Anda di halaman 1dari 16

TASAWUF IBNU TAIMIYAH

Oleh: Muhammad Ikhsan

(Mahasiswa S2 UI Jakarta Program Studi Kajian Islam Dan Timur Tengah Kekhususan Kajian
Islam)

Mengurai Sikap dan Pandangan Ibnu Taimiyah yang Sesungguhnya Terhadap Tasawuf

Pengantar

Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak kata yang seringkali dianggap saling
berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. Kata itu bisa saja mewakili sebuah kelompok
pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu. Diantara deretan kata-kata
yang saling paradoks itu mungkin tidak salah jika kita menyebut Ibnu Taimiyah (sosok tokoh
pemikiran penting abad 7 H) dan Tasawuf (sebuah aliran pemikiran yang sudah lama berkembang)
sebagai salah satu contohnya.

Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang
sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah
telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-
kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran
kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga bagi mereka yang tidak memahami dengan baik-
setiap kali mendengarkan kata Ibnu Taimiyah, maka opini dan image yang tercipta adalah
kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.

Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan
seputar kebenaran permusuhan Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui
tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu
Taimiyah untuk peradaban manusia.

Ibnu Taimiyah; Siapakah Dia?

Dunia Islam di era Ibnu Taimiyah sebelum dan setelah ia dilahirkan- adalah dunia Islam yang penuh
gejolak. Gejolak pemikiran dan juga gejolak politik yang berkepanjangan. Ibnu Taimiyah sendiri
dilahirkan tepat lima tahun setelah Baghdad ibukota Islam- jatuh dan porak-poranda di tangan
Bangsa Tartar.[1] Tepat pada hari Senin, 12 Rabi al-Awwal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah
dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran. Oleh
orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Dan para ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan:
Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn
Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy.[2] Tidak lama ia menghabiskan masa kecilnya di
kota kecil bernama Harran itu. Ketika usianya memasuki tujuh tahun, ia bersama seluruh keluarganya
terpaksa mengungsi ke kota Damaskus karena pasukan Tartar telah memasuki dan akhirnya
menguasai Harran.

Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi
seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din Abd al-Halim adalah seorang ahli
hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami Umawy. Ia juga
kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah
ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[3]
Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab
kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia
berhasil menyelesaikan hafalan al-Qurannya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab.
Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu
berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.

2. Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan
meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu
pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya.

3. Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya
dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad,
dan bahwa setiap orang siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah
saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran
itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat.[4] Salah satu kisah unik yang menunjukkan
kedalaman dan keluasan ilmu serta kecepatan nalar Ibnu Taimiyah adalah apa yang dikisahkan oleh
muridnya, Shalih Taj al-Din. Ia menuturkan, Suatu ketika, aku hadir dalam majlis Syekh
maksudnya: Ibnu Taimiyah-. Ternyata ada seorang Yahudi yang bertanya kepada beliau tentang
Qadar, dan pertanyaan itu telah dirangkai dalam delapan bait puisi. Ketika orang Yahudi itu selesai,
(Syekh) pun berpikir sebentar, lalu mulailah ia menulis jawabannya. Ia terus menulis, dan kami
mengira ia menulisnya dalam bentuk prosa. Setelah selesai, orang-orang yang hadir memperhatikan
jawaban yang beliau tulis. Ternyata, jawaban itu terdiri dari berbait-bait puisi dengan langgam puisi
yang sama dengan pertanyaan sang Yahudi, jumlahnya 184 bait. Dalam bait-bait itu, beliau
menguraikan ilmu yang jika dijelaskan memerlukan 2 jilid besar.[5]

Perjalanan Hidup Hingga Ajal Menjemput

Perjalanan hidup Ibnu Taimiyah ternyata tidak mulus. Akibat prinsip-prinsip yang diperjuangkannya, ia
harus menerima resiko beberapa kali keluar-masuk penjara, difitnah dan dimusuhi. Setidak-tidaknya
delapan kali ia harus melewati hari-harinya dalam penjara. Hingga ketika dipenjarakan untuk terakhir
kalinya pada tahun 727 H, tekanan terhadapnya sampai pada tingkat pelarangan masuknya kitab-
kitab dan alat tulis ke dalam selnya. Itu terjadi tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Jumada al-Akhir di
tahun itu. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 20 Syawal tahun 728 H, ia pun meninggalkan dunia ini
untuk menghadap Tuhannya. [6] Sepeninggalnya, Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam
berbagai bidang ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain
hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq. Ibn al-Wardy (w. 749 H)
bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.[7]

Sisi-sisi Lain Kepribadian Ibnu Taimiyah

Sesungguhnya ada banyak sisi menarik dari kepribadian seorang Ibnu Taimiyah. Dan hal itu tidak
hanya disimpulkan oleh orang-orang dekatnya, namun juga diakui oleh orang-orang yang berbeda
bahkan memusuhinya. Diantara sisi-sisi lain kepribadiannya adalah sebagai berikut: Keteguhan
ibadah dan kezuhudannya Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, Sungguh jika pikiranku terhenti pada
satu masalah atau apapun yang sulit untuk kupahami, maka aku akan beristighfar kepada Allah
Taala seribu kali atau lebih, hingga akhirnya dadaku dilapangkan dan kekaburan masalah itu menjadi
jelas.[8]
Dalam al-Uqud al-Durriyah (hal. 105) salah satu biografi tentangnya yang ditulis oleh muridnya,
Ibnu Abd al-Hady- disebutkan, Bila malam hari tiba, ia pun menyendiri dari semua manusia,
berkhalwat dengan Rabb-nya Azza wa Jalla merendahkan diri pada-Nya, menekuni bacaan al-
Quran, mengulang-ulangi berbagai bentuk penghambaan siang dan malam. Dan bila ia telah masuk
ke dalam shalatnya, sekujur tubuh dan anggota badannya bergetar hingga bergoyang ke kiri dan ke
kanan.

