Anda di halaman 1dari 222

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING

PROSIDING WORKSHOP HASIL LITBANG UNGGULAN


BALAI BESAR DAN BARISTAND INDUSTRI TAHUN 2016
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN

Pengarah : Dr. Haris Munandar N.


Penanggung jawab : Ir. Herman Supriadi, MM

DEWAN REDAKSI
Koordinator : Drs. Raimon, Dipl. Sc, MT
Dra. Hendra Yetty, M.Si
Drs. Ali Fahmi Kamil
Denny Noviansyah, S.Si, MT
Drs. Eduward Hutahayan
Dr. Muchlasin, MM
Ir. Hamdhan Nurdin
Dr. Ir. Nuryetti, M.Si

MITRA BESTARI
Koordinator : Dr. Ir. R. Gatot Ibnu Santosa, DEA
Anggota : Ir. Kristanto Santosa, M.Sc
Ir. Lusiani Tjokronegoro

EDITOR, TATA NASKAH & DISTRIBUSI


Editor : Firmansyah, ST
Oscar Bona Vena Tahi, ST, MM

Tata Naskah : Romar B. Siregar, BBA


Yenih Maryati

Distribusi : Lusyana Eka Nurya Rini, A.Md


Euis Kurniasih
Fitria Dwi Rahmadiah, S.IP
Endang Suherlan Rohman

PENERBIT :
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
KEKAYAAN INTELEKTUAL
Alamat : Jl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 52-53, Lantai 20
Telp./Fax. : 021 – 5256112

ISSN : 2303-2294-9-772303-229402
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya-lah Prosiding Workshop Hasil Litbang Unggulan Kementerian
Perindustrian 2016 telah dapat diterbitkan. Prosiding ini merupakan rangkuman dari
pelaksanaan Workshop Hasil Litbang Unggulan Balai Besar dan Baristand Industri
Tahun 2016 yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 – 16 Juli 2016 di Zest Hotel
Bogor, Kota Bogor.
Workshop tersebut merupakan sarana untuk menyeleksi beberapa hasil litbang
terbaik yang diusulkan oleh seluruh Balai Besar dan Baristand Industri di lingkungan
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI), Kementerian Perindustrian.
Adapun kriteria yang dijadikan dasar untuk seleksi yaitu hasil litbang tersebut harus
memiliki nilai kebaruan (invensi) yang berpotensi paten, dapat diaplikasikan secara
efektif dan efisien pada industri terkait, dan dapat memenuhi kebutuhan pasar secara
nasional. Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat memicu peningkatan mutu hasil litbang
Balai Besar dan Baristand Industri, menjadi semakin dikenal dan dapat
diimplementasikan di dunia industri. Adapun hasil litbang yang dipresentasikan pada
workshop tersebut adalah sebanyak 23 (dua puluh tiga) judul yang telah diseleksi dari
49 (empat puluh sembilan) judul yang disampaikan oleh seluruh Balai Besar dan
Baristand Industri.
Kami berharap, semoga melalui penerbitan Prosiding ini dapat memberikan
manfaat bagi berbagai pihak sebagai media komunikasi ilmiah, menambanh wawasan,
dan sebagai sumber pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkaitan dengan industri, serta menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan
dalam menentukan arah pengembangan industri nasional.
Kami menyadari Prosiding ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami
senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan
dalam penerbitan Prosiding periode selanjutnya.

i
SAMBUTAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
Disampaikan pada
PEMBUKAAN WORKSHOP HASIL LITBANG UNGGULAN
BALAI BESAR DAN BARISTAND INDUSTRI
BOGOR, 14 JULI 2016

Yth. Bapak/Ibu Tim juri Workshop Litbang Unggulan;


(Bapak Dr. Ir. Gatot Ibnu Santosa; Bapak Ir. Kristanto Santosa.,M Sc; dan Ibu Ir.
Lusiani Tjokronegoro)
Yth. Para Pejabat Sekretariat dan Direktorat Jenderal
di Lingkungan Kementerian Perindustrian;
Yth. Kepala Balai Besar dan Baristand Industri
di lingkungan BPPI;
Yth. Para Ketua Asosiasi dan Pelaku Industri; serta
Yth. Para Peserta Workshop Litbang Unggulan yang
saya banggakan

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Salam Sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
atas izin-Nya, pada hari ini kita dapat berkumpul dalam rangkaian acara Workshop
Hasil Litbang Unggulan Balai Besar dan Baristand Industri Tahun 2016.

Saya menyambut baik diselenggarakan kegiatan ini sebagai wadah apresiasi


terhadap hasil-hasil litbang Balai Besar dan Baristand Industri sehingga hasil-hasil
litbang dapat semakin dikenal oleh para stakeholder, dimanfaatkan serta diterapkan di
industri.

Saudara-saudara sekalian,
Sebagaimana diketahui, BPPI mempunyai 22 unit lembaga penelitian yaitu: 11
unit Balai Besar dan 11 Baristand Industri yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
(Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Ambon) dengan jumlah peneliti
305 orang dan perekayasa 52 orang. Selanjutnya, akan didirikan lagi 1 unit Baristand
Industri di Pekanbaru, saat ini masih dalam proses dengan PEMDA Pekanbaru. Dari
pengamatan saya bahwa banyak hasil penelitian dan pengembangan yang telah
dilakukan oleh para penelitian di lingkungan BPPI, namun masih sedikit sekali yang
dapat dimanfaatkan atau diaplikasi di dunia industri.
Kondisi saat ini dunia usaha khususnya sektor industri sangat membutuhkan
litbang terapan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Selain itu, dalam
rangka meningkatkan daya saing industri nasional dengan telah diberlakukannya
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Tahun 2015 yang lalu, diperlukan
peningkatan daya saing nasional yang didukung oleh program dan rencana tindak dari

ii
Kementerian Perindustrian terutama kebijakan pengembangan sektor industri nasional.
Salah satu programnya adalah pengembangan SDM dan penelitian yang meliputi :
 pengembangan R&D dalam inovasi produk yang bernilai tambah tinggi;
 pengembangan R&D dalam pengembangan bahan baku dan bahan penolong di
dalam negeri;
 pengembangan R&D dalam konversi dan diversifikasi energi; dan
 pengembangan R&D dalam minimasi dan pemanfaatan limbah.
Oleh karena itu, lembaga litbang terutama Balai Besar dan Baristand Industri
di lingkungan BPPI diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dan
memiliki komitmen yang lebih kuat terutama dalam berbagai kegiatan yang terkait
dengan :
- Pelaksanaan inovasi dan riset-riset yang dibutuhkan industri.
- Penyediaan solusi teknis terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
dunia industri.
- Revitalisasi fungsi litbang teknologi dalam rangka peningkatan penguasaan
teknologi/percepatan alih teknologi dan kemandirian bangsa.
- Peningkatan aplikasi hasil-hasil litbang nasional dan perlindungan HKI.
- Audit teknologi dalam rangka pendalaman dan restrukturisasi teknologi industri.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Untuk mewujudkan hal-hal di atas, diakui memang tidak mudah karena adanya
berbagai permasalahan kegiatan litbang yang dihadapi oleh para Peneliti di Indonesia
antara lain :
a. Penelitian yang dilakukan sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sehingga menyebabkan apresiasi masyarakat terhadap penelitian pun terbatas.
b. Kegiatan riset umumnya masih berupa academic exercise dan belum secara
sensitif merespon demand driven.
c. Umumnya riset yang dilakukan hanya untuk memenuhi angka kredit (poin), belum
mengarah kepada koin (royalti yang didapat dari hasil paten dan sharing dana
dari pihak pengguna).
d. Kegiatan riset belum digunakan sebagai referensi utama untuk kebijakan publik.
e. Para peneliti hanya berorientasi pada unit kerjanya, belum secara aktif
membangun komunikasi dengan dunia industri/lembaga litbang lain/perguruan
tinggi.
f. Keberadaan unit-unit litbang tersebut mungkin saja tidak diketahui oleh dunia
usaha/stakeholder litbang.
Kegiatan litbang sebagai implementasi IPTEK sebagaimana diamanahkan
dalam pasal 31 ayat 5 Amandemen UUD 1945, bahwa ”Pemerintah memajukan IPTEK
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Dari pernyataan tersebut dapat kita
lihat bahwa litbang dituntut untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Untuk
mewujudkan hal tersebut, litbang tidak berhenti pada invensi saja, tetapi harus sampai
kepada inovasi untuk mencari sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Inovasi akan menghasilkan produk dan servis yang lebih baik, proses
produksi yang lebih efisien, tingkat kepuasan pengguna yang lebih tinggi dan
pertumbuhan usaha yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan
iii
daya saing. Sesuatu dapat disebut sebagai inovasi jika telah teruji oleh pasar dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat.

Saudara-saudara sekalian,
Dengan demikian diharapkan Balai Besar dan Baristand di lingkungan BPPI
dapat menerapkan pendekatan berbasis pasar (market driven-oriented) dalam kegiatan
litbang yang dilakukan. Para peneliti diharapkan juga dapat menghasilkan penelitian
yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh dunia industri. Untuk itu
diperlukan keterlibatan SDM litbang yang berkualitas, kapabel dan kompeten
khususnya para pejabat fungsional Peneliti. Dengan didukung tenaga peneliti yang
profesional, diharapkan pengembangan dan diseminasi hasil litbang dapat dilakukan
secara optimal.
Selain itu para pelaku litbang (utamanya peneliti) harus membangun jejaring
kerja dengan dunia usaha, meyakinkan dunia usaha bahwa litbang dan berbagai
fasilitas serta para peneliti yang dimiliki oleh Balai Besar/Baristand dapat dimanfaatkan
serta mampu membantu dunia usaha untuk mencari terobosan-terobosan dalam
meningkatkan daya saing industri nasional.
Guna menghasilkan litbang yang dapat diaplikasikan dan benar-benar
dibutuhkan industri perlu komitmen dari stakeholder litbang melalui koordinasi dan
kolaborasi dengan pembagian peran yang jelas.
Beberapa bentuk koordinasi dapat dilakukan antara lain :
a) pemakaian bersama aset-aset institusi litbang (mulai sarana laboratorium sampai
ke SDM-nya) terutama dalam pengerjaan litbang-litbang prioritas seperti litbang
untuk bahan baku/penolong;
b) dibuatnya rambu-rambu bahwa dalam pengajuan riset desain, para
peneliti/perekayasa sudah harus melibatkan dunia usaha/sektor industri; dan
c) adanya regulasi yang mengatur pemberian insentif, baik kepada perusahaan yang
mengaplikasikan hasil litbang dalam negeri maupun kepada peneliti/perekayasa
yang melakukan inovasi/invensi yang hasil risetnya diaplikasikan atau
dimanfaatkan oleh dunia usaha.

Terkait dengan regulasi tersebut, kami memberikan apresiasi kepada


Pemerintah yang telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2015 tentang
Sumber Daya Industri, khususnya Pasal 34, yaitu Pemerintah Pusat melakukan
Penjaminan Risiko atas Pemanfaatan Teknologi Industri yang dikembangkan di dalam
negeri oleh penyedia teknologi. Teknologi Industri yang dimaksud merupakan hasil
Penelitian dan Pengembangan teknologi dari dalam negeri yang sudah teruji laik dalam
skala laboratorium dan teknikal sesuai dengan pedoman teknis penentuan kelayakan
Teknologi Industri. Saat ini Kementerian Perindustrian sedang dalam proses
penyusunan Peraturan teknis lebih lanjut terkait Penjaminan Risiko atas Pemanfaatan
Teknologi Industri yang dikembangkan di dalam negeri, dalam bentuk Peraturan
Menteri.

iv
Saudara-saudara sekalian,
Setiap lembaga Litbang harus memiliki tiga kapasitas yang sangat mendasar
yang harus dimiliki, antara lain: (Benyamin Lakitan staf ahli Kemenristek)
a) Kapasitas untuk menyerap IPTEK yang berasal dari luar negeri (sourcing capacity)
b) Kapasitas untuk melakukan penelitian dan pengembangan IPTEK (R & D capacity)
dan
c) Kapasitas untuk mendiseminasikan pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan
(disseminating capacity), kapasitas ini bisa dilanjutkan dengan kegiatan aplikasi
penelitian dan pengembangan di industry

Kapasitas “Sourcing”, lembaga litbang terindikasi antara lain dari aksesibilitas


ke berbagai sumber informasi iptek, tidak terjadi tumpang tindih riset yang dilakukan
dengan riset yang telah dilakukan di tempat lain, dan efisiensi penggunaan
sumberdaya dalam menghasilkan iptek yang bermanfaat.
Kapasitas Litbang bagi lembaga Litbang tercermin dari kualitas riset dan iptek
yang dihasilkan, relevansi teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan nyata para
pengguna.
Sedangkan, kapasitas diseminasi bagi lembaga Litbang terlihat dan jangkauan
publikasi kegiatan riset yang dilakukan dan iptek yang dihasilkan melalui media cetak
maupun elektronik, kualitas dan kuantitas iptek yang diadsopsi oleh pihak pengguna
dan royalti yang diterima oleh lembaga atas produk teknologinya yang berhasil
dikomersialisasikan.
Berdasarkan informasi dari Word Economic Forum dalam laporan The Global
Competitivenes Report 2015-2016, bahwa saat ini, posisi Indonesia untuk Technology
Readiness Level berada pada peringkat ke-85., posisi ini lebih baik dari Negara
Vietnam (92), tetapi masih dibawah Singapura (5), Malaysia (47), Thailand (58) dan
Philipina (68). Untuk Innovation Index, posisi Indonesia berada di peringkat ke-30, jauh
lebih baik dari Philipina (48), Thailand (57) dan Vietnam (73), tetapi masih dibawah
Singapura (9) dan Malaysia (20).

Saudara-saudara sekalian,
Kondisi saat ini, saya menyadari bahwa untuk pendanaan Litbang masih jauh
dari harapan. Kita sama sama tahu bahwa pendanaan Litbang di Indonesia sekitar
0,09 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), idealnya 1 %. Bila dibandingkan Negara
Asean seperti Thaland (0,25%), Malaysia (1%) dan Singapura (2,6%), posisi Indonesia
masih jauh dibawah. Walaupaun demikian, dengan kondisi pendanaan Litbang saat ini,
kita masih dapat melakukan penelitian bersama dengan industri dan lembaga
penelitian lainnya. Dalam hal ini saya sangat mengharapkan para kepala Balai Besar
dan Baristand Industri berperan lebih aktif untuk mencari kerjasama Litbang dengan
pihak industri dan lembaga penelitian lainnya. Diharapkan kerjasama Litbang dengan
pihak industri adalah Litbang yang lebih konkret dan aplikatif.

Saudara-saudara sekalian,
Dalam mensinergikan dan mengkolaborasikan litbang yang dapat dikerjakan
bersama beberapa Balai atau industri, BPPI telah menetapkan Panduan Umum

v
Pelaksanaan Penelitian, Pengembangan dan Perekayasaan Industri di Lingkungan
BPPI melalui Peraturan Kepala BPKIMI No. 68/BPKIMI/PER/05/2013 tanggal 1 Mei
2013. Selain itu BPPI juga telah menetapkan Panduan Teknis Pengukuran Tingkat
Kesiapterapan Teknologi Hasil Penelitian, Pengembangan dan Perekayasaan Industri
di Lingkungan BPPI melalui Peraturan Kepala BPKIMI No. 110/BPKIMI/PER/09/2013
tanggal 24 September 2013. Saya berharap dengan panduan tersebut, hasil
litbangyasa di lingkungan BPPI dapat terukur, rasional, aplikatif, efisien dan mampu
menjawab tantangan dan masalah yang dihadapi oleh industri nasional.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan apresiasi kepada Bapak/Ibu Tim
Juri, dan seluruh panitia dengan penyelenggaraan Workshop Hasil Litbang Unggulan
ini.
Kepada para peneliti yang terpilih mengikuti Workshop Litbang Unggulan, saya
ucapkan selamat mengikuti kegiatan tersebut dan semoga workshop ini dapat berjalan
lancar sesuai rencana dan menghasilkan litbang unggulan yang aplikatif dan inovatif
sesuai kebutuhan industri.
Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, saya nyatakan
Workshop Hasil Litbang Unggulan Balai Besar dan Baristand Industri Tahun 2016
secara resmi dibuka.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

KEPALA,

HARIS MUNANDAR N

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i
Sambutan Kepala BPPI .......................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................. vii
Penelitian Dan Pengembangan Mesin Cnc Untuk Pembuatan Pola
Pengecoran ..................................................................................................... 1
Pemanfaatan Stearin Kelapa Sawit Dalam Pembuatan Malam (Lilin Batik) ....... 17
Penelitian Dan Pengembangan Tapak Rantai Kendaraan Tempur Tank Jenis
Scorpion Double Pin Dan Amx Sebagai Penelitian Berkelanjutan Untuk
Kemandirian Hankam Nasional ........................................................................ 28
Pembuatan Blokrem Kereta Api Dari Komposit Polimer Non-Asbestos Untuk
Substitusi Impor ............................................................................................... 42
Pemanfaatan Bengkuang (Pachyrhizus Erosus) Menjadi Cake......................... 54
Prototype Alat Produksi Biogas Dari Limbah Industri Cpo Sebagai Sumber
Energi Terbarukan Melalui Modifikasi Reaktor Model Fdhrar (Fixed Dome
High Rate Anaerobic Reactor) ......................................................................... 64
Performa Pengering Surya Dibantu Pompa Kalor Untuk Pengeringan Biji
Kakao .............................................................................................................. 75
Peningkatan Kualitas Bata Merah Menjadi Bata Ekspos Di Ikm ........................ 87
Gh67 Α-Glucuronidase Enzim Pendegradasi Hexenuronic Acid Dari
Paenibacillus Curdlanolyticus B-6 .................................................................... 95
Eksplorasi Limbah Perkebunan Sebagai Upaya Peningkatan Nilai Tambah
Untuk Pewarnaan Batik ................................................................................... 107
MINUMAN PROBIOTIK BENGKUANG (Pachirrizhus Erosus) .......................... 117
Pengaruh Kombinasi Perlakuan Sentrifugasi-Maserasi Dan Enzimatis
Terhadap Mutu Mcfa (Medium Chain Fatty Acid) Minyak Kelapa ...................... 134
Pengolahan Pupuk Organik Pelet Dari Campuran Limbah Ikan, Tandan
Kosong Kelapa Sawit, Dan Eceng Gondok....................................................... 142
Perancangan Dan Analisa Fiber Optic Chemical Sensor Sebagai Pengukur
Kadar Ion Kadmium Pada Air ........................................................................... 152
Pembuatan Penghancur Alat Suntik ................................................................. 166
Pemanfaatan Reject Hydra Pulper Industri Kertas Sebagai Bahan Bakar ......... 172
Aplikasi Membran Serat Hollow Untuk Pengolahan Limbah Cair Tekstil
Dengan Membran Fotokatalitik ........................................................................ 186
Rancang Bangun Prototip Mesin Plasma Tekstil Lucutan Korona Pada
Tekanan Atmosfir Skala Laboratorium.............................................................. 199

vii
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MESIN CNC
UNTUK PEMBUATAN POLA PENGECORAN
Research and Development of CNC Machine
for Casting Pattern Making
1 2 3 4
Mufid Djoko Putranto , Sri Bimo Pratomo , Taufiq , Jalu Pamungkas
1
Kepala Bidang Kerjasama dan Pelayanan Jasa Teknis
2
Kepala Seksi Pengecoran Logam dan Perlakuan Panas / Peneliti Muda
3
Staf Seksi Pemesinan dan Pengelasan
4
Staf Seksi Pengecoran Logam Dan Perlakuan Panas
E-mail: ......................................

ABSTRACT
"Research and Development of Scorpion Double Pin Track Link and AMX Track Link
as Continuously Research for National Autonomous Defense and Security” as the
applied research which was conducted in Metal Industries Development Center in
2015. This is is the continuosly research to support the autonomous of National
Defense and Security program, which was programmed by Indonesia National Army at
the 2029 that all of the defense system needs can be fullfiled by domestic product.
Scorpion double pin and AMX tracklink tank prototipes has been successfully produced
in BBLM with shape and materials change to improve the performance of the tracklink
components. Scorpion double pin tracklink has been certified in May 2016 while AMX
has been produced by industry that supervised by MIDC. The shape of scorpion double
pin tracklink that has been modified improve the performance of tracklink, ie combat
vehicles can move fastly eventhough through a muddy road, reducing wheel wear and
lowering noise. Bainitic steel with a molybdenum content of 0.4% were used for the
scorpion double pin tracklink prototype will ease the producing process with still good
mechanical properties, while manganese steel with a carbon content of 1% and 14%
manganese will cause AMX tracklink prototype material become very tough and high
wear resistance. Currently being made patent of the both of tracklinks. Based on the
result of the technometer measuring, this research including the level 8 of technology
readiness.

Keywords: tracklink, scorpion double pin, AMX, bainitic steel, manganese steel

ABSTRAK
“Penelitian dan Pengembangan Tapak Rantai Kendaraan Tempur Tank Jenis Scorpion
Double Pin dan AMX sebagai Penelitian Berkelanjutan Untuk Kemandirian Hankam
Nasional” merupakan Litbang Terapan yang dilaksanakan di Balai Besar Logam dan
Mesin pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian yang berkelanjutan untuk
mendukung program Kemandirian Pertahanan Keamanan Nasional, dimana TNI
mencanangkan bahwa pada tahun 2029 seluruh kebutuhan alat utama sistim
pertahanan sudah dipenuhi dari dalam negeri. Prototipe tapak rantai scorpion double
pin dan AMX telah berhasil dibuat di BBLM dengan perbaikan bentuk serta material
untuk meningkatkan kinerja dari komponen tapak rantai tersebut. Tapak rantai scorpion
double pin sudah sertifikasi pada bulan Mei 2016 sedangkan tapak rantai AMX sudah
diproduksi oleh industri binaan BBLM. Bentuk dari tapak prototipe rantai scorpion
double pin yang telah dimodifikasi akan meningkatkan kinerja dari tapak rantai
tersebut, yaitu kendaraan tempur tank dapat tetap melaju dengan kencang saat

1
melewati medan lumpur, mengurangi keausan wheel dan menurunkan kebisingan.
Baja bainit dengan kadar molybdenum 0,4% yang digunakan untuk protipe tapak rantai
scorpion double pin akan memudahkan proses pembuatannya dengan sifat mekanis
yang tetap baik, sedangkan baja mangan dengan kadar karbon 1% dan mangan 14%
akan menyebabkan material tapak rantai AMX menjadi sangat tangguh dan tahan aus.
Saat ini sedang dibuat paten untuk kedua tapak rantai tersebut. Berdasarkan hasil
pengukuran teknometer, hasil dari penelitian ini dimasukkan ke dalam tingkat kesiapan
teknologi level 8.

Kata kunci: tapak rantai, scorpion double pin, AMX, baja bainit, baja mangan

I. PENDAHULUAN
Proses pengecoran logam merupakan proses pembuatan produk dari bahan
baku logam yang dicairkan dan dituangkan ke rongga cetak. Rongga cetak dibentuk
oleh model/pattern (representasi produk) dan berbagai elemen pendukung. Salah satu
kunci sukses dalam proses pengecoran logam yaitu adalah pembuatan model/pattern.
Teknologi tepat guna merupakan teknologi yang tepat sasaran yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Pengembangan teknologi tepat guna harus
lebih ditingkatkan sebagai penunjang pemanfaatan teknologi masyarakat Indonesia.
Pemanfaatan teknologi pada masyarakat berdampak sangat luas. Dan berimbas pula
pada industri–industri kecil dan menengah, khususnya yang masih menggunakan
peralatan konvensional atau bahkan masih menggunakan peralatan tradisional dan
manual. Pemahaman teknologi secara mendasar, rinci dan mendalam dilakukan
melalui pelaksanaan program yang kongkrit untuk memproduksi barang dan jasa.
Perkembangan teknologi komputer saat ini telah mengalami kemajuan yang amat
pesat. Dalam hal ini komputer telah diaplikasikan ke dalam alat-alat mesin perkakas
diantaranya mesin bubut, mesin frais, mesin skrap, mesin bor. Hasil perpaduan
teknologi komputer dan teknologi mekanik inilah yang selanjutnya dinamakan CNC
(Computer Numerically Controlled). Sistem pengoperasian CNC menggunakan
program yang dikontrol langsung oleh komputer. Secara umum konstruksi mesin
perkakas CNC dan sistem kerjanya adalah sinkronisasi antara komputer dan
mekaniknya. Jika dibandingkan dengan mesin perkakas konvensional yang setaraf dan
sejenis, mesin perkakas CNC lebih unggul baik dari segi ketelitian (accurate),
ketepatan (precision), fleksibilitas, dan kapasitas produksi. Sehingga di era modern
seperti saat ini banyak industri-industri mulai meninggalkan mesin-mesin perkakas
konvensional dan beralih menggunakan mesin-mesin perkakas CNC.
Secara garis besar pengertian mesin CNC adalah suatu mesin yang dikontrol
oleh komputer dengan menggunakan bahasa numeric (perintah gerakan yang
menggunakan angka dan huruf). Sebagai contoh apabila pada layar monitor mesin
penulis tulis M03 maka spindle utama mesin akan berputar, dan apabila penulis
tulis M05 maka spindle utama mesin akan berhenti berputar. Mesin CNC tingkat
dasar yang ada pada saat ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Mesin CNC Two
Axis atau yang lebih dikenal dengan Mesin Bubut (Lathe Machine) dan Mesin CNC
Three Axis atau yang lebih dikenal dengan Mesin Frais (Milling Machine).
Dari hasil di atas maka penulis memiliki inisiatif untuk melakukan pembuatan
mesin CNC router tipe milling/frais. Untuk proses pembuatan komponen dengan mesin
milling/frais lebih efisien dengan hasil yang lebih baik dibanding dengan menggunakan
mesin milling/frais biasa yang tidak menggunakan sistem komputer sepeti mesin CNC.

2
Mesin milling/frais CNC terdiri dari beberapa bagian utama, yakni: rangka mesin,
motor listrik, rangkaian driver motor listrik, peralatan komputer, spindle dan mata pahat.
Masing–masing bagian mesin mempunyai fungsi dan kegunaan sendiri. Gerakan
Mesin Milling/Frais CNC dikontrol oleh komputer, sehingga semua gerakan yang
berjalan sesuai dengan program yang diberikan, keuntungan dari sistem ini adalah
memungkinkan mesin untuk diperintah mengulang gerakan yang sama secara terus
menerus dengan tingkat ketelitian yang sama pula.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sistem Koodinat Kartesius


Dalam matematika, sistem koordinat kartesius
digunakan untuk menentukan tiap titik dalam bidang
dengan menggunakan dua bilangan yang biasa disebut
koordinat x dan koordinat y dari titik tersebut.
Untuk mendefinisikan koordinat diperlukan dua
garis berarah yang tegak lurus satu sama lain (sumbu x
dan sumbu y), dan panjang unit, yang dibuat tanda-tanda
pada kedua sumbu tersebut (lihat Gambar 2.1).
Sistem koordinat Kartesius dapat pula digunakan
pada dimensi-dimensi yang lebih tinggi, seperti 3 dimensi,
dengan menggunakan tiga sumbu (sumbu x, y, dan z).
Dengan menggunakan sistem koordinat Kartesius, bentuk-
bentuk geometri seperti kurva dapat diekspresikan dengan
persamaan aljabar. Sebagai contoh, lingkaran yang berjari-
jari 2 dapat diekspresikan dengan persamaan x² + y² = 4
(lihat Gambar 2.2).
Sistem koordinat Kartesius dalam dua dimensi
umumnya didefinisikan dengan dua sumbu yang saling
bertegak lurus antar satu dengan yang lain, yang keduanya
terletak pada satu bidang (bidang xy). Sumbu horizontal
diberi label x, dan sumbu vertikal diberi label y. Pada sistem
koordinat tiga dimensi, ditambahkan sumbu yang lain yang
sering diberi label z. Sumbu-sumbu tersebut ortogonal antar satu dengan yang lain.
(Satu sumbu dengan sumbu lain bertegak lurus.)
Titik pertemuan antara kedua sumbu, titik asal, umumnya diberi label 0. Setiap
sumbu juga mempunyai besaran panjang unit, dan setiap panjang tersebut diberi tanda
dan ini membentuk semacam grid. Untuk mendeskripsikan suatu titik tertentu dalam
sistem koordinat dua dimensi, nilai x ditulis (absis), lalu diikuti dengan nilai y (ordinat).
Dengan demikian, format yang dipakai selalu (x,y) dan urutannya tidak dibalik-balik.
(Wikipedia Indonesia).

II.2. Motor Stepper


Motor Stepper adalah motor DC yang gerakannya bertahap (step per step)
dan memiliki akurasi yang tinggi tergantung pada spesifikasinya. Setiap motor stepper
mampu berputar untuk setiap stepnya dalam satuan sudut (0.75, 0.9, 1.8), makin kecil
sudut per step-nya maka gerakan per step-nya motor stepper
tersebut makin presisi.

3
Motor stepper banyak digunakan untuk aplikasi-aplikasi yang biasanya cukup
menggunakan torsi yang kecil, seperti untuk penggerak piringan disket atau piringan
CD. Dalam hal kecepatan, kecepatan motor stepper cukup cepat jika dibandingkan
dengan motor DC. Motor stepper merupakan motor DC yang tidak memiliki komutator.
Pada umumnya motor stepper hanya mempunyai kumparan pada statornya sedangkan
pada bagian rotornya merupakan magnet permanent. Dengan model motor seperti ini
maka motor stepper dapat diatur posisinya pada posisi tertentu dan/atau berputar ke
arah yang diinginkan, searah jarum jam atau sebaliknya.
Kecepatan motor stepper pada dasarnya ditentukan oleh kecepatan
pemberian data pada komutatornya. Semakin cepat data yang diberikan maka motor
stepper akan semakin cepat pula berputarnya. Pada kebanyakan motor stepper
kecepatannya dapat diatur dalam daerah frekuensi audio dan akan menghasilkan
putaran yang cukup cepat.
Untuk mengatur gerakan motor per step-nya dapat dilakukan dengan 2 cara
berdasarkan simpangan sudut gerakannya yaitu full step dan half step.

Mesin CNC yang akan dibuat di sini menggunakan motor stepper sebagai
sumber penggeraknya. Karena mesin CNC yang kami kembangkan bergerak secara
tiga dimensi, maka diperlukan tiga buah motor stepper yang masing-masing mewakili
sumbu x, sumbu y, dan sumbu z

1.1 Driver Motor Stepper dan Interface


Seperti telah dijelaskan pada bab I, bahwa untuk mengendalikan masing-
masing motor stepper dari mesin CNC ini diperlukan suatu rangkaian elektronik berupa
driver. IC L297 adalah suatu IC yang dirancang khusus untuk mengendalikan gerakan
dari motor stepper. L297 menghasilkan sinyal kendali empat fase untuk motor stepper
bipolar dua fase dan unipolar empat fase dalam aplikasi yang dikontrol oleh komputer.
Motor yang menggunakan IC ini dapat dikendalikan dalam mode half step, normal dan
wave drive. IC ini hanya membutuhkan masukan berupa clock, direction dan mode.
Karena fase dibangkitkan secara internal di
dalam IC ini, maka arusnya cukup lemah untuk
menggerakkan sebuah motor stepper. Untuk itu
diperlukan rangkaian tambahan yang bertugas
menguatkan arus yang dihasilkan oleh L297.

4
L298 adalah IC yang didesain untuk tegangan tinggi dan arus yang cukup
besar. IC ini menerima sinyal kontrol yang dihasilkan oleh L297, dan kemudian
menghasilkan arus yang cukup kuat untuk menggerakkan motor stepper. Kombinasi
antara dua IC ini merupakan driver motor stepper yang cukup murah dan mudah
pembuatannya, karena tidak memerlukan banyak komponen tambahan lagi.
Dalam datasheet yang menyertai IC L297 dan L298 telah terdapat petunjuk
untuk merangkainya menjadi sebuah driver motor stepper. Dan karena untuk sebuah
motor diperlukan sebuah driver, maka akan dibuat tiga buah driver untuk
mengendalikan mesin CNC ini.
Selanjutnya ketiga buah driver tersebut dihubungkan dengan sebuah komputer
PC. Koneksi yang digunakan adalah parallel port (DB25). Alasan digunakannnya port
ini adalah karena prosedur penggunaannya yang mudah. Dapat diakses melalui
kebanyakan software seperti Visual Basic, Delphi, dan terutama KCAM, software yang
akan digunakan dalam tugas akhir ini.
Port ini dapat menerima data (input) hingga sembilan bit dan mengeluarkan data
(output) hingga 12 bit. Parallel port ini terdiri dari empat jalur kontrol, lima jalur status,
dan delapan jalur data. Port ini umumnya terdapat pada bagian belakang PC dalam
bentuk konektor tipe DB25.
Jalur data DB25 terdiri dari tiga kelompok yaitu :
1. Data line / data register
Jalur ini terdapat pada pin nomor 2 sampai nomor 9. Pin-pin ini yang biasa
digunakan untuk mengeluarkan data dari komputer ke perangkat lain. Jalur ini
mengeluarkan data hanya dalam bentuk biner delapan bit, atau bila dengan nilai
desimal antara 0 sampai dengan 255. Untuk pemanggilan port ini dalam
pemrograman komputer biasa ditulis dengan kode alamat &h378. Misalkan kita
masukkan nilai 2 pada alamat &h378 maka pada port data akan mengeluarkan
nilai : 00000010, atau hanya pin nomor 3 yang mengeluarkan output. Dan bila kita
masukkan nilai 255 maka port ini akan mengeluarkan nilai : 11111111, atau dapat
dikatakan semua pin menyala.
2. Control line / control register
Jalur ini terdapat pada pin nomor 1, 14, dan 17. Port ini hampir sama dengan port
data register yaitu sebagai port output, hanya saja jumlahnya hanya empat dan
pemanggilannya tidak semudah port data register karena port ini bersifat inverter.
Dalam pemrogramannya port ini ditulis dengan kode alamat &h38A.
3. Status line / status register
Jalur ini terdapat pada pin nomor 10,11,12,13, dan 15. Pin pada port ini memiliki
fungsi untuk menerima input dari perangkat lain. Cara memasukkan datanya
cukup mudah yaitu dengan memberikan catu daya 5 volt pada pin-pin yang dituju.
Dan untuk melihat nilai data yang dimasukkan kita hanya perlu memanggil alamat
&h379.

5
Selain pin-pin di atas terdapat pin-pin yang berfungsi sebagai ground, yaitu pada
pin nomor 18 sampai 25. Agar perangkat yang dihubungkan pada parallel port dapat
bekerja maka ground rangkaian harus dihubungkan pada salah satu pin ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN


Lokasi kegiatan penelitian dalam pembuatan mesin CNC ini adalah di Balai Besar
Logam dan Mesin Bandung. Berikut ini adalah diagram alir yang memperlihatkan
metodologi penelitian.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Mesin CNC Router ini (gambar 4.1)
menggunakan sistem koordinat kartesius
sebagai referensi geraknya. Hal ini bertujuan
untuk menyesuaikan dengan objek yang
akan dikerjakan oleh mesin tersebut.
Mengingat objek yang akan dikerjakan
adalah sebuah papan yang datar, maka lebih
cocok jika menggunakan sistem gerak
koordinat kartesius.
Sebagaimana sistem koordinat
kartesius tiga dimensi pada umumnya, di sini
juga digunakan tiga sumbu yaitu sumbu x,
sumbu y, dan sumbu z. Untuk msing –
masing sumbu tersebut digunakan satu buah
penggerak yang berupa motor stepper. Jadi
total ada tiga buah motor stepper yang
diperlukan untuk menggerakkan mesin cnc
router ini. Alasan digunakannya motor
stepper di sini karena motor stepper memiliki
gerakan yang dapat diatur sejauh berapa dia
berputar, dengan cara memberikan pulsa tegangan
listrik sejumlah tertentu pula. Motor stepper ini
kemudian dikopel dengan sebuah ulir daya, yang
pada akhirnya ulir daya inilah yang menggerakkan
bagian – bagian yang bergerak pada mesin CNC
router.
Mengacu pada penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa mesin CNC router ini memiliki tiga
derajat kebebasan ( 3 degree of freedom ). Mesin
CNC router ini memiliki beberapa bagian yang
memiliki fiungsi masing – masing. Bagian-bagian
tersebut antara lain :
1. Bagian penggerak yang terdiri 4. Bagian pemegang alat kerja
dari motor dan ulir daya. ( tool holder ).
2. Bagian mekanisme sliding. 5. Driver dan interface
3. Bagian kerangka. 6. Software

6
Berikut ini diuraikan fungsi dari bagian – bagian tersebut.
Bagian Sistem Penggerak

Bagian sistem penggerak (gambar 4.2)


ini berfungsi untuk memindahkan daya listrik
yang dihasilkan oleh driver motor ke mesin CNC
Router. Driver motor menghasilkan pulsa
tegangan listrik untuk menggerakkan motor
pada masing – masing sumbu gerak mesin ke
arah yang diinginkan. Pergerakan ini
sepenuhnya diatur oleh program komputer.
Bagian penggerak ini terdiri dari motor stepper,
ulir daya, kopling, dan mur. Antara ulir daya dan mur perlu diberi grease untuk
meringankan kerja dari motor stepper.

Bagian Mekanisme Sliding


Mekanisme sliding (gambar 4.3) adalah
komponen yang menjadi tumpuan dari bagian –
bagian mesin yang bergerak ke arah sumbu x,
sumbu y, dan sumbu z. Bagian ini terdiri dari
dua buah batang luncur dan empat buah
bushing pada masing – masing sumbu gerak.
Kecuali pada sumbu gerak y, hanya digunakan
satu buah batang luncur pada satu sisi, dan
digunakan roda pada sisi yang lain. Pada
permukaan antara batang luncur dan bushing ini juga perlu diberi grease karena gaya
gesek yang terjadi di sana cukup besar.

Bagian Kerangka
Pada mesin CNC Router ini kerangka
mesin CNC (gambar 4.4) dibuat dari
Aluminium Profile yang banyak tersedia di
pasaran. Dipilih bahan Aluminium Profile
yang memiliki penampang segi empat untuk
memudahkan pemasangannya. Aluminium
Profile yang digunakan di sini harus cukup
kuat dan kaku. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalkan defleksi yang terjadi yang
dapat menjadi penyebab ketidakakuratan
alat. Di sini digunakan Aluminium Profile dengan penampang ukuran 60 mm x 60 mm
dan penampang ukuran 30 mm x 30 mm. Untuk perhitungan massa bagian – bagian
kerangka nantinya perlu diketahui suatu besaran yaitu massa per satuan panjang pipa,
yang diberi simbol γ. Aluminium Profile yang digunakan memiliki γ = 0,2 kg/m.

Bagian Pemegang Alat Kerja ( Tool Holder )


Pemegang alat (gambar 4.5) di sini adalah bagian yang
bergerak pada posisi terakhir ( sumbu z ). Sehingga alat kerja
nantinya dapat bergerak ke segala arah ( tiga dimensi ). Bagian ini
7
dirancang agar alat dapat dipasang dan dilepas dengan mudah tanpa mengganggu
kinerja dari Mesin CNC Router secara keseluruhan.

Driver dan Interface


Driver dan interface adalah
komponen yang diperlukan untuk
mengendalikan / menggerakkan
mesin cnc router ini. Driver
adalah suatu rangkaian
elektronika yang bertugas untuk
mengendalikan gerakan dari
ketiga motor stepper yang ada
pada MEsin CNC. Hal ini
mengingat motor stepper
memerlukan tegangan listrik
dengan pola tertentu untuk
menggerakkannya. Sedangkan
interface adalah suatu rangkaian elektronika yang bertugas menghubungkan antara
driver dengan komputer, sehingga sistem mesin CNC router dapat dikenali oleh
komputer.

Software
Software di sini digunakan untuk mengolah data gambar yang akan dikerjakan.
Gambar yang akan dikerjakan dirubah menjadi kode-kode mesin yang disebut G-code
yang kemudian digunakan untuk memerintahkan gerakan dari masing-masing motor
pada mesin CNC Router. Di sini digunakan software MACH3 yang dapat diunduh dari
internet.
Perencanaan Komponen Mekanisme Sliding
Komponen mekanisme sliding dibuat dengan tujuan agar gerakan Mesin CNC
Router pada masing – masing sumbunya adalah murni gerakan translasi, yaitu
gerakannya benar – benar membentuk garis lurus.

1.1.1 Batang Luncur


Untuk batang luncur ( sliding rail ) di sini digunakan sebuah
batang baja berpenampang yang memiliki permukaan sangat
halus. Batang ini biasa dijumpai pada mesin frais lain yang
terdapat mekanisme sliding di dalamnya. Berikut spesifikasi yang
digunakan.
1. Dua buah batang luncur masing – masing panjang 100
cm untuk sumbu x.
2. Dua buah batang luncur masing – masing panjang 50
cm untuk sumbu y.
3. Dua buah batang luncur masing – masing panjang 30
cm untuk sumbu z.
Pada dasarnya pemilihan batang ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu :
1. Permukaannya harus cukup licin. Hal ini bertujuan agar mekanisme dapat
meluncur dengan sempurna dengan menggunakan tenaga sekecil mungkin.
2. Harus cukup kuat / kaku untuk menahan beban mekanisme yang meluncur di
atasnya.
8
1.1.2 Sliding Block
Untuk sliding bearing pada mekanisme sliding ini digunakan
satu buah batang blok linier pada masing – masing batang luncur
(gambar 4.7). Blok linier ini juga terbuat dari baja yang
permukaannya baik bagian dalam maupun luar sangat licin.
Penulis pernah mencoba menggerakkan blok linier ini di atas
batang luncur dalam kondisi kering, hasilnya linier blok dapat
bergerak dengan keadaan tanpa hambatan. Tetapi untuk
gerakan sliding, dan mengingat pada penggunaanya nanti akan
menahan beban yang cukup berat, maka antar permukaan
bagian dalam blok linier dan bagian luar batang luncur harus
diberi grease / pelumas.
Selanjutnya perlu diketahui berapa koefisien gesek antara
blok linier dan batang luncur ini. Hal ini penting dilakukan karena
kita perlu mengetahui berapa gaya yang dibutuhkan untuk menggerakkan mekanisme
sliding nantinya, dan yang paling penting adalah berapa besar daya motor yang
dibutuhkan sebagai penggerak. Untuk mengetahui koefisien gesek antara blok linier
dan batang luncur digunakan data referensi yang sudah tersedia dari sumber resmi. Di
sini digunakan data koefisien gesek dari website Engineer’s Handbook yang terdapat
pada lampiran.

Dari tabel koefisien gesek tersebut diambil data untuk material 1 dan material 2 adalah
baja. Datanya sebagai berikut :
a. Dry : - koefisin gesek statis ( µs ) = 0,78
- koefisin gesek kinetis ( µs ) = 0,42
b. Greasy : - koefisin gesek statis ( µs ) = 0,05 – 0,11
- koefisin gesek kinetis ( µs ) = 0,029 – 0,12

Dari data tersebut dapat dihitung besarnya gaya gesek yang terjadi antara blok
linier dan batang luncur, sehingga nanti pada akhirnya dapat diketahui berapa daya
yang dibutuhkan motor untuk menggerakkan mekanisme sliding. Di sini digunakan data
koefisien gesek untuk kondisi greasy, dan digunakan nilai yang terbesar yaitu 0,12.

Perhitungan gaya Normal pada batang luncur


Gaya normal yang terjadi antara blok linier dengan batang luncur disebabkan oleh
mekanisme yang bergerak pada sumbu z.

Untuk mengetahui besarnya Fa dan Fb, dapat dihitung dengan menggunakan


persamaan keseimbangan momen. Lihat gambar 4.8.

Perhitungan gaya gesek pada batang luncur


Karena gaya normal yang terjadi pada titik B sama dengan
gaya normal yang terjadi pada titik A, maka perhitungan gaya
gesek pada batang luncur cukup dilakukan satu kali, dan
hasilnya dikalikan dua.

Maka, gaya hambatan total yang terjadi pada sumbu z


adalah 0,096 Newton. Tetapi perlu diingat, gaya ini adalah
9
gaya hambat yang terjadi karena gesekan antara blok linier
dengan batang luncur. Kerena posisi sumbu z yang
vertikal, maka ketika bergerak naik, motor mendapat beban
tambahan yaitu berat mekanisme itu sendiri. Jadi beban
yang harus dilawan motor ketika menggerakkan
mekanisme ke atas adalah
0,096 N + 4,336 N = 4,432 Newton.

Perhitungan Lenturan Batang Luncur


Sebagaimana diketahui bahwa batang luncur ditumpu pada kedua ujungnya
dan menerima beban pada bagian tengahnya, maka batang tersebut akan mengalami
bending yang kemudian terjadi lenturan. Jarak lenturan ini tidak boleh terlalu besar
karena akan mempengaruhi lintasan dari sumbu gerak pada mesin CNC Router,
sehingga lintasan tersebut tidak berupa garis lurus lagi tetapi melengkung. Oleh sebab
itu di sini akan dihitung besarnya lenturan tersebut secara teori, dan hasilnya dievaluasi
apakah masih dalam batas toleransi yang diperbolehkan.
Perhitungan dilakukan pada masing-masing sumbu gerak pada kondisi pusat
beban berada tepat di tengah bentangan batang luncur, karena pada kondisi ini
lenturan yang terjadi adalah maksimum.

Perhitungan lenturan batang luncur sumbu x


Pada sumbu x ini data yang tersedia adalah :
panjang batang luncur L= 100 cm (dua buah)
lebar batang luncur = 9 mm
beban W = 19,4 N
jarak antara dua titik beban = 15 cm
9
elastisitas bahan E = 2x10 N/cm

Jadi masing-masing batang luncur menerima beban sebesar 9,7 Newton yang ditumpu
pada dua titik, sehingga masing-masing titik menerima beban sebesar 4,85 Newton.

10
Jadi defleksi maksimum yang terjadi pada batang luncur sebesar 2,8 × 10−4 cm atau
0,0028 mm. Defleksi yang terjadi ini cukup kecil sehingga dapat diterima.

Perhitungan lenturan batang luncur sumbu y


Pada sumbu x ini data yang tersedia adalah :
panjang batang luncur L = 50 cm
lebar batang luncur = 10 mm
beban W = 16,5 N
jarak antara dua titik beban = 15 cm
9
elastisitas bahan E = 2x10 N/cm

Jadi batang luncur menerima beban pada dua


titik masing-masing sebesar 8,25 Newton.

11
Jadi defleksi maksimum yang terjadi pada batang luncur sebesar 1,2 × 10−3 cm atau
0,012 mm. Defleksi yang terjadi ini cukup kecil sehingga dapat diterima. Dan total
defleksi yang terjadi pada end effector pada saat kedua defleksi maksimum ini terjadi
adalah 0,0148 mm.

1.2 Perencanaan Sistem Penggerak yang Digunakan

1.2.1 Ulir Daya

Ulir daya diputar oleh motor, yang selanjutnya


menghasilkan gaya akhir yang digunakan
menggerakkan mekanisme sliding. Transfer daya
dilakukan secara langsung dengan menggunakan
kopling fleksibel. Karena di pasaran sangat banyak
ditemui ditemui ulir daya, maka digunakan ulir metrik
standar yaitu leadscrew dengan spesifikasi sebagai
berikut :
dr = 15 mm (root diameter/diameter dm = 10 mm (mean screw diameter)
akar ulir) α = 3,6º (helix angle/sudut helix)
do = 20 mm (major θ = 14º (thread angle/sudut ulir)
diameter/diameter luar ulir)

12
1.2.2 Motor Stepper
Untuk menghitung berapa torsi yang diperlukan, digunakan persamaan untuk
Power Screw yang terdapat dalam buku Machine design, yaitu persamaan 15-7.

𝑑𝑚 𝑊 𝑓𝑠 + cos 𝜃 tan 𝛼 𝑑𝑚𝑐 𝑓𝑐 𝑊


𝑇= +
2 cos 𝜃 − 𝑓𝑠 tan 𝛼 2
Di mana :
T = torsi yang dibutuhkan
dm = mean screw diameter = 5mm = 0,005 m
W = beban yang harus dilawan
fs = koefisien gesek antara ulir dan mur = 0,11
𝑑 𝑚𝑐 𝑓𝑐 𝑊
= 0, karena tidak menggunakan thrust collar
2

Torsi motor yang dibutuhkan untuk sumbu x


0,005 × 2,3 0,11 + cos 14 tan 3,6
𝑇=
2 cos 14 − 0,11 tan 3,6
𝑇 = 1,02 × 10−3 𝑁𝑚

Torsi motor yang dibutuhkan untuk sumbu y


0,005 × 4,77 0,11 + cos 14 tan 3,6
𝑇=
2 cos 14 − 0,11 tan 3,6
𝑇 = 2,12 × 10−3 𝑁𝑚

Torsi motor yang dibutuhkan untuk sumbu z


0,005 × 4,432 0,11 + cos 14 tan 3,6
𝑇=
2 cos 14 − 0,11 tan 3,6
𝑇 = 1,98 × 10−3 𝑁𝑚

Untuk kebutuhan tersebut digunakan motor stepper untuk masing-masing sumbu yaitu:
a. Sumbu x : Stepper Motor Nema 34 1600 Oz
b. Sumbu y : Stepper Motor Nema 23 900 Oz
c. Sumbu z : Stepper Motor Nema 23 900 Oz

1.3 Analisa Tingkat Akurasi


Tingkat akurasi behubungan erat dengan kemampuan melakukan gerakan
dengan jarak terkecil dari masing – masing sumbu Mesin CNC Router. Karena masing
– masing sumbu gerak dari Mesin CNC Router ini menggunakan motor stepper dan ulir
yang sama, maka dapat dipastikan bahwa akurasi dari masing – masing sumbu gerak
tersebut adalah sama.
Jika sebuah ulir diputar dengan sudut tertentu, maka akan dihasilkan gerakan translasi
dengan jarak :
Di mana : s = jarak translasi (mm)

13
δ = sudut putar ulir (derajat)
l = lead, jarak aksial ulir = 1 mm

Karena putaran terkecil yang mampu dilakukan oleh motor stepper adalah 1 step, di
mana spesifikasi motor tersebut adalah 1,8 deg/step maka sudut putar ulir δ = 1,8º.
1,8
𝑠= 1𝑚𝑚 = 0,005 𝑚𝑚
360
Jadi dapat disimpulkan bahwa masing – masing sumbu dari pada mesin CNC Router
ini dapat melakukan gerakan translasi minimal sebesar 0,005 mm.

1.4 Driver Motor dan Interface


Untuk menggerakkan ketiga motor stepper yang terdapat pada pada mesin
CNC Router ini diperlukan suatu rangkaian elektronik yang disebut driver. Dan driver
tersebut nantinya dihubungkan dengan komputer dengan bantuan suatu rangkaian
elektronik yang disebut interface.

Driver
Terdapat banyak rangkaian elektronik yang bisa
digunakan sebagai driver motor stepper. Salah satunya
dengan menggunakan Leadshine dan TB6600. Kedua
IC ini memang didesain sebagai driver motor stepper.
Rangkaian yang digunakan sebagai driver terdapat pada
datasheet yang menyertai IC ini

Driver Motor Sumbu X


Sesuai dengan keterangan di atas, bahwa pada
driver motor sumbu x ini pin 16 dari Leadshine
dihubungkan dengan suplai tegangan melalui resistor 22
kΩ. Berikut skema rangkainnya.

Driver Motor Sumbu Y dan Sumbu Z

Penjelasan
Pada kedua rangkaian di atas masing-
masing terdapat tiga buah jumper, yaitu J1, J2,
dan J3. Fungsinya adalah :
1. J2 dan J3; Dihubungkan dengan lilitan
dari motor stepper
2. J1; Pin 1 menerima direction signal
dari komputer. Pin 2 menerima step
signal dari komputer. Pin 3 digunakan
untuk menghubungkan semua driver.
3. Pin 15 pada TB6600 menerima tegangan referensi yang diperoleh dari
power supply setelah melalui rangkaian divider.

14
Interface
Driver dihubungkan dengan komputer melalui sebuah port yang disebut parallel
port. Parallel port ini memiliki pin sebanyak 25 buah. Tentu saja nantinya pin ini tidak
digunakan semuanya karena masing-masing driver dihubungkan ke parallel port hanya
dengan dua kabel. Jadi total yang dibutuhkan dari parallel port ini hanya enam pin.
Sisa pin yang lain masih bisa digunakan untuk limit switch jika diperlukan. Pengaturan
penggunaan pin-pin ini dilakukan melalui software MACH3.

Penjelasan
1. J1
J1 ini berfungsi menerima suplai tegangan
pada pin 1, sedangkan pin 2 adalah
ground.
2. J2
J2 berfungsi untuk dihubungkan dengan
ketiga buah driver.
3. DB25
DB25 berfungsi intuk menghubungkan
interface ini dengan parallel port dari
komputer.
4. Resistor
Semua resistor yang terdapat pada skema
tersebut bernilai 2,2 kΩ.

1.5 Catu Daya (Power Supply)


Rangkaian driver ini memerlukan suplai tegangan
sendiri untuk operasionalnya. Untuk Leadshine
memerlukan tegangan sebesar 48 V, sedangkan untuk
TB6600 tegangan yang diperlukan disesuaikan dengan
motor yang digunakan. Karena di sini digunakan motor 24
V maka TB6600 diberi tegangan sebesar 24 V. Untuk itu
diperlukan catu daya yang mampu mengeluarkan lebih
dari satu macam tegangan sekaligus.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan rancang bangun ini antara lain :
1. Prototipe Mesin CNC Router yang dirancang telah bekerja dengan baik pada tiga
derajat kebebasan.
2. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada sistem transmisi, tingkat akurasi
untuk semua sumbu memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 0,005 mm.
Sebagai saran adalah sebagaiu berikut
1. Mesin CNC Router ini hanya sebagai konsep awal yang nantinya dapat
dikembangkan untuk diaplikasikan dalam suatu wujud konkret. Penulis
menyarankan kedepannya dikembangkan Mesin CNC Router yang dilengkapi
dengan wood Cutting, sehingga dapat melakukan pekerjaan pemotongan kayu.
Jika dilengkapi dengan fungsi pemotongan kayu ini, konsekuensinya adalah harus
15
dilakukan perhitungan kekuatan tambahan. Mengingat ada tambahan gaya luar
yang bekerja yaitu berat dari wood router itu sendiri dan gaya reaksi yang timbul
ketika memotong kayu.
2. Sistem penggerak Mesin CNC Router ini menggunakan ulir standar. Ulir standar
ini memiliki sudut helix yang kecil (3,6 º) sehingga menghasilkan kecepatan yang
terlalu rendah dan akurasi yang terlalu tinggi. Penulis menyarankan untuk
menggunakan ulir dengan sudut helix yang lebih besar, yaitu dua sampai tiga kali
sudut helix yang digunakan sekarang. Dengan penggunaan sudut helix ulir yang
lebih besar hasilnya adalah :
- Dengan kecepatan putaran motor yang sama dapat menghasilkan kecepatan
gerakan yang lebih tinggi.
- Akurasi akan sedikit menurun. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena
akurasi yang ada saat ini sudah sangat tinggi.
3. Pada alat ini penggerak untuk sumbu y diletakkan di salah satu kaki gantry y saja.
Hal ini dapat menimbulkan backlash yang terlalu besar dan tidak merata. Penulis
menyarankan untuk meletakkan penggerak sumbu y pada titik tengah antara
kedua kaki gantry y. Dan juga mengganti roda yang menumpu kaki kiri gantry y
dengan batang luncur juga.

DAFTAR PUSTAKA
Asisten LPF. 2006. Modul Praktikum Pengukuran Fisis II. Jurusan Teknik Fisika, FTI
ITS Surabaya.
David D. Ardayfio. 1987. Fundamentals of Robotics. Marcell Dekker Inc.
Deutschman, A. dkk. 1975. Machine Design Theory and Practice. Macmillan
Publishing & Co
Geoff Williams. 2003. CNC Robotics. McGraw-Hill
Jing Liu, Min Tan and Xiaoguang Zhao. Legged robots – an overview. The Key
Laboratory of Complex Systems and Intelligence Science, Institute of
Automation, Chinese Academy of Sciences, Beijing 100080, China
Misbahul Munir. 2004. Rancang Bangun Perangkat Keras Sistem Kendali Robot
Kartesian 2 dof. Jurusan Teknik Mesin ITS Surabaya
Richard D., Thomas A. Chimielewski, Michael N. Robotic Engineering : an Integrated
Approach. Prentice Hall International., Englewood Cliffs, New Jersey
Sularso, S. K. 1983. Dasar Perencanaan dan Pemilihan Elemen Mesin. P.T.Pradja
Paramita: Jakarta
-----, http://id.wikipedia.org, Selasa, 23 September 2014, pukul 21.45 WIB
-----, http://www.makitauk.com/index.php?page=310, Selasa, 23 September 2014,
pukul 22.00
-----, http://elektronika.net.ms/, Sabtu, 20 september 2014, pukul 22.15
-----, http://www.datasheetcatalog.com, 31 Agustus 2014.
-----, http://www.engineershandbook.com, 16 Oktober 2014.

16
PEMANFAATAN STEARIN KELAPA SAWIT
DALAM PEMBUATAN MALAM (LILIN BATIK)
Uttilization of Palm Oil Stearin in the Making of Malam (Batik Wax)

Irfa’ina Rohana Salma, Agus Haerudin, dan Endang Pristiwati


BALAI BESAR KERAJINAN DAN BATIK
Jl. Kusumanegara No. 7 Telp. (0274) 546111 Fax. (0274) 543582
http://www.batik.go.id e-mail : bbkb@kemenperin.go.id
Y O G Y A K A R T A – 55166

ABSTRAK
Malam (lilin batik) merupakan salah satu bahan baku yang penting dalam industri batik.
Seiring dengan berkembangnya industri batik di Indonesia, kebutuhan terhadap malam
(lilin batik) setiap tahun semakin meningkat. Penelitian penggunaan stearin kelapa
sawit dalam pembuatan malam (lilin batik) bertujuan untuk memanfaatkan bahan baku
terbarukan yaitu stearin kelapa sawit sebagai pengganti parafin, kendal dan minyak
kelapa. Penelitian ini meliputi pembuatan malam (lilin batik) dengan komposisi stearin
kelapa sawit yang ditentukan, pada 2 (dua) jeni s malam (lilin batik) klowong tulis
dan klowong cap. Dari hasil penelitian didapatkan 2 (dua) komposisi malam (lilin batik)
klowong tulis dan klowong cap terbaik dengan nilai uji kualitas masing-masing 473 dan
476 dengan titik leleh 60°C. Hasil uji pembatikan malam (lilin batik) formulasi stearin
memiliki kualitas menyerupai formula malam (lilin batik) standar dan dapat terlepas
seluruhnya dalam proses pelorodan pada suhu 60–100°C. Perhitungan kelayakan
ekonomi memperlihatkan biaya pembuatan malam (lilin batik) berbahan baku stearin
lebih murah.

Kata Kunci: stearin kelapa sawit, malam (lilin batik), subtitusi

ABSTRACT
Batik wax is one of the most important raw material in the batik industry. Along with the
development of batik industry in Indonesia, every each year batik wax is increasing.
This research aims to utilize renewable resources such as palm stearin as substitute
material for paraffin, animal fat and palm oil. The research aims to make batik wax for
klowong tulis and klowong cap with palm stearin specified composition. From the
research obtained two (2) best composition of klowong tulis and klowong cap of batik
wax, with the value of each quality test 473 and 476 at 60°C melting point. Batik wax
can be exuviated entirely in pelorodan at 60-100°C, nearly as good as standard batik
wax qualification. The conclusion is that klowong tulis and klowong cap of batik wax
made from renewable resources has a good quality approaching to standard batik wax.

Keywords: palm stearin, batik wax, substitution

17
1. PENDAHULUAN
Batik adalah kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan
menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama
pelekat lilin batik berupa canting tulis dan atau canting cap untuk membentuk motif
tertentu yang memiliki makna (BSN, 2014). Malam (lilin batik) merupakan salah satu
bahan baku penting dalam industri batik yang memiliki jumlah konsumsi terbesar di
samping bahan-bahan lainnya sebesar 60%. Untuk setiap lembar kain batik berukuran
panjang 2,15 m dibutuhkan kurang lebih 0,5 kg malam (lilin batik) dengan motif
sedang. Jumlah ini akan semakin bertambah apabila motif dan warna semakin rumit.
Semula perajin batik menggunakan malam (lilin batik) lebah (kote). Namun seiring
perkembangan zaman dan semakin langkanya kote untuk penggunaan kesehatan
maupun kosmetika, maka pelaku industri batik meramu malam (lilin batik) dari
beberapa bahan tambahan seperti damar, gondorukem, parafin mikro, kendal dan
minyak kelapa sehingga bahan baku tersebut menjadi bahan standar untuk membuat
malam (lilin batik) yang beredar di pasaran.
Seiring meningkatnya perkembangan industri batik di Indonesia, permintaan malam
(lilin batik) ikut meningkat. Kenaikan permintaan ini tidak seimbang dengan
ketersediaan bahan baku tertentu, sehingga harga beberapa diantaranya semakin
tinggi. Salah satu bahan baku yang mengalami kenaikan harga secara signifikan setiap
tahun yaitu parafin yang dijual di pasaran merupakan produk impor dari RRC. Selain
itu, selama ini para perajin batik masih menggunakan formulasi beberapa bahan baku
yang memiliki fungsi sama. Akibatnya, formula tersebut kurang efektif dan
mengakibatkan harga jual malam (lilin batik) menjadi lebih tinggi.
Stearin kelapa sawit merupakan hasil fraksinasi minyak sawit yang berbentuk padat
pada suhu ruang. Pemanfaatan stearin kelapa sawit adalah sebagai bahan baku lemak
keras yang diaplikasikan pada produk shortening, pastry dan margarine, sedangkan
pemanfaatan untuk produk tekstil belum dilaksanakan. Stearin kelapa sawit memiliki
potensi sebagai bahan baku dalam pembuatan malam (lilin batik), terutama untuk
menggantikan parafin. Selain merupakan bahan baku terbarukan dan sumber daya
alam lokal, secara fisik kenampakan stearin kelapa sawit mirip parafin dan titik lelehnya
mendekati paraffin dan kendal yaitu 55°C. Namun kualitasnya sebagai bahan baku
untuk pembuatan malam (lilin batik) belum diketahui secara ilmiah.
Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan bahan baku lokal terbarukan dari hasil
samping pengolahan kelapa sawit (stearin) dalam pembuatan malam (lilin batik).
Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi malam batik yang memiliki
kualitas standar untuk pembuatan produk batik.
Kegiatan ini meliputi pembuatan malam (lilin batik) klowong tulis dan klowong cap
dengan komposisi stearin kelapa sawit yang ditentukan, serta uji kualitas malam (lilin
batik) pada proses pembatikan dan pelorodan. Hasil yang diharapkan adalah
mendapatkan malam (lilin batik) klowong tulis dan klowong cap yang memiliki kualitas
baik.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian lilin batik pada tahun 1990an pernah dilakukan oleh BBKB, diantaranya
mengenai damar matakucing, lilin tawon/kote dan sifat fisik mekanik campuran lilin.
Setelah itu, pada tahun 2012, dilakukan penelitian mengenai komposisi malam (lilin
batik) untuk batik warna alam. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dilakukan

18
menggunakan bahan baku malam (lilin batik) yang telah umum dipakai produsen
malam (lilin batik), yaitu damar, gondorukem, kote dan parafin. Penelitian mengenai
malam (lilin batik) menggunakan bahan pengganti belum dilakukan.

Malam (lilin batik)


Teknologi pembatikan merupakan salah satu teknologi pewarnaan rintang (resist
dyeing) dengan menggunakan perintang yaitu malam (lilin batik). Malam (lilin batik)
adalah lilin batik yang berupa campuran bahan pokok antara lain parafin, microwax,
gondorukem sebagai zat rintang pada pembatikan (BSN, 2014). Malam (lilin batik)
memiliki fungsi merintangi warna supaya tidak masuk kedalam kain. Pada umumnya,
malam (lilin batik) berbentuk padat dan berwarna cokelat. Bentuk dan warna ini
dipengaruhi oleh bahan baku campurannya. Malam (lilin batik) dilelehkan diatas wajan
kompor batik sampai mencair, kemudian dituliskan atau dicap pada permukaan kain
menggunakan canting tulis dan atau canting cap.
Malam (lilin batik) sangat berpengaruh terhadap hasil akhir goresan warna dan
motif batik. Malam (lilin batik) yang baik sebaiknya memenuhi persyaratan, diantaranya
memiliki daya lekat yang baik pada kain, mampu melindungi kain dari zat warna,
mudah dilekatkan dan mudah dilepas kembali dari kain, mudah mencair bila
dipanaskan, larut dalam pelarut organik pada temperatur kamar, tidak meninggalkan
warna pada kain, mudah membeku, tidak mudah retak dan membentuk garis yang
tidak terputus-putus.(BBIKB, 2006).
Berdasarkan penggunaanya menurut Susanto (1980), malam (lilin batik)
digolongkan atas malam (lilin batik) klowong, digunakan untuk pekerjaan nglowong
atau membentuk motif pokok (garis utama) pada motif, malam (lilin batik) tembok untuk
mendapatkan warna latar putih pada kain dalam proses nembok, malam (lilin batik)
biron digunakan dalam proses bironi, menutup warna pada motif, malam (lilin batik)
jeblog yang hampir mirip dengan malam (lilin batik) tembok tetapi dengan penggunaan
lebih khusus pada batik yang tidak mengalami proses kerokan, dan malam (lilin batik)
larut, yaitu malam (lilin batik) untuk proses klowongan pada batik cap, memiliki sifat
mudah larut dalam kostik soda encer, mudah lepas dan tidak memberikan bekas pada
kain.
Bahan baku campuran malam (lilin batik) diantaranya adalah damar mata kucing
yang dihasilkan dari getah pohon damar (Shorea spec) yang dikeraskan atau
dibekukan, gondorukem yang dibuat dari limbah padat dari hasil penyulingan getah
pinus yang berwarna kuning kecoklatan, dalam perdagangannya disebut juga gondo,
songko, harpus atau colophonium, dan Parafin yang diperoleh dari hasil samping
penyulingan minyak bumi. Parafin digunakan dalam berbagai sektor industri dan
pemenuhan sebagian kebutuhan masih diperoleh secara impor dari beberapa negara.
Data mengenai jumlah impor parafin (HS Code 271220) dari beberapa negara di dunia
ditampilkan dalam Tabel 1 yang diperoleh data bahwa nilai impor produk paraffin wax
menunjukkan peningkatan dari tahun 2011 sampai tahun 2014.
Bahan baku campuran malam (lilin batik) lainnya adalah Microwax atau
Microcrystalline wax, merupakan sejenis parafin yang berasal dari hasil samping dari
penyulingan minyak bumi, serta Kote yang terbuat dari malam tawon lanceng.

19
Tabel 1. Data Impor Paraffin Wax Indonesia
Jumlah Impor (Ton)
Eksportir
2010 2011 2012 2013 2014
Dunia 7.192 6.863 8.796 9.965 10.624
China 2.401 3.074 4.442 5.177 5.344
Malaysia 1.636 2.601 3.553 3.952 4.640
Jepang 302 227 102 206 251
India - 300 245 52 190
Jerman 244 195 131 174 154
Amerika Serikat 23 13 51 34 35
Afrika Selatan - 3 11 14 4
Thailand - - - 165 2
Perancis 1 1 9 1 1
Hong Kong, China - - - - 1
Taipei, China 61 60 50 60 1
Republik Korea Selatan 19 2 4 6 -
Australia 2 - - 1 -
Austria - 1 - - -
Republik Islamik Iran 352 253 99 40 -
Italia 5 4 - - -
Madagaskar - 2 - - -
Belanda - 5 9 - -
Panama - 13 - - -
Singapura 2.038 25 4 1 -
Spanyol 88 84 85 83 -
Mesir 20 - 2 - -
Jumlah 14.384 13.726 17.593 19.931 21.247
Sumber:http://www.trademap.org/Country_SelProductCountry_TS.aspx?nvpm=1|360||||271220|||6|1|1|1|2|1|2|2|1(diolahsendiri)

Fungsi kote dalam komposisi malam (lilin batik) dimana malam (lilin batik) akan lebih
liat dan tidak mudah pecah, bekas pembatikan malam (lilin batik)nya lebih halus dan
memberikan daya tembus yang baik pada pembatikan.

20
Stearin Kelapa Sawit
Proses pengolahan minyak sawit secara fraksinasi menghasilkan olein dan
stearin. Olein digunakan sebagai minyak goreng dan memiliki sifat dapat dicampur
serta memiliki stabilitas terhadap oksidasi. Stearin berbentuk padat pada suhu kamar
dan berwarna putih. Stearin sering disebut sebagai “hasil samping” pengolahan olein
minyak sawit, sehingga harganya lebih murah daripada olein sawit. Menurut Hasibuan
(2012), RBDP Stearin memiliki sifat fisiko kimia sebagai berikut:

Tabel 2. Sifat Fisiko Kimia RBDP Stearin

Parameter RBDP Stearin

Asam Lemak Bebas (%) 0,03 - 0,09


Asam Lemak
C12:0 ND – 0,38
C14:0 1,04 – 1,37
C16:0 57,30 – 66,07
C16:1 0,07 – 0,11
C18:0 4,19 – 5,35
C18:1 22,09 – 29,89
C18:2 4,30 – 7,13
C18:3 0,04 – 0,1 3
C20:0 0,28 – 0,37
C20:1 ND
Air dan kotoran (%) 0,01 - 0,02
Bilangan Iod (wijs) 28,41 – 37,97
Titik Leleh (°C) 48,8 – 57,6
Viskositas (Cst), pada 60°C 19,50 – 25,22
Densitas (g/mL), pada 0,87 – 0,93
60°C
Kandungan Lemak Padat
(%) pada suhu:
10, °C 75,56 – 88,05
20, °C 59,58 – 74,39
25, °C 47,57 – 67,02
30, °C 36,63 – 57,97
35, °C 27,20 – 48,73
40, °C 20,55 – 38,57

3. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi Stearin kelapa sawit, damar,
gondorukem, kote, microwax, parafin, malam (lilin batik) bekas, minyak kelapa, kendal.
Beberapa bahan lain yang mendukung pembuatan malam stearin berupa kain katun,
kain penyaring lilin, pewarna.
21
Peralatan yang digunakan adalah panci
stainless steel, kompor, pengaduk, penyaring,
loyang.

Pengumpulan Data dan Informasi


Data primer diperoleh melalui eksperimen
sedangkan data sekunder diperoleh dari survei
lapangan dan beberapa buku literatur.

Prosedur Kerja
Desain penelitian disajikan pada Gambar 1
Gambar 1. Desain Penelitian
berikut ini:

Langkah–langkah pelaksanaan penelitian adalah penentuan komposisi bahan baku


malam (lilin batik) klowong tulis dan klowong cap, pembuatan prototip malam (lilin
batik) sesuai dengan formula yang telah dibuat, pelekatan lilin batik pada kain dan
pengamatan hasil batikan, identifikasi masing-masing sampel meliputi kenampakan
lekatnya malam (lilin batik), hasil pewarnaan dan hasil akhir pembatikan, pewarnaan
kain yang telah dibatik, pelorodan dengan cara kain direndam dalam larutan air panas
yang mengandung kanji 30 g/l dan soda abu 50 g/l pada suhu 60–100°C, evaluasi dan
kesimpulan dalam penentuan komposisi terbaik dengan melihat kualitas yang
dihasilkan malam (lilin batik) dan kualitas produk batik.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian
Penamaan sampel malam (lilin batik) sesuai formula yang telah ditentukan berlaku
untuk semua tabel dan gambar sesuai pada Tabel 3.

