Anda di halaman 1dari 10

CONTOH KOMITE NAKES RSCM

VISI DAN MISI KOMITE TENAGA KESEHATAN


4 March 2016
Visi :
Memberikan pengalaman yang istimewa bagi semua tenaga kesehatan yang ada di lingkungan RSCM
FKUI.
Misi :
Mewujudkan tenaga kesehatan yang berstandar dengan kompetensi terbaik, bermental prima,
bermutu, dan terintegrasi demi mengutamakan keselamatan pasien.
Mewujudkan sistem manajemen mutu tenaga kesehatan secara efektif dan efisien.
Merekomendasikan program pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan yang berkelanjutan
berbasis kompetensi yang berkualitas.
Kebijakan Mutu :
N : Nilai Budaya dan perilaku RSCM selalu diterapkan
A : Aktif bekerjasama dalam mencapai tujuan
K : Kepedulian dan empati terhadap sesama
E : Etika dan disiplin profesi dijunjung tinggi
S : Standar prosedur operasional selalu menjadi pedoman dalam pelayanan kesehatan

Kredensial berasal dari kata kredibel yang artinya mampu menjadi dikreditkan atau percaya; layak
keyakinan; entiled kepercayaan; dipercaya. Hal-hal yang dibuat kredibel baik oleh kondisi yang
dikenal dan kualitas utterer atau dengan kemungkinan nyata kebenaran dalam diri mereka (Kamus
Bahasa Indonesia).
Credentialing is the process of verifying an individuals qualifications and experience to form a view
about their competence, performance and professional suitability to provide high quality care within
specific settings and/or scope of practice
(Queensland Government).
Hal-hal yang perlu diverifikasi :

1. Kualifikasi
2. Status registrasi profesi (saat ini
terkenal dengan nama STR : Surat Tanda
Registrasi)
3. Catatan etika dan disiplin
(Pemantauan Etika dan Disiplin Profesi)
4. Catatan penjaminan
mutu/logbook kegiatan keseharian
5. Pendidikan dan pelatihan teknis

P E R A N KO M I T E K R E D E N S I A L

Dalam memberikan pelayanan kredensial, diperlukan peran komite kredensial untuk


mempermudah gerak proses bisnis tersebut. Peran minimal komite kredensial adalah :
1. Review/mengkaji kelengkapan, ketepatan dan memastikan formulir pengajuan kredensial
dilengkapi dengan bukti berdasarkan kompetensi yang dimiliki.
2. Meminta informasi lebih lanjut terhadap keahlian yang menerangkan mampu dilaksanakan
pada layanan kesehatan dengan aman.
3. Menverifikasi ruang lingkup tambahan dan didukung dengan bukti yang relevan terhadap
pelayanan yang diberikan.
4. Menverifikasi status registrasi profesi.
5. Memastikan pemohon kredensial sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan.
6. Memastikan pemohon kredensial telah meningkatkan keterampilan dengan keikutsertaan
dalam pelatihan berkelanjutan.
7. Mendapatkan tanggapan/rekomendasi dari tenaga kesehatan profesional lainnya yang
indepen dan tidak ada kepentingan pribadi.
8. Mempertimbangkan kebutuhan terhadap ketersediaan sumber daya manusia dan fasilitas.
9. Mempertimbangkan kemungkinan yang dapat terjadi terhadap kelalaian/suatu hal yang tidak
aman terhadap pengajuan kredensial.
Komite kredensial dapat mempertimbangkan dari sumber lain :

1. Laporan verifikasi registrasi profesi


2. Laporan komplain pasien dan staf
3. Laporan/catatan etika dan disiplin profesi
4. Clinical review dan audit
5. Informasi lainnya yang berkaitan terhadap kapasitas pemohon dalam memberikan pelayanan
Tugas diatas dapat juga dilakukan bersama mitra bestari (peer reviewer) dalam mengkredensial
tenaga kesehatan internal rumah sakitnya maupun tenaga kesehatan external.
Setelah tugas tersebut dilakukan, maka peran komite kredensial selanjutnya untuk memberikan
rekomendasi. Rekomendasi tersebut merupakan landasan dasar untuk keputusan pimpinan/ direktur
utama dalam pemberian kewenangan dengan pertimbangan dan bukti yang relevan terkait
permohonan kredensial.

KO M P E T E N S I V S K E W E N A N G A N

Pada dasarnya suatu profesi memiliki tiga syarat utama, yaitu diperoleh melalui pelatihan yang
ekstensif, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan
memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki tiga syarat umum,
yaitu sertifikasi, organisasi profesi, dan otonomi dalam bekerja. Pemberian sertifikasi dilakukan tidak
sekali untuk selamanya, melainkan harus selalu memperoleh validasi melalui proficiency check.
Otonomi mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi eksklusif dan memerlukan self regulation
dalam rangka menjaga tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab profesinya kepada masyarakat.
Mereka umumnya memiliki etika profesi dan standar profesi serta berbagai tatanan yang menunjang
upaya self regulation tersebut.

Kemampuan atau competency diperoleh seseorang profesional dari pendidikan atau pelatihannya,
sedangkan kewenangan atau authority diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang
tersebut melalui pemberian ijin. Kewenangan memang hanya diberikan kepada mereka yang
memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki
kewenangan. Selain itu, oleh karena suatu kemampuan didapat secara berjenjang, maka kewenangan
yang diberikan pun juga berjenjang. Kemampuan temuan baru baru diakui sebagai kemampuan di
bidang profesi apabila kemampuan tersebut berlandaskan kepada teori dan metodologi ilmiah yang
telah teruji serta diterima oleh peer review (golden standard).

M I T R A B E S TA R I

Kata peer review dapat disama artikan dengan istilah mitra bestari. Asal kata dari peer yang artinya
sesama (kawan, teman, sejawat) sedangkan review = meninjau, mengkaji, memeriksa atau dalam
istilah lain juga berarti sebagai bestari yang artinya luas dan dalam pengetahuannya; berpendidikan
baik; baik budi pekerti (KKBI). Namun dalam harfiah kata peer adalah keterampilan individu
dalam profesi yang sama dan yang memiliki keahlian dalam materi pelajaran yang sesuai.
A peer is an individual practicing in the same profession and who has expertise in the appropriate
subject matter.
Sehingga kata Mitra Bestari (Peer reviewer) adalah seseorang yang melakukan pengkajian/meninjau
suatu perilaku praktisi profesional dan atau kompetensi sebagai bagian dari staf profesional dalam
pengawasan kualitas, peningkatan kinerja dan tanggung jawab terhadap keselamatan pasien.
Peer review is the process for review of practitioners professional conduct and/or competence as
part of the professional staffs quality oversight, performance improvement and patient safety
responsibilities.
Kriteria
Mitra
Bestari :

1.
Minimal setara dengan pemohon kredensial (tidak harus senior dan tak harus Prof ataupun Dr).
2. Sesama profesi pemohon kredensial.
3. Memiliki pengalaman dalam kegiatan profesi pada waktu tertentu (>5 tahun).
4. Mempunyai rekam jejak sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan lebih
kompeten.
5. Memiliki reputasi yang baik dari catatan kriminal/etik.
6. Tidak memiliki kepentingan pribadi dan mampu memberikan kajian secara objektif.
7. Memiliki akal sehat
Fungsi Mitra bestari :

1. Mengkaji apakah suatu kompetensi cukup aman dilakukan difasilitas kesehatan.


2. Memberi saran pada para pemohon terkait kompetensi yang perlu dikembangkan dan
tergantung pada fasilitas yang tersedia, mana yang layak dilakukan.
3. Mengkaji kompetensi profesional secara detail demi keselamatan pasien.
4. Memberi masukan terhadap check list yang diberikan oleh komite/unit kredensial.
5. Bangga dengan keilmuan yang dimiliki sebagai mitra bestariprofessional acknowledgement.
6. Diberi kewenangan untuk menolak suatu kompetensi atau diterima kompetensinya dengan
pertimbangan yang jelas.
Dasar pertimbangan Mitra Bestari :
Dalam melakukan evaluasi praktisi didasarkan pada standar yang diakui secara umum
tentang patient care. Melalui proses ini, praktisi menerima umpan balik untuk perbaikan pribadi atau
konfirmasi dari prestasi pribadi yang berkaitan dengan efektivitas praktek profesional mereka seperti
yang didefinisikan oleh badan akreditasi internasional maupun nasional terhadap kompetensi umum.

1. Perawatan Pasien/Patient Care : Praktisi diharapkan untuk memberikan perawatan pasien


yang penuh kepedulian, tepat pengobatan, dan efektif layanan kesehatan serta melakukan
pencegahan penyakit
2. Pengetahuan medis: Praktisi diharapkan mampu untuk menunjukkan pengetahuan yang
kompeten dalam penerapan pengetahuan mereka untuk perawatan pasien dan pendidikan lain.
3. Peningkatan belajar berbasis praktek : Praktisi diharapkan dapat menggunakan bukti ilmiah
dan metode untuk menyelidiki, mengevaluasi, dan meningkatkan perawatan pasien.
4. Interpersonal dan Keterampilan Komunikasi : Praktisi diharapkan untuk menunjukkan
kemampuan interpersonal dan komunikasi yang memungkinkan mereka untuk membangun dan
memelihara hubungan profesional dengan pasien, keluarga, dan anggota lain dengan tim
kesehatan.
5. Profesionalisme : Praktisi diharapkan untuk menunjukkan perilaku yang mencerminkan
komitmen untuk pembangunan berkelanjutan profesional, kode etik, pemahaman dan kepekaan
terhadap keragaman, dan sikap bertanggung jawab terhadap pasien mereka, profesi mereka, dan
masyarakat.
6. Sistem Berbasis Praktek : Praktisi diharapkan untuk menunjukkan kedua pemahaman tentang
konteks dan sistem di mana kesehatan disediakan, dan kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan ini untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kesehatan.

D E L I N E AT I O N / R I N C I A N

Rincian kewenangan klinis merupakan suatu rincian dari uraian pekerjaan atau kewenangan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan. Setiap perubahan dari
kewenangan klinis tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan pada saat proses re-kredensial.

Rincian kewenangan klinis dapat mencakup derajat kompetensi, uraian jabatan, dan cakupan
pelayanan kesehatan ditempat kerja. Saat ini, rincian kewenangan klinis tenaga kesehatan
berdasarkan ketentuan kompetensi profesi

PENILAIAN KINERJA

Penilaian Kinerja
Menurut Mondy & Noe(2005) penilaian kinerja adalah tinjauan formal dan evaluasi kinerja individu
atau tugas tim. Dalam menetapkan penilaian kinerja terdapat yang menjadi perhatian, yaitu :
1. Ciri-ciri. Ciri-ciri karyawan tertentu seperti sikap, penampilan, dan inisiatif merupakan dasar
untuk evaluasi.
2. Perilaku. Ketika hasil dari tugas individu sulit untuk ditentukan, organisasi dapat
mengevaluasi perilaku seseorang yang terkait dengan tugas atau kompetensi.
3. Kompetensi. Kompetensi terdiri dari pengetahuan, keterampilan, sifat dan perilaku, dan
berhubungan dengan keterampilan interpersonal atau berorientasi bisnis.
4. Pencapaian tujuan. Jika organisasi mempertimbangkan hasil akhir pencapaian tujuan
sebagai suatu hal yang berarti, hasil pencapaian tujuan akan menjadi faktor yang tepat untuk
dievaluasi untuk dibandingkan dengan standar.
5. Peningkatan potensi. Ketika organisasi mengevaluasi kinerja karyawan, kriteria difokuskan
pada masa lalu, masa sekarang, dibandingkan dengan standar.
Metode-metode Penilaian Kinerja
Menurut Mondy & Noe(2005), ada tujuh metode penilaian kinerja yaitu:

1. Rating Scales
Menilai kinerja pegawai dengan menggunakan skala untuk mengukur faktor-faktor kinerja
(performance factor). Misalnya dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala
yang digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik. Jika
tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan
begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja lainnya.
2. Critical Incidents
Evaluator mencatat mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or
bad behaviour) pegawai. Dalam metode ini, penilai harus menyimpan catatan tertulis tentang
tindakan-tindakan atau prilaku kerja yang sangat positif (high favorable) dan perilaku kerja yang
sangat negatif (high unfavorable) selama periode penilaian.
3. Essay
Evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan dan kelemahan karyawan, kinerjanya pada masa lalu,
potensinya dan memberikan saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut. Metode ini
cenderung lebih memusatkan perhatian pada perilaku ekstrim dalam tugas-tugas karyawan daripada
pekerjaan atau kinerja rutin yang mereka lakukan dari hari ke hari. Penilaian seperti ini sangat
tergantung kepada kemampuan menulis seorang penilai.

4. Work standard
Metode ini membandingkan kinerja setiap karyawan dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya atau dengan tingkat keluaran yang diharapkan. Standar mencerminkan keluaran normal
dari seorang pekerja yang berprestasi rata-rata, yang bekerja pada kecepatan atau kondisi normal.
Agar standar ini dianggap objektif, para pekerja harus memahami secara jelas bagaimana standar
yang ditetapkan.

5. Ranking
Penilai menempatkan seluruh pekerja dalam satu kelompok sesuai dengan peringkat yang disusun
berdasarkan kinerja secara keseluruhan. Contohnya, pekerja terbaik dalam satu bagian diberi
peringkat paling tinggi dan pekerja yang paling buruk prestasinya diletakkan di peringkat paling
bawah. Kesulitan terjadi bila pekerja menunjukkan prestasi yang hampir sama atau sebanding.

6. Forced distribution
Penilai harus memasukkan individu dari kelompok kerja ke dalam sejumlah kategori yang serupa
dengan sebuah distribusi frekuensi normal. Contoh para pekerja yang termasuk ke dalam 10 persen
terbaik ditempatkan ke dalam kategori tertinggi, 20 persen terbaik sesudahnya ke dalam kategori
berikutnya, 40 persen berikutnya ke dalam kategori menengah, 20 persen sesudahnya ke dalam
kategori berikutnya, dan 10 persen sisanya ke dalam kategori terendah. Bila sebuah departemen
memiliki pekerja yang semuanya berprestasi istimewa, atasan dipaksa untuk memutuskan siapa
yang harus dimasukan ke dalam kategori yang lebih rendah.

7. Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS)


Evaluator menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan dimensi
kinerja dan membuat skalanya. Misalnya penilaian pelayanan pelanggan. Bila pegawai bagian
pelayanan pelanggan tidak menerima tip dari pelanggan, ia diberi skala 4 yang berarti kinerja
lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7
yang berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang
diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan.
Karakteristik Sistem Penilaian Kinerja Yang Efektif
Menurut Mondy & Noe(2005), karakteristik sistem penilaian yang efektif, adalah:

1. Kriteria yang terkait dengan pekerjaan


Kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja karyawan harus berkaitan dengan pekerjaan / valid.

2. Ekspektasi Kinerja
Sebelum periode penilaian, para manajer harus menjelaskan secara gamblang tentang kinerja yang
diharapkan kepada pekerja.

3. Standardisasi
Pekerja dalam kategori pekerjaan yang sama dan berada di bawah organisasi yang sama harus dinilai
dengan menggunakan instrumen yang sama.

4. Penilaian yang Cakap


Tanggung jawab untuk menilai kinerja karyawan hendaknya dibebankan kepada seseorang atau
sejumlah orang, yang secara langsung mengamati paling tidak sampel yang representatif dari kinerja
itu. Untuk menjamin konsistensi penilaian, para penilai harus mendapatkan latihan yang memadai.

5. Komunikasi Terbuka
Pada umumnya, para pekerja memiliki kebutuhan untuk mengetahui tentang seberapa baik kinerja
mereka.

6. Akses Karyawan Terhadap Hasil Penilaian


Setiap pekerja harus memperoleh akses terhadap hasil penilaian. Kerahasiaan akan menumbuhkan
kecurigaan. Menyediakan akses terhadap hasil penilaian memberikan kesempatan karyawan untuk
mendeteksi setiap kesalahannya.

7. Proses Pengajuan Keberatan (due process)


Dalam hubungannya dengan pengajuan keberatan secara formal atas hasil penilainnya,
penetapan due process merupakan langkah penting.
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat
bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa
saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs. Mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan
bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5. Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir
yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and job design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan
yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama dibidang informasi job
analysis, job design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8. Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9. External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu
kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor faktor eksternal ini akan kelihatan
sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi
peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu
sendiri.
Langkah Penyusunan Penilaian Kinerja

Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam menyusun sistem penilaian kinerja yaitu harus digali terlebih
dahulu tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi dengan adanya sistem penilaian kinerja yang akan
disusun. Hal ini menjadi penting karena dengan mengetahui tujuan yang ingin dicapai akan lebih
memudahkan dalam menentukan desain penilaian kinerja.
Langkah yang kedua, menetapkan standar yang diharapkan dari suatu jabatan, sehingga akan
diketahui dimensi-dimensi apa saja yang akan diukur dalam penilaian kinerja. Dimensi-dimensi
tersebut tentunya harus sangat terkait dengan pelaksanaan tugas pada jabatan itu. Tahap ini
biasanya dapat dilakukan dengan menganalisa jabatan (job analysis) atau menganalisa uraian tugas
masing-masing jabatan. Setelah tujuan dan dimensi yang akan diukur dalam penilaian kinerja
diketahui, maka langkah selanjutnya yaitu menentukan desain yang sesuai untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Penentuan desain penilaian kinerja ini harus selalu dikaitkan dengan tujuan
penilaian. Hal ini karena tiap-tiap desain penilaian kinerja memiliki kelemahan dan kelebihannya
masing-masing. Sebagai contoh, penilaian kinerja yang dilakukan untuk menentukan besaran gaji
pegawai dengan penilaian kinerja yang bertujuan hanya untuk mengetahui kebutuhan
pengembangan tentunya memiliki desain yang berbeda.
Langkah berikutnya adalah melakukan penilaian kinerja terhadap pegawai yang menduduki suatu
jabatan. Penilaian kinerja ini dapat dilakukan oleh atasan saja, atau dengan sistem 360 derajat.
Penilaian dengan sistem 360 derajat maksudnya adalah penilaian satu pegawai dilakukan oleh
atasan, rekan kerja yang sejajar/setingkat, dan bawahannya.
Hasil dari penilaian kinerja, selanjutnya dianalisa dan dikomunikasikan kembali kepada pegawai yang
dinilai agar mereka mengetahui kinerjanya selama ini serta mengetahui kinerja yang diharapkan oleh
organisasi. Evaluasi terhadap sistem penilaian kinerja yang telah dilakukan juga dilaksanakan pada
tahap ini. Apakah penilaian kinerja tersebut sudah dapat mencapai tujuan dari diadakannya penilaian
kinerja atau belum. Apabila ternyata belum, maka harus dilakukan revisi atau mendesain ulang
sistem penilaian kinerja.

AUDIT PROFESI
Merupakan elemen terpenting dalam clinical governance, bahkan banyak para ahli berpendapat
bahwa audit klinis merupaka jantung dari clinical governance. Audit klinis secara spesifik langsung
mempertanyakan dan menilai secara sistematis :
1. Apakah pelayanan kesehatan yang seharusnya dilaksanakan sudah dilakukan dengan benar.
2. Apakah pelayanan kesehatan yang dikerjakan telah sesuai dengan standar yang ditetapkan.
3. Apakah pelayanan kesehatan yang dikerjaka telah sesuai dengan panduan pelayanan.
4. Apakah evidance baseyang digunakan sudah terbarukan dan telah diterapkan secara aman.
Menurut Institusi nasional untuk kesehatan dan Clinical Excellent ( NICE) pada tahun 2002 bahwa
audit klinis merupakan proses peningkatan kualitas yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan hasil peninjauan secara sistematis terhadap kriteria eksplisit dan perubahan metode
pelaksanaan.
Audit klinis dianalisa terhadap :

1. Mutu prosedur dibandingkan dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.


2. Efisiensi yang diukur dengan kajian penggunaan (utilization review)
3. Produksi mutu (Quality Outcome) yang dinilai dengan bantuan indikator kehandalan
pelayanan (KPI = Key Performance Indicator)
Agar audit klinis dapat terselenggaran dengan baik dan lancar maka diperlukan bahan-bahan
penilaian seperti : Standar, indikator penilaian dan topik yang diprioritaskan dengan
mempertimbangkan high volume, high cost and high risk.

PEMANTAUAN ETIKA DAN DISIPLIN PROFESI


Tugas pemantauan etika dan disiplin :
Pembinaan etika dan disiplin tenaga
kesehatan
1. Pemeriksaan tenaga kesehatan
yang diduga melakukan
pelanggaran disiplin
2. Rekomendasi pendisiplinan
perilaku profesional di rumah sakit
3. Pemberian nasehat/pertimbangan
dalam pengambilan keputusan etis
pada asuhan pelayanan

Alur Pemantauan Etika dan Disiplin


Profesi

CODE OF CONDUCT
Pedoman perilaku (Code of
Conduct) merupakan kode atau aturan
atau tata tertib dalam rumah sakit
yang berisi sistem tata nilai, etika
berperilaku, bertindak dan berinteraksi
dengan semua pemangku kepentingan;
code of conduct memegang peranan penting dalam keseharian perilaku pemberi layanan kesehatan.
Pedoman ini berisi tidak saja tata tertib, disiplin dan etika, perilaku profesional serta hubungan antar
pegawai, namun juga terkait dengan mutu dan keselamatan. Pedoman umum tentang kerahasiaan
informasi publik, benturan kepentingan, perlindungan terhadap informasi, serta keselamatan
lingkungan kerja.

Anda mungkin juga menyukai