Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan tak sadar yang dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan
rangsangan lainnya (Guyton & Hall, 2007). Tidur adalah suatu proses
perubahan yang berulang-ulang selama periode tertentu (Potter &
Perry, 2005).
Perubahan yang terjadi selama tidur tidak menyebabkan semua
aktivitas susunan saraf berkurang, melainkan terjadi perubahan
keseimbangan antara aktivitas dan inaktivitas dari berbagai sistem
saraf di otak. Beberapa fungsi saraf menjadi inaktif, sementara sistem
yang lain aktif, sebagai contoh sel-sel saraf di korteks otak tidak
seluruhnya menjadi inaktif selama tidur (Aiyuda, 2009). Perubahan ini
menyimpulkan bahwa tidur bukan proses pasif tetapi merupakan
aktivitas yang dapat dibangkitkan. Kualitas tidur adalah kepuasaan
seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak
memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu
dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,
konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala
dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006).
Kualitas tidur merupakan suatu keadaan tidur yang dijalani
seseorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat
terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti
durasi tidur, laterasi tidur, serta aspek subyektif dari tidur.
Kemampuan setiap orang untuk mempertahankan keadaan tidur dan
untuk dapat mempertahankan tahap tidur REM dan NREM yang
pantas (Khasnah, 2012).
Hormon melantonin sangat berperan dalam proses tidur dan
kualitas tidur seseorang. Kinerja hormon tersebut sangat dipengaruhi
oleh cahaya. Cahaya yang ada disaat kita tidur akan menghambat

1
2

produksi melantonin di dalam darah. Secara tidak langsung, cahaya


dapat menghambat mekanisme irama sirkandian (jam biologis). Itulah
sebabnya gangguan tidur pertama kali muncul di saat penemuan bola
lampu. Dengan adanya cahaya maka kerja irama sirkadian tidak stabil.
Tubuh dipaksa mengabaikan perintah tidur dan dipaksa
beraktivitas hingga larut malam. Tanda awal terganggunya irama
sirkadian adalah terganggunya proses tidur akibat rendahnya produksi
hormon melantonin (Prasadja, 2009).
Hormon melatonin itu sendiri akan dihambat kerjanya apabila
terdapat cahaya, kemudian implus cahaya dari retina akan
disampaikan ke kelanjar pineal melalui nukleus suprachiasmaticus di
hipothalamus melalui sistem saraf simpatis dengan norepinefrin
sebagai neurotransmiter. Efek pada kelenjar pineal adalah pengaturan
sintesis dan sekresi melatonin. Sintesis dan sekresi melatonin
distimulasi oleh suasana gelap dan diinhibisi oleh suasana terang.
Selama ada cahaya, fotoreseptor di retina akan mengalami
hiperpolarisasi yang akan menghambat sekresi norepinefrin. Sistem
retinohipothalamus-pineal akan dihambat sehingga melatonin
disekresi dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada saat tidak ada
cahaya, fotoreseptor mensekresi norepinefrin yang akan mengaktivasi
sistem retino-hipotalamus-pineal. Reseptor alfa dan beta adrenergik
bertambah di glandula pinealis. Kontak antara norepinefrin dan
reseptornya akan mengaktivasi enzim arilalkilamin N-asetiltransferase
(AA-NAT). Enzim inilah yang akan menginisiasi sintesis melatonin
dan sekresinya (Kaczor, 2010). Melatonin selanjutnya akan masuk ke
aliran darah melalui difusi pasif. Pada manusia, peningkatan sekresi
melatonin segera terjadi pada saat onset gelap dan mencapai
puncaknya pada tengah malam (antara jam 2 sampai jam 4), kemudian
secara bertahap akan mengalami penurunan (Brzezinski 1997).
Berdasarkan hasil uraian diatas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan lampu
3

pada saat tidur terhadap kualitas tidur pada Mahasiswa Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh penggunaan lampu pada saat tidur
terhadap kualitas tidur?

1.3. Tujuan
1.3.1.Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh penggunaan lampu pada saat tidur
terhadap kualitas tidur.

1.3.2.Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi penggunaan lampu saat tidur pada
Mahasiswa FK UMP angkatan 2014.
2. Mengidentifikasi kualitas tidur pada Mahasiswa FK UMP
angkatan 2014.
3. Menganalisis pengaruh penggunaan lampu saat tidur
terhadap kualitas tidur pada Mahasiswa FK UMP angkatan
2014.

1.4. Manfaat
1.4.1.Manfaat Akademik
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan juga untuk
memperluas ilmu pengetahuan dan untuk memberikan data Ilmiah
tentang pengaruh penggunaan lampu pada saat tidur terhadap
kualitas tidur.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya mengenai pengaruh mematikan lampu dan tidak
mematikan lampu terhadap kualitas tidur.
4

1.4.2.Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan lampu pada saat tidur terhadap kualitas tidur
mahasiswa FKUMP.
2. Hasil penelitian ini sebagai rekomendasi yang dapat digunakan
sebagai tatalaksana gangguan tidur bagi tenaga medis.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat sebagai acuan untuk mendapatkan kualitas tidur yang
baik.

1.5. Keaslian Penelitian

Nama Judul Desaian Hasil


Penelitian Penelitian
Rita Suci Pengaruh Cross sectional Penelitian ini
Rusmiyati, Penggunaan menunjukkan secara
Yuyun lampu pada statistik ditetapkan
Tafwidhah, saat tidur bahwa terdapat pengaruh
Abror terhadap penggunaan lampu pada
ihsan kualitas tidur saat tidur terhadap
remaja di kualitas tidur dengan
madrasah p.value = 0,000(p
Aliyah Negeri <0.05).
2 Pontianak.
Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian


sebelumnya, penelitian ini berbeda dari segi waktu dan tempat penelitian
serta populasi dan sampel penelitian.
BAB II

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Tidur
A. Definisi Tidur
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah
sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan
pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya
(Guyton & Hall, 1997). Menurut Potter & Perry (2005),
Tidur merupakan proses fisiologis yang bersiklus
bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan.

B. Fisiologi Tidur
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang
sesuai dengan masa rotasi bola dunia yang dikenal dengan
nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam
antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan
terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanaman-tanaman
pada malam dan siang hari, awas dan waspadanya manusia
dan binatang pada siang hari dan tidurnya mereka pada
malam hari (Harsono, 1996).
Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat,
dimana ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa
susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja
(Harsono, 1996). Sistem yang mengatur siklus atau
perubahan dalam tidur adalah reticular activating system
(RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang
terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005)
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh
tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk

5
6

kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon


dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi
rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga
dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk
rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar,
neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti
norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan
adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang
berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter &
Perry, 2005).

C. Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata
yang cepat atau Rapid Eye Movement (REM) dan
pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye
Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM
yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu,
tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium
empat. lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase
NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus
dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
I. Tidur stadium satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang
dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh
karena suara atau gangguan lain. Selama tahap
pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan,
dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).
II. Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit.
Denyut jantung melambat dan suhu tubuh menurun
7

(Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan


gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).
III. Tidur stadium tiga
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya
(Ganong, 1998). Pada tahap ini individu sulit untuk
dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut
tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering
merasa bingung selama beberapa menit (Smith &
Segal, 2010).
IV. Tidur stadium empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam.
Gelombang otak sangat lambat. Aliran darah
diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk
memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam


atau deep sleep, dan sangat restorative bagian dari tidur
yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik
di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya
berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu
akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama
prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens
dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi,
2002).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai
arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga
menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut
jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).
Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi
mimpi tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini
8

penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka


panjang (Potter & Perry, 2005).