Tabel 3. Penamaan sampel sesuai jenis malam (lilin batik) dan variasinya
Jenis malam Nama
Keterangan
(lilin batik) sampel
Klowong tulis A0 Standar
A1 Variasi 1
A2 Variasi 2
A3 Variasi 3
Klowong cap B0 Standar
B1 Variasi 1
B2 Variasi 2
B3 Variasi 3

Dari pelaksanaan penelitian dihasil-kan data sebagai berikut:


1. Komposisi bahan baku malam (lilin batik)

22
Tabel 4. Komposisi prototip malam (lilin batik) klowong tulis
Bagian
Bahan baku
A0 A1 A2 A3
Parafin 1 - - -
Stearin - 0,5 1 1,5
Minyak Kelapa 0,1 - - -
Gondorukem 1 1 1 1
Kote 1 1 1 1
Kendal 0,1 - - -

Tabel 5. Komposisi prototip malam (lilin batik) klowong cap


Bagian
Bahan baku
B0 B1 B2 B3
Parafin 1 - - -
Stearin - 0,5 1 1,5
Minyak Kelapa 0,1 - - -
Gondorukem 1 1 1 1
Microwax 0,5 0,5 0,5 0,5
Malam (lilin
0,1 0,1 0,1 0,1
batik) bekas
Kendal 0,1 - - -

1. Hasil Pengujian Kualitas Malam (lilin batik)


Tabel 6. Hasil pengujian kualitas malam (lilin batik) klowong tulis
Nilai uji Pengamatan
Parameter uji
A0 A1 A2 A3
Mudah mencair bila dipanaskan 90 95 97 97
Mampu melindungi kain dari zat
96 85 80 80
warna
Mudah membeku 99 70 70 69
Mudah dilekatkan dan mudah
97 75 65 68
dilepas kembali dari kain
Memiliki daya lekat yang baik
95 73 60 60
pada kain
Tidak mudah retak dan
membentuk garis yang tidak 95 75 68 65
terputus-putus
23
Nilai uji Pengamatan
Parameter uji
A0 A1 A2 A3
Jumlah 572 473 440 439

Tabel 7. Hasil pengujian kualitas malam (lilin batik) klowong cap


Nilai uji Pengamatan
Parameter uji
B0 B1 B2 B3
Mudah mencair bila
90 98 97 97
dipanaskan
Mampu melindungi
96 85 80 80
kain dari zat warna
Mudah membeku 99 70 70 69
Mudah dilekatkan dan
mudah dilepas 97 75 65 68
kembali dari kain
Memiliki daya lekat
95 73 60 60
yang baik pada kain
Tidak mudah retak
dan membentuk garis
95 75 68 65
yang tidak terputus-
putus
Jumlah 572 476 440 439

2. Hasil Pengujian Titik Leleh Malam (lilin batik)


Tabel 8. Titik leleh malam (lilin batik) hasil penelitian
Nama
Titik Leleh (⁰C)
sampel
A0 65
A1 60
A2 63
A3 63
B0 75
B1 60
B2 63
B3 63

24
3. Hasil Pengujian Proses Pelorodan Malam (lilin batik)

Tabel 9. Prosentase malam (lilin batik) terlepas pada proses pelorodan


Malam (lilin batik) Terlepas (%)
Nama 5
5 Menit 5 Menit
Sampel Menit
Pertama Kedua
Ketiga
A0 90 100 -

A1 80 100 -

A2 70 90 100
A3 50 80 100
B0 80 100 -
B1 80 100 -
B2 50 80 100

B3 40 70 100

Pembahasan
1. Aspek Kelayakan Teknologi
Teknologi sederhana mudah diproduksi dan bisa dibuat sistem pabrikasi dengan
hasil uji coba pada proses pembatikan (batik tulis dan batik cap) malam (lilin batik)
mampu menjadi perintang warna yang bagus dengan nilai mendekati kualitas malam
(lilin batik) standar, dilihat dari tapak canting yang menghasilkan garis klowong yang
putih bersih (tidak terdapat rembesan warna yang masuk). Dari hasil proses pelorodan,
malam (lilin batik) mudah terlepas dari kain dengan dua kali pengulangan selama 5
0
menit pertama dan kedua pada suhu 60-100 C.

2. Aspek Keunggulan Dibanding Teknologi Yang Sudah Ada


Pembuatan malam (lilin batik) menggunakan bahan baku lokal terbarukan (nabati),
sehingga diharapkan mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Memiliki daya
lekat yang bagus sebanding dengan malam (lilin batik) standar, dengan kecepatan
0
mencair sangat baik yaitu rata-rata pada suhu 35-40 C, dibawah titik leleh malam (lilin
batik) standar. Daya tembus malam (lilin batik) pada kain lebih bagus dan lebih
meresap pada serat kain sehingga dapat meningkatkan produktifitas.

3. Aspek Kelayakan Ekonomis


Perkiraan biaya pembuatan malam (lilin batik) dengan stearin kelapa sawit (A1, B1)
dibandingkan dengan malam (lilin batik) standar (A0, B0) dijelaskan sebagai berikut:

4. Aspek kelayakan sosial dan lingkungan


Penggunaan stearin kelapa sawit sebagai bahan baku terbarukan pengganti parafin
membuka peluang penciptaan wirausaha baru dan lapangan kerja dibidang industri
pembuatan malam (lilin batik) pada skala pabrikasi.
25
Tabel 10. Biaya Produksi Malam (lilin batik) Klowong Tulis
HPP (Rupiah)
Bahan Baku Harga/kg
A0 A1
Parafin 25.000 25.000
Stearin 14.000 7.000
Minyak Kelapa 15.000 1.500
Gondorukem 28.000 28.000 28.000
Kote 85.000 85.000 85.000
Kendal 15.000 1.500
Lain-lain (bahan bakar dan tenaga) 1.000 1.000 1.000
Jumlah 142.000 121.000

Tabel 11. Biaya Produksi Malam (lilin batik) Klowong Cap


HPP (Rupiah)
Bahan Baku Harga/kg
B0 B1
Parafin 25.000 25.000
Stearin 14.000 7.000
Minyak Kelapa 15.000 1.500
Gondorukem 28.000 28.000 28.000
Microwax 32.500 16.250 16.250
Malam (lilin batik) bekas 10.000 1.000 1.000
Kendal 15.000 1.500
Lain-lain (bahan bakar dan tenaga) 1.000 1.000 1.000
Jumlah 74.250 53.250

26
5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Penelitian ini telah berhasil mendapatkan formulasi baru malam (lilin batik) yang
telah diuji dan memenuhi standar kualitas malam (lilin batik), yaitu: (1) Komposisi
0
malam (lilin batik) klowong tulis paling baik dengan nilai uji kualitas 473, titik leleh 60 C,
(2) Komposisi malam (lilin batik) klowong cap paling baik dengan nilai uji kualitas 476,
0
titik leleh 60 C. Hasil uji pembatikan malam (lilin batik) formulasi stearin memiliki
kualitas menyerupai formula malam (lilin batik) standar. Hasil uji pelorodan, malam (lilin
0
batik) formulasi stearin memiliki daya lepas yang bagus dari kain pada suhu 60-100 C.
Perhitungan kelayakan ekonomi mendapatkan biaya pembuatan malam (lilin batik)
berbahan baku stearin lebih murah.

Saran
Dibutuhkan suatu kerjasama sinergi dengan industri pengolahan minyak kelapa
sawit di Indonesia sebagai penyedia bahan baku stearin kelapa sawit, inkubasi bisinis
untuk memproduksi malam (lilin batik) skala nasional dan sosialisasi kepada IKM atau
pelaku industri batik.

6. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Bahan Baku Untuk Batik, Balai Besar Industri Kerajinan dan Batik,
Yogyakarta.
Anonim, 1999, Lilin Batik, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan
dan Batik, Yogyakarta.
Anonim, 2014, SNI 0239:2014, Batik - Pengertian dan istilah, BSN, Jakarta.
Hasanudin. M, dkk, 2011, Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya
Pada Produk Batik dan Kerajinan, cetakan 2011, Balai Besar Kerajinan dan Batik,
Yogyakarta.
Hasibuan, H.A., 2012, Kajian Mutu dan Katakteristik Minyak Sawit Indonesia serta
Produk Fraksinasinya. Jurnal Standardisasi Vol. 14, No. 1: 13 – 21.
Lestari, Kun Ir, dkk, 1997, Pengem- bangan Zat Warna Tumbuh-Tumbuhan Untuk
Batik, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik,
Yogyakarta.
Mengenal Minyak Sawit dengan Beberapa Karakter Unggulnya.
http://www.gapki.or.id/assets/upload/Buku%20Mengenal%20Minyak%20Sawit%2
0Dengan%20Beberapa%20Karakter%20Unggulnya-GAPKI.pdf. Akses Pebruari
2016.
Sewan Susanto, 1980, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik dan
Kerajinan, Yogyakarta.

27
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TAPAK RANTAI
KENDARAAN TEMPUR TANK JENIS SCORPION DOUBLE PIN DAN AMX
SEBAGAI PENELITIAN BERKELANJUTAN UNTUK KEMANDIRIAN HANKAM
NASIONAL
Research and Development of Scorpion Double Pin Track Link and AMX Track
Link as Continuously Research for National Autonomous Defense and Security
1 2 3 3
Sri Bimo Pratomo , Hafid , Husen Taufiq , Dagus Resmana Djuanda ,
3 4 4
Rachmat Safari , Dedi Supriatna , Rahmat
1
Kepala Seksi Pengecoran Logam dan Perlakuan Panas / Peneliti Muda
2
Peneliti Utama
3
Staf Seksi Pengecoran Logam Dan Perlakuan Panas
4
Staf Seksi Pengecoran Logam dan Perlakuan Panas/Litkayasa
E-mail: bimo_bblm@yahoo.com

ABSTRACT
"Research and Development of Scorpion Double Pin Track Link and AMX Track Link
as Continuously Research for National Autonomous Defense and Security” as the
applied research which was conducted in Metal Industries Development Center in
2015. This is is the continuosly research to support the autonomous of National
Defense and Security program, which was programmed by Indonesia National Army at
the 2029 that all of the defense system needs can be fullfiled by domestic product.
Scorpion double pin and AMX tracklink tank prototipes has been successfully produced
in BBLM with shape and materials change to improve the performance of the tracklink
components. Scorpion double pin tracklink has been certified in May 2016 while AMX
has been produced by industry that supervised by MIDC. The shape of scorpion double
pin tracklink that has been modified improve the performance of tracklink, ie combat
vehicles can move fastly eventhough through a muddy road, reducing wheel wear and
lowering noise. Bainitic steel with a molybdenum content of 0.4% were used for the
scorpion double pin tracklink prototype will ease the producing process with still good
mechanical properties, while manganese steel with a carbon content of 1% and 14%
manganese will cause AMX tracklink prototype material become very tough and high
wear resistance. Currently being made patent of the both of tracklinks. Based on the
result of the technometer measuring, this research including the level 8 of technology
readiness.

Keywords: tracklink, scorpion double pin, AMX, bainitic steel, manganese steel

ABSTRAK
“Penelitian dan Pengembangan Tapak Rantai Kendaraan Tempur Tank Jenis Scorpion
Double Pin dan AMX sebagai Penelitian Berkelanjutan Untuk Kemandirian Hankam
Nasional” merupakan Litbang Terapan yang dilaksanakan di Balai Besar Logam dan
Mesin pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian yang berkelanjutan untuk
mendukung program Kemandirian Pertahanan Keamanan Nasional, dimana TNI
mencanangkan bahwa pada tahun 2029 seluruh kebutuhan alat utama sistim
pertahanan sudah dipenuhi dari dalam negeri. Prototipe tapak rantai scorpion double

28
pin dan AMX telah berhasil dibuat di BBLM dengan perbaikan bentuk serta material
untuk meningkatkan kinerja dari komponen tapak rantai tersebut. Tapak rantai scorpion
double pin sudah sertifikasi pada bulan Mei 2016 sedangkan tapak rantai AMX sudah
diproduksi oleh industri binaan BBLM. Bentuk dari tapak prototipe rantai scorpion
double pin yang telah dimodifikasi akan meningkatkan kinerja dari tapak rantai
tersebut, yaitu kendaraan tempur tank dapat tetap melaju dengan kencang saat
melewati medan lumpur, mengurangi keausan wheel dan menurunkan kebisingan.
Baja bainit dengan kadar molybdenum 0,4% yang digunakan untuk protipe tapak rantai
scorpion double pin akan memudahkan proses pembuatannya dengan sifat mekanis
yang tetap baik, sedangkan baja mangan dengan kadar karbon 1% dan mangan 14%
akan menyebabkan material tapak rantai AMX menjadi sangat tangguh dan tahan aus.
Saat ini sedang dibuat paten untuk kedua tapak rantai tersebut. Berdasarkan hasil
pengukuran teknometer, hasil dari penelitian ini dimasukkan ke dalam tingkat kesiapan
teknologi level 8.

Kata kunci: tapak rantai, scorpion double pin, AMX, baja bainit, baja mangan

V. PENDAHULUAN
Tapak rantai (track link) adalah komponen yang berfungsi untuk
menggerakkan kendaraan tempur tank. Komponen ini membutuhkan sifat material
yang tahan aus dan memiliki kekuatan tarik yang baik, dengan tetap menjaga
ketangguhannya. Umumnya komponen ini terbuat dari baja mangan atau baja
martensite temper (martemper). Kedua jenis material baja tersebut dikenal memiliki
ketahanan aus dan kekuatan tarik yang baik dengan tetap mempertahankan
ketangguhannya.
Tentara nasional Indonesia memiliki banyak jenis kendaraan tempur tank,
seperti tank scorpion, AMX, PT 76, murder, leopard dan sebagainya. Karena
komponen tapak rantai tergolong komponen consumable dengan masa pakai hanya
sekitar 1 tahun, serta pemakaiaannya pada kendaraan tempur tank cukup banyak;
sebagai contoh tank AMX menggunakan tapak rantai sebanyak 180 keping, maka
kebutuhan TNI akan komponen ini menjadi sangat besar. Tetapi sangat disayangkan
sebagaian besar kebutuhan komponen ini masih diimpor. Hanya sebagian kecil saja
yang sudah diproduksi di dalam negeri, tetapi kualitas yang dihasilkan belum
memuaskan.
Berdasarkan hal diatas maka Balai Besar Logam dan Mesin melakukan
kegiatan penelitian dan pengembangan pembuatan komponen tapak rantai kendaraan
tempur tank sejak tahun 2013. Pada awal tahun 2015 sudah dihasilkan prototipe tapak
rantai jenis single pin untuk kendaraan tempur tank scorpion. Gambar 1
memperlihatkan prototipe tapak rantai scorpion jenis single pin hasil Litbang BBLM.
Prototipe tersebut pada tahun 2015 tersebut sudah diproduksi secara massal sebanyak
7500 keping.
Sejak awal tahun 2015 BBLM telah melaksanakan kegiatan Litbang untuk
mengembangkan komponen tapak rantai tank scorpion jenis double pin. Tapak rantai
scorpion jenis double pin merupakan pengganti tapak rantai scorpion jenis single pin
yang direncanakan tidak akan diproduksi lagi. Sudah dihasilkan prototipe tapak rantai
scorpion double pin yang merupakan hasil pengembangan material dan bentuk dari
komponen tapak rantai yang diimpor dari Jerman. Pada bulan Mei 2016 komponen
29
tersebut sudah disertifikasi oleh litbang TNI AD yang merupakan tahap akhir dari uji
fungsi yang telah dilalui dengan hasil yang baik. Setelah proses sertifikasi tapak rantai
scorpion double pin dapat diproduksi secara
massal di dalam negeri.

Bersamaan dengan penelitian dan


pengembangan pembuatan prototipe tapak
rantai scorpion jenis double pin, pada tahun
2015 juga dilaksanakan penelitian dan
pengembangan pembuatan prototipe tapak
rantai AMX. Karena kebutuhannya yang
besar, meskipun belum bersertifikasi tapak

Gambar 1. Prototipe tapak rantai


jenis single pin tank scorpion yang
menjadi obyek penelitian tahun 2014

rantai AMX terpaksa sudah dibuat di


dalam negeri dalam skala job order
dengan hasil yang belum memuaskan.
Litbang yang dilaksanakan di BBLM
adalah Litbang pengembangan material
tapak rantai tersebut, karena tidak

Gambar 2. Kendaraan tempur tank


Scorpion
dilaksanakannya pengembangan bentuk.
Sudah dihasilkan prototipe tapak rantai
AMX dan saat ini sedang diproduksi
massal oleh industri dalam negeri dengan
pengawasan BBLM. Gambar 2 dan
gambar 3 memperlihatkan tank scorpion
yang berlokasi di Pusat Pendidikan
Kaveleri TNI AD, Padalarang, Jawa Barat.
Gambar 3. Kendaraan tempur tank Dengan dilaksanakannya Litbang
AMX pembuatan prototipe tapak rantai scorpion
double pin dan AMX diharapkan dapat
mendukung renstra TNI untuk dapat mandiri di dalam pemenuhan kebutuhan alat
utama sistem pertahanan (Alutsista) pada tahun 2029 nantinya.

30
VI. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Baja Martensite Temper


Baja martensite memiliki kekerasan dapat mencapai diatas 60 HRC akibat
adanya fasa martensite, dan umumnya jarang digunakan langsung karena rendahnya
keuletan baja tersebut. Untuk meningkatkan keuletan baja ini dengan memanaskan
o
kembali hingga temperatur di bawah 650 C yang disebut sebagi proses temper.
Setelah mengalami temper baja ini dikenal sebagai baja martensite temper
(martemper). Semakin lama waktu temper dan semakin tinggi temperatur temper akan
menurunkan kekerasan secara signifikan, tetapi meningkatkan keuletannya. Unsur
molibdenum dikenal sebagai unsur untuk mencegah temper embrittlement, yaitu
fenomena intergranular segregation yang disebakan terkonsentrasinya unsur-unsur
seperti antimony, timah putih atau phosphor pada batas butir sehingga dapat
1)
menyebabkan intergranular fracture .

II.2. Baja Bainit


Baja bainit memiliki kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan baja yang
mengadung fasa ferite dan perlit. Pembagian bainite umumnya berdasarkan dari
daerah temperatur pembentukannya. Upper bainite terbentuk secara isothermal pada
o
daerah temperatur antara 400-550 C. Sedangkan lower bainite terbentuk secara
o
isothermal pada daerah temperatur antara 250-400 C. Upper bainite umumnya terdiri
dari kumpulan ferit dengan partikel sementit yang kasar diantara bilah-bilah ferit.
Sedangkan lower bainite terdiri dari plat-plat ferit yang mengandung partikel-partikel
karbida yang sangat halus. Bainit didominasi oleh fasa ferit dan partikel-partikel karbida
yang sangat halus (tidak terlihat oleh mikroskop optik). Pada baja paduan mangan,
molibden, dan silikon, struktur bainite terdiri dari ferit dan austenit (atau martensit yang
1)
terbentuk dari austenit) .

II.3. Baja Mangan


Baja mangan, yang dikenal sebagai austenitic manganese steel, mengandung
mangan hingga 14%, ditemukan oleh Sir Robert Hadfield pada tahun 1882, sehingga
dikenal juga sebagai hadfield steel. Baja mangan memiliki sifat sifat yang unik karena
memiliki ketangguhan dan keuletan yang tinggi, tetapi memiliki kemampuan work
hardening sehingga tahan aus. Sifat tersebut menyebabkan baja mangan banyak
digunakan untuk berbagai aplikasi engineering.
Baja mangan sulit untuk di masining dan umumnya memiliki kekuatan yield
hanya sekitar 345 hingga 415 MPa. Dengan pukulan, tekanan, cold rolling atau
hentakan paksa, kekuatan yield-nya dapat meningkat dan mengeras pada
permukaannya, dengan bagian dalam tetap ulet. Hal tersebut menyebabkan baja
mangan banyak digunakan untuk aplikasi jalan kereta api, pertambangan, pengeboran
minyak hingga untuk meiliter, seperti tapak rantai tank. Karena sifat baja mangan tahan
gesekan, maka banyak digunakan sebagai komponen sprocket, roda gigi, wheel, tapak
2)
rantai dan sebagainya .

31
II.4. Tank Scorpion
Tank scorpion adalah tank ringan dengan bobot sekitar 8 ton sehingga sangat
cocok dengan kondisi geografis Indonesia sehingga memudahkan untuk bergerak
lincah. Negara pembuat tank ini dalah Inggris, dirancang tahun 1967 dan mulai
beroperasi di Angkatan Darat Inggris di tahun 1973. Dengan rancang bangun dan
bobot yang ringan, 2 unit scorpion versi intai dapat dimasukkan ke dalam sebuah
pesawat angkut tipe C-130 Hercules. Ada beberapa versi scorpion, dengan
menggunakan senjata kanon caliber 76 mm hingga 90 mm, serta menggunakan
senapan mesin berat caliber 12,7 mm. Versi kanon 76 mm pernah dilibatkan oleh
Inggris dalam perang Malvinas dan perang teluk pertama. Populasi tank ini di dunia
sekitar 3000 unit. Saat ini scorpion di tanah air memeperkuat satuan Kavaleri Kostrad
dalam Yon Kav 8 Divisi Infantri 2 Pasuruan Jawa Timur dan Divisi Infantri 1 Cijantung
3)
Jakarta .

II.5. Tank AMX


Tank ringan ini diproduksi oleh Perancis mulai tahun 1952 hingga 1987.
Utamanya digunakan oleh militer Perancis, namun juga telah diekspor ke 25 negara
lainnya. Diperkirakan AMX-13 beserta variannya sudah diproduksi sekitar 7.700 unit,
dimana sekitar 3.400 unit telah diekspor dan masih ada sekitar 400 unit di Indonesia.
Tank ini berbobot 14,5 ton dan dawaki oleh 3 kru, yaitu komandan, penembak dan
pengemudi. Senjata utamanya dalah caliber 75 mm atau 90 mm, sedangkan senjata
sekundernya adalah senapan mesin berat 7,62 mm. Kendaraan ini dapat melaju
hingga 60 km /jam dengan jangkauan operasional hingga 400 km, dengan kekuatan
sebesar 250 hp. Setelah diretrofit oleh PT. Pindad tank ini memiliki tampilan yang
berbeda dari aslinya. Modifikasi utama pada lambungnya lebih panjang 20 cm, yang
bertujuan menempatkan mesin baru Navistar buatan AS yang menghasilkan kekuatan
sebesar 400 hp. Selain lambung dan mesin, kubahnya juga dimodifikasi guna
4)
menempatkan mesriam 105 mm .

VII. METODOLOGI PENELITIAN


Penelitian ini adalah penelitian terapan, yang merupakan joint research antara
pengguna (TNI) dan lembaga litbang (BBLM), serta produsen (industri pengecoran
baja) yang nantinya akan membuat produk secara massal dengan acuan prototipe
yang dihasilkan dari litbang ini.
Penelitian ini dimulai dari reverse engineering produk impor, yang dilanjutkan
dengan pembuatan prototipe, pengujian prototipe dan diakhiri dengan sertifikasi atau
produksi massal. Pembuatan prototipe menggunakan proses pengecoran dan
perlakuan panas. Proses pengecoran dan perlakuan panas dilakukan di BBLM
menggunakan tungku induksi kapasitas 200 kg dan tungku listrik perlakuan panas
kapasitas 2 ton. Pengujian mekanis dilakukan di BBLM, Balai Besar Bahan dan barang
Teknik dan laboratorium logam Universitas Jendral Ahmad Yani Bandung, sedangkan
pengujian struktur mikro menggunakan scanning electron microscope dilakukan di
Pusat Penelitian Metalurgi – LIPI Serpong, Tangerang. Uji mekanis yang dilakukan
adalah uji tarik, uji kekerasan dan uji impak dan uji keausan. Pengujian fungsi dan
sertifikasi dilaksanakan di Pusat Pendidikan Kaveleri TNI-AD Padalarang, Jawa Barat.

32
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL
IV.1.1. Pengembangan Produk Impor Tapak Rantai Scorpion Double Pin
Pengembangan produk impor tapak rantai scorpion double pin terbagi
menjadi pengembangan bentuk (dimensi) dan pengembangan material.
Pengembangan produk dilakukan dengan merubah disain bentuk (dimensi) prototipe

Gambar 4. Sisi atas bagian utama dari Gambar 5. Sisi atas bagian sayap dari
tapak rantai prototipe scorpion double tapak rantai prototipe scorpion double pin
pin yang dirubah bentuknya yang memperlihtkan perubahan dengan
penambahan bentuk sirip
sehingga terjadi peningkatan kinerja saat digunakan dibandingkan dengan produk
impor. Perbaikan bentuk secara umum adalah merubah bentuk pada sisi atas bagian
utama dan pada sisi luar bagian sayap. Pada bagian utama diberi cekungan sebagai
tempat bantalan karet yang berfungsi untuk mengurangi gesekan dengan wheel
sehingga dapat menekan keausan serta suara bising. Sedangkan perbaikan bada
bagian sayap adalah dengan menambah sirip pada sisi luar sayap, sehingga dapat
meningkatkan pergerakan kendaraan tempur tank pada saat melewati medan
berlumpur, sekaligus untuk mengurangi tekanan tapak rantai ke tanah sehingga
meningkatkan kelincahan pergerakan kendaraan tempur tank. Gambar 4
memperlihatkan sisi atas bagian utama yang dirubah, dan gambar 5 memperlihatkan
sisi atas bagian sayap yang dirubah.

Untuk meningkatkan sifat material dari tapak rantai prototipe dilakukan


eksperimen dengan merubah komposisi kimia-nya lalu membandingkas sifat mekanis
yang dimiliki dengan struktur mikro-nya.. Variabel komposisi yang yang dirubah adalah
jumlah kadar molibdenum dan kadar silikon. Diketahui bahwa unsur molibdenum dan
silikon merupakan unsur pembentuk bainite. Diharapkan dengan adanya unsur
tersebut dan dengan perlakuan panas normalisasi maka struktur mikro yang dihasilkan
adalah bainite. Pemilihan material bainite disebabkan karena bainite memiliki
kekerasan dan ketangguhan yang baik. Selain itu untuk mendapatkan material bainite
tidak memerlukan proses perlakuan panas yang sulit dibandingkan dengan material

33
martensite temper (produk impor). Material dengan kadar molibdenum atau silikon
yang memiliki sifat mekanis yang paling sesuai akan menjadi material tapak rantai
prototipe. Tabel 1 dan 2 berikut ini masing-masing memperlihatkan perubahan kadar
perubahan molibdenum dan silikon.

Tabel 1. Perubahan jumlah molibdenum dari prototipe tapak rantai scorpion double pin
No C Si Mn P S Cr Mo Fe
1 0,45 0,4 1 0,03 0,01 0,9 - sisa
2 0,45 0,4 1 0,03 0,01 0,9 0,2 sisa
3 0,45 0,4 1 0,03 0,01 0,9 0,4 sisa
4 0,45 0,4 1 0,03 0,01 0,9 0,8 sisa

Tabel 2. Perubahan jumlah silikon dari prototipe tapak rantai scorpion double pin
No C Si Mn P S Cr Mo Ni Fe
5 0,2 0,5 1 0,04 0,01 0,9 0,1 0,8 sisa
6 0,2 0,9 1 0,04 0,01 0,9 0,1 0,8 sisa
7 0,2 1,2 1 0,04 0,01 0,9 0,1 0,8 sisa
8 0,2 1,6 1 0,04 0,01 0,9 0,1 0,8 sisa

Gambar 6 hingga gambar 13 memperlihatkan struktur mikro untuk masing-


masing komposisi sesuai dengan tabel 3 dan 4.
Hasil pengujian sifat mekanis dari 8 material yang diuji tersebut dapat dilihat
pada tabel 3 berikut ini.

Dari hasil pengujian sifat mekanis dari 8 material tersebut dapat disimpulkan
bahwa penambahan molibdenum dan silikon tidak begitu mempengaruhi ketangguhan
material, dimana penambahan silikon menyebabkan sedikit peningkatan ketangguhan
dibandingkan penambahan molibdenum. Kekuatan tarik dan kekerasan semakin
meningkat dengan adanya peningkatan kadar molibdenum. Sedangkan peningkatan
kadar silikon tidak memperlihatkan peningkatan yang signifikan dari kekuatan tarik dan
kekerasan. Melihat kenyataan bahwa kekuatan tarik dan kekerasan adalah faktor yang
penting saat tapak rantai dioperasikan pada kendaraan tempur tank, dengan tetap
memiliki ketangguhan yang cukup bila mengalami benturan dengan benda keras, maka
diputuskan untuk memilih material No. 3 (jumlah molibdenum 0,4%) sebagai material
tapak rantai prototipe.

34
Gambar 6. Struktur Gambar 7. Struktur Gambar 8. Struktur
mikro hasil analisis mikro hasil analisis mikro hasil analisis
SEM-SEI untuk material SEM-SEI untuk material SEM-SEI untuk material
1 (0% molibdenum) 2 (0,2% molibdenum) 3 (0,4% molibdenum)

Gambar 9. Struktur Gambar 10. Struktur Gambar 11. Struktur


mikro hasil analisis mikro hasil analisis mikro hasil analisis
SEM-SEI untuk material SEM-SEI untuk material SEM-SEI untuk material
4 (0,8% molibdenum) 6 (0,9% silikon)
5 (0,5% silikon)

Gambar 12. Struktur Gambar 13. Struktur


mikro hasil analisis mikro hasil analisis
SEM-SEI untuk material SEM-SEI untuk material
7 (1,2% silikon) 8 (1,6% silikon)

35
IV.1.2. Pengembangan Produk Impor Tapak Rantai AMX
Sama seperti tapak rantai scorpion double
pin, pengembangan produk tapak rantai AMX dimulai
dengan menganalisa produk impor sebagai acuan.
Karena tapak rantai AMX belum direncanakan untuk
disertifikasi maka pengembangan yang dilakukan
hanya pada pengembangan material saja. Untuk
bentuk dan dimensi mengikuti pada bentuk dan
dimensi tapak rantai impor. Gambar 14
memperlihatkan prototipe produk cor tapak rantai AMX.
Gambar 14. Pandangan
sisi atas dari tapak rantai
Tabel 3. Sifat mekanis dari 8 sampel baja bainite
No Nilai Energi Kekuatan
prototipe AMX
kekerasan Impak Tarik
(HRC) (Joule) (N/mm2)
1 32 4,5 67,5
2 33 5,8 92,5
3 35 6,8 103
4 40 6.8 109
5 25 14,7 82,7
6 30 15,7 95,8
7 31 11.8 90
8 31 11,7 92

Untuk melihat pengaruh karbon terhadap sifat mekanis baja mangan maka dilakukan
eksperimen perubahan kadar karbon terhadap sifat penyerapan energi kejut (indek kekuatan
impak) dengan persen kehilangan berat akibat gesekan (indek ketahanan aus). Material dengan
indek kekuatan impak tinggi menandakan material tersebut lebih tangguh, sedangkan material
dengan indek ketahanan aus lebih rendah menandakan material tersebut lebih tahan aus. Tabel 4
berikut ini masing-masing meperlihatkan perubahan komposisi karbon untuk baja mangan
prototipe tapak rantai AMX. Sedangkan tabel 4 memperlihatkan sifat mekanis dari 5 material
prototipe baja mangan untuk prototipe tapak rantai AMX.

Tabel 4. Perubahan kadar karbon untuk baja mangan prototipe tapak rantai AMX
C Si Mn P S Cr Ni Fe
1 0,3 0,8 14 0,05 0,002 0,7 0,1 sisa
2 0,7 0,8 14 0,05 0,002 0,7 0,1 sisa
3 1,0 0,8 14 0,05 0,002 0,7 0,1 sisa
4 1,4 0,8 14 0,05 0,002 0,7 0,1 sisa
5 1,7 0,8 14 0,05 0,002 0,7 0,1 sisa

Tabel 5. Sifat mekanis baja mangan prototipe tapak rantai AMX


No Energi Impak Persen Kehilangan Berat
(Joule) /Indek Ketahanan Aus(%)
1 49 0.8
2 186 0,6
3 167 0,1
4 39 0,02
36
No Energi Impak Persen Kehilangan Berat
(Joule) /Indek Ketahanan Aus(%)
5 10 0,01

Untuk membandingkan perubahan komposisi dengan struktur mikro yang


terjadi, maka dilakukan analisis struktur mikro menggunakan mikroskop optik dengan
perbesaran 200 X. Gambar 15 hingga gambar 19 memperlihatkan 5 struktur mikro dari
5 komposisi yang berbeda. Terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya kadar
karbon, maka semakin meningkat pula karbida yang terbentuk. Peningkatan kadar
karbon akan meningkatkan ketahanan impak, mencapai puncaknya pada kadar karbon
0,7% dan 1 % serta menurun kembali dengan semakin bertambahnya kadar karbon.
Sedangkan peningkatan kadar karbon akan semakin meningkatkan ketahanan aus
material. Mengacu kepada hal tersebut maka material no. 2 dipilih sebagai material
prototipe tapak rantai AMX karena memiliki ketahanan impak yang cukup baik dengan
ketahanan aus yang tinggi pula.

Gambar 15. Struktur Gambar 16. Struktur Gambar 17. Struktur


mikro komposisi 1 baja mikro komposisi 8 baja mikro komposisi 3 baja
mangan mangan mangan

Gambar 18. Struktur Gambar 19. Struktur


mikro komposisi 4 baja mikro komposisi 5 baja
mangan mangan

37
IV.1.3. Pembuatan Prototipe
Pembuatan prototipe tapak rantai
scorpion double pin dan AMX dilakukan di
workshop Pengecoran dan Perlakuan Panas
Balai Besar Logam dan Mesin, Bandung.
Pembuatan prototipe dimulai dari pembuatan
pola kayu, pembuatan cetakan pasir dengan
pengikat alkaline phenolic resin alpha,
penuangan logam cair ke dalam cetakan
pasir, pembersihan produk cor, perlakuan
panas produk cor, dan terakhir proses Gambar 20. Penuangan cairan
pemesinan tapak rantai. Gambar 20 berikut ini logam ke dalam cetakan pasir
memperlihatkan proses pengecoran prototipe. prototipe tapak rantai scorpion
double pin

IV.1.4. Uji Fungsi Dan Sertifikasi


Uji fungsi dan sertifikasi dilakukan hanya
pada prototipe tapak rantai scorpion double pin.
Kegiatan pembuatan prototipe tapak rantai
scorpion double pin dan AMX diperkuat oleh
payung hukum dari kesepakatan kerjasama
antara BBLM dan CV. Indo Pulley Perkasa yang
merupakan rekanan TNI dalam penyediaan
peralatan (komponen) Alutsista. Kesepakatan
kerjasama tersebut sangat penting karena untuk
mewujudkan hasil penelitian yang dapat
digunakan harus terjalin komunikasi yang baik Gambar 21. Proses uji fungsi
antara lembaga penelitian, pengguna hasil tapak rantai prototipe scorpion
penelitian, dan industri yang akan memproduksi double pin
massal. Gambar 21 memperlihatkan saat uji
fungsi tapak rantai scorpion double pin.

IV.1.5. Produksi Massal


Agar hasil kegiatan Litbang ini dapat
diimplementasikan melalui produksi massal sebagai
upaya menciptakan kemandirian Hankam, maka
diperlukan kordinasi yang baik pula dengan industri
pengecoran logam yang akan memproduksinya.
Gambar 22 berikut ini memperlihatkan produk
perdana tapak rantai AMX yang dibuat oleh PT.
Karya Deli Steelindo.
Gambar 22. Produk cor
perdana tapak rantai AMX
dari PT. Karya Deli Steelindo

38
IV.2. Pembahasan
IV.2.1. Aspek kelayakan teknologi
Kelayakan teknologi dari kegiatan penelitian ini adalah cukup baik, karena
sebagai dasar untuk mengembangkan produk prototipe menggunakan acuan dari
tapak rantai yang sudah digunakan oleh kendaraan tempur tank milik TNI dan diimpor
dari negara maju Jerman. Sehingga prototipe hasil penelitian ini merupakan produk
yang dibuat dengan teknologi yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan.

IV.2.2. Aspek keunggulan dibanding teknologi yang sudah ada


Keunggulan teknologi dibandingkan teknologi yang sudah ada adalah sebagai
berikut:
1. Prototipe tapak rantai scorpion double pin memiliki kenggulan dalam bentuknya
dibandingkan produk impor, yaitu dapat bergerak dengan lebih bebas dan lincah
saat kendaraan temp[ur dioperasikan di medan berlumpur maupun saat medan
biasa. Selain itu dapat mengurangi kemungkinan ausnya wheel dan mengurangi
kebisingan suara.
2. Prototipe tapak rantai scorpion double pin memiliki kenggulan dalam materialnya
dibandingkan produk impor, yaitu menggunakan baja bainite yang dapat dibuat
dengan proses sederhana tanpa perlakuan panas yang sulit, dengan sifat mekanis
kekerasan serta kekuatan tarik yang baik, dengan tetap mempertahankan
ketangguhannya.
3. Prototipe tapak rantai AMX memiliki kenggulan dalam materialnya dibandingkan
produk impor, yaitu menggunakan baja mangan dengan karbon yang lebih rendah,
sehingga ketangguhannya lebih tinggi, dengan tetap mempertahankan ketahanan
ausnya.

IV.2.3. Aspek Kelayakan Ekonomi


Kelayakan ekonomi untuk kedua komponen tapak rantai ini adalah cukup
baik. Jumlah komponen tapak rantai yang digunakan untuk 1 kendaraan tempur tank
cukup besar, untuk tapak rantai tank scorpion double pin adalah sebanyak 124 keping,
sedangkan untuk tapak rantai tank AMX adalah sebanyak 170 keping. Umur pakai
untuk kedua tapak rantai tersebut hanya sekitar 1 tahun. Dengan armada tank scorpion
yang dimiliki oleh TNI sebanyak 123 unit dan armada tank AMX sebanyak 400 unit,
maka kebutuhan tapak rantai scorpion double pin adalah sekitar 15.000 keping per
tahun, sedangkan kebutuhan tapak rantai AMX adalah sekitar 60.000 keping pertahun.
Berikut ini adalah perhitungan tekno ekonomi untuk produk cor tapak rantai
scorpion double pin dan tapak rantai AMX.

1.Tekno Ekonomi Tapak Rantai Scorpion Double pin


a. Ongkos Bahan
Untuk 1 kali pengecoran menggunakan tungku 500 Kg membutuhkan ongkos bahan
sebesar Rp. 15.000.000,-. 1 tungku 500 kg dapat menghasilkan 77 set tapak rantai (1
buah bagian utama dan 2 buah bagian sayap), sehingga ongkos bahan langsung untuk
1 set tapak rantai scorpion double pin adalah: Rp. 195.000,-.
b. Ongkos tenaga kerja

39
Untuk 1 kali proses pengecoran tungku 500 Kg adalah sebesar Rp. 9.900.000,-,
sehingga ongkos tenaga kerja untuk 1 set tapak rantai scorpion double pin adalah: Rp.
129.000,-.
c.Ongkos mesin dan listrik
Untuk 1 kali pengecoran menggunakan tungku 500 kg adalah sebesar Rp. 7.700.000,-,
sehingga ongkos mesin dan listrik untuk 1 set tapak rantai scorpion double pin adalah:
Rp. 100.000,-.
Total Harga Pokok Produksi untuk satu keping tapak rantai scorpion double
pin adalah Rp. 195.000 + Rp. 129.000 + Rp. 100.000 = Rp. 424.000,-. Harga jual
untuk 1 keping tapak rantai scorpion minimal adalah Rp.600.000, sehingga kentungan
dari penjualan untuk 1 keping tapak rantai scorpion double pin adalah Rp. 176.000,-.
Nilai Benefit Cost Ratio (BCR) adalah 600.000/424.000 = 1.41%. Nilai BCR adalah baik
karena diatas nilai 1.

2.Tekno Ekonomi Tapak Rantai AMX


a.Ongkos Bahan
Untuk 1 kali pengecoran menggunakan tungku 500 Kg membutuhkan ongkos bahan
sebesar Rp. 15.000.000,-.1 tungku 500 kg dapat menghasilkan 39 keping tapak rantai,
sehingga ongkos bahan langsung untuk 1 set tapak rantai AMX adalah: Rp. 385.000,-.
b.Ongkos tenaga kerja
Untuk 1 kali proses pengecoran tungku 500 Kg adalah sebesar Rp. 9.900.000,-,
sehingga ongkos tenaga kerja untuk 1 keping tapak rantai AMX adalah: Rp. 129.000,-.
c.Ongkos mesin dan listrik
Untuk 1 kali pengecoran menggunakan tungku 500 kg adalah sebesar Rp. 1000.0000,-
, sehingga ongkos mesin dan listrik untuk 1 keping tapak rantai AMX adalah: Rp.
13.000,-.
Total Harga Pokok Produksi untuk satu keping tapak rantai AMX adalah Rp.
385.000 + Rp. 129.000 + Rp. 13.000 = Rp. 527.000. Harga jual untuk 1 keping tapak
rantai AMX minimal adalah Rp.650.000, sehingga kentungan dari penjualan untuk 1
keping tapak rantai AMX adalah Rp. 123.000,-. Nilai Benefit Cost Ratio (BCR) adalah
650.000/527.000 = 1,23%. Nilai BCR adalah baik karena diatas nilai 1.
Dapat disimpulkan secara tekno ekonomi kedua tapak rantai tersebut sangat
layak untuk diproduksi massal.

IV.2.4. Aspek kelayakan sosial dan lingkungan


Kelayakan sosial dan lingkungan dari kedua tapak rantai ini adalah sangat
tinggi. Aspek kelayakan social sangat baik karena dengan diproduksinya secara
massal kedua tapak rantai tersebut akan meningkatkan rasa percaya diri bangsa
Indonesia menuju kemandirian Hankam nasional. Secara aspek lingkungan juga tidak
bermasalah, karena kegiatan produksi dari kedua produk tersebut merupakan proses
yang umum dan tidak menggangu keseimbangan lingkungan bila ditangani secara
baik.

40
V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
Penelitian dan Pengembangan tapak rantai tank scorpion double pin dan AMX
yang dilaksanakan oleh BBLM pada tahun 2015 akan dan telah diimplementasikan
melalui produksi massal kedua komponen tersebut pada tahun 2016 ini. Tapak rantai
scorpion double pin pada bulan April 2016 akan segera disertifikasi agar dapat
diproduksi massal. Sedangkan tapak rantai AMX sudah diproduksi massal. Kedua
tapak rantai tersebut memiliki keunggulan dibandingkan produk impor baik di dalam
bentuknya maupun dari materialnya. Saat ini paten dari kedua tapak rantai tersebut
sedang disusun. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan nyata BBLM
dalam mewujudkan kemandirian Hankam Nasional.

V.2. Saran
Untuk dapat mewujudkan kemandirian Hankam Nasional, diharapkan
Kementerian Perindustrian dapat memberikan dukungan untuk penelitian ditahun
depan terutama penelitian pembuatan prototipe tapak rantai tank dari prototipe tank
medium yang merupakan kerjasama Indonesia-Turki.

DAFTAR PUSTAKA

1. Metal Handbooks volume 20, Material Selection and Design 1998, ASM
International Handbook Committee
2. Metal Handbooks volume 01, Properties and Selection Irons, Steels, and High-
Performance Alloys, 1998, ASM International Handbook Committee
3. Http://www.indomiliter.com, 25 Maret 2016
4. Http://www.artileri.org, 25 Maret 2016

41
PEMBUATAN BLOKREM KERETA API DARI KOMPOSIT POLIMER NON-
ASBESTOS UNTUK SUBSTITUSI IMPOR
THE MAKING OF TRAIN’S BRAKE LINING ASBESTOS-FREE COMPOSITE FOR
IMPORT SUBSTITUTION
1*
Koentari Adi Soehardjo , Ariyadi Basuki, dan Susanto Sigit Rahardi
1
Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T), Jalan Sangkuriang 14, Bandung 40135,
Indonesia
E-mail: koentariadisoehardjo@gmail.com

ABSTRACT

Brake lining is an important component of train’s breaking system as friction material to


reduce speed of wheels. Brake lining on the market is mostly asbestos-based, which is
not heat resistant and not suitable for wet condition. Asbestos brake lining is health
endangering, causes slippery, and not environmentally friendly. The research aimed to
create heat and friction resistance asbestos-free composite for brake lining trains by
using carbon fiber and nano silica. The compositions used in this research are carbon
fiber, acrylic fiber, glass fiber, metal fiber, mineral fiber as reinforced material. Phenolic
resin is used as matrix with barium sulfate as catalyst. Additional materials were used
to improve friction and wear resistant, such as graphite, cashew nut particles,
acrylonitrile butadiene elastomeric, nano silica, vermiculite, and calcium hydroxide. The
research that has been done was used sintering method according to size of required
brake lining. Carbon fiber was varied at 0.0; 0.05; 0.10; 0.15; 0.20; 0.25 and 0.30 %
(w/w). Nano Silica was varied at 0.0; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; and 1.0% (w/w). The composite
was tested its physical and mechanical nature according to related standards.
Concentration variation of carbon fibers from 0.1-0.3 wt% was introduced to
composition to make improvement for temperature endurance and friction coefficient. In
addition, concentration variation of nano silica from 0-1 wt% decreased porosity and
improved its endurance of wear. Based on analysis and experiment result evaluation,
variation carbon fibers composition between 0.25-0.3 wt% gave optimum endurance of
friction temperature. Moreover, variation nano silica composition between 0.8–1.0 wt%
gave optimum endurance of wear. It is evidence from SEM that application of nano
silica in this composite reduces porosity, so that, the block is denser.

Keywords: Brake lining, asbestos free composite, carbon fiber, nano silica.

ABSTRAK

Blokrem adalah komponen penting dalam sistem pengereman laju kereta api sebagai
bahan penggesek roda. Umumnya, blokrem di pasaran berbahan dasar asbestos.
Bahan ini tidak tahan terhadap suhu tinggi dan tidak dapat bertahan pada kondisi
basah, berbahaya bagi kesehatan dan tidak ramah lingkungan. Selain itu, asbestos
dapat menyebabkan tergelincir. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat blokrem
yang tahan terhadap suhu tinggi mengggunakan serat karbon dan silika nano, tanpa
menggunakan asbestos. Komposisi yang digunakan pada penelitian ini adalah serat
42
karbon, serat akrilik, serat gelas, serat ligam, serat mineral sebagai bahan penguat.
Resin fenolik digunakan sebagai matrik bersama dengan barium sulfat sebagai katalis.
Beberapa bahan tambahan juga digunakan untuk meningkatkan gesekan dan
menekan aus bahan seperti grafit, bubuk jambu mede, akrilonitril butadien elastomer,
silika nano, vermiculite, dan kalsium hidroksida. Proses penelitian dan pembuatan
blokrem menggunakan metode sintering. Serat karbon divariasikan sbb: 0.0; 0.05;
0.10; 0.15; 0.20; 0.25 and 0.30 % (w/w).dan nano silika divariasikan sbb: 0,0; 0,2; 0,4;
0,6; 0,8; dan 1,0 % (w/w). Blokrem yang telah dibuat kemudian diuji sesuai dengan
standar terkait. Variasi konsentrasi serat karbon ditambahkan sejumlah 0,1 sampai 0,3
% berat untuk meningkatkan ketahana terhadap suhu tinggi dan ketahanan terhadap
keausan. Konsentrasi silika nano pada bahan adalah 0% sampai 1 % berat dengan
tujuan untuk mengatur porositas dan meningkatkan ketahanan terhadap keausan.
Berdasarkan analisis pada berbagai percobaan, variasi serat karbon antara 0,25%
sampai 0,3% berat memberikan sifat optimum ketahanan terhadap gesekan pada suhu
tinggi. Variasi silika nano pada 0,8% berat sampai 1,0% berat memberikan sifat
optimum pada ketahanan terhadap keausan. Berdasarkan hasil scanning electron
microscopy (SEM) penambahan nano silika menurunkan porositas sehingga blokrem
lebih padat.

Kata kunci: blokrem, komposit non-asbestos, serat karbon, nano silika

PENDAHULUAN

Blokrem adalah komponen yang penting dalam sistem kereta api yang berfungsi
untuk mengurangi laju pergerakan kereta api. Sistem pengereman terdiri dari blokrem,
plat rem, brake master, coil, pedal, hose, toggle, hydraulic, vacuum tube, brake lining
indikator and sebagainya. Blokrem bergesekan secara langsung dengan roda logam
untuk mengurangi laju kereta api. Semakin besar gesekan antara permukaan blokrem
[1]
dengan roda, semakin cepat pengereman terjadi .
Gesekan antara permukaan blokrem dengan roda menimbulkan panas.
Tekanan pada blokrem mengalihkan energy kinetik menjadi energi termal dan dalam
bentuk panas yang menghilang pada sistem. Semakin lama tekanan pada blokrem,
semakin panjang durasi gesekan dan semakin banyak pula panas yang
[2]
dihasilkannya . Perubahan suhu berpengaruh terhadap koefisien gesek.
Meningkatnya suhu pada permukaan kontak akan mengurangi koefisien gesek yang
[3]
diperlukan pada saat pengereman .
Blokrem yang baik harus memiliki koefisien gesek yang tinggi dan stabil pada
suhu tinggi selama pengereman. Gesekan yang terjadi akan menimbulkan keausan
pada permukaan kontaknya. Oleh karena itu, blokrem harus mampu bertahan terhadap
keausan, memenuhi persyaratan teknis lain seperti pemasangan, operasi pengereman
yang tidak berisik, pengereman yang mulus dan tangguh.
Blokrem di pasaran pada umumnya berbasis logam yang mengandung timbal
(Pb), chromium (Cr) and zinc (Zn) yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu,
[4]
blokrem jenis ini juga berbahaya bagi lingkungan . Untuk itu, pada penelitian ini dibuat
[5]
blokrem non-asbestos yang ramah lingkungan .
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain blokrem kereta api dari
43
bahan-bahan non-asbestos polimer komposit yang memenuhi persyaratan untuk
kereta api. Pada penelitian ini, diformulasikan komposisi dan proses optimum untuk
meningkatkan mutu blokrem sesuai persyaratan.
Metode sintering digunakan pada penelitian ini untuk memproduksi produk
blokrem. Metode ini adalah teknik untuk memproduksi suatu produk berwujud benda
pejal yang berawal dari bahan-bahan yang berbentuk serbuk atau serat seperti serat
logam atau polimer. Bahan-bahan yang berbentuk serbuk dan serat itu dicetak dan
[6]
ditekan pada suhu tinggi sehingga terjadi difusi antar partikel pada titik lelehnya .
Berdasarkan studi lapangan yang telah dlakukan di Indonesia, blokrem non-
asbestos yang digunakan tidak tahan lama pada suhu operasional yang tinggi, hanya
bisa bertahan selama 2 minggu saja. Secara visual, blokrem bermutu rendah mudah
sekali rusak. Tidak hanya blokrem menjadi tipis karena gesekan, juga mudah retak,
rusak dan lepas dari base plate. Untuk mengatasi hal ini, pada penelitian ini digunakan
[7]
serat karbon agar produk mampu bertahan gesekan pada suhu tinggi .
Serat karbon memiliki sifat tahan terhadap panas, menyebarkan kalor dan tahan
[8,9]
terhadap gesekan . Serat karbon ringan; dapat bertahan terhadap lelah mekanik,
kuat tarik yang tinggi, mempunyai nulai modulus yang tinggi dan lebih baik
[10]
dibandingkan dengan serat logam pada umumnya .
Nano Silika berfungsi untuk meningkatkan ketahanan bahan dari retak,
[11]
ketahanan terhadap keausan, dan mempunyai sifat gesek yang besar . Dispersi nano
sika dalam matriks secara merata menunjukkan peningkatan kohesi antar bahan dan
permukaan antar bahan sehingga mencegah kegagalan mekanik akibat tekanan
kontak. Dengan demikian, hal ini mengurangi kerusakan akibat keausan. Silika yang
secara kimia stabil tidak mempengaruhi reaksi kimia pada gesekan komposit seperti
oksidasi, degradasi dan hidrolisis antara bahan yang saling bergesekan dan juga
dengan lingkungan. Sifat hidrofobik dari nano silika memberikan ketahanan bahan
terhadap gesekan dalam kondisi basah.
Secara keseluruhan, bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah
serat gelas, serat karbon, serat aktrilik, serat logam dan serat mineral. Serat gelas
mempunyai sifat kuat tarik yang lebih besar dari pada kawat baja. Serat gelas juga
[12]
mempunyai rasio yang besar antara kuat tarik dengan beratnya . Serat karbon
[7]
memiliki sifat konduktivitas termal yang baik . Serat akrilik (yang 90%
[13]
polyacrylonitrile) mempunyai kadar fibril yang tinggi dan sifat kuat tarik yang besar ,
[14]
demikian pula serat mineral . Serat mineral yang digunakan memberikan sifat gesek
[15]
yang baik dan harganya murah . Serat-serat yang digunakan berfungsi sebagai
bahan penguat, yang kemudian akan dieratkan oleh matriks dan barium sulfat sebagai
[16,17]
katalisnya .
Serbuk karet halus seperti acrylonitrile butadiene elastomeric ditambahkan
pada campuran untuk meningkatkan sifat lentur bahan. Acrylonitrile butadiene
elastomeric mempunyai sifat yang khas, yaitu lentur, fleksibel dan permukaannya
[18]
kasar. Sifat-sifat ini meningkatkan mutu blokrem lebih baik .
Bubuk jambu Mede dan vermiculite digunakan bersama dengan grafit untuk
meningkatkan gesekan dan ketahanan terhadap keausan. Bubuk jambu mede
[19]
mengandung 91% minyak dari cangkang jambu mede dan 9% adalah hexamine .
Bubuk jambu mede, grafit, dan vermiculite memberikan efek pengereman, sementara
serat karbon memberikan sifat ketahanan terhadap suhu tinggi dan dapat
[20,21]
mendispersikan panas dan gesekan. .
44
PERCOBAAN

Bahan dan peralatan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan penguat


seperti: serat gelas, serat akrilik, serat baja, serat karbon, dan serat mineral. Bahan
matriks yang digunakan adalah resin fenolik dan barium sulfat sebagai katalis. Untuk
mengatur sifat gesekan dan laju aus, juga digunakan grafit, vermiculite, bubuk jambu
mede, kalsium hidroksida dan acrylonitrile butadiene elastomeric. Peralatan yang
digunakan untuk memproses bahan menjadi produk adalah timbangan, autoclave,
mixer, hot press,cold press, curing skala laboratorium maupun skala manufaktur
.
Percobaan pada produk skala laboratorium
Tahap pertama adalah persiapan bahan-bahan yang dibutuhkan. Bahan-bahan
ditimbang sesuai dengan formula komposisi pada tabel 1. Setiap komposisi diberi kode
diproses sesuai metode dan diuji.

Tabel 1. Formula variasi pada percobaan


Komposisi (% berat)
No Kode Bahan
A B C D E F G H
1 serat gelas 2,75 3,0 2,75 2,95 2,9 2,85 2,8 2,7
2 serat karbon 0,25 0 0,25 0,05 0,1 0,15 0,2 0,3
3 Serat akrilik 3 3 3 3 3 3 3 3
4 Serat mineral 17 17 17 17 17 17 17 17
5 Serat baja 6 6 6 6 6 6 6 6
6 Resin fenolik 11 11 11 11 11 11 11 11
7 Barium sulfat 15 15 15 15 15 15 15 15
8 Grafit 1 7 7 7 7 7 7 7 7
9 Grafit 2 8 8 8 8 8 8 8 8
10 Vermiculite 13 13 13 13 13 13 13 13
11 kalsium hydroksida 5 5 6 5,2 5,4 5,6 5,8 5,2
12 Silika nano 1 1 0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,8
13 Acrylonitrile Butadien Elastomer 3 3 3 3 3 3 3 3
14 bubuk jambu mede 8 8 8 8 8 8 8 8
Total 100

Setelah bahan-bahan yang dibutuhkan dipersiapkan, setiap jenis bahan


dicampur secara merata. Setiap kelompok spesimen terdiri dari 250 gram bahan baku.
Serat akrilik halus dicampur dan diaduk selama 3 menit. Serat mineral dan serat baja
dicampur dan diaduk selama 2 menit. Vermiculite ditambahkan ke dalam cempuran
dan diaduk selama 2 menit. Setelah itu, bahan-bahan lain dicampurkan dan diaduk
selama 8 menit.
Campuran dituangkan ke dalam cetakan. Berat campuran pada cetakan adalah
30 gram. Dimensi cetakan spesimen adalah 5 mm x 60 mm x 60 mm. Kemudian,
cetakan ditekan sebesar 50 bar tanpa menaikkan suhu (cold press). Setelah itu,
spesimen diukur dimensinya.Then, we measured sample’s dimension.
Spesimen kemudian masuk pada proses pre-curing menggunakan autoclave
0
pada suhu 70 C selama 60 menit.
0
Selanjutnya, spesimen ditekan sebesar 50 bar pada suhu 150 C and 50 bar
(hot press). Penekanan dilakukan bertahap 5 step/briting agar udara yang

45
terperangkap dapat keluar. Setelah itu, diperiksa kembali secara visual apakah terjadi
kerusakan atau tidak.
Percobaan pada produk skala manufaktur
Tahap pertama pada pembuatan spesimen skala manufaktur adalah persiapan
bahan-bahan yang dibutuhkan. Bahan-bahan ditimbang sesuai dengan formula
komposisi pada tabel 1. Setiap komposisi diberi kode diproses sesuai metode dan diuji.
Untuk setiap kelompok spesimen dibutuhkan 20 kilogram bahan untuk
dicampur. Serat akrilik halus diaduk selama 3 menit. Serat mineral dan serat baja
ditambahkan dalam campuran dan diaduk selama 2 menit. Vermiculite ditambahkan
pada campuran dan diaduk selama 2 menit. Selanjutnya, bahan-bahan lain sesuai
formula komposisi ditambahkan pada campuran dan diaduk selama 8 menit.
Campuran yang telah diaduk rata kemudian dituangkan pada cetakan spesimen.
Berat yang ditentukan adalah 3 kilogram. Ukuran dan bentuk cetakan disesuaikan
dengan ukuran dan bentuk blokrem yang sebenarnya. Selanjutnya, cetakan ditekan
pada suhu kamar (cold press) sebesar 50 bar. Selanjutnya, ukuran dan dimensi
spesimen diamati kembali.
Spesimen yang telah dicetak kemudian masuk pada proses pre-curing
0
menggunakan oven pemanas pada suhu 70 C selama 60 menit.
0
Selanjutnya, spesimen ditekan sebesar 50 bar dengan suhu 165 C. Tekanan
diberikan dengan cara penekanan bertahap 15 step/briting agar udara yang
terperangkap dapat terlepas. Setelah proses tekan dengan suhu tinggi ini, dilakukan
pemeriksaan secara visual, fisis dan kemudian dilakukan pengujian mekanika.

Metode uji fisika dan mekanik

1. ASTM D792-2000 “Standard Test Method for Density and Spesific Gravity
(relative Density) of Plastics by Displacement”
2. ASTM D 1894-2001 “Standard Test Method for Static and Kinematic
Coefficient of Friction of Plastic Film and Sheeting”
3. ASTM D785-2000 “Standard Test Method for Rockwell Hardness of plastics
and insulating materials “
4. ASTM D695-03 (Reapproved 2008)“Standard Test Method for compressiveof
Rigid Plastics”
5. ASTM D790-10 “Standard Test Method for Flexural Properties of Unreinforced
and Reinforced Plastics and Electrical Insulating Materials”
6. ASTM D3039-1976 “Standard Test Method for Tensile of Fiber Resin
Composites”
7. ASTM D732-2002 “Standard Test Method for Shear Strength of Plastics by
Punch Tool”
8. SNI 09-0143-1987 ” Uji dimensi, gesekan, keausan, dan suhu permukaan
gesekan: klasifikasi kamvas rem otomotif, dimensi dan koefisen gesek.”
(hanya untuk spesimen skala laboratorium).
9. ASTM E986-97: “Practice for Scanning Electron Microscope Performance
Characterization, ASTM E986-97 using Scanning Electron Microscope and
Energy Dispersion Spectrometry”.

46
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil percobaan pada produk skala laboratorium

Tabel 2. Kondisi proses pembuatan produk dan hasil uji fisika

Kode Contoh
No kondisi
A B C D E F G H

1 Tekanan panas
2 260 260 300 300 300 300 320 320
tekan (kg/cm )
o
2 Suhu Cover ( C) 152 153 150 154 155 154 153 153

o
3 Suhu Punch ( C) 150 151 148 150 151 150 150 151

4 Cycle Time (step) 5 5 5 5 5 5 5 5

5 Ketebalan(mm) 5 5,25 5,4 5,05 5,1 5,2 6,3 5,3

6 Kekerasan (HRR) 84 64 82 66 76 78 80 87
3
7 Berat jenis (gr/cm ) 1,88 1,62 1,78 1,65 1,74 1,74 1,75 1,99

8 Unjuk kerja baik baik baik baik baik baik baik baik
3
Spesifikasi teknik Kekerasan: 70-105 HRR Berat jenis : 1,7-2,4 gr/cm

Tabel 2 menunjukkan bahwa berat jenis dan kekerasan pada spesimen kode A,
C, E sampai kode H telah memenuhi persyaratan teknis blokrem. Namun spesimen
kode B dan D tidak memenuhi persyaratan. Sifat spesimen ini dipengaruhi oleh kadar
serat karbon yang menyebabkan spesimen lebih padat selama polimerisasi pada
proses curing. Selain itu, proses polimerisasi ini juga menyebabkan molekul resin
[3,11]
fenolik membesar . Pada proses curing, serat karbon cenderung untuk menarik dan
mengumpulkan unsur-unsur logam di sekitarnya di dalam komposit. Semakin banyak
kadar serat karbon, spesimen semakin padat dan keras. Serat karbon pada
konsentrasi 0,1% sampai 0,3% berat merupakan konsentrasi yang mendukung
terbentuknya sifat-sifat yang memenuhi persyaratan teknis, sedangkan untuk
konsentrasi 0,5% berat ternyata tidak mendukung.
Penggunaan serat karbon mempengaruhi sifat fisik bahan seperti berat jenis
dan kekerasan bahan. Spesimen dengan kadar serat karbon yang tinggi memiliki berat
jenis lebih besar dan lebih keras. Serat karbon cenderung untuk menarik unsur-unsur
logam di sekitarnya selama proses curing. Saling berkumpulnya unsur-unsur logam ini
[7,8]
membuat spesimen lebih padat dan lebih keras.

47
Tabel 3.Koefisien gesek dan hasil uji keausan
Koefisien SNI 09-0143- Kode Contoh
No
gesek 1987 A B C D E F G H

1 0 0,25-0,6
100 C 0,17 0,07 0,13 0,10 0,19 0,12 0,10 0,21
±0,08

2 0,25-0,6
1500C 0,16 0,06 0,12 0,08 0,10 0,11 0,10 0,16
±0,10

3 0,25-0,6
2000C 0,13 0,13 0,09 0,06 0,11 0,12 0,10 0,13
±0,12

4 0,25-0,6
2500C 0,11 0,10 0,08 0,08 0,05 0,07 0,09 0,11
±0,12
0
5 300 C 0,25-0,6 0,11 0,05 0,05 0,06 0,09 0,01 0,01 0,11

6 3500C 0,25-0,6 0,10 0,06 0,06 0,06 0,06 0,06 0,08 0,09

Tabel 3. Koefisien gesek dan hasil uji keausan. (lanjutan)


No
Laju keausan SNI 09-
3 A B C D E F G H
(10-7m /Nm) 0143-1987

0
1 100 C Maks 0,51 1,54 0,77 0,30 0,76 1,17 1,33 102 1,04
0
2 150 C Maks 0,77 1,59 0,61 0,34 0,60 1,00 1,93 1,80 1,59
0
3 200 C Maks 1,02 1,15 0,35 0,41 0,58 1,72 0,81 0,37 1,15
0
4 250 C Maks 2,04 1,15 0,35 0,41 0,58 1,72 0,81 0,37 1,15
0
5 300 C Maks 3,57 1,93 0,67 0,53 0,77 0,51 5,08 1,03 1,93
0
6 350 C Maks 7,14 1,11 1,04 0,96 1,29 1,59 0,86 1,05 1,11

Koefisien gesek yang tinggi mengindikasikan bahwa permukaan kontak lebih


kasar. Tabel 3 menunjukkan bahwa koefisien gesek cenderung menurun seiring
dengan meningkatnya suhu. Hal ini disebabkan adanya proses polimerisasi lanjut pada
suhu tinggi sehingga bahan menjadi lebih padat dan lebih keras. Uji keausan pada
0
spesimen kode B dan kode D (250-350 C) dan kode A, C, dan E sampai kode H (200-
0
350 C) memenuhi persyaratan SNI 09-0143-1987. Hasil ini menunjukkan pengaruh
0 [11]
resin fenolik yang dapat bertahan pada suhu tinggi (150-300 C) dan lebih getas .
[18]
Acrylonitrile butadiene elastomeric dan bubuk jambu mede dapat
meningkatkan sifat produk. Serbuk karet halus yang elastik dan lentur ditambahkan
untuk meningkatkan sifat fleksibel bahan. Semua bahan-bahan yang kasar ini dapat
meningkatkan kekuatan pengereman blokrem.
Bubuk jambu mede dapat meningkatkan ketahanan bahan terhadap retak mikro.
Minyak yang keluar dari bubuk jambu mede dapat meningkatkan ketahan terhadap
[19]
gesekan dan menyebabkan permukaan menjadi lebih kesat. .
Fungsi nano silika adalah sebagai bahan pengisi porositas pada matriks.
Dengan proses penekanan suhu tinggi, silika nano kemudian saling menyatu dan
menutup celah-celah. Hal ini terjadi ketika proses curing pada pembentukan komposit.
Aplikasi nano silika pada proses pembentukan komposit ini membuat komposit
semakin padat.
Namun demikian, nano silika membuat permukaan kontak komposit kode B dan
kode D yang mengandung nano silika lebih banyak namun hasil uji menunjukkan
48
koefisien gesek yang lebih rendah dari spesimen yang lain. Lebih jauh lagi, nano silika
yang mengisi porositas matriks juga berkontribusi pada ketahanan terhadap keausan.
Fungsi nanosilika sebagai bahan pengisi dapat lebih merekatkan bahan matriks,
walaupun mengurangi sifat kuat tarik dan kuat geser.
Sifat bahan komposit ditentukan oleh distribusi dan konfigurasi dari bahan-
bahan penyusunnya. Distribusi bahan-bahan penyusun sangat ditentukan oleh unjuk
kerja peralatan dan mesin pencampur dan pengaduk. Pihak manufaktur telah memiliki
peralatan dan mesin pencampur bahan-bahan skala besar yang lebih baik dari pada
skala laboratorium. Mesin pencampur memiliki bilah-bilah yang berotasi secara vertikal
dan mencampur bahan-bahan secara merata. Proses ini sangat menentukan mutu
blokrem yang dibuat.

Hasil percobaan pada produk skala manufaktur


Hasil percobaan laboratorium pada spesimen kode A, kode E dan kode H,
digunakan pada pembuatan blokrem pada skala manufaktur. Hal ini ditentukan
demikian karena spesimen-spesimen tersebut telah memenuhi spesifikasi teknik yang
telah ditentukan. Hasil pengujian fisika dan mekanika pada purwarupa produk blokrem
dipaparkan pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji mekanika produk blokrem pada skala manufaktur


No Uji Unit Uji Spek. Contoh A Contoh E Contoh H
ASTM
3
1 Berat jenis g/cm D 792 1,7- 1,98 1,95 1,95
2,4
2 Koefisien gesek - D 0,14- 0,17 0,17 0,21
1894 0,22
3 kekerasan HRR D 785 70- 98-105 100,5-103,5 91-102,5
105
4 Kuat tekan N/Cm D 695 Min 6612,4 6695,1 6695,1
2
2500
5 5
5 Modulus elastisitas N/Cm D 695 - 1,41x10 1,28x10 1,13x105
2
tekan
6 Uji lentur N/Cm D 790 2400- 3232,6 3291,3 3077,8
2
4000
7 Modulus elastisitas N/Cm D 790 - 1,66x105 1,62x105 1,57x105
2
lentur
8 Kuat tarik N/Cm D 480- 858,3 934,4 905,8
2
3039 1500
9 Kuat geser N/Cm D 732 1500- 2376,0 2953,4 2760,8
2
3500
10 Ketahan panas pada baik, tidak melele baik, tidak baik, tidak
kondisi operasi tidak terbakar meleleh tidak meleleh tidak
-at 2500C Tidak meleleh dan tidak terbakar terbakar
-at 4000C terbakar

Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 4 menjelaskan bahwa purwarupa produk


kode A, kode E dan kode H memenuhi persyaratan teknik blokrem yang telah
ditentukan.

Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscopic (SEM) dan Energy Dispersion


Spectrometry (EDS)

49
Karakterisasi unjuk kerja dengan Scanning Electron microscopic (S.E.M) dan Energy
Dispersion Spectrometry (E.D.S) telah dilakukan pada purwarupa produk kode A dan kode
E. Hasil S.E.M produk kode A Gambar 1, dan kode E pada Gambar 2.

Gambar 1. S.E.M untuk Gambar 1. S.E.M untuk


produk kode A produk kode E

Seperti ditampilkan pada Gambar 1 dan Gambar 2, terdapat perbedaan yang


sangat jelas di antara batas-batas permukaan. Produk kode A mempunyai pemukaan-
permukaan datar yang lebih besar dari pada kode E. Produk kode E mempunyai batas
permukaan yang lebih banyak dari pada kode A. Tampak bahwa rongga, porositas dan
celah-celah pada matriks produk kode A diisi oleh bahan padat sehingga membentuk
permukaan yang lebih besar dari kode E. Bahan pada pengisi itu adalah silika nano.
Berdasarkan formila variasi komposisi bahan (% berat), produk kode A mengandung
silika nano sebesar 1% berat dan serat karbon sebesar 0,25% berat. Produk kode E
mengandung silika nano sbesar 0,6 % berat dan serat karbon sebesar 0,1 % berat.
Perbedaan komposisi ini menentukan morfologi permukaan hasil SEM pada produk.
Permukaan halus yang dibentuk oleh silika nano juga mengisi rongga dan celah-
celah pada matriks. Hal ini disebabkan oleh tekanan pada suhu tinggi yang membuat
nano silika saling bersatu. Hal ini berlangsung pada seluruh bagian yang merata pada
saat proses curing pada suhu tinggi. Terlebih lagi, serat karbon juga cenderung
menempelkan unsur-unsur logam disekitarnya sehingga membuat komposit menjadi
lebih keras dan padat.
Komposisi nano silika dan serat karbon pada produk kode A lebih tinggi dari
kode E. Sedangkan porositas kode A tampak lebih rendah dari kode E. Silika nano
pada produk kode A memberikan sifat lebih tahan terhadap keausan dari pada produk
kode E. Namun demikian, nano silika juga memberikan efek terhadap sifat-sifat lain.
Sebagai contoh, produk kode A mempunyai kuat tekan, kuat geser dan kuat taik yang
lebih rendah dibandingkan kode E. Hasil S.E.M. pada produk kode A menunjukkan
permukaan yang lebih kasar dari pada kode E.

