Anda di halaman 1dari 11

2.

4 Klasifikasi derajat keparahan

Menurut derajat keparahannya, trauma kimia pada mata dapat diklasifikasikan


sesuai dengan klasifikasi Hughes dan Ropper-Hall. Klasifikasi tersebut
mengelompokkan trauma kimia mata sesuai dengan derajat keparahan yang
ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma. Selain itu, klasifikasi ini juga
bertujuan untuk menentukan penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang
muncul serta prognosisnya. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan
kornea dan keparahan iskemik limbus. Patensi dari pembuluh darah limbus
(superfisial dan profunda) juga dapat dinilai dengan klasifikasi ini. (Kanski, 2000)

Klasifikasi yang biasa digunakan adalah:

1. Klasifikasi Hughes

Ringan Erosi epitel kornea


Kornea sedikit kabur
Tidak ada nekrosis iskemik konjungtiva atau sclera

Sedang Opasitas kornea mengaburkan detail iris


Nekrosis iskemik yang minimal di konjungtiva dan sclera

Berat Garis pupil kabur


Nekrosis iskemik konjungtiva atau sclera yang signifikan

2. Klasifikasi Ropper-Hall (modified Hughes)

Grade Konjungtiva/Limbus Kornea Prognosis

Grade I Tidak ada iskemia limbus Kerusakan epitel kornea Baik

Grade II <1/3 iskemia limbus Kornea kabur, tapi Baik


detail iris terlihat

Grade III !/3 1/2 iskemia limbus Epitel kornea hilang Sedang
total, stroma kabur,
detail iris kabur
Grade IV >1/2 iskemia limbus Kornea opaque, iris, dan Buruk
pupil kabur

Gambar 1. Klasifikasi Derajat Keparahan Trauma Kimia Menurut Ropper-Hall


(a)Grade 1 (b)Grade 2 (c)Grade 3 (d)Grade 4

2.5 Diagnosa
Diagnosis pada trauma mata dapat ditegakkan melalui gejala klinis,
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun karenakan trauma kimia
pada mata merupakan kasus gawat darurat, hal ini tidaklah mutlak dilakukan
sehingga hanya diperlukan anamnesis singkat (Lang, 2006).

2.5.1 Gejala Klinis


Gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia adalah, epifora,
blefarospasme, nyeri hebat dan penurunan visus. Pada kasus trauma akibat
bahan yang bersifat asam biasanya penurunan penglihatan terjadi segera
akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada trauma basa, kehilangan
penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari setelah kejadian. Namun
sebenarnya kerusakan yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding
trauma asam (Lang, 2006).
2.5.2 Anamnesis
Hal utama yang perlu digali pada anamnesis adalah riwayat trauma,
meliputi jenis/bentuk bahan kimia, waktu kejadian/ lama kontak sampai
tindakan pembilasan, dan tempat kejadian (rumah tangga, pekerjaan, kriminal)
(Pedoman diagnosis & Terapi SMF Ilmu Kesehatan Mata FKUB, 2010). Pada
anamnesis sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau
tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata.
Perlu diketahui apa persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma
tersebut (misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan dengan kecepatan
tinggi) serta kapan terjadinya trauma tersebut (ACEP, 2011; Cohlmia, 2011).