Ibnu al-Qayyim murid terdekatnya- mengatakan, Bila ia usai menunaikan shalat subuh, ia pun
tinggal duduk (berdzikir) di tempatnya hingga matahari terbit dan mulai panas. Ia mengatakan, Inilah
sarapan pagiku, kapan saja aku tak melakukannya maka kekuatanku akan berguguran.[9]

Adapun mengenai kezuhudannya, maka itu adalah perkara yang diketahui dengan jelas oleh semua
orang yang mengenalnya. Karena itu, beberapa kali ia diberi hadiah harta yang berlimpah, namun
tidak lama kemudian semuanya telah habis diberikan kepada yang membutuhkannya. Hingga bila ia
tidak memiliki apapun untuk disedekahkan, maka ia mengambil pakaiannya lalu diberikannya kepada
fuqara.[10]

Kelapangan dadanya kepada siapa pun yang menyakitinya Ibnu Taimiyah dapat dikatakan sebagai
salah satu contoh ulama yang memahami dan merealisasikan dengan baik etika dalam berbeda
pendapat. Kelapangan dadanya dalam menyikapi siapa pun yang menjadi lawannya menyebabkan
kekaguman tersendiri bagi para penelaah pemikirannya. Ibn al-Qayyim pernah menuturkan, Ia selalu
mendoakan kebaikan untuk musuh-musuhnya. Tidak pernah sekali pun aku melihat ia mendoakan
kebinasaan untuk mereka. Suatu hari, aku sampaikan kabar gembira kematian salah satu
penentangnya yang paling membenci dan memusuhinya. Tapi ia justru memarahiku dan
memalingkan wajahnya dariku. Apakah engkau datang memberiku kabar gembira akan kematian
seorang muslim? Ia kemudian mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Lalu saat itu juga, ia segera mendatangi rumahnya dan menghibur keluarga (musuh)nya itu. Ia
berkata pada mereka, Anggaplah aku sebagai penggantinya. Aku akan membantu kalian dalam
setiap apa pun yang kalian butuhkan. Ia berbicara pada mereka dengan lembut dan penuh hormat;
hal yang kemudian menghadirkan kebahagiaan bagi mereka. Ia kemudian berdoa sebanyak-
banyaknya untuk mereka, hingga mereka sendiri takjub dibuatnya.[11]

Al-Qadhy Ibn Makhluf al-Maliky, salah seorang penentangnya yang paling keras bahkan pernah
mengatakan, Aku belum pernah melihat seorang pemurah yang sangat lapang dada seperti Ibnu
Taimiyah. Kami telah memprovokasi negara untuk melawannya, namun ia justru memaafkan kami
setelah ia punya kemampuan (untuk menjatuhkan kami di depan Sultan). Ia bahkan membela dan
melindungi kami.[12]

Kisah-kisah ini hanya sebagian kecil dari bukti kelapangan dada Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, dalam
berbagai karyanya ia selalu mengulang-ulangi pentingnya bersikap adil, moderat dan pertengahan
dalam menilai apapun dan siapa pun. Termasuk juga saat ia mengkritisi berbagai aliran pemikiran
dalam Islam bahkan di luar Islam-, ia selalu menjelaskan sisi-sisi positif yang mereka miliki. Tentu
saja, tanpa mengurangi ketegasannya dalam hal-hal yang prinsipil.

IBNU TAIMIYAH DAN TASAWUF

Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang cukup dalam
terhadap Tasawuf. Beberapa karyanya dimana ia banyak menyinggung tema-tema sentral yang biasa
diangkat para sufi, diantaranya adalah:

1. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan.


2. al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi Amal al-Qulub
3. al-Ubudiyyah
4. Darajat al-Yaqin
5. al-Risalah al-Tadmuriyah
6. Risalah fi al-Sama wa al-Raqsh
7 Term al-Tashawwuf dan al-Suluk dalam kumpulan fatwanya, Majmu Fatawa Syaikh al-Islam Ibn
Taiiyah.

Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada upaya
meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut
dengan Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat dan mengkritisi apa yang ia sebut sebut sebagai
Tasawuf yang menyimpang. Dan berikut ini akan diuraikan pokok-pokok pandangannya terhadap
Tasawuf.

Pengertian Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah

Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda
tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini;
apakah sufi adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang diarabkan? Jika ia adalah kata
asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang
jamid atau musytaq?[13]

Perdebatan seputar asal pembentukan Tasawuf atau sufi ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah.
Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini,
mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil
dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu
Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian
menjadi sufi. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah.

Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa sufi adalah
penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan, Penisbatan (sufi) kepada al-Shuffah
adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (sufi adalah penisbatan kepada al-Shuffah), maka
seharusnya menjadi shuffy , dan bukan sufi . [14] Di samping itu, ia juga menafikan
berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian
selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu.
Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak
mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika
berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila
mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah
selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya
pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan,
diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada
alasan untuk menisbatkan sufi kepada Ahl al-Shuffah.[15] Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih
menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa sufi adalah sebuah penisbatan pada pakaian
shuf ( )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi
dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.[16] Namun, Ibnu
Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan
model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan
sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan, Para wali Allah sama sekali tidak
memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak
menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain,
selama keduanya adalah perkara yang mubah.[17]
Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan
isi dan kandungan yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah
sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga
menggunakan istilah al-Fuqara (kaum fakir), al-Zuhhad (kaum pelaku kezuhudan), al-Salikin
(para penempuh jalan menuju Allah), Ashab al-Qalb (pemerhati dan pemilik hati), Arbab al-Ahwal
(para penempuh ahwal), Ashab al-Shufiyah (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru
(pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para
penempuh jalan ruhani dalam Islam.[18] Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini
samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra dan yang lainnya pun dapat
dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab baginya- Islam adalah sebuah keutuhan
antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.[19]

Sejarah Pemunculan Tasawuf

Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang berbeda
seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan istilah sufi telah
ada di masa jahiliyyah.

Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad 2 H. Akan
tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan, Awal mula munculnya
Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum sufi adalah
beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid
dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di
Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: fikihnya fikih
Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah.[20]

Pembagian Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:

1. sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqaiq)


2. sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3. sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)

Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan
di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah orang yang
bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas
dan batu.[21]

Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang kelompok ini,
Kelompok ini sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan Shiddiqun. Ia adalah shiddiq
yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara sungguh-sungguh. Maka
seorang shiddiq juga ada yang menjadi penempuh jalan ini, sebagaimana juga ada shiddiq dari
kalangan ulama dan umara. Jenis (manusia) shiddiq ini lebih khusus dari (manusia) shiddiq secara
mutlak, namun tetap berada di bawah para (manusia) shiddiq yang sempurna keshiddiqannya, dari
kalangan para sahabat, tabiin, dan tabi tabiin.

Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para shiddiqun, maka para
imam dan fuqaha dari Kufah pun disebut sebagai para shiddiqun. Setiap mereka (menjadi
shiddiqun) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang mereka tempuh dengan
kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa mereka para sufi- adalah manusia
shiddiq paling sempurna di zamannya, meski para shiddiqun generasi awal lebih sempurna dari
mereka.[22]

Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:

1. Ia harus mampu melakukan keseimbangan syari. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan
meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan
jalan taqwa.
2. Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syari dan
meninggalkan adab-adab yang bidah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Quran dan
sunnah Nabi saw.
3. Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan
menyebabkannya hidup berlebihan.

Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada
harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka. Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan
orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah
penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama
dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama hingga menyebabkan orang bodoh
menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.[23]

Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati
perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan adanya semacam
pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, -sebagaimana telah
disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model
penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? Karena menurutnya-
para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang
berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bidah. Mereka ada di tengah
para ulama, qurra, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak
menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada
Allah Taala. [24] Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para sufi yang hanya memberikan
perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri dan sosial. Baginya,
ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan mengakibatkan munculnya
sebuah bidah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang
utuh, zhahir dan bathin. Seorang sufi yang sempurna menurutnya harus mampu menyelaraskan
amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, Dunia berkhidmat untuk dien
(agama).[25]

Ibnu Taimiyah Memusuhi Tasawuf; Benarkah?

Setidaknya ada 2 tuduhan penting terkait dengan pembahasan ini: (1) Ibnu Taimiyah sangat
membenci dan memusuhi Tasawuf, dan (2) ia adalah sosok yang berhati batu. Benarkah demikian?

Pertama, Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf.

Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan
sekarang.[26] Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini sepenuhnya
hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami karya-karya Ibnu
Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh sufi besar yang konsisten
dengan al-Quran dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadikan perkataan-perkataan
mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang diyakininya.[27]
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus menjelaskan dan
menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu seperti telah dijelaskan- dilakukan
dengan mengutip pandangan dan perkataan para tokoh sufi generasi awal yang berpegang pada
cahaya al-Quran, al-Sunnah dan pandangan kaum salaf. Diantara karyanya itu misalnya- adalah:
Al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi al-Amal al-Qalbiyyah. Buku ini, seperti yang dikatakannya, (Berisi) kalimat-
kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan maqamat dan ahwal, yang juga
merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama; seperti mahabbah pada
Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal, mengikhlaskan agama pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-
Nya, khauf dan raja pada-Nya, serta hal-hal lain yang mengikutinya.[28]

Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah yang
umum digunakan di kalangan sufi; maqamat dan ahwal. Dan dalam buku ini secara khusus, ia
menguraikan secara panjang lebar dan terperinci tentang berbagai maqam dan hal tersebut. Hal lain
yang juga patut dicatat adalah interaksinya dengan para sufi yang hidup di zamannya. Ternyata ia
juga menyempatkan waktu untuk hadir dalam majlis mereka, Sewaktu aku masih muda, aku pernah
hadir bersama sekelompok ahli zuhud dan ibadah, dan mereka adalah orang-orang terbaik di
zamannya.[29]

Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak menuntut kita untuk
menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk mengatakan bahwa ia
mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat. Sebagaimana menyatakan bahwa ia
menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah
mendukung dan menjalani apa yang disebutnya sebagai Tasawuf Masyru (Tasawuf yang
disyariatkan). Tasawuf yang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh
Rasulullah saw. Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ide-ide asing dari Islam tidak lebih
merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat menempuh
perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya dan menjaga batasan-
batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini? Ia justru menghabiskan hidupnya
untuk memperjuangkannya.[30] Adapun Tasawuf yang lebih banyak melandaskan ajaran-ajarannya
dengan ide-ide asing yang berasal dari luar Islam, seperti Tasawuf Bathiniyah yang banyak
dipengaruhi ideologi-ideologi pra Islam, maka Ibnu Taimiyah bukanlah orang pertama yang
melontarkan kritikannya. Para pemuka sufi seperti al-Junaid (w. 297 H), al-Hasan al-Bashry, al-Harits
al-Muhasiby (w. 243 H), dan yang lainnya juga telah mendahului Ibnu Taimiyah dalam hal itu.

Kedua, Ibnu Taimiyah berhati batu (keras)

Tuduhan ini mungkin disebabkan karena hanya memandang sosok Ibnu Taimiyah dari satu sisi saja
dan melupakan sisi-sisi lain kepribadiannya. Harus diakui, bahwa kondisi zamannya yang diliputi
pergolakan sedikit banyak mungkin mempengaruhi pribadi Ibnu Taimiyah. Sehingga tidak
mengherankan di tengah kewajiban membela agama dan tanah airnya-, Ibnu Taimiyah kemudian
menjelma menjadi sosok prajurit yang keras. Dan faktanya memang menunjukkan bahwa Ibnu
Taimiyah beberapa kali terlibat dalam peperangan melawan pasukan Mongolia.

Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah kehalusan pribadinya. Ia tetaplah Ibnu Taimiyah yang
merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, tidak putus mengingat-Nya meski harus melewati hari-
hari panjang dalam penjara, dan selalu tulus memaafkan musuh yang telah melontarkan fitnah dan
tuduhan keji terhadapnya. Ia juga tetaplah Ibnu Taimiyah yang menyimpan ketawadhuan, yang ketika
tidak memahami suatu masalah, ia pergi ke Mesjid dan membenamkan wajahnya ke lantainya
sembari berdoa, Wahai Dzat Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku!. Dan siapa pun yang menelaah
secara utuh tentangnya melalui karya yang ditinggalkannya, akan menemukan kalimat-kalimat yang
membuktikan kedalaman marifatnya kepada Allah dan kecintaannya pada makhluk-Nya.[31]
AHWAL DAN MAQAMAT MENURUT IBNU TAIMIYAH

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, dasar utama agama ini sebenarnya adalah ilmu dan amal yang
bersifat bathiniyah, dan amalan lahiriah tidak akan bermanfaat tanpa (hal-hal yang bersifat
bathiniyah) itu.[32] Oleh sebab itu, berangkat dari konsep universalitas Islam untuk semesta, Ibnu
Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqamat tertentu
hanyalah milik kalangan khas, dan tidak bisa menjadi milik kalangan yang mereka sebut- awam.
Baginya, semua ahwal dan maqamat itu, karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi
dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim,
tanpa sekat-sekat awam dan khas.

Terkait dengan itu, ia misalnya- menyatakan, Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada
Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas dam ridha juga pada-Nya; semuanya adalah perkara yang
diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu
(awam dan khas pen) bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.[33]

Berikut ini akan diulas beberapa maqamat dan ahwal yang diuraikan secara panjang lebar oleh Ibnu
Taimiyah dalam berbagai karyanya.