50
Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan persentase massa unsur karbon pada
produk kode A sebesar 60,05 % (gambar 3), sedangkan produk kode E sebesar
41,45% (gambar 4). Hasil ini memberikan hubungan berbanding lurus antara unsur

Gambar 3. Hasil E.D.S untuk Gambar 4. Hasil E.D.S untuk


produk kode A produk kode E

karbon dengan persentase masa dari kontribusi serat karbon pada bahan. Produk kode
A dan kode E mempunyai perbedaan komposisi serat gelas dan nano silika, yang
sama-sama mengandung unsur silikon. Hasil E.D.S, persentase unsur silikon (Si) pada
produk kode E adalah 6,53 %, sedangkan produk kode A adalah 4,07%. Hal ini
disebabkan produk kode E mempunyai kadar serat gelas lebih banyak dari pada kode
A.

KESIMPULAN
Hasil percobaan menunjukkan bahwa spesimen dengan kode A, E dan H
memenuhi persyaratan spesifikasi yang telah ditentukan. Kemudian, spesimen-
spesimen tersebut digunakan untuk tahap produksi skala manufaktur. Didapati
kemudian bahwa spesimen dengan kode E adalah spesimen yang paling baik
dibandingkan dengan spesimen kode A dan H. Spesimen E menunjukkan sifat yang
2 2
paling baik seperti kuat tekan 6695,1 N/cm , uji lentur 3291,3 N/cm , kuat tarik 934,4
2 2
N/cm , tegangan geser 2953,4 N/cm , koefisien gesek 0,17, berat jenis 1,95 dan
kekerasan 100,5 – 103,5.
Konsentrasi silika nano dari 0% sampai 1 % berat menurunkan porositas bahan
dan sekaligus meningkatkan ketahanan bahan terhadap keausan. Berdasarkan
analisis pada hasil percobaan, serat karbon dengan variasi komposisi 0,25% sampai
0,3% berat memeberikan sifat optimum ketahanan terhadap gesekan pada suhu tinggi.
Pada hasil SEM menunjukkan penambahan silika nano menurunkan porositas dan
membuat bahan menjadi lebih padat.

51
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Sulaefi Nasserie dan Ir. Erwin
Priyatna yang telah membantu dalam pembuatan blokrem pada penelitian. Penelitian
ini didukung pembiayaannya oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia
dengan kontrak No. 315/M/KP/XII/2011.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Agung Suryadi. 2008. Fabrikasi rem komposit made in Indonesia. Program Studi
Ilmu Material Universitas Indonesia. 15 Agustus 2008.
[2] Agung Suryadi. 2008. Characterization of material composite and mechanic
material property coefficient friction (µ) of railway brake block composite. Faculty of
Material and Science Doctoral Program University of Indonesia. 27 Mei 2008.
[3] Bhyrav Mutnuri. 2006. Thermal conductivity characterization of composite materials
(Thesis). Department of Mechanical Engineering Morgantown, West Virginia, USA.
[4] Agung Suryadi. 2010. Hati-hati penggunaan blokrem komposit kereta api berbasis
metal mengandung B3 (bahan berbahaya beracun). Program Doktor Ilmu Material,
FMIPA, Universitas Indonesia.
[5] Ganguly; Arnab; George; Raji. 2007. Asbestos free friction composition for brake
linings. Ramaiah Institute of Technology, Bangalore, India.
[6] James P. Schaffer; Ashok Saxena; Stephen D. Antolovich; Thomas H. Sanders;
Steven B. Warner Jr. 1999. The science and design of engineering materials.
McGraw-Hill Companies.
[7] Seungjin Han; D.D.L. Chung. 2011. Increasing the through thickness thermal
conductivity of carbon fiber polymer matrix composite by curing pressure increase and
filler incorporation. Composite Science and Technology, Elsevier.
[8] Tian Tian. 2011. Anisotropic thermal property measurement of carbon fiber/epoxy
composite materials (Dissertation). The Graduate College, University of Nebraska,
December 2011.
[9] Moran Wang; Qinyun Kang; Ning Pan. 2008. Thermal conductivity enhancement of
carbon fiber composites. Applied Thermal Engineering, Elsevier.
[10] Kadla JF; S. Kubo; R.A. Venditti; R.D. Gilbert; A.L. Compere; W. Griffith. 2002.
Lignin based carbon fibers for composite fiber applications. Permagon, Elsevier
Science Ltd.
[11] George Lubin. Handbook of composite. 1982. The Society of Plastic Engineers,
Van Nostrand Reinhold Company.
[12] Charles E. Knox. 2001. Fiberglass reinforcement. Technical director, Uniglass
Industries, New York.
[13] Technical fiber report. 2004. Sterling fibers, guidelines for processing, CFF
fibrilated fibers. TF-2004-1.
[14] Yafei Lu; Choong-Fong Tang; Yongli Zhaoand; Maurice A. Wright. 2004.
Optimization of semi metallic friction material formulation. Journal of Reinforced Plastic
and Composite, vol 23, No14/2004:1537-1545.
[15] Huynen E. 2008. Rockbrake RB250R1000 (Bio Soluble Chemistry), engineered
mineral fiber (NoteQ) for application in friction materials. Product datasheet, Lapinus
Intelligent Fibers.
[16] Harwanto Nugroho. Modified phenolic resin MSDS. 2006. Material Safety
52
th
Datasheet July 17 2006, p.1-p.5.
[17] All barium sulfat product (Barytes) MSDS. 2007. Asian Mineral Resources Co Ltd,
Material Safety Datasheet, December 2007, p.1-p.3.
[18] Technical information of NBR Powder Nipoll1411. Seal material, Product directory
2012.
[19] Friction Dust MSDS. 2009. Golden Product, Material Safety Datasheet, 15 June
2009, p.1-p.3.
[20] Graphite MSDS. 2010. Science Lab Chemical & Laboratory Equipment, Material
Safety Datasheet, 11/01/2010, p.1-p.6.
[21] Vermiculite MSDS. 2009. Product data, Material Safety Datasheet, 15 December
2009, p.1-p.7.

53
PEMANFAATAN BENGKUANG (PACHYRHIZUS EROSUS) MENJADI CAKE
Oleh:
Wilsa Hermianti, Yulia Helmi Diza, Tri Wahyuningsih dan Firdausni

ABSTRAK

Bengkuang cukup potensi di kota Padang, sehingga Padang disebut sebagai kota
bengkuang, namun pengolahan bengkuang belum dilakukan secara optimal.Umbi
bengkuang sering dimakan segar atau sebagai bahan campuran rujak, manisan,
asinan dan koktail. Bengkuang selama ini sulit diolah menjadi produk pangan dalam
jumlah dominan disamping itu juga kurang dalam rasa (rasa tidak kuat), tidak terlalu
manis dan juga tidak asam, tapi segar bila dimakan karena kadar airnya yang tinggi
berkisar 86-90%. Hal ini menyebabkan bengkuang kurang mendapat perhatian oleh
industri makanan.Dari kandungan gizinya ternyata bengkuang mengandung zat gizi
yang penting untuk kesehatan terutama vitamin dan mineral.Secara kimia mengandung
vitamin C, kalsium, fosfor dan serat yang sangat dibutuhkan tubuh, mengandung
oligosakarida (inulin) yang berguna bagi penderita diabetes. Manfaat bengkuang cukup
banyak antara lain menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah,
mengurangi produksi asam lambung, memperlancar pencernaan dan mempercepat
penyembuhan sariawan, serta mengandung fitoestrogen yang sangat baik untuk
mengurangi keluhan bagi wanita yang memasuki masa menopause.Dengan sifat alami
bengkuang tersebut maka dilakukan upaya pemanfaatannya menjadi cake bengkuang
dalam rangka pengembangan olahan dari bengkuang dan meningkatkan nilai tambah
bengkuang serta diversifikasi olahan pangan berbasis bahan baku lokal yang cukup
potensi di kota Padang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bengkuang dapat
dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi pangan semi basah yakni cake
bengkuang dengan jumlah bengkuang yang dominan yakni sampai 50% dari adonan
cake. Cake bengkuang menggunakan formula bahan pengikat kandungan air
bengkuang dengan tepung maizena serta pengurangan kadar air bahan baku
bengkuang dengan dipress memberikan hasil yang optimal dengan nilai organoleptik
yang disukai panelis, kadar air 28,50%, karbohidrat 56,31%, protein 6,13%,
lemak10,23%, energi 341,86 kkal/100g, serat pangan 5,98%, kalsium 27,77mg/100g
dan inulin 5,92%, daya simpan selama 5 hari pada suhu kamar dan 4 minggu pada
suhu kulkasserta meningkatkan nilai tambah bengkuang 60,16% sehingga sangat
layak untuk diterapkan pada skala komersial oleh IKM.

Kata kunci : bengkuang, cake bengkuang

ABSTRACT

Padang is called bengkuang city because its potential of bengkuang, however the
processing of yam bean is not optimal yet. Yam bean is often eat in fresh or as a
mixture of salad, sweetmeat, pickles, and cocktails. Yam bean is not only difficult to be
processed into food products in dominant amount but also lacking in flavor, not too
sweet and not too sour. It feels fresh when eaten because of high water content about
54
86-90%. Yam bean contains essential nutrients especially vitamins and minerals for
health. It contains vitamin C, calcium, phosphor, and fiber that is required for human
body, in addition oligosaccharides (inulin) which is useful for diabetics.The benefits of
yam bean among others to reduce cholesterol, blood sugar level, production of
stomach acid, improving digestion, and accelerate the healing of sprue.Moreover it
contains phytoestrogens which is excellent for reducing problem of women entering
menopause. Based on these backgrounds, a research is conducted about utilization of
yam bean became yam bean cake. The research were aimed to develop yam bean
processing, to increase added value, and to diversify of food processing based on
potential local raw materials in Padang city. The results showed that yam bean can be
processed into semi wet food products namely cake with a dominant amount of yam
bean until 50%. The optimal result was found in formula of yam bean cake using a
binder, water content of yam bean with cornstarch, and reducing water content of raw
material by pressing. The result of organoleptic test was preferred by panelist. The
composition of yam bean cake were water content 28.50%, carbohydrate 56.31%,
protein 6,13%, fat 10.23%, energy 341.86 kcal/100g, food fiber 5.98%, Calcium
27.77mg /100g, and inulin 5.92 %. The storability was 5 days in room temperature and
0
4 weeks in refrigerator (1-5 C). It increases the added value of yam bean as much as
60.16% and very feasible to be implemented in a commercial scale by SMEs.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bengkuang (Pachyrhizus erosus) dikenal dari umbi (cormus) berwarna putih.
Bengkuang potensi-al di kota Padang sehingga Padang dikenal juga sebagai kota
bengkuang dan dijadikan maskot kota Padang. Menurut data Statistika tahun 2013
terdapat 119 ha luas panen bengkuang dengan produksi 3.101,10 ton. Selama ini
bengkuang segar sering dijadikan sebagai buah tangan atau oleh-oleh dari kota
Padang. Pengolahan bengkuang menjadi produk pangan belum banyak ditemukan,
biasanya hanya sebagai komponen rujak, buah air, manisan, asinan dan bahan baku
bedak dingin.
Umbi bengkuang berbentuk bulat atau membulat seperti gasing dengan kulit
umbi yang tipis, ber-warna kuning pucat dan bagian dalamnya berwarna putih dengan
cairan segar agak manis. Bengkuang merupakan buah yang kaya akan berbagai zat
gizi yang penting untuk kesehatan terutama vitamin dan mineral. Secara kimia
bengkuang banyak mengandung vitamin C, kalsium, fosfor dan serat yang sangat
dibutuhkan tubuh. Bengkuang sebagai sumber serat pangan yang baik untuk
pencernaan dan dapat dijadikan sebagai alternatif penyusun makanan fungsional
(Harmayanti, 2011).Bengkuang me-ngandung kadar air yang cukup tinggi sekitar 86 –
90% sehingga dapat menyegarkan tubuh setelah mengkonsumsinya dan menambah
cairan tubuh, bengkuang juga memiliki efek pendingin. Disamping itu bengkuang
mengandung oligo-sakarida (inulin) yang berguna bagi penderita diabetes serta
mengan-dung fitoestrogen yang baik dikonsumsi bagi wanita yang mema-suki masa
menopause.Manfaat bengkuang cukup banyak, baik untuk kesehatan maupun
kecantikan.

55
B. Maksud dan Tujuan
Menyediakan informasi tekno-logi proses pengolahan bengkuang menjadi
cake bengkuang sebagai upaya diversifikasi produk olahan bengkuang yang disukai
secara organoleptik, mempunyai kandungan gizi yang baik serta meningkatkan nilai
tambah bengkuang.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah memanfaatkan bengkuang dengan
mengolahnya menjadi cake bengkuang dengan formula bahan pengikat kandungan air
pada bengkuang dengan kelapa, tepung maizena atau tepung beras serta
pengurangan kadar air bahan baku bengkuang guna memperpanjang masa simpan
cake bengkuang yang dihasilkan. Cake bengkuang yang dihasilkan diuji secara
organoleptik, dianalisa secara kimia serta diamati daya simpannya secara visual.

D. Hasil yang diharapkan


1. Diperolehnya teknologi proses pemanfaatan bengkuang menjadi cakeyang dapat
diaplikasikan oleh industri.
2. Cake bengkuang yang dihasilkan disukai secara organoleptik dan mempunyai
nilai gizi yang baik.
3. Diversifikasi produk olahan bengkuang dan mengembangkan potensibahan baku
lokal khususnya kota Padang.
4. Cake bengkuang menjadi alter-natif makanan oleh-oleh spesifik kota Padang.
5. Meningkatnya nilai tambah bengkuang.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Bengkuang
Umbinya mengandung gula dan pati serta fosfor dan kalsium. Umbi ini juga
memiliki efek pendingin karena mengandung kadar air 86-90%. Rasa manis berasal
dari suatu oligosakarida yang disebut inulin yang tidak bisa dicerna oleh tubuh
manusia dimana sifat ini berguna bagi penderita diabetes atau orang yang berdiet
rendah kalori (Heyne, 1987 ; Lukitaningsih, 2009).
Umbi bengkuang biasanya dimakan segar dan sebagai komponen rujak atau
asinan.Bengkuang kaya akan berbagai zat gizi yang sangat penting untuk kesehatan
terutama vitamin dan mineral. Manfaat bengkuang bagi kesehatan dan kecantikan
membuat buah ini cukup diminati masyarakat (Ngenee, 2012).
Kandungan gizi bengkuang sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi bengkuang per 100 gram


Kandungan Gizi Bengkuang
Energi (kal) 55
Protein (g) 1,4
Lemak (g) 0,2
Karbohidrat (g) 12,8
Kalsium (mg) 15
Fosfor (mg) 18
Vitamin B1 (mg) 0,04

56
Kandungan Gizi Bengkuang
Vitamin C (mg) 20
Besi (mg) 0,6
Air (g) 85,1
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1992)

Bengkuang menurut Yeniet al (2014) dapat dibuat menjadi aneka produk


makanan dan minuman yang digunakan sebagai substitusi tepung terigu. Hal ini
dilakukan dalam rangka diversifikasi produk olahan berbahan baku bengkuang,
memperpanjang daya simpan dan meningkatkan nilai tambah bengkuang.

B. Cake
Kebutuhan bahan pangan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
populasi manusia.Bahan dasar dari produk pangan sangat terbatas sehingga
dibutuhkan diversifikasi yang baik dan tepat untuk menghasilkan produk pangan yang
lebih bervariasi.Salah satu bentuknya adalah dalam pembuatan cake (Susilo dan
Imelda, 2007).
Pada umumnya cake dibuat dari tepung terigu. Sampai saat ini kebutuhan
akan tepung terigu masih impor. Untuk mengurangi ketergan-tungan tersebut
diperlukan bahan pengganti yang mengandung pati dalam pembuatan cake (Haryadi,
1993).
Cake atau bolu adalah produk pangan semi basah dengan bahan dasar
tepung, gula dan telur.Pada umumnya cake dibuat dari tepung gandum atau tepung
terigu. Cake umumnya dimatangkan dengan cara dipanggang dalam oven, walaupun
ada juga yang dikukus. Penambahan lemak nabati atau hewani dalam bentuk
mentega, margarin, santan ke dalam adonan membuat tekstur kue menjadi lebih
lembut.Bahan kimia pengembang juga sering ditambahkan ke dalam adonan untuk
hasil cake yang lebih baik (Braker, 2003).
Tepung terigu merupakan olahan dari biji gandum (Triticum vulgare).Gandum
hampir seluruhnya digunakan dalam industri pangan dalam bentuk tepung.Kandungan
proteinnya antara 8-16% selain mengandung karbohidrat, lemak, mineral dan
serat.Kemampuan daya bentuk struktur cake ditentukan oleh mutu dan jumlah
glutennya.(Utami, 1991).
Cake berdasarkan teknik pembuatannya menurut Braker (2003) digolongkan
menjadi dua kelompok yakni butter cake atau shortened (cream cake) dan sponge
cake (foam cake).
Pemasakan dengan melibatkan panas merupakan salah satu proses
pengolahan pangan yang banyak dilakukan baik skala rumah tangga atau skala
industri (Aisyah et al, 2014 cit. Wiliam, 1979).

III. METODOLOGI PENELITIAN


A. Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bengkuang, bahan
penolong pembuatan cake, bahan kemasan dan bahan kimia untuk pengujian.

57
Peralatan yang digunakan adalah mixer, juicer, press buah, oven, neraca,dan alat-alat
untuk pengujian.

B. Prosedur Kerja
1. Perlakuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan perlakuan formula bahan pengikat kadar air
bengkuang yakni dengan penambahan kelapa, tepung maizena dan tepung beras yang
dikombinasikan dengan perlakuan pengurangan kadar air bahan baku bengkuang
yakni dengan diblender (tanpa pengurangan kadar air), pengurangan kadar air dengan
juicer dan pengurangan kadar air dengan press buah dengan rancangan penelitian
sebagai berikut :
A = Perlakuan formula bahan pengikat kadar air bengkuang : penambahan kelapa
(A1), penambahan tepung maizena (A2)penambahan tepung beras (A3).

B= Perlakuan pengurangan kadar air


: tanpa pengurangan kadar air /kontrol (B1), pengurangan kadar air dengan juicer (B2)
dan pengurangan denganpress (B3).

2. Proses Pembuatan Cake Bengkuang


Pembuatan cake bengkuang yang dilakukan
pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Analisis

a. Analisis Kimia Bahan Baku


Analisis kimia bahan baku bengkuang segar
meliputi kadar air, kadar gula, kadar serat pangan,
vitamin B1, kalsium dan inulin.

b. Analisis Kimia Produk Cake Bengkuang


Analisis kimia cake bengkuang meliputi kadar
air, karbohidrat, protein, lemak dan energi sedangkan
untuk perlakuan yang memberikan hasil optimal
secara organoleptik ditambahkan analisis kimia
yakni kadar kadar serat pangan, vitamin B1, kalsium Gambar 1. Diagram Alir
dan inulin. Pembuatan Cake Bengkuang

c. Uji Organoleptik Cake Bengkuang


Uji organoleptik (warna, aroma, rasa dan tekstur) terhadap cake bengkuang
dilakukan oleh panelis dengan metoda uji sensori afektif yakni untuk mendapatkan
formula mana yang lebih disukai dengan tipe uji hedonik menggunakan skala numerik
sebagai berikut :5 = sangat suka, 4 = suka,3 = cukup suka, 2 = kurang suka, 1 = tidak
suka

d. Pengamatan Daya Simpan


Pengamatan daya simpan cake bengkuang pada dilakukan secara visual
dan organoleptik.

58
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Bahan Baku Bengkuang
Permasalahan kadar air yang cukup tinggi pada cake bengkuang yang
disebabkan karena tingginya kadar air pada bengkuang segar maka dilakukan
penelitian dengan perlakuan formula dengan penambahan bahan pengikat kadar air
dengan kelapa, tepung maizena atau tepung beras serta perlakuan pengurangan kadar
air bengkuang yang digunakan dengan cara dijuicer serta dengan cara dipress dan
dibandingkan dengan bengkuang yang dihancurkan dengan blender. Pada penelitian
ini juga dilakukan pengamatan rendemen. Rendemen daging buah bengkuang dari
bengkuang segar diblender yang diperoleh 93,75%, dijuicer 34,30% sedangkan yang
dipress 31%.
Serat bengkuang yang diperoleh dengan dipress semakin berkurang dan juice
bengkuang yang diperoleh semakin bertambah dibanding perlakuan lain. Serat
bengkuang inilah yang kemudian digunakan untuk membuat cake bengkuang.
Diharapkan dengan berkurangnya kadar air bengkuang pada bahan baku bengkuang
yang digunakan dapat meningkatkan daya simpan produk cake bengkuang tetapi tetap
menunjukkan kekhasan dan masih mempunyai kandungan gizi yang baik untuk
kesehatan serta memberikan penilaian organoleptik yang disukai panelis.
Hasil analisis kimia bengkuang seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Hasil analisis kimia bengkuang


Perlakuan Pengurangan Kadar Air (%) Kadar Gula (%)
kadar air
Bengkuang yang diblender 82,89 3,46
Bengkuang yang dijuicer 80,49 4,00
Bengkuang yang dipress 79,47 4,58

Dari data tersebut terlihat bahwa terjadi pengurangan kadar air dimana
bengkuang yang diblender mengan-dung kadar air yang cukup tinggisehingga
menghasilkan cake yang agak basah dengan kadar air cake bengkuang berkisar 45,86
% - 49,34%. Hal ini menyebabkan cake bengkuang tersebut tidak tahan lama, yakni
hanya tahan selama 3 hari dengan tekstur yang agak basah. Perlakuan pengurangan
kadar air bengkuang dengan cara dijuicer menunjukkan kadar air yang lebih rendah
dibanding dengan diblender sedangkan pengu-rangan kadar air dengan cara dipress
memberikan kadar air yang terendah diantara perlakuan tersebut. Kadar gula dari
bahan baku yang digunakan berbanding terbalik dengan kadar air akibat perlakuan
cara pengurangan kadar air. Semakin rendah kadar air menghasilkan kadar gula yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena gula dari bengkuang ikut terbawa bersama air
yang dikurangi tersebut yaitu berupa juice bengkuang yang berasa manis. Kadar air
pada bahan baku bengkuang yang diblender dengan yang dipress mengalami
pengurangan sebesar 3,42% dan kadar gula mengalami peningkatan sebesar 1,12%.

b. Cake Bengkuang
Hasil perlakuan cara pengurangan kadar air pada beng-kuang dikombinasikan
dengan perla-kuan formula yang diharapkan dapat mengikat kadar air yang tinggi

59
tersebut yakni dengan kelapa parut, tepung maizena dan tepung beras. Hasil analisis
terhadap cake bengkuang dengan kombinasi perlakuan formula dan pengurangan
kadar air terlihat pada Gambar 2.

Dari hasil tersebut terlihat dari kadar airnya perlakuan A3B3 (penambahan
tepung beras dan pengurangan kadar air dengan dipress) menghasilkan cake
bengkuang dengan kadar air terendah yakni 26,97% yang diikuti oleh perlakuan A3B2
(penambahan tepung beras dan pengurangan dengan dijuicer) dengan kadar air
27,72% dan A2B3 (penambahan tepung maizena dan pengurangan dengan dipress)
kadar air 28,50%.
Organoleptik merupakan pe-ngujian terhadap bahan makanan berdasarkan
kesukaan atau kemauan untuk menilai suatu produk.Dalam penilaian bahan pangan
sifat yang menentukan diterima atau tidak suatu produk adalah sifat
indrawinya.Penentu bahan makanan pada umumnya sangat ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain warna, rasa, tekstur, aroma dan nilai gizi (Winarno, 2004).
Rasa merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan keputusan bagi
konsumen untuk me-nerima atau menolak suatu produk pangan. Meskipun parameter
lain nilainya baik, jika rasa tidak enak atau tidak disukai maka produk akan ditolak.

c. Daya Simpan Cake Bengkuang


Pengamatan daya simpan cake bengkuang dilakukan pada suhu kamar (27-
o o
30 C) dan pada showcase suhu 15 C. Hasil penga-matan daya simpan cake
bengkuang pada suhu kamar berkisar 3 sampai 5 hari sedangkan pada suhu kulkas
berkisar 2 minggu hari sampai 1 bulan. Perlakuan yang memberikan daya simpan lebih
lama (5 hari) hanya perlakuan A2B3.
Umur simpan atau waktu kadaluarsa merupakan suatu rentang waktu yang
menyatakan bahwa produk masih dalam keadaan aman dikonsumsi, tetap memenuhi
sifat sensoris, kimia, fisik dan mikrobiologis sesuai dengan penyataan nilai gizi yang
tercantum dalam label (Supriyadi (2009).
Berdasarkan analisis dan pengamatan dapat dinyatakan bahwa perlakuan
A2B3 (penambahan tepung maizena dan pengurangan kadar air bengkuang dengan
dipress) memberikan hasil optimal baik terhadap analisis kimia, nilai organoleptik
maupun daya simpannya.
Bengkuang segar juga mengandung serat pangan, kalsium dan inulin yang
baik untuk kesehatan. Hasil analisis kandungan serat pangan, kalsium, inulin dan
vitamin B1 pada bengkuang segar dan pada cake bengkuang yang memberikan hasil
optimal pada penelitian ini seperti terlihat pada Tabel3.

60
Dari data Tabel 3 terlihat bahwa serat pangan pada bengkuang segar dan
cake bengkuang ini cukup tinggi dan inilah yang membedakan cake bengkuang
dengan cake biasa serta mengan-dung kalsium dan inulin yang semakin tinggi
persentase kandung-annya pada olahan berupa cake dibanding dengan bengkuang
segar.

Tabel 3. Hasil analisis bengkuang segar dan cake bengkuang


Kandungan pada
Parameter
Bengkuang segar Cake bengkuang F (A2B3)

Serat pangan 5,49% 5,98%

Vitamin B1 Not detected Not detected

Kalsium 13,20 mg/100 g 27,77 mg/100 g


(132 ppm) (277,7 ppm)

Inulin 4,23% 5,92%

Kandungan vitamin B1 pada bengkuang segar dan cake bengkuang tidak


terdeteksi dimana limit deteksi yakni 0,52 ppm. Jadi dapat dinyatakan bahwa
kandungan vitamin B1 pada bengkuang ini sangat rendah sekali. Menurut Anonimous
(1992) bengkuang mengandung vitamin B1 sebesar 0,04 mg/100 g dan vitamin C juga
cukup tinggi pada bengkuang 20 mg/100g, sesuai dengan hasil penelitian Hermianti et
al (2013) pada cake bengkuang juga mengandung vitamin C sebanyak 0,03% (30
mg/100g). Menurut de Melo et al (1994) ampas bengkuang kaya akan serat pangan
dan berpotensi sebagai sumber prebiotik karena masih mengandung inulin dan
oligosakarida lainnya. Ditambahkan oleh Hariati et al (2012) umbi bengkuang
mengandung inulin yang tidak dapat dicerna sehingga dapat digunakan sebagai
pengganti gula.Kandungan inulin pada bengkuang memiliki peran prebiotik dalam usus
artinya dapat membantu pertumbuhan bakteri baik sehingga kesehatan usus tetap
terjaga. Inulin juga berguna bagi kesehatan tulang dengan cara membantu
meningkatkan penyerap-an kalsium dari makanan lain serta melindungi tulang dari
osteoporosis (Naja, 2014).
Data pada Tabel 3menun-jukkan bahwa dengan pengolahan menjadi cake
bengkuang kandungan vitamin C, kalsium, inulin dan serat pangan tidak hilang dengan
pengolahan. Dengan mengkonsumsi cake bengkuang kandungan gizi tersebut tetap
dapat kita peroleh.
Manfaat yang kita peroleh dengan serat makanan adalah membantu
memperlancar saluran pencernaan dandapat mencegah dari beberapa masalah
pencernaan seperti sembelit atau susah buang air besar dan kanker kolon (Bakulatz,
2011).Vitamin C sangat baik untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan
menjauhkan dari berbagai jenis penyakit, selain itu vitamin C juga merupakan sumber
antioksidan alami yang dapat membantu tubuh dalam mencegah radikal bebas
(Ngenee, 2012). Kandungan vitamin C pada bengkuang yang bertindak sebagai
61
antioksidan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan penderita sariawan,
disamping itu juga dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dalam
darah(Bakulatz, 2011).Kalsium yang terkandung dalam buah bengkuang adalah zat
yang sangat bagus bagi tubuh terutama untuk ginjal dan empedu.Inulin sangat baik
untuk penderita diabetes atau orang yang berdiet rendah kalori (Heyne, 1987).
Berdasarkan hasil ujicoba pasar cake bengkuang hasil penelitian ini, dapat
dinyatakan bahwa cake bengkuang ini dapat diterima pasar terlihat dari penerimaan
masyarakat yang membeli.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Bengkuang dapat dimanfaatkan menjadi cake bengkuang dengan jumlah
bengkuang yang dominan yakni sampai 50% dari adonan cake.
2. Bengkuang segar mengandung serat pangan 5,49%, kalsium 13,2 mg/100 g,
inulin 4,23%.
3. Cake bengkuangtergolong makanan semi basah dengan kadar air berkisar
26,97% -44,77%. Penelitian yang dilaku-kan dengan perlakuan formula bahan
pengikat kadar air dan perlakuan pengurangan kadar air bahan baku bengkuang.
4. Bahan baku bengkuang yang dipress dapat mengurangi kadar air sebanyak
3,42% dibanding bengkuang yang diblender, dan mengurangi kadar air cake
sebanyak 10,16%-16,27% ter-gantung formula pengikat kadar air. Tepung
maizena mampu mengurangi kadar air pada cake bengkuang sebesar 16,27%
yang lebih tinggi dibanding kelapa (10,16%) dan tepung beras (14,32%).
5. Penelitian yang memberikan hasil optimal terhadap mutu cake bengkuang adalah
perlakuan F (A2B3) yakni perlakuan penambahan tepung maizena dan
pengurangan kadar air bahan baku bengkuang dengan dipress. Perlakuan F
(A2B3) tersebut dengan kadar air 28,50%, karbohidrat 56,31%, protein 6,13%,
lemak 10,23%, energi 341,86% kkal/100g, serat makanan 5,98%, kalsium 27,77
mg/100 g dan inulin 5,92% dengan daya simpan 5 hari secara visual pada suhu
o
kamar sedangkan pada suhu kulkas 15 C tahan sampai 1 bulan dimana setelah
waktu tersebut tekstur cake mulai menjadi keras.
6. Pemanfaatan bengkuang menjadi cake secara teknologi, ekonomi, sosial dan
lingkungan sangat layak untuk diterapkan skala komersial pada IKM makanan.

B. Saran
1. Pengolahan bengkuang menjadi cake bengkuang dapat meningkatkan nilai tambah
bengkuangdan dengan mempercantik tampilannya yakni dengan menghiasnya
dengan krem kue akan semakin meningkatkan nilai tambah.
2. Guna memperpanjang masa simpan cake bengkuang pada suhu kamar, sebaiknya
digunakan kemasan yang lebih tertutup rapat sehingga proses pengerasan tekstur
dapat dikurangi.

62
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Yuliani., Rasdiansyah dan Muhaimin. 2014. Pengaruh pemanasan terhadap


aktivitas antioksidan pada beberapa jenis sayuran. Jurnal Teknologi dan
Industri Pertanian. Vol. (6) No. 2 2014. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Bakulatz. 2011. http://bakulattz.wordpress.com. Manfaat buah bengkuang.
Braker, Flo. 2003. The simple art of perfect baking. Chronicle Books. ISBN 0-8118-
4109-X.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI 1992. Daftar komposisi bahan makanan.
Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Dinas Pertanian Kota Padang. 2013. Rekapitulasi jumlah tanam, panen, produksi
tanaman sayuran buah semusim di kecamatan Kota Padang. Dinas
Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Padang.
De Melo, EP., N. Krieger, and T.L.M. Stamford. 1994. Physchochemical properties of
Jacatupe (Pachyrhizus erosus L. Urban) starch.
Hariati, Isni., B.T., Chairun N. dan Barus, Asil. 2012. Tanggap pertumbuhan dan
produksi bengkuang terhadap beberapa dosis pupuk kalium dan jarak tanam.
Jurnal online Agroekoteknologi.
Harmayanti, Eni. 2011. Potensi serat bengkuang (sebagai prebiotic pada
Bifidobacterium lognum dan Lactobacillus A. Seminar nasional PATPI.
Haryadi. 1993. Dasar-dasar dan pemanfaatan ilmu dan teknologi pati.
Agritech.Yogyakarta.
Hermianti, Wilsa., Firdausni, Marlusi dan Tri Wahyuningsih. 2013. Penelitian
pemanfaatan bengkuang menjadi pangan semi basah. Komunikasi No. 312.
Baristand Industri Padang.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia jilid 2. Yayasan Sarana Wanajaya.
Jakarta.
Lukitaningsih, Endang. 2009. The exploration of whitening and sun screening
compounds in bengkoang roots (Pachyrhizus erosus). Deutschen
Akademischen Austauschdienstes) Wurzburg.
Naja, Ahlun. 2014. Manfaat jus bengkuang untuk kesehatan yang luar biasa.
Ngenee lho. 2012. Manfaat bengkuang bagi kesehatan.
Supriyadi. 2009. Pangan kadaluarsa, siapa yang bertanggung jawab. Foodreview
Vol. IV No. 11. PT. Media Pangan Indonesia. Bogor.
Susilo, D.U.M dan Fenny Imelda. 2007. Pembuatan cake kacang tunggak (Vigna
unguiculata) dengan pencampuran tepung gandum. Politeknik Negeri
Pontianak.
Syarief, Rizal dan Anies Irawati. 1998. Pengetahuan bahan untuk industri pertanian.
PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Utami, I.S. 1992. Pengolahan pati. Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Winarno, Srikandi Fardiaz dan Desi Fardias. 2004. Pengantar teknologi pangan.
Gramedia. Jakarta.
Yeni, Gustri, Failisnur dan Firdausni. 2014. Membuat aneka olahan bengkuang. IPB
Press. Bogor.

63
PROTOTYPE ALAT PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH INDUSTRI CPO SEBAGAI
SUMBER ENERGI TERBARUKAN MELALUI MODIFIKASI REAKTOR MODEL
FDHRAR (FIXED DOME HIGH RATE ANAEROBIC REACTOR)
1 1 1 1
Nani Harihastuti , Misbachul Moenir , Ikha Rasti Julia Sari , Bekti Marlena ,Aris
1
Mukimin
1)
Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri
Jl. Ki Mangunsarkoro No. 6 Semarang 50136
E mail : nanisoeharto@yahoo.com

Abstrak
Indonesia merupakan negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia
dengan produksi mencapai 31,5 juta ton/tahun (2014) dan dihasilkan air limbah lebih
3
dari 50 juta m . Air limbah industri CPO mengandung zat organik tinggi dengan
konsentrasi COD 50.000 mg/L Tujuan penelitian ini adalah membuat prototype
peralatan produksi biogas melalui modifikasi reaktor model FDHRAR (Fixed Dome
High Rate Anaerobic Reactor) dan teknologi FDHRAR ini telah diterapkan disalah
satu industri CPO milik PTPN VIII di kabupaten Lebak Propinsi Banten. FDHRAR
merupakan inovasi teknologi proses digestasi untuk menghasilkan biogas dengan
kandungan gas CH4 yang tinggi. Kelebihan rancangan reaktor FDHRAR ini adalah
waktu retensi digestasi lebih cepat (10 hari ) dibanding teknologi yang sudah ada (40-
60 hari). Hasil penelitian diperoleh penurunan COD tertinggi mencapai 74,97% dan
pembentukan gas CH4 mencapai 42,69 %, gas CO2 47,71 % dan gas lainnya 9,6 %
3
. Potensi energi gas CH4 yang dihasilkan sebanyak 31,08 m /hari yang setara dengan
133.300 -192.602 kkal/hari atau 155,018-223,98 KWH/hari . Potensi ini sampai
sekarang belum dimanfaatkan. Penerapan biodigester model FDHRAR dapat
membantu industri CPO dalam mengolah air limbahnya dan potensi mendapatkan gas
CH4 yang cukup besar, selain itu dapat menghemat lahan, mengurangi biaya
operasional dan memperoleh energi terbarukan .

Kata kunci : air limbah CPO, FDHRAR, biogas, energi terbarukan

Abstract
Indonesia is the most producer of crude palm oil (CPO) in the world with a production
3
of it 31.5 million tonnes/year (2014) and to discharge of wastewater > 50 million m .
The wastewater of CPO industry containing organic substances witch high COD
concentration about 50,000 mg/L The purpose of this research is to create a equipment
prototype with a modification of the reactor models FDHRAR (Fixed Dome High Rate
Anaerobic Reactor) to produced much biogas. These technology FDHRAR has been
applied in the one of CPO industry PTPN VIII owner in Lebak, Banten. FDHRAR is a
innovation technology of process anaerobic digestion to produce biogas with a high of
CH4 gas content. The advantages design of FDHRAR reactor it is has the digestion
retention time more faster then the existing technologies. The research result was COD
reduction reached 74.97% , CH4 gas production reached 42.69% , CO2 gas is 47.71%
and the other gases are 9.6%. Potency of CH4 gas generated as much as 31.08
64
3
m /day as equivalent 133.300-192 602 kcal/day or 155,018-223,98 KWH/day. The
implementation of biodigester FDHRAR models is can really helped the CPO industry
to treated their waste water and potential to produced CH4 gas. Beside that it can save
land recuirement, reduce operating costs and obtain renewable energy.

Keywords: wastewater CPO, FDHRAR, biogas, renewable energy

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar
di dunia dengan produksi 31,5 juta
ton/tahun (BPS, 2014) dan hasil ini
hampir 50% dari total produksi dunia
yang diprediksi 54,527 juta ton
(Martin Sihombing, 2013).
Perkebumam kelapa sawit di
Indonesia tersebar di provinsi
Sumatra Utara, Riau, Jambi,
Bengkulu, Sumatra Selatan,
Lampung, Banten, Jawa Barat,
Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan dan
sebagian provinsi di Sulawesi.
Berdasarkan data Dirjen
Perkebunan, Kementan, 2011 luas
perkebunan kelapa sawit di
Indonesia adalah 8,91 juta ha, yang
terdiri dari perkebunan rakyat 3,62
juta ha (40,64%), perkebunan
pemerintah 0,64 juta ha (7,15%),
dan perkebunan swasta 4,65 juta ha
(52,22%) (Pusdatin Pertanian,2013).
Dalam produksi minyak kelapa sawit, setiap ton tandan buah segar (TBS)
akan menghasilkan rata-rata 120 - 200 kg CPO, 230-250 kg tandan kosong kelapa
3
sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang, 55-60 kg kernel, dan 0,7 m
air limbah. Jika produksi minyak kelapa sawit Indonesia sebesar 31,5 juta ton maka
3
akan dihasilkan air limbah sebanyak lebih dari 50 juta m per tahun (Ditjenbimprodbun,
2004). Air limbah tersebut merupakan sumber pencemar lingkungan yang cukup
potensial sehingga industri CPO dituntut untuk mengolah air limbah tersebut sebelum
dibuang ke lingkungan.
Material balance pada proses pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada
Gambar 1

Karakteristik air limbah industri CPO pada umumnya bersuhu tinggi (70 –
0
80 C), berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa
koloid dan residu minyak yang tinggi. Apabila air limbah ini langsung dibuang ke
65
perairan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Secara umum kualitas air limbah
industri CPO seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 : Kualitas Air Limbah Industri CPO
Sumber : Departemen
Pertanian, 2006 No. Parameter Satuan Kisaran
Beberapa industri
1. BOD mg/l 8.200 – 35.000
CPO telah melakukan
2. COD mg/l 15.103 – 65.100
pengolahan air limbahnya
3. TSS mg/l 1.350 – 50.700
dengan sistem kolam
4. Total
anaerobik yang sederhana
Nitrogen mg/l 12 – 126
dengan hanya ditutup dengan
5. Minyak dan
penutup yang terbuat dari
Lemak mg/l 190 – 14.720
plastik polietilen (HDPE) yang
6. pH 3,3 – 4,6
dilengkapi dengan alat
pengukur pada pipa pembuangan gas metan yang terbentuk, yang selanjutnya dibakar
(Shirai et all, 2003). Menurut Ansori Nasution (2012) pengolahan air limbah dengan
sistem kolam anaerobik konvensional terdapat beberapa kelemahan seperti kebutuhan
lahan yang sangat luas, kebutuhan penutup polietilen yang banyak, memerlukan biaya
perawatan yang tinggi dan riskan terhadap kerusakan penutup polietilin sehingga dapat
terjadi kebocoran gas metan, produk gas metan yang terbentuk dibakar melalui flare.
Industri dengan kapasitas 30 ton TBS/jam, memerlukan lahan sekitar 7 hektar untuk
pengolahan air limbahnya. Disamping itu emisi gas metan yang dihasilkan merupakan
masalah yang harus ditangani, karena kalau dibiarkan lepas ke udara bebas, dapat
menjadi salah satu penyebab gas rumah kaca yang berakibat terjadinya pemanasan
global.
Cara lain yang sering dilakukan oleh
industri CPO yang berada ditengah
perkebunan adalah dengan cara aplikasi lahan
(Land Apllication System) dimana air limbah
dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman
kelapa sawit di kebun sehingga diperoleh
keuntungan dari segi agronomis dan tidak
menimbulkan pencemaran. Pembangunan
instalasi untuk aplikasi lahan membutuhkan
biaya yang relatif mahal, namun investasi ini
diikuti dengan peningkatan produksi Tandan
Buah Segar (TBS) dan penghematan biaya
pupuk sehingga penerimaan juga meningkat
(Huan, 1987).
Menurut Deublein dan Steinhauster,
2008, air limbah industri CPO mengandung senyawa organik dan karbon yang tinggi
dan merupakan nutrien bagi bakteri anaerob dapat menghasilkan biogas. Biogas
merupakan produk samping dari dekomposisi anaerobik bahan organik, yang dapat
dipertimbangkan sebagai sumber energi alaternatif. Nilai kalori biogas kurang lebih
500 – 700 BTU/ft3 (4.500 – 6.300 kcal/m3). Komposisi dari biogas berbeda-beda
tergantung dari komposisi bahan mentahnya, beban organik yang diterapkan pada
digester, waktu dan temperatur dekomposisi anaerobik. Sekitar 200 liter biogas dapat
66
diperoleh dari pengurangan 1 kg Chemical Oxygen Demand (COD) (Polprasert,
2007).
Ada beberapa jenis reaktor biogas dan beberapa tahun terakhir ini telah
dikembangkan reaktor dengan jenis kubah tetap (fixed-dome) yang terbuat dari bahan
fiber glass yang dapat digunakan juga sebagai reaktor. Sistem biologi anaerobik
sangat potensial untuk mengolah air limbah yang mengandung bahan organik yang
tinggi seperti air limbah industri CPO dimana sistem tersebut selain menghasilkan
energi dalam bentuk gas metan juga menghasilkan pupuk dari sisa sludge dari reaktor
anaerobik. Di Malaysia sekitar 85% industri CPO menggunakan sistem anaerobik
lagoon dan fakultatif lagoon konvensional untuk mengolah air limbahnya, namun
dengan sistem tersebut nilai COD dan BOD pada effluen masih cukup tinggi yaitu
1,725 mg/l dan 610 mg/l dengan total waktu hidrolik (hydrolic retention time) selama 60
hari (Chin KK et.all, 1996).
Beberapa penelitian pengolahan air limbah industri CPO untuk mengurangi
HRT yaitu dengan sistem anaerobik cepat (High Rate Anaerobic Bioreactor) seperti
Membrane Anaerobic System (Fakhrul-razi et.all, 1999), Up Flow Anaerobic Filtation
(Borja R. et.all,1994), Up FlowAnaerobic Sludge Blanked (Borja R. et.all,1996) dan
Modified Anaerobic Baffled Reactor (Faisal M. Dan Unno H., 2001) dan Upflow
Anaerobic Sludge-Fixed Film Bioreactor (G.D. Najaf Pour et al, 2005). Namun dari
penelitian-penelitian tersebut belum memperhitungkan / memanfaaatkan gas metan
yang terbentuk. Menurut Benefield, Larry D dan Randall, Clifford W bahwa potensi gas
metan tersebut cukup, besar (penurunan 1 Kg COD akan menghasilkan 350 l gas
metan).
Fixed Dome High Rate Anaerobik Reactor (FDHRAR) merupakan inovasi
teknologi yang dikembangkan oleh BBTPPI melalui modifikasi integrasi dari UAF (Up
Flow Anaerobic Filter) (Borja R. et.all,1996) dan FDR (Fixed Dome Reactor), Biogas
Reactor (Udo Kulschewski et all, 2004).
FDHRAR ini memiliki dua bagian yaitu bagian pertama berupa digester
sebagai tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri, baik bakteri
pembentuk asam ataupun bakteri pembentuk gas metana.
Bagian pertama ini bertujuan untuk meningkatkan kontak antara substrat-
biomasa dengan menambah ruang sludge bed dan strukturnya harus kuat agar tidak
terjadi kebocoran. Bagian yang kedua adalah kubah tetap (fixed-dome). Dinamakan
kubah tetap karena bentuknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan
pengumpul gas yang tidak bergerak (fixed). Gas yang dihasilkan dari perombakan
bahan organik pada digester akan mengalir dan disimpan di bagian kubah.
Keuntungan lain dari bentuk kubah tetap adalah lebih aman karena gas akan menekan
kubah dengan tekanan yang sama ke segala arah (Muhammad Kismurtono, 2009)
Keuntungan penggunaan reaktor digester model FDHRAR dalam pembuatan
biogas selain mendapatkan hasil biogas yang mengandung gas metan dengan
konsentrasi tinggi, yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang
terbarukan, maka nilai COD, BOD TSS dan Suhu juga akan turun nilainya dalam
proses degradasi tersebut. Sedangkan nilai pH makin lama makin naik menjadi netral
sekitar 6-7 apabila tercapai kondisi stady state. Disamping itu dengan dimanfaatkannya
gas metan tersebut sebagai bahan bakar, maka dapat menghambat terjadinya
pemanasan global (global warming) sebagai akibat dari efek terbentuknya gas rumah
kaca (GRK).
67
Metode Penelitian
Bahan penelitian
Bahan penelitian yang digunakan meliputi Air limbah industri CPO dari Pabrik
Kelapa Sawit milik PT.Perkebunan Nusantara VIII Lebak-Banten, mikroba anaerobik/
sludge aktive, nutrien mikroba anaerobik, Bahan kimia untuk analisis air limbah dan
komponen biogas serta bahan konstruksi untuk pembuatan prototype alat modifikasi
reaktor/ digester model FDHRAR (penghasil gas methane/ biogas).
Peralatan Penelitian
Unit peralatan penelitian berupa Prototype modifikasi reaktor model FDHRAR
yang dibuat dan dipasang di pabrik kelapa sawit milik PTPN VIII, kompor dan lampu uji
nyala biogas, alat-alat gelas untuk analisis air limbah dan biogas dilapangan, peralatan
instrument laboratorium untuk analisis parameter air limbah dan analisis gas-gas di
laboratorium antara lain : spektrofotometer, gas khromatografi, pompa vacum gastec,
flowmeter, balance, pipa-pipa teflon, bag sampler, impinger., weather station dsb
Pengumpulan Data dan Informasi
Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian dibedakan menjadi 2,
yaitu data primer dan sekundair.
Data Primer : diperoleh dari hasil wawancara dengan personil pabrik dan
informasi langsung di lapangan, data produksi pabrik serta data analisis dari sampel
yang diambil di lapangan /di pabrik dan data analisis laboratorium
Data sekundair : data yang diperoleh dari internet, pustaka, journal dan hasil
analisis yang telah dilakukan oleh laboratorium lain, data penelitian terdahulu dan data
dari konsultasi institusi lain.

Prosedur Kerja
Pada awalnya dilakukan pengumpulan data primer yang dilakukan dari pengamatan
lapangan berupa data dari industri CPO yang diteliti meliputi: Proses produksi, kualitas
dan kuantitas limbah serta pengelolaan yang dilakukan. Data sekundair dikumpulkan
dari pustaka, penelitian terdahulu, journal riset, internet dan konsultasi ke institusi lain.
Selanjutnya dilakukan identifikasi karakteristik dan beban cemaran air limbah industri
Crude Palm Oil (CPO). Identifikasi karakteristik dan beban cemaran limbah dilakukan
dengan cara mengambil sampel air limbah pada sumber yang mengeluarkan air
limbah kemudian dilakukan analisis baik di lapangan maupun di laboratorium. Metode
analisa mengacu APHA, AWWA atau SNI, parameter pada analisis air limbah sesuai
dengan baku mutu air limbah pada industri CPO yaitu BOD, COD, TSS, Suhu, pH,
total N . Tahap berikutnya adalah perencanaan Unit peralatan proses skala Prototype
dengan modifikasi reaktor model FDHRAR (Fixed Dome High Rate Anaerobic
Reactor), yang selanjutnya pembuatan/konstruksi alat yang dipasang dilokasi pabrik
kelapa sawit (CPO) milik PT.Perkebunan Nusantara VIII di Kabupaten Lebak, Propinsi
Jawa Barat. Setelah selesai, dilakukan uji Karakterisasi unit peralatan yang sudah
dibuat/di konstruksi antara lain test kebocoran sistem, test kinerja per segmen alat ,
kinerja valve, pompa, sistem aliran pipa baik air maupun aliran gas. Berikutnya
dilakukan seeding mikroba dan aklimatisasi Mikro Organisme supaya adaptasi dengan
air limbah CPO serta pemberian nutrien unsur N dan P menggunakan Urea dan SP
36.
Pada ujicoba proses perombakan dilakukan pada awalnya dengan memasukkan air
limbah CPO melalui bak feeding sebagai input kedalam reaktor /digester.
68
Variabel terikat merupakan air limbah CPO dari pabrik kelapa sawit / CPO PT.
Kertajaya yang berlokasi di kabupaten Lebak propinsi Banten, dengan karakteristik
BOD, COD, TSS, pH, Suhu dan minyak dengan kadar tertentu dari hasil
identifikasi/analisis, dan kecepatan volumetrik air limbah masuk reaktor /digester.
Untuk variabel bebas yang diamati adalah hydraulic retention time (HRT) dan organic
loading rate (OLR) untuk air limbah, sedangkan untuk pembentukan biogas yang diuji
dan diamati adalah komponen parameter : CH4, CO2, H2S, H2O, NH3 dan suhu gas
serta kecepatan volumetrik aliran biogas.
Ujicoba operasional sistem dilakukan dengan mengamati penurunan nilai COD
sebelum dan sesudah proses perombakan dalam digester yang dinyatakan dalam
prosentase (%) dan kg COD per satuan waktu. Penurunan beban COD sebagai dasar
perhitungan konversi pembentukan gas CH4 (methane) pada biogas. Ujicoba ini
dilakukan sampai diperoleh kondisi operasi yang steady state / optimal kemudian
dilakukan analisis dengan parameter lengkap sesuai baku mutu air limbah industri
CPO dan perhitungan pembentukan gas CH4 optimal dalam biogas serta perhitungan
waktu tinggal dalam reaktor (HRT).
Evaluasi hasil dari ujicoba operasional yang optimal, dapat digunakan sebagai dasar
pada perencanaan pilot project dan perhitungan DED pada pengembangan skala yang
lebih besar (scale up)

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil Identifikasi lapangan
Pabrik Kelapa Sawit
sebagai lokasi penerapan
prototipe adalah milik
PTPN VIII yang berlokasi
di Dusun Leiuipuh, Desa
Kertajaya, Kecamatan
Banjarsari, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten.
Pabrik tersebut
memproduksi Crude
Palm Oil (CPO) dengan
kapasitas terpasang 720
ton TBS/hari dan rielnya
rata-rata sekitar 600 ton TBS/hari, dengan operasi 2 shift. Kapasitas produksi CPO
terpasang 52.778 ton/tahun, riel 48.646 ton/tahun, kernel terpasang 9.591 ton/tahun,
riel 8.738 ton/tahun.
3
Pada kegiatan operasional pabrik dihasilkan limbah cair sebanyak 390 m /hari atau
3
0,65 m /ton TBS. Untuk mengolah air limbah sebanyak itu dibutuhkan lahan seluas
sekitar 2,72 Ha dengan 12 kolam pengolahan yang terdiri dari sebagai berikut terinci
pada tabel 2 :
Dari tabel 2 tersebut diatas terlihat waktu tinggal yang dibutuhkan untuk
mengolah air limbah sampai mencapai baku mutu membutuhkan waktu tinggal sekitar
237,6 hari. Hasil identifikasi air limbah dari beberapa kolam pengolahan air limbah
Pabrik Kelapa Sawit milik PTPN VIII seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini :

69
Dari hasil
kajian lapangan
kemudian ditentu-
kan sebagai bahan
baku pembuatan
biogas adalah dari
air limbah outlet
bak pendingin
(kolam anaerobik
primer I). Dari hasil
analisis (Tabel 3)
diatas, kualitas air
limbah dari outlet
bak pendingin
mempunyai nilai
BOD antara
19.504 - 22.696
mg/l, COD antara 35.418 – 41.155 mg/l, TSS antara 19.348 – 31.612 mg/l, pH antara
4,5 – 4,7, minyak lemak antara 285 - 2000 mg/l, total N antara 46,66 – 107 mg/l dan
total P antara 58,90 - 60,00 mg/l. Dengan melihat hasil analisis tersebut diatas maka
dapat dikatakan bahwa air limbah PKS dari outlet bak pendingin mengandung zat
organik tinggi dan kuantitasnya cukup banyak, maka sangat berpotensi untuk
digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas (sumber energi yang terbarukan).
Untuk itu data analisis dari outlet bak pendingin ini kemudian dijadikan data dasar
disain atau perencanaan dalam pembuatan prototype reaktor biogas model Fixed
Dome High Rate Anaerobic Reaktor (FDHRAR).

Perencanaan Prototype Unit Peralatan Biodigester model FDHRAR (Fixed Dome


High Rate Anaerobic Reactor)
Perencanaan prototype unit peralatan digester anaerob model FDHRAR sebagai
pencerna air limbah industri kelapa sawit / industri CPO ini didisain dengan kritera
sebagai berikut:
 BOD influen : 22.400 mg/l
 COD influent : 38.500 mg/l
 TSS influent : 19.000 mg/l
 pH awal influent : 4,5
 minyak lemak : 1.800 mg/l
 effisiensi penurunan COD : 75%.

3
volume reaktor : 24 m

Digester anaerob model FDHRAR ini dirancang terdiri dari 3 (tiga) unit utama dan
1(satu) unit penunjang operasional. Tiga unit utama terdiri dari :
Pertama Reaktor digester, yang berfungsi sebagai pencerna tempat berlangsungnya
proses digestasi air limbah, yang disebut dengan Fixed Dome High Rate Anaerobic
3
Reactor, volume 24 m . Bentuk atasnya dome ½ bola sebagai tempat penampung
biogas yang siap disalurkan ke pengguna. Didalamnya dipasang filter sebanyak 30 %

70
volume sebagai tempat tumbuh dan menempelnya mikroba anaerob pada proses
digestasi. Kedua bak feeding yang berfungsi sebagai tempat untuk menampung air
limbah sebelum masuk ke reaktor digester dengan flow rate tertentu . volume bak
3
feeding 1,5 m yang dilengkapi dengan pompa feeding dari ANP1 dan pelampung
otomatis untuk pengendalian volume supaya tidak terjadi flooding, dan pipa drain
sludge untuk pengurasan endapan dan kran pengatur debit masuk digester secara
kontinyu. Ketiga bak pelimpah yang berfungsi untuk menampung limpahan yang terjadi
apabila terbentuk biogas pada proses digestasi dalam digester yang akan menekan air
limbah yang ada dalam digester mengalir keluar reaktor./sistem. Volume bak limpahan
3
2 m . Bak limpahan ini diatasnya dibuat bentuk tembereng bola, untuk menampung gas
apabila terjadi proses degradasi disitu dari sisa sisa limpahan air limbah dari digester.
Satu unit kelengkapan penunjang operasional sistem berupa pipa dan valve untuk
distribusi hasil biogas yang terbentuk dan dilengkapi dengan manometer sebagai
kontrol tekanan saat menyalurkan hasil biogas pada lokasi penggunaan. Gambar
perencanaan unit digester FDHRAR dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 4. Potongan melintang Digester FDHRAR

Gambar 3. Unit Peralatan Digester


FDHRAR

Hasil dan Pembahasan


Ujicoba operasional digester model FDHRAR dilakukan setelah proses
aklimatisasi dilakukan, dengan memasukkan air limbah dari kolam ANP I ke bak
feeding kemudioan dialirkan ke digester dengan debit 300 liter/jam secara kontinue.
Waktu tinggal yang dicapai pada proses digestasi adalah sepuluh (10) hari. Adapun
hasil analisis beberapa kali pengamatan selama 2 (dua) bulan terakhir adalah sebagai
berikut :
Pengamatan parameter COD

Dari gambar 5 dibawah ini pada lima belas kali pengamatan / analisis menunjukkan
bahwa penurunan parameter COD dalam proses digestasi air limbah CPO saat ujicoba
, diperoleh penurunan COD tertinggi mencapai 74,97%. Terlihat masih fluktuasinya
penurunan parameter COD ini karena pada awalnya proses steady state belum
tercapai , hal ini bisa dilihat dari parameter pH pada efluen digester masih pH 5,4.
Proses steady state akan tercapai pada pH sekitar 6-7 dan masih membutuhkan
waktu. Pada saat kondisi proses steady state tercapai maka penurunan COD sudah
optimal yang berarti pembentukan gas metana juga sudah maksimal. Menurut
Benefield, Larry D dan Rendall,1980 pada proses perombakan bahan organik secara
71
anaerobic akan terkait dengan penurunan nilai COD dan pembentukan gas metan.
Setiap penurunan 1 (satu) kilogram COD, maka akan terbentuk 350 liter gas
metana. Untuk itu penurunan nilai COD dapat menjadi dasar pada perhitungan potensi
pembentukan gas metana pada proses digestasi anaerob.

Pengamatan pH
Dari gambar 6 kenaikan parameter pH dalam proses digestasi air limbah CPO
pada proses ujicoba tersebut diatas, diperoleh kenaikan parameter pH tertinggi masih
mencapai pH 5,4 dari awalnya pH 4,0. Hal ini karena belum tercapai kondisi proses
stady state, dengan indikasi pH netral sekitar 6-7. Hal ini kemungkinan didalam
digester terjadi sebagian besar masih tahap proses asidifikasi yaitu perombakan
komponen organik minyak/lemak terdegradasi menjadi asam asam lemak sehingga
penunjukan pH masih asam. Sedangkan proses methanasi masih sebagian, hal ini
ditunjukkan pada hasil analisis telah terbentuk gas CH4 ,dan komponen gas lainnya
gambar 7

Pengamatan Pembentukan Gas CH4 , CO2 dan gas lainnya dari proses digestasi
Dari gambar 7 diatas menunjukkan bahwa hasil pembentukan gas methana
(CH4) rata-rata 42,69%, gas karbon
dioksida CO2) rata-rata 47,71% dan
gas-gas lain rata-rata 9,6 %. Capaian
pembentukan gas tersebut terlihat
masih fluktuatif, hal ini disebabkan
karena kondisi steady state masih
belum tercapai. Keadaan ini di buktikan
dengan indikasi pH yang masih rendah
(5,4) dan ini menunjukkan kondisi belum
steady state. Disamping itu
pembentukan gas metan belum optimal
karena pada kondisi steady state itu
ditandai dengan kondisi pH yang netral
dan produksi gas metan optimal.
Keunggulan FDHRAR dibandingkan dengan teknologi yang sudah ada atau
digunakan di industri CPO saat ini adalah waktu retensi digestasi lebih cepat (10-15

72
hari) dibanding teknologi yang sudah ada (40-60 hari), hemat lahan dan menghasilkan
energi baru terbarukan. Disamping itu FDHRAR merupakan teknologi ramah
lingkungan karena gas metan yang timbul dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi
dan tidak dibuang ke lingkungan yang akan menyebabkan efek gas rumah kaca.
3
Apabila dihitung produksi gas metan skala prototipe (24 m ) dikonversikan
dengan penurunan COD maka akan didapatkan jumlah gas metan/CH4 yang terbentuk
3 3
sebesar 31,08 m /hari. Nilai kalori biogas antara 4.300 – 6.213 kkal/m , maka potensi
energi biogas yang didapat sebesar : 133.300 – 192.602 kkal/hari. Apabila 859,9 kkal
setara 1 KWH maka didapat potensi energi listrik sebesar 155,018 - 223,98 KWH/hari.
Potensi energi ini sampai sekarang belum dimanfaatkan dan dikembangkan..

Kesimpulan
Diperoleh satu unit prototype peralatan biogas dengan model FDHRAR (Fixed
3
Dome High Rate Anaerobic Reactor) dengan kapasitas 24 m , yang telah
dipasang di pabrik Kelapa sawit PT.Perkebunan Nusantara VIII. di Desa Lieu
Ipuh Kecamatan Banjarsari Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Pada hasil ujicoba
operasional alat diperoleh penurunan konsentrasi COD tertinggi sebesar 74,97%,
pembentukan CH4 tertinggi sebesar 42,69 %, CO2 sebesar 47,71 % dan gas gas
lain sebesar 9,6 % (H2O, NH3, H2S, CO dan H2). Jumlah CH4 yang terbentuk per
3
hari 31,08 m dengan Potensi energi biogas yang diperoleh sebesar 133.300 –
192.602 kkal/hari atau setara dengan energi listrik sebesar 155,018 – 223,98
KWH/hari.

Ucapan terima kasih


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direksi, Administratur dan seluruh
Jajaran PT.Perkebunan Nusantara VIII Kebun Kertajaya yang telah memberikan
ijin dan bantuannya dalam melaksanakan penelitian di PKS Kebun Kertajaya
Lebak –Banten.

Daftar Pustaka
Ansori Nasution, M. 2012, Pengolahan LCPKS Keluaran Fat Pit, Kolam Anaerobik dan
Reaktor Biogas Dengan Elektrokoagulasi, Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Medan.
Badan Pusat Statistik, 2014, Statistik Kelapa Sawit, Badan Pusat Statistik.
Benefield, Larry D, 1980, Biological Processing Design for Wastewater Treatment
Borja R, Banks CL and Sanches E, 1994, Treatment of Palm Oil Mill Effluent by
Upflow Anaerobic Filtration, Jurnal of Chem. Technol. Biotechnol, Vol. 61: 159-
163
Borja R, Banks CL and Sanches E, 1996, Anaerobic Treatment of Palm Oil Mill
Effluent in a Two-Stage Upflow Anaerobic Sludge Blanked (UASB), Jurnal of
Biotechnology, Vol. 45 : 125-135.
Chavaday, AS, 1980, Anaerobic Filter for Biogas Production BPPT, 2013, Pusat
Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi – BPPT, Jakarta
Chin KK, Lee SW and Mohammad H, A Study of Palm Oil Mill Effluent Treatment
Using a Pond System, Water Sci. Technology Journal, Vol 34 : 119-123.
Departemen Pertanian, 2006. “Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit”.
Ditjen PPHP, Departemen Pertanian, Jakarta.
73
Deublein, D dan Steinhauster, A., 2008, Biogas from Waste and Renewable
Resources. An Introduction, WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA,
Weinheim.
Faisal M, Unno H., 2001, Kinetic Analysis of Palm Oil Mill Wastewater Treatment by a
Modified Anerobic Baffled Reactor, Biochem Eng. Jurnal, Vol. 9 : 25-31..
Fakhrul-razi , Noor MJ., 1999, Treatment of Palm Oli Mill Effluent (POME) with the
Membrane Anaerobic System (MAS), Water Sci Technol Jurnal, Vol. 39 : 159-
163.
G.D.Najafpour, Aadeh, A.L Zinatizadeh, AR. Mohamed, M. Hasnain Isa and H.
Nashrllahz, 2005, High-rate Anaerobic Digestion of Palm Oil Mill Effluent in an
Upflow Anaerobic Sludge-Fixed Film Bioreactor, Deparment of Chemical
Enginering, Engineering Faculty, University of Mazandaran, Babol, Iran.
Haandel, Adrianus C. Van, 1994, Anaaerobic Sewage Treatment, A Practical Guide for
Region with a Hot Climate, John Wiley & Son
Huan, 1987 : Trials on Long-term Effects of Application of POME on Soil Properties, Oil
Palm Nutrition and. Yields. In : Proceedings of the International Oil Palm,
Universiti Sains Malaysia
Martin Sihombing, Bisnis.com, 22 Mei 2013.
Muhammad Kismurtono, 2009, Produksi Gas Metana Menggunakan Digester Tipe
Fixed Dome, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Nugroho Raharjo, 2005, Permasalahan Teknis Instalasi Pengolahan Air Limbah Pabrik
Minyak Kelapa Sawit, Studi Kasus IPAL Industri Kelapa Sawit PT. Kertajaya,
2005 BPPT, Jakarta.
Stephen P, Etheride, 2003, Biogas Use In Industrial Anaerobic Wastewater Treatment,
CETESB
Syafputri E., 2012, Apakah Gas Metan Itu, www.antaranews.com. Posting 28 Juni
2012 (jam 20.34), diakses tanggal 31 Mei 2013 (jam 08.30).

74
PERFORMA PENGERING SURYA DIBANTU POMPA KALOR
UNTUK PENGERINGAN BIJI KAKAO

PERFORMANCE OF SOLAR ASSISTED HEAT PUMP DRYER


FOR COCOA BEAN DRYING

Sari Farah Dina, Himsar Ambarita, Siti Masriani,


Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan, Jl. Sisingamangaraja No. 24 Medan,
Indonesia
e-mail:sfdina1@yahoo.com

Abstract
This study aims to determine the performance of solar assisted heat pump dryer for
drying cocoa bean. The drying chamber is made of 0.5 mm thick galvanized zinc plate
with a length x width x height is 2000mm x 2000mm x 1000mm and has four (4) pieces
of perforated rack. Two units of flat plate solar collector is designed having area of 4.5
m2. Absorber is made of aluminum sheets with a thickness of 0.5 mm and it surface is
painted of opaque black. The isolator consisting of polyurethane sheets (outer layer),
styrofoam (middle layer) and rockwool (inner layer) with thickness respectively are
5mm, 25mm and 50mm.The cover is polycarbonate by thick of 3mm. Cooling load of
heat pump is equivalent of 9,000 Btu / hour and using refrigerant R-22 as working fluid.
The research location is in 3,36LU - 98,4BT at altitude of 200 meters above sea level
and the meridian time (GMT + 7). Drying of cocoa beans was conducted in May 2015
for three (3) days and triplicate. The solar radiation was range 20-803 Watt / m2 and
produce a thermal efficiency of the solar collector 1 and 2 respectively 37% and 49%.
Coefficient of performance (COP) and total performance of heat pump are respectively
3.9 and 9.3. The drying rate, the specific moisture extraction rate and specific energy
consumption of cocoa beans are 0.0481 kg / hour, 0.294 kg/kWh and 6.12 MJ/kg
respectively. During the drying progresses, the condition of the drying chamber is in the
temperature range 32-48C and 35-80% RH. Solar assisted heat pump drying of cocoa
bean provide shorter drying time (an average of 24 hours) than open sun-drying
(average of 40 hours or 5 days). The test results showed that the quality of the cocoa
beans are dried with solar dryer assisted heat pump is better than open-sun in terms of
the parameters moisture content, free fatty acids, total fat and aflatoxin content. pH is
slightly lower than open sun, but still above the value of the best cocoa beans from
West Africa.

Keywords: drying, solar thermal, pompa kalor, performance, cocoa bean quality

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengering surya yang dibantu
pompa panas untuk pengeringan biji kakao. Ruang pengering berukuran panjang x
lebar x tinggi adalah 2000mm x 2000mm x 1000mm, terbuat dari plat seng galvanis
tebal 0,5 mm dan memiliki empat (4) buah rak berlubang. Dua unit kolektor surya plat
datar dirancang memiliki luas 4,5 m2. Absorber terbuat dari lembaran aluminium
dengan ketebalan 0,5 mm dan permukaan dicat hitam kusam. Isolator terdiri dari
lembaran poliuretan (lapisan luar), styrofoam (lapisan tengah) dan rockwool (lapisan)
75
dengan masing-masing 5mm tebal, 25mm dan 50mm. Penutup adalah polikarbonat
dengan tebal 3 mm. Beban pendinginan pompa kalor adalah setara dengan 9.000 Btu /
jam dan menggunakan refrigerant R-22 sebagai fluida kerja. Lokasi penelitian adalah di
posisi 3,36LU - 98,4BT, di ketinggian 200 meter di atas permukaan laut dan waktu
meridian (GMT + 7). Pengeringan biji kakao dilakukan pada bulan Mei 2015 selama
tiga (3) hari dengan tiga kali pengulangan. Radiasi matahari adalah rentang 20-803
Watt/m2 dan menghasilkan efisiensi termal kolektor surya 1 dan 2 masing-masing 37%
dan 49%. Koefisien kinerja (COP) dan kinerja total pompa panas adalah masing-
masing 3,9 dan 9,3. Laju pengeringan, tingkat ekstraksi kelembaban spesifik dan
konsumsi energi spesifik biji kakao adalah 0,0481 kg/jam, 0,294 kg/kWh dan 6.12
MJ/kg masing-masing. Selama pengeringan berlangsung, kondisi ruang pengering
adalah dalam kisaran suhu 32-48C dan 35-80% RH. Pengeringan surya dibantu
pompa kalor memberikan waktu pengeringan biji kakao lebih pendek (rata-rata 24 jam)
dibandingkan penjemuran langsung (rata-rata 40 jam atau 5 hari). Hasil uji mutu
menunjukkan bahwa biji kakao yang dikeringkan dengan pengering surya yang dibantu
pompa kalor adalah lebih baik dibanding dengan penjemuran langsung ditinjau dari
parameter kadar air, asam lemak bebas, lemak total dan kandungan aflatoksin. pH
adalah sedikit lebih rendah dari penjemuran langsung namun masih diatas nilai biji
kakao terbaik dari Afrika Barat.

