DENA SISMARAINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dena Sismaraini
NIM F351137061
RINGKASAN
Industri kitin dan kitosan adalah industri yang memproduksi kitin dan
kitosan yaitu sumber polimer terbarukan yang berasal dari cangkang Crustaceae.
Potensi pengembangan industri kitin dan kitosan didukung oleh kondisi Indonesia
yang merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya perikanan
khususnya udang dan memiliki banyak industri pengolahan udang yang dalam
proses produksinya akan menghasilkan produk samping berupa cangkang, ekor
dan kepala udang. Persebaran industri pengolahan udang di Indonesia
mengindikasikan tingginya persebaran produk samping yang merupakan bahan
baku utama industri kitin dan kitosan. Hal ini tentu menjadi peluang tumbuhnya
industri kitin dan kitosan di banyak daerah di Indonesia, walaupun pada
kenyataannya industri belum banyak tumbuh dan industri eksisting hanya
tersentralisasi di Pulau Jawa. Melihat kondisi tersebut, maka dilakukan penelitian
untuk mengetahui karakteristik salah satu industri kitin dan kitosan yang
merupakan leading industry di Indonesia, mengetahui faktor internal dan eksternal
terkait industri kitin dan kitosan dan pada akhirnya memformulasikan strategi
untuk mengembangkan industri kitin dan kitosan berdasarkan identifikasi
karakteristik, faktor internal dan faktor eksternal yang diketahui.
Terdapat beberapa tahapan metode penelitian yang dilakukan berdasarkan
wawancara mendalam kepada beberapa responden. Hasil wawancara berupa data
kualitatif dan kuantitatif dianalisis menggunakan 4 teknik yang saling terintegrasi
yaitu analisis matriks evaluasi faktor internal (IFE) dan eksternal (EFE), analisis
matriks internal dan eksternal (IE), analisis matriks Strengths, Weaknesses,
Opportunities and Threats (SWOT) dan penetapan strategi dengan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis matriks IE menentukan
strategi berdasarkan posisi industri yang kemudian dibandingkan dengan hasil
penetapan strategi dengan AHP sehingga dapat diformulasikan strategi yang tepat
bagi industri kitin dan kitosan.
Hasil penelitian menunjukkan industri kitin dan kitosan merupakan industri
yang menghasilkan produk biopolimer seperti kitin dan kitosan yang tergolong
pada produk antara (intermediate) dengan segmen pasar yaitu ekspor untuk
industri pengguna. Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia
dipengaruhi beberapa faktor internal yaitu penerapan kontrol kualitas produk yang
selalu dipertahankan dan penerapan efisiensi biaya produksi yang belum
terlaksana dengan baik, serta faktor eksternal yaitu potensi pasar ekspor yang
perlu dimanfaatkan dan persaingan penjualan dengan negara lain yang perlu
diantisipasi. Diperlukan tiga alternatif strategi pengembangan bagi industri kitin
dan kitosan yaitu, meningkatkan pemasaran produknya dengan pemilihan target
pasar internasional, mengembangkan akuisisi atau joint ventures internasional,
dan menguatkan bisnis melalui penguatan kolaborasi antar pemangku kepentingan
terkait.
Chitin and chitosan industry is an industry that produce chitin and chitosan
which are known as renewable source of Crustacean shell based polymer. The
development of this industry is supported by Indonesia’s characteristic as an
islands country that rich of fisheries resources especially shrimp and also having
many shrimp processing industry that generates by products such as shrimp shells,
tails and heads. The spreading of shrimp processing industries in almost all
islands in Indonesia indicates the spreading of its by products which are utilized
as main raw material for chitin and chitosan industry. This condition becomes the
opportunity for the growth of chitin and chitosan industry in many areas in
Indonesia, in fact, the industry have not growing fast and the existing industries
are still centralized in Java Island. Then, research was conducted to find out the
problem by analyzing characteristic of chitin and chitosan industry based on the
case study in one leading industry for chitin and chitosan industry in Indonesia, to
analyse internal and external factors related to chitin and chitosan industry and at
the end to formulate the strategy to develop chitin and chitosan industry based on
identification of characteristic and also its internal and external factors.
Several research methods was conducted. Qualitative and quantitative data
were collected through in-depth interview to respondents, and then analyzed by 4
integrated methods: Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor
Evaluation (EFE) analysis, Internal External (IE) analysis, SWOT analysis and
strategy selection by AHP method. The results of IE analysis determined the suit
strategy based on industry position and then compared to the results of strategy
selection by AHP so the best strategy can be formulated.
The results of this research shows that chitin and chitosan industry is
industry that is producing bioplymer products such as chitin and chitosan, kind of
intermediate products with export for industrial use as its market segment. The
development of chitin and chitosan industry is influenced by several internal
factors such as quality control implementation and inefficiency production cost,
and also external factors such as the potency of export market and competition
with other foreign industry. There are three recommendation alternative strategies
for chitin and chitosan industry, which are accelerating product marketing with
international market as main target, development of acquisition and joint ventures,
and the last is business strengthening by collaboration among related stakeholders
to guarantee raw material supply and increase promotion.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN
INDUSTRI KITIN DAN KITOSAN DI INDONESIA
DENA SISMARAINI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T.
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia
Nama : Dena Sismaraini
NIM : F351137061
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ialah strategi pengembangan industri, dengan judul Strategi
Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Nastiti S. Indrasti dan
Prof. Dr. Ir. Suprihatin selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Eka Linggadjaja, Ibu Linawati Hardjito, Ibu Pipih
Suptijah, Bapak Yapisman, serta Bapak Jef Rinaldi, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami,
Fadel, mama, papa, teteh serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, motivasi
dan doa yang terus diberikan. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih
Pusdiklat Kementerian Perindustrian atas beasiswa yang diberikan serta kepada
semua teman program Double Degree Kementerian Perindustrian atas
pengalaman-pengalaman berharga yang tidak dapat penulis lupakan.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Dena Sismaraini
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Kitin dan Kitosan 4
Karakteristik 4
Sumber 6
Proses Produksi Kitin dan Kitosan 7
Produk Aplikasi 7
Strategi Pengembangan Agroindustri 8
Penyusunan Perencanaan Strategis 10
3 METODE PENELITIAN 14
Kerangka Pemikiran Penelitian 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 15
Teknik Pengumpulan Data 15
Analisis Strategi Pengembangan Industri 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22
Produksi Udang di Indonesia 22
Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia 24
Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman 27
Analisis Matriks IFE 33
Analisis Matriks EFE 34
Analisis Matriks IE 35
Analisis Matriks SWOT 36
Analisis Pemilihan Alternatif Strategi 41
Formulasi Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan 46
Implikasi Praktis 48
5 SIMPULAN DAN SARAN 49
Simpulan 49
Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50
Lampiran 52
ii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
1
pada tahun 2015. Jepang mewakili negara dengan pasar paling besar bagi kitin
dan kitosan, dengan aplikasi di biomedis seperti material penyembuh luka dan
sebagai bahan benang operasi sebagai pengguna terbesar (GIA 2012).
Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia juga didukung oleh
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden No 28 tahun 2008 mengenai
Kebijakan Industri Nasional, yang menyatakan bahwa pemanfaatan limbah
produk perikanan untuk aplikasi yang memberikan nilai tambah seper ti kitin dan
kitosan harus ditingkatkan. Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Menteri
Perindustrian No 41 Tahun 2010 mengenai Peta Strategi dan Indikator Kinerja
Utama Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon 1 Kementerian Perindustrian,
bahwa salah satu target pengembangan klaster industri berbasis agro adalah
meningkatkan penggunaan limbah produk laut untuk dijadikan bahan makanan
dan famasi/suplemen seperti kitin dan kitosan. Dukungan pemerintah lain juga
dapat dilihat berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan Non Konsumsi No 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum
Registrasi Unit Penanganan, Pengolahan Hasil Perikanan Non Konsumsi bahwa
kitin dan kitosan adalah salah satu produk non konsumsi yang menjadi salah satu
fokus yang akan dikembangkan.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai
faktor strategis internal dan eksternal yang menjadi pendukung dan penghambat
pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia serta memformulasikan
strategi pengembangan industri kitin dan kitosan untuk mengatasi masalah
tersebut.
Perumusan Masalah
Industri kitin dan kitosan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan. Hal ini didukung oleh potensi bahan baku dari cangkang udang
dan permintaan kitin dan kitosan yang turut meningkat. Keberlangsungan industri
kitin dan kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah kondisi internal industri kitin dan kitosan dalam
menjalankan bisnisnya, yaitu kekuatan dan kelemahan. Faktor eksternal adalah
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industri kitin dan kitosan dan tidak dapat
dikendalikan oleh pelaku industri, yaitu peluang dan ancaman. Berdasarkan
ilustrasi di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakeristik industri kitin dan kitosan di Indonesia?
2. Faktor internal apa saja yang mempengaruhi pengembangan industri kitin dan
kitosan?
3. Faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi pengembangan industri kitin
dan kitosan?
4. Bagaimana bentuk strategi yang tepat dalam pengembangan industri kitin dan
kitosan?
2
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kitin adalah biopolimer alami yang dapat diperoleh di laut dan daratan. Kitin
(C8H13NO5) merupakan polisakarida yang paling melimpah kedua setelah
selulosa, berbentuk padatan amorf atau kristal berwarna putih, dapat terurai secara
hayati (biodegradable). Perbedaan utama antara selulosa dan kitin adalah sumber
kedua material tersebut diambil. Selulosa didapatkan dari tumbuh-tumbuhan
sedangkan kitin diambil dari invertebrata laut dan jamur (Rout 2001). Kitin
bersifat tidak larut dalam air, asam organik encer, asam organik, alkali pekat dan
pelarut organik tapi larut dalam asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, dan
asam fosfat (Junianto 2008). Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan
protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Kitin dapat ditemukan dari jenis
kelompok Crustaceae yang memiliki kerangka eksternal keras, seperti udang,
lobster dan kepiting, sayap lalat, serta dinding sel pada beberapa kelompok jamur.
Kitin yang saat ini banyak diproduksi berasal dari kelompok crustacea dengan
alasan ketersediaannya di pasaran. Data menunjukkan bahwa kulit udang
mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3 dan 15-20% kitin (Altschul 1976
dalam Purwatiningsih 2009).
Kitin dapat ditransformasi menjadi kitosan yaitu produk biopolimer yang
memiliki aplikasi lebih luas di dunia industri karena sifatnya yang alami, dapat
terdegradasi secara biologis, biocompatible dan tidak beracun. Kitosan adalah
jenis polisakarida yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang memilliki rumus
molekul C6H11NO4. Kitosan produk turunan kitin yang diperoleh melalui
deasetilasi secara kimiawi menggunakan basa atau deasetilasi secara enzimatik
menggunakan enzim lipase dan fosfolipase (Vargaz dan Martinez 2010). Dengan
demikian, kitin dan kitosan merupakan jenis polimer yang sama namun dengan
derajat deasetilasi (DD) yang berbeda. Istilah kitosan digunakan apabila derajat
deasetilasi yang terukur lebih besar dari 40%. Telah diteliti sebelumnya bahwa
biodegradasi menurun tajam saar derajat deasetilasi lebih dari 70% (Abbas 2010).
DD dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan suhu atau kekuatan dari larutan
alkali.
Pendorong utama penelitian mengenai kitosan diberikan melalui Konferensi
Internasional Kitin dan Kitosan yang pertama kali dilaksanakan di Boston pada
Mei 1977 (Robert 2008). Setelah itu, banyak penelitian yang telah dilakukan
untuk mengetahui manfaat kitosan, dan seluruh penelitian tersebut menunjukkan
hasil bahwa kitosan memiliki banyak aplikasi dalam berbagai penggunaan.
Kitosan memiliki potensi yang besar pada penggunaan biomedis, kimia dan
industri makanan (Tharanathan, 2003 dalam Vargas and Martinez 2010). Di
Amerika Serikat, kitosan digunakan pada sektor pertanian dan industri kosmetik
(Anon, 1995 dalam Teftal 2000).