Maqamat Menurut Ibnu Taimiyah

1. Maqam taubat

Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut jumhur kaum sufi.[34] Itulah
sebabnya, dalam al-Tuhfah al-Iraqiyyah (hal. 27), Ibnu Taimiyah mengawalinya dengan ulasan
tentang taubat. Ia menegaskan bahwa sebagaimana dalam al-Quran[35]- Allah sangat mencintai
orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya, dan bahwa taubat merupakan salah satu
karakter penting seorang wali Allah.

Taubat menurut Ibnu Taimiyah- adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba setiap waktu,
Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah jua, maka ia
selalu membutuhkan taubat dan istighfar. Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan imam
kaum bertakwa, (Muhammad) saw selalu beristighfar di setiap waktu dan kondisi.[36]

Di dalam al-Quran, setiap kali Allah menyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan selalu disertai
dengan penyebutan taubat dan istighfar. Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga
menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta.

Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya. Adapun
berdasarkan hukum, taubat menurutnya- dibagi menjadi dua:

Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah.
Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf, sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-
Nya dalam al-Quran dan al-Sunnah.[37]

Allah berfirman, Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai kaum beriman, agar kalian
mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Nur: 31)

Rasulullah saw bersabda, Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kalain kepada Allah, sebab aku
bertaubat dalam sehari sebanyak 100 kali.[38] Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari
meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh. [39] Adapun taubat ditinjau dari sisi
tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 tingkatan:

Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan melakukan jenis
taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib.
Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua jenis taubat
di atas; taubat yang wajib dan mustahabbah.

Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis taubat
tersebut.

Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa baik-tidaknya kehidupan hamba kelak di sisi
Tuhannya ditentukan oleh bagaimana ia mengakhiri hidupnya (khatimah). Apa yang ia lakukan di
awal-awal hidupnya tidaklah dapat menjadi ukuran kesuksesannya di akhirat jika kemudian ia
menutup hidupnya dengan lembaran hitam. Sebab sebagaimana amal sangat bergantung pada niat
memulainya, ia juga bergantung pada bagaimana seorang hamba mengakhirinya.[40]

2. Maqam Tawakkal

Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah serta
mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan. Dan maqam ini merupakan maqam yang
menjadi kewajiban kalangan awam dan khas secara umum. Tidak sebagaimana yang dipandang oleh
sebagian sufi bahwa maqam tawakkal ini terlalu tinggi sehingga terlalu sulit untuk memahami dan
mengamalkannya.[41] Dalam menegaskan konsepnya bahwa maqamat itu merupakan kewajiban
semua kalangan tanpa ada perbedaan antara awam dan khas, Ibnu Taimiyah menyatakan , Dan
barangsiapa yang mengatakan bahwa maqamat ini hanya untuk kalangan awam dan bukan untuk
kalangan khas, maka ia telah keliru jika yang ia maksud bahwa kalangan khas telah keluar( dari
kewajiban itu). Sebab tidak ada seorang mukmin pun yang keluar (dari kewajiban menjalani
maqama itu pen). Yang keluar (dari kewajiban maqama itu) hanyalah orang kafir atau
munafik.[42]

Dalam menjelaskan maqam tawakkal ini, -setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang umum
dipahami oleh para sufi-, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini menjadi dua: (1) tawakkal dalam
urusan dien, dan (2) tawakkal dalam urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi hanya
mengaitkan maqam tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut
mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang
pertama, dan bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang
mutawakkil (bertawakkal) menurutnya- adalah: (Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan
keshalehan hati dan agamanya, serta penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh
sebab itu ia selalu bermunajat kepada Rabb-nya di setiap shalat: Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong(QS. Al-Fatihah:5), seperti dalam firman
Allah Taala: Maka sembahlah Ia dan bertawakkallah pada-Nya.(QS.Hud:123)[43]

Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah bahwa
ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak menjadi penghalang (baca: tidak menjadi
alasan) untuk tidak bekerja keras dan menempuh sebab-sebab kauniyah dalam mencapai sesuatu.
Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang hamba
tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan pandangan ini
menurut Ibnu Taimiyah- disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah
ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan
manusia di sana. Atau dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa ketika Allah menakdirkan
sesuatu, maka Allah pun menakdirkannya bersama dengan sebab-sebab pemunculannya. Dan
sebab-sebab pemunculan sesuatu yang ditakdirkan itu telah ditetapkan Allah pula; baik melalui jalan
sang hamba itu sendiri, atau jalan lainnya. Intinya, segala sesuatu itu ditakdirkan satu paket dengan
sebab-sebabnya. Dan pada sebab-sebab itulah manusia bermain.[44]

3. Maqam Zuhud
Rasulullah saw pernah bersabda, Bila engkau melihat seseorang yang dikaruniai kezuhudan
terhadap dunia dan sedikit berbicara, maka mendekatlah padanya, karena sesungguhnya ia telah
dianugrahi hikmah.[45]

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru adalah meninggalkan segala sesuatu yang
akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Taala, dan bahwa apapun yang dapat
menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan.
Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negri akhirat, maka meninggalkannya adalah
kezuhudan.[46] Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan
kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta sang hamba dalam
kehidupan.[47] Kezuhudan juga tidak identik dengan kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia
tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia
zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut zahid jika
hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya.

Itulah beberapa di antara maqamat yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah, disamping tentu saja
beberapa maqam lain yang juga dibahasnya.[48]

Ahwal Menurut Ibnu Taimiyah

Salah satu ahwal yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Di sini terlihat bahwa
mungkin penempatan ini tidak sama dengan pandangan sebagian sufi yang menempatkan al-
mahabbah sebagai maqam. Ini tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para sufi dapat dikatakan
sepakat atas perbedaan maqam dan hal bahwa maqam adalah sesuatu yang diusahakan oleh
seorang hamba, sedangkan hal adalah anugrah dari Allah dan bersifat sementara atau tidak
tetap[49]-, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu termasuk maqamat atau ahwal sangat
bergantung pada hasil ijtihad masing-masing mereka. Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah
sebuah kecenderungan hati tanpa beban (paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya.