Selain itu perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera
atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara
progresif atau terjadi secara tiba tiba. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur
merupakan gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai adanya benda
asing intraokular apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma
terjadi akibat ledakan (Lang, 2006).
2.5.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan detail sebaiknya ditunda sampai dilakukan irigasi dengan
air pada mata yang terkena zat kimia dan pH permukaan bola mata sudah
netral. Obat anestesi topikal atau lokal sangat membantu agar pasien tenang,
lebih nyaman dan kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah
dilakukan irigasi, pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk
memeriksa kejernihan dan keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan
intra okular, konjungtivalisasi pada kornea, neovaskularisasi, peradangan
kronik dan defek epitel yang menetap dan berulang (Cohlmia, 2011; Root,
2013) .
Manifestasi fisik umum dari cedera kimia untuk mata meliputi
(Randleman, 2009) :
- Penurunan ketajaman visual: ketajaman pengelihatan dapat menurun
karena kerusakan epitel kornea, pengelihatan berkabut, peningkatan
lakrimasi. (Randleman, 2009).
- Peningkatan TIO : Peningkatan TIO secara tiba-tiba bisa
disebabkan oleh deformasi dan pemendekan kolagen, sehingga
mempersempit ruang anterior. Peningkatan TIO yang lama secara
mendadak berkaitan dengan tingkat peradangan segmen anterior.
(Randleman, 2009).
- Peradangan konjungtiva : Berbagai derajat hiperemis konjungtiva
dan pembengkakan dapat terjaidi dan bahkan cedera kimia ringan
dapat menimbulkan respon konjungtiva berlebihan. (Randleman,
2009).
- Partikel dalam konjungtiva forniks: lebih sering ditemukan dengan
cedera partikulat, seperti plester. Jika tidak dikeluarkan, partikel-
partikel sisa dapat berfungsi menjadi reservoir untuk pelepasan kimia
lanjutan dan cedera. Partikel-partikel ini harus dikeluarkan sebelum
penyembuhan permukaan mata dimulai.
- Iskemia perilimbal : Tingkat iskemia limbus adalah indikator
prognosis yang paling penting untuk penyembuhan kornea karena sel-
sel induk limbus bertanggung jawab pada repopulasi epitel kornea.
Secara umum, semakin besar tingkat iskemia limbus , semakin buruk
prognosisnya. Namun, adanya sel-sel induk perilimbus yang utuh tidak
menjamin penyembuhan epitel normal. (Randleman, 2009).
- Defek kornea epitel : Kerusakan epitel kornea dapat berkisar dari
keratitis epitel pungtata (KEP) difus ringan dengan defek epitel
lengkap. Luasnya defek harus dicatat untuk rencana pengobatan pada
saat kontrol. (Randleman, 2009).
- Kabut stroma : Kabut dapat berkisar dari kornea jernih (kelas 0)
kekekeruhan lengkap (kelas 5) tanpa melihat ke dalam ruang anterior.
(Randleman, 2009).
- Perforasi kornea : Jarang terjadi pada penderita, lebih cenderung
terjadi setelah paparan awal (dari hari sampai minggu) pada cedera
mata berat yang memiliki kemampuan penyembuhan yang buruk.
(Randleman, 2009).
- Reaksi inflamasi bilik anterior : hal ini dapat bervariasi dengan
melihat sel dan flare pada reaksi fibrinoid yang kuat ruanganterior.
Secara umum, hal ini lebih sering terjadi dengan cedera alkali karena
penetrasi yang lebih dalam. (Randleman, 2009).
- Kerusakan adnexal / parut : Mirip dengan cedera kimia pada daerah
kulit lainnya, hal ini dapat mengakibatkan masalah paparan berat jika
jaringan parut menghambat penutupan kelopak mata, karena itu,
menunjukkan permukaan mata yang sudah rusak. (Randleman, 2009).
2.5.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah
pemeriksaan pH bola mata secara berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada
mata harus dilakukan sampai tercapai pH normal. Pemeriksaan bagian
anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui lokasi
luka. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan.
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui
tekanan intraocular (Cohlmia, 2011; Root, 2013).

2.6 Diagnosa Banding


Beberapa penyakit yang dapat dijadikan diagnosis banding trauma kimia
pada mata terutama yang disebabkan oleh basa atau alkali antara lain
konjungtivitis, konjugtivitis hemoragik akut, keratokunjugtivitis sicca, ulkus
kornea, dan lain-lain (Lang, 2006).

2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma
ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam
mengatasi kasus trauma okular adalah memperbaiki penglihatan, mencegah
terjadinya infeksi, mempertahankan struktur dan anatomi mata, mencegah sekuele
jangka panjang (Lang, 2006). Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis trauma
yang tidak membutuhkan anamnesa dan pemeriksaan secara teliti. (Kanski, 2000).

Tatalaksana Emergency
1. Irigasi
Merupakan hal yang krusial untuk meminimalisasi durasi kontak mata
dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada saccus konjungtiva
yang harus dilakukan sesegera mungkin. Larutan normal saline (atau yang
setara) harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 15-30 menit samapi
pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan
irigasi lebih lama, paling sedikit 2000 ml dalam 30 menit. Makin lama
makin baik.Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal, larutan natrium
bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik
menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan
sebuah kanul untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan) (Root,
2013; Kanski, 2000).
Siram dengan EDTA 1% jika agen penyebabnya mengandung kalsium
oksida. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma alkali diperlukan untuk
menetralisir kolagenase yang tebentuk pada hari ke 7 (Sidharta, 2009).

2. Double eversi pada kelopak mata


Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata.
Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan antara
konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks. (Kanski,
2000).
3. Debridemen
Dilakukan pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga
dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Selanjutnya diberikan bebat
(verban) pada mata, lensa kontak lembek dan artificial tear (air mata
buatan) (Kanski, 2000).