Karakteristik
4
kitosan diantaranya adalah derajat deasetilasi, berat molekul, viskositas, bulk
density, kelarutan, kandungan nitrogen, kapasitas pengikat air, kapasitas pengikat
lemak dan kestabilan (Tabel 1). Terdapat dua faktor penting yang menentukan
karakteristik fisikokimia yaitu derajat deasetilasi dan berat molekul, yang
dipengaruhi oleh konsentrasi basa, waktu dan temperatur proses. Derajat
deasetilasi dan berat molekul memberikan pengaruh besar pada kitosan dalam hal
kelarutan dalam larutan asam, viskositas dan aktivitas biologis (Vargas dan
Martinez 2010). Pada umumnya, DD lebih besar dari 40% akan larut dalam
larutan asam. Saat DD lebih kecil dari 40%, ikatan kitosan akan menjadi tidak
larut dalam air. Berat molekul (BM) kitosan memiliki dampak yang signifikan
terkait dengan keefektifannya pada beberapa aplikasi. Hal ini terlihat dari
keefektifan kitosan untuk mempercepat penyembuhan luka bakar, koagulan,
penurunan tingkat kolesterol dalam darah, mengontrol viskositas yang semuanya
diketahui memiliki kergantungan pada berat molekul. Sebagai contoh, kitosan
dengan BM 9,3 kDa dapat menghambat pertumbuhan bakteria Eschericia coli,
namun kitosan dengan BM 2,2 kD justru dapat meningkatkan pertumbuhannya
(Abbas 2010). Sehingga penting sekali untuk mengontrol berat molekul kitosan
agar dapat sesuai dengan berbagai aplikasi dan produk hasil yang diharapkan.
Tabel 1 Karakteristik Fisikokimia Kitosan
No Karakteristik Keterangan
1 Tampilan (bubuk atau Putih atau Kuning (Bansal et al, 2011)
]flakes)
2 Derajat Deasetilasi Berkisar antara 70-95% (Kurita, 2001; Cheba,
(DDA) 2011)
3 Berat Molekul 100-1,200,000 Daltons (Li et al, 1992, Rout, 2001)
4 Viskositas Kurang dari 5cps (Bansal et al, 2011)
5 Densitas Antara 1,35 to 1,4 g/cm3 (Bansal et al, 2011)
6 Kelarutan Tidak larut dalam air, alkali dan pelarut organik,
namun larut dalam larutan asam orgnaik dengan pH
kurang dari 6 (Rout, 2001).
7 Kandungan Nitrogen Bervariasi untuk beberapa jenis Crustaceans, 7,2%
pada kepiting (Shepherd et al, 1997; Rout, 2001)
and 7% pada udang (Cho et al, 1998; Rout, 2001)
8 Kapasitas pengikat air Bervariasi antara 581 to 1150% (Rout, 2001)
9 Kestabilan Stabil pada larutan basa terkonsentrasi pada
temperatur tinggi (Cheba, 2011)
5
in vivo. Sifat biocompatible yang dimiliki kitosan disebabkan karena kitosan tidak
memiliki zat antigen. Biocompatibility memiliki pengertian kemampuan material
untuk menunjukkan fungsi yang diharapkan khususnya pada terapi medis, tanpa
memunculkan efek lokal atau sistemik yang tidak diharapkan pada penerima
terapi medis, namun menghasilkan respon yang baik dari sel atau jaringan dan
mengoptimalkan kinerja secara klinis atas terapi tersebut (Williams 2008).
Kitosan sangat ditoleransi dengan baik oleh jaringan hidup, termasuk kulit,
membran okular dan epitel hidung dan sudah teruji bermanfaat bagi aplikasi
biomedis (Kumar et al., 2004 dalam Dyahningtyas 2010).
Dilaporkan juga bahwa kitosan memiliki karakteristik bioaktivitas seperti
bakteriostatis, hemostatis, imunologis, analgesik, cicatrizant, antiulcer, antikolik,
anti inflamatori, hypourouricemic, hypocholesteroloemic, free radical scavenging
activity, antikoagulan, anti-gastritis, anti-thrombogenic, antiviral, antibakteri,
antijamur, anti-tumor, and spermicidal (Okamoto et al., 2002; No et al., 2002;
Nagahama; 2008 dalam Cheba 2011)
Sumber
6
Proses Produksi Kitin dan Kitosan
Produksi kitin dan kitosan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara
kimiawi yaitu proses yang dilakukan menggunakan beberapa bahan kimia dan
proses enzimatis yaitu proses yang dilakukan menggunakan katalis dari beberapa
jenis enzim. Pada penelitian ini, pembahasan proses produksi difokuskan pada
proses kimiawi. Terdapat 4 tahapan penting yang perlu dilakukan untuk
memproduksi kitosan secara kimiawi, yaitu deproteinisasi, demineralisasi,
penghilangan warna dan deasetilasi. Dua tahapan pertama (deproteinisasi dan
demineralisasi) tidak harus dilakukan secara berurutan, namun dapat dilakukan
berkebalikan (Rout 2001).
1. Deproteinisasi
Cangkang Crustacea mengandung kitin yang terikat dengan mineral CaCO3
dan protein (Austin, 1988 dalam Purwatiningsih et al. 2009). Dalam satu
cangkang udang terdapat sekitar 30-40% protein (Johnson and Peniston, 1982
dalam Purwatiningsih et al. 2009). Deproteinisasi dapat dilakukan dengan
cara mengencerkan cangkang udang pada larutan NaOH pada temperatur
yang ditingkatkan, sehingga protein yang ada dalam cangkang udang dapat
melarut (Rout 2001). Deproteinisasi juga dapat dilakukan dengan melakukan
pengenceran pada larutan potasium hidroksida (KOH) (Shahidi and
Synowiecki, 1991 di dalam Rout 2001).
2. Demineralisasi
Demineralisasi adalah proses penghilangan kandungan mineral dalam
cangkang. Cangkang Crustacea umumnya mengandung 30-50% mineral
dalam basis kering dengan kalsium karbonat (CaCO3) sebagai komponen
utamanya. Demineralisasi dapat dilakukan dengan cara melakukan ekstraksi
dengan larutan asam klorida (HCl) pada temperatur ruang dengan
pengadukan sehingga CaCO3 dapat melarut menjadi kalsium klorida (CaCl)
(Rout 2001).
3. Penghilangan warna
Untuk kepentingan komersial, kitin yang diterima di pasaran adalah kitin
yang berwarna putih. Proses yang melibatkan cairan asam dan basa pada
proses sebelumnya akan menimbulkan warna pada produk kitin, sehingga
proses penghilangan warna diperlukan. Pelarut yang umumnya digunakan
adalah aseton (Rout 2001).
4. Deasetilasi
Kitosan didapatkan melalui proses pengilangan gugus asetil-N. Deasetilasi
dapat dilakukan melalui perlakuan dengan konsentrasi NaOH atau KOH 40-
50% pada temperatur 100oC atau lebih tinggi selama 30 menit (Muzarelli,
1977 dalam Rout 2001). Proses deasetilasi perlu dilakukan untuk
mempersiapkan kitosan yang tidak dapat terdegradasi dan larut pada larutan
asam dalam waktu singkat (Rout 2001).
Produk Aplikasi
Melalui proses kimiawi dan enzimatis, kitin dan kitosan dapat diproses
menjadi berbagai produk dengan nilai tambah cukup tinggi yang dapat
7
diaplikasikan pada berbagai industri. Pada pengolahan air dan air limbah, kitosan
memiliki fungsi sebagai flokulan untuk menjernihkan air (air minum dan kolam
renang), menghilangkan ion logam dan mengurangi bau. Pada tahun 1981,
penggunaan kitosan sebagai penjernih air telah disetujui oleh United States
Environmental Protection Agency (USEPA) hingga level maksimum 10 mg/L
(Hahn et al. 2004). Pada aplikasi di makanan, kitosan memiliki beberapa aplikasi
diantaranya sebagai serat makanan, pengikat lemak yang dapat menurunkan
kolesterol, pengawet alami, pengental dan stabilisator untuk saus dan sebagai
edible coating pada buah, daging atau ikan. Kitosan berbasis udang mendapatkan
notifikasi Generally Recognize as Safe (GRAS) dari Food and Drug
Administration (FDA). Pada aplikasi di dunia medis, kitosan memiliki fungsi
untuk mempertahankan kelembaban kulit, mengobati jerawat, meningkatkan
kelembutan rambut, mengurangi listrik statis pada rambut, mengencangkan kulit
dan sebagai perawatan mulut (pasta gigi dan permen karet). Sementara itu, pada
aplikasi di biomedis, kitosan dapat diaplikasikan sebagai bahan benang operasi,
kulit artifisial, material enkapsulasi (penghilang luka, antibakteri, antivirus dan
antijamur). Pada aplikasi di bidang pertanian, kitosan berfungsi sebagai stimulan
pertumbuhan tanaman, mekanisme pertahanan pada tanaman, coating pada benih,
dan nutrien bagi tanah.
Menurut Morrisey (2003) terdapat tingkatan nilai tambah yang berbeda-
beda pada beberapa aplikasi produk kitin dan kitosan untuk industri. Secara
berurutan aplikasi kitin dan kitosan pada biomedik dan farmasi memiliki nilai
tambah tertinggi dengan volume pemakaian sedikit, lalu diikuti oleh aplikasi pada
teknologi kimia, kosmetika, teknologi pangan, penjernih air, pertanian, dan tekstil.
Sedangkan aplikasi yang memiliki nilai tambah terendah dengan volume
pemakaian besar adalah pada teknologi kertas (Junianto 2008). Manfaat kitin dan
kitosan yang dapat diaplikasikan secara luas ini telah dibuktikan secara ilmiah
oleh beberapa peneliti. Tabel 2 menunjukkan alasan ilmiah yang mendasari
penggunaan kitin dan kitosan pada berbagai aplikasi.
8
Tabel 2 Alasan Ilmiah Pemanfaatan Kitin dan Kitosan pada Berbagai Aplikasi
No Aplikasi Alasan Ilmiah
1 Pertanian: bahan Kandungan gula amino, ß-D-glukosamin yang berfungsi
mempercepat untuk :
pertumbuhan - menstimulasi sintesis agen pelindung,
tanaman - meningkatkan kemampuan tanaman dalam
menyerap air,
- menjaga air dengan cara menutup stomata dan
menurunkan laju penguapan
(Burrows et al. 2007)
2 Antimikroba dan Kandungan grup amino yang menunjukkan ion positif
antijamur (derajat deasetilasi) dapat berinteraksi dengan dinding sel
mikroba/jamur, merubah permeabilitasnya yang diikuti
keluarnya sitoplasma sehingga berakhir pada kematian
sel.
(Vargaz & Martinez 2010); (Jung & Kim 1999); (Cuero
RG 1999)
3 Antioksidan Hidroksil aktif dan grup amino akan bereaksi dengan
senyawa radikal bebas dan membentuk makroradikal
yang stabil. Semakin tinggi derajat deasetilasi
menunjukkan keefektifan kitosan dalam aktivitas
antioksidan, menangkap radikal hidroksil dan kemampuan
berikatan dengan ion besi.
(Yen et al. 2008); (Xing et al. 2007)
4 Flocculating dan Karakteristik kimia menunjukkan afinitas yang tinggi
Clarifying Agent terhadap ion logam berat seperti kromium, timbal,
merkuri, tembaga dan kadmium karena kitosan memiliki
kapasitas penyerapan lebih tinggi daripada karbon aktif
atau pelarut organik yang secara tradisional digunakan
untuk mereduksi kontaminan air limbah.
(Synowiecki et al. 2003); (Shaidi et al. 1999)
5 Dietary fibre Kriteria yang menyerupai serat untuk diet, yaitu tidak
dapat dicerna, polimer alami, dan memiliki kemampuan
mengikat air yang tinggi. Kondisi perut yang asam dapat
memicu kitosan untuk larut dan bereaksi dengan asam
lemak dan mengikat lipid karena adanya interaksi
hidrofobik (trigliserid, lemak dan asam empedu,
kolesterol dan sterol lainnya) untuk kemudian
diekskresikan dari tubuh.
(Muzzarelli RAA. 1999)
6 Edible Film dan Kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk suatu
Coating selaput (film) sebagai lapisan semipermeabel yang dapat
dimakan sehingga dapat memperpanjang umur hidup
buah-buahan olahan atau segar, produk daging dan
seafood.
(Vargaz & Martinez 2010)
9
1. Mengembangkan klaster industri, yaitu industri pengolahan yang terintegrasi
dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya.
2. Mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang
didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar.
3. Mengembangkan industri pengolahan yang mempunyai daya saing tinggi
untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pengembangan agroindustri memerlukan suatu perencanaan strategi yang
baik sehingga dapat terus berkembang dan mencapai keunggulan bersaing. Tujuan
utama perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara objektif
mengenai kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat diantisipasi
perubahan lingkungan yang ada. Sehingga dapat ditekankan bahwa perencanaan
strategis sangat penting untuk perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing
dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen, dengan dukungan
optimal dari sumber daya yang ada (Rangkuti, 2014). Terdapat sembilan elemen
kunci ekoefisiensi yang dapat diadaptasi untuk bagi perencanaan strategi
agroindustri dalam meningkatkan daya saingnya yaitu (1) aspek kepemimpinan,
(2) kemampuan meninjau ke depan, (3) budaya perusahaan atau bisnis yang
mendukung, (4) teknik manajemen, (5) daur hidup manajemen, (6) riset dan
pengembangan, (7) proses produksi dan operasi, (8) aspek pemasaran, serta (9)
layanan purna jual dan pemanfaatan kembali limbah (Sa’id 2010).