Kata kunci: pengeringan, termal surya, pompa kalor, performa, kualitas biji kakao

PENDAHULUAN
[1,2,3}
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningatkan mutu biji kakao .
Pengeringan merupakan metode paling kuno untuk mengawetkan biji kakao setelah di
panen. Kandungan air dalam biji kakao harus dikurangi dari sekitar 60%wb menjadi
7,5%wb untuk mendapatkan biji dalam kondisi baik selama penyimpanan dan
transportasi. Pengeringan juga memfasilitasi penurunan rasa pahit dan kelat biji kakao
serta mendorong pengembangan karakteristik warna dan aroma khas kakao dari biji
yang difermentasi dengan baik. Pengeringan yang tepat juga menjamin bahwa tidak
[2]
berkembangnya aroma asing dari dalam biji .
Parameter penting yang perlu dikendalikan selama pengeringan adalah laju
pengeringan. Laju pengeringan ekstrim harus dicegah karena cenderung memberikan
dampak negatif pada biji. Jika pengeringan terlalu lambat, menyebabkan
berkembangnya jamur sehingga ini sebagai pemacu timbulnya aroma asing yang tidak
disukai. Jika pengeringan berlangsung sangat cepat, maka oksidasi asam asetat
menjadi terhalang dan ini menyebabkan asam tersebut terperangkap di dalam biji.
[2]
Kandungan asam yang berlebih pada akhirnya mempengaruhi aroma atau rasa biji .
Laju pengeringan tergantung pada tiga faktor, yaitu perpindahan panas ke dalam biji,
pergerakan uap air dari biji ke udara sekitar dan luas permukaan biji yang berhubungan
dengan udara. Untuk itu berbagai metode pengeringan dilakukan untuk melihat model
[4]
kinetika dan juga mutu yang dihasilkan .
Pengeringan kakao dapat dicapai dengan menggunakan dua metode yakni
secara alami dengan memanfaatkan energi matahari (langsung dan tidak langsung)
maupun buatan melalui pengering biji kakao yang dipanaskan. Untuk itu berbagai
rancangan pengering surya untuk mengeringkan produk pertanian telah banyak
76
[5]
dijumpai . Metode pengeringan terputus di bawah sinar matahari memiliki beberapa
kelemahan karena sering dijumpai sebagai produk rusak akibat hujan, angin, lembab
dan debu, kehilangan produk akibat dimakan hewan (burung), serangan serangga dan
jamur dan lain-lain. Pengeringan buatan secara mekanik menggunakan bahan bakar
merupakan suatu pengembangan yang relatif baru namun dianggap mahal dan pada
akhirnya akan menambah biaya proses.
Proses pengeringan dengan udara (air drying) merupakan metode yang paling
umum digunakan namun memiliki beberapa kelemahan seperti memburuknya rasa,
warna dan kandungan gizi produk, peningkatan kadar aflatoksin (racun akibat jamur)
serta potensi migrasi zat terlarut ke permukaan bahan dikarenakan kondisi dan metode
[6]
pengeringan yang tidak dikontrol dengan baik .
Pengeringan terputus (tidak kontinyu) menggunakan mesin pengering
gabungan kolektor surya dan penyimpan panas sensibel dibuktikan telah dapat
memperpendek waktu pengeringan dengan kualitas kakao yang dapat menyamai
[7]
kualitas kakao hasil pengeringan terputus . Kinerja pengering kontinyu sistem
integrasi menggunakan energi surya dengan kolektor plat datar-bersirip dan desikan
pada pengeringan kakao telah dilakukan untuk melihat efektifitas pengeringan. Hasil
penelitian membuktikan bahwa metode kontinyu ini dapat memperpendek waktu
[8,9]
pengeringan hingga 45% dibanding penjemuran langsung .
Meskipun teknologi pengeringan seperti yang telah dijelaskan diatas, telah
dapat mempersingkat waktu pengeringan, namun faktor alamiah cuaca dapat
menyebabkan kondisi pengeringan menjadi diluar kontrol. Untuk mengantisipasi
fluktuasi intensitas radiasi yang dapat mempengaruhi kondisi (temperatur dan RH)
udara pengering maka diperlukan energi buatan yang siap untuk mengendalikan
kondisi udara sesuai yang dibutuhkan untuk pengeringan. Pengeringan surya yang
dibantu dengan pompa kalor adalah jenis pengeringan hibrida atau pengeringan
gabungan. Proses pengeringan yang dibantu pompa kalor adalah proses hemat energy
karena panas yang dipulihkan sehingga dapat menurunkan konsumsi energy atau
[10]
dengan kata lain koefisien kinerja pompa kalor adalah tinggi .
Teknologi pengeringan biji kakao menggunakan pompa kalor pada skala
laboratorium telah dilakuka dan telah menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan
[11]
ditinjau dari parameter uji pH, uji belah dan rasa .
Pengering surya yang dibantu pompa kalor terdiri dari ruang pengering
konvensional dengan system sirkulasi udara, unit kolektor surya, unit kompresi, unit
evaporasi dan kondensor. Unit evaporasi berfungsi untuk mengembunkan uap air yang
dikandung udara, kemudian udara kering dipanaskan kembali oleh unit kondensor dan
akhirnya melewati kolektor surya untuk pemanasan akhir yang optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat mesin pengering surya yang dibantu
dengan pompa kalor untuk mengontrol kondisi udara (RH dan suhu). Dengan sistem
hibrida pompa kalor utamanya berfungsi menurunkan kelembaban udara pengering
dan selanjutnya suhu udara dinaikkan ketika melewati kolektor surya. Salah satu
parameter penting dalam menjaga efektifitas pengerigan adalah konsentasi uap air di
udara.

77
METODOLOGI
Falsafah Desain
Perencanaan alat pengering hibrida bertujuan untuk membantu para petani dalam
mengolah hasil produksi perkebunan dan pertanian. Oleh karena itu pertimbangan yang perlu
diperhatikan dalam perencanaan pengering yaitu: ekonomis, produktifitas tinggi, mudah
pembuatan, kuat dan mudah dioperasikan.

a. Pembuatan Pengering Sistem Hibrida


Pengeringa hibrida seperti ditunjukkan oleh gambar 1 terdiri atas 3 (tiga)
bagian (unit), yakni kolektor surya, pompa kalor dan ruang pengering. Kolektor surya
terdiri atas dua unit yang terhubung secara seri dan masing-masingnya memiliki
ukuran pelat absorber 1500mm x 3000mm. Sebagai isolator digunakan poliuretan
(terluar), styrofoam (tengah) dan rockwool (terdalam) dengan ketebalan masing-
masing 5, 50 dan 50mm. Pelat absorber dibuat dari aluminium dengan tebal 0,50mm.
Permukaannya dilakukan pelapisan dengan cat semprot hitam kusam, agar jangan
terjadi refleksi dan mempunyai absorbsivitas maksimum. Tinggi bukaan celah antara
pelat absorber dan penutup kolektor adalah 100mm. Penutup kolektor berfungsi untuk
meneruskan radiasi matahari dan mencegah terjadinya refleksi radiasi ke lingkungan
yang dapat menyebabkan kehilangan panas. Untuk itu, dibuat dari lembaran
polikarbonat dengan ketebalan 3mm.
Pompa kalor berfungsi untuk
memindahkan panas dari suatu lokasi ke
lokasi lainnya menggunakan kerja mekanis.
Dalam proses memindahkan panas di
hasilkan uap kering dan juga bersuhu sedang.
Ini yang dimanfaatkan untuk proses
pengeringan. Pompa kalor terdiri atas unit
evaporator, kompresor, kondensor, katup
ekspansi, memiliki spesifikasi beban
Gambar 1. Desain konfigurasi
pendinginan setara 9000 Btu/jam dan fluida Mesin Pengering Hibrida
kerja adalah refrigerant jenis R-22.

Kehilangan panas keseluruhan dihitung berdasarkan besarnya total kehilangan


panas konveksi melalui udara lingkungan terhadap permukaan poliuretan, kehilangan
panas konveksi melalui udara didalam kolektor terhadap permukaan pelat, kehilangan
panas pada sisi alas (poliuretan) dan sisi atas dan kehilangan panas radiasi. Energi
matahari yang diterima dihitung sebagai energy radiasi yang diserap oleh kolektor
surya dikurangi dengan panas yang hilang dari kolektor
Q r  F IA    Q l (1)
Dimana F’ adalah factor efisiensi kolektor yang dalam hal ini diasumsikan sebesar 0,9,
dan I, A,  dan  berturut-turut adalah intensitas radiasi (Watt/m ), luas pelat absorber
2
2
dari kolektor (m ), transmisivitas penutup kolektor dan absorpsivitas pelat absorber.
Total panas yang hilang dari kolektor (Ql) dihitung menggunakan persamaan sebagai
berikut:

Q l  Q w  Q b  Q t (2)
78
Dimana Qw (Watt), Qb (Watt) dan Qt (Watt) berturut-turt adalah panas yang hilang dari
dinding, alas dan atas kolektor. Kehilangan ini dihitung menggunakan analogi tahanan
termal seperti yang disajikan dalam gambar 2 dan dihitung menggunakan persamaan
sebagai berikut:

Q w  U w Aw T p  T  (3)

Q b  U b Ab T p  T  (4)
Q  U A T  T
t t t p   (5)

Dimana Uw, Ub dan Ut (Watt/m2.K) adalah koefisien perpindahan panas keseluruhan dari sisi
dinding, alas dan atas (penutup polikarbonat), A adalah luas masing-masing sisi, Tp dan Tu
masing-masing adalah temperatur pelat absorber dan udara ambien.
Efisiensi termal kolektor dihitung berdasarkan perbandingan antara panas yang diterima
absorber (Qr) dan panas matahari yang sampai ke bumi, dihitung menggunakan persamaan
sebagai berikut:
Q
  r x100% (6)
Qi

Uji Performansi Pompa Kalor direpresentasikan dengan menghitung nilai koefisien


kinerja (COP), kinerja total (TP), laju ekstraksi uap air spesifik (SMER) dan konsumsi
energy spesifik yang dihitung sebagai berikut:
Qcd (7)
COP 
Wc
Qcd  Qev
TP  (8)
Wc
m
SMER  d (9)
Wc
1
SEC  (10)
SMER
Dimana Qcd, Qev, W c dan md berturut-turut adalah panas yang dilepas kondensor (kW),
panas yang diserap evaporator (kW), kerja kompresor dan blower (kW) serta laju
pengeringan (kg/jam).

c. Uji coba pengeringan


Sampel biji kakao yang telah diketahui kadar air awalnya ditimbang seberat
1000 gr (basis basah) selanjutnya diletakkan didalam rak kasa. Alat pengering kolektor
surya dipersiapkan. Kolektor surya diletakkan pada posisi yang baik dan benar
(pastikan semua permukaan kolektor surya menerima radiasi matahari). Pastikan
semua alat ukur yang dibutuhkan (Sensor RH/T-meter, anemometer, timbangan, power
meter) telah diaktifkan. Sensor RH/T meter dimasukkan kedalam ruang pengering
untuk merekam perubahan konsentrasi uap air dan temperatur didalam ruang
79
pengering selama proses pengeringan berlangsung. Kabel-kabel termokopel dari Data
Logger dipasangkan pada kolektor surya sesuai Gambar 2. Pompa kalor dihidupkan
dan panel kontrol akan mengatur dengan sendirinya. Pengujian dimulai ketika
kompresor mulai bekerja dan dapat dilihat melalui pressure gauge yang akan
menampilkan tekanan rendah, sedang dan tinggi. Pompa kalor diatur sedemikian rupa
sehingga hanya bekerja pada saat kondisi ruang pengering belum mencapai
temperatur yang diinginkan. Jika suplai energi termal surya dapat memenuhi
kebutuhan tersebut maka secara otomatis kompresor pompa kalor tidak bekerja.
Pengujian dilakukan dari pukul 9.00 pagi hingga pukul 17.00 WIB dan setiap 30 menit
dilakukan penimbangan berat biji kakao dan pengukuran kecepatan udara pada sisi
masuk kolektor menggunakan anemometer. Sejalan dengan waktu pengujian
berlangsung, maka proses perekaman data diberlakukan. Pengujian akan berakhir
apabila tidak ada lagi perubahan berat sampel biji kakao. Pengujian dilakukan dengan
3 kali keberulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Uji Performansi Sistem Kolektor Surya dan Pompa Kalor
Dari hasil pengukuran intensitas radiasi matahari selama uji coba yakni dari jam 9:00
sampai dengan jam 17:00, dapat dilihat pada Gambar 3. Intentesitas radiasi terendah
2 2
adalah 20 Watt/m (jam15:45) dan tertinggi adalah 803 Watt/m (jam 12:45). Kondisi
2
cuaca yang ekstrim ini menghasilkan intensitas rata-rata hanya mencapai 347 Watt/m .
Pola intensitas radiasi ini mirip dengan profil temperatur udara di dalam ruang kolektor
(Gambar 4 dan 5). Dari gambar ini dapat menjelaskan bagaimana intensitas radiasi
berkorelasi positif terhadap suhu udara di dalam kolektor yang akan diteruskan ke
ruang pengering. Desain dari kolektor surya dibuat sedemikian rupa agar udara
memiliki waktu tinggal lebih lama didalam ruang kolektor sehigga panas termal yang
diserap absorber efektif menaikkan suhu udara. Dari gambar 4 dan 5 dapat dilihat
bahwa temperatur udara didalam ruang kolektor berada pada rentang 36–80C dan
temperatur lingkungan berada pada rentang 30-36C. Hal ini telah membuktikan bahwa
sistem isolasi kolektor surya yang dirancang cukup efektif untuk mengisolasi panas
termal yang diserap pelat aluminium (absorber).

Gambar 3. Intensitas Gambar 5. Hasil Gambar 6. Hasil


Gambar 4. Hasil Perhitungan Efisiensi
Radiasi Vs Waktu Pengukuran Temperatur
Pengukuran Temperatur pada Kolektor Surya-2 Termal Kolektor Surya
pada Kolektor Surya-1

Hasil perhitungan efisiensi termal surya untuk masing-masing kolektor dapat


dilihat pada Gambar 6. Susunan seri dari aliran udara melewati 2 (dua) unit kolektor
memberikan waktu tinggal yang lebih lama sehingga dapat lebih meningkatkan
efisiensi termal kolektor surya. Secara garis besar, efisiensi termal rata-rata selama
pengujian untuk kolektor-1 dan kolektor-2 masing-masing adalah 37% dan 49%.
80
Koefisien kinerja (COP) pada pompa kalor dan kinerja total (TP) dihitung
berdasarkan persamaan 10 dan 11 serta menggunakan sifat termodinamika fluida
kerja pada kondisi pengukuran rata-rata sesuai Tabel 1.
COP merupakan indikator efektifitas energi yang digunakan untuk menghasilkan panas
dengan kata lain adalah rasio pemanasan atau pendinginan yang disediakan untuk
energi listrik yang dikonsumsi. Oleh karenanya nilai COP tidak pernah kurang dari 1,
dan semakin tinggi nilai COP maka biaya operasi akan semakin rendah. Hasil
perhitungan nilai COP rata-rata untuk pompa kalor dari mesin pengering sistem hibrida
adalah 3,9. Angka ini memberikan pernyataan bahwa untuk setiap 1kW energi listrik
yang dibutuhkan untuk menggerakkan kompressor akan menghasilkan panas di
kondensor sebesar 3,9 kW. Ditinjau dari nilai kinerja total atau total performance (TP)
rata-rata pompa kalor sebesar 9,3 mengindikasikan bahwa energi 1kW untuk
menggerakkan kompresor mampu menghasilkan 9,3 kW untuk proses pendinginan di
evaporator sehingga menurunkan temperatur dan kelembaban udara serta untuk
proses pemanasan dan menurunkan kelembaban udara udara pada kondensor.

Tabel 1. Data Hasil Pengukuran pada Sistem Pompa Kalor


No Variabel Terukur Satuan Nilai
1 Tekanan refrigerant masuk kPa 550
kompresor
2 Tekanan refrigerant keluar kPa 3100
kompresor
3 Tekanan refrigerant keluar kPa 3050
kondensor
4 Kecepatan udara rata-rata m/det 0,15
5 Suhu rata-rata udara masuk C 38,00
kondensor
6 Suhu rata-rata udara keluar C 48,20
kondensor
2
7 Luas penampang saluran udara m 0,3395

Hasil Pengujian Pengeringan


Hasil Uji Mutu Kakao Profil laju pengeringan biji kakao menggunakan mesin
pengering sistem hibrida termal surya dan pompa kalor dapat dilihat pada Gambar 7.
Pengeringan berlangsung sepanjang hari sedangkan pada malam hari (jam 17:00
sampai dengan jam 09:00 keesokan hari) biji kakao tidak dikeringkan dan dibiarkan
didalam ruang pengering. Pada hari pertama dan kedua, laju penurunan berat biji
kakao adalah secara eksponensial dan pada hari ketiga menunjukkan profil polinomial.
Proses pengeringan dapat dibagi menjadi dua periode, yakni periode laju pengeringan
[9]
yang tinggi dan periode laju pengeringan menurun .
Pada awal pengeringan (hari-1 dan hari-2) dapat dikategorikan sebagai periode
pengeringan yang tinggi. Dalam periode ini, kadar air masih tinggi dan hadir di
permukaan objek. Setelah uap air ini menguap, kandungan uap air didalambiji kakao
(dibawah permukaan) akan berdifusi ke permukaan dan ini membutuhkan waktu.
Dengan demikian, proses pengeringan akan berjalan lambat (hari-3).

81
Uji performansi pengeringan telah ditentukan dengan menghitung 3 (tiga)
parameter yakni laju pengeringan, laju ekstraksi air spesifik dan konsumsi energi
spesifik. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa laju pengeringan secara menyeluruh
adalah sebesar 0,04808 kg/jam. Dengan mengetahui laju pengeringan dan perhitungan
neraca massa, kita dapat memprediksi waktu dan kadar air akhir bahan yang akan
dikeringkan.
Dengan kondisi rentang rata-rata
intensitas radiasi -rata selama
pengeringan adalah adalah 359-434
2
Watt/m (Gambar 3) diperlukan
waktu pengeringan 3 (tiga) hari
terputus dengan total waktu efektif
pengeringan adalah 24 jam. Tinggi
rendahnya intensitas radiasi sangat
mempengaruhi perubahan
temperatur udara didalam ruang
Gambar 7. Penurunan Berat Biji Kakao
pengering. Hasil pengukuran
temperatur dan humiditas relatif (RH) Selama Pengeringan Vs Waktu
didalam ruang pengering seperti yang
disajikan pada Gambar 8 memberikan gambaran kondisi proses pengeringan
(perpindahan panas dan perpindahan massa) berlangsung. Hasil pengukuran
menunjukkan suhu ruang pengering adalah 32-48C dan RH 35-80%. RH pada pagi
hari tinggi dan menurun setelah aliran udara melewati sistem pompa kalor (evaporator
dan kondensor) dan kolektor surya. Semakin rendah nilai RH pada temperatur rendah
(dibawah 50C) akan memiliki konsentrasi uap air lebih rendah sehingga proses
perpindahan massa dari permukaan biji kakao ke udara pengering semakin efektif.

a) b) c)
Gambar 8. Data Kondisi Ruang Pengering (Temperatur dan RH)
a) Hari-1, b) Hari-2, c) Hari-3

Nilai laju ekstraksi air spesifik dan konsumsi energi spesifik hasil perhitungan
(asumsi kompresor pompa kalor adalah berturut-turut 0,294 kg/kWh dan 6,12 MJ/kg.
Nilai ini menggambarkan berapa energi yang dibutuhkan untuk menguapkan 1 kg air
[9]
dari biji kakao. Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu menggunakan energi
surya dan termokimia (13,16 MJ/kg), maka nilai konsumsi energi spesifik dari mesin
pengering sistem hibrida termal surya dan pompa kalor adalah lebih rendah.

82
Hasil Uji Mutu Biji Kakao
Hasil pengujian mutu biji kakao sebelum dikeringkan, biji kakao hasil
pengeringan system hibrida dan biji kakao hasil penjemuran langsung dapat dilihat
pada tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Uji Mutu Biji Kakao
Parameter Satuan Biji Kakao Biji Kakao Hasil Biji Kakao Hasil
Uji Sebelum Pengeringan Penjemuran
Dikeringkan Sistem Hibrida Langsung
Kadar Air % 51,04 6,12 6,69
pH - 5,06 5,62 5,67
Asam % 0,31 0,79 1,13
Lemak
Bebas
Lemak % 32,88 40,45 35,28
Total
Aflatoxin ppb 2,80 2,35 3,25
 Kadar Air
Hasil analisa mutu biji kakao seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dapat dilihat
bahwa kadar air awal biji kakao sebelum dikeringkan memiliki kadar air 51,04%. Kadar
air akhir setelah dikeringkan dengan mesin pengering sistem hibrida adalah 6,12%.
Pada saat yang bersamaan juga dilakukan pengeringan dengan cara penjemuran
langsung dan kadar air akhir biji yang dikeringkan adalah 6,69%. Hal ini dapat
membuktikan bahwa pengeringan dengan sistem hibrida memberikan pola laju
pengeringan lebih cepat dibanding dengan penjemuran langsung. Untuk mengeringkan
biji kakao secara penjemuran langsung diperlukan waktu pengeringan 5 (lima) hari
atau setara dengan 40 jam efektif, sedangkan dengan pengering system hibrida hanya
diperlukan waktu pengeringan lebih singkat 3 (tiga) hari atau setara dengan 24 jam
efektif.
 pH
Pada kakao, pH yang rendah selalu dihubungkan dengan kandungan asam-
asam volatil yang tinggi. Semakin tinggi pH kakao yang diperoleh maka semakin besar
laju pengeluaran asam asetat hasil fermentasi yang terjadi pada saat pengeringan.
Kadar asam yang tinggi pada biji kakao selalu dihubungkan dengan pH kurang dari
5,2, dan telah dibuktikan bahwa biji kakao dengan aroma terbaik dari Afrika Barat
[11]
selalu mempunyai pH sekitar 5,5 .
Hasil analisa pH biji kakao hasil pengeringan menunjukkan bahwa baik sistem
hibrida maupun penjemuran langsung memiliki pH>5,5. Selain itu laju pengeringan
yang dikendalikan melalui kondisi temperatur dan RH rendah memberikan kesempatan
untuk menguapkan asam-asam volatil didalam biji kakao. Hal ini dapat dilihat dari pH
biji sebelum dikeringkan adalah 5,06 dan setelah dikeringkan menjadi 5,62.
 Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas (ALB) merupakan parameter kerusakan lemak yang
dibebaskan karena terjadinya proses hidrolisis oleh mikroorganisme pada keadaan
lembab dan kotor. Gliserida dari asam-asam lemak berantai pendek yang dihasilkan
[12]
akibat proses hidrolisa ini menimbulkan perisa dan rasa tengik . Oleh karenanya,
keberadaan asam lemak bebas di dalam lemak kakao harus dibatasi untuk
menghindari kerusakan mutu. Codex Allimentarius, 2001 menetapkan toleransi
kandungan asam lemak bebas di dalam biji kakao dengan batas maksimum 1,75 %.
Hasil analisa menunjukkan meskipun masih dalam batas toleransi, namun selama
83
pengeringan terjadi kenaikan kadar ALB dibanding biji kakao sebelum dikeringkan.
Kadar ALB didalam biji kakao hasil penjemuran langsung lebih tinggi dibanding hasil
pengeringan sistem hibrida. Hal ini disebabkan selama pengeringan berlangsung
terutama pada hari-1, itensitas radiasi setelah jam 14:30 menurunan hingga <200
2
Watt/m sehingga menjadi pemicu terjadinya proses hidrolisis oleh mikroorganisme.
 Lemak Total
Hasil analisa biji kakao sebelum dikeringkan memiliki kadar lemak cukup
rendah (32,88%) dan setelah dikeringkan dengan sistem hibrida naik hingga 40,45%
sedangkan dengan penjemuran langsung memiliki kadar lemak lebih rendah yakni
35,28%. Rendahnya kadar lemak hasil percobaan ini dikarenakan kadar lemak buah
kakao yang belum dikeringkan sudah cukup rendah sehingga ketika kadar air
berkurang akibat pengeringan, kadar lemak akan naik namun kenaikannya tidak terlalu
tinggi. Menurut persyaratan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, kadar
lemak biji kakao yang baik adalah minimal 55%. Oleh karenanya kadar lemak biji
kakao yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan.
 Aflatoksin
Aflatoksin merupakan kelompok metabolit sekunder yang dapat memberikan
efek berbahaya bagi kesehatan karena bersifat karsinogenik, mutagenic, teratogenik
dan immunosupresif; yang utamanya disebabkan aktifitas kapang Aspergillus flavus,
Aspergillus parasiticus dan Aspergillus nomius. Cemaran ini tumbuh pada berbagai biji-
[14]
bijian dan kacang-kacangan pada suhu antara 24 sampai 35C . Meskipun pada biji
kakao belum ditetapkan batasan maksimal kadar aflatoksin, namun pada jagung yang
digunakan sebagai pakan ternak telah diatur dalam SNI kadarnya tidak melebihi 50
ppb. Berdasarkan hasil analisa aflatoksin pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa baik
dari biji kakao yang masih basah maupun biji kakao hasil pengeringan mengandung
aflatoksin cukup rendah. Kadar aflatoksin lebih tinggi dijumpai pada biji kakao hasil
penjemuran langsung yakni 3,25 ppb dibanding biji kakao hasil pengeringan system
hibrida yakni 2,35 ppb. Penjemuran langsung di alam terbuka lebih memungkinkan
terjadinya aktifitas kapang berbahaya ini.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Rancang bangun dan pembuatan mesin pengering menghasilkan gambar
teknik dengan spesifikasi sebagai berikut:
 kolektor surya
ukuran: 1500mm x 3000mm
jumlah: 2 buah
 absorber, pelat aluminium tebal 0,5 mm
 pompa kalor
konsumsi daya normal: 950 Watt
refrijeran : R-22
 ruang pengering
dimensi :2000mmx2000mmx1000mm
jumlah rak : 4 buah
kapasitas : 40-50 kg

84
bahan : pelat seng tebal 0,5mm
2. Uji coba pengering sistem hibrida telah dilakukan pada kondisi cuaca
2 2
fluktuatif yakni tertinggi 803 Watt/m dan terendah 20 Watt/m .
3. Efisiensi termal rata-rata kolektor surya yakni 37% untuk kolektor pertama
dan 49% untuk kolektor kedua dihitung pada saat kodisi intensitas radiasi
rata-rata 346 Watt/m2.
4. Nilai koefisien kinerja (COP) dan kinerja total (TP) rata-rata dari pompa kalor
berturut-turut adalah 3,9 dan 9,3.
5. Laju pengeringan biji kakao selama 3 hari adalah 0,04808 kg/jam dan
konsumsi energi spesifik 6,12 MJ/kg pada kondisi rata-rata intensitas radiasi,
2
suhu dan kelembaban ruang pengering berturut-turut 359-434 Watt/m , 32-
48C dan RH 35-80%.
6. Laju ekstraksi air spesifik dan konsumsi energi spesifik pengeringan biji
kakao sistem hibrida termal surya dan pompa kalor adalah 0,294 kg/kWh dan
6,12 MJ/kg.
7. Pengeringan dengan sistem hibrida termal surya dan pompa kalor
memberikan waktu pengeringan lebih singkat (rata-rata 24 jam) dibanding
penjemuran langsung (rata-rata 40 jam atau 5 hari).
8. Mutu biji kakao yang dihasilkan adalah lebih baik dibanding dengan
penjemuran langsung ditinjau dari parameter kadar air, asam lemak bebas,
lemak total dan kandungan aflatoksin. pH sedikit dibawah nilai penjemuran
langsung namun masih diatas nilai biji kakao terbaik dari Afrika Barat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bonaparte A., Z. Alikhani, C.A. Madramootoo, and V. Raghavan, 1998. Some
Quality Characteristics of Solar-Dried Biji kakao Beans in St Lucia, Journal
Science Food Agriculture no. 76, pp. 553-558.
2. Hii C.L., Law C.L., Cloke M., Suzannah S., 2009. Thin layer drying kinetics of
cocoa and dried product quality, Biosystem Engineering (102): 153 – 161.
3. Zahouli G.I.B, Tagro Guchi S, Monk’e Fae, Ban-Koffi L. and Gnopo Nemlin J.,
2010. Effect of Drying Methods on the Chemical Quality Traits of Cocoa Raw
Material, Advance Journal of Food Science and Technology, 2 (4): 184 – 190.
4. Clement A. D, N. E. Assidjo, P. Kouame, and K.B. Yao, 2009, Mathematical
modelling of sun drying kinetics of thin layer biji kakao (Theobroma Cacao)
beans”, Journal of Applied Sciences Research, vol. 5, no.9, pp. 1110-1116.
5. Sharma A., Chen C.R., Nguyen Vu Lan, 2009. Solar-energy drying systems: A
review, Renewable and Sustainable Energy Reviews, (13): 1185 – 1210.
6. Mujumdar, A.S., Chung L.L., 2010, Food and Bioprocess Technology, Drying
Technology: Trends and Applications in Postharvest Processing, DOI
10.1007/s 11947-010-0353-1, Springer Science
7. Fagunwa A.O., Koya O.A. and Faborode M.O., 2009, Development of an
Intermittent Solar Dryer for Cocoa Beans, Agricultural Engineering
International: the CIGR Ejournal Manuscript number 1292, vol XI, July.
8. Dina S.F., Farel H.N., Himsar A., 2013. Kajian Berbagai Metode Pengeringan
Untuk Perbaikan Mutu Biji Kakao Indonesia”, Jurnal Riset Industri, Vol. 7,
No.1: 35 – 52.
85
9. Dina S.F., Ambarita H., Napitupulu F.H., Hideki Kawai, 2015, Study on
Effectiveness of Continuous Solar Dryer Integrated with Desiccant Thermal
Storage for Drying Cocoa Beans, Journal Case Study in Thermal Engineering,
Elsevier, ISSN: 2214-157X, (5): 32-40
10. Daghigh R., MH. Ruslan, MY. Sulaiman, Kamaruzzaman S., 2010, Review of
Solar Assisted Heat Pump Drying Systems for Agricultural and Marine
Products, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14: 2564-2579.
11. Hii C.L., Law C.L., Cloke M., Suzannah S., 2011. Improving Malaysian cocoa
quality through the use of dehumidifiedair under mild drying conditions,
Journal of Science of Food and Agriculture (91): 239 – 246.
12. Jumriah L, Elly I., Maryati B. dan Junaedi M., 2011, “Pemetaan Lemak dari Biji
Kakao (Theobroma cocoa L) di Sulawesi Selatan”, Disertasi, Program
Pascasarjana Univiversitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia.
13. Utami T, Fx. Hartanta A.N., Sri U., Sri M., Endang S.R., 2012, Penurunan
Kadar Aflatoksin B1 pada Sari Kedelai oleh Sel Hidup dan Sel Mati
Lactobacillus acidophilus SNP-2, J. Teknologi dan Industri Pangan, vol XXIII,
no.1: 58-63.
14. Codex Alimentarius Commision, 2001. Codex Standard for Cocoa Butter,
Codex Stan 86-1981, Rev.1-2001, Food and Agriculture Organization of
United Nations, Geneva.
15. SNI 2323-2008: Biji kakao, Badan Standardisasi Nasional, ICS 67.140.30.

86
PENINGKATAN KUALITAS BATA MERAH MENJADI BATA EKSPOS
DI IKM
Sri Cicih Kurniasih, Subari, Arie Prasojo

ABSTRAK

Penelitian pembuatan bata ekspos dari tanah liat dicampur dolomit dan
serbuk gergaji/abu sekam padi sebagai bahan aditif telah dilakukan. Tanah liat yang
digunakan berasal dari 2 (dua) lokasi yaitu Dusun Kamasan dan Dusun Pangaduan
Desa Sindanggalih Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut. Dalam kegiatan
penelitian ini telah dicoba beberapa komposisi campuran bahan baku untuk dibuat bata
pejal yang menggunakan tanah liat Desa Sindanggalih sebagai bahan baku utama
serta dolomit, serbuk gergaji dan atau abu sekam padi sebagai bahan aditif. Tahapan
percobaan penelitian yang dilakukan mencakup pengolahan dan pencampuran bahan-
baku sampai homogen, pembentukan bata pejal, pengeringan dan pembakaran pada
o
suhu sekitar 800 C.
Penelitian ini diperoleh hasil bata pejal ekspos berwarna merah yang telah
memenuhi standar SNI.15-2094-2000 tentang bata merah pejal untuk pasangan
2
dinding. Bata ekspos yang diteliti mempunyai kuat tekan tertinggi 82,45 kg/cm lebih
besar dibandingkan dengan bata merah biasa. Density berkisar antara 1,72 – 1,80
3
gram/cm dan penyerapan air dibawah 25%.
Hasil penelitian ini telah diterapkan oleh CV. Alam Jaya Garut dan dapat
meningkatkan kualitas, kuantitas dengan pemanfaatan limbah.

Kata kunci : Clay Karangpawitan Garut, bahan aditif, proses pembakaran, bata
ekspos.

Abstract
Exposed brick in this research was made from clay with dolomite and sawdust
addition. The clay was taken from 2 (two) source of location Dusun Kamasan and
Dusun Pangaduan, sindanggalih Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut. Several
compositions have been tried for condenced brick production made from Desa
Sindanggalih clay with the mixtures of sawdust, dolomite and/or rice husk as . The
first procedure was treatment and mixture of raw materials followed by condensed brick
forming, drying and firing at 800°C.
The product meet SNI standard 15-2094-2000 for wall condensed brick . The
2
highest compressive strength could be obtained was 82.45 kg/cm , higher than usual
common brick compressive strength. The Density was 1.72 -1.80 gr/cm3 and water
absorbtion was less than 25%.
This study has been tried and implemented in one of brick factory in Garut and
some improvement was made in terms of quality, quantity and waste utilization.

Keyword: Clay, additive material, firing, exposed brick

87
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Sebuah rumah tentunya sudah sangat lazim jika menggunakan batu bata
sebagai dinding, kemudian bata yang telah disusun sebagai dinding tersebut ditutupi
dengan material beton atau semen. Setelah itu, dinding yang telah jadi tersebut akan
dicat warna-warni sesuai dengan keinginan sang punya rumah, Namun ada beberapa
rumah dimana tembok batu batanya tidak ditutupi kembali oleh semen atau
beton,melainkan hanya begitu saja, atau istilah lainnya menggunakan bata ekspos.
Bata ekspos adalah sebuah batu bata yang sengaja didesain khusus dengan tekstur
yang lebih lembut dari pada biasanya, selain itu, teksturnya juga sangat rapi dari pada
biasanya. Batu bata ini sangat halus, selain itu bentukya juga sangat artistik dan kotak
mulus. Ukuran batu bata ini tentunya sudah disesuaikan, dan mempunyai standar
sendiri yaitu 20cm x 10 cm x 5 cm, dengan berat sekitar 1,6 hingga 1,8 kg. Batu bata
ini memiliki kerapatan yang cukup padat, sehingga tidak akan tembus oleh air. Adapun
beberapa keunggulan menggunakan bata ekspos antara lain : membuat rumah
terkesan artistic, lebih hemat, dapat diaplikasikan dengan berbagai macam furniture
Daerah Kabupaten Garut tepatnya didaerah Kecamatan Karangpawitan
terdapat sumber bahan mentah non logam atau bahan galian industri sebagai bahan
baku untuk dibuat bata merah pejal, seperti misalnya di dusun Kamasan desa
Sindanggalih (clay PGRI) dan dusun Pangaduan desa Sindanggalih kecamatan
Karangpawitan (clay Pangaduan). Bahan clay dikedua daerah tersebut memiliki
karakteristik hampir sama dengan yang dari clay Brazil apabila dibakar pada suhu
tinggi memperlihatkan warna merah bata [Sousa and Holanda, 2004]. Dengan
terdapatnya bahan mentah clay atau tanah liat di kecamatan Karangpawitan maka di
daerah kecamatan tersebut banyak pengusaha bata merah pejal, salah satunya adalah
pengusaha bata merah pejal CV. Alam Jaya.
Pengusaha bata merah ini telah berproduksi lebih dari 10 tahun namun bata
merah yang diproduksi bersifat monotun serta kualitas bata masih kurang dilihat dari
nilai penyerapan air dan kekuatan tekan. Oleh karena itu penguhasa bata merah CV.
Alam Jaya ini akan mengembangkan produk batanya kearah bata ekspos dengan
penyerapan air yang rendah (dibawah 25%) dan kekuatan tekan yang tinggi (diatas 65
2
kg/cm ), yang dalam proses pembuatannya akan memanfaatkan bahan limbah serbuk
gergaji dan atau abu sekam padi sebagai bahan aditif [1] serta menggunakan bahan
dolomit sebagai campuran tanah liat. Bahan tanah liat yang digunakan untuk
pembuatan bata ekspos berasal dari dusun Kamasan (clay PGRI) dan dusun
Pangaduan (clay Pangaduan) desa Sindanggalih Kecamatan Karangpawitan.
Dalam percobaan penelitian ini bahan clay dicampur dengan dolomit dan
serbuk gergaji. Mengingat potensi cadangan endapan dolomit di daerah Kabupaten
Garut dan Tasikmalaya jumlahnya puluhan juta ton dan bahan serbuk gergaji disekitar
Kabupaten Garut jumlahnya melimpah. Campuran bahan lempung (clay) dan dolomit
o
pada perbandingan berat tertentu bilamana dibakar pada suhu dibawah 860 C sudah
2
terjadi proses pemadatan yang sempurna dengan nilai kuat tekan diatas 100 kg/cm
[2]. Komposisi campuran bahan clay dan dolomit untuk produk bata ekspos adalah clay
sekitar 50-80 % % dan dolomit 20-50 % berat.

88
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi bata merah pejal menurut SNI 15-2094-2008 adalah bahan bahan
bangunan yang berbentuk prisma segi empat panjang, pejal, atau berlubang dengan
volume lubang maksimum 15%, dan digunakan untuk konstruksi dinding bangunan,
yang dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur bahan aditif dan dibakar pada
suhu tertentu
Pada umumnya dalam memproduksi bahan bangunan keramik menggunakan
lempung (clay) sebagai bahan baku utama. Bahan clay ini dalam pembuatan bahan
bangunan keramik jenis bata pejal atau bata berlubang dapat digunakan sebagai
bahan tunggal. Akan tetapi untuk meningkatkan karakteristik produk bata seperti
penyerapan air dan kekuatan mekanis dapat digunakan felspar atau dolomit. Bahan
o
clay yang dicampur dengan dolomit serta dibakar pada suhu 450-600 C dan 600-800
o
C akan terjadi reaksi dan komponen-komponen yang terbentuk sebagai berikut [2] ;
o
Suhu 450-600 C :

Al2O3 2SiO2 + 3 CaCO3  2CaOSiO2 +CaOAl2O3 + 3 CO2


Fe2O3 + 2CaCO3  2CaOFe2O3 + 2CO2

Dalam reaksi tersebut gugus OH terisolasi dari mineral clay (kaolinite, illite
dan lain-lain) akan terbentuk aluminosilikat yang aktif dan secara cepat bereaksi
dengan karbonat. Kemudian akan mengalami dehidrasi sehingga terbetuk formasi
o
2CaOSiO2, CaOAl2O3 dan 2CaOFe2O3. Selanjutnya pada suhu 600-800 C akan terjadi
reaksi :

3[CaMg(CO3)2]  3MgO +2CaO + CaCO3 + 2CO2


Al2O3 + 2CaO  2CaOAl2O3
SiO2 + 2CaO  2CaOSiO2
Fe2O3 + 2CaO  2CaOFe2O3

Selama proses pengerasan dan hidrasi akan terbentuk suatu reaksi kimia :

2CaOSiO2 + H2O  2CaOSiO2H2O,

dimana reaksi ini dapat meningkatkan kekuatan mekanis suatu produk bahan
bangunan keramik. Selain itu tanah liat yang mempunyai nilai ratio Al2O3/SiO2 rendah
dan kandungan Fe2O3 tinggi adalah sangat baik untuk dibuat bata ekspos serta
batanya berwarna merah cerah [3]. Disamping itu kandungan K2O, Na2O, CaO dan
MgO juga penting sebagai oksida pelebur (fluxing agent), karena jenis dan jumlah
kandungan oksida pelebur tersebut merupakan faktor utama dalam mengendalikan
tahap vitrifikasi dari pada bata dalam pembakaran.

METOLOLOGI PENELITIAN
a. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu alat pengering, ayakan
standar ukuran 80 mesh dan 100 mesh, jaw crusher, cetakan bata ekspos, tungku dan
alat pendukung. Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan selain clay yang dari
perusahaan CV. Alam Jaya juga bahan dolomit dan serbuk gergaji.
89
b. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dalam percobaan pembuatan bata ekspos pejal adalah
sebagai berikut:
1. Pembuatan Bata Ekspos dari clay Pangaduan dan dolomit (kode PND)
No Komposisi Jumlah Persentase
(gram)
1 Dolomit ukuran < 1 mm 810 5,96%
2 Serbuk Gergaji 940 6,91%
3 Clay Pangaduan 11000 80,88%
4 Air 850 6,25%

2. Pembuatan Bata Ekspos dari clay PGRI dan dolomit (kode PGR)
No Komposisi Jumlah (gram) Persentase
1 Dolomit ukuran < 1 mm 810 5,96%
2 Serbuk Gergaji 940 6,91%
3 Clay PGRI 11000 80,88%
4 Air 850 6,25%

3. Pembuatan Bata Ekspos dari campuran clay dan dolomit (kode CMP)
No Komposisi Jumlah (gram) Persentase
1 Tanah Pangaduan 6600 38,85%
2 Tanah PGRI 6600 38,85%
3 Dolomit  < 1 mm 1620 9,54%
4 Serbuk Gergaji 470 2,77%
5 Air 1700 10,01%

4. Pembuatan Bata Ekspos dari dolomit, campuran Clay & Abu Sekam (CMPA)
No Komposisi Jumlah (gram) Persentase
1 Dolomit tepung (-100 mesh) 810 5,31%
2 Clay PND + clay PGR 11000 72,18%
3 Pecahan bata ukuran < 2 mm 1240 8,14%
4 Abu sekam ukuran < 2 mm 490 3,22%
5 Air 1700 11,15%

5. Pembuatan Bata Ekspos dari Clay Pangaduan & Abu sekam (PNDA)
No Komposisi Jumlah (gram) Persentase
1 Dolomit kasar ( < 3 mm) 810 5,31%
2 Clay PND (Pangaduan) 11000 72,18%
3 Pecahan bata  < 2 mm 1240 8,14%
4 Abu sekam padi 490 3,22%
5 Air 1700 11,15%

90
Prosedur pembuatan bata ekspos adalah sebagai berikut :
1. Penyiapan peralatan dan bahan bahan yang diperlukan
2. Penimbangan masing-masing bahan sesuai komposisi yang dirancang
3. Pencampuran komposisi bahan sampai homogen
4. Granulasi komposisi bahan yang sudah dicampur dengan ayakan dengan
ukuran diameter () < 4 mm
5. Pencetakan bata menggunakan alat hydraulic press dengan tekanan 200
2
kg/cm
6. Pengeringan pada udara terbuka selama 10 hari
7. Pembakaran bata dengan menggunakan tungku gas pada suhu pembakaran
o
sekitar 800 C.
8. Karakterisasi yang meliputi susut kering, susut bakar, densiti, penyerapan air
dan kuat tekan bata

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian yang dilakukan menunjukkan karakteristik sebagai berikut :

a. Data hasil uji susut kering dan susut bakar produk bata ekspos
Data hasil uji susut kering dan susut bakar
terhadap produk bata ekspos untuk CV. Alam Jaya
dengan kode PGR, PND, PNDA, CMP dan CMPA
dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan data
hasil uji susut kering (lihat Gambar 1) bahwa bata
merah ekspos yang dibuat dari clay dusun
Pangaduan mempunyai nilai susut kering lebih
kecil dibandingkan dengan clay dusun Kamasan.
Hal ini kemungkinan besar clay dusun Pangaduan
mengandung komponen silika (SiO2) lebih besar Gambar 1. Data hasil uji susut
dibandingkan dengan clay dusun Kamasan. kering dan susut bakar
Suatu bahan lempung yang mengandung
komponen silika tinggi akan memberikan nilai susut kering yang rendah ( < 2,0 %)
[1,4,5].

b. Data hasil uji density bata eskpos yang mentah (belum dibakar)
Data hasil uji density (berat per volume) terhadap produk bata ekspos yang
mentah (belum dibakar) dengan kode PGR, PND, dan CMP dapat dilihat pada Gambar
2. Berdasarkan pada data hasil uji density bata
ekspos mentah (belum dibakar) dan yang sudah
dibakar pada suhu 800 oC (lihat Gambar 2.),
nilai density bata ekspos mentah relatif lebih
rendah dari pada bata ekspos yang sudah dibakar,
hal ini disebabkan karena bata sudah dibakar
sudah terjadi reaksi ikatan clay dan dolomit yang
akan terbentuk mineral baru seperti misalnya
mineral besi (hematite) dan mulite (2Al2O3.SiO2). Gambar 2. Data hasil uji density bata
[7] ekspos sebelum dan sesudah dibakar
91
Dari sebanyak 50 buah bata pejal yang dibakar ternyata ada beberapa buah
yang batanya retak, hal ini disebabkan karena untuk komposisi tertentu seperti yang
kode PNDA bahwa abu sekam padi yang digunakan tidak diayak terlebih dahulu
dengan menggunakan ayakan ukuran diameter 2 mm dan untuk yang menggunakan
serbuk gergaji menampakkan batanya berwarna merah cerah serta bagian permukaan
bata muncul pori-pori. Munculnya pori-pori pada bagian permukaan bata karena bata
yang dicampur serbuk gergaji pada saat dibakar bahan serbuk gergaji turut terbakar
bersama-sama tanah liatnya.
Selain itu retaknya bata untuk yang kode PND dengan komposisi campuran
bahan clay, dolomit dan serbuk gergaji nampaknya pemakaian serbuk gergaji terlalu
banyak, yang baik penggunaan serbuk gaji maksimum 10 % [8,9] dan bahan dolomit
yang digunakan ukuran butirnya masih agak kasar (dibawah 3,0 mm). Ukuran
kehalusan butir dolomit yang digunakan sebagai bahan baku keramik sekitar 100 mesh
[2]. Selama proses pembakaran pada suhu tinggi, dolomit yang memiliki ukuran butir
sangat halus dapat meningkatkan kekuatan mekanis karena adanya reaksi antara
komponen CaO dan MgO dengan mineral lempung [10]

c. Hasil uji penyerapan air dan kuat tekan bata ekspos sudah dibakar 800
o
C
Data hasil uji penyerapan air dan kuat
tekan terhadap produk bata ekspos yang sudah
o
dibakar pada suhu 800 C dengan kode PGR,
PND, PNDA, CMP dan CMPA dapat dilihat pada
Gambar 3.

Berdasarkan pada data hasil uji (lihat


Gambar 3.) bahwa bata merah ekspos dengan
kode PND 8 memiliki nilai penyerapan air yang
kecil dan nilai kuat tekan yang besar. Adapun
penambahan bata ekspos dengan menggunakan
abu sekam padi sebagai bahan aditif memiliki
nilai penyerapan air yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan yang tanpa abu sekam
padi. Hal ini kemungkinan besar ukuran butir abu
sekam padi yang digunakan masih agak kasar
(lolos 2 mm) sehingga belum terjadi reaksi
o
sempurna setelah dibakar pada suhu 800 C, yang semestinya ukuran butir abu sekam
padi yang baik untuk dibuat campuran produk bahan bangunan sekitar 150 mesh [6].
Karakteristik bata ekspose telah
memenuhi persyaratan standar SNI.15-2094- Gambar 3. Data hasil uji penyerapan
2000 tentang bata merah pejal untuk pasangan air dan kuat tekan bata ekspos
dinding. Nilai tertinggi kuat tekan bata merah
2
ekspos yaitu kode PND8 sebesar 82,45 kg/cm dan nilai terendah kuat tekannya
2
adalah kode CMPA sebesar 67,21 kg/cm , lebih besar dari pada produk bata merah
yang diproduksi oleh CV. Alam Jaya yang mempunyai nilai kekuatan tekan hanya
2
berkisar antara 54 – 60 kg/cm .

92
Hasil penelitin bata ekpos telah diimplementasikan oleh CV Alam Jaya yang telah
memproduksi pada kegiatan awal sebanyak 120.000 buah dan berlanjut saat ini telah
meningkat hingga 480.000 buah dengan harga Rp 1.000/buah dengan nilai
keuntungan 30%

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Penelitian pembuatan bata ekspos dari tanah liat dicampur dolomit dan
serbuk gergaji/abu sekam padi sebagai bahan aditif pada beberapa variasi komposisi
dengan kode PGR, PND, CMP, dan CMPA diperoleh bahwa karakteristik bata ekspose
telah memenuhi persyaratan standar SNI.15-2094-2000 tentang bata merah pejal
untuk pasangan dinding. Nilai tertinggi kuat tekan bata merah ekspos yaitu kode PND8
2
sebesar 82,45 kg/cm dan nilai terendah kuat tekannya adalah kode CMPA sebesar
2
67,21 kg/cm , lebih besar dari pada produk bata merah yang diproduksi oleh CV. Alam
2
Jaya yang mempunyai nilai kekuatan tekan hanya berkisar antara 54 – 60 kg/cm .
Hasil penelitin bata ekpos telah diimplementasikan oleh CV Alam Jaya yang
telah memproduksi pada kegiatan awal sebanyak 120.000 buah dan berlanjut saat ini
telah meningkat hingga 480.000 buah dengan harga Rp 1.000/buah dengan nilai
keuntungan 30%
Saran
Perlu dilakukan monitoring ke CV. Alam Jaya untuk mengetahui perkembangan
produksinya dan meningkatkan jenis produk bata yang lain.
Perlunya sosialisasi ke IKM bata di seluruh Indonesia tentang produksi bata ekpos

DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan MA, Yami AM, Raji A, Ngala MJ ; Effect of saw dust and rice husk
additives on properties of local brick clay, The International Journal of
Engineering and Science (IJES), Vol. 3, Issue 8, 2014
2. Youssef NF; Dolomite fine quarry waste replaces raw dolomite in the
manufacture of ceramic wall tiles, Tile and Brick International, Volume 19
(2003)[3], p. 152-156
3. Sumer G ; The Physical properties of red clay from the Kayakent Eskisehir
Region Turkey and its usage in ceramic bodies, Tile and Brick International, Vol.
14 No. 6, 1999, p. 416-418
4. Serry M.A, Hegab O.A and Abd El-Wahed A.G; Egyption smectite rich clays for
lightweight and heavy clay products, An International Journal of Mineralogy,
Crystallography, Geochemistry, Ore deposits: Periodico di Mineralogia [2015],
84, 2, p. 351-371
5. Ozkan I ; Densification behavior of red firing Menemen clay ; Journal of the
Australian Ceramic Society, Vol. 51[2], 2015, p. 36-39
6. Nimyat P.T, Tok Yohanna ; Effect of saw dust ash (SDA) pozzolana on the
performance of blended cement paste concrete at high temperatures, Journal of
Civil and Environmental Research, Volume 3. No. 11, 2013.
7. Edwin F dan Subari ; Karakterisasi endapan lempung di Kecamatan Bojong
Picung Kabupaten Cianjur dan Kemungkinan penggunaannya untuk bahan
bangunan keramik, Jurnal Keramik dan Gelas Indonesia, Vol. 13 No. 2, 2004

93
8. Sultana M.S, Ahmed A.N, Zaman M.N, Rahman M.A ; Utilization of hard rock
dust with red clay to produce roof tiles, Journal of Asian Ceramic Societies, Vol.
3, Issue 1, March 2015, p. 22-26
9. Sousa S.J.G, Holanda J.N.F ; Development of red wall tiles by the dry process
using Brazilian raw materials, Ceramic International 31 [2005], p. 215-222
10. Isabel Iglesias, Emilia Garcia-Romero, Anselmo Acosta ; Influence of dolomite
microcrystals on the technological properties of Santa Cruz de Mudela clays
used for building ceramics, Applied clay science, Vol. 102, December 2014,
p.261-267

Lampiran

Dokumentasi kegiatan dan contoh produk bata ekpos

94
GH67 Α-GLUCURONIDASE ENZIM PENDEGRADASI HEXENURONIC ACID
DARI PAENIBACILLUS CURDLANOLYTICUS B-6
a b,c b
Krisna Septiningrum , Akihiko Kosugi dan Hiroshi Ohi
a
Balai Besar Pulp dan Kertas, Jl. Raya Dayeuhkolot No. 132 Bandung 40258
b
Graduate School of Life and Environmental Sciences, University of Tsukuba,
1-1-1 Tennodai, Tsukuba, Ibaraki 305-8572, Japan
c
Japan International Research Center for Agricultural Sciences (JIRCAS), 1-1
Ohwashi, Tsukuba, Ibaraki 305-8686, Japan

ABSTRAK
Selama proses pemasakan secara alkali, 4-O-Methylglucuronic acid (MeGlcA), gugus
samping dari xilan yang berikatan melalui α-1,2 glikosidik terkonversi menjadi
hexenuronic acid (HexA). α-Glucuronidase (EC 3.2.1.139) menghidrolisis ikatan 1,2
MeGlcA dari xilooligosakarida. Untuk mengetahui apakah α-glucuronidase mampu
menghidrolisis xilooligosakarida yang berikatan dengan HexA, gen pengkode α-
glucuronidase dari P. curdlanolyticus B-6 dikloning dan diproduksi.Protein rekombinan
yang diperoleh mampu mendegradasi hexenuronosyl xylotriose (ΔX3), senyawa model
yang disiapkan dari kraft pulp sehingga dihasilkan xilotriosa dan HexA sebagai produk
utama. Untuk mengetahui kemampuan α-glucuronidase dalam proses bio-bleaching,
enzim intraseluler dari P. curdlanolyticus B-6 digunakan untuk mendegradasi ΔX3.
Sistem enzim intraselular tersebut mampu mendegradasi ΔX3 menjadi xilosa dan
HexA karena aktivitas sinergis dari α-glucuronidasedan β-xilosidase.Hasil ini
mengindikasikan bahwa α-glucuronidasemerupakan enzim kunci yang dapat
digunakan untuk menghilangkan HexA dari ΔX3 yang berasal dari pulp, sehingga
dapat mengurangi kebutuhan bahan kimia pada proses pemutihan pulp.

Kata kunci: HexA, GH67 -glucuronidase, P. curdlanolyticus B-6, hexenuronosyl


xylotriose(ΔX3), bio-bleaching
ABSTRACT
4-O-Methylglucuronic acid (MeGlcA) side groups attached to the xylan backbone
through -1,2 linkages are converted to hexenuronic acid (HexA) during alkaline
pulping.-Glucuronidase (EC 3.2.1.139)hydrolyzes 1,2-linked MeGlcA from
xylooligosaccharides. To determine whether -glucuronidase canalso hydrolyze HexA-
decorated xylooligosaccharides, a gene encoding -glucuronidase from P.
curdlanolyticus B-6 was cloned and produced. The obtained recombinant protein
degraded hexenuronosyl xylotriose(ΔX3), a model substrate prepared from kraft pulp,
to released xylotriose and HexA as the main product.To explore the potential for bio-
bleaching, ΔX3 degradation was performed using intracellular extract from P.
curdlanolyticus B-6. The intracellular extract, with synergistic-glucuronidase and β-
xylosidase activities, degraded X3 to xylose and HexA. These results indicatethat -
glucuronidase can be used to remove HexA from X3 derived from pulp, reducing the
need forchemical treatments in the pulping process.
Keywords: HexA, GH67 -glucuronidase, P. curdlanolyticus B-6, hexenuronosyl
xylotriose(ΔX3), bio-bleaching

95
1. PENDAHULUAN
Ketika proses pemasakan serpih kayu dalam kondisi basa dan suhu tinggi, gugus
4-O-methyl-D-glucuronic acid (MeGlcA) yang berikatan dengan polimer xilan melalui
ikatan α-1,2 glikosidik akan terdegradasi sejumlah 75-90%. Gugus MeGlcA yang
tersisa pada pulp akan terkonversi secara langsung menjadi 4-deoxy-β-L-threo-hex-4-
enopyranosyluronic acid (hexenuronic acid atau HexA) melalui β-eliminasi etanol atau
melalui produk antara 4-O-methyliduronic acid(Johansson dan Samuelson, 1997;
Simkovic et al., 1986). Keberadaan gugus HexA ini berpengaruh penting terhadap
proses pemutihan pulp dan kualitas pulp yang dihasilkan. HexA diketahui memberikan
kontribusi terhadap bilangan kappa (KN) (Li dan Gellerstedt, 1988), meningkatkan
konsumsi bahan kimia yang digunakan pada proses pemutihan (Vuorinen et al., 1999),
mengikat ion-ion logam, meningkatkan reaksi pembalikan warna (brightness reversion)
(Granstrom et al., 2001) dan berkontribusi dalam pembentukan asam oksalat yang
akan memicu pembentukan kerak pada mesin kertas.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan
kandungan HexA di dalam pulp seperti dengan menambahkan tahapan asamdiantara
proses pemasakan dan pemutihan (Vuorinen et al., 1999), menggunakan oksidan
elektrofilik seperti elemental klorin, klorin dioksida, ozonasi atau penggunaan peracid
acid (Cadena et al., 2010). Penggunaan enzim juga menunjukkan prospek yang baik.
Saat ini, xilanase dan lakase diketahui mampu untuk menghilangkan HexA secara
efektif pada proses bio-bleaching (Valls et al., 2009; Valls et al., 2010; Valls et al.,
2010b). Hal ini menunjukkan pemutihan secara enzimatis merupakan salah satu
teknologi yang menjanjikan untuk diaplikasikan di industri pulp dan kertas. Namun, di
satu sisi kedua enzim ini mempunyai efisiensi yang rendah, karena baru mampu
menghilangkan HexA sekitar 30% ketika diaplikasikan pada pulp Eukaliptus (Valls et
al., 2010b). Selain itu proses penghilangan HexA memerlukan tambahan bahan kimia
seperti sistem mediator untuk lakase (Valls et al., 2010b).
Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan enzim baru yang lebih efisien dan bisa
menghilangkan HexA secara langsung dari pulp.
α-Glucuronidase (EC 3.2.1.139) menghidrolisis ikatan α-1,2 glikosidik antara α-D-
glucuronic acid (GlcA) atau 4-O-methyl glucuronic acid (MeGlcA) dengan residu D-
xilosa pada xilooligosakarida (aldouronic acids). α-Glucuronidase yang mampu
menghidrolisis ikatan tersebut biasanya dikategorikan kedalam famili glycoside
hydrolase 67 (GH67) (Nurizzo et al., 2002; Nagy et al., 2003). Enzim ini diketahui
mampu untuk menghilangkan asam uronat dari oligomer seperti
glucuronoxylooligosaccharides, namun tidak mampu menghidrolisis polimer seperti
glucuronoxylan. α-Glucuronidasediharapkan mampu untuk menghilangkan gugus HexA
secara langsung karena kesamaan posisi HexA dan MeGlcA terhadap xilan.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bakteri xilanolitik dari strain
Paenibacillus mampu mendegradasi hexenuronosyl xylotriose (ΔX3) menggunakan
kombinasi enzim ekstraselular dan intraselular seperti xilanase dan β-xilosidase,
namun mekanisme degradasi senyawa tersebut oleh kedua enzim belum jelas
(Winyasuk et al., 2012). Selain itu belum ada penelitian terdahulu yang menunjukkan
apakah α-glucuronidase dapat digunakan untuk menghilangkan HexA dari ΔX3.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan karakterisasi α-glucuronidase dari
strain Paenibacillus untuk mengetahui kemampuan enzim tersebutdalam
mendegradasi ΔX3. Untuk mengetahui hal tersebut, maka perlu dibuat senyawa model
96
HexA dari kraft pulp Eukaliptus secara alkali dan enzimatis yang digunakan sebagai
substrat. Pada penelitian ini, kami mencoba untuk menghilangkan HexA secara
langsung dari ΔX3 menggunakan GH67 α-glucuronidase yang berasal dari
Paenibacillus curdlanolyticus B-6. Bakteri ini dipilih karena telah terkarakterisasi
dengan baik sebagai bakteri xilanolitik yang mampu mendegradasi polimer xilan
dengan gugus sampling GlcA, MeGlcA, asetil, feruloyl dan p-coumaroyl secara efisien
menggunakan kompleks mutienzim selulase dan hemiselulase (Pason et al., 2006;
Pason et al., 2010). α-Glucuronidasedari P. curdlanolyticus B-6 ini diharapkan mampu
untuk meningkatkan kestabilan kecerahan pulp melalui penghilangan gugus HexA
secara enzimatis.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Teknologi terkini untuk menghilangkan HexA
Beberapa teknologi sudah digunakan untuk menghilangkan HexA dari pulp yaitu
secara kimiawi dan biologi.Teknologi ini dapat diaplikasikan sebelum atau sebagai
bagian dari urutan proses pemutihan pulp.

A. Penghilangan HexA sebelum proses pemutihan pulp secara kimiawi


Beberapa teknologi untuk menghilangkan HexA dari pulp kraft secara selektif
telah dikembangkan. Teknologi penghilangan tersebut dilakukan sebelum proses
pemutihan pulp karena HexA dapat bereaksi dengan beberapa bahan kimia
pemutihan. Metode yang banyak digunakan adalah hidrolisis asam pada konsentrasi
rendah (A stage).Ketika tahap asam ini digunakan untuk menghilangkan HexA,
konsentrasi HexA dalam pulp menurun secara signifikan, penurunan konsentrasi
tersebut dipengaruhi oleh beberpa faktor seperti suhu dan waktu reaksi.
Vuorinen et al. (1999) menyatakan perlakuan asam secara selektif dapat
menghilangkanHexA sejumlah 90% pada pulp kraft birch, dengan kondisi suhu 85° -
115 °C antara pH 3,0 dan 4,0 selama 45 menit s.d 10 jam. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Jiang et al. (2006) menunjukkankandungan HexA di dalam kraft pulp
dapat dihilangkan sebesar 60% dengan hidrolisis asam pada suhu 90-95 °C, pH 3,0
selama 3 jam, atau pada suhu 120 °C, pH 3,5-4,0 selama 45 menit (Jiang et al., 2006).

B. Penghilangan HexA pada proses pemutihan pulp secara kimiawi


HexA dapat dihilangkan dengan menggunakan beberapa bahan kimia pemutihan
elektrofilik seperti klorin dioksida, ozon, delignifikasi oksigen dan peracid acid. Buchert
et al(1995) menyatakan kandungan HexA padaPinus sylvestris dipengaruhi oleh
jumlah klorin dioksida (ClO2) yang digunakan pada proses pemutihan.
KonsentrasiHexA pada pulp delignifikasi oksigen hampir seluruhnya dihilangkan pada
tahapan D2. Jumlah HexA yang dapat dihilangkan dengan ClO2 tergantung dari jumlah
awal HexA dan KN, dan ClO2 yang digunakan. Namun reaksi yang terjadi pada proses
pemutihan ini menyebabkan terbentuknya senyawa organoklorin, khususnya diklorinasi
strukturasam dikarboksilat yang bersifat persiten dan toksik jika dilepaskan ke
lingkungan.
Upaya untuk menghilangkan HexA juga dilakukan pada tahap delignifikasi
oksigen. Namun beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
jumlah HexA yang signifikan antara pulp coklat dengan pulp delignifikasi oksigen,

97
karena oksigen tidak reaktif terhadap HexA (Vuorinen et al., 1999;Gellerstedt dan Li.,
1996;Buchert et al., 1995;Andrew, 2007).
Ozon merupakan oksidator bebas klorin yang paling kuat, ketika tahapan ozon
digunakan pada proses pemutihan pulp Eukaliptus yang telah didelignifikasi oksigen,
HexA dan lignin dapat dihilangkan dari pulp namun di sisi lain depolimerisasi selulosa
juga terjadi (Pouyet et al., 2013).
Petit-Breuilh et al. (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan peracid
acid(peroxymonosulphuric (Ps) acid), untuk menghilangkan HexA pada pulp Eukaliptus
coklat. Pulp coklat diberikan perlakuan yang berbeda yaitu pada suhu dari 20°- 110° C
dengan konsentrasi Ps 0,2-1,0%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa Ps mampu
menghilangkan HexA dan lignin secara efektif, bahkan dalam kondisi ringan.

C. Aplikasi bioteknologi untuk menghilangkan HexA


Teknologi kimiawi yang digunakan untuk menghilangkan HexA memiliki
keterbatasan terkait dengan isu lingkungan dan isu teknis seperti pembentukan
senyawa klor-organik dan menurunnya kualitas pulp misalnya viskositas karena
penggunaan ozon (Pouyet et al., 2013). Beberapa teknologi berbasis biologi, seperti
penggunaan enzimsaat ini telah digunakan untuk menghilangkan HexA
Xilanase (EC 3.2.1.8)
Xilanase saat ini banyak digunakan untuk proses pra-pemutihan pulp, namun beberapa
penelitian menunjukkan xilanase juga dapat digunakan untuk menurunkan kandungan
HexA pada pulp, sebagai efek sekunder (Thakur et al., 2012; Valenzuela et al., 2014;
Shatalov dan Pereira, 2009; Aracri dan Vidal, 2011; Cadena et al., 2011). HexA dapat
dihilangkan dari pulp dengan cara menghidrolisis xilan yang mengandung HexA
menggunakan xilanase (Valls, 2010b). Beberapa xilanase dari famili yang berbeda (GH
5, 10, 11dan30) telah digunakan untuk menghilangkan HexA (Valenzuela et al., 2014;
Valls et al., 2010, Gallardo et al., 2010). Setiap famili xilanase yang digunakan
menunjukkan perilaku yang berbeda ketika diaplikasikan untuk menghilangkan HexA,
perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: sumber alami polimer
xilan, proses pemasakan yang digunakan, panjang polimer xilan, kandungan xilan
pada serat, jenis dan aksesibilitas dari xilan serta keberadaan dan kandungan gugus
samping xilan (Valenzuela et al., 2014; Valls et al., 2010, Gallardo et al., 2010).
Lipase (EC. 3.1.1.3)
Lipase komersial (Amano, lipaseA) telah diaplikasikan untuk proses pra-perlakuan pulp
kayu daun dan kayu jarum (Nguyen et al., 2008). LipaseA mengandung aktivitas
feruloyl esterase dan beberapa enzim tambahan lainnya. Kandungan enzim pada
lipase ini diduga berasosiasi dengan efek langsung proses pemutihan terhadap
menurunnya KN dan kandungan HexA pada pulp yang digunakan. LipaseA dapat
menurunkan kandungan HexA antara 13% dan 24,4% pada unbleached hardwood
kraft pulp(UBHW), oxygen delignified hardwood kraft pulp(O2HW), unbleached
softwood kraft pulp (UBSW) dan oxygen delignified softwood kraft pulp (O2SW).
Lakase (EC 1.10.3.2)
Valls dan Roncero (2009) menyatakankandungan HexA pada pulp kraft Eukaliptus
menurun oleh sistem lakase-HBT dan penurunan tersebut didorong oleh perlakuan
awal menggunakan xilanase. Efektifitas lakase untuk menghilangkan HexA dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti sumber lakase, kondisi aplikasi, dan jenis mediator yang
digunakan (Aracri dan Vidal., 2011, Cadena et al., 2011). Hambatan terbesar untuk
98
aplikasi LMS pada skala industri adalah utama potensi toksisitas dari mediator sintetis,
mediator cost (Thakur et al., 2012, Woolridge, 2014) dan terbentuknya radikal hidroksil
yang dapat menyebabkan oksidasi selulosa sehingga derajat polimerisasi selulosa
menurun yang ditandai dengan menurunnya viskositas pulp (Aracri dan Vidal, 2011,
Valls et al., 2010b, Woolridge, 2014).
Lakase-HBT diketahui dapat menghancurkan HexA dengan caramengoksidasi
senyawa tersebut. Mekanisme serupa juga teramati ketika bahan kimia pemutih
elektrofilik seperti klorin dioksida, ozon dan perasid digunakan untuk menghilangkan
HexA.Namun penggunaan lakase-HBT pada dosis tinggi dapat menurunkan viskositas
pulp. Sistem-lakase-HBT akan mendegradasi selulosa dengan cara membentuk gugus
karbonil yang dapat memecah selulosa dengan β-eliminasi pada kondisi alkali (Valls et
al., 2010b).

3. METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan kerja yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari:

a. Produksi GH 67 α-glucuronidase rekombinan (AguA) skala laboratorium


Tahapan ini terdiri dari beberapa tahapan seperti: a). kloning dan sekuensing gen
GH67 α-glucuronidase (aguA) dari P. curdlanolyticus B-6; b). konstruksi vector ekspresi
AguA; dan c). produksi dan pemurnian AguA rekombinan. Metode selengkapnya dapat
dilihat pada Septiningrum et al. (2015).
Produksi AguA dilakukan dengan menggunakan E.coli yang ditumbuhkan pada
medium LB yang mengandung ampisilin pada suhu 37°Ckemudian ekspresi protein
dilakukan dengan menambahkan 1 mM isopropyl-β-D-thiogalactopyranoside ke dalam
medium. Sel E.coli kemudian dipanen dengan cara sentrifugasi (8.500 x g, 10 min,
4°C) dan dibekukan pada suhu -80°C selama 24 jam. Isolasi protein dilakukan dengan
menggunakan sonikator.Lisat dari suspensi ini kemudian dipisahkan dengan
sentrifugasi dan dimurnikan menggunakan Profinia Affinity Chromatography Protein
Purification System.Protein yang diperoleh ditentukan kandungannya menggunakan
metode Bradford.Penentuan berat molekul protein dilakukan dengan menggunakan
SDS-PAGE.AguA yang diperoleh pada tahapan ini digunakan untuk karakterisasi
enzim dan uji degradasi senyawa model.

b. Pembuatan senyawa model hexenuronosyl xylotriose (ΔX3) dari pulp kraft


Eukaliptus
Senyawa model disiapkan dari pulp putih Eucalyptus globulus L. dengan metode
ekstraksi alkali (NaOH) dan hidrolisis enzim berdasarkan metode Winyasuk et al.
(2012).Tahapan pembuatan senyawa model dapat dilihat pada Septiningrum et al
(2015).

c. Hidrolisis ΔX3 menggunakan α-glucuronidase rekombinan (AguA)


Kemampuan enzim untuk mendegradasi ΔX3 dilakukan dengan mengukur jumlah
xilotriosa yang dilepaskan dari senyawa model dengan HPAEC-PAD (Dionex,
Sunnyvale, CA, USA).ΔX3 (4,7–6,0 mM) diinkubasi dengan AguA (50–60 µg/mL) pada
100 mM buffer sodium asetat (pH 6,0) pada suhu 40°C selama 3 jam.Reaksi enzim
dihentikan dengan cara dididihkan pada suhu 100°C selama 10 min. Eluen yang
digunakan untuk pemisahan adalah 100 mM NaOH dan 100 mM NaOH/1 M sodium
99
asetatdengan kecepatan alir 1 mL/min. ΔX3 otentik, yang disediakan oleh Dr. Shigeki
Yoshida (University of Tsukuba, Ibaraki, Japan), digunakan sebagai standar. α-
Glucuronidase komersial (Megazyme International, Bray, Ireland) yang berasal dari
Geobacillus stearothermophilusdigunakan sebagai kontrol positif.

d. Simulasi degradasi ΔX3 secara biologi menggunakan ekstrak kasar dari P.


curdlanolyticus B-6
Ekstrak kasar intraselular dari P. curdlanolyticus B-6 diproduksi dengan
menggunakan medium Berg’s mineral saltyang ditambahkan 0,5% (w/v) birchwood
xylansebagai sumber karbon. Kultur ditumbuhkan selama 48 jampada suhu 37°C
menggunakan 300 mL medium. Sel P. curdlanolyticus B-6 dipanen dengan cara
memisahkan sel dengan supernatan menggunakan sentrifugasi (8.500 ×g, 10 min,
4°C) kemudian dibekukan pada suhu −80°C selama 24 jam. Sel pelet bakteri
disuspensikan pada 10 mL buffer sodium asetat 50 mM (pH 6,0). Suspensi yang
diperoleh tersebut disonikasi, disentrifugasi (10.810 ×g, 10 min, 4°C) untuk
memisahkan lisat dan debris sel. Lisat yang diperoleh digunakan sebagai ekstrak kasar
intraselular. Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan
Bovin serum albumin sebagai standar.Kosentrasi protein yang diperoleh adalah 2.7
mg/mL.

e. Uji aktivitas dan karakterisasi enzim


Aktivitas α-glucuronidasedilakukan dengan mengukur jumlah gula tereduksi yang
dilepaskan dari Aldouronic acid (Megazyme) menggunakan metode (Milner dan
Avigad, 1967) dengan menggunakan kurva standar D-glucuronic acid (Sigma-
Aldrich).Satu unit α-glucuronidaseadalah jumlah enzim yang dibutuhkan untuk
melepaskan 1 μmolglucuronic acid per menit pada kondisi uji yang digunakan.
Karakterisasi α-glucuronidaserekombinan dilakukan untuk beberapa parameter
seperti: spesifikasi substrat terhadap substrat lain,penentuan pH optimum, suhu
optimum, stabilitas pH, dan thermostabilitas dan engaruh berbagai ion logam dan
bahan kimia. Sedangkan parameter yang dikarakterisasi untuk ekstrak kasar
intraselular adalah aktivitas xilanase,β-glukosidase dan β-xilosidase.

