Sindroma Metabolik Karena Penggunaan Antipsikotik Atipikal Jesika
Sindroma Metabolik Karena Penggunaan Antipsikotik Atipikal Jesika
PENDAHULUAN
Antipsikotik generasi kedua (Atipikal) saat ini telah luas digunakan sebagai
pengobatan Skizofrenia dan gangguan mental lainnya. Antipsikotik atipikal ini dihubungkan
dengan rendahnya insiden sindrom ekstrapiramidal. Antipsikotik generasi ini lebih efektif
dibandingkan generasi pertama (Tipikal) untuk simptom negatif, simptom mood, dan
gangguan kognitif. Selain itu, efikasinya lebih baik dibandingkan dengan generasi pertama.1
Meski demikian, pemberiannya tidak terlepas dari risiko diabetes, weight gain, dan
dislipidemia.2 Pada 2005, The Clinical Antipsychotic Trials of Intervention Effectiveness
(CATIE) mengindikasikan bahwa efektivitas penggunaan antipsikotik generasi kedua ini
berkontribusi pula pada peningkatan prevalensi sindrom metabolik.1,2 Awalnya hanya
terlihat jelas hubungannya dengan peningkatan berat badan dan obesitas. Namun, penelitian
saat ini menyatakan bahwa risiko dislipidemia, diabetes, penyakit kardiovaskuler, dan
kematian mendadak dihubungkan dengan penggunaan antipsikotik ini. Seseorang dengan
gangguan mental mengalami peningkatan kesakitan dan kematian, terutama dikaitkan dengan
penyakit kardiovaskuler. Hasil penelitian meta-analisis pada pasien dengan skizofrenia
memperlihatkan risiko kematian dini akibat kondisi medis lebih besar 2 kali lipat
dibandingkan populasi umum. Di Amerika Serikat, penyakit kardiovaskuler merupakan
penyebab kematian utama seseorang dengan penyakit mental.
1
ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL
Antipsikotik Atipikal (AAP), yang juga dikenal sebagai antipsikotik generasi kedua,
adalah kelompok obat penenang antipsikotik digunakan untuk mengobati kondisi jiwa.
Beberapa antipsikotik atipikal disetujui FDA untuk digunakan dalam pengobatan skizofrenia,
mania akut, depresi bipolar, agitasi psikotik, pemeliharaan bipolar, dan indikasi lainnya.
Kedua generasi obat cenderung untuk memblokir reseptor dalam jalur dopamin otak, tetapi
antipsikotik atipikal berbeda dari antipsikotik tipikal, dimana antipsikotik tipikal cenderung
dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal pada pasien, yang meliputi penyakit gerakan
Parkinsonisme, kekakuan tubuh dan tremor tak terkontrol. Gerakan-gerakan tubuh yang
abnormal bisa menjadi permanen bahkan setelah obat antipsikotik dihentikan.3
2
Zotepine (Nipolept)
3
SINDROMA METABOLIK AKIBAT ANTIPSIKOTIK
ATIPIKAL
Istilah sindrom metabolik pertama kali dikenalkan pada 1970 oleh peneliti Jerman
yang menghubungkannya dengan aterosklerosis. Istilah lain yaitu resistansi insulin, mulai
dikenal tahun 1980-an. Sindrom metabolik dikenal juga sebagai Sindrom Resintansi Insulin
atau Sindrom X.4 Sindrom metabolik adalah gangguan multi-sistem di mana terdapat
kelompok gangguan (ketidaknormalan) disertai peningkatan risiko penyakit kardiovaskular
dan obesitas. Termasuk di dalamnya gangguan keseimbangan metabolisme glukosa, obesitas,
hiperlipidemia, dan hipertensi.1,4 Secara umum, kecenderungan sindrom metabolik dapat
terjadi apabila seseorang memiliki faktor risiko berikut: usia > 65 tahun, pasca-menopause,
Body Mass Index (BMI=IMT) tinggi, merokok, intake karbohidrat tinggi, dan aktivitas fisik
rendah.4,6
Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila terdapat 3 atau lebih dari 5 faktor
risiko sebagai berikut: obesitas abdominal, kadar trigliserida tinggi, kadar kolesterol High
Density Low rendah, hipertensi, dan peningkatan kadar glukosa puasa. Berikut adalah tabel
kriteria klinis sindrom metabolik.