10
perputaran tenaga kerja), laporan kegiatan operasional, laporan kegiatan
pemasaran, dan lain-lain (Erlina 2011).
Model yang dapat dipakai pada tahap pengumpulan data diantaranya adalah
model Matriks Faktor Strategi Eksternal (Matriks EFAS), dan Matriks Faktor
Strategi Internal (Matriks IFAS). Matriks EFAS adalah matriks yang digunakan
untuk menganalisis faktor eksternal yang mencakup peluang dan ancaman.
Sedangkan matriks IFAS adalah matrik yang digunakan untuk menganalisis faktor
internal yang mencakup kekuatan dan kelemahan.
Tahap Analisis
Tahap analisis merupakan tahapan yang dilakukan setelah semua
informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan industri dikumpulkan, untuk
kemudian dimanfaatkan dalam suatu model kuantitatif perumusan strategis.
Matriks Internal Eksternal (Matriks IE) merupakan salah satu metode analisis
dalam suatu perencanaan strategis. Gabungan kedua kondisi internal dan eksternal
yang telah diketahui nilainya selanjutnya dimasukkan ke dalam (Matriks IE) yang
ditunjukkan pada Gambar 3 . Hasil yang didapatkan pada matriks IE dapat
digunakan untuk menentukan posisi industri, sehingga dapat diketahui arah
strategi yang akan diterapkan. Total skor strategis internal menunjukkan kekuatan
bisnis suatu industri, sedangkan total skor strategis eksternal menunjukkan daya
tarik industri.
11
c. Retrenchment strategy yaitu usaha memperkecil atau mengurangi usaha yang
dilakukan.
Berbagai alternatif strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis
matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti 2014). Keunggulan matriks
SWOT ini adalah dapat dengan mudah memformulasikan strategi yang diperoleh
dari gabungan faktor internal dan eksternal berdasarkan hasil analisis matriks
IFAS dan EFAS. Terdapat 4 alternatif strategi yang didapatkan berdasarkan
matriks SWOT (Tabel 4), yaitu:
1. Strategi SO, yaitu strategi yang dibuat dengan menggunakan seluruh
kekuatan untuk memanfaatkan peluang
2. Strategi ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
mengatasi ancaman
3. Strategi WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang
dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada
4. Strategi WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat
defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.
12
berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel mana yang memiliki
prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi
tersebut (Saaty, 1993 di dalam Erlina 2011).
Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai
diagram bertingkat (hierarki) yang dimulai dengan sasaran (goal) lalu kriteria
level pertama, subkriteria dan alternatif (Marimin 2013). AHP memungkinkan
pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk atau
alternatif majemuk terhadap suatu kriteria secara intuitif, yaitu dengan melakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparison).
13
3 METODE PENELITIAN
Industri kitin dan kitosan adalah industri potensial yang baru berkembang di
Indonesia dan memiliki beberapa kendala yang perlu disiasati dengan strategi
yang tepat sehingga dapat berkembang dan memiliki daya saing. Dalam
mengembangkan industri kitin dan kitosan diperlukan analisis mendalam untuk
mengetahui kondisi eksisting industri kitin dan kitosan, faktor-faktor eksternal dan
internal yang berpengaruh dalam perumusan strategi pengembangan industri kitin
dan kitosan.
14
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa lokasi berbeda sesuai dengan lokasi kerja
expert atau pemangku kepentingan yang terkait. Lokasi pengumpulan data dan
informasi terkait dengan industri kitin dan kitosan dilakukan di beberapa tempat,
yaitu (1) Industri kitin kitosan PT. X yang berlokasi di Kota Cirebon – Provinsi
Jawa Barat (2) Kantor Asosiasi Pengusaha Pengolahan Pemasaran Produk
Perikanan Indonesia (AP5I) yang berlokasi di Jakarta dan (3) CV. Ocean Fresh
yang berlokasi di Kabupaten Bogor (4) Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen. P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan,
(5) Direktorat Jenderal Industri Agro (Ditjen IA)Kementerian Perindustrian, (6)
Departemen Teknologi Hasil Perikanan (Dept. THP), Fakultas Ilmu Perikanan
dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pemilihan lokasi sebagaimana disebutkan diatas dilakukan secara sengaja
(purposive), yang didasarkan pada pertimbangan: (1) PT. X merupakan industri
kitin dan kitosan terbesar di Indonesia, yang memiliki teknologi yang terbaik
dalam memproduksi kitin kitosan dan turunannya (2) AP5I merupakan
representasi industri pengolahan udang yang tersebar di seluruh Indonesia (3) CV.
Ocean Fresh merupakan unit usaha yang bergerak di bidang kitin kitosan, produk
turunan dan produk aplikasi di bidang kosmetika (4) Dirjen P2HP merupakan
instansi pemerintah yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait dengan
pengembangan industri kitin dan kitosan (5) Ditjen. IA adalah pembina teknis
industri pertanian yang salah satunya adalah industri pengolahan udang (6) Dept.
THP merupakan salah satu program studi yang memiliki fokus khusus pada
pengembangan kitin dan kitosan.
Waktu penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu bulan April sampai Juli
2015. Sedangkan tahap pengolahan data hingga penyelesaian akhir laporan
penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan Juli – September 2015.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh dari
observasi pada salah satu industri kitin dan kitosan, wawancara mendalam dan
pengisian kuesioner kepada para pelaku industri, pakar dari Perguruan Tinggi, dan
para pengambil kebijakan di instansi pemerintah yang terkait dengan
pengembangan kitin dan kitosan. Data sekunder didapatkan dari buku-buku,
publikasi dari instansi pemerintah (Badan Pusat Statistik, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan), jurnal nasional maupun
jurnal internasional, laporan penelitian yang terkait dengan strategi
pengembangan agroindustri serta dokumen-dokumen lain yang relevan.
Pemilihan responden dalam penelitian ini didasari atas konsep Triple Helix,
dimana interaksi antara akademisi, pelaku bisnis dan pemerintahan merupakan hal
yang penting dalam penentuan strategi secara umum (Etzkowitz 2007) dan
khususnya dalam strategi pengembangan agroindustri kitin dan kitosan. Metode
yang digunakan dalam penentuan responden adalah metode snowball sampling,
yaitu melakukan kontak dengan responden pertama, kemudian mengidentifikasi
15
responden selanjutnya berdasarkan informasi dari responden pertama. Lee (1993)
menyebutkan bahwa responden yang cenderung mengidentifikasi responden
potensial lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan dirinya akan berujung
pada sampel yang homogen.
Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dan
kondisi eksisting industri kitin kitosan di Indonesia. Kuesioner digunakan sebagai
alat untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait dengan strategi
pengembangan agroindustri kitin dan kitosan, yaitu faktor-faktor kunci
pengembangan agroindustri kitin dan kitosan, faktor eksternal dan faktor internal
yang berpengaruh serta masukan lain yang berguna dalam merumuskan strategi
pengembangan agroindustri kitin dan kitosan. Tabel 3 menunjukkan responden
yang terlibat pada penelitian ini.
Tabel 3 Data Responden
Lingkup Responden
Perguruan 1. Pakar teknologi kitin dan kitosan (Fakultas Perikanan dan Ilmu
Tinggi Kelautan, Institut Pertanian Bogor)
Industri 1. Manajer Produksi (PT X), representasi atas produsen kitin dan
kitosan
2. Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk
Perkanan Indonesia (AP5I), representasi dari industri pengolahan
udang selaku penyuplai bahan baku kitin kitosan
3. Pemilik CV. X, representasi atas pengguna kitin dan kitosan
Instansi 1. Pejabat Es IV Direktorat Pengembangan Produk Non Konsumsi,
Pemerintah Ditjen. P2HP- Kementerian Kelautan dan Perikanan
2. Pejabat Es IV Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan
Perikanan, Ditjen. Industri Agro, Kementerian Perindustrian
16
dan ancaman yang mempengaruhi industri di masa yang akan datang. Rangkuti
(2013) menjelaskan beberapa tahapan penentuan strategi eksternal, yaitu:
1. Susunlah dalam kolom 1 berupa faktor-faktor yang menjadi peluang dan
kelemahan industri kitin dan kitosan
2. Pada kolom 2, berikan bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala
mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting), berdasarkan
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi industri. Semua bobot
yang telah dijumlahkan tidak boleh melebihi skor total (1,00). Pemberian
bobot berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis
perusahaan. Penentuan bobot dilakukan dengan metode perbandingan
berpasangan (pairwise comparison) yaitu memberikan bobot numerik dan
membandingkan antara satu peubah dengan peubah lainnya (Tabel 4). Skala
1, 2 dan 3 digunakan dalam menentukan bobot setiap peubah. Penjelasan
skala yang digunakan adalah sebagai berikut:
1 = jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal
2 = jika indikator horisontal sama penting daripada indikator vertikal
3 = jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal
Tabel 4 Penilaian Bobot Faktor Strategis dengan Metode Matriks Perbandingan
Berpasangan
Faktor Strategik Internal/Eksternal A B C ... Bobot
A
B
C
...
Total
3. Pada kolom 3, hitung rating untuk setiap faktor dengan pemberian skala
mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh
faktor tersebut terhadap kondisi industri yang bersangkutan. Variabel yang
bersifat positif (variabel peluang) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4
(sangat besar). Sedangkan untuk variabel yang bersifat negatif yaitu ancaman
adalah kebalikannya. Misalnya jika nilai ancamannya besar, ratingnya adalah
1, namun jika ancamannya sedikit maka ratingnya bernilai 4.
4. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh
faktor pembobotan pada kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk
masing-masing faktor yang nilainya mulai dari 4,0 (outstanding) sampai
dengan 1,0 (poor)
5. Jumlahkan skor pembobotan (kolom 4) untuk memperoleh total skor
pembobotan. Nilai total menunjukkan bagaimana suatu industri bereaksi
terhadap faktor-faktor strategis internalnya. Tabel 5 menunjukkan bentuk
matriks EFE sebagaimana telah dijelaskan pada tahap penetapan faktor
strategis eksternal no 1 hingga no 5.
17
Tabel 5 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Eksternal
Bobot Rating Skor
Faktor-Faktor Strategis Eksternal
(a) (b) (c = a x b)
I. Peluang
1.
2.
Jumlah (A)
II. Ancaman
1.
2.
Jumlah (B)
Total (A+B)
Berdasarkan matriks EFE, total nilai skor untuk faktor eksternal menunjukkan
semakin nilai mendekati 1, maka semakin banyak ancamannya dibandingkan
peluangnya. Sedangkan apabila total nilai skor mendekati 4, artinya semakin
banyak peluang dibandingkan ancamannya.
B. Evaluasi Faktor Internal (IFE)
Analisis faktor stratetgis internal perlu dilakukan setelah mengetahui faktor
strategis eksternal yang dimiliki suatu perusahaan/organisasi Matriks IFE
digunakan untuk mengetahui kekuatan terbesar dan terkecil serta kelemahan
terbesar dan terkecil yang dimiliki oleh industri kitin dan kitosan. Terdapat
beberapa cara untuk menentukan faktor –faktor strategis internal (Rangkuti 2013):
1. Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan
pada kolom 1
2. Pada kolom 2, berikan bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala
mulai dari 1 (paling penting) sampai O (tidak penting), berdasarkan pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi industri. Semua bobot yang
telah dijumlahkan tidak boleh melebihi skor total (1,00). Penentuan bobot
dilakukan sama dengan penentuan bobot pada matriks EFE.
3. Pada kolom 3, hitung rating untuk setiap faktor dengan pemberian skala
mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh
faktor-faktor tersebut terhadap kondisi industri yang bersangkutan. Variabel
yang bersifat positif (variabel kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai
dengan +4 (sangat baik). Sedangkan untuk variabel yang bersifat negatif,
kebalikannya.
4. Kalikan bobot (kolom 2) dengan rating (kolom 3) untuk memperoleh faktor
pembobotan. Hasilnya berupa skor pembobotan (kolom 4) untuk masing-
masing faktor yang nilainya mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0
(poor)
5. Jumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan. Nilai
total menunjukkan bagaimana suatu industri bereaksi terhadap faktor-faktor
strategis internalnya. Tabel 6 menunjukkan bentuk matriks IFE sebagaimana
telah dijelaskan pada tahap enetapan faktor strategis internak No. 1 hingga
No. 5.