Al-Mahabbah inilah yang ditetapkan dalam al-Quran dan al-Sunnah serta disepakati oleh para salaf
shaleh, imam-imam hadits dan tasawwuf.[50] Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah
adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.[51]
Jika penghambaan kepada Allah menyatukan 2 unsur: cinta yang sempurna dan ketundukan yang
utuh pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan
kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah. Sehingga semakin
bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin bertambah pula penghambaan pada-Nya.
Dan semakin bertambah penghambaan manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selain-
Nya.[52] Di titik inilah kebahagiaan manusia mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya
bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq.
Ibnu Taimiyah mengatakan, Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan,
bergembira, merasakan kebaikan dan keteguhan, serta meraih ketenangan kecuali dengan
menghamba pada Rabbnya, mencintai dan kembali pada-Nya.[53]

Dalam uraian tentang al-mahabbah, Ibnu Taimiyah juga menyinggung tentang kecintaan seorang
murid kepada seorang syekh sufi. Di sini, ia mengingatkan bahwa mencintai seorang syekh sufi yang
menyelisihi syariat hanya akan membawa kebinasaan. Berbeda dengan mencintai para wali Allah
yang bertaqwa, seperti para Khulafa al-Rasyidun, mencintai mereka adalah termasuk ikatan tali
iman paling kuat dan salah satu kebaikan terbesar orang-orang bertaqwa.[54] Itulah sebabnya, Ibnu
Taimiyah kemudian memperluas konsep cinta karena Allah hingga kemudian mencakupi seluruh
kaum beriman, dan karena itu ia sangat mengkritik fanatisme kepada salah satu syekh sufi tertentu
lalu membenci syekh yang lain.[55] Menurutnya, setiap orang beriman berhak mendapatkan cinta
kita sesuai dengan kadar ketaatan dan kedekatannya pada Allah. Semakin dekat dan taat ia pada
Allah, maka semakin tinggi pula kadar kecintaan yang wajib kita berikan.

KONSEP WALI MENURUT IBNU TAIMIYAH

Salah satu tema penting lain yang dikaji dalam Tasawuf adalah kewalian. Kata wali sendiri secara
kebahasaan maknanya berputar pada kedekatan. Karena itu bila dikatakan wali sesuatu, maka
maknanya adalah yang dekat dengan sesuatu tersebut. [56] Maka dalam kajian Tasawuf, wali
kemudian bermakna kedekatan hamba pada Allah dan sebaliknya juga- kedekatan Allah pada sang
hamba. Kedekatan secara fisikal (dzaty) tentulah tidak mungkin dalam hal ini, tetapi yang dimaksud
adalah kedekatan sang hamba dengan keimanan dan taqwanya, serta kedekatan Allah kepadanya
dengan segala rahmat, kasih sayang dan karunia kebaikan-Nya yang khas. Bila kedua hal ini telah
bertemu, maka disitulah terjadi apa disebut dengan al-walayah (hubungan perwalian antara Allah dan
hamba).[57] Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, konsep wali pun tidak jauh berbeda dengan apa yang
umum diyakini oleh para sufi. Ia mengatakan, Wali Allah adalah orang yang mendekatkan dan
memberikan loyalitasnya kepada-Nya dengan jalan menepati apa yang Ia cintai dan ridhai, serta
mendekatkan diri dengan ketaatan-ketaatan yang diperintahkan-Nya.[58]

Berdasarkan ini, maka ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kata auliya Allah (wali-wali Allah) itu
mencakup siapa saja yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang memiliki iman dan taqwa, maka ia
sesungguhnya juga adalah wali Allah, meskipun kemudian kadar kewalian itu tidak sama pada setiap
orang; sangat bergantung pada kepatuhannya pada kehendak Allah.

Perluasan konsep wali oleh Ibnu Taimiyah ini, salah satunya didasarkan pada firman Allah, Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS.Yunus:
62-63). Di dalam ayat ini, Allah seperti menegaskan bahwa untuk menjadi wali Allah yang tidak
pernah merasa takut dan cemas hanya memerlukan dua syarat: iman dan taqwa. Sebagai
konsekwensi konsep ini, Ibnu Taimiyah kemudian membagi wali Allah menjadi 2 golongan besar. Ia
menyatakan, Dan wali-wali Allah Taala itu terbagi menjadi dua kelompok: Sabiqun muqarrabun
dan Ashab yamin muqtashidun. Allah menyebutkan tentang mereka di beberapa tempat dalam al-
Quran al-Karim. Di dalam surah al-Waqiah, Allah mengatakan, (7-14). Lalu di akhir surat yang sama,
Ia mengatakan, (88-95).

Maka orang-orang berbakti (al-Abrar) Ashab al-Yamin- itu adalah mereka yang mendekatkan diri
pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardhu. Mereka melakukan apa yang diwajibkan Allah
atas mereka, meninggalkan apa yang diharamkan Allah buat mereka. Mereka tidak membebani diri
dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah. Adapun para
Sabiqun muqarrabun, mereka adalah yang mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah nafilah
setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang wajib dan juga yang sunnah, serta
meninggalkan yang haram dan juga yang makruh. Sehingga ketika mereka mendekatkan diri (pada
Allah) dengan semua yang mampu mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun
mencintai mereka dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang
disebutkan dalam firman-Nya (al-nisa: 69). Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang
mubah pun dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah Azza wa Jalla. Sehingga
semua amal mereka pun menjelma menjadi ibadah dan penghambaan.[59]

Ibnu Taimiyah Menetapkan Adanya Karamah Wali

Ibnu membahas masalah ini secara panjang lebar. Pada intinya, ia mengakui dan menyepakati
adanya karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Dan karamah ini diberikan oleh Allah
kepada hamba yang dipilih-Nya; baik itu dari kalangan para nabi, ataupun selain mereka. Dan
karamah ini selalu berwujud perkara-perkara yang khariq li al-adat atau di luar kebiasaan umum
makhluk (baca: luar biasa).