D. Siklus tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh
jam, REM dan NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6
kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM,
maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan
untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan
emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika
NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit
(Mardjono, 2008).
Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 2.1. Tahap-tahap Siklus Tidur


Sumber: www.Webkesehatan.com

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian


yang merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia.
Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan keteraturan
tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan
psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005).
9

E. Mekanisme tidur
Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan
kumpulan parameter fisiologis. NREM ditandai oleh denyut
jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat
serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah tahapan
tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan mata yang
cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi.
Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah,
denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini disertai
dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas otot
involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi
dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong,
1998).
Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung
5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90 menit dengan periode
pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur.
Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur
NREM tingkat I dengan gelombang beta, disertai mimpi
aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas
tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata
yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit
dibangunkan daripada tidur gelombang lambat atau NREM.
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi
oleh sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila
aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka
orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular
Activity System menurun, orang tersebut akan dalam
keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini
sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti
sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik,
histaminergik (Japardi, 2002).
10

1. Sistem Serotoninergik
Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil
metabolisme asam amino triptofan. Dengan
bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin
yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan
keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak
bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang
terbanyak sistem serotoninergik ini terletak pada nucleus
raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat
hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis
dengan tidur REM.
2. Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung
norepinefrin terletak di badan sel nucleus cereleus di
batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus
sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM
tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan
aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan
penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan
keadaan jaga.
3. Sistem Kolinergik
Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002)
membuktikan dengan pemberian prostigimin intravena
dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur
kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG
seperti dalam kedaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik
sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini
terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan
latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik
(scopolamine) yang menghambat pengeluaran kolinergik
11

dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase


awal dan penurunan REM.
4.Sistem Histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi
tidur.
5. Sistem Hormon
Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon
seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth
Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH),
Lituenizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-
masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis
anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara
teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter
norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas
mengatur mekanisme tidur dan bangun.

F. Pola Tidur
Pola tidur juga memiliki peran yang sama pentingnya
dengan total jumlah waktu tidur. Bayi dan anak-anak
cenderung tidur beberapa kali dalam setiap periode 24 jam.
Namun seiring dengan pematangan menuju masa-masa
sekolah dan dewasa, mereka cenderung tidur dalam satu
fase yang lama, waktu tidur siang berkurang dan cenderung
tidur sepanjang malam (Robotham, 2011).
Sebuah mekanisme yang disebut dengan circadian
timer mengatur pola tidur- bangun dan berinteraksi
dengan sleep homeostat. Rata-rata setiap makhluk hidup
memiliki internal circadian rhythms, dimana mereka
telah beradaptasi dengan siklus siang dan malam hari
(Robotham, 2011).
Geophysicist Prancis Jean- Jacques dOrtous de
12

Mairan adalah orang pertama yang menemukan circadian


rhythms pada sebuah eksperimen dengan tanaman pada
tahun 1729. Dua abad kemudian, Dr. Nathaniel Kleitman
mempelajari efek circadian rhythms pada siklus tidur
manusia. Siklus ini bereaksi terutama pada terang dan
gelap dan biasanya sedikit lebih lama dari 24 jam
(Robotham, 2011).
Dapat dipikirkan kemungkinan bahwa jam utama
yang meregulasi circadian rhythms tubuh kita. Jam ini
tersusun dari kumpulan sel-sel saraf pada otak kita yang
disebut dengan suprachiasmatic nucleus (SCN). SCN
mengontrol produksi melatonin, hormon yang membuat
kita mengantuk dan banyak diproduksi saat gelap. Selama
tidur, kadar melatonin meningkat tajam. SCN terletak di
atas nervus opticus, yang mengirimkan signal dari mata ke
otak sehingga SCN menerima informasi mengenai kadar
pencahayaan lingkungan sekitar melalui mata kita. Ketika
cahaya kurang, seperti pada malam hari, akan dikirimkan
signal ke otak untuk mengeluarkan lebih banyak melatonin
(Robotham, 2011; National Sleep Foundation, 2006).
Balita usia 1-3 tahun memerlukan waktu tidur 12-14
jam per hari. Walaupun masih tidur siang, mereka hanya
tidur siang sekali sehari dan tidak lagi tidur siang pada pagi
hari (Benaroch, 2012). Balita usia 3-5 tahun dan anak usia
6 tahun memerlukan waktu tidur 10-12 jam per hari. Waktu
tidur siang mereka makin lama makin sedikit dan
umumnya pada usia 5 tahun, anak tidak lagi tidur siang.
Anak usia 7-12 tahun memerlukan waktu tidur 10-11 jam
per hari. Pada usia tersebut, aktivitas sehari-hari membuat
mereka tidur makin larut dan rata-rata hanya tidur sekitar 9
jam (Benaroch, 2012).
13

Remaja usia 12-18 tahun memerlukan waktu tidur 8-9


jam per hari. Waktu tidur masih berperan penting bagi
kesehatan seperti pada masa kanak-kanak mereka.
Walaupun ditemukan bahwa banyak remaja memerlukan
waktu tidur yang mungkin lebih banyak dari tahun-tahun
sebelumnya, tuntutan sosial membuat mereka sulit
mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang sesuai
(Benaroch, 2012).
Saat seseorang mencapai tahap dewasa, mereka
cenderung memerlukan waktu tidur 7-8 jam per hari.
Sedangkan lansia cenderung memerlukan waktu 6-7 jam
per hari dengan tidur siang yang lebih sering pada siang
hari.
Waktu untuk tidur pada orang dewasa kebanyakan
bervariasi dari tiap orang ke orang, dan umumnya berkisar
antara 5-11 jam (Robotham, 2011).
Kurang tidur dapat mengakibatkan dampak negatif.
Saat kita terjaga, kita menyimpan suatu keadaan yang
disebut sleep debt yang dapat diganti hanya melalui
tidur. Hal ini diatur oleh suatu mekanisme dalam tubuh
yang disebut sebagai sleep homeostat, yang mengatur
keinginan kita untuk tidur. Jika jumlah sleep debt besar,
maka sleep homeostat akan memberitahukan pada kita
bahwa kita perlu tidur lebih banyak (Robotham, 2011).
Pada keadaan yang sehat, sleep debt ini akan diganti
pada malam hari secara perlahan-lahan. Namun sleep
debt tersebut juga dapat ditumpuk dan diganti secara
perlahan-lahan dalam waktu berminggu-minggu ataupun
berbulan-bulan. Contoh, jika kita bergadang untuk
beberapa hari berturut-turut, maka kita perlu mengganti
sleep debt dalam waktu dekat yang akan datang.
14

Menariknya, untuk orang-orang dengan bipolar


disorder, keadaan mania yang diasosiasikan dengan
kurangnya persepsi keperluan untuk tidur. Namun,
walaupun terdapat persepsi seperti ini, seseorang tersebut
tetap menumpuk sleep debt yang perlu diganti
(Robotham, 2011).

Gambar 2.2. Diagram homeostat tidur dan waktu


circadian.
Sumber : www.scribd.com

Pola tidur sangat bervariasi, beberapa fauna aktif saat


siang dan cenderung tidur pada malam hari, dan yang lain
aktif pada malam hari dan cenderung tidur pada siang hari.
Pada manusia, waktu circadian setiap orang diatur sedikit
15

berbeda; beberapa orang dapat beraktivitas secara


maksminal pada pagi hari (larks), yang lainnya saat malam
(owls), banyak di antara kita yang berada di antara
keduanya (Robotham, 2011).
Beberapa orang mengalami apa yang disebut dengan
Circadian Rhythm Sleep Disorder, yang mana sering
diasosiasikan dengan masalah kesehatan mental. Orang
yang sangat owl mungkin memiliki delayed sleep phase
syndrome, cenderung untuk tidur dan bangun sangat
lambat. Orang yang sangat lark mungkin memiliki
advanced sleep phase syndrome, bangun sangat cepat pada
pagi hari namun di malam hari sangat mengantuk.
Iregularitas ini dapat menjadi masalah, tergantung apa yang
coba kita lakukan dalam hidup, walaupun untuk beberapa
orang dapat menjadi sebuah aset (Robotham, 2011).
Efek yang mirip sering didapatkan pada orang-orang
yang pola tidurnya diganggu oleh faktor eksternal, seperti
bekerja pada shift malam secara regular (terutama setelah
bekerja pada shift siang minggu-minggu sebelumnya,
disebut juga dengan work shifts disorder). Contoh yang
lain adalah jetlag yang diakibatkan oleh perubahan time
zones yang tidak sesuai dengan waktu circadian internal.
Keduanya merupakan penemuan yang paling sering dari
circadian rhythm disorders. Manusia tidak dirancang untuk
terjaga pada malam hari dan tidur pada siang hari. Orang-
orang yang secara regular bekerja pada shift malam
diperkirakan lebih beresiko menderita kanker dan penyakit
jantung, rasa mengantuk yang berlebihan, tidur yang buruk,
kurang konsentrasi, refleks motorik yang buruk dan lambat,
mual dan irritability. Awak penerbangan internasional juga
diperkirakan lebih beresiko menderika kanker,
16

kemungkinan disebabkan oleh gangguan circadian rhythms


yang berulang-ulang (Robotham, 2011; National Sleep
Foundation, 2006).
Gangguan tidur dan circadian rhythm juga
didapatkan pada orang-orang yang menderita bipolar
disorder, walaupun tidak jelas apakah yang bertanggung
jawab untuk underlying sleep disturbances adalah
circadian timer atau sleep homeostat. Telah diajukan
bahwa perubahan circadian rhythm seseorang dapat
menjadi trigger untuk bipolar disorder, terutama mania
(Robotham, 2011).

G. Efek Psikologis Tidur


Tidur menyebabkan dua tipe efek psikologik utama,
yaitu efek pada sistem saraf dan efek pada sistem
fungsional tubuh. Efek pada sistem saraf tampaknya jauh
lebih penting sebab jika seseorang memiliki spinal cord
di leher yang terpotong (sehingga tidak memiliki siklus
tidur-terjaga di bawah perpotongan tersebut), tidak
menunjukkan efek berbahaya yang dapat berperan
langsung pada siklus tidur-terjaga (Guyton, 2005).
Namun, kurang tidur secara pasti mempengaruhi
fungsi sistem saraf pusat. Terjaga yang terlalu lama
sering diasosiasikan dengan malfungsi progresif proses
berpikir dan kadang-kadang menyebabkan aktivitas
perilaku yang abnormal (Guyton, 2005).
Kita semua mengenal penambahan pikiran yang
tidak adekuat yang muncul di akhir waktu terjaga yang
diperpanjang, namun sebagai tambahan, seseorang juga
dapat menjadi lebih mudah tersinggung ataupun psikotik
setelah waktu terjaga yang dipaksakan. Oleh sebab itu,
17

para peneliti mengasumsikan bahwa tidur dalam


berbagai cara mengembalikan aktivitas otak ke level yang
normal dan keseimbangan normal bagi fungsi sistem
saraf pusat. Hal ini dapat disamakan dengan rezeroing
elektronik komputer analog setelah penggunaan yang
lama, karena komputer tipe ini perlahan-lahan akan
kehilangan baseline operasinya. Maka beralasan
mengasumsikan bahwa efek yang sama akan muncul
pada sistem saraf pusat sebab penggunaan berlebihan
pada beberapa area tertentu otak dapat secara mudah
membuat area-area ini tidak seimbang dengan sistem
saraf yang lainnya (Guyton, 2005).
Kita dapat mempostulatkan bahwa secara prinsip,
nilai tidur adalah mengembalikan keseimbangan alami
pusat saraf. Fungsi psikologis spesifik tidur tetaplah
merupakan sebuah misteri, dan mereka adalah subjek
penelitian selanjutnya (Guyton, 2005).

H. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Tidur


Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi tidur yaitu:
1. Faktor fisiologis
Tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus dan
bergantian dengan periode yang lebih lama dari
keterjagaan. Siklus tidur dan terjaga mempengaruhi dan
mengatur fungsi fisiologis dan respon perilaku.
2. Faktor psikologis
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi
dapat mengganggu tidur. stres emosional menyebabkan
seseorang menjadai tegang dan seringkali mengarah
frustasi apabila tidak tidur. stres juga menyebabkan
seseorang mencoba terlalu keras untuk tidur, sering
18

terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur.


stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur
yang buruk. Faktor psikologis juga memegang peranan
utama terhadap kecenderungan insomnia. Hal ini
disebabkan oleh ketegangan pikiran seseorang terhadap
sesuatu yang kemudian mempengaruhi sytem saraf pusat
sehingga kondisi fisik senantiasa siaga ( Shelindha,
2006).
3. Faktor lingkungan
Seseorang orang memerlukan lingkungan tidur
yang nyaman dan ventilasi yang baik. Faktor gaya hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi kualitas tidur.
individu yang bekerja sering kali mempunyai kesulitan
menyesuaikan perubahan jadwal tidur. jam internal tubuh
diatur pukul 22.00 WIB, tetapi sebaliknya jadwal kerja
memaksa untuk tidur pada pukul 9 pagi. Individu mampu
utnuk tidur hanya selama 3-4 jam karena tubuh
mempersepsikan bahwa ini adalah waktu terbangun dan
aktif. Kualitas tidur yang baik dimalam hari harus benar-
benar memperhatikan pola hidup sehari-hari. Banyak hal
yang mempengaruhi terbentuknya pola tidur, seperti
kebiasaan makan, program diet, kebiasaan sehari-hari
juga kebiasaan tidur itu sendiri (Hirawan, 2007).

2.1.2. Kualitas Tidur


A. Definisi Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap
tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan
perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan
apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,
konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah,
19

sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk


(Hidayat, 2006).
Kualitas tidur, menurut American Psychiatric
Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan
sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan
beberapa dimensi. Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif
dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang
diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan
aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur
(Daniel et al, 1998; Buysse, 1998).
Persepsi mengenai kualitas tidur itu sangat
bervariasi dan individual yang dapat dipengaruhi oleh
waktu yang digunakan untuk tidur pada malam hari atau
efesiensi tidur. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
efisiensi tidur pada usia dewasa muda adalah 80-90%
(Dament et al, 1985; Hayashi & Endo, 1982 dikutip dari
Carpenito, 1998). Di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy
(2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh
bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada
malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal
tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis.
Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan
tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh
gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur
baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua
orang.
Kualitas tidur yang baik diperlihatkan dengan
mudahnya seseorang memulai tidur saat jam tidur,
mempertahankan tidur, menginisiasi untuk kembali
setelah terbangun di malam hari, dan peralihan dari tidur
ke bangun di pagi hari dengan mudah (Saputri, 2009).
20

Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui


pemerikasaan laboraorium yaitu EEG yang merupakan
rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari
permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat
(Guyyton & Hall, 1997). menunjukkan adanya aktivitas
listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat
dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari
keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain
yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan
sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta
Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila
tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan
tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda
kekurangan tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan
tanda psikologis (Hidayat 2006). Di bawah ini akan
dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang
dialami.
1.Tanda fisik
Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di
kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat
cekung), kantuk yang berlebihan (sering menguap), tidak
mampu untuk berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat
tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan
pusing.
2.Tanda psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak
enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang,
bingung, tmbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau
pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan
atau keputusan menurun (Hidayat 2006).
21

B. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kualitas


Tidur
Menurut Potter & Perry (2005) keadaan
lingkungan dapat mempengaruhi kemampuan untuk
tertidur dan tetap tertidur di antaranya adalah suara/
kebisingan, suhu ruangan, dan pencahayaan. Keadaan
lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat
mempercepat terjadinya proses tidur.
Suara bising. Kebisingan dapat menyebabkan
tertundanya tidur dan juga dapat membangunkan
seseorang dari tidur (Hanning, 2009). WHO (2004) juga
menyatakan hal yang sama namun WHO menambahkan
bahwa sebagian besar orang tidak mengeluhkan kurang
tidur karena kebisingan tetapi memiliki tidur yang non-
restoratif, mengalami kelelahan dan atau sakit kepala
pada saat bangun pagi dan kantuk yang berlebihan di
siang hari.
Suhu ruangan. Suhu ruangan yang terlalu panas/
terlalu dingin seringkali menyebabkan seseorang gelisah
(Potter & Perry, 2005). Keadaan ini akan mengganggu
tidur seseorang, Lee (1997) juga menyatakan hal serupa,
bahwa seseorang akan mengalami gangguan tidur apabila
tidur di ruangan yang terlalu panas ataupun terlalu dingin.
Temperatur yang tidak nyaman atau ventilasi yang
buruk dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seiring
waktu individu bisa beradaptasi dan tidak lagi
terpengaruh dengan kondisi tersebut (Ulumuddin, 2011).
Menurut National Sleep Foundation temperatur udara di
atas 75F dan dibawah 54F dapat mengganggu tidur.
Temperatur udara terbaik untuk kualitas tidur yang baik
adalah sekitar 24C 26C dan batas atas termperatur
22

udara untuk kualitas tidur yang baik adalah 28,1C (Kim,


Chun, dan Han, 2010).
Sorot lampu ruangan yang terlalu terang.
Menurut Lee (1997), sorot lampu yang terlalu terang
dapat menyebabkan gangguan tidur dan dapat
menghambat sekresi melatonin pada tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya pergeseran sistem sirkadian,
dimana jadwal tidur maju secara bertahap (Sack et al,
2007).
Rangsangan cahaya memberikan sinyal langsung
ke hipotalamus. Selain mengontrol kelenjar tubuh,
hipotalamus berisi inti kecil yang menaungi jam biologis
tubuh, yang penting untuk mengatur siklus tidur /
bangun. Kekuatan, variasi dan waktu cahaya
diproyeksikan ke retina oleh media elektronik ini dapat
mengganggu produksi melatonin dalam tubuh (hormon
yang mengontrol tidur), sehingga perubahan kualitas
tidur (Resquita & Reimao, 2010).

C. Peranan Melatonin pada Kualitas Tidur


Melatonin merupakan hormon yang disintesis dan
disekresikan oleh kelenjar pineal, sebuah kelenjar yang
berukuran sekitar 1 cm, terletak pada midline, melekat
pada ujung posterior dari third ventricle di otak. Secara
histologis, kelenjar pineal tersusun oleh pinealocytes dan
sel-sel glial. Melatonin disintesis dari tryptophan melalui
5-hidoksilasi oleh tryptophan-5-hydroxylase menjadi 5-
hydroxytryptophan, kemudian mengalami dekarboksilasi
oleh aromatic aminoacid decarboxylase menjadi 5-
hydroxy tryptamine (serotonin) (Brzezinski. 1997).
23

Di kelenjar pineal, serotonin mengalami N-asetilasi


oleh N-acetyl transferase (NAT) menjadi N-
acetylserotonin, kemudian mengalami O-metilasi oleh
hydoxyindole-O-methyl transferase (HIOMT) menjadi
melatonin (N-acetyl-5- methoxytryptamine). Melatonin
disekresikan langsung ke dalam sirkulasi dan
didistribusikan ke seluruh tubuh. Melatonin juga
disekresikan ke dalam cairan cerebrospinal melalui
pineal recess, mencapai konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan melatonin pada serum (Brzezinski. 1997).
Sleep-wake cycle pada manusia mengikuti ritme
sirkadian yang diatur oleh suprachiasmatic nucleus
(SCN) yang terletak di hipotalamus anterior pada otak.
SCN sering disebut sebagai master circadian clock of the
body karena perannya dalam mengatur semua fungsi
tubuh yang berhubungan dengan ritme sirkadian
termasuk core body temperature, sekresi hormon, fungsi
kardio-pulmoner, ginjal, gastrointestinal, dan fungsi
neurobehavioral. Mekanisme molekuler dasar dimana
neuron pada SCN mengatur dan mempertahankan
ritmenya adalah melalui autoregulatory feedback loop
yang mengatur produk gen sirkadian melalui proses
transkripsi, translasi, dan posttranslasi yang kompleks.
Penyesuaian antara ritme sirkadian internal 24 jam
dengan kondisi lingkungan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, terutama cahaya, aktivitas fisik, dan sekresi
hormon melatonin oleh kelenjar pineal (Brzezinski.
1997).
Fotoreseptor pada retina yang terlibat dalam ritme
sirkadian berbeda dengan fotoreseptor yang berfungsi
dalam pengelihatan (rod dan cone). Secara spesifik,
24

suprachiasmatic nucleus (SCN) menerima input dari sel


ganglion pada retina yang mengandung fotopigmen yang
disebut melanopsin melalaui retino-hypothalamic
spathway (RH tract) dan beberapa melalui lateral
geniculate nucleus. Sinyal tersebut kemudian melewati
paraventricular nucleus (PVN), hindbrain, spinal cord,
dan superior cervical ganglion (SCG) menuju ke reseptor
noradrenergic (NA) pada kelenjar pineal. Aktivitas yang
dipengaruhi oleh sinyal ini adalah N-acetyltransferase
(NAT) yang merupakan enzim yang mengatur sintesis
melatonin dari serotonin (Gambar 1), dimana aktivitas
NAT akan meningkat 30-70 kali dalam keadaan tidak
adanya cahaya. Sekresi melatonin mulai meningkat pada
malam hari, sekitar 2 jam sebelum jam tidur normal,
kemudian terus meningkat selama malam hari dan
mencapai puncak antara pukul 02.00-04.00 pagi. Setelah
itu, sekresi melatonin akan menurun secara gradual pada
pagi hari dan mencapai level yang sangat rendah pada
siang hari (Brzezinski. 1997).
25

Gambar 2.3. Diagram Mekanisme Sekresi Melatonin


Sumber: www.ojs.unud.ac.id

Sepanjang hari, suprachiasmatic nucleus (SCN)


secara aktif memproduksi arousal signal yang
mempertahankan kesadaran dan menghambat dorongan
untuk tidur. Pada malam hari, sebagai respon pada
keadaan gelap, terjadi feedback loop pada SCN yang
diawali dengan pengiriman sinyal untuk memicu
produksi hormon melatonin yang menghambat aktivitas
SCN. Melatonin dapat memicu tidur dengan cara
menekan wakepromoting signal atau neuronal firing pada
SCN. Di samping itu, melatonin dapat mengatur wake-
sleep cycle melalui mekanisme termoregulator dengan
menurunkan core body temperature (Brzezinski. 1997).
26

Efek yang paling dapat dijelaskan dari peranan


melatonin dalam mengatur mekasnisme tidur adalah
menurunkan sleep onset latency melalui sleep-switch
model. Secara anatomi dan fisiologis ditemukan adanya
inhibisi mutual pada aktivitas pemicu tidur pada
hypothalamic ventrolateral preoptic nucleus dan aktivitas
pemicu terjaga pada locus coeruleus, dorsal raphe, dan
tuberomammillary nuclei, sistem yang dapat mengatur
sleep switching. SCN dapat mempengaruhi kedua
subsistem ini melalui ventral subparaventricular zone
menuju ke hypothalamic dorsomedial nucleus, dimana
berbagai fungsi sirkadian diregulasi. Proyeksi dari
dorsomedial nucleus menuju ventrolateral preoptic
nucleus dapat memicu tidur, sedangkan proyeksi menuju
lateral hypothalamus berhubungan dengan aktivitas yang
terjadi dalam keadaan terjaga. Melatonin dapat
mempengaruhi switching mechanism ini dan
mempercepat sleep onset melalui reseptor-reseptor yang
banyak terdapat pada SCN. Sedangkan peranan
melatonin dalam sleep maintenance tergantung pada
durasi dan tingkat desensitisasi reseptor serta
ketersediaan melatonin dalam sirkulasi selama sleep
period (Brzezinski. 1997).

D. Sintesis Melatonin
Melatonin (N-asetil-5-metoksitriptamin) merupakan
hormon indolamin yang disintesis dari asam amino L-
triptofan terutama di kelenjar pineal dan beberapa
jaringan ekstra pineal seperti gastrointestinal dan limfosit
(kaczor, 2010; Sancez-Barzelo, et al., 2003 ; Carranza
Lira dan Lopez, 2000). Pada manusia, kelenjar pineal
27

terletak di sistem saraf pusat, tepatnya di belakang


ventrikel III, dibentuk oleh dua tipe sel utama yaitu
pinealosit dan neuroglial. Pinealosit berperan dalam
sekresi indolamin (melantonin) dan peptida (seperti
arginin vasotosin) (Brzezinski. 1997).
Melantonin pertama kali diidentifikasi dari ekstrak
kelanjar pineal sapi pada tahun 1959 (Carranza-Lira dan
Lopez, 2000). Biosintesis melantonion dimulai dari
konversi triptofan menjadi 5-hidroksitriptofan dengan
bantuan enzim triptofan hidroksilase, selanjutnya 5-
hidroksitriptofan akan didekarboksilasi menjadi serotonin
oleh enzim 5-hidroksitriptofan dekarboksilase. Melatonin
akan disintesis dari serotonin dengan bantuan 2 enzim
yaitu arilalkilamin N-asetiltransferase yang kan merubah
serotonin menjadi N-asetil serotonin dan hidroksiindol-
O-metiltransferase yang akan merubah N-asetil serotonin
(AA-NAT) menjadi N-asetil-5-hidroksi triptamin
(melatonin) (Gambar 1). Kedua enzim ini banyak
terdapat di kelenjar pineal(Brzezinski. 1997).
28

Gambar 2.4. Biosintesis Melatonin


Sumber: www.indonesia.digitaljournals.org

Keterangan: Triptofan diubah menjadi 5-


hidroksitriptofan oleh enzim triptofan hidroksilase. 5-
hidroksitriptofan didekarboksilasi menjadi serotonin oleh
enzim 5-hidroksitriptofan dekarboksilase. Serotonin
diubah menjadi N-asetil serotonin (AANAT) oleh enzim
arilalkilamin N-asetiltransferase dan N-asetil serotonin
diubah menjadi N-asetil-5-hidroksi triptamin (melatonin)
oleh enzim hidroksiindol-O-metiltransferase (Brzezinski.
1997).

E. Sekresi Melatonin
Kelenjar pineal mamalia memiliki reseptor
neuroendokrin. Implus cahaya dari retina akan
disampaikan ke kelanjar pineal melalui nukleus
suprachiasmaticus di hipothalamus melalui sistem saraf
simpatis dengan norepinefrin sebagai neurotransmiter.
Efek pada kelenjar pineal adalah pengaturan sintesis dan
sekresi melatonin. Sintesis dan sekresi melatonin
distimulasi oleh suasana gelap dan diinhibisi oleh suasana
terang. Selama ada cahaya, fotoreseptor di retina akan
mengalami hiperpolarisasi yang akan menghambat
sekresi norepinefrin. Sistem retinohipothalamus-pineal
akan dihambat sehingga melatonin disekresi dalam
jumlah yang sangat sedikit. Pada saat tidak ada cahaya,
fotoreseptor mensekresi norepinefrin yang akan
mengaktivasi sistem retino-hipotalamus-pineal. Reseptor
alfa dan beta adrenergik bertambah di glandula pinealis.
Kontak antara norepinefrin dan reseptornya akan
mengaktivasi enzim arilalkilamin N-asetiltransferase
29

(AA-NAT). Enzim inilah yang akan menginisiasi sintesis


melatonin dan sekresinya (Kaczor, 2010).
Melatonin selanjutnya akan masuk ke aliran darah
melalui difusi pasif. Pada manusia, peningkatan sekresi
melatonin segera terjadi pada saat onset gelap dan
mencapai puncaknya pada tengah malam (antara jam 2
sampai jam 4), kemudian secara bertahap akan
mengalami penurunan (Brzezinski 1997). Konsentrasi
melatonin serum sangat dipengaruhi oleh usia. Bayi
kurang dari tiga bulan mensekresikan sedikit melatonin,
dan akan meningkat pada bayi yang lebih besar dan
mencapai puncaknya pada anak usia 1-3 tahun (325
pg/ml). Pada usia ini mulai terbentuk ritme sirkadian
dimana sekresi di siang hari lebih kecil dibanding malam
hari. Setelah usia 3 tahun, sekresi melatonin mulai
menurun secara bertahap sehingga pada manusia dewasa
muda, rata-rata konsentrasi melatonin serum hanya 10-60
pg/mL saja (Brzezinski 1997).

Gambar 2.5. Konsentrasi Melatonin pada Berbagai Usia


Sumber: www.indonesia.digitaljournal.org
30

F. Reseptor Melatonin

Reseptor melatonin merupakan reseptor terikat


membran plasma. Reseptor yang sudah diketahui adalah
ML1 dan ML2 (Gambar 3). ML1 merupakan reseptor
dengan afinitas tinggi di banding ML2. ML1 bisa
mengikat melatonin dengan konsentrasi beberapa
pikomolar dan ML2 baru sensitif dengan konsentrasi
melatonin beberapa nanomolar (Brzezinski 1997).
Reseptor ML1 dan ML2 termasuk superfamili
guanosine triphospat binding protein (G protein coupled
receptor). Komplek melatonin-reseptor ML1 akan
menginhibisi aktivitas adenilat siklase pada sel target.
Reseptor ini terlibat dalam regulasi fungsi retina, ritme
sirkadian, dan reproduksi. Dengan pemeriksaan PCR dari
klon mamalia dan juga manusia, ditemukan bahwa
reseptor ML1 memiliki 2 sub tipe yaitu Mel1a dan
Mel1b. Reseptor Mel1a diekspresikan pada hipofisis pars
tuberalis dan nukleus suprachiasmaticus (tempat regulasi
reproduksi dan ritme sirkadian). Reseptor Mel1b
diekspesikan terutama di retina. Kompleks melatonin dan
reseptor ML2 akan menstimulasi hidrolisis fosfoinositol.
Tetapi distribusinya belum diketahui (Brzezinski 1997).
Efek intraseluler melatonin adalah melalui interaksi
dengan kalmodulin+kalsium yang akan mengaktivasi
berbagai enzim seperti fosfodiester dan adenilat siklase.
Melatonin juga diketahui merupakan ligan bagi orphan
receptors ( dan ) yang merupakan famili dari reseptor
nuclear retinoid Z. Reseptor ini berperan dalam
transduksi sinyal dalam nukleus sel target (Brzezinski
1997).
31

Gambar 2.6. Reseptor melatonin dan mekanisme kerjanya


Sumber: www.indonesia.digitaljournal.org

G. Aktivitas Melatonin
Melatonin diketahui memiliki aktivitas sebagai
antioksidan, antimitotik, antiestrogenik, pro diferensiasi
dan anti metastatik, modulasi sistem imun, pengatur ritme
tidur dan ritme sirkadian,maturasi sistem reproduksi.
(Kaczor, 2010; Sanchez-Barcelo et al., 2005; Brzezinski,
1997; Baldwin et al.,1998; Carranza-Lira, 2000).

2.1.3. The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)


A. Definisi
The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
merupakan instrumen yang efektif digunakan untuk
mengukur kualitas tidur dan pola tidur. Digunakan untuk
membedakan antara yang mencukupi dan yang kurang
tidurnya pada waktu sebulan. PSQI dapat digunakan baik
untuk penilaian awal dan berkelanjutan di seluruh bidang
kesehatan. Skala ini telah digunakan terutama di negara-
32

negara yang berbahasa Inggris, dengan baru-baru ini di


Cina dan Jepang (Smyth, 2009).
Kualitas tidur adalah fenomena kompleks yang
tercakup di PSQI yang telah dikembangkan untuk
mengukur kualitas tidur dan untuk membedakan antara
yang tercukupi kebutuhan dan yang kurang tercukupi
kebutuhan tidurnya. Pengukuran ini meliputi tujuh bidang
: subjektif kualitas tidur, kedalaman tidur, lama tidur,
efisiensi biasa tidur, gangguan tidur, penggunaan obat
tidur, gangguan fungsi pada siang hari selama
sebulan. PSQI dapat digunakan untuk semua
populasi di seluruh dunia karena telah didukung validitas
dan reabilitas (Buysse, 2009).

B. Komponen Pengukuran
Kualitas tidur dapat diukur dengan menggunakan
PSQI yang terdiri dari tujuh komponen, yaitu:
1. Kualitas tidur
Evaluasi kualitas tidur secara subjektif merupakan
evaluasi singkat terhadap tidur seseorang tentang apakah
tidurnya sangat baik atau sangat buruk.
2. Latensi tidur
Latensi tidur adalah durasi mulai dari berangkat tidur
hingga tertidur. Seseorang dengan kualitas tidur baik
menghabiskan waktu kurang dari 15 menit untuk dapat
memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap.
Sebaliknya, lebih dari 20 menit menandakan level
insomnia yaitu seseorang yang mengalami kesulitan
dalam memasuki tahap tidur selanjutnya.
3. Durasi tidur
Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai
33

terbangun di pagi hari tanpa menyebutkan terbangun


pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur
selama lebih dari 7 jam setiap malam dapat dikatakan
memiliki kualitas tidur yang baik.
4. Efisiensi kebiasaan tidur
Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara
jumlah total jam tidur dibagi dengan jumlah jam yang
dihabiskan di tempat tidur. Seseorang dikatakan
mempunyai kualitas tidur yang baik apabila efisiensi
kebiasaan tidurnya lebih dari 85%.

5. Gangguan tidur
Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur
yang mana pola tidur-bangun seseorang berubah dari pola
kebiasaannya, hal ini menyebabkan penurunan baik
kuantitas maupun kualitas tidur seseorang.
6. Penggunaan obat
Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif
mengindikasikan adanya masalah tidur. Obat-obatan
mempunyai efek terhadap terganggunya tidur pada tahap
REM. Oleh karena itu, setelah mengkonsumsi obat yang
mengandung sedatif, seseorang akan dihadapkan pada
kesulitan untuk tidur yang disertai dengan frekuensi
terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk kembali
tertidur, semuanya akan berdampak langsung terhadap
kualitas tidurnya.
7. Disfungsi di siang hari
Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk
menunjukkan keadaan mengantuk ketika beraktivitas di
siang hari, kurang antusias atau perhatian.
34

2.2. Kerangka Teori

cahaya

Ditangkap sel retina


yang mengandung sel
melanopsin melalui
retinohipothalamic
pathway dan lateral
geniculate nucleus

Melewati paraventrikular
nuleus, hindbrain, spinal Mempengaruhi
cord, superior servical mekanisme
ganglion menuju reseptor termoregulasi
Noradrenergik di ke.pineal

Core body
Mempengaruhi
termprature
aktivitas NAT

Mengatur sintesis Mempengaruhi


melatonin dan serotonin wake sleep cycle

Mempengaruhi
aktivitas SCN

Menekan wake
Ke ventrolateral promoting sinyal/ Ke lateral
preoptik nucleus neural firing pada hipothalamus
SCN

Tidur Terjaga Tidur


Tidur

Tidak mematikan Kualitas tidur


televisi saat tidur Fisik
Tidak mematikan
Suhu
televisi saat tidur
35

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel perancu

2.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Hipotesis nihil (Ho):
Tidak ada pengaruh penggunaan lampu pada saat tidur terhadap
kualitas tidur mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
b. Hipotesis alternative (Ha)
Ada pengaruh mematikan lampu pada saat tidur terhadap kualitas
tidur mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian adalah
suatu penelitian observasional analitik dengan desain (rancangan)
cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2016 Desember 2016.

3.2.2. Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di kampus B fakultas kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa
fakultas kedokteran universitas muhammadiyah palembang.
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa fakultas kedokteran universitas muhammadiyah
palembang angkatan 2014.

3.3.2. Sampel dan Besar Sampel


Adapun sampel penelitian diambil secara total sampling pada
seluruh mahasiswa FK UMP angkatan 2014.

36
37

3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Kriteria inklusi meliputi:
1) Bersedia mengikuti penelitian dengan cara mengisi questioner.
2) Mahasiswa yang tidur menggunakan AC (Air conditioner).

Kriteria ekslusi meliputi:


1) Mahasiswa FK UMP angkatan 2014 yang tidur dengan
membiarkan televisi menyala.
2) Mahasiswa yang menggunakan Obat tidur.

3.3.4. Cara Pengambilan Sampel


Cara pengambilan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan teknik total sampling. Total
sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel
penelitian sama dengan jumlah populasi terjangkau (Sugiyono, 2007).

3.4. Variabel Penelitian


3.4.1. Variabel Dependent
Varianel dependent pada penelitian ini adalah kualitas tidur.

3.4.2. Variabel Independent


Variable independent pada penelitian ini adalah penggunaan
lampu pada saat tidur.

37
38

3.5. Definisi Operasional


Variabel
Alat Skala
No yang Definisi Cara ukur Hasil ukur
ukur ukur
diukur
1. Kualitas Meminta Question Ordinal 1. Sangat
Kualitas tidur
tidur responden er baik (jika
meliputi
untuk dengan skor <5
aspek
mengisi index berhubun
kuantitatif
questioner PSQI gan
dan kualitatif
dengan
tidur, seperti
kualitas
lamanya
tidur
tidur, waktu
baik).
yang
2. (jika skor
diperlukan
>5
untuk bisa
berhubu-
tertidur,
ngan
frekuensi
dengan
terbangun
kualitas
dan aspek
tidur
subjektif
buruk).
seperti
kedalaman
dan
kepulasan
tidur.

2. Penggunaan Responden Wawancara Kuesioner nominal 1. mematikan


lampu saat yang tidak kepada l lampu
tidur. mematikan responden pada saat
lampu pada tidur
39

saat tidur 2. mengganti


atau lampu tidur
mengganti dengan
dengan mengguna-
lampu tidur. kan lampu
yang
mempu-
nyai
intensitas
cahaya
lebih
Rendah.
3.memakai
lampu
ruangan

3. Penggunaan Responden Wawancara Nominal 1. Ya


AC (Air yang tidur kepada 2. Tidak
concitioner). menggunaka responden
n Air
conditioner
(pendingin
ruangan).
Tabel 3.1. Definisi Operasional

3.6. Cara Pengumpulan Data


3.6.1. Data Primer
a. Subjek penelitian dibagikan kuesioner mengenai kriteria
inklusi penelitian.
40

b. Subjek penelitian yang sesuai dengan criteria


penelitian diminta persetujuannya dengan informed consent
tertulis.
c. Subjek yang sudah menandatangani informed consent akan
menjadi subjek penelitian dengan cara mengisi kuesioner yang
telah dibagikan.

3.7. Metode Teknis Analisis Data


Cara Pengolahan dan Analisis Data
Langkah-langkahnya sebagai berikut:
1) Pengumpulan data
2) Editing data
Editing akan dilakukan setelah data terkumpul, yaitu memeriksa
kelengkapan data dan memeriksa kesinambungan data. Tujuannya
adalah untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di
dalam daftar.
3) Koding
Koding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para
responden ke dalam kategori-kategori.
4) Tabulasi
Tabulasi adalah mengelompokkan data pada tabel kerja.
Merupakan proses menabulasi data agar lebih mudah untuk
penyajian data dalam bentuk distribusi frekuensi.
5) Analisis data
Analisis yang digunakan meliputi analisis data univariat dan
bivariat dengan menggunakan program spss, sebagai berikut :
A. Analisis univariat
Analisis univariat akan dilakukan dengan cara melakukan
analisis pada setiap variabel hasil penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui distribusi proporsi pada setiap variabel penelitian.
Data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
41

B. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik
chi-square. Jika tidak memenuhi syarat uji chi-square, maka
dilakukan uji alternatif lain, yaitu penggabungan sel.

3.8. Alur Penelitian

Penentuan populasi dan


sampel penelitian

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Pengambilan sampel penelitian

Pengolahan dan analisis data


dengan uji chi-square

Hasil dan pembahasan

Kesimpulan dan saran


42

3.9. Rencana Kegiatan


Penelitian ini akan dilakukan dengan tahapan pengajuan judul
skripsi, penentuan judul dan dosen pembimbing (I dan II), persetujuan
judul oleh kedua dosen pembimbing, penyusunan proposal skripsi,
penetapan SK pembimbing, pendaftaran seminar proposal ke
akademik, ujian seminar proposal, perbaikan proposal, surat izin
pengambilan data, pelaksanaan penelitian skripsi, penyusunan skripsi,
pendaftaran ujian akhir skripsi, ujian akhir skripsi, serta perbaikan dan
batas akhir pengumupulan skripsi.

September 2016

November 2016

Desember 2016

Februari 2017
Oktober 2016
Agustus 2016

Januari 2017
April 2016

Juni 2016
Mei 2016

Rencana Juli 2016


No
Kegiatan

1. Pengajuan
judul skripsi
2. Penentuan
judul dan
dosen
pembimbing
(I dan II)
3. Persetujuan
judul oleh
Kedua dosen
pembimbing
4. Penyusunan
proposal
skripsi
5. Penetapan
43

SK
pembimbing
6. Pendaftaran
seminar
proposal
7. Ujian
seminar
proposal
8. Perbaikan
Proposal
9. Surat izin
pengambilan
data
10. Pelaksanaan
penelitian
skripsi
11. Penyusunan
skripsi
12. Pendaftaran
ujian akhir
skripsi
13. Ujian akhir
skripsi
14. Perbaikan
dan batas
akhir
pengumpulan
skripsi
Tabel 3.2. Jadwal Kegiatan Penelitian
44

3.10. Anggaran
Penelitian ini akan membutuhkan sejumlah biaya demi
kelancaran proses penelitian. Berikut ini perkiraan anggaran biaya
yang akan dikeluarkan selama penelitian berlangsung.
Tabel 3.3. Anggaran
No. Harga
1. Kertas A4 2 rim 70 gram dan 2 rim 80
Rp. 140.000,-
gram @35.000
2. Alat tulis dan map Rp. 50.000,-
3. Fotokopian dan penjilidan proposal dan
Rp. 200.000,-
skripsi
4. Souvenir terimakasih Rp. 300.000,-
5. Transportasi Rp. 200.000,-

Total Rp. 1.160.000,-

Tabel 3.3. Anggaran


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Universitas Muhammadiyah


Palembang pada bulan Oktober Desember 2016. Subjek penelitian
yang diambil yaitu, seluruh Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Palembang tahap akademik. Selanjutnya, data tersebut dipilih dan
diambil sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.
Dari seluruh sampel yang diambil di Universitas
Muhammadiyah palembang pada tahap akademik yaitu sebanyak 360
orang dan dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Dari
kriteria tersebut didapatkan sebanyak 39 orang yang tidak bersedia
mengikuti penelitian dengan cara mengisi questioner, sebanyak 92
orang yang tidur tidak menggunakan AC, sebanyak 42 responden
yang tidur dengan membiarkan TV menyala, sebanyak 17 orang yang
tidur tidak menggunakan AC dan membiarkan TV menyala dan tidak
ada responden yang menggunakan obat tidur, sehingga dari kriteria
inklusi maupun eksklusi tersebut didapatkan sampel penelitian yaitu
sebanyak 204 orang subjek penelitian. Adapun tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan lampu pada saat
tidur terhadap kualitas tidur pada mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Palembang tahap akademik.

4.1.1. Hasil Analisis Univariat

Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap 204 subjek


penelitian didapatkan hasil analisis univariat antara jenis kelamin,
penggunaan lampu dan kualitas tidur.

45
46

A. Kriteria Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat


dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini:

Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N %
Perempuan 150 73,5%

Laki-laki 54 26,5

Total 204 100%

Berdasarkan Tabel 4.1 diatas, dapat diketahui bahwa yang jenis


kelamin perempuan pada subjek penelitian sebanyak 150 orang
(73,5%) dan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 54 orang (26,5%).

B. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Penggunaan Lampu

Distribusi subjek penelitian berdasarkan penggunaan lampu


dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini:

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Penggunaan


Lampu

Penggunaan Lampu N %
Mati Lampu 86 42,2%

Lampu Tidur 42 20,6%

Menggunakan Lampu 76 37,3%


Ruangan
Total 204 100%
47

Berdasarkan Tabel 4.2 diatas, dapat diketahui bahwa subjek


penelitian yang mematikan lampu pada saat tidur yaitu 86 orang
(42,2%), yang menggunakan lampu tidur yaitu 42 orang (20,6%),
dan yang tidak mematikan lampu yaitu 76 orang (37,3%).

C. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Kualitas Tidur.

Distribusi subjek penelitian berdasarkan kualitas tidur dapat


dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini:

Tabel 4.3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Kualitas Tidur


Kualitas Tidur N %

Baik 90 44,1%
(Indeks PSQI : < 5)
Buruk 114 55,9%
(Indeks PSQI : > 5)
Total 204 100%

Berdasarkan Tabel 4.3 diatas, dapat diketahui bahwa subjek


penelitian memiliki kualitas tidur baik berjumlah 90 orang (44,1%),
dan kualitas tidur buruk yaitu 114 orang (55,9%).

4.1.2. Hasil Analisis Bivariat

A. Pengaruh Penggunaan Lampu pada saat Tidur Terhadap


Kualitas Tidur pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Palembang.

Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap 204 subjek


penelitian, didapatkan pengaruh antara penggunaan lampu pada saat
tidur terhadap kualitas tidur pada mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Palembang tahap Akademik.
48

Tabel 4.4. Pengaruh Penggunaan Lampu pada Saat Tidur terhadap


Kualitas Tidur pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Palembang.

No Penggun Kualitas Tidur Jumlah P- value


aan Baik Buruk
lampu N % N %
1 Mati 77 89,5% 9 10,5% 86
lampu
2 Lampu 11 26,2% 31 73,% 42
tidur
3 Memakai
Lampu 2 2,6% 74 97,% 76
ruangan

Jumlah 90 100% 114 100% 204 0,000

OR = 69,103 (CI 95% = 28,114-169,852)

Berdasarkan Tabel 4.4. di atas dapat di ketahui bahwa dari 204


orang yang menjadi subjek penelitian terdapat 86 orang yang
mematikan lampu pada saat tidur dan 77 orang (89,5%) diantaranya
memiliki kualitas tidur yang baik dan 9 orang (10,5%) memiliki
kualitas tidur yang buruk, dari 42 orang yang menggunakan lampu
tidur ada 11 orang (26,2%) dengan kualitas tidur baik dan 31 orang
(73,8%) dengan kualitas tidur yang buruk, dan dari 76 orang yang
tidur tidak mematikan lampu terdapat 2 orang (2,6%) yang memiliki
kualitas tidur yang baik sedangkan 74 orang (97,4%) diantaranya
memilki kualitas tidur yang buruk. Hasil uji statistik didapatkan P-
value 0,000 < ( = 0,05 ) yang berarti ada pengaruh penggunaan
lampu tidur terhadap kualitas tidur dengan nilai OR: 69,103
(confident interval 28,114-169,852).
49

4.2. Pembahasan

Pada tabel 4.4 menunjukkan tentang adanya pengaruh penggunaan


lampu terhadap kualitas tidur pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Palembang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rita


Suci Rusmiyati,dkk (2013) dalam penelitian Pengaruh Penggunaan lampu
pada saat tidur terhadap kualitas tidur remaja di madrasah Aliyah Negeri 2
Pontianak. menunjukkan bahwa ada pengaruh penggunaan lampu pada
saat tidur terhadap kualitas tidur remaja di madrasah Aliyah Negeri 2
Pontianak dengan nilai P-value 0,000 (Abror Ihsan,dkk, 2013).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur antara lain


keadaan lingkungan, adapun keadaan lingkungan dapat mempengaruhi
kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur di antaranya adalah suara/
kebisingan, suhu ruangan, dan pencahayaan. Keadaan lingkungan yang
aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses
tidur. (Potter & Perry 2005).
Pada penelitian ini didapatkan responden yang memiliki kualitas tidur
baik sebanyak 77 orang (89,5%) dan kualitas tidur buruk yaitu 9 orang
(10,5%) dari 86 orang yang tidur mematikan lampu, dari 42 responden
yang tidur menggunakan lampu tidur terdapat 11 orang (26,2%) yang
memiliki kualitas tidur baik dan 31 orang (73,8%) dengan kualitas tidur
buruk, dan dari 76 responden yang tidur tidak mematikan lampu terdapat 2
orang (2,6%) dengan kualitas tidur baik, 74 orang (97,4%) dengan kualitas
tidur buruk.
Hal ini terjadi karena hormon melantonin sangat berperan dalam
proses tidur dan kualitas tidur seseorang. Kinerja hormon tersebut sangat
dipengaruhi oleh cahaya. Cahaya yang ada disaat kita tidur akan
menghambat produksi melantonin di dalam darah. Secara tidak langsung,
cahaya dapat menghambat mekanisme irama sirkandian (jam biologis).
Dengan adanya cahaya maka kerja irama sirkadian tidak stabil. Tubuh
50

dipaksa mengabaikan perintah tidur dan dipaksa beraktivitas hingga larut


malam. Tanda awal terganggunya irama sirkadian adalah terganggunya
proses tidur akibat rendahnya produksi hormon melantonin (Prasadja,
2009).
Hormon melatonin itu sendiri akan dihambat kerjanya apabila
terdapat cahaya, kemudian implus cahaya dari retina akan disampaikan ke
kelanjar pineal melalui nukleus suprachiasmaticus di hipothalamus melalui
sistem saraf simpatis dengan norepinefrin sebagai neurotransmiter. Efek
pada kelenjar pineal adalah pengaturan sintesis dan sekresi melatonin.
Sintesis dan sekresi melatonin distimulasi oleh suasana gelap dan diinhibisi
oleh suasana terang. Selama ada cahaya, fotoreseptor di retina akan
mengalami hiperpolarisasi yang akan menghambat sekresi norepinefrin.
Sistem retinohipothalamus-pineal akan dihambat sehingga melatonin
disekresi dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada saat tidak ada cahaya,
fotoreseptor mensekresi norepinefrin yang akan mengaktivasi sistem
retino-hipotalamus-pineal. Reseptor alfa dan beta adrenergik bertambah di
glandula pinealis. Kontak antara norepinefrin dan reseptornya akan
mengaktivasi enzim arilalkilamin N-asetiltransferase (AA-NAT). Enzim
inilah yang akan menginisiasi sintesis melatonin dan sekresinya (Kaczor,
2010).
Melatonin selanjutnya akan masuk ke aliran darah melalui difusi
pasif sehingga akan mempengaruhi proses tidur dan kualitas tidur. Pada
manusia, peningkatan sekresi melatonin segera terjadi pada saat onset gelap
dan mencapai puncaknya pada tengah malam (antara jam 2 sampai jam 4),
kemudian secara bertahap akan mengalami penurunan (Brzezinski 1997).
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Dari 204 responden yang diteliti terdapat 86 responden yang


mematikan lampu padsa saat tidur, 42 orang yang menggunakan
lampu tidur pada saat tidur dan sebanyak 76 responden yang tidak
mematikan lampu pada saat tidur.

2. Terdapat 204 responden yang terdiri atas 90 orang ( 44,1% )


responden dengan kualitas tidur baik dan 114 orang ( 55,9% )
responden dengan kualitas tidur yang buruk.

3. Dari 86 responden yang mematikan lampu pada saat tidur terdapat


77 orang (89,5%) dengan kualitas tidur yang baik dan responden
dengan kualitas tidur yang buruk sebanyak 9 orang (10,5%). 42
orang yang menggunakan lampu tidur pada saat tidur 11 orang
(26,2%) diantaranya yaitu kualitas tidur baik dan 31 orang (73,8%)
dengan kualitas tidur yang buruk. Terdapat 76 responden yang
tidak mematikan lampu pada saat tidur dan 2 (2,6%) orang
diantaranya memiliki kualitas tidur yang baik sedangkan 74 orang
(97,4%) lainnya memiliki kualitas tidur yang buruk.

4. Terdapat pengaruh penggunaan lampu terhadap kualitas tidur pada


Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang. Hasil uji
statistik chi-square dengan nilai P-value 0,000.

5.2. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian diatas, peneliti menyarankan


beberapa hal sebagai berikut :

51
52

1. Untuk Penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat


memastikan terlebih dahulu waktu luang responden ketika diminta
untuk mengisi questioner sehingga dapat mengurangi angka dari
responden yang menolak terlibat dalam penelitian karena alasan
keterbatasan waktu pada saat diteliti .

2. Pada penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat meneliti


penggunaan lampu beserta intensitas cahaya pada lampu yang
digunakan saat tidur karena keterbatasan alat dan waktu maka
peneliti sekarang belum dapat melaksanakan hal tersebut.

3. Pada penelitian ini didapatkan 114 responden dengan kualitas tidur


yang buruk sehingga diharapkan agar mahasiswa atau masyarakat
tidur mematikan lampu dengan tujuan dapat meningkatkan
kualitas tidur.
DAFTAR PUSTAKA

Aiyuda, N. (2009). Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Prestasi Belajar,


Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim, Riau. Available from www.scribd.com:
http://www.scribd.com/doc/27709071/Makalah-Psi-Islam
Pengaruh-Kualitas-Tidur Terhadap-Prestasi-Belajar. Diakses 16
Agustus 2016.

Benaroch, R. , 2012. How Much Sleep Do Children Need?, Soong.


Available from : Http://www.Soong.com/parenting/guide/sleep-
children . [Accessed 25 Agustus 2016].

Brzezinski A. Mechanism of disease: melatonin in humans. Neurology


England Journal Medicine; 1997. 336:18695.

Buysse, Dj dkk.(2008). The. Pittsburgh Sleep Quality. Index (PQSI)

Ganong, W. F. (1998). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta:

EGC.

Guyton & Hall. 1997. Aktivitas otak-tidur ; gelombang otak ; epilepsy ;


psikosis. Dalam: Buku ajar fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC. p. 945-948.

Guyton, A.C. , 2005. Behavioral and Motivational Mechanism of the


Brain-The Limbic System and the Hypothalamus. In : Hall,
J.E. , ed. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.
Mississippi : University of Mississippi Medical Center. p.
728-738.

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC.

53
54

Hanning, C. (2009). Sleep Disturbance and Wind Turbine Noise on Behalf


of Stop Swinford Wind Farm Action Group (SSWFAG). Available
from. http://docs.windwach. org/. Diunduh 10 Agustus 2016.

Harsono. (1996). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University.

Hidayat, A. Aziz. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia:


aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A. A. (2006). Aplikasi Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia
Konsep dan Proses Keperawatan, Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.

Hirawan, A. (2007).Sukses TidurNyenyak Terdapat pada


:http://Ameliahirawan..com.
Japardi, I. (2002). Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatra Utara. USU Digital Library. Available from
http://gudangarsipadibahmadi.files.wordpress.com/2007/07/gangg
uantidur.pdf. diakses 16 Agustus 2016.

Kaczor , T. 2010. An overview of melatonin and breast cancer. Natural


medicine journal, 2 (2), pp1-5.

Koch, R. (2003). The impact of shift work. Australia.


http://www.healthservice.or.id. diunduh 16 Agustus 2016.

Lai et, al. 2001. Hypertension and its Related Factors in Taiwanese
Elderly People/ Yale Journal of Biology and Medicine. 74 (2): 80
94.

National Sleep Foundation, 2006. Sleep-Wake Cycle : Its Physiology


an Impact on Health. Avaiable from :
Http://www.sleepfoundation.org/sites/default/files/National
Sleep Foundation.pdf [25 Agustus 2016].
55

Patlak, M. (2005). Your Guide to Healthy Sleep. U. S. Department of


Healthy and Human Services. Available from
http://www.nhlbi.nih.gov/health/public/sleep/healthy_sleep.pdf
Diakses 21 Agustus 2016.

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) questionare. Available from :


Http://www.goodmedicine.org.uk/files/assessment/%20pitts
burgh%20psqi.pdf. [Accessed 12 Agustus 2016].

Pizza, F. C. (2010). Sleep quality and motor vehicle crashes in adolescents.


J Clin.Sleep Med., 6, 41-45.
Potter & perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep,
Proses dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: ECG.

Prasadja, A. (2009). Ayo bangun. Jakarta: Hikmah

Robotham, D. , Chakkalackal, L. , Cyhlarova, E. , 2011. Robotham : the


impact of sleep on health and wellbeing, Mental Health
Foundation. Available from :
Http://www.howdidyousleep.org/media/downloads/MHF_Slee
p_Matters_Report.pdf. [Accessed 25 Agustus 2016].

Saputri, D. (2009). Hubungan antaraSleep Hygienedengan Kualitas Tidur


pada Lanjut Usia di Dusun Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Mlati,
Sleman, Yogyakarta . Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sack, R. L. et al. (2007). Circadian Rhythm Sleep Disorders: Part I, Basic


Principles, Shift Work and Jet Lag Disorders An American
Academy of Sleep Medicine Review.
http://www.aasmnet.orgdiunduh 16 Agustus 2016.
Smith, M. , Robinson, L. , Segal, R. , M.A, 2012. How Much Sleep Do
You Need?, Help Guide. Available from :
Http://www.Smith.org/life/sleeping.htm . [Accessed 25
Agustus 2016].

Anda mungkin juga menyukai