4
Menurut data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III,
pasien dengan skizofrenia, terutama wanita, memiliki BMI lebih tinggi dibandingkan wanita
tidak dengan skizofrenia.7
5
antagonis pada saat bersamaan maka pusat makan di hipotalamus akan dipengaruhi sehingga
terjadi peningkatan nafsu makan.8
Sementara itu, antagonis M3 dapat menyebabkan gangguan pada regulasi insulin.
Reseptor X ini yang diduga mempercepat terjadinya resintansi insulin dan peningkatan kadar
trigliserida puasa. Terjadinya dislipidemi dan resintansi insulin ini memudahkan terjadinya
diabetes melitus dan penyakit kardivaskular. Mekanisme farmakologisnya belum diketahui
jelas, namun diduga karena adanya ikatan antipsikotik dengan reseptor X di jaringan lemak,
hati, dan otot.8
Selanjutnya, peningkatan berat badan akan mempermudah terjadinya obesitas dan
diabetes melitus serta penyakit kardiovaskuler dan inilah yang disebut metabolic highway.8
Metabolic highway dimulai dari peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan, dan
berlanjut pada obesitas, resintansi insulin, serta dislipidemia dengan peningkatan kadar
trigliserida puasa. Keadaan hiperinsulinemia mengakibatkan kegagalan sel beta pankreas,
prediabetes, dan diabetes. Bila telah terdapat diabetes melitus maka risiko penyakit
kardiovaskuler akan meningkat dan berisiko terjadi kematian dini.8,9 Faktor genetik dan ling-
kungan juga berperan pada penyakit kardiovaskuler dan diabetes. Faktor gaya hidup seperti
diet yang buruk, ketiadaan latihan/ olah raga, adanya stres, serta merokok akan berinteraksi
dengan faktor risiko genetik . Adanya riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dan
diabetes dihubungkan dengan kode genetik yang rentan secara molekular.8
Mekanisme lain adalah blokade reseptor kolinergik M3. Mekanisme ini kejadian yang
tiba-tiba Diabetic Ketoacidosis (DKA). Meskipun jarang, namun mekanisme ini merupakan
risiko kardiometabolik yang mengancam hidup. Kondisi ini juga dihubungkan dengan
hyperglycemic hyperosmolar syndrome (HHS). Mekanisme ini kompleks dan multifaktorial
dan saat ini masih terus diteliti. Diduga terdapat resintansi insulin, prediabetes, dan diabetes
yang tidak terdiagnosis dalam keadaan hiperinsulinemia yang terkompensasi, namun
kemudian menjadi dekompesasi pada pemberian antipsikotik atipikal akibat mekanisme
farmakologi yang terjadi.10
Neuron kolinergik parasimpatetik yang menginervasi pankreas bekerja pada reseptor
M3 paska sinaps yang terletak di sel Beta pankreas untuk pengaturan sekresi insulin. Sel
Beta inilah yang mensekresi insulin. Obat yang memblokade resptor kolinergik M3 di tempat
ini, seperti olanzapin dan clozapin yang merupakan antagonis muskarinik kolinergik (M3)
reseptor, akan menurunkan pengeluaran insulin.8 Bila hal ini terjadi pada pasien yang
tergantung pengaturan kolinergiknya pada pengeluaran insulin, dapat menjadi faktor yang
menyebabkan defisiensi insulin dan mempermudah terjadinya DKA/HHS. Sebetulnya, hal
6
ini masih spekulasi mengingat banyak pasien dengan blokade M3 reseptor tidak mengalami
gangguan pada sekresi insulinnya.8
7
Penelitian Preklinis telah menunjukkan perbedaan antara antipsikotik dalam respon
terhadap pelepasan insulin. Best et al (2005) mempelajari efek clozapine dan haloperidol
pada sel pankreas tikus in-vitro. Para penulis menunjukkan efek kontras clozapine dan
haloperidol pada fungsi sel pankreas. Clozapine tidak berpengaruh pada membran potensial
sel saat kadar glukosa darah puasa baik, tapi potensial membran terhiperpolarisasi ketika
konsentrasi glukosa tinggi. Sebaliknya membran terdepolarisasi haloperidol pada keadaan
puasa dan saat kadar glukosa terstimulasi. Efek dari dua obat pada aktivitas listrik hanya
sebagian menjelaskan efeknya pada pelepasan insulin. Clozapine menghambat sekresi insulin
dalam respon terhadap glukosa, yang dapat menjelaskan hiperglikemia dan diabetes yang
terkait dengannya. Namun tidak mempengaruhi 'pelepasan insulin basal'. Menariknya,
haloperidol tidak berpengaruh pada pelepasan insulin.11 Tovey et al (2005) membahas dua
pasien yang dirawat dengan clozapine, yang kemudian menderita diabetes melitus, saat tes
darah rutin. Tingkat gula darah kembali ke dalam kisaran normal setelah penghentian
clozapine di salah satu pasien, tapi tidak di yang lain.