4. Hasil dan Pembahasan


A. Hasil Penelitian
Karakterisasi AguA dari P. curdlanolyticus B-6
Berdasarkan uji homologi menggunakan program Blast, AguA termasuk ke
dalam glycoside hydrolase(GH) 67. Hal ini sesuai dengan beberapa literatur yang
menyatakan bahwa α-glucuronidase dari bakteri termasuk ke dalam GH67.Untuk
mengetahui apakah α-glucuronidasedapat mengilangkan HexA maka gen GH67 α-
glucuronidase(aguA) dariP. curdlanolyticus B-6 diklon dan diekspresikan menggunakan
strain E.coliBL21. Hasil penelitian menunjukkan bahwa full lengthsaguAadalah 2,070bp
dan mengkode protein sejumlah 690 asam amino dengan berat molekul 77,3 kDa.
Hasil karakterisasi AguA yang telah dimurnikan menunjukkan bahwa AguA
memiliki aktivitas spesifik yang sangat tinggi terhadap gugus samping dari aldouronic
acidsyaitu methyl glucuronic acid (MeGlcA) serta tidak memiliki aktivitas terhadap
polimerbirchwood xylan dan 4-O-methyl-D-glucurono-D-xylan, serta substrat sintetisp-
nitrophenyl-β-D-glucopyranoside. pH optimal AguA adalah 6,0, dan stabil pada rentang
100
pH 4,0–7,0. Sedangkan suhu maksimal adalah 40°C pada pH 6.0.Berdasarkan hasil
karakterisasi tersebut, AguA diketahui memiliki rentang spesifikasi yang rendah
terhadap substrat, AguA hanya mampu menghilangkan asam uronat dari non reducing
ends dariglucuronoxylooligosaccharidesnamun tidak mampu menyerang polimer xylan
sepertiglucuronoxylan (Nagy et al., 2003;Bronnenmeier et al., 1995; Zaide et al., 2001;
Nagy et al., 2002).Selain itu pengaruh berbagai ion logam terhadap aktivitas AguA juga
dievaluasi lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan AguA membutuhkan ion logam
2+ 3+ 2+ 2+
spesifik untuk aktivitas katalitiknya.Ion Co , Fe , Cu , dan Ni dengan konsentrasi 1
mM diketahui dapat meningkatkan aktivitas AguA sebesar 173%, 244%, 194%, dan
2+ 2+ 2+ 2+ +
119%. Namun kehadiran ion logam seperti Mg , Mn , Ca , Zn , dan K dapat
menurunkan aktivitas AguA sebesar 88%, 78%, 47%, 71%, dan 70%.

Penghilangan HexA dari hexenuronosyl xylotriose (ΔX3) oleh AguA


Untuk mengetahui kemampuan GH67 α-glucuronidase untuk menghilangkan
HexA dari hexenuronosyl xylooligosaccharides(ΔX3), ΔX3dibuat dari kraft pulp
Eukaliptus dan digunakan sebagai senyawa model.Kromatogram senyawa model yang
diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil HPAEC-PAD menunjukkan adanya pelepasan senyawa xilotriosa ketika
ΔX3 diinkubasi dengan AguA, puncak ΔX3 menurun seiring dengan meningkatnya
xilotriosa yang dilepaskan (Gambar 2).Untuk mengkonfirmasi apakah puncak tersebut
benar-benar xilotriosa, β-xilosidase ditambahkan ke dalam produk hidrolisis (Gambar
2).Hasil hidrolisis menunjukkan bahwa xilotriosa diubah seluruhnya menjadi xilosa oleh
β-xilosidase.Hasil ini menunjukkan bahwa AguA mampu menghidrolisis ikatan α-1,2
glikosidikdari ΔX3 sehingga diperoleh xilotriosa sebagai produk akhir, meskipun gugus
samping dari substrat adalah HexA bukan MeGlcA.
Untuk mengetahui apakah GH67α-glucuronidases dari bakteri lain mampu
menghidrolisis ikatan α-1,2 glikosidikdari ΔX3 maka GH67 α-glucuronidasekomersial
dariG. stearothermophilus(Megazyme International) (Zaide et al., 2001; Golan et al.,
2004; Shallom et al., 2004) digunakan sebagai kontrol positif. Hasil hidrolisis
menunjukkan α-glucuronidasedariG. stearothermophilusjuga mampu untuk
menghidrolisis ΔX3 menjadi xilotriosa dan HexA. Hal ini menunjukkan bahwa GH67 α-
glucuronidases memiliki prospek untuk digunakan sebagai teknologi baru/ alternatif
untuk menghilangkan HexA dari kraft pulp secara spesifik jika dibandingkan dengan
enzim lainnya seperti xilanase, lakase dan lipase.

Simulasi degradasi hexenuronosyl xylotriose (ΔX3) menggunakan ekstrak kasar


P. curdlanolyticus B-6
Untuk mengetahui kemampuan enzim dari P. curdlanolyticus B-6 dalam
mendegradasi ΔX3, enzim ekstraselular dan intraselular diproduksi menggunakan
kultur bakteri dengan menggunakan birchwood xylan sebagai sumber karbon. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa aktivitas α-glucuronidasedan β-xilosidase pada enzim
intraselular lebih tinggi jika dibandingkan dengan enzim ekstraselular.Hasil ini
mendukung bahwa GH67 α-glucuronidasedariP. curdlanolyticus B-6 merupakan enzim
intraselular (Pason et al., 2006). Untuk mengetahui lebih lanjut kemampuan α-
glucuronidase untuk menghilangkan HexA secara langsung dalam proses bio-
bleachingdilakukan simulasi kemampuan enzim intraselular untuk mendegradasi ΔX3.

101
Hasil penelitian menunjukkan terdapat sejumlah kecil xilotriosa yang dilepaskan
ketika ΔX3 diinkubasi menggunakan enzim intraselular.Selain itu, konsentrasi xilosa
meningkat seiring dengan menurunnya konsentrasi ΔX3 di dalam produk hidrolisis
(Gambar3).Fenomena ini tidak ditemukan ketika ΔX3 diinkubasi dengan enzim
ekstraselular (data tidak ditunjukkan).Mekanisme degradasi ΔX3 oleh enzim
intraselular ini dapat dijelaskan dengan efek sinergis dari α-glucuronidase dan β-
xilosidase.Produk hidrolisis dari α-glucuronidase, xilotriosa, dikonversi menjadi
monomer xilosa oleh aktivitas β-xilosidase.
Gambar 2. HPAEC-PAD analisis
darihidrolisis ΔX3 oleh AguA dan hidrolisis
xilotriosa

Gambar 1. ΔX3 setelah diberi


perlakuan β-xilosidase

Kromatogram HPAEC-PAD hasil


fraksinasi ΔX3 sebelum (atas) dansesudah
(bawah) diberi perlakuanβ-xilosidase.Respon
PAD (nC) dan waktu retensi (min) ditunjukkan pada sumbu y dan x. Garis putus-putus
pada kromatogram menunjukkan konsentrasi eluen yang digunakan

Tiga HPAEC-PAD kromatogram menunjukkan senyawa model ΔX3 tanpa


perlakuan AguA (atas), dengan perlakuan AguA (tengah), danproduk reaksi hidrolisis
AguA setelah dihidrolisis lebih lanjut olehβ-xilosidase (bawah). Respon PAD (nC) dan
waktu retensi (min) ditunjukkan pada sumbu y dan x. Garis putus-putus pada
kromatogram menunjukkan konsentrasi eluen yang digunakan

Pembahasan

1) Aspek kelayakan teknologi


α-Glucuronidasedari Paenibacillus curdlanolyticus B-6 dapat diterapkan sebagai
metode alternatif untuk mendegradasi HexA secara langsung dari pulp pada proses
bio-bleaching.

2) Aspek keunggulan dibanding teknologi yang sudah ada


Ketika enzim baru ini digunakan untuk menghilangkan HexA secara langsung,
beberapa keuntungan yang dapat ditawarkan adalah:
1. Ketika HexA dapat dihilangkan secara selektif dari pulp menggunakan α-
glucuronidase, kualitas pulp yang diperoleh akan meningkat, seperti meningkatnya
kestabilan kecerahan pulp, viskositas pulp, rendemen serta menurunkan PC

102
number. Kekuatan fisik yang diperoleh diharapkan tidak berubah karena enzim
hanya mendegradasi HexA dan tidak menghidrolisis hemiselulosa yang diketahui
dapat meningkatkan kekuatan pulp seperti kekuatan tarik.
2. Dengan dihilangkannya gugus karboksilat pada hemiselulosa dari pulp maka
muatan permukaan serat akan berubah sehingga kandungan ion logam di dalam
pulp dapat berubah sehingga proses degradasi bahan kimia pemutihan oleh ion
logam akan menurun.
3. Ketika α-glucuronidase digunakan untuk menghilangkan HexA, gugus asam uronik
yang dapat berikatan dengan ion logam akan dihilangkan sehingga kandungan ion
logam di dalam pulp akan menurun. Akibatnya penggunaan bahan pengkhelat
seperti (ethylene diamine tetraacetic acid, EDTA ataudiethylene triamine penta
acetic acid, DTPA) setelah proses pemutihan pulp proses TCF dapat diturunkan
bahkan dihilangkan

3) Akspek kelayakan ekonomi


Ditinjau dari aspek ekonomi, produksi α-glucuronidasedari P. curdlanolyticus B-6
diindikasikan dapat memberikan beberapa keuntungan ekonomi yaitu:
a. Sebagai substitusi bahan kimia pemutihan berbahan dasar klorin
b. Dapat menurunkan konsumsi bahan kimia elektrofilik seperti klorin dioksida, ozon
dan peroksida karena HexA bereaksi dan mengkonsumsi bahan kimia tersebut
dalam proses pemutihan pulp akibatnya biaya produksi bisa menurun
c. Pengembangan industri pulp dan kertas ramah lingkungan.

4) Aspek kelayakan sosial dan lingkungan


Proses pemutihan pulp menjadi lebih ramah lingkungan karena enzim dapat
mengurangi penggunaan bahan kimia pemutih berbahan dasar klorin, sehingga dapat
menurunkan kandungan senyawa organoklorin yang terbentuk

5. Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Kehadiran HexA memberikan efek negatif terhadap proses pemutihan pulp dan
kualitas pulp yang diperoleh. Untuk mengetahui kemampuan α-glucuronidase (AguA)
dalam mendegradasi hexenuronosyl xylotriose (ΔX3), GH67 α-glucuronidase yang
berasal dariP. curdlanolyticus B-6 dikoning, diproduksi dan dikarakterisasi untuk
mengetahui kemampuannya dalam mendegradasi ΔX3 sebagai senyawa model HexA.
Ketika ΔX3 diinkubasi menggunakan AguA, xilotriosa dan HexA dilepaskan dan
terakumulasi di dalam produk hidrolisis. Simulasi degradasi ΔX3 secara langsung oleh
aktivitas α-glucuronidasedilakukan menggunakan enzim intraselular yang diproduksi
dari P. curdlanolyticus B-6. Hasil penelitian menunjukkan ΔX3 dapat didegradasi oleh
aktivitas sinergis dari α-glucuronidase dan β-xilosidase sehingga dihasilkan xilosa dan
HexA di dalam produk hidrolisis. Temuan baru ini diharapkan dapat digunakan sebagai
teknologi alternatif untuk mendegradasi ΔX3 secara langsung pada proses bio-
bleaching sehingga dapat membantu pengurangan bahan kimia berbahan dasar klorin
yang digunakan pada proses pemutihan pulp. Hasil penelitian ini merupakan penelitian

103
pertama terkait dengan degradasi ΔX3 secara langsung menggunakan GH67 α-
glucuronidase.

B. Saran
Penelitian ini dilanjutkan ke tahapan berikutnya seperti mencari metode produksi enzim
yang murah, upscaling produksi enzim dan aplikasi enzim pada proses bio-bleaching.

6. Daftar Pustaka
1. Andrew, J.E. Impact of hexenuronic acid on the physical and chemical properties of
Eucalyptus clonal pulps during ECF bleaching. Dissertation in Masters of Science in
the School of Chemical Engineering University of KwaZulu-Natal, Durban.
Unpublished. 2007.
2. Aracri, E., Vidal, T. Xylanase- and laccase-aided hexenuronic acids and lignin
removal from specialty sisal fibres. Carbohyd Polym, 2011; 83 (3), 1355–1362.
doi:10.1016/j.carbpol.2010.09.058
3. Bronnenmeier K, Meissner H, Stocker S, Staudenbauer WL. α-D-Glucuronidases
from the xylanolytic thermophiles Clostridium stercorarium and
Thermoanaerobacterium saccharolyticum. Microbiology 1995;141:2033-40.
4. Buchert J, Tenkanen M, Viikari L, Teleman A, Harjunpaa V, Vuorinen T. Effect of
cooking and bleaching on the structure of xylan in conventional pine kraft pulp.
Tappi J 1995;78:125-30.
5. Cadena EM, Vidal T, Torres AL. Influence of the hexenuronic acid content on
refining and ageing in eucalyptus TCF pulp. Bioresour Technol 2010;101:3554-60.
6. Cadena, E.M., Du, X., Gellerstedt, G., Li, J., Fillat, A., Garcia-Ubasart, J., Vidal, T.,
Colom, J.F. On hexenuronic acid (HexA) removal and mediator coupling to pulp
fiber in the laccase/mediator treatment. Bioresource Technol 2011; 102: 3911-3917.
7. Gallardo, O., Fernandez, M.F., Valls, C., Valenzuela, S.V., Roncero, M.B., Vidal, T.,
Diaz, P., Pastor, F.I.J. Characterization of a family GH5 xylanase with activity on
neutral oligosaccharides and evaluation as pulp bleaching aid. Appl Environ Microb
2010; 76:6290-6294.
8. Gellerstedt, G. and Li, J. An HPLC method for the quantitative determination of
hexenuronic acid groups in chemical pulps, Carbohydr. Res. 1996; 294, 41
9. Golan G, Shallom D, Teplitsky A, Zaide G, Shulami S, Baasov T, et al. Crystal
structures of Geobacillus stearothermophilus α-glucuronidase complexed with its
substrate and products: mechanistic implications. J Biol Chem 2004; 279:3014-24.
10. Granstrom A, Eriksson T, Gellerstedt G, Roost C, Larsson P. Variables affecting the
thermal yellowing of TCF-bleached birch kraft pulps. Nord Pulp Paper Res J
2001;16:18-23.
11. Jiang, Z-H., Bouchard, J., Berry, R. Evidence for the formation of lignin-hexenuronic
acid-xylan complexes during modified kraft pulping processes. Holsforschung 2006;
60:137-142.
12. Johansson MH, Samuelson O. Epimerization and degradation of 2-O-(4-O-methyl-
α-D-glucopyranosyluronic acid)-D-xylitol in alkaline medium. Carbohydr Res 1977;
54:295-9.
13. Li J, Gellerstedt G. On the structural significance of the kappa number
measurement. Nord Pulp Paper Res J 1988;13:153-8.

104
14. Milner Y, Avigad G. A copper reagent for the determination of hexuronic acids and
certain ketohexoses. Carbohydr Res 1967;4:359-61.
15. Nagy T, Emami K, Fontes CMGA, Ferreira LMA, Humphry DR, Gilbert HJ. The
membrane-bound α-glucuronidase from Pseudomonas cellulosa hydrolyzes 4-O-
methyl-D-glucuronoxylooligosaccharides but not 4-O-methyl-D-glucuronoxylan. J
Bacteriol 2002;184:4925-9.
16. Nagy T, Nurizzo D, Davies GJ, Biely P, Lakey JH, Bolam DN, et al. The α-
glucuronidase, GlcA67A, of Cellvibrio japonicus utilizes the carboxylate and methyl
groups of aldobiouronic acid as important substrate recognition determinants. J Biol
Chem 2003;278:20286-92.
17. Nguyen, D., Zhang, X., Jiang, Z-H., Audet, A., Paice, M.G., Renaud, S., Tsang, A.
Bleaching of kraft pulp by a commercial lipase: Accessory enzymes degrade
hexenuronic acid. Enzyme Microb Tech 2008; 43:130-136.
18. Nurizzo D, Nagy T, Gilbert HJ, Davies GJ. The structural basis for catalysis and
specificity of the Pseudomonas cellulosa α-glucuronidase, GlcA67A. Structure
2002;10:547-56.
19. Pason P, Kosugi A, Waeonukul R, Tachaapaikoon C, Ratanakhanokchai K, Arai T,
et al. Purification and characterization of a multienzyme complex produced by
Paenibacillus curdlanolyticus B-6. Appl Microbiol Biotechnol 2010;85:573-80.
20. Pason P, Kyu KL, Ratanakhanokchai K. Paenibacillus curdlanolyticus strain B-6
xylanolytic-cellulolytic enzyme system that degrades insoluble polysaccharides.
Appl Environ Microbiol 2006;72:2483-90.
21. Petit-Breuilh, X., Zaror, C., Melo, R. Hexenuronic acid removal from unbleached
kraft eucalyptus pulp by peroxymonosulfuric acid. Journal of the Chilean Chemical
Society 2004; 49: 355-360.
22. Pouyet, F., Chirat, C., Lachenal, D. On the origin of cellulose depolymerization during ozone
treatment of hardwood kraft pulp. BioResources 2013; 8(4): 5289-5298.
23. Septiningrum K, Ohi H, Waeonukul R, Pason P, Tachaapaikoon C, Ratanakhanokchai K,
Sermsathanaswadi J, Deng L, Prawitrong P, Kosugi A. The GH67 α-glucuronidase of
Paenibacillus curdlanolyticus B-6 removes hexenuronic acid groups and facilitates
biodegradation of the model xylooligosaccharide hexenuronosyl xylotriose. Enzyme Microb
Technol. 2015;71 28-35. pii:S0141-0229(15)00007.
24. Shallom D, Golan G, Shoham G, Shoham Y. Effect of dimer dissociation on activity and
thermostability of the α-glucuronidase from Geobacillus stearothermophilus: dissecting the
different oligomeric forms of family 67 glycoside hydrolases. J Bacteriol 2004;186:6928-37.
25. Shatalov, A.A., Pereira, H. Impact of hexenuronic acids on xylanase-aided bio-bleaching of
chemical pulps. Bioresource Technol 2009; 100: 3069-3075.
26. Šimkovic I, Ebringerová A, Hirsch J, Königstein J. Alkaline degradation of model compounds
related to (4-O-methyl-D-glucurono)-D-xylan. Carbohydr Res 1986;152:131-6.
27. Thakur VV, Jain RK, Mathur RM. Studies on xylanase and laccase enzymatic prebleaching to
reduce chlorine-based chemicals during CEH and ECF bleaching. BioResources 2012;
7:2220–2235.
28. Valenzuela, V.S., Valls, C., Roncero, M.B., Vidal, T., Diaz, P., Pastor, F.I.J. Effectiveness of
novel xylanases belonging to different GH families on lignin and hexenuronic acids removal
from specialty sisal fibres. J Chem Technol Biot 2014; 89, Issue 3: 401-406.
29. Valls C, Colom JF, Baffert C, Gimbert I, Roncero MB, Sigoillot J-C. Comparing the efficiency
of the laccase–NHA and laccase–HBT systems in eucalyptus pulp bleaching. Biochem Eng J
2010;49:401-7.

105
30. Valls C, Roncero MB. Using both xylanase and laccase enzymes for pulp bleaching. Bioresour
Technol 2009;100:2032-9.
31. Valls C, Vidal T, Roncero MB. The role of xylanases and laccases on hexenuronic acid and
lignin removal. Process Biochem 2010b;45:425-30.
32. Vuorinen T, Fagerström P, Buchert J, Tenkanen M, Teleman A. Selective hydrolysis of
hexenuronic acid groups and its application in ECF and TCF bleaching of kraft pulps. J Pulp
Pap Sci 1999;25:155-62.
33. Winyasuk W, Gomi S, Shimokawa T, Hishiyama S, Satake T, Yoshida S. Screening of
enzyme system for specific degradation of hexenuronosyl-xylotriose. Int J Agric Technol
2012;8:103-16.
34. Woolridge, E.M. Review: Mixed enzyme systems for delignification of ligocellulosic biomass.
Catalysts 2014; 4:1-35
35. Zaide G, Shallom D, Shulami S, Zolotnitsky G, Golan G, Baasov T, et al. Biochemical
characterization and identification of catalytic residues in α-glucuronidase from Bacillus
stearothermophilus T-6. Eur J Biochem 2001;268:3006-16.

106
EKSPLORASI LIMBAH PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA
PENINGKATAN NILAI TAMBAH UNTUK PEWARNAAN BATIK
Plantation Waste Exploration as Efforts To Increasing Value Added For Staining
Batik

Titiek Pujilestari, Farida, dan Vivin Atika


BALAI BESAR KERAJINAN DAN BATIK
Jl. Kusumanegara No. 7 Telp. (0274) 546111 Fax. (0274) 543582
http://www.batik.go.id e-mail : bbkb@kemenperin.go.id
Y O G Y A K A R T A – 55166

Abstrak

Penelitian eksplorasi limbah perkebunan sebagai upaya peningkatan nilai tambah


untuk pewarnaan batik bertujuan untuk menggali beberapa sumber daya alam limbah
perkebunan yang belum dimanfaatkan dan mencoba untuk pewarnaan pada batik.
Limbah perkebunan cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao merupakan sisa hasil
proses pengolahan yang tidak termasuk dalam produk utama yang dianggap
berpotensi menjadi beban pencemaran lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
Kegiatan ini dibatasi pada pengambilan zat warna dari cangkang kelapa sawit dan kulit
buah kakao dengan memakai pelarut air dan pelarut organik. Zat warna alam yang
diperoleh digunakan sebagai pewarna pembatikan pada kain katun dan sutera. Fiksasi
dilakukan dengan tiga jenis masing-masing tawas, kapur dan tunjung. Pewarnaan pada
kain katun dan sutera dilakukan dengan pencelupan dingin berulang ulang sampai 6
(enam) kali celupan. Hasil pengujian rata-rata ketahanan luntur warna untuk pencucian
dan gosokan basah bernilai baik. Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap
pencucian rata-rata menunjukan hasil cukup sampai baik sekali (3 – 5). Hasil rata-rata
nilai kelunturan warna terhadap pencucian pada kain katun dengan pewarna cangkang
kelapa sawit lebih baik dari pada kulit buah kakao. Arah warna cangkang kelapa sawit
menunjukkan warna coklat muda sampai coklat tua, sedang kulit buah kakao
memberikan arah warna abu-abu sampai coklat tua. Pembacaan uji beda warna
diperoleh rata-rata warna berada pada daerah antara kuning ke merah. Nilai tambah
yang diperoleh dari setiap 3,5 kg penggunaan limbah perkebunan adalah sebesar Rp
41.635,-

Kata Kunci: cangkang kelapa sawit, kulit buah kakao, warna alam, batik

107
Abstract

Exploratory research plantation waste as efforts to increase value added for dyeing
batik aims to explore some of the natural resources untapped plantation waste and
trying to batik dyeing. Waste plantations of oil palm shell and pod husks are waste
products of the processing are not included in the main product considered the
potential burden of environmental pollution if not managed properly. This activity is
limited to making dyes from oil palm shells and husks of cocoa by using a solvent of
water and organic solvents. Natural dyes obtained is used as a dye batik on cotton and
silk. Fixation is done with three types, each aluminium sulfate, lime, and ferrous sulfate.
Staining on cotton and silk fabric dyeing is done with recurrent cold again until 6 (six)
times the dye. The test results average color fastness to washing and rubbing wet well
worth it. Results of testing color fastness to washing on average showed enough to
excellent results (3-5). The average yield value of the fade color to washing in cotton
cloth with palm shells dyes better than the pod husks. The color shade of coconut shell
dye is tanish to brownish, while cocoa peel is greyish to brownish. The color difference
testing average result is color coordinate located between yellowish to reddish
area.The added value obtained from each 3.5 kg of waste utilization of plantation is 41
635 rupiahs.

Keywords: palm shells, fruit peel cocoa, natural colors, batik

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar didunia dengan produksi
sebesar 30.948.931 ton pada tahun 2015. Setiap 100 ribu ton tandan buah segar
(TBS) akan menghasilkan limbah padat sekitar 6 ribu ton cangkang, 12 ribu ton serabut
dan 23 ribu ton tandan buah kosong (Marpaung, 2009), sehingga pada tahun 2015
diperkirakan diperoleh cangkang sawit sebanyak 1.856.935,9 ton. Komponen yang
terdapat dalam minyak sawit diantaranya adalah karotenoid yaitu pigmen yang
membentuk warna orange. Beberapa fraksi minyak sawit memiliki kandungan
karotenoid yang berbeda. Untuk CPO kandungan karotenoid 630-700 ppm, Olein
berkisar 680-760 ppm dan stearin kandungan karotenoid berkisar 380-540 ppm
(Orthoefer,1996 dalam repository.ipb.ac.id).
Kulit buah kakao merupakan limbah dan belum banyak dimanfaatkan, selama ini
dibuang begitu saja atau digunakan sebagai alternatif pakan ternak. Ketersediaan kulit
buah kakao cukup banyak karena sekitar 75% dari satu buah kakao utuh adalah
berupa kulit buah, 23% biji kakao dan 2% plasenta (Wawo, 2010). Kandungan kulit
buah kakao meliputi protein kasar 11,71%, serat kasar 20,79%, lemak 11,80%, BETN
34,90% dan adanya senyawa alkaloid Theobromin. Kulit buah kakao yang telah
mengalami fermentasi berwarna orange kemerahan karena adanya kandungan β
karoten.
Limbah perkebunan merupakan sisa hasil proses pengolahan yang tidak
termasuk dalam produk utama yang dianggap berpotensi menjadi beban pencemaran
lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Jika limbah ini diproses secara tepat akan
memberikan manfaat yang cukup besar bagi industri dan dapat memberikan nilai

108
tambah. Limbah perkebunan seperti kulit buah kakao mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan sebagai pewarna pada batik karena adanya kandungan pigmen.
Pewarna alami dari limbah perkebunan dapat berupa pigmen dengan jumlah dan
jenis senyawa pembawa warna yang berbeda. Beberapa jenis pigmen yang kita dapati
disekitar kita adalah berupa klorofil yang banyak terdapat pada daun berwarna hijau,
karotenoid, tanin dan antosianin. Perlunya usaha diversifikasi dan inovasi baru dalam
penggunaan pewarna alam dari bahan baku yang banyak tersedia dan belum
digunakan sebagai pewarna batik.
Penggunaan zat warna alam kini mulai banyak diminati untuk berbagai keperluan
industri pembatikan. Penggunaan zat warna alam dipandang lebih murah karena
bahan baku banyak diperoleh disekitar kita, proses ekstraksinya mudah, peralatan
sederhana dan ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali sumber daya
alam limbah perkebunan berupa cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao yang
belum dimanfaatkan dan mencoba sebagai bahan baku baru untuk pewarna pada
batik.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Sumber utama bahan pewarna tanaman banyak terkandung pada bagian
tumbuh-tumbuhan seperti daun, batang, kulit batang, bunga, buah, kulit akar, kulit buah
dan bagian lainnya dengan jumlah dan jenis senyawa pembawa warna yang berbeda.
Penggunaan zat warna alam kini mulai banyak dilirik untuk keperluan industri
pembatikan, mengingat penggunaan zat warna alam dipandang lebih murah karena
bahan baku banyak diperoleh didaerah di Indonesia dengan proses ekstraksi yang
mudah dan ramah lingkungan. Banyak ragam hasil tanaman yang dapat dimanfaatkan
dan perlu digali untuk diaplikasikan dalam pewarnaan batik diantaranya hasil
perkebunan kelapa sawit dan kakao.
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar didunia dengan produksi
sebesar 30.948.931 ton pada tahun 2015 (Ditjen Perkebunan, 2015). Aktivitas produksi
pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah dalam jumlah yang cukup besar, baik berupa
limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat pabrik kelapa sawit dengan kapasitas
100 ribu ton tandan buah segar ( TBS ) pertahun akan menghasilkan sekitar 6 ribu ton
cangkang, 12 ribu ton serabut dan 23 ribu ton tandan buah kosong ( Marpaung, 2009 ).
Limbah ini biasanya digunakan sebagai bahan bakar, dibuang atau ditimbun didalam
tanah sebagai pengeras jalan. Sampai dengan saat ini limbah yang dihasilkannya pun
belum diolah lebih lanjut menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih.
Pengolahan kelapa sawit menghasilkan beberapa limbah yang dianggap sebagai
bahan yang mempunyai potensi pencemaran lingkungan jika tidak dikelola dengan
baik. Limbah kelapa sawit merupakan sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak
termasuk dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan
kelapa sawit. Pemanfaatan limbah kelapa sawit pada umumnya masih terbatas untuk
dimanfaatkan bagi pabrik sendiri untuk pembuatan pupuk, mulsa dan bahan bakar
(Elykurniati, 2011).
Tanaman kakao (Theobroma cacao) merupakan jenis tumbuhan tahunan
berbentuk pohon yang dapat mencapai ketinggian sampai 10 m. Warna buah pada
waktu muda berwarna hijau sampai ungu dan semakin tua atau masak kulit buah
berubah berwarna hijau kekuningan sampai orange. Di Indonesia kakao sebagai

109
komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu kakao
mulia dan kakao curah/lindak (http://id.wikipedia.org/wiki/kakao).
Tanaman kakao merupakan hasil perkebunan yang terdiri dari 74 % kulit buah
kakao, 2 % plasenta dan 24 % merupakan biji kakao. Analisa secara kimia buah kakao
mengandung unsur 22 % protein dan 3 – 9 % berupa lemak
(http://www.suarakomunitas.net). Lebih lanjut dikatakan bahwa kulit buah kakao
mengandung selulose 36,23 %, hemiselulose 1,14 % dan lignin 20 – 27,95 %.
Kulit buah kakao/coklat merupakan limbah dan belum banyak dimanfaatkan, dan
selama ini hanya dibuang atau digunakan sebagai alternatif pakan ternak.
Ketersediaan kulit buah kakao cukup banyak karena sekitar 75% dari satu buah kakao
utuh adalah berupa kulit buah, 23% biji kakao dan 2% plasenta (Wawo, 2008).
Kandungan kulit buah kakao meliputi protein kasar 11,7%, serat kasar 20,79%, lemak
11,80%, BETN 34,90% dan adanya senyawa alkaloid Theobromin. Kulit buah kakao
yang telah mengalami fermentasi berwarna orange kemerahan karena adanya
kandungan β karoten.
Untuk meningkatkan pemanfaatan dan diversifikasi pewarna alam dari limbah
perkebunan cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao dapat dilakukan ekstraksi.
Proses ekstraksi secara garis besar pada semua bahan adalah sama yaitu mengambil
pigmen atau zat warna yang terkandung dalam bahan. Bahan yang akan diekstrak
dipotong atau diperkecil ukurannya agar memudahkan warna keluar. Perlakuan
ekstraksi dengan menggunakan air dapat dilakukan dengan merebus bahan sampai
kekentalan tertentu atau dapat juga dilakukan dengan melakukan fermentasi dengan
cara merendam bahan kedalam air. Ekstraksi dengan pelarut organik dilakukan
dengan perendaman selama 3 – 4 hari tergantung bahan yang diekstrak.
Pewarna alami dapat diperoleh dari tanaman ataupun hewan yang berupa
pigmen. Beberapa jenis pigmen yang kita dapati disekitar kita adalah berupa klorofil
yang banyak terdapat pada daun berwarna hijau, karotenoid, tanin dan antosianin.
Pigmen ini pada umumnya tidak stabil terhadap panas, cahaya dan pH tertentu tetapi
bersifat aman dan tidak menimbulkan efek samping bagi tubuh (Ma’ruf Dkk. 2012).
Selanjutnya menurut Sobandi (2011), dikatakan bahwa pigmen tanaman tidak
permanen sehingga warna cepat memudar apabila terkena deterjen atau cahaya
matahari. Untuk menjadikan zat warna alam bersifat permanen maka perlu diberi
perlakuan melalui proses fiksasi.
Pada akhir proses pewarnaan alam, ikatan antara zat warna alam yang sudah
terikat oleh serat masih perlu diperkuat lagi dengan garam logam seperti tawas
K(SO4)2, kapur Ca(OH)2 dan tunjung (FeSO4). Selain memperkuat ikatan, garam
logam juga berfungsi untuk mengubah arah warna zat warna alam sesuai jenis garam
logam yang mengikatnya (http://batiksekarkedhaton.blogspot.com). Proses fiksasi
dapat mengkondisikan zat pewarna yang telah terserap dalam bahan pada waktu
tertentu agar terjadi reaksi yang kompleks antara bahan dengan zat pewarna dan
bahan yang digunakan untuk fiksasi (Ardhianti ID. dkk, 2011). Bahan fiksator yang
digunakan harus mampu memperbesar daya serap kain terhadap zat warna alam
Proses fiksasi merupakan perlakuan setelah pencelupan warna dimaksudkan
agar warna tetap melekat dengan baik dan mempunyai ketahanan luntur warna yang
baik. Fiksasi mempunyai tujuan untuk mengunci warna setelah bahan tekstil
mengalami pencelupan dengan zat warna alam. Pada umumnya fiksasi dilakukan

110
dengan tawas akan memberikan arah warna yang sesuai warna aslinya, sedangkan
fiksasi dengan tunjung akan memberikan arah warna yang lebih gelap atau tua.
Kapur (CaO) mempunyai warna putih atau putih keabu-abuan mempunyai titik
o
didih sampai 2850 C, larut dalam asam tetapi tidak larut dalam alkohol ataupun eter.
Tawas (Al2(SO4)3.K2SO4.24H2O) merupakan kristal berwarna putih, tidak berbau,
o
berasa kesat dan mempunyai titik leleh 92 C, larut dalam air dan bersifat asam.
o
Tunjung atau ferosulfat (FeSO4)7H2O mempunyai berat jenis 1,89, titik leleh 64 C
berbentuk hablur besar atau halus dan berwarna hijau muda kebiru-biruan, mudah
menyerap uap air dari udara. Sifat yang dimiliki tunjung larut dalam air, tidak larut
o
dalam alkohol, tidak berbau dan menguap pada suhu 300 C

3. METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan sebagai bahan pembawa warna dalam penelitian adalah
cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao. Cangkang kelapa sawit diperoleh dari
perkebunan didaerah Banten sedang kulit buah kakao diperoleh dari perkebunan di
Jember dan Pacitan. Bahan lain yang diperlukan dalam penelitian meliputi kain katun,
sutera, air, alkohol, tawas, kapur dan tunjung digunakan sebagai bahan fiksasi.
Peralatan yang digunakan adalah seperangkat alat untuk ekstraksi warna alam, bak
pewarnaan, seperangkat alat untuk pelorodan (penghilangan lilin), panci, kompor gas,
pengaduk, ember, penyaring, dan pH meter.

Pelaksanaan penelitian
Perlakuan ekstraksi bahan baku cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao
o
menggunakan pelarut air pada suhu panas 100 C selama 1 (satu) jam dengan
perbandingan 1 : 8 dan menggunakan pelarut organik (alkohol teknis) dengan sistim
perendaman pada suhu kamar selama 4 hari.
Proses pewarnaan dilakukan dengan sistem celup, yaitu kain dimasukkan kedalam
zat warna alam secara berulang sebanyak 6 (enam) kali. Setiap pencelupan dilakukan
selama ± 15 menit, kemudian kain diangin-anginkan sebelum dicelup kembali. Setelah
tahap pewarnaan bahan selesai, untuk menguatkan warna dilakukan proses mordan
akhir atau fiksasi. Proses fiksasi dilakukan dengan merendam bahan terwarnai pada 3
(tiga) jenis larutan mordan akhir yang masing-masing mengandung 70 gram perliter
tawas, 50 gram perliter kapur tohor dan 30 gram perliter tunjung. Bahan dicelupkan
kedalam larutan mordan selama ± 5 menit sampai merata, kemudian diatuskan dan
dibilas dengan air bersih. Setelah itu, diangin-anginkan sampai kering.
Pelorodan dimaksudkan untuk melepaskan malam / lilin pada kain katun dan
sutera batik yang telah selesai diwarnai, dengan cara merendam kedalam air panas
o
yang mengandung soda abu 5 gram perliter pada suhu 80 – 100 C selama 10 menit
atau semua lilin terlepas.

Pengujian
Hasil pembatikan pada kain katun dan sutera setelah mengalami pelorodan
dilakukan pengujian terhadap arah dan beda warna, kualitas pewarnaan meliputi
ketahanan luntur warna terhadap pencucian dan ketahanan luntur warna terhadap
gosokan (basah). Pengujian ini berdasarkan SNI ISO 105-C06:2010, Tekstil - Cara uji
tahan luntur warna - Bagian C06: Tahan luntur warna terhadap pencucian rumah
111
tangga dan komersial dan SNI ISO 105-X12:2012, Tekstil – Cara uji tahan luntur –
Bagian X12 : Tahan luntur warna terhadap gosokan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemanfaatan limbah cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao banyak
digunakan untuk memenuhi keperluan disekitar perkebunan maupun dibuang begitu
saja dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Perlunya diversifikasi pengolahan
limbah perkebunan sebagai pewarna alam pada pembatikan. Belum ada industri
maupun IKM batik yang mengolah dan memanfaatkan limbah perkebunan dari
cangkang kelapa sawit maupun kulit buah kakao untuk pewarna batik.

Biaya Pembuatan zat warna alam limbah cangkang kelapa sawit /kulit buah kakao
Harga seperangkat alat untuk ekstraksi : Rp 900.000,-
Umur pakai alat selama 3 (tiga) tahun, apabila 1 hari 2 kali perebusan dan 1
bulan 15 hari kerja maka :
Dalam 3 (tiga) tahun =2 x 15 x12 x 3 =1080 kali ekstraksi
Jadi biaya alat untuk 1 kali proses 900.000 : 1080 = 850,-
Ongkos tenaga kerja / hari = 50.000,-
Ongkos tenaga kerja / proses ekstraksi = 25.000,-
Pembelian bahan 3,5 kg x 2.000,- = 7.000,-
Pembelian bahan bakar = 5.000,-
Biaya lain-lain = 3.785,-

Dalam ekstraksi menggunakan perbandingan 1 : 8, maka ekstrak zat warna alam


sebanyak 3,5 x 8 liter = 28 liter. Setelah proses selesai diperoleh 20 liter zwa siap pakai
dengan biaya Rp. 41.635,-
Perbandingan menggunakan zat warna sintetis :
Harga zwa sintetis ASLB (coklat) = Rp 2.500.000,-/ kg
Biaya Pencelupan satu potong kain ukuran 2,5 m :
No Zat warna alam Zat warna Sintetis
1. Harga perliter ekstrak Harga per gram 2.500,-
41.635/20 = 2.081,- Ukuran pemakaian 3 g/l air
2. Keperluan pewarnaan zwa Keperluan pewarnaan zws
5 l/2,5 m = 10.408,- 3 l/2,5 m = 9 x 2.500 = 22.500,-

112
Tabel 2. Hasil Rata-rata Uji Ketahanan Luntur
terhadap Pencucian
Penelitian Pemanfaatan Zat Kulit
Cangkang
Warna Alam dari Limbah Perkebunan Sampel
Sawit
Buah
untuk Pewarnaan pada Batik kakao
menggunakan cangkang kelapa sawit Katun, Air, Kapur 3,5 3,5
dan kulit buah kakao yang diaplikasikan Katun, Air, Tawas 4 4
ke pembatikan pada kain katun dan Katun, Air, Tunjung 4,5 4
Katun Alkohol, Kapur 4 3,5
sutera. Fiksasi menggunakan tiga jenis
Katun Alkohol, Tawas 4 3,5
bahan yaitu kapur, tawas dan tunjung. Katun Alkohol, Tunjung 4,5 4,5
Dari hasil pengujian sampel dengan Sutera, Air, Kapur 4,5 3
parameter kualitas pewarnaan Sutera, Air, Tawas 5 3,5
terhadap pencucian dan gosokan Sutera, Air, Tunjung 4 4
(basah) seperti Tabel 1. Sutera, Alkohol, Kapur 4 4,5
Dari hasil penelitian rata-rata Sutera, Alkohol, Tawas 4 4,5
pewarnaan dengan cangkang sawit 3,5 4
Sutera, Alkohol, Tunjung
mempunyai ketahanan luntur terhadap
pencucian yang lebih baik (3,5 - 5) dari *Keterangan : nilai 1 = jelek, nilai 1-2 = jelek, nilai 2 =
kurang, nilai 2-3 = kurang, nilai 3 = cukup, nilai 3-4 =
pada kulit buah kakao (3 – 4). Hal ini cukup baik, nilai 4 = baik, nilai 4 – 5 = baik, nilai 5 =
dikarenakan ekstrak warna kakao yang baik sekali.
dihasilkan banyak mengandung lendir.
Kulit kakao setelah mengalami pemanasan pada
suhu mendidih akan terbentuk lendir, sehingga
apabila zat warna ini digunakan untuk
pewarnaan maka lendir akan menempel pada
kain yang dapat menghalangi masuknya zat
warna alam kedalam serat dengan optimal.
Media batik menggunakan kain katun maupun
sutera tidak banyak memberikan hasil yang
berbeda, pada kain katun ketahanan terhadap
pencucian (3,5 – 4,5), sedangkan pada kain
sutera (3 – 5). Perlakuan menggunakan warna
alam kulit kakao pada bahan sutera
dan setelah difiksasi menggunakan
kapur, ternyata mempunyai ketahanan
luntur terhadap pencucian paling
rendah dengan skala 3 (cukup).
Selanjutnya menurut Sobandi B.
(2011), bahwa pigmen tanaman tidak
permanen sehingga warna cepat
memudar apabila terkena deterjen
atau cahaya matahari. Untuk
menjadikan zat warna alam
mempunyai ketahanan luntur yang

113
baik maka perlu diberi perlakuan melalui proses fiksasi. Pewarna alam dari cangkang
sawit dan kulit buah kakao dapat dilakukan dengan ekstraksi menggunakan air
maupun alkohol. Setelah aplikasi kepewarna batik mempunyai ketahanan luntur
terhadap pencucian yang baik.
Hasil pengujian ketahanan luntur terhadap gosokan (basah) terlihat bahwa rata-
rata nilai kelunturan terhadap gosokan pada warna alam dengan cangkang sawit
mempunyai nilai yang baik dengan skala 3,5 – 4,5, sedangkan penggunaan kulit buah
kakao sebagai bahan pewarna batik mempunyai nilai cukup baik 3 – 4,5. Penggunaan
kain katun dengan warnadari cangkang sawit dari semua perlakuan fiksasi kapur,
tawas dan tujung memberikan nilai ketahanan gosok yang tinggi 4,5. Pewarnaan
dengan limbah kulit buah kakao hasil ekstraksi dengan air rata - rata mempunyai nilai
ketahanan warna terhadap gosokan nilai 3 – 3,5 (cukup baik) dan hanya pada
perlakuan menggunakan kain katun dengan fiksasi tawas yang memberikan nilai 4
(baik). Warna alam kulit buah kakao ekstraksi menggunakan alkohol lebih baik dari
pada ekstraksi dengan air. Pelarut alkohol mampu mengekstrak zat pembawa warna
(kromofor) kulit buah kakao Kain sutera mempunyai serat lebih halus dari pada kain
katun, sehingga larutan warna yang masuk juga lebih optimal untuk menembus sampai
keserat. Kandungan zat warna sebagian besar hanya menempel dan tidak terserap
secara kuat. Kepekatan zat warna dalam ekstraksi berpengaruh terhadap ketahanan
untur warna akibat pencucian maupun gosokan.
Proses fiksasi adalah mengkondisikan zat pewarna yang telah terserap dalam
bahan pada waktu tertentu agar terjadi reaksi yang kompleks antara bahan dengan zat
pewarna dan bahan yang digunakan untuk fiksasi (Ardhianti ID, dkk,2011). Bahan
fiksator yang digunakan harus mampu memperbesar daya serap kain terhadap zat
warna alam, pada umumnya menggunakan tawas K(SO4)2, kapur Ca(OH)2 dan tunjung
(FeSO4). Fiksasi tawas akan memberikan warna yang hampir sama dengan warna
tanpa fiksasi.
Daya serap kain sutera lebih tinggi dari pada kain katun dan kapur memberikan
arah warna lebih cerah sedangkan tunjung memberikan arah warna lebih gelap. Selain
+2
hal tersebut juga karena ion Fe dari ferosulfat mengadakan reaksi kopling dengan
molekul zat warna dalam serat membentuk ikatan yang lebih besar dan kuat sehingga
tahan lunturnya baik/ meningkat.
Dari pengujian arah dan beda warna menunjukkan pewarnaan menggunakan
ekstrak limbah cangkang kelapa sawit dan kulit buah kakao pada kain katun dan sutera
dengan fiksasi tawas, kapur dan tunjung, semakin tinggi nilai a* berarti menunjukan
kearah kemerahan, sedang semakin tinggi nilai b* arah warna cenderung kekuningan.
Hasil rata-rata kuning kemerahan dengan kekuatan warna paling kemerahan pada
ekstraksi cangkang sawit diperoleh pada kain katun, alkohol, kapur dengan nilai a* =
10,8. Sedang pada kulit buah kakao warna paling kemerahan pada kain katun, air,
tawas dengan nilai a* = 20. Kandungan katekin (sejenis tanin) pada kakao akan
memberikan warna kemerahan apabila difiksasi dengan larutan basa seperti kapur
tohor. Begitu juga dengan kandungan tanin pada cangkang sawit. Adanya kotoran dan

114
sisa zat warna berlebih yang tidak terserap dalam serat, menempel pada kain dan ikut
terlarut pada saat proses fiksasi, sehingga warna menjadi turun ketuaannya.

Nilai b* merupakan arah warna biru sampai kuning sesuai ruang warna dalam tiga
sumbu. Semakin besar nilai b* maka arah warna kekuningan dan sebaliknya semakin
rendah nilai b* arah warna kebiruan. Pada pewarnaan dengan cangkang sawit, arah
warna kekuningan pada batik dengan kain katun, alkohol fiksasi kapur. Kulit buah
kakao mempunyai arah warna paling kekuningan pada kain sutera, air, tawas.
Arah warna yang didapatkan oleh kedua jenis pewarna disebabkan oleh
kandungan zat warna masing-masing, kakao mengandung katekin (sejenis tanin)
sehingga memberikan warna cokelat. Penambahan proses fiksasi kapur memberikan
warna kemerahan karena reaksi tanin dengan basa kapur tohor, sedangkan pada
fiksasi dengan tunjung memberikan warna kehitaman karena reaksi tanin dengan
senyawa besi.
Cangkang sawit mengandung flavonoid dan karbon sehingga memberikan warna
cokelat. Penambahan proses fiksasi kapur memberikan warna kekuningan karena
pengaruh kapur, sedangkan pada fiksasi dengan tunjung memberikan warna
kehitaman karena sifat senyawa besi.

5. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit, Ditjen
Perkebunan, Jakarta.
Ardhianti I.D., Sari D.C., Nurlaili. 2011. Pengaruh Penggunaan Fiksator Kapur, Tawas
dan Tunjung Pada Proses Pewarnaan Kain Batik Dengan Zat Warna Alam Larutan
Soga, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Batik Sekar Kedhaton. 2012. Pembuatan Larutan Fiksasi.
http://batiksekarkedhaton.blogspot.com, Diakses 17 Nopember 2014.
Elykurniati. 2011. Pemanfaatan Limbah Padat Cangkang Kelapa Sawit Dalam
Pembuatan Pupuk Cair Kalium Sulfat, Fakultas Teknologi Industri, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Yayasan Sarana Wanajaya Jakarta.
Kakao. http://id.wikipedia.org/wiki/kakao Diakses 17 Desember 2014
Kelapa Sawit. http://id.wikipedia.org/ wiki/Kelapa sawit. Diakses 18 Desember 2014
115
Limbah Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit di Indonesia.
http://iinparlina.wordpress.com/ragam-teknologi Diakses 3 Nopember 2014.
Ma’ruf A., Alharis RU., Sari RP. 2012. Ekstraksi Zat Warna Alam Dan Pemanfaatannya
Sebagai Pewarna Kain. Laboratorium Teknik Kimia, Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik, Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao. 2014. (http://www.suarakomunitas.net).
Diakses 3 Nopember 2014.
Wawo B. 2010. Mengolah Limbah Kulit Buah Kakao Menjadi Bahan Pakan Ternak.
Penyuluh Pertanian Madya.

116
MINUMAN PROBIOTIK BENGKUANG (Pachirrizhus erosus)

Probiotic Drink of Jicama Root (Pachirrizhus erosus)

Yulia Helmi Diza*, Tri Wahyuningsih dan Wilsa Hermianti


Balai Riset dan Standardisasi Industri Padang
Jl. Raya LIK No. 23 Ulu Gadut Padang 25164
*e-mail: yuliahelmi1@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian pembuatan minuman probiotik bengkuang dilakukan sebagai
upaya memaksimalkan diversifikasi olahan bengkuang yang merupakan salah satu
komoditi potensial Kota Padang. Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan. Tahap
pertama penelitian pendahuluan, dilakukan uji coba apakah bengkuang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan minuman probiotik menggunakan
bakteri dari produk probiotik yang ada di pasaran. Tahap kedua, penelitian lanjutan,
dilakukan variasi perlakuan jenis bakteri probiotik dan jenis susu untuk mendapatkan
minuman probiotik yang dapat diterima secara organoleptik dan memenuhi syarat mutu
SNI 2981:2009 tentang yoghurt. Tahap tiga, penelitian penentuan umur simpan
minuman probiotik bengkuang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode eksploratif melalui eksperimen di laboratorium. Data dikumpulkan dengan cara
pengamatan langsung setelah objek penelitian diberikan perlakukan, kemudian
melakukan serangkaian pengujian.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa starter kering (yang mengandung bakteri
Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus)
dengan jumlah 5%, sumber laktosa susu kambing bubuk 15% dan gula 10% dalam 1
liter fitrat bengkuang menghasilkan minuman probiotik dengan organoleptik yang
paling disukai, mengandung 1,56% protein; 1,52% lemak; 0,18% abu; 0,67% total
asam; 133,60 mg/kg kalsium; 0,607% inulin; 1,97% antioksidan; 1,29 mg/kg vitamin
B1; 2,92 mg/kg vitamin B2 dan aman dari cemaran logam Pb dan Cu serta dapat
6
disimpan selama 3 (tiga) minggu dengan jumlah bakteri asam laktat 2,81 x 10
koloni/gram atau 6,4 siklus log dan aman dari cemaran mikroba patogen yaitu Coliform
<3AMP/g dan Salmonella negatif/100 ml. Selama penyimpanan 4 (empat) minggu
terjadi penurunan jumlah BAL sebesar 2,6 siklus log.
Kata kunci : bengkuang, probiotik, bakteri asam laktat, mikroba patogen

ABSTRACT
Study probiotic drink yam done in an effort to maximize the diversification of
processed yam which is one potential commodities Padang. The study was conducted
in three phases. The first phase of preliminary research, conducted trials whether yam
can be used as an ingredient in the manufacture of probiotic drinks using bacteria from
probiotic products on the market. The second phase, further research, carried out the

117
type of treatment variations and types of probiotic bacteria probiotic drink milk to obtain
acceptable organoleptic and meet the quality requirements ISO 2981: 2009 on yoghurt.
Phase three, studies determining the shelf life of probiotic drinks yam. The method
used in this study is exploratory methods through experiments in the laboratory. Data
were collected by direct observation as the research object given treatment, then do a
series of tests.
The result showed that the starter dry (containing the bacteria Lactobacillus
acidophilus, Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophillus) with the amount
of 5%, the source of lactose goat milk powder of 15% and 10% sugar in 1 liter fitrat
jicama produce probiotic drink with organoleptic most preferably, containing 1.56%
protein; 1.52% fat; 0.18% ash; 0.67% total acid; 133.60 mg/kg of calcium; 0.607%
inulin; 1.97% antioxidant; 1.29 mg/kg of vitamin B1; 2.92 mg/kg of vitamin B2 and safe
from contamination of Pb and Cu and can be stored for 3 (three) weeks by the number
6
of lactic acid bacteria of 2.81 x 10 colonies/gram, or 6.4 log cycles and safe from
microbial contamination ie pathogenic coliform <3 AMP/g and Salmonella negative/100
ml. During storage the four (4) weeks of decline in the number of BAL of 2.6 log cycle.
Keywords: jicama root, probiotics, lactic acid bacteria, pathogens

PENDAHULUAN
Seiring semakin baiknya tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat, perhatian
masyarakat terhadap pentingnya pengaruh makanan dan minuman terhadap
kesehatan juga semakin meningkat. Setelah sekian tahun makanan cepat saji menjadi
menu favorit bagi kebanyakan orang, kini pola konsumsi masyarakat mulai beralih ke
pola hidup sehat. Hal ini memicu berkembangnya produk-produk pangan yang memiliki
fungsi kesehatan terutama dalam pemanfaatan produk-produk alami. Salah satunya
adalah produk olahan bengkuang.
Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) menghasilkan umbi yang memiliki
aroma dan rasa yang tidak terlalu menonjol serta memberikan efek mendinginkan pada
tubuh jika dimakan. Sebagian besar umbi bengkuang terdiri dari air dan karbohidrat,
sedikit protein, lemak, serat serta vitamin dan mineral. Berdasarkan penelitian
Akhadiana (2012), bengkuang juga diketahui memiliki kandungan inulin yang memiliki
kemampuan yang efektif untuk berperan sebagai prebiotik.
Sumatera Barat, khususnya kota Padang memiliki potensi bengkuang yang
cukup besar, tersebar di beberapa kecamatan yaitu, Kecamatan Koto Tangah,
Nanggalo, Kuranji dan Pauh. Pada tahun 2013 areal tanam mencapai 55 ha dengan
dengan total produksi sebesar 873 ton (Padang Dalam Angka, 2013). Besarnya
produksi bengkuang menyebabkan kota Padang dikenal sebagai kota bengkuang dan
dijadikan sebagai maskot kota Padang. Disamping itu, bengkuang dari kota Padang
mempunyai kualitas yang baik dan merupakan varietas unggul. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Pertanian Nomor:
275/kpts/Sr.120/M/7/2005 tentang Pelepasan bengkuang kota Padang sebagai
varietas unggul, yang memiliki keunggulan produktifitas tinggi, umur ganjah, umbi

118
besar, rasa umbi manis, tekstur umbi renyah, kulit umbi mudah dilepas dari dagingnya
dan mampu beradaptasi dengan baik didataran rendah (Kementerian Pertanian, 2005).
Selama ini, bengkuang dari segi pemanfaatannya hanya dikonsumsi dalam
bentuk segar atau dijadikan sebagai bahan pencampur rujak serta sebagai bahan baku
pembuatan bedak dingin tradisional oleh petani bengkuang dan juga image bengkuang
sendiri di masyarakat dianggap sebagai buah yang tidak komersil dan kurang eksklusif
jika dibandingkan dengan buah-buah lokal dan impor lainya yang terpajang manis di
supermarket atau toko-toko buah di kota Padang.
Berdasarkan kenyataan tersebut, saat ini telah dilakukan penelitian untuk
mengembangkan berbagai teknologi pengolahan berbahan baku bengkuang menjadi
beraneka ragam olahan cake bengkuang, sehingga dapat memberi nilai tambah
terhadap bengkuang itu sendiri. Namun perlu dilakukan penelitian lainnya dalam usaha
meningkatkan diversifikasi olahan bengkuang, salah satunya yaitu dengan mencoba
mengolah bengkuang untuk dapat dijadikan sebagai minuman probiotik.

TINJAUAN PUSTAKA
Bengkuang merupakan umbi yang kaya akan berbagai zat gizi yang sangat
penting untuk kesehatan. Bagian yang dapat dimakan dari bengkuang terdiri dari
82,0% air, 14,9% karbohidrat, 1,2% protein, 0,1% lemak, dan 1,4% serat kasar. Umbi
juga mengandung sejumlah besar asam askorbat, rasa manis dari bengkuang berasal
dari inulin oligofruktosa. Selain itu juga terdapat flavonoid, tiamin, riboflavin, piridoksin,
adenin, kolin, saponin, niacin, phytoestrogen, dan asam folat (Noman et al 2007;
Nurrochmad et al 2010 dalam Kumalasari, et al., 2014), sedangkan kandungan
mineralnya adalah kalsium, fosfor dan zat besi. Lukitaningsinh, dkk., 2013 telah
berhasil mengisolasi enam komponen dalam bengkuang yang memiliki aktivitas
antioksidan dan pencerah kulit, yaitu daidzein, daidzin, genistin, (8,9)-furanyl-
pterocarpan-3-ol, 4-(2-(furane-2-yl)ethyl)-2-methyl-2,5-dihydro-furane-3-carbaldehyde
dan 2-butoxy-2,5-bis(hydroxymethyl)-tetrahydrofurane-3,4-diol.
Dengan kandungan gizi yang baik tersebut, bengkuang memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan, yaitu baik bagi penderita hiperglikemia, melancarkan
pencernaan, melancarkan buang air besar, menjaga kadar gula darah, kaya vitamin C,
kaya isoflafon, menurunkan kolesterol dan dapat pula mengatasi eksim. Kandungan
kadar air yang cukup tinggi dari bengkuang dapat menyegarkan tubuh setelah
mengkonsumsinya dan menambah cairan tubuh yang diperlukan untuk
menghilangkan deposit lemak yang mengeras, yang terbentuk dalam beberapa bagian
tubuh. Oleh karena itu, bengkuang dianggap dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam darah (Lingga, 2010).
Selain itu umbi bengkuang mengandung inulin yang berasa manis yang tidak
bisa dicerna tubuh manusia. Sifat ini berguna bagi penderita diabetes atau orang yang
berdiet rendah kalori (Syarif dan Waryono, 2014) sehingga banyak dimanfaatkan
dalam pangan fungsional. Menurut Damayanti (2010), kandungan inulin pada umbi
bengkuang sebesar 2,20%. Sedangan menurut hasil analisa yang dilakukan oleh

119
Mulyani, et al., 2013, menyatakan bahwa umbi bengkuang mengandung inulin sebesar
6,512% dan filtratnya 4,41%. Kadar inulin pada umbi umbian berkisar 0,14% - 14,54%.
Perbedaan ini dapat disebabkan perbedaan varietas, umur panen dan kondisi
pertumbuhan.
Pembuatan minuman probiotik bengkuang telah dilakukan oleh beberapa orang
peneliti sebelumnya (Yeni, 2009; Susanto, 2011; Purba, 2012; Diza, dkk, 2011, 2013).
Minuman probiotik bengkuang memiliki keistimewaan karena mengandung inulin yang
berfungsi sebagai prebiotik yang berasal dari umbi bengkuang dan bakteri asam laktat
yang merupakan probiotik. Karena mengandung prebiotik dan probiotik sekaligus,
minuman ini dapat disebut sebagai minuman sinbiotik bengkuang.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembuatan minuman probiotik filtrat umbi
bengkuang adalah tidak tersedianya laktosa pada filtrat umbi bengkuang. Salah satu
sumber laktosa yang saat ini mulai banyak diproduksi dan berpotensi untuk
dikembangkan adalah pemanfaatan susu kambing. Banyak keistimewaan yang
menjadikan susu kambing perlu diangkat dan disosialisasikan menjadi susu yang
nantinya disukai masyarakat: 1) susu kambing kaya protein, enzim (ribonuklease,
alkalin fostate, lipase dan xantin oksidase), mineral (kalsium, kalium, magnesium,
fospor, klorin dan mangan), vitamin A, dan vitamin B (riboflavin). 2) Mengandung
antiantritis (inflamasi sendi). 3) Mempunyai khasiat untuk mengobati demam kuning,
penyakit kulit, gastritis (gangguan lambung), asma (gangguan pernapasan) dan
imsomnia (tidak bisa tidur). 4) Molekul lemaknya kecil sehingga mudah dicerna. 5) Bisa
disimpan di tempat dingin, misalnya lemari pendingin tanpa mengubah kualitas dan
khasiatnya (Budiana dan Susanto, 2005).
Selama ini masyarakat Indonesia belum familiar dengan susu kambing. Jika
dibandingkan dengan konsumsi susu sapi, susu kambing biasanya dikonsumsi dengan
alasan susu ini dianggap mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Kandungan
fluorine yang terdapat pada susu kambing berkisar 10 sampai 100 kali lebih besar
dibandingkan susu sapi. Kandungan fluorine bermanfaat sebagai antiseptik alami dan
dapat membantu menekan pembiakan
bakteri di dalam tubuh (Budiana dan
Susanto, 2005).
Bila ditinjau dari nilai gizinya,
susu kambing mengandung protein dan
lemak mendekati susu sapi dan ASI
(Tabel 1). Selain itu, keluhan-keluhan
kesehatan yang sering dijumpai akibat
mengonsumsi susu sapi tidak ditemui
pada orang yang mengonsumsi susu
kambing. Oleh karenanya, susu
kambing bisa menjadi alternatif bagi
konsumen yang alergi terhadap susu
sapi.

120
METODOLOGI PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Bahan yang diperlukan adalah bengkuang, susu cair UHT, susu sapi full cream,
susu kambing bubuk, gula pasir, starter yakult, starter kering, air mineral, alkohol 70%,
botol kemasan dan bahan kimia untuk pengujian.
Alat yang digunakan adalah panci stainlessteel, timbangan, waskom, pisau,
talenan, sendok kayu, kompor, juicer, kain saring, pipet takar, botol-botol kaca,
termometer, inkubator, lampu spiritus, botol-botol kemasan dan peralatan untuk
melakukan pengujian.
B. Prosedur Kerja
1. Perlakuan Penelitian
Penelitian dilkukan melalui tiga tahapan, yaitu penelitian pendahuluan,
penelitian lanjutan dan penelitian penentuan umur simpan minuman probiotik
bengkuang.
Penelitian pendahuluan, dilakukan uji coba apakah bengkuang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan dalam pembuatan minuman probiotik bengkuang menggunakan bakteri
dari produk probiotik yang ada di pasaran.
Penelitian lanjutan, dilakukan variasi perlakuan jenis bakteri probiotik dan jenis susu
untuk mendapatkan minuman probiotik yang dapat diterima secara organoleptik.
Selanjutnya dipilih formula minuman probiotik bengkuang dengan nilai rata-rata
kesukaan 3,50 ke atas (skala 5) yang berarti produk cukup disukai sampai suka.
Penelitian penentuan umur simpan minuman probiotik bengkuang, dilakukan
dengan membuat minuman probiotik bengkuang dengan formulasi terbaik dari hasil
penelitian sebelumnya yang kemudian dikemas dalam botol kemasan dan disimpan
o
pada suhu showcase (±4-5 C) dengan perlakuan lama penyimpanan 0 minggu, 1
minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu.

2. Proses pembuatan minuman probiotik bengkuang


a. Pembuatan Filtrat Bengkuang
- Blanching, dilakukan pada suhu ±60-80°C selama 5 menit.
- Penghancuran, menggunakan juicer untuk mendapatkan sari bengkuang, kemudian
diencerkan dengan air, perbandingan bengkuang:air=1:2.
- Pengendapan, sari yang sudah didapatkan diendapkan untuk memisahkan pati,
supaya tidak merusak kualitas minuman probiotik yang dihasilkan, sehingga
didapatkan filtrat/ sari yang jernih.
- Penyaringan, dilakukan menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas
dengan sarinya. Didapat filtrat bengkuang
b. Pembuatan Minuman Probiotik Bengkuang

121
o
- Pemanasan, dilakukan pada suhu ±80°-90 C selama 20 – 30 menit, untuk
membunuh mikroba patogen yang terikut selama proses sehingga dapat menjaga
keawetan sari bengkuang.
- Pencampuran, pada proses ini ditambahkan bahan tambahan susu dan gula ke
dalam sari bengkuang sebagai tambahan nutrisi bagi bakteri probiotik dan untuk
menambah total padatan, membentuk tekstur yang bagus, membentuk aroma dan
cita rasa, serta memperbaiki kualitas akhir produk probiotik yang dihasilkan.
- Pemanasan, dilakukan pada suhu 72°C selama 15 detik sebab bila dilakukan lebih
dari itu dapat merusak kandungan nutrisi yang ada. Pemanasan akan
menghilangkan oksigen, memacu pertumbuhan bakteri asam laktat, memecah
beberapa zat dan memacu perubahan kimiawi yang menghasilkan faktor-faktor
untuk pertumbuhan bakeri probiotik, serta dapat membunuh bakteri patogen
- Pendinginan, dilakukan pada suhu ruang sampai suhu produk mencapai ±40°C
agar sesuai untuk pertumbuhan bakteri probiotik.
- Inokulasi, dilakukan dengan penambahan kultur starter yang dilakukan secara
aseptis.
- Inkubasi, dalam inkubator pada suhu 36°C selama 24 jam.

3. Proses Aktivasi Bibit


Proses aktivasi bibit adalah sebagai berikut :
Bahan dan alat : Bibit bubuk 20 g, air mineral 330 ml dan takaran air
Cara aktivasi :
Air mineral yang 330 ml dikeluarkan 180 ml, sehingga tinggal 150 ml. Kemudian
masukkan seluruh bibit (20 g) ke dalam botol, lalu tutup botol, kocok agar bibit larut dan
o
inkubasi pada 36 C selama 14 - 16 jam.

Perbanyakan bibit
Perbanyakan bibit dilakukan dengan cara sebagai berikut : siapkan 3 (tiga) botol air
mineral 330 ml yang telah kosong, penggaris, spidol, susu UHT 1 liter dan 150 ml bibit
yang telah lolos uji kendali mutu. Botol air mineral kosong diberi tanda 1,5 cm dari
bagian dasar dan 2 – 3 cm dari bagian atas., selanjutnya masukkan bibit yang telah
diaktivasi sampai ketinggian 1,5 cm dari dasar botol, masukkan susu cair UHT sampai
o
tanda marker yang diatas, kocok agar homogen dan inkubasi pada suhu 45 C selam
4–5 jam.

4. Analisis dan Pengujian


Pengujian yang dilakukan terhadap yoghurt bengkuang meliputi nilai total
Bakteri asam laktat (Total Plate Count, Metode Tuang, Fardiaz S. 1990), cemaran
mikroba patogen Coli form (metode angka paling mungkin, SNI 2981:2009) dan
Salmonella (metode media selektif, SNI 2981:2009), total asam (metode titrasi, SNI
2981:2009), kandungan inulin (HPLC, 18-5-2/MU/SMM-Saraswanti Indo Genetech),
kalsium (metode AAS) dan pengujian organoleptik (Setyaningsih, et al., 2010).

122
HASIL DAN PEMBAHASAN

Mutu Minuman Probiotik Bengkuang Formula Terpilih


Dari hasil pengujian produk minuman probiotik bengkuang dengan beberapa
formulasi terpilih, diperoleh minuman probiotik yang memenuhi sebagian besar syarat
mutu SNI 2981:2009 tentang yoghurt (Tabel 2).

Keadaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minuman probiotik bengkuang yang
menggunakan sumber laktosa dari susu sapi bubuk menghasilkan produk yang kurang
homogen dibanding yang menggunakan susu kambing bubuk dan susu cair UHT.

Kadar lemak
Hasil analisa kandungan lemak pada minuman probiotik bengkuang adalah
berkisar dari 1,52% sampai dengan 2,61% sehingga digolongkan sebagai yoghurt
rendah lemak (SNI 2981 : 2009 mengenai Yoghurt). Kandungan lemak dari minuman
probiotik bengkuang berasal dari susu kambing, sedangkan kandungan lemak dari
bengkuang sangat rendah, hanya sekitar 0,2 g per 100 g bengkuang.

Kadar abu
Kadar abu produk memenuhi syarat mutu yoghurt. Kadar kalsium yang
terkandung dalam produk juga menentukan jumlah kadar abu. Namun, kalsium akan
terlarut pada pH rendah, pada pH 5,2 kalsium dan fosfat akan terlarut seluruhya
(deMan, 1997 dalam Oktaviani, dkk., 2014), sehingga kadar abu produk menjadi lebih
kecil.

Keasaman
Dari hasil penelitian diperoleh total asam minuman probiotik bengkuang 0,53
sampai 1,09 %. Angka ini memenuhi syarat total asam yoghurt dalam SNI 2981 : 2009,
yaitu sebesar 0,5 sampai 2,0%.
Dalam proses fermentasi, laktosa yang terdapat dalam susu oleh kultur starter
dihidrolisa menghasilkan beberapa hasil akhir, yang terutama adalah asam laktat.
Akumulasi asam laktat menyebabkan meningkatnya keasaman. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan kuman-kuman patogen akan terhambat. Semakin tinggi keasaman,
disebabkan oleh banyaknya starter di dalam minuman, karena selama
pertumbuhannya masih aktif akan menghasilkan asam laktat. Namun kondisi yang
terlalu asam juga tidak disukai karena akan merubah komposisi, bau dan rasa

123
Total padatan bukan lemak
Perlakuan yang menggunakan starter cair (yakult) dengan sumber laktosa susu
cair UHT menghasilkan total padatan bukan lemak yang lebih rendah dari syarat mutu

124
yoghurt. Tetapi perlakuan dengan menggunakan starter kering dengan sumber laktosa
susu sapi bubuk dan susu kambing bubuk memiliki total padatan bukan lemak yang
memenuhi syarat mutu yoghurt.
Kadar protein
Kandungan dan kualitas protein yoghurt dipengaruhi oleh bahan dasar yoghurt
dan proses fermentasi. Hasil penelitian untuk kadar protein, belum didapat formulasi
yang memenuhi persyaratan mutu kandungan protein sesuai SNI tentang yoghurt. Hal
ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan adalah filtrat bengkuang.
Sedangkan SNI yoghurt yang ada adalah berbahan baku susu sebagaimana yang
tercantum dalam istilah dan defenisi yoghurt, bahwa yoghurt adalah produk yang
diperoleh dari fermentasi susu dan atau rekonstitusi dengan menggunakan bakteri
Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat
lain yang sesuai, dengan/atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan. Hal ini menyebabkan protein produk yang dihasilkan
berada di bawah persyaratan SNI.
Namun dilihat dari pengaruh perlakuan, terlihat bahwa kandungan protein
perlakuan yang menggunaan starter kering cenderung lebih tinggi daripada perlakuan
starter cair. Hal ini disebabkan karena starter kering merupakan konsentrat starter yang
lebih pekat dibanding dengan starter cair. Sehingga jumlah BAL yang terkandung juga
lebih tinggi. Semakin banyak jumlah mikroba yang terdapat di dalam minuman probiotik
atau yoghurt maka akan semakin tinggi kandungan proteinnya karena sebagian besar
komponen penyusun mikroba adalah protein. Protein yang ada merupakan jumlah total
dari protein bahan yang digunakan dan protein bakteri asam laktat yang terdapat di
dalamnya (Yusmarini dan Raswen, 2004).
Cemaran logam
Logam berat merupakan bahan kimia yang biasanya mempunyai berat jenis di
atas 5,0 dan bersifat racun diantaranya tembaga (Cu) dan timbal (Pb). Logam berat
dapat berpotensi racun karena tidak dapat dimetabolisme menjadi bentuk senyawa
kimia lain. Logam berat ini hanya bisa dieksresikan oleh tubuh melalui ginjal dalam
bentuk ion logam berat dan menyebabkan gangguan fungsi ginjal.
Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa minuman probiotik bengkuang
aman dari cemaran logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu. Hasil pembacaan untuk
kedua jenis logam ini kecil dari limit of detection (LOD) alat AAS yang digunakan.

