TAHUN 2011
TIM PENYUSUN:
|P a g e i
KATA PENGANTAR
Laporan Teknis Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi PPETLIPI Tahun 2011
memuatgambaranteknis5(lima)kegiatantematikdiPPETLIPI.
Kegiatan Tematik PPET LIPI diarahkan sesuai program dalam Renstra Implementatif PPET
LIPI 20102014 dan mengacu pada program utama LIPI, yaitu Program Peningkatan
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IPTEK (P3 IPTEK), pada bidang fokus teknologi
informasidankomunikasidanmaterialmaju.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunanLaporanTeknis2011ini.
SemogaLaporanTeknis2011inibermanfaat.
Dr. H i s k i a
NIP. 19650615 199103 1 006
|P a g e ii
DAFTAR ISI
TIMPENYUSUN i
KATAPENGANTAR ii
DAFTARISI iii
|P a g e iii
Pemanfaatan dan Pemasangan
RADAR Pengawas Pantai
Dr. Mashury
1
LEMBAR PENGESAHAN
2
ABSTRAK
Dalam kegiatan ini dilakukan penelitian yang berupa rancang bangun Radar
pengawas pantai (coastal surveillance Radar) yang akan dipasang pada truk
sehingga bersifat mobile/transportable. Pemasangan diatas truk ini didasarkan
adanya kebutuhan untuk demonstrasi dari Radar untuk keperluan pameran serta
pengujian-pengujian Radar diberbagai tempat. Desain dari Radar ini didasarkan
pada pengembangan sebelumnya dari prototip I dan II Radar ISRA (Indonesian
Surveillance Radar) milik PPET-LIPI. Pendanaan kegiatan ini berupa satuan biaya
khusus (SBK) yang harus ada capaian output penelitian yang jelas. Dikarenakan
terbatasnya pendanaan SBK pada tahun 2011 ini, penyelesaian pekerjaan
(sampai terpasang) juga di-kontribusikan dari sumber pendanaan lain (PNBP
lisensi Radar). Pelaksanaan pekerjaan dimulai dari pembuatan desain untuk
perangkat lunak, perangkat keras, sistem mekanik, sistem hidrolik dan konstruksi
pada truk, selanjutnya dilaksanakan implementasi perangkat keras dan konstruksi
mekanik, di-ikuti dengan pengujian, pengetesan dan evaluasi. Output penelitian
berupa prototip Radar yang dipasang diatas truk serta beberapa publikasi ilmiah.
Kata Kunci: Radar pengawas pantai, mobile, ISRA, pendanaan SBK, rancang
bangun, output.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengamanan dan pengawasan wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri
dari lautan akan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar.
Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan panjang pantai terbesar
didunia yaitu lebih dari 80.000 Km. Pada kenyataannya, kemampuan TNI-AL dan
POLRI untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan
Indonesia rawan akan pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing,
pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah
adalah dengan menggunakan Radar Pengawas Pantai untuk mengawasi
pergerakan kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan-tindakan yang dapat
merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan.
3
Pemasangan Radar Pengawas Pantai daya besar (high power) di kapal atau
dipinggir daratan (sekitar pantai) dapat digunakan untuk mengawasi wilayah laut
yang luas sampai beberapa puluh mil laut. Gambar 1 memperlihatkan contoh
Radar Pengawas Pantai dan aplikasinya dalam pengawasan pelabuhan.
Berdasarkan uraian diatas maka penggunaan Radar sangat penting untuk
pengawasan dan pengamanan wilayah perairan NKRI. Kemandirian bangsa
dalam pembuatan Radar akan sangat membantu dalam penyediaan Radar
didalam negeri. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa kondisi perekonomian
bangsa yang sedang terpuruk ini tidak memungkinkan pemerintah untuk membeli
peralatan Radar dari luar negeri yang umumnya bernilai sangat mahal (dari
U$100.000 sampai dengan jutaan U$ dollar). Hal ini ditambah dengan sulitnya
mekanisme pembelian Radar yang sifatnya strategis dibidang pertahanan dan
keamanan.
Puslit Elektronika dan Telekomunikasi LIPI telah membuat satu prototip
Radar Pengawas Pantai pada tahun 2009. Diharapkan pada tahun 2010, akan
selesai prototip ke 2 yang merupakan prototip versi komersial/produksi. Gambar 2
memperlihatkan desain grafis dari bentuk system antena Radar (tampak depan
dan belakang). Hasil perakitan perangkat keras dan enam belas (16) antena
modul ditunjukkan pada Gambar 3. Radome atau bungkus luar dari system antena
untuk melindungi terhadap cuaca dan pengaruh lingkungan diperlihatkan pada
Gambar 4.
Ilustrasi pemakaian Radar pengawas pantai untuk pengawasan wilayah
perairan sekitar Selat Sunda ditunjukkan pada Gambar 5. Diasumsikan ada tiga
buah Radar yang terhubung melalui satu jaringan. Dalam gambar ini, daerah
jangkauan Radar ditentukan oleh kemampuan daya pancar, ketinggian menara
dan polarisasi dari antena [1, 2, 3, 4]. Penggunaan jaringan Radar Pengawas
Pantai memungkinkan lalu lintas kapal disekitar Selat Sunda dan yang menuju
atau dari Pelabuhan Tanjung Priok dapat diamati.
Blok diagram Radar frequency modulated-continuous wave (FM-CW) yang
digunakan pada prototip Radar PPET-LIPI diperlihatkan pada Gambar 6 [1, 4].
Sistem Radar FM-CW ini terbagi atas dua bagian utama yaitu transmitter
(pemancar) dan receiver (penerima). Hasil deteksi Radar akan ditampilkan oleh
Display unit yang mengolah sinyal/data yang diterima dari bagian Receiver
4
menjadi suatu gambar yang dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh pengguna
[5, 6, 7-18]. Pengolahan sinyal Radar ini dilakukan oleh sebuah komputer yang
berkemampuan tinggi sehingga semua proses dilakukan secara real time untuk
menghindari adanya penundaan (delay). Seiring dengan kemajuan teknologi
Radar, peranan perangkat lunak untuk pengolahan sinyal menjadi semakin
penting (vital) [5, 6, 7-18]. Tampilan dari Radar akan disesuaikan dengan
kelaziman yang berlaku pada Radar Pengawas Pantai yang telah dijual dipasaran,
yaitu antara lain mengikuti regulasi International Maritime Organization (IMO) dan
menampilkan parameter-parameter penting dari Radar sebagai informasi untuk
pengguna. Terdapat dua antena yang masing-masing digunakan untuk
memancarkan sinyal Radar ke obyek yang ingin diamati dan untuk menerima
sinyal Radar yang dipantulkan oleh obyek. Antenna control yang berfungsi untuk
mengatur agar gerakan antenna sesuai dengan tampilan dilayar dari Display unit.
Pembangkit frekuensi (frequency generator) berfungsi untuk membangkitkan
sinyal sweep, memberikan input sinyal osilator (local oscillator) frekuensi rendah
dan tinggi ke bagian pemancar dan penerima, serta menghasilkan sinyal dengan
frekuensi referensi.
5
System Antena Tampak Depan System Antena Tampak Belakang
Gambar 3. Bagian depan (kiri) dan belakang (kanan) system antena yang telah
dirakit.
6
Selat Sunda
Pemancar (TX)
Antena TX
Pembangkit
Frekuensi
(Frequency
Generator)
Penerima (RX)
Personal Antena RX
Computer +
Display Antena Control
Standar-standar yang ada saat ini untuk Radar Maritim (termasuk Radar
Pengawas Pantai) adalah:
Standard Performance Radar Kapal: sesuai Resolution IMO A.477(XII).
Standards Performance for Automatic Radar Plotting AIDs (ARPAs): sesuai
Resolution IMO A.823 (19).
7
Standard Performance untuk VTS: Recommendations IALA V-128 on
Operational and Technical Performance Requirements for VTS Requirements.
Berdasarkan standar diatas, maka prototip Radar ISRA terutama prototip II
dan III yang merupakan versi komersial harus dapat memenuhi semua standar-
standar yang ada. Maka pengetesan Radar ISRA dilakukan mengikuti ketentuan
didalam standar tersebut dan ketentuan yang di-inginkan oleh user. Apabila
semua standar sudah dipenuhi, maka Radar ISRA layak mendapatkan sertifikasi.
Akan ada serangkaian pengetesan yang dilakukan secara intensif dengan
Dislitbang TNI-AL atau dengan Direktorat Kenavigasian Ditjen Hubla, Kemenhub.
Dikarenakan Radar ISRA menggunakan frekuensi Radio, maka dalam
aplikasinya (apabila telah dipasang pada tempat tertentu) harus mendapatkan
sertifikasi Ditjen POSTEL yang menyatakan bahwa Radar ISRA layak digunakan
dan tidak mengganggu peralatan Radio lainnya atau bisa juga berupa ijin
penggunaan frekuensi Radar pada pita X (x-band). Selain itu, karena Radar ISRA
merupakan produk Nasional maka perlu mendapatkan persetujuan dari Badan
Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI (standar nasional Indonesia) apabila
Radar ISRA ini akan diproduksi massal. Selain itu, diperlukan kajian kandungan
lokal (local content) oleh pihak Surveyor Indonesia/Sucofindo dimana akan
dikeluarkan semacam sertifikasi untuk kandungan lokal dari produk yang dibuat
dalam negeri. Sertifikasi semacam ini sangat penting bagi Radar ISRA untuk
berkompetisi dengan produk Radar dari luar negeri. Untuk mencapai sertifikasi
dan perijinan diatas, PPET-LIPI akan bekerjasama dengan PT. INTI.
Pada penelitian Radar tahun 2011 ini dan pada tahun-tahun selanjutnya,
akan dilakukan rancang bangun Radar sesuai dengan prototip II Radar ISRA.
Setelah itu dilakukan pengetesan, uji kelayakan, pemanfaatan dan pemasangan
pada tempat-tempat tertentu digaris pantai yang berdekatan dengan wilayah
perairan strategis. Kemudian, Radar-Radar yang sudah terpasang ini akan
dihubungkan melalui suatu jaringan sehingga dapat dimonitor dan dikendalikan
dari jarak jauh.
8
Pemanfaatan dan pemasangan Radar Pengawas Pantai.
1.5. Hipotesis
9
Penelitian ini bersifat terapan sehingga hipotesa yang bisa dibangun adalah
apakah hasil desain Radar pantai dapat direalisasikan dan menunjukkan kinerja
sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Serta dapat memenuhi semua
persyaratan yang tercantum dalam standar-standar didunia maritim.
Bulan
No. Tahapan Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 12
1
1. Rancang Bangun
Perangkat Lunak Radar
2. Pembuatan Perangkat
Keras Radar
3. Pengujian Perangkat
Keras dan Lunak Radar
4. Sertifikasi Radar ISRA
5. Evaluasi dan Perbaikan
6. Publikasi Ilmiah
10
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Semua komponen yang dipesan sudah datang.
Dudukan motor radar dan sistem mekanik antena sudah selesai
dibuat.
Radome Radar versi baru telah selesai dibuat.
Dua buah publikasi ilmiah pada Semnas Radar 2011.
Rancang bangun perangkat lunak radar telah dilaksanakan
berdasarkan versi yang sudah ada sebelumnya di prototip II dan
disempurnakan sesuai dengan requirement IMO.
Pendanaan kegiatan DIPA Tematik ini di-sinergikan dengan
pendanaan dari kegiatan Kompetitif Radar 2011 dan PNBP Radar.
Perakitan perangkat keras pada sistem antena Radar.
Pemasangan modul-modul antena.
Pemasangan motor penggerak Radar.
Integrasi perangkat lunak dengan perangkat keras Radar.
Perbaikan/renovasi Truk untuk mobile Radar.
Pemasangan aksesoris termasuk power supply.
Pengetesan Radar (perangkat lunak, perangkat keras dan antena)
Pemasangan (instalasi) Radar pada truk yang telah dimodifikasi.
11
Gambar 8. Sistem mekanik antena Radar.
12
Gambar 10. Desain modifikasi truk untuk Radar transportable.
13
Gambar 11. Sistem Radar yang sedang di tes (tampak belakang).
14
Gambar 13. Contoh hasil pengukuran frekuensi IF 456 MHz.
15
Gambar 15. Radar sudah di-instalasi di truk.
Gambar 16. Bagian dalam truk dengan Radar yang sudah di-instalasi.
16
Gambar 17. Kunjungan pakar Radar Prof. Ligthart di truk Radar.
Gambar 18. Diskusi tentang Radar yang sedang di rakit didalam lab
dengan Prof. Ligthart.
17
Gambar 19. Lokasi tes Radar dekat Danau Cirata.
18
4.2. Saran
Pemesanan komponen memakan waktu lama terutama yang dari
USA (hampir 4 bulan).
Keterbatasan pendanaan DIPA Radar 2011 sehingga masih di
sinergikan dengan pendanaan dari kegiatan litbang lain.
SDM terutama di bidang perangkat lunak (software) masih perlu
dibina dan ditingkatkan kemampuannya.
Peralatan ukur untuk tes dilapangan masih terbatas (handheld
spectrum analyser dan signal generator).
Perlu kerjasama kemitraan dengan Pemda dan Kementrian dimasa
depan utk pemasangan Radar di daerah-daerah.
Instalasi dan pemasangan Radar di lapangan memerlukan dana
tambahan untuk pembuatan menara Radar, penyewaaan/pembelian
lahan, penyediaan sarana listrik dan telepon/internet, pembuatan
shelter untuk penyimpanan peralatan, pemasangan pagar, dan
penjagaan instalasi Radar. Mengingat hal ini, maka pemasangan
Radar pada truk (transportable) merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi kendala pemasangan dilapangan.
V. REFERENSI
1. M.I. Skolnik, Radar Handbook, McGraw-Hill, 1990.
2. M.I. Skolnik, Introduction to Radar Systems, McGraw-Hill, 2002.
3. S. Kingsley and S. Quegan, Understanding Radar Systems, CHIPS.
4. Leo P. Ligthart, Short Course on Radar Technologies, International
Research Centre for Telecommunications-transmission and Radar,
TU Delft, September 2005.
5. Mark Richards, Radar Signal Processing, McGraw-Hill, 2005.
6. Bassem R. Mahafza, Radar Systems Analysis and Design Using
MATLAB, Chapman & Hall, 2005.
7. Mashury Wahab dan Pamungkas Daud, Image Processing
Algorithm for FM-CW Radar, TSSA/WSSA Conference 2006, ITB
Bandung, 2006.
19
8. Mashury, Development of Radar Image Processing Algorithm,
Information and Communication Technology Seminar 2006, ITS
Surabaya, 2006.
9. Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur
Wijayanto. Radar Trainer System for LIPI FM-CW Radar Network,
ICICI 2007, Bandung.
10. Mashury Wahab, Penggunaan UAIS dan Radar pengawasan pantai
untuk monitoring wilayah perairan indonesia, Seminar Radar
nasional 2007, Jakarta.
11. Yusuf Nur Wijayanto, Dadin Mahmuddin, and Mashury Wahab
Perancangan Sistem LFM-Chirp Radar menggunakan Matlab untuk
Menentukan Posisi Target, IES-EEPIS-ITS 2007, Surabaya.
12. Mashury, Yuyu Wahyu, A. Adya Pramudita, and Pamungkas Daud,
Coupled Patch Array Antenna For Surveillance Radar, International
Conference TSSA 2007, Bandung, 2007.
13. Mashury Wahab and Yuyu Wahyu, Patch Array Antenna For FM-
CW Radar, International Conference r-ICT 2007, Bandung, 2007.
14. Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur
Wijayanto, Radar Trainer System for LIPI FM-CW Radar Network,
International Conference ICICI 2007, Bandung, 2007.
15. Mashury, Yusuf N. W., Pamungkas D., Dadin M., Djohar S., A Data
Processing Scheme For LIPI Coastal Surveillance Radar,
International Conference on Telecommunications (ICTEL) 2008,
Bandung.
16. Mashury Wahab, Sulistyaningsih and Yusuf Nur Wijayanto, Radar
Cross Section For Object Detection Of FM-CW Coastal Surveillance
Radar, Electrical Power, Electronics, Communications, Control and
Information Seminar (EECCIS) 2008, Malang.
17. Mashury, Dadin Mahmudin dan Yusuf Nur Wijayanto, Rancang
Bangun Perangkat Lunak Citra Radar, Seminar Radar Nasional
2008, Jakarta.
18. Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, dan Rustini S.
Kayatmo, Rancang Bangun Radar Pengawasan Pantai INDRA II Di
20
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI,
Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta.
21
Perancangan Battery Control Unit (BCU)
pada Modul Panel Surya 50 Watt Peak (WP)
Iqbal Syamsu, MT
22
LEMBAR PENGESAHAN
23
ABSTRAK
Pemanfaatan energi surya sebagai energi alternatif kurang optimal
padahal potensi pemanfaatannya cukup besar yaitu 9,1489 TWh/hari. Dalam
aplikasinya terbentur pada masalah klasik yaitu besarnya biaya yang diperlukan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah mahalnya Battery Control Unit
(BCU) yang terdapat di modul energi surya. Untuk mengatasi masalah tersebut,
maka akan dibuat BCU yang mempunyai nilai ekonomis yang rendah, memiliki
fitur monitoring kondisi battery, inverter DC to AC dan modul daya optimal. BCU
yang dibuat ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan BCU yang
sudah ada yaitu terintegrasinya modul inverter DC to AC dan adanya modul sun
tracker dan MPPT (maximum power point tracking). Modul sun tracker digunakan
supaya panel surya bisa mengikuti pergerakan cahaya matahari secara one-axis
tracker dan MPPT sehingga output energi surya bisa optimal.
Kata kunci : Battery Storage and Control, Inverter, monitoring battery, sun tracer,
daya optimal
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) IX tahun 2007
masalah Energi, air bersih dan pangan merupakan hal yang sangat mendesak
untuk dijaga kesinambungannya terkait dengan masalah kemakmuran suatu
bangsa. Pada kenyataannya kebutuhan energi Indonesia masih sangat
tergantung pada energi fosil sehingga pada akhir-akhir ini di Indonesia terjadi
krisis energi ditandai dengan adanya pemadaman listrik secara bergilir oleh
PLN. Dewasa ini telah dikembangkan beberapa energi alternatif diantaranya
energi surya, tenaga hidro, biomassa, energi angina dan geothermal. Dari
beberapa energi alternatif di atas energi surya memiliki potensi yang signifikan
yaitu sebesar 9,1489 TWh/hari. Namun sangat disayangkan pemanfaatan
energi surya belum dimanfaatkan secara optimal.
Pada aplikasinya pemanfaatan energi surya terbentur pada masalah klasik
yaitu besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu modul yang banyak
digunakan adalah modul energi surya 50 Wp karena modul ini dapat
24
digunakan untuk memenuhi kebutuahan listrik rumah tanggan yang berkisar
200 Watt Jam/hari. Namun salah satu faktor yang mempengaruhi
pembangunan energi surya 50 Wp adalah mahalnya Battery Control Unit
(BCU). Untuk menghemat biaya pemasangan energi surya biasanya BCU tidak
dipasang padahal BCU digunakan sebagai alat untuk mengatur penyimpanan
energi listrik keluaran dari energi surya ke baterai dan interface ke beban. Agar
penerapan energi surya bisa menekan besarnya anggaran biaya dan dapat
dioptimalkan khususnya di daerah-daerah terpencil yang belum mendapatkan
pasokan listrik, maka dalam kegiatan ini akan diusulkan untuk membuat sistem
Battery Control Unit (BCU) memiliki fitur monitoring keadaan baterai, inverter
DC to AC dan modul sun tracer dan MPPT. Modul sun tracer digunakan untuk
mendapatkan hasil keluaran energi surya yang optimal. BCU yang akan
dihasilkan diharapkan memiliki nilai ekonomis yang lebih rendah sehingga
pemanfaatan energi surya dapat secara optimal.
25
dan MPPT, rangkaian interface ke mikrokontroler, dan segala
kelengkapannya.
Supaya sistem dapat berfungsi secara optimal perlu pengukuran secara teliti
dengan alat-alat yang memadai.
Khusus: Membuat Battery Control Unit (BCU) yang memiliki fitur monitoring
battery secara real time, inverter DC to AC dan modul sun tracker dan
MPPT.
Sasaran
1. Tersedianya BCU yang relatif murah.
2. Output listrik yang dihasilkan dapat dioptimlakan dengan adanya teknik
sun tracer.
26
menghasilkan energi yang minim maka battery control unit tetap akan
memanfaatkan sebaik mungkin.
1.5 Hipotesis
Energi surya dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila ada sistem yang
mampu mengatur penggunaan energi yang dihasilkan. Saat panel surya
mendapatkan energi matahari, daya yang dihasilkan dapat langsung
digunakan untuk pemakaian sekaligus disimpan ke baterai. Pada saat panel
surya tidak mendapatkan energi matahari, baterai akan mengambil alih peran
dalam memasok energi. Energi yang berasal langsung dari panel surya
maupun energi yang berasal dari baterai inilah yang kemudian diatur oleh
sistem baterry control unit. Semakin tinggi efisiensi battery control unit akan
semakin efisien transfer energi ke beban, dimana nantinya berpengaruh
kepada pemakaian energi listrik secara keseluruhan.
Adapun konsep dari aplikasi pemanfaatan energi surya dapat dilihat dalam
Gambar 1 berikut.
27
Keterangan :
1. Panel surya
2. Battery Control Unit (BCU)
3. Battery
4. Jaringan setara PLN
5. Beban
Dari gambar di atas peran BCU sangat penting dalam modul energi surya. Tanpa
adanya BCU energi yang dihasilkan tidak bisa disimpan dalam baterai. Jika BCU
tidak digunakan, maka langsung dipasang inverter DC to AC. Adapun sistem BCU
yang akan dibuat dapat dilihat dalam Gambar 2.
Switch 2
Modul
Panel Surya Sun Tracer Baterai
Switch 1
Mikrokontroller Sensor
Tegangan,
Interface Arus,
Temperatur
DC to AC
Converter
220 Vac
(sistem PLN) LCD
28
4. Modul sun tracer dan MPPT : menentukan lokasi dari panel surya agar
menangkap sinar matahari yang optimal dan memaksimalkan daya
output.
5. Inverter DC to AC : mengubah tegangan dc 12 V ke tegangan AC 220
V
6. Switch 1 : mengatur input dari inverter DC to AC. Jika siang hari sumber
dari panel surya dan jika malam hari sumber dari baterai.
7. Switch 2 : pada saat charge proses maka switch 1 akan on.
Sebelum dilakukan pembuatan Battery Control Unit (BCU) seperti gambar 2 di
atas, beberapa tahapan, sasaran, luaran dan metoda yang dilakukan adalah
seperti dijelaskan pada tabel 1 berikut:
29
Tabel 1. Tahapan, Sasaran, Luaran, dan Metodologi
30
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
III.1 Uraian Teknis Kegiatan
Laporan ini memuat kegiatan penelitian tentang pemanfaatan energi surya
sebagai energi alternatif yang hingga saat ini masih dirasa kurang optimal,
padahal potensi pemanfaatannya cukup besar. Hal ini dikarenakan untuk
membangun sistem pembangkit listrik bersumber matahari masih menemui
kendala pada besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi adalah masih cukup mahalnya Battery Control Unit (BCU) yang
merupakan bagian penting dari sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Meskipun dipasaran banyak dijumpai sistem BCU, namun kulitasnya masih
kurang baik atau untuk keperluan daya rendah. Untuk mengatasi masalah
tersebut, maka pada penelitian ini akan dikembangkan sistem BCU yang
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, memiliki fitur monitoring kondisi battery,
inverter DC to AC dan modul daya optimal. BCU yang dibuat ini memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan BCU yang sudah ada yaitu terintegrasinya
modul inverter DC to AC, Battery Storage and Control, dan Maximum Power Point
Tracking (MPPT).
Keberadaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dirasakan
masih kurang bila mengingat tingginya kebutuhan listrik pada saat ini. Salah satu
faktor yang mempengaruhi pembangunan energi surya adalah mahalnya Battery
Control Unit (BCU). Untuk menghemat biaya pemasangan energi surya biasanya
BCU tidak dipasang padahal BCU digunakan sebagai alat untuk mengatur
penyimpanan energi listrik yang dihasilkan sel surya pada baterai disamping juga
berfungsi sebagai antar muka ke beban. Agar penerapan energi surya bisa
menekan besarnya anggaran biaya dan dapat dioptimalkan khususnya di daerah-
daerah terpencil yang belum mendapatkan pasokan listrik, maka dalam kegiatan
ini dilakukan untuk membuat sistem BCU yang memiliki aplikasi monitoring
keadaan baterai, inverter DC to AC dan modul sun tracker dan MPPT. Modul sun
tracker digunakan untuk mendapatkan hasil keluaran energi surya yang optimal.
BCU yang akan dihasilkan diharapkan memiliki harga yang relatif rendah sehingga
pemanfaatan energi surya dapat dilakukan secara optimal.
31
III.2 Perancangan Sistem
Baterai merupakan perangkat yang digunakan untuk menyimpan energi
listrik dan merupakan salah satu komponen penting pada PLTS. Perangkat ini
berfungsi agar PLTS dapat bekerja dengan stabil pada berbagai kondisi cuaca
dan saat malam hari.
Pada pemakaian normal, baterai digunakan pada saat malam hari atau
saat cuaca dimana sinar matahari kurang. Bila terjadi kondisi beban yang berlebih
pada siang hari, baterai dapat digunakan untuk menambah daya yang dihasilkan
panel surya agar memenuhi permintaan beban.
Perancangan sistem secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2.
Mikrokontroler berfungsi sebagai kendali utama pada sistem BCU yang mengolah
data dan mengirimkan data dari ke modul sun tracer, menampilkan data baterai ke
LCD, dan membaca data baterai (arus, tegangan, temperatur). Kemudian
interface akan mengolah sinyal output sensor supaya bisa dibaca oleh
mikrokontroler. Perangkat sensor membaca data baterai selama proses charge
dan discharge. Modul MPPT dan sun tracer kemudian menentukan lokasi dari
panel surya agar menangkap sinar matahari yang optimal dan memaksimalkan
daya output. Selanjutnya DC to AC converter (inverter) akan mengubah tegangan
dc dari baterai ke tegangan jala-jala.
Secara garis besar, pelaksanaan perancangan sistem BCU diprioritaskan mulai
dari perangkat bagian charger atau pengisi, perancangan sun tracer,
perancangan inverter dan monitoring sistem. Pada awal tahun penelitian ini
difokuskan pada bagian charger dengan menggunakan MPPT.
Apabila panel surya beroperasi pada titik Maximum Power Point (MPP), makan
daya maksimal dapat dihasilkan dari panel. Pengoperasian panel surya di luar titik
tersebut akan mengurangi pemanfaatan daya yang tersedia sekaligus akan
mengurangi efisiensi. Pelacakan titik MPP pada tegangan/arus panel surya
disebut dengan Maximum Power Point Tracking.
Dalam tahapan ini kegiatan dititikberatkan pada metoda pengisian baterai
dari panel surya dengan menggunakan kontrol charger yang menggunakan MPPT.
Charger ini berfungsi sebagai kontrol untuk mengekstrak daya maksimal panel
surya supaya berada pada daerah operasi MPP, mengontrol proses pengisian
agar baterai lebih tahan lama, melindungi baterai dari over-charging dan under-
charging, serta melindungi dari pemakaian yang overload.
32
III.3 Maximum Power Point Tracking
MPPT merupakan sistem elektronik yang mengatur dan mengkondisikan
panel surya sedemikian rupa sehingga panel surya tersebut menghasilkan daya
maksimal. MPPT bukan merupakan sistem mekanik yang memposisikan panel
terhadap matahari, namun merupakan murni rangkaian elektronik yang mengatur
titik kerja panel agar diperoleh transfer daya terbaik yang dimiliki panel surya.
Sifat panel surya diwakili oleh karakteristik arus dan tegangannnya yang
disebut kurva I-V seperti terlihat pada Gambar 3. Kurva tersebut menunjukkan
arus yang dihasilkan oleh panel surya -- dalam hal ini disebut modul fotovoltaik--
(Im), sebagai suatu fungsi dari tegangan modul fotovoltaik (Vm), pada suatu radiasi
spesifik dan temperatur sel spesifik. Jika sebuah modul fotovoltaik dikenai
hubung singkat (Vm = 0), maka arus hubung singkat (Isc) mengalir. Pada keadaan
rangkaian terbuka (Im = 0), maka tegangan modul disebut tegangan terbuka (Voc).
Daya yang dihasilkan modul fotovoltaik adalah sama dengan hasil kali arus dan
tegangan yang dihasilkan oleh modul fotovoltaik.
33
akan diturunkan sampai diperoleh daya maksimum lagi. Jadi titik daya maksimum
akan diperoleh pada kisaran nilai tersebut.
Gambar 4 menunjukkan algoritma pemrograman yang digunakan untuk
membangun sistem MPPT. Dalam pelaksanaannya, perancangan dan pembuatan
pemrograman dilakukan dengan menggunakan modul mikrokontroler AVR.
Perangkat lunak yang digunakan adalah AVR Studio dari Atmel dengan
menggunakan bahasa pemrograman C.
Beberapa pemrograman yang sudah dilakukan adalah pembuatan routine
untuk kontrol keypad, Analog to Digital Converter 10 bit, dan kontrol I/O.
Sedangkan pembuatan algoritma P&O dikerjakan pada modul MP612.
34
Gambar 5. Perancangan program mikrokontroler dengan menggunakan
AVR Studio
Skema blok pengontrol utama MPPT MP612 dapat dilihat pada Gambar 6
di bawah. Adapun fungsi yang penting dari skema tersebut antara lain adalah
sebagai pengukur tegangan dan arus dari sumber (panel surya), implementasi
algoritma MPPT termasuk di dalamnya adalah perhitungan daya dan penjejak
daya maksimum, pengontrol sinyal PWM, pengukur arus luaran, proteksi dan
komunikasi serial.
MPPT charge controller
BUCK-BOOST CONVERTER
+ +
D1 + +
PWM
dari solar C1 L1 C2
panel BOOST
ON ke baterai
PV
current
sense BUCK ON
and
sensor tegangan dan arus batere
voltage
sense
PV voltage sense +
ANALOG SIGNAL LOAD CONTROL
CONDITIONING CIRCUIT PV current sense beban DC
AND MONITOR
BAT voltage sense CIRCUIT
BAT current sense
temperature sense
MOSFET GATE PWM
MPT612 IC DRIVER CIRCUIT
3.3 V
POWER SUPPLY 1.8 V LED/Indikator
RESET AND clock
CLOCK CIRCUIT Kontrol
reset
Komunikasi
Port Serial
35
Sistem MPPT lebih kompleks dibandingkan dengan sistem PWM biasa.
Tegangan pada panel surya berubah-ubah dipengaruhi oleh suhu dan waktu.
Tegangan optimal pengisian baterai berubah mengikuti kondisi dari baterai pada
saat itu, seperti yang tercantum pada Gambar 7 di bawah ini.
V PV+ V BAT+
Q1 Q2
Q3 Q4
V PV-
V BAT-
(4) R10
R122
TP7
33
PV_current_ref_A 1 1 TP5 0.01
5% BAT_voltage_ref 1%
36
besar dari tegangan baterai), boost-only (tegangan panel surya harus lebih kecil
dari tegangan baterai) atau buck-boost dimana tegangan panel surya boleh
bervariasi (perpaduan operasi buck dan boost).
Sampai pada akhir kegiatan ini telah dirancang rangkaian DC-DC Buck-
Boost Converter BCU dengan skema seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Masukan DC-DC Buck-Boost Converter didesain untuk dapat menangani variasi
tegangan DC yang berkisar antara 10 27 V (tegangan nominal panel surya 12V),
dengan arus pengisian maksimum 6 A.
Voltage/Current Sense
Bagian ini berfungsi mendeteksi besar arus dan tegangan yang diberikan pada
masukan DC-DC Buck-Boost Converter, atau arus dan tegangan yang dihasilkan
sumber listrik dalam hal ini adalah modul surya. Parameter nilai yang dideteksi
memungkinkan untuk digunakannya sebagai pengatur konfigurasi DC-DC
converter. Pada gambar berikut diperlihatkan model rangkaian elektronika
Voltage/Current Sense.
C18
V DD(3V3)_A V DD(3V3)_A
TP13
R24 R25 3
R23 5 1 4 1
4 7
PV_voltage_ref 10 k 68.1 k PV volt sense_boost
10 k 2 11
1% 1%
1% 6 11 U4A
C20 U4B C22 LPV324M
0.01 F LPV324M 0.01 F
GNDA
GNDA
GNDA GNDA
R26 R27
10 k 1k
1% 1%
GNDA V DD(3V3)_A
10 k 10 k
1% 1% GNDA
GNDA
0.01 F V DD(3V3)_A
C24
0.1 F
C49
GNDA V+ U14 0.1 F
(1) R86 VIN+ 5
TP14
PV_current_ref_A 3 OUT 1 R29 R30 GNDA 12
100 4 14
VIN 1
1% 4 68.1 k 68.1 k
C25
2 1% 1% 13 11
0.01 F U4D PV current sense
GND INA194AIDBVT C26 LPV324M
(1) R87 0.01 F
PV_current_ref_B GAIN 50
100 GNDA
1%
GNDA GNDA
37
MPT612 Digital Circuit
Bagian ini merupakan divais utama untuk implementasi algoritma MPPT dimana
proses identifikasi atau tracking daya maksimum masukan (dari modul surya)
dilakukan. Bagian ini juga merespon parameter pembacaan besar arus dan
tegangan solar panel dalam bentuk pengisian daya pada baterei atau distribusi
arus pada beban. MPT612 merupakan mikrokontroler yang mengendalikan proses
tracking, sensing arus dan tegangan serta kontrol lain termasuk port untuk
komunikasi. Bentuk rangkaian elektronika dari MPT612 digital circuit dapat dilihat
seperti pada gambar berikut.
VDD(3V3) VDD(1V8) V DD(3V3)
2 2 2
L2 L3 L4
121E_bead 121E_bead 121E_bead PIO20 PIO21
1 1 1
Buck mode_enable
VDD(ADC)
VDD(IO)
VDDC
GNDA
40 17 5 42 1 PIO19/MAT1_2/MISO1 R53
10 k V DD(3V3) VDD(3V3) VDD(3V3)
PIO20/MAT1_3/MOSI1
2 5%
PIO21/SSEL1/MAT3_0
3
PIO14/EINT1/SCK1/DCD1
44 EINT1 R56 R65 R57 R58
4.7 k 4.7 k 1k 2.2 k
5% 5% 5% 5%
PIO17/CAP1_2/SCL1 PIO17
47
PIO18/CAP1_3/SDA1 PIO18 A A
48 D17 D16
LED_GREEN1 LED_YELLOW1
TRST/PIO27/CAP2_0
TRST 8 PIO13/MAT1_1/DTR1 K K
TMS/PIO28/CAP2_1 41
TMS 9 PIO15/EINT2/RI1
TCK/PIO29/CAP2_2 45
TCK 10 PIO16/EINT0/MAT0_2 R67
PIO30/MAT3_3/TDI 46 Powerdown_wakeup
TDI 15 10 k
PIO31/TDO 5%
TDO 16 PIO0/MAT3_1/TXD0
RTCK 13 TXD0
RTCK 26 PIO1/MAT3_2/RXD0
JTAGSEL 14 RXD0
DEBUGSEL 27
VDD(3V3)
VDD(3V3)
PIO8/TXD1/PWMOUT1 PIO08 DR2
29
PIO9/RXD1/PWMOUT2 PIO09 DR1 10 k R75
U15 30 5% 2.2 k
3 D10 10 k 5%
R72 MPT612FBD48
47 k 2 MMBD4148 5% A
PIO4/SCK0
5% 1 TP19 22 Buck_power_enable D18
1 RST PIO5/MISO0 LED_RED1
6 23 Load_cutoff
PIO6/MOSI0 K
SW2 C41 24
RESET SW 0.1 F PWMOUT0
28 Buck_PWM
TP24
PIO2/SCL0 1
18 PIO2
C42 PIO3/SDA0 TP25
X1 21
11 1
PIO3
22 pF R120 X1
1M PVVOLTSENSEBUCK
C43
12.000 MHz 32 PV volt sense_buck
5% X2 PVVOLTSENSEBOOST
12 33 PV volt sense_boost
22 pF PVCURRENTSENSE
34 PV current sense
PIO10/CAP1_0/RTS1/AD3
VDD(RTC) 35 Load current sense
4 PIO11/CAP1_0/CTS1/AD4
36 BAT current charge
RTXC2 PIO12/MAT1_0/DSR1/AD5
25 37 BAT volt sense TP23
PIO25/AD6 1
RTXC1 38
20 PIO26/AD7
7 19 31 43 39 VDD(3V3)_A
GNDADC
DR3 DR4
GND
GND
GND
DC1 R79
10 k 0.1 F 10 k
5% 5% 2.2 k
TP21 1%
1
GNDA
38
Power Supply
Rangkaian power supply didesain untuk memberikan supply daya pada divais
elektronika BCU. Rangkaian power supply dapat bekerja dengan mengambil
energi listrik dari baterai 12 VDC dan menghasilkan luaran 3,3 VDC. Skema
rangkaian elektronika power supply dapat dilihat seperti pada gambar di bawah.
BAT_current_ref_B
L5 L6
2 1 1 2
121 121 MOUNTING
Bead Bead HOLE
Switching regulator circuit for V DD(3V3) GNDA
BAT_12 V 3.3 V_standby V DD(3V3) V DD(1V8) MT1
U9 U10
Drive collector SW collector M1 TPS73018DBV 1
8 1 TP26
R93 I peak sense SW emitter L7 PMV65XP IN OUT
1 2 1
7 2 1 5
0.2 V CC Timing cap 47 H
6 3 K C54 C56
C65
Comp inv IP GND C51 680 F 0.1 F C52
4.7 F R100 R101 EN NR R114
5 4 C61
50 V 10 V 3 2 4 2.2 F 2 M (2)
A D11 47 k 10 k 16 V
4.7 nF
C53 MC33063A 330 pF
PMEG6010CEJ N C58 1%
47 F R96 CMAX 5% R97 5%
C57
GND 0.1 F
25 V 100
C55 0.1 F
CMAX 5%
20.5 k BAT_current_ref_B
0.1 F
1%
R98 R99 C C
B B R118
Q6
100 12.4 k Buck_power_enable
PMBT2222A
1% 1% Q7 4.7 k
E E PMBT2222A 5%
3.3 V_standby 3.3 V_standby
R119
U11A 4.7 k
(1) BAT voltage comparator
LPV324M 5%
Load current sense
C59
R123 2 11 TP27
0.1 F 3.3 V_standby C60 C73
BAT_voltage_ref 1 1 5
1 0.1 F 0.33 F
100 k 6 4
1% 3 4 R102
3.3 V_standby 3 2 U12 1 M (2)
74LVC1G332GW (1) Load_current_ref_A
5% TP28 4 10
4 5 R77 8
R103 7 1
3.3 V_standby 100 k R107 DNI
1M (1) 11 9 Load_current_ref_B
5% U11B 11 6 1% U11C
R116 R106 10 k
LPV324M LPV324M 1%
15 k 15 k
1% 1%
R108
R109 22 k
1%
(1)PV voltage comparator R94
1M (1)
2.2 k
5% 1%
3.3 V_standby 3.3 V_standby
R104 TP29
GNDA
12 4 R78 R117
PV_voltage_ref 14 1
100 k Powerdown_wakeup
13 11 U11D 10 k 15 k
1%
LPV324M 1% 1%
3.3 V_standby
R110 R105
20.5 k 10 k
1% 1%
39
Gambar 12. Printed Circuit Board prototype BCU
40
Gambar 13. Pengukuran karakterisasi panel surya
Karakterisasi energi matahari yang diterima oleh panel surya diperoleh dari
sampel pengukuran selama satu bulan dan dapat dilihat pada gambar berikut.
41
Po (W)
40
Sampel:
35
Mei 2011
30
25
20
15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
day n
Dari grafik pengukuran menunjukkan bahwa pada siang hari energi yang
mampu diserap oleh panel surya tidak sepenuhnya berada pada titik maksimal.
Pengukuran prototipe battery control unit dapat dilihat pada tabel di bawah.
Nilai parameter disesuaikan dengan spesifikasi komponen yang digunakan pada
modul MP612.
Parameter Nilai
Tegangan PV (nom) 12 V
Tegangan PV (max) 27 V
Arus PV (max) 6A
Tegangan Minimum untuk operasi 10 V
MPP
Daya PV (max) 100Watt
Baterai
Jenis Baterai Lead-acid, gel
Tegangan Baterai (nom) 12V
42
Arus Pengisian (max) 6A
Beban
Load DC voltage sama dengan tegangan
baterai
Maximum load current 8A
PV reverse polarity protection Ya
PV reverse current flow protection Ya
Surge/transient protection 1.5 kVA
Maximum controller standby current 10mA
Tabel 2. Pengukuran parameter battery control unit
43
Gambar 17. Diagram rangkaian penggerak motor untuk mekanik panel sampai
dengan 2 A
44
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
IV.1 Kesimpulan
Sampai dengan akhir kegiatan tahun pertama, telah dilakukan studi literatur
yang bersumber dari tulisan/jurnal nasional, tulisan/jurnal internasional,
panduan/manual produk panel surya dan browsing internet. Telah dilakukan juga
studi yang lebih intensif mengenai algoritma MPPT dengan algoritma P&O.
Walaupun lebih rumit namun menggunakan MPPT ini lebih efisien dibandingkan
metoda lain.
Komponen dan bahan dapat dipenuhi dari pasar lokal, sedangkan sebagian
komponen dari luar negeri sedang dalam tahap proses pengadaan. Walaupun
fokus penelitian ini adalah merancang pengontrol baterai yang didalamnya
merupakan rangkaian elektronik, namun pada kenyataanya tidak lepas dari
komponen dan bahan yang lain seperti panel surya, baterai dan bahan mekanik.
Bahan-bahan tersebut dibeli dari pasar lokal. Kendala yang dihadapi masih sedikit
dan sifatnya masih bisa diatasi. Diantaranya adalah keterbatasan referensi tulisan
atau jurnal ilmiah internasional yang berhubungan dengan teknologi MPPT dan
ketersediaan alat ukur di laboratorium. Selain dari itu tidak ada lagi kendala yang
berarti.
Pengujian baterai control unit masih dilakukan dengan cara sederhana
menggunakan beban resistif. Dari pengujian tersebut arus pengisian baterai
maksimal adalah 8 Ampere dengan beban maksimal 6 Ampere.
IV.2 Saran
Sampai dengan kegiatan penelitian pada akhir tahun pertama ini, maka ada
beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan dan diharapkan bisa dilakukan pada
tahap selanjutnya adalah:
45
pengisian baterai semestinya disesuaikan dengan temperatur baterai atau
lingkungan sekitar.
V. REFERENSI
1. Frederick M. Ishengoma and Lars E. Norum, Design and
implementatiion of a digitally controlled stand-alone photovoltaic power
supply, Dept. of Electrical Power Engineering , Norwegian University of
Science and Technology, Norway.
2. Joe-Air Jiang, Tsong-Liang Huang, Ying-Tung Hsiao and Chia-Hong
Chen, Maximum power tracking for Photovoltaic power systems,
Tamkang Journal of Science and Engineering, Vol.8 No.2 pp.147-153,
Tamsui, Taiwan.
3. Geoffrey R. Walker and Paul C. Sernia, Cascaded DC-DC converter
connection of photovoltaic modules, IEEE Transactions on Power
Electronics vol.19 no.4, July 2004.
4. Y. Ueda, K. Kurokawa, T. Tanabe, K. Kitamura, K.Akanuma, M. Yokota,
H. Sugihara, Study on the over voltage problem and battery operation
for grid-connected residential PV systems, 22nd European Photovoltaic
Solar Energy Conference, 3-7 September 2007, Milan, Italy.
5. A. Adiyabat, K. Kurokawa, An optimal design and use of solar home
system in mongolia, Tokyo University of Agriculture and Technology
(TUAT)
6. Takae Shimada and K. Kurokawa, Grid-connected photovoltaic
systems with battery storages control based on insolation forecasting
using weather forecast, Renewable Energy 2006 Proceedings.
7. Takae Shimada and K. Kurokawa, High precision simulation model of
battery characteristics, Renewable Energy 2006 Proceedings.
8. Mukund R. Patel, Wind and solar power systems, 1999, CRC Press
LLC.
9. N. Mohan, T.M. Undeland, W.P. Robbins, Power Electronics;
Converters, Application, and Design, 2nd ed., Wiley, New York, USA,
1995.
46
10. NXP Semiconductors, Photovoltaic MPPT battery charge controller
using the MPT612 IC reference board Application note Rev 2, 2
February 2011.
---oo=O=oo---
47
Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline Tio2
Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing
Natalita Maulani Nursam, ST, M.Phil
48
LEMBAR PENGESAHAN
49
Abstrak
Sel surya jenis dye-sensitized (dye sensitized solar cell atau disingkat
DSSC) merupakan jenis sel surya generasi ketiga yang memanfaatkan prinsip
fotoelektrokimia. Struktur fisik DSSC terdiri atas lapisan TiO2 pada substrat TCO
glass (Transparant Conductive Oxide), dye sebagai sensitizer, larutan elektrolit
dan elektroda katalis. Pasta nc-TiO2 dideposisikan pada substrat glass dengan
metoda screen-printing. Molekul-molekul dye ditambahkan pada permukaan nc-
TiO2 yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang datang. Untuk membangkitkan
tegangan maka digunakan larutan elektrolit sebagai tempat berlangsungnya
-
reaksi redoks yang melibatkan ion iodida (I ) dan triiodida (I3-), serta lapisan
konduktor pada elektroda pembanding (counter elektroda) sebagai elektroda
katalis. Proses pembuatan DSSC ini akan dilakukan di PPET LIPI selama 3 tahun.
Tahun 2009 telah dilakukan penelitian awal untuk memahami mekanisme DSSC
berupa persiapan awal dan karakterisasi proses. Tahun 2010 merupakan tahun
kedua penelitian merupakan optimasi proses dan penelitian penggunaan counter
elektroda yang berbeda. Pada tahun 2011 akan dilakukan proses pembuatan dye-
sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell dengan fokus penelitian terhadap tiga
faktor, yaitu material elektrolit, sealing, dan analisa pengaruh dimensi.
Karakteristik kurva I-V sel diukur dengan beberapa sumber cahaya, yaitu sun
simulator Oriel 1.5AM dengan intensitas 40mW/cm2 dan di bawah sinar matahari
langsung (>60 mW/cm2). Selain itu, pada tahun ke-3 ini kami telah berhasil
memfabrikasi beberapa modul surya DSSC untuk panel demonstrasi dengan luas
area aktif 6x1 cm2 per sel. Efisiensi terbaik dari sel surya DSSC yang kami peroleh
adalah 4.41% untuk luas area aktif 2x1 cm2 serta 3.05% untuk luas area aktif 6x1
cm2. Untuk modul surya, efisiensi terbaik yang kami hasilkan adalah 4.02%
(dibawah intensitas cahaya 6mW/cm2) dan 0.65% (dibawah matahari 80 mW/cm2)
dengan total luas area aktif sebesar 144 cm2.
Kata kunci : sel surya, dye-sensitized, TiO2, karakteristik kurva I-V, efisiensi.
50
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat sementara potensi dan
kapasitas energi yang berasal dari fosil jumlahnya terbatas, sehingga diperlukan
penelitian dan pengembangan pengadaan sumber energi baru dan terbarukan.
Sumber energi alternatif yang memiliki potensi dan kapasitas yang cukup besar
adalah energi cahaya matahari. Sel surya adalah suatu divais yang secara
langsung mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Di dunia
penggunaan sel surya sebagai pembangkit energi listrik tenaga surya sedang
mengalami lonjakan kebutuhan yang sangat booming (tinggi). Sedangkan di
Indonesia pemanfaatannya tenaga surya masih kecil, hal ini dikarenakan
mahalnya harga pembangkit listrik jenis ini. Akan tetapi penyediaan sumber energi
alternatif sangat diperlukan. Sehingga perlu melakukan riset di bidang tersebut
untuk mendukung program pemerintah dalam penyediaan energi alternatif baru
dan terbarukan.
Penelitian dan pengembangan proses sel surya di dunia didominasi dari
bahan silikon single crystalline maupun polycrystalline. Namun sel surya silikon ini
harganya masih relatif mahal, sehingga berbagai usaha untuk mencari teknologi
alternatif untuk pengembangan yang memiliki potensi harga relatif murah. Saat ini
kecenderungan pengembangan teknologi proses sel surya mengarah pada
teknologi struktur nano, baik pengembangan rekayasa bahan ataupun material.
Pengembangan rekayasa bahan atau material skala nanometer telah
membangkitkan sebuah sel surya jenis baru yang dapat merealisasikan sel surya
biaya rendah di masa yang akan datang, yaitu berupa dye-sensitized solar cell
(DSSC). Bahan-bahan yang digunakan meliputi sebagai bahan-bahan organik dan
nano partikel inorganik. Perkembangan devais ini bermula dari hasil penelitian
Michael Gratzel dan rekannya dari Laboratorium Photonic dan Interface EPFL
Switzerland di awal tahun 1990-an. Konsep ini diperhatikan sebagai teknologi
masa depan sebagai alternatif sel surya konvensional berbasis silikon.
Teknologi yang digunakan dalam fabrikasi sel surya ini menggunakan
teknologi screen printing. Pemilihan teknologi berupa screen printing dikarenakan
teknologi ini mudah diterapkan dan relatif murah dan repeatable, sehingga untuk
produksi skala besar teknologi ini dapat diandalkan. Bahan-bahan pendukung
untuk proses fabrikasi dengan screen printing sudah banyak tersedia di pasaran
51
Indonesia. Oleh karena itu teknologi fabrikasi DSSC dengan teknologi screen
printing ini lambat laun akan mampu diterapkan untuk diproduksi pada tingkat
industri menegah atau industri rumahan yang tentunya dengan diberi penyuluhan
secara terus menerus.
Berdasarkan hal tersebut di atas serta didukung tersedianya sarana dan
prasarana yang lengkap dan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi
teknologi proses yang baik, PPETLIPI mencoba turut mengatasi permasalahan
untuk melakukan penelitian dan pengembangan energi alternatif baru dan
terbarukan dengan pengembangan struktur nano, yaitu melakukan pembuatan
dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell. Kegiatan ini sesuai dengan Renstra
PPET-LIPI yaitu program energi baru dan terbarukan.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
tentang teknologi proses sel surya screen printing dengan membuat dye-
sensitized Sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell. Kegiatan ini akan dilakukan
selama 3 tahun, dimana tahun 2009 telah dilakukan penelitian awal untuk
memahami mekanisme DSSC berupa persiapan awal dan karakterisasi proses
screen printing. Tahun 2010 dilakukan optimasi proses dari hasil karakterisasi
yang telah didapatkan tahun sebelumnya. Tahun 2011 akan dilakukan proses
pembuatan dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell untuk ukuran sel 1,5 x 8
cm dan panel demonstrasi DSSC.
Hasil kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi
ilmiah dalam menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya pengembangan material berstruktur nano serta menunjang program
pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang energi baru dan terbarukan.
52
memperpanjang lifetime dari sel surya DSSC. Penelitian ini dilakukan
menggunakan rancangan single-cell dengan metodologi proses sesuai dengan
state of the art DSSC saat ini.
1
Dikarenakan keterbatasan ukuran squeegee pada alat screen printing, pembuatan sel dengan ukuran area aktif tersebut
menjadi kurang optimal. Oleh karena itu pada pelaksanaan penelitian ini kami luas area yang kami gunakan adalah 6cm2
dengan ukuran optimum 1x6 cm2 (lihat sub bab 3.2).
53
Dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell (selanjutnya disingkat
dengan sebutan DSSC) adalah sel surya yang merupakan kombinasi elektroda
berstruktur nano dengan injeksi muatan suatu dye. Sel ini dibentuk dari dua buah
substrat berupa transparent-conducting-oxide (TCO-glass) yang disusun secara
sandwich. Bagian atas berupa molekul-molekul dye yang terikat dipermukaan
lapisan semikonduktor mesoporous nc-TiO2 dan bagian alas terlapisi platinum
sebagai elektroda katalis dan larutan elektrolit sebagai penghantar muatan [1-3].
Struktur DSSC ditunjukkan pada gambar 1. Fotoelektroda adalah bagian
yang berupa lapisan nc-TiO2 yang dideposisikan pada anoda transparan dari
bahan kaca TCO. Molekul-molekul dye ditambahkan pada permukaan nc-TiO2
yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang datang (sensitizer). Untuk
membangkitkan tegangan maka diberikan larutan elektrolit berupa pasangan
redoks seperti I- /I3- dan lapisan konduktor sebagai counter-electroda.
2
Ibid
54
material elektrolit yang digunakan juga cukup penting karena berkaitan dengan
regenerasi elektron pada elektroda.
Salah satu faktor yang umumnya masih menjadi kendala pada pembuatan
sel surya DSSC adalah optimalisasi proses yang berhubungan dengan material.
Ada beberapa jenis komponen material dalam DSSC yang sangat berpengaruh
terhadap performa sel, yaitu material pembentuk fotoelektroda (dalam hal ini
adalah TiO2 dan dye atau pewarna), counter-elektroda (Pt) serta elektrolit.
Fotoelektroda merupakan bagian yang cukup signifikan pada DSSC dikarenakan
fungsinya sebagai penyerap sinar matahari secara langsung. Beberapa parameter
penting yang berpengaruh terhadap kualitas fotoelektroda adalah ketebalan TiO2,
ukuran partikel dan porositas TiO2 serta respon cahaya dari zat pewarna terhadap
panjang gelombang yang dihasilkan oleh matahari. Selain itu, pemilihan jenis
larutan elektrolit yang tepat pun merupakan salah satu faktor yang masih banyak
dipelajari oleh para peneliti [6, 7]. Karena bentuknya yang berupa larutan, banyak
permasalahan yang timbul yang berhubungan dengan penggunaan elektrolit,
seperti halnya kebocoran, penguapan, kemungkinan terjadinya korosi pada
counter-elektroda, dan lain sebagainya. Kebanyakan permasalahan diatas terkait
dengan isu kestabilan performa sel dalam jangka panjang [6]. Selain larutan, saat
ini elektrolit gel juga sedang dikembangkan untuk meningkatkan kestabilan sel [8].
Selain pemilihan material, faktor lain yang tak kalah penting adalah
optimalisasi dimensi area aktif TiO2 pada bagian fotoelektroda. Faktor ini cukup
penting utamanya pada saat mendisain modul surya DSSC yang tersusun atas
beberapa sel surya DSSC dengan ukuran yang umumnya lebih besar untuk
menghasilkan daya output yang relatif tinggi. Masalah yang kerap timbul pada
saat up-scaling sel surya DSSC, baik masih berupa sel maupun modul, adalah
menurunnya efisiensi secara drastis. Salah satu penyebab hal tersebut adalah
rugi-rugi yang diakibatkan oleh area aktif dan kontak elektroda [3, 9]. Oleh sebab
itu, dalam merancang disain sel surya DSSC maupun modul surya DSSC,
dibutuhkan estimasi yang tepat untuk menentukan faktor dimensi. Hal ini ditujukan
untuk meminimalisir rugi-rugi yang timbul akibat pengaruh tahanan parasitic baik
itu yang dipengaruhi oleh area aktif maupun non-aktif .
Karakteristik DSSC sangat dipengaruhi oleh material dari komponen
aktifnya yang antara lain terdiri atas:
1. Nanoporous TiO2
55
Titanium Dioxide (TiO2) merupakan salah satu material semikonduktor yang
dengan band gap lebar (~3,2 eV) yang sering digunakan. TiO2 memiliki sifat optik
yang baik, bersifat inert, tidak berbahaya, dan murah [1,10]. Dalam aplikasinya
pada DSSC, TiO2 harus memiliki permukaan yang luas agar dye yang teradsorpsi
lebih banyak dan dapat meningkatkan arus photon, sehingga material TiO2 yang
digunakan harus bersifat porous dan berstruktur nano (nanocrytalline - nc-TiO2).
Semikonduktor lain dapat yang digunakan yaitu ZnO, akan tetapi performanya
lebih rendah dibandingkan TiO2 [4].
56
4. Counter Elektroda
Counter elektroda berfungsi sebagai katalis untuk merpercepat kinetika
reaksi proses reduksi triiodide pada TCO. Material yang umum digunakan pada
aplikasi ini dan dapat menghasilkan effisiensi yang cukup tinggi adalah Platina.
Platina dideposisikan pada TCO dengan berbagai metoda yaitu elektrokimia,
sputtering, spin coating, atau pyrolysis.
57
Gambar 3. Skema proses Sputtering [13]
Gambar 4. Kurva hubungan Arus dan tegangan sebuah silikon sel surya
Efisiensi merupakan salah satu karakteristik listrik dari sebuah sel surya
yang didefinisikan sebagai perbandingan daya keluaran maksimum, (Pm) dan
daya masuk yang berasal dari cahaya matahari yang datang, (Pin). Persamaan
efisiensi dari sel surya adalah :
= Pm/Pin .. (1)
Fill Factor adalah ratio daya keluaran maksimum (Pm) terhadap produk arus
hubung singkat (Isc) dengan tegangan hubung terbuka (Voc).
FF = Pm/Voc x Isc .. (2)
Dimana :
Isc = Arus hubung singkat, dilihat pada saat tegangan V=0
58
Voc = Tegangan hubung terbuka dilihat pada saat arus sama dengan nol
(I=0).
1.5. Hipotesa
Pada penelitian pembuatan Dye Sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell,
proses preparasi substrat (Glass TCO), pelapisan nc-TiO2, pelapisan counter
elektroda, teknik pencelupan Dye sensitizer, pengisian larutan elektrolit dan teknik
assembing akan sangat mempengaruhi karakteristik dye solar cell yang dihasilkan.
Karekterisasi proses untuk mendapatkan teknik dan parameter proses yang tepat
sangat diperlukan sehingga akan dihasilkan dye solar cell yang memiliki
karekteristik listrik yang baik dengan efisieinsi yang baik pula.
59
Gambar 6. Conveyor Belt Furnace
60
2.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
- TEC15 glass (fluorine doped SnO2 15/sq)
- Pasta TiO2: DSL 18 NR-AO dan DSL 18 NR-T
- Target Platina
- Larutan Elektrolit: EL-HSE dan EL-SGE
- Dye: B2(N719) dan (Z907)
- Thermoplastic Sealant, Surlyn 50 m
- Hermetic Sealing Compound
- Nylon screen, stainless steel screen, ulano line 300, ulano 188
- Ethanol, IPA, silicon rubber
2.3. Metodologi
Proses fabrikasi sel surya DSSC secara umum, dari pencucian substrat
hingga karakterisasi dan pengukuran, dapat dilihat pada gambar 10. Proses
fabrikasi sel surya DSSC dapat dijelaskan melalui tahapan berikut:
61
PreparasiSubstrat
PrintingpastancTiO2
Prosespelapisancounter
elektroda(Pt)menggunakan
SinteringpastancTiO2 teknik Sputtering
Pewarnaan Assembly
Pengisianlarutanelektrolit
Pengukuran
62
produksi. Pelapisan TiO2 dilakukan melalui 2 kali proses printing berdasarkan hasil
optimum yang ditunjukkan pada referensi [12]. Tiap deposisi diakhiri dengan
pengeringan dalam oven bersuhu 100oC selama 10 menit. Sesudah proses
pendeposisian dilakukan, sampel dipanaskan dalam conveyor belt furnace pada
suhu 450oC selama 15 menit, dengan tujuan untuk sintering dan kristalisasi
partikel TiO2. Proses selanjutnya adalah pewarnaan yang dilakukan melalui
perendaman sampel dalam larutan pewarna. Larutan tersebut dibuat dari bubuk
Ruthenium jenis N-719 dari Dyesol dengan konsentrasi 40 mg dalam pelarut
ethanol sebanyak 100 ml. Sampel direndam dalam cawan petri dan disimpan
pada suhu ruang tanpa cahaya selama 24 jam (gambar 11).
63
a). b).
Gambar 13. Proses:
a). Assembly; dan b). Pengisian elektrolit dengan penyuntikan melalui
lubang udara.
64
Gambar 15. Proses pembuatan modul surya DSSC.
65
Gambar 16. Kurva I-V hasil pengukuran terhadap sel surya DSSC
menggunakan elektrolit yang berbeda.
Dikarenakan ion I3- memiliki peranan penting dalam reaksi redoks -yaitu
sebagai hole yang diharapkan berekombinasi dengan elektron yang terkumpul
pada counter-elektroda- maka intensitas pengumpulan muatan pembawa pada
proses transfer muatan pun menjadi lebih sedikit. Selain itu, konsentrasi triiodida
juga kemungkinan berpengaruh terhadap kurangnya konsentrasi spesies redoks,
dimana hubungannya dapat direpresentasikan oleh persamaan berikut [3]:
kT cox ox (c st ) vred
v
E redox = Eredox
0
+ ln .. (4)
m cred vred (c st ) vox
dimana k adalah konstanta Boltzmann, T adalah suhu, m adalah jumlah elektron
yang ditransfer, v adalah koefisien stoikiometri, sementara Eredox0 dan cst adalah
potensial dan konsentrasi redox standar. Penurunan potensial redoks secara tidak
langsung berpengaruh terhadap penurunan VOC. Hal ini dapat dibuktikan dari data
hasil pengukuran pada Tabel 1, dimana VOC sampel yang menggunakan elektrolit
buatan memang jauh lebih rendah dibanding elektrolit Dyesol.
66
oleh sampel dengan elektrolit buatan selalu lebih rendah dibanding parameter
yang dihasilkan oleh sampel dengan elektrolit Dyesol.
a. b. c.
Tabel 1. Data parameter output sel surya DSSC berbasis TiO2 yang diukur
menggunakan Sun Simulator (40 mW/cm2, AM1.5, R=1-5k)
Perlu diperhatikan bahwa data arus dan daya yang disajikan pada tabel 1
merupakan arus dan daya yang terukur per satuan luas (per m2). JSC adalah
kerapatan arus, yaitu ISC dibagi luas total area fotoaktif. Penggunaan kerapatan
arus dan daya per satuan luas tersebut ditujukan untuk mempermudah
67
perbandingan antar sampel dikarenakan setiap sampel memiliki luas area fotoaktif
yang bervariasi. Pada gambar 18 jelas terlihat bahwa luas area fotoaktif memiliki
pengaruh signifikan terhadap total arus yang dihasilkan (bukan kerapatan arus).
Semakin besar luas area fotoaktif maka semakin tinggi arus keluarannya.
Sebaliknya, tegangan hubungan terbuka (VOC) tidak dipengaruhi oleh luas area
fotoaktif. Hasil pengukuran juga mengindikasikan bahwa variasi lebar area
fotoaktif tidak menghasilkan perbedaaan yang signifikan terhadap efisiensi. Selain
itu kerapatan daya maksimum yang dihasilkan per luas area juga tidak
menunjukkan perbedaan yang mencolok.
Untuk kerapatan arus (JSC), tampak pada tabel 1 bahwa ada sel surya
dengan ukuran fotoaktif terkecil menghasilkan kerapatan arus yang relatif kecil
pula. Kami menganalisa bahwa kemungkinan penyebab hal tersebut adalah faktor
resistansi kontak (Rkontak) [3]. Gambar 17 menunjukkan bahwa besar luas area
kontak (atau disebut area non-fotoaktif) pada sampel dengan ukuran fotoaktif 2x1
cm2 memang lebih besar dibanding sampel lainnya. Kondisi tersebut kemungkinan
mengakibatkan tingginya nilai Rkontak yang dipengaruhi oleh area non-fotoaktif.
Gambar 18. Kurva karakteristik I-V hasil pengukuran terhadap sampel dengan
ukuran fotoaktif bervariasi.
68
hasil pengukuran arus dan tegangan yang terukur terhadap tegangan pada
sampel yang ditunjukkan oleh gambar 19.
Gambar 19. Sel surya DSSC dengan luas area aktif (dari kiri ke kanan):
a. 1.5x4 cm2 b. 1.2x5 cm2 c. 1x6 cm2 d. 0.7x8.6 cm2
Dari hasil pengukuran tersebut tampak bahwa, untuk sel surya DSSC
dengan luas area aktif 6 cm2, ukuran dimensi optimal yang menunjukkan performa
terbaik adalah 1x6 cm2. Tren data yang kami peroleh mengindikasikan bahwa
lebar maupun panjang area aktif dapat berpengaruh terhadap performa sel dan
hal tersebut tidak berbanding secara proporsional. Semakin kecil/panjang suatu
dimensi belum tentu berakibat pada peningkatan/penurunan efisiensi dikarenakan
adanya dimensi yang optimal.
Tabel 2. Data parameter output sel surya DSSC berbasis TiO2 yang diukur
menggunakan Sun Simulator (40 mW/cm2, AM1.5, R=1-5k)
Ukuran Area Fotoaktif
1.5x4 cm2 1.2x5 cm2 1x6 cm2 0.7x8.6 cm2
69
Gambar 20. Perbandingan kurva pengukuran arus terhadap tegangan.
Gambar 21. Kurva I-V untuk sampel dengan substrat counter-elektroda yang
berbeda.
70
Dari hasil pengukuran tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel yang
menggunakan kaca tanpa TCO belum bisa menghasilkan efisiensi yang sama
atau melebihi sampel dengan TCO. Akan tetapi dapat dilihat bahwa adanya
treatment etsa menggunakan HF terbukti mampu menghasilkan sampel dengan
efisiensi yang lebih baik dibanding kaca biasa tanpa etsa. Hal ini juga didukung
dengan data absorpsi hasil pengukuran UV VIS spectrophotometer pada gambar
22 yang menunjukkan bahwa kaca yang di-etsa dengan HF memiliki sifat
transmisi yang lebih baik. Hasil kami ini mengindikasikan bahwa, dengan
treatment etsa yang sesuai, maka bukan tidak mungkin penggunaan kaca biasa
mampu menghasilkan sel dengan performa yang tidak kalah dengan kaca TCO.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metoda dan material etsa
yang tepat.
a). b).
Gambar 22. Perbandingan antara kaca biasa dan kaca yang dietsa menggunakan
HF dilihat dari karakteristik: a). absorpsi dan b). transmisi.
71
Tabel 3. Hasil pengukuran karakteristik I-V terhadap sampel dengan ukuran area
aktif 2x1 cm2 dan dengan material pembentuk bervariasi (R=1-3,9k).
72
penelitian ini kami hanya menggunakan spatula untuk meletkkan gel dan
squeegee untuk meratakan gel tersebut. Setelah itu sampel cukup di-assembly
menggunakan penjepit kertas (gambar 23). Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
mengoptimalkan penggunaan elektrolit gel, khususnya dari segi metoda pengisian,
assembly, dan sealing.
a). b).
Gambar 23. Proses: a). Pengisian b). Assembly sel menggunakan elektrolit gel.
Hasil analisa selengkapnya yaitu SEM, XRD dan UV-VIS
Spektrofotometer- dari sampel yang kami paparkan pada sub-bab ini dapat dilihat
lebih lanjut pada bagian lampiran.
3.5. Pembuatan Modul Surya DSSC
Dalam penelitian ini kami mencoba merangkai sel DSSC secara eksternal
sebagaimana modul sel surya konvensional berbahan silikon. Hal ini dikarenakan
proses pembuatan modul yang terkoneksi secara internal membutuhkan tahapan
proses fabrikasi yang berbeda dibanding pembuatan sel secara individual. Modul
sel surya pada penelitian ini merupakan rangkaian seri dari sel-sel yang telah
difabrikasi secara individual seperti ditunjukkan dalam gambar 24. Pasta perak
digunakan sebagai penghubung seri antar sel.
73
menggunakan lampu light emitting diode (LED) dan motor listrik sebagai indikator.
Hasil akhir modul yang terdiri atas sel dengan area aktif berukuran masing-masing
1x6 cm2 (luas total area aktif 144 cm2) dapat dilihat pada gambar 25.
Gambar 25. Hasil akhir modul surya dengan luas total area aktif 144cm2 sebagai
panel demonstrasi.
74
sun simulator) selalu menghasilkan output berupa arus, tegangan, dan daya yang
lebih besar.
Gambar 26. Karakteristik modul surya DSSC dengan luas area aktif 144 cm2
menggunakan sumber cahaya yang berbeda.
Tabel 4. Hasil pengukuran karakteristik I-V terhadap modul DSSC dengan luas
area aktif 144 cm2 dengan sumber cahaya bervariasi (R=1-12k).
Hubungan antar sub modul: Hubungan antar sub modul:
Paralel Seri
Sun Sun
Lampu Simulator Matahari Lampu Simulator Matahari
Voc (V) 5.53 6.12 6.55 12.1 13.18 13.9
Isc (A) 0.0138 0.023 0.0439 0.0073 0.0115 0.0184
Iin
(mW/cm2) 6 40 80 6 40 80
Pmax
(mW) 28.95 52.08 74.88 27.17 36.36 54.02
FF 0.38 0.37 0.26 0.31 0.24 0.21
(%) 4.02 0.9 0.65 3.77 0.63 0.46
75
300 nm hingga 1000 nm. Untuk mengetahui respon cahaya sel surya kami,
dibutuhkan analisa lebih lanjut menggunakan alat IPCE (Incident Photon to
Current Efficiency), hanya saja disayangkan kami belum dapat menemukan
institusi di dalam negeri yang dapat menyediakan jasa pengukuran tersebut.
Untuk menigkatkan performa penyerapan cahaya pada sel surya DSSC kami
maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memfokuskan pada sifat pigmentasi
dye agar mampu berfungsi optimal pada spektrum vahaya matahari. Namun dari
hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa, berbeda dengan sel surya
silikon, sel surya DSSC kami mampu bekerja dengan baik pada cahaya dengan
intensitas rendah didalam ruangan.
Selain modul yang tersusun atas sel surya dengan area aktif 1x6 cm2, kami
juga merangkai beberapa modul lain dengan ukuran area aktif bervariasi (gambar
27). Karakteristik selengkapnya dari modul-modul DSSC pada gambar tersebut
dapat dilihat pada bagian lampiran.
Gambar 27. Sel dan modul surya DSSC dengan ukuran aktif bervariasi
76
1. Penggunaan elektrolit berbasis kalium iodida yang kami buat secara manual
belum mampu bersaing dengan elektrolit cair dari Dyesol, baik dari segi
performa sel maupun lifetime.
2. Faktor dimensi dapat berpengaruh terhadap performa secara tidak proporsional.
Untuk sel surya DSSC dengan luas area aktif 6 cm2, ukuran dimensi optimal
yang menunjukkan performa terbaik adalah 1x6 cm2.
3. Penggunaan substrat kaca non-TCO mampu meminimalkan biaya produksi
meskipun efisiensi yang dihasilkan masih belum sebagus sel dengan substrat
TCO (FTO). Akan tetapi dengan surface treatment berupa etching yang tepat
maka efisiensi yang dihasilkan dapat lebih ditingkatkan.
4. Penggunaan dye jenis Z907 terbukti mampu menghasilkan sel surya DSSC
yang lebih baik dibandingkan dengan dye jenis N719, meskipun keduanya
memiliki basis yang sama yaitu ruthenium.
5. Sel surya dengan TiO2 transparan cenderung menghasilkan performa yang
lebih baik dibandingkan TiO2 opaque, hanya saja masih diperlukan
karakterisasi dan optimasi proses lebih lanjut terhadap material tersebut
dikarenakan sifat dan viskositas yang berbeda dibandingkan TiO2 opaque yang
selama ini kami gunakan.
6. Sampel dengan elektrolit gel (EL-SGE) ternyata cenderung mampu
menghasilkan sel yang lebih baik dibanding elektrolit cair, akan tetapi masih
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metoda pengisian dan
sealing yang kompatibel.
7. Dari hasil karakterisasi modul surya DSS, kami menyimpulkan bahwa
penyerapan sel surya DSSC yang kami buat belum dapat menyerap photon
yang dihasilkan pada spektrum cahaya matahari secara optimal, yaitu dengan
range panjang gelombang antara 300 nm hingga 1000 nm. Hal ini
diindikasikan oleh efisiensi modul terbaik yang diperoleh melalui cahaya lampu
monokrom dengan intensitas ~6 mW/cm2 yaitu sekitar 4,04%. Kesimpulan lain
yaitu pengukuran dibawah cahaya dengan intensitas lebih tinggi (sinar
matahari atau sun simulator) selalu menghasilkan output berupa arus,
tegangan, dan daya yang lebih besar.
77
4.2 Saran
Setelah menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik
I-V dye solar cell, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki dan
meningkatkan kemampuan proses pembuatan dye-sensitized nanocrystalline TiO2
solar cell dengan teknologi screen printing sehingga dapat dihasilkan performa sel
surya DSSC yang cukup baik dan memiliki efisiensi yang tinggi.
Didasari dari kebutuhan akan pengadaan energi alternatif, maka penelitian
dan pengembangan sel surya DSSC di PPET-LIPI masih harus terus dilakukan
dan ditingkatkan.
REFERENSI
[1] M. Gratzel, Dye-Sensitized Solar Cells, Journal of Photochemistry and
Photobiology C: Photochemistry Review 4, 145-153, 2003.
[2] J. Halme, Dye sensitized Nanostructured and Organic Photovoltaic Cells :
technical review and preeliminary test, Master Thesis of Helsinki University
of Technology, 2002.
[3] R. Sastrawan, Photovoltaic modules of dye solar cells, Disertasi University of
Freiburg, 2006.
[4] C. Longo, M.A. De Paoli, Dye-Sensitized Solar Cells: A Successsful
Combination of Materials., J. Braz, Chem, Soc., vol.14, no.6, 889-901, 2003.
[5] A. Hauch, A. Georg, Diffusion in the electrolyte and charge-transfer reaction at
the platinum electrode in dyesensitized solar cells, Electrochemica Acta, vol.
46, no. 22, hal. 34573466, 2001.
[6] A. Hinsch, J. M. Kroon, R. Kern, I. Uhlendorf, J. Holzbock, A. Meyer, J. Ferber,
Longterm stability of dye-sensitised solar cells, Progress in Photovoltaics,
vol. 9, hal. 425-438, 2001.
[7] J. Wu, Z. Lan, S. Hao, P. Li, J. Lin, M. Huang, L. Fang, and Y. Huang,
Progress on electrolytes for dye-sensitized solar cells, Pure Applied
Chemistry, vol. 80, no. 11, hal. 2241-2258, 2008.
[8] A. F. Nogueira, C. Longo, M.A. De Paoli, Polymers in dye sensitized solar
cells: overview and perspectives, Coord. Chem. Rev, vol. 248, hal. 1455,
2004.
78
[9] M. Burgelman, A. Niemegeers, Calculation of CIS and CdTe Module
Efficiencies, Solar Energy Materials and Solar Cells, vol. 5, no. 2, hal. 129-
143, 1998.
[10] M. G. Kang, K. S. Ryu, S. H. Chang, N. G. Park, J. S. Hong, K. J. Kim,
Dependence of TiO2 Film Thickness on Photocurrent-Voltage
Characteristicsof Dye-Sensitized Solar Cells, Bull. Korean Chem. Soc, Vol.
25 No.5, 2004.
[11] K. Wongcharee, V. Meeyoo, S. Chavadej, Dye-sensitized solar cell using
natural dyes extracted from rosella and blue pea flowers, Solar Eergy
Materials and Solar Cells, vol. 91, hal. 566-571, 2007.
[12] Dyesol Product Catalog February 2011, diunduh dari www.dyesol.com
[13] http://wwwold.ece.utep.edu/research/webedl/cdte/Fabrication/index.htm
(diakses pada tanggal 21 Desember 2011)
[14] L. Muliani, Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell dengan
Teknologi Screen Printing, Laporan Tahap I Monitoring dan Evaluasi
Program Tematik Kedeputian IPT-LIPI Tahun Anggaran 2010, 2010.
[15] L. Muliani, Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell dengan
Teknologi Screen Printing, Laporan Akhir Program Tematik 2010 PPET LIPI,
2010.
79
Pembuatan Magnet Barium Ferit Nano Partikel
Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator
Nanang Sudrajat, ST
80
LEMBAR PENGESAHAN
81
Abstrak
Penelitian pembuatan magnet barium ferit nano partikel bonded hybrid pada tahun
pertama telah selesai dilakukan. Magnet bonded hybrid dilakukan dengan cara
mencampurkan serbuk magnet barium ferit dengan serbuk magnet NdFeB dengan
tujuan untuk meningkatkan nilai Br yang dimiliki oleh magnet barium Ferit. Serbuk
magnet barium ferit dibuat dengan metode solgel dengan bahan-bahan kimia yang
digunakan adalah Besi Nitrat (Fe(NO3)3.9H2O), Barium Nitrat (Ba(NO3)2), Asam
Sitrat (C6H8O7.H2O), dan Akuade dengan komposisi Fe:Ba:Citric acid =
12:1:19(0,2 Mol), 12:1:26. Pada laporan akhir ini, akan disampaikan telah
dilakukan proses doping bahan rare earth Gd(III)O dan Nd(III)O masing-masing
sebanyak 5%, 10% dan 15% berat.Kemudian menggunakan pelarut Amonium
Hidroksida (NH4OH) untuk mendapatkan pH larutan = 7. Dan serbuk magnet
barium ferit dibonded hybrid dengan NdFeB epoxy, NdFeB+bakelit dan
NdFeB+resin. Karakteristik magnet terbaik yang dihasilkan pada tahun ini adalah
sample yang didoping dengan Nd(III)O 10% dan dibonded hybrid dengan NdFeB
epoxy dengan nilai Br = 3,98 kG, Hc = 5,412 kOe, BHmax = 2,72 MGOe dan
densitas 4,68 g cm-3 yang diukur dengan alat ukur permagraph magnet physik.
Prototipe magnet diterapkan pada prototipe generator.
Kata kunci : magnet barium ferit, nano partikel, metoda sol ge, magnet bonded
hybrid
82
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Barium Ferit adalah magnet keramik yang termasuk dalam klasifikasi material
ferimagnetik magnet keras (permanen). Aplikasinya sangat banyak dalam
kehidupan sehari-hari seperti pada beberapa peralatan elektronika, motor listrik
DC, magnet speaker, KWH meter dan meteran air. Penggunaan lain yaitu sebagai
magnet mainan, magnetic separator, microwave filter dan aplikasi terakhir ini
dalam ukuran nano partikel dapat digunakan sebagai target untuk thin film
magnetic recording media. Magnet barium ferit adalah material magnet yang
memiliki banyak keuntungan, diantaranya adalah memiliki karakteristik magnet
yang baik, harga murah, tidak mudah terkorosi, mudah dimagnetisasi dan
didemagnetisasi juga memiliki temperatur curie yang cukup tinggi sampai dengan
450oC. Namun magnet ini bersifat sangat keras dan getas, sehingga tidak dapat
digunakan pada komponen / peralatan yang mengalami pembebanan (impact).
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tenaga listrik di Indonesia
terutama energi terbarukan, kebutuhan material magnet sebagai komponen utama
mesin penghasil listrik (generator) juga semakin meningkat. Industri kecil dan
UKM telah mulai merakit dan mendesain sendiri peralatan elektronika khususnya
generator. Komponen magnet yang merupakan bagian penting dari peralatan
tersebut masih diimport dari Jepang, Cina dan Singapore. Dengan digalakkannya
pemakaian produksi dalam negeri oleh pemerintah, sudah saatnya komponen-
komponen peralatan elektronika dalam hal ini material magnet dapat dibuat sendiri.
Penelitian pembuatan magnet Ferit telah mulai dilakukan di PPET-LIPI sejak
tahun 1992 dengan cara teknologi serbuk, seperti pembuatan ferit motor DC
(1992-1996), pembuatan magnet ferit untuk sirkulator (1996-1999), pembuatan
barium stronsium ferit (1999-2002), pembuatan ferit untuk meteran air (1999-
2002), pembuatan ferit untuk kwh meter (2001- 2003), pembuatan magnet spinel
MnZn Ferit (2003-2006), pembuatan magnet NiZn ferit (2007) dan pembuatan
magnet barium ferit dengan metoda solgel untuk komponen Elektronik(2008-
2010). Dengan berbekal pengalaman yang telah dilakukan, maka pada tahun
2011 akan dilakukan penelitian pembuatan magnet Barium Ferit nano partikel
bonded hybrid untuk meningkatkan karakteristik sifat magnet terutama nilai Br.
Proses bonded hybrid dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk barium ferit
dengan NdFeB berpolimer. Penelitian ini memanfaatkan sarana dan prasarana
83
yang ada di PPET-LIPI. Akan tetapi karakterisasi menggunakan XRD dan SEM
dilakukan di instansi lain.
Pada proses pembuatan serbuk barium feritsol digunakan metode solgel dengan
komposisi Ba:Fe:Citric Acid = 1:12:26 dan akan didoping oleh bahan rare earth
yaitu Gd(III)O dan Nd(III)O sebanyak 5%, 10% dan 15% berat. Kemudian serbuk
hasil proses sol gel akan dibonded hybrid dengan NdFeB epoxy, NdFeB+Bakelit
dan NdFeB + resin.
84
Tujuan (umum):
o Mengurangi ketergantungan terhadap produk impor khususnya magnet
permanen.
o Mengembangkan penelitian material magnet di PPET-LIPI.
Sasaran (khusus) :
Dapat membuat magnet permanen Barium Ferit dengan karakteristik magnet yang
baik dan dapat diaplikasikan pada sebuah peralatan elektronik yaitu generator.
1.5. Hipotesis
Dari penelitian pembuatan magnet barium ferit dengan metoda sol gel ini akan
dihasilkan suatu magnet permanen yang memiliki karakteristik magnet dengan
nilai Br = 1,75 3 kG, Hc = 0,1 2 kOe, BHmax = 0,1 2 MGOe dan densitas 4 -
5 g cm-3.
85
Kegiatan pada tahap ini adalah mencari dan mengumpulkan informasi baik itu
yang bersifat teoritis maupun praktis melalui buku-buku, handbook dan internet,
yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dan referensi dalam penelitian.
86
Gambar 2.1. Permagraph
Mesin Kompaksi
Solenoida
87
4. Furnace : Digunakan untuk proses kalsinasi dan sintering
88
Gambar 2.6 Impuls Magnetiser Magnet Physik
2.4. Percobaan
Alur percobaan pembuatan magnet bariun ferit bonded hybrid dapat dilihat
pada gambar 2.8 di bawah ini.
Penentuan Komposisi
Drying
89
Milling & Kalsinasi
Mixing/Milling
Karakterisasi
Kompaksi
Magnetisasi
Komposisi serbuk barium ferit yang dibuat pada penelitian ini adalah :
Perbandingan Ba : Fe : Citric Acid adalah 1:12 :26
90
Komposisi terbaik didapat dengan perbandingan Ba : Fe : Citric Acid adalah 1:12
:26 dengan Nilai karakteristik sifat magnet Br = 2,21 kG, HcJ = 2,643 kOe,
BHmax = 1,04 MGOe, Densitas = 4,11 grcm-3.
Pada Tahap II tahun ini dilakukan doping bahan rare earth pada pembuatan
serbuk magnet barium ferit yaitu Gadolinium oksida (Gd(III)O) dan Neodymium
oksid (Nd(III)O) masing-masing sebanyak 5%, 10% dan 15% berat.
Sebanyak 50 gram Serbuk Fe(NO3)3 yang dilarutkan dalam aquades 100 ml
ditambahkan dengan 2,7 gram serbuk Ba(NO3)2 yang telah dilarutkan dalam
aquades 8,332 ml dalam suatu beker gelas, kedua larutan ini dicampurkan
dengan 84,62 gram citric acid yang telah dilarutkan dalam 325 ml aquades sambil
diaduk rata. Kemudian ditambahkan:
5% Gd(III)O = 0,15 gr dalam 0,4 ml aquades
10% Gd(III)O = 0,3 gr dalam 0,8 ml aquades
15% Gd(III)O = 0,45 gr dalam 1,2 ml aquades
5% Nd(III)O = 0,137 gr dalam 0,05 ml aquades
10% Nd(III)O = 0,347 gr dalam 0,1 ml aquades
15% Nd(III)O = 0,52 gr dalam 0,15 ml aquades
Sehingga didapat 6 larutan, kemudian diaduk selama 2 jam dan ditambahkan
larutan Ammonium Hidroksida (NH4OH) sampai nilai pH 7 sambil diaduk
menggunakan hot plat magnetic stirrer sampai menjadi gel lebih kurang selama 20
jam. Setelah menjadi gel dikeringkan (drying) selama 15 jam pada temperatur 150
C dan 8 jam pada temperature 200 C. Terakhir serbuk dikalsinasi selama 3 jam
pada temperature 1000 C.
91
kompaksi dilakukan dengan menggunakan mesin press dingin pada tekanan 50
kg/cm2 kemudian disinter pada temperatur 200 C selama 30 menit dan
temperatur 500 C selama 60 menit.
d. Karakterisasi
Magnet yang sudah disintering dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan
adalah :
- Densitas dengan perhitungan dan neraca analitik
- Sifat magnet dengan Permagraph
- Struktur mikro dengan SEM
Senyawa yang terbentuk dengan XRD
92
Gambar 2.10. Sampel magnet Barium Ferit Bonded Hybrid
Tabel 3.1. karakteristik sifat magnet barium ferit dengan variasi doping Gd(III)O
93
Karakteristik sifat magnet hasil percobaan penambahan variasi doping Nd(III)O
dapat dilihat pada tabel 3.2.
Sifat magnet barium ferit dengan doping Nd(III)O 10% mempunyai nilai yang
paling tinggi pada penelitian ini dengan nilai Br = 3,01 kG, naik sekitar 36%
dibandingkan dengan nilai Br barium ferit murni 2,21 kG.
Hasil karakterisasi magnet bonded hybrid yang terbaik ditunjukan oleh sampel
BaFe12O19 . NdFeB epoxy dengan nilai Br = 3,98 kG, lebih tinggi 32 % dari barium
ferit doping.
Secara keseluruhan, nilai Br magnet barium ferit bonded hybrid naik 68% dari nilai
magnet barium ferit murni. Kurva karakteristik magnet BaFe12O19 . NdFeB epoxy
diperlihatkan pada gambar 3.1.
94
Gambar 3.1. Kurva Karakteristik sifat magnet
Analisa SEM dilakukan terhadap serbuk magnet barium ferit doping Nd(III)O,
NdFeB epoxy, NdFeB+ resin dan NdFeB+bakelit.. Hasil foto SEM diperlihatkan
pada gambar 3.2.
Dari hasil data SEM di atas dapat dilihat bahwa ukuran partikel BaFe12O19 sangat
kecil dan NdFeB mempunyai ukuran butir partikel yang besar, sehingga kalau
95
digabung akan memperkecil porositas, dengan kecilnya porositas, maka densitas
akan naik dan diharapkan akan meningkatkan nilai Br.
Dari gambar grafik di atas dapat dilihat bahwa pada temperatur 800C, intensitas
kristalisasi masih kecil. Intensitas tertinggi diperoleh oleh hasil kalsinasi 1000C
pada sudut 2 32 dan 35.
Maka Jumlah Magnet yang dibutuhkan sebanyak 12 buah. Pada gambar 3.4
diperlihatkan prototipe magnet bonded dan prototipe generator.
96
a) magnet pada rotor b) generator set
Gambar 3.4. Prototipe Generator
97
IV. KESIMPULAN
1. Perbandingan komposisi serbuk magnet barium ferit adalah Ba : Fe :
Citric Acid = 1:12:26
2. Doping Nd(III)O sebanyak 10% telah dapat meningkatkan nilai
karakteristik sifat magnet sebesar 36% dengan nilai Br = 3,01 kG, HcJ =
4,164 kOe, Bhmax = 1,25 MGOe dan densitas = 3,27 grcm-3.
3. Magnet bonded hybrid terbaik dari pencampuran BaFe doping Nd(III)O
dengan NdFeB epoxy dengan peningkatan karakteristik sifat magnet
sebesar 32% dengan nilai Br = 3,98 kG, HcJ = 5,412, Bhmax = 2,72 dan
densitas = 4,68 grcm-3.
4. Belum secara optimal dapat diaplikasikan dalam generator low rpm.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Proposal usulan kegiatan, Pembuatan Magnet Barium Ferit Nanopartikel
dengan metoda sol gel untuk aplikasi komponen elektronik, DIPA TA 2009.
98
10. William H.Hayt,Jr., John A.Buck, Elektro-magnetika (terjemahan) Edisi
Ketujuh, Erlangga, 2006.
11. Andrew J. Provenza, An Integrated Magnetic Circuit Mode and Finite
Element Model Approach to Magnetic Bearing Design, 37th Intersociety
Energy Conversion Engineering Conference, 2002, pp. 1-4.
12. Emad Said Addasi, Calculations of Permanent Magnet Using Distributed-
Parameters Equivalent Circuit, Australian Journal of Basic and Applied
Sciences, 2(4), 2008, pp.850-857.
13. D. Bahadur, S. Rajakumar and Ankit Kumar, Influence of fuel ratios on auto
combustion synthesis of barium ferrite nano particles, Journal of Chemical
Science, Vol.118, No.1, 2006, pp.15-21
14. Nanang Sudrajat, Novrita Idayanti,Karakterisasi Pembentukan Magnet
Barium Ferit Nano Partikel dengan X-Ray Diffraction, Jurnal Sains Materi
Indonesia, Edisi Khusus, 2009, hal. 71-73
15. Nanang Sudrajat, Novrita Idayanti dan Tony K., Kompaksi Bahan Magnet
Permanen Barium Ferit Anisotrop Nanopartikel dalam Solenoida 0,5T,
Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Volume 9, Nomor 2, 2009, hal. 45-
49.
16. Erfin Yundra Febrianto, Pengaruh suhu pembakaran terhadap Sifat-sifat
Komposit Keramik Alumina-Zirkonia, Prosiding Simposium Fisika Nasional
XVIII, 2000 , hal. 226-233.
17. Novrita Idayanti, Nanang Sudrajat, Pengaruh Temperatur Kalsinasi
Terhadap Sifat Magnet Barium Ferit, Prosiding Seminar Nasional XVII Kimia
dalam Industri dan Lingkungan, 2008, hal. C:6-9.
18. http://www.magnetsales.com/Design/Tools1.htm#flux, 9 Juli 2010.
19. Pal, M., dkk., (2004), Synthesis of nanocomposites comprising iron and
barium hexaferrites, Elsevier, journal of magnetism and magnetic materials,
42-47.
20. http://www.mqitechnology.com/motor-designs.jsp, diakses 23 Mei 2011.
21. http://www.forcefieldmagnets.com/windturbin-kits.htm
99
Pengembangan Through-Wall Radar
untuk Life Detector
Dr. Purwoko Adhi
100
LEMBAR PENGESAHAN
101
ABSTRAK
Indonesia adalah negara rawan gempa. Gempa yang berkekuatan cukup
besar berpotensi menyebabkan runtuhnya gedung-gedung bertingkat dan dalam
banyak kasus runtuhnya gedung bertingkat korban, baik meninggal maupun hidup,
terjebak dalam reruntuhan gedung. Upaya penyelamatan harus dilakukan secara
cepat dan hati-hati untuk memastikan korban hidup dapat diselamatkan.
Tanpa informasi yang akurat mengenai keberadaan korban hidup di balik
reruntuhan, penyelamatan memerlukan waktu yang lama dan mengurangi
kemungkinan korban hidup dapat diselamatkan. Salah satu upaya dalam
mengatasi masalah ini adalah penggunaan life detector untuk menemukan lokasi
korban hidup. Keberadaan korban hidup bisa dideteksi dari gerakannya
menggunakan through-wall radar yang mampu mendeteksi objek dibalik tembok
atau beton.
Pengembangan through-wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan
perangkat life detector. Through-wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang
banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Salah satu tipe radar
UWB adalah radar FM-CW. Radar UWB FM-CW menggunakan prinsip yang sama
dengan Radar FM-CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara.
Perbedaannya, Radar UWB FM-CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah
namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar.
Pembangkit chirp wideband adalah salah satu komponen atau subsitem
terpenting dari sebuah radar UWB FM-CW. Tantangan dalam komponen ini
adalah bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level
daya yang rata, dan kestabilan.
Komponen atau subsistem penting lain dari sistem Radar FM-CW adalah
modul data akuisisi. Modul ini berfungsi mengubah sinyal beat menjadi data digital
yang siap diolah oleh komputer (PC). Pengiriman data dari modul data akuisisi ke
PC bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui PCI, USB, dan
sebagainya. Untuk alasan kepraktisan USB dipilih sebagai jalur data dari modul ke
PC.
Kata kunci : radar, through wall, life detector, gempa bumi, ultra wide band
(UWB)
102
I. PENDAHULUAN
Sebagai Negara kepulauan yang terletak di pertemuan antara beberapa
lempeng bumi, Indonesia merupakan negara rawan gempa. Gempa yang
berkekuatan cukup besar berpotensi menyebabkan runtuhnya gedung-gedung
bertingkat. Dalam banyak kasus runtuhnya gedung bertingkat, korban, baik
meninggal maupun hidup, terjebak dalam reruntuhan gedung. Upaya penyelamatan
harus dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk memastikan korban hidup dapat
diselamatkan.
Tanpa informasi yang akurat mengenai keberadaan korban hidup di balik
reruntuhan, penyelamatan memerlukan waktu yang lama dan mengurangi
kemungkinan korban hidup dapat diselamatkan. Berbagai cara untuk mendeteksi
keberadaan korban hidup dibalik reruntuhan banyak digunakan. Di antaranya
dengan menggunakan anjing pelacak, menggunakan inframerah untuk mendeteksi
panas tubuh, menggunakan sensor gas untuk mendeteksi aktifitas pernafasan,
menggunakan sensor suara, menggunakan kamera yang bisa melewati celah-celah
sempit jika ada, dan sebagainya.
Untuk melengkapi informasi yang diperlukan dalam rangka pencarian korban
hidup dibalik reruntuhan, through-wall radar dapat digunakan. Keberadaan korban
hidup bisa dideteksi dari gerakan anggota tubuhnya, gerakan nafasnya, atau detak
jantungnya menggunakan through-wall radar yang mampu mendeteksi objek di balik
tembok, beton, atau material lain.
Pengembangan through-wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan
perangkat life detector. Through-wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang
banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Salah satu tipe radar
UWB adalah radar FM-CW. Radar UWB FM-CW menggunakan prinsip yang sama
dengan Radar FM-CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara.
Perbedaannya, Radar UWB FM-CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah
namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar.
Pembangkit chirp wideband adalah salah satu komponen atau subsitem
terpenting dari sebuah radar UWB FM-CW. Tantangan dalam komponen ini adalah
bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level daya yang
rata, dan kestabilan.
Komponen atau subsistem penting lain dari sistem Radar FM-CW adalah modul
data akuisisi. Modul ini berfungsi mengubah sinyal beat menjadi data digital yang
103
siap diolah oleh komputer (PC). Pengiriman data dari modul data akuisisi ke PC bisa
dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui PCI, USB, dan sebagainya. Untuk
alasan kepraktisan USB dipilih sebagai jalur data dari modul ke PC.
104
Frekuensi : 500-3000MHz
Daya pancar : 30dBm
Sweep time : 1mS
Beat Frequeny Bandwidth : 500kHz
Beat Frequeny sampling rate : 1MSamples/S
Jumlah sample : 1024
Range cells : 512
Maximum range : 30m
Range resolution : 6cm
105
kemudian di ambil oleh komputer (PC) melalui USB. Pemrosesan sinyal dilakukan di
PC.
9,75 GHz
DRO
9,75GHz UWB
LPF
3000
609MHz
16
REF CLK
(max
2,7GHz)
DAC TRIGGER
DDS
AD VCO 6,75-9,25 LOGIC
9965 5-10GHz
SYNC
PLL REF
PLL OSC
(max655) 16
421-578MHz
500-3000MHz
USB ADC
106
Komponen-komponen elektronika aktif berupa semiconductor diskrit
seperti transistor, dioda,
Komponen-komponen elektronika aktif berupa semiconductor terintegrasi
(IC) seperti mikrokontroler, IC TTL, dll.
Komponen-komponen hybrid seperti hybrid COIC dan hybrid SLIC.
Komponen lain seperti PCB, konektor, kabel, dsb.
Modul-modul elektronika seperti power supply dan antenna.
Komponen-komponen elektronika pasif
Bahan-bahan mekanik
Untuk DRO digunakan modul DRO generic yang memiliki frekuensi output
9.75GHz dan daya sekitar 7dBm. Untuk DDS akan digunakan Evaluation Board
AD9965 dari Analog Device. Untuk wideband VCO akan digunakan HMC-C029 dari
Hittite. VCO ini dapat menghasilkan sinyal output dengan frekuensi antara 5 dan 10
GHz, dengan daya sekitar 20dBm. Sedangkan untuk mixer antara DRO dan
wideband VCO akan digunakan ZX05-153+ dari Mini-Circuits, dipasangkan dengan
Lowpass filter VLF-3000+. Untuk Power Amplifier akan digunakan ZHL-42W. Untuk
Divider 16 akan digunakan dua pembagi 4 HMC493LP3E dari Hittite.
Sedangkan pada receiver, untuk LNA akan digunakan ZX60-33LN+ dari Mini-
Circuits. Sebagai Bandpass filter akan digunakan kombinasi antara lowpass filter
VLF-3000+ dan highpass filter SHP-500+. Untuk Mixer antara sinyal transmit dan
sinyal receive akan digunakan ZJL-4G+ dari Mini-Circuits.
Adapun dalam pelaksanaannya, kegiatan ini menggunakan metoda penelitian
yang dapat dirangkum sebagai berikut.
Perancangan sistem, di mana sistem dirancang secara keseluruhan,
termasuk di dalamnya penyusunan spesifikasi dan pendefinisian modul-
modul penyusun sistem.
Perancangan Software
Pemilihan modul-modul yang memenuhi fungsi dan spesifikasi yang
dibutuhkan (untuk modul-modul yang tidak dibuat sendiri).
Perancangan modul-modul (untuk modul-modul yang dibuat sendiri) di
mana skema rangkaian elektronik modul-modul dibuat untuk
menghasilkan fungsi dari masing-masing modul yang diinginkan.
107
Realisasi modul-modul, di mana skema elektronik dituangkan dalam disain
tata letak komponen dalam PCB, kemudian PCB dibuat dan rangkaian
elektronika diasembling di atas PCB.
Pengujian modul-modul, di mana modul-modul di uji coba secara individu
untuk mengetahui apakah mereka telah berfungsi sebagaimana yang
didinginkan.
Intergrasi sistem, di mana modul-modul yang telah diuji diintegrasikan
menjadi sebuah sistem.
Pengembangan Software
Pengujian sistem di laboratorium, di mana sistem diuji coba untuk
mengetahui fungsi sistem.
Perbaikan dan penyempurnaan apabila diperlukan
DRO yang digunakan memiliki frekuensi output sebesar 9750 MHz. Untuk
menghasilkan sinyal yang diinginkan, pembangkit chip harus menghasilkan
frekuensi antara 6750 dan 9250 MHz. Sinyal dari DRO dicampur dengan sinyal dari
108
pembangkit chirp, kemudian difilter dengan sebuah lowpass filter untuk
menghasilkan sinyal chirp dengan frekuensi antara 500 dan 3000 MHz.
Prinsip kerja radar FM-CW mengharuskan linearitas frekuensi yang sangat
tinggi terhadap waktu. Salah satu pembangkit sinyal FM yang mampu memenuhi
linearitas yang dibutuhkan ini adalah DDS. Pembangkit chirp wideband yang
dikembangkan dapat digambarkan secara sederhana dengan diagram blok seperti
pada Gambar 2.
Komponen utama dari rangkaian yang dikembangkan adalah sebuah DDS,
sebuah VCO, sebuah phase detector (PD), dan sebuah charge pump (CP).
Rangkaian menggunakan frekuensi output 9750 MHz dari DRO sebagai referensi
utama. Bersama dengan beberapa pembagi frekuensi dan filter, komponen utama
membentuk sebuah rangkaian phase locked loop (PLL), di mana output dari DDS
berfungsi sebagai sinyal referensi.
Sinyal output dari VCO dibagi 24 oleh sebuah pembagi frekuensi, kemudian
dibagi oleh sebuah pembagi N. Hasilnya, sebuah sinyal dengan frekuensi yang
sama dengan frekuensi sinyal output VCO dibagi 24N, menjadi salah satu input dari
PD (osc in). Input PD yang lain (ref in) adalah sinyal yang dihasilkan oleh DDS dan
dibagi oleh pembagi M. Rangkaian seperti ini, pada kondisi locked, akan
menghasilkan menghasilkan sinyal dengan frekuensi 24N kali frekuensi sinyal
referensi.
109
Untuk menghasilkan sinyal output berupa chirp dengan frekuensi antara 6750
dan 9250 MHz, dengan sweep time tertentu, DDS harus diprogram untuk
menghasilkan sinyal chirp dengan frekuensi antara 93,75 dan 128,47 MHz. Pembagi
M dan pembagi N masing-masing diprogram sehingga M sama dengan 1 dan N
sama dengan 3. Dengan demikian rangkaian PLL ini berfungsi sebagai pengali 72.
110
Untuk VCO digunakan sebuah modul VCO HMC-C029 dari Hittite Microwave
Corporation. Modul ini memiliki frekuensi kerja antara 5 dan 10 GHz, dengan
tegangan tuning antara 0 dan 20 Volt.
Diagram skema rangkaian dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Output DRO yang sudah dibagi dengan 9 digunakan sebagai clock referensi
utama dari DDS. Untuk itu output pembagi 9 dihubungkan dengan input DUT RF IN
pada evaluation board.
Output DDS (DUT FILTER OUT) yang sudah difilter oleh filter yang sudah
tersedia di atas board dihubungkan ke input DUT REF IN. Output dari VCO, setelah
dibagi dengan pembagi 24 dihubungkan dengan input DUT OSC IN pada evaluation
board.
VCO OUT pada evaluation board AD9956 sebenarnya terhubung dengan
output VCO pada versi dengan VCO. Karena kami menggunakan versi tanpa VCO,
kami memanfaatkan soket konektor SMA ini untuk mengambil sinyal dari output CP.
Untuk itu pada board dipasang jumper dari pin 36 (CP_OUT) IC AD9956 ke soket
konektor SMA VCO OUT. Output CP dihubungkan ke rangkaian filter PLL standar.
CP pada AD9956 dicatu dengan tegangan 3,3Volt. Oleh karena itu output CP
adalah antara 0 dan 3,3Volt. Rentang tegangan ini tidak mencakup seluruh
tegangan tuning dari VCO, yaitu antara 0 dan 20Volt. Untuk itu digunakan sebuah
operational amplifier yang difungsikan sebagai penguat tegangan, sedemikian rupa
sehingga rentang tegangan input 0 sampai 3,3Volt berkorespondensi dengan
rentang tegangan output 0 sampai 20Volt.
111
sebesar SYSCLK dibagi 4, atau sebesar 67,708MHz. Frekuensi ini bisa didapat
pada output SYNC_OUT.
Frekuensi sweep yang diinginkan adalah sekitar 1kHz, atau sweeptime sekitar
1ms. Frekuensi terdekat yang didapat dengan cara membagi SYNC_CLK dengan
bilangan 2n adalah 1033Hz, di mana n=16. Berarti sweeptime sama dengan
0.968ms atau 65536 siklus SYNC_CLK. Untuk meyakinkan bahwa akumulator
frekuensi telah kembali ke frekuensi bawah, maka digunakan guardtime sebesar 4
siklus SYNC_CLK, sehingga sweep dari frekuensi bawah ke frekuensi atas
dilakukan selama 65532 siklus SYNC_CLK.
Sinyal chirp dengan frekuensi antara 93,75 dan 128,47MHz berarti frekuensi
ekskursi sekitar 34,72MHz. Untuk mendapatkan frekuensi ekskursi sekitar 34,72MHz,
nilai 1 dimasukkan pada RSRR. Nilai ini menghasilkan kenaikan frekuensi setiap Tr
= 0.014769us, atau setiap satu siklus SYNC_CLK. Kenaikan frekuensi yang
dibutuhkan setiap kali adalah sekitar 529,785Hz dan yang mendekati ini adalah fr =
516,574Hz yang bisa diperoleh dengan memberikan nilai 32 pada RDFTW. Nilai-
nilai di atas akan menghasilkan frekuensi ekskursi sebesar 33,852MHz untuk
sweeptime yang telah ditentukan di atas.
Dengan demikian frekuensi bawah adalah tetap 93,75MHz. Frekuensi atas
menjadi 93,75MHz ditambah 33,852MHz sama dengan 127,602MHz.
Frekuensi bawah dan frekuensi atas digunakan untuk menghitung FTW0 dan
FTW1 dengan menggunakan Persamaan (3.1).
(3.1)
di mana fs adalah frekuensi clock referensi.
Selanjutnya FTW0 dan FTW1 ditulis bersama dengan POW0 dan POW1, yang
dibiarkan 0, pada PCR0 dan PCR1.
Triger periodik dengan perioda sebesar sweep time yang diinginkan diperlukan
oleh DDS agar menghasilkan chirp periodik. Untuk menjaga koherensi, sinyal triger
dibangkitkan dengan membagi sinyal SYNC_CLK yang bisa diperoleh pada output
SYNC_OUT pada board AD9956. Untuk meyakinkan bahwa pembagi bisa bekerja
pada frekuensi SYNC_CLK, untuk pembagi tahap awal digunakan komponen TTL
tipe fast (F). Setelah didapat frekuensi yang lebih rendah, pada tahap berikutnya
bisa digunakan tipe lain. Diagram skema rangkaian pembagi dapat dilihat pada
Gambar 3.4.
112
Gambar 3.4. Rangkaian pembagi untuk trigger.
3.4. Pengujian
Gambar 3.5 menunjukkan spektrum output dari DDS yang diprogram untuk
menghasilkan chirp dari 93,75 sampai 128,47MHz . Spectrum analyzer di-set pada
frekuensi tengah 105MHz dan span 70MHz atau setara dengan frekuensi start
70MHz dan frekuensi stop 140MHz. Terlihat sedikit penurunan tingkat daya yang
berbanding terbalik dengan frekuensi.
113
Gambar 3.5. Spektrum chirp 93,75-128,47MHz
Gambar 3.6 menunjukkan spektrum output VCO, berupa chirp dari 6750
sampai 9250MHz. Spectrum analyzer di-set pada frekuensi start 6GHz dan frekuensi
stop 10GHz, atau setara dengan frekuensi tengah 8GHz dan span 4GHz. Dapat
diamati bahwa tingkat daya sepanjang rentang frekuensi output sedikit tidak merata.
Namun, dari bentuk spektrum bisa disimpulkan bahwa pembangkit chirp telah
bekerja.
114
Gambar 3.7. Sinyal 100MHz dari DDS
Masalah modulasi frekuensi atau derau fasa ini ditimbulkan oleh rangkaian
antara charge pump dan VCO, yaitu filter loop dan amplifier. Untuk mengatasi
masalah ini, rangkaian tersebut perlu diperbaiki.
115
IV. PENGEMBANGAN AKUISISI DATA
4.1. Akuisisi Data dalam Sistem Radar FM-CW
Secara sederhana sebuah sistem Radar FM-CW dapat digambarkan dengan
diagram blok pada Gambar 4.1. Sistem Radar bekerja pada frekuensi antara 500
dan 3000MHz.
Sebuah DRO yang menghasilkan sinyal dengan frekuensi 9750MHz digunakan
sebagai pembangkit sinyal utama. Sinyal ini digunakan sebagai referensi oleh
pembangkit chirp yang diprogram untuk membangkitkan chirp dengan frekuensi
antara 6750 dan 9250MHz. Sinyal chirp ini kemudian di-mix dengan sinyal output
DRO dan difilter dengan sebuah lowpas filter (LPF), untuk menghasilkan sinyal chirp
dengan frekuensi antara 500 dan 3000MHz.
Sebuah splitter digunakan untuk membagi sinyal menjadi dua output. Sinyal dari
output pertama diperkuat dengan power amlifier (PA) dan dipancarkan melalui
antena pemancar. Sinyal ini akan dipantulkan kembali oleh objek-objek yang ada di
depan antena radar. Sinyal pantulan diterima oleh antena penerima, untuk
selanjutnya diperkuat dengan sebuah low noise amplifier (LNA) dan difilter dengan
sebuah bandpass filter (BPF). Sinyal output dari BPF di-mix dengan sinyal dari
output kedua dari splitter dan difilter dengan sebuah LPF 500kHz. Hasilnya adalah
sinyal beat dengan frekuensi antara 0 dan 500kHz.
Sinyal beat mengandung informasi mengenai objek-objek yang ada di depan
radar. Agar dapat mengolah sinyal beat dan mengambil informasi yang ada di
dalamnya secara digital menggunakan PC, sinyal beat harus diubah menjadi data
digital menggunkan analog to digital converter (ADC). Data digital ini kemudian
dikirim ke PC melalui interface USB.
116
Mengikuti spesifikasi radar yang telah ditentukan, sinyal beat memiliki frekuensi
antara 0 dan 500kHz. Menurut teori Nyquist, konversi sinyal ini ke data digital cukup
dilakukan dengan sampling rate 1Msample/s. Sampling rate sebesar ini tidak terlalu
tinggi untuk ukuran ADC yang ada di pasaran saat ini. Namun hal lain yang perlu
diperhatikan adalah resolusi dari ADC. Dengan resolusi 16 bit per sampel, sample
rate 1 Msample/s berarti bitrate data sebesar 16 Mbit/s.
117
Gambar 4.2. Diagram Blok EZ-USB
Gambar 4.3.
118
Dalam divais-divais dengan rangkaian logika pengolah data eksternal, data USB
mengalir antara host dan rangkaian logika eksternal biasanya tanpa campur
tangan CPU EZ-USB melalui FIFO endpoint internal dari EZ-USB. Bagi rangkaian
logika eksternal, FIFO endpoint ini seperti kebanyakan FIFO lain; mereka
menyediakan timing signal, handshake line (full, empty, programmable-level), read
strobe dan write strobe, output enable, dan sebagainya.
Tentu saja sinyal FIFO ini harus dikendalikan oleh master FIFO. General
Programmable Interface (GPIF) dari EZ-USB bisa berperan sebagai master internal
ketika EZ-USB dihubungkan dengan rangkaian logika eksternal yang tidak memiliki
interface FIFO standar, atau FIFO bisa dikendalikan oleh master eksternal. Ketika
FIFO dikendalikan oleh sebuah master eksternal, EZ-USB disebut dalam mode
Slave FIFO. Mode inilah yang akan digunakan dalam aplikasi yang dikembangkan.
Gambar 4 menunjukkan interface slave FIFO.
Untuk detail lengkap mengenai interface baik hardware maupun software
antara FIFO slave dari EZ-USB dan master eksternal bisa dilihat di [25].
119
Rangkaian terdiri dari sebuah EZ-USB yang dioperasikan dengan mode slave
FIFO, sebuah CPLD yang diprogram untuk berfungsi sebagai master eksternal, dan
sebuah ADC. ADC mengkonversi sinyal beat analog dari sistem radar menggunakan
sampling clock yang juga dari sistem. CPLD meneruskan data dan clock tersebut
dan melengkapinya dengan sinyal-sinyal yang diperlukan oleh interface FIFO EZ-
USB, serta menerima dan merespons sinyal ari interface FIFO jika deperlukan.
Untuk alasan kepraktisan, implementasi rangkaian menggunakan sebuah board
di atas mana sudah terpasang sebuah IC USB CY7C68013A dan sebuah IC CPLD
Max II EPM1270T144C5N dari Altera. Di atas board juga terdapat sebuah osilator
kristal 24MHz untuk EZ-USB dan sebuah osilator 48MHz untuk CPLD. Sebuah IC
serial EEPROM 24LC64 terhubung dengan pin SCL dan SDA dari EZ-USB. Akses
ke EZ-USB hanya tersedia melalui soket USB tipe B dan melalui CPLD. Kecuali
beberapa pin CPLD yang terhubung ke EZ-USB, hubungan ke pin-pin sisanya
tersedia pada konektor header.
Tabel 4.1.
EPM1270T144 CY7C68013A
PIN PIN SIGNAL
37 9 SLWR
38 8 SLRD
39 3 PD7/FD15
40 2 PD6/FD14
41 1 PD5/FD13
42 56 PD4/FD12
43 55 PD3/FD11
44 54 PD2 /FD10
45 53 PD1 /FD9
48 52 PD0 /FD8
49 47 PA7/ SLCS#
50 46 PA6/ PKTEND
PA5/
51 45
FIFOADR1
52 44 PA4/FIFOADR0
53 43 PA3/*WU2
120
55 42 PA2/*SLOE
57 41 PA1/INT1#
58 40 PA0/INT0#
59 38 CTL2/*FLAGC
60 37 CTL1/*FLAGB
61 36 CTL0/*FLAGA
62 32 PB7/FD7
63 31 PB6/FD6
66 30 PB5/FD5
67 29 PB4/FD4
68 29 PB3/FD3
69 27 PB2/FD2
70 26 PB1/FD1
71 25 PB0/FD0
72 20 IFCLK
Untuk ADC digunakan sebuah IC AD9235 dari Analog Devices [24], yang sudah
terpasang di atas sebuah evaluation board bersama-sama dengan beberapa
komponen pendukung, seperti buffer untuk data dan clock. Data tersedia pada
konektor header, bersama-sama dengan clock dan bit overrange.
Karena sifat CPLD yang programmable, data, clock, dan bit overrange dari ADC
bisa dihubungkan ke pin CPLD mana saja yang tersedia pada konektor header.
Tabel 4.2 menunjukkan hubungan antara ADC dengan CPLD melalui evaluation
board ADC.
Tabel 4.2.
ADC Ev
EPM1270T144 AD9235
Header
Pin Pin Signal Pin Signal
- 34 D0 5 DNC
- 32 D1 6 DNC
3 30 D2 7 D0
4 28 D3 8 D1
5 26 D4 9 D2
121
6 24 D5 10 D3
7 22 D6 11 D4
8 20 D7 12 D5
11 18 D8 13 D6
12 16 D9 14 D7
13 14 D10 17 D8
14 12 D11 18 D9
15 10 D12 19 D10
16 8 D13 20 D11
2 36 DR 21 OTR
1 4 CLK - CLK
122
output [15:0] data_out; //fifo_db[15:0];
reg u_slwr, //-->u_slwr#;
u_slrd, //-->u_slrd#;
u_sloe; //-->u_sloe#;
reg [15:0] data_out; //-->fifo_db[15:0];
wire u_ifclk;
//internal registers :
reg [1:0] STATE;
parameter IDLE='H0,
WRITE_READY='H1,
WRITE='H2;
123
u_slwr<='b0;
data_out<=data_in;
STATE<=WRITE;
end
else
begin
u_slwr<='b1;
STATE<=IDLE;
end
end
default:
STATE<=IDLE;
endcase
end
end
endmodule
124
FLAGB - fixed EP4FF
FLAGC - fixed EP6EF
FLAGD - fixed EP8FF
SLCS isn't being used
FX2 can't signal zerolen OUT token to the master
Untuk driver USB digunakan driver standar dari EZ-USB yaitu CyUSB.sys.
Akses ke EZ-USB dari PC dilakukan dengan sebuah program yang ditulis
dengan C++. Program ini menggunakan class CyUSB untuk keperluan akses ke
driver CyUSB, sehingga perlu ditambahkan referensi ke CyUSB class (CyUSB.dll)
pada project property dan ditambahkan namespcae CyUSB dalam kode program,
seperti pada Listing 4.2.
Listing 4.2.
using namespace CyUSB;
Variabel loopDevice harus diset pada saat USB dihubungkan ke PC. Untuk itu
dibuat fungsi setDevice yang dipanggil setiap ada event DeviceAttached dan
DeviceRemoved dari divais CyUSB, seperti pada Listing 4.4.
125
Listing 4.4.
public:
void setDevice()
{
loopDevice = (CyUSBDevice^)usbDevices[0x1967, 0x0911];
StartBtn->Enabled = (loopDevice != nullptr);
if (loopDevice != nullptr){
Text = loopDevice->FriendlyName;
SetEndPoint();
}
else
Text = "Through Wall Radar - no hardware";
}
126
4.5. Pengujian
Modul yang dikembangkan diuji untuk mengakuisisi sinyal-sinyal dengan
berbagai frekuensi dan amplitudo pada sampling rate sekitar 6 Msamples/s. Data
digital di-plot menggunakan sebuah fungsi plot sederhana yang ditambahkan pada
program yang digunakan untuk mengakses USB.
Gambar 4.6 dan 4.7 menunjukkan plot sinyal-sinyal sinusoidal dengan frekuensi
100kHz dan amplitudo masing-masing 2Vpp dan 1Vpp, yang telah didigitalkan
menggunakan modul yang dikembangkan. Bentuk sinyal yang masih sempurna
membuktikan bahwa modul akuisisi data bekerja dengan baik.
127
Gambar 4.8. Plot sinyal 100kHz 2.2Vpp.
Gambar 4.8 menunjukkan plot dari sebuah sinyal sinusoidal dengan frekuensi
100kHz dan amplitudo 2.2Vpp. Kliping pada level di atas 1V dan di bawah -1V
menunjukkan bahwa ADC bekerja pada rentang tegangan input antara -1Vdan +1V.
Tegangan di bawah dan di atas rentang tersebut masing-masing akan akan
menghasilkan output data digital minimum dan maksimum serta mengaktifkan sinyal
output overrange dari AD9235.
Gambar 4.9 menunjukan plot dari sebuah sinyal sinusoidal dengan frekuensi
38kHz dan amplitudo 2Vpp yang telah didigitalkan. Sinyal telah mengalami
perubahan bentuk dan penurunan amplitudo. Perubahan bentuk dan penurunan
128
amplitudo lebih parah terjadi pada frekuensi di bawahnya, sebagaimana ditunjukkan
oleh plot sebuah sinyal, dengan frekuensi 19kHz dan dengan amplitudo yang sama,
pada Gambar 4.10.
V. KESIMPULAN
Sebuah pembangkit chirp widaband telah dirancang dan direalisasikan.
Pembangkit ini menggunakan sebuah DDS dan sebuah VCO sebagai komponen
utama. Untuk DDS digunakan AD9956 dari Analog Devices dalam bentuk evaluation
board dan untuk VCO digunakan HMC-C029 dari Hittite.
Subsistem yang dikembangkan telah menghasilkan sinyal chirp dari 6750
sampai 9250MHz. Namun derau fasa dari sinyal belum bisa diterima karena akan
mengakibatkan penurunan resolusi dan masalah pada pengolahan Doppler. Maka
dari itu masih diperlukan perbaikan pada rangkaian filter loop.
Sebuah modul akuisisi data sederhana untuk sistem radar FM-CW telah
dikembangkan. Modul menggunakan IC CY7C68013A dari keluarga EZ-USB dari
Cypress Semiconductor yang difungsikan sebagai slave FIFO. Untuk master FIFO
digunakan IC CPLD Max II EPM1270T144 dari Altera. Sedangkan untuk ADC
digunakan AD9235 dari Analog Device.
Modul bekerja dengan baik terutama pada frekuensi di atas 50kHz. Rangkaian
input pada evaluation board AD9235 merusak bentuk sinyal dengan frekuensi di
bawah 50kHz, sehingga evaluation board tidak cocok untuk digunakan dalam
129
aplikasi radar FM-CW. Untuk itu perlu dibuat rangkaian input yang lebih cocok untuk
frekuensi rendah.
REFERENSI
1. Aqsa, Patel, Signal Generation for FMCW Ultra-Wideband Radar, Master of
Science Thesis, Electrical Engineering and Computer Science, University of
Kansas, 2009
2. Jang, B.-J. et al., Wireless Bio-Radar Sensor For Heartbeat And Respiration
Detection, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 5, 149168, 2008
3. D'Urso , M. et al., A Simple Strategy For Life Signs Detection Via An X-Band
Experimental Set-Up, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 9, 119-129,
2009
4. Boric-Lubecke, Olga et al., Doppler Radar Architectures and Signal Processing
for Heart Rate Extraction, Microwave Review, Decembar 2009
5. Yamaguchi, Yoshio et al., Human Body Detection in Wet Snowpack by an FM-
CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.30,
No.1, January 1992
6. Purdy, Robert J. et al., Radar Signal Processing, Lincoln Laboratory Journal,
Volume 12, Number 2, 2000
7. Yamaguchi, Yoshio et al., Detection of Objects Buried in Wet Snowpack by an
FM-CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.29,
No.2, March 1991
8. Millot, P. and Maaref, N., UWB FM-CW Radar for Through-The-Wall Sensing,
9. Ferrier, Jean Marie, Comparison of Two UWB Techniques: Step Frequency and
FMCW Technique,
10. Maaref, Nadia, FMCW Ultra-Wideband Radar For Through-The-Wall Detection
of Human Beings,
11. Harris, T. L. et al., Range-Doppler Radar Signal Processing with Spectral
Holography,
12. Hamran, Svein-Erik et al., Gated UWB FMCW/SF Radar for Ground Penetration
and Through the Wall Applications
13. Ivashov, S.I. et al., Detection of Human Breathing and Heartbeat by Remote
Radar, Progress in Electromagnetic Research Symposium 2004, Pisa, Italy,
March 28 - 31
130
14. I.J. et al., Immoreev, Ultra-Wideband Radar For Remote Detection And
Measurement Of Parameters Of The Moving Objects On Small Range, Ultra
Wideband and Ultra Short Impulse Signals, 19-22 September, 2004, Sevastopol,
Ukraine pp. 1-3
15. Immoreev, Igor Y., Practical Application Of Ultra-Wideband Radars,
Ultrawideband and Ultrashort Impulse Signals, 18-22 September, 2006,
Sevastopol, Ukraine
16. Purwoko Adhi, Pembangkitan Chirp untuk Radar FM CW Menggunakan DDS,
Prosiding Seminar Radar Nasional 2009.
17. 2.7 GHz DDS-Based AgileRFTM Synthesizer (AD9956 Datasheet), Analog
Devices, Norwood, USA, 2004.
18. Evaluation Board for 2.7 GHz DDS-Based AgileRF Synthesizer, Analog
Devices, Norwood, USA, 2005.
19. A Technical Tutorial on Digital Signal Synthesis, Analog Devices, Norwood, USA,
1999
20. Mahafza, Bassem R., Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB, 2nd
Edition, Chapman and Hall/CRC, Boca Raton, 2005.
21. Miller, Gary M. and Beasley, Jeffrey S., Modern Electronic Communication, 7th
Edition, Prentice Hall, 2002.
22. Mahafza, Bassem R., Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB, 2nd
Edition, Chapman and Hall/CRC, Boca Raton, 2005.
23. Miller, Gary M. and Beasley, Jeffrey S., Modern Electronic Communication, 7th
Edition, Prentice Hall, 2002.
24. 12-Bit, 20/40/65 MSPS 3V A/D Converter, AD9235 Datasheet, Analog Devices,
Norwood, MA, USA, 2004
25. EZ-USB Technical Reference Manual, Cypress Semiconductor, San Jose, CA,
USA, 2005.
26. EZ-USB FX2LP USB Microcontroller, Cypress Semiconductor, San Jose, CA,
USA, 2005.
27. EZ-USB Getting Started Development Kit Manual, Rev 1.0, Cypress
Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2005.
28. CyUsb.sys Programmer's Reference, Cypress Semiconductor, San Jose, CA,
USA, 2003.
131
29. CyAPI Programmer's Reference, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA,
2003.
30. USB Console Users' Guide, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2003.
31. MAX II Device Handbook, Altera Corporation, San Jose, CA, USA, 2009.
132
133