8
berdasarkan risiko tertinggi yang menyebabkan peningkatan berat badan, yaitu clozapine >
olanzapine > risperidone = quetiapine > ziprazidone = aripripazole.12
9
bahwa penyebab hiperlipidemia adalah multi-faktorial, dengan resistensi insulin menjadi
penyebab utama. Mereka merancang 'rasio terdiri', termasuk afinitas mutlak antipsikotik
untuk reseptor neurotransmitter yang terlibat dalam pengaturan asupan makanan.
Efek antipsikotik pada dislipidemia dilaporkan oleh Koro. Berdasarkan penelitiannya
diketahui olanzapine dihubungkan dengan peningkatan 5 kali lipat risiko terjadinya
hiperlipidemia apabila dibandingkan tanpa antipsikotik. Sedangkan bila dibandingkan dengan
antipsikotik generasi pertama, peningkatannya 3 kali lipat. Hasil percobaan tersebut sejalan
menurut CATIE, yaitu risiko tertinggi dislipidemia pada pemakaian olanzapine.12
Pengaruh antipsikotik atipikal pada profil metabolisme pasien jiwa dipelajari di
sebuah pusat kesehatan jiwa masyarakat di Italia. Dalam sebuah survei cross sectional dari 76
pasien yang diobati dengan antipsikotik atipikal dibandingkan dengan 36 kontrol
nonpsihiatric, Tarricone dkk (2006) membandingkan prevalensi hiperglikemia,
hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia. Studi ini menemukan bahwa pasien yang
diobati dengan antipsikotik atipikal memiliki prevalensi hiperglikemia (p = 0,02) dan
hipertrigliseridemia (p = 0,007) yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Kelompok
perlakuan memiliki 8 kali kemungkinan lebih tinggi dari yang didiagnosis dengan
hiperglikemia dan 4 kali kemungkinan lebih tinggi dari yang didiagnosis dengan
hipertrigliseridemia. Penelitian ini menarik karena tidak menemukan perbedaan antar
antipsikotik atypicals yang berbeda, dengan semua antipsikotik atipikal dikaitkan dengan
efek metabolik yang merugikan. Dalam review grafik retrospektif terhadap 208 pasien yang
menderita gangguan skizofrenia, skizoafektif, atau gangguan mood diobati dengan
antipsikotik (tipikal atau atipikal), Gupta dkk (2003) menemukan peningkatan prevalensi
diabetes (17%), hipertensi (29%), dan hipertrigliseridemia (44%). Namun, studi ini tidak
menemukan perbedaan yang signifikan antara antipsikotik. Meskipun studi ini melibatkan
pasien nyata, faktor perancu seperti riwayat keluarga diabetes tidak dipertimbangkan dalam
studi cross-sectional. Pasien yang diobati dengan ziprasidone tidak dimasukkan dalam
penelitian ini.1
10
MONITORING DAN TATALAKSANA
Penting untuk memonitor dan mengatur respons metabolik pada pasien yang
diberikan antipsikotik atipikal. Pasien yang diberikan terapi antipsikotik generasi kedua
sebaiknya diukur berat badan serta indeks massa tubuhnya untuk mendeteksi berat badan dan
memeriksa kemungkinan diabetes dengan memeriksa kadar glukosa puasa terlebih dahulu,
kadar trigliserida puasa (baseline) , serta riwayat keluarga. Setelah itu, dimonitor secara
periodik selama pemakaian terapi.