Cemaran mikroba
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No. HK.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran
mikroba dan kimia dalam makanan, yang dikatakan cemaran mikroba adalah cemaran
dalam makanan yang berasal dari mikroba yang dapat merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia. Beberapa mikroba penyebab penyakit yang sering
mengkontaminasi makanan adalah Salmonella dan Escherichia choli.

125
Untuk menghasilkan minuman probiotik yang bebas dari cemaran mikroba,
maka proses pengolahan harus memperhatikan sanitasi dan kehigienisannya. Karena
itu perlu dilakukan pemanasan terhadap bahan baku (dalam hal ini proses balanching,
pemanasan sari bengkuang dan pemanasan setelah dilakukan pencampuran bahan-
bahan pembantu). Proses ini bertujuan untuk membunuh mikroba patogen yang
terdapat dalam bahan baku. Karena bahan baku merupakan makanan yang sangat
baik bagi banyak spesies bakteri. Karbohidrat, lemak dan protein yang dikandungnya
merupakan substrat bagi banyak bakteri, baik bakteri patogen maupun bakteri saprofit.
.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk minuman probiotik bengkuang
yang dihasilkan aman dari cemaran mikroba Coliform dan Salmonella. Hal ini
menunjukkan bahwa proses pengolahannya sudah dilakukan dengan baik dan
memperhatikan faktor sanitasi.

Uji Organoleptik
Dari hasil uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, rasa dan homogenitas
terhadap minuman probiotik bengkuang, rata-rata panelis memberikan nilai suka
terhadap yoghurt bengkuang, dengan rata-rata penilaian sebesar 4,30 (skala 5).
Selanjutnya dilakukan uji coba pasar dengan memanfaatkan event Gelar
Pangan Nusantara pada tanggal 16 September 2015 yang diselenggarakan oleh
Kementerian Pertanian bertempat di lapangan Tarandam Kota Padang. Dari 40 (empat
puluh) botol minuman probiotik bengkuang yang disiapkan, habis terjual dalam event
tersebut. Data ini membuktikan bahwa minuman probiotik bengkuang cukup dapat
diterima oleh masyarakat.

Hasil Pengamatan Produk Minuman Probiotik Bengkuang Selama Penyimpanan


Selama penyimpanan, dilakukan pengamatan terhadap total BAL dan cemaran
mikroba Coliform dan Salmonella sebagaimana ditampilan pada Tabel 3.

126
Total Bakteri Asam Laktat (BAL)
Jumlah BAL yang terkandung dalam yoghurt merupakan salah satu faktor
penentu dari kelayakan produk ini yang dikategorikan sebagai pangan fungsional.
Dosis yang direkomendasikan untuk probiotik dalam diet pada pembuatan yoghurt
6 7
yaitu antara 10 - 10 sel/gram atau ml (Fardiaz 1992; Nousiainen et al., 2004).
Sementara menurut Shah (2007), jumlah minimal strain probiotik yang ada dalam
6
produk makanan adalah sebesar 10 CFU/g, dengan tujuan untuk mengimbangi
kemungkinan penurunan jumlah bakteri probiotik pada saat berada dalam jalur
pencernaan. Jumlah total BAL masih termasuk dalam batasan kandungan probiotik
5 9
yang dianjurkan dalam standar produk probiotik yaitu 10 – 10 .
Hasil pengamatan total koloni BAL pada minuman probiotik bengkuang, terjadi
penurunan jumlah BAL selama penyimpanan. Jumlah total BAL pada penyimpanan
8 5
minggu ke 0 sebesar 2,38 x 10 koloni/ml atau 8,4 siklus log menjadi 6,0 x 10
koloni/ml atau 5,8 siklus log pada penyimpanan minggu ke 4.
Sampai penyimpanan minggu ke-3, jumlah BAL yang tumbuh masih memenuhi
6
syarat sebagai pangan fungsional dengan total BAL berjumlah 2,81 x 10 koloni/ml
atau 6,4 siklus log. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan masih tersedianya nutrisi
yang dibutuhkan oleh BAL untuk tumbuh dalam jumlah yang cukup yaitu adanya
penambahan gula dan sumber protein.

Cemaran mikroba
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai penyimpanan minggu ke empat,
yoghurt bengkuang aman dari cemaran mikroba. Bakteri asam laktat yang dihasilkan
dalam pembuatan yoghurt bengkuang bermanfaat untuk peningkatan kualitas dan
keamanan bahan pangan melalui penghambatan secara alami terhadap
mikroorganisme yang bersifat pathogen, karena dapat menghasilkan beberapa
komponen antimikrobia yaitu asam organik, karbondioksida, hidrogen peroksida,
diasetil, reuterin, dan bakteriosin (Amezquita dan Brashears, 2002). Menurut Jenie
(1996) dalam Adriani, 2010, sebagian dari senyawa-senyawa tersebut memperlihatkan
aktivitas antimikrobia terhadap banyak mikroorganisme perusak dan patogen makanan
seperti Bacillus cereus, Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, Pseudomonas,
Alcaligenes , dan lain-lain.
Disamping itu, Asam organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat adalah
asam laktat dan asam asetat. Asam laktat merupakan metabolit utama bakteri asam
laktat. Efek penghambatan terjadi karena molekul asam organik masuk ke dalam
membran sel dan menurunkan pH sitoplasma. Hidrogen peroksida yang dihasilkanoleh
aktivitas bakteri asam laktat dapat menghambat bakteri patogen. Hidrogen peroksida
memiliki efek bakterisidal karena produksi superoksida oksigen dan radikal hidroksil
yang menyebabkan oksidasi sel bakteri dan merusak struktur dasar molekul dari
protein sel (Mishra dan Lambert, 1996; Jaroni dan Brashears, 2000; Zalan et al., 2005
dalam Rahmawati, et al., 2005).

127
Penurunan Jumlah BAL selama penyimpanan
Pada penelitian ini kultur bakteri yang digunakan sebagai starter adalah kultur
campuran, yang terdiri dari Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophillus. Menurut Nugraheny (2004) penurunan jumlah BAL pada
yoghurt yang menggunakan kultur campuran disebabkan karena kompetisi antar
bakteri dan adanya senyawa berbeda yang dihasilkan sehingga menghambat bakteri
satu sama lain yang ditumbuhkan secara bersamaan.
Dari hasil penelitian dapat diketahui, bahwa setelah minggu ke 4, jumlah total
BAL sudah tidak memenuhi syarat lagi. Rata-rata total BAL yang diperoleh pada
penelitian ini berkisar antara 5,8 - 8,4 log cfu/ml, berarti selama penyimpanan empat
minggu, terjadi penurunan jumlah bakteri sebesar 2,6 siklus log.

Hasil analisa beberapa kandungan gizi minuman probiotik bengkuang


Terhadap minuman probiotik juga dilakukan beberapa pengujian lain untuk
mengetahui kandungan gizi minuman selain yang dipersyaratkan dalam SNI
2981:2009 tentang yoghurt.

Kalsium
Bengkuang kaya mineral, salah
satunya kalsium. Kandungan mineral
kalsium pada bengkuang bermanfaat
untuk kesehatan tulang dan gigi,
mencegah terjadinya keropos tulang
(osteoporosis), melenturkan otot,
menyetimbangkan tingkat keasaman
darah, menurunkan resiko kanker usus, mencegah penyakit jantung, meminimalkan
penyusutan tulang saat hamil dan menyusui, serta menjaga keseimbangan cairan
tubuh. Pada bengkuang segar terdapat 15 mg kandungan kalsium setiap 100 gram
bengkuang (Direktorat Depkes Gizi, 1992).
Dari hasil penelitian, diperoleh kandungan kalsium dalam minuman probiotik
bengkuang adalah sebesar 111,573 sampai 136,748 mg/kg atau 11,16 sampai 13,67
mg/100 gram minuman. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan kalsium tetap dapat
dipertahankan selama proses pengolahan, fermentasi dan penyimpanan minuman
probiotik bengkuang. Kandungan kalsium dalam minuman probiotik bengkuang juga
disumbangkan oleh kalsium yang berasal susu kambing bubuk yang digunakan.
Angka kecukupan gizi kalsium di Indonesia ditetapkan dalam Kongres Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 yang menyetakan bahwa
kecukupan gizi kalsium untuk anak-anak umur 0 – 12 bulan adalah sebesar 200 – 400
mg/hari, umur 1 – 9 tahun 500 – 600 mg/hari, laki-laki dan perempuan dewasa sebesar
800 – 1000 mg/hari, untuk wanita hamil dan menyusui ada tambahan 150 mg/hari.
Sehingga diharapkan yoghurt bengkuang dapat menjadi salah satu sumber kalsium
dalam pemenuhan angka kecukupan gizi kalsium bagi kita

128
Inulin
Tanaman bengkuang (Pachyrrhizus erosus) mengandung inulin yang
bermanfaat bagi kesehatan dan dimanfaatkan dalam pangan fungsional. Inulin
merupakan polimer dari unit-unit fruktosa. Inulin bersifat larut di dalam air, tidak dapat
dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, tetapi difermentasi mikroflora kolon (usus
besar). Oleh karena itu, inulin berfungsi sebagai prebiotik.
Dari hasil penelitian dapat diketahui, kadar inulin minuman probiotik bengkuang
selama penyimpanan sampai minggu kedua cenderung tetap dan menurun setelah
minggu ketiga. Hal ini disebabkan karena inulin yang berperan sebagai komponen
prebiotik tidak mengalami perombakan selama proses fermentasi (Mulyani dkk, 2013).
Inulin bersifat larut dalam air, tetapi tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam sistem
pencernaan. Namun demikian, inulin dapat mengalami fermentasi akibat aktivitas
mikroflora yang terdapat di dalam usus besar sehingga berimplikasi positif terhadap
kesehatan tubuh.

Antioksidan
Seperti bahan alami lain yang bermanfaat bagi kesehatan kulit, bengkuang
mengandung antioksidan vitamin C, flavonoid, dan saponin yang berperan mencegah
kerusakan kulit oleh radikal bebas Bengkoang termasuk famili Fabaceae. Famili
fabaceae banyak dilaporkan mengandung fitoestrogen dan sangat memungkinkan
mengandung flavonoid. Bengkoang diduga merupakan sumber antioksidan potensial
(Lukitaningsih, 2010). Ada enam komponen dalam bengkuang dengan aktivitas
antioksidan dan pencerah kulit, yaitu daidzein, daidzin, genistin, (8,9)-furanyl-
pterocarpan-3-ol, 4-(2-(furane-2-yl)ethyl)-2-methyl-2,5-dihydro-furane-3-carbaldehyde
and 2-butoxy-2,5-bis(hydroxymethyl)-tetrahydrofurane-3,4-diol (Lukitanigsih, dkk.,
2013).
Penelitian mengenai antioksidan umbi bengkoang menunjukkan hasil yang
berbeda-beda. Jumlah antioksidan yang berbeda dapat dihubungkan dengan ekstraksi
dan jenis pelarut yang digunakan dan umur panen umbi bengkuang (Huerta, 2005
dalam Lintang, 2014). Dan dari hasil penelitian, kandungan antioksidan minuman
probiotik bengkuang adalah sebesar 1,97%.
Selain itu, asam laktat yang dihasilkan oleh BAL selama proses fermentasi
dapat meningkatkan aktivitas antioksidan (Kusumaningrum, 2011 dalam Oktaviani,
dkk., 2014). Asam laktat pada yoghurt mengandung α-hidroxyacids (AHA) yang
berfungsi sebagai antioksidan dan sering dimanfaatkan untuk pembuatan kosmetik.
Selain dari asam laktat adanya peningkatan aktivitas antioksidan juga disebabkan oleh
adanya metabolit sekunder dari metabolisme bakteri. Bakteri probiotik menghasilkan
senyawa antioksidan dalam bentuk vitamin C dan vitamin E (Kruszewska, dkk., 2002
dalam Oktaviani, dkk., 2014).

Vitamin B1 dan B2

129
Vitamin B1 (thiamin) dan vitamin B2 (ribovlafin) pada produk minuman probiotik
bengkuang berasal dari bahan bakunya, dimana secara alami terdapat dalam umbi
bengkuang dalam jumlah kecil (Nurrochmad, et al., 2010 dalam Kumalasari, dkk,
2014) dan juga dalam susu kambing (Budiana dan Susanto, 2005).
Suhartini (2011) menyatakan bahwa efek kesehatan dari bakteri probiotik salah
satunya adalah mampu mensintesa nutrisi seperti asam folat, niacin, riboflavin, vitamin
B6 dan B12. Namun vitamin B1 memiliki sifat larut dalam air dan tidak tahan terhadap
pemanasan yang terlalu lama, sangat tidak stabil pada pH alkali, kestabilan bergantung
pada tingkat pemasakan seperti suhu, oksigen, cahaya, kelembaban dan pH (Leskova
et al, 2006 dalam Indrasari, 2011).

KESIMPULAN
Dari beberapa perlakuan yang telah dilakukan, perlakuan yang memberikan
hasil optimal dalam pembuatan minuman probiotik bengkuang adalah penggunaan
starter kering (yang mengandung bakteri Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus
bulgaricus dan Streptococcus thermophillus) 5%, susu kambing bubuk 15% dan gula
10% dalam 1 (satu) liter filtrat bengkuang.
Formula di atas menghasilkan minuman probiotik bengkuang yang mengandung
15,0% protein; 1,52% lemak; 0,18% kadar abu; 0,67% total asam; 133,60 mg/kg
kalsium; 0,607% inulin; 1,97% antioksidan; 1,29 mg/kg vitamin B1; 2,92 mg/kg vitamin
B2 dan aman dari cemaran logam Pb dan Cu.
Dari uji organoleptik diketahui bahwa minuman probiotik bengkuang disukai dan
dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Minuman probiotik bengkuang yang
o
disimpan dalam showcase (suhu ± 4 C) masih memenuhi kriteria pangan fungsional
dan baik dikonsumsi sampai minggu ke tiga dengan jumlah bakteri asam laktat sebesar
6,4 siklus log dan aman dari cemaran mikroba patogen coliform dan salmonella.
Selama penyimpanan 4 (empat) minggu, terjadi penurunan bakteri asam laktat sebesar
2,6 siklus log.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Sdri. Titi Putri Ningsih yang telah membantu selama
penelitian sehingga penelitian dapat berjalan baik dan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Lovita. 2010. Yoghurt Sebagai Probiotik. Laboratorium Fisiologi dan Biokimia,
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung.

130
Akhadiana, W. 2012. Studi Kemampuan Inulin Sebagai Prebiotik (Kajian pengaruh
Jenis Umbi Dan jenis Isolat (Lactobacillus casei dan Lactobacillus plantarum)).
Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang.
Amezquita, A. and M.M. Brashears. 2002. Competitive inhibition of Listeria
monocytogenes in ready-to-eat meat products by lactic acid bacteria. Food
Protection Journal65 (2): 316-325.
Badan Pengwas Obat dan Makanan. 2009. Penetapan Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dan Kimia Dalam Makanan.
Badan Standardisasi Nasional, SNI 2981 : 2009 tentang Yoghurt.
Badan Pusat Statistik, 2013. Padang Dalam Angka.
Budiana dan Susanto. 2005. Susu Kambing . Penebar Swadaya. Depok
Damayanti, K. 2010. Pembuatan Tepung Bengkuang dengan Kajian Konsentrasi
Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dan Lama Perendaman. Skripsi. Program Studi
Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan
Nasional Jawa Timur. Surabaya.
Direktorat Depkes Gizi. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya
Aksara, Jakarta.
Diza, Y.H., dkk., 2011. Pembuatan Minuman Probiotik Bengkuang. Laporan Penelitian.
Baristand Industri Padang.
Diza, Y.H., dkk., 2013. Peningkatan Mutu Minuman Probiotik Bengkuang. Laporan
Penelitian. Baristand Industri Padang.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. IPB. Bogor.
Indrasari, Siti Dewi. 2011. Pengaruh Penyosohan Gabah dan Pemasakan Terhadap
Kandungan Vitamin B Beras Merah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan Vol.30. No.3.
Kementerian Pertanian. Surat keputusan Menteri Pertanian Nomor :
275/kpts/Sr.120/M/7/2005 tentang Pelepasan bengkuang kota Padang sebagai
varietas unggul.
Kumalasari, ID., Nishi K., Harmayani, E., Raharjo, S., Sugahara, T. 2014.
Immunomodultory activity of bengkoang (Pachyrhizus erosus) fiber extract in vitro
and in vivo. Cytotechnology (2014) 66: 75 – 85. DOI 10.1007/s10616-013-9539-5.
Lingga, Lanny, 2010, Cerdas Memilih Sayuran, PT. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Lintang, JA., Rusmarilin, Herla., Lubis, Linda Masniary. 2014. Aktivitas Antioksidan
Ekstrak Umbi Bengkuang Pada Berbagai Umur Panen Dengan Metode DPPH
(2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl)
Lukitaningsih, E., Bahi, M., Holzgrabe, U. 2013. Tyrosinase Inhibition Type of Isolated
Compounds Obtained from Pachyrhizus erosus. Aceh Int. J. Sci. Technol., 2 (3):
98-102 December 2013 doi: 10.13170/AIJST.0203.05
Mulyani, Tri, Sudaryati dan Susanto A. 2011. Kajian peran susu skim dan bakteri asam
laktat pada minuman sinbiotik umbi bengkuang (Pachyrrhizus erosus).

131
Nousiainen, J., Ahvenjarvi, S., Rinne, M., Hellamaki, M., H uhtanen, P. 2004. Prediction
of indigestible cell wall fraction of grass silage by near infrared reflectance
spectroscopy. Anim. Feed Sci. Technol., 115, 295-311.
Nugraheni, M. 2004. Potensi Makanan Fermentai sebagai Makanan Fungsional.
Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana. Fakultas Teknik. UNY.
Oktaviani, EP., Purwijantiningsih, L.M.E., Pranata FS. 2014. Kualitas dan Aktifitas
Antioksidan Minuman Probiotik dengan Variasi Ekstrak Buah Naga Merah
(Hyloreceus polyrhizus). Program Studi Biologi, Fakultas Teknobiologi,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Purba, RA., Rusmarilin, H., Nurminah, M. 2012. Studi pembuatan yoghurt bengkuang
instan dengan berbagai konsentrasi susu bubuk dan starter. Jurnal Rekayasa
Pangan dan Pertanian. Volume I No. 1Thn. 2012.
Rahmawati, I., Suranto, Setyaningsih, R. 2005. Uji aktivitas bakteri asam laktat asal
asinan sawi terhadap bakteri patogen. Bioteknologi 2 (2): 43-48, Nopember 2005,
ISSN: 0216-6887.
Saraswanti Indo Genetec., PT. 2015. Metoda Uji. Pengujian Inulin. 18-5-2/MU/SMM-
SIG, HPLC.
Setianingsih, D., Apriyantono, A., dan Sari, MP. 2010. Analisis Sensori Untuk Industri
Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor.
Shah, N. P. 2007. Functional cultures and health benefits. Int. Dairy J.17:1262-1277,
Elsevier Inc, USA.
Suhartini. 2009. Prospek Ubi Jalar sebagai Bahan Baku Minuman Probiotik. Iptek
Tanaman Pangan, Vol. 4 No. 2 2009.
Susanto, Agus. 2011. Pemanfaatan Umbi Bengkuang (Pachirrhyzus erosus) untuk
minuman sinbiotik. Thesis Jurusan Teknologi Pangan. Upn "Veteran" Jatim.
Syarif, WI., Waryono. 2014. Pelatihan Kewirausahaan Pengolahan Bengkuang sebagai
Upaya Peningkatan Keterampilan dan Ekonomi Keluarga. Prosiding Konvensi
Nasional Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (APTEKINDO) ke 7 FPTK
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 13 sd.14 November 2014.
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004
Yeni, Gustri. 2009. Diversifikasi olahan bengkuang. Balai Riset dan Standardisasi
Industri Padang.

132
PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN SENTRIFUGASI-MASERASI DAN
ENZIMATIS TERHADAP MUTU MCFA (Medium Chain Fatty Acid) MINYAK
KELAPA

Farid Salahudin
Balai Riset dan Standardisasi Industri Pontianak

ABSTRAK. Minyak Kelapa merupakan minyak nabati yang sehat karena mengandung
MCFA (Medium Chain Fatty Acid). Pengolahan minyak kelapa yang kurang baik seperti
penggunaaan bahan pemucat serta pemanasan yang berlebihan menghasilkan minyak
yang kurang baik (tengik). Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan yang tidak
menggunakan bahan kimia pemucat dan pemanasan yang berlebihan yaitu
pengolahan secara kombinasi perlakuan sentrifugasi-maserasi dan enzimatis. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan sentrifugasi-maserasi dan
enzimatis terhadap kualitas minyak kelapa terutama kandungan MCFA-nya.Penelitian
ini dilakukan dengan mensentrifugasi santan dan menambahkan enzim papin sebesar
0, 50, 100, 200 ppm serta meninkubasi selama 3 jam. Minyak yang dihasilkan
kemudian diuji kadar air, bilangan asam dan kandungan asam lemaknya. Perlakuan
fermentasi dengan 100 ppm enzim papain dan mensentrifugasi menghasilkan minyak
kelapa dengan kualitas terbaik dan mengandung MCFA sesuai dengan standar APCC.

Kata kunci: enzim,, fermentasi, MCFA, papain

ABSTRACT. Coconut oil is healthy vegetable oil because its Medium Chain Fatty Acid
(MCFA) content produced from coconut (Cocos nucifera L.). The used of bleaching
agent dan excessive heating in coconut oil process will produce low quality oil (rancid).
There was one techniques in producing coconut oil without bleaching agent and
excessive heating such as fermentation using microbe and enzyme. The aim of this
study was to find out the effect of papain enzyme concentration and sentrifugation-
maceration to MCFA content in coconut oil. This study using sentrifugation-maceration
coconut milk and various concentration of papain enzyme 0, 50, 100, 200 ppm. The
result showed that fermentation with 100 ppm papain enzyme and sentrifugation-
maceration can produce the best quality coconut oil containing MCFA that meet the
APCC standard.

Keywords: enzyme, fermentation, MCFA, papain

PENDAHULUAN
Minyak goreng (cooking oil) merupakan salah satu bahan pokok yang
digunakan dalam rumah tangga. Kebutuhan akan minyak goreng semakin meningkat

133
sehingga memacu pertumbuhan industri pengolahan minyak goreng. Sebagian besar
kebutuhan minyak goreng dunia dipenuhi oleh minyak kelapa sawit (palm oil). Hal ini
disebabkan kampanye tentang tidak sehatnya minyak kelapa (coconut oil) yang diklaim
mengandung asam lemak trans yang memacu timbulnya kanker (Sulistyowati T, 2009).
Menurut Silalahi dan Nurbaya (2011) diketahui bahwa minyak kelapa sawit (palm oil)
mengandung LCFA (Long Chain Fatty Acid) yang dapat menekan kinerja hormon tiroid
sehingga menyebabkan penyakit-penyakit degeneratif seperti kolesterol dan obesitas.
Sedangkan minyak kelapa tradisional (kelentik) mengandung MCFA (Medium Chain
Fatty Acid) yang disamping tidak menekan kerja hormon tiroid juga dapat melarutkan
kolesterol jahat (LDL) (Manisha DebMandal, 2011).
Klaim bahwa minyak sawit lebih baik daripada minyak kelapa sebenarnya
disebabkan kandungan asam lemak tak jenuhnya yang cukup tinggi. Minyak Kelapa
diklaim mengandung asam lemak trans yang dapat mengganggu kesehatan.
Kandungan asam lemak trans ini disebabkan karena ketidaksempurnaan proses
pengolahan minyak kelapa yang menggunakan suhu tinggi dan bahan kimia pemucat
dan pengendap (Gani Z. Dan Harlinawati Y., 2005). Minyak kelapa tradisional yang
diolah secra fisika (pemanasan) juga memiliki kelemahan yaitu bilangan peroksida
yang tinggi yang akan memicu proses ketengikan (Che-man et. al., 1996). Oleh karena
itu perlu dilakukan perbaikan pengolahan minyak kelapa yang tidak menggunakan
bahan kimia pengendap dan pemucat.
Beberapa teknik ekstraksi telah dilakukan seperti penggorengan (Hoid) dan
teknik fermentasi dengan yeast (kapang) tetapi hasilnya kurang optimal. Kelemahan
teknik Hoid adalah pada alat pengepres hasil gorengan yang mudah mengalami korosi
karena oksidasi minyak panas sedangkan teknik fermentasi menghasilkan minyak
kelapa yang asam lemak bebasnya relatif tinggi. Teknik enzimatis menggunakan enzim
bromelin terkendala teknik isolasi enzim yang relatif lama dan mahal. Enzim lain yang
potensial digunakan sebagai pengganti enzim bromelin yaitu enzim papain yang relatif
mudah dan murah untuk diisolasi. Teknik lain yang dapat digunakan untuk ekstraksi
minyak kelapa yaitu sentrifugasi tetapi memerlukan biaya yang relatif besar. Teknik
lain yang mudah dan murah yaitu teknik sentrifugasi sederhana dan dikombinasi
dengan maserasi. Masalah lain dalam pengolahan minyak kelapa yaitu ketahanan
produk yang rendah sehingga perlu dicari antioksidan yang tepat untuk minyak kelapa.
Salah satu antioksidan alami yang potensial yaitu kunyit. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan kombinasi perlakuan yang dapat menghasilkan minyak kelapa
terbaik.

TINJAUAN PUSTAKA
Minyak goreng (cooking oil) merupakan salah satu bahan pokok yang
digunakan dalam rumah tangga. Kebutuhan akan minyak goreng semakin meningkat
sehingga memacu pertumbuhan industri pengolahan minyak goreng. Sebagian besar
kebutuhan minyak goreng dunia dipenuhi oleh minyak kelapa sawit (palm oil). Hal ini
disebabkan kampanye tentang tidak sehatnya minyak kelapa (coconut oil) yang diklaim

134
mengandung asam lemak trans. Berdasarkan penelitian asam lemak trans memacu
timbulnya kanker. Padahal minyak kelapa sawit (palm oil) mengandung LCFA (Long
Chain Fatty Acid) yang dapat menekan kinerja hormon tiroid sehingga menyebabkan
penyakit-penyakit degeneratif seperti kolesterol dan obesitas. Sedangkan minyak
kelapa tradisional (kelentik) mengandung MCFA (Medium Chain Fatty Acid) yang
disamping tidak menekan kerja hormon tiroid juga dapat melarutkan kolesterol jahat
(LDL) (Nandi et.al., 2005).
MCFA merupakan asam lemak dengan jumlah atom karbon 8-14. Keistimewaan
asam lemak rantai sedang adalah sangat stabil pada suhu tinggi dan memiliki
kelarutan terhadap sebagian besar lemak yang tinggi. Oleh karena itu MCFA dapat
mengurangi kandungan kolesterol (LDL) dalam tubuh manusia. Kestabilannya yang
tinggi terhadap suhu tinggi ini menjadikan MCFA sangat memudahkan dalam
penyimpanan minyak. MCFA mempunyai sifat yang unik serta lebih polar atau lebih
+
cepat melepas ion H daripada LCFA, sehingga mudah larut dalam air (Georgiana
Parfene, 2013). Karena pengaruh perbedaan kelarutan dalam air, MCFA
dimetabolisasikan di dalam tubuh dengan cara yang berbeda dengan LCFA. MCFA
dapat masuk ke dalam lever secara langsung melalui pembuluh vena dan cepat
dibakar menjadi energi sehingga tidak tertimbun dalam jaringan tubuh. Sedangkan
minyak LCFA akan dihidrolisis dalam usus halus dan diangkut ke lever untuk dioksidasi
dan sisanya disimpan sebagai cadangan lemak di dalam tubuh. MCFA diserap
langsung dalam usus halus sehingga tidak memerlukan asam empedu seperti dalam
proses metabolisme LCFA (Wei Liu et. al, 2011). MCFA juga mempunyai aktivitas anti
bakteri dan anti-inflamasi sehingga banyak digunakan dalam bidang pengobatan (Chifu
B Huang, 2011).
Penyebab utama timbulnya asam lemak trans pada minyak kelapa adalah
proses pemurnian minyak mentah yang menggunakan suhu dan basa konsentrasi
tinggi yang dapat memecah ikatan rangkap asam lemaknya. Beberapa teknologi
ekstraksi minyak kelapa sudah dikembangkan seperti teknologi Hoid yang
menggunakan media minyak goreng yang sudah jadi. Teknologi ini cukup efisien
namun memilki kendala yaitu mudahnya peralatan ekstraksi mengalami korosi oleh
karena minyak panas. Teknologi lain yang dikembangkan yaitu ekstraksi minyak
kelapa secara fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae selama 16-20
jam. Teknologi ini dapat menghasilkan minyak yang cukup baik secara kandungan
MCFA namun memiliki kadar asam lemak bebas yang tinggi. Tingginya kandungan
asam lemak bebas ini banyak disebabkan oleh lamanya proses fermentasi yang
meningkatkan lama waktu kontak minyak dengan eksigen. Proses ini disebut dengan
oksidasi yang biasanya selain melibatkan oksigen juga melibatkan enzim sebagai
katalisator.
Oleh karena itu diperlukan pengolahan minyak goreng dari kelapa dalam yang
lebih singkat sehingga mengurangi lama waktu kontak minyak dengan oksigen. Salah
satu cara untuk mempersingkat lama fermentasi yaitu menggunakan enzim papain.
Selain itu proses fisik seperti sentrifugasi juga dapat digunakan untuk mempercepat

135
proses ekstraksi minyak kelapa. Enzim papain dapat memecah ikatan lipoprotein
dalam santan sehingga minyak dapat memisah dari air. Perlakuan sentrifugasi dapat
meningkatkan aliran sehingga memungkinkan terjadinya tumbukan antar globula
minyak menjadi globula yang semakin besar dan memisah dari bagian air. Prediksi
atau hipotesa penelitian ini yaitu dengan kombinasi perlakuan dapat meningkatkan
rendemen dan kualitas minyak yang baik. Semakin besar konsentrasi enzim akan
meningkatkan rendemen minyak, semakin lama sentrifugasi juga akan meningkatkan
rendemen. Bila disimulasikan secara matematika adalah sebagai berikut :

Y = bX1 + cX2 …..

dimana Y : rendemen
X1 : konsentrasi enzim
X2 : lama sentrifugasi

METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kelapa dalam dari
Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat, enzim papain kasar dari papaya di
Kota Pontianak. Bahan lain yang digunakan yaitu Sodium sulfit (Merk) dan
maltodekstrin. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tempat inkubasi,
blender, pemanas dan alat pengujian yaitu GC merk Shimatzu.

Pengumpulan data dan informasi


Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data pengujian dari Laboratorium
Penguji Baristand Industri Pontianak dan Laboratorium Penelitian dan Pengujian
Terpadu Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Prosedur Kerja
Isolasi enzim papain
Enzim papain pada penelitian ini diisolasi dari pepaya dari Kota Pontianak. Buah
papaya ditoreh pada pukul 06-08 pagi dan diambil getahnya selama kurang lebih 1
jam. Getah papaya dicampur dengan larutan sodium sulfit 0,7% dengan perbandingan
0
1:4. Larutan dikeringkan dalam oven dengan suhu 40-50 C sampai mengental dan
ditambahkan maltodekstrin sebanyak 1:1 dengan larutan. Uji aktivitas enzim papain
menghasilkan aktivitas enzim sebesar 10.000 U/ml.

Ekstraksi Minyak
Daging kelapa diekstrak untuk mendapatkan santan. Santan hasil ekstraksi
disentrifugasi selama 5 menit dan ditambahkan enzim papin dan diinkubasi selama 3
jam.. Perlakuan dalam penelitian ini yaitu konsentrasi enzim papain yaitu 0, 50, 100,

136
200 ppm. Setelah fermentasi diambil bagian minyaknya (krim) dan dipanaskan untuk
menguapkan air yang tersisa. Minyak hasil fermentasi ini diuji kadar air, bilangan asam
dan kandungan asam laurat, kaprat, miristat, C18:0 dan C18: 1. Sebagai kontrol adalah
minyak kelapa yang diekstraksi dengan cara pemanasan (Yati dkk., 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rendemen
Rendemen merupakan parameter
untuk mengetahui jumlah akhir produk
dari suatu proses pengolahan dengan
satuan berupa persen. Hasil penelitian
dari beberapa perlakuan menunjukkan
bahwa rendemen minyak yang
dihasilkan lebih besar dengan perlakuan
penambahan enzim papain daripada perlakuan kontrol. Selama proses fermentasi
enzim papain akan merombak protein dalam santan dan membuat ikatan lipoprotein
yang terdiri dari lipid dan protein menjadi pecah. Pecahnya ikatan lipoprotein membuat
emulsi minyak dalam air menjadi pecah dan globula lemak menjadi saling tarik-menarik
menjadi globula yang lebih besar. Semakin besar globula lemak membuat massa jenis
menjadi rendah dan akan memisah ke bagian atas santan. Minyak alan mengapung
dan membuat lapisan yang terpisah dengan fase air sehingga dapat mudah
dipisahkan. Sentrifugasi-maserasi membuat globula-globula minyak menjadi saling
bertumbukan dan bergabung menjadi globula yang lebih besar. Hal inilah yang
membuat globula minyak menurun massa jenisnya dan akan mengapung dipermukaan
santan.

Kadar Asam Lemak Bebas


Kadar asam lemak bebas atau FFA (Free Fatty Acid) merupakan parameter
penting dalam mutu minyak goreng karena pengaruhnya terhadap tingkat ketengikan
minyak. Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi enzim papain yang ditambahkan
dalam santan mempengaruhi kadar asam lemak
bebas minyak.. Berdasarkan data pada Tabel 2
perlakuan terbaik adalah Perlakuan A3 yaitu
konsentrasi enzim papain 100 ppm dan kadar asam
lemak bebas sebesar 0,120 mg KOH/kg. Semakin
besar konsentrasi enzim papain meningkatkan
proses perombakan protein dalam ikatan lipoprotein
sekaligus akan membuat kontak globula lemak
dengan air semakin besar sehingga meningkatkan
kemungkinan rekasi oksidasi dengan bantuan air.

137
Kandungan MCFA
Salah satu keunggunalan minyak goreng kelapa dengan minyak nabati lain
yaitu asam lemak rantai sedang atau MCFA (Medium Chain Fatty Acid). Kadar MCFA
minyak goreng hasil penelitian ini dituangkan dalam Tabel 3
Asam lemak
dalam minyak kelapa
sebagian besar (92%)
merupakan asam
lemak jenuh dan
merupakan yang
tertinggi bila
dibandingkan dengan
minyak nabati yang
lain.Tingginya kandungan asam lemak jenuh ini menyebabkan minyak kelapa tahan
terhadap ketengikan yang diakibatkan oleh oksidasi. Selain menyebabkan ketengikan
rekasi oksidasi asam lemak juga dapat menimbulkan pembentukan radikal bebas yang
berbahaya bagi tubuh.
Setiap asam lemak, baik jenuh maupun yang tidak jenuh memberikan pengaruh
yang berbeda bagi tubuh dan kesehatan. Selama ini pemahaman masyarakat umum
tentang asam lemak jenuh termasuk minyak kelapa tidak sehat untuk dikonsumsi
dikarenakan peningkatan serum kolesterol. Padahal, tingkat kejenuhan bukan satu-
satunya faktor yang menentukan baik buruknya lemak bagi tubuh. Penelitian terdahulu
tentang lemak dan minyak memang belum sampai membedakan jenis-jenis asam
lemak. Asam lemak jenuh bukanlah kelompok homogen, tetapi terdiri dari tiga
subkelompok yaitu kelompok asam lemak rantai pendek atau SCFA (Short Chain Fatty
Acid), asam lemak rantai sedang atau MCFA (Medium Chain Fatty Acid) dan asam
lemak rantai panjang atau LCFA (Long Chain Fatty Acid). Perbedaan panjang rantai
karbon asam lemak ini akan menetukan mekanisme metabolisme asam lemak di
dalam tubuh (Koji Nagao & Yanagita, 2010).
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua perlakuan dapat menghasilkan minyak
dengan kandungan asam lemak rantai sedang yang memenuhi standar APCC (Asia
Pasific Coconut Community) kecuali kontrol. Secara umum kandungan asam lemak
rantai sedang sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yang berupa kelapa dalam.
Selain bahan baku proses ekstraksi yang tepat juga dapat mengurangi terjadinya
kerusakan susunan asam lemak rantai sedang. Asam lemak ini relatif lebih mudah
teroksidasi dibandingkan asam lemak rantai panjang sehingga proses ekstraksi sangat
menentukan kualitas susunan asam lemak penyusunnya

138
Mutu Minyak Goreng
Mutu minyak goreng secara umum menggunakan Standar Nasional
Indonesia (SNI) Minyak Goreng (SNI 01-3741-2002). Mutu minyak goreng hasil
penelitian ini dituangkan dalam Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa
minyak goreng hasil penelitian memenuhi
standar mutu minyak goreng. Sedangkan
minyak kontrol yang merupakan hasil
pengolahan secara rakyat tidak memenuhi
SNI Minyak goreng untuk parameter kadar
air dan bilangan peroksida. Proses ektraksi
minyak yang pada umumnya menggunakan
bahan kimia berupa basa dan menggunaka
panas yang cukup tinggi. Hal inilah yang
membuat bilangan peroksida cukup tinggi
yaitu 11 Mek O2/kg. Selain meningkatkan
rekasi oksidasi proses pemanasan dengan
basa kuat juga dapat memutus beberapa
ikatan rangkap dalam asam lemak penyusun
minyak.
Pada proses ekstraksi dalam penelitian ini didahuluai dengan rekasi fermentasi
menggunakan enzim papain yang mendorong minyak untuk memisah ke bagian
permukaan. Prose sentrifugasi sederhana akan meningkatkan kecepatan globula
lemak sehingga akan memaksa globula lemak untuk saling bertumbukan dan
membentuk globula yang lebih bear. Besarnya globula lemak ini akan mendorong
minyak untuk memisahkan dari air untuk menuju permukaan. Dengan memisahkan
bagian minyak dengan air akan mengurangi beban proses pemanasan untuk
menguapkan air. Dengan beban pemanasan untuk menguapkan air yang semakin kecil
akan mengurangi lama pemanasan sehingga proses oksidasi minyak dapat ditekan.

KESIMPULAN
Perlakuan terbaik adalah kombinasi sentrifugasi-maserasi dan enzim papain
100ppm yang dapat menghasilkan rendemen terbesar yaitu 11,97% dan FFA
terrendah 0,120 mgKOH/g serta mutu MCFA yang sesuai standar APCC.
Saran
Saran untuk pengembangan teknologi dan penerapan teknologi ini di industri
skala kecil yaitu dengan menggunakan alat pengaduk sederhana dengan kapasitas
yang lebih besar daripada blender.

139
DAFTAR PUSTAKA
Che-Man YB, Suhardiyono AB, Asbi, MN Azudin and L.S. Wei, 1996. Aquaeous Enzymatic
Extraction of Coconut Oil. Journal of Americas Oil Chemists’ Society.73(6): 683-685.
Chifu B. Hang, Yelena Alimova, Taylor M Myers, Jeffrey L EBersole, 2011. Short and Medium
Chain Fatty Acid Exhibit Antimicrobial Activity for Oral Microorganism. Archives of Oral
Biologi (56): 650-654.
Gani Z, Herlinawati Y, Dede, 2005. Bebas Segala Penyakit dengan Virgin Coconut Oli, Puspa
Swara, Jakarta.
Georgiana Parfene, Vicentiu Horincar, Amit Kumar Tyagi, Aushree Malik, Grabiela Bahrim, 2012.
Production of Medium Chain Saturated Fatty Acid with Enhanced Antimicrobial Activity
from Crude Coconut Fat by Solid State Cultivation of Yarrowia lipolytica. Food Chemistry
(136): 1345-1349.
Jansen Silalahi dan Siti Nurbaya, 2011. Komposisi, Distribusi dan Sifat Aterogenik Asam Lemak
dalam Minyak Kelapa dan Kelapa Sawit. J. Indo. Med. Assoc. Vol 61(11): 453-457.
Manisha DebMandal and Shyamapada Mandal, 2011. Coconut (Cocos nucifer L.: Arecaceae): In
Helth Promotion and Disease Prevention, Asian Pasific Journal of Tropical Medicine: 241-
247.
Rindengan, Barlina dan Novarianto, Hengky, 2005. Minyak Kelapa Murni : Pembuatan dan
Pemanfaatannya. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sulistyowati Tuminah, 2009. Efek Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh Trans
Terhadap Kesehatan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (19): 13-20.
Wei Liu, Wei-Lin Liu, Cheng-Mei Liu, Jian-Hua Liu, Shui-Bing Yan, Hui-Juan Zheng, Han-Wu Lei,
Roger Ruan, Ti Li, Zong-Cai Tu, Xin-Yong Song, 2011. Medium Chain Fatty Acid
Nanoliposomes for Easy Energy Supply. Nutrition (27): 700-706.
Yati Sudaryati Soeka, Joko Sulistyo, Elidar Nailola, 2008. Analisis Biokimia Minyak Kelapa Hasil
Ekstraksi secara Fermentasi, Biodiversitas, Vol. 9 No.2: 91-95.

140
PENGOLAHAN PUPUK ORGANIK PELET DARI CAMPURAN LIMBAH IKAN,
TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT, DAN ECENG GONDOK

Processing Of Organic Fertilizer Pellets From a Mixture of Fish Waste,


Oil Palm Empty Fruit Bunch, and Water Hyacinth

I Dewa Gede Putra Prabawa* dan Saibatul Hamdi


Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru
E-mail : dewa.pprabawa@gmail.com

ABSTRAK

Limbah ikan, tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan eceng gondok belum
banyak dimanfaatkan di Kalimantan Selatan. Bahan-bahan tersebut diketahui
mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Tujuan penelitian ini untuk
mengolah limbah ikan, tandan kosong kelapa sawit, dan eceng gondok sebagai pupuk
organik pelet. Karakterisasi awal menunjukan limbah ikan berpotensi sebagai sumber
nitrogen dengan kandungan 2,08%, sedangkan eceng gondok dan TKKS berpotensi
sebagai sumber P2O5 dan K2O dengan kandungannya berturut-turut 3,42 %; 1,95 %
dan 17,73 %; 29,14 %. Perlakuan variasi suhu pengabuan terhadap TKKS dan eceng
gondok memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan nilai N-total, P2O5, dan K2O.
Kualitas pupuk organik pada kondisi optimum dievaluasi berdasarkan Permentan
No.70 tahun 2011 menunjukan kandungan jumlah unsur makro, unsur mikro,
kandungan logam berat, mikroba Salmonella, kadar air, pH, dan bahan ikutan telah
memenuhi persyaratan. Kualitas pupuk dengan kandungan unsur hara terbaik
dihasilkan pada formulasi 40 % limbah ikan kering : 30 % TKKS : 30 % eceng gondok,
o
dengan suhu pengabuan TKKS dan eceng gondok 500 C.

Kata Kunci: pupuk organik pelet, limbah ikan, tandan kosong kelapa sawit, eceng
gondok

ABSTRACT

Fish Waste, Oil palm empty fruit bunches (OPEFB) and water hyacinth have
not been widely used in South Kalimantan. These materials were known containing
nutrients that are needed for plants. This research was conducted to producing organic
fertilizer pellets from mixture of fish waste, oil palm empty fruit bunch, and water
hyacinth. The result showed that the characteristic of fish waste has the highest
nitrogen content about 2,08 %, empty fruit bunches and water hyacinth has the highest
P2O5 and K2O content about 3,42 %; 1,95 % and 17,73 %; 29,14 %. The treatment of
furnace temperature on the OPEFB and water hyacinth improved the total contents of
N, P2O5 and K2O. The optimum quality of organic fertilizer pellets was evaluated

141
according to regulation Permentan No. 70 The year 2011. The result showed that the
contains of macro nutrients, micro nutrients, heavy metals, salmonella, moisture
content, pH, and residue have fulfilled the requirements of organic fertilizer. The
optimum quality was found on formulation 40 % fish waste : 30 % OPEFB : 30 % water
hyacinth, which furnace temperature of OPEFB and water hyacinth was carried out at
o
500 C.

Keywords: organic fertilizer pellets, fish waste, oil palm empty fruit bunch, water
hyacinth

I. PENDAHULUAN

Sumber daya lahan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan


pertanian dan perkebunan. Di Kalimantan Selatan sebagian besar lahan potensial
untuk pertanian dan perkebunan berupa jenis lahan gambut dengan luas 331,6 ribu ha
(Wahyunto, 2009). Pengembangan pertanian di lahan gambut terkendala oleh
kesuburan tanah yang tergolong rendah dan tanah bersifat sangat asam (Maftu’ah dan
Susanti, 2009). Salah satu cara memperbaiki kesuburan tanah dengan menambahkan
pupuk. Penggunaan pupuk kimia yang tidak seimbang dan intensitas pertanaman yang
tinggi dapat dengan cepat merusak kesuburan tanah, oleh karenanya penerapan
pertanian menggunakan pupuk organik telah mulai gencar diterapkan. Penggunaan
pupuk organik bertujuan untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia serta pelengkap
fungsi pupuk kimia, sebab akan lebih optimal dan efesien penggunaannya secara
bersama-sama (Wahyono et all, 2011).
Pada penelitian ini dibuat pupuk organik berbentuk pelet dari campuran bahan
limbah ikan kering, tandan kosong kelapa sawit (TKKS), dan eceng gondok. Perikanan
merupakan salah satu komoditi unggulan daerah Kalimantan Selatan (Anonim, 2015),
dimana salah satu pengolahannya dalam bentuk ikan kering. Limbah ikan kering
sebagai hasil sampingan produksi belum banyak pemanfaatannya, selama ini
pemanfaatannya baru sebatas campuran pakan ternak. Menurut Aktinidia (2013),
limbah ikan memiliki potensi sebagai bahan pembuatan pupuk organik, dimana
menurut analisis yang dilakukan limbah ikan memiliki kandungan unsur hara N-total,
P2O5, K2O, dan C-organik yang tinggi yaitu secara berurutan 5,14 %, 1,35 %, 0,10 %
dan 20,81 %.
Bahan lainnya yang digunakan adalah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan Kalimantan
Selatan, dimana produksi pada tahun 2013 mencapai 1.148.517 Ton (BPS, 2015).
Tandan buah segar menghasilkan limbah tandan kosong kelapa sawit sebanyak 23%
(Yunindanova et al, 2013). Tandan kosong kelapa sawit mengandung kalium (2,4%),
namun rendah nitrogen (0,86%) dan phospor (0,18%) (Yahya et al, 2010). menurut
Kasli (2008), abu TKKS dapat dijadikan pupuk dengan kandungan kalium yang cukup
tinggi, yaitu sekitar 35-45% K2O.

142
Bahan baku yang terakhir digunakan adalah eceng gondok. Kalimantan Selatan
sebagaian besar wilayahnya berupa lahan rawa/gambut banyak ditumbuhi eceng
gondok. Pertumbuhan eceng gondok yang tidak terkendali lebih sering menyebabkan
permasalahan bagi lingkungan seperti pendangkalan perairan, penyumbatan saluran
irigasi dan selokan, memperbesar kehilangan air melalui proses evapotranspirasi,
mempersulit transportasi perairan dan menurunkan hasil perikanan. Menurut Ratri et al
(2007) hasil analisis kimia dari eceng gondok dalam keadaan segar mengandung
bahan organik sebesar 36,59%, C organik 21,23%, N total 0,28%, P total 0,0011% dan
K total 0,016%.
Melihat Jumlah ketersediaan yang cukup banyak dari ketiga bahan tersebut serta
potensi unsur hara yang terkandung di dalamnya, maka dirasa perlu diteliti lebih lanjut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat pupuk organik dari limbah ikan kering,
tandan kosong kelapa sawit, dan eceng gondok.

II. METODELOGI PENELITIAN

2.1 Bahan dan Peralatan

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik dalam bentuk pelet
adalah limbah ikan kering, tandan kosong kelapa sawit, dan eceng gondok. Bahan
penunjang yang digunakan berupa kanji, bahan kimia HNO3, H2SO4, HCl, HClO4,
Selenium, indikator phenolftalein, K2Cr2O7, Asam Askorbat, Amonium molivdovanadat,
Standar Potasium 1.000 ppm, Standar Phospor 1.000 ppm dan aquades. Peralatan
yang digunakan antara lain adalah ayakan, peralatan gelas kimia, timbangan, tanur,
alat cetak pelet, alat press hidrolik dan seperangkat alat pengujian pupuk.

2.2 Metode Penelitian

Limbah kering ikan TKKS dan eceng gondok masing-masing dibersihkan dari
kotoran yang menempel, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari untuk
mengurangi kadar airnya. Setelah cukup kering, limbah ikan dihaluskan dengan cara di
blander kemudian diayak dengan saringan ukuran mess 35, sedangkan TKKS dan
eceng gondok dipotong kecil-kecil dan diabukan dalam tanur selama 3 jam dengan
o o o
variasi suhu pengabuan (B1) 500 C, (B2) 750 C, (B3) 1000 C. Limbah ikan, abu
tandan kosong kelapa sawit dan abu eceng gondok dicampur dan ditambahkan kanji
sebagai perekat. Kemudian dimasukkan dalam cetakan pelet dan di press dengan
tekanan 1 ton selama 15 menit. Adapun variasi konsentrasi campuran bahan adalah
(A1) 40 % limbah ikan kering + 30 % TKKS + 30 % eceng gondok, (A2) 40 % limbah
ikan kering + 20 % TKKS + 40 % eceng gondok, (A3) 40 % limbah ikan kering + 40 %
TKKS + 20 % eceng gondok. Pupuk organik pelet yang dihasilkan kemudian dianalisis
kualitasnya berdasarkan syarat mutu Permentan No. 70 tahun 2011.

143
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Unsur Hara Bahan Baku

Karakteristik bahan baku meliputi pengujian unsur hara makro yang disajikan pada
Gambar 1 dan 2. Gambar 1 menunjukan limbah ikan berpotensi sebagai sumber
nitrogen pada pembuatan pupuk organik karena memiliki kadar N-total yang cukup
tinggi dibanding kedua bahan lainnya yaitu sebesar 2,24 %. Unsur nitrogen dalam
bahan alam sebagian besar terikat dalam bentuk protein sebagai senyawa organik.
Limbah ikan diketahui mengandung protein yang cukup tinggi (13,50%) sehingga hal
tersebut mendukung ketersediaan N-total pada limbah ikan kering paling tinggi
dibandingkan dengan TKKS dan eceng gondok (Aktinidia, 2013).

Pada Gambarl 2 dapat dilihat bahwa eceng gondok memiliki kandungan P 2O5,
dan K2O yang cukup tinggi yaitu secara berturut-turut 3,42% dan 17,73%. Begitu pula
dengan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang memiliki nilai P2O5, dan K2O yang
cukup tinggi yaitu secara berturut-turut sebesar
1.95% dan 29.14%, hal tersebut menunjukan
eceng gondok dan TKKS berpotensi sebagai
sumber unsur hara P2O5, dan K2O dalam
pembuatan pupuk organik.

3.2 Unsur Hara Bahan Berdasarkan Suhu


Pengabuan

Perlakuan variasi suhu pengabuan


dilakukan pada bahan tandan kosong kelapa
sawit dan eceng gondok, sedangkan pada
limbah ikan kering tidak dilakukan pengabuan
144
dengan tujuan untuk menjaga kadar nitrogen yang bersumber dari limbah ikan.
Perlakuan variasi suhu pengabuan bertujuan untuk merubah sifat fisik dan kimia dari
bahan baku serta mempermudah bahan terdekomposisi dalam tanah. Variasi suhu
pengabuan berpengaruh terhadap perubahan nilai N-total, P2O5, dan K2O dari eceng
gondok dan TKKS.
Tabel 1 menunjukan kedua bahan berpotensi sebagai sumber hara makro P2O5
dan K2O. Hal ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya dimana menurut Warta
Madani (2014) analisis terhadap abu eceng gondok mengandung unsur P2O5 7,0 %
dan K2O 28,7%. Sedangkan menurut penelitian Rudi (2014) menyatakan abu tandan
kosong kelapa sawit mengandung unsur P2O5 7% dan K2O 30% - 40%. Kandungan N-
total pada kedua bahan yang diabukan masih tergolong rendah dengan nilai rata-rata
dibawah 0,40%. Oleh sebab itu ditambahkan limbah ikan kering sebagai sumber
nitrogen. Menurut Aktinidia (2013), limbah ikan berpotensi sebagai bahan pembuatan
pupuk organik kompos, dari analisis menunjukan limbah ikan mengandung unsur hara
N-total yang tinggi yaitu 5,14 ± 0,05 %.

3.3 Kualitas Pupuk Organik pellet


Kualitas pupuk organik dianalisis dari
kandungan unsur hara yang dimiliki kemudian
dibandingkan menurut standar mutu Permentan No. 70
Tahun 2011. Pupuk pelet yang dihasilkan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

A. Kandungan Unsur Makro


Unsur hara makro merupakan unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang banyak,
unsur hara makro yang dianalisis adalah jumlah N-total
+ P2O5 + K2O dan C-organik dari pupuk organik pelet
yang disajikan pada Tabel 2.
Pada Tabel 2 menunjukan kualitas semua
formulasi pupuk organik pelet yang dibuat memiliki
kandungan N-total + P2O5 + K2O berkisar antara 21,34
– 24,16 %. Nilai tersebut menunjukan pupuk organik
yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan minimum
kandungan N-total + P2O5 + K2O, yaitu 4%.
Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa
komposisi campuran dan variasi suhu pengabuan
interaksinya memberikan pengaruh terhadap
perubahan kandungan N-total + P2O5 + K2O pada
pupuk organik yang dibuat.

145
Kandungan C-organik pada semua formulasi berkisar antar 15,06 - 16,74 %, nilai
ini telah memenuhi persyaratan kandungan minimal yang ditetapan yaitu 15%. Dari
data Tabel 2 menunjukan komposisi campuran dan variasi suhu juga memberikan
pengaruh terhadap perubahan kandungan C-organik pada pupuk yang dibuat.

B. Kandungan Unsur Mikro


Unsur Hara Mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam
jumlah yang sedikit. Unsur hara mikro yang dianalisis meliputi kandungan logam Fe-
total, Mn, dan Zn yang disajikan pada Gambar 4.

Pada Gambar 4 menunjukan semua formulasi pupuk organik pelet yang dibuat telah
memenuhi persyaratan kandungan jumlah unsur mikro yang dipersyaratkan, dimana
nila Fe-total, Mn, dan Zn dalam pupuk organik pelet masih berada dibawah nilai
maksimal yang diperbolehkan.

C. Kandungan Logam Berat


Logam berat merupakan unsur yang tidak diperlukan oleh tumbuhan karena
kehadirannya dapat menyebabkan kerusakan pada tanah dan tanaman. Kandungan

146
logam berat yang dianalisis adalah As, Hg, Pb, dan Cd yang disajikan pada Gambar 5 -
8.

Kandungan logam As pada pupuk yang dibuat berkisar antara 0,014 - 0,174 ppm,
sedangkan kandungan logam Hg berisar antara 0,045 – 0,292 ppm. Nilai tersebut telah
memenuhi persyaratan Permentan No. 70 tahun 2011 dimana kandungan logam As
dan Hg masih berada dibawah nilai maksimal yang diperbolehkan yaitu 10 ppm (As)
dan 1 ppm (Hg). Pada evaluasi kandungan logam Pb, hanya formulasi pupuk organik
A3B3 yang tidak memenuhi persyaratan karena nilainya berada diatas batas
kandungan maksimal yang diperbolehkan (50 ppm), sedangkan delapan formulasi
lainnya telah memenuhi persyaratan dengan kandungan logam Pb berkisar antara
2,809 – 41,575 ppm. Pada analisis kandungan logam berat Cd terdapat dua formulasi
pupuk yang kandungannya masih berada diatas nilai maksimal yang dipersyaratkan (2
ppm) yaitu formulasi A2B2 dan A3B2, sedangkan enam formulasi lainnya telah
memenuhi persyaratan dengan nilai berkisar antara 0,002 – 1,624 ppm.

D. Kandungan Mikroba Kontamian


Mikroba kontaminan yang dianalisis adalah E. Colli dan Salmonella sesuai
dengan persyaratan PerMentan No.70 tahun 2011. Berdasarkan hasil analisis (Tabel
3) nilai mikroba E. Coli pada semua pupuk yang dihasilkan masih belum memenuhi
2
persyaratan karena nilainya diatas batas maksimal (10 MPN/g), sedangkan analisis
bakteri Salmonella menunjukan semua formulasi pupuk yang dihasilkan memiliki
kandungan yang negatif sehingga telah memenuhi persyaratan mutu.

147
E. Kandungan C/N, pH, Kadar Air dan Bahan Ikutan
Pada Tabel 4 menunjukkan rasio C/N pupuk organik yang dihasilkan berkisar
antara 7,25 – 10,46. Nilai ini masih berada dibawah persyaratan yang ditentukan yaitu
antara 15-25. Rendahnya nilai rasio C/N pada semua pupuk yang dihasilkan dapat
disebabkan karena bahan baku yang digunakan memiliki kandungan C-organik yang
masih kurang tinggi untuk mengimbangi kadar nitrogen dalam pupuk.
Pada Tabel 4 menunjukan nilai pH yang dihasilkan berkisar antara 8,75 – 9,45.
Berdasarkan nilai tersebut terdapat 4 formulasi pupuk organik yang memenuhi standar
pH yang dipersyaratkan (pH 4-9) yaitu A1B1, A2B1, A2B3, dan A2B3, sedangkan
formulasi pupuk organik lainnya masih memiliki pH yang sedikit diatas 9. Pupuk
organik yang dihasilkan rata-rata memiliki nilai pH yang tinggi (basa), hal ini
disebabkan karena proses pengabuan pada bahan baku pupuk yang digunakan (TKKS
dan eceng gondok) sehingga meningkatkan sifat kebasaan dari bahan. Menurut Risse
dan Harris (2012) menyatakan selain sebagai sumber hara tanaman, abu hasil
pembakaran bahan organik juga berpotensi sebagai pembenah keasaman tanah
karena memiliki efek pengapuran.
Analisis kadar air (Tabel 4) menunjukan semua pupuk yang dihasilkan telah
memenuhi persyaratan. Kadar air yang dihasilkan berkisar antara 11,93 % – 18,99 %,
nilai ini masih berada pada rentang kadar air yang dipersyaratkan yaitu 8 % - 20 %.
Sedangkan untuk bahan ikutan yang
terkandungan dalam pupuk organik
yang dihasilkan berkisar antara 1,11% -
2,02% (Tabel 4). Dari nilai tersebut
terdapat 1 (satu) formulasi yang
memiliki nilai bahan ikutan sedikit diatas
nilai maksimal yang diperbolehkan (2%)
yaitu formulasi A3B2.

F. Komposisi Optimum Pupuk


Organik Pelet
Komposisi optimum dihasilkan
pada pupuk organik A1B1, dengan
komposisi bahan 40 % limbah ikan
kering : 30 % TKKS : 30 % eceng
gondok, dimana bahan TKKS dan
eceng gondok diabukan pada suhu
o
500 C. Adapun kualitasnya
dibandingkan dengan standard mutu
Permentan No. 70 tahun 2011 disajikan
pada Tabel 5.
Dari data tersebut, terdapat dua
parameter yang belum memenuhi

148
standar, yaitu rasio C/N dan mikroba E. Coli. Penyesuaian nilai C-organik dan N-total
perlu dilakukan untuk penelitian lebih lanjut agar dapat memenuhi standar, sedangkan
mikroba E. coli perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui sumber bahan cemarannya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Hasil karakterisasi awal menunjukan limbah ikan kering berpotensi sebagai
sumber N-total, sedangkan TKKS dan eceng gondok berpotensi sebagai sumber
P2O5, dan K2O dalam pembuatan pupuk organik pelet.
2. Kualitas optimum pupuk organik pelet yang dihasilkan ditinjau dari persyaratan
Permentan No. 70 tahun 2011 menunjukan kandungan unsur makro, unsur mikro,
mikroba Salmonella, pH, kadar air dan bahan ikutan telah memenuhi persyaratan,
sedangkan kandungan E. Coli dan C/N rasio belum memenuhi standard mutu
yang dipersyaratkan.
3. Komposisi optimum yang menghasilkan kualitas pupuk organik pelet terbaik
dihasilkan pada formulasi limbah ikan kering (40%) : TKKS (30%) : eceng gondok
o
(30%), dengan suhu pengabuan TKKS dan eceng gondok 500 C.
4.2 Saran
1. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai konsentrasi logam La dan Ce pada
pupuk serta analisis sumber mikroba E. Colli, sehingga dapat diteliti lebih lanjut
cara menurunkan kandungan mikroba E. Colli.
2. Perlu dilakukan penyesuaian nilai rasio C/N bahan baku sehingga dapat
meningkatkan nilai rasio C/N pupuk yang sesuai dengan standar mutu.
3. Perlu dilakukan pengujian pupuk pada media tanam/tanah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Aini FN dan Kuswytasari ND. 2013. Pengaruh Penambahan Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes) terhadap Pertumbuhan Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus). Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2 (1): E116-E120.
2. Aktinidia Y. 2013. Pemanfaatan Limbah Perikanan Waduk Cirata sebagai Pupuk
Organik dengan Penambahan Kascing dan Gliocladium Sp. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
3. Anonim, 2012. Industri Sawit. http://belajarsawit.blogspot.co.id/2012/12/tandan-
kosong-kelapa-sawit-sebagai.html. Diakses tanggal 10 oktober 2015.
4. Anonim, 2015. Profi Komoditi Unggulan Daerah Kalimantan Selatan.
http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia=63&i
c=1 . diakses. Akses tanggal 19 Sepetember 2015.

149
5. Arnis et all. 2010. Aplikasi Pupuk Organik Pada Tanaman Caisim Untuk Dua Kali
Penanaman, Jurnal Teknobiologi, 1 (2) 2010: 19-26. Fakultas Pertanian
Riau, Pekanbaru.
6. BPS. 2015. Kalimantan Selatan Dalam Angka 2014 . Badan Pusat Statistik
Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarmasin.
7. Hastuti. 2009. Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai The
Kompos Pada Tanaman Selada. Buletin Instiper. Yogyakarta.
8. Hazibuan HZ, Sabrina T, dan Sembiring MB. 2011. Potensi Bakteri Azotobacter
Dan Hijauan Mucuna Bracteata Dalam Meningkatkan Hara Nitrogen
Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Agroekoteknologi . 1 ( 1):
237-253.
9. Kasli, 2008, Pembuatan Pupuk Hayati Hasil Dekomposisi Beberapa Limbah
Organik Dengan Dekomposernya, Jerami, Vol.I (3): 153-160
10. Maftu’ah E dan Susanti MA. 2009. Komunitas Cacing Tanah pada beberapa
Penggunaan Lahan Gambut Dd Kalimantan Tengah. Berita Biologi.
Volume 9 (4): 371-378.
11. Parnata AS. 2010. Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. PT.
AgroMedia Pustaka. Jakarta Selatan.
12. PerMentan. 2011. PP Mentan No. 70/2011-Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan
Pembenah Tanah. Menteri Pertanian RI. Jakarta.
13. Risse M dan Harris G. 2012. Best Management Practices for wood Ash use an
Agricultural soil Amandement.
http://hupcap.clemson.edu/blpprt/bestwoodash.html. diakses tanggal 22
Oktober2015.
14. Rudi. 2014. Manfaat Tandan Kosong Kelapa sawit. Agricultural University
Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
15. Wahyono S, Sahwan FI, dan Suryanto F. 2011. Membuat Pupuk Organik Granular
dari Aneka Limbah. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta Selatan.
16. Warta Madani, 2013. Eceng Gondok Sebagai Bahan Pupuk Kompos.
http://www.wartamadani.com/2013/02/eceng-gondok-sebagai - kompos.
Akses tanggal 20 Juni 2015.
17. Yahya, A., Sye, C.P., Ishola, T.A., Suryanto, H., 2010, Effect Of Adding Palm Oil
Mill Decanter Cake Slurry With Regular Turning Operation On The
Composing Process And Quality Of Compost From Oil Palm Empty Fruit
Bunches, Bioresource Technology 101: 8736-8741
18. Yunindanova MB, Agusta H, dan Asmono D. 2013. Pengaruh Tingkat Kematangan
Kompos Tandan Kosong Sawit dan Mulsa Limbah Padat Kelapa Sawit
terhadap Produksi Tanaman Tomat (Lycopersicon Esculentum Mill.) pada
Tanah Ultisol. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 10 (2): 91

150
PERANCANGAN DAN ANALISA FIBER OPTIC CHEMICAL SENSOR
SEBAGAI PENGUKUR KADAR ION KADMIUM PADA AIR
Arif Indro Sultoni, Ika Prawesty Wulandari, Hendro Ferdiyanto

Kontak Person:
Ika Prawesty Wulandari
Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya
Jl. Jagir Wonokromo No. 360 Surabaya

Telp: 031-8410054, Fax: 031-8410480, E-mail:


baristandsurabaya@kemenperin.go.id

Abstrak
Telah dirancang suatu aplikasi fiber optic chemical sensor untuk mendeteksi
jumlah kadar ion kadmium pada air. Pengembangan sensor serat optik semakin
bertambah penting terutama dalam bidang chemical sensing, karena berbagai
kelebihannya dibanding electrical sensor yang konvensional. Fiber optik memiliki
beberapa kelebihan, termasuk diameter kecil, ringan, tahan terhadap interferensi
elektromagnetik, sensitivitas tinggi dan kemampuan untuk merasakan serta
mengirimkan informasi. Prinsip kerja fiber optic chemical sensor didasarkan pada
serapan bahan terhadap radiasi gelombang elektromagnetik. Sumber cahaya yang
digunakan berupa LED dengan panjang gelombang 532 ± 5 nm (laser hijau) yang
merupakan panjang gelombang dari serapan ion kadmium. Percobaan dilakukan
terhadap 7 (tujuh) variasi konsentrasi kadmium : 0 ppm (larutan baku); 0,01 ppm; 0,05
ppm; 0,1 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm dan 5 ppm. Pada penelitian ini, jenis fiber optik yang
digunakan adalah tipe plastik dan tipe gelas. Pada pengukuran menggunakan serat
2
optik plastik, hasil terbaik ditunjukkan pada jarak sensor 300 μm yaitu nilai R adalah
2
0,4208 dan 650 μm yaitu nilai R adalah 0,4532. Sedangkan untuk pengukuran
menggunakan serat optik gelas, hasil terbaik ditunjukkan pada jarak sensor 250 μm
2 2
yaitu nilai R adalah 0,8673 dan 300 μm yaitu nilai R adalah 0,8152.

Kata kunci : sensor, kadmium, fiber optik

Abstract
An application of fiber optic chemical sensor has been designed to detect the
amount of cadmium ion concentration in the water. Fiber optic sensor development is
becoming increasingly significant, especially in the field of chemical sensing, because
of its various advantages compared to conventional electrical sensors. Fiber optics has
several advantages, including its small size, lightweight, resistant to electromagnetic
interference, high sensitivity and the ability to sense and transmit information. The
method of fiber optic chemical sensor is based on absorption of the material to
radiation of electromagnetic waves. The light source used in the form of LED with a

152
wavelength of 532 ± 5 nm (green laser) which is the wavelength of the cadmium ion
uptake. Experiments conducted on seven (7) variations concentration of cadmium: 0
ppm (standard solution); 0.01 ppm; 0.05 ppm; 0.1 ppm; 0.5 ppm; 1 ppm and 5 ppm. In
this study, the type of optical fiber is plastic optical fiber and glass optical fiber. In the
measurement using plastic optical fiber, the best results are shown at a distance of 300
2 2
μm sensor with the R value is 0.4208 and 650 μm with the value of R is 0.4532. The
measurement using optical fiber glass, the best results are shown at a distance of 250
2 2
μm sensor with the R value is 0.8673 and 300 μm with a value of R is 0.8152.