Tatalaksana Medikamentosa
Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian
obat-obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama
7 hari. Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan
untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah
terjadinya ulkus kornea (Lang, 2006; Kanski, 2000).
1. Steroid
Bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan
menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu
steroid hanya diberikan secara inisial dan di tappering off setelah 7-10 hari.
Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam.
Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
2. Sikloplegik
Digunakan untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
3. Asam askorbat
Mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan
penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh
fibroblas kornea. Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2 jam.
Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
4. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor
Dapat menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi resiko terjadinya
glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
5. Antibiotik profilaksis
Diberikan untuk pencegahan infeksi oleh bakteri oportunis. Tetrasiklin
efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil dan
mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal
dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
6. Asam hyaluronik
Untuk membantu proses re-epitelisasi kornea dan menstabilkan barier
fisiologis.
7. Asam Sitrat
Asam sitrat menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon
inflamasi. Natrium sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10 hari.
Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari
setelah trauma.

Trauma kimia terutama alkali, memerlukan rawat inap. Pasien memerlukan


antibiotik oftalmik topikal, obat nyeri, sikloplegik, dan midriatikum. Jika
muncul glaukoma sekunder, pasien membutuhkan obat penurun tekanan
okular.

Pembedahan
Pengobatan cedera kimia untuk mata memerlukan intervensi medis dan
bedah, baik akut dan dalam jangka panjang, untuk rehabilitasi visual yang
maksimal.
1. Segera
Pembedahan yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus,
mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan
forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan (Kanski,
2000):
a. Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan
ulkus kornea.
b. Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft)
atau dar donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel
kornea menjadi normal.
c. Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan
fibrosis.
2. Lanjut
Penanganan bedah pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:
a. Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands
dan simblefaron.
b. Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
c. Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
d. Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik,
hal ini untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
e. Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat
berat dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk. (Kanski,
2000).

2.8 Komplikasi
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya
trauma, dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
trauma basa pada mata antara lain:
1. Glaukoma.
Terjadi antara 15% -55% pada pasien dengan trauma kimia berat. Mekanisme
glaukoma bersifat multifaktorial dan mencakup kontraksi struktur anterior
akibat kerusakan kimia dan inflamasi, debris inflamasi pada trabekular
meshwork, dan kerusakan pada trabekular meshwork itu sendiri. Trauma
kimia berat (Roper-Hall Grade III atau IV) telah ditemukan memiliki tekanan
intraokular yang secara signifikan lebih tinggi pada saat presentasi dan lebih
cenderung memerlukan pengobatan glaukoma jangka panjang dan menjalani
operasi glaukoma daripada trauma grade I atau II. (Lin, 2012)
2. Abrasi, edema, perforasi kornea
3. Sindroma mata kering
Trauma kimia dapat menghancurkan sel goblet konjungtiva, yang
menyebabkan pengurangan atau bahkan tidak adanya mukus dalam tear film,
Kekurangan mukus ini menyebabkan keratokonjungtivitis sicca (mata kering).
Bahkan setelah sembuh, mata kering yang kronis dapat menyebabkan
morbiditas yang signifikan karena ketidaknyamanan, gangguan penglihatan,
dan potensi kerusakan permukaan okular. (Le, 2011)
4. Katarak traumatik
Trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak. Komponen
basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH dan menurunkan
kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-lahan.
Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi
katarak traumatik.

2.9 Prognosis
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab
trauma tersebut. Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva
merupakan salah satu indikator keparahan trauma dan prognosis penyembuhan.
Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva
memberikan prognosa yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma kimia
ditunjukkan dengan gambaran cooked fish eye dimana prognosisnya adalah
yang paling buruk, dapat terjadi kebutaan (Lang, 2006). Secara umum, prognosis
dapat ditentukan dari derajat trauma kimia menurut Ropper-Hall yang telah
dibahas pada bagian klasifikasi.

Gambar 2 Cooked Fish Eye Appearance (Lang, 2006)

DAFTAR PUSTAKA
American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular Complaints.
Diunduh tanggal 4 Juli 2017.http://www.acep.org/content.aspx?id=26712
Cohlmia Eye Center. Chemical Eye Burns Emergency Care. Diunduh pada tanggal 5
Juli 2017.http://www.samcohlmia.com/wichita-chemical-eye-burns.php
Ilyas, Sidharta. Trauma Kimia. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga, Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. 2009; h 271 273.
Kanski, JJ. Chemical Injuries.Clinical Opthalmology.Edisi keenam. Philadelphia:
Elseiver Limited. 2000.
Lin, M.P., et al., Glaucoma in patients with ocular chemical burns. American journal
of ophthalmology, 2012. 154(3): p. 481-485 e1
Le, Q., et al., Vision-related quality of life in patients with ocular chemical burns.
Investigative ophthalmology & visual science, 2011. 52(12): p. 8951-6.
Randleman, J.B., Bansal, A. S., Burns, Chemical., eMedicine Journal. 2009.
Timothy Root MD. Eye Teachers of American Foundation. Eye 2013. Trauma.
Diunduh pada tanggal 5 Juli 2017 http://www.ophthobook.com/videos/eye-
trauma-video

Anda mungkin juga menyukai