Monitoring selanjutnya adalah dengan mengukur kadar trigliserida puasa sebelum
dan sesudah pemberian antipsikotik atipikal, sekaligus menilai apakah antipsikotik tersebut
menyebabkan dislipidemia dan peningkatan resintansi insulin. Jika terdapat peningkatan
bermakna BMI dan kadar trigliserida puasa maka perlu dipikirkan pemakaian antipsikotik
lain. Pada pasien dengan obesitas, dislipidemia, prediabetes dan diabetes, penting untuk
memonitor tekanan darah, kadar glukosa puasa, serta ukuran lingkar pinggar sebelum dan
sesudah pemberian antipsikotik atipikal. Untuk memberikan gambaran akurat tentang pasien
sebaiknya dibuat dokumentasi dalam tabel sederhana yang memuat 4 parameter utama yaitu:
berat badan dan BMI, kadar trigliserida puasa, kadar glukosa puasa, dan tekanan darah.
Pencatatan dilakukan secara berkala pada setiap pertemuan. Sebagai contoh,
seseorang yang diberikan antipsikotik sebaiknya diberikan jadwal untuk menilai berat
badannya pada minggu ke-4, ke-8, dan ke-12, dan seterusnya. Pemeriksaan tekanan darah,
kadar gula darah puasa, dan pengukuran profil lipid sebaiknya diulang minimal 12 minggu
sesudah pemberian antipsikotik pertama kali. Apabila ditemukan gejala seperti poliuria atau
polidipsi yang merupakan indikator hiperglikiemia ataupun didapatkan tanda-tanda
ketoasidosis diabetik seperti nausea, mual atau gangguan kesadaran, butuh evaluasi lebih
lanjut serta bekerjasama spesialis medis lain terkait.12
Penting mempertimbangkan compliance pasien pada pemberian antipsikotik atipikal
ini mengingat risiko kardiometabolik yang dapat timbul. Pasien sebaiknya diberi informasi
mengenai risiko ini pada awal pemberian terapi. Selain itu, pasien dianjurkan juga melakukan
latihan/olah raga serta konseling mengenai dietnya. Jika telah terjadi peningkatan berat
badan, mengganti antipsikotik yang digunakan dengan ziprazidone atau aripiprazole dapat
dipertimbangkan.8,9
Pada penggunaan clozapine bila telah diabetes, sebaiknya dievalusi ulang apakah
keuntungannya dibandingkan risiko yang timbul. Jika telah timbul diabetes dengan ketoa-
11
sidosis, sebaiknya clozapine dihentikan. Pada penggunaan risperidone, peningkatan berat
badan, peningkatan plasma lipid atau resintansi insulin relatif rendah. Meski demikian, tetap
dilakukan monitoring. Hal yang sama juga dilakukan pada penggunaan quetiapin. Sementara
itu, pada penggunaan olanzapine penting untuk melakukan monitoring secara teliti. Bila telah
terjadi peningkatan berat badan, menurut penelitian pemberian topiramat 100-200 mg per hari
dapat menurunkan berat badan. Pemberian H2 bloker seperti nizatidine dan famotidine dapat
membantu penurunan berat badan pula. Metformin dapat diberikan bila telah terjadi
gangguan metabolik. Untuk penggunaan ziprazidone dan aripriprazole, monitoring tetap
penting dilakukan.8,9
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Kannabiran M, Singh V (2008). Metabolic Syndrome and Atypical Antipsychotics: A
Selective Literature Review. German J Psychiatry 2008; 11: 111-122.
2. German Journal of Psychiatry diakses dari http://www.gjpsy.uni-goettingen.de
ISSN 1433-1055. 27 September 2015
3. Culpepper, L. (2007) A Roadmap to Key Pharmacologic Principles in Using
Antipsychotics, Primary Care Companion To The Journal of Association of Medicine
and Psychiatry 9(6) 444-454 Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2139919/.
4. Osby U, Correia N, Brandt L, et al. Mortality and causes of death in schizophrenia in
Stockholm Country, Sweden. Schizophr Res 2000;45:21-28.
5. McKim, W. (2007) Antipsychotics in Drugs and Behavior: An Introduction to
Behavioral Pharmacology (pp.241260). Upper Saddle River, NJ.: Pearson Prentice
Hall.
6. Harris EC, Barraclough B. Excess mortality of mental disorder. Br J Psychiatry 1998;
173:11-53.
13