Berdasarkan matriks IFE, total nilai skor untuk faktor internal menunjukkan
bahwa smakin dekat nilai mendekati 1, maka semakin banyak kelemahan internal
18
dibandingkan kekuatannya. Kebalikannya, apabila smakin nilai mendekati 4,
maka semakin banyak kekuatan dibandingkan kelemahannya.
19
Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki dengan
cara menghindari ancaman.
c. Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada,
dengan cara mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki.
d. Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan ditujukan
untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
3. Penentuan Prioritas
Untuk setiap level hierarki, perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparison) untuk menentukan prioritas. Sepasang elemen
dibandingkan berdasarkan kriteria tertentu dan menimbang intensitas
preferensi antarelemen. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah
untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Setiap level
hierarki baik kuantitatif atau kualitatif dapat dibandingkan sesuai dengan
judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.
Bobot dan prioritas dapat dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui
penyelesaian persamaan matematik.
20
4. Konsistensi Logis
Penilaian yang memiliki konsistensi tinggi sangat diperlukan untuk
pengambilan keputusan agar hasil keputusannya akurat. Konsistensi sampai
batas tertentu dalam menetapkan prioritas sangat diperlukan untuk
memperoleh hasil-hasil yang sahih dalam dunia nyata. AHP mengukur
konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio
konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang, jika tidak
memenuhi maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar, baik dari segi
jenis maupun volume produksinya. Produksi perikanan indonesia meningkat
sebesar 13,64% pada tahun 2012 atau mencapai 15,5 juta ton dibandingkan pada
tahun sebelumnya. Peningkatan produksi perikanan ini diikuti oleh peningkatan
jumlah ekspor sebesar 6% pada tahun 2012. Salah satu produksi perikanan yang
menjadi komoditas penting adalah udang. Berdasarkan data statistik yang dimiliki
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, udang dikategorikan sebagai produk
perikanan dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 1,51% dari tahun 2008 –
2012, dimana produksi udang pada tahun 2012 meningkat 2,65% mencapai
678.549 ton. Udang juga turut memberikan kontribusi ekspor terbesar bagi
Indonesia. Jumlah ekspor udang pada tahun 2012 mencapai 162.068 ton dengan
nilai ekspor sebesar US$ 1.304 juta. Disamping itu, udang memberikan kontribusi
yang signifikan dalam peningkatan ekonomi nasional yaitu 33,85% dari
keseluruhan komoditi produksi perikanan.
Pada umumnya, udang diproses terlebih dahulu sebelum diekspor. Painte
(2008) menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasar, bentuk penyajian
udang yang akan diekspor disajikan dalam beberapa bentuk yang lebih spesifik
yaitu whole (utuh), headless (tanpa kepala), peeled (dikupas kulitnya), deveined
(dibuang ususnya), raw (segar), frozen (beku), dan canned (dikalengkan). Adanya
peningkatan permintaan di pasar internasional akan diikuti dengan peningkatan
jumlah limbah udang seperti cangkang dan ekornya. Penelitian yang telah
dilakukan Chasanah (1994) menyimpulkan bahwa rata-rata sebesar 40% dari satu
ekor udang adalah bagian yang dapat dimakan, dimana bagian lainnya seperti
kepala udang, cangkang udang dan ekor udang berakhir menjadi limbah yang
tidak memiliki nilai ekonomi. Cangkang dan kepala udang tidak akan
memberikan nilai ekonomi apabila dibuang begitu saja dan hanya akan
menimbulkan permasalahan lingkungan. Limbah cangkang udang bersifat mudah
membusuk dan bersifat bulky atau menyita ruangan, sehingga dalam
penanganannya diperlukan tempat yang cukup luas dan tertutup agar tidak
mencemari lingkungan (Prasetyo 2003).
Ekspor dan impor tidak hanya dilakukan untuk komoditi udang, namun juga
untuk komoditi cangkang udang. Berdasarkan data yang didapatkan dari Statistik
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012, cangkang udang terdaftar melalui kode
HS 0508002000 dengan deskripsi produk cangkang moluska, crustacean. Data
jumlah ekspor dan impor cangkang udang dapat ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8 menunjukkan bahwa ekspor cangkang udang mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dengan peningkatan rata-rata sebesar 90,24% dari
tahun 2009 hingga tahun 2013. Total impor cenderung mengalami penurunan
rata-rata sebesar 73,45%. Data peningkatan jumlah ekspor menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan produksi cangkang udang di Indonesia yang disertai dengan
adanya kecenderungan peningkatan pemanfaatan cangkang udang secara global.
Kondisi global ini tentunya perlu dijadikan peluang untuk memacu
pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia. Di sisi lain,
22
Tabel 8 Total dan Volume Ekspor dan Impor Cangkang Udang
Peningkatan
Tahun rata-rata
Data (%)
2009 2010 2011 2012 2013 2009-2013
Total 573334 1125414 1449031 1917913 1090739 90,24
Ekspor (Kg)
Nilai (US$) 324785 899762 893123 918266 585306 80,21
Total Impor 184375 167865 37249 157494 48946 -73,45
(Kg)
Nilai (US$) 128766 201453 176346 494497 93958 -27.03
Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan 2012
penurunan impor kitin dan kitosan di Indonesia perlu di analisis lebih lanjut dan
ditelusuri sebabnya. Penurunan impor dapat dikatakan positif jika ternyata suplai
bahan baku untuk industri kitin dan kitosan di Indonesia berlebih dan stabil
dengan mengandalkan pasokan dari dalam negeri. Namun dapat menjadi negatif
jika faktor penurunan impor ini dikarenakan menurunnya produksi kitin dan
kitosan di dalam negeri atau berkurangnya industri kitin dan kitosan di dalam
negeri.
Pemilihan limbah cangkang udang sebagai sumber bahan baku utama kitin
dan kitosan didasari oleh adanya tambak udang yang menjamin suplai bahan baku
kitin kitosan yang berkelanjutan dan dapat diandalkan (Roberts, 2008 di dalam
Hayes 2012). Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memetakan
pengembangan produk berbasis udang yang dibagi berdasarkan bagian kepala
udang, badan udang dan kulit udang. Peta pengembangan produk berbasis udang
dapat dilihat pada Gambar 6.
23
Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia
Kitin dan kitosan adalah bagian dari pohon industri udang, dimana kitin
dan kitosan adalah produk turunan dari bahan baku cangkang dan kepala udang.
Pohon industri udang dapat dilihat pada Gambar 7.
Peeled devined
Tail on
Udang Kaleng
Head less
Udang Beku
Daging Head On
Kerupuk Udang
Pigmen
Astaxantin
Udang
Segar
Penguat rasa Fotografi
Kitin Pembuatan
Cangkang kertas
Kitosan Farmasi
Kosmetik
Kepala Kitin
Pengolahan air
Kitosan
Bahan Pengawet
Terasi
24
Indonesia No 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yaitu industri
kitin dan kitosan adalah bagian dari agroindustri khususnya industri produk
perikanan dan kelautan yang terklaster sebagai industri prioritas untuk
pengembangan industri di Indonesia tahun 2015. Tujuan jangka panjang terkait
dengan pengembangan industri kitin dan kitosan adalah pengembangan industri
bioteknologi yang berbasis produk hasil laut, seperti kosmetika dan farmasi.
Sementara itu, pada tujuan jangka menengah diharapkan agar industri hasil laut
dan perikanan akan fokus untuk meningkatkan pemanfaatan limbah produk hasil
laut dan perikanan menjadi produk yang memiliki nilai seperti kitin, kitosan dan
gelatin.
Dukungan pemerintah atas pengembangan industri kitin dan kitosan ini
juga muncul dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, bahwa industri kitin dan
kitosan terintegrasi dengan industrialisasi udang yang juga menjadi bagian dari
Implementasi Blue Economy. Konsep Blue economy adalah alternatif konsep
ekonomi yang diaplikasikan pada sektor perikanan dan kelautan berdasarkan lima
prinsip utama, yaitu: (1) efisiensi sumber daya alam (2) zero waste (3) melibatkan
aspek sosial (4) sistem produksi yang terus berputar dan (5) inovasi dan adaptasi.
Oleh karena itu, industri kitin dan kitosan difokuskan pada pemanfaatkan produk
samping khususnya dari industri pengolahan udang. Di samping kitin dan kitosan,
industri kitin dan kitosan di Indonesia juga menghasilkan beberapa produk
turunannya. Beberapa produk turunan dari kitin dan kitosan yaitu:
a. Anti jamur alami bagi tumbuhan
Dengan menggunakan bahan aktif kitosan, produk ini berfungsi sebagai
aktivator (meningkatkan aktivitas sel-sel tumbuhan dan proses fotosintesis),
regulator (memacu sistem imun dan ketahanan pada tumbuhan), dan
stimulator (menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan nutrisi
alami dari tanah). Penggunaan bahan ini dapat menurunkan penggunaan
pestisida maupun bahan kimia lain yang akan mencemari lingkungan. Produk
turunan yang memiliki nama dagang Chi-farm, dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber: www.biotech.co.id
25
dapat menghambat proses oksidasi untuk mempertahankan warna dan
membantu meningkatkan ketahanan pada makanan. Terdapat dua merk
dagang untuk produk ini yaitu Chito-fresto dan Chito-F Deli. Salah satu
contoh produk tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
Sumber: www.biotech.co.id
Gambar 9 Produk Bahan Tambahan Makanan dari Kitin dan Kitosan
c. Produk kecantikan
Beberapa produk kecantikan yang telah dibuat dari kitin dan kitosan adalah
sabun, pembersih muka, lotion, pelembab bibir, sampo, dan penyegar
ruangan. Produk-produk tersebut telah diekspor ke beberapa negara tujuan
seperti Uni Emirat Arab, Jerman, dan Malaysia. Di Indonesia, telah
dipasarkan melalui perusahaan retail yang telah bekerja sama dengan Institut
Pertanian Bogor yang tersebar di beberapa pusat perbelanjaan di kota-kota
besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung. Contoh produk kecantikan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
26
dagang AntiTex-66-8, dapat diaplikasikan pada pakaian (pakaian bayi,
seragam militer, kaos kaki, pakaian dalam, kaos dan lainnya) dan bahan
tekstil lainnya (gorden, seprai, selimut, pelapis dinding dan matras).
Faktor Kekuatan
Dilihat dari segi akademisi, pelaku industri dan instansi pemerintahan,
terdapat 6 faktor kekuatan yang dapat digunakan dalam pengembangan industri
kitin dan kitosan. Faktor kekuatan tersebut diantaranya adalah:
a. Kemampuan Industri mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang sangat pesat dan hal
ini merupakan salah satu kekuatan industri kitin dan kitosan. Banyaknya
informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan dan disebarkan melalui
berbagai jurnal ilmiah terakreditasi menjadi sarana bagi transfer teknologi
untuk mendukung proses produksi kitin dan kitosan. Kemajuan IPTEK dapat
mendukung efisiensi industri kitin dan kitosan dalam hal penggunaan bahan
baku dan material lainnya, meningkatkan kualitas produk dan melakukan
pengembangan produk.
b. Penerapan quality control
Industri kitin dan kitosan di Indonesia menghasilkan produk kitin dan kitosan
yang berkualitas. Jaminan kualitas ini ditandai dengan diberlakukannya
Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk kitin dan kitosan. Ekspor
kitin dan kitosan juga menunjukkan bahwa kualitas kitin dan kitosan sudah
memenuhi kriteria global dan dapat bersaing dengan produsen dari negara
lain.
c. Relasi yang baik dengan pemasok bahan baku
Industri kitin dan kitosan mampu membina hubungan yang baik dengan
pemasok bahan baku. Hal ini dapat diketahui dari jaminan ketersediaan bahan
baku dan berdasaarkan wawancara pada salah satu industri, disampaikan
bahwa bahan baku yang mereka dapatkan melimpah dari pengepul khusus di
wilayah industri tersebut berdiri. Kitin dan kitosan merupakan jenis
biopolimer yang berasal dari cangkang Crustaceae seperti udang, kepiting
dan rajungan. Industri pengolahan udang dan kepiting terus meningkat dari
tahun ke tahun. Indonesia memiliki sekitar 170 unit industri pengolahan
27
udang dengan kapasitas produksi mencapai 500 ribu ton per tahun (Indrasti
2012). Banyaknya jumlah unit pengolahan udang maka limbah cangkang
udang yang ditimbulkan akan semakin tinggi. Namun yang perlu diperhatikan
adalah ketersediaan bahan baku ini sifatnya sporadis di seluruh Indonesia
dengan jumlah yang tidak menentu. Di sisi lain, bukti melimpahnya cangkang
udang di Indonesia dapat dilihat dari adanya jumlah ekspor cangkang udang
yang meningkat dari tahun ke tahun.
d. Penerapan Standar Nasional Indonesia untuk produk kitin dan kitosan
Industri kitin dan kitosan PT X turut dilibatkan dalam penyusunan SNI dan
saat ini sudah menerapkan SNI tersebut dalam produksi kitin dan kitosan.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah
menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7948: 2013: Kitin – syarat
mutu dan pengolahan serta SNI 7949:2013: Kitosan – syarat mutu dan
pengolahan. SNI tersebut diberlakukan dalam rangka untuk meningkatkan
merupakan jaminan mutu kitin dan kitosan.
Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan merupakan faktor strategis yang perlu diatasi dalam hal
pengembangan industri kitin dan kitosan. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat
8 faktor kelemahan yang terkait dengan pengembangan industri kitin dan kitosan:
a. Keterbatasan modal untuk Industri Kecil Menengah (IKM) Kitin
Proses pembuatan kitin merupakan proses yang cukup sederhana
dibandingkan dengan proses pembuatan kitosan. Oleh karena itu, industri
kecil menengah yang berada di daerah produsen udang maupun produk
olahan udang perlu didorong untuk dapat memanfaatkan limbah cangkang
udang menjadi kitin. Namun kendala yang terjadi adalah keterbatasan modal
bagi IKM yang menjalankan usaha tersebut. Minimnya kualitas SDM untuk
IKM, menjadi salah satu faktor penghambat IKM untuk mengajukan
pinjaman modal pada bank atau instansi keuangan lain.
b. Lemahnya kerjasama antar Instansi Pemerintahan, pelaku industri dan
Perguruan Tinggi
Pengembangan industri kitin dan kitosan memerlukan interaksi dan
kolaborasi dari berbagai stakeholder yaitu Instansi Pemerintahan, pelaku
industri dan Perguruan Tinggi. Industri dalam hal ini berfungsi sebagai
penggerak (driving force), sementara itu perguruan tinggi berfungsi untuk
melakukan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan pada industri baru
maupun industri eksisting. Pemerintah memiliki peran sebagai pendorong dan
penyedia modal bagi industri baru berbasis teknologi baru. Namun pada
kenyataannya, kerjasama antar stakeholder masih belum terjalin secara
dinamis. Sebagai contoh, instansi pemerintah, industri dan perguruan tinggi
memiliki badan penelitian dan pengembangan yang berjalan masing-masing
dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda.
c. Ketidakmampuan industri untuk mengefisiensikan biaya produksi
Tingginya biaya produksi merupakan salah satu aspek yang menjadi
perhatian pengembangan industri kitin dan kitosan. Salah satu komponen
biaya produksi yang menjadi fokus adalah biaya bahan baku. Terpenuhinya
kebutuhan bahan baku berupa cangkang udang sangat dipengaruhi oleh
tingginya produksi udang tambak atau udang tangkap dan kondisi
28
lingkungan. Karena hal itulah, maka harga yang ditentukan untuk bahan baku
menjadi fluktuatif tergantung pada kondisi ketersediaan cangkang udang di
pasaran.
d. Belum ada kerjasama untuk membentuk asosiasi industri kitin dan kitosan
Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahwa industri kitin dan kitosan
yang ada saat ini belum memiliki tujuan membentuk asosiasi industri.
Asosiasi memiliki peranan penting dalam meningkatkan iklim usaha yang
kondusif dan kompetitif baik dalam negeri ataupun secara global. Disamping
itu, asosiasi juga dapat berperan sebagai wadah untuk menyalurkan
aspirasi/kepentingan pelaku industri kepada penentu kebijakan atau pihak lain
juga dalam hal penyeimbang harga jual dan harga beli produk atau bahan
baku di pasaran. Dengan adanya asosiasi industri kitin dan kitosan,
diharapkan industri kitin dan kitosan dapat berkembang dengan pesat dan
dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
e. Lemahnya promosi produk kitin kitosan
Kitin dan kitosan merupakan produk antara atau intermediate product yang
tergolong baru dan belum banyak dikenal di pasar khususnya Indonesia.
Berbagai penelitian mengenai kegunaan dan manfaat kitin dan kitosan telah
dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, namun komersialisasi kitin
dan kitosan masih terbatas hanya di kalangan peneliti pada universitas atau
lembaga penelitian dan pengembangan. Industri kitin dan kitosan PT X juga
memiliki kelemahan tidak memiliki divisi pemasaran khusus. Minimnya
promosi produk kitin dan kitosan menyebabkan tingkat pembelian yang
stagnant karena jumlah konsumen yang tidak bertambah.
f. Ketidakmampuan untuk bersaing dengan industri pakan ternak
Limbah udang berupa cangkang dan kepala juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan baku pakan ternak. Penggunaan cangkang udang sebagai bahan baku
tambahan untuk pakan ternak lebih mudah diterapkan karena tidak
membutuhkan teknologi ataupun peralatan khusus dan hanya melalui proses
pengeringan dan pencacahan. Disamping itu, tingginya kebutuhan pakan
ternak di suatu daerah tertentu menjadi penyebab sulitnya akses terhadap
bahan baku limbah udang.
g. Belum mampu melakukan perluasan industri kitin dan kitosan di remote area
Industri kitin dan kitosan di Indonesia tersentralisasi di Pulau Jawa, walaupun
di sisi lain potensi bahan baku (limbah cangkang udang) tersebar secara
sporadis dalam jumlah besar di seluruh pulau di Indonesia khususnya di
remote area atau area terpencil yang belum memiliki fasilitas atau
infrastruktur yang memadai. Pemanfaatan limbah cangkang udang yang
tersebar di remote area sebagai bahan baku industri kitin dan kitosan yang
eksisting di Pulau Jawa tidak efektif dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Namun menanggapi kondisi tersebut, industri kitin dan kitosan PT X belum
memiliki arah untuk melakukan perluasan industri khusus kitin di remote
area untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan limbah cangkang udang dan
meminimumkan biaya pengiriman bahan baku.
h. Keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) ahli bidang kitin dan
kitosan
Pengembangan industri kitin dan kitosan khususnya industri kitin di kawasan
remote area harus diawali dengan persiapan SDM yang kompeten untuk
29
mendidik tenaga terampil di daerah tersebut. Peran SDM berkompeten ini
adalah untuk melatih pekerja khususnya di industri pengolahan udang yang
tersebar di seluruh Indonesia untuk memberikan nilai tambah atas cangkang
udang yang dihasilkan menjadi produk lain khususnya kitin yang memiki
nilai ekonomi tinggi. Tersebarnya potensi bahan baku industri kitin dan
kitosan, disertai dengan dibutuhkannya banyak SDM yang berkompeten
untuk melatih para pelaku industri pengolahan udang maupun unit-unit
pengolahan udang di seluruh Indonesia untuk memproduksi kitin dan/atau
kitosan, yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan pertumbuhan
industri kitin.
Faktor Peluang
Faktor peluang merupakan faktor eksternal yang mendukung perkembangan
industri kitin dan kitosan. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 5 faktor peluang
yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri kitin kitosan, yaitu:
a. Potensi pasar ekspor
Terdapat permintaan pasar global yang signifikan dan terus meningkat
terhadap kitin dan kitosan untuk berbagai aplikasi seperti industri pangan,
bioteknologi, farmasi, kedokteran serta lingkungan. Jepang adalah pasar
terbesar untuk kitosan khususnya untuk aplikasi pada pengolahan air.
Sementara itu, Amerika Serikat adalah pasar terbesar kedua untuk kitin
dengan aplikasi penggunaan terbesar pada penjernih air, sedangkan
penggunaan terbesar kitosan adalah untuk kosmetik dan toiletries seperti
sabun, shampo dan pasta gigi. Potensi konsumsi kitosan dunia (Chitin &
Chitosan, April 2008 dalam Hayes 2012) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Konsumsi Kitosan Dunia Berdasarkan Aplikasi (t), 2010, 2015
Aplikasi 2010 2015 Proyeksi CAGR
(Proyeksi) (%)
Pengolahan Air 6,670 11,436 11.55
Kosmetik dan toiletries 2,031 3,776 13.39
Makanan dan minuman 1,641 3,154 14.12
Kesehatan dan Medis 1,474 3,063 15.93
Bahan Kimia Pertanian 1,181 2,604 17.36
Bioteknologi 508 925 12.81
Pulp dan Kertas 252 456 12.77
Tekstil 172 336 14.48
Fotografi 116 222 14.04
Lain-lain 225 407 12.75
Secara global, produksi kitin dan kitosan di Eropa didestinasikan untuk pasar
Amerika. Sementara itu permintaan di Eropa diproyeksikan semakin
meningkat sejak Jerman diekspektasikan sebagai pasar terbesar karena
adanya tekanan dari kelompok lingkungan untuk menggunakan produk yang
alami/biodegradable (Hayes, 2012). Hal tersebut tentunya patut dijadikan
sebagai peluang yang perlu dimanfaatkan bagi industri kitin dan kitosan di
Indonesia untuk mencapai pasar ekspor dunia.
30
b. Trend industri ramah lingkungan
Kesadaran untuk melakukan upaya pelestarian lingkungan menjadi acuan
bagi pelaku bisnis untuk melakukan aktivitas bisnis yang berwawasan
lingkungan. Pembangunan industri yang berkelanjutan pun tidak hanya
mengacu pada faktor ekonomi dan sosial, namun juga mencakup faktor
lingkungan seperti menggunakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui,
melakukan efisiensi energi dan bertanggung jawab atas limbah yang
dihasilkan. Adanya insentif seperti pengurangan pajak bagi industri pioner
yang menggunakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, penghargaan
seperti PROPER dan sertifikasi manajemen lingkungan turut mempengaruhi
pertumbuhan dan peningkatan daya saing setiap industri. Adanya trend
industri ramah lingkungan ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan industri kitin dan kitosan khususnya di Indonesia.
c. Peran Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di remote area sebagai
pembentuk tenaga terampil IKM kitin
Arah pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia adalah fokus pada
pengembangan industri kitin khususnya di daerah tertentu yang memiliki
banyak industri pengolahan udang. Hal ini didasari oleh persebaran bahan
baku berupa cangkang udang dipengaruhi oleh keberadaan industri
pengolahan udang itu sendiri. Kondisi yang ada saat ini adalah banyaknya
jumlah cangkang udang yang tidak termanfaatkan seperti di Kalimantan
Utara. Namun tingginya biaya transportasi dan infrastruktur yang tidak
memadai menjadikan cangkang udang tersebut tidak layak secara ekonomi
untuk dijadikan bahan baku di industri kitin dan kitosan yang ada di Pulau
Jawa.
d. Banyaknya riset terkait dengan pengembangan kitin dan kitosan
Kitin dan kitosan merupakan hal yang bukan baru dalam dunia penelitian di
kalangan akademisi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti
tentang pemanfaatan cangkang udang sebagai kitin dan kitosan ataupun
mengenai potensi pemanfaatan kitin dan kitosan untuk berbagai produk
turunannya (kito-oligosakarida, nanochitosan dsb) atau produk aplikasinya
(aplikasi di bidang kesehatan, kecantikan, makanan, industri, serta
pengendalian pencemaran). Banyaknya riset tersebut merupakan peluang bagi
suatu industri eksisting atau industri baru untuk melakukan pengembangan
produk kitin dan kitosannya menjadi lebih berkualitas, variatif dan memiliki
daya saing.
e. Implementasi blue economy oleh pemerintah dengan mengintegrasikan
industri kitin kitosan dalam industrialisasi udang
Konsep blue economy merupakan aspek penting dalam pembangunan
perikanan dan kelautan. Blue economy merupakan evolusi dari pembangunan
berkelanjutan yang mengedepankan peningkatan ekonomi melalui prinsip
efisiensi bahan baku, sistem produksi nol limbah, kepedulian sosial serta
inovasi dan kreatifitas. Pengembangan industri kitin dan kitosan turut
mendukung industri kelautan dan perikanan khususnya industri pengolahan
udang untuk menerapkan sistem produksi nol limbah, dimana limbah
cangkang udang dimanfaatkan kembali untuk produk yang memiliki nilai
tambah.