Keywords: sensor, cadmium, optical fiber

1. PENDAHULUAN
Salah satu cemaran logam berat yang membahayakan kesehatan manusia yaitu
Kadmium. Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena
elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Kadmium berpengaruh terhadap
manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya
hati dan ginjal. Secara principal, pada konsentrasi rendah berefek terhadap gangguan
pada paru-paru, emphysema dan renal turbular disease yang kronis. Bagi tubuh
manusia, Kadmium sebenarnya merupakan logam asing. Tubuh sama sekali tidak
memerlukannya dalam proses metabolisme. Karenanya Kadmium sangat beracun bagi
manusia dan dapat diabsorbsi tubuh dalam jumlah yang tidak terbatas, karena tidak
adanya mekanisme tubuh yang membatasinya. Logam berat ini bergabung bersama
Timbal dan Merkuri sebagai the big three heavy metal yang memiliki tingkat bahaya
tertinggi pada kesehatan manusia. Menurut badan dunia FAO / WHO, konsumsi per
minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah 400-500 μg per orang atau 7 μg per
kg berat badan.
Pada penelitian ini, dirancang suatu aplikasi fiber optic chemical sensor untuk
mendeteksi jumlah kadar ion kadmium pada air. Berbagai jangkauan aplikasi sensor
yang dapat dilakukan oleh fiber optik diantaranya adalah intensitas cahaya, vibrasi,
temperatur, tekanan, kalibrasi akselerometer, strain, liquid level, pH, chemical analysis,
konsentrasi, density (kepadatan), index bias cairan, dll (Yasin, M, et al, 2010).
Pengembangan sensor serat optik semakin bertambah penting terutama dalam bidang
chemical sensing, karena berbagai kelebihannya dibanding electrical sensor yang
konvensional. Keuntungan yang paling jelas dirasakan adalah kekebalannya terhadap
interferensi elektromagnetik. (D. Flannery, et al, Applied Optics Journal, 1999).
Keuntungan lainnya yang dianggap menarik yaitu : bandwidth yang lebar, ukuran kecil,
serta sensitivitas yang tinggi.
Prinsip kerja fiber optic chemical sensor ini didasarkan pada serapan bahan
terhadap radiasi gelombang elektromagnetik. Sumber cahaya yang digunakan berupa
LED dengan panjang gelombang 532 ± 5 nm (laser hijau) yang merupakan panjang
gelombang dari serapan ion kadmium. Pengukuran kadar ion kadmium dalam air
minum dilakukan dengan mendeteksi perubahan optis cahaya yang ditransmisikan
oleh laser setelah melewati sampel. Perubahan daya optis cahaya keluaran laser

153
tersebut direpresentasikan melalui perubahan tegangan keluaran optical detector
(photodetector) yang selanjutnya diukur oleh mikrovoltmeter.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Kadmium
Logam kadmium (Cd) memiliki karakteristik berwarna putih keperakan seperti
logam aluminium, tahan panas, tahan terhadap korosi. kadmium (Cd) digunakan untuk
elektrolisis, bahan pigmen untuk industri cat, enamel dan plastik. Logam kadmium (Cd)
biasanya selalu dalam bentuk campuran dengan logam lain terutama dalam
pertambangan timah hitam dan seng. Kadmium (Cd) adalah metal berbentuk kristal
putih keperakan. Cd didapat bersama-sama Zn, Cu, Pb, dalam jumlah yang kecil.
Kadmium (Cd) didapat pada industri alloy, pemurnian Zn, pestisida, dan lain-lain.
Kadmium (Cd) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena
elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah, Kadmium berpengaruh terhadap
manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya
hati dan ginjal. (Festri Istarani dan Ellina S. Pandebesie, 2014)

Serat Optik
Serat optik merupakan saluran transmisi atau sejenis kabel yang terbuat dari kaca
atau plastik yang sangat halus dan lebih kecil dari sehelai rambut, dan dapat
digunakan untuk mentransmisikan sinyal cahaya dari suatu tempat ke tempat lain.
Sumber cahaya yang digunakan biasanya adalah laser atau LED. Kabel ini
berdiameter lebih kurang 120 mikrometer. Cahaya yang ada di dalam serat optik tidak
keluar karena indeks bias dari kaca lebih besar daripada indeks bias dari udara, karena
laser mempunyai spektrum yang sangat sempit (seperti yang ditunjukkan Gambar 1.a
dan 1.b).

Gambar 1.a dan 1.b. Serat Optik

154
Serat optik dapat dikelompokkan dari jenis
material inti (core) nya, ada dua jenis kabel serat
optik; salah satu tipenya menggunakan inti plastik,
dan yang lainnya menggunakan inti kaca (glass).
Serat optik dengan inti plastik memiliki level
atenuasi yang tinggi dan biasanya digunakan
dalam cahaya tampak jarak frekuensi. Kabel serat
optik kaca dengan rugi daya yang sangat rendah
biasanya digunakan dalam infra merah jarak dekat
dan daerah sekitar inframerah. Serat optik dengan
menggunakan inti kaca (glass) ini merupakan bahan yang sangat efisien untuk kabel
yang sangat kecil dan high-performance. Sedangkan untuk kabel serat optik plastik
lebih besar dan kurang efisien. (Tischler, M, 1992)
Bila cahaya memasuki serat optik dengan syarat - syarat yang semestinya,
sebagian besar dari cahaya itu akan merambat, atau bergerak di sepanjang fiber, dan
keluar dari ujung yang lain. Hanya sebagian kecil saja dari cahaya akan keluar lewat
dinding-dinding sisi dari serat optik sebagian besar cahaya akan terkurung di dalam
serat optik dan akan dipandu ke ujung yang jauh. Serat semacam ini disebutkan
sebagai pipa cahaya atau pemandu cahaya. Cahaya tetap berada di dalam serat
karena oleh permukaan sebelah dalam dari serat optik, cahaya dipantulkan secara
total. Cahaya yang masuk ujung serat optik dengan sudut yang kecil saja terhadap
sumbu, lewat serangkaian pantulan-pantulan akan bergerak menurut alur berbelok -
belok ke sepanjang serat optik tersebut. Pantulan dalam total pada dinding serat optik
hanya mungkin terjadi bila dua persyaratan telah dipenuhi. Yang pertama ialah bahwa
inti serat optik harus mempunyai indeks bias n1 yang sedikit lebih tinggi daripada
indeks bias n2 dari bahan yang mengililingi fiber (cladding). Yang kedua ialah bahwa
cahaya harus mempunyai sudut masuk (angle of incidence) φ, di antara alur sinar dan
garis tegak lurus ke dinding serat optik, yang lebih besar dari pada sudut kritis φc.
(Widodo, T, S., 1995)
Secara garis besar kabel serat optik terdiri dari 2 bagian utama, yaitu cladding dan
core. Cladding adalah selubung dari inti (core). Cladding mempunyai indek bias lebih
rendah dari pada core akan memantulkan kembali cahaya yang mengarah keluar dari
core kembali ke dalam core lagi. Dalam aplikasinya, serat optik biasanya diselubungi
oleh lapisan resin yang disebut dengan jacket, biasanya berbahan plastik. Lapisan ini
dapat menambah kekuatan untuk kabel serat optik, walaupun tidak memberikan
peningkatan terhadap sifat gelombang pandu optik pada kabel tersebut. Namun
lapisan resin ini dapat menyerap cahaya dan mencegah kemungkinan terjadinya
kebocoran cahaya yang keluar dari selubung inti. (Rahardianti, A, K., 2010)

Perambatan Cahaya Di Dalam Serat Optik


Propagasi cahaya pada serat optik terjadi karena pemantulan internal sinar optik yang
terjadi pada perbatasan inti dan claddingnya akibat adanya perbedaan indeks bias
antara keduanya. Menurut hukum Snellius, seberkas sinar datang dari medium dari
indeks bias yang rapat menuju medium dengan indeks bias yang kurang rapat, maka

155
sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal bidang batas kedua bahan tersebut.
Sebagian sinar yang datang dipantulkan dengan sudut yang sama besar dengan θ1
dan sebagian lagi dibiaskan menjauhi normal dengan sudut θ2, berlaku hubungan :

n1 sin Ø1 = n2 sin Ø2

Jika sudut datang θ1 diperbesar maka sinar bias akan semakin menjauh garis normal.
Sudut kritis θc adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat agar sinar dapat
tetap merambat sepanjang serat. Untuk n1 > n2, sudut datang θ1 akan mencapai sudut
kritis θ1 = θc jika θ2 = 90°, sehingga :

sin Øc = n2 / n1
Numerical aperture (NA) adalah ukuran kemampuan serat untuk menangkap cahaya.
NA adalah parameter yang harganya tergantung pada indeks bias inti dan cladding
dalam serat optik. Dengan menggunakan Hukum Snellius, NA dari serat optik adalah :

NA = n sin Øco = n12 − n22

dimana θco adalah sudut masukkan


maksimum, dan n adalah medium cahaya
serat optik, dalam hal ini adalah udara. Dan
n = 1, sehingga :

NA = sin Øco = n12 − n22

Cahaya pada serat optik terdistribusi ke segenap sudut ruang, sehingga semakin
besar sudut θco semakin banyak cahaya yang tertampung ke dalam serat optik. Dari
persamaan diatas terlihat bahwa NA maupun θco tidak tergantung pada ukuran
(dimensi) serat optik. Nilai NA biasanya sekitar 0,20 sampai 0,29 untuk serat gelas,
sedangkan serat plastik memiliki NA yang lebih tinggi dapat melebihi 0,5. (Rahardianti,
A, K., 2010)

Sumber Cahaya Pada Serat Optik


Sumber cahaya disebut sebagai komponen aktif dalam sistem komunikasi serat
optik. Fungsinya mengubah arus listrik menjadi energi optik (cahaya) sehingga dapat
dikopling ke serat optik. Selanjutnya sinyal optik yang dihasilkan sumber ini akan
membawa informasi sampai ke receiver. Sumber tersebut harus memenuhi beberapa
persyaratan yang diperlukan. Pertama, cahaya yang dihasilkan harus bersifat
monokromatis (berfrekuensi tunggal) kedua, sumber tersebut harus mempunyai
keluaran cahaya yang beritensitas tinggi, sehingga mampu mengatasi rugi-rugi yang

156
dijumpai pada transmisi sepanjang serat optik. Ketia, sumber cahaya harus mudah
dimodulasi oleh isyarat informasi. Yang terakhir, sumber cahaya harus berukuran kecil,
ringkas dan mudah dihubungkan dengan serat optik, sehingga tidak mengakibatkan
rugi-rugi sambungan yang besar.
Laser Diode (LD) dan Light Emitting Diode (LED) merupakan sumber optik yang
cocok untuk sistem serat optik. Kedua sumber ini mempunyai dimensi yang sesuai
dengan diameter serat optik sehingga dapat mengemisikan cahaya dengan spectral
width yang sempit pada panjang gelombang dimana redaman dan dispersi serat kecil,
dan dapat memodulasi sinyal dengan bandwidth yang lebar dan menghasilkan daya
optik output yang cukup besar.
Perbedaan dasar dari LED dan Laser diode adalah output dari LED tidak koheren
sedangkan output Laser koheren. Pada sumber yang koheren, energi optik dihasilkan
dari rongga optik resonan. Energi optik yang dilepaskan dari rongga ini bersifat
monokromatik dan terarah, sehingga kopling cahaya ke serat menjadi baik dan spectral
width yang sempit. LED tidak memiliki rongga resonan dan merupakan Lambertian
Source (Memancarkan cahaya ke segala arah) yang menghasilkan spectral width yang
lebar. Selain itu LED menghasilkan daya output yang lebih kecil dari Laser dan ini
menyebabkan LED kurang cocok digunakan untuk transmisi jarak jauh. Karena sifat
emisi sumber LED berpola lambertian maka untuk memberikan efisiensi kopling yang
tinggi, LED lebih cocok digunakan serat multimode. LED dapat memodulasi bandwidth
sinyal sampai 300MHz, sedangkan Laser mampu mencapai 2,5GHz. Dalam
aplikasinya, LED banyak dipakai untuk komunikasi dengan jarak sedang (kurang dari
10 km) dan Laser untuk komunikasi jarak jauh (hingga 100 km). (Ananto, B., 2006)

Detektor Optik / Photodetector


Photodetector atau detektor cahaya adalah sebagai alat penerima fungsi dari
penerima komunikasi optik. Fotodetektor mengubah sinyal optik menjadi sinyal elektrik.
Keluaran dari penerima adalah sinyal elektrik yang memenuhi spesifikasi dari
pengguna kekuatan sinyal, level impedansi, bandwidth, dan parameter lainnya. Bentuk
sistem fotodetektor termasuk dalam alat penerima yang sesuai, biasanya adalah
semikonduktor photodioda yang berasal dari komponen optik gelombang cahaya ke
alat fotodetektor. (Ayuni, C, R., Arifin, Rubiyanto, A., Sunarno, H., 2008)
Suatu Photodetector hendaknya mempunyai karakteristik : memiliki sensitivitas
tinggi, kecepatan responnya tinggi dalam hal mengakomodasi bit rate data yang
diterima, noise yang dihasilkan rendah, serta tidak peka terhadap perubahan suhu.
Ada 2 jenis Photodetector, yaitu : Avalance Photo Diode (APD) dan Positive Instrinsic
Negative (PIN Diode) atau Field Effect Transistor (FET).

Serat Optik Tipe Gelas dan Tipe Plastik


Serat Optik Tipe Plastik
Serat optik plastik tipe fiber optik polimer atau POF, adalah serat optik yang terbuat
dari plastik. Pada dasarnya, jenis ini terdiri dari PMMA (acrylic) sebagai inti (96% dari
penampang dalam 1mm serat dalam diameter) yang memfasilitasi transmisi cahaya,
dan polimer fluorinated sebagai bahan cladding. Namun saat ini, serat plastik yang

157
memiliki performa tinggi digunakan berbasis polimer perfluorinated. Gambar berikut
menunjukkan konstruksi serat optik plastik :

Serat optik gelas, adalah serat optik terbuat dari bahan gelas / kaca. Jenis ini bersifta
halus, tidak dapat dipotong, disambung atau diperbaiki, kurang tahan terhadap
fleksibilitas dan kerusakan yang tidak disengaja. Namun, jenis serat optik ini pada
umumnya ideal untuk lingkungan yang sulit. Bahkan ketika terkena tekanan mekanik,
suhu tinggi atau zat kimia, serat ini dapat beroperasi normal. Gambar serat optik kaca
tadalah sebagai berikut :
Kedua jenis serat tersebut dapat dibandingkan dalam aspek sebagai berikut :
 Fisik
Serat optik plastik memiliki kelebihan lebih simpel dan komponennya tidak mahal,
seperti halnya dalam hal fleksibilitas, dan ketahanan terhadap pelengkungan /
bending, guncangan dan getaran. Selain itu, tipe serat plastik bersifat lebih ringan.
Hal – hal tersebut membuat jenis ini sebagai alternatif karena lebih murah daripada
serat gelas atau copper jika digunakan pada jarak menengah dan bit rate hingga 10
Gbps. Sebaliknya, serat gelas memiliki penanganan yang lebih sulit dan rentan.
Dengan proteksi mekanik yang lebih bagus, serat gelas memberikan kapasitas
transmisi informasi yang lebih besar dengan loss yang lebih kecil.
 Aplikasi
Serat optik plastik pada umumnya digunakan untuk kecepatan rendah,
diaplikasikan pada jarak pendek (hingga 100 meter) misalnya perangkat rumah
tangga digital, home network, industrial network dan car network. Sebagai
pembanding, serat gelas dapat diaplikasikan untuk jarak transmisi yang lebih jauh
dengan kecepatan yang lebih tinggi pada jaringan office.

Fiber Optic Sensor


Sistem sensing fiber optic pada dasarnya terdiri dari sebuah light source, fiber optik
sebagai elemen sensing atau tranducer dan sebuah detektor. Prinsip operasi dari fiber
sensor adalah tranducer memodulasi beberapa parameter dari sistem optik (intensitas,
158
panjang gelombang, polarisasi, phasa, dll) yang mengakibatkan perubahan
karakteristik dari sinyal optik yang diterima oleh detektor (seperti yang digambarkan
pada Gambar 6 di bawah) :

Sensor serat optik secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar,
yaitu :
 Sensor serat optik ekstrinsik
Sensor serat optik ekstrinsik pada dasarnya menyalurkan dan mengumpulkan
sinyal cahaya dengan serat optik, sementara modulasi sinyal cahaya serat optik
terjadi di luar. Contoh umumnya adalah versi fiberized dari Anemometer Dopler dan
sistem pengukuran vibrasi tanpa kontak. Jenis sensor ini cenderung agak mahal
dan biasanya digunakan dalam industri aerospace dan otomotif. Keuntungan utama
dari sensor serat optik ekstrinsik adalah fleksibel dan link dielektrik yang
disediakan oleh fiber memungkinan instrumen dapat digunakan di tempat yang sulit
diakses atau terhalang oleh sinyal elektrik. Gambar sensor serat optik ekstrinsik
ditunjukkan pada Gambar 7 :
 Sensor serat optik intrinsik
Sensor serat optik intrinsik merupakan
sensor serat optik yang sebenarnya,
yang berarti bahwa modulasi cahaya
terjadi di dalam serat sesuai dengan
parameter yang diukur. Gambar sensor
serat optik intrinsik ditunjukkan pada
Gambar 8 :

Menurut prinsip operasinya, kedua kelompok sensor tersebut dapat dibagi lagi dalam
dua kategori besar yaitu :
 Sensor serat optik modulasi intensitas
Sensor mendeteksi variasi dari intensitas cahaya yang sebanding dengan
lingkungan yang dikenai gangguan. Konsep – konsep yang terkait modulasi
intensitas meliputi : transmisi, refleksi, dan microbending. Sensor ini biasanya

159
memerlukan lebih banyak cahaya untuk difungsikan saripada sensor modulasi
phasa, sebagai akibatnya, sensor ini akan menggunakan multimude fiber yang
core-nya besar atau bundel fiber. Jika cahaya dalam sensing fiber diekspos
lingkungan yang terganggu, maka akan terjadi pergeseran fasa diantaranya.
 Sensor serat optik modulasi phasa (fiber interferometers)
Jenis sensor ini membandingkan fase cahaya dari sensing fiber terhadap suatu
reference fiber yang dikenal sebagai interferometer. Umumnya, sensor ini
menggunakan sumber sinar laser yang koheren dan dua serat single-mode.
Cahaya displit dan diinject-kan ke dalam reference fiber dan sensing fiber.
Pergeseran fase terdeteksi oleh interferometer. Ada empat konfigurasi
interferometric digunakan dalam sensor optik: Mach-Zehnder, Michelson, Fabry-
Perot, dan Sagnac. Konfigurasi Mach-Zehnder adalah konfigurasi interferometer
yang paling banyak digunakan untuk sensing akustik. Sensor fase-termodulasi jauh
lebih akurat daripada sensor intensitas-termodulasi. (Đonlagić, D., 2010)
(Castrellon-Uribe, 2012)

3. METODOLOGI PENELITIAN

Bahan
Air berkadar kadmium 0 ppm (larutan baku); 0,01 ppm; 0,05 ppm; 0,1 ppm; 0,5
ppm; 1 ppm dan 5 ppm

Peralatan
 Fiber Optic Multimode  Laser Source (sinar hijau) dengan
Hemicirculartipe probe bundled, panjang gelombang 532 nm
dengan jumlah Transmitting Fiber  Silicon Photodetector, merk
(TF) 1000 dan jumlah Receiving Newport,dengan optical response :
Fiber (RF) 1000, merk autonics tipe 400- 1000 nm
GD-420-20H2.  Chopper
 Fiber Optik bahan plastik, merk  Optical Mounting
autonics, FD-620-F2.  Digital Mikrovoltmeter
 Wadah cekung dari kaca

Metode kerja
Langkah kerja dalam penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan adalah sebagai
berikut :

160
Gambar 9. Skema Metode Kerja Pengukuran Kadar Kadmium menggunakan Fiber
Optik Sensor

Penjelasan Prinsip Kerja pada gambar di atas :


 Sumber cahaya yang digunakan berupa LED dengan panjang gelombang 532 ± 5
nm (laser hijau) yang merupakan panjang gelombang dari serapan ion kadmium.
 Cahaya dari laser hijau dilewatkan ke chopper. Chopper dibangkitkan dengan
frekuensi tertentu yang berfungsi untuk memblok sinyal selain dari frekuensi
chopper tersebut.
 Cahaya ditransmisikan melalui fiber optik menuju sampel yang berada pada
preparat (di wadah cekung).
 Mikrometer posisi berfungsi untuk memfokuskan variasi jarak antara fiber optik dan
sampel, serta untuk mempermudah dalam penggantian sampel.
 Berkas cahaya yang mengenai sampel akan mengalami peristiwa absorbsi dan
kemudian dipantulkan kembali menuju detektor fotodioda dimana nilai intensitas
yang dihasilkan akan diubah menjadi tegangan yang kemudian akan dibaca melalui
mikrovoltmeter.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengukuran kadar kadmium pada air menggunakan sensor serat optik dibagi dalam
dua cara, yaitu : menggunakan serat optik tipe plastik dan serat optik tipe gelas.
Kemudian dibandingkan hasil performa di tiap tipe serat tersebut. Pengukuran
dilakukan pada beberapa variasi kadar kadmium pada air diantaranya adalah : 0 ppm
(larutan baku); 0,01 ppm; 0,05 ppm; 0,1 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm dan 5 ppm. Jarak
pengukuran serat optik diubah – ubah menggunakan mikrometer posisi (pola
displacement) pada meja pengukuran.

161
Pengukuran Awal Menggunakan Fiber Optik Tipe Plastik
Rancang bangun peralatan sensor terdiri dari sumber cahaya (light source), sebuah
Fiber Optic tipe plastik merk autonics tipe FD-620-F2, sebuah photodetector silikon,
serta digital multimeter. Pengambilan data displacement dilakukan per 50 µm
pergeseran. Pengamatan dilakukan dengan cara merubah posisi jarak antara ujung
fiber optik plastik terhadap air yang mengandung kadmium pada jarak 0 – 700 μm.
Kemudian dibuat grafik berdasarkan data hasil pengamatan di tiap jarak pengukuran
yaitu berupa besaran tegangan terhadap konsentrasi kadmium. Hasil terbaik didapat
pada jarak dimana yang memiliki R2 terbesar (mendekati angka 1). Berikut adalah
grafik hasil pengukurannya :

162
Dari hasil pengukuran, dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai tegangan dapat
ditunjukkan untuk beberapa larutan dangan variasi kandungan Kadmium (Cd). Dalam
hal linieritas, pengukuran kadar ion kadmium menggunakan serat optik tipe gelas
sudah cukup mendekati hasil ideal dikarenakan grafik yang ada nilai R2 nya mendekati
angka 1.
Dapat dilihat pada Gambar 10, untuk pengukuran menggunakan serat optik plastik,
2
hasil terbaik ditunjukkan pada jarak sensor 300 μm yaitu nilai R adalah 0,4208 dan
2
650 μm yaitu nilai R adalah 0,4532.

Pengukuran Lanjutan Menggunakan Serat Optik Gelas


Rancang bangun peralatan sensor terdiri dari sumber cahaya (light source), sebuah
Fiber Optic tipe gelas merk autonics tipe GD-420-20H2, sebuah photodetector silikon,
serta digital multimeter. Pengambilan data displacement dilakukan per 50 µm
pergeseran. Pengamatan dilakukan dengan cara merubah posisi jarak antara ujung
fiber optik gelas terhadap air yang mengandung kadmium pada jarak 0 – 700 μm.
Kemudian dibuat grafik berdasarkan data hasil pengamatan di tiap jarak pengukuran
yaitu berupa besaran tegangan terhadap konsentrasi kadmium. Hasil terbaik didapat
pada jarak dimana yang memiliki R2 terbesar (mendekati angka 1).
Dapat dilihat pada Gambar 11, untuk pengukuran menggunakan serat optik plastik,
2
hasil terbaik ditunjukkan pada jarak sensor 250 μm yaitu nilai R adalah 0,8673 dan
2
300 μm yaitu nilai R adalah 0,8152.
Dari kedua tipe
pengukuran serat optik
(menggunakan tipe plastik
dan tipe gelas), didapatkan
bahwa linearitas untuk sensor
fiber optik gelas memiliki
linearitas yang lebih bagus.
Namun demikian sensitifitas
pengukuran tipe gelas lebih
rendah daripada tipe plastik,
hal ini dapat diatasi dengan
memperbesar intensitas sinar
laser dan menjaga
kestabilannya. Untuk
mendapatkan hasil akurasi yang lebih baik, sebaiknya diperbanyak variasi sampel
kadar kadmium dalam air.

Tinjauan Aspek Kelayakan dan Keunggulan


Aspek kelayakan teknologi
Fiber optic chemical sensor yang dirancang dirasa layak untuk diaplikasikan dan
dikembangkan untuk optimasi lebih lanjut. Optimasi dapat dilakukan agar setup
rangkaian peralatan lebih portabel dan bekerja secara real time menggunakan
163
interface software komputer. Sensor ini dapat bekerja secara optimal apabila kadar
kadmium di dalam cairan memiliki konsentrasi yang tinggi (diatas 1 ppm). Selain itu,
perlu dijaga ketidakstabilan sinar dari laser hijau (memilih jenis laser hijau yang stabil
dayanya), lock in amplifier harus sensitif dan stabil serta kondisi pencahayaan ruang
harus konstan.

Aspek keunggulan dibanding teknologi yang sudah ada


Keunggulan Fiber optic chemical sensor untuk mendeteksi kadar ion kadmium
adalah diameter kecil, ringan, tahan terhadap interferensi elektromagnetik, sensitivitas
tinggi dan kemampuan untuk merasakan serta mengirimkan informasi secara cepat.

Aspek kelayakan ekonomi


Dari segi ekonomi, seperangkat Fiber optic chemical sensor untuk mendeteksi
kadar ion kadmium tergolong cukup mahal terutama pada photodetector dan laser.
Begitu juga dengan peralatan digital microvoltmeter masih sangat mahal dan ketiga
komponen tersebut belum dapat diproduksi di Indonesia. Harga fabrikasi yang tidak
mahal hanya pada kabel serat optik baik tipe plastik maupun tipe gelas. Namun,
apabila dibandingkan dengan perangkat AAS, perangkat rancang bangun sensor ini
jauh lebih murah.

5. KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil perancangan dan analisa fiber optik sebagai sensor ion kadmium,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
 Setup pengukuran kadar ion Kadmium menggunakan tipe sensor serat optik tipe
gelas mendapatkan hasil linieritas yang lebih bagus jika dibandingkan dengan tipe
plastik.
 Untuk pengukuran menggunakan serat optik gelas, hasil terbaik ditunjukkan pada
2 2
jarak sensor 250 μm yaitu nilai R adalah 0,8673 dan 300 μm yaitu nilai R adalah
0,8152.
 Namun demikian sensitifitas pengukuran tipe gelas lebih rendah daripada tipe
plastik, hal ini dapat diatasi dengan memperbesar intensitas sinar laser.
 Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa sensor yang dirancang cocok untuk
diaplikasikan pada kadar kadmium tinggi.
 Analisa kemungkinan faktor beberapa penyebab hasil grafik yang tidak stabil
diantaranya adalah : Kondisi sekitar dan setting peralatan yang berubah tanpa
disadari (misalnya : ketidakstabilan laser hijau, hasil pembacaan lock in amplifier
yang kurang sensitif dan berubah – ubah) serta kondisi pencahayaan ruang yang
kurang konstan.

164
Saran
 Untuk mendapatkan hasil grafik yang lebih baik, variasi konsentrasi ion kadmium
yang diuji cobakan hendaknya lebih banyak baik antara konsentrasi 0 – 1 ppm,
maupun penambahan range pengukuran diatas 5 ppm.
 Pada jarak pengukuran sensor yang menunjukkan hasil grafik bagus, sebaiknya
dilakukan pengkuran secara repeatable pada variasi konsentrasi kadmium yang
berbeda – beda untuk mengetahui tingkat kestabilan pengukurannya.
 Pengkondisian ruangan harus selalu dijaga, misalnya : area pengukuran harus
bebas getaran, serta cahaya dan suhu ruang pengukuran harus konstan.
 Pengukuran kandungan Kadmium Cd dalam air dan hasilnya dibandingkan dengan
metode pengukuran lain.

6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. A, Masruhin., P, Albert., S, dan Driyakara. 2006. Rancang Bangun Alat Ukur Kadar
Ion Kadmium Dalam Air Dengan Spektrofotometri Serat Optik Secara Digital.
Proposal PKMT. Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Airlangga. Surabaya.
[2]. Pujiyanto., Samian., dan A, Andriawan. 2011. Pengembangan Spektrofotometri
Menggunakan Fiber Coupler Untuk Mendeteksi Ion Kadmium Dalam Air. Program
Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Airlangga. Surabaya.
[3]. Qazi, H.H., Abu Bakar bin Mohammad., dan Akram, M. 2012. Recent Progress in
Optical Chemical sensors. J. Sensors. Vol 12, 2012, pp : 16522-16556. Open
Access : www.mdpi.com/journal/sensors.
[4]. Aini, F.N., Samian., dan Yasin, M. 2012. Deteksi Kadar Glukosa Dalam Air Destilasi
Berbasis Sensor Pergeseran Menggunakan Fiber Coupler. Laporan Penelitian.
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Airlangga. Surabaya.
[5]. N, Hilyati., Samian., dan Yasin, M. 2015. Deteksi Konsentrasi Kadar Glukosa Dalam
Air Destilasi Berbasis Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan Cermin
Cekung Sebagai Target. Jurnal Fisika dan Terapannya. Vol. 3, No. 1, Maret 2015.
Universitas Airlangga. Surabaya.
[6]. Rahardianti, A. K. 2010. Study Awal Fiber Optik Sebagai Sensor pH. Tugas Akhir.
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA. ITS, Surabaya.
[7]. Wijayantie, A. 2011. Presentasi : Serat Optik.
http://ayuewiejayantie.wordpress.com/-persentasiserat-optik/., diakses tanggal 18
Juli 2013.
[8]. Đonlagić, D. 2010. Fiber Optic Sensors : An Introduction And Overview. Faculty Of
Electrical Engineering And Computer Science. University Of Maribor, Slovenia.
[9]. Lobnik, A., Turel, M., dan Urek, S.K. 2010. Optical Chemical sensors : Design and
Applications. Faculty Of Mechanical Engineering. University Of Maribor, Slovenia
[10]. Castrellon-Uribe, J. 2012. Optical Fiber Sensor : An Overview. Center for Research
in Engineering and Applied Sciences, CIICAp. Autonomous University of Morelos
State, UAEM. México.

165
[11]. S. W. Harun, M. Yasin, H. Z. Yang dan H. Ahmad. 2012. Fiber Optic Displacement
Sensors and Their Applications. Intech Open Journal, pp : 379 – 392. Shanghai,
China.
[12]. M. Abdullah, M. Yasin, dan N. Bidin. 2013. Performance A New Bundle Fiber
Sensor of 1000 RF in Comparison with 16 RF Probe. IEEE Journal.
[13]. Istarani, F dan Pandebesie, E.S. 2014. Studi Dampak Arsen (As) dan Kadmium
(Cd) Terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits. Vol. 3, No. 1.
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
[14]. M. Yasin, S. W. Harun, Kusminarto, Karyono, A. H. Zaidan, Kavintheran
Thambiratnam, dan H. Ahmad. 2009. Design and Operation of a Concentric - Fiber
Displacement Sensor. IEEE Journal.
[15]. Wikipedia. Kadmium. https://id.wikipedia.org/wiki/Kadmium., diakses tanggal 4
Maret 2015

166
PEMBUATAN PENGHANCUR ALAT SUNTIK

Lukman Hanafi, Surijadi

Kontak Person:
Lukman Hanafi
Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya
Jl. Jagir Wonokromo No. 360 Surabaya
Telp: 031-8410054, Fax: 031-8410480, E-mail: baristandsurabaya@kemenperin.go.id

Abstrak
Alat suntik bekas pakai memerlukan pemrosesan lebih lanjut agar aman bagi manusia
dan lingkungan. Jarumnya perlu dihancurkan agar tidak melukai serta menularkan
kuman penyakit. Tabungnya pun perlu dihancurkan agar lebih aman dari kuman
penyakit serta mudah disimpan atau diproses lebih lanjut. Insinerator yang ada di
pasaran susah dioperasikan, boros energi serta harganya mahal, sementara alat
penghancur jarum suntik yang portabel hanya mampu menghancurkan jarumnya saja.
untuk itu diperlukan alternatif alat penghancur alat suntik yang mampu memproses
jarum sekaligus tabungnya. Alat ini memiliki penghancur jarum suntik yang
menggunakan prinsip las busur listrik untuk melumerkan jarum sekaligus membunuh
kuman penyakit. Selain itu, terdapat penghancur tabung suntik yang menggunakan
prinsip hammermill dengan poros pemukul yang digerakkan oleh motor listrik, serta
dilengkapi generator ozon untuk membunuh kuman penyakit. Dengan menggunakan
sumber daya listrik, pengoperasiannya menjadi lebih mudah serta lebih murah
daripada insinerator.
Kata kunci: alat suntik, prinsip las busur listrik, prinsip hammermill

Abstract
Used syringes require further processing to be safe for humans and the environment.
The needle must be demolished to avoid injury and infection. The tube also need to be
destroyed in order to be safe from germs and easily stored or processed any further.
Incinerators on market are difficult to operate, energy consuming and expensive, while
portable needle crusher is only capable to destroy the needle. So, alternatives syringe
destroyer capable to destroy both the needle and the tube are needed. This machine
has a syringe destroyer that uses the principle of electric arc welding to melt the needle
and to kill germs at once. In addition, there are tube crushers that uses the hammermill
principle with gears driven by an electric motor, and equipped with an ozone generator
to kill germs. By using electrical power, the operation of this machine becomes easier
and more inexpensive than that of incinerator.
Keywords: syringes, electric arc welding principle, hammermill principle

167
1. PENDAHULUAN
Alat suntik adalah alat injeksi obat kedalam tubuh pasien yang setiap kali
digunakan dan kemudian dibuang. Keadaan jarum suntik tersebut semuanya tercemar
oleh pasien yang telah disuntik sehingga tetap bersifaf pembawa (carrier) terhadap
kuman/virus/penyakit dari siapapun yang menggunakannya. Hal ini berlaku juga pada
tabung suntiknya, terutama jika digunakan untuk mengambil darah. Oleh karena itu,
alat suntik tidak boleh digunakan lagi dan harus dibuang, terutama jika sudah terpapar
darah yang mengandung HIV/AIDS, hepatitis, TBC, dan virus berbahaya lainnya.
Pembuangan tidak boleh dilakukan sembarangan karena masih bersifat pembawa dan
bisa hinggap di semua orang, sehingga dengan demikian harus dimusnahkan.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas, digunakanlah incinerator. Namun, alat
tersebut membutuhkan ruang dan biaya yang besar serta pengoperasian yang rumit.
Penghancur jarum suntik portabel di pasaran sudah cukup memadai untuk puskesmas
dan tempat praktek, tetapi tidak memiliki fasilitas penghancur tabung suntiknya.
Karena itulah, penelitian ini berusaha untuk merekayasa alat penghancur alat
suntik, baik jarum maupun tabungnya, sehingga aman dibuang atau setidak-tidaknya
memudahkan untuk diproses lebih lanjut

2. TINJAUAN PUSTAKA
Las Busur Listrik
Las busur listrik, umumnya disebut las listrik, adalah salah satu cara menyambung
logam dengan jalan menggunakan nyala busur listrik yang diarahkan ke permukaan
logam yang akan disambung. Pada bagian yang terkena busur listrik tersebut akan
mencair, demikian juga elektroda yang menghasilkan busur listrik akan mencair pada
ujungnya dan merambat terus sampai habis. Logam cair dari elektroda dan dari
sebagian benda yang akan disambung tercampur dan mengisi celah dari kedua logam
yang akan disambung, kemudian membeku dan tersambunglah kedua logam
tersebut.[1]
Prinsip kerja las busur listrik inilah yang dipakai untuk melelehkan/menghancurkan
jarum suntik. Dua elektroda kuningan yang ditempatkan berdekatan diatur agar
memiliki beda tegangan yang besar, sementara jarum suntik berperan untuk
melakukan hubung singkat antar elektroda sehingga busur listrik bisa tercipta. Busur
listrik ini akan menghasilkan suhu yang sangat tinggi yang mampu melelehkan jarum
suntik.

Hammermill
Sebuah hammermill pada dasarnya adalah sebuah tabung yang mempunyai poros
berputar (rotor) vertikal atau horizontal yang dipasangi pemukul. Rotor berputar pada
kecepatan tinggi di dalam tabung sementara bahan dimasukkan ke dalam saluran
masukan. Bahan dikenai batang pemukul sampai tercabik atau hancur dan dikeluarkan
setelah melewati saringan dengan lubang-lubang berukuran tertentu.[2]
Prinsip kerja hammermill inilah yang dipakai untuk menghancurkan tabung plastik
alat suntik. Digunakan motor induksi 1 fasa untuk menggerakkan rotor pemukul.
168
3. METODOLOGI PENELITIAN
Alat
Penghancur Jarum Suntik
 welding transformer : input 220 VAC, output 6 VAC, arus output 60 A, daya trafo
400 VA
 kipas pendingin: diameter 12 cm, suplai AC
 welding electrode: berbahan nickel

Penghancur Tabung Suntik Bahan


 motor penggerak: motor universal  alat suntik ukuran 1 ml
minimal 200 watt  alat suntik ukuran 3 ml
 Pemroses dengan perinsip kerja  alat suntik ukuran 5 ml
Hammermill  alat suntik ukuran 10 ml

Bodi Alat Alat ukur uji coba alat hasil rekayasa


 bahan acrylic untuk selungkup  Power meter
 stainless steel untuk rangka  Timbangan digital

Metode kerja
Pada penelitian ini, langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. merancang alat penghancur tabung suntik;
2. merancang alat penghancur jarum suntik;
3. membuat alat penghancur tabung suntik;
4. membuat alat penghancur jarum suntik;
5. memasang alat penghancur jarum suntik pada bodi alat penghancur tabung
suntik; dan
6. melakukan uji coba dan pengukuran alat hasil rekayasa.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Alat Penghancur Jarum Suntik
Spesifikasi penghancur jarum suntik
yang dibuat adalah sebagai berikut:
• Elektroda terbuat dari kuningan
• Menggunakan trafo dengan
spesifikasi:
- diameter belitan
primer/sekunder: 0,9/3,5 mm
- kelas insulasi belitan: F
- perbandingan belitan primer /
sekunder: 220/6
- ukuran kern: 44 mm
169
Alat penghancur tabung suntik
Alat ini menggunakan motor induksi 1 fasa berdaya 1 PK dan lubang saringan
berdiameter ± 7 mm. Gambarnya adalah sebagai berikut:

Alat penghancur alat suntik lengkap


Secara lengkap, alat penghancur alat suntik yang berhasil dibuat dapat dilihat pada
Gambar 3.

Data pengukuran Energi untuk mengoperasikan alat penghancur jarum suntik


Alat ini menggunakan kipas sebagai pendingin,
yang mengkonsumsi daya sebesar 28,5 Watt. Untuk
pengukuran ketika alat rekayasa diuji coba dengan
menggunakan jarum suntik, karena keterbatasan
kemampuan alat ukur, yang diukur adalah energinya.
Sepuluh unit alat suntik dilelehkan kemudian energi
yang dikonsumsi dicatat. Berikut ini adalah data yang
berhasil dikumpulkan tersaji pada Tabel 1.

Data pengukuran daya pengoperasian alat penghancur tabung suntik


Daya tanpa beban yang terukur adalah 405 Watt
akibat daya masukan motor dan rugi-rugi transmisinya.
Sebanyak 80 gram tabung suntik dimasukkan ke alat
rekayasa kemudian diukur daya yang dikonsumsi serta
massa plastik hasil penghancuran selama menit ke-1,
ke-2 dan ke-3. Data hasil pengukurannya adalah
sebagai berikut:
Dari data di atas, terlihat bahwa hampir setengah dari
tabung yang dimasukkan hilang dalam proses, baik karena tertahan di dalam ruang
penghancuran maupun terpental melewati celah dari ruang penghancuran.

170
Tinjauan Aspek Kelayakan dan Keunggulan
Aspek kelayakan teknologi
Teknologi yang dipakai untuk alat penghancur alat suntik merupakan teknologi
yang mudah untuk diterapkan sehingga pembuatannya bisa lebih murah dan bisa
dilakukan oleh Industri Kecil Menengah.

Aspek keunggulan dibanding teknologi yang sudah ada


Dibanding insinerator, alat penghancur alat suntik ini memerlukan ruang yang lebih
kecil, serta tidak menimbulkan asap pembakaran yang berbahaya. Dibanding alat
penghancur jarum suntik portabel di pasaran, Alat ini bisa menghancurkan tabungnya
juga.

Aspek kelayakan ekonomi


Dari segi ekonomi, satu paket alat penghancur alat suntik ini lebih mahal daripada
alat penghancur jarum suntik portabel di pasaran, tetapi lebih murah daripada
insinerator.

5. KESIMPULAN

Kesimpulan
Telah berhasil dibuat alat penghancur alat suntik yang terdiri dari alat penghancur
jarum suntik dan alat penghancur tabung suntik.

Saran
Diharapkan ada penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki sistem kerja agar jarum
dan tabung suntik terproses dengan sempurna. Selain itu, dengan menambah fitur
otomatisasi supaya pengguna tinggal memasukkan alat suntik sehingga hasil hancuran
jarum suntik dan tabung suntik bisa keluar dengan sendirinya.

6. DAFTAR PUSTAKA
[1]. Las Listrik. https://id.wikipedia.org/wiki/Las_listrik. diakses pada tanggal 15
maret 2015.
[2]. Hammermill. https://en.wikipedia.org/wiki/Hammermill. diakses pada tanggal 3
Juni 2015.

171
PEMANFAATAN REJECT HYDRA PULPER INDUSTRI KERTAS SEBAGAI BAHAN
BAKAR

Yusup Setiawan, Henggar Hardiani, Sri Purwati, Aep Surahman, Reza Bastari
Balai Besar Pulp dan Kertas, Jl. Raya Dayeuhkolot No. 132 Bandung
Tlp./Fax.: 022-5202980/022-5202871. Email: bbpk@bbpk.go.id

Utilization of hydrapulper reject of paper mill as fuel

Abstract
Paper mill using recycle fiber as raw material produces reject containing fiber and
plastic. The reject was identified by means of sorting. Reject pellet was prepared by
drying, followed by shredding, and pellets molding. It was analyzed for its proximate
composition (moisture, ash, volatile matter and fixed carbon). Calorific value, sulfur
content, ash mineral content, and ash fusion temperatures were also tested. The
results showed that reject consists of 50.75% fiber and 49.25% plastic of which is >
99% High Density Polyethylene (HDPE). Reject contains a high calorific value of about
7,000 cal/g which could potentially be used as fuel. Coal boiler fuel containing 5-50%
reject pellet shows no indication of slagging and fouling in the boiler.

Keywords: reject, pellet, coal, calorific value, fuel

Abstrak
Industri kertas berbahan baku kertas bekas menghasilkan reject yang mengandung
serat dan plastik. Reject diidentifikasi komponennya dengan cara pemilahan. Proses
pembuatan pelet dari reject industri kertas terdiri dari proses pengeringan,
pencacahan, dan pencetakan pelet. Pelet reject dianalisis proksimat (kadar air lembap,
kadar abu, kadar zat terbang (volatile matter) dan karbon padat (fixed carbon). Nilai
kalor, kadar sulfur, kadar mineral abu, dan suhu fusi abu (Ash Fusion Temperature)
pelet reject juga diuji. Hasil menunjukkan bahwa komponen reject terdiri dari serat
50,75% dan plastik 49,25% dengan kandungan plastik jenis High Density Polyethylene
(HDPE) lebih dari 99%. Nilai kalor pelet reject sekitar 7.000 kalori/gram. Hal ini
menunjukkan potensi pelet reject sebagai bahan bakar campuran batubara.
Penambahan pelet reject sebanyak 5 - 50% ke dalam batubara dapat digunakan
sebagai bahan bakar boiler tanpa menyebabkan indikasi terjadinya slagging dan
fouling di dalam boiler.

Kata kunci: reject, pelet, batubara, nilai kalor, bahan bakar

PENDAHULUAN
Industri kertas yang memproduksi kertas tuliscetak, koran, tisu, lainer-medium, dan
karton banyak yang menggunakan kertas bekas jenis Old News Paper (ONP), Old
Corrugated Carton (OCC) atau campuran sebagai bahan bakunya. Konsumsi kertas
bekas sebagai bahan baku industri kertas terus meningkat sejak tahun 2000. Pada

172
tahun 2011, konsumsi kertas bekas oleh industri kertas di Indonesia sekitar 1.600.000
ton (Balai Besar Pulp dan Kertas, 2012).
Selain menghasilkan kertas, dalam proses produksinya, industri kertas juga
menghasilkan produk samping berupa reject yang jumlahnya cukup banyak sekitar 5 –
25%w/w bahan baku. Sebagian besar komponen reject dari hydrapulper tersebut terdiri
dari bundel serat, foil dan potongan plastik yang banyaknya tergantung pada kualitas
kertas bekas yang digunakan sebagai bahan baku. Reject hydrapulper umumnya
hanya ditimbun dilokasi pabrik mengganggu estetika. Padahal reject ini memiliki nilai
kalor tinggi dengan kandungan abu yang rendah (Gavrilescu, 2008; Oudi dkk., 2012).
Perubahan bentuk reject dari bentuk ruah menjadi bentuk pelet merupakan suatu
metode solidifikasi reject untuk mengkonversi reject yang mudah terbakar menjadi
bahan bakar (Nichols dan Flanders, 1994; Kuik, 2006). Keuntungan reject dalam
bentuk pelet antara lain ukurannya menjadi seragam, jumlah debunya sedikit, dan
memudahkan dalam penyimpanan dan pengangkutan (Thacker, 2000; www.
pelletstove.com). Penggunaan pelet reject pabrik kertas sebagai bahan bakar untuk
memproduksi energi saat ini telah diterapkan di Jepang dan banyak negara Eropa
(Gavrilescu, 2008; www. jrpf.g.jp). Saat ini, industri yang memproduksi pelet sebagai
bahan bakar berkembang cukup pesat karena dipandang sebagai bahan bakar masa
depan (Nobuyuki dkk., 2011).
Pengelolaan reject hydrapulper industri kertas yang diterapkan saat ini oleh
industri kertas di Indonesia, umumnya masih ditimbun untuk dibuang keluar pabrik
melalui jasa pihak lain atau mengurangi jumlah ruah reject hydrapulper dengan
membakarnya di insinerator. Pengolahan reject industri kertas menjadi bentuk pelet
sebagai bahan bakar boiler untuk mengurangi pemakaian batubara atau bahan bakar
fosil lainnya belum ada yang melakukannya di Indonesia. Bila reject dibuat dalam
bentuk pelet dan digunakan sebagai bahan bakar yang dicampurkan dengan batubara,
maka mempunyai beberapa keuntungan untuk industri kertas antara lain dapat
mengurangi biaya penanganan limbah reject hydrapulper yang selama dikelola oleh
jasa pihak ketiga. Keuntungan lainnya adalah dapat meningkatkan kebersihan dan citra
pabrik kertas tersebut, dan mengurangi biaya pengadaan batubara sebagai bahan
bakar boiler.
Untuk mengetahui seberapa jauh potensi reject hydrapulper industri kertas
dimanfaatkan sebagai bahan bakar identifikasi komponen reject, proses pembuatan
pelet reject, karakterisasi pelet reject dan kajian teknoekonominya telah dilakukan, dan
hasil kajiannya disajikan dalam makalah ini.

TINJAUAN PUSTAKA
Reject industri kertas
Dari hasil proses produksi di industri kertas yang berbahan baku kertas bekas,
selain menghasilkan kertas dihasilkan juga reject yang jumlahnya bervariasi dari 5 -
25%w/w, tergantung kualitas kertas bekas yang digunakan dan jenis produk akhir nya.
Komponen yang terkadung dalam reject dari pembuburan kertas bekas terdiri dari
bundel serat, foil dan potongan plastik yang jumlahnya banyak tergantung pada
173
kualitas kertas bekas yang digunakan. Pada saat ini, reject belum dimanfaatkan
dengan baik. Pada umumnya, reject ini dibuang ke landfill atau dibakar dalam
insinerator dengan persyaratan pembuangan ke lingkungan yang membebani pihak
industri (William, 2004; Gavrilescu, 2008).
Penggunaan reject pabrik kertas sebagai bahan bakar alternatif untuk
memproduksi energi saat ini telah dilakukan di Jepang dan banyak negara Eropa
(Gavrilescu, 2008; Takenaka, 2012). Beberapa tahun terakhir terlihat adanya
permintaan yang tinggi bahan bakar biomassa untuk boiler efisiensi tinggi, yang
berasal dari kayu, plastik, reject kertas dan plastik (RPF), limbah ban bekas , lumpur,
dan bahan daur ulang lainnya (Nakao, 2011). Pembuatan pelet dari reject industri
kertas pada saat ini merupakan suatu metode pemadatan reject untuk mengkonversi
limbah padat yang mudah terbakar menjadi bahan bakar yang lebih efisien (William,
2004; Kuik, 2006).
Sebagian besar boiler pembangkit listrik menggunakan batu bara sebagai bahan
bakar. Karakteristik batubara mempengaruhi kinerja keseluruhan dari pabrik termasuk
kapasitas produksi listrik, tingkat kegagalan peralatan, dan persyaratan pembuangan
limbah, yang secara keseluruhan akan mempengaruhi lingkungan. Yang paling
bermasalah dalam penggunaan batubara sebagai bahan bakar adalah sifatnya yang
menyebabkan terjadinya deposisi lengket dan mengeras pada permukaan tungku
boiler. Selain itu, sistem operasi dan sifat desain boiler juga berkontribusi terhadap
terjadinya deposisi. Batubara mengandung bahan mineral yang berbeda dalam
berbagai bentuk. Selama pembakaran, bahan mineral berubah menjadi fly ash, yang
diendapkan pada permukaan perpindahan panas dari boiler.
Akumulasi dari terbentuknya deposit dikenal sebagai slagging atau masalah
fouling. Slagging dan fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu batu
bara yang melebur pada pipa penghantar panas (heat exchanger tube) ataupun
dinding boiler. Kedua hal ini sangat serius karena dapat memberikan dampak yang
besar pada operasional boiler, seperti masalah penghantaran panas, penurunan
efisiensi boiler, dan tersumbatnya pipa. Fenomena menempelnya abu ini terutama
dipengaruhi oleh suhu melebur abu (ash fusion temperature, AFT) dan mineral dalam
abu. Suhu lebur abu yang rendah akan memudahkan terjadinya slagging. Pada
slagging, yang banyak berpengaruh adalah CaO yang merupakan unsur yang mudah
menempel di dinding penghantar panas, dan Na2O yang merupakan unsur yang
menentukan kekuatan ikatan abu yang menempel. Adanya senyawa Na 2O dan K2O
dalam abu akan membentuk senyawa dengan titik lebur rendah bila berikatan dengan
unsur yang lain. Meningkatnya kecenderungan slagging juga akan diikuti oleh
meningkatnya kecenderungan fouling, sesuai dengan kadar alkali dalam abu. Oleh
karena itu, pembuat boiler biasanya menentukan nilai total alkali (Na2O dan K2O)
idealnya < 3%. Unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan slagging
adalah rasio besi / kalsium (Fe2O3/CaO). Secara umum rasionya antara 0,2 ~ 10 akan
berpengaruh pada penurunan suhu lebur abu, dengan rasio 0,3 ~ 3 menunjukkan
gejala yang paling mencolok. Jadi, kecenderungan slagging akan meninggi pada
rentang nilai ini. Bila kalsium oksida (CaO) ditambahkan pada besi okssida (Fe 2O3)
174
suhu lebur akan turun dan kecenderungan slagging akan meningkat. Untuk itu, maka
kadar Fe2O3 harus < 15%. Untuk desain boiler, nilai maksimalnya adalah 20%. Di
Jepang, standar kualitas batubara yang diizinkan mengandung Na2O adalah 0,1~3%
dan kadar CaO = 15~20% (Gavrilescu, 2008; Nobuyuki dkk., 2011; www. jrpf.g.jp).
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan adalah reject dan batubara sebagai pembanding diambil
dari industri kertas yang memproduksi kertas corrugating medium dan kraft liner
berbahan baku kertas bekas. Reject masih mengandung kadar air sekitar 40 – 50%.
Batubara yang digunakan sebagai bahan bakar boiler pabrik kertas ini juga digunakan
sebagai pencampur dan pembanding.

Metode
Reject untuk percobaan diambil dari industri kertas yang pengurangan kadar air
reject menggunakan mesin peras hidrolik. Pengurangan kadar air reject selanjutnya
dilakukan di laboratorium Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) dengan menggunakan
panas sinar matahari sampai mengandung kadar air < 10% yang sudah dipisahkan dari
kandungan bahan logam dan siap untuk dirajang di mesin perajang reject. Identifikasi
jenis plastik yang terkandung dalam reject dilakukan berdasarkan berat jenis (Tabel 1)
dan uji warna bakar (www.monroecounty.gov). Gambar 1 menunjukkan diagram alir uji
pemisahan jenis-jenis plastik. Reject disortir dan dipilah-pilah berdasarkan jenisnya
untuk identifikasi komponen reject. Reject kering dirajang/dicacah dengan
menggunakan mesin pencacah yang mempunyai pisau pencacah dengan lubang
screen berukuran sekitar 4 mm untuk keluaran hasil pencacahannya. Cacahan reject
selanjutnya dibuat pelet menggunakan mesin pelet yang mempunyai ukuran lubang
cetakan pelet 10 mm. Pelet reject yang dihasilkan berdiameter 10 mm dengan panjang
sekitar 10 – 15 mm.

Analisis Bahan dan Produk


Analisis bahan dan produk mengacu kepada analisis batubara menggunakan
metoda uji ASTM, gravimetri dan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Analisis
proksimat yang terdiri atas kadar air lembab (ASTM D.3173), kadar abu (ASTM D.
3174), kadar zat terbang (Volatile Matter) (ISO 562) dan karbon padat (Fixed Carbon)
(ASTM D. 3172). Selain itu, dianalisis juga nilai kalor (ASTM D. 5865), kadar sulfur
(ASTM D.4239), kadar mineral abu (gravimetri dan AAS), dan suhu fusi abu (Ash
Fusion Temperature/AFT) (ASTM D.1857).
Pengujian semua parameter tersebut dilakukan di laboratorium PT. Tekmira Bandung.
Kecenderungan potensi terjadinya slagging dan fouling dari pelet plastik rejek pada
saat pembakaran dihitung berdasarkan data hasil analisis kadar mineral abu
menggunakan Persamaan 1 sampai dengan Persamaan 5 (Miles dkk., 1995).

Rasio Basa-Asam (B/A) = (Fe2O3+CaO+MgO+Na2O+K2O)/(SiO2+Al2O3+TiO2 (1)


Slagging Factor (SF) = (B/A) x %S (2)
175
Rasio Fe2O3-CaO = Fe2O3/CaO (3)
Fe2O3+CaO (%) = Fe2O3+CaO (4)
Persentase Silika (%) = (SiO2 x 100)/( SiO2+Al2O3+TiO2) (5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi komponen reject


Hasil identifikasi menunjukkan bahwa komponen reject sebagian besar terdiri dari
serat berupa potongan kertas sebanyak 50,75%, plastik berupa lakban dan lembaran
sebanyak 49,25%. Reject juga mengandung komponen logam yang berasal dari kawat
tetapi jumlahnya sedikit sekali.
Dari hasil uji reject di dalam air (Gambar 1), terdapat ada reject yang
mengapung dan tenggelam. Banyaknya jumlah reject yang mengapung adalah sekitar
82,33% dan yang tenggelam sekitar 17,67%. Dari uji reject yang mengapung dalam air
selanjutnya diuji dalam larutan isopropanol. Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar
lebih dari 99% reject tenggelam dalam isopropanol dan yang mengapung hanya
sebagian kecil saja (< 1%).
Dari uji isopropanol ini, komponen reject yang tenggelam dalam didominasi oleh
plastik jenis HDPE. Sedangkan yang mengapung dalam isopropanol adalah jenis
plastik LDPE dan/atau PP. Reject yang tenggelam selanjutnya diuji nyala
menggunakan batang kawat Cu. Hasil pengamatan menunjukkan ada kecenderungan
reject yang tenggelam ini didominasi oleh bahan serat. Hal ini terlihat pada saat
percobaan uji nyala menggunakan batang
kawat Cu, sulit sekali bahan yang
tenggelam ini menempel dengan sendirinya
pada kawat Cu panas. Pada akhirnya untuk
mengetahui warna nyala bakar, bahan yang
tenggelam dalam air tersebut ditempelkan
pada kawat Cu dan hasil nyala
pembakarannya berwarna oranye (Gambar
2b). Warna nyala bakar bahan-bahan
tersebut berbeda sekali dengan nyala bakar
176
dari plastik Poly Vynil Chloride (PVC) yang berwarna hijau (Gambar 2a). Dari hasil
uji nyala reject, menunjukkan bahwa kandungan jenis plastik PVC dalam reject
keberadaannya dalam jumlah yang sangat rendah. Keadaan ini dimungkinkan bila
reject ini mengandung perekat dari plastik selotif/lakban, yang menempel pada plastik
lainya yang berat jenisnya lebih rendah dari air sehingga terbawa mengapung.

Pembuatan Pelet Reject


Percobaan pembuatan pelet dari reject telah
dilakukan dengan variasi kadar air < 15% dan ≥ 15%.
Dari hasil percobaan skala prototip menunjukkan bahwa
pembuatan pelet dengan kadar air bahan (cacahan
reject) < 15% dapat menghasilkan pelet yang kompak
tidak mudah pecah kembali (Gambar 3).

Hal ini dapat disebabkan karena reject mengandung


bahan plastik yang selama pembuatan pelet dalam
mesin pelet timbul panas yang menyebabkan suhu pada
o
pembuatan pelet mencapai 80 - 90 C. Tingginya suhu ini menyebakan plastik menjadi
lunak dan bersifat sebagai bahan perekat yang membantu terjadinya proses solidifikasi
reject. Sedangkan bila kadar air bahan reject > 15%, pelet yang dihasilkan mudah
pecah kembali karena penguapan air lebih dominan dari pada pelunakan plastik
sehingga tidak membentuk rekatan pelet yang dihasilkan.

Karakterisasi Pelet Reject


 Analisa proksimat, nilai kalor dan kadar sulfur
Pelet reject, campuran reject dan batubara, dan batubara sebagai pembanding
dilakukan analisa dengan parameter seperti analisa batubara meliputi analisa
proksimat (kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, kadar karbon padat), nilai kalor,
kadar mineral abu dan diuji suhu pelelehan Abu (AFT). Hasil analisa proksimat, nilai
kalor dan kadar sulfur dari pelet reject, batubara dan campurannya ditunjukkan pada
Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air batubara lebih besar dari kadar air
pelet reject dan campurannya. Batubara memiliki kadar abu yang lebih tinggi daripada
pelet reject atau campurannya. Kadar abu pelet reject (6,70%) lebih rendah
dibandingkan dengan kadar abu dari batubara (12,94%) yang digunakan sebagai
bahan bakar industri kertas. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pelet reject
kedalam batubara dapat menurunkan kadar abu bakar bakar boiler. Kadar zat terbang
dari batubara sekitar (37,89%) jauh lebih rendah dari pelet reject, atau campurannya.
Pelet reject memiliki kadar zat terbang tertinggi yaitu 86,32%. Tingginya kadar zat
terbang pelet reject akan meningkatkan kadar zat terbang campurannya dengan
batubara. Kadar karbon padat dari pelet reject, dan campurannya dengan batubara
semuanya dibawah kadar karbon padat batubara sendiri (38,48%). Kadar karbon padat
pelet reject jauh lebih rendah dari pada batubara. Tinggi rendahnya kadar parameter
karbon padat dan kadar zat terbang bahan bakar sangat berpengaruh sekali terhadap
sifat pengapian pada saat pembakaran bahan bakar dan terhadap banyaknya jumlah
177
karbon yang terbakar. Perbandingan kadar karbon padat terhadap kadar zat terbang
disebut dengan rasio bahan bakar (kadar karbon padat/kadar zat terbang). Bila rasio
bahan bakar nilainya < 1,2 akan menghasilkan pengapian pembakaran bahan bakar
yang bagus dengan kecepatan pembakaran yang meningkat. Sebaliknya bila rasio
bahan bakar > 1,2 akan menyebabkan banyak karbon yang tidak terbakar
(www.fortunacoal.com;imambudiraharjo.wordpress.com). Hasil perhitungan rasio
bahan bakar pelet reject, campurannya dan batubara nilainya < 1,2. Hal ini
menunjukkan pada proses pembakaran bahan bakar dengan pelet reject
pengapiannya akan sama bagus dibandingkan batubara. Tabel 2 menunjukkan bahwa
rasio bahan bakar pelet yang terbuat dari reject dan campurannya nilainya lebih kecil
daripada batubara. Hal ini akan menyebabkan bahwa sifat pengapian dan kecepatan
pembakarannya akan lebih bagus dan lebih cepat daripada batubara. Dengan
demikian penambahan pelet reject ke dalam batubara akan sangat berguna sekali dan
manfaatnya terutama pada saat pembakaran awal untuk menghidupkan boiler
penyalaan batubara akan lebih cepat dan singkat (Thomas dkk.,1995;
www.fortunacoal.com;imambudiraharjo.wordpress.com).

Tabel 2 mem-
perlihatkan bahwa
pelet reject memiliki
nilai kalor (7.002
kal./gr) yang lebih
tinggi dari nilai kalor
batubara (5.240
kal./gr) yang
digunakan sebagai
bahan bakar di
industri kertas.
Sebaliknya kadar sulfur pelet reject (0,15%) lebih rendah dari pada batubara (0,80%).
Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pelet reject kedalam batubara akan
meningkatkan nilai kalor bahan bakar boiler. Selain itu kadar sulfur bahan bakar boiler
akan menurun yang mana akan menyebabkan penurunan kadar SO2 emisi boiler juga.

 Kadar mineral abu


Untuk mengetahui sejauh mana prospeknya penambahan pelet reject sebagai
bahan bakar campuran batu bara, perlu dilakukan pengujian kadar mineral abunya.
Nilai dari kadar mineral abu ini sangat berguna sekali untuk mengevaluasi bahan bakar
terhadap potensi terjadinya proses slagging dan fouling di dalam boiler pada saat
proses pembakaran. Seperti diketahui bahwa slagging dan fouling adalah fenomena
menempel dan menumpuknya abu bahan bakar yang melebur pada pipa penghantar
panas (heat exchanger tube) ataupun dinding boiler. Kedua fenomena ini sangat
serius karena dapat memberikan dampak besar pada operasional boiler, seperti
masalah penghantaran panas, penurunan efisiensi boiler, dan tersumbatnya pipa.
Fenomena menempelnya abu ini dipengaruhi oleh kandungan mineral abu (Na2O,
178
K2O, Fe2O3 dan CaO), dan suhu fusi abu (ash fusion temperature). Keberadaan
senyawa Na2O dan K2O dalam abu akan membentuk senyawa yang memiliki titik lebur
rendah bila berikatan dengan unsur yang lain. Meningkatnya kecenderungan slagging
akan diikuti juga oleh meningkatnya kecenderungan fouling, sesuai dengan kadar alkali
abu. Standar kualitas batubara yang digunakan di Jepang dan pembuat boiler di Eropa
dan Amerika yang mempersyaratkan kadar Na2O <3%, kadar total alkali (Na2O dan
K2O) <3%, kadar CaO <20%, dan kadar Fe2O3 < 15% (Hatt, 1990; Maphala, 2008;
www.venus-boiler.com/; Hiltunen dkk., 2008). Hasil analisa kadar mineral abu pelet
reject, batubara dan campurannya ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3
menunjukkan bahwa
batubara yang
digunakan sebagai
bahan bakar boiler di
industri kertas
mengandung kadar
Na2O = 0,97%, kadar
total alkali (Na2O dan
K2O) = 2,59%, kadar
CaO = 2,25%, dan
kadar Fe2O3 = 8,01%
telah memenuhi
persyaratan. Adapun untuk pelet yang terbuat dari reject mengandung kadar Na2O =
0,72%, kadar total alkali (Na2O dan K2O) = 1,29%, kadar CaO = 21,5%, dan kadar
Fe2O3 = 33,34%, parameter CaO dan Fe2O3 nya tidak memenuhi persyaratan.
Sedangkan untuk campuran 90% batubara dan 10% pelet reject mengandung kadar
Na2O = 0,70%, kadar total alkali (Na2O dan K2O) = 2,88%, kadar CaO = 3,91%, dan
kadar Fe2O3 = 10,49%, dan campuran 50% batubara dan 50% pelet reject
mengandung kadar Na2O = 0,49%, kadar total alkali (Na2O dan K2O) = 1,16%, kadar
CaO = 11,03%, dan kadar Fe2O3 = 8,75% yang mana semua parameternya memenuhi
persyaratan. Data-data analisa pada Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa
penambahan pelet reject sampai dengan 50% sebagai campuran batubara bahan
bakar boiler masih bisa dilakukan dengan kemungkinan terjadinya slagging dan fouling
pada saat proses pembakaran rendah (Hatt, 1990; Hiltunen dkk., 2008; www.venus-
boiler.com/). Secara keseluruhan, kadar mineral dari pelet plastik dari rejek industri
kertas semuanya berada dibawah kadar mineral abu standar batubara.
Hasil perhitung-
an beberapa
parameter kriteria
kecenderungan ter-
jadinya slagging dan
fouling menurut
Miles dkk.(1995)

179
disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa baik pelet plastik rejek dari 3
industri kertas dan batubara yang digunakan sebagai bahan bakar boiler di industri
kertas memiliki slagging factor yang rendah. Berdasarkan parameter rasio basa-
asam, rasio Fe2O3-CaO, persentase Fe2O3+CaO dan persentase silika, pada
umumnya pelet reject industri kertas, batubara, dan campuran batubara dan pelet
reject kecenderungan terjadinya slagging dan fouling rendah sampai sedang.

 Suhu fusi abu (Ash Fusion Temperature)


Untuk memprediksi potensi terjadinya slagging dan fouling di dalam boiler selama
pembakaran, data suhu fusi abu dari bahan bakar diperlukan juga, selain data kadar
mineral abu. Hasil uji suhu fusi abu pelet reject, campurannya dan batubara seperti
pada Tabel 5.
Tabel tersebut
telah memperlihatkan
bahwa pada kondisi
reduksi, batubara
memiliki suhu
deformasi awal (DT)
o
1.415 C dan suhu
pelunakannya (ST)
o
1.460 C. Campuran
pelet reject (5 – 50%)
dan batubara (50 –
95%) memiliki suhu
deformasi awal (DT)
o
1.230 - 1.315 C dan
suhu pelunakannya
o
(ST) 1.270 - 1.325 C. Sedangkan pelet reject nya sendiri memiliki suhu deformasi awal
o o
(DT) 1.193 C dan suhu pelunakan (ST) 1.243 C. Dari data tersebut terlihat bahwa pelet
o
reject memiliki suhu pelunakan (ST) yang cukup tinggi (> 1.200 C). Penambahan
pelet reject sebesar 5 - 50% sebagai campuran batubara, walaupun sedikit
menurunkan suhu pelunakan (ST) akan tetapi masih memiliki suhu pelunakan (ST)
o
yang masih tinggi (> 1.250 C).
Dari pengamatan lapangan, industri kertas umumnya menggunakan boiler jenis
o
circulating fluidized bed (CFB) dengan suhu tungku pembakarannya sekitar 900 C dan
o
boiler jenis chain grate dengan suhu tungku pembakarannya sekitar 1.100 C. Bila
dibandingkan suhu operasi boiler di industri kertas dengan suhu awal deformasi (DT)
dan suhu pelunakan (ST) pelet reject, pelet reject masih memiliki suhu awal deformasi
(DT) dan suhu pelunakan (ST) di atas suhu operasi boiler di industri kertas. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan pelet reject sampai sebanyak 50% sebagai
o
campuran batubara bahan bakar boiler yang dioperasikan pada suhu 1.100 C masih
memungkinkan karena suhu pelunakan dari mineral abu pelet reject belum tercapai
sehingga tidak akan menyebabkan terjadinya slagging dan fouling didalam boiler (Hare
dkk., 2010).
180
Rancangan Proses Pembuatan Pellet Limbah Reject Skala Pilot
Penentuan sistem dan perancangan proses skala pilot ditentukan atas dasar hasil
percobaan skala laboratorium dengan alat skala prototipe. Pertimbangan yang
digunakan adalah selain aspek teknis dan ekonomis juga kepraktisan dalam
pengoperasian peralatan yang terkait dengan sumber daya manusia (SDM).
Pendekatan yang digunakan bahwa proses pembentukan pellet dilakukan pada kondisi
cukup kering yaitu kadar air limbah reject < 15% dan dalam bentuk cacahan halus.
Atas dasar pendekatan dan uji coba skala prototipe telah dilakukan rancangan proses
pembuatan pelet skala pilot terhadap reject yang diperoleh dari lokasi pabrik dengan
kapaitas 5 ton/hari reject kadar air 50% menjadi produk pelet 1 ton/hari kadar air 10%.
Rancangan proses pembuatan pelet dari reject untuk skala pabrik terdiri dari
tahapan pengeringan 5 ton/hari reject dengan kadar air 50% yang menghasilkan reject
sebanyak 1 ton/hari dengan kadar air < 10%. Selanjutnya dilakukan pencacahan reject
yang menghasilkan cacahan reject berukuran 4 mm sebanyak 1 ton/hari. Sebelum
masuk ke mesin pelet, cacahan reject di alirkan melalui konveyor dan diatas konveyor
di pasang magnet untuk menangkap
partikel logam untuk penghilangan
logam. Tahap akhir adalah
pembuatan pelet dalam mesin pelet
yang menghasilkan pelet sebanyak
sekitar 1 ton/hari berukuran diameter
10 mm dan panjang 10 – 15 mm
dengan kadar air < 10%. Diagam alir
pembuatan pellet limbah reject
dapat dilihat pada Gambar 4.

Prediksi spesifikasi dan jumlah peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan pelet
reject seperti pada Tabel 6.

Teknologi pembuatan
pelet reject pabrik kertas
seperti diuraikan diatas
(Gambar 4) semua
peralatannya sudah bisa
dibuat didalam negeri
sehingga teknologi
pembuatan pelet reject
hydrapulper
memungkinkan
diimplementasikan dipabrik
kertas di Indonesia.
Dengan cara pe-
181
manfaatan reject hydrapulper menjadi pelet reject sebagai substitusi batubara bahan
bakar boiler dengan teknologi seperti pada Gambar 4 akan memberikan keuntungan
untuk industri kertas antara lain dapat mengurangi biaya pengadaan batubara sebagai
bahan bakar boiler, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dan mengurangi biaya
penanganan reject oleh pihak ke 3
Kajian aspek ekonominya untuk produksi pelet reject selama 1 tahun (300 hari, 8
jam/hari) dari 5 ton/hari reject dengan kadar air 50% yang menghasilkan reject
sebanyak 1 ton/8 jam/hari dengan kadar air < 10% adalah sebagai berikut :

182
183
Lamanya modal investasi kembali (Pay back period) adalah sekitar 3,89 tahun (46,7
bulan)
Apabila pabrik kertas yang mengimplementasikan pemanfaatan reject menjadi
pelet sebagai substitusi batubara bahan boiler, hal ini dapat meningkatkan penyerapan
tenaga kerja/mengurangi pengangguran, dan dapat mengurangi emisi SO2 dan emisi
CO2 gas rumah kaca (GRK).

KESIMPULAN DAN SARAN


Reject hydrapulper industri kertas berbahan baku kertas bekas sebagian besar
komponennya terdiri dari serat berupa potongan kertas sebanyak 50,75% dan plastik
berupa selotif/lakban dan lembaran sebanyak 49,25% dengan kandungan plastik jenis
High Density Polyethylene (HDPE) nya lebih dari 99%. Pelet reject memiliki nilai kalor
tinggi dan kandungan sulfur rendah berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan campuran
batubara bahan bakar boiler. Persentase penambahan pelet reject sampai sebanyak
50% ke dalam batubara sebagai bahan bakar boiler yang dioperasikan sampai suhu
o
1.100 C masih memungkinkan tanpa menyebabkan indikasi terjadinya slagging dan
fouling di dalam boiler. Pemakaian pelet reject sebagai substitusi batubara bahan boiler
selain dapat mengurangi biaya pembelian batubara juga dapat mengurangi emisi SO2
dan emisi CO2 gas rumah kaca (GRK).
Mengingat reject industri kertas memiliki nilai kalor yang tinggi dan berpotensi
dimanfaatkan sebagai substitusi batubara bahan bakar boiler sehingga perlu untuk
mendata jumlah reject yang dihasilkan oleh seluruh industri kertas di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan rekan-rekan di Balai
Besar Pulp dan Kertas (BBPK), dan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri
(BPPI), Kementerian Perindustrian, atas terlaksananya kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pulp dan Kertas, 2012. Kajian Penggunaan Kertas Daur Ulang (Waste
Paper) sebagai Bahan Baku Industri Kertas).
Gavrilescu D. 2008. Energy from Biomass in Pulp and Paper Mills. Environmental
Engineering and Management Journal. Vol.7, No.5, 537-546.
Hare N; Rasul M. G.; Moazzem S. 2010. A Review on Boiler Deposition/Foulage
th
Prevention and Removal Techniques for Power Plant. Proceedings of the 5
IASME/WSEAS International Conference on Energy & Environment. Wisconsin,
USA. 217- 222.
Hatt R. M. 1990. Fireside Deposites in Coal-Fired Utility Boilers. Prog.Energy
Combust.Sci. Vol.16:235-241.
Hiltunen Matti; Barisic V.; Coda Zabetta E. 2008. Combustion of Different Types of
th
Biomass in CFB Boilers. Proceedings of the 16 European Biomass Conference. 1
– 6.
Kuik Onno. 2006. Environmental innovation Dynamic in the Pulp and Paper Industry.
European Commission, DG Environment. Institute for Environmental Studies Vrije
Universiteit De Boelelaan, Amsterdam, the Netherlands.
184
Maphala Tshifhiwa. 2008. Identification of sintering and slagging materials:
Characterization of coal, ash and non-coal rock fragments. Disertasi. School of
Chemical and Metallurgical Engineering, Faculty of Engineering and the Built
Environment, University of the Witwatersrand, Johannesburg.
Miloud Oudi; John Brammer; Andreas Hornung; Martin Kay. 2012. Waste to Power.
Tappi Journal, Vol.11, No. 2:55-64.
Nakao Nobuyuki; Shimamoto Hiroyuki. 2011. CFB Combustion Control System for
Multiple Fuels. JFE Technical Report, No. 16.
Thacker William E. 2000, Beneficial Use OCC and Poly Reject. Proceeding of 2000
TAPPI International Environmental Conference & Exhibiti. Vol.1: 39 - 53.
Thomas R Miles; Larry L Baxter; Richard W Bryers; Bryan M Jenkins; Laurence L
Oden. 1995. Alkali Deposit. Summary Report for National Renewable Energy
Laboratory US Department Energy.
William E Nichol; Louis N Flanders. 1994. An Evaluation of Pelletizing Technology or
How to Convert Trash to Fuel. TAPPI Proceeding of Engineering Conference,
1994:915-921.
http://www.fortunacoal.com. Kualitas batubara ditentukan oleh maseral dan mineral
matter. (Diakses pada tanggal 8 Desember 2014)
http://www.monroecounty.gov. Plastics Analysis Lab. (Diakses pada tanggal 7 Juni
2013).
http://imambudiraharjo.wordpress.com. Slagging dan Fouling (Diakses pada tanggal 8
Oktober 2013)
http://www.venus-boiler.com/technical_paper.php. Innovatives Solution for Controlling
Slagging and Fouling in Coal Fired Coal BFBC and CFBC Boilers (Diakses pada
tanggal 8 Desember 2014)
http://www.pelletstove.com. Assessment of Pelletized Biofuels (Diakses pada tanggal
19 September 2012)
http://www.jrpf.g.jp. Waste Plastic Solid Fuel: RPF (Refused Paper and Plastic Fuel)
(Diakses pada tanggal 8 Oktober 2013).
http://www.cost-e48.net. No more rejects from paper and board recycling (Diakses 8
Oktober 2013).

185
APLIKASI MEMBRAN SERAT HOLLOW UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR
TEKSTIL DENGAN MEMBRAN FOTOKATALITIK

Srie Gustiani
Balai Besar Tekstil, Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 390 Bandung
E-mail: texirdti@bdg.centrin.net.id

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan membuat dan mengkarakterisasi membran serat


hollow SB/ZnO. Membran digunakan untuk pengolahan air limbah tekstil dengan
metode membran fotokatalitik. Membran serat hollow selulosa/ZnO dipreparasi melalui
metode wet spinning. Karakterisasi membran dilakukan menggunakan metode
spektrofotometri FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan SEM (Scanning Electron
Microscopy). Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan berupa
serat hollow yang memiliki pori dan berfungsi sebagai membran fotokatalis serta
antibakteri. Karakterisasi SEM menunjukkan terbentuknya membran serat hollow
selulosa asetat melalui metode wet spinning. Karakterisasi FTIR menunjukkan telah
terjadi interaksi antara gugus fungsi pada selulosa asetat dengan ZnO pada daerah
bilangan gelombang 3500-3400 cm-1, 1600-1500 cm-1 serta 600-450 cm-1. Hal
ini menandakan bahwa selulosa asetat telah berinteraksi dengan partikel ZnO.
Citra SEM menunjukan membran yang dibuat telah berbentuk hollow dengan
permukaan berpori < 200 nm. Hasil dari karakterisasi dekolorisasi menunjukkan
bahwa membran serat hollow selulosa/ZnO dapat mendegradasi zat warna remazol
black 5. Hasil dari karakterisasi sebagai antibakteri menunjukkan bahwa membran
serat hollow selulosa/ZnO dapat menghambat aktivitas bakteri Staphylococcus aureus
(bakteri gram positif) dan Escherichia coli (bakteri gram negatif).

Kata Kunci: ZnO, hollow, membran, dekolorisasi, selulosa.

ABSTRACT

This study has the purpose of preparation and characterization of hollow fiber
membranes BC/ZnO. The membrane used for textile wastewater treatment with
photocatalytic membrane method. Hollow fiber membrane cellulose/ZnO prepared by
wet spinning method. Membrane characterization was performed using
spectrophotometric methods FTIR (Fourier Transform Infra Red) and SEM (Scanning
Electron Microscopy). The results showed that the membrane is produced in the form
of hollow fiber which has a membrane pores and serves as a photocatalyst and
antibacterial. SEM characterization showed the formation of cellulose acetate hollow
fiber membranes through wet spinning method. FTIR characterization showed that has
been sustained interaction between the functional groups on the cellulose acetate with
ZnO in the area of wave number 3500-3400 cm-1, 1600-1500 cm-1 and 600-450 cm-1.
This indicates that the cellulose acetate has interacted with ZnO particles. SEM image
186
showing that the membrane have formed hollow with porous surfaces <200 nm. The
results of decolorization showed that the hollow fiber membrane cellulose/ZnO can
degrade Remazol black 5 dye. The results as an antibacterial showed that the hollow
fiber membrane cellulose/ZnO can inhibit the activity of the bacteria Staphylococcus
aureus (gram-positive) and Escherichia coli (gram negative bacteria).

Keywords: ZnO, hollow, membrane, decolorization, cellulose.

PENDAHULUAN
Limbah cair industri banyak mengandung berbagai macam senyawa organik
yang bersifat toksik, karsinogenik, dan mutagenik yang dapat mencemari lingkungan
seperti zat warna. Zat warna merupakan polutan paling banyak pada limbah tekstil
yang termasuk golongan senyawa azo. Zat warna azo merupakan salah satu zat warna
yang mempunyai cincin aromatik sehingga pada umumnya sulit terdegradasi secara
biologi.
Keberadaan zat warna di lingkungan akan berdampak negatif terhadap
ekosistem dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan untuk
menguraikan zat warna di lingkungan. Pengolahan secara konvensional belum dapat
mengatasi masalah warna. Membran dapat digunakan sebagai salah satu metode
dalam mengolah limbah warna, namun permasalahan fouling terjadi pada permukaan
membran. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan modifikasi permukaan membran.
Pada penelitian ini kami bertujuan untuk melakukan modifikasi pada permukaan
membran dengan cara membuat membran dengan menambahkan partikel fotokatalis.

TINJAUAN PUSTAKA
Metode Advanced Oxidation Processes (AOPs) atau proses oksidasi lanjut
merupakan metode alternatif yang dapat diaplikasikan untuk mendekolorisasi zat
warna berdasarkan penggunaan hidroksi radikal (OH•). Metode fotokimia dapat
menghasilkan OH• yang digunakan sebagai oksidator untuk mendegradasi zat warna
menjadi produk yang kurang atau tidak berbahaya. Mineralisasi sempurna zat warna
akan menghasilkan CO2 dan H2O sebagai produk akhirnya.
TiO2 atau Titanium (IV) oksida merupakan semikonduktor yang telah banyak
dikembangkan untuk degradasi zat warna, namun biaya yang diperlukan mahal.
Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan untuk mendegradasi beberapa zat
warna dengan katalis TiO2 anatase yaitu acid red 14, naphtol blue black, sudan I, dan
metanil yellow (Daneshvar, 2003; Safni, 2007; 2008; 2009). ZnO (seng oksida)
merupakan katalis alternatif pengganti TiO2 dengan kemampuan fotodegradasi yang
hampir sama (Daneshvar., 2003 ; 2004).
Material ZnO memiliki aplikasi yang luas salah satunya diterapkan pada
pelapisan tekstil karena memiliki sifat unik seperti sifat fotokatalitik, sifat anti UV, sifat
antibakteri, sifat semikonduktor serta aman bagi manusia (Becheri, et al., 2008).
Berdasarkan perkembangan nanoteknologi yang berkaitan dengan pelapisan tekstil,
ZnO sebagai material anorganik memiliki sifat fotokatalitik dapat digabungkan dengan
biopolimer organik, dan digunakan dalam pembuatan membran nanokomposit. Salah
satu biopolimer yang digunakan pada beberapa penelitian pembuatan membran
187
adalah biopolimer dari selulosa bakterial (SB). Biopolimer SB merupakan bioselulosa
yang dihasilkan dari proses fermentasi air kelapa dengan menggunakan bakteri
Acetobacter xylinum (Indrarti dan Yudianti, 1994). Sebagaimana diketahui, Indonesia
sebagai negara tropis memiliki banyak tanaman kelapa, namun hingga saat ini
pemanfaatan air kelapa sebagai limbahnya belum banyak diketahui (Sugara dan
Raharja, 2009), maka limbah air kelapa tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan membran SB. Keunggulan dari SB adalah memiliki struktur dan sifat
mekanik yang lebih baik dibandingkan dengan polimer lainnya (Indrarti dan Yudianti,
1994; Gustiani dan Rifaida, 2009).
Membran serat hollow dengan diameter pori yang kecil digunakan untuk
pengolahan air dan air limbah. Beberapa penelitian membran serat hollow selulosa
yang telah dilakukan diantaranya adalah pembuatan dan karakterisasi membran
selulosa asetat serat hollow dengan perak sebagai desinfektan dalam pengolahan air
oleh Chou dkk., (2005), yang melaporkan membran serat hollow selulosa asetat
dengan nanopartikel perak sangat efektif sebagai antibakterial. Setelah digunakan
untuk proses filtrasi dan diaduk selama 180 hari, perak masih ada didalam membran
dan membran serat hollow masih dapat digunakan dalam menghambat aktivitas
mikroorganisme. Penelitian Yulina dan Gustiani (2014) tentang pembuatan membran
serat hollow selulosa bakterial dengan ZnO nanopartikel. Membran serat hollow
selulosa bakterial dengan ZnO dipreparasi melalui pencampuran nata de coco/
selulosa bakterial dengan nanopartikel ZnO. Dalam penelitian ini digunakan
cupriethylenediamine untuk melarutkan selulosa bakterial, namun penggunaan larutan
ini sangat beracun bagi kesehatan. Membran selulosa asetat SB/ZnO yang dihasilkan
dapat juga digunakan sebagai zat antibakteri. Kemampuannya dalam menginhibisi
pertumbuhan bakteri telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya terhadap bakteri gram
positif dan gram negatif dengan persentase inhibisi mencapai 98%. Uji antibakteri pada
penelitian ini dilakukan terhadap Staphylococcus aureus (bakteri gram positif) dan
Escherichia coli (bakteri gram negatif).

METODE
Bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi zat kimia untuk
pembuatan media steril untuk bakteri Acetobacter xilynum penghasil nata de coco,
Acetobacter xilynum, air kelapa untuk bahan baku membuat membran, pembuatan
membran SB menggunakan wet spinning, limbah artifisial. Zat kimia yang digunakan,
meliputi cupriethylene diamina, asam cuka, ammonium sulfat, gula, NaOH p.a., NaOH
teknis, asetat anhidrid p.a., dimethylformamide, zat warna remazol black 5, ZnO
nanopartikel diperoleh dari Sigma-Aldrich memiliki ukuran rata-rata partikel 5 nm,
alkohol, aquadest.

Alat-Alat yang digunakan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan gelas dan
non gelas. Peralatan non gelas meliputi reaktor, autoclave (Jargens) untuk membuat
media air kelapa steril, neraca analitik type SBA-31 (Denver instrument company AA-
200), hot plate (Heidolph MR 2002), wet spinning untuk membuat membran, inkubator
188
untuk menyimpan bakteri selaman proses pembuatan nata de coco, spektrofotometer
(Thermo Spectronic 20) untuk mengukur absorbansi warna larutan, analytical scanning
electron microscope (JSM-6510LA) untuk melihat morfologi membran, lemari
pendingin, bunsen, botol semptot, pinset, lampu UV untuk proses fotokatalitik, pH
meter (pHep by HANNA), Spectrum One FT-IR Spectrometer Merk Perkin Elmer, hot
press untuk mengepress nata de coco, stirrer, hot plate.

Pembuatan Membran
Pembuatan Nata de Coco
Pembuatan SB dari air kelapa yang difermentasi menggunakan bakteri Acetobacter
xylinum. Medium fermentasi dalam pembuatan bioselulosa ini terdiri dari air kelapa
sebanyak 1 L disaring terlebih dahulu. Konsentrasi glukosa bervariasi 2 %, ammonium
sulfat 1,5% dan asam asetat sampai dengan pH mencapai 4. Diaduk hingga homogen
kemudian di sterilisasi. Tambahkan starter dan diinkubasi pada suhu 30ºC didalam
inkubator selama 7 hari. Nata de coco/bioselulosa dalam bentuk gel yang dihasilkan,
dicuci dengan air sampai pH netral, kemudian di rendam dalam larutan NaOH 2% dan
dalam keadaan larutan NaOH pada suhu 80-90ºC, selanjutnya dicuci kembali sampai
dengan pH netral (Gustiani dkk., 2009). Nata de coco yang dihasilkan, digunakan untuk
bahan baku pembuatan membran pada ketiga metode yang dilakukan.

Pembuatan Selulosa Asetat


Nata de coco yang telah kering diubah menjadi selulosa asetat melalui proses asetilasi
dan hidrolisis. Proses pembuatan selulosa asetat mencakup tiga tahap penting, yaitu
tahap swelling dilakukan selama 1 jam dan 45 menit, tahap asetilasi dilakukan selama
20 jam dan tahap hidrolisis dilakukan selama 20 jam.

Pembuatan Hollow fiber ZnO


Selulosa asetat yang dihasilkan dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut organik
dimethylformamide, diaduk homogen dengan variasi konsentrasi 10, 15, 20 dan 25%
w/v. Setelah larut ditambahkan ZnO 4, 7 dan 10% v/v. Setelah larutan larut sempurna
dan homogen, dibuat hollow fiber dengan cara larutan dimasukkan ke dalam syring
dan diberi tekanan, kemudian dilewatkan ke dalam koagulan. Tekanan yang digunakan
1 Psi.

Proses Pengolahan Limbah Cair Warna


Metodologi yang digunakan belum pernah digunakan oleh peneliti sebelumnya, karena
hasil dari pengembangan di laboratorium. Percobaan pengolahan limbah melalui
proses fotokatalitik SB/ZnO dilakukan terhadap air limbah warna tekstil buatan. Limbah
Tekstil buatan yang digunakan adalah zat warna remazol black 5 (RB 5) yang
diproduksi oleh Sigma Aldrich. Konsentrasi zat warna RB5 yang digunakan yaitu 10
2
mg/l, , intensitas uv 4,5 W/m , aliran crossflow, tekanan membran 8 bar.
Untuk melihat degradasi warna dilakukan pengambilan sampel tiap 15 menit
kemudian dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
610 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh, diolah dengan menggunakan persamaan dari
kurva kalibrasi zat warna RB5.
189
Karakterisasi Membran SB/ZnO
Karakteristik dari membran ZnO diantaranya mengamati parameter-parameter
- Morfologi membran dengan analisis (SEM) analytical scanning electron microscope
(JSM-6510LA).
- FTIR
- Dekolorisasi menggunakan alat spektrofotometri UV-Vis. Efisiensi penyisihan warna
diperoleh dengan melihat nilai rejeksi. Menurut Mulder (1996) nilai rejeksi suatu zat
padat terlarut (solute) dinyatakan pada persamaan berikut:

Cpermeat
R(%)  (1  ) x100 %
Cumpan

Dimana :
R = persentasi tahanan
Cpermeat = konsentrasi partikel dalam permeat
Cumpan = konsentrasi partikel dalam umpan
Nilai R bervariasi antara 0 – 100%, dimana R 100% artinya terjadi pemisahan
sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal sedangkan nilai R 0% berarti
partikel semua lolos dari membran.
- Fluks dapat dinyatakan sebagai berikut (Mulder, 1996):

Dimana :
V
J J = fluks volume (L/m².jam)
t = waktu (jam)
A.t A = luas permukaan membran (m²)
V = volume permeat (lt)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pembuatan dan Karakterisasi Hollow Fiber ZnO

Dari hasil penelitian dengan beberapa variasi perlakuan konsentrasi larutan


selulosa asetat nata de coco, serat hollow terbentuk pada konsentrasi polimer 25%
w/v, maka yang dapat dikarakterisasi hanya pada konsentrasi tersebut.
Gambar 1.a. menunjukkan puncak serapan gugus (O-H) 3429,43 dan 3232,70
cm-1 cm-1
serta gugus –CO 1210, 23 dan 1019,28 dari selulosa nata de coco
menunjukkan adanya ikatan glikosida dan ikatan C-O pada cincin selulosa (Radiman
dan Yuliani, 2004). Spektrum FTIR selulosa asetat nata de coco ditunjukkan pada
Gambar 1.b. Puncak serapan khas muncul pada gugus karbonil (1745 cm-1) dan
gugus –CO asetil (1240 cm-1) yang cukup tajam.
190
Gambar 1. Spektrum FTIR membran serat hollow

Dari perbandingan kedua spektrum diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan tajam
pada intensitas serapan gugus OH. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah
gugus –OH bebas pada selulosa asetat akibat substitusi gugus tersebut oleh gugus
asetil
Gambar 1.c menunjukkan gugus fungsi dari membran serat hollow selulosa
asetat nata de coco/ZnO Spektra FTIR pada Gambar 1.c. menunjukkan perbandingan
daerah serapan membran tanpa ZnO dan dengan ZnO. Pada Gambar 1.c.
menjelaskan bahwa telah terjadi interaksi antara gugus fungsi pada selulosa asetat
dengan gugus fungsi pada ZnO yang ditandai dengan pergeseran bilangan gelombang
cm-1
gugus fungsi pada selulosa di daerah 1100-1150 , serta daerah serapan gugus
cm-1
fungsi ZnO pada daerah sekitar 600-450 (Salehi, et al., 2010). Pergeseran bilangan
gelombang gugus fungsi pada selulosa menunjukkan terjadinya interaksi antara gugus
NH2 dengan ZnO. Perubahan serapan yang terjadi tersebut menandakan bahwa
partikel ZnO telah terintegrasi dengan selulosa asetat nata de coco.

Foto Mikroskop Elektronik Hollow Fiber ZnO


Selulosa asetat nata de coco dengan ZnO telah berhasil dibuat membran
serat hollow menggunakan teknik wet spinning. Morfologi membran serat hollow

191
selulosa asetat nata de coco disajikan dalam Gambar 2. Gambar 2.a. menunjukkan
terbentuknya membran berbentuk hollow, dilihat menggunakan scanning electron
microscopy (SEM) dengan perbesaran 50x. Gambar 1b. menunjukkan bahwa morfologi
permukaan luar membran seperti jaringan busa. Diameter pori berkisar 20-200 nm.
Gambar 2 c, menunjukkan bahwa nanopartikel ZnO terjebak dalam struktur jaringan
serat berongga selama proses koagulasi. ZnO akan sangat sulit akan tercuci oleh air,
kecuali pada permukaannya (Chou dkk., 2005).

a b c
a. Membran Serat Hollow Selulosa asetat nata de coco
b. Permukaan membran serat hollow selulosa asetat nata de coco tanpa ZnO
c. Membran Serat hollow selulosa asetat nata de coco dengan ZnO

Gambar 2. Citra SEM membran serat hollow

Fluks Membran
Keberadaan ZnO pada membran SB membantu mencegah terjadinya fouling,
sehingga pada beberapa tidak mengalami penurunan fluks. Fluks cenderung stabil
pada membran SB yang bermuatan ZnO. Nilai Fluks yang diperoleh pada membran
tanpa ZnO mengalami penurunan yang signifikan, karena tidak ada reaksi fotokatalitik
yang dapat membatu mendegradasi zat-zat organik sehingga kotoran tersebut berada
pada permukaan membran dan juga dapat menutupi pori membran (Gambar 3).

Pengukuran fluks di-


lakukan menggunakan larutan
warna, sebelumnya dilakukan
proses kompaksi terhadap
membran dengan menggunakan
air bersih. Terjadi kompaksi
diawal waktu proses percobaan
dengan menggunakan membran
/ZnO selama 30 menit. Hal
tersebut dapat dilihat dari Gambar
10 terjadi penurunan fluks yang
sangat signifikan sampai dengan menit ke 30. Dari menit ke 30 sampai dengan 120
menit tetap mengalami penurunan fluks namun tidak terlalu signifikan. Hal tersebut
terjadi karena pada membran ini tidak menggunakan fotokatalis sehingga terjadi

192
polarisasi konsentrasi pada permukaan membran, yang mengakibatkan tersumbatnya
pori dan fluks menurun.
Pada beberapa membran SB/ZnO memiliki nilai fluks yang relatif stabil
sehingga tidak terjadi penurunan kinerja membran. Hal tersebut dapat terjadi karena
adanya lapisan fotokatalis pada permukaan membran, sehingga terjadi proses
pemecahan senyawa organik maupun anorganik pada limbah yang diolah. Proses
tersebut diatas dapat mengurangi terjadinya fouling pada permukaan membran,
sehingga tidak terjadi penurunan fluks. Nilai fluks yang diperoleh dari hasil percobaan
2
berada pada rentang 0,1-0,3 L/jam.m . Berdasarkan nilai tersebut, membran yang
digunakan termasuk ke dalam jenis membran nanofiltrasi (Mulder, 1996). Membran
dengan konsentrasi ZnO tinggi yaitu 10% memiliki nilai fluks yang lebih tinggi dan lebih
stabil dibandingkan konsentrasi lain yang lebih rendah.

Rejeksi
Dari hasil percobaan dapat
dilihat pada Gambar 4, bahwa
membran yang tidak dilapisi ZnO
memiliki nilai efisiensi penyisihan
lebih rendah dibandingkan dengan
membran yang dilapisi oleh ZnO.
Membran yang dilapisi ZnO 10%
konsentrasi limbah warna 10 ppm,
memiliki nilai efisiensi penyisihan
warna optimum yaitu sebesar
96,55%. Secara menyeluruh pada
percobaan ini terjadi proses penyisihan warna dengan menggunakan membran
SB/ZnO dengan aliran crossflow.
Dari proses pengolahan terjadi penyisihan warna yang sangat tinggi, pada
proses tersebut terjadi reaksi fotoinduksi yang diakselerasi oleh adanya fotokatalis
(Akpan dan Hameed, 2009; Rauf dan Ashraf, 2009). Reaksi ini diaktivasi oleh absorpsi
foton dengan energi yang sama atau lebih tinggi dari energi celah pita/band – gap
energi (Ebg) katalis. Ketika katalis mengabsorpsi energi foton yang mencukupi dari
radiasi UV, elektron terpromosikan dari pita valensi ke pita konduksi menghasilkan
pasangan lubang elektron.
- +
Dimana e cb dan h vb masing-masing adalah elektron pada pita konduksi dan
elektron pada pita valensi. Keduanya dapat berpindah pada permukaan katalis, untuk
melangsungkan reaksi redoks dengan spesies lain yang ada di permukaan. Dalam
+
banyak kasus, h vb mudah bereaksi dengan H2O di permukaan untuk memproduksi OH
-
radikal sedangkan e cb bereaksi dengan O2 untuk menghasilkan anion oksigen radikal
superoksida. Reaksi ini mencegah kombinasi elektron dan lubang yang dihasilkan
-
pada tahap pertama. ·OH dan O2 · dihasilkan dengan cara di atas dapat bereaksi
dengan zat warna untuk membentuk spesies lain dan kemudian bertanggung jawab
untuk penyisihan zat warna.

193
Antibakteri ZnO
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuranpada Tabel 1 dan Gambar 5,
menunjukkan dengan konsetrasi yang lebih tinggi dapat menghambat aktivitas
pertumbuhan bakteri lebih besar yaitu pada ZnO 10% sebesar 85,21% oleh bakteri
Staphylococcus aureus (SA).

Efek bakterisidal (kemampuan


mematikan bakteri) partikel oksida logam
disebabkan karena adanya pembentukan
Reactive Oxygen Spesies (ROS) seperti :
OH•, H2O2 dan O2-• yang dapat
merusak dinding sel bakteri. ROS yang
dihasilkan ZnO, CuO, dan ZnO-CuO
dapat menyebabkan peroksidasi
membran lipid dan
menginfungsionalisasikan membran.
H2O2 adalah komponen utama yang
dapat meningkatkan aktifitas antibakteri
karena dapat mengalami penetrasi pada
membran sel bakteri (Dutta., 2012;
Trandafilovi., 2012; Amornpitoksuk.,
2012).
Jenis bakteri yaitu gram positif
dan gram negatif juga ikut menentukan
aktifitas antibakteri katalis, hal ini
disebabkan karena perbedaan struktur dan komposisi membran selnya. Bakteri E.coli
lebih sensitif terhadap katalis ZnO dibandingkan S.aureus, karena mekanisme ZnO
dalam menghambat pertumbuhan bakteri selain disebabkan oleh pembentukan ROS
(Reactive Oxygen Spesies) juga dioptimalkan oleh solubilisi Zn2+ yang dapat merusak
membran sitoplasma bakteri (Baek., 2011; Amornpitoksuk., 2012; Jafari., 2011).
S.aureus lebih resisten dibandingkan E.coli karena E.coli mempunyai lapisan
peptidoglikan yang tipis sedangkan S.aureus mempunyai lapisan peptidoglikan yang
tebal dimana komponen utama membran selnya terbuat dari asam teikoat
(Trandafilovi., 2012).

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Metoda wet spinning dapat digunakan untuk pembuatan membran serat
hollow selulosa asetat nata de coco, baik tanpa ZnO dan dengan ZnO. Membran serat
hollow yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengolah limbah cair warna tekstil dan
untuk menghambat aktivitas antibakteri sehingga dapat mencegah terjadinya fouling
pada membran dan tidak terjadi penurunan kinerja membran. Kestabilan fluks
menandai tidak terjadi fouling pada permukaan membran. Aktivitas fotokatalitik pada
membran dapat mendekolorisasi warna pada limbah tekstil dengan hasil yang baik
194
yaitu 96,55% pada konsentrasii ZnO 10%. Membran serat hollow dengan ZnO memiliki
sifat menghambat aktivitas bakteri gram positif dan gram negatif dengan baik.

Saran
Aplikasi membran serat hollow selulosa asetat nada de coco dalam mengolah
limbah cair warna tekstil masih tetap perlu dilanjutkan, sampai dengan tahap
diterapkan di IPAL tekstil. Mekanisme identifikasi produk akhir dan laju penyisihan
warna masih perlu dilakukan untuk dapat mengetahui kecepatan degradasi warna dan
pembentukkan produk dari proses pemecahan warna yang dikhawatirkan akan bersifat
lebih toksik.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Kdasi, A., Idris, A., Saed, K. dan Guan, C.T. (2004) : Treatment of textile wastewater
by advanced oxidation processes, Global Nest the Int. J., 6, 222-230.
Amornpitoksuk. P., S. Suwanboon., S.Sangkan., A. Sukhoom dan N. Muensit. 2012.
Morphology, Photocatalytic and Antibacterial Activities of Radial Spherical ZnO
Nanorods Controlled with a Diblock Copolymer. Journal Superlattices and
Microstructures.51: 103-113.
Andres-Verges, M., M.Gallego., M.Lozano-Vila., A.Diaz-Alvarez. 2005. Study of Zinc
Oxide Microcrystalline Powders Synthesis. Current Issues on Multidisciplinary
Microscopy Research and Education. 283-288.
Applerot, G., N. Perkas., G. Amirian., O. Girshevitz dan A. Gedanken. 2009. Coating of
Glass with ZnO via Ultrasonic Irradiation and a Study of Its Antibacterial
Properties. Journal Application and Surface Science. 256S : S3-S8.
Avlonitis, A.S., Poulios, I., Sotitiou, D., Pappas, M. dan Moutesidis, K. (2008) :
Simulated Cotton Dye Effluents Treatment and Reuse by Nanofiltration,
Desalination, 221, 259-267.
Berberidou, C., S. Avlonitis dan I. Poulios. (2009) : Dyestuff Effluent Treatment by
Integrated Sequential Photocatalytic Oxidation and Membrane Filtration,
Desalination, 249: 1099–1106.
Baek, Y dan Y. An. 2011. Microbial Toxicity of Metal Oxide Nanoparticles (CuO, NiO,
ZnO, and Sb2O3) to Escherichia coli, Bacillus subtilis, and Streptococcus
aureus. Journal Science and Environment. 409 : 1603-1608.
Becheri, A., Durr, M., Nostro P., Bagliani, P. 2008. Synthesis and characterization of
zinc oxide nanoparticles: application to textiles as UV-absorbers. Journal of
Nanopart Research. Pp.679–689
Bian, S.W., I.A.Mudunkotuwa., T. Rupasinghe., dan V. H. Grassian. 2011. Aggregation
and Dissolution of 4 nm ZnO Nanoparticles in Aqueous Environments :
Influence of pH, Ionic Strength, Size, and Adsorption of Humic Acid. Journal
American Chemistry and Society. 27 : 6059-6068.
Catanho, M. (2006) : Avaliacao Dos Tratamentos Eletroquimico E Fotoeletroquimico
Na Degradacao De Corantes Texteis, Quim.Nova, 29, 5.

195
Chou, L.W., Yu, G.D. dan Yang, C.M. (2005) : The Preparation and Characterization of
Silver-loading Cellulose Acetate Hollow Fiber Membrane for Water Treatment,
Polym. adv. Technol., 16, 600-607.
Cicek, N. (2003) : A Review of Membran Bioreactors and Their Potential Application in
the Treatment of Agricultural Wastewater, Canadian biosystems engineering,
45, 6.37-6.49.
Coughlin, J., Tutela, V. dan Keefe, J. (2001) : Membrane Infliltration Activated Sludge.
Wilmington., Conference proceedings WEFTEC Atlanta. CA.
Daneshvar, N., D. Salari., dan A.R, Khataee. 2003. Photocatalytic Degradation of Azo
Dye Acid Red 14 in Water Investigation of the Effect Of Operational Parameters.
Journal of Photochemistry and Photobiologhy. 157: 111-116.
Daneshvar, N., D. Salari., dan A.R. Khataee. 2004. Photocatalytic Degradation of Azo
Dye Acid Red 14 in Water on ZnO as an Alternative Catalyst to TiO2. Journal of
Photochemistry and Photobiologhy. 162 : 317-322.
Dutta,R.K., P. Bhavani., Nenavathu., K. Mahesh., A.V.R. Gangishetty., dan Redd.
2012. Studies on Antibacterial Activity of ZnO Nanoparticles by ROS Induced
Lipid Peroxidation. Journal of Biointerfaces. 94:143-150.
Fakhru’l-Razi, A. (1994) : Ultra Filtration Membran Separation for Anaerobic
Wastewater Treatment, Water Science Technology, 30, 12, 321-327.
Gustiani, S. dan Eriningsih, R. (2009) : Proses Daur Ulang Limbah Cair Tekstil
Menggunakan Proses Membran Selulosa Bakterial dari Limbah Tahu, Balai
Besar Tekstil.
Horng, Y.R., Huang, C., Chang, C.M., Shao, H., Shiau, L.B. dan Hu, J.Y. (2009) :
Application of TiO2 Photocatalytic Oxidation and Non-woven Membrane
Filtration Hybrid System for Degradation of 4-chlorophenol, Desalination, 245,
169-182.
Indrarti, L. dan Yudianti, R. (1994) : Struktur dan Sifat Mekanik dari Lapisan Tipis
Bioselulosa, Prosiding Seminar Ilmiah P3FT-LIPI.
Jafari, A., M. Ghane.,dan S. Arastoo. 2011. Synergistic Antibacterial Effects of Nano
Zinc Oxide Combined with Silver Nanocrystales. African Journal of
Microbiologhy. 5(30) : 5465-5473.
Li, H., Y. Ni.,dan J. Hong. 2009. Ultrasound-Assisted Preparation, Characterization and
Properties of Flower-like ZnO Microstructures. Journal of Scripta Materiala.
60:524-527.
Li, B., dan Y.Wang. Facile Synthesis and Photocatalytic Activity of ZnO-CuO
nanocomposite. Journal of Superlattices Microstructures. 47: 615-623.
Li, B., dan Y.Wang. Facile Synthesis and Photocatalytic Activity of ZnO-CuO
nanocomposite. Journal of Superlattices Microstructures. 47: 615-623.
Liu, Z., J.C.Deng., J.J.Deng., dan F.F.Li. 2008. Fabrication and Photocatalysis of
CuO/ZnO Nano-Composites via a New Method. Journal of Material Science and
Enginering. 150 : 99-104.
Lu, Y., L. Wang., D. Wang., T. Xie., L. Chen., dan Y. Lin. 2011. A comparative Study on
Plate-Like and Flower-Like ZnO Nanocrystals Surface Photovoltage Property
and Photocatalytic Activity. Journal of Material Chemistry and Physic. 129 : 281-
287.
196
Marcucci, M., G. Nosenzo, G. Capannelli, I. Ciabatt P, D. Corrierid dan G. Ciardellia
(2001) : Treatment and Reuse of Textile Effluents Based on New Ultrafiltration
and other Membrane Technologies, Desalination, 138, 75-82.
Marcucci, M., G. Ciardelli, A. Matteucci, L. Ranieri dan M. Russo (2002) : Experimental
Campaigns on Textile Wastewater for Reuse by means of Different Membrane
Processes, Desalination, 149, 137-143.
Metcalf & Eddy (2003) : Wastewater Engineering: Treatment and Reuse (4th
international edition), McGraw-Hill, New York.
Osada, Y. dan T. Nakagawa (1992) : Membran Science and Technology, Marcel
Dekker, Inc, New York.
Raghvendra, S.,Y.Avinash C., dan P.S.S. Sanjay. 2007. ZnO Porous Structures
Synthesized by CTAB-Assisted Hydrothermal Process. Journal of Structural
Chemistry. 18:1001-1004.
Rai, P., J.N.Jo., I.H.Lee., dan Y.T. Yu. 2010. Fabrication of Flower-Like ZnO
Microstructures from ZnO Nanorods and Their Photoluminescence properties.
Journal of Material Chemistry and Physic. 124 : 406-412.
Safni., Maizatisna., Zulfarman., dan T. Sakai. 2007. Degradasi Zat Warna Naphtol Blue
Black secara Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO2-Anatase. Jurnal
Riset Kimia. 1 (1) 43-49.
Safni., U.Loekman., dan F.Febrianti. 2008. Degradasi Zat Warna Sudan I secara
Sonolisis dan Fotolisis dengan Penambahan TiO2-Anatase. Jurnal Riset Kimia.
1:(2) 164-170.
Safni., Zulfarman., dan F. Sari. 2009. Degradasi Metanil Yellow secara Sonolisis dan
Fotolisis dengan Penambahan TiO2-Anatase, Indonesian Journal and Material
Science. 11:(1), 47-51.
Sheng, X., dan Z. L. Wang. 2011. One-dimensional ZnO Nanostructures: Solution
Growth and Functional Properties, Journal of Nanotechnologhy Reserach. 1-46.
Shouqiang, W, S., Y.C.Y. Ma., dan Z. Shao. 2010. Fabrication of CuO/ZnO Composite
Films with Cathodic co-Electrodeposition and Their Photocatalytic Performance.
Journal of Molecules and Catalysis. 331 : 112-116.
Sugara, C. dan Raharja, S.R. (2009) : Teknologi Alternatif Pemanfaatan limbah Air
Kelapa Untuk Peningkatan Kualitas Produksi Budidaya Rumput Laut
(Eucheuma cottonii) di daerah Endemik Desa Patas, Kecamatan Gerokgak,
Buleleng, Bali, Laporan Penelitian, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya Malang.
Trandafilovi, L.V., D.K.Bozani., S.Dimitrijevi., A.S.Luyt., dan V.Djokovi. 2012.
Fabrication and Antibacterial Properties of ZnO–Alginate Nanocomposites.
Journal of Carbohydrate Polymers. 88 : 263-269.
Vijayakumar, G., S.Devashankar., M.Rathnakumari., dan P.Sureshkumar. 2010.
Synthesis of Electrospun ZnO/CuO Nanocomposite Fibers and Their Dielectric
and non-Linear Optic Studies. Journal of Alloys Compound. 507 :225-229.
Wang, Z., Y.H. Lee., B.Wu, A. Horst, Y. Kang, Y.J. Tang., D.R.Chen. 2010. Anti-
Microbial Activities of Aerosolized Transition Metal Oxide Nanoparticles. Journal
of Chemosphere. 80 : 525-529.

197
Xie, J., Y.Li., W.Zhao., L.Bian., dan Y.Wei. 2011. Simple Fabrication and Photocatalytic
Activity of ZnO Particles with Different Morphologies. Journal of Powder
Technologhy. 207 : 140-144.
Yulina, R., Gustiani, S. dan Septiani, W. 2014. Pembuatan dan karakterisasi serat hollow
dari selulosa bakterial dengan nanopartikel ZnO untuk pengolahan air limbah
tekstil. Jurnal Ilmiah Arena Tekstil. 29, 1, 47-54.
Zhang, D. dan Qi, L. (2005) : Synthesis of Mesoporous Titania Networks Consisting of
Anatase Nanowires by Templating of Bacterial Cellulose Membranes, Chem.
Commun., 2735-2737.
Zhang, Y. (2005) : Study on Morphology of Electrospun Poly (vinyl alcohol) Mats, European
Polymer Journal, 41, 423-432.
Zhou, G. dan Deng, J. (2007) : Preparation and Photocatalytic Performance of Ag/ZnO
Nano-composites, Material Science in Semiconductor Processing, 10, 90-96.
Zhang J., Y. Yang., B. Xu., F. Jiang., dan J. Li.2005. Shape-Controlled Synthesis of
ZnO Nano and Micro-Structures. Journal of Crystal Growth. 280 : 509-515.
Zhang, L., Y. Ding., M.Povey., dan D.York. 2008. ZnO Nanofluids-a Potential
Antibacterial Agent. Journal Progress Natural Science. 18 : 939-944.
Zarrindokht, E., Z. Karvani., dan P.Chehrazi. 2011. Antibacterial Activity of ZnO
Nanoparticle on Gram-positive and Gram-negative bacteria. African Journal and
Microbiologhy Reserach. 5(12) : 1368-1373.

198
RANCANG BANGUN PROTOTIP MESIN PLASMA TEKSTIL LUCUTAN KORONA
PADA TEKANAN ATMOSFIR SKALA LABORATORIUM
AN ENGINEERING OF PLASMA MACHINE PROTOTYPE AT LABORATORY
SCALEFOR TEXTILE BASED ON ATMOSPHERIC CORONA DISCHARGE
1 2
Achmad Sjaifudin T , KH Sitohang
1
Balai Besar Tekstil, Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 390 Bandung
E-mail: texirdti@bdg.centrin.net.id
2
Pusat Pengkajian Teknologi dan Hak Kekayaan Intelektual BPPI,
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 52-53 Lantai 20 Jakarta
E-mail Kemenperin: khtohang@kemenperin.go.id

Tanggal diterima: 10 Maret 2015, direvisi: 30 Maret 2015, disetujui terbit: 8 April 2015

ABSTRAK

Dalam studi ini telah terwujud satu prototip mesin plasma tekstil dengan skala
laboratorium. Tujuan pembuatan mesin tersebut adalah untuk memproses permukaan
kain yaitu proses etsa cara kering atau tanpa air dengan menerapkan plasma korona
pada tekanan atmosfir. Sebagai pembangkit plasma digunakan transfomator arus
searah 100 mA, tegangan 20 KV, dengan konfigurasi elektroda berupa multi titik-
bidang. Ukuran kain maksimum yang dapat diproses sebesar 200x250 mm.
Keberhasilan munculnya plasma korona bergantung pada tegangan dan kuat arus,
sertajarak antar elektroda. Hasil uji tanpa beban selama 15 menit memperlihatkan jarak
20 dan 25 mm menghasilkan plasma yang merata serta jarang terjadi kilatan (spark).
Tegangan,kuat arusserta daya input masing-masing adalah 16 kV/50 mA; 17,5 kV/37,5
mA, 360 dan 310 W. Percobaan dengan menggunakan bahan tekstil yaitu nilonpada
tekanan atmosfir, media udara serta jarak tetap 25 mm, menghasilkan terjadinya
modifikasi signifikan pada permukaan kain akibat plasma yaitu daya serap air yang
meningkat tajam dan perubahan struktur fisik permukaandari hasil uji SEM. Daya serap
diuji secara visual dengan meneteskan air ke kain. Kain nilon sebelum dipapar plasma,
air terserap pada kain saat 50 detik setelah penetesan,sesudah pemaparan selama
2x5 menit pada kedua sisi kain (bolak balik) air langsung diserap seketika oleh kain.
Hasi uji tersebut memperlihatkan terjadinya proses etsa pada permukaan kain oleh
proses plasma. Hal ini membuktikan bahwa prototip mesin plasma tekstil mampu
membangkitkan fenomena plasma lucutan korona yang dapat memproses permukaian
kain sesuai dengan rancangan mesin tersebut.
Kata kunci: mesin plasma, lucutan korona, tekstil, prototip, modifikasi

ABSTRACT

A first prototype of plasma textile machine at laboratory scale has beencreated.


The purpose of the machine is to etch cloth surface by applying coldcorona plasma at
atmospheric pressure. A direct current/high voltage transformer, 20 KV/100 mA is used
to generate plasma. The configuration of electrodes is multi point-plane. Maximum size

199
of the cloththat can be processed around 200x250 mm.The generating of corona
plasma depends on applied voltage/ current and the distance between the electrodes.
No-load test results for 15-minute exposure show the distance of 20 and 25 mm
plasma generates anuniform of plasma as well as rare of spark,with potential, current
and power input were16 kV/50 mA and 17,5 kV/37.5 mA,360 and 310 W respectively.
Then, further testswere carried out using nylon with a fixed distance at 25 mm where
similar condition as no-load test was applied.SEM test was performed to check
modification of fabric surface. Water drop test onto the surface of the fabric was visually
carried out to check water absorption.Before exposure, the dropped water adsorb into
the fabric at around 50 second. While after plasma was immediately adsorbed. These
phenomenons prove that the machine can generate plasma corona discharge as it’s
designed.
Keywords: plasma machine, corona discharge, textile, prototype, modification

PENDAHULUAN

Pengguna energi terbesar di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terdapat di
sektor hulu dan antara (upstream dan middle stream) seperti pada proses pencelupan
dan penyempurnaan (dyeing and finishing), printing sampai dengan pembuatan serat
(fibre making). Konsumsi energinya berkisar antara 15-25 % dari postur ongkos
1
produksinya. Sampai saat ini industri tekstil dalam negeri khususnya pada proses
pencelupan dan penyempurnaan masih menggunakan teknologi konvensional yang
bersifat basah (wet process) dan panas, yang mengkonsumsi energi (bahan bakar
batu bara) dan air yang amat besar jumlahnya, sehingga bermasalah pada lingkungan
baik itu pada cadangan air tanah, limbah cair, maupun limbah padat, partikel atau debu
2
yang penanganannya memerlukan ongkos yang tidak murah dan cukup rumit.
Salah satu solusi masalah hal tersebut adalah melalui perbaikan teknologi yang
tepat, efisien dan ramah lingkungan. Teknologi plasma merupakan salah satu
solusinya. Dengan teknologi plasma yang bersifat kering (menggunakan udara atau
gas-gas sebagai media) dan relatif dingin, daya listriknya yang dibutuhkan pada reaktor
2
plasma hanyalah berkisar 10 sampai 5.000 watt bergantung pada ukuran reaktornya.
Data ini menunjukkan bagaimana kecilnya daya listrik yang dibutuhkan, dengan kata
lain terjadi penghematan energi yang sangat signifikan dan sangat ramah lingkungan
karena tanpa menggunakan air dan tidak menghasilkan debu.
Selain itu proses plasma mampu meningkatkan sifat-sifat permukaan bahan
tekstil seperti daya basah atau wettability, penyempurnaan bahan yang bersifat
hidrofobik atau hydrophobic finishing, daya ikat atau adhesion, mutu produk, serta
kefungsian atau functionality bahan tekstil misalnya fungsi anti bakteri, anti UV, fungsi
medis lainnya yang bergantung pada proses plasmanya. Proses plasma juga mampu
memodifikasi permukaan kain sesuai yang diinginkan, serta mampu memproses
3
material maju berukuran nano.
Prinsip kerja dari proses plasma ialah terjadinya ionisasi gas dengan muatan
yang setara antara ion positif dan negatif dikarenakan adanya daya elektromagnet
pada tekanan atmosfir atau tanpa tekanan (vakum) dalam suatu reaktor pada suhu
ruangan. Maka secara sederhana plasma didefinisikan sebagai gas terionisasi dan
dikenal sebagai fase materi keempat setelah fasa padat, cair, dan fasa gas.Pada

200
kondisi tersebut plasma terdiri dari elektron bebas, ion, radikal bebas, reaksi kimia,
pembentukan senyawa siklik, perusakan molekul secara sempurna sehingga dapat
dimanfaatkan untuk proses penyempurnaan tekstil terutama pada permukaan tanpa
merusak struktur dalam keseluruhan serat ataupun bahan kain. Gambar 1
mempelihatkan ilustrasi proses plasma.
Daya elektromagnet atau medan listrik tersebut timbul karena adanya arus listrik
searah (DC) dengan tegangan yang sangat tinggi diantara elektroda positif dan negatif
pada frekuensi tertentu, sehingga pada kondisi ini terjadi ionisasi gas atau udara
diantara dua elektroda.
Pasokan listrik atau power supply
yang banyak dipakai untuk
4
membangkitkan plasma yaitu:
1. Frekuensi-rendah (LF, 50-450 kHz)
2. Frekuensi-radio (RF, 13,56 atau
27,12 MHz)
3. Gelombang mikro/Microwave (MW,
915 MHz atau 2,45 GHz).
Daya listrik yang diperlukan berkisar
antara 10 sd 5000 Watt, bergantung pada
ukuran reaktor dan pengolahan tekstil
yang diinginkan.
Ada tiga cara atau metode proses ionisasi gas plasma pada reaktor terutama
untuk bahan tekstil yakni:
a. Metode lucutan korona (corona-discharge method).
Plasma gas terjadi pada tekanan atmosfir. Metode ini memakai sepasang
elektroda yang konfigurasi bentuknya asimetri dialiri arus listrik frekuensi rendah
dengan kejutan tegangan tinggi (pulsed high voltage), sampai dengan 20 kV. Lucutan
korona terbentuk pada medan listrik tak seragam (non-uniform) yang kuat antar
elektroda. Konfigurasi elektroda dapat berupa titik-bidang, kawat-bidang dan pisau
9
silinder.
b. Metode lucutan penghalang dielektrik (dielectric barrier discharge).
Metode ini memakai sepasang elektroda dialiri arus listrik kejutan tegangan
(pulsed voltage) dimana salah satu elektrodanya dilapisi bahan dielektrik. Sumber
listrik biasanya arus bolak balik (AC). Reaktor plasmanya beroperasi pada tekanan
atmosfir dan menggunakan udara sebagai media plasmanya
c. Metode lucutan cahaya (glow-discharge method).
Plasma gas terjadi pada tekanan rendah. Metode ini memakai sepasang
elektroda yang dialiri arus listrik searah pada tegangan relatif rendah (sd 2.000 V),
frekwesi tinggi sampai dengan sangat tinggi yaitu frekuensi radio, dapat juga
beroperasi pada hampa udara dan menggunakan bermacam-macam gas sebagai
media plasma.
Dari berbagai pustaka, ketiga metode tersebut telah digunakan untuk
memproses permukaan berbagai bahan terutama material polimer termasuk bahan
201
tekstil. Lucutan korona merupakan dasar dari ketiga metode dengan berbagai
pembangkit plasmanya. Salah satu tujuan proses plasma adalah modifikasi permukaan
bahan tekstil yaitu dengan membuka/mengubah gugus molekul permukaan bahan
yang disebut dengan etsa dan grafting.
Gambar 2 mengilustrasikan
proses etsa dan grafting bahan polimer
menggunakan proses plasma. Proses
etsa yang dimaksud adalah terjadinya
reaksi degradasi secara kimia pada
permukaan paling atas dari bahan
tekstil/polimer yang terpapar atau
dibombardir oleh ion-ion dan elektron-
elektron yang timbul dari udara atau
gas dengan adanya plasma.
Selanjutnya atom-atom hidrogen
langsung terusir dari rantai polimer
pada permukaan bahan yang
menyebabkan ikatan karbon C-C
terputus sehingga terbentuk radikal bebas C pada ujung rantai polimer. Radikal bebas
itulah yang menginisiasi reaksi degradasi pada permukaan dan mengakibatkan
pengurangan berat bahan. Acapkali gas inert seperti nitrogen, oksigen, argon dan
helium digunakan untuk proses plasma.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut maka Balai Besar Tekstil melakukan
perekayasaan mesin prototip plasma tekstil dengan tujuan utama mewujudkan suatu
mesin plasma tekstil skala riset pertama di dalam negeri yang selanjutnya dapat
dimanfaatkan bagi keperluan berbagai riset tekstil berbasis plasma. Pra studi telah
dilakukan percobaan di laboratorium plasma, Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan
3
Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah . Dengan dikuasainya
teknologi tersebut maka salah satu proses tekstil yaitu modifikasi permukain kain dapat
dilakukan pada suhu rendah, tanpa air dengan tidak mengeluarkan limbah cair.

METODE
Bahan
1. Rangka mesin, cover, kotak panel: 3. Elektronik dan panel :
- Al profil (extruded) - Human Machine Interface
- Bracket (touch screen LED display)
- Mur baut inbus - Program Logic Control
- Pelat baja tahan karat SUS 304 - High Voltage DC
- Pelat akrilik Transformator, 20 kV
2. Reaktor/Ruangan Plasma : - DC Elektromotor
- Jarum baja - Power Supply
- Pelat baja tahan karat SUS 304 - Kabel dan wiring
- Nozel gas - Sensor-sensor
- Pelat akrilik bening - Analog Ampere dan Volt
Display
202
4. Bahan tesktil dan non kimia :
- Kain nilon
- Gas oksigen
- Gas nitrogen

Peralatan
1. Peralatan perbengkelan (tool kit) termasuk alat potong
2. Jangka sorong (sigmat) untuk pengukuran dimensi dengan keteletian 0,1 mm
3. Rol meter untuk pengukuran dimensi dengan ketelitian 1 mm
4. Avometer untuk pengukuran kuat arus dan tegangan
5. Timbangan analitis dengan ketelitian 0,01 gram
6. Kamera 5 MP untuk dokumentasi fenomena plasma, fenomena serap air dan
dokumentasi peralatan
7. Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk melihat morfologi permukaan bahan
kain tekstil

Metode plasma, desain dan konstrulsi mesin


Berbagai pertimbangan perlu diperhatikan untuk memutuskan pembuatan atau
manufaktur prototip mesin plasma berskala laboratorium ini, yaitu dengan cara
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
a. Pemilihan metode plasma
b. Desain dan konstruksi mesin plasma (konstruksi, rangkaian elektronik, otomatisasi/
program mekanik)

a. Pemilihan metode plasma


Merujuk dari ketiga
metode seperti yang telah
dijelaskan di atas, masing-
masing metode mempunyai
kelebihan dan kelemahan.
Untuk itu pembuatan prototip
mesin plasma harus
mempertimbangkan berbagai
aspek, khususnya kemudahan
mendapatkan komponen dan
peralatan pembangkit plasma di
dalam negeri. Dari beberapa
pertimbangan tersebut serta
dilihat dari aspek keberhasilan
terjadinya plasma korona, maka metode yang dipakai adalah metode a yakni
konfigurasi titik-bidang. Oleh karena itu, maka mesin plasma dirancang berdasarkan
plasma korona titik-bidang pada tekanan atmosfir dengan media terutama udara.
Sebagai ilustrasi Gambar 3 memperlihatkan terjadinya plasma korona titik-bidang.
Sebagai tambahan untuk meneliti pengaruh dari media plasma maka dirancang
perangkat dan ruangan untuk mengalirkan gas. Gas-gas yang dipilih adalah oksigen
203
(O2) dan nitrogen (N2). Ruangan ini menutupi elektroda titik dan terbuka pada bagian
bawah. Pada prinsipnya adalah memperkaya udara dengan gas oksigen atau nitrogen
pada tekanan atmosfir. Sedangkan bahan kain tekstil yang dipilih yaitu kain nilon untuk
membuktikan terwujudnya plasma korona dan efeknya pada permukaan kain.
Konfigurasi titik-bidang memunculkan medan listrik yang tidak seragam (non
uniform) karena adanya perbedaan geometri antara elektroda. Hal ini menyebabkan
terjadinya medan listrik yang kuat disekitar ujung elektroda titik. Kuat medan lisrik antar
elektroda merupakan fungsi dari (x) antar elektroda. Besar kuat medan listrik
9
diformulasikan dalam persamaan 1.

2V
𝐸(𝑥) = 𝑥2 2𝑑
(1)
r+2𝑥− ln(1+ )
𝑑 𝑟

- V : tegangan pada elektroda


- R : jari-jari ujung elektroda
- d : jarak antara elektroda
- x : jarak ujung-ujung elektroda tititk
dengan sebuah titik yang berjarak x
tertentu diantara kedua elektroda.

Dengan demikian apabila x = 0 (diujung elelktroda titik) maka persamaan


medan listriknya menjadi persamaan 2 :

2V
𝐸(𝑥 = 0) = 2𝑑 (2)
r ln (1+ )
𝑟
Gambar 4. merupakan ilustrasi grafik kuat medan listrik sebagai fungsi dari
jarak.

b. Desain dan konstruksi mesin plasma


Berdasarkan pendekatan secara teoritis tersebut pada butir a, maka fungsi jarak
antar elektroda menentukan terjadinya medan magnit yang memunculkan plasma
korona. Selanjutnya sebagai pembangkitnya diperlukan pembangkit arus searah DC
dengan tegangan (voltage) yang tinggi sampai dengan 20 kV. Dari hasil berbagai
penelaahan tersebut, maka mesin plasma didesain dengan 4 komponen utama yaitu:
1. Ruang reaktor plasma (plasma chamber) yang dapat diatur jarak jarak
elektrodanya secara vertikal (naik-turun). Bahan elektrodanya adalah rangkaian
jarum (+) dan pelat baja tahan karat (-). Pembangkit plasma dan tegangan
tingginya adalah DC Power Supply 20 kV, 100 mA
2. Konstruksi/kerangka utama yang dirancang semi knock downagar mudah
dimodifikasi dan menggunakan bahan Al ekstrusi yang berukuran presisi
3. Main panel board, sebagai tempat rangkaian utama elektronik dan pengaturan
serta pengoperasian mesin plasma.

204
4. Program Logic Control (PLC) dan Human Machine Interface (HMI) sebagai
pengendali gerakan-gerakan mekanik/elektronik baik secara manual dan otomatis.
Selanjutnya dari kriteria tersebut dituangkan dalam gambar teknik atau gambar
kerja dengan spesifikasi mesin plasma adalah sebagai berikut:
 Tipe plasma: Plasma dingin dengan lucutan korona pada tekanan atmosfer
(atmospheric corona discharge)
 Reaktor plasma: DC/arus searah, 20 KV, 100 mA dilengkapi saluran dan filter gas
 Konfigurasi elektroda berupa titik-bidang.
 Pemrosesan: batch (per satu kali proses)
 Unit Kontrol : manual dan auto menggunakan Human Machine Interface dan
program logic control (HMI dan PLC)
 Tipe meja: dapat bergerak atau moveable horizontal (kiri-kanan)
 Ruang plasma: dapat bergerak secara vertikal atau atas bawah untuk pengaturan
jarak antara plasma chamber dengan permukaan kain yang pengaturannya (digital
setting) dilakukan pada papan panel

HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah desain dan spesifikasi mesin plasma diputuskan sebagaimana yang
telah diterangkan pada di atas, maka dilanjutkan dengan memanufaktur mesinnya
berdasarkan gambar-gambar teknik atau blue printyang dapat dilihat pada Gambar 5
dibawah ini.

*Ket: Nomor berlingkaran merah menandakan acuan pemeriksaan dimensi mesin dengan mengacu
pada standard ISO R286
Gambar 5. Gambar teknik hasil final rancangan plasma.

205
Gambar 6 menunjukkan rangkaian mesin
plasma dan bagian-bagian dari mesin
tersebut serta beberapa kegiatan uji coba
mesin plasma tanpa beban.
Fenomenaplasma, warna biru ungu,
terlihat secara visual yang ditunjukkan
pada Gambar 6 f yang terjadi pada jarak
antar elektroda 25 mm.
Setelah selesainya manufaktur
mesin maka dilakukan uji coba/unjuk
kerja atau performa mesin dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1 Uji tanpa beban
2 Uji dengan beban
Hasil-hasil uji performa tersebut itu
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Uji tanpa beban
Yang dimaksud uji tanpa beban
adalah uji performa mesin tanpa
menggunakan bahan tekstil yang akan
diplasma. Uji ini meliputi:

a. Dimensi mesin
Referensi pengukuran berdasarkan Gambar Kerja sebagaimana tercantum
pada Gambar 8 yang mengacu pada ISO/R286. Adapun yang diukur diberi nomor
(angka berwarna dan lingkaran merah) dengan hasil disajikan pada Tabel 1.
Dari data hasil uji
dimensi pada Tabel 1 di
atas terlihat ukuran mesin
tidak melebihi atau kurang
dari persyaratan (statusnya
Ok), dengan kata lain masih
dalam batas-batas toleransi
ukuran yang dijinkan. Maka
dengan itu mesin plasma
tersebut telah memenuhi
persyaratan ukuran sesuai
dengan standard ISO/R286-
ISO System of limit and fit
b. Uji Performa Plasma
Uji performa plasma pada prinsipnya dilakukan dengan cara mengoperasikan
mesin tanpa adanya bahan kain tekstil untuk melihat dan membuktikan terjadinya

206
fenomena plasma dengan variasi jarak antar elektroda, kuat arus dan tegangan sampai
pada batas maksimum.
Hasil-hasil percobaan dengan berbagai variasi itu disajikan pada Tabel 2. Selain
itu dilakukan pula pengukuran daya input dari mesin untuk mengetahui seberapa besar
daya yang diperlukan dalam pengoperasian mesin, serta pengamatan plasma secara
visual yang berpedoman pada kemunculan sinar warna biru ungu diantara elektroda
seperti terlihat pada Gambar 6 f.
Dari Tabel 2
memperlihatkan bahwa
plasma yang muncul
ternyata bergantung
pada jarak antar
elektroda (katoda-
anoda). Untuk jarak 8
mm muncul plasma,
namun intensitasnya
sangat lemah yang
ditunjukkan dengan
pada tegangan dan
arus yang diperlukan
hanya 5 KV dan 1 mA.
Bila jaraknya dinaikkan
menjadi 15 mm,
hasilnya memperlihat-
kan pengamatan secara visual terjadi plasma, tetapi acap kali muncul spark. Selain itu,
pada jarak ini mengkonsumsi daya yang terbesar yaitu 450 W.

207
Terlihat bahwa semakin besar jarak, semakin rendah daya yang di hasilkan
yakni pada jarak 30 mm yakni 350 W. Namun demikian,fenomena plasma korona yang
muncul terbaik adalah pada jarak 25 mm, bukan pada jarak 20 mm maupun 30 mm.
Pada jarak 20 mm kadang terjadi sparkserta konsumsi dayanya lebih tinggi
dibandingkan jarak 25 mm. Sedangkan pada jarak 30 mm, intensitas kuat plasmanya
melemah, walaupun konsumsi dayanya lebih kecil, Gambar 6 f memperlihatkan plasma
korona yang terjadi pada jarak 25 mm. Oleh karena itu, uji dengan beban sekaligus
juga pelaksanaan percobaan-percobaan berbasis pada jarak 25 mm.
Hasil-hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan persamaan 1 dan 2 bahwa
jarak antar elektroda mempengaruhi intensitas plasmanya.Hal ini juga membuktikan
bahwa elektroda berupa titik-bidang mampu menghasilkan plasma korona.

2. Uji dengan beban Bahan kain nilon


Sebagaimana di-jelaskan di atas bahwa jarak antar elektroda yang optimum
adalah pada jarak 25 mm, maka uji beban dilaksanakan pada jarak tersebut.Media
gasnya adalah udara bebas, yang kedua dengan menghembuskan gas nitrogen dan
gas ketiga yaitu gas oksigen. Waktu pemaparan dimulai dari 2x2,5 menit (dua sisi
permukaan kain diradiasi plasma, bolak-balik) 2x5 menit dan 2x7,5 menit untuk semua
media udara dan gas.Hasil-hasil uji coba disajikan pada Tabel 3.
Hasil radiasi plasma
terlihat bahwa dengan media
udara bahwa tegangan dapat
dikatakan tidak berubah
dibandingkan dengan kondisi
tanpa beban yaitu berkisar
16,5-17,5 kV. Sedangkan
kuat arusnya berkisar antara
30-45 mA, serta daya
inputyang tercatat kurang
lebih 279 W. Hal ini
memperlihatkan bahwa
kemungkinan kuat arus yang dominan pada nilai mendekati 30 mA.
Walaupun terjadi spark namun hanya sesaat. Plasma yang muncul merata
seperti pada uji tanpa beban, lihat Gambar 7.a.
Pada percobaan dengan mengalirkan gas N2 terjadi penurunan tegangan dan
kuat arusnya yaitu masing-masing 15 kV dan 18-25 mA, namun daya inputnya yang
terekam sama dengan media udara. Selain itu kerap muncul spark. Fenomena ini
diduga karena terjadinya reaksi antara gas N2(sangat dominan) yang terionisasi
dengan permukaan kain nilon yang menimbulkan suatu resistensi pada aliran plasma.
Sedangkan media yang dialirkan gas O2 tegangan dan kuat arus lebih stabil
yakni masing-masing 17,5 kV dan 37,5 mA sehingga daya inputnya pun tercatat paling
tinggi pada kisaran 363-369 W.

208
Pada proses plasma dengan media gas nitrogen dan oksigen kadang plasma
tidak merata yang diperkirakan akibat aliran gas yang kurang merata. Ketidakmerataan
plasma tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.b. dan 7.c.
Fenomenamunculnya spark(kilatan) diduga diakibatkan satu atau lebih
elektroda jarum terkontiminasi kotoran atau debu dari kain atau terjadi sebagian
kain/benang terangkat akibat daya elektromagnetik maupun elektrostatis pada bahan
kain.Kemungkinan lainnya adalah resitensi akibat reaksi ion gas dan bahan kain
sebagaimana dijelaskan di atas.

a. Plasma dengan udara (terlihat plasma lebih merata)


b. Plasma dengan Nitrogen (terlihat plasma tidak merata terjadi plasma disisi kiri)
c. Plasma dengan Oksigen (terlihat plasma tidak merata terjadi disisi kiri dan tengah)
Gambar 7. Kondisi Plasma dengan beban dengan kain nilon

Pengamatan dilanjutkan dengan uji tetes air secara visual, kemudian diamati
mikrostrukturnya dengan menggunakan alat SEM (Scanning Electron Microscope)
Uji Tetes air
Uji tetes air dilaksanakan
pada sampel 2x5 menit dan
udara sebagai media
plasmanya. Pengujian langsung
dilakukan setelah selesainya
proses plasma dengan
menggunakan stopwatch dan
kamera video. Hasil sesudah
plasma dibandingkan dengan
kain nilon sebelum plasma.
Hasil-hasil rekaman pengujian
tetes air disajikan pada Gambar
8.
Hasil uji visual dengan
tetes air, tampak kain nilon
sebelum diradiasi penyerapan
air baru terjadi pada detik ke 50.
Sesudah diradiasi plasma langsung air terserap bahan kain nilon. Terjadi peningkatan
kecepatan penyerapan air yang sangat signifikan, sehingga diperkirakan terjadi

209
perubahan permukaan bahan kain akibat radiasi plasma yang dibuktikan dengan uji
SEM.

Hasil Uji SEM kain nilon


Uji SEM dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi pada permukaan kain
secara mikroskopis, yang menambah bukti uji tetes air.Semua hasil sesudah plasma
dibandingkan dengan sebelum plasma (blanko/kontrol) serta dibandingkan pula
diantara sampel-sampel sesudah plasma.Semua foto-foto hasil SEM disajikan pada
Gambar 8.
Pemaparan plasma dilakukan pada kedua permukaan (2 kali) dengan waktu
yang sama. Dari hasil uji SEM terlihat jelas terjadi perubahan morfologi yaitu
terkelupasnya semua permukaan kain nilon pada semua media plasma (udara,
oksigen dan nitrogen).

a. Blanko/Kontrol b. Plasma 2x5 mt media udara c. Plasma 2 x 7.5 mt, media udara

d. Plasma 2x5 mt, media nitrogen e. Plasma 2x5 mt, media oksigen

Gambar 9. Hasil uji SEM permukaan kain nilon setelah pemaparan


plasma pada berbagai media. (lanjutan)

Hal ini memperkuat bukti efek plasma secara mikroskopis.Pengaruh dari media
plasma terhadap besarnya pengelupasan tidak dapat dihitung karena memerlukan
metode dan peralatan lainnya.Selain itu luas permukaan kain dan lama waktu
pemaparan juga sangat terbatas. Namun demikian hasil ini sudah cukup membuktikan
bahwa mesin yang dibuat mampu membangkitkan fenomena plasma korona sesuai
dengan desain dan perhitungannya.

KESIMPULAN

1. Telah terwujud prototip mesin plasma (korona) tekstil untuk riset sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan

210
2. Mesin ini mampu memodifikasi permukaan kain tekstil pada tekanan atmosfir dan
media udara, tanpa menggunakan air, dan konsumsi daya input yang relatif
rendah
3. Keperluan daya input total adalah antara 260-300 W. Output tegangan dan kuat
arus pada reaktor plasma berkisar 15-17,5 kV dan 10-62,5 mA, yg bergantung
pada jarak antar elektroda, bahan kain yg diproses dan media yg dipakai sebagai
bahan ionisasi.
4. Mengenalnya fenomena plasma (wujud materi keempat) pada bahan tekstil. Dapat
digunakan utk memproses tekstil maju, serta riset-riset selanjutnya.

SARAN-SARAN

1. Mesin ini merupakan prototip awal, masih perlu penyempurnaan baik itu secara
mekatronik dan plasmanya, sehingga perlu riset lanjut.
2. Dengan terbuktinya bahwa mesin ini mampu membangkitkan plasma korona dan
dapat memroses etsa permukaan maka kedepannya dapat digunakan untuk
berbagai riset tekstil yang berbasis plasma.
3. Riset-riset baru tersebut sebaiknya untuk bahan tekstil non sandang atau
fungsional terlebih dahulu serta diharapkan untuk riset bahan tekstil yang termasuk
kategori maju (advanced textile material) dengan nilai tambah yang jauh lebih
tinggi, baik itu untuk tekstil kesehatan, militer, olah raga dan lain-lain.
4. Hasil rancang bangun (embrio teknologi didunia tekstil Indonesia) perlu
disebarluaskan karena merupakan teknologi untuk saat ini dan masa depan yang
sangat ramah lingkungan dan hemat energi.
5. Diharapkan akan terjadi kemajuan berbagai riset tekstil baik itu di lembaga-
lembaga riset dan perguruan-perguruan tinggi di tanah air.

PUSTAKA
1
Yales, V. Kendalikan Konsumsi Energi Sektor Manufaktur. Surat Kabar KOMPAS, 18
April 2012, halaman 7.
2
Usman, A.S. (2012). Peningkatan Daya Saing Industri TPT Melalui Standarisasi,
Makalah Seminar Nasional Tekstil, Bandung.
3
Utomo, S. (2010). Establishment of Product Development and Design Center (PDDC)
on Textile Industri in Center for Textile, Balai Besar Tekstil.
4
Shisoo, R. (2007). Plasma Technologies for Textiles, Woodhead Publishing Limited,
Cambridge, England.
5
Kutlu, Bengi and Cireli, Aysun. (2001). Plasma Technology In Textile Processing, The
th
6 Asian Textile Conference, Innovation & Globalization, Proceding, Hong
Kong.
6
Dai, X.J. and Kviz, l, (2001). Study of Atmospheric and Low Pressure Plasma
Modification on the Surface Properties of Synthetic and Natural Fibers, “An
st
Odyassey in Fibres and Space” Textile Institute 81 World Conference,

211
Melbourne, Australia.
7
Kan, C.W., Chan, K. and Yuen, C.W.M. (2001). Development of Low Temperature
th
Plasma Technology on Wool, The 6 Asian Textile Conference, Innovation &
Globalization, Proceding, Hong Kong.
8
McCord, M.G., Hwang, Y.J., Hauser, P.J., Qiu, Y., Cuomo, J.J., Hankins, O.E. &
Bourham. (2002). Modifying Nylon and Polypropylene Fabrics with Atmospheric
Pressure Plasmas, Textile Research Journal 72 (6): 491-498
9
Nur, M.(2011). Fisika Plasma dan Aplikasinya, Badan Penerbit Universitas Diponegor
Semarang, Cetakan 1.
10
Triadyaksa, Pandji, Nasruddin, Wasiq, J., Nur, M.,(2007). Rancang Bangun dan
Pengujian Sistem Reaktor Plasma Lucutan Pijar Korona guna Mempercepat
Pertumbuhan Tanaman Mangrove, Berkala Fisika Vol. 10, No. 3: 137-144.
11
Shah, J.N., Shah, S.R.(2013). Innovative Plasma Technology in Textile Processing :A
Step towards Green Enviroment. Research Journal of Engineering Sciences,
Vol. 2(4): 34-39.
12
Soetrisno, H. B.(2011). Perkembangan TPT Global. Makalah Seminar Tekstil
Nasional 2011, Bandung.
13
Widodo, M.(2014). Proses Etsa Pada Kain Tekstil Menggunakan Teknologi Plasma,
Makalah Focus Group Discussion Teknologi Plasma Tekstil, Bandung.
14
Fajri, K. (2014). Pengurangan Berat Cara Kimia/Cara Basah, Makalah Focus Group
Discussion Teknologi Plasma Tekstil, Bandung.
15
Syaifudin T.A.,Widodo, M., Muhlisin, Z., Nur, M. (2014). Modifikasi Permukaan Bahan
Tekstil Dengan Plasma Lucutan Korona, Prosiding Seminar Nasional Tekstil, 1-
22.

212

Anda mungkin juga menyukai