Karena itu, Ibnu Taimiyah kemudian membagi perkara-perkara yang khariq li al-adat ini menjadi 2
bagian besar: (1) yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, dan (2) yang terjadi pada selain para
rasul. Adapun yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, maka ia dikenal dengan istilah mujizat.
Ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang disertai dengan unsur tantangan (al-
tahaddi) kepada yang ingkar. Perkara-perkara luar biasa semacam ini jelas tidak memiliki tujuan apa-
apa selain untuk kebaikan manusia itu sendiri, sebab ini akan menguatkan kebenaran wahyu
petunjuk yang dibawa oleh para nabi dan rasul.[60]

Sedangkan perkara-perkara luar biasa yang terjadi pada selain para nabi dan rasul, Ibnu Taimiyah
membaginya menjadi 3 jenis berdasarkan tinjauan dan pandangan syariat padanya. Dalam hal ini, ia
mengatakan, Perkara luar biasa itu, jika menghasilkan manfaat keagamaan, maka ia termasuk amal
shaleh yang diperintahkan secara agama dan syari. Dan jika ia menghasilkan perkara yang mubah,
maka ia termasuk salah satu kenikmatan Alla yang bersifat duniawi yang mengharuskan (ia)
bersyukur. Namun jika ia mengandung perkara yang terlarang, maka ia diharamkan dan dapat
menjadi sebab (datangnya) adzab atau kemurkaan (Allah)[61]

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia membagi perkara dan peristiwa luar biasa itu sebagaimana
telah disebutkan- menjadi 3 jenis berdasarkan pandangan agama padanya:

1. Yang terpuji dalam agama (mahmud fi al-din).


2. Yang tercela dalam agama (madzmum fi al-din).
3. Yang mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela.

Jika ia mengandung manfaat, maka ia adalah nikmat. Sementara jika tidak mengandung manfaat apa
pun, ia tidak lebih dari perkara yang sia-sia.[62] Ia juga memandang bahwa perkara yang luar biasa
itu, sebagaimana dapat terjadi di tangan para shiddiqun yang shaleh, ia juga dapat terjadi melalui
tangan manusia lain yang tidak seperti mereka; baik itu dari kalangan manusia biasa, bahkan dari
kalangan manusia durjana sekalipun.

Tetapi di luar itu semua, Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa karamah itu sendiri tidak serta merta
dapat menyimbolkan keutamaan seseorang. Seseorang yang dikaruniai keteguhan dan konsistensi
(istiqamah) dalam agama jauh lebih baik daripada orang yang hanya mendapatkan karamah.[63]
Itulah sebabnya, ia menukil sebuah ungkapan bijak Abu Ali al-Jauzjani salah seorang syekh sufi
besar di Khurasan-, Jadilah orang yang mencari keistiqamahan, bukan pencari karamah. Sebab
jiwamu memang tertarik untuk mencari karamah, tapi Tuhanmu menuntut dan memintamu untuk
selalu istiqamah.[64] Dalam kajiannya tentang karamah dan wali, Ibnu Taimiyah pada akhirnya
menyimpulkan bahwa hubungan kewalian (al-walayah) seorang hamba dengan Allah tidaklah harus
menyebabkan ia mendapatkan atau mengalami peristiwa yang luar biasa (khariq li al-adat). Bahkan
menurutnya- bisa saja seorang wali samasekali tidak mengalami atau memiliki hal tersebut.
Sebagaimana juga sebaliknya, bisa saja Allah membuat seorang pendurhaka dan pendosa
mengalami dan memiliki kemampuan melakukan hal-hal yang luar biasa (seperti berjalan di air atau
di udara). Dan hal-hal luar biasa itu tidak kemudian membuatnya menjadi wali Allah. Dalam hal ini,
Ibnu Taimiyah selalu menegaskan bahwa wali Allah yang sesungguhnya hanyalah mereka yang
beriman dan memiliki ketakwaan sejati, sebagaimana disebutkan Allah dalam surah Yunus, Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS.Yunus:
62-63).

Demikianlah, maka perkara-perkara luar biasa itu tidak dapat dijadikan sebagai parameter
kebenaran, sebab mereka yang mengalaminya memiliki kemungkinan untuk salah dan benar. Mereka
tidak selamanya berada di atas kebenaran. Karena itu, Ibnu Taimiyah menyatakan, Orang-orang
yang mengalami mukhathabah dan mukasyafah[65] terkadang benar dan terkadang pula salah.
Persis seperti mereka yang melakukan penelitian dan penyimpulan dalil saat melakukan ijtihad. Oleh
sebab itu, menjadi kewajiban mereka semua untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya, serta menimbang semua wajd, musyahadah, pendapat dan rasio merkea
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW.[66]

Dengan demikian, Ibnu Taimiyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa


spiritual oleh para sufi, seperti kasyf, wajd, ilham, dan yang semacamnya. Akan tetapi, yang
terpenting menurutnya- apa pun peristiwa itu, ia tidak dapat serta merta dijadikan sebagai ukuran
kebenaran. Peristiwa-persitiwa semacam itu baginya- tidak jauh berbeda dengan proses ijtihad yang
dilakukan oleh para fuqaha misalnya- yang memiliki kemungkinan salah maupun benar. Dan untuk
menentukan sejauh mana kebenaran dan kesalahannya, maka satu-satunya timbangan yang
digunakan adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

PENUTUP

Tentu saja tulisan singkat ini belum sepenuhnya sempurna dan utuh dalam menggambarkan serta
menguraikan pandangan-pandangan khas Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf. Tetapi dari uraian di atas,
setidaknya ada titik-titik penting yang dapat disimpulkan seputar hubungan antara Tasawuf dan sosok
Ibnu Taimiyah sendiri. Setidaknya dari sini dapat terungkap bahwa kontroversi Ibnu Taimiyah dalam
menyikapi Tasawuf yang berkembang di zamannya tidak lebih dari sebuah wujud kegelisahan dan
kekhawatirannya jika jalan sufi itu justru tidak mencapai tujuan tertingginya; yaitu mengantarkan
seorang hamba menuju Allah Taala. Itulah sebabnya, ia selalu berusaha mengikat pandangan-
pandangan Tasawufnya dengan wahyu. Maka tidaklah mengherankan jika ia sering merujuk kepada
pandangan-pandangan para syekh sufi generasi awal yang dalam pandangannya masih teguh
menjaga jalan sufi ini tetap dalam bingkai wahyu dan tidak dipengaruhi oleh ide-ide asing-.
Demikianlah, dan waLlahu Taala ala wa alam.