31
Faktor Hambatan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa responden, dapat
diketahui 5 faktor ancaman pada saat ini atau di waktu yang akan datang, yang
perlu diantisipasi oleh industri kitin dan kitosan eksisting maupun industri baru,
yaitu:
a. Hambatan kelembagaan
Salah satu industri kitosan dan produk turunannya yaitu pupuk organik dan
pengawet makanan, menghadapi kendala dalam hal penerbitan izin produk
dari pemangku kepentingan terkait. Rumitnya syarat perizinan, lamanya
proses perizinan, lemahnya kompetensi dan terbatasnya jumlah sumber daya
manusia menjadi hambatan kelembagaan yang perlu diantisipasi dan
dicarikan solusi terbaik demi terciptanya pengembangan industri kitin dan
kitosan di Indonesia. Disamping itu kurangnya koordinasi antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam hal peningkatan investasi turut menjadi
hambatan.
b. Kompetisi dengan negara lain seperti China
Saat ini China merupakan produsen kitin terbesar di dunia (Hayes 2012). Dari
segi harga, kitin dan kitosan dari Indonesia jauh di bawah harga produk dari
China. Pemerintahan China memiliki kebijakan pemberian subsidi sebesar
15% bagi industri yang melakukan ekspor, sehingga industri dapat menjual
produknya dengan harga murah. Menanggapi hal tersebut, industri kitin dan
kitosan di Indonesia perlu mengantisipasi kompetisi tersebut dengan
meningkatkan daya saing melalui peningkatan kualitas produk.
c. Hambatan perdagangan internasional untuk ekspor kitin dan kitosan
Dalam hal pengembangan industri kitin dan kitosan yang berorientasi ekspor,
yang perlu diantisipasi di masa yang akan datang adalah kebijakan
perdagangan internasional dalam bentuk non-tariff measures (NTM) yang
bertujuan untuk memproteksi produsen domestik dalam menghadapi
persaingan impor dengan produk asing. Kebijakan yang ditetapkan negara
tujuan mengharuskan negara pengekspor untuk memperhatikan dan
memenuhi standar, baik dalam hal pengolahan maupun mutunya. Hal yang
seringkali menjadi alasan penolakan diterimanya produk ekspor adalah
adanya kandungan zat kimia berbahaya. Sebagai contoh pada tahun
2002/2003, terdapat penurunan suplai kitin di China akibat penolakan impor
seafood dari China di Eropa. Tentunya hal tersebut berpengaruh pada
penjualan udang olahan dan juga produksi maupun harga kitin.
d. Terbatasnya konsumen lokal
Kitin dan kitosan merupakan jenis produk antara (intermediate product) yang
membutuhkan proses lebih lanjut untuk mendapatkan fungsinya dan dapat
diaplikasikan pada dunia industri, biomedis dan pertanian. Hingga saat ini
penggunaan kitin dan kitosan di Indonesia belum mendapatkan perhatian
lebih khususnya di dunia industri pengguna kitin dan kitosan. Hal ini berbeda
dengan negara-negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman dan
Kanada yang menjadi pasar dunia untuk kitin dan kitosan (Hayes 2012). Saat
ini, pasar ekspor untuk kitin dan kitosan lebih dominan dibandingkan pasar
lokal karena hanya beberapa negara maju seperti Jepang, Korea, Eropa dan
Amerika yang memiliki teknologi untuk mengembangkan kitin dan kitosan
menjadi produk turunan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Di dalam
32
negeri, kitin dan kitosan membutuhkan pasar khusus yaitu industri yang
menggunakan kitin dan kitosan sebagai bahan baku atau bahan penolongnya
serta untuk kebutuhan riset di laboratorium riset perguruan tinggi maupun
lembaga riset pemerintahan. Terbatasnya konsumen lokal ini dikarenakan
minimnya promosi yang dilakukan baik kepada masyarakat maupun industri
pengguna langsung. Di samping itu, harga kitin dan kitosan yang tergolong
tinggi untuk bahan baku suatu industri menyebabkan industri pengguna lebih
memilih menggunakan bahan kimia yang memiliki karakteristik serupa
dengan kitin atau kitosan namun dengan harga yang lebih murah.
e. Impor kitin dan kitosan
Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada
Desember 2015 dimana lalu lintas perdagangan bebas di kawasan Asia
Tenggara menjadi tanpa kendala. MEA diberlakukan dalam rangka
peningkatan daya saing ekonomi kawasan yang menjadikan ASEAN sebagai
basis produksi dunia. Terdapat 7 sektor yang barang industri yang dijadikan
prioritas dalam perdagangan bebas, yaitu produk berbasis pertanian,
elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif dan produk
berbasis kayu (Wangke 2014). Menimbang sektor perikanan turut menjadi
prioritas, maka bukan tidak mungkin laju impor kitin dan kitosan akan
semakin deras dan berakibat melemahnya produksi kitin dan kitosan dalam
negeri. Derasnya laju impor perlu diantisipasi dengan pemberlakuan
screening dalam bentuk syarat dan ketentuan bagi produk maupun
pendukungnya.
33
Tabel 11 Faktor Strategis Internal Industri Kitin dan Kitosan
Di samping itu adanya keterbatasan modal untuk IKM kitin (skor 0,085),
dan lemahnya pemasaran produk kitin dan kitosan baik pada masyarakat atau
industri pengguna (skor 0,085). Belum adanya industri kitin khususnya di remote
area yang memiliki potensi bahan baku melimpah (skor 0,068) dan tidak adanya
asosiasi industri kitin dan kitosan (skor 0,067) turut menjadi kelemahan yang
perlu diatasi melalui strategi pengembangan industri kitin dan kitosan.
34
Tabel 12 Faktor Strategis Internal Industri Kitin dan Kitosan
No Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor
(A) (B) (AxB)
PELUANG
1 Potensi pasar ekspor 0,129 3,500 0,452
2 Trend penggunaan produk ramah lingkungan 0,097 3,167 0,308
3 Peran SMK di remote area sebagai pembentuk 0,081 2,667 0,215
tenaga terampil IKM kitin
4 Banyaknya riset mahasiswa yang terkait dengan 0,070 2,667 0,187
pengembangan kitin kitosan
5 Implementasi konsep blue economy dengan 0,085 2,333 0,198
mengintegrasikan industri kitin kitosan dalam
industrialisasi udang
ANCAMAN
6 Hambatan kelembagaan (perijinan, birokrasi) 0,091 2,667 0,242
7 Kompetisi dengan negara lain seperti China 0,149 1,833 0,273
8 Hambatan perdagangan internasional untuk ekspor 0,098 2,333 0,228
kitin dan kitosan
9 Terbatasnya konsumen lokal 0,115 1,667 0,192
10 Impor Kitin dan Kitosan 0,086 2,333 0,201
Total 1 2,495
Analisis Matriks IE
Berdasarkan hasil analisis matriks IFE dan EFE didapatkan nilai total skor
terbobot faktor strategis internal sebesar 2,576 dan nilai total skor faktor strategis
eksternal sebesar 2,495. Nilai tersebut kemudian dipetakan pada matriks IE
(Gambar 11) untuk selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui posisi
industri dalam pemilihan alternatif strategi.
Total nilai faktor internal pada industri kitin dan kitosan sebesar 2,576
menunjukkan bahwa industri kitin dan kitosan memiliki faktor internal pada
kondisi rata-rata dan total nilai eksternal sebesar 2,495 menunjukkan bahwa
respon yang diberikan industri kitin dan kitosan tergolong sedang. Jika dipetakan
pada matriks IE sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11, maka nilai tersebut
berada pada kuadran atau sel kelima atau menunjukkan strategi yang sesuai bagi
35
Gambar 11 Hasil Analisis Matriks IE
industri kitin dan kitosan adalah strategi pertumbuhan (growth) dengan
konsentrasi melalui integrasi horizontal dan strategi stabilitas (stability). Strategi
pertumbuhan melalui konsentrasi horizontal merupakan suatu usaha untuk
memperluas industri dengan cara membangun industri di lokasi lain dan
meningkatkan jenis produk serta jasa. (Rangkuti 2014).
Mengacu pada Rangkuti (2014), strategi yang dapat diterapkan pada
industri kitin dan kitosan yang ada saat ini difokuskan pada konsolidasi, yaitu
bertujuan untuk menghindari kehilangan penjualan dan kehilangan profit. Hal-hal
yang perlu dilakukan oleh industri pada posisi strategi tersebut adalah memperluas
pasar, meningkatkan fasilitas produksi dan teknologi melalui pengembangan
internal dan eksternal melalui akuisisi atau joint ventures dengan industri lain
yang juga bergerak dalam proses yang sama. Industri kitin dan kitosan merupakan
industri yang tergolong baru di Indonesia dengan jumlah yang masih terbatas,
sehingga kerjasama antar perusahaan yang bergerak di bidang industri kitin dan
kitosan diperlukan untuk mencapai target pasar yang tidak dapat dicapai secara
individual.
36
Remote area dalam pembahasan ini merujuk pada daerah di kawasan
pesisir atau pantai yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
sebagai nelayan dan wilayah tersebut memiliki produksi perikanan
khususnya udang yang tinggi. Tersebarnya SMK-SMK di beberapa daerah
pesisir khususnya yang memiliki fokus pada kelautan dan perikanan
tentunya dapat menjadi sarana untuk pengembangan kurikulum tentang
teknologi pembuatan kitin dan kitosan. Strategi ini dilakukan untuk
membentuk sumber daya manusia yang terlatih dan dapat menerapkan
ilmu yang didapatkan khususnya mengenai bagaimana memanfaatkan
limbah cangkang udang yang ada di daerah tersebut menjadi kitin dan
kitosan.
b. Pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional
Hingga saat ini pemanfaatan kitin dan kitosan sebagai bahan baku pada
aplikasi di dunia medis, industri maupun pertanian banyak dilakukan di
berbagai negara maju mengingat teknologi yang digunakan tergolong
teknologi tinggi. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat satu industri yang
khusus memproduksi kitin dan kitosan untuk diekspor ke Korea untuk
kemudian diproses kembali menjadi berbagai produk salah satunya untuk
pengolahan air limbah. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh pemangku
kepentingan khususnya pemerintah untuk membuka akses penjualan ke
pasar internasional mengingat pasar dalam negeri belum menaruh
perhatian lebih pada penggunaan kitin dan kitosan. Diharapkan permintaan
impor kitin dan kitosan dari Indonesia dapat membantu meningkatkan
pertumbuhan industri kitin dan kitosan, yang secara tidak langsung dapat
menimbulkan dampak positif bagi pengembangan industri kitin dan
kitosan di Indonesia.
c. Membangun kelembagaan kemitraan antar industri pengolahan udang
sebagai penyuplai bahan baku industri kitin dan kitosan
Indonesia memiliki banyak industri pengolahan udang yang tersebar di
seluruh pulau, sehingga menjamin ketersediaan limbah cangkang udang
sebagai bahan baku industri kitin dan kitosan. Mengingat bahan baku
merupakan faktor penting bagi keberlangsungan industri, maka
keberlanjutan suplai bahan baku perlu dikontrol agar tidak terjadi gap
antara supply dan demand. Dengan membentuk kemitraan antar industri
pengolahan udang di setiap daerah, maka diharapkan akan ada jaminan
pasokan bahan baku dari limbah industri pengolahan udang baik dari segi
kualitas, kuantitas dan harga.
2. Strategi ST
Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang ada untuk
menghindari atau mengantisipasi ancaman, yaitu:
a. Implementasi kebijakan kemudahan investasi di tingkat pemerintah daerah
(Prov dan Kab/Kota)
Salah satu strategi pengembangan industri kitin dan kitosan adalah dengan
meningkatkan pertumbuhan industri tersebut melalui investasi baik dalam
negeri maupun asing. Namun pada kenyataannya, prosedur untuk investasi
tersebut harus melalui jalur birokrasi yang panjang dan rumit karena
adanya ketidakselarasan kebijakan antar pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu, kemudahan investasi perlu didukung tidak hanya oleh
37
kebijakan namun juga didukung oleh aparatur pemerintah yang kompeten
dalam menciptakan iklim usaha industri yang kondusif.
b. Menjaga kualitas produk kitin dan kitosan
Dalam menghadapi ancaman di era perdagangan bebas ini, tentunya
industri kitin dan kitosan perlu melakukan tindakan defensive agar produk
kitin dan kitosan dalam negeri tetap dapat bersaing dengan produk asing.
Oleh karena itu, tetap menjaga kualitas produk kitin dan kitosan dapat
menjadi pertahanan dalam menghadapi ancaman yang ada.
c. Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan
Hingga saat ini, pasar dalam negeri untuk kitin dan kitosan masih bersifat
stagnan. Penggunaan kitin dan kitosan pun masih terbatas pada
penggunaan untuk uji laboratorium di universitas atau di lembaga
pemerintahan. Diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan perlu
dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah produk dan juga untuk
menarik pasar dalam negeri karena masyarakat Indonesia cenderung
membeli produk yang dapat dirasakan secara langsung fungsi dan
kegunaannya tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.
d. Kebijakan pemerintah untuk pembatasan kuota impor kitin dan kitosan
Dibukanya keran perdagangan bebas atau Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) menjadi tantangan yang perlu dihadapi ke depannya oleh industri
kitin dan kitosan untuk dapat bersaing dengan industri internasional.
Untuk melindungi industri kitin dan kitosan dalam negeri, maka perlu
dibuat kebijakan untuk membatasi kuota impor kitin dan kitosan. Salah
satu cara untuk membatasi kuota impor adalah melalui Standar Nasional
Indonesia ataupun menetapkan bea masuk bagi impor kitin dan kitosan.
e. Pemanfaatan teknologi yang inovatif sebagai sarana promosi
Teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesat. Hal ini
perlu dimanfaatkan oleh industri dalam menjalin hubungan dengan
pembeli atau pelanggannya. Penggunaan web site yang informatif dapat
menarik perhatian dan mempengaruhi setiap calon pembeli yang ada di
dalam negeri maupun internasional.
3. Strategi WO
Strategi WO adalah strategi yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan
peluang yang ada dengan cara mengatasi kelemahan yang dimiliki, yaitu:
a. Pelaksanaan Training of Trainer (TOT)
Training of trainer adalah suatu konsep pelatihan kepada individu-
individu yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka sebagai pelatih
(trainer). Persebaran cangkang udang (produk samping industri
pengolahan udang) di seluruh daerah di Indonesia berpotensi untuk diolah
lebih lanjut menjadi kitin. Mengingat bahwa cangkang udang banyak yang
belum termanfaatkan dengan nilai tambah yang tinggi, maka TOT tersebut
perlu diterapkan untuk menciptakan SDM yang ke depannya mampu
menciptakan industri-industri kecil atau menengah untuk mengolah
cangkang udang menjadi kitin dan/atau kitosan.
b. Memaksimalkan peran pusat inkubator bisnis perguruan tinggi
Pusat inkubator bisnis merupakan suatu wadah untuk memfasilitasi
percepatan penumbuhan usaha baru yang juga dapat membentuk sumber
daya manusia yang kreatif, inovatif, produktif dan kooperatif sehingga
38
dapat menciptakan usaha atau industri baru yang kompetitif. Perguruan
tinggi berpotensi besar menghasilkan wirausaha baru melalui transfer
teknologi dan lembaga penelitian (Agustina 2011).
c. Mendirikan asosiasi industri kitin dan kitosan
Strategi mendirikan asosiasi bertujuan untuk menghimpun seluruh industri
kitin dan kitosan di Indonesia agar dapat bersama-sama menuju industri
yang kompetitif. Melalui asosiasi, pertukaran informasi menjadi lebih
mudah sehingga akses menuju pasar global menjadi lebih terbuka. Dengan
adanya asosiasi, berbagai kendala untuk kemajuan industri seperti
keterbatasan bahan baku, perlunya pembaharuan teknologi, peningkatan
kapasitas SDM, pengembangan pasar, hingga pengontrolan harga dapat
ditemukan solusi yang terbaik tentunya dengan melibatkan pelaku industri
juga stakeholder terkait.
4. Strategi WT
Strategi WT adalah strategi yang dilakukan dengan meminimalkan kelemahan
yang dimiliki serta menghindari ancaman yang ada, yaitu:
a. Business meeting antara pelaku usaha dengan potential buyer
Strategi untuk melaksanakan business meeting antara pelaku usaha dan
potential buyer dilakukan untuk membentuk konektivitas dan penjajakan
pasar antar pelaku usaha. Melalui strategi ini, industri pengolahan udang,
industri kitin dan kitosan serta potential buyer dari beberapa industri
pengguna dapat saling bertukar informasi dan pada akhirnya terbentuk
hubungan bisnis yang menguntungkan bagi seluruh pihak.
b. Bantuan pembiayaan atau kemudahan pembiayaan khususnya pada IKM
Kitin
Pemberdayaan industri kecil menengah di daerah untuk memulai usaha
atau produksi kitin tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Bantuan pembiayaan dapat berupa bantuan alat dan mesin, serta pinjaman
modal dari Pemerintah.
c. Perbaikan dan penyediaan infrastruktur industri di remote area
Pengembangan industri kitin atau kitosan di remote area membutuhkan
fasilitas infrastruktur yang memadai. Perbaikan atau penyediaan
infrastruktur di daerah seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan, jaringan
telekomunikasi dan transportasi, akan dapat memudahkan proses
pengiriman bahan baku ataupun distribusi produk kepada customer.
Disamping itu infrastruktur jaringan listrik juga perlu disiapkan oleh suatu
wilayah yang menjadi lokasi baru pengembangan industri, karena tanpa
pasokan listrik yang cukup industri tidak mungkin dapat beroperasi.
d. Meningkatkan promosi melalui pameran nasional atau internasional
Mengingat produk kitin dan kitosan belum banyak diketahui secara global,
maka strategi pemasaran merupakan strategi yang perlu dilakukan.
Dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang mengetahui apa dan
bagaimana manfaat dari kitin dan kitosan, maka akan semakin meningkat
permintaan produk dan diikuti oleh peningkatan pertumbuhan industri.
Oleh karena itu, industri perlu lebih aktif dan tanggap untuk memasarkan
produknya pada berbagai pameran bertaraf nasional maupun internasional
yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Perguruan Tinggi.
39
Tabel 13 Matriks SWOT Alternatif Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan
Faktor Internal (IFAS) Strengths (S) Weaknesses (W)
1. Kemampuan industri mengikuti perkembangan 1. Keterbatasan modal untuk IKM
IPTEK 2. Lemahnya kerjasama antara pemerintah, pelaku
2. Penerapan quality control yang baik industri dan perguruan tinggi
3. Relasi yang baik dengan pemasok bahan baku 3. Ketidak mampuan industri untuk mengefisiensikan
4. Penerapan Standar Nasional Indonesia untuk biaya produksi
produk kitin dan kitosan 4. Belum ada kerjasama untuk membentuk asosiasi
industri kitin dan kitosan
5. Lemahnya promosi produk kitin dan kitosan
6. Ketidakmampuan untuk bersaing dengan industri
pakan ternak
Faktor Eksternal (EFAS) 7. Belum mampu melakukan perluasan industri kitin
dan kitosan di remote area
8. Keterbatasan jumlah SDM ahli bidang kitin
Opportunities (O) Strategi SO Strategi WO
1. Potensi pasar ekspor 1. Pengembangan kurikulum tentang Teknologi 1. Pelaksanaan Training of Trainer (TOT)
2. Trend penggunaan produk ramah lingkungan Pembuatan Kitin dan Kitosan pada SMK-SMK di 2. Memaksimalkan peran Pusat Inkubator Bisnis
3. Peran SMK di remote area sebagai pembentuk tenaga Remote Area perguruan tinggi
terampil IKM kitin 2. Pembukaan akses dan pengembangan pasar 3. Mendirikan asosiasi industri kitin dan kitosan
4. Banyaknya riset mahasiswa yang terkait dengan internasional
pengembangan kitin kitosan 3. Membangun kelembagaan kemitraan rantai suplai
5. Implementasi konsep blue economy melalui integrasi
industri kitin kitosan dalam industrialisasi udang
Threats (T) Strategi ST Strategi WT
1. Hambatan kelembagaan (perijinan, birokrasi) 1. Implementasi kebijakan kemudahan investasi di 1. Business meeting antara pelaku usaha dengan
2. Kompetisi dengan negara lain seperti China tingkat pemerintah daerah (Prov dan Kab/Kota) potential buyer
3. Hambatan perdagangan internasional untuk ekspor kitin dan 2. Menjaga kualitas produk kitin dan kitosan 2. Bantuan pembiayaan atau kemudahan pembiayaan
kitosan 3. Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan khususnya pada IKM
4. Terbatasnya konsumen lokal kitosan 3. Perbaikan dan penyediaan infrsatruktur industri di
5. Impor Kitin dan Kitosan 4. Kebijakan Pemerintah untuk pembatasan kuota remote area
impor kitin dan kitosan 4. Meningkatkan promosi melalui pameran nasional
5. Pemanfaatan teknologi yang inovatif sebagai atau internasional
sarana promosi
40
Analisis Pemilihan Alternatif Strategi
41
produksi, manajemen inventarisasi, pasokan untuk proses produksi, program dan
kontrol serta by-product (Austin 1981).
Pengembangan industri kitin dan kitosan melibatkan beberapa aktor yaitu
pemerintah, akademisi dan sektor industri. Keterlibatan tiga aktor tersebut
mengacu pada konsep triple helix, yaitu suatu konsep di negara maju yang
berawal dari kebutuhan universitas untuk bekerja bersama dengan industri dalam
mempertajam pengetahuan yang semakin melimpah dan untuk mempertahankan
pengembangan yang berkelanjutan antara industri dan universitas. Peran
pemerintah dalam konsep ini adalah untuk mendukung sinergi antara universitas
dan industri melalui perannya sebagai pembuat keputusan dalam kaitannya
mengembangkan daerah lokal (Irawati, 2006).
Strategi pengembangan industri kitin dan kitosan difokuskan pada empat
tujuan utama yaitu memanfaatkan limbah secara optimal, meningkatkan
pertumbuhan industri, menuju industri yang kompetitif dan meningkatkan
pemasaran produk. Pemanfaatan limbah secara optimal dalam konteks ini adalah
pemanfaatan kembali produk samping proses pengolahan udang seperti cangkang,
ekor dan kepala udang yang jumlahnya melimpah namun tidak tersebar secara
merata atau bersifat sporadis. Produk samping tersebut akan memiliki nilai
tambah lebih tinggi jika diproses kembali sebagai bahan baku industri kitin dan
kitosan. Tingginya pertumbuhan industri kitin dan kitosan dipacu oleh adanya
sentralisasi industri kitin dan kitosan di Pulau Jawa. Persebaran pertumbuhan
industri di Pulau Jawa mencapai 69% dibanding keseluruhan pulau di Indonesia.
Adanya potensi persebaran limbah cangkang udang di beberapa provinsi dan
perlunya pertumbuhan industri kitin dan kitosan di luar Pulau Jawa menjadi
alasan untuk meningkatkan pertumbuhan industri kitin dan kitosan. Di samping
itu, industri kitin dan kitosan yang kompetitif diperlukan agar industri kitin dan
kitosan di Indonesia menjadi industri yang memiliki daya saing dan turut
berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian negara. Tujuan terakhir yang
ingin dicapai adalah meningkatkan pemasaran produk, baik pasar dalam negeri
maupun pasar internasional. Pemasaran yang baik menjadi acuan bagi industri
untuk terus meningkatkan kapasitas maupun kualitas produksinya agar mampu
memenuhi permintaan pasar lokal maupun pasar ekspor.
Setelah hirarki AHP terbentuk, penyebaran kuesioner disebarkan kepada
lima pakar terkait untuk memberikan penilaian bagi setiap komponen yang ada,
untuk kemudian diolah hasilnya menggunaan program aplikasi Expert choice
2000. Terdapat lima belas alternatif strategi pengembangan industri kitin dan
kitosan yang didapatkan berdasarkan analisis SWOT. Dengan menggunakan
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) akan didapatkan urutan prioritas
strategi tertinggi hingga terendah untuk masing-masing responden dan dapat
disimpulkan strategi dengan prioritas tertinggi berdasarkan hasil kombinasi 5
pakar. Gambar 13 menunjukkan tampilan hirarki pemilihan strategi
pengembangan industri kitin dan kitosan pada aplikasi Expert Choice 2000.
42
Gambar 13 Tampilan Hirarki AHP Strategi Pengembangan Industri Kitin dan
Kitosan (Expert Choice 2000)
43
menjadi kriteria terpenting karena produk kitin dan kitosan belum memiliki pasar
dalam negeri yang cukup baik. Kitin dan kitosan yang diproduksi di Indonesia ada
yang diolah sebagai pupuk, zat pengawet pada makanan dan juga ada yang
diekspor untuk diolah kembali menjadi produk turunannya. Kendala pun
dirasakan dalam memasarkan produk aplikasi kitin dan kitosan yaitu dalam hal
izin edar karena produk tersebut masih tergolong jenis produk baru.
44
Tabel 16 Nilai Eigen Tujuan untuk Pemilihan Strategi
Nilai Eigen
Mengoptimalkan Meningkatkan Menuju Meningkatkan
Pakar
Pemanfaatan Pertumbuhan Industri Pemasaran
Limbah Industri Kompetitif Produk
P1 (Pemerintah-KKP) 0,234 0,274 0,225 0,268
P2 (Pemerintah- 0,245 0,347 0,214 0,193
Kemenperin)
P3 (Akademisi) 0,146 0,248 0,281 0,325
P4 (Pelaku Industri) 0,136 0,216 0,272 0,377
P5 (Pengguna) 0,230 0,121 0,305 0,343
P6 (Pemasok Bahan Baku) 0,440 0,186 0,189 0,184
Bobot Tujuan 0,228 0,225 0,257 0,289
45
Tabel 17 Hasil Penilaian Hirarki Level 4 (Alternatif Strategi)
Alternatif Bobot
Perbaikan dan Penyediaan Infrastruktur Industri di Remote Area 0,087
Pembukaan Akses dan Pengembangan Pasar Internasional 0,086
Business Meeting antar Pelaku Usaha dengan Potential Buyer 0,082
Membangun lembaga kemitraan antar industri pengolahan udang 0,082
Bantuan Pembiayaan atau Kemudahan Pembiayaan IKM Kitin di Remote Area 0,079
Meningkatkan Promosi melalui Pameran Nasional atau Internasional 0,078
Menjaga Kualitas Produk Kitin dan Kitosan 0,078
Implementasi Kebijakan Kemudahan Investasi di Tingkat Pemerintah Daerah 0,076
Pemanfaatan Teknologi yang Inovatif sebagai Sarana Promosi 0,066
Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan 0,056
Memaksimalkan peran Pusat Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi 0,051
Mendirikan Asosiasi Industri Kitin dan Kitosan 0,048
Pelaksanaan Training of Trainer 0,047
Pengembangan Kurikulum Teknologi Pembuatan Kitin dan Kitosan pada SMK 0,044
Pembatasan Kuota Impor Kitin dan Kitosan 0,043
Merujuk pada hasil analisis matriks internal eksternal, posisi industri kitin
dan kitosan merupakan industri yang membutuhkan strategi pertumbuhan dengan
konsentrasi horizontal atau memperluas industri dengan cara perluasan atau
membangun industri kitin dan kitosan di lokasi lain atau dengan cara
meningkatkan jenis produk. Menurut Rangkuti (2014), terkait strategi
pertumbuhan maka hal-hal yang diperlukan oleh industri yang dapat diadopsi oleh
industri kitin dan kitosan adalah memperluas pasar dan meningkatkan fasilitas
industri dan teknologi melalui pengembangan internal dan eksternal melalui
akuisisi atau joint ventures.
Terdapat keterkaitan antara strategi pertumbuhan oleh Rangkuti dengan
penetapan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan menggunakan metode
AHP. Strategi memperluas pasar sejalan dengan strategi pembukaan akses dan
pengembangan pasar internasional, peningkatan fasilitas industri dan teknologi
melalui pengembangan internal dan eksternal sejalan dan dapat diintegrasikan
dengan strategi penguatan bisnis melalui pertemuan bisnis yang dilakukan antara
pelaku industri dengan calon pembeli potensial
Berdasarkan dua analisis penentuan strategi pengembangan industri kitin
dan kitosan, maka dapat diformulasikan strategi, yaitu:
1. Meningkatkan pemasaran produknya dengan pemilihan target pasar
internasional dengan melibatkan pemerintah dalam hal promosi produk melalui
pameran internasional dan dalam hal penjaminan mutu produk serta melibatkan
industri kitin dan kitosan (secara mandiri atau bekerja sama dengan pihak lain)
untuk proaktif dalam melakukan penelitian dan pengembangan mengenai pasar
46
yang potensial. Penentuan target pasar internasional perlu mempertimbangkan
jumlah konsumen dan kapasitas pembelian yang besar, zona perdagangan
bebas regional dan evaluasi pasar potensial. Selain itu, perlu diputuskan
bagaimana cara memasuki pasar, menentukan cara untuk memasarkan produk
dengan cepat, menentukan organisasi pemasaran dan hal yang paling utama
adalah memenuhi spesifikasi standar produk bagi negara tujuan ekspor.
2. Mengembangkan akuisisi atau joint ventures dalam hal alih teknologi,
peningkatan investasi yang mendukung pertumbuhan industri, penguasaan
pasar ekspor dan perluasan industri di wilayah Indonesia. Strategi ini perlu
dilakukan dengan melibatkan industri sebagai pelaku usaha dan Pemerintah
selaku pemangku kepentingan dalam memfasilitasi pembukaan investasi bagi
investor dalam maupun luar negeri. Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), Pemerintah Daerah dan instansi teknis terkait perlu dilibatkan dalam
pelaksanaan strategi ini.
47
3. Penguatan bisnis melalui penyelenggaraan pertemuan bisnis antar pemangku
kepentingan terkait dengan melibatkan pemerintah sebagai fasilitator. Tujuan
dari pertemuan bisnis ini adalah terbentuknya Memorandum of Understanding
(MoU) atau nota kesepahaman antara pihak-pihak yang terlibat agar tercipta
kepastian hubungan bisnis yang lebih mengikat dalam hal penjaminan
kesediaan bahan baku dan peningkatan pemasaran produk bagi industri kitin
dan kitosan.
Implikasi Praktis
48
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Industri kitin dan kitosan merupakan bagian dari pohon industri udang, yaitu industri
yang menghasilkan produk biopolimer seperti kitin dan kitosan yang tergolong pada produk
antara (intermediate) dengan segmen pasar yaitu industri pengguna. Industri kitin dan kitosan
di Indonesia cenderung berorientasi pada pasar ekspor untuk diolah kembali menjadi
berbagai produk turunan olah negara tujuan ekspor.
Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor
internal dan eksternal. Faktor internal utama yaitu penerapan kontrol kualitas produk yang
selalu dipertahankan dan penerapan efisiensi biaya produksi yang belum terlaksana dengan
baik, sedangkan faktor eksternal utama yaitu potensi pasar ekspor yang perlu dimanfaatkan
dan persaingan penjualan dengan negara lain yang perlu diantisipasi.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka diperlukan tiga alternatif strategi
pengembangan bagi industri kitin dan kitosan yaitu,
1. Meningkatkan pemasaran produknya dengan pemilihan target pasar internasional
2. Mengembangkan akuisisi atau joint ventures internasional dalam hal alih teknologi,
peningkatan investasi dan penguasaan pasar ekspor
3. Menguatkan bisnis kitin dan kitosan melalui penguatan kolaborasi antar pemangku
kepentingan terkait dengan tujuan menjamin kesediaan bahan baku dan meningkatkan
pemasaran produk.
Saran
Hal-hal lebih lanjut yang dapat diusulkan terkait dengan penelitian ini, yaitu:
1. Strategi pengembangan industri kitin dan kitosan pada penelitian ini bersifat umum
berdasarkan kondisi di lapangan menurut para pakar, sehingga agar penelitian
selanjutnya dilakukan strategi pengembangan industri yang bersifat teknis melalui studi
kasus pada satu industri.
2. Pengembangan industri kitin dan kitosan tidak lepas dari peran pemerintah, sehingga
diharapkan pemerintah dapat membuat suatu kebijakan dan dukungan khusus pada
industri berbasis limbah khususnya industri kitin dan kitosan sebagai salah satu industri
prioritas di Indonesia.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi dan strategi pasar ekspor kitin
dan kitosan, mengingat banyak negara maju yang fokus pada pemanfaatan kitin dan
kitosan pada berbagai aplikasi.
49
DAFTAR PUSTAKA
50
Lee RM. 1993. Doing Research on Sensitive Topic. London: Sage
Muzzarelli RAA. 1999. Clinical and biochemical evaluation of chitosan by
hypercholesterolemia and overweight control. In: Chitin and Chitinases. Jollés P,
Muzzarelli RAA, Eds. Birkhäuser Verlag: Basel, Switzerland; 293-04.
Rout SK. 2001. Physicochemical, Functional and Spectroscopic Analysis of Crawfish Chitin
and Chitosan as Affected by Process Modification, Louisiana State University.
Shaidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosan. Trends
Food Sci Technol; 10: 37-51
Sugita P, Wukirsari T, Sjahriza A, Wahyono D. 2009. Kitosan Sumber Biomaterial Masa
Depan. IPB Press
Synowiecki J, Al-Khateeb N. 2003. Production, properties, and some new applications of
chitin and its derivatives. Crit Rev Food Sci Nutr; 43(2): 145-71.
Teftal H. 2000. Chitin and Chitosan Industry and Its Potential in Quebec. McGill University.
Canada.
Vargas M, Martinez CG. 2010. Recent Patents on Food Applications of Chitosan, Recent
Patents on Food, Nutrition & Agriculture: 121-128
Williams DF. 2008. On The Mechanisms of Biocompatibility. Biomaterials, Vol. 29, No. 20:
2941-29953, ISSN 0142-9612
Wangke H. 2014. Peluang Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Info Singkat
Hubungan Internasional. Vol. VI, No.10/II/P3DI/Mei/2014. [internet]. [diacu 2015
Maret 16]. Tersedia dari: http://statistik.kkp.go.id
Xing R, Liu S, Guo Z, Yu H, Wang P, Li C, Li Z, Li P. 2007. Relevance of molecular weight
of chitosan and its derivatives and their antioxidant activities in vitro. Bioorg Med
Chem; 13: 1573-77.
Yen MT, Yang JH, Mau JL. 2008. Antioxidant properties of chitosan from crab shells.
Carbohydr Polym; 74: 840-44.
51
LAMPIRAN
52
4. Buat hierarki level 2 (alternatif) dengan cara klik “simbol Add alternatve” pada
pojok kanan atas, ketikkan nama-nama alternatif faktor strategis internal. Klik
enter selesai mengetikkan nama alternatif.
5. Untuk mengisi level kedua, letakkan kursor di level pertama (goal), klik simbol
3:1 atau klik Assessment/Pairwise, kemudian muncul tabel perbandingan dan
isikan nilai perbandingan pada level kedua sesuai dengan matriks pengisian.
53
Gambar D. Tampilan Nilai pada Matriks Pairwise Comparison
54
Gambar F. Tampilan Hasil Penilaian Bobot Alternatif terhadap 6 Responden
B. Rating
Keterangan :
A = Akademisi E = Kementerian Perindustrian
B = Industri Kitin dan Kitosan F = Kementerian Kelautan dan Perikanan
C = Industri Pengolahan Udang
D = Industri Pengguna Kitin dan Kitosan
55
Lampiran 2. Contoh Perhitungan AHP menggunakan Expert Choice 2000 (Berdasarkan Seluruh
Responden)
56
Contoh Perhitungan Bobot Aktor (Pemerintah):
Bobot Aktor j= ∑𝑛𝑖(𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟𝑖 𝑥𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐴𝑘𝑡𝑜𝑟𝑗 𝑑𝑖 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟𝑖 )
(0,198*0,409)+( 0,12*0,263)+( 0,199*0,328) = 0,178
57
Tabel E. Penghitungan Bobot Aternatif
Tujuan
Optimalisasi Meningkat Meningkat
Pemanfaatan kan Industri kan
Limbah Pertumbuh yang Pemasaran Bobot Bobot
Udang an Industri Kompetitif Produk Tujuan Alternatif
melalui pameran
nasional atau
internasional
Bantuan pembiayaan
atau kemudahan
pembiayaan khususnya 0,083 0,101 0,072 0,065 0,0790
pada IKM kitin di
Remote area
Membangun
kelembagaan kemitraan
antar industri
pengolahan udang 0,108 0,081 0,1 0,047 0,0822
sebagai penyuplai
bahan baku industri
kitin dan kitosan
Implementasi kebijakan
kemudahan investasi di
0,086 0,107 0,069 0,051 0,0762
tingkat pemerintah
daerah
Menjaga kualitas
0,076 0,055 0,106 0,071 0,0775
produk kitin dan kitosan
Pemanfaatan teknologi
yang inovatif sebagai 0,062 0,056 0,054 0,086 0,0655
sarana promosi
Melakukan diversifikasi
produk turunan kitin 0,062 0,057 0,046 0,059 0,0559
dan kitosan
Mendirikan asosiasi
industri kitin dan 0,053 0,038 0,05 0,05 0,0480
kitosan
Memaksimalkan peran
Pusat Inkubator Bisnis 0,049 0,053 0,064 0,039 0,0509
perguruan tinggi
Pelaksanaan Training of
0,058 0,046 0,055 0,031 0,0467
Trainer (TOT)
Pengembangan
kurikulum tentang
Teknologi Pembuatan
0,066 0,037 0,056 0,029 0,0462
Kitin dan Kitosan pada
SMK-SMK di Remote
Area
Pembatasan kuota
0,036 0,045 0,036 0,038 0,0386
impor kitin dan kitosan
58
RIWAYAT HIDUP
Dena Sismaraini, penulis dari karya ilmiah ini lahir pada tanggal 29 Maret 1989 di Bandung.
Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah di SD Dian Kencana (2000), SLTPN 13 Bandung (2003) dan SMAN 8 Bandung (2006).
Pada tahun 2010, penulis meraih gelar Sarjana Teknik dari Jurusan Teknik Lingkungan di Institut
Teknologi Bandung.
Penulis sejak tahun 2010 hingga saat ini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Kementerian Perindustrian. Pada tahun 2013, penulis mendapatkan beasiswa dari Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Kementerian Perindustrian untuk mengambil program magister di Institut Pertanian
Bogor dengan Program Studi Teknologi Industri Pertanian.
59