%; sedangkan kadar protein kasar tidak berpengaruh 10,88 menjadi 11,66%. Hasil penelitian ini
menyimpulkan penggunaan kapang R.oligosporus lebih baik dalam meningkatkan kualitas dedak padi, utamanya
penurunan asam fitat.
Kata kunci: dedak padi, fermentasi, rhyzopus, pitat.

ABSTRACT
The research was conducted in order to decreasing the phytic acid level in rice bran by fermented
with fungi Rhyzopus oligosporus. .The first factor is three inoculant levels of fungi R.oligosporus
(Ro): 1,0; 2,0 and 3,0 % (w/w), and incubation time (W): 24; 48; and 72 hours as second factor.
Variabel tested were phyitic acid (AP), crude protein (PK), and crude lipid (LK). The quality of
fermented rice bran (DF) was significantly better after R.oligosporus fermentation during 72 hours at
all culture levels. At a culture level of 1% resulted in a decreased in phytic acid levels from 3.48 to
0.53%; crude fat from 7.23 to 4.84%; while the crude protein content did not affect but increased
numerically 10,88 to 11,66%. The results of this study concluded that the use of R.oligosporus is
better in improving rice bran quality, especially decreased of phytic acid.
Key words: rice brand, fermentation, rhyzopus, pitate

PENDAHULUAN
Dedak padi merupakan bahan yang selalu digunakan dalam campuran ransum ternak,
rumianansia maupun non ruminant yang diperoleh dari proses penggilingan padi menjadi beras. Meski
cukup disenangi ternak penggunaan dedak padi dalam ransum umumnya hanya 10 - 15% dari
campuran konsentrat, khusus untuk non ruminansia. Kendala penggunaannya karena adanya zat
antinutrisi seperti inhibitor tripsin dan asam fitat. Dedak mengandung 6,9% pitat (Richardson dkk,
2012).
Asam fitat, suatu heksafosfor dari mioinositol, adalah asam kuat yang membentuk garam tidak
larut dengan beberapa mineral dan protein. Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan
kompleks dengan mineral bervalensi dua (P, Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang
sukar larut, mengakibatkan rendahnya ketersediaan mineral tersebut serta kelarutan protein. Selain itu,
senyawa fitat juga mnurunkan kecernaan protein (Knuckles et al., 1989), pati (Yoon et al., 1983) dan
juga lipida (Nyman dan Bjorck, 1989).
Kapang penghasil enzim fitase dengan aktivitas ekstraseluler tinggi adalah Aspergillus dan Rhyzopus
(Volfova et al.,1994; Bedford dan Partridge, 2001). Penggunaan mikroba penghasil enzim ini dapat
mengeliminir kelemahan suatu bahan yang mengandung asam pitat, seperti dedak padi.
Sutardi et al. (1993), kadar asam fitat yang merupakan chelating agent senyawa protein dapat
diturunkan kadarnya dengan pembuatan tempe. Menurut Pangastuti dan Triwibowo (1996), asam fitat
juga berikatan dengan protein yang dapat mengurangi nilai gizi protein dan sifat fungsional protein.
Adanya interaksi asam fitat dengan protein perlu diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang
72
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menyebabkan berkurangnya nilai gizi bahan makanan. Fermentasi adalah suatu proses pemecahan
senyawa organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikroba.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian laboratorium (in vitro) dilakukankan di Laboratorium Kimia Pakan Fakultas
Peternakan Undana selama delapan (8) bulan.
Materi Penelitian
Materi utama dalam penelitian ini adalah kultur murni R.oligosporus yang diperoleh dai PAU
Pangan dan Gizi UGM Jogjakarta dan dedak padi yang dibeli dari penggilingan padi di Kota Kupang,
serta materi dan alat pendukung lainnya.
Prosedur penelitian
Proses penelitian diawali dengan peremajaan kultur murni pada agar miring (PDA), diinkubasi
3 hari pada suhu kamar, selanjutnya dibuatkan bubuk inokulum menggunakan media tepung beras dan
perhitungan cfu.
Rancangan Percobaan
Fermentasi dedak padi R.oligosporus, dilaksanakan menggunakan RAL pola faktorial dengan level
kultur yakni: 1, 2, dan 3% (b/b) sebagai faktor pertama dan lama inkubasi (1, 2, dan 3 hari) sebagai
faktor kedua dan 3 kali ulangan. Proses analisa sampel, analisa Proksimat, dilaksanakan di
Laboratorium Kimia Pakan Fapet Undana, sedangkan kadar protein terlarut asam pitat, di Lab
Layanan Kimia BPT Ciawi, Bogor. Data penelitian dianalisis dengan Sidik Ragam dan dilanjutkan uji
Duncan bila terdapat perbedaan. Analisis menggunakan software SPS19.0 for windows dan MS office
Excell 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Asam fitat
Kandungan asam pitat dedak fermentasi menunjukan level kultur berpengaruh tetapi yang
berpengaruh adalah lama inkubasi. Lama inkubasi dengan R.oligosporus menyebabkan makin
banyak enzim fitase yang dihasilkan dan semakin banyak asam fitat terhidrolisis. Hal ini menunjukan
peran R.oligosporus sebagai mikroba penghasil enzim pitase sebagaimana dikemukan oleh Sabu A
dkk., (2001; Sutardi, dkk., (1993).
Asam fitat efektif direduksi selama proses fermentasi. Dengan demikian kemungkinan protein
terlarut serta mineral lain yang terikat oleh asam pitat dalam dilepas sehingga lebih tersedia bagi
ternak. Pada kondisi alami, asam fitat akan membentuk ikatan kompleks dengan mineral bervalensi
dua (P, Ca, Mg, Fe), maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut, mengakibatkan rendahnya
ketersediaan mineral tersebut serta kelarutan protein. Selain itu, senyawa fitat juga mnurunkan
kecernaan protein (Knuckles et al., 1989), pati (Yoon et al., 1983) dan juga lipida (Nyman dan Bjorck,
1989).
Hasil penelitian Murtini et al., (2011) melaporkan setelah inkubasi 24 jam terjadi penurunan
asam pitat dari 2,08 menjadi 0,55 mg/g pada sorgum coklat. Hal yang sama dilaporkan Feng (2006)
dan Sahlin (1999) pada fermentasi tempe barley menyebabkan asam pitat menurun 28 – 90%.
Selanjutnya dilaporkan oleh Pujaningsih (2004) bahwa aktivitas pitase maksimum 987 FTU/kg pada
dedak yang difermentasi dengan 30% cairan rumen dan inkubasi 48 jam.
Protein Kasar
Berdasar data Tabel 1. taraf inokulum dan lama inkubasi tidak berpengaruh (P≥ 0,05) terhadap
kandungan protein kasar dedak fermentasi. Meski demikian terjadi sedikit peningkatan kandungan
protein kasar. Peningkatan protein substrat mengindikasikan terjadi pertumbuhan mikroba dengan
memanfaatkan sumber nutrien substrat (Mangunwidjaja dkk., 2012). Bertambahnya biomassa sel
mikroba akan diikuti oleh meningkatnya protein substrat. Menurut Wibowo (2009) dalam Murtini
(2011) bahwa kandungan protein dan N dalam kapang masing-masing 40 dan 57%. Selanjutnya oleh
Fardiaz (1992) dinyatakan bahwa kapang menggunakan sumber karbon dan nitrogen dari substrat

73
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

untuk menghasilkan energi serta mensitesis protein, vitamin dan mineral untuk keperluan aktivitas
metabolisme tubuhnya.
Lemak Kasar
Data juga menunjukan terjadi penurunan kadar lemak substrat pada lama inkubasi 72 jam
nyata lebih rendah (P 0,001) dibanding inkubasi 24 dan 48 jam, pada semua taraf inokulum. Kadar
lemak yang berkurang, diduga akibat penguraian oleh kapang dan digunakan sebagai sumber energi
bagi pertumbuhannya, karena menurut Salleh et.al., (1993), kapang Rhyzopus mampu menghasilkan
enzim lipase intraselular dan ekstraselular untuk merombak lemak media menjadi asam lemak. Makin
lama inkubasi akan makin lama pula kesempatan mikroba merombak nutrien substrat untuk
metabolisme, disamping ketersediaan nutrien yang juga mulai berkurang. Hasil yang sama juga
dilaporkan oleh Murtini et al., (2011) terjadi penurunan kadar lemak dari 0,65% menjadi 0,56%
setelah inkubasi 76 jam pada pembuatan tempe sorgum. Demikian halnya oleh Cueves-Rodriquest et
al., (2004) dalam Murtini (2011), kadar lemak tempe turun dari 6,1% menjadi 4,1% setelah inkubasi
54,6 jam.
Tabel 1. Kualitas Dedak Hasil Fermentasi R.oligosporus
Taraf kapang Lama Inkubasi Kandungan Nutrisi (% bahan kering)
(% b/b) (jam ) Protein kasar Lemak kasar Asam pitat
Kontrol* 0 10,88 7,23 3,48
24 11.50 ± 0.89 6.87 ± 0.54 0,84 ± 0,7
1% 48 11.47 ± 0.26 7.77 ± 1.24 0,77 ± 0,10
72 11.66 ± 0.52 4.84 ± 0.99 0,53 ± 0,13

24 11.77 ± 0.77 6.12 ± 0.34 0,58 ± 0,03


2% 48 11.55 ± 0.29 5.54 ± 0.05 0,47 ± 0,15
72 11.30 ± 0.49 4.77 ± 0.20 0,72 ± 0,09

3% 24 11.23 ± 0.18 7.33 ± 0.39 0,82 ± 0,05


48 10.51 ± 0.31 6.32 ± 0.68 0,46 ± 0,11
72 10.92 ± 0.29 4.89 ± 0.58 0,37 ± 0,13

SIMPULAN
Fermentasi dedak padi dengan kapang R.oligosporus selama tiga hari (72 jam) dapat mengurangi
asam pitat dari 3,48 menjadi 0,53%, hal yang sama terhadap lemak kasar yakni dari 7,23 menjadi
4,48%, sedangkan protein kasar tidak ada berpengaruh

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini terlaksana atas bantuan banyak pihak. Secara khusus ucapan terimakasih ditujukan
kepada Kemenristek Dikti, Ditlitabmas skim Hibah Bersaing, yang telah memberikan dana untuk
proses penelitian ini. Juga untuk teman tim penelitian serta tim kerja Laboratorium Kimia Pakan Fapet
Undana.

DAFTAR PUSTAKA
Augspurger, N.R., D.M. Webel, X.G. Lei and D.H. Baker. 2003. Efficacy of an E. coli phytase
expressed in yeast for releasing phytate-bound phosphorus in young chicks and pigs. J. Anim.
Sci. 81: 474-483.
Bedford, M. R. and G. G. Patridge. 2001. Enzymes in Farm Animal Nutrition. CAB International.
Erni S Murtini, A G Radite, dan A. Sutrisno. 2011. Karakteristik kandungan kimia dan daya cerna
tempe sorgum coklat ( Sorghum bicolor). J.Teknol. dan Industri Pangan. 22(2):150-155
Harland, B. F., and E.R. Morris. 1995. Phytase a good or a Bad Food Component. Nutrition Research.
15 : 733 – 754.

74
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kahlon, TS., FI Chow, MM Chiu, CA Hudson and RN Sayre. 1996. Cholesterol-Lowering by Rice
Bran and Rice bran oil unsaponifiable matter in hamster. Cereal Chemical; 73 (1): 69-
74
Knuckles, B.E., D.D. Kusmickzy, M.R. Gumbmann, and A.A. Beschart. 1989. Effect of myo-inositol
phosphate ester on in vitro and in vivo digestion of protein. J. Food Sci. 54: 1348-1350
Most, MM., R. Tulley, S Morales and M Lefevre. 2005. Rice bran oil, not fiber, lowers cholesterol in
human. America Journal Clinical Nutrition; 81: 64-68
Nyman, M.E. and I. M. Bjorck. 1989. In vivo effects of phytic acid and polyphenols on the
bioavailability of polysaccharides and other nutrient. J. Food Sci. 54: 1332-1335.
Sabu A, Sarita S, Pandey A, Bogar B, Szakacs G, Soccol CR. 2001. Solid-state fermentation for
production of pytase by Rhizopus oligosporus. Appl Biochem Biotechnol.102–103: 251–260.
Salleh, A. B., R. Musani, M. Basri, K. Ampon, W. M. Z. Yunus, and C. N. A. Razak. 1993. Extra- and
intra-cellular lipases from a thermophilic Rhizopus oryzae and factors affecting their production.
Can. J. Microbial. 39: 978-981.
Sutardi, Tranggono dan Hartuti. 1993. Aktivitas Fitase pada Tahap-tahap pembuatan Tempe Kara
Benguk, Kara Putih dan Gude Menggunakan Inokulum Rhizopus Oligosporus NRRL 2710.
Agritech 13 (3):1-5.
Volfova, O., J. Dvorakova, J. Hanzlikova, and A. Jandera. 1994. Phytase from Aspergillus niger. Folia
Microbiology. 39 : 481 – 484.
Yoon, J.H., L.U. Thompson, and D.J. A. Jenkins. 1983. The effect of phytic acid on in vitro rate of
starch digestibility and blood glucose response. Am. J. Clin. Nutr. 38: 835- 842.
Yosi F, E. Sahara, dan S. Sandi. 2014 Analisis Sifat Fisik Bekatul dan Ekstrak Minyak Bekatul Hasil
Fermentasi Rhizopus sp. dengan Menggunakan Inokulum Tempe. Jurnal Peternakan Sriwijaya
3(1): 7-13

75
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH PEMBERIAN PUTAK DAN JERAMI PADI DENGAN


SUPLEMENTASI ASAM FENILPROPIONAT DAN ANALOG HIDROKSI
METIONIN TERHADAP PRODUKSI TERNAK KERBAU (Bubalus bubalis)
Effects Provision of palm pith meal and rice straw with supplementation fhenylpropionate acids and
methionine hydroxy analoque) on productivity of buffalo (Babalus bubalis)
Gustaf Oematan1 dan Mathen L. Mullik1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kombinasi putak dan suplementasi asam
fenilpropionat dan analog hidroksi metionin dalam ransum terhadap performans ternak kerbau. Rancangan Acak
Kelompok 4x3 digunakan. Dua belas ekor kerbau (rataan bobot badan awal 263,6 kg) digunakan subyek. Empat
ransum yang diuji adalah RA= Jerami padi ad libitum + 50 putak (ransum kontrol); RB = Ransum (RA) + 25 %
konsentrat + 2 g asam fenilpropionat; RC = RA + 4 g/40 kg W0,75 analog hidroksi metionin (AHM) dan RD = RA+
2 g asam fenilpropionat + 4 g/40 kg W0,75 AHM. Peubah yang diukur adalah konsumsi ransum, kecernaan zat-zat
makanan, efisiensi penggunaan ransum, efisiensi penggunaan energi, konsentrasi N-Amonia dan VFA cairan
rumen dan pertambahan berat badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan RD nyata meningkatkan
pertambahan berat badan sebesar 55,17%, konsumsi bahan kering ransum 11,31, efisiensi penggunaan ransum
sebesar 49,47%, konsentrasi amonia rumen sebesar 16,6%, konsentrasi VFA total sebesar 17,7%, asam
propionat sebesar 28,6%, dan iso acid sebesar 17,6% dibanding perlakuan kontrol (R A). Dsisimpulkan bahwa
kombinasi asam fenilpropionat dan analog hidroksi metionin (RD) dalam ransum memberi alasan yang kuat,
untuk lebih memperbaiki konsumsi, kecernaan, produk fermentasi dan performans ternak kerbau penelitian.

Kata kunci : ternak kerbau, peningkatan produktifitas, putak, jerami padi,fenipropionat, analog hidroksi
methionin

ABSTRACT
The objetive of this experiment was to know the effect of use combination putak and supplemetation
phenylpropionate acids and/or methionine hydroxy analoque in the ration as an alternative strategy to increase
performance of buffalos. Twelve buffaloes with mean liveweight of 263,6 kg were randomly allocated in to 4
treatments based on a completely randomized block design. The experimental diets were R A = rice straw ad
libitum + 50 % putak (control ration); RB = RA + 25% concentrate + 2 g phenylpropionate acids; R C = RA +
25% concentrate + 4 g/40 kg W0,75 methionine hydroxy analoque and RD = RC + 2 g phenylpropionate acids.
Variables measured were dry matter intake (DMI) and digestibility, ration convertion, energy utilization, rumen
ammonia concentration, concentration of volitale fatty acids in the rumen fluid, and liveweigth gain. The results
showed that RD treatment significantly increased liveweight gain by 55%, DMI by 11,31%, efficieny of ration
utilization by 49.47%, concentration of rumen by 16,6%, and total voletale fatty acids by 17,7%, propionate
concentration by 28.6%, and concentration of iso acids by 17.6% compared with control group (R A). In
conclusion, animals received supplementation of combination of putak + 2 g phenylpropionate + 4 g/40 kg W 0,75
methionine hydroxy analoque in gradients ration can increase performance of buffaloes.
Key word : buffalo, productivity, rice straw, fhenylpropionate acids and methionine hydroxy analoque.

PENDAHULUAN
Ternak kerbau memiliki berbagai keunggulan dibandingkan ternak sapi antara lain volume
rumennya cukup besar, jumlah dan variasi mikroba rumen lebih banyak terutama protozoa dan bakteri
penghasil asam propionat, efisien memanfaatkan pakan berkualitas rendah karena memiliki daur
ualang nitrogen dari saliva yang lebih baik, dan menggunakan protein dan energi yang lebih efisien.
Selain itu, kerbau memilki gerak yang lamban sehingga membutuhkan energi yang lebih sedikit
dibandingkan ternak sapi yang lebih dinamis, (Sutardi, 1997). Namun, produksi ternak kerbau di NTT
semakin menurun karena salah satu penyebabnya adalah fluktuasi kuantitats dan kualitas pakan. Solusi
yang perlu dilakukan untuk mengatasi kecenderungan penuruan produksi kerbau adalah dengan
mencari sumber daya pakan alternatif yang cukup tersedia secara lokal.
Jerami padi merupakan pakan serat yang potensial di NTT, sayangnya memiliki nilai gizi dan
kecernaan rendah. Pakan lokal potensial lain di NTT adalah putak/isi batang pohan gewang (Corypha

76
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

gebanga) yang kaya akan pati. Kedua jenis pakan lokal ini akan menyediakan serat dan energi bagi ternak
kerbau di musim kemarau karena akan menyediakan substrat yang baik untuk aktivitas mikroba rumen.
Selain ketersediaan substrat sumber karbohidrat, aktivitas mikroba rumen juga dipengaruhi oleh
ketersediaan asam amino yang mengandung sulfur (metionin, sistin dan sistein) serta VFA berantai
cabang (iso acids) dan senyawa non VFA antara lain asam fenilpropionat. Untuk itu, maka slaha satu
strategi meningkatkan produksi ternak kerbau adalah optimalisasi proses nutrisi menggunakan
kombinasi pemberian putak dan suplementasi asam fenilpropionat dan metehonin (analog hidroksi
metionin) dengan pakan dasar jerami padi.

METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kupang Timur, selama 5 (lima) bulan. Ternak kerbau
percobaan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor sedang bertumbuh dengan rataan berat
badan 263,6 kg. Ransum yang diuji dalam penelitian ini terdiri 4 jenis yaitu:
RA : Jerami padi ad. libitum + 50% Putak (Ransum kontrol).
RB : Jerami padi ad. libitum + 25% Putak + 25% Konsentrat + 2 g AFP.
RC : Jerami padi ad. libitum + 25% Putak + 25% Konsentrat + 4 g/40 kg W0,75 AHM.
RD : Jerami padi ad. libitum + 25% Putak + 25% Konsentrat + 4 g/40 kg W0,75 + 2 g AFP.
Peubah yang diukur adalah konsumsi, kecernaan, efisiensi renggunaan ransum, retensi nitrogen,
efesiensi penggunaan energi (EPE), konsentrasi N-Amonia, VFA total, alantoin Urin, katabolisme
protein, pertambahan berat badan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Data yang diperoleh penelitian ini
diolah dengan Analisis Ragam. Uji Jarak berganda Duncan’s dipakai untuk mengetahui panguruh
perbedaan antar perlakuan (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN BAHASAN


Konsumsi dan kecernaan ransum
Pada Tabel 1 terlihat bahwa, secara keseluruhan konsumsi BK, BO,PK, dan energi nyata
meningkat dengan adanya suplementasi asam Fenilpropionat dan AHM dibanding dengan perlakuan
kontrol (RA). Peningkatan palatabilitas ransum, menyebabkan terjadinya laju pengosongan ingesta
(rate of passage) yang lebih cepat, dengan demikian merangsang ternak untuk lebih mengkonsumsi
pakan. Peningkatan konsumsi BK, BO dan zat-zat makanan terjadi secara sinergik, hal ini berarti
dengan adanya kombinasi suplementasi asam Fenilpropionat dan AHM dalam ransum percobaan
sanggup memperbaiki kondisi biofermentasi di dalam rumen oleh mikroba rumen secara seimbang
sehingga dipandang secara keseluruhan terjadi peningkatan kecernaan dan produk fermentasi sehingga
pasokan nutrien untuk ternak semakin tercukupi.
Semua nilai kcernaan juga dipengaruhi secara tidak nyata oleh perlakuan (Tabel 1). Hal ini berarti
secara keseluruhan kecernaan ransum ternak peneltian memberikan respon yang sama. Rataan nilai
kecernaan bahan kering ransum dari penelitian ini yakni di atas 60%. Hal ini memberi indikasi bahwa
ransum yang digunakan dalam penelitian ini fermentabel dan mampu menyediakan prekursor untuk
mendukung proses fermentasi rumen dalam menyediakan zat-zat makanan untuk kebutuhan induk
semang.
Konsentrasi amonia dan VFA cairan rumen
Pengaruh ransum percobaan terhadap konsentrasi amonia dan VFA cairan rumen disajikan pada
Tabel 2. Konsentrasi amonia cairan rumen sering dipakai sebagai salah satu tolok ukur untuk menilik
fermentabilitas ransum dan sangat erat kaitannya dengan konsentrasi VFA, aktifitas mikroba rumen
dan sintesis protein mikroba. Pengaruh ransum nyata meningkatkan konsentrasi NH3 cairan rumen (P
 0,05) dari 6,7 mM pada RA menjadi 8,03 mM pada RD. Konsentrasi NH3 cairan rumen yang
dihasilkan dalam penelitian ini berkisar 6,70 –8,37 mM. Suatu batasan yang dipandang cukup untuk
mendukung pertumbuhan mikroba rumen dan hasil ini didukung oleh pendapat (Sutardi, 1979; Preston
dan Leng, 1987 dan Oematan dkk., 1997) bahwa kadar NH3 cairan rumen yang mendukung
pertumbuhan mikroba rumen adalah 4 - 12 mM dan jika konsentrasi NH3 kurang dari 4 mM maka
proses fermentasi di dalam rumen sudah mulai terganggu.
77
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Konsentrasi VFA total digunakan untuk mencerminkan laju produksi VFA (VFA production rate)
dengan laju penggunaannya di dalam tubuh ternak (rate of VFA loss). Mencermati peningkatan
konsentrasi VFA total mengindikasikan bahwa ransum yang digunakan cukup fermentabel karena
menurut Oematan (1997), produk amonia saja tidak banyak memberikan petunjuk tentang manfaat
bahan suplementasi yang digunakan, selain dari memperlihatkan amonia yang cukup bagi kebutuhan
mikroba rumen. Untuk itu pengaruh suplementasi asam fenilpropionat dan AHM terhadap
fermentabilitas ransum menjadi VFA cukup penting untuk dinilai. Untuk mencapai produksi yang
efisien, keseimbangan energi dengan protein sangat penting dalam rumen. Keseimbangan itu tercermin
dari nisba energi/protein tersebut yang terbentuk dalam bentuk VFA/NH3. Hasil VFA total yang
diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran total VFA yang mendukung pertumbuhan mikroba
rumen yakni 130,33 – 158,30 mM. Sedangkan kisaran normal VFA total yang mendukung
pertumbuhan mikroba rumen adalah 80 - 160 mM (Sutardi, 1979 dan Oematan, 1997).
Tabel 1. Rataan pertambahan berat badan, konsumsi nutrisi, efisiensi penggunaan ransum,
efisiensi penggunaan energi pada ternak kerbau yang diberikan Jerami padi ad libitum
+ 50 putak (RA)) atau Ransum RA + 25% konsentrat + 2 g asam fenilpropionat (RB);
atau ransum RA+4 g/40 kgW0,75 analog hidroksi metionin (RC) atau RA+2 g asam
fenilpropionat + 4 g/40 kg W0,75 AHM (RD )
Peubah Perlakuan Nilai P
RA RB RC RD
Pertambahan Bobot Badan, kg/e/h 1. 0,262.a 0,393.b 0,424.c 0,585.d 0,01
a a a b
Konsumsi BK, kg/e/h 7,651 8,448 8,298 8,627 0,05
Konsumsi BO, kg/e/h 6,705 a 7,406 ab 7,274 a 7,564 b 0,05
Kons. Protein Kasar, kg/e/h 0,718 0,773 0,763 0,783 >0,05
Konsumsi energi, Mkal/kg BK /e/h 37,12 40,38 39,76 41,12 >0,05
Efisiensi Penggunaan Ransum, kg/kg/ e/h 29,43a 21,66abc 19,75bc 14,87c 0,01
Kecernaan:
Bahan kering, % 61,61 65,63 68,11 70,58 >0,05
Bahan organik, % 64,86 66,35 68,90 71,75 >0,05
Protein kasar, % 46,23 42,53 52,70 52,84 >0,05
Keterangan : Nilai superkrip yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata.
Suplementasi asam fenilpropionat dan analog hidroksi metionin (RD) secara proporsional
meningkatkan konsentrasi asam propionat sangat nyata (P  0,01) dan menurunkan nisbah A/P (Tabel
2). Penggunaan asam fenilpropionat dan AHM dalam ransum sanggup meningkatkan konsentrasi
asam propionat untuk komninasi suplementasi asam fenilpropionat dan analog hidroksi metionin (R D)
sebesar 28,6 % dibandingkan dengan perlakuan tanpa suplementasi (RA). Peningkatan konsentrasi
asam propionat cenderung menurunkan energi yang terbuang dalam bentuk gas metan. Hal ini karena
pada sintesis asam propionat menggunakan ion Hidrogen (H+) yang merupakan prekursor utama
sintesis molekul metan.
Metabolisme dan penggunaan energi
Metabolism energi adalah merupakan salah satu cara penilaian kualitas pakan yang
dikonsumsi ternak sehingga dapat dipakai sebagai gambaran penggunaan energi dalam tubuh
ternak. Jumlah energi yang termetabolis dalam tubuh merupakan bagian dari energi pakan yang
tertinggal dalam tubuh dan energi termetabolis merupakan selisih antara jumlah energi yang
dikonsumsi dengan jumlah energi yang keluar melalui feses, urin, gas metan dan panas
fermentasi. Karena sulit menentukan energi urin dengan bom kalorimeter maka energi urin
ditentukan dengan mengalikan jumlah nitrogen urin dengan 7,45 kkal (Crampton dan Harris,
1969), energi metan 8% dari energi yang dikonsumsi (Blaxter, 1968) dan energi panas
fermentasi 6,5% dari energi proses fermentasi (rskov dan Rely, 1990). Energi tertinggal
sebagaimana halnya dengan retensi nitrogen didapatkan positif atau meningkat sejalan dengan
peningkatan zat-zat makanan. Data hasil pengaruh perlakuan terhadap metabolisme energi

78
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dapat dilihat pada Tabel 2. Metabolisme energi meningkat secara tidak nyata (P>0,05) antara
perlakuan.
Efisiensi penggunaan energi (EPE) merupakan salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan
dalam usaha penggemukan ternak. Dengan melihat EPE, maka dapat diketahui berapa energi pakan
yang dipakai untuk menghasilkan per gram berat badan. Nilai EPE pada penelitian ini (Tabel 2). Nilai
rataan EPE yang paling tinggi pada ransum RA kemudian disusul ransum RC, RB) dan terendah pada
RD. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa, pengaruh perlakuan sangat nyata (P  0,01) meningkatkan
EPE pada kelompok ternak yang diberikan suplemen. Hal ini berarti tidak ada katabolisme zat-zat
makanan lain untuk diubah menjadi energi untuk kebutuhan ternak. Pengukuran daya guna energi
dimaksudkan untuk dapat menggambarkan bagaimana metabolisme energi dalam tubuh ternak dari
energi yang dikonsumsi ternak. Daya guna energi semakin meningkat sebesar 15,79 % pada ransum RD
(64,47 %) dibanding RA (54,29).
Tabel 2. Rataan konsentrasi NH3 dan VFA cairan rumen, dan penggunaan energi pada ternak kerbau
yang diberikan Jerami padi ad libitum + 50 putak (RA)) atau Ransum RA + 25% konsentrat +
2 g asam fenilpropionat (RB); atau ransum RA+4 g/40 kgW0,75 analog hidroksi metionin (RC)
atau RA+2 g asam fenilpropionat + 4 g/40 kg W0,75 AHM (RD )

Peubah Perlakuan Nilai P


RA RB RC RD
NH3 Cairan Rumen, mM 6,70 a 7,33 ab
8,37 b 8,03 b 0,05
Total VFA, mM 130,33 a 141,66 ab
149,66 ab 158,3 a 0,05
Asetat , mM 81,73 a 88,83 ab
93,85 ab 99,29 b 0,05
Propionat, mM 29,72 a 33,89 ab
36,81 bc 41,60 c 0,01
n-Butirat, mM 9,98 a 10,85 ab
11,13 ab 12,09 b 0,05
n-Valerat, mM 1,04 a 1,13 ab
1,16 ab 1,27 b 0,05
iso-Butirat, mM 3,63 3,93 3,84 4,42 >0,05
iso-Valerat 2,48 2,70 2,52 3,02 >0,05
Iso acid,s 6,12 a 6,65 ab 6,81 ab 7,43 b 0,05
Nisbah A/P, mM 2,74 a 2,62 b 2,54 bc 2,38 d 0,05
Metabolism Energi, Mkal.kg BK/e/h 20,14 23,59 24,06 26,49 >0,05
Daya Guna Energi, % 54,29 58,28 60,20 64,47 >0,05
Efisiensi Penggunaan Energi , Mkal/kg BK 0,007 a 0,009 abc 0,011bc 0,014 c 0,01
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata pada nilai P yang
tercantum berdasarkan Uji Jarak berganda Duncan.

Efisiensi Penggunaan Ransum (EPR)


EPR hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Dari perlakuan yang diberikan terlihat bahwa,
nilai EPR yang paling tinggi diperoleh ransum (RD) kemudian disusul oleh ransum (RC), (RB) dan
terendah oleh (RA). Hasil analisis ragam menunjukan bahwa, perlakuan sangat nyata (P  0,01)
meningkatkan EPR ternak percobaan. Hal ini berarti, untuk meningkatkan 1 g berat badan ternak
percobaan maka ransum kombinasi suplementasi asam fenilpropionat dan analog hidroksi metionin
(RD) yang paling efisien dalam menghasilkan 1 g pertambahan berat badan ternak. Jika dikaitkan dari
segi manajemen produksi ternak maka hal ini sangat mengutungkan karena mengurangi jumlah
penyediaan pakan dan biaya pakan, membutuhkan waktu yang singkat untuk mencapai berat badan
yang diinginkan.
Pertambahan Berat Badan
Pertambahan berat badan merupakan suatu perwujudan dari akumulasi konsumsi pakan,
kecernaan, proses fermentasi, proses metabolisme dan penyerapan zat-zat makan dalam tubuh ternak.
Nilai rataan pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan berat badan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan uji jarak berganda Duncan’s maka terjadi perbedaan yang sangat nyata (P  0,01)
antarperlakuan. Pertambahan barat badan tertinggi dicapai oleh perlakuan kombinasi asam
fenilpropionat dan analog hidroksi metionin (RD). Kondisi ini didukung oleh peningkatan dalam
parameter konsumsi, produk fermentasi, efisiensi penggunaan ransum dan energi yang lebih baik
79
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dibanding perlakuan yang lain. Secara umum, sebagian besar parameter yang diukur dalam penelitian
ini memberi kesan yang kuat bahwa suplementasi kombinasi asam fenilpropionat dan analog hidroksi
metionin dalam ransum ternak kerbau percobaan lebih memperbaiki kondisi biofermentasi,
metabolisme dan penyerapan zat-zat makanan dalam tubuh ternak dalam upaya meningkatkan
performans ternak kerbau.
SIMPULAN
Untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan serat bermutu rendah dalam
upaya meningkatkan performans ternak kerbau, dapat dilakukan dengan manipulasi proses nutrisi,
menggunakan kombinasi putak dan suplementasi non VFA berupa asam fenilpropionat dan asam
amino yang mengandung sulfur dalam bentuk analognya berupa analog hidroksi metionin (garam
kalsium) dalam ransum. Suplementasi asam fenilpropionat sebanyak 2 g (RB) dan analog hidroksi
metionin sebanyak 4 g/40 kg W 0,75 mampu meningkatkan pertambahan berat badan, konsumsi,
efisiensi penggunaan ransum, parameter fermentatif dan metabolis serta menekan produksi metan
ternak penelitian. Dipandang dari segala aspek, maka perlakuan kombinasi suplementasi asam
fenilpropionat dan analog hidroksi metionin (RD) dalam ransum memberi alasan yang kuat, untuk
lebih memperbaiki konsumsi, kecernaan, produk fermentasi dan performans ternak kerbau penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, X.B., Y.K. Cheng E.R Orskov and W.J. Sand. 1992. The effects of feed intake and body
weigth on purin derivative excretion and microbial protein supply in sheep. J. Anim. Sci. 70
:1534.
Chwalibog, A. 1995. Nutritive Value and Nutrient Requirements of Animal. Departement of Animal
Science and Animal Health. The Royal Veterinary and agricultural University, Copenhagen.
General Laboratory Procedures. 1966. Departement of Dairy Sci.University Wisconsin Madison.

Hoover, W.H and Miller, T.K. 1992. Rumen digestive physiology on microbial ecology. Agric.
Forestry Exp. Station West Virginia, University.
OEmatan, G., 1997. Stimulasi Pertumbuhan Sapi Holstein melalui Amoniasi Rumput dan
Suplementasi Minyak Jagung, Analog Hidroksi Metionin, Asam Folat dan Fenilpropionat.
Majalah Ilmiah Nutrisi dan Makanan Ternak. Tesis Prog. Pascasarjan, IPB, Bogor.
OEmatan, G., T. Sutardi., Suryhadi., dan W. Manalu 1997. Stimulasi Pertumbuhan Sapi Holstein
melalui Amoniasi Rumput dan Suplementasi Minyak Jagung, Analog Hidroksi Metionin, Asam
Folat dan Fenilpropionat. Majalah Ilmiah Nutrisi dan Makanan Ternak. Buletin Nutrical.
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fapet Undana. ISSN. : 1410-6191. Vol. I. Nop 1997. Hal.
35-43.
OEmatan, G dan E.J.L. Lazarus. 1998. Stimulasi Pertumbuhan Mikroba Rumen Menggunaakan Ragi
Tape sebagai Sumber Probiotik untuk Meningkatkan Degradasi Pakan Serat Bermutu Rendah
pada Ternak sapi Bali di Kecamatan Kupang Timur. Jurnal Informasi Pertanian Lahan Kering.
Pusat Pertanian Lahan Kering, Lembaga Penelitian Undana. ISSN. 0215-9236. Nomor : 3. Juli
1998. hal. : 24 - 35.
rskov, E.R., and Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminants. Elsevier Appl. Sci., London.
Preston, T.R and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources
in the Tropic. Penambul Book, Armidale.
Siti, N.W. 1996. Pengaruh Ragi Tape sebagai Sumber Probiotik pada Kecernaan Ransum, Aktivitas
Fermentasi dan Populasi Mikroba Rumen Kerbau. Tesi Pro. Pascasarjana, IPB, Bogor.
Sutardi, T. 1979.Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi pleh mikroba rumen dan
manfaatnya bagi peningkatan produktifitas ternak. Proc. Seminar Penelitian dan Penunjang
Peternakan, LPP, Bogor.
Sutardi, T. 1997. MK. Ruminologi, Prog. Pascasarjana, IPB, Bogor.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Pendekatan Biometrik. Alibahasa
B. Sumantri. Penerbit, PT. Gramedia, Jakarta.

80
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

ANALISIS KANDUNGAN NUTRIEN PRODUK FERMENTASI BONGGOL PISANG KEPOK


MENGGUNAKAN KHAMIR SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK
ANALYSIS OF NUTRIENT CONTENTS OF KEPOK BANANA CORM FERMENTED
WITH YEAST AS FEEDS
Sabarta Sembiring1)
1)
Staf Pengajar pada Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
E-mail: sabartasembiring@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pisang merupakan tanaman perdagangan penting di dunia dan di Indonesia produksinya mencapai tiga juta
metrik ton lebih dalam setahun. Produksi pisang yang melimpah juga menghasilkan produk sekunder yakni
bonggol pisang yang kaya karbohidrat. Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi yang potensial
dengan produksi ratusan ton pertahun. Jenis pisang yang tersedia melimpah salah satu diantaranya adalah pisang
kepok. Limbah panen pisang yakni bonggol pisang mengandung karbohidrat 79% dari berat kering. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis kadar nutrisi yang terkandung dalam bonggol pisang kepok yang direbus dan
difermentasi dengan khamir (Saccharomyces cerevisiae) dengan level inokulum 5 % (w/v). Hasil penelitian
menunjukkan kandungan protein kasar mencapai 4,51 %, lemak kasar 2,94 % dan energi 3626 Kkal/kg yang
dicapai pada perlakuan 1,5 jam direbus dan lama inkubasi 36 jam. Karbohidrat tertinggi sebesar 82 % adalah
pengolahan dengan cara direbus 1 jam dan inkubasi selama 48 jam. Perebusan bonggol pisang kepok selama 1,5
jam dan diinkubasi selama 36 jam dapat direkomendasi karena pemakaian enzim bersumber dari khamir mampu
melonggarkan ikatan kimiawi yang kuat sehingga meningkatkan nilai nutrien seperti protein, lemak, energi, dan
karbohidrat, dan dapat diberi sebagai pakan sumber energi.
Kata kunci: limbah pisang, nutrien, fermentasi, performan, ternak babi lepas sapih.

ABSTRACT
Banana is an important plant in world trade, and its production in Indonesia reaches about three million metric
tons per year. Side products after fruit harvesting are banana corms. This material contains carbohydrate
around 79% of the dry weight. Kepok banana corm boiled and fermented with yeast (Saccharomyces cerevisiae)
with the use of inoculum level of 5 % (w/v). The purpose of this study was to evaluate nutrient content and the
effects using of the kepok banana corm fermentation on the performance of weaned pigs. Two factors were use
as treatments namely microbes usage and duration of incubation during fermentation. The results showed that
the highest content of crude protein (4,51), crude oil (2,94 %) and energy (3626 Kcal/kg) was achieved by
boiling for 1,5 hours and incubating for 36 hours. The highest content (80%) was achieved by boiling the
materials for 1 hours and incubated for 48 hours. There was an interaction effect (P<0,01) between the two
factors (microbes uses and duration of incubation during fermentation). It can be concluded that processing
banana corm by boiled for 1,5 hours and incubated for 36 hours during fermentation was enough to raise the
contents of crude protein, crude oil and energy.
Keywords: banana waste, nutrient, fermentation, performance, weaned pigs.

PENDAHULUAN
Pakan konvensional seperti jagung, kacang kedele dan kacang hijau tetap menjadi pilihan dalam
proporsi tertentu pada industri pakan komersial sehingga biaya pakan untuk ternak babi dapat
mencapai 60 - 80%. Salah satu sumber pakan potensial yang tersedia melimpah di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) adalah pisang, dengan produk sekunder (limbah) yang prospektif digunakan
yaitu bonggol pisang (corm).
Optimalisasi pemanfaatan bonggol pisang di NTT sudah saatnya dikembangkan, mengandung
62 - 72% karbohidrat, juga mengandung antioksidan (flavonoid) dan pati. Pemanfaatan bonggol pisang
memiliki kelemahan sebagai pakan ternak nonruminansia sepeti proteinnya rendah, serat kasar yang
tinggi, juga mengandung antinutrisi seperti tanin, sterol, glikosida, kuinon dan terpenoid (Krishna et
al., 2013), polifenol, alkaloid dan saponin (Jamuna et al. 2011). Komponen karbohidrat umumnya
terdiri dari polisakarida seperti gums, oligosakarida, polidekstrosa, maltodekstrin dan pati yang sulit
dicerna (Englyst dan Englyst, 2007).

81
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Salah satu upaya mengatasi kendala yang dapat menjadi kelemahan sebagai pakan ialah dengan
cara fermentasi yaitu dengan yeast (khamir) sebagai sumber enzim oksidase dan sakrosidase (Kaur dan
Sekhon, 2012). Fermentasi bonggol pisang perlu dilakukan sebelum digunakan sebagai pakan karena
fermentasi dapat berperan merubah struktur bahan pakan dari bentuk komplek menjadi lebih
sederhana.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari lama waktu perebusan dan lama diinkubasi
pada fermentasi bonggol pisang kepok terbaik terhadap kandungan nutrisi meliputi bahan kering,
protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan energi dan pengaruhnya terhadap performan pertumbuhan
yakni konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan ternak babi lepas sapih.

METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Laboratorium Bio Science Undana, dengan materi adalah bonggol
pisang kepok (BPK), diperoleh dari petani di Kabupaten Kupang. Pengolahan dilakukan dengan cara
dikupas kulit bagian luar, lalu dicuci hingga bersih untuk mengurangi getah dan direbus. BPK hasil
perebusan diolah dengan cara fermentasi menggunakan ragi (khamir) sebagai ferment (mikroba
pemicu) yakni jenis yeast (Saccharomyces cerevisiae).
Alat yang digunakan adalah wadah fermentasi dan alat penggiling untuk membuat tepung,
kompor dan wadah perebus untuk mengolah bahan bonggol pisang hasil pengirisan.
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah metode percobaan laboratorium dan rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Percobaan Faktorial 3 x 3 dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Faktor yang diuji dalam penelitian ini yaitu lama rebus (faktor P) dan lama inkubasi (faktor Q). Faktor
P terdiri dari 3 taraf, masing-masing adalah: 1 jam (P1), 1,5 jam (P2) dan 2 jam (P3) mengadopsi
Umiyasih dan Anggraeny (2008) dimodifikasi. Sedangkan faktor Q terdiri dari 3 taraf inkubasi yaitu:
24 jam (Q1), 36 jam (Q2) dan 48 jam (Q3) mengadopsi Azizah et al. (2012) dimodifikasi. Ferment
yang dipakai untuk setiap kombinasi perlakuan adalah 5% (w/v) atau sebanyak 5g inokulum/100g
sampel, diadopsi dari Kusumaningtyas et al. (2006) dan Suryani (2013) termodifikasi.
Prosedur Penelitian
Bonggol pisang kepok segar dikupas kulit, dicincang/diiris tipis dan dicuci dengan air bersih,
direbus dalam wadah periuk dengan perbandingan bonggol dan air adalah 1:2. Hasil pemasakan
diautoclave pada suhu 121 oC selama 15 menit sesuai yang direkomendasikan oleh Nicolau et al.
(2011). Hasil pengolahan secara autoclave (pengukusan) didinginkan pada suhu 30 oC dan dilanjutkan
dengan diinokulasi pada level 5 % (w/v) menurut Kusumaningtyas et al. (2006) termodifikasi. Produk
fermentasi diberikan dalam pakan ternak babi sebagai penelitian tahap 2.
Analisis Statistik
Data penelitian dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA) dengan Rancangan
Percobaan Faktorial 3 x 3, dan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji Jarak Berganda
Duncan (Duncan,s Multiple Range Test) digunakan untuk uji lanjut pada taraf perbedaan (P<0,05)
sesuai prosedur Steel dan Torrie (1995).

HASIL DAN BAHASAN


Kandungan nutrisi bonggol pisang kepok terfermentasi
Tepung bonggol pisang kepok (BPK) sangat berpotensi dimanfaatkan sebagai sumber energi
dengan kandungan dan komposisi kimiawi seperti tampak dalam Tabel 1. Ditemukan adanya interaksi
antara lama perebusan dan lama ikubasi pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa perebusan
BPK dan difermentasi dengan waktu yang lebih lama tidak menaikkan kadar bahan kering. Hasil
tersebut sejalan dengan peneliti terdahulu Hu et al., (2008) melaporkan bahwa kadar bahan kering
pada bahan yang difermentasi secara padat (solid) yaitu pada pakan tersusun dari bungkil kedele,
jagung giling, tepung biji anggur dan tepung kacang tanah menggunakan mikrob konsorsium
Lactobacillus fermentum, Saccharomyces cerevisiae dan Bacillus subtillis menurun dari 66 % menjadi
64,5 % setelah 5 hari inkubasi. Hal ini menunjukkan inkubasi lebih lama mengakibatkan bahan kering

82
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

berkurang. Bahan kering mengalami penurunan sebagai akibat dari yeast mengkonsumsi lebih banyak
nutien substrat untuk kebutuhan bertumbuh mikrob (Hu et al., 2008).
Tabel 1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang Kepok Segar
Komponen Nutrien (%)
Bahan Kering 87,70
Protein Kasar 3,58
Lemak Kasar 2,15
Serat kasar 19,33
Karbohidrat 79,16
Abu 9,74
Energi (Kkal/kg) 3503,10

Protein kasar BPK yang direbus 1 jam sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan
direbus 1,5 dan 2 jam. Lama inkubasi 36 jam sangat nyata (P<0,01) mampu menaikkan kadar protein
kasar bila dibandingkan dengan inkubasi 24 dan 48 jam. Hasil terbaik dicapai pada perlakuan
perebusan BPK selama1,5 jam dan diikuti dengan inkubasi selama 36 jam sangat nyata (P<0,01)
memberikan hasil terbaik pada variabel protein kasar yakni 4,51% (meningkat sebesar 79%).
Kandungan protein kasar dan nutrien lain hasil penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Bonggol Pisang Kepok Hasil Fermentasi (Kering udara)
Perlakuan Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Energi
(%) (%) (%) (%) (Kkal/kg)
P1Q1 94,22 3,10 2,24 20,85 3585
P1Q2 94,42 3,22 2,54 21,51 3574
P1Q3 94,41 3,07 2,07 24,11 3589
P2Q1 93,77 3,57 2,21 25,65 3551
P2Q2 94,06 4,51 2,94 25,12 3626
P2Q3 94,07 3,26 2,89 24,70 3590
P3Q1 94,00 3,49 2,31 24,62 3580
P3Q2 94,36 3,76 2,19 36,32 3571
P3Q3 94,10 4,02 2,87 19,23 3607
Keterangan: P1= Rebus 1 jam; P2 = Rabus 1,5 jam dan P3 = Rebus 2 jam; Q1= inkubasi 24 jam; Q2 =
Inkubasi 36 Jam dan Q3 = Inkubasi 48 jam.
Hasil tersebut masih sejalan dengan hasil penelitian Udjianto et al. (2005) yang menggunakan
kulit pisang sebagai substrat dilaporkan kadar protein kasar kulit pisang bertambah hingga 127%.
Kandungan lemak kasar dengan lama perebusan 1,5 jam dan lama inkubasi 48 jam sangat nyata
(P<0,01) menambah kadar lemak kasar dibandingkan dengan perebusan 1 dan 1,5 jam inkubasi 24 dan
36 jam. Uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa rerata kadar lemak kasar tertinggi dicapai
pada perebusan 1,5 jam diinkubasi 36 jam.
Kandungan serat kasar dalam bonggol pisang kepok terfermentasi sangat nyata (P<0,01)
dipengaruhi oleh faktor lama perebusan dan lama diinkubasi. Lama perebusan 2 jam dinkubasi 36 jam
berbeda sangat nyata (P<0,01) pada kadar serat kasar dibandingkan dengan perebusan 1 jam dan 1,5
jam serta inkubasi 24 dan 48 jam. Hasil analisis ragam menunjukkan kadar serat kasar terendah
terdapat pada perlakuan rebus 2 jam diinkubasi 48 jam yaitu 19,23%. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa fermentasi BPK mampu mengurangi kadar serat kasar akibat terjadi perombakan struktur yang
83
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

komplek menjadi lebih sederhana. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu pada limbah ubi kayu
dengan mikrob konsorsium Trichoderma viride, Saccharomyces cerevisiae, dan Aspergillus niger
dapat menurunkan kandungan serat kasar dengan dosis penggunaan inokulum 2 % (Suryani, 2013).
Kandungan energi pada perlakuan lama perebusan 1,5 jam dan lama inkubasi 36 jam sebesar
3626 Kkal/kg sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan
abu dalam BPK terfermentasi dengan lama perebusan 1,5 jam dan lama inkubasi 48 jam adalah angka
tertinggi yakni 7,9 % bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

SIMPULAN
Bonggol pisang kepok yang direbus dan diinkubasi dengan khamir 5% (w/v) mengandung
nutrien Protein kasar 4,51%, lemak kasar 2,94% dan energi 3626 Kkal/kg pada perlakuan direbus 1,5
jam dan lama inkubasi 36 jam. Terdapat interaksi sangat nyata antar pengolahan secara fisik yakni
faktor perebusan dan pengolahan secara biologi yakni faktor inkubasi selama fermentasi bonggol
pisang kepok.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, atas
dana Hibah Bersaing yang disediakan melalui DIPA Undana Tahun anggaran 2016 sehingga
penelitian sampai dengan penulisan publikasi ilmiah ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Nusa Tenggara Timur dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Katalog BPS: 1403.53
Azizah, N., Al-Baari, A. N., dan Mulyani, S., 2012. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar
Alkohol, pH dan Produksi Gas pada proses Fermentasi Bioetanol dari Whey dengan Substitusi
Kulit Nanas. J. Aplikasi Teknologi Pangan, Vol. 1 No. 2:72-77
Cloutier, L., Pomar, C., Montminy, M. P. L., Bernier, J. F., and Pomar, J., 2015. Evaluation of a
method estimating real-time individual lysine requirements in two lines of growing–finishing
pigs. Animal, Vol. 9 No. 4, pp 561–568.
Emiola, I. A., dan Gous, R. M., 2011. Nutritional Evaluation of Dehulled Faba bean (Vicia faba cv.
Fiord) in Feeds for Weaner Pigs. South African Journal of Animal Science, 41 (2):79-86
Englyst, K. N., S. Lin dan H. N. Englyst., 2007. Nutritional Characterization and Measurement of
Dietary Charbohydrates. Review. European Journal of Clinical Nutrition. (Suppl. I) 519-539
Hu, J., Lu, W., Wang, C., Zhu, R. dan Qiao, J., 2008. Characteristics of Solid-state Fermented Feed
and Its Effects on Performance and Nutrient digestibility in Growing-Finishing Pigs. Asian-
Aust. J. Anim. Sci. Vol. 21(11):1635-1641.
Jamuna, K.S., C.K. Ramesh., T.R. Srinivasa dan K.L. Raghu., 2011. Total Antioxidant Capacity in
Aqueous Extracts of Some Common Fruit. International J. Of Pharmaceutical Sciences and
Research. Vol. 2 Issue 2.
Kaur, R. Dan Sekhon, B. S. 2012. Enzymes as Drugs: an Overview. J. Pharm. Educ. Res. Vol 3 (2):
29-41.
Krishna, V. V., Kumar, G. K. Pradeepa, K. dan Kumar, S. R. 2013. Antibacterial Activity Of
Ethanol Extract Of Musa Paradisiaca Cv. Puttabale And Musa Acuminate Cv. Grand Naine.
Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, Vol 6, Suppl 2, ISSN - 0974-2441.
Kusumaningtyas, E. R. Widiastuti dan R. Maryam. 2006. Reduction of aflatoxin B1 in chicken feed
by using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and their combination.
Mycopathologia, 162: 307–311.
Kyriazakis, I., 1994. The Voluntary Food Intake and Diet Selection of Pigs. In: Principles of Pig
Science. Ed.: D. J. A. Cole. J. Wiseman dan M. A. Varley. Nottingham University Press. Pp.
85-105.
National Research Council., 1998. Nutrient Requirements of Domestic Animals. 10th Revised Edition.
Nutrient Requirements of Swine. National Academy Press, Washington, D.C.

84
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Ngoc, T. T. B., Len, N. T and Lindberg, J. E., 2013. Impact of fibre intake and fibre source on
digestibility, gut development, retention time and growth performance of indigenous and exotic pigs.
Animal, Vol. 7 No. 5, pp 736–745.
Nicolau, A. Georgescu, L. Dan Bolocan, A., 2011. Impact of Bio-Processing on Rice. AUDJG, Fascicle
VI-Food Technology, 35(1) 19-26
Reeds, P. J., D. G. Burrin, T. A. Davis, M. A. Fiorotto, H. J. Mersmann dan W. G. Pond., 1993. Growth
Regulation with Particular Reference to the Pig. In: Growth of the Pig. Ed: G. R. Hollis. CAB
International. Pp. 1-32.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur. Suatu Pendekatan Biometri. Cetakan keempat.
PT. Gramedia, Jakarta.
Suryani, Y., 2013. Optimizing of Cassava from Bioethanol Post-production through Bioactivity Process
Consortium of Saccharomyces cerevisiae, Trichoderma viride and Aspergillus niger. Asian J. Of
Agriculture and Rural Development, Vol. 3 (4): 154-162.
Udjianto, A., Ema R. dan R. Denny P., 2005. Pengaruh Pemberian Limbah Kulit Pisang Fermentasi
Terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging dan Analisa Usaha. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga
Fungsional Pertanian.

85
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

RASIO KARBON-NITROGEN PADA HIJAUAN PAKAN DI TIMOR BARAT


CARBON-NITROGEN RASIO OF FORAGES IN WEST TIMOR
Marthen L. Mullik1, Twen O. Dami Dato1, G. Oematan1,2 G. Maranatha1,2, Y.M. Mulik3
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
2
Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana
3
Politeknik Pertanian Negeri Kupang

ABSTRAK

Rasio karbon:nitrogen (C/N) organik merupakan indikator penting dalam proses fermentasi dan biofermentasi
untuk pengolahan pakan, pengolahan kompos, dan pembuatan biogas, sebab efisiensi reaksi biokimia sangat
dipengaruhi oleh rasio C/N. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai rasio karbon-nitrogen pada
berbagai kelompok pakan di Timor Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2017 dengan cara
teknik pengambilan sampel menggunakan kombinasi stratifikasi (kelompok legume, rumput, semak dan
peohona, sert jenis pakan lainnya) dan acak. Sampel yang dikumpulkan dianalisis kandungan bahan organik dan
protein kasar, Selanjutnya rasio karbon-nitrogen dihitung. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kelompok
leguminosa memiliki fluktuasi nilai yang kecil serta rata-rata rasio C/N di bawah 20. Kelompok semak dan
pepohonan memiliki rata-rata rasio 30. Kedua kelompok pakan ini memiliki rasio C/N yang tidak nyata berbeda.
Sebaliknya, rerumputan dan kelompok bahan pakan lainnya memiliki rasio di atas 50. Kedua kelompok terakhir
ini juga memiliki rentang nilai yang sangat luas yaitu anatar 17,2 – 176,2. Salah satu karateristik rerumputan
adalah peningkatan rasio C/N sangat tajam siring umur akibat dari laju menurunan protein yang juga drastis.
Disimpulkan bahwa, rasio C/N leguminosa dan semak-pepohonan jauh lebih rendah dari kelompok rerumputan
dan pakan lainnya.
Kata kunci: rasio, karbon-nitrogen, hijauan, Timor.

ABSTRACT
Organic carbon-nitrogen ratio is an important indicator in fermentation and biofermentation processes for feed,
compost and biogas processing since efficiency of biochemical reactions is dictated by C/N ratio. This study
aimed at evaluating C/N ratio of some feed stuff in West Timor. Sampels collected using a combination of
stratified (group of feedstuff: legumes, grasses, shrubs and non-legum trees, and other groups) and random
sampling techniques. The experiment was conducted in the month of Juni-October 2017. Collected samples
were chemically analysed for organic matter and protein content for calculation of C/N ratio. Results showed
that legume group had a lower C/N ratio of less than 20. Shrubs and non legume trees had a ratio of 30. On the
other hand, grasses and other feedstuff groups had a C/N ratio above 50. In addition, the last two groups had a
wide range of C/N ratio (17.2 – 176.6). One specific characteristics of grasses was a shrap increased in C/N
ratio toward a mature age due to a a sharp decrease in protein content. It might be concluded that C/N ratio of
legume, and shrub+non legume tree groups was far lower than grasses and other feedstuff groups.
Key words: Ratio, carbon-nitrogen, forage, Timor.

PENDAHULUAN
Rasio karbon:nitrogen (C/N) organik merupakan indikator penting dalam proses fermentasi
dan biofermentasi untuk pengolahan pakan, pengolahan kompos, dan pembuatan biogas. Rasio C/N
merupakan perbandingan antara massa karbon organik dan massa nitrogen organik dalam suatu bahan
yang akan dipakai untuk berbagai kepentingan yang disebutkan di atas. Mengapa sedemikian
pentingnya rasio C/N? Karbon diperlukan sebagai kerangka dalam transfer electron pada berbagai
reaksi biokimia untuk menghasilkan energi dalam tubuh tanaman, ternak, dan mikroorganisme. Di sisi
lain, nitrogen merupakan unsur yang perlukan untuk sintesis protein mikroba dan untuk pertumbuhan
ternak. Efisiensi reaksi biokimia dalam tubuh makluk hidup untuk menghasilkan energy dan
akumulasi protein sangat dipengaruhi oleh rasio C/N.
Nilai rasio C/N optimum sangat berbeda untuk masing-masing proses fermentasi dan
biofermentasi. Berbagai penelitian membuktikan bahwa rasio C/N yang baik untuk proses pembuatan
biogas adalah 30 (Shuler dan Kargi, 1992). Sementara itu, rasio C/N yang baik untuk proses
pembuatan kompos adalah 15-25 (Jimenez dan Garcia, 1997). Beberapa penelitian awal membuktikan

86
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

bahwa proses ensilage pada pembuatan silage dari hijauan sumber protein adalah 30 (Mullik dkk,
2017).
Berhubung dengan berbedanya C/N rasio pada berbagai proses fermentasi dan biofermentasi,
maka amat penting untuk mengetahui C/N rasio pada hijauan pakan ternak yang tersedia di sekitar
kita. Pengetahuan akan rasio C/N rasio hijauan pakan ternak yang tersedia akan membantu dalam
membuat ramuan (campuran) bahan dengan rasio C/N yang terpat baik untuk fermentasi dan
biofermentasi bahan pakan atau pembuatan kompos atau pembuatan biogas. Atas dasar pemikiran di
atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan menghasilkan sebuah daftar rasio C/N pada berbagai
hijauan pakan ternak lokal yang ada di Pulau Timor bagian Barat.

METODE PENELITIAN

Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini rencanaakan dilaksanakan selama 12 minggu (bulan Juni – Oktober 2017) yang
terbagi ke dalam 4 tahapan yaitu:
Tahap 1: Pengambilan sampel hijauan pakan di lapangn: 4 minggu
Tahap 2:Analisis kandungan kimia sample hijauan pakan: 4 minggu
Tahap 3: Analisis data dan penulisan laporan: 2 minggu
Tahap 4: Menyampaian laporan akhir dan publikasi: 2 minggu
Tempat penelitian adalah di kandang di dua tempat yaitu di daratan Timor Barat untuk
pengambilan sampel hijauan, dan di Laboratorium Kimia Pakan Politeknik Negeri Pertanian untuk
analisis kandungan nutrisi sampel.
Teknik pengambilan sampel
Teknik pengembilan sampel yang digunakan adalah kombinasi stratifikasi dan random.
Strafikasi dilakukan dengan mengelompokkan jenis hijauan pakan ke dalam 4 kelompok yaitu (1)
Rerumputan, (2) Leguminosa, (3) Semak dan pepohonan lain, dan (4) bahan pakan lainnya.
Selanjutnya, sampel diambil secara acak pada setiap strata. Penentuan areal untuk sampling juga
dilakukan secara acak pada setiap klaster. Sampel yang terkumpul diproses untuk menentukan bahan
kering, bahan organik dan kandungan protein kasar menurut panduan AOAC (2005).
Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah produksi biomasa, komposisi kimia, dan
rasio karbon-nitrogen (C/N). Kandungan karbon dihitung menggunakan rumus yanga dikemukakan
oleh Jimenez dan Garcia (1992). Analisi data dilakukan menggunakan kombinasi antara statistik
diskriptif dan uji beda rata-rata. Teknik analisis disesuaikan dengan jenis data. Sotware yang akan
digunakan adalah mcrosoft excel verso 2010 dan SPSS versi 23.

HASIL DAN BAHASAN


Nilai rata-rata dan sebaran rasio karbon-nitrogen (C/N) pada berbagai kelompok bahan pakan di Timor
Barat sijakin pada Tabel 1. Untuk kelompak pakan jenis leguminosa nilaia rasio C/N jauh lebih kecil
yaitu hanya 17,03. Nilai ini berada jauh di bawah kebutuhan ideal untuk pembuatan silage atau biogas
(rasio C/N 30). Namun, untuk keperluan pembuatan kompos, nilai ini sudah cukup karena (Jimenez
dan Garcia, 1997) merekomendasikan rasio C/N kompos berkisar 15-25. Rasio C/N yang rendah pada
jenis leguminosa akibat dari kandungan nitrogen yang relatif lebih tinggi (berkisar 17-30%) dibanding
pakan jenis lainnya yang diteliti. Jenis rerumputan pada sisi lain, memiliki rasio C/N yang tetinggi
yaitu 56,26. Nilai C/N yang sedemikian tinggi menggambarkan bahwa untuk pembuatan silage atau
kompos atau biogas, perlu diturunkan nilai C/N dengan memberikan sumber nitrogen. Namun, data
pada rumput perlu diterjemahkan secara hati-hati karena rasio C/N selain ditentukan oleh jenis rumput,
tetapi juga sanagat kuta dipengaruhi oleh fase fisiologis di mana yang muda akan memiliki C/N rasio
yang jauh lebih rendah dibanding rumput tua atau yang berserat kasar tinggi.
Data yang menarik ditunjukkn oleh jenis pakan asal semak dan pepohonan lainnya yaitu rata-
rata rasio C/N adalah 30. Nilai ini sangat ideal untuk silage dan biogas, meskipun tidak untuk pupuk.
Sementari itu, kelompok campuran bahan pakan juga memiliki rata-rata C/N rasio sebesar 53.43.
Trend ini mirip dengan kelompok rerumputan. Alasam C/N yang tinggi pada kelompok jenis lainnya
juga sama dengan rerumputan karena kandungan nitrogennya relatif rendah disbanding legum.

87
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Nilai rata-rata dan sebaran rasio karbon-nitrogen pada berbagai kelompok pakan di NTT
Kelompok pakan Rasio karbon-nitrogen
Rata-rata Range STD
Leguminosa 17,03 9,8 - 47,3 33,4
Rerumputan 56,28 21.3 - 144.2 33,7
Semak & pepohonon lain 30,86 15,9 - 61.8 15,1
Bahan pakan lainnya 53,43 17,2 - 176,6 53.6

Bila dilihat sebaran angka rasio C/N pada setiap kelompok (Tabel 1 dan Grafik 1), terlihat
bahwa kelompok leguminosa memiliki rentang nilai yang relative kecil yaitu antara 9,8 sampai 47,3.
Kelompok semak dan pepohonan rentang nilainya sedikiti di atas leguminosa (15,9 – 61,8). Sementara
dua kelompok lainnya memiliki rentang nilai yang sangat luas yaitu berkisar 21,3 – 144,2 untuk jenis
rerumputan dan 17,2 – 176,4 untuk jenis pepohonan. Rentang nilai C/N yang lebar pada jenis
rerumputan (Grafik 1) disebabkan oleh adanya penurunan protein kasar yang tajam pada kandungan
nutrisi seiring meningkatnya umur sehingga nilai pembagi (nitrogen) dalam perhitungan rasio C/N
menjadi meningkat. Hal ini berbeda dengan nilai protein pada legum dan pepohonan yang cenderung
stabil pada fase fisiologis yang berbeda. Sementara itu, jenis pakan lainya sebarannya tidak berpola
karena bergantung pada jenis bahan di mana ada yang memiliki kandungan serat tinggi dan ada yang
sebalik.

200

180

160

140

120
Rasio C-N

100

80

60

40

20

0
Sebaran menurut jenis pakan

Rpt Legum Semak Lain

Grafik 1. Sebaran rasio karbon-nitrogen pada berbagi kelompok pakan di Timor Barat.

Analisis varians yang dilakukan untuk melihat perbedaan antar kelompok jenis pakan
menunjukkan bahwa jenis legume tidak nyata berbeda dengan semak serta pepohonan tetapi sangat
nyata lebih rendah (P<0,01) dari 2 kelompok lainnya (rerumputan dan bahan pakan lainnya).
Perbedaan ini sekali berkaitan dengan dengan kandungan protein yang relative yanh lebih tinggi pada
kelompok pakan leguminosa dan semak-pepohonan lainnya.

88
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 2. Hasil analisis varians rata-rata rasio karbon-nitrogen pada berepa kelompok pakan di Timor
Barat
Kelompok pakan Rasio karbon-nitrogen
Leguminosa 17,03a
Semak & pepohonon lain 30,86a
Rerumputan 56,28b
Bahan pakan lainnya 53,43b

Nilai P 0,001
SEM 7,49

SIMPULAN
Disimpulkan bahwa rata-rata rasio C/N terendah terdapat pada kelompok pakan jenis leguminosa
akibat dari kandungan protein kasar yang relatif tinggi. Sedangkan rerumputan dan jenis pakan lainnya
memiliki rerata rasio C/N di atas 50 dengan rentangan nilai yang sangat lebar yaitu antara 17 hingga
176. Selain memiliki rentangan nilia yang luas, kelompok rerumputan juga memiliki trend perubahan
rasio C/N sangat drastis seiring meningkatan umur tanaman menuju proses vegetative dan penuaan.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. 17th Ed. AOAC International. Washington.
Jimenez EL dn Gacia CV. 1997. Relationship between organic carbon dan total organic matter in
municipal solid waste and refuse composts. Bioresour Technology, 41:25-272.
Müller PJ. 1977. C/N ratios in Pacific deep-sea sediments: Effect of inorganic ammonium and organic
nitrogen compounds sorbed by clays." Geochimica et Cosmochimica Acta 41 (6): 765-776.
Shuler ML dan Kargi F. 1992. Bioprocess Engineering Basic Concepts, Prentice-Hall International
Inc., New Jersey.

89
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PAKAN RENDAH PROTEIN BAGI AYAM BROILER DI DAERAH TROPIS


LOW PROTEIN DIET FOR BROILER RAISED IN THE TROPICAL REGION
St.Y.F.G Dillak1 dan N.G.A Mulyantini1
1
Program Studi Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengurangi biaya ransum dengan menggunakan formulasi ransum
rendah protein, dan memperbaiki performans ayam, serta mengurangi efek cekaman panas di wilayah kepulauan
tropika. Penelitian ini menggunakan 180 ayam broiler yang dialokasikan pada 12 perlakuan ransum (3 level
protein x 2 level asam amino x 2 level enzim protease). Tiga level protein yang digunakan yaitu 20%, 18% dan
16%); 2 level asam asam amino (1,3% dan 0%). Kemudian dari setiap perlakuan ada yang diberikan enzim
protease dan ada yang tidak diberikan protease. Setiap perlakuan diulang 3x dan setiap ulangan ada 5 ekor ayam.
Parameter yang diukur konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi ransum. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa formulasi ransum yang rendah protein dengan penambahan imbuhan pakan dapat
memberikan performans pertumbuhan ayam yang baik dibandingkan dengan ransum kontrol.
Kata kunci : broiler, pakan, rendah protein, tropis.

ABSTRACT
The objective of this study was to reduce feed costs by using low protein ration formulations, and improve the
performance of chickens, as well as reduce the effects of heat stress in the tropical region. The study used 180
broiler chickens allocated to 12 treatment (3 protein level x 2 amino acid levels x 2 levels of protease enzyme).
Three levels of protein used were 20%, 18% and 16%); 2 levels of amino acid (1.3% and 0%); 2 levels of
enzyme (with and without protease enzyme) . Each treatment was repeated 3x and every replication there were 5
chickens. Parameters measured were feed consumption, weight gain, and feed conversion ratio. The results of
this study concluded that low protein ration formulation with the addition of feed additive can provide good
chicken growth erformance compared with control rations.
Keywords : broiler, rations, low protein, tropical

PENDAHULUAN
Peternakan unggas di NTT, terutama ayam mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penyediaan daging, karena permintaan daging di wilayah NTT dari tahun ke tahun yang semakin
meningkat. Namun, produksi unggas di wilayah kepulauan tropika ini masih perlu ditingkatkan.
Kendala yang dihadapi dalam perkembangan industri unggas di Indonesia diantaranya adalah pakan
dan suhu lingkungan. Dari segi pakan, yaitu tingginya harga pakan, karena bahan baku pakan masih
ada yang diimpor, beberapa bahan baku lokal kualitas gizinya rendah, serat kasar tinggi, mengandung
anti nutrisi dan sulit dicerna oleh unggas. Dari segi lingkungan, Indonesia khususnya di Indonesia
bagian Timur merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki suhu lingkungan di luar kondisi ideal
untuk ayam. Apabila hal tersebut disertai dengan manajemen pakan yang kurang baik, maka ternak
akan mengalami cekaman panas dan penurunan performans, serta penurunan produksinya.
Manajemen pakan, salah satunya adalah memformulasikan ransum dengan tepat.
Di wilayah kepulauan tropika dengan suhu harian rata-rata lebih dari 27oC, penggunaan protein
ransum yang tinggi pada saat periode grower relative kurang efisien. Hal ini disebabkan protein tinggi
akan meningkatkan produksi panas di dalam tubuh akibat meningkatnya efek cekaman panas pada
proses pencernaan protein. Ini akan berdampak kepada menurunnya efisiensi penggunaan protein
untuk produksi karena meningkatnya pembongkaran protein untuk produksi energi guna membuang
kelebihan panas tubuh, sehinga ekskresi nitrogen meningkat (de Faria Filho et al., 2007). Protein
memberikan efek cekaman panas lebih tinggi pada tubuh ayam apabila komposisinya tidak tepat.
Selain itu penggunaan ransum protein tinggi juga akan mengakibatkan meningkatnya biaya ransum.
Karena bahan pakan sumber protein merupakan bahan yang paling mahal harganya. Protein
merupakan komponen termahal dalam ransum maka pemberian protein secara berlebihan tidak
ekonomis. Untuk mengurangi biaya ransum, maka perlu diteliti penggunaan protein rendah tetapi
diupayakan ditingkatkan efisiensinya. Salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
ransum tersebut adalah penggunaan enzim dalam ransum sebagai feed additif nonnutritive (Choct,

90
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

2006). Masyarakat khususnya peternak dan industri pakan ternak masih memerlukan banyak
informasi mengenai penerapan imbuhan pakan unggas untuk meningkatkan kualitas bahan pakan lokal
di lingkungan tropis seperti di Nusa Tenggara Timur. Zat anti nutrisi yang terdapat pada beberapa
bahan baku lokal menjadi penghalang bagi peternak untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang
berlimpah. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan imbuhan pakan dapat memperbaiki kualitas dari
bahan pakan lokal, yang pada akhirnya dapat meningkatkan performans ternak yang dipeliharanya dan
memperbaiki kualitas produk yang dihasilkannya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan 180 ayam broiler yang diperoleh dari “Poulry shop” di kota Kupang.
Pada umur 1 hari sampai 20 hari ayam diberi ransum komersial untuk periode starter. Pada umur 21-
35 hari ayam dialokasikan pada 12 perlakuan ransum (3 level protein x 2 level asam amino x 2 level
enzim protease). Tiga level protein yang digunakan yaitu 20%, 18% dan 16%); 2 level asam asam
amino (1,3% dan 0%). Kemudian dari setiap perlakuan ada yang diberikan enzim protease dan ada
yang tidak diberikan protease. Setiap perlakuan diulang 3x dan setiap ulangan ada 5 ekor ayam yang
diseleksi mempunyai bobot badan yang relative seragam dan sehat.
R0 = control, yaitu ransum dengan level protein 20%
R1 = ransum dengan level protein 20% dengan suplementasi enzim protease
R2 = ransum dengan level protein 20% + asam amino 1.3% tanpa enzim
R3 = ransum dengan level protein 20% + asam amino 1.3% + enzim protease
R4 = ransum dengan level protein 18%
R5 = ransum dengan level protein 18% dengan suplementasi enzim protease
R6 = ransum dengan level protein 18% + asam amino 1.3% tanpa enzim
R7 = ransum dengan level protein 18% + asam amino 1.3% + enzim protease
R8 = ransum dengan level protein 16%
R9 = ransum dengan level protein 16% dengan suplementasi enzim protease
R10 = ransum dengan level protein 16% + asam amino 1.3% tanpa enzim
R11 = ransum dengan level protein 16% + asam amino 1.3% + enzim protease

Parameter yang diukur konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi ransum. Data yang
dikumpulkan dianalisis menggunakan general linear model dan perlakukan dinyatakan berbeda nyata
pada nilai P<0,05.

HASIL PENELITIAN
Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum
dapat dilihat pada Tabel 1. Konsumsi ransum pada ayam broiler yang diberi ransum rendah protein
dengan level 18% dengan maupun tanpa penambahan enzim dan asam amino lysin tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dengan konsumsi ransum pada ayam broiler yang diberi ransum kontrol (R0).
Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi enzim dan asam amino lysin pada ransum rendah protein
memberikan pengaruh yang baik terhadap konsumsi ransum.
Konsumsi ransum tertinggi diperoleh pada ayam broiler yang diberi ransum rendah protein
dengan level 18%+lysine 1.3% +suplementasi enzim protease, sedangkan konsumsi ransum terendah
yaitu pada ayam broiler yang diberi ransum dengan level protein 20%+lysin 1.3% tanpa diberi
suplementasi enzim (R6). Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi enzim protease dan lysin mampu
meningkatkan palatabilitas pakan. Walaupun level protein ransum lebih rendah daripada protein
standar namun apabila disupementasi dengan enzim protease dan lysin 1.3% mampu meningkatkan
konsumsi ransum.
Ransum rendah protein dengan penambahan enzim memberikan tingkat konsumsi ransum yang
lebih baik dibandingkan dengan ransum rendah protein tanpa suplementasi enzim. Ransum dengan
penambahan asam amino dan enzim mampu meningkatkan tingkat palatabiltas pada ayam. Selain itu,
jenis enzim yang digunakan sesuai dengan substrat yang terdapat pada bahan pakan lokal yang
digunakan pada penelitian ini, sehingga penggunaan nutrien dapat lebih efisien untuk meningkatkan
performans ayam broiler penelitian.

91
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan
konversi ransum per minggu
Perlakuan Konsumsi ransum Pertambahan Bobot Konversi ransum
(gr)/mg badan/ekor/mg
R0 2007.39b 1197.15 b 1.677 a
R1 2196.23 c 1274.20 c 1.724 a
R2 1734.00a 1072.05 a 1.617 a
R3 1882.79 b 1103.10 a 1.707 a
R4 1990.79 b 1242.61 c 1.602 a
R5 2006.36 b 1097.98 a 1.827 a
R6 1999.02 b 1198.20 b 1.668a
R7 2213.46 d 1400.67 d 1.717 a
R8 2131.79 c 1308.18 c 1.630 a
R10 1995.11 b 1177.76 b 1.694 a
R9 2097.89 c 1133.65 b 1.851 a
R11 2132.24 c 1307.20 c 1.631 a
SEM 123.88 105.89 0.26
P-value 0.0005 0.0005 0.021

Kualitas protein sangat tergantung pada dua faktor utama yaitu komposisi asam amino dan
ketersediaannya untuk pertumbuhan melalui proses pencernaan. Tidak semua asam amino yang
terkandung dalam protein ransum dapat tersedia untuk unggas. Beberapa bahan pakan mempunyai
daya cerna asam amino yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan struktur biokimia
selama pengolahan pakan. Faktor lain dapat berasal dari kandungan antinutrisi yang terdapat pada
bahan pakan. Hal ini dapat mempengaruhi aktivitas enzim protease, laju aliran pakan dalam saluran
pencernaan, dan penyerapan asam amino didalam usus halus. Beberapa bahan pakan juga
mengandung karbohidrat yang tidak dapat dicerna yang dapat mengikat asama amino (Donalds dan
William, 2002). Hal ini dapat mengakibatkan performans unggas tidak optimal. Untuk mendapatkan
performans unggas yang optimal, kandungan protein ransum harus mengandung asam amino esensial
dan non esensial agar dapat mensintesa protein dan melancarkan proses metabolism. Ekskresi
nitrogen dapat dikurangi dengan memberikan komposisi asam amino yang sesuai dengan kebutuhan
unggas untuk pertumbuhan dan untuk produksi dagingnya.
Asam amino komersial dan enzim protease pada penelitian ini digunakan pada pakan rendah
protein untuk menghindari kandungan asam amino yang melebihi kebutuhan unggas. Keshaverts
(1991) menyatakan bahwa ransum rendah protein dapat membuat unggas lebih toleran terhadap suhu
lingkungan yang tinggi. Hal ini disebabkan produksi panas yang berkaitan dengan penggunaan
protein lebih besar dibandingkan dengan karbohidrat dan lemak.
Penurunan performans ternak di wilayah kepulauan tropika yang rata-rata suhu hariannya relatif
tinggi dihubungkan dengan penurunan konsumsi ransum. Tetapi, penurunan performans ayam di suhu
tinggi tidak hanya refleksi dari penurunan konsumsi ransum tetapi juga hasil dari perubahan metabolik
akibat dari stress dan juga akibat dari formulasi ransum yang tidak tepat sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan mikroba didalam saluran pencernaan. Formulasi ransum dengan kandungan
protein tinggi selain pemborosan juga memberikan efek cekaman panas yang tinggi.

KESIMPULAN
Ayam broiler periode grower yang dipelihara di daerah tropika dapat diberikan ransum dengan
kandungan protein yang rendah sampai 16% dengan suplementasi enzim dan penambahan lysin.
Ransum rendah protein dapat mengurangi efek cekaman panas, mengurangi biaya ransum dan
mengurangi polusi nitrogen dari protein ransum, memperbaiki perfomans unggas dan meningkatkan
kualitas karkas ayam.

92
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Aftab, U., M. Ashraf and Z. Jiang, 2006. Low protein diets for broilers. World’s Poultry Science.
Journal., 62: 688-701.
Jiang, Q., P.W. Waldroup and C.A. Fritts, 2005. Improving the utilization of diets low in crude protein
for broiler chicken. 1. Evaluation of special amino acid supplementation to diets low in crude
protein. International. Journal.of Poultry Science., 4: 115-122.
Kaczmarek, S and A. Rutkowski. 2009. Enzyme preparation on nutrient digestibility, nitrogen
retention and AME level of maize grain for broiler chickens. World Poultry Science Journal. 64:
198.

93
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KUNYIT DALAM RANSUM TERHADAP


PERFORMAN BABI PERANAKAN LANDRACE
EFFETCTS OF ADDITION OF CURCUMA MEAL IN RATION ON PERFORMANCE OF
LANDRACE BRED PIGS
Tagu Dodu1, I M. S. Aryanta1, N.N.Suryani1, F.Heryfianto1, S.T.Tanghamap1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung kunyit dalam dalam ransum
terhadap performan babi. Materi yang digunakan 12 ekor babi peranakan landrace 2-3 bulan dengan bobot 8,5-
15,00 kg rata-rata 11,5 kg dengan CV=23,32%. Bahan pakan yang digunakan tepung jagung, dedak padi,
konsentrat-CP-157, tepung ikan, tepung kelor, mineral-10, minyak kelapa, dan tepung kunyit sebagai bahan
tambahan. Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan:
R0: ransum basal tanpa penambahan tepung kunyit, R1: ransum basal+0,25% tepung kunyit, R2:ransum basal +
0,50% tepung kunyit, R3:ransum basal+0,75%. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan berpengaruh tidak
nyata (P>0,05) terhadap performan ternak babi peranakan landrace.
Kata kunci: babi, kunyit, performan

ABSTRACT
The research was aiming at determining the effect of curcuma domestica,Val inclusion treatmment in basal diets
for performance of pigs. The materials used in the research were 12-two to three months landrace piglets with
weights vary from 8,5 to 15 kg and variance coefficient 23,32%. The diets materials used were corn, rice bran,
fish meal, concentrate CP-157, moringa meal, mineral-10, coconut oil and curcuma domestica Val as additive.
A randomized block designed was employed in the research with 4 treatmens and 3 replicates. The treatmens:
R0:basal diets without curcuma meal, R1:basal diets+curcuma meal 0,25%, R2:basal diets+curcuma meal
0,50% and R3: basal diets+curcuma meal 0,75%. The results showed that the treatmens were not significantly
(P>0,05) affecting the performace of landrace crossbreed pigs.
Keywords: pig, curcuma domestica, performance.

PENDAHULUAN
Rimpang kunyit (Curcuma domestica Val ), adalah salah satu tanaman herbal yang dapat digunakan
sebagai bahan pakan tambahan dalam ransum ternak babi. Kunyit merupakan tanaman herbal telah lama dikenal
masyarakat yang memiliki kandungan minyak atsiri 3-5% dan kurkumin 2,5-6% (Rukmana, 2005), yang dapat
menekan bakteri dan kandungan kurkuminnya dapat menjaga daya tahan tubuh. Kunyit dapat menggantikan
antibiotik sintetis, karena mengandung senyawa aktif atau bioaktif yang mempunyai fungsi sama dengan
antibiotik sintetis. Tantalo (2009) menyatakan zat yang ada dalam kunyit mampu menghasilkan berbagai Kunyit
enzim yang dapat membantu pencernaan pakan dalam tubuh ternak. Kunyit mampu meningkatkan produksi dan
sekresi empedu dan pankreas sehingga membantu proses pencernaan zat-zat makanan (Toana, 2008).
Hasil penelitian penggunaan Rimpang kunyit, sebagai bahan pakan tambahan dalam ransum babi
sampai saat ini belum banyak dilakukan. Reksowardojo, dkk. (2004) melaporkan penambahan kunyit 0,25%
dalam ransum dapat memperbaiki konversi pakan. Sedangkan Sinaga (2011), pemberian 0,40% dapat
memperbaiki efiisiensi pakan babi. Sedangkan Nova (2001), penambahan sampai 1,2% memberikan pengaruh
tidak nyata terhadap konsumsi dan pertambahan bobot badan ayam broiler. Dien, dkk (2012), penggunaan
herbal kunyit difermentasi dengan EM4 dalam air minum ternyata dapat meningkatkan perfomans ayam broiler,
ditinjau dari pertambahan berat badan dan konversi ransum. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka telah
dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penambahan tepung rimpang kunyit, dalam
ransum terhadap performans babi peranakan landrace.

METODELOGI PENELITIAN
Babi jantan kebiri peranakan Landrace umur 2-3 bulan dengan bobot awal 8,5-15 kg, rata-rata
11,25 kg (KK = 23,32%), ditempatkan dalam kandang individu dengan ukuran setiap petak 1,2 m x 1
m x 1 m. Ransum berupa campuran bahan pakan dengan komposisi dan kandungan nutrisi sesuai
dengan standar kebutuhan ternak babi yaitu 18-20% protein dan 3160-3400 kkal/kg energi (NRC,
1998).
94
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrisi ransum penelitian


Bahan pakan Komposisi Kandungan nutrisi (%)
(%) EM(kkal/ PK SK BK LK Ca P
kg)
Tepung jagung 40,00 1.368,00 3,76 1,00 35,60 1,52 0,01 0,11
Dedak padi 28,00 868,00 3,36 3,61 25,48 0,42 0,03 0,38
Tepung ikan 9,00 267,48 4,77 0,08 8,28 0,36 0,33 0,21
Tepung daun kelor 1,00 20,50 0,27 0,19 0,92 0,02 0,02 0,002
Konsentrat-157 21,00 651,00 7,56 1,26 18,48 0,84 0,63 0,25
Mineral-10 0,50 0 0 0 0 0 0,21 0,05
Minyak kelapa 0,5 45,00 0 0 0 0 0 0,00
Jumlah 100 3.219,98 19,72 6,14 88,76 3,16 1,23 1,00
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri
dari 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 12 unit percobaan. Ransum Perlakuan yang diuji
adalah R0 : tanpa penambahan tepung kunyit; R1 : penambahan tepung kunyit 0,25%; R2 :
penambahan 0,50%; R3 : penambahan 0,75%
Variabel yang diteliti adalah: Konsumsi Ransum, Pertambahan bobot badan, Konversi ransum,
Ukuran linear tubuh, dan IOFC (Income Over Feed Cost). Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan prosedur sidik ragam Analysis of variance (ANOVA) pola Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dan untuk menguji perbedaan antara perlakuan digunakan uji jarak berganda Duncan (Steel
and Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian pengaruh penambahan tepung kunyit dalam ransum babi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi dan kandungan nutrisi ransum penelitian
Variabel Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi ransum (g/hr) 1.074,94 1.229,56 1.157,33 1.115,44
Pertambahan bobot badan (g/hr) 464,29 515,87 507,94 484,13
Konversi ransum 2,33 2,37 2,28 2,29
Panjang badan (cm) 0,60 0,64 0,62 0,61
Lingkar dada (cm) 0,32 0,36 0,35 0,33
Tinggi badan (cm) 0,30 0,34 0,33 0,32
IOFC (Rp/ekor) 396.311,05 395.279,27 427.603,75 398.881,54
Keterangan: perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05).

Rata-rata konsumsi ransum babi penelitian yang diberi penambahan kunyit (0,25, 0,50 dan
0,75% dalam ransum, secara empiris lebih tinggi dibandingkan babi yang tidak mendapat penambahan
tepung kunyit. Hal ini ditunjukkan oleh adanya senyawa aktif yang mampu meningkatkan enzim
pencernaan, meningkatkan proses pencernaan pakan sehingga mempercepat pengosongan saluran
cerna dan akhirnya konsumsi meningkat (Tantalo, 2009). Namun secara statistik konsumsi tidak
berbeda nyata (P>0,05), menunjukkan penambahan kunyit menyebabkan tingkat palatabilitas babi
terhadap ransum perlakuan sama dengan tanpa kunyit. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh cita rasa
atau palatabilitas (Ginting dan Aryanta, 2015), juga dipengaruhi oleh kandungan energi ransum.
Kandungan energi ransum hampir sama menyebabkan konsumsi tidak berbeda nyata, sesuai dengan
95
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

pernyataan Dewi dan Setiohadi (2010) bahwa pakan yang mempunyai kandungan nutrien yang relatif
sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama. Senyawa bioaktif dalam kunyit berupa kurkumin,
demetoxykurkumin, bisdemetoxykurkumin dan minyak atsiri (Li et al. 2011) belum memberi efect
nyata padasaluran cerna babi, sehingga tidak berpengaruh nyata pada konsumsi ransum.
Pengaruh perlakuan terhadap bobot badan tidak nyata (P>0,05), disebabkan kandungan
nutrisi, keseimbangan energi dan protein semua perlakuan sama. Jumlah konsumsi ransum dengan
kandungan nutrisi yang sama, kualitas nutrisi yang baik kecernaannya baik maka mendapatkan
pertumbuhan yang sama baik (Sinaga dan Martini, 2010). Penambahan kunyit 0,25-0,75% pada babi
bobot rata-rata 11,25 kg atau berkisar 8,5-15 kg belum mampu meningkatkan pertambahan bobot
badan babi penelitian. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Nova (2001), penambahan 1,2% tidak
mampu memberikan peningkatan secara signifikan terhadap konsumsi dan pertambahan bobot ayam
broiler. Hasil ini didukung laporan penelitian Diora Kristia, dkk (2015) yang mendapatkan
penambahan tepung kunyit 1-4% dalam ransum menurunkan bobot badan ayam broiler. Hasil ini
berbeda dengan penelitian Al-Sultan (2003), pemberian 0,5% mampu mendapatkan pertambahan
bobot badan dan konversi ransum yang lebih baik.
Konversi ransum yang tidak berbeda nyata disebabkan ransum perlakuan mempunyai kualitas
yang sama, dengan kandungan nutrisi yang seimbang. Hal ini didukung oleh Ginting (2012), bahwa
keberhasilan meningkatkan potensi genetik babi yang bertumbuh cepat, dapat terlihat apabila
ditunjang dengan pemberian pakan yang baik, dimana kandungan nutrisinya sempurna dan seimbang
terutama zat-zat essensial, untuk mendapatkan konversi ransum yang kecil.
Tidak adanya pengaruh penambahan kunyit terhadap panjang badan disebabkan kandungan
kalsium dan posfor ransum perlakuan semua sama, dan penambahan sampai 0,75% dalam ransum
tidak mempengaruhi kecernaan Ca dan P. Sebaliknya pemberian kunyit yang terlalu tinggi akan
berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan karena adanya fenol, tanin adan flavonoid yang tinggi
dapat menurunkan konsumsi (Pietta, 2000).
Lingkar dada dipengaruhi oleh pertumbuhan daging, dimana babi penelitian dengan bobot rata-
rata 11,5 kg pertumbuhan daging belum dominan sehingga pengaruhnya tidak nyata. Tinggi badan
ternak lebih banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan tulang, bukan oleh daging atau otot.
Perkembangan / pertumbuhan tubuh ternak lebih banyak dipengaruhi oleh konsumsi, kualitas ransum
(Sinaga, 2002) atau tingkat gizi ransum yang digunakan (Martini, 2010). Penambahan tepung kunyit
sampai 0,75% dalam ransum belum nyata meningkatkan ukuran linear tubuh babi peranakan landrace
umur muda bobot 8,5-15 kg, karena zat aktif yang ada dalam kunyit tidak mampu memperbaiki
pencernaan makanan, meningkatkan pemanfaatan zat-zat makanan menjadi pertambahan ukuran linear
dan bobot badan.
Income Over Feed Cost babi penelitian yang mendapat penambahan tepung kunyit 0,5-0,75%
secara empiris lebih tinggi, atau lebih menguntungkan. Namun secara statistik belum menunjukkan
pengaruh yang signifikan. Hal ini disebabkan konsumsi dan pertambahan bobot yang dihasilkan sama
untuk semua perlakuan. Hasil ini menunjukkan dengan penambahan in-put belum menyebabkan
peningkatan aout-put yang ditunjukkan oleh produktivitas babi. Untuk menilai perhitungan ekonomis
dalam pemberian pakan ternak babi, maka hal yang perlu diperhatikan adalah berapa besar biaya
pakan sebagai in-put dan berapa besar pertumbuhan badan sebagai out-put (Silalahi, 2011). Minyak
atsiri yang ada dalam tepung kunyit 0,75% belum mampu mengkonversi pakan yang berpengaruh
pada pembentukan daging yang optimal, berbeda dengan hasil dari Bintang dan Nataamijaya (2005),
mendapatkan bertambahnya bobot badan ayam broiler.

SIMPULAN
Penambahan tepung kunyit pada level 0,25, 0,5 dan 0,75% dalam ransum babi peranakan
landrace umur muda bobot rata-rata 11,5 kg, belum menunjukkan hasil yang signifikan terhadap :
konsumsi, pertambahan bobot badan, konversi ransum, ukuran linear tubuh dan IOFC.

DAFTAR PUSTAKA
AL-Sultan, S.I. 2003. The Effect of Curcuma longa (Tumeric) on overall Performance of Broiler
Chickens. Departement of Public Health and Animal Husbandry, College of Veterinary
96
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Medicine and Animal Resources, King Faisal University. Saudi Arabia. J.Poultry Sci. 2(5) :
351-353.
Bintang, I.A.K. dan A.G. Nataamijaya. 2005. Pengaruh Penambahan Tepung Kunyit (Curcuma
domestica, Val) dalam Ransum Broiler. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Diora Kristia, N. W, Sunaryo Hadi, R. Budi Utomo, dan Mirni Lamid. Pengaruh Pemberian Tepung
Kunyit (Curcuma domestica) dan Tepung Daun Seligi (Phyllanthus buxifolius) dalam Pakan
terhadap Performans Ayam Broiler Jantan. Universitas.Airlangga.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/agrovetf16961c02afull.pdf
Moenthe, U.G. 2012. Pakan Ternak Babi dan Penanganannya di Daerah Tropis. Pusat Penelitian
Undana. CV. Kreasi.
Moenthe,.U.G. dan I M.S.Aryanta. 2015. Pedoman Beternak Babi di Daerah Tropis. Lembaga
Penelitian Undana. UD.Lingga. Kupang.NTT.
Li, M., W. Yuan, G.Deng, P.Wang, P. Yang and B.B. Anggarwal. 2011. Chemical Composition and
Product quality control of turmeric (Curcuma longa, L). Pharmaceutical Crops. 2:28-54.
Martini, S. 2010. Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Curcuminoid pada Ransum Babi Periode
Starter terhadap Efisiensi Ransum. Fapet Unpad Bandung. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.10 (2):
95-101.
Pietta, P.G. 2000. Flavonoids as antioxidans. Reviews. J.Nat.Prod. 63: 1035-1042.
Reksowardojo, D.H., D.S. Dilaga dan Margono. 2004. Pengaruh Tingkat Pemberian Tepung Kunyit
(Curcuma domestica) dalam ransum terhadap penampilan produksi babi jantan kebiiri periode
tumbuh. Proc. Seminar Nasional Teknolkogi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5
Agustus.2004. Puslitbang Peternakan Bogor. Hal.646-650.
Rukmana. 2005. Kunyit. Yogyakarta. Kanisius.
Silalahi, M. 2011. The Effect of Ration Containing Various Dosage Curcuminoid In Pigs Rations to
Growth Rate and The Ration Convertion. Fapet Unpad. Bandung. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan. Vol.12(1): 20-27. ISSN 1410-5020.
Sinaga,S. Dan Martini. 2010. Pengaruh Pemberian Berbagai dosis Curcuminoid pada Babi terehadap
Pertumbuhan dan Konversi Ransum. Fakultas Peternakan Unpad. Bandung. Jurnal ilmu
Ternak.No.10 Vol.1`: 45-51
---------., D.T.H. Sihombing, Kartiaso dan M.Bintang. 2011. Kurkumin dalam Ransum Babi sebagai
Pengganti Antibiotik Sintetis. Untuk Perangsang Pertumbuhan. Bandung. Fakultas Peternakan
Unpad. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. No2. Vol.13:125-132..
Tantalo,S. 2009. Perbandingan Performans dua strain yang mengkonsumsi air kunyit. Jurnal Ilmiah.
Ilmu-ilmu Peternakan. Vol.XII(3):146-152.
Kaselung, P.S., M.E.K. Montong, C.L.K. Sarayar dan J.L.P. Saerang. 2014. Penambahan rimpang
kunyit (Curcuma domestica,Val) rimpang temu lawak (Curcuma xanthorriza roxb), dan rimpang
temu putih (Curcuma zedoariaa rosc) dalam ransum komersial terhadap performans burung
puyuh (Coturnix-coturnix japonica). Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado
95115. Jurnal Zootek (“Zootrek” Journal ) Vol 34 No. 1:114-123 (Januari 2014) ISSN 0852 -
2626 116
Toana, N.M. 2008. Pengaruh Pemberian Tepung Kunyit (Curcuma domestica, Val) dalam Ransum
terhadap Performan Produksi Itik Periode bertelur. J. Agroland.15(2):140-143.

97
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

EFEK CAMPURAN TEPUNG DAUN KELOR, TEPUNG DAGING BEKICOT DAN


TEPUNG LIMBAH IKAN SEBAGAI PENGGANTI KONSENTRAT KOMERSIAL
TERHADAP KECERNAAN DAN PERFORMAN BABI
THE EFFECT OF A MIXTURE OF MORINGA LEAVES MEAL, SNAIL MEAT MEAL AND WASTE
FISH MEAL AS A SUBSTITUTE FOR COMMERCIAL PROTEIN CONSENTRATE ON
DIGESTIBILITY AND PERFORMANCE OF LANDRACE CROSSBREED PIGS
N.N. Suryani1, Usaha G. Moenthe1, I M.S. Aryanta1, dan Thomy Naitasi1
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana
Email: nengahsuryani1964@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini mengevaluasi pengaruh campuran tepung daun kelor (Moringa oleifera), tepung daging
bekicot (Achatina fulica) dan tepung limbah ikan sebagai pengganti konsentrat komersial terhadap kecernaan
dan performan babi peranakan landrace. Rancangan Acak Kelompok 4 perlakuan dan 4 ulangan digunakan
dalam penelitian ini. Perlakuan yang dimaksud adalah: R0 = Ransum dengan 100% Konsentrat Protein Komersial
(KPK), R1 = Ransum dengan KPB (Konsentrat Protein Buatan) menggantikan 50% KPK, R2 = Ransum dengan
KPB menggantikan 75% KPK dan R3= Ransum dengan KPB menggantikan 100% KPK. KPB berupa campuran
45% tepung daun kelor, 5% tepung daging bekicot dan 50% tepung limbah ikan. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecernaan dan performan babi.
Simpulan : campuran tepung daun kelor, tepung daging bekicot dan tepung limbah ikan (45:5:50) dapat
mengganti konsentrat protein komersial sampai level 100% (25% dalam ransum) ternak babi percobaan fase
grower.
Kata kunci : kelor, bekicot, limbah ikan, babi

ABSTRACT
This study evaluated the effect of a mixture of moringa (moringa oleifera) leaves meal, snail (Achatina fulica)
meat meal and waste fish meal as a substitute for commercial protein consentrate on the digestibility of
landrace crossbreed pigs. Randomized block design (RAK), with 4 treatments and 3 groups was used in the
experiment. The treatments are: R0 = 100% ration with Commercial Protein Concentrate (CPC) without
Artificial Protein Concentrate (APC), R1 = ration with APC replacing 50% CPC, R2 = ration with APC
replacing 75% CPC and R3 = ration with APC replacing 100% CPC. APC was mixed of 45% moringa leaves,
5% snail meat meal and 45% waste fish meal. Statistical analysis results showed that the treatment effect was
not significant (P>0,05) for pigs digestibility and performance. Concluded: Artificial protein concentrate
consisting of a mixture Moringa (Moringa oleifera Lam) leaves meal, snail (Achatina fulica) meat meal and fish
waste meal (45:5:50) could replace up to a percentage of 100% protein concentrate substitution of commercial
protein concentrate.
Key words: Moringa oleifera, Achatina fulica, waste fish, pigs

PENDAHULUANbanyak
Pemeliharaan babi intensif umumnya menggunakan pakan sudah siap di pasaran seperti
konsentrat CP-152, yang mengandung protein tinggi (36-40%) yang dicampurkan pada bahan pakan
sumber energi seperti jagung dan dedak padi. Konsentrat ini harganya mahal, sehingga perlu mencari
penggantinya. Bahan pakan lokal yang berpotensi sebagai sumber protein untuk menggantinya,
adalah daun kelor (Moringa oleifera), daging bekicot ( Achatina fulica)) dan limbah ikan. Ketiga
bahan lokal ini ketersediaannya musiman, sehingga perlu dikeringkan disimpan dalam bentuk tepung
dan diramu menjadi Konsentrat Protein Buatan (KPB).
Daun kelor, bekicot dan limbah ikan ketiganya merupakan sumber protein dengan porsi asam-
asam amino essensialnya berbeda-beda. Asam-asam amino dan zat nutrisi lainnya yang terkandung
dari ketiga bahan lokal ini diharapkan dapat saling melengkapi. Daun kelor, mengandung protein
26,26% (Naetasi, 2014), 27,1% (Fuglie,2001), 29 ± 6%, serta mengandung 10 asam-asam amino
esensial, antara lain metionin 4,97 mg, dan lisin 14,06 mg (Foidl et al, 2001), kualitas nutrisinya yang
lebih baik dibandingkan dengan protein susu, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Nur Kholis
dan Faris Hadi, 2010), juga mengandung 28,2 mg/100 gram zat besi (Gopalan, et al (2004).
98
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Penambahan tepung daun kelor 75 dan 150 gr dalam ransum rendah protein belum memberikan
pengaruh yang nyata terhadap efisensi ransum (Matta, 2014), kecernaan protein dan serat kasar (Jawa,
2014) namun meningkatkan Erytrocyte dan leucocyte darah babi peranakan landrace fase grower
(Dwipayana, 2014), pertumbuhan yang bagus pada kelinci (Marhaeniyanto dkk,. 2015).
Tepung daging bekicot mengandung Protein Kasar (PK) 62,65% (Naetasi, 2014), 54,29-
64,14%, lemak 3,92-4,18%, dan karbohidrat 30,45%, asam-asam amino essensial sangat tinggi
terutama lisin 4,35% (Susanthi, 2015) 8,98%, methionin1,04% (Reksohadiprojo,1990 dalam
https://www.peternakan kita.com/bekicot-sebagai-pakan-ternak-unggas/diakses2017,dan metionin
(http://sukajayafarm.wordpress. com (27/2/2014), dimana kedua asam amino tersebut merupakan
asam amino essensial yang sering kekurangan dalam pakan babi, dapat meningkatkan konsumsi,
efisiensi dan produksi telur puyuh (http://www//peternakankita.com, 6/4/2016).
Limbah ikan merupakan ikan-ikan sisa yang tidak dikonsumsi manusia, berpotensi di
Indonesia karena laut kita luas dan apabila tangkapan ikan oleh nelayan meningkat tentu limbah
yang dihasilkan juga meningkat, mengandung protein 53,5% (Naitasi,2014). Tingginya harga pakan
komersial disebabkan karena sebagian besar bahan baku pakan unggas masih impor (Udjianto dkk.,
2005), termasuk import tepung ikan. Hingga saat ini pemenuhan kebutuhan bahan baku tepung ikan
untuk industri ransum dalam negeri 70% harus dipasok dari luar negeri (Widodo, 2010). Berdasarkan
uraian tersebut di atas maka campuran ketiga bahan pakan lokal tersebut perlu diketahui pengaruhnya
terhadap ternak babi peranakan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan babi peranakan Landrace jantan kebiri dengan bobot awal 22-54
kg, rata-rata 41,54 kg (CV = 21,09%), ditempatkan dalam kandang individu dengan ukuran setiap
petak 1,2 m x 1 m x 1 m. Ransum kontrol (R0) terdiri dari 40% tepung jagung, 33,50% dedak padi,
1% lemak, 0,5% premix dan 25% konsentrat protein komersial (KPK)- CP-151. R1, R2, dan R3 berturut
turut mengganti konsentrat protein komersial 50%, 75% dan 100% dengan Konsentrat Protein Buatan
(KPB) berupa campuran tepung daun kelor, tepung daging bekicot dan tepung limbah ikan dengan
perbandingan 45:5:50.
Metode eksperimental, dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 4 perlakuan dan 3 ulangan.
Ransum Perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut:
R0: ransum dengan KPK 100% tanpa KPB; R1: ransum dengan KPB menggantikan 50% KPK; R2:
ransum dengan KPB menggantikan 75% KPK; R3: ransum dengan KPB menggantikan 100% KPK.
Variabel yang diteliti adalah: Ransum, Konsumsi dan kecernaan Bahan Kering (BK), konsumsi dan
kecernaan Bahan Organik (BO), konsumsi dan kecernaan Protein, PBB dan konversi ransum. Analisis
data meggunakan prosedur sidik ragam Analysis of variance (ANOVA) pola Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dan untuk menguji perbedaan antara perlakuan digunakan uji jarak berganda
Duncan (Steel and Torrie, 1991).

HASIL DAN BAHASAN


Hasil penelitian terlihat pada Tabel 1. Konsumsi ransum yang tidak berbeda nyata pada babi yang
mendapat ransum KPB hal ini disebabkan karena semua ransum perlakuan memiliki palatabilitas yang
sama, kandungan nutrisi ransum hampir sama terutama kandungan energi dan protein. Pakan yang
mempunyai kandungan nutrien yang relatif sama maka konsumsi pakannya juga relatif sama.
Penggunaan kelor memberikan efek yang baik, sesuai laporan Syukron dkk (2014), penambahan
Moringa oleifera 5% dan 10% memberikan effek yang baik pada konsumsi ransum, yang mana dalam
penelitian ini penggunaan tepung daun kelor 11,5% (45% dari 25). Penggunaan tepung daging bekicot
dapat menambah protein dalam campuran ransum yang mempunyai efek baik pada ternak
(http://www//peternakankita.com, 6/4/2016; Susanthi, 2015).
Ransum yang mengandung campuran daun kelor, bekicot dan limbah ikan menggantikan
konsentrat komersial mampu dicerna dengan baik oleh ternak babi. Zat nutrisi hasil pencernaan KPB
dapat menggantikan nutrisi yang ada dalam KPK. Hal ini disebabkan daun kelor sendiri
menyumbangkan zat nutrisi yang lengkap sehingga konsumsi ransum oleh laporan Foidl et al (2001),
pemberian daun kelor dalam ransum menyebabkan pertumbuhan ternak lebih cepat, yang berarti daun
kelor dapat dicerna dengan baik. Kecernaan BK, BO dan PK yang berbeda tidak nyata berarti zat-zat
99
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

makanan pada konsentrat buatan (R1,R2 dan R3) dapat dicerna dengan baik. Serat kasar pada daun
kelor tidak menurunkan kecernaan zat-zat makanan lainnya, terutama protein. Serat kasar yang
disumbangkan oleh daun kelor (45% dari 25%) atau 11,25% dalam ransum, tidak berpengaruh
terhadap kecernaan. Kecernaan yang sama, konsumsi sama akan mendapatkan pertumbuhan yang
sama pula (Malheiros et al. 2003). Karena konsumsi dan kecernaan protein dalam penelitian ini sama,
maka pertumbuhan (PBB) juga berefek tidak nyata. Kecernaan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
komposisi dan kandungan nutrisi bahan makanan, terutama serat kasar akan mempengaruhi kecernaan
zat-zat makanan lainnya. Dalam penelitian ini, kandungan serat kasar hampir sama sehingga
kemampuan babi untuk mencerna bahan kering ransum tidak berbeda nyata, karena komposisi bahan
kering dan kandungan serat kasar hampir sama maka menyebabkan kecernaan zat-zat nutrisi tidak
berbeda nyata (Budaarsa, 1997).
Tabel 1. Rataan hasil penelitian babi
Variabel Ransum perlakuan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi BK (g/hr) 2.182,91a 2.470,75a 2.545,34a 2.689,75a
a a
Konsumsi BO (g/hr) 1.960,26 2.229,60 2.285,46a 2.405,17a
a a
Konsumsi PK (g/hr) 426,32 448,69 498,63a 519,39a
a a
Kecernaan BK (%) 81,52 80,44 84,18a 85,87a
a a
Kecernaan BO (%) 92,89 91,84 94,21a 95,09a
a a
Kecernaan PK (%) 95,70 94,38 96,01a 96,74a
Konsumsi ransum (g/hr) 2.466,91 a 2.491,95 a 2.327,14 a 2.308,60 a
a a
pBB (g/hr) 567,26 587,03 588,93a 596,55a
a a
Konversi ransum 4,34 4,24 3,95a 3,86a
Keterangan: superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
(P>0,05)
Struktur protein dalam KPK kemungkinan sama dengan KPB sehingga tingkat kecernaan
protein dalam ransum tersebut sama, sesuai pernyataan Ginting (2012), struktur protein ransum/bahan
pakan mempengaruhi kecernaan daripada protein tersebut. Daun kelor, merupakan protein nabati
dengan kandungan asam-asam amino yang lengkap (Foidl et al, 2001), bekicot protein hewani
mengandung asam amino essensial sangat tinggi terutama lisin dan metionin
(http://sukajayafarm.wordpress.com (27/2/2014), lisin 4,35% (Susanthi, 2015) 8,98%, methionin1
,04% (Reksohadiprojo, 1990 dalam https://www.peternakankita.com/bekicot-sebagai-pakan-ternak-
unggas/.diakses2017, dan limbah ikan merupakan sumber protein hewani 14% dalam ransum
menghasilkan performan yang baik (Baye dkk, 2015) dan karkas yang bagus pada ayam broiler
(Gombo dkk. 2015) .
Penggunaan campuran tepung daun kelor, daging bekicot dan limbah ikan sebagai pengganti
konsentrat protein komersial memberikan pengaruh yang baik untuk ternak babi, dilihat dari
pertambahan bobot badan dan konversi pakan. Hal ini didukung hasil Tlonaen (2013) dan Matta
(2014) yang mendapatkan, suplemen daun kelor sampai 75 g/hr meningkatkan tampilan babi seperti
efisiensi ransum, PBB dan IOFC. Pemberian ekstrak daun kelor (Moringa oleifera Lam) dan daun
bawang putih (Allium sativum) melalui air minum dapat menurunkan lemak abdomen dan kadar
kolesterol dalam darah broiler dan penggunaan daun kelor sampai 30% dalam ransum dapat
meningkatkan bobot badan kelinci (Marhaeniyanto dkk, 2015).

SIMPULAN
Campuran 45% tepung daun kelor, 5% tepung bekicot dan 50% tepung limbah ikan dapat
mengganti konsentrat komersial sampai level 100% (25% dalam ransum) ternak babi grower

DAFTAR PUSTAKA
Arnold Baye, F.N.Sompie, Bety Bagau, Mursye Regar. 2015. Penggunaan Tepung Limbah Ikan
Pengalengan Ikan dalam Ransum terhadap Performa Broiler. Jurnal Zootek Vol.35.No.1: 96-
105.
100
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Budaarsa, K. 1997. Kajian Penggunaan Rumput Laut dan Sekam Padi Sebagai Sumber Serat Dalam
Ransum Untuk Menurunkan Kadar Lemak Karkas dan Kolesterol Daging Babi. Disertasi.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dwipayana, I M. 2013. Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera, Lam) dalam
Ransum Rendah Protein terhadap Kadar Leokosit, Hematokrit dan Eritrosit Ternak Babi Fase
Pertumbuhan
Eko Marhaeniyanto, S. Rusmiwari, Sri Susanti. 2015. Pemanfaatan Daun Kelor untuk Meningkatkan
Produksi Ternak Kelinci Newzealand White. J. Buana Sains. Vol.15.No.2 (2015).
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/view/369.
Etias Gombo, M. Najoan, F.R. Wolayan, M.R.Imbar. 2015. Penggunaan Tepung Limbah
Penggalengan Ikan dalam Ransum terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler. Jurnal Zootek.
Vol. 35.No.2:178-186. Scholar.google.co.id.
Foidl N., Makkar H.P.S. and Becker., 2001. The Potential of Moringa Oliefera for agricultural and
industrial uses. In: “The Miracle Tree/ The Multiple Attributes of Moringa” (Ed. Lowell J
Fuglie). CTA. USA. Diakses pada tanggal 29/01/2014.
Fuglie, L. 2001. The Miracle Tree. (The Multiple Atributes of Moringa). CWS. Dakar, Sinegal.
Gopalan, C., B. V. Rama Sastri, and S. C. Bala Subramain. 2004. Nutritive Value of Indian Food.
National Institute of Nutrition. Indian Council of Medical Research, Hyderabed 500007
Ginting, U.M. 2012. Pakan Ternak babi dan Penanganannya di Daerah Tropis. Pusat Penelitian
Undana. ISBN: 978-979-24-6818-2. CV Kreasi. Kupang. NTT.
https://www.peternakankita.com/bekicot-sebagai-pakan-ternak-unggas/. Diakses 12/10/2017.
Matta. H. 2013. Effek suplementasi tepung daun kelor dalam ransum rendah protein terhadap
efisiensi ransum dan Income Over Feed Cost (IOFC) babi grower. Skripsi. Fapet Undana.
NTT.
Jawa. E., U. Ginting dan N.N. Suryani. 2013. Pengaruh suplementasi tepung daun kelor dalam
ransum rendah protein terhadap konsumsi dan kecernaan protein babi grower. Skripsi. Fapet
Undana
Malheiros R.D., MB Moraes, A Collin, PJ Janssens, E Decuypere and J Buyse. 2003. Dietary
Macronutrients, Endocrine Functioning and Intermediary Metabolism in Broiler Chickens. Nutr.
Res., 23 : 567–578.
Nur Kholis dan Fariz Hadi. 2010. Pengujian Bioassay Biskuit Balita yang disuplementasi Konsentrat
Protein Daun Kelor (Moringa oleifera) pada Model Tikus Malnutrisi.Jurnal Teknologi
Pertanian Vol. 11 No. 3 (Desember 2010) 144-151 144
Restiayanti, L., IG.N.G. Bidura , NL.G. Sumardani. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Kelor
(Moringa Oleifera Lam) dan daun bawang putih (Allium sativum) melalui air minum terhadap
distribusi lemak tubuh dan kadar kolesterol broiler umur 2-6 minggu. Studi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/18490 diakses 2017.
Syukron, M. U, I M. Damriyasa, N.A. Suratma. 2014. Potensi Serbuk Daun Kelor (Moringa oleifera)
Sebagai Anthelmintik Terhadap Infeksi Ascaris suum dan Feed Supplement pada Babi.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jikh/article/view/13543. Diakses 12 Agustus 2017.
Tlonaen, M. 2013. Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera,Lam) dalam
Ransum terhadap Konsumsi Energi dan Pertambahan Bobot Badan pada Ternak Babi Periode
Pertumbuhan. Skripsi. Fapet Undana.
Udjianto, A,. E. Rostiti dan R. D. Purnama. 2005. Pengaruh Pemberian Limbah Kulit Pisang
Fermentasi Terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging dan Analisa Usaha. Prosiding Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitian Ternak Bogor.
Widodo,W. 2010. Bahan Pakan Unggas Non Konvensional. Buku Ajar. Fakultas Peternakan
Universitas Muhammadiyah, Malang.
2. Yuli Susanthi. 2015. Upaya Peningkatan Produktivitas dengan Memanfaatkan bekicot sebagai
Pakan Ayam Petelur. http://yulisusanthi.blogspot.co.id/2015/01/upaya-peningkatan-
produktifitas-telur.html. Diakses 12/10/2017

101
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG BIJI ASAM TERFERMENTASI TERHADAP


KANDAR KOLESTEROL DARAH INDUK BABI AWAL KEBUNTINGAN
EFFECT OF USING FERMENTED TAMARIND SEED MEAL ON BLOOD CHOLESTEROL
CONTENT OF EARLY PREGNANT SOW
Johanis Ly1, Markus A Pay1, Ni Nengah Suryani1
1
Faculty of Animal Husbandry Nusa Cendana University, Jln Adisucipto, Kupang 85001

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung biji asam terfermentasi dalam pakan
basal terhadap kadar kolesterol darah induk babi awal kebuntingan. Sebanyak 12 ekor induk babi awal
kebuntingan dengan bobot badan awal 137–190 kg (160,83kg rataan; CV 11.042%) digunakan dalam penelitian
ini, menggunakan Rancangan Acak kelompok 4 perlakuan dengan 3 kelompok. 4 pakan perlakuan yang
diberikan adalah: R0: pakan basal (15% PK); R1: pakan basal + 5% tepung biji asam terfermentasi; R2: pakan
basal + 7,5% tepung biji asam terfermentasi; dan R3: pakan basal + 10% tepung biji asam terfermentasi. Uji
statistik menyatakan bahwa penggunaan tepung biji asam terfermentasi dalam pakan basal berpengaruh sanat
nyata (P<0.01) terhadap peningkatan kadar kolesterol darah induk babi awal kebuntingan. Disimpulkan bahwa
penggunaan tepung biji asam sebanyak 5-10% dalam pakan basal secara nyata meningkatkan kadar kolesterol
darah induk babi awal kebuntingan.
Keywords: biji asam, Saccharomyces cerevisiae, kolesterol, induk babai, awal kebuntingan.

ABSTRACT
The study aimed at evaluating the effect of including fermented tamarind seeds meal into basal feed on blood
cholesterol content of early pregnant sow. There were 12 early pregnant sows with 137–190 kg initial body
weight (avg. 160.83 kg; CV 11.042%) used in the study. Randonyzed Block design 4 treatments with 3 replicates
was applied. The 4 treatment diets offered were: R0: basal feed (15% CP); R1: basal feed + 5% fermented
tamarind seeds meal; R2: basal feed + 7.5% fermented tamarind seeds meal; and R3: basal feed + 10%
fermented tamarind seeds meal. Statistical analysis shows that effect of fermented tamarind seeds meal
supplementation into basal feed is highly significant (P<0.01) on increasing blood cholesterol content of early
pregnant sows. The conclusion is supplementing 5-10% fermented tamarind seeds meal into basal feed increased
significantly blood cholesterol content of early pregnant sows.
Keywords: tamarind, Saccharomyces cerevisiae, cholesterol, sow, early pregnant.

PENDAHULUAN
Secara luas, dilaporkan bahwa daging babi masih merupakan salah satu sumber protein hewani
yang digemari masyarakat dunia (de Sousa et al. 2013). Tingginya kebutuhan dan kegemaran
masyarakat harus didukung dengan upaya pemahaman dan perbaikan kualitas daging babi. Kandungan
kolesterol merupakan salah satu kekuatiran terbesar masyarakat Eropa dalam mengkonsumsi daging
babi, karena daging babi (breed Eropa) dapat mengandung kolesterol sebanyak 26.7mg/100g daging
segar (Coffman, 2017). Oleh karena itu perbaikan kadar kolesterol dengan meningkatkan kolesterol
yang tak berbahaya (high density lipoprotein/HDL) harus menjadi perhatian dalam perbaikan kualitas
daging. Pembarian pakan sumber lemak tak-jenuh yang dapat mencegah pembentukan kolesterol
buruk (low density lipoprotein/LDL) dan meningkatkan pembentukan HDL merupakan salah satu
upaya yang dapat dilakukan.
Biji asam dilaporkan kaya akan asam lemak tak jenuh (Luzia and Jorge, 2011) yang dapat
mencegah pembentukan LDL dalam daging (El-Adawy and Taha, 2001). Komponen asam lemak tak-
jenuh dalam biji asam NTT hasil sangrai dilaporkan sebesar 53.92% dari total asam lemak dalam biji
asam (Ly, 2017), dengan total produksi dapat mencapai 21313.44 ton biji asam per tahun (ARISA,
2016), sehingga potensial bagi perbaikan kualitas pakan babi. Akan tetapi, biji asam diketahui
mengandung senyawa tanin (dalam kulit dan daging biji) yang berbahaya bagi saluran pencernaan babi
(Pugalenthi et al. 2004; De Caluwé et al. 2010; Vadivel et al. 2010) apabila tidak dibersihkan dengan
baik. Sangrai dan pengupasan kulit yang tidak sempurna tidak sanggup mengeleminasi senyawa tanin
dalam biji asam (Pugalenthi et al. 2004). Tannins dapat didegradasi menggunakan enzim tannase
102
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

sperti yang terkandung dalam mikroba Saccharomyces cerevisiae (Mondal et al. 2001a; Rodriguez-
Duran et al. 2011; Mohan & Arunkumar, 2014). Fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae telah
terbukti mengurangi antinutrisi dan meningkatkan nilai nutrisi dalam kacang kedele (Hassaan et al.
2015). Karena itu fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae diharapkan dapat mengoptimalkan
eliminasi senyawa tanin dan memperbaiki kualitas nutrisi biji asam.
Induk babi, selama 10 hari pertama kebuntingan, secara fisiologis mengalami pengurasan lemak
tubuh bagi percepatan sirkulasi dan pembersihan hormon progesteron dan pada saat bersamaan
mengalami penurunan nafsu makan (Whittemore, 1993), sehingga induk babi dapat mengalami
kekeurangan lemak tubuh berlebihan jika tidak didukung oleh suplai pakan yang cukup mengandung
lemak mudah tercerna. Penambahan biji asam terfementasi Saccharomyces cerevisiae dapat mensuplai
lemak tak-jenuh dan protein serta energi yang cukup sehingga induk mencegah kekurangan lemak
tubuh induk babi pada awal kebuntingan.

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Lokasi, waktu, dan materi
Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang UD Mari Ternak di Desa Noelbaki Kecamatan
Kupang Tengah Kabupaten Kupang selama 2 bulan yang terdiri dari 1 minggu penyesuaian dan 6
minggu pemberian pakan. Tahap pemberian pakan dibagi dalam 2 tahap, yakni: 1 minggu sebelum
estrus/di kawinkan dan 5 minggu pengumpulan data konsumsi dan pengambilan sampel darah
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak babi induk usia bunting 1 (satu) bulan
sebanyak 12 ekor dengan kisaran umur 1,5-2 tahun dan pernah melahirkan 1 – 2 kali. Kandang yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu dengan lantai semen kasar. Kandang terdiri
dari 12 petak, dengan ukuran masing-masing kandang adalah 1 m x 1,5m x 1 m. Kandang beratap seng
dan dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum. Pakan basal tersusun dari: 48 % tepung
jagung, 42 % pollard gandum, 10 % konsentrat Hi-Gro 152 (KB3CP152). Komposisi dan kandungan
nutrisi bahan pakan penyusun ransum basal ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan penyusun ransum penelitian

Zat-Zat Nutrisi
Bahan Pakan
PK LK SK Ca P GE
Jagung 8,48 4,8 2,27 0,03 0,28 4110,09
Pollard 17,01 4,41 8,41 0,15 0,27 4282,71
Konsentrat 4,11 0,29 0,61 0,3 0,4 3781,38

Prosedur Pengacakan Ternak Penelitian


Prosedur Pengolahan dan fermentasi biji asam
Biji asam disangrai selama 20 menit sampai berwarna coklat kehitaman, kelihatan retak-retak dan
mengeluarkan aroma gurih (seperti aroma kacang goring, diangkat dan didinginkan selama ±20 menit,
kemudian digiling untuk melepaskan kulit dari daging bijinya, dibersihkan dan digiling menjadi
tepung. Tepung biji asam ditimbang sebanyak 5 kg dan diisi dalam wadah (ember) plastik bertutup.
Selanjutnya Saccharomyces cerevisiae ditimbang sebanyak 150 gram dan dilarutkan dalam 3 liter air
membentuk larutan Saccharomyces cerevisiae homogen. larutan Saccharomyces cerevisiae homogen
dicampur dengan 5 kg tepung biji asam dan diaduk hingga membentuk campuran merata dan tidak
lengket pada tangan bila diremas. Kemudian, ember plastik tersebut ditutup rapat selama 12 jam untuk
menciptakan kondisi anaerob sehingga terjadi proses fermentasi. Penghentian proses fermentasi
dilakukan cara membuka ember plastik dan mengeluarkan campuran tepung biji asam dan dianginkan
hingga panas fermentasi hilang. Hasil fermentasi inilah yang dicampurkan dalam pakan basal.
Prosedur Pengambilan Darah
Darah diambil sebanyak 3 ml pada hari ke empat setelah ternak babi dikawinkan, pada pagi
hari sebelum ternak diberi makan mengikuti prosedur Suyadi (1999). Pertama-tama ternak diikat
menggunakan tali pada rahang bagian atas dalam posisi berdiri dan kakinya juga berdiri lurus.
103
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kemudian jarum venoject ditusukkan pada apech bagian atas telinga, hingga menembus pembuluh
vena cava anterior. Darah yang keluar dari vena tersedot masuk kedalam tabung yang berisi heparine.
Tabung darah tersebut digoyang-goyangkan dengan hati-hati agar darah bercampur merata dengan
heparine mencegah penggumpalan, kemudian darah tersebut dimasukkan ke dalam termos es untuk
selanjutnya dibawa ke Laboratorium untuk dianalisis.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode percobaan dengan menggunakan
rancangan acak kelompok (RAK) 4 perlakuan dengan 3 kelompok. Pakan perlakuan disusun adalah
R0: Ransum basal (pakan induk 15% PK, tanpa tepung biji asam), R1: Ransum basal + 5% tepung
biji asam terfermentasi, R2: Ransum basal + 7,5% tepung biji asam terfermentasi, dan R3: Ransum
basal + 10% tepung biji asam terfermentasi
Variabel yang diteliti ialah kolesterol darah mengikuti prosedur Suyadi (1999). Analisis data
menggunakan prosedur sidik ragam rancangan acak kelompok dan uji jarak berganda Duncan menurut
prosedur Steel and Torrie (1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kandungan nutrisi ransum
Komposisi nutrisi pakan penelitian dan tepung biji asam secara proksimat seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis proksimat ransum penelitian dan tepung biji asam
Ransm BK BO PK LK SK CHO BETN Energi
(%) (%K) (%BK) (%BK) (%BK) (%BK) (%BK) Kkal/kg
BK
Kontrol 90,99 93,69 15,69 5,18 6,68 72,82 66,14 4325,41
R1 88,55 95,18 17,97 5,27 7,08 71,93 64,84 4428,24
R2 89,73 93,93 18,16 5,41 7,29 70,36 63,07 4385,53
R3 88,98 94,98 18,30 5,61 7,59 71,07 63,48 4439,23
Tbs 96,66 97,01 17,68 5,94 10,00 73,38 63,39 4525,77
Tbaf 71,85 97,04 18,75 6,14 9,54 72,15 62,61 4552,27
Ket: Komposisi R1-R3 termasuk suplemen; Tbs: Tepung biji asam sangrai; Tbaf:Tepung biji asam
terfermentasi Saccharomyces cerevisiae

Pada Tabel 2 terlihat bahwa total bahan kering pakan basal (R0) lebih tinggi, tetapi kandungan
bahan organik (BO), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat kasar (SK), karbohidrat (CHO),
bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan energi lebih rendah dibanding R1, R2, R3. Perbedaan
tersebut semakin tinggi dengan meningkatnya level suplementasi tepung biji asam hasil ferementasi
(Tbaf) dalam ransum. Hal ini dimungkinkan karena total bahan kering tepung biji asam terfermentasi
lebih rendah sedangkan kandungan BO, PK, LK, SK, CH, BETN dan energi lebih tinggi dari pada
yang tersedia dalam pakan basal. Tingginya total kandungan bahan kering ransum basal merupakan
kontribusi BK dari tepung jagung, pollard, gandum dan konsentrat Hi-grow yang kering, lebih tepung
biji asam terfermentasi yang lembab akibat fermentasi sehingga mengurangi total persentase
kandungan bahan kering. Gambaran ini menunjukkan bahwa proses fermentasi telah berhasil
meningkatkan kandungan nutrisi yang dibutuhkan dan menurunkan kandungan bagian nutrisi yang
tidak dibutuhkan ternak. Kandungan nutrisi tepung biji asam sangrai yang difermentasi dengan
Saccharomyces cerevisiae selama 12 jam hasil penelitian ini lebih tinggi: yakni PK (18,75%), lemak
lebih rendah (6,14%) dan SK lebih rendah (9,54%) dari hasil penelitian Pugalenthi et al. (2004) yang
mendapatkan PK: 16,2%, LK 7,84% dan SK16,90%. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan cara
pengolahan asam dalam kedua penelitian. Pugalenthi et al., (2004) menggunakan metode pembakaran
sedangkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sangrai dilanjutkan dengan fermentasi.
Fermentasi menyebabkan terjadinya peningkatan kandungan protein karena mikroba Saccharomyces
cerevisiae adalah jenis protein sel tunggal (Tanuwiria, 2004).

104
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Rataan kadar kolesterol darah (mg/dl)


Rataan kadar kolesterol induk babi hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan kadar kolesterol induk babi hasil penelitian (mg/dl) *
Kelompok Perlakuan Rataan
R0 R1 R2 R3
I 165,11 164,74 169,73 162,06 165,41
II 172,16 175,55 165,13 159,74 168,15
III 154,09 174,62 175,03 182,11 171,46
a a a a
Rataan 163,79 171,64 169,96 167,97 168,34
Ket: superskrip yg sama pada baris yg sama menyatakan perbedaan tdk nyata (p>0.05) terhadap
kolesterol

Pada Tabel 3 terlihat bahwa rataan kadar kolesterol darah babi penelitian adalah sebesar
168,34 dengan sebaran 163,79 g/dl – 167,97 g/dl. Rataan kolesterol tertinggi pada babi yang
mendapatkan perlakuan R1 (171,64 g/dl) namum di ikuti perlakuan R2 (169,96 g/dl), R3 (167,97 g/dl)
dan R0 (163,79 g/dl). Tampak bahwa penggunaan tepung biji asam cenderung meningkakan kadar
kolesterol darah induk babi walaupun masih dalam kisaran normal kolesterol darah induk babi 145,09
g/dl – 182,11 g/dl. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari total kolesterol dalam darah babi di Spanyol
hasil penelitian Rauw et al. (2007) menggunakan 30% lupin dalam pakan basal. Hasil ini juga lebih
tinggi dari hasil pemberian minyak Canola yang dilaporkan de Sousa et al. (2013) pada babi fase
akhir. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena perbedaan breed, bagian daging, bagian tubuh babi dan
jenis pakan yang diberikan (Coffman, 2017).
Hasil analisis ragam di peroleh bahwa perlakuan suplementasi tepung biji asam terfermentasi
5%, 7,5% dan 10% berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kolesterol darah babi penelitian. Hasil
uji Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan antara perlakuan. Hal ini menyatakan bahwa
suplementasi tepung biji asam terfermentasi tidak berpengaruh terhdap kolesterol darah. Keadaan ini
diasumsikan berhubungan dengan kontribusi dari lemak pakan yang dikonsumsi oleh ternak karena
kolesterol merupakan bagian dari lemak (Yusuf et al. 2010). Tidak nyatanya perbedaan kanadar
kolesterol antara perlakuan karena lemak dalam pakan hampir sama 5,18% - 5,61% (Tabel 1) sehingga
memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap kolesterol darah babi penelitian.

SIMPULAN
Disimpulkan bahwa suplementasi tepung biji asam terfermentasi Saccharomyces cerevisiae
sebanyak 5%,7,5% dan 10 % dalam pakan basal cenderung menyebabkan peningkatan kadar
kolesterol darah induk babi awal kebuntingan namun masih dalam kisaran normal.

DAFTAR PUSTAKA
Applied Research and Innovation Systems in Agriculture Project (ARISA) (2016). Study on
availability, economic feasibility and nutritional contents of locally available feed ingredients in
NTT. Research Report. Collaboration Research CSIRO, Australia Government and
RISTEKDIKTI.
Coffman MA. 2017. Pork Cholesterol. SFGate. http://healthyeating.sfgate.com/pork-cholesterol-
1757.html. Unduhan September 2017.
de Caluwé, E., K. Halamová and P. Van Damme., 2010. Tamarindus indica L. – A review of
traditional uses, phytochemistry and pharmacology. AFRIKA FOCUS — Volume 23, Nr. 1,
2010 — pp. 53-83. Unduhan April, 2013.
de Sousa RV, de Oliveira D R, Zangeronimo M G, de Souza Cantarelli V, da Silva Ferreira M S, and
Pereira L J. 2013. Total Cholesterol and its Fractions in the Blood of Finishing Pigs fed Diets
with Diff erent Levels of Canola Oil.Acta Scientiae Veterinariae, 2013. 41: 1098.
http://revistas.bvs-vet.org.br/actascivet/article/view/ 29411/31236

105
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

El-Adawy, T. A. and K. M. Taha., 2001. Characteristics and composition of different seed oils and
flours. Food Chemistry, vol. 74, no. 1, July 2001. p. 47-54. Elsevier. 2001.
http://dx.doi.org/10.1016/S0308-8146(00)00337-X.http://www.sciencedirect.com
/science/article/pii/S030881460000337X Unduhan Juni 2013.
Hassaan, M.S., M.A. Soltan and A. M. Abdel-Moez., 2015. Nutritive value of soybean meal after solid
state-fermentation with Saccharomyces cerevisiae for Nile tilapia, Oreochromis niloticus.
Animal Feed Science and Technology 201 (2015) 89–98. ELSSEVIER.
http://www.electronicsandbooks.com/eab1/manual/Magazine/F/
Food%20chemistry/Vol.115/789_794.pdf. Accessed, April 2016.
Ly J, U. Ginting, M. and R.D.H Likadja., 2010. Pig production in NTT regions. Full paper presented
in Aciar and Udayana University Pig Production in Eastern Indonesia Workshop Udayana
University, Denpasar 26 th – 27th July 2010.
Ly J. 2017. Enriching nutritive value of tamarind seeds by Saccharomyces cerevisiae fermentation. J
Biochem Tech (2017) 7(2): 1107-1111 ISSN: 0974-2328.
Luzia DMM, Jorge N. 2011. Antioxidant activity, fatty acid profile and tocopherols of Tamarindus
indica L. seeds. Ciencia de Tecnologia de Alimentos ISSN 0101-2061. Departament of
Engineering and Food Technology, São Paulo State University – UNES.
Mohan, S.K., and T.V.C. Arunkumar., 2014. Statistical optimization of process parameters for the
production of tannase by Aspergillus flavus under submerged fermentation. 3 Biotech (2014)
4:159–166 DOI 10.1007/s13205-013-0139-z. pg 159-166. ORIGINAL ARTICLE.
link.springer.com/ article/10.1007/s13205-013-0139-z. Unduhan April 2016
Mondal, K.C., D. Banerjee, M. Jana and B.R. Pati., 2001a. Colorimetric assay method for
determination of tannin acyl hydrolase (EC.3.1.1.20) activity. Anal Biochem 295:168–171.
Regular Analytical Biochemistry. ELSEVIER. Unduhan Juni 2015.
Pugalenthi MV, Vadivel, Gurumoorthi K , Janard. 2004. Comperative nutrtitional evaluation of little
known legumes, Tamarindus indica, Erythrina indica and Sesbania bispinosa. Tropical and
Subtropical Agroecosystems 2 (4):107-123.
Rauw W M, Portoleś O, Corella D, Soler J, Reixach J, Tibau J, Prat JM, Diaz I,and Gómez-Raya L.
2007. Behaviour influences cholesterol plasma levels in a pig model. Animal (2007), 1:6, pp
865–871 © The Animal Consortium 2007. doi: 10.1017/S1751731107000018.
Rodr´ıguez-Duran, L.V., B. Valdivia-Urdiales, J.C. Contreras-Esquivel, R. Rodr´ıguez-Herrera and
C.N. Aguilar., 2012. Novel Strategies for Upstream and Downstream Processing of Tannin Acyl
Hydrolase. SAGE-Hindawi Access to Research Enzyme Research Volume 2011, Article ID
823619, 20 pages doi:10.4061/2011/823619. Review Article. pg 1-20. Unduhan Mei 2016.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip Prosedur Statistik Pendekatan Biometrik, Alih Bahasa B,
Sumantri, PT, Gramedia Jakarta.
Suyadi 1999. Superovulation and transcervical embryo collection in boer goats. Doctoral Disertation.
Georg-August-University Gӧtingen Germany 2 (3): 48-50.
Tanuwiria UH. 2004. Efek Suplementasi Zn-Cu Proteinat dalam Ransum terhadap Fermentabilitas dan
Kecernaan In-Vitro. Jurnal Ilmu Ternak. 4 (1): 7-12.
Vadivel V, Pugalenthi M. 2010. Evaluation of traditional knowledge value and protein quality of an
under-utilized tribal food legum. Indian Journal of Traditional Knowledge 9(4): 791-797.
Whittemore, C. 1993. The Science and Practice o Pig Production. Longman Group UK Limited.
Yusuf AA, Mofio BM, Ahmed A B. 2007. Proksimate and mineral composition of Tamarindus indica
Linn 1753 seeds. Science World Journal 2 (1): 5-57

106
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

EVALUASI PARAMETER RUMEN SECARA INVITRO STANDING HAY RUMPUT KUME


AMONIASI YANG DIFERMENTASI OLEH JAMUR Pleurotus sajor caju DENGAN KOMBINASI
GAMAL DAN LAMTORO
Mariana Nenobais1 dan Jalaludin1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana.
Jln Adisucipto Penfui, Kupang 85001 .

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus sampai 26 September 2015 di Laboratorium Kimia Pakan
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang.Tujuan penelitian untuk mengetahui perubahan
konsentrasi N-NH3,VFA dan pH cairan rumen ternak Sapi secara invitro oleh rumput kume amoniasi yang
difermentasi Pleurotus sajor caju dengan kombinasi gamal dan lamtoro pada level yang berdeda. Penelitian
menggunakan metode percobaan dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3
ulangan, dimana P1: standinghay rumput kume amoniasi biofermentasi + 0 gamal + 40% lamtoro; P2 :
standinghay rumput kume amoniasi biofermentasi + 10% gamal + 30% lamtoro; P3 : standinghay rumput kume
amoniasi biofermentasi + 20% gamal + 20 lamtoro; P4 : standinghay rumput kume amoniasi biofermentasi +
30% gamal + 10% lamtoro; P5 : standinghay rumput kume amoniasi biofermentasi + 40% gamal + 0% lamtoro.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsentrasi N-NH3
cairan rumen, dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsentrasi VFA cairan rumen. Nilai nutrisi
standing hay rumput kume amoniasi biofermentasi Pleurotus sajor caju yang disuplementasikan dengan
kombinasi gamal dan lamtoro telah memberikan pengaruh yang positif terhadap konsentrasi N-NH3, VFA dan
pH cairan rumen ternak Sapi.
Kata kunci : Invitro, Fermentasi, Rumput kume, Gamal, Lamtoro, Pleurotus sajor caju.

PENDAHULUAN
Pengembangan ternak ruminansia di Nusa Tenggara Timur (NTT) berfluktuatif karena
produksi dan kualitas rumput alam sebagai pakan utamanya sangat dipengaruhi oleh musim. NTT
didominasi oleh lahan kering dengan musim kemarau lebih lama (8 - 9 bulan) per tahun. Rumput
kume (Sorghum plumosum Var.Timorense) adalah salah satu rumput lapangan yang paling dominan
pertumbuhannya selama musim hujan., akan tetapi kuantitasnya makin terbatas pada musim kemarau
dengan kualitas yang makin rendah yang ditandai dengan kisaran kandungan protein kasar sebesar
0,49 – 2,98% (Hartati dan Katipana, 2006). Selain itu kandungan serat kasarnya cukup tinggi disertai
dengan kandungan dinding sel NDF (Neutral Detergent Fiber) mencapai 88,70%, ADF (Acid
Detergent Fiber) 51,74%, Selulosa 49,47%, Hemiselulosa 37,0% dan Lignin 7,50% (Dami Dato,
1998)., Hal ini menyebabkan nilai kecernaan rumput kume sebagai standing hay menjadi rendah 42%
(Jelantik, 2001).
Potensi jaringan sel (lignoselulosa) pada standinghay rumput kume dapat didayagunaka
dengan berbagai perlakuan (fisik, kimia, dan biologis) sehingga ikatan selulosa, hemiselulosa dan
lignin dapat direnggangkan sebelum diberikan pada ternak agar mikroba rumen mudah
mencernanya.Teknologi pengolahan secara bilogis merupakan suatu pilihan untuk meningkatkan
kualitas standinghay rumput kume yakni melalui biofermentasi dengan Pleorotus sajor caju.
Keunggulan jamur ini adalah dapat menghasilkan ensim peroksidase dan lignoselulase, tidak
beracun, mudah tumbuh, dan biaya relatif murah. Lignoselulose akan mendegradasi ikatan
lignoselulosa atau unsur-unsur karbohidrat struktural dan juga meningkatkan protein bahan pakan
karena pleorotus sajor caju menghasilkan miselium (Katipana, 2006).
Sebelum standinghay rumput kume difermentasi dengan Pleorotus sajor caju, sebaiknya
diberi perlakuan amoniasi menggunakan urea. Proses amoniasi akan menyebabkan pakan memuai
sehingga lebih terbuka bagi serangan bakteri selulotik dan memudahkan miselium jamur berpenetrasi
kedalam pakan. Penggunaan rumput kume yang difermentasikan dengan pleorotus sajor caju sebagai
ransum basal perlu ditambahkan dengan daun leguminosa karena kandungan protein dan energinya
mudah terdegradasi dan tersedia sepanjang tahun. Secara faktual dedaunan leguminosa sudah
dimanfaatkan oleh petani di pedesaan terutama pada musim kemarau dimana rumput kume sudah
mengering. Namun pemanfaatannya masih secara tunggal atau belum dikombinasikan sehingga efek
yang diperoleh terutama terhadap pertumbuhan ternak belum optimal. Mutu protein leguminosa pohon
107
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

sangat beragam kelarutannya sehingga berbeda kemampuannya dalam menghasilkan N-NH3 bagi
mkroba rumen, berbeda potensinya dalam menyediakan protein yang lolos dari degdasi dalam rumen,
kepekaannya terhadap protoease pasca rumen dan senyawa sekundernya yang dapat mengoptimal
fermentasi di dalam rumen sehingga dengan kombinasi pemberiannya, diharapkan suplai protein untuk
induk semang meningkat. (Sutardi, 1992).
Salah satu leguminosa pohon yang dapat dijadikan sebagai sumber protein yang mudah
terdegradasi adalah daun gamal (Giliricida sepium) sebagaimana yang dilaporkan Jalaludin (1994)
bahwa daun gamal lebih soluble. Sejalan dengan itu Sutardi (1992) menyatakan bahwa 66% dari total
protein yang terkandung dalam daun gamal dapat memacu sintesis protein mikroba rumen.
Lamtoro merupakan tanaman leguminosa pohon yang mempunyai potensi besar untuk
dikembangkan sebagai penghasil hijauan makanan ternak sepanjang tahun. Komposisi kimia zat
makanannya dalam bahan kering terdiri atas 25,90% protein kasar, 20,40% serat kasar 11,0 % abu
(2,30 % Ca dan 0,23% P), tannin 10,15 mg/kg. Lamtoro dapat mensuplai protein by-pass pada usus
halus. Penggunaan lamtoro dalam bentuk segar sebagai suplemen pada hijauan yang berkualitas
rendah menunjukkan bahwa kira - kira 65% dari protein lamtoro lolos degradasi dalam rumen, sisanya
didegradasi dalam rumen (Bamualim, 1988).
Tinggi rendahnya nilai kecernaan suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kemampuan mikroba
rumen dalam mendegradasi atau mencerna bahan pakan tersebut melalui proses fermentasi dalam
rumen, dimana peningkatan nilai kecernaan bahan pakan tersebut akan sejalan dengan proses
fermentasi dan pertumbuhan mikroba rumen yang ditandai dengan meningkatnya produk fermentasi
rumen a.l konsentrasi VFA (Volatile Fatty Acid) dan N-NH3 (amoniak) rumen. Oleh sebab itu
konsentrasi asam lemak terbang (VFA) dan NH3 cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur
fermentabilitas pakan yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikroba dalam rumen
(Tilman dkk, 1991).

MATERI DAN METODA


Penelitian ini menggunakan Standing hay rumput kume, daun gamal, daun lamtoro dan jamur
Pleurotus sajor caju. Standing hay rumput kume sebelum dibiofermentasi didahului dengan perlakuan
amoniase. Standing hay rumput kume amoniasi sebelum dibiofermentasi dengan jamur Pleurotus
sajur caju dicampur merata dengan dedak padi (10%), gipsum (1,5%), NPK (0,5%), CaCO3 (0,5%)
dan air secukupnya, selanjutnya dimasukkan dalam plastik vakum dan disterilkan dalam autoklaf pada
suhu 1210C selama 2 jam, didinginkan dan diinokulasi dengan Pleurotus sajor caju sebanyak 20 gram
(Hasil terbaik penelitian Jalaludin, 2016). Setelah 40 hari dipanen, dan dilanjutkan dengan perlakuan
suplementasi kombinasi gamal dan lamtoro secara Invitro.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap( RAL)
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan, dimana P1= standinghayrumput kume amoniasi biofermentasi
(RKAB) + 0 gamal + 40% lamtoro; P2= standinghayrumput kume amoniasi biofermentasi RKAB) +
10% gamal + 30% lamtoro; P3= standinghayrumput kume amoniasi biofermentasi(RKAB) + 20%
gamal + 20% lamtoro; P4= standinghayrumput kume amoniasi biofermentasi(RKAB) + 30% gamal +
10% lamtoro; P5= standinghayrumput kume amoniasi biofermentasi(RKAB) + 40% gamal + 0%
lamtoro. Parameter yang diukur adalah konsentrasi N-NH3, VFA dan pH cairan rumen. Data yang
diperoleh dianalisis ragam sesuai rancangan yang digunakan dan dilanjutkan dengan uji Duncan sesuai
petunjuk Steel dan Torrie (1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsentrasi VFA Total, N-NH3 dan pH cairan RumenIn-vitro
Hasil perlakuan Standing hay rumput kume amoniasi yang difermentasi oleh Pleorotus sajor
caju dengan kombinasi gamal dan lamtoro terhadap nilai rata-rata konsentrasi VFA, N-NH3 dan pH
cairan rumen disajikan pada Tabel 1.

108
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Rata-rata Konsentrasi N-NH3, VFA dan pH Cairan Rumen Invitro


Parameter Perlakuan
P1 P2 P3 P4 P5
b a c d
NH3 (mMol/L) 6,45 5,80 7,25 7,90 8,10d
151.97bc
VFA Total (mMol/L) 141.18a 145.25b 149.69c 147.72d
pH 6,73 6,68 6,83 6,83 6,88
Superskrip a......d pada baris yang sama berbeda pada taraf 5% dan superskrip bc ..pada baris yang
sama berbeda pada taraf 1%.

Konsentrasi N- NH3 Rumen Invitro


Dari Tabel 1, memperlihatkan bahwa ada perubahan produksi N-NH3 akibat perlakuan yang
diberikan dan nilai produksi N-NH3 tertinggi terdapat pada perlakuan P5. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi N-NH3 rumen dan
hasil uji lanjut menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan. Konsentrasi
N-NH3 yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup ideal oleh karena kandungan protein bahan pakan
perlakuan yang juga cukup tinggi. Menurut Sutardi (1979) kisaran normal produksi N-NH3 rumen
adalah 4 – 12mM/L Tampaknya bahwa peningkatan produksi amoniak sejalan dengan peningkatan
level gamal dalam perlakuan dan ada kaitannya dengan kecernaan protein ransum, hal ini karena
gamal mudah didegradasi oleh mikroba rumen. McDonald et al. (1990) menyatakan bahwa
kandungan protein pakan yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan
peningkatan konsentrasi N-NH3 rumen. Konsentrasi N-NH3 juga ditentukan oleh tingkat protein
pakan yang dikonsumsi, derajat degradibilitasnya, lama pakan dalam rumen dan pH rumen.
Konsentrat N-NH3 akan mempengaruhi sintesis protein mikroba rumen karena mikroba akan
menggunakan N-NH3 tersebut untuk kebutuhan protein tubuhnya, yang selanjutnya dikatakan
sebagai protein mikroba rumen.
Konsentrasi VFA Total Rumen
Produksi VFA merupakan hasil utama proses fermentasi oleh mikroba rumen, yang menurut
Aurora (1995) akan digunakan sebagai sumber energi dan kerangka karbon dalam pembentukan
protein mikroba rumen. Produksi VFA dalam penelitian ini cenderung meningkat seiring level gamal.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
produksi VFA rumen dan ada perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) diantara perlakuan. Hal ini
diduga bahwa produksi VFA meningkat sejalan dengan laju fermentasi bahan pakan oleh mikroba
rumen. Menurut Sutardi (1979), kisaran normal VFA untuk mendukung pertumbuhan dan aktifitas
mikroba rumen 80 - 160 mM/L cairan rumen dan untuk pencernaan komponen serat pakan, mikroba
rumen membutuhkan konsentrasi VFA 30 – 180 mM/L (Bamualim, 1988).
pH Rumen
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas mikroba rumen adalah pH
rumen dan pH yang optimum untuk aktifitas mikroba rumen adalah 6,0 – 7,0 (Aurora, 1995). Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi pH rumen , namun
pH yang didapat dalam penelitian ini memiliki kisaran 6,68 - 6,88 atau pH yang kondusif untuk
pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen.

SIMPULAN
Nilai nutrisi Standing hay rumput kume amoniasi yang difermentasi oleh Pleorotus sajor caju
dan disuplementasi dengan daun gamal dan lamtoro menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
konsentrasi N-NH3 rumen dan berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi VFA rumen.
Konsentrasi N-NH3, VFA dan pH tertinggi pada perlakuan P5.

109
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Arora,S.P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. UGM Press,. Yokyakarta
Bamualim, A. 1988. Prinsip- Prinsip Pemberian Makanan Ternak Sapi. Prinsip dan Metode
Penelitian Peternakan. Kumpulan Materi Kursus ( 11-12 Januari 1998). Sub Balai Penelitian
Ternak : KupangNew York,128
Dami Dato TO. 1998. Pengolahan Rumput Sorghum plumosum var. Timorense Kering dengan
Filtrat Abu Sekam Padi (FASP) Terhadap Perubahan Komponen Serat dan Kecernaannya
Secara Invitro. Technology 37: 59-72.
Hartati, E dan N.G.F Katipana, 2006. Manfaat Standing hay Rumput Kume Hasil Fermentasi
Menggunakan Gula Lontar dan Feses Ayam Terhadap Pertumbuhan Ternak Kambing
Lokal. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. P3 Peternakan.
Jalaludin, 1994. Uji Banding Gamal dan Angsana sebagai Sumber Protein, Minyak Kelapa dan
Kembang Sepatu sebagai Agent Defaunasi, Analog Hidroksi Methionin dan Amonium Sulfat
dalam ransum Anak Sapi Jantan. Thesis. PPS, IPB- Bogor.
Jelantik,I.G.N. 2001. Improving Bali Cattle Production Through Protein Supplementation. Thesis.
Dept of Animal Sci and Animal Health. The Royal Vet. Univ. Copenhagen.
Katipana, N.G.F. 2006. Kecernaan Komponen Serat Rumput Kume Hasil Biokonversi Jamur Tiram
Putih pada Ternak Kambing Jantan. Laporan Penelitian. Fapet – Undana, Kupang.
McDonald,. P., R.A. Edward and J.F.D. Green Halgh. 1990. Animal Nutrition. 7 th Ed. Mcraw-Hill
Publishing Company Limited., New Delhi, India.
Stell, R.G.D., dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik, Ed
Kedua. Ahli Bahasa Sumantri. PT. Gramedia. Jakarta.
Sutardi, T. 1992. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu - Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah
Guru Besar Fapet - IPB, Bogor.
Tillman A.D., H.Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma, dan Lebdosukojo, 1991. Ilmu
Makanan Ternak dasar. Gajah Mada University Press. Yokyakarta.

110
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

EFEK SUPLEMENTASI COBALT-ZEOLIT ALAM AKTIF TERHADAP KONDISI


FERMENTASI RUMEN DAN PROFIL DARAH TERNAK KAMBING LOKAL
YANG DIGEMBALAKAN
EFFECT OF COBALT-ACTIVE NATURAL ZEOLITE SUPPLEMENTATION ON RUMEN
FERMENTATION CONDITIONS AND BLOOD PROFILE OF GRAZING LOCAL GOATS
Markus M. Kleden1, L.S. Enawati1 dan GAY Lestari1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang
Korespondensi: markuskleden@staf.undana.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fermentasi rumen dan profil darah ternak kambing kacang
yang digembalakan yang diberi suplemen cobal-zeolit alam aktif. Duapuluh ekor ternak kambing kacang
berumur 8-12 bulan digunakan dalam penelitian ini dengan berat badan awal rata-rata 11,28 kg dengan KV =
14,27 %. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan 5 ulangan.
Perlakuan dimaksud adalah T0 = ternak kambing digembalakan tanpa pemberian pakan suplemen dan mineral
cobalt dan zeolit alam aktif; T1 = T0 + 2 % pakan suplemen + 0 ppm mineral cobalt + 5 % ZAA; T2 = T0 + 2 %
pakan suplemen + 0,2 ppm mineral cobalt + 5 % ZAA; T3 = T0 + 2 % pakan suplemen + 0,4 ppm mineral cobalt
+ 5 % ZZA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian cobalt-zeolit alam aktif tidak berpengaruh terhadap
kondisi fermentasi rumen yang diperlihatkan oleh pH, konsentrasi asam asetat, propionat dan butirat, namun
berpengaruh terhadap profil darah yang ditunjukkan oleh jumlah sel darah merah yang dihasilkan. Dapat
disimpulkan bahwa zeolit alam dapat digunakan sebagai bahan penyusun suplemen bagi ternak dengan tidak
mengganggu kesehatan ternak.
Kata kunci: mineral mikro, fermentasi rumen, profil darah, zeolite

ABSTRACT
The aim of this research was to measure the condition of rumen fermentation and blood profile of grazing local
goats treated with cobalt- active natural zeolite. Twenty male goats aged 8-12 months were used in this study
with an average initial body weight of 11.28 with kg CV = 14%. The research design used was a complete
randomized design consisting of 4 treatments andd 5 replications. The treatments were: T0 = grazing with no
supplement; T1 = grazing + 2% feed supplement + 0 ppm cobalt mineral + 5% active natural zeolite ; T2 =
grazing + 2% feed supplement + 0.2 ppm cobalt mineral + 5% active natural zeolite; T3 = grazing + 2% feed
supplement + 0.4 ppm cobalt mineral + 5% active natural zeolite. The results showed that cobalt- active natural
zeolite had no effect on the rumen fermentation conditions particularly pH, acetic, propionate and butyrate acid
concentration. However, it has a significant effect on blood profile such as red blood. It can be concluded that
cobalt and natural zeolite can be used as a supplementary material for livestock to fullfil lack of mineral in dry
land without negative healthy effect on goats.
Key words: trace mineral, rumen fermentation, blood profile, zeolite

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam kaitannya dengan peningkatan pertumbuhan
ternak khususnya ternak kambing adalah pemberian pakan suplemen. Suplementasi penting artinya
karena melalui pemberian pakan suplemen akan tercapainya keseimbangan nutrien yang dibutuhkan
ternak. Semakin tinggi keseimbangan nutrien yang diperoleh, akan semakin tinggi pengaruhnya
terhadap pertumbuhan ternak, karena pertumbuhan pada hakekatnya terjadi apabila tersedia jumlah
nutrien yang cukup dan memadai bagi ternak.
Pemberian mineral sangat penting pengaruhnya terhadap pertumbuhan ternak. Melalui
pemberian mineral, jumlah dan aktifitas mikroba rumen meningkat sehingga pemanfaatan pakan
berserat lainnya menjadi optimal. Salah satu mineral yang sangat penting bagi ternak adalah mineral
cobalt. Mineral ini berperanan dalam peningkatan perkembangan populasi mikroba rumen. Disamping
itu mineral cobaltpun berperanan sebagai pembentukan atau sintesis vitamin B12 oleh mikroba rumen
serta produksi asam propionat sebagai produk pemecahan pakan berserat dalam lambung (Mills, 1981;
Efsa 2009). Vitamin B12 berperanan dalam sintesis asam propionat oleh mikroba rumen dan konversi
111
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

asam propionat menjadi glukosa dalam hati ternak ruminansia terutama sapi perah dan pedaging
(Scauff, 1986). Untuk itu mineral cobalt penting disediakan dalam pakan ternak ruminansia khususnya
ternak kambing.
Untuk mengoptimalkan efisiensi pengunaan nutrien oleh ternak, maka diperlukan adanya
senyawa yang berperanan dalam mengikat dan melepaskan nutrien. Nutrien yang diikat akan
dilepaskan untuk menjaga keseimbangan nutrien dalam tubuh untuk proses metabolisme secara
enzimatis. Dengan proses tersebut, maka penggunaan nutrien oleh ternak akan semakin efisien.
Senyawa yang mampu mengikat dan melepaskan nutrien adalah zeolit alam aktif. Zeolit alam aktif
merupakan zeolit alam dalam bentuk serbuk halus (lebih dari 150 mesh) direndam dalam air bebas ion
sambil dididihkan dalam wadah tertutup sampai suhu 250 oC selama 3 jam, disaring dan endapan yang
diperoleh dikeringkan dalam oven pada temperetur 120 oC selama 3 jam.
Pemanfaatan zeolit dapat berfungsi sebagai feed additive dalam mencegah atau mengobati
penyakit tertentu pada ternak. Zeolit dapat mengurangi konsentrasi amonia ke udara dapat membantu
gangguan pencernaan terutama pengaruh infeksi parasit usus dan juga dapat mengurangi bakteri
patogen pada ternak unggas (Papaloanou et al, 2005; Prasai et al., 2017). Pemanfaatan pakan suplemen
diharapkan terpenuhinya kebutuhan ternak akan nutrien sehingga dapat memacu pertumbuhan ternak.
Peningkatan pertumbuhan ternak akan menghasilkan terpenuhinya kebutuhan pangan khususnya
protein hewani bagi masyarakat. Melalui peningkatan pertumbuhan ternak yang semakin tinggi, maka
nilai jual ternakpun akan semakin tinggi. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah (1) memperoleh
gambaran tentang kondisi fermentasi rumen pada ternak kambing sebagai cerminan peningkatan
jumlah dan aktifitas mikroba rumen akibat pemberian pakan suplemen, mineral cobalt dan zeolit alam
aktif, dan (2) memperoleh gambaran tentang profil darah ternak kambing yang diberi pakan suplemen,
mineral cobalt dan zeolit alam aktif

METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor ternak kambing jantan lokal yang
berumur 8 bulan sampai 1 tahun. Sebagai bahan pakan digunakan rumput alam yang tersebar dalam
areal penggembalaan, dan pakan suplemen. Pakan suplemen yang digunakan adalah campuran dari
bahan pakan lokal yang disusun dengan kandungan protein kasar sebesar 12% . Pakan suplemen
terdiri atas campuran beberapa bahan pakan lokal antara lain: tepung jagung, bungkil kelapa, tepung
ikan, tepung daun lamtoro, gula air dan garam Komposisi kimia hijauan dan suplemen seperti tertera
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi suplemen dan kandungan nutrisi ransum penelitian
1. Komposisi suplemen Tepung Bungkil Tepung Gula Garam Tepung daun
jagung kelapa ikan air lamtoro
Proporsi 47% 7% 9% 30% 1% 6%
2. Kandungan nutrisi ransum: Rumput alam Suplemen
Bahan kering 90,14 79,23
Protein kasar 8,26 11,63
Lemak kasar 2,17 4,85
Serat kasar 20,92 2,13
BETN 42,17 46,26
Abu 18,28 10,85
ADF 36,22 2,76
Lignin 9,27 0,85

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian percobaan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang
terdiri atas 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan dimaksud adalah T0 = ternak kambing digembalakan

112
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

tanpa pemberian pakan suplemen dan mineral cobalt dan zeolit alam aktif; T1 = T0 + 2% pakan
suplemen + 0 ppm mineral cobalt + 5% ZAA; T2 = T0 + 2% pakan suplemen + 0,2 ppm mineral
cobalt + 5% ZAA; T3 = T0 + 2% pakan suplemen + 0,4 ppm mineral cobalt + 5 % ZZA. Data yang
terkumpul ditabulasi dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.
Pemberian pakan suplemen dilakukan pada sore hari saat ternak tersebut kembali ke kandang.
Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan ukuran 0,5 x 0,75 m. Jumlah suplemen
yang diberikan sebesar 2% dari berat badan ternak kambing yang digunakan. Jumlah mineral cobalt
yang digunakan didasarkan pada standar kebutuhan yang direkomendasikan NRC (Kearl, 1982) yaitu
sebesar 0,1 ppm dari kebutuhan bahan kering ternak kambing. Jumlah ZAA 5% dari total pakan
suplemen yang diberikan.
Parameter yang Diukur dan Diamati
Parameter yang diukur dan diamati dalam penelitian ini adalah kondisi fermentasi rumen (pH
dan konsentrasi Volatile Fatty Acid), profil (jumlah sel darah merah dan kadar Hb), dan pertambahan
berat badan.
Prosedur penelitian
Aktivasi Zeolit Alam
Sampel zeolit alam diambil dari Kabupaten Ende-NTT dalam bentuk serbuk halus (lebih dari
150 mesh) direndam dalam air bebas ion sambil dididihkan dalam wadah tertutup sampai suhu 250oC
selama 3 jam, disaring dan endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada temperetur 120 oC
selama 3 jam, diperoleh Zeolit Alam Aktif (ZAA).
Sintesis Co/ZAA
Sampel ZAA direndam dalam larutan garam cobalt yang sudah ditimbang sebelumnya sesuai
dengan perlakuan yang dicobakan, direfluks pada 600C selama 6 jam, dievaporasi, dikeringkan dalam
oven 1200C selama 3 jam (diperoleh sampel Co/ZAA). Sampel Co/ZAA dimasukkan ke dalam
reaktor, dikalsinasi pada suhu 5000C sambil dialiri gas nitrogen selama 3 jam. Hasil aktivasi Co/ZAA
selanjutnya dicampur dengan pakan suplemen dan siap diberikan pada ternak.
Pemberian pada ternak
Semua ternak yang digunakan dalam penelitian ini ditimbang berat badannya dan selanjutnya
dilakukan pengacakan dan dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkat perlakuan yang
ingin dicobakan. Semua ternak penelitian dibiarkan merumput sepanjang siang hari dan sore hari
dimasukkan ke dalam kandang individu. Selajutnya diberikan pakan suplemen sesuai dengan tingkat
perlakuan yang ingin dicoba. Pakan suplemen terdiri atas campuran beberapa bahan pakan lokal yaitu
tepung jagung, bungkil kelapa, tepung ikan, tepung daun lamtoro, gula air dan garam. Bahan pakan
yang ada dicampur menjadi rata dengan kandungan protein kasar sebesar 12%. Campuran yang ada
diberikan setiap hari sesuai dengan tingkat perlakuan yang ingin dicobakan yaitu sebesar 1% dari berat
badan ternak. Suplemen yang ada dicampur dengan Co/ZAA sesuai dengan perlakuan yang diberikan
dan pemberiannya dilakukan selama masa penelitian. Sampel hijauan yang ada di areal padang
penggembalaan dengan cara mengikuti kemana ternak tersebut berada dan diambil cuplikan hijauan
yang biasa dikonsumsi ternak. Hijauan yang terkumpul selanjutnya dikomposit dan dan dianalisis
kandungan lignin serta komponen lainnya. Analisis proksimat sampel hijauan dilakukan di
laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Undana. Untuk mengukur konsentrasi VFA (asam
asetat, propionat dan butirat) dan N-NH3 cairan rumen dilakukan dilaboratorium Kimia Fakultas
Kimia UGM. Pengukuran profil darah terutama jumlah sel darah merah dan haemoglobin dilakukan di
laboratorium klinik Kupang.

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan analisis keragaman (Anova)
dan jika terdapat adanya pengaruh perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
(Steel dan Torrie, 1990).

113
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati
Ternak digembalakan secara bebas dalam hamparan padang penggembalaan. Rerata
parameter yang diukur dalam kegaiatan penelitian ini seperti tertera dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Pemberian Suplemen dan Cobalt/ZAA Terhadap Parameter yang diukur
Parameter Perlakuan
T0 T1 T2 T3
Profil darah:
Sel darah merah/Eritrosit (x 106) 14,533a 15,060ab 15,273ab 17,493b
Haemoglobin (g/dl) 10,47a 10,57a 11,08a 13,16a
Kondisi fermentasi rumen:
pH cairan rumen 6,84a 6.81a 6.83a 6.84a
a a a
Konsentrasi asam asetat (mM) 91.84 88.58 85.18 90.7a
Konsentrasi asam propionat (mM) 45.97a 46.17a 46.24a 47.11a
Konsentrasi asam butirat (mM) 19.91a 19.2a 18.46a 19,64a
a b b
Pertambahan Berat Badan (g/ekor/hari) 25.71 55.71 65.71 78.57b
Keterangan: Superscript yang berbeda dalam baris menujukkan adanya perbedaan (P<0,05).

Data Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemberian suplemen dengan meniral cobalt yang
semakin tinggi tidak berpengaruh terhadap kondisi fermentasi rumen. Secara statistik memperlihatkan
bahwa pemberian suplemen dengan jumlah mineral cobalt tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
konsentrasi asam asetat, propionat dan butirat. Konsentrasi VFA yang relatif sama antar perlakuan
menunjukkan bahwa laju fermentasi dalam rumen berlangsung dalam kondisi yang relatif sama.
Bakteri yang terlibat dalam proses fermentasi berada dalam jumlah yang sama sehingga tidak
berpengaruh terhadap produk akhir fermentasi. Khusus pada konsentrasi asam propionat terlihat
bahwa ternak yang diberi suplemen cenderung menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa pemberian suplemen.
Pemberian konsentrat akan merubah proporsi asam propionat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanpa konsentrat. Disamping itu pemberian mineral cobalt yang semakin tinggi cenderung
menghasilkan asam propionat yang lebih tinggi karena salah satu fungsi cobalt adalah untuk
pembentukan vitamin B12 dan vitamin ini berperanan dalam pembentukan asam propionat sehingga
konsentrasinya semakin tinggi seiring dengan tingginya mineral cobalt dalam ransum (Scauff, 1986).
Pemberian suplemen dengan mineral cobalt yang semakin tinggi berpengaruh secara nyata (P<0,05)
terhadap jumlah sel darah merah yang dihasilkan. Terlihat adanya korelasi antara kandungan mineral
cobalt dalam ransum dengan jumlah sel darah merah yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena mineral
cobalt berperanan dalam sintesis vitamin B12, sedangkan vitamin B12 berperanan dalam sintesis sel
darah merah (McDowell, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa vitamin B12 berparanan sebagai
cofaktor enzim methionin sinthase dan methylmalonyl CoA mutase. Efek methyonin sinthase adalah
transfer gugus metyl dari asam folat ke homosistein untuk pembentukan metionin sehingga
kekurangan vitamin B12 akan mengurangi suplai metionin. Jumlah sel darah merah yang semakin
tinggi termasuk Hb akan berpengaruh terhadap transport oksigen dalam tubuh sehingga pada ternak
akan memberikan pengaruh terhadap laju pertumbuhan ternak. Hasil penelitian juga memperlihatkan
bahwa pemberian suplemen berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertambahan berat badan. Adanya
perbedaan ini menunjukkan bahwa pemberian suplemen memenuhi kebutuhan nutrien bagi ternak.
Disamping itu pula menunjukkan bahwa hijauan yang berada di areal padang selama proses
penggembalaan memiliki nutrien yang sudah mencukupi namun kenaikan berat badan yang relatif
lebih rendah diabandingkan dengan yang diberi suplemen.

SIMPULAN
Pemberian suplemen dengan mineral cobalt yang semakin tinggi dapat meningkatkan jumlah
sel darah merah dari ternak kambing yang digembalakan. Level mineral yang semakin tinggi tidak

114
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

mempengaruhi kondisi fermentasi rumen. Pemberian suplemen dapat meningkatkan pertambahan


berat badan .

DAFTAR PUSTAKA
Efsa, 2009. Scientific opinion on the use of cobalt compound as additives in animal nutrition. Efsa
Journal 7(12):1383
Kearl, L.C., 1982. Nutrient Requirement of Ruminants In Developing Countries. International,
Feedstuff Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah State University, Logan Utah.
McDowell, L. R. 2000. Vitamins in animal and human nutrition. Iowa State University
Press, Ames, IA. 793 pp.
Mills, CF., 1981. Cobalt deficiency and cobalt requirements of ruminants. In: Recents advanced in
Animal Nutrition 1981. (U Haresign) Butterworth London.
Papaloannou, D, P.D. Katoulos, N. Panousis and H. Karatsias., 2005. The role of natural and synthetic
zeolite as feed additives on the prevention and/or the treatment of certain farm animals.
Microporous and mesoporous materials 84(1-3):161-170
Prasai, T.P., K.B. Walsh., S.P. Bhattarai., D.J. Midmore., T.T.H. Van and R.J. Moore., 2017. Zeolite
food supplementation reduce abundance of enterobacteria. Microbiological Research 195:24-30
Scauff, D., 1986. Importance of cobalt to beef and dairy cattle. http://agriking.com

115
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

OPTIMALISASI FERMENTASI RUMEN SECARA IN VITRO MELALUI


PEMBERIAN PAKAN KOMPLIT PLUS BERBASIS LIMBAH DARI HASIL
FERMENTASI MENGGUNAKAN Zn-Cu ISOLEUSINAT
OPTIMIZING IN VITRO RUMEN FERMENTATION THROUGH COMPLETE PLUS FEED
PROVIDING BASED ON FERMENTATION RESULTS OF WASTE USING Zn-Cu ISOLEUSINATE
Gusti A. Y. Lestari1 dan Erna Hartati1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang
*)Penulis untuk korepondensi
Email: yudilestari64@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Undana selama 12 minggu untuk
menghasilkan pod kakao hasil fermentasi (PKF) yaitu produk hasil fermentasi pod kakao oleh Aspergillus niger
dengan kombinasi penambahan urea, NPK, ZnSO4 dan level Zn-Cu isoleusinat yang memberikan respon terbaik
terhadap: Produksi NH3 dan VFA serta kecernaan BK dan BO in vitro.Materi yang digunakan adalah kulit buah
kakao (pod kakao), bibit aspergillus niger sebagai starter, gula pasir, urea, NPK, ZnSO4 dan Zn–Cu isoleusinat.
Penelitian dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diuji
adalah: Ro: Pod kakao hasil fermentasi dengan A. niger yang diaktifasi dengan gula, urea, NPK; R1: Ro +15mg
ZnSO4 (tanpa Zn-Cu isoleusinat); R2: R0+15mg ZnSO4 + 100mgZn-Cuisoleusinat.L-1; R3: R0+15mg ZnSO4 +
200mgZn-Cuisoleusinat.L-1dan R4:R0+15mg ZnSO4 + 300mgZn-Cuisoleusinat.L-1. ANOVA memperlihatkan
bahwa pod kakao hasil fermentasi dengan A. niger yang diaktifasi dengan gula, urea dan NPK serta penambahan
ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat berpengaruh sangat signifikan(P<0,01) terhadap peningkatan produksi NH 3, VFA,
KCBK dan KCBO secara in vitro. Serta hasil yang paling optimal dicapai pada pemberian pod kakao hasil
fermentasi dengan A. niger yang diaktifasi dengan gula, urea dan NPK+15mg ZnSO4+200mgZn-Cu isoleusinat
L-1. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa PK-F yang telah difermentasi dengan A. niger+15mg ZnSO4
+ 200mg Zn-Cu isoleusinat L-1dapat memberikan respon terbaik serta mampu mengoptimalkan produksi NH 3,
VFA, KCBK dan KCBO secara in vitro.
Kata kunci: Pakan Komplit Plus, Pod kakao, Aspergillus niger, NH3, VFA,KCBK dan KCBO

ABSTRACT
This research was conducted at Feed Chemical Laboratory of Undana Faculty of Animal Husbandry for 12
weeks to produce fermented cocoa shell (PKF) which is product of fermentation of cocoa shell by
Aspergillusniger with combination of urea, NPK, ZnSO4 and Zn-Cu isoleucinate which give best response to :
Production of NH3 and VFA and in vitro digestibility of DM and OM. The material used was the shell of cocoa,
aspergillusniger seeds as starter, sugar, urea, NPK, ZnSO4 and Zn-Cu isoleucinate. The study was conducted
using a complete randomized design consist of 5 treatments and 3 replications. The treatments were: Ro: shell
cocoa fermented with A. niger which was activated with sugar, urea, NPK; R1: Ro + 15mg ZnSO4 (without Zn-
Cu isoleucinate); R2: R0 + 15mg ZnSO4 + 100mgZn-Cuisoleusinat L-1; R3: R0 + 15mg ZnSO4 + 200mgZn-
CuisoleusinatL-1 and R4: R0 + 15mg ZnSO4 + 300mgZn-CuisoleusinatL-1. Statistical analysis showed that
fermented cocoa shell with A. niger activated with sugar, urea and NPK and addition of ZnSO4 and Zn-Cu
isoleucinate significantly (P <0.01) effect on the production of NH3, VFA, DMD and OMD in vitro. While the
most optimum results were achieved on fermented cocoa shell with activated A. niger with sugar, urea and NPK
+ 15mg ZnSO4 + 200mgZn-Cuisoleusinate L-1. Based on these results, it can be concluded that cocoa shell
fermented with A. niger + 15mg ZnSO4 + 200mgZn-Cuisoleusinat L-1 can provide the greatest response and
able to optimize production of NH3, VFA, in vitro DMD and OMD.
Keywords: completeplusfeed, cocoa shell, Aspergillusniger, NH3, VFA, DMD and OMD

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produktivitas ternak ruminansia yang rendah di Nusa Tenggara Timur (NTT) banyak
disebabkan oleh ketersediaan pakan baik kualitas, kuantitas maupun kontiniutas yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup pokok dan juga untuk produktivitasnya. Di NTT selama musim kemarau
ternak hanya mengkonsumsi rumput alam yang telah mengering (standing hay) dengan nilai gizi yang
sangat rendah ditandai dengan kandungan Protein Kasar ( PK) yang rendah sebesar: 2,56 %, Serat
116
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kasar (SK) : 38, 75 % dan kecernaan Bahan Kering (BK): 45, 86 % (Hartati dan Katipana, 2006).
Kondisi pakan yang demikian akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ternak, bahkan tidak
jarang mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, perlu penambahan suplementasi yang
memanfaatkan bahan lokal khususnya hasil limbah pertanian untuk meningkatkan kualitas pakan agar
produktivitas ternak meningkat.
Bentuk pakan suplemen yang dapat diberikan berupa Pakan Komplit Plus (PK-P) yang bahan
penyusun utamanya yang penggunaannya tidak bersaing dengan manusia, seperti limbah pertanian
atau perkebunan yang memiliki kandungan nutrisimendekati jagung (yang umumnya merupakan
bahan penyusun utama) harganya murah,dan tersedia sepanjang tahun Bahan pakan alternatif yang
potensial dimanfaatkan adalah limbah pod kakao yang diduga dapat menggantikan jagung karena
kandungan BETN yang cukup tinggi yaitu 34,26% (Djajanegara, 1999).
Pod kakao adalah limbah utama hasil pengolahan buah kakao.Dengan digalakkannya produksi
kakao di Indonesia, termasuk di NTT, maka limbah berupa pod juga meningkat. Di NTT, dari lahan
seluas 48.421 ha pada tahun 2012 dihasilkan produksi kakao sebesar sebesar 12.102 ton (DISBUN
Provinsi NTT, 2012). Pod yang dihasilkan dari produksi kakao tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal, bahkan cenderung dianggap sebagai sampah. Padahal, kandungan nutrisi pod kakao cukup
tinggi karena mengandung protein kasar (7,17-9,36%), serat kasar(30,16-47,87%), lignin (27,95-
38,78%) (Amiroenas, 1990; dan Guntoro et al., 2008; Anggraeny dan Umiyasih, 2008), Neutral
Detergen Fiber (NDF) (66,3%), Acid Detergen Fiber (ADF) (65,1%), dan Acid Detergen Lignin
(ADL) (28,0%) (Smith, 1974 dalam Sutardi, 1997). Disamping itu kandungan Zn dan Cu pakan
ruminansia masih rendah masing masing 20 – 38 mg/kg dan 8 – 10 ppm (Little, 1986 dan Underwood,
1977), padahal mineral tersebut sangat penting perannannya dalam proses fermentasi rumen dan
berbagai aktifitas enzim pencernaan, penyerapan dan metabolism zat zat makanan dan sintesis
hormone. Oleh sebab itu untuk memperbaiki kualitas pod kakao diperlukan terobosan tehnologi yaitu
diantaranya fermentasi menggunakan jenis kapang Aspergillus niger dengan penambahan mineral Zn
dan Cu untuk mengurangi kadar lignin dan serat serta meningkatkan kandungan protein dan kecernaan
serat.
Upaya peningkatan kualitas podkakao telah diteliti oleh Marstyo, dkk.(2008) yang telah
berhasil meningkatkan kandungan protein kasar dan menurunkan kandungan NDF melalui fermentasi
pod kakao dengan 5x106 spora Aspergillus niger dan dengan penambahan 20 gram urea/kg pod kakao.
Sementara hasil penelitian Prayitno (2008) menunjukkan bahwa suplemtasi 50 ppm Zn dan 6 ppm Cu
pada kulit kakao terfermentasi Tricodherma viridae 5% dapat meningkatkan konsentrasi NH3, VFA
dan kecernaan bahan organik in vitro. Demikian pula Guntoro et al. (2006) menunjukkan bahwa
pemberian pod kakao fasil fermentasi menggunakan Aspergillus niger yang diaktifasi menggunakan
penambahan gula pasir, urea,NPK berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan sapi Bali. Akan
tetapi belum ada yang melakukan penelitian menggunakan A. niger dengan penambahan mineral
ZnSO4(mineral anorganik) dan Zn-Cu Isoleusinat (mineral organik) pada pod kakao terhadap
peningkatan fermentasi rumen ternak ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan Pod
kakao hasil fermentasi (PKF) yaitu produk hasil fermentasi pod kakao oleh Aspergillusniger dengan
kombinas penambahan urea, NPK, ZnSO4 dan level Zn-Cu Isoleusinat yang memberikan respon
terbaik terhadap: Produksi NH3 dan VFA serta kecernaan BK dan BO In vitro.

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Lokasi, Waktu dan Materi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan Undana selama
12 minggu. Dalam penelitian ini digunakan bahan pakan serta kandungan nutrisinya seperti yang
tertera pada tabel1. Untuk dijadikan PKF, podkakao difermentasi menggunakan jamur Aspergillus
niger. Sebelumnya, jamur tersebut diaktifasi menggunakan kombinasi gula pasir, urea, NPK serta
penambahan 15 mg ZnSO4 dan Zn-Cu Isoleusinat.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan
rancangan percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan.
Perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut:

117
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

R0 = Pod kakaohasilfermentasidengan A. niger yang diaktifasiolehgula, urea dan NPK


R1= Ro + 15 mg ZnSO4 (tanpa Zn- Cu isoleusinat)
R2= Ro + 15 mg ZnSO4. L-1 + 100 mg Zn – Cu Isoleusinat. L-1
R3= Ro + 15 mg ZnSO4. L-1 + 200 mg Zn – Cu Isoleusinat. L-1
R4= Ro + 15 mg ZnSO4. L-1 + 300 mg Zn – Cu Isoleusinat. L-1

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Penyusun Konsentrat


Protein TDN
Protein
Jenis Bahan Pakan Komposisi TDN (%) Konsentrat Konsentrat
(%)
(%) (%)
Jagung kuning (%) 46,25 10,00 91,00 4,64 42,09
Dedak halus (%) 20,50 10,89 66,00 2,23 13,53
Bungkil kelapa (%) 23,00 23,10 74,00 5,31 17,02
Tepung ikan (%) 8,00 61,20 69,00 4,90 5,52
Minyak goreng (%) 1,50 - - - -
Garam dapur (50 0,25 - - - -
Premix (%) 0,50 - - - -
ZnSO4 (mg/kg BK 150,0 - - - -
konsentrat)*
Zn-Cu isoleusinat 2,0 - - - -
(%/kg BK ransum)*
Jumlah 17,07 78,16

Parameter dan analisis data


Variabel yang uji adalah fermentabilitas dengan mengukur produksi N-NH3 dan VFA In vitro,
kecernaan pasca rumen dengan mengukur nilai kecernaan BK dan BO In vitro. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui
perbedaan pengaruh antara perlakuan. Data dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi NH3, VFA, KCBK dan KCBO In vitro Pod Kakao Hasil Fermentasi (PKF).
Hasilpenelitianmenunjukkanbahwaperlakuansangatberpengaruh (P<0,01) terhadap NH3,
VFA, KCBK dan KCBO In vitrosepertipadatabelberikut:
Tabel 2. Produksi NH3, VFA, KCBK dan KCBO In vitropada BerbagaiPerlakuan
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3 R4
Produksi NH3
(mM) 6.35+0.22a 6.55+0.26ab 6.56+0.15ab 6.77+0.25b 6.82+ 0.20b
Produksi VFA
(mM) 138.70+0.49ab 138.47+0.86a 141.18+1.84b 141.79+1.96bc 137.98+2.01a
KCBK (%) 67.94+0.49a 68.70+2.30a 68.79+1.04a 73.10+1.11b 73.59+1.69b
KCBO (%) 72.78+0.37a 73.15+0.25ab 73.54+0.17b 73.82+0.68b 73.17+0.40ab

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa fermentasi pod kakao menggunakan
gula pasir, urea, NPK dengan penambahan ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat antara berbagai level
perlakuan berpengaruh signifikan (P<0.05) terhadap peningkatan fermentabilitas PKF yang dapat
dilihat dari produksi NH3. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ZnSO4 dan ZnCu isoleusinat
dalam proses aktifasi bibit Aspergillus niger telah mampu meningkatkan pertumbuhan jamur itu
sendiri sehingga produksi enzim untuk mencerna sellulosa dan hemisellulosa meningkat. Produksi

118
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

NH3 tertinggi (P,0,05) diperoleh pada perlakuan R4, namun tidag berbeda significan dengan perlakuan
R3. Keadaan ini mungkin disebabkan karena ketersediaan sumber N dari hasil fermentasi tidak dapat
dimbangi dengan kerangka C dan energy untuk sintesis protein mikroba. Sehingga secara ekonomis
dapat dinyatakan bahwa PKF yang mempunyai respon tertinggi adalah pada perlakuan R3.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa fermentasi pod kakao menggunakan
Aspergillus niger yang diaktifasi menggunakan kombinasi gula pasir, urea, NPK dengan penambahan
ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat pada berbagai level berpengaruh signifikan (P<0.05) terhadap
peningkatan fermentabilitas PKF yang dapat dilihat dari produksi VFA. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat dalam proses aktifasi bibit Aspergillus niger berperan
sebagai aktifator enzim dan juga diperlukan untuk pertumbuhan jamur tersebut. Produksi VFA
tertinggi diperoleh pada perlakuan R3. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terjadinya
peningkatan sintesis protein mikroba, sehingga semakin banyak enzim yang dihasilkan baik untuk
mencerna serat kasar.
Rataan KCBK dan KCBO in vitro disajikan pada tabel 2. Pada tabel tersebut dapat dilihat
bahwa PKF yang merupakan produk fermentasi menggunakan Aspergillus niger yang diaktifasi
menggunakan kombinasi gula pasir, urea, NPK dengan penambahan ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat
pada berbagai level berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap KCBK in vitro dan berpengaruh
signifikan (P,0.05) terhadap KCBO. Hal ini mungkin disebabkan karena penambahan ZnSO4 dan Zn-
Cu isoleusinat selain digunakan sebagai aktifator enzim pada saat fermentasi pod kakao, juga dapat
memperkaya kandungan nutrient mikro mineral Zn dan Cu, sehingga cukup tersedia dalam PKF yang
merupakan faktor pembatas bagi sintesis protein mikroba rumen yang berdampak terhadap
peningkatan KCBK in vitro. Oleh karena bahan organik merupakan bahan kering maka KCBO in
vitro juga pasti akan meningkat.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan: Pod kakao hasil fermentasi
(PKF) menggunakan Aspergillus niger yang diaktifasi dengan kombinasi gula pasir, urea, NPK
dengan penambahan 15 mg ZnSO4/L-1 aquades dan 200 mg Zn-Cu isoleusinat. L-1 memberikan
respon terbaik serta mampu mengoptimalkan produksi NH3, VFA, KCBK dan KCBO in vitro.

DAFTAR PUSTAKA
Amirroenas D. E., 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet Dengan Bahan Serat Biomasa Pod Kakao
(Theobroma cacao L.) Untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana,
Institute Pertanian Bogor, Bogor.
.Anggraeny, Y. N. dan U. Umiyasih. 2008. EvaluasiPotensiPakanAsalLimbahTanamanPangandan
Perkebunan di Daerah ProritasKawinAlamMendukung Program P2SDS. Pros. Seminar
NasionalTeknologiPeternakandanVeteriner. Bogor. 11-12 Nov. 2008. PuslitbangPeternakan,
Bogor. Hal. 304-311.
DISBUN Provinsi Nusa Tenggara Timur (2012). Statistik Perkebunan Prov. NTT. Kupang.
Djadjanegara, A. dan A. Prabowo., 1996. Pencernaan In Vitro Bahan Pakan Berserat Oleh Mikroba
Organisme Rumen Dengan Berbagai Tingkat Penambahan Mineral Seng. Ringkasan Seminar
Nasional 1 Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Bogor 3-4 Juli 1996 hal.88.
Guntoro, S., Sriyanto, N. Suyasa dan M. Rai Yasa. 2008. Pengaruh Pemberian Limbah KakaoOlahan
terhadap Pertumbuhan Sapi Bali (Feeding of Processed Cacao By-Product to Growing Bali
Cattle). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Ngurah Rai, Denpasar.
Hartati, E. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru dan Seng ke dalam Ransum yang Mengandung Silase
Pod Kakao dan Urea untuk Memacu Pertumbuhan Sapi Holstein Jantan. DisertasiProgram
Sarjana IPB. Bogor.
Hartati, E dan N. G. F. Katipana. 2006. Sifat Fisik, Nilai Gizi dan kecernaan In Vitro Standinghaylage
Rumput Kume Hasil Fermentasi Menggunakan Gula Lontar dan Feses Ayam. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006, Kupang.
Hartati, E., A.Saleh dan E. D. Sulistidjo. 2009. Optimalisasi Proses Fermentasi Rumen dan
Pertumbuhan Sapi Bali Melalui Suplementasi Zn-Cu Isoleusinat dan ZnSO4 pada Ransum

119
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Berbasis Standinghay Rumput Kume (Andropogon timorensis)Amoniasi. Laporan Penelitian


Fundamental Fakultas PeternakanUndana, Kupang.
Hartati, E., A.Saleh dan G.A.Y. Lestari. 2012. Substitusi Jagung Pada Pakan Komplit Plus Oleh
Podkakao Hasil Fermentasi Menggunakan Zn-Cu Isoleusinat Untuk Mengoptimalkan
Fermentasi Rumen Dan Pertumbuhan Sapi Bali, Universitas Nusa Cendana Kupang, Laporan
Penelitian, Kupang.
Marsetyo, S. P. Quigley dan D. P. Puppi. 2008. Effect of Aspergillus niger and Urea on Crude Protein
and Neutral Detergen Fibre Contentof cocoa-pods in Central Sulawesi. Indonesia proc. Aust.
Soc Anim. Prod. Vol 27. Hal. 9.
Sutardi, T. 1997. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Kursus Peternakan Sapi Perah di Kayu
Ambon, Lembang. Bogor: Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

120
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

OPTIMALISASI FERMENTASI DALAM RUMEN MELALUI SUPLEMENTASI TEPUNG BEKICOT


PADA RANSUM BERBASIS STANDINGHAY RUMPUT KUME (Sorghum plumosum) AMONIASI
OPTIMALISATION OF RUMEN FETMENTATION WITH SUPPLEMENTATION OF SNAIL MEAL
IN BASAL RATION OF STANDINGHAY RUMPUT KUME (ANDROPOGON TIMORIENSIS)
AMONIATION
Erna Hartati1, E. D. Sulistijo1, A. Saleh1, G. Oematan1 dan G.A.Y. Lestari1
1
Faculty of Animal Science, University of Nusa Cendana, Kupang,
Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang, 85001

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan respon terbaik dari penambahan tepung bekicot pada ransum basal
standinghay rumput kume (Andropogon timorensis) amoniasi terhadap optimalisasi proses fermentasi rumen dan
kecernaan in vitro. Penelitian menggunakan metode percobaan in vitro dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) empat perlakuan level pamberian tepung bekicot (0; 1; 2 dan 3% dari BK ransum) pada standinghay
rumput kume amoniasi dengan ulangan 5 kali. Parameter yang diamati adalah produksi N-NH3, VFA total serta
kecernaan bahan kering dan bahan organik, in vitro. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan
dengan uji Duncan menggunakan paket SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh
sangat signifikan (P<0.01) terhadap produksi NH3, VFA total dan kecernaan bahan kering dan bahan organik.
Produksi NH3, VFA total, kecernaan bahan kering dan bahan organik tertinggi diperoleh pada suplementasi 2%
tepung bekicot dari BK standinghay rumput kume.
Kata kunci: N-NH3, VFA, akteri selulolitik, kecernaan, BCAA,. BCFA

ABSTRACT
The aims of this research were to obtain the optimum rumen fermentation and digestibilities in vitro with
supplementation of snail meal in basal ration of standinghay ammoniation of the Andropogon timoriensi. This in
vitro experiment based on Randomized Completely Design with four levels of bekicot mill (0, 1, 2, and 3% of
ration dry matter) following Andropogon timoriensis standing hay ammoniation which were replicated at five
times. Parameters were amonia (N-NH3) production, Volatile Fatty Acids (VFA) total, dry and organic matter
digestibilities. The SPSS-14 program was put into operation for data analysis by analysis of variance and
Duncan’s New Multiple Range test. Results showed that the better the NH3 production, VFA Total, organic and
dry matter digestibilities were supported by 2% of escargot mill of dry matter of Andropogon timoriensis
standing hay ammoniation.
Key woed: N-NH3. VFA, digestibiility,BCAA, BCFA

PENDAHULUAN
Dalam upaya mewujudkan kadaulatan pangan nasional asal hewan, diperlukan peningkatan
ketersediaan daging sapi melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas usaha budidaya ternak sapi.
Namun dalam pengembangan usaha budidaya ternak sapi, ketersediaan pakan masih menjadi kendala
utama selain ketersediaan air. Hal ini terjadi karena ketersediaannya tidak sepanjang tahun akibat
musim kemarau yang berlansung 8-9 bulan. Pada kondisi tersebut hanya mengandalkan standinghay
rumput kume dengan kandungan protein sangat rendah (2.56%), sebaliknya serat kasar tinggi
(38.75%) (Hartati dan Katipana, 2006), kandungan seng dan lemak juga sangat rendah masing-masing
4.42 mg/kg BK dan 1.9% (Hartati, dkk. 2009). Juga dilaporkan Hartati dan Katipana (2006) bahwa
standinghay rumput kume memiliki sifat keambaan tinggi (6.3 l/kg) yang menyebabkan sedikit ruang
yang dapat diisi oleh setiap kg hijauan. Disamping itu daya serap air rendah (5.1%) menyebabkan
mikroba sulit menembus masuk sel untuk memutuskan ikatan selulosa dan hemiselulosa, sehingga
kelarutan rendah (21.89%).
Berbagai terobosan teknologi sudah dilakukan untuk meningkatkan daya guna hijauan kualitas
rendah dan salah satunya dengan teknologi amoniasi menggunakan urea. Amoniasi dengan urea
menurut Leng (1991) mampu menyediakan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba rumen. Dari
berbagai penelitian telah terbukti bahwa amoniasi dengan urea terhadap pakan serat mampu
meningkatkan nilai manfaat dari pakan tersebut. Orskov (2002) melaporkan bahwa kecernaan bahan
kering jerami yang diamoniasi meningkat menjadi 57% (16,3%) dibandingkan dengan jerami tanpa

121
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

amoniasi yaitu 49%. Pada penelitian ini akan dilakukan amoniasi terhadap standinghay rumput kume
yang sangat potensial di NTT, dengan menggunakan kombinasi yang paling efisien yaitu 4% urea dari
bahan kering yang diperam selama 3 minggu dengan kadar air 40% (Soeyono, 2006). Peningkatan
pertumbuhan mikroba rumen dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam mencerna dinding sel dan
menghasilkan VFA. Pada pakan kualitas rendah yang sulit dicerna, peningkatan pertumbuhan
mikroba sangat esensial karena enzim yang dihasilkan oleh bakteri dapat mencerna serat pakan.
Berbagai teknologi sudah dilakukan para peneliti yaitu selain dengan teknologi pengolahan
juga dengan suplementasi pakan padat gizi (PPG) mengandung 1.5% minyak lemuru dan ZnSO4
sebagai sumber protein, energi, lemak dan Zn (Hartati, dkk. 2009). Hasil yang dilaporkan bahwa
belum optimal dapat mencukupi kebutuhan nutrient untuk optimalisasi fermentasi rumen. Oleh sebab
itu masih diperlukan terobosan lain yaitu dengan zat-zat gizi yang berpotensi sebagai faktor pembatas
pertumbuhan mikroba rumen terutama bakteri selulolitik. Bakteri tersebut membutuhkan asam lemak
bercabang (BCFA) yang merupakan hasil dekarboksilase dan deaminasi asam amino bercabang
(BCAA) seperti valin, leusin dan isoleusin. Salah satu bahan pakan sumber leusin adalah tepung
bekicot dengan kandungan sebesar 78 mg/g protein (Sihombing, 1999) dan diharapkan dapat
mengoptimalkan populasi bakteri selulolitik melalui suplementasi asam amino bercabang (BCAA).
Hasil penelitian menggunakan mineral organik mengandung asam amino isoleusinat dapat
meningkatkan konsumsi dan kecernaan bahan kering (Telupere, dkk. 2015; Hartati, dkk. 2013 dan
2016). Profil fermentasi rumen (Hartati, dkk. 2016), peningkatan retensi N, retensi energi dan
pertambahan berat badan sapi (Hartati dkk. (2012).
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian suplementasi tepung bekicot
pada standinghay rumput kume amoniasi untuk optimalisasi proses fermentasi dalam rumen,
kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro.

MATERI DAN METODA PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pakan, Fakultas Peternakan Universitas Nusa
Cendana selama 2 bulan. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung bekicot,
standinghay rumput kume (Andropogon timorensis) amoniasi. Metode yang digunakan pada penelitian
ini adalah percobaan secara in vitro dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) empat perlakuan level
pamberian tepung bekicot (0; 1; 2 dan 3% dari BK ransum) pada standinghay rumput kume amoniasi
dan diulang sebanyak 5 kali. Parameter yang diamati adalah produksi N-NH3 dan VFA total (General
Laboratory Prosedure, 1966), kecernaan bahan kering dan bahan organik, in vitro (Tilley dan Terry,
1969). Data dianalisis menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
menggunakan paket SPSS Releas14

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi Amoniak (NH3) dan Volatile Fatty Acid (VFA) total In vitro
Fermentabilitas pakan di rumen digambarkan oleh produksi NH3 dan VFA, kedunya sering
dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas pakan ternak ruminansia. Produksi NH3 yang tinggi
mengambarkan banyaknya protein pakan yang mudah didegradasi oleh mikroba rumen, sedangkan
VFA yang tinggi menggambarkan banyaknya bahan organik pakan yang mudah didegradasi oleh
mikroba rumen.
Nilai rataan produksi NH3 dan VFA total pada ransum percobaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan berbeda signifikan (P<0.01) terhadap
produksi NH3 dan VFA total. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa produksi NH3 pada ransum
standinghay rumput kume yang disuplementasi 1, 2 dan 3% tepung bekicot ingkat signifikan
(P<0.05), akan tetapi peningkatan produksi NH3 antara yang disuplementasi 2 dan 3% tepung bekicot
tidak signifikan. Artinya produksi NH3 optimal dicapai pada level suplementasi tepung bekicot 2%
dari bahan kering ransum. Hal tersebut mungkin disebabkan karena telah terjadi inkorporasi kerangka
C bercabang (BCFA) hasil dekarboksilase dan deaminasi leusin tepung bekicot ke dalam mikroba
secara optimal, sehingga pertumbuhan mikroba meningkat optimal dan dapat merombah protein
pakhan menjadi NH3 lebih tinggi. Sesuai pernyataan Sutardi (1976) bahwa kerangka C bercabang
(BCFA) sangat diperlukan bagi pertumbuhan mikroba dalam rumen. Selanjutnya dengan

122
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menggunakan C14 sebagai perunut memperlihatkan bahwa terjadi inkorporasi kerangka C dari valin,
leusin dan isoleusin ke dalam protein mikroba rumen berturut-turut 31, 25 dan 29 %.
Tabel 1. Rataan Produksi NH3 dan Volatile Vatty Acid (VFA) total In vitro
Perlakuan
Parameter R0 R1 R2 R3
Produksi NH3 (mM) 4.84 ± 0.42a 5.22 ± 0.40b 6.26 ± 0.29c 6.16 ± 0.43c
Produksi VFA (mM) 117.37 ± 1.28a 129.33 ± 1.04b 153.77 ± 1.90c 161.43 ± 1.88d
Keterangan: Superscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0.05)

Peningkatan produksi NH3 yang tidak signifikan antara yang disuplementasi 3% dan 2% tepung
bekicot diduga disebabkan karena perombakan jumlah protein pakan dalam rumen dalam
menghasilkan NH3 relatif sama dengan yang disuplementasi 2%. Sementara sumber karangka C dari
BCFA hasil dekarboksilase dan deaminasi leusin yang terkandung dalam tepung bekicot pada level
3% lebih banyak. Akibatnya incorporasi kerangka karbon dari leusin yang terkandung dalam tepung
bekicot ke dalam mikroba kurang efisien. karena ketersediaan NH3 hasil degradasi protein pakan
pada suplementasi 2 dan 3% diduga relative sama. Akibatnya peningkatan suplementasi tepung
bekicot tidak diikuti dengan peningkatan sintesis dan pertumbuhan mikroba rumen, sehingga
peningkatan produksi NH3 pada level 3% relatif sama dengan level 2%. Sesuai pernyataan Sutardi
(1979) dan Sutardi dkk. (1983) bahwa apabila NH3 berlebihan dan tidak seimbang dengan
ketersediaan kerangka C, maka sintesis protein mikroba menurun. Hal tersebut juga akan berdampak
terhadap produksi VFA total (Tabel 1)
Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan berbeda sangat signifikan (P<0.01)
terhadap produksi VFA.total. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa peningkatan produksi VFA total
antara ransum standinghay rumput kume yang disuplementasi 1, 2 dan 3% tepung bekicot satu sama
lain berbeda sangat signifikan (P<0.01) dan yang tertinggi dicapai pada ransum yang disuplementasi
2% tepung bekicot.. Artinya produksi VFA dicapai pada level suplementasi 3% menunjukkan
produksi VFA tertinggi. Hal tersebut mungkin disebabkan karena kecangka C hasil dekarboksilase dan
deaminasi polisakharida dan leusin, iso leusin dan valin sebagai sumber kerangka C bercabang lebih
banyak, akan tetapi tidak seimbang dengan ketersediaan NH3 hasil perombakan protein pakan. Diduga
terjadi peningkatan sintesis protein mikroba yang semakin menurun pada level suplementasi 3%
tepung bekicot. Hasil ini mendukung pernyataan Sutardi (1979) dan Sutardi dkk. (1983) bahwa bila
kerangka C berlebihan dan tidak seimbang dengan NH3, atau sebaliknya bila NH3 berlebihan dan tidak
seimbang dengan ketersediaan kerangka C maka sintesis protein mikroba menurun.
Oleh sebab itu berdasarkan hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa standinghay rumput kume
amoniasi yang disumplementasi 2% tepung bekicot merupakan ransum yang menghasilkan produksi
NH3 dan VFA dalam rumen yang optimal. Artinya suplementasi tepung bekicot sampai level 2% pada
standinghay rumput kume amoniasi menunjukkan fermentasi yang optimal, karena diduga sintesis
protein mikroba terutama bakteri yang terjadi pada level tersebut meningkat. Akibatnya semakin
banyak enzim yang dihasilkan baik untuk mencerna protein maupun serat dari ransum percobaan
yang tercermin pada nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum ( Tabel 2).
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Rataan kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel
tersebut terlihat bahwa suplementasi 1, 2 dan 3% tepung bekicot pada ransum basal standinghay
rumput kume amoniasi berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap peningkatan kecernaan bahan
kering.
Tabel 2. Rataan Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik In vitro
Perlakuan
Parameter
R0 R1 R2 R3
KCBK (%) 63.27 ± 0.82a 63.61 ± 1.41a 66.78 ± 1.62bc 64.99 ± 1.36abc
KCBO (%) 66.43 ± 0.86a 66.79 ± 1.48a 70.12 ± 1.70bc 68.24 ± 1.43bc
Keterangan: Superscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang Nyata (P<0.05)
123
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Hasil uji lanjut memperlihatkan bahwa antara ransum basal standinghay rumput kume tanpa
dan yang disuplementasi 1% dan 3% tepung bekicot tidak berbeda terhadap meningkatkan kecernaan
bahan kering, akan tetapi dengan yang disuplementasi 2 % tepung bekicot berbeda sangat signifikan
(P<0.01). Peningkatan kecernaan bahan kering antara yang disuplementasi 2 dan 3% tidak signifikan.
Pada tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan kecernaan yang semangkin menurun pada
suplementasi 3% tepung bekicot sekalipun produksi VFA meningkat, akan tetapi tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti antara level 2 %. Artinya peningkatan suplementasi tepung bekicot dari 2%
menjadi 3% diduga tidak mengakibatkan peningkatan sintesis protein mikroba yang signifikan. dan
berdampak terhadap peningkatan kecernaan bahan kering yang mulai menurun. Kemungkinan telah
terjadi peningkatan populasi bakteri di cairan rumen.
Sesuai pernyataan Clark et al. (1992) dalam Zein (1999) bahwa sebahagian besar bakteri
menggunakan amonia (NH3), walaupun ada sebahagian kecil yang menggunakan asam, amino.
Griswold dkk. (1996) menyatakan bahwa penambahan asam amino cenderung meningkatkan jumlah
bakteri selulolitik. Juga terjadi peningkatan kecernaan bahan kering dan ADF pada jerami barley yang
disuplementasi isoleusin, dan pada ransum yang disuplementasi BCAA dapat memacu pertumbuhan
bakteri rumen (Mir et al. 1991 dan Erwanto, 1995). Leusin yang banyak terkandung dalam tepung
bekicot adalah salah satu BCAA melalui proses dekarboksilase dan deaminasi membentuk BCFA
sebagai sumber kerangka C cabang bagi sintesis dan pertumbuhan bakteri khususnya bakteri
selulolitik. Akan tetapi mungkin kerangka C yang terbentuk pada level suplementasi 3% berlebihan
dan tidak seimbang dengan ketersediaan NH3 hasil perombakan protein seperti yang dilaporkan
Sutardi (1979) dan Sutardi dkk. (1983). Pada penelitian ini disimpulkan bahwa respons terbaik
terhadap proses fermentasi dan kecernaan in vitro adalah pada ransum yang disuplementasi tepung
bekicot pada level 2% dari BK ransum.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dengan indikator produksi N-NH3, VFA total, kecernaan bahan
kering dan bahan organik yang tertinggi, maka disimpulkan bahwa proses fermentasi yang optimal
terjadi pada suplementasi tepung bekicot 2% dari bahan kering ransumke dalam ransum berbasis
standinghay rumput Kume (Sorghum plumosum var timorense) amoniasi.

UCAPAN TERIMASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Pengkajian dan Penelitian Terapan
Direktoatrat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah menyediakan
dana skema HKPSN (STRANAS). Terima kasih disampaikan pula kepada Ketua Lembaga Penelitian
Undana, Kepala Balai Aagribisnis Pertanian Kupang dan Dekan Fakultas Peternakan, Undana.

DAFTAR PUSTAKA
Erwanto, 1995. Optimalisasi ystem Fermentasi Rumen melalui Suplementasi Sulfur, Defaunasi,
Reduksi Emisi Metan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba pada Ternak Ruminansia. Disertasi.
Program Pascasarjana. IPB. Bogor.
Griswold, K.E., W.H. Hoover, T.K. Miller, and W.V. Thayne. 1996. Effect of Nitrogen on Growth of
Ruminal Microbes in Continous Culture. J.Anim Sci.74:483-481
Hartati, E.dan N.G.F. Katipana. 2006. ”Sifat Fisik, Nilai Gizi dan Kecernaan In Vitro Standinghaylage
Rumput Kume Hasil Fermentasi Menggunakan Gula Lontar dan Feses Ayam”. In Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. hal: 885-890
Hartati, E, N.G.F. Katipana dan A. Saleh. 2009. “Penambahan seng pada pakan padat gizi yang
Mengandung Minyak Lemuru untuk Peningkatan Pertumbuhan dan Berat Lahir. Jurnal Anim.
Prod. 11 (11) hal 59-65
Hartati, E., A. Saleh, E.D. Sulistijo and J.J.A. Ratuwaloe. 2012. Suplementation of ZnSO4 and Zn-Cu
Isoleusinate in Ration to Improved Growth and Body Immunity. Of Young Male Bali Cattle.
Journal of Animal Production. ISSN: 1411-2027. Accredited by DHGE No.
81/DIKTI/Kep./2011. Vol 14, No. 3 Sept 2012. Hal.180-186.
Hartati, E. A. Saleh dan E.D. Sulistijo. 2013. Pemanfaatan Standinghay Rumput Kume Amoniasi
dengan Penambahan ZnSO4 dan Zn-Cu Isoleusinat dalam Ransum untuk Mengoptimalkan
124
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Konsumsi, Kecernaan dan Kadar Glukosa Darah Sapi Bali Dara. Prosiding Seminar Nasional
HITPI ISBN: 978-602-7776-73-9, hal 236-240. Denpasar 2Sa8-29 Juli 2013.
Hartati, E. E.D. Sulistijo dan A. Saleh. 2015. Consumption and Digestibility of Nutrients in Bali Cattle
at the Last Periode of Pregnantcy Kept under Semi Intensive System Supplemented with
NutrtiveRich Feed Contained Lemuru Oil and Zinc. Proceedings. The 6 th ISTAP. Yogyakarta.
IS978-979-1215-26-8. Hal. 159-160BN.
Telipere, F.M.S. E. Hartati, dan A. Saleh. 2015. Supplementation of ZnSO4 and Zn-Cu isoleusinate in
the the Local Feed Based Last Gestation Periode on Dry Matter Consumption and Digestibilit
and Calf Birth Weiht of Bali Cattle of Nutrients in Bali Cattle. Proceedings. The 6 th ISTAP.
Yogyakarta. ISBN 978-979-1215-26-8. Hal. 159-160.
Hartati, E. A. Saleh dan E.D. Sulistidjo. 2016. Efek Suplementasi ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat pada
Ransum Berbasis Pakan Lokal terhadap Kecernaan dan Profil VFA Rumen dan Pertumbuhan
sapi Bali jantan muda.. Prosiding Seminar Nasional 1. Laboratorium Riset Terpadu.UNDANA,
Kupang. ISBN, 978-802-8906-08-3, hal 180-186.
Leng, R.A. 1995. Factor Effecting the utilization of Poor Quality Forages by Ruminants Particularly
under Tropical Conditions. Nutrition Research Reviews. 3:277-303.
Orskov, E.R. 2002. Trails and Trials in Livestock Research. Garamond Book by Halcon Printing,
Scotland.
Sihombing, D.T.H. 1999. “Satwa Harapan I. Pengantar Ilmu dan Teknologi.”.Pustaka Wirausaha
Muda, Bogor
Soetardi, T. 1976. Metabolism of Some Essensial Amino Acids by Rumen Microbes with Special
Reference to Alpa Keto Acids. PhD. Thesis. University of Wiscounsin, Medison
Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein bahan Makanan terhadap Degradasi oleh Mikroba Rumen dan
Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak. Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang
Peternakan, LPP, Bogor.
Soeyono, M. 2006. Perkembangan dan Arah Pengembangan Teknologi Pakan di Indonesia. Dalam
Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas 2006 Menyonsong Rencana
Kecukupan Daging Tahun 2010. Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta.
Zain, M. 1999. Substitusi Rumput dengan Sabut Kelapa Sawit dalam Ransum Pertumbuhan Domba:
Pengaruh Amoniasi, Defaunasi dan Suplementasi Analog Hidroksi Metionin serta Asam Amino
Bercabang. Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor

125
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KECERNAAN BAHAN ORGANIK DAN MINERAL TERNAK BABI KETURUNAN


LANDRACE YANG MENGONSUMSI BIJI ASAM OLAHAN DALAM RANSUM
DIGESTIBILITY OF ORGANIC MATTER AND MINERALS OF LANDRACE CROSSBRED
PIGS CONSUMING DIET CONTAINING PROCESSED TAMARIND SEED
Redempta Wea1,2, J. F. Balle-Therik2,3, Pieter Rihi Kalle2,3, dan Marthen L. Mullik2,3
1
Politeknik Pertanian Neg. Kupang, Jl. H. Yohanes, Lasiana, P. O Box. 1152, Kupang 85011
2
Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana
3
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang
Email: redempta.wea@staff.politanikoe.ac.id

ABSTRAK
Sebuah penelitian telah dilakukan dengan tujuan mengetahui kecernaan bahan organik dan mineral ternak babi
keturunan landrace yang mengonsumsi biji asam olahan dalam ransum. Penelitian menggunakan babi
keturunan landrace fase grower 25 ekor berumur 3-4 bulan dengan perlakuan R0: ransum tanpa biji asam
olahan, R1 : ransum mengandung biji asam olahan perendaman 2 hari fermentasi nira lontar 20% selama 72 jam,
R2 : ransum mengandung biji asam olahan perendaman 2 hari fermentasi nira lontar 20% selama 108 jam, R3 :
ransum mengandung biji asam olahan lama perendaman 4 hari fermentasi nira lontar 20% selama 72 jam, dan
R4 : ransum mengandung biji asam olahan fermentasi nira lontar 20% selama 108 jam dengan ulangan sebanyak
5 kali. Variabel penelitian adalah kecernaan bahan organik, abu, Ca, dan P. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
biji asam olahan dengan cara perendaman dan fermentasi menggunakan nira lontar 20% tidak berpengaruh
terhadap kecernaan bahan organik, abu, dan kecernaan P namun berpengaruh terhadap kecernaan Ca ternak babi
keturunan Landrace jantan fase grower serta disarankan agar melakukan olahan biji asam dengan cara
perendaman 2 hari fermentasi nira lontar 20% selama 72 jam.
Kata kunci : Perendaman, Fermentasi, Nira Lontar, Babi Jantan, Grower

ABSTRACT
A study was conducted with the objective of knowing the digestibility of organic matter and minerals of
Landrace crossbred pigs consuming diets containing processed tamarind seeds. The experiment was conducted
using 25 growing Landrace crossbred pigs age 3-4 month. Four tested treatments were R0: diet with no
processed tamarind seeds, R1: diet containing tamarind seeds that soaked for 2 days then fermented for 72
hours in 20% palm juice, R2= diet containing tamarind seeds that soaked for 2 days then fermented for 72 hours
in 108% palm juice,:, R3: diet containing tamarind seeds that soaked for 4 days then fermented for 72 hours in
20% palm juice, and R4: diet containing tamarind seeds that soaked for 4 days then fermented for 72 hours in
108% palm juice. Each treatment has 5 replicates. Variables measured were digestibility of organic matter,
Calcium (Ca), and Phosphor(P). Results showed that tamarind seed that soaked and fermented in 20% palm
juice did not affect organic matter and P digestibility, but it significantly affect Ca digestibility of growing
landrace crossbred pigs . It is concluded that processing tamarind seeds by soaking for 2 days and fermenting
in 20% palm juice for 72 hours is the ideal treatment .
Key words : Soaking, Fermentation, Palm Juice, Boar, Grower pig.

PENDAHULUAN
Masyarakat daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) secara sosial budaya telah memelihara ternak
babi dan memiliki populasi babi tertinggi yakni 1.871.717 ekor atau 23,07% dari total populasi ternak
babi di seluruh Indonesia (BPS Indonesia, 2016). Namun pemeliharaan ternak babi sangat bergantung
pada pakan yang diberikan yang menelan biaya terbesar (60-80%) dari total biaya produksi. Oleh
karena itu penggunaan pakan non konvensional seperti biji asam merupakan salah satu solusinya.
Panigrahi et al. (1989) menyatakan bahwa biji asam merupakan limbah dari industri
pengolahan isi buah asam yang memiliki kandungan nutrien 131,3 gkg-1 protein kasar, 67,1gkg-1 serat
kasar, dan 48,2 gkg-1 lemak kasar dan juga banyak mengandung asam-asam lemak (Ishola et al.
1990). Namun, biji asam juga memiliki struktur kulit biji yang keras dan tidak mudah dihancurkan
serta untuk menghasilkan 1 kg biji asam tanpa kulit membutuhkan waktu ± 2 jam dalam proses
penggongsengan dan pengeluaran kulit biji. Selain itu, biji asam memiliki zat anti nutrien berupa
tannin 56,2 gkg-1 bahan kering (BK) dan antitripsin 10,8 gkg-1 BK yang paling banyak berlokasi di

126
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

testa atau kulit biji (Panigrahi et al. 1989). Zat anti nutrien ini cenderung berikatan dengan senyawa
lain seperti protein dan karbohidrat membentuk kompleks sehingga sulit untuk diputuskan atau
dicerna. Oleh karena itu diperlukan teknologi pengolahan praktis biji asam utuh sehingga tidak
terdapat kurbanan waktu, tenaga, biaya dan bahan baku (30% biji asam terdiri dari kulit biji) serta
untuk melembutkan dan memecahkan kulit biji serta menurunkan aktifitas zat anti nutrien dan
meningkatkan ketersediaan nutrien biji asam.
Salah satu teknik adalah perendaman dengan air dan fermentasi (Wea et al, 2015). Hasil
penelitian Gilang et al (2013) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan berupa perendaman,
perebusan, dan pengupasan kulit, maupun kombinasinya dapat mempengaruhi sifat kimia, fisik, dan
fungsional tepung koro pedang serta nyata menurunkan kadar asam fitat, serat pangan larut, serat
pangan tidak larut, dan total serat pangan. Disamping itu fermentasi merupakan proses yang terjadi
melalui reaksi enzim yang dihasilkan mikroorganisme untuk mengubah baik fisik maupun kimia
bahan-bahan organik yang kompleks seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi molekul-molekul
yang lebih sederhana (Riadi, 2007) sehingga dapat mengawetkan, menghilangkan bau, meningkatkan
daya cerna, menambah flavour, menghilangkan zat anti nutrien dan racun yang biasanya ada pada
makanan mentah (Suliantari dan Rahayu, 1990) serta meningkatkan kandungan protein kasar dan
menurunkan kadar serat kasar (Rokhmani, 2004).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas bahan fermentasi adalah dengan penambahan bahan
yang mengandung karbohidrat mudah terlarut dalam jumlah tinggi (Kozelov et al., 2008) dan
penambahan absorban atau penyerap air (Nishino et al., 2007). Salah satu potensi lokal yang dapat
digunakan adalah nira yang berasal dari pohon lontar (Borassus flabellifer, Linn) atau pohon siwalan
sebagai sumber daya tanaman lokal Provinsi NTT. Menurut Cahyaningsih (2006), saat disadap terjadi
pembentukan asam-asam organik dan terjadi fermentasi spontan yang menyebabkan penurunan pH
hingga 3,28 pada fermentasi selama 72 jam. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa nira lontar mengandung
bakteri amilolitik yakni Leuconoctoc mesenteroides, Leuconoctoc pseudonesenteroides, Lactobaccilus
fermententum, dan Lactobacillus frementum serta BAL hanya ditemukan pada nira yang baru turun
sadap hingga 24 jam setelah mengalami fermentasi spontan pada suhu ruang dengan total BAL
tertinggi pada 24 jam tersebut adalah 7,1 x 103 CFU/ml, pH nira 4,1 dan jenis mikroorganisme yang
tersedia adalah BAL, khamir, dan bacillus. Komposisi nira lontar setelah penyadapan adalah protein
1,04%, lemak 0,19%, sukrosa 76,86%, glukosa 1,66%, mineral 3,15%, kalsium 0,861%, fosfor
0,052%, dan besi 11,01 mg/100g (Morton, 1988).
Teknologi pengolahan ini diharapkan menurunkan zat anti nutrien sehingga nutrien menjadi
tersedia bagi pertumbuhan dan produktifitas ternak. Dikatakan demikian karena hasil penelitian Wea
et al. (2015) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kandungan nutrien dari biji asam tanpa kulit
yang tidak difermentasi dan yang difermentasi spontan dengan lama waktu terbaik 72 jam serta terjadi
peningkatan kecernaan ransum yang mengandung biji asam yang tidak dibiokonversi dan yang
dibiokonversi dengan lama waktu fermentasi terbaik 72 jam (Wea dan Wirawan, 2016). Demikian
hasil penelitian Ue et al (2016) menunjukkan bahwa penggunaan nira lontar setelah disadap selama ±
2 jam dalam fermentasi biji asam utuh hingga 30% selama 21 hari tidak berpengaruh terhadap
kualitas nutrien biji asam utuh namun berpengaruh terhadap penurunan kandungan anti nutrien tannin
sebesar ± 8,6% (Dhadhu et al, 2016). Namun pemberian biji asam tanpa kulit fermentasi
menggunakan jamur tempe (rhyzopus sp) sebaiknya tidak melebihi 20% dalam ransum basal (Tualaka
et al., 2012). Hal inilah yang mendorong agar dilakukannya teknologi pengolahan biji asam utuh
dengan cara perendaman dan fermentasi menggunakan karbohidrat mudah larut asal nira lontar.

MATERI DAN METODE


Tempat, Waktu dan materi penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2017 di kandang babi Laboratorium Produksi
dan Reproduksi Ternak Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Alat dan bahan yang digunakan adalah
kandang individu berukuran 150 x 70 cm2 sebanyak 25 unit, biji asam utuh yang diperoleh dari daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan hasil panen tahun 2016, nira lontar diperoleh dari daerah Lasiana
Kota Kupang, 25 ekor ternak babi keturunan Landrace jantan fase grower berumur 3-4 bulan dengan
rata-rata boot badan awal ± 20 kg dan bahan penyusun ransum berupa tepung jagung kuning, dedak,
meat and bone meal, bungkil kacang kedele, pig mix, dan minyak nabati.

127
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian berupa pengumpulan biji asam utuh kemudian disortir dan dilakukan uji
apung kemudian direndam dengan air bersih (1:2) sesuai perlakuan lama perendaman, ditiriskan dan
dicampur dengan dengan nira lontar sesuai perlakuan (nira yang digunakan adalah yang sudah
disimpan selama ± 24 jam), kemudian difermentasi sesuai perlakuan secara anaerob, diformulasi iso
protein dan energi sesuai standar kebutuhan ternak babi yakni 17,5% dan 3200 Kkal/kg, dicampur
dalam ransum dan diberikan pada ternak babi untuk mengetahui kecernaannya.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan yakni R0 :
kontrol (ransum tanpa biji asam fermentasi nira lontar dan perendaman, R1 : ransum mengandung
pengolahan biji asam dengan lama perendaman 2 hari, level nira lontar 20%, dan lama fermentasi 72
jam, R2 : : ransum mengandung pengolahan biji asam dengan lama perendaman 2 hari, level nira
lontar 20%, dan lama fermentasi 108 jam, R3 : : ransum mengandung pengolahan biji asam dengan
lama perendaman 4 hari, level nira lontar 20%, dan lama fermentasi 72 jam, dan R4 : : ransum
mengandung pengolahan biji asam dengan lama perendaman 4 hari, level nira lontar 20%, dan lama
fermentasi 108 jam dengan ulangan sebanyak 5 kali.
Variabel dan Analisis Data
Variabel penelitian berupa kecernaan bahan organik, abu, Ca, dan P serta menggunakan analisis
varians pola RAL dan uji lanjut digunakan uji jarak berganda Duncan menggunakan software SPSS
versi 23,0.

HASIL DAN BAHASAN


Performans pertumbuhan ternak babi dipengaruhi oleh pakan yang diberikan dan kualitas
pakan yang diberikan ditentukan oleh kecernaan nutrien pakan tersebut. Kecernaan nutrien ternak babi
keturunan Landrace jantan fase grower yang mengonsumsi pakan biji asam olahan disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kecernaan Bahan organik dan mineral ternak babi keturunan Landrace yang mengonsumsi
biji asam olahan dalam ransum
Kecernaan Nutrien (%)
Perlakuan
Bahan Organik Abu Kalsium Fosfor
a a a
R0 92.58±5,02 87.42±1,11 89.21±0,83 86.55±0,88a
R1 89.40±2,94a 82.05±8,23a 78.29±6,17bc 61.12±6,33a
R2 90.74±2,47a 83.67±4,12a 88.30±2,23ab 55.14±3,48a
R3 90.10±2,00a 84.13±1,81a 73.28±1,53bc 40.60±1,56a
R4 90.49±1,00a 83.36±3,25a 72.86±3,60c 26.68±2,52a
Keterangan: Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05). R0: ransum tanpa biji asam; R1: ransum mengandung biji asam yang direndam selama 2
hari dalam 20% nira lontar dan difermentasi selama 72 jam; R2: ransum mengandung biji asam
yang direndam selama 2 hari dalam 20% nira lontar dan difermentasi selama 108 jam ransum; R3:
ransum mengandung biji asam yang direndam selama 4 hari dalam 20% nira lontar dan difermentasi
selama 72 jam; dan R4: ransum mengandung biji asam yang direndam selama 4 hari dalam 20% nira
lontar dan difermentasi selama 108 jam.

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa kecernaan bahan organik, abu, mineral Ca, dan P lebih
rendah dibanding ransum tanpa penggunaan biji asam olahan dan berdasarkan hasil analisis varians
diketahui bahwa penggunaan biji asam olahan dengan cara perendaman dan fermentasi menggunakan
nira lontar dalam ransum tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kecernaan bahan organik, bahan an
organik atau abu, dan mineral P. Hal ini menunjukkan bahwa ternak babi memilki kemampuan yang
sama dalam mencerna biji asam olahan dalam ransum ternak babi.
Hal yang sama dilaporkan oleh Puger et al. (2015) bahwa penggunaan bahan nonkonversional
ampas tahu dalam ransum babi ras umur 2 bulan tidak mempengaruhi kecernaan bahan organik
128
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dengan rataan kecernaan bahan organik ±72,3% lebih rendah dibandingkan hasil penelitian ini. Hal ini
dikarenakan babi yang digunakan memiliki umur yang berbeda demikian bahan penyusun pakannya.
Tillman et al., (1998) menyatakan bahwa salah satu faktor dalam menentukan daya cerna adalah faktor
hewan dan umur hewan tidak mempengaruhi daya cerna kecuali pada hewan yang sangat muda.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kadar mineral dalam feces yang berasal dari tubuh atau mineral
endogen dalam feces sangat besar sehingga koefisien cerna semu tidak mempunyai arti yang penting.
Di lain pihak penggunaan biji asam olahan dalam ransum mempengaruhi (P<0,05) kecernaan
mineral Ca dan berdasarkan uji Duncan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kecernaan Ca
antara pakan tanpa penggunaan biji asam olahan dengan pakan olahan perendaman 2 hari fermentasi
108 jam dan tidak terdapat perbedaan antara pakan biji asam olahan tersebut dengan pakan biji asam
olahan perendaman 2 hari fermentasi 72 jam dengan pakan biji asam olahan perendaman 4 hari
fermentasi 72 jam juga dengan biji asam olahan perendaman 4 hari fermentasi 108 jam. Hal ini
menunjukkan bahwa secara ekonomis biji asam olahan yang dapat digunakan dalam ransum adalah
biji asam olahan dengan cara perendaman 2 hari fermentais nira lontar 20% selama 72 jam. Perbedaan
ini dikarenakan ternak babi yang digunakan adalah ternak babi masa pertumbuhan yang akan banyak
mempergunakan mineral untuk pembentukan masa tulang.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan disimpulkan bahwa biji asam olahan dengan cara
perendaman dan fermentasi menggunakan nira lontar 20% tidak berpengaruh terhadap kecernaan
bahan organik, abu, dan kecernaan P namun berpengaruh terhadap kecernaan Ca ternak babi keturunan
Landrace jantan fase grower serta disarankan agar melakukan olahan biji asam dengan cara
perendaman 2 hari fermentasi nira lontar 20% selama 72 jam.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2016. Populasi Babi Di Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Cahyaningsih. E. 2006. identifikasi Bakteri Asam Laktat Nira Lontar Yang Memiliki Aktifitas
Antimikroba Dan Aplikasinya Sebagai Pengawet Hayati Biji Coklat. Thesis. Pascasarjana-IPB.
Bogor.
Dhadhu K., Wea R., Ninu A. T., dan Koten B., 2016. Pengaruh Pemeraman Dengan Nira Lontar
Pada Level Yang Berbeda Terhadap Perubahan Kandungan Tanin Dan Fraksi Serat Biji Asam.
Laporan Penelitian Politani Negeri Kupang.
Gilang R., Affandi D. R., dan Ishartani D., 2013. Karakteristik Fisik dan Kimia Tepung Koro Pedang
(Canavalia ensiformis) Dengan Variasi Perlakuan Pendahuluan. Jurnal Teknosains Pangan. 2
(3): 34-42.
Ishola M. M., Agbaji, E. B., Agbaji A. S., 1990. A Chemical Study of Tamarindrus Indica (Tsamiya)
Fruits Grown in Nigeria. Journal of the Science of Food and Agriculture, 51: 141-143.
Kozelov, L. K., F. Iliev, A. N. Hristov, S. Zaman, dan T. A. McAllister. 2008. Effect of fibrolytic
enzymes and an inoculant on in vitro degradability and gas production of low-dry matter alfalfa
silage. J. Sci. Food Agric. 88: 2568–2575
Morton J. F., 1988. Notes on Distribution, Propagation and Products of Borassus Palms (Arecaceae).
Economic Botany, 42 (3): 420-441.
Nishino, N., T. Kawai, dan M. Kondo. 2007. Changes During Ensilage In Fermentation Products, Tea
Catechins, Antioxidative Activity And In Vitro Gas Production Of Green Tea Waste Stored
With Or Without Dried Beet Pulp. J. Sci. Food Agric. 87: 1639–1644
2. Panigrahi S., Bland B., and Carlaw P. M., 1989. The nutritive value of tamarind seeds for
broiler chicks. Animal Feed Science and Technology. 22 (4): 285-293.
Puger A. W., Suasta I. M., Astawa P. A., dan Budaarsa K., 2015. Pengaruh Penggantian Ransum
Komersial Dengan Ampas Tahu Terhadap Kecernaan Pakan Pada Babi Ras. Majalah Ilmiah
peternakan.18 (1): 22-25.
Riadi, L., 2007. Teknologi Fermentasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Rokhmani, S., 2004. Peningkatan Nilai Gizi Bahan Ransum dari Limbah Pertanian melalui
Fermentasi. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Agribisnis Kelinci.

129
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

http://peternakan.litbang.deptan go.id/publikasi/lokakarya/lklc05-10.pdf. Dikunjungi 8


Desember 2008
Suliantri dan W. Rahayu. 1990. Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Biji-Bijian. Institut Pertanian
Bogor.
Tillman, AD., Hartadi H., Reksohadiprodjo S., Prawirokusumo S., dan Lebdosoekojo S., 1998. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press.
Tualaka, Y. F., Wea R., dan Koni T. N., 2012. Pemanfaatan Biji Asam Fermentasi dengan Ragi tempe
(Rhyzopus oligosporus) Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Protein Ransum Ternak Babi
Lokal Jantan. Jurnal Partner, 19 (2): 152-164
Ue Y., Tulle D. R., Penu C. L. O. L., dan Wea R., 2016. Nilai Nutrisi Biji Asam (Tamarindus Indica
L) Akibat Fermentasi Dengan Penambahan Nira Lontar (Borassus Flabellifer) Pada Level
Yang Berbeda. Laporan Penelitian Politani Negeri Kupang.
Wea R., Koni T. N. I., Sabuna C., 2015.Waktu Optimum Biokonversi Spontan Biji Asam Guna
Meningkatkan Kandungan Nilai Gizinya Sebagai Pakan Ternak Alternatif. Jurnal Veteriner, 16
(1): 124-131.
Wea R., dan Wirawan I G. K. O., 2016. Kecernaan Nutrien Ransum Babi Lokal Fase Grower Yang
Mengonsumsi Biokonversi Spontan Biji Asam. Laporan Penelitian Politani Negeri Kupang.

130
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PERFORMANS AYAM “BURAS” DI DAERAH TROPIS YANG DIBERI RANSUM


DENGAN IMBANGAN ENERGI-PROTEIN BERBEDA
PERFORMANCE OF TROPICAL LOCAL CHICKEN FED FEED WITH DIFFERENT ENERGY-
PROTEIN RATIOS
Victor J. Ballo1
1
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana Undana
2
Fakultas Peternakan, Undana

ABSTRAK
Acuan kebutuhan nutrisi bagi ayam “buras” sebagai patokan penyusunan ransum, masih sangat terbatas, dan
berbagai hasil penelian masih menunjukkan variasi yang cukup lebar. Salah satu unsur nutrien yang penting
adalah energi dan protein dalam kaitan dengan imbangan antara ke duanya sebagai patokan penyusunan ransum
belum ada. Permasalahan yang ingin dipecahkan melalui penelitian ini berapa imbangan energi dan protein
ransum yang tepat untuk ayam kampung yang manifestasinya dapat diukur dikaitkan dengan kinerja produksi
dan apakah jumlah konsumsi ransum ayam “buras” dapat diatur melalui pendekatan imbangan energi dan protein
ransum?. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui respon ayam buras yang diberi ransum dengan
berbagai imbangan energi-protein. Sebanyak 135 ekor ayam buras umur 10-11 minggu digunakan dalam
penelitian ini. Sembilan jenis ransum yang merupakan kombinasi 3 level energi metabolis (2450, 2650, 2850
kkal/kg) dan 3 level protein (15, 17, 19%). Perlakuan disusun berfaktor (3x3), dengan 5 ulangan atas dasar petak
percobaan yang berisi 3 ekor ayam buras. Perlakuan dikenakan pada ayam buras selama 8 minggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi (P<0,01) antara energi dan protein ransum terhadap semua
variabel respon. Ayam buras yang diberi ransum dengan energi 2650 kkal EM/kg dan protein 17% selama 8
minggu, mengonsumsi ransum sebesar 3451,84 g, pertambahan bobot badan sebesar 730,24 g, dan konversi
ransum sebesar 4,74 g/g PBB. Untuk ayam buras periode umur 11 – 20 minggu disarankan formula ransum
dengan kandungan energi 2650 kkal EM/kg dan protein 17%.
Kata kunci : ayam buras, produktivitas, energi, protein

ABSTRACT
Nutrient requirement standard for local chicken feed formulation is still limited and some studies found that it
was in wide range either. Energy-protein ratio is the most important factor that rarely available in local chicken
feed formulation standard. The study question was what is the proper energy-protein ratio for local chicken
expressed in production performances and whether feed intake of local chicken can be predicted using energy-
protein ratio. The study aimed at evaluating response of local chicken fed different energy-protein ratios diets.
There were 135 local chicken with 10-11 weeks of age used in the study. Nine feeds as the combinations of 3
Metabolizable energy levels (2450, 2650, 2850 kcal/kg) and 3 protein levels (15, 17, 19%) were tested. The
treatment has 3 factors with 5 replicates based on trial partitions with 3 local chicken in each partition. The
feeding trial lasted for 8 weeks. The results showed that there were highly interactions (P<0,01) between energy
and protein levels in all measured variables. Chicken fed fed 2650 kkal ME/kg and protein 17% for 8 weeks
showed a daily intake of 3451,84 g, 730,24 g daily weight gain (ADG), feed conversion of 4,74 kg feed/kg weight
gain. Therefore, 11-20 weeks old local chicken are recommended to be given diet containing 2650 kkal ME/kg
and 17% protein.
Keywords : local chicken, productivity, energy-protein ratio

PENDAHULUAN
Sumber hayati potensial yang masih dapat dikembangkan sebagai sumber protein hewani
namun belum sepenuhnya digarap adalah ayam kampung atau ayam “buras” (“bukan ras”). Fakta
menunjukkan, bahwa walaupun ayam “buras” masih merupakan sumber daging yang penting, namun
karena laju pertumbuhannya yang lambat menyebabkan frekuensi pemanenannya lambat pula dari sisi
waktu. Masih rendahnya produktivitas ayam “buras” antara lain karena belum tercukupinya pasokan
unsur nutrien ransum. Hingga saat ini penelitian dalam rangka mencari kebutuhan optimum zat-zat
nutrisi untuk memacu produktivitas ayam “buras” belum banyak digarap. Sejumlah penelitian
umumnya menunjukkan suatu kisaran yang cukup besar sehingga menyulitkan para praktisi untuk
memakai nilai tersebut.

131
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Masalah yang menonjol untuk daerah tropis dalam hubungan dengan upaya peningkatan
produktivitas ayam “buras” (dan juga ayam ras) adalah kecenderungan rendahnya jumlah ransum yang
dapat dikonsumsi sebagai akibatnya tingginya suhu lingkungan. Bila hal tersebut berlangsung
seringkali dan dalam waktu yang cukup lama, serta tidak diikuti dengan penyesuaian kadar gizi
lainnya dalam ransum, hampir dapat dipastikan akan terjadi defisiensi gizi yang pada gilirannya akan
meyebabkan rendahnya produksi. Pada sisi lain, ransum yang dikonsumsi ayam adalah untuk
memenuhi kebutuhan energi, dan tinggi atau rendahnya energi terkait dengan pula dengan protein dan
unsur nutrisi lainnya. Oleh karena itu, untuk daerah tropis, konsentrasi energi termetabolis ransum
terutama imbangannya dengan protein ransum perlu mendapat perhatian khusus, karena konsentrasi
energi ransum akan menjadi faktor pembatas jumlah konsumsi ransum, sehingga jika konsumsi
ransum cenderung menurun tanpa diikuti dengan penyesuaian tingkat protein ransum akan berakibat
tidak tercukupinya kebutuhan energi dan protein. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon
produksi dan fisiologis ayam “buras” periode pertumbuhan yang diberi ransum dengan berbagai
imbangan energi-protein.

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Percobaan dilakukan di laboratorium lapangan Fakultas Peternakan Undana, selama 8 minggu
menggunakan ayam kampung umur 10-11 minggu sebanyak 135 ekor, menggunakan 45 petak
percobaan berukuran 1m2 yang akan ditempati 3 ekor ayam per petak. Petak kandang model panggung
beralasakan kawat. Sembilan perlakuan ransum diformulasi berbeda kadar energi metabolis (EM) dan
proteinnya, yaitu 3 level energi metabolis ransum (2450, 2650 dan 2850 kkal/kg) dan 3 level protein
ransum (15, 17 dan 19%), menggunakan bahan jagung kuning, kacang kedele, kacang hijau, dedak
halus, ikan, minyak sawit dan top mix. Komposisi nutrisi ransum perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nutrisi ransum perlakuan.
Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9
EM, kkal/kg 2450 2450 2450 2650 2650 2650 2850 2850 2850
Protein, % 15 17 19 15 17 19 15 17 19

Kandungan Nutrisi perhitungan:


EM, kkal/kg 2450.0 2450.0 2450.0 2650.0 2650.0 2650.0 2850.0 2850.0 2850.0
Protein, % 15.0 17.0 19.0 15.0 17.0 19.0 15.0 17.0 19.0
Lemak, % 3.51 4.05 4.58 4.16 4.70 5.23 4.82 5.35 5.89
Serat kasar, % 8.27 8.18 8.10 7.11 7.02 6.93 5.95 5.86 5.77
Kandungan Nutrisi hasil analisis laboratorium:
GE, kkal/kg 3302 3315 3393 3505 3519 3437 3867 3826 3795
Protein, % 15.12 17.22 18.91 15.08 17.18 19.14 14.94 17.15 19.13

Disain percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan disusun berfaktor
(3 x 3) dan setiap kombinasi perlakuan diulang 5 kali atas dasar petak percobaan sebagai sebuah unit
percobaan yang berisi 3 ekor ayam. Variabel respon adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot
badan, konversi ransum. Data selanjutnya dianalisis dengan sidik ragam dan uji Jarak Berganda
Duncan dengan pola faktorial 3 x 3.

PEMBAHASAN

Konsumsi Ransum
Rataan konsumsi ransum ayam kampung selama delapan minggu (Tabel 2) cenderung
meningkat pada semua level protein ransum. Ransum dengan energi metabolis rendah (2450 kkal/kg)
132
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

tampaknya masih belum mencukupi kebutuhan ayam kampung untuk menunjang berbagai aktivitas,
termasuk untuk metabolisme unsur nutrisi lainnya. Ransum dengan energi metabolis medium (2650
kkal/kg) tampaknya sudah mencukupi kebutuhan yang diindikasikan dengan konsumsi ransum yang
cenderung menurun, dan ini berlaku untuk semua level protein ransum. Di duga hal ini berhubungan
dengan semakin tingginya beban panas yang cenderung akan semakin meningkat sehingga secara
naluriah ayam akan mengurangi aktivitas konsumsi ransum. Hal ini bisa dipahami, mengingat suhu
lingkungan sewaktu penelitian ini berlangsung cukup tinggi (> 32C). Sementara itu, pada masing-
masing level energi, konsumsi ransum semakin meningkat dengan semakin meningkatnya level
protein ransum.
Interaksi antara energi metabolis dan protein ransum menunjukkan, bahwa pada setiap level
protein ransum (15, 17, dan 19%), konsumsi ransum semakin berkurang (P<0,05) setelah di atas level
energi metabolis 2650 kkal/kg. Hal yang sama juga berlaku pada setiap level energi metabolis (2450,
2650 dan 2850 kkal/kg) konsumsi ransum ayam kampung meningkat (P< 0,05) dengan semakin
meningkatnya level protein ransum. Secara parsial, ransum dengan energi tinggi (2850 kkal/kg) akan
cenderung dikonsumsi lebih sedikit.
Tabel 2. Rataan konsumsi ransum (g/e) ayam kampung selama delapan minggu pada berbagai level
energi metabolis dan protein
Level Level Energi Metabolis (kkal/kg)
Rataan
Protein (%) 2450 2650 2850
15 C 2504,32 c C 3100,16 a B 2869,44 b 2824,64
17 B 3039,68 b B 3451,84 a AB 2916,48 b 3136,00
19 A 3423,84 b A 3670,24 a A 3080,00 c 3391,36
Rataan 2989,28 3407,41 2955,31
Keterangan: nilai rataan pada baris yang diakhiri dengan huruf kecil yang sama, serta nilai rataan
pada kolom yang diawali dengan huruf kapital yang sama, menunjukkan perbedaan yang
tidak nyata (P>0,05).

Pertambahan Bobot Badan


Rataan pertambahan bobot badan ayam kampung selama delapan minggu disajikan pada Tabel
3. Sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0.01), baik
secara tunggal untuk efek energi metabolis dan protein ransum, maupun interaksi antara keduanya.
Semakin meningkatnya level energi metabolis ransum, pertambahan bobot badan meningkat sangat
nyata (P<0,01), khususnya pada level protein 15% dan 19%, sedangkan pada level protein 17%,
pertambahan bobot badan mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya level energi
metabolis, namun demikian penurunan tersebut tidak nyata (P>0,05). Pada ketiga level protein,
terdapat kecenderungan pola yang searah dengan konsumsi ransum, di mana untuk pertumbuhan
dibutuhkan ransum dengan jumlah tertentu, dalam hal ini nutrien yang terkandung dalam ransum
tersebut. Terdapat indikasi kuat, di mana level energi 2850 kkal/kg tidak efektif dikaitkan dengan
pertambahan bobot badan.
Interaksi antara energi metabolis dan protein ransum menunjukkan, bahwa pada setiap level
protein 15%, pertambahan bobot badan meningkat (P<0,05) hingga level energi metabolis 2650
kkal/kg. Pola yang sama juga diperoleh pada level protein 19%. Untuk level energi metabolis 2450
kkal/kg, pertambahan bobot badan tertinggi dicapai pada level protein 17% yang berbeda sangat nyata
(P<0,01) dengan level protein 15% dan 19%. Selanjutnya untuk level energi 2650 dan 2850 kkal/kg,
peningkatan level protein dari 15% sampai 19% memberikan efek tidak nyata (P>0,05) terhadap
pertambahan bobot badan. Tampaknya pada kedua level energi metabolis ini, level protein 15% atau
17% sudah cukup efektif untuk memberikan dukungan nutrisi bagi pertumbuhan. Analisis secara
parsial memperlihatkan bahwa efektivitas level protein 17% lebih efektif karena dapat meningkatkan
pertambahan bobot badan (726,51 g) yang lebih tinggi dibanding level protein 15% dan 19%.
Konsentrasi energi metabolis tinggi bagi ayam yang dipelihara di lingkungan tropis akan dikonsumsi
lebih sedikit, dan ini berimplikasi terhadap asupan nutrisi lain yang sangat diperlukan terhadap
pertumbuhan.

133
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 3. Rataan pertambahan bobot badan (g/e) ayam kampung selama delapan minggu pada berbagai
level energi metabolis dan protein
Level Level EM (kkal/kg)
Rataan
Protein (%) 2450 2650 2850
15 C 484,96 c A 738,08 a A 652,96 b 625,33
17 A 753,76 a A 730,24 ab A 695,52 b 726,51
19 B 689,92 b A 758,24 a A 663,04 b 703,73
Rataan 642,88 742,19 670,51
Keterangan: nilai rataan pada baris yang diakhiri dengan huruf kecil yang sama, serta nilai rataan
pada kolom yang diawali dengan huruf kapital yang sama, menunjukkan perbedaan yang
tidak nyata (P>0,05).
Konversi Ransum
Rataan konversi ransum kumulatif ayam kampung selama delapan minggu disajikan pada Tabel
4. Tampak bahwa konversi ransum berkisar antara 4,04 – 5,19 yang berarti untuk setiap pertambahan
bobot badan sebesar satu kilogram ayam kampung umur 11 minggu yang dipelihara selama 8 minggu
dibutuhkan ransum sebesar 4,04 – 5,19 kg.
Tabel 4. Rataan konversi ransum (g/g pbb) ayam kampung selama delapan minggu pada berbagai
level energi metabolis dan protein
Level Level EM (kkal/kg)
Rataan
Protein (%) 2450 2650 2850
15 A 5,19 a B 4,21 b A 4,41 b 4,60
17 B 4,04 b AB 4,74 a A 4,20 b 4,33
19 A 5,00 a A 4,86 a A 4,65 a 4,84
Rataan 4,74 4,60 4,42
Keterangan: nilai rataan pada baris yang diakhiri dengan huruf kecil yang sama, serta nilai rataan
pada kolom yang diawali dengan huruf kapital yang sama, menunjukkan perbedaan yang
tidak nyata (P>0,05).

Sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0.01), baik
secara tunggal untuk efek energi metabolis dan protein ransum, maupun interaksi antara keduanya.
Pengaruh interaksi yang sangat nyata berpengaruh mengindikasikan bahwa pengaruh energi metabolis
berbeda pada setiap level protein (15, 17 dan 19%), demikian juga sebaliknya. Ini berarti bahwa
terdapat perbedaan efektivitas pemanfaatan ransum untuk pertumbuhan yang direfleksikan dengan
konversi ransum yang berbeda. Pada level protein 15%, ransum dengan level energi metabolis 2650
kkal/kg lebif efisien (P<0,01) dibanding dengan level energi 2450, namun berbeda tidak nyata
(P>0,05) dengan level energi 2850 kkal/kg kendati ada kecenderungan semakin tidak efisien. Namun
demikian, tingkat keberlakuan level energi 2650 kkal/kg yang cenderung lebih efisien, tidak menonjol
pada level protein 17% dan 19%, kendati masih dapat dikatakan cukup efektif. Selanjutnya pengujian
pengaruh sederhana level protein pada masing-masing level energi metabolis, memperlihatkan bahwa
level protein 17% adalah yang terbaik.

SIMPULAN
Terdapat hubungan yang erat antara energi dengan protein terhadap konsumsi dan pertumbuhan
ayam kampung. Ransum dengan kadar energi 2650 kkal/kg dan protein 17% dapat meningkatkan
pertambahan bobot badan ayam kampung umur 11-20 minggu disertai dengan konversi ransum yang
lebih baik, retensi energi dan protein yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah,T. dan Rachmat, E. 1989. Pengaruh pemberian ransum starter terhadap pertambahan bobot
badan anak ayam buras. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Semarang

134
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Ballo, V.J., Bale-Therik, J.F., Ginting, P.M., Talib, R.A.B. dan Nalle, A.A. 1993. Performans broiler
di dataran rendah pada berbagai tingkat energi – protein ransum. Laporan Penelitian, Fapet
Undana, Kupang.
Candrawati, D.P.M.A. 1999. Pendugaan Kebutuhan Energi dan Protein Ayam Kampung Umur 0-8
minggu (Tesis). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Gunawan, B. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya
Perbaikannya. (Disertasi). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Husmaini, 2000. Pengaruh peningkatan level protein dan energi ransum saat refeeding terhadap
performans ayam buras. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Vol.6 (01).
Iskandar, S. dan Resnawati, H. 1999. Potensi daging ayam silangan (F1) Pelung x kampung yang
diberi ransum berbeda protein pada dua masa starter. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis
Universitas Diponegoro, Semarang.
Margawati, E.T. 1989. Efisiensi penggunaan ransum oleh ayam kampung jantan dan betina pada
periode pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. 28 Sept. Fakultas
Peternakan UNDIP. Semarang. Hal. 127132.
Nataamidjaja, A.G 1998. Produktifitas ayam buras di kandang litter pada berbagai imbangan kalori
protein. Prosiding Nasional Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak
II. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Resnawati, H., Gozali, A., Barchia, I., Sinurat, A.P., Antawidjaja, T. 1998. Penggunaan berbagai
tingkat energi dalam ransum ayam buras yang dipelihara secara intensif. Laporan penelitian.
Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Sinurat, A.P., 1988. Penggunaan energi pada unggas. Proc. of A Workshop Held at The Faculty of
Animal Science. Bogor Agricultural University.
Sutama, S.I.N. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Energi dan Protein terhadap Performans Ayam
kampung. (tesis), Bogor. Instituti Pertanian Bogor
Wihandoyo dan Mulyadi, H. 1986. Ayam buras pada kondisi pedesaan (tradisional) dan
pemeliharaan yang memadai. Temu tugas sub-sektor Peternakan di Sub-Balai Penelitian Ternak
Klepu, Bekerjasama dengan Balai Informasi Pertanian Ungaran Serat, Dinas Peternakan
Propinsi Jawa Tengah.

135
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PERUBAHAN KANDUNGAN KOMPONEN SERAT STANDINGHAY RUMPUT


KUME (Andropogin timorensis) AMONIASI YANG DIFERMENTASI JAMUR
Pleurotussajor-caju
CHANGE IN FIBRE COMPONENT CONTENTS OF AMMONIATED ANDROPOGON TIMORENSIS
STANDING HAY FERMENTED WITH Pleorotussajor-caju
Jalaludin1 and Mariana Nenobais1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Kupang NTT 85001

ABSTRACT
The experiment aimed to know the change of fibre component content of urea ammoniated Andropogon
timorensis standinghay fermented with Pleorotus sajor-caju. The 1st stage on the experiment was making of urea
ammoniated Andropogon timorensis standinghay and followith by biofermentation using Pleorotus sajor-caju
with different doses (D) (D1 = 10, D2 = 15, D3 = 20, and D4 = 25 g.kg -1 ) and different substrate moisture levels
(A) (A1 = 62.5, A2 = 70, A3 = 77.5, and A4 = 85%) of total substrate weight and incubated for 40 days.
Experimental design used was a completely randomized design (CRD) arranged in a factorial (4x4) fashion with
three replications. The variables measured were nutritient contents (organic matter, crude protein, and crude
fiber) and fiber components (NDF and ADF). Data was analyzed unsing Analisys of varian and Duncan’s
multiple range test was used to test difference among treatments. It might be concluded that water level and
Pleorotussajor-caju dose significantly reduces NDF, ADF, CF, and OM content but increases CP content. The
best combination of water level and fungi dose was 77.5% and 20 g/kg substrate.
Keywords: Andropogon timorensis standinghay, amoniation, fermentation, Pleorotussajor-caju

PENDAHULUAN
Rumput alam atau rumput “kume” (Sorghum plumosum Beav. var. Timorense) merupakan
spesies rumput yang paling banyak dijumpai di wilayah Timor barat. Rumput kume merupakan salah
satu tanaman tropis yang system metabolismenya mellalui C4 dengan ciri khas sangat cepat
memproduksi biomassa yang rendah kandungan protein, namun sebaliknya kandungan lignoselulosa
tinggi karena terikatnya selulosa dan hemiselulosa dengan lignin. Kondisi iklim NTT menyebabkan
rumput tersebut cepat menua dan mengering ditempat tumbuhnya (Standinghay rumput kume) yang
oleh petani maupun pengusaha ternak memanfaatkan sebagai pakan basal ternak ruminansia. Nilai gizi
Standing hay rumput kume sangat rendah yang ditandai kandungan protein kasar 1,83% dan Neutral
Detergen Fiber (NDF) 89% serta nilai kecernaan bahan kering 42% (Jelantik, 2001; Hartati dan
Katipana, 2006). Kondisi rumput yang demikian palatabilitas rendah. Dampaknya, terjadi penyusutan
bobot badan mencapai 40 g/ekor/hari pada ternak kambing (Ghunu, 2003) dan ternak sapi bali
mencapai 20% (Wirdahayati et al., 1997).
Teknologi pengolahan secara biologis merupakan pilihan tepat untuk meningkatkan kualitas
standinghay rumput kume melalui biofermentasi oleh jamur tiram. Pilihan ini didasarkan pada
kemampuan jamur tiram dalam menghasilkan enzim pencerna lignoselulosa. Menurut Piliang dan
Suryahadi (1996) beberapa keunggulan jamur tiram adalah tidak beracun, berfungsi ganda, mudah
tumbuh, biaya relatif murah, dan kemampuan mendegradasi ikatan lignoselulosa memproduksi enzim
selulase dan lignase. Jamur pleurotus diketahui menghasilkan enzim peroksidase (fenol oksidase,
lakase, dan Mn-dependent peroksidase) yang mampu mendegradasi lignoselulosa pakan serat. Proses
degradasi akan menurunkan kadar lignin atau unsur-unsur karbohidrat struktural, dan juga
meningkatkan kadar protein karena Pleurotus menghasilkan miselium, Khalil et al., (2010).
Jamur tiram yang sudah dibudidayakan ada beberapa jenis yakni tiram putih (Pleurotus
ostreatus), tiram abu-abu (P. Sajor-caju), tiram abalon (P. Abalones) dan tiram pink (P. Flabellatus).
Dari beberapa jenis tersebut yang sering diteliti atau dikaji penggunaannya dalam upaya peningkatkan
kualitas pakan berserat adalah tiram putih. Sebagaimana dilaporkan Jalaludin dan Enawati (2004)
bahwa terjadi peningkatan kandungan protein kasar dan penurunan NDF putak yang difermentasi
dangan jamur tiram putih dan Ghunu (2003) mengkaji efek kadar air substrat dan dosis jamur putih
dalam proses biokonversi rumput kume melaporkan bahwa terjadi meningkatan kualitas rumput kume.
Selain jamur tiram putih, ternyata jamur tiram abu-abu atau Pleurotus sajor caju juga mempunyai
136
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

miselium yang lebih cepat tumbuh, waktu panen yang relatif lebih pendek dan kandungan gizi tinggi,
sehingga secara umum tidak berbeda jauh dengan tiram putih, namun belum banyak dikaji
pemanfaatannya dalam proses biofermentasi bahan pakan berserat tinggi. Sebelum standinghay
rumput kume difermentasi menggunakan jamur Pleurotus sajor caju, sebaiknya diberi perlakuan
amoniasi menggunakan urea. Proses amoniasi akan menyebabkan pakan memuai sehingga lebih
terbuka bagi serangan bakteri rumen (Sutardi, 1992) dan memudahkan miselium dari jamur
berpenetrasi ke dalam pakan. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji perubahan komponen serat
standinghay rumput kume yang diamoniasi dengan urea dan difermentasi menggunakan Pleurotus
sajor caju (jamur tiram abu-abu).

METODE PENELITIAN
Penelitian diawali dengan membuat amoniasi standinghay rumput kume, sesuai prosedur yang
dilakukan Hartati dkk., (2009). Dilanjutkan dengan melakukan fermentasi jamur tiram abu-abu
dengan dosis (D) yang berbeda (D1 = 10g, D2 = 15g, D3 = 20g, dan D4 = 25g kg-1 substrat) dan
kadar substrat (A) juga berbeda (A1 = 62,5; A2 = 70; A3 = 77,5; dan A4 = 85% dari total berat
substrat). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola factorial 4 x 4
dengan ulangan 3 kali dan diinkubasi selama 40 hari.
Variabel yang akan diukur meliputi kandungan nutrien (BO, PK dan SK) menggunakan
metode proksimat dari masing-masing perlakuan sesuai petunjuk AOAC (1990) dan komponen serat
kasar (NDF dan ADF) menggunakan metode analisis Van Soest (1987)
Data yang diperoleh akan dianalisis ragam satu arah sesuai dengan rancangan percobaan yang
digunakan. Untuk melihat perbedaan antara perlakuan akan diuji dengan uji Duncan sesuai petunjuk
petunjuk Steel dan Torrie (1991) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN BAHASAN


Pengaruh Perlakuan Terhadap NDF dan ADF Stangdinghay Rumput Kume Amoniasi
Penurunan kadar NDF maupun ADF sejalan dengan meningkatnya kadar air substrat dan juga
dosis inokolum. Secara umum komponen serat (NDF dan ADF) mengalami penurunan secara
signifikan sejalan dengan meningkatnya kadar air substrat dan dosis inoculum (lihat Grafik 1). Hasil
analisis ragam nenunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan (kadar air dan dosis inoculum)
berpengaruh sangat nyata (P<0.01), dimana semakin tinggi kadar air dan semakin tinggi dosis jamur
abu-abu dapat menurunkan kompnen serat standinghay rumput kume amoniasi secara signifikan. baik
faktor kadar air maupun dosis inoculum mempengaruhi kadar NDF standinghay rumput kume
amoniasi. Penurunan kadar NDF teringgi pada kadar air 85% dengan dosis inoculum 25 g kg-1. Pada
kondisi ini, pertumbuhan miselium lebih cepat menyebar secara merata ke dalam substrat dan jumlah
enzim yang dihasilkan juga lebih banyak menyebabkan jumlah NDF yang terdegradasi lebih banyak.
Nampak dari Grafik 1 juga terjadi penurunan kandungan ADF sebagai akibat dari perlakuan
yang diberikan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan yakni kadar air
dan dosis jamur abu-abu memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap penurunan
kandungan ADF. Penurunan kandungan ADF ini, disebabkan oleh adanya penambahan air dan
meningkatnya dosis inoculum. Hal ini, diakibatkan oleh meningkatnya aktifitas enzim pendegradasi
dinding sel dan semakin banyaknya miselium yang menyebar ke dalam substrat. Pada kondisi substrat
dengan kandunga air 77,5% dan 85% substrat menjadi sangat lembab mengakibatkan longgarnya
ikatan ligohemiselulosa dan lignoselulosa renggang sehingga enzim selulase dan hemiselulase yang
dihasilkan oleh jamur dengan mudah mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Enzim-enzim tersebut
memecah komponen hemiselulosa menjadi araban, galaktan dan xylan.

137
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

NDF DAN ADF


84.80
85 84.65
79.49
80 77.80 80.60 ADF
80.22 77.68 NDF
79.15
75

70
65.89
65 63.72 61.33
65.85 63.88
63.98 60.96
60
60.93
55
50.01
50 49.07 49.06 46.16 45.96
46.16 44.66 43.60
45 46.84 43.76 42.19
42.71 42.47
45.46 44.39 42.65
40
A1D1 A1D2 A1D3 A1D4 A2D1 A2D2 A2D3 A2D4 A3D1 A3D2 A3D3 A3D4 A4D1 A4D2 A4D3 A4D4

Grafik 1. Pola Penurunan kandungan NDF dan ADF Substrat (Rumput Kume Amoniasi).

Pengaruh Perlakuan Terhadap BK, BO, PK dan SK Stangdinghay Rumput Kume


Amoniasi
Kandungan Bahan Kering substrat dalam penelitian ini, selain dipengaruhi oleh kondisi
rumput kume pada saat dipotong dan perlakuan pada saat dibuat amonisai. Sebagaiman tampak pada
grafik 2, kadar bahan kering substrat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan dimana perlakuan
level air 77,5 % dan dosis jamur 20 g kg-1, kandungan bahan kering terendah, namun tidak berbeda
nyata secara statistik dengan kombinasi perlakuan A2D3 dan A4D4 yakni level air 70% dengan dosis
jamur 20 g kg-1 dan pasangan perlakuan level air 85% dan dosis 25 g kg-1. Selama proses fermentasi
perombakan bahan kering terus berlangsung sehingga bahan kering cenderung berkurang dan
bertambahnya kadar air substrat. Hal ini disebabkan terbentuknya karbon dioksida dan air. Semakin
banyak substrat yang dirombak maka semakin banyak pula air yang terbentuk dan sebagai akibatnya
bahan kering berkurang.
BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK (%)
BK

89 BO
87.50
87.23 87.04 87.04
87 87.30
87.23
84.92 84.80 84.65 84.99
85 84.91 84.99
84.65
84.80 84.95 83.44
83 83.55 81.84
83.55 83.60 82.60
81.01
81 80.60 81.01
79.12 78.45
79 78.93
78.68
77 77.68
76.12 75.44
75
A1D1 A1D2 A1D3 A1D4 A2D1 A2D2 A2D3 A2D4 A3D1 A3D2 A3D3 A3D4 A4D1 A4D2 A4D3 A4D4
Grafik 2. Pola Penurunan kandungan BK dan BO Substrat (Rumput Kume Amoniasi).

Pola penurunan bahan kering dan bahan organik juga digambarkan dalam grafik 2. Pada grafik
Nampak lebih jelas bahwa bahan kering terendah adalah pada kombinasi perlakuan A4D4 diikuti oleh

138
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

kombinasi perlakuan A3D4, sementara untuk penurunan bahan organik pada kombinasi perlakuan
A4D4 diikuti kombinasi perlakuan A4D3.
PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR (%)
PK
40
SK

34.13
35 32.96
35.46
33.80 32.74
30.37 30.26 28.75
30 29.94 28.83
27.38 28.78 29.67 30.34
28.20
25

20
16.20

15 13.98 15.07 14.24


15.17 12.72 13.64
11.73 13.50 11.42 11.80 11.93
10.77
12.78
10 10.27
10.94
A1D1 A1D2 A1D3 A1D4 A2D1 A2D2 A2D3 A2D4 A3D1 A3D2 A3D3 A3D4 A4D1 A4D2 A4D3 A4D4

Grafik 3. Pola Peningkatan Protein Kasar dan Penurunan SK Substrat (Rumput Kume).

Rataan peningkatan kandungan protein kasar akibat perlakuan yang diberikan disajikan pada
Grafik 3 di atas. Pada Grafik tersebut nampak bahwa kandungan protein kasar meningkat sejalan
dengan meningkatnya level kadar air dan level dosis jamur yang diberikan. Kandungan protein kasar
tertinggi pada kombinasi perlakukan A4D4 yakni kadar air 85% dan jamur 25 g kg-1 yaitu sebesar
16,20%. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah massa sel dan miselium akan menghasilkan
enzim yang berfungsi mendegradasi substrat yang berakibat pada peningkatan nitrogen. Peningkatan
protein juga disumbangkan oleh proses amoniasi pada standinghay rumput kume sebelum diberikan
perlakuan atau difermentasi dengan jamur tiram abu-abu.
Berbeda halnya dengan kandung serat kasar substrat, dimana kandungan serat kasarnya
mengalami penurunan. Rataan kandungan serat kasar disajikan pada Grafik 3. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara level kadar air dan dosis jamur berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap penurunan kandungan serat kasar. Penurunan kadar serat kasar terjadi sejalan
dengan banyaknya dosis inokulum diikuti pertumbuhan miselium. Pertumbuhan miselium
membutuhkan sumber energi yang diambil dari serat kasar substrat melalui degradasi selulosa dan
hemiselulosa.

SIMPULAN
Perlakuan level air dan dosis jamur tiram abu-abu (Pleurotus sajor caju) berpengaruh sangat
nyata terhadap peningkatan nilai gizi standinghay rumput kume amoniasi terutama terhadap
kandungan NDF, ADF, BO, PK dan SK. Kombinasi perlakuan terbaik dalam penelitian ini adalak
level kadar air 77,5% dan dosis jamur tiram abu-abu 20 g kg-1.

UCAPAN TERIMA KASIH


Disampaikan terima kasih kepada Direktur RPM Kemenristek Dikti Republik Indonesia untuk bantuan
dana penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Ghunu, S., 2003. Efek Biokonversi Rumput Kume Kering dengan Jamur Tiram Putih terhadap
Pertumbuhan Ternak Kambing. Laporan Penelitian Politeknik Pertanian, Kupang.
Hartati E dan N.G.F Katipana, 2006. Manfaat Standing Hay Rumput Kume Hasil Fermentasi
Menggunakan Gula Lontar dan Feses Ayam terhadap Pertumbuhan Ternak Kambing lokal.
139
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. P506 – 511.
Jalaludin dan L.S. Enawati, 2003. Biofermentasi putak oleh biakan kapang sebagai pakan suplemen
bermutu tinggi dan efeknya terhadap metabolisme dan pertumbuhan ternak ruminansia. Laporan
Penelitian Riset Pengembangan Kapasitas. Lemlit Undana.
Jelantik, I.G.N., 2001. Improving Bali Cattle Production Through Protein Suplementation. PhD
Thesis. Dept. of Animal Sci. and Animal Health. The Royal Vet. Univ. Copenhagen.
Khalil, Md.I, M.M. Hoque, M.A. Basunia, N. Alam dan Md. A. Khan, 2010. Production of Cellulase
by Pleurotus ostreatus and Pleurotus sajor-caju in solid state fermentation of lignocellulosic
biomass. Turk J Agric For 35 (2011) 333-341
Piliang, W. G., dan Suryahadi. 1996. Biofermentasi Limbah Lignoselulosa oleh Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus) dan Efeknya Terhadap Metabolisme dan Populasi Mukroba Rumen. J.
Biologi Indonesia, I(4): 37-43.
Wirdahayati, R.B., C. Liem, A. Pohan, J. Nulik, P.T.H. Fernandes, Asnah dan A. Bamualim, 1997.
Pengkajian Teknologi Usaha Peertanian Berbasis Sapi Potong di NTT. Pertemuan Ilmiah Pra
Rakor Badan Litbang Pertanian.

140
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KUALITAS RUMPUT PADA PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DI


KECAMATAN KATIKU TANA SELATAN KABUPATEN SUMBA TENGAH
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
S.T. Temu1; H. P. Nastiti1; H. T. Handayani; H.T. Pangestuti; D. B. Osa
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang,
Jl. Adisucipto, Penfui Kotak Pos 104 Kupang 85001 Telp (0380) 881580. Fax (0380) 881674.
Email Steftemu@gmail.com. Mobile 081338356788.

ABSTRAK
Penelitian ini telah dilaksanakan selama 2 bulan sejak bulan November sampai dengan bulan Desember 2016.
Pada padang penggembalaan alam di Kecamatan Katiku Tana Selatan Kabupaten Sumba Tengah. Penelitian ini
bertujuan untuk dapat memperoleh data kualitas padang rumput alam yakni protein kasar, serat kasar, serta
mineral Ca. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengukuran dan pengamatan langsung
di lapangan dengan menggunakan bingkai kuadran ukuran 1m x 1m. Data yang diperoleh ditabulasi dan dihitung
untuk mendapatkan presentase dan rata-rata kandungan nutrisi padang penggembalaan alam yakni protein kasar,
serat kasar, mineral Ca. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah kandungan protein kasar untuk hijauan
rumput 6,23%, sedangkan legum adalah 13,37%. Kandungan serat kasar hijauan rumput adalah 32,21 % legum
12,02% serta kandungan mineral adalah 0,64% dan legum 3,53%. Disimpulkan kualitas hijauan di Kecamatan
Katiku Tana Selatan masih rendah untuk kebutuhan hidup pokok ternak ruminansia terutama sapi peranakan
ongole.
Kata Kunci: Kualitas Hijauan, Padang Penggembalaan Alam, Kecamatan Katiku Tana Selatan.

PENDAHULUAN
Kecamatan Katiku Tana Selatan memiliki padang penggembalaan alam yang luas dan sangat
potensial untuk pemeliharaan ternak ruminansia terutama ternak sapi peranakan ongole. Hijauan di
padang penggembalaan alam tersebut kualitasnya pada musim hujan cukup memadai sedangkan pada
musim kemarau menurun dan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup pokok ternak yang dipelihara
ataupun dilepas di padang penggembalaan alam tersebut.
Potensi padang tersebut harus dikelola dengan baik agar dapat memenuhi kebutuhan ternak
ruminansia terutama sapi ongole, selain itu juga dapat dipelihara ternak kuda dan juga kerbau, serta
kambing lokal dan peranakan etawa (PE). Hijauan di padang penggembalaan diperlukan bagi ternak
ruminansia karena ternak ruminansia membutuhkan lebih dari 60-80% pakan yang dikonsumsi berasal
dari padang tersebut baik dalam bentuk segar maupun kering.
Jenis hijauan yang kualitasnya baik berasal dari kacang-kacangan (leguminosa) namun
dilapangan proporsi rumput dan legum tidak ideal. Komposisi rumput dan legum seharusnya 60% :
40%. Komposisi ini turut mempengaruhi kualitas dari padang penggembalaan tersebut untuk ternak
yang merumput dapat terpenuhi kebutuhan akan protein kasar untuk hidup pokok maupun
reproduksinya.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dan penelitian langsung di
lapangan juga di laboratorium nutrisi pakan Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan dalam penulisan
ini juga metode penulisan yang digunakan dengan penelusuran data-data penelitian lapangan dari
berbagai sumber yang sesuai dengan topik yang akan dibahas. Penelitian lapangan menggunakan
metode pengukuran bingkai kuadran ukuran 1m x 1m, lalu rumput yang berada didalam bingkai
kuadran dipotong dan dikeringkan untuk dimasukan ke laboratorium sebagai bahan untuk analisis
proksimat kualitas hijauan padang penggembalaan alam di kecamatan Katiku Tana Selatan Kabupaten
Sumba tengah yakni protein kasar, serat kasar, dan mineral Ca.

HASIL DAN BAHASAN


Kualitas padang penggembalaan alam di Kecamatan Katiku Tana Selatan dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut.

141
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Data hasil analisa proksimat kualitas padang rumput 3 desa di kecamatan katiku tana Selatan
Nama Desa Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Mineral Ca (%)
Rumput Legum Rumput Legum Rumput Legum
Desa Oka Wacu 6,21 13,35 32,20 12,38 0,64 3,42
Desa Dasa Elu 6,25 13,42 31,32 11,60 0,66 3,66
Desa Konda Maloba 6,22 13,33 33,10 12,08 0,62 3,50
Jumlah 18,68 40,10 96,62 36,06 1,92 10,58
Rata-rata 6,23 13,37 32,21 12,02 0,64 3,53

Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa kandungan protein kasar hijauan di padang rumput alam
Kecamatan Katiku Tana Selatan belum memenuhi persyaratan yakni 9,8% sesuai dengan kebutuhan
hidup pokok ternak sapi peranakan ongole. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis proksimat
laboratorium 6,23% untuk rumput dan 13,37% untuk legum dengan rata-rata 9,8% untuk hijauan. Ini
terjadi pada musim hujan yaitu bulan November sampai Desember tahun 2016. Dari hasil ini
dibandingkan dengan pendapat dari Reksohadiprodjo, (1985) melaporkan bahwa kandungan protein
kasar hiajuan padang penggembalaan di Indonesia sekitar 7,78%, hasil inipun masih rendah.
Sedangkan menurut pendapat Siregar, (1994), bahwa kandungan protein kasar hijauan yang termasuk
kategori kualitas baik adalah lebih besar dari 10% bahan kering, sehingga dalam penelitian ini kualitas
hijauan padang rumput alam berkualitas rendah.
Mengacu pada kebutuhan nutrien ternak ruminansia besar seperti ternak sapi yang
direkomendasikan oleh NRC (2001) kebutuhan akan hidup pokok dari sumber protein kasar pada
ternak dengan berat badan 250 Kg agar target pertambahan berat badan 0,3 Kg/hari sebesar 9,8%,
namun berat badan rata-rata sapi peranakan ongole adalah 300 - 350 Kg. Sementara Jelantik, dkk
(2015) dalam penelitiannya pada ternak sapi bali pada level protein ransum yang berbeda adalah 12%,
14%, dan 16% mendapatkan pemanfaatan pakan baik pada aspek konsumsi maupun kecernaan pada
level protein kasar 12%.
Mengacu pada pembahasan di atas, padang penggembalaan alam di Kecamatan Katiku Tana
Selatan Kabupaten Sumba Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu di perbaiki dengan cara
introduksi leguminosa merambat seperti siratro, klitoris, juga yang lainnya agar komposisi botani
maupun protein kasarnya dapat ditingkatkan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau.
Selanjutnya sistem penggembalaan ternak terutama sapi peranakan ongole perlu ditata kembali dengan
cara pemagaran dan penggembalaan bergilir (rotasi). Manajemen pemeliharaan juga harus dirubah dari
sistem pemeliharaan ekstensif tradisional sekarang ke semi intensif atau bahkan intensif agar
keberlanjutan dari sistem pemeliharaan di padang penggembalaan alam tersebut dapat terus
berlangsung dan kualitasnya tetap terjamin bagi hidup pokok ternak ruminansia terutama sapi
peranakan ongole maupun kalau boleh dapat memasukan ternak ruminansia lain seperti sapi Bali.
SIMPULAN
Kualitas padang rumput alam di Kecamatan Katiku Tana Selatan Kabupaten Sumba Tengah
Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong rendah dilihat dari kandungan protein kasar 6,23% dan serat
kasarnya tergolong tinggi 32,21%, sedangkan mineralnya memenuhi kebutuhan ternak bakalan
maupun penggemukan 0,64%.

DAFTAR PUSTAKA
Jelantik IGN; T. T Nikolaus; C. L Penu and J Jeremias. 2015a. Herbage Production and nutritive value
of some forage legumes as calf supplement. Proceeding 3rd International Seminar On Animal
Industry. Pp. 141-144.
Lay W. A; M. Krova; E. Hartati; D. B. Osa; S. T. Temu; P. Kune., 2016. Kajian Ilmiah Pengembangan
Sapi Bali di Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur. Kerjasama antara pemerintah
daerah Kabupaten Sumba Tengah dan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana.
Reksohadiprodjo. S, 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Fakultas Peternakan
Universitas Gadja Mada Yogyakarta.
Siregar, S. B; 1994. Ransum Ternak Ruminansia, Penerbit Swadaya, Jakarta.

142
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Yowi R. S. K; Y. H. Manggol; S. T. Temu., 2017. Kandungan Protein Kasar, Serat Kasar Serta
Mineral Ca Hijauan Padang Penggembalaan Pada Musim Hujan. Skripi Fakultas Peternakan
Universitas Nusa Cendana Kupang.

143
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

EVALUASI KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR HIJAUAN


PADANG PENGGEMBALAAN ALAM DI DESA BANGKA KANTAR,
KECAMATAN BORONG, KABUPATEN MANGGARAI TIMUR
EVALUATING CRUDE PROTEIN AND CRUDE FIBER CONTENT OF NATIVE GRASSLAND
FORAGE AT BANGKA KANTAR VILLAGE, SUBDISTRICT BORONG, THE REGENCY OF EAST
MANGGARAI
Herayanti P. Nastiti1 dan Herowati T. Pangestuti1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kandungan protein kasar, dan serat kasar hijauan pada padang
penggembalaan alam, sehingga dapat menunjang peningkatan produktivitas ternak di Desa Bangka Kantar,
Kecamatan Borong Kabupaten Manggarai Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survey serta pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan dan analisis proksimat di Laboraturium kimia
pakan. Menggunakan bingkai kuadrat 1mx1m. Data yang diperoleh ditabulasi dan dihitung untuk mendapatkan
persentase dan rata- rata kandungan protein kasar dan serat kasar hijauan padang penggembalaan di Desa
Bangka Kantar. Hasil penelitian diperoleh rata-rata nilai protein kasar (PK) hijauan 5,20%, dan rata-rata nilai
serat kasar (SK) 31,72%. Kesimpulan kualitas hijauan padang penggembalaan alam di Desa Bangka Kantar
tergolong rendah.
Kata Kunci: Protein Kasar, Serat Kasar, Padang Penggembalaan Alam.

ABSTRACT
The aims of this research was to evaluate crude protein and crude fiber content of native grassland forage to
improve livestock productivity in Bangka Kantar Village. The method used in this research was survey method
and measurement and direct observation in the field. Using a 1mx1m square frame. The data obtained were
tabulated and calculated to obtain percentages and mean content of crude protein and crude fiber, in Bangka
Kantar Village. The value of crude protein content 5.20%. Meanwhile, the value of crude fiber content 31,72%.
The conclusion was forage quality native grassland in Bangka Kantar Village was low.
Key word: Crude Protein, Crude fiber, Native Grassland.

PENDAHULUAN
Kabupaten Manggarai Timur merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) dengan luas wilayah 2.502.24 km2, merupakan daerah yang sangat potensial bagi
pengembangan ternak ruminansia selain karena daya dukung wilayah berupa padang penggembalaan
alami cukup luas dan populasi ternak ruminansia cukup banyak yaitu sekitar 34.174 ekor ( BPS,
2016). Hal ini memberikan peluang besar bagi pengembangan usaha peternakan. Pemanfaatan padang
penggembalaan alami sebagai sumber pakan hijauan sudah lama dilakukan peternak di daerah
tersebut. Untuk memperoleh pakan hijauan bagi ternak yang dipeliharanya, peternak umumnya
menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan alami. Kendala utama di dalam penyediaan
pakan hijauan baik produksi maupun kualitasnya berfluktuasi sepanjang tahun karena kondisi alam
yang dipengaruhi oleh musim.
Umumnya kondisi iklim di Nusa Tenggara Timur kurang menjamin ketersediaan pakan
hijauan secara berkesinambungan. Keadaan ini disebabkan karena musim hujan yang berlangsung
singkat (3-4) dengan tingkat curah hujan tahunan yang relatif rendah. Kondisi ketersediaan air tanah
yang kurang dan suhu udara yang cukup tinggi selama musim kemarau akan berpengaruh terhadap
menurunnya produksi dan kualitas pakan hijauan, yang ditandai dengan menurunnya kandungan
protein kasar hijauan. Riwu Kaho, (1993) produksi bahan kering hijauan di savana Binel Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS) pada bulan-bulan basah sebesar 1340.3 kg/ha sedangkan pada bulan
kering hanya tinggal 367.48 kg/ha. Produksi ini memiliki kandungan protein kasar pada bulan basah
sebesar 6,2-8.7% dan pada bulan kering sebesar 1.9-4.9%.
Bagaimana kualitas hijauan padang penggembalaan alam di Desa Bangka Kantar, Kecamatan
Borong, Kabupaten Manggarai Timur, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam meningkatkan
produktivitas ternak ruminansia di wilayah tersebut, dapat diketahui melalui kegiatan penelitian.
144
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan di padang penggembalaan di Desa Bangka Kantar Kecamatan
Borong Kabupaten Manggarai Timur.
Materi Penelitian
Materi penelitian adalah hijauan yang tumbuh di atas areal padang penggembalaan alam di lokasi
penelitian dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa petak uku/bingkai kuadrat
yang berukuran 1 m x 1 m, pisau, gunting, kantong plastik, timbangan digital, tali rafiah, kertas label,
serta seperangkat alat dan bahan analisis proksimat PK dan SK
Prosedur penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada setiap unit percobaan, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survey serta pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan.
Pengukuran produksi hijauan dilakukan dengan menggunakan metode“ actual weight estimate” (Halls
et al., 1964 dalam Susetyo 1980) yaitu dengan menggunakan bingkai kuadrat 1 m x 1 m. Penempatan
bingkai kuadrat pada padang penggembalaan dilakukan dengan metode zig zag/acak sistematis.
Selanjutnya rumput tersebut dipotong kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat segarnya. setelah
itu diangin-anginkan atau disimpan di dalam ruangan selama ±2 minggu sampai rumput tersebut jika
diraba terasa garing/patah kemudian dipotong-potong untuk dikeringkan dalam oven pada suhu 60⁰ C
selama 3 hari di Laboraturium Kimia Pakan Fapet Undana untuk mengetahui berat keringnya.
Selanjutnya sampel yang sudah kering dipreparasi/digiling halus dan diambil 100 gram untuk
dianalisis kandungan protein kasar dan serat kasar.
Analisis Data
Semua data primer ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan nilai rata-rata
persentase baik protein kasar dan serat kasar dari hijauan pakan padang penggembalaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kandungan protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) hijauan padang penggembalaan Alam Di
Desa Bangka Kantar Kecamatan Borong Kabupaten Manggarai Timur tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Hijauan
Lokasi Protein Kasar (%) Serat Kasar (%)
Barat 4,95 32,77
Timur 5,68 31,96
Utara 4,90 31,10
Selatan 5,28 31,05
Rata-rata 5,20 31,72

Tabel 1. menunjukkan rataan kandungan protein kasar dan serat kasar hijauan padang
penggembalaan di desa Bangka Kantar, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur adalah
5,20% dan 31,72%. Data tersebut menunjukkan bahwa kualitas hijauan tergolong rendah, hal ini
disebabkan karena kekurangan air pada saat pertumbuhan vegetatif yang disertai suhu udara yang
tinggi dan curah hujan yang rendah. Bahar dkk (1999) dalam penelitiannya mendapatkan nilai protein
kasar dan serat kasar pada padang penggembalaan yakni legum (13,31% PK), rumput (7,21% PK).
Lebih lanjut Susetyo dkk.,(1994) melaporkan bahwa kadar protein kasar hijauan padang rumput alam
pada musim hujan berkisar 7-8%, sedangkan pada musim kemarau turun dibawah 3%. Sementara
Jelantik dkk.,(2001), menyatakan bahwa kandungan protein kasar rumput alam 2 minggu setelah
musim hujan dapat mencapai 15%. Namun, kualitas rumput dengan cepat akan menurun ketika
memasuki musim kemarau karena rumput telah mencapai tingkatan kedewasaan atau karena
kekeringan. Kandungan protein kasar rumput di musim kemarau berada di bawah 4,9% (Riwu Kaho,
145
ISBN 978-602-6906-29-8 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

1993), sedangkan menurut Siregar (1994) hijauan dikategorikan kualitas rendah bila kandungan
PKnya kurang dari 5%, sedang bila kandungan PK adalah 5–10%, dan tinggi bila PK hijauan adalah
lebih besar dari 10%.
Mengacu pada kebutuhan nutrien ternak ruminansia besar seperti (ternak sapi) yang
direkomendasikan oleh (NRC, 1994) kebutuhan untuk hidup pokok akan protein kasar pada ternak
dengan berat badan 250 kg pada target pertambahan berat badan 0,3 kg/hari sebesar 9,8%. Sementara
Jelantik dkk (2001) dalam penelitiannya pada ternak sapi Bali pada level protein ransum berbeda
(12%, 14% dan 16%) mendapatkan pemanfaatan pakan baik pada aspek konsumsi maupun kecernaan
pada level protein kasar 12%. Nilai protein kasar hijauan pakan 5,20% dalam penelitian ini tidak
mencukupi kebutuhan ternak sapi akan protein kasar.
Kandungan serat kasar hijauan pakan padang penggembalaan di Desa Bangka Kantar,
Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur tergolong tinggi 31,72%. Diduga penyebabnya
adalah kondisi hijauan pada padang penggembalaan dalam keadaan kering karena kekurangan air dan
suhu udara yang cukup tinggi. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang dilaporkan Kleden dkk,
(2015) serat kasar hijauan 35,59%. Nulik dan Bamualim (1998) melaporkan bahwa pada musim
hujan kandungan dinding sel rumput alam di Timor yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan
lignin sebesar 65% dan meningkat menjadi 85% pada musim kemarau. Lebih lanjut dikemukakan
waktu terbaik untuk panen adalah periode awal fase generatif yang ditandai mulai adanya pembungaan
(periode April–Mei) karena keseimbangan protein dan serat kasar serta jumlah produksi mencapai titik
optimum.

SIMPULAN
Kualitas hijauan pakan padang penggembalaan di Desa Bangka Kantar Kecamatan Borong,
Kabupaten Manggarai Timur tergolong agak rendah yaitu dengan rataan kandungan protein kasar
hijauan pakan 5,20% dan serat kasar 31,72%.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Provinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Angka, Badan Pusat Statistik
provinsi NTT, Kupang.
Bahar,S., S. Hardjosoewignjo, I. Kismono, dan O. Haridjaja. 1999. “Perbaikan padang rumput alam
dengan introduksi leguminosa dan beberapa cara pengolahan tanah”. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner, 4 (3) : 185 – 190
Jelantik, I. G. N. 2001. Improving Bali Cattle (Bibos banteng Wagner) Production through Protein
Supplementation. PhD Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University,
Copenhagen, Denmark.
Kleden, M.M., M.R.D, Ratu dan M.D.S. Randu, 2015. Kapasitas Tampung Hijauan Pakan Dalam
Areal Perkebunan Kopi Dan Padang Rumput Alam Di Kabupaten Flores Timur Nusa
Tenggara Timur. Jurnal Zootek (“Zootrek” Journal ) Vol. 35 No. 2 : 340-350 (Juli 2015)
ISSN 0852 -2626 340
National Research Council. 1989. National Research Council Nutrient Requirement of Dairy Cattle.
7th Edition. Natl. Acad. Sci., Washington, D. C.
Nulik, J dan A. Bamualim. 1998. Pakan Ruminansia Besar Di Nusa Tenggara Timur. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian, Naibonat.
Riwu Kaho, L.M. 1993. Studi Tentang Rotasi Merumput Pada Biom Savana Timor Barat. Telaah Pada
Savana Binel TTS. Thesis. Pasca Sarjana IPB Bogor.
Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Cetakan Pertama. Swadaya, Jakarta.
Susetyo, S., I. Kismono, dan B. Soewardi. 1994. Padang Pengembalaan. Panataran Manajer Ranch.
Direktorat Bina Sarana Usaha Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen
Pertania., Jakarta.

146
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

TEMA 2

Produksi, Reproduksi, Pemuliabiakan,


dan Kesehatan Hewan

149
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PEMANFAATAN MADU DALAM PENGENCER TRIS-KUNING TELUR


TERHADAP MOTILITAS DAN VIABILITAS SPERMATOZOA
KAMBING PERANAKAN ETAWAH
UTILISATION OF HONEY IN TRIS-EGG YOLK EXTENDER FOR SPERM MORTTALITY
AND VIABILITY OF ETAWAH CROSSBED GOATS
W. M. Nalley1, I G. N. Jelantik 1, Yustiani Y. Bette2
1
Staf Pengajar Fakultas Peternakan dan Pascasarjana Universitas Nusa Cendana,
2
Staf Laboratorium Riset Terpadu Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto-Penfui Kupang
E-mail: nalleywm@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan madu dalam pengencer Tris-KT(TKT) dalam
mempertahankan kualitas semen cair kambing peranakan etawah (PE). Semen ditampung dua kali seminggu
menggunakan vagina.Segera setelah koleksi, semen dievaluasi makros- dan mikroskopis. Hanya semen dengan
motilitas >70%, konsentrasi >200 juta/mL dan abnormalitas <20% digunakan untuk penelitian.Semen
diencerkan dengan pengencer TKT dan Tris-Md (TMd) yang terbagi dalam P0 (kontrol), P1 (0,25 w/v), P2 (0,50
w/v), P3 (0,75 w/v) semen disimpan pada suhu 3-5oC. Kualitas semen cair diamati setiap 24 jam sampai motilitas
spermatozoa mencapai 40%.Semen segar yang diperoleh memiliki volume semen 0,57±0,14 mL, pH 6,50±0,15,
gerakan massa +++, motilitas 83,33±2,58%, konsentrasi 3,89±0,46 x 10 9 per ml, viabilitas 88,54±2,11% dan
spermatozoa abnormal 3,65±1,18%. Hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa. Pengamatan motilitas 40% dicapai pada hari ke-5 adalah P2
(44,17±4,91) dan P3 (45,83±5,84). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa level madu terbaik adalah
0,75 w/v dalam pengencer Tris-KT mampu mempertahankan motilitas dan daya hidup spermatozoa kambing PE
Kata Kunci : kualitas semen kambing PE, pengencer Tris-KT, madu

ABSTRACT
The aim of the research was to examine the use of different level of honey in Tris-egg yolk (T-EY) extenders to
the sperm quality of Etawah crossbed goats. Semen was collected twice a week, using artificial vagina.
Immediately after collection, semen was evaluated macro- and microscopically. Semen with more than 70%
motility, concentration of over 200 million / mL and abnormality less than 20% was used in this experiment.
The fresh semen was extended using TEY P0 (control) and TEY-Honey (TEY-H) with three difference
concentrations of honey, i.e. P1 (0,25 w/v), P2 (0,50 w/v), P3 (0,75 w/v). Each extended liquid semen was stored
in a refrigerator at 3-5 °C. The quality of stored liquid semen was evaluated every 24 hours until the motility of
spermatozoa reached 40%. Results showed that the average of sperm production of Etawah cerossbred goats
was 0,57±0,14 mL/ejaculate with pH 6,50±0,15 and +++ mass movement. Spermatozoa motility, concentration,
viability and abnormality were 83,33±2,58%, 3,89±0,46 x 109/ mL, 88,54±2,11% and 3,65±1,18% respectively.
The results showed that treatments significantly affected (P<0,05) semen motility and viability. The inclusion of
50% (P2) and 75% honey (P3) in T-EY extender significantly prolonged sperm motility of Etawah Crossbred
goats. Sperm motility at about 40%, i.e. the lowest level for semen viability for AI, was observed at day-5 for P2
(44,17±4,91%) and P3 (45,83±5,84%). It can be concluded that the best concentration of honey in Tris-eggyolk
extender is 0,75 w/v to maintain the sperm motility and viability of Etawah Crossbred goats.
Key words : Etawah crossbred goats. semen, Tris-egg yolk extender, honey

PENDAHULUAN
Potensi ternak kambing sebagai salah satu sumber protein hewani berupa daging belum optimal.
Hal ini ditandai dengan masih rendahnya produktivitas ternak kambing, khususnya kambing lokal.
Bobot hidup kambing lokal pada umur satu tahun baru mencapai bobot badan antara 14-17 kg
(Sutama, 2008). Padahal dalam menghadapi era pasar bebas, telah ditetapkan standar nasional ternak
kambing yang dapat diperjual belikan pada umur satu tahun dengan bobot badan antara 35-40 kg.
Upaya perbaikan mutu genetik kambing lokal dapat dilakukan melalui perkawinan silang
dengan kambing bermutu genetik unggul seperti kambing peranakan Etawah (PE) dengan bantuan
teknologi IB. Teknologi ini sangat berperan dalam sistem breeding kambing, namun salah satu
150
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

permasalahan utama dalam aplikasi IB adalah kualitas semen oleh karena itu untuk menjaga kualitas
semen harus dilakukan pengawetan menggunakan bahan pengencer karena semen sukar
mempertahankan hidupnya lebih dari 24 jam, walaupun disimpan dalam suhu yang rendah. Tujuan
pengenceran adalah untuk meningkatkan volume semen dan dapat disimpan lama tanpa mengurangi
kesuburannya (Hardijanto dkk., 2008).
Bahan pengencer yang sering digunakan dalam menggawetkan semen adalah pengencer Tris-
Kuning Telur. Tris berfungsi sebagai buffer dalam mempertahankan tekanan osmotik dan
keseimbagan elektrolit sedangkan kuning telur berfungsi melindungi spermatozoa dari cold shock
(Nalley, 2010). Berbagai monosakarida (fruktosa dan sukrosa) dan disakarida (maltosa) yang
terkandung dalam madu dapat digunakan sebagai sumber energi yang dibutuhkan oleh spermatozoa
(Ratnawati et al., 2008). Penggunaan madu sebagai sumber karbohidrat dalam pengencer telah di
lakukan pada preservasi semen ikan dan semen kambing, namun informasinya masih sangat kurang.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Sekolah Kejuruan Nekamese dan Yayasan Williams dan Laura, Desa
Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Materi Penelitian
Ternak kambing PE digunakan sebanyak 4 ekor berumur 2-3 tahun sebagai sumber semen yang
ditempatkan dalam kandang kelompok yang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pakan yang
diberikan berupa rumput gajag dan hijauan segar berupa lamtoro, turi, gamal, angsana dan beringin.
Satu set vagina buatan digunakan untuk penampungan semen, tabung semen berskala,
thermometer, tissue, handuk kecil dan sabun untuk koleksi semen. Peralatan evaluasi meliputi gelas
obyek, cover glass, pipet, mikroskop, satu set haemacytometer, counter, kertas pH, alat pemanas dan
kulkas. Peralatan pengenceran meliputi gelas piala, gelas ukur, tabung erlenmeyer, spatula, pinset,
pipet, timbagan digital, kertas saring, spoit, alumunium foil.
Tris (hydroxymethyl amino methan) digunakan sebagai bahan, pengencer kuning telur, madu,
aquabides, penicillin dan streptomicin dan untuk evaluasi semen digunakan eosin-negrosin, eosin 2%,
NaCl fisiologis.

Metode Penelitian
Bahan pengencer Tris, asam sitrat, fruktosa ditimbang sesuai komposisi kemudian dilarutkan
dalam 100 ml aquabides Tabel 1.
Semen ditampung menggunakan vagina buatan (VB), penampungan dilakukan dua kali
seminggu. Sebelum penampungan, preputium dan sekitarnya dicuci, kemudian pejantan didekatkan ke
betina dan saat pejantan menaiki betina dilakukan penampungan dan biarkan pejantan berejakulasi,
setelah ejakulasi VB diputar angka delapan sehingga semen yang keluar turun terkumpul ke dalam
tabung berskala. Semen yang diperoleh segera di evaluasi secara makroskopis (volume, warna, pH dan
konsistensi) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, viabilitas, konsentrasi, abnormalitas).

Tabel 1. Komposisi Bahan Pengencer Semen


P0 P1 (T- P2 P3
Bahan Pengencer
(T-KT) Md1) (T-Md2) (T-Md3)
T Tris (g)* 3,63 3,63 3,63 3,63
Asam sitrat (g)* 1,99 1,99 1,99 1,99
Fruktosa (g)* 0,50 - - -
Kuning telur (%) 20 20 20 20
Madu (w/v) - 0,25 0,50 0,75
Streptomisin (g) 1,0 1,0 1,0 1,0
Penisilin (IU) 1000 1000 1000 1000
Aquabides (ml) ad 100 100 100 100
* Produksi Merk KGaA 64271 Dammtadt, Jerman.

151
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Parameter yang Diamati


1. Motilitas spermatozoa (%) = spermatozoa yang motil progresif ditentukan secara subjektif pada
sepuluh lapang pandang yang berbeda, nilai yang diberikan berkisar antara 0%-100% hingga
mencapai 40% motil progresif.
Jumlah spermatozoa yang hidup
2. Persentase hidup = ---------------------------------------------------- X 100
Jumlah seluruh spermatozoa yang dihitung
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan
enam ulangan.. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan Analisis Of Variance (ANOVA) dengan
software SPSS 17,0 for widows dan MS office excell. 2007.
Dengan model analisis adalah :
Yij = µ + τ i + ε ij
dimana :
Yij = Nilai pengamatan yang diperoleh karena perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum (rata-rata nilai pengamatan)
τ i = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i
Jika terjadi perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan.

PEMBAHASAN
Kualitas Semen Segar Kambing PE
Semen segar yang diperoleh menunjukkan volume 0,57±0,14 mL, konsistensi kental dengan
konsentrasi 389,50±45,74 x109 sel/ mL, persentase spermatozoa motil 83,33±2,58%, viabilitas
88,54±2,11% dan abnormalitas spermatozoa 3,65±1,18% Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Semen Segar Kambing PE
Karakteristik Semen Rataan ± SD
Makroskopis
Volume (mL) 0,57±0,14
Warna krem
Konsistensi Kental
pH 6,50±0,15
Mikroskopis
Gerakan massa +++
9
Konsentrasi (x 10 sel/ mL) 389,50±45,74
Motilitas (%) 83,33±2,58
Viabilitas (%) 88,54±2,11
Abnormalitas (%) 3,65±1,18

Motilitas spermatozoa kambing PE dalam pengencer Tris-KT dan Tris-Md


Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan madu dalam pengecer Tris-KT berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap persentase motilitas spermatozoa Tabel 3. Tingkat penurunan nilai motilitas
spermatozoa setiap perlakuan berbeda-beda, pada perlakuan P2 dan P3 motilitas >40% teramati pada
hari kelima penyimpanan. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari laporan penelitian Maharani (2008),
dimana motilitas semen kambing PE hanya tiga hari penyimpanan dalam pengencer madu dan sari
buah pisang.
Fenomena ini terjadi kemungkinan karena ketersediaan nutrisi dalam pengencer telah habis
digunakan sehingga kontraksi fibril-fibril spermatozoa berhenti dan spermatozoa tidak dapat bergerak.
Hidayaturrahmah (2007) menyatakan bahan utama yang dipakai spermatozoa sebagai sumber energi
dari luar testis adalah fruktosa yang diubah menjadi asam laktat dan energi dengan bantuan enzim
fruktolisin dalam proses glikolisis.

152
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 3. Rataan Persentase Motilitas Spermatozoa Kambing PE


Hari Perlakuan
Ke- P0 P1 P2 P3
0 82.50±2.73a 83.33±2.58a 83.33±2.58a 83.33±2.58a
1 75.00±3.16b 76.67±4.08ab 80.00±3.16a 80.00±0.00a
c bc ab
2 64.17±3.76 67.50±2.73 72.50±5.24 73.33±5.16a
c b ab
3 50.00±7.07 58.33±4.08 63.33±6.05 67.50±5.24a
4 37.50±7.58b 42.50±5.24b 52.50±4.18a 57.50±5.24a
b b a
5 27.50±8.80 33.33±6.83 44.17±4.91 45.83±5.84a
c bc b
6 12.50±4.18 15.00±8.36 23.33±9.30 35.00±7.07a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Metabolisme spermatozoa dapat berlangsung secara aerob maupun anaerob. Ketika terdapat
oksigen, metabolisme fruktosa lebih efisien dalam menghasilkan energi dan dimetabolisir secara
sempurna menjadi CO2 + H2O sebaliknya jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi maka
metabolisme spermatozoa akan berjalan secara anaerob (Rahardhianto et al., 2012). Metabolisme
spermatozoa dalam keadaan anaerob menghasilkan asam laktat, konsentrasi asam laktat melebihi batas
toleransi dapat menyebabkan kematian spermatozoa.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan madu dalam pengencer
Tris-KT mampu mempertahankan persentase motilitas spermatozoa, karena di dalam madu
mengandung fruktosa, glukosa, sukrosa dan maltosa yang dapat digunakan sebagai sumber energi bagi
spermatozoa. Nutrisi yang disumbangkan oleh madu terutama berupa glukosa dan fruktosa yang
dipakai sebagai sumber energi untuk kelangsungan hidup dan motilitas spermatozoa. Dalam keadaan
normal energi yang dilepaskan dapat dipakai sebagai energi mekanik (pergerakan) atau sebagai energi
kimiawi (biosintesa), jika tidak dipergunakan akan menghilang sebagai panas.

Daya Hidup Spermatozoa Kambing PE dalam pengencer Tris-KT dan Tris-Md


Hardijanto et al, (2008) menyatakan spermatozoa mati permeabilitas membran selnya
meningkat, terutama pada daerah post nuclear caps. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase hidup spermatozoa selama penyimpanan
Tabel 4. Perlakuan P3 mampu bertahan hidup lebih lama hingga hari keenam penyimpanan. Perbedaan
persentase hidup pada tiap perlakuan kemungkinan disebabkan karena ketersediaan energi bagi
spermatozoa pada masing-masing perlakuan berbeda-beda.
Nilai viabilitas spermatozoa pada penelitian ini bertahan hingga hari kelima penyimpanan. Pada
proses penyimpanan spermatozoa, membutuhkan nutrisi sehingga fungsionalitas dan kapabilitas
spermatozoa dapat dipertahankan. Dalam penelitian ini pengencer madu merupakan bahan pengencer
sperma dengan kombinasi bahan dasar gula dan ion-ion garam Larutan NaCl memberi sifat buffer,
mempertahankan pH yang dapat memperpanjang umur spermatozoa, karena bersifat isotonis.
Kandungan gula fruktosa dan glukosa dalam madu sebagai sumber energi dimetabolisme oleh
spermatozoa menghasilkan energi berupa ATP dan selanjutnya spermatozoa memanfaatkan ATP
dalam mempertahankan daya hidupnya.

Tabel 4. Rataan Persentase Hidup Spermatozoa Kambing PE


Hari Perlakuan
Ke- P0 P1 P2 P3
0 88.51±2.80a 89.89±2.57a 90.08±1.33a 89.50±1.89a
1 83.98±2.25b 84.70±2.56ab 87.43±2.00a 86.64±2.22ab
2 75.53±1.48b 77.12±2.71b 81.99±3.48a 84.03±1.91a
c b a
3 62.14±6.02 68.16±3.41 73.47±3.07 77.30±2.52a
b b a
4 51.78±5.12 54.24±6.09 64.65±3.51 68.63±4.53a
b b a
5 36.90±8.68 43.27±9.22 55.93±7.60 61.88±6.60a
b b b
6 21.65±9.21 25.33±11.04 33.74±8.16 45.91±9.87a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

153
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Faktor lain yang berpengaruh terhadap daya tahan hidup spermatozoa adalah temperatur, dimana saat
temperatur rendah spermatozoa akan mengalami kejutan dingin (cold shock). Selama proses preservasi
spermatozoa mengalami pendinginan sehingga terjadi perubahan pada membran plasma terutama pada
rantai lapisan ganda lemak fosfolipid. Setiap lipid penyusun membran plasma di bawah pengaruh
thermotropic berubah dari phase liquid-crystalline ke phase gel mulai terjadi aggregasi. Cara
meminimalisasi kerusakan membran plasma sel selama pendinginan dan pembekuan adalah dengan
penambahan komponen yang mengandung lesitin dan lipoprotein yang terkandung dalam kuning telur
(Nalley, 2010).

SIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa level madu terbaik adalah 0,75 w/v dalam
pengencer Tris-KT mampu mempertahankan motilitas dan daya hidup spermatozoa.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluar besar Williams dan Laura Farm telah
memberi kesempatan dalam melakukan penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Hardijanto M, Sardjito T, Hernawati T. 2008. Penuntun praktikum fisiologi dan teknologi reproduksi
(IB). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga Surabaya.
Hidayaturrahmah. 2007. Waktu Motilitas dan Viabilitas Spermatozoa Ikan Mas (Cyprinus
carpio L) Pada Beberapa Konsentrasi Fruktosa. Jurnal Bioscientiae. hal 9-18.
Maharani K, Deasy L. 2008. Pengaruh penambahan madu pada pengencer sari buah pisang mas (Musa
accuminata) terhadap lama penyimpanan. Surabaya.
Nalley WM. 2006. Kajian reproduksi dan penerapan teknologi Inseminasi Buatan pada Rusa Timor
(Disertasi). Institut Pertanian Bogor.
Nalley WM, R I Arifiantini. 2010. Penggunaan berbagai jenis kuning telur ayam dalam pengencer Tris
terhadap kualitas semencair domba lokal. Proc. Seminar Nasional Peranan Teknologi
Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional. Bogor 6&7 Oktober 2010.
pp 50-53.
Rahardhianto A, Abdulgani K, Trisyani T. 2012. Pengaruh konsentrasi larutan madu dalam NaCl
fisiologis terhadap viabilitas dan motilitas spermatozoa ikan Patin (pangsius pangasius) selama
masa penyimpanan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Surabaya.
Ratnawati D, Affandhy WC, Pratiwi B, Prihandini P. 2008. Pengaruh pemberian suplemen tradisional
terhadap kualitas semen pejantan Sapi Bali. Seminar nasional teknologi peternakan dan
veteriner.
Sutama, I-K. 2008. Potensi produktivitas ternak kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional
Peternakan dan Veteriner, Bogor

154
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH STRAIN PEJANTAN TERHADAP PERFORMA


REPRODUKSI TERNAK AYAM LOKAL SABU
EFFECTS ON ROOSTER STRAIN ON REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF SABU CHICKEN
Y. Djegho1, H. T. Pangestuti1, J. Nada Kihe1, dan H. Sutedjo1
1
Fakultas Peternakan Undana
Jln. Adisucipto Penfui Kupang, NTT

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tampilan reproduksi ayam betina lokal Sabu yang kawin dengan
pejantan kate, pejantan ras petelur (Isa Brown) dan pejantan lokal Sabu. Penelitian dilaksanakan di Desa
Penfui Kupang selama dua bulan. Materi penelitian menggunakan 15 ekor ternak ayam terdiri dari tiga
pejantan berumur sekitar satu tahun dan 12 ekor betina dewasa (pernah sekali bertelur, mengeram dan
menetaskan) dari ayam lokal Sabu. Metode penelitian adalah percobaan menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL) berupa tiga perlakuan ( P1 = pejantan ras petelur kawin dengan betina lokal Sabu; P2 = pejantan kate
kawin dengan betina lokal Sabu, dan P3 = pejantan lokal Sabu kawin dengan betina lokal Sabu) dan
empat ulangan. Semua ternak diberikan ransum dan air minum secara bebas. Parameter yang diukur adalah
jumlah telur, bobot telur, fertilitas, mortalitas daya tetas. Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata jumlah
telur (butir/ekor/periode) pada P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 8,75 ± 0,95, 8,00 ± 0,82 dan 9,00 ± 1,41.
Rerata bobot telur (g/ekor) pada P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 37.09 ± 0.80, 36.08 ± 1.45 dan 36.93
± 1.22. Rerata fertilitas telur (%) pada P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 74,79 ± 9,13, 62,64 ± 9,19 dan
79,67 ± 7,60. Rerata mortalitas telur (%) pada P1, P2 dan P3 berturut-turut adala 39,28 ± 12,37, 34,58 ±
6,28 dan 25,58 ± 15,09. Rerata daya tetas (%) pada P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 60,72 ± 12,37,
65,41 ± 3.43 dan 74.22 ± 15.05. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan memberikan
pengaruh berbeda tidak nyata (P > 0.05) pada performa reproduksi ayam lokal Sabu.
Kata kunci: ayam kate, ayam ras petelur, perkawinan .

ABSTRACT
The aim of this research was to investigate the reproductive performance of local chickens of Sabu which
mated with the male of kate, local Sabu and layer tipe of isa brown. The research was carried out in the
sub-district of Penfui Timur Kupang for two months. The material used in this research was 15 chickens
consisting of three males that were about one year of age and 12 hens that were once egg production and
hatch. The method of research was used a completely randomized design (CRD) with three treatments (P1 =
the isa brown cock mated with the local chicken hens of Sabu; P2= the kate cock mated with the local
chicken hens of Sabu, and P3 = the local chicken of Sabu cock mated with the local chicken hens of Sabu)
and four replications. All chickens were given rations and water ad libitum. Variable measured were egg
production, egg weight, egg fertility, mortality dan hatchability. The results showed that the average of egg
production (number/head/period) of P1, P2 and P3 were 8,75 ± 0,95, 8,00 ± 0,82 and 9,00 ± 1,41,
respectively; the average of egg weight (g) were 37.09 ± 0.80, 36.08 ± 1.45 and 36.93 ± 1.22, respectively;
the average of egg fertility (%) were 74,79 ± 9,13, 62,64 ± 9,19 and 79,67 ± 7,60, respectively; the average
of mortality (%) were 39,28 ± 12,37, 34,58 ± 6,28 and 25,58 ± 15,09, respectively and the average of
hatchability (%) were 60,72 ± 12,37, 65,41 ± 3.43 and 74.22 ± 15.05, respectively. Results of statistical
analised showed that the males were no effect (P > 0.05) on reproductive performances of the local chicken
hens of Sabu.
Key words: kate chicken, broiler, mating.

PENDAHULUAN
Produktivitas ayam buras di Nusa Tenggara Timur masih rendah karena peternak kurang
memperhatikan mutu pakan, kesehatan, perkandangan, dan perkawinan ternak. Pada siang hari hanya
dilepas berkeliaran di sekitar rumah atau kebun dan mencari makanan. Pada malam hari dibiarkan
tidur di dahan kayu, atap rumah atau pada kandang sederhana. Sistem pemeliharaan tersebut pada
pokoknya mengindikasikan bahwa performa yang ditampilkan ayam buras belum mencerminkan atau
mengekspresikan potensi genetik sesungguhnya. Potensi genetik akan optimal ditampilkan bila
ternak ayam kampung diberikan lingkungan pemeliharaan yang baik pula.
155
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kondisi geografis Nusa Tenggara Timur berupa kepulauan turut berkontribusi terhadap variasi
genetik ayam buras. Ini dimungkikan karena masyarakat secara turun menurun memelihara ayam
buras sehingga telah terjadi perkawinan antar ternak dari generasi ke generasi (Thalib dkk, 1983).
Salah satu pulau di NTT yang secara geografis jauh letaknya dari pulau-pulau lain dan masyarakatnya
gemar memelihara ayam lokal adalah pulau Sabu. Beberapa pihak di NTT memelihara ayam
seperti jenis ras petelur dan ayam kate sebagai ayam hias. Salah satu ayam ras petelur yang
dipelihara adalah jenis isa brown. Berhubung pemeliharaanya adalah ekstensif tradisional maka
kemungkinan telah terjadi perkawinan antara mereka (jenis ras, kate dan lokal Sabu). Sebagai ayam
hias maka ayam kate mempunyai tubuh paling kecil di antara ayam buras pada umumnya (Wibowo,
1996). Karena tubuhnya kecil maka kemungkinan konsumsi ransumnya juga lebih kecil
dibandingkan jenis ayam lain.
Sebagai plasma nutfah ternak ayam lokal Sabu sudah tentu lebih mampu dalam memanfaatkan
pakan lokal dibandingkan dengan ternak ayam ras. Inventarisasi bahan pakan lokal (konvensional dan
inkonvensional) menunjukkan bahwa ketersediaan pakan lokal untuk ternak unggas cukup tetapi
belum dimanfaatkan secara optimal (Konda Malik, 2000). Kualitas dan kuantitas pakan yang
dikonsumsi ayam buras di pedesaan belum memperhatikan tampilan dari ayam buras itu sendiri.
Ayam-ayam biasanya dilepas bebas mencari pakan sehingga belum ada upaya untuk
menyesuaikan antara kualitas ransum dengan performa (produksi dan reproduksi) yang diinginkan.
Tujuan percobaan ini adalah untuk melihat performa reproduksi dari persilangan antara ayam
pejantan ras petelur (isa brown), ayam kate dengan ayam betina lokal (Sabu).

MATERI DAN METODE


Sebanyak 15 ekor ternak ayam yang terdiri dari tiga ekor ternak ayam pejantan (seekor
pejantan ayam ras petelur yaitu isa brown, seekor pejantan kate dan seekor pejantan ayam lokal
Sabu) berumur sekitar setahun dan 12 ekor betina ayam lokal Sabu pernah sekali betelur,
mengeram dan menetas yang dipakai dalam penelitian ini. Percobaan dilakukan di kandang
penelitian di Penfui Timur, Kupang Tengah, Kabupaten Kupang selama tiga bulan.
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan (tiga
macam pejantan) dan empat ulangan. Masing –masing ayam betina ditempatkan dalam unit
kandang dengan ukuran 2 m x 2 m x 3 m (tinggi) sehingga terdapat 12 unit kandang penelitian.
Ayam pejantan ditempatkan secara bergilir ke setiap betina yang menjadi pasangan perkawinannya
(alamiah). Semua ayam (tetua) diberikan ransum yang sama yaitu mengandung energi metabolis
2.607, 05 kkal ME/kg, protein kasar 14,21%, lemak 5,62% dan serat kasar 7,076%. Ransum
dan air minum selalu tersedia selama penelitian. Parameter yang diukur adalah jumlah telur, berat
telur, fertilitas, mortalitas dan daya tetas. Data dianalisis secara statistik dengan menggunakan
rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Produksi Telur
Produksi telur dari ternak ayam betina lokal Sabu kawin dengan pejantan ayam ras petelur,
kate dan lokal Sabu tersaji pada Tabel 1. Rerata produksi telur (butir/ekor/periode) paling tinggi
pada perkawinan sesama ayam lokal Sabu (9,00 ± 1,41 g) disusul dengan Perkawinan antara
pejantan ras petelur (8,75 ± 0,95 g) kemudian antara pejantan ayam kate dengan betina lokal Sabu
(8,00 ± 0, 82 g). Kisaran berat telur ayam lokal Sabu (8.00 – 9.00 butir) lebih rendah dari hasil
penelitian Thalib dkk (1993) yang melaporkan bahwa produksi telur ayam lokal di Soe dan Kupang
berkisar 8-15 butir per periode sementara itu Lele (2003) melaporkan produksi telur per periode ayam
buras (Kupang) rata-rata 10.02 ± 1.95 butir. Perbedaan ini diduga karena faktor genetik dan
lingkungan yang dialami oleh ternak-ternak. Jull (1978) menyatakan bahwa produksi telur
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan ternak. Umur ternak adalah faktor yang
mempengharuhi produksi telur (Edianingsih, 1991). Umur induk dalam penelitian ini hampir
seragam (pernah bertelur sekali) sedangkan pada penelitian Thalib dkk (1999) dan Lele (2003)
adalah ayam yang sudah pernah bertelur beberapa kali periode bertelur.

156
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Rerata jumlah, bobot, fertilitas, mortalitas dan daya tetas telur ayam lokal Sabu yang
kawin dengan pejantan ras petelur, kate dan lokal Sabu
Ayam
Peubah Pejantan Ras Pejantan Kate Pejantan Lokal
Petelur Sabu
Produksi telur (butir/ekor) 8,75 ± 0,95 8,00 ± 0,82 9,00 ± 1,41
Berat telur (g/ekor) 37,09 ± 0,80 36,08 ± 1,45 36,93 ± 1,22
Fertilitas (%) 74,79 ± 9,13 62,64 ± 9,19 79,67 ± 7,60
Mortalitas (embrio) (%) 39,28 ± 12,37 34,59 ± 6,28 25,58 ± 15,09
Daya tetas (%) 60,12 ± 10,36 65,41± 3,43 74.42 ± 15,06

Hasil analisis statistik menunjukan bahwa perlakuan tidak memberikan perbedaan nyata
tehadap produksi telur (P > 0.05). Ini berarti tidak ada pengaruh nyata dari ketiga strain pejantan
(lokal Sabu, ras petelur dan kate) terhadap produksi telur ayam lokal Sabu. Produksi telur
dipengaruhi oleh bangsa induk (maternal effect) sedangkan betina tetua adalah sama yaitu ayam
lokal Sabu.

Bobot Telur
Rerata bobot telur dari ternak ayam betina lokal Sabu kawin dengan pejantan ayam ras
petelur, kate dan lokal Sabu seperti pada Tabel 1. Rerata berat telur (g / butir/ekor) paling
tinggi pada perkawinan antara pejantan ras petelur dengan ayam lokal Sabu (37,09 ± 0,80 g) disusul
dengan perkawinan antara pejantan sesama ayam lokal Sabu (36,93 ± 1,22 g) kemudian antara
pejantan Kate dengan betina lokal Sabu (36,08 ± 1,45 g). Kisaran bobot telur ayam lokal Sabu
dalam penelitian ini (36,08 - 37,09 g) adalah lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian
Tnunay (1998) yang melaporkan rerata bobot telur ayam kampung sebesar 39,5 g/butir dan lebih
tinggi dari penelitian Lele (2003) yang melaporkan rerata bobot telur 31 g. Variasi ini diduga
karena pengaruh genetik dan lingkungan ternak seperti dideskripsikan Hardjosubroto (1994).
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P > 0.05)
terhadap bobot telur ayam lokal Sabu. Dengan kata lain perkawinan dari ketiga strain pejantan
(lokal Sabu, ras petelur dan kate) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot telur ayam
lokal Sabu. Hal ini berarti perbedaan genetik dari ketiga strain pejantan hampir tidak
berpengaruh terhadap bobot telur ayam lokal Sabu.

Fertilitas
Rerata angka fertilitas (%) dari ternak ayam betina lokal Sabu kawin dengan pejantan ayam
ras petelur, kate dan lokal Sabu dapat dilihat pada Tabel 1. Rerata fertilitas telur (%) paling
tinggi pada perkawinan antara sesama ayam lokal Sabu (79,67 ± 7,60 %) disusul dengan
perkawinan antara pejantan ras petelur dengan betina lokal Sabu (74,79 ± 9,13%) kemudian
antara pejantan kate dengan betina lokal Sabu (62,64 ± 9,19%). Kisaran fertilitas dalam
penelitian ini adalah 62,64 - 79,67% dengan rerata 71,16%. Hasil ini lebih tinggi dari hasil
penelitian Hidayat (2000) yang melaporkan kisaran fertilitas ayam lokal adalah antara 50 -70% atau
rerata 60%. Perbedaan ini diduga karena rasio pejantan dalam penelitian ini adalah 1 : 4
sehingga rerata fertilitas akan lebih tinggi dari penelitian lainnya. Rasio pejantan dan betina
adalah faktor utama penentu besar kecilnya angka fertilitas (Srigandono, 1997).
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P > 0.05)
terhadap fertilitas telur ayam lokal Sabu. Perkawinan dari ketiga strain pejantan (lokal Sabu, ras
petelur dan kate) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap angka fertilias ayam lokal Sabu.
Hal ini berarti perbedaan genetik dari ketiga strain pejantan hampir tidak berpengaruh terhadap
fertilitas ayam lokal Sabu.

Mortalitas
Rerata mortalitas (%) dari ternak ayam betina lokal Sabu kawin dengan pejantan ayam ras
petelur, kate dan lokal Sabu dapat dilihat pada Tabel 1. Rerata mortalitas telur (%) paling tinggi

157
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

pada perkawinan antara pejantan ras petelur (39,28 ± 12,37%) disusul dengan perkawinan sesame
ayam lokal Sabu (25,58 ± 15,09) dan paling rendah adalah antara pejantan kate dengan ayam
lokal Sabu (34,59 ± 6,28). Kisaran mortalitas dalam penelitian ini adalah 25,58 - 39.28% dengan
rerata 32.43%. Variasi in diduga karena pengaruh temperatur atau suhu dari ayam betina yang
mengeram (alamiah). Menurut Wiharto (1999) suhu yang terlalu rendah akan menyulitkan
penetasan karena panas tidak mencukupi.
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P > 0.05)
terhadap mortalitas telur ayam lokal Sabu. Perkawinan dari ketiga strain pejantan (lokal Sabu,
ras petelur dan kate) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap angka mortalitas ayam lokal
Sabu. Perbedaan genetik dari ketiga strain pejantan hampir tidak berpengaruh terhadap mortalitas
ayam lokal Sabu.

Daya Tetas
Rerata daya tetas (%) dari ternak ayam betina lokal Sabu kawin dengan pejantan ayam ras
petelur, kate dan lokal Sabu dapat dilihat pada Tabel 1. Rerata daya tetas telur (%) paling tinggi
pada perkawinan antara sesama ayam Sabu (74,22 ± 15,05%) disusul dengan perkawinan antara
pejantan kate dengan betina ayam lokal Sabu (65,41 ± 3,43 %) dan terendah adalah hasil
perkawinan antara pejantan ras petelur dengan ayam lokal Sabu (60,72 ± 12,37 %). Kisaran
daya tetas dalam penelitian ini adalah 60,72–74,22 % dengan rerata 67,47%. Hasil penelitian ini
lebih rendah dari penelitian Kingston (1979) yang melaporkan bahwa daya tetas ayam kampung
sebesar 82%. Ini diduga karena variasi dalam penggunaan jenis ayam dan lingkungan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P > 0.05)
terhadap daya tetas telur ayam lokal Sabu. Perkawinan dari ketiga strain pejantan (lokal Sabu,
ras petelur dan kate) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pesentase daya tetas ayam lokal
Sabu. Perbedaan genetik dari ketiga strain pejantan hampir tidak berpengaruh terhadap daya tetas
ayam lokal Sabu.

KESIMPULAN DAN SARAN


1. Rerata jumlah telur (butir/ekor) pada perkawinan ayam lokal Sabu dengan pejantan ayam lokal
Sabu, ras petelur dan ayam kate masing-masing berturut 900 ± 1.41, 8.75±0.95 dan 8.00±0.82.
2. Rerata berat telur (g / butir) pada perkawinan ayam lokal Sabu dengan pejantan ras petelu, lokal
Sabu dan kate masing-masing berturut adalah 37,09±0,80 g, 36,93±1,22 g dan 36,08±1,45 g.
3. Rerata fertilitas telur (%) pada perkawinan antara ayam lokal lokal sabu dengan pejantan lokal
Sabu, ras petelur dan ayam kate masing-masing berturut adalah 79,67±7,60%, 74,79±9,13% dan
62,64±9,19%.
4. Rerata mortalitas telur (%) pada perkawinan antara ayam pejantan ras petelur, ayam kate dan
sesama ayam Sabu masing-masing berturut-turut adalah 39.28±12.37%, 34.59±6.28% dan
25.58±15.09%.
5. Rerata daya tetas telur (%) pada perkawinan antara ayam pejantan ras petelur, ayam kate dan
sesame ayam Sabu masing-masing berturut-turut adalah 60.71±10,36 %, 65.41±3,43 dan
74.42±15,06.
6. Strain pejantan tidak memberikan perbedaan nyata (P > 0,05) dalam produksi telur, berat berat
telur, fertililitas, mortalitas embrio dan daya tetas telur pada ayam lokal Sabu.

DAFTAR PUSTAKA
Edianingsih, P. 1991. Performans Produksi dan Pengukuran Keragaman Fenotipik Itik Alabio pada
Sistem Pemeliharaan Intensif. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widia Sarana
Jakarta.
Hidayat, K. 2000. Kualitas Semen Tiga Banga Ayam Lokal Indonesia. Thesis. Fakultas
Peternakan Univertsitas Padjadjaran. Bandung.
Jull, M. A. 1978. Poultry Husbandry. 3rd Ed. McGraw-Hill Publising Co., Ltd. New Delhi.

158
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kingston, D. J. 1979. Peranan Ayam Berkeliaran di Indonesia. Seminar Ilmu dan Industri
Perunggasan I. Ciawi, Bogor.
Konda Malik, A. 2000. Iventarisasi Potensi dan Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal oleh Kelompok
Peternak Ayam Buras di Kabupaten Kupang. Laporan Konsultan Monitoring dan Manajemen
Proyek Provinsi NTT.
Lele, P. 2003. Keragaan Produksi dan Reproduksi Ayam Kampung di Kecamatan Kupang Timur
Kabupaten Kupang. Hasil Penelitian Fapet Undana. Kupang.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas. Gajah Mada University Pers.
Steel, R.G.D. dan H.T. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Thalib, R.A.B., E. D. A. Wie Lawa., V.J. Ballo, A. Pigawahi, G. A. Lestari. 1993. Produktivitas
Ayam Buras Dalam Kondisi Lingkungan Pegunungan dan Daratan Rendah. Hasil Penelitian
Fapet Undana. Kupang.
Tnunay, S.V.T. 1998. Potensi Produksi dan Reproduksi Ternak Ayam Buras Hasil Persilangan
(Super-Harco x Buras Kupang) di Desa Buraen Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang.
Hasil Penelitian Fapet Undana. Kupang.
Wibowo, S. 1996. Petunjuk Beternak Ayam Buras. Gitamedia Press. Surabaya.
Wiharto. 1999. Pengantar Ilmu Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.

159
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

EFEKTIVITAS SUPLEMENTASI LEVEL FILTRAT JAMBU BIJI YANG BERBEDA


KE DALAM R PENGENCER AIR KELAPAKUNING TELUR TERHADAP
KUALITAS SEMEN CAIR SAPI BALI PADA PENYIMPANAN SUHU 50C
EFFECTIVENESS OF DIFFERENT LEVELS OF FILTRATED Psidium guajava
SUPPLEMENTATION INTO COCCONUT LIQUI D-EGG YOLK EXTENDER
ON QUALITY OF BALI BULLS FRESH SEMEN STORED AT 50C
Muhammad S. Abdullah1, Aloysius Marawali1 dan Jalaludin1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto, Kupang, NTT

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menguji efektivitas preservasi semen menggunakan pengencer berbasis bahan lokal
dalam pengencer air kelapa kuning telur terhadap kualitas semen cair dan angka kebuntingan sapi bali pada
penyimpanan suhu 50C. Spermatozoa yang telah diencerkan disimpan di dalam lemari es pada suhu 5 0C. Adapun
perlakuan penelitian ini adalah P0 = air 80%+kuning telur 20% tanpa penambahan FJB; P1 = air kelapa
80%+kuning telur 20%+ 0,8% FJB per 10 ml pengencer; P2 = air kelapa 80%+kuning telur 20% + 0.9% FJB per
10 ml pengencer; P3 = air kelapa 80%+kuning telur 20% + 1,0% FJB per 10 ml pengencer; P4. air kelapa
80%+kuning telur 20% + 1,1% FJB per 10 ml pengencer; dan P5 = air kelapa 80%+kuning telur 20% + 1,2% per
10 ml pengencer. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah persentase motilitas, viabilitas,
abnormalitas,dan membran plasma utuh(MPU) spermatozoa. Evaluasi dilakukan setiap hari selama tiga hari.
Data dianalisis dengan sidik ragam dalam bentuk rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan delapan
kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 untuk semua variabel yang diukur dari
hari kenol sampai hari ketiga penyimpanan berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol
(P0), P3, P4 dan P5. Disimpulkan bahwa suplementasi 0,8% dan 0,9% filtrat jambu biji (FJB) dalam 10 ml
pengencer air kelapa 80%+kuning telur 20% memberikan hasil yang terbaik.
Kata kunci : semen cair, sapi bali, pengencer lokal, filtrat jambu biji (FJB)

ABSTRACT
The study aimed to evaluating the effectiveness of different levels of filtrated Psidium guajava supplementation
into coconut liquid-egg yolk extender on the quality of Bali bull fresh semen stored at 5 0C. Extended
Spermatozoa then stored in the refrigerator at 50C.The treatments of the study were: P0 = 80% water+20% egg
yolk without FJB; P1 = 80% coconut liquid+20% egg yolk+0.8% FJB/10 ml extender; P2 = 80% coconut
liquid+20% egg yolk+0.9% FJB/10 ml extender; P3 = 80% coconut liquid+20% egg yolk +1.0% FJB/10 ml
extender; P4= 80% coconut liquid+20%egg yolk + 1.1% FJB/10 ml extender; and P5 = 80%coconut liquid+
20% egg yolk + 1.2% FJB/10 ml extender. Variable evaluated consisted of: % of motility, viability, abnormality
and MPU of fresh spermatozoa were daily evaluated during 3 days. Data were analyzed with completely
randomized design 6 treatments with 8 replicates analysis of variance procedure. The results showed that P1
and P2 were significant different (P<0.05) compared P0, P3, P4 and P5 in all variables evaluated from day 0 to
day 3. The conclusion is that supplementing 0.8% and 0.9% filtrated Psidium guajava (FJB) into 10 ml coconut
liquid extender 80%+egg yolk 20% performed the best result.
Kata kunci : fresh semen, Bali bull, local extender, filtrated Psidium guajava.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan IB pada sapi bali di NTT dipengaruhi oleh kualitas semen yang dideposisikan ke
dalam saluran kelamin betina. Kendalanya adalah semen sudah mengalami penurunan kualitas akibat
penyimpanan dan penundaan deposisi ke dalam saluran reproduksi betina. Penundaan deposisi semen
dapat menyebabkan antioksidan dalam semen tidak seimbang, akibatnya spermatozoa mengalami
stress sehingga terjadi kerusakan sel.
Hasil akhir dari metabolisme adalah terbentuknya radikal bebas berupa derivat oksigen
diantaranya adalah single1 oksigen (1O2), tripel1 oksogen (3O2), superokside anion (O2-), hidroksil
radikal (OH) dan nitrit oxide (NO-) yang semuanya disebut radical oksigen species (ROS). Single1
oksigen dapat merusak ikatan rangkap pada asam lemak sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA
160
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dan protein. Single1 oksigen bila bereaksi dengan asam amino histidin akan membentuk enzim yang
dapat menyebabkan denaturasi protein.
Kerusakan pada spermatozoa pada suhu 50C akibat radikal bebas cold shock inilah merupakan
penyebab utama disfungsi semen (Sharma, 1999). Oksidasi fosforilasi yang terganggu menyebabkan
peningkatan radikal bebas dalam semen. Kadar radikal bebas yang terganggu menyebabkan
peningkatan radikal bebas dalam semen. Kadar radikal bebas yang tinggi dalam sel dapat
mengoksidasi lipid, protein dan DNA. Lipid membran plasma semen memiliki fosfolipid dengan kadar
yang tinggi menyebabkan semen rentan terhadap radikal bebas (Sanoeka, 2004).
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses
oksidasi lipid. Dalam arti khusus antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah
terjadinya radikal bebas. Antioksidan terdiri atas dua golongan yaitu antioksidan enzimatik dan
antioksidan non enzimatik. Antioksidan enzimatik meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase,
glutathione peroksidase. Antioksidan non enzimatik meliputi vitamin E (α tokoferol), β karoten dan
vitamin C (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
Pengunaan filtrat jambu biji ke dalam pengencer air kelapa kuning telur dapat menjaga
kualitas spermatozoa (motilitas, keutuhan akrosom, viabilitas dan morfologi spermatozoa) semen cair
sapi bali pada penyimpanan suhu 50C. Level filtrate jambu biji terbaik dalam pengencer air kelapa
kuning telur, akan terbaik pula dalam mempertahankan kualitas spermatozoa sampai tujuan IB. Tujuan
penelitian ini adalah menguji berbagai level pemberian filtrat jambu biji (FJB) dalam pengencer air
kelapa kuning telur terhadap kualitas spermatozoa semen cair sapi bali yang disimpan pada suhu 50C
yang cocok digunakan di lapangan.

METODE PENELITIAN
Penampungan dan Pengolahan Semen
Semen sapi bali diencerkan dengan pengencer dasar air kelapa 80%+kuning telur 20% yang
disuplementasi dengan fitrat jambu biji FJB) pada 5 konsentrasi yang berbeda: 0 ml FJB, 0.8% FJB,
0.9% FJB, 1% FJB, 1.1% FJB dan 1.2% FJB. Masing-masing perlakuan diulang 8 kali sehingga
terbentuk 48 unit percobaan. Semen yang telah diencerkan selanjutnya disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu 50C untuk produksi semen cair, dan evaluasi semen dilakukan setiap hari.
Evaluasi kualitas spermatozoa meliputi motilitas, viabilitas, dan abnormalitas, kemudian ditambahkan
penisilin-G (PT. Meiji Indonesia Pharmaceutical Industries, Bangil) dan streptomisin sulfat (PT. Meiji
Indonesia Pharmaceutical Industries, Bangil) masing-masing sebanyak 1.000 IU per mililiter
pengencer (Balai Inseminasi Buatan, Lembang).

Variabel Penelitian
Kualitas spermatozoa yang dievaluasi pada tahap spermatozoa segar adalah: konsentrasi
spermatozoa, persentase motilitas, viabilitas, persentase abnormalitas, persentase butiran sitoplasma,
dan persentase membran plasma utuh (MPU) spermatozoa. Dievaluasi secara subjektif pada delapan
lapang pandang yang berbeda dengan mikroskop cahaya pembesaran 400x (Rasul et al., 2001). Angka
yang diberikan berkisar antara 0 dan 100% dengan skala 5%. Viabilitas adalah persentase spermatozoa
yang hidup. Dievaluasi dengan pewarnaan eosin 2% (Toelihere, 1993). Spermatozoa yang hidup
ditandai oleh kepala berwarna putih, sedangkan yang mati ditandai oleh kepala berwarna merah.
Minimal sebanyak 200 spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop cahaya pembesaran 400x. Data
yang diperoleh dihitung rata-rata dan standard deviasi dan dianalisis dengan analysis of variance
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Analisis menggunakan software SPSS 17.0 for
windows dan MS office Excell 2007.

HASIL DAN BAHASAN


Karakteristik Semen Sapi Bali
Adapun karakteristik semen segar yang digunakan dalam penelitian mempunyai gerakan
massa 3+++, persentase spermatozoa motil 85%, konsentrasi spermatozoa 1524x106 per ml semen,
spermatozoa abnormal 5,16±2,24%, persentase MPU 90,16±1,42%. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa semen segar yang baik harus memiliki spermatozoa motil 70% (Evans dan Maxwell, 1987),
abnormalitas spermatozoa 6-10% (Delgadillo, 1992) dan MPU 60% (Revell dan Mrode, 1994).
161
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Pengaruh Perlakuan terhadap Motilitas Spermatozoa


Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa persentase motilitas spermatozoa pada kedua kelompok
perlakuan yang mendapat penambahan 0.8% dan 0.9 % filtrat jambu biji (FBJ) dalam pengencer air
kelapa 80%+kuning telur 20% lebih tinggi dibandingkan dengan motilitas spermatozoa pada
kelompok kontrol dan penambahan 1.0 %, 1.1 % dan 1.2 % FJB per 10 ml pengencer. Hasil analisis
statistik pada hari pertama dan hari kedua penyimpanan persentase motilitas spermatozoa dengan
tanpa penambahan FJB dan dengan penambahan 1,0% FJB, 1,1% FJB dan 1,2% FJB dalam 10 ml
pengencer air kelapa 80%+ kuning telur 20% secara nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan
penambahan 0,8% FJB dan 0,9% FJB. Hari ketiga penyimpanan persentase motilitas spermatozoa
dengan tanpa penambahan FJB, penambahan FJB 0,8% dan 0,9% dalam 10 ml air kelapa 80%+kuning
telur 20% secara nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan 1,0% FJB, 1,1% FJB
dan 1,2% FJB. Sedangkan penambahan 0,8% FJB dan 0,9% FJB dari hari pertama sampai hari ketiga
penyimpanan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini lebih rendah dengan hasil yang dilaporkan dengan motilitas spermatozoa oleh (Marawali
dan Sinlae, 2016) dengan motilitas spermatozoa sapi bali 63%, 70% dan 73% setelah penyimpanan
hari ketiga dengan pengencer dasar masing-masing air kelapa 80%+ kuning telur 20% + 0.4 g α
tokoferol; pengencer air kelapa 80%+ kuning telur 20% + 0.6 g α tokoferol dan pengencer air kelapa
80%+ kuning telur 20% + 0.8 g α tokoferol.

Pengaruh Perlakuan terhadap Viabilitas Spermatozoa Sapi Bali


Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa viabilitas spermatozoa sapi bali pada kelima kelompok
perlakuan yang mendapat penambahan FJB lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitas spermatozoa
kelompok kontrol. Persentase viabilitas tertinggi terdapat perlakuan P3, diikuti P2, P1 dan P0.

Tabel 1. Persentase motilitas spermatozoa, viabilitas spermatozoa, MPU dan Abnormalitas


spermatozoa sapi bali dengan penambahan FJB yang berbeda dalam pengencer air kelapa
80%+kuning telur 20% pada penyimpanan suhu 5oC
Variabel
Penyimpanan
Perlakuan Motilitas (%) Viabilitas Abnormalitas (%)
(Hari)
(%)
P0 (AkKt+0% FJB) 1 53.00±2.73b 60.14±4.95b 6,46±1.62a
2 50.00±1.58b 49.29±6.99b 8,08±1,89a
b b
3 43.20±2.95 41.85±4.32 11,10±1,84ab

P1 (AkKt+0,8% 1 63.40±3.13a 69.40±1.14a 6,12±1,32a


FJB) 2 57.40±4.08a 59.70±6.06a 6,70±1,26a
3 50.40±2.30ab 53.89±4.58a 8,10±0,89a

P2 (AkKt+0,9% 1 66.00±1.58a 69.03±3.49a 6,02±0,56a


FJB) 2 60.60±1.14a 60.88±4.76a 6,40±0,66a
3 53.40±2.70a 56.97±1.69a 7,24±0,61a

P3 (AkKt+1,0% 1 33.00±7.58c 43.19±6.98c 8,10±2,01b


FJB) 2 20.00±6.12c 38.84±1.95cd 12,26±2,26b
3 17.00±11.18c 29.96±2.35c 17,10±3,21c

P4 (AkKt+1,1% 1 31.00±6.51c 39.09±7.11c 9,24±2,34b


FJB) 2 16.00±4.18cd 33.76±3.02c 16,34±3,54b
3 12.00±9.75c 23.38±2.44d 24,64±3,46c

P5 (AkKt+1,2% 1 27.00±4.47c 35.32±5.19 c 10,78±2,48b


d d
FJB) 2 12.00±2.73 24.45±2.79 18,22±4,22b
3 9±6.71c 21.25±1.04d 26,14±6,84c
Superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)
162
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Berdasarkan hasil analisis statistik pada hari pertama sampai hari ketiga penyimpanan persentase
viabilitas spermatozoa dengan tanpa penambahan FJB dan dengan penambahan 1,0% FJB, 1,1% FJB
dan 1,2% FJB dalam 10 ml pengencer air kelapa 80%+ kuning telur 20% secara nyata (P<0,05) lebih
rendah dibandingkan dengan penambahan 0,8% FJB dan 0,9% FJB. Sedangkan pada hari pertama
penyimpanan persentase viabilitas spermatozoa pada P3, P4 dan P5 menunjukkan perbedaan yang
tidak nyata (P>0,05). Penambahan FJB 0,8% dan 0,9% dalam 10 ml air kelapa 80%+kuning telur 20%
secara nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan FJB dan dengan 1,0% FJB,
1,1% FJB dan 1,2% FJB. Penambahan 0,8% FJB dan 0,9% FJB dari hari pertama sampai hari ketiga
penyimpanan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap persentase viabilitas
spermatozoa. Viabilitas tertinggi spermatozoa adalah penambahan 0,9% FJB dan berbeda secara nyata
(P<0,05) dengan tanpa penambahan FJB, dan dengan penambahan 1,0% FJB, 1,1% FJB dan 1,2%
FJB.
Viabilitas spermatozoa sapi bali yang diperoleh dalam penelitian ini sampai hari ketiga
penyimpanan lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan (Marawali dan Sinlae, 2016)
dengan persentase viabilitas spermatozoa sapi bali 63%, 70% dan 73% setelah penyimpanan hari
ketiga dengan pengencer dasar masing-masing air kelapa 80%+kuning telur 20%+0.4 g α tokoferol;
pengencer air kelapa 80%+kuning telur 20%+0,6 g α tokoferol dan pengencer air kelapa 80%+kuning
telur 20%+0,8 g α tokoferol.

Pengaruh Perlakuan terhadap Abnormalitas Spermatozoa Sapi Bali


Persentase abnormalitas spermatozoa sapi bali setelah pengenceran dan penyimpanan
dinginbaik pada kelompok perlakuan maupun kontrol terlihat pada Tabel 1. Abnormalitas
spermatoazoa sapi bali setelah disimpan pada suhu 50C dari hari kenol sampai hari ketiga untuk semua
perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 terendah yaitu 6,3% (bagus) dan yang tertinggi
(tidak bagus) adalah P4 dan P5 masing-masing 16 & dan 18%. Hasil analisis statistik berpengaruh
tidak nyata (P>0,05) antara P0, P1 dan P2 terhadap abnormalitas spermatozoa sampai hari kedua
penyimpanan, dan antara P3, P4 dan P5 terhadap abnormalitas spermatozoa dari hari kesatu sampai
hari ketiga penyimpanan. Abnormalitas spermatozoa yang diperoleh dalam penelitian ini hampir sama
dengan abnormalitas spermatozoa pada sapi bali yang dilaporkan (Marawali dan Sinlae, 2016) yaitu
9,12%; 8,48% dan 8,26% setelah penyimpanan hari ketiga dengan pengencer dasar masing-masing air
kelapa 80%+kuning telur 20%+0.4 g α tokoferol; pengencer air kelapa 80%+kuning telur 20%+0.6 g α
tokoferol dan pengencer air kelapa 80%+kuning telur 20%+0.8 g α tokoferol.

SIMPULAN
Penambahan 0,8% dan 0,9% fitrat jambu biji dalam pengencer air kelapa 80%+kuning telur
20% dapat mempertahankan motilitas, viabilitas, abnormalitas, integritas membran plasma (MPU) dan
TAU spermatozoa sapi bali sampai hari ketiga penyimpanan pada suhu 5oC. Konsentrasi fitrat jambu
biji (FJB) 0,9% dalam 10 ml pengencer air kelapa80%+kuning telur 20% memberikan hasil yang
terbaik.

DAFTAR PUSTAKA
Delgadillo. J.J., B. Leboeuf dan P. Chemineau. 1992. Abolition of seasonal variations in semen quality
and maintenance of sperm fertilizing ability by photoperiodic cylces in goat bucks. Small
Rum.Res.9: 47-59.
Halliwell, B. and J.M.C. Gutteridge. 1999. Free Radical in Biology and Medicine. 3rd ed. Oxford
Univ.Press. New York.
Labetubun J., dan I.P. Siwa. 2011. Kualitas Spermatozoa Kauda Epididimis Sapi Bali dengan
Penambahan Laktosa atau Maltosa yang Dipreservasi pada Suhu 3-5oC. Jurnal Veteriner
September 2011. Vol. 12. No.: 200-207. ISSN : 1411-8327.
Marawali, A dan M. Sinlae. 2016. Efektivitas pemberian α tokoferol dalam pengencer air kelapa
kuning telur terhadap kualitas dan angka kebuntingan semen cair sapi bali yang disimpan pada
suhu 50C. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Lembaga Penelitian Undana.

163
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Sanoeka, D., M.Kurpisz, 2004. Reactive Oxygen Species and Sperm Cells. Reproductive Biology and
Endocrinology 2 (12): 1-7.
Sharma, M., K. Ray., S.S.Sharma dan Y.K.Gupta. 2000. Effects of Antioxidant on Pyrogallol-
Induced Delay in Gastric Emptying in Rats. Departement of Pharmacology,All India
Institute of Medical Sciences. New Delhi. Pharmacology Feb; 60 (2):90-96.
Sumadiasa, I. L., T. Susilawati., G. Ciptadi and N. Isnaini. 2015. The potency of guava filtrate
(Psidium guajava Linn) for preservation of Bali bull spermatozoa. IOSR Journal of
Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS) e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372.
Volume 8, Issue 5 Ver. I (May, 2015), PP 51-57. www.iosrjournals.org.
Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa Bandung.

164
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KEMAMPUAN TUMBUH BLASTOSIS MENCIT PASCA KRIOPRESERVASI


DENGAN METODE VITRIFIKASI DAN SLOW-FREEZING

GROWTH COMPETENCE OF MOUSE BLASTOCYSTS AFTER CRYOPRESERVED


BY VITRIFICATION AND SLOW-FREEZING METHOD
Thomas Mata Hine1, Wilmientje Marlene Nalley1
1
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang
Email: thomasmatahine@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan tumbuh blastosis mencit yang dikriopreservasi
dengan metode vitrifikasi dan slow-freezing. Sebanyak 300 embrio grade 1 yang berada pada stadium blastosis
yang dipanen dari 22 ekor mencit Ddy betina ditempatkan dalam medium modified phosphate buffer saline
(mPBS), dan selanjutnya diinkubasi di dalam Dulbeccos modified eagles medium (DMEM)-high glucose +
fetal calf serum 20% selama satu jam pada 5% CO2, 37oC. Embrio-embrio tersebut dibagi ke dalam tiga
kelompok, dimana embrio pada kelompok pertama (kontrol) langsung dikultur dalam medium yang sama tanpa
perlakuan kriopreservasi, kelompok kedua dikriopreservasi dengan metode vitrifikasi, dan kelompok ketiga
dikriopreservasi dengan metode slow-freezing. Embrio pada kelompok kedua dan ketiga selanjutnya disimpan di
dalam nitrogen cair selama satu minggu sebelum dilakukan thawing. Kultur embrio pasca thawing dilakukan di
dalam (DMEM)-high glucose + fetal calf serum 20% dan dilakukan pengamatan harian terhadap kemampuan
tumbuhnya (viabilitas, hatching rate, dan attachment rate). Hasil penelitian menujukkan bahwa terjadi
penurunan yang signifikan (p<0,05) terhadap kemampuan tumbuh embrio pasca kriopreservasi baik dengan
metode vitrifikasi maupun slow-freezing. Namun demikian, embrio yang dikriopreservasi dengan metode
vitrifikasi memiliki kemampuan tumbuh yang lebih tinggi (p<0,05) daripada metode slow-freezing. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa metode vitirifikasi lebih efektif daripada metode slow-freezing untuk kriopreservasi
blastosis mencit.
Kata kunci: blastosis mencit, vitrifikasi, slow-freezing, kemampuan tumbuh

ABSTRACT
The aim of the recent experiment was to compare the growth competence of mouse blastocyst after crypreserved
by vitrification and slow-freezing method. A total of 300 grade 1 embryos at blastocyst stage from 22 females
Ddy mouse were exposed in modified phosphate buffer saline (mPBS) medium, and then incubated in Dulbeccos
Modified Eagles Medium (DMEM)-high glucose + 20% fetal calf serum for one hour at 5% CO2 at 37 oC. The
embryos are divided into three groups. The first group (control) was directly cultured in the same medium
without cryopreservation treatment, the second group was cryopreserved by vitrification method, and the third
group was cryopreserved by slow-freezing method. The embryos in the second and third groups were stored in
liquid nitrogen for one week before thawing. Culture of post-thawing embryos was done in (DMEM)-high
glucose + 20% fetal calf serum. Daily observation of their growth rates (viability, hatching rate, and attachment
rate) were conducted. The results showed a significant decreased in growth rate of cryopreserved embryos
compared with control group (p <0.05). However, embryos cryopreserved using vitrification method showed a
higher growth rate competence with slow-freezing method (p <0.05). It was concluded that the vitirification
method was more effective than slow-freezing methods for cryopreservation of mouse blastocyst.
Keywords: mouse blastocyst, vitification, slow-freezing, growth rate

PENDAHULUAN
Perkembangan bioteknologi di bidang superovulasi ternak telah menyebabkan produksi embrio
yang berlebihan baik pada skala usaha besar maupun kecil. Secara fisiologis, embrio-embrio tersebut
tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama di lingkungan in vitro dan oleh karena itu,
beberapa peneliti sebelumnya (Hiraoka et al., 2004; Desai et al., 2007) telah mengembangkan
teknologi kriopreservasi yang memungkinkan embrio dapat bertahan dalam jangka waktu yang sangat
lama. Kriopreservasi merupakan suatu proses penghentian sementara kegiatan metabolisme sel tanpa
mematikan sel, dimana proses hidup dapat berlanjut setelah kriopreservasi dihentikan. Salah satu
metode kriopreservasi yang paling umum digunakan adalah metode slow-freezing yang dicirikan oleh
165
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

adanya penurunan suhu secara perlahan. Namun metode ini memiliki kelemahan yakni memiliki
prosedur kerja yang rumit, membutuhkan waktu yang relatif lama, membutuhkan peralatan yang lebih
mahal, tidak aplikatif untuk diterapkan di lapangan, dan terjadi pembentukkan es intraseluler yang
sangat berbahaya bagi kehidupan sel (Mphaphathi et al., 2012) .
Untuk mengatasi masalah tersebut beberapa peneliti telah mengembangkan metode baru yakni
vitrifikasi. Vitrifikasi merupakan proses fisik dimana larutan ditransformasikan menjadi ”glass” lewat
pendinginan cepat, tanpa ada pembentukan kristal es. Dibandingkan dengan metode pembekuan slow-
freezing, metode vitrifikasi lebih aplikatif untuk diterapkan di lapangan karena lebih sedikit peralatan
yang dibutuhkan, tidak memerlukan keterampilan khusus, serta menghemat waktu dan biaya (van
Wagtendonk-de Leeuw et al. 1997, Vajta et al. 1998).
Penelitian ini telah dirancang dengan menggunakan metode vitrifikasi dengan kombinasi dua
krioprotektan intraseluler: EG dan DMSO. Kombinasi kedua krioprotektan ini diindikasikan
menghasilkan efek yang lebih optimal dalam melindungi embrio dari efek pembekuan selama proses
kriopreservasi. Sebagai pembandingnya adalah metode slow-freezing yang memanfaatkan EG sebagai
krioprotektan tunggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa blastosis mencit yang dikriopreservasi
dengan metode vitrifikasi memiliki kemampuan tumbuh yang lebih baik daripada slow-freezing.

METODE PENELITIAN
Superovulasi dan Koleksi Embrio
Sebanyak 22 ekor mencit betina strain Ddy berumur 8 minggu diinjeksi dengan pregnant
mare’s serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG) dengan interval
penyuntikkan 48 jam. Pada saat injeksi hCG mencit betina dikandangkan bersama mencit jantan
dengan perbandingan 1:1 untuk dilakukan perkawinan. Panen embrio dilakukan pada hari keempat
pasca injeksi hCG, dengan menggunakan metode cervical dislocation dan pembilasan uterus
menggunakan modified phosphate buffer saline (mPBS). Embrio-embrio tersebut dievaluasi secara
mikroskopis untuk menyeleksi embrio-embrio yang layak digunakan sebagai materi penelitian yaitu
memiliki kriteria berada pada stadium blastosis dan kualitas grade 1 (morfologis intak, ukuran
blastomer seragam, dan sitoplasma berwarna cerah dan bergranul kecil).

Kriopreservasi Embrio
Embrio-embrio tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok, dimana embrio pada kelompok 1
(kontrol) langsung dikultur dalam Dulbeccos modified eagles medium (DMEM)-high glucose yang
disuplementasi dengan fetal calf serum (FCS) 20%, kelompok 2 dikriopreservasi dengan metode
vitrifikasi, dan kelompok 3 dikriopreservasi dengan metode slow-freezing. Metode vitrifikasi
dilakukan dengan menginkubasi embrio holding medium (PBS + fetal calf serum (FCS) 10%) yang
disuplementasi dengan EG 7,5% dan dimethyl sulphoxide 7,5% selama 3 menit dan kemudian
ditransfer ke dalam ministraw yang berisi holding medium yang disuplementasi dengan EG 16,5%,
dimethyl sulphoxide 16.5%, dan sukrosa 0,5 mol/L, dan selanjutnya dicemplungkan ke dalam nitrogen
cair. Pemaparan embrio terhadap kedua krioprotektan tersebut tidak melebihi 25 detik.
Metode slow-freezing dilakukan dengan memaparkan embrio secara bertahap pada
konsenfasi EG 0,5 M; 1,0 M dan 1,5 M selama lima sampai 10 menit pada suhu 37oC. Setelah itu,
embrio-embrio tersebut diisi dalam 0,25 cc ministraw dan ditempatkan ke dalam alat pembekuan pada
suhu -6,5oC. "Seeding" dilakukan tiga menit kemudian dan dipertahankan selama 10 menit pada
suhu yang sama. Lebih lanjut ministraw didinginkan ke suhu -35oC dengan kecepatan 0,3oC per
menit; setelah itu dicelupkan dan disimpan di dalam nitogen cair yang bersuhu -196oC. Keseluruhan
proses tersebut memakan waktu 105 menit.

Thawing dan Kultur Embrio


Setelah disimpan selama 1 minggu di dalam nitrogen cair, ministraw yang berisi embrio
dikeluarkan dari nitrogen cair dan ditempatkan di dalam penangas air yang bersuhu 37"C selama 25
detik. Embrio dikeluarkan dari dalam ministraw dan secara berturut-turut dimasukan ke dalam
cawan petri yang berisi holding medium yang mengandung EG 0,75 M + sukrosa 0,5 M; sukrosa 0,5
M, dan holding medium. Kultur embrio dilakukan dalam (DMEM)-high glucose yang disuplementasi
dengan FCS 20%. Evaluasi terhadap kemampuan tumbuh embrio dilakukan setiap 24 jam.
166
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Analisis Data
Data tentang viabilitas, hatching rate, dan attachment rate dianalisis dengan Analysis of
Variance (Anova), dan dilanjutkan dengan Uji Duncan.

HASIL DAN BAHASAN


Kemampuan tumbuh embrio mencit pasca kriopreservasi ditampilkan pada Tabel 1. Terdapat
perbedaan yang signifikan antara perlakuan baik pada variabel viabilitas, hatching rate, maupun
attachment rate (p<0,05), dimana grup kontrol menghasilkan kemampuan tumbuh yang lebih tinggi
daripada perlakuan vitrifikasi dan slow-freezing. Kriopreservasi embrio dengan metode vitrifikasi
menyebabkan penurunan viabilitas, hatching rate, dan attachment rate berturut-turut 10, 9, dan 8%,
sedangkan pada metode kriopreservasi slow freezing terjadi penurunan yaitu 19, 16 dan 18%,
dibanding grup kontrol. Dengan kata lain, metode vitrifikasi menghasilkan kemampuan tumbuh
embrio yang lebih tinggi (p<0,05) daripada metode kriopreservasi slow-freezing.
Tingginya kemampuan tumbuh embrio pada grup kontrol menunjukkan bahwa medium kultur
yang digunakan dapat menunjang perkembangan embrio selama kultur in vitro. Hal ini memberi
indikasi bahwa perbedaan kemampuan tumbuh yang terdapat pada ketiga kelompok perlakuan benar-
benar berasal dari efek kriopreservasi. Pada grup kontrol, embrio tidak mendapat perlakuan
kriopreservasi, sehingga embrio pada grup ini tidak mengalami stres akibat efek beku selama
penurunan suhu, dan dengan demikian, tingkat kematian sel dapat ditekan seminimal mungkin selama
kultur in vitro. Walaupun demikian, mengingat embrio segar tidak dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu yang lama maka metode ini tidak dapat diaplikasikan dalam ruang lingkup yang lebih luas dan
hanya bisa digunakan jika pada waktu yang bersamaan terdapat betina resipien yang layak transfer.
Sebaliknya, embrio yang dikriopreservasi (vitrifikasi, slow-freezing) dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lebih lama sehingga walaupun menghasilkan embrio dengan kemampuan tumbuh yang
lebih rendah namun dapat diaplikasikan dalam area yang lebih luas.

Tabel 1. Kemampuan tumbuh embrio mencit (%) pasca kriopreservasi dengan metode vitrifikasi dan
slow-freezing
Metode Jumlah Viabilitas Hatching rate Attachment rate
Kriopreservasi blastosis
Kontrol 100 96±5,48a 55±3,54a 37±2,74a
b b
Vitrifikasi 100 86±4,18 46±4,18 29±6,52b
c c
Slow-freezing 100 77±6,71 39±5,48 19±4,18c
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Dalam perbandingan antara kedua metode kriopreservasi, vitrifikasi menghasilkan embrio


dengan kemampuan tumbuh yang lebih tinggi daripada metode slow-freezing (Tabel 1). Vitrifikasi
merupakan teknik pendinginan cepat yang didasarkan pada kontak langsung antara larutan virifikasi
dengan nitrogen cair. Protokol untuk vitrifikasi sangat sederhana, dan memungkinkan sel dipaparkan
ke dalam krioprotektan dan selanjutnya langsung dicemplungkan ke dalam nitrogen cair. Salah satu
kelebihan metode vitrifikasi adalah tidak terjadi pembentukan kristal es yang berbahaya bagi
kehidupan sel embrio dibandingkan dengan metode slow-freezing. Hal ini dipertegas oleh hasil temuan
Fahy (1986) yang mengemukakan bahwa selama vitrifikasi larutan yang masuk ke dalam sel tetap
tidak berubah, dan air tidak mengalami presipitasi sehingga tidak terjadi pembentukan kristal es.
Vitrifikasi air di dalam sel dapat dicapai dengan dua cara yaitu: 1) meningkatkan kecepatan konduksi
panas dan 2) meningkatkan konsentrasi krioprotektan (Martino et al., 1996).
Vitrifikasi merujuk pada fenomena fisika yang menggambarkan solidifikasi air menjadi cairan
yang bentuknya menyerupai ”glass” yang disebabkan oleh peningkatan yang ekstrim dalam viskositas
selama pembekuan, tanpa pembentukan kristal es (Gupta dan Lee, 2010). Selama vitrifikasi terjadi
peningkatan kecepatan konduksi panas, yang menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam
cooling rate (Lieberman, 2002) Ini memungkinkan penggunaan krioprotektan berkonsentrasi rendah
sehingga pengaruh toksit dapat ditekan. Begitu pula cooling injury sangat berkurang. Banyak variabel
dalam proses vitrifikasi yang dapat mempengaruhi efektivitasnya untuk memperbaiki daya hidup sel
167
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

yang divitrifikasi. Variabel-variabel tersebut adalah jenis krioprotektan, konsentrasi krioprotektan,


temperatur larutan vitrifikasi pada saat pemaparan, lama pemaparan terhadap krioprotektan sebelum
dicemplungkan ke dalam nitrogen cair, jenis bahan yang digunakan untuk vitrifikasi (yang
mempengaruhi ukuran vapor coat dan cooling rate) serta kualitas dan juga stadium perkembangan sel
embrio yang divitrifikasi. Peningkatan kecepatan konduksi panas dan penurunan konsentrasi
krioprotektan adalah suatu strategi yang ideal untuk sel yang dikriopreservasi dengan metode
vitrifikasi. Vitrifikasi air di dalam sel dicapai secara efisien dengan meningkatkan perbedaan
temperatur antara sampel dengan medium vitrifikasi.
Hasil penelitian ini mendukung pernyataan dari beberapa peneliti sebelumnya bahwa vitrifikasi
dapat digunakan sebagai alternatif terhadap metode slow-freezing untuk kriopreservasi sel yang sangat
sensitif terhadap efek pembekuan seperti embrio (Liebermann and Tucker, 2004; Kuwayama et al,
2005; Walker et al, 2004). Hal ini dikaitkan kandungan air yang cukup besar di dalam sitoplasma atau
blastosul embrio, yang berpotensi untuk membentuk kristal es yang dapat melukai membran atau
organel sel.
Dalam penelitian ini, larutan vitrifikasi tersusun atas dua krioprotektan intraseluler: EG dan
DMSO. Menurut Endoh et al. (2007), EG sangat efektif dan kurang toksit untuk vitrifikasi embrio
mencit. Kartberg et al. (2008) mengemukakan bahwa vitrifikasi dengan DMSO mampu melindungi
integritas membran embrio yang lebih baik daripada tanpa DMSO. Penggabungan DMSO dengan EG
untuk kriopreservasi embrio memiliki dua keuntungan: pertama, DMSO memiliki karakteristik
pembentukan ’glass’ yang lebih besar selama proses vitrifikasi dan kedua, permeabilitas krioprotektan
meningkat dengan adanya jenis krioprotektan lain dalam medium (Manjunatha et al., 2009).
Hasil penelitian dengan menggunakan metode vitrifikasi pada penelitian ini masih berada pada
kisaran hasil penelitian Tsang dan Chow (2010) yang menggunakan metode kriopreservasi yang sama
untuk kriopreservasi embrio mamalia, yang menghasilkan daya hidup embrio 4 – 16 sel sebesar 80 –
100%, tetapi lebih tinggi dari hasil penelitian Pyne et al. (2014) yang menghasilkan daya hidup embrio
mencit sebesar 73 – 77%. Adanya perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan jenis dan
konsentrasi krioprotektan yang digunakan, jenis dan stadium perkembangan embrio yang berbeda.
Perbedaan jenis dan konsentrasi krioprotektan akan menyebabkan perbedaan efektivitas dan tingkat
toksisitas krioprotektan terhadap sel embrio, sedangkan jenis dan stadium embrio akan menentukan
sesnsitivitas sel tersebut terhadap krioprotektan yang digunakan. Semua faktor tersebut akan
menentukan kemampuan hidup embrio post-thawing baik dalam lingkungan in vitro maupun in vivo.

KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode vitirifikasi lebih efektif daripada metode slow-
freezing untuk kriopreservasi blastosis mencit.

DAFTAR PUSTAKA
Desai N, Blackmon H, Szeptycki J, Goldfarb J. 2007. Cryoloop vitrification of human day 3 cleavage-
stage embryos: post-vitrification development, pregnancy outcomes and live births.
Reproductive BloMedicine Online 14(2): 208-213.
Endoh K, Mochida K, Ogonuki N, Ohkawa M, Shinmen A, Ito M, et al. 2007. The developmental
ability of vitrifed oocytes from diferent mouse strains assessed by parthenogenetic activation
and intracytoplasmic sperm injection. J Reprod Dev 53:1119-1206.
Fahy GM.1986. Vitrification: a new approach to organ cryopreservation. In: Meryman HT (ed.),
Transplantation: Approaches to Graft Rejection. New York: Alan R. Liss; p: 305–335.
Gupta MK, Lee HT. Cryopreservation of oocytes and embryos by vitrifcation. Korean J Reprod Med
2010; 37: 267–291.
Hiraoka K. Kinutani M. Kinutani K. 2004. Blastocoele collapse by micmpipetting prior to vitrification
gives excellent survival and pregnancy outcomes for human day 5 and 6 expanded blastocysts.
Human Reproduction 19:2884-2888.
Kartberg AJ, Hambiliki F, Arvidsson T, Stravreus-Evers A, Svalander P. Vitrifcation with DMSO
protects embryo membrane integrity better than solutions without DMSO. Reprod Biomed
Online 2008; 17:378-384.

168
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kuwayama M. Vajta 0. Kato O. Leibo SP 2005. Highly efficient vitrification method for
cryopreservation of human oocytes. Reproductive Biomedicine online 11:300-308.
Liebermann J, Nawroth F, Isachenko V, Isachenko E, Rahimi G, Tucker MJ. 2002. Potential
impotance of vitrification in reproductive medicine. Biol Reprod 67:1671-1680.
Liebermann J, Tucker MJ. 2004. Vitrifying and warming of human oocytes, embiyos and blastocysts:
vitrilication procedures as an alteniative to conventional cryopreservation. Methods of
Mollecular Biology 254. 345-364.
Manjunatha BM, Gupta PSP, Ravindra JP, Devaraj M, Nandi S. 2009. Effect of vitrifcation medium
composition and exposure time on post-thaw development of bufalo embryos produced in vitro.
Vet J 179: 287-291.
Martino A, Songsasen N, Leibo SP. 1996. Development into blastocysts of bovine oocytes
cryopreserved by ultrarapid cooling. Biol Reprod 54:1059-1069
Mphaphathi ML, Luseba D, Sutherland B, Nedambale TL. 2012. Comparison of slow freezing and
vitrification methods for Venda cockerel’s spermatozoa. Open Journal of Animal Sciences
2(3):204-210.
Mukaida T. Wada S, Takahashi K et al. 1998. Vitrification of human embryos based on the assessment
of suitable conditions for 8-cell mouse embryos. Human Reproduction 13: 2874-2879.
Pyne DG, Liu J, Abdelgawad M, Sun Y. 2014. Digital microfluidic processing of mammalian embryos
for vitrification. Plos One 9(9) e108128: 1-7.
Tsang WH, Chow KL.2010. Cryopreservation of mammalian embryos: Advancement of putting life
on hold. Birth Defects Res C Embryo Today 90: 163–175.
Vajta G, Holm P, Kuwayama M, Booth PJ, Jacobsen H, Greve T, Callesen H. 1998. Open pulled straw
(OPS) vitrification : A new way to reduce cryoinjuries of bovine ova and embryos. Mol Reprod
Dev, 51 : 53 – 58.
Van Wagtendonk-de Leeuw AM, den Daas JHG, Rall WF. 1997. Field trial to comparepregnancy
rates of bovine embryos cryopreservation methods: vitrification and one-step dilution verses
conventional slow freezing and three step dilution. Theriogenology 48:1071-1084.

169
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PRODUKTIVITAS SAPI BALI PENGGEMUKAN


YANG MENGKONSUMSI PAKAN LOKAL POLA PETERNAK
PRODUCTIVITY OF FATTENED BALI CATTLE CONSUMING LOCAL FEEDS
AT A LOCAL REARING SYTEM
Upik Syamsiar Rosnah dan Marthen Yunus
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK
Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Oelatsala Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang pada bulan Juli-
September 2017, yang bertujuan untuk melihat kinerja sapi Bali Penggemukan dengan mengkonsumsi pakan
local di tingkat peternak. Metode yang digunakan adalah penimbangan dan pengukuran terhadap ternak yang
dipilih secara purposive sebanyak 36 ekor dari 148 ekor (20%). Dalam penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap dengan ulangan tidak sama, dimana sebagai perlakuan adalah kelompok berat badan. Variabel
yang diamati terdiri dari PBBH, ukuran linear tubuh harian, dan status fisiologi. Hasil yang diperoleh secara
statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan pertambahan berat badan harian 0,28±0,259 kg/ekor; Ukuran
linear tubuh harian (panjang badan 0.06 ±0.037cm/ekor; lingkar dada 0,07±0,0563cm/ekor dan tinggi pundak
0.04±0.0291. Jumlah pemberian pakan 19,923±6,44 kg/ekor/hari;Status fisiologis (frekuensi pernapasan
36,86±6,87 kali/menit; denyut nadi 93,51±13,39 kali/menit dan suhu tubuh 36,55±0,720C ). Kesimpulan
produktivitas sapi Bali dengan mengkonsumsi pakan dominan hijauan pohon sumber protein memberikan
produktivitas ternak yang cukup baik dengan status fisiologis yang normal
Kata kunci : produktivitas, sapi bali, penggemukan, pakan local, tingkat peternak

ABSTRACT
The study was carried out in di Desa Oelatsala Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang July-
September 2017, proposed to evaluate the performance of Bali cattle fattened using local feeds in
farmers system. Data collection was conducted by on farm weighing and measuring the 36 (20%) of
148 purposively selected Bali bulls. Unbalance complete randomized design with the bull weights
strata were used as treatments level was used in the study. Variable evaluated were: daily body weight
gain, daily body linear gain, and physiologic status. Statistical analysis showed that there is
significant different (P>0.05) among bull weight strata. Daily weight gain was 28±0.259 kg/bull; daily
body lineras: body length 0.06±0.037cm/bull; heart girth gain 0.07±0.0563cm/bull and body height
0.04±0.0291. Daily feeds intake was 19.923±6,44 kg/bull; physiologic status: (breathing frequency
36.86±6.87 times/minute; pulse 93.51±13.39 times/minute, body temperature 36.55±0.720C. The
conclusion is that fattenign balli cattle using dominantely protein source forages performed good Bali
cattle perfoemance with normal physiologic status.
Key word: productivity, Bali cattle, fattening, local feeds, farmer system

PENDAHULUAN
Tantangan sub sektor peternakan secara nasional adalah upaya peningkatan populasi dan
produktivitas ternak potong khususnya sapi potong dalam rangka mendukung program pemerintah
untuk pencapaian kecukupan daging tahun 2014 (Anonim, 2014). Laju produksi sapi potong di dalam
negeri belum mengimbangi permintaan daging dalam negeri, dimana produksi daging pada tahun 2012
baru mencapai 458.704 ton dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 489.284 ton atau terjadi
peningkatan sekitar 8,52 % dan konsumsi daging pada tahun 2013 baru mencapai 2,02 kg/orang/tahun
atau 4,7 gram/kapita/hari, yang mana masih jauh dari target sebesar 11 gram/kapita/hari, sedangkan
konsumsi daging di NTT baru mencapai 2,9 gram/kapita/hari (Ditjen Bina Produksi Peternakan,
2014). Namun Nusa Tenggara Timur (NTT) masih merupakan salah satu wilayah pemasok sapi
potong untuk kebutuhan konsumen di pulau Jawa yang mencapai 60.000 – 70.000 ekor/tahun (Sobang,
2005).
Usaha ternak sapi potong di NTT dan pulau Timor khususnya sapi penggemukan masih
didominasi oleh sistem semi intensif, dimana pakan ternak sapi hanya tergantung pada produksi

170
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

pakan hijauan pohon baik yang dibudidaya maupun yang tersedia di alam (Sulistijo dan Rosnah, 2013;
Rosnah, 2014). Bervariasinya jenis pakan dan ketersediaannya ditingkat peternak akan berpengaruh
pada penampilan produktivitas ternak sapi Bali yang diusahakan. Didukung pendapat Sobang (2005),
usaha pengemukan sapi Bali di Kabupaten Kupang pada daerah lahan kering umumnya, pakan sapi
penggemukan tergantung pada hijauan pohon, baik legum maupun non legum terutama pada musim
kemarau. Kualitas pakan dari segi protein cukup tinggi namun kandungan energi pakan masih rendah
yang di tandai dengan pertambahan bobot badan hanya berkisar 0,25-0,30 kg/ekor/hari. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pertambahan berat padan harian, ukuran linear tubuh dan status
fisiologis ternak sapi potong dengan pakan local pola peternak

METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Oeletsala Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang
selama 2 bulan (Juli – September 2017)

Materi dan Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode s survey dengan teknik observasi
langsung (teknik pengukuran / penimbangan). Penentuan responden dilakukan secara purposive
diperoleh 17 orang peternak. Untuk menentukan jumlah ternak yang digunakan didasarkan pada data
ternak sapi sebanyak 317 ekor yang terdiri dari sapi jantan 148 ekor yang tersebar di lima dusun
(Desa Oelatsala, 2017), diambil 25% ( 37 ekor).

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian dimasukkan dalam rancangan acak lengkap dimana
pengelompokan berat badan sebagai perlakuan dengan ulangan tidak sama, diasumsikan system
pemeliharaan sama. Perlakuan P1 (berat badan sapi penggemukan ≤100 Kg) sebanyak 9 ekor; P2
(berat badan antara 101-180 Kg) sebanyak 17 ekor dan P3 (berat badan ≥181Kg) sebanyak 11 ekor.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ternak sapi yang digunakan dalam penelitian menujukkan tanda tanda ternak yang sehat,
Ternak sapi penggemukan diikat dalam kandang individu berlantai tanah sebanyak 65% dan yang
berlantai semen 35% . Suhu lingkungan di Desa Oelatsala sekitar 26.33 0C, suhu ini berada pada
kondisi yang normal. Sistem pemeliharaan ternak sapi Bali penggemukan pola peternak dengan
mengkonsumsi hijauan lokal yang tersedia disekitar peternak menunjukkan adanya pertambahan berat
badan, pertambahan ukuran linear tubuh, dan status fisiologi tampak pada Tabel 1 berikut.
Pertumbuhan pada umumnya dinyatakan dengan mengukur kenaikan berat badan yang biasa
dinyatakan dengan pertambahan berat badan harian. Dalam penelitian ini secara empiris , pertambahan
berat badan harian ter tinggi diperoleh pada perlakuan P1 dengan berat badan awal ≤100Kg, Pada
umur demikian berada pada masa pertumbuhan yang tinggi. Walaupun demikian secara statistic
menunjukkan berbeda tidak nyata diantara perlakuan berat badan sapi penggemukan kemungkinan
karena komposisi nutrisi pakan yang diberikan relative sama. Selaras dengan kondisi ketersediaan
pakan tampak bahwa lamtoro (Leucaena leucocephala ) masih merupakan pilihan utama peternak
dalam memenuhi kebutuhan pakan sapi, dengan komposisi pakan berdasarkan persen bahan segar
sebesar 85.2 ± 13.13), diikuti oleh turi (Sesbania grandiflora) 5,49 ± 7,31 , nunuk (ficus, sp) 2,92 ±
6,2, dll. Kualitas nutrisi pakan lokal sangat bagus yang didominansi sumber protein, kandungan
protein kasar untuk lamtoro 25,28%BK, turi 27,84%, beringin 12,08 BK., dengan jumlah pemberian
pakannya sebanyak 19,923 ± 6,44 kg segar/ekor/hari. Dilihat dari jumlah pemberian tersebut sudah
berada diatas standar pemberian 10 % dari berat badan rata ratanya 149 Kg. Namun pemberian
pakan masih belum memisahkan antara bahan pakan yang edibel dan non edibel, yang berdampak
pada pertambahan berat badan sapi Bali penggemukan sebesar 0,28 ± 0,259 kg/ekor/hari pada
kondisi musim kemarau. Berdasarkan kondisi demikian, dimana kandungan protein cukup tinggi
maka perlu dimbangi dengan pakan sumber energi agar produksi ternak dapat mencapai optimal.
Menurut Sobang (2005), penambahan pakan konsentrat sumber energy pada pakan sapi Bali
penggemukan menghasilkan pertambahan berat badan 0,45-0,5 Kg/ekor/hari.
171
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Rataan pertambahan berat badan harian (PBBH), Ukuran linear tubuh dan status fisiologi
ternak sapi Bali penggemukan dengan pakan pola peternak
Variabel Perlakuan Rataan
P1 P2 P3
BB≤100KG BB101- BB≥181KG
180KG
a
PBBH (kg) 0.31 0.20 a 0.18 a 0.28
pertambahan panjang badan (cm/h) 0.07 a 006 a 0,04 a 0.06
a
pertambahan lingkar dada (cm/hari) 0.06 0.08 a 0.05 a 0.07
a a
pertambahan tinggi pundak (cm/h) 0.06 0.04 002 a 0.04
Frekuensi pernapasan (kali/menit) 37.97 a 33.96 a 36.93 a 36.86
Suhu tubuh (◦C) 36.72a 36.69a 36.40a 36.55
Denyut nadi (Kali/menit) 98.52a 90.31a 86.42 a 93.51
Keterangan : Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukan berbeda tidak nyata (P>0.05)

Ukuran linier tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh yang pertambahannya satu
sama lain saling berhubungan secara linear. Kenaikan pertambahan ukuran linear tubuh tertinggi pada
kelompok berat badan ≤ 100Kg yang merupakan berat rata rata untuk sapi bakalan.Tampak pada Table
1, pertambahan ukuran linear tubuh ini akan menurun dengan bertambahnya berat badan ternak sapi
dan umur ternak. Rataan pertambahan ukuran linear tubuh dalam penelitian rendah dibandingkan
dengan penelitian Jafar (2014),yang memberikan penambahan konsentrat mengandung tepung daun
gamal, vitamin B-compleks dan obat cacing pada sapi Bali jantan diperoleh pertambahan panjang
badan sebesar 0,10 cm, pertambahan lingkar badan sebesar 0,12 cm dan pertambahan tinggi pundak
sebesar 0,11 cm. dari pembanding ini dapat disimpulkan bahwa sapi Bali mempunyai potensi untuk
bertumbuh dan berkembang lebih tinggi bila didukung dengan pakan yang berkualitas terutama
imbangan protein dan energinya.
Sapi Bali termasuk sapi yang mampu beradaptasi di lingkungan panas. Dengan produktivitas
PBB rata rata 0,28 Kg/ekor/hari dengan mengkonsumsi pakan local, mempunyai status fisiologis
dalam kisaran normal. Tampak pada Tabel, frekuensi respirasi rata rata sapi Bali penggemukan
sebesar 36,86 kali/menit dan denyut nadi 93,51 kali/menit cukup tinggi , kemungkinan disebabkan
untuk mempertahankan suhu tubuh rata rata 36,550C dalam kisaran normal. Namun kondisi ini tidak
merupakan masalah untuk sapi Bali, dimana didukung oleh penelitian Rosnah (1998), diperoleh
pengukuran frekuensi respirasi dan denyut nadi pada sapi Bali jantan tertinggi pada bulan September
(respirasi 39,00 kali/menit, denyut nadi 91,00 kali/menit), dan Oktober (respirasi 38,00 kali/menit,
denyut nadi 91,00 kali/menit) kemudian menurun di bulan seterusnya.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa produktivitas sapi Bali penggemukan
yang mengkonsumsi pakan lokal didominasi sumber protein memberikan produktivitas ternak yang
cukup baik dengan status fisiologis yang normal pada musim kamarau. Saran untuk meningkatkan
jumlah pemberian pakan yang edible sesuai kebutuhan ternak. dan perlu menambahkan pakan sumber
energy.

DAFTAR PUSTAKA
Jafar, J., 2014. Pengaruh pemberian konsentrat yang mengandung tepung daun gamal, vitamin B-
compleks dan obat cacing terhadap pertambahan ukuran linear tubuh sapi Bali penggemukan
pola peternak di desa binaan Undana. Skripsi. Fapet Undana. Kupang
Sobang, Y. U. L. 2005. “Karakteristik Sistim Penggemukan Sapi Pola Gaduhan Menurut Zona
Agroklimat dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani Di Kabupaten Kupang NTT”. Bulletin
Nutrisi, Volume 8 Nomor 2. Maret 2002, ISSN: 1410 – 6191, Hal : 71 – 76.

172
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Rosnah, U. Sy. 1998. Studi pengaruh ketinggian tempat terhadap status faali dan produktivitas sapi
Bali di Timpr Barat. Thesis. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
.Rosnah, U. Sy. 2014. IbM Kelompok Peternak Sapi Bali dalam Penyediaan Pakan Berkelanjutan,
Laporan Kegiatan PPM. Lembaga Pengabdian pada masyarakat Undana, Kupang.
Sulistijo, E.D dan U.Sy. Rosnah, 2013. Penyediaan Pakan Sapi Bali Berbasis Kearifan Lokal di
Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian
Undana, Kupang

173
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH PEMBERIAN SELENIUM + VITAMIN E PADA INDUK SAPI BALI


PREPARTUM TERHADAP BERAT LAHIR DAN UKURAN LINEAR TUBUH ANAK
EFFECTS OF SELENIUM AND VITAMINE E PROVISION TO PREPARTUM BALI COWS
ON CALF BIRTH WEIGHT AND BODY LINEAR MEASUREMENTS
Henderiana L.L.Belli1, Sukawaty Fattah1 dan Irdo Umbu Lambi1
1
Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang
Email: henderiana@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian selenium dan vitamin E dalam bentuk introvit-E-
Selen yang dikombinasikan dengan suplementasi pakan lokal pada induk periode akhir kebuntingan terhadap
berat lahir pedet dan ukuran linier tubuh anak. Menggunakan 24 induk sapi Bali dengan metode eksperimen pola
Rancangan Acak Lengkap 3 perlakuan yakni kontrol (n=8), yang mendapat suplementasi bahan pakan lokal dan
injeksi selenium + vitamin E (Introvit-E-Selen) (n=8), serta yang mendapat suplemen bahan pakan lokal dan
injeksi Introvit-E-Selen 20 mL i.m. dua kali (sodium selenite 0,5 mg, α-tocopherol acetate 50 mg per mL) pada 8
minggu dan 4 minggu sebelum parturisi (n=8). Pakan yang digunakan legum lokal (lamtoro) beserta konsentrat
yang terdiri dari dedak padi dan tepung ikan. Suplementasi bahan pakan lokal serta pemberian selenium +
vitamin E prepartum berpengaruh nyata terhadap berat lahir dan ukuran linear tubuh yakni lingkar dada, panjang
badan dan tinggi pundak anak sapi.
Kata kunci: selenium, vitamin E, berat lahir, ukuran linear tubuh.

ABSTRACT
Twenty four pregnant multiparous Bali cows were randomly divided to three groups and used to determine the
effect of supplementation of selenium + vitamin E and local feedstuff (leucaena leaf and Consentrate containing
rice bran 80%, fish meal 10%, and coconut cake 10%) in last trimester pregnant on birth weight and linier body
size (e.g. chest girth, body length, and shoulder height) of calves. Group P0 received no additional feed, whereas
group P1 received one injection of selenium + vitamin E (20 mg sodium-selenite dan 1000 mg α-tocopherol
acetate) at 4 weeks prior to expectation of calving and local feedstuff, and group P2 received two injection
(total 40 mg sodium selenite and 2000 mg α tocopherol acetate) at 8 weeks and 4 weeks before calving with
supplementation of local feed stuff. The results of the experiment showed that the A dietary supplement and
injection of selenium + vitamin E affected bIrth weigth and linear body size (e.g. chest girth, body length, and
shoulder height) of the new born calves.
Key words: selenium, vitamin E, birth weigth, linear body size

PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan salah satu bangsa sapi lokal Indonesia, sangat adaptif terhadap kondisi
lingkungan setempat yang beragam walaupun dengan pakan yang berkualitas rendah. Sapi Bali
mempunyai fertilitas rata-rata diatas 80% bahkan mencapai 90-100% (Banks, 1986). Selain itu
potensinya sebagai penghasil daging karena merupakan sapi potong yang paling ideal ditinjau dari
bentuk badan yang kompak dengan presentase karkas cukup tinggi yakni 56,9% (Murtidjo, 1990).
Saat ini produktivitas ternak sapi Bali di NTT cenderung mengalami penurunan, seperti
penurunan angka kelahiran dari 85% (Banks, 1986) menjadi 64,5% (Jelantik, 2001) serta tingginya
angka kematian pedet yang mencapai 53% (Fattah, 1998). Terjadinya penurunan produktivitas ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang sering terjadi di NTT diantaranya adalah faktor pakan.
Kebanyakan anak sapi Bali di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni lebih dari 80% lahir pada musim
kemarau (Belli et al., 2010).
Pada masa sepertiga terakhir kebuntingan, induk sapi membutuhkan kecukupan zat-zat
makanan terutama protein, energi, dan mineral untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan
perkembangan fetus selama dalam uterus, karena pada tahap ini fetus berkembang dengan sangat
cepat mencapai 85 % dari berat lahir anak (Wodzicka-Thomaszewnska et al., 1991).
Oleh karena itu, pemberian pakan yang berkualitas ditunjang dengan ketersediaan nutrisi yang baik
akan dapat mempertahankan kondisi tubuh induk dan pertumbuhan fetus akan lebih baik. Penggunaan
beberapa pakan suplemen baik berupa hijauan maupun konsentarat, akan mampu menjadikan pakan
itu lebih efektif bagi induk bunting dan pedet, jika ditunjang dengan selenium dan vitamin E,
174
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

sehingga induk pada periode akhir kebuntingan dapat memberikan nutrisi yang baik untuk
memperbaiki penampilan produksi susu, bobot badan, dan pertumbuhan pedet pada ternak.
Selenium adalah salah satu mikro mineral esensiel yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia,
karena dapat melewati plasenta induk sapi ke anak (fetus) sehingga suplementasi selenium pada induk
sapi bunting dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan fetus, kenaikan cadangan Se, dan level
immunoglobulin pada anak sapi baru lahir atau neonatus (Hall et al, 2013). Vitamin E dibutuhkan
oleh induk sapi periode akhir kebuntingan untuk menjamin anak sapi mendapat fungsi immun dan
kesehatan (Weiss, 1990).Vitamin E dapat membantu embrio dalam menunjang perkembangan
jantung, paru-paru, dan otot kerangka tubuh, untuk meminimalkan kegagalan jantung pada saat lahir.
Karena itu, kombinasi antara selenium dan vitamin E diharapkan mampu mempertahankan sistem
imun pada anak sapi, dan dapat meningkatkan performans induk dan anak.

MATERI DAN METODE


Materi penelitian adalah 24 induk sapi Bali pada periode akhir kebuntingan, yang dibagi dalam 3
kelompok masing-masing 8 serta menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan
sebagai berikut: P0 tidak menerima perlakuan pemberian suplementasi bahan pakan lokal dan
selenium + vitamin E (kontrol), P1: mendapat suplementasi bahan pakan lokal dan selenium + vitamin
E (Introvit-E-Selen) yang diinjeksi satu kali 20 mL i.m. pada kebuntingan 8 bulan (20 mg sodium-
selenite dan 1000 mg α-tocopherol acetate), serta P2: mendapat suplemen bahan pakan lokal dan
injeksi selenium dua kali 20 mL i.m. (40 mg sodium-selenite dan 2000 mg vitamin E/α-tocopherol
acetate) pada 8 minggu dan 4 minggu sebelum beranak.
Suplementasi bahan pakan lokal terdiri atas: legum lokal (daun lamtoro) yang diberikan sesuai
dengan berat badan induk serta konsentrat yang terdiri dari: dedak (80%), tepung ikan (10%), dan
bungkil kelapa (10%).
Bobot lahir anak sapi ditentukan oleh penimbangan menggunakan timbangan gantung kapasitas 50
kg, dilakukan tidak lebih dari 24 jam setelah lahir, sedang pengukuran linier tubuh diukur pada pedet
berumur kurang dari 36 jam menggunakan pita ukur.

HASIL DAN BAHASAN


Rataan berat lahir dan ukuran linear tubuh yakni lingkar dada, panjang badan serta tinggi
pundak tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh perlakuan pada induk sapi Bali prepartum terhadap berat lahir dan ukuran linear
tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak)
Variabel Perlakuan
P0 P1 P2
a a
Berat Lahir 12.85 ± 0.27 13.30 ±0.42 14.51b ±0.31
a ab
Lingkar Dada 60,14 ± 0.22 60,65 ±0.18 61,17c ± 0.22
Panjang Badan 45,28a ± 0.69 46,67a ± 0.37 48,55b ± 0.56
Tinggi Pundak 56,81a ± 0.25 57,42ab ± 0.40 58,07c ± 0.94
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Pengaruh Perlakuan Terhadap Berat Lahir Pedet


Hasil anova menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berat lahir
dan ukuran linear tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak). Berat lahir merupakan
faktor yang penting dalam pertumbuhan pedet sapi, dimana berat lahir yang tinggi lebih
memungkinkan pedet berkembang lebih baik dan mampu mempertahankan kehidupannya (Prasojoet
al., 2010). Berat lahir pedet dari induk yang mendapatkanperlakuan P2 lebih tinggi yaitu 14,51 Kg,
diikuti oleh perlakuan P1 dan P0 masing-masing 13,30 Kg dan 12,85 Kg. Berat lahir anak sapi dalam
penelitian ini relatif sama dengan hasil Toelihere et al. (1991) yang melaporkan bahwa berat lahir
anak sapi pada pemeliharaan sistem semi intensif yang digembalakan di Besipae rata-rata 13,5 kg
(11,5 - 15 kg). Fattah (1998) mencatat berat lahir anak sapi Bali antara 11,9 kg sampai 13,7 kg, dan
Belli (2002) melaporkan 12,8 kg.
Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa berat lahir pedet pada perlakuan P0-P2 dan P1-P2
berbeda nyata (P<0,05) sedangkan P0-P1 berbeda tidak nyata (P>0,05). Hall et al. (2013)
175
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menyatakan bahwa selenium adalah mikromineral esensial yang dapat mempengaruhi performans
ternak ruminansia. Pemeberian selenium + vitamin E secara bersamaan dapat melewati plasenta
sehingga menjamin pedet tersebut memperoleh nutrisi yang baik; selain itu, sifat keduanya yang
mempunyai kesamaan dalam fungsi imun dan kesehatan sehingga dapat melindungi ternak dari
radikal bebas (Weis et al., 1990). Disampin itu pakan yang baik akan memberikan nutrisi bagi induk
untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Sampurna dan Suatha, 2010). Pernyataan ini sesuai
dengan Nggobe et al. (1994) yang menyatakan bahwa dengan memberikan pakan yang berkualitas
selama akhir masa kebuntingan dapat meningkatkan berat lahir 5 – 8% dari bobot induk.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Ukuran Linear Tubuh Anak


Hasil anova menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap ukuran
linear tubuh (lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak) anak baru lahir. Selanjutnya hasil uji
lanjut duncan memperliatkan bahwa lingkar dada pedet pada perlakuan P0-P2 dan P1-P2 berbeda
nyata (P<0,05). Terjadinya pertambahan lingkar dada pada sapi Bali sebagai gambaran dari
pertumbuhan otot dan lemak, akibat dari respon nutrisi yang diberikan (Sampurna dan Suatha, 2010),
semakin baik pertumbuhan otot dan lemak semakin tinggi pulapeningkatan lingkar dadanya
Rataan lingkar dada pedet pada perlakuan P2 pada tabel 1 diatas lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Sulistyowati et al. (2000) menghasilkan rataan lingkar dada
pedet sapi Bali pada umur 0 hari sebesar 58,3 cm. Hal ini diduga oleh adanya peran selenium yang
dapat melewati plasenta anak sehingga dapat memberikan nutrisi bagi fetus untuk pertumbuhan dan
perkembangan dalam uterus. Pavlata et al. (2003) menyatakan bahwa selenium dan vitamin E mampu
memberikan nutrisi mikroelemen pada induk bunting sebagai pemenuhan kebutuhan anak selama
intrauterin dan awal perkembangan setelah lahir.
Weis (2003) menyatakan bahwa embrio anak sapi membutuhkan jumlah besar vitamin E pada
fase perkembangan embrio untuk menunjang perkembangan paru-paru, jantung, dan otot kerangka
tubuh untuk meminimalkan kegagalan jantung pada saat lahir. Lebih lanjut dikatakan bahwa ternak
dengan lingkar dada yang besar, kemungkinan mempunyai paru-paru dan jantung yang lebih baik
terutama dalam sistem kardiovaskuler untuk menunjang kecepatan beraktivitas. Lingkar dada yang
besar dapat dijadikan indikator kapasitas tubuh, semakin besar lingkar dada, semakin besar organ-
organ yang terdapat dalam rongga dada (Santoso, 2008). Selain itu Subiharta et al. (2000)
menyimpulkan bahwa flushing (pemberian pakan konsentrat pada induk sapi bunting berumur 8 bulan
sampai pedet berumur 2-3 bulan) dapat meningkatkat produktivitas pedet.
Data Tabel 1 menunjukkan bahwa pedet dari induk yang mendapatkan perlakuan P0, P1 dan
P2 memperoleh rataan panjang badan berturut-turut adalah perlakuan 45,28cm; 46,67cm, dan
48,55cm. Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bahwa panjang badan pedet pada perlakuan P0-P2 dan
P1-P2 berbeda nyata (P<0,05). Nampaknya terjadi responsitas fetus terhadap nutrisi melalui induk
selama prepartum terhadap perlakuan P2. Selenium adalah satu dari mineral esensiel yang dibutuhkan
oleh ternak, yang dapat melewati plasenta induk sapi ke anak (fetus) sehingga pemberiannya pada
induk sapi bunting dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan fetus (Quigley dan Drewry, 1998).
Disamping itu suplementasi nutrisi protein berfungsi untuk pertumbuhan jaringan baru, metabolisme
untuk energi dan merupakan penyusun hormon. Rataan panjang badan pedet dalam penelitian ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha dkk. (2016) pada pedet sapi Bali baru lahir
yakni 50,88 cm. Terjadinya perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor seperti genetik iklim
dan lingkungan.
Rataan tinggi pundak pedet dari induk dengan perlakuan P2 lebih tinggi yakni (58,07 cm)
dibanding P1 dan P0 yakni masing-masing 57,42 cm dan 56,82 cm. Hasil uji lanjut duncan
menunjukkan bahwa tinggi pundak pedet pada perlakuan P0-P2 dan P1-P2 berbeda nyata (P<0,05).
Rataan tinggi pundak pedet pada perlakuan P2 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Sulistyowati et al. (2000) pada pedet sapi Bali baru lahir yakni 57,7 cm. Tizard (1991)
menyatakan bahwa suplementasi Se mempunyai sifat meransang pertumbuhan dan menjaga kesehatan
ternak karena memiliki sifat sebagai antioksidan. Selanjutnya Sugeng (1987) menyatakan selama
dalam uterus, tulang bertumbuh terlebih dahulu karena berfungsi sebagai pembentuk kerangka disusul
pertumbuhan urat daging.

SIMPULAN
176
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Pemberian selenium + vitamin E (Introvit-E-Selen) level 20 ml pada 8 dan 4 minggu sebelum


parturisi dengan suplementasi pakan lokal menyebabkan peningkatan terhadap berat lahir, lingkar
dada, panjang badan dan tinggi pundak pedet.

DAFTAR PUSTAKA
Banks, B. 1986. Productive Performance of Bali Cattle in Timor, NTT-LDP report. Dinas Peternakan
Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Belli, H. L. L. 2002. Supplementation to Improve the Performance of Grazing Bali Cows (Bibos
banteng Wagner). Cuvillier Verlag, Goettingen, Germany.
Belli, H. L. L., Kune, P., Benu, I. and Copland, R. S. 2010. The Effects of Supplementing Bali Cattle
(Bos sondaicus) Calves prior to Weaning on the Subsequent Reproduction of their Dams.
Proceedings of The 28th Biennial Conference of the Australian Societyof Animal Production.
11-15 July 2010. University of New England, Armidale, NSW.
Fattah, S. 1998. Productivitas Sapi Bali Yang Dipelihara Di Padang Penggembalaan Alam (Kasus
Oesusu, Nusa Tenggara Timur). PhD. Thesis. Padjajaran University, Indonesia.
Hall, J. A, Van Saun RJ, Bobe G, Stewart WC, Vorachek WR, et al. (2013) Organic and inorganic
selenium: I. Oral bioavailability in ewes. J Ani Sci 90:568–576.
Jelantik, I.G.N. 2001. Suplementasi Protein Sebagai Alternatif Peningkatan Produktifitas Sapi Bali di
Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Pasca Indonesia-Australia
Eastrem Universitas project (UAEUP).
Murtidjo, B.A., 1990. Beternak Sapi Potong - Yogyakarta.
Nggobe, M., L. Malo dan A. Bamualim, 1994. Pemberian Beberapa Kombinasi Putak dan Rumput
Raja (King rass) Terhadap Pertumbuhan Sapi Bali Jantan Muda. Prosiding Komunikasi dan
Pengolahan Hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Gowa. Badan Litbang Pertanian.
Nugraha, H.Y. Sampurna, I.P, Suatha, I.K. 2016. Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Pada Induk
Sapi Bali Terhadap Ukuran Dimensi Panjang Pedet. J. Vet 8 (2) 159-165.
Quigley J.D, III, Drewry JJ. Nutrient and immunity transfer from cow to calf pre- and postcalving. J
Dairy Sci. 1998;81:2779–2790.
Sampurna IP, Suatha IK. 2010. Pertumbuhan Alometri Dimensi Panjang dan Lingkar Tubuh Sapi Bali
Jantan. Jurnal Veteriner, 9(1):46-51.
Santosa, U. 2008. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar swadaya. Jakarta.
Subiharta, U. Nuschati, B. Utomo, D. Pramono, S. Prawirodigdo, T. Prasetyo, A.Musofie, Ernawati, J.
Purmiyanto, dan Suharno, 2000. Laporan Hasil Kegiatan Pengkajian Sistem Usaha Tani
Pertanian Sapi Potong di Daerah Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Ungaran.Semarang.
Sulistyowati, E., S.A. Abutani, R. Saefuddin, E. Soetrisno. 2009. Produktivitas Pedet Sapi Bali dan
Pedet Sapi Madura Ditinjau dari Ukuran Tubuh Sejak Lahir sampai Umur Empat Minggu.
Prosiding Seminar Nasional Sapi dan Kerbau. Fakultas Peternakan Universitas Andalas.
Padang.
Tizard I, 1991. Use of immunomodulators as an aid to clinical management of feline leukemia virus-
infectedcats. J Am Vet Med Assoc, 199(10): 1482-1485.
Toelihere, M. R., Jelantik, I. G. N., and Kune, P. 1991. Performance productive of Bali cattle and their
crossbred with Frisian Holstein. Research Report, Faculty of Animal Science, Nusa Cendana
University, Kupang.
Weiss,W.P, JS Hogan and KH Hoblet, 1990. Relationships among selenium, vitamin E and mammary
gland health in commercial dairy herds. J Dairy Sci, 73:381-390.
Wodzicka-Thomaszewska, M., I.K. Sutama, I.G. Putu, T.D. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah
Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia

177
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KORELASI FENOTIP BEBERAPA SIFAT PRODUKSI F1 HASIL PERSILANGAN


ANTARA AYAM LOKAL DENGAN AYAM RAS PETELUR ISA BROWN
PHENOTYPIC CORRELATION OF SEVERAL PRODUCTION CHARACTERISTICS OF F1
CROSSBRED BETWEEN LOCAL CHICKENS WITH ISA BROWN LAYING HENS
Franky M S Telupere1, Johny Nada Kihe1, Dan Rianti A Naitboho1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana,
Jl. Adisucipto Penfui Kotak Pos 104 Kupang 85001 NTT Telp (0380) 881580. Fax (0380) 881674.
Email: kupangph@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan korelasi beberapa sifat produksi dari F 1 hasil persilangan
antara ayam buras dengan ayam ras petelur Isa Brown. Materi penelitian ini 84 ekor keturunan hasil persingan
antara ayam lokal dengan ayam ras petelur Isa Brown. Semua keturunan dipelihara sampai 4 minggu dan diberi
pakan komersil secara ad libitum. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan korelasi Pearson. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai korelasi antara berat telur dengan berat tetas: 0.037±0,09, berat telur
dengan berat badan umur 2 minggu: 0,40±0,07, berat telur dengan berat badan umur 4 minggu: 0,17±0,04, berat
tetas dengan berat badan umur 2 minggu: 0,76±0,02, berat tetas dengan berat badan 4 minggu: 0,60±0,01, berat
badan umur 2 dengan 4 minggu: 0,78±0,22. Nilai korelasi untuk beberapa sifat berkisar dari positip rendah
sampai sedang, sementara antara berat tetas dengan berat umur 2 dan 4 minggu serta antara berat 2 minggu
dengan berat 4 minggu ditemukan positip tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa seleksi untuk berat umur 2
dan 4 minggu dapat dilakukan berdasarkan berat tetas.
Kata Kunci : korelasi fenotip, berat telur, berat tetas, berat badan

ABSTRACT
The objective of this research was to estimation of the phenotypic correlation of several production
characteristics of F1 crossbred between local chickens with Isa Brown laying hens. Eighty four of F 1 crossbred
between local chickens and Isa Brown laying hens were used as material research. All crossbred were kept until
4 weeks of age and were fed with commercial ration as ad libitum. The data were analyzed by Pearson
correlation and the results showed that correlation value between egg weight with hatched weight, 2 weeks and
4 weeks body weight as follows, 0.37±0.09, 0.40±0.07, 0.17±0.04, respectively. The correlation between hatched
weight with 2 weeks and 4 weeks body weight are 0.76±0.02 and 0.60±0.01, respectively, while between 2 weeks
with 4 week body weight was 0.78±0.22. The correlation between egg weight and several body weight
characteristic ranged from lower to middle positive value, while between hatched weight with 2 and 4 weeks
body weight were found highly positive value and also between 2 with 4 weeks body weight. It could be
concluded that selection for 2 and 4 weeks body weight could be done based on hatched weight.
Keyword : phenotypic correlation, egg weight, hatch weight, body weight

PENDAHULUAN
Ayam buras adalah ayam lokal di Indonesia yang sudah lekat dengan masyarakat dan juga
dikenal dengan sebutan ayam buras atau ayam sayur. Ayam kampung merupakan hasil persilangan
dari ayam-ayam lokal yang hidup di Indonesia yang dapat dikatakan tidak terkontrol (Susmiyanto et
al, 2008), oleh karena itu penampilannya sangat beragam, seperti warna bulu, kondisi bulu, berat
badan dan penyebarannya sangat luas sehingga banyak dijumpai di kota maupun desa.
Kendala pengembangan ayam kampung adalah sulit memperoleh bibit yang baik dan produksi
telurnya lebih rendah dibanding ayam ras. Produksi telur ayam kampung yang dipelihara secara
tradisional mencapai 30-60 butir/ekor/tahun dengan berat telur 37,50 g/butir sedangkan secara insentif
mencapai 105–151 butir/ekor/tahun dengan berat telur 45,27 g/butir (Wihandoyo dan Mulyadi 1986).
Ayam petelur adalah ayam khusus dibudidayakan untuk menghasilkan telur secara komersial.
Keunggulan dari ayam ras petelur yaitu laju pertumbuhan sangat pesat, pada umur 4,5-5,0 bulan telah
mencapai kedewasaan kelamin dengan bobot badan antara 1,6-1,7 kg. Produksi ayam ras petelur yang
dipelihara secara insentif cukup tinggi yaitu 200-250 butir/tahun dengan bobot telur 55,6 g
(Wihandoyo dan Mulyadi 1986). Upaya peningkatan produktifitas ayam kampung dapat dilakukan
melalui perbaikan pakan, perbaikan manejemen pemeliharaan, dan perbaikan mutu genetik. Perbaikan
178
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

mutu genetik tersebut dapat dilakukan melalui seleksi dan sistem perkawinan silang luar
(outbreeding). Penyilangan antara ayam lokal dengan ayam ras petelur bertujuan untuk meningkatkan
produksi telur maupun produksi daging dengan tetap mempertahankan karakteristik ayam kampung
yang spesifik.
Pendugaan nilai korelasi antara beberapa sifat produksi mempunyai arti penting untuk seleksi,
yaitu dapat dilakukan seleksi lebih awal sehingga akan memberikan keuntungan karena dapat
menekan biaya, tenaga dan waktu pemeliharaan. Pendugaan nilai korelasi beberapa sifat kuantitatif
seperti berat badan, berat telur dan berat DOC dapat dijadikan sebagai dasar seleksi bagi peternak
karena sifat-sifat tersebut saling berkorelasi baik secara positip maupun negatip. Penelitian ini
bertujuan untuk menduga nilai korelasi fenotip beberapa sifat produksi dari F1 hasil persilangan antara
ayam lokal dengan ayam ras petelur Isa Brown.

METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan adalah F1 hasil persilangan antara ayam lokal dengan ayam ras petelur
Isa Brown. Anak-anak ayam tersebut ditempatkan dalam kandang kelompok berdasarkan persilangan
tetua, yaitu ayam Sabu >< Isa Brown (Saras), ayam Bangkok >< Isa Brown (Bakoras), dan Ayam
Leher Gundul >< Isa Brown (Leguras). Anak-anak ayam tersebut dipeliharan sampai dengan umur 4
minggu. F1 hasil persilangan masing-masing kelompok persilangan adalah, Saras 28 ekor, Bakoras 28
ekor dan Leguras 28 ekor.
Variabel yang diamati adalah berat telur, berat tetas, berat badan umur 2 minggu, dan berat
badan umur 4 minggu. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Korelasi Pearson.

HASIL DAN BAHASAN


Sifat-sifat Produksi dari Masing-masing Kelompok Persilangan
Rataan berat telur, berat tetas, berat badan umur 2 minggu dan berat badan umur 4 minggu
untuk masing-masing kelompok persilangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan beberapa sifat produksi berdasarkan kelompok persilangan


Kelompok Persilangan
Variabel Rata-rata
Saras Bakoras Leguras
Berat Telur (g/butir) 64,22 ± 4,06 68,67 ± 4,97 61,67 ± 5,43 64,85 ± 5,64
Berat Tetas (g/ekor) 43,00 ± 2,78 46,44 ± 2,07 42,43 ± 3,35 43,93 ± 2,92
BB 2 minggu (g/ekor) 181,78 ± 188,44 ± 14,78 177,67 ± 12,47 182,63 ± 14,33
15,05
BB 4 minggu (g/ekor) 384,00 ± 388,44 ± 22,64 373,00 ± 28,69 381,81 ± 25,77
26,17

Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata berat telur tertinggi ditemukan pada kelompok
persilangan Bakoras, yaitu 68,67±4,97 g/butir, diikuti kelompok persilangan (Saras 64,22±4,06
g/butir) dan yang terendah adalah kelompok persilangan Leguras (61,67±5,43 g/butir). Rata-rata berat
telur untuk semua kelompok persilangan adalah 64,85±5,64 g/butir. Hasil yang diperoleh ini lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Wardono et al. (2014) bahwa rata-rata berat telur sebesar
42,49 g/butir dengan koefisien variasi 10,26%. Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan materi
penelitian yang digunakan dan lingkungan pemeliharaannya.
Rataan berat tetas tertinggi diperoleh kelompok persilangan Bakoras (46,44±2,07 g/ekor),
diikuti kelompok persilangan Saras (43,00±2,78 g/ekor), dan yang terendah adalah kelompok
persilangan Leguras (42,43±3,35 g/ekor). Rata-rata berat tetas untuk semua kelompok persilangan
adalah 43,93±2,92 g/ekor. Rataan betat tetas dari penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Wardono et al (2014) bahwa rata-rata berat tetas adalah 28,41±3,13 g/ekor dengan koefisien
variasi 11,03%. Perbedaan ini diduga karena perbedaan materi penelitian dan lingkungan khususnya
betina yang digunakan dan pakan yang berbeda. Hasil yang diperoleh ini sejalan dengan pendapat
Lasmini dan Heriyati (1992) yang menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi bobot tetas
adalah genetik, pakan, berat telur dan lingkungan.

179
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Rerata berat tertinggi badan umur 2 minggu ditemukan pada kelompok persilangan Bakoras,
yaitu 188,44±14,78 g/ekor, diikuti kelompok persilangan Saras (181,78±15,05 g/ekor) dan terendah
adalah kelompok persilangan Leguras (177,67±12,47 g/ekor). Rata-rata berat umur 2 minggu untuk
semua kelompok persilangan adalah 182,63±14,33 g/ekor. Hasil penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian Bedha (2012) bahwa berat badan rata-rata anak ayam umur 2
minggu pada ternak ayam kampung adalah 46,77±14,93g/ekor. Zainal et al, (2012) menyatakan bahwa
performan dari seekor ternak ditentukan oleh kemampuan genetik dan kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan. Perbedaan ini akibat adanya perbedaan dari potensi genetik yang dimiliki masing-masing
keturunan dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda pada setiap individu.
Kelompok persilangan Bakoras memiliki berat badan umur 4 minggu tertinggi, 388,44±22,64
g/ekor, diikuti kelompok persilangan Saras, 384,00±26,17 g/ekor dan yang terendah adalah kelompok
persilangan Leguras, 373,00±28,69 g/ekor. Rata-rata berat badan umur 4 minggu untuk semua
kelompok persilangan adalah 381,81±25,77 g/ekor. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari Fuah dan
Sutedjo (1994) yang mendapatkan berat badan pada ayam jantan dan betina umur 4 minggu secara
berturut-turut adalah 260 g dan 250 g. Perbedaan ini diduga karena perbedaan materi penelitian yang
digunakan. Temuan ini sejalan dengan pendapat (Soeroso et al, 2009), yang menyatakan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah bangsa dan tipe ayam.

Pendugaan Nilai Korelasi


Pendugaan nilai korelasi berat telur dengan berat tetas, berat telur dengan berat badan 2
minggu, berat telur dengan berat badan 4 minggu, berat tetas dengan berat badan 2 minggu, berat tetas
dengan berat badan 4 minggu dan berat badan 2 minggu dan 4 minggu dimaksudkan untuk
mengetahui kekuatan hubungan antara masing-masing variabel apakah positip, negatip, atau tidak ada
hubungannya. Nilai hasil pendugaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai hasil pendugaan korelasi fenotip beberapa sifat produksi F1 hasil persilangan antara
ayam lokal dengan ayam ras petelur Isa Brown
Variabel Koefisien Korelasi (r) Koefisien Determinasi
(r2)
Berat telur dengan berat tetas 0,37 ± 0,09 0,13
Berat telur dengan berat 2 minggu 0,40 ± 0,07 0,16
Berat telur dengan berat 4 minggu 0,17 ± 0,04 0,29
Berat tetas dengan berat 2 minggu 0,76 ± 0,02 0,57
Berat tetas dengan berat 4 minggu 0,60 ± 0,01 0,36
Berat 2 minggu dengan berat 4 minggu 0,78 ± 0,22 0,61

Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa korelasi berat telur dengan berat tetas adalah
0,37±0,09 dan nilai koefisien determinasi 0,13 dan termasuk dalam kategori. positip sedang
sebagaimana klasifikasi nilai korelasi oleh Warwick et al. (1995). Koefisien determinasi sebesar 0,13
atau 13% ini artinya berat tetas ditentukan oleh berat telur sedangkan sisanya 87% disebabkan oleh
faktor lain seperti bobot induk yang berbeda, kodisi internal dan eksternal telur. Hasil ini lebih rendah
dari penelitian Setianto et al, (2008) bahwa korelasi antara berat telur dan berat tetas ayam leher
gundul adalah 0,76.
Korelasi berat telur dan berat umur 2 minggu adalah positip sedang (0,40±0,07) dan nilai
koefisien determinasi sebesar 0,16. Koefisien determinasi sebesar 0,16 atau 16% ini artinya berat umur
2 minggu 16% ditentukan oleh berat telur sedangkan sisanya 84% disebabkan oleh faktor lain.
Korelasi berat telur dan berat badan umur 4 minggu adalah 0,17±0,04 dan nilai koefisien determinasi
sebesar 0,29. Koefisien korelasi sebesar 0,17±0,04 ini menunjukan bahwa korelasi antara berat telur
dan berat badan umur 4 minggu mempunyai nilai korelasi positif rendah. Nilai korelasi ini
menggambarkan antara variabel berat telur dengan berat badan umur 4 minggu tersebut menunjukan
hubungan yang rendah atau lemah, dengan demikian nampak bahwa berat telur relatif kurang
mempengaruhi berat badan umur 4 minggu. Koefisien determinasi sebesar 0,29 atau 29% ini artinya
berat badan umur 4 minggu ditentukan oleh berat telur sedangkan sisanya 71% disebabkan oleh faktor

180
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

genetik terutama strain pejantan yang digunakan dan juga umur induk yang sudah relatif tua (60-80)
minggu ikut mempengaruhi berat badan ayam yang dihasilkan.
Korelasi berat tetas dan berat badan umur 2 minggu adalah 0,76±0,02 dan nilai koefisien
determinasi sebesar 0,57. Koefisien korelasi sebesar 0,76±0,02 ini menunjukan bahwa korelasi antara
berat tetas dan berat badan umur 2 minggu mempunyai nilai korelasi positif tinggi. Adanya hubungan
erat antara kedua sifat ini, menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan pada sifat yang satu, sifat
yang satu akan meningkat sebesar 0,76 satuan. Koefisien determinasi sebesar 0,57 artinya 57% berat
badan umur 2 minggu ditentukan oleh berat tetas sedangkan sisanya 43% disebabkan oleh faktor lain.
Korelasi berat tetas dan berat badan umur 4 minggu adalah adalah 0,60±0,01 dan nilai
koefisien determinasi 0,36. Koefisien korelasi sebesar 0,60±0,01 ini menunjukan bahwa korelasi
antara berat telur dan berat tetas mempunyai nilai korelasi positif tinggi. Adanya hubungan yang erat
antara kedua sifat ini, dimana peningkatan satu satuan pada sifat yang satu sifat yang satu akan
meningkat sebesar 0,60 satuan. Koefisien determinasi sebesar 0,36 ini artinya 36% berat badan umur 4
minggu ditentukan oleh berat tetas sedangkan sisanya 64% disebabkan oleh faktor lain. Hasil ini lebih
tinggi dari penelitian (Setianto et al, 2008) bahwa korelasi antara berat tetas dan berat badan umur 4
minggu ayam leher gundul adalah 0,14. North, (1984) menyatakan bahwa besarnya anak ayam yang
dihasilkan dipengaruhi oleh besarnya telur dan bobot telur yang ditetaskan.
Korelasi berat badan umur 2 minggu dan berat badan umur 4 minggu adalah adalah 0,78±0,22
dan nilai koefisien determinasi 0,61. Koefisien korelasi sebesar 0,78±0,22 menunjukan bahwa adanya
hubungan yang erat positip tinggi antara berat badan umur 2 minggu dan berat badan umur 4 minggu.
Adanya hubungan yang erat antara kedua variabel ini menunjuk kepada peningkatan satu satuan pada
sifat yang satu, sifat yang satu akan meningkat sebesar 0,78 satuan. Tingginya nilai koefisien korelasi
tersebut di atas dapat diartikan sebagai berat badan umur 2 minggu sangat berpengaruh terhadap berat
badan umur 4 minggu. Semakin tinggi berat badan umur 2 minggu, maka semakin tinggi berat badan
umur 4 minggu. Koefisien determinasi sebesar 0,61 ini artinya 61% berat badan umur 4 minggu
ditentukan oleh badan umur 2 minggu sedangkan sisanya 49% disebabkan oleh faktor lain.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa dugaan nilai
korelasi fenotip antar beberapa sifat produksi keturunan F1 hasil persilangan antara pejantan lokal
(Sabu, Bangkok dan Leher Gundul) dengan Ayam Ras Petelur Isa Brown berkisar dari nilai positip
rendah sampai positif tinggi. Nilai korelasi antara berat tetas dengan berat badan umur 2 minggu serta
berat badan umur 2 minggu dengan berat badan umur 4 minggu menunjukkan positip tinggi, sehingga
seleksi untuk berat badan umur 2 dan 4 minggu dapat dilakukan berdasarkan berat tetas.

DAFTAR PUSTAKA
Bedha F. 2012. Pendugaan Korelasi Genetik Bobot Tetas dengan Bobot Badan Umur 2 Minggu pada
Ternak Ayam Kampung. Skripsi Fapet Undana. Kupang.
Fuah A, Sutedjo H. 1994. Korelasi antara Beberapa Kriteria Peubah Produksi pada Ayam Buras.
Prospek dan Kendala Peternakan Ayam Lokal di Timor. Laporan Penelitian. Fapet-Undana.
Kupang.
Lasmini A, Heriyati E. 1992. Pengaruh Bobot Telur terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas
DOC. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Unggas dan Aneka
Ternak. Balitnak, Ciawi–Bogor. Hal: 35–37. Jurnal Ternak Tropika 4(1),38-45.
North MO. 1984. Commercial Chicken Production Manual. 3rdEd. The AVI Publishing Company, Inc.
Westport. Connecticut. Journal of Animal Production 10 (3):135-139.
Setianto J, Warnoto, Ardanri. 2008. Korelasi Berat Badan Ayam Leher Gundul (Legund) Umur DOC,
4, 8, dan 12 Minggu. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Jurnal
Sain Peternakan Indonesia. 3(2):122-141.
Soeroso J, Duma, Mozin S. 2009. Nilai Heritabilitas dan Korelasi Genetik Sifat Pertumbuhan dari
Silangan Ayam Lokal dengan Ayam Bangkok. Jurnal Agroland. 16 (1): 67-71.
Susmiyanto, Kooswardhono M, Suryahadi. 2008. Studi Kasus Peternakan Hasil Silangan Ayam Arab
dengan Ayam Kampung di Desa Bantar Panjang Sukajadi. Bogor. Jurnal MPI 3(2):38-40.
181
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Wardono HP, Sugihono C, Kusnadi H, Suprijono. 2014 . Korelasi antara Beberapa Kriteria Peubah
Produksi pada Ayam Buras. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Maluku Utara.
Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Wihandoyo dan Mulyadi H. 1986. Ayam Buras pada Kondisi Pedesaan (tradisional) dan Pemeliharaan
yang Memadai. Pengembangan Ayam Buras di Jawa Tengah. J. Ilmu-Ilmu Peternakan 26 (2):
73-83
Zainal T, Sartika D, Zainudin, Komarudin. 2012. Persilangan pada Ayam Lokal (Kub, Sentul, Gaok)
untuk Meningkatkan Produksi Daging Unggas Nasional. Workshop Nasional Unggas Lokal.
Balai Penelitian Ternak. Bogor. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169.

182
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KINERJA INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH DI DESA SUMLILI


KABUPATEN KUPANG
PERFORMANCE OF ETTAWAH CROSSBREED DOE AT SUMLILI VILLAGE, KUPANG REGENCY
Yakob Robert Noach1 dan Heroini Titi Handayani1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK
Tujuan observasi untuk mengetahui kinerja induk kambing Peranakan Ettawa pada kondisi pemeliharaan semi
intensif. Materi yang digunakan adalah 12 induk umur kebuntingan 3,5 sampai 5 bulan. Variabel yang diukur
mencakup konsumsi bahan kering, bahan organik, produksi susu dan kualitas susu. Data terkumpul ditabulasi
lalu dihitung nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien variasi. Hasil observasi menunjukkan rerata konsumsi
bahan kering 2,188±0,076 kg/ekor/hari, konsumsi bahan organik 1,885±0,065kg/ekor/hari, berat lahir cempe
2,406±0,426 kg/ekor, produksi susu 487,67 ± 294,44 ml/ekor/hari, kualitas susu mencakup pH, kadar protein,
lemak, laktosa dan air berturut-turut 6,46; 4,02%; 4,64%; 4,45% and 85,75%. Disimpulkan bahwa kinerja induk
kambing Peranakan Ettawa di Desa Sumlili belum cukup baik, ditandai dengan produksi susu dan berat lahir
cempe yang rendah. Disarankan untuk memperbaiki kinerja induk dengan perbaikan pakan baik sebelum
maupun selama kebuntingan melalui suplementasi mikromineral Zn dengan pakan lokal serta perlu adanya
pengawasan kesehatan yang baik.
Kata Kunci: kinerja induk, kambing Peranakan Ettawa, pemeliharaan semi-intensif

ABSTRACT
The goals of this observation was to know the doe performance of Ettawa crossbreed goat under semi-intensive
keeply. Twelve pregnant does of 3.5 to 5 months pregnancy were used in this observation. Variables measured
include dry matter and organic matter consumption, quantity and quality of milk. Data collected were tabulate
and analyzed by statistic to describe the mean, standard of deviation and coefficient of variation. Result showed
that average of dry matter consumption 2.188±0.076 kg/h/d, organic matter 1.885±0.065kg/h/d, birth weight
2.406±0.426 kg, milk yield 487.67 ± 294.44 ml/h/d, milk quality involve pH, protein, fat, lactose and water
content were 6.46; 4.02%; 4.64%; 4.45% and 85.75%, respectively. It can be concluded that does performance
of Ettawa crossbreed goat at Sumlili village is not fairly good, indicated by low of milk yield and birth weight. It
was recommended to improve the does performance both before and within pregnancy periode with
supplementation of micromineral Zn combined to local feed, beside need to apply the good health surveillance.
Keywords: Doe performance, Ettawa crossbreed goat, semi-intensive keeply

PENDAHULUAN
Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan salah satu kambing perah daerah tropis yang
potensial menghasilkan susu yang eksistensinya di Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya di pulau
Timor masih baru. Kehadiran kambing PE diharapkan dapat mengatasi kesenjangan konsumsi susu
sebagai akibat kurang meratanya penyebaran sapi perah akibat unsur iklim sebagai faktor pembatas
utama. Perkembangan kambing PE khususnya di pulau Timor masih mengalami pasang surut sebagai
akibat kurangnya pengetahuan serta pemahaman pengelola peternak tentang manajemen ternak perah
yang profesional. Kajian terhadap kinerja produksi kambing PE di pulau Timor yang diarahkan pada
kinerja induk dan anak juga masih terbatas, namun dari informasi terbatas diketahui bahwa produksi
susu masih sangat minim yaitu kurang dari satu liter/ekor/hari (Kaka, 2013) dan berkisar 0,5 sampai
0,75 liter/ekor/hari (Manajemen IRK UPTD Provinsi NTT, 2017). Berangkat dari pemikiran ini maka
telah dilakukan suatu observasi untuk memotret bagaimana kinerja produksi induk dan anak kambing
PE di bawah kondisi pemeliharaan semi intensif, dengan harapan hasil observasi ini dapat bermanfaat
sebagai sumbangan informasi dalam melakukan penataan dan perbaikan pengelolaan dalam rangka
meningkatkan produktivitas kambing PE.

MATERI DAN METODE


Lokasi dan waktu
Observasi telah dilaksanakan di desa Sumlili Kecamatan Kupang Barat pada peternakan
Kambing PE di instalasi ruminansia kecil, Unit Pelaksana Teknis Daerah Provinsi NTT selama 45 hari
dimulai dari tanggal 21 Juli sampai dengan tanggal 5 September 2017
183
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Materi Penelitian
Materi yang digunakan adalah semua induk kambing PE sedang bunting 3,5 sampai 5 bulan
sebanyak 12 ekor dengan kisaran berat badan 45 sampai 48 kg. Peralatan yang dipergunakan berupa
timbangan gantung digital kapasitas 75 kg dengan kepekaan 10 g, timbangan duduk digital kapasitas 5
kg dengan kepekaan 1 g, gelas ukur kapasitas 200 ml, cool box, botol plastik kapasitas 300 ml, plastik
klip dan peralatan kerja di kandang. Bahan pakan yang tersedia bagi induk kambing berupa lamtoro,
turi, king grass dan konsentrat.

Metode Penelitian
Penelitian bersifat semi eksperimen dengan melakukan observasi lapangan berupa
pengukuran dan penimbangan yang dilanjutkan dengan uji laboratorium untuk sampel bahan pakan,
susu dan feces serta uji helminthiasis.
Variabel yang diobservasi mencakup konsumsi pakan (bahan kering dan bahan organik), berat
lahir cempe, produksi susu, kualitas susu. Penimbangan pakan yang dikonsumsi dan pengukuran
produksi susu dan feces dilakukan setiap hari, penimbangan cempe dilakukan segera setelah lahir,
sampel feces untuk uji helminthiasis dan sampel susu diambil satu kali pada pertengahan masa
observasi. Data terkumpul ditabulasi selanjutnya dilakukan analisis statistik sederhana untuk
mengetahui nilai rata-rata, stadar deviasi dan koefisien variasi.

HASIL DAN BAHASAN


Konsumsi dan Koefisien Cerna
Rerata konsumsi dan koefisien cerna bahan pakan dan nutrien induk kambing PE yang
diobservasi, disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Konsumsi dan daya cerna Pakan Induk Kambing PE


Konsumsi (kg) Daya Cerna (%)
Variabel
Rataan Koef. variasi Rataan Koef. varias
Bahan Kering 2,188±0,076 3,47 86,02±2,66 3,09
Bahan Organik 1,885±0,065 3,47 87,00±2,45 2,81
Protein Kasar 0,446±0,015 3,47 90,38±1,72 1,90
Serat Kasar 0,401±0,014 3,47 74,85±5,51 7,36
Lemak Kasar 0,076±0,003 3,47 73,04±5,04 6,91

Rerata konsumsi bahan kering (BK) sebanyak 2,188 ± 0,076 kg/ekor/hari. Angka konsumsi ini
mencapai 88,4% dari jumlah bahan kering yang diberikan yaitu 2,474 ± 0,022 kg/e/h. Konsumsi bahan
organik (BO) juga sangat bagus, mencapai 86,15% BK yang dikonsumsi. Kenyataan ini diduga karena
bahan pakan yang disediakan bagi ternak memiliki nilai gizi dan palatabilitas yang baik (Tabel 2).
Rerata banyak bahan kering pakan diberikan dan yang dapat dikonsumsi ternak sedikit
melampaui kisaran kebutuhan (4,6% berat badan). Baile dan Della-Fera (1988) disitasi Noach, (2000)
menyatakan banyaknya pakan yang dapat dikonsumsi seekor ternak tergantung pada beberapa faktor
antara lain palatabilitas, kualitas pakan, kapasitas lambung, tuntutan kebutuhan nutrien, lama
pengosongan lambung, kesehatan dan kondisi temperatur lingkungan.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan yang Dikonsumsi Induk Kambing PE*)
Nutrien (%)
Bahan Pakan
BK BO PK SK LK Abu
Lamtoro 92,51 85,73 21,57 18,46 2,05 6,78
Turi 90,31 79,99 24,18 11,17 3,86 10,32
King Grass 89,67 77,69 10,78 19,25 3,35 11,98
Jagung Giling Halus 88,11 86,88 9,19 4,23 2,98 1,23
Dedak Padi Halus 89,56 76,7 8 28,06 5,57 12,85
Ransum (Hij + Kon) 93,71 86,16 20,37 18,32 3,47 7,54

184
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Penelitian Marwah et al (2010) mendapatkan angka kebutuhan bahan kering, protein kasar
dan TDN untuk kambing PE sedang laktasi berturut-turut sebanyak 1,867 kg, 0,344 kg dan 1,105
kg/hari. Sementara Budiarsa dan Sutama (2001) mendapatkan angka konsumsi bahan kering sebesar
1,722 kg dan 1,800 kg/hari, masing-masing untuk induk dengan kelahiran anak tunggal dan induk
dengan kelahiran anak kembar.
Tabel 1 juga memperlihatkan nilai koefisien cerna BK, BO dan komponen nutrien lainnya
yang cukup baik (>70%), yang mengindikasikan bahwa bahan pakan yang dikonsumsi mengalami
pencernaan secara baik dalam rumen serta tidak adanya inhibiting factor dari bahan pakan tersebut
yang menganggu proses fermentasi. Meskipun demikian kemanfaatan dari pakan yang dikonsumsi dan
dicerna sangat tergantung pada proses lebih lanjut dalam rumen dan intestine yang berkaitan dengan
ketersediaan nutrien dan proses penyerapannya untuk kebutuhan berbagai proses metabolisme seluler
termasuk sintesis susu. Observasi menunjukkan bahwa tingginya konsumsi dan kecernaan pakan tidak
diikuti produksi susu yang baik.

Berat Lahir Cempe, Produksi dan Kualitas Susu


Dari 12 induk bunting yang diobservasi hanya tujuh induk yang beranak dan laktasi. Rerata
berat lahir cempe, produksi, dan kualitas susu, disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rerata Produksi, Kualitas Susu Induk Kambing PE


Variabel Rerata SD KV (%)
Berat cahir Cempe (kg) 2,406 0,426 17,69
Produksi Susu (ml/e/h) 487,67 294,45 60,38
Kualitas Susu:
pH 6,48 0,09 1,42
Kadar Air (%) 85,75 1,42 1,65
Kadar Protein (%) 4,02 0,47 11,78
Kadar Lemak (%) 4,64 1,45 31,35
Kadar Laktosa (%) 4,45 0,85 19,11

Rerata produksi susu induk kambing PE dalam observasi ini masih sangat rendah yaitu
487,67 ± 294,44 ml/ekor/hari, dengan variasi produksi antar individu yang sangat luas (KV=60,38%).
Beberapa temuan penelitian terdahulu yakni 1,0 – 1,5 l/ekor/hari (Balitnak, 2004 disitasi Rumetor et
al. 2008); 1308,44 ± 212,84 g dan 1434,51 ± 354,10 g, masing-masing untuk induk yang melahirkan
tunggal dan kembar (Budiarsa dan Sutama, 2001). Wodzicka-Tomaszewska et al., (1991) disitasi
Budiarsana dan Sutama (2001) menyatakan bahwa produksi susu kambing PE masih sangat beragam
(0,45-2,1 liter/hari).
Rendahnya produksi susu induk kambing PE pada observasi ini ada hubungannya dengan
ukuran ambing yang kecil bahkan ada induk yang hanya memiliki satu ambing yang bisa diperah.
Kuantitas ambing yang rendah ini diduga akibat dari managemen yang selama ini diterapkan di
peternakan tersebut yang kurang berfokus pada optimalisasi potensi genetik kambing PE sebagai
kambing perah.
Faktor lain yang diduga ikut berperan rendahnya produksi susu adalah kesehatan ternak,
akibat adanya parasit internal. Hasil uji Helminthiasis diketahui bahwa semua induk terinfestasi parasit
cacing dari grup nematoda dan trematoda, baik tunggal maupun campuran. Tingkatan infestasi mulai
dari tingkatan ringan (< 500) sebanyak 7 induk (58,33%), sedang (500 – 2000) sebanyak 4 induk
(33,33%) sampai berat (>2000) sebanyak 1 induk (8,33%) (Laboratorium UPTD Veteriner Kupang,
2017). Charmicael (1993) disitasi Batubara (2006) menyatakan bahwa kemampuan induk semang
untuk berproduksi secara normal atau untuk bertahan hidup seringkali menurun akibat infeksi parasit
cacing, yang dapat menurunkan tingkat produktivitas ternak dan merugikan peternak.
Meskipun produksi susu sedikit, namun kualitas susu yang dihasilkan induk kambing PE
menunjukkan kondisi yang normal dan memenuhi syarat menurut Standar Nasional Indonesia untuk
susu segar (SNI- 3141.1-2011), yakni pH 6,54 – 6,60; protein minimal 2,8%; lemak minimal 3,0% dan
solid non fat (padatan bukan lemak) 7,8%. Kualitas susu kambing PE dalam observasi ini tidak jauh
berbeda dengan yang didapatkan oleh Disa (2016) pada kambing PE di Bandar Lampung yakni kadar

185
ISBN: 978-602-6906-29-8602BN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

air 87%; Protein 3,5%, Lemak 4,1% dan Laktosa (karbohidrat) 4,4%. Bahkan lebih tinggi dari yang
didapatkan oleh Ilyas (2016) yakni protein 3,52%, lemak 2,92% dan laktosa 2,59% pada kambing PE
di Makasar tanpa suplemen multinutrien blok.
Hasil observasi memperlihatkan bahwa berat lahir cempe kambing PE berkisar 1,9 sampai
3,42 kg dengan rerata 2,406 ± 0,426 kg. Hasil ini tidak jauh berbeda dari yang didapatkan Sulaksana
(2008) pada cempe kambing PE di Jambi yakni 2,45 ± 0,39 pada musim hujan dan 2,17 ± 0,45 kg pada
musim kemarau atau rerata 2,33 ± 0,43 kg. Pada penelitian lain oleh Supriyati (2012) mendapatkan
berat lahir cempe yang lebih tinggi yakni sebesar 3,09 ± 0,38 kg.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil observasi dapat disimpulkan:
1. Tingkat konsumsi BK dan BO sangat baik, masing-masing 88,39% (2,188 ± 0,076 kg/ekor/hari)
dan 86,15% BK yang diberikan (2,474 ± 0,022 kg/e/h); Koefisien cerna BK dan BO masing-
masing 86,02±2,66 dan 87,00±2,45%.
2. Berat lahir cempe rendah 2,406 ± 0,426 kg, produksi susu induk sangat rendah 487,67 ± 294,44
ml/ekor/hari, namun kualitas susu yang dihasilkan normal.
3. Semua induk bunting yang dijadikan objek observasi ini terinfeksi parasit cacing gastro-intestinal
dari grup Nemathoda (Strongylus dan Thricuris) dan Tremathoda (Paramphistomum), dengan
kategori ringan sampai parah.

DAFTAR PUSTAKA
Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker dan R.D. Appleman, 1985, Dairy Cattle; Principles,
Practices, Problems and Profits, 3rd Ed. Lea & Febiger, Philadelphia.
Batubara, A. 2006. Perbandingan Tingkat Infeksi Parasit Saluran Pencernaan pada Kambing Kosta,
Gembrong dan Kacang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Loka
Penelitian Kambing Potong, Sei Putih PO Box1, Galang 20585.
Budiarsana I-G.M. dan I-K. Sutama. 2001. Efisiensi Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001 Balai Penelitian Ternak, PO Box
221, Ciawi-Bogor
Disa, P.R. 2016. Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawa Pada Berbagai Periode Laktasi Ditinjau
Dari Sifat Fisik Di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran.
Skripsi. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Ilyas, S.. 2016. Komposisi Kimia Air Susu Ternak Kambing Peranakan Etawa Yang Mendapat
Suplemen Multi Nutrisi Dengan Ransum Basal Campuran Gamal Dan Lamtoro. Skripsi,
Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin.
Kaka, M.F. 2013. Kinerja Fisiologis Induk Kambing PE di Sekolah Lapangan Nekamese. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Marwah, M.P., Yustina Yuni Suranindyah, Y.Y. dan Murti, T.W. 2010. Produksi Dan Komposisi Susu
Kambing Peranakan Ettawa Yang Diberi Suplemen Daun Katu (Sauropus androgynus (L.)
Merr) Pada Awal Masa Laktasi. Buletin Peternakan 34 (2): 94-102
Noach, Y.R. 2000. Pengaruh Penyemprotan Air pada Tubuh terhadap Kondisi Fisiologis Induk Sapi
Friesian Holstein Laktasi. Tesis. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Rumetor, S.D., J. Jachja, R. Widjajakusuma, I G. Permana dan I K. Sutama. 2008. Suplementasi Daun
Bangun bangun (Coleus amboinicus Lour) dan Zinc Vitamin E untuk memperbaiki
Metabolisme dan Produksi Susu Kambing Peranakan Ettawa. JITV 13(3): 189-196.Balai
Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002.
Sulaksana, I. 2008. Pertumbuhan Anak Kambing Peranakan Etawah (PE) Sampai Umur 6 Bulan di
Pedesaan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Agustus, 2008, Vol. XI. No.3. Universitas Jambi.
Supriyati, 2012. Pertumbuhan Kambing Peranakan Etawah Prasapih, yang Diberi Susu Pengganti.
JITV 17(2): 142-151.Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

186
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

TEMA 3

Pengolahan Hasil dan Limbah Ternak serta Lingkungan

187
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGUJIAN TOTAL PLATE COUNT DAN KEBERADAAN


SALMONELLA Sp. PADADAGING AYAM YANG DIAWETKAN
DENGAN DAUN SIRSAK (Annona muricata)
Jublin F. Bale Therik1, Diana A. Wuri,2 U. Ginting1, dan Gomera Bouk1
1
Program Pascasarjana, Universitas Nusa Cendana. Kupang
2
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana. Kupang
E-mail: jublinbale@staf.undana.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan rebusan daun sirsak (Annona
muricata) sebagai pengawet alami daging ayam broiler yang disimpan pada suhu ruang. Sebanyak
72 karkas ayam broiler yang diperoleh dari pemotong ayam komersial digunakan untuk pengujian
Total Plate Count (TPC) dan keberadaan Salmonella sp. pada daging ayam. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Kupang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan percobaan
pola faktorial (4x3), dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi daun sirsak (K) dalam
air yaitu 0, 10, 20, 30 gram/liter air dan faktor kedua adalah lama perendaman daging ayam (L)
yaitu 0, 10, 20 menit. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan
Duncan‟s Multiple Range Test sedangkan data keberadaan Salmonella sp. dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor konsentrasi daun sirsak dan lama perendaman daging
ayam serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap Total Plate Count daging ayam
selama penyimpanan. Penelitian ini memperlihatkan pula bahwa nilai TPC terendah diperoleh pada
perlakuan yang diperoleh pada K30L20: 6.2151 Log CFU/g) dan K30L20: 7.6127 Log (CFU/g)
masing-masing pada waktu pengamatan 0 dan 12 jam. Selain itu diperoleh pula bahwa pengujian
keberadaan Salmonella sp.memberikan hasil negatif pada semua perlakuan.
Kata kunci: Daging ayam, daun sirsak, pengawet alami, Salmonella sp.

ABSTRACT
The objective of this study was to investigate the effect of using boiled soursop (Annona muricata)leaf
water as natural preservatives on broiler chicken meat that stored at room temperature. A total of 72
broiler carcasses obtained from a commercial processor, were used in this study to determine the
Total Plate Count and the presence of Salmonella sp. on chicken meat. This research was conducted
in Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana and
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Kupang. The experiment was arranged in completely randomized design in a 4x3 factorial lay out with
three replications. The first factor was concentration of Annona muricata leaf in water (K) with four
levels: 0, 10, 20 and 30 g/l water. The second factor was soaking time of chicken meat (L) with three
levels: 0, 10, 20 minute. Data collected were analysed using Analysis of Variance and continued with
Duncan’s Multiple Range Test, while the presence of Salmonella sp. were analysed descriptively. It
was indicated that both factors of concentration of soursop leaf and soaking time with the
interactions had significant effect (P<0.01) on Total Plate Count of chicken meat. It could be
concluded that the best result was gained by K30L20: 6.2151Log (CFU/g) and K30L20: 7.6127Log
(CFU/g) at 0 and 12 hours of time examination respectively. The presence of Salmonella sp. was
proven negatively in all treatments.
Keywords: Chicken meat, soursop leaf, natural preservatives, Salmonella sp.

PENDAHULUAN
Daging ayam di pasar tradisional dan di supermarket umumnya dijual dalam bentuk karkas.
Selama waktu penjualan karkas ayam dimaksud, umumnya karkas dibiarkan kontak langsung dengan
udara luar. Hal tersebut menyebabkan pencemaran mikroorganisme yang berasal dari udara, tanah,
188
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dan manusia akan lebih cepat berkembang.Usmiati et.al (2010), menunjukkan bahwa sejak awal
daging telah mengandung ketiga jenis bakteri patogen (antara lain E. coli, Salmonella sp, dan L.
Monocytogenes) dalam jumlah yang rendah (kontaminan indigenous), yang berkisar antara 10 1-
102CFU/g. Namun setelah 18 jam jumlah tersebut meningkat hingga 104 -105 CFU/g pada suhu
ruang.Sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI 3924:2009) tentang mutu karkas daging ayam,
maksimum jumlah mikroba TotalPlateCount (TPC) adalah 106 CFU/gram (Radji, 2011). Dalam
Standar Nasional Indonesia (SNI 7388:2009),juga dipersyaratkan bahwa Salmonella sp. pada telur dan
daging segar adalah negatif. Persyaratan ini, mengindikasikan bahwa untuk peternakan ayam petelur
dan pegaging harus bebas dari Salmonellosis.
Pertumbuhan mikroba merupakan faktor utama penyebab kebusukan pada daging.
Kontaminasi pada karkas dan daging antara lain berasal dari kotoran, isi perut, dan kulit. Hal ini
terjadi selama pemotongan akibat permukaan bagian terluar dari karkas terekspos dan menjadi sumber
utama kontaminasi (Huffman et. al 2002). Tingkat kontaminasi pada permukaan karkas lebih tinggi
daripada kontaminasi dalam daging. Hal ini disebabkan permukaan karkas bersentuhan langsung
dengan lingkungan luar, sedangkan untuk bagian dalam daging pada umumnya hanya sedikit bakteri
yang hidup (Jay,et. al 2005).
Dihadapkan pada persoalan tersebut maka berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah
kerusakan daging antara lain dengan menggunakan zat-zat kimia seperti formalin, boraks dan pewarna
kimia yang dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu maka telah dilakukan upaya untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme pada daging ayam yakni dengan menggunakan bahan pengawet alami
yang lebih ekonomis dan dapat mempertahankan kesegaran daging, serta tidak membahayakan
konsumen. Salah satu bahan alami yang memiliki potensi untuk mengatasi persoalan tersebut adalah
daun sirsak (Annona muricata).
Daun sirsakmemiliki senyawa Acetogenin yang dalam konsentrasi tinggi bersifat antifeedant
yang dapat mematikan bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Asolkar etal., (1992) membuktikan
bahwa senyawa Acetogenin dari beberapa alkaloid Murisolin, Cauxine, Couclamine, Stepharine dan
Reticulin di dalam daun sirsak mampu bertindak sebagai antibakteri. Takahashi (2006),
mengungkapkan kandungan fitokimia Annonaceous Aceto- genins pada daun sirsak merupakan agen
aktif antibakteri. Daun sirsak juga memiliki senyawa tanin yang merupakan suatu substansi yang
banyak dan tersebar pada tanaman. Tanin bersifat antibakteri, apabila dalam konsentrasi tinggi maka
akan bereaksi dengan protein dan membentuk endapan (Purnomo dan Adiono, 1995).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka telah dilakukan suatu penelitian dengan mencantumkan
faktor konsentrasi daun sirsak dan lama perendaman daging sebagai perlakuan untuk suatu penelitian
dengan judul„Pengujian Total Plate Count dan Keberadaan Salmonella sp. pada Daging Ayam yang
Diawetkan dengan Daun Sirsak (Annona muricata)‟.

MATERI DAN METODA PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan berturut-turut diLaboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas
Peternakan Universitas Nusa Cendana dan di Laboraturium Kesehatan Masyarakat Veteriner UPT
Veteriner Dinas Peternakan Propinsi NTT Kupang, untuk pengujian Total Plate Count dan keberadaan
Salmonella sp. pada daging ayam.
Penelitian ini menggunakan karkas ayam pedaging (broiler) strain Hubbard sebanyak 72 ekor
dengan bobot badan rata-rata 1,4 kg/ekor, yang diperoleh langsung dari salah satu pemotong ayam
komersil di kota Kupang. Daun sirsak yang digunakan adalah daun yang diperoleh dari tanaman
sirsak di sekitar kota Kupang, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan selama 5-7 hari.
Daun sirsak yang sudah kering kemudian dihaluskan untuk digunakan. Daun sirsak yang akan
digunakan direbus sesuai kebutuhan sampai mendidih selama kurang lebih 20 menit.

189
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan percobaan pola
faktorial (4x3), dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah : Konsentrasi daun sirsak dalam air rebusan
(K) yang terdiri atas 4 taraf yaitu: K0: 0 gram/liter air; K 10 : 10 gram/liter air; K20: 20
gram/liter air; K30: 30 gram/liter air. Faktor kedua adalah lama perendaman karkas (L) yang terdiri
atas 3 taraf yaitu: L0: 0 menit; L10: 10 menit; L20: 20 menit. Dari kedua faktor tersebut diperoleh
12 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga diperoleh 36 unit perlakuan dan
setiap unit perlakuan menggunakan 2 ekor karkas ayam broiler.
Setelah dilakukan perendamansesuai perlakuan dengan air rebusan daun sirsak, bagian karkas
yaitu daging dada ayam disimpan pada suhu ruang di dalam ruangan tertentu yang telah disiapkan.
Evaluasi karkas dilakukan dengan cara: Pengujian kualitas Total Plate Count dan keberadan
Salmonella sp. Waktu pengamatan adalah: 0 jam ( jam ke-0/ sesaat setelah perendaman) dan 12 jam
(jam ke-12 setelah perendaman). Data yang terkumpul dianalisis menggunakan ANOVA dan
dilanjutkan dengan Duncan‟s Multiple Range Test sedangkan data keberadaan Salmonella sp.
dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN BAHASAN


Pengaruh Perlakuan terhadap Total Plate Count pada Pengamatan 0 jam
Perhitungan total mikroorganisme dengan metode Total Plate Count(TPC), merupakan salah
satu aspek dalam pengujian mikroorganisme untuk menunjukkan jumlah kandungan mikroorganisme
dalam satu produk, agar produk yang beredar di masyarakat terjamin keamanannya. Pengujian TPC
dilakukan secara berturut-turut untuk pengamatan 0, dan 12 jam.
Berdasarkan hasil sidik ragam diperoleh bahwa faktor konsentrasi daun sirsak dan faktor
lama perendaman daging ayam serta interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh sangat nyata
(P<0.01) terhadap nilai TotalPlateCount pada 0 jam. Selanjutnya berdasarkan hasil uji jarak berganda
Duncan didapatkan hasil penelitian sebagaimana yang tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Faktor Konsentrasi Daun Sirsak dan Lama Perendaman serta Interaksinya
terhadapTotal Plate CountDagingAyam Broiler pada Pengamatan 0 Jam
Lama Perendaman Rataan
Konsentrasi
L0 L10 L20
----------------------- Log (CFU/g)----------------
K0 6.4622a(A) 6.5629a(A) 6.6975 b(A) 6.5742
K10 6.4425a(A) 6.2535b(B) 6.4296a(B) 6.3752
K20 6.4458a(A) 6.5665b(A) 6.6931c(A) 6.5684
K30 6.4622a(A) 6.4296a(C) 6.2151b(C) 6.3689
Rataan 6.4531 6.4531 6.5088 6.4716

Ket. - Huruf kecil dan besar yang berbeda masing-masing kearah baris dan kolom menunjukan perbedaan pada taraf 0.05;
- K0, K10, K20, K30 : konsentrasi daun sirsak masing-masing 0, 10, 20, 30 g/l; - L0, L10, L20 : lama perendaman
masing-masing 0, 10, 20 menit

Pada pengamatan 0 jam diketahui bahwa nilai TPC daging ayam untuk semua perlakuan
berada di atas nilai 1x106 CFU/g, melebihi ambang batas yang ditetapkan sebagaimana Standar
Nasional Indonesia (SNI 3924:2009) tentang mutu karkas daging ayam. Keadaan daging ayam dengan
kandungan mikroba yang tinggi tersebut, dapat berasal dari tempat pemotongan hewan selama proses,
yang kurang higienis.

190
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Pada konsentrasi daun sirsak K0 dan K30, didapati nilai TPC pada taraf perlakuan dengan
lama perendaman L0 tidak berbeda dengan L10 tapi berbeda nyata dengan L20. Sedangkan pada
konsentrasi daun sirsak K10, diperoleh nilai TPC pada taraf perlakuan dengan lama perendaman L0
tidak berbeda dengan L20 tetapi bebeda dengan L10. Pada konsentrasi daun sirsak K20, diperoleh
nilai TPC pada taraf perlakuan dengan lama perendaman L0 t berbeda dengan L10 dan L20.
Pada lama perendaman L0 didapati nilai TPC pada taraf perlakuan dengan konsentrasi daun
sirsak K0 tidak berbeda dengan K10, K20 dan K30. Sedangkan pada lama perendaman L10 dan L20,
diperoleh nilai TPC pada taraf perlakuan dengan lama perendaman K0 berbeda dengan K10 dan K30
tetapi tidak bebeda dengan K20.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa perlakuan taraf K30 dan L20 memberikan hasil
TPC terendah. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan dan semakin lama
waktu perendaman daging, mampu menekan perkembangan/jumlah bakteri, akibat adanya aktifitas
antibakteri yang ada dalam daun sirsak. Daun sirsak mengandung senyawa antibakteri yang dapat
menekan pertumbuhan bakteri didalam daging. Penelitian yang dilakukan oleh Asolkar et al., (1992)
dan Khan et al., (2005) menyatakan bahwa senyawa acetogenin dari beberapa alkaloid murisolin,
cauxine, couclamine, stepharine dan reticulin di dalam daun sirsak mampu bertindak sebagai
antibakteri.
Pengaruh Perlakuan terhadap Total Plate Count pada Pengamatan 12 jam
Pada pengamatan 12 jam, didapati adanya peningkatan nilai TPC dari pengamatan 0 jam.
Walaupun adanya pertumbuhan total mikroba, namun nampak bahwa pada perlakuan dengan
konsentrasi daun sirsak dan lama perendaman tertinggi menghasilkan nilai TPC terendah
dibandingkan perlakuan lainnya. Pengaruh perlakuan terhadap TotalPlateCount (TPC) daging ayam
pada pengamatan 12 jam, dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil sidik ragam memperlihatkan adanya pengaruh yang sangat nyata (P<0.01) terhadap TPC
untuk pengamatan 12 jam dari perlakuan faktor konsentrasi daun sirsak dan faktor lama perendaman
karkas serta interaksi kedua faktor tersebut.

Tabel 2.
Pengaruh Faktor Konsentrasi Daun Sirsak dan Lama Perendaman serta Interaksinya
terhadap Total Plate Count Daging Ayam Broiler pada Pengamatan 12 Jam
Konsentrasi Lama Perendaman Rataan
L0 L10 L20
-------------------- Log (CFU/g)------------------
K0 8.7886a(A) 8.1754b(A) 8.4455c(A) 8.4698
K10 7.7327a(B) 8.3592b(B) 8.1454c(B) 8.0391
a(C) a(A) b(B)
K20 8.2535 8.1702 8.0402 8.1546
a(C) b(C) c(C)
K30 8.2259 7.9941 7.6127 7.9442
Rataan 8.2501 8.1747 8.0609 8.1519

Ket.:-Huruf kecil dan besar yang berbeda masing-masing kearah baris dan kolom menunjukan perbedaan pada taraf 0.05.
K0, K10, K20, K30 : konsentrasi daun sirsak masing-masing 0, 10, 20, 30 g/l; -L0, L10, L20 : lama
perendaman masing-masing 0, 10, 20 menit

Hasil penelitian ini memperlihatkan pula bahwa pada konsentrasi daun sirsak K0, K10 dan
K30, didapati nilai TPC pada taraf perlakuan dengan lama perendaman L0 yang berbeda dengan L10
dan L20. Sedangkan pada konsentrasi daun sirsak K20, diperoleh nilai TPC pada taraf perlakuan L0
tidak berbeda dengan L10 tetapi bebeda dengan L20. Pada lama perendaman L0, L10 dan L20
didapati nilai TPC pada taraf perlakuan K0 berbeda nyata dengan K10 dan K30, sedangkan lama
191
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

perendaman L0 didapati nilai TPC pada taraf perlakuan dengan konsentrasi daun sirsak K20 tidak
berbeda dengan K30. Pada lama perendaman L10 dan L20, didapati nilai TPC pada taraf perlakuan
dengan konsentrasi daun sirsak K20 berbeda nyata dengan K30.
Sebagaimana hasil pengamatan pada 0 jam, maka hasil yang diperolah pada pngamatan 12
jam tidaklah berbeda. Secara keseluruhan diperoleh bahwa pengaruh perlakuan konsentrasi daun
sirsak dan lama perendaman, memberikan hasil TPC terendah pada perlakuan taraf K30 dan L20.
Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi daun sirsak dan semakin lama perendaman daging
ayam, maka pertumbuhan bakterididalam daging akan dibatasi.
Daun sirsak mengandung senyawa acetogenin yangbekerja sebagaiantifeedant yang juga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.Luna et.al (2006) mengemukakan, bahwa daun sirsak mengandung
sejumlah bahan kimia yang dipercaya sebagai senyawa bioaktif antibakteri yang disebut Annonaceous
Acetogenins. Septerna (2005) mengemukakan bahwa daun sirsak mengandung senyawa acetogenin
asimisin, bulatasin, squamosin, flavonoid, saponin dan tannin, yang bila dalam konsentrasi tinggi
dapat bekerja sebagai antifeedant.
Pengaruh Perlakuan terhadap Keberadaan Salmonella Sp.
Bakteri Salmonella adalah bakteri gram negatif berbentuk batang. Bakteri ini bukan indikator
sanitasi melainkan bakteri indikator keamanan pangan. Artinya semua serotipe Salmonella yang
diketahui di dunia ini bersifat patogen, maka dengan adanya bakteri ini di dalam suatu produk, maka
produk tersebut dianggap tidak layak dikonsumsi dan membahayakan kesehatan konsumen. Oleh
karena itu berbagai standar air minum maupun makanan siap santap mensyaratkan tidak boleh ada
Salmonella dalam 100 ml air minum atau 25 gram sampel makanan (Sartika et al ., 2005).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejak awal hingga akhir penelitian tidak terdeteksi
adanya Salmonella sp. dalam daging ayam atau dengan perkataan lain hasil penelitian ini
memperlihatkan hasil negatif mengenai keberadaan Salmonella sp. dalam daging ayam. Syarat mutu
karkas dan daging ayam dalam SNI 7388 (2009) adalah produk pangan tidak diperbolehkan
mengandung Salmonella. Daging ayam merupakan media yang cocok untuk perkembangan mikroba,
karena protein yang tinggi pada daging ayam merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
Salmonella sp. Karkas ayam mentah paling sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella sp. yang
dapat menginfeksi manusia (Raharjo, 1999).

SIMPULAN
Faktor konsentrasi daun sirsak dalam air rebusan dan lama perendaman daging ayam serta
interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap Total Plate Count Daging Ayam Broiler.
Pada pengamatan daging ayam 0 dan 12 jam didapati bahwa semakin tinggi konsentrasi daun sirsak
dan semakin lama waktu perendaman daging ayam menghasilkan nilai Total Plate Count yang
semakin rendah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keberadaan Salmonella sp. pada daging ayam
broiler untuk pengamatan adalah negatif.
DAFTAR PUSTAKA

Asolkar, L V., K. K. Kakkar dan O J. Chakra. 1992.Second Supplement to glossary of Indian


medicinal plants with active principles. Part I ( A-K). Publication and Information Division,
CSIR, New Delhi. India.
Huffman, L., Koopman, C., Blasey, C., Botcheva, L., Hill, K. E., Marks, A. S. K., McNee, I., Nichols,
M., & Dyer-Friedman, J. (2002). A program evaluation strategy in a community-based
behavioral health and education services agency for children and families. Journal of Applied
Behavioral Science, 38, 191-215.
Jay, J. M., M. J. Loessner, and D. A. Golden. 2005. Modern Food Microbiology 7thEdition. Speringer
Science: Business Media. New York.

192
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Khan R., J. Buse., E. Ferrannini dan M. Stern. 2005. The metabolic syndrome: time for a critical
appraisal: Joint statement from the American. Diabetes Association and the European
Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care. 28: 2289 –2304.
Luna, J. De S., J. M. De Carvalho , M. R. F. De Lima , L. W. Bieber , Edson De S. Bento and X.
Franck. 2006. Acetogenins in Annona muricata L. (annonaceae) leaves are potent
molluscicides. Journal Natural Product Research. Volume 20 (3): 253-257.
Plantus. 2008. Biopestisida Sebagai Pengendali Hama dan Penyakit Tanaman Hias.
http://anekaplanta.wordpress.com.
Purnomo, H. dan Adiono. 1995. Ilmu Pangan.Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Radji, M. 2011. Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. EGC. Jakarta.
Raharjo, S. 1999. Teknik Dekontaminasi Cemaran Bakteri pada Karkas dan Daging. Majalah Ilmu dan
Teknologi Pertanian. 19(2): 8.
Sartika, D., Susilawatidan G. Arfani. 2016. Identifikasi Cemaran Salmonella Sp. Pada Ayam Potong
Dengan MetodeKuantifikasi Di Tiga Pasar Tradisional Dan DuaPasar Modern Di Kota Bandar
Lampung. Jurnal Teknologi Industri& HasilPertanian. 21(2):90-96. Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung.
Septerna, H. 2005. Sirsak dan Srikaya: Budidaya untuk Menghasilkan Buah Prima. Penebar Swadaya.
Depok.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2009. Dewan Standardisasi Nasional, SNI Susu Segar (SNI 01-
3141-1998-2009). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Takahashi. 2006.Antibacterial Actifity of Eight Brazilian Annonaceae Plants. Nat. Prod. Res. Vol.
20(1) : 21 – 26.
Usmiati, S. 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. BB Litbang Pascapanen Pertanian,
Bogor.
Zuhud, E. A. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak Menumpas Kanker. Agromedia Pustaka. Jakarta.

193
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH CARA DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP PH, BERAT JENIS,


UJI ALKOHOL DAN UJI DIDIH SUSU ULTRA HIGH TEMPERATURE (UHT)
KEMASAN TERBUKA
EFFECTS METHOD AND STORAGE DURATION ON pH, MASS, AND ALCOHOL AND MELTING
POINT TEST OF OPEN PACAKING ULTRA HIGH TEMPERATURE MILK
Theresia Ika Purwantiningsih1 dan Kristoforus W. Kia1
1
Prodi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Timor

ABSTRAK
Susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang mudah mengalami kerusakan karena merupakan
media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu cara untuk meminimalisir tumbuh
kembang mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan susu adalah dengan mengolah susu menjadi
beberapa produk olahan. Sebagai contoh adalah susu UHT yang sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat di
NTT karena minimnya susu segar di provinsi ini. Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan pengetahuan
kepada konsumen susu UHT cara menyimpan susu UHT yang benar dan berapa lama daya simpan susu UHT
setelah kemasannya dibuka sehingga nilai gizi susu tetap terjaga dan susu layak dikonsumsi. Sebanyak 42 kotak
susu UHT berukuran 1 liter digunakan dalam penelitian ini. Analisis statistik menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) untuk berat jenis, uji alkohol dan uji
didih. Namun uji pH menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa susu
UHT yang disimpan pada suhu ruang masih memiliki sifat fisik yang bagus sampai hari penyimpanan ke tujuh.
Perlu adanya penelitian lanjut tentang kandungan nutrisi di dalam susu UHT, sehingga kita menjadi lebih tahu
bahwa susu masih layak untuk dikonsumsi setelah disimpan dalam kurun waktu beberapa hari.
Kata kunci : Penyimpanan susu UHT, Sifat fisik susu UHT, Susu UHT

PENDAHULUAN
Susu segar merupakan bahan pangan yang kaya akan nutrien dan rentan terkontaminasi
mikroorganisme merugikan yang dapat membuatnya cepat rusak. Memperpanjang daya simpan susu
segar dapat dilakukan dengan membuat produk olahan susu segar. Di antara banyaknya variasi produk
olahan susu, susu UHT merupakan salah satu produk olahan susu yang paling banyak diproduksi dan
mudah dijumpai. Masyarakat di kota Kefamenanu lebih banyak mengkonsumsi susu UHT karena
mudah didapat dan memiliki rasa yang lebih enak. Meskipun sudah diolah, penyimpanan yang kurang
tepat dapat membuat susu UHT cepat rusak dan tidak layak konsumsi.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2017. Rancangan penelitian menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) pola Faktorial 2x7 dengan perlakuan cara penyimpanan sebagai faktor T, terdiri
atas suhu kamar (26°C) dan suhu lemari pendingin (4°C), sedangkan faktor S adalah lama
penyimpanan terdiri atas 7 taraf, yaitu 1,2,3,4,5,6,7 hari dengan pengulangan 3 kali. Parameter yang
diamati meliputi:
1. Uji alkohol. Uji alkohol i dalam tabung reaksi diisi 5 ml susu UHT dan 5 ml alkohol lalu dikocok
keras-keras dan diamati kelarutannya. Bila kelarutan tetap halus berarti uji alkohol negatif (-), bila
timbul tonjolan/gumpalan berarti uji alkohol positif (+) (Soetarno, 2003).
2. Pengukuran pH. pH meter dikalibrasi/standarisasi dahulu dengan larutan buffer pH 7, setelah itu
dicuci dengan aquadest. Sampel dapat diperiksa pHnya dengan memasukkan elektroda pH meter
ke dalam susu UHT yang akan diperiksa. Angka yang didapat diamati sampai menunjuk pada
kondisi konstan (Soetarno, 2003).
3. Uji didih. Susu UHT dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dipanaskan di atas bunsen. Susu
UHT tersebut didiamkan mendidih 5 sampai 10 menit. Kelarutannya diamati, bila kelarutan tetap
halus maka uji didih negatif (-), bila terjadi gumpalan maka uji didih positif (+) (Soetarno, 2003).

194
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

4. Uji berat jenis. Susu UHT sebanyak 500 ml diisikan ke dalam gelas beker. Susu UHT kemudian
dicampur tanpa membuat buih/busa. Laktodensimeter dimasukkan dan dibiarkan beberapa saat
sampai alat tidak bergerak lagi atau berhenti (Soetarno, 2003).

HASIL DAN BAHASAN


Uji alkohol
Uji alkohol adalah suatu uji untuk menentukan sifat – sifat pemecahan protein susu. Uji
alkohol menjadi positif bila susu mulai asam atau sudah asam, susu bercampur dengan kolostrum,
pada permulaan mastitis dan susu tidak stabil disebabkan oleh perubahan fisiologi. Bila hasil
keasaman susu kurang dari 0,21% akan mengendap pada penambahan alkohol terutama kasein dan
kalium yang ditandai dengan adanya gumpalan pada permukaan tabung. Bila keasaman susu lebih
tinggi dari 0,21% atau bila kadar senyawa kalsium dan magnesium lebih besar dari keadaan normal,
maka pemberian alkohol 70% dengan jumlah yang sama dengan susu segar akan dapat mengendapkan
protein yang terdapat dalam susu (Nababan et al., 2015).
Hasil uji alkohol pada susu UHT yang disimpan di suhu ruang dan lemari pendingin dapat
dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji alkohol susu UHT yang disimpan pada suhu ruang dan lemari pendingin
Penyimpanan hari ke - Hasil Uji Alkohol Hasil Uji Alkohol
(suhu ruang) (lemari pendingin)
1 - -
2 - -
3 - -
4 - -
5 - -
6 - -
7 - -
Terlihat pada tabel di atas bahwa hasil uji alkohol pada susu UHT yang disimpan di suhu
ruang dan lemari pendingin menunjukkan hasil negatif. Berdasarkan hasil uji statistik, perlakuan
penyimpanan susu UHT di suhu ruang dan di lemari pendingin menunjukkan hasil yang tidak
signifikan (P>0,05). Susu UHT yang disimpan dalam suhu ruang dan lemari pendingin masih dalam
kondisi baik sehingga masih layak untuk dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwitania dan
Swacita (2013) yang menyatakan bahwa saat susu masih dalam kondisi tidak pecah dan tidak
menggumpal setelah melewati uji alkohol, maka susu dapat dikatakan sehat dan layak konsumsi.
Sebaliknya bila susu pecah atau menggumpal, maka susu tersebut tidak layak konsumsi atau susu
dengan kualitas buruk
pH
Hasil pengukuran pH pada suhu ruang dan lemari pendingin dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil rata – rata pengukuran pH susu UHT yang disimpan pada suhu ruang dan lemari
pendingin
Penyimpanan hari ke - Nilai pH (suhu ruang) Nilai pH (lemari pendingin)
1 5,55 6,34
2 5,54 6,34
3 5,61 6,51
4 5,51 6,53
5 5,52 6,51
6 5,51 6,51
7 5,61 6,49
Terdapat perbedaan pH pada susu UHT yang disimpan dalam suhu ruang dan lemari
pendingin. Susu UHT yang disimpan dalam suhu ruang memiliki pH yang lebih rendah daripada susu
UHT yang disimpan di lemari pendingin. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan

195
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

(P<0,05). pH susu yang disimpan di suhu ruang memiliki pH < 6, hal ini tidak sesuai dengan standar
SNI yaitu 6,3 sampai 6,7. Umumnya susu segar memiliki pH sekitar 6,5 – 6,7. Bila nilai pH susu >6,7
biasanya diartikan terkena mastitis dan bila pH <6 menunjukkan adanya kolostrum ataupun
pembentukan bakteri. Seiring dengan lamanya penyimpanan, pH yang dicapai semakin menurun
karena adanya aktivitas bakteri (Fauzan, 2011). Semakin lama waktu penyimpanan maka semakin
tinggi keasaman susu pasteurisasi. Hal tersebut disebabkan aktivitas bakteri pembusuk asam laktat
seperti Streptococcus thermophilus, Lactobacillus laktis, dan Lactobacillus thermophilus (Suhendar,
1993).
Uji didih
Hasil uji didih pada susu UHT yang disimpan pada suhu ruang dan lemari pendingin dapat
dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji didih susu UHT yang disimpan pada suhu ruang dan lemari pendingin
Penyimpanan hari ke - Hasil uji didih Hasil uji didih
(suhu ruang) (lemari pendingin)
1 - -
2 - -
3 - -
4 - -
5 - -
6 - -
7 - -
Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan, hasil uji didih susu UHT yang disimpan
dalam suhu ruang dan lemari pendingin menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p>0,05). Susu UHT
mempunyai hasil uji negatif pada uji didih karena derajat asamnya masih dalam rentang normal,
karena kemasan susu yang digunakan masih dalam keadaan rapat sehingga mencegah kontaminasi
kembali selama penyimpanan (Dwitania dan Swacita, 2013).
Uji berat jenis
Uji berat jenis pada susu UHT yang disimpan dalam suhu ruang dan lemari pendingin dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji berat jenis susu UHT yang disimpan pada suhu ruang dan lemari pendingin
Penyimpanan hari ke - Rata – rata uji berat jenis (suhu Rata – rata uji berat jenis (lemari
ruang) pendingin)
1 1,025 1,027
2 1,025 1,029
3 1,025 1,028
4 1,025 1,028
5 1,025 1,028
6 1,025 1,028
7 1,025 1,027
Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan, berat jenis susu UHT yang disimpan pada suhu
ruang dan lemari pendingin tidak menunjukkan hasil yang signifikan (P>0,05). Berat jenis minimum
susu sapi menurut SNI (2011) adalah 1,027. Berat jenis susu UHT yang disimpan di lemari pendingin
sudah sesuai dengan standard SNI, namun berat jenis susu UHT yang disimpan di suhu ruang lebih
rendah dari standard SNI. Menurut Murti (2014), berat jenis susu sangat dipengaruhi oleh komponen
penyusunnya yang setiap komponen tersebut mempunyai berat jenis berbeda. Berat jenis lemak di
bawah satu, sedangkan berat jenis protein dan mineral di atas satu. Kombinasi berbagai berat jenis
yang ada memunculkan angka 1,023 – 1,040 pada ragam susunya. Susu sapi dikenal mempunyai berat
jenis terendah dibandingkan susu ternak lainnya dengan susu ternak domba merupakan yang tertinggi.

196
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa susu UHT yang disimpan dalam lemari
pendingin masih dalam kondisi yang baik secara fisik sampai umur simpan 7 hari daripada susu UHT
yang disimpan pada suhu ruang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kualitas kimia untuk
lebih mengetahui kandungan nutrient susu UHT sampai umur 7 hari.

DAFTAR PUSTAKA
Dwitania D.C dan Swacita I.B.N. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu Sapi Kemasan
yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Jurnal Veteriner. 2(4) : 437- 444.
Fauzan. 2011. Tingkat Keasaman Susu Kambing Pasteurisasi UD. Atjeh Live Stock Farm Ditinjau
dari Aspek Mikrobiologisnya. Seminar Nasional Peternakan. Banda Aceh
Murti, T. W. 2014. Pangan, Gizi dan Teknologi Susu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Nababan, M., Suada, I.K dan Swacita, I. B. N. 2015. Kualitas Susu Segar pada Penyimpanan Suhu
Ruang Ditinjau dari Uji Alkohol, Derajat Keasaman dan Angka Katalase. Indonesia Mediacus
Veterinus. 4(4) : 374 – 382
Soetarno, T, 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah. Fakultas
Peternakan. UGM. Yogyakarta
Suhendar. Y., W.I. Dadang, T. Mardi, S. Riyanto, I.R. Palupi, dan O. Sucahyo. 1993. Pasca Panen
Lalai Kualitas Susu Terbengkalai. http://www.agrina-online.com. Diakses 18 September 2017

197
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PERFORMA DAN KOLESTEROL DAGING AYAM BROILER YANG DIBERI


AMPAS SAGU DALAM RANSUM
PERFORMANCE AND MEAT CHOLESTEROL OF BROILER FED RATION CONTAINING SAGO
BY-PRODUCT
Tabita Naomi Ralahalu(1,2), Costantin Christine E. Latupeirissa(1)
(1)
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unpatti
(1)
Korenspon: ipopralahalu@gmail.com

ABSTRAK
Ampas sagu adalah limbah padat yang diperoleh dari proses pengolahan tepung sagu, banyak dijumpai di daerah
penghasil sagu dan belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan baik sebagai sumber energi dan sumber serat.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1). memanfaatkan limbah hasil pengolahan sagu sebagai pakan lokal. 2).
mendapatkan formula ransum dengan bahan baku limbah ampas sagu yang mampu menghasilkan pertumbuhan
yang baik dan menurunkan kolesterol daging ayam broiler. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah
rancangan acak lengkap 4 x 5. Perlakuan yang diuji: R0 (pakan tanpa ampas sagu), R1 (pakan + 10% ampas
sagu), R2 (pakan + 20% ampas sagu) dan R3 (pakan komersial). Setiap ulangan terdiri atas 6 ekor ayam. Peubah
yang diamati konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, kolesterol daging. Uji lanjut yang
digunakan jika hasil penelitian menunjukkan perbedaan nyata adalah uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap konsumsi ransum, PBB dan kolesterol daging ayam. Sedangkan terhadap
konversi ransum menujukkan perbedaan yang tidak nyata. Disimpulkan bahwa ampas sagu dapat digunakan
sebagai bahan dalam ransum ayam broiler hingga 20% dalam ransum karena menghasilkan pertambahan berat
badan ayam broiler 6,55% lebih tinggi daripada pemberian 10%. Pemberian ampas sagu 10% dalam ransum
menghasilkan kolesterol daging ayam broiler 23,41% lebih rendah daripada 20% pemberian ampas sagu.
Kata kunci: ampas sagu, ayam broiler, kolesterol

ABSTRACT
Sago by-product is solid waste yield from sago processing. This by product has not been used as both energy
and fiber source in a ration. This experiment aimed to formulate an appropriate ration containing sago by-
product which gives optimal growth and decrease cholesterol level in broiler meat. Experimental design used
was complete randomized design with 4 treatments and 5 replications. The treatment were R0 (ration without
sago by-product), R1 (ration containing 10% sago by-product), R2 (ration containing 20% sago by-product), R3
(commercial ration). Each replication consists of 6 broilers. Variables measure were feed intake, live weight
gain, feed conversion and meat cholesterol. Data were analysed by Anova, the mean differences were detected
using Duncan Mulptiple Range Test. The result show that the treatments has significant effect on feed intake,
liveweight gain and meat cholesterol. While feed conversion was not affected by the treatments. It might be
concluded that sago by-product can be used as foodstuff in broiler ration, giving sago by-product up to 20% in
the ration increase live weight gain 6.55% higher than those of 10% in the ration, giving sago by-product 10%
in the ration decrease meat cholesterol 23.41% compare to giving 20% sago by-product in the ration.
Keywords: sago by-product, broiler, cholesterol

PENDAHULUAN
Ayam broiler merupakan salah satu komoditi potensial dan bernilai ekonomis sebagai sumber
protein hewani. Pemeliharaan ayam broiler membutuhkan waktu yang sangat singkat, yaitu hanya 5-6
minggu, di mana dibutuhkan pakan berkualitas untuk menghasilkan produk ayam broiler yang
berkualiats. Kolesterol merupakan faktor penting untuk diperhatikan, artinya mengkonsumsi produk
yang tinggi kolesterol dapat menyebabkan kadar kolesterol dalam darah tinggi. Hal ini akan
mengakibatkan atherosklerosis yang merupakan suatu penyakit yang pemicu penyakit jantung
koroner. Kolesterol adalah produk metabolisme hewan oleh karenanya terdapat didalam makanan
yang berasal dari hewan seperti otak, hati, daging dan kuning telur (Murray et al., 2003).
Ransum yang mengandung lemak terutama asam lemak jenuh dalam proses metabolisme akan
menghasilkan kolesterol. Daging ayam broiler memiliki kadar kolesterol yang relatif tinggi
dibandingkan ayam kampung. Bagian dada ayam merupakan bagian luar ayam yang terbanyak
mengandung kolesterol (Piliang dan Djojosoebagiao, 2006). Hal ini disebabkan dada merupakan
tempat timbunan lipid, terutama pada bagian kulitnya yang berminyak. Oleh karena itu perlu
diupayakan suatu cara untuk dapat menurunkan kadar kolesterol. Salah satu cara yang dapat
198
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dilakukan adalah melalui pemberian ransum berbahan serat tidak larut diantaranya selulosa, yang
dapat diperoleh dari ampas sagu.
Ampas sagu adalah limbah padat yang diperoleh dari proses pengolahan tepung sagu, banyak
dijumpai di daerah penghasil sagu. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan ransum ternak
dari banyak pemanfaatannya yang lain. Ratio tepung sagu : ampas sagu adalah 1 : 6 (Rumalatu,
1981). Manfaat penggunaan ampas sagu dalam ransum selain sebagai sumber serat juga dapat
mengurangi penggunaan bahan pakan sumber energi lain seperti jagung dan dedak padi. Mekanisme
serat menurunkan kolesterol serum adalah menunda pengosongan lambung yang pada akhirnya
berefek terhadap penyerapan karbohidrat, dan lipid. Selain itu serat juga berfungsi mengganggu
enzym-enzym pencernaan, mengganggu pembentukan misel, mengganggu kandungan isi usus dan
menghambat biosintesis kolesterol. Dengan demikian pemberian serat berpengaruh bukan saja
terhadap kolesterol tetapi juga terhadap penimbunan lemak tubuh (Stipanuk 2000).

MATERI DAN METODE


Ternak yang digunakan adalah 120 ekor ayam broiler umur sehari gakur SR 707 unsexed.
Ayam dipelihara dalam kandang sistem litter beralaskan serbuk gergaji dan berdinding kawat di sisi
depan dan papan di sisi yang lain. Jumlah petak kandang yang digunakan sebanyak 20 petak dan
setiap petak berisi 6 ekor ayam. Ransum yang digunakan adalah ransum komersial dari P.T Japfa
Comfeed Indonesia dan ransum dibuat dari campuran ampas sagu, tepung jagung, dedak padi, bungkil
kelapa, kacang hijau, tepung ikan, minyak kelapa dan vitamin. Ransum perlakuan terdiri atas empat
,yaitu R0 = ransum tanpa pemberian ampas sagu, R1 = ransum + 10% ampas sagu, R2 = ransum +
20% ampas sagu dan R3 = ransum komersial. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum,
pertambahan bobot badan, konversi ransum ransum dan kolesterol daging ayam. Baan ransum yang
digunakan sebelumnya dianalisis untuk kebutuhan membuat formula ransum penelitian. Ransum
yang dibuat mempunyai kadar protein dan energi metabolisme yang relatif homogen yaitu 18,17 – 18,
26% dan 2922,66 – 2928,33 kkal/kg. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap
dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam
dilanjutkan dengan uji Duncan (Gaspersz, 1995).

HASIL DAN BAHASAN


Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum ayam broiler selama penelitian pada semua perlakuan memperlihatkan
hasil yang bervariasi (Tabel 1), dan hasil tersebut terlihat jelas perbedaannya pada perlakuan R3
dengan peningkatan sebesar 16,86% dari perlakuan R0. Hasil analisis statistik menunjukkan
perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum. Berdasarkan
Tabel1 konsumsi ransum ayam boiler pada perlakuan R3 lebih tinggi daripada R0, R1 dan R2
sedangkan R0, R1 dan R2 memperlihatkan hasil yang tidak signifikan. Selama penerlitian, konsumsi
ransum yang tertinggi didapatkan pada ayam broiler yang menerima perlakuan R3 dan terendah pada
perlakuan R0.
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas ransum, dalam hal
ini kadar protein dan energi metabolisnya, serta keseimbangan antara energi metabolis dengan nutrisi
lainnya (Wahju, 2004). Selain itu konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin,
suhu lingkungan, dan aktifitas ternak. Menurut Amrullah, (2003) bahwa konsumsi ransum selama
masa produksi dialokasikan untuk memenuhi beberapa macam kebutuhan, salah satu diantaranya
seperti kebutuhan hidup pokok yang besarnya tergantung pada bobot tubuh. Tingginya konsumsi
pakan pada kelompok ayam yang menerima perlakuan R3 disebabkan bertambahnya berat badan ayam
broiler yang lebih tinggi daripada perlakuan R0, R1 dan R2. Berat badan yang tinggi mempunyai
hubungan erat dengan jumlah ransum yang dikonsumsi. Kondisi ini terjadi karena ayam akan
mengkonsumsi ransum lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan.
Sebaliknya konsumsi ransum yang paling rendah terdapat pada perlakuan R0. Hal ini disebabkan
kadar serat kasar yang tinggi (5,01%), dan salah satu komponen penyusun serat kasar, yakni lignin
sebesar 2,36%. Kondisi ini menggambarkan ransum tersebut kurang palatabel. Sinurat, dkk (1995)
menyatakan bahwa serat kasar dalam pakan yang terlampau tinggi akan menurunkan konsumsi
ransum. Konsumsi ransum pada hasil penelitian ini hampir sama dengan konsumsi ransum yang

199
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dilaporkan oleh Wiryawan, dkk (2007), dengan variasi konsumsi ransum antara 1909–2163 g/ekor
selama 5 minggu pemeliharaan. Sebaliknya Nurhayati, (2013) melaporkan konsumsi ransum ayam
broiler yang dipelihara selama 4 minggu berkisar antara 2209,76–2609,04 g.

Tabel 1. Konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler yang
diberikan ransum tanpa ampas sagu (R0) atau ransum+10% ampas sagu (R1) atau
ransum+20% ampas sagu (R2) atau ransum komersil (R3) selama 5 minggu pemeliharaan
Pertambahan bobot Konversi Kolesterol
Konsumsi ransum
Perlakuan badan (g/hari) ransum daging
(g/ekor)
(mg/100g)*
R0 1922,89(b) 1285,62(b) 1,502(a) 71,62(b)
(b) (b) (a)
R1 1976,20 1202,78 1,653 67,87(b)
(b) (b) (a)
R2 1982,71 1281,61 1,567 88,61(a)
(a) (a) (a)
R3 2312,83 1511,78 1,538 47,75( c )
*)
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Kadar kolesterol daging pada ayam umur 6 minggu

Pertambahan Bobot Badan


Pertambahan bobot badan ayam broiler selama penelitian pada semua perlakuan
memperlihatkan hasil yang bervariasi, terutama pada perlakuan R3. Pertambahan bobot badan ayam
broiler mempunyai variasi yang berbeda jauh, yaitu 1511,78 g dengan peningkatan sebesar 20,44%
dari perlakuan R1. Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan yang diberikan memberikan
pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap pertambahan berat badan. Berdasarkan Tabel 1 perlakuan R3
memperlihatkan hasil yang nyata terhadap R0, R1 dan R2 sedangkan R0, R1 dan R2 memperlihatkan
hasil yang tidak nyata. Selama penelitian, pertambahan bobot badan yang tertinggi didapatkan pada
ayam broiler yang menerima perlakuan R3 dan terendah pada perlakuan R1.
Pertambahan bobot badan merupakan cerminan dari ransum yang dikonsumsi, artinya jika
ransum yang dikonsumsi banyak akan menghasilkan pertambahan bobott badan yang tinggi. Ayam
broiler yang menerima pakan R3 mengkonsumsi ransum lebih tinggi dan berdampak dalam
meningkatkan pertambahan bobot badan. Kondisi ini ditunjang dengan jumlah konsumsi protein ayam
broiler pada perlakuan R3 lebih tinggi (381,15 g) daripada perlakuan R0, R1 dan R2, yang berkisar
antara 323,66 – 361,45 g). Selain itu jumlah serat kasar yang dikonsumsi ayam broiler yang menerima
perlakuan R3 lebih rendah (70,08 g) dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R2, masing-masing
96,34 g, 94,07 g dan 83,47 g. Kondisi ini menyebabkan tersedianya nutrisi yang lebih baik untuk
pertumbuhan ayam yang menerima perlakuan R3. Pertambahan bobot badan ini lebih tinggi daripada
pertambahan bobot badan yang dilaporkan oleh Wiryawan, dkk (2007), yaitu 885 – 995 g/ekor dengan
variasi kadar serat kasar pakan antara 3,03 – 4,43%.

Konversi Ransum
Konversi ransum ayam broiler selama penelitian pada semua perlakuan memperlihatkan hasil
yang hampir sama. Hasil analisis statistik, menunjukkan perlakuan yang diberikan tidak berpengeruh
nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum. Hal ini berarti perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh
terhadap konversi ransum. Hasil ini menggambarkan perlakuan yang diberikan belum memperbaiki
konversi ransum, walaupun terlihat ayam yang menerima perlakuan R3 mempunyai pertambahan
bobot badan selama penelitian lebih tinggi. Namun pertambahan bobot badan yang tinggi tersebut
diikuti dengan konsumsi ransum yang lebih tinggi pula. Konversi ransum yang diperoleh dalam
penelitian ini menunjukkan pemberian ampas sagu hingga 20% dalam ransum tidak menyebabkan
pengaruh negatif terhadap efisiensi penggunaan pakan. Konversi ransum pada penelitian ini lebih
baik daripada konversi ransum yang dilaporkan oleh Ketaren, dkk (2001), yaitu 1,75- 1,81 pada ayam
broiler yang dipelihara sampai umur 5 minggu.

Kolesterol Daging
Kolesterol daging ayam broiler selama penelitian pada semua perlakuan memperlihatkan hasil
yang bervariasi, terutama pada perlakuan R2 yang tinggi dan R3 yang rendah. Hasil analisis statistik,

200
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menunjukkan perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kolesterol daging.
Rendahnya kadar kolesterol daging ayam pada perlakuan R3 diduga disebabkan kadar lemak ransum
yang rendah (5,13%). Selain itu kadar serat terlarut, yaitu selulosa lebih tinggi pada ransum R3
dibandingkan dengan pada ransum R2. Menurut Supadmo (1997), serat larut menurukan kolesterol,
sedangkan serat tidak larut mempunyai efek melancarkan pembuangan sisa makanan secara alami.
Sebaliknya untuk perlakuan yang diberi ampas sagu, pemberian 20% ampas sagu (R2) justru
mempunyai kadar kolesterol yang tinggi. Hal ini disebabkan kadar selulosa yang rendah, selain itu
kadar lignin yang tinggi pada R2 dibandingkan pada R3 juga merupakan faktor yang mengakibatkan
tingginya kadar kolesterol daging ayam. Lignin adalah fraksi yang resisten terhadap pencernaan dan
penyerapan di usus halus. Lignin termasuk dalam dietary fiber yang insoluble tidak membentuk gel
sehingga sangat minim untuk difermentasi. Dengan demikian peranannya dalam menurunkan
kolesterol seperti kelompok dietary fiber soluble lebih rendah. Hasil penelitian ini, khususnya pada
kadar kolesterol daging ayam broiler yang diberi 10% ampas sagu dalam ransum mendekati kadar
kolesterol daging ayam broiler yang diberi 7% dan 14% campuran ampas sagu dan ampas tahu
fermentasi, masing-masing 69,62 mg/100g dan 62,88 mg/100g yang dipelihara selama 42 hari
(Nuraini, 2009). Demikian halnya, pemberian 10% ampas sagu (67,87 mg/100g) pada hasil
penelitian ini sama dengan kadar kolesterol daging itik Alabio yang diberi 10% ampas sagu (67,67
mg/100g) dalam ransum (Hehanussa, dkk., 2013).

SIMPULAN
Ampas sagu dapat digunakan sebagai bahan dalam ransum ayam broiler. Pemberian ampas sagu
hingga 20% dalam ransum menghasilkan pertambahan berat badan ayam broiler 6,55% lebih tinggi
daripada pemberian 10% ampas sagu. Pemberian ampas sagu 10% dalam ransum menghasilkan
kolesterol daging ayam broiler 23,41% lebih rendah daripada 20% pemberian ampas sagu.

DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke-3. Seri Beternak Mandiri. Satu Gunung budi
Bogor.
Gaspersz V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung. Penerbit Tarsito.
Hehanussa, S.Ch.H; Ralahalu, T.N; Latupeirissa, C.Ch.E. Kualitas karkas dan Kadar Kolesterol
Daging itik yang Diberi ransum Mengandung Ampas Sagu. Laporan Penelitian Hibah Bersaing,
Universitas Pattimura.
Ketaren P.P; Sinurat A.P; Purwadaria T; Kompiang I.P dan Amir M. 2001. Penggunaan Rayap
(Glytotermes Montanus) sebagai Bahan Pakan Ayam. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol.
6 (2): 100-106.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Bani AP, Sikumbang
TMN, Editor. Jakarta. Buku Kedokteran EGC.
Nuraini, 2009. Performa Broiler dengan Ransum Mengandung Campuran Ampas Sagu dan Ampas
Tahu yang Difermentasi dengan Neurospora crassa. Media Peternakan Vol.32 (3):196-203.
Nurhayati. 2013. Penampilan Ayam Pedaging yang Mengkonsumsi Pakan Mengandung Tepung Kulit
Nenas Disuplementasi dengan Yoghurt. Agripet. Vol. 13. No. 2.
Piliang W.G, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Bogor. IPB Press.
Rumalatu F.J. 1981. Distribusi dan potensi pati beberapa sagu (Metroxylon sp) di daerah seram barat.
Bogor: Fakultas Pertanian/Kehutanan yang berafiliasi dengan Fateta IPB, Bogor.
Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, J. Dharma dan T. Haryati. 1995. Tingkat penggunaan bungkil
kelapa fermentasi dan non fermentasi pada ransum itik petelur. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian
APBN Tahun Anggaran 1994/1995.Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Soepadmo, 1997. Pengaruh sumber kitinn dan prekursor karnitin serta minyak ikan lemuru terhadap
kadar lemak dan kolesterol serta asam lemak omega-3 ayam broiler. Disertasi Program
Pascasarjana IPB, Bogor.
Stipanuk MH. 2000. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. United States of
America. Saunders Company.
Wahyu, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Edisi kelima. Universitas Gajah Mada Press,Yogyakarta.

201
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Wahyuni S; Budinuryanto D.P; Supratman H dan Suliantari. 2011. Respon Broiler Terhadap
Pemberian Ransum Mengandung Dedak Padi Fermentasi oleh Kapang Aspergillus ficuum.
Jurnal Ilmu Ternak. Vol.1. No.10. Hal. 26-31.
Wiryawan K,G; Wiranti S; Herman W dan Suharti S. 2007. Peningkatan Performa Ayam Broiler
dengan Suplementasi Daun Salam [Sysgium polyanthum (Wight) Walp] sebagai Antibakteri
Escherechia coli. Media Peternakan, Vol. 30. No.1. Hal. 52-62.

202
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KANDUNGAN AIR, LEMAK, PROTEIN DAN KOLESTEROL SE’I SAPI YANG


DIBERI EKSTRAK JERUK NIPIS DAN KELOPAK BUNGA ROSELA
ATER, FAT, PROTEIN AND CHOLESTEROL CONTENT OF SE’I (Rotenesse smoked meat)
TREATED WITH LIME AND ROSELLE CALYCES EXTRACT
Gemini E. M. Malelak1, Pieter Rihi Kale1, Heri Armadianto1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang, Jl. Adi Sucipto Penfui Kupang
Email: geminimalelak@yahoo.com.au

ABSTRAK
Penggunaan ekstrak buah jeruk nipis atau ekstrak kelopak bunga rosela lasim digunakan dalam pengolahan
pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak jeruk nipis atau ekstrak
kelopak bunga rosela pada rasa kandungan protein, lemak dan kolesterol se’i. Parameter yang diukur adalah:
rasa se’i, kadar air, protein, kadar lemak dan kadar kolesterol. Perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05 pada
kandungan air, protein, lemak dan kolesterol daging se’i. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: Pemberian
ekstrak jeruk nipis 2% menurunkan kadar air, menurunkan kadar protein, lemak dan kolesterol. Pemberian
ekstrak rosela menyebabkan kadar air se‟i sapi meningkat, menurunkan kadar protein, lemak dan kolesterol.
Jeruk nipis menurunkan kandungan air sedangkan rosela dan jeruk purut cenderung meningkatkan kandungan
air se’i. Jeruk nipis dan rosela menurunkan kandungan protein, lemak dan kolesterol se’i sapi.
Kata kunci: se’i, jeruk nipis, rosela

ABSTRACT
Adding lime and roselle calyces always used in food processing. The aim of this experiment was to evaluate the
effect of using lime and roselle calyces on se’i. Variables measured were: water, protein, fat and cholesterol.
Analysis statistic showed that treatment was significantly effect (P<0.05 on water, protein, fat and cholesterol.
Addition of 2% of lime extract caused reducing on water, protein, fat and cholesterol. While addition of roselle
calyces extract water content of se’i increased, protein, fat and cholesterol decreased. In conclusion lime
reduces water content while roselle calyces enhance the warter content of se’i. Both lime and roselle reduce
protein, fat and cholesterol of beef se’i.
Key words: se’i, lime, jeruk nipis, rosele

PENDAHULUAN
Keunggulan dari kelopak bunga rosela yang berwarna merah disebabkan oleh tingginya
kandungan anthocyanins dan asam askorbat yang berfungsi sebagai antioksidant (Bozkurt dan
Belibagl, 2009). Anthocyanin adalah pigment flavonoid yang larut dalam air yang bertanggung jawab
pada warna merah, biru dan ungu dalam buah – buahan dan sayur – sayuran. Favonoids merupakan ”
aromatic secondary plant metabolites and radical scavenging activity”/ antioksidan (Gattuso et al,
2007). Anthocyanins dalam pigment Rosela diidentifikasikan sebagai delphinidin- 3- sambubioside
dan delphinidin – 3- glucoside dan cyanidin – 3- sambubioside ( Wong et al, 2002). Sedangkan
pemberian ekstrak rosela dapat menurunkan angka oksidasi lemak dan menurunkan kandungan lemak
(Malelak et al., 2015a).
Buah-buahan jeruk mengandung komponen-komponen bioaktif seperti: ferulic acid,
hydrocinnamic acid, cyanidin glucoside, hisperidine, vitamin C, caratenoid and naringin (Xu et al,
2008). Pemberian ekstrak jeruk nipis menyebabkan aroma se,i sapi beraroma dan mempunyai rasa
asam jeruk nipis serta dapat menurun total plate count (TPC) (Malelak et al., 2015b). Pengaruh
penggunaan ekstrak jeruk nipis atau rosela terhadap nilai nutrisi atau kandungan kolesterol daging se’i
belum dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberiak ekstrak buah jeruk
nipis atau rosela pada nilai gisi dan kandungan kolesterol se’i sapi.

MATERI DAN METODE


Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 2 x 4 dengan pola
faktorial . Setiap kombinasi perlakuan terdapat 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis ekstrak yaitu:
203
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

ekstrak rosela (ER) dan Ekstrak jeruk nipis (EJN). Faktor ke dua adalah level pemberian yaitu: 0%
(sebagi kontrol), 1%, 2% dan 3% (v/w).

Materi penelitian
Ekstrak rosela dikering dengan sinar matahari (suhu ± 300C) sampai kering. Kelopak bunga
rosela yang telah kering diblender halus menggunakan blender Philip, untuk mendapatkan bubuk
rosela. Untuk mendapatkan 1% - 3% ekstrak rosela, ambil masing – masing 1, 2 dan 3 g masukkan ke
dalam volumetrik gelas dan kedalam masing – masing volumetrik glas tambahkan air mineral sampai
mencapai 100 mL, stir pada suhu 60ºC selama 5 menit dan saring dengan kertas Whatman (No.41)
(Karabacak and Bozkurt, 2008).
Ekstrak jeruk nipis didapat dengan cara buah jeruk dipukul – pukul terlebih dahulu sampai
menjadi lunak, kemudian kulit dan isi buahnya diiris melingkar dari satu sudut ke sudut lainnya,
diperas, disaring dimasukkan ke botol kaca dan disimpan di refrijerator dengan suhu 40C sampai
digunakan (paling lama 3 hari). Untuk mendapatkan 1% -3% ekstrak jeruk purut, ambil masing –
masing 1 mL, 2 mL dan 3 mL ekstrak jeruk nipis, masukkan ke dalam volumetric glas dan tambahkan
aquades sampai mencapai volume 100 mL. Campuran tersebut dipanaskan menggunakan striring hot
plate pada suhu 45ºC selama 30 menit, saring menggunakan kertas Whatman (No.41).

Pembuatan daging se'i


Daging sapi segar ditimbang, kemudian dikeluarkan jaringan ikatnya dan lemak, daging
dipotong memanjang seperti tali (lalolak) dengan panjang 1 meter (dua kali ukuran tinggi frame).
Daging ditimbang untuk menentukan banyaknya garam dan saltpeter yang akan diberikan. Garam
yang diberikan adalah 2% dan saltpeter sebanyak 500 mg untuk 1 Kg daging. Untuk perlakuan
ekstrak rosela, jeruk purut dan jeruk nipis, masing – masing ekstrak ditambahkan ke bahan kuring
sesuai level perlakuan kemudian dicampurkan ke daging dan diperam selama ± 12 jam.

Pengukuran Kadar Air, Protein, Lemak dan Kolesterol


Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Pengukuran kadar
protein dilakukan dengan metode mikro kjeldahl. Analisa kadar lemak dilakukan dengan metode
soxhlet (AOAC, 2005). Kadar kolesterol dianalisa menngyunakan metode Lieberman-Burchards yang
menggunakan alat spesifik berupa spektrofotometer. (Astuti, 2010)

Analisa Statistik
Data untuk dianalisis menggunakan ANOVA dan dilanjut dengan uji Duncan (SPSS 18).

HASIL DAN BAHASAN


Air, Protein, Lemak, Kolesterol
Rataan kandungan air, protein, lemak dan kolesterol se’i sapi terlihat pada Tabel 1. Hasil analisa
statistik menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pemberuian ekstrak dan level pemberian
berpengaruh nyata (P<0.05 terhadap kandungan air, protein, lemak dan kolesterol daging se’i.
Pemberian ekstrak jeruk nipis atau ekstrak rosela menyebabkan kandungan air se’i meningkat, kecuali
pada pemberian ekstrak jeruk nipis 2%, kandungan air menurun sebanyak ± 50%. Persentase protein
dan lemak menurun ketika diberi ekstrak rosela dan jeruk nipis.
Air yang terkandung dalam daging berada diantara myofibril (Lawrie, 1998). Sehingga jika
kandungan air dalam se’i karena pemberian ekstrak rosela dan jeruk nipis, menyebabkan kandungan
nutrisi lainnya, protein dan lemak menurun. Namun, kadar air yang rendah pada se’i yang diberi
ekstrak jeruk nipis 2%, tidak menyebabkan kandungan protein dan lemak lebih tinggi dibanding
kombinasi perlakuan lainnya.
Pada jeruk nipis dan kelopak rosela terdapat asam – asam organik. Pemberian asam – asam
organik menyebabkan pembengkakan serabut – serabut otot (Offer and Knight, 1988) dan
menyebabkan penguraian protein oleh ensim – ensim cathepsin (Burke and Monahan,2013).
Penguraian protein ini kemungkinan yang menyebabkan pada saat diasapi se’i yang diberi perlakuan
ekstrak jeruk nipis dan rosela banyak kehilangan protein.

204
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Table 1. Rata-rata kandungan air, protein, lemak dan kolesterol se’i yang diberi ekstrak jeruk nipis
atau ekstrak rosela
Variable Ekstrak Level pemberian
0% 1% 2% 3%

Air (%) Rosela 56,23 ± 0,01b 61,16` ± 0,01cd 62,45±0,01d 62,45±0,01d


Jeruk nipis 56,23 ± 0,01b 59,85 ± 0,02c 24,43 ±0,11a 59,88 ±0,01b

Protein (%) Rosela 46,10 ±0,01a 34,52 ± 0.04c 32,62±0,03d 35.43 ±0,01b
Jeruk nipis 46,10 ±0,01a 33,80 ± 0,01c 35,12±0,02bc 35,73 ±0,03b

Lemak (%) Rosela 3,5 ± 0,03f 1,14 ± 0,02b 1,84 ± 0,01d 1,04 ±0,03a
Jeruk nipis 3,5 ± 0,03f 2,04 ± 0,02 e 1,90±0,01d 1,53 ± 0,01c
Kolesterol Rosela 85 ± 0,02c 14 ± 0,02a 16 ± 0,01b 17 ±0,01b
c a a
(mg/100 mg) Jeruk nipis 85 ± 0,02 14 ± 0,02 14 ± 0,02 13 ± 0,01a
Supercript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P <0,05). ± Std (standard
deviasi)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak jeruk nipis dan rosela dapat
menurunkan kandungan lemak dan kolesterol se’i sapi. Kandungan lemak terendah adalah pada se’i
yang diberi ekstrak rosela 3%. Malelak et al (2015b) juga melaporkan bahwa pemberian ekstrak
rosela dapat menurunkan kadar lemak pada se’i sapi. Cengiz and Gokoglu (2007) melaporkan bahwa
penggunaan serabut buah – buahan jeruk (citrus fiber) dapat menurunkan lemak sebanyak 50-75%
pada frankfurter.(sosis Vienna)..
Kandungan kolesterol terendah pada perlakuan jeruk nipis dengan level 1-3% dan ekstrak
rosela 1%. Umumnya kolesterol pada daging berkisar 75– 95 mg/ 100 g. Sedangkan pada ginjal,
jantung dan hati lebih tinggi yaitu 300-375 mg/ 100 g daging ( Chizzolini et al., 1999). Kandungan
kolesterol se’i sapi pada penelitian ini masih berada dalam kisaran normal (Tabel 1).

SIMPULAN
Pemberian ekstrak rosela maupun jeruk nipis dengan level pemberian 1-3% menyebabkan
kandungan protein, lemak dan kolesterol se’i sapi menurun.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th ed. Association of Official Analytical Chemists,
Arlington, Virginia, USA.
Bozkurt, H and Belibagl, K.B.. 2009. Use of Rosemary and Hibiscus sabdarifa L in production of
Kavurma, a cooked meat product. Journal of the science of food and agriculture.. 89 (7):1168-
1180
Burke, R.M. dan F.J. Monahan. 2003. The tenderisation of shin beef using a citrus juice marinade.
Meat Science 63: 161-168.
Cengiz, E and Gokoglu, N. 2007. Effec t of fat reduction and fat replacer addition on some quality
characteristics of frankfurter – type sausages. International Journal of Food Science and
Technology. 42 (3): 366-372.
Chizzolini, R., Zanardi, E., Dorigoni, V and Ghidini, S. 1999. Calorific value and cholesterol content
of normal and low-fat meat and meat products. Trends in Food Science and Technology. 10
(4): 119-128.
Gattuso G., Barreca D., Gargiulti C., Leuzzi U and Caristi C. 2007. Flavonoid composition of citrus
juices. Molecules 12:1641-1673.
Karabacak, S and Bozkurt, H. 2008. Effects of Urtica dioca and Hibiscus sabdarifa on the quality and
safety of sucuk (Turkish dry-fermented sausage). Meat Science. 78: 288-296.
Lawrie, R.A. 1988. The conversion of muscle to meat. In R. Lawrie (Ed). Lawrie‟s Meat Science. 6 th
ed (00.219 – 230). Cambridge: Woodhead Publishing Limited.

205
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Malelak G.E.M., Sipahelut G.M., Denoratu M.R and Jelantik I.G.N. 2015a. Effects of Hibiscus
sabdariffa and Schleichera oleosa liquid smoke on lipid content, lipid oxidation and residual
nitrie in se’i (Rotenese smoked beef). Processing International Seminar on Tropical Animal
Production. P. 683-687. 20-22 Oktober 2015. Yogyakarta, Indonesia.
Malelak G.E.M., Sipahelut, G.M., Jelantik I.G.N., Deno Ratu, M.R., Lalel, H.J.D. 2015b.
Characteristics of Se’i (Rotenesse smoked meat) Treated with Coconut Shell Liquid Smoked
and Citrus aurantifolia Extract. Media Peternakan. 38 (2): 89-94.
Offer, G and Knight, P. 1988. The structural basis of water - holding in meat. Part 1: general
principles and water uptake in meat processing. In R. Lawrie (Ed). Development in meat
science 4 (pp. 63-171). London: Elsivier Science.
Wong, P.K., S. Yusof, H.M.Ghazali and Y.B.Che Man. 2002. Physico-chemical characteristics of
roselle (Hibiscus sabdarifa L). Nutrition and Food Science; 32, 2/3. P.68
Xu G., D Liu., J Chen., X Ye., Y Ma dan J Shi. 2008. Juice components and antioxidant capacity of
citrus varieties cultivated in China. Food Chem. 106: 545-551.

206
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KADAR ASAM ASETAT, FENOL DAN KARBONIL ASAP CAIR KAYU KUSAMBI
DAN DENGAN CAMPURAN ASAP CAIR DAUN KUSAMBI
ACETIC ACID, PHENOL AND CARBONYL CONTENT KUSUM WOOD LIQUID SMOKED AND
WITH KUSUM LEAF LIQUID SMOKED

Bastari Sabtu1,2 dan Ni Putu Febri Suryatni2


1
Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana
2
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Jln Adisucipto-Penfui Kupang-Nusa Tenggara Timur
Bastarisabtu@rocketmail.com

ABSTRAK
Kayu kusambi (Schleichera oleosa) sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan asap cair dan digunakan
sebagai pengganti proses pengasapan tradisional dalam pembuatan Se‟i, sebaliknya pemanfaatan daun kusambi
dalam bentuk asap cair belum banyak dilakukan, sementara itu, daun kusambi diperkirakan dapat meningkatkan
aroma Se‟i. Berapa besar sifat-sifat fungsional yang meliputi asam asetat, total fenol, karbonil asap cair kayu
kusambi (ACKK) yang dicampur dengan asap cair daun kusambi (ACDK), hal ini yang menjadi pokok kajiannya,
Materi yang digunakan adalah kayu dan daun kusambi segar. Asap cairnya dibuat di Politani Negeri Kupang,
meliputi proses pirolisa dan pemurnian dan hasil pencampurannya dianalisis di laboratorium Chem-Mix Pratama
Bantul, yogyakarta. Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri dari 3 (tiga)
perlakuan yaitu 100% ACKK; 75% ACKK+25% ACDK, dan 50% ACKK+50% ACDK, diiulang sebanyak 3 kali.
Penelitian menghasilkan warna asap cair sedikit lebih pekat dan lebih menyengat pada ACKK 100%,
dibandingkan campurannya, semakin tinggi ACDK yang ditambahkan warna semakin terang dan aroma
menyengat semakin berkurang. Kadar asam asetat, total fenol, karbonil yang dihasilkan berbeda Secara berturut-
turut, asam asetat, 7,95%, 7,53% dan 5,89%, fenol, 0,48%, 0,44% dan 0,39%, karbonil, 1,22%, 1,09% dan
1,06%. Kesimpulan, persentase asam asetat, fenol dan karbonil ACKK semakin menurun dengan meningkatnya
penambanhan ACDK, tetapi semakin tinggi campuran ACDK, warna asap cair yang dihasilkan semakin jernih
dan aroma asap cair tidak terlalu menyengat. Konsentrasi 50% ACKK dan 50% ACDK sudah dapat digunakan
untuk pembuatan Se‟i untuk mengurangi penggunaan kayu kusambi.
Kata kunci : asap cair, kayu kusambi, daun kusambi

ABSTRACT
Kusum wood (Schleichera oleosa) has been used as a raw material for liquid smoke manufacture and used as a
substitute for the traditional fumigation process in making Se'i (Rotenesse smoked meat), otherwise the use of
kusum leaf has not been done, kusum leaf is estimated to increase the aroma Se'i. The functional properties that
include acetic acid, phenol, carbonyl of kusum wood liquid smoke (KWLS) mixed with kusum leaf Liquid smoke
(KLLS), this is the subject of the study. The material used is wood and fresh kusum leaves. Liquid smoke made in
Kupang agriculture politechnic, covering the process of pyrolysis and purification and mixing results are
analyzed in laboratory of Chem-Mix Pratama Bantul, yogyakarta. The study was designed using Completely
Randomized Design, consisting of 3 (three) treatments ie 100% (KWLS); 75%KWLS+25%KLLS, and
50%KWLS+50%KLLS, replicated 3 times. The study yielded a slightly more concentrated liquid smoke color
and stung at 100% KWLS, compared to the mixture, the higher the KLLS added lighter color and the less
stinging aroma. The concentration of acetic acid, phenol, carbonyl produced differed respectively, acetic acid,
7.95%, 7.53%, 5.89%, phenol, 0.48%, 0.44%, 0.39% , carbonyl, 1.22%, 1.09%, 1.06%. In conclusion, acetic
acid, phenol and carbonyl KWLS levels decreased in percentage with increasing KLLS addition concentration,
but the higher the KLLS mixture, the resulting liquid smoke became clearer and the smell of liquid smoke was
less intense. Concentrations of 50%KWLS + 50%KLLS can already be used for the manufacture of Se'i to
reduce the use of kusum wood.

Keywords: liquid smoke, kusum wood, kusum leaf

PENDAHULUAN
Salah satu alternatif bahan pengawet makanan yang sudah banyak dikembangkan adalah asap
cair. Asap cair (liquid smoke) merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil
pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang mengandung lignin,
selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Selama pembakaran, komponen kayu mengalami
pirolisis sehingga menghasilkan berbagai macam senyawa antara lain fenol, karbonil, asam, furan,
207
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

alkohol, lakton, hidrokarbon, polisiklik aromatik dan senyawa lainnya. (Darmadji, 2002., Wijaya et
al., 2008). Beberapa komponen asap air merupakan toksik dan bersifat karsinogen. Hasil pirolisis
tahap awal mempunyai kandungan benzo(a)piren yang tinggi dan berbahaya, untuk memberikan efek
aman, perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian tingkat pertama akan dihasilkan asap cair yang bebas tar
dan kandungan benzo (a)piren sehingga aman untuk digunakan sebagai pengawet (Himawati, 2010).
Beberapa sifat fungsional asap cair adalah fenol dan karbonil untuk memberi aroma, rasa dan warna;
fenol dan asam sebagai bahan pengawet yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan (Pszczola,
1995)
Kayu Kusambi (Schleichera oleosa) merupakan kayu keras dan keberadaannya cukup penting
bagi masyarakat NTT karena banyak dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan bahan pengasap daging
khususnya Se‟i (daging asap khas Timor). Se‟i yang diasapi kayu kusambi akan memiliki flavor yang
lebih baik dibandingkan dengan kayu yang lain. Kayu kusambi memiliki kandungan fenol yang lebih
tinggi dari pengasap dari tempurung kelapa. Kayu kusambi memiliki komponen 2,6-dimetoksifenol,
yaitu mencapai 1090 ppb, dua kali lipat kandungannya pada daging asap biasa (Rizqiati et al., 2005).
Selain kayu kusambi yang digunakan, biasanya masyarakat pulau Timor juga memanfaatkan daun
kusambi sebagai penutup daging di dalam proses pengasapan Se‟i. Berapa besar sifat fungsional asam
asetat, fenol, karbonil ACKK dan kombinasi ACKK dan ACDK, hasil pirolisis pada suhu 400°C dan di
destilasi (suhu 120°C) dengan lama 70 menit, hal ini yang disajikan dalam tulisan ini

METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan adalah kayu dan daun kusambi Pembuatan asap cair dilakukan di
laboratorium Politani Negeri Kupang dan dianalisis di Laboratorium Chem-Mix Pratama, Bantul
Yogyakarta. Rancangan acak lengkap dalam penelitian terdiri dari 3 perlakuan 3 ulangan. Tiga
perlakuan tersebut adalah :
K100 : 100% ACKK (Asap Cair Kayu Kosambi)
K75D25 : 75% ACKK + 25% ACDK (asap cair daun kosambi)
K50D50 : 50% ACKK + 50% ACDK
Pelaksanaan penelitiaan terdiri dari pembuatan asap cair, pemurnian dan pencampuran asap
cair sebagai perlakuan. Variabel yang diukur yaitu asam asetat, fenol dan karbonil.

HASIL DAN BAHASAN


Asap cair kayu dan daun Kusambi hasil pirolisis
ACKK dan ACDK menghasilkan kepekatan yang sedikit berbeda. ACKK lebih pekat
dibandingkan ACDK. Keadaan ini disebabkan karena kayu mengandung berbagai komponen seperti
hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang mana tidak dimiliki oleh daun kusambi sehingga pada saat
pirolisis komponen-komponen kayu menghasilkan jumlah tar yang tinggi terutama dihasilkan oleh
komponen lignin.

10
7,95 7,53
8
5,89
6
Asam asetat
% 4 Fenol
1,23 1,09 1,06 Karbonil
2 0,48 0,44 0,39
0
K100 K75D25 K50D50
Grafik 1. Kadar asam asetat, fenol dan karbonil asap cair kayu kusambi (K100) atau campuran asap
cair 75% kusambi dan 25% asap cair daun kusambi (K75D25) atau campuran asap cair
50% kusambi dan 50% asap cair daun kusambi (K50D50).

208
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Hasil pemurnian asap cair memberikan kepekatan yang berbeda. ACKK menghasilkan cairan yang
sedikit coklat kekuningan. ACDK lebih jernih. Aroma ACKK lebih menyengat dibandingkan ACDK.
Hasil pencampuran ACKK dan ACDK menghasilkan warna asap cair berbeda. Komposisi ACKK yang
lebih banyak dari ACDK menghasilkan warna sedikit lebih pekat dibandingkan dengan komposisi
yang sama antara ACKK dengan ACDK.

Kadar Asam Asetat


Asam asetat merupakan hasil pirolisa komponen hemiselulosa, selulosa. Hemiselulosa tersusun
dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5)n. Pirolisa pentosan menghasilkan furfural, furan dan
derivatnya bersama-sama dengan rantai panjang asam karboksilat, sedangkan hasil pirolisa heksosan
bersama-sama dengan selulosa akan membentuk asam asetat dan homolognya (girard, 1992 dan
Darmadji, 2009). Selulosa terbentuk dari molekul gula polisakarida yang merupakan rantai panjang.
Polisakarida tersusun dari unit-unit glukosa. Pirolisa tahap pertama dari selulosa akan menghasilkan
glukosa dan pada tahap kedua terjadi pembentukan asam asetat dan homolognya (Darmadji, 2009).
Darmadji (2002) menyatakan bahwa asam-asam dalam asap cair terdiri dari yang ada di dalam distilat
asap cair meliputi asam format, asetat, propionat, butirat, valerat dan isokaproat. Asam-asam tersebut
dapat mempengaruhi flavor, pH dan umur simpan makanan. Senyawa asam terutama asam asetat
mempunyai aktivitas antimikrobia dan pada konsentrasi 5% mempunyai efek bakterisidal.
Rata-rata asam asetat ACKK sebesar 7,95%, sedangkan campuran 75% ACKK dan 25%
ACDK menghasilkan jumlah asam asetat sebesar 7,53% dan campuran 50% ACKK dan 50% ACDK
menghasilkan jumlah asam asetat 5,89%. Rata-rata asam asetat ACKK tidak berbeda jauh dengan
kadar asam dari sabut kelapa yang dipirolisa pada suhu 300ºC, yaitu sebesar 7,918% dan pada suhu
500ºC, yaitu sebesar 6,815% (Luditama, 2006). Rata-rata asam asetat asap cair yang dihasilkan juga
tidak jauh berbeda dibandingkan kadar asam dari fraksi cair dari kayu Bench hasil pirolisa pada suhu
400ºC yaitu sebesar 6,1% (Ramakrishnan dan Moeller, 2002). Hanya pada campuran 50% kayu dan
50% daun kusambi yang sedikit lebih rendah yang diduga akibat rendahnya kadar asam pada asap cair
daun kusambi.
Secara statistik, kadar asam asetat sangat nyata dipengaruhi oleh jenis kombinasi campuran
bahan asap cair yang digunakan. Rata-rata kandungan asetat pada KS100 dan K75D25) tidak berbeda
(P>0,05), tetapi berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan K50D50. Di antara kombinasi campuran asap
cair kayu dan daun kusambi, yaitu K75D25 dan K50D50 menunjukkan kandungan asam asetat yang
berbeda (P<0,01). Semakin tinggi ACDK yang ditambahkan ke dalam ACKK, kadar asetat semakin
menurun. Semakin rendahnya kadar asam asetat di dalam ACDK diduga menyebabkan menurunkan
kadar asam asetat pada ACKK.

Kadar Total Fenol


Komponen senyawa fenol merupakan senyawa penting di dalam asap cair. Senyawa ini di
dalam bahan pangan selain memberikan rasa dan pembentuk flavor pada bahan pangan juga berperan
sebagai antioksidan maupun antibakteri. Komponen fenol terdiri dari banyak senyawa penting di
dalamnya diantaranya 2.6 dimetoksifenol, 2.6 dimetoksi-4-metilfenol dan 2.6.dimetoksi-4-etil fenol, 2
metilfenol, 3 metilfenol, 2 metoksifenol (Darmadji, 2009 dan zuraida, 2009). Kadar senyawa tersebut
tergantung dari jenis bahan asap cair yang digunakan. Rizqiati et al., 2005 menyatakan bahwa
komponen senyawa fenol yang berperan dalam pembentukan flavor adalah guaiakol, 4-metilguaiakol
dan 2,6-dimetoksifenol. Guaiakol berperan memberi rasa asap, sementara siringol memberi aroma
asap .
Rata-rata kadar fenol ACKK perlakukan K100 adalah 0,48%, sedangkan K75D25
menghasilkan senyawa fenol sebesar 0,44%, dan K50D50 sebesar 0,39%. Kadar fenol pada ACKK
dan kombinasi campurannya relatif sama dibandingkan dengan total fenol sabut dan tempurung
kelapa yang dipirolisa pada suhu 300ºC, yaitu sebesar 0,37% dan lebih rendah dibandingkan total
fenol asap cair sabut dan tempurung kelapa yang dipirolisa pada suhu 500ºC, yaitu sebesar 0,835%
(Luditama,2006). Semakin tinggi suhu pirolisa akan menghasilkan total fenol yang semakin
meningkat. Penelitian yang telah dilakukan tersebut menggunakan suhu pirolisa 400ºC sehingga total
fenol yang dihasilkan sedikit meningkat dibandingkan hasil pirolisa pada suhu 300ºC, akan tetapi lebih
rendah dibandingkan suhu pirolisa 500ºC. Maga (1988) menyatakan bahwa kadar fenol asap cair

209
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

berkisar antara 0,2 – 2,9%. Darmadji (2009) menyatakan bahwa suhu pirolisa antara 320 - 400C
merupakan suhu pirolisa dimana terjadi dekomposisi dari sebagian lignin. Pada tahapan ini akan
terbentuk guaiakol, siringol, eugunol, pirokatekol dan hidroquinon, vanillin, vanilat dan air. Dan
guaiakol dan seringol merupakan komponen senyawa fenol.
Secara statistik menunjukkan bahwa kadar fenol dipengaruhi oleh jenis kombinasi campuran
bahan asap cair yang digunakan (P>0,01). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kadar fenol antara ACKK (K100) dengan kombinasi ACKK dan ACDK yang dipirolisa pada suhu
400ºC. Kadar fenol ACKK berbeda (p<0,01) dibandingkan dengan kadar fenol campuran 75% ACKK
dan 25% ACDK (K75D25), berbeda juga dibandingkan dengan campuran 50% ACKK dan 50%
ACDK (K50D50). Diantara kombinasi campuran asap cair, antara campuran 75% ACKK dan 25%
ACDK dengan 50% ACKK dan 50% ACDK berbeda (P<0,01). Semakin tinggi konsentrasi asap cair
daun kusambi yang ditambahkan ke dalam asap cair kayu kusambi, maka akan semakin rendah kadar
fenolnya. Adanya perbedaan dan menurunnya kadar fenol disebabkan adanya perbedaan dalam
komposisi kimia dari bahan yang digunakan. Antara kayu dan daun kusambi terdapat komposisi dan
struktur bahan yang berbeda. Kayu memiliki 3 komopnen sebagai penyusun asap cair yaitu
hemiselulosa, selulosa dan lignin. Pembentukan fenol terjadi sesaat setelah terjadi pirolisa komponen
lignin kayu. Sedangkan daun diduga tidak memiliki komponen lignin, sehingga meskipun ada, namun
porsinya rendah. Apabila komponen asap cair daun kusambi ditambahkan ke dalam asap cair kayu
kusambi, maka kadar asap cair kayu kusambi akan berubah komposisi fenolnya dan semakin menurun.
Pengaruh ini terlihat dari komposisi fenol yang semakin menurun.

Kadar Karbonil
Komponen senyawa karbonil merupakan senyawa penting selain asam asetat maupun fenol.
Karbonil akan memberikan flavor asap pada produk pangan. Jika kandungan karbonil rendah maka
akan menurunkan sifat organoleptik pada bahan pangan dan jika kadarnya tinggi maka taste dan aroma
produk akan sangat terasa (Goblik et al., 1974). Senyawa karbonil terbentuk bersama-sama dengan
asam asetat setelah pirolisa selulosa, seperti asetaldehid, gloksal akreolin, yaitu pada suhu 280ºC –
320ºC (Maga, 1988). Identifikasi asap kayu menunjukkan karbonil mengandung senyawa-senyawa
seperti metanal, propanal, aseton, asetol, diasetil, hidroksiasetaldehid, pentanon, siklopentanon,
benzaldehid, heksanal (Maga, 1988)
Rata-rata kadar karbonil ACKK sebesar 1,23%, sedangkan campuran 75% ACKK dan 25%
ACDK rata-rata kadar karbonil sebesar 1,09%. konsentrasi 50% ACKK dan 50% ACDK rata-rata
kadar karbonil sebesar 1,06%. Rata-rata karbonil yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan standar
karbonil yang dikeluarkan oleh United States Patent yaitu sebesar 4,0 – 6,5% per 100 ml (Goblik et
al., 1974). Perbedaan ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan jenis bahan yang digunakan
sebagai sumber bahan baku asap cair. Selain tiu, perbedaan kemurnian asap cair dapat menyebabkan
perbedaan kandungan karbonil yang dihasilkan
Secara statistik adanya pengaruh konsentrasi bahan asap cair yang digunakan terhadap
kandungan karbonil (P<0,05). Perbedaan terdapat antara ACKK dengan kombinasi campurannya, 75%
ACKK dan 25% ACDK serta kombinasi campuran 50% ACKK dan 50% ACDK (P<0,05). Sedangkan
diantara kombinasi campuran yaitu antara kombinasi campuran 75% ACKK dan 25% ACDK serta
kombinasi campuran 50% ACKK dan 50% ACDK tidak berbeda (P>0,05). Adanya perbedaan antara
asap cair kayu kusambi dengan kombinasi campuran asap cairnya dikarenakan adanya penambahan
ACDK sehingga menyebabkan kadar senyawa karbonil menurun. Darmadji et al. (2012) menyatakan
kandungan fenol dan karbonil akan menurun dengan semakin tingginya penambahan bahan lain ke
dalam asap cair. Rendahnya kadar karbonil di dalam daun kusambi diduga akan mempengaruhi
konsentrasi karbonil ACKK apabila terjadi penambahan asap cair daun kusambi. Penambahan ACDK
dengan konsentarsi yang semakin tinggi akan menurunkan kadar karbonil.

SIMPULAN
Kadar asam asetat, fenol dan karbonil ACKK semakin menurun persentasenya dengan
meningkatnya konsentrasi penambahan ACDK, akan tetapi semakin tinggi campuran ACDK, warna
asap cair yang dihasilkan semakin jernih dan aroma asap cair tidak terlalu menyengat. Konsentrasi

210
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

50% ACKK dan 50% ACDK sudah dapat digunakan untuk pembuatan Se‟i untuk mengurangi
penggunaan kayu kusambi

DAFTAR PUSTAKA
Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair dengan Metoda Redistilasi. J. Teknologi dan
Industri Pangan 13(3), 267-271.
Darmadji, P. 2009. Teknologi Asap Cair dan Aplikasinya Pada Pangan dan Hasil Pertanian. Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Darmadji. P.,S. Saloko., B. Setiaji., Y. Pranoto. 2012. Inovasi Prototipe Produk Nano enkapsulasi
Biopreservatif Asap Cair Sebagai Pengawet Pangan Alami. Prosiding InSINas
Girard, J.P. 1992. Smoking in Technology of Meat Products. Clermont Ferrand. Ellis Horwood, New
York pp: 165:205.
Goblik, V., V. Gorbatov., V. Kotsur., L. Kovach. 1974. United States Patent. httppdf.sumobrain.com
US3806609.pdf.
Himawati, E. 2010. Pengaruh Penambahan Asap Cair Tempurung Kelapa Destilasi dan redestilasi
terhadap sifat kimia, mikrobiologi dan Sensoris Ikan Pindang Layang (Decapterus spp) Selama
Penyimpanan. Skripsi. USM, Surakarta.
Luditama, C. 2006. Isolasi dan pemurnian asap cair berbahan dasar tempurung dan sabut kelapa secara
pirolisis dan distilasi. http://repository.ipb.ac.id.
Maga, J., 1988. Smoke and Food Processing. CRC Press Inc., Florida.
Pszczola, D.E., 1995, Tour Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors, Food Tech, 49
(1): 70-74.
Ramakrishnan, S., P. Moeller. 2002. Liquid smoke : product of hardwood pyrolisis. Feul Chemistry
Division Preprints 47(1), 366. asap cair http web.anl.govPCSacsfuelpreprint
%20archiveFiles47_1_Orlando pdf.
Rizqiati, H., Albaarri. Ahmad, N. 2005. Identifikasi dan Karakteristik Flavor Daging Sapi Asap Khas
Kupang (Sei) berdasarkan Perbedaan Tipe Pengasap. http://eprints. undip.ac.id.
Zuraida, I. 2009. Daya Hambat Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Bakteri Patogen. J. Teknologi
Pertanian 4(2), 56 – 62.

211
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

ANALISIS KEBUTUHAN AIR BAGI BUDIDAYA TERNAK SAPI


DI LAHAN KERING TIMOR BARAT, INDONESIA
ANALYSIS OF WATER NEED FOR CATTLE FARMING IN DRYLANDS AREAS OF WEST TIMOR,
INDONESIA
M. L. Lano1,2 M. Makaborang1,2 J.J.S. Dethan1,2 dan M.L. Mullik1,3
1
Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto, Kupang, NTT
2
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Kristen Artha Wacan. Jl. Adisucipto, Kupang, NTT
3
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana. Jl. Adisucipto, Kupang, NTT

ABSTRAK
Ketersediaan lahan dan air untuk aktivitas terna, terutama sapi, merupakan hal penting dalam
menunjang keberhasilan program pembangunan. Hal ini juga merupakan fungsi penting dalam sistem
produksi. Populasi ternak spi di Timor Barat adalah 658.985 atau 73,72% dari total populasi sapi NTT.
Untuk menghitung kebutuhan air untuk sejumlah ternak tersbut, serta untuk aktivitas manusia lainnya
di wilayah Timor Barat sangat penting untuk menjamin keberlanjutan proses pembangunan.
Berdasarkan simulasi model dalam paper ini, diketahui bahwa kebutuhan air tahunan ternak sapi
sebesar 7.117.027 m3, sedangkan kebutuhan untuk pengembangan hijauan (lamtoro) sebesar
676.030.320 m3/thn. Bila dimasukan juga jumlah kebutuhan air untuk seluruh populasi penduduk di
Timor barat, maka total kebutuhan air sebesar 685,478,841 m3/thn. Jika dibandingkan antara
kebutuhan dengan potensi air hujan tahunan yang turun di wilayah Timor Barat sebesar 27,737,500
million m3, maka jelas terlihat bahwa kebutuhan air hanya sebesar 0,0025% dari potensi air.
Permaslahannya adalah air hujan sebanyak itu tercurah dalam periode waktu yang relative singkat (3-4
bulan) menyebabkan laju run off yang cukup tinggi. Akibatnya, kekurangan air merupakan
permaslahan tahunan menahun di hampir sebagin besar wilayah ini. Oleh karena itu, model simulasi
kami menunjukkan bahwa membangun penangkapan air (misalnya cek dam) di setiap desa (minimal
10 cek dam) merupakan salah satu strategi efektif untuk menjamin ketersediaan air bagi hijauan,
ternak dan kebutuhan manusia di wilayah Timor Barat.
Kata kunci: Timor Barat, air, sapi, usaha tani, cek dam.

ABSTRACT
Land and water availability for livestock activities, especially cattle, is crucial to the success of
development programs and is an important function in the production system. The population of
Cattle spopulation in West Timor (658,984 heads) comprises 73.72% of the total population in NTT
province. To predict the amount of water to support the life of such number of cattle and other
anthropogenic activities in whole areas of West Timor is important to assure sustainable development
processes. Prediction model in this paper revealed that yearly water requirement of cattle in West
Timor is about 7,117,027 m3, whereas the need for forage development (leucaena) is 676,030,320
m3/year. When human population is included in the model, the total water requirements (cattle,
forage, human) is around 685,478,841 m3/year. Comparing this requirement with 27,737,500 million
m3 of rain water per year received by the whole West Timor, it is clearly shown that the requirement is
only around 0.0025% of the potential water provided to the area. The problem is that this amount of
rain water poured onto this area occurs in a relatively short period (3-4 months) causing a high run
off rate. As a result, water shortage is a main problem in most areas of West Timor. Therefore, it is
predicted that establishing water catchments such as small dams in every village (at least 10
dams/village) is an effective strategy to ensure adequacy of water for cattle, forage and domestic
usage in West Timor.
Keywords: West Timor, water requirement, cattle, farming, cek dam.

PENDAHULUAN
Lahan dan ketersediaan air bagi aktivitas peternakan khususnya ternak sapi sangat
menentukan keberhasilan usaha pengembangannya. Di Nusa Tenggara Timur khususnya di Pulau
Timor Barat, budidaya ternak sapi bali dilakukan dengan tiga cara yaitu, cara intensif dengan diikat di
212
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

suatu tempat (dapat berupa kandang permanen dapat pula palang kayu di bawah pohon), pemberian
pakan dengan cara cut and carry. Cara semi intensif dengan mengikatnya pada tonggak di
lahan/belukar/padang yang terdapat sumber pakan dan dengan cara ektensif dengan dilepas di padang
pengembalaan. Matondang, Sitepu dan Thalib (1998) menyatakan bahwa salah satu fungsi produksi
ternak sapi yang significant pengaruhnya dalam analisis korelasi dengan fungsi produksi COBB-
DOUGLAS adalah : cara budidya, pakan dan jarak musim hujan dan lokasi budidaya. Selanjutnya
dikatakan bahwa Peningkatan jumlah hijauan pakan ternak sebesar 1% akan meningkatkan populasi
sapi potong sebesar 0,55%. Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan hijauan pakan ternak sangat
menuntukan bagi pengembangan usaha ternak sapi potong.
Menurut Bamualim dan Wirdahayati (2005) yang di kutip Rauf, Priyanto dan Panca Dewi
(2015) menyatakan bahwa produktivitas sapi pada padang penggembalaan sangat dipengaruhi oleh
jumlah dan kualitas pakan. Disisi lain ketersediaan pakan alami dalam jumlah dan kualitasnya akan
menurun mengikuti musim. Nusa Tenggara Timur khususnya di Pulau Timor Barat memiliki 3-4
bulan basah dan 8-9 bulan kering, dan memiliki curah hujan tahunan terendah 850 mm dan tertinggi
2.500 mm, dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.750 mm, (BPS, 2016). Kondisi klimat
tersebut mengindikasikan bahwa air menjadi faktor pembatas dominan dalam pengembangan
peternakan khususnya budidaya pakan ternak. Artikel ini difokuskan pada strategi penyediaan air dan
strategi pemanfaatannya bagi konsumsi ternak dan budidaya pakan ternak sapi bali.

Kebutuhan konsumsi ternak sapi Bali


Populasi sapi terkonsentrasi di daratan Timor yaitu sebesar 73,72% dari populasi sapi di NTT.
Kabupaten dengan populasi terbanyak adalah yakni Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS masing-
masing 217.149 ekor dan 185.173 ekor (BPS, 2016b). Rinciannya berdasarkan kabupatenn/kota di
Pulau Timor dapat dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Data populasi ternak sapi, kerbau dan kuda per kabupaten 2016
No Kabupaten Sapi (ekor) Kerbau (ekor) Kuda(ekor)
1 Kupang 217.149 1.772 8.846
2 Timor Tengah Selatan 185.173 316 2.886
3 Timor Tengah Utara 123.406 388 2.864
4 Belu 58.536 1.044 3.339
5 Malaka 74.720 470 1.550
Jumlah 658.984 3.990 19.485
Sumber : Data Sensus Pertanian 2016.

Dari data pada Tabel 1, diketahui jumlah populasi ternak sapi di wilayah Pulau Timur Bagian
Barat sebesar 658.984 ekor. Dengan menggunakan acuan pemberian minum menurut Technical
Report National Water Resources Policy tahun 1992 dalam SNI, 2002, sebesar 40 liter/ekor perhari,
maka kebutuhan air untuk minum ternak sapi Bali di 5 kabupaten yaitu (Kupang, TTS, TTU, Belu dan
Malaka) sebesar = 658.984 x 40 = 26.359.360 liter/hari. Jika di asumsikan bahwa 9 bulan kering,
maka kebutuhan tahunan sebesar:
30 x 9 x 26.359.360 = 7.117.027.200 liter/tahun atau 7.117.027 m3/tahun. …... (1)
Kebutuhan pakan ternak sapi dengan mengambil 10% dari berat sapi, dan mengasumsikan
bahwa berat rata-rata berat sapi yang ada 200 kg/ekor, maka kebutuhan pakan harian adalah = 200 x
10% x 658.984 = 13.179.680 kg. Kebutuhan pakan pertahunnya (9 bulan kering) sebesar =
3.558.513.600 kg atau sekitar 3,56 juta ton. Siregar dkk. (1982) melaporkan bahwa tanaman lamtoro
gung pada usia 3 tahun, dengan tinggi pemotongan 100 cm dari permukaan tanah clan interval potong
6 minggu, menghasilkan hijauan segar 113,7 ton/ha/tahun (U. 20 ton berat kering) . Mengacu pada
kajian (Siregar dkk, 1982), maka dibutuhkan setahunnya 31.297 ha penanaman lamtoro gung secara
intensif. Jika produktifitas lahan kering kita di NTT di asumsikan hanya 70% dari laporan Siregar,
dkk, maka luas penanaman intensif lamtoro gung seluas 44.711 ha.
Jika diasumsikan kebutuhan pakan dipenuhi dari 44.711 ha lahan pertanaman lamtoro, maka
dapat dihitung kebutuhan air bagi budidaya tanaman lamtoro dengan penggunan analisa kebutuhan air.
Hansen, dkk (1992), Asdak (2010) mengemukakan bahwa kebutuhan air tanaman dapat dihitung

213
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

berdasarkan nilai evpotranspirasi yang terjadi setiap hari. Jika diketahui evapotranspirasi harian di
kawasan Timur Barat sebesar 5,6 mm, maka kebutuhan air tanaman lamtoro sebesar:
0,0056 m x 44.711 ha x 10.000 x 9 x 30 = 676.030.320 m3/tahun …… (2).
Kebutuhan air bagi budidaya ternak sapi di Pulau Timor Bagian Barat idealnya merupakan hasil
dari kebutuhan untuk minum dan budidaya pakan ternak, yang di prediksi sebesar 683.147.347
m3/tahun. Kebutuhan air tersebut sangatlah sedkit jika dibandingkan dengan potensi jumlah air yang
ada di lima Kabupaten yaitu Kupang, TTS, TTU, Belu dan Malaka. Luas wilayah Timor Barat
menurut data Statistik NTT tahun 2016 adalah 15.850 km2. Dengan curah hujan tahunan sebesar
1,750 mm/tahun maka potensi air yang ada di Pulau Timor Bagian Barat sebesar 27.737.500.000.000
m3/tahun. Sehingga kebutuhan air untuk pengembangan budidaya ternak saat ini hanyalah 0,0025%.
Namun persolannya adalah bahwa potensi air tersebut hanya ada di 3-4 bulan saja, sedangkan
8-9 berikutnya akan tidak lagi tersedia air yang berasal dari hujan. Asdak, 2010, mengemukan bahwa
koefisien air larian dapat mencapai 50 - 90%, artinya bahwa air hujan yang jatuh 90% akan mengalir
melalui parit kecil menuju sungai dan akhirnya ke laut. Sehingga air yang tertahan di badan tanah
untuk menjadi sub surface run off dan mengalir ke sungai pada musim kemarau hanya 10 - 50%,
ditambah dengan adanya penguapan harian yang bisa mencapai 6 mm/hari . Sehingga diperlukan
strategi dalam menangkap dan mengelola air.

Strategi Penyediaan dan Pemanfaatan Air bagi Budidaya Ternak di Lahan Kering.
Dalam pengembangan peternakan tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya pembangunan
pertanian secara menyeluruh. Konsep pengembangan pertanian integrasi ternak nampaknya dapat
dijadikan pemicu dalam strategi penyediaan air. Sukar dkk (2005) mengemukan bahwa usaha tani
lahan kering dilaksanakan melalui penganekaragaman usaha tani yang saling berintegrasi. Ada tiga
komponen teknologi utama dalam sistim usaha tani tanaman-ternak, yaitu: 1). teknologi budidaya
ternak, 2). teknologi budidaya tanaman dan 3). teknologi pengolahan limbah pertanian untuk pakan
dan kompos serta teknologi pengolahan limbah ternak.
Keberhasilan teknologi budidaya ternak, budidaya tanaman pangan, budidaya tanaman pakan
dan pengolahan limpah pertanian dan peternakan, membutuhkan ketersediaan air. Salah satu teknologi
penyediaan air bagi pemenuhan kebutuhan manusia, ternak dan tanaman adalah dengan pembuatan
embung. Embung merupakan waduk kecil yang berfungsi menampung air hujan dan air limpasan pada
musim hujan dan digunakan pada musim kemarau untuk berbagai kepentingan misalnya untuk air
minum, air minum ternak, irigasi dan juga pengendalian banjir (Kaisiro dkk., 1997, Melisa dan
Hutagalung, 2015).
Sutyas Aji dan Zebua D, 2011, mengemukakan bahwa besarnya kapasitas tampungan embung
dapat di hitung berdasarkan persamaan:
Vn = Vu + Ve + Vi +Vs . ................................................. (3)
dimana:
Vn : volume tampungan berdasarkan kebutuhan air (m3)
Vu : volume tampungan hidup untuk melayani berbagai kebutuhan air (m3)
Ve : Jumlah penguapan dari kolam selama musim kering (m3)
Vi : Jumlah resapan melalui dasar dinding dan tubuh embung selama musim kemarau (m3)
Vs : ruangan yang disediakan untuk sedimen (m3).

Volume tampungan pada desain embung ditentukan berdasarkan tiga kriteria yaitu : volume
tampungan berdasarkan kebutuhan, volume tampungan berdasarkan ketersediaan air, dan volume
tampungan berdasarkan keadaan topografi. Kebutuhan air yang harus dilayani embung (Vu)
diperhitungkan dari macam penggunaan air oleh penduduk di daerah pelayanan. Persamaan berikut
dipakai untuk menghitung kebutuhan air tersebut :
Vu = Jh x KJJ x Qu .............................................................. (4)
dimana:
Jh : jumlah hari selama musim kemarau yang secara praktis sebesar 9 bulan (untuk NTT) x
30 hari; JKK: jumlah KK yang dilayani; Qu : kebutuhan air penduduk,ternak dan kebun
(/hari/KK).

214
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Kaisiro dkk., 1997, membatasi disain embung kecil pada 4 aspek (1) tinggi tubuh embung (mercu
embung) maksimum 10 meter untuk tipe urugan dan 6 meter untuk tipe komposit, (2) kapasitas
tamping maksimum 100.000 m3, (3) luas daerah tadah hujan maksimum 100 ha (1 km2), dan (4)
Ruang sedimen maksimum 1 meter.
Data kependudukan di Timor Barat 2016 (BPS,2016) yang bermukim di 857 desa/kelurahan
pada Kabupaten Kupang, TTS. TTU, Belu dan Malaka sebanyak 1.439.194 jiwa, jumlah ternak sapi
yang ada di 5 Kabupaten sebanyak 658.984 ekor (BPS, 2016b). Dengan demikian, berdasarkan
persamaan kebutuhan air ternak sapi (Persamaan 1) dan kebutuhan air irigasi tanaman pakan ternak
(Persamaan 2), dan dengan mengacu pada kebutuhan domestic use sebesar 60 liter/orang/hari, maka
dapat diketahui kebutuhan air sesungguhnya sebesar: 7.117.027 + 676.030.320 + 23.314.943 =
685.478.841 m3/tahun.
Dengan mengambil 40% air disediakan oleh mata air, sungai subsurface flow, dan tampungan
alami, banyaknya embung yang dibutuhkan setiap desa (857 desa) di 5 kabupaten sebagai berikut
seperti pada Table 2.

Tabel 2. Tabel hasil analisis perhitungan jumlah embung bagi tampungan air untuk kebutuhan
domestik, budidaya ternak sapi dan penyediaan pakan selama 9 bulan kering
Fisik Embung Volume Kehilangan alami (m3) Jumlah Jumlah
Panjang Lebar Tinggi Tampung ETP Resapan Sedimen Volume Embung Embung/
(m) (m) (m) (m3) (m3) (m3) (m3) Hidup di 5 Desa
(m3) Kabu-
paten
30 30 6,0 5.400 1360,8 1944 225 1.870 219.916 257
40 30 6,0 7.200 1814,4 2592 300 2.494 164.937 193
50 35 6,0 10.500 2646 3780 437,5 3.637 113.099 132
60 40 6,0 14.400 3628,8 5184 600 4.987 82.469 96
70 45 8,0 25.200 4762,8 6804 787,5 12.846 32.018 37
80 50 8,0 32.000 6048 8640 1000 16.312 25.214 29
90 55 8,0 39.600 7484,4 10692 1237,5 20.186 20.375 24
100 60 8,0 48.000 9072 12960 1500 24.468 16.809 20
110 70 8,0 61.600 11642,4 16632 1925 31.401 13.098 15
120 80 8,0 76.800 14515,2 20736 2400 39.149 10.506 12
130 80 8,0 83.200 15724,8 22464 2600 42.411 9.698 11
140 80 8,0 89.600 16934,4 24192 2800 45.674 9.005 11
150 80 8,0 96.000 18144 25920 3000 48.936 8.405 10
Sumber : Analisis Kebutuhan air dan kemampuan tampung embung.

Jadi untuk mendukung pengembangan budidaya ternak sapi bali di 5 kabupaten yang ada di
Pulau Timor Bagian Barat, idealnya ada 10 embung kecil setiap desa dengan lebar 80 m, panjang 150
m dan kedalaman 8 m. Strategi pemanfaaatan, yang dapat dilakukan adalah dengan menempatkan
embung pada lokasi di atas lahan petani peternak, sehingga pengambilan air hanya menggunakan
gravitasi, melalui saluran tertutup.

Tantangan di Masa Datang


Hingga kini kajian-kajian kebutuhan air bagi pengembangan budidaya ternak sapi bali masih
sangat jarang dilakukan, sehingga masih banyak aspek tentang penyediaan air bagi pemeliharaan
ternak sapi Bali secara intensif, khususnya kebutuhan air bagi pertanaman pakan dan penyediaan air
minum ternak sapi belum dapat pahami secara utuh dan konfrehensif. Sehingga belum dapat
dirancang suatu model penyediaan air yang handal untuk diterapkan diberbagai tingkat kesukaran
lahan, dan keberagaman petani peternak.
Banyak kajian kebutuhan air di lahan kering, hanya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan
rumah tangga dan kebutuhan irigasi tanaman holtikultura, Kajian tersebut bersifat parsial, mengingat
umumnya petani di Timur Barat, selain bertani, juga beternak, dimana ternak terutama sapi bali
215
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

merupakan sumber penghasilan domestic penting yang juga dapat dianggap sebagai tabungan. Di sisi
lain, pemahaman-pemahaman kita terhadap sistem pertanian peternakan yang sedemikian kompleks
masih bersifat parsial. Padahal proses dalam system tersebut melibatkan interaksi antara iklim, jenis
tanah, jenis dan jumlah tanaman, ternak, pengelolaan, dan budaya serta kemampuan daya beli petani
peternak.
Kompetisi dalam ruang juga mempengaruhi faktor-faktor produksi yang akan memberi pilihan
usaha bagi petani peternak. Kompetisi pemanfaatan sumberdaya air terbatas memerlukan pemikiran
mendalam tentang (1) pemanfaatan pada ruang dan waktu, yang terus berkompetisi, (2) kurangnya
kajian yang komprehensif dan tuntas pada pemanfaatan sumberdaya air terbatas bagi pengembngan
budidaya pertanian dan budidaya ternak sapi bali, (3) strategi efektif bagi pemanfaatan seefisien dan
seefektif mungkin sumberdaya air terbatas di Pulau Timor Bagian Barat bagi penyediaan air untuk
berbagai keperluan, dan (4) pola-pola pemanfaatan air tradisional yang sudah menjadi indigenous
knowledge.

DAFTAR PUSTAKA
Asdak Chay, 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Perss,
Jogyakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2002. Penyusunan neraca sumber daya Bagian 1: Sumber daya air
spasial .Standar Nasional Indonesia, SNI 19-6728.1-2002
Dita melisa dan Boas Hutagalung, 2015. Evaluasi Kapasitas Perencanaan Embung Untuk Kebutuhan
Perencanaan Irigasi di Desa Seifulu Simeulue Tengah Nanggroe Aceh Darusalam (NAD).
Jurnal Teknik Sipil Sumatra Utara Edisi 25 No.2/Tahun 2015
Hansen V.E., Israelsen O.W. dan Stringham G.E., 1992. Dasar Dasar dan Praktek Irigasi. Edisi ke-4
(terjemahan) Erlangga. Jakarta.
Kasiro, dkk.,1997, Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi kering di Indonesia,
PT Medisa, Jakarta.
Maman Rahmansyah, Arwan Sugiharto, Atit Kanti dan I Made Sudiana, 2013. Kesiagaan Pakan Pada
Ternak Sapi Skala Kecil Sebagai Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Melalui
Pemanfaatan Biodiversitas Flora Lokal. Buletin Peternakan Vol. 37(2): 95-106, Juni 2013 ISSN
0126-4400
Rauf A., Priyanto R. dan Panca Dewi MHKS., (2015), Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem
Pengembalaan di Bombana. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, Vol.3. No.
2. Institut Pertanian Bogor
Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Lahan
Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.
Sutyas Adji dan Zabua D., 2011. Menentukan Kapasitas Tampungan Embung Ledok di Kabupaten
Gunung Kidul. Majalah Ilmiah UKRIM Edisi 2/th XVI/2011 Univeritas Kristen Imanuel-
Yogyakarta.

216
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

STRATEGI PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN AIR BAGI PRODUKSI SAPI


ONGOLE DI LAHAN KERING SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
WATER PROVISION AND UTILIZATION STRATEGY FOR ONGOLE CATTLE PRODUCTION IN
DRYLAND AREAS OF EAST SUMBA, EAST NUSA TENGGARA
M. Makaborang1,2 M. L. Lano1,2 J.J.S. Dethan1,2 dan M.L. Mullik1,3
1
Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto, Kupang, NTT
2
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Kristen Artha Wacan. Jl. Adisucipto, Kupang, NTT
3
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana. Jl. Adisucipto, Kupang, NTT

ABSTRAK
Sumba Timur sebagai daerah tropis dengan luas daratan 700.050 km2 dengan curah hujan tahunan rata-rata 1.183
mm/tahun memungkinkan pertanian lahan kering dan peternakan diusahakan sekaligus sebagai usaha tani
primadona. Kelangkaan air yang menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering terutama untuk
pengembangan ternak sapi ongole pada lahan kering Sumba Timur dapat ditanggulangi dengan inovasi teknologi
pengelolaan air, khususnya air hujan dengan teknik panen hujan (water harvesting); mengkombinasikan pola
perternakan system gembala dan pengandangan saat ketiadaan pangan; memilih lahan penggembalaan yang
mempunyai sumber air baku. Jumlah air hujan yang dapat dipanen sebesar 414,079,575,000 m3/thn, atau
39.679.594.500 m3/thn pada lahan kering. Jika air hujan yang dipanen dengan menggunakan embung-embung
dengan spesifikasi 150 m x 80 m x 8 m dapat memenuhi kebutuhan minum ternak sapi ongole sebanyak
3,497,804 ekor/thn. Jika 40% total air hidup yang ditampung digunakan untuk budidaya jagung maka terdapat
26,983.06 ha yang menghasilkan 17,269.16 ton/ha/thn biomassa yang dapat dijadikan pakan ternak sapi ongole
untuk 3,997 ekor/thn atau 7,994.98 ekor/tahun jika digunakan saat ternak dikandangkan.
Kata Kunci: sapi Ongole, Sumba Timur, air.

ABSTRACT
East Sumba as a tropical area with an area of 700,050 km2 with an average annual rainfall of 1,183 mm/yr
allows for dry land agriculture and livestock to be cultivated as well as primadona farming. Water scarcity is the
main limitation in dry land management especially for the development of ongole cattle on dry land of East
Sumba can be overcome with innovation of water management technology, especially rain water with harvesting
technique; combine shepherding pattern of shepherd system and observation in the absence of food; select
grazing land that has a source of raw water. The rain that can be harvested is 414,079,575,000 m3 / yr, or
39,679,594,500 m3 / yr on dry land. If rainwater is harvested using embungs with specifications of 150 m x 80
m x 8 m can meet the need for ongole cattle drinking as much as 3,497,804 tails / year. If 40% of the total living
water collected is used for maize cultivation then there are 26,983.06 ha producing 17,269.16 ton / ha / year of
biomass which can be used as ongole cattle feed for 3,997 fish / yr or 7,994.98 head / year if used when livestock
is cultivated.
Keywords: Ongole cattle, Eeast Sumba, water.

PENDAHULUAN
Wilayah Sumba Timur sebagai daerah tropis memiliki 3 - 4 bulan basah dengan curah hujan
tahunan rata-rata 1.183 mm/tahun dan selebihnya 8 – 9 bulan merupakan bulan kering, yang
memungkinkan pertanian lahan kering dan peternakan diusahakan sekaligus sebagai suatu usaha tani
primadona bagi petani (BPS, 2013). Kabupaten Sumba Timur dengan luas daratan 700.050 km2 yang
didominasi jenis tanah rensina, grumosol, litosol, mediteran, dan regosol merupakan salah satu
kabupaten dari 22 kota/kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang juga beriklim tropis dengan
3 - 4 bulan basah dan 8 - 9 bulan kering. Kondisi iklim tropis ini memungkinkan pengembangan
pertanian baik lahan basah maupun lahan kering serta peternakan.
Usaha tani pertanian lahan kering sangat ditentukan oleh berbagai faktor penghambat seperti
jenis tanah, curah hujan, pupuk, gulma dll. Selain usaha tani pertanian, wilayah Sumba Timur yang
didominasi dengan padang savana merupakan padang penggembalaan alami sebagai tempat
penyediaan hijauan yang lebih ekonomis dan murah bagi sapi ongole yang sangat potensial. Padang
penggembalaan alami merupakan lahan kering upland (lahan atas) yang pada umumnya memiliki
tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah
217
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah, tetapi masih memegang peranan penting, dan
merupakan modal dasar untuk mendukung produksi ternak sapi ongole Sumba Timur.
Produksi dan kualitas rumput tropik menjadi salah satu faktor pembatas utama produktivitas
sapi ongole terutamnya pada musim kering/kemarau dimana kualitas hijauan yang rendah sebagai
konsekuensi dari lahan tidak subur, serta kekurangan air. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) secara
spesifik mendefinisikan bahwa lahan mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim,
tofografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial
akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan.
Sapi ongole merupakan salah satu komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai
ternak penghasil daging dan menjadi prioritas dalam pengembangan peternakan. Pengembangan usaha
peternakan sangat dipengaruhi oleh aspek pemuliabiakan (breed), pakan (feed), dan pengelolaan
(management). Untuk mendapatkan pakan ternak sapi ongole yang memadai baik dari segi kuantitas
dan kualitas, maka pengelolaan lahan kering untuk pengembangan peternakan diperlukan strategi
penyediaan air dan pemanfaatan air. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
menggambarkan strategi penyediaan dan pemanfaatan air di lahan kering Sumba Timur bagi
pengembangan ternak sapi ongole.

Permasalahan di Lahan Kering


Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk
usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah buahan) maupun tanaman
tahunan dan secara khusus peternakan.
Lahan kering secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang tidak pernah digenangi
atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun, dengan curah hujan < 2.000 mm/tahun
dan mempunyai bulan kering > 7 bulan (< 100 mm/bulan) (Hidayat dan Mulyani 2002; Mulyani dan
Sarwani 2013).
Sumba Timur dari 700.050 ha luas kabupaten, hanya 29.967 ha (4,28 %) lahan sawah baik
beririgasi maupun tadah hujan. Sedangkan 670.083 ha (95,72 %) merupakan ladang, pekarangan,
hutan negara, hutan lindung, hutan cagar alam dan hutan rakyat serta taman nasional termasuk
padang penggembalan alami. Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang
rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar
bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik,
terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di
daerah tropis cepat menurun, mencapai 30-60% dalam waktu 10 tahun (Suriadikarta et al. 2002
dalam Abdurachman et al., 2008).
Permasalahan lain dan paling krusial di lahan kering adalah ketersediaan air irigasi yang
sangat terbatas. Keterbatasan air irigasi akan berdampak pada cekaman kekeringan tanaman.
Cekaman kekeringan pada tamanan adalah kondisi yang dialami tanaman/tumbuhan ketika tanah
tidak lagi mengandung lengas (kadar air tanah) yang cukup (kapasitas lapang). Hasil penelitian legum
Herdiawan (2013), terhadap legume Indigofera zollingeriana pada berbagai taraf perlakuan cekaman
kekeringan menunjukan bahwa cekaman kekeringan sedang (50% dari kapasitas lapang) dan berat
(25% dari kapasitas lapang) berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap penurunan tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah cabang, produksi biomasa, bobot kering tajuk, bobot kering akar, namun tidak
berpengaruh terhadap nisbah tajuk/akar.

Penyediaan dan Pemanfaatan Air bagi Produksi Sapi Ongole


Sebagian besar wilayah Sumba Timur memiliki iklim kering dengan curah hujan rendah rata-
rata 1.183 mm/thn. Selain sumber air utama dari curah hujan juga tersedia sumber air permukaan dan
air tanah yang banyak ditemukan di beberapa lokasi dan telah dikembangkan sebagai sumber air untuk
pertanian. Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering. Oleh
karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air khususnya air hujan sangat diperlukan, meliputi teknik
panen hujan (water harvesting), irigasi suplemen, prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola
tanam. Pemanenan air dapat dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada
tempat penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman (Subagyono et al.

218
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

2004). Oleh sebab itu, penyediaan dan pemanfaatan air pada lahan kering untuk produksi sapi ongole
Sumba Timur dilakukan dalam beberapa teknik sebagai berikut:
1. Panen hujan (water harvesting). Jika rata-rata curah hujan 1.183 mm/tahun (BPS, 2013), maka air
hujan yang dapat dipanen pada wilayah Sumba Timur seluas 700.050 ha adalah 414,079,575,000
m3/thn, atau 39.679.594.500 m3/thn pada lahan kering bukan sawah (ladang, pekarangan, hutan
negara, hutan lindung, hutan cagar alam dan hutan rakyat serta taman nasional termasuk padang
penggembalan alami). Jika air hujan dipanen dengan menggunakan embung-embung dengan
spesifikasi 150 m x 80 m x 8 m yang ditempatkan pada semua desa dengan jumlah 440 buah
dengan asumsi 1 desa 2 buah embung, maka dapat menampung air tampungan hidup sebesar
37,776,288 m3/thn. Nilai ini telah memperhitungkan laju evapotranspirasi, rembesan dan
sedimentasi sehingga dapat mencukupi untuk kebutuhan minum ternak sapi ongole 40 ltr/hr
sebanyak 3,497,804 ekor sapi/thn.
2. Penggemukan kombinasi pasture–dry lot fattening. Kombinasi pasture – dry lot fattening
dilakukan dengan cara melepas ternak di padang penggembalaan pada saat musim penghujan dan
pada saat musim kemarau ternak dikandangkan dan diberi makanan dari biomassa hasil pertanian.
Jika 37,776,288 m3/thn air hidup digunakan 40% untuk budidaya jagung maka terdapat
26,983.06 ha. Rata-rata produksi jagung dengan jarak tanam 80 cm x 50 cm x 2 pohon dapat
menghasilkan biomasa sebesar 17,269.16 ton/ha/thn. Fikar dan Ruhyadi (2010) mengatakan sapi
memerlukan sebanyak 10% berat basah pakan atau 3% berat kering pakan dari bobot badan sapi
perhari. Oleh karena itu biomassa ini dapat dijadikan pakan ternak sapi ongole untuk 3,997
ekor/thn atau 7,994.98 ekor/tahun jika digunakan saat ternak dikandangkan.
3. Penggemukan pasture fattening yaitu sapi yang digembalakan di padang penggembalaan.
Pengembangan ternak sapi ongole dengan cara ini hanya dapat dilakukan pada lahan kering yang
tersedia sumber air baik air permukaan maupun air bawah permukaan (ground water).

SIMPULAN
Sumba Timur sebagai daerah tropis dengan luas daratan 700.050 km2 yang memiliki 3 - 4
bulan basah dengan curah hujan tahunan rata-rata 1.183 mm/tahun memungkinkan pertanian lahan
kering dan peternakan diusahakan sekaligus sebagai usaha tani primadona bagi petani. Kelangkaan
air yang menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering terutama untuk
pengembangan ternak sapi ongole pada lahan kering Sumba Timur dapat ditanggulangi
dengan inovasi teknologi pengelolaan air khususnya air hujan dengan teknik :
1. Panen hujan (water harvesting). Jumlah air hujan yang dapat dipanen sebesar 414,079,575,000
m3/thn, atau 39.679.594.500 m3/thn pada lahan kering bukan sawah. Jika air hujan yang dipanen
dengan menggunakan embung-embung dengan spesifikasi 150 m x 80 m x 8 m dapat memenuhi
kebutuhan minum ternak sapi ongole sebanyak 3,497,804 ekor sapi/thn.
2. Penggemukan kombinasi pasture –dry lot fattening, yang dilakukan dengan cara melepas ternak
di padang penggembalaan pada saat musim penghujan dan pada saat musim kemarau ternak
dikandangkan dan diberi makanan dari biomassa hasil pertanian. Jika 40% total air hidup yang
ditampung digunakan untuk budidaya jagung maka terdapat 26,983.06 ha dan menghasilkan
17,269.16 ton/ha/thn biomassa yang dapat dijadikan pakan ternak sapi ongole untuk 3,997
ekor/thn atau 7,994.98 ekor/tahun jika digunakan saat ternak dikandangkan.
3. Penggemukan pasture fattening pada lahan kering yang tersedia sumber air baik air permukaan
maupun air bawah permukaan (ground water).

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Mulyani, G. Irianto, dan N. Heryani. 2005. Analisis potensi sumber daya lahan
dan air dalam mendukung pemantapan ketahanan pangan. hlm. 245-264. Prosiding Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17-19 Mei 2004. Ketahanan Bappenas, Departemen Pertanian,
dan Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.
Asdak Chay, 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Perss.
Jogyakarta
BPS, Sumba Timur dalam Angka, 2013.
219
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Hansen V.E., Israelsen O.W. dan Stringham G.E., 1992. Dasar Dasar dan Praktek Irigasi. Edisi ke-4
(terjemahan) Erlangga. Jakarta
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka, 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1−34. Dalam A. Abdurachman,
Mappaona, dan Saleh (Ed.). Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suriadikarta, D.A.., T. Prihartini, D. Setyorini, dan W. Hartatik, 2002. Teknologi Bahan Organik
Tanah. Teknologi Pengolahan Lahan Kering menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

220
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENGARUH PENGGUNAAN EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdarifa LINN)


DAN ASAP CAIR KAYU KUSAMBI (Schleichera oleosa)
SEBAGAI KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK, FISIK DAN KIMIA
DALAM PENGOLAHAN SE’I (DAGING ASAP TIMOR)
EFFECT OF USING ROSELLA EXTRACT (Hibiscus Sabdarifa LINN) AND SMOKE LIQUIDOF
KUSAMBI WOOD (Schleichera oleosa) AS ORGANOLEPTIC, PHYSICAL, AND CHEMIS
CHARACTERISTICS IN SE’I PROCESSING (TIMORESE SMOKED MEAT)
Geertruida Margareth Sipahelut1,2 and Gemini E.M. Malelak1,2
1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana
2
Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

ABSTRACK
The experiment was conducted to evaluate influences of using rosella extracs (Hibiscus
sabdarifa Linn) and liquid smoke of kesambi wood (Schleichera oleosa) in proccessing of daging se'i
(timorese smoked beef). Completely Random Design (CRD) was applied for the trial with factorial
pattern of 6 x 3. Every combination of the treatment consists of 3 (three) times of replicates. There
were five level used comprise: a control treatment, 6 cc, 7cc, 8 cc, 9 cc, and 10 cc; include two kinds
of ingredient such as the extract of rosella, and the smoke liquid of kesambi. Some parameters
analyzed comprise physical and organoleptic characteristics cover: color, fragrance, taste, tenderness,
and pH; while the chemical parameter covers: residue of nitrite. Data were analyzed using a non-
parametric test kruskall-wallis for organoleptic characteristics, the physical and pH test applying
Anova (Analysis of Variance) using a continual test of Turkey HSD SPSS 19 (Prastito, 2009). On the
other hand, the data for the nitrite residual test were done descriptively, by comparing the level of
nitrite as a result of laboratory analysis with the level of nitrite on a maximum border according to the
rule of Health Department, Republic of Indonesia. The research result showed that rosella, smoke
liquid, as well as the treatment combinations have a very significant influence for the organoleptic
parameters, pH and residu nitrit.
Key words: daging se’i, rosella extract, liquid smoke, physical, organoleptic, and biological
characteristics

PENDAHULUAN
Pangan fungsional telah menjadi tren global dan issue nasional pada berbagai penelitian bahan
pangan baik produk pangan asal ternak maupun produk dari bahan pangan lainya. Rosella merupakan
bahan tambahan pangan yang bersifat sebagai herbal dan pengawet organik karena kandungan
senyawa-senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan antipathogen.
Penggunaan asap cair dalam pengolahan daging “sei” telah diketahui memberikan cita rasa khas dan
berfungsi pula sebagai pengawet.

MATERI DAN METODE PENELITIAN


Lokasi Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bio Science, devisi Lab. Peternakan untuk
pengeringan rosella, pembuatan asap cair di Lab. Teknologi Pengolahan Pangan Politani-Kupang,
pengolahan daging se’i dan uji organoleptik di Lab.Teknologi Hasil Ternak Fapet Undana, dan uji
mikrobiologi dilakukan di Lab.Bio-Rep Fapet Undana serta pengujian kandungan nitrat/nitrit di
BPOM Kota Kupang.

Materi Penelitian
Materi penelitian untuk daging se’i adalah daging sapi Bali Timor yang diambil dari otot
bagian paha (top side) sebanyak 33 kg, saltpeter, garam dapur, ekstrak rosella asap cair dan aquades.
Alat-alat yang digunakan untuk evaluasi kualitas fisik adalah: timbangan elektrik bermerek Ohaus, pH

221
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

meter digital, kertas isap, spoit, gelas piala, gelas ukur, oven dan peralatan untuk uji organokeptik
seperti piring, sendok, kertas dan balpoint.

Pengolahan Daging Se’i dan Pemberian Ekstrak Rosella dan Asap Cair
Daging sapi segar dikeluarkan jaringan ikatnya dan lemak, diiris memanjang (silender),
kemudian ditimbang per setiap perlakuan untuk menentukan banyaknya bumbu yang digunakan
seperti, garam, saltpeter, ekstrak rosella dan asap cair yang akan diberikan. Garam diberikan 2% dan
saltpeter sebanyak 500 mg per kg daging. Ekstrak rosella dan asap cair ditambahkan sesuai level
perlakuan. Daging dicampur merata dengan bahan-bahan tambahan tersebut kemudian diperam selama
 12 jam.
Pembuatan ekstrak rosella diperoleh dengan cara pengeringan menggunakan oven pada suhu
400C selanjutnya dihaluskan untuk mendapatkan tepung rosella. Ada beberapa cara dalam
mendapatkan larutan ekstrak rosella, yaitu larutkan 2 gram bubuk dalam air mineral dengan suhu 600C
selama 1 jam. Saring dengan menggunakan kertas saring Whatman (no.41) (Karabacak dan Bozkurt,
2008). Cara lainnya adalah langsung mencampurkan 1 gram bubuk rosella dengan 1 kg daging
(Bozkurt dan Belibag, 2009 ). Sebelum diberikan ekstrak tersebut dicampur dengan aquades
kemudian dicampur pada daging, setelah diberi bumbu dasar, kemudian diperam.

Perlakuan yang Digunakan


Perlakuan yang digunakan adalah ekstrak rosella dan asap cair dengan level pemberian 0%
(kontrol), 6%, 7%, 8%, 9% dan 10%. Larutkan 6 gram tepung rosella dengan aquades 94 ml sehingga
volumenya mencapai 100 ml (v/v) demikian juga asap cair dan kombinasi rosella dan asap cair.
Selanjutnya dilakukan juga untuk perlakuan 7%, 8%, 9%, dan 10%. Penelitian ini mencari level
penggunaan ekstrak rosella dan asap cair mana yang memberikan karakteristik organoleptik, sifat fisik
dan sifat kimia yang terbaik.

pH
Sampel daging dihancurkan/digiling dan dimasukkan ke cawan kemudian diberi aquades
dengan perbandingan 1:1 (1 g daging : 1 ml aquades). Masukkan probe pH meter dan pH daging akan
terbaca (Bouton dan Harris, 1972 ).

Analisis Statistik
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial 5x3. Uji sifat fisik dan residu nitrit menggunakan Anova seddangkan uji organoleptik
menggunakan metode analisis Kruskal-Wallis. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan
SPSS 19 (Pratisto, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bau/aroma
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap
(P<0,01) terhadap aroma se’i. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan perbedaan sangat nyata p <0.001
untuk aroma pada semua kelompok perlakuan. Apabila dibandingkan diantara perlakuan rosela, hasil
uji lanjut Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kontrol dengan pemberian
rosela 7%, 8%, 9% dan juga 10% , sementara pada perlakuan 6% tidak berbeda. Sedangkan diantara
rosela tidak ada perbedaan aroma . Skor aroma pada daging se’i kontrol adalah 3.67 (tercium aroma
khas se’i) dan merupakan skor tertinggi dibanding rosela 10% dengan skor 3,00 (tercium aroma khas
se’i dan sedikit berbau asam). Hal ini menujukkan bahwa pemberian rosela memberikan aroma khas
pada se’i. Aroma asam disebabkan oleh terdapatnya beberapa asam dalam rosela seperti asam askorbat
[3], asam sitrat dan asam malat [8].
Warna
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap warna se’i. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan perbedaan sangat nyata P<0.00 pada
semua kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil uji lanjut Mann-Whitney
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kontrol dengan pemberian rosela 6%, 7%, 8%, 9 %

222
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dan 10%. Skor warna pada daging se’i kontrol adalah 5,33 (merah khas se’i (merah cerah)) dan
merupakan skor tertinggi dibanding rosela level 6%, 7%, 8%, 9 % dan 10%, cenderung berwarna
merah muda/pucat). Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rosela menyebabkan se’i
berwarna lebih pucat. Pigmen warna dalam rosela yaitu pigment flavonoid yang larut dalam air yang
bertanggung jawab pada warna merah, biru dan ungu dalam buah – buahan dan sayur – sayuran
(Peng-Kong et al., 2002). Kemungkinan pada saat diasapi kandungan flavonoid terurai sehingga
warna se’i menjadi lebih pucat.

Citarasa
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan memberi pengaruh sangat nyata (P<
0,01) terhadap rasa se’i. Hasil uji lanjut Mann-Whitney menunjukkan bahwa antara kontrol dengan
pemberian rosela 10% tidak berbeda nyata (P>0,05), namuan berbeda nyata (P<0.05) dengan pelakuan
6%, 7%, 8% dan 9%., sedangkan pemberian rosela 6% berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan 7%,
8% dan 9% namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 10%. Hal yang sama juga terjadi pada
perlakuan level 7%, 8% dan 9%. pada rasa se’i. Skor rasa pada daging se’i level rosella 8 % adalah
5.66 (cenderung sangat disukai) merupakan skor tertinggi dibanding rosela level perlakuan lainnya.
Rasa yang ditimbulkan oleh rosella adalah rasa asam sebagai akibat adanya asam askorbat (Bozkurt
and Belibagl. 2009), asam sitrat dan asam malat (Mardinah., dkk, 2009) dalam rosella.

Keempukan
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan memberi pengaruh sangat nyata (P<
0,01) terhadap keempukan se’i.
Hasil uji lanjut Mann-Whitney menunjukkan pemberian rosella 0% tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan level 6%, namuan berbeda nyata (P<0.05) dengan pelakuan 7%, 8%, 9% dan 10%,
sedangkan pemberian rosella 6% berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan 7%, 8%, 9% dan 10%.
Perlakuan level 7 % berebeda nyata dengan perlakuan 8%, 9% dan 10%, sementara pada level 8 %
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 9 % namun berbeda nyata dengan perlakuan 10 %. Hal yang
sama juga terjadi pada perlakuan level 9% pada keempukan daging se’i. Skor keempukan pada daging
se’i level rosella 8 % adalah 5.08 (empuk) merupakan skor tertinggi dibanding rosela level perlakuan
lainnya. Sementara hasil uji lanjut Mann-Whitney pemberian acap cair pada level berbeda
menggambarkan bahwa perlakuan kontrol berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan 8%, 9% dan
10%, namun tidak berbeda dengan perlakuan 6% dan 7%. Sementara pada level perlakuan 6 % tidak
berbeda dengan level perlakuan 7% dan berbeda nyata dengan perlakuan 8%, 9% dan 10%. Perlakuan
7% berbeda nyata dengan perlakuan 8%, 9% dan 10%. Perlakuan 8% berbeda nyata dengan
perlakuan 9% dan 10%, hal yang sama juga terjadi pada level perlakuan 10%. Kombinasi rosella+asap
cair hasil uji lanjut Mann-Whitney menggambarkan perlakuan kontrol berbeda nyata dengan dengan
level perlakuan lainnya, sementara tidak berbeda nyata diantara level perlakuan 6%, 7%, 8%, 9% dan
10%.

Pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap pH Se’i


Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P< 0,01) terhadap pH se’i.
pH se’i berkisar 5.17 – 6,36. Hal ini menggambarkan semua perlaluan baik rosella, asap cair dan
kombinasi rosella+asap cair level 6%, 7%, 8%, 9% dan 10% dan kontrol memberi pengaruh terhadap
pH se’i.
Pengaruh Perlakuan terhadap Residu Nitrit pada Se’i
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P< 0,01) terhadap residu
nitrit. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pemberian rosela dan asap cair mengakibatka residu
nitrit meningkat (P< 0,05) namun jauh di bawah standar yakni 125 ppm. Hasil residu nitrit yang
diperoleh perlakuan asap cair 7.026 dan rosela 5.099. Hal ini disebabkan karena pemberian rosela dan
asap cair tidak m menurunkan pH sehingga tidak mampu menurunkan residu nitrit se’i.

223
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pemberian ekstrak rosela dan asap cair secara tunggal atau kombinasinya menyebabkan se’i
beraroma, berwarna, berasa dan keempukkan yang spesifik.
2. Pemberian ekstrak rosela atau asap cair secara tunggal residu nitrit terdeteksi namun sangat
rendah, sedangkan kombinasi keduanya dapat menurunkan residu nitrit bahkan tidak terdeteksi (0)
3. pH se’i dipengaruhi oleh perlakuan.

DAFTAR PUSTAKA
Bozkurt H and K.B.Belibagl. 2009. Use of Rosemary and Hibiscus sabdarifa L in production of
Kavurma, a cooked meat product. Journal of the science of food and agriculture.. Vol.89,
Iss.7;Pg.1168.
Karabacak,S and H.Bozkurt. 2008. Effects of Urtica dioca and Hibiscus sabdarifa on the quality
and safety of sucuk (Turkish dry-fermented sausage). Meat Science 78:28
Peng-Kong Wong, S. Yusof, H.M.Ghazali and Y.B.Che Man. 2002. Physico-chemical characteristics
of roselle (Hibiscus sabdarifa L). Nutrition and Food Science; 32, 2/3.P.68
Pratisto,A. 2009. Statistik Menjadi Mudah dengan SPSS 17. Cetakan I. Elex Media Komputindo,
Gramedia Grup.

224
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

TEMA 4

Sosial Ekonomi, Agribisnis, dan Alih Teknologi

225
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEIKUTSERTAAN PELAKU


DALAM SISTEM BAGI-HASIL SAPI POTONG
DETERMINING FACTORS PARTICIPATION IN SHARING ARRANGEMENT SYSTEMS
IN BEEF CATTLE FARMING
Obed Haba Nono1
1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto, Kupang, NTT. E-mail: obedhaba@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian survai dilaksanakan di Kabupaten Kupang NTT dengan multi stage cluster random sampling,
diperoleh total responden 224 orang, terdiri dari 146 peternak bagi hasil (penggaduh) dan 78 peternak mandiri.
Untuk Pemodal dibagi atas : (1) pemodal pemerintah; (2) pemodal swasta luar, dan (3) pemodal swasta lokal,
dilakukan sensus terhadap 23 pemodal.. Analisis data dengan deskriptif kualitatif dan kuantitatif (analisis
multinomial logit dan analisis jalur). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Sembilan faktor yaitu :
ketersediaan modal, umur, lama pendidikan formal, tenaga kerja keluarga, lama berusaha, lama bagi hasil, luas
lahan pakan, besaran share dan total aset usahatani mempengaruhi keikutsertaan peternak dalam kelembagaan
bagi hasil tertentu. Berdasarkan kecenderungan pemilihan sistem bagi hasil pada: (a) usaha pembibitan: (i)
penggaduh pemerintah (PP) cenderung tetap atau tidak beralih ke peternak mandiri; (ii) kecenderungan
penggaduh swasta luar (PSLr) beralih hanya dipengaruhi oleh besaran share dan total aset usahatani; (iii)
penggaduh swasta lokal (PSLk) juga cenderung tetap (b) Usaha penggemukan: (i) PP cenderung tetap; (ii)
kecenderungan PSLr beralih hanya dipengaruhi ketersediaan modal, luas lahan pakan, dan total aset usahatani;
(iii) kecenderungan PSLk beralih dipengaruhi ketersediaan modal dan luas lahan pakan. (2) Keputusan
pemodal untuk berpartisipasi ditentukan oleh lama berbagi hasil dan integritas penggaduh.

Kata kunci : bagi hasil, penggaduh , pemodal, peternak mandiri dan sapi potong.

ABSTRACT
A survey was conducted in Kupang District - NTT Province. Respendonets were selected using a multi-stage
cluster random sampling technique. Total respondents were 224 farmers consisted of 146 farmers who have
participated in sharing arrangements institution (SAI) and 78 were non-participants (FNP). Meanwhile,
investors were divided into a) government investors ; (b)external investors and (c) local investors. A total of 23
investors (both individual and institutions) were sorted out using census technique. Collected data were
qualitatively and quantitatively analyzed using multinomial logit regression and path analysispricipels. The
results indicated that: (1) there were nine factors namely capital availability, age, formal education, family
labor availability, beef cattle farming experience, sharing arrangements experience, land size for forage
production, and farming assets influence farmers participation in SAI. Based on tendency to be consistent or
remain involve in SAI or become FNP : (a) for breeding, the tendency to involve in SAI can be explained as : (i)
farmers participant from government investment (FPG) is stable; (ii) farmers participation in external
investment (PEI) showed a tendency to become FNP were affected by share and farming assets.; and (iii)
farmers who involved with local investors (FLI) remain in their status; (b) for fattening, it can be explained as :
(i) FPG in remain stable; (ii) for PEI to become FNP affected by capital availability, land size for forage
production, and farming assets; (iii) the tendency of PLI to become FNP were affected by capital availability
and land size for forage production; (2) investors decision to participate in SAI was affected by experience in
SAI and farmers’ integrity.

Keywords: sharing arrangements, participan farmer, investors, non-participan, beef cattle

PENDAHULUAN
Program Kecukupan Daging (PKD) sapi dan kerbau sebagai bagian dari rencana aksi
pemantapan ketahanan pangan 2005-2020, relevan dalam pembangunan karena penyerapan tenaga
226
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

kerja oleh usaha ternak sapi potong cukup nyata, potensi kenaikan permintaan, kenaikan harga per
tahun (untuk aras NTT mencapai 23,4 % per tahun (Nono, 2015). Secara makro pertumbuhan
penawaran yang lebih lambat dari permintaan (importasi terus meningkat), ini berkaitan dengan
beberapa faktor seperti : penyebaran sentra produksi (hanya di 11 provinsi), jarak geografis antara
sentra produksi dengan sentra konsumsi yang cukup jauh, infrastruktur transportasi yang terbatas dan
kelembagaan. Pada tingkat mikro, sejumlah permasalahan pada usaha peternakan rakyat seperti :
keterbatasan modal, rendahnya penguasaan teknologi, penyakit ternak dan kelembagaan (pada aspek
pra produksi, produksi dan pasca produksi). Dalam pada itu, NTT sebagai salah satu sentra produksi
sapi potong dengan proyeksi kuota ekspor antar pulau sekitar 60.000 ekor sapi potong. Angka
pengeluaran tersebut di atas masih dapat ditingkatkan karena potensi sumber daya untuk peningkatan
populasi masih sangat besar, seperti lahan pasture dan limbah pertanian, budaya beternak serta daya
adaptasi dari ternak sapi potong serta kebijakan pemerintah atau investasi dari pihak swasta berupa
bagi hasil, perguliran (bidang pembibitan atau penggemukkan).
Hasil riset Simatupang dkk. (1993) di Bali, Keban dkk (1999) di Timor, Nono dkk (2002) di
Sumba Timur dan Nono (2015) di Timor mendapati bahwa kelembagaan (termasuk sistem bagi hasil)
merupakan kelemahan substansial dalam pengembangan sapi potong. Dalam kaitan dengan itu, turut
sertanya salah satu pihak dalam berbagai model bagi hasil dipengaruhi oleh sejumlah faktor
pendorong (baik internal ataupun eksternal) yang perlu ditelusuri lebih lanjut. Berdasarkan uraian di
atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahu (1) Faktor- faktor apa saja yang menjadi penentu
keikutsertaan peternak dan bagaimana konsistensi keputusannya untuk terlibat pada sistem bagi hasil
tertentu dalam usahaternak sapi potong, dan (2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi dan sejauh
mana pengaruhnya terhadap partisipasi pemodal dalam sistem bagi hasil dengan peternak dalam
usahaternak sapi potong.

MATERI DAN METODE


Sebagai objek penelitian adalah (1) peternak yang mengikuti bagi hasil (penggaduh) dengan
pemodal, peternak mandiri. Untuk pemodal, dilakukan sensus terdiri dari dua jenis, yaitu pemerintah
(melalui sejumlah program bantuan), dan swasta (local dan dari luar wilayah). Lokasi penelitian
adalah Kabupaten Kupang. Penentuan sampel dilakukan secara bertahap (multistage cluster random
sampling) dengan alokasi sample secara proporsional secara acak. Jadi sampel penggaduh 146 orang,
dan peternak mandiri = 78 orang.

Model Analisis
Faktor-faktor penentu keikutsertaan peternak dalam model bagi hasil tertentu adalah
ketersediaan modal (X1), umur peternak (X2), lama pendidikan formal (X3), jumlah tenaga kerja
keluarga (X4), lama berusaha ternak sapi potong (X5), lama berbagi hasil (X6), besaran share (X7),
luas lahan untuk pakan (X8), dan total aset usahatani (X9) adalah Model Multinomial Logit
menggunakan Odds ratio berdasarkan (Retherford dan Choe, 1993) dan Liao (1994). Sedangkan
faktor-faktor penentu bagi pemodal untuk berpartisipasi dalam suatu model bagi hasil dengan
peternak adalah lama berusaha, kedudukan usaha bagi hasil, kekerabatan, integritas penggaduh,
prospek pasar, kesinambungan produksi, dan risiko dari spekulan. Analisis yang digunakan adalah
analisis jalur sesuai Kusnedi (2005) dan Ferdinand (2006).

Persamaan yang digunakan adalah:

Y=yx1X1 + yx2X2+ yx3X3+ yx4X4+ yx5X5+ yx6X6+ yx7X7 + e1

227
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

HASIL DAN BAHASAN


Faktor-faktor Penentu Keikutsertaan Peternak dalam Sistem Bagi Hasil
Berdasarkan hasil analisis terdapat sembilan variabel bebas yang mempengaruhi keikutsertaan
peternak dalam suatu kelembagaan bagi hasil tertentu (pembibitan) secara sangat nyata (P < 0,01)
dengan R2 = 0,940.
Berkaitan dengan kecenderungan setiap pilihan berdasarkan jenis pemodal, dengan referensi
sistemnya adalah peternak mandiri, dijelaskan bahwa hanya perbandingan (atau kecenderungan untuk
beralih atau tetap pada jenis pemodal saat ini) antara penggaduh dengan pemodal swasta luar, ternyata
hanya (X8) dan (X9) yang berpengaruh nyata. Untuk X8 berarti, kalau ada penurunan proporsi share
yang diterima penggaduh sebesar satu–satuan akan meningkatkan kecenderungan penggaduh untuk
beralih menjadi peternak mandiri sebesar dua kali. Untuk perngaruh X 9, artinya peningkatan satu-
satuan total aset usahatani yang dimiliki akan meningkatkan kecenderungannya menjadi peternak
mandiri sebesar 1,7 kali.
Kecenderungan penggaduh beralih ke sistem bagi hasil atau ke jenis pemodal lainnya, dari
penggaduh dari pemodal pemerintah, dan penggaduh dari pemodal swasta lokal, ternyata tidak
satupun variabel bebas yang signikan dalam menjelaskan variasi kecenderungan peternak untuk
memilih jenis pemodal yang lainnya. Ini berarti, fluktuasi ketersediaan setiap variabel bebas, yaitu
ketersediaan modal (X1), umur (X2), lama mengikuti pendidikan formal (X3), jumlah tenaga kerja
keluarga (X4), lama berusaha ternak sapi potong (X5), lama melakukan bagi hasil (X6), luas lahan
untuk pakan (X7), besaran share (X8) dan total aset usahatani (X9), tidak mempengaruhi responden
untuk beralih ke jenis pemodal (bagi hasil) yang lain. sikap responden dalam status penggaduh dari
pemerintah dan swasta lokal cenderung tetap atau tidak beralih kepada jenis pemodal lainnya . Hal
ini disinyalir bahwa keikutsertaan peternak dalam sistem bagi hasil adalah berkaitan dengan
prinsip berusaha untuk berjaga-jaga (terutama untuk pendidikan anak, perbaikan rumah, kesehatan
dan urusan social budaya), atau tidak semata-mata ditentukan oleh faktor ekonomi. Oleh sebab itu, ia
cenderung pasrah/setuju terhadap aturan main walaupun besaran sharenya kecil.
Untuk penggaduh dengan pihak pemodal swasta luar, diprediksi sebanyak 91,7 persen yang
tetap bertahan, atau hanya sebanyak 8,3 persen yang cenderung beralih ke pihak swasta lokal. Dalam
pada itu, untuk penggaduh dengan pemodal swasta lokal, hanya terdapat 8 persen yang cenderung
beralih kepada pihak swasta luar, sedangkan 92 persen tetap bertahan. Untuk keseluruhan responden,
yaitu 117 responden yang meliputi: 25 penggaduh ternak pemerintah, 24 penggaduh ternak pemodal
swasta luar, 25 penggaduh ternak pemodal swasta lokal dan 43 peternak mandiri, yang bertahan
tetap pada posisi demikian adalah sebanyak 96,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan aturan
kelembagaan bagi hasil yang ada, umumnya peternak sudah merasa nyaman. Ini terjadi kemungkinan
berkaitan dengan nyaris tidak adanya usaha ekonomi produktif lain yang cukup padan dengan sumber
daya yang dimilki oleh peternak sapi potong.
Pada tipe usaha penggemukan, berdasarkan hasil analisis sembilan variabel bebas tersebut di
atas mempengaruhi keikutsertaan peternak dalam suatu kelembagaan bagi hasil secara sangat nyata
(P < 0,01), R2 = 0,838. Berkaitan dengan peluang setiap pilihan berdasarkan jenis pemodal, dengan
referensi sistemnya adalah peternak mandiri, dari tiga persamaan, dijelaskan untuk persamaan
perbandingan peluang antara penggaduh yang berbagi hasil dengan pemerintah, dengan peternak
mandiri cenderung tetap (tidak ada variabel yang signifikan). Perbandingan antara penggaduh dari
pemodal swasta luar dengan peternak mandiri, hanya variabel X1, X7 dan X9 yang signifikan. Faktor
ketersediaan modal (X1), memang menjadi kendala serius dalam usaha penggemukan, sehingga setiap
kenaikan 1% modal penggaduh, akan meningkatkan 0,5 persen dia beralih ke peternak mandiri. Untuk
X7, maka setiap peningkatan pemilikan lahan pakan sebesar 1 persen akan meningkatkan peluangnya
dalam bersikap untuk beralih menjadi peternak mandiri sebesar 0,17 persen. Untuk pengaruh variabel
228
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

X9, dengan meningkatnya 1 persen pemilikan aset usahatani akan meningkatkan peluangnya sebesar
0,12 persen untuk beralih ke peternak mandiri.
Untuk perbandingan penggaduh dari pemodal swasta lokal dengan peternak mandiri, hanya
variabel X1 dan X7 yang signifikan. Untuk variabel bebas X1, maksudnya setiap kenaikan 1 persen
modal yang dimiliki akan meningkatkan peluangnya untuk beralih menjadi peternak mandiri sebesar
0,35 persen. Untuk variabel X7, maka setiap peningkatan luas lahan pakan yang dimiliki sebesar 1
persen akan meningkatkan peluangnya untuk menjadi peternak mandiri sebesar 0,13 persen.
Besaran peternak mandiri yang konsisten untuk tetap sebagaimana penggaduh dari pemerintah,
yang tetap konsisten sebesar 70 persen, dan sisanya dapat beralih ke pemodal swasta luar. Hal ini
beralasan, sebab disamping ketidak teraturan penyediaan bakalan dari pemerntah, juga terdapat
beberapa pemodal luar yang lebih sigap dalam menjaga kesinambungan produksi dengan besaran
share yang relatif sama dengan pemodal pemerintah. Untuk penggaduh dari pemodal swasta luar,
maka 87 persen yang tetap bertahan, dan hanya sebanyak 8,7 persen cenderung ke pihak swasta
lokal, sedangkan sisanya akan cenderung ke pemodal pemerintah. Hal ini umumnya pada bagi hasil
dengan pemodal swasta luar yang sharenya lebih rendah dari pemodal lainnya. Untuk penggaduh
dari pemodal lokal, maka sebesar 37,5 persen akan cenderung beralih/memilih pemodal swasta luar.
Hal ini berkaitan dengan alasan adanya share yang dibagi sejumlah swasta luar yang lebih tinggi
daripada yang diperolehnya. Dari semua responden yang ada, terdapat 86% yang tetap konsisten
dengan pemodalnya.
Jadi, hanya faktor X1 (ketersediaan modal sendiri), dan luas lahan pakan (X7) serta total aset
usaha tani yang mendukung kegiatan usaha (X9) merupakan tiga faktor yang dapat memicu peralihan
status penggaduh menjadi peternak mandiri. Hal ini beralasan sebab faktor X 1, merupakan kendala
serius yang bersifat umum di dalam usaha peternakan rakyat, seperti untuk meningkatkan skala
pemilikan. Faktor luas lahan pakan (X7) merupakan konsekwensi dalam usaha peternakan, maksudnya
pakan sebagai faktor penentu adanya atau keberlanjutan usaha peternakan. Faktor aset usahatani (X9)
yang mendukung kelancaran/pengembangan usaha bagi hasil yang ada.
Dalam kerangka ini, maka faktor sosial budaya termasuk unsur kelembagaan seperti adanya
rasional yang terbatas (bounded rationality) terhadap informasi, dan kapasitas diri menjadi penentu
keputusan peternak untuk tetap atau beralih ke jenis pemodal lainnya dengan aturan main dalam
kesepakatan yang dianggapnya paling rasional sampai dia tidak ikut sama sekali dalam kelembagaan
bagi hasil yang ada. Artinya, setiap pelaku (peternak atau pemodal) sudah tahu akan apa
akibat/konsekwensinya dalam kesepakatan (joint decision) dalam kelembagaan bagi hasil yang diikuti
atau tidak diikutinya.

Faktor-faktor Penentu Partisipasi Pemodal dalam Sistem Bagi Hasil.


Dari tiga jenis pemodal, peranan pihak swasta (swasta luar, swasta lokal) dalam mendukung
kelembagaan bagi hasil dalam usaha sapi potong ternyata tinggi, yaitu mencapai 77,03 persen
sedangkan sisanya (22,97 persen) adalah berupa bantuan pemerintah.
Dari hasil analisis, untuk model ke-1 dimana semua faktor dimasukkan maka diperoleh nilai F
untuk model 1 sebesar 3,615 dengan nilai P = 0.017. atau P < 0.05, Uji parsial, uji-t, hanya integritas
penggaduh yang memberikan pengaruh signifikan terhadap keputusan pemodal (t = 2,381, nilai P=
0.031). Hal ini sesuai dengan filosofi kerja sama atau bagi hasil, yaitu suatu kerja sama dapat
dibangun atau tercipta setelah adanya integritas penggaduh yang baik, dengan memiliki etos kerja
yang tinggi, rajin serta produktif akan menciptakan kepercayaan kepada pemodal untuk menitipkan
modalnya (berupa ternak). Setelah dilakukan trimming, maka hanya : faktor lama bagi hasil (X1)
dan integritas penggaduh (X5) yang signifikan terhadap keputusan pemodal (Y). Selanjutnya, hasil
trimming besarnya koefisien jalur X1 dan X5 ke Y berubah masing-masing menjadi pyx1= 0.361 (t=
2.181; P= 0.041)dan pyx1 = 0.513 (t= 3.101; P= 0.006), dengan nilai R2 yx1x5 sebesar 0.546 dan
229
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

nilai F hit = 12.010. Dengan demikian, kerangka hubungan kausal empiris antara X1 dan X5
dengan Y diragakan melalui persamaan struktural sebagai berikut:

Y = 0.361X1 + 0.513X5 + 0.674 e ; R2 yx1x5 sebesar 0.546.

dimana koefisien e = V1- R2 yx1x5 = V1 - 0.546 = 0.674 . dan setelah uji model , maka model adalah fit
dengan data. Jadi, faktor lama melakukan bagi hasil (X1) memiliki pengaruh yang positif terhadap
keputusan pemodal (Y). Artinya, semakin lama melakukan bagi hasil akan semakin tinggi
kecenderungan pemodal untuk melakukan bagi hasil. Demikian pula halnya dengan faktor X 5
(integritas penggaduh). Jadi, faktor integritas calon penggaduh/penggaduh menjadi pertimbangan
utama bagi pemodal untuk melakukan bagi hasil. Besarnya pengaruh X1 secara langsung dalam
mempengaruhi keputusan pemodal melakukan bagi hasil adalah (0,361)2 = 13,03 %, dan pengaruh
langsung dari faktor integritas penggaduh (X5) terhadap Y adalah (0.,513)2 = 26,3%.

SIMPULAN
1. Factor- faktor penentu sikap peternak untuk keikutsertaan dan konsistensi peternak dalam
kelembagaan bagi hasil tertentu.
a. Usaha pembibitan : Pada perbandingan kecenderungan pemilihan bagi hasil dengan jenis
pemodal, antara: (i) penggaduh pemerintah cenderung tetap atau tidak beralih ke peternak
mandiri, (ii) kecenderungan memilih untuk beralih dari penggaduh swasta luar menjadi peternak
mandiri, hanya dipengaruhi oleh faktor besaran share yang diterima dan faktor total aset
usahatani; (iii) penggaduh dari pemodal swasta lokal cenderung tetap atau tidak beralih ke
peternak mandiri karena berkaitan pola hubungan yang berkaitan dengan norma termasuk faktor
kekerabatan.
b. Usaha penggemukan: (i) ) penggaduh pemerintah cenderung tetap atau tidak beralih ke peternak
mandiri; (ii) kecenderungan penggaduh swasta luar beralih menjadi peternak mandiri, hanya
dipengaruhi oleh ketersediaan modal, kepemilikan lahan pakan, dan total aset usahatani; (iii)
kecenderungan penggaduh pemodal swasta lokal beralih menjadi peternak mandiri, dipengaruhi
oleh ketersediaan modal dan luas lahan pakan yang dimiliki.
2. Keputusan pemodal untuk berpartisipasi dalam kegiatan bagi hasil dengan peternak ditentukan oleh
pengalaman berbagi hasil dan integritas penggaduh.

DAFTAR PUSTAKA
Ferdinand, A. 2006. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. Pnerbit Universitas
Diponegoro. Semarang – Jawa Tengah.
Keban, A. O.H. Nono, Y. Ngongo, A. Kedang, dan Esnawan, 1999. Studi Sosial Ekonomi Sistem
Pemeliharaan Ternak Sapi di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang. Laporan Penelitian
Kerjasama antara Lemlit Universitas Nusa Cendana dengan BPTP NTT.
Kusnedi, 2005. Analisis Jalur Konsep dan Aplikasi. Badan Penerbit Jurusan Pendidikan Ekonomi
Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Liao, Tim Puting .1994. Interpreting Probability Models. Logit, Probit, and Other Generalized Linear
Models. Sage Publications. New Delhi.
Nono, O.H. dan A. Riwu, 2015. Dinamika Sistem bagi Hasil Dalam Usaha ternak sapi potong di NTT
Dari Perspektif Ekonomi Kelembagaan. Laporan Penelitian Fundamental. Lemlit Undana
Kupang.
Simatupang, P; E. Jamal; R. Sayuti; M. H. Togatorop dan C. Muslim. 1993. Analisis Ekonomi
Perbandingan Sistem Bagi Hasil (SBH) Usaha Ternak Sapi Potong Pola PIR dan Pola Gaduhan
Tradisional di Propinsi Bali. Dalam Agribisnis Komoditas Peternakan. Pusat Penelitian Sosek
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

230
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

ANALISIS EKONOMI USAHA TERNAK SAPI BANTUAN


PEMERINTAH KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
ECONOMIC ANALYSIS OF GOVERNMENTAL AID CATTLE BUSINESS
IN TIMOR TEMGAH SELATAN DISTRICT
Arnoldus Keban1,2, I Gusti Ngurah Jelantik2, Tara Tiba Nikolaus2 dan Yohanes G. Sogen2
1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Peternakan Undana
2
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana

ABSTRAK
Bantuan sapi merupakan salah satu bentuk implementasi program pemerintah Kabupaten TTS. Apakah bantuan
sapi memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat? Tujuan: 1) Mengetahui besarnya pendapatan usaha
penggemukan sapi bantuan pemerintah, 2) Mengetahui kelayakan usaha sapi penggemukan bantuan pemerintah
dan 3) Memberikan rekomendasi dalam kerangka optimalisasi dampak. Kajian dilakukan terhadap kelompok
penerima bantuan ternak bakalan yang dibagi dalam tiga ketinggian tempat yakni 0-500, 501-1.000 dan 1.001-
1.500 mdpl. Jumlah bakalan tiap kelompok 10-20 ekor dengan rata-rata 12±4 ekor. Rata-rata bobot bakalan
179,61±19.33 ekor. Hasil kajian menunjukkan pendapatan tertinggi diperoleh kelompok peternak pada
ketinggian 1001-1500 mdpl yaitu Rp2.382.500,- disusul kelompok pada ketinggian 0-500 mdpl yaitu
Rp2.302.429 dan terendah adalah kelompok pada ketinggian 501-1000 mdpl yaitu Rp2.203.500. Namun hasil uji
statistik menunjukkan tidak ada pengaruh ketinggian tempat terhadap pendapatan kelompok peternak (P>0.05).
Hasil analisis kelayakan diperoleh nilai NPV -Rp114,899.71.- pada discount factor sebesar 12%; B/C 1.05 dan
IRR 5%. Kesimpulan: 1) Analisis investasi menunjukkan usaha penggemukan tidak layak secara finansial, 2)
Hasil analisis sensitivitas, pendapatan bersih kelompok per periode penggemukan Rp2,085,605.-/ekor/tahun, 3)
Hasil analisis switching value diperoleh NPV Rp2,288,696; BC ratio sebesar 1.12 dan IRR sebesar 33%.
Berdasarkan kriteria investasi maka usaha penggemukan yang sedang dilaksanakan oleh kelompok
penggemukan layak secara finansial. 4) Program penggemukan dapat diarahkan ke daerah dengan ketinggian
>500 mdpl karena memiliki ketersediaan pakan lebih baik dan seleksi ketat berdasarkan ketersediaan pakan
berkualitas, 5) Pelaksaanaan program bantuan penggemukan harus dilaksanakan selama ketersediaan hijauan
melimpah dengan kualitas tinggi.
Kata Kunci: ternak sapi penggemukan, pendapatan usaha, kelayakan uasha dan analisis sensitivitas

ABSTRACT
Cattle aid is of the key programs of the government of TTS. Is the aid of cattle providing economic benefits to
the community? Objectives: 1) To know the income of cattle fattening business from government assistance, 2) to
know the feasibility of cattle fattening business of government aid and 3) to provide recommendations in the
framework of impact optimization. The study was conducted on a group of young livestock beneficiaries divided
into three altitude places ie 0-500, 501-1000 and 1,001-1,500 meters above sea level (masl). The number of
young cattle for each group of 10-20 heads with an average of 12±4 heads. The average weight of 179.61±19.33
heads. The result showed that the highest income was obtained by breeders group at an altitude of 1001-1500
masl which is Rp2.382.500,- followed by groups at an altitude of 0-500 masl of Rp2.302.429 and the lowest is
the group at an altitude of 501-1000 masl of Rp2.203.500. However, statistical test results show that there is no
influence of altitude to the income of farmers group (P> 0.05). The result of feasibility analysis obtained NPV
value -Rp114,899.71. at discount factor of 12%; B/C 1.05 and IRR 5%. Conclusion: 1) Investment analysis
indicates the business of fattening is not feasible financially, 2) Result of sensitivity analysis, net income of group
per fattening period Rp2,085,605.-/head/year, 3) The result of switching value analysis obtained NPV
Rp2,288,696; BC ratio 1.12 and IRR 33%. Based on the investment criteria, the fattening business being carried
out by the fattening group is financially feasible. 4) The fattening program can be directed to areas with
altitudes >500 masl as it has better feed availability and rigorous selection based on the availability of quality
feed, 5) Fattening of fattening aid programs should be implemented during abundant high quality forages.
Keywords: fattening cattle, business income, business feasibility and sensitivity analysis

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan umum pemerintah daerah Timor Tengah Selatan dalam bidang ekonomi melalui
pemberdayaan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemanfaatan
potensi wilayah agar dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dengan tetap memperhatikan
231
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

kelestarian alam dan lingkungan melalui pengembangan sumber daya manusia (SDM) petani/
peternak/nelayan, penyuluh dan tenaga pendamping masyarakat, pengembangan dan penggunaan
teknologi pertanian/peternakan/perikanan dalam rangka peningkatan produksi komoditi unggulan
spesifik lokal dengan kebijakan peningkatan kesempatan kerja, peningkatan produksi dan
produktivitas tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, pengembangan potensi pariwisata
serta pelestarian hutan, tanah dan air. Penjabaran dari kebijakan umum daerah dalam bidang
peternakan di antaranya: 1) Program pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak, 2) Program
peningkatan produksi hasil peternakan, 3) Program peningkatan pemasaran hasil produksi peternakan,
dan 4) Program peningkatan penerapan teknologi peternakan. Berdasarkan keempat program utama
bidang peternakan maka kegiatan bantuan ternak sapi bagi masyarakat merupakan implementasi dari
program peningkatan produksi hasil peternakan dan program peningkatan pemasaran hasil produksi
peternakan yang telah digulirkan kepada peternak.
Sejauh ini belum diketahui secara pasti apakah bantuan ternak oleh pemerintah tersebut dapat
memberikan manfaat ekonomi bagi petani-peternak penggaduh. Sebagai bentuk pertanggungjawaban
(akuntabilitas) dan evaluasi program bantuan ternak sapi tersebut maka perlu dilakukan kajian dampak
bantuan ternak sapi yang diberikan kepada petani/peternak dan diharapkan hasil kajian tersebut dapat
memberikan gambaran yang obyektif dan riil tentang dampak yang diperoleh dan rekomendasi sebagai
tindak lanjut dari kajian tersebut. Tujuan penelitian ini adalah a) Mengetahui besarnya pendapatan
usaha penggemukan ternak sapi bantuan pemerintah. b) Mengetahui kelayakan usaha ternak sapi
penggemukan bantuan pemerintah. c) Memberikan rekomendasi dalam kerangka optimalisasi dampak.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Kajian telah dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan di 17 kecamatan dan 36 desa yang
memiliki kelompok yang menerima bantuan ternak dari pemerintah. Kegiatan ini telah dilaksanakan
selama 4 bulan dari bulan September hingga Desember 2015.

Populasi dan Metode Pengambilan Sampel


Kajian dengan metode survey pada kelompok penerima sapi bantuan pemerintah untuk
penggemukan. Populasi penelitian adalah kelompok peternak yang memperoleh bantuan sapi sejak
tahun 2007 yang bersumber dari dana APBD II. Tercatat 47 kelompok tersebar pada 24 Kecamatan
Pelaksanaan sampling secara bertahap, yaitu sampling lokasi (kecamatan dan desa) dan
sampling kelompok peternak. Sampling lokasi untuk menentukan wilayah kecamatan dan desa contoh
penerima bantuan ternak sapi APBD II. Penetapan sampel kecamatan secara purposive berdasarkan
zona ekosistem menurut ketinggian tempat yaitu daerah pesisir (0-500 m dpl), ketinggian menengah
(501-1000) dan dataran tinggi (1001-1500) dan 1501-2000 m dpl. Masing-masing diwakili 6
kecamatan kecuali dataran tinggi, seluruh kecamatan diikutsertakan karena jumlah kecamatan yang
ada kurang dari 6 (enam) kecamatan. Dengan demikian terdapat 17 kecamatan yang menjadi
kecamatan contoh. Selanjutnya, penentuan desa dan kelompok dari setiap desa dilakukan secara acak
dalam setiap kecamatan terpilih. Sampling responden kelompok peternak dilakukan secara acak
sederhana tidak berimbang sehingga diperoleh 18 kelompok penggemukan. Adapun kelompok
peternak penggaduh adalah kelompok yang menerima bantuan sapi sebanyak 10 ekor sapi bakalan
atau lebih untuk penggemukan dan sekurang-kurangnya pernah sekali mengembalikan atau pernah
menjual ternak sapi potong sesuai persyaratan yang ditetapkan sebelumnya.

Metode Pengambilan data


Pengumpulan data dengan teknik wawancara dan observasi untuk memperoleh data primer
dan sekunder. Data primer dengan metode wawancara berdasarkan daftar pertanyaan yang disiapkan
melalui wawancara mendalam dengan pengurus kelompok (ketua, sekretaris dan bendahara). Data
sekunder dari instansi terkait dengan menggunakan teknik dokumentasi. Dokumen berupa petunjuk/
pedoman bantuan ternak sapi, laporan pelaksanaan bantuan, serta data lainnya yang terkait.

232
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Aspek Finansial
Untuk tujuan pertama dilakukan analisis deskriptif dan proyeksi aktual tentang kinerja dan
perkembangan sapi pola gaduhan penggemukan pada kelompok penerima. Proyeksi aktual
menggunakan koefisien teknis dan ekonomis dari usaha pola gaduhan tingkat peternak dengan tahun
dasar pemberian 2007. Proyeksi perkembangan usaha dilakukan 10 tahun. Selanjutnya dilakukan
analisis kelayakan finansial dengan kriteria investasi (Gray dkk, 2005), yaitu meliputi net present
value (NPV), internal rate return (IRR), net benefit cost ratio (Net B/C) dan analisis sensitivitas/
switching value (nilai pengganti) analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui hasil perhitungan
yang membuat proyek tidak layak diusahakan dengan melakukan perubahan pada sesuatu variabel.

Metode Analisis Data


Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk
mengetahui gambaran mengenai aspek–aspek yang dikaji dalam penelitian ini yang dijelaskan
secara deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui pendapatan serta kelayakan
finansial usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong (fattening) berdasarkan kriteria kelayakan
investasi. Data kuantitatif dikumpulkan, diolah dengan menggunakan komputer software SPSS 18
yang akan ditampilkan dalam bentuk tabulasi kemudian dijelaskan secara deskriptif.

PEMBAHASAN
Karakteristik Kelompok
Jumlah anggota kelompok 7-28 orang dengan modus 10 orang (38.9%), 20 orang (22,2%) dan
15 anggota (16.7%). Kelompok dipimpin ketua dibantu sekretaris dan bendahara. Pengurus umumnya
berumur produktif antara 37-46 tahun. Proporsi terbesar anggota pada kelompok umur 25-50 tahun
(77,14%), sedangkan sisanya di atas 50 tahun (22,86%). Hal ini mengindikasikan anggota kelompok
sangat potensial bagi pengembangan usaha sapi. Pengalaman memelihara sapi 25,72±13,38 tahun
berkisar 5-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa petani contoh dalam kelompok usaha penggemukan
sapi sudah cukup berpengalaman. Sekitar 72.2% petani memiliki motivasi untuk meningkatkan
pendapatan atau sebagai sumber pendapatan dan 27,8% sebagai tabungan. Motivasi ini ternyata
membuat petani lebih tekun dan serius dalam berusaha ternak.
Jumlah ternak bakalan penggemukan tiap kelompok adalah 10-20 ekor dengan rata-rata 12 ±4
ekor. Rata-rata bobot badan awal bakalan adalah 179,61±19.33 ekor. Hal ini menggambarkan bahwa
ternak bakalan yang didistribusikan kepada tiap kelompok penerima berbeda secara tidak nyata.

Sistem Penggemukan Sapi


Pada umumnya sistem penggemukan intensif dimana sapi dikandangkan dan pemberian pakan
dilakukan dengan sistem cut and carry. Pakan berupa rumput lapangan, rumput raja (king grass),
lamtoro, turi, dan gamal serta batang pisang. Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan 100%
kelompok usaha memiliki lahan yang ditanami lamtoro dan turi serta tanaman hijauan makanan ternak
lainnya. Jumlah pakan yang diberikan rata-rata 20-25 kg sekali pemberian. Pada umumnya frekuensi
pemberian pakan dua kali sehari, tetapi cenderung disiapkan pakan secara ad libitum.
Kandang atau kayu palang dibuat di sekitar rumah atau pada lahan kebun HMT. Kandang
penggemukan umumnya individual dengan luas 3m2/ekor. Peralatan kandang adalah tempat minum
berupa ban bekas atau ember dan tali pengikat. Tali pengikat (nilon) sekitar 3,58m/ekor dengan harga
Rp.6.039/m. Rata-rata biaya kandang dan peralatan yang dikeluarkan peternak Rp106.853,-
Tenaga kerja umumnya berasal dari tenaga kerja keluarga dimana tenaga kerja keluarga tidak
dibayar dengan uang. Tenaga bertugas mencari pakan, membersihkan kandang, dan memberi makan
dan minum.
Perawatan kesehatan dilakukan melalui dua tindakan berupa vaksinasi dan pengobatan.
Vaksinasi dilakukan petugas kesehatan hewan dari dinas peternakan dengan frekuensi 1-3 kali/tahun.
Untuk pengobatan, ternak yang sakit disuntik atau diberi vitamin dan antibiotika. Penyakit yang sering
menyerang ternak sapi penggemukan adalah mencret, cacingan dan bloating (kembung perut).
Pada umumnya peternak menjual ternaknya melalui pedagang perantara/blantik desa. Peternak
menjual sapinya dengan berat badan berkisar antara 275-300 kg. Bobot badan dimaksud adalah bobot

233
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

badan taksiran karena peternak tidak melakukan penimbangan. Rata-rata harga jual per ekor sapi
adalah Rp4.865.612.

Biaya, Penerimaan, dan Pendapatan Usaha


Komponen input berupa biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya pembuatan
kandang dan pengadaan peralatan berupa tempat makan, tempat minum dan tali, sedangkan biaya
variabel mencakup biaya konsentrat, obat-obatan, dan tenaga kerja. Untuk pakan hijauan berupa
rumput alam, rumput king grass dan hijauan legume berupa lamtoro, turi dan dedaunan lainnya
disiapkan peternak dan tidak dinilai dengan uang. Pendapatan tertinggi kelompok pada ketinggian
1001-1500 m dpl sebesar Rp2.382.500,- disusul kelompok pada ketinggian 0-500 m dpl Rp2.302.429
dan terendah kelompok pada ketinggian 501-1000 m dpl Rp2.202.500,-. Namun hasil uji statistik
menunjukkan tidak ada pengaruh ketinggian tempat terhadap pendapatan kelompok (P>0.05).
Total biaya operasional dalam penggemukan sapi adalah Rp5,355,547,-/ekor dimana biaya
tetap Rp106,853,- (1,99%) dan biaya variable Rp5,248,694,-(98,01%). Dengan penerimaan
Rp7,530,444, diperoleh pendapatan Rp281,750,-. Bagian yang diterima oleh peternak sebesar 70%
yaitu sebesar Rp1,597,225.-/ekor atau Rp93,954.41/bulan.
Untuk menilai apakah usaha penggemukan yang sedang dilaksanakan oleh kelompok peternak
layak secara finansial maka dilakukan analisis dan perhitungan sesuai dengan criteria kelayakan yang
berlaku. Hasil analisis kelayakan finansial peroleh di nilai NPV yang menggambarkan nilai uang yang
diterima saat ini sebesar -Rp114,899.71.- pada discount factor sebesar 12%. Nilai NPV negative
berarti usaha tersebut tidak layak secara finansial. B/C sebesar 1.05 yang menggambarkan bahwa
dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp1,000.- akan di peroleh manfaat sebesar Rp1,050.-. nilai B/C
ini lebih besar dari 1 yang berarti dari sudut criteria ini usaha penggemukan sapi secara finansial
layak. Namun nilai 1.05 ini sangat sensitive terhadap perubahan harga input factor maupun harga
output. Sementara itu nilai IRR yang diperoleh sebesar 5% menggambarkan bahwa pada tingkat suku
bunga 5%, nilai manfaat yang diterima sama dengan nilai biaya yang dikeluarkan. Dengan perkataan
lain pada tingkat suku bunga 5% nilai NPV sama dengan 0. Berdasarkan criteria ini usaha
penggemukan yang sedang dilaksanakan oleh kelompok penggemukan tidak layak secara finansial
karena nilai IRR lebih rendah dari soscial discount rate yang berlaku.

Analisis Sensitivitas
Analisis ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh perubahan harga baik input
maupun output atau perubahan produksi terhadap tingkat kelayakan investasi. Dalam analisis ini
diasumsikan kenaikan biaya variabel sebesar 20% untuk dapat meningkatkan kenaikan bobot badan
dari 0.2 kg/hr (koefisien teknis PBBH aktual) menjadi 0.4kg/hr serta menekan lama penggemukan
menjadi satu tahun (12 bulan) dan harga produk per kg bobot hidup dari Rp28,000.-/kg menjadi
Rp29,000.-/kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan usaha penggemukan naik dari
Rp2,281,750,- menjadi Rp2,979,436,-/ekor/tahun atau pendapatan uasaha penggemukan mengalami
kenaikan sebesar 31% (Rp697,686.-/ekor). Dengan demikian pendapatan bersih yang diterima oleh
kelompok dalam satu periode penggemukan adalah Rp2,085,605.-/ekor/tahun. Apabila tiap kelompok
peternak memperoleh 10 ekor per periode penggemukan maka akan diperoleh pendapatan sebesar
Rp20,856,050,-/tahun. Pendapatan ini dapat dialokasikan untuk membeli bakalan dalam proses
penggemukan selanjutnya. Dengan demikian keberlanjutan usaha dapat terjamin dan diharapkan
menjadi income generating bagi kelompok peternak dan keluarganya.
Secara ringkas hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 1.
Data pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai NPV yang menggambarkan nilai uang yang diterima
saat ini sebesar Rp2,288,696 pada discount factor sebesar 12%. Nilai NPV positif berarti usaha
tersebut layak secara finansial. Nilai Net B/C ratio sebesar 1,12 yang menggambarkan bahwa dengan
mengeluarkan biaya sebesar Rp.1000 akan diperoleh manfaat sebesar Rp1.120. Nilai B/C ini lebih
besar dari satu yang berarti dari sudut kriteria ini usaha penggemukan sapi secara finansial layak.
Sementara itu nilai IRR yang diperoleh sebesar 33% yang menggambarkan bahwa pada tingkat suku
bunga 33% nilai manfaat yang diterima sama dengan nilai biaya yang dikeluarkan.

234
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Tabel 1. Kriteria kelayakan investasi (analisis swetsing value)


Kriteria Kelayakan Nilai kriteria Keputusan
NPV 2,288,696 Layak
B/C 1.12 Layak
IRR 33% Layak
Sumber: Data Primer yang diolah.

Dengan perkataan lain pada tingkat suku bunga 19%, NPV =0. Berdasarkan kriteria ini usaha
penggemukan yang sedang dilaksanakan oleh kelompok penggemukan layak secara finansial karena
nilai IRR lebih besar dari social discount rate yang berlaku. Dengan demikian berdasarkan kriteria ini,
usaha penggemukan sapi layak secara finansial. Usaha ini menjadi tidak layak apabila tingkat suku
bunga bank bergerak melampaui 33%.

KESIMPULAN
1. Pemberian bantuan ternak oleh Pemerintah Kabupaten TTS belum secara optimal mampu
meningkatkan pendapatan peternak. Pendapatan yang diperoleh sebesar Rp2,281,750.- dan bagian
pendapatan yang diperoleh peternak sebesar Rp1,597, 225 (70%).
2. Pemberian bantuan ternak sapi penggemukkan oleh Pemerintah Kabupaten TTS secara finansial
belum layak karena belum terpenuhinya semua kriteria investasi.
3. Hasil analisis sensitivitas: Pendapatan bersih yang diterima kelompok per periode penggemukan
adalah Rp2,085,605.-/ekor/tahun. Apabila tiap kelompok memperoleh 10 ekor per periode maka
diperoleh pendapatan sebesar Rp20,856,050,-/tahun.
4. Berdasarkan hasil analisis switching value diperoleh NPV sebesar Rp2,288,696; BC ratio 1.12
dan IRR 33%. Artinya usaha penggemukan yang sedang dilaksanakan oleh kelompok layak
secara finansial.

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Peternakan Kabupaten TTS, 2007. Petunjuk Teknis dan pelaksanaan Bantuan Ternak sapi di
Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Dinas Peternakan Kabupaten TTS, 2008. Laporan Kegiatan Pendistribusian Ternak Sapi pada
Kelompok Petani-Peternak Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Dinas Peternakan Kabupaten TTS, 2012. Laporan Kegiatan Dinas Peternakan Kabupaten Timor
Tengah Selatan.
Gray C., Simanjuntak P., Sabur L. K. dan Maspaitella F. P. L 2005. Pengantar Evaluasi Proyek.
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Sajuti; P. Simatupang; Erizal J dan Ch. Muslim. Analisis Dana Usaha Ternak Sapi Perah dengan
Modal Pinjaman Kredit. Jurnal Agroekonomi Vol 12 No 2, Oktober 1993

235
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

DINAMIKA PERTUMBUHAN PASAR SAPI BALI DI KABUPATEN BELU DAN MALAKA


MARKET GROWTH DYNAMIC OF BALI CATTLE IN REGENCIES OF BELU AND MALAKA
Maria Krova
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana
Email: mariakrova@yahoo.com

ABSTRAK
Pengembangan sapi Bali yang konsisten diperlihatkan oleh kesinambungan produksi sapi Bali untuk merespon
potensi pasar tanpa mengganggu keseimbangan populasi di wilayah produksi. Di sisi lain pasar daging sapi yang
bersumber pada sapi potong terus bertumbuh. Sapi Bali memiliki pasar yang spesifik. Spesifikasi ini
diperlihatkan oleh rantai pasok yang terbentuk, produk sapi Bali yang dijual, dengan berbagai kebijakan dan
dampak yang melingkupinya. Pasar sapi Bali di Kabupaten Belu dan Malaka memiliki dinamika tersendiri.
Pemodelan pertumbuhan pasar ini didasarkan atas model hasil rancang bangun pengembangan agribisnis sapi
Bali di Kabupaten Belu dan Malaka yang telah valid. Data yang digunakan adalah data terkini pada tahun 2016.
Persoalan agrbisisnis merupakan persoalan yang bersifat kompleks dan dinamis sehingga rancangan yang paling
tepat digunakan adalah dinamika sistem (system dynamics). Pemodelan dinamika sistem menggunakan
perangkat lunak Vensim DSS dari Ventana Simulation PLE. Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa
dinamika pertumbuhan pasar Sapi Bali lokal dan domestik di Kabupaten Belu dan Malaka meningkat sebesar
3% sejalan dengan peningkatan kebutuhan konsumsi penduduk baik di Kabupaten Belu dan Malaka dan 1,8%
untuk aras nasional. Berdasarkan hasil tersebut dapat disarankan: 1) pentingnya menjaga konsistensi
pengembangan sapi Bali di daerah-daerah produksi sapi Bali untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus
meningkat, 2) diperlukan umpan balik dari berbagai stakeholder untuk perbaikan secara kontinyu berbagai
kebijakan dan program yang ditujukan untuk peningkatan produksi.
Kata Kunci: pertumbuhan pasar, dinamika sistem, sapi Bali, dan rantai pasok.

ABSTRACT
A consistency in cattle development is shown by a continuity of Bali cattle production in order to response to
market potency without disturbing the population equilibrium at production area. On the other hand, beef
market relaying on beef cattle which is continue to develop. Bali cattle has a spesific market. The spesification is
indicted by supply chain, cattle products sold in the market, including any policyes and theirs impacts. The
market of Bali cattle ini regencies of Belu and Malaka has it own dynamics. Modelling of the market growth is
based on valid results of agribusiness development design of Bali cattle in these regencies. Data used were data
for 2016. Agribussiness problem is complex and dynamic so the most exact design used was system dynamics.
Modelling of system dynamics using software called Vensim DSS of PLE Ventana simulation. The results showed
that the local and domestic market growth dynamics for Bali cattle in the regencies was increased by 3%
annually inline with an increased in consumption demand both in Malaka and Belu, for 1.8% for national
market. It is recommended that: 1) a consistent development of Bali cattle is urgent in cattle production areas to
fulfill an increas in market demands, 2) Feedbacks are needed from various stakeholders to continuously
improve policies and programs toward an improvement in beef cattle production.
Key words: market growth, system dynamics, Bali cattle, and supply chain.

PENDAHULUAN
Kesenjangan antara produksi dan kebutuhan domestik daging sapi saat ini telah
mengakibatkan kecenderungan tingginya harga daging sapi nasional. Hal ini memberikan peluang
pasar sekaligus menuntut konsistensi pengembangan agribisnis sapi potong domestik pada masa yang
akan datang antara lain sapi Bali. Pengembangan sapi Bali yang konsisten diperlihatkan oleh
kesinambungan produksi sapi Bali untuk merespon potensi pasar yang ada tanpa mengganggu
keseimbangan populasi di wilayah produksi. Kondisi ini hanya dapat terjadi jika pelaku pada setiap
tahapan dan atau subsistem terkait memiliki komitmen untuk selalu meningkatkan kinerja dan daya
saing usaha secara berkelanjutan.
Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan
infrastruktur di mana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk oang-orang yang
membutuhkan dengan imbalan uang. Dalam pengertian lainnya merupakan tempat bertemunya
pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual beli barang atau jasa. Terkait jangkauan
236
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

melakukan transaksi tersebut maka pasar dapat dibedakan antara pasar lokal dan pasar domestik. Pasar
lokal mengakomodir semua kebutuhan wilayah lokal (kecamatan, kabupaten, dan provinsi) sementara
pasar domestik memiliki cakupan yang lebih luas dalam hal ini adalah pasar dalam suatu negara.
Menurut Kotler dan Amstrong (1995), pasar adalah himpunan pembeli nyata dan pembeli potensial
atas suatu produk. Sedangkan pertumbuhan pasar adalah bertambahnya ukuran pasar, dalam hal ini
permintaan atau kebutuhan pasar akan daging sapi atau sapi Bali.
Sapi Bali memiliki pasar yang spesifik. Spesifikasi ini diperlihatkan oleh rantai pasok yang
terbentuk, produk sapi Bali yang dijual, dengan berbagai kebijakan dan dampak yang melingkupinya.
Pasar sapi Bali di Kabupaten Belu dan Malaka memiliki dinamika tersendiri. Makalah ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimanakah dinamika pertumbuhan pasar sapi Bali lokal dan domestik di
Kabupaten Belu dan Malaka. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pelaku rantai pasok
Sapi Bali terutama peternak dalam upaya meningkatkan produktivitas sapi Bali untuk memenuhi
permintaan pasar baik lokal maupun domestik.

METODE PENELITIAN
Pemodelan pertumbuhan pasar ini didasarkan atas model hasil rancang bangun
pengembangan agribisnis sapi Bali di Kabupaten Belu dan Malaka yang telah valid. Data yang
digunakan adalah data pada tahun 2016. Penelitian ini dirancang sebagai studi kasus pada jaringan
bisnis yang terkait dengan kelompok klaster untuk pengembangan sapi Bali. Penentuan kelompok
klaster secara sensus sedangkan usaha-usaha yang memiliki jaringan dengan kegiatan kelompok bakal
klaster sapi Bali ini ditentukan sebagai contoh secara purposif melalui metode snow ball sampling.
Informan kunci dalam penelitian ini adalah 52 PAK (Peternak Anggota Kelompok), 35 PNK (Peternak
Non Kelompok), dan pedagang yang terlibat dalam rantai pasok sapi Bali.
Persoalan agrbisisnis merupakan persoalan yang bersifat kompleks dan dinamis sehingga
rancangan yang paling tepat digunakan adalah dinamika sistem (system dynamics)(Sterman, 2002).
Jenis data dengan pendekatan dinamika sistem terdiri atas tiga jenis, yaitu data numerik, data tertulis
dan model mental. Data model mental, kepustakaan, dan numerik yang dikumpulkan diolah menjadi
suatu rancangan model dengan menggunakan metodologi dinamika sistem. Pemodelan dinamika
sistem menggunakan perangkat lunak Vensim DSS dari Ventana Simulation PLE.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Pasar Lokal


Sub model pasar lokal menggambarkan pertumbuhan pasar lokal di Kabupaten Belu dan
Malaka yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang saat ini mencapai 2,42 persen per 10
tahun atau sebesar 0,0202 per bulan (Gambar 1).Angka laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Belu
dan Malaka tersebut merupakan fraksi pertumbuhan penduduk dari penduduk total kedua kabupaten
tersebut. Hasil interaksi kedua parameter ini dapat diketahui pertumbuhan penduduk kabupaten Belu
dan Malaka. Saat ini jumlah penduduk pada kedua wilayah ini pada tahun 2016 sebanyak 409 946
jiwa, dengan rincian Kabupaten Belu sebanyak 219 385 jiwa dan Kabupaten Malaka sebanyak 190
561 jiwa. Tingkat konsumsi daging sapi per kapita penduduk Belu dan Malaka adalah 0,052
kg/orang/bulan (dihitung berdasarkan data BPS Kabupaten Belu, 2016). Berdasarkan jumlah
penduduk Kabupaten Belu dan Malaka dan konsumsi daging sapi per kapita, dapat diperhitungkan
total kebutuhan daging sapi yang dibutuhkan penduduk dan permintaannya ke Rumah Potong Hewan
(RPH).
Kebutuhan daging untuk pasar lokal tidak hanya ditawarkan oleh RPH tapi juga dari luar
RPH. Hasil survei menunjukkan bahwa pemotongan di RPH sebesar 322 ekor/bulan sedangkan non
RPH sebesar 2,92 ekor/bulan. Data tersebut mengindikasi bahwa pemenuhan kebutuhan pasar lokal
terbesar adalah dari RPH yaitu sebesar 99,1 persen sedangkan diluar RPH sebesar 0,9 persen.
Berdasarkan angka tersebut selanjutnya diakomodir fraksi pemenuhan kebutuhan daging sapi dari
RPH yang besarnya 0,991 persen dan 0,009 berasal Non RPH yang didasarkan pada data pemotongan
pada tahun 2016.

237
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

fraksi pemenuhan konsumsi daging sapi per


kebutuhan daging sapi kapita penduduk Belu dan
dari RPH Malaka
penduduk
Kabupaten pertumbuhan
total kebutuhan daging Belu dan penduduk Belu dan
permintaan daging sapi untuk penduduk Belu
sapi ke RPH untuk PL Malaka Malaka
dan Malaka
fraksi pertumbuhan
penduduk Belu dan
Malaka

laju pertumbuhan
penduduk Belu dan
Malaka

Gambar 1. Sub Model Pertumbuhan Pasar Lokal

permintaan daging sapi ke RPH untuk PL


total kebutuhan daging sapi untuk penduduk Belu dan Malaka
40,000
40,000

37,500
37,500
kg/Month

kg/Month

35,000 35,000

32,500 32,500

30,000 30,000
0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 0 8 16 24 32 40 48 56 64 72
Time (Month) Time (Month)
permintaan daging sapi ke RPH untuk PL : simulasi dasar total kebutuhan daging sapi untuk penduduk Belu dan Malaka : simulasi dasar

Gambar 2. Dinamika Pertumbuhan Pasar Sapi Bali Lokal di Kabupaten Belu dan Malaka

Tabel 1. Kebutuhan Daging Sapi Bali Pasar Lokal


Tahun 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Total kebutuhan daging 31 717,17 32 487,5 33 276,6 34 084,8 35 760,6 36 629,1
sapi (kg/bulan)

Sub model pasar lokal terkait dengan sub model persediaan daging di RPH. Variabel
permintaan daging sapi ke RPH untuk pasar lokal akan berinteraksi dengan penawaran daging di RPH
sehingga terjadi penjualan daging sapi di RPH. Hasil analisis menggunakan sub model pertumbuhan
pasar lokal di atas menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan pertumbuhan pasar sapi Bali lokal
yang semakin meningkat dari 31 717,17 kg/bulan (tahun 2015) menjadi 36 629,1 kg/bulan (tahun
2020) atau sebesar 3% per tahun. Hal ini sejalan dengan kebutuhan daging sapi untuk penduduk Belu
dan Malaka. Peningkatan ini baru dianalisis dari segi konsumsi per kapita, belum dilihat dari
pemanfaatannya untuk kebutuhan lainnya seperti adat, dan kebutuhan sosial lainnya. Hal ini berarti
bahwa pasar sapi Bali lokal akan terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan penduduk dan berbagai
kebutuhannya.

238
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Pertumbuhan Pasar Domestik


Sub model pertumbuhan pasar domestik yang diturunkan dari jumlah penduduk dan
pertumbuhannya, serta konsumsi daging sapi perkapita penduduk Indonesia (Gambar 3). Pada tahun
2016, jumlah penduduk Indonesia sebesar 258.700.000 jiwa dengan laju pertumbuhannya sebesar
0,0012 orang per bulan. Sementara itu pada tahun yang sama kebutuhan daging sapi per kapita
adalah sebesar 2,196 kg/orang/tahun atau sama dengan 0,183 kg/orang/bulan. Kebutuhan daging sapi
ini kemudian dikonversikan ke dalam kebutuhan sapi domestik dikurangi dengan kebutuhan penduduk
Kabupaten Belu dan Malaka. Selanjutnya pemenuhannya dari Kabupaten Belu dan Malaka
diakomodir dalam fraksi pemenuhannya sebesar 3 persen, didasarkan pada data jumlah pengeluaran
sapi tahun 2015 yaitu sebesar 2 130 ekor/bulan.

kebutuhan daging jumlah penduduk


sapi per kapita Indonesia minus
penduduk Belu dan pertumbuhan
kebutuhan daging Malaka penduduk Indonesia
sapi nasional

<Input Pasar jantan


dewasa> fraksi daging per
ekor sapi fraksi pertumbuhan
konversi kebutuhan penduduk Indonesia
sapi lokal nasional

permintaan SB jantan
laju pertumbuhan
dewasa gemuk untuk pasar
rataan BBH sapi penduduk Indonesia
domestik
lokal

fraksi permintaan SB
jantan dewasa gemuk
untuk PAP

Gambar 3. Diagram Sub Model Pertumbuhan Pasar Domestik

Sub model pasar domestik ini terkait dengan sub model manajemen kapasitas produksi serta
sub model persediaan dan kas dari Koordinator Pedagang Pengumpul (KPP). Informasi permintaan
sapi Bali jantan siap potong untuk pasar domestik menjadi dasar penentuan keputusan pemeliharaan
yang dibutuhkan dalam manajemen kapasitas produksi. Sedangkan aliran produk sapi Bali siap potong
yang masuk ke pasar domestik melalui KPP. Dinamika pertumbuhan pasar domestik tersebut dapat
dipresentasikan oleh Gambar 4.

Tabel 2. Dinamika Pertumbuhan Pasar Sapi Bali Domestik

Tahun 2015 2016 2017 2018 2019 2020


Total kebutuhan
sapi Bali Jantan 2 130,34 2 161,29 2 192,64 2 224,44 2 289,7 2 322,63
(ekor/bulan)

Hasil analisis model dinamika sistem menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan


meningkatknya permintaan pasar domestik. Hal ini dapat dipahami karena terkait erat dengan
meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Dengan data dasar dan asumsi di atas terlihat
bahwa rata-rata permintaan sapi Bali per bulan untuk antar pulau sebesar 2 130,34 ekor (tahun 2015)
meningkat menjadi 2 322,63 ekor (tahun 2020) atau rata-rata meningkat sebesar 1,8% per tahun.

239
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

permintaan SB jantan siap potong untuk pasar domestik kebutuhan daging sapi nasional
3,000 60 M

2,750 55 M

kg/Month
ekor/Month

2,500 50 M

45 M
2,250

40 M
2,000
0 8 16 24 32 40 48 56 64 72
0 8 16 24 32 40 48 56 64 72 Time (Month)
Time (Month)
permintaan SB jantan siap potong untuk pasar domestik : simulasi dasar kebutuhan daging sapi nasional : simulasi dasar

Gambar 4. Dinamika Pertumbuhan Pasar Sapi Bali Domestik

Kecenderungan peningkatan pertumbuhan pasar baik lokal maupun domestik ini menjadi
dasar bagi setiap pelaku dalam rantai pasok untuk konsisten mengembangkan usahanya. Pemerintah
sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengembangannya harus menciptakan iklim kebijakan
yang kondusif. Tingginya risiko harus dimitigasi dengan berbagai teknologi dan upaya kelembagaan
lainnya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN


Kesimpulan
1. Dinamika pertumbuhan pasar lokal Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Malaka meningkat sebesar
3% per tahun sejalan dengan peningkatan kebutuhan konsumsi penduduk di Kabupaten Belu dan
Malaka.
2. Dinamika pertumbuhan pasar domestik sapi Bali sebesar 1,8% per tahun sejalan dengan
meningkatnya kebutuhan konsumsi daging sapi secara nasional.
Implikasi Kebijakan
1. Pentingnya menjaga konsistensi pengembangan sapi Bali di daerah-daerah produksi sapi Bali
untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat.
2. Diperlukan umpan balik dari berbagai stakeholder untuk perbaikan secara kontinyu berbagai
kebijakan dan program yang ditujukan untuk peningkatan produksi..

DAFTAR PUSTAKA
Kotler, P. dan G. Amstrong, 1995. Dasar-Dasar Pemasaran. Penerbit Intermedia Jakarta.
Sterman, J. D., 2002. System Dynamics : System Thinking and Modelling for aComplex World.
Working Paper Series at Engineering Systems DivisionMassachusetts Institute of
Technology. Boston.

240
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

FAKTOR PENENTU PERMINTAAN PASAR LOKAL TERNAK SAPI


DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
DETERMININING FACTORS OF CATTLE DEMAND IN LOCAL MARKET
IN EAST NUSA TENGGARA
Ulrikus Romsen Lole
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang 85361, NTT, Indonesia
Email: ulrikus_lole@yahoo.com

ABSTRACK
Potensi permintaan domestik dan lokal ternak sapi dari NTT perlu dicermati karena besarnya impor,
produk sentra lainnya, dan rendahnya angka konsumsi daging sapi. Dari sisi permintaan sapi terdapat
perbedaan sangat besar antara jenis ternak yang diekspor keluar NTT dengan yang dikonsumsi internal
NTT. Ternak yang diekspor keluar NTT umumnya adalah ternak jantan hasil penggemukan,
sedangkan ternak yang dikonsumsi masyarakat NTT berupa ternak induk produktif, jantan muda,
jantan hasil penggemukan, serta jantan dan betina afkir. Permasalahannya adalah faktor apa yang
berpengaruh terhadap tingkat permintaan ternak sapi lokal di NTT. Penelitian bertujuan untuk
menganalisis faktor-faktor yang menentukan permintaan ternak sapi oleh pasar lokal di NTT.
Kesimpulan: Permintaan ternak oleh pasar di NTT sangat responsif terhadap perubahan harga riil
ternak sapi dan elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang, namun tidak nyata terhadap harga riil
daging sapi di NTT. Komoditas substitusi daging sapi antara lain telur ayam, ikan, daging
kambing/domba; dan komoditas komplementer yaitu daging ayam dan daging babi yang umumnya
memiliki elastisitas permintaan relatif kecil dan tidak nyata, kecuali telur ayam dan daging babi.
Jumlah penduduk dan junlah pendapatan per kapita masyarakat di NTT memberikan pengaruh positif
dan sangat nyata.
Kata kunci: sapi, faktor penentu, permintaan, pasar lokal, NTT

ABSTRACT
The potential of domestic and local demand for cattle from NTT needs to be observed because of the
large number of imports, the products of other centers, and the low consumption rate of beef. By the
demand side of cattle, there is a big difference between the types of cattle exported from NTT and
cows that are consumed internally in NTT. Types of cattle exported from NTT generally are fattened
cattle, while cattle consumed by the people of NTT are in the form of productive female cows, young
males, fattened males, and old males and females. The problem is what factors affect the level of local
demand of cattle in NTT. The study aims to analyze the factors that determine the demand for cattle by
the local market in NTT. Conclusion: Cattle demand by the market in NTT is very responsive to
changes in the real price of cattle and elastic levels in the short and long term, but this is not
significant to the real price of beef in NTT. Substitute commodities of beef include chicken, fish,
mutton / sheep; and complementary commodities include chicken and pork meat which generally have
relatively small and insignificant demand elasticities, except chicken eggs and pork. The population
and total income per capita of the community in NTT have a positive and very significant effect.
Keywords: cattle, determinants factors, demand, local market, NTT

PENDAHULUAN
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk sentra produksi sapi nasional dengan populasi
794.2 ribu ekor (BPS 2015). Dalam periode 2005−2015, produksi sapi bertumbuh 3.53 persen,
sedangkan penawaran sapi di NTT bertumbuh 5.94 persen. NTT menghadapi kendala peningkatan
populasi dan produktivitas. Ini berakibat melemahnya keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah
dalam perdagangan sapi. Pelemahan keunggulan wilayah semakin terancam karena adanya persaingan
dengan munculnya sentra produksi baru, menguatnya sentra produksi lama, meningkatnya impor
ternak/ daging sapi, dan tidak efektifnya beberapa kebijakan terkait.
241
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Potensi permintaan sapi NTT sangat besar dan terus meningkat. Permintaan nasional tidak
mampu dipenuhi dari domestik, sehingga terjadi impor. NTT menghadapi dua jenis permintaan ternak
sapi yang hampir berimbang yaitu permintaan pasar di luar NTT (sekitar 55.000 ekor) dan permintaan
pasar lokal di NTT (sekitar 50.000 ekor), sehingga total permintaan nasional dari NTT sekitar 105.000
ekor (Disnak NTT, 2015).
Kedua jenis permintaan tersebut memiliki peranan sangat penting. Namun demikian, dari sisi
permintaan sapi terdapat perbedaan sangat kuat antara kategori ternak yang diekspor keluar NTT
dengan yang dikonsumsi internal NTT. Ternak yang diekspor keluar NTT umumnya adalah ternak
jantan hasil penggemukan, sedangkan ternak yang dikonsumsi masyarakat NTT berupa ternak induk
produktif, jantan muda, jantan hasil penggemukan, serta jantan dan betina afkir. Potensi permintaan
lokal di NTT perlu dikembangkan karena besarnya impor, produk sentra lainnya, dan rendahnya angka
konsumsi daging sapi. Permasalahannya adalah faktor apa yang berpengaruh terhadap permintaan
ternak sapi lokal di NTT. Penelitian bertujuan untuk menganalisis faktor yang menentukan permintaan
ternak sapi oleh pasar lokal di NTT.

METODE PENELITIAN
Data time-series dari berbagai sumber data berupa data statistik tingkat provinsi Secara umum,
jenis data yang digunakan berupa data sekunder tahunan, baik bersumber primer maupun sekunder,
berupa variabel eksogen dan endogen dalam model. Oleh karena kondisi data sangat variatif dan untuk
memudahkan analisis model, persamaan dikonversikan dalam bentuk linier (linear additive). Semua
peubah yang diputuskan untuk dimasukkan ke dalam model dikelompokkan menjadi dua, yaitu
peubah endogen (endogenous variables) dan peubah penjelas (predetermined variables). Model
ekonometrika dirumuskan berupa model estimasi untuk pendugaan parameter berdasarkan data time-
series.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1 menunjukkan harga riil ternak sapi di NTT berpengaruh negatif dan nyata secara
statistik terhadap permintaan ternak oleh pasar lokal di NTT. Permintaan ternak oleh pasar di NTT
sangat responsif terhadap perubahan harga riil ternak di NTT dalam jangka pendek dan jangka
panjang, dengan nilai elastisitas harga lebih besar dari 1 yaitu sebesar -1.18 dan -1.31 persen. Artinya,
jika harga riil ternak sapi di NTT meningkat sebesar 1.0 persen maka permintaan ternak sapi oleh
pasar di NTT akan menurun sebesar 1.18 persen dalam jangka pendek dan 1.31 persen dalam jangka
panjang.
Berbeda dengan harga riil ternak sapi di NTT, harga riil daging sapi di NTT memberikan
pengaruh positif namun tidak nyata terhadap permintaan ternak sapi oleh pasar lokal di NTT.
Permintaan ternak sapi oleh pasar lokal di NTT tidak dipengaruhi oleh perubahan harga riil daging
sapi di NTT. Kenaikan harga daging sapi tidak menyebabkan kenaikan permintaan ternak sapi oleh
pedagang/pejagal untuk dipotong, karena konsumen akan beralih pada jenis daging ternak lainnya. Hal
ini berarti daging sapi bukan merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat NTT (walaupun sangat
diminati) dan merupakan barang yang memiliki banyak sekali barang substitusi.
Hasil analisis menunjukkan beberapa komoditas substitusi daging sapi seperti telur ayam, ikan,
daging kambing/domba; dan komoditas komplementer yaitu daging ayam dan daging babi. Umumnya,
semua komoditas tersebut memiliki elastisitas permintaan relatif kecil dan tidak nyata, kecuali telur
ayam dan daging babi. Harga riil ikan di NTT juga ternyata memberikan pengaruh positif namun tidak
nyata terhadap total permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT. Salah satu komoditas substitusi
daging sapi (dari kelompok daging merah) adalah daging kambing, dengan hubungan positif namun
tidak nyata, dimana nilai elastisitas silangnya juga positif. Daging babi bersifat komplemen terhadap
daging sapi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai parameter estimasi harga riil daging babi dan nilai
elastisitas silangnya yang negatif namun tidak nyata.
Jumlah penduduk di NTT memberikan pengaruh positif dan nyata (pada p<0.05) terhadap
permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT. Hal ini berarti peningkatan jumlah penduduk di NTT
akan meningkatkan permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT. Nilai elastisitas yang cukup tinggi
pada jangka pendek dan jangka panjang menunjukkan bahwa total permintaan ternak sapi oleh pasar
lokal NTT cukup responsif terhadap perubahan jumlah penduduk di NTT.
242
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Peubah pendapatan per kapita masyarakat di NTT memberikan pengaruh yang positif dan
sangat nyata secara statistik (pada p<0.15) terhadap permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT.
Permintaan daging sapi oleh pasar lokal NTT responsif terhadap perubahan pendapatan per kapita
masyarakat di NTT. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas pendapatannya sebesar 0.63 dalam
jangka pendek dan 0.84 dalam jangka panjang. Artinya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat
sebesar satu persen hanya akan meningkatkan permintaan ternak sapi oleh pasar di NTT sebesar 0.63
persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.84 persen dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan
bahwa kenaikan pendapatan tidak serta-merta digunakan untuk mengkonsumsi daging sapi, tetapi
lebih kepada barang lainnya, sehingga daging sapi masih merupakan barang mewah bagi masyarakat
di NTT. Dummy adanya krisis memberikan pengaruh positif namun tidak nyata (pada p>0.15)
terhadap perubahan permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT. Nilai elastisitas jangka pendek dan
jangka panjang yang sangat kecil menunjukkan tingkat responsibilitas permintaan ternak sapi yang
rendah terhadap dampak krisis.

Tabel 1 Hasil pendugaan parameter, uji statistik, dan elastisitas rata-rata dalam model persamaan
total permintaan sapi oleh pasar lokal NTT (TDEML)
Persamaan/peubah Notasi Nilai P>|t| Elastisitas
parameter Jangka Jangka
estimasi pendek panjang
Total permintaan ternak sapi oleh pasar TDEML
lokal NTT
Intersep - 21666.50 0.5442
Harga riil ternak sapi di NTT HRTSP -4.52597 0.0525 -1.1788 -1.3092
Harga riil daging sapi di NTT HRDSP 0.858514 0.2616 0.5181 0.6281
Harga riil daging ayam ras di NTT HRDAR -0.27588 0.7595 -0.1279 -0.1551
Harga riil telur ayam ras di NTT HRTAR 4.783594 0.1353 0.6953 0.8430
Harga riil ikan di NTT HRIKN 1.589864 0.6366 0.3811 0.4621
Harga riil daging kambing/domba di HRDKD 1.034920 0.1781 0.5651 0.6851
NTT
Harga riil daging babi di NTT HRDBB -0.90639 0.1311 -0.6041 -0.7325
Jumlah penduduk di NTT JUPEN 0.009032 0.4499 1.1494 1.3935
Pendapatan per kapita penduduk NTT PKAPN 0.026733 0.1258 1.6293 1.9754
Total permintaan ternak sapi di Jakarta TDSPJ 0.054372 0.1132 1.0725 1.5438
Lag total permintaan ternak sapi oleh
pasar lokal di NTT LTDEML 0.175220 0.0285

Trend waktu TREND 4523.721 0.4642


Dummy krisis DUMMY 5611.261 0.5676
R-square 0.89618 Durbin-W statistic 1.981689
Adj R-square 0.82289 Durbin-h statistic 0.0667
Prob>|F| 0.0001 First order autocorrelation -0.0794

Peubah pendapatan per kapita masyarakat di NTT memberikan pengaruh yang positif dan
sangat nyata secara statistik (pada p<0.15) terhadap permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT.
Permintaan daging sapi oleh pasar lokal NTT responsif terhadap perubahan pendapatan per kapita
masyarakat di NTT. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas pendapatannya sebesar 0.63 dalam
jangka pendek dan 0.84 dalam jangka panjang. Artinya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat
sebesar satu persen hanya akan meningkatkan permintaan ternak sapi oleh pasar di NTT sebesar 0.63
persen dalam jangka pendek dan sebesar 0.84 persen dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan
bahwa kenaikan pendapatan tidak serta-merta digunakan untuk mengkonsumsi daging sapi, tetapi
lebih kepada barang lainnya, sehingga daging sapi masih merupakan barang mewah bagi masyarakat
di NTT.
Dummy adanya krisis memberikan pengaruh positif namun tidak nyata (pada p>0.15) terhadap
perubahan permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT. Nilai elastisitas jangka pendek dan jangka
panjang yang sangat kecil menunjukkan tingkat responsibilitas permintaan ternak sapi yang rendah
terhadap dampak krisis. Trend waktu menunjukkan hubungan positif dan nyata (pada p<0.05) terhadap

243
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

permintaan ternak sapi oleh pasar lokal NTT. Hal ini berarti dengan berjalannya waktu, konsumsi
daging sapi terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan per kapita, dan
selera umum masyarakat. Adanya komoditas substitusi daging sapi lainnya ternyata tidak mampu
menahan peningkatan konsumsi daging sapi setiap tahunnya.

SIMPULAN
Permintaan ternak oleh pasar di NTT sangat responsif terhadap perubahan harga riil ternak sapi
dan elastis dalam jangka pendek dan jangka panjang, namun tidak nyata terhadap harga riil daging
sapi di NTT. Komoditas substitusi daging sapi seperti telur ayam, ikan, daging kambing/domba; dan
komoditas komplementer yaitu daging ayam dan daging babi umumnya memiliki elastisitas
permintaan relatif kecil dan tidak nyata, kecuali telur ayam dan daging babi. Jumlah penduduk dan
junlah pendapatan per kapita masyarakat di NTT memberikan pengaruh positif dan sangat nyata.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS NTT] Biro Pusat Statistik NTT. 2015. Statistik Provinsi NTT Tahun 2015. Kupang (ID): Biro
Pusat Statistik NTT.
[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2015. Statistik Peternakan Tahun 2015. Jakarta (ID):
Ditjennak Deptan RI.
Lole UR. 2010. Kajian potensi dan skala prioritas wilayah penyebaran sapi di Nusa Tenggara Timur
(dalam rangka mewujudkan status gudang ternak). Penelitian Hibah Bersaing Dikti Tahun I
[laporan penelitian]. Kupang (ID): Fapet Undana.
Lole UR. 2011. Analysis of Regional Distribution Capacity and Priorities for Improving Beef Cattle
Populations in East Nusa Tenggara Province. Media Peternakan IPB. Med. Pet. Vol. No. 1
April 2013. ISSN 0126-0472 (Accredited B by DGHE No. 43/DIKTI/ Kep/2008),
Lole UR. 2012. Dampak kebijakan kuota interinsular trading ternak sapi terhadap kesejahteraan
petani di Nusa Tenggara Timur. Penelitian Hibah Strategis Nasional [laporan penelitian].
Bogor (ID): SPS IPB.
Sitepu RK, Sinaga BM. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan
Menggunakan Program SAS. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, SPS IPB.

244
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI USAHA SAPI BALI PENGGEMUKAN


PADA KONDISI PETERNAK
CHARACTERISTICS OF SOCIAL AND ECONOMICS OF BALI CATTLE FATTENING
ON THE FARMERS CONDITION
Fattah, S1; M. R. Pellokila2; dan Bastari Sabtu1; Y. U. L. Sobang1
1
Dosen Fakultas Peternakan Undana
2
Dosen Fakultas Pertanian Undana

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik sosial dan ekonomi usaha sapi Bali penggemukan
pada kondisi peternakan rakyat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey (wawancara
dan observasi). Sebanyak 28 orang diambil secara acak. Data dianalisis dengan menghitung rataan dan
simpangan baku serta analisis rugi laba. Hasil analisis data diperoleh bahwa rataan umur responden adalah’
45.75±5.32 tahun, rataan jumlah tanggungan responden adaah 6.04±1.26 orang, rataan biaya produksi usaha sapi
penggemukan Rp.. 9381785.71±3369344.70, rataan keuntungan usaha sapi bali penggemukan sapi responden
Rp. 4323928.57±1345375.04, rataan total pendapatan rumah tangga responden Rp. 8573750.00±1779954.55.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara ekonomi mampu usaha sapi bali penggemukan
memberikan keuntungan bagi responden. Oleh karena itu dapat disarankan bahwa usaha sapi bali penggemukan
dapat menjadi usaha ekonomi produktif dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga petani peternak.
Kata Kunci: sapi bali, sosial, ekonomi, kondisi peternak.

ABSTRACT
The aims of the study is to determine the social and economic characteristics of Bali cattle fattening at the
farmers condition. The method used in this research is survey method (interview and observation). A total of 28
people were taken at random. Data were analyzed by calculating the average and standard deviation as well as
profit analysis. The result of data analysis shows that the average age of respondents were 45.75 ± 5.32 years,
the average number of respondents were 6.04 ± 1.26 head, the average of cost production of bali cattle
fattening was Rp 9381785.71 ± 3369344.70, the average profit of bali cattle fattening was Rp. 4323928.57 ±
1345375.04, the average total household income was Rp. 8573750.00 ± 1779954.55. Based on the results of this
study can be concluded that economically able to bali cattle fattening provide benefits for respondents.
Therefore it can be suggested that business of bali cattle fattening can be a productive economic effort in
increasing the income of farmer's household.
Keywords: bali cattle, social, economy, farmers condition

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Liano (2015) menyatakan bahwa dengan asumsi konsumsi per kapita meningkat dari 2,56
kg/kapita/tahun menjadi 2,61 kg/kapita/tahun pada tahun 2016 dan jumlah penduduk 258 juta orang,
maka kebutuhan daging sapi di Indonesia pada 2016 adalah 750.000 ton atau setara dengan 3,8 juta
ekor sapi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jika pemerintah menetapkan kuota impor sapi bakalan
sebanyak 700.000 ekor ditambah kuota impor daging sapi beku sebanyak 80.000 ton atau setara
dengan 350.000 ekor sapi, maka pasokan sapi lokal harus mencapai 2,8 juta ekor. Kondisi tersebut
merupakan tantangan tetapi sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan oleh daerah produsen sapi
lokal.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah produsen atau pemasok sapi
hidup untuk kebutuhan nasional, di mana tahun 2015 sebanyak 50,666 ekor diantarpulaukan ke DKI.
Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan (Anonimous, 2015). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Sub
Sektor Peternakan mempunyai kontribusi penting dalam perekonomian NTT, yakni terhadap PDRB,
penciptaan lapangan kerja dan sumber pendapatan daerah, sebagai penghasil pangan dan energi.
Kontribusi sub sektor peternakan terhadap PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2014 mencapai 9,01
% terhadap total PDRB NTT atau 30,23 % terhadap lapangan usaha Sektor Pertanian (penyumbang
terbesar kedua setelah sub sector tanaman bahan makanan). Dari aspek penyediaan lapangan pekerjaan
juga sub sektor peternakan memberikan peranan yang penting, dimana pada tahun 2014, rumah

245
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

tangga (RT) usaha peternakan di NTT berjumlah 600.865 RT dan sebesar 187.398 RT bergerak di
bidang usaha sapi potong Anonimous (2014). Sobang (2005) menemukan bahwa kontribusi usaha
ternak sapi terhadap pendapatan petani peternak lahan kering di pulau Timor berkisar 30 – 70 %, yang
mana kontribusinya semakin meningkat pada kondisi pertanian lahan kering dibanding pada usaha tani
lahan basah.
Walaupun usaha peternakan sapi potong di NTT menjadi unggulan, namun masih menghadapi
berbagai kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas sapi potong khususnya sapi
penggemukan antara lain ketersediaan pakan yang tidak kontinyu, masih bertumpu pada sistim
budidaya yang tradisional, belum termanfaatkannya sumberdaya pakan lokal yang tersedia, penyakit
terutama parasit internal yang belum dikendalikan (Sobang, dkk. 2009). Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik sosial dan ekonomi usaha sapi bali penggemukan pada kondisi
peternak.

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Oeletsala Kecamatan Taebenu Kabupaten Kupang
selama 6 bulan.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dengan teknik wawancara
menggunakan daftar pertanyaan dan teknik pengukuran (observasi). Penentuan responden dilakukan
secara acak terhadap peternak sapi bali penggemukan dan diperoleh 28 orang responden.

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi dan dilakukan analisis rataan dan simpangan
baku serta analisis pendapatan .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan umur peternak, jumah tanggungan keluarga, biaya produksi dan keuntungan usaha sapi
bali penggemukan serta total pendapatan rumah tangga, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan umur peternak, jumah tanggungan keluarga, biaya produksi dan keuntungan usaha
sapi bali penggemukan serta total pendapatan rumah tangga

Variabel Jumah Rataan Simpangan


sampel (n) Baku
Umur responden (tahun) 28 45.75 5.32
Jumlah tanggungan keluarga (orang) 28 6.04 1.26
Biaya produksi usaha sapi bali peenggemukan (Rp) 28 9381785.71 3369344.70
Keuntungan usaha sapi bali penggemukan (Rp) 28 4323928.57 1345375.04
Total pendapatan rumah tangga responden (Rp) 28 8573750.00 1779954.55
Sumber: Data Primer Diolah (2017)

Umur Responden
Berdasarkan pada Tabel 1 di atas menunjukan bahwa rataan umur responden adalah
45.75±5.32 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa umur responden dalam penelitian ini masih
merupakan umur produktif (30 – 60 tahun), dengan demikian, responden masih mampu untuk
melakukan usaha penggemukan sapi, sehingga diharapkan dapat berkembang sebagai sumber
pendapatan rumah tangga peternak yang berkelanjutan. Rataan umur peternak dalam penelitian dengan
kisaran umur dominan pada usaha sapi potong yaitu umur 25 – 54 tahun yang mencapai 63,78 %.

246
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Jumlah Tanggungan Keluarga


Rataan jumlah tanggungan keluarga responden adalah 6.04±1.26 orang, hal ini memberikan
gambaran ketersediaan tenaga kerja dalam rumah tangga responden cukup sehingga keberlanjutan
usaha sapi bali penggemukan dapat berkembang. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa
aktifitas usaha sapi bali penggemukan umumnya dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anak laki-
laki tetapi juga secara insendentil dapat dilakukan oleh kaum perempuan. Kiptot and Franzel (2012)
menyatakan bahwa tenaga kerja perempuan dan anak-anak memberikan kontribusi penting dalam
sistim pertanian pola agroforestry di Afrika.

Aspek Ekonomi Usaha Penggemukan Sapi Potong


Rataan biaya produksi usaha sapi bali penggemukan diperoleh Rp. 9381785.71±3369344.70.
Hal ini memberikan gambaran bahwa biaya produksi yang dikeluarkan peternak bervariasi sangat
tergantung jumlah kepemilikan, dimana semakin banyak sapi yang digemukkan maka biaya produksi
semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena komponen terbesar dalam usaha sapi bali penggemukan
adalah biaya pembelian sapi bakalan. Dalam penelitian ini juga perhitungan biaya produksi hanya
memerhitungkan pengeluaran tunai (cash) yaitu biaya pembelian bakalan, biaya tali, biaya transport,
dan biaya manajemen pengelolaan kesehatan. Sedangtkan biaya pakan dan tenaga kerja tidak
diperhitungkan karena peternak selama penggemukan tidak mengeluarkan uang tunai untuk pembelian
pakan dan tenaga kerja karena merupakan tenaga kerja keluarga.
Rataan keuntungan dalam usaha sapi bali penggemukan adalah Rp. 4323928.57±1345375.04.
Hal ini memberikan gambaran bahwa usaha sapi bali penggemukan mampu memberikan keuntungan
yang signifikan bagi peternak. Variasi keuntungan yang diperoleh peternak ditentukan oleh jumlah
ternak sapi yang digemukkan. Semakin besar skala usaha yang dilakukan, maka secara kumulatif
memberikan keuntungan yang semakin tinggi.
Rataan total pendapatan rumah tangga responden adalah Rp. 8573750.00±1779954.55. Hal ini
memberikan gambaran bahwa total pendapatan rumah tangga responden masih rendah. Rendahnya
total pendapatan rumah tangga responden disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya di bidang
pertanian terutama karena musim dan tingkat kesuburan lahan, sehingga produktivitas usaha pertanian
masih rendah. Rataan pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil riset Sobang (2005) yang memperoleh 7-8 juta/tahun. Adanya perbedaan tersebut mungkin
disebabkan oleh perbedaan sumbangan pendapatan yang berasal dari usaha di luar peternaan terutama
sector pertanian tanaman pangan.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara ekonomi usaha
penggemukan sapi bali memberikan keuntungan sebesar Rp. Rp. 8573750.00±1779954.55.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2014. Analisis Rumah Tangga Usaha Peternakan Di NTT. Hasil Survei Rumah Tangga
Usaha Peternakan 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Anonimus, 2015. Badan Pusat Statistik. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.
Fattah, S; M. R. Pellokila, Y. U. L. Sobang; M. Yunus,. 2013. Pengembangan Model Penggemukan
Sapi Potong Yang Efisien Dan Ekonomis Pada Skala Usaha Peternak Lahan Kering Melalui
Simulasi Pakan Mndukung Swasembada Daging Tahun 2014. Laporan Penelitian MP3EI
(Tahun Kedua). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Hogan, J. 1996. Principles of Supplementary Feeding. Dalam: Ruminant Nutrition and Production in
the Tropics and Subtropics. Editor : B. Bakrie, J. Hogan, J. B. Liang, A. M. M. Tereque, and R.
C. Upadhyay. Auatralian Centre for International Agricultural Research. Canberra.
Kiptot, E and Steven Franzel. 2012. Gender and agroforestry in Africa: a review of women’s
participation. Agroforest Syst (2012) 84:35–58

247
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

Liano, J. 2015. Kebutuhan Sapi Impor 1 Juta Ekor dan Lokal 2,8 Juta Ekor di 2016. Forum Focus
Group Discussion antara importir sapi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Detikfinance.2015.(http://finance.detik.com/read/2015/12/08/175026/3091158/4/kebutuhan-
sapi-impor-1-juta-ekor-dan-lokal-2,8-juta-ekor-di 2016).
Sobang, Y. U. L; M. Yunus; dan H. Marawali. 2009. Pengembangan Model Inovasi Peningkatan
Produktivitas Induk Dan Penanggulangan Kematian Anak Sapi Bali Berbasis Partisipasi Dan
Kearifan Lokal Peternak Di Pulau Timor. Laporan Akhir Penelitian Strategis Nasional DIKTI.
Sobang, Y. U. L. 2005. “Karakteristik Sistim Penggemukan Sapi Pola Gaduhan Menurut Zona
Agroklimat dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani Di Kabupaten Kupang NTT”. Bulletin
Nutrisi, Volume 8 Nomor 2. Maret 2002, ISSN: 1410 – 6191, Hal : 71 – 76.

248
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

KERAGAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL:


STUDI KASUS RUMAH TANGGA NELAYAN DESA NEMBRALA
KECAMATAN ROTE BARAT KABUPATEN ROTE NDAO
SOCIO-ECONOMICAL PERFORMANCE OF TRADITIONAL FISHERMAN COMMUNITY:
CASE STUDY OF THE FISHERMEN HOUSEHOLD IN NEMBERALA VILLAGE,
SUBDISTRICT OF WEST ROTE, ROTE NDAO REGENCY
Christine A. Paulus1 dan Yohanes U.L. Sobang2
1
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana
e-mail:chaterinapaulus@gmail.com
2
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Peternakan Universitas Nusa Cendana
e-mail:umbusobang@gmail.com

ABSTRAK
Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keragaan sosial ekonomi masyarakat nelayan
tradisional telah dilakukan di Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan teknik wawancara menggunakan
kuisioner terhadap 35 orang responden yang dipilih secara acak. Analisis data dilakukan dengan
analisis rataan dan simpangan baku, yang dilanjutkan dengan analisis deskriptif-kualitatif. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa keragaan sosial responden diperoleh rataan umur 49,86±7.06 tahun,
jumlah tanggungan keluarga 5,37±1,21 orang, dan tingkat pendidikan formal responden adalah 40%
tidak tamat SD, 45,7% tamat SD, dan 14,3% tamat SMP. Rataan pendapatan rumah tangga nelayan
tradisional diperoleh Rp. 7,263,142.86±894,436.84/tahun. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa tingkat pendapatan rumah tangga nelayan tradisional di Desa Nemberala masih
rendah, sehingga diperlukan upaya pengembangan usaha alternatif berdasarkan sumberdaya yang
tersedia.
Kata kunci: nelayan, keragaan, sosial, ekonomi, Nemberala

ABSTRACT
A study that aims to determine the socio-economic behavior of traditional fishing communities has
been done in Nemberala Village, Subdistrict of West Rote, Rote Ndao Regency. The method used in
this research is survey method with interview technique using questionnaire to 35 respondents selected
at random. Data analysis was done by mean and standard deviation analysis, followed by descriptive-
qualitative analysis. The result of data analysis shows that the respondent's social performance is 49,86
± 7.06 years old, family dependent 5,37 ± 1,21 person, and formal education level is 40% does not
finish elementary school, 45,7% graduated from elementary school, and 14.3% graduated from junior
high school. The average income of traditional fishermen households is Rp. 7,263,142.86 ±
894,436.84 / year. Based on the above results, it can be concluded that the income level of traditional
fishermen households in Nemberala village is still low, so it is necessary to develop alternative
business based on available resources.
Keywords: fisherman, performance, social, economy, Nemberala

PENDAHULUAN
Pulau Rote sebagai pulau terselatan Indonesia memiliki banyak potensi sumberdaya alam dan
sosial budaya yang dapat dikembangkan dengan nilai ekonomis tinggi namun pengelolaannya belum
optimal (BPS Rote Ndao, 2015). Faktor pembatas untuk melakukan eksplorasi kelautan dan perikanan
di pulau Rote sebagai pulau terluar adalah dampak ekologis dari tercemarnya Laut Timor akibat
tumpahan minyak dan peralihan kawasan budidaya menjadi kawasan pariwisata (Paulus, 2014).
Perilaku kehidupan masyarakat nelayan dengan kondisi lingkungannya memiliki hubungan yang
sangat erat. Komunitas masyarakat nelayan dengan lingkungan alam yang memiliki kelimpahan stok
sumberdaya akan memiliki perilaku yang berbeda dengan komunitas masyarakat nelayan pada kondisi
stok sumberdaya alam dan lingkungan yang terbatas seperti komunitas masyarakat nelayan pada pulau
kecil terluar di Kabupaten Rote Ndao. Kendati usaha penangkapan ikan merupakan kegiatan utama
249
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

para nelayan sebagai sumber pendapatan rumah tangga, namun demikian ternyata kualitas kehidupan
para masyarakat nelayan masih sangat memperihantinkan, sebagian besar masuk dalam kategori
penduduk miskin. Sebanyak 67,38% dari total 124.835 penduduknya hidup sebagai petani/masyarakat
nelayan subsistem, dengan pendapatan kurang dari Rp.15.000 per hari (Sembiring dan Adiwidjaya,
2012).

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Desa Nembrala Kecamatan Rote Barat Kabupaten Rote Ndao
selama 2 bulan berlangsung dari bulan Juni – Agustus 2016.

Metode penentuan sampel


Penentuan sampel dilakukan secara acak pada populasi rumah tangga nelayan yang
menggantungkan penghidupannya melalui usaha penangkapan ikan. Sebanyak 35 rumah tangga
nelayan telah dipilih sebagai responden.

Metode pengambilan data


Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diambil
menggunakan metode survey dengan teknik wawancara mendalam menggunakan daftar pertanyaan,
sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas terkait seperti BPS Rote Ndao dan Dinas Perikanan serta
monograf Desa Nembrala.

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi dan dianalisis rataan dan simpangan bakunya,
kemudian dilanjutkan dengan analisis deskriptif-kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rataan umur, jumlah tanggungan, pendapatan dari usaha penagkapan, usaha rumput laut,
usaha lainnya, dan total pendapatan rumah tangga nelayan, seperti pada Tabel 1, berikut.

Tabel 1. Rataan umur, jumlah tanggungan, pendapatan dari usaha penagkapan, usaha rumput laut,
usaha lainnya, dan total pendapatan rumah tangga nelayan
Variabel Rataan Simpangan baku
Umur responden (tahun) 49.86 7.06
Jumlah tanggungan responden (orang) 5.37 1.21
Pendapatan usaha penangkapan ikan (Rp) 2491428.57 538309.68
Pendapatan usaha rumput laut (Rp) 1916571.43 306651.20
Pendapatan usaha lainnya (Rp) 2855142.86 650995.26
Total pendapatan rumah tangga (Rp) 7263142.86 894436.8
Sumber: Data primer diolah (2016)

Umur dan jumlah tanggungan keluarga responden


Responden dalam penelitian ini rata-rata berumur 49.86±7.06 tahun. Hal ini menggambarkan
bahwa responden sebagai nelayan umumnya telah berpengalaman dan masih berada dalam umur
produktif. Rataan jumlah tanggungan keluarga responden diperoleh 5.37±1.21 atau berkisar 4-6 orang.
Jumlah tanggungan keluarga dalam penelitian ini umumnya merupakan istri dan anak-anak.
Keberadaan anggota keluarga ini, nampaknya memiliki manfaat ekonomi karena dapat membantu
kepala keluarga melalui aktivitas usaha lainnya sebagai sumber pendapatan alternative seperti usaha
rumput laut, usaha ternak, usaha tenun ikat, dan pedagang. Dalam penelitian ini juga diperoleh bahwa
tingkat pendidikan formal responden adalah tidak tamat SD 40 %, tamat SD 45,71 %, dan tamat SMP
14,29 %. Hal ini memberikan gambaran bahwa tingkat pendidikan sebagai indikator kualitas
sumberdaya manusia, maka nelayan di Desa Nembrala masih rendah dan hal ini akan berdampak pada
kemampuan pengambilan keputusan dalam pengembangan usaha. Hasil penelitian sesuai dengan
pendapat Sudarso (2008) yang menemukan bahwa nelayan khususnya nelayan tradisional, pada

250
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

umumnya mereka memiliki ciri tingkat pendidikan formal rendah atau mulai dari tidak sekolah/tidak
tamat SD/hanya SD.

Pendapatan usaha penangkapan ikan


Profesi sebagai nelayan merupakan mata pencaharian utama responden dan sumber
pendapatan rumah tangga. Rataan pendapatan dari pekerjaan sebagai nelayan melalui usaha
penangkapan ikan dalam penelitian ini diperoleh Rp. 2491428.57±538309.68. Hal ini memberikan
bahwa secara kuantitatif pendapatan nelayan yang bersumber dari usaha penangkapan ikan masih
rendah. Kondisi ini disebabkan oleh penggunaan alat tangkap oleh responden yang masih sederhana,
dimana pada umumnya hanya menggunakan pancing dan pukat. Rendahnya pendapatan tersebut juga
disebabkan oleh kondisi cuaca yang tidak menentu sesuai dengan pendapat Allison dan Ellis (2001)
mengemukakan bahwa ketidakpastian yang dihadapi nelayan terutama dalam menghadapi fluktuasi
musim ikan dan cuaca yang tidak menentu, sehingga membatasi nelayan dalam melakukan aktivitas
penagkapan ikan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Sembiring dan Adiwidjaya (2012) bahwa
penghasilan nelayan tradisional umumnya rendah atau tidak lebih dari Rp15.000/hari.

Pendapatan usaha rumput laut


Salah satu usaha alternatif responden adalah usaha rumput laut. Usaha rumput laut oleh
responden dilakukan sebagai strategi dalam mengatasi rendahnya pendapatan yang bersumber dari
usaha penangkapan ikan. Rataan pendapatan dari usaha rumput laut oleh responden diperoleh
Rp1916571.43±306651.20. Berdasarkan hasil penelurusuran ditemukan bahwa sebenarnya pantai
Nembrala sangat berpotensi untuk usaha rumput laut, namun demikian potensi tersebut belum
maksimal dimanfaatkan oleh responden, oleh karena keterbatasan modal yang dimiliki, sehingga
usaha rumput masih dilakukan dengan skala usaha yang kecil. Usaha rumput laut telah menjadi usaha
alternatif nelayan di Indonesia sebagai strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi resiko kurangnya
produksi ikan hasil tangkapan (Helmi A. dan Arif Satria. 2012).

Pendapatan usaha lainnya


Selain usaha penangkapan ikan dan rumput laut, responden juga melakukan usaha lain seperti
usaha ternak dan tenun ikat. Aktivitas usaha ini lebih banyak dilakukan oleh kaum ibu dan anak-anak.
Usaha ternak yang umum dilakukan responden adalah usaha ternak babi dan ayam kampong. Rataan
pendapatan usaha lain dalam penelitian ini diperoleh Rp2855142.86±650995.26. Hal ini memberikan
gambaran bahwa sumbangan pendapatan dari usaha lainnya cukup besar, namun demikian
pengembangan usaha tersebut belum optimal, oleh karena keterbatasan modal di tingkat nelayan,
sehingga masih dilakukan sebagai usaha sambilan dengan skala usaha yang terbatas.
Penganekaragaman sumber pendapatan bagi nelayan tradisional merupakan pilihan untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga tetapi juga memanfaatkan tenaga kerja istri dan anak-anak
nelayan untuk kegiatan produktif. Helmi dan Satria (2012) menemukan bahwa kegiatan-kegiatan
ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga nelayan (istri dan anak) merupakan
salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsunghan hidupnya ditengah
ketidakpastian sumberdaya perikanan yang ada di kawasan Pulau Panjang. Perubahan ekologis yang
terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang, memaksa anak-anak nelayan ini untuk membantu kedua
orang tuanya untuk menambah penghasilan.

Pendapatan rumah tangga nelayan


Rataan pendapatan rumah tangga nelayan dalam penelitian ini, diperoleh
Rp7263142.86±894436.8. Secara kuantitatif pendapatan rumah tangga nelayan masih rendah atau
setara dengan Rp650.000/bulan. Hasil penelitian ini secara total pendapatan rumah tangga nelayan
tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Asih dan Laapo (2009) yang memperoleh total pendapatan
rumah tangga nelayan di Kecamatan Ampana Kota sebesar Rp 8.192.420/nelayan/tahun. Berdasarkan
hasil wawancara mendalam diperoleh bahwa rendahnya pendapatan rumah tangga nelayan tradisional
di daerah penelitian, disebabkan oleh beberapa faktor dominan yaitu factor cuaca yang menyebabkan
aktivitas penagkapan ikan sering tidak menentu, keterbatasan modal bagi nelayan untuk
mengembangkan usaha alternatif seperti usaha ternak, tenun ikat, dan rumput laut. Hamdani (2013)

251
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

menyatakan bahwa faktor kepemilikan modal merupakan salah satu faktor pembatas utama dalam
pengembangan usaha, jika nelayan tradisional tidak memilki modal usaha maka mereka tidak dapat
melakukan peningkatan hasil produksi baik dari segi jumlah maupun kualitasnya, sehingga berdampak
pada rendahnya produktivitas nelayan tradisional dan hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan
yang diterima.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan rumah
tangga nelayan di Desa Nembrala Kecamatan Rote Barat Kabupaten Rote Ndao masih rendah dengan
rataan Rp7263142.86±894436.8/tahun atau setara dengan Rp650.000/bulan. Dengan demikian dapat
direkomendasikan bahwa intervensi untuk penguatan kapasitas nelayan tradisional melalui pelatihan
dan penguatan modal usaha mutlak diperlukan untuk mendorong pengembangan usaha alternatif
seeprti usaha ternak, rumput laut, dan tenun ikat.

DAFTAR PUSTAKA
Allison, E.H. dan F. Ellis (2001). The livelihoods approach and management of small-scale fishers.
Marine policy, 25, 377-388.
Asih D.N. dan A. Laapo. 2009. Analisis Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap Dan Faktor Sosial
Ekonomi Yang Mempengaruhi Penyaluran Dan Penerimaan Kredit Perikanan Di Kecamatan
Ampana Kota. J. Agroland 16 (4): 290–295, Desember 2009, ISSN: 0854 – 641X
Biro Pusat Statistik. Kabupaten Rote Ndao. 2015. Rote Ndao Dalam Angka. Baa.
Haris H. 2013. Faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan Tradisional. Artikel Ilmiah hasil Penelitian
Mahasiswa. Universitas Negeri Jember.
Helmi A. dan A. Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1, Juli 2012: 68-78
Paulus, C.A. 2014. Menyikapi Tragedi Pencemaran Laut Timor: Montara Membara, Masyarakat
nelayan Sengsara. Opini. Sabtu, 14 Maret 2014. Harian Umum Victory News. Kupang. Hal. 4.
Sembiring, P. dan T. Adiwijaya. 2012. Analisis Manajemen Rantai Pasok produk Perikanan Di
Kabupaten Rote Ndao (Studi Kasus Masyarakat nelayan Mou Box 1974). Laporan Penelitian
Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kemenristek. Jakarta.
Sudarso. 2008. Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisional di Perkotaan. Jurnal
Ekonomi. Fisip. Universitas Airlangga. Surabaya.

252
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

EFISIENSI PEMASARAN AYAM BROILER


(SURVEY PEMASARAN AYAM BROILER POLA KEMITRAAN
DARI KABUPATEN CIAMIS KE KOTA BANDUNG JAWA BARAT)
BROILER CHICKEN MARKETING EFFICIENCY
(MARKETING SURVEY OF PARTNERSHIP PATTERN
FROM KABUPATEN CIAMIS TO BANDUNG- WEST JAVA)

Maria Y. Luruk1, Burhan Arief2, Maman Paturochman2, dan Dadi Suryadi2


1
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang
2
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung

ABSTRAK
Produk ayam broiler asal Kabupaten Ciamis disalurkan ke Kota Bandung, masih melalui saluran pemasaran
panjang, sehingga sistem pemasaran tidak efisien. Hadirnya kemitraan usaha dapat memperpendek saluran
pemasaran, namun di pihak lain mengubah posisi peternak menjadi buruh tani. Penelitian bertujuan mengetahui
bentuk saluran pemasaran; margin pemasaran, yang terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran;
bagian harga yang diterima produsen dari harga yang dibayar konsumen yang merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi efisiensi pemasaran ayam broiler di Kabupaten Ciamis. Metode survey terhadap responden
contoh sebanyak 150 peternak plasma (100 peternak plasma sistem makloon dan 50 orang peternak plasma
sistem kredit). Poultry shop sebagai inti 16 buah, 6 orang pedagang besar, 10 orang pedagang pengecer.
Penentuan sampel menggunakan teknik sratified random sampling untuk tingkat poultry shop sistem makloon,
dan untuk poultry shop sistem kredit digunakan metode sensus. Pedagang besar dan pedagang pengecer
menggunakan teknik simple random sampling. Model analisis adalah analisis margin dan farmer’s share dan
analisis statistik deskriptif. Penyaluran ayam broiler asal Kabupaten Ciamis untuk tujuan Kota Bandung melalui
tiga bentuk saluran pemasaran, yakni saluran pemasaran pola kemitraan sistem kredit, sistem makloon I dan
sistem makloon saluran II. Kesimpulan: 1) Pemasaran ayam broiler dilihat dari persentase biaya masing-masing
pelaku pemasaran pada tiga bentuk saluran pemasaran sudah efisien, dan didistribusi keuntungan dari pelaku
pemasaran pada tiga saluran di Kabupaten Ciamis sudah merata; 2) Pemasaran ayam broiler di Kabupaten
Ciamis sudah efisien dilihat dari persentase total biaya yang dikeluarkan pelaku pemasaran, dan 3) Sistem
pemasaran ayam broiler di Kabupaten Ciamis belum efisien untuk saluran yang dilalui sistem kredit dan sistem
makloon saluran II, sedangkan sistem makloon saluran I sudah efisien dilihat dari bagian harga yang diterima
produsen dari harga yang dibayar konsumen.

ABSTRACT
Broiler-Chicken product marketed from Ciamis Regency to Bandung City, has channel of distribution, so that is
causes marketing system inefficient. Business partnership between plasma and nucleus can shorter the channel of
distribution, but in the other hand change breeder position to be farm labours. The research is aimed to know the
form of marketing channel, marketing margin which includes marketing cost and profit, producer’s price share
as factors affecting broiler chicken marketing efficiency. The method that is used is survey method. There are
150 plasma breeders as sample respondents, it consist of 100 plasma breeders makloon system and 50 plasma
breeders credit system. Meanwhile, there are 16 poulty shop as nucleus. It consist of 6 person as Wholesalers and
10 retailers. Sample determination used Stratified random sampling for makloon system poultry shop, and the
rest is by census method, and using simple random sampling technique for wholesaler and retailer.
Primary data is collected through observation and formal interview using questionaires, amd secondary data is
collected from library research and related another government documnentation data. Analysis model used in
this research is margin analysis and farmer’s share and descriptive analysis. The result of data analysis reveals
that:1) Broiler-chicken distribution from Ciamis Regency to Bandung City is through three of marketing
channel, e.g, marketing distribution of credit system relationship pattern, makloon system of channel-I and
makloon system of channel-II; 2) Broiler-Chicken marketing in each of the three marketing channels are
efficient, and profit distribution amongf marketing agencies in each channel and already spread evently; 3)
Broiler-Chicken marketing at Ciamis regency is already efficient viewed from costs expensed by every
marketing agency; dan 4) Broiler-Chicken marketing system at Ciamis regency is not efficient yet for the
channel of credit system and makloon system of channel-II, but makloon system of channel-I is efficient viewed
from the producer’s price share.

253
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem perekonomian yang dinamis, membutuhkan distribusi yang efektif dan efisien.
Pemasaran merupakan kegiatan ekonomi yang sangat menentukan terutama dalam menyalurkan
barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Konsumen mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam pemasaran karena merupakan objek dari lembaga pemasaran dalam melaksanakan fungsinya
untuk memperoleh keuntungan.
Ayam broiler memiliki nilai ekonomis tinggi, mempunyai prospek cerah dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani, usahatani yang
produktif memberikan peluang besar bagi petani menuju peningkatan pendapatan. Ayam broiler dapat
diusahakan secara cepat (quick yielding) karena memerlukan waktu relatif singkat untuk diusahakan.
Agar konsumen memperoleh produk yang dibutuhkan tepat pada waktunya, dan terjamin kualitas serta
tersedia secara kontinu perlu adanya sistem distribusi yang efektif dan efisien dalam memasarkan
produk tersebut. Peranan komponen pasar mulai dari produsen, lembaga pemasaran dan pemerintah
secara efektif, sangat membantu tercapainya sistem pemasaran yang efisien.
Usaha ayam broiler di Kabupaten Ciamis dahulu dilakukan oleh peternak secara mandiri. Tetapi
tidak berkembang karena tidak memiliki modal yang cukup dalam upaya pengelolaan usaha ayam
broiler. Harga input yang semakin meningkat, tidak diimbangi dengan meningkatnya harga jual di
tingkat peternak. Akibatnya semakin rendah bagian harga yang diterima peternak mandiri dan pada
gilirannya berdampak langsung pada rendahnya pendapatan peternak mandiri. Meningkatnya harga
input, diimbangi dengan meningkatnya pendapatan peternak mandiri menyebabkan peternak mandiri
bangkrut dan tidak dapat melanjutkan usahanya.
Untuk mengatasi lemahnya modal usaha peternak, pemerintah memberikan kesempatan kepada
peternak mandiri mendapatkan kredit, namun sistem kredit ini juga tidak berhasil karena peternak
tidak dapat mengembalikan modal pinjaman dan bunga kepada bank dalam perkembangan
selanjutnya. Sejak tahun 1982, di Kabupatren Ciamis diterapkan sistem kredit oleh pengusaha poultry
shop (PS) yang bermitra dengan peternak dapat memperpendek saluran pemasaran, dalam upaya
meningkatkan efisiensi pemasaran. Kemitraan antara peternak dengan pengusaha dalam
pelaksanaannya pengusaha PS sebagai inti dan peternak sebagai plasma mendapat bantuan modal
usaha, yang pelaksanaanya berpedoman pada asas saling percaya. PS selaku perusahaan inti
memberikan kredit kepada peternak plasma dalam bentuk sarana produksi ternak (Sapronak) seperti
pakan ternak, DOC, vaksin, dan suplemen lainnya; sedangkan peternak plasma menjalankan usaha
tersebut mulai dari proses produksi hingga pemasarannya. Proses pengembalian pinjaman diatur sesuai
dengan kesepakatan yang telah diputuskan bersama antara peternak plasma dan perusahaan inti.
Sampai saat ini belum diketahui, efektifitas dan efisiensi sistem pemasaran yang dijalankan di
Kabupaten Ciamis dengan pola kemitraan tersebut. Pola kemitraan semacam ini belum memberikan
jaminan bahwa peternak suatu saat akan mandiri dan berkembang ke arah skala usaha yang makin
besar dengan modal sendiri yang lebih memadai, karena posisi peternak adalah sebagai tenaga kerja
upahan dan bukan pemilik. Selanjutnya perlu diketahui sejauh mana peranan pola kemitraan dalam
meningkatkan pendapatan peternak, sebagai suatu upaya konkrit dalam membangkitkan industri
perunggasan yang berdasarkan pada ekonomi kerakyatan.
Tujuan: 1) Untuk mengetahui dan mengidentifikasi bentuk saluyran pemasaran ayam broiler
pola kemitraan baik sistem kredit maupun sistem makloon di Kabupaten Ciamis; 2) Untuk mengetahui
dan menganalisis presentase biatya pemasaran yang dikeluarkan pelaku pemasaran dan presentase
keuntungan yang diperoleh pelaku pemasaran pola kemitraan baik sistem makloon maupun sistem
kredit di kabupaten Ciamis; 3) Untuk menganalisis efisiensi pemasaran dilihat dari segi pembiayaan
masing-masing pelaku pemasaran dan total biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pelaku pemasaran
dengan harga ditingkat konsumen dalam pemasaran ayam broiler di kabupaten Ciamis; 4) Untuk
menganalisis efisiensi pemasaran dilihat dari pemerataan keuntungan yang diperoleh masing-masing
pelaku pemasaran; dan 5) Menganalisis efisiensi pemasaran dilihat dari presentase bagian harga yang
diterima oleh produsen dari harga yang dibayar konsumen.

254
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

METODE PENELITIAN
Teknik Penarikan Sampel
Tingkat Peternak plasma pada sistem kredit; penentuan perusahaan inti ditunjuk langsung (PS)
naratas sedangkan pada tingkat peternak plasma itu diambil 10% secara acak sederhana dari 500
peternak plasma yang bermitra (50 peternak contoh). Penarikan sampel plasma pada sistem makloon
juga dilakukan sebagai berikut: penentuan perusahaan inti berjumlah 30 perusahaan. 9 perusahaan
dikategorikan strata 1, dengan volume pemeliharaan 1500-2000 ekor dan jumlah peternak plasma
yang bermitra 200-300 ternak; diambil 5 perusahaan dari 9 perusahaan besar secara acak sederhana.
Strata 2 dari 21 perusahaan dengan volume pemeliharaan lebih kecil dari 1500 ekor dan jumlah
peternak plasma yang bermitra lebih kecil dari 200 peternak. Penentuan sampel pada perusahaan inti
diambil sebesar 50% (10 PS) secara acak sederhana. Penentuan pada peternak contoh pada sistem
makloon strata 1 sebanyak 90 orang dan strata 2 sebanyak 87 peternak. Penentuan sampel ditingkat
pedagang besar dan pedangan pengecer dilakukan secara Purposive sebanyak 2 responden dengan
pertimbangan hanya untuk mengetahui tingkat harga pada konsumen akhir di Bandung.

Metode Analisis Data


Untuk tingkat peternak menggunakan konsep Farmer’s share untuk mengetahui besarnya
biaya pemasaran digunakan konsep marketing cost (MC) dan untuk mengetahui keuntungan
digunakan konsep marketing profit (MP) sedangkan untuk efisiensi pemasaran digunakan rumus
Shepherd (1982) yaitu efisiensi pemasaran ditinjau dari segi pembiayaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Analisis Biaya Margin dan Farmer’s Share masing-masing saluran Pemasaran ayam broiler
di Kabupaten Ciamis.
Sistem Sistem
Mata Rantai Sistem kredit Share makloon Share makloon Share
No
pemasaran Nilai (Rp/kg) (%) saluran 1 (%) saluran 2 (%)
Nilai (Rp/kg) Nilai (Rp/kg)
1 Peternak 4.833.33 40.29 4.835.33 50.02 4.835.33 40.29
2 Poultry Shop 6.050 50.42 6000 60.07 6.100 50.83
Biaya:
Tenaga Kerja 37.5 0.31 100 1.04 37.5 0.31
Lain-lain 50 0.32 100 1.04 50 0.42
Total biaya 87.5 0.73 200 2.08 87.5 0.73
Profit 1.127.17 9.39 964.67 9.97 1.177.17 9.81
3 Pedagang Besar 8.588.89 71.57 - - 8.588.89 71.57
Biaya: -
Penampungan 150 1.25 - - 150 1.25
Transportasi 125 1.04 - - 125 1.04
Penyusutan 171.78 1.43 - - 171.78 1.43
Tenaga Kerja 37.5 0.31 - - 37.5 0.31
Lain-Lain 50 0.42 - - 50 0.42
Total Biaya 534.28 4.45 - - 534.28 4.45
Profit 2.004.28 16.71 - - 1.954.61 16.29
4 Pedagang 12000 100 9.666.67 100 12000 100
Pengecer
Biaya:
Transportasi 150 1.25 150 1.55 150 1.25
Penyusutan - - 193.33 1.61 - -
Penampungan - - 150 1.55 - -
Tenaga kerja 100 0.83 100 1.04 100 0.83
Lain-Lain 100 0.83 100 1.04 100 0.83
Total Biaya 350 2.92 693.33 7.17 350 2.92
Profit 3061.11 25.51 2.973.34 30.76 3.061.11 25.51

Berdasarkan Tabel 1 farmer’s share pada sistem kredit 40.29% lebih kecil dari fs pada sistem
makloon saluran 1 yakni 50.02%. hal ini berarti share pada makloon saluran 1 lebih menguntungkan
255
ISBN: 978-602-6906-29-8602ISBN: 978-602-95808-1-5 Seminar Nasional Peternakan III
“Hilirisasi Teknologi dalam Sistem Peternakan Lahan Kering
Mendukung Swasembada Daging Nasional”

dari saluran lainnya. Biaya yang dikeluarkan pada sistem kredit sebesar 0.73% lebih kecil dari saluran
1 sistem makloon yaitu 2.08%. hal ini disebabkan tingginya biaya ditenaga kerja dan biaya lain-lain.
Provit baik sistem kredit maupun sistem makloon saluran 1 dan 2 rata-rata 9.39%, 9.97% dan 9.81%
menunjukkan bahwa tingkat keuntungan merata pada PS. Biaya di tingkat pedagang besar adalah
4.45% sama untuk sistem makloon dan kredit. Keuntungan juga merata baik sistem kredit maupun
makloon sebesar 16.71% dan 16.29% hal ini menunjukkan bahwa terdapat keuntungan yang merata
pada kedua sistem tersebut. Efisiensi pembiayaan pada sistem kredit sebesar 8.09% sedangkan pada
sistem makloon saluran 1 sebesar 9.24% pada saluran 2 adalah 8.09%. pada ketiga saluran tersebut
efisiensi pemasaran sudah efisien karena lebih kecil dari 20%.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Farmer’s share yang diterima pada sistem kredit lebih kecil daripada sistem makloon saluran 1
karena pada sistem kredit semua resiko pemeliharaan ditanggung peternak. Sedangkan biaya dan
keuntungan yang diterima baik pada sistem kredit maupun makloon rata-rata sama besarnya.

Saran:
1. Bagi peternak plasma sistem kredit agar meningkatkan motivasi usaha untuk mencapai suatu
prestasi.
2. Bagi peternak yang bermitra dengan sistem makloon tetap beroegang pada asas meraih
keuntungan bersama dengan prinsip saling menguntungkan.

256

Anda mungkin juga menyukai