(Sumber :www.abulmiqdad.multiply.com)

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Aqidah wa al-Syariah fi Al-Islam: Goldziher, Diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh: DR.
Muhammad Yusuf Musa, dkk. Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, Cetakan kedua. Tahun 1959.
2. Al-Bidayah wa al-Nihayah: Ibnu Katsir, Maktabah al-Maarif, Beirut, Cetakan pertama, Tahun
1966.
3. Dairah al-Maarif al-Islamiyah: Ibrahim Zaki Khurshid, Mathbaah al-Syaab, Tahun 1969.
4. Al-Durar al-Kaminah fi Ayan al-Miah al-Tsaminah: Ibnu Hajar al-Asqalany, Dar al-Maarif,
Cetakan pertama, Tahun 1947.
5. Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Harun Nasution, Pustaka Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan
kesebelas, Agustus 2004.
6. Al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan: Ibnu Taimiyah, Maktabah Shubaih,
Cetakan tahun 1378 H/1958 M.
7. Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa Ashruhu: Muhammad Abu Zahrah, Dar al-Fikr al-Araby, Tahun
1946.
8. Al-Islam wa al-Tashawwuf: Syaikh Mushtafa Abd al-Raziq, Editor: Zaky Khurshid dan Abd al-
Halim Yunus, Mathbaah al-Syab, Kairo, t.t.
9. Jami al-Rasail: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Mathbaah al-Madany,
Cetakan tahun 1389 H/1969 M.
10. Kitab al-Iman: Ibnu Taimiyah, Koreksi: Muhammad Khalil Harras, Dar al-Thibaah al-
Muhammadiyah, Kairo, t.t.
11. Al-Luma: Abu Nashr al-Thusy, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, Tahun 1971.
12. Majmu al-Fatawa: Ibnu Taimiyah, Dikumpulkan oleh Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim,
Mathabi al-Riyadh, Cetakan pertama, t.t.
13. Majmuah al-Rasail al-Kubra: Ibnu Taimiyah, Mathbaah Ali Shubaih, Tahun 1385 H/ 1966 M.
14. Majmuah al-Rasail wa al-Masail: Ibnu Taimiyah, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, t.t.
15. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Tajdidy al-Salafy wa Dawatuhu al-Ishlahiyah: DR. Said
Abdul Azhim, Dar al-Iman, Alexandria, Cetakan tahun 2004.
16. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim,
Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. t.t.
17. Al-Mujam al-Falsafy: DR. Abd al-Munim al-Hifny, al-Dar al-Syarqiyah, Kairo, Cetakan pertama,
Tahun 1410 H/1990 M.
18. Al-Mujizah wa Karamat al-Auliya: Ibnu Taimiyah, Maktabah al-Syarq al-Jadid, Baghdad, t.t.
19. Mukhtar al-Shihah: Abu Bakr al-Razy, Al-Mathbaah al-Amiriyyah, Kairo, t.t.
20. Nasyat al-Fikr al-Falsafy: DR. Ali Samy al-Nasysyar, Dar al-Maarif, Cetakan kelima, Tahun
1971.
21. Al-Qamus al-Muhith: Muhammad ibn Yaqub al-Fairuz Abady, Muassasah al-Risalah, Beirut,
Cetakan kedua, Tahun 1987.
22. Al-Risalah al-Qusyairiyah: Abu al-Qasim al-Qusyairy, Tahqiq: DR. Abdul Halim Mahmud, Dar al-
Talif, Cetakan pertama, Tahun 1385 H/ 1966 M.
23. Al-Shufiyah wa al-Fuqara: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Jamil Ghazi, Mathbaah al-
Madany, Mesir, t.t.
24. Al-Siyasah al-Syariyyah fi Ishlah al-Raiy wa al-Ra iyah: Ibnu Taimiyah, Al-Maktabah al-
Tijariyyah al-Kubra, Mesir, t.t.
25. Sunan Ibnu Majah: Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mathbaah al-Halaby, Mesir, t.t.
26. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: Ibn al-Imad al-Hanbaly, Al-Maktabah al-Tijariyah,
Beirut, t.t.
27. Syuab al-Iman: Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqy, Tahqiq: Muhammad al-Sayyid
Zaghlul, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Tahun 1410 H/1990 M.
28. Al-Taarruf li Madzahib Ahl Al-Tashawwuf: Syaikh Abu Bakr al-Kalabadzy, Dar al-Ittihad al-Araby,
Cetakan pertama, Tahun 1389 H/1969 M.
29. Tadzkirah al-Huffazh: Al-Dzahaby, Cetakan Haidar Abad, t.t.
30. Tafsir al-Razy (al-Tafsir al-Kabir): Fakhr al-Din al-Razy, Dar Ihya al-Turats al-Araby, Beirut, t.t.
31. Al-Tashawwuf: Ibnu Taimiyah (Lih. Majmu al-Fatawa).
32. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah: DR. Abd al-Fattah Muhammad Sayyid Ahmad,
Dar al-Wafa, Kairo, Cetakan pertama. 1420 H/ 2000 M.
33. Thabaqat al-Shufiyyah: Abu Abd al-Rahman al-Sulamy, Tahqiq: DR. Ahmad al-Syarbashy,
Mathbaah al-Syab, t.t.
34. Al-Tuhfah al-Iraqiyyah fi al-Amal al-Qalbiyyah: Ibnu Taimiyah, Al-Mathbaah al-Salafiyyah, Kairo,
Tahun 1386 H.
35. Al-Ubudiyyah: Ibnu Taimiyah, Dar al-Talif, Cetakan ketiga, Tahun 1366 H/1947 M.
36. Al-Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: Ibnu Abd al-Hady, Tahqiq:
Muhammad Hamid al-Faqy, Kairo, Tahun 1357 H/1937 M.
37. Al-Wabil al-Shayyib min al-Kalim al-Thayyib: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tahqiq: Muhammad
Basyir Uyun, Maktabah Dar al-Bayan, Beirut, Cetakan kelima, 1995.

[1] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 13-15.


[2] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 1/104, al-Durar al-Kaminah, 1/144.
[3] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/308, Tadzkirah al-Huffazh, 4/288.
[4] Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, 2/288, al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, 189-
190.
[5] Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 20. Kisah juga menjadi jawaban terhadap pandangan
sebagian pemikir Islam terutama saat membahas puisi-puisi al-Hallaj dan yang semacamnya- yang
mengatakan bahwa para ulama yang mengkritisi mereka seperti Ibnu Taimiyah samasekali tidak
memahami bahasa-bahasa puisi dan sastra. Tentu sangat sulit diterima akal sehat, jika Ibnu
Taimiyah yang dengan cepat dapat menggubah syair ternyata tidak dapat memahami syair-syair al-
Hallaj. Perlu juga diketahui, bahwa penguasaan terhadap syair sebagai bagian dari keahlian bahasa
adalah hal yang umum dikuasai oleh para ulama Islam terdahulu. Ini tidak lain, karena mereka
meyakini bahwa memahami al-Quran dan al-Sunnah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan
penguasaan bahasa yang mumpuni. Wallahu alam.
[6] Lih. Syadzarat al-Dzahab, 6/71, al-Bidayah wa al-Nihayah, 14/132-133.
[7] Lih. Dairah al-Maarif al-Islamiyah, hal. 235.
[8] Ibid., hal. 21
[9] Al-Wabil al-Shayyib, hal. 57.
[10] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 22-23.
[11] Ibid., hal. 23.
[12] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 23. Ketika sultan meminta Ibnu Taimiyah untuk
memberi fatwa untuk menghabisi kelompok Ibnu Makhluf al-Maliky, Ibnu Taimiyah malah
mengatakan, Apa jadinya kerajaan Anda jika didukung oleh para ulama itu?
[13] Lih. al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 25, al-Luma, hal. 26, Al-Tashawwuf baina al-
Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 200.
[14] Majmu Fatawa, 11/60 tema al-Tashawwuf, al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-
Syaithan, hal. 16.
[15] Lih. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 36-37.
[16] Lih. al-Tashawwuf, hal. 29. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 36.
Lihat juga Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 48.
[17] Ibid., hal. 69.
[18] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/368.
[19] Lih. al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 58.
[20] Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/6-7. Salah kisah yang dijadikan bukti tentang hal ini
oleh Ibnu Taimiyah adalah kisah kematian Abu Jubair al-Ama. Dikisahkan oleh Shalih al-Murry,
Suatu ketika, aku membacakan ayat al-Quran kepada seorang ahli ibadah (maksudnya: Abu Jubair
al-Ama pen): Pada hari wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata,
Duhai andaikata dulu kami menaati Allah dan menaati RasulNya. (QS. al-Ahzab: 66). Ia pun
pingsan. Tidak lama kemudian ia sadar kembali, dan berkata, Tambahlah bacaanmu, wahai Shalih!
Maka aku pun membaca: Setiap kali mereka ingin keluar darinya (neraka), mereka pun dikembalikan
ke dalamnya.(QS. al-Sajadah: 20). Ia pun tersungkur dan meninggal dunia. Lih. Ithaf al-Sadat al-
Muttaqin, 9/255. [21] Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19.
[22] Al-Shufiyyah wa al-Fuqara, hal. 26.
[23] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19-20.
[24] Lih. Al-Furqan baina Auliya al-Rahman wa Auliya al-Syaithan, hal. 58.
[25] Al-Siyasah al-Syariyyah, hal. 179. [26] Seperti yang disebutkan oleh Goldziher dalam al-Aqidah
wa al-Syariah dan Louis Massignon dalam Dairah al-Maarif al-Islamiyah terma Tasawuf, 5/273.
[27] Lih. Syarh alAqidah al-Ishfahaniyah, hal. 128. Di sini secara khusus ia memuji pemuka-pemuka
sufi seperti Al-Fudhail bin Iyadh (w.187 H) dan Maruf al-Karkhy.
[28] al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 38. [29] Majmu al-Rasail al-Kubra, 2/324. Lih. juga pengakuannya
yang lain dalam Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/418.
[30] Lih. Pengantar Syekh Husnain Makhluf terhadap Risalah al-Mustarsyidin, hal. 10.
[31] Lih. Al-Uqud al-Durriyah, hal. 26, Majmu al-Fatawa, 11/75, dan Nasyat al-Fikr al-Falsafy fi al-
Islam, 3/15.
[32] Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/15.
[33] Op.cit., 10/16. Lih. juga al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 16. Ibnu Taimiyah juga mengkritik dampak
pembagian ahwal dan maqamat menjadi untuk awam dan khas yang menyebabkan munculnya
sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit
dan membingungkan. Bahkan terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja
untuk menunjukkan ketinggian maqam sang sufi.
[34] Lih. Al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 77.
[35] QS. Al-Baqarah: 222.
[36] Al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 64.
[37] Lih. Jami al-Rasail, hal.227.
[38] HR. Muslim no. 2702.
[39] Lih. Jami al-Rasail, hal. 227.
[40] Lih. Al-Suluk, hal.219.
[41] Lih. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 221.
[42] Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/17.
[43] Majmu al-Fatawa, 10/18.
[44] Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/21-22.
[45] HR. Ibnu Majah, no. 4101, dan al-Baihaqy dalam Syuab al-Iman, no. 10529.
[46] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/28-29.
[47] Lih. Majmu al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu Taimiyah
juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat sah keislaman
seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan.
[48] Diantaranya misalnya maqam ridha, ubudiyyah, khauf dan raja. Lih. Majmu al-Fatawa 10/616,
al-Tuhfah al-Iraqiyyah hal.58, al-Ubudiyyah hal. 43, dan Kitab al-Iman hal. 19.
[49] Lih. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, hal. 54. Lihat catatan kaki sebelumnya (no. 48) dimana
Ibnu Taimiyah menganggap khauf sebagai salah satu maqamat, sementara dalam literatur Tasawuf
lain khauf dikategorikan sebagai salah satu ahwal.
[50] Lih. Al-Tuhfah al-Iraqiyyah, hal. 73.
[51] Ibid., hal.45.
[52] Majmu al-Fatawa, (10/193).
[53] Ibid., (10/194)
[54] Majmu al-Fatawa, (18/315).
[55] Ibid., (18/320).
[56] Lih. Mukhtar al-Shihah, hal. 736-737, al-Qamus al-Muhith, 4/401, Tafsir al-Razy, 7/17, al-Islam
wa al-Tashawwuf, hal. 49-50.
[57] Lih. Al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 50.
[58] Majmuah al-Rasail wa al-Masail, (1/50).
[59] Al-Tashawwuf, hal. 76.
[60] Lih. Al-Rasail wa al-Masail, (5/154).
[61] Al-Mujizah wa Karamat al-Auliya, hal. 39.
[62] Lih. Al-Rasail wa al-Masail, 5/158, Majmu al-Fatawa, 11/320, al-Mujizah wa Karamat al-Auliya,
hal. 40.
[63] Lih. Ibn Taimiyah, Hayatuhu wa Ashruhu wa Arauhu wa Fiqhuhu, hal. 318.
[64] Thabaqat al-Shufiyyah, hal. 58.
[65] Mukhathabah dan mukasyafah adalah istilah yang biasa digunakan kaum sufi untuk
menunjukkan jalan dan cara seorang sufi mendapatkan ilmu, baik itu melalui pendengaran yang
ghaib (mukhathabah) atau mukasyafah (penyingkapan tabir yang ghaib melalui ilham). Lih. Al-Mujam
al-Falsafy, hal. 278. [66] Al-Rasail wa al-Masail, (1/53).

Sumber Tulisan: http://wahdah.or.id/tasawuf-ibnu-taimiyah/

Anda mungkin